MUHAMMAD, ‘alaihi’sh-shalatu wassalam.
Dengan nama yang begitu mulia, jutaan bibir setiap hari mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat berdenyut, berulang kali. Bibir dan jantung yang bergerak dan berdenyut sejak seribu tiga ratus lima puluh tahun. Dengan nama yang begitu mulia, berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta jantung akan terus berdenyut, sampai akhir zaman.
Pada setiap hari di kala fajar menyingsing, lingkaran-lingkaran putih di ufuk sana mulai nampak hendak menghalau kegelapan malam, ketika itu seorang muazzin bangkit, berseru kepada setiap makhluk insani, bahwa bangun bersembahyang lebih baik daripada terus tidur. Ia mengajak mereka bersujud kepada Allah, membaca selawat buat Rasulullah.
Seruan ini disambut oleh ribuan, oleh jutaan umat manusia dari segenap penjuru bumi, menyemarakkannya dengan salat menyambut pahala dan rahmat Allah bersamaan dengan terbitnya hari baru. Dan bila hari siang, matahari pun berangkat pulang, kini muazzin bangkit menyerukan orang bersembahyang lohor, lalu salat asar, maghrib, isya. Pada setiap kali dalam sembahyang ini mereka menyebut Muhammad, hamba Allah, Nabi dan Rasul-Nya itu, dengan penuh permohonan, penuh kerendahan hati dan syahdu. Dan selama mereka dalam rangkaian sembahyang lima waktu itu, bergetar jantung mereka menyebut asma Allah dan menyebut nama Rasulullah. Begitulah mereka, dan akan begitu mereka, setelah Allah memperlihatkan agama yang sebenarnya ini dan melimpahkan nikmat-Nya kepada seluruh umat manusia.
Lingkungan Kekuasaan Islam yang Pertama
Tidak banyak waktu yang diperlukan Muhammad dalam menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan panjinya ke penjuru dunia. Sebelum wafatnya, Allah telah menyempurnakan agama ini bagi kaum Muslimin. Dalam pada itu ia pun telah meletakkan landasan penyebaran agama itu: dikirimnya misi kepada Kisra,’ kepada Heraklius dan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa lain supaya mereka sudi menerima Islam. Tak sampai seratus lima puluh tahun sesudah itu, bendera Islam pun sudah berkibar sampai ke Andalusia di Eropa sebelah barat, ke India Turkestan, sampai ke Tiongkok di Asia Timur, juga telah sampai ke Syam (meliputi Suria, Libanon, Yordania dan Palestina sekarang), Irak, Persia dan Afghanistan, yang semuanya sudah menerima Islam. Selanjutnya negeri-negeri Arab dan kerajaan Arab, sampai ke Mesir, Sirenaika, Tunisia, Aljazair, Marokko, — sekitar Eropa dan Afrika — telah dicapai oleh misi Muhammad “alaihissalam. Dan sejak waktu itu sampai masa kita sekarang ini panji-panji Islam tetap berkibar di semua daerah itu, kecuali Spanyol yang kemudian diserang oleh Kristen dan penduduknya disiksa dengan bermacam-macam cara kekerasan. Tidak tahan lagi mereka hidup. Ada di antara mereka yang kembali ke Afrika, ada pula yang karena takut dan ancaman berbalik agama berpindah dari agama asalnya kepada agama kaum tiran yang menyiksanya.
Hanya saja apa yang telah diderita Islam di Andalusia sebelah barat Eropa itu ada juga gantinya tatkala kaum Usmani (Turki) memasukkan dan memperkuat agama Muhammad di Konstantinopel. Dari sanalah ajaran Islam itu kemudian menyebar ke Balkan, dan memercik pula sinarnya sampai ke Rusia dan Polandia sehingga berkibarnya panji-panji Islam itu berlipat ganda luasnya daripada yang di Spanyol.
Sejak dari semula Islam tersebar hingga masa kita sekarang ini memang belum ada agama-agama lain yang dapat mengalahkannya. Dan kalaupun ada di antara umat Islam yang ditaklukkan, itu hanya karena adanya berbagai macam kekerasan, kekejaman dan despotisma, yang sebenarnya malah menambah kekuatan iman mereka kepada Allah, kepada hukum Islam, dengan memohonkan rahmat dan ampunan daripada-Nya.
Islam dan Nasrani
Kekuatan inilah yang telah menyebabkan Islam itu tersebar, telah dikonfrontasikan langsung dengan pihak Nasrani yang menghadapinya dengan sikap permusuhan yang sengit sekali. Muhammad telah berhasil melawan paganisma dan mengikisnya dari negeri-negeri Arab, seperti juga yang kemudian dilakukan oleh para penggantinya yang mula-mula, di melawan Bizantium di bawah Yustinianus. Kisra II Parvez, putra Ormizd IV dan cucu Kisra I menyerang Anatolia dan Suria sampai di Bosporus. Syahvaraz dapat menaklukkan Damaskus dan Yerusalem dan Salib Besar (The True Cross) diambil, kemudian Heraklius dapat mengalahkan Persia di Niniveh (626). Kisra lari ke Ctesiphon (Mada’in). Ia dipenjarakan oleh anaknya Kavadh II (Syiruya) dan empat hari kemudian dibunuh (628) dalam penjara (A). Persia, di Afghanistan dan tidak sedikit pula di India. Pengganti-pengganti Muhammad telah dapat juga mengalahkan kaum Nasrani di Hira, di Yaman, Syam, Mesir dan sampai ke pusat Nasrani sendiri di Konstantinopel.
Seperti halnya dengan paganisma, adakah juga terhadap agama Nasrani akan senasib mengalami kelenyapan sebagai salah satu agama Kitab yang juga dihormati oleh Muhammad dan yang juga mendapat wahyu melalui Nabinya? Adakah orang-orang Arab itu, Arab pedalaman yang datang merantau dari pelosok jazirah padang pasir yang gersang, akan ditakdirkan juga menguasai taman-taman Andalusia, Bizantium dan daerah-daerah Masehi lainnya? Lebih baik mati daripada itu. Selama beberapa abad terus-menerus antara pengikut-pengikut Isa dan pengikutpengikut Muhammad telah terjadi peperangan yang terus-menerus. Dan peperangan itu tidak terbatas pada pedang dan meriam saja, malah juga diteruskan sampai ke bidang-bidang perdebatan dan pertentangan teologis yang dibawa oleh pejuang-pejuang itu, masing-masing atas nama Muhammad dan atas nama Isa, masing-masing mencari jalan mempengaruhi umum dan beragitasi membangkitkan fanatisma dan semangat rakyat jelata.
Kaum Muslimin dan Isa
Akan tetapi Islam melarang kaum Muslimin merendahkan kedudukan Isa — karena dia hamba Allah yang diberi-Nya kitab dan dijadikan-Nya seorang nabi, dijadikan-Nya ia orang yang beroleh berkah di mana pun ia berada, diperintahkan-Nya ia melakukan sembahyang, mengeluarkan zakat selama ia masih hidup, dijadikan-Nya ia orang yang berbakti kepada ibunya, dan tidak pula dijadikan orang yang pongah dan celaka. Bahagia ia tatkala dilahirkan, tatkala ia wafat dan tatkala ia dibangkitkan hidup kembali.
Sedang dari pihak kaum Masehi, banyak di antara mereka itu yang menyindir-nyindir Muhammad dan menilainya dengan sifat-sifat yang tidak mungkin dilakukan oleh kaum terpelajar — untuk melampiaskan rasa kebencian yang ada dalam hati mereka serta beragitasi membangkitkan emosi orang. Meskipun ada dikatakan bahwa perang salib itu sudah berakhir sejak ratusan tahun yang lalu, namun fanatisma gereja Kristen terhadap Muhammad mencapai puncaknya sampai pada waktu-waktu belakangan ini. Dan barangkali masih tetap demikian kalau tidak akan dikatakan malah bertambah, sekalipun dilakukan dengan sembunyisembunyi. berselubung misi dengan pelbagai macam cara. Hal ini tidak terbatas hanya pada gereja saja bahkan sampai juga kepada penulispenulis dan ahli-ahli pikir Eropa dan Amerika, yang dapat dikatakan tidak seberapa hubungannya dengan pihak gereja.
Bisa jadi orang merasa heran bahwa fanatisma Kristen terhadap Islam masih begitu keras pada suatu zaman yang diduga adalah zaman cerah dan zaman ilmu pengetahuan, yang berarti juga zaman toleransi dan kelapa. ngan dada. Dan orang akan Icbih heran lagi apabila mengingat kaum Muslimin yang mula-mula, betapa mereka merasa gembira melihat kemenangan kaum Kristen begitu besar terhadap kaum Majusi (Mazdais. ma), melihat kemenangan pasukan Heraklius merebut panji-panji Persia dan dapat melumpuhkan tentera Kisra. Masa itu Persia adalah yang memegang tampuk pimpinan di seluruh jazirah Arab bagian selatan, sesudah Kisra dapat mengusir Abisinia dari Yaman. Kemudian Kisra mengerahkan pasukannya — pada tahun 614 — di bawah salah seorang panglimanya yang bernama Syahravaraz’ untuk menyerbu Rumawi, dan dapat mengalahkannya ketika berhadap-hadapan di Adhri’at? dan dj Bushra,” tidak jauh dari Syam ke negeri Arab. Mereka banyak yang terbunuh, kota-kota mereka dihancurkan, kebun-kebun zaitun dirusak.
Orang-orang Kristen yang Fanatik dan Muhammad
Pada waktu itu Arab — terutama penduduk Mekah — mengikuti berita-berita perang itu dengan penuh perhatian. Kedua kekuatan yang sedang bertarung itu merupakan peristiwa terbesar yang pernah dikenal dunia pada masa itu. Negcri-negeri Arab ketika itu menjadi tetanggatetangganya. Sebagian berada di bawah kekuasaan Persia, dan sebagian lagi berbatasan dengan Rumawi. Orang-orang kafir Mekah bergembira sekali melihat kekalahan kaum Kristen itu, sebab mereka juga Ahli Kitab seperti kaum Muslimin. Mereka berusaha mengaitkan tercemarnya kekalahan Kristen itu dengan agama kaum Muslimin.
Sebaliknya pihak Muslimin merasa sedih sekali karena pihak Rumawi juga Ahli Kitab seperti mereka. Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak mengharapkan kemenangan pihak Majusi dalam melawan Kristen. Perselisihan kaum Muslimin dan kaum kafir Mekah ini sampai menimbulkan sikap saling berbantah dari kedua belah pihak. Kaum kafirnya mengejek kaum Muslimin, sampai ada di antara mereka itu yang menyatakan kegembiraannya di depan Abu Bakr, dan Abu Bakr pun sampai marah dengan mengatakan: Jangan lekas-lekas gembira, pihak Rumawi akan mengadakan pembalasan.
Abu Bakr adalah orang yang terkenal tenang dan lembut hati. Mendengar jawaban itu pihak kafir membalasnya dengan ejekan pula: Engkau pembohong. Abu Bakr marah: Engkaulah musuh Tuhan yang pembohong! Hal ini disertai dengan taruhan sepuluh ekor unta bahwa pihak Rumawi akan mengalahkan kaum Majusi dalam waktu setahun. Muhammad mengetahui adanya peristiwa taruhan ini, lalu dinasehatinya Abu Bakr, supaya taruhan itu ditambah dan waktunya pun diperpanjang. Abu Bakr memperbanyak jumlah taruhannya sampai seratus ekor unta dengan ketentuan, bahwa Persia akan dapat dikalahkan dalam waktu kurang dari sembilan tahun.
Dasar-dasar yang Sederhana dalam Kedua Agama
Dalam tahun 625 ternyata Heraklius menang melawan pihak Persia. Syam direbutnya kembali dan Salib Besar dapat diambil lagi. Dalam taruhan ini Abu Bakr pun menang. Sebagai nubuat atas kemenangan ini firman Tuhan turun seperti dalam awal Surah ar-Rum:
“Alif. Lam. Mim. Kerajaan Rurmawi telah dikalahkan. Di negeri terdekat. Dan mereka, sesudah kekalahan itu, akan mendapat kemenangan. Dalam beberapa tahun saja. Di tangan Tuhan keputusan itu. Pada masa lampau, dan masa akan datang. Pada hari itu orang-orang beriman akan bergembira. Dengan pertolongan Allah: Ia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Maha Mulia Ia dalam Kekuasaan dan Maha Penyayang. Demikian janji Allah. Allah takkan menyalahi janji-Nya. Tetapi kebanyakan orang tidak mengerti.”
Besar sekali kegembiraan kaum Muslimin atas kemenangan Heraklius dan kaum Nasrani itu. Hubungan persaudaraan antara mereka yang menjadi pengikut Muhammad dan mereka yang percaya kepada Isa, selama hidup Nabi, besar sekali, meskipun antara keduanya sering terjadi perdebatan. Tetapi tidak demikian halnya kaum Muslimin dengan pihak Yahudi, yang pada mulanya bersikap damai, lambat-laun telah menjadi permusuhan yang berlarut-larut, yang sampai meninggalkan bekas berdarah dan membawa akibat keluarnya orang-orang Yahudi dari seluruh jazirah Arab. Kebenaran atas kejadian ini ialah firman Tuhan:
“Pasti akan kau dapati orang-orang yang paling keras memusuhi mereka yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan pasti akan kau dapati orang-orang yang paling akrab bersahabat dengan mereka yang beriman ialah mereka yang berkata: “Karni ini orang. orang Nasrani. Sebab, di antara mereka terdapat kaum pendeta dan rahib. rahib, dan mereka itu tidak menyombongkan diri.”
Kemudian kita melihat kedua agama ini mempunyai konsepsi tentang hidup dan akhlak yang dapat dikatakan sama. Keduanya memandang manusia dan awal mula penjadiannya sama: Allah menciptakan Adam dan Hawa dan keduanya ditempatkan dalam surga, kemudian diwahyukan jangan mereka mendengarkan godaan setan. Tetapi mereka makan juga (buah) dari pohon itu, maka mereka pun keluar dari surga. Setan yang tak mau tunduk kepada Adam, adalah musuh mereka — sebagaimana diwahyukan Allah kepada Muhammad — dan yang tidak mau menyucikan kalimat Allah, menurut kitab-kitab suci kaum Nasrani. Setan memperdayakan Hawa dan membujuknya. Lalu Hawa pun membujuk Adam dan keduanya sama-sama makan dari Pohon Abadi itu. Kerana itu, maka tampaklah aurat mereka. Mereka pun minta ampun kepada Tuhan dan Tuhan mengirimkan mereka ke bumi, yang akan jadi saling bermusuhan di antara sebagian keturunan mereka, dan yang akan diperdayakan setan, sehingga akan ada golongan yang sesat dan ada pula yang akan melawan kehancuran itu.
Untuk memperkuat perjuangan manusia melawan godaan dosa itu, Tuhan telah mengutus Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain, dan kepada setiap rasul itu disertakan pula kitab (wahyu) menurut bahasa masyarakat lingkungan guna memperkuat apa yang datang dari Tuhan dan memberi penerangan kepada mereka. Sebagaimana juga di pihak setan ada barisan yang membela nafsu kejahatan, juga para malaikat memuja dan menguduskan kesucian Tuhan. Masing-masing mereka itu saling berselisih menghadapi hidup dan alam ini sampai Hari Kebangkitan, tatkala setiap jiwa kelak akan memperoleh hasil sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan takkan ada seorang teman akrab pun yang sudi menanyakan teman lainnya.
Perbedaan Tauhid dan Trinitas
Akan kita lihat dalam Quran yang telah menyebutkan Isa dan Mariam dengan penghormatan serta penghargaan yang demikian rupa dari Tuhan sehingga kita pun karenanya turut bersimpati pula, terbawa oleh rasa persaudaraan. Tetapi apa yang menyebabkan kita lalu bertanya?: Kalau begitu, kenapa kaum Muslimin dan Kristen selama berabad-abad terus bermusuhan dan berperang? Jawaban atas pertanyaan ini ialah, bahwa antara ajaran-ajaran Islam dan Kristen itu terdapat perbedaan asasi yang menjadi suatu sebab perdebatan hebat semasa Nabi, sekalipun perdebatan demikian itu tidak sampai melampaui batas permusuhan dan kebencian. Kaum Kristen tidak mengakui kenabian Muhammad seperti Islam yang mengakui kenabian Isa: Kristen berlandaskan Trinitas, sedang Islam sama sekali menolak, selain Tauhid. Kaum Kristen menuhankan Isa, dan berpegang pada argumentasi ketuhanannya itu bahwa dia sudah berbicara sejak di dalam buaian serta memperlihatkan mukjizat-mukjizat yang tak dapat dilakukan oleh yang lain, suatu hal yang sebenarnya hanya dapat dilakukan oleh Tuhan.
Pada masa permulaan Islam mereka mendebat kaum Muslimin tentang itu dengan menggunakan Quran, dengan berkata: Bukankah Quran yang diturunkan kepada Muhammad itu mengakui pendapat kami ketika berkata:
“Dan tatkala para malaikat berkata: “Aduhai Mariam, Tuhan menyampaikan berita gembira kepadamu dengan firman Tuhan: namanya Isa Almasih anak Mariam, orang terpandang di dunia dan di akhirat dan termasuk orang yang dekat (kepada Tuhan). Ia akan berbicara dengan orang semasa ia anak-anak dan sesudah dewasa dan ia tergolong orang yang baik-baik. Kata (Mariam)nya: “Tuhan, dari mana saya akan mendapatkan anak, padahal tak ada orang yang menyentuhku.’ Ia (Tuhan) berkata: “Begitulah, Tuhan mencipta menurut kehendak-Nya. Jika ia memutuskan sesuatu, Ia hanya berkata: Jadilah, maka ia pun jadi. Dan ia mengajarkan Kitab kepadanya, hikmah kebijaksanaan, Taurat dan Injil. Dan ia diutus menjadi Rasul bagi keluarga Israil: “Aku datang kepadamu membawa sebuah Bukti dari Tuhanmu. Kuciptakan dari tanah liat bentuk serupa burung. Kutiup ia lalu ia menjadi seekor burung dengan izin Allah, dan aku dapat menyembuhkan orang buta dan berpenyakit kusta serta menghidupkan orang mati dengan izin Allah. Aku pun dapat memberitahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan dalam rumahmu. Itulah suatu bukti bagimu bila kamu orang-orang yang beriman.”
Jadi Quran menegaskan, bahwa ia menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta asal dari kelahiran, menyembuhkan kusta, dan dari segumpal tanah dijadikannya seekor burung dan dapat membuat profesi (ramalan) dan semua ini adalah merupakan sifat-sifat Ilahiah. Inilah pandangan kaum Nasrani masa Nabi, yang dijadikan mereka bahan argumentasi dan mengajaknya berdebat dengan pendirian, bahwa Isa juga Tuhan di samping Allah. Dan ada lagi segolongan mereka itu yang berpendirian menuhankan Mariam karena Allah telah menurunkan sabda-Nya kepadanya. Pendirian kaum Nasrani yang demikian pada masa itu menganggap Mariam satu dari tiga dalam Trinitas: Bapa, Anak dan Ruh Kudus. Mereka yang berpendirian dengan menuhankan Isa dan ibunya itu hanya merupakan satu sekta dari sekian banyak sekta-sekta Nasrani yang bermacam-macam dan terpencar-pencar itu.
Kaum Nasrani Mengajak Nabi Berdebat
Orang-orang Nasrani seluruh jazirah Arab dengan alirannya yang bermacam-macam itu mengajak Muhammad berdebat menurut dasar mazhab mereka. Kata mereka Almasih itu ialah Allah, dia anak Allah: kata mereka dia adalah satu dari tiga dalam Trinitas. Mereka yang berpendapat pada ketuhanan Isa itu berpegang pada argumentasi yang disebutkan di atas. Argumentasi yang mengatakan bahwa dia anak Allah, sebab bapanya tidak diketahui orang, dan dia berbicara dalam buaian semasa anak-anak, yang tak pernah terjadi pada siapa pun dari anak Adam. Argumentasi yang mengatakan bahwa dia satu dari tiga dalam Trinitas, sebab Allah berkata: Kami perintahkan, Kami jadikan dan Kami tentukan. Kalau hanya Satu tentu berkata: Aku perintahkan, Aku jadikan dan Aku tentukan. Muhammad mendengarkan semua tanggapan mereka itu, dan mengajaknya berdiskusi dengan cara yang lebih baik. Dalam perdebatan itu ia tidak begitu keras seperti terhadap kaum musyrik dan penyembah berhala. Bahkan dikemukakannya argumen itu berdasarkan wahyu dengan cara yang logis dan sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab mereka. Allah berfirman:
“Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap Tuhan), mereka yang mengatakan, bahwa Allah ialah Isa Almasih anak Mariam. Katakan: Siapakah yang dapat merintangi jika Ia hendak membinasakan Almasih anak Mariam serta ibunya dan setiap orang yang ada di muka bumi ini semua? Kerajaan langit dan bumi serta segala yang ada di antara itu, adalah milik Allah. Ia menciptakan apa yang ada di antara itu, dan Allah Maha Kuasa atas segalanya. Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata: Kami adalah anak-anak Allah dan yang dicintai-Nya. Katakan: Mengapa Ia menyiksamu karena dosa-dosamu itu? Sebenarnya kamu pun manusia, seperti yang pernah diciptakan-Nya. Ia mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Ia menghukum siapa saja yang dikehendakiNya. Kerajaan langit dan bumi serta segala yang ada di antara itu, adalah milik Allah. Dan kepada-Nyalah kembali sebagai tujuan terakhir.”
“Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap Tuhan), mereka yang mengatakan, bahwa Allah itu Almasih anak Mariam. Bahkan Almasih berkata: Hai anak-anak Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Barangsiapa mempersekutukan Allah, Allah akan mengharamkan surga baginya dan tempatnya adalah api neraka. Orang-orang feraniaya itu takkan punya pembela. Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap Tuhan) mereka yang mengatakan, bahwa Allah adalah satu dari tiga dalam Trinitas. Tak ada tuhan kecuali Tuhan Yang Satu. Apabila tidak mau juga mereka berhenti (menghina Tuhan), pasti mereka yang telah merendahkan (Tuhan), itu akan dijatuhi siksaan yang memedihkan.”’
“Dan ingat ketika Allah berkata: Hai Isa anak Mariam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang: mengangkatku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah? Ia menjawab: Maha Suci Engkau, tidak akan aku mengatakan yang bukan menjadi hakku. Kalaupun aku mengatakannya, tentu Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam hatiku, tapi aku tidak mengetahui apa yang ada di dalam Dirimu. Maha Mengetahui Engkau atas segala yang gaib. Tak ada yang kukatakan kepada mereka, selain daripada yang Kau perintahkan kepadaku, supaya mereka menyembah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, dan akulah saksi mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka. Tetapi setelah Kau wafatkan aku, Engkau Pengawas mereka dan Engkau pula yang menyaksikan segala sesuatu. Kalau Engkau siksa mereka, mereka adalah hambahamba-Mu, kalaupun Engkau ampuni mereka, Engkau Penguasa Maha Mulia dan Bijaksana.”
Pandangan Nasrani adalah Trinitas dan Isa adalah anak Allah. Sedangkan Islam menolak semua itu dengan tegas sekali, menulak bahwa Tuhan mempunyai anak.
“Katakan: Allah Satu cuma. Allah itu abadi dan mutlak. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada satu apa pun yang menyerupai-Nya.”? “Tidak sepatutnya bagi Allah akan mengambil anak. Maha Suci Ia.”’ “Hal seperti terhadap Isa bagi Allah sama seperti terhadap Adam, dijadikan-Nya ia dari tanah lalu dikatakan: jadilah, maka jadilah ia.”
Pada dasarnya Islam adalah agama Tauhid, dalam pengertian Tauhid yang murni dan kuat sekali, dan dalam pengertian Tauhid yang sederhana dan jelas sekali. Setiap kemungkinan yang akan mengaburkan pengertian dan pikiran Tauhid, Islam tegas menolaknya dan menganggapnya kufur. “Allah tidak akan mengampuni bila Dia dipersekutukan. Tetapi selain itu akan diampuni-Nya siapa saja yang dikehendaki-Nya.”
Bagaimanapun konsepsi Masehi tentang Trinitas, yang memang mempunyai hubungan sejarah dengan beberapa agama lama, namun bagi Muhammad itu samasekali bukan suatu kebenaran. Yang benar ialah Allah itu Esa, tidak bersekutu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada apa pun yang menyerupai-Nya. Jadi tidak heran kalau antara Muhammad dengan pihak Nasrani masa itu terjadi diskusi dengan cara yang baik, dan wahyu pun memperkuat Muhammad seperti dalam ayat, ayat itu.
Masalah Penyaliban Almasih
Masalah lain yang menimbulkan perbedaan pendapat Islam dar Nasrani, dan menjadi puncak perdebatan antara dua golongan itu pada masa Nabi, ialah masalah penyaliban Isa untuk menebus dosa Orang dengan darahnya. Secara tegas Quran telah membantah bahwa orang. orang Yahudi membunuh dan menyalib Isa.
“Dan perkataan mereka bahwa: kami telah membunuh Almasih Isg anak Mariam — Utusan Allah. Tetapi mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, melainkan begitu terbayang pada mereka. Dan mereka yang masih berselisih pendapat tentang itu sebenarnya masih ragu, sebab tak ada pengetahuan mereka tentang itu, selain berdasarkan prasangka saja, dan mereka pun tidak yakin telah membunuhnya. Bahkan Allah telah meng. angkatnya kepada-Nya. Maha Mulia Kekuasaan Allah dan Bijaksana.”
Kalaupun konsepsi tentang penebusan dosa anak-cucu Adam dengan darah Isa memang indah sekali, dan apa yang ditulis orang tentang itu patut menjadi bahan studi dari segala seginya, baik literair, etika atau psikologi, namun prinsip yang telah ditentukan Islam, bahwa orang tidak dibenarkan memikul beban dosa orang lain, dan bahwa setiap orang pada hari kemudian diganjar sesuai dengan perbuatannya — kalau ia berbuat baik dibalas dengan kebaikan, kalau jahat dibalas dengan kejahatan – menyebabkan pendekatan logis antara kedua ajaran ini tidak mungkin. Di sini logika Islam sangat konkrit, sehingga tak ada gunanya usaha mencari persesuaian, melihat garis perbedaan yang begitu tajam antara konsepsi penebusan dan konsepsi hukum yang bersifat pribadi.
“Seorang bapa takkan dapat menolong anaknya, dan anak pun tiada sedikit juga akan dapat menolong bapanya.”
Tentang agama baru ini, sudah adakah dari kalangan Nasrani ketika itu yang mau memikirkannya, serta melihat kemungkinan bertemunya konsepsi Tauhid dengan ajaran yang dibawa Isa itu? Ya, memang ada, dan banyak di antara mereka itu yang lalu beriman kepada ajaran ini.
Rumawi dan Kaum Muslimin
Akan tetapi Kerajaan Rumawi — yang karena kemenangannya kaum Muslimin telah turut gembira dan menganggapnya suatu kemenangan bagi agama-agama Kitab — penguasa-penguasanya tidak mau bersusah payah mempelajari agama baru itu. Mereka memandang semua kemungkinan hanya dari segi politik semata dan yang dipikirkan hanya nasib kerajaannya bila agama yang baru itu kelak mendapat kemenangan. Oleh karena itu mereka malah bersekongkol menentangnya, dengan mengirimkan pasukan besar-besaran — suatu sumber mengatakan seratus ribu, yang lain mengatakan dua ratus ribu — yang mengakibatkan timbulnya perang Tabuk. Pihak Rumawi ternyata mundur berhadapan dengan pasukan Muslimin — dengan Muhammad sebagai komandannya — yang hendak menangkis serangan musuh yang tidak diinginkan itu.
Sejak itulah kaum Muslimin dan kaum Nasrani berada dalam posisi permusuhan politik, yang selama berabad-abad berikutnya kemenangan berada di tangan kaum Muslimin. Selama itu lingkungan kekuasaan mereka membentang sampai ke Andalusia di sebelah barat, ke India dan Tiongkok di sebelah timur. Sebagian besar daerah-daerah ini menerima agama baru itu dan bahasa Arab sebagai bahasa yang sudah ditentukan.
Setelah tiba masanya sejarah harus beredar, pihak Nasrani pun mengusir kaum Muslimin dari Andalusia, memerangi mereka dengan serangkaian Perang Salib. Mereka menyerang agama dan Nabi dengan cara yang sangat keji, disertai kebohongan dan fitnah semata-mata. Demikian kejinya mereka itu, sehingga lupa mereka tentang apa yang pernah disampaikan Muhammad ‘“alaihissalam dalam hadis-hadis dan dalam Quran melalui wahyu yang diturunkan kepadanya, bahwa Islam mengangkat martabat Isa ‘alaihissalam setinggi yang diberikan Allah kepadanya.
Penulis-penulis Kristen dan Muhammad
Ketika menguraikan pandangan penulis-penulis Kristen sampai pada pertengahan abad kesembilan belas, sehubungan dengan adanya mereka yang berprasangka jahat terhadap Muhammad Dictionaire Larousse menyebutkan demikian: “Dalam pada itu Muhammad masih tetap sebagai tukang sihir yang hanyut dalam kerusakan akhlak, perampok unta, seorang kardinal yang tidak berhasil menduduki kursi Paus, lalu menciptakan agama baru untuk membalas dendam kepada kawan-kawannya. Cerita-cerita khayal dan cabul banyak terjadi dalam sejarah hidupnya. Sejarah hidup Bahaume (Muhammad) hampir terdiri dari hasil lektur semacam itu. “Cerita Muhammad” yang disiarkan oleh Reinaud dan Francisgue Michel tahun 1831 melukiskan kepada kita pandangan orang-orang yang hidup dalam Abad Pertangahan itu tentang dia. Dalam abag ketujuh belas Bell memberikan suatu tanggapan tentang sejarah yan sifatnya merendahkan arti Quran dengan suatu tinjauan berdasarkan sejarah. Sungguhpun begitu ia masih diliputi oleh ketentuan-ketentuar yang salah mengenai dirinya. Akan tetapi dia mengakui, bahwa ketentuan, moral dan sosial yang dibuatnya tidak berbeda dengan ketentuan Kristen kecuali soal hukum gishash (lex talionis?) dan poligini.”
Dari sekian banyak Orientalis yang telah membuat analisa tentang sejarah hidup Muhammad, ada seorang di antaranya yang agak Jujur, yaity penulis Prancis Emile Dermenghem. Ia memperingatkan kolega-kolega yang menulis tentang agama ini dengan mengatakan: “Sesudah pecah perang Islam-Kristen, dengan sendirinya jurang pertentangan dan salah. pengertian bertambah lebar, tambah tajam. Orang Kirus mengakui bahwa orang-orang Baratlah yang memulai timbulnya pertentangan itu sampai begitu memuncak. Sejak zaman penulis-penulis Bizantium, tanpa mau bersusah payah mengadakan studi — kecuali Jean Damascene – telah melempari Islam dengan pelbagai macam penghinaan. Para penulis dan penyair menyerang kaum Muslimin Andalusia dengan cara yang sangat rendah. Mereka menuduh, bahwa Muhammad adalah perampok unta, orang yang hanyut dalam foya-foya, mereka menuduhnya tukang sihir, kepala bandit dan perampok, bahkan menuduhnya sebagai seorang pendeta Rumawi yang marah dan dendam karena tidak dipilih menduduki kursi Paus….. Dan yang sebagian mengiranya ia adalah tuhan palsu, yang oleh pengikut-pengikutnya dibawakan sesajen berupa korban-korban manusia. Bahkan Guibert de Nogent sendiri, orang yang begitu serius masih menyebutkan, bahwa Muhammad mati karena krisis mabuk yang jelas sekali, dan bahwa tubuhnya kedapatan terdampar di atas timbunan kotoran binatang dan sudah dimakan babi. Oleh karena itu, lalu ditafsirkan, bahwa itulah sebabnya minuman keras dan daging binatang itu diharamkan.
Di samping itu ada beberapa nyanyian yang melukiskan Muhammad sebagai berhala dari emas, dan mesjid-mesjid sebagai kuil-kuil kuno yang penuh dengan patung-patung dan gambar-gambar. Pencipta “Nyanyian Antakia” (Chanson d’Antioche) membawa cerita tentang adanya orang yang pernah melihat berhala “Mahom” terbuat dari emas dan perak murni dan dia duduk di atas seekor gajah di tempat yang terbuat dari lukisan mosaik. Sedang “Nyanyian Roland” (Chanson de Roland) melukiskan pahlawan-pahlawan Charlemagne menghancurkan berhala-berhala Islam, dan mengira bahwa kaum Muslimin di Andalusia itu menyembah trninitas terdiri dari Tervagant, Mahom dan Apollo. Dan “Cerita Muhammad” (LX Roman de Mahomet) itu menganggap, bahwa Islam membenarkan wanila melakukan poliandai.
“Cara berpikir yang penuh dengan kedengkian dan penuh legenda itu tetap menguasai kehidupan mereka. Sejak zaman Rudolph de Ludheim, sampai Saat kita sekarang ini, masih ada saja orang-orang semacam.Nicolas de Cuse, Vives, Maracci, Hottinger, Bibliander, Prideaux dan yang lain. Mereka itu menggambarkan Muhammad sebagai penipu, dan Islam merupakan sekumpulan kaum bidat. Semua itu perbuatan setan. Kaum Muslimin adalah orang-orang buas sedang Quran suatu gubahan yang tak berarti. Mereka tidak membicarakannya secara sungguh-sungguh, karena sudah dianggap tidak ada artinya. Tetapi, dalam pada itu Pierre le Venerable, pengarang pertama yang telah menulis risalah anti Islam di Barat dalam abad kedua belas telah menerjemahkan Quran ke dalam bahasa Latin. Dalam abad keempat belas Pierre Pascal termasuk orang yang mau mendalami studi-studi tentang Islam. Innocent III pernah melukiskan Muhammad, bahwa dia adalah musuh Kristus (Antichrist). Sedang abad Pertengahan menganggap Muhammad seorang heretik (melanggar ajaran agama Kristen). Orang-orang semacam Raymond Lulle dalam abad keempat belas, Guellaume Postel dalam abad keenam belas, Roland dan Gagnier dalam abad kedelapan belas, Pendeta de Broglie dan Renan dalam abad kesembilan belas, mempunyai tanggapan yang beraneka ragam. Sebaliknya orang-orang semacam Comte Boulainvilliers, Scholl, Caussin de Perceval, Dozy, Sprenger, Barthelemy Saint-Hilaire, de Casteries, Carlyle dan yang lain, pada umumnya mereka memperlihatkan sikap jujur terhadap Islam dan Nabi, dan kadang memperlihatkan sikap hormat. Sungguhpun begitu, dalam tahun 1876 Droughty bicara tentang Muhammad dengan mengatakan: “Itu Arab munafik yang kotor.” Sebelum itu, dalam tahun 1822 juga Foster telah mencacinya. Sampai sekarang sebenarnya masih ada musuh-musuh Islam itu yang bersemangat.”
Kita sudah melihat, bukan, penulis-penulis Barat itu, begitu rendah menyerangnya? Juga sudah kita lihat kegigihan mereka — selama berabad-abad — yang mau menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di kalangan umat manusia. Padahal di kalangan mereka itu ada orang-orang yang sudah mengalami zaman yang biasa disebut zaman ilmu pengetahuan, zaman riset dan zaman kebebasan berpikir serta adanya deklarasi persaudaraan antara sesama manusia.
Dengan adanya orang-orang yang jujur dalam batas-batas tertentu telah mengurangi juga adanya pengaruh yang menyesatkan seperti yang diisyaratkan oleh Dermenghem itu. Di antara mereka ada yang mengakui kebenaran iman Muhammad membawakan risalah itu yang dipercayakan Allah kepadanya melalui wahyu yang harus disampaikan. Ada.pula yang sangat menghargai kebesaran Muhammad dalam arti rohani, ketinggian akhlaknya, harga dirinya serta jasanya yang tidak sedikit. Ada yang melukiskan semua itu dengan gaya yang kuat dan indah sekali. Meskipun demikian, pihak Barat masih juga berprasangka buruk terhadap Islam dar terhadap Nabi, kemudian demikian beraninya mereka itu sampai-sampai dj daerah-daerah Islam sendiri kalangan misionaris melancarkan penghinaan yang begitu rendah, dan berusaha membelokkan kaum Muslimin dar ajaran agamanya kepada agamra Kristen.
Sebab Permusuhan Islam—Kristen
Atas semua itu harus kita selidiki sebab-sebab timbulnya permusuhan sengit dan peperangan yang begitu dahsyat yang telah dimulai oleh pihak Kristen terhadap Islam itu. Menurut hemat kita, kurangnya pengetahuan pihak Barat tentang hakekat Islam dan sejarah Nabi adalah sebab pertama yang menimbulkan permusuhan itu. Kurangnya pengetahuan ini sudah tentu merupakan sebab-sebab timbulnya sikap kaku dan fanatisma yang paling berat dan rumit. Seabad demi seabad kurangnya pengetahuan demikian ini makin bertimbun dan kemudian ia menjelma menjadi patung. patung dan berhala-berhala dalam jiwa generasi berikutnya, yang untuk menghilangkannya tentu memerlukan suatu kekuatan jiwa yang besar, seperti pada mula lahirnya kekuatan Islam dulu.
Kristen Tidak Sesuai dengan Watak Barat
Akan tetapi kita melihat ada sebab lain di luar kurangnya pengetahuan itu saja yang telah mendorong pihak Barat menjadi fanatik dan sampai membangkitkan peperangan yang begitu fatal, sebentar-sebentar dilancarkan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Juga tidak terlintas dalam pikiran kita tentang apa yang biasa kita rasakan adanya hubungan politik yang buruk dan ingin menguasai bangsa lain untuk dieksploitasi. Menurut hemat kita itu adalah akibat — bukan sebab — dari adanya fanatisma yang sudah begitu merasuk sampai ke soal ilmu dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Sebabnya ialah, menurut hemat kita, oleh karena ajaran Kristen yang mengajak orang menjauhkan kehidupan duniawi, sifat maaf dan pengampunan serta pengertian-pengertian hidup rohani yang luhur, tidak sesuai dengan perangai Barat, yang sejak ribuan tahun dalam lingkungan . agama politisma, dan letak geografisnya menghendaki perjuangan sengit melawan iklim dingin, melawan kesulitan dan keadaan yang serba sukar. Apabila peristiwa-peristiwa sejarah mengharuskan juga Barat menganut agama Kristen ini, maka tidak bisa lain ia harus juga dilibatkan ke dalam kancah perjuangan itu dan memaksa agama itu meninggalkan sifatnya lembut dan indah, meninggalkan keseimbangan rohani yang seharusnya menjadi mata rantai kesatuan yang telah disempurnakan oleh Islam: yakni kesatuan yang membuat harmonis antara rohani dan jasmani, antara perasaan dan akal, emosi dan rasio, secara individu dan universal bersama-sama berada dalam hukum alam, yakni keduanya sejalan dalam yuang dan waktu yang tak terbatas.
Menurut hemat kita, inilah sumber yang menyebabkan fanatisma Barat yang memusuhi Islam, suatu sikap yang menyebabkan kaum Kristen Abisinia menjadi jijik melihatnya — tatkala kaum Muslimin mencari perlindungan pada masa mula-mula Nabi mengajak orang kepada agama Allah.
Inilah, menurut pendapat saya, sebab timbulnya ekses dan cara yang berlebih-lebihan di kalangan orang-orang Barat, baik dalam beragama maupun dalam atheisma, fanatisma yang berlebih-lebihan serta perjuangan yang tidak mengenal belas kasihan dan tidak mengenal ampun. Apabila dari mereka sejarah sudah mengenal adanya orang-orang suci, yang dalam hidup mereka mengikuti jejak Isa Almasih dan pengikutpengikutnya, juga sejarah sudah mengenal kehidupan bangsa-bangsa di Barat yang selalu hidup dalam pertentangan, dalam perjuangan, pepeyangan-peperangan yang dahsyat, atas nama politik atau atas nama agama, dan dikenalnya pula, bahwa paus-paus atau pembesar-pembesar gereja dan mereka yang memegang kekuasaan temporal, selalu dalam persaingan mau saling mengalahkan. Sekali ini golongan ini yang menang, nantinya yang lain lagi yang menang.
Oleh karena kemenangan terakhir dalam abad kesembilan belas itu berada di tangan kekuasaan temporal,!’ maka kekuasaan ini berusaha hendak membasmi kehidupan rohani atas nama ilmu pengetahuan. Ia mengira, bahwa dalam kehidupan umat manusia ilmu itu akan dapat menggantikan iman seperti dalam kehidupan rohani. Sesudah melalui perjuangan yang cukup lama, sekarang mereka mengetahui bahwa pendapat demikian itu salah sekali, dan bahwa apa yang mereka tuju itu dalam kenyataannya tak mungkin dapat dilaksanakan. Sekarang di Barat terdengar jeritan di sana sini mengajak mereka kembali mencari pegangan rohani yang sudah hilang. Mereka mencari pegangan itu di dalam teosofi dan di luar teosofi.? Sekiranya ajaran Kristen itu memang sesuai dengan naluri perjuangan yang telah dibawa oleh hukum alam sebagai sebagian
‘ Az-Zamani, harfiah mengenai zaman, mengenai tempo, yang secara termenologi berarti temporal. Untuk menghindarkan adanya perbedaan semantik, yang juga dapat diartikan “sementara, duniawi” atau “sekular” maka di sini saya mempergunakan istilah secara harfiah (A).
? Teosofi adalah suatu ajaran yang ditanamkan oleh Madame Blavatsky dari bermacam-macam agama terutama Buddha dan Brahma. Ajaran ini mendirikan sebuah organisasi di Amerika dipimpin oleh Madame Blavatsky sendiri, bernama The Theosophical Society, dan cabang-cabangnya tersebar di beberapa cara hidup Barat, sesudah ternyata konsepsi materialisma mereka tidak berhasil memberikan konsumsi rohani, tentu akan kita lihat merek, kembali mencari pegangan agama Kristen yang begitu indah, agama Isa anak Mariam — kalaupun Tuhan belum akan membimbing mereka kepada Islam — dan tidak perlu mereka pergi berpindah ke India atau ke tempa, lain, mencari pegangan hidup rohani, yang oleh manusia sangat dirasakan perlunya seperti kebutuhan bernafas, sebab ini merupakan Sebagian kodratnya, bahkan merupakan sebagian dari jiwa raganya.
Penjajahan dan Propaganda Anti-Islam
Ternyata imperialisma Barat memberikan bantuan dalam meneruskan serangan yang mereka lancarkan terhadap Islam dan terhadap Muham. mad, dan minta mereka supaya berpendirian seperti penduduk Mekah yang menginginkan supaya agama Nasrani menderita kehinaan karena kekalahan Heraklius dan Rumawi’ menghadapi Persia. Pernah mereka mengatakan — dan masih banyak di antara mereka yang mengatakan – bahwa Islam itulah yang menyebabkan mundurnya bangsa-bangsa yang menganutnya dan menyebabkan mereka tunduk kepada pihak lain. Ini adalah kebohongan yang kita tolak dengan cukup mengingatkan kepada mereka yang mengatakan itu, bahwa peradaban umumnya dan kekuasaan dunia yang cukup dikenal selama berabad-abad itu berada di tangan bangsa-bangsa yang terdiri dari umat Islam itulah. Di sana pusat ilmu pengetahuan dan tempat sarjana-sarjana, dari sana pula datangnya pelopor kemerdekaan, yang oleh Barat belum selang lama ini baru dikenalnya. Apabila mungkin mundurnya beberapa golongan bangsa akan dihubungkan dengan agama yang dianutnya, maka agama itu tentu bukan Islam, Islam yang telah membuat orang-orang pedalaman seluruh jazirah Arab jadi bangkit dan dapat membuat mereka menguasai dunia.
Islam dan Apa yang Terjadi dengan Umat Islam
Akan tetapi kemunduran bangsa-bangsa yang telah menjadi beban bagi Islam itu sangat disayangkan bila akan dihubungkan kepada agama yang sebenarnya tidak demikian, bukan itu yang dikehendaki oleh Allah dan oleh Rasul. Tapi mereka menganggap bahwa yang demikian itulah | dasar agama dan barangsiapa yang menentang ia akan dianggap atheis.
Kita tinggalkan dulu bicara tentang agama ini, dan mari kita lihat sejarah orang yang membawanya — Muhammad “alaihissalam.
Banyak buku sejarah tentang kehidupan Nabi itu yang telah menambahkan hal-hal yang tak dapat diterima akal dan yang memang tidak diperlukan menambahkan demikian untuk menguatkan risalahnya itu. Dan apa yang ditambah-tambahkan, itulah yang dijadikan pegangan oleh kalangan Orientalis dan oleh mereka yang mau mendiskreditkan Islam dan Nabi, juga oleh mereka yang mau mengecam umat Islam, dijadikannya itu tongkat penunjuk dalam kecaman mereka yang akan cukup memanaskan hati setiap orang yang berpikir jujur.
Hal semacam ini dan apa yang mereka ciptakan sendiri, itulah yang menjadi pegangan mereka, lalu mereka mengatakan, bahwa mereka menulis itu berdasarkan metoda ilmiah yang modern, metoda yang mengemukakan peristiwa-peristiwa, orang-orang dan pahlawan-pahlawan.
Lalu diberikannya suatu penilaian yang pantas jika dianggap pada tempatnya mengeluarkan penilaian demikian. Dan kalau kita baca dengan seksama apa yang mereka tulis itu akan kita lihat bahwa hal itu sebenarnya penuh dengan nafsu permusuhan dan caci-maki, terbungkus dalam susunan kata-kata yang tidak kurang indahnya, menarik hati mereka yang sepaham dengan anggapannya, bahwa pembahasannya itu ilmiah, terdorong hanya akan mencari kebenaran semata-mata, ingin meneropongnya dari segenap penjuru. Inilah yang dituju oleh penulis-penulis dan ahliahli sejarah yang fanatik itu. Hanya saja, adanya beberapa orang yang masih dapat berpikir lebih tenang — baik penulis atau sarjana — menyebabkan mereka yang berpikiran bebas itu dapat bersikap lebih adil dan jujur, sekalipun dari pihak Kristen sendiri.
Dalam berbagai macam bidang beberapa ulama Islam telah tampil dan berusaha menangkis tuduhan orang-orang Barat yang fanatik itu. Dan nama Syaikh Muhammad Abduh tentu yang paling menonjol dalam bidang ini. Tetapi mereka ini tidak menempuh metoda yang ilmiah — seperti didakwakan oleh penulis-penulis dan ahli-ahli sejarah Eropa, sebab hanya merekalah yang memakai cara itu. Maksudnya supaya dalam menghadapi lawan alasan mereka lebih kuat. Kemudian lagi ulama Islam itu — dan Syaikh Muhammad Abduh yang terutama — telah dituduh atheis dan kufur. Maka argumentasi mereka itu menjadi makin lemah di depan lawan Islam.
Sikap Jumud di Kalangan Pemuda
Tuduhan mereka sebenarnya memberi pengaruh besar dalam jiwa angkatan muda Islam yang terpelajar. Terkesan di kalangan pemuda itu, bahwa atheisma dan logika sejalan dengan ijtihad (aktif). sedang iman sama dengan jumud (pasif). Oleh karena itu jiwa mereka gelisah. Mereka pergi membaca buku-buku Barat: dengan itu mereka akan mencari kebenaran, dengan keyakinan bahwa mereka tidak mendapatkan yang demikian itu dalam buku-buku kaum Muslimin. Dengan sendirinya buku, buku agama dan sejarah Kristen tidak juga terpikirkan oleh mereka: mereka sudah hanyut ke dalam buku-buku filsafat, yang dengan gayanya yang ilmiah itu mereka mencari setitik air yang akan menghilangkan rasa dahaga akan kebenaran yang ada dalam jiwa mereka, dan dengan logika yang dikemukakannya sudah merupakan nyala suci yang masih ter. sembunyi dalam jiwa umat manusia dan dijadikannya pula alat komunikasi yang akan mengantarkan mereka kepada alam serta kebenaran yang tertinggi. Dalam buku-buku Barat, baik dalam filsafat, etika atay humanities pada umumnya banyak sekali yang akan mereka dapati dengan sangat menarik hati, baik karena gayanya yang indah, atau karena logikanya yang kuat serta apa yang tampaknya hendak memperlihatkan adanya kemauan baik dan niat yang ikhlas hendak mencapai pengetahuan demi kebenaran. Oleh karena itu jiwa pemuda-pemuda itu jadi jauh dari pemikiran tentang agama-agama semua dan tentang risalah Islam serta pembawanya.
Sikap mereka itu guna menghindarkan diri jangan sampai timbul konflik antara mereka dengan kebekuan beragama sebab mereka yakin takkan dapat mengalahkannya, juga karena mereka tidak menyadari, betapa pentingnya hubungan yang akan mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih sempurna, sehingga kekuatan moralnya pun akan berlipat ganda.
Ilmu dan Literatur Barat
Pemuda-pemuda itu telah menghindarkan diri dari pemikiran tentang agama-agama itu semuanya, juga tentang risalah Islam dan pembawanya. Lebih-lebih lagi mereka menghindarkan diri itu karena ilmu pengetahuan positif dan filsafat positivisma yang mereka lihat mengatakan bahwa masalah-masalah agama berada di luar logika dan tidak masuk ke dalam lingkungan pemikiran ilmiah, dan segala yang berhubungan dengan itu, dalam bentuk pemikiran metafisika juga samasekali tidak termasuk dalam metoda ilmiah. Kemudian mereka melihat adanya pemisahan yang begitu jelas dan tajam antara gereja dan negara di Barat, serta melihat negaranegara yang sudah menentukan dalam undang-undang dasarnya, bahwa kepala negara adalah pelindung Protestan atau Katolik, atau menentukan bahwa agama negara yang resmi adalah Kristen, dengan maksud supaya dengan demikian hari-hari besar yang berhubungan dengan itu tidak bertambah banyak. Bertambah kuat mereka bertahan dalam pemikiran ilmiah dan segala yang berhubungan dengan itu, perhatian mereka pun akan bertambah besar pula terhadap masalah-masalah filsafat, ilmu dan budaya.
Setelah tiba masanya mereka harus berpindah dari dunia studi ke tengah-tengah kehidupan praktis, kehidupan itu membuat mereka lebih sibuk daripada hanya memikirkan masalah-masalah, yang tadinya sudah mereka tinggalkan. Maka arah pemikiran itu masih tetap dalam arus yang pertama: melihat kebekuan berpikir itu dengan rasa kasihan dan sinis. Ia terus menghirup udara pemikiran Barat dan filsafat Barat, yang dirasakannya begitu lezat, sehingga bertambah kagum ia, bertambah kuat bertahan atas apa yang sudah diperolehnya itu.
Memang tak dapat disangkal, bahwa dewasa ini Timur sangat perlu sekali menghirup udara Barat dalam cara berpikir, dalam ilmu dan budaya. Dunia Islam di Timur dewasa ini sudah terputus dari Islam masa lampau oleh adanya kebekuan berpikir dan fanatisma selama berabad-abad. Cara berpikir masa lampau yang sehat sudah begitu tebal tertimbun oleh kebodohan dan serba prasangka terhadap segala yang baru. Maka tak ada jalan lain, bagi yang ingin mengikis semua timbunan itu, ia harus bersandar pada bentuk-bentuk pemikiran dunia yang lebih baru, supaya dengan demikian dapat mencapai masa kini yang cemerlang serta peninggalan masa lampau yang gemilang.
Usaha-usaha Modernisasi Dunia Islam
Sudah sepantasnya kalau kita mengatakan kepada Barat, bahwa penyelidikan-penyelidikan berharga yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat dewasa ini tentang sejarah dan studi-studi Islam dan Dunia Timur, telah membuka jalan baru bagi pemuda-pemuda Islam sendiri dan pemuda-pemuda di Timur dalam memperbanyak bahan-bahan penyelidikan tentang studi itu. Dan harapan akan sampai kepada kebenaran pun lebih besar pula. Dengan sendirinya mereka akan lebih mudah memahami jiwa Islam dan jiwa Timur. Oleh karena orientasi baru itu sudah dimulai dari Barat, maka pemuda-pemuda itu harus mengikutinya terus sambil mengadakan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang ada, lalu menanamkan jiwa yang sebenarnya hidup dalam sejarah, diteruskan sampai ke masa kini. Bukan hanya sebagai studi dan penyelidikan saja, tetapi juga harus dilihat sebagai suatu peninggalan rohani dan mental yang patut diwakili oleh para pewarisnya, penerangan harus ditambah dan diperbanyak, sehingga kebenaran yang tersembunyi itu akan tampak lebih jelas.
Dewasa ini banyak sudah pemuda-pemuda yang mengadakan penyeldikan-penyelidikan dengan metoda ilmiah yang sebenarnya. Kalangan Orientalis sendiri pun mendukung usaha-usaha mereka dan sanga menghargai jasa-jasa mereka itu.
Misi Penginjil dan Golongan yang Berfikiran Beku
Sementara kerja-sama ilmiah yang seharusnya akan memberikan hasi yang baik ini lahir, tiba-tiba timbul pula kegiatan pihak gereja Kristen melakukan serangkaian serangan terhadap Islam dan terhadap Muham, mad demikian rupa, tidak kurang dari apa yang kita sebutkan tadi. D, samping itu pihak imperialisma Barat pun mendukung pula kegiatan ini, dengan segala kemampuan yang ada padanya, atas nama kemerdekaan berpikir. Padahal mereka yang melakukan serangan dan kecaman itu telah keluar meninggalkan negerinya sendiri, mereka terpisah dari apa yang mereka namakan ‘peneguhan iman’ dalam jiwa saudara-saudara mereka seagama itu. Juga penganjur-penganjur kebekuan berpikir (Jumud) dj kalangan kaum Muslimin sendiri telah mendapat dukungan imperialisma pula. Selanjutnya tangan imperialisma ini juga yang memberikan dorongan kepada apa saja yang dapat diselundupkan ke dalam Islam — dan yang sebenarnya bukan dari Islam — dan ke dalam sejarah hidup Rasul, berupa dongengan-dongengan yang tak masuk akal dan bertentangan dengan selera. Ia memberikan dorongan kepada usaha-usaha orang yang menge. cam Islam dan mengecam Muhammad dengan apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam Islam dan ke dalam sejarah Rasul.
Terpikir akan Menulis Buku Ini
Tugas pekerjaan saya memberi kesempatan kepada saya melihat peristiwa-peristiwa itu pada beberapa daerah Islam sebelah timur, bahkan di seluruh daerah Islam, serta mempelajari adanya maksud yang ingin mengikis habis kehidupan moral daerah-daerah itu dengan jalan membasmi kemerdekaan berpikir, kebebasan menyelidiki demi kebenaran itu. Terasa oleh saya bahwa saya memikul suatu kewajiban dalam hal ini. Maksud yang menjadi tujuan rencana itu, yang sebenarnya akan membahayakan seluruh umat manusia — bukan hanya membahayakan Isiam dan dunia Timur saja — harus dipatahkan. Apatah kiranya bencana yang lebih besar menimpa umat manusia daripada kekerdilan dan kebekuan berpikir, yang sepanjang sejarah lebih dari separuhnya telah menimpa peradaban.
Karena itu terpikir oleh saya — dan lama sekali saya memikirkan hal itu — yang akhirnya mengantarkan pemikiran saya itu kepada suatu studi tentang kehidupan Muhammad, pembawa risalah Islam itu, tentang sasaran kecaman pihak Kristen di satu segi, dan tentang kebekuan berpikir kaum Muslimin sendiri dari segi lain. Akan tetapi studi ini hendaknya bersifat ilmiah, sejalan dengan metoda modern di Barat, demi kebenaran, dan untuk kebenaran semata.
Quran Sumber yang Paling Otentik
Saya mulai dengan membahas sejarah hidup Muhammad. Saya ulangi lagi dengan memeriksa Sirat ibn Hisyam, Tabagat oleh Ibn Sa’d, alMaghazi oleh al-Wagidi, demikian juga buku Syed Ameer Ali The Spirit of Islam. Kemudian tidak lepas saya membaca buku-buku beberapa Orientalis, seperti Dermenghem dan Washington Irving. Ketika pada musim dingin tahun 1932 saya berada di Luxor, saya pergunakan kesempatan ini dengan mulai menulis. Ketika itu saya masih ragu-ragu akan mengadakan penyelidikan yang akan saya kemukakan kepada para pembaca ini sebagai suatu hasil pekerjaan saya sendiri, sebab saya kuatir akan timbul heboh dari golongan yang masih beku cara berpikirnya dan masih percaya kepada bermacam-macam takhayul, sehingga kelak tujuan saya semula akan terganggu karenanya.
Akan tetapi adanya sambutan yang saya terima, dorongan dan sumbangan pikiran yang diberikan kepada saya oleh pemuka-pemuka lembaga cukup menunjukkan adanya perhatian terhadap penyelidikan yang akan saya lakukan ini. Saya jadi berpikir lebih sungguh-sungguh lagi hendak melaksanakan niat saya menulis sejarah hidup Muhammad ini lebih terperinci, dengan cara yang ilmiah. Sekarang saya memikirkan jalan yang paling baik dalam meneliti sejarah itu, sesuai dengan kemampuan yang ada pada saya.
Sudah jelas buat saya, bahwa sumber yang paling otentik dalam penulisan sejarah ini ialah Quran Suci. Segala peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan Nabi, diberikan isyaratnya dalam Quran, sehingga dapat dipakai sebagai bahan penunjuk dalam mengadakan pembahasan itu. Dengan dasar itu dapat pula diteliti apa yang terdapat dalam bukubuku hadis dan sejarah Nabi yang bermacam-macam itu. Saya pun berusaha hendak mengetahui sesuatu dalam Quran yang ada hubungannya dengan kehidupan Nabi. Suatu bantuan besar dalam hal ini telah diberikan kepada saya oleh Tuan Ahmad Lufti as-Sayyid, pejabat pada Perpustakaan (Nasional) Mesir, berupa buku-buku referensi, bab demi bab, tentang ayat-ayat Quran yang berhubungan dengan kehidupan orang yang telah diberi Wahyu Kitab Suci itu. Saya cocokkan ayat-ayat itu, dan rupanya harus juga saya pelajari sebab-sebab turunnya, waktu turunnya serta hubungannya satu sama lain. Harus saya akui juga — sedemikian jauh saya berusaha — belum juga bertemu dengan semua yang saya maksudkan. Kadang kitab-kitab tafsir Quran memberi petunjuk ke arah ini, tapi kadang juga tidak. Buku-buku seperti Asbab’n-Nuzul oleh Al-Wahidi dan An-Nasikh wal-Mansukh oleh Ibn Sallama hanya dengan singkat Saja membicarakan persoalan yang sangat berharga ini, yang Justru Patut mendapat penelitian dan pembahasan.
Akan tetapi apa yang saya temukan dalam kedua buku itu dan dalan buku-buku tafsir mengenai beberapa masalah, dapat juga saya pergunakan sebagai bahan penelitian terhadap buku-buku lain mengenai sejarah Nabi: Dalam kedua buku itu dan dalam buku-buku tafsir tersebut saya temukan beberapa hal yang patut sekali dikoreksi oleh ulama yang sudah mer, dalami pengetahuan Quran dan Hadis serta mencocokkannya kembap Secara lebih teliti.
Konsultasi yang Tepat
Setelah agak jauh saya mengadakan penyelidikan, tampak oleh say, adanya konsultasi yang tepat sekali disampaikan kepada saya dar beberapa pihak, lebih-lebih lagi — dengan sendirinya — dari kalangan guru, guru besar dan pemuka-pemuka agama. Dan bantuan paling besar saya terima ialah dari Perpustakaan (Nasional) Mesir dan para pejabatnya yang telah mengulurkan tangan memberikan bermacam-macam bantuan, yang sebagai penghargaan tidak cukuplah rasanya ucapan terima kasih saya ini, Memadai juga kiranya bila saya sebutkan, bahwa Tuan “Abd’r-Rahim Mahmud, Korektor bagian Lektur pada Perpustakaan, tidak jarang pula membebaskan saya dari harus pergi sendiri ke perpustakaan serta meminjamkan buku-buku yang saya kehendaki disertai sikap ramah. tamah, baik Direktur atau pejabat-pejabat tinggi lainnya yang bertugas, Juga perlu saya sebutkan, bahwa setiap kali saya mengunjungi perpustaka. an itu sehubungan dengan penyelidikan yang perlu saya lakukan, selalu saya menerima layanan yang begitu baik sekali, baik dari pejabat tinggi atau pejabat bawahan, baik yang saya kenal atau yang tidak saya kenal. Dalam hal saya kadang terbentur pada beberapa masalah, maka datanglah kawan-kawan itu membukakan jalan, sehingga tidak jarang hal ini merupakan bantuan yang besar sekali bagi saya. Sering juga saya jumpai bantuan demikian itu dari Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, dari sahabat karib saya Ja’far (Pasya) Wali, yang telah meminjamkan beberapa buah buku kepada saya seperti Shahih Muslim dan buku-buku sejarah tentang Mekah. Ditunjukkannya pula beberapa masalah, diantarkannya saya ke tempat yang saya perlukan. Demikian juga sahabat saya Makram “Obaid, telah meminjamkan buku Sir William Muir The Life of Mohammad,’ buku Lammens L’Islam, di samping pertolongan yang saya peroleh dari karya-karya kontemporer yang sangat berharga seperti Fajr’l-Islam oleh Ahmad Amin, Oishah’l-Anbia’ oleh ‘Abd’I-Wahhab an-Najjar, Fil-Adab’l-Jahili oleh Dr. Taha Husain, AlYahud fi Bilad’I-Arab oleh Israel Wolfenson. Selain itu banyak lagi bukubuku lain oleh penulis-penulis kontemporer yang saya sebutkan dalam bibliografi buku-buku lama dan baru, yang saya pergunakan dalam menyiapkan buku ini.
Setiap saya mengadakan penyelidikan demikian ini lebih dalam, ternyata ada beberapa problema di depan saya yang perlu dipikirkan lagi dan diselidiki lebih lanjut guna dapat mengatasinya. Seperti buku-buku sejarah dan tafsir yang telah memberikan petunjuk kepada saya dengan cukup memuaskan, demikian juga halnya dengan buku-buku para Orientalis. Akan tetapi dalam menghadapi masalah-masalah itu tampaknya terpaksa saya harus membatasi diri hanya dalam menyelidiki kehidupan Muhammad saja, dengan tidak mengurangi persoalan-persoalan lain yang kiranya ada hubungannya dengan penyelidikan ini. Kalau saya mau menyelidiki segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah hidup orang yang begitu besar dan cemerlang ini, tentu diperlukan penulisan beberapa jilid dalam ukuran seperti buku ini. Baik juga saya sebutkan, bahwa Caussin de Perceval menulis tiga jilid buku dengan judul Essai sur I’ Histoir des Arabes, jilid pertama dan kedua mengenai sejarah dan kehidupan kabilah-kabilah Arab, jilid ketiga tentang Muhammad dan dua orang khalifahnya, Abu Bakr dan Umar. Demikian juga Tabagat Ibn Sa’d yang terdiri dari beberapa jilid, jilid pertamanya khusus tentang kehidupan Muhammad, sedang yang selebihnya mengenai kehidupan para sahabatnya.
Dalam mengadakan penyelidikan ini pada mulanya memang tidak saya maksudkan hendak melampaui batas sejarah kehidupan Muhammad, sebab saya tidak ingin membiarkan ini nanti menjadi kacau, sehingga akan menyimpang dari tujuan yang saya maksud.
Dalam Batas-batas Biografi, Tidak Lebih
Hal lain yang menahan saya hanya pada batas-batas sejarah hidup ini, ialah karena indahnya dan besarnya peristiwa itu, sehingga yang lain pun rasanya akan tertutup karenanya. Alangkah besarnya Abu Bakr! Alangkah besarnya Umar! Keduanya dalam masa khilafat mereka masingmasing merupakan cahaya bintang sehingga yang lain tertutup karenanya. Betapa besarnya sahabat-sahabat dahulu itu mendampingi Muhammad, dibuktikan oleh generasi demi generasi dan yang kemudian menjadi kebanggaan generasi itu!
Akan tetapi — selama masa hidup Nabi — mereka semua masih dapat bernaung di bawah kebesarannya, masih mendapat percikan sinarnya.
Bagi orang yang menyelidiki sejarah hidup Rasul. tidak mudah akan dapat meninggalkan hal itu untuk berpindah ke soal yang lain. Hai in terasa sekali apabila pembahasan demikian ini didasarkan kepada Metoda ilmiah yang baru, seperti yang akan saya coba ini: yang dengan metoda itu pula justru kelak akan terlihat kebesaran Muhammad, kebesaran yang sekaligus menguasai pikiran, hati nurani dan perasaan manusia, da menanamkan rasa hormat karenanya, hormat dan percaya betapa kuatnya kebesaran itu, yang dalam hal ini baik bagi Muslim atau non-Musiin tidakkan berbeda pendapat.
Kalau kita kesampingkan mereka yang masih fanatik dan kera kepala, yang dalam merendahkan kebesaran Muhammad sudah menjadi kebiasaan mereka, seperti yang dilakukan oleh kaum misi penginjil dan sebangsanya, maka rasa hormat akan kebesaran dan percaya akan kuatnya kebesaran itu akan kita baca jelas sekali dalam buku-buku sarjana-sarjana Orientalis. Dalam Heroes and Hero Worship Carlyle membicarakan Saty pasal tentang Muhammad yang digambarkannya sebagai percikan sing Ilahi yang kudus yang telah diberikan kepadanya. kemudian dilukiskannya rasa hormat atas kebesaran yang luar biasa kuatnya itu. Demikian juga Irving, Sprenger, Weil dan Orientalis lainnya, masing-masing dapa menggambarkan kebesaran Muhammad dengan cara yang kuat sekali Apabila salah seorang di antara mereka itu, dalam memasuki beberapa masalah masih menganggap ada suatu kekurangan pada diri pembawa risalah Islam itu, maka tidak lain itu hanya karena mereka belum lagi mengujinya dan meneliti secara ilmiah yang lebih saksama, atau karena mereka berpegang pada beberapa buku sejarah atau tafsir yang masih diragukan kebenaran sumbernya, dengan melupakan bahwa buku-buku biografi yang pertama itu baru dua abad kemudian sesudah masa Muhammad ditulis orang, dengan menyelip-nyelipkan, — baik dalam sejarah atau dalam ajaran-ajarannya, — Israiliat (dongeng-dongeng Judaica) dan ribuan hadis-hadis palsu. Meskipun kaum Orientalis itu mengakui kenyataan ini, namun mereka tidak mau mengakui kelalaiannya sendiri untuk dapat menentukan sesuatu yang dianggapnya benar itu: padahal dengan sedikit penelitian saja sudah akan dapat ditolak. Di antaranya soal gharanig misalnya, soal Zaid dan Zainab, soal perkawinan atau istri-istri Nabi, yang justru akan menjadi bahan pengujian dan penelitian dalam buku ini.
Sungguhpun begitu saya tidak beranggapan bahwa saya sudah sampai ke tujuan terakhir dalam menyelidiki sejarah hidup Muhammad. Bahkan barangkali akan lebih tepat bila saya katakan, bahwa saya baru dalam taraf permulaan mengadakan penyelidikan dengan metoda ilmiah yang baru ini, dalam bahasa Arab. Segala daya upaya yang saya gunakan dalam hal ini tidak lepas dari, bahwa buku ini baru merupakan taraf permulaan dalam penyelidikan Islam dari segi ilmiahnya. Bilamana sudah ada sarjanasarjana dan ahli-ahli sejarah yang mengkhususkan diri menyelidiki salah satu kurun (perioda) dalam sejarah — seperti Aulard yang khusus ‘ menyelidiki sejarah revolusi Prancis! dan beberapa sarjana lain yang juga menyelidiki masa-masa tertentu dalam sejarah pelbagai bangsa — maka patut sekali bila atas biografi Muhammad ini secara khusus juga diadakan penyelidikan ilmiah yang menyeluruh, yang dapat dilakukan oleh kaum cendekiawan, yang khusus pula dalam bidangnya masing-masing. Tidak sangsi lagi saya, bahwa pengkhususan dan penyelidikan ilmiah untuk waktu yang begitu singkat dalam sejarah tanah Arab serta hubungannya dengan aneka macam bangsa waktu itu, hasilnya akan berguna sekali, bukan saja bagi Islam dan umat Islam, tetapi juga untuk seluruh dunia. Dari segi psikologi dan kehidupan rohani hal ini akan merupakan masalah yang berguna sekali bagi ilmu pengetahuan, di samping penerangan yang akan diperoleh dari segi-segi kehidupan sosial, etika dan hukum. Dalam menghadapi masalah ini ilmu pengetahuan masih saja maju-mundur, terpengaruh oleh pertentangan agama — Islam dan Kristen — serta adanya usaha-usaha yang sia-sia hendak melakukan westernisasi terhadap orang Timur atau kristenisasi terhadap kaum Muslimin, suatu hal yang telah menghasilkan kegagalan dan kekecewaan generasi demi generasi, dan di mana-mana telah menimbulkan pengaruh yang buruk dalam hubungan umat manusia satu sama lain.
Penyelidikan Berguna bagi Seluruh Umat Manusia
Dengan melihat lebih jauh dari semua itu saya berpendapat, bahwa penyelidikan demikian sudah seharusnya akan mengantarkan umat manusia ke jalan peradaban modern yang selama ini dicarinya. Apabila pihak Nasrani di Barat merasa terlalu besar akan mendapatkan cahaya baru itu dari Islam dan dari Rasulnya, lalu menantikan cahaya itu akan datang dari teosofi India dan dari perlbagai macam aliran Timur Jauh lainnya, maka Orang-orang di Timur, baik umat Islam, Yahudi atau Kristen, sudah layak sekali mengadakan penyelidikan berharga ini dengan sikap yang bersih dan jujur — yakni satu-satunya cara yang akan mencapai kebenaran.
Cara pemikiran Islam — yang pada dasarnya adalah pemikiran ilmiah menurut metoda modern dalam hubungan manusia dengan lingkungan hidup sekitarnya, yang dari segi ini realistik sekali — berubah menjadi pemikiran yang subjektif, yang bersifat pribadi, ketika masalahnya menjadi hubungan manusia dengan alam semesta dan Pencipta alam.
Dengan demikian, dari segi psikologi dan kerohanian, timbullah pengaruh-pengaruh, yang di dalam menghadapinya, ilmu pengetahuan Sendiri jadi kebingungan, tak dapat mengiakan atau meniadakannya Dengan demikian ia lalu tidak menganggapnya sebagai kenyataan-kenyataan ilmiah. Sungguhpun begitu kenyataan ini menjadi sendi kebahagiaan hidup manusia dan merupakan unsur formatif dalam tingkah-lakunya Apakah hidup itu? Apa pula hubungan manusia dengan alam semesta ini? Apa yang menggairahkan hidupnya. Apakah arti kepercayaan bersama yang memberikan kekuatan moril dalam masyarakat, yang dengan lemahnya kepercayaan bersama itu, masyarakat pun akan turut pula menjadi lemah? Apakah wujud itu? Dan apa pula kesatuan wujud itu? Bagaimana kedudukan manusia dalam kesunyian dan eksistensinya?
Masalah-masalah demikian ini berada di bawah kekuasaan logika abstraksi yang sudah mempunyai bahan literatur yang begitu berlimpah. llmpah banyaknya. Akan tetapi, dalam menyampaikan manusia kepada kebahagiaannya, pemecahannya akan lebih dekat kita peroleh dalam kehidupan dan ajaran-ajaran Muhammad daripada dalam logika abstraksi, yang selama berabad-abad sejak dinasti Abbasia kaum Muslimin telah menghabiskan umurnya untuk itu. Demikian juga orang-orang di Barat, selama tiga abad sejak abad ke-16 hingga abad ke-19 mereka telah menghabiskan umur mereka — kecuali ilmu pengetahuan modern — yang berakhir membawa nasib Barat seperti yang dialami kaum Muslimin masa lampau. Seperti pada masa lampau, masa kini pun ilmu itu kemudian terancam akan terbentur pula tanpa dapat memberikan kebahagiaan kepada umat manusia.
Maka tak ada jalan lain kiranya untuk mencapai kebahagiaan hidup kecuali dengan kembali mencari hubungan subjektif dengan alam ini sebaik-baiknya serta dengan Pencipta alam ini, Yang tak terikat oleh ruang dan waktu, Yang mutlak dalam kesatuan yang tak berubah-ubah, selain dalam arti nisbi dalam hubungannya dengan hidup kita yang singkat ini.
Sudah tentu, sejarah hidup Muhammad ini adalah contoh terbaik dalam mengadakan studi tentang hubungan subjektif dalam artiteori, atau dalam arti praktek, bagi orang yang mempunyai kemampuan ke arah itu. Mengingat jauhnya jarak dalam arti hubungan Ilahi, seperti yang telah dianugerahkan Tuhan kepada Rasulullah, maka orang akan dapat mencoba hal itu pada taraf permulaan. Menurut hemat saya, kedua macam studi ini — bila sudah dapat disesuaikan — akan dapat mengangkat martabat dunia kita sekarang ini dari lembah paganisma, menurut kepercayaan agama dan pengetahuan masing-masing, paganisma yang telah membuat harta satu-satunya tempat pujaan (mammonisma), dengan meremehkan nilai-nilai seni, ilmu, moral dan bakat manusia. Bisa jadi penyesuaian demikian ini masih jauh. Akan tetapi adanya gejala-gejala akan lenyapnya paganisma yang sekarang menguasai dunia kita, mengemudikan kebudayaan yang berkuasa sekarang, tampak jelas sekali bagi setiap orang yang mau mengikuti jalannya sejarah dan peristiwa-peristiwa dunia.
Apabila secara khusus dipelajari sungguh-sungguh sejarah hidup Muhammad itu sebagai Nabi serta ajaran-ajarannya, masanya dan revolusi rohani yang dibawanya yang telah tersebar ke seluruh dunia, barangkali gejala-gejala ini akan makin jelas di depan mata dunia, bahwa masalahmasalah rohani ini adalah timbul dari pengaruh yang ditinggalkannya. Jika studi ilmiah dan studi yang subjektif mengenai tenaga umat manusia yang masih tersimpan ini, dapat menambah hubungan umat manusia dengan hakikat alam yang lebih tinggi, maka itu sudah merupakan perletakan batu pertama dalam sendi peradaban modern.
Buku ini pun tidak lebih adalah sebagai usaha permulaan ke arah itu, seperti sudah saya sebutkan. Kiranya cukuplah bagi saya bilamana buku ini dapat meyakinkan orang, dapat meyakinkan para sarjana dan ahli-ahli akan pentingnya spesialisasi dan pengkhususan guna mencapai tujuan dalam menyelidiki sesuatu bidang itu. Andaikata usaha ini dapat memberi hasil kepada salah satu atau kedua tujuan itu, ini pun sudah merupakan imbalan yang cukup besar terhadap daya upaya yang saya lakukan. Dan Allah jualah yang akan membalas jasa mereka yang telah berbuat kebaikan.
MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
CETAKAN pertama buku ini habis lebih cepat dari yang diduga semula Buku yang diterbitkan 10.000 buah ini sepertiganya telah habis dipesan ketika sedang dicetak, sedang selebihnya habis dalam waktu tiga bulan setelah buku terbit. Sambutan yang diberikan atas buku ini menunjukkan adanya perhatian dari para pembaca, terutama terhadap penyelidikan yang saya lakukan ini. Oleh karana itu, untuk cetakan ulangan sudah harus dipikirkan, isinya perlu ditinjau kembali. Timbulnya sambutan itu sudah tentu karena persoalan yang ada dalam buku ini. Bolehjadi metoda yang dipergunakan memecahkan persoalan-persoalan itu berpengaruh juga atas adanya sambutan ini. Tetapi apa pun yang menjadi sebabnya, saya bertanya-tanya di dalam hati ketika terpikir akan menghadapi cetakan kedua ini: Akan diulang sajakah seperti apa adanya pada cetakan pertama, tanpa ditambah atau dikurangi, ataukah harus saya tinjau lagi dengan mengadakan revisi, penambahan atau koreksi lagi, mana-mana yang ternyata perlu dilakukan?
Beberapa orang yang sangat saya hargai pendapatnya menyarankan supaya cetakan kedua ini sama seperti cetakan pertama, supaya mereka yang memiliki dua macam cetakan ini sama adanya, dan supaya waktu buat saya pun cukup terluang dalam mengadakan koreksi dan revisi nanti sesudah cetakan kedua ini. Saran ini hampir-hampir saya terima. Kalaupun saran ini juga yang saya terima, tentu cetakan kedua ini sejak beberapa bulan yang lalu sudah berada di tangan pembaca. Tetapi saya masih maju-mundur juga menerima pendapat ini. Kemudian karena beberapa pertimbangan, akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa memang penting rasanya mengadakan revisi dan tambahan.
Pertimbangan pertama dalam hal ini ialah karena adanya beberapa catatan yang diberikan oleh Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, kepada saya, ketika sebagian yang sudah selesai dicetak dari buku ini saya perlihatkan kepadanya. Kemudian beliau bersedia pula memberikan kata perkenalan seperti pada permulaan buku ini.
Sesudah kemudian buku ini terbit, beberapa pengarang dan ulama pun memberikan pula tanggapan dan pendapat mereka yang baik sekali melalui surat-surat kabar, majalah dan radio. Semua tanggapan itu disertai dengan pujian yang tidak sedikit pula ditujukan kepada usaha yang saya lakukan ini, yang saya rasa tidak seharusnya saya menerima semua penghargaan demikian itu. Dan yang pertama saya harapkan ialah jangan sampai buku tentang Nabi ini tercampur dengan hal-hal yang kurang layak, sementara pengarang dengan karangannya itu berhasil, sehingga dapat diterima dan dapat dihargai orang. Oleh karena itu saya sangat memperhatikan sekali tanggapan itu.
Adanya penghargaan dan sambutan demikian ini agaknya telah menyebabkan timbulnya beberapa pendapat yang bertolak dari masalahmasalah pelengkap saja, yang tak ada hubungannya dengan sumbersumber yang terdapat — atau dengan pokok persoalan yang ada — dalam buku ini. Misalnya ada yang meminta supaya beberapa masalah yang dianggap perlu dijelaskan diberi penjelasan lebih lanjut, yang lain minta supaya diteliti lebih banyak lagi mengenai pemakaian kata-kata perangkai, atau juga diusulkan mengenai beberapa kata pengganti yang lain, yang menurut hemat para pengusul akan lebih tepat dalam mengungkapkan arti yang dikehendaki. Tetapi ada lagi pendapat yang lebih ditujukan pada inti pembahasan dalam buku ini, yang membuat saya lebih banyak lagi memikirkan dan mengoreksinya. Alangkah besarnya keinginan saya supaya cetakan kedua ini lebih mendekati kehendak sarjana-sarjana dan ulama itu semua, meskipun saya sendiri menganggap penyelidikan ini — seperti saya sebutkan dalam prakata — hanya sebagai langkah permulaan saja dalam bidang ini dengan bahasa Arab yang diolah menurut metoda baru.
Hal lain yang menyebabkan saya mengadakan revisi dan tambahantambahan dari cetakan pertama ini ialah setelah saya membaca kembali buku tersebut dan sesudah mempelajari beberapa pendapat yang saya terima, yang memang sebagian sudah saya sadari ketika saya sedang menulis. Kemudian juga saya dapat menerima alasan perlunya mengadakan pengamatan lebih luas sesuai dengan yang diusulkan itu guna meyakinkan mereka sehubungan dengan pendapat dan argumentasi saya. Koreksi-koreksi yang saya lakukan untuk maksud tersebut telah membawa beberapa masalah yang patut direnungkan dan patut digarap oleh setiap penulis biografi Nabi.
Kalaupun pada cetakan pertama itu saya bergembira karena adanya tanggapan-tanggapan yang sampai kepada saya, maka sekali ini pun lebihlebih lagi saya merasa gembira, karena saya masih akan mengadakan penyelidikan-penyelidikan itu lebih luas lagi. Hal ini saya anggap perlu sekali mengingat studi pendahuluan yang saya lakukan ini menyangkut sejarah hidup seorang manusia terbesar yang pernah dikenal sejarah, Nabi dan Rasul terakhir — selawat dan salam baginya.
Pada pengantar cetakan kedua ini saya berusaha mengadakan peng. amatan terhadap beberapa tanggapan tentang metoda penyelidikan yang saya kemukakan pada cetakan pertama. Pada bagian terakhir buku inj saya tambahkan dua pasal mengenai beberapa persoalan yang secara sepintas-lalu sudah disinggung juga pada bagian penutup cetakan pertama, Demikian juga beberapa revisi dan tambahan saya lakukan mana-mana yang saya anggap perlu direvisi dan ditambah dalam teks buku itu, sesuaj dengan koreksi-koreksi dan beberapa pertimbangan saya sekalian guna melengkapi penyelidikan dan memenuhi beberapa tanggapan yang sudah pernah disampaikan.
Pembela-pembela Orientalis
Yang mula-mula saya terima sebagai sanggahan ialah adanya sebuah karangan yang disampaikan kepada saya oleh seorang penulis bangsa Mesir yang menyebutkan, bahwa itu adalah sebuah terjemahan bahasa Arab dari artikel yang dikirimkannya ke sebuah majalah Orientalis berbahasa Jerman, sebagai kritik atas buku ini. Artikel ini tidak saya siarkan dalam surat-surat kabar berbahasa Arab, karena isinya hanya berupa kecaman-kecaman yang tidak berdasar. Oleh karena itu terserah kepada penulisnya jika mau menyiarkannya sendiri. Saya rasa nama orang itu pun tidak perlu disebutkan dalam pengantar ini dengan keyakinan bahwa dia sudah akan mengenal identitasnya sendiri sesudah membaca sanggahannya itu dimuat di sini. Artikel itu ringkasnya ialah bahwa penyelidikan yang saya lakukan tentang peri hidup Muhammad ini bukan suatu penyelidikan ilmiah dalam arti modern, sebab saya hanya berpegang pada sumber berbahasa Arab saja, tidak pada penyelidikan-penyelidikan kaum Orientalis sebangsa Weil, Goldziher, Noldeke dan yang lain, bukan mengambil dari hasil penyelidikan mereka, dan karena saya menganggap Quran sebagai dokumentasi sejarah yang sudah tidak diragukan, padahal Studi Orientalis-orientalis itu menunjukkan bahwa Quran sudah diubah dan diganti-ganti setelah Nabi wafat dan pada permulaan sejarah Islam, dan bahwa nama Nabi pun pernah diganti. Semula bernama “Qutham” atau “Quthama”. Sesudah itu kemudian diganti menjadi “Muhammad” Untuk disesuaikan dengan bunyi ayat, “Dan membawa berita gembira kedatangan seorang rasul sesudahku, namanya Ahmad”, sebagai isyarat yang terdapat dalam Injil tentang nabi yang akan datang sesudah Isa. Dalam keterangannya penulis itu menambahkan, bahwa penyelidikan kaum Orientalis itu juga menunjukkan, bahwa Nabi menderita penyakit ayan, dan apa yang disebut wahyu yang diturunkan kepadanya itu tidak lain adalah akibat gangguan ayan yang menyerangnya, dan bahwa gejala gejala penyakit ayan itu terlihat pada Muhammad ketika sedang tidak sadarkan diri, keringatnya mengalir disertai kekejangan, dari mulutnya keluar busa. Bila sudah kembali ia sadar dikatakannya bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu, lalu dibacakan kepada mereka yang percaya pada apa yang diduga wahyu dari Tuhan itu.
Sebenarnya saya tidak perlu menghiraukan karangan semacam ini atau pada sanggahannya kalau tidak karena penulisnya itu seorang Mesir dan Muslim pula. Andaikata penulisnya itu seorang Orientalis atau misi penginjil, akan saya biarkan saja ia bicara menurut kehendak nafsunya sendiri. Apa yang sudah saya sebutkan pada kata pengantar dan dalam teks buku ini, sudah cukup sebagai argumen yang akan menggugurkan pendapat mereka itu. Bagaimanapun juga penulis surat ini adalah sebuah contoh dari sebagian pemuda-pemuda dan orang-orang Islam yang begitu saja menyambut baik segala apa yang dikatakan pihak Orientalis dan menganggapnya sebagai hasil yang benar-benar ilmiah, dan berdasarkan kebenaran sepenuhnya. Kepada mereka itulah tulisan ini saya alamatkan sekadar mengingatkan tentang adanya kesalahan yang telah dilakukan oleh kaum Orientalis. Ada pula kaum Orientalis yang memang jujur dalam penyelidikan mereka, meskipun tentunya tidak lepas dari kesalahan juga. Sebab-sebab Kesalahan Orientalis
Kesalahan-kesalahan demikian yang terselip dalam penyelidikannya itu kadang disebabkan oleh kurang telitinya memahami liku-liku bahasa Arab, kadang juga karena adanya maksud yang tersembunyi dalam jiwa sebagian sarjana-sarjana itu, yang tujuannya hendak menghancurkan sendi-sendi salah satu agama, atau semua agama. Ini adalah sikap berlebih-lebihan yang selayaknya dihindarkan saja oleh kalangan cendekiawan. Kita melihat ada juga orang-orang Kristen yang begitu terdorong oleh sikap berlebih-lebihan ini sampai mereka mengingkari bahwa Isa pernah ada dalam sejarah.
Yang lain kita lihat bahkan. sudah melampaui batas-batas yang berlebih-lebihan itu dengan menulis tentang Isa yang sudah gila misalnya.
Timbulnya pertentangan antara gereja dengan negara di Eropa itu telah pula menyebabkan kalangan sarjana di satu pihak dan kaum agama di pihak lain hendak saling mencari kemenangan dalam merebut kekuasaan.
Sebaliknya Islam, samasekali bersih dari adanya pertentangan serupa itu. Hendaknya mereka yang mengadakan penyelidikan di kalangan Islam dapat menghindarkan diri dari kekuasaan nafsu demikian ini, yang sebenarnya telah menimpa orang-orang Barat, dan sering menodai penyelidikan sarjana-sarjana itu. Juga hendaknya mereka berhati-hati bila mempelajari hasil yang datang dari Barat, yang berhubungan dengan masalah-masalah agama. Segala sesuatu yang telah dilukiskan oleh para Sarjana sebagai suatu kebenaran, hendaklah diteliti lebih saksama. Banyak di antaranya yang sudah terpengaruh begitu jauh, sehingga telah me, nimbulkan permusuhan antara orang-orang agama dengan kalangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus selama berabad-abad.
Buku Biografi Penulis-penulis Islam sebagai Pegangan
Apa yang disebutkan dalam karangan si Muslim berbangsa Mesir yang Saya ringkaskan itu sudah suatu bukti perlunya ada sikap berhati-hati Pertama-tama ia menyalahkan saya karena saya masih berpegang pad, sumber-sumber Arab sebagai dasar penyelidikan saya, dan ini memang tidak saya bantah. Sungguhpun begitu buku-buku kalangan Orientali, seperti yang saya sebutkan dalam bibliografi, juga saya pakai. Akan tetapi, sumber-sumber bahasa Arab selalu saya pergunakan sebagai dasa, pertama dalam pembahasan ini. Dan sumber-sumber bahasa Arab ini jugalah yang dipakai sebagai dasar pertama dalam penyelidikan-penyeli. dikan kaum Orientalis itu semua.
Ini wajar sekali. Sumber-sumber tersebut — terutama sekali Quran – adalah yang pertama sekali bicara tentang sejarah hidup Nabi. Sudah tentu itu jugalah yang menjadi pegangan dan dasar bagi setiap orang yang ingin menulis biografi dengan gaya dan metoda sekarang. Baik Noldeke, Goldziher, Weil, Sprenger, Muir atau Orientalis lain semua berpegang pada sumber-sumber itu juga dalam penyelidikan mereka, seperti yang saya lakukan ini. Dalam membuat pengamatan dan kritik, mereka menempuh cara yang bebas, demikian juga saya. Dalam hal ini juga saya tidak mengabaikan beberapa sumber buku Kristen yang lama-lama yang menjadi pegangan mereka, sekalipun mereka masih terdorong oleh fanatisma agama Kristen, dan samasekali bukan oleh kritik ilmiah.
Kalau ada orang yang menyalahkan saya karena saya tidak terikat oleh kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh beberapa kaum Orientalis itu, atau karena saya sampai hati tidak sependapat dengan mereka dan malah melakukan kritik terhadap mereka, maka dalam bidang ilmiah yang demikian itu adalah suatu pendirian yang beku sekali, yang tidak kurang pula beku dan kolotnya dari pendirian yang bagaimanapun dalam bidang intelektual ataupun rohani. Saya rasa tidak seorang pun dari kalangan Orientalis itu sendiri yang akan menyetujui sikap beku demikian itu dalam bidang ilmiah. Andaikata ada di antara mereka yang dapat membenarkan sikap demikian, tentu ia akan membenarkan juga sikap beku itu dalam bidang agama.
Tidak saya inginkan dua hal ini terjadi, baik terhadap diri saya atau terhadap siapa pun yang mau bekerja dalam penyelidikan sejarah atas dasar ilmiah yang sebenarnya. Apa yang saya lakukan dan saya ajak orang lain akan dapat melakukannya ialah mengamati hasil-hasil studi yang dilakukan orang lain itu. Apabila ia sudah merasa puas oleh pembuktian yang meyakinkan, maka tentu itulah yang kita harapkan. Kalau tidak, lakukan sendirilah supaya ia dapat mencapai kebenaran itu dengan keyakinan bahwa ia sudah berhasil.
Ke arah inilah saya ajak pemuda-pemuda kita dan orang-orang yang mengagumi hasil-hasil penyelidikan kaum Orientalis itu, dan memang ini pula yang saya lakukan. Saya akan merasa sudah mendapat imbalan sebagai orang yang berhasil, sekiranya pekerjaan ini memang sudah tepat, sebaliknya saya akan dapat dimaafkan kiranya sebagai orang yang mencari kebenaran dengan tujuan yang jujur dalam menempuh jalan itu, jika ternyata saya salah.
Orientalis dan Ketentuan-ketentuan Agama
Sebagai bukti atas agitasi beberapa kaum Orientalis yang ingin menghancurkan ketentuan-ketentuan agama dengan cara-cara mereka yang berlebih-lebihan itu, ialah pendirian si Muslim bangsa Mesir yang telah menulis karangan tersebut, bahwa hasil-hasil studi kaum Orientalis itu menunjukkan, bahwa Quran bukan suatu dokumen sejarah yang tidak boleh diragukan, dan bahwa Quran sudah diubah-ubah setelah Nabi wafat dan pada masa permulaan sejarah Islam, yang dalam pada itu lalu ditambah-tambah dengan ayat-ayat untuk maksud-maksud agama atau politik. Saya bukan mau berdiskusi atau mau berdebat dengan penulis karangan itu dari segi Islamnya dia sebagai Muslim — atas apa yang sudah ditentukan oleh Islam, bahwa Quran itu Kitabullah, yang takkan dikaburkan oleh kepalsuan, baik pada mula diturunkan atau kemudian sesudah itu. Dia sependirian dengan golongan Orientalis, bahwa Quran dikarang oleh Muhammad, padahal dia percaya juga, bahwa Kitab itu adalah wahyu Allah kepada Muhammad seperti pendapat beberapa kaum Orientalis, dan karena ingin menguatkan isi karangannya atas apa yang disebutnya itu, dikatakannya bahwa Quran menurut pendapat yang sebagian lagi adalah memang wahyu Allah. Jadi baiklah saya berdialog dengan dia menurut bahasanya atas dasar dia sebagai orang yang berpikir bebas, yang tidak mau terikat oleh apa pun kecuali atas dasar yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan dengan cara yang benar-benar meyakinkan.
Quran Tidak Diubah-ubah
Ia percaya sekali kepada kaum Orientalis dan kepada pendapat mereka. Memang ada segolongan Orientalis yang beranggapan seperti yang dikutipnya itu. Tetapi anggapan mereka ini menunjukkan, bahwa mereka terdorong oleh maksud-maksud yang tak ada hubunganny, dengan ilmu pengetahuan. Hal ini sudah bukan rahasia lagi. Sebagai bukti, cukup apa yang mereka katakan, bahwa versi “Dan membawa berita gembira dengan kedatangan seorang Rasul sesudahku, namanya Ahmad” yang tersebut dalam Surah “Ash-Shaf” (61) ayat 6, adalah ditambahkan sesudah Nabi wafat untuk dijadikan bukti atas kenabian Muhammad dapat Risalahnya dari Kitab-kitab Suci sebelum Quran.
Andaikata yang berpendapat demikian ini dari kalangan Orientalis yang benar-benar jujur demi ilmu pengetahuan, tentu tidak perlu mereka bersandar kepada argumen semacam itu, yang bagi mereka juga berlaku bahwa Bible itu memang kitab-kitab suci. Kalau mereka memang mau mencari ilmu untuk ilmu, tentu akan mereka samakan Quran dengan kitab-kitab suci sebelum itu, yakni menganggapnya sebagai kitab suci juga dengan menyebutkan, bahwa kitab-kitab suci yang sudah dikenal orang sebelumnya adalah wajar, tak perlu lagi dibantah, atau menganggap kitab. kitab suci itu semua sama juga dengan anggapannya terhadap Quran. Terhadap keduanya itu pendapat mereka pun tentu akan serupa, dengan menentukan bahwa itu adalah untuk maksud-maksud agama atau politik tertentu juga. Andaikata memang ini pendapat mereka, maka selesailah sudah logika demikian itu. Pendirian mereka tentang adanya perubahan dalam Quran untuk maksud politik dan agama tadi, dengan sendirinya jadi gugur pula.
Bagi kaum Muslimin tidak perlu lagi mencari bukti dari kitab-kitab suci itu sesudah raja-raja mereka dan imperium Kristen seperti juga bangsa-bangsa lain di dunia menerimanya dan sesudah orang-orang Kristen sendiri beramai-ramai, bahkan bangsa-bangsa secara keseluruhan, menganut agama Islam. Inilah logika yang berlaku bagi penyelidikan yang murni ilmiah.
Adapun adanya anggapan Taurat dan Injil itu kitab-kitab suci dan menolak sifat demikian pada Quran, maka ini adalah hal yang tak diterima oleh ilmu pengetahuan. Sedang pendapat yang mengatakan adanya perubahan dalam Quran karena bukti dari Taurat dan Injil, itu adalah omong-kosong, tidak pula diterima oleh logika.
Dari kalangan Orientalis yang paling fanatik sekalipun, sedikit.sekali yang beranggapan seburuk itu. Sebaliknya sebagian besar mereka sepakat, bahwa Quran yang kita baca sekarang ini, itu jugalah Quran yang dibacakan oleh Muhammad kepada kaum Muslimin semasa hidupnya, tanpa suatu cacat atau perubahan apa pun. Mereka ingin sekali menyebut kan hal ini, sekalipun — dalam bentuk kritik — mereka kaitkan dengan cara pengumpulan Quran dan penyusunan Surah-surah yang pembahasanny2 tentu di luar bidang studi ini.
Kalangan Muslimin sendiri yang sudah mencurahkan perhatiannya dalam seluk-beluk iimu Quran telah menerima bermacam-macam kritik dan sudah mereka tangkis pula. Adapun yang mengenai masalah yang kita hadapi sekarang ini, cukuplah kalau kita mengutip apa yang dikatakan kalangan Orientalis sendiri dalam hal ini, kalau-kalau si Muslim Mesir yang kita bicarakan artikelnya itu akan merasa puas, demikian juga mereka yang masih berpikir semacam dia akan turut merasa puas pula.
Sebenarnya apa yang diterangkan kaum Orientalis dalam hal ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh Sir William Muir dalam The Life of Mohammad supaya mereka yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan perubahan Quran itu, dapat melihat sendiri. Muir adalah seorang penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah untuk itu. Dia pun ingin sekali tidak akan membiarkan setiap kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi dan Quran, dan berusaha memperkuat kritiknya. Pendapat Muir
Ketika bicara tentang Quran dan akurasinya yang sampai kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:
“Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan itu pula yang telah dibertakan oleh wahyu. Oleh karena itu yang hafal Quran di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu ada yang dapat membaca sampai pada ciricirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudah pekerjaan ini. Kecintaan mereka luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka menerima Quran dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemauan yang luar biasa hendak menghafal Quran, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat mengulang kembali dengan ketelitian yang meyakinkan sekali segala yang diketahui daripada Nabi gampai pada waktu mereka membacanya itu.
Penulisan Quran pada Zaman Nabi
“Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas daya ingatnya itu, kita juga bebas untuk tidak melepaskan kepercayaan kita bahwa kumpulan itu adalah satu-satunya sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin, bahwa sahabat-sahabat Nabi menulis beberapa macam naskah selama masa hidupnya dari berbagai macam bagian dalam Quran. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Quran itu ditulis. Pada umumnya tulis-menulis di Mekah sudah dikeny orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu, Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum .masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan tulis. menulis kepada kaum Anshar di Medinah, sebagai imbalannya mereka dibebaskan. Meskipun penduduk Medinah dalam pendidikan tidak se. pandai penduduk Mekah, namun banyak juga di antara mereka yang pandai tulis-menulis sejak sebelum Islam. Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa ayat-ayat yang dihafal menurut ingatan yang sangat teliti itu, itu juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula.
“Kemudian kita pun mengetahui, bahwa Muhammad telah mengutus seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah menganut Islam, supaya mengajarkan Quran dan mendalami agama. Sering pula kita membaca, bahwa ada utusan-utusan yang pergi membawa perintah tertulis mengenai masalah-masalah agama itu. Sudah tentu mereka membawa apa yang diturunkan oleh wahyu, khususnya yang berhubungan dengan upacara-upacara dan peraturan-peraturan Islam serta apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat.
Quran sendiri pun menentukan adanya itu dalam bentuk tulisan. Begitu juga buku-buku sejarah sudah menentukan demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar, tentang adanya sebuah naskah Surah ke-20 (Surah Taha) milik saudaranya yang perempuan dan keluarga nya. Umar masuk Islam tiga atau empat tahun sebelum Hijrah. Kalau pada masa permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling dipertukarkan, tatkala jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan mengalami pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan sekali, bahwa naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak kekuasaannya dan kitab itu sudah menjadi undang-undang seluruh bangsa Arab.
Bila Berselisih Kembali kepada Nabi
“Demikian halnya Quran itu semasa hidup Nabi, dan demikian juga halnya kemudian sesudah Nabi wafat, tetap tercantum dalam kalbu kaum mukmin. Berbagai macam bagiannya sudah tercatat belaka dalam naskahnaskah yang makin hari makin bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu sudah seharusnya benar-benar cocok. Pada waktu itu pun Quran sudah sangat dilindungi sekali, meskipun pada masa Nabi masih hidup, dengan keyakinan yang luar biasa bahwa itu adalah kalam Allah. Oleh karena itu setiap ada perselisihan mengenai isinya, untuk menghindarkan adanya perselisihan demikian itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam hal ini ada beberapa contoh pada kita: “Amr bin Mas’ud dan Ubayy bin Ka’b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi wafat, bila ada perselisihan, selalu kembali kepada teks yang sudah tertulis dan kepada ingatan sahabat-sahabat Nabi yang terdekat serta penulis-penulis wahyu.
Sesudah selesai menghadapi peristiwa Musailima – dalam perang Ridda — penyembelihan Yamama telah menyebabkan kaum Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka yang telah menghafal Quran dengan baik. Ketika itu Umar merasa kuatir akan nasib Quran dan teksnya itu, mungkin nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka yang telah menyimpannya dalam ingatan itu, mengalami suatu hal lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah Abu Bakr dengan mengatakan: “Saya kuatir sekali pembunuhan terhadap mereka yang sudah hafal Quran itu akan terjadi lagi di medan pertempuran lain selaan Yamama dan akan banyak lagi dari mereka yang akan hilang. Menurut hemat saya, cepat-cepatlah kuta bertindak dengan memerintahkan pengumpulan Quran.”
Pengumpulan Quran Langkah Pertama
“Abu Bakr segera menyetujui pendapat itu. Dengan maksud tersebut ia berkata kepada Zaid bin Thabit, salah seorang Sekretaris Nabi yang besar: “Engkau pemuda yang cerdas dan saya tidak meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada Rasulullah s.a.w. dan kau mengikuti Quran itu, maka sekarang kumpulkanlah.”
“Oleh karena pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali. Ia masih meragukan gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain melakukannya. Akan tetapi akhirnya ia mengalah juga pada kehendak Abu Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai berusaha sungguh-sungguh mengumpulkar surah-surah dan bagian-bagiannya dari segenap penjuru, sampai dapa juga ia mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas baty putih, dan yang dihafal orang. Setengahnya ada yang menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya dari yang ada pada lembaran, lembaran, tulang-tulang bahu dan rusuk unta dan kambing. Usaha Zaid in mendapat sukses.
“ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun terus-menerus mengumpulkan semua bahan-bahan serta menyusun kembali seperti yang ada sekarang ini, atau seperti yang dilakukan Zaid sendiri membawa Quran itu di depan Muhammad, demikian orang mengatakan. Sesudah naskah pertama lengkap adanya, oleh Umar itu dipercayakan penyim. panannya kepada Hafshah, putrinya dan istri Nabi. Kitab yang sudah dihimpun oleh Zaid ini tetap berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks yang otentik dan sah.
“Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca, yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah itu yang disalin dari naskah Zaid. Dunia Islam cemas sekali melihat hal ini. Wahyu yang didatangkan dari langit itu “satu”, lalu di manakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan, juga melihat adanya perbedaan Quran orang Suria dengan orang Irak. Mushaf Usman
“Karena banyaknya dan jauhnya perbedaan itu, ia merasa gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman turun-tangan. “Supaya jangan ada lagi orang berselisih tentang kitab mereka sendiri seperti orangorang Yahudi dan Nasrani.” Khalifah pun dapat menerima saran itu. Untuk menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin Thabit dimintai bantuannya dengan diperkuat oleh tiga orang dari Quraisy. Naskah pertama yang ada di tangan Hafshah lalu dibawa, dan cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran Isiam itu pun dikemukakan, lalu semuanya diperiksa kembali dengan pengamatan yang luar biasa, untuk kali terakhir. Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya dari Quraisy itu, ia lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu itu diturunkan dengan tujuh dialek Arab yang bermacam-macam.
“Selesai dihimpun, naskah-naskah menurut Quran ini lalu dikirimkan ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya naskah-naskah dikumpulkan lagi atas perintah Khalifah lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada Hafshah.
“Maka yang sampai kepada kita adalah Mushaf Usman. Begitu cermat pemeliharaan atas Quran itu, sehingga hampir tidak kita dapati — bahkan memang tidak kita dapati — perbedaan apa pun dari naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya, yang tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam yang luas itu. Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri — seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat — telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam — dan memang demikian adanya — namun Quran yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi Quran bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas perintah Usman yang malang itu.
“Agaknya di seluruh dunia ini tak ada sebuah kitab pun selain Quran yang sampai dua belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan cermatnya. Adanya cara membaca yang berbeda-beda itu sedikit sekali untuk sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas hanya pada cara mengucapkan huruf hidup saja atau pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya belakangan saja dalam sejarah, yang tak ada hubungannya dengan Mushaf Usman. Persatuan Islam Zaman Usman
“Sekarang, sesudah ternyata bahwa Quran yang kita baca ialah teks Mushaf Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah kita bahas lagi: Adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali, bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Usman sedikit pun, bahwa dia bermaksud mengubah Quran guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi’ah kemudian menuduh bahwa dia mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat diterima akal. Ketika Mushaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan pihak Alawi (golongan Mu’awiyah dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan paham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada bahaya yang mengancamnya. Di samping itu juga Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tak adalah maksudmaksud tertentu yang akan membuat Usman sampai melakukan pelanggaran yang akan sangat dibenci oleh kaum Muslimin itu. Orang-orang yang memahami dan hafal benar Quran seperti yang mereka dengar sendirj waktu Nabi membacanya mereka masih hidup tatkala Usman mengumpul. kan Mushaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menghapus setiap usaha guna menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai Pengganti.
“Dapatkah diterima akal — pada waktu kemudian mereka sudah memegang kekuasaan — bahwa mereka akan sudi menerima Quran yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu mereka tetap membaca Quran yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikit pun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiri pun telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu se. banyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya dengan tangannya sendiri.
“Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan Quran lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushat Usman. Jadi tantangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah Usman dalam hal itu saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di balik itu tidak seorang pun yang menunjukkan adanya usaha mau mengubah atau menukar isi Quran. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha perusakan terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi’ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri. Mushaf Usman Cermat dan Lengkap
“Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan, bahwa Mushaf Usman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar di seluruh daerah itu.
“Tetapi sungguhpun begitu masih ada suatu soal penting lain yang terpampang di depan kita, yakni: adakah yang dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad? Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah selengkapnya dicapai waktu itu:
“Pertama — Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Quran, orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama waktu dua puluh tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala ambisi, sehingga baginya memang tak adalah tempat buat mencari kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.
“Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafatnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mukmin biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah. Dalam Quran terdapat peringatan-peringatan bagi barangsiapa yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi iman.
Kedua — Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada serombongan ahli-ahli Quran yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata rantai penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Quran dalam satu Mushaf itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan.
“Ketiga — Juga kita mempunyai jaminan yang lebih dapat dipercaya tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bagian-bagian Quran yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnya pun sudah banyak sebelum pengumpulan Quran itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya. Maka logis sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam bagian-bagian itu sudah tercakup belaka. Oleh karena itu keputusan mereka semua Sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah melalaikan sesuaty bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang terdapat di dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushaf yang sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini memang ada, maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu, tak ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting.
“Keempat — Isi dan susunan Quran itu jelas sekali. menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang bermacam-macam disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat.
“Tak ada bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran si penghimpun dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat suci itu seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain.
“Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah, bahwa Mushaf Zaid dan Usman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan — seperti beberapa kejadian menunjukkan — adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunannya tidak bermaksud mengabaikan apa pun dari wahyu itu. Juga kita dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari Quran itu, memang sangat teliti sekali dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad.”
Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat Sir William Muir seperti yang disebutkan dalam kata pengantar The Life of Mohammad’ itu. Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebutkan tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sama sependapat. Secara positif mereka memastikan tentang persisnya Quran yang kita baca sekarang, serta menegaskan bahwa semua yang dibaca oleh Muhammad adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Tuhan. Kalaupun ada sebagian kecil kaum Orientalis berpendapat jain dan beranggapan bahwa Quran sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir dan sebagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi.
Betapapun pandainya tukang-tukang tuduh itu menyusun tuduhannya, namun mereka tidak dapat meniadakan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan caranya itu mereka takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.
Sebenarnya kita dapat saja memberikan argumen-argumen seperti yang dikemukakan oleh Sir Muir dan Orientalis-orientalis lain, yang diambil dari sejarah Islam, kemudian mengembalikan semua itu kepada sumbernya yang semula. Tetapi kita sengaja mengutamakan kutipan itu dari salah seorang Orientalis, mengingat pemuda-pemuda kita masih sangat mendambakan segala yang datang dari Barat, tanpa pengamatan lebih dalam. Ketelitian dalam penyelidikan ilmiah dengan maksud baik hendak mencari kebenaran, seharusnya akan mengantarkan orang ke jalan yang ditempuhnya itu semata-mata untuk kebenaran, lepas dari segala pemalsuan. Seseorang yang mau mengadakan penelitian harus menyelidiki benar-benar sehingga ia sampai kepada kebenaran yang menjadi tujuannya itu, tanpa terpengaruh oleh hawa nafsu dan tanpa teralang oleh tradisi. Kaum Orientalis kadang memang berhasil mencari kebenaran demikian, tapi kadang juga, karena tujuan-tujuan tertentu, mereka pun lalu menyimpang. Dan sebagian besar memang begitu. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan sejarah Nabi kita mendapat kesempatan dalam buku ini mengadakan penelitian lebih lanjut.
Cara yang Sebenarnya dalam Mengadakan Penyelidikan
Baik juga kalau dalam kesempatan ini kita sebutkan bahwa tugas seorang peneliti tidak akan a priori menerima atau menolak sesuatu masalah, sebelum penelitian atau penyelidikannya itu benar-benar meyakinkan bahwa ia sudah sepenuhnya puas dengan kenyataan yang dicapainya itu tanpa ada kekurangan. Seorang ahli sejarah dalam hal ini tidak berbeda dengan sarjana dalam ilmu pengetahuan lainnya atau dalam bidang-bidang fisika. Penulis sejarah dalam hal ini seharusnya mempela, jari buku-buku Orientalis, juga buku-buku sarjana-sarjana Islam.
Apabila untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan itu kita diharus, kan mengadakan kritik dan pengamatan terhadap hasil-hasil peninggalan penulis-penulis Arab dan penulis-penulis Islam seperti dalam ilmu ke, dokteran, astronomi, kimia dan sebagainya, lalu kita menolak mana yang tidak dapat diterima oleh kritik ilmiah, dan menerima mana yang dapa dibuktikan oleh cara-cara kritik demikian itu, maka untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan dalam bidang sejarah ini pun kita ber. kewajiban pula meneliti benar-benar, sekalipun yang berhubungan dengar sejarah Nabi s.a.w. Seorang penulis sejarah bukan hanya sekadar menyalin saja, tapi juga harus membuat kritik terhadap yang disalinnya itu. Ia harus mengadakan penelitian guna mengetahui kebenaran yang ada sesungguhnya. Kritik adalah langkah kepada penelitian itu.
Ilmu dan pengetahuan adalah dasar kritik dan penelitian. Sesudah kita mengadakan penelitian seperti yang kita kutipkan mengenai Quran dan akurasinya, kita tinggalkan dulu artikel si Muslim Mesir, yang begitu percaya atas segala yang ditulis oleh Orientalis mengenai ayat-ayat yang katanya ditambahkan ke dalam Quran, juga tentang nama Nabi yang katanya Qutham atau Quthama itu. Kata-kata demikian ini bukanlah karena terdorong oleh rasa kebenaran, melainkan karena nafsu belaka.
Baiklah kita kembali sekarang pada titik persoalan terakhir dalam sanggahan si Muslim Mesir itu. Dia menyebutkan, bahwa hasil penyelidikan kaum Orientalis itu menunjukkan, bahwa Nabi menderita penyakit ayan. Gejala-gejala demikian itu tampak padanya ketika ia tidak sadarkan diri, keringatnya mengucur disertai kekejangan-kekejangan dan busa yang keluar dari mulutnya. Apabila ia sudah sadar kembali, ia lalu membacakan apa yang dikatakannya wahyu Tuhan kepadanya itu — kepada orang-orang yang mempercayainya. Padahal yang dikatakan wahyu itu tidak lain daripada akibat serangan-serangan ayan tersebut.
Fitnah Sekitar Ayan
Menggambarkan apa yang terjadi pada Muhammad pada waktu datangnya wahyu dengan cara yang demikian itu, dari segi ilmiah adalah samasekali salah. Serangan penyakit ayan tidak akan meninggalkan sesuatu bekas yang dapat diingat oleh si penderita selama masa terjadinya itu. Bahkan sesudah ia sadar kembali pun samasekali dia lupa apa yang telah terjadi selama itu. Dia tidak ingat apa-apa lagi, apa yang terjadi dan apa yang dilakukannya selama itu. Sebabnya ialah, segala pekerjaan saraf dan pikirannya sudah menjadi lumpuh total. Inilah gejala-gejala ayan yang dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. Jadi bukan yang dialami Nabi Muhammad selama menerima wahyu. Bahkan selama itu inteleknya sedang dalam puncak kesadarannya. Dengan sangat teliti sekali ia ingat semua yang diterimanya dan sesudah itu dibacakannya kembali kepada sahabat-sahabatnya.
Dengan kesadaran rohani yang besar itu, samasekali ia tidak dibarengi oleh ketidaksadaran jasmani. Bahkan sebaliknya yang terjadi, pada waktu jtu Nabi sedang dalam puncak kesadarannya yang biasa. Cukuplah kalau kita tunjukkan saja pada apa yang kita sebutkan dalam buku ini tentang turunnya Surah al-Fath (48) yaitu ketika kaum Muslimin kembali dari Mekah ke Medinah sesudah Perjanjian Hudaibiya.
Jadi ilmu pengetahuan dalam hal ini membantah bahwa Muhammad dihinggapi penyakit ayan. Yang mengatakan demikian dari kalangan Orientalis pun hanya sebagian kecil saja. Mereka itulah yang mengatakan bahwa Quran sudah diubah. Mereka mengatakan begitu bukan karena ingin mencari kebenaran, melainkan menurut dugaan mereka dengan demikian mereka mau merendahkan martabat Nabi di mata segolongan kaum Muslimin. Ataukah dengan kata-kata itu mereka mengira, bahwa mereka telah menyebarkan keragu-raguan atas wahyu yang diturunkan kepada Muhammad, sebab turunnya itu — menurut dugaan mereka — waktu ia sedang mendapat serangan ayan? Kalau memang begitu, ini adalah suatu kesalahan besar pada mereka, seperti sudah kita sebutkan. Pendapat mereka inilah yang secara ilmiah telah samasekali tertolak.
Kembali kepada Ilmu Pengetahuan
Kalau yang dipakai pedoman oleh kaum Orientalis demikian itu adalah tujuan yang murni, tentu mereka tidak akan membawa-bawa ilmu yang bertentangan dengan itu. Mereka melakukan itu mau mengelabui orang-orang yang belum menguasai pengetahuan tentang gejala-gejala ayan, dan mereka yang cara berpikirnya masih sederhana yang sudah merasa puas dengan apa yang telah dikatakan oleh kaum Orientalis itu, tanpa mau bertanya-tanya kepada para ahli dari kalangan kedokteran atau mau membaca buku-buku tentang itu. Kalau saja mereka mau melakukan itu, sebenarnya tidak sulit buat mereka untuk menemukan kesalahan kaum Orientalis itu — disengaja atau tidak disengaja. Mereka akan melihat bahwa kegiatan rohani dan intelek manusia akan samasekali tertutup selama terjadi krisis ayan. Si penderita dibiarkan dalam keadaan mekanik semata, bergerak-gerak seperti sebelum mendapat serangan, atau meronta-ronta kalau serangannya itu sudah bertambah keras sehingga dapat mengganggu orang lain. Dalam pada itu, dia pun kehilangan kesadarannya. Ia tidak sadar apa yang diperbuatnya dan apa yang terjadi terhadap dirinya. Ia seperti orang yang sedang tidur, tidak merasakan gerak. geriknya sendiri. Bila itu sudah berlalu, ia pun tidak ingat apa-apa lagi.
Ini tentu berbeda dengan suatu kegiatan rohani yang begitu kuar membawanya jauh ke alam ilahiah, dengan penuh kesadaran dan suasang intelek yang meyakinkan. Apa yang diwahyukan kepadanya itu, kemudian dapat diteruskan. Sebaliknya ayan, melumpuhkan seluruh kesadaran manusia. Ia membawa orang berada dalam tingkat mekanik, yang selama itu perasaan dan kesadarannya menjadi hilang. Tidak demikian halnya dengan wahyu, yang merupakan puncak ketinggian rohani, yang khusus diberikan Tuhan kepada para nabi. Kepada mereka kenyataan-kenyataan alam positif yang tertinggi itu diberikan, supaya kemudian disampaikan kepada umat manusia. Kadang ilmu pengetahuan sampai juga memahami beberapa kenyataan-kenyataan itu, mengetahui ketentuan-ketentuan dan rahasianya — sesudah lampau beberapa generasi dan beberapa abad Kadang juga ilmu pengetahuan belum dapat menjangkaunya. Sungguhpun begitu itu adalah kenyataan positif, yang dapat dimasuki hanya oleh hati nurani orang-orang beriman, yang percaya kepada kebenarannya. Dalam pada itu ada juga hati yang tetap tertutup rapat dan tidak mengetahui atau karena memang tidak mau mengindahkannya.
Kadang Ilmu yang tidak Cukup
Kita dapat mengerti bila Orientalis-orientalis itu berkata, bahwa wahyu ialah suatu gejala psikologi tersendiri dalam penilaian ilmu pengetahuan yang sampai ke tangan kita hingga saat sekarang. Jadi, adalah hal yang tidak mungkin dapat ditafsirkan dengan cara ilmu. Tetapi bagaimanapun juga pendapat ini menunjukkan, bahwa pengetahuan kita — dengan ruang lingkupnya yang luas — masih merasa terbatas akan menafsirkan bagian terbesar dari gejala-gejala spiritual dan psikologis itu. Buat ilmu pengetahuan ini bukan suatu cacat, juga bukan hal yang aneh. Ilmu pengetahuan kita masih terbatas dalam menafsirkan beberapa gejala alam yang dekat pada kita. Kodrat matahari, bulan, bintang-bintang, tatasurya dan lainnya dalam ilmu pengetahuan, masih merupakan hipotesahipotesa penemuan. Semua benda cakrawala ini sebagian ada yang dapat kita lihat dengan mata telanjang, dan tidak sedikit pula yang masih tersembunyi, yang baru akan dapat kita lihat bila menggunakan alat peneropong. Sampai abad yang lalu banyak sekali penemuan-penemuan yang masih dianggap sebagai suatu ciptaan khayal belaka, tak ada jalan akan dapat dijelmakan depan mata kita. Tetapi ternyata sekarang sudah menjadi kenyataan. Malah kita menganggap sebagai hal yang mudah saja. Adanya gejala-gejala spiritual dan psikologis sekarang menjadi sasaran pengamatan para sarjana. Tetapi ini belum lagi dapat dikuasai oleh ilmu, dan hukumnya yang positif pun juga belum ditemukan.
Sering kita membaca tentang beberapa masalah yang sudah diketahui oleh para sarjana dan sudah diterima. Tetapi kemudian ternyata bahwa dalam hukum alam yang berlaku menurut kaedah-kaedah ilmu pengetahuan belum lagi memberikan arti yang meyakinkan. Psikologi misalnya, dalam menghadapi beberapa masalah, secara umum masih belum mempunyai hukum yang pasti. Kalau ini terjadi dalam kehidupan biasa, maka jangkah cepat-cepat mau menafsirkan gejala-gejala seluruh hidup dengan cara ilmiah adalah suatu usaha yang memang sia-sia saja, suatu penghamburan yang patut dicela.
Datangnya wahyu yang pernah disaksikan oleh beberapa kaum Muslimin selama masa hidup Muhammad – demikian juga Quran – setiap dibacakan kepada mereka, ternyata menambah keteguhan iman mereka. Di antara mereka itu terdapat juga orang Yahudi dan Nasrani. Sesudah lama terjadi debat dan diskusi dengan Nabi, kemudian mereka pun mempercayai. Sekitar risalah dan masalah waktu itu tak ada yang mereka tolak. Memang ada segolongan orang-orang Quraisy yang berusaha menuduh hal itu sebagai perbuatan sihir dan gila. Tetapi kemudian mereka pun mengakui, bahwa dia bukan tukang sihir dan bukan pula orang gila. Mereka pun lalu jadi pengikutnya dan beriman atas ajakan itu. Inilah yang sudah pasti dan meyakinkan.
Jadi sekarang yang tak dapat diterima oleh ilmu, dan bertentangan dengan kaedah-kaedah yang ilmiah ialah sikap mengingkari terjadinya wahyu itu dan merendahkan orang yang menerimanya disertai kecaman dengan pelbagai rupa. Inilah yang justru bertentangan dengan ilmu.
Seorang sarjana yang sungguh-sungguh bertujuan mencari kebenaran, tidak dapat berkata lain daripada suatu penegasan, bahwa apa yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan sampai sekarang, masih terbatas sekali, belum dapat menguraikan wahyu itu dengan cara ilmiah. Akan tetapi, bagaimanapun juga, ilmu tak dapat menolak terjadinya gejala-gejala wahyu, seperti yang dilukiskan oleh sahabat-sahabat Nabi dan penulispenulis lain pada permulaan sejarah Islam itu. Kalaupun ada yang mengingkarinya, ia berusaha mencari dalih dengan menggunakan ilmu sebagai senjata yang sia-sia dengan sikap keras kepala. Sikap keras kepala dengan ilmu sebenarnya takkan pernah bertemu.
Menyerang Muhammad karena Gagal Menyerang Ajarannya
Kalau sikap yang menyedihkan ini harus menjurus kepada sesuatu maka sesuatu itu ialah nafsu mereka yang keras hendak menanamkan syak ke dalam hati orang tentang Islam. Agama ini sendiri tidak dapat mereka serang. Mcreka telah menyaksikan, betapa kuat dan luhurnya agama inj dengan sifatnya yang sederhana dan serba mudah yang justru menjagj dasar kekuatannya.
Oleh karena itu, mereka lalu menggunakan cara orang yang lemah. Mereka tak mampu menyerang jejak yang sungguh besar itu, mereka lal, menyerang Orang yang meninggalkan jejak itu. Ini adalah kelemahan yang tidak seharusnya menjadi pegangan seorang sarjana. Dalam pada itu jz juga bertentangan dengan hukum kodrat insani. Kodrat manusia ialah memperhatikan jejak itu sendiri saja, menikmati buahnya tanpa ia harus bersusah payah mencari-cari asal-usulnya atau mencari-cari apa yang menyebabkan hal itu terjadi atau tumbuh. Dengan demikian mereka tidak perlu menyusahkan diri mencari-cari asalnya pohon yang telah menghasit. kan buah-buahan yang disukainya itu, atau tentang pupuk yang menyebab. kan pohon tersebut jadi subur, selama tidak terpikirkan olehnya akan menanam pohon lain yang lebih enak buahnya.
Ketika orang mengadakan pembahasan tentang filsafat Plato atay tentang drama Shakespeare atau karya-karya Raphael misalnya, orang tidak perlu mencari bahan kecamannya pada kehidupan orang-orang besar itu — yang menjadi lambang kemegahan dan kebanggaan umat manusia – kalau dalam karya-karyanya itu tak ada yang dapat dijadikan sasaran kecamannya. Kalau mereka mencari bahan kecaman yang tidak punya dasar kebenaran, mereka takkan dapat mencapai tujuan. Kalau niat jahat atau rasa dengki itu juga yang mereka perlihatkan, argumentasi mereka akan jatuh dan orang pun takkan mau mendengarkan. Hal ini takkan berubah hanya dengan menuangkan rasa dengki itu ke dalam pola ilmu. Sifat dengki itu tidak pernah mengenal kebenaran. Menyedihkan sekali tentunya bila perasaan dengki itu juga yang menjadi sumber kebenaran. Inilah dasar kecaman Orientalis-orientalis itu terhadap Nabi, Rasul penutup itu. Tetapi dengan demikian kecaman mereka itu pun jadi gugur samasekali.
Sekarang saya sudahi sanggahan saya ini terhadap pendapat Orientalis-orientalis yang oleh si Muslim orang Mesir itu dijadikan pegangan dalam penulisan artikelnya. Sudah saya kemukakan dalil-dalil kelemahan pendapat mereka itu.
Baiklah sekarang saya pindah ke bagian lain dalam tinjauan ini. Sesudah cetakan pertama buku ini terbit, beberapa kalangan Islam yang aktif dalam bidang pengetahuan agama, memberikan pula pendapatnya.
Menurut hemat saya kecaman-kecaman rendah semacam ini, yang tak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan, hendaknya tidakkan berulang lagi. Terhadap kaum Orientalis barangkali masih dapat dimaafkan, terutama atas tindakan mereka yang sebelum itu memang sangat berlebih-lebihan. Mereka merasa, bahwa mereka menulis buat orang-orang Kristen Eropa:
Dengan demikian pada waktu itu mereka telah menjalankan suatu tugas nasional atau tugas agama. Mereka didorong oleh keyakinan mereka, dengan memperkosa ilmu pengetahuan sebagai alat dalam melaksanakan tugasnya itu.
Tetapi sekarang, dengan adanya komunikasi via telegram dan radio, via pers dan mass media lainnya ke seluruh penjuru dunia, segala apa yang diterbitkan atau diucapkan orang di Eropa atau di Amerika sudah dapat ditangkap hari itu atau saat itu juga di negeri-negeri lain di Timur. Mereka yang ingin memperoleh pengetahuan dan kenyataan sebenarnya, seharusnya segala kabut nasional, rasial dan agama disingkirkan dari depan mata dan dari dalam hati mereka. Mereka hendaknya dapat memperkirakan bahwa apa yang mereka katakan atau mereka tulis, akan secepatnya diketahui oleh semua orang. Di segenap penjuru bumi orang akan mengujinya dan menerima dengan sikap kritis. Biarlah, kebenaran yang sebenarnya tidak terikat oleh apa pun itulah yang akan menjadi pedoman kita semua. Kita arahkan semua perhatian kita pada suatu ikatan masa lampau dan masa datang umat manusia, bahwa itu adalah suatu kesatuan keluarga besar yang mengarah kepada pelaksanaan tujuan yang lebih tinggi, yang dinanti-nantikan oleh segenap manusia sejak pertumbuhannya yang pertama, suatu ikatan persaudaraan yang merdeka di bawah naungan kebesaran dan keindahan. Inilah satu-satunya ikatan yang akan menjamin tercapainya tujuan umat manusia dalam peredaran sejarahnya yang begitu pesat ke arah kebahagiaan dan kesempurnaan itu.
Pertimbangan Mereka yang Aktif dalam Soal-soal Islam
Sementara ada orang-orang yang begitu percaya pada apa yang dilontarkan oleh kaum Orientalis secara berlebih-lebihan itu menyalahkan kami, karena kami katanya begitu terikat dan berpegang pada sumbersumber berbahasa Arab, maka mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam juga menyalahkan kami, karena kami katanya terlalu berpegang pada pendapat-pendapat kaum Orientalis: bahwa kami katanya tidak memperhatikan segala yang diceritakan oleh buku-buku hadis bertalian dengan sejarah hidup Nabi dan bahwa kami tidak memakai cara seperti yang ada dalam buku-buku sejarah lama itu.
Atas dasar ini sebagian mereka telah mengemukakan pendapatpendapat, yang kebanyakannya disampaikan dengan cara yang lemahlembut dan baik sekali dengan tujuan hendak mencari kebenaran. Sebagian lagi, karena keras kepala atau bodoh, tidak mau mengalah kepada yang lebih berpengetahuan. Adapun mereka yang memberikan kritik dengan lemah-lembut, kebanyakan dititik-beratkan pada, bahwa apa yang diterangkan dalam buku-buku sejarah dan hadis Nabi tentang mukjizat-mukjizat, tidak ada kami sebutkan. Bahkan kami sebutkan pada penutup cetakan pertama: “Sejarah hidup Muhammad adalah Sejarah hidup manusia yang telah sampai ke puncak tertinggi yang pernah dicapai seorang manusia. Pada waktu itu Muhammad s.a.w. suka hati karena kaum Muslimin menghargainya sebagai manusia biasa seperti mereka, hanya diberi wahyu. Ia tidak suka apabila ia akan dihubung-hubungkar kepada sesuatu mukjizat selain Quran. Hal ini dinyatakannya kepada para sahabat.” Pada bagian cerita membelah dada ada kita katakan:
“Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dar pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammag sifatnya adalah manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu harus bersandar kepada hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat, bahwa apa yang telah dikemukakan itu tidak sejalan dengan yang diminta oleh Quran, yakni supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang. undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Jadi tidak sesuai dengan ekspresi Quran tentang kaum musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.”
Mereka yang mengkritik saya dengan cara lemah-lembut itu di antaranya ada juga yang menyalahkan, karena saya mengambil kecaman. kecaman kaum Orientalis terhadap Nabi itu sebagai pengantar untuk menyanggah mereka, sedang bunyi kecaman itu menurut hemat mereka tidak sesuai dengan penghargaan dan penghormatan yang harus mereka berikan kepada Nabi a.s. Adapun mereka yang cuma memaki-maki sudah memang ada sebelum cetakan pertama buku ini terbit, dan sebelum pembahasan ini dikumpulkan menjadi buku.
Selawat kepada Nabi
Dalam menyalahkan saya yang paling keras mereka lakukan ialah karena pembahasan saya ini saya beri judul Sejarah Hidup Muhammad tanpa saya berikutkan ucapan sallallahu “alaihi wassalama (s.a.w.), ucapan Salam dan Selawat kepada Rasulullah, sekalipun sambil tulisan ini berjalan sudah beberapa kali saya sebutkan. Saya rasa mereka baru reda dari memaki-maki itu sesudah pada judul cetakan pertama saya hiasi dengan ayat Quran: “Allah dan para malaikat memberikan rahmat kepada Nabi. Orang-orang beriman, berikanlah selawat dan salam kepadanya” dan sesudah buku ini mengemukakan sejarah hidup Nabi dengan metoda seperti apa adanya sekarang.
Akan tetapi mereka bersikeras juga dengan pendirian mereka itu. Dengan begitu, dengan sikap keras kepala dan kebodohan mereka tentang esensi Islam itu menunjukkan, bahwa mereka sudah cukup merasa puas hanya dengan ikut saja apa yang mereka terima dari nenek-moyang dahulu kala.
Baik kita mulai sekarang dengan menyanggah pandangan yang salah ini dengan harapan tidak akan terulang lagi dilakukan orang, baik oleh pihak bersangkutan di atas atau oleh pihak lain dalam menanggapi buku apa pun yang terbit. Kita mulai sanggahan ini dengan kembali kepada buku-buku kaum cendekiawan Islam terkemuka supaya orang mengetahui sampai di mana taraf ketinggian Islam itu, yang sebenarnya tidak terbatashanya pada kata-kata saja, melainkan sudah dapat menempatkan nilai hadis:
“Bahwasanya agama ini kukuh sekali. Tanamkanlah dalam-dalam dengan lemah-lembut. Sebenarnya orang yang terputus dalam perjalanan takkan mencapai tujuan, binatang beban pun binasa.”
Dalam Kulliatnya Abu’l-Baga’ menerangkan, bahwa “penulisan ashshalat (s.a.w.) dalam buku-buku dahulu terjadi pada masa kekuasaan Abbasia. Oleh karena itu, yang ada dalam kitab-kitab Bukhari dan yang lain tidak mempergunakan kata-kata itu.” Para Imam sebagian besar sepakat, bahwa selawat kepada Nabi cukup sekali saja diucapkan orang selama hidupnya. Ibn Nujaim dalam al-Bahru’rRa’ig menyebutkan: “Perintah dalam firman Tuhan “ucapkan selawat dan salam kepadanya” kewajibannya berlaku sekali saja selama hidup, baik dalam sembahyang atau di luar itu. Tentang ini tak ada perselisihan pendapat.”
Adanya perbedaan pendapat antara Syafi’i dan yang lain tentang kewajiban mengucapkan selawat kepada Nabi, berlaku selama dalam sembahyang, bukan di luar itu. Selawat ialah doa, artinya mudah-mudahan Allah memberi rahmat dan salam kepada Nabi.”
Demikian sumber para Imam dan ulama Islam menyebutkan mengenai masalah ini. Adanya dugaan bahwa mengucapkan selawat kepada Nabi pada setiap menyebutkan dan menuliskan namanya merupakan suatu keharusan menunjukkan, bahwa dalam hal ini mereka bersikap sangat berlebih-lebihan. Akibat dari kesalahan mereka itu, maka mereka yang mengikutinya akan salah pula jika mereka mengetahui apa yang sudah kita sebutkan tadi. Ahli-ahli hadis terkemuka tidak menuliskan kata-kata .selawat itu dalam kitab-kitab mereka yang mula-mula. Menangkis Kecaman
Mereka yang berpendapat bahwa tidak selayaknya menyebutkar kecaman-kecaman kaum Orientalis dan misi penginjil terhadap Nabi yang mulia ini sebagai pendahuluan untuk menyanggah mereka, pendapat inj tidak punya dasar selain daripada rasa sentimen keislaman yang mereka agung-agungkan. Sedang dari segi ilmu dan agama, dasarnya tidak ada Apa yang dikatakan kaum musyrik tentang Nabi, Quran menyebutkannya, lalu menyanggahnya dengan argumen yang kuat. Jadi, moral Quran adalah moral yang lebih sesuai dan tinggi adanya. Quran menyebutkan tuduhan
Quraisy terhadap Muhammad sebagai tukang sihir dan gila:
“Kami mengetahui benar, bahwa mereka berkata: “Hanyalah Seorang manusia yang mengajarkannya.” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan itu adalah bahasa asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali.” Hal semacam ini sering sekali terjadi. .
Selanjutnya alasan tuduhan mereka itu tidak akan dapat ditangkis secara ilmiah, kalau tidak disebutkan dan dicatat secara jujur dan teliti. Dengan buku ini saya mencoba mengemukakan pembahasan ilmiah guna mencari kenyataan ilmiah semata. Juga saya maksudkan supaya dibaca baik oleh kaum Muslimin atau bukan.
Hendaknya mereka semua dapat diyakinkan tentang kenyataan ilmiah ini. Hal ini baru akan tercapai bilamana pembahasannya benar-benar bersih dalam kecenderungannya mencari kebenaran itu, tidak terikat oleh apa pun selain oleh kecenderungan tersebut, dan tidak pula ragu-ragu mengakui kebenaran itu dari mana pun datangnya.
Buku-buku Sejarah dan Buku-buku Hadis
Sekarang kita kembali ke pokok pertama, kepada mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam, yang mengkritik saya dengan cara lemah-lembut dan dengan cara yang baik itu. Mereka mengatakan, bahwa saya tidak menuruti apa yang ada dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis. Dalam mengungkapkan berbagai peristiwa saya tidak menempuh cara yang sudah ada.
Dalam hal ini cukuplah kiranya bila saya jawab, bahwa dalam pembahasan ini saya memakai metoda ilmiah, saya tulis dengan gaya zaman kini. Yang demikian ini saya lakukan, karena inilah cara yang baik menurut pandangan ilmu pengetahuan yang berlaku sekarang dengan berbagai macam cabangnya, baik yang berkenaan dengan sejarah atau tidak. Bagi saya — dan ini pendirian saya — tidak perlu kita terikat pada buku-buku lama. Antara kedua cara dan cara-cara lama dengan yang berlaku sekarang terdapat perbedaan yang besar sekali. Secara mudahnya, dalam buku-buku lama tidak dibenarkan adanya kritik seperti yang berlaku sekarang. Kebanyakan buku-buku lama ditulis untuk suatu maksud keagamaan dalam arti ubudiah, sementara penulis-penulis dewasa ini terikat oleh metoda dan kritik-kritik ilmiah. Ini saja sudah cukup buat saya menangkis setiap tantangan dan sekaligus membenarkan metoda yang saya pakai dalam penyelidikan ini. Tetapi saya pikir ada baiknya juga saya jelaskan barang sedikit sehubungan dengan sebab-sebab yang membawa ahli-ahli pikir dari pemuka-pemuka Islam masa lampau itu — dan masa kini — juga yang membawa setiap penyelidik yang teliti — untuk tidak secara serampangan mengambil begitu saja apa yang ada dalam buku-buku sejarah dan buku-buku hadis. Kita terikat pada kaedah-kaedah kritik ilmiah demikian ialah guna menghindarkan diri dari kesalahan sedapat mungkin.
Sebab pertama yang menimbulkan perbedaan yang terdapat dalam buku-buku itu ialah, banyaknya peristiwa-peristiwa dan hal-hal yang terjadi, yang dihubung-hubungkan kepada Nabi sejak ia lahir hingga wafatnya. Mereka yang mempelajari buku-buku ini melihat adanya beberapa berita yang ajaib-ajaib, mukjizat-mukjizat dan cerita-cerita lain semacam itu. Di sana sini ditambah atau dikurangi tanpa alasan yang tepat, kecuali perbedaan-perbedaan waktu ketika buku-buku tersebut ditulis. Buku-buku lama tidak seberapa banyak menghidangkan cerita yang aneh-aneh itu dibandingkan dengan buku-buku yang datang kemudian. Peristiwa-peristiwa yang serba ajaib yang terdapat dalam buku-buku lama tidak begitu jauh dari jangkauan akal, dibandingkan dengan yang terdapat dalam buku penulis-penulis yang belakangan. Buku Sirat Ibn Hisyam misalnya – sebagai buku biografi tertua yang pernah dikenal sampai sekarang — tidak banyak menyebutkan apa yang disebutkan oleh Abu’l-Fida’ dalam Tarikhnya, atau seperti apa yang disebutkan oleh Oadzi Iyadz dalam Asy-Syifa’, juga seperti yang disebutkan dalam buku penulispenulis kemudian.
Begitu juga tentang buku-buku hadis dengan segala perbedaannya yang ada: Ada yang mengemukakan satu cerita, yang lain menghilangkannya, ada pula yang menambahkan. Dalam mengadakan pembahasan ilmiah dalam buku-buku demikian seorang penyelidik harus membuat sebuah kriterium yang dapat mengukur mana-mana yang cocok dan mana pula yang tidak. Mana-mana yang dapat dipercaya oleh kriterium itu, itu pula yang diakui oleh si penyelidik. Mana-mana yang tidak dapat dipercaya, ia akan dimasukkan ke dalam daftar pengujian kalau memang perlu diuji.
Dalam beberapa hal orang-orang dahulu memang menggunakan metoda ini, dan dalam hal yang lain tidak. Tentang cerita Sharani, misalnya yang menyebutkan bahwa ketika Nabi merasa kesal terhadap kepada pemuka-pemuka Quraisy maka lalu dibacakan Surah “an-Najm” Ketika sampai pada ayat:
“Adakah kamu perhatikan al-Lat dan al-“Uzza, dan Manat ketiga, yang terakhir?”
Dibacanya pula:
“Dan itu gharanig yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.”
Kemudian pembacaan Surah itu diteruskan sampai selesai. Nabi lalu sujud diikuti oleh kaum Muslimin dan kaum musyrik yang juga sama-sama bersujud.
Cerita ini dibawa oleh Ibn Sa’d dalam art-Tabaqar’I-Kubra dan tidak pula diberi suatu kritik. Dalam beberapa buku hadis sahih disebutkan juga adanya cerita gharanig ini dengan beberapa perbedaan. Tetapi Ibn Ishaq membawa cerita ini dengan mengatakan: “Itu berasal dari karangan Orang-orang atheis.” Juga dalam al-Bidaya wan-Nihaya fit-Tarikh Ibn Kathir menyebutkan: “Orang bicara tentang cerita gharanig ini. Tetapi lebih baik kita menghindari pembicaraan ini, supaya jangan ada orang yang mendengarnya lalu menempatkannya tidak pada tempatnya. Akan tetapi mulanya cerita ini memang terdapat dalam Shahih.” Kemudian ia menyebutkan sebuah hadis tentang ini melalui Bukhari dengan mengatakan: “Hanya Bukhari sendiri yang menyebutkan. Muslim -tidak.” Saya sendiri tidak ragu-ragu lagi akan menolak cerita ini dari dasarnya. Saya setuju dengan Ibn Ishaq, bahwa cerita ini adalah bikinan orang-orang atheis. Dalam menyanggah ini saya dapat menarik beberapa argumentasi, bukan saja karena dalam cerita tersebut terdapat kontradiksi, mengingat bahwa para rasul itu mendapat perlindungan dalam menyampaikan risalah Tuhan, tetapi juga saya bersandar pada kaedah-kaedah kritik ilmiah yang berlaku sekarang.
Faktor Waktu, ketika Cerita itu Ditulis
Sebab-sebab lain yang masih perlu diuji sehubungan dengan bukubuku lama itu, dengan mengadakan suatu kritik yang teliti menurut metoda ilmiah, ialah bahwa buku tertua yang pernah ditulis orang baru seratus tahun atau lebih kemudian sesudah Nabi wafat, dan sesudah meluasnya isu-isu — baik politik atau bukan politik — dalam dunia Islam, dengan menciptakan cerita-cerita dan hadis-hadis sebagai salah satu alat penyebaran. Apalagi kesan kita tentang yang ditulis orang kemudian, yang sudah mengalami zaman yang sangat kacau dan gelisah.
Pertentangan-pertentangan politik yang telah dialami oleh mereka yang mengumpulkan hadis — dengan membuang mana yang palsu dan mencatat mana yang dianggap sahih — menyebabkan mereka berusaha lebih berhati-hati lagi. Mereka berusaha melakukan ketelitian dalam menguji, supaya tidak sampai menimbulkan keragu-raguan. Orang akan cukup menyadari apa yang dialami Bukhari yang begitu susah-payah dengan perjalanan yang dilakukannya ke berbagai tempat dunia Islam, guna mengumpulkan hadis dan lalu mengujinya. Apa yang diceritakannya kemudian, bahwa dari hadis-hadis yang beredar yang dijumpainya sampai melebihi 600.000 buah itu, yang dipandang benar (sahih) olehnya tidak jebih dari hanya 4000 buah hadis saja. Ini berarti bahwa dari setiap 150 buah hadis yang dipandang benar olehnya hanya sebuah saja. Sedang pada Abu Daud, dari 500.000 buah hadis, yang dianggap sahih menurut dia hanya 4800 saja. Demikian juga halnya dengan penghimpun-penghimpun hadis yang lain. Banyak sekali dari hadis-hadis itu, yang oleh sebagian dianggap sahih, oleh ulama lain masih dijadikan bahan penelitian dan mendapat kritik. yang akhirnya banyak pula yang ditolak. Ini sama halnya dengan soal gharanig.
Jadi, kalau demikian inilah yang sudah terjadi dengan hadis, yang sudah demikian rupa diperjuangkan oleh para penghimpun hadis itu, apalagi dengan buku-buku sejarah hidup Nabi yang datang kemudian, bagaimana kita dapat mengandalkannya tanpa mengadakan penelitian dan pengujian ilmiah!
Pengaruh Pertentangan Politik dalam Dunia Islam
Sebenarnya, pertentangan politik yang terjadi sesudah permulaan sejarah Islam, telah menimbulkan lahirnya cerita-cerita dan hadis-hadis bikinan untuk mendukung maksud tersebut. Sampai pada saat-saat terakhir zaman Banu Umayya penulisan hadis belum lagi dilakukan orang. Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan supaya hadis-hadis itu dihimpun. Kemudian baru dikumpulkan pada zaman Ma’mun, yaitu Sesudah terjadi “Hadis yang sahih dalam hadis yang palsu itu seperti rambut putih pada kerbau hitam”, seperti kata Ad-Daraqutni. Danmungkin tidak dikumpulkannya hadis pada masa permulaan Islam karena seperti diberitakan bahwa Nabi berkata:
“Jangan menuliskan sesuatu tentang aku, selain Quran. Barangsiap, menuliskan itu selain Quran, hendaklah dihapus.”
Penghimpunan Hadis
Akan tetapi pada waktu itu hadis Nabi sudah beredar dari mulut ke mulut dan penceritaannya pun berbeda-beda. Umar ibn’I-Khattab ketika menjadi khalifah pernah mengambil langkah dalam hal ini dengan maksud akan menuliskan hadis-hadis itu. Ia minta pendapat sahabat-sahabat Nabi yang lain. Mereka pun memberikan pendapat yang sama. Selama sebulan lamanya ia melakukan istikharah, yang kemudian setelah mendapat ketetapan hati ia berkata:
“Saya bermaksud akan menulis hadis dan sunah, tapi saya takkan mencampuradukkan Quran dengan apapun.”
Penulisan hadis-hadis itu tidak jadi dilakukan. Ditulisnya surat ke kota-kota lain:
“Barangsiapa memilikinya supaya dihapuskan.”
Sesudah itu hadis-hadis terus juga beredar dan berkembang-biak, sehingga akhirnya terhimpun juga hadis-hadis yang dianggap sahih menurut para penghimpunnya, yakni pada masa Ma’mun.
Dengan segala usaha penelitian yang sudah tentu dilakukan oleh para penghimpun hadis itu, tapi masih banyak juga hadis-hadis yang oleh mereka sudah dinyatakan sahih itu, oleh beberapa ulama lain masih dinyatakan tidak otentik. Dalam Syarah Muslim Nawawi menyebutkan: “Ada golongan yang membuat koreksi terhadap Bukhari dan Muslim mengenai hadis-hadis itu sehingga syarat-syarat mereka tidak begitu dihiraukan dan mengurangi pula arti yang menjadi pegangan mereka, yaitu para penghimpun itu. yang sebagai kriterium mereka hanya berpegang pada sanad (askripsi) dan pada kepercayaan mereka kepada sumber cerita sebagai dasar: menerima atau menolak hadis itu. Ini memang suatu kriterium yang berharga. Tetapi itu saja tentu tidak cukup.
Bagi kita kriterium yang baik dalam mengukur hadis — dan mengukur setiap berita yang berhubungan dengan Nabi — ialah seperti yang pernah diceritakan orang tentang Nabi ‘alaihissalam ketika menyatakan:
“Kamu akan berselisih sesudah kutinggalkan. Maka (oleh karena itu) apa yang dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Quran. Mana yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan, bukan dari aku.”
Kriterium yang Sebenarnya tentang Hadis
Ini adalah suatu kriterium yang tepat, yang sudah menjadi pegangan pemuka-pemuka Islam sejak permulaan sejarah Islam. Dan sampai sekarang mereka sebagai ahli pikir masih berpegang pada ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Khaidun: “Saya tidak percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga tidak percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang bertentangan dengan Quran, sekalipun ada orang-orang yang memperkuatnya. Beberapa pembawa hadis dipercayai karena keadaan lahirnya yang dapat mengelabui, sedang batinnya tidak baik. Kalau sumber-sumber itu dikritik dari segi marn (teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah mengatakan: bahwa tanda hadis maudzu’ (buatan) itu, ialah yang bertentangan dengan kenyataan Quran atau dengan kaedahkaedah yang sudah ditentukan oleh hukum agama (syariat) atau dibuktikan oleh akal atau pancaindera dan ketentuan-ketentuan axioma lainnya.”
Kriterium inilah yang terdapat dalam hadis Nabi tersebut. Dan apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun tadi sesuai sekali dengan kaedah kritik miah modern sekarang.
Sebenarnya, perselisihan kaum Muslimin sudah mencapai puncaknya setelah ditinggalkan Nabi, sehingga menimbulkan adanya ribuan hadis dan sumber-sumber yang saling bertentangan. Sesudah Abu Lu’lu’a, bujang Al-Mughira, membunuh Umar ibn’I-Khattab, dan sesudah Usman bin Affan memangku jabatan khalifah, permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya yang terjadi sebelum Islam mulai timbul lagi.
Setelah Usman terbunuh, perang saudara antara kaum Muslimin Punpecah. Aisyah melawan Ali dan Ali pun mendapat pendukungnya pula
Maka mulailah hadis-hadis buatan bertambah banyak, sampai-sampai Ali bin Abi Talib sendiri menolaknya. Konon dia berkata:
“Tak ada kitab pada kami yang dapat kami bacakan kepada kamu kecuali apa yang ada dalam Quran. Dan apa yang ada dalam kitab itu kuterima dari Rasulullah, terdapat kewajiban-kewajiban sedekah.”
Akan tetapi ini tidak mengalangi para penyiar hadis itu melancarkan ceritanya, tidak mengalangi adanya golongan tertentu membuat-buar hadis karena sesuatu ambisi atau karena maksud-maksud baik dengan mengajak pula orang lain. Mereka menduga orang lain akan senang sekali menerimanya bila hadisnya itu dihubung-hubungkan kepada Rasulullah,
Sesudah keadaan Bani Umayya stabil, juru-juru hadis yang ada hubungannya dengan Keluarga Umayya itu berusaha melemahkan semua hadis tentang Ali bin Abi Talib dan jasa-jasanya. Sementara oleh pembela-pembela Ali dan keluarga Nabi hadis-hadis itu ditambah-tambah serta berusaha pula menyebarkannya dengan segala cara. Sebaliknya segala yang datang dari Aisyah Umm-I’Mu’minin oleh mereka dialang. alangi.
Yang aneh lagi dalam hal ini ialah apa yang diceritakan oleh Ibn “Asakir dari Abu Sa’d Ismail bin Muthanna al-Astrabadhi. Tatkala ia sedang berkhutbah di Damsyik, salah seorang yang hadir bertanya tentang hadis Nabi yang berbunyi: “Saya gudang ilmu dan Ali pintunya” Ismail menekur sebentar, lalu diangkatnya kepalanya seraya katanya: “Ya, tak ada yang mengetahui hadis ini dari Nabi, kecuali yang hidup pada masa permulaan Islam. Akan tetapi Nabi berkata: “Saya gudang ilmu, Abu Bakr fondasinya, Umar dindingnya, Usman atapnya dan Ali pintunya.” Dengan demikian para hadirin puas rasanya. Tetapi ketika diminta kepadanya supaya menerangkan sanadnya, ia merasa gusar sekali karena memang tidak mampu.
Begitulah hadis-hadis itu dipalsukan orang karena memang ada maksud zolitik atau kemauan-kemauan insidentit lainnya. Demikian banyaknya hadis-hadis palsu itu sehingga kaum Muslimin kemudian terkejut sekali, karena ternyata banyak pula yang tidak cocok dengan yang ada dalam Kitabullah. Usaha hendak menghentikannya pun sudah banyak pula dikerahkan pada zaman Umayya, tapi tidak juga berhasil.
Penghimpunan Hadis pada Masa Ma’mun
Bagaimanapun juga pada masa dinasti Abbasia dan Ma’mun yang berkuasa dua abad kemudian sesudah Nabi wafat, puluhan atau ratusan ribu hadis-hadis maudzu’ (buatan) itu sudah tersebar — di antaranya terdapat banyak yang lemah dan kontradiksi sekali, yang tidak diduga semula. Pada waktu itulah para penghimpun hadis dan penulis-penulis biografi Nabi juga menuliskan biografinya. Al-Wagidi, Ibn Hisyam dan Al-Mada’ini hidup dan menuliskan buku-buku itu pada masa Ma’mun. Baik mereka ini atau yang lain pada waktu itu, karena takut akibatnya, tidak ada yang berani menentang pendapat khalifah. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang harus mendapat penelitian mana kriterium yang menurut suatu sumber berasal dari Nabi a.s., yakni dengan mencocokkannya kepada Quran sebagaimana mestinya, tidak mereka pakai lagi, yaitu: mana-mana yang cocok dengan Quran, adalah dari Rasul dan yang tidak, bukan dari Rasul.
Sekiranya kriterium itu dipakai dengan penelitian sebagaimana mestinya, segala yang sudah ditulis oleh tokoh-tokoh itu niscaya akan berubah. Kritik ilmiah menurut metoda modern samasekali tidak berbeda dari kriterium ini. Akan tetapi situasi masa itu mengharuskan tokoh-tokoh tersebut menyesuaikan kriterium mereka itu untuk sesuatu golongan, sedang untuk golongan lain tidak pula demikian. Cara-cara ini dalam penulisan sejarah hidup Nabi oleh penulis-penulis kemudian telah diwarisi juga dari orang-orang dahulu, dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain dari pertimbangan mereka itu. Kalau orang mau berlaku jujur terhadap sejarah, tentu mereka menyesuaikan hadis itu dengan sejarah hidup Nabi, baik dalam garis besar, maupun dalam perinciannya, tanpa mengecualikan sumber lain, yang tiduk cocok dengan yang ada dalam Quran. Mana yang tidak sejalan dengan hukum alam dan tidak tersebut pula dalam Kitabullah tidak perlu mereka catat. Yang tidak sejalan dengan hukum alam itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah itu baru diperkuat dengan yang ada pada mereka, disertai pembuktian yang positif, dan mana-mana yang tak dapat dibuktikan seharusnya ditinggalkan.
Pendapat cara ini telah dijadikan pegangan oleh imam-imam terkemuka dari kalangan Muslimin dahulu, dan beberapa imam lain pun mengikuti mereka sampai sekarang. Syaikh Muhammad Mustafa alMaraghi dalam kata perkenalan buku ini menyebutkan: “Kekuatan mukjizat Muhammad s.a.w. hanyalah dalam Quran, dan mukjizat ini sungguh rasional adanya. Sajak Bushiri berikut ini memang indah sekali:
“Tidak juga sampai kita dicoba
Yang akan meletihkan akal karenanya
karena sayangnya kepada kita
Kita pun tak ragu, kita pun tak sangsi.”
Almarhum Sayid Muhammad Rasyid Ridza, Redaktur majalah Al Manar dalam menjawab kritik orang yang menentang buku kita ini menulis: “Kalangan Al-Azhar dan pengikut-pengikut tarikat yang paling keberatan terhadap Haekal sebagian besar mengenai mukjizat-mukjizat, dan hal-hal yang ajaib-ajaib di luar kebiasaan. Pada pasal dua bagian dua dan pasal lima dalam buku Al-Wahy’I-Muhammadi, dari segala segi dan persoalannya mengenai hal ini, ada saya tulis, bahwa hanya Quranlah satu, satunya pembuktian Tuhan yang positif khusus tentang kenabian Muhammad s.a.w. dan kenabian para Nabi yang lain. Ciri-ciri mereka zaman kita sekarang ini tak dapat dibuktikan tanpa kenyataan tersebut.
“Masalah-masalah alam gaib (supernatural) adalah masalah-masalah yang diragukan, bukan suatu pembuktian yang meyakinkan menurut para ahli. Hal tersebut terdapat juga pada zaman kita ini, dan terdapat juga pada setiap zaman. Mereka yang masih terpesona oleh masalah semacam itu, adalah orang-orang yang suka pada takhayul yang memang terdapat pada setiap aliran kepercayaan. Saya terangkan juga sebab timbulnya daya tarik itu serta perbedaan-perbedaan mana yang umumnya termasuk hukum alam, hukum rohani dan lain-lain.” (Majalah Al-Manar, 3 Mei 1935).
Syaikh Muhammad Abduh pada bagian pertama buku Al-Islam wan-Nashrania (Islam dan Kristen) menyebutkan: “Dengan adanya ajaran dan tuntutan terhadap keimanan kepada Allah dan keesaan-Nya, Islam tidak memerlukan apa-apa lagi selain pembuktian rasional dan pemikiran insani yang sejalan dengan ketentuan yang wajar. Orang tidak perlu bingung terhadap hal yang gaib, tidak perlu menutup mata terhadap kejadian-kejadian yang tidak biasa, tidak perlu membisu karena ada ledakan dari langit, dan pikiran kita pun jangan terputus karena pekikan yang membawa suara suci. Kaum Muslimin sudah sepakat — kecuali sejumlah kecil dengan pendapat yang tidak berarti – bahwa kepercayaan kepada Allah adalah mendahului kepercayaan kepada nabi-nabi. Tidak mungkin orang percaya kepada rasul-rasul, sebelum ia beriman kepada Allah, sedang beriman kepada Aliah melalui ucapan para rasul atau melalui kitab-kitab suci, tidak dibenarkan. Sungguh tidak masuk akal Orang akan percaya kepada adanya kitab yang diturunkan Allah, jika sebelum itu kita tidak percaya akan adanya Allah. Maka Dialah yang harus menurunkan kitab dan mengutus rasul.”
Cerita-cerita Tidak Masuk Akal dan Tidak Ilmiah
Saya kira mereka yang pernah menulis sejarah hidup Nabi akan lebih condong pada pandangan semacam ini, kalau tidak karena situasi pada masa mereka dahulu dan kalau tidak karena dugaan mereka yang datang kemudian bahwa dengan menyebutkan peristiwa-peristiwa gaib dan mukjizat-mukjizat yang tidak terdapat dalam Quran itu akan menanamkan rasa keimanan dalam hati orang lebih dalam lagi. Oleh karena itu mereka menduga pula, bahwa dengan menyebutkan mukjizat-mukjizat itu akan berguna sekali, dan tidak akan merugikan. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini dan menyaksikan betapa musuh-musuh Islam itu mempergunakan apa yang mereka sebutkan itu sebagai argumen mereka menghantam Islam dan umat Islam, niscaya mereka akan berpegang pada apa yang ada dalam Quran, mereka akan berkata seperti Imam Ghazali, Muhammad Abduh, Maraghi dan pemuka-pemuka lain yang cukup teliti. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini, dan menyaksikan betapa cerita-cerita demikian itu menyesatkan hati dan kepercayaan orang — bukan sebaliknya, menanamkan dan menguatkan iman — niscaya cukuplah mereka menyebutkan saja ayat-ayat Quran yang begitu jelas dengan dalil-dalil yang memang sudah tak dapat dibantah lagi.
Adapun dari segi yang merugikan cerita-cerita yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula ilmiah itu sudah jadi jelas sekali: bagi setiap orang yang mau menggarap masalah-masalah serupa ini hendaknya selalu berpegang pada segi ketelitian ilmiah dalam mengadakan pengujian, demi pengabdiannya kepada kebenaran, kepada Islam dan kepada sejarah Nabi. Kebenaran-kebenaran yang diungkapkan oleh hasil penyelidikan dalam sejarah yang besar ini, adalah sebagai penyuluh yang akan membawa umat manusia kepada peradaban yang sebenarnya.
Quran dan Mukjizat
Kalau beberapa masalah yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis kita perbandingkan dengan apa yang terdapat dalam Quran, tentu tak bisa lain kita akan menerima pendapatpendapat para imam yang sangat teliti itu. Pada waktu itu penduduk Mekah minta kepada Nabi berbangsa Arab itu supaya Tuhan menurunkan mukjizat-mukjizat kepadanya, kalau ia ingin supaya mereka mempercayainya. Maka Quran datang menyebutkan apa yang mereka minta itu dan menolaknya dengan beberapa argumen:
“Dan kata mereka: “Kami takkan percaya kepadamu, sebelum kau pancarkan mata air untuk kami dari bumi ini. Atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, dan di tengah-tengahnya memancar sungai-sungai yang deras mengalir. Atau seperti kau terangkan kepada kami kau jatuhkan langit berkeping-keping. Atau kau datangkan Tuhan dan malaikat-malaikat itu berhadap-hadapan dengan kami. Atau engkau mempunyai sebuah mahligai berhiaskan emas. Atau engkau naik ke langit, dan kenaikanmu itu tidak akan kami percayai, sebelum kau bawakan sebuah kitab kepada kami yang akan kami baca?” Ya, katakan: Maha Sucj Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?
“Mereka bersumpah sungguh-sungguh demi Allah, bahwa jika sebuah tanda (mukjizat) dibuktikan kepada mereka, niscaya mereka akan mem, percayainya. Katakan: tanda-tanda itu hanya ada pada Allah. Tapi, sadarkah kamu, bahwa kalaupun itu dibuktikan, mereka tidak juga akan percaya? Juga akan Kami balikkan jantung dan pandangan mata mereka: karena tidak mempercayainya pada pertama kali. Dan akan Kami biarkar mereka mengembara membawa durhaka. Kalaupun Kami kirimkan malaikat-malaikat kepada mereka dan mayat-mayat pun mengajak mereka bicara, lalu segalanya Kami kumpulkan di depan hidung mereka, tidak juga mereka akan mau beriman, kecuali bila Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti.”?
Di dalam Quran tidak ada disebutkan sesuatu mukjizat yang oleh Allah dimaksudkan supaya segenap manusia — menurut zamannya masing. masing — mempercayai kerasulan Muhammad, selain daripada Quran, Padahal, beberapa mukjizat disebutkan dengan izin Allah terhadap para rasul yang datang sebelum Muhammad sama halnya seperti apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada Muhammad serta dari percakapan yang ditujukan kepadanya. Apa yang tersebut dalam Quran tentang Muhammad, samasekali tidak bertentangan dengan hukum alam. Mukjizat Terbesar
Kalau memang sudah itu yang digariskan oleh Quran dan begitu pula yang terjadi terhadap diri Rasulullah, apa lagi yang mendorong setengah kaum Muslimin — baik pada masa dahulu ataupun sekarang — menerapkan mukjizat-mukjizat kepada Nabi? Mereka terdorong demikian, karena mereka membaca dalam Quran adanya mukjizat-mukjizat pada para rasul sebelum Muhammad. Lalu mereka berkeyakinan, bahwa keajaibankeajaiban materi (mukjizat-mukjizat) semacam itu perlu juga melengkapi kerasulan Muhammad. Mereka lalu percaya tentang itu sekalipun dalam Quran tidak disebutkan. Mereka pun menduga, bahwa makin banyak jumlah mukjizat-mukjizat itu, akan makin kuat membuktikan kedudukan Nabi, akan makin besar pula merangsang orang beriman kepada kerasulan itu. Memperbandingkan Nabi dengan para rasul yang sebelumnya, ada perbedaannya. Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir. Sekalipun begitu dia adalah Rasul pertama diutus Allah kepada seluruh umat manusia — bukan diutus hanya kepada bangsanya saja — supaya memberi penerangan.
Oleh karena itu Allah menghendaki supaya mukjizat Muhammad itu adalah mukjizat insani yang rasional, yang masuk akal, yang takkan dapat ditiru, baik oleh manusia maupun jin, sekalipun mereka satu sama lain saling membantu. Mukjizat itu ialah Quran. Ini adalah mukjizat terbesar yang pernah diberikan Allah. Dengan itu Tuhan menghendaki akan memperkuat kerasulan Nabi-Nya itu dengan argumen yang jelas dan dalil yang tak dapat dibantah. Ia menghendaki — dengan itu — agar agama ini mendapat kemenangan pada masa hidup Rasul, supaya dalam kemenangan itu orang melihat kemahakuasaan-Nya. Kalau Tuhan menghendaki adanya mukjizat yang akan membuat mereka yang hidup pada masa Nabi merasa puas, tentu itu akan disebutkan dalam Quran. Tapi ada orang yang tidak mau percaya kalau tidak dibuktikan dengan akal. Karena itu maka ayat yang akan meyakinkan seluruh umat manusia akan kerasulan Muhammad itu ialah yang dekat sekali hubungannya dengan jantung dan pikiran mereka. Maka Allah telah memperlihatkan itu dalam bentuk Quran, sebagai argumen yang paling nyata dan sebagai mukjizat kepada mereka dari Nabi yang umrmni itu. Ia memperlihatkan kemenangan agama dan kekuatan iman kepadanya itu dengan melalui dalil dan keyakinan yang positif. Agama yang dibangun atas dasar inilah yang lebih kuat menanamkan iman ke dalam hati umat manusia sepanjang zaman, kepada pelbagai bangsa dan aneka macam bahasa.
Iman Menurut Pemuka-pemuka Islam
Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman kepada agama ini sekarang, dan sebagai argumennya supaya ia yakin dan percaya, tidak ada sesuatu mukjizat lain daripada Quran, niscaya itu tidak akan mengurangi imannya, juga tidak akan pula kurang Islamnya. Selama wahyu itu memang bukan bertugas membawa mukjizat-mukjizat semacam itu, tak ada salahnya apabila orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya itu mau menguji lagi segala yang mengenai mukjizat, yang ada hubungannya dengan wahyu itu. Mana yang dapat dibuktikan dengan alasan positif dapat saja diterima, dan mana yang tak dapat dibuktikan, terserah pada pendapatnya sendiri. Ia pun tidak salah. Beriman kepada Allah yang tunggal tiada bersekutu memang memerlukan suatu mukjizat, dan untuk itu cukup dengan merenungkan alam semesta yang telah diciptakan Allah. Begitu juga, sebagai bukti kerasulan Muhammad, yang dengan perintah Tuhan mengajak manusia beriman serta menyelamatkan mereka agar jangan berpaling hati, juga tidak memerlukan sesuatu mukjizat selain Quran: tidak diperlukan lebih Yaripada membacakan Kitab Suci yang telah diwahyukan Allah kepadanya ltu.
Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman kepada agama ini sekarang, dan untuk meyakinkan itu tidak diperlukan Sesuatu mukjizat lain daripada Quran, niscaya orang yang pernah beriman itu akan terdiri dari dua macam: pertama orang yang sudah tidak tergoyahkan lagi hatinya: sejak pertama kali ia mendapat ajakan, hatinya Sudah terbuka menerima iman, seperti halnya yang terjadi dengan Aby Bakr. Ia beriman dan percaya tanpa ragu-ragu lagi. Yang kedua, Orang yang untuk imannya itu sudah tidak perlu lagi mencari mukjizat-mukjizar lain dari pihak hukum alam, melainkan dicarinya di dalam penciptaan alam yang luas ini. Jangkauan persepsi kita terbatas sekali. Perbatasan alam dalam arti ruang dan waktu, tak dapat kita tangkap. Sungguhpun demikian ketentuan-ketentuan itu berjalan menurut hukum yang tidak berubah-ubah dan tidak pula bertukar-tukar. Melalui undang-undang Tuhan yang ada dalam alam ini ia akan terbimbing sampai kepada Penciptanya.
Buat dua macam golongan ini sama saja: baik dengan mukjizat atau tidak. Bahkan keduanya tak pernah memikirkan tentang mukjizat. mukjizat itu selain daripada, bahwa itu adalah bukti karunia Tuhan. Iman yang semacam inilah yang menurut pendapat bilangan besar pemuka. pemuka Muslimin sebagai bentuk iman yang tertinggi. Yang sebagian lagi berpendapat, bahwa sumber iman yang sejati seharusnya jangan karena takut kepada siksa Allah atau karena mengharapkan pahalaNya, melain. kan harus iman itu semata-mata karena Allah serta fana total ke dalam Ego Tuhan. Kepada-Nyalah semua persoalan itu akan kembali. Kita adalah kepunyaan Allah dan kepada-Nya pula kita kembali. Orang-orang Mukmin pada Masa Nabi
Orang-orang sekarang yang sudah beriman, mereka beriman kepada Allah dan Rasul tanpa didorong oleh adanya mukjizat-mukjizat, sama halnya seperti mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul itu pada masa hidup Nabi. Sejarah tidak menyebutkan, bahwa mukjizat-mukjizat Itu pernah membuat orang jadi beriman. Malah bukti mukjizat Tuhan terbesar ialah wahyu yang diturunkan melalui Nabi-Nya, dan peri hidup Nabi sendiri dengan akhlaknya yang begitu tinggi, itulah yang mengajak orang jadi beriman. Semua buku sejarah hidupnya menyebutkan bahwa ada segolongan orang yang sudah beriman kepada kerasulan Muhammad sebelum Isra telah jadi murtad dari imannya tatkala Nabi menyebutkan, bahwa Tuhan telah memperjalankannya pada malam hari dari Mesjid Suci ke Mesjid Aqsha. Tatkala mengejar Muhammad yang sedang hijrah ke pedulikan kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apa pun — seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota — selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.
Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan ketidakadilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau melawannya matimatian, dan kalau tidak dapat melawan, ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.
Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akari makin hilang apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.
Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidakkan taat kepada peraturan apa pun yang berlaku atau kepada lembaga apa pun yang berkuasa.
Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang kecilkecil yang tumbuh di sekitar jazirah karena adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan mara bahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka selamat sampai di tempat tujuan.
Kota-kota seperti Mekah, Ta’if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian itu. Dalam Susunan kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat Serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, Sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang menetap, yang “Adakah air itu kamu jamah? Jawab mereka: Ya. Lalu Nabi s.a.y, memarahi mereka dan dikata-katakannya mereka itu.” |
Katanya: Lalu mereka menciduk mata air itu dengan tangan mereka sedikit-sedikit sampai dapat ditampung dalam sebuah tempat. Katanya: Rasulullah s.a.w. lalu mencuci kedua tangan dan mukanya dengan itu. Kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya. Maka mata air itu pun lalu memercikkan air berlimpah-limpah — atau katanya deras — Abu Ali sangsi yang mana yang dikatakan — sehingga orang-orang pun mendapatkan air itu. Kemudian katanya:
“Mu’adh, kalau kau masih akan panjang umur kau akan melihat di sini penuh dengan kebun-kebun.”!
Sedang buku-buku sejarah hidup Nabi menceritakan kisah Tabuk itu lain lagi gambarannya. Dalam cerita itu soal mukjizat tidak disebut-sebutkan. Tapi ceritanya berjalan lain sekali, tidak sama dengan yang terdapat dalam Shahih Muslim. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Ibn Hisyam dengan menyebutkan:
“Ibn Ishaq mengatakan: Sesudah tiba waktu pagi dan air tidak ada, mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w. berdoa. Maka Allah mengirimkan awan dan hujan pun turut. Orang-orang dapat minum dan dapat membawa air menurut keperluan mereka. Ibn Ishaq mengatakan: Maka “Ashim b. Umar b. Qatada menceritakan kepada saya, lewat Mahmud b. Labid melalui orang-orang dari Banu Abd’1 Asyhal, mengatakan, kataku kepada Mahmud: Adakah di antara orang-orang itu yang sudah dapat membeda-bedakan saudara, bapa, paman dan keluarganya. Lalu kata Mahmud lagi: Beberapa orang dari golongan saya mengatakan tentang adanya orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya. Ia selalu pergi bersama Rasulullah s.a.w. ke mana saja. Demikian juga mengenai soal air di Hijr dan mengenai Rasulullah s.a.w. yang berdoa, sehingga Allah mengirimkan awan, dan turunnya air hujan. Orang-orang dapat minum. Kata mereka kami mendatanginya seraya mengatakan: Apalagi sesudah itu!? Katanya: Awan lalu.”
Adanya perbedaan ini di mata ilmu pengetahuan sebenarnya tidak mudah untuk dapat dipastikan. Orang yang mau menguji ini jangan hanya berpegang pada pendapat yang lebih besar dan berpengaruh saja dengan dua macam sumber yang berlain-lainan, yang satu tak dapat menguatkan, yang lain tak dapat pula membantah. Apabila mereka memang tak dapat menguatkan sumber itu, paling kurang mendiamkannya. Jika nanti ada orang lain yang menemukan bukti-bukti positif, sudahlah, kalau tidak, dalam arti ilmiah ia tetap belum dapat dipastikan.
Metoda Saya dalam Penyelidikan ini
Inilah metoda yang saya pakai dari semula, ketika saya mengadakan penyelidikan mengenai peri hidup Muhammad pembawa risalah Islam ini. Sejak terniat oleh saya akan membuat karangan ini, memang yang saya kehendaki ialah suatu studi ilmiah sesuai dengan metoda ilmu pengetahuan sekarang, demi kebenaran semata-mata. Itu jugalah yang saya sebutkan dalam prakata buku ini, dan yang menjadi harapan saya pada penutup cetakan pertama buku ini. Mudah-mudahan maksud saya itu dapat terlaksana dan usaha ini pun sudah merupakan suatu penyelidikan ilmiah demi kebenaran ilmiah semata. Saya harapkan dengan ini bahwa saya telah merintis jalan ke arah penyelidikan-penyelidikan dalam bidang yang sama dengan lebih luas dan dalam, meliputi masalah-masalah psikologi dan spiritual, yang pada dasarnya akan mengantarkan umat manusia kepada peradaban modern yang sama-sama kita cari itu. Saya yakin bahwa dengan mendalami penyelidikan demikian ini, rahasiarahasia akan banyak diketemukan orang, suatu hal yang pada mulanya diduga tak ada jalan bagi iimu pengetahuan akan dapat mengungkapkannya. Tetapi kemudian ternyata, penyelidikan-penyelidikan psikologi dalam hal ini dapat memberikan analisa dan menjelaskan sejelas-jelasnya kepada segenap kaum cendekiawan. Rahasia-rahasia alam semesta dalam arti spiritual dan psikologis itu makin dikenal oleh umat manusia, hubungannya dengan alam pun akan makin erat, dan akan bertambah pula ia merasa bahagia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih tersembunyi, seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudian pun diketahui orang pula.
Oleh karena itu, setiap orang yang mau menggarap penyelidikan seperti ini, seharusnya itu ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya kepada kaum Muslimin saja. Tujuan pekerjaan ini pun sebenarnya tidak bersifat agama semata-mata — seperti mungkin ada yang menduganya demikian — melainkan tujuan sebenarnya ialah agar umat Manusia mengenal bagaimana ia harus menempuh jalan yang akan mengantarkan, nya kepada hidup yang lebih sempurna, yang oleh Muhammad sudah ditunjukkan jalannya kepada kita. Guna memahami tujuan itu memang tidak mudah, bila orang bclum mendapatkan jalan ini dengan hati terbuka dengan dada yang lapang. Sumber daripada ini semua ialah pengetahuan dan ilmu yang sebenarnya. Pemikiran yang tidak dilandasi oleh pengeta, huan, tidak didasarkan kepada metoda-metoda ilmiah, sering akan membawa hasil yang salah dan meleset. Karena itu malah jauh dari tujuan sebenarnya. Kodrat kita sebagai manusia akan membuat pemikiran kita besar sekali terpengaruh oleh temperamen (watak) kita sendiri. Sering juga mereka yang bersamaan ilmunya berbeda-beda pula pemikirannya Tidak lain sebabnya ialah karena adanya perbedaan temperamen itu sekalipun dalam mencapai maksud dan tujuan mereka sama jujur. Ada orang yang temperamennya tinggi, pemikirannya tajam, cepat bereaksi Ada pula yang punya kecenderungan sufi, bawaannya stoik (tenang), menjauhi segala yang bersifat kebendaan serta pengaruhnya. Ada juga yang punya kecenderungan materialistik yang begitu besar, terpengaruh oleh segi materialismanya saja, sehingga tak dapat lagi ia memikirkan adanya tenaga-tenaga lain yang dapat dirasakan, yang ada di sekitarnya, yang sebenarnya menguasai benda (materi) itu.
Di samping itu banyak lagi yang lain. Karena temperamen mereka yang berbeda-beda, maka berbeda pula pandangan dan penilaian mereka terhadap sesuatu. Dalam bidang kulturil dan kehidupan praktis, perbeda. an ini merupakan suatu kenikmatan besar bagi umat manusia, tapi dalam bidang ilmu dan nilai-nilai hidup yang lebih tinggi, yang hendak mencari kebaikan bagi seluruh umat manusia, hal ini merupakan suatu bencana. Tujuan studi sejarah hendaknya mencari nilai-nilai yang lebih tinggi dari hakekat hidup itu, dan hendaknya dapat pula menghindari pengaruhpengaruh emosi dan temperamen itu. Tak ada jalan lain dalam menghindarkan diri dari hal semacam itu kecuali bila orang benar-benar mau disiplin terhadap metoda ilmiah, dan jangan pula ilmu dan pembahasan ilmiah tentang sejarah atau bukan tentang sejarah itu hanya sebagai alat guna memperkuat nafsu dan tingkah laku sendiri. Penyelidikan-penyelidikan Para Orientalis
Dari kalangan Orientalis yang dalam penyelidikan mereka disusun dalam pola ilmiah itu, masih banyak yang terpengaruh oleh tingkah laku dan temperamen demikian itu, juga tidak sedikit dari kalangan penulispenulis Muslimin sendiri yang demikian. Dan anehnya, kedua mereka itu masing-masing mengikuti apa yang enak saja menurut selera dan kecenderungan mereka sendiri — dengan mengambil peristiwa-peristiwa yang dipakainya sebagai dasar penulisan mereka, yang katanya ilmiah, dengan maksud demi kebenaran. Dalam pada itu ia masih terpengaruh sekali oleh temperamen dan kecenderungan nafsunya sendiri. Sebagai bukti, bagaimanapun mereka masing-masing berusaha secara jujur dan teliti mau menguji satu sama lain tentang apa yang mereka tulis, namun pasti yang terbayang depan mata mereka, ialah peristiwa-peristiwa yang diciptakan oleh khayal mereka sendiri juga.
Sekiranya orang mau berusaha menurut kemampuannya, melepaskan diri dari hawa nafsu, dan berpegang hanya pada cara-cara ilmiah saja, tentu tulisan demikian itu akan lebih kuat berpengaruh dalam jiwa, tidak seperti tulisan yang dipengaruhi oleh nafsu belaka. Saya sudah mencoba seperlunya menerangkan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan itu masingmasing — dalam pengantar cetakan kedua ini — seringkas mungkin, disesuaikan dengan tempat yang ada ini pula. Mudah-mudahan berhasil juga kiranya saya mencari kejujuran yang dimaksud itu.
Memang tidak mudah bagi kaum Orientalis itu dalam menyelidiki masalah-masalah Islam demikian atau mengadakan penelitian dengan bersikap jujur, betapa pun mereka mau berniat baik dan bersikap bebas dalam penelitian ilmiah itu. Tidak mudah bagi mereka menguasai semua seluk-beluk bahasa Arab sekalipun ilmu bahasa itu sudah mereka kuasai. Ditambah lagi mereka masih terpengaruh oleh cara hidup Kristen Eropa demikian rupa, sehingga kebanyakan mereka memandang agama-agama itu dengan pandangan penuh prasangka pula, sedang sebagian kecil lagi, yang masih memegang ajaran Kristennya, terpengaruh pula oleh adanya pertentangan agama Kristen dengan ilmu pengetahuan. Maka dalam penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Islam, mereka pun lalu terpengaruh seperti dalam penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Kristen atau tentang agama pada umumnya. Maksud saya ialah terpengaruh oleh pertentangan yang merusak. Bagi kaum Orientalis yang jujur ini bukan suatu hal yang tercela. Tak ada orang yang dapat membebaskan diri dari ketentuan-ketentuan lingkungannya sesuai dengan tempat dan waktu.
Akan tetapi, penyelidikan-penyelidikan mereka dalam masalah-masalah Islam masih diliputi oleh kabut purbasangka, yang jauh dari kebenaran. Karena itu juga, beban yang berat dan penting itu, hendaknya dipikulkan ke atas bahu para cendekiawan dari kalangan dunia Islam sendiri, baik yang aktif dalam ilmu agama atau dalam bidang ilmu lainnya, yakni beban melakukan pembahasan-pembahasan mengenai Islam secara teliti dan jujur, dalam lingkungan metoda yang ilmiah. Kalau mereka melakukan itu, dengan bantuan pengetahuan mereka mengenai selukbeluk bahasa Arab dan kehidupan orang Arab, maka penyelidikan mereka ini akan ada artinya sehingga akan membuat Orientalis-orientalis itu — atau sekurang-kurangnya sebagian dari mereka — meninjau kembali sebagian besar pendapat mereka itu. Mereka akan dapat diyakinkan dengan hasi yang diperoleh oleh kaum cendekiawan Islam itu dengan rasa puas dan senang hati.
Kaum Muslimin dan Penyelidikan
Untuk mencapai hasil demikian ini pun bukan soal yang mudah. la memerlukan kesabaran dan kegigihan dalam penyelidikan itu, perly mengadakan perbandingan dan pemikiran yang bebas. Tapi itu bukan suatu hal yang tidak mungkin, juga bukan soal yang terlalu sulit Sungguhpun begitu ini adalah soal penting sekali dan akan besar pula pengaruhnya bagi hari kemudian Islam dan hari kemudian seluruh umar manusia.
Menurut hemat saya, melakukan pekerjaan ini sebaiknya harus dibedakan dulu antara dua perioda yang berlain-lainan dalam sejarah Islam: Yang pertama, dari permulaan Islam hingga terbunuhnya Usman. Yang kedua, dari terbunuhnya Usman hingga tertutupnya pintu ijtihad Pada perioda pertama kaum Muslimin masih sepenuhnya kompak, belum dirusak oleh cerita-cerita perbedaan tentang khilafat, juga tidak oleh perang Ridda atau oleh penaklukan kaum Muslimin atas beberapa daerah yang sudah mereka kuasai.
Tetapi sesudah Usman terbunuh, perselisihan di kalangan kaum Muslimin mulai berjangkit. Perang saudara antara Ali dan Muawiyah pecah dan pemberontakan-pemberontakan terus berkecamuk, kadang terang-terangan, kadang dengan sembunyi-sembunyi. Ambisi politik telah memegang peranan penting dalam kehidupan agama. Guna menilai adanya kontradiksi itu, dapatlah orang membandingkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pidato Abu Bakr sesudah pelantikannya (sebagai khalifah) tatkala ia berkata: “Kemudian, saudara-saudara. Saya sudah dijadikan penguasa atas kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku tidak baik, luruskanlah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta adalah pengkhianatan. Orang lemah di kalangan kamu adalah kuat sesudah haknya nanti saya berikan kepadanya insya Allah, dan yang kuat bagi saya adalah lemah sesudah haknya itu nanti saya ambil, insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tapi apabila saya membangkang terhadap (perintah) Allah dan Rasul, maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian”, — dengan pidato Mansur dari Banu Abbas, yang sesudah ia mencapai puncak mahligainya mengatakan: “Saudara-saudara, saya adalah penguasa kamu dengan anugerah dan dukungan-Nya. Saya adalah pengawal harta-Nya. Saya melaksanakan ini atas kehendak-Nya dan keinginan-Nya, memberikan harta atas perkenanNya. Allah telah menjadikan saya sebagai kunci. Kalau dikehendaki-Nya akan dibuka, maka dibuka-Nyalah saya, supaya dapat memberikan dan membagi-bagi rezeki kamu. Kalau Ia menghendaki menutup saya, maka ditutup-Nyalah saya……”
Biarlah orang membandingkan sendiri kedua macam pidato itu supaya dapat melihat perubahan yang begitu besar atas prinsip-prinsip kehidupan Islam selama masa kurang dari dua abad, suatu perubahan yang mengalihkan cara musyawarah kaum Muslimin, kepada kekuasaan mutlak yang diambil atas nama hak suci itu.
Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang sampai membawa akibat perubahan dasar-dasar hukum, adalah kenyataan yang telah menyebabkan kedaulatan Islam kemudian menjadi lemah dan mundur. Di samping berkembangnya Islam dan peradaban Islam selama dua abad berturut-turut sesudah terbunuhnya Usman, di samping adanya kegiatan Islam memasuki beberapa kerajaan, menaklukkan raja-raja di bawah Mongolia dan Saljuk — sesudah yang pertama mengalami kehancuran — maka perioda pertama yan, berakhir dengan terbunuhnya Usman, adalah perioda yang telah membina prinsip-prinsip yang sebenarnya dalam kehidupan Islam pada umumnya. Hanya ini yang boleh dijadikan pegangan yang pasti dan positif akan segala yang telah terjadi itu supaya orang mengetahui prinsip-prinsip yang sebenarnya.
Adapun sesudah perioda itu, di samping adanya perkembangan ilmu dan pengetahuan pada masa dinasti Umayya — lebih-lebih pada masa dinasti Abbasia, tangan-tangan kotor sudah mulai menodai prinsip-prinsip pokok yang sebenarnya itu, untuk kemudian diganti dengan ajaran-ajaran yang sering sekali bertentangan dengan jiwa Islam, dan kebanyakannya malah untuk maksud-maksud politik syu’ubia’ (rasialisma).
Adanya orang-orang asing, orang-orang Yahudi dan Nasrani yang pura-pura masuk Islam, mereka itulah pula yang turut menyebarkan caracara baru itu, mereka tidak ragu-ragu turut mendorong diciptakannya hadis-hadis yang dihubung-hubungkan kepada Nabi ‘alaihissalam,. atau mendakwakan sesuatu kepada para khalifah yang mula-mula, yang memang tidak sesuai dengan sejarah hidup dan sifat-sifat mereka itu.
Apa yang ditulis orang mengenai perioda belakangan ini, tidak dapat dijadikan pegangan secara ilmiah tanpa mengadakan penelitian kembali dan kritik yang benar-benar mendalam dengan tidak dipengaruhi oleh nafsu atau kecenderungan-kecenderungan pribadi. Yang pertama Sekai perlu kita lakukan ialah menolak segala yang bersifat kontradiksi dan tidak sesuai dengan Quran, meskipun tumbuhnya kontradiksi itu dihubung. hubungkan kepada Nabi. Yang boleh dipercaya dari apa yang langsung diceritakan dan dapat juga dipakai sebagai dasar menguji yang datang kemudian, ialah masa permulaan Islam sampai waktu terbunuhnya khalifah yang ketiga. Saya kira, kalau semua ini kita lakukan dengan segala ketelitian ilmiah, kita akan dapat memberikan suatu lukisan yang sebenarnya tentang ajaran Islam yang murni, dan dari kehidupan Islam yang pertama pula, yakni kehidupan intelektual dan spiritual yang begitu kuat dan luhur, sehingga membuat -Arab pedalaman dari jazirah itu dalam waktu beberapa puluh tahun saja dapat tersebar di muka bumi ini, guna menegakkan — dalam pelbagai negara — dasar-dasar peri kemanusiaan yang paling luhur yang pernah dikenal sejarah. Kalau dalam hal ini kita berhasil, kepada umat manusia tentu kita akan dapat mengungkapkan suatu ufuk baru yang akan mengantarkan kita sampai dapat mengetahui seluk-beluk alam dalam arti psikologis dan spiritual, dan dengan mengetahui ini, akan makin erat pula hubungan itu dan akan membawa kenikmatan dan kebahagiaan hidup bagi umat manusia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih tersembunyi seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudian pun diketahui Orang pula.
Kalau dalam hal ini kita berhasil, tentu itu adalah jasa Islam terhadap umat manusia sekarang, seperti yang juga sudah terjadi pada permulaan sejarah Islam dahulu, tatkala orang-orang Arab keluar dari lingkungan jazirahnya, keluar menyebarkan prinsip-prinsip Islam yang luhur ke seluruh dunia.
Langkah pertama yang perlu kita lakukan dalam hal ini —dalam mengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan — ialah benar-benar mendalami studi tentang sejarah hidup Nabi, sehingga dapat membukakan jalan bagi umat manusia ke arah peradaban yang selama ini menjadi citacitanya. Dalam melakukan studi ini Quran adalah sumber yang paling Otentik, sebagai kitab yang tidak akan membawa kepalsuan dan tidak pula dicampur dengan segala hal yang masih meragukan. Kitab yang selama tiga belas abad ini tetap dan akan tetap terus demikian selama hidup manusia, sebagai suatu mukjizat sejarah dalam kemurnian teksnya, sebagaimana sudah dikuatkan oleh firman Allah: “Kami yang telah memberikan Quran ini dan Kami pula yang menjaganya.”’ Seperti sejak dahulu juga, ia akan tetap sebagai mukjizat Muhammad yang hidup, sejak diwahyukan Allah kepadanya sampai berakhirnya dunia dengan segala isinya ini. Segala yang berhubungan dengan sejarah hidup Muhammad harus dihadapkan kepada Quran, mana yang cocok itu adalah benar, dan mana yang tidak cocok samasekali tidak benar.
Dalam studi permulaan ini, memang ke arah itu yang saya usahakan, sekuat kemampuan saya. Sesudah selesai cetakan pertama buku ini saya tinjau kembali, saya bersyukur kepada Allah atas taufik-Nya itu. Saya pun berharap semoga Tuhan akan memberi petunjuk dan pertolongan serta membukakan jalan bagi barangsiapa yang akan meneruskan studi demikian ini secara ilmiah dengan lebih mendalam lagi.
Tuhan, kepada-Mu juga kami mempercayakan diri, kepada-Mu juga kami kembali dan kepada-Mu juga kesudahan segala ini.
CETAKAN ketiga ini tidak berbeda dengan cetakan kedua, kecuali ada beberapa kata yang diganti atau dikorcksi untuk menambah akurasi menurut selera bahasa Arab, atau supaya lebih jelas pada yang dimaksug Itu pun hanya sedikit saja adanya, hampir-hampir tidak terasa, kecuali jik, orang hendak mengadakan perbandingan kata demi kata dalam kedua macam cetakan ini. Dan orang yang akan merepotkan diri dengar pekerjaan semacam ini pun tentu takkan ada gunanya juga.
Kalaupun dalam cetakan ketiga ini saya tidak melakukan sesuatu revisi atau tambahan-tambahan, bukanlah karena merasa bahwa sesudah cetakan kedua buku ini sudah sempurna. Saya masih tetap mengulangi apa yang sudah saya katakan dalam pengantar cetakan pertama, bahwa buky ini tidak lepas dari sifatnya sebagai suatu studi permulaan dalam kedudukannya yang begitu penting dari segi ilmu pengetahuan Islam, Akan tetapi, karena yang berhubungan dengan masalah ini sudah banyak saya uraikan dalam buku saya Fi Manzil’I-Wahy (“Di Lembah Wahyu”) segera sesudah saya melakukan ibadah haji serta pada perjalanan saya mengikuti jejak Rasul di Hijaz dan Tihama, rasanya sudah tidak perlu saya meringkaskan lagi di sini apa yang sudah saya bentangkan dalam buku tersebut.
Kemudian lagi, sesudah “Di Lembah Wahyu” itu terbit, saya pun sibuk meneruskan studi tentang peri hidup Rasul dan ajaran-ajarannya, tentang sejarah hidup sahabat-sahabat dan pengganti-penggantinya, yang kemudian menyebabkan saya selama delapan tahun belakangan ini sibuk sekali. Saya belum mendapat kesempatan dan waktu yang cukup guna menguraikan lebih luas apa yang sudah saya ringkaskan pada penutup cetakan kedua ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya juga sehingga nanti saya kembali membuat uraian dalam sebuah buku tersendiri. Saya kira pembaca pun akan menyertai saya dengan doa ini, sesudah selesai membaca dua buah pembahasan yang menyertai penutup buku ini.
Saya merasa bahagia sekali akan menyudahi kata pengantar cetakan ketiga ini dengan rasa syukur kepada Allah atas sambutan dan penghargaan yang diberikan orang yang telah membaca buku ini, baik dari kalangan Islam atau non-Islam, serta atas segala isyarat yang disebutkan oleh beberapa penulis dan pengarang, di Timur atau di Barat, baik dalam kata pengantar atau dalam isi buku-buku itu. Besar sekali harapan saya, semoga Tuhan memberikan keringanan bagi mereka yang mengikuti studi ini serta yang mau mengabdi sungguh-sungguh kepada kebenaran, sampai mencapai tujuan.
Sumber Peradaban Pertama — Laut Tengah dan Laut Merah – Agama-agama Kristen dan Majusi — Bizantium Pewaris Rumawi — Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya — Majusi Persia di Jazirah Arab — Antara Dua Kekuatan — Tidak Dikenal, Selain Yaman — Lalu Lintas Kafilah —Yaman dan Peradabannya – Judaisma dan Kristen di Yaman — Hancurnya Bendungan Marrib — Susunan Masyarakat Jazirah Arab — Paganisma Arab dan Sebab-sebabnya — Kristen dan Judaisma — Tersebarnya Paganisma — Peranan Berhala — Kedudukan Mekah
Sumber Peradaban Pertama
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang ke dalam kategori prasejarah. Oleh karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya?
Apa pun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama – baik di Mesir, Funisia atau Asiria — ada hubungannya dengan Laut Tengah, dan bahwa Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.
Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikan,, tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi pengaruh yang terhadap pengembangan peradaban-peradaban Firaun, Asiria at Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan per adaban-peradaban tersebut. Hal ini baru terjadi sesudah ada akultura dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses Salin pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah demikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.
Laut Tengah dan Laut Merah
Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai saat ini perkembangan, nya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dap teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dap pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan day penjelmaan hidup kembali di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera: demikian sesudah itu timbu perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah mengantarkannya ke dalam ke. hidupan duniawi. Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia, yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini, sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.
Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam. Setelah datang izin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berlaku kepada rakyatnya: “Akulah tuhanmu yang tertinggi”, ia pun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa. Ruh dan firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putra Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua yang berada di bawah panji kerajaan Rumawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu.
Agama-agama Kristen dan Majusi
Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya masingmasing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.
Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Rumawi Salib itu pun diambilnya kembali dari tangan Persia.
Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama Pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan. Bizantium Pewaris Rurnawi
Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin meruncing Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa sampai ke Gau dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisah, kan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris kerajaan Rumawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ke. takutan di bawah kekuasaan Vandal itu. Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya
Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah. Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan dasardasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masebi itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad di samping bayangan yang tampak pada manusia, ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya, dan di samping itu ada pula yang mau menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sesudah melahirkan Almasih.
Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja.
Salah seorang pendeta gereja berkata: “Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan tentang apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan dijawabnya: Bapa lebih besar dari putra dan putra tunduk kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab: “Putra telah diciptakan dari yang tak ada.”
Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah ke dalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh. Golongan-golongan itu pun tetap hidup di bawah naungannya dengan tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang melibatkan diri ke dalam polemik teologi atau sampai memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan yang lain. Dan kerajaan pun telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang berkuasa itu.
Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir di bawah Rumawi sampai ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.
Majusi Persia di Jazirah Arab
Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalamj kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalay dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang Paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan kejahata, pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan. golongan dan sekta-sekta pula. Tapi di sini bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu kekuasaan politik Persia tetap kuat juga Polemik keagamaan tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang tergambar di balik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung d bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah Satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memiku akibatnya.
Kedua kekuatan yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan Barat berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada di bawah pengaruh kedua kekuatan itu, pada awal abag keenam berada di sekitar jazirah Arab. Kedua kekuatan itu masing-masing mempunyai hasrat ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua agama itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya, Sungguhpun demikian jazirah itu tetap seperti sebuah oasis yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai terjamah oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi, kecuali sebagian kecil saja pada beberapa kabilah. Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau tidak kita lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh keduanya terhadap kehidupan penduduknya, dalam aneka macam perbedaan dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka masing-masing.
Antara Dua Kekuatan
Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah selatan Samudera Hindia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dan sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan tetapi bukan rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga karena jaraknya yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu kilometer pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungai pun tak ada. Musim hujan yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan yang sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan. Samasekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu, sambil mencai padang hijau untuk makanan ternaknya, beristirahat sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain. Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orangorang badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak di sana sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata air.
Tidak Dikenal, Selain Yaman
Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup menetap, dan cara hidup manusia yang biasa pun tidak pula dikenal. Juga sudah biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak. Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena sedikitnya orang yang mau mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu telah dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninya pun dapat bertahan diri.
Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran. Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat sekarang menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transport perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara Rkumawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah Arab masa it merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalu Mesir atau melalui Teluk Persia, lewat terusan yang terletak di muly, Yeluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana penduduk pedalama jazirah Arab itu menjadi raja sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut, pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai as Yaripada daratan, menjadi raja laut. Dan sudah wajar pula bilamana raja. raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, Merek, sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya “Jalan kafilah itu bukan dibiarkan begitu saja,” kata Heeren,” tetapi Sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah memberikan tempat. tempat tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir 4 sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat meng, hilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan itu. Tempat, tempat peristirahatan itu juga telah menjadi gudang perdagangan mereka dan yang sebagian lagi dipakai sebagai tempat penyembahan, tempat meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta per, tolongan dari tempat itu.”
Lalu Lintas Kafilah
Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang penting dj antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah, dan karena itu diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.
Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya — kecuali bagi mereka yang sudah — biasa sejak masa mudanya. Sedang mereka yang berani secara untung: untungan mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di tengah-tengah padang tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa.hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang yang sampai ke tempat tersebut — yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan — ia akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang yang sudah biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan setiap pribadi pun tidak mempunyai suatu sistem hubungan dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada yang lebih kuat.
Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.
Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian – sesudah Muhammad s.a.w. lahir di tempat tersebut — orang mulai mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu sekarang sudah mulai dikenal dunia.
Yaman dan Peradabannya
Tak ada yang dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Hindia saja, tetapi lebih-lebih disebabkan oleh tidak seperti jazirah-jazirah lain — gurun sahara yang tandus. Dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebaliknya, daerah Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma’rrib yang dapat menampung arus air hujan sesuai dengar syarat-syarat peradaban yang berlaku.
Sebelum dibangunnya bendungan ini, air hujan yang deras terjun darj pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur turun ke lembah. lembah yang terletak di sebelah timur kota Ma’rib. Mula-mula air turun melalui celah-celah dua buah gunung yang terletak di kanan kiri lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila Sudah sampai di Marrib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai Nij Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu mereka membangun sebuah bendungan, yaitu Bendungan Marrib, Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah yang sempit, laly dibuatnya celah-celah guna memungkinkan adanya distribusi air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur.
Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang pernah diselidiki — dan sampai sekarang penyelidikan itu masih diteruskan – menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada suatu saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarah pun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami bencana.
Judaisma dan Kristen di Yaman
Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan negeri. nya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah turun-temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Hinmyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada agama Musa (Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”, dan menyebabkan turunnya ayat:
“Binasalah orang-orang yang telah membuat parit. Api yang penuh bahan bakar. Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang beriman itu mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orangorang itu hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan Terpuji.”
Cerita ini ringkasnya ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari kerajaan Rumawi ke Ngyjran.
Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka makin lama makin bertambah juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan dimintanya kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat. Menurut beberapa buku sejarah korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Salah seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas, ia lari ke Rumawi dan meminta bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat kepada Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu (abad ke-6) Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi sedang berada dalam puncak kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang kuat! dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan yang memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang kerajaan Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia mengirimkan bersama orang Yaman itu — yang membawa surat — sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha al-Asyram salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu kerajaan Yaman atas nama penguasa Abisinia. Ia memerintah Yaman ini sampai ia dibunuh oleh Abraha yang kemudian menggantikan kedudukannya. Abraha inilah yang memimpin pasukan gajah, dan dia yang kemudian menyerbu Mekah guna menghancurkan Ka’bah tetapi gagal, seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut.
Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah. Encyclopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh penulis-penulis buku Historian’s History of the World dan juga dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam La Vie de Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan melalui Hisyam ibn Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi meminta bantuan Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela agama Yahudi itu dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah sebagian dimakan api, Nadasyi berkata: “Tenaga manusia di sini banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan kukirimkan pasukanku.” Lalu ia menulis surat kepada Kaisar dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan: “Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu sampai ke tempat Najasyi, pasukannya pun dinaikkan dan berangkat ke pantai Mandab.” Lihat Tarikh’t-Tabari cetakan Al-Husainia, Vol. 2, p. 106 dan 108.
Anak-anak Abraha kemudian menguasai Yaman dengan tindaka, sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu lama menimpa pen, duduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak mencmui Maharaja Rumawi. ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan penguasa lain dari Rumawi ke Yaman. Tetapi karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi permintaan Said bin Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Sai meninggalkan Kaisar dan pergi menemui Nu’man bin’I-Mundhir selaky Gubernur yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya d Irak.’
Nu’man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan Resepsi (Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat musim .dinginnya bagian ini dikelilingi dengan tabir. tabir dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan lampu-lampu kendil terbuat daripada perak dan emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di atas tahta itulah terletak mahkotanya yang besar berhiaskan batu delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat itu akan merasa terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.
Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu dan Saif pun bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?), salah seorang keluarga ningrat Persia yang paling berani. Persia telah mendapat kemenangan dan orangorang Abisinia dapat diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.
Sejak itulah Yaman berada di bawah kekuasaan Persia, dan ketika Islam lahir seluruh daerah Arab itu berada dalam naungan agama baru ini.
Akan tetapi orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu tidak fangsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama hal itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri menduduki tahta. Ia membayangkan — dengan pikirannya yang picik itu — bahwa dunia dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa kerajaannya membantu memenuhi kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang tidak mendapat perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam suatu kemewahan yang belum pernah terjadi. Ia berangkat diiringi oleh pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning dan lembayung, dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya, oleh budak-budak yang membawa wangi-wangian, oleh pengusirpengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim semi sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia beserta rombongannya duduk di atas permadani yang lebar dilukis dengan lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan aneka warna, dan dilatar belakangi oleh semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.
Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh mengikuti kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan naik takhtanya Syirawih ini telah mengurangi kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.
Hancurnya Bendungan Ma’rib
Yaman yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Marrib yang oleh suku bangsa Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar. Disebabkan oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu, lalailah mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya. Bendungan itu rapuk dan tidak tahan lagi menahan banjir. Dikatakan juga, bahwa setelah Romawi melihat yaman menjadi pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa perdagangannya terancam karena pertentangar itu, ia pun menyiapkan armadanya menyeberangi Laut Merah — antara Mesir dengan negeri-negeri Timur yang jauh — guna menarik perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan demikian tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.
Mengenai peristiwanya, ahli-ahli sejarah sependapat, tetapi mengenai sebab terjadinya peristiwa itu mereka berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Adz di Yaman ke Utara. Semua mereka sependapat tentang kepindahan ini, sekalipun sebagian menghubungkan. nya dengan sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya per. dagangan yang biasa melalui tempat itu. Yang lain menghubung-hubung. kan kepada rusaknya bendungan Mar’rib, sehingga banyak di antara kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apa pun juga kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi berhubungan dengan negeri-negeri Arab lainnya, suatu hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.
Susunan Masyarakat Jazirah Arab
Apabila sistem politik di Yaman sudah menjadi kacau seperti yang dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat itu medan pertarungan, maka struktur politik serupa itu tidak dikenal pada beberapa negeri Semenanjung Arab lainnya waktu itu. Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem politik seperti pengertian kita sekarang atau seperti pengertian negara-negara yang sudah maju pada masa itu, di daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Najd dan sepanjang dataran luas yang meliputi negerinegeri Arab, pengertian demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa itu — bahkan sampai sekarang — adalah penduduk pedalaman yang tidak bisa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu.
Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenali. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan kabilah yang penuh. Sedang orang kota, atas nama tatatertib mau mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan mereka untuk kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan atas ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Sedang seorang pengembara tidak pedulikan kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apa pun -seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota — selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.
Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan ketidakadilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau melawannya matimatian, dan kalau tidak dapat melawan, ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.
Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akari makin hilang apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.
Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidakkan taat kepada peraturan apa pun yang berlaku atau kepada lembaga apa pun yang berkuasa.
Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang kecilkecil yang tumbuh di sekitar jazirah karena adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan mara bahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka selamat sampai di tempat tujuan.
Kota-kota seperti Mekah, Ta’if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian itu. Dalam susunan kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara hidup pedalaman. Dalam pembicaraar tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut ini akan terlihat agak lebih terperinci.
Paganisma Arab dan Sebab-sebabnya
Lingkungan masyarakat dalam alam demikian ini serta keadaan moral, politik dan sosial yang ada pada mereka, mempunyai pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya. Melihat hubungannya dengan agama Kristen Rumawi dan Majusi Persia, adakah Yaman dapat ter. pengaruh oleh kedua agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua tangan tersebut di jazirah Arab lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu sama giatnya seperti yang sekarang dalam mempropagandakan agama, Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan adanya wujud yang tak terbatas dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara dirinya dengan alam dengan ketakterbatasannya itu. Sedang bagi orang kota ketakterbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya hari-hari, oleh adanya perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan atas kebebasannya yang diberikan sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya jadi berkurang.
Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan dalam menyebarkan ajaran agamanya itu? Barangkali soalnya hanya akan sampai di situ saja kalau tidak karena adanya soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri Arab itu, termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja yang mau menerima agama Kristen.
Kristen dan Judaisma
Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu – seperti yang sudah kita saksikan — berpusat di sekitar Laut Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen dan Yahudi bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak memperlihatkan permusuha! yang berarti, juga tidak memperlihatkan persahabatan yang berarti pula.
Orang-orang Yahudi masa itu — dan sampai sekarang juga — masih menyebut-nyebut adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa kepada agama mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau membendung arus agama Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang masih berlindung di bawah panji Imperium Rumawi yang membentang luas itu.
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab merupakan kaum imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma) Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh keadaan paganisma di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia itu ke Bizantium.
Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang bentuk dan ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau anak yang lebih utama dari ibu — suatu perdebatan yang terjadi di mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya apa yang sudah biasa berlaku.
Ini tentu disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit yang diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi sehingga akhirnya mustahil sekali orang akan dapat melihat isi atau akan menembusi timbunan kulit itu.
Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syam, lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudi pun, melihat hubungannya dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman dalam perjalanan mereka pada musim dingin atau musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu di antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.
Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian ini pun sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Yuhan itu baik-baik saja.
Tersebarnya Paganisma
Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara golongan. golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih tetap hidup dj kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh di tengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri. Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap ber. pengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati mereka. Logikanya yang tampak cemerlang — sekalipun pada dasarnya masih bersifat sofistik – dapat juga menarik kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan kecinta. annya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tak berdaya lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan mempetlihatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya itu.
Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma, mereka melihat kaki patung Santa Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat karena diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.
Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum mendapat petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya. Mereka melihat pertertangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi tetangga mereka serid cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang masih menyembah berhala itu sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka. Situasi demikian ini sudah begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai saat ini, dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir. Kaum Muslimin dewasa ini pun membiarkan paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang hendak menghapus paganisma, yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.
Peranan Berhala
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah — sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya — menunjukkan bahwa sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.
Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah ini pun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal dari Yaman. Hal ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang sekali, buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.
Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan korban-korban tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali pulang, dapat dibawanya pula dalam perjalanan bila patung itu mengizinkan ia bepergian. Semua patung itu, baik yang ada dalam Ka’bah atau yang ada disekelilingnya, begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atay kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara penganutnya dengar dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa it, sebagai pendekatan kepada Tuhan dan menyembah kepada Tuhan sudap mereka lupakan karena telah menyembah berhala-berhala itu. Kedudukan Mekah
Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling tinggi di antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan negerinya Serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka’bah sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan. bulan suci sangat dipelihara melebihi tempat lain.
Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazirah Arab yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah. Kemudian takdir pun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran Nabi Muhammad, dan dengan demikian-ia menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang zaman. Ka’bah tetap disucikan dan suku Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang: orang Badwi yang kasar sejak berabad-abad lamanya.
Letak Mekah – Ibrahim “Alaihissalam — Ibrahim dan Sarah di Mesir — Siapa yang Disembelih? — Kisah Penebusan dalam Quran — Kisah Demikian dalam Cerita Sejarah — Ibrahim Berangkat dengan Ismail dan Ibunya ke Lembah Mekah — Sumur Zamzam -Perkawinan Ismail — Anak-anak Ismail – Sebuah Diskusi — Membangun Ka’bah – Perkembangan Agama di Jazirah – Kemenangan Quraisy – Qushayy bin Kilab (tahun 400) – Bangunan Rumah-rumah di Mekah — Anak-anak Qushayy – Keluarga “Abd Manaf – Hasyim (tahun 464 M) — Kehidupan yang Berkembang di Mekah – Hasyim Meninggal, Muttalib Penggantinya — Abd’lMuttalib (tahun 495 M) -Penggalian Sumur Zamzam – Bernazar — Tahun Gajah (tahun 570 M) – Abraha dan Ka’bah – Kedudukan Mekah Sesudah Peristiwa Gajah — Rumah-rumah Penduduk di Mekah – Abdullah bin Abd’l-Muttalib
Letak Mekah
DI TENGAH-TENGAH jalan kafilah yang berhadapan dengan Laut Merah — antara Yaman dan Palestina – membentang bukit-bukit barisan sejauh kira-kira delapan puluh kilometer dari pantai. Bukit-bukit ini mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu luas, yang hampir-hampir terkepung samasekali oleh bukit-bukit itu kalau tidak dibuka oleh tiga buah jalan: pertama jalan menuju ke Yaman, yang kedua jalan dekat Laut Merah di pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke Palestina.
Dalam lembah yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak Mekah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota ini sungguh sukar sekali. Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun yang lalu. Yang pasti, lembah itu digunakan sebagai tempat perhentian kafilah sambil beristirahat, karena di tempat itu terdapat sumber mata air. Dengan demikian rombongan kafilah itu membentangkan kemah-kemah mereka, baik yang datang dari jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari Palestina menuju Yaman. Mungkin sekali Ismail anak Ibrahim itu Orang pertama yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, yang sebelum itu hanya dijadikan tempat kafilah lalu saja dan tempat perdagangan secara tukar-menukar antara yang datang dari arah selatan jazirah dengan yang bertolak dari arah utara.
Ibrahim ‘ Alaihissalam
Kalau Ismail adalah orang pertama yang menjadikan Mekah sebagai tempat tinggal, maka sejarah tempat ini sebelum itu gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa daerah ini dipakai tempat ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap di tempat itu. Kisah kedatangannya ke tempat itu pun memaksa kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara ringkas.
Ibrahim dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual kepada masyarakat. nya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa ia melihat patung. patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian disembah oleh masyarakat dan betapa pula mereka memberikan rasa hormat dan kudus kepada sekeping kayu yang pernah dikerjakan ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya. Kepada ayahnya ia pernah bertanya, bagaimana hasil kerajinan tangannya itu sampai disembah orang?
Kemudian Ibrahim menceritakan hal itu kepada orang lain. Ayahnya pun sangat memperhatikan tingkah-laku anaknya itu, karena ia kuatir hal ini akan menghancurkan perdagangannya. Ibrahim sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya. Ia ingin membuktikan kebenaran pendapatnya itu dengan alasan-alasan yang dapat diterima. Ia mengambil kesempatan ketika orang sedang lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa, dan berhala itu dihancurkan, kecuali berhala yang paling besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:
“Engkaukah yang melakukan itu terhadap dewa-dewa kami, hai Ibrahim?” Dia menjawab: “Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling besar di antara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang mereka bisa bicara.”
Ibrahim melakukan itu sesudah ia memikirkan betapa sesatnya mereka menyembah berhala, sebaliknya siapa yang seharusnya mereka sembah.
“Bila malam sudah gelap, dilihatnya sebuah bintang. Ia berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu kemudian terbenam, ia pun berkata: Aku tidak menyukai segala yang terbenam’. Dan setelah dilihatnya bulan terbit, ia pun berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam, ia pun berkata: “Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku akan jadi sesat’. Dan setelah dilihatnya matahari terbit, ia pun berkata: “Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar”. Tetapi bilamana matahari itu juga kemudian terbenam, ia pun berkata: “Oh kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku hanya kepada yang telah menciptakan semesta langit dan bumi ini. Aku tidak termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan.
Ibrahim dan Sarah di Mesir
Ibrahim tidak berhasil mengajak masyarakatnya itu. Malah sebagai balasan ia dicampakkan ke dalam api. Tetapi Tuhan masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya Sarah. Dari Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir. Pada waktu itu Mesir di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit (Hyksosl|.
Sarah adalah seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja Hyksos biasa mengambil wanita-wanita bersuami yang cantik-cantik. Ibrahim memperlihatkan, seolah Sarah adalah saudaranya. Ia takut dibunuh dan Sarah akan diperistrikan raja. Dan raja memang bermaksud akan memperistrikannya. Tetapi dalam tidurnya ia bermimpi bahwa Sarah bersuami. Kemudian dikembalikan kepada Ibrahim sambil dimarahi. Ia diberi beberapa hadiah di antaranya seorang gadis belian bernama Hajar. Oleh karena Sarah sesudah bertahun-tahun dengan Ibrahim belum juga beroleh keturunan, maka oleh Sarah disuruhnya ia bergaul dengan Hajar, yang tidak lama kemudian telah beroleh anak, yaitu Ismail. Sesudah Ismail besar kemudian Sarah pun beroleh keturunan, yaitu Ishaq.
Siapa yang Disembelih?
Beberapa ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail serta kurban yang telah dipersembahkan oleh Ibrahim. Adakah sebelum kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di Palestina atau di Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah Ishaq, bukan Ismail. Di sini kita bukan akan menguji adanya perselisihan pendapat itu. Dalam Qishash’l-Anbia’ Syaikh Abd’l Wahhab an-Najjar berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah Ismail. Argumentasi ini diambilnya dari Taurat sendiri bahwa yang disembelih itu dilukiskan sebagai anak Ibrahim satu-satunya. Pada waktu itu Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq dilahirkan. Setelah Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim tidak lagi tunggal, melainkan sudah ada Ismail dan Ishaq. Dengan mengambil cerita itu seharusnya kisah penyembelihan dan penebusan itu terjadi di Palestina. Hal ini memang bisa terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu terjadi terhadap diri Ishaq. Selama itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di Palestina, tidak pernah pergi ke Hijaz. Akan tetapi cerita yang mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi di atas bukit Mina, maka ini tentu berlaku terhadap diri Ismail. Oleh karena di dalam Quran tidak disebutkan nama person kurban itu, maka ahli-ahli sejarah kaum Muslimin berlain-lainan pen. dapat.
Kisah Penebusan dalam Quran
Tentang pengorbanan dan penebusan itu kisahnya ialah bahwa Ibrahim bermimpi, bahwasanya Tuhan memerintahkan kepadanya supaya anaknya itu dipersembahkan sebagai kurban dengan menyembelihnya, Pada suatu pagi berangkatlah ia dengan anaknya.
“Bila ia sudah mencapai usia cukup untuk berusaha, ia (Ibrahim) berkata: “O, anakku, dalam tidur aku bermimpi, bahwa aku menyembelih. mu. Lihatlah, bagaimanakah pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku. Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Jika dikehendaki Tuhan, akan kaudapati aku dalam kesabaran.” Serelah keduanya menyerahkan diri dan dibaringkannya ke sebelah keningnya, ia Kami panggil: “Hai Ibrahim. Engkau telah melaksanakan mimpi itu.” Dengan begitu, Kami memberikan balasan kepada mereka yang berbuat kebaikan. Ini adalah Suatu ujian yang nyata. Dan Kami menebusnya dengan sebuah korban besar.”’
Kisah Demikian dalam Cerita Sejarah
Beberapa cerita melukiskan kisah ini dalam bentuk puisi yang indah sekali, sehingga di sini perlu kita kemukakan, sekalipun tidak membawa kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim bermimpi dalam tidurnya bahwa ia harus menyembelih anaknya dan memastikan bahwa itu adalah perintah Tuhan, ia berkata kepada anaknya itu: “Anakku, bawalah tali dan parang itu, mari kita pergi ke bukit mencari kayu untuk keluarga kita.’ Anak itu pun menurut perintah ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk seorang laki-laki, mendatangi ibu anak itu seraya berkata: “Tahukah engkau ke mana Ibrahim membawa anakmu?’ “Ia pergi mencari kayu dari lereng bukit itu’, jawab ibunya. “Tidak”, kata setan lagi, “ia pergi akan menyembelihnya.”’ Ibu itu menjawab lagi: “Tidak. Ia lebih sayang kepada anaknya.’ “la mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan itu.
“Kalau itu memang perintah Tuhan biarkan dia menaati perintahNya”, jawab ibu itu. Setan itu lalu pergi dengan perasaan kecewa. Ia segera menyusul anak yang sedang mengikuti ayahnya itu. Kepada anak itu pun ia berkata seperti terhadap ibunya tadi. Tapi jawabannya pun sama dengan jawaban ibunya juga. Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa mimpinya itu hanya tipu muslihat setan supaya menyembelih anaknya dan akhirnya akan menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa jengkel Iblis itu mundur teratur, karena maksudnya tidak berhasil, baik dari Ibrahim, dari istrinya atau dari anaknya.
Kemudian itu Ibrahim menyatakan kepada anaknya tentang mimpinya itu dan minta pendapatnya. “Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan.’ Lalu katanya lagi dalam balada itu: “Ayah, kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya darahku nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan. Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih. telungkupkan aku dan jangan dimiringkan. Aku kuatir bila ayah kelak melihat wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau ayah berpendapat akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan baginya. lakukanlah, ayah”.
“Anakku’, kata Ibrahim, “ini adalah bantuan besar dalam melaksanakan perintah Allah.”
Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya kuat-kuat tangan anak itu lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih. Tetapi kemudian ia dipanggil: “Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan mimpi itu”. Anak itu kemudian ditebusnya dengan seckor domba besar yang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Lalu discmbelihnya dan dibakarnya.
Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini adalah kisah penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.
Ibrahim Berangkat dengan Ismail dan Ibunya ke Lembah Mekah
Ishaq telah menjadi besar di samping Ismail. Kasih-sayang ayah sama terhadap keduanya. Akan tetapi Sarah menjadi gusar melihat anaknya itu dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya itu. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan Hajar dan anaknya tatkala dilihatnya Ismail memukul adiknya itu. Ibrahim merasa bahwa hidupnya takkan bahagia kalau kedua wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu pergilah ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke arah selatan. Mereka sampai ke suatu lembah, letak Mekah yang sekarang. Seperti kita sebutkan di atas, lembah ini adalah tempat para kafilah membentangkan kemahnya pada waktu mereka berpapasan dengan kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman ke Syam. Tetapi pada waktu itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun. Ismail dan ibunya oleh Ibrahim ditinggalkan dan ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar membuat sebuah gubuk tempat ia berteduh dengan anaknya. Dan Ibrahim pun kembali ke tempat semula.
Sesudah kehabisan air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan kiri. Is tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun ke lembah mencari air Dalam berlari-lari itu — menurut cerita orang — antara Shafa dan Marwa sampai jangkap tujuh kali, ia kembali kepada anaknya dengan perasaan putus asa. Tetapi ketika itu dilihatnya anaknya sedang mengorek-ngorek tanah dengan kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu keluar air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya mata air itu supaya jangan mengalir terus dan menyerap ke dalam pasir.
Anak yang bersama ibunya itu membantu orang-orang Arab yang sedang dalam perjalanan, dan mereka pun mendapat imbalan yang akan cukup menjamin hidup mereka sampai pada musim kafilah yang akan datang.
Sumur Zam-zam
Mata air yang memancar dari sumur Zamzam itu menarik hati beberapa kabilah akan tinggal di dekat tempat itu. Beberapa keterangan mengatakan, bahwa kabilah Jurhum adalah yang pertama sekali tinggal di tempat itu, sebelum datang Hajar dan anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa mereka tinggal di tempat itu setelah adanya sumber sumur Zamzam, sehingga memungkinkan mereka hidup di lembah gersang itu.
Perkawinan Ismail
Ismail sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis kabilah Jurhum. Ia dengan istrinya tinggal bersama-sama keluarga Jurhum yang lain. Di tempat itu rumah suci sudah dibangun, yang kemudian berdiri pula Mekah sekitar tempat itu. Juga disebutkan, bahwa pada suatu hari Ibrahim minta izin kepada Sarah akan mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan ini disetujui dan ia pergi. Setelah ia mencari dan menemui rumah Ismail ia bertanya kepada istrinya: “Mana suamimu?”
“Ia sedang berburu untuk hidup kami,” jawabnya.
Kemudian ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau minuman, dijawab bahwa dia tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan.
Ibrahim pergi, setelah mengatakan: “Kalau suamimu datang sampaikan salamku dan katakan kepadanya: “Ganti ambang pintumu.”
Setelah pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail, ia segera menceraikan istrinya, dan kemudian kawin lagi dengan wanita Jurhum lainnya, putri Mudzadz bin “Amr. Wanita ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu kemudian ia pernah datang: “Sekarang ambang pintu rumahmu sudah kuat,” (kata Ibrahim).
Anak-anak Ismail
Dari perkawinan ini Ismail mempunyai dua belas orang anak, dan mereka inilah yang menjadi cakal-bakal Arab al-Musta’-riba, yakni orangorang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum dengan Arab al“Ariba keturunan Ya’rub ibn Oahtan. Sedang ayah mereka, Ismail anak Ibrahim, dari pihak ibunya erat sekali bertalian dengan Mesir, dan dari pihak bapa dengan Irak (Mesopotamia) dan Palestina, atau ke mana saja Ibrahim menginjakkan kaki.
Sebuah Diskusi
Cerita ini diambil dari sejarah yang hampir merupakan konsensus dalam garis besarnya tentang kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah, meskipun terdapat perbedaan dalam detil. Dan yang memajukan kritik atas peristiwa secara mendetil itu berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail telah pergi ke lembah yang sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di tempat itu terdapat mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar disambut dengan senang hati oleh mereka ketika ia datang bersama Ibrahim dan anaknya ke tempat itu. Sesudah Ismail besar ia kawin dengan wanita Jurhum dan mempunyai beberapa orang anak. Dari percampuran perkawinan antara Ismail dengan unsur-unsur Ibrani-Mesir di satu pihak dan unsur Arab di pihak lain. menyebabkan keturunannya itu membawa sifat-sifat Arab, Ibrani dan Mesir. Mengenai sumber yang mengatakan tentang Hajar yang kebingungan setelah melihat air yang habis menyerap serta tentang usahanya berlari tujuh kal Jan Shafa dan Marwa dan tentang sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka masih diragukan.
Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim dan Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu. Dikatakannya, bahwa itu adalah Israiliat (Yudaica) yang dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam, guna mengikat hubungan dengan orang Arab yang sama-sama sebapa dengan Ibrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi nenek-moyang orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail itu moyang orang Arab, maka mereka adalah saudara sepupu yang akan menjadi kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran orang-orang Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan perdagangan orang Yahudi di seluruh jazirah Arab. Pengarang Inggris ini mendasarkan pendapatnya pada cara-cara peribadatan di negeri-negeri Arab yang tak ada hubungannya dengan agama Ibrahim, sebab mereka sudah benarbenar hanyut dalam paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.
Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah cukup kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh beberapa abad sesudah meninggalkan Ibrahim dan Ismail paganisma Arab tidak menunjukkar bahwa mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim datang ke Hijaz dan tatkala ia dan Ismail bersama-sama membangun Ka’bah. Andaikata waktu itu paganisma sudah ada, tentu itu akan memperkuat pendapat Si, William Muir. Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala dan ia berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, tapi tidak berhasiy Apabila ia mengajak masyarakat Arab seperti mengajak masyarakatny, sendiri, lalu tidak berhasil, dan orang-orang Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai dengan kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan sejarah itu secara logika bahkan lebih kuat. Ibrahin yang telah keluar dari Irak karena mau menghindar dari keluarganya, is pergi ke Palestina dan Mesir, adalah orang yang mudah bepergian dar biasa mengarungi sahara. Sedang jalan antara Palestina dan Mekah sejak dahulu kala sudah merupakan lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan demikian tidak pula pada tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang dalam garis besarnya sudah menjadi konsensus itu.
Sir William Muir dan mereka yang menunjang pendapatnya itu mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan anak-anak Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari Palestina ke negeri-negeri Arab serta adanya pertalian mereka dalam arti hubungan darah. Kita tidak mengerti, kalau kemungkinan mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail inj bagi mereka dapat diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang itu sendiri tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan padahal peristiwa sejarah sudah memperkuatnya. Bagaimana pula takkan terjadi padahal sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan sudah disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam kitab-kitab suci lainnya!
Membangun Ka’bah
Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu dan “Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat ialah yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan bagi semesta alam. Di situlah terdapat keterangan-keterangan yang jelas sebagai Maqam (tempat) Ibrahim, barangsiapa memasukinya menjadi aman.”
“Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam Ibrahim itu tempat bersembahyang, dan Kami serahkan kepada Ibrahim dan Ismail menyucikan Rumah-Ku bagi mereka yang bertawaf, mereka yang tinggal menetap dan mereka yang ruku’ dan sujud. Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata: “Tuhanku, jadikan tempat ini Kota yang aman dan berikanlah buah-buahan kepada penduduknya, mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian’. Ia berkata: “Dan bagi barangsiapa yang menolak iman akan Kuberi juga kesenangan sementara, kemudian Kutarik ia ke dalam siksa api, tujuan yang paling celaka’. Dan ingatlah tatkala Ibrahim dan Ismail mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka berdoa): “Tuhan, terimaJah ini dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Perkembangan Agama di Jazirah
Bagaimana Ibrahim mendirikan Rumah itu sebagai tempat tujuan dan tempat yang aman, untuk mengantarkan manusia supaya beriman hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian menjadi tempat berhala dan pusat penyembahannya? Dan bagaimana pula cara-cara peribadatan itu dilakukan sesudah Ibrahim dan Ismail, dan dalam bentuk bagaimana pula dilakukan? Dan sejak kapan cara-cara itu berubah lalu dikuasai oleh paganisma? Hal ini tidak diceritakan kepada kita oleh sejarah yang kita kenal. Semua itu baru merupakan dugaan-dugaan yang sudah dianggap sebagai suatu kenyataan. Kaum Sabian! yang menyembah bintang mempunyai pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya mereka — menurut beberapa keterangan — tidak menyembah bintang itu sendiri, melainkan hanya menyembah Allah dan mereka mengagungkan bintangbintang itu sebagai ciptaan dan manifestasi kebesaran-Nya. Oleh karena lebih banyak yang tidak dapat memahami arti keturunan yang lebih tinggi, maka diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam batu gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dari langit, berasal dari beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan, kemudian batu-batu itu yang disembah, kemudian penyembahan itu dianggap begitu agung, sehingga tidak cukup bagi seorang orang Arab hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang di dalam Ka’bah, bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil batu apa saja dari Ka’bah untuk disembah dan dimintai persetujuannya: akan tinggal ataukah akan melakukan perjalanan. Mereka melakukan Cara-cara peribadatan yang berlaku bagi bintang-bintang atau bagi pencipta bintang, bintang itu. Dengan cara-cara demikian menjadi kuatlah kepercayaan paganisma itu, patung-patung dikuduskan dan dibawanya sesajen-sesajen itu sebagai korban.
Ini adalah suatu gambaran tentang perkembangan agama itu di tanah Arab sejak Ibrahim membangun rumah sebagai tempat beribadat kepada Tuhan, sebagaimana dilukiskan oleh beberapa ahli sejarah, dan bagaimana pula hal itu kemudian berbalik dan menjadi pusat berhala. Herodotus bapa sejarah, menerangkan tentang penyembahan Lat itu di negeri Arab Demikian juga Diodorus Siculus menyebutkan tentang rumah di Mekah yang diagungkan itu. Ini menunjukkan tentang paganisma yang sudah begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang dibawa Ibrahim di sang bertahan tidak begitu lama.
Dalam abad-abad ini sudah datang pula para nabi yang mengajak kabilah-kabilah jazirah itu supaya menyembah Allah semata-mata. Tetapi mereka menolak dan tetap bertahan pada paganisma. Datang Hug mengajak kaum “Ad yang tinggal di sebelah utara Hadzramaut supaya menyembah hanya kepada Allah: tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut. Sedang yang sebagian besar malah menyombongkan diri dan berkata: “O Hud, kau datang tidak membawa keterangan yang jelas, dan kami tidak akan meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena perkataanmu itu. Kami tidak percaya kepadamu.”’ Bertahun-tahun lamanya Hud mengajak mereka. Hasilnya malah mereka bertambah buas dan congkak. Demikian juga Saleh datang mengajak kaum Thamud supaya beriman. Mereka ini tinggal di Hijr yang terletak antara Hijaz dengan Syam di Wadi’l-Oura ke arah timur daya dari Mad-yan (Midian) dekat Teluk “Aqaba. Sama saja, hasil ajakan Saleh itu tidak lebih seperti ajakan Hud juga, Kemudian datang Syu’aib kepada bangsa Mad-yan yang terletak di Hijaz, mengajak supaya mereka menyambah Allah. Juga tidak didengar. Mereka pun mengalami kehancuran seperti yang terjadi terhadap golongan “Ad dan Thamud.
Selain para Nabi itu juga Quran telah menceritakan tentang ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap golongan itu begitu sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam Ka’bah itu. Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun, mereka datang dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun firman Tuhan:
“Dan Kami tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
Sejak didirikannya Mekah di tempat itu sudah ada jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy bin Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu itu para pemuka Mekah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba, sigaya” rifada, nadwa, liwa’ dan giyada dipegang semua oleh Qushayy. Hijaba ialah penjaga pintu Ka’bah atau yang memegang kuncinya. Sigaya ialah menyediakan air tawar — yang sangat sulit waktu itu bagi mereka yang datang berziarah serta menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada ialah memberi makan kepada mereka semua. Nadwa ialah pimpinan rapat pada tiap tahun musim. Liwa’ ialah panji yang dipancangkan pada tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentera yang sedang menghadapi musuh, dan giyada jalah pimpinan pasukan bila menuju perang. Jabatan-jabatan demikian itu di Mekah sangat terpandang. Dalam masalah ibadat seolah pandangan orang-orang Arab semua tertuju ke Ka’bah itu.
Saya kira semua itu datangnya bukan sekaligus ketika rumah itu dibangun, melainkan satu demi satu, pada satu pihak tak ada hubungannya satu sama lain dengan Ka’bah serta kedudukannya dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada juga hubungannya.
Tatkala Ka’bah dibangun — menurut gambaran yang ada dalam khayalan kita — tidak lebih Mekah hanya terdiri dari kabilah-kabilah Amalekit dan Jurhum. Sesudah ismail menetap di sana dan bersama-sama dengan ayahnya memasang sendi-sendi rumah itu, barulah Mekah mengalami perkembangan. Untuk beberapa waktu yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota atau yang menyerupai kota. Kita katakan menyerupai kota, karena Mekah dengan penduduknya waktu itu masih membawa sifat sisa-sisa keterbelakangan dalam arti yang sangat bersahaja. Beberapa penulis sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah itu masih terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan Qushayy pada pertengahan abad kelima Masehi itu. Sukar bagi kita akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Mekah dengan Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada dalam suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan bahwa persoalan Rumah Suci itu berada di tangan Ismail dalam lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian. Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping Mekah masa itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan hubungan langsung dengan perdagangan dunia. Sukar akan dapat dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu akan tetap tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi peradabannya. Beralasan sekali dugaan kita, bahwa Mekah, yang sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah akan menjadi suatu daerah yang aman sentosa, Sudah mengenal hidup stabil selama beberapa generasi sebelum Qushayy. Kemenangan Quraisy
Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit Mekah masih di tanga, Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin “Amr ibn Harith. Selama dalam masa generasi ini perdagangan Mekah mengalami perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang yang biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa bahwa mereka berada di tanah tandus dan bahwa, mereka perlu selalu berusaha dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka itu sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza’a merasa perlu memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di tanah suci itu.
Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya tentang akibat hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini akan meng, hanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Ka’bah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu, Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya kembali. Ia keluar dengan anak-anak Ismail dari Mekah, Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza’a. Demikian seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilab, nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima.
Qushayy bin Kilab (Tahun 400)
Fatimah bint Sa’d bin Sahl kawin dengan Kilab dan mempunyai anak bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal dunia ketika Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan Rabi’a bin Haram. Kemudian mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah melahirkan Darraj. Qushayy semakin besar juga dan ia hanya mengenal Rabi’a sebagai ayahnya. Lambat-laun antara Qushayy dengan pihak kabilah Rabi’a terjadi permusuhan. Ia dihina dan dikatakan berada di bawah perlindungan mereka, padahal bukan dari pihak mereka. Qushayy mengadukan penghinaan itu kepada ibunya.
“Ayahmu lebih mulia dari mereka”, kata ibunya kepada Qushayy. “Engkau anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di Mekah menempati Rumah Suci.”
Qushayy lalu pergi ke Mekah, dan menetap di sana. Karena pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan, orang-orang d Mekah sangat menghormatinya. Pada waktu itu pengawasan Rumah Sud di tangan Hulail bin Hubsyia — orang yang berpandangan tajam dari kabilah Khuza’a. Tatkala Qushayy melamar putrinya, Hubba, ternyata lamarannya diterima baik dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam usaha dan perdagangannya, yang membuatnya ia jadi kaya, harta dan anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat supaya kunci Rumah Suci di tangan Hubba putrinya. Tetapi Hubba menolak dan kunci jitu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari kabilah Khuza’a. Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan minuman keras.
Khuza’a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti bila pimpinan Ka’bah itu berada di tangan Qushayy sebagai orang yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di kalangan Quraisy. Mereka merasa keberatan bilamana masalah pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain selain mereka sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa kabilah memang sudah berpendapat bahwa dialah penduduk yang paling kuat dan sangat dihargai di Mekah. Mereka mendukung Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuza’a dari Mekah. Sekarang seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan Qushayy dan dia diakui sebagai pemimpin mereka.
Bangunan Rumah-rumah di Mekah
Seperti sudah kita kemukakan, beberapa orang berpendapat, bahwa sampai pada waktu pimpinan Mekah berada di tangan Qushayy, bangunan apa pun belum ada di tempat itu, selain Ka’bah. Alasannya ialah, karena baik Khuza’a atau Jurhum tidak ingin melihat ada bangunan lain di sekitar Rumah Tuhan itu, juga karena pada malam hari mereka tidak pernah tinggal di tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka. Ditambahkan pula bahwa setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah ia mengumpulkan Quraisy dan menyuruh mereka membangun di tempat itu. Dengan dipelopori oleh Qushayy sendiri dibangunnya Dar’nNadwa sebagai tempat pertemuan pembesar-pembesar Mekah yang dipimpin oleh Qushayy sendiri. Di tempat ini mereka bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka hadapi selalu diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita atau laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat ini pula.
Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy lalu membangun tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka’bah itu, dengan meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan tawaf sekitar Rumah itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus ke tempat tawap tersebut.
Anak-anak Qushayy
Anak Qushayy yang tertua ialah Abd’d-Dar. Akan tetapi Abd Manar adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah mendapa, tempat pula.
Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannya pun sudah berkurang dari sudah tidak kuat lagi ia mengurus Mekah sebagaimana mestinya, kunci Rumah itu pun diserahkannya kepada Abd’d-Dar, demikian juga soal aj, minum, panji dan persediaan makanan. Setiap malam Quraisy memberi, kan sumbangan dari harta mereka yang diserahkannya kepada Qushayy guna membuatkan makanan pada musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka yang datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang pertama mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan makanan. Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga terhadap mereka ketika bersama-sama mereka berhasil mengeluarkan Khuza’a dari Mekah. Ketika mewajibkan itu ia berkata kepada mereka:
“Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan, keluarga Rumah-Nya dan Tempat yang Suci. Mereka yang datang berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung Rumah-Nya. Mereka itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada musim ziarah itu sediakanlah makanan dan minuman sampai mereka pulang kembali.”
Keluarga “Abd Manaf
Seperti ayahnya, Abd’d-Dar juga telah memegang pimpinan Ka’bah dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain lagi.
Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka’bah. Mereka bersumpah takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd’d-Dar mengadakan pul: Perjanjian Ahlaf. Antara kedua golongan ini hampir saja pecah perang yang akan memusnahkan Quraisy, kalau tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd Manaf diberi bagian mengurus persoalan dan makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd’d-Dar. Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.
Hasyim (Tahun 464 M)
Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dialah yang memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak masyayakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushayy kakeknya, yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi makanan kepada pengunjung pada musim ziarah. Pengunjung Baitullah, tamu Tuhan inilah yang paling berhak mendapat penghormatan. Kenyataannya memang para tamu itu diberi makan sampai mereka pulang kembali.
Kehidupan yang Berkembang di Mekah
Peranan yang dipegang Hasyim tidak hanya itu saja, bahkan jasanya sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim tandus, dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria.
Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan Mekah jadi berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah, sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi anak-anak Abd Manaf membuat perjanjian perdamaian dengan tetangga-tetangganya. Hasyim sendiri membuat perjanjian sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengizinkan orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga Abd Syams membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi (Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak Himyar di Yaman.
Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur. Demikian pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada pihak lain yang semasa yang dapat menyainginya. Rombongan kafilah datang ke tempat itu dari segenap penjuru dan berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Di sekitar tempat itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan itu. Itu pula sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam utang-piutang dan riba serta segala sesuatu yang berhubungan dengan perdagangan. Tak ada yang teringat akan menyaingi Hasyim yang kini sudah makin lanjut usianya itu dalam kedudukannya sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian terbayang oleh Umayya anak Abd Syams . sepupunya — bahwa sudah tiba masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak berdaya, dan kedudukan itu tetap dipegang Hasyim. Sementara itu Umayya telah meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun tinggal di Suria.
Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan terpandang muncul di tengah-tengah orang yang sedang mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak “Amr dari kabilah Khazraj Hasyim merasa tertarik. Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan dengan laki-laki lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri, Hasyim laly melamarnya. Dan wanita itu pun menerima, karena dia mengetahuj kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.
Hasyim meninggal, Muttalib Penggantinya
Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Mekah dengan suaminya, Kemudian ia kembali ke Jathrib. Di kota ini ia melahirkan seorang anak yang diberi nama Syaiba.
Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke Ghazza (Gaza), Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini masih adik Abd Syams. Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakat. Kerana sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia dijuluki “Al-Faidz” (Yang melimpah). Dengan keadaan Muttalib yang demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah tentu segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana mestinya.
Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak itu sudah besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya dan dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya: Abd’l Muttalib (Budak Muttalib). “Hai”, kata Muttalib. “Dia kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari Jathrib.” Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.
Abd’l-Muttalib (Tahun 495 M)
Pada mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu menguasainya. Sesudah Abd’I-Muttalib mempunyai kekuatan ia meminta bantuan kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan kepadanya. Untuk memberikan bantuan itu pihak Khazraj di Jathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta itu.
Sekarang Abd’I-Muttalib sudah menempati kedudukan Hasyim.
Sesudah pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air dan persediaan makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini — terutama urusan air — ia menemui kesulitan yang tidak sedikit. Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang persediaan air untuk tamu — sejak terserapnya sumur Zamzam — didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar Mekah, yang kemudian diletakkan di sebuah kolam di dekat Ka’bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar dan memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus. Sebaliknya, kalau Abd’l-Muttalib harus memikul jabatan penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini jugalah yang lama menjadi pikiran.
Penggalian Sumur Zamzam
Orang-orang Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu. Menjadi harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap ada. Dan sesuai dengan kedudukannya Abd’l-Muttalib pun tentu lebih banyak lagi memikirkan dan mengharapkan hal itu. Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidurnya seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu. Demikian mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur itu. Dan dia pun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam tersebut, sampai akhirnya diketemukannya juga, yaitu terletak antara dua patung: Isaf dan Na’ila.
Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang lalu mau mencampuri Abd’I-Muttalib dalam urusan sumur itu serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi Abd’I-Muttalib berkata:
“Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan gid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka’bah, dua buat aku dan dua buat kamu.
Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa.”
Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada jung gid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di tengah-tengah Ka’bah Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd’l-Muttalib dan dua buah pangkal pelana emas buat Ka’bah Pedang-pedang itu oleh Abd’I-Muttalib dipasang di pintu Ka’bah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abdi Muttalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu sesudah sumur Zamzam dapat berjalan lancar. Bernazar
Karena tidak banyak anak, Abd’l-Muttalib di tengah-tengah masya, rakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan dapat mem, bantunya. Ia bernazar, kalau sampai beroleh sepuluh anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah seorang di antaranya akan disembelih di Ka’bah sebagai kurban untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang laki-laki akhirnya mencapai sepuluh orang dan takdir pun menentukan pula sesudah itu tidak beroleh anak lagi.
Dipanggilnya semua anak-anak dengan maksud supaya dapat me. menuhi nazarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing di atas gid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh Abd’l-Muttalib dan dibawa kepada juru gid-h di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Ka’bah.
Apabila sedang menghadapi kebinggungan yang luar biasa, orang: orang Arab masa itu lalu minta pertolongan juru gid-h supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui gid-h. Abdullah bin Abd’l-Muttalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.
Setelah juru gid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi namanama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan Dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah maka yang keluar adalah Abdullah. Dituntunnya anak muda itu oleh Abd’l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih di tempat yang biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Na’ila.
Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat melarang nya supaya jangan berbuat, dan atas pembatalan itu supaya memohon ampun kepada Hubal. Sekalipun mereka begitu mendesak, namun Abd’Muttalib masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku Makhzum berkata: “Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebuslah.”
Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat akan rgi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.
“Berapa tebusan yang ada pada kalian?” tanya sang dukun.
“Sepuluh ekor unta.”
“Kembalilah ke negeri kamu sekalian,” kata dukun itu. “Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan.”
Mereka pun menyetujui.
Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah itu keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy berkata kepada Abd’l-Mutalib — yang sedang berdoa kepada tuhannya: “Tuhan sudah berkenan.”
“Tidak”, kata Abd’l-Muttalib. “Harus kulakukan sampai tiga kali.” Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itu pun tetap keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abd’l-Muttalib merasa puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau binatang.
Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan. Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab, kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya kedudukan Mekah dengan Rumah Sucinya itu di tengah-tengah tanah Arab. At-Tabari menceritakan — sehubungan dengan kisah penebusan ini — bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernazar bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia akan menyembelih anaknya. Ternyata kemudian maksudnya terkabul. Ia pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak memberikan pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin Abbas yang ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih seratus ekor unta, seperti halnya dengan penebusan Abdullah anak Abd’l-Muttalib. Tetapi Marwan — penguasa Medinah ketika itu — merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. “Nazar tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa,” katanya.
Kedudukan Mekah dengan status Rumah Sucinya itu menyebabkan beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga membuat rumah-rumah ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan perhatian orang dari Mekah dan Rumah Sucinya. Di Hira pihak Ghassan mendirikan rumah suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci di Yaman. Tetapi bagi Oran Arab itu tak dapat menggantikan Rumah Suci yang di Mekah, juga & dapat memalingkan mereka dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikia, rupa Abraha menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membaw, perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira akan menarik Orang. orang Arab — bahkan orang-orang Mekah sendiri — ke tempat itu.
Tahun Gajah (570 M)
Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu hanya Rumah Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiri pun meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap Ziarah mereka tidak sah kalau tidak ke Mekah, maka sekarang tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu kecuali ia harus menghancurkan rumah Ibrahin dan Ismail itu. Dengan pasukan yang besar didatangkan dari Abisinia di, sudah mempersiapkan perang dan dia sendiri di depan sekali di atas Seekor, gajah besar.
Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar sekali kekuatirannya akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya. Suatu hal yang luar biasa bagi mereka, kedatangan seorang laki-laki Abisinia akap menghancurkan rumah suci mereka dan tempat berhala-berhala mereka, Seorang laki-laki bernama Dhu-Nafar — salah seorang bangsawan day terpandang di Yaman — tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang Arab lainnya yang bersedia berjuang melawan Abraha serta maksudnya yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapa menghalangi Abraha. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi tawanan, Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin Habib al. Khath’ami ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari kabilah Syahran dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan, yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk jalan. Ketika Abraha sampai di Taif penduduk tempat itu mengatakan, bahwa rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lit. Kemudian ia diantar oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.
Bila Abraha sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda sebagai kurir. Dari Tihama mereka dapat membawa harta benda Quraisy dan yang lain-lain, di antaranya seratus ekor unta kepunyaan Abdl Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya orang-orang Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian berpendapat, bahwa mereka takkan mampu. Sementara itu Abraha sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan bernama Hunata dari Himyar untuk menemui pemimpin Mekah. Ia diantar menghadap Abd’l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia menyampaikan pesan Abraha, bahwa kedatangannya bukan akan berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.
Abraha dan Ka’bah
Begitu Abd’I-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata, bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah lainnya. Kedatangan delegasi Abd’I-Muttalib ini disambut baik oleh Abraha, dengan menjanjikan akan mengembalikan unta Abd’I-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai Ka’bah serta supaya menarik kembali maksudnya yang hendak menghancurkan tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran delegasi Mekah yang akan mengalah sampai sepertiga harta Tihama baginya, ditolak. Abd’I-Muttalib dan rombongan kembali ke Mekah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu dan pergi ke Jereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan Rumah Purba itu.
Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan kota itu dan di mana pula akan tinggal Malam itulah Abd’l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Ourassy. berkumpul sekeliling pintu Ka’bah. Dia bermohon, mereka pun bermohon minta bantuan berhala-berhala terhadap agresor yang ukan menghancurkan Baitullah itu.
Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Mekah sunyi dan tiba waktunya bagi Abraha mengerahkan pasukannya menghancurkan Ka’bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman, ketika itu pula wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan Abraha dan membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah dialami sebelumnya. Barangkali kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari jurusan laut, dan menular menimpa Abraha sendiri. Ia merasa ketakutan sekali. Pasukannya diperintahkan pulang kembali ke Yaman, dan mereka yang tadinya menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati. Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan anggota-anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi banyaknya.
Sampai juga Abraha ke Shan’a’ tapi badannya sudah dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian dia pun mati seperti anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Mekah mencatatnya sebagai Tahun Gajah. Dan ini yang diabadikan dalam Quran:
“Tidakkah kauperhatikan, bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap pasukan orang-orang bergajah? Bukankah Dia gagalkan rencana mereka? Dan dilepaskan di atas mereka pasukan-pasukan burung. Melempari mereka dengan batu yang keras membakar. Sehingga mereka seperti daun. daun kering yang binasa berserakan.” Kedudukan Mekah Sesudah Peristiwa Gajah
Peristiwa yang luar biasa ini lebih memperkuat kedudukan Mekah dalam arti agama, di samping itu telah memperkuat pula kedudukannya dalam arti perdagangan. Juga menyebabkan penduduknya lebih banyak memperhatikan dan memelihara kedudukan yang tinggi dan istimewa itu serta mempertahankannya dari segala usaha yang akan mengurangi arti atau akan menyerang kota ini. Orang-orang Mekah lebih bersemangat lagi mempertahankan kota mereka, mengingat kehidupan yang mereka, peroleh karenanya, hidup makmur dan mewah sejauh yang dapat kita bayangkan kemewahan hidup mereka di daerah padang pasir ini, gersang dan tandus.
Kegemaran penduduk daerah ini yang luar biasa ialah minum nabidh (minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu mereka menemukan suatu kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu kenikmatan yang akan memudah. kan mereka melampiaskan hawa nafsu, akan menjadikan dayang-dayang dan budak-budak belian yang diperjual-belikan sebagai barang dagangan itu lebih memikat hati mereka. Yang demikian ini mendorong semangat mereka mempertahankan kebebasan pribadi dan kebebasan kota mereka serta kesadaran mempertahankan kemerdekaan dan menangkis segala serangan yang mungkin datang dari musuh. Yang paling enak bagi mereka bersenang-senang waktu malam sambil minum-minum hanyalah di pusat kota sekeliling bangunan Ka’bah. Di tempat itu — di samping tiga ratus buah berhala atau lebih, masing-masing kabilah dengan berhalanya – pembesar-pembesar Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah duduk-duduk, masing-masing menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan pedalaman, dengan Yaman, orang-orang Mundhir di Hira dan orangorang Ghassan di Suria, tentang datangnya kafilah serta lalu-lintas orang:orang pedalaman.
Kejadian demikian itu sampai kepada mereka dalam bentuk cerita, dari suatu kabilah kepada kabilah yang lain. Setiap kabilah mempunyai “pemancar” dan “pesawat radio” yang menerima berita-berita kemudian disiarkan kembali. Masing-masing membawa cerita yang ada hubungannya dengan berita-berita orang pedalaman, kisah-kisah tetangga dan handaitolan sambil minum-minum nabidh. Dan sesudah mereka bermalam suntuk di Kabah mereka menyiapkan diri untuk hal yang sama guna lebih memuaskan kehendak hawa nafsu. Dengan mata batu permata berhala berhala itu menjenguk melihat kepada mereka yang sedang berdagang itu, dan mereka merasa mendapat perlindungan, karena Ka’bah itu dijadikan Rumah Suci dan Mekah menjadi kota aman sentosa. Demikian juga berhala-berhala mendapat jaminan mereka, bahwa tak seorang pun Ahli Kitab akan memasuki Mekah kecuali tenaga kerja yang takkan bicara tentang agama atau kitabnya.
Itulah sebabnya di sana tak ada koloni-koloni Yahudi seperti di Jathrib atau Nasrani seperti di Najran. Bahkan Ka’bah yang dijadikan tempat paganisma yang paling suci ketika itu mereka lindungi dari semua yang akan menghinanya, dan mereka pun berlindung ke sana dari segala serangan. Begitulah seterusnya Mekah itu bebas berdiri sendiri, seperti kabilah-kabilah Arab yang bebas pula berdiri sendiri-sendiri. Mereka tidak mau kalau kebebasannya itu diganti, dan mereka tidak pedulikan cara hidup lain selain kebebasannya ini di bawah perlindungan berhala-berhala. Masing-masing kabilah tidak pula terganggu, dan tidak pula terfikir oleh mereka akan mengadakan suatu kesatuan bangsa yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi dan Persia dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan.
Oleh karena itu tetaplah kabilah-kabilah itu semua tidak mempunyai sesuatu bentuk apa pun selain cara-cara hidup pedalaman, tempat mereka mencari padang rumput untuk ternak, kemudian hidup di tengah-tengah itu dengan cara hidup yang kasar, tertarik oleh segala kebebasan, kemerdekaan, kebanggaan dan kepahlawanan.
Rumah-rumah Penduduk di Mekah
Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di Mekah mengelilingi lingkungan Ka’bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu dari Ka’bah tergantung dari penting dan tingginya kedudukan sesuatu keluarga atau suku. Kaum Quraisy adalah yang terdekat letaknya dan paling banyak berhubungan dengan Rumah Suci itu. Merekalah yang memegang kuncinya dan kepengurusan air Zamzam, juga segala gelar-gelar kebangsawanan menurut paganisma ada pada mereka, yang sampai menimbulkan perang karenanya, menyebabkan adanya persekutuan, atau perjanjian-perjanjian perdamaian antara kabilah, yang tetap tersimpan di dalam Ka’bah, supaya dapat disaksikan oleh sang berhala untuk kemudian menurunkan murkanya bagi mereka yang melanggar.
Di belakang rumah-rumah Quraisy itu menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya, diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Termasuk umat Kristen dan Yahudi di Mekah, seperti kita sebutkan tadi — adalah juga budak. Tempat-tempat tinggal mereka jauh dari Ka’bah, malah sudah berbatasan dengan sahara.
Oleh karena itu percakapan mereka tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau Yahudi, tidak sampai mendekati telinga pemuka-pemuk, Quraisy dan penduduk Mekah umumnya. Letak mereka yang lebih jauh itu benar-benar membuat mereka lebih rapat lagi menutup telinga Mereka tidak mau menyibukkan diri dengan itu. Dalam perjalana, mereka melalui biara-biara dan tempat-tempat para rahib sudah biasa mereka mendengar cerita serupa itu.
Hanya saja apa yang sudah mulai diperkatakan orang tentang akar datangnya seorang nabi di tengah-tengah orang Arab waktu itu, sudah cukup menimbulkan heboh. Abu Sufyan pernah marah kepada Umayya bin Abi’sh-Shalt karena orang ini sering mengulang-ulang cerita para rahit tentang hal serupa itu. Dan barangkali sesuai dengan kedudukan Aby Sufyan juga ketika itu ketika ia berkata kepada kawannya itu: Para rahih itu suka membawa cerita semacam itu karena mereka tidak mengerti Soajy agama mereka sendiri. Mereka memerlukan sekali adanya seorang nabj yang akan memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi kita yang sudah punya berhala-berhala, yang akan mendekatkan kita kepada Tuhan, tidak memerlukan lagi hal serupa itu. Kita harus menentang semua pembicaraan semacam itu.
Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang begitu fanatik kepada Mekah dan kehidupan paganismanya, tak pernah membayangkan bahwa saatnya sudah di ambang pintu, bahwa kenabian Muhammad a.s. sudah dekat dan bahwa dari tanah Arab pagan yang beraneka ragam itu cahaya Tauhid dan sinar kebenaran akan memancar ke seluruh dunia.
Abdullah bin Abd’I-Muttalib
Abdullah bin Abd’l-Muttalib sebenarnya adalah pemuda yang berwajah tampan dan menarik. Menarik perhatian gadis-gadis dan wanitawanita Mekah. Lebih-lebih lagi yang menarik perhatian mereka ialah kisah penebusan, dan kisah seratus ekor unta yang tidak mau diterima oleh Hubal kurang dari itu. Tetapi takdir sudah menentukan Abdullah akan menjadi seorang ayah yang paling mulia yang pernah dikenal sejarah. Demikian juga Aminah bint Wahab akan menjadi ibu bagi anak Abdullah itu. Ia kawin dengan wanita itu dan selang beberapa bulan kemudian ia pun meninggal. Tak ada lagi penebusan berupa apa pun yang akan melepaskan dia dari maut. Tinggal lagi Aminah kemudian akan melahirkan Muhammad dan akan mati semasa yang dilahirkan itu masih bayi.
Pada halaman berikut ini silsilah keturunan Nabi yang menerangkan perkiraan tahun-tahun kelahiran mereka masing-masing.
Perkawinan Abdullah dengan Aminah – Kematian Abdullah dan Peninggalannya – Kelahiran Muhammad (tahun 570 M) — Yang Menyusukan – Halimah bint AbiDhua’ib — Cerita Membedah Dada – Muhammad di Pedalaman — Di Bawah Asuhan Abd’1-Muttalib, Kakeknya — Aminah Wafat – Abd’l-Muttalib Wafat – Di Bawah Asuhan Abu Talib, Pamannya — Perjalanan Pertama .ke Syam – Perang Fijar — Hilrl-Fudzul – Menggembala Kambing —Khadijah – Muhammad Menjalankan Perdagangan Khadijah — Perkawinannya dengan Khadijah
Perkawinan Abdullah dengan Aminah
USIA Abd’l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuh puluh tahun atay lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah dua puluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abd’I-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahab bin Abd Manaf bin Zuhra, — pemimpin suku Zuhra ketika itu — yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan anaknya menemui Wahab dan melamar putrinya. Sebagian penulis sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd’l-Muttalib juga kawin dengan Hala, putri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia.
Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin putri. Sesudah itu mereka pindah bersamasama ke keluarga Abd’l-Muttalib. Tak berapa lama kemudian Abdullah pun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan istri yang dalam keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan Aminah, adakah wanita lain yang datang menawarkan diri kepadanya! Rasanya tak ada gunanya menyelidiki keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi istrinya selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syam untuk menjadi istrinya di samping Aminah.
Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal bersama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannya pun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.
Kematian Abdullah dan Peninggalannya
Begitu berita sampai kepada Abd’l-Muttalib ia mengutus Harith — anaknya yang sulung — ke Medinah supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya. Demikian juga Abd’l-Muttalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.
Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman — yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Bolehjadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan, tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.
Kelahiran Muhammad (Tahun 570 M)
Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain ia pun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l-Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya, karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab, tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa’d (Banu Sa’d), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Mekah.
Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas juga mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu lima belas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuh puluh tahun.
Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar, sebagian lagi mengatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadhan.
Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal dua belas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.
Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai sur IHistoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd’l-Muttalib.
Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek-moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji,! bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi,” jawab Abd’l-Muttalib.
Yang Menyusukan
Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada, Salah seorang Keluarga Sa’d yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Mekah Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itu pun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkeng dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahah Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.
Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya. Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia hijrah ke Medinah untuk meneruskan hubungan baik itu ia menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah meninggal sebelum ibunya.
Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sckali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.
Halimah bint Abi-Dhua’ib
Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua’ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lain pun tidak menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Mekah, Halimah berkata kepada Harith bin Abd’l-“Uzza suaminya: “Tidak senang aku pulang bersama dengan temantemanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga.”
“Baiklah,” jawab suaminya. “Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”
Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi bersama-sama dengan teman-temannya di pedalaman. Dia bercerita:
bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.
Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima”, putrinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah.
Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Cerita Membedah Dada
Pada masa itu, sebelum usianya mencapar tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang scbaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu bapanya: “Saudaraku yang dar Quraisy atu tclah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju puuh. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil dibalik-balikan.”
Dan tentang IHlalimah ani ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lulu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia, demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh Jua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah hadis Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan — seperti cerita Halimah kepada Aminah — ketika ia dibawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menhanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu lalu mereka berkata:
“Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak Ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya » Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan men, bawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Tabari, tapi in masih diragukan, sebab dia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelun kenabiannya dan usianya empat puluh tahun.
Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalan cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahup lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akar tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah. tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai mencapai usia lima tahun, Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapa diterima. Oleh karena itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.
Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai menganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang lain pun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkan supaya menjalankan risalah-Nya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?”
Apa yang telah diisyaratkan Quran itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.
Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.
Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima”, putrinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah.
Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Cerita Membedah Dada
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang scbaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlian, dan berkata kepada ibu bapanya: “Saudaraku yang dari OJurassy atu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil dibalik-balikan.”
Dan tentang Halimah ani ada juga dwernitakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia, demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah hadis Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan — seperti cerita Halimah kepada Aminah — ketika ia dibawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu lalu mereka berkata:
“Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Ana Ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya » Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan men, bawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Tabari, tapi ir, masih diragukan, sebab dia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelun kenabiannya dan usianya empat puluh tahun.
Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimi, sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah. tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai mencapai usia lima tahun, Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.
Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju puth itu, dan hanya menycbutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai menganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang lain pun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkan supaya menjalankan risalah-Nya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?”
Apa yang telah diisyaratkan Quran itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.
Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Quran supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Quran tentang kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.
Muhammad di Pedalaman
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian: “Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa’d bin Bakr.”
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibn Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih-sayang dan hormat selama hidupnya itu.
Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima’ putrinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.
Di Bawah Asuhan Abd’l-Muttalib, Kakeknya
Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya. Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang ke tempat keluarganya tapi tidak menjumpainya. Ia mendatangi Abd’I-Muttalib dan memberitahukan bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota Mekah. Lalu Abd’l-Muttalib pun menyuruh orang mencarinya, yang akhirnya dikembalikan oleh Waraga bin Naufal, demikian setengah orang berkata.
Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu, Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayang, nya kepada cucu ini, Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah — diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk Pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang, maka didudukkannya ia di sampingnya di atas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak may membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang-lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
Aminah Wafat
Sesuaan cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa”,! ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.
Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan, sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari ibunda keluhan duka kehilangan ayahnda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya, sehingga di dalam Quran pun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim piatu? Lalu diadakan-Nya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkan-Nya jalan itu?”’
Abd’I-Muttalib Wafat
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abd’I-Muttalib masih dapat hidup febih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapan puluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ke tempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangkannya, sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itu pun akhirnya meninggal.
Sebenarnya kematian Abd’l-Muttalib ini merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga Umayya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.
Di bawah Asuhan Abu Talib, Pamannya
Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan sigaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib.
Perjalanan Pertama ke Syarn
Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalih juga, karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan — ketika itu usia Muhammad baru dua belas tahun — mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap ragu. ragu dalam hati Abu Talib.
Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadi’lOura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebunkebun yang lebat dengan buah-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkan dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.
Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling. dengan sikap menvelidiki. meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa. Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan Ukaz, Majanna dan Dhu’-Majaz. mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Murallagat.’ Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan. melukiskan nenck-moyang mereka, peperangan mercka, kemurahan hati dan jasa jasa mereka. Didengarnya ahliahli pidato -di antaranya orang-orang Y ahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mcrcka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kcbcnaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hau nuraninya, dilihatnya ani lebih baik daripada paganisma yang tclah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa Iupa.
Dengan demikian sejak muda belia takdir tclah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu. tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalah-Nya itu. Yakni nsalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Perang Fijar Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-paman, nya dalam Perang Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang telah menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di kalangan kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar’ ini karena ia terjadi dalan bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah pekan-pekan dagang diadakan di Ukaz, yang terletak antara Ta’if dengan Nakhla dan antara Majanna dengar Dhu’I-Majaz, tidak jauh dari Arafat. Mereka di sana saling tukar-menuka, perdagangan, berlomba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka’bah. Pekan Ukaz adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, tempat itu Quss (bin Sa’ida) berpidato dan di tempat itu pula Orang-orang Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan suci.
Akan tetapi Barradz bin Oais dari kabilah Kinana tidak lagi menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan membunuh “Urwa ar-Rahhal bin “Utba dari kabilah Hawazin. Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu’man bin’I-Mundhir setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke “Ukaz membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman, Tiba-tiba Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga “Urwa lalu tampil pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.
Adapun pilihan Nu’man terhadap “Urwa (Hawazin) ini telah menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil kafilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut balas kepada Quraisy. Pihak Hawazin segera menyusul Quraisy sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan bahwa tahun depan perang akan diadakan di “Ukaz.
Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak dua puluh orang Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi pribahasa yang menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi. Ada yang mengatakan umurnya lima belas tahun, ada juga yang mengatakan dua puluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun permulaan ia berumur lima belas tahun dan pada tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur dua puluh tahun.
Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang Muhammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak Hawazin lalu diberikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan kemudian dia sendiri pun ikut melemparkan. Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu: sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”
Hilfl-Fudzul
Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan Abd’-Muttalib wafat, dan masingmasing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin Abd’l-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud’an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan, dihadiri oleh keluargakeluarga Hasyim, Zuhra dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya sampai Orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Milf’l-Fudzul. Ia mengatakan: “Aku tidak suka mengganti pakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud’an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti kukabulkan.”
Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum-minuman keras serta peibagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya.
Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang ter, batas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka. pemuka Mekah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyut. kan diri ke dalam kesenangan demikian itu.
Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah-olah tidak ikut sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama penduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin,!
Menggembala Kambing
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berfikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.”
Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungarnnya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri. Kerana hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta ini. Bukankah juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari, bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan semesta alam yang tampak membentang di depannya, berhubungan satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan, matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan sampai — selama tugasnya di pedalaman itu — ada domba yang sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan alam yang begitu kuat ini?
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.
Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata, bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.
Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah itu terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang martabatnya jauh di bawah Muhammad?
Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak pernah Muhammad mempedulikan bal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh materi. Apa gunanya ia mengejar itu Padahaj sudah menjadi bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.
Bukankah dia juga yang pernah berkata: “Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai kenyang”? Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapj penderitaan hidup? Cara orang mengejar harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, samasekali tidak pernah dikenal Muhammag selama hidupnya. Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suaty kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang. Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang kuat, sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan menyesuai. kannya dengan kehidupan batin.
Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala pemikir, yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.
Khadijah
Akan tetapi Abu Talib pamannya — seperti sudah kita sebutkan tadi – hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rezeki yang akan diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah bint Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu usahanya itu terus dikembangan.
Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya — yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.
“Anakku”, kata Abu Talib, “aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?”
“Terserahlah paman”, jawab Muhammad.
Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah.
“Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?” tanya Abu Talib. “Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor.”
“Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai.” Demikian jawab Khadijah.
Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan peristiwa itu. “Ini adalah rezeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu,” katanya.
Muhammad Menjalankan Perdagangan Khadijah
Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’-Oura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala umurnya baru dua belas tahun.
Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal itu menambah dia lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Mekah.
Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam. Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu, dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta — seperti sudah kita uraikan di atas.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, Mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disuka oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Marr’-z-Zahran Ketika itu Maisara berkata: “Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu.”
Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya, ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisara pun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia — yang sudah berusia empat puluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy — tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya — kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?”
“Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan”, jawab Muhammad.
“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?”
“Siapa itu?”
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah”.
“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka ia pun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh pamanpaman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan.
Perkawinannya dengan Khadijah
Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-istri dan ibu-bapa, suami-istri yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.
Perawakan dan Sifat-sifat Muhammad — Membangun Ka’bah Kembali – Merombak dan Membangun Ka’bah — Keputusan Muhammad tentang Hajar Aswad «Jatuhnya Kekuasaan di Mekah dan Pengaruhnya — Pemikir-pemikir Quraisy dan Paganisma — Putra-putri Muhammad — Perkawinan Putri-putrinya — Menjauhi Dosa ke Gua Hira — Kecenderungan Muhammad Menyendiri – Mencari Kebenaran — Mimpi Hakiki – Wahyu Pertama (tahun 610 M) — Khadijah Lambang Ketulusan
DENGAN dua puluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammag melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-istri dan ibu. bapa, saling mencintai — cinta sebagai pemuda berumur dua puluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Oasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib!’ telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Mereka pun sangat setia dan hormat kepadanya. Perawakan dan Sifat-sifat Muhammad
Paras mukanya manis dan indah, perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak kemerah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat, pandangan matanya tajam, dengan bulu mata yang hitam pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dar indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal, Bila berjalan badannya agak condong ke depan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaannya, membuat orang patuh kepadanya.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia memutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu ia pun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai istri yang sungguh setia itu Membangun Ka’bah Kembali
Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itu pun pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi sasaran pencur mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut, kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi beratap, dewa Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencang kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam lagenda yang mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan ragu-ragu, Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi, sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum’ yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui haj ini, maka berangkatlah al-Walid bin’I-Mughira dengan beberapa Orang dari Quraisy ke Jedah. Kapai itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna mem. bantu mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa dia pun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Merombak dan Membangun Ka’bah
Sudut-sudut Ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian, tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin’I-Mughirah tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewa nya mulai ia merombak bagian sudut selatan.? Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, mereka pun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dari gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunan pun segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba masanya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga Abd’d-Dar dan keluarga “Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang mana pun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abd’d-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La’aqar’d-Damm, yakni ‘jilatan darah”.
Keputusan Muhammad tentang Hajar Aswad
Abu Umayya bin’I-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
“Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini.”
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: “Ini al-Amin: kami dapat menerima keputusannya.”
Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Ia pun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain”, katanya. Setelah kain dibawakan, dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya: “Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.”
Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapan belas hasta (411 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di Suduy barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkar barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberj beratap menjadi sasaran pencurian.
Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka’bah dan memberikan keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur dua puluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapar umurnya tiga puluh lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja, tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa, disusuy “dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain laly mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka’bah menunjukkan betapa tingginya kedudukannya di mata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Jatuhnya Kekuasaan di Mekah dan Pengaruhnya
Adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La’agar’d. Damm (Jilatan Darah), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa. menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh. Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd’-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya sesudah matinya Abd’l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.
Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itu pun membawa akibat secara wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu — suatu hal yang tidak akan berani mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang Owuraisy sendiri, meskipun pemukapemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini sebenarnya beralasan sekali, sebab mereka melihat, bahwa agama yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir. Dengan adanya penyembahan-penyembahat berhala dalam Ka’bah, ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan. Dan memang demikianlah sebenarnya, di balik kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
Pemikir-pemikir Quraisy dan Paganisma
Ada beberapa keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu hari masyarakat Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan berhala “Uzza, empat orang di antara mereka diam-diam meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. “Amr, Usman bin’l-Huwairith, “Ubaidullah b. Jahsy dan Waraga b. Naufal.
Mereka satu sama lain berkata: “Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan, mereka dalam kesesatan. Apa artinya kita mengeliling batu itu: mendengar tidak, melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkan pun juga tidak. Hanya darah korban yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama lain, bukan ini.”
Dari antara mereka itu kemudian Waraga menganut agama Nasrani. Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. “Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya. Kemudian masuk Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi istrinya ‘Umm Habiba bint Abi Sufyan – tetap dalam Islam, sampai kemudian ia menjadi salah seorang istri Nabi dan Umm’I-Mu’minin.
Zaid b. “Amr malah pergi meninggalkan istri dan al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia meninggalkan agama masyarakatnya dan menjauhi berhala. Dialah yang berkata, sambil bersandar ke dinding Ka’bah: “Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembah-Mu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak mengetahuinya.”
Usman bin’I-Huwairith, yang masih berkerabat dengan Khadijah pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga, bahwa ia mengharapkan Mekah akan berada di bawah kekuasaan Rumawi dan dia berambisi ingin menjadi Gubenurnya. Tetapi penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah. Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.
Putra-putri Muhammad
Selama bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Ia menemukan dalam dir, Khadijah teladan wanita terbaik, wanita yang subur dan penuh kasih menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti: al-Oasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyih serta putri-putri seperti Zainab, Rugayya, Umm Kulthum dan Fatimah Tentang al-Oasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali, disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orang tua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
Pada tiap kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan, ditimpa kesedihan berulang. ulang? Perasaan sedih karena kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup terbayang pada istrinya, terlihat setiap ia pulang ke rumah duduk. duduk di sampingnya.
Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan anak-anak perem: puan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dari itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.
Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan denga? membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka’bah, menyembelih hewan buat Hubal, Lat. “Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir. Ia ingin menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan tetapi, semua korban-korban dan penyembelihan itu tidak berguna samasekali.
Perkawinan putri-putrinya
Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu”). Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l“Ash bin’r-Rabi” b. “Abd Syams — ibundanya masih bersaudara dengan Khadijah — seorang pemuda yang dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam — ketika Zainab akan hijrah dari Mekah ke Medinah — mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih terperinci nanti. Rugayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan “Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua istri ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan istri mereka, yang kemudian berturutturut menjadi istri Usman.!
Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu ternyata tenteram adanya. Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan bersama Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda yang bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila Muhammad membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula yang dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia berpikir dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalah-Nya. Begitu besar dan kuatnya kecenderungan rohani yang ada padanya, ia tidak ingin menjadikan dirinya sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli pikir seperti dilakukan oleh Waraga b. Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya hanyalah kebenaran semata. pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia bermenung. Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit sekali dinyatakan kepada orang lain.
Menjauhi Dosa ke Gua Hira
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rezeki dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan fahannuf dan tahannuth.’
Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam dirinya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai mar’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.
Kecenderungan Muhammad Menyendiri
Di puncak Gunung Hira” — sejauh dua farsakh? sebelah utara Mekah — terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia bertekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya Kebenarg, semata.
Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalan hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusi, sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalan kesadaran batinnya segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.
Mencari Kebenaran
Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalan kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para pendeta, melainka dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalan bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut, ata dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuap wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakikat Tertinggi. Dalam usah mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktek. kan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai korban-korban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rezeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapa pun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan “Uzza, dan semua patung dan berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mam kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan buminya. dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kt hangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang ia tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkdl di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan Tetapi apa eter itu? Apa hidup yang kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubahubah, dan tidak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira”. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya terus-menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena dia pun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.
Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulamaulama berlainan pendapat. Dalam Tarikhnya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.
Mimpi Hakiki
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira’, ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanya pun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki, yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini
dicarinya. Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.
Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka darj kesesatan ‘itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing-masing meman benar, tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak mengenal segala macan Spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. “Barangsiap, mengerjakan kebaikan seberat atom pun akan dilihat-Nya. Dan barang. siapa mengerjakan kejahatan seberat atom pun akan dilihat-Nya pula.” Dan bahwa surga itu benar adanya dan neraka pun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah, mereka itulah menghuni neraka tempat tinggal dan kediaman yang paling durhaka.
Muhammad sudah menjelang usia empat puluh tahun. Pergi ia ke Hira melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan jin.
Tetapi istri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. Dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran istri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihan-Nya itu dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.
Wahyu Pertama (tahun 610 M)
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca.” Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: “Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata:
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ………….
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikat pun pergi, setelah katakata itu terpateri dalam kalbunya.?
Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanyatanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.
Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menciptakan manusia, dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang Mengajarkan kepada manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya, tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya.Dahsyat sekaj: terasanya. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. la memalingkan muka darj yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: “Selimuti aku!” ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya istrinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.
“Khadijah, kenapa aku?” katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan terpedaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja. Khadijah Lambang Ketulusan
Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram ke dalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:
“O putra pamanku.’ Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah,? aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan kau, sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”
Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata yenuh terima kasih dan rasa kasih. Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang luar biasa kuatnya. Suatu kehidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulusikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.
Percakapan Khadijah dengan Waraga b. Naufal – Wahyu Terputus – Turunnya Surah Adh-Dhuha – Seruan untuk Kebenaran Semata —Sembahyang — Islamnya Abu Bakr —Kaum Muslimin yang Mula-mula — Quraisy dan Kaum Muslimin – Keluarga-keluarga yang Dekat — Islam dan Kebebasan — Penyair-penyair Quraisy – Minta Mukjizat — Muhammad Menyerang Berhala — Apa Tujuan Sejarah — Banu Hasyim Menjauhkan Muhammad dari Quraisy — Siksaan Quraisy terhadap Kaum Muslimin — Tabah Mengalami Siksaan — Dakwah Muhammad dan Metoda Ilmiah Sekarang — Esensi Dakwah Muhammad — Hamzah Masuk Islam — “Utba b. Rabi’a Diutus Quraisy — Hijrah ke Abisinia — Dua Orang Utusan Quraisy kepada Negus – Jawaban Muslimin kepada Utusan Quraisy — Raja dan Kalangan Istana — Muslimin dan Agama Kristen Abisinia — Ruh dan Islam — Islamnya Umar Ibn’I-Khattab
MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi mengajaknya bicara itu.
Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar, dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi, sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu ke mana saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.
Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah depan mata hatinya. Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu harapan, kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.
Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya berpindahpindah dari harapan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.
Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraga b. Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraga adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bible dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan harapan yang ada dalam dirinya. Waraga menekur sebentar, kemudian katanya: “Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraga. Khadijah, percayalah, dia telah menerima Namus Besar’ seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah.”
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, nafasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:
“O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmu pun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu.”?
Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat.
“Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah”, jawabnya “Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada Uma, manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?”
Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia men, ceritakan apa yang didengarnya dari Waraga tadi. Dengan penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besa, kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata, mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa, kalbu dan fikiran yang sudah begitu tinggi, membubung melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia, manusia yang menyembah patung dan membawakan korban-korban ke sana: mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat mendatangkan bencana dan keuntungan, Mereka membayangkan, bahwa itu patut disembah dan diagungkan, Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masy tahannuth itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari gua Hira”, sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.
Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang, di. dudukkannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itu pun masih juga dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.
Percakapan Khadijah dengan Waraqa b. Naufal
Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi Ka’bah. Di tempat itu Waraga b. Naufal menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraga berkata:
“Demi Dia Yang memegang hidup Waraga. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahui-Nya pula.”
Lalu Waraga mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammad pun segera merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraga itu, dan merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.
Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy supaya turut beriman, padahal ia tahu benar mereka sangat kuat mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan sanak famili yang dekat.
Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang telah menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka, agar mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang baik, dengan mcmberikan kepada orang berdekatan, hakhak mereka, begitu juga kcpada orang yang dalam perjalanan, agar mereka menjauhkan diri dari menyembah batu batu yang mercka buat jadi berhala, yang menurut dugaan mercka akan mengampuni segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mercka lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu. Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. la mempenngatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi, supaya semua itu menjadi tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya itu akan memahami pula kebesaran al-Khalik Pencipta alam semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur. Mereka akan diisi oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan memerintahkannya, supaya mengajak mereka.
Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang Sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala seperti yang Yilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi orang yang akan menyembah berhala? Laly bagaimana pula akan membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda hawa nafsu, hawa nafsu yang akan menjerumuskan mereka sampai kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingar, kan manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi masalah besar itu.
Wahyu Terputus
Ia sedang menantikan bimbingan wahyu dalam menghadapi masalah. nya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi jalannya, Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibril pun tidak datang lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu. Ia merasa terasing darj orang, dan dari dirinya. Kembali ia merasa dalam ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon Khadijah pernah mengatakan kepada. nya: “Mungkin Tuhan tidak menyukai engkau.”
Ia masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi dalam gua Hira”. Ia ingin membubung tinggi dengan seluruh jiwanya, menghadapkan diri kepada Tuhan, akan menanyakan: Kenapa ia lalu ditinggalkan sesudah dipilihNya? Kecemasan Khadijah pun tidak pula kurang rasanya.
Ia mengharap mati benar-benar kalau tidak karena merasakan adanya perintah yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi ia kepada dirinya, kemudian kepada Tuhannya. Konon katanya: Pernah terpikir olehnya akan membuang diri dari atas Hira’ atau dari atas puncak gunung Abu Oubais. Apa gunanya lagi hidup kalau harapannya yang besar ini jadi kering lalu berakhir?
Turunnya Surah Adh-Dhuha
Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian itu — sesudah sekian lama terhenti — tiba-tiba datang wahyu membawa firman Tuhan:
“Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila senyap kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak merasa benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari Tuhan kepadamu. Maka engkau pun akan bersenang hati. Bukankah Ia mendapati kau seorang piatu, lalu diberi-Nya tempat berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu diberi-Nya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak piatu, jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang yang meminta, jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau sebarkan.”
Maha Mulia Allah. Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa gembiranya dalam hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya. Bibirnya pun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa Tuhan sudah tidak menyukai Muhammad dan ia pun tidak lagi merasa takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua dengan rahmat-Nya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang samasekali dari hatinya.
Tak ada lagi bunuh diri.
Yang ada sekarang ialah hidup dan ajakan kepada Allah, dan hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di bumi bersujud belaka kepada-Nya. Hanya Dialah Yang Hak, dan yang selain itu batil adanya. Hanya kepada-Nya hati manusia dihadapkan, seluruh hidup ke sana juga bergantung dan kepada-Nya pula ruh akan kembali. “Sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang.”
Seruan untuk Kebenaran Semata
Ya, hari kemudian tempat berkumpulnya jiwa dengan segala bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang dan waktu, dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi, berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan menjadi tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu hanya bayangan belaka, yang tiada berguna. Kebenaran inilah yang cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad, dan yang baru akan dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana mengajak orang ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada Tuhan, ia harus membersihkan pakaiannya serta menjauhi perbuatan mungkar. Ia harus tabah menghadapi segala gangguan demi menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada ilmu yang belum mereka ketahui, jangan menolak orang meminta, jangan berlaku bengis terhadap anak piatu. Cukuplah Tuhan telah memilihnya sebagai pengemban amanat. Maka katakanlah itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah menemukannya sebagai seorang piatu, lalu dilindungi-Nya di bawah asuhan kakeknya Abd’l-Muttalib dan Paman, hya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin, telah diberi kekayaan dengar amanat Tuhan kepadanya. Dipermudah pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya, kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan yang penuh cinta kasih, yang memberi naseha, Yengan rasa kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan lalu diberi-Nya petunjuk berupa risalah. Cukuplah semua itu. Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat mungkin.
Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang telah dipilih, Nya. Ia tidak ditinggalkan-Nya, juga tidak dibenci-Nya. Sembahyang
Tuhan telah mengajarkan Nabi bersembahyang, maka ia pun ber, sembahyang, begitu juga Khadijah ikut pula sembahyang. Selain putri, putrinya, tinggal bersama keluarga itu Ali bin Abi Talib sebagai anak muda yang belum baligh. Pada waktu itu suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luar biasa. Abu Talib adalah keluarga yang banyak anaknya. Muhammad sekali berkata kepada Abbas, pamannya — yang pada masa itu adalah yang paling mampu di antara Keluarga Hasyim – “Abu Talib saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang yang mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya itu, Aku akan mengambilnya seorang kau pun seorang untuk kemudian kita asuh.”
Kerana itu Abbas lalu mengasuh Ja’far dan Muhammad mengasuh Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.
Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku'” dan sujud serta membaca beberapa ayat Quran yang sampai pada waktu itu sudah diwahyukan kepadanya. Anak itu tertegun berdiri: “Kepada siapa kalian sujud?” tanyanya setelah sembahyang selesai.
“Kami sujud kepada Allah”, jawab Muhammad. “Yang mengutusku menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah Allah.”
Lalu Muhammad pun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah semata tiada bersekutu se:ta menerima agama yang dibawa Nabi utusan-Nya dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan “Uzza. Muhammad lalu membacakan beberapa ayat Quran. Ali sangat terpesona karena ayat-ayat itu luar biasa indahnya.
Ia minta waktu akan berunding dengan ayahnya lebih dulu. Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi esoknya ia memberitahukan kepada suami-istri itu, bahwa ia akan mengikuti mereka berdua, tidak perlu minta pendapat Abu Talib.
“Tuhan menjadikan saya tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib. Apa gunanya saya harus berunding dengan dia untuk menyembah Allah.”
Jadi Ali adalah anak pertama yang menerima Islam. Kemudian Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih terbatas hanya dalam lingkungan keluarga Muhammad: dia sendiri, istrinya, saudara sepupunya dan bekas budaknya. Masih juga ia berpikir-pikir, bagaimana akan mengajak kaum Quraisy itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya mereka itu dan betapa pula kuatnya mereka berpegang pada berhala yang disembah-sembah nenek-moyang mereka itu.
Islamnya Abu Bakr
Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim adalah teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah diketahuinya benar ia sebagai orang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Oleh karena itu orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan penyembahan berhala, adalah dia. Juga dia laki-laki pertama tempat dia membukakan isi hatinya akan segala yang dilihat serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi memenuhi ajakan Muhammad dan beriman pula akan ajakannya itu. Jiwa yang mana lagi yang memang mendambakan kebenaran masih akan ragu-ragu meninggalkan penyembahan berhala dan untuk kemudian menyembah Allah Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih mau menyembah batu yang bagaimanapun bentuknya! Jiwa yang mana lagi yang sudah bersih masih akan ragu-ragu membersihkan pakaian dan jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan dan berbuat kebaikan kepada anak piatu!
Keimanannya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya itu segera diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang seorang pria yang rupawan. “Menjadi kesayangan masyarakatnya dan amikal sekali. Dari kalangan Quraisy ia termasuk orang Quraisy yang berketurunan tinggi dan yang banyak mengetahui segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang jahat. Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik ia cukup terkenal. Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka Mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya karena ilmunya karena perdagangannya dan karena pergaulannya yang baik.” ‘
Dari kalangan masyarakatnya yang dipercayai oleh Abu Bakr diajak, nya mereka kepada Islam. Usman b. “Affan, Abdurrahman b. “Auf, Talha b. “Ubaidillah, Sa’d b. Abi Waggash dan Zubair bin’I-“Awwam mengikut, nya pula menganut Islam. Kemudian menyusul pula Abu “Ubaida bin, Djarrah, dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah. Mereka yang sudah Islam itu lalu datang kepada Nabi menyatakan Islamnya, yang selanjutnya menerima ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri.
Kaum Muslimin yang Mula-mula
Mengetahui. adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka kaum Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila mereka akan melakukan salat, mereka pergi ke celah-celah gunung di Mekah, Keadaan serupa ini berjalan selama tiga tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk Mekah. Wahyu yang datang kepada Muhammad selama itu makin memperkuat iman kaum Muslimin.
Yang menambah pula dakwah itu berkembang sebenarnya karena teladan yang diberikan Muhammad sangat baik sekali, ia penuh bakti dan penuh kasih-sayang, sangat rendah hati dan penuh kejantanan, tutur katanya lemah-lembut dan selalu berlaku adil, hak setiap orang masing. masing ditunaikan. Pandangannya terhadap orang yang lemah, terhadap piatu, orang yang sengsara dan miskin adalah pandangan seorang bapa yang penuh kasih, lemah-lembut dan mesra. Malam hari pun, dalam ia bertahajud, malam ia tidak cepat tidur, membaca wahyu yang disampaikan kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari pertanda dari segenap wujud ini, permohonannya selalu dihadapkan hanya kepada Allah. Dia, yang menyerapkan hidup semesta ini ke dalam dirinya dan ke dalam jantung kehidupannya sendiri, adalah suatu teladan yang membuat mereka yang sudah beriman dan menyatakan diri Islam itu, makin besar cintanya kepada Islam dan makin kukuh pula imannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan anutan nenek-moyang mereka dengan menanggung segala siksaan kaum musyrik yang hatinya belum lagi disentuh iman.
Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah mengenal arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum yang lemah, semua orang yang sengsara dan semua orang yang tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar di Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, pria dan wanita. Quraisy dan Kaum Muslimin
Orang banyak bicara tentang Muhammad dan tentang ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya tidak menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa kata-katanya tidakkan lebih dari kata-kata pendeta atau ahliahli semacam Ouss, Umayya, Waraga dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya, yang akhirnya akan menang ialah Hubal, Lat dan “Uzza, begitu juga Isaf dan Na’ila yang dibawai korban. Mereka lupa bahwa iman yang murni tak dapat dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan mendapat kemenangan. Keluarga-keluarga yang Dekat
Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah datang supaya ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu datang:
“Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat. Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang beriman yang mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau, katakanlah, “Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu.”! “Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak usah kau hiraukan orang-orang musyrik itu ”
Muhammad pun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka kepada Allah. Tetapi Abu Lahab, pamannya, lalu menyetop pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang mereka. Selesai makan, katanya kepada mereka: “Saya tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya bawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu sekalian. Siapa diantara kamu ini yang mau mendukungku dalam hal ini?”
Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit – ketika itu ia masih anak-anak, belum lagi baligh.
“Rasulullah, saya akan membantumu,” katanya. “Saya adalah lawan Siapa saja yang kautentang.”
Banu Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib kepada anaknya. Kemu, dian mereka semua pergi meninggalkannya dengan ejekan.
Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah Suatu hari ia naik ke Shafa’ dengan berseru: “Hai masyarakat Quraisy Tapi orang Quraisy itu lalu membalas: “Muhammad bicara dari atas Shafa.” Mereka lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya. “Ada apa?”
“Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?”
“Ya,” jawab mereka. “Engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat engkau berdusta.”
“Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang Sungguh berat,” katanya. “Banu Abd’l-Muttalib, Banu “Abd Manaf, Bany Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad. Allah memerintah. kan aku memberi peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat. Tak ada sesuatu bagian atay keuntungan yang dapat kuberikan kepada kamu, selain kamu ucapkan: Tak ada tuhan selain Allah.”
Atau seperti dilaporkan: Abu Lahab — seorang laki-laki berbadan gemuk dan cepat naik darah — kemudian berdiri sambil meneriakkan: “Celaka kau hari ini. Untuk ini kau kumpulkan kami?”
Muhammad tak dapat bicara. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:
“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilar-jilat akan menggulungnya.”
Islam dan Kebebasan
Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja orang yang Isiam — menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih mereka yang tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan untuk sekadar melepaskan renungan akan apa yang telah diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang berkecukupan, baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri. Tidak dipedulikannya harta itu, juga tidak akan memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh (lapang dada, toleransi). Ya, bahkan dia yang menerima wahyu menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah suatu kutukan terhadap jiwa.
“Kamu telah dilalaikan oleh perlombaan saling memperbanyak. Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kamu ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kamu mengetahui dengan meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat mereka. Kemudian, tentu akan kamu lihat itu dengan mata yang meyakinkan. Hari itu kemudian baru kamu akan ditanyai tentang kesenangan itu.”
Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu! Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang tak ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi setiap manusia Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri! Ya! Bukankah orang mau melepaskan diri dari belenggu dengan pengabdian yang bagaimanapun selain pengabdiannya kepada Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada Hubal, tak ada Lat, “Uzza. Tak ada api Majusi, matahari orang Mesir, tak ada bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin (pengikut-pengikut Isa), tak ada seorang manusia pun, atau malaikat atau pun jin yang akan menjadi batas antara Allah dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya di hadapan-Nya Yang Tunggal tak bersekutu, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan, yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah yang menjadi perantaraannya. Hati kecilnya yang akan menimbang semua perbuatan. Hanya itulah yang berkuasa atas dirinya. Dengan itulah dipertanggungkan ketika setiap jiwa mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad itu? Adakah Abu Lahab dan kawankawannya mengajarkan yang semacam itu — sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan supaya manusia tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?
Penyair-penyair Quraisy
Akan tetapi Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, hartawan-hartawan yang gemar bersenangSenang, mulai merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Jadi yang mula-mula harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara mendiskreditkannya, d: mendustakan segala apa yang dinamakannya kenabian itu. an
Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah Membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin’I-Harith, “Amr bin’IAsh dan Abdullah ibn’z-Ziba’ra, supaya mengejek dan menyerangnya. Dalam pada itu penyair-penyair Muslimin juga tampil membalas serangan Mereka tanpa Muhammad sendiri yang harus melayani.
Minta Mukjizat
Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mukjizat yang akan dapat mem. buktikan kerasulannya: mukjizat-mukjizat seperti pada Musa dan Isa, Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak disunglapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama inj membuat Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?
Tidak hanya sampai di situ saja kaum musyrikin itu mau mengejeknya dalam soal-soal mukjizat, malahan ejekan mereka makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?
Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang datang kepada Muhammad menjawab debat mereka:
“Katakanlah: “Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib-ghaib, niscaya kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahaya pun tidak menyentuhku. Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa berita gembira bagi mereka yang beriman.”
Ya. Muhammad hanya mengingatkan dan membawa berita gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?! Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi padahal yang diharapkannya dari mereka agar mereka mau menerima suara yang sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?!
Bagaimana pula mereka masih menuntutnya dengan beberapa mukjizat, padahal kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan yang benar itu adalah mukjizat dari segala mukjizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat lagi dengan keanehankeanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu nanti mereka pun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah mereka atau tidak?
Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak lebih adalah batu-batu atau kayu yang disangga atau berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah pasir, yang tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya. Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut pembuktian sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang dituntut, pasti ia akan tetap batu atau kayu, tanpa hidup, tanpa gerak, untuk dirinya pun ia tak dapat menolak bahaya atau membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang menghancurkannya ia pun takkan dapat mempertahankan diri.
Muhammad Menyerang Berhala
Muhammad pun sudah terang-terangan menyebut berhala-berhala mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya. Ia mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan demikian. Hal ini menjadi soal besar bagi Quraisy dan dirasakan menusuk hati mereka. Tentang lakiJaki itu, serta apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia, sekarang mulai sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka. Sampai sebegitu jauh mereka baru sampai memperolok kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar’n-Nadwa,’ atau di sekitar Ka’bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah mereka dengan sikap tidak lebih dari senyuman mengejek dan berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, “Uzza dan semua berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan cemoohan, melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau, andaikata orang itu sampai dapat menghasut penduduk Mekah melawan mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil apa yang akan diperolehnya dari perdagangan Mekah itu? Dan bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?
Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar itu pemuka-pemuka bangsawan Quraisy — dengan diketahui oleh Abu Sufyan b. Harb – pergi menemui Abu Talib.
“Abu Talib”, kata mereka, “kemenakanmu itu sudah memak, berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan, harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita. Soalnya sekarang harus kauhentikan dia, kalau tidak biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami tidak sejalan maka cukuplah engkau dari pihak kami menghadapi dia.”
Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas dakwahnya dan dakwah itu pun mendapat pengikut bertambah banyak.
Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai “Umara bin I-Waliq bin’I-Mughira, seorang pemuda yang montok dan rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak angkat, dan sebagai gantinya Supaya Muhammad diserahkan kepada mereka. Tetapi ini pun ditolak, Muhammad terus juga berdakwah, dan Quraisy pun terus juga berkomplot.
Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib.
“Abu Talib”, kata mereka, “Engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta supaya menghentikan kemenakanmu itu, tetapi tidak juga kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan mencela berhala-berhala kita — sebelum kau suruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa.”
Berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang harus dilakukannya?
Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan Quraisy. Lalu katanya: “Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”
Apa Tujuan Sejarah
Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan sebuah sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak tahu hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi dunia, adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan Kristen yang sudah gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan busuk? Atau ia harus memancarkan terus sinar kebenaran itu, memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran manusia dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan mengangkatnya ke martabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?
Pamannya, ini pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela dan memeliharanya. Ia sudah mau meninggalkan dan melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak berdaya akan berperang, tidak dapat melawan Quraisy yang punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah manusia. Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran. Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang. Tak punya apa-apa ia selain imannya kepada kebenaran itu sebagai perlengkapan. Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian itu baginya lebih baik daripada yang sekarang. Ia akan meneruskan misinya, akan mengajak orang seperti yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman kebenaran yang telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah atau ragu-ragu.
Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia menoleh kepada pamannya seraya berkata:
“Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh udak akan kutinggalkan, biar nanti Allah Yang akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku, atau aku binasa karenanya.”
Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman itu! Gementar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad, tertegun ia. Ternyata ia berdiri di hadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada.
Muhammad berdiri. Air matanya terasa menyumbat karena sikap pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas kesangsian dalam hatinya sedikit pun akan jalan yang ditempuhnya itu.
Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan sikap kemenakannya itu. Tetapi kemudian dimintanya Muhammad datang lagi, yang lalu katanya:
“Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun juga!”
Banu Hasyim Menjauhkan Muhammad dari Quraisy
Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib disampaikan kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Pembicaraannya tentang Muhammad itu terpengaruh oleh suasana yang dilihat dan dirasakannya ketika itu. Dimintanya supaya Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy. Mereka semua menerima usul ini, kecuali Abu Lahab. Terang, terangan ia menyatakan permusuhannya. Ia menggabungkan diri pada pihak lawan mereka. Permintaan mereka supaya ia dilindungi itu sudah tentu karena terpengaruh oleh fanatisma kegolongan dan permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya. Tetapi bukan fanatisma itu saja yang mendorong Quraisy bersikap demikian. Ajarannya itu sungguh berbahaya bagi kepercayaan yang biasa dilakukan oleh leluhur mereka, Kedudukan Muhammad di tengah-tengah mereka, pendiriannya yang teguh serta ajarannya pada kebaikan supaya orang hanya menyembah Zat Yang Tunggal, yang pada waktu itu memang sudah meluas juga di kalangan kabilah-kabilah Arab, bahwa agama Allah itu bukanlah seperti yang ada pada mereka sekarang, membuat mereka dapat membenarkan juga sikap kemenakan mereka itu, Muhammad, dalam menyatakan pendiriannya, seperti yang pernah dilakukan oleh Umayya b. Abi’sh-Shalt dan Waraga b. Naufal dan yang lain. Kalau Muhammad memang benar – dan ini yang tidak dapat mereka pastikan — maka kebenaran itu akan tampak juga dan mereka pun akan merasakan pula kemegahannya. Sebaliknya, kalau tidak atas dasar kebenaran, maka orang pun akan meninggalkannya seperti yang sudah terjadi sebelum itu. Akhirnya ajaran demikian ini tidak akan meninggalkan bekas dalam mengeluarkan mereka dari tradisi yang ada dan dia sendiri pun akan diserahkan kepada musuh supaya dibunuh.
Terhadap gangguan Quraisy ia dapat berlindung kepada golongannya, seperti kepada Khadijah bila ia mengalami kesedihan. Baginya — dengan imannya yang sungguh-sungguh dan cinta-kasihnya yang besar — Khadijah adalah lambang kejujuran yang dapat menghilangkan segala kesedihan hatinya, yang dapat menguatkan kembali setiap ciri kelemahan yang mungkin timbul karena siksaan musuh-musuhnya yang begitu keras menentangnya serta melakukan penyiksaan terus-menerus terhadap pengikut-pengikutnya.
siksaan Quraisy terhadap Kaum Muslimin
Sebelum itu sebenarnya Quraisy memang tidak pernah mengenal hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah itu langsung menyerbu kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka, disiksa dan dipaksa melepaskan agamanya, sehingga di antara mereka ada yang mencampakkan budaknya,. Bilal, ke atas pasir di bawah terik matahari yang membakar, dadanya ditindih dengan batu dan akan dibiarkan mati. Soalnya karena ia teguh bertahan dalam Islam! Dalam kekerasan semacam itu Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad — Hanya Yang Tunggal!” Ia memikul semua siksaan itu demi agamanya.
Ketika pada suatu hari oleh Abu Bakr dilihatnya Bilal mengalami siksaan begitu rupa, ia dibelinya lalu dibebaskan. Tidak sedikit budakbudak yang mengalami kekerasan serupa itu oleh Abu Bakr dibeli — di antaranya budak perempuan Umar bin’l-Khattab, dibelinya dari Umar (sebelum masuk Islam). Ada pula seorang wanita yang disiksa sampai mati karena ia tidak mau meninggalkan Islam kembali kepada kepercayaan leluhurnya.
Kaum Muslimin di luar budak-budak itu, dipukuli dan dihina dengan berbagai-bagai. Muhammad juga tidak terkecuali mengalami gangguangangguan — meskipun sudah dilindungi oleh Banu Hasyim dan Banu alMuttalib. Umm Jamil, istri Abu Jahl, melemparkan najis ke depan rumahnya. Tetapi cukup Muhammad hanya membuangnya saja. Dan pada waktu sembahyang, Abu Jahl melemparinya dengan isi perut kambing yang sudah disembelih untuk sesajen kepada berhala-berhala. Ditanggungnya gangguan demikian itu dan ia pergi kepada Fatimah, putrinya, supaya mencucikan dan membersihkannya kembali. Ditambah lagi, di’ samping semua itu, kaum Muslimin harus menerima kata-kata biadab dan keji ke mana saja mereka pergi.
Cukup lama hal serupa itu berjalan. Tetapi kaum Muslimin tambah teguh terhadap agama mereka. Dengan dada terbuka mereka menerima siksaan dan kekerasan itu — demi akidah dan iman mereka.
Tabah Mengalami Siksaan
Perioda yang telah dilalui dalam hidup Muhammad ‘a.s. ini adalah perioda yang paling dahsyat yang pernah dialami oleh sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang yang menuntut kebenaran serta keyakinannya akan kebenaran itu. Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi mereka yang mengalami penderitaan, dan membebaskan mereka dari belenggu paganisma yang rendah, yang menyusup ke dalam jiwa manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangar memalukan.
Demi tujuan rohani yang luhur itulah — tidak untuk tujuan yang lain – ia mengalami siksaan. Penyair-penyair memakinya, orang-orang Quraisy sama berkomplot hendak membunuhnya di Ka’bah. Rumahnya dilempari batu, keluarga dan pengikut-pengikutnya diancam. Tetapi dengan semua itu malah ia makin tabah, makin gigih meneruskan dakwah. Jiwa kaum mukmin yang mengikutinya itu sudah padat oleh ucapannya:
“Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah Yang akan membuktikan kemenangan itu, di tanganku atau aku binasa karenanya.”
Segala pengorbanan yang besar-besar itu tak ada artinya bagi mereka, maut pun sudah tak berarti lagi demi kebenaran, dan membimbing Quraisy ke arah rtu. Kadang orang heran, iman sudah begitu mempersona. kan jiwa penduduk Mekah pada waktu agama ini belum lengkap, pada waktu ayat-ayat Quran yang turun masih sedikit. Kadang juga Orang mengira, bahwa pribadi Muhammad, sifatnya yang lemah-lembut, keindahan akhlaknya serta kejujurannya yang sudah cukup dikenal, di sampin: kemauan yang keras dan pendiriannya yang teguh, adalah sebab dari se ua itu. Sudah tentu ini juga ada pengaruhnya. Akan tetapi ada sebab-sebab lain yang juga patut diperhatikan yang tidak sedikit pula ikut memegang peranan.
Muhammad tinggal dalam suatu daerah yang merdeka mirip-mirip sebuah republik. Dari segi keturunan ia menempati puncak yang tinggi. Harta pun sudah cukup seperti yang dikehendakinya. Ia dari Keluarga Hasyim pula, juru kunci Ka’bah dan penguasa urusan air. Gelar-gelar keagamaan yang tinggi-tinggi ada pada mereka. Jadi dalam keadaan itu ia tidak lagi membutuhkan harta kekayaan, pangkat atau sesuatu kedudukan politik atau agama. Dalam hal ini ia berbeda pula dengan para rasul dan nabi-nabi sebelumnya. Musa yang dilahirkan di Mesir bertemu dengan Firaun yang oleh penduduk sudah dituhankan, dan Firaun juga yang berkata: “Aku adalah tuhanmu yang tertinggi”, yang dibantu pula oleh pemuka-pemuka agama melakukan tekanan kepada orang dengan pelbagai macam kekejaman, pemerasan dan pemaksaan. Revolusi yang dilakukan Musa atas perintah Tuhan adalah revolusi dalam struktur politik dan agama sekaligus. Bukankah keinginannya supaya Firaun dan orang yang menimba air dengan syaduf dari sungai Nil itu di hadapan Tuhan sama sederajat? Jadi di mana ketuhanan Firaun itu dan di mana pula ketentuan yang berlaku! Harus dihancurkan semua itu dan revolusi itu pun terlebih dulu harus bersifat politik.
Oleh karena itu, dari semula ajaran Musa itu sudah mendapat perlawanan hebat dari Firaun. Dengan demikian, supaya orang menerima seruannya itu, ia diperkuat oleh mukjizat-mukjizat. Ia melemparkan tongkatnya, dan tongkat itu menjadi seekor ular yang bergerak-gerak, menelan semua hasil pekerjaan tukang-tukang sihir Firaun itu. Itu pun tidak memberi hasil apa-apa buat Musa. Terpaksa ia meninggalkan Mesir tanahairnya. Dalam hijrahnya itu pun diperkuat pula ia dengan sebuah mukjizat yaitu terbelahnya jalan di tengah-tengah air lautan itu.
Juga Isa, yang dilahirkan di Nazareth di bilangan Palestina, yang pada waktu itu merupakan wilayah Rumawi yang berada di bawah kekuasaan kaisar-kaisar dengan segala kekejamannya sebagai pihak penjajah dan kekuasaan dewa-dewa Rumawi, — mengajak orang supaya sabar menghadapi kekejaman itu dan bertobat bagi yang menyesal dan macam-macam perasaan belas-kasih lagi, yang oleh pihak penguasa justru dianggap pemberontakan terhadap kekuasaan mereka. Maka Isa juga diperkuat dengan mukjizat-mukjizat: menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang sakit, dan yang lain diperkuat oleh Ruh Kudus. Memang benar, bahwa inti ajaran-ajaran mereka itu pada dasarnya bertemu dengan inti ajaran-ajaran Muhammad juga, lepas dari detil yang bukan tempatnya untuk dijelaskan di sini. Akan tetapi motif yang berbagai macam ini, dan yang terutama motif politik, adalah yang menjadi tujuannya juga.
Sebaliknya Muhammad, keadaannya seperti yang kita sebutkan di atas, sifat ajarannya adalah intelektual dan spiritual. Dasarnya adalah mengajak kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan. Suatu ajakan yang berdiri sendiri dari mula sampai akhir. Karena jauhnya dari segala pertentangan politik, struktur republik yang sudah ada di Mekah itu tidak pernah mengalami-sesuatu kekacauan.
Dakwah Muhammad dan Metoda Ilmiah Sekarang
Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini ialah mengharuskan kita — apabila kita hendak mengadakan suatu penyelidikan — terlebih dulu membebaskan diri dari segala prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada diri kita yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di situlah kita memulai dengan mengadakan observasi dan eksperimen, mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian baru dengan silogisma yang sudah didasarkan kepada premisa-premisa tadi. Apabila semua itu sudah dapat disimpulkan, maka kesimpulan demikian itu dengan sendirinya masih perlu dibahas dan diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini Sudah merupakan suatu data ilmiah selama penyelidikan tersebut belum memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah demikian ini ialah yang terbaik yang pernah dicapai umat manusia demi kemerdekaan berpikir. Metoda dan dasar-dasar dakwah demikian inilah pula yang menjadj begangan Muhammad.
Bagaimana pula mercka yang menjadi pengikutnya itu puas dan beriman sungguh-sungguh akan ajarannya? Segala kepercayaan lama terkikis habis dari jiwa mereka, dan sekarang mereka mulai memikirkan masa depan mereka.
Waktu itu setiap kabilah Arab mempunyai berhala sendiri-sendiri, Mana pula gerangan berhala yang benar dan mana yang sesat? Di negeri, negeri Arab dan negeri-negeri sekitarnya ketika itu memang sudah ada penganut-penganut Sabian dan Majusi penyembah api, juga ada yang menyembah matahari. Mana di antara mereka itu yang benar dan mang pula yang sesat?
Esensi Dakwah Muhammad
Baiklah kita kesampingkan dulu semua ini, kita hapuskan jejaknya dari jiwa kita. Kita bebaskan dulu diri kita dari segala konsepsi dan kepercayaan lama. Baiklah kita renungkan. Merenungkan dan meninjau pada dasarnya sama. Yang pasti ialah bahwa seluruh alam ini satu sama lain saling berhubungan. Manusia, puak-puak dan bangsa-bangsa saling berhubungan. Manusia berhubungan juga dengan hewan dan dengan benda, bumi kita berhubungan dengan matahari, dengan bulan dan tatasurya lainnya. Dan semua itu pun berhubungan pula dengan undangundang yang sudah tali-temali, tak dapat ditukar-tukar atau diubah-ubah lagi. Matahari tidak seharusnya akan mengejar bulan, malam pun takkan dapat mendahului siang. Andaikata di antara isi alam ini ada yang berubah atau berganti, niscaya akan beganti pulalah segala yang ada dalam alam ini. Andaikata matahari tidak lagi menyinari dan memanasi bumi, menurut undang-undang yang sudah berjalan sejak jutaan tahun yang lalu, niscaya bumi dan langit ini sudah akan berubah pula. Dan oleh karena yang demikian ini tidak terjadi, maka atas semua itu sudah tentu ada zat yang menguasainya. Dari situ ia tumbuh, dengan itu ia berkembang dan ke situ pula ia kembali. Hanya kepada Zat ini sajalah semata manusia menyerah. Demikian juga, segala yang ada dalam alam ini menyerah semata kepada Zat ini, persis seperti manusia. Baik manusia, alam, ruang dan waktu adalah suatu kesatuan. Maka Zat itulah inti dan sumbernya. Jadi, hanya kepada Zat itu sajalah semata ibadat dilakukan. Hanya kepada Zat itu sajalah jantung dan jiwa manusia dihadapkan. Ke dalam alam itu juga kita harus melihat dan merenungkan undang-undang alam yang kekal abadi itu. Jadi segala yang disembah manusia selain Allah berupa berhalaberhala, raja-raja, firaun-firaun, api dan matahari, hanyalah suatu ilusi batil saja, tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan manusia, tidak sesuai dengan akal pikiran manusia serta dengan kemampuan yang ada dalam dirinya, yang dapat membuat kesimpulan atas undang-undang Tuhan terhadap ciptaan-Nya itu, dengan jalan merenungkannya.
Inilah rasanya esensi ajaran Muhammad seperti yang diketahui kaum Muslimin yang mula-mula itu. Ajaran yang disampaikan wahyu kepada mereka melalui Muhammad itu adalah puncak dari bahasa sastra yang telah menjadi mukjizat dan akan terus berlaku demikian. Terpadunya kebenaran dan cara melukiskannya dengan keindahan yang luar biasa itu kini tampak di hadapan mereka. Di sini jiwa dan kalbu mereka meningkat lebih tinggi, berhubungan dengan Zat Yang Maha Mulia. Lalu datang Muhammad menuntun mereka bahwa kebaikan itulah jalan yang akan sampai ke tujuan. Mereka akan mendapat balasan atas kebaikan itu bilamana mereka sudah menunaikan kewajiban dalam hidup dengan tekun. Setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. “Barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarah pun akan dilihatnya, dan: barangsiapa berbuat kejahatan seberat zarah pun akan dilihatnya pula.”
Dalam menjunjung pikiran manusia ke tempat yang lebih tinggi kiranya tak ada yang lebih tinggi dari ini! Juga menghancurkan belenggu yang senantiasa mengikatnya itu! Terserah kepada manusia. Ia mau memahami ini, mau beriman dan mengerjakannya untuk mencapai puncak ketinggian martabat manusia itu! Demi mencapai tujuan, segala pengorbanan terasa ringan bagi orang yang sudah beriman itu.
Hamzah Masuk Islam
Karena posisi Muhammad dan pengikut-pengikutnya yang begitu agung, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib tambah ketat menjaganya dari setiap gangguan. Pada suatu hari Abu Jahl bertemu dengan Muhammad, ia mengganggunya, memaki-makinya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dialamatkan kepada agama ini. Tetapi Muhammad tidak melayaninya. Ditinggalkannya ia tanpa diajak bicara. Hamzah, pamannya dan saudaranya sesusu, yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah seorang laki-laki yang kuat dan ditakuti. Ia mempunyai kegemaran berburu. Bila ia kembali dari berburu, terlebih dulu mengelilingi Ka’bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.
Hari itulah, bilamana ia datang dan mengetahui bahwa kemenakannya itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap marah. Ia pergi ke Ka’bah, tidak lagi ia memberi salam kepada yang hadir di tempat itu seperti biasanya, melainkan terus masuk ke dalam mesjid menemui Abu Jahl. Setelah dijumpainya, diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya keras-keras di kepalanya. Beberapa orang dari Banu Makhzum mencoba may membela Abu Jahl. Tapi tidak jadi. Kuatir mereka akan timbul bencang dan membahayakan sekali, dengan mengakui bahwa ia memang mencaci, maki Muhammad dengan tidak semena-mena.
Sesudah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkorban d jalan Allah sampai akhir hayatnya.
“Utba b. Rabi’a Diutus Quraisy
Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan kawan, kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan dan siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak dapat mengurangi iman mereka dan menyatakannya terus-terang, tidak dapat menghalangi mereka me, lakukan kewajiban agama. Terpikir oleh Quraisy akan membebaskan dirj dari Muhammad, dengan cara seperti yang mereka bayangkan, memberi, kan segala keinginannya. Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah Islam, kemurnian esensi ajaran rohaninya yang begitu tinggi, berada dj atas segala pertentangan ambisi politik. “Utba b. Rabi’a, seorang bang, sawan terkemuka, mencoba membujuk Quraisy ketika mereka dalam tempat pertemuan dengan mengatakan bahwa ia akan bicara dengan Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau memberikan apa saja kehendaknya, asal ia dapat dibungkam.
Ketika itulah “Utba bicara dengan Muhammad.
“Anakku”, katanya, “seperti kau ketahui, dari segi keturunan, engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah membawa soal besar ke tengah-tengah masyarakatmu, sehingga mereka cerai-berai karenanya. Sekarang, dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa masalah, kalau-kalau sebagian dapat kauterima — Kalau dalam hal ini yang kauinginkan adalah harta, kami pun siap mengumpulkan harta kami, sehingga hartamu akan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami angkat engkau di atas kami semua, kami takkan memutuskan suatu perkara tanpa ada persetujuanmu. Kalau kedudukan raja yang kauinginkan, kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf’ yang tak dapat kautolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya dengan harta-benda kami sampai kau sembuh.” Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah as-Sajda (32 —Ha Mim). “Utba diam mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu.
Dilihatnya sekarang yang berdiri di hadapannya itu bukanlah seorang lakiJjaki yang didorong oleh ambisi harta, ingin kedudukan atau kerajaan, juga bukan orang yang sakit, melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang kepada kebaikan. Ia mempertahankan sesuatu dengan cara yang baik, dengan kata-kata penuh mukjizat.
Selesai Muhammad membacakan itu “Utba pergi kembali kepada Quraisy. Apa yang dilihat dan didengarnya itu sangat mempesonakan dirinya. Ia terpesona karena kebesaran orang itu. Penjelasannya sangat menarik sekali.
Persoalannya “Utba ini tidak menyenangkan pihak Quraisy, juga pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak menggembirakan mereka, sebaliknya kalau mengikutinya, maka kebanggaannya buat mereka.
Maka kembali lagilah mereka memusuhi Muhammad dan sahabatsahabatnya dengan menimpakan bermacam-macam bencana, yang selama ini dalam kedudukannya itu ia berada dalam perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Hijrah ke Abisinia
Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampaisampai ada yang dibunuh. disiksa dan semacamnya. Waktu itu Muhammad menyarankan supaya mecrcka terpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kepadanya ke mana mercka akan pergi. mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang rakyatnya menganut agama Kristen. “Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi jujur, sampa nanu Allah membukakan jalan buat kita semua.”
Sebagian kaum Muslimin keuka itu lalu berangkat ke Abisinia guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Mekah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi.!
Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Mekah sudah selamat dari gangguan Quraisy, mereka pun lalu kembali pulang, seperti yang akan diceritakan nanti. Tetapi setelah ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy melebihi yang sudahsudah, kembali lagi mereka ke Abisinia. Sekali ini terdiri dari delapan puluh orang pria tanpa kaum istri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.
Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam.
Dua Orang Utusan Quraisy kepada Negus
Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum Muslimin atas Saran dan anjurannya itu karena akan melarikan diri dari orang-orang kafi, Mekah beserta gangguan yang mereka lakukan, ataukah karena Suaty tujuan politik Islam, yang di balik itu dimaksudkan oleh Muhammag dengan tujuan yang lebih luhur? Sudah pada tempatnya pula apabila sejarah Muhammad itu akan bertanya tentang hal ini, setelah terbukti darj sejarah Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa dia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang pembawa risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung yang tak ada taranya, Dan yang menjadi alasan dalam hal ini ialah apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Mekah tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia. Bahkan mereka kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi. Mereka membawa hadiah-hadiah berharga guna menyakinkan raja supaya dapat mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air mereka. Pada waktu itu penduduk Abisinia dan penguasanya adalah orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang Quraisy tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.
Disebabkan oleh rasa kegelisahan terhadap peristiwa itukah maka mereka lalu mengutus orang, meminta supaya kaum Muslimin itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa perlindungan Najasyi terhadap mereka setelah mendengar keterangan mereka itu akan membawa pengaruh juga kepada penduduk jazirah Arab sehingga mereka akan mau menerima agama Muhammad dan mau menjadi pengikutnya. Ataukah mereka kuatir, kalau kaum Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan bertambah kuat, sehingga bila kelak mereka pulang kembali membantu Muhammad, mereka kembali dengan kekuatan, harta dan tenaga?
Kedua orang utusan itu ialah “Amr bin’l-“Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud supaya mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Mekah itu kepada mereka.
“Paduka Raja”, kata mereka, “mereka datang ke negeri paduka ini adalah budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka, mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka. Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada mereka. Mereka lebih mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan memaki-maki.”
Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar-pembesar istana kerajaan, setelah mereka menerima hadiahhadiah dari penduduk Mekah, bahwa mereka akan membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui raja. Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu datang menghadap.
“Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama lain?” tanya Najasyi setelah mereka datang.
Jawaban Muslimin kepada Utusan Quraisy
Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja’far b. Abi Talib.
“Paduka Raja”, katanya, “ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkai pun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan tetangga pun kami tidak baik: yang kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya, dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula. Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan nenek-moyang kami menyembahnya. Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta, untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang bersih. Ia minta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Selanjutnya disuruhnya kami melakukan salat, zakat dan puasa. (Lalu disebutnya beberapa ketentuan Islam). Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah Yang Tunggal, tidak mempersekutukanNya dengan apa dan siapa pun juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menghasut supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala, supaya kami membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, mereka menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kami pun keluar pergi ke negeri tuan ini. , jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di deka” tuan, dengan harapan di sini takkan ada penganiayaan.”
“Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?” tanya Raja itu lagi.
“Ya”, jawab Ja’far: lalu ia membacakan Surah Mariam dari Pertama sampai pada firman Allah:
“Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka: Bagai, mana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia? Dia (Isa berkata: “Aku adalah hamba Allah, diberi-iNya aku Kitab dan dijadikan, Nya aku seorang Nabi. Dijadikan-Nya aku pembawa berkah di mana Saja aku berada, dan dipesankan-Nya kepadaku melakukan sembahyang dan zakar selama hidupku. Dan berbaktilah aku kepada ibuku, bukan dijadikan-Nya aku orang congkak yang celaka. Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan, tatkala aku mati dan tatkala aku hidup kembali!”
Raja dan Kalangan Istana
Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam Injil, pemuka-pemuka istana itu terkejut: “Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus”, kata mereka.
Najasyi lalu berkata: “Kata-kata ini dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan (kepada kedua orang utusan Quraisy) pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!”
Keesokan harinya “Amr bin’!-“Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luar biasa terhadap Isa anak Mariam. Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakan itu.
Setelah mereka datang, Ja’far berkata: Tentang dia pendapat kami seperti yang dikatakan Nabi kami: “Dia adalah hamba Allah dan Utusan-Nya, Ruh-Nya dan Firman-Nya yang disampaikan kepada Perawan Mariam.
Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di tanah. Dan dengan gembira sekali baginda berkata:
“Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”
Setelah dari kedua belah pihak itu didengarnya, ternyatalah oleh Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui Isa, mengenal adanya
Kristen dan menyembah Allah.
Selama di Abisinia itu kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu kembali ke Mekah untuk pertama kalinya — dan Muhammad pun masih di Mekah.
Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekah masih juga mengganggunya dan mengganggu sahabat-sahabatnya, mereka pun kembali lagi ke Abisinia. Mereka terdiri dari delapan puluh orang tanpa wanita dan anak-anak. Adakah kedua kali hijrah mereka itu hanya semata-mata melarikan diri dari gangguan ataukah — meskipun dalam perencanaan Muhammad sendiri — mereka mempunyai tujuan politik? Sebaliknya ahli sejarah akan dapat mengungkapkan hal ini.
Muslimin dan Agama Kristen Abisinia
Sudah pada tempatnya bagi penulis sejarah hidup Muhammad akan bertanya: bagaimana Muhammad dapat tenang membiarkan sahabatsahabatnya pergi ke Abisinia, padahal agama penduduk itu adalah agama Nasrani, agama ahli kitab. Nabi mereka Isa yang diakui kerasulannya oleh Islam? Lalu ia tidak kuatir mereka akan tergoda seperti yang dilakukan oleh Quraisy walaupun dengan cara lain? Bagaimana pula ia akan merasa tenang terhadap godaan itu, mengingat Abisinia adalah negeri makmur: yang tidak sama dengan Mekah, dan lebih dapat mempengaruhi daripada Quraisy? Kenyataannya, dari kalangan Muslimin yang pergi ke Abisinia itu sudah ada seorang yang masuk Kristen. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa kekuatiran akan adanya godaan ini seharusnya selalu ada pada Muhammad mengingat keadaannya yang masih lemah dan mereka yang menjadi pengikutnya masih menyangsikan kemampuannya melindungi diri mereka sendiri atau akan dapat mengalahkan musuh mereka. Besar sekali dugaan bahwa hal demikian memang sudah terlintas dalam pikiran Muhammad, melihat inteleknya yang begitu tinggi dengan ketajaman pikiran dan pandangannya yang jauh, yang semuanya itu seimbang dengan jiwa besarnya, dengan kemurnian rohaninya, budi pekerti yang luhur serta perasaannya yang halus sekali itu.
Tetapi sungguhpun begitu, dari segi ini ia yakin dan tenang sekali. Pada waktu itu — dan sampai pada waktu pembawa risalah itu wafat — inti ajaran Islam masih bersih sekali, kemurniannya masih belum ternodakan. Seperti ajaran Nasrani di Najran, Hira dan Syam, begitu juga paham Nasrani di Abisinia sudah dijangkiti oleh noda perselisihan antara mereka yang menuhankan Ibu Mariam dengan mereka yang menuhankan Isa. Di samping ada lagi yang berlainan dengan kedua golongan itu, mereka yang masih mengambil dari sumber ajaran yang murni, yang tidak perlu dikuatirkan.
Sebenarnya, kebanyakan agama-agama itu sesudah beberapa generasi saja berjalan, sudah dijangkiti oleh semacam paganisma, meskipun bukan dari jenis rendahan, yang waktu itu berkembang di negeri-negeri Arab. tetapi bagaimanapun paganisma juga. ‘
Kedatangan Islam merupakan musuh berat buat paganisma dalam segala bentuk dan coraknya. Ditambah lagi bahwa agama Nasrani waktu itu sudah mengakui adanya suatu golongan klas khusus di kalangan pemuka-pemuka agama — yang oleh Islam samasekali tidak dikenal — yang pada waktu itu merupakan golongan tertinggi dan paling suci. Juga pada waktu itu — dan dasar ini tetap berlaku — Islam merupakan agama yang menjunjung jiwa manusia ke puncak tertinggi. Tak ada peluang yang akan dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya selain daripada bakti. nya dan perbuatan yang baik, dan orang harus mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya. Tidak ada berhala-berhala, tidak ada pendeta. pendeta, tidak ada dukun-dukun dan tidak ada apa pun yang akan merintangi jiwa manusia itu untuk berhubungan dengan seluruh wujud ini dengan perbuatan dan kelakuan yang baik. Allah juga yang akan membalas segala perbuatan itu dengan berlipat ganda.
Ruh dan Islam
Dan ruh! Soal ruh adalah urusan Tuhan. Ruh yang berhubungan dengan kekekalan dan keabadian zaman. Segala perbuatan baik bagi ruh ini tak ada tabir yang akan menutupinya dari Tuhan, dan tak ada kekuasaan apa pun selain Allah. Orang-orang yang kaya, yang kuat atau yang jahat dapat saja menyiksa jasad ini, dapat saja memisahkannya dari segala kesenangan dan hawa nafsu dan dapat saja menghancurkan semua itu, tetapi ruh atau jiwa itu takkan dapat mereka kuasai selama yang bersangkutan mau menempatkannya lebih tinggi di atas segala kekuasaan materi dan waktu, dan tetap berhubungan dengan seluruh alam ini.
Manusia itu akan mendapat balasan atas segala perbuatan bilamana kelak setiap jiwa menerima balasan menurut apa yang telah dikerjakannya. Ketika itu seorang ayah takkan dapat menolong anaknya, dan seorang anak takkan pula dapat menolong ayahnya sedikit pun. Ketika itu harta si kaya sudah tak berguna lagi, tidak juga si kuat dengan kekuatannya, atau ahli-ahli teologi itu dengan ilmu ketuhanannya. Tetapi yang penting hanyalah perbuatan mereka, yang nanti akan menjadi saksi. Ketika itulah seluruh alam wujud berpadu semua dalam kekekalan dan keabadiannya. Tuhan tidak akan memperlakukan tidak adil terhadap siapa pun. “Dan balasan yang kamu terima hanya menurut apa yang kamu perbuat.”
Bagaimana Muhammad akan merasa kuatir akan adanya godaan terhadap mereka yang sudah diajarkan semua arti ini, sudah ditanamkan ke dalam jiwa mereka dan sudah pula akidah dan iman itu terpateri dalam lubuk hati mereka! Bagaimana pula ia akan merasa kuatir akan adanya godaan, sedang teladan yang diberikannya itu hidup di hadapan mereka, dengan pribadinya yang begitu dicintai, sehingga kecintaan mereka kepadanya melebihi cintanya kepada diri sendiri, kepada anak keluarganya! Pribadi, yang telah menempatkan akidah itu di atas semua raja di muka bumi ini, di langit, dengan matahari dan bulan, tatkala ia mengatakan kepada pamannya:
“Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau aku binasa karenanya.”
Pribadi inilah, pribadi yang telah disinari cahaya iman, kebijaksanaan dan keadilan, kebaikan, kebenaran serta keindahan, di samping itu adalah pribadi yang penuh rasa rendah hati, rasa kesetiaan serta keakraban dan kasih-sayang.
Karena itulah, sedikit pun tidak goyah hatinya melepaskan sahabatsahabatnya berangkat hijrah ke Abisinia. Keadaan mereka yang sudah merasa aman di dekat Najasyi, merasa tenang dengan agama mereka di tengah-tengah masyarakat yang tidak punya hubungan famili atau pertalian batin itu, membuat pihak Quraisy lebih menyadari, bahwa gangguan mereka terhadap kaum Muslimin – sebagai masyarakat dari sesama mereka, dari keluarga mereka dan seketurunan pula — adalah suatu penganiayaan, suatu perbuatan kekerasan dan demoralisasi yang tak berkesudahan. Itu semua adalah suatu tekanan dengan pelbagai macam siksaan kepada mereka yang sudah begitu kuat jiwanya untuk menerima siksaan demikian itu. Tetapi mereka sekarang sudah tidak lagi mendapat sesuatu gangguan. Mereka sudah menganggap, bahwa ketabahan menghadapi segala penderitaan itu adalah suatu pendekatan kepada Tuhan, dan suatu ampunan.
Islamnya Umar Ibn’l-Khartab
Waktu itu Umar ibn’I-Khattab adalah pemuda yang gagah perkasa, berusia antara tiga puluh dan tiga puluh lima tahun. Tubuhnya kuat dan tegap, penuh emosi dan cepat naik darah. Kesenangannya foya-foya dan minum-minuman keras. Tetapi terhadap keluarga ia bijaksana dan lemahlembut. Dari kalangan Quraisy dialah yang paling keras memusuhi kaum Muslimin,
Akan tetapi sesudah ia mengetahui, bahwa mereka sudah hijrah ke Abisinia dan mengetahui pula rajanya memberikan perlindungan kepada mereka, ia pun merasa kesepian berpisah dengan mereka itu. Ia merasakan betapa pedihnya hati, betapa pilunya perasaan mereka berpisah dengan tanah air.
Tatkala itu Muhammad sedang berkumpul dengan sahabat-sahabat, nya yang tidak ikut hijrah, dalam sebuah rumah di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya, Ali bin Abi Talib sepupunya, Abu Bak, b. Abi Ouhafa dan Muslimin yang lain. Pertemuan mereka ini diketahy Umar. Ia pun pergi ke tempat mereka, ia mau membunuh Muhammad. Dengan demikian bebaslah Quraisy dan kembali mereka bersatu, setelah mengalami perpecahan, sesudah harapan dan berhala-berhala mereka hina.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Nu’aim b. Abdullah. Setelah mengetahui maksudnya, Nu’aim berkata:
“Umar, engkau menipu diri sendiri. Kaukira keluarga “Abd Manar akan membiarkan kau merajalela begini sesudah engkau membunuh Muhammad? Tidak lebih baik kau pulang saja ke rumah dan perbaiki keluargamu sendiri?!”
Pada waktu itu Fatimah, saudaranya, beserta Sa’id b. Zaid suamj Fatimah sudah masuk Islam. Tetapi setelah mengetahui hal ini dari Nu’aim, Umar cepat-cepat pulang dan langsung menemui mereka. Di tempat itu ia mendengar ada orang membaca Quran. Setelah mereka merasa ada orang yang sedang mendekati, orang yang membaca itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan kitabnya.
“Aku mendengar suara bisik-bisik apa itu?!” tanya Umar.
Karena mereka tidak mengakui, Umar membentak lagi dengan suara lantang. “Aku sudah mengetahui, kamu menjadi pengikut Muhammad dan menganut agamanya!” katanya sambil menghantam Sa’id keras-keras. Fatimah, yang berusaha hendak melindungi suaminya, juga mendapat pukulan keras. Kedua suami istri itu jadi panas hati.
“Ya, kami sudah Islam! Sekarang lakukan apa saja”, kata mereka.
Tetapi Umar jadi gelisah sendiri setelah melihat darah di muka saudaranya itu. Ketika itu juga lalu timbul rasa iba dalam hatinya. Ia menyesal. Dimintanya kepada saudaranya supaya kitab yang mereka baca itu diberikan kepadanya. Setelah dibacanya, wajahnya tiba-tiba berubah. Ia merasa menyesal sekali atas perbuatannya itu. Menggetar rasanya ia setelah membaca isi kitab itu. Ada sesuatu yang luar biasa dan agung dirasakan, ada suatu seruan yang begitu luhur. Sikapnya jadi lebih bijaksana.
Ia keluar membawa hati yang sudah lembut dengan jiwa yang tenang sekali. Ia langsung menuju ke tempat Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu sedang berkumpul di Shafa. Ia minta izin akan masuk, lalu menyatakan dirinya masuk Islam. Dengan adanya Umar dan Hamzah dalam Islam, maka kaum Muslimin telah mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat.
Dengan Islamnya Umar ini kedudukan Quraisy jadi lemah sekali. Sekali lagi mereka mengadakan pertemuan guna menentukan langkah Jebih lanjut. Sebenarnya peristiwa ini telah memperkuat kedudukan kaum Muslimin, telah memberikan unsur baru berupa kekuatan yang luar biasa yang menyebabkan kedudukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan kedudukan mereka terhadap Quraisy sudah tidak seperti dulu lagi. Keadaan kedua belah pihak ini kemudian diteruskan oleh suatu perkembangan politik baru, penuh dengan peristiwa-peristiwa, dengan pengorbanan-pengorbanan dan kekerasan-kekerasan baru lagi, yang sampai menyebabkan terjadinya hijrah dan munculnya Muhammad sebagai politikus di samping Muhammad sebagai Rasul.
Kembalinya Mereka yang Hijrah ke Abisinia – Gharanig yang Luhur — Kontradiksi
mdalam Cerita Ini – Alasan Pendukungnya — Sebabnya Muhajirin Kembali ke Abisinia — Alasan dengan Ayat-ayat Quran Terbalik Adanya -Cerita yang Kacay dari Segi Ilmiah – Konteks Surah an-Najm Menolak — Segi Semantik — Kejujuran Muhammad Tidak Membenarkan Adanya Cerita Ini – Memfitnah Tauhid Kembalinya Mereka yang Hijrah ke Abisinia
KAUM Muslimin yang hijrah ke Abisinia tinggal selama tiga bulan di sana. Sementara itu Umar ibn’I-Khattab sudah pula masuk Islam. Setelah para pengungsi ini mengetahui bahwa pihak Quraisy sudah mulai surut dari mengganggu Muhammad dan pengikut-pengikutnya — setelah Umar masuk Islam — menurut sebuah sumber, banyak di antara mereka itu yang kembali, dan sumber lain mengatakan semua mereka itu kembali ke Mekah. Tetapi setelah mereka sampai di Mekah, ternyata pihak Quraisy kembali menyiksa kaum Muslimin, bahkan lebih keras lagi daripada yang pernah dialami kaum pengungsi itu dulu. Sebagian mereka ada yang kembali ke Abisinia, ada pula yang memasuki Mekah atau di dekat-dekatnya dengan sembunyi-sembunyi. Konon katanya, bahwa mereka yang kembali itu membawa pula sejumlah kaum Muslimin dan mereka ini tinggal di Abisinia sampai sesudah Hijrah dan sesudah keadaan Muslimin di Medinah jadi lebih stabil.
Apa pula motif yang mendorong kaum Muslimin di Abisinia itu kembali sesudah tiga bulan mereka tinggal di sana? Di sinilah munculnya cerita gharaniq itu yang dilangsir oleh Ibn Sa’d dalam At-Tabagat’l-Kubra dan oleh at-Tabari dalam Tarikh’r-Rusul wal-Muluk, yang juga sama dilangsir oleh ahli-ahli tafsir kalangan Muslimin dan penulis-penulis sejarah Nabi, dan lalu diambil pula oleh sekelompok Orientalis yang dalam sekian lama oleh mereka tetap dipertahankan.
Gharaniq yang Luhur
Adapun timbulnya cerita gharanig itu ialah, setelah Muhammad melihat pihak Quraisy menjauhinya dan sahabat-sahabatnya disiksa.
berharap-harap sambil mengatakan: Coba aku tidak mendapat perintah apa-apa yang kiranya akan menjauhkan mereka dari aku. Ia mengumpulkan golongannya dan mereka bersama-sama pada suatu hari duduk-duduk dalam sebuah tempat pertemuan di sekitar Mekah. Kepada mereka dibacakannya Surah An-Najm sampai pada firman Allah: “Adakah kamu perhatikan Lat dan “Uzza. Dan itu Manat ketiga, yang terakhir?” Sesudah jtu lalu dibacakannya pula: “Itu gharanig yang luhur, perantaraannya sungguh dapat diharapkan.”
Kemudian ia meneruskan membaca Surah itu seluruhnya sampai pada akhirnya ia sujud. Ketika itu semua orang ikut sujud, tak ada yang ketinggalan. Pihak Quraisy menyatakan kepuasannya atas apa yang telah dibaca Muhammad itu.
Kata mereka: “Kami tahu sudah bahwa Allah itu menghidupkan dan mematikan, menciptakan dan memberi rezeki. Tetapi dewa kami ini menjadi perantara kami kepada-Nya. Kalau ternyata dia juga kauberi tempat, maka kami pun setuju dengan kau.”
Dengan demikian hilanglah perselisihan dengan mereka itu. Peristiwa tersebut lalu tersebar di kalangan umum hingga sampai juga ke Abisinia. Pihak Muslimin lalu berkata: Di sana ada keluarga-keluarga dekat kami yang sangat kami cintai. Lalu mereka pun pulang kembali. Apabila pada tengah hari mereka sampai ke dekat Mekah mereka bertemu dengan rombongan kafilah Kinana yang lalu dan rombongan itu pun menjawab: Ia menyebutkan dewa-dewa mereka dengan baik dan mereka pun lalu mengikutinya. Kemudian ia berbalik lagi mencela dewa-dewa mereka itu dan mereka pun lalu memusuhinya lagi. Perbuatan mereka itu dibicarakan oleh pihak Muslimin. Tidak tahan lagi mereka ingin menemui keluarga, dan mereka lalu memasuki Mekah.
Sebabnya maka Muhammad berbalik tidak mau menyebutkan dewadewa Quraisy dengan baik — menurut beberapa sumber yang mencatat berita ini — ialah karena ia sudah tidak tahan atas ucapan Quraisy: “Kalau ternyata dewa-dewa kami juga kauberi tempat, maka kami pun setuju dengan kau,” dan karena ketika dia sedang duduk-duduk di rumahnya hingga sore Jibril datang dan bertanya:
“Aku membawakan dua anak kalimat ini kepadamu?” dengan menunjuk kepada “Itu gharanig yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.”
Muhammad pun menjawab:
“Aku mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan oleh Allah.” Kemudian Allah mewahyukan:
“Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang apa yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kamy memalsukannya dengan yang lain.”
Ketika itulah mereka mengambil engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung Juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada akan mempunyai penolong menghadapi Kami.”
Dengan begitu kembali ia memburuk-burukkan dewa-dewa Quraisy itu, dan Quraisy pun kembali lagi memusuhinya dan mengganggu sahabat, sahabatnya.
Kontradiksi dalam Cerita Ini
Demikianlah cerita gharanig ini, yang bukan seorang saja dari penulis. penulis biografi Nabi yang menceritakannya, demikian juga ahli-ahli tafsir turut menyebutkan, dan tidak sedikit pula kalangan Orientalis yang memang sudah sekian lama mau bertahan. Jelas sekali dalam cerita ini ada kontradiksi. Dengan sedikit pengamatan saja hal ini sudah dapat digugurkan.
Di samping itu cerita ini berlawanan pula dengan segala sifat kesucian setiap nabi dalam menyampaikan risalah Tuhan. Memang mengherankan sekali apabila ada beberapa penulis sejarah Nabi dan ahli tafsir dari kalangan Islam sendiri yang masih mau menerimanya. Oleh karena itu Ibn Ishaq tidak ragu-ragu lagi ketika menjawab perianyaan dengan mengatakan bahwa cerita itu bikinan orang-orang atheis.
Alasan Pendukungnya
Akan tetapi mereka yang berpegang pada alasan ini berusaha membenarkannya dengan berpegang pada ayat-ayat:
“Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau …….” sampai pada firman Tuhan: “Dan tiada seorang rasul atau seorang nabi yang Kami utus sebelum kau, apabila ia bercita-cita, setan lalu memasukkan gangguan ke dalam cita-citanya itu. Tetapi Allah menghapuskan apa yang dimasukkan setan itu. Kemudian Allah menguatkan keterangan-keterangan-Nya itu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana. Apa yang dimasukkan setan itu adalah ujian bagi mereka yang berpenyakit dalam hatinya dan berhati batu. Dan mereka yang melakukan kesalahan akan berada dalam pertentangan yang tak berkesudahan.”?
Ada orang yang menafsirkan kata “bercita-cita” jtu dengan arti
“membaca”, ada pula yang menafsirkannya dengan arti “bercita-cita” seperti yang sudah umum dikenal. Kedua mereka ini masing-masing berpendapat — diikuti oleh Orientalis-orientalis — bahwa Quraisy telah
sampai di puncaknya menyiksa sahabat-sahabat Nabi, ada yang mereka bunuh, ada pula yang dilemparkan ke padang pasir, dijilat oleh terik matahari yang membakar, ditindih pula dengan batu seperti yang dialami oleh Bilal. Karena itu terpaksa ia menyuruh mereka hijrah ke Abisinia. Demikian juga masyarakatnya sendiri pun begitu kasar terhadap dirinya yang juga kemudian memboikotnya. Tetapi karena ia begitu menjaga keislaman mereka yang sudah lepas dari penyembahan berhala, ia pun lalu mendekati kaum musyrik dan membacakan Surah an-Najm dengan menambahkan lagi cerita gharanig. Sesudah ia sujud mereka pun ikut pula sujud. Mereka lalu memperlihatkan suatu kecenderungan hendak mengikutinya, karena ia sudah memberi tempat kepada dewa-dewa mereka itu di samping Allah.
Atas peristiwa ini — yang juga disebutkan dalam beberapa buku biografi dan buku-buku tafsir — Sir William Muir menganggapnya sebagai suatu argumen yang kuat tentang adanya cerita gharanig itu. Selanjutnya kaum Muslimin yang telah berangkat ke Abisinia itu belum lagi selang tiga bulan sejak mereka mengungsi, yang dalam pada itu mereka telah diberi suaka dengan baik sekali oleh pihak Najasyi. Kalau tidak karena tersiarnya berita, bahwa antara Muhammad dengan Quraisy sudah tercapai kompromi, tentu tak ada motif lain yang akan mendorong mereka itu kembali, ingin berhubungan dengan keluarga dan kerabat mereka. Dan dari mana pula akan ada kompromi antara Muhammad dengan Quraisy itu, kalau bukan Muhammad juga yang mengusahakannya. Di Mekah ia termasuk minoritas dengan tenaga yang masih lemah. Juga sahabat-sahabatnya masih lemah sekali untuk dapat mempertahankan diri dari gangguan dan penyiksaan Quraisy.
Sebabnya Muhajirin Kembali ke Abisinia
Alasan-alasan yang dikemukakan mereka, dengan mengatakan, bahwa cerita gharanig itu benar adanya, adalah suatu alasan yang lemah sekali dan tidak tahan uji. Baiklah kita mulai dulu dengan menolak Muir. Kembalinya kaum Muslimin ke Mekah dari Abisinia, pada dasarnya karena dua sebab:
Pertama, karena Umar ibn’I-Khattab masuk Islam tidak lama.setelah mereka hijrah. Umar masuk Islam dengan semangat yang sama seperti ketika ia menentang agama ini dahulu. Ia masuk Islam tidak sembunyisembunyi. Malah terang-terangan ia mengumumkan di depan orang banyak dan untuk itu ia bersedia melawan mereka. Ia tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap di celah-cela pegunungan Mckah dalam melakukan ibadat, menjauhkan diri jauh dari gangguan Quraisy. Bahkan ia terus mclawan Quraisy sampai nanti dia beserta kaum Muslimin itu dapat melakukan ibadat dalam Ka’bah.
Di sinilah pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang dialamj Muhammad dan sahabat-sahabatnya, hampir-hampir menimbulkan perang saudara, yang akibat-akibatnya tidak akan dapat dibayangkan, dan, Siapa pula yang akan binasa. Ada orang-orang dari kabilah-kabila Quraisy dan dari keluarga-keluarga bangsawannya yang sudah menerima Islam, mereka akan lalu berontak bila siapa saja dari kabilahnya itu ada yang terbunuh sekalipun orang itu berlainan agama. Jadi, dalam me. merangi Muhammad ini, mereka harus menempuh suatu cara yang tidak akan membawa akibat yang begitu berbahaya. Di samping itu supaya cara ini dapat pula disepakati oleh Quraisy mereka mengadakan genjatan senjata dengan pihak Muslimin, sehingga dengan demikian tiada seorang pun dari mereka itu yang boleh diganggu.
Inilah yang telah sampai kepada kaum pengungsi di Abisinia itu, dan membuat mereka berpikir-pikir akan kembali ke Mekah.
Kedua. Sungguhpun begitu, barangkali mereka masih maju mundur juga akan kembali, kalau tidak karena adanya sebab kedua yang telah menguatkan niat mereka, yakni pada waktu itu di Abisinia sedang berkecamuk suatu pemberontakan melawan Najasyi, yang dilancarkan karena adanya suatu tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia melaksanakan janjinya dan memperlihatkan rasa kasih-sayangnya kepada kaum Muslimin. Kaum Muslimin sendiri menyatakan harapannya sekiranya Tuhan akan memenangkan Negus terhadap lawannya itu. Tetapi mereka sendiri tidak sampai melibatkan diri dalam pemberontakan, karena mereka adalah orang-orang asing, dan lagi mereka belum begitu lama tinggal di Abisinia. Bahwa yang telah sampai kepada mereka itu berita-berita perdamaian antara Muhammad dengan Quraisy, perdamaian yang menyelamatkan Muslimin dari gangguan yang pernah mereka alami, maka bagi mereka akan lebih baik meninggalkan kekacauan yang ada sekarang dan kembali bergabung kepada keluarga mereka sendiri.
Inilah yang telah mereka lakukan semua, atau sebagian dari mereka.
Hanya saja, sebelum mereka sampai ke Mekah, pihak Quraisy sudah berkomplot lagi terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kabilahkabilah mereka sudah mengadakan persetujuan tertulis bersama-sama, mereka berjanji mengadakan pemboikotan total terhadap Banu Hasyim: tidak akan saling berjual-beli.
Dengan adanya perjanjian itu perang yang tak berkesudahan antara kedua belah pihak itu pun segera berkecamuk lagi. Sekarang mereka yang telah pulang dari Abisinia itu kembali lagi ke sana. Bersama mereka ikut pula orang-orang yang masih dapat pergi bersama-sama. Sekali ini mereka menghadapi kekerasan dari Quraisy, yang berusaha hendak merintangi mereka itu hijrah.
Jadi, bukanlah kompromi seperti yang disebutkan Muir itu yang menyebabkan Muslimin kembali dari Abisinia, melainkan karena adanya perjanjian perdamaian sebagai akibat Umar yang telah masuk Islam serta semangatnya yang berapi-api hendak membela agama ini. Jadi dukungan mereka atas adanya cerita gharanig dengan alasan kompromi itu, adalah dukungan yang samasekali tidak punya dasar.
Alasan dengan Ayat-ayat Quran Terbalik Adanya
Adapun alasan yang dikemukakan oleh penulis-penulis biografi dan ahli-ahli tafsir dengan ayat-ayat: “Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau …….. ? dan “Dan tiada seorang rasul atau seorang nabi yang Kami utus sebelum kau, apabila ia bercita-cita, syaitan lalu memasukkan gangguan ke dalam cita-citanya itu …….. ” adalah alasan yang lebih kacau lagi dari argumen Sir Muir. Cukup kita sebutkan ayat pertama itu saja dalam firman Tuhan: “Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit,” untuk kita lihat, bahwa setan telah memasukkan gangguan ke dalam cita-cita Rasul itu, sehingga hampir saja ia cenderung kepada mereka sedikit-sedikit, tetapi Tuhan menguatkan hatinya sehingga tidak sampai dilakukannya, dan kalau dilakukan juga, Tuhan akan menimpakan hukuman berlipat ganda dalam hidup dan mati.
Jadi, dengan membawa ayat-ayat ini sebagai alasan, jelaslah alasan itu terbalik adanya.
Jalan cerita gharanig ini ialah bahwa Muhammad telah benar-benar berpihak kepada Quraisy dan Quraisy pun sudah benar-benar pula menggodanya sehingga ia mau mengatakan sesuatu yang tidak difirmankan Tuhan. Sedang ayat-ayat di sini menegaskan, bahwa Tuhan telah menguatkan hatinya, sehingga dia tidak melakukan hal itu. Bilamana disebutkan demikian, bahwa buku-buku tafsir dan sebab-sebabnya turun Quran membuat ayat-ayat ini dapat mengubah masalah gharanig, kita lihat bahwa alasan ini berlawanan sekali dengan kesucian para rasul dalam menyampaikan tugas mereka, dan bertentangan dengan seluruh sejarah Muhammad. Suatu alasan yang kacau, bahkan lemah samasekali.
Sedang bunyi ayat-ayat: “Dan tiada seorang rasul dan seorang nabi yang Kami utus sebelum kau …….. ” samasekali tak ada hubungannya dengan cerita gharanig itu. Apalagi yang menyebutkan bahwa Tuhan telah menghapuskan gangguan “yang dimasukkan setan dan akan menjadikan godaan bagi mereka yang berpenyakit dalam hatinya dan berhati baty. kemudian Allah menguatkan keterangan-keterangan-Nya. Dan’ Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.
Cerita yang Kacau dari Segi Ilmiah
Bilamana cerita ini diteliti dengan penyelidikan ilmiah ternyata ia tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang pertama sekali sebagai bukti lalah adanya beberapa sumber yang beraneka-ragam. Pernah diceritakan . Seperti disebutkan di atas — bahwa ungkapan itu ialah “Itu gharanig yang luhur, perantaraannya sungguh dapat diharapkan.” Sumber lain menye. butkan: “Gharaniga yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.” Sumber selanjutnya menyebutkan: “Perantaraannya dapat diharapkan.” tanpa menyebutkan gharaniga atau gharanig. Sumber keempat mengata. kan: “Dan sebenarnya itulah gharanig yang luhur.” Sumber kelima menyebutkan: “Dan sebenarnya mereka itulah gharanig yang luhur, dan perantaraan mereka bagi mereka yang diharapkan.”’ Dalam beberapa buku hadis disebutkan adanya sumber-sumber lain di samping yang lima tadi. Adanya keaneka-ragaman dalam sumber-sumber tersebut menunjuk. kan, bahwa hadis itu palsu adanya, dan bikinan golongan atheis, seperti kata Ibn Ishaq, dan tujuannya ialah hendak menanamkan kesangsian tentang kebenaran ajakan Muhammad dan risalah Tuhan itu.
Konteks Surah an-Najm Menolak
Bukti lain yang lebih kuat dan pasti, ialah konteks atau susunan Surah an-Najm yang samasekali tidak menyinggung soal gharanig ini. Konteks itu seperti dalam firman Tuhan:
“Sungguh dia telah melihat keterangan-keterangan yang amat besar dari Tuhan. Adakah kamu perhatikan Lat dan “Uzza? Dan Manat ketiga, yang terakhir? Adakah untuk kamu itu yang laki-laki dan untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu ini adalah pembagian yang tak seimbang. Ini hanyalah nama-nama yang kamu buat sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah tidak memberikan kekuasaan karenanya, yang mereka turuti hanyalah prasangka dan kehendak nafsu belaka. Dan pada mereka pimpinan yang benar dari Tuhan sudah pernah ada.”
Susunan ini jelas sekali, baiwa Lat dan “Uzza adalah nama-nama yang dibuat-buat oleh kaum musyrik, mereka dan nenek-moyang mereka, sedang Allah tidak memberikan kekuasaan untuk itu. Bagaimana mungkin susunan itu akan berjalan sebagai berikut: Adakah kamu perhatikan Lat dan “Uzza. Dan Manat ketiga, yang terakhir. Itu gharanig yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan. Adakah untuk kamu itu yang laki-laki dan untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu ini adalah pembagian yang tak seimbang. Ini hanyalah nama-nama yang kamu buat sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah tidak memberikan kekuasaan karenanya.”
Susunan ini rusak, kacau dan bertentangan satu sama lain. Dari pujian kepada Lat, “Uzza dan Manat ketiga yang terakhir dan celaan dalam empat ayat berturut-turut tak dapat diterima akal dan tak ada orang yang akan berpendapat begitu.
Yang demikian ini sudah tak dapat diragukan lagi, dan bahwa hadis tentang gharanig itu adalah palsu dan bikinan golongan atheis dengan maksud-maksud tertentu. Orang yang suka pada yang aneh-aneh dan tidak berpikir logis, tentu percaya akan hadis ini.
Segi Semantik
Argumen lain ialah seperti yang dikemukakan oleh almarhum Syaikh Muhammad Abduh dalam tulisannya yang jelas membantah cerita gharanig ini, yaitu bahwa belum pernah ada orang Arab menamakan dewa-dewa mereka dengan gharanig, baik dalam sajak-sajak atau dalam pidato-pidato mereka. Juga tak ada berita yang dibawa orang mengatakan, bahwa nama demikian itu pernah dipakai dalam percakapan mereka. Tetapi yang ada ialah sebutan ghurnug dan ghirnig sebagai nama sejenis burung air, entah hitam atau putih, dan sebutan untuk pemuda yang putih dan tampan. Dari semua itu, tak ada yang cocok untuk diberi arti dewa, juga orang-orang Arab dahulu tak ada yang menamakannya demikian.
Kejujuran Muhammad Tidak Membenarkan Adanya Cerita Ini
Tinggal lagi sebuah argumen yang dapat kita kemukakan sebagai bukti bahwa cerita gharanig ini mustahil akan ada dalam sejarah hidup Muhammad sendiri. Sejak kecilnya, semasa anak-anak dan semasa mudanya, belum pernah terbukti ia berdusta, sehingga ia diberi gelar AlAmin, “yang dapat dipercaya,” pada waktu usianya belum lagi mencapai dua puluh lima tahun. Kejujurannya sudah merupakan hal yang tak perlu diperbantahkan lagi di kalangan umum, sehingga ketika suatu hari sesudah kerasulannya ia bertanya kepada Quraisy:
“Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kukatakan, bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?”
Jawab mercka: “Ya, engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat kau berdusta.”
Jadi orang yang sudah dikenal sejak kecil hingga tuanya begitu jujur bagaimana orang akan percaya bahwa ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan oleh Allah, ia akan takut kepada orang dan bukan kepada Allah! Hal ini tidak mungkin. Mereka yang sudah mempelajari jiwanya yang begitu kuat, begitu cemerlang, jiwa yang begitu membentang mempertahankan kebenaran dan tidak pula pernah mencari muka dalan Soal apa pun, akan mengetahui ketidakmungkinan cerita ini. Betapa kit melihat Muhammad berkata: Kalau Quraisy meletakkan matahari dj sebelah kanannya, dan meletakkan bulan di sebelah kirinya dengan maksud supaya ia melepaskan tugasnya, akan mati sekalipun dia tidak akan melakukan hal itu – bagaimana pula akan mengatakan sesuatu yang tidak diwahyukan Allah kepadanya, dan mengatakan itu untuk meruntuh. kan sendi agama yang oleh karenanya ia diutus Allah sebagai petunjuk dan berita gembira bagi seluruh umat manusia!
Dan kapan pula ia kembali kepada Quraisy guna memuji-muji dewa. dewa mereka? Ataukah sesudah sepuluh tahun atau sekian tahun dari kerasulannya, demi tugas yang besar itu ia sanggup memikul pelbagai macam siksaan, berupa-rupa pengorbanan, sesudah Allah memperkuat Islam dengan Hamzah dan Umar dan sesudah kaum Muslimin mulai menjadi kuat di Mekah, dengan berita yang sudah meluas pula ke seluruh jazirah, ke Abisinia dan semua penjuru?! Pendapat demikian ini adalah suatu legenda, suatu kebohongan yang sudah tak berlaku.
Mereka yang menciptakan cerita ini sebenarnya sudah merasakan bahwa hal ini akan mudah terbongkar. Mereka lalu berusaha menutupinya dengan mengatakan, bahwa begitu Muhammad mendengar kata-kata Quraisy bahwa dewa-dewa mereka sudah mendapat tempat sebagai perantara, hal itu berat sekali dirasanya, sehingga ia kembali kepada Tuhan bertobat, dan begitu ia pulang ke rumah sore itu Jibril pun datang. Tetapi tabir ini akan terbuka juga kiranya. Kalau hal itu oleh Muhammad sudah sangat luar biasa, ketika ia mendengar kata-kata Quraisy itu, apalagi ia sampai akan mengoreksi wahyu pada waktu itu juga.
Memfitnah Tauhid
Jadi masalah gharanig ini memang tidak punya dasar, selain sebagai karangan yang dibikin-bikin oleh suatu golongan yang mau melakukan tipu-muslihat terhadap Islam, yang terjadi sesudah permulaan sejarah Islam. Yang lebih mengherankan lagi ialah karena kecerobohan mereka yang telah melakukan pemalsuan-pemalsuan itu melemparkan pemalsuan mereka justru ke dalam jantung Islam, yaitu ke dalam Tauhid! Yang justru karena itu pulalah Muhammad diutus, supaya meneruskannya kepada umat manusia sejak dari semula, dan yang sejak itu pula tidak kenal arti mengalah. Juga segala yang ditawarkan kepadanya oleh Quraisy apa saja yang dikehendakinya berupa harta, bahkan akan dijadikannya ia raja atas mereka, tidak sampai membuatnya jadi berpaling. Semua itu ditawarkan kepadanya, pada waktu penduduk Mekah yang menjadi pengikutnya masih sedikit sekali jumlahnya. Waktu itu gangguan-gangguan Quraisy kepada sahabat-sahabatnya tidak sampai membuat ia surut dari dakwah yang diperintahkan Tuhan kepadanya, yaitu supaya diteruskan kepada umat manusia. Jadi sasaran mereka yang telah melakukan pemalsuan terhadap masalah yang begitu teguh menjadi pegangan Muhammad yang tak ada taranya itu, hanya menunjukkan suatu kecerobohan yang tidak rasional, dan yang sekaligus menunjukkan pula, bahwa mereka yang masih cenderung mau mempercayainya ternyata telah tertipu, suatu hal yang sebenarnya tidak perlu sampai ada orang akan tertipu karenanya.
Jadi masalah gharanig ini memang samasekali tidak punya dasar, dan samasekali tak ada hubungannya pula dengan kembalinya Muslimin dari Abisinia. Seperti disebutkan di atas, mereka kembali karena Umar sudah masuk Islam dan dengan semangatnya yang sama seperti sebelum itu ia membela Islam, sampai menyebabkan Quraisy terpaksa mengadakan perjanjian perdamaian dengan Muslimin. Juga mereka kembali pulang ketika di Abisinia sedang berkecamuk pemberontakan. Mereka kuatir akan akibatnya. Tetapi setelah Quraisy mengetahui mereka kembali, kekuatirannya makin bertambah akan besarnya pengaruh Muhammad di kalangan mereka. Quraisy pun lalu membuat rencana mengatur langkah berikutnya, yang berakhir dengan dibuatnya piagam yang menentukan di antaranya tidak akan saling mengawinkan, berjual-beli dan bergaul dengan Banu Hasyim, dan yang juga sudah sepakat di antara mereka, akan membunuh Muhammad jika dapat.
Alat Propaganda – Muhammad Dituduh Juru Pesona — An-Nadzr bin’l-Harith – Jabr Orang Nasrani — Tufail ad-Dausi – Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas – Merindukan Kesempurnaan — Dengki dan Mau Bersaing — Hari Kebangkitan dan Hari Perhitungan yang Ditakuti — Quraisy dan Surga — Perjuangan antara Baik dan Buruk -Untuk Penyelamatan
ISLAMNYA Umar telah membawa kelemahan ke dalam tubuh Quraisy karena ia masuk agama ini dengan semangat yang sama seperti ketika ia menentangnya dahulu. Ia masuk Islam tidak sembunyi-sembunyi, malah terang-terangan diumumkan di depan orang banyak dan untuk itu ia bersedia melawan mereka. Ia tidak mau kaum Muslimin sembunyi. sembunyi dan mengendap-endap di celah-celah pegunungan Mekah, mau melakukan ibadat jauh dari gangguan Quraisy. Bahkan ia terus melawan Quraisy, sampai nanti dia beserta Muslimin itu dapat melakukan ibadat dalam Ka’bah. Di sini pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya, takkan mengobah kehendak orang menerima agama Allah, untuk kemudian berlindung kepada Umar dan Hamzah, atau ke Abisinia atau kepada siapa saja yang mampu melindungi mereka.
Quraisy lalu membuat rencana lagi mengatur langkah berikutnya. Setelah sepakat, mereka membuat ketentuan tertulis dengan persetujuan bersama mengadakan pemboikotan total terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib: untuk tidak saling kawin-mengawinkan, tidak saling berjual-beli apa pun. Piagam persetujuan ini kemudian digantungkan di dalam Ka’bah sebagai suatu pengukuhan dan registrasi bagi Ka’bah. Menurut perkiraan mereka, politik yang negatif, politik membiarkan orang kelaparan dan melakukan pemboikotan begini akan memberi hasil yang lebih efektif daripada politik kekerasan dan penyiksaan, sekalipun kekerasan dan penyiksaan itu tidak mereka hentikan. Blokade-blokade yang dilakukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib sudah berjalan selama dua atau tiga tahun, dengan harapan sementara itu Muhammad pun akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Dengan demikian dia dan ajarannya itu tidak lagi berbahaya.
Akan tetapi ternyata Muhammad sendiri malah makin teguh berpegang pada tuntunan Allah, juga keluarganya, dan mereka yang sudah beriman pun makin gigih mempertahankannya dan mempertahankan agama Allah. Menyebarkan seruan Islam sampai ke luar perbatasan Mekah itu pun tak dapat pula dialang-alangi. Maka tersiarlah dakwah itu ke tengah-tengah masyarakat Arab dan kabilah-kabilah, sehingga membuat agama yang baru ini, yang tadinya hanya terkurung di tengahtengah lingkaran gunung-gunung Mekah, kini berkumandang gemanya ke seluruh jazirah. Orang-orang Quraisy makin tekun memikirkan bagaimana caranya memerangi orang yang sudah melanggar adat kebiasaannya dan menista dewa-dewanya itu, bagaimana caranya menghentikan tersiarnya ajarannya itu di kalangan kabilah-kabilah Arab, kabilah-kabilah yang tak dapat hidup tanpa Mekah dan juga Mekah tak dapat hidup tanpa mereka dalam perdagangan, dalam kegiatan impor dan ekspor dari dan ke Ibukota itu.
Alat Propaganda
Quraisy mencurahkan semua kegiatannya dalam memerangi orang yang dianggapnya sudah melanggar kebiasaan mereka, melanggar kepercayaan leluhur mereka. Dengan tabah dan secara terus-menerus selama bertahun-tahun, apa yang telah mereka lakukan untuk menghancurkan ajaran baru ini, sungguh di luar yang dapat kita bayangkan. Muhammad diancam, keluarga dan ninik-mamaknya diancam. Ia diejek, ajarannya diejek. Ia diperolok, dan orang yang jadi pengikutnya juga diperolok. Penyair-penyair mereka didatangkan supaya mengejeknya, supaya memburuk-burukkannya. Ia diganggu, dan orang yang jadi pengikutnya dinista dan disiksa. Ia mau disuap, ditawari kerajaan, ditawari segala yang menjadi kedambaan orang. Kawan-kawan seperjuangannya diusir dari tanah air, perdagangan dan pintu rezeki mereka dibekukan. Ia dan sahabat-sahabatnya diancam dengan perang serta segala akibatnya yang mengerikan.
Akhirnya blokade, mereka akan dibiarkan mati kelaparan jika mungkin.
Tetapi, sungguhpun begitu, Muhammad tetap tabah. Dengan cara yang amat baik tetap ia mengajak orang menerima kebenaran, yang hanya karena itu ia diutus Tuhan kepada umat manusia, sebagai pembawa berita gembira, dan peringatan. Bukankah sudah tiba waktunya Quraisy meletakkan senjatanya, dan mempercayai al-Amin, orang yang dikenalnya Sejak masa anak-anak, sejak masa muda belia, sebagai orang yang jujur tak pernah berdusta!? Ataukah mereka sudah mencari alat lain selain Senjata perang seperti disebutkan, dan lalu terbayang oleh mereka, bahwa dengan demikian mereka akan menang perang, lalu kedudukan berhala, berhala mereka akan dapat dipertahankan sebagai pusat ketuhanan mereka seperti yang mereka duga, dan Mekah pun akan dapat diper, tahankan sebagai museum berhala-berhala dan tempat yang disucikan karena berhala-berhala itu akan tetap berada di Mekah?!
Tidak! Belum tiba saatnya bagi Quraisy akan tunduk dan menyerah Mereka sekarang sedang dalam puncak kekuatirannya bila seruan Muhammad ini nanti akan tersebar di kalangan kabilah-kabilah Arah sesudah terlebih dulu tersebar di Mekah.
Tinggal satu senjata lagi pada mereka sekarang yang sejak semula sudah menjadi pegangan dan kekuatan mereka, yaitu senjata propaganda: propaganda dengan segala implikasinya berupa perdebatan, argumentasi. argumentasi, caci maki, penyebaran desas-desus serta sifat merendahkan argumen lawan dengan menganggap lawan-lawannya sendiri yang lebih baik. Propaganda melawan akidah dan pembawa akidah disertai tuduhan. tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Propaganda yang tidak hanya terbatas pada Mekah saja – sebenarnya buat Mekah ini sudah tidak lagi diperlukan dibandingkan dengan daerah pedalaman lain serta kabilahkabilahnya, semenanjung jazirah serta semua penduduknya. Dengan mengadakan ancaman bujukan, teror dan penyiksaan, propaganda tidak diperlukan lagi buat Mekah. Tapi buat ribuan orang yang datang ke Mekah tiap tahun masih tetap diperlukan. Mereka datang dalam urusan perdagangan dan berziarah. Mercka berkumpul di pasar-pasar “Ukaz, Majanna dan Dhul-Majaz, yang kemudian berziarah sambil menyembelih korban, mengharapkan berkah dan ampunan.
Oleh karena itu, sejak memuncaknya permusuhan antara Quraisy dengan Muhammad terpikir oleh mereka akan menyusun suatu alat propaganda anti Muhammad. Lebih gigih lagi mereka memikirkan hal ini sesudah orang-orang yang berziarah itu diajaknya supaya beribadat hanya kepada Allah yang Esa dan tidak bersekutu. Hal ini sudah terpikir olehnya sejak tahun-tahun pertama dari kerasulannya itu. Pada mulanya, sejak masa kerasulannya, ia adalah seorang Nabi, sampai datangnya wahyu menyuruh ia memperingatkan keluarga-keluarganya yang dekat. Setelah ia memperingatkan keluarga-keluarga Quraisy dan ada di antara mereka yang menerima Islam, di samping banyak juga yang masih kepala batu dan mau berpikir-pikir dulu, ia masih berkewajiban mengajak bangsanya sendiri, seluruh masyarakat Arab, untuk kemudian meneruskan kewajibannya itu mengajak seluruh umat manusia.
Muhammad Dituduh Juru Pesona
Setelah terpikir akan mengajak orang yang datang berziarah dari berbagai macam kabilah Arab itu beribadat kepada Allah, beberapa orang dari kalangan Quraisy datang berunding dan mengadakan pertemuan di rumah Walid binl-Mughira: Maksudnya supaya dalam menghadapi persoalan Muhammad itu satu sama lain mereka tidak bertentangan, dan tidak saling mendustakan mengenai apa yang harus mereka katakan kepada orang-orang Arab yang datang musim ziarah itu. Ada yang mengusulkan, supaya dikatakan saja, bahwa Muhammad itu dukun. Tetapi al-Walid menolak pendapat ini, sebab apa yang dikatakan Muhammad bukan kumat-kamit seorang dukun. Yang lain mengusulkan lagi, bahwa Muhammad itu orang gila. Walid pun menolak pendapat ini, sebab gejala atas tuduhan demikian tidak tampak. Ada lagi yang menyarankan supaya Muhammad dikatakan sebagai tukang sihir. Juga di sini Walid menolak, sebab Muhammad tidak mengerjakan rahasia juru tenung atau sesuatu pekerjaan tukang-tukang sihir.
Sesudah terjadi diskusi akhirnya Walid mengusulkannya supaya kepada peziarah-peziarah orang-orang Arab itu dikatakan bahwa dia (Muhammad) seorang juru penerang yang mempesonakan,’ apa yang dikatakannya merupakan pesona yang akan memecah-belah orang dengan orang tuanya, dengan saudaranya, dengan istri dan keluarganya. Dan apa yang dituduhkan itu pada orang-orang Arab pendatang itu merupakan bukti, sebab penduduk Mekah sudah ditimpa perpecahan dan permusuhan. Padahal sebelum itu penduduk Mekah merupakan suatu contoh solidaritas dan ikatan yang paling kuat.
Pihak Quraisy pada musim ziarah itu segera menyongsong orangorang yang datang berziarah dengan memperingatkan mereka jangan mendengarkan orang itu dan pesona bahasanya. Jangan sampai mereka itu mengalami bencana seperti yang dialami penduduk Mekah dan menjadi api fitnah yang akan membakar seluruh jazirah Arab.
An-Nadzr bin’I-Harith
Akan tetapi propaganda begini tidak dapat berdiri sendiri, juga tidak dapat melawan penerangan yang mempesonakan yang sudah dipercayai orang itu. Kalau memanglah kebenaran yang dibawa oleh penerangan yang mempesonakan itu, apa salahnya orang mempercayainya? Adakah bila sewaktu-waktu orang mengakui kelemahannya dan menyatakan perlawanannya merupakan suatu propaganda yang ampuh? Di Samping propaganda itu Quraisy harus punya propaganda lain lagi. Untuk propaganda itu Quraisy akan mendapatkannya pada Nadzr b. Harith Manusia Nadzr ini adalah setannya Quraisy, orang yang pernah pergi ke Hira’ dan mempelajari cerita raja-raja Persia, peraturan-peraturan agama, nya, ajaran-ajarannya tentang kebaikan dan kejahatan serta tentang asaj, usul alam semesta. Setiap dalam suatu pertemuan Muhammad mengajak orang kepada Allah, serta memperingatkan mereka tentang akibat-akibay yang telah menimpa bangsa-bangsa sebelumnya yang menentang per, ibadatan kepada Allah, ia lalu datang menggantikan tempat Muhammag dalam pertemuan itu. Maka berceritalah ia kepada Quraisy tentang sejarah dan agamanya, lalu katanya: Dengan cara apa Muhammag membawakan ceritanya lebih baik daripada aku? Bukankah Muhammag membacakan cerita-cerita orang dahulu seperti yang kubacakan juga? Quraisy pun lalu menyebarkan kisah-kisah Nadzr itu dengan jalan bercerita lagi sebagai propaganda atas peringatan dan ajakan Muhammad kepada mereka itu.
Jabr Orang Nasrani
Dalam pada itu di Marwa Muhammad sering duduk-duduk dengan seorang budak Nasrani yang konon bernama Jabr. Orang-orang Quraisy menuduh, bahwa sebagian besar apa yang dibawa Muhammad itu, Jabr Inilah yang mengajarnya. Apabila ada orang yang mau meninggalkan kepercayaan nenek-moyangnya, maka agama Nasrani inilah yang lebih utama. Jadi tuduhan inilah yang didesas-desuskan oleh Quraisy. Untuk itulah datang firman Tuhan:
“Kami sungguh mengetahui bahwa mereka berkata, yang mengajarkan itu adalah seorang manusia. Bahasa orang yang mereka tuduhkan itu bahasa asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali.”
Tufail ad-Dausi
Dengan propaganda semacam itu dan sebangsanya Quraisy memerangi Muhammad lagi dengan harapan akan lebih ampuh daripada gangguan yang dialaminya dan siksaan yang dialami pengikut-pengikutnya. Akan tetapi kuatnya kebenaran dalam bentuk yang jelas dan sederhana yang dilukiskan melalui ucapan Muhammad, lebih tinggi dari yang mereka katakan. Makin sehari makin tersebar juga itu di kalangan orang-orang Arab. Tufail b. “Amr ad-Dausi, seorang bangsawan dan penyair cendekiawan, ketika datang di Mekah segera dihubungi oleh Quraisy dengan memperingatkannya dari Muhammad dan kata-katanya yang mempesonakan itu, yang hendak memecah belah orang dengan keluarganya, dengan dirinya sendiri bahkan. Mereka kuatir kalau peristiwa seperti Mekah itu akan menimpa mereka juga. Jadi sebaiknya jangan mengajak dan jangan mendengarkan dia bicara.
Hari itu Tufail pergi ke Ka’bah. Muhammad sedang di sana. Ketika ia mendengarkan kata-kata Muhammad, ternyata itu kata-kata yang baik sekali. “Biar aku mati, aku seorang cendekiawan, penyair”, katanya dalam hati. “Aku dapat mengenal mana yang baik dan mana pula yang buruk. Apa salahnya kalau aku mendengarkan sendiri apa yang akan dikatakan orang itu! Jika ternyata baik akan kuterima, kalau buruk akan kutinggalkan.”
Diikutinya Muhammad sampai di rumah. Lalu dikatakannya apa yang terlintas dalam hatinya itu. Muhammad menawarkan Islam kepadanya dan dibacakannya ayat-ayat Quran. Laki-laki itu segera menerima Islam dan dinyatakannya kebenaran itu dengan mengucapkan kalimat Syahadat.
Bilamana kemudian ia kembali lagi kepada masyarakatnya sendiri diajaknya mereka itu menerima Islam. Mereka pun ada yang segera menerima, tapi ada juga yang masih lambat-lambat. Dalam pada itu, beberapa tahun berikutnya sebagian besar mereka sudah pula menerima Islam. Setelah pembebasan Mekah dan sesudah susunan politik dengan bentuk tertentu sudah mulai terarah, mereka pun menggabungkan diri kepada Nabi.
Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih adalah sebuah contoh saja dari sekian banyak peristiwa. Yang telah menerima ajakan Muhammad ini bukan terdiri dari hanya penyembah-penyembah berhala saja. Sewaktu dia di Mekah dulu pernah datang kepadanya dua puluh orang Nasrani, setelah mereka mendengar berita itu. Lalu mereka menanyainya, mendengarkan kata-katanya. Mereka pun menerima, mereka beriman dan mempercayainya. Inilah pula yang membuat Quraisy makin geram, sehingga mereka juga dimaki-maki.
“Kamu utusan yang gagal. Kamu sekalian disuruh oleh masyarakat seagamamu mencari berita tentang orang itu. Sebelum kamu kenal benarbenar siapa dia agama kamu sudah kamu tinggalkan dan lalu percaya saja apa yang dikatakannya.”
Tetapi kata-kata Quraisy itu tidak membuat utusan itu mundur menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu meninggalkan Islam. Bahkan imannya kepada Allah lebih kuat daripada ketika mereka masih dalam agama Nasrani. Mereka sudah menyerahkan diri kepada Tuhan sebelum mereka mendengarkan Muhammad.
Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas
Tetapi apa yang terjadi terhadap diri Muhammad lebih hebat lagi dar, itu. Orang Quraisy yang paling keras memusuhinya sudah mulai bertanya. tanya kepada diri sendiri: benarkah ia mengajak orang kepada agama yang benar? Dan apa yang dijanjikan dan diperingatkan kepada mereka, itu pula yang benar?
Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan al-Akhnas b. Syarig malam itu pergi ingin mendengarkan Muhammad ketika sedang membaca Quran di rumahnya. Mereka masing-masing mengambil tempat sendiri, sendiri untuk mendengarkan, dan tempat satu sama Jain tidak Saling diketahui. Muhammad yang biasa bangun tengah malam, malam itu juga ia sedang membaca Quran dengan tenang dan damai. Dengan suaranya yang sedap itu ayat-ayat suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.
Tetapi sudah fajar tiba, mereka yang mendengarkan itu terpencar pulang ke rumah masing-masing. Di tengah jalan, ketika mereka bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan: Jangan terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang yang masih bodoh, ini akan melemahkan kedudukan kita dan mereka akan berpihak kepada Muhammad.
Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa perasaan yang sama seperti pada malam kemarin. Tanpa dapat menolak, seolah kakinya membawanya kembali ke tempat yang semalam itu juga, untuk mendengarkan lagi Muhammad membaca Quran. Hampir fajar, ketika mereka pulang, bertemu lagi mereka satu sama lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi sikap mereka demikian itu tidak mengalangi mereka untuk pergi lagi pada malam ketiga.
Setelah kemudian mereka menyadari, bahwa dalam menghadapi dakwah Muhammad itu mereka merasa lemah, berjanjilah mereka untuk tidak saling mengulangi lagi perbuatan mereka demikian itu. Apa yang sudah mereka dengar dari Muhammad itu, dalam jiwa mereka tertanam suatu kesan, sehingga mereka satu sama lain saling menanyakan pendapat mengenai yang sudah mereka dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa takut. Mereka kuatir akan jadi lemah, mengingat masing-masing adalah pemimpin masyarakat, sehingga dikuatirkan masyarakatnya pun akan jadi lemah pula dan menjadi pengikut Muhammad juga.
Gerangan apa keberatan mereka menjadi pengikut-pengikut Muhammad? Padahal ia tidak mengharapkan harta dari mereka, tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka atau penguasa di atas mereka? Di samping itu dia adalah laki-laki yang sungguh rendah hati, sangat mencintai masyarakatnya, setia kepada mereka dan ingin sekali membimbing mereka. Sangat halus perasaannya, sehingga kalau akal merugikan orang miskin atau yang lemah pun ia merasa takut. Setiap ia mengalami penderitaan, hatinya baru merasa tenang bila ia sudah merasa mendapat pengampunan. Bukankah tatkala suatu hari ia sedang dengan al-Walid bin’I-Mughirah, salah seorang pemimpin Quraisy yang diharapkan keislamannya, tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum yang buta, dan minta diajarkan Quran kepadanya. Begitu mendesak ia, sehingga Muhammad merasa kesal karenanya, mengingat ia sedang sibuk menghadapi Walid. Ditinggalkannya orang buta itu dengan muka masam.
Tetapi setelah ia kembali seorang diri hati kecilnya memperhitungkan perbuatannya tadi itu sambil bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu dengan ayat-ayat berikut:
“Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya. Dan apa yang memberitahukan kau, barangkali ia orang yang bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna baginya. Tetapi kepada orang yang serba cukup itu. Engkau menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak bersih hati. Tetapi orang yang bersungguhsungguh datang kepadamu. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah memperhatikan peringatan itu. Dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Dijunjung tinggi dan disucikan. Yang ditulis dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang bersih.”’
Kalau memang itu soalnya, apalagi yang mengalangi Quraisy menjadi pengikutnya dan mendukung dakwahnya? Terutama sesudah hati mereka jadi lembut, sesudah mereka melupakan masa-masa silam dengan bertahan pada warisan lapuk yang membuat jiwa mereka jadi beku, dan sesudah mereka melihat, bahwa ajaran Muhammad itu sempurna, dan penuh keagungan?
Merindukan Kesempurnaan
Tetapi! Benarkah masa yang sudah bertahunstahun itu membuat orang lupa akan kebekuan jiwanya, akan sikapnya yang konservatif terhadap masa lampau yang sudah lapuk? Ini dapat terjadi pada orangorang istimewa, yang dalam hatinya selalu terdapat kerinduan pada yang sempurna. Dalam hidup mereka, mereka masih mau mempelajari adanya kebenaran yang sebelumnya sudah mereka percayai untuk kemudian membuang segala kepalsuan yang masih melekat, betapapun tingginya tingkat kebudayaan orang itu. Hati dan pikiran mereka sudah.seperti kuali tempat melebur logam yang selalu mendidih, menerima setiap pendapat baru yang dilemparkan ke dalamnya, lalu dilebur dan disaring. Mana yang bernoda dibuang, dan tinggal yang baik, yang benar dan yang indah Mereka itu mencari kebenaran tentang apa saja, di mana saja dan darj siapa saja. Oleh karena pada setiap bangsa, setiap zaman, mereka inj merupakan inti yang terpilih, maka jumlah mereka selalu sedikit. Merek: selalu mendapat perlawanan, yang datangnya terutama dari Orang-orang kaya, orang-orang berkedudukan dan orang-orang berkuasa. Mecrekz takut setiap corak pembaruan itu akan menelan harta mereka, akan menghilangkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Selain dengan Cara hidup mereka yang demikian itu, kenyataan lain yang sudah begitu jelas tidak mereka kenal. Semua itu bagi mereka adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan mereka, dan tidak benar apabila ia dapat menimbul. kan kesangsian, sedikit sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa moral itu benar adanya bilamana ia dapat memberikan tambahan ke dalam hartanya, dan tidak benar bilamana ia merintanginya. Agama adalah benar, bilamana ia dapat membukakan jalan buat hawa nafsunya, dan tidak benar kalau ia menjadi penghalang hawa nafsu itu. Yang memilikj kedudukan, yang memiliki kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti pemilik harta itu.
Dalam perlawanan mereka terhadap segala pembaharuan yang mereka takuti itu, mereka menghasut orang awam yang rezekinya tergantung kepada mereka, supaya memusuhi penganjur pembaharuan itu. Mereka minta bantuan awam supaya menyucikan bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu setelah minggat ruh yang ada di dalamnya. Benteng-benteng itu mereka jadikan kuil-kuil dari batu, untuk menimbulkan kesan kepada awam yang tak bersalah itu, bahwa ruh suci yang mereka bungkus dengan kain putih, masih dalam keagungannya dalam kurungan kuil-kuil itu. Pada umumnya awam itu membela mereka, sebab, yang penting ia melihat pencariannya. Baginya tidak mudah akan dapat memahami, bahwa kebenaran itu tidak akan tahan tinggal terkurung dalam tembok-tembok kuil betapapun indah dan agungnya tempat itu, dan bahwa sifat kebenaran itu akan selalu bebas menyerbu dan mengisi jiwa orang. Baginya tidak beda jiwa seorang tuan atau jiwa seorang budak. Juga tak ada sebuah peraturan betapapun kerasnya yang dapat merintangi hal itu.
Bagaimana orang dapat mengharapkan dari mereka, mereka yang pernah datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan Quran itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur mereka yang banyak melakukan pelanggaran itu, karena ia tidak membeda-bedakan si buta miskin dengan orang yang hartanya berlimpah-limpah, kecuali dari kebersihan jiwanya. Kepada seluruh umat manusia diserukannya, bahwa: “Yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling dapat menjaga diri (yang paling takwa).”
Dengki dan Mau Bersaing
Kalaupun Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih bertahan dengan kepercayaan leluhur mereka bukanlah hal itu karena dilandasi oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi karena mereka sudah terlalu ganderung pada cara lama yang mereka adakan itu. Kemudian nasib membantu mereka pula. Mereka bertahan hanya karena kedudukan dan harta yang sudah berlimpah-limpah, dan untuk itu pula mereka bertempur matimatian.
Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi pengikut nabi. Sebelum kedatangan Muhammad, Umayya b. Abi’sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang pernah bicara tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah masyarakat Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin jadi nabi. Perasaan dengki itu rasa membakar jantungnya tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya. Jadi dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya saingannya. Apalagi, karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu hari Nabi a.s. menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya: “Umayya sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar.”
Atau seperti kata al-Walid bin’-Mughirah: “Wahyu didatangkan kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas’ud “Amr b. “Umair ath-Thagatfi sebagai pemimpin Thagif. Kami adalah pembesar-pembesar dua kota.”
Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:
“Dan mereka berkata: “Kenapa Quran ini tidak diturunkan kepada orang besar dari dua kota itu?” Adakah mereka membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan penghidupan mereka itu, dalam hidup dunia ini.”?
Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam berturut-turut mendengarkan pembacaan Quran, seperti dalam cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu Jahl.di rumahnya. “Abu’l-Hakam,? bagaimana pendapatmu tentang yang kita dengar dari Muhammad?” tanyanya kepada Abu Jahl.
“Apa yang kaudengar?” kata Abu Jahl. “Kami sudah saling memperebutkan kehormatan itu dengan Keluarga “Abd Manaf. Mereka memberi makan, kami pun memberi makan, mereka menanggung kami pun begitu, mercka memberi kami juga memberi schingga kami dapa, sejajar dan sama tangkas dalam perlombaan itu. Tiba-tiba kata mereka, “Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima “wahyu dari langit” Kapan kita akan menjumpai yang semacam itu? Tidak! Kami samasekaj: tidak akan percaya dan tidak akan membenarkannya.”
Jadi yang dalam sekali berpengaruh dalam jiwa orang-orang badui it, ialah rasa dengki, saling bersaing dan saling bertentangan. Dalam hal in: salah sekali bila orang mencoba mau menutup mata atau tidak menilainy, sebagaimana mestinya. Cukup kalau kita sebutkan saja adanya kekuasaar nafsu yang begitu besar dalam jiwa tiap orang. Untuk dapat mengatasi pengaruh ini memang diperlukan suatu latihan yang cukup panjang latihan jiwa dengan mengutamakan hukum akal di atas dorongan nafsu jiwa dan pikiran kita harus cukup tinggi sehingga dapat ia melihat bahwa kebenaran yang datang dari lawan bahkan dari.musuh itu, itu jugalah kebenaran yang datang dari kawan karibnya. Ia harus yakin, bahwa dengan kebenaran yang dimilikinya itu kekayaannya sudah lebih besar dari harta karun, dari kebesaran Iskandar (Agung) dan dari kerajaan seorang kaisar. Tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkat ini kalau tidak karena Tuhan sudah membukakan hatinya untuk kebenaran itu.
Di luar itu, untuk mencapai tingkat pengertian yang lebih tinggi, orang sudah dibutakan oleh harta benda duniawi, oleh kenikmatan hidup sejenak yang dirasakannya. Untuk kepentingan duniawi itu, untuk memburu saat sejenak itu, mereka berperang dan bertempur. Tak ada Sesuatu yang akan dapat menghambat mereka menancapkan kuku dan gigi mereka ke batang leher kebenaran, kebaikan dan pengertian moral yang tinggi itu. Lalu, kesempurnaan yang paling suci artinya itu oleh mereka akan diinjak-injak di bawah telapak kaki yang sudah kotor.
Bagaimana pendapat kita tentang orang-orang Arab Quraisy itu yang melihat Muhammad makin sehari makin banyak pengikutnya? Mereka kuatir, kebenaran yang sudah diproklamirkan itu suatu ketika akan menguasai mereka, akan menguasai orang-orang yang sudah setia kepada mereka, yang lalu akan menjalar sampai kepada orang-orang Arab di seluruh jazirah. Sebelum melakukan itu mereka harus memotong leher orang itu dulu jika dapat mereka lakukan. Lebih dulu mereka harus melakukan propaganda, pemboikotan, blokade, penyiksaan dan kekerasan terhadap musuh-musuh besar mereka itu.
Hari Kebangkitan dan Hari Perhitungan yang Ditakuti
Sebab ketiga keberatan mereka menjadi pengikut Muhammad ialah mereka takut sekali pada hari kebangkitan serta siksa neraka pada Hari Perhitungan kelak. Kita sudah melihat masyarakat yang begitu hanyut dalam hidup bersenang-senang dengan cara yang berlebih-lebihan. Mereka menganggap perdagangan dan riba itu wajar. Bagi orang kaya di kalangan mereka itu tak ada sesuatu yang dipandang hina, yang harus dijauhi. Di samping itu, dengan membawakan sesajen segala kejahatan dan dosa mereka itu sudah dapat ditebus. Seseorang cukup mengadu nasibnya dengan gidh (anak panah) di depan Hubal, sebelum ia melakukan sesuatu tindakan. Tanda yang diberikan oleh anak panah, itulah perintah yang datang dari Hubal. Supaya kejahatan-kejahatan dan dosa-dosanya itu diampuni oleh berhala-berhala, cukup ia menyembelih binatang untuk berhala-berhala itu. Ia dapat dibenarkan melakukan pembunuhan, perampokan, melakukan kejahatan, ia tidak dilarang menjalankan pelacuran selama ia mampu memberi suap kepada dewa-dewa itu berupa korban-korban dan penyembelihan-penyembelihan.
Sekarang datang Muhammad membawakan ayat-ayat yang begitu menakutkan, membuat jantung mereka rasakan pecah karena ngerinya, sebab Tuhan selalu mengawasi mereka. Pada Hari Kemudian mereka akan dibangkitkan kembali sebagai kejadian baru, dan bahwa yang akan menjadi penolong mereka hanyalah perbuatan mereka-sendiri.
“Apabila datang suara dahsyat yang memekakkan. Tatkala seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya. Istrinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan urusannya sendiri. Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri. Tertawa dan bergembira. Dan ada pula wajah-wajah kelabu pada hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang ingkar, orang-orang yang sudah rusak.”!
Dan suara dahsyat itu datang. “Apabila langit sudah bagaikan hancuran logam. Dan gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri kepada mereka. Ingin sekali orang jahat itu akan dapat menebus diri dari siksaan hari itu dengan memberikan anak-anaknya. Istrinya, saudaranya. Dan keluarganya yang melindunginya. Dan semua yang ada di bumi: kemudian ia hendak menyelamatkan diri. Tidak sekalikali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepala pun tercabut. Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan yang berpaling. Yang telah menyimpan kekayaan dan menyembunyikannya.”
“Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu takkan ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan kepadanya dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia! Bacakan suratku. Sudah percaya benar aku bahwa aku akan menemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan hidup. Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannya pun dekat yekali. Makanlah, dan minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yan, kamu sediakan masa lampau. Tetapi, barangsiapa yang suratnya diberikas dengan tangan kiri, ia akan berkata: Ah, coba aku tidak diberi suraty Dan ridak lagi aku mengetahui bagaimana perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak dapat menolong aku. Hancurlah Sudah kekuasaanku. Sekarang bawalah dia dan belenggukan. Sesudah is, campakkan ia ke dalam api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mat, rantai, panjangnya tujuh puluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada, Tuhan yang Maha Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada orang miskin. Maka, sekarang di sini tak ada lagi kawan setianya. Tiada makanan baginya selain daripada kotoran. Yang hanyg dimakan oleh mereka yang penuh dosa.”
Sudahkah orang membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah merasa ngeri, merasa takut? Ini hanya sebagian kecil dari yang pernah diperingatkan Muhammad kepada masyarakatnya. Kita membacanya sekarang, dan sebelum itu pun sudah pula membacanya, mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang terdapat dalam Quran hidup lagi dalam pikiran kita, ketika kita membacanya kembali.
“Tatkala kami tanyakan kepada jahanam: — Masih ada lagi???
“…… Setiap kulit-kulit mereka itu sudah matang, Kami ganti dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka rasakan.”
Dengan merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah memperkirakan betapa sebenarnya perasaan Quraisy dan terutama orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan kata-kata semacam itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa, mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam lindungan dewa-dewa dan berhala-berhala mereka.
Juga sesudah itu orang akan mudah pula memperkirakan betapa meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal arti Hari Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa yang didengarnya itu. Tidak ada di antara mereka itu yang membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan hidup ini, ia akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya. Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari kemudian itu, ialah mereka takut akan penyakit, takut akan mengalami bencana pada harta benda, pada turunan, kedudukan dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah seluruh tujuan hidupnya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk memupuk segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang mereka takuti. Bagi mereka hari kemudian ialah masalah gaib yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah merasa bahwa apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu bolehjadi akan mendatangkan bencana kepada mereka. Lalu mereka menantikan adanya alamat baik atau alamat buruk. Segera mereka mengadukan nasib itu dengan permainan anak panah, dengan mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung’ serta menyembelih korban. Semua itu merupakan penangkal terhadap segala yang mereka takuti dalam hidup mereka di kemudian hari.
Sebaliknya, segala yang mengenai adanya balasan sesudah mati, mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup, mengenai surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk mereka yang aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah terlintas dalam pikiran mereka.
Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar dengan gambaran yang begitu kuat dan menakutkan seperti yang mereka dengar melalui wahyu kepada Muhammad itu, dan yang memberi peringatan kepada mereka — akan siksa abadi dalam perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut hanya dengan mendengar gambarannya saja — kalau mereka masih juga seperti keadaan itu, bersukaria dan berlomba-lomba memperbanyak harta dengan melakukan penindasan terhadap si lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan melakukan riba secara berlebih-lebihan. Apalagi kalau orang dapat melihat dengan hati nuraninya jalan yang ditempuh manusia dengan langkah yang begitu sempit selama hidupnya menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala suka dan dukanya.
Quraisy dan Surga
Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti langit dan bumi, di situ takkan terdengar cakap kosong, juga tak ada perbuatan dosa. Yang ada hanyalah ucapan “selamat”. Segala yang menyenangkan hati, menyedapkan mata, itulah yang ada. Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan yang menambah lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam kehidupan dunia ini. Mereka tidak betah menunggu sampai hari pembalasan, sebab mereka memang tidak percaya pada hari pembalasan itu.
Perjuangan antara Baik dan Buruk
Bolehjadi orang akan merasa heran bagaimana jantung orang-orang Arab itu sampai begitu rapat tertutup tidak mau menerima persepsi hidup akhirat serta balasan yang ada. Padahal perjuangan antara yang baik dengan yang jahat itu sudah berkecamuk dalam sejarah manusia sejak dunia ini berkembang, tak pernah berhenti dan tak pernah diam. Orangorang Mesir purbakala, ribuan tahun sebelum kerasulan Muhammad melengkapi mayat mereka dengan segala perbekalan untuk keperluan akhirat, dalam kafannya diletakkan pula “Kitab Orang Mati” lengkap dengan nyanyian-nyanyian dan peringatan-peringatan. Pada kuil-kuil mereka dilukiskan pula gambar-gambar timbangan, perhitungan, tobat dan siksaan. Orang-orang India menggambarkan jiwa bahagia itu dalam Nirwana. Sedang penitisan ruh jahat dilukiskan dalam bentuk makhlukmakhluk yang sejak ribuan dan jutaan tahun tersiksa sampai ia ditelan oleh kebenaran, supaya menjadi suci. Kemudian ia kembali lagi melakukan kebaikan, karena ingin mencapai Nirwana.
Juga orang-orang Majusi di Persia. Mereka tidak menolak adanya perjuangan yang baik dan yang jahat, Dewa Gelap dan Dewa Cahaya. Juga agama yang dibawa Musa, agama yang dibawa Kristus, sama-sama melukiskan adanya kehidupan yang kekal, adanya kesukaan Tuhan dan kemurkaan-Nya. Sekarang orang-orang Arab. Tidakkah semua itu pernah sampai kepada mereka? Mereka adalah pedagang-pedagang yang dalam perjalanan mereka pernah mengadakan hubungan dengan agama-agama itu semua. Bagaimana mereka tidak mengenalnya? Bagaimana tidak mungkin itu akan menimbulkan suatu persepsi khusus pada mereka? Mereka adalah orang-orang pedalaman yang banyak sekali berhubungan dengan alam lepas tak terbatas. Lebih mudah bagi mereka melukiskan roh-roh yang terdapat dalam wujud ini, menjelma pada siang hari yang terang menyala atau pada senja menjelang malam gulita. Roh-roh yang baik dan yang jahat, ruh-ruh yang mereka anggap bersemayam dalam diri berhala-berhala yang akan mendekatkan mereka kepada Tuhan itu.
Jadi sudah tentu mereka juga mempunyai konsep tentang alam gaib yang ada di sekitar mereka. Akan tetapi, mereka sebagai masyarakat pedagang, jiwa mereka lebih cenderung pada yang nyata saja. Juga karena kegemaran mereka hidup bersenang-senang, minum minuman keras, samasekali mereka menolak adanya balasan hari kemudian. Apa yang diperoleh orang dalam hidupnya, menurut anggapan mereka, baik atau buruk adalah balasan atas perbuatannya. Dan tak ada balasan lagi sesudah hidup ini. Oleh karena itu wahyu yang berisi peringatan dan berita gembira pada mula kerasulan itu kebanyakannya turun di Mekah: karena ia ingin menyelamatkan ruh mereka, tempat Muhammad diutus itu. Sudah sepatutnya pula bila ia mengingatkan mereka atas dosa dan kesesatan yang telah mereka lakukan itu. Sudah sepatutnya pula bila ia ingin mengangkat mereka dari lembah penyembahan berhala kepada penyembahan Allah Yang Tunggal, Maha Kuasa. Untuk Penyelamatan
Demi keselamatan rohani keluarga dan umat manusia seluruhnya. Muhammad serta orang-orang yang beriman sudi memikul segala macam siksaan dan pengorbanan, memikul penderitaan rohani dan jasmani, dan kemudian pergi meninggalkan tanah tumpah darah, menjauhi permusuhan sanak-keluarga, yang sepintas-lalu sudah kita lihat di atas. Dan seolah cinta Muhammad makin dalam kepada mereka, makin besar hasratnya ingin menyelamatkan mereka, setiap ia mengalami penderitaan dan siksaan yang lebih besar lagi dari mereka itu. Hari Kebangkitan dan Hari Perhitungan adalah ayat-ayat yang harus diperingatkan kepada mereka guna menolong mereka dari penyakit paganisma dan gelimang dosa yang menimpa mereka itu. Pada tahun-tahun permulaan itu tiada hentihentinya wahyu memperingatkan dan membukakan mata mereka.
Sungguhpun begitu mereka tetap gigih tidak mau mengakui, tetap menolak, sampai-sampai mereka terdorong mengobarkan perang matimatian. Bahaya dan bencana peperangan itu baru padam sesudah Islam mendapat kemenangan, sesudah Allah menempatkannya di atas segala agama.
Berdakwah dalam Bulan-bulan Suci – Muslimin Dikepung – Membatalkan Piagam Abi Talib dan Khadijah Wafat – Quraisy Makin Ganas – Muhammad Pergi ke Ta’it – Muhammad Menawarkan Diri kepada Kabilah-kabilah – Kabilah-kabilah Menolak Seruannya – Muhammad Melamar Aisyah – Kawin dengan Sauda – Isra” (tahun 621 M) – Isra” dengan Ruh atau dengan Jasad – Gambaran Isra’ dalam Buku-buku Sejarah Hidup Nabi – Cerita Ibn Hisyam tentang Isra’ – Isra” dan Wihdat”l-Wujud – Isra” dan Ilmu Pengetahuan Modem – Quraisy Sangsi, Beberapa Orang yang Sudah Islam Berbalik – Yang Berpendapat Isra” dengan Jasad Berdakwah dalam Bulan-bulan Suci
SELAMA tiga tahun berturut-turut piagam yang dibuat pihak Quraisy untuk memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu tetap ber laku. Dalam pada itu Muhammad dan keluarga serta sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekah, dengan mengalami pelbagai macam penderitaan, sehingga untuk mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa lapar pun tidak ada. Baik kepada Muhammad atau kaum Muslimin tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan orang, kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada waktu itu orang-orang Arab berdatangan ke Mekah berziarah, segala permusuhan dihentikan — tak ada pembunuhan, tak ada penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab itu kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka arti pahala dan arti siksa. Segala penderitaan yang dialami Muhammad demi dakwah itu justru telah menjadi penolongnya dari kalangan orang banyak. Mereka yang telah mendengar tentang itu lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka menerima ajakannya. Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan ketabahan hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah dapat memikat hati orang banyak, hati yang tidak begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab dan yang sebangsanya.
Muslimin Dikepung
Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu banyak dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy – padahal mercka masih sekeluarga: saudara, ipar, sepupu — banyak di antara mereka itu yang merasakan betapa beratnya kekerasan dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Dan sekiranya tidak ada dari penduduk yang merasa simpati kepada kaum Muslimin, membawakan makanan ke celah-celah gunung’ tempat mereka mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal ini Hisyam ibn “Amr termasuk salah seorang dari kalangan Quraisy yang paling simpati kepada Muslimin.
Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati makanan atau gandum. Bilamana ia sudah sampai di depan celah gunung itu, dilepaskannya tali untanya lalu dipacunya supaya terus masuk ke tempat mereka dalam celah itu.
Membatalkan Piagam
Merasa kesal melihat Muhammad dan sahabat-sahabatnya dianiaya demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair b. Abi Umayya (Banu Makhzum). Ibu Zuhair ini adalah Atika bint Abd”l-Muttalib (Banu Hasyim).
“Zuhair”, kata Hisyam. “Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan wanita-wanita, padahal, seperti kau ketahui, keluarga ibumu demikian rupa tidak boleh berhubungan dengan orang, berjual-beli, tidak boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah. bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga Abu’l-Hakam ibn Hisyam, lalu aku diajak seperti mengajak kau, tentu akan kutolak.”
Keduanya kemudian sepakat akan sama-sama membatalkan piagam itu. Tapi meskipun begitu harus mendapat dukungan juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus diyakinkan. Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh Mut’im b. “Adi (Naufal), Abu’l-Bakhtari b. Hisyam dan Zam’a bin’I-Aswad (keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat akan mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.
Dengan tujuh kali mengelilingi Ka’bah keesokannya paginya Zuhair b. Umayya berseru kepada orang banyak: “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian padahal Banu Hasyim binasa tidak dapat mengadakan hubungan dagang! Demi Allah saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!”
Tetapi Abu Jahl, begitu mendengar ucapan itu, ia pun berteriak:
“Bohong! Tidak akan kita robek!”
Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a, Abu’l-Bakhtari, Mut’im dan “Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahl dan mendukung Zuhair,
Abu Jahl segera menyadari bahwa peristiwa ini akan terselesaikan
juga malam itu dan orang pun sudah menyetujui. Kalau dia menentang mereka juga, tentu akan timbul bencana. Merasa kuatir, lalu Cepat-Cepat la pergi. Waktu itu, ketika Mut’im bersiap akan merobek piagam tersebut dilihatnya sudah mulai dimakan rayap, kecuali pada bagian pembukaan, nya yang berbunyi: “Atas nama-Mu ya Allah ……”
Dengan demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan sahabat-sahabat pergi meninggalkan celah bukit yang curam itu dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli dengan Quraisy juga, terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya seperti dulu juga, masing, masing siap-siaga bila permusuhan itu kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa penulis biografi dalam hal ini berpendapat, bahwa di antar mereka yang bertindak menghapuskan piagam itu terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk menghindarkan timbulnya bencana, mereka mendatangi Muhammad dengan permintaan Supaya ia mau saling mengulurkan tangan dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada dewa-dewa mereka sekalipun cukup hanya dengan jari. jarinya saja dikelilingkan. Agak cenderung juga hatinya atas usul itu, sebagai pengharapan atas kebaikan hati mereka. Dalam hatinya seolah ia berkata: “Tidak apa kalau saya lakukan itu. Allah mengetahui bahwa saya tetap taat.”
Atau karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan pertemuan dengan Muhammad sampai pagi. Dalam perbicaraan itu mereka sangat menghormatinya, menempatkannya sebagai yang dipertuan atas mereka, mengajaknya kompromi, seraya kata mereka: “Tuan adalah pemimpin kami ……..”
Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak mereka. Ini adalah dua sumber hadis, yang pertama sebagian diceritakan oleh Sa’id b. Jubair, sedang yang kedua oleh Oatada. Kata mereka kemudian Allah melindungi Muhammad dari kesalahan, dengan firman-Nya:
“Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka mengambil engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami.”
Ayat-ayat ini turun — menurut dugaan mereka yang membawa cerita gharanig — sehubungan dengan cerita bohong itu seperti yang sudah kita lihat. Sedang kedua ahli hadis ini menghubungkannya pada cerita pembatalan piagam. Sebaliknya menurut hadis “Ata’ lewat Ibn “Abbas, ayat-ayat ini turun sehubungan dengan delegasi Thagif, yang datang meminta kepada Muhammad supaya lembah mereka dianggap suci seperti pohon, burung dan binatang di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih maju-mundur sebelum ayat-ayat tersebut turun.
Apa pun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat itu sumber-sumber tersebut tidak berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi kebesaran jiwa Muhammad, di samping kejujuran dan keikhlasannya, dengan suatu lukisan yang sungguh kuat sekali. Segi ini yang juga dilukiskan oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dari Surah “Abasa” (80) dan pula seluruh sejarah kehidupan Muhammad membuktikannya pula. Secara terus-terang dikatakan, bahwa dia adalah manusia biasa seperti yang lain, tapi yang telah mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa dia, sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau tidak karena mendapat perlindungan Tuhan. Ia telah bersalah ketika bermuka masam dan berpaling dari Ibn Umm Maktum, dan hampir pula salah sehubungan dengan turunnya Surah “Isra” (17), juga hampir pula ia tergoda tentang apa yang telah diwahyukan kepadanya untuk dipalsukan dengan yang lain.
Apabila wahyu turun kepadanya memberi peringatan atas perbuatannya terhadap orang buta itu, dan terhadap godaan Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan wahyu itu kepada orang sama pula seperti ketika menyampaikan amanat Tuhan itu. Tak ada sesuatu yang akan menghalanginya ia menyatakan apa yang sebenarnya tentang dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi hati.
Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang ada dalam risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain demi idea yang diyakininya, orang yang berjiwa besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan, sekalipun oleh orang-orang besar sendiri. Hal-hal semacam itu biasanya oleh mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun dengan susah payah. Inilah kebesaran yang tak ada taranya, lebih besar dari orang besar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala kebesaran, dan lebih besar dari segala yang besar, yakni sifat kenabian yang menyertai Rasul itu dengan segala keikhlasan dan kejujurannya meneruskan Risalah Kebe, naran Tertinggi.
Sesudah piagam disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnya pun keluar dari lembah bukit-bukit itu. Seruannya dikumandangkan lagi kepada penduduk Mekah dan kepada kabilah-kabilah yang pada bulan, bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan Muhammag sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang sudah menjadi pengikutnya, tapi sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga dia tidak dapat mencegahnya.
Abu Talib dan Khadijah Wafat
Beberapa bulan kemudian sesudah penghapusan piagam itu, secarg tiba-tiba sekali dalam satu tahun saja Muhammad mengalami dukacita yang sangat menekan perasaan, yakni kematian Abu Talib dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu itu Abu Talib sudah berusia delapan puluh tahun lebih. Setelah Quraisy mengetahui ia dalam keadaan sakit yang akan merupakan akhir hayatnya, mereka merasa kuatir apa yang akan terjadj nanti antara mereka dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi sesudah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras. Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera mendatangi Abu ‘Talib, untuk kemudian mengatakan:
“Abu Talib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga kami juga. Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui keadaan kami dengan kemenakanmu itu. Panggillah dia. Kami akan saling memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan dari kami, kami pun akan demikian. Biarlah kami dengan agama kami dan dia dengan agamanya sendiri pula.” Muhammad datang tatkala mereka masih berada di tempat pamannya itu. Setelah diketahuinya maksud kedatangan mereka, ia pun berkata: “Sepatah kata saja saya minta, yang akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab.” “Ya, demi bapamu”, jawab Abu Jahl. “Sepuluh kata sekalipun silakan!” Kata Muhammad:
“Katakan, tak ada tuhan selain Allah, dan tinggalkan segala penyembahan yang selain Allah.”
“Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu Tuhan saja?” kata mereka.
Kemudian mereka berkata satu sama lain: “Orang ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah kalian!”
Ketika Abu Talib meninggal hubungan Muhammad dengan pihak Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah.
Dan sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah, Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad, Khadijah yang telah mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya, dengan perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih, dengan kekuatan iman yang ada padanya. Khadijah, yang dulu menghiburnya bila ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan dan yang menghilangkan rasa takut dalam hatinya. Ia adalah bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan bibirnya Muhammad melihat arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga ia sendiri pun tambah percaya kepada dirinya. Abu Talib pun meninggal, orang yang menjadi pelindung dan perisai terhadap segala tindakan musuh. Pengaruh apakah yang begitu sedih, begitu pedih menusuk jiwa Muhammad “alaihissalam?! Yang pasti, dua peristiwa itu akan meninggalkan luka parah dalam jiwa orang — yang bagaimanapun kuatnya — akan menusukkan racun putus asa ke dalam hatinya. Ia akan dikuasai perasaan sedih dan duka, akan dirundung kepiluan dan akan membuatnya jadi lemah, tak dapat berpikir lain di luar dua peristiwa yang sangat mengharukan itu.
Quraisy Makin Ganas
Sesudah kehilangan dua orang yang selalu membelanya itu Muhammad melihat Quraisy makin keras mengganggunya. Yang paling ringan di antaranya ialah ketika seorang pandir Quraisy mencegatnya di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke atas kepalanya. Tahukah orang apa yang dilakukan Muhammad? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih di atas kepala. Fatimah putrinya lalu datang mencucikan tanah yang di kepala itu. ia membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya dalam hati seorang ayah daripada mendengar tangis anaknya, lebih-lebih anak perempuan. Setitik air mata kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang putri adalah sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku karena pilu, dan karena pilunya ia akan menangis kesakitan. Juga secercah duka yang menyelinap ke dalam hati adalah rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik leher dan hampir pula menggenangi mata.
Sebenarnya Muhammad adalah seorang ayah yang sungguh bijaksana dan penuh kasih kepada putri-putrinya. Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan yang baru saja kehilangan ibunya itu, Yang menangis hanya karena malapetaka yang menimpa ayahnya? J idah lebih dari semua itu ia hanya menghadapkan hatinya kepada Allah dengan penuh iman akan segala pertolongan-Nya.
“Jangan menangis anakku”, katanya kepada putrinya yang Sedang berlinang air mata itu. “Tuhan akan melindungi ayahmu.”
Kemudian diulangnya: “Sebelum wafat Abu Talib orang-orang Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya.”
Muhammad Pergi ke Ta’if
Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Ia merasa tertekan sekali.
Terasing seorang diri, ia pergi ke Ta’if,! dengan tiada orang yang mengetahuinya. Ia pergi ingin mendapatkan dukungan dan suaka dari Thagif terhadap masyarakatnya sendiri, dengan harapan mereka pun akan dapat menerima Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya secara kejam sekali. Kalaupun sudah begitu, ia masih mengharapkan merek: jangan memberitahukan kedatangannya minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya Itu pun tidak didengar. Bahkan mereka menghasut orang-orang pandir agar bersorak-sorai dan memakinya.
Ia pergi lagi dari sana, berlindung pada sebuah kebun kepunyaan “Utba dan Syaiba anak-anak Rabi’a. Orang-orang yang pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah naungan pohon anggur. Ketika itu keluarga Rabi’a sedang memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya. Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan:
“Allahumma ya Allah, kepada-Mu juga aku mengadukan kelcmahanku. kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia, O Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan daku? Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku. aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat — daripada kemurkaan-Mu yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga.”
Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak Rabi’a itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialaminya itu. Budak mereka, seorang beragama Nasrani bernama “Addas, diutus kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas buah-buahan itu Muhammad berkata: “Bismillah!” Lalu buah itu dimakannya.
“Addas memandangnya keheranan.
“Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini”, kata “Addas.
Lalu Muhammad menanyakan negeri asal dan agama orang itu. Setelah diketahui bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari Nineveh, katanya:
“Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta.”
“Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta?” tanya “Addas.
“Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi”, jawab Muhammad.
Saat itu “Addas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan keheranan keluarga Rabi’a yang melihatnya. Sungguhpun begitu mereka tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan tatkala “Addas sudah kembali mereka berkata:
“”Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamy yang masih lebih baik daripada agamanya.”
Muhammad Menawarkan Diri kepada Kabilah-kabilah
Gangguan orang yang pernah dialami Muhammad seolah dapat meringankan perbuatan buruk yang dilakukan Thagif itu, meskipun mereka tetap kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan itu sudah diketahui pula oleh Quraisy sehingga gangguan mereka kepada Muhammad makir menjadi-jadi. Tetapi hal ini tidak mengurangi kemauan Muhammag menyampaikan dakwah Islam. Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah itu ia memperkenalkan diri, mengajak mereka mengenal arti kebenaran. Diberitahukannya kepada mereka, bahwa ia adalah Nabi yang diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.
Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak membiarkan. nya, bahkan dibuntutinya ke mana ia pergi. Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.
Kabilah-kabilah Menolak Seruannya
Muhammad sendiri tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di Mekah saja, bahkan ia mendatangi Banu Kinda! ke rumah-rumah mereka, mendatangi Bany Kalb,? juga ke rumah-rumah mereka. Banu Hanifa? dan Banu “Amir bin Sha’sha’a.” Tapi tak seorang pun dari mereka yang mau mendengarkan, Banu Hanifa bahkan menolak dengan cara yang buruk sekali. Sedang Banu “Amir menunjukkan ambisinya, bahwa kalau Muhammad mendapat kemenangan, maka sebagai penggantinya, segala persoalan nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi setelah dijawab, bahwa masalah itu berada di tangan Tuhan, mereka pun lalu membuang muka dan menolaknya seperti yang lain-lain.
Adakah kegigihan kabilah-kabilah yang mengadakan oposisi terhadap Muhammad itu karena sebab-sebab yang sama seperti yang dilakukan oleh Quraisy? Kita sudah melihat, bahwa Banu “Amir ini mempunyai ambisi ingin memegang kekuasaan bila bersama-sama mereka nanti ia mendapat kemenangan. Sebaliknya kabilah Thagif pandangannya lain lagi. Ta’if di samping sebagai tempat musinh panas bagi penduduk Mekah kareng udaranya yang sejuk dan buah anggurnya yang manis-manis, juga kota ini merupakan pusat tempat penyembahan Lat, Ke tempat itu orang berziarah dan menyembah berhala. Kalau Thagif ini sampai menjadi pengikut Muhammad, maka kedudukan Lat akan hilang. Permusuhan mereka dengan Quraisy pun akan timbul, yang sudah tentu akibatnya akan mempengaruhi perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga halnya dengan yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri yang disebabkan oleh keadaan perekonomian setempat. Dalam menentang Islam itu, pengaruh ini lebih besar terhadap mereka daripada pengaruh kepercayaan mereka dan kepercayaan nenek-moyang mereka, termasuk penyembahan berhala-berhala..
Muhammad Melamar Aisyah
Makin besar oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu, Muhammad makin mau menyendiri. Makin gigih pihak Quraisy melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin pula ia merasakan pedihnya.
Masa berkabung terhadap Khadijah itu pun sudah pula berlalu. Terpikir olehnya akan beristri, kalau-kalau istrinya itu kelak akan dapat juga menghiburnya, dapat mengobati luka dalam hatinya, seperti dilakukan Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini ia melihat pertaliannya dengan orang-orang Islam yang mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu sebabnya ia segera melamar putri Abu Bakr, Aisyah. Oleh karena waktu itu ia masih gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun, maka yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang perkawinan berlangsung dua tahun kemudian, ketika usianya mencapai sembilan tahun.
Kawin dengan Sauda
Sementara itu ia kawin pula dengan Sauda, seorang janda yang suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia dan kemudian meninggal setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembaca pun akan dapat menangkap arti kedua ikatan ini. Arti pertalian perkawinan dan semenda yang dilakukan oleh Muhammad itu, nanti akan lebih jelas.
Isra’ (tahun 621 M)
Pada masa itulah Isra’ dan Mi’raj terjadi. Malam itu Muhammad sedang berada di rumah saudara sepupunya, Hindun putri Abu Talib yang mendapat nama panggilan Umm Hani’. Ketika itu Hindun mengatakan:
“Malam itu Rasulullah bermalam di rumah saya. Selesai salat akhi, malam, ia tidur dan kami pun tidur. Pada waktu sebelum fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan ibadat pagi bersama. sama kami, ia berkata: “Umm Hani”, saya sudah salat akhir malam bersama kamu sekalian seperti yang kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke Bait’I-Magdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat.”
Kataku: “Rasulullah, janganlah menceritakan ini kepada orang lain, Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!.
“Tapi harus saya ceritakan kepada mereka”, jawabnya.
Isra’ dengan Ruh atau dengan Jasad
Orang yang mengatakan, bahwa Isra’ dan Mi’raj Muhammad ‘alaihis. salam dengan ruh itu berpegang kepada keterangan Umm Hani’ ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh Aisyah: “Jasad Rasulullah s.a.w tidak hilang, tetapi Allah menjadikan isra”’ itu dengan ruhnya”: Juga Mu’awiya b. Abi Sufyan ketika ditanya tentang isra’ Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi yang benar dari Tuhan. Di samping semua itu Orang berpegang kepada firman Tuhan: “Tidak lain mimpi yang Kami perlihat. kan kepadamu adalah sebagai ujian bagi manusia.”
Sebaliknya orang yang berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Bait’I-Magdis itu dengan jasad, landasannya ialah apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa dalam isra’ itu ia berada di pedalaman, seperti yang akan disebutkan ceritanya nanti. Sedang mi’raj ke langit adalah dengan ruh. Di samping mereka itu ada lagi pendapat bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat ini di kalangan ahli-ahli ilmu kalam banyak sekali dan ribuan pula tulisan-tulisan sudah dikemukakan orang. Sekitar arti isra” ini kami sendiri sudah mempunyai pendapat yang ingin kami kemukakan juga. Kita belum mengetahui, sebab adakah orang yang mengemukakannya sebelum kita, atau belum. Tetapi, sebelum pendapat ini kita kemukakan — dan supaya dapat kita kemukakan — perlu sekali kita menyampaikan kisah isra’ dan mi’raj ini seperti yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi. Gambaran Isra” dalam Buku-buku Sejarah Hidup Nabi
Dengan indah sekali Dermenghem melukiskan kisah ini yang disarikannya dari pelbagai buku sejarah hidup Nabi, yang terjemahannya sebagai berikut:
“Pada tengah malam yang sunyi dan hening, burung-burung malam pun diam membisu, binatang-binatang buas sudah berdiam diri, gemercik air dan siulan angin juga sudah tak terdengar lagi, ketika itu Muhammad terbangun oleh suara yang memanggilnya: “Hai orang yang sedang tidur, pangunlah!” Dan bila ia bangun, di hadapannya sudah berdiri Malaikat Jibril dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju, melepaskan rambutnya yang pirang terurai, dengan mengenakan pakaian berumbaikan mutiara dan emas. Dan dari sekelilingnya sayap-sayap yang beraneka warna bergeleparan. Tangannya memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu burag yang bersayap seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di hadapan Rasul, dan Rasul pun naik.
“Maka meluncurlah burag itu seperti anak panah membubung di atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju arah ke utara. Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai di tempat Tuhan berbicara dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat Isa dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.
“Sementara itu ada suara-suara misterius mencoba menghentikan Nabi, orang yang begitu ikhlas menjalankan risalahnya. Ia melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menghentikan hewan itu di mana saja dikehendaki-Nya.
“Seterusnya mereka sampai ke Bait ‘I-Magdis. Muhammad mengikatkan hewan kendaraannya itu. Di puing-puing kuil Sulaiman ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa. Kemudian dibawakan tangga, yang lalu dipancangkan di atas batu Ya’gub. Dengan tangga itu Muhammad cepat-cepat naik ke langit.
“Langit pertama terbuat dari perak murni dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas. Tiap langit itu dijaga oleh malaikat, supaya jangan ada setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula semua makhluk memuja dan memuji Tuhan. Pada keenam langit berikutnya Muhammad bertemu dengan Nuh, Harun, Musa, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat itu ia melihat Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara kedua matanya adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena kekuasaan-Nya, maka yang berada di bawah perintahnya adalah seratus ribu kelompok. Ia sedang mencatat nama-nama mereka yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku besar. ia melihat juga Malaikat Air Mata, yang menangis karena dosa-dosa orang. Malaikat Dendam yang berwajah tembaga yang menguasai anasir api dan sedang duduk di atas singgasana dari nyala api. Dan dilihatnya juga ada malaikat yang besar luar biasa.
separuh dari api dan separuh lagi dari salju, dikelilingi oleh malaikat malaikat yang merupakan kelompok yang tiada hentinya menyebut-nyebur nama Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan salju dengan api, telah menyatukan semua hambaMu setia menurut ketentuan-Mu.
“Langit ketujuh adalah tempat orang-orang yang adil, dengan malaikat yang lebih besar dari bumi ini seluruhnya. Ia mempunyai tujuh puluh ribu kepala, tiap kepala tujuh puluh ribu mulut, tiap mulut tujuh puluh ribu lidah, tiap lidah dapat berbicara dalam tujuh puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan tujuh puluh ribu dialek. Semua itu memuja dan memuji serta menguduskan Tuhan.
“Sementara ia sedang merenungkan makhluk-makhluk ajaib itu, tiba. tiba ia membubung lagi sampai di Sidrat’l-Muntaha yang terletak dj sebelah kanan “Arsy, menaungi berjuta-juta ruh malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap mata pun ia sudah menyeberangi lautan, lautan yang begitu luas dan daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu bagian yang gelap-gulita disertai berjuta-juta tabir kegelapan, api, air, udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500 tahun perjalanan. Ia melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan kesatuan. Di balik itu terdapat tujuh puluh ribu kelompok malaikat yang bersujud tidak bergerak dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.
“Kemudian terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang Maha Tinggi. Terpesona sekali ia. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya, seolah-olah sudah hilang tertelan. Keduanya tampak hanya sebesar biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.
“Begitu seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.
“Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan “Arsy, sudah dekat sekali. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan persepsinya, dan melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan lidah, di luar jangkauan otak manusia akan dapat menangkapnya. Maha Agung Tuhan mengulurkan sebelah tangan-Nya di dada Muhammad dan yang sebelah lagi di bahunya. Ketika itu Nabi merasakan kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang, damai, lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa kenikmatan.
“Sesudah berbicara …….. Tuhan memerintahkan hamba-Nya itu supaya setiap Muslim setiap hari sembahyang lima puluh kali. Begitu Muhammad kembali turun dari langit, ia bertemu dengan Musa. Musa berkata kepadanya:
“Bagaimana kauharapkan pengikut-pengikutmu akan dapat melakukan salat lima puluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil sejauh yang’ dapat kulakukan. Percayalah dan kembali kepada Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang itu.
“Muhammad pun kembali. Jumlah sembahyang juga lalu dikurangi menjadi empat puluh. Tetapi Musa menganggap itu masih di luar kemampuan orang. Disuruhnya lagi Nabi penggantinya itu berkali-kali kembali kepada Tuhan sehingga berakhir dengan ketentuan yang lima kali.
“Sekarang Jibril membawa Nabi mengunjungi surga yang sudah disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka yang teguh iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi. Burag pun dilepaskan. Lalu ia kembali dari Bait’I-Magdis ke Mekah naik hewan bersayap.”
Cerita Ibn Hisyam tentang Isra”
Demikian cerita Dermenghem tentang Isra’ dan Mi’raj. Kita pun dapat melihat, apa yang diceritakannya itu memang tersebar luas dalam buku-buku sejarah hidup Nabi, sekalipun akan kita lihat juga bahwa semua itu berbeda-beda. Di sana sini dilebihi atau dikurangi.
Salah satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam melalui ucapan Nabi “alaihissalam sesudah berjumpa dengan Adam di langit pertama, ketika mengatakan: “Kemudian kulihat orang-orang bermoncong seperti moncong unta, tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu dilemparkan ke dalam mulut mereka dan keluar dari dubur. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka yang memakan harta anak-anak yatim secara tidak sah”, jawab Jibril. Kemudian kulihat orang-orang dengan perut yang belum pernah kulihat dengan cara keluarga Fir’aun menyeberangi mereka seperti unta yang kena penyakit dalam kepalanya, ketika dibawa ke dalam api. Mereka diinjak-injak tak dapat beranjak dari tempat mereka. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka itu tukang-tukang riba”, jawabnya. Kemudian kulihat orang-orang, di hadapan mereka ada daging yang gemuk dan baik, di samping ada daging yang buruk dan busuku Mereka makan daging yang buruk dan busuk. itu dan meninggalkan yang gemuk dan baik. Aku bertanya: “Siapakah mereka itu, Jibril? Mereka orang-orang yang meninggalkan wanita yang dihalalkan Tahan dan mencari wanita yang diharamkan”, jawabnya. Kemudian aku melihat: wanita-wanita yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku bertanya Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka itu wanita yang memasukkan laki-laki dan bukan dari keluarga mereka .:…” Kemudian aku dibawa ke surga Disana kulihat seorang budak perempuan, bibirnya merah. Kutanya dia: “Kepunyaan siapa engkau?” — Aku tertarik sekali waktu kulihat. “Aku kepunyaan Zaid ibn Haritha,” jawabnya. Maka Rasulullah S.a.w. lalu memberi selamat kepada Zaid ibn Haritha.”
Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam buku-buku sejarah hidup Nabi, yang lain dan dalam buku-buku tafsir orang akan melihat bermacam, macam hal lagi di samping itu. Sudah menjadi hak setiap penulis Sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai di mana benar ketelitian dan penyelidikan yang mereka adakan dalam hal ini semua: mana yang boleh dijadikan begangan (askripsi) sampai kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang sahih (otentik), dan mana pula yang hanya berupa buah khayal Orang, orang tasauf dan sebangsanya.
Kalau di sini tidak cukup ruangan untuk mengadakan ketentuan atau penyelidikan dalam bidang tersebut, dan kalau bukan pula di Sing tempatnya untuk menyatakan apakah isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad, ataukah mi’raj dengan ruh dan isra’ dengan jasad, ataukah isra’ dan mi’raj itu semuanya dengan ruh — maka sudah tentu bahwa tiap pendapat itu akan ada dasarnya pada ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya kalau atas pendapat-pendapat itu orang menyatakan pendiriannya sendiri yang akan berbeda pula satu dari yang lain.
Jadi barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah seperti yang kita kemukakan tadi dan sudah berulang-ulang pula disebutkan dalam Quran dan diucapkan Rasul.
“Sungguh aku ini manusia seperti kamu juga, hanya aku diberi wahyu, Tetapi Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, ” dan bahwa satu-satunya mukjizat Muhammad ialah Quran dan “Bahwasanya Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mempersekutukan-Nya, tetapi Dia meng. ampun segala dosa selain (syirik) itu, siapa saja yang dikehendaki-Nya.”
Urang yang berpendapat demikian ini — sebenarnya melebihi yang lain —ia akan bertanya, apa sebenarnya arti isra’ dan mi’raj itu. Di sinilah letak pendapat yang ingin kita kemukakan. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang mengemukakan hal ini sebelum kita, atau belum.
Isra” dan Wihdat’I-Wujud
Isra” dan mi’raj ini dalam hidup kerohanian Muhammad mempunyai arti yang tinggi dan agung sekali, suatu arti yang lebih besar dari yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak sedikit dikacau dan dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang subur itu. Jiwa yang sungguh kuat itu, tatkala terjadi isra’ dan mi’raj, telah dipersatukan oleh kesatuan wujud ini, yang sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu tak ada sesuatu tabir ruang dan waktu atau sesuatu yang dapat mengalangi intelek dan jiwa Muhammad, yang akan membuat penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi, terbatas oleh kekuatan-kekuatan kita yang sensasional, yang dapat diarahkan menurut akal pikiran: Pada saat itu semua batas jadi hanyut di depan hati nurani Muhammad. Seluruh alam semesta ini sudah bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu disadarinya, sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi — sejak dunia mulai berkembang sampai ke akhir zaman. Digambarkannya dalam perkembangan kesunyian dirinya dalam mencapai kesempurnaan itu, dengan jalan kebaikan dan keindahan dan kebenaran, dalam mengatasi dan mengalahkan segala kejahatan, kekurangan, keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan juga. Orang tidak akan mencapai keluhuran demikian itu, kalau tidak dengan suatu kekuatan yang berada di atas kodrat manusia yang pernah dikenalnya.
Apabila sesudah itu kemudian datang orang-orang yang menjadi pengikut Muhammad yang tidak sanggup mengikuti jejak pikirannya yang begitu tinggi, dengan kesadaran yang begitu kuat tentang kesatuan alam, kesempurnaan serta perjuangannya mencapai kesempurnaan itu, maka hal ini tidak mengherankan dan bukan pula aib tentunya. Orang-orang yang piawai dan jenial memang bertingkat-tingkat. Dalam kita mencapai kebenaran ini pun selalu terbentur pada batas-batas ini, tenaga kita sudah tidak mampu mengatasinya.
Apabila kita mau menyebutkan sebagai contoh – dengan sedikit perbedaan tentunya, sehubungan dengan apa yang kita hadapi sekarang ini – cerita Orang-orang buta yang ingin mengetahui gajah itu apa, maka salah seorang dari mereka itu akan berkata, bahwa gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab kebetulan yang terpegang adalah buntutnya, yang seorang lagi berkata bahwa gajah itu sebatang pohon, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah kakinya, yang ketiga berkata, bahwa gajah itu runcing seperti anak panah, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah taringnya, yang keempat berkata, bahwa gajah itu bulat panjang dan bengkok, banyak bergerak-gerak, sebab kebetulan yang dipegangnya adalah belalainya.
Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang terbayang ketika orang yang tidak buta itu melihat gajah untuk pertama kalinya. Boleh juga kiranya kita mengambil perbandingan antara persepsi (kesadaran) Muhammad menangkap esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya ke dalam isra” dan mi’raj yang berhubungan dengan waktu pertama sejak sebelum Adam sampai pada akhir hari kebangkitan dan yang akan menghilangkan pula kesudahan ruang ini, ketika ia melihat dengan mata batin dari Sidrat’l Muntaha ke alam semesta ini, yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut — dengan persepsi (kesadaran) kebanyakan orang yang dapat menangkap arti isra’ mi’raj itu. Tatkala itu ia berhadapan dengan bagian-bagian yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang hidupnya hanya seperti partikel-partikel tubuh bahkan seperti partikel-partikel yang melekat pada tubuh itu dengan Yusunannya yang tidak terpengaruh karenanya. Dari mana pula partikey bartikel daripada hidup tubuh itu, dari denyutan jantungnya, pancara, jiwanya, pikirannya yang penuh dengan enersi yang tak kenal batas, sebab, dari wujud hidup itulah ia berhubungan dengan segala kehidupan alam ini.
Isra” dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra’ dan mi’raj juga yang semuanya dengan ruh. Ini adalah begitu luhur, begitu indah dan agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat sekali dalam arti kesatuan rohani sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi. Ini adalah Suatu pendakian ke atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke Bethlehem, tempat Isa dilahirkan. Pertemuan rohani demikian ini sudah mengandung selawat bagi Muhammad, Isa, Musa dan Ibrahim, suatu manifestasi yang kuat sekali dalam arti kesatuan hidup agama sebagai suatu sendi kesatuan alam dalam edarannya yang terus menerus menuju kepada kesempurnaan.
Ilmu pengetahuan pada masa kita sekarang ini mengakui isra’ dengan ruh dan mengakui pula mi’raj dengan ruh. Apabila tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang benar pun akan memancar. Dalam bentuk tertentu sama pula halnya dengan tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan kepada Marconi ketika ia menemukan suatu arus listrik tertentu dari kapalnya yang sedang berlabuh di Venesia. Dengan suatu kekuatan gelombang eter arus listrik itu telah dapat menerangi kota Sydney di Australia.
Isra’ dan Ilmu Pengetahuan Modern
Ilmu pengetahuan zaman kita sekarang ini membenarkan pula teori telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan dengan itu. Demikian juga transmisi suara di atas gelombang eter dengan radio, telefotografi (facsimile transmisi) dan teleprinter lainnya, suatu hal yang tadinya masih dianggap suatu pekerjaan khayal belaka. Tenaga-tenaga yang masih tersimpan dalam alam semesta ini setiap hari masih selalu memperlihatkan yang baru kepada alam kita. Apabila jiwa sudah mencapai kekuatan dan kemampuan yang begitu tinggi seperti yang sudah dicapai oleh jiwa Muhammad itu, lalu Allah memperjalankan dia pada suatu malam dari Masjid’I-Haram ke al-Masjid’l-Agsha, yang di sekelilingnya sudah diberi berkah guna memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya, maka itu pun oleh ilmu pengetahuan dapat pula dibenarkan. Arti semua ini ialah pengertian-pengertian yang begitu kuat dan luhur, begitu indah dan agung, dan telah pula membayangkan kesatuan rohani dan kesatuan alam semesta ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa Muhammad. Orang akan dapat memahami arti semua ini apabila ia dapat berusaha menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan hidup yang singkat ini. Ia berusaha mencapai esensi kebenaran tertinggi itu guna memahami kedudukannya yang sebenarnya dan kedudukan alam ini seluruhnya.
Quraisy Sangsi, Beberapa Orang yang Sudah Islam Berbalik
Orang-orang Arab penduduk Mekah tidak dapat memahami semua pengertian ini. Itulah pula sebabnya, tatkala soal isra’ itu oleh Muhammad disampaikan kepada mereka, mereka pun lalu menanggapinya dari bentuk materi — mungkin atau tidaknya isra’ itu. Apa yang dikatakannya itu kemudian menimbulkan kesangsian juga pada beberapa orang pengikutnya, pada orang-orang yang tadinya sudah percaya. Mereka banyak yang mengatakan: Masalah ini sudah jelas. Perjalanan kafilah yang terusmenerus pun antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana bolehjadi Muhammad hanya satu malam saja pergipulang ke Mekah?!
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam itu kemudian berbalik murtad. Mereka yang masih menyangsikan hal ini lalu mendatangi Abu Bakr dan keterangan yang diberikan Muhammad itu dijadikan bahan pembicaraan.
“Kalian berdusta,” kata Abu Bakr.
“Sungguh,” kata mereka. “Dia di mesjid sedang bicara dengan orang banyak.”
“Dan kalaupun itu yang dikatakannya,” kata Abu Bakr lagi, “tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan.”
Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan Bait’I-Magdis. Abu Bakr sudah pernah berkunjung ke kota itu.
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:
“Rasulullah, saya percaya.”
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan “Ash-Shiddik.”’ Yang Berpendapat Isra” dengan Jasad
Alasan mereka yang berpendapat bahwa isra’ itu dengan jasad ialah karena ketika Quraisy mendengar tentang kejadian Suraga mereka menanyakannya dan mereka yang sudah beriman juga menanyakan tentang peristiwa yang luar biasa itu. Mereka memang belum pernah mendengar hal semacam itu. Lalu diceritakannya tentang adanya kafilah yang pernah dilaluinya di tengah jalan. Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat. dialah yang menunjukkan. Pernah ia minum dari scbuah kafilah lain dan sesudah minum Ialu ditutupnya bejana itu. Pihak Ourary menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itu pun membenarkan apa yang telah diceritakan Muhammad itu.
Saya kira, kalau dalam hal ini orang bertanya kepada mercka yang berpendapat tentang isra” dengan ruh itu, tentu mereka tidak akan Merasa heran sesudah ternyata ilmu masa kita sekarang ini dapat mengetahy mungkinnya hyponotisma menceritakan hal-hal yang terjadi di tempat, tempat yang jauh. Apalagi dengan ruh yang dapat menghimpun kehidupan rohani dalam seluruh alam ini. Dengan tenaga yang diberikan Tuhan kepadanya ia dapat mengadakan komunikasi dengan rahasia hidup ini dari awal alam azali sampai pada akhirnya yang abadi.
Ketabahan Muhammad — Tanda Kemenangan dari Yathrib Aus’ Khazraj dan Yahudi — Pengaruh Roham — Suwad bim’sh ShamitInsiden Bu’ath — Ikrar “Agaba Pertama Mush’ab b “Umair Muhammad Memikirkan Soal Hijrah Ikrar “Agaba Kedua Dialog Scbelum Ikrar – Ikrar – Quraisy dan Ikrar “Agaba – Posisi Kedua Belah Pihak — Muslimin Hijrah ke Yathrib – Quraisy dan Hijrah Nabi
ORANG-ORANG Quraisy tidak dapat memahami arti isra”, juga mereka yang Sudah Islam banyak yang tidak memahami artinya, seperti sudah disebutkan tadi. Itu sebabnya, ada kelompok yang lalu meninggalkan Muhammad yang tadinya sudah sekian lama menjadi pengikutnya. Permusuhan Quraisy terhadap Muhammad dan terhadap kaum Muslimin makin keras juga, sehingga mereka sudah merasa sungguh kesal karenanya. Rasanya tak ada lagi harapan bagi Muhammad akan mendapat dukungan kabilah-kabilah sesudah ternyata Thagif dari Ta’if menolaknya dengan cara yang tidak baik. Demikian juga kemudian kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu “Amir dan. Banu Hanifa semua menolaknya, ketika ia datang mengenalkan diri kepada mereka pada musim ziarah.
Sesudah itu Muhammad merasa, bahwa tiada seorang pun dari Quraisy itu nampaknya yang dapat diharapkan diajak kepada kebenaran. Kabilah-kabilah lain di luar Quraisy yang berada di sekitar Mekah dan yang datang berziarah ke tempat itu dari segenap penjuru daerah Arab, melihat keadaannya yang dikucilkan itu dan melihat sikap permusuhan Quraisy kepadanya demikian rupa, membuat setiap orang yang mendukungnya jadi memusuhi mereka. Sekarang sikap Quraisy tambah keras pula menentangnya. .
Meskipun Muhammad sudah merasa berbesar hati karena adanya Hamzah dan Umar, dan meskipun ia sudah yakin, bahwa Quraisy tidak akan terlalu membahayakan melebihi yang sudah-sudah mengingat adanya pertahanan pihak keluarganya dari Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib, tapi ia melihat — sampai pada waktu itu — bahwa risalah Tuhan itu akan terhenti hanya pada suatu lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri dari orang-orang yang masih lemah dan sedikit sekap jumlahnya, hampir-hampir saja punah atau tergoda meninggalkan agama, nya kalau tidak segera datang kemenangan dan pertolongan Tuhan. Ha ini berjalan cukup lama. Muhammad makin dikucilkan di tengah-tengah keluarganya, kedengkian Quraisy juga bertambah besar. Ketabahan Muhammad
Adakah pengasingan yang demikian ini telah melemahkan jiwanya dan dapat mematahkan semangatnya? Sekali-kali tidak! Bahkan keper, cayaannya akan kebenaran yang datang dari Tuhan itu lebih luhur daripada sekadar pertimbangan-pertimbangan yang akan dapat melemah, kan jiwa biasa. Bagi orang yang berjiwa luar biasa hal ini justru akan lebih memperkuat kepercayaannya.
Dalam keadaan terasing itu — dengan sahabat-sahabat di sekelilingnya — Muhammad yakin sekali Tuhan akan memberikan pertolongan kepada, nya dan agamanya pun akan mengatasi semua agama. Badai kedengkian tidak sampai menggoyahkan hatinya. Bahkan tetap ia tinggal di Mekah selama beberapa tahun. Tidak peduli ia harta Khadijah dan hartanya sendiri akan habis. Keadaannya yang sangat miskin tidak sampai melemahkan hatinya. Jiwanya tak pernah ganderung kepada apa pun selain dari pertolongan Tuhan yang sudah pasti akan diberikan kepadanya.
Apabila musim ziarah sudah tiba, orang-orang dari segenap jazirah Arab sudah berkumpul lagi di Mekah, ia pun mulai menemui kabilahkabilah itu. Diajaknya mereka memahami kebenaran agama yang dibawanya itu. Tidak peduli ia apakah kabilah-kabilah tidak mau menerima ajakannya, atau akan mengusirnya secara kasar. Beberapa orang pandir dari Quraisy berusaha mengasut ketika diketahui ia terus menyampaikan amanat Tuhan itu kepada orang ramai. Mereka memperlakukannya dengan segala kejahatan. Tetapi semua itu tidak mengubah ketenangan jiwanya dan ia yakin sekali akan hari esok. Allah Maha Agung telah mengutusnya demi kebenaran. Sudah tentu Dialah Pembela dan Pendukung kebenaran itu. Tuhan juga yang telah mewahyukan kepadanya, supaya dalam berdebat hendaknya dilakukan dengan cara yang sebaikbaiknya.
“Sehingga permusuhan antara engkau dengan dia itu sudah seperti persahabatan yang erat sekali.! Dan supaya bicara dengan mereka dengan lemah-lembut, kalau-kalau mereka mau sadar dan merasa gentar. Jadi, tabahkanlah hati menghadapi siksaan mereka. Tuhan bersama mereka yang tabah hati. Tanda Kemenangan dari Yathrib
Tidak selang berapa tahun kemudian Muhammad menunggu, tiba-tiba tampak tanda permulaan kemenangan itu datang dari jurusan Yathrib. Bagi Muhammad Yathrib mempunyai arti hubungan bukan hubungan dagang, tetapi suatu hubungan yang dekat sekali. Di tempat itu ada sebuah kuburan, dan sebelum wafat, sekali setahun ibunya berziarah ke tempat jitu. Sedang famili-familinya, dari pihak Banu Najjar, ialah keluarga kakeknya Abd’l-Muttalib dari pihak ibu. Kuburan itu ialah makam ayahnya, Abdullah b. Abd’I-Muttalib. Ke makam inilah Aminah sebagai istri yang setia berziarah. Dulu Abd’I-Muttalib juga sebagai ayah yang kehilangan anak yang sedang muda belia dan tegap, pernah berziarah. Ketika berusia enam tahun, Muhammad juga pernah ke Yathrib menemani ibunya. Jadi bersama ibunya ia juga ziarah ke makam ayahnya itu. Kemudian mereka berdua kembali pulang. Aminah jatuh sakit di tengah perjalanan, sampai wafat. Lalu dikuburkan di Abwa’ — pertengahan jalan antara Yathrib dengan Mekah.
Jadi tidak heranlah apabila tanda-tanda kemenangan bagi Muhammad itu dimulai dari jurusan sebuah kota yang mempunyai hubungan sedemikian rupa. Ke arah ini jugalah dulu sa menghadap, tatkala dalam sembahyang itu al-Masjid’I-Agsha di Bait’I-Magdis dijadikan kiblatnya, tempat sesepuhnya Musa dan Isa Tidak heran apabila nasib baik itu akan jatuh ke Yathrib. Di tempat ini Muhammad akan beroleh kemenangan, di tempat ini pula Islam akan beroleh sukses dan berkembang.
Aus, Khazraj dan Yahudi
Nasib baik telah jatuh di Yathrib, suatu hal yang tidak terjadi pada kota yang lain. Waktu itu dua kabilah Aus dan Khazraj adalah penyembah berhala di Yathnb. Mereka saling bertetangga dengan orang-orang Yahudi. Sering pula timbul kebencian antara mereka itu dan dari kebencian ini sampai timbul pula peperangan: Sejarah memperlihatkan bahwa orang-orang Masehi di Syam, yang berada di bawah pengaruh Rumawi Timur (Bizantium) sangat membenci orang-orang Yahudi, sebab mereka percaya bahwa mereka inilah yang telah menyiksa dan menyalib Isa al-Masih. Mereka menyerbu Yathrib guna memerangi orang-orang Yahudi. Akan tetapi karena tidak berhasil mereka lalu membujuk dan meminta bantuan Aus dan Khazraj. Tidak sedikit jumlah orang-orang Yahudi itu kemudian yang mereka bunuh. Dengan demikian kedudukan orang-orang Yahudi sebagai yang dipertuan dijatuhkan, dan orang-orang Arab kabilah Aus dan Khazraj yang tadinya terbatas hanya sebagai kui telah dinaikkan. Sesudah itu Orang-orang Arab itu berusaha lagi akan menghantam orang-orang Yahudi supaya kekuasaan mereka atas kota yang makmur dan subur dengan pertanian dan air itu lebih besar lagi Siasat mereka ini berhasil baik sekali.
Tetapi pihak Yahudi sendiri kemudian menyadari akan bencana yang menimpa diri mereka itu. Permusuhan dan kebencian pihak Yahud, Yathrib terhadap Aus dan Khazraj makin mendalam, Aus dan Khazraj pun demikian juga terhadap Yahudi.
Sekarang pengikut-pengikut Musa ini melihat, bahwa pertempuran yang dilawan dengan pertempuran berarti akan menghabiskan mereka samasekali, apalagi kalau Aus dan Khazraj sampai bersahabat baik! dengan orang-orang Arab, yang seagama dengan Ahli Kitab. Maka dalam siasat mereka, mereka menempuh suatu cara bukan mencari kemenangan dalam pertempuran, melainkan dengan menggunakan siasat memecah. belah. Mereka melakukan intrik di kalangan Aus dengan Khazraj, menyebarkan provokasi permusuhan dan kebencian di kalangan mereka, supaya masing-masing pihak selalu bersiap-siap akan saling bertempur.
Dengan demikian selamatlah propaganda mereka itu. Mereka sekarang dapat memperbesar perdagangan dan kekayaan mereka. Kekuasaan mereka yang sudah hilang dapat mereka rebut kembali, termasuk rumah. rumah dan harta tidak bergerak lainnya.
Pengaruh Rohani
Di samping konflik karena berebut kedaulatan dan kekuasaan dalam hidup bertetangga Yahudi-Arab Yathrib itu, masih ada pengaruh lain yang lebih dalam pada pihak Aus dan Khazraj — melebihi penduduk jazirah Arab yang mana pun juga — yaitu dalam arti pengaruh rohani.
Orang-orang Yahudi sebagai Ahli Kitab dan penganjur monotheisma Sangat mencela tetangga-tetangga mereka yang terdiri dari kaum pagan dengan penyembah berhala sebagai pendekatan kepada Tuhan.
Mereka diperingatkan bahwa kelak akan ada seorang nabi yang akan menghabiskan mereka dan mendukung Yahudi. Tetapi propaganda ini tidak sampai membuat orang-orang Arab itu mau menganut agama Yahudi. Soalnya karena dua sebab: pertama karena selalu ada perang antara kaum Nasrani dan kaum Yahudi, yang lalu membuat Yahudi Yathrib hanya hidup cari selamat, yang berarti akan menjamin lancarnya perdagangan mereka. Kedua, orang-orang Yahudi beranggapan, bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan, dan mereka tidak mau ada bangsa jaan memegang kedudukan ini. Di samping itu mereka memang tidak pernah mengajak orang lain menganut agamanya dan mereka pun tidak pula keluar dari lingkungan Keluarga Israil. Atas dasar kedua sebab tersebut, hubungan tetangga dan hubungan dagang antara Yahudi dengan Arab — Aus dan Khazraj — membuat lebih banyak mengetahui cerita-cerita kerohanian dan masalah-masalah agama lainnya dibanding dengan golongan Arab yang lain. Ini menunjukkan bahwa tak ada suatu golongan dari kalangan Arab yang dapat menerima ajakan Muhammad dalam arti spiritual seperti yang dilakukan oleh penduduk Yathrib itu.
Suwaid bin ‘sh-Shamit
Suwaid bin’sh-Shamit adalah seorang bangsawan terkemuka di Yathrib. Karena ketabahannya, pengetahuannya, kebangsawanan dan keturunannya, masyarakatnya sendiri menamakannya al-Kamil (yang sempurna). Pada waktu membicarakan ini Suwaid sedang berada di Mekah berziarah. Muhammad lalu menemuinya dan diajaknya ia mengenal Tuhan dan menganut Islam.
“Barangkali yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku”, kata Suwaid.
“Apa yang ada padamu?” tanya Muhammad.
“Kata-kata mubara oleh Lugman “
Lalu Muhammad minta supaya hal ini dikemukakan.
“Memang itu kata-kata yang bak.” kata Muhammad setelah oleh Suwaid dikemukakan. “Tapi yang ada padaku lebih utama tentunya, yaitu Quran sebagai bimbingan dan cahaya.”
Lalu dibacakannya ayat-ayat Quran itu kepadanya disertai ajakan agar ia sudi menerima Islam. Gembira sekali Suwaid mendengar ini.
“Memang baik sekali ini,” katanya. Lalu ia pergi hendak memikirkan hal tersebut. Ada sementara orang yang berkata ketika ia dibunuh oleh Khazraj, bahwa ia mati sebagai Muslim.
Peristiwa Suwaid b. Shamit ini bukan contoh satu-satunya yang menunjukkan adanya pengaruh Yahudi dan Arab di Yathrib yang bertetangga itu, dari segi rohani.
Keadaan Aus dan Khazraj yang begitu bermusuhan sebagai akibat provokasi pihak Yahudi seperti yang sudah kita ketahui, satu sama lain mencari sekutu di kalangan kabilah-kabilah Arab untuk memerangi lawannya. Dalam hal ini kedatangan Abu’l-Haisar Ans b. Rafi” ke Mekah disertai pemuda-pemuda dari Banu Abd’-Asyhal — termasuk Iyas b. Mu’adh — adalah dalam rangka mencari persekutuan dengan pihak Quraisy dan golongannya sendiri dam pihak Khazraj. Muhammad mengetahui hal ini. ditemuinya mereka itu, dan diperkenalkannya Islam kepada merek, Lalu dibacanya ayat-ayat Quran kepada mereka.
Pada waktu itu, Iyas b. Mu’adh sebagai pemuda remaja mengatakan,
“Kawan-kawan, ini adalah lebih baik daripada apa yang ada pada kita semua.”
Mereka kemudian kembali pulang ke Yathrib. Tak ada yang masuk Islam di antara mereka itu, selain Iyas. Mereka semua sedang Sibuk mencari sekutu sebagai suatu persiapan karena adanya insiden Bu’ath yang telah melibatkan Aus dan Khazraj ke dalam api perang saudara itu, tidak lama sesudah Abu’l-Haisar dan rombongannya kembali dari Mekah, Akan tetapi kata-kata Muhammad ‘alaihissalam telah meninggalkan bekas yang dalam ke dalam jiwa mereka setelah terjadinya insiden itu, yang lah, membuat Aus dan Khazraj menantikan Muhammad sebagai Nabi, Sebagai Rasul, sebagai wakil dan pemuka mereka.
Insiden Bu’ath
Memang, terjadinya insiden Bu’ath itu tidak lama sesudah Abu’. Haisar kembali ke Yathrib. Pada waktu itulah pertempuran sengit antara Aus dan Khazraj terjadi, yang membawa akibat timbulnya permusuhan yang berakar dalam sekali. Setiap golongan lalu bertanya-tanya kalau kalau mereka itu yang menang: akan tetapkah mereka dengan kawan, kawan mereka itu, ataukah akan dikikis habis. Abu Usaid Hudzair sebagai pemuka Aus, sangat dendam sekali kepada Khazraj.
Tatkala pertempuran sudah dimulai, pihak Aus mengalami suaty kekacauan. Mereka lari tunggang-langgang ke arah Najd, yang oleh pihak Khazraj lalu diejek. Hudzair yang mendengarkan ejekan itu menetakkan ujung lernbingnya ke pahanya, lalu turun dengan mengatakan:
“Sungguh luar biasa! Tidak akan tinggal diam sebelum aku mati terbunuh. Wahai masyarakat Aus, kalau kamu mau menyerahkan aku, lakukanlah!”
Pihak Aus sekarang mau bertempur lagi. Pengalaman pahit yang telah menimpa mereka menyebabkan mereka kini berjuang mati-matian. Khazraj dapat mereka hancurkan. Rumah-rumah dan kebun kurma Khazraj oleh Aus dibakar. Kemudian Sa’d b. Mu’adh al-Asyhali bertindak melindungi Khazraj. Sementara itu Hudzair bermaksud akan mendatangi rumah demi rumah, membunuhi satu-satu mereka sampai tak ada yang hidup lagi, kalau tidak segera Abu Oais ibn’I-Aslat kemudian datang mencegahnya guna menjaga solidaritas kepercayaan mereka. “Bertetangga dengan mereka lebih baik daripada bertetangga dengan rubah.”
Sejak itu orang-orang Yahudi dapat mengembalikan kedudukannya di yathrib. Baik yang menang maupun yang kalah dari kalangan Aus dan Khazraj sama-sama berpendapat tentang akibat buruk yang telah mereka fakukan itu. Hal ini yang sekarang terpikir oleh mereka, dan mereka sudah mempertimbangkan pula akan mengangkat seorang raja atas mereka itu. Untuk itu mereka lalu memilih Abdullah b. Muhammad dari pihak Khazraj yang sudah kalah, mengingat kedudukan dan pandangannya yang baik. Akan tetapi karena perkembangan situasi yang begitu pesat, keinginan mereka itu tidak sampai terlaksana. Soalnya ialah karena ada beberapa orang dari Khazraj pergi ke Mekah pada musim ziarah.
Di tempat ini Muhammad menemui mereka dan menanyakan keadaan mereka, yang kemudian diketahuinya, bahwa mereka adalah kawan-kawan orang-orang Yahudi. Ketika itu orang-orang Yahudi di Yathrib mengatakan apabila mereka saling berselisih:
“Sekarang akan ada seorang nabi utusan Tuhan yang sudah dekat waktunya. Kami akan jadi pengikutnya dan kami dengan dia akan memerangi kamu seperti dalam perang “Ad dan Iram.”
Setelah Nabi bicara dengan mereka dan diajaknya mereka bertauhid kepada Allah, satu sama lain mereka seling berpandang-pandangan.
“Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kita,” kata mereka. “Jangan sampai mereka mendahului kita.”
Seruan Muhammad mereka sambut dengan baik dan menyatakan diri mereka masuk Islam. Lalu kata mereka:
“Kami tclah meninggalkan golongan kami — yakni Aus dan Khazraj — dan tidak ada lagi golongan yang saling bermusuhan dan saling mengancam. Mudah-mudahan Tuhan mempersatukan mereka dengan tuan. Bila mereka itu sudah dapat dipertemukan dengan tuan, maka tak adalah orang yang lebih mulia dari tuan.”
Orang-orang itu lalu kembali ke Medinah. Dua orang di antara mereka itu dari Banu’n-Najjar, keluarga Abd’I-Muttalib dari pihak ibu — kakek Muhammad yang telah mengasuhnya sejak kecil. Kepada masyarakatnya itu mereka menyatakan sudah menganut Islam. Ternyata mereka pun menyambut pula dengan senang hati agama ini, yang berarti akan membuat mereka menjadi golongan monotheis seperti orang-orang Yahudi. Bahkan membuat lebih baik dari mereka. Dengan demikian tiada suatu keluarga pun, baik Aus atau Khazraj, yang tidak menyebut nama Muhammad ‘alaihissalam.
Ikrar “Agaba Pertama
Tiba giliran tahun berikutnya, bulan-bulan suci pun datang lagi bersama datangnya musim ziarah ke Mekah, dan ke tempat itu datang bula dua belas orang penduduk Yathrib. Mereka ini bertemu dengan Nabi di “Agaba. Di tempat inilah mereka menyatakan ikrar atau berjanji kepada Nabi (yang kemudian dikenal dengan nama) Ikrar “Agaba pertama. Mereka berikrar kepadanya untuk tidak menyekutukan Tuhan tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak meng. umpat dan memfitnah, baik di depannya atau di belakang. Jangan menolak berbuat kebaikan. Barangsiapa mematuhi semua itu ia mendapat pahala surga, dan kalau ada yang mengecoh, maka soalnya kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni segala dosa.
Mush ab b “Umair
Dalam hal ini Muhammad menugaskan kepada Mush’ab bin “Umair supaya membacakan Quran kepada mereka, mengajarkan Islam serta seluk-beluk hukum agama.
Setelah adanya ikrar ini Islam makin tersebar di Yathrib. Mush’ab bertugas memberikan pelajaran agama di kalangan Muslimin Aus dan Khazraj. Gembira sekali ia melihat kaum Anshar itu makin teguh kepercayaannya kepada Allah dan kepada kebenaran. Menjelang bulan, bulan suci akan tiba, ia datang lagi ke Mekah dan kepada Muhammad diceritakannya keadaan Muslimin di Yathrib itu: tentang ketahanan dan kekuatan mereka, dan bahwa pada musim haji tahun ini mereka akan datang lagi ke Mekah dalam jumlah yang lebih besar dengan iman kepada Tuhan yang sudah lebih kuat.
Berita-berita yang disampaikan oleh Mush’ab ini membuat Muhammad berpikir lebih lama lagi. Pengikut-pengikutnya di Yathrib kini makin Sehari makin berkuasa dan bertambah kuat juga. Dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik mereka tidak mendapat gangguan seperti yang dialami oleh kawan-kawannya di Mekah karena gangguan Quraisy. Di samping itu Yathrib lebih makmur daripada Mekah — ada pertanian, ada kebun kurma, ada anggur. Bukankah lebih baik sekali apabila Muslimin Mekah itu hijrah saja ke tempat saudara-saudara mereka di sana, yang akan terasa lebih aman? Mereka akan bebas dari Quraisy yang selalu memfitnah agama mereka.
Muhammad Memikirkan Soal Hijrah
Selama Muhammad berpikir-pikir itu teringat olehnya akan orangorang dari Yathrib, mereka yang mula-mula masuk Islam itu, dan yang menceritakan adanya permusuhan antara golongan Aus dan Khazraj. Apabila dengan perantaraannya mereka itu sudah dapat dipersatukan Tuhan, maka tak ada orang yang lebih mulia dari Muhammad. Sekarang mereka sudah dipertemukan Allah bersama dia, bukankah lebih baik apabila dia juga hijrah? Ia tidak ingin membalas kejahatan Quraisy itu. Ia pun sadar bahwa ia lebih lemah dari mereka. Kalaupun Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib melindunginya dari penganiayaan, mereka tidak akan membelanya dalam melakukan penganiayaan. Dan mereka yang sudah menjadi pengikutnya juga takkan dapat melindungi diri dari penganiayaan Quraisy dan segala macam kejahatannya.
Apabila iman itu merupakan landasan yang paling kuat, yang akan membuat segalanya di hadapan kita menjadi kecil, dan untuk itu dengan segala senang hati orang mengorbankan harta bendanya, kesenangan, kebebasan dan seluruh hidupnya, apabila penganiayaan itu dengan sendirinya akan membuat iman seseorang bertambah dalam, maka penganiayaan dan pengorbanan yang terus-menerus itu bagi seorang mukmin akan membuatnya ia merenungkan lebih dalam lagi, akan memberinya ruangan yang lebih luas serta pengertian tentang kebenaran yang lebih dalam dan kuat. Dahulu Muhammad pernah menganjurkan kepada pengikut-pengikutnya supaya mereka mengungsi ke Abisinia daerah Kristen, karena di situ ada kebenaran, ada seorang raja yang adil. Maka akan lebih baiklah bila sekarang kaum Muslimin itu mengungsi ke Yathrib, dapat saling memperkuat diri dengan sahabat-sahabat kaum Muslimin di sana, dapat saling tolong-menolong dalam menahan bahaya yang mungkin menimpa mereka. Dengan begitu mereka akan mendapat kebebasan dalam merenungkan agama serta berterang-terang pula guna mengangkat martabat mereka, sebagai jaminan suksesnya dakwah agama ini, suatu dakwah yang tidak mengenal paksaan, melainkan dasarnya adalah kasih-sayang, dapat meyakinkan dan bertukar pikiran dengan cara yang baik.
Ikrar “Agaba Kedua
Tahun ini — 622 M. — jemaah haji dari Yathrib praktis jumlahnya banyak sekali, terdiri dari tujuh puluh lima orang, tujuh puluh tiga pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini, terpikir oleh Muhammad akan mengadakan suatu ikrar lagi, tidak terbatas hanya pada seruan kepada Islam seperti selama ini, yang selama tiga belas tahun ini terusmenerus dilakukannya, dengan lemah-lembut, dengan segala kesabaran menanggung pelbagai macam pengorbanan dan kesakitan — melainkan kini lebih jauh lagi dari itu. Ikrar itu hendaknya menjadi suatu pakta persekutuan, yang dengan demikian kaum Muslimin dapat mempertahankan diri: pukulan dibalas dengan pukulan, serangan dengan serangan. Muhammad lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan pemimpinpemimpin mereka.
Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya pertemuan itu akan diadakan di “Agaba pada tengah malam pada hari-hari Tasyrig.’ Peristiwa ini oleh Muslimin Yathrib tetap dirahasiakan dari kaum musyrik yang datang bersama-sama mereka. Menunggu sampai lewat sepertiga malam dari janji mereka dengan Nabi, mereka keluar meninggalkan kemah, pergi mengendap-endap seperti burung ayam-ayam, sembunyi-sembunyi jangan sampai rahasia itu terbongkar.
Sesampai mereka di gunung “Agaba, mereka semua memanjati lereng. lereng gunung tersebut, demikian juga kedua wanita itu. Mereka tinggal di tempat ini menunggu kedatangan Rasul.
Kemudian Muhammad pun datang, bersama pamannya “Abbas b. Abd’l-Muttalib — yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan golongannya sendiri. Akan tetapi sejak sebelum itu ia sudah mengetahui dari kemenakannya ini akan adanya suatu pakta persekutuan, dan adakalanya hal ini dapat mengakibatkan perang. Disebutkan juga, bahwa dia sudah mengadakan perjanjian dengan Keluarga Muttalib dan Keluarga Hasyim untuk melindungi Muhammad. Maka dimintanya ketegasan kemanakannya itu dan ketegasan golongannya sendiri, supaya jangan kelak timbul bencana yang akan menimpa Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib, dan dengan demikian berarti orang-orang Yathrib itu akan kehilangan pembela. Atas dasar itulah, maka “Abbas yang pertama kali bicara:
“Saudara-saudara dari Khazraj!” kata “Abbas. “Posisi Muhammad di tengah-tengah kami sudah sama-sama tuan-tuan ketahui. Kami dan mereka yang sepaham dengan kami telah melindunginya dari gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Tetapi dia ingin bergabung dengan tuan-tuan juga. Jadi kalau memang tuan-tuan merasa dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu dan dapat melindunginya dari mereka yang menentangnya, maka silakanlah tuan-tuan laksanakan. Akan tetapi, kalau tuan-tuan akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat tuan-tuan, maka dari sekarang lebih baik tinggalkan sajalah.”
Setelah mendengar keterangan “Abbas pihak Yathrib menjawab:
“Sudah kami dengar apa yang tuan katakan. Sekarang silakan Rasulullah bicara. Kemukakanlah apa yang tuan senangi dan disenangi Tuhan.”
Setelah membacakan ayat-ayat Quran dan memberi semangat Islam, Mubammad menjawab:
“Saya minta ikrar tuan-tuan akan membela saya seperti membela istri-istri dan anak-anak tuan-tuan sendiri.”
Ketika itu Al-Bara’ b. Ma’rur hadir. Dia seorang pemimpin masyarakat dan yang tertua di antara mereka. Sejak ikrar “Agaba pertama ia sudah Islam, dan menjalankan semua kewajiban agama, kecuali dalam sembahyang ia berkiblat ke Ka’bah, sedang Muhammad dan seluruh kaum Muslimin waktu itu masih berkiblat ke Al-Masjid’I-Agsha. Oleh karena ia berselisih pendapat dengan masyarakatnya sendiri, begitu mereka sampai di Mekah segera mereka minta pertimbangan Nabi Muhammad melarang Al-Bara’ berkiblat ke Ka’bah.
Dialog Sebelum Ikrar
Setelah tadi Muhammad minta kepada Muslimin Yathrib supaya membelanya seperti mereka membela istri dan anak-anak mereka sendiri, Al-Bara” segera mengulurkan tangan menyatakan ikrarnya seraya berkata:
“Rasulullah, kami sudah berikrar. Kami adalah orang peperangan dan ahli bertempur yang sudah kami warisi dari leluhur kami.”
Tetapi sebelum Al-Bara’ selesai bicara, Abu’l-Haitham ibn’t-Tayyihan datang menyela:
“Rasulullah kami dengan orang-orang itu — yakni orang-orang Yahudi terikat oleh perjanjian, yang sudah akan kami putuskan. Tetapi apa jadinya kalau kami lakukan ini lalu kelak Tuhan memberikan kemenangan kepada tuan, tuan akan kembali kepada masyarakat tuan dan meninggalkan kami?”
Muhammad tersenyum, dan katanya:
“Tidak, saya sehidup semati dengan tuan-tuan. Tuan-tuan adalah saya dan saya adalah tuan-tuan. Saya akan memerangi siapa saja yang tuantuan perangi, dan saya akan berdamai dengan siapa saja yang tuan-tuan ajak berdamai.”
Tatkala mereka siap akan mengadakan ikrar itu, “Abbas b. “Ubada datang menyela dengan mengatakan:
“Saudara-saudara dari Khazraj. Untuk apakah kalian memberikan ikrar kepada orang ini? Kamu menyatakan ikrar dengan dia tidak melakukan perang terhadap yang hitam dan yang merah’ melawan orang, orang itu.? Kalau tuan-tuan merasa, bahwa jika harta benda tuan-tuan habis binasa dan pemuka-pemuka tuan-tuan mati terbunuh. tuan-tuan akan menyerahkan dia (kepada musuh), maka (lebih baik) dan Sekarang tinggalkan saja dia. Kalaupun itu juga yang tuan-tuan lakukan. ini adalah suatu perbuatan hina dunia akhirat. Sebaliknya, bila tuan-tuan memang dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya na, sekalipun harta benda tuan-tuan akan habis dan bangsawan-bangsawan akan mati terbunuh, maka silakan saja tuan-tuan terima dia. Itulah Suatu perbuatan yang baik, dunia akhirat.”
Orang ramai itu menjawab:
“Akan kami terima, sekalipun harta benda kami habis. bangsawan. bangsawan kami terbunuh. Tetapi. Rasulullah, kalau dapat kami tepat semua ini, apa yang akan kami peroleh?”
“Surga,” jawab Muhammad dengan tenang dan pasti.
Ikrar
Mereka lalu mengulurkan tangan dan dia juga membentangkan tangannya. Ketika itu mereka menyatakan ikrar kepadanya.
Selesai ikrar itu, Nabi berkata kepada mereka:
“Pilihkan dua belas orang pemimpin dari kalangan tuan-tuan yang akan menjadi penanggung jawab masyarakatnya.”
Mereka lalu memilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kemudian kepada pemimpin-pemimpin itu Nabi berkata:
“Tuan-tuan adalah penanggung jawab masyarakat tuan-tuan seperti pertanggungjawaban pengikut-pengikut Isa bin Mariam. Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertanggung jawab.”
Dalam ikrar kedua ini mereka berkata:
“Kami berikrar mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapa pun atas jalan Allah ini.”
Peristiwa ini selesai pada tengah malam di celah gunung ‘Agaba, jauh dari masyarakat ramai, atas dasar kepercayaan, bahwa hanya Allah Yang Mengetahui keadaan mereka. Akan tetapi, begitu peristiwa itu selesai, tiba-tiba mereka mendengar ada suara berteriak yang ditujukan kepada Quraisy: “Muhammad dan orang-orang yang pindah kepercayaan itu sudah berkumpul akan memerangi kamu!”
Suara itu datangnya dari seseorang yang keluar untuk urusannya sendiri. Mengetahui keadaan mereka itu sedikit dengan melalui pendengarannya yang selintas, ia lalu bermaksud hendak mengacaukan rencana itu dan mau menanamkan kegelisahan dalam hati mereka, bahwa rencana mereka malam itu diketahui. Akan tetapi pihak Khazraj dan Aus tetap pada janji mereka. Bahkan “Abbas b. “Ubada — setelah mendengar suara Si mata-mata itu — berkata kepada Muhammad:
“Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran, kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedang kami.”
Ketika itu Muhammad menjawab:
“Kami tidak diperintahkan untuk itu. Kembalilah ke kemah ‘tuantuan.”
Mereka pun kembali ke tempat mereka bermalam, lalu tidur. Keesokan harinya pagi-pagi baru mereka bangun.
Quraisy dan Ikrar “Agaba
Akan tetapi pagi itu juga Quraisy sudah mengetahui berita adanya ikrar itu. Mereka terkejut sekali. Pagi itu pemuka-pemuka Quraisy mendatangi Khazraj ke tempat masing-masing. Mereka menyesalkan Khazraj dan mengatakan, bahwa mereka tidak ingin berperang dengan Khazraj. Tetapi kenapa mau bersekutu dengan Muhammad memerangi mereka. Ketika itu juga orang-orang musyrik dari kalangan Khazraj bersumpah-sumpah bahwa hal semacam itu tidak ada samasekali. Sedang Muslimin malah diam saja setelah dilihatnya Quraisy lagaknya akan mempercayai keterangan orang-orang yang seagama dengan mereka itu.
Sekarang Quraisy kembali tanpa dapat mengiakan atau meniadakan berita tersebut. Tetapi mereka terus menyelidiki, kalau-kalau dapat mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Sementara itu Orang-orang Yathrib sudah mengangkat perbekalan mereka dan kembali menuju negeri mereka sebelum pihak Quraisy mengetahui benar apa yang mereka lakukan itu.
Setelah kemudian Quraisy mengetahui, bahwa berita itu memang benar, mereka berangkat mencari orang-orang Yathrib itu. Tetapi sudah tak ada lagi yang akan dapat mereka jumpai selain Sa’d b. “Ubada, yang lalu diambil dan dibawanya ke Mekah. Ia disiksa. Tetapi kemudian Jubair b. Mut’im b. “Adi dan al-Harith b. Umayya datang menolongnya. Dulu orang ini pernah menolong mereka ketika mereka dalam perjalanan perdagangan ke Syam lewat Yathrib.
Kalau begitu kekuatiran Quraisy kiranya tidak berlebih-lebihan, begitu juga dalam mengejar jejak mereka yang telah ikrar kepada Muhammad akan memerangi mereka itu. Mereka telah mengenalnya selama tiga belas tahun terus-menerus, sejak permulaan kenabiannya. Mereka sudah berusaha mati-matian melancarkan perang pasif itu kepadanya, dan masing-masing sudah pula menghadapinya. Mereka mengetahui itu adalah karena keyakinannya kepada Tuhan, karena teguhnya ia berpegang pada ajaran yang benar. Ia sudah tak dapat dilunakkan dan tak dapat pula dibujuk. Ia tak pernah gentar menghadapi gangguan, menghadapi siksaan, menghadapi pembunuhan. Sesudah ia dan pengikutpengikutnya disakiti dengan pelbagai macam gangguan, sesudah ia dikepung di celah-celah bukit, seluruh penduduk Mekah diteror dengan bermacam-macam ketakutan supaya jangan jadi pengikutnya, terbayang oleh Quraisy bahwa mereka sudah hampir mengalahkannya, kegiatannya hanya akan terbatas dalam lingkaran sempit pengikut-pengikutnya yang masih berpegang pada agama itu saja. Dia dan sahabat-sahabatnya tidak lama lagi sudah akan jemu dalam pengasingan, dan akan kembali tunduk menyerah di bawah kekuasaan mereka.
Posisi Kedua Belah Pihak
Tetapi sekarang, dengan adanya perjanjian persekutuan baru ini, pintu harapan akan menang jadi terbuka di depan Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Setidak-tidaknya harapan kebebasan menyebarkan agama, serta menyerang berhala-berhala dan penyembah-penyembahnya. Siapa tahu apa yang akan terjadi kelak terhadap masyarakat seluruh. jazirah Arab itu, bila sudah mendapat bantuan Yathrib berikut Aus dan Khazrajnya, dan sesudah mendapat perlindungan dari serangan musuh, disertai adanya kebebasan melakukan upacara agama serta mengajak pihak lain turut bergabung. Kalau Quraisy tidak dapat mengikis gerakan ini di tanah tumpah darahnya sendiri maka kekuatiran mereka pada hari kemudiannya tetap selalu membayang, dan kemenangan Muhammad terhadap mereka masih tetap menggelisahkan mereka.
Oleh karena itu sungguh-sungguh mereka memikirkan apa yang harus mereka lakukan guna menggagalkan usaha Muhammad itu, serta menghancurkan gerakan barunya. Demikian juga dia sendiri tidak kurang dari Quraisy dalam memikirkan hal ini. Pintu yang telah dibukakan Tuhan di hadapannya itu ialah pintu kehormatan bagi agama Allah, pintu yang akan memberi tempat pada arti kebenaran. Perjuangan yang sekarang berkecamuk antara dia dengan pihak Quraisy, adalah suatu peristiwa yang paling hebat terjadi sejak masa kerasulannya, yakni suatu perjuangan hidup atau mati bagi kedua belah pihak. Sudah tentu, kemenangan itu ada pada pihak yang benar. Keputusannya sudah bulat. Bolehlah ia minta pertolongan Tuhan. Biarlah, segala tipu-daya yang sudah dilakukan Quraisy itu akan bersifat lebih menghina mereka sendiri melebihi yang sudah-sudah. Ia akan terus maju, tapi dengan sikap bijaksana, tenang dan hati-hati. Masalahnya adalah masalah kecekatan politik dan kecerdikan seorang pemimpin yang saksama.
Muslimin Hijrah ke Yathrib
Dimintanya sahabat-sahabatnya supaya menyusul kaum Anshar ke Yathrib. Hanya saja dalam meninggalkan Mekah hendaknya mereka terpencar-pencar, supaya jangan sampai menimbulkan kepanikan pihak Quraisy terhadap mereka.
Mulailah kaum Muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok kecil. Akan tetapi hal itu rupanya sudah diketahui oleh pihak Quraisy. Mereka segera bertindak, berusaha mengembalikan yang masih dapat dikembalikan itu ke Mekah untuk kemudian dibujuk supaya kembali kepada kepercayaan mereka, kalau tidak akan disiksa dan dianiaya. Sampai-sampai tindakan itu ialah dengan cara memisahkan suami dari istri, kalau si istri dari pihak Quraisy ia tidak dibolehkan pergi ikut suami. Yang tidak menurut, istrinya yang masih dapat mereka kurung dikurung.
Akan tetapi mereka takkan dapat berbuat lebih dari itu. Mereka kuatir akan pecah perang saudara antar-kabilah jika mereka mencoba membunuh salah seorang dari kabilah itu.
Berturut-turut kaum Muslimin hijrah ke Yathrib, sedang Muhammad tetap berada di posnya. Tak ada orang yang mengetahui, dia akan tetap tinggal di tempatnya itu atau sudah mengambil keputusan akan hijrah juga. Dahulu juga mereka tidak mengetahui, ketika sahabat-sahabatnya diizinkan hijrah ke Abisinia, sedang dia sendiri tetap di Mekah menyerukan anggota-anggota keluarganya yang lain ke dalam Islam. Bahkan Abu Bakr pun, ketika minta izin akan turut hijrah ke Yathrib, ia hanya berkata: “Jangan tergesa-gesa, kalau-kalau Tuhan menyertakan Seorang kawan.” Dan tidak lebih dari itu.
Quraisy dan Hijrah Nabi
Sungguhpun begitu pihak Quraisy sendiri sudah seribu kali memper. hitungkan hijrah Nabi ke Yathrib itu. Jumlah kaum Muslimin di sana sudah begitu banyak sehingga hampir-hampir mereka itu menjadi pihak yang menentukan. Sekarang datang pula mereka yang hijrah dari Mekah menggabungkan diri, sehingga mereka jadi bertambah kuat juga adanya. Dalam pada itu, apabila Muhammad — orang yang sudah mereka kenat berpendirian teguh dengan pendapatnya yang tepat dan berpandangan jauh — sampai menyusul ke Yathrib, mereka kuatir penduduk Yathrib itu kelak akan menyerbu Mekah, atau akan menutup jalur perjalanan perdagangan mereka ke Syam atau akan membuat mereka mati kelaparan seperti yang pernah mereka lakukan dulu terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya tatkala mereka membuat piagam pemboikotan dan memaksa mereka tinggal di celah-celah gunung selama tiga puluh bulan.
Apabila Muhammad – masih tinggal di Mekah dan berusaha akan meninggalkan tempat itu, maka mereka masih merasa terancam oleh adanya tindakan pihak Yathrib dalam membela Nabi dan Rasul. Jadi tak ada jalan keluar bagi mereka selain dengan membunuhnya. Dengan begitu mereka lepas dari mala-petaka yang terus-menerus itu. Tetapi kalau juga mereka membunuhnya, tentu Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib akan menuntut balas. Maka pecahlah perang saudara di Mekah, dan Suatu bencana yang sangat mereka takuti juga akan datang dari pihak Yathrib.
Sekarang mereka mengadakan pertemuan di Dar’n-Nadwa membahas semua persoalan itu serta cara-cara pencegahannya. Salah seorang dari mereka mengusulkan:
“Masukkan dia dalam kurungan besi dan tutup pintunya rapat-rapat kemudian awasi biar dia mengalami nasib seperti penyair-penyair semacamnya sebelum dia: seperti Zuhair dan Nabigha.”
Tetapi pendapat ini tidak mendapat suara.
“Kita keluarkan dia dari lingkungan kita, kita buang dari negeri kita. Sesudah itu tidak perlu kita pedulikan lagi urusannya”, demikian terdengar suara yang lain. Tetapi mereka kuatir ia akan terus menyusul ke Medinah dan apa yang mereka takuti justru akan menimpa mereka.
Akhirnya mereka memutuskan: dari setiap kabilah akan diambil seorang pemuda yang tegap, dan setiap pemuda itu akan dipersenjatai dengan sebilah pedang yang tajam, yang secara bersama-sama sekaligus mereka akan menghantamnya, dan darahnya dapat dipencarkan antarkabilah. Dengan demikian Banu “Abd Manaf takkan dapat memerangi mereka semua. Mereka akan menebus darah itu kemudian dengan harta. Maka terlepaslah Quraisy dari orang yang membuat porak-poranda dan mencerai-beraikan kabilah-kabilah mereka itu.
Mereka menyetujui pendapat ini dan merasa cukup puas. Mereka mengadakan seleksi di kalangan pemuda-pemuda mereka. Mereka menganggap bahwa soal Muhammad akan sudah selesai. Beberapa hari lagi ia akan terkubur habis ke dalam tanah, bersama ajarannya, dan mereka yang sudah hijrah ke Yathrib akan kembali ke tengah-tengah masyarakat, akan kembali kepada kepercayaan dan kepada dewa-dewa mereka. Quraisy dan negeri Arab yang sudah dipecah-belah, kedudukannya yang sudah mulai femah, dengan demikian akan kembali bersatu.
Perintah Hijrah — Ali di Tempat Tidur Nabi – Di Gua Thaur —Mukjizat Gua — Beberapa Buku Sejarah Tidak Menyebutkan – Berangkat ke Yathrib — Cerita Suraga – Panas Membakar – Muslimin Yathrib Menantikan Kedatangan Rasul – Tersebarnya Islam di Yathrib – Muhammad Memasuki Medinah Perintah Hijrah
RENCANA Quraisy akan membunuh Muhammad pada malam hari, karena dikuatirkan ia akan hijrah ke Medinah dan memperkuat diri di sana serta segala bencana yang mungkin menimpa Mekah dan menimpa perdagangan mereka dengan Syam sebagai akibatnya, beritanya sudah sampai kepada Muhammad. Memang tak ada orang yang menyangsikan, bahwa Muhammad akan menggunakan kesempatan itu untuk hijrah. Akan tetapi, karena begitu kuat ia dapat menyimpan rahasia itu, sehingga tiada seorang pun yang mengetahui, juga Abu Bakr, orang yang pernah menyiapkan dua ekor unta kendaraan tatkala ia meminta izin kepada Nabi akan hijrah, yang lalu ditangguhkan, hanya sedikit mengetahui soalnya. Muhammad sendiri memang masih tinggal di Mekah ketika ia sudah mengetahui keadaan Quraisy itu dan ketika kaum Muslimin sudah tak ada lagi yang tinggal kecuali sebagian kecil. Dalam ia menantikan perintah Tuhan yang akan mewahyukan kepadanya supaya hijrah, ketika itulah ia pergi ke rumah Abu Bakr dan memberitahukan, bahwa Allah telah mengizinkan ia hijrah. Abu Bakr ingin sekali menemaninya dalam hijrahnya itu: dan permintaannya itupun dikabulkan.
Di sinilah dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman. Sebelum itu Abu Bakr memang sudah menyiapkan dua ekor untanya yang diserahkan pemeliharaannya kepada Abdullah b. Uraiqiz sampai nanti tiba waktunya diperlukan. Tatkala kedua orang itu sudah siap-siap akan meninggalkan Mekah mereka sudah yakin sekali, bahwa Quraisy pasti akan membuntuti mereka. Oleh karena itu Muhammad memutuskan akan menempuh jalan lain dari yang biasa. Juga akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.
Ali di Tempat Tidur Nabi
Pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy untuk membunuhnya malam itu sudah mengepung rumahnya, karena dikuatirkan ia akan lari Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan kepada Aji hb Abi Thalib supaya memakai mantelnya yang hijau dari Hadzramaut dar Supaya berbaring di tempat tidurnya. Dimintanya supaya sepeninggalan, hya nanti ia tinggal dulu di Mekah menyelesaikan barang-barang amang orang yang dititipkan kepadanya. Dalam pada itu pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah mengintip ke tempat tidu, Nabi. Mereka melihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa dia belum lari.
Tetapi, menjelang larut malam waktu itu, dengan tidak setahu mereka Muhammad sudah keluar menuju ke rumah Abu Bakr. Kedua orang itu kemudian keluar dari jendela pintu belakang, dan terus bertolak ke arah selatan menuju gua Thaur. Bahwa tujuan kedua orang itu melalui jalan sebelah kanan adalah di luar dugaan.
Di Gua Thaur
Tiada seorang yang mengetahui tempat persembunyian mereka dalam gua itu selain Abdullah b. Abu Bakr, dan kedua orang putrinya Aisyah dan Asma’ serta pembantu mereka Amir b. Fuhaira. Tugas Abdullah hari-hari berada di tengah-tengah Quraisy sambil mendengar-dengarkan permupakatan mereka terhadap Muhammad, yang pada malam harinya kemudian disampaikannya kepada Nabi dan kepada ayahnya. Sedang “Amir tugasnya menggembalakan kambing Abu Bakr, sorenya diistirahatkan, kemudian mereka memerah susu dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah b. Abu Bakr keluar kembali dari tempat mereka, dayang “Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejaknya.
Kedua orang itu tinggal dalam gua selama tiga hari. Sementara itu pihak Quraisy berusaha sungguh-sungguh mencari mereka tanpa mengenal lelah. Betapa tidak. Mereka melihat bahaya sangat mengancam mereka kalau mereka tidak berhasil menyusul Muhammad dan mencegahnya berhubungan dengan pihak Yathrib. Selama kedua orang itu berada dalam gua, tiada hentinya Muhammad menyebut nama Allah. Kepada-Nya ia menyerahkan nasibnya itu dan memang kepada-Nya pula segala persoalan akan kembali. Dalam pada itu Abu Bakr memasang telinga. Ia ingin mengetahui adakah orang-orang yang sedang mengikuti jejak mereka itu sudah berhasil juga.
Kemudian pemuda-pemuda Quraisy — yang dari setiap kelompok diambil seorang itu — datang. Mereka membawa pedang dan tongkat sambil mundar-mandir mencari ke segenap penjuru. Tidak jauh dari gua Thaur itu mereka bertemu dengan seorang gembala, yang lalu ditanya. “Mungkin saja mereka dalam gua itu, tapi saya tidak melihat ada orang yang menuju ke sana.”
Ketika mendengar jawaban gembala itu Abu Bakr keringatan. Kuatir ja, mereka akan menyerbu ke dalam gua. Dia menahan napas tidak bergerak, dan hanya menyerahkan nasibnya kepada Tuhan. Lalu orangorang Quraisy datang menaiki gua itu, tapi kemudian ada yang turun lagi.
“Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?” tanya kawan-kawannya.
? “Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir,” jawabnya. “Saya melihat ada dua ekor burung dara hutan di lubang gua itu. Jadi saya mengetahui tak ada orang di sana.”
Muhammad makin sungguh-sungguh berdoa dan Abu Bakr juga makin ketakutan. Ia merapatkan diri kepada kawannya itu dan Muhammad berbisik di telinganya:
“Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita.”
Dalam buku-buku hadis ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa setelah terasa oleh Abu Bakr bahwa mereka yang mencari itu sudah mendekat ia berkata dengan berbisik:
“Kalau mereka ada yang menengok ke bawah pasti akan melihat kita.”
“Abu Bakr, kalau kau menduga bahwa kita hanya berdua, ketiganya adalah Tuhan,” kata Muhammad.
Orang-orang Quraisy makin yakin bahwa dalam gua itu tak ada manusia tatkala dilihatnya ada cabang pohon yang terkulai di mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke dalamnya tanpa menghalau dahan-dahan itu. Ketika itulah mereka lalu surut kembali. Kedua orang bersembunyi itu mendengar suara mereka supaya kembali ke tempat semula. Kepercayaan dan iman Abu Bakr bertambah besar kepada Allah dan kepada Rasul.
Mukjizat Gua “Alhamdulillah, Allahuakbar!” kata Muhammad kemudian.
Sarang laba-laba, dua ekor burung dara dan pohon. Inilah mukjizat yang diceritakan oleh buku-buku sejarah hidup Nabi mengenai masalah persembunyian dalam gua Thaur itu. Dan pokok mukjizatnya ialah karena segalanya itu tadinya tidak ada. Tetapi sesudah Nabi dan sahabatnya bersembunyi dalam gua, maka cepat-cepatlah laba-laba menganyan sarangnya guna menutup orang yang dalam gua itu dari penglihatan. Dua ekor burung dara datang pula lalu bertelur di jalan masuk. Sebatang pohon pun tumbuh di tempat yang tadinya belum ditumbuhi. Sehubungan dengan mukjizat ini Dermenghem mengatakan:
“Tiga peristiwa itu sajalah mukjizat yang diceritakan oleh sejarah Islam yang benar-benar: sarang laba-laba, hinggapnya burung dara dan tumbuhnya pohon-pohonan. Dan ketiga keajaiban ini setiap hari per. samaannya selalu ada di muka bumi.”
Beberapa Buku Sejarah Tidak Menyebutkan
Akan tetapi mukjizat begini ini tidak disebutkan dalam Sirat Ibn Hisyam ketika menyinggung cerita gua itu. Paling banyak oleh ahli sejarah ini disebutkan sebagai berikut:
“Mereka berdua menuju ke sebuah gua di Gunung Thaur — sebuah gunung di bawah Mekah — lalu masuk ke dalamnya. Abu Bakr meminta anaknya Abdullah supaya mendengar-dengarkan apa yang dikatakan orang tentang mereka itu siang hari, lalu sorenya supaya kembali membawakan berita yang terjadi hari itu. Sedang “Amir b. Fuhaira supaya menggembalakan kambingnya siang hari dan diistirahatkan kembali bila Sorenya ia kembali ke dalam gua. Ketika itu, bila hari sudah sore Asma’ datang membawakan makanan yang cocok buat mereka ….. Rasulullah S.a.w. tinggal dalam gua selama tiga hari tiga malam. Ketika ia menghilang Quraisy menyediakan seratus ekor unta bagi barangsiapa yang dapat mengembalikannya kepada mereka. Sedang Abdullah b. Abi Bakr Siangnya berada di tengah-tengah Quraisy mendengarkan permupakatan mereka dan apa yang mereka percakapkan tentang Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakr, sorenya ia kembali dan menyampaikan berita itu kepada mereka.
“Amir b. Fuhaira — pembantu Abu Bakr — waktu itu menggembalakan ternaknya di tengah-tengah para gembala Mekah, sorenya kambing Abu Bakr itu diistirahatkan, lalu mereka memerah susu dan menyiapkan daging. Kalau paginya Abdullah b. Abi Bakr bertolak dari tempat itu ke Mekah, “Amir b. Fuhaira mengikuti jejaknya dengan membawa kambing supaya jejak itu terhapus. Sesudah berlalu tiga hari dan orang pun mulai tenang, aman mereka, orang yang disewa datang membawa unta kedua Orang itu serta untanya sendiri ….. dan seterusnya.”
Demikian Ibn Hisyam menerangkan mengenai cerita gua itu yang kami nukilkan sampai pada waktu Muhammad dan sahabat-sahabatnya keluar dari sana.
Tentang pengejaran Quraisy terhadap Muhammad untuk dibunuh itu serta tentang cerita gua ini datang firman Tuhan demikian:
“Ingatlah tatkala orang-orang kafir (Quraisy) itu berkomplot membuat rencana terhadap kau, hendak menangkap kau, atau membunuh kau, atau mengusir kau. Mereka membuat rencana dan Allah membuat rencana pula. Allah adalah Perencana terbaik.”
“Kalau kamu tak dapat menolongnya, maka Allah juga yang telah menolongnya tatkala dia diusir oleh orang-orang kafir (Quraisy). Dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu itu ia berkata kepada temannya itu: Jangan bersedih hati, Tuhan bersama kita! Maka Tuhan lalu memberikan ketenangan kepadanya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu juga yang rendah dan kalam Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Bijaksana.”
Berangkat ke Yathrib
Pada hari ketiga, bila mereka berdua sudah mengetahui, bahwa orang sudah tenang kembali mengenai diri mereka, orang yang disewa tadi datang membawakan unta kedua orang itu serta untanya sendiri. Juga Asma’ putri Abu Bakr datang membawakan makanan. Oleh karena ketika mereka akan berangkat tak ada sesuatu yang dapat dipakai menggantungkan makanan dan minuman pada pelana barang, Asma’ merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya dipakai menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan. Karena itu ia lalu diberi nama “dhat’n-nitagain” (yang bersabuk dua).
Mereka berangkat. Setiap orang mengendarai untanya sendiri dengan membawa bekal makanan. Abu Bakr membawa lima ribu dirham dan itu adalah seluruh hartanya yang ada. Mereka bersembunyi dalam gua itu begitu ketat. Karena mereka mengetahui pihak Quraisy sangat gigih dan hati-hati sekali membuntuti, maka dalam perjalanan ke Yathrib itu mereka mengambil jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Abdullah b. “Uraigit — dari Banu Du’il — sebagai penunjuk jalan, membawa mereka hati-hati sekali ke arah selatan di bawahan Mekah, kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah. Oleh karena mereka melalui jalan yang tidak biasa ditempuh orang, dibawanya mereka ke sebelah utara di seberang pantai itu, dengan agak menjauhinya, mengambil jalan yang baling sedikit dilalui orang.
Kedua orang itu beserta penunjuk jalannya sepanjang malam dan di waktu siang berada di atas kendaraan. Tidak lagi mereka pedulikan kesulitan, tidak lagi mereka mengenal lelah. Ya, kesulitan mana yang lebih mereka takuti daripada tindakan Quraisy yang akan merintangi mereka mencapai tujuan yang hendak mereka capai demi jalan Allah dan kebenaran itu! Memang, Muhammad sendiri tidak pernah mengalami kesangsian, bahwa Tuhan akan menolongnya, tetapi “jangan kamy mencampakkan diri ke dalam bencana.” Allah menolong hamba-Nya selama hamba menolong dirinya dan menolong sesamanya. Mereka telah melangkah dengan selamat selama dalam gua.
Akan tetapi apa yang dilakukan Quraisy bagi barangsiapa yang dapat mengembalikan mereka berdua atau dapat menunjukkan tempat mereka, wajar sekali akan menarik hati orang yang hanya tertarik pada hasil materi meskipun akan diperoleh dengan jalan kejahatan. Apalagi jika kita ingat orang-orang Arab Quraisy itu memang sudah menganggap Muhammad musuh mereka. Dalam jiwa mereka terdapat suatu watak tipu-muslihat, bahwa membunuh orang yang tidak bersenjata dan menyerang pihak yang tak dapat mempertahankan diri, bukan suatu hal yang hina. Jadi, dua Orang itu harus benar-benar waspada, harus membuka mata, memasang telinga dan penuh kesadaran selalu.
Cerita Suraga
Dugaan kedua orang itu tidak meleset. Sudah ada orang yang datang kepada Quraisy membawa kabar, bahwa ia melihat serombongan kendaraan unta terdiri dari tiga orang lewat. Mereka yakin itu adalah Muhammad dan beberapa orang sahabatnya. Waktu itu Suraga b. Malik b. Ju’syum hadir. .
“Ah, mereka itu Keluarga si anu”, katanya dengan maksud mengelabui orang itu, sebab dia sendiri ingin memperoleh hadiah seratus ekor unta. Sebentar ia masih tinggal bersama orang-orang itu. Tetapi kemudian la segera pulang ke rumahnya. Disiapkannya senjatanya dan disuruhnya Orang membawakan kudanya ke tengah-tengah wadi supaya waktu ia keluar nanti tidak dilihat orang. Selanjutnya dikendarainya kudanya dan dipacunya ke arah yang disebutkan orang itu tadi.
Sementara itu Muhammad dan kedua temannya sudah mengaso di bawah naungan sebuah batu besar, sekadar beristirahat dan menghilangkan rasa lelah sambil makan-makan dan minum, dan sekadar mengembalikan tenaga dan kekuatan baru.
Matahari sudah mulai bergelincir, Muhammad dan Abu Bakr pun sudah pula mulai memikirkan akan menaiki untanya mengingat bahwa jaraknya dengan Suraga sudah makin dekat. Dan sebelum itu kuda Suray, sudah dua kali tersungkur karena terlampau dikerahkan. Tetapi Setelah penunggang kuda itu melihat bahwa ia sudah hampir berhasil dan menyusul kedua orang itu — lalu akan membawa mereka kembaii ke Mekah atau membunuh mereka bila mencoba membela diri — ia lupa kudanya yang sudah dua kali tersungkur itu, karena saat kemenangar rasanya sudah di tangan. Akan tetapi kuda itu tersungkur sekali lagi dengan keras sekali, sehingga penunggangnya terpelanting dari Punggung binatang itu dan jatuh terhuyung-huyung dengan senjatanya. Latu di. ramalkan oleh Suraga bahwa itu suatu alamat buruk dan dia percaya bahwa sang dewa telah melarangnya mengejar sasarannya itu dan bahwa dia akan berada dalam bahaya besar apabila sampai keempat kalinya ia terus berusaha juga.
Sampai di situ ia berhenti dan hanya memanggil-manggil:
“Saya Suraga bin Ju’syum! Tunggulah, saya mau bicara. Demi Allah, tuan-tuan jangan menyangsikan saya. Saya tidak akan melakukan sesuatu yang akan merugikan tuan-tuan.”
Setelah kedua orang itu berhenti melihat kepadanya, dimintanya kepada Muhammad supaya menulis sepucuk surat kepadanya sebagai bukti bagi kedua belah pihak. Dengan permintaan Nabi, Abu Bakr lalu menulis surat itu di atas tulang atau tembikar yang lalu dilemparkannya kepada Suraga.
Setelah diambilnya oleh Suraga surat itu ia kembali pulang. Sekarang, bila ada orang mau mengejar Muhajir Besar itu olehnya dikaburkan, sesudah tadinya ia sendiri yang mengejarnya.
Panas Membakar
Muhammad dan kawannya itu kini berangkat lagi melalui pedalaman Tihama dalam panas terik yang dibakar oleh pasir sahara. Mereka melintasi batu-batu karang dan lembah-lembah curam. Dan sering pula mereka tidak mendapatkan sesuatu yang akan menaungi diri mereka dari letupan panas tengah hari, tak ada tempat berlindung dari kekerasan alam yang ada di sekitarnya, tak ada keamanan dari apa yang mereka takuti atau dari yang akan menyerbu mereka tiba-tiba, selain dari ketabahan hati dan iman yang begitu mendalam kepada Tuhan. Keyakinan mereka besar sekali akan kebenaran yang telah diberikan Tuhan kepada Rasul-Nya itu.
Selama tujuh hari terus-menerus mereka dalam keadaan serupa itu. Mengaso di bawah panas membara musim kemarau dan berjalan lagi sepanjang malam mengarungi lautan padang pasir. Hanya karena adanya ketenangan hati kepada Tuhan dan adanya kedip bintang-bintang yang berkilauan dalam gelap malam itu, membuat hati dan perasaan mereka terasa lebih aman.
Bilamana kedua orang itu sudah memasuki daerah kabilah Banu Sahm dan datang pula Buraida kepala kabilah itu menyambut mereka, barulah perasaan kuatir dalam hatinya mulai hilang. Yakin sekali mereka pertolongan Tuhan itu ada.
Jarak mereka dengan Yathrib kini sudah dekat sekali.
Muslimin Yathrib Menantikan Kedatangan Rasul
Selama mereka dalam perjalanan yang sungguh meletihkan itu, beritaberita tentang hijrah Nabi dan sahabatnya yang akan menyusul kawankawan yang lain, sudah tersiar di Yathrib. Penduduk kota ini sudah mengetahui, betapa kedua orang ini mengalami kekerasan dari Quraisy yang terus-menerus membuntuti. Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal di tempat itu menantikan kedatangan Rasulullah dengan hati penuh rindu ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya. Banyak di antara mereka itu yang belum pernah melihatnya, meskipun sudah mendengar tentang keadaannya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin melihatnya. Orang pun sudah akan dapat mengirangirakan, betapa dalamnya hati mereka itu terangsang tatkala mengetahui, bahwa orang-orang terkemuka Yathrib yang sebelum itu belum pernah melihat Muhammad sudah menjadi pengikutnya hanya karena mendengar dari sahabat-sahabatnya saja, kaum Muslimin yang gigih melakukan dakwah Islam dan sangat mencintai Rasulullah itu.
Tersebarnya Islam di Yathrib
Sa’id b. Zurara dan Mush’ab b. “Umair sedang duduk-duduk dalam salah sebuah kebun Banu Zafar. Beberapa orang yang sudah menganut Islam juga berkumpul di sana. Berita ini kemudian sampai kepada Sa’d b. Mu’adh dan “Usaid b. Hudzair, yang pada waktu itu merupakan pemimpin-pemimpin golongannya masing-masing
“Temui dua orang itu,” kata Sa’d kepada “Usaid, “yang datang ke daerah kita ini dengan maksud supaya orang-orang yang hina-dina di kalangan kita dapat merendahkan keluarga kita. Tegur mereka itu dan cegah. Sebenarnya Sa’d b. Zurara itu masih sepupuku dari pihak ibu, jadi saya tidak dapat mendatanginya.”
“Usaid pun pergi menegur kedua orang itu. Tapi Mush’ab menjawab:
“Maukah kau duduk dulu dan mendengarkan?” katanya. “Kalau hal ini kausetujui dapatlah kauterima, tapi kalau tidak kausukai maukah kau lepas tangan?”
“Adil kau”, kata “Usaid, seraya menancapkan tombaknya di tanah. Ia duduk dengan mereka sambil mendengarkan keterangan Mush’ab, yang ternyata sekarang ia sudah menjadi seorang Muslim. Bila ia kembali kepada Sa’d wajahnya sudah tidak lagi seperti ketika berangkat. Hai ini membuat Sa’d jadi marah. Dia sendiri lalu pergi menemui dua orang itu Tetapi kenyataannya ia seperti temannya juga. |
Karena pengaruh kejadian itu Sa’d lalu pergi menemui golonganny, dan berkata kepada mereka:
“Hai Banu “Abd’l-Asyhal. Apa yang kamu ketahui tentang diriku d tengah-tengah kamu sekalian?”
“Pemimpin kami, yang paling dekat kepada kami, dengan pandangan dan pengalaman yang terpuji”, jawab mereka.
“Maka kata-katamu, baik wanita maupun pria bagiku adalah sug selama kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Sejak itu seluruh suku “Abd’l-Asyhal, pria dan wanita masuk Islam,
Tersebarnya Islam di Yathrib dan keberanian kaum Muslimin di kota itu sebelum hijrah Nabi ke tempat tersebut samasekali di luar dugaan kaum Muslimin Mekah. Beberapa pemuda Muslimin dengan tidak ragu, ragu mempermainkan berhala-berhala kaum musryik di sana. Seseorang yang bernama “Amr bin’I-Jamuh mempunyai sebuah patung berhala terbuat daripada kayu yang dinamainya Manat, diletakkan di daerah lingkungannya seperti biasa dilakukan oleh kaum bangsawan. “Amr ini adalah seorang pemimpin Banu Salima dan dari kalangan bangsawan mereka pula. Sesudah pemuda-pemuda golongannya itu masuk Islam malam-malam mereka mendatangi berhala itu lalu dibawanya dan ditangkupkan kepalanya ke dalam sebuah lubang yang oleh penduduk Yathrib biasa dipakai tempat buang air.
Bila pagi-pagi berhala itu tidak ada “Amr mencarinya sampai diketemukan lagi, kemudian dicucinya dan dibersihkan lalu diletakkannya kembali di tempat semula, sambil ia menuduh-nuduh dan mengancam. Tetapi pemuda-pemuda itu mengulangi lagi perbuatannya mempermainkan Manat “Anr itu, dan dia pun setiap hari mencuci dan membersihkannya. Setelah ia merasa kesal karenanya, diambilnya pedangnya dan digantungkannya pada berhala itu seraya ia berkata: “Kalau kau memang berguna, bertahanlah, dan ini pedang bersama kau.”
Tetapi keesokan harinya ia sudah kehilangan lagi, dan baru diketemukannya kembali dalam sebuah sumur tercampur dengan bangkai anjing. Pedangnya sudah tak ada lagi.
Sesudah kemudian ia diajak bicara oleh beberapa orang pemukapemuka masyarakatnya dan sesudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa sesatnya hidup dalam syirik dan paganisma itu, yang hakekatnya akan mencampakkan jiwa manusia ke dalam jurang yang tak patut lagi bagi seorang manusia, ia pun masuk Islam.
Melihat Islam yang sudah mencapai martabat begitu tinggi di Yathrib,
akan mudah sekali orang menilai, betapa memuncaknya kerinduan enduduk kota itu ingin menyambut kedatangan Muhammad, setelah mereka mengetahui ia sudah hijrah dari Mekah. Setiap hari selesai sembahyang Subuh mereka pergi ke luar kota menanti-nantikan kedatangannya sampai pada waktu matahari terbenam dalam hari-hari musim panas bulan Juli.
Dalam pada itu ia sudah di Ouba’ — dua farsakh jauhnya dari Medinah. Empat hari ia tinggal di tempat itu, ditemani oleh Abu Bakr. Selama masa empat hari itu mesjid Uuba’ dibangunnya. Sementara itu datang pula Ali b. Abi Talib ke tempat itu setelah mengembalikan barang-barang amanat — yang dititipkan kepada Muhammad — kepada pemilik-pemiliknya di Mekah. Setelah itu ia sendiri meninggalkan Mekah, menempuh perjalanannya ke Yathrib dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan, siangnya bersembunyi. Perjuangan yang sangat meletihkan itu ditanggungnya selama dua minggu penuh, yaitu untuk menyusul saudara-saudaranya seagama.
Muhammad Memasuki Medinah
Sementara kaum Muslimin Yathrib pada suatu hari sedang menantinantikan seperti biasa tiba-tiba datang seorang Yahudi yang sudah mengetahui apa yang sedang mereka lakukan itu berteriak kepada mereka.
“Hai, Banu Oaila’ ini dia kawan kamu datang?”
Hari itu adalah hari Jum’at dan Muhammad berjum’at di Medinah. Di tempat itulah, ke dalam mesjid yang terletak di perut Wadi Ranuna itulah kaum Muslimin datang, masing-masing berusaha ingin melihat serta mendekatinya. Mereka ingin memuaskan hati terhadap orang yang selama ini belum pernah mereka lihat, hati yang sudah penuh cinta dan rangkuman iman akan risalahnya, dan yang selalu namanya disebut pada setiap kali sembahyang.
Orang-orang terkemuka di Medinah menawarkan diri supaya ia tinggal pada mereka dengan segala persediaan dan persiapan yang ada. Tetapi ia meminta maaf kepada mereka. Kembali ia ke atas unta betinanya, dipasangnya tali keluannya, lalu ia berangkat melalui jalanjalan di Yathrib, di tengah-tengah kaum Muslimin yang ramai menyambutnya dan memberikan jalan sepanjang jalan yang dilewatinya itu. Seluruh penduduk Yathrib, baik Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan adanya hidup baru yang bersemarak dalam kota mereka itu, menyaksikan kehadiran seorang pendatang baru, orang besar yang telah mempersatukan Aus dan Khazraj, yang selama itu saling bermusuh-musuhan, saling berperang. Tidak terlintas dalam pikiran mereka — pada saat ini, saat transisi sejarah yang akan menentukan tujuannya yang baru itu — akan memberikan kemegahan dan kebesaran bagi kota mereka, dan yang akan tetap hidup selama sejarah ini berkembang.
Dibiarkannya unta itu berjalan. Sesampainya ke sebuah tempat penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim dari Banu’n-Najjar, unta itu berlutut (berhenti). Ketika itulah Rasul turun dari untanya dan bertanya:
“Kepunyaan siapa tempat ini?” tanyanya.
“Kepunyaan Sahl dan Suhail b. “Amr”, jawab Ma’adh b. “Afra’. Dia adalah wali kedua anak yatim itu. Ia akan membicarakan soal tersebut dengan kedua anak itu supaya mereka puas. Dimintanya kepada Muhammad supaya di tempat itu didirikan mesjid.
Muhammad mengabulkan permintaan tersebut dan dimintanya pula supaya di tempat itu didirikan mesjid dan tempat-tinggalnya.
Sebab-sebab Penduduk Yathrib Menyambut Nabi – Pembangunan Mesjid dan Tempat Tinggal Rasul — Bangunan Mesjid – Kebebasan Beragama Dijamin Muhammad Tidak Menghendaki Perang – Pertimbangan Orang-orang Yathrib Persaudaraan di Kalangan Muslimin – Mereka yang Berdagang — Mereka yang Bertani – Persahabatan Muhammad dengan Pihak Yahudi -Isi Perjanjian dengan Yahudi — Pintu Baru dalam Kehidupan Politik – Perkawinan Nabi dengan Aisyah – Zakat dan Puasa – Permulaan Sembahyang -Persaudaraan adalah Dasar Peradaban Islam – Akhlak dan Budi Pekertinya – Kesayangannya kepada Binatang — Persaudaraan Atas Dasar Keadilan dan Kasih-sayang — Menahan Diri dari Makanan dan Pakaian – Sunah Muhammad — Yahudi Mulai Cemas — Islamnya Abdullah ibn Sallam — Perang Polemik antara Muhammad dengan Orang-orang Yahudi — Percobaan Menjerumuskan Aus dan Khazraj -Cerita Finhash – Mengalihkan Kiblat ke Ka’bah — Delegasi Nasrani Najran — Pertemuan Tiga Agama — Quraisy di Mekah Menjadi Masalah
Sebab-sebab Penduduk Yathrib Menyambut Nabi
BERBONDONG-BONDONG penduduk Yathrib ke luar rumah hendak menyambut kedatangan Muhammad, pria dan wanita. Mereka berangkat setelah tersiar berita tentang hijrahnya, tentang Quraisy yang hendak membunuhnya, tentang ketabahannya menempuh panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di tengah-tengah dataran Tihama, yang justru memantulkan sinar matahari yang panas dan membakar itu. Mereka keluar karena terdorong ingin mengetahui sekitar berita tentang ajakannya yang sudah tersiar di seluruh jazirah. Ajakan ini juga yang sudah mengikis kepercayaan-kepercayaan lama yang diwarisi dari nenek-moyang mereka, yang sudah dianggap begitu suci.
Akan tetapi mereka keluar itu bukan disebabkan oleh dua alasan ini saja, melainkan lebih jauh lagi, yakni karena orang yang hijrah dari Mekah ini akan menetap di Yathrib. Setiap golongan, setiap kabilah dari nduduk Yathrib, dari segi politik dan sosial dalam hal ini memberikan efek yang bermacam-macam. Inilah yang lebih banyak mendorong mereka menyongsong ke luar, daripada sekadar ingin melihat orang ini. Juga mereka ingin mengetahui, benarkah hal itu akan memperkuat dugaan mereka, ataukah mereka harus menarik diri.
Oleh karena itu, sambutan orang-orang musyrik dan Yahudi atas kedatangan Nabi tidak kurang daripada sambutan kaum Muslimin, baik dari Muhajirin maupun dari kalangan Anshar. Mereka semua mengerumuninya. Sesuai dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati masingmasing terhadap pendatang orang besar itu, denyutan jantung mereka pun tidak sama pula satu sama lain. Mereka sama-sama mengikutinya tatkala ia melepaskan kekang untanya dan membiarkannya berjalan sekehendaknya sendiri, dengan agak kurang teratur karena masing-masing ingin memandang wajahnya. Semua ingin mengelilinginya dengan pandangan mata tentang orang yang gambarnya sudah terlukis dalam jiwa masing-masing, tentang orang yang telah membuat Ikrar “Agaba kedua, bersama-sama penduduk kota ini — guna melakukan perang mati-matian terhadap Quraisy, orang yang telah hijrah meninggalkan tanah airnya, berpisah dengan keluarganya dengan memikul segala tekanan permusuhan dan tindakan kekerasan dari mereka selama tiga belas tahun terus-menerus. Ini semua demi keyakinan tauhid kepada Allah, tauhid yang dasarnya adalah merenungkan alam semesta ini serta mengungkapkan hakekat yang ada dengan jalan itu.
Pembangunan Mesjid dan Tempar Tinggal Rasul
Unta yang dinaiki Nabi ‘alaihissalam berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b. “Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna dipakai tempat membangun mesjid. Sementara tempat itu dibangun ia tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid b. Zaid al-Anshari. Dalam membangun mesjid itu Muhammad juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai mesjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal Rasul. Baik pembangunan mesjid maupun tempat-tempat tinggal itu tidak sampai memaksa seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Muhammad.
Bangunan Mesjid
Mesjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat temboknya dibuat daripada batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi digunakan tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak punya tempat tinggal. Tidak ada penerangan dalam mesjid itu pada malan hari. Hanya pada waktu salat Isya diadakan penerangan dengan membakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama sembilan tahun Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan penopang atap itu. Sebenarnya tempat-tempat tinggal Nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya daripada mesjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih tertutup.
Selesai Muhammad membangun mesjid dan tempat-tinggal, ia pindah dari rumah Abu Ayyub ke tempat ini. Sekarang terpikir olehnya akar adanya hidup baru yang harus dimulai, yang telah membawanya dan membawa dakwahnya itu harus menginjak langkah baru lebih lebar. Ia melihat adanya suku-suku yang saling bertentangan dalam kota ini, yang oleh Mekah tidak dikenal. Tapi juga ia melihat kabilah-kabilah dan suku. suku itu semuanya merindukan adanya suatu kehidupan damai dan tenteram, jauh dari segala pertentangan dan kebencian, yang pada masa lampau telah memecah-belah mereka. Kota ini akan membawa keten. teraman pada masa yang akan datang, yang diharapkan akan lebih kaya dan lebih terpandang daripada Mekah. Akan tetapi, bukanlah kekayaan dan kehormatan Yathrib itu yang menjadi tujuan Muhammad yang pertama, sekalipun ini ada juga. Segala tujuan dan daya-upaya, yang pertama dan yang terakhir, ialah meneruskan risalah, yang penyampaiannya telah dipercayakan Tuhan kepadanya, dengan mengajak dan memberikan peringatan. Akan tetapi, oleh penduduk Mekah sendiri, dengan cara kekerasan risalah ini dilawan mati-matian, sejak dari awal kerasulannya sampai pada waktu hijrah. Karena takut akan penganiayaan dan tindakan kekerasan pihak Quraisy, risalah dan iman itu tidak sampai memasuki setiap kalbu. Segala penganiayaan dan tindakan kekerasan ini menjadi perintang antara iman dengan kalbu manusia yang belum lagi menerima iman itu.
Kebebasan Beragama Dijamin
Baik kaum Muslimin maupun yang lain seharusnya percaya, bahwa barangsiapa menerima pimpinan Tuhan dan sudah masuk ke dalam agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan, bagi orang yang sudah beriman akan tambah kuat imannya, sedang bagi yang masih ragu-ragu, atau masih takut-takut atau yang lemah, akan segera pula menerima iman itu.
Pikiran itulah yang mula-mula meyakinkan Muhammad ia tinggal di Yathrib, ke arah itu politiknya ditujukan dan dengan tujuan itu pula hendaknya sejarah hidupnya ditulis. Ia tak pernah memikirkan kerajaan, harta-benda atau perniagaan. Seluruh tujuannya ialah memberikan ke tenangan jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan bagi mereka dalam menganut kepercayaan agama masingmasing. Baik bagi seorang Muslim, seorang Yahudi, atau seorang Kristen masing-masing mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan yang sama menyatakan pendapat dan kebebasan yang sama pula menjalankan propaganda agama. Hanya kebebasanlah yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju kesatuan yang integral dan terhormat. Setiap tindakan menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan, berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan mengikis habis percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani manusia. Percikan cahaya ini yang akan menghubungkan hati nurani manusia dengan alam semesta ini, dari awal yang azali sampai pada akhirnya yang abadi, suatu hubungan yang menjalin rasa kasih-sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian dan kehancuran. Muhammad Tidak Menghendaki Perang
Dengan pemikiran inilah wahyu itu disampaikan kepada Muhammad sejak ia hijrah. Dan karena itu pula ia sangat mendambakan perdamaian, dan tidak menyukai perang. Dalam hal ini selama hidupnya ia sangat cermat sekali. Ia tidak menempuh jalan itu, kalau tidak terpaksa karena membela kebebasan, membela agama dan kepercayaan. Bukankah, ketika mendengar ada mata-mata memanggil-manggil Quraisy, memberi peringatan tentang mereka itu, penduduk Yathrib yang ikut mengadakan Ikrar “Agaba kedua berkata kepadanya?:
“Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran, kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedagang kami.”
Dijawabnya:
“Kami tidak diperintahkan untuk itu.”
Bukankah ayat pertama yang datang mengenai perang berbunyi?: “Diizinkan (berperang) kepada mereka yang diperangi, karena mereka dianiayai, dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka.”’ Dan bukankah ayat berikutnya mengenai soal perang itu Tuhan berfirman?: “Dan perangilah mereka supaya jangan ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah.”
Jadi pertimbangan pikiran Muhammad dalam hal ini hanya mem, punyai satu tujuan yang luhur, yaitu menjamin kebebasan beragama dan menyatakan pendapat. Hanya untuk mempertahankan itulah perang dibenarkan, dan hanya untuk itu pula dibenarkan menangkis Serangan bihak agresor, sehingga jangan ada orang yang dapat dikacau dar, agamanya dan jangan pula ada orang yang ditindas karena kepercayaan atau pendapatnya.
Pertimbangan Orang-orang Yathrib
Kalau inilah tujuan Muhammad dalam pertimbangannya mengeng masalah Yathrib serta harus menjamin adanya kebebasan, maka pen. duduk kota ini pun menyambutnya dalam pikiran yang serupa, meskipun setiap golongan pertimbangannya saling bertentangan satu sama lain Penduduk Yathrib pada waktu itu terdiri dari kaum Muslimin — Muhajirin dan Anshar — orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj -sedang hubungan kedua golongan ini sudah sama-sama kita ketahui, kemudian orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza dj Fadak, Banu’n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara,
Adapun kaum Muhajirin dan Anshar, karena solidaritas agama baru itu, mereka sudah erat sekali bersatu. Sungguhpun begitu, kekuatiran dalam hati Muhammad belum hilang samasekali, kalau-kalau suatu waktu kebencian lama di kalangan mereka akan kembali timbul. Sekarang terpikir olehnya bahwa setiap keraguan semacam itu harus dihilangkan, Usaha ini akan tampak juga pengaruhnya.
Sebaliknya golongan musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, akibat peperangan-peperangan masa lampau, mereka merasa lemah sekali di tengah-tengah kaum Muslimin dan Yahudi itu. Mereka mencari jalan supaya antara keduanya itu timbul insiden. Selanjutnya golongan Yahudi, dengan tiada ragu-ragu mereka pun menyambut baik kedatangan Muhammad dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah Arab. Dengan demikian mereka akan dapat pula membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi, – bangsa pilihan Tuhan – dari Palestina, Tanah yang Dijanjikan di tanah air mereka itu.
Dengan dasar pikiran itulah mereka masing-masing bertolak. Mereka membukakan jalan supaya tujuan mereka masing-masing mudah tercapai.
Di sinilah fase baru dalam hidup Muhammad itu dimulai, yang sebelum itu tiada seorang nabi atau rasul yang pernah mengalaminya. Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan rasa kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib — tanah airnya yang baru —ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang sebelum itu di seluruh wilayah Hijaz belum dikenal, sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada.
Persaudaraan di Kalangan Muslimin
Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya itu, Abu Bakr dan Umar — demikianlah mereka dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula ialah menyusun barisan kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud ini diajaknya kaum Muslimin supaya masing-masing dua bersaudara, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b. Abi Talib. Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya. Abu Bakr bersaudara dengan Kharija b. Zaid, Umar ibn’-Khattab, bersaudara dengan “Itban b. Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan Muhajirin yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib — sesudah mereka yang tadinya masih tinggal di Mekah menyusul ke Medinah setelah Rasul hijrah — dipersaudarakan pula dengan setiap orang dari pihak Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum saudara sedarah senasab. Dengan persaudaraan demikian itu persaudaraan kaum Muslimin bertambah kukuh adanya.
Ternyata kalangan Anshar memperlihatkan sikap keramah-tamahan yang luar biasa terhadap saudara-saudara mereka kaum Muhajirin ini, yang sejak semula sudah mereka sambut dengan penuh gembira. Sebabnya
ialah, mereka telah meninggalkan Mekah, dan bersama itu mereka tinggalkan pula segala yang mereka miliki, harta-benda dan semua kekayaan. Sebagian besar ketika mereka memasuki Medinah sudah hampir tak ada lagi yang akan dimakan di samping mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan selain “Usman b. “Affan. Sedangkan yang lain sedikit sekali yang dapat membawa sesuatu yang berguna dari Mekah. “
Mereka yang Berdagang
Pada suatu hari Hamzah paman Rasul pergi mendatanginya dengan permintaan kalau-kalau ada yang dapat dimakannya. Abdur-Rahman b. “Auf yang sudah bersaudara dengan Sa’d bin’r-Rabi’, ketika di Yathrib ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ketika Sa’d menawarkan hartanya akan dibagi dua, Abdur-Rahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Dan di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Dalam waktu udak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang ia telah dapat mencapai kekayaan kembali, dan dapat pula memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Medinah. Bahkan sudah mempunyai kafilah. kafilah yang pergi dan pulang membawa perdagangan. Selain Abdur, Rahman, dari kalangan Muhajirin, banyak juga yang telah melakukan haj Serupa itu. Sebenarnya karena kepandaian orang-orang Mekah itu dalam bidang perdagangan sampai ada orang mengatakan: dengan perdagangan, nya itu ia dapat mengubah pasir sahara menjadi emas.
Mereka yang Berani
Adapun mereka yang tidak melakukan pekerjaan berdagang, di antaranya ialah Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib dan lain-lain. Keluarga, keluarga mereka terjun ke dalam pertanian, menggarap tanah milik orang, orang Anshar bersama-sama pemiliknya. Tetapi selain mereka ada pula yang harus menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup. Sungguhpun begitu, mereka ini tidak mau hidup menjadi beban orang lain. Mereka pun membanting tulang bekerja, dan dalam bekerja itu mereka merasakan adanya ketenangan batin, yang selama di Mekah tidak pernah mereka rasakan.
Di samping itu ada lagi segolongan orang-orang Arab yang datang ke Medinah dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan miskin dan serba kekurangan, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak punya tempat tinggal. Bagi mereka ini oleh Muhammad disediakan tempat di selesar mesjid, yaitu shuffa (bagian mesjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu mereka diberi nama Ahl’sh-Shuffa (Penghuni Shuffa). Belanja mereka diberikan dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang berkecukupan.
Persahabatan Muhammad dengan Pihak Yahudi
Dengan adanya persatuan kaum Muslimin dengan cara persaudaraan itu Muhammad sudah merasa lebih tenteram. Sudah tentu ini merupakan suatu langkah politik yang bijaksana sekali dan sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan yang tepat serta pandangan jauh. Baru tampak kepada kita arti semua ini bila kita melihat segala daya-upaya kaum Munafik yang hendak merusak dan menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan antara Aus dengan Khazraj dan antara Muhajirin dengan Anshar. Akan tetapi suatu operasi politik yang begitu tinggi dan yang menunjukkan adanya kemampuan luar biasa, ialah apa yang telah dicapai oleh Muhammad dengan mewujudkan persatuan Yathrib dan meletakkan dasar organisasi politiknya dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan persekutuan yang kuat sekali. Orang sudah melihat betapa mereka menyambut baik kedatangannya dengan harapan akan dapat dibujuknya ke pihak mereka. Penghormatan mereka ini dengan segera dibalasnya pula dengan penghormatan yang sama serta mengadakan tali silaturahmi dengan mereka. Ia bicara dengan kepala-kepala mereka, didekatkannya pembesar-pembesar mereka, dibentuknya dengan mereka itu suatu tali persahabatan, dengan pertimbangan bahwa mereka juga Ahli Kitab dan kaum monotheis. Lebih dari itu bahwa pada waktu mereka berpuasa ia pun ikut puasa. Pada waktu itu kiblatnya dalam sembahyang masih menghadap ke Bait’I-Magdis, titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya semua Keluarga Israil. Persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengar dia makin sehari makin bertambah erat dan dekat juga.
Orang yang begitu mulia, sangat rendah hati, orang yang penuh kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka bagi si miskin, bagi orang yang hidup menderita, ini juga yang memberikan kewibawaan kepadanya terhadap penduduk Yathrib. Dan semua ini telah sampai kepada suatu ikatan perjanjian persahabatan dan persekutuan serta menetapkan adanya kebebasan beragama. Perjanjian ini – menurut hemat kita — merupakan suatu dokumen politik yang patut dikagumi sepanjang sejarah. Dan fase yang dialami dalam sejarah hidup Rasul ini belum pernah dialami oleh seorang nabi atau rasul lain. Pernah ada Isa, ada Musa, ada nabi-nabi yang lain sebelum itu. Mereka terbatas hanya pada dakwah agama saja. Mereka menyampaikan itu kepada orang dengan jalan berdebat, dengan jalan mukjizat. Sesudah itu mereka tinggalkan di tangan para penguasa yang kemudian, dan untuk menyiarkan dakwahnya itu harus dilakukan dengan kekuatan politik dan membela kebebasan orang yang sudah beriman kepadanya itu dengan kekuatan senjata yang disertai peperangan pula. Agama Kristen disiarkan oleh murid-muridnya yang kemudian sesudah Isa. Mereka dan pengikutpengikut mereka masih selalu mengalami siksaan. Baru setelah ada rajaraja yang cenderung kepada agama ini, ia dilindunginya dan disiarkan. Begitu juga halnya dengan agama lain, di dunia Timur ataupun di Barat.
Sebaliknya Muhammad, tersebarnya Islam serta menangnya musi kebenaran itu harus berada di tangannya. Ia menjadi Rasul, menjadi negarawan, pejuang dan penakluk. Semua itu demi Allah, demi misi kebenaran, yang oleh karenanya ia diutus. Dalam hal ini semua, sebenarnya dia adalah orang besar, lambang kesempurnaan insani par erellence dalam arti kata yang sebenarnya.
Isi Perjanjian dengan Yahudi
Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan orang-orang Yahudi Muhammad membuat suatu perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta-benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik, demikian bunyinya:
“Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad -Nabi, antara orang-orang beriman dan kaum Muslimin dari kalangan Quraisy dan Yathrib serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka, bahwa mereka adalah satu umat, di luar golongan orang lain.”
“Kaum Muhajirin dari kalangan Quraisy tetap menurut adat kebiasaan baik yang berlaku’ di kalangan mereka, bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah? antara sesama mereka dan mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang beriman.”
“Bahwa Banu “Auf adalah tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudahsudah. Dan setiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang beriman.”
Kemudian disebutnya tiap-tiap suku? Anshar itu serta keluarga tiap puak: Banu’l-Harith, Banu Sa’ida, Banu Jusyam, Banu’n-Najjar, Banu ‘Amr b. “Auf dan Banu’n-Nabit. Selanjutnya disebutkan.
“Bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup dan utang yang berat di antara sesama mereka. Mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam membayar tebusan tawanan atau membayar diat.
“Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin lainnya.
“Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa harus melawan orang yang melakukan kejahatan di antara mereka sendiri, atau orang yang suka melakukan perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan di antara orang-orang beriman sendiri, dan mereka semua harus sama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri.
“Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh membunuh sesama mukmin lantaran orang kafir untuk melawan orang beriman.
“Bahwa jaminan Allah itu satu: Dia melindungi yang lemah di antara mereka.
“Bahwa orang-orang yang beriman itu hendaknya saling tolong menolong satu sama lain.
“Bahwa barangsiapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan: tidak menganiaya atau melawan mereka.
“Bahwa persetujuan damai orang-orang beriman itu satu, tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah. Mereka harus sama dan adil adanya.
“Bahwa setiap orang yang berperang bersama kami, satu sama lain harus saling bergiliran.
“Bahwa orang-orang beriman itu harus saling membela terhadap sesamanya yang telah tewas di jalan Allah.
“Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa hendaknya berada dalam pimpinan yang baik dan lurus.
“Bahwa orang tidak dibolehkan melindungi harta-benda atau jiwa orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang beriman.
“Bahwa barangsiapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah dengan cukup bukti, maka ia harus mendapat balasan yang setimpal, kecuali bila keluarga si terbunuh sukarela (menerima tebusan).
“Bahwa orang-orang yang beriman harus menentangnya semua dan tidak dibenarkan mereka hanya tinggal diam.
“Bahwa seseorang yang beriman yang telah mengakui isi piagam ini dan percaya kepada Allah dan kepada hari kemudian, tidak dibenarkan menolong pelaku kejahatan atau membelanya, dan bahwa barangsiapa yang menolongnya atau melindunginya, ia akan mendapat kutukan dan murka Allah pada hari kiamat, dan tak ada sesuatu tebusan yang dapat diterima.
“Bahwa bilamana di antara kamu timbul perselisihan tentang Sesuaty masalah yang bagaimanapun, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad -‘alaihishshalatu wassalam.
“Bahwa orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama. sama orang-orang beriman selama mereka masih dalam keadaan perang,
“Bahwa orang-orang Yahudi Banu “Auf adalah satu umat dengan orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan orang-orang Islam pun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluarga. nya sendiri.
“Bahwa terhadap orang-orang Yahudi Banu’n-Najjar, Yahudi Banu’. Harith, Yahudi Banu Sa’ida, Yahudi Banu-Jusyam, Yahudi Banu Aus, Yahudi Banu Tha’laba, Jafna dan Banu Syutaiba,! berlaku sama seperti terhadap mereka sendiri.
“Bahwa tiada seorang dari mereka itu boleh keluar kecuali dengan izin Muhammad s.a.w.
“Bahwa seseorang tidak boleh dirintangi menuntut haknya karena dilukai, dan barangsiapa yang diserang ia dan keluarganya harus berjaga diri, kecuali jika ia menganiaya. Bahwa Allah juga yang menentukan ini.
“Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri dan kaum Muslimin pun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri pula. Antara mereka harus ada tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang pihak yang mengadakan piagam perjanjian ini.
“Bahwa mereka sama-sama berkewajiban, saling nasehat-menasehati dan saling berbuat kebaikan dan menjauhi segala perbuatan dosa.
“Bahwa seseorang tidak dibenarkan melakukan perbuatan salah terhadap sekutunya, dan bahwa yang harus ditolong ialah yang teraniaya.
“Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban mengeluarkan belanja bersama orang-orang beriman selama masih dalam keadaan perang.
“Bahwa kota Yathrib adalah kota yang dihormati bagi orang yang mengakui perjanjian ini.
“Bahwa tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan diperlakukan dengan perbuatan jahat.
“Bahwa tempat yang dihormati itu tak boleh didiami orang tanpa izin penduduknya.
“Bahwa bila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada Allah dan kepada Muhammad Rasujulah s.a.w. dan bahwa Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini.
“Bahwa melindungi orang-orang Quraisy atau menolong mereka tidak dibenarkan.
“Bahwa antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Yathrib ini. Tetapi apabila telah diajak berdamai maka sambutlah ajakan perdamaian itu.
“Bahwa apabila mereka diajak berdamai, maka orang-orang yang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama. Bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.
“Bahwa orang-orang Yahudi Aus, baik diri mereka sendiri atau pengikut-pengikut mereka mempunyai kewajiban seperti mereka yang sudah menyetujui naskah perjanjian ini dengan segala kewajiban sepenuhnya dari mereka yang menyetujui naskah perjanjian ini.
“Bahwa kebaikan itu bukanlah kejahatan dan bagi orang yang melakukannya hanya akan memikul sendiri akibatnya. Dan bahwa Allah bersama pihak yang benar dan patuh menjalankan isi perjanjian ini.
“Bahwa orang tidak akan melanggar isi perjanjian ini, kalau ia bukan orang yang aniaya dan jahat.
“Bahwa barangsiapa yang keluar atau tinggal dalam kota Medinah ini, keselamatannya tetap terjamin, kecuali orang yang berbuat aniaya dan melakukan kejahatan.
“Sesungguhnya Allah melindungi orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa.”
Pintu Baru dalam Kehidupan Politik
Inilah dokumen politik yang telah diletakkan Muhammad sejak seribu tiga ratus lima puluh tahun yang lalu dan yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat: tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Ia telah membukakan pintu baru dalam kehidupan politik dan peradaban dunia masa itu. Dunia, yang selama ini hanya menjadi permainan tangan tirani, dikuasai oleh kekejaman dan kehancuran semata. Apabila dalam penandatanganan dokumen ini orang-orang Yahudi Banu Quraiza, Banu’nNadzir dan Banu Qainuqa’ tidak ikut serta, namun tidak selang lama sesudah itu mereka pun mengadakan perjanjian yang serupa dengan Nabi.
Demikianlah, seluruh kota Medinah:dan sekitarnya telah benar-bena, jadi terhormat bagi seluruh penduduk. Mereka berkewajiban memper. tahankan kota ini dan mengusir setiap serangan yang datang dari luar. Mereka harus bekerja sama antara sesama mereka guna menghormati: segala hak dan segala macam kebebasan yang sudah disetujui bersama dalam dokumen ini.
Perkawinan Nabi dengan Aisyah
Muhammad sudah cukup merasa lega dengan hasil demikian ini. Kaum Muslimin pun merasa tenteram menjalankan kewajiban agama mereka, baik dalam berjamaah ataupun sendiri-sendiri. Mereka tidak lagi kuatir ada gangguan atau akan takut difitnah. Ketika itulah Muhammad menyelesaikan perkawinannya dengan Aisyah bt. Abu Bakr, yang waktu itu baru berusia sepuluh atau sebelas tahun. Ia adalah seorang gadis yang lemah-lembut dengan air muka yang manis dan sangat disukai dalam pergaulan. Ketika itu ia sedang menjenjang remaja putri, mempunyai kegemaran bermain-main dan bersukaria. Pertumbuhan badannya baik sekali.
Pertama ia pindah ke tempatnya yang sekarang di samping tempat Sauda di sisi mesjid, ia melihat Muhammad adalah seorang ayah yang penuh kasih-sayang, seorang suami yang penuh cinta-kasih. Ia tidak keberatan ikut bermain-main dengan barang-barang mainannya itu. Dengan itu Aisyah telah menghiburnya pula dari pikiran yang berat-berat yang selalu menjadi bebannya karena suasana politik Yathrib yang kini sudah mulai diarahkan dengan sebaik-baiknya itu.
Zakat dan Puasa
Dalam suasana kaum Muslimin yang sudah mulai tenteram menjalankan tugas-tugas agama itu, pada waktu itu kewajiban zakat dan puasa mulai pula dijalankan hukumnya. Di Yathrib inilah Islam mulai menemukan kekuatannya. Ketika Muhammad sampai di Medinah, bila ketika itu waktu-waktu sembahyang sudah tiba, orang berkumpul bersama-sama tanpa dipanggil. Lalu terpikir akan memanggil orang bersembahyang dengan mempergunakan terompet seperti orang-orang Yahudi. Tetapi dia tidak menyukai terompet itu. Lalu dianjurkan mempergunakan genta, yang akan dipukul waktu sembahyang, seperti dilakukan oleh orang-orang Nasrani.
Permulaan Sembahyang
Tetapi kemudian sesudah ada saran dari Umar dan sekelompok — Muslimin menurut satu sumber, — atau dengan perintah Tuhan melalui wahyu, menurut sumber lain — penggunaan genta ini pun dibatalkan dan diganti dengan azan. Selanjutnya diminta kepada Abdullah b. Zaid b. Tha’laba:
“Kau pergi dengan Bilal dan bacakan kepadanya — maksudnya teks azan — dan suruh dia menyerukan azan itu, sebab suaranya lebih merdu dari suaramu.”
Di samping mesjid ada sebuah rumah kepunyaan seorang wanita dari Banu’n-Najjar yang lebih tinggi dari mesjid. Bilal naik ke atas rumah itu lalu menyerukan azan. Dengan demikian, setiap hari di waktu fajar seluruh penduduk Yathrib mendengar seruan bersembahyang itu diucapkan dengan alunan suara yang indah dan lembut sekali, yang ditujukan Bilal ke segenap penjuru, dan menggema ke telinga pendengarnya:
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Asyhadu an la ilaha illa Allah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Hayy ‘ala’ sh-shala hayy ‘ala’l-falah. Allahu Akbar. Allahu Akbar. La ilaha illa Allah.” (Allah Maha Besar! Allah Maha Besar! Aku bersaksi tak ada tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah. Marilah sembahyang. Marilah mencapai kemenangan. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Tak ada tuhan selain Allah).
Dengan demikian ini rasa takut yang selama ini membayangi kaum Muslimin telah berubah jadi aman dan tenteram. Yathrib kini telah menjadi Madinat-‘r-Rasul — menjadi Kota Rasulullah. Penduduk kota ini yang bukan Islam sudah pula merasakan adanya kekuatan kaum Muslimin — suatu kekuatan yang bersumber dari lubuk hati yang sudah mengenal pengorbanan, yang sudah mengalami pelbagai macam penderitaan, demi membela iman. Kini mereka memetik buahnya, buah kesabaran dan ketabahan hati. Mereka merasakan adanya kebebasan beragama yang telah ditentukan Islam itu dan bahwa tidak ada kekuasaan seseorang atas manusia lain, dan bahwa agama hanya bagi Allah semata, hanya kepada-Nya adanya pengabdian itu. Di hadapan Tuhan semua manusia itu sama. Balasan yang akan mereka terima sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan dan dengan niat yang telah mendorong perbuatan itu.
Sekarang jalan sudah terbuka di hadapan Muhammad dalam menyebarkan ajaran-ajarannya itu. Dan biarlah pribadinya dan segala tingkah lakunya yang akan menjadi teladan tertinggi dalam ajaran-ajarannya itu.
Dan biarlah ini pula yang akan menjadi batu pertama dalam pembinaan peradaban Islam.
Persaudaraan adalah Dasar Peradaban Islam
Batu pertama ini ialah persaudaraan umat manusia: persaudaraan yang akan mengakibatkan seseorang tidak sempurna imannya sebelum ia dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri dan sebelum persaudaraan demikian itu dapat mencapai kebaikan dan rasa kasih. sayang tanpa suatu sikap lemah dan mudah menyerah.
Ada orang yang bertanya kepada Muhammad, “Perbuatan apakah yang baik dalam Islam?” Dijawab:
“Sudi memberi makan dan memberi salam kepada orang yang kaukenal dan yang tidak kaukenal.” Dalam khutbah pertama yang diucapkannya di Medinah ia berkata:
“Barangsiapa yang dapat melindungi mukanya dari api neraka sekalipun hanya dengan sebutir kurma, lakukanlah itu. Kalau itu pun tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik. Sebab dengan itu, kebaikan itu mendapat balasan sepuluh kali lipat.”
Dan dalam khutbahnya yang kedua dikatakannya:
“Beribadatlah kamu sekalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Benar-benar takutlah kamu kepada-Nya. Hendaklah kamu jujur terhadap Allah tentang apa yang kamu katakan baik itu, dan dengan ruh Allah hendaklah kamu sekalian saling cintamencintai. Allah sangat murka kepada orang yang melanggar janjinya sendiri ”
Dengan kata-kata ini dan yang semacam ini ia berbicara dengan sahabat-sahabatnya itu, ia berkhutbah di mesjid kepada orang banyak, sambil bersandar pada batang pohon kurma yang dijadikan penopang atap mesjid itu, yang kemudian lalu disuruh buatkan mimbar terdiri dari tiga tangga. Waktu menyampaikan khutbah ia berdiri pada tangga pertama, dan pada tingkat tangga kedua di waktu ia duduk.
Akhlak dan Budi Pekertinya
Bukan hanya kata-katanya itu saja yang menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan demikian itu, yang dalam peradaban Islam merupakan bagian yang penting sekali, melainkan juga perbuatannya serta teladan yang diberikannya adalah contoh persaudaraan dalam bentuknya yang benar-benar sempurna. Dia adalah Rasulullah — Utusan Allah: tapi tidak mau ia menampakkan diri dalam gaya orang berkuasa, atau sebagai raja atau pemegang kekuasaan duniawi. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata:
“Jangan aku dipuja, seperti orang-orang Nasrani memuja anak Mariam. Aku adalah hamba Allah. Sebutkan sajalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Sekali pernah ia mendatangi sekelompok sahabat-sahabatnya sambil bertelekan pada sebatang tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Tapi dia berkata:
“Jangan kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan.”
Apabila ia mengunjungi sahabat-sahabatnya ia pun duduk di mana saja ada tempat yang terluang. Ia bergurau dengan sahabat-sahabatnya, bergaul dengan mereka, diajaknya mereka bercakap-cakap, anak-anak mereka pun diajaknya bermain-main dan didudukkannya mereka itu di pangkuannya. Dipenuhinya undangan yang datang dari orang merdeka atau dari si budak dan si miskin. Dikunjunginya orang yang sedang sakit, yang jauh tinggal di sana, di ujung kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkannya. Dan ia yang memulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya. la yang lebih dulu mengulurkan tangan menjabat sahabar, Sahabatnya. Apabila ada orang yang menunggu ia sedang salat, di, percepatnya sembahyangnya lalu ditanyanya orang itu akan keperluannya, Sesudah itu kembali lagi ia meneruskan ibadatnya. Baik hati ia kepada setiap orang dan selalu senyum. Dalam rumah tangga, ia ikut memikul beban keluarga: ia mencuci pakaian, menambalnya dan memerah susy kambing. Ia juga yang menjahit terompahnya, menolong dirinya sendirj dan mengurus unta. Ia duduk makan bersama dengan bujang, ia juga mengurus keperluan orang yang lemah, yang menderita dan orang miskin. Apabila ia melihat seseorang yang sedang dalam kebutuhan ia dan keluarganya mengalah, sekalipun mereka sendiri dalam kekurangan, tak ada sesuatu yang disimpannya untuk besok, sehingga tatkala ia wafat baju besinya sedang tergadai di tangan seorang Yahudi — karena untuk keperluan belanja keluarganya. Sangat rendah hati ia, selalu memenuhi janji. Tatkala ada sebuah delegasi dari pihak Najasi datang, dia sendiri yang melayani mereka, sehingga sahabat-sahabat menegurnya:
“Sudah cukup ada yang lain,” kata sahabat-sahabatnya itu.
“Mereka sangat menghormati sahabat-sahabat kita,” katanya. “Saya ingin membalas sendiri kebaikan mereka.”
Begitu setianya ia, sehingga bila ada orang menyebut nama Khadijah, selalu menimbulkan kenangan yang indah baginya. Di sinilah Aisyah berkata: “Saya tidak pernah iri hati terhadap seorang wanita seperti terhadap Khadijah, bilamana saja mendengar ia mengenangkannya.” Ketika ada seorang wanita datang, ia menyambutnya begitu gembira dan ditanyainya baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata:
“Ketika masih ada Khadijah ia suka mengunjungi kami. Bahwa mengingat hubungan baik masa lampau adalah termasuk iman.”
Begitu halusnya perasaannya, begitu lembutnya hatinya, ia membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika ia sembahyang. Bahkan ia bersembahyang dengan Umama, putri Zainab putrinya, sambil dibawa di atas bahunya, bila ia sujud diletakkan, bila ia berdiri dibawanya lagi.
Kesayangannya kepada Binatang
Kebaikan dan kasih-sayang yang sudah menjadi sendi persaudaraan itu, yang dalam peradaban dunia modern sekarang juga menjadi dasar bagi seluruh umat manusia, tidak hanya terbatas sampai di situ saja, melainkan melampaui sampai kepada binatang juga. Dia sendiri yang bangun membukakan pintu untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat itu. Dia sendiri yang merawat seekor ayam jantan yang sedang sakit, kudanya dielus-elusnya dengan lengan bajunya. Bila dilihatnya Aisyah naik seekor unta, karena menemui kesukaran lalu binatang itu ditariktariknya, ia pun ditegurnya:
“Hendaknya kau berlaku lemah-lembut.”
Kasih-sayangnya itu meliputi segala hal, dan selalu memberi perlindungan kepada siapa saja yang memerlukannya.
Persaudaraan Atas Dasar Keadilan dan Kasih-sayang
Tetapi ini bukan sikap kasih-sayang karena lemah atau mau menyerah, juga bersih dari segala sifat mau menghitung jasa atau sikap tinggi diri. Ini adalah persaudaraan dalam Tuhan antara Muhammad dengan semua mereka yang berhubungan dengan dia. Di sinilah dasar peradaban Islam yang berbeda dengan sebagian besar peradaban-peradaban lain. Islam menekankan pada keadilan di samping persaudaraan itu, dan berpendapat bahwa tanpa adanya keadilan ini persaudaraan tidak mungkin ada.
“Barangsiapa menyerang kamu, seranglah dengan yang seimbang, seperti mereka menyerang kamu.”’
“Dengan hukum gishash berarti kelangsungan hidup bagi kamu, hai orang-orang yang mengerti.”
Sifatnya harus untuk mempertahankan jiwa semata-mata dengan kemauan yang bebas sepenuhnya dan untuk mencari rida Tuhan tanpa ada maksud lain. Itulah sumber persaudaraan yang meliputi segala kebaikan dan kasih-sayang. Ini harus bersumber juga dari jiwa yang kuat, tidak mengenal menyerah selain kepada Allah, dan dengan ketaatan kepada-Nya ia tidak pula merasa lemah. Tak ada rasa takut akan menyelinap ke dalam hatinya kecuali dari perbuatan maksiat atau dosa yang dilakukannya. Dan jiwa itu tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan yang lain dan tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan hawa nafsunya, Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah hijrah dari Mekah supaya jangan berada di bawah kekuasaan Quraisy dan jangan ada jiwa mereka yang akan jadi lemah karenanya. Jiwa itu akan menyerah kepada kekuasaan hawa nafsu kalau sudah jasmani yang dapat berkuasa ke dalan rohani dan akal pikiran dapat dikalahkan oleh kehendak nafsu. Dar akhirnya kehidupan materi ini juga yang dapat menguasai hidup kita padahal kita sudah tidak memerlukan yang demikian, sebab ini memang sudah berada di bawah kekuasaan kita.
Menahan Diri dari Makanan dan Pakaian
Di sini Muhammad adalah contoh kekuatan jiwa yang ideal sekali atas kehidupan ini, suatu kekuatan yang membuat dia sudah tidak peduli lagi akan memberikan segala yang ada padanya kepada orang lain. Itu sebabnya sampai ada orang yang mengatakan: Dalam memberi Muham. mad sudah tidak takut kekurangan. Dan supaya jangan ada sesuatu dalam hidup ini yang dapat menguasainya, sebaliknya dia yang harus menguasaj, maka ia keras sekali menahan diri dalam arti hidup materi, sama kerasnya dengan keinginannya hendak mengetahui segala rahasia yang ada dalam hidup materi itu, ingin mengetahui hakekat sesungguhnya tentang semua itu. Begitu jauhnya ia menahan diri sehingga lapik tempat dia tidur hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan serat. Makannya tak pernah kenyang. Tak pernah ia makan roti dari tepung sya’ir’ dua hari berturut-turut. Sebagian besar makannya adalah bubur.? Pada hari-hari yang lain ia makan kurma. Jarang sekali ia dan keluarganya dapat makanan roti sop. Bukan sekali saja ia harus menahan lapar. Sudah pernah perutnya diganjal dengan batu untuk menahan teriakan rongga pencernaannya itu.
Itulah yang sudah biasa dikenal tentang makannya, meskipun ini tidak berarti ia pantang sekali-sekali makan makanan yang enak-enak. Juga ia dikenal suka sekali makan kaki anak kambing, labu, madu dan manisan.
Begitu juga kesederhanaannya dalam hal pakaian sama seperti dalam makanan. Suatu hari ada seorang wanita memberikan sehelai pakaian kepadanya yang memang diperlukan. Tetapi kemudian diminta oleh orang lan yang juga memerlukannya guna mengafani mayat. Pakaian itu diberikannya. Pakaiannya yang dikenal terdiri dari sebuah baju dalam dan baju luar, yang terbuat dari wol, katun atau sebangsa serat. Tetapi sekalisekali ia tidak menolak memakai pakaian dari tenunan Yaman sebagai pakaian yang mewah sesuai dengan acara bila memang menghendaki demikian. Juga alas kaki yang dipakainya sederhana sekali. Tak pernah ia memakai sepatu selain waktu mendapat hadiah dari Najasyi berupa sepasang sepatu dan seluar.
Sungguhpun begitu dalam hal menahan diri dan menjauhi masalah duniawi bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri. Cara ini juga tidak sesuai dengan ajaran agama. Dalam Quran dapat dibaca:
“Makanlah dari makanan yang baik yang sudah Kami berikan kepadamu.
“Dan tempuhlah kebahagiaan akhirat seperti yang dianugerahkan Allah kepadamu, tapi juga jangan kaulupakan kebahagiaan hidup duniawi. Dan berbuatlah kebaikan kepada orang lain seperti Allah telah berbuat baik kepadamu.”? Dan dalam hadis:
“Berbuatlah untuk duniamu seolah kau akan hidup selama-lamanya, dan berbuat pula untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati besok.”
Akan tetapi Muhammad ingin memberikan teladan yang begitu tinggi kepada manusia tentang arti kekuatan dalam menghadapi hidup itu, suatu kekuatan yang tak dapat dipengaruhi oleh perasaan lemah, tak dapat diperbudak oleh kekayaan, oleh harta-benda, oleh kekuasaan atau oleh apa saja yang akan menguasainya, selain Allah. Persaudaraan yang didasarkan kepada kekuatan, yang manifestasinya telah diberikan oleh Muhammad sebagai teladan tertinggi seperti yang sudah kita lihat itu, adalah persaudaraan murni yang sungguh ikhlas dan mulia, suatu persaudaraan yang bersih samasekali. Sebabnya ialah karena adanya rasa keadilan yang terjalin dalam kasih-sayang dan karena yang bersangkutan hanya didorong oleh kemauan sendiri yang bebas mutlak. Tetapi, oleh karena Islam menyertakan rasa keadilan di samping rasa kasih-sayang itu, maka ia juga menyertakan maaf di samping keadilan itu, maaf yang dapat diberikan bila mampu. Rasa kasih-sayang demikian itu hendaklah dengan hati terbuka dan benar-benar, dan hendaklah dengan tujuan mau mencapai perbaikan yang sungguh-sungguh.
Sunah Muhammad
Inilah dasar yang telah diletakkan oleh Muhammad dalam membangun peradaban baru itu, yang dengan jelas tersimpul dalam cerita yang diambil dari Ali bin Abi Talib ketika ia bertanya kepada Rasulullah tentang sunahnya, dengan dijawab:
“Ma’rifat adalah modalku, akal pikiran sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu kendaraanku, berzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan perbendaharaanku, duka adalah kawanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan sasaranku, fagr adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan makananku, kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihag perangaiku dan hiburanku adalah dalam sembahyang.”
Yahudi Mulai Cemas
Ajaran-ajaran Muhammad serta teladan dan bimbingan yang diberikannya telah meninggalkan pengaruh yang dalam sekali ke dalam jiwa orang, sehingga tidak sedikit orang yang berdatangan menyatakan masuk Islam, dan kaum Muslimin pun makin bertambah kuat di Medinah. Ketika itulah orang-orang Yahudi mulai memikirkan kembali posisi mereka terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka dengan dia telah mengadakan perjanjian. Mereka bermaksud ingin merangkulnya ke pihak mereka dan supaya ketahanan mereka bertambah kuat terhadap orangorang Kristen. Dan dia lebih kuat dari mereka itu semua, ajarannya bertambah kuat. Malah sekarang ia memikirkan orang-orang Quraisy yang telah mengusirnya dan mengusir kaum Muhajirin dari Mekah serta godaan mereka terhadap kaum Muslimin yang dapat mereka goda dari agamanya. Adakah orang-orang Yahudi itu akan membiarkan dakwahnya terus tersebar dan kekuasaan rohaninya makin meluas, dengan cukup puas berada di sampingnya dalam aman sentosa yang berarti akan menambah keuntungan dan kekayaan dalam perdagangan mereka? Barangkali memang akan begitu kalau mereka yakin bahwa dakwahnya itu tidak akan sampai kepada orang-orang Yahudi sendiri dan tidak akan sampai meluas kepada orang-orang awam, sedang ajaran mereka yang berlaku ialah tidak akan mengakui adanya seorang nabi yang bukan dari Keluarga Israil.
Islamnya Abdullah ibn Sallam
Akan tetapi ada seorang rabbi yang cerdik-pandai, yaitu Abdullah b. Sallam yang telah berhubungan dengan Nabi, ia pun lalu memeluk Islam, dan dianjurkannya pula keluarganya. Lalu mereka pun bersama-sama memeluk agama Islam.
Tetapi Abdullah b. Sallam masih merasa kuatir akan ada kata-kata yang tidak biasa yang akan dilontarkan orang-orang Yahudi jika mereka mengetahui ia sudah menganut Islam. Maka dimintanya kepada Nabi untuk menanyai mereka tentang dirinya itu sebelum mereka mengetahui bahwa dia sudah Islam. Ternyata mereka berkata: Dia pemimpin kami, pendeta kami dan orang cerdik-pandai kami. Setelah Abdullah berhadapan dengan mereka dan sekarang jelas sudah sikapnya, bahkan mengajak mereka menganut ajaran Islam, mereka pun merasa kuatir akan nasibnya itu nanti. Maka di seluruh perkampungan Yahudi itu ia pun mulai difitnah dan diumpat dengan kata-kata yang tak senonoh. Dalam hal ini mereka lalu sepakat akan berkomplot terhadap Muhammad menolak kenabiannya. Secepat itu pula sisa-sisa orang yang masih musyrik dari kalangan Aus dan Khazraj serta mereka yang pura-pura masuk Islam segera menggabungkan diri dengan mereka, baik karena mau mengejar keuntungan materi atau karena mau menyenangkan golongannya atau pihak yang berpengaruh. “
Perang Polemik antara Muhammad dengan Orang-orang Yahudi
Sekarang mulai terjadi suatu perang polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi, yang ternyata lebih bengis dan lebih licik daripada perang polemik yang dulu pernah terjadi antara dia dengan orang-orang Quraisy di Mekah. Dalam perang yang terjadi di Yathrib ini semua orang Yahudi berdiri dalam satu barisan menyerang Muhammad dan risalahnya, menyerang sahabat-sahabatnya, kaum Muhajirin dan Anshar, dengan mengadakan intrik-intrik, tindakan bermuka-muka dengan ilmu yang ada pada mereka tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa masa lampau mengenai para nabi dan rasul-rasul.
Mereka mengadakan intrik melalui pendeta-pendeta mereka yang pura-pura Islam dan yang dapat bergaul ke tengah-tengah kaum Muslimin dengan pura-pura sangat takwa sekali, yang kemudian lalu sekali-kali memperlihatkan kesangsian dan keraguannya. Mereka itu memajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Muhammad, yang mereka kira akan dapat menggoncangkan iman umat Islam kepadanya dan kepada ajaran kebenaran yang dibawanya itu. Kemudian orang-orang Aus dan Khazraj yang juga Islamnya pura-pura, menggabungkan diri dengan orang-orang Yahudi dalam memajukan pertanyaan-pertanyaan dan dalam menimbulkan perselisihan di kalangan kaum Muslimin. Begitu keras kepala mereka itu sampai ada di antara orang Yahudi sendiri yang mengingkari isi Taurat — padahal mereka percaya kepada Allah, baik kalangan Keluarga Israil maupun Orang-orang musyrik yang mempergunakan berhala-berhala untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Misalnya mereka ber, tanya kepada Muhammad: Kalau Allah itu sudah menciptakan makhluk ini, lalu siapa yang menciptakan Allah? Muhammad hanya menjawah mereka dengan firman Tuhan:
“Katakan: Allah Satu cuma. Allah itu Abadi dan Mutlak. Tidak beranak. Dan tidak pula diperanakkan. Dan tiada satu apa pun yang menyerupai-Nya.”!
Percobaan Menjerumuskan Aus dan Khazraj
Pihak Muslimin sekarang menyadari keadaan musuh mereka, sudah mengetahui tujuan usaha mereka itu. Ada terlihat pada suatu hari mereka dalam mesjid sedang berbicara antara sesama mereka dengan berbisikbisik. Muhammad meminta supaya mereka dikeluarkan dari dalam mesjid itu dengan paksa. Tetapi ini tidak membuat mereka jera melakukan tipumuslihat dan masih terus berusaha hendak menjerumuskan kaum Muslimin. Ketika ada beberapa orang dari golongan Aus dan Khazraj sedang duduk-duduk bersama-sama salah seorang dari mereka (Syas b. Oais) lewat. Ia jadi panas hati melihat dua puak ini menjadi rukun. Dalam hatinya ia berkata: masyarakat Banu Oaila di negeri ini sudah bersatu. Kita takkan berarti apa-apa kalau pemuka-pemuka mereka sudah sepakat. Seorang pemuda Yahudi yang pernah dengan mereka dulu dimintanya supaya mengambil kesempatan ini dengan menyebut-nyebut kembali peristiwa Bu’ath dahulu serta bagaimana pula pihak Aus dapat mengalahkan Khazraj. Pemuda itu pun lalu bicara. Ternyata hal ini memang menimbulkan ingatan masa lampau pada kedua puak itu. Mereka lalu bersitegang, saling membanggakan diri dan hanyut dalam pertengkaran. “Kalau kamu mau kita boleh kembali seperti dulu,” kata mereka satu sama lain.
Peristiwa ini sampai juga kepada Muhammad. Ia pergi menemui mereka dengan beberapa orang sahabat, dan diingatkannya mereka, bahwa Islam telah mempersatukan dan membuat mereka benar-benar bersaudara, saling mencintai. Sementara ia masih di tengah-tengah mereka, mereka pun menangis, mereka saling berpeluk-pelukan. Mereka semua berdoa bermohon ampun kepada Tuhan.
Polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu sudah sampai di puncaknya, sebagaimana oleh Quran sudah pula diperlihatkan. Pada permulaan Surah al-Bagarah (2) sampai dengan ayat 81, dan sebagian besar Surah an-Nisa’ (4) semua menyebutkan tentang orangorang Ahli Kitab itu dan betapa mereka mengingkari isi Kitab Suci mereka sendiri. Mereka telah mendapat kutukan keras karena pembangkangan dan pengingkaran mereka itu:
“Dan sesungguhnya Kami teiah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan sesudah itu lalu Kami susul pula dengan para rasul, dan Kami telah memberikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa anak Maryam dan Kami perkuat dia dengan Ruh Suci. Adakah setiap datang seorang rasul kepadamu membawa sesuatu yang tak sesuai dengan kehendak hatimu, lalu kamu bersikap sombong? Sebagian kamu dustakan dan yang sebagian lagi kamu bunuh? Dan mereka berkata: “hati kami sudah tertutup”. Tetapi Tuhan telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka juga. Karena itu, sedikit sekali mereka yang beriman. Dan setelah kepada mereka didatangkan Kitab dari Allah, yang membenarkan apa yang ada pada mereka, karena sebelum itu mereka minta didatangkan kemenangan terhadap orang-orang yang masih ingkar, maka setelah yang mereka ketahui itu berada di tengah-tengah mereka, mereka pun juga tidak mempercayainya. Karena itu, kutukan Allah menimpa orang-orang yang ingkar itu.”
Cerita Finhash
Begitu memuncaknya polemik antara orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin itu, sehingga acapkali — sekalipun sudah ada perjanjian antara mereka — permusuhan itu terjadi sampai dengan main tangan. Sebagai contoh — sekadar sebagai ukuran — kita sudah mengenal Abu Bakr, yang begitu lemah-lembut perangainya, dengan kesabarannya yang luar biasa. Ketika itu ia sedang bicara dengan seorang orang Yahudi yang bernama Finhash, yang diajaknya menganut Islam. Tetapi Finhash menjawab: “Abu Bakr, bukan kita yang membutuhkan Tuhan, tapi Dia yang butuh kepada kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya, tapi Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, tapi Dia yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu Ia tidak akan minta dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini.” Maksud Finhash ini ditujukan kepada firman Tuhan: “Siapa yang mau meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman yang baik, Allah akan selalu membalasnya dengan berlipat ganda.
Tetapi dalam hal ini Abu Bakr tidak tahan mendengar jawaban itu. Ia marah. Ditamparnya muka Finhash itu keras-keras.
“Demi Allah,” kata Abu Bakr, “kalau tidak karena adanya perjanjian antara kami dengan kamu sekalian, pasti kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan.”
Kemudian Finhash mengadukan peristiwa ini kepada Nabi, tapi apa yang dikatakannya tentang Tuhan kepada Abu Bakr tidak diakuinya Dalam hal ini firman Tuhan menyebutkan: |
“Tuhan sudah mendengar kata-kata mereka yang menyebutkan: Tuhan tu miskin, dan kamilah yang kaya. Akan Kami tuliskan kata-katg mereka itu, begitu juga perbuatan mereka membunuh nabi-nabi dengan tidak sepantasnya, dan rasakanlah siksa yang membakar ini!”
Tidak cukup dengan maksud mau menimbulkan insiden antara Muhajirin dengan Anshar dan antara Aus dengan Khazraj dan tidak pula cukup dengan membujuk kaum Muslimin supaya meninggalkan agamanya dan kembali menjadi syirik tanpa mencoba-coba mengajak mereka menganut agama Yahudi, bahkan lebih dari itu orang Yahudi itu kini berusaha memperdaya Muhammad sendiri. Pendekar-pendekar mereka, pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin mereka datang menemuinya dengan mengatakan: “Tuhan sudah mengetahui keadaan kami, ke. dudukan kami. Kalau kami mengikut tuan, orang-orang Yahudi pun akan juga ikut dan mereka tidak akan menentang kami. Sebenarnya antara kami dengan beberapa kelompok golongan kami timbul permusuhan. Lalu kami datang ini minta keputusan tuan. Berilah kami keputusan. Kami akan ikut tuan dan percaya kepada tuan.”
Di sinilah firman Tuhan menyebutkan:
“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang sudah diturunkan Allah, dan jangan kauturuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka. Jangan sampai mereka memperdayakan kau dari beberapa peraturan yang sudah ditentukan Tuhan kepadamu. Tetapi kalau mereka menyimpang, ketahuilah, Tuhan akan menurunkan bencana kepada mereka karena beberapa dosa mereka sendiri juga. Sesungguhnya, kebanyakan manusia itu adalah orang-orang fasik. Adakah yang mereka kehendaki itu hukum jahiliah? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi mereka yang yakin?”?
Orang-orang Yahudi merasa sesak nafas terhadap Muhammad. Terpikir oleh mereka akan melakukan tipu-daya terhadapnya, akan meyakinkannya sampai ia keluar meninggalkan Medinah seperti yang terjadi karena gangguan-gangguan Quraisy dahulu sampai ia dan sahabatsahabatnya pun keluar meninggalkan Mekah.
Mengalihkan Kiblat ke Ka’bah
Lalu mereka mengatakan kepadanya, bahwa para rasul sebelum dia semua pergi ke Bait’I-Magdis dan memang di sana tempat tinggal mereka. Jika dia juga memang benar-benar seorang rasul, ia pun akan berbuat seperti mereka, dan kota Medinah ini akan dianggapnya sebagai kota perantara dalam hijrahnya dulu antara Mekah dengan Al-Masjid’I-Agsha. Akan tetapi, apa yang sudah mereka kemukakan kepadanya itu bagi Muhammad tidak perlu lama-lama berpikir untuk mengetahui, bahwa mereka sedang melakukan tipu-muslihat terhadap dirinya. Pada saat itu Tuhan mewahyukan kepadanya, menjelang tujuh belas bulan ia tinggal di Medinah, untuk menghadapkan kiblatnya ke al-Masjid’I-Haram, Rumah Ibrahim dan Ismail:
“Kami sebenarnya melihat wajahmu yang menengadah ke langit itu. Akan Kami hadapkan mukamu ke arah kiblat yang kausukai. Hadapkan mukamu ke arah al-Masjid’l-Hfaram. Di mana saja kau berada hadapkanJah mukamu ke arah itu.”
Orang-orang Yahudi ternyata menyesalkan kejadian itu. Sekali lagi mereka berusaha memperdayakannya, dengan mengatakan, bahwa mereka akan mau jadi pengikutnya kalau ia kembali ke kiblat semula. Di sini firman Tuhan menyebutkan:
“Dari orang-orang yang masih bodoh akan mengatakan: Apakah yang menyebabkan mereka berpaling dari kiblat yang dulu. Katakanlah: Timur dan Barat itu kepunyaan Allah. Dipimpin-Nya siapa yang disukai-Nya ke jalan yang lurus. Begitu juga Kami jadikan kamu suatu umat pertengahan, supaya kamu menjadi saksi kepada umat manusia, dan Rasul pun menjadi saksi kepadamu. Dan Kami jadikan kiblat yang biasa kaupergunakan itu, hanyalah untuk menguji siapa pula yang berbalik belakang. Dan itu memang berat, kecuali bagi mereka yang telah mendapat pimpinan Allah.”
Delegasi Nasrani Najran
Waktu sedang sengit-sengitnya terjadi polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu, delegasi pihak Nasrani dari Najran tiba di Medinah, terdiri dari enam puluh buah kendaraan. Di antara mereka terdapat orang-orang terkemuka, orang-orang yang sudah mempelajari dan menguasai seluk-beluk agama mereka. Pada waktu itu penguasapenguasa Rumawi yang juga menganut agama Nasrani sudah memberikan kedudukan, memberikan bantuan harta, memberikan bantuan tenaga serta membuatkan gereja-gereja dan kemakmuran buat kaum Nasrani Najran itu. Bolehjadi delegasi ini datang ke Medinah. hanya karena mereka sudah mengetahui adanya pertentangan antara Nabi dengan Orang-orang Yahudi, dengan harapan mereka akan dapat mengobarkan pertentangan itu lebih hebat sampai menjadi permusuhan terbuka. Dengan demikian orang-orang Nasrani yang berada di perbatasan Syam dan Yaman dapat membebaskan diri dari intrik-intrik Yahudi dan sikap permusuhan orang-orang Arab.
Dengan datangnya delegasi ini dan polemiknya dengan Nabi serta dibukanya kancah pertarungan teologis yang sengit antara Orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam maka ketiga agama Kitab ini sekarang berkumpul. Dari pihak Yahudi, mereka memang menolak samasekali: ajaran Isa dan Muhammad, yang dasarnya karena sikap keras kepala seperti yang sudah kita lihat. Mereka mendakwakan bahwa ‘Uzair itu putra Allah. Sedang pihak Nasrani, paham mereka adalah Trinitas dan menuhankan Isa: Sebaliknya Muhammad, ia mengajak orang kepada keesaan Tuhan dan kepada kesatuan rohani yang sudah diatur oleh alam, sejak awal yang ajali sampai pada akhir yang abadi — sejak dunia ini berkembang sampai ke akhir zaman. Orang-orang Yahudi dan Nasrani itu bertanya kepadanya, kepada siapa-siapa di antara para rasul itu ia beriman. Ia menjawab:
“Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan-Nya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isrnail, Ishaq, Ya’gub Serta anak-cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan Isa Serta apa yang telah diberikan Tuhan kepada nabi-nabi. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami pun patuh kepada-Nya.”
Ja sangat menyesalkan sikap mereka yang sifatnya hendak menimbulkan keraguan dengan cara bagaimanapun tentang keesaan Tuhan. Diingatkannya mereka, bahwa mereka telah mengubah kata-kata dari aslinya dalam kitab-kitab mereka itu dan bahwa mereka ternyata berlainan haluan dari apa yang telah ditempuh oleh para nabi dan rasul-rasul yang sudah mereka akui kenabiannya, dan bahwa apa yang diajarkan oleh Isa, oleh Musa dan oleh mereka yang sudah terdahulu, sedikit pun tidak berbeda dari apa yang diajarkannya sekarang. Apa yang telah diajarkan mereka Itu, adalah Kebenaran Abadi yang akan tampak jelas dan sederhana sekali bagi setiap orang yang berjiwa pantang tunduk selain kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia akan melihat Alam ini sebagai suatu kesatuan yang tak terpisah-pisah. Ia akan melihatnya dengan pandangan hati nurani yang lebih tinggi di atas segala kehendak dan tujuan yang bersifat sementara, di atas segala dorongan materi, lepas dari sifat tunduk buta kepada segala ilusi dan angan-angan orang awam, kepada yang diterimanya dari nenekmoyang mereka.
Pertemuan Tiga Agama
Di manakah ada suatu pertemuan yang hakekatnya lebih besar dari pertemuan yang kini dialami oleh Yathrib? Tiga agama bertemu di tempat ini, yang sampai sekarang saling mempengaruhi perkembangan dunia. Di tempat ini ketiganya bertemu untuk suatu tujuan dan cita-cita yang tinggi dan mulia. Ini bukanlah suatu pertemuan ekonomi, juga bukan dengan suatu tujuan materi, yang sampai saat ini dikejar-kejar dunia namun tiada juga berhasil — melainkan tujuannya adalah rohani semata-mata. Dalam hal Nasrani dan Yahudi ini, di belakangnya berdiri ambisi-ambisi politik serta keinginan-keinginan orang-orang beruang dan berkuasa. Sebaliknya Muhammad, tujuannya adalah rohaniah dan perikemanusiaan sematamata, yang jalannya telah ditunjukkan Tuhan kepadanya dengan bentuk kata yang dialamatkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta seluruh umat manusia. Dikatakan-Nya kepada mereka:
“Katakanlah: “Orang-orang Ahli Kitab! Marilah kita menerima suatu istilah yang sama antara kami dengan kamu, bahwa tak ada yang akan kita sembah selain Allah, dan bahwa kita takkan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, dan tidak pula antara kita saling mempertuhan satu sama lain, selain daripada Allah.” Tetapi kalau mereka menyimpang juga, katakanlah: ‘Saksikanlah, bahwa kami ini orang-orang Muslimin.”
Apa pula yang akan dapat dikatakan oleh orang-orang Yahudi, yang akan dapat dikatakan oleh orang-orang Nasrani atau oleh yang lain, mengenai ajakan ini: Jangan menyembah apa dan siapa pun selain Allah, jangan mempersekutukan-Nya dan jangan pula saling mempertuhan satu sama lain selain daripada Allah! Bagi jiwa yang benar-benar jujur, jiwa manusia yang telah mendapat kehormatan dengan adanya akal pikiran dan perasaan, tidak bisa lain tentu akan beriman kepada ini, tanpa yang lain. Akan tetapi, dalam arti hidup manusia, di samping segi rohani, juga ada segi materinya. Kelemahan ini yang membuat kita dapat menerima pihak lain menguasai kita, dengan jalan membeli nyawa kita, jiwa kita, kalbu kita. Ilusi ini yang telah membunuh kehormatan, perasaan serta cahaya hati nurani manusia. Segi materi ini, yang tergambar dalam bentuk harta dan kekayaan, dalam kepalsuan gelar-gelar dan pangkat, yang telah membuat Abu Haritha — salah seorang Nasrani Najran yang paling luas ilmu dan pengetahuannya — pernah mengeluarkan isi hatinya kepada salah seorang teman, bahwa ia yakin pada apa yang dikatakan Muhammad itu. Setelah temannya itu bertanya:
“Apa lagi yang masih merintangi kau menerima ajarannya, kalau kau sudah mengetahui ini?”
“Yang masih merintangi aku ialah apa yang sudah diberikan orang kepada kami,” jawabnya. “Kami sudah diberi kedudukan, diberi harta dan kehormatan. Dan yang mereka kehendaki supaya kami menentangnya.
Kalau kuterima ajakannya itu tentu semua yang kaulihat ini akan dicopo, dari kami.”
Kepada ajaran inilah orang-orang Yahudi dan Nasrani itu olep Muhammad diajak. Orang-orang Nasrani diajaknya saling berdoa, sedang dengan pihak Yahudi sudah ada perjanjian perdamaian. Dalan pada itu pihak Kristen telah pula mengadakan permusyawaratan antara sesama mereka. yang hasilnya kemudian diberitahukan kepadanya, bahwa mereka tidak akan saling berdoa dan akan membiarkannya ia dengan agamanya itu dan mereka kembali kepada agama mereka. Tetapi mereka juga melihat, betapa cenderungnya Muhammad menjalankan keadilan itu, yang juga diikuti jejaknya oleh sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu mereka minta supaya ada seorang yang dapat dikirimkan bersama-sama mereka guna mengadili masalah-masalah yang bagi mereka sendiri masih merupakan perselisihan pendapat. Dalam hal ini Muhammad mengutus Abu “Ubaida ibn’|-Jarrah guna memutuskan hal-hal yang diperselisihkan itu.
Quraisy di Mekah Menjadi Masalah |
Peradaban yang batu pertamanya telah diletakkan oleh Muhammad dengan ajaran-ajaran serta teladan yang diberikannya itu, kini sudah makin diperkuat lagi. Terpikir olehnya sekarang dan oleh sahabatsahabatnya dari kalangan Muhajirin, bagaimana seharusnya sikap dan keadaan mereka menghadapi Quraisy itu — suatu pemikiran yang tak pernah mereka lupakan sejak mereka hijrah dari Mekah. Motif yang mendorong mereka berpikir demikian banyak sekali. Di Mekah ini terletak Ka’bah, Rumah Ibrahim, tempat mereka dan semua orang Arab berziarah. Dapatkah mereka melepaskan diri dari kewajiban suci yang sejak dulu mereka jalankan sampai pada waktu mereka dikeluarkan dari Mekah? Di sana masih tinggal keluarga mereka yang mereka cintai dan yang mereka sayangkan bila masih tetap dalam kehidupan syirik. Di sana harta-benda dan perdagangan mereka ditinggalkan, yang telah disita oleh Quraisy tatkala mereka hijrah. Kemudian lagi, tatkala mereka memasuki Medinah, mereka diserang penyakit demam, sehingga bukan main penderitaan yang mereka alami. Mereka sembahyang pun sambil duduk. Makin keras mereka merindukan Mekah. Mereka telah dikeluarkan secara paksa dari Mekah, seolah mereka keluar sebagai pihak yang dikalahkan. Dan tidak pula menjadi adat orang-orang Quraisy dapat persabar terhadap ketidakadilan serupa itu atau menyerah tanpa mengadakan pembalasan. Di samping semua dorongan itu, dorongan naluri juga merangsang mereka, yakni nostalgia — rindu kampung halaman, kampung halaman tempat mereka dilahirkan, tempat mereka dibesarkan. Dengan bumi ini, dengan tanahnya yang lapang, gunungnya, airnya, dengan semua itulah pertama kali mereka bicara, pertama kali mereka bersahabat. Di atas secercah tanah inilah mereka dipupuk tatkala mereka masih kecil dan di sana pula tempat tinggal mereka sesudah mereka besar. Ke sana hati orang dan perasaannya terikat, dan untuk itu pula dengan segala kekuatan dan hartanya ia pertahankan. Dikorbankannya semua tenaga dan hidupnya. Sesudah mati, di tempat itu harapannya akan dikuburkan. Ia mau kembali ke dalam tanah tempat ia dijadikan itu.
Naluri inilah yang lebih keras mendorong hati kaum Muhajirin daripada motif-motif lain. Selalu terpikir oleh mereka bagaimana seharusnya sikap mereka itu menghadapi Quraisy. Tetapi yang sudah terang, sikap itu bukanlah sikap menyerah atau sikap menghambakan diri. Sudah cukup sabar mereka selama tiga belas tahun terus-menerus menanggung penderitaan. Agama tidak membenarkan adanya sikap lemah, putus asa atau menyerah bagi mereka yang sudah menanggung penderitaan dan sampai hijrah karenanya.
Apabila sikap permusuhan itu memang dibenci dan tidak dibenarkan, sebaliknya yang diperkuat dan dianjurkan adalah sikap persaudaraan, tapi di samping itu yang juga diharuskan ialah membela diri, membela kehormatan, membela kebebasan beragama dan membela tanah air. Untuk membela inilah Muhammad mengadakan Ikrar “Agaba yang kedua dengan penduduk Yathrib. Tetapi bagaimanakah kaum Muhajirin itu akan menunaikan kewajibannya kepada Tuhan, kepada Rumah Suci, kepada tanah: air, Mekah yang mereka cintai itu? Ke arah inilah politik Muhammad dan kaum Muslimin itu ditujukan, sampai selesai ia kelak menaklukkan Mekah, dan agama Allah serta seruan kebenaran pun akan terjunjung tinggi.
Politik Muslimin di Mekah — Satuan-satuan Pertama — Nabi Berangkat Sendiri — Pendapat Ahli-ahli Sejarah tentang Perang Pertama — Pendapat Kami tentang Satuan-satuan Ini — Menyudutkan Perdagangan Quraisy – Anshar dan Agresi — Watak Penduduk Medinah – Menakut-nakuti Yahudi — Intrik-intrik Yahudi — Islam dan Perang — Satuan Abdullah ibn Jahsy — Fitnah Lebih Besar dari Pembunuhan — Quran dan Perang — Berjuang untuk Allah —Manusia dan Akidahnya —Agama Kristen dan Perang – Orang-orang Suci dalam Islam dan Kristen — Islam Agama Kodrat Politik Muslimin di Mekah
SESUDAH hijrah beberapa bulan keadaan kaum Muslimin yang tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak Muhajirin ke Mekah terasa makin bertambah adanya. Terpikir oleh mereka siapa-siapa dan apa saja yang mereka tinggalkan itu, serta betapa pula pihak Quraisy menyiksa mereka dulu? Tetapi sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus mereka lakukan? Banyak penulis-penulis sejarah yang berpendapat, bahwa mereka — dan terutama Muhammad — telah memikirkan akan mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta mulai membuka permusuhan dan akan mengadakan perang. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa sejak mereka sampai di Medinah niat mengadakan perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja, yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah karena mereka masih sibuk menyiapkan tempat-tempat tinggal serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian mereka mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan Ikrar “Agaba kedua yang justru untuk memerangi Siapa saja. Dan sudah wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah membuat pihak Quraisy segera menyadari akibat perjanjian “Agaba itu. Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan Aus dan Khazraj tentang dia.
Satuan-satuan Pertama
Mereka memperkuat pendapat ini dengan apa yang telah terjadi delapan bulan sesudah Rasul dan para Muhajirin tinggal di Medinah, yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b. Abd’I-Muttalib ke tepi laut (Laut Merah) di bilangan “Ish dengan membawa 30 orang pasukan yang terdiri dari kalangan Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat Ini ia bertemu dengan Abu Jahl b. Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri dari pepduduk Mekah, dan bahwa Hamzah sudah siap akan memerangi Quraisy tapi lalu dilarai oleh Majdi b. “Amr yang bertindak sebagai pendamai kedua belah pihak. Masing-masing kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga ketika Muhammad mengi, rimkan “Ubaida bin’l-Harith dengan 60 orang pasukan terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka pergi menuju ke suatu tempat air dj Hijaz, yang disebut Wadi Rabigh. Di sini mereka bertemu dengan kelompok Quraisy yang terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka bubar juga tanpa suatu pertempuran, kecuali apa yang diceritakan orang, bahwa Sa’d b. Abi Waggash ketika itu telah melepas. kan anak panahnya, “dan itu adalah anak panah pertama dilepaskan dalam Islam.” Demikianlah ketika Sa’d bin Abi Waggash dikirim ke daerah Hijaz dengan membawa 8 orang Muhajirin menurut satu sumber atau 20 orang menurut sumber yang lain. Kemudian mereka kembali karena tidak bertemu siapa-siapa.
Nabi Berangkat Sendiri
Alasan mereka ini mereka perkuat lagi dengan menyebutkan, bahwa Nabi telah berangkat sendiri sesudah dua belas bulan tinggal di Medinah, dengan menyerahkan pimpinan kota kepada Sa’d b. “Ubada. Ia pergi ke Abwa’. Sesampainya di Waddan ia bermaksud mencari Quraisy dan Banu Dzamra. Tetapi Quraisy tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak Banu Dzamra, bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi mengepalai 200 orang dari Muhajirin dan Anshar — menuju Buwat dengan sasaran sebuah kafilah yang dipimpin oleh Umayya b. Khalaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta dikawal oleh 100 orang pasukan perang. Tapi juga sudah tidak bertemu lagi, sebab mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah yang sudah diratakan, dan bahwa dua atau tigs bulan sesudah ia kembali dari Buwat di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd’l-Asad, ia beyangkat lagi memimpin kaum Muslimin yang terdiri dari dua ratus orang lebih sampai di “Usyaira di pedalaman Yanbu’. Ia tinggal di sana selam3 bulan Jumadil Awal dan beberapa malam dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623 M.) sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan lewat. Tetapi ternyata mereka sudah tidak ada. Dalam perjalanan ini ia berhasil dapat mengadakan perjanjian perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu Dzamra: dan bahwa begitu ia kembali dan akan tinggal selama sepuluh hari lagi di Medinah, tiba-tiba Kurz b. Jabir al-Fihri, orang yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah dan. Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta dan kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai ia di suatu lembah yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi Kurz sudah menghilang.
Inilah yang disebut oleh penulis-penulis sejarah Nabi itu dengan sebutan Perang Badr Pertama.
Pendapat Ahli-ahli Sejarah tentang Perang Pertama
Bukankah semua peristiwa ini sudah dapat dijadikan bukti, bahwa kaum Muhajirin — dan terutama Muhammad — memang sudah memikirkan akan membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya — menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu — ini membuktikan, bahwa dengan mengirimkan satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
Pertama, mengadakan pencegatan terhadap kafilah-kafilah Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari sana dalam perjalanan musim panas, dengan sedapat mungkin merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang dagangan yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
Kedua, mengambil jalur kafilah Quraisy dalam perjalanannya ke Syam itu dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian perdamaian serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang jalan Medinah-Pantai Laut Merah. Hal ini akan mempermudah pihak Muhajirin melakukan serangan terhadap kafilah-kafilah Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat melindungi mereka dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan yang akan mencegah kaum Muslimin — selaku pihak yang berkuasa dan kuat — bertindak terhadap orang-orang dan harta-benda mereka itu. Adanya Satuan-satuan yang oleh Nabi a.s. pimpinannya diserahkan masing-masing kepada Hamzah, “Ubaida bin’l-Harith dan Sa’d b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan yang telah diadakan dengan Banu Dzamra, Banu Mudlij, dan lain-lain, memperkuat maksud tujuan kedua tadi, begitu juga pengambilan jalan penduduk Mekah ke Syam membuktikan pula sebagai tujuan kaum Muslimin itu.
Pendapat Kami tentang Satuan-satuan Ini
Bahwa dengan adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai enam bulan Sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti oleh pihak Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini akan membuat orang jadi sangsi dan harus berpikir lagi. Pasukan Hamzah tidak lebih dari 30 orang dari Muhajirin, pasukan “Ubaida tidak lebih dari 60 orang, demikian juga pasukan Sa’g yang menurut suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain 29 orang. Sedang petugas-petugas yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad tinggal di Medinah dan mulai mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah setempat dan dengan daerah-daerah yang berdekatan, pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan perlengkapannya. Baik Hamzah, “Ubaida ataupun Sa’d, betapapun keberanian mereka itu sebagai kepala satuan. satuan Muhajirin, namun persiapan yang ada pada mereka tidak cukup memberi semangat untuk melakukan perang. Bagi mereka ini semua, kiranya cukup dengan menakut-nakuti Quraisy saja, tanpa mengadakan perang, kecuali apa yang dilakukan orang tentang anak panah, yang pernah dilepaskan Sa’d itu.
Menyudutkan Perdagangan Quraisy
Di samping itu kafilah-kafilah Quraisy ini dikawal oleh penduduk Mekah yang mempunyai hubungan darah dan pertalian kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah bagi mereka itu mau saling bunuh, atau satu sama lain mau melakukan balas-dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah bersama-sama ke dalam suatu perang saudara, suatu hal yang selama tiga belas tahun terus-menerus, dari mulai kerasulan Muhammad sampai pada waktu hijrahnya, kaum Musllmin dan orang-orang pagan di Mekah sudah mampu menghindarinya. Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar “Agaba dulu itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan Khazraj sama-sama berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak pernah memberikan janji kepadanya atau kepada siapa pun dari sahabat-sahabatnya bahwa mereka akan melakukan tindakan permusuhan (agresi).
Sungguhpun sudah begitu, memang tidak mudah orang akan menyerah begitu saja kepada ahli-ahli sejarah, yang dalam penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan dan perjalanan-perjalanan yang mula-mula itu tujuannya memang sengaja hendak melakukan perang. Oleh karena itu, dalam hal ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat diterima akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu didasarkan pada prinsip-prinsip persetujuan dan saling pengertian dengan pelbagai macam kabilah, di satu pihak guna menjamin adanya kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna menjamin adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
Menurut hemat saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini tidak lan maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang telah terpaksa keluar dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan mereka dalam perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang dikirimkan dari Mekah dan Ta’if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian Selatan, adalah perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan seharga lebih dari 50.000 dinar. Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira 160.000 pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah pasti bahwa bahaya yang mengancam perdagangan ini datangnya dari anak negeri sendiri yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini telah membuatnya berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling pengertian dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan melakukan dakwah agama serta kebebasan memasuki Mekah dan melakukan tawaf di Ka’bah. Tetapi saling pengertian demikian ini takkan ada kalau Quraisy tidak dapat memperhitungkan kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang kini akan mencegat dan menutup jalan lalulintas perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang menyebabkan Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilarai oleh Majdi b. “Amr. Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga ini pula yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi — setelah melihat kecongkakan Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin — ingin mengadakan perdamaian dengan kabilahkabilah yang tinggal di sepanjang rute perdagangan itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu akan sampai juga kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali memikirkan perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
Anshar dan Agresi
Pendapat ini kuat sekali landasannya, yakni bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan “Usyaira itu tidak sedikit kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya. Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk mempertahankannya, bukan untuk melakukan serangan bersama-sama. Hal ini akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr, tatkala Muhammad kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga disetujui oleh orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut memerangi penduduk Mekah. Bagi keduanya alasan berperang yang akan dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu sama lain, tidak ada. Meskipun dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang diadakan Muhammad guna memperkuat kedudukan Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu merupakan suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha ke arah itu.
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa keberangkatan satuan-satuan Hamzah, “Ubaida bin’I-Harith dan Sa’d bin Abi Waggash hanya untuk memerangi Quraisy, dan menamakannya sebagai suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa’, Buwat dan “Usyaira tidak lain dari suatu penyerbuan, adalah sangat dibuat-buat, yang pada dasarnya sudah tertolak oleh keberatan-keberatan yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis riwayat hidup Muhammad yang telah mengambil alih pendapat tersebut tidak lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri hidup Muhammad Itu baru pada akhir-akhir abad kedua Hijrah, dan bahwa mereka sangat terpengaruh oleh adanya peperangan-peperangan yang terjadi kemudian sesudah Perang Besar Badr. Segala bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka anggap sebagai peperangan, yang dikaitkan pula pada peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis yang memang sudah mengetahui adanya sanggahan demikian ini, meskipun tidak mereka sebutkan dalam buku-buku mereka itu. Adapun yang membuat kita menduga mereka sudah mengetahui hal ini — di samping usaha mereka menyesuaikan diri dengan ahli-ahli sejarah dari kalangan Islam mengenai tujuan Muhajirin dan terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula mereka tinggal di Medinah -ialah karena mereka sudah menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini tujuannya tidak lain ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan bahwa kebiasaan merampok sudah menjadi watak orang-orang pedalaman dan bahwa penduduk Medinah hanya tertarik pada barang rampasan dalam mengikuti Muhammad dengan melanggar janji mereka di “Agaba.
Watak Penduduk Medinah
Ini adalah pendapat yang terbalik, sebab penduduk Medinah – seperti juga penduduk Mekah — bukanlah orang-orang pedalaman yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Di samping itu sesuai dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian, mereka pun lebih suka tinggal menetap dan samasekali mereka tidak tertarik melakukan perang kecuali jika ada alasan yang luar biasa.
Sebaliknya kaum Muhajirin, mereka berhak membebaskan hartabenda mereka dari tangan Quraisy. Tetapi sungguhpun begitu mereka bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya peristiwa Badr. Juga bukan itu pula yang telah mendorong dikirimnya satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi yang mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang ini memang belum diundangkan dalam Islam, sedang Muhammad dan sahabat-sahabatnya bertindak bukanlah dengan tujuan ala pedalaman (badui) seperti diduga oleh kaum Orientalis, melainkan apa yang sudah berlaku dan dilaksanakan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya ada kebebasan berdakwah sebagaimana mestinya. Nanti penjelasan dan pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak lebih jelas di depan kita, bahwa tujuan Muhammad dengan perjanjian-perjanjian itu ialah guna memperkuat Medinah, supaya jangan ada jalan bagi pihak Quraisy dalam mengejar kehendaknya itu, atau mencoba melakukan kekerasan terhadap kaum Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika hendak mengembalikan orang-orang Islam dari Abisinia. Dalam pada itu ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah untuk agama Allah tetap dijamin, dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah bagi Allah.
Menakut-nakuti Yahudi
Di balik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang Yahudi yang tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa ketika Muhammad baru sampai di Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak merangkulnya. Akan tetapi setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan bersetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksang. kan upacara dan kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi Nabi dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam melakukan permusuhan ini mereka tidak berterus-terang karena dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka akan jadi kacau bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk Medinah, atau karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di kalangan orang-orang Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan Anshar, membangunkan kembali ke. dengkian lama antara Aus dan Khazraj dengan menyebut-nyebut sejarah Bu’ath dan cerita yang terdapat dalam persajakan.
Intrik-intrik Yahudi
Kaum Muslimin sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai mereka dimasuk. kan ke dalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara paksa. Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka. Dan akhirnya Nabi a.s. menolak mereka sesudah diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan bukti. Sudah tentu pula apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha mengobarkan fitnah. Dari segi istilah kecermatan diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya mereka berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan dapat menumpas setiap fitnah yang ada, membasmi jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke akar-akarnya. Cara yang paling baik untuk membuat mereka berasa ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada bentrokan-bentrokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga diinginkan oleh pihak Quraisy.
Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak cukup hanya dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal belum terjadi suatu kontak senjata. Kemudian berhentinya pertempuran itu pun dengan terhormat, dengan suatu siasat yang sudah teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud mencapai tujuan-tujuan tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan dari situ segi guna menakut-nakuti pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke arah persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh dalam menjalankan dakwah agama serta upacaraupacara keagamaan, yang sebenarnya memang tidak perlu sampai terjadi perang.
Islam dan Perang
Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Islam menolak perang dalam hal membela diri dan membela keyakinan terhadap siapa saja yang hendak memperdayakan. Sekali-kali tidak. Bahkan Islam mewajibkan pembelaan demikian ini. Tetapi artinya, Islam masa itu, juga sekarang dan demikian pula seterusnya, ia menolak perang permusuhan.
“Dan janganlah kamu melakukan pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran.”
Apabila kepada Muhajirin pada waktu itu dibenarkan menuntut hartabenda mereka yang telah ditahan oleh Quraisy ketika mereka hijrah, maka membela orang-orang beriman yang mau diperdaya dari agama mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk maksud inilah pertama sekali hukum perang itu diundangkan.
Satuan Abdullah ibn Jahsy
Bukti terhadap hal ini ialah adanya ayat-ayat yang diturunkan sehubungan dengan satuan Abdullah ibn Jahsy. Dalam bulan Rajab tahun itu ia dikirimkan oleh Rasulullah bersama-sama beberapa orang Muhajirin, dan sepucuk surat diberikan kepadanya dengan perintah untuk tidak dibuka sebelum mencapai dua hari perjalanan. Ia menjalankan perintah itu. Kawan-kawannya pun tak ada yang dipaksanya. Dua hari kemudian Abdullah membuka surat itu, yang berbunyi: “Kalau sudah kaubaca surat ini, teruskan perjalananmu sampai ke Nakhla, (antara Mekah dan Tarif dan awasi keadaan mereka. Kemudian beritahukan kepada kami.”
Disampaikannya hal ini kepada kawan-kawannya dan bahwa dia tidak memaksa siapa pun. Kemudian mereka semua berangkat meneruskan perjalanan, kecuali Sa’d b. Abi Waqqash (Banu Zuhra) dan “Utba b. Ghazwan yang ketika itu sedang pergi mencari untanya yang sesat tapi oleh pihak Quraisy mereka lalu ditawan.
Sekarang Abdullah dan rombongannya meneruskan perjalanan Sampai ke Nakhla. Di tempat inilah mereka bertemu dengan kafilah Quraisy yang dipimpin oleh “Amr bin’l-Hadzrami dengan membawa barang-barang dagangan. Waktu itu akhir Rajab. Teringat oleh Abdullah b. Jahsy dan rombongannya dari kalangan Muhajirin akan perbuatan Quraisy dahulu serta harta-benda mereka yang telah dirampas. Mereka berunding. “Kalau kita biarkan mereka malam ini mereka akan sampai di Mekah dengan bersenang-senang. Tapi kalau mereka kita gempur berarti kita menyerang dalam bulan suci,”! kata mereka.
Mereka maju-mundur, masih takut-takut akan maju. Tetapi kemudian mereka memberanikan diri dan sepakat akan bertempur, siapa saja yang mampu dan mengambil apa saja yang ada pada mereka. Salah Seorang anggota rombongan itu melepaskan panahnya dan mengenai “Amr bin’. Hadzrami yang kemudian tewas. Kaum Muslimin menawan dua orang dari Quraisy.
Fimah Lebih Besar dari Pembunuhan
Sesampainya di Medinah Abdullah b. Jahsy membawa kafilah dan kedua orang tawanannya itu kepada Rasul, dan kelima barang rampasan itu diserahkan mereka kepada Muhammad. Tetapi setelah melihat mereka Ini ia berkata: “Aku tidak memerintahkan kamu berperang dalam bulan suci.”
Kafilah dan kedua tawanan itu ditolaknya. Samasekali ia tidak may menerima. Abdullah b. Jahsy dan teman-temannya merasa kebingungan sekali. Teman-teman sejawat mereka dari kalangan Muslimin pun sangat menyalahkan tindakan mereka itu.
Kesempatan ini oleh Quraisy sekarang dipergunakan. Disebarkannya provokasi ke segenap penjuru, bahwa Muhammad dan kawan-kawannya telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah, merampas harta-benda dan menawan orang. Karena itu orang-orang Islam yang berada di Mekah pun lalu menjawab, bahwa saudara-saudara mereka seagama yang kini hijrah ke Medinah melakukan itu dalam bulan Sya’ban. Lalu datang orang-orang Yahudi turut mengobarkan api fitnah. Ketika itulah datang firman Tuhan:
“Mereka bertanya kepadamu tentang perang dalam bulan suci. Katakanlah: “Perang selama itu adalah soal (pelanggaran) besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah dan mengingkari-Nya, menghalangi orang memasuki Mesjid Suci dan mengusir orang dari sana, bagi Allah lebih besar (pelanggarannya). Fitnah itu lebih besar dari pembunuhan. Dan mereka akan tetap memerangi kamu, sampai mereka berhasil memalingkan kamu dari agamamu, kalau mereka sanggup.”
Dengan adanya keterangan Quran dalam soal ini hati kaum Muslimin merasa lega kembali. Penyelesaian kafilah dan kedua orang tawanan itu kini di tangan Nabi, yang kemudian oleh Quraisy akan ditebus kembali. Tetapi kata Nabi:
“Kami takkan menerima penebusan kamu, sebelum kedua sahabat kami kembali — yakni Sa’d b. Abi Waggash dan “Utba ibn Ghazwan. Kami kuatirkan mereka di tangan kamu. Kalau kamu bunuh mereka, kawankawanmu ini pun akan kami bunuh.”
Setelah Sa’d dan “Utba kembali, Nabi mau menerima tebusan kedua tawanan itu. Tapi salah seorang dari mereka, yaitu Al-Hakam b. Kaisan masuk Islam dan tinggal di Medinah, sedang yang seorang lagi kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya.
Pasukan Abdullah b. Jahsy ini dan ayat suci yang diturunkan karenanya itu, patut sekali kita pelajari. Menurut hemat kami, ini adalah suatu persimpangan jalan dalam politik Islam. Kejadian ini merupakan peristiwa baru, yang memperlihatkan adanya jiwa yang kuat dan luhur, suatu kekuatan yang bersifat insani, meliputi seluk-beluk kehidupan material, moral dan spiritual. Ia begitu kuat dan luhur dalam tujuannya hendak mencapai kesempurnaan. Quran memberikan jawaban kepada mereka yang ikut bertanya tentang perang dalam bulan suci: Adalah itu termasuk pelanggaran-pelanggaran besar, yang diiakan bahwa itu memang masalah besar. Tetapi ada yang lebih besar dari itu. Menghalangi orang dari jalan Allah serta mengingkari-Nya adalah lebih besar dari perang dan pembunuhan dalam bulan suci, dan memaksa orang meninggalkan agamanya dengan ancaman, dengan bujukan atau kekerasan adalah lebih besar daripada membunuh orang dalam bulan suci atau bukan dalam bulan suci. Orang-orang musyrik dan Quraisy yang telah menyalahkan kaum Muslimin karena mereka melakukan perang dalam bulan suci mereka akan selalu memerangi umat Islam supaya berpaling dari agamanya bila mereka sanggup. Apabila pihak Quraisy dan orang-orang musyrik itu semua melakukan pelanggaran-pelanggaran ini, menghalangi orang dari jalan Allah dan mengingkari-Nya, apabila mereka ternyata mengusir orang dari Mesjid Suci, memperdayakan orang dari agamanya, maka jangan disalahkan orang yang menjadi korban penindasan dan pelanggaran itu bila ia juga memerangi mereka dalam bulan suci. Tetapi bagi orang yang tidak mengalami beban penderitaan ini, melakukan perang dalam bulan suci memang suatu pelanggaran.
Quran dan Perang
Fitnah itu lebih besar dari pembunuhan. Memang benar. Bahkan barangsiapa melihat orang lain mencoba membujuk atau memfitnah orang dari agamanya atau menghalangi dari jalan Allah ia harus berjuang demy Allah melawan fitnah itu sampai agama dapat diselamatkan. Di Sinilah kalangan Orientalis dan misi-misi penginjil itu mengangkat suara keras, keras: Lihatlah tuan-tuan! Muhammad dan agamanya itu menganjurkan orang berperang dan berjuang demi Allah (aljihad fi sabilillah) atay memaksa orang masuk Islam dengan pedang. Bukankah ini yang hamanya fanatik? Sedang agama Kristen tidak mengenal adanya pepe, tangan dan membenci perang. Sebaliknya malah menganjurkan toleransi memperkuat tali persaudaraan antara sesama manusia, untuk Tuhan dan untuk Jesus.
Sebenarnya saya tidak ingin berdebat dengan mereka, kalau Saya mengutip sebuah kalimat saja dalam Injil: “Bukannya Aku datang membawa keamanan, melainkan pedang……….” dan seterusnya juga tidak tentang arti yang terkandung dalam kalimat tersebut. Umat Islam mengakui agama Isa itu seperti sudah disebutkan dalam Quran. Tetapi yang terutama perlu saya sampaikan ialah menjawab kata-kata mereka: Muhammad dan agamanya menganjurkan perang dan memaksa Orang masuk Islam dengan pedang. Ini adalah suatu kebohongan yang ditolak oleh Quran:
“Tak ada pemaksaan dalam agama. Sudah jelas mana jalan yang benar, mana yang salah.”’
“Berjuanglah kamu demi Allah melawan mereka yang memerangi kamu. Tetapi janganlah kamu melakukan pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran.”
Dan masih banyak ayat-ayat lain selain dari kedua ayat suci tersebut.
Berjuang untuk Allah
Dalam arti yang sebenarnya, berjuang demi Allah, ialah seperti disebutkan dalam ayat-ayat yang kita kutip tadi dan yang turun sehubungan dengan pasukan Abdullah b. Jahsy, yaitu memerangi mereka yang membuat fitnah dan membujuk si Muslim dari agamanya atau mengalanginya dari jalan Allah. Perang dalam arti untuk kebebasan berdakwah agama. Atau dengan kata lain menurut bahasa sekarang: Mempertahankan idea dengan senjata yang dipergunakan oleh pihak yang memerangi idea itu. Apabila ada seseorang yang hendak membujuk orang lain dengan jalan propaganda dan logika tanpa memaksanya dengan atau tanpa kekerasan melalui cara-cara suap-menyuap atau penyiksaan dengan maksud supaya orang itu meninggalkan ideanya — maka sudah tentu ia akan menghadapi orang itu dengan jalan menggugurkan argumen dan logikanya tadi.
Manusia dan Akidahnya
Tetapi, apabila dalam usahanya menghadapi orang dan ideanya itu, ia menggunakan kekerasan senjata maka kekerasan senjata itu pun harus dilawan dengan kekerasan senjata pula, bila memang mampu ia berbuat begitu. Tidak lain sebabnya ialah, karena harga diri manusia itu tersimpul hanya dalam sepatah kata saja, yaitu: akidahnya. Akidah itu lebih berharga — bagi orang yang mengenal arti kemanusiaan -daripada harta, daripada kekayaan, kekuasaan dan daripada hidupnya sendiri, hidup materi yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan hewan, sama-sama makan dan minum, mengalami pertumbuhan tubuh dan enersi. Akidah adalah suatu komunikasi moral antara manusia dengan manusia, dan komunikasi rohani antara manusia dengan Tuhan. Nasib inilah yang telah memberikan kelebihan kepada manusia di atas makhluk lain dalam hidup ini, yang membuat dia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. ia mengutamakan orang yang hidup sengsara, hidup miskin dan tidak punya, daripada keluarganya sendiri, meskipun keluarganya itu sedang dalam kekurangan. Ia mengadakan komunikasi dengan alam semesta supaya bekerja secara tekun, supaya dapat mengantarkannya kepada kesempurnaan hidup seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya.
Apabila akidah yang semacam ini yang ada pada manusia, lalu ada orang lain yang mau membuat fitnah, mau menceraikannya, sedang dia tak dapat membela diri, ia harus berbuat seperti dilakukan orang-orang Islam dulu sebelum mereka hijrah ke Medinah. Dideritanya segala perbuatan kejam dan serba kekerasan itu, dihadapinya segala penghinaan dan ketidakadilan, dengan hati yang tabah. Rasa lapar dan serba kekurangan yang bagaimanapun juga tidak sampai menghalangi semangatnya berperang terus pada akidahnya.
Inilah yang telah dilakukan oleh orang-orang Islam dahulu, dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen dahulu.
Akan tetapi mereka yang tabah mempertahankan akidah itu bukanlah orang-orang kebanyakan. Mereka terdiri dari manusia-manusia terpilih, yang telah diberi kekuatan iman oleh Tuhan, sehingga karenanya akan terasa kecil segala siksaan dan kekejaman yang dialaminya, sehingga dapat ia meratakan gunung-gunung, dan apa yang dikatakannya kepada gunung Supaya pindah dari tempatnya, gunung itu akan pindah – seperti kata Injil juga. Tetapi jika orang menangkis fitnah dengan senjata yang dipakai membuat fitnah itu dan dapat menolak pihak yang akan menghalanginya dari jalan Allah dengan cara yang dipakainya itu pula, maka orang itu harus melakukannya. Kalau tidak ini berarti, akidahnya masih goyah, imannya pun masih lemah.
Inikah yang telah dilakukan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, Setelah keadaannya di Medinah mulai stabil. Dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen setelah kekuasaan mereka di Rumawi dan Rumawi Timur mulai stabil, dan sesudah hati maharaja-maharaja, Rumawi itu mulai pula lunak terhadap agama Kristen.
Agama Kristen dan Perang
Misi-misi penginjil itu berkata: Tetapi jiwa Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari peperangan. Di sini saya tidak bermaksud membahas benar tidaknya kata-kata itu. Akan tetapi di hadapan kita sejarah Kristen adalah saksi yang jujur, juga di hadapan kita sejarah Islam adalah saksi yang jujur pula. Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa kita sekarang ini seluruh penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama Almasih. Telah dilumuri oleh Rumawi, dilumuri oleh bangsa-bangsa Eropa semua. Perang-perang Salib terjadi karena dikobarkan oleh orang, orang Kristen, bukan oleh orang Islam. Mengalirnya pasukan-pasukan tentara sejak ratusan tahun dari Eropa menuju daerah-daerah Islam dj Timur, adalah atas nama Salib: peperangan, pembunuhan, pertumpahan darah. Dan setiap kali, paus-paus sebagai pengganti Jesus, memberi berkah dan restu kepada pasukan-pasukan tentara itu, yang bergerak maju hendak menguasai Bait’I-Magdis (Yerusalem) dan tempat-tempat suci Kristen lainnya.
Adakah barangkali paus-paus itu semua orang-orang yang sudah menyimpang dari agamanya (heretik) ataukah kekristenan mereka itu yang palsu? Ataukah juga karena mereka itu pembual-pembual yang bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen secara mutlak menjauhkan diri dari perang? Atau akan berkata: Itu adalah Abad Pertengahan, abad kegelapan: janganlah agama Kristen juga yang diprotes. Kalau itu juga yang kadang mereka katakan, maka abad kedua puluh ini, masa kita hidup sekarang ini pun, yang biasa disebut abad kemajuan dan humanisma – toh dunia juga telah mengalami nasib seperti yang dialami oleh Abad-abad Pertengahan yang gelap itu. Sebagai wakil Sekutu — Inggris, Prancis, Itali, Rumania dan Amerika — Lord Allenby berkata di Yerusalem, pada penutup Perang Dunia Pertama, ketika kota itu didudukinya dalam tahun 1918: Sekarang Perang Salib sudah selesai.”
Orang-orang Suci dalam Islam dan Kristen
apabila di kalangan orang-orang Kristen ada orang-orang suci yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti persaudaraan insani mereka telah mencapai puncaknya, bahkan persaudaraannya dengam unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada orang-orang suci, yang jiwanya sudah begitu luhur. Mereka mengadakan kan komunikasi dalam arti persaudaraan, kasih-sayang dan emanasi dengan alam semesta ini, dengan jiwa yang sudah sarat oleh pengertian kesatuan wujud. Tetapi orang-orang suci itu — baik dari kalangan Kristen atau Islam — kalaupun mereka sudah mencerminkan Cita-cita yang luhur, pamun mereka tidak menerjemahkan kehidupan insani dalam perkempangannya yang terus-menerus serta dalam perjuangannya mencapai kesempurnaan, yakni kesempurnaan yang hendak kita coba mencerminkannya. Lalu pikiran kita terhenti, imajinasi kita terhenti, tanpa dapat kit3 pahami seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan itu kita sudah cukup mengambil risiko sebagai pendahuluan usaha kita ke arah itu.
Dan kini sudah lampau masa seribu tiga ratus lima puluh tujuh tahur sejak hijrahnya Nabi dari Mekah ke Yathrib itu. Tetapi meskipun begitu dalam berbagai zaman manusia makin hebat juga berlomba-lomba melakukan perang, membuat senjata-senjata jahanam dan fatal. Kata-kata mencegah perang, penghapusan persenjataan dan menunjuk badan arbitrasi, tidak lebih dari kata-kata yang biasa diucapkan pada setiap selesai perang, waktu bangsa-bangsa sedang mengalami kehancuran. Atau ini hanya serangkaian propaganda yang dilontarkan ke tengah-tengah kehidupan oleh orang-orang yang sampai sekarang belum mampu — dan siapa tahu barangkali takkan pernah mampu — mewujudkan hal ini, mewujudkan perdamaian yang sebenarnya, perdamaian dengan rasa persaudaraan dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian bersenjata, sebagai lambang perang yang akan mengantarkan kita kepada kehancuran.
Islam Agama Kodrat
Islam bukan agama ilusi dan khayal, juga bukan agama yang terbatas mengajak individu saja mencapai kesempurnaan, tapi Islam adalah agama kodrat (fitrat), yang dengan itu seluruh umat manusia, dalam arti individu dan masyarakat, dikodratkan. Ia adalah agama yang didasarkan pada kebenaran, kebebasan dan tata-tertib. Dan oleh karena perang adalah kodrat manusia juga, maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang perang dalam jiwa kita lalu menempatkannya ke dalam batasbatas kemampuan manusia yang maksimal, adalah cara yang mungkin dapat dicapai oleh kodrat manusia itu, dan yang akan melahirkan kelangsungan evolusi hidup umat manusia dalam mencapai kebaikan dan kesempurnaannya.
Koreksi atas konsepsi perang ini yang paling baik ialah hendaknya jangan sampai terjadi perang kecuali untuk membela diri, membela keyakinan dan kebebasan berpikir serta berusaha ke arah itu. Hendaknya rasa harga diri umat manusia secara integral benar-benar dipelihara.
Inilah yang sudah menjadi ketentuan Islam seperti yang Sudah dilihat dan yang akan kita lihat nanti. Ini pulalah yang digariskan Oleh Quran seperti yang sudah dan yang akan kita kemukakan kepada Pembaca mengenai peristiwa-peristiwa serta hubungannya maka Quran itu diturunkan.
Perdagangan Abu Sufyan — Muslimin Berangkat ke Badr – Utusan Abu Sufyan kepada Quraisy – Dendam Quraisy dan Kinana – Perjalanan Tentara Muslimin – Quraisy Berangkat dari Medinah — Anshar — Mengamat-amati Berita – Abu Sufyan Meloloskan Diri – Muslimin Menuju Badr — Cetusan Pertama — Berhadap-hadapan – Doa Muhammad – Kekuatan Moril – Muhammad di Tengah-tengah Gelanggang – Muslimin Tidak Asal Membunuh -Selisih Pendapat tentang Rampasan – Pembagian Merata — Dua Orang Tawanan Terbunuh – Berita Kemenangan di Medinah – Orang-orang Yahudi dan Orang-orang Musyrik di Medinah — Tawanantawanan Badr — Pendapat Abu Bakr dan Umar — Polemik Orientalis — Revolusi terhadap Paganisma — Penyembelihan Saint Bartholomew – Berita di Mekah – Kematian Abu Lahab – Penebusan Para Tawanan – Quraisy Menangisi Mayatnya — Hindun dan Abu Sufyan
SATUAN Abdullah b. Jahsy merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Islam. Ketika itulah Wagid b. Abdullah at-Tamimi melepaskan anak panahnya dan mengenai “Amr bin’I-Hadzrami hingga ia tewas. Ini adalah darah pertama ditumpahkan oleh Muslimin. Karena itu pula ayat yang kita sebutkan tadi turun. Sebagai kelanjutannya maka diundangkan perang terhadap mereka yang mau memfitnah dan mengalihkan kaum Muslimin dari agamanya serta menghalangi mereka dari jalan Allah. Juga satuan ini merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Muslimin terhadap Quraisy, karena dengan ini keduanya dapat berhadapan sama kuat. Sesudah itu kaum Muslimin jadi berpikir lebih sungguh-sungguh lagi dalam membebaskan harta-benda mereka dalam menghadapi Quraisy. Di samping itu pihak Quraisy berusaha menghasut seluruh Jazirah Arab, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya melaku, kan pembunuhan dalam bulan suci. Muhammad pun yakin sudah, bahwa harapan akan dapat bekerja sama dengan jalan persetujuan yang sebaik, baiknya dengan mereka sudah tak ada lagi.
Perdagangan Abu Sufyan
Pada permulaan musim rontok tahun kedua Hijrah, Abu Sufyan berangkat membawa perdagangan yang cukup besar, menuju Syam, Perjalanan dagang inilah yang ingin dicegat oleh orang-orang Islam ketika Nabi s.a.w. dulu pergi ke “Usyaira. Tetapi tatkala mereka sampai kafilah Abu Sufyan sudah lewat dua hari lebih dulu sebelum ia tiba di tempat tersebut. Sekarang kaum Muslimin bertekad menunggu mereka kembali. Sementara Muhammad menantikan mereka kembali dari Syam itu, dikirimnya Talha b. “Ubaidillah dan Sa’id b. Zaid menunggu berita-berita, Mereka berdua berangkat, dan sesampainya di tempat Kasyd al-Juhani di bilangan Haura”, mereka bersembunyi, menunggu hingga kafilah itu lewat. Kemudian cepat-cepat mereka berdua menemui Muhammad guna memberitahukan keadaan mereka.
Muslimin Berangkat ke Badr
Tetapi belum lagi selesai Muhammad menunggu kedatangan kedua utusan itu dari Haura’ beserta kabar tentang kafilah yang akan dibawanya, lebih dulu sudah tersebar berita tentang adanya sebuah rombongan kafilah besar, dan bahwa seluruh penduduk Mekah punya saham di situ. Tak ada penduduk laki-laki atau wanita yang dapat memberikan sahamnya yang tidak ikut serta, sehingga seluruhnya mencapai jumlah 50.000 dinar. Ia kuatir, kalau masih menunggu lagi kafilah itu kembali ke Mekah, mereka akan menghilang seperti ketika berangkat ke Syam dulu. Oleh karena itu. ia segera mengutus kaum Muslimin dengan mengatakan:
“Ini adalah kafilah Quraisy. Berangkatlah kamu ke sana. Mudahmudahan Tuhan memberikan kelebihan kepada kamu.”
Ada orang yang segera menyambutnya dan ada pula yang masih merasa berat-berat. Dan ada lagi orang-orang yang belum Islam ingin bergabung karena mereka hanya ingin mendapatkan harta rampasannya saja. Tetapi Muhammad menolak penggabungan mereka ini sebelum mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Utusan Abu Sufyan kepada Quraisy
Sementara itu Abu Sufyan sudah mengetahui pula akan kepergian Muhammad yang akan mencegat kafilahnya dalam perjalanan ke Syam. Ia kuatir kalau-kalau kaum Muslimin akan mencegatnya bila ia kembali dengan membawa laba perdagangan. Sekarang ia tinggal menunggu berita tentang mereka itu, termasuk Kasyd Juhani yang pernah dikunjungi oleh kedua utusan Muhammad di Jaura’ itu, di antara orang yang ditanyainya. Sekalipun Juhani belum mempercayai berita tersebut, tapi berita tentang Muhammad, kaum Muhajirin dan Anshar sudah sampai juga kepadanya seperti tersebarnya berita itu dulu kepada Muhammad. Ia merasa kuatir juga kalau dari pihak Quraisy pengawalan kafilah hanya terdiri dari tiga puluh atau empat puluh orang saja.
Ketika itulah ia lalu mengupah Dzamdzam b. Amr al-Ghifari supaya cepat-cepat pergi ke Mekah untuk mengerahkan Quraisy menolong harta-benda mereka, juga diberitahukannya, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya sedang mengancam.
Setibanya di Mekah, ketika berada di tengah-tengah sebuah lembah, dipotongnya kedua telinga dan hidung untanya, dibalikkannya pelananya dan dia sendiri berhenti di tempat itu sambil berteriak-teriak memberitahukan, dengan mengenakan baju yang sudah dikoyak-koyak bagian depan dan belakangnya:
“Hai orang-orang Quraisy! Kafilah, kafilah! harta-bendamu di tangan Abu Sufyan telah dicegat oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera menyusul. Perlu pertolongan! Pertolongan!”
Mendengar ini Abu Jahl segera memanggil orang-orang di sekitar Ka’bah. Mereka dikerahkan. Abu Jahl adalah seorang laki-laki berbadan kecil, berwajah keras dengan lidah dan pandangan mata yang tajam. Sebenarnya orang-orang Quraisy itu sudah tidak perlu lagi dikerahkan karena setiap orang sudah punya saham sendiri-sendiri dalam kafilah itu.
Dendam Quraisy dan Kinana
Sungguhpun begitu ada juga penduduk Mekah itu sebagian yang Sudah merasakan adanya kekejaman Quraisy terhadap kaum Muslimin Sehingga menyebabkan mereka terpaksa hijrah ke Abisinia dan kemudian hijrah ke Medinah. Mereka ini masih maju-mundur: akan turut juga berperang mempertahankan harta-benda mereka, atau akan tinggal diam saja dengan harapan kalau-kalau kafilah itu tidak mengalami sesuatu gangguan. Mereka ini masih ingat bahwa dulu antara kabilah Quraisy dan kabilah Kinana ada tuntutan darah yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Apabila mereka ini cepat-cepat menghadapi Muhammad dalam membela kafilah itu, mereka kuatir akan diserbu oleh Banu Bakr (dari Kinana) dari belakang. Alasan demikian ini hampir saja memperkuat pendapat yang ingin tinggal diam saja, kalau tidak lalu datang Malik b Ju’syum (Mudlij), seorang pemuka Banu Kinana.
“Bagi kamu aku adalah jaminan, bahwa Kinana tidak akan melakukan sesuatu di belakang kamu yang akan merugikan kamu sekalian.”
Dengan demikian orang-orang semacam Abu Jahl, “Amir al-Hadzrami serta penganjur-penganjur perang menentang Muhammad dan pengikut. pengikutnya, mendapat dukungan kuat. Tak ada alasan bagi orang yang mampu berperang itu yang akan tinggal di belakang atau akan mengganti. kannya kepada orang lain. Dari pemuka-pemuka Quraisy pun tak ada yang ketinggalan, kecuali Abu Lahab yang diwakili oleh “Ash b. Hisyamb. Mughira. Orang ini punya utang kepadanya (Abu Lahab) sebanyak 4000 dirham yang tak dibayar sehingga ia bangkrut karenanya. Sedang Umayya b. Khalaf sudah bertekad akan tinggal diam. Dia sebagai orang terpan. dang, yang sudah tua sekali usianya, badannya gemuk dan berat.
Ketika itu ia didatangi oleh “Ugba b. Abi Mu’ait dan Abu Jahl ke mesjid. “Ugba membawa perapian dengan kemenyan sedang Abu Jahl membawa tempat celak dan pemalitnya. “Ugba meletakkan tempat api itu di depannya seraya berkata:
“Abu Ali,’ gunakanlah perapian dan kemenyan ini, sebab kau wanita.”
“Pakailah celak ini, Abu Ali, sebab kau perempuan,” kata Abu Jahl.
“Belikan buat aku seekor unta yang terbaik di lembah ini,” jawab Umayya.
Lalu ia pun pergi bersama mereka. Sekarang tiada seorang pun yang mampu bertempur yang masih tinggal di Mekah. Perjalanan Tentera Muslimin
Pada hari kedelapan bulan Ramadan tahun kedua Hijrah, Nabi s.a.w. berangkat dengan sahabat-sahabatnya meninggalkan Medinah. Pimpinan sembahyang diserahkan kepada “Amr b. Umm Maktum, sedang pimpinan Medinah kepada Abu Lubaba dari Rauha’. Dalam perjalanan ini Muslimin didahului oleh dua bendera hitam. Mereka membawa tujuh puluh ekor unta, yang dinaiki dengan cara silih berganti. Setiap dua orang, setiap tiga Orang dan setiap empat orang bergantian naik seekor unta. Dalam hal ini Muhammad juga mendapat bagian sama seperti sahabat-sahabatnya yang lain. Dia, Ali b. Abi Talib dan Marthad b. Marthad al-Ghanawi bergantian naik seekor unta. Abu Bakr, Umar dan Abdur-Rahman b. “Auf bergantian juga dengan seekor unta. Jumlah mereka yang berangkat bersama Muhammad dalam ekspedisi ini terdiri dari tiga ratus lima orang, delapan puluh tiga di antaranya Muhajirin, enam puluh satu orang Aus dan yang selebihnya dari Khazraj.
Karena dikuatirkan Abu Sufyan akan menghilang lagi, cepat-cepat mereka berangkat sambil terus berusaha mengikuti berita-berita tentang orang ini di mana saja mereka berada. Tatkala sampai di “Irgz-Zubya mereka bertemu dengan seorang orang Arab gunung yang ketika ditanyai tentang rombongan itu, ternyata ia tidak mendapat berita apa-apa. Mereka meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah wadi bernama Dhafiran, di tempat itu mereka turun. Di tempat inilah mereka mendapat berita, bahwa pihak Quraisy sudah berangkat dari Mekah, akan melindungi kafilah mereka.
Quraisy Berangkat dari Medinah
Ketika itu suasananya sudah berubah. Kini kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar bukan lagi berhadapan dengan Abu Sufyan dengan kafilahnya serta tiga puluh atau empat puluh orang rombongannya itu saja, yang takkan dapat melawan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, melainkan Mekah dengan seluruh isinya sekarang keluar dipimpin oleh pemuka-pemuka mereka sendiri guna membela perdagangan mereka itu.
Andaikata pihak Muslimin sudah dapat mengejar Abu Sufyan, dan beberapa orang dari rombongan itu sudah dapat ditawan, unta beserta muatannya sudah dapat dikuasai, pihak Quraisy pun tentu akan segera pula dapat menyusul mereka. Soalnya karena terdorong oleh rasa cintanya kepada harta dan ingin mempertahankannya. Mereka merasa sudah didukung oleh sejumlah orang dengan perlengkapan yang cukup besar. Mereka bertekad akan bertempur dan mengambil kembali harta mereka, atau bersedia mati untuk itu.
Tetapi sebaliknya, apabila Muhammad kembali ke tempat semula, pihak Quraisy dan Yahudi Medinah tentu merasa mendapat angin. Dia sendiri terpaksa akan berada dalam situasi yang serba dibuat-buat, Sahabat-sahabatnya pun terpaksa akan memikul segala tekanan dan gangguan Yahudi Medinah, seperti gangguan yang pernah mereka alami dari pihak Quraisy di Mekah dahulu. Ya, apabila ia menyerah kepada Situasi semacam itu, mustahil sekali kebenaran akan dapat ditegakkan dan Tuhan akan memberikan pertolongan dalam menegakkan agama itu.
Sekarang ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy menurut berita yang sudah diterimanya. Abu Bakr dan Umar juga lalu memberikan pendapat Kemudian Migdad b. “Amr tampil mengatakan:
“Rasulullah, teruskanlah apa yang sudah ditunjukkan Allah. Kamj akan bersama tuan. Kami tidak akan mengatakan seperti Banu Israil yang berkata kepada Musa: “Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperang. lah. Kami di sini akan tinggal menunggu. Tetapi, pergilah engkau dan Tuhanmu, dan berperanglah, kami bersamamu akan juga turut berjuang.”
Semua orang diam.
“Berikan pendapat kamu sekalian kepadaku,” kata Rasul lagi. Kata. kata ini sebenarnya ditujukan kepada pihak Anshar yang telah menyatakan Ikrar “Agaba, bahwa mereka akan melindunginya seperti terhadap sanak keluarganya sendiri, tapi mereka tidak mengadakan ikrar itu untuk mengadakan serangan keluar Medinah.
Anshar
Tatkala pihak Anshar merasa bahwa memang mereka yang dimaksud, maka Sa’d b. Mu’adh yang memegang pimpinan mereka menoleh kepada Muhammad.
“Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami,” katanya.
“Ya,” jawab Rasul.
“Kami telah percaya kepada Rasul dan membenarkan,” kata Sa’d pula. “Kami pun telah menyaksikan bahwa apa yang kaubawa itu adalah benar. Kami telah memberikan janji kami dan jaminan kami, bahwa kami akan tetap taat setia. Laksanakanlah kehendakmu, kami di sampingmu. Demi yang telah mengutus kamu, sekiranya kaubentangkan lautan di hadapan kami, lalu kau terjun menyeberanginya, kami pun akan terjun bersamamu, dan tak seorang pun dari kami akan tinggal di belakang. Kami takkan segan-segan menghadapi musuh kita besok. Kami cukup tabah dalam perang, cukup setia bertempur. Semoga Tuhan membuktikan segalanya dari kami yang akan menyenangkan hatimu. Ajaklah kami bersama, dengan berkah Tuhan.”
Begitu Sa’d selesai bicara, wajah Muhammad tampak berseri. Tampaknya ia puas sekali, seraya katanya:
“Berangkatlah, dan gembirakan! Allah sudah menjanjikan kepadaku atas Salah satunya dari dua kelompok itu. Seolah kini kehancuran mereka itu tampak di hadapanku.”
Mereka pun lalu berangkat semua. Ketika sampai pada suatu tempat dekat Badr, Muhammad pergi lagi dengan untanya sendiri. Ia menemui seorang orang Arab tua. Kepada orang ini ia menanyakan Quraisy dan menanyakan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, yang kemudian daripadanya diketahui, bahwa kafilah Quraisy berada tidak jauh dari tempat itu.
Mengamat-amati Berita
Lalu kembali lagi ia ke tempat sahabat-sahabatnya. Ali b. Abi Talib, Zubair bin’I-Awwam, Sa’d b. Abi Waggash serta beberapa orang sahabat lainnya segera ditugaskan mengumpulkan berita-berita dari sebuah tempat di Badr. Kurir ini segera kembali dengan membawa dua orang anak. Dari kedua orang ini Muhammad mengetahui, bahwa pihak Quraisy kini berada di balik bukit pasir di tepi ujung Wadi.? Ketika mereka menjawab, bahwa mereka tidak mengetahui berapa jumlah pihak Quraisy, ditanya lagi oleh Muhammad:
“Berapa ekor ternak yang mereka potong tiap hari?”
“Kadang sehari sembilan, kadang sehari sepuluh ekor,” jawab mereka.
Dengan demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka terdiri dari antara 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua anak itu dapat diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy ikut serta memperkuat diri.
Lalu katanya kepada sahabat-sahabatnya:
“Lihat. Sekarang Mekah sudah menghadapkan semua bunga bangsanya kepada kita.”
Mau tidak mau, sekarang ia dan sahabat-sahabatnya harus ber. hadapan dengan suatu golongan yang jumlahnya tiga kali jauh lebih besar. Mereka harus mengerahkan seluruh semangat, harus mengadakan per. siapan mental menghadapi kekerasan itu. Mereka harus siap menungpy suatu pertempuran sengit dan dahsyat, yang takkan dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat memenuhi kalbu, iman dan kepercayaan akan adanya kemenangan itu.
Bilamana Ali sudah kembali dengan kedua orang anak yang membawa berita tentang Quraisy itu, dua orang Muslimin lainnya lalu berangkat lapi menuju lembah Badr. Mereka berhenti di atas sebuah bukit tidak jauh dari tempat air, dikeluarkannya tempat persediaan airnya, dan di sini mereka mengisi air itu.
Sementara mereka berada di tempat air, terdengar ada suara seorang budak perempuan, yang agaknya sedang menagih utang kepada seorang wanita lainnya, yang lalu dijawab:
“Kafilah dagang besok atau lusa akan datang. Pekerjaan akan kuselesaikan dengan mereka dan utang segera akan kubayar …….. ”
Kedua laki-laki itu kembali. Disampaikannya apa yang telah mereka dengar itu kepada Muhammad.
Abu Sufyan Meloloskan Diri
Tetapi, dalam pada itu Abu Sufyan sudah mendahului kafilahnya mencari-cari berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah lebih dulu ada di jalan itu. Sesampainya di tempat air ia bertemu dengan Majdi b. “Amr.
“Ada kau melihat orang tadi?” tanyanya.
Majdi menjawab bahwa ia ada melihat dua orang berhenti di bukit itu sambil ia menunjuk ke tempat dua orang laki-laki Muslim itu tadi berhenti. Abu Sufyan pun pergi mendatangi tempat perhentian tersebut. Dilihatnya ada kotoran dua ekor unta dan setelah diperiksanya, diketahuinya, bahwa biji kotoran itu berasal dari makanan ternak Yathrib.
Cepat-cepat ia kembali menemui teman-temannya dan membatalkan perjalanannya melalui jalan semula. Dengan tergesa-gesa sekali sekarang ia memutar haluan melalui jalan pantai laut. Jaraknya dengan Muhammad sudah jauh, dan dia dapat meloloskan diri.
Hingga keesokan harinya kaum Muslimin masih menantikan kafilah itu akan lewat. Tetapi setelah ada berita-berita bahwa ia sudah lolos dan yang masih ada di dekat mereka sekarang adalah angkatan perang Quraisy, beberapa orang yang tadinya mempunyai harapan penuh akan beroleh harta rampasan, terbalik menjadi layu. Beberapa orang bertukar pikiran dengan Nabi dengan maksud supaya kembali saja ke Medinah, tidak perlu berhadapan dengan mereka yang datang dari Mekah hendak berperang. Ketika itu datang firman Tuhan:
“Ingat! Tuhan menjanjikan kamu salah satu dari dua kelompok (musuh) itu untuk kamu. Sedang kamu menginginkan, bahwa yang tidak bersenjata itulah yang untuk kamu. Tetapi Allah mau membuktikan kebenaran itu sesuai dengan ayat-ayat-Nya, dan akan merabut akar orangorang yang tak beriman itu.”
Mungkinkah Perang Akan Terjadi
Pada pihak Quraisy juga begitu. Perlu apa mereka berperang, perdagangan mereka sudah selamat? Bukankah lebih baik mereka kembali ke tempat semula, dan membiarkan pihak Islam kembali ke tempat mereka. Abu Sufyan juga berpikir begitu. Itu sebabnya ia mengirim utusan kepada Quraisy mengatakan: Kamu telah berangkat guna menjaga kafilah dagang. Orang-orang serta harta-benda kita. Sekarang kita sudah diselamatkan Tuhan. Kembalilah. Tidak sedikit dari pihak Quraisy sendiri yang juga mendukung pendapat ini.
Tetapi Abu Jahl ketika mendengar kata-kata ini, tiba-tiba berteriak:
“Kita tidak akan kembali sebelum kita sampai di Badr. Kita akan tinggal tiga malam di tempat itu. Kita memotong ternak, kita makan-makan, minumminum khamar, kita minta biduanita-biduanita bernyanyi. Biar orang-orang Arab itu mendengar dan mengetahui perjalanan dan persiapan kita. Biar mereka tidak lagi mau menakut-nakuti kita.”
Soalnya pada waktu itu Badr merupakan tempat pesta tahunan. Apabila pihak Quraisy menarik diri dari tempat itu setelah perdagangan mereka selamat, bisa jadi akan ditafsirkan oleh orang-orang Arab — menurut pendapat Abu Jahl — bahwa mereka takut kepada Muhammad dan teman-temannya. Dan ini berarti kekuasaan Muhammad akan makin terasa, ajarannya akan makin tersebar, makin kuat. Apalagi sesudah adanya satuan Abdullah b. Jahsy, terbunuhnya Ibn’I-Hadzrami, dirampasnya dan ditawannya orang-orang Quraisy.
Mereka jadi ragu-ragu: antara mau ikut Abu Jahl karena takut dituduh pengecut, atau kembali saja setelah kafilah perdagangan mereka selamat. Tetapi yang ternyata kemudian kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka mau mendengarkan saran Akhnas b. Syarig, orang yang cukup ditaati mereka.
Pihak Quraisy yang lain ikut Abu Jahl. Mereka berangkat MENUju ke Sebuah tempat perhentian, di tempat ini mereka mengadakan Persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan. Lalu mereka berangkat lap: ke tepi ujung wadi, berlindung di balik sebuah bukit pasir.
Muslimin Menuju Badr
Sebaliknya pihak Muslimin, yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan, sudah sepakat akan bertahan terhadap musuh bila kelak diserang. Oleh karena itu mereka pun segera berangkar ke tempat mata air di Badr itu, dan perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun. Setelah mereka sudah mendekati mata air, Muhammad berhenti. Ada seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:
“Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju atau mundur setapak pun dari tempat ini. Ataukah ini sekadar pendapat tuan sendiri, suatu taktik perang belaka?”
“Sekadar pendapat dan sebagai taktik perang,” jawab Muhammad.
“Rasulullah,” katanya lagi. “Kalau begitu, tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka, lalu sumur-sumur kering yang di belakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak.”
Melihat saran Hubab yang begitu tepat itu, Muhammad dan rombongannya segera pula bersiap-siap dan mengikuti pendapat temannya itu, sambil mengatakan kepada sahabat-sahabatnya, bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan bahwa sesuatu pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia tidak akan menggunakan pendapat sendiri di luar mereka. Dia perlu sekali mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka sendiri.
Selesai kolam itu dibuat, Sa’d b. Mu’adh mengusulkan:
“Rasulullah,” katanya, “kami akan membuatkan sebuah dangau buat tempat tuan tinggal, kendaraan tuan kami sediakan. Kemudian biarlah kami yang menghadapi musuh. Kalau Tuhan memberi kemenangan kepada kita atas musuh kita, itulah yang kita harapkan. Tetapi kalaupun sebaliknya yang terjadi, dengan kendaraan itu tuan dapat menyusul teman-teman yang ada di belakang kita… Rasulullah”, masih banyak sahabat-sahabat kita yang tinggal di belakang, dan cinta mereka kepada tuan tidak kurang dari cinta kami ini kepada tuan. Sekiranya mereka dapat menduga bahwa tuan akan dihadapakan pada perang, niscaya mereka tidak akan berpisah dari tuan. Dengan mereka Tuhan menjaga tuan. Mereka benar-benar ikhlas kepada tuan, berjuang bersama tuan.”
Muhammad sangat menghargai dan menerima baik saran Sa’d itu. Sebuah dangau buat Nabi lalu dibangun. Jadibila nanti kemenangan bukan ditangan Muslimin, ia takkan jatuh ke tangan musuh, dan masih akan dapat bergabung dengan sahabat-sahabatnya di Yathrib.
Di sini orang perlu berhenti sejenak dengan penuh kekaguman, kagum melihat kesetiaan Muslimin yang begitu dalam, rasa kecintaan mereka yang begitu besar kepada Muhammad, serta dengan kepercayaan penuh kepada ajarannya. Semua mereka mengetahui, bahwa kekuatan Quraisy jauh lebih besar dari kekuatan mereka, jumlahnya tiga kali lipat banyaknya. Tetapi, sungguhpun begitu, mereka sanggup menghadapi. mereka sanggup melawan. Dan mereka inilah yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan. Tetapi sungguhpun begitu karena bukan pengaruh materi itu yang mendorong mereka bertempur, mereka selalu siap di samping Nabi, memberikan dukungan, memberikan kekuatan. Dan mereka inilah yang juga sangsi, antara harapan akan menang, dan kecemasan akan kalah. Tetapi, sungguhpun begitu, pikiran mereka selalu hendak melindungi Nabi, hendak menyelamatkannya dari tangan musuh. Mereka menyiapkan jalan baginya untuk menghubungi orang-orang yang masih tinggal di Medinah. Suasana yang bagaimana lagi yang lebih patut dikagumi daripada ini? Iman mana lagi yang lebih menjamin akan memberikan kemenangan seperti iman yang ada ini?
Sekarang pihak Quraisy sudah turun ke medan perang. – Mereka mengutus orang yang akan memberikan laporan tentang keadaan kaum Muslimin: Mereka lalu mengetahui, bahwa jumlah kaum Muslimin lebih kurang tiga ratus orang, tanpa pasukan pengintai, tanpa bala bantuan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka sendiri. Tiada seorang dari mereka akan rela mati terbunuh, sebelum dapat membunuh lawan.
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy telah juga ikut serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan ahli pikir mereka merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu yang akan terbunuh sehingga Mekah sendiri nanti akan kehilangan arti. Sungguhpun begitu mereka masih takut kepada Abu Jahl yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut dan penakut. Tetapi tiba-tiba tampil “Utba b. Rabi’a ke hadapan mereka itu sambil berkata:
“Saudara-saudara kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan hendak memerangi Muhammad dan kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada gunanya. Kalau dia sampai binasa karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan sendiri yang akan melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah saudara sepupunya, dari pihak bapa atau pihak ibu, atau siapa saja dari keluarganya. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan teman-temannya itu. Kalau dia binasa karena pihak lain, maka itu yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi kalau bukan itu yang terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak kita inginkan.”
Mendengar kata-kata “Utba itu, Abu Jahl naik darah. Ia segera memanggil “Amir bin’l-Hadzrami dengan mengatakan:
“Sekutumu ini ingin supaya orang pulang. Kau sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang harus dituntut balas. Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu!”!
“Amir segera bangkit dan berteriak:
Cetusan Pertama
“O saudaraku! Tak ada jalan lain mesti perang!”
Dengan dipercepatnya pertempuran itu Aswad b. “Abd’l-Asad (Makhzum) ke luar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke tengahtengah barisan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah b. AbdiMuttalib segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia tersungkur dengan kaki yang sudah berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya berdiri menyaksikan.
Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah “Utba b. Rabi’a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid b. “Utba anaknya, sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu disambut oleh pemudapemuda dari Medinah. Tetapi setelah melihat mereka ini ia berkata lagi:
“Kami tidak memerlukan kamu. Yang kami maksudkan ialah golongan kami.”
Lalu dari mereka ada yang memanggil-manggil:
“Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari asal golongan kami itu tampil!”
Berhadap-hadapan
Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah b. Abd’l-Muttalib, Ali b. Abi Talib dan “Ubaida bin’I-Harith. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid, mereka itu ditewaskan. Lalu keduanya segera membantu “Ubaida yang kini sedang diterkam oleh “Utba. Sesudah Quraisy sekarang melihat kenyataan ini mereka semua maju menyerbu.
Pada pagi Jum’at 17 Ramadan itulah kedua pasukan itu berhadaphadapan muka.
Sekarang Muhammad sendiri yang tampil memimpin Muslimin, mengatur barisan. Tetapi ketika dilihatnya pasukan Quraisy begitu besar, sedang anak buahnya sedikit sekali, di samping perlengkapan yang sangat lemah dibanding dengan perlengkapan Quraisy, ia kembali ke pondoknya ditemani oleh Abu Bakr. Sungguh cemas ia akan peristiwa yang akan terjadi hari itu, sungguh pilu hatinya melihat nasib yang akan menimpa Islam sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan.
Doa Muhammad
Muhammad kini menghadapkan wajahnya ke kiblat, dengan seluruh jiwanya ia menghadapkan diri kepada Tuhan,-ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan kepadanya, ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar Tuhan memberikan pertolongan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam permohonan, sambil berkata:
“Allahumma ya Allah. Ini Quraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini Sekarang binasa tidak lagi ada ibadat kepada-Mu.”
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil meren, tangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh. Ketika itu Aby Bakr lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahunya, sambil ia bermohon:
“Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”
Tetapi sungguhpun begitu, Muhammad makin dalam terbawa dalam doa, dalam tawajuh kepada Allah, dengan penuh khusyu’ dan kesung, guhan hati ia terus memanjatkan doa, memohonkan inayat dan per, tolongan Tuhan dalam menghadapi peristiwa, yang oleh kaum Muslimin samasekali tidak diharapkan, dan untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Karena yang demikian inilah akhirnya ia sampai terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam pada itu tampak olehnya pertolongan Tuhan itu ada. ia sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.
Sekarang ia keluar menemui sahabat-sahabatnya: dikerahkannya mereka sambil berkata:
“Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad.’ Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”
Jiwanya yang begitu kuat, yang telah diberikan Tuhan begitu tinggi melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Dan kekuatan mereka itu sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga setiap seorang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama dengan sepuluh orang.
Kekuatan Moral
Akan lebih mudah orang memahami ini bila diingat arti kekuatan moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa seseorang, dan ini akan bertambah besar pengaruhnya apabila kekuatan moril ini ada pula dasarnya. Semangat nasionalisma juga dapat menambah ini. Seorang prajurit yang mempertahankan tanah air yang terancam bahaya, jiwanya
nuh dengan semangat patriotisma, akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan besar cintanya kepada tanah air serta kekuatirannya akar bahaya yang mengancam tanah air itu dari pihak musuh.
Oleh karena itu semangat patriotisma dan pengorbanan untuk tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditanamkan kepada warga negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya kepercayaan kepada kebenaran, kepada keadilan, kebebasan serta arti kemanusiaan yang tinggi menambah pula kekuatan moril dalam jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi. Dan orang yang masih ingat akan propaganda antiJerman yang begitu luas disebarkan pihak Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada dasarnya mereka berperang melawan kekuatan senjata Jerman itu karena hendak membela kebebasan dan kebenaran serta mempersiapkan suatu perjanjian perdamaian, akan menyadari betapa sesungguhnya propaganda itu dapat melipat-gandakan kekuatan semangat prajuritprajurit Sekutu di samping menimbulkan simpati sebagian besar bangsabangsa di dunia.
Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian, dibandingkan dengan tujuan yang diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi manusia dengan seluruh wujud, suatu komunikasi yang akan meleburkannya dan keluar menjadi salah satu kekuatan alam semesta, yang akan memberi arah kepadanya menuju kebaikan hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.
Ya! Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian di samping kewajibannya di sisi Tuhan, membela orang-orang yang beriman dari renggutan mereka yang hendak membuat fitnah dan godaan, dari mereka yang mengalangi jalan kebenaran, mereka yang hendak menjerumuskan umat manusia ke jurang paganisma dan syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah air jiwa itu makin kuat, sesuai dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan dengan rasa cinta perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa itu pun makin kuat, sesuai dengan kekuatan semua umat manusia yang ada, maka betapa pula dahsyatnya kekuatan jiwa yang dibawa oleh adanya iman kepada semesta wujud dan Pencipta seluruh wujud ini! Iman itulah yang akan membuat tenaga manusia mampu memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia dapat mengawasi — dengan kemampuan morilnya — segala yang masih berada di bawah taraf itu. Dan kemampuan moril ini akan berlipat ganda pula kekuatannya.
Apabila secara integral kemampuan moril ini belum lagi mencapai lujuannya disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di kalangan Muslimin sebelum terjadi perang, belum dicapainya kekuatan materi Sebagaimana yang diharapkan, maka dengan daya iman itu justru ia pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini Sekarang binasa tidak lagi ada ibadat kepada-Mu.”
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil meren. tangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh. Ketika itu Aby Bakr lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahunya, sambil ia bermohon:
“Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”
Tetapi sungguhpun begitu, Muhammad makin dalam terbawa dalam doa, dalam tawajuh kepada Allah, dengan penuh khusyu’ dan kesung, guhan hati ia terus memanjatkan dga, memohonkan inayat dan per. tolongan Tuhan dalam menghadapi peristiwa, yang oleh kaum Muslimin samasekali tidak diharapkan, dan untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Karena yang demikian inilah akhirnya ia sampai terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam pada itu tampak olehnya pertolongan Tuhan itu ada. Ia sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.
Sekarang ia keluar menemui sahabat-sahabatnya, dikerahkannya mereka sambil berkata:
“Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad.’ Setiap orang yang Sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”
Jiwanya yang begitu kuat, yang telah diberikan Tuhan begitu tinggi melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Dan kekuatan mereka itu sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga setiap seorang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama dengan sepuluh orang. Kekuatan Moral
Akan lebih mudah orang memahami ini bila diingat arti kekuatan moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa seseorang, dan ini akan bertambah besar pengaruhnya apabila kekuatan moril ini ada pula dasarnya. Semangat nasionalisma juga dapat menambah ini. Seorang prajurit yang mempertahankan tanah air yang terancam bahaya, jiwanya penuh dengan semangat patriotisma, akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan besar cintanya kepada tanah air serta kekuatirannya akan bahaya yang mengancam tanah air itu dari pihak musuh.
Oleh karena itu semangat patriotisma dan pengorbanan untuk tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditanamkan kepada warga negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya kepercayaan kepada kebenaran, kepada keadilan, kebebasan serta arti kemanusiaan yang tinggi menambah pula kekuatan moril dalam jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi. Dan orang yang masih ingat akan propaganda antiJerman yang begitu luas disebarkan pihak Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada dasarnya mereka berperang melawan kekuatan senjata Jerman itu karena hendak membela kebebasan dan kebenaran serta mempersiapkan suatu perjanjian perdamaian, akan menyadari betapa sesungguhnya propaganda itu dapat melipat-gandakan kekuatan semangat prajuritprajurit Sekutu di samping menimbulkan simpati sebagian besar bangsabangsa di dunia.
Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian, dibandingkan dengan tujuan yang diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi manusia dengan seluruh wujud, suatu komunikasi yang akan meleburkannya dan keluar menjadi salah satu kekuatan alam semesta, yang akan memberi arah kepadanya menuju kebaikan hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.
Ya! Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian di samping kewajibannya di sisi Tuhan, membela orang-orang yang beriman dari renggutan mereka yang hendak membuat fitnah dan godaan, dari mereka yang mengalangi jalan kebenaran, mereka yang hendak menjerumuskan umat manusia ke jurang paganisma dan syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah air jiwa itu makin kuat, sesuai dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan dengan rasa cinta perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa Itu pun makin kuat, sesuai dengan kekuatan semua umat manusia yang ada, maka betapa pula dahsyatnya kekuatan jiwa yang dibawa oleh adanya iman kepada semesta wujud dan Pencipta seluruh wujud ini! Iman itulah yang akan membuat tenaga manusia mampu memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia dapat mengawasi — dengan kemampuan morilnya — segala yang masih berada di bawah taraf itu. Dan kemampuan moril ini akan berlipat ganda pula kekuatannya.
Apabila secara integral kemampuan moril ini belum lagi mencapai tujuannya disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di kalangan Muslimin sebelum terjadi perang, belum dicapainya kekuatan materi sebagaimana yang diharapkan, maka dengan daya iman itu justru ia mempunyai kelebihannya. Hal ini bertambah kuat lagi tatkala Muhammag dan sahabat-sahabatnya dapat mengerahkan mereka. Maka dengan demikian, jumlah manusia dan perlengkapan yang sangat sedikit itu telah mendapat kompensasi. Dalam keadaan Nabi dan sahabat-sahabatnya yang demikian inilah kedua ayat ini turun:
“O Nabi! Bangunkanlah semangat orang-orang beriman itu dalam menghadapi perang. Bila kamu berjumlah dua puluh orang yang tabah, mereka ini akan mengalahkan dua ratus orang. Bila kamu berjumlah seratus orang, niscaya akan mengalahkan seribu orang kafir, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti. Sekarang Tuhan meringankan kamu, karena Ia mengetahui, bahwa pada kamu masih ada kelemahan, Maka, jika kamu berjumlah seratus orang yang tabah, akan dapar mengalahkan dua ratus orang, dan jika kamu seribu orang, akan dapat mengalahkan dua ribu dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang berhati tabah.”
Keadaan Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Muhammad membangkitkan semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh. Ia menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka disiksa di Mekah dulu, dirintangi memasuki Mesjid Suci dan berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya b. Khalaf dan anaknya, begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekah dulu. Umayya ini adalah orang yang pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ke tengah-tengah padang pasir yang paling panas di Mekah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu ditindihkannya batu besar di dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad.? Yang Satu, Yang Satu”.
Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata:
“Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!”
Beberapa orang dari kalangan Muslimin mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan sampai ia terbunuh dan akan dibawanya sebagai tawanan.
Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu berteriak sekeraskerasnya:
“Sekalian tentara Tuhan! Ini Umayya b. Khalaf kepala kafir. Takkan selamat aku kalau ia lolos.”
Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilai tak dapat diredakan lagi, dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu’adh b. “Amr b. Jamuh juga dapat menewaskan Abu Jahl b. Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan pahlawanpahlawan Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.
Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara. Kepala-kepala ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh Quraisy. Berkat iman yang teguh keadaan Muslimin bertambah kuat juga. Dengan gembira mereka berseru: Ahad, Ahad. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan waktu, sebagai bantuan Tuhan kepada mereka dengan para malaikat yang memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh, sehingga bila salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan dengan tenaga Tuhan.
Muhammad di Tengah-tengah Gelanggang
Di tengah-tengah medan pertempuran yang sedang sibuk dikunjungi malaikat maut memunguti leher orang-orang kafir itu, Muhammad berdiri. Diambilnya segenggam pasir, dihadapkannya kepada Quraisy. “Celakalah wajah-wajah mereka itu!” katanya sambil menaburkan pasir itu ke arah mereka. Sahabat-sahabatnya lalu diberi komando:
“Serbu!”
Serentak pihak Muslimin menyerbu ke depan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka bertambah, sehingga kekuatan materi mereka pun bertambah pula. Dalam hal ini firman Allah turun:
“Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Aku bersama kamu’. Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu. Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam hati orang-orang kafir itu. Pukullah bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap ujung jari mereka.”
“Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah Juga yang telah membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu, melainkan Tuhan juga.”
Tatkala Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janji-Nya dan setelah ternyata pula kemenangan berada di pihak orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya. Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri ditawan.
Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang stabil kepada umat Islam di seluruh tanah Arab, dan yang merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan seluruh semenanjung di bawah naungan Islam, juga sebagai suatu pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di dunia, yang sampai sekarang masih dan akan terus mempunyaj pengaruh yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.
Muslimin Tidak Asal Membunuh
Bukan tidak mungkin orang akan merasa kagum sekali bila menge. tahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan sahabat. sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya musuh Tuhan dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh Banu Hasyim dan tidak membunuh orang-orang tertentu dari kalangan pembesar-pembesar Quraisy, sekali. pun pada dasarnya mereka akan membunuh setiap orang dari pihak Islam yang dapat mereka bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia berbuat begitu karena ia mau membela keluarganya atau siapa saja yang punya pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih besar daripada akan terpengaruh oleh hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu yang telah berusaha melindunginya selama tiga belas tahun sejak mula masa kerasulannya hingga masa hijrahnya, sampai-sampai Abbas pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan ikrar “Agaba. Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam pemboikotan, yang oleh Quraisy dia dan sahabatsahabatnya dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua hubungan oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang telah diberikan oleh mereka masing-masing oleh Muhammad dianggap sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh karena itu oleh Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi mereka masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan Quraisy sendiri masih ada yang menolak pemberian pengampunan itu seperti yang dilakukan oleh Abu’l-Bakhtari — salah seorang yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia menolak dan terbunuh.
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang-langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka semua.
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan. Malam harinya Muhammad dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah gelap Muhammad mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Tuhan kepada Muslimin yang dengan jumlah yang begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja. Dalam ia merenungkan hal ini, pada waktu larut malam itu sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
“Wahai penghuni perigi! Wahai ‘Utba b. Rabi’a! Syaiba b. Rabi’a! Umayya b. Khalaf! Wahai Abu Jahl b. Hisyam! …….”
Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang dalam perigi itu satu-satu. “…… Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.”
“Rasulullah kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah bangar?” kata kaum Muslimin kemudian bertanya.
“Apa yang saya lakukan mereka lebih mendengar daripada kamu,” wab Rasul. “Tetapi mereka tidak dapat menjawab.”
Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn
“Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.
“Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai ayahmu, Abu Hudhaifa?” tanyanya.
“Sekali-kali tidak, Rasulullah”, jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, Saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi saya harapkan sekaji ia akan mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang terjadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran, sesudah makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya sedih.”
Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang dia serta mendoa. kan kebaikan baginya.
Selisih Pendapat tentang Rampasan
Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang menuju Medinah, mulailah timbul pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, buat siapa seharusnya. Kata mereka yang melakukan serangan: Kami yang mengumpulkannya, jadi itu buat kami, Lalu kata yang mengejar musuh sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran: kalau tidak karena kami, kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu sekalian tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi musuh dan mengambil harta mereka, ketika tak ada suatu pihak pun yang akan melindungi mereka. Tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah. Oleh karena itu kami lalu menjaganya.
Tetapi kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan semua harta rampasan yang ada di tangan mereka itu, dan dimintanya supaya dibawa agar ia dapat memberikan pendapat atau akan ada ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b. Haritha ke Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedang dia sendiri dengan sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan pimpinannya kepada Abdullah b. Ka’b.
Pembagian Merata
Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi selat Shafra”, pada sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan perang yang sudah ditentukan Allah bagi Muslimin itu dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya, sesuai dengan firman Allah:
“Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk para kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan, kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua golongan itu saling berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa.”
Sebagian besar penulis-penulis sejarah Nabi berpendapat, terutama angkatan lamanya — bahwa ayat tersebut turun sesudah peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang dibagi, dan bahwa Muhammad membaginya secara merata di kalangan Muslimin, dan bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada pada penunggangnya, bagian mereka yang gugur di Badr diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak ikut ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr tapi tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu dibagi secara adil. Yang ikut bersama dalam perang dan mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan yang ikut bersama-sama dalam perang dan mendapat kemenangan itu ialah siapa saja yang ikut bekerja ke arah itu, baik yang di garis depan atau yang jauh dari sana.
Dua Orang Tawanan Terbunuh
Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr bin’IHarith dan yang seorang lagi bernama “Ugba b. Abi Mu’ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad atau sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu dalam menghadapi para tawanan itu yang akan mengharuskan mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan “Ugba ini keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam Muslimin selama di Mekah dulu. Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu mereka.
Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka sampai di Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada Nabi a.s. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian rupa, sehingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang berada di sampingnya:
“Muhammad pasti akan membunuh aku”, katanya. “Ia menatapky dengan pandangan mata yang mengandung maut.”
“Ini hanya karena kau merasa takut saja”, jawab orang yang sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata kepada Mush’ab b. “Umair — orang yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
“Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan membunuh aku.”
“Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Nabi”, kata Mush’ab. “Dulu kau menyiksa sahabat. sahabatnya.”
“Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup”, kata Nadzr lagi.
“Engkau tak dapat dipercaya”, kata Mush’ab. “Dan lagi aku tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus.”
Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Migdad, yang dalam hal ini ia ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dari keluarganya. Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya itu, ia segera berkata:
“Nadzr tawananku”, teriaknya.
“Pukul lehernya”, kata Nabi a.s. “Ya Allah. Semoga Migdad mendapat karunia-Mu.
Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi Talib.
Pada waktu mereka dalam perjalanan ke “Irg’z-Zubya diperintahkan oleh Nabi supaya “Ugba b. Abi Mur’ait juga dibunuh. “Muhammad”, katanya, “siapa yang akan mengurus anak-anak?” “Ap”, jawabnya. Lalu ia pun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh “Ashim b. Thabit, sumbernya berlain-lain. Berita Kemenangan di Medinah Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah, kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih dulu , sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berlainlainan. Dari atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dari pihak musyrik yang terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang Sama sambil ia menunggu Al-Oashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang masih perada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan berangkat menyambut perita kemenangan besar ini.
Orang-orang Yahudi dan Orang-orang musyrik di Medinah
Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi merasa terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha akan meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan orang-orang Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.
“Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya sudah ditaklukkan”, teriak mereka. “Ini untanya seperti sudah sama-sama kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya mengigau saja dia, karena sudah gugup dan ketakutan.”
Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu, sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu terjadi suatu peristiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka itu, yakni peristiwa kematian Rugayya putri Nabi. Tatkala ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan suaminya, Usman b. “Affan, juga ditinggalkan supaya merawatnya.
Apabila kemudian ternyata bahwa Muhammad yang menang, mereka merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah seorang pembesar Yahudi yang mengatakan:
“Bagi kita sekarang lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi ini sesudah kaum bangsawan, pemimpin-pemimpin dan pemukapemuka Arab serta penduduk tanah suci itu mendapat bencana.” Tawanan-tawanan Badr
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam’a istri Nabi baru saja pulang melawati’ orang mati pada kabilah Banu “Afra”, tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b. “Amr, salah seorang tawanan, yang kedua belah tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:
“Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati Sajalah dengan terhormat!”
“Sauda!” Muhammad memanggilnya dari dalam rumah. “Kau mem, bangkitkan semangatnya melawan Allah dan Rasul-Nya!”
“Rasulullah”, katanya. “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan ‘segala kebenaran. Saya sudah tak dapat menahan diri ketika melihat Aby Yazid dengan tangannya terikat di tengkuk, sehingga saya berkata begitu.”
Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada mereka:
“Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.”
Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus dilakukan. nya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka penuh rasa dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi: kalau dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam hati keluarga-keluarga Quraisy, yang bila dapat ditebus barangkali akan jadi tenang.
Pendapat Abu Bakr dan Umar
Ia menyerahkan masalah ini ke tangan sahabat-sahabat kaum Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
“Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr”, kata mereka. “Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia.”
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
“Abu Bakr”, kata mereka. “Di antara kita ada yang masih pernah ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami.”
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka kuatir Umar ibn’I-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Maka mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Kemudian kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya.
“Rasulullah”, katanya. “Demi ayah dan ibuku. Mereka itu masih keluarga kita, ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau saudarasaudara. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat kaum Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka.”
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.
“Rasulullah”, katanya. “Mereka itu musuh-musuh Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan.”
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan kalau para tawanan itu masih hidup, diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau kasihan tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding, apa yang harus dilakukan. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih. ia hanya berkata:
“Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah kamu berakal?”’ Atau seperti katanya:
“Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan Penyayang.”
Contohnya lagi di kalangan para nabi seperti Isa tatkala ia berkata:
“Kalaupun mereka Engkau siksa, mereka itu semua hamba-Mu, dan kalau Engkau ampuni, Engkau Mahakuasa dan Bijaksana.
Sedang Umar, dalam malaikat contohnya seperti Jibril, diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap musuh-musuh. Nya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh tatkala berkata:
“Tuhan, jangan biarkan orang-orang yang ingkar itu punya tempat tinggal di muka bumi ini.”
Atau seperti Musa bila ia berkata:
“O Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan tutuplah hari mereka. Mereka takkan percaya sebelum siksa yang pedih mereka rasakan.”
Kemudian katanya:
“Kamu semua mempunyai tanggungan. Jangan ada yang lolos mereka itu, harus dengan ditebus atau dipenggal lehernya.”
Lalu mereka berunding lagi dengan sesamanya. Di antara mereka itu ada seorang penyair, yaitu Abu “Azza “Amr b. Abdullah b. “Umair alJumahi. Melihat adanya pertentangan pendapat itu cepat-cepat ia mau menyelamatkan diri.
“Muhammad”, katanya. “Saya punya lima anak perempuan dan mereka tidak punya apa-apa. Maka sedekahkan sajalah aku ini kepada mereka. Aku berjanji dan memberikan jaminan, bahwa aku tidak akan memerangi kau lagi, juga samasekali aku tidak akan memaki-maki kau lagi.”
Orang ini mendapat jaminan Nabi dan dibebaskan tanpa membayar uang tebusan. Hanya dialah satu-satunya tawanan yang berhasil mendapat jaminan demikian. Tetapi kemudian ia memungkiri janjinya, dan kembali ia setahun kemudian ikut berperang di Uhud. Ia kena tawan lagi lalu terbunuh.
Pihak Muslimin, sesudah lama berunding akhirnya memutuskan, bahwa mereka dapat mengabulkan cara penebusan itu. Dengan dikabulkannya itu ayat ini turun.
“Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki hartabenda dunia, sedang Allah menghendaki akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana.
Polemik Orientalis
Menanggapi masalah tawanan-tawanan Badr ini serta terbunuhnya Nadzr dan “Ugba ada beberapa orang Orientalis yang masih bertanyatanya: bukankah dengan demikian ini sudah membuktikan bahwa agama baru ini sangat haus darah? Kalau tidak tentu kedua orang. itu tidak akan terbunuh. Bukankah sesudah mendapat kemenangan dalam pertempuran akan lebih terhormat bagi kaum Muslimin jika mengembalikan saja para tawanan itu, dan mereka sudah cukup memperoleh rampasan perang?
Maksudnya dengan pertanyaan ini ialah hendak membangkitkan rasa simpati dalam hati orang yang selama itu belum menjadi masalah, supaya seribu tahun kemudian sesudah perang Badr dan peperangan-peperangan yang terjadi berikutnya akan dijadikan alat untuk mendiskreditkan agama ini serta pembawanya.
Tetapi ternyata pertanyaan semacam ini kemudian jadi gugur sendiri apabila terbunuhnya Nadzr dan “Ugba ini kita bandingkan dengan apa yang terjadi dewasa ini dan akan selalu terjadi, selama peradaban Barat, yang memakai jubah Kristen itu masih tetap menguasai dunia. Terhadap apa yang telah terjadi di negara-negara yang dikuasai oleh penjajah secara paksa atas nama hendak memadamkan pemberontakan itu, dapatkah peristiwa di atas tadi — sedikit saja — dijadikan perbandingan? Dapatkah hal itu — sedikit saja — kita bandingkan dengan penyembelihan yang terjadi dalam Perang Dunia? Selanjutnya, dapatkah peristiwa itu kita bandingkan pula — sedikit saja — dengan apa yang telah terjadi selama Revolusi Prancis, dalam pelbagai revolusi yang pernah terjadi dan akan selalu terjadi pada bangsa-bangsa Eropa lainnya?
Revolusi terhadap Paganisma
Memang sudah tak dapat disangkal bahwa apa yang dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu adalah suatu revolusi yang dahsyat dari Muhammad yang diutus Tuhan, berhadapan dengan paganisma dan orangOrang musyrik sebagai penyembahnya. Suatu revolusi, yang pada mulanya berkecamuk di Mekah, dan yang oleh karenanya, berbagai macan siksaan dan penderitaan dialami oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya selama tiga belas tahun terus-menerus. Kemudian kaum Muslimin pindah ke Medinah. Di tempat ini mereka mengumpulkan tenaga dan kekuatan Sementara itu benih-benih revolusi masih terus tumbuh dalam hat, mereka, juga dalam hati semua orang Quraisy.
Pindahnya Muslimin ke Medinah, perjanjian mereka dengan orang. orang Yahudi setempat, terjadinya bentrokan-bentrokan sebelum peristiwa Badr, lalu Perang Badr itu sendiri – semua itu adalah suatu siasat revolusi, bukan prinsip. Kebijaksanaan yang telah ditentukan oleh pemimpin revolusi dan sahabat-sahabatnya itu akan disusul pula oleh adanya ketentuan prinsip-prinsip yang luhur, yang telah dibawa oleh Rasul. Jadi, siasat revolusi itu lain dan prinsip-prinsip revolusi lain lagi, Juga kondisi yang terjadi berikutnya kadang samasekali berbeda dari tujuan pokok kondisi itu. Dalam hal Islam telah menjadikan rasa persaudaraan sebagai dasar peradaban Islam, maka untuk mencapai sukses jalan itu harus ditempuh, sekalipun untuk itu harus berlaku suatu kekerasan kalau memang sudah tak dapat dihindarkan lagi. Penyembelihan Saint Bartholomew
Tindakan kaum Muslimin terhadap tawanan-tawanan perang Badr adalah suatu teladan yang baik dan penuh kasih-sayang, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam beberapa revolusi yang oleh pencetusnya diagungkan dengan arti keadilan dan kasih-sayang. Dan ini pun merupakan satu bagian saja di samping penyembelihan-penyembelihan yang banyak terjadi atas nama Kristus, seperti penyembelihan Saint Bartholomew (Saint Barthelemy), suatu peristiwa penyembelihan yang dapat dianggap sebagai suatu aib besar dalam sejarah Kristen, yang dalam sejarah Islam contoh semacam itu samasekali tidak pernah ada. Penyembelihan ini diatur pada waktu malam. Orang-orang Katolik di Paris membantai orang-orang Protestan dengan jalan tipu-muslihat dan pengkhianatan, suatu gambaran tipu-muslihat dan pengkhianatan yang sungguh rendah dan kotor.
Jadi kalau dua orang saja dari lima puluh tawanan Badr itu yang dibunuh oleh Muslimin, karena mereka selama tiga belas tahun memang begitu kejam terhadap kaum Muslimin, yang sampai menderita pelbagai
macam siksaan selama di Mekah, itu pun karena adanya sikap kasihan yang berlebih-lebihan dan dianggap sebagai suatu keuntungan yang terlalu pagi seperti disebutkan dalam ayat:
“Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki kekayaan duniawi, sedang Allah menghendaki akhirat. Allah Maha Kuasd dan Bijaksana.”
Berita di Mekah
Sementara orang-orang Islam sedang bersukaria karena dengan anugerah Tuhan mereka mendapat kemenangan berikut harta rampasan, Haisuman b. Abdullah al-Khuza’i secara tergesa-gesa sckali berangkat pula menuju Mekah. Dia menjadi orang yang pertama masuk di Mekah dan memberitahukan penduduk mengenai hancurnya pasukan Quraisy serta bencana yang telah menimpa pembesar-pembesar, pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawan mereka. Pada mulanya Mekah terkejut sekali, dan tidak mempercayai berita itu. Betapa takkan terkejut mendengar berita kehancuran itu serta terbunuhnya pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawan mereka! Tetapi tampaknya Haisuman memang tidak mengigau, diyakinkannya sekali apa yang dikatakannya. Dari pihak Quraisy dia sendiri memang yang merasa paling terpukul dengan bencana itu.
Kematian Abu Lahab
Setelah ternyata berita kejadian tersebut memang benar, seolah-olah mereka tersungkur jatuh pingsan. Abu Lahab jatuh demam, dan tujuh hari kemudian ia pun meninggal. Sekarang orang-orang mengadakan perundingan, apa yang harus mereka lakukan. Kemudian dicapai kata sepakat untuk tidak menyatakan dukacita atas kematian mereka, sebab apabila nanti ini terdengar oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka akan diejek. Juga tidak akan mengirim orang untuk menebus para tawanan itu, supaya jangan sampai Muhammad dan sahabat-sahabatnya nanti memperketat mereka dan meminta tebusan yang terlampau tinggi.
Penebusan Para Tawanan
Hari pun berjalan juga. Orang-orang Quraisy sedang menahan hati mengalami cobaan itu sambil menunggu kesempatan sampai dapat tawanan-tawanan mereka itu nanti tertebus. Hari itu yang datang adalah Mikraz b. Hafz, hendak menebus Suhail b. “Amr. Rupanya Umar bin’I-Khattab keberatan kalau orang itu bebas tanpa mendapat sesuatu gangguan. Maka lalu ia berkata:
“Rasulullah. Izinkan saya mencabut dua gigi seri Suhail b. “Amr ini, supaya lidahnya menjulur keluar dan tidak lagi berpidato mencercamu di mana-mana.”
Tapi ini dijawab oleh Nabi dengan suatu jawaban yang sungguh agung:
“Aku tidak akan memperlakukannya secara kejam, supaya Tuhan tidak memperlakukan aku demikian, sekalipun aku seorang nabi.” Zainab putri Nabi juga lalu mengirimkan tebusan hendak membebas. kan suaminya, Abu’l-“Ash b. Rabi. Di antara yang dipakai penebus itu ialah sebentuk kalung pemberian Khadijah ketika dulu ia akan dikawinkan dengan Abu’lAsh. Melihat kalung itu, Nabi merasa sangat terharu sekali. “Kalau tuan-tuan hendak melepaskan seorang tawanan dan mengem. balikan barang tebusannya kepada si pemilik, silakan saja”, kata Nabi. Kemudian ia mendapat kata sepakat dengan Abu’l-‘Ash untuk menceraikan Zainab, yang menurut hukum Islam mereka sudah bercerai. Dalam pada itu Muhammad mengutus Zaid b. Haritha dan seorang sahabat lagi guna menjemput Zainab dan membawanya ke Medinah.
Akan tetapi sesudah sekian lama Abu’l-“Ash dibebaskan sebagai tawanan, ia berangkat ke Syam membawa barang dagangan Quraisy. Sesampainya di dekat Medinah, ia bertemu dengan satuan Muslimin. Barang-barang bawaannya mereka ambil. Ia meneruskan perjalanan dalam gelap malam itu hingga ke tempat Zainab. Ia minta perlindungan dari Zainab dan Zainab pun melindunginya pula. Ketika itu barang-barang dagangannya dikembalikan oleh Muslimin kepadanya dan dengan aman ia kembali ke Mekah. Setelah barang-barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing dari kalangan Quraisy, ia berkata:
“Masyarakat Quraisy! masih adakah dari kamu yang belum mengambil barangnya?”
“Tidak ada”, jawab mereka. “Mudah-mudahan Tuhan membalas kebaikanmu. Engkau ternyata orang yang jujur dan murah hati.”
“Saya naik saksi”, katanya lagi kemudian, “bahwa tak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Sebenarnya saya dapat saja masuk Islam di kotanya itu, tapi saya kuatir tuan-tuan akan menduga, bahwa saya hanya ingin makan harta tuan-tuan ini. Setelah semua ini saya kembalikan kepada tuan-tuan dan tugas saya selesai, maka sekarang saya masuk Islam.”
Kemudian ia kembali ke Medinah. Zainab juga oleh Nabi dikembalikan lagi kepadanya.
Dalam pada itu pihak Quraisy terus saja menebus tawanannya. Nilai tebusan waktu itu berkisar antara seribu sampai empat ribu dirham untuk tiap orang. Kecuali yang tidak punya apa-apa dengan kemurahan hati: Muhammad membebaskannya. Quraisy Menangisi Mayatnya
Rasanya tidak ringan nasib yang menimpa Quraisy itu, juga mereka tidak mau menghentikan permusuhan dengan Muhammad atau melupa. kan kekalahan yang mereka alami. Bahkan sesudah itu kemudian wanita. wanita Quraisy itu ramai-ramai selama sebulan penuh menangisi mayat mereka. Rambut kepala mereka sendiri mereka gunting. Kendaraan atay kuda orang yang sudah mati itu dibawa, lalu mereka menangis menge. lilinginya.
Hindun dan Abu Sufyan
Dalam hal ini tak ada yang ketinggalan, kecuali Hindun bt. “Utba, istri Abu Sufyan. Ketika pada suatu hari ia didatangi oleh wanita-wanita dengan mengatakan: “Kau tidak menangisi ayahmu, saudaramu, pamanmu dan keluargamu?”
la menjawab:
“Aku menangisi mereka? Supaya kalau nanti didengar oleh Muhammad dan teman-temannya mereka menyoraki kita? Dan wanita-wanita Khazraj juga akan menyoraki kita? Tidak! Aku mesti menuntut balas kepada Muhammad dan teman-temannya! Haram kita memakai minyak sebelum dapat kita memerangi Muhammad. Sungguh, kalau aku dapat mengetahui, bahwa kesedihan itu bisa hilang dari hatiku, tentu aku menangis. Tetapi ini baru akan hilang kalau mangsaku yang membunuh orang-orang yang kucintai itu sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri!”
Memang ia tidak lagi memakai minyak atau mendekati tempat tidur Abu Sufyan. Ia terus mengerahkan orang sampai pada waktu pecah perang Uhud. Sedang Abu Sufyan, sesudah peristiwa Badr, ia bernazar tidak akan bersuci kepala dengan air sebelum ia memerangi Muhammad.
Kesan Badr di Medinah — Orang-orang Yahudi Berkomplot – Terbunuhnya Abu ‘Afak dan Ashma’ — Matinya Ka’b b. Asyraf — Kecemasan dan Permusuhan Pihak Yahudi — Banu Qainuqa Terkepung — Abdullah b. Ubayy b. Salul – Mengosongkan Medinah — Kesatuan Politik di Medinah — Ekspedisi Sawig – Terancamnya Jalan Pantai ke Syam — Ketakutan Orang Arab terhadap Kaum Muslimin — Ketakutan Yahudi — Quraisy Mengambil Jalan Irak ke Syam – Perkawinan Muhammad dengan Hafsha Kesan Badr di Medinah
PERISTIWA Badr itu telah menimbulkan kesan yang dalam sekali di Mekah, sebagaimana sudah kita lihat. Bila saja terdapat kesempatan, hasrat hendak membalas dendam terhadap Muhammad dan Muslimin itu besar sekali. Tetapi pengaruh yang timbul di Medinah ternyata lebih jelas dan lebih erat berhubungan dengan kehidupan Muhammad dan Muslimin bersama-sama. Sesudah peristiwa Badr, golongan Yahudi, orang-orang musyrik dan kaum munafik sudah merasakan sekali adanya kekuatan kaum Muslimin yang bertambah. Mereka melihat bahwa orang asing ini yang datang ke tempat mereka kurang dari dua tahun yang lalu pergi hijrah dari Mekah, kini tambah besar kewibawaannya dan tambah kuat pula kedudukannya, bahkan hampir menjadi orang yang menguasai seluruh penduduk Medinah, bukan hanya golongannya sendiri saja. Orang-orang Yahudi Berkomplot
Seperti sudah kita lihat orang-orang Yahudi sejak sebelum Badr sudah mulai menggerutu dan mengadakan bentrokan-bentrokan dengan pihak Muslimin, sehingga banyak peristiwa-peristiwa yang kalau tidak sampai meletus, seolah hanya karena masih adanya perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak itu. Itu pula sebabnya, begitu kaum Muslimin kembali dari Badr membawa kemenangan, beberapa kelompok di sekitar Medinah mulai saling bermain mata dan berkomplot. Mereka mulai dihasut dan dibuatkan sajak-sajak yang sifatnya membangkitkan semangat mereka. Dengan demikian, gelanggang revolusi itu kini pindah dari Mekah ke Medinah, dan dari bidang agama ke bidang politik. Jadi yang diperangi sekarang bukan hanya dakwah Muhammad dalam bidang agama saja, melainkan kewibawaan dan pengaruhnya juga membuat hati mereka jadj kecut. Faktor ini yang menyebabkan mereka berkomplot dan membuat rencana hendak membunuhnya.
Tetapi semua rahasia itu bukan tidak diketahui oleh Muhammad, Bahkan ia sudah mengetahui semua berita dan setiap rencana yang ditujukan kepadanya itu. Baik pada pihak Muslimin ataupun pihak Yahudi, dari hari ke hari, sedikit demi sedikit hati mereka sudah sarat oleh rasa kebencian. Satu sama lain tinggal lagi menunggu adanya bencana yang akan menimpa lawannya.
Sampai pada waktu kaum Muslimin mendapat kemenangan di Badr, mereka masih merasa takut juga kepada penduduk Medinah. Mereka belum berani mengadakan serangan balasan apabila ada seorang Muslim yang diserang. Tatkala mereka sudah kembali membawa kemenangan itu Seorang-orang yang bernama Salim b. “Umair telah mengambil tindakan sendiri terhadap Abu “Afak (dari Banu (Amr b. “Auf), karena orang ini membuat sajak-sajak yang isinya menyerang Muhammad dan kaum Muslimin. Juga orang ini yang telah membakar semangat golongannya supaya memerangi Muslimin. Sampai pada waktu peristiwa Badr selesai ia masih terus menghasut orang.
Terbunuhnya Abu “Afak dan Ashma’
Suatu malam ketika angin sedang bertiup kencang Salim mendatangi Abu “Afak. Ia sedang tidur di beranda rumahnya. Oleh Salim ditancapkannya pedangnya ke arah hatinya hingga menembus sampai ke pelaminan. Demikian juga “Ashma’ bt. Marwan (dari Banu Umayya b. Zaid). Wanita ini selalu memaki Islam, menyakiti hati dan mengerahkan orang supaya melawannya. Hal ini dilakukannya terus sampai pada waktu sesudah selesainya perang Badr. Pada suatu malam buta ia didatangi oleh “Umair b. “Auf yang masuk sampai ke dalam rumahnya. Ia dikelilingi oleh anakanaknya yang sedang tidur, ada pula yang sedang disusui. Sebenarnya penglihatan “Umair lemah sekali. Ia meraba-raba dengan tangannya dan terpegang olehnya bayi yang sedang disusui itu. Dihalaunya bayi itu dari Sisi ibunya, kemudian dipusatkannya pedangnya ke dada wanita itu sampai menembus punggungnya.
Bila “Umair kemudian kembali dari tempat Nabi setelah menyampaikan berita itu, ia melihat anak-anaknya dan beberapa orang sedang menguburkan wanita tersebut. Mereka datang menemuinya seraya bertanya:
“Umair, kau yang membunuh wanita itu?”
“Ya,” jawabnya. “Jalankanlah tipu-muslihatmu itu terhadapku dan jangan lagi ditunda-tunda. Aku bersumpah demi Dia yang memegang hidupku! kalau kamu semua mengeluarkan kata-kata seperti wanita itu, akan kuhantam kamu dengan pedangku ini. Aku yang mati, atau kamu semua kubunuh.
Sikap “Umair yang berani ini telah membawa akibat lahirnya Islam di tengah-tengah kabilah Banu Khatma itu. Suami Ashma’ adalah dari kabilah ini juga. Dari golongan ini yang tadinya masuk Islam dengan sembunyi-sembunyi, sekarang sudah berani mereka berterus-terang dan menggabungkan diri ke dalam barisan dan bersama-sama dengan kaum Muslimin lainnya.
Matinya Ka’b b. Asyraf
Kiranya cukup kalau kita tambahkan atas dua macam peristiwa di atas ini dengan peristiwa matinya Ka’b b. Asyraf. Ketika mendengar matinya beberapa orang pemuka-pemuka Mekah, dialah orangnya yang mengatakan: “Mereka itu bangsawan-bangsawan Arab dan pemimpin-pemimpin. Sungguh, kalau Muhammad sampai mengalahkan mereka, maka lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi.” Dia pula orangnya, yang telah berangkat ke Mekah — setelah mendapat kabar yang pasti -mengerahkan orang untuk melawan Muhammad, menyanyikan sajak sajak dan menangisi mereka yang terkubur dalam perigi. Dia juga orangnya yang kemudian setelah kembali ke Medinah berusaha mencumbu wanita-wanita Islam. Orang tahu betapa watak dan perangai orang Arab dalam hal ini, betapa mereka menghargai arti kehormatan ini. Untuk itu semangat mereka bangkit. Kaum Muslimin begitu marah. Mereka sudah sepakat hendak membunuh Ka’b. Beberapa orang dari mereka sudah berkumpul. Salah seorang di antara mereka mendatanginya sambil memancingnya dengan memburuk-burukkan Muhammad.
“Kedatangan orang ini kemari membawa bencana,” kata salah seorang. “Membuat orang-orang Arab saling bermusuhan dan berpecah-belah. Hubungan kerabat kita terputus, sanak-keluarga hilang dan Orang melakukan perjalanan jauh jadi sukar.”
Setelah saling beramah-tamah dengan Ka’b, maka ia dan teman. temannya minta uang kepada Ka’b dengan jalan menggadaikan baju besinya. Ka’b pun setuju asal nanti dibawa. Ketika ia sedang berada di rumahnya yang agak jauh dari Medinah, pada waktu menjelang malam terdengar Abu Na’ila (salah seorang yang berkomplot memanggilnya. Ia keluar menghampirinya, sekalipun sudah diperingatkan oleh istrinya jangan keluar rumah pada waktu malam begitu. Kedua orang itu terus berjalan hingga bertemu dengan teman-teman Abu Na’ila. Ka’b tenteram saja tidak merasa takut. Mereka bersama-sama berjalan kaki hingga agak jauh dari tempat tinggal Ka’b, sambil terus bercakap-cakap. Mereka bercerita tentang diri mereka sendiri dan betapa mereka itu mengalami kesukaran. Ka’b merasa makin tenang.
Sementara mereka sedang berjalan itu Abu Na’ila meletakkan tangannya di atas kepala Ka’b, dan tangannya itu kemudian diciumnya. “Belum pernah aku mengalami malam seharum ini,” katanya.
Setelah dilihatnya Ka’b tidak menaruh curiga lagi kepada mereka, kembali lagi Abu Na’ila meletakkan tangannya di rambut Ka’b, kemudian digenggamnya kedua pelipis orang itu seraya berkata:
“Hantamlah musuh Tuhan ini!”
. Mereka menghantamnya dengan pedang, dan saat itu ia menemui ajalnya. Kecemasan dan Permusuhan Pihak Yahudi
Kejadian ini membuat pihak Yahudi bertambah cemas. Mereka semua merasa kuatir akan nasibnya sendiri. Tetapi sampai nyawa mereka melayang pun, mereka tidak juga mau berhenti mengecam Muhammad dan kaum Muslimin. Ada seorang wanita Arab datang ke pasar Yahudi Banu Qainuqa’ dengan membawa perhiasan. Ia sedang duduk menghadapi tukang emas. Mereka berusaha supaya ia memperlihatkan mukanya. Tapi wanita itu menolak. Tiba-tiba datang seorang Yahudi dengan diam-diam dari belakang. Disematkannya ujung baju wanita itu dengan sebatang penyemat ke punggungnya, dan bila wanita itu berdiri, maka tampaklah auratnya. Mereka ramai-ramai menertawakannya. Wanita itu menjeritjerit. Waktu itu juga seorang laki-laki Muslim langsung menerkam tukang emas tersebut — seorang orang Yahudi, lalu dibunuhnya. Orang-orang Yahudi yang lain datang ramai-ramai mengikat laki-laki Muslim itu lalu mereka bunuh juga.
Sekarang keluarga Muslim ini minta bantuan kaum Muslimin dalam menghadapi pihak Yahudi, yang selanjutnya sampai timbul bencana besar antara mereka dengan pihak Yahudi Banu Qainuqa’.
Banu Qainuqa Terkepung
Kemudian Muhammad minta kepada mereka ini supaya jangan lagi mengganggu kaum Muslimin dan supaya tetap memelihara perjanjian perdamaian dan ke-eksistensi yang sudah ada. Kalau tidak mereka akan mengalami nasib seperti Quraisy. Akan tetapi peringatan ini oleh mereka diremehkan. Malah mereka menjawab:
“Muhammad, jangan kau tertipu karena kau sudah berhadapan dengan suatu golongan yang tidak punya pengetahuan berperang sehingga engkau mendapat kesempatan mengalahkan mereka. Tetapi kalau sudah kami yang memerangi kau, niscaya akan kau ketahui, bahwa kami inilah orangnya.”
Jika sudah begitu, maka tak ada jalan lain kecuali harus memerangi mereka juga. Kalau tidak, kaum Muslimin dan kedudukan mereka di Medinah akan runtuh, dan selanjutnya akan menjadi bahan cerita pihak Quraisy, sesudah pihak Quraisy sebelum itu menjadi bahan cerita orangorang Arab.
Kaum Muslimin sekarang bertindak dan mengepung orang-orang Yahudi Banu Qainuqa’ berturut-turut selama lima belas hari di tempat mereka sendiri. Tak ada orang yang dapat keluar dari mereka itu, juga tak ada orang yang dapat masuk membawakan makanan. Tak ada jalan lain lagi mereka sekarang harus tunduk kepada undang-undang Muhammad, menyerah kepada ketentuannya. Lalu mereka menyerah. Sesudah bermusyawarah dengan pemuka-pemuka Muslimin, Muhammad menetapkan akan membunuh mereka itu semua.
Abdullah b. Ubayy b. Salul
Akan tetapi lalu datang Abdullah b. Ubayy b. Salul — orang yang bersekutu baik dengan Yahudi maupun dengan Muslimin.
“Muhammad”, katanya. “Hendaklah berlaku baik terhadap pengikutpengikutku.”
Nabi tidak segera menjawab. Lalu diulangnya lagi permintaannya. Tetapi Nabi menolak. Orang itu memasukkan tangannya ke saku baju besi Muhammad. Muhammad berubah air mukanya. Lalu katanya:
“Lepaskan!” Ia marah. Kemarahannya itu tampak terbayang di wajahnya. Kemudian diulanginya lagi dengan nada suara yang masih membayangkan kemarahan. “Lepaskan! Celaka kau!”
“Tidak akan kulepaskan sebelum kau bersikap baik terhadap pengikut-pengikutku. Empat ratus orang tanpa baju besi dan tiga ratus orang dengan baju besi telah merintangi aku melakukan perang habis-habisan, dan kau babat mereka dalam satu hari! Sungguh aku kuatir akan timbul bencana.”
Sampai pada waktu itu Abdullah adalah orang yang masih mempunyai kekuasaan atas orang-orang musyrik dari kalangan Aus dan Khazraj, meskipun kekuasaan ini, dengan adanya kekuatan kaum Muslimin telah menjadi lemah.
Melihat desakan orang itu yang demikian rupa, Nabi kembali menjadi tenang. Apalagi setelah “Ubada bin’sh-Shamit datang kepadanya bicara seperti pembicaraan Ibn Ubayy. Ketika itu ia berpendapat akan memberi, kan belas kasihannya kepada Abdullah b. Ubayy, dan kepada orang-orang musyrik pengikut-pengikut Yahudi supaya dengan budi kebaikannya dan rasa kasihannya itu mereka akan merasa berutang budi kepadanya. Akan tetapi, sebagai akibat perbuatan mereka sendiri Banu Qainuqa” harus mengosongkan kota Medinah.
Mengosongkan Medinah
Ibn Ubayy ingin bicara sekali lagi dengan Muhammad mengenai keadaan mereka yang masih ingin menetap di sana itu. Tetapi salah seorang dari kalangan Islam berhasil mencegah adanya pertemuan Ibn Ubayy dengan Muhammad. Mereka lalu bertengkar sehingga kepala Abdullah kena pukul. Ketika itu Banu Qainuqa’ berkata: “Kami bersumpah tidak akan tinggal di kota ini sesudah kepala Ibn Ubayy dipukul sedang kami tidak dapat membelanya.”
Dengan demikian, setelah mereka tunduk dan menyerah hendak meninggalkan Medinah, “Ubada membawa mereka itu ke Wadi’l-Oura dengan meninggalkan perlengkapan senjata dan alat-alat tukang emas yang mereka pergunakan. Di tempat ini lama mereka tinggal, dan dari sini barang-barang mereka semua mereka bawa. Mereka menuju ke arah utara sampai di Adhri’at di perbatasan Syam. Di tempat inilah mereka menetap. Atau mungkin juga mereka tertarik ingin ke sebelah utara lagi ke Tanah yang Dijanjikan (Palestina) yang selalu menjadi idaman orang-orang Yahudi.
Kesatuan Politik di Medinah
Kekuasaan orang-orang Yahudi di Medinah menjadi lemah sekali setelah Banu Qainuqa’ meninggalkan kota ini. Sebagian besar orangorang Yahudi yang disebut-sebut dari Medinah ini, mereka tinggal jauh di Khaibar dan Wadr’l-Oura. Hasil inilah yang menjadi tujuan Muhammad dengan mengosongkan mereka itu. Ini adalah suatu langkah politik yang sungguh cemerlang dalam memperlihatkan kebijaksanaan dan pandangan yang jauh itu. Ini juga merupakan suatu pendahuluan yang tidak bisa tidak akan mempunyai pengaruh politik yang kelak akan berjalan sesuai dengan garis yang telah ditentukan oleh Muhammad. Dalam mempersatukan sesuatu kota yang paling berbahaya adalah adanya pertentangan golongan, Apabila sengketa golongan-golongan ini harus terjadi juga, maka harus pula berakhir pada adanya kemenangan satu golongan atas golongan lainnya yang juga berarti akan berkesudahan dengan menguasainya.
Ada beberapa penulis sejarah yang telah mengecam tindakan kaum Muslimin terhadap orang-orang Yahudi itu, dengan anggapan bahwa kisah wanita Islam yang pergi kepada tukang emas itu akan mudah saja penyelesaiannya selama yang terbunuh itu seorang dari pihak Islam dan seorang pula dari pihak Yahudi. Sebenarnya dapat saja kita menolak pendapat ini dengan mengatakan, bahwa terbunuhnya seorang Yahudi dan seorang Muslim itu belum dapat menghapus coreng penghinaan terhadap kaum Muslimin yang disebabkan oleh pribadi wanita yang telah dipermainkan oleh orang Yahudi itu. Bagi orang Arab, melebihi bangsa mana pun, masalah semacam ini dapat mengakibatkan timbulnya huru-hara, dapat menimbulkan peperangan antara dua kabilah atau dua golongan selama bertahun-tahun — hanya karena soal semacam itu saja. Dalam sejarah Arab contoh-contoh serupa itu sudah cukup pula dikenal terutama oleh mereka yang pernah mempelajarinya.
Tetapi, di samping pertimbangan ini masih ada pertimbangan lain yang lebih penting lagi. Peristiwa seorang wanita yang telah menyebabkan terkurungnya Banu Qainuqa’ dan terusirnya mereka dari Medinah, adalah sama seperti terbunuhnya putra mahkota Austria di Sarayevo dalam tahun 1914 yang telah menyebabkan pecahnya Perang Dunia dan melibatkan seluruh benua Eropa. Soalnya hanyalah sepercik api yang menyala, yang kemudian membakar hati kaum Muslimin dan Yahudi bersama-sama demikian rupa, sehingga akhirnya dapat menimbulkan letusan serta segala akibat yang timbul karenanya.
Sebenarnya, adanya orang-orang Yahudi, adanya orang musyrik dan orang-orang munafik di Medinah, di samping orang-orang Islam, telah memperkuat timbulnya perpecahan itu. Dari segi politik, Medinah merupakan sebuah kawah yang tidak bisa tidak pasti akan meletus. Jadi, terkepungnya Banu Qainuqa’ dan dikeluarkannya mereka dari Medinah adalah gejala pertama ke arah timbulnya letusan itu.
Sudah wajar sekali bilamana penduduk Medinah di luar kaum Muslimin menjadi kecut setelah Banu Qainuqa’ dikeluarkan dari kota itu, yang dari luar tampak aman dan tenteram, tapi sebenarnya akan disusul kelak oleh timbulnya angin badai dan topan. Keadaan aman dan tenteram ini telah dirasakan orang selama sebulan, dan seharusnya akan terus demikian selama beberapa bulan, kalau tidak karena Abu Sufyan yang sudah tidak tahan lagi tinggal lama-lama di Mekah, mendekam di bawah telapak kehinaan kekalahannya di Badr, tanpa menanamkan kembali dalam pikiran orang-orang Arab di seluruh Semenanjung itu, bahwa Quraisy masih kuat, masih bersemangat dan masih mampu berperang dan bertempur.
Ekspedisi Sawig
Karena itu, ia lalu mengumpulkan dua ratus orang — ada yang mengatakan empat puluh orang — dari penduduk bersama-sama dia, Apabila mereka sudah sampai di dekat Medinah, menjelang pagi mereka berangkat lagi ke sebuah daerah bernama “Uraidz. Di tempat ini mereka bertemu dengan seorang-orang Anshar dan seorang teman sekerjanya di kebun mereka sendiri. Kedua orang itu mereka bunuh dan dua buah rumah serta sebatang pohon kurma di “Uraidz itu mereka bakar. Menurut Abu Sufyan, sumpahnya hendak memerangi Muhammad itu sudah terpenuhi. Sekarang ia kembali melarikan diri, takut akan dikejar oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Muhammad minta beberapa orang sahabat. Dengan dipimpin sendiri mereka berangkat mengejarnya hingga di Oargarat’I-Kudr. Abu Sufyan dan rombongannya makin kencang melarikan diri. Mereka makin ketakutan. Bahan makanan bawaan mereka yang terdiri dari sawig’ mereka lemparkan, yang kemudian diambil oleh kaum Muslimin yang lalu di tempat tersebut. “
Setelah melihat bahwa mereka itu terus melarikan diri, Muhammad dan sahabat-sahabatnya kemudian kembali ke Medinah. Larinya Abu Sufyan itu berbalik merupakan pukulan terhadap dirinya sendiri, sebab sebelum itu ia mengira bahwa Quraisy akan dapat mengangkat muka lagi sesudah terjadinya bencana yang pernah dialami di Badr itu.
Karena sawig yang dibuang oleh Quraisy itulah, maka ekspedisi ini dinamai “Ekspedisi Sawig”.
Terancamnya Jalan Pantai ke Syam
Berita tentang Muhammad ini kini tersebar luas di seluruh kalangan Arab. Kabilah-kabilah yang jauh-jauh tetap enak-enak di tempat mereka, sedikit sekali memperhatikan keadaan kaum Muslimin, yang sampai pada waktu itu — masih menjadi orang yang lemah, masih mencari perlindungan di Medinah — sekarang mereka telah dapat menahan Quraisy, dapat mengeluarkan Banu Qainuqa’, dapat membuat Abdullah b. Ubayy jadi ketakutan dan dapat mengusir Abu Sufyan. Mereka dapat memperlihatkan diri dengan suatu sikap yang tidak seperti biasa.
Sebaliknya, kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Medinah mulaj melihat apa yang akan mengancam nasib mereka dengan adanya kekuatan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga adanya perimbangan kekuatan ini dengan kekuatan Quraisy di Mekah, suatu perimbangan yang akibat-akibatnya sangat mereka takutkan. Soalnya jalah karena jalan pantai ke Syam adalah satu-satunya jalan rata yang sudah dikenal. Perdagangan Mekah melalui jalan ini dalam arti ekonomi membawa keuntungan yang berarti juga bagi kabilah-kabilah itu. Antara Muhammad dengan kabilah-kabilah yang ada di perbatasan pantai itu sudah ada perjanjian. Tetapi jalan ini sekarang terancam dan perjalanan musim panas pun terancam bahaya pula, yang mungkin kelak Quraisy akan terpaksa meninggalkan perbatasan pantai itu. Apa pula nasib yang akan menimpa kabilah-kabilah ini apabila perdagangan Quraisy nanti jadi terputus? Bagaimana orang dapat membayangkan mereka akan dapat menanggung kesulitan hidup di atas daerah yang alamnya memang begitu sulit dan tandus? Jadi sudah sepatutnya mereka memikirkan nasib mereka itu serta apa pula akibat yang mungkin akan menimpa karena situasi baru yang belum pernah mereka kenal sebelum Muhammad dan sahabatsahabatnya itu hijrah ke Medinah, sebab sebelum kemenangan Muslimin di Badr kehidupan kabilah-kabilah itu belum pernah mengalami ancaman seperti yang mereka bayangkan sekarang.
Ketakutan Orang Arab terhadap Kaum Muslimin
Peristiwa perang Badr itu telah menimbulkan rasa takut dalam hati kabilah-kabilah itu. Adakah mereka barangkali iri hati terhadap Medinah lalu akan menyerang kaum Muslimin, atau apa yang harus mereka lakukan?
Karena sudah ada berita yang sampai kepada Muhammad bahwa ada beberapa golongan dari Ghatafan dan Banu Sulaim yang bermaksud hendak menyerang kaum Muslimin, maka ia segera berangkat ke Oargarat’I-Kudr guna memotong jalan mereka. Di tempat ini ia melihat jejak-jejak binatang ternak tapi tak seorang pun yang ada di padang itu. Disuruhnya beberapa orang sahabatnya naik ke atas wadi dan dia sendiri menunggu di bawah. Ia bertemu dengan seorang anak bernama Yasar. Dari pertanyaannya kepada anak itu ia mengetahui bahwa rombongan itu naik ke bagian atas mata air. Oleh kaum Muslimin ternak yang ada di tempat itu dikumpulkan dan dibagi-bagikan antara sesama mereka sesudah seperlimanya diambil oleh Muhammad, seperti ditentukan menurut nas Quran. Konon katanya barang rampasan itu sebanyak lima ratus ekor unta. Sesudah seperlima dipisahkan oleh Nabi, sisanya dibagikan. Setiap orang mendapat bagian dua ekor unta.
Juga sudah ada berita yang sampai kepada Muhammad, bahwa ada beberapa golongan dari Banu Tha’laba dan Banu Muharib di Dhu Amar, yang telah berkumpul. Mereka bersiap-siap akan melakukan serangan Nabi a.s. segera berangkat dengan 450 orang Muslimin. Ia bertemu dengan Salah seorang anggota kabilah Tha’laba ini, dan ketika ditanyainya tentang rombongan itu ditunjukkannya tempat mereka.
“Muhammad, kalau mereka mendengar keberangkatanmu ini, mereka lari ke puncak-puncak gunung,” kata orang itu. “Saya bersedia berjalan bersamamu dan menunjukkan tempat-tempat persembunyiar mereka.”
Tetapi orang-orang yang iri hati itu tatkala mendengar bahwa Muhammad sudah berada dekat dari mereka, cepat-cepat mereka lari ke gunung-gunung.
Selanjutnya sampai pula berita, bahwa sebuah rombongan besar darj Banu Sulaim di Bahran sudah siap-siap akan menyerang. Pagi-pagi sekali ia segera berangkat dengan 300 orang, dan satu malam sebelum sampai dj Bahran dijumpainya seorang laki-laki dari kabilah Banu Sulaim. Ketika ditanyakan oleh Muhammad tentang mereka itu, dikatakannya bahwa mereka telah cerai-berai dan sudah kembali pulang.
Demikian jugalah halnya dengan orang-orang Arab Badwi, mereka serba ketakutan kepada Muhammad, gelisah akan nasib mereka sendiri. Begitu terpikir oleh mereka hendak berkomplot terhadap Muhammad, hendak berangkat memeranginya, tapi baru mendengar saja mereka, bahwa ia sudah berangkat hendak menghadapi mereka, hati mereka sudah kecut ketakutan.
Ketakutan Yahudi
Pada waktu inilah pembunuhan terhadap Ka’b b. Asyraf itu terjadi, seperti yang sudah kita kemukakan di atas. Sejak itu orang-orang Yahudi merasa ketakutan. Mereka tinggal dalam lingkungannya sendiri, tak ada yang berani keluar. Mereka kuatir akan mengalami nasib seperti Ka’b. Lebih-lebih lagi ketakutan mereka, setelah Muhammad menghalalkan darah mereka sesudah peristiwa Banu Qainuqa” yang sampai harus mengalami blokade itu.
Oleh karena itu mereka lalu datang menemui Muhammad mengadukan hal-ihwal mereka. Mereka mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Ka’b itu adalah pembunuhan gelap, dia tidak berdosa dan persoalannya pun tidak diberitahukan. Tetapi jawabnya kepada mereka: Dia sangat mengganggu kami, mengejek kami dengan sajak. Sekiranya dia tetap saja seperti yang lain-lain yang sepaham dengan dia, tentu dia tidak akan mengalami bencana.
Setelah terjadi pembicaraan yang cukup lama dengan mereka, maka dimintanya mereka membuat sebuah perjanjian bersama dan supaya mereka dapat menghormati isi perjanjian itu. Tetapi orang-orang Yahudi sudah merasa hina sendiri dan ketakutan, meskipun yang tersimpan dalam hati mereka terhadap Muhammad akan tampak juga akibatnya kelak. Duraisy Mengambil Jalan Irak ke Syam
Apa yang harus dilakukan Quraisy dengan perdagangannya itu setelah ternyata Muhammad kini menguasai jalan tersebut?
Hidupnya Mekah dari perdagangan. Apabila jalan ke arah itu tidak ada, maka ini adalah bahaya yang tidak akan pernah dialami oleh kota lain. Sekarang Muhammad akan membuat blokade atas jalan itu, dan posisinya akan dihancurkan dari jiwa orang Arab.
Dalam hal ini Shafwan b. Umayya berkata di hadapan orang-orang Quraisy:
“Perdagangan kita sekarang telah dirusak oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Tidak tahu lagi kita apa yang harus kita perbuat terhadap pengikut-pengikutnya itu, sementara mereka tidak pula mau meninggalkan pantai. Dan orang-orang pantai pun sudah pula mengadakan perjanjian perdamaian dengan mereka dan golongan awamnya juga sudah jadi pengikutnya. Tidak tahu di mana kita harus tinggal. Kalau kita tinggal saja di tempat kita ini, berarti kita akan makan modal sendiri, dan ini tidak akan bisa bertahan. Hidup kita di Mekah ini hanya bergantung pada perdagangan, musim panas ke Syam dan musim dingin ke Abisinia.”
Aswad b. Abd’l-Muttalib menjawab:
“Jalan ke pantai sudah dibelokkan. Ambil sajalah jalan Irak.”
Lalu ditunjukkannya kepada mereka itu Furat b. Hayyan dari kabilah Banu Bakr b. Wa’il supaya menjadi penunjuk jalan.
“Teman-teman Muhammad tidak pernah menginjakkan kakinya ke jalan Irak”, kata Furat. “Jalan ini merupakan dataran tinggi dan padang pasir.”
Tetapi Shafwan tidak takut padang pasir. Selama perjalanan itu dalam musim dingin tidak seberapa mereka membutuhkan air. Untuk itu Shafwan sudah menyediakan perak dan barang lain seharga 100.000 dirham. Ketika Quraisy sedang sibuk mengatur perjalanan yang akan membawa perdagangannya itu, Nu’aim b. Mas’ud al-Asyja’i sedang berada di Mekah. Ia pulang kembali ke Medinah. Apa yang dibicarakan dan diperbuat Quraisy itu meluncur juga dari lidahnya dan sampai kepada Salah seorang dari kalangan Islam. Orang yang belakangan ini cepat-cepat menyampaikan berita itu kepada Muhammad. Waktu itu juga Nabi menugaskan Zaid b. Haritha dengan seratus orang pasukan berkendaraan, Mereka mencegat perdagangan itu di Oarda, (sebuah pangkalan air di Najd. Orang-orang Quraisy itu lari dan kafilah dagangnya dikuasaj Muslimin. Ini merupakan rampasan berharga yang pertama sekali dikuasaj oleh kaum Muslimin.
Kemudian Zaid dan anak buahnya kembali. Setelah yang seperlima dipisahkan oleh Muhammad sisanya dibagikan kepada yang lain. Selanjut. nya Furat b. Hayyan dibawa, dan untuk keselamatannya kepadanya ditanyakan untuk masuk Islam, dan ini pun diterimanya.
Sesudah semua ini adakah Muhammad lalu merasa puas bahwa keadaan sudah stabil? Atau sudah terpesona oleh hari itu saja laly melupakan hari esoknya? Ataukah juga sudah terbayang olehnya, bahwa ketakutan kabilah-kabilah dan diperolehnya rampasan dari Quraisy sudah menunjukkan, bahwa perintah Allah dan perintah Rasul-Nya sudah dapat diamankan dan tak perlu lagi dikuatirkan? Ataukah kepercayaannya akan pertolongan Tuhan itu berarti ia boleh berbuat sesuka hati, karena sudah mengetahui bahwa segala persoalan keputusannya berada di tangan Tuhan? Tidak! Memang benar, segala persoalan keputusannya di tangan Tuhan. Tetapi orang tidak akan mendapat perubahan dalam hukum Tuhan itu. Tak ada jalan lagi orang akan membantah adanya naluri yang sudah ditanamkan Tuhan dalam dirinya. Quraisy sebagai pemimpin orang Arab, tidak mungkin mereka akan surut dari tindakan membalas dendam. Kafilah Shafwan b. Umayya yang sudah dikuasai itu pun akan menambah hasrat mereka hendak membalas dendam, akan bertambah keras kehendak mereka mengadakan serangan kembali.
Dengan siasatnya yang sehat serta pandangannya yang jauh hal semacam itu oleh Muhammad tidak akan terabaikan. Jadi sudah tentu ia harus menambah kecintaan kaum Muslimin kepadanya, dan mempererat pertalian. Kendatipun Islam sudah memberikan kebulatan tekad kepada mereka dan membuat mereka seperti sebuah bangunan yang kokoh, satu sama lain saling memperkuat, namun kebijaksanaan pimpinan terhadap mereka itu akan lebih lagi menguatkan kerjasama dan tekad mereka. Perkawinan Muhammad dengan Hafsha
Justru karena kebijaksanaan pimpinan inilah hubungan Muhammad dengan mereka itu makin erat. Dalam hubungan ini pula ia melangsungkan perkawinannya dengan Hafsha, putri Umar ibn’I-Khattab, seperti juga sebelum itu dengan Aisyah, putri Abu Bakr. Sebelum itu Hafsha adalah istri Khunais — termasuk orang yang mula-mula dalam Islam – yang sudah meninggal tujuh bulan lebih dulu sebelum perkawinannya dengan Muhammad. Dengan perkawinannya kepada Hafsha ini, kecintaan Umar ibn’I-Khattab kepadanya makin besar. Juga Fatimah, putrinya, dikawinkannya dengan sepupunya, Ali b. Abi Talib, orang yang sejak kecilnya sangat cinta dan ikhlas kepada Nabi. Oleh karena Rugayya, putrinya, telah berpulang ke rahmatullah, maka sesudah itu Usman b, ‘Affan, dikawinkannya kepada putrinya yang seorang lagi, Umm Kulthum.
Dengan demikian, ia diperkuat lagi oleh pertalian keluarga semenda dengan Abu Bakr, Umar, Usman dan Ali. Ini merupakan gabungan empat orang kuat dalam Islam yang sekarang mendampinginya, bahkan yang jerkuat. Dengan ini kekuatan dalam tubuh kaum Muslimin makin mendapat jaminan lagi. Di samping itu rampasan perang yang mereka peroleh dalam peperangan itu menambah pula keberanian mereka bertempur, yang juga merupakan gabungan antara berjuang di jalan Allah dan mendapat rampasan perang dari orang-orang musyrik.
Dalam pada itu, berita-berita serta segala persiapan Quraisy selalu diikuti dengan saksama dan sangat teliti sekali. Pihak Quraisy sendiri memang sudah mengadakan persiapan hendak menuntut balas, dan membuka jalan perdagangannya ke Syam, supaya dari segi perdagangan dan segi keagamaannya kedudukan Mekah jangan sampai meluncur jatuh tidak lagi dapat mempertahankan diri.
Persiapan Quraisy di Mekah – Persiapan Quraisy Berperang – Keberangkatan Quraisy ke Medinah — Utusan “Abbas kepada Nabi — Nabi Berunding dan Suara Suara yang Mau Bertahan di Medinah — Suara-suara yang Mau Menyerang Menghadapi Musuh -Suara Keberanian dan Kepahlawanan — Suara-suara yang Mau Menyerang Lebih Banyak — Cara Hidup dengan Musyawarah – Muslimin Berangkat – Yahudi dan Ibn Ubayy Kembali ke Medinah – Nabi Menyusun Barisan – Abu Dujana dan Pita Merah — Sikap Heroik Hamzah, Abu Dujana dan Ali — Terbunuhnya Hamzah, Bapa Syuhada – Kekuatan Akidah dan Iman – Sibuk dengan Rampasan Perang — Pasukan Pemanah Melanggar Perintah Nabi dan Khalid bin’I-Walid Mengambil Posisi Mereka — Bencana yang Menimpa Muslimin – Yang Menimpa Rasulullah – Bersedia Mati Membela Rasul – Mayat-mayat Muslimin Dianiaya – Dukacita Muhammad terhadap Hamzah – Penguburan dan Kembali ke Medinah – Berhadapan dengan Musuh Lagi
Persiapan Quraisy di Mekah
SEJAK terjadinya perang Badr pihak Quraisy sudah tidak pernah tenang lagi. Juga peristiwa Sawig tidak membawa keuntungan apa-apa buat mereka. Lebih-lebih karena kesatuan Zaid b. Haritha telah berhasil mengambil perdagangan mereka ketika mereka hendak pergi ke Syam melalui jalan Irak. Hal ini mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah besar keinginan mereka hendak membalas dendam. Bagaimana Quraisy akan dapat melupakan peristiwa itu, sedang mereka adalah bangsawan-bangsawan dan pemimpin-pemimpin Mekah, pembesar-pembesar yang angkuh dan punya kedudukan terhormat? Bagaimana mereka akan dapat melupakannya, padahal wanita-wanita Mekah selalu ingat akan korban-korban yang terdiri dari anak, atau saudara, bapak, suami atau teman sejawat? Mereka selalu berkabung, selalu menangisi dan meratapi.
Demikianlah keadaannya. Orang-orang Quraisy sejak Abu Sufyan b. Harb datang membawa kafilahnya dari Syam, yang telah menyebabkan timbulnya perang Badr, begitu juga mereka yang selamat kembali dari Badr, telah menghentikan kafilah dagang itu di Dar’n-Nadwa. Pembesarpembesar mereka yang terdiri dari Jubair b. Mut’im, Shafwan b. Umayya, “Ikrima b. Abi Jahl, Harith b. Hisyam, Huaitib b. Abd’l-“Uzza dan yang jain, telah mencapai kata sepakat, bahwa kafilah dagang itu akan dijual, keuntungannya akan disisihkan dan akan dipakai menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan supaya ikut serta bersama-sama dengan Quraisy menuntut balas terhadap kaum Muslimin. Ikut pula dikerahkan di antaranya Abu “Azza penyair yang telah dimaafkan oleh Nabi dari antara tawanan perang Badr. Begitu juga kabilah Ahabisy’ yang mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita pun mendesak akan ikut pergi berperang.
Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita juga ikut serta.
“Biar mereka bertugas merangsang kemarahan kamu, dan mengingatkan kamu kepada korban-korban Badr. Kita adalah masyarakat yang sudah bertekad mati, tidak akan pulang sebelum sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri mati untuk itu.”
“Saudara-saudara dari Quraisy,” kata yang lain lagi. “Melepaskan wanita-wanita kita kepada musuh, bukanlah suatu pendapat yang baik. Apabila kalian mengalami kekalahan, wanita-wanita kita pun akan tercemar.”
Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba Hindun bt. “Utba, istri Abu Sufyan berteriak kepada mereka yang menentang ikut sertanya kaum wanita itu:
“Kamu yang selamat dari perang Badr kamu kembali kepada istrimu. Ya. Kita berangkat dan ikut menyaksikan peperangan. Jangan ada orang yang menyuruh kamu pulang, seperti gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr disuruh kembali ketika sudah sampai di Juhfa.? Kemudian orang-orang yang menjadi kesayangan kita waktu itu terbunuh, karena tak ada orang yang dapat memberi semangat kepada mereka.”
Persiapan Quraisy Berperang
Akhirnya pihak Quraisy berangkat dengan membawa kaum wanitanya juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah orang paling panas hati ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa Badr itu ayahnya, saudaranya dan orang-orang yang dicintainya telah mati terbunuh. Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Medinah yang disiapkan dari Dar’n-Nadwa itu terdiri dari tiga brigade. Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b. Abj Talha terdiri dari 3000 orang. Kecuali 100 orang saja dari Thagif,! selebihnya semua dari Mekah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekuty serta golongan Alhabisynya. Perlengkapan dan senjata tidak sedikit yang mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi.
Sesudah ada kata sepakat, sekarang sudah siap mereka akan ber. angkat. Sementara itu “Abbas b. Abd’I-Muttalib, paman Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka, dengan teliti dan saksama sekali memperhatikan semua kejadian itu. Di samping kesayangannya pada agama nenek moyangnya dan agama golongannya sendiri, juga Abbas mempunyai rasa solider dan sangat mengagumi Muhammad. Masih ingat ia perlakuannya yang begitu baik ketika perang Badr. Mungkin karena rasa kagum dan solidernya itu yang membuat dia ikut Muhammad menyaksikan Ikrar “Agaba dan berbicara kepada Aus dan Khazraj bahwa kalau mereka tidak akan dapat mempertahankan kemenakannya itu seperti mempertahankan istri dan anak-anak mereka sendiri, biarkan sajalah keluarganya sendiri yang melindunginya, seperti yang sudahsudah.
Hal inilah yang mendorongnya — tatkala diketahuinya keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan yang begitu besar — sampai ia menulis surat menggambarkan segala tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka itu. Surat itu diserahkannya kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada Nabi. Dan orang ini pun sampai di Medinah dalam tiga hari, dan surat itu pun diserahkan.
Keberangkatan Quraisy ke Medinah
Dalam pada itu pasukan Quraisy pun sudah pula berangkat sampai di Abwa’. Ketika melalui makam Aminah bt. Wahb, timbul rasa panas hati beberapa orang yang pendek pikiran. Terpikir oleh mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan demikian, supaya jangan kelak menjadi kebiasaan Arab.
“Jangan menyebut-nyebut soal ini”, kata mereka. “Kalau ini kita lakukan, Banu Bakr dan Banu Khuza’a akan membongkar juga kuburan mayat-mayat kita.”
Utusan “Abbas kepada Nabi Quraisy mencruskan perjalanan sampai di “Agig, kemudian mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari Medinah.
Orang dari Ghifar yang diutus oleh “Abbas b. Abd’l-Muttalib
membawa surat ke Medinah itu telah sampai. Setelah diketahuinya berada di Ouba’, ia langsung pergi ke sana dan dijumpainya Muhammad di depan pintu mesjid sedang menunggang keledai. Diserahkannya surat itu kepadanya, yang kemudian dibacakan oleh Ubayy b. Ka’b. Muhammad minta isi surat itu supaya dirahasiakan, dan ia kembali ke Medinah langsung menemui Sa’d ibn’I-Rabi’ di rumahnya. Diceritakannya apa yang telah disampaikan “Abbas kepadanya itu dan juga dimintanya supaya hal itu dirahasiakan. Akan tetapi istri Sa’d yang sedang dalam rumah waktu itu mendengar juga percakapan mereka, dan dengan demikian sudah tentu tidak lagi hal itu menjadi rahasia.
Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu Anas dan Mu’nis, oleh Muhammad ditugaskan menyelidiki keadaan Quraisy. Menurut pengamatan mereka kemudian ternyata Quraisy sudah mendekati Medinah. Kuda dan unta mereka dilepaskan di padang rumput sekeliling Medinah. Di samping dua orang itu kemudian Muhammad mengutus lagi Hubab ibn’I-Mundhir bin’I-Jamuh. Setelah keadaan mereka itu disampaikan kepadanya seperti dikabarkan oleh “Abbas, Nabi a.s. jadi terkejut sekali. Ketika kemudian Salama b. Salama keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda Quraisy sudah mendekati Medinah, bahkan sudah hampir memasuki kota. Ia segera kembali dan apa yang dilihatnya itu disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah tentu pihak Aus dan Khazraj, begitu juga semua penduduk Medinah mierasa kuatir sekali akan akibat serbuan ini, yang dalam sejarah perang, Quraisy belum pernah mengadakan persiapan sebaik itu. Pemuka-pemuka Muslimin dari penduduk Medinah malam itu berjaga-jaga dengan senjata di mesjid guna menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat.
Nabi berunding dan Suara-suara yang Mau Bertahan di Medinah
Keesokan harinya orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam — atau orang-orang munafik seperti disebutkan waktu itu dan seperti dilukiskan pula oleh Quran — oleh Nabi diminta berkumpul, lalu mereka sama-sama bermusyawarah, bagaimana seharusnya menghadapi musuh Nabi ‘alaihis-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraisy di luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul mendukung pendapat Nabi itu dengan mengatakan:
“Rasulullah, biasanya kami bertempur di tempat ini, kaum wanita dan anak-anak sebagai benteng kami lengkapi dengan batu. Kota kami sudah terjalin dengan bangunan sehingga ia merupakan benteng dari segenap penjuru. Apabila musuh sudah muncul, maka wanita-wanita dan anak, anak melempari mereka dengan batu. Kami sendiri menghadapi mereka dj jalan-jalan dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih perawan belum pernah diterobos orang. Setiap ada musuh menyerbu kami ke dalam kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap kami menyerbu musuh keluar, maka selalu kami yang dikuasai. Biarkanlah mereka itu, Rasulullah, ikutlah pendapat saya dalam hal ini. Saya mewarisi pendapat demikian ini dari pemuka-pemuka dan ahli-ahli pikir golongan kami.”
Apa yang dikatakan oleh Abdullah b. Ubay itu adalah merupakan pendapat terbesar sahabat-sahabat Rasulullah — baik Muhajirin ataupun Anshar, mereka sependapat dengan Rasul a.s. Akan tetapi pemudapemuda yang bersemangat yang belum mengalami perang Badr — juga orang-orang yang sudah pernah ikut dan mendapat kemenangan disertai hati yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat mengalahkan mereka — lebih suka berangkat keluar menghadapi musuh di tempat mereka berada. Mereka kuatir akan disangka segan keluar dan mau bertahan di Medinah karena takut menghadapi musuh. Seterusnya apabila mereka ini di pinggiran dan di dekat kota akan lebih kuat dari musuh. Ketika dulu mereka di Badr penduduk tidak mengenal mereka samasekali.
Suara-suara yang Mau Menyerang Menghadapi Musuh
Salah seorang di antara mereka ada yang berkata:
“Saya tidak ingin melihat Quraisy kembali ke tengah-tengah golongannya lalu mengatakan: Kami telah mengepung Muhammad di dalam benteng dan kubu-kubu Yathrib. Ini akan membuat Quraisy lebih berani. Mereka sekarang sudah menginjak-injak daun palm kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun kita, kebun kita tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang Quraisy yang sudah tinggal selama setahun dapat mengumpulkan orang, dapat menarik orang-orang Arab, dari badwinya sampai kepada Ahabisynya. Kemudian, dengan membawa kuda dan mengendarai unta, mereka kini telah sampai ke halaman kita. Mereka akan mengurung kita di dalam rumah kita sendiri? Di dalam benteng kita sendiri? Lalu mereka pulang kembali dengan kekayaan tanpa mengalami luka samasekali. Kalau kita turuti, mereka akan lebih berani. Mereka akan menyerang kita dan menaklukkan daerah-daerah kita. Kota kita akan berada di bawah pengawasan mereka. Kemudian jalan kita pun akan mereka potong.”
Selanjutnya penganjur-penganjur yang menghendaki supaya keluar menyongsong musuh masing-masing telah berbicara berturut-turut. Mereka semua mengatakan, bahwa bila Tuhan memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh itu, itulah yang mereka harapkan, dan itu pula kebenaran yang telah dijanjikan Tuhan kepada Rasul-Nya. Kalaupun mereka mengalami kekalahan dan mati syahid pula, mereka akan mendapat surga.
Suara Keberanian dan Kepahlawanan
Kata-kata yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid ini, sangat menggetarkan hati mereka. Jiwa mereka tergugah semua untuk sama-sama menempuh arus ini, untuk berbicara dengan nada yang sama. Waktu itu, bagi orang-orang yang kini sedang berhadap-hadapan dengan Muhammad, orang-orang yang hatinya sudah penuh dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada Quran dan Hari Kemudian, yang tampak di hadapan mereka hanyalah wajah kemenangan terhadap musuh agresor itu. Pedang-pedang mereka akan mencerai-beraikan musuh itu, akan membuat mereka centang-perenang, dan rampasan perang akan mereka kuasai. Lukisan surga adalah bagi mereka yang terbunuh di jalan agama. Di tempat itu akan terdapat segala yang menyenangkan hati dan mata, akan bertemu dengan kekasih yang juga sudah turut berperang dan mati syahid.
“Ucapan yang sia-sia tidak mereka dengar di tempat itu, juga tidak yang akan membawa dosa. Yang ada hanyalah ucapan “Damai! Damai!”
“Mudah-mudahan Tuhan memberikan kemenangan kepada kita, atau sebaliknya kita mati syahid,” kata Khaithama Abu Sa’d b. Khaithama. “Dalam perang Badr saya telah meleset. Saya sangat mendambakannya sekali, sehingga begitu besarnya kedambaan saya sampai saya bersama anak saya turut ambil bagian dalam pertempuran itu. Tapi kiranya dia yang beruntung, ia telah gugur, mati syahid. Semalam saya bermimpi bertemu dengan anak saya, dan dia berkata: Susullah kami, kita bertemu dalam surga. Sudah saya terima apa yang dijanjikan Tuhan kepada saya. Ya Rasulullah, sungguh rindu saya akan menemuinya dalam surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya ingin bertemu Tuhan.”
Suara-suara yang Mau Menyerang Lebih Banyak
Setelah jelas sekali suara terbanyak ada pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Muhammad berkata kepada mereka:
“Saya kuatir kamu akan kalah.”
Tetapi mereka ingin berangkat juga. Tak ada jalan lain ia pun menyerah kepada pendapat mereka. Cara musyawarah ini sudah menjadj undang-undang dalam kehidupannya. Dalam sesuatu masalah ia tidak may bertindak sendiri, kecuali yang sudah diwahyukan Tuhan kepadanya.
Hari itu hari Jum’at. Nabi memimpin sembahyang jamaah, dan kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan hati mereka itu, mereka akan beroleh kemenangan. Lalu dimintanya mereka bersiap-siap menghadapi musuh.
Cara Hidup dengan Musyawarah
Selesai sembahyang Asar Muhammad masuk ke dalam rumahnya diikuti oleh Abu Bakr dan Umar. Kedua orang ini memakaikan sorban dan baju besinya dan ia mengenakan pula pedangnya. Sementara ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang ramai bertukar pikiran. Usaid b. Hudzair dan Sa’d b. Mu’adh — keduanya termasuk orang yang berpendapat mau bertahan dalam kota — berkata kepada mereka yang berpendapat mau menyerang musuh di luar:
“Tuan-tuan mengetahui, Rasulullah berpendapat mau bertahan dalam kota, lalu tuan-tuan berpendapat lain lagi, dan memaksanya bertempur ke luar. Dia sendiri enggan berbuat demikian. Serahkan sajalah soal ini di tangannya. Apa yang diperintahkan kepadamu, jalankanlah. Apabila ada sesuatu yang disukainya atau ada pendapatnya, taatilah.”
Mendengar keterangan itu mereka yang menyerukan supaya menyerang saja, jadi lebih lunak. Mereka menganggap telah menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu datang dari Tuhan. Setelah kemudian Nabi datang kembali ke tengah-tengah mereka, dengan memakai baju besi dan sudah pula mengenakan pedangnya, mereka yang tadinya menghendaki supaya mengadakan serangan berkata:
“Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan.”
“Ke dalam pembicaraan yang semacam inilah saya ajak tuan-tuan tapi tuan-tuan menolak,” kata Muhammad. “Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.”
Muslimin Berangkat
Demikianlah prinsip musyawarah itu oleh Muhammad sudah dijadikan undang-undang dalam kehidupannya. Apabila sesuatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tapi orang yang akan mejaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang akan mencapai sukses.
Sekarang Muhammad berangkat memimpin kaum Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan’ ia berhenti. Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan, bahwa mereka itu orang-orang Yahudi sekutu Abdullah b. Ubay. Lalu kata Nabi “alaihis-salam: “Jangan minta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, — sebelum mereka masuk Islam.”
Yahudi dan Ibn Ubayy Kembali ke Medinah
Dalam pada itu orang-orang Yahudi itu pun kembali ke Medinah. Lalu kata sekutu Ibn Ubayy itu:
“Kau sudah menasehatinya dan sudah kauberikan pendapatmu berdasarkan pengalaman orang-orang tua dahulu. Sebenarnya dia sependapat dengan kau. Lalu dia menolak dan menuruti kehendak pemuda-pemuda yang menjadi pengikutnya.”
Percakapan mereka itu sangat menyenangkan hati Ibn Ubayy. Keesokan harinya ia berbalik menggabungkan diri dengan pasukan teman-temannya itu. Tinggal lagi Nabi dengan orang-orang yang benar-benar beriman, yang berjumlah 700 orang, akan berperang menghadapi 3000 orang terdiri dari orang-orang Quraisy Mekah, yang kesemuanya sudah memikul dendam yang tak terpenuhi ketika di Badr. Semua mereka ingin menuntut balas.
Nabi Menyusun Barisan
Pagi-pagi sekali kaum Muslimin berangkat menuju Uhud, Lalu mereka memotong jalan sedemikian rupa sehingga pihak musuh itu berada di belakang mereka. Selanjutnya Muhammad mengatur barisan para sahabat. Lima puluh orang barisan pemanah ditempatkan di lereng-lereng gunung, dan kepada mereka diperintahkan:
“Lindungi kami dari belakang, sebab kita kuatir mereka akan mendatangi kami dari belakang. Dan bertahanlah kamu di tempat itu, jangan ditinggalkan. Kalau kamu melihat kami dapat menghancurkan mereka sehingga kami memasuki pertahanan mereka, kamu jangan meninggalkan tempat kamu. Dan jika kamu lihat kami yang diserang jangan pula kami dibantu, juga jangan kami dipertahankan. Tetapi tugasmu ialah menghujani kuda mereka dengan panah, sebab dengan serangan panah kuda itu takkan dapat maju.”
Selain pasukan pemanah, yang lain tidak diperbolehkan menyerang siapa pun, sebelum ia memberi perintah menyerang.
Ada pun pihak Quraisy mereka pun juga sudah menyusun barisan. Barisan kanan dipimpin oleh Khalid bin’I-Walid sedang sayap kiri dipimpin oleh “Ikrima b. Abi Jahl. Bendera diserahkan kepada Abd! “Uzza Talha b. Abi Talha. Wanita-wanita Quraisy sambil memukul tambur dan genderang berjalan di tengah-tengah barisan itu. Kadang mereka di depan barisan, kadang di belakangnya. Mereka dipimpin oleh Hindun bt. “Utba, istri Abu Sufyan, seraya berteriak-teriak:
Hayo, Banu Abd’d-Dar
Hayo, hayo pengawal barisan belakang
Hantamlah dengan segala yang tajam.
Kamu maju kami peluk
Dan kami hamparkan kasur yang empuk
Atau kamu mundur kita berpisah
Berpisah tanpa cinta.
Kedua belah pihak sudah siap bertempur. Masing-masing sudah mengerahkan pasukannya. Yang selalu teringat oleh Quraisy ialah peristiwa Badr dan korban-korbannya. Yang selalu teringat oleh kaum Muslimin ialah Tuhan serta pertolongan-Nya. Muhammad berpidato dengan memberi semangat dalam menghadapi pertempuran itu. Ia menjanjikan pasukannya akan mendapat kemenangan apabila mereka tabah. Sebilah pedang dipegangnya sambil ia berkata:
“Siapa yang akan memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?”
Beberapa orang tampil. Tapi pedang itu tidak pula diberikan kepada mereka. Kemudian Abu Dujana Simak b. Kharasya dari Banu Sa’ida tampil seraya berkata:
“Apa tugasnya, Rasulullah?”
“Tugasnya ialah menghantamkan pedang kepada musuh sampai ia bengkok”, jawabnya.
Abu Dujana dan Pita Merah
Abu Dujana seorang laki-laki yang sangat berani. Ia mengenakan pita (kain) merah. Apabila pita merah itu sudah diikatkan orang pun mengetahui, bahwa ia sudah siap bertempur dan waktu itu pun ia sudah mengeluarkan pita mautnya itu.
Pedang diambilnya, pita dikeluarkan lalu diikatkannya di kepala. Kemudian ia berlagak di tengah-tengah dua barisan itu seperti biasanya apabila ia sudah siap menghadapi pertempuran. |
“Cara berjalan begini sangat dibenci Allah, kecuali dalam bidang ini,” kata Muhammad setelah dilihatnya orang itu berlagak.
Orang pertama yang mencetuskan perang di antara dua pihak: itu adalah Abu “Amir “Abd “Amr b. Shaifi al-Ausi (dari Aus). Orang ini sengaja pindah dari Medinah ke Mekah hendak membakar semangat Quraisy supaya memerangi Muhammad. Ia belum pernah ikut dalam perang Badr. Sekarang ia menerjunkan diri dalam perang Uhud dengan membawa lima belas orang dari golongan Aus. Ada juga budak-budak dari penduduk Mekah yang juga dibawanya. Menurut dugaannya, apabila nanti ia memanggil-manggil orang-orang Islam dari golongan Aus yang ikut berjuang di pihak Muhammad, niscaya mereka akan memenuhi panggilannya, akan berpihak kepadanya dan membantu Quraisy.
“Saudara-saudara dari Aus! Saya adalah Abu “Amir!” teriaknya memanggil-manggil.
Tetapi Muslimin dari kalangan Aus itu membalas:
“Tuhan takkan memberikan kesenangan kepadamu, durhaka!”
Perang pun lalu pecah. Budak-budak Quraisy serta “Ikrima b. Abi Jahl yang berada di sayap kiri, berusaha hendak menyerang Muslimin dari saMping, tapi pihak Muslimin menghujani mereka dengan batu sehingga Abu “Amir dan pengikut-pengikutnya lari tunggang-langgang. Ketika itu juga Hamzah b. Abd’l-Muttalib berteriak, membawa teriakan perang Uhud:
Sikap heroik Hamzah, Abu Dujana dan Ali
“Mati, mati!” Lalu ia terjun ke tengah-tengah tentara Quraisy itu, Ketika itu Talha b. Abi Talha, yang membawa bendera tentara Mekah berteriak pula:
“Siapa yang akan duel?”
Lalu Ali b. Abi Talib tampil menghadapinya. Dua orang dari dua barisan itu bertemu. Cepat-cepat Ali memberikan satu pukulan, yang membuat kepala lawannya itu belah dua. Nabi merasa lega dengan itu. Ketika itu juga kaum Muslimin bertakbir dan melancarkan serangannya. Dengan pedang Nabi di tangan dan mengikatkan pita maut di kepala, Abu Dujana pun terjun ke depan. Dibunuhnya setiap orang yang dijumpainya. Barisan orang-orang musyrik jadi kacau-balau. Kemudian ia melihat seseorang sedang mencencang-cencang sesosok tubuh manusia dengan keras sekali. Diangkatnya pedangnya dan diayunkannya kepada orang itu. Tetapi ternyata orang itu adalah Hindun bt. “Utba. Ia mundur. Terlalu mulia rasanya pedang Rasul akan dipukulkan kepada seorang wanita.
Dengan secara keras sekali pihak Quraisy pun menyerbu pula ke tengah-tengah pertempuran itu. Darahnya sudah mendidih ingin menuntut balas atas pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka mereka yang sudah tewas setahun yang lalu di Badr. Dua kekuatan yang tidak seimbang itu, baik jumlah orang maupun perlengkapan, sekarang berhadap-hadapan. Kekuatan dengan jumlah yang besar ini motifnya adalah balas-dendam, yang sejak perang Badr tidak pernah reda. Sedang jumlah yang lebih kecil motifnya adalah: pertama mempertahankan akidah, mempertahankan iman dan agama Allah, kedua mempertahankan tanah air dan segala kepentingannya. Mereka yang menuntut bela itu terdiri dari orang-orang yang lebih kuat dan jumlah pasukan yang lebih besar. Di belakang mereka itu kaum wanita turut pula mengobarkan semangat. Tidak sedikit di antara mereka yang membawa budak-budak itu menjanjikan akan memberikan hadiah yang besar apabila mereka dapat membalaskan dendam atas kematian seorang bapa, saudara, suami atau orang-orang yang dicintai lainnya, yang telah terbunuh di Badr, Hamzah b. Abd’I-Muttalib adalah seorang pahlawan Arab terbesar dan paling berani. Ketika terjadi perang Badr dialah yang telah menewaskan ayah dan saudara Hindun, begitu juga tidak sedikit orang-orang yang dicintainya yang telah ditewaskan. Seperti juga dalam perang Badr, dalam perang Uhud ini pun Hamzah adalah singa dan pedang Tuhan yang tajam. Ditewaskannya Arta b. “Abd Syurahbil, Siba’ b. “Abd’I-“Uzza al-Ghubsyani, dan setiap musuh yang dijumpainya nyawa mereka tidak luput dari renggutan pedangnya. Terbunuhnya Hamzah, Bapa Syuhada
Sementara itu Hindun bt. “Utba telah pula menjanjikan Wahsyi, orang Abisinia dan budak Jubair (b. Mut’im) akan memberikan hadiah besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah. Begitu juga Jubair b. Mut’im sendiri, tuannya, yang pamannya telah terbunuh di Badr, mengatakan kepadanya:
“Kalau Hamzah paman Muhammad itu kau bunuh, maka engkau kumerdekakan.” Wahsyi sendiri dalam hal ini bercerita sebagai berikut:
“Kemudian aku berangkat bersama rombongan. Aku adalah orang Abisinia yang apabila sudah melemparkan tombak cara Abisinia, jarang sekali meleset. Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia. Kemudian kulihat dia di tengah-tengah orang banyak itu seperti seekor unta kelabu sedang membabati orang dengan pedangnya. Lalu tombak kuayunkan-ayunkan, dan sesudah pasti sekali kulemparkan. Ia tepat mengenai sasaran di bawah perutnya, dan keluar dari antara dua kakinya. Kubiarkan tombak itu begitu sampai dia mati. Sesudah itu kuhampiri dia dan kuambil tombakku itu, lalu aku kembali ke markas dan aku diam di sana, sebab sudah tak ada tugas lain selain itu. Kubunuh dia hanya supaya aku dimerdekakan saja dari perbudakan. Dan sesudah aku pulang ke Mekah, ternyata aku dimerdekakan.”
Adapun mereka yang berjuang mempertahankan tanah air, contohnya terdapat pada Ouzman, salah seorang munafik, yang hanya pura-pura Islam. Ketika kaum Muslimin berangkat ke Uhud ia tinggal di belakang. Keesokan harinya, ia mendapat hinaan dari wanita-wanita Banu Zafar.
“Ouzman”, kata wanita-wanita itu. “Tidak malu engkau dengan sikapmu itu. Seperti perempuan saja kau. Orang semua berangkat kau tinggal dalam rumah.”
Dengan sikap berang Ouzman pulang ke rumahnya. Dikeluarkannya kudanya, tabung panah dan pedangnya. Ia dikenal sebagai seorang pemberani. Ia berangkat dengan memacu kudanya sampai ke tempat tentara. Sementara itu Nabi sedang menyusun barisan Muslimin. Ia terus menyeruak sampai ke barisan terdepan. Dia adalah orang pertama dari pihak Muslimin yang menerjunkan diri, dengan melepaskan panah demi panah, seperti tombak layaknya.
Hari sudah menjelang senja. Tampaknya ia lebih suka mati daripada lari. Ia sendiri lalu membunuh diri sesudah sempat membunuh tujuh orang Quraisy di Suway’a — selain mereka yang telah dibunuhnya pada permulaan pertempuran. Tatkala ia sedang sekarat itu, Abu’I-Khaidag lewat di tempat itu.
“Ouzman, beruntung kau akan mati syahid”, katanya.
“Abu “Amr”, kata Ouzman. “Sungguh saya bertempur bukan atas dasar agama. Saya bertempur hanya sekadar menjaga jangan sampai Quraisy memasuki tempat kami dan melanda kehormatan kami, meng, Injak-injak kebun kami. Saya berperang hanya untuk menjaga nama keturunan masyarakat kami. Kalau tidak karena itu saya tidak akan berperang.”
Sebaliknya mereka yang benar-benar beriman, jumlahnya tidak lebih dari 700 orang. Mereka bertempur melawan 3000 orang. Kita sudah melihat, tindakan Hamzah dan Abu Dujana yang telah memperlihatkan Suatu teladan dalam arti kekuatan moril yang tinggi pada mereka itu, Suatu kekuatan yang telah membuat barisan Quraisy jadi lemas seperti rotan, membuat pahlawan-pahlawan Quraisy, yang tadinya di kalangan Arab keberaniannya dijadikan suri teladan, telah mundur dan surut, Setiap panji mereka lepas dari tangan yang seorang panji itu diterima oleh yang lain di belakangnya. Setelah Talha b. Abi Talha tewas di tangan Ali datang “Uthman b. Abi Talha menyambut bendera itu, yang juga kemudian menemui ajalnya di tangan Hamzah. Seterusnya bendera itu dibawa oleh Abu Sa’d b. Abi Talha sambil berkata:
“Kamu mendakwakan bahwa korban-korban kamu dalam surga dan korban-korban kami dalam neraka! Kamu bohong! Kalau kamu benar. benar orang beriman majulah siapa saja yang mau melawanku”:
Entah Ali atau Sa’d b. Abi Waggash ketika itu menghantamkan pedangnya dengan sekali pukul hingga kepala orang itu terbelah.
Berturut-turut pembawa bendera itu muncul dari Banu Abd’d-Dar. Jumlah mereka yang tewas telah mencapai sembilan orang, yang terakhir ialah Shu’ab orang Abisinia, budak Banu Abd’d-Dar. Tangan kanan orang itu telah dihantam oleh Ouzman, maka bendera itu dibawanya dengan tangan kiri. Tangan kiri ini pun oleh Ouzman dihantam lagi dengan pedangnya. Sekarang bendera itu oleh Shu’ab dipeluknya dengan lengan ke dadanya, kemudian ia membungkuk sambil berkata: Hai Banu Abd’dDar, sudahkah kau maafkan? Lalu ia ditewaskan entah oleh Ouzman atau oleh Sa’d bin Abi Waggash, sumbernya masih berbeda-beda.
Setelah mereka yang membawa bendera itu tewas semua, pasukan orang-orang musyrik itu hancur. Mereka sudah tidak tahu lagi bahwa mereka dikerumuni oleh wanita-wanita, bahwa berhala yang mereka mintai restunya telah terjatuh dari atas unta dan pelangking yang membawanya.
Kekuatan Akidah dan Iman
Kemenangan Muslimin dalam perang Uhud pada pagi hari itu sebenarnya adalah suatu mukjizat. Adakalanya orang menafsirkan, bahwa kemenangan itu disebabkan oleh kemahiran Muhammad mengatur barisan pemanah di lereng bukit, merintangi pasukan berkuda dengan anak panah sehingga mereka tidak dapat maju, juga tidak dapat menyergap Muslimin dari belakang. Ini memang benar. Tetapi juga tidak salah, bahwa 600 orang Muslimin yang menyerbu jumlah sebanyak lima kali lipat itu pun, dengan perlengkapan yang juga demikian, motifnya adalah iman, iman yang sungguh-sungguh, bahwa mereka dalam kebenaran.
Inilah yang membawa mukjizat kepahlawanan melebihi kepandaian pimpinan. Barangsiapa yang telah beriman kepada kebenaran, ia takkan goncang oleh kekuatan materi, betapa pun besarnya. Semua kekuatan batil yang digabungkan sekalipun, takkan dapat menggoyahkan kebulatan tekadnya itu. Dapatkah kita menganggap cukup dengan kepandaian pimpinan itu saja, padahal barisan pemanah yang oleh Nabi ditempatkan di lereng bukit itu jumlahnya tidak lebih dari 50 orang? Andaikata sekalipun mereka itu terdiri dari 200 orang atau 300 orang, mendapat serbuan dari mereka yang sudah bertekad mati, niscaya mereka tidak akan dapat bertahan. Tetapi kekuatan yang terbesar, ialah kekuatan konsepsi, kekuatan akidah, kekuatan iman yang sungguh-sungguh akan adanya Kebenaran Tertinggi. Kekuatan inilah yang takkan dapat ditaklukkan selama orang masih teguh berpegang kepada kebenaran itu.
Karena itulah, 3000 orang pasukan berkuda Quraisy jadi hancur menghadapi serangan 60 orang Muslimin. Dan hampir-hampir pula wanita-wanita mereka pun akan menjadi.tawanan perang yang hina dina. Sibuk dengan Rampasan Perang
Muslimin kini mengejar musuh itu sampai mereka meletakkan senjata di mana saja asal jauh dari bekas markas mereka. Kaum Muslimin sekarang mulai memperebutkan rampasan perang. Alangkah banyaknya jumlah rampasan perang itu! Hal ini membuat mereka lupa mengikuti terus jejak musuh, karena sudah mengharapkan kekayaan duniawi.
Mereka ini ternyata dilihat oleh pasukan pemanah yang oleh Rasul diminta jangan meninggalkan tempat di gunung itu, sekalipun mereka melihat kawan-kawannya diserang. Dengan tak dapat menahan air liur melihat rampasan perang itu, kepada satu sama lain mereka berkata:
“Kenapa kita masih tinggal di sini juga dengan tidak ada apa-apa. Tuhan telah menghancurkan musuh kita. Mereka, saudara-saudara kita itu, sudah merebut markas musuh. Ke sanalah juga kita, ikut mengambij rampasan itu.”
Yang seorang lagi tentu menjawab:
“Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan tempa, kita ini? Sekalipun kami diserang janganlah kami dibantu.”
Yang pertama berkata lagi:
“Rasulullah tidak menghendaki kita tinggal di sini terus-menerus setelah Tuhan menghancurkan kaum musyrik itu.” Pasukan Pemanah Melanggar Perintah Nabi dan Khalid bin’-Walid Mengambil Posisi Mereka
Lalu mereka berselisih. Ketika itu juga tampil Abdullah bin Jubair berpidato agar jangan mereka itu melanggar perintah Rasul. Tetapi mereka sebagian besar tidak patuh. Mereka berangkat juga. Yang masih tinggal hanya beberapa orang saja, tidak sampai sepuluh orang. Seperti kesibukan Muslimin yang lain, mereka yang ikut bergegas itu pun sibuk pula dengan harta rampasan. Pada waktu itulah Khalid bin’I-Walid mengambil kesempatan — dia sebagai komandan kavaleri Mekah – pasukannya dikerahkan ke tempat pasukan pemanah, dan mereka ini pun berhasil dikeluarkan dari sana. Bencana yang Menimpa Muslimin
Tindakan ini tidak disadari oleh pihak Muslimin. Mereka sangat sibuk untuk memperhatikan soal itu atau soal apa pun, karena sedang menghadapi harta rampasan perang yang mereka keduk habis-habisan itu, sehingga tiada seorang pun yang membiarkan apa saja yang dapat mereka ambil. Sementara mereka sedang dalam keadaan serupa itu, tiba-tiba Khalid bin’-Walid berseru sekuat-kuatnya, dan sekaligus pihak Quraisy pun mengerti, bahwa ia telah dapat membalikkan anak buahnya ke belakang tentara Muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul mundur sekarang kembali lagi maju dan mendera Muslimin dengan pukulan maut yang hebat sekali. Di sinilah giliran bencana itu berbalik. Setiap Muslim telah melemparkan kembali hasil renggutan yang sudah ada di tangan itu, dan kembali pula mereka mencabut pedang hendak bertempur lagi.
Tetapi sayang, sayang sekali! Barisan sudah centang-perenang, persatuan sudah pecah-belah, pahlawan-pahlawan teladan dari kalangan Muslimin telah dihantam oleh pihak Quraisy. Mereka yang tadinya berjuang dengan perintah Tuhan hendak mempertahankan iman, sekarang berjuang hendak menyelamatkan diri dari cengkaman maut, dari lembah kehinaan. Mereka yang tadinya berjuang dengan bersatu-padu, sekarang mereka berjuang dengan bercerai-berai. Tak tahu lagi haluan hendak ke mana. Tadinya mereka berjuang di bawah satu pimpinan yang kuat dan teguh, sekarang berjuang tanpa pimpinan lagi.
Jadi tidak heran, apabila ada seorang Muslim menghantamkan pedangnya kepada sesama Muslim dengan tiada disadarinya.
Dalam pada .itu terdengar pula ada suara orang berteriak-teriak, bahwa Muhammad sudah terbunuh. Keadaan makin panik, makin kacaupalau. Kaum Muslimin jadi berselisih, jadi saling bunuh-membunuh, satu sama lain saling hantam-menghantam, dengan tiada mereka sadari lagi karena mereka sudah tergopoh-gopoh, sudah kebingungan. Kaum Musfimin telah membunuh sesama Muslim, Husail b. Jabir membunuh Abu Hudhaifa karena sudah tidak diketahuinya lagi. Yang paling penting bagi setiap Muslim ialah menyelamatkan diri, kecuali mereka yang telah mendapat perlindungan Tuhan, seperti Ali b. Abi Talib misalnya.
Yang Menimpa Rasulullah
Akan tetapi begitu Quraisy mendengar Muhammad telah terbunuh, seperti banjir mereka terjun mengalir ke jurusan tempat dia tadinya berada. Masing-masing ingin supaya dialah yang membunuhnya atau ikut memegang peranan di dalamnya, suatu hal yang akan dibanggakan oleh generasi kemudian. Ketika itulah Muslimin yang dekat sekali dengan Nabi bertindak mengelilinginya, menjaga dan melindunginya. Iman mereka telah tergugah kembali memenuhi jiwa, mereka kembali mendambakan mati, dan hidup duniawi ini dirasanya sudah tak ada arti lagi. Iman mereka makin besar, keberanian mereka makin bertambah bilamana mereka melihat batu yang dilemparkan Quraisy itu telah mengenai diri Nabi. Gigi gerahamnya yang sebelah terkena, wajahnya pecah-pecah dan bibirnya luka-luka. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi wajahnya, telah menusuk pula menembusi pipinya. Batu-batu yang menimpanya itu dilemparkan oleh “Utba b. Abi Waggash.
Sekarang Rasul dapat menguasai diri. Ia berjalan sambil dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Tetapi tiba-tiba ia terperosok ke dalam sebuah lubang yang sengaja digali oleh Abu “Amir guna menjerumuskan kaum Muslimin. Cepat-cepat Ali b. Abi Talib menghampirinya, dipegangnya tangannya, dan Talha bin “Ubaidillah mengangkatnya hingga ia berdiri kembali. Ia meneruskan perjalanan dengan sahabat-sahabatnya itu, terus mendaki Gunung Uhud, dan dengan demikian dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh.
Bersedia Mati Membela Rasul
Pada waktu itu juga Muslimin berkumpul di sekitar mereka. Dalam membela Rasul dan menjaga keselamatannya, mereka bersedia mati. Hari itu menjelang tengah hari, Umm “Umara — seorang wanita Anshar berangkat pula membawa air berkeliling dengan membagi-bagikan ai, itu kepada Muslimin yang sedang berjuang itu. Setelah melihat Muslimin terpukul mundur, dilemparkannya tempat air itu dan dengan Menghunus pedang wanita itu terjun pula ikut bertempur, ikut melindungi Muhammag dengan pedang dan dengan melepaskan anak panah, sehingga karenanya dia sendiri mengalami luka-luka. Sementara Abu Dujana membuat dirinya sebagai perisai melindungi Rasulullah, dengan membungkukkan pung. gungnya, sehingga lemparan anak panah musuh mengenai dirinya. Sedang di samping Muhammad Sa’d b. Abi Waggash melepaskan pula panahnya dan Muhammad memberikan anak panah itu seraya berkata: “Lepaskan (anak panah itu). Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu.”?
Sebelum itu Muhammad melepaskan sendiri anak panahnya, sampai, sampai ujung busurnya itu patah.
Adapun mereka yang mengira Muhammad telah tewas – termasuk di antara mereka itu Abu Bakr dan Umar — pergi ke arah gunung dan mereka ini sudah pasrah. Hal ini diketahui oleh Anas bin’n-Nadzr yang lalu berkata kepada mereka:
“Kenapa kamu duduk-duduk di sini?”
“Rasulullah sudah terbunuh,” jawab mereka.
“Perlu apa lagi kita hidup sesudah itu? Bangunlah! Dan biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama.”
Kemudian ia maju menghadapi musuh. Ia bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya. Akhirnya ia baru menemui ajalnya setelah mengalami tujuh puluh pukulan musuh, sehingga ketika itu orang tidak dapat lagi mengenalnya, kalau tidak karena saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenal dia dari ujung jarinya.
Karena sudah percaya sekali akan kematian Muhammad, bukan main girangnya pihak Quraisy waktu itu, Abu Sufyan pun sibuk pula mencari nya di tengah-tengah para korban. Soalnya ialah mereka yang telah menjaga keselamatan Rasulullah tidak membantah berita kematiannya itu, sebab memang diperintahkan demikian oleh Rasul, dengan maksud supaya pihak Quraisy jangan sampai memperbanyak lagi jumlah pasukannya yang berarti akan memberikan kemenangan kepada mereka.
Akan tetapi tatkala Ka’b bin Malik datang mendekati Abu Dujana dan anak buahnya, ia segera mengenal Muhammad waktu dilihatnya sinar matanya yang berkilau dari balik topi besi penutup mukanya itu. Ia memanggil-manggil dengan suara yang sekeras-kerasnya:
“Saudara-saudara kaum Muslimin! Selamat, selamat! Ini Rasulullah!”
Ketika itu Nabi memberi isyarat kepadanya supaya diam. Tetap begitu Muslimin mengetahui hal itu, Nabi segera mereka angkat dan ia pun berjalan pula bersama mereka ke arah celah bukit didampingi oleh Aby Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib, Zubair bin’I–Awwam dan yang lain Teriakan Ka’b itu pada pihak Quraisy juga ada pengaruhnya. Memang benar, bahwa sebagian besar mereka tidak mempercayai teriakan itu sebab menurut anggapan mereka itu hanya untuk memperkuat semanga kaum Muslimin saja. Tetapi dari mereka itu ada juga yang lalu segera pergi mengikuti Muhammad dan rombongannya itu dari belakang. Ubayy b. Khalaf kemudian dapat menyusul mereka, dan lalu bertanya:
“Mana Muhammad?! Aku tidak akan selamat kalau dia yang masih selamat,” katanya.
Waktu itu juga oleh Rasul ia ditetaknya dengan tombak Harith bin’sh. Shimma demikian rupa, sehingga ia terhuyung-huyung di atas kudanya dan kembali pulang untuk kemudian mati di tengah jalan.
Sesampainya Muslimin di ujung bukit itu, Ali pergi lagi mengisi air ke dalam perisai kulitnya. Darah yang di wajah Muhammad dibasuhnya serta menyirami kepalanya dengan air. Dua keping pecahan rantai besi penutup muka yang menembus wajah Rasul itu oleh Abu “Ubaida bin’I-Jarrah dicabut sampai dua buah gigi serinya tanggal.
Selama mereka dalam keadaan itu tiba-tiba Khalid bin’I-Walid dengan pasukan berkudanya sudah berada di atas bukit. Tetapi Umar bin’l. Khattab dengan beberapa orang sahabat Rasul segera menyerang dan berhasil mengusir mereka. Sementara itu orang-orang Islam sudah makin tinggi mendaki gunung. Tetapi keadaan mereka sudah begitu payah, begitu letih tampaknya, sampai-sampai Nabi melakukan salat lohor sambil duduk -juga karena luka-luka yang dideritanya, — demikian juga kaum Muslimin yang lain melakukan salat makmum di belakangnya, sambil duduk pula.
Sebaliknya pihak Quraisy dengan kemenangannya itu mereka sudah girang sekali. Terhadap peristiwa perang Badr mereka merasa sudah sungguh-sungguh dapat membalas dendam. Seperti kata Abu Sufyan: “Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!”
Mayat-mayat Muslimin Dianiaya
Tetapi istrinya, Hindun bint “Utba tidak cukup hanya dengan kemenangan, dan tidak cukup hanya dengan tewasnya Hamzah b. Abd’lMuttalib, malah bersama-sama dengan wanita-wanita lain dalam rombongannya itu ia pergi lagi hendak menganiaya mayat-mayat Muslimin, mereka memotongi telinga-telinga dan hidung-hidung mayat itu, yang oleh Hindun lalu dipakainya sebagai kalung dan anting-anting. Kemudian diteruskannya lagi, dibedahnya perut Hamzah, dikeluarkannya jantungnya, lalu dikunyahnya dengan giginya: tapi ia tak dapat menelannya, Begitu kejinya perbuatannya itu, begitu juga perbuatan wanita-wanita anggota rombongannya, bahkan kaum prianya pun turut pula melakukan kejahatan serupa itu, sehingga Abu Sufyan sendiri menyatakan lepas tangan dari perbuatan itu. Ia menyatakan, bahwa dia samasekali tidak memerintahkan orang berbuat serupa itu, sekalipun dia sudah terlibat di dalamnya. Bahkan ia pernah berkata, yang ditujukan kepada salah seorang Islam. “Mayat-mayatmu telah mengalami penganiayaan. Tapi aku sungguh tidak senang, juga tidak benci: aku tidak melarang, juga tidak memerintahkan.” Dukacita Muhammad terhadap Hamzah
Selesai menguburkan mayat-mayatnya sendiri, Quraisy pun pergi. Sekarang kaum Muslimin kembali ke garis depan guna menguburkan mayat-mayatnya pula. Kemudian Muhammad pergi hendak mencari Hamzah, pamannya. Bilamana kemudian ia melihatnya sudah dianiaya dan perutnya sudah dibedah, ia merasa sangat sedih sekali, sehingga ia berkata:
“Takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti kejadian itu.” Lalu katanya lagi:
“Demi Allah, kalau pada suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab.”
Dalam kejadian inilah firman Tuhan turun.
“Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi kalau kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati tabah (sabar). Dan hendaklah kau tabahkan hatimu, dan ketabahan hatimu itu hanyalah dengan berpegang kepada Tuhan. Jangan pula engkau bersedih hati terhadap mereka, jangan engkau bersesak dada menghadapi apa yang mereka rencanakan itu.”
Lalu Rasulullah memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan ia melarang orang melakukan penganiayaan. Diselubunginya jenazah Hamzah itu dengan mantelnya lalu disembahyangkannya. Ketika itu Shafia bt Abd’l-Muttalib — saudara perempuannya — juga datang. Ditatapnya saudaranya itu, lalu ia pun menyembahyangkannya dan mendoakan pengampunan baginya.
Penguburan dan Kembali ke Medinah
Nabi memerintahkan supaya korban-korban itu dikuburkan di tempat mereka menemui ajalnya dan Hamzah juga dikuburkan. Sesudah itu kaum Muslimin berangkat pulang ke Medinah, di bawah pimpinan Muhammad, dengan meninggalkan 70 orang korban. Kepedihan terasa sekali melecut hati mereka, karena kehancuran yang mereka alami setelah mendapat kemenangan, karena rasa hina serta rendah diri yang menimpa mereka, setelah mendapat sukses yang gilang-gemilang. Semua kejadian itu ialah karena pasukan pemanah sudah melanggar perintah Nabi. Muslimin sudah terlalu sibuk mengurus rampasan perang dari pihak musuh.
Nabi memasuki rumahnya dengan penuh pikiran. Orang-orang Yahudi, orang-orang munafik dan musyrik di Yathrib memperlihatkan perasaan gembira yang luar biasa melihat kehancuran yang dialaminya dan dialami sahabat-sahabatnya itu. Kewibawaan Muslimin di Medinah yang sudah mulai stabil, dan tak ada lagi pihak yang merongrongnya, sekarang sudah hampir pula goncang dan goyah.
Abdullah b. Ubayy b. Salul sudah berbalik dari rombongan itu, ia pulang kembali dari Uhud, tidak ikut serta dalam pertempuran, dengan alasan bahwa karena Muhammad tidak mau menerima pendapatnya, atau karena Muhammad marah kepada orang-orang Yahudi anak buahnya. Sekiranya kekalahan Uhud itu merupakan keputusan terakhir dalam hubungannya antara Muslimin dengan Quraisy yang akan menentukan kedudukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya di kalangan Arab, tentu kewibawaan mereka di Yathrib akan goyah dan akan menjadi sasaran ejekan Quraisy. Di mana-mana di seluruh jazirah Arab akan disebarkan pula cemoohan-cemoohan demikian itu. Sekiranya ini jugalah yang terjadi tentu akibatnya akan memberikan keberanian kepada orang-orang musyrik dan penyembah-penyembah berhala terhadap agama Allah. Maka ini berarti suatu bencana besar.
Oleh karena itu harus ada pukulan yang benar-benar berani, yang akan dapat mengurangi beban kekalahan selama di Uhud, akan mengembalikan kekuatan moril Muslimin dan sekaligus dapat menimbulkan kegentaran pada pihak Yahudi dan orang-orang munafik. Dengan demikian kewibawaan Muhammad dan sahabat-sahabatnya di Yathrib akan kembali kuat seperti sediakala.
Berhadapan dengan Musuh Lagi
Keesokan harinya setelah peristiwa Uhud — yang terjadi pada malam 16 Syawal (tahun ke 5 Hijrah) — salah seorang muazzin Nabi berseru kepada Muslimin dan mengerahkan mereka supaya bersiap-siap meng, hadapi musuh dan mengadakan pengejaran. Tetapi yang dimintanya hanya mereka yang pernah turut dalam peperangan itu. Setelah kaum Muslimin berangkat, pihak Abu Sufyan merasa ketakutan sekali, bahwa musuhnya yang dari Medinah itu sekarang datang dengan bantuan baru. Tidak berani ia menghadapi mereka.
Sementara itu Muhammad pun sudah sampai pula di Hamra’ I-Asad.! Sedang Abu Sufyan dan teman-temannya berada di Rauha’. Waktu itu Ma’bad al-Khuza’i lewat dan sebelumnya ia sudah pula lewat di tempat Muhammad dan rombongannya itu. Ia ditanya oleh Abu Sufyan tentang keadaan mereka itu, yang oleh Ma’bad — ketika itu ia masih dalam syirik – dijawab:
“Muhammad dan sahabat-sahabatnya sudah berangkat mau mencari kamu, dalam jumlah yang belum pernah kulihat semacam itu. Orang. orang yang dulunya tidak ikut, sekarang mereka menggabungkan diri dengan dia. Mereka semua terdiri dari orang-orang yang sangat geram kepadamu, orang-orang yang hendak membalas dendam.”
Akan terpikir juga oleh Abu Sufyan bagaimana pula nanti akibatnya apabila ia lari dari Muhammad dan tidak sampai menghadapinya sesudah ia pernah mendapat kemenangan?! Bukankah Quraisy nanti akan dicemooh oleh orang-orang Arab seperti yang pernah diinginkannya akan terjadi demikian terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya?! Baiklah, misalnya ia kembali menghadapi Muhammad lalu ia dikalahkan oleh Muslimin, bukanlah itu berarti bahwa bagi Quraisy sudah tamat riwayatnya dan tidak akan pernah bangun kembali!? Lalu dicarinya suatu helat, diusutnya sebuah kafilah dari suku Abd’l-Oais pergi ke Medinah dengan memberitahukan kepada Muhammad bahwa ia (Abu Sufyan) sudah memutuskan akan berangkat menyerbu, dia dan sahabat-sahabatnya akan digempur dan dikikis habis sampai ke sisa-sisanya. Setelah oleh rombongan pesan itu disampaikan kepada Muhammad di Hamra’ ‘I-Asad, sedikit pun semangat dan ketabahannya tidak goyah. Bahkan sepanjang malam selama tiga hari itu terus-menerus ia memasang api unggun, sekalian mau menunjukkan kepada Quraisy bahwa ia tetap siap-siaga dan menunggu kedatangan mereka. Akhirnya semangat Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy jadi buyar sendiri. Mereka lebih suka bertahan dengan kemenangan di Uhud itu. Kemudian mereka pun kembali pulang menuju arah ke Mekah.
Muhammad juga lalu kembali ke Medinah. Sudah banyak posisi yang dapat diambil kembali setelah tadinya mengalami kegoyahan akibat peristiwa Uhud itu, meskipun kaum munafik mulai pula mengangkat kepala menertawakan kaum Muslimin sambil menanyakan: Kalau peristiwa Badr itu merupakan pertanda dari Tuhan atas kerasulan Muhammad, maka dengan peristiwa Uhud itu apa pula konon pertandanya dan apa yang akan jadi alamatnya??!
Politik Muhammad Sesudah Uhud -Pasukan Abu Salama — Pasukan Abdullah b. “Unais — Peristiwa ar-Raji’ (tahun 625 M) — Zaid b. Khubaib Dibunuh – Orientalis Diam Saja — Peristiwa Bi’ir Ma’una (tahun 625 M) — Orang-orang Yahudi dan Orang-orang Munafik di Medinah — Yahudi Berkomplot terhadap Muhammad – Abdullah b. Ubayy Membakar Semangat Orang-orang Yahudi — Banu Nadzir Dikepung -Exodus -Sekretaris Nabi — Badr Terakhir — Ekspedisi Dhat’r-Riga’ – Ekspedisi Dumat’i-Jandal
ABU SUFYAN telah kembali dari Uhud ke Mekah. Berita-berita kemenangannya sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk dengan rasa gembira, karena dianggap sudah dapat menghapus cemar yang dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke Mekah, langsung menuju Ka’bah sebelum ia pulang ke rumah. Kepada Hubal dewa terbesar ia menyatakan puji dan syukur. Dicukurnya lebih dulu rambut yang di bawah telinganya, lalu ia pulang ke rumah sebagai orang yang sudah memenuhi janji bahwa ia takkan mendekati istrinya sebelum dapat mengalahkan Muhammad.
Sebaliknya kalangan Muslimin, mereka melihat kota Medinah sudah banyak terasa aneh sekali, meskipun musuh tetap mengejar-ngejar mereka. Selama tiga hari terus-menerus mereka tetap tabah menghadapi musuh yang masih tidak mempunyai keberanian menghadapi mereka itu. Padahal belum selang dua puluh empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai pihak yang menang.
Politik Muhammad Sesudah Uhud
Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu sudah terasa banyak sekali mengalami perubahan, meskipun kekuasaan Muhammad di kota itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi a.s. merasa, bahwa keadaan memang sudah sangat genting dan gawat sekali, bukan hanya dalam kota Medinah saja, bahkan juga sudah melampaui sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang sudah merasa ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada mereka, sehingga terpikir oleh mereka itu hendak menentangnya lagi dan mengadakan perlawanan. Oleh karena itu ia ingin sekali mengikuti berita-berita sekitar penduduk Medinah dan kalangan Arab umumnya, yang kiranya akan memberikan suatu kemungkinan menempatkan kembali kedudukan, kekuatan dan kewibawaan Muslimin ke dalam hati mereka.
Berita pertama yang sampai kepadanya sesudah peristiwa Uhud, ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua bersaudara — dan keduanya waktu itu yang memimpin Banu Asad — sedang mengerahkan masyarakatnya dan mereka yang mau menaatinya, untuk menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam rumahnya sendiri dengan maksud memperoleh keuntungan dan merampas ternak Muslimin yang dipelihara di ladang-ladang sekeliling kota itu. Yang menyebabkan mereka berani berbuat begitu ialah karena anggapan bahwa Muhammad dan temantemannya masih menderita karena telah mengalami pukulan hebat selama di Uhud.
Pasukan Abu Salama
Berita itu terbetik juga oleh Nabi. Ia segera memanggil Abu Salama b. Abd’I-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan yang terdiri dari 150 orang, termasuk Abu ‘Ubaida bin’I-Jarrah, Sa’d b. Abi Waggash dan Usaid b. Hudzair. Mereka diperintahkan supaya berjalan pada malam hari dan siangnya bersembunyi dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui orang, supaya jangan ada orang yang mengenal jejak mereka. Dengan demikian mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara yang tiba-tiba sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia berhasil menyerbu musuh dalam keadaan tidak siap. Dalam pagi buta mereka sudah terkepung. Dikerahkannya anak buahnya dalam menghadapi perjuangan itu. Tetapi pihak musyrik sudah tak dapat bertahan lagi. Dua pasukan segera dikirim mengejar mereka dan merebut rampasan perang yang ada. ia dan anak buahnya menunggu di tempat itu sambil menantikan pasukan pengejar itu kembali membawa rampasan perang.
Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan untuk Tuhan, untuk Rasul, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu mereka kembali ke Medinah dengan sudah membawa kemenangan. Kewibawaan yang karena peristiwa Uhud itu terasa sudah agak berkurang, kini mulai kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri hidup tidak lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka akibat perang Uhud dan luka-lukanya itu belum sembuh benar kecuali yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah ia bekerja keras lukanya itu terbuka dan kembali mengucurkan darah, yang diderita terus sampai meninggalnya.
Pasukan Abdullah b. “Unais
Sesudah itu kemudian sampai pula berita kepada Muhammad bahwa Khalid b. Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang tinggal di Nakhla atau dj “Urana telah mengumpulkan orang pula hendak menyerangnya. Men. dengar ini Muhammad segera mengutus Abdullah b. Unais meneliti dan mencek kebenaran berita tersebut. Abdullah berjalan menuju ke tempat Khalid, yang ketika itu dijumpainya ia sedang berada di rumah bersama dengan istri-istrinya.
“Siapa kamu”, tanya Khalid setelah Abdullah sampai.
“Saya dari golongan Arab juga,” jawabnya. “Mendengar tuan mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya datang kemari.”
Khalid berterus-terang, bahwa ia memang sedang mengumpulkan orang hendak menyerang Medinah. Setelah Abdullah melihat sekarang ia seorang diri jauh dari anak-buahnya — kecuali istri-istrinya — dicarinya jalan supaya ia mau berjalan bersama-sama. Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang itu dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya dia di tangan istri-istrinya yang berkerumun menangisinya. Sekembalinya ke Medinah disampaikannya berita itu kepada Rasul. .
Setelah kematian pemimpinnya itu, Banu Lihyan sebagai cabang Hudhail yang selama beberapa waktu tenang-tenang saja, sekarang mulai terpikir akan mengadakan pembalasan dengan suatu tipu-muslihat.
Pada waktu itulah kabilah yang berdekatan itu mengutus rombongan kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan kami ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa orang sahabat tuan bersama kami, yang akan dapat kelak mengajarkan hukum agama dan Quran kepada kami.
Peristiwa Ar-Raji’ (tahun 625)
Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap diperlukan pada waktu itu Muhammad selalu siap mengutus sahabat-sahabatnya untuk memberikan bimbingan kepada orang dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi pengikut Muhammad dan sahabatsahabatnya menghadapi lawan, seperti yang sudah kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke Medinah sesudah Ikrar “Agaba kedua. Oleh karena itu enam orang sahabat besar kemudian diutusnya berangkat bersamasama dengan rombongan utusan itu. Tetapi sesampainya di suatu pangkalan air kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang disebut Ar-Raji’, ternyata mereka telah dikhianati, dengan tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan Hudhail. Tetapi sni tidak membuat keenam orang Muslimin itu jadi gugup ketakutan, yang dalam perlengkapannya itu mereka hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang hendak mempertahankan diri, Tetapi pihak Hudhail berkata kepada mereka:
“Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan kamu ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak bermaksud membunuh kamu.”
Keenam orang Muslim itu berpandang-pandangan. Mereka sadar sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke Mekah itu berarti suatu penghinaan yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan. Mereka menolak janji Hudhail itu, dan mereka tetap akan mengadakan perjawanan, meskipun mereka sudah menyadari, bahwa dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang dari mereka ini dibunuh oleb Hudhail, sedang sisanya sudah makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan dibawa sebagai tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b. Tarig, salah seorang dari ketiga orang Islam itu di tengah jalan berhasil melepaskan belenggu dari tangannya lalu ia mencabut pedang. Oleh karena rombongan yang lain berada di belakangnya, dihujaninya ia dengan batu dan ia pun tewas karenanya.
Kedua orang tawanan lainnya sempat dibawa oleh Hudhail ke Mekah, lalu dijual. Zaid bin’d-Dathinna dijual kepada Shafwan b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan kepada Nastas, budaknya supaya membunuhnya sebagai balasan atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf. Ketika dibawa, oleh Abu Sufyan ia ditanya:
“Zaid, sangat kuharapkan sekali. Bersediakah engkau memberikan tempatmu itu kepada Muhammad? Dialah yang harus dipenggal lehernya, sedang engkau dapat kembali kepada keluargamu.”
“Tidak,” jawab Zaid. “Sekiranya Muhammad di tempatnya sekarang ini akan menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku di tempat keluarga, aku tidak sudi.”
Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya:
“Belum pernah aku melihat seseorang mencintai kawannya demikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”
Zaid b. Khubaib Dibunuh Zaid lalu dibunuh oleh Nastas. Maka ia pun gugur sebagai syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi. Adapun Khubaib waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka:
“Dapatkah kamu membiarkan aku sekadar melakukan salat dua rakaat?”
Permintaan demikian itu dikabulkan. Ia pun sembahyang dua raka’at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka lagi:
“Kalau tidak karena kamu akan menyangka saya sengaja memper, lambat karena takut dibunuh, niscaya saya masih akan sembahyang lebih banyak lagi.”
Setelah ia dinaikkan dan diikat di atas tonggak kayu, dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya:
“Ya Allah, hitungkan bilangan mereka itu, binasakan mereka dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorang pun dari mereka itu.”
Mendengar suara yang keras itu mereka gemetar, mereka merebahkan diri takut terkena kutukannya. Sesudah itu ia pun dibunuh. Seperti Zaig yang telah gugur sebagai syahid. Khubaib juga kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang pula. Padahal, sebenarnya mereka akan dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad meninggalkan agamanya. Tetapi demi keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada keluhuran rohani dan hari kemudian — tatkala setiap jiwa hanya akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada orang yang akan memikul beban orang lain — mereka melihat maut itu – sebagai tujuan hidup — adalah tujuan yang paling baik dalam hidupnya demi akidah, demi iman dan demi kebenaran. Mereka pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di atas bumi Mekah, akan memanggil saudara-saudaranya kaum Muslimin supaya memasuki kota itu sebagai pihak yang menang, yang akan menghancurkan berhala-berhala, akan membersihkan segala noda paganisma dan kehidupan syirik. Dan kesucian Ka’bah sebagai Baitullah akan dikembalikan juga sebagaimana mestinya, bersih dari segala sebutan nama-nama selain asma Allah. Orientalis Diam Saja
Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis tidak bicara apa-apa seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk memandang jijik perbuatan khianat yang dilakukan Banu Hudhail terhadap dua orang yang tidak berdosa itu, yang bukan ditawan dari medan perang, tapi diambil dengan cara tipu-muslihat, yang berangkat karena perintah Rasul dengan maksud supaya mengajarkan agama kepada orang-orang yang mengkhianati mereka itu, orang-orang yang menyerahkan mereka kepada Quraisy, setelah kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan licik. Kaum Orientalis tidak menganggap jijik perbuatan Quraisy terhadap dua orang yang tak bersenjata itu, padahal apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan pengecut dan tindakan permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya prinsip kejujuran yang harus menjadi pegangan kaum Orientalis, yang merasa tidak dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa jijik sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya yang didatangkan atas permintaan mereka untuk mengajarkan agama, telah lebih dulu pula mereka bunuh.
Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih sekali atas malapetaka yang telah menimpa keenam orang yang gugur sebagai syahid di jalan Tuhan karena pengkhianatan Hudhail itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.
Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad memikirkan keadaan umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka.
Sementara ia sedang berpikir-pikir demikian itu tiba-tiba datang Abu Bara” Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu juga ia tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap Islam. Bahkan katanya: “Muhammad, kalau ada sahabat-sahabatmu yang dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu saya harap mereka itu akan menerima.”
Tetapi Muhammad masih kuatir akan melepaskan sahabat-sahabatnya itu ke Najd dan ia kuatir penduduk daerah itu nanti akan mengkhianati mereka seperti pernah dilakukan Hudhail terhadap Khubaib dan kawankawan. Ia tidak yakin dan tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara”.
“Saya menjamin mereka”, katanya lagi. “Kirimkanlah utusan ke sana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu.”
Abu Bara’ adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya dan didengar orang perkataannya. Barangsiapa yang sudah diberinya perlindungan ia tidak kuatir akan mendapat serangan pihak lain.
Peristiwa Bi’ir Ma’una (tahun 625)
Dengan demikian Muhammad mengutus Al-Mundhir b. “Amr dari Banu Sa’ida dengan memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun berangkat. Sampai di Bi’ir Ma’una — antara daerah Banu “Amir dan Banu Sulaim — mereka berhenti. Dari sana mereka mengutus Haram b. Milhan membawa surat Muhammad kepada “Amir bin’t-Tufail. Tetapi oleh “Amir surat itu tidak dibacanya, malah orang yang membawanya dibunuh, dan dia minta bantuan Banu “Amir supaya membunuhi kaum Muslimin. Tetapi Setelah mereka menolak untuk melakukan pelanggaran atas pertanggung. jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh Abu Bara”, “Amir meminta bantuan kabilah-kabilah lain. Permintaan ini oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama dia mereka berangkat dan mengebung rombongan Muslimin di tempat itu. Melihat keadaan ini pihak Muslimin pun segera mencabut pedang. Mereka mengadakan perlawanan mati-matian sampai akhirnya mereka terbunuh semua.
Hanya Ka’b b. Zaid yang masih selamat, yang tadinya dibiarkan begitu saja oleh Ibn’t-Tufail. Ternyata ia belum mati. Kemudian ia pun pergi pulang ke Medinah. Demikian juga “Amr b. Umayya, yang oleh “Amir bin’t-Tufail dimerdekakan karena dikiranya ia masih terikat dengan suatu niat ibunya. Dalam perjalanan pulang di tengah jalan “Amr bertemu dengan dua orang yang dikiranya turut menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua orang itu sampai tidur lebih dulu, kemudian diserangnya dan dibunuhnya. Sesudah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya. Sesampainya di Medinah diberitahukannya perbuatannya itu kepada Rasul a.s. Ternyata kedua orang itu dari Banu “Amir, dari golongan Abu Bara”, dan yang juga terikat oleh suatu perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini berarti harus diselesaikan dengan diat.
Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan di Bi’ir Ma’una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas sahabatsahabatnya itu. Ia berkata: “Ini adalah perbuatan Abu Bara”. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali.”
Abu Bara’ juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran “Amir bin’t-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi’a anaknya lalu bertindak menghantam “Amir dengan tombak sebagai balasan atas perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya rasa dukacita Muhammad sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah membunuh sahabatsahabatnya itu. Demikian juga seluruh umat Muslimin turut merasa pilu karena malapetaka yang telah menimpa saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan penuh iman bahwa mereka semua gugur sebagai syuhada, dan mereka semua akan mendapat surga.
Orang-orang Yahudi dan Orang-orang Munafik di Medinah
Malapetaka yang telah menimpa kaum Muslimin di Raji’ dan di Bi’ir Ma’una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan kemenangan Quraisy di Uhud, dan membuat mereka lupa akan kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi pandangan mereka terhadap kewibawaan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi a.s. berpikir dengan suatu pemikiran politik yang cermat sekali serta pandangan yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam kaum Muslimin ialah sikap penduduk Medinah yang kiranya akan merendahkan kewibawaan mereka. Begitu juga yang sangat diharapkan oleh kabilah-kabilah Arab, mereka akan dapat menanamkan perpecahan di dalam, yang berarti akan dapat menimbulkan perang saudar3 jika nanti ada saja tetangga yang menyerbu Medinah. Di samping itu pihak Yahudi dan orang-orang munafik seolah-olah memang sedang menantikan pencana yang akan menimpa itu. Karena itu dilihatnya tak ada jalan lain yang lebih baik daripada membiarkan mereka, supaya nanti niat mereka serbongkar.
Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu sekutu Banu “Amir, maka Nabi perangkat sendiri ke tempat mereka — yang tidak jauh dari Ouba’ — dengan membawa sepuluh orang Muslimin terkemuka di antaranya Abu Bakr, Umar dan Ali. Ia minta bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang yang telah dibunuh tidak sengaja oleh “Amr b. Umayya itu dan tidak diketahuinya pula bahwa Nabi telah memberikan perlindungan kepada mereka.
Setelah dijelaskan maksud kedatangannya, mereka memperlihatkan sikap gembira dan dengan senang hati bersedia mengabulkan. Akan tetapi, sementara sebagian mereka sedang asyik bercakap-cakap dengan dia, dilihatnya yang lain sedang berkomplot. Salah seorang dari mereka pergi menyisih ke suatu tempat dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian Ka’b b. Asyraf. Salah seorang dari mereka itu (“Amr b. Jihasy b. Ka’b) tampak memasuki rumah tempat Muhammad sedang duduk-duduk bersandar di dinding. Ketika itulah ia merasa curiga sekali, lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka dan percakapan mereka itu telah didengarnya.
Yahudi Berkomplot terhadap Muhammad
Dengan demikian, diam-diam ia menarik diri dari tempat itu dengan meninggalkan sahabat-sahabatnya. Mereka menduga ia pergi untuk suatu urusan.
Sebaliknya pihak Yahudi, mereka jadi kebingungan. Tidak tahu lagi mereka, apa yang harus mereka katakan, dan apa pula yang harus mereka perbuat terhadap sahabat-sahabat Muhammad. Kalau mereka ini yang akan mereka jerumuskan niscaya Muhammad akan mengadakan pembalasan keras. Jika mereka biarkan saja, kalau-kalau persekongkolan mereka terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya tetap tak akan terbongkar. Dengan demikian perjanjian mereka dengan pihak Muslimin tetap berlaku. Jadi sekarang mereka berusaha meyakinkan tamu-tamu Muslimin itu yang mungkin akan dapat menghilangkan rasa kecurigaan mereka tanpa samasekali menyebut-nyebut hal tersebut.
Tetapi sahabat-sahabat Muhammad setelah lama menunggunya, mereka pun pergi pula mencarinya. Tatkala ada orang yang datang dari Medinah dijumpai, tahulah mereka bahwa Muhammad sudah sampai dj kota itu dan langsung menuju ke mesjid. Mereka pun juga pergi ke sana. Ia menceritakan kepada mereka mengenai apa yang telah menimbulkan kecurigaan dari sikap orang Yahudi itu serta maksud mereka yang hendak mengkhianatinya. Barulah mereka menyadari apa yang telah mereka lihat itu. Mereka percaya akan ketajaman pandangan Rasul serta akan apa yang telah diwahyukan kepadanya.
Kemudian Nabi memanggil Muhammad b. Maslama, dan katanya:
“Pergilah kepada Yahudi Banu Nadzir dan katakan kepada mereka, bahwa Rasulullah mengutus aku kepada kamu sekalian supaya kamy keluar dari negeri ini. Kamu telah melanggar perjanjian yang sudah kubuat dengan kamu dengan maksudmu hendak mengkhianati aku. Aku memberikan waktu sepuluh hari kepada kamu. Barangsiapa yang masih terlihat sesudah itu akan dipenggal lehernya.”
Yahudi Banu Nadzir sekarang merasa putus asa dan kebingungan. Atas keterangan itu mereka tidak dapat membela diri lagi, mereka tidak menjawab apa-apa lagi, kecuali katanya kepada Ibn Maslama:
“Muhammad, kami tidak menduga hal ini akan datang dari orang golongan Aus.” Ini adalah suatu isyarat tentang persekutuan mereka dengan pihak Aus dahulu dalam perang dengan Khazraj. Tetapi Ibn Maslama hanya menjawab:
“Hati orang sudah berubah.”
Abdullah b. Ubayy Membakar Semangat Orang-orang Yahudi
Selama beberapa hari golongan ini sudah bersiap-siap. Tetapi dalam pada itu tiba-tiba datang pula dua orang suruhan Abdullah b. Ubayy dengan mengatakan: “Jangan ada orang yang mau meninggalkan rumahrumah kamu dan harta-benda kamu. Tetaplah bertahan dalam benteng kamu sekalian. Dari golonganku sendiri ada dua ribu orang dan selebihnya dari golongan Arab yang akan bergabung dengan kita dalam benteng dan mereka akan bertahan sampai titik darah penghabisan, sebelum ada pihak lain menyentuh kamu.”
Banu Nadzir mengadakan perundingan atas keterangan Ibn Ubayy itu. Mereka tambah bingung. Ada yang samasekali tidak percaya kepada Ibn Ubayy. Bukankah dulu pernah ia menjanjikan Banu Qainuqa’ seperti yang dijanjikannya kepada Banu Nadzir sekarang, tetapi tiba waktunya ia cuci tangan dan menghilang meninggalkan mereka? Juga mereka mengetahui, bahwa Banu Ouraidza takkan dapat membela mereka mengingat adanya suatu perjanjian dengan pihak Muhammad. Di samping itu, kalau mereka keluar dari kampung mereka itu ke Khaibar atau ke tempat lain yang berdekatan mereka masih akan dapat kembali ke Yathrib bila kurma mereka nanti sudah berbuah: mereka akan memetik buah kurma itu lalu kembali ke tempat mereka semula. Mereka tidak akan mengalami banyak kerugian.
“Tidak”, kata Huyayy b. Akhtab pemimpin mereka. “Malah kita yang harus mengirim pesan kepada Muhammad: bahwa kita tidak akan meninggalkan kampung kita dan harta-benda kita. Terserah apa yang akan diperbuat. Kita hanya tinggal memperbaiki kubu kita, kita akan memasuki tempat ini sesuka hati kita. Kita akan membiasakan memakai jalan-jalan kita, kita pindahkan batu-batu ke tempat itu. Persediaan makanan kita cukup buat setahun, air pun tidak pernah terputus. Muhammad tidak akan mengepung kita setahun penuh.”
Tetapi sepuluh hari sudah lampau. Mereka tidak juga keluar dari perkampungan itu.
Dengan membawa senjata pihak Muslimin selama dua belas malam bertempur melawan mereka. Ketika itu bila sudah tampak Muslimin di jalan-jalan atau di rumah-rumah, mereka mundur ke rumah berikutnya sesudah rumah-rumah itu mereka robohkan. Kemudian Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya menebangi pohon-pohon kurma kepunyaan orang-orang Yahudi itu, lalu membakarnya. Dengan demikian orang-orang Yahudi itu tidak akan terlalu terikat pada harta-bendanya lagi dan tidak akan terlalu bersemangat mau berperang.
Banu Nadzir Dikepung
Dengan tidak sabar orang-orang Yahudi itu berteriak:
“Muhammad! Tuan melarang orang berbuat kerusakan. Tuan cela orang yang berbuat begitu. Tetapi kenapa pohon-pohon kurma ditebangi dan dibakar?!”
Dalam hal ini firman Tuhan turun:
“Mana pun pohon kurma yang kamu tebang atau kamu biarkan berdiri dengan batangnya, adalah dengan izin Allah juga, dan karena Ia hendak mencemoohkan mereka yang melanggar hukum itu.”
Exodus
Sia-sia saja rupanya pihak Yahudi itu menunggu adanya bantuan dari Abdullah b. Ubayy atau pertolongan yang mungkin datang dari salah satu golongan Arab. Sekarang mereka yakin, bahwa mereka hanya akan beroleh nasib buruk saja apabila terus bersitegang hendak berperang. Yetelah ternyata mereka dalam putus asa dan ketakutan, mereka meminta damai kepada Muhammad, meminta jaminan keamanan atas harta-benda darah serta anak-anak keturunan mereka, sampai mereka keluar dar Medinah. Muhammad pun mengabulkan permintaan mereka, asal mereka keluar dari kota itu: Setiap tiga orang diberi seekor unta dengan muatan harta-benda, persediaan makanan dan minuman sesuka hati mereka. Di luar itu tidak ada. Pihak Yahudi menerima. Mereka dipimpin oleh Huyayy b. Akhtab.
Dalam perjalanan itu mereka ada yang berhenti di Khaibar, yang lain meneruskan perjalanan sampai ke Adhri’at di bilangan Syam. Harta. benda yang mereka tinggalkan menjadi barang rampasan Muslimin yang terdiri dari hasil bumi, senjata berupa 50 buah baju besi, 340 bilah pedang, di samping tanah milik orang-orang Yahudi itu. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap sebagai rampasan perang: oleh karenanya tak dapat dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin, melainkan khusus di tangan Rasulullah yang nantinya akan ditentukan sendiri menurut kebijaksanaannya. Dan tanah itu kemudian dibagi-bagikan kepada golongan Muhajirin yang pertama di luar golongan Anshar, setelah dikeluarkan bagian khusus yang hasilnya akan menjadi hak fakir miskin. Dengan demikian kaum Muhajirin itu tidak perlu lagi harus menerima bantuan kaum Anshar dan ini pun sudah menjadi harta kekayaan mereka. Dari pihak Anshar yang turut mendapat bagian hanya Abu Dujana dan Sahl b. Hunaif, yang sudah terdaftar sebagai orang miskin.
Muhammad memberikan bagian kepada mereka ini seperti kepada kaum Muhajirin.
Dari golongan Yahudi Banu Nadzir sendiri tak ada yang masuk Islam kecuali dua orang. Mereka masuk Isiam karena harta mereka, yang kemudian mereka peroleh kembali.
Tidak begitu sulit orang akan menilai arti kemenangan Muslimin serta pengosongan Banu Nadzir dari Medinah itu, setelah kita kemukakan betapa Rasul a.s. memperhitungkan, bahwa adanya mereka di tempat itu akan memberikan semangat dalam menimbulkan bibit-bibit fitnah, akan mengajak orang-orang munafik itu mengangkat kepala setiap mereka melihat pihak Muslimin mendapat bencana dan mengancam timbulnya perang saudara bila saja ada musuh menyerang kaum Muslimin.
Tentang perginya Banu Nadzir itu Surah Hasyr (59) ini turun:
“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang bersikap munafik, yang berkata kepada saudara-saudaranya yang tak beriman dari kalangan Ahli Kitab: Kalau kamu diusir ke luar, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, dan tidak sekali-kali kami akan dipengaruhi oleh siapa pun menghadapi persoalanmu ini, dan kalau kamu dipengaruhi niscaya kami pun akan membelamu. Tetapi Tuhan mengetahui, bahwa mereka adalah pendusta belaka. Kalaupun mereka ini diusir ke luar, mereka pun tidak akan ikut bersama-sama ke luar, juga kalau mereka ini diperangi, mereka pun tidak akan turut membantu, dan kalaupun mereka sampai membantu, niscaya mereka akan lari mengundurkan diri, lalu mereka ini tidak mendapat pertolongan. Sungguh dalam hati mereka kamu sangat ditakuti lebih dari Allah. Demikian itulah, sebab mereka adalah golongan yang fidak mengerti.”
Kemudian Surah itu dilanjutkan dengan memberi keterangan tentang iman dan kekuasaannya. Iman hanya kepada Allah semata-mata. Bagi jiwa manusia, yang tahu harga diri dan kehormatan, dirinya, yang dikenalnya hanyalah kekuasaan Tuhan.
“Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha mengetahui segala yang gaib dan yang nyata. Dia Pengasih dan Penyayang. Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus, Pembawa Keselamatan, Keamanan, Penjaga segalanya, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Agung. Maha Suci Allah dari segala yang mereka persekutuan. Dialah Allah. Pencipta, Pengatur, Pembentuk rupa, Pada-Nyalah ada Asma Yang Indah. Segala yang ada di langit dan di bumi berbakti kepada-Nya. Dan Dia Mahakuasa, Mahabijaksana.
Sekretaris Nabi
Sampai pada waktu dikosongkannya Medinah dari Banu Nadzir, yang menjadi sekretaris Nabi ketika itu ialah orang Yahudi. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengiriman surat-surat dalam bahasa Ibrani dan Asiria. Tetapi setelah orang-orang Yahudi ke luar, Nabi jadi kuatir kalau jabatan yang memegang rahasianya itu bukan di tangan orang Islam. Dari kalangan pemuda Islam di Medinah dimintanya Zaid b. Thabit supaya mempelajari kedua bahasa tersebut, yang dalam segala urusan kemudian ia akan menjadi sekretaris Nabi. Dan Zaid b. Thabit inilah yang telah mengumpulkan Quran pada masa khilafat Abu Bakr, dan dia pula yang kembali dan mengawasi pengumpulan Quran tatkala terjadi perbedaan cara membaca pada masa pemerintahan Usman. Lalu yang dipakai hanya Mushhaf Usman, yang lain dibakar.
Suasana Medinah jadi tenteram setelah Yahudi Banu Nadzir keluar. Pihak Muslimin tidak lagi merasa takut terhadap orang-orang munafik. Bahkan kaum Muhajirin bersuka hati memperoleh tanah bekas orang-orang Yahudi itu. Juga kalangan Anshar turut gembira karena Muhajirin sudah tidak lagi bergantung pada bantuan mereka. Hati mereka semua merasa lega. Dalam suasana yang begitu tenang, aman dan tenteram, baik Muhajirin maupun Anshar, semua mereka merasa senang. Dalam pada mereka dalam keadaan demikian, setelah berlalu waktu setahun Sejak peristiwa Uhud, teringat oleh Muhammad alaihis-shalatu was-salam – ucapan Abu Sufyan: “Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa tahun depan!” serta ajakannya kepada Muhammad untuk mengadakan perang Badr lagi. Tetapi tahun itu sedang terjadi musim kering (paceklik). Harapan Abu Sufyan ialah sekiranya perang itu diadakan dalam waktu lain saja.
Untuk itu diutusnya Nu’aim (b. Mas’ud) ke Medinah dengan mengatakan kepada pihak Muslimin, bahwa Quraisy telah mengerahkan tentaranya begitu besar yang belum ada taranya dalam sejarah Arab: sudah siap akan memerangi mereka, akan menghancur-luluhkan mereka sehingga tidak akan tersisa lagi. Tampaknya kaum Muslimin pun mau menghindari bahaya itu. Banyak di antara mereka yang memperlihatkan keengganan pergi ke Badr. Tetapi Muhammad jadi marah karena sikap lemah dan mau surut itu. ia bersumpah mengatakan kepada mereka, bahwa ia akan pergi juga ke Badr walaupun seorang diri.
Melihat kejengkelan yang luar biasa itu segala sikap maju-mundur dan perasaan takut-takut segera lenyap. Kaum Muslimin sekarang siap memanggul senjata dan berangkat ke Badr. Dalam hal ini pimpinan kota Medinah oleh Nabi diserahkan kepada Abdullah b. Abdullah b. Ubayy b. Salul.
Muslimin yang sudah sampai di Badr, sekarang menantikan kedatangan Quraisy. Mereka sudah siap bertempur. Demikian juga pihak Quraisy dengan pimpinan Abu Sufyan sudah pula berangkat dari Mekah dengan kekuatan 2000 orang. Tetapi sesudah dua hari perjalanan tampaknya Abu Sufyan mau kembali pulang. Ia memanggil-manggil teman-temannya sambil katanya:
“Saudara-saudara dari Quraisy, sebenarnya yang cocok buat kita hanyalah dalam musim subur, sedang sekarang kita dalam musim kering. Saya sendiri mau kembali pulang. Maka pulang sajalah kamu sekalian.”
Mereka itu kembali pulang.
Badr Terakhir
Tinggal lagi Muhammad dengan tentara Muslimin selama delapan hari terus-menerus menantikan mereka, yang selama di Badr itu pula waktu mereka pergunakan sambil berdagang. Dan dalam perdagangan itu mereka mendapat laba. Mereka kembali ke Medinah pun kemudian dengan gembira, telah mendapat karunia dari Tuhan. Dalam Badr Terakhir itulah firman Tuhan ini turun:
“Mereka yang berkata kepada teman-temannya, dan mereka sendiri tinggal di belakang: “Sekiranya mereka itu mengikut kita, niscaya mereka takkan mati terbunuh.’ Katakanlah: “Cobalah hindarkan dirimu dari kematian, kalau memang kamu orang-orang yang benar. Jangan kamu kira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu sudah mati. Tidak! Mereka itu hidup dengan mendapat bagian dari Tuhan. Mereka dalam suasand gembira karena karunia yang diberikan Tuhan juga, mereka girang sekali terhadap mereka yang tidak ikut dan tinggal di belakang, bahwa mereka tidak merasa takut dan tidak pula berdukacita. Mereka girang karena karunia dan nikmat Tuhan dan Tuhan tidak akan menghilangkan jasa orang-orang beriman, orang-orang yang telah memenuhi panggilan Tuhan dan Rasul meskipun mereka sudah mengalami malapetaka, orang-orang yang berbuat baik dan dapat memelihara diri dari kejahatan, mereka itulah yang akan mendapat pahala besar. Orang yang sudah berkata kepada mereka: “Sebenarnya orang-orang sudah berkumpul hendak melawan kamu. Karena itu hendaklah kamu tgkut kepada mereka. Tetapi hal ini bahkan menambah kuat iman mereka, dan jawab mereka: Cukup Tuhan bersama kami dan Ia Pelindung yang sebaik-baiknya. Mereka kembali mendapatkan nikmat dan karunia dari Tuhan. Mereka tidak mengalami bencana, dan mereka mengikut perkenaan Allah. Dan Allah Maha Pemberi karunia yang besar. Yang demikian itu hanyalah setan yang menakut-nakuti pengikut-pengikutnya. Jangan kamu takut kepada mereka, tapi takutlah kepada-Ku, kalau benar-benar kamu orang-orang beriman.”
Dengan demikian perang Badr yang terakhir benar-benar telah menghapus pengaruh perang Uhud samasekali. Buat Quraisy hanya tinggal lagi menunggu kesempatan lain, dengan tetap mereka bergelimang dalam kecemaran karena sifat pengecutnya yang tidak kurang cemarnya dari kekalahan yang mereka derita dalam perang Badr pertama.
Dengan pertolongan Tuhan itu Muhammad merasa lega tinggal di Medinah, merasa tenteram hatinya karena kewibawaan Muslimin kini telah kembali. Sungguhpun begitu ia selalu waspada terhadap segala tipumuslihat musuh, selalu awas-awas ke segenap jurusan.
Ekspedisi Dhat’r-Riga’
Sementara dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba terbetik berita, bahwa ada sebuah kelompok dari Ghatafan di Najd yang sedang bersepakat hendak memeranginya. Dan taktiknya selalu dalam hal ini ialah menyergap musuh sccara tiba-tiba sebelum musuh itu sempat mengadakan persiapan mempertahankan diri. Oleh karena itulah, dengan kekuatan empat ratus orang ia berangkat menuju Dhat’r-Riga’. Di tempat Ini pihak Banu Muharib dan Banu Tha’laba dari Ghatafan sudah berkumpul. Begitu ia dilihat oleh mereka, ia langsung melakukan penyerbuan ke tempat-tempat mereka itu. Dengan meninggalkan kaum wanita dan harta, mercka lari tunggang-langgang. Apa yang dapat dibawa oleh Muslimin dibawanya, dan mereka kembali pulang ke Medinah.
Akan tetapi, karena dikuatirkan pihak musuh akan kembali menye. rang mereka, siang malam mereka pun secara bergantian mengadakan penjagaan. Dalam pada itu dalam memimpin sembahyang juga oleh Muhammad dilakukan dengan shalat khauf’. Dalam hal ini sebagian mereka menghadap ke jurusan musuh, karena dikuatirkan kalau-kalau pihak musuh menyusul menyerang mereka, sementara mereka sedang bersembahyang dua raka’at bersama-sama Muhammad itu. Akan tetapi selama itu tidak ada bayangan musuh yang tampak. Kemudian Nabi dan sahabat-sahabat kembali ke Medinah setelah 15 hari meninggalkan kota itu. Dengan sukses demikian ini mereka kembali dengan gembira sekali. Ekspedisi Dumat’I-Jandal
“Tidak lama sesudah itu Nabi pun berangkat lagi dalam suatu ekspedisi, yakni ekspedisi Dumat ‘I-Jandal. Dumat’I-Jandal ini adalah sebuah wahah (oasis) pada perbatasan Hijaz-Syam, yang terletak pada pertengahan jalan antara Laut Merah dengan Teluk Persia. Muhammad sendiri tidak sampai bertemu dengan kabilah-kabilah yang ingin dihadapinya itu dan yang suka menyerang kafilah-kafilah di sana, sebab baru mereka mendengar namanya saja, mereka sudah ketakutan dan sudah kabur lebih dulu, dengan meninggalkan harta-benda yang kemudian dibawa Muslimin sebagai barang ghanima (rampasan perang). Berdasarkan batas Dumat’l-Jandal secara greografis kita sudah dapat melihat betapa luasnya pengaruh Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, betapa jauhnya kekuasaan mereka dan betapa pula seluruh jazirah itu merasa takut. Begitu juga kita melihat bagaimana Muslimin itu menanggung segala macam beban dalam ekspedisi-ekspedisi itu, dengan tidak pedulikan panas terik yang membakar, tanah yang kering dan gersang, air yang sukar diperoleh, bahkan maut sendiri pun tidak lagi mereka hiraukan. Hanya satu yang menggerakkan mereka sampai mencapai kemenangan dan sukses itu, yang telah memberikan kekuatan moril kepada mereka, yaitu: Keteguhan iman, iman yang hanya kepada Allah semata-mata.
Sekarang tiba waktunya buat Muhammad beristirahat di ‘Medinah untuk selama beberapa bulan berikutnya, sementara menantikan Quraisy sampai tahun depan — tahun kelima Hijrah — dan menjalankan perintah Tuhan menyelesaikan suatu susunan masyarakat bagi umat Islam yang baru tumbuh itu, suatu organisasi yang pada waktu itu meliputi beberapa ribu orang dan yang kemudian akan meliputi jutaan bahkan ratusan juta umat Islam. Dalam membuat struktur masyarakat itu, ia bertindak dengan gara yang begitu cermat dan baik sekali, sejalan dengan wahyu Tuhan yang diberikan kepadanya, dan ditentukannya sendiri pula mana-mana yang sesuai dengan perintah dan ajaran wahyu itu, dengan ketentuan-ketentuan terperinci yang oleh sahabat-sahabat pada waktu itu diberi tempat yang suci, dan yang selanjutnya akan tetap berlaku begitu sepanjang masa dan generasi, wahyu yang tiada dimasuki kepalsuan dari mana pun juga, baik dari semula maupun sesudah itu.
Teriakan Orientalis — Zainab seperti Dilukiskan Kaum Orientalis — Orang-orang Besar Tidak Tunduk kepada Undang-undang — Penggambaran Orientalis yang Keliru — Sampai Usia 50 Tahun Hanya Beristerikan Khadijah — Hanya Khadijah yang Membawa Keturunan -Perkawinannya dengan Sauda bt. Zam’a — Penelitian Sejarah dan Hasilnya — Cerita Zainab bt. Jahsy – Hubungan Kerabat Muhammad dengan Zainab — Dilamar untuk Zaid dan Ditolak — Zaid Mengeluh dan Perceraian — Bagaimana Muhammad Kawin dengan Zainab — Sekarang Apa Pendapat Orientalis tentang Zainab – Muhammad Mengangkat Martabat Kaum Wanita
Teriakan Orientalis
SEMENTARA peristiwa-peristiwa dalam dua bagian di atas itu terjadi, Muhammad kawin dengan Zainab bt. Khuzaima, kemudian kawin dengan Umm Salama bt. Abi Umayya bin’l-Mughira, selanjutnya kawin lagi dengan Zainab bt. Jahsy setelah dicerai oleh Zaid b. Haritha. Zaid inilah yang telah diangkat sebagai anak oleh Muhammad setelah dibebaskan sebagai budak sejak ia dibelikan oleh Yasar untuk Khadijah. Di sinilah kaum Orientalis dan misi-misi penginjil itu kemudian berteriak keraskeras: Lihat! Muhammad sudah berubah. Tadinya, ketika ia masih di Mekah sebagai pengajar yang hidup sederhana, yang dapat menahan diri dan mengajarkan tauhid, sangat menjauhi nafsu hidup duniawi, sekarang ia sudah menjadi orang yang diburu syahwat, air liurnya mengalir bila melihat wanita. Tidak cukup tiga orang istri saja dalam rumah, bahkan ia kawin lagi dengan tiga orang wanita seperti yang disebutkan di atas. Sesudah itu mengawini tiga orang wanita lagi, selain Raihana. Tidak cukup kawin dengan wanita-wanita yang tidak bersuami, bahkan ia jatuh cinta kepada Zainab bt. Jahsy yang masih terikat sebagai istri Zaid b. Haritha bekas budaknya. Soalnya tidak lain karena ia pernah singgah di rumah Zaid ketika ia sedang tidak ada di tempat itu, lalu ia disambut oleh Zainab. Tatkala itu ia sedang mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan kecantikan ini sangat mempengaruhi hatinya. Waktu itu ia berkata “Maha suci Ia yang telah dapat membalikkan hati manusia!” Kata-kata ini diulanginya lagi ketika ia meninggalkan tempat itu. Zainab mendengar kata-kata itu dan ia melihat api cinta itu bersinar dari matanya.
Jainab merasa bangga terhadap dirinya dan apa yang didengarnya itu diberitahukannya kepada Zaid. Langsung waktu itu juga Zaid menemui Nabi dan mengatakan bahwa ia bersedia menceraikannya. Lalu kata Nabi kepadanya:
“Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takuf kepada Allah.”
Tetapi pergaulan Zainab dengan Zaid sudah tidak baik lagi. Kemudian ia dicerai. Muhammad menahan diri tidak segera mengawininya sekalipun hatinya gelisah. Ketika itu firman Tuhan datang:
“Ingat, tatkala engkau berkata kepada orang yang telah diberi karunid oleh Allah dan engkau pun telah pula berbudi kepadanya: Jagalah baik: baik istrimu. Hendaklah engkau takut kepada Allah. Dan engkau menyembunyikan sesuatu di dalam hatimu apa yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia, padahal seharusnya Allah yang lebih patut kau takuti. Maka setelah Zaid meluluskan kehendak wanita itu, Kami kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi alangan bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas) istri-istri anak-anak angkat mereka, bilamana kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan.”
Ketika itulah wanita itu dikawininya. Dengan perkawinan ini semarak cinta berahi dan api asmaranya yang menyala-nyala dapat dipadamkan. Nabi apa itu!? Bagaimana ia membenarkan hal itu buat dirinya sedang buat orang lain tidak?! Bagaimana ia tidak tunduk kepada undang-undang yang katanya diturunkan Tuhan kepadanya?! Bagaimana pula “harem” ini diciptakan, yang mengingatkan orang pada raja-raja yang hidup mewahmewah, bukan pada para nabi yang saleh dan memperbaiki kehidupan umat?! Selanjutnya bagaimana pula ia menyerah kepada kekuasaan cinta dalam hubungannya dengan Zainab sehingga ia menghubungi Zaid bekas budaknya supaya menceraikannya, kemudian ia tampil mengawininya! Hal semacam ini pada zaman jahiliah dilarang, tapi Nabinya orang Islam ini membolehkan, karena mau menuruti kehendak nafsunya, mau memenuhi dorongan cintanya.
Zainab seperti yang Dilukiskan Kaum Orientalis
Bilamana kaum Orientalis dan para misi penginjil bicara mengenai masalah ini dalam sejarah Muhammad, maka mereka membiarkan khayal mereka itu bebas tak terkendalikan lagi: sehingga ada di antara mereka itu yang menggambarkan Zainab — ketika terlihat oleh Nabi — dalam keadaan Setengah telanjang atau hampir telanjang, dengan rambutnya yang hitam panjang lepas terurai sampai menjamah tubuhnya yang lembut gemulai, yang akan dapat menerjemahkan segala arti cinta berahi. Yang lain lag, menyebutkan, bahwa ketika ia membuka pintu rumah Zaid, angin menghembus menguakkan tabir kamar Zainab. Ketika itu ia Sedang telentang di tempat tidur dengan mengenakan baju tidur. Pemandangan Ini sangat menggetarkan jantung laki-laki yang gila perempuan dengan kecantikannya itu. Ia menyembunyikan perasaan hatinya meskipun sebenarnya ia tidak dapat tahan lama demikian!
Gambaran yang diciptakan oleh khayal demikian itu banyak sekali Akan kita jumpai ini dalam karya-karya Muir, Dermenghem, Washington Irving, Lammens dan yang lain, baik mereka ini para Orientalis atau misi. misi penginjil. Dan yang sungguh disayangkan lagi karena dalam membuat cerita-cerita itu, semua mereka memang mengambil sumbernya dari kitab. kitab sejarah Nabi dan tidak sedikit pula dari hadis. Kemudian dengan apa yang mereka gambarkan itu, mereka membangun istana-istana gading dari khayal mereka sendiri tentang Muhammad serta hubungannya dengan wanita. Alasan mereka ialah karena istrinya banyak, yang sampai sembilan orang menurut pendapat yang lebih tepat, atau lebih dari itu menurut sumber-sumber lain.
Orang-orang Besar Tidak Tunduk kepada Undang-undang
Sebenarnya dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka itu dengan ucapan: Anggaplah semua itu benar, tetapi dengan itu apa pula kiranya yang akan dapat mendiskreditkan kebesaran Muhammad atau kenabian dan kerasulannya. Undang-undang yang biasanya berlaku pada umum, tidak mempan terhadap orang-orang besar, lebih-lebih terhadap para rasul dan nabi. Bukankah ketika Musa a.s. melihat perselisihan dua orang, yang seorang dari golongannya sendiri, dan yang seorang lagi dari pihak musuhnya, ditinjunya orang yang dari pihak musuh itu hingga menemui ajalnya, padahal pembunuhan demikian itu dilarang, baik dalam perang atau pun setengah perang? Ini berarti melanggar undang-undang. Jadi Musa tidak tunduk kepada undang-undang, tapi juga tidak berarti ini dapat mendiskreditkan kenabian atau kerasulannya, bahkan mengurangi kebesarannya pun juga tidak. Dan dalam hal Isa, dalam menyalahi undang-undang lebih besar lagi dari masalah Muhammad, dari para nabi dan para rasul semuanya. Dan soalnya tidak hanya terbatas pada besarnya kekuatan dan keinginan saja, bahkan kelahiran dan kehidupannya pun sudah melanggar undang-undang dan kodrat alam. Di hadapan ibunya malaikat muncul sebagai manusia yang sempurna, yang akan mengantarkan seorang anak yang suci bersih kepadanya. Wanita itu keheranan, sambil berkata: “Bagaimana aku akan beroleh seorang putra, padahal aku belum disentuh seorang manusia, juga aku bukan seorang pelacur.” Malaikat berkata, bahwa Tuhan menghendaki supaya ia menjadi pertanda bagi umat manusia.
Setelah terasa sakit hendak melahirkan, ia berkata: “Aduhai, coba sebelum ini aku mati saja, maka aku akan hilang dilupakan orang. Lalu datang suara memanggilnya dari bawah: Jangan berdukacita, Tuhan telah mengalirkan sebatang anak sungai di bawahmu. Dibawanya anak itu kepada keluarganya. Mereka pun berkata: “Maryam, engkau datang membawa masalah besar. Dalam buaiannya itu (usia semuda itu) Isa berkata kepada mereka: “Aku adalah hamba Allah……..” dan seterusnya. Penggambaran Orientalis yang Keliru
Betapapun orang-orang Yahudi menolak semua ini, dan oleh mereka Isa dinasabkan kepada Yusuf an-Najjar (Yusuf anak Heli), sebagian sarjana semacam Renan sampai sekarang pun memang menganggapnya demikian. Kebesaran Isa, kenabiannya dan kerasulannya serta penyimpangannya dari hukum dan kodrat alam adalah suatu pertanda mukjizat Tuhan kepadanya. Tapi anehnya, misi-misi penginjil Kristen itu minta orang supaya percaya kepada hal-hal yang di luar hukum alam mengenai diri Yesus, sementara mengenai diri Muhammad mereka sudah menjatuhkan hukuman sendiri. Padahal apa yang dilakukannya tidak seberapa dan tidak lebih karena Muhammad memang terlalu tinggi untuk dapat tunduk kepada undang-undang masyarakat yang biasa berlaku terhadap setiap orang besar, terhadap raja-raja, kepala-kepala negara yang pada umumnya sudah didahului oleh undang-undang dasar sehingga membuat mereka tak dapat diganggu-gugat.
Sebenarnya dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka itu dengan jawaban yang sudah tentu akan menjatuhkan semua argumen misimisi penginjil dan orang-orang Orientalis yang juga mau ikut cara-cara mereka itu. Tetapi dalam hal ini kita lalu memperkosa sejarah dan memperkosa kebesaran Muhammad dan kerasulannya. Dia bukanlah orang seperti yang mereka gambarkan: orang yang pikirannya dipengaruhi Oleh hawa nafsu. Tak ada istrinya itu yang dikawininya hanya karena ia terdorong oleh syahwat atau nafsu berahi. Kalaupun ada beberapa penulis Muslim pada zaman-zaman tertentu dengan sesuka hati berkata demikian dan mengemukakan alasan itu kepada lawan-lawan Islam dengan niat baik, soalnya ialah karena tradisi yang berlaku telah membawa mereka kepada pengertian materi. Mereka ingin menggambarkan Muhammad itu besar dalam segalanya, juga besar dalam kehidupan nafsunya. Sudah tentu ini suatu penggambaran yang salah samasekali. Sejarah hidup Muhammad samasekali tak dapat menerima ini, dan seluruh hidup pribadinya pun dengan sendirinya sudah menolak.
Ia kawin dengan Khadijah dalam usia dua puluh tiga tahun, usia muda. remaja, dengan perawakan yang indah dan paras muka yang begity tampan, gagah dan tegap. Namun sungguhpun begitu Khadijah tetap istri Satu-satunya, selama dua puluh delapan tahun, sampai melampaui usia lima puluhan. Padahal masalah poligami masalah yang umum sekali di kalangan masyarakat Arab waktu itu. Di samping itu Muhammad pun bebas kawin dengan Khadijah atau dengan yang lain, dalam hal ia dengan Istrinya tidak beroleh anak laki-laki yang hidup, sedang anak perempuan pada waktu itu dikubur hidup-hidup dan yang dapat dianggap sebagai keturunan pengganti hanyalah anak laki-laki.
Sampai Usia 50 Tahun Hanya Beristerikan Khadijah
Muhammad hidup hanya dengan Khadijah selama tujuh belas tahun sebelum kerasulannya dan sebelas tahun sesudah itu: dan dalam pada itu pun samasekali tak terlintas dalam pikirannya ia ingin kawin lagi dengan wanita lain. Baik pada masa Khadijah masih hidup, atau pun pada waktu ia belum kawin dengan Khadijah, belum pernah terdengar bahwa ia termasuk orang yang mudah tergoda oleh kecantikan wanita-wanita yang pada waktu itu justru wanita-wanita belum tertutup. Bahkan mereka itu suka memamerkan diri dan memamerkan segala macam perhiasan, yang kemudian dilarang oleh Islam. Sudah tentu tidak wajar sekali apabila akan kita lihat, sesudah sampai lima puluh-tahun, mendadak sontak ia berubah demikian rupa sehingga begitu ia melihat Zainab bt. Jahsy — padahal waktu itu istrinya sudah lima orang di antaranya Aisyah yang selalu dicintainya – tiba-tiba ia tertarik sampai ia hanyut siang-malam memikirkannya. Juga tidak wajar sekali apabila kita lihat, sesudah lampau lima puluh tahun usianya, yang selama lima tahun sudah beristrikan lebih dari tujuh orang, dan dalam tujuh tahun sembilan orang istri. Semuanya itu, motifnya hanya karena dia terdorong oleh nafsu kepada wanita, sehingga ada beberapa penulis Muslim — dan juga penulis-penulis Barat mengikuti jejaknya — melukiskannya sedemikian rupa, demikian merendahkan, yang bagi seorang materialis sekalipun sudah tidak layak, apalagi buat orang besar, yang ajarannya dapat mengubah dunia dan mengubah jalannya roda sejarah, dan masih. selalu akan mengubah dunia sekali lagi, dan zkan mengubah jalannya roda sejarah sekali lagi.
Hanya Khadijah yang membawa keturunan
Apabila ini suatu hal yang aneh dan tidak wajar, maka akan jadi aneh juga kita melihat bahwa perkawinan Muhammad dengan Khadijah telah memberikan keturunan, laki-laki dan perempuan, sampai sebelum ia mencapai usia lima puluh tahun, dan bahwa Maria melahirkan Ibrahim sesudah Muhammad berusia enam puluh tahun dan hanya dari yang dua orang ini sajalah yang membawa keturunan. Padahal istri-istri itu ada yang dalam usia muda, yang akan dapat juga hamil dan melahirkan, baik dari pihak suami atau pihak istri, dan ada yang sudah cukup usia, sudah lebih dari tiga puluh tahun umurnya, dan sebelum itu pun pernah pula punya anak. Bagaimana pula gejala aneh dalam hidup Nabi ini ditafsirkan, suatu gejala yang tidak tunduk kepada undang-undang yang biasa, yang sekaligus terhadap kesembilan wanita itu?! Sebagai manusia, sudah tentu jiwa Muhammad cenderung sekali ingin beroleh seorang putra, sekalipun – dalam kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul – dari segi rohani ia sudah menjadi bapa seluruh umat Muslimin.
Perkawinannya dengan Sauda bt. Zam’a
Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah serta logikanya juga menjadi saksi yang jujur mendustakan cerita misi-misi penginjil dan para Orientalis itu sehubungan dengan poligami Nabi. Seperti kita sebutkan tadi, selama 28 tahun ia hanya beristrikan Khadijah seorang, tiada yang lain. Setelah Khadijah wafat, ia kawin dengan Sauda bint Zam’a, janda Sakran b. “Amr b. “Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu. Melainkan soalnya ialah, Sauda adalah istri orang yang termasuk mula-mula dalam Islam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga sudah Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setarap dengan Umm’I-Mu’minin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.
Adapun Aisyah dan Hafsha adalah putri-putri dua orang pembantu dekatnya, Abu Bakr dan Umar. Segi inilah yang membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan putri-putri mereka. Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Usman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua putrinya kepada mereka. Kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Muhammad kepadanya itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin. Gadis itu dipinangnya kepada orang tuanya, tatkala ia berusia sembilan tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil. Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha bt. Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai Saksi.
“Sungguh”, kata Umar, “tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita, Wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.” Dan katanya lagi: “Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba istri saya berkata: “Coba kau berbuat begini atau begitu.” Jawab saya: “Ada urusan ap3 engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku! Dia pun membalas: “Aneh sekali engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang badahal putrimu menentang Rasulullah s.a.w. sehingga ia gusar se. panjang hari.” Kata Umar selanjutnya: “Kuambil mantelku, lalu aky keluar, pergi menemui Hafsha. “Anakku”, kataku kepadanya. “Engkay menentang Rasulullah s.a.w. sampai ia merasa gusar sepanjang hari?!” Hafsha menjawab: “Memang kami menentangnya.” “Engkau harus tahu” kataku. “Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan Rasul-Nya. Anakku, engkau jangan terpedaya oleh kecintaan orang yang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dengan kecintaan Rasulullah s.a.w……” Katanya lagi: “Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu, dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan.”
Kita sudah melihat bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsha bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu. Sama halnya ketika ia kawin dengan Sauda, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur untuk agama Allah, istri-istri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.
Perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah istri “Ubaida bin’I-Harith bin’I-Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm’l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun dua saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah dialah satu-satunya istri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.
Sedang Umm Salama sudah banyak anaknya sebagai istri Abu Salama, seperti sudah disebutkan di atas, bahwa dalam perang Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi ia diserahi pimpinan untuk menghadapi Banu Asad yang berhasil dikucar-kacirkan dan ia kembali ke Medinah dengan membawa rampasan perang. Tetapi bekas lukanya di Uhud itu terbuka dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya terus sampai meninggalnya. Ketika sudah di atas ranjang kematiannya, Nabi juga hadir dan terus mendampinginya sambil mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia wafat. Empat bulan setelah kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama. Tetapi wanita ini menolak dengan temah-lembut karena ia sudah banyak anak dan sudah tidak muda lagi. Hanya dalam pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan dia sendiri yang bertindak menguruskan dan memelihara anakanaknya.
Adakah sesudah ini semua para misi penginjil dan Orientalis itu masih akan mendakwakan. bahwa karena kecantikan Umm Salama itulah maka Muhammad terdorong hendak mengawininya? Kalau hanya karena itu saja, masih banyak gadis-gadis kaum Muhajirin dan Anshar yang lain, yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula ia akan dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia mengawininya itu karena pertimbangan yang luhur itu juga, sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya dan membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai Nabi dan Rasul Allah. Di samping jitu mereka semua memang sudah menganggapnya sebagai ayah mereka. Ayah bagi segonap orang miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.
Penelitian Sejarah dan Hasilnya
Dari apa yang sudah diuraikan di atas, apakah yang dapat disimpulkan oleh penelitian sejarah yang murni? Yang dapat disimpulkan ialah bahwa Muhammad menganjurkan orang beristri satu dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara demikian seperti contoh yang sudah diberikannya selama masa Khadijah. Untuk itu firman Tuhan dalam Quran menyebutkan:
“Dan kalau kuatir takkan dapat berlaku lurus terhadap anakanak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, tiga dan (sampai) empat. Tetapi kalau kamu kuatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu.”
“Dan (itu pun) tidak akan kamu dapat berlaku adil terhadap wanita, betapa kamu sendiri menginginkan itu. Sebab itu, janganlah kamu terlalu condong kepada yang seorang, lalu kamu biarkan dia terkatung-katung.””
Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah Nabi kawin dengan semua istrinya, maksudnya untuk membatasi jumlah istri itu sampai empat orang, sementara sebelum turun ayat tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata orang: Muhammad membolehkan buat dirinya sendiri dan melarang buat Orang lain. Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya istri saty dan menganjurkan demikian karena dikuatirkan takkan berlaku adit dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu tidak akan disanggupi. Hanya saja dalam keadaan kehidupan masyarakat yang dikecualikan ia melihat suatu kemungkinan yang mendesak perlunya kawin sampai empat dengan syarat berlaku adil. Dia telah melakukan itu dengan contoh yang diberikannya ketika kaum Muslimin terlibat dalam peperangan dan banyak di antara mereka itu yang gugur dan mati syahid.
Tolonglah sebutkan! Pada waktu peperangan sedang berkecamuk, penyakit menular berjangkit dan pemberontakan berkobar merenggut ribuan bahkan jutaan umat manusia, dapatkah orang memastikan, bahwa membatasi pada istri satu itu lebih baik dari poligami yang dibolehkan dengan jalan kekecualian itu? Dapatkah orang-orang Eropa — pada waktu ini, setelah selesai Perang Dunia — mengatakan bahwa sistem monogami itu sistem yang paling tepat dalam praktek, karena mereka memang sudah mengatakan bahwa sistem itu tepat sekali dalam undang-undang? Bukankah timbulnya kekacauan ekonomi dan sosial setelah perang disebabkan oleh tidak adanya kerjasama yang teratur antara pria dan wanita dalam perkawinan, suatu kerjasama yang kiranya sedikit banyak akan dapat membawa keseimbangan ekonomi? Saya tidak bermaksud dengan ini hendak membuat suatu keputusan hukum. Saya serahkan soal ini kepada ahli-ahli pikir, kepada pihak penguasa untuk memikirkan dan merencanakannya, dengan catatan selalu, bahwa bilamana keadaan hidup sudah kembali biasa, maka yang paling baik dapat menjamin kebahagiaan masyarakat ialah membatasi laki-laki hanya pada satu istri.
Cerita Zainab bt. Jahsy
Sehubungan dengan cerita tentang Zainab bt. Jahsy serta apa yang ditambah-tambahkan oleh beberapa orang ahli hadis, oleh kaum Orientalis dan misi-misi penginjil dengan bermacam-macam tabir khayal sehingga ia dijadikan sebuah cerita roman percintaan, sejarah yang sebenarnya dapat mencatat, bahwa teladan yang diberikan oleh Muhammad dan patut dibanggakan, dan sebagai contoh iman yang sempurna, jalah bahwa dia telah menerapkan bunyi hadis yang maksudnya: Iman seseorang belum sempurna sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.’ Dirinya telah dijadikan contoh pertama manakala ia melaksanakan suatu hukum yang pada dasarnya hendak menghapus tradisi dan segala adat-istiadat jahiliah, dan yang sekaligus dengan itu ia menctapkan peraturan baru, yang diturunkan Tuhan sebagai pimbingan dan rahmat buat semesta alam.
Hubungan Kerabat Muhammad dengan Zainab
Untuk menghapuskan semua cerita mereka yang kita baca itu darj dasarnya, cukup kalau kita sebutkan, bahwa Zainab bt. Jahsy ini adalah putri Umaima bt. Abd’I-Muttalib, bibi Rasulullah a.s. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan dengan bantuannya pula. Maka dengan demikian ia sudah seperti putrinya atau seperti adiknya sendiri. Ia sudah mengenal Zainab dan mengetahui benar apakah dia cantik atau tidak, sebelum ia dikawinkan dengan Zaid. ia sudah melihatnya sejak dari mula pertumbuhannya, sebagai bayi yang masih merangkak hingga menjelang gadis remaja dan dewasa, dan dia juga yang melamarnya buat Zaid bekas budaknya itu.
Jadi, kalau orang sudah mengetahui semua ini, maka hancurlah segala macam khayal dan cerita-cerita yang menyebutkan bahwa dia pernah ke rumah Zaid dan orang ini tidak di rumah, lalu dilihatnya Zainab, ia terpesona sekali melihat begitu cantik, sampai ia berkata: “Maha Suci Tuhan, yang telah membalikkan hati manusia!” Atau juga ketika ia membuka pintu rumah Zaid, kebetulan angin bertiup menguakkan tirai kamar Zainab, lalu dilihatnya wanita itu dengan gaunnya sedang berbaring – seolah seperti Madame Recamier — mendadak sontak hatinya berubah. Lupa ia kepada Sauda, Aisyah, Hafsha, Zainab bt. Khuzaima dan Umm Salama. Juga Khadijah sudah dilupakannya, yang seperti kata Aisyah, bahwa dirinya tidak pernah cemburu terhadap istri-istri Nabi seperti terhadap Khadijah ketika disebut-sebut. Kalau perasaan cinta itu sedikit banyak sudah terlintas dalam hati, tentu ia akan melamar kepada keluarganya untuk dirinya, bukan untuk Zaid. Dengan demikian hubungan Zainab dengan Muhammad ini serta gambaran yang kita kemukakan di atas, maka segala macam cerita khayal yang dibawa orang itu, sudah tidak lagi dapat dipertahankan dan ternyata samasekali memang tidak mempunyai dasar yang benar.
Dilamar untuk Zaid dan Ditolak
Dan apakah yang telah dicatat oleh sejarah? Sejarah mencatat bahwa Muhammad telah melamar Zainab anak bibinya itu buat Zaid bekas budaknya. Abdullah b. Jahsy saudara Zainab menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang dari suku Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di samping itu semua ia masih sepupu Rasul dari pihak ibu — akan berada di bawah seorang budak belian yang dibeli oleh Khadijah lalu dimerdeka, kan oleh Muhammad. Hal ini dianggap sebagai suatu aib besar buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di kalangan Arab ketika itu merupakan suatu aib yang besar sekali. Memang tidak ada gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah dimerdekakan. Tetapi Muhammad justru ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa dalam jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
“Bahwa orang yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Tuhan ialah orang yang lebih bertakwa.”
Sungguhpun begitu ia merasa tidak perlu memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab bt. Jahsy, sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang karena telah meninggalkan tradisi dan menghancurkan adat-lembaga Arab, menjadi sasaran buah mulut orang tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya. Juga biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang menurut hukum adat dan tradisi Arab orang yang berhak menerima waris sama seperti anak-anaknya sendiri itu, dia juga yang mengawininya. Maka dia pun bersedia berkorban, karena sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah dijadikan anaknya itu. Biarlah Muhammad memperlihatkan desakannya itu supaya Zainab dan saudaranya Abdullah b. Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami. Dan untuk itu biarlah firman Tuhan juga yang datang:
“Bagi laki-laki dan wanita yang beriman, bilamana Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketentuan, mereka tidak boleh mengambil kemauan sendiri dalam urusan mereka itu. Dan barangsiapa tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya, mereka telah melakukan kesesatan yang nyata sekali.”?
Setelah turun ayat ini tak ada jalan lain buat Abdullah dan Zainab saudaranya, selain harus tunduk menerima. “Kami menerima Rasulullah”, kata mereka. Lalu Zaid dikawinkan kepada Zainab setelah mas-kawinnya oleh Nabi disampaikan. Dan sesudah Zainab menjadi istri, ternyata ia tidak mudah dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah ia banyak mengganggu Zaid. Ia membanggakan diri kepadanya dari segi keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau ditundukkan oleh seorang budak.
Zaid mengeluh dan Perceraian
Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia meminta izin kepadanya hendak menceraikannya. Tetapi Nabi menjawabnya:
“Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah.”
Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama bergaul dengan Zainab serta sikapnya yang angkuh kepadanya itu. Lalu diceraikannya.
Kehendak Tuhan juga kiranya yang mau menghapuskan melekatnya hubungan anak angkat dengan keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi anutan masyarakat Arab, juga pemberian segala hak anak kandung kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama. Demikian firman Tuhan turun:
“Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu menjadi anakanak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.”
Ini berarti bahwa anak angkat boleh kawin dengan bekas istri bapa angkatnya, dan bapa boleh kawin dengan bekas istri anak angkatnya. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan ini? Siapa pula dari kalangan Arab yang dapat membongkar adat-istiadat yang sudah turun-temurun itu. Muhammad sendiri kendatipun dengan kemauannya yang sudah begitu keras dan memahami benar arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang mampu melaksanakan ketentuan itu dengan jalan mengawini Zainab setelah diceraikan oleh Zaid, masih terlintas dalam pikirannya apa yang kira-kira akan dikatakan orang, karena dia telah mendobrak adat lapuk yang sudah berurat berakar dalam jiwa masyarakat Arab itu. Itulah yang dikehendaki Tuhan dalam firman-Nya:
“Dan engkau menyembunyikan sesuatu dalam hatimu yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia padahal hanya Allah yang lebih patut kautakuti.”
Bagaimana Muhammad Kawin dengan Zainab
Akan tetapi Muhammad adalah suri teladan dalam segala hal yang oleh Tuhan telah diperintahkan dan telah dibebankan kepadanya supaya disampaikan kepada umat manusia. Tidak takut ia apa yang akan dikatakan orang dalam hal perkawinannya dengan istri bekas budaknya itu. Takut kepada manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya kepada Tuhan dalam melaksanakan segala perintahNya. Biarlah dia kawin Saja dengan Zainab supaya menjadi teladan akan apa yang telah dihapuskan Tuhan mengenai hak-hak yang sudah ditentukan dalam hay bapa angkat dan anak angkat itu. Dalam hal inilah firman Tuhan itu turun:
“Maka setelah Zaid meluluskan kehendak wanita itu, Kami kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi alangan bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas) istri-istri anak-anak angkat mereka, bila. mana kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan.”
Inilah peristiwa sejarah yang sebenarnya sehubungan dengan soal Zainab bt. Jahsy serta perkawinannya dengan Muhammad. Dia adalah putri bibinya, sudah dilihatnya dan sudah diketahuinya sampai berapa jauh kecantikannya sebelum dikawinkan dengan Zaid, dan dia pula yang melamarnya buat Zaid, juga dia melihatnya setelah perkawinannya dengan Zaid, karena pada waktu itu bertutup muka belum lagi dikenal.
Sungguhpun begitu dari pihak Zainab sendiri, sesuai dengan ketentuan hubungan kekeluargaan dari satu segi, dan sebagai istri Zaid anak angkatnya dari segi lain, Zainab menghubungi dia karena beberapa hal dalam urusannya sendiri dan juga karena seringnya Zaid mengadukan halnya itu. Semua ketentuan hukum itu sudah diturunkan. Lalu diperkuat lagi dengan peristiwa perkawinan Zaid dengan Zainab serta kemudian perceraiannya, lalu perkawinan Muhammad dengan dia sesudah itu. Semua ketentuan hukum ini, yang mengangkat martabat orang yang dimerdekakan ke tingkat orang merdeka yang terhormat, dan yang menghapuskan hak anak-anak angkat dengan jalan praktek yang tidak dapat dikaburkan atau ditafsir-tafsirkan lagi.
Sekarang Apa Pendapat Orientalis tentang Zainab
Sesudah semua itu, masih adakah pengaruh cerita-cerita yang selalu diulang-ulang oleh pihak Orientalis dan oleh misi-misi penginjil, oleh Muir, Irving, Sprenger, Weil, Dermenghem, Lammens dan yang lain, yang suka menulis sejarah hidup Muhammad? Ya, kadang ini adalah nafsu misi penginjilan yang secara terang-terangan, kadang cara misi penginjilan atas nama ilmu pengetahuan.
Adanya permusuhan lama terhadap Islam adalah permusuhan yang sudah berurat berakar dalam jiwa mereka, sejak terjadinya serentctan perang Salib dahulu. Itulah yang mengilhami mereka semua dalam menulis, yang dalam menghadapi soal perkawinan, khususnya perkawinan Muhammad dengan Zainab bt. Jahsy, membuat mereka sampai memperkosa sejarah, mereka mencari cerita-cerita yang paling femah sekalipun asal dapat dimasukkan dan dihubung-hubungkan kepadanya.
Andaikata apa yang mereka katakan itu memang benar, tentu saja kita pun masih akan dapat menolaknya dengan mengatakan, bahwa kebesaran itu tidak tunduk kepada undang-undang. Bahwa sebelum itu, Musa, Isa dan Yunus, mereka itu berada di atas hukum alam, di atas ketentuan-ketentuan masyarakat yang berlaku. Ada yang karena kejahirannya, ada pula yang dalam masa kehidupannya, tapi itu tidak sampai mendiskreditkan kebesaran mereka. Sebaliknya Muhammad, ia telah meletakkan ketentuan-ketentuan masyarakat yang sebaik-baiknya dengan wahyu Tuhan, dan dilaksanakan atas perintah Tuhan, yang dalam hal ini merupakan contoh yang tinggi sekali, sebagai teladan yang sangat baik dalam melaksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan itu. Ataukah barangkali yang dikehendaki oleh misi-misi penginjil itu supaya ia menceraikan istri-istrinya dan jangan lebih dari empat orang saja seperti yang kemudian disyariatkan kepada kaum Muslimin, setelah perkawinannya dengan mereka semua itu?
Muhammad Mengangkat Martabat Kaum Wanita Adakah juga pada waktu itu ia akan selamat dari kritik mereka?
Sebenarnya hubungan Muhammad dengan istri-istrinya itu adalah hubungan yang sungguh terhormat dan agung, seperti sudah kita lihat seperlunya dalam keterangan Umar bin’l-Khattab yang sudah kita sebutkan, contoh semacam itu akan banyak kita jumpai dalam beberapa bagian buku ini. Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahwa belum ada orang yang dapat menghormati wanita seperti yang pernah diberikan oleh Muhammad, belum ada orang yang dapat mengangkat martabat wanita ke tempat yang layak seperti yang dilakukan oleh Muhammad itu.
Naluri Orang-orang Arab dan Kewaspadaan Muhammad — Permusuhan Yahudi yang Sengit — Utusan Yahudi kepada Quraisy — Yahudi Lebih Mengutamakan Paganisma daripada Islam — Pendapat Seorang Yahudi — Yahudi Menghasut Semua Orang Arab — Muslimin Gentar — Menggali Parit Sekitar Medinah – Quraisy Terkejut Melihat Parit — Musim Dingin yang Luar Biasa — Huyayy Kuatir Pihak Ahzab Menarik Diri – Quraiza Melanggar Perjanjian — Utusan Muhammad kepada Quraiza — Mereka yang Menyerbu Parit — Muslimin Dianggap Enteng oleh Quraiza — Intrik Nu’aim di Kalangan Ahzab dan Quraiza — Angin Topan Menghancurkan Perkemahan Ahzab — Ahzab Berangkat Pulang — Perang Quraiza — Meminta Pendapat Abu Lubaba — Keputusan Sa’d b. Mu’adh — Keuletan Orang-orang Yahudi dalam perang — Kematian Quraiza Atas Tanggung Jawab Huyayy b. Akhtab —Membagi Harta Benda Banu Quraiza
SETELAH Madinah dikosongkan dari Banu Nadzir, kemudian setelah peristiwa Badr Terakhir dan sesudah ekspedisi-ekspedisi Ghatafan dan Dumat’I-Jandal berlalu, tiba waktunya kaum Muslimin sekarang merasakan hidup yang lebih tenang di Medinah. Mereka sudah dapat mengatur hidup, sudah tidak begitu banyak mengalami kesulitan berkat adanya rampasan perang yang mereka peroleh dari peperangan selama itu, meskipun dalam banyak hal kejadian ini telah membuat mereka lupa terhadap masalah-masalah pertanian dan perdagangan. Tetapi di samping ketenangan itu Muhammad selalu waspada terhadap segala tipu-muslihat dan gerak-gerik musuh. Mata-mata selalu disebarkan ke seluruh pelosok jazirah, mengumpulkan berita-berita sekitar kegiatan masyarakat Arab yang hendak berkomplot terhadap dirinya. Dengan demikian ia selalu dalam siap-siaga, sehingga kaum Muslimin dapat selalu mempertahankan diri.
Naluri Orang-orang Arab dan Kewaspadaan Muhammad
Tidak begitu sulit orang menilai betapa perlunya harus bersikap waspada dan berhati-hati selalu setelah kita melihat adanya segala macam tipu-muslihat Quraisy dan yang bukan Quraisy terhadap kaum Muslimin, juga karena negeri-negeri masa itu — juga sesudah itu sebagian besar dalam perkembangan sejarahnya masing-masing mereka itu merupakan sekumpulan republik-republik kecil, yang satu sama lain berdiri sendiri-sendiri. Mereka masing-masing menggunakan sistem organisasi yang lebih dekat pada cara-cara kabilah. Hal ini memaksa mereka harus berlindung pada adat-lembaga dan tradisi yang ada, yang tidak mudah dapat kita bayangkan seperti halnya pada bangsa-bangsa yang sudah teratur. Dalam hal im Muhammad pun sebagai orang Arab sangat waspada sekali mengingat nafsu hendak membalas dendam yang ada dalam naluri orang-orang Arab itu besar sekali. Baik Quraisy maupun Yahudi Banu Qainuqa” dan Yahudi Banu Nadzir, demikian juga kabilah-kabilah Arab Ghatafan, Hudhail dan kabilah-kabilah yang berbatasan dengan Syam, mereka saling menunggu, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu akan binasa. Kalaupun mereka akan mendapat kesempatan, masing-masing berharap akan dapat mengadakan balas dendam terhadap laki-laki yang sekarang datang mencerai-beraikan masyarakat Arab dengan kepercayaan mereka itu. Laki-laki yang pergi keluar Mekah, mengungsi dalam keadaan tidak berdaya, tidak punya kekuatan, selain iman yang telah memenuhi jiwanya yang besar itu, dalam waktu lima tahun sekarang orang ini sudah kuat, sudah mempunyai kemampuan, sehingga kota-kota dan kabilah-kabilah Arab yang terkuat sekalipun, merasa segan kepadanya.
Permusuhan Yahudi yang Sengit
Orang-orang Yahudi ialah musuh Muhammad yang paling tajam memperhatikan ajaran-ajaran dan cara berdakwahnya. Dengan kemenangannya itu merekalah yang paling banyak memperhitungkan nasib yang telah menimpa diri mereka. Mereka di negeri-negeri Arab sebagai penganjur-penganjur ajaran tauhid (monotheisma). Mengenai penguasaan bidang ini mereka bersaingan sekali dengan pihak Kristen. Mereka selalu berharap akan dapat mengalahkan lawannya ini. Dan barangkali mereka benar juga mengingat bahwa orang-orang Yahudi ialah bangsa Semit yang pada dasarnya lebih condong pada pengertian monotheisma. Sementara a aran trinitas Kristen suatu hal yang tidak mudah dapat dicernakan oleh | wa Semit. Dan sekarang Muhammad, orang yang berasal dari pusat Arab dan dari pusaf orang-orang Semit sendiri, menganjurkan ajaran tauhid d ngan cara yang sungguh kuat dan mempesonakan sekali, dapat menjelajahi dan merasuk sampai ke lubuk hati orang, dan mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Sekarang ia sudah begitu u t dapat mengeluarkan Banu Qainuqa’ dari Medinah, mengusir Banu N dar dari daerah koloni mereka. Dapatkah mereka membiarkannya t begitu, gan mereka sendiri pergi ke Syam atau pulang ke tanah air mereka yang pertama, ke Bait’l-Magdis (Yerusalem) di Negeri Yang Dijanjikan’ (Palestina), ataukah mereka harus berusaha menghasut Orang-orang Arab itu supaya dapat membalas dendam kepada Muhammad? Utusan Yahudi kepada Quraisy
Rencana hendak menghasut orang-orang Arab adalah yang Paling terutama menguasai pikiran pemuka-pemuka Banu Nadzir. Untuk me, laksanakan rencana itu, beberapa orang dari kalangan mereka pergi hendak menemui Quraisy di Mekah. Mereka terdiri dari Huyayy Akhtab, Sallam b. Abi’I-Hugaig dan Kinana bin’I-Hugaig, bersama-sama dengan beberapa orang dari Banu Wa’il Hawadha b. Oais dan Aby “Ammar.
Ketika oleh pihak Mekah Huyayy ditanya mengenai golongannya itu ia menjawab:
“Mereka saya biarkan mundar-mandir ke Khaibar dan ke Medinah sampai tuan-tuan nanti datang ke tempat mereka dan berangkat bersama. sama menghadapi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.”
Ketika oleh mereka ditanya tentang Quraiza, ia menjawab:
“Mereka tinggal di Medinah sekadar mau mengelabui Muhammad. Kalau tuan-tuan sudah datang mereka akan bersama-sama dengan tuantuan.”
Yahudi Lebih Mengutamakan Paganisma daripada Islam
Pihak Quraisy jadi ragu-ragu akan maju, atau mundur saja. Mereka dengan Muhammad tidak berselisih apa-apa, selain ajarannya tentang Tuhan. Bukan tidak mungkinkah bahwa dia juga yang benar, sebab makin hari ajarannya itu ternyata makin kuat dan tinggi juga?
“Tuan-tuan dari golongan Yahudi”, kata pihak Quraisy. “Tuan-tuan adalah ahli kitab yang mula-mula dan sudah mengetahui pula apa yang menjadi pertentangan antara kami dengan Muhammad. Soalnya sekarang: manakah yang lebih baik, agama kami atau agamanya?”
Pihak Yahudi menjawab:
“Tentu agama tuan-tuan yang lebih baik, sebab tuan-tuan lebih benar dari dia.”
Dalam hal ini firman Tuhan dalam Quran menyebutkan:
“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah diberi sebagian kitab? Mereka percaya kepada sihir dan berhala dan mereka berkata kepada orang-orang kafir: “Jalan mereka lebih benar dari orang yang beriman.” Mereka itulah yang dikutuk oleh Tuhan. Dan barangsiapa yang dikutuk Tuhan, maka baginya takkan ada penolong.” Pendapat Seorang Yahudi
Dalam posisi orang-orang Yahudi menghadapi Quraisy ini dengar sikap lebih mengutamakan paganisma mereka daripada tauhid Muhammad, maka dalam Tarikh’l-Yahudi fi Bilad’I-“Arab, Dr. Israel Wolfinson menyebutkan: “Seharusnya mereka itu tidak boleh sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang begitu kotor, dan jangan pula berkata dengan terusterang di depan pemuka-pemuka Quraisy, bahwa cara menyembah berhala itu lebih baik daripada tauhid seperti yang diajarkan Islam, meskipun hal itu akan mengakibatkan permintaan mereka tidak akan dipenuhi. Oleh karena orang-orang Israel sejak berabad-abad lamanya atas nama nenek-moyang dahulu kala sebagai pengemban panji tauhid (monotheisma) di antara bangsa-bangsa di dunia, dan telah pula mengalami pelbagai macam penderitaan, pembunuhan dan penindasan hanya karena iman mereka kepada Tuhan Yang Tunggal itu, yang mereka alami dalam berbagai zaman selama dalam perkembangan sejarah, maka sudah seharusnya mereka bersedia mengorbankan hidup mereka, mengorbankan segala yang mereka cintai dalam menghadapi dan menaklukkan kaum musyrik itu. Apalagi dengan minta perlindungan kepada pihak penyembah berhala, itu berarti mereka telah memerangi diri sendiri serta menentang ajaran-ajaran Taurat yang meminta mereka menjauhi penyembahpenyembah berhala dan dalam menghadapi mereka supaya bersikap seperti menghadapi musuh.” Yahudi Menghasut Orang Arab
Huyayy b. Akhtab dan orang-orang Yahudi yang sepaham dengan dia, yang telah mengatakan kepada Quraisy bahwa paganisma mereka lebih baik daripada tauhid Muhammad dengan maksud supaya mereka sudi memeranginya, dan yang akan mereka laksanakan setelah sekian bulan disiapkan, tampaknya tidak cukup sampai di situ saja. Malah orang-orang Yahudi itu pergi lagi menemui kabilah Ghatafan? yang terdiri dari Oais “Ailan, Banu Fazara, Asyja” Sulaim, Banu Sa’d dan Asad, serta semua pihak yang ingin menuntut balas kepada Muslimin. Mereka ini aktif sekali mengerahkan orang supaya menuntut balas dengan menyebutkan bahwa Quraisy juga ikut serta memerangi Muhammad. Paganisma Quraisy mereka puji dan mereka menjanjikan, bahwa mereka pasti akan mendapat kemenangan.
Kelompok-kelompok yang sudah diorganisasikan oleh pihak Yahudi itu kini berangkat hendak memerangi Muhammad dan sahabat-sahabat, nya. Dari pihak Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan sudah disiapkan 4000 orang prajurit, tiga ratus ekor kuda dan 1500 orang dengan unta. Pimpinan brigade yang disusun di Dar’n-Nadwa diserahkan kepada “Uthman b. Talha. Ayah orang ini telah mati terbunuh dalam memimpin pasukan di Uhud. Banu Fazara yang dipimpin oleh “Uyaina b. Hishn b. Hudhaifa telah siap dengan sejumlah pasukan besar dan 100 unta. Sedang Asyja’ dan Murra masing-masing membawa 400 prajurit. Pihak Murra dipimpin .oleh Al-Harith b. “Auf dan dari pihak Asyja’ oleh Mis’ar ibn Rukhaila. Menyusul pula Sulaim, biang-keladi peristiwa Bi’ir Ma’una, dengan 700 orang. Mereka itu semua berkumpul, yang kemudian datang pula Banu Sa’d dan Asad menggabungkan diri. Jumlah mereka kurang lebih semuanya menjadi 10.000 orang. Semua mereka itu berangkat menuju Medinah di bawah pimpinan Abu Sufyan.
Setelah mereka sampai, selama dalam perang, pemuka-pemuka kabilah itu saling bergantian pimpinan, masing-masing sehari mendapat giliran.
Muslimin Gentar
Berita keberangkatan mereka ini sampai juga kepada Muhammad dan kaum Muslimin di Medinah. Mereka merasa gentar. Ya, sekarang seluruh kabilah Arab sudah bersatu sepakat hendak menumpas dan memusnahkan mereka, sudah datang dengan perlengkapan dan jumlah manusia yang besar, suatu hal yang dalam sejarah peperangan Arab secara keseluruhannya belum pernah terjadi. Apabila dalam perang Uhud Quraisy telah mendapat kemenangan atas mereka, ketika mereka keluar menyongsong keluar Medinah, padahal baik jumlah perlengkapan maupun jumlah manusia jauh di bawah pasukan sekutu ini, apa lagi yang dapat dilakukan kaum Muslimin sekarang dalam menghadapi jumlah pasukan yang terdiri dari beribu-ribu manusia itu — barisan berkuda, unta, persenjataan serta perlengkapan lainnya?! Tidak ada jalan lain, hanya bertahan di Yathrib yang masih perawan ini, seperti dikatakan oleh Abdullah b. Ubayy.
Menggali Parit Sekitar Medinah
Tetapi cukup hanya bertahan sajakah menghadapi kekuatan raksasa stu? Salman al-Farisi adalah orang yang banyak mengetahui seluk-beluk peperangan, yang belum dikenal di daerah-daerah Arab. Ia menyarankan supava di sekitar Medinah itu digali parit dan keadaan kota diperkuat dari dalam. Saran ini segera dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Ketika menggali parit itu Nabi a.s. juga dengan tangannya sendiri ikut bekerja. Ia turut mengangkat tanah dan sambil terus memberi semangat, dengan menganjurkan kepada mereka supaya terus melipat-gandakan kegiatan. Pihak Muslimin sudah membawa alat-alat yang diperlukan, terdiri dari sekop, cangkul dan keranjang pengangkat tanah dari tempat orang-orang Yahudi Quraiza yang masih berada di bawah pihak Islam. Dengan bekerja giat terus-menerus penggalian parit itu selesai dalam waktu enam hari. Dalam pada itu dinding-dinding rumah yang menghadap ke arah datangnya musuh, yang jaraknya dengan parit itu kira-kira dua farsakh, diperkuat pula. Rumah-rumah yang ada di belakang parit itu dikosongkan. Wanita dan anak-anak ditempatkan dalam rumah-rumah .yang sudah diperkuat, dan di samping parit dari arah Medinah ditaruh pula batu supaya di waktu perlu dapat dilemparkan sebagai senjata.
Tatkala pihak Quraisy dan kelompok-kelompoknya itu datang dengan harapan akan menemui Muhammad di Uhud, ternyata tempat itu kosong. Mereka meneruskan perjalanan ke Medinah:, tapi mereka dikejutkan oleh adanya parit. Di luar dugaan semula, mereka heran sekali melihat jenis pertahanan yang masih asing bagi mereka itu. Dibawa oleh perasaan jengkel, mereka pun menganggap bahwa berlindung di balik parit semacam itu adalah suatu perbuatan pengecut yang belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab. Pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya lalu bermarkas di Mujtama'” I’-As-yal di bilangan Ruma, dan pasukan Ghatafan serta pengikut-pengikutnya dari Najd, bermarkas di Dhanab Nagama. Sedang Muhammad sekarang berangkat dengan tiga ribu orang Muslimin, dengan membelakangi bukit Sal” dan dijadikannya parit itu sebagai batas dengan pihak musuh. Di tempat inilah ia bermarkas dan memasang kemahnya yang berwarna merah.
Quraisy Terkejut Melihat Parit
Pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya melihat, bahwa tidak mungkin mereka menerobos parit itu. Dengan demikian selama beberapa hari mereka hanya saling melemparkan anak panah. Abu Sufyan sendiri dengan pengikut-pengikutnya pun yakin bahwa akan sia-sia saja mereka lama-lama menghadapi kota Yathrib dengan paritnya itu, karena tidak akan dapat mereka menerobosnya.
Musim Dingin yang Luar Biasa
Pada waktu itu sedang terjadi musim dingin yang luar biasa disertai angin badai yang bertiup kencang, sehingga sewaktu-waktu dikuatirkan hujan lebat akan turun. Kalau orang-orang Mekah dan orang-orang Ghatafan dengan mudah saja dapat berlindung dalam rumah-rumah mereka di Mekah atau di Ghatafan, maka kemah-kemah yang mereka pasang sekarang di depan kota Yathrib itu samasekali takkan dapat melindungi mereka. Di samping itu tadinya memang mereka mengharap kan memperoleh kemenangan secara lebih mudah, tidak perlu susahpa ah seperti pada waktu di Uhud. Mereka akan kembali pulang dengan menyanyikan lagu-lagu kemenangan serta menikmati adanya pembagian barang-barang jarahan dan rampasan perang. Jadi apalagi kalau begitu ang masih menahan Ghatafan buat kembali pulang?! Mereka ikut m libatkan diri dalam perang itu hanya karena pihak Yahudi pernah m njanjikan mereka dengan buah-buahan hasil pertanian dan perkebunan Khaibar, apabila mereka memperoleh kemenangan. Tetapi sekarang mereka melihat untuk memperoleh kemenangan itu tampaknya tidak mudah, atau setidak-tidaknya sudah di luar kenyataan. Dalam musim dingin yang begitu hebat rupanya diperlukan kerja keras yang luar biasa yang akan membuat mereka lupa segala buah-buahan berikut kebunk bunnya itu!
Sebaliknya pihak Quraisy yang hendak menuntut balas karena peristtwa Badr dan kekalahan-kekalahan lain sesudah Badr, pada suatu waktu masih akan dapat mengejar Jengan harapan parit itu tidak akan elamanya berada dalam genggaman Muhammad dan selama pihak Banu Quraiza masih bersedia memberikan bantuan kepada penduduk Yathrib, yang akan memperpanjang perlawanan mereka sampai berbulan-bulan. Bukankah lebih baik pihak Ahzab itu kembali pulang saja? Ya! Akan tetapi mengumpulkan kembali kelompok-kelompok itu nanti buat memerangi Muhammad lagi bukanlah soal yang mudah. Sebenarnya Orang-orang Yahudi 1tu, terutama Huyayy b. Akhtab sebagai pemimpin mereka, sekali itu telah berhasil mengumpulkan kabilah-kabilah itu untuk m mbalas dendam golongannya dan golongan Banu Qainuqa” terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apabila kesempatan itu sudah hlang maka jangan diharap ia akan kembali, dan bilamana Muhammad m ndapat kemenangan dengan ditariknya pihak Ahzab itu, maka bahaya akan mengancam pihak Yahudi.
Huyay Kuatir Pihak Ahzab Menarik Diri
Semua itu sudah diperhitungkan oleh Huyayy b. Akhtab. Ia kuatir kibatnya jalan lain tidak ada. Ia harus mempertaruhkan nasib terakhir. Kepada pihak Ahzab itu ia membisikkan, bahwa ia sudah dapat meyakinkan Banu Quraiza supaya membatalkan perjanjian perdamaan. nya dengan Muhammad dan pihak Muslimin, dan selanjutnya akan menggabungkan diri dengan mereka, dan bahwa begitu Banu Quraiza melaksanakan hal ini, maka dari suatu segi terputuslah semua perbekalan dan bala bantuan kepada Muhammad itu, dan dari segi lain jalan masuk ke Yathrib akan terbuka. Quraisy dan Ghatafan merasa gembira atas keterangan Huyayy itu. Huyayy sendiri cepat-cepat berangkat hendak menemui Ka’b b. Asad, orang yang berkepentingan dengan adanya perjanjian Banu Quraiza itu. Tetapi begitu mengetahui kedatangannya itu Ka’b sudah menutup pintu bentengnya, dengan perhitungan bahwa pembelotan Banu Quraiza terhadap Muhammad dan membatalkan per janjiannya secara sepihak kemudian menggabungkan diri dengan musuh. nya, adakalanya memang akan menguntungkan pihak Yahudi kalaupun pihak Muslimin yang dapat dihancurkan. Tetapi sebaliknya sudah seharus. nya pula me