Sejarah Hidup Muhammad Husain Haekal [PDF]

MUHAMMAD, ‘alaihi’sh-shalatu wassalam.

 

Dengan nama yang begitu mulia, jutaan bibir setiap hari mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat berdenyut, berulang kali. Bibir dan jantung yang bergerak dan berdenyut sejak seribu tiga ratus lima puluh tahun. Dengan nama yang begitu mulia, berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta jantung akan terus berdenyut, sampai akhir zaman.

 

Pada setiap hari di kala fajar menyingsing, lingkaran-lingkaran putih di ufuk sana mulai nampak hendak menghalau kegelapan malam, ketika itu seorang muazzin bangkit, berseru kepada setiap makhluk insani, bahwa bangun bersembahyang lebih baik daripada terus tidur. Ia mengajak mereka bersujud kepada Allah, membaca selawat buat Rasulullah.

 

Seruan ini disambut oleh ribuan, oleh jutaan umat manusia dari segenap penjuru bumi, menyemarakkannya dengan salat menyambut pahala dan rahmat Allah bersamaan dengan terbitnya hari baru. Dan bila hari siang, matahari pun berangkat pulang, kini muazzin bangkit menyerukan orang bersembahyang lohor, lalu salat asar, maghrib, isya. Pada setiap kali dalam sembahyang ini mereka menyebut Muhammad, hamba Allah, Nabi dan Rasul-Nya itu, dengan penuh permohonan, penuh kerendahan hati dan syahdu. Dan selama mereka dalam rangkaian sembahyang lima waktu itu, bergetar jantung mereka menyebut asma Allah dan menyebut nama Rasulullah. Begitulah mereka, dan akan begitu mereka, setelah Allah memperlihatkan agama yang sebenarnya ini dan melimpahkan nikmat-Nya kepada seluruh umat manusia.

 

Lingkungan Kekuasaan Islam yang Pertama

 

Tidak banyak waktu yang diperlukan Muhammad dalam menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan panjinya ke penjuru dunia. Sebelum wafatnya, Allah telah menyempurnakan agama ini bagi kaum Muslimin. Dalam pada itu ia pun telah meletakkan landasan penyebaran agama itu: dikirimnya misi kepada Kisra,’ kepada Heraklius dan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa lain supaya mereka sudi menerima Islam. Tak sampai seratus lima puluh tahun sesudah itu, bendera Islam pun sudah berkibar sampai ke Andalusia di Eropa sebelah barat, ke India Turkestan, sampai ke Tiongkok di Asia Timur, juga telah sampai ke Syam (meliputi Suria, Libanon, Yordania dan Palestina sekarang), Irak, Persia dan Afghanistan, yang semuanya sudah menerima Islam. Selanjutnya negeri-negeri Arab dan kerajaan Arab, sampai ke Mesir, Sirenaika, Tunisia, Aljazair, Marokko, — sekitar Eropa dan Afrika — telah dicapai oleh misi Muhammad “alaihissalam. Dan sejak waktu itu sampai masa kita sekarang ini panji-panji Islam tetap berkibar di semua daerah itu, kecuali Spanyol yang kemudian diserang oleh Kristen dan penduduknya disiksa dengan bermacam-macam cara kekerasan. Tidak tahan lagi mereka hidup. Ada di antara mereka yang kembali ke Afrika, ada pula yang karena takut dan ancaman berbalik agama berpindah dari agama asalnya kepada agama kaum tiran yang menyiksanya.

 

Hanya saja apa yang telah diderita Islam di Andalusia sebelah barat Eropa itu ada juga gantinya tatkala kaum Usmani (Turki) memasukkan dan memperkuat agama Muhammad di Konstantinopel. Dari sanalah ajaran Islam itu kemudian menyebar ke Balkan, dan memercik pula sinarnya sampai ke Rusia dan Polandia sehingga berkibarnya panji-panji Islam itu berlipat ganda luasnya daripada yang di Spanyol.

 

Sejak dari semula Islam tersebar hingga masa kita sekarang ini memang belum ada agama-agama lain yang dapat mengalahkannya. Dan kalaupun ada di antara umat Islam yang ditaklukkan, itu hanya karena adanya berbagai macam kekerasan, kekejaman dan despotisma, yang sebenarnya malah menambah kekuatan iman mereka kepada Allah, kepada hukum Islam, dengan memohonkan rahmat dan ampunan daripada-Nya.

 

Islam dan Nasrani

 

Kekuatan inilah yang telah menyebabkan Islam itu tersebar, telah dikonfrontasikan langsung dengan pihak Nasrani yang menghadapinya dengan sikap permusuhan yang sengit sekali. Muhammad telah berhasil melawan paganisma dan mengikisnya dari negeri-negeri Arab, seperti juga yang kemudian dilakukan oleh para penggantinya yang mula-mula, di melawan Bizantium di bawah Yustinianus. Kisra II Parvez, putra Ormizd IV dan cucu Kisra I menyerang Anatolia dan Suria sampai di Bosporus. Syahvaraz dapat menaklukkan Damaskus dan Yerusalem dan Salib Besar (The True Cross) diambil, kemudian Heraklius dapat mengalahkan Persia di Niniveh (626). Kisra lari ke Ctesiphon (Mada’in). Ia dipenjarakan oleh anaknya Kavadh II (Syiruya) dan empat hari kemudian dibunuh (628) dalam penjara (A). Persia, di Afghanistan dan tidak sedikit pula di India. Pengganti-pengganti Muhammad telah dapat juga mengalahkan kaum Nasrani di Hira, di Yaman, Syam, Mesir dan sampai ke pusat Nasrani sendiri di Konstantinopel.

 

Seperti halnya dengan paganisma, adakah juga terhadap agama Nasrani akan senasib mengalami kelenyapan sebagai salah satu agama Kitab yang juga dihormati oleh Muhammad dan yang juga mendapat wahyu melalui Nabinya? Adakah orang-orang Arab itu, Arab pedalaman yang datang merantau dari pelosok jazirah padang pasir yang gersang, akan ditakdirkan juga menguasai taman-taman Andalusia, Bizantium dan daerah-daerah Masehi lainnya? Lebih baik mati daripada itu. Selama beberapa abad terus-menerus antara pengikut-pengikut Isa dan pengikutpengikut Muhammad telah terjadi peperangan yang terus-menerus. Dan peperangan itu tidak terbatas pada pedang dan meriam saja, malah juga diteruskan sampai ke bidang-bidang perdebatan dan pertentangan teologis yang dibawa oleh pejuang-pejuang itu, masing-masing atas nama Muhammad dan atas nama Isa, masing-masing mencari jalan mempengaruhi umum dan beragitasi membangkitkan fanatisma dan semangat rakyat jelata.

 

Kaum Muslimin dan Isa

 

Akan tetapi Islam melarang kaum Muslimin merendahkan kedudukan Isa — karena dia hamba Allah yang diberi-Nya kitab dan dijadikan-Nya seorang nabi, dijadikan-Nya ia orang yang beroleh berkah di mana pun ia berada, diperintahkan-Nya ia melakukan sembahyang, mengeluarkan zakat selama ia masih hidup, dijadikan-Nya ia orang yang berbakti kepada ibunya, dan tidak pula dijadikan orang yang pongah dan celaka. Bahagia ia tatkala dilahirkan, tatkala ia wafat dan tatkala ia dibangkitkan hidup kembali.

 

Sedang dari pihak kaum Masehi, banyak di antara mereka itu yang menyindir-nyindir Muhammad dan menilainya dengan sifat-sifat yang tidak mungkin dilakukan oleh kaum terpelajar — untuk melampiaskan rasa kebencian yang ada dalam hati mereka serta beragitasi membangkitkan emosi orang. Meskipun ada dikatakan bahwa perang salib itu sudah berakhir sejak ratusan tahun yang lalu, namun fanatisma gereja Kristen terhadap Muhammad mencapai puncaknya sampai pada waktu-waktu belakangan ini. Dan barangkali masih tetap demikian kalau tidak akan dikatakan malah bertambah, sekalipun dilakukan dengan sembunyisembunyi. berselubung misi dengan pelbagai macam cara. Hal ini tidak terbatas hanya pada gereja saja bahkan sampai juga kepada penulispenulis dan ahli-ahli pikir Eropa dan Amerika, yang dapat dikatakan tidak seberapa hubungannya dengan pihak gereja.

 

Bisa jadi orang merasa heran bahwa fanatisma Kristen terhadap Islam masih begitu keras pada suatu zaman yang diduga adalah zaman cerah dan zaman ilmu pengetahuan, yang berarti juga zaman toleransi dan kelapa. ngan dada. Dan orang akan Icbih heran lagi apabila mengingat kaum Muslimin yang mula-mula, betapa mereka merasa gembira melihat kemenangan kaum Kristen begitu besar terhadap kaum Majusi (Mazdais. ma), melihat kemenangan pasukan Heraklius merebut panji-panji Persia dan dapat melumpuhkan tentera Kisra. Masa itu Persia adalah yang memegang tampuk pimpinan di seluruh jazirah Arab bagian selatan, sesudah Kisra dapat mengusir Abisinia dari Yaman. Kemudian Kisra mengerahkan pasukannya — pada tahun 614 — di bawah salah seorang panglimanya yang bernama Syahravaraz’ untuk menyerbu Rumawi, dan dapat mengalahkannya ketika berhadap-hadapan di Adhri’at? dan dj Bushra,” tidak jauh dari Syam ke negeri Arab. Mereka banyak yang terbunuh, kota-kota mereka dihancurkan, kebun-kebun zaitun dirusak.

 

Orang-orang Kristen yang Fanatik dan Muhammad

 

Pada waktu itu Arab — terutama penduduk Mekah — mengikuti berita-berita perang itu dengan penuh perhatian. Kedua kekuatan yang sedang bertarung itu merupakan peristiwa terbesar yang pernah dikenal dunia pada masa itu. Negcri-negeri Arab ketika itu menjadi tetanggatetangganya. Sebagian berada di bawah kekuasaan Persia, dan sebagian lagi berbatasan dengan Rumawi. Orang-orang kafir Mekah bergembira sekali melihat kekalahan kaum Kristen itu, sebab mereka juga Ahli Kitab seperti kaum Muslimin. Mereka berusaha mengaitkan tercemarnya kekalahan Kristen itu dengan agama kaum Muslimin.

 

Sebaliknya pihak Muslimin merasa sedih sekali karena pihak Rumawi juga Ahli Kitab seperti mereka. Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak mengharapkan kemenangan pihak Majusi dalam melawan Kristen. Perselisihan kaum Muslimin dan kaum kafir Mekah ini sampai menimbulkan sikap saling berbantah dari kedua belah pihak. Kaum kafirnya mengejek kaum Muslimin, sampai ada di antara mereka itu yang menyatakan kegembiraannya di depan Abu Bakr, dan Abu Bakr pun sampai marah dengan mengatakan: Jangan lekas-lekas gembira, pihak Rumawi akan mengadakan pembalasan.

 

Abu Bakr adalah orang yang terkenal tenang dan lembut hati. Mendengar jawaban itu pihak kafir membalasnya dengan ejekan pula: Engkau pembohong. Abu Bakr marah: Engkaulah musuh Tuhan yang pembohong! Hal ini disertai dengan taruhan sepuluh ekor unta bahwa pihak Rumawi akan mengalahkan kaum Majusi dalam waktu setahun. Muhammad mengetahui adanya peristiwa taruhan ini, lalu dinasehatinya Abu Bakr, supaya taruhan itu ditambah dan waktunya pun diperpanjang. Abu Bakr memperbanyak jumlah taruhannya sampai seratus ekor unta dengan ketentuan, bahwa Persia akan dapat dikalahkan dalam waktu kurang dari sembilan tahun.

 

Dasar-dasar yang Sederhana dalam Kedua Agama

 

Dalam tahun 625 ternyata Heraklius menang melawan pihak Persia. Syam direbutnya kembali dan Salib Besar dapat diambil lagi. Dalam taruhan ini Abu Bakr pun menang. Sebagai nubuat atas kemenangan ini firman Tuhan turun seperti dalam awal Surah ar-Rum:

 

“Alif. Lam. Mim. Kerajaan Rurmawi telah dikalahkan. Di negeri terdekat. Dan mereka, sesudah kekalahan itu, akan mendapat kemenangan. Dalam beberapa tahun saja. Di tangan Tuhan keputusan itu. Pada masa lampau, dan masa akan datang. Pada hari itu orang-orang beriman akan bergembira. Dengan pertolongan Allah: Ia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Maha Mulia Ia dalam Kekuasaan dan Maha Penyayang. Demikian janji Allah. Allah takkan menyalahi janji-Nya. Tetapi kebanyakan orang tidak mengerti.”

 

Besar sekali kegembiraan kaum Muslimin atas kemenangan Heraklius dan kaum Nasrani itu. Hubungan persaudaraan antara mereka yang menjadi pengikut Muhammad dan mereka yang percaya kepada Isa, selama hidup Nabi, besar sekali, meskipun antara keduanya sering terjadi perdebatan. Tetapi tidak demikian halnya kaum Muslimin dengan pihak Yahudi, yang pada mulanya bersikap damai, lambat-laun telah menjadi permusuhan yang berlarut-larut, yang sampai meninggalkan bekas berdarah dan membawa akibat keluarnya orang-orang Yahudi dari seluruh jazirah Arab. Kebenaran atas kejadian ini ialah firman Tuhan:

 

“Pasti akan kau dapati orang-orang yang paling keras memusuhi mereka yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan pasti akan kau dapati orang-orang yang paling akrab bersahabat dengan mereka yang beriman ialah mereka yang berkata: “Karni ini orang. orang Nasrani. Sebab, di antara mereka terdapat kaum pendeta dan rahib. rahib, dan mereka itu tidak menyombongkan diri.”

 

Kemudian kita melihat kedua agama ini mempunyai konsepsi tentang hidup dan akhlak yang dapat dikatakan sama. Keduanya memandang manusia dan awal mula penjadiannya sama: Allah menciptakan Adam dan Hawa dan keduanya ditempatkan dalam surga, kemudian diwahyukan jangan mereka mendengarkan godaan setan. Tetapi mereka makan juga (buah) dari pohon itu, maka mereka pun keluar dari surga. Setan yang tak mau tunduk kepada Adam, adalah musuh mereka — sebagaimana diwahyukan Allah kepada Muhammad — dan yang tidak mau menyucikan kalimat Allah, menurut kitab-kitab suci kaum Nasrani. Setan memperdayakan Hawa dan membujuknya. Lalu Hawa pun membujuk Adam dan keduanya sama-sama makan dari Pohon Abadi itu. Kerana itu, maka tampaklah aurat mereka. Mereka pun minta ampun kepada Tuhan dan Tuhan mengirimkan mereka ke bumi, yang akan jadi saling bermusuhan di antara sebagian keturunan mereka, dan yang akan diperdayakan setan, sehingga akan ada golongan yang sesat dan ada pula yang akan melawan kehancuran itu.

 

Untuk memperkuat perjuangan manusia melawan godaan dosa itu, Tuhan telah mengutus Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain, dan kepada setiap rasul itu disertakan pula kitab (wahyu) menurut bahasa masyarakat lingkungan guna memperkuat apa yang datang dari Tuhan dan memberi penerangan kepada mereka. Sebagaimana juga di pihak setan ada barisan yang membela nafsu kejahatan, juga para malaikat memuja dan menguduskan kesucian Tuhan. Masing-masing mereka itu saling berselisih menghadapi hidup dan alam ini sampai Hari Kebangkitan, tatkala setiap jiwa kelak akan memperoleh hasil sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan takkan ada seorang teman akrab pun yang sudi menanyakan teman lainnya.

 

Perbedaan Tauhid dan Trinitas

 

Akan kita lihat dalam Quran yang telah menyebutkan Isa dan Mariam dengan penghormatan serta penghargaan yang demikian rupa dari Tuhan sehingga kita pun karenanya turut bersimpati pula, terbawa oleh rasa persaudaraan. Tetapi apa yang menyebabkan kita lalu bertanya?: Kalau begitu, kenapa kaum Muslimin dan Kristen selama berabad-abad terus bermusuhan dan berperang? Jawaban atas pertanyaan ini ialah, bahwa antara ajaran-ajaran Islam dan Kristen itu terdapat perbedaan asasi yang menjadi suatu sebab perdebatan hebat semasa Nabi, sekalipun perdebatan demikian itu tidak sampai melampaui batas permusuhan dan kebencian. Kaum Kristen tidak mengakui kenabian Muhammad seperti Islam yang mengakui kenabian Isa: Kristen berlandaskan Trinitas, sedang Islam sama sekali menolak, selain Tauhid. Kaum Kristen menuhankan Isa, dan berpegang pada argumentasi ketuhanannya itu bahwa dia sudah berbicara sejak di dalam buaian serta memperlihatkan mukjizat-mukjizat yang tak dapat dilakukan oleh yang lain, suatu hal yang sebenarnya hanya dapat dilakukan oleh Tuhan.

 

Pada masa permulaan Islam mereka mendebat kaum Muslimin tentang itu dengan menggunakan Quran, dengan berkata: Bukankah Quran yang diturunkan kepada Muhammad itu mengakui pendapat kami ketika berkata:

 

“Dan tatkala para malaikat berkata: “Aduhai Mariam, Tuhan menyampaikan berita gembira kepadamu dengan firman Tuhan: namanya Isa Almasih anak Mariam, orang terpandang di dunia dan di akhirat dan termasuk orang yang dekat (kepada Tuhan). Ia akan berbicara dengan orang semasa ia anak-anak dan sesudah dewasa dan ia tergolong orang yang baik-baik. Kata (Mariam)nya: “Tuhan, dari mana saya akan mendapatkan anak, padahal tak ada orang yang menyentuhku.’ Ia (Tuhan) berkata: “Begitulah, Tuhan mencipta menurut kehendak-Nya. Jika ia memutuskan sesuatu, Ia hanya berkata: Jadilah, maka ia pun jadi. Dan ia mengajarkan Kitab kepadanya, hikmah kebijaksanaan, Taurat dan Injil. Dan ia diutus menjadi Rasul bagi keluarga Israil: “Aku datang kepadamu membawa sebuah Bukti dari Tuhanmu. Kuciptakan dari tanah liat bentuk serupa burung. Kutiup ia lalu ia menjadi seekor burung dengan izin Allah, dan aku dapat menyembuhkan orang buta dan berpenyakit kusta serta menghidupkan orang mati dengan izin Allah. Aku pun dapat memberitahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan dalam rumahmu. Itulah suatu bukti bagimu bila kamu orang-orang yang beriman.”

 

Jadi Quran menegaskan, bahwa ia menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta asal dari kelahiran, menyembuhkan kusta, dan dari segumpal tanah dijadikannya seekor burung dan dapat membuat profesi (ramalan) dan semua ini adalah merupakan sifat-sifat Ilahiah. Inilah pandangan kaum Nasrani masa Nabi, yang dijadikan mereka bahan argumentasi dan mengajaknya berdebat dengan pendirian, bahwa Isa juga Tuhan di samping Allah. Dan ada lagi segolongan mereka itu yang berpendirian menuhankan Mariam karena Allah telah menurunkan sabda-Nya kepadanya. Pendirian kaum Nasrani yang demikian pada masa itu menganggap Mariam satu dari tiga dalam Trinitas: Bapa, Anak dan Ruh Kudus. Mereka yang berpendirian dengan menuhankan Isa dan ibunya itu hanya merupakan satu sekta dari sekian banyak sekta-sekta Nasrani yang bermacam-macam dan terpencar-pencar itu.

 

Kaum Nasrani Mengajak Nabi Berdebat

 

Orang-orang Nasrani seluruh jazirah Arab dengan alirannya yang bermacam-macam itu mengajak Muhammad berdebat menurut dasar mazhab mereka. Kata mereka Almasih itu ialah Allah, dia anak Allah: kata mereka dia adalah satu dari tiga dalam Trinitas. Mereka yang berpendapat pada ketuhanan Isa itu berpegang pada argumentasi yang disebutkan di atas. Argumentasi yang mengatakan bahwa dia anak Allah, sebab bapanya tidak diketahui orang, dan dia berbicara dalam buaian semasa anak-anak, yang tak pernah terjadi pada siapa pun dari anak Adam. Argumentasi yang mengatakan bahwa dia satu dari tiga dalam Trinitas, sebab Allah berkata: Kami perintahkan, Kami jadikan dan Kami tentukan. Kalau hanya Satu tentu berkata: Aku perintahkan, Aku jadikan dan Aku tentukan. Muhammad mendengarkan semua tanggapan mereka itu, dan mengajaknya berdiskusi dengan cara yang lebih baik. Dalam perdebatan itu ia tidak begitu keras seperti terhadap kaum musyrik dan penyembah berhala. Bahkan dikemukakannya argumen itu berdasarkan wahyu dengan cara yang logis dan sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab mereka. Allah berfirman:

 

“Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap Tuhan), mereka yang mengatakan, bahwa Allah ialah Isa Almasih anak Mariam. Katakan: Siapakah yang dapat merintangi jika Ia hendak membinasakan Almasih anak Mariam serta ibunya dan setiap orang yang ada di muka bumi ini semua? Kerajaan langit dan bumi serta segala yang ada di antara itu, adalah milik Allah. Ia menciptakan apa yang ada di antara itu, dan Allah Maha Kuasa atas segalanya. Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata: Kami adalah anak-anak Allah dan yang dicintai-Nya. Katakan: Mengapa Ia menyiksamu karena dosa-dosamu itu? Sebenarnya kamu pun manusia, seperti yang pernah diciptakan-Nya. Ia mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Ia menghukum siapa saja yang dikehendakiNya. Kerajaan langit dan bumi serta segala yang ada di antara itu, adalah milik Allah. Dan kepada-Nyalah kembali sebagai tujuan terakhir.”

 

“Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap Tuhan), mereka yang mengatakan, bahwa Allah itu Almasih anak Mariam. Bahkan Almasih berkata: Hai anak-anak Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Barangsiapa mempersekutukan Allah, Allah akan mengharamkan surga baginya dan tempatnya adalah api neraka. Orang-orang feraniaya itu takkan punya pembela. Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap Tuhan) mereka yang mengatakan, bahwa Allah adalah satu dari tiga dalam Trinitas. Tak ada tuhan kecuali Tuhan Yang Satu. Apabila tidak mau juga mereka berhenti (menghina Tuhan), pasti mereka yang telah merendahkan (Tuhan), itu akan dijatuhi siksaan yang memedihkan.”’

 

“Dan ingat ketika Allah berkata: Hai Isa anak Mariam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang: mengangkatku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah? Ia menjawab: Maha Suci Engkau, tidak akan aku mengatakan yang bukan menjadi hakku. Kalaupun aku mengatakannya, tentu Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam hatiku, tapi aku tidak mengetahui apa yang ada di dalam Dirimu. Maha Mengetahui Engkau atas segala yang gaib. Tak ada yang kukatakan kepada mereka, selain daripada yang Kau perintahkan kepadaku, supaya mereka menyembah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, dan akulah saksi mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka. Tetapi setelah Kau wafatkan aku, Engkau Pengawas mereka dan Engkau pula yang menyaksikan segala sesuatu. Kalau Engkau siksa mereka, mereka adalah hambahamba-Mu, kalaupun Engkau ampuni mereka, Engkau Penguasa Maha Mulia dan Bijaksana.”

 

Pandangan Nasrani adalah Trinitas dan Isa adalah anak Allah. Sedangkan Islam menolak semua itu dengan tegas sekali, menulak bahwa Tuhan mempunyai anak.

 

“Katakan: Allah Satu cuma. Allah itu abadi dan mutlak. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada satu apa pun yang menyerupai-Nya.”? “Tidak sepatutnya bagi Allah akan mengambil anak. Maha Suci Ia.”’ “Hal seperti terhadap Isa bagi Allah sama seperti terhadap Adam, dijadikan-Nya ia dari tanah lalu dikatakan: jadilah, maka jadilah ia.”

 

Pada dasarnya Islam adalah agama Tauhid, dalam pengertian Tauhid yang murni dan kuat sekali, dan dalam pengertian Tauhid yang sederhana dan jelas sekali. Setiap kemungkinan yang akan mengaburkan pengertian dan pikiran Tauhid, Islam tegas menolaknya dan menganggapnya kufur. “Allah tidak akan mengampuni bila Dia dipersekutukan. Tetapi selain itu akan diampuni-Nya siapa saja yang dikehendaki-Nya.”

 

Bagaimanapun konsepsi Masehi tentang Trinitas, yang memang mempunyai hubungan sejarah dengan beberapa agama lama, namun bagi Muhammad itu samasekali bukan suatu kebenaran. Yang benar ialah Allah itu Esa, tidak bersekutu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada apa pun yang menyerupai-Nya. Jadi tidak heran kalau antara Muhammad dengan pihak Nasrani masa itu terjadi diskusi dengan cara yang baik, dan wahyu pun memperkuat Muhammad seperti dalam ayat, ayat itu.

 

Masalah Penyaliban Almasih

 

Masalah lain yang menimbulkan perbedaan pendapat Islam dar Nasrani, dan menjadi puncak perdebatan antara dua golongan itu pada masa Nabi, ialah masalah penyaliban Isa untuk menebus dosa Orang dengan darahnya. Secara tegas Quran telah membantah bahwa orang. orang Yahudi membunuh dan menyalib Isa.

 

“Dan perkataan mereka bahwa: kami telah membunuh Almasih Isg anak Mariam — Utusan Allah. Tetapi mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, melainkan begitu terbayang pada mereka. Dan mereka yang masih berselisih pendapat tentang itu sebenarnya masih ragu, sebab tak ada pengetahuan mereka tentang itu, selain berdasarkan prasangka saja, dan mereka pun tidak yakin telah membunuhnya. Bahkan Allah telah meng. angkatnya kepada-Nya. Maha Mulia Kekuasaan Allah dan Bijaksana.”

 

Kalaupun konsepsi tentang penebusan dosa anak-cucu Adam dengan darah Isa memang indah sekali, dan apa yang ditulis orang tentang itu patut menjadi bahan studi dari segala seginya, baik literair, etika atau psikologi, namun prinsip yang telah ditentukan Islam, bahwa orang tidak dibenarkan memikul beban dosa orang lain, dan bahwa setiap orang pada hari kemudian diganjar sesuai dengan perbuatannya — kalau ia berbuat baik dibalas dengan kebaikan, kalau jahat dibalas dengan kejahatan – menyebabkan pendekatan logis antara kedua ajaran ini tidak mungkin. Di sini logika Islam sangat konkrit, sehingga tak ada gunanya usaha mencari persesuaian, melihat garis perbedaan yang begitu tajam antara konsepsi penebusan dan konsepsi hukum yang bersifat pribadi.

 

“Seorang bapa takkan dapat menolong anaknya, dan anak pun tiada sedikit juga akan dapat menolong bapanya.”

 

Tentang agama baru ini, sudah adakah dari kalangan Nasrani ketika itu yang mau memikirkannya, serta melihat kemungkinan bertemunya konsepsi Tauhid dengan ajaran yang dibawa Isa itu? Ya, memang ada, dan banyak di antara mereka itu yang lalu beriman kepada ajaran ini.

 

Rumawi dan Kaum Muslimin

 

Akan tetapi Kerajaan Rumawi — yang karena kemenangannya kaum Muslimin telah turut gembira dan menganggapnya suatu kemenangan bagi agama-agama Kitab — penguasa-penguasanya tidak mau bersusah payah mempelajari agama baru itu. Mereka memandang semua kemungkinan hanya dari segi politik semata dan yang dipikirkan hanya nasib kerajaannya bila agama yang baru itu kelak mendapat kemenangan. Oleh karena itu mereka malah bersekongkol menentangnya, dengan mengirimkan pasukan besar-besaran — suatu sumber mengatakan seratus ribu, yang lain mengatakan dua ratus ribu — yang mengakibatkan timbulnya perang Tabuk. Pihak Rumawi ternyata mundur berhadapan dengan pasukan Muslimin — dengan Muhammad sebagai komandannya — yang hendak menangkis serangan musuh yang tidak diinginkan itu.

 

Sejak itulah kaum Muslimin dan kaum Nasrani berada dalam posisi permusuhan politik, yang selama berabad-abad berikutnya kemenangan berada di tangan kaum Muslimin. Selama itu lingkungan kekuasaan mereka membentang sampai ke Andalusia di sebelah barat, ke India dan Tiongkok di sebelah timur. Sebagian besar daerah-daerah ini menerima agama baru itu dan bahasa Arab sebagai bahasa yang sudah ditentukan.

 

Setelah tiba masanya sejarah harus beredar, pihak Nasrani pun mengusir kaum Muslimin dari Andalusia, memerangi mereka dengan serangkaian Perang Salib. Mereka menyerang agama dan Nabi dengan cara yang sangat keji, disertai kebohongan dan fitnah semata-mata. Demikian kejinya mereka itu, sehingga lupa mereka tentang apa yang pernah disampaikan Muhammad ‘“alaihissalam dalam hadis-hadis dan dalam Quran melalui wahyu yang diturunkan kepadanya, bahwa Islam mengangkat martabat Isa ‘alaihissalam setinggi yang diberikan Allah kepadanya.

 

Penulis-penulis Kristen dan Muhammad

 

Ketika menguraikan pandangan penulis-penulis Kristen sampai pada pertengahan abad kesembilan belas, sehubungan dengan adanya mereka yang berprasangka jahat terhadap Muhammad Dictionaire Larousse menyebutkan demikian: “Dalam pada itu Muhammad masih tetap sebagai tukang sihir yang hanyut dalam kerusakan akhlak, perampok unta, seorang kardinal yang tidak berhasil menduduki kursi Paus, lalu menciptakan agama baru untuk membalas dendam kepada kawan-kawannya. Cerita-cerita khayal dan cabul banyak terjadi dalam sejarah hidupnya. Sejarah hidup Bahaume (Muhammad) hampir terdiri dari hasil lektur semacam itu. “Cerita Muhammad” yang disiarkan oleh Reinaud dan Francisgue Michel tahun 1831 melukiskan kepada kita pandangan orang-orang yang hidup dalam Abad Pertangahan itu tentang dia. Dalam abag ketujuh belas Bell memberikan suatu tanggapan tentang sejarah yan sifatnya merendahkan arti Quran dengan suatu tinjauan berdasarkan sejarah. Sungguhpun begitu ia masih diliputi oleh ketentuan-ketentuar yang salah mengenai dirinya. Akan tetapi dia mengakui, bahwa ketentuan, moral dan sosial yang dibuatnya tidak berbeda dengan ketentuan Kristen kecuali soal hukum gishash (lex talionis?) dan poligini.”

 

Dari sekian banyak Orientalis yang telah membuat analisa tentang sejarah hidup Muhammad, ada seorang di antaranya yang agak Jujur, yaity penulis Prancis Emile Dermenghem. Ia memperingatkan kolega-kolega yang menulis tentang agama ini dengan mengatakan: “Sesudah pecah perang Islam-Kristen, dengan sendirinya jurang pertentangan dan salah. pengertian bertambah lebar, tambah tajam. Orang Kirus mengakui bahwa orang-orang Baratlah yang memulai timbulnya pertentangan itu sampai begitu memuncak. Sejak zaman penulis-penulis Bizantium, tanpa mau bersusah payah mengadakan studi — kecuali Jean Damascene – telah melempari Islam dengan pelbagai macam penghinaan. Para penulis dan penyair menyerang kaum Muslimin Andalusia dengan cara yang sangat rendah. Mereka menuduh, bahwa Muhammad adalah perampok unta, orang yang hanyut dalam foya-foya, mereka menuduhnya tukang sihir, kepala bandit dan perampok, bahkan menuduhnya sebagai seorang pendeta Rumawi yang marah dan dendam karena tidak dipilih menduduki kursi Paus….. Dan yang sebagian mengiranya ia adalah tuhan palsu, yang oleh pengikut-pengikutnya dibawakan sesajen berupa korban-korban manusia. Bahkan Guibert de Nogent sendiri, orang yang begitu serius masih menyebutkan, bahwa Muhammad mati karena krisis mabuk yang jelas sekali, dan bahwa tubuhnya kedapatan terdampar di atas timbunan kotoran binatang dan sudah dimakan babi. Oleh karena itu, lalu ditafsirkan, bahwa itulah sebabnya minuman keras dan daging binatang itu diharamkan.

 

Di samping itu ada beberapa nyanyian yang melukiskan Muhammad sebagai berhala dari emas, dan mesjid-mesjid sebagai kuil-kuil kuno yang penuh dengan patung-patung dan gambar-gambar. Pencipta “Nyanyian Antakia” (Chanson d’Antioche) membawa cerita tentang adanya orang yang pernah melihat berhala “Mahom” terbuat dari emas dan perak murni dan dia duduk di atas seekor gajah di tempat yang terbuat dari lukisan mosaik. Sedang “Nyanyian Roland” (Chanson de Roland) melukiskan pahlawan-pahlawan Charlemagne menghancurkan berhala-berhala Islam, dan mengira bahwa kaum Muslimin di Andalusia itu menyembah trninitas terdiri dari Tervagant, Mahom dan Apollo. Dan “Cerita Muhammad” (LX Roman de Mahomet) itu menganggap, bahwa Islam membenarkan wanila melakukan poliandai.

 

“Cara berpikir yang penuh dengan kedengkian dan penuh legenda itu tetap menguasai kehidupan mereka. Sejak zaman Rudolph de Ludheim, sampai Saat kita sekarang ini, masih ada saja orang-orang semacam.Nicolas de Cuse, Vives, Maracci, Hottinger, Bibliander, Prideaux dan yang lain. Mereka itu menggambarkan Muhammad sebagai penipu, dan Islam merupakan sekumpulan kaum bidat. Semua itu perbuatan setan. Kaum Muslimin adalah orang-orang buas sedang Quran suatu gubahan yang tak berarti. Mereka tidak membicarakannya secara sungguh-sungguh, karena sudah dianggap tidak ada artinya. Tetapi, dalam pada itu Pierre le Venerable, pengarang pertama yang telah menulis risalah anti Islam di Barat dalam abad kedua belas telah menerjemahkan Quran ke dalam bahasa Latin. Dalam abad keempat belas Pierre Pascal termasuk orang yang mau mendalami studi-studi tentang Islam. Innocent III pernah melukiskan Muhammad, bahwa dia adalah musuh Kristus (Antichrist). Sedang abad Pertengahan menganggap Muhammad seorang heretik (melanggar ajaran agama Kristen). Orang-orang semacam Raymond Lulle dalam abad keempat belas, Guellaume Postel dalam abad keenam belas, Roland dan Gagnier dalam abad kedelapan belas, Pendeta de Broglie dan Renan dalam abad kesembilan belas, mempunyai tanggapan yang beraneka ragam. Sebaliknya orang-orang semacam Comte Boulainvilliers, Scholl, Caussin de Perceval, Dozy, Sprenger, Barthelemy Saint-Hilaire, de Casteries, Carlyle dan yang lain, pada umumnya mereka memperlihatkan sikap jujur terhadap Islam dan Nabi, dan kadang memperlihatkan sikap hormat. Sungguhpun begitu, dalam tahun 1876 Droughty bicara tentang Muhammad dengan mengatakan: “Itu Arab munafik yang kotor.” Sebelum itu, dalam tahun 1822 juga Foster telah mencacinya. Sampai sekarang sebenarnya masih ada musuh-musuh Islam itu yang bersemangat.”

 

Kita sudah melihat, bukan, penulis-penulis Barat itu, begitu rendah menyerangnya? Juga sudah kita lihat kegigihan mereka — selama berabad-abad — yang mau menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di kalangan umat manusia. Padahal di kalangan mereka itu ada orang-orang yang sudah mengalami zaman yang biasa disebut zaman ilmu pengetahuan, zaman riset dan zaman kebebasan berpikir serta adanya deklarasi persaudaraan antara sesama manusia.

 

Dengan adanya orang-orang yang jujur dalam batas-batas tertentu telah mengurangi juga adanya pengaruh yang menyesatkan seperti yang diisyaratkan oleh Dermenghem itu. Di antara mereka ada yang mengakui kebenaran iman Muhammad membawakan risalah itu yang dipercayakan Allah kepadanya melalui wahyu yang harus disampaikan. Ada.pula yang sangat menghargai kebesaran Muhammad dalam arti rohani, ketinggian akhlaknya, harga dirinya serta jasanya yang tidak sedikit. Ada yang melukiskan semua itu dengan gaya yang kuat dan indah sekali. Meskipun demikian, pihak Barat masih juga berprasangka buruk terhadap Islam dar terhadap Nabi, kemudian demikian beraninya mereka itu sampai-sampai dj daerah-daerah Islam sendiri kalangan misionaris melancarkan penghinaan yang begitu rendah, dan berusaha membelokkan kaum Muslimin dar ajaran agamanya kepada agamra Kristen.

 

Sebab Permusuhan Islam—Kristen

 

Atas semua itu harus kita selidiki sebab-sebab timbulnya permusuhan sengit dan peperangan yang begitu dahsyat yang telah dimulai oleh pihak Kristen terhadap Islam itu. Menurut hemat kita, kurangnya pengetahuan pihak Barat tentang hakekat Islam dan sejarah Nabi adalah sebab pertama yang menimbulkan permusuhan itu. Kurangnya pengetahuan ini sudah tentu merupakan sebab-sebab timbulnya sikap kaku dan fanatisma yang paling berat dan rumit. Seabad demi seabad kurangnya pengetahuan demikian ini makin bertimbun dan kemudian ia menjelma menjadi patung. patung dan berhala-berhala dalam jiwa generasi berikutnya, yang untuk menghilangkannya tentu memerlukan suatu kekuatan jiwa yang besar, seperti pada mula lahirnya kekuatan Islam dulu.

 

Kristen Tidak Sesuai dengan Watak Barat

 

Akan tetapi kita melihat ada sebab lain di luar kurangnya pengetahuan itu saja yang telah mendorong pihak Barat menjadi fanatik dan sampai membangkitkan peperangan yang begitu fatal, sebentar-sebentar dilancarkan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Juga tidak terlintas dalam pikiran kita tentang apa yang biasa kita rasakan adanya hubungan politik yang buruk dan ingin menguasai bangsa lain untuk dieksploitasi. Menurut hemat kita itu adalah akibat — bukan sebab — dari adanya fanatisma yang sudah begitu merasuk sampai ke soal ilmu dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Sebabnya ialah, menurut hemat kita, oleh karena ajaran Kristen yang mengajak orang menjauhkan kehidupan duniawi, sifat maaf dan pengampunan serta pengertian-pengertian hidup rohani yang luhur, tidak sesuai dengan perangai Barat, yang sejak ribuan tahun dalam lingkungan . agama politisma, dan letak geografisnya menghendaki perjuangan sengit melawan iklim dingin, melawan kesulitan dan keadaan yang serba sukar. Apabila peristiwa-peristiwa sejarah mengharuskan juga Barat menganut agama Kristen ini, maka tidak bisa lain ia harus juga dilibatkan ke dalam kancah perjuangan itu dan memaksa agama itu meninggalkan sifatnya lembut dan indah, meninggalkan keseimbangan rohani yang seharusnya menjadi mata rantai kesatuan yang telah disempurnakan oleh Islam: yakni kesatuan yang membuat harmonis antara rohani dan jasmani, antara perasaan dan akal, emosi dan rasio, secara individu dan universal bersama-sama berada dalam hukum alam, yakni keduanya sejalan dalam yuang dan waktu yang tak terbatas.

 

Menurut hemat kita, inilah sumber yang menyebabkan fanatisma Barat yang memusuhi Islam, suatu sikap yang menyebabkan kaum Kristen Abisinia menjadi jijik melihatnya — tatkala kaum Muslimin mencari perlindungan pada masa mula-mula Nabi mengajak orang kepada agama Allah.

 

Inilah, menurut pendapat saya, sebab timbulnya ekses dan cara yang berlebih-lebihan di kalangan orang-orang Barat, baik dalam beragama maupun dalam atheisma, fanatisma yang berlebih-lebihan serta perjuangan yang tidak mengenal belas kasihan dan tidak mengenal ampun. Apabila dari mereka sejarah sudah mengenal adanya orang-orang suci, yang dalam hidup mereka mengikuti jejak Isa Almasih dan pengikutpengikutnya, juga sejarah sudah mengenal kehidupan bangsa-bangsa di Barat yang selalu hidup dalam pertentangan, dalam perjuangan, pepeyangan-peperangan yang dahsyat, atas nama politik atau atas nama agama, dan dikenalnya pula, bahwa paus-paus atau pembesar-pembesar gereja dan mereka yang memegang kekuasaan temporal, selalu dalam persaingan mau saling mengalahkan. Sekali ini golongan ini yang menang, nantinya yang lain lagi yang menang.

 

Oleh karena kemenangan terakhir dalam abad kesembilan belas itu berada di tangan kekuasaan temporal,!’ maka kekuasaan ini berusaha hendak membasmi kehidupan rohani atas nama ilmu pengetahuan. Ia mengira, bahwa dalam kehidupan umat manusia ilmu itu akan dapat menggantikan iman seperti dalam kehidupan rohani. Sesudah melalui perjuangan yang cukup lama, sekarang mereka mengetahui bahwa pendapat demikian itu salah sekali, dan bahwa apa yang mereka tuju itu dalam kenyataannya tak mungkin dapat dilaksanakan. Sekarang di Barat terdengar jeritan di sana sini mengajak mereka kembali mencari pegangan rohani yang sudah hilang. Mereka mencari pegangan itu di dalam teosofi dan di luar teosofi.? Sekiranya ajaran Kristen itu memang sesuai dengan naluri perjuangan yang telah dibawa oleh hukum alam sebagai sebagian

 

‘ Az-Zamani, harfiah mengenai zaman, mengenai tempo, yang secara termenologi berarti temporal. Untuk menghindarkan adanya perbedaan semantik, yang juga dapat diartikan “sementara, duniawi” atau “sekular” maka di sini saya mempergunakan istilah secara harfiah (A).

 

? Teosofi adalah suatu ajaran yang ditanamkan oleh Madame Blavatsky dari bermacam-macam agama terutama Buddha dan Brahma. Ajaran ini mendirikan sebuah organisasi di Amerika dipimpin oleh Madame Blavatsky sendiri, bernama The Theosophical Society, dan cabang-cabangnya tersebar di beberapa cara hidup Barat, sesudah ternyata konsepsi materialisma mereka tidak berhasil memberikan konsumsi rohani, tentu akan kita lihat merek, kembali mencari pegangan agama Kristen yang begitu indah, agama Isa anak Mariam — kalaupun Tuhan belum akan membimbing mereka kepada Islam — dan tidak perlu mereka pergi berpindah ke India atau ke tempa, lain, mencari pegangan hidup rohani, yang oleh manusia sangat dirasakan perlunya seperti kebutuhan bernafas, sebab ini merupakan Sebagian kodratnya, bahkan merupakan sebagian dari jiwa raganya.

 

Penjajahan dan Propaganda Anti-Islam

 

Ternyata imperialisma Barat memberikan bantuan dalam meneruskan serangan yang mereka lancarkan terhadap Islam dan terhadap Muham. mad, dan minta mereka supaya berpendirian seperti penduduk Mekah yang menginginkan supaya agama Nasrani menderita kehinaan karena kekalahan Heraklius dan Rumawi’ menghadapi Persia. Pernah mereka mengatakan — dan masih banyak di antara mereka yang mengatakan – bahwa Islam itulah yang menyebabkan mundurnya bangsa-bangsa yang menganutnya dan menyebabkan mereka tunduk kepada pihak lain. Ini adalah kebohongan yang kita tolak dengan cukup mengingatkan kepada mereka yang mengatakan itu, bahwa peradaban umumnya dan kekuasaan dunia yang cukup dikenal selama berabad-abad itu berada di tangan bangsa-bangsa yang terdiri dari umat Islam itulah. Di sana pusat ilmu pengetahuan dan tempat sarjana-sarjana, dari sana pula datangnya pelopor kemerdekaan, yang oleh Barat belum selang lama ini baru dikenalnya. Apabila mungkin mundurnya beberapa golongan bangsa akan dihubungkan dengan agama yang dianutnya, maka agama itu tentu bukan Islam, Islam yang telah membuat orang-orang pedalaman seluruh jazirah Arab jadi bangkit dan dapat membuat mereka menguasai dunia.

 

Islam dan Apa yang Terjadi dengan Umat Islam

 

Akan tetapi kemunduran bangsa-bangsa yang telah menjadi beban bagi Islam itu sangat disayangkan bila akan dihubungkan kepada agama yang sebenarnya tidak demikian, bukan itu yang dikehendaki oleh Allah dan oleh Rasul. Tapi mereka menganggap bahwa yang demikian itulah | dasar agama dan barangsiapa yang menentang ia akan dianggap atheis.

 

Kita tinggalkan dulu bicara tentang agama ini, dan mari kita lihat sejarah orang yang membawanya — Muhammad “alaihissalam.

 

Banyak buku sejarah tentang kehidupan Nabi itu yang telah menambahkan hal-hal yang tak dapat diterima akal dan yang memang tidak diperlukan menambahkan demikian untuk menguatkan risalahnya itu. Dan apa yang ditambah-tambahkan, itulah yang dijadikan pegangan oleh kalangan Orientalis dan oleh mereka yang mau mendiskreditkan Islam dan Nabi, juga oleh mereka yang mau mengecam umat Islam, dijadikannya itu tongkat penunjuk dalam kecaman mereka yang akan cukup memanaskan hati setiap orang yang berpikir jujur.

 

Hal semacam ini dan apa yang mereka ciptakan sendiri, itulah yang menjadi pegangan mereka, lalu mereka mengatakan, bahwa mereka menulis itu berdasarkan metoda ilmiah yang modern, metoda yang mengemukakan peristiwa-peristiwa, orang-orang dan pahlawan-pahlawan.

 

Lalu diberikannya suatu penilaian yang pantas jika dianggap pada tempatnya mengeluarkan penilaian demikian. Dan kalau kita baca dengan seksama apa yang mereka tulis itu akan kita lihat bahwa hal itu sebenarnya penuh dengan nafsu permusuhan dan caci-maki, terbungkus dalam susunan kata-kata yang tidak kurang indahnya, menarik hati mereka yang sepaham dengan anggapannya, bahwa pembahasannya itu ilmiah, terdorong hanya akan mencari kebenaran semata-mata, ingin meneropongnya dari segenap penjuru. Inilah yang dituju oleh penulis-penulis dan ahliahli sejarah yang fanatik itu. Hanya saja, adanya beberapa orang yang masih dapat berpikir lebih tenang — baik penulis atau sarjana — menyebabkan mereka yang berpikiran bebas itu dapat bersikap lebih adil dan jujur, sekalipun dari pihak Kristen sendiri.

 

Dalam berbagai macam bidang beberapa ulama Islam telah tampil dan berusaha menangkis tuduhan orang-orang Barat yang fanatik itu. Dan nama Syaikh Muhammad Abduh tentu yang paling menonjol dalam bidang ini. Tetapi mereka ini tidak menempuh metoda yang ilmiah — seperti didakwakan oleh penulis-penulis dan ahli-ahli sejarah Eropa, sebab hanya merekalah yang memakai cara itu. Maksudnya supaya dalam menghadapi lawan alasan mereka lebih kuat. Kemudian lagi ulama Islam itu — dan Syaikh Muhammad Abduh yang terutama — telah dituduh atheis dan kufur. Maka argumentasi mereka itu menjadi makin lemah di depan lawan Islam.

 

Sikap Jumud di Kalangan Pemuda

 

Tuduhan mereka sebenarnya memberi pengaruh besar dalam jiwa angkatan muda Islam yang terpelajar. Terkesan di kalangan pemuda itu, bahwa atheisma dan logika sejalan dengan ijtihad (aktif). sedang iman sama dengan jumud (pasif). Oleh karena itu jiwa mereka gelisah. Mereka pergi membaca buku-buku Barat: dengan itu mereka akan mencari kebenaran, dengan keyakinan bahwa mereka tidak mendapatkan yang demikian itu dalam buku-buku kaum Muslimin. Dengan sendirinya buku, buku agama dan sejarah Kristen tidak juga terpikirkan oleh mereka: mereka sudah hanyut ke dalam buku-buku filsafat, yang dengan gayanya yang ilmiah itu mereka mencari setitik air yang akan menghilangkan rasa dahaga akan kebenaran yang ada dalam jiwa mereka, dan dengan logika yang dikemukakannya sudah merupakan nyala suci yang masih ter. sembunyi dalam jiwa umat manusia dan dijadikannya pula alat komunikasi yang akan mengantarkan mereka kepada alam serta kebenaran yang tertinggi. Dalam buku-buku Barat, baik dalam filsafat, etika atay humanities pada umumnya banyak sekali yang akan mereka dapati dengan sangat menarik hati, baik karena gayanya yang indah, atau karena logikanya yang kuat serta apa yang tampaknya hendak memperlihatkan adanya kemauan baik dan niat yang ikhlas hendak mencapai pengetahuan demi kebenaran. Oleh karena itu jiwa pemuda-pemuda itu jadi jauh dari pemikiran tentang agama-agama semua dan tentang risalah Islam serta pembawanya.

 

Sikap mereka itu guna menghindarkan diri jangan sampai timbul konflik antara mereka dengan kebekuan beragama sebab mereka yakin takkan dapat mengalahkannya, juga karena mereka tidak menyadari, betapa pentingnya hubungan yang akan mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih sempurna, sehingga kekuatan moralnya pun akan berlipat ganda.

 

Ilmu dan Literatur Barat

 

Pemuda-pemuda itu telah menghindarkan diri dari pemikiran tentang agama-agama itu semuanya, juga tentang risalah Islam dan pembawanya. Lebih-lebih lagi mereka menghindarkan diri itu karena ilmu pengetahuan positif dan filsafat positivisma yang mereka lihat mengatakan bahwa masalah-masalah agama berada di luar logika dan tidak masuk ke dalam lingkungan pemikiran ilmiah, dan segala yang berhubungan dengan itu, dalam bentuk pemikiran metafisika juga samasekali tidak termasuk dalam metoda ilmiah. Kemudian mereka melihat adanya pemisahan yang begitu jelas dan tajam antara gereja dan negara di Barat, serta melihat negaranegara yang sudah menentukan dalam undang-undang dasarnya, bahwa kepala negara adalah pelindung Protestan atau Katolik, atau menentukan bahwa agama negara yang resmi adalah Kristen, dengan maksud supaya dengan demikian hari-hari besar yang berhubungan dengan itu tidak bertambah banyak. Bertambah kuat mereka bertahan dalam pemikiran ilmiah dan segala yang berhubungan dengan itu, perhatian mereka pun akan bertambah besar pula terhadap masalah-masalah filsafat, ilmu dan budaya.

 

Setelah tiba masanya mereka harus berpindah dari dunia studi ke tengah-tengah kehidupan praktis, kehidupan itu membuat mereka lebih sibuk daripada hanya memikirkan masalah-masalah, yang tadinya sudah mereka tinggalkan. Maka arah pemikiran itu masih tetap dalam arus yang pertama: melihat kebekuan berpikir itu dengan rasa kasihan dan sinis. Ia terus menghirup udara pemikiran Barat dan filsafat Barat, yang dirasakannya begitu lezat, sehingga bertambah kagum ia, bertambah kuat bertahan atas apa yang sudah diperolehnya itu.

 

Memang tak dapat disangkal, bahwa dewasa ini Timur sangat perlu sekali menghirup udara Barat dalam cara berpikir, dalam ilmu dan budaya. Dunia Islam di Timur dewasa ini sudah terputus dari Islam masa lampau oleh adanya kebekuan berpikir dan fanatisma selama berabad-abad. Cara berpikir masa lampau yang sehat sudah begitu tebal tertimbun oleh kebodohan dan serba prasangka terhadap segala yang baru. Maka tak ada jalan lain, bagi yang ingin mengikis semua timbunan itu, ia harus bersandar pada bentuk-bentuk pemikiran dunia yang lebih baru, supaya dengan demikian dapat mencapai masa kini yang cemerlang serta peninggalan masa lampau yang gemilang.

 

Usaha-usaha Modernisasi Dunia Islam

 

Sudah sepantasnya kalau kita mengatakan kepada Barat, bahwa penyelidikan-penyelidikan berharga yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat dewasa ini tentang sejarah dan studi-studi Islam dan Dunia Timur, telah membuka jalan baru bagi pemuda-pemuda Islam sendiri dan pemuda-pemuda di Timur dalam memperbanyak bahan-bahan penyelidikan tentang studi itu. Dan harapan akan sampai kepada kebenaran pun lebih besar pula. Dengan sendirinya mereka akan lebih mudah memahami jiwa Islam dan jiwa Timur. Oleh karena orientasi baru itu sudah dimulai dari Barat, maka pemuda-pemuda itu harus mengikutinya terus sambil mengadakan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang ada, lalu menanamkan jiwa yang sebenarnya hidup dalam sejarah, diteruskan sampai ke masa kini. Bukan hanya sebagai studi dan penyelidikan saja, tetapi juga harus dilihat sebagai suatu peninggalan rohani dan mental yang patut diwakili oleh para pewarisnya, penerangan harus ditambah dan diperbanyak, sehingga kebenaran yang tersembunyi itu akan tampak lebih jelas.

 

Dewasa ini banyak sudah pemuda-pemuda yang mengadakan penyeldikan-penyelidikan dengan metoda ilmiah yang sebenarnya. Kalangan Orientalis sendiri pun mendukung usaha-usaha mereka dan sanga menghargai jasa-jasa mereka itu.

 

Misi Penginjil dan Golongan yang Berfikiran Beku

 

Sementara kerja-sama ilmiah yang seharusnya akan memberikan hasi yang baik ini lahir, tiba-tiba timbul pula kegiatan pihak gereja Kristen melakukan serangkaian serangan terhadap Islam dan terhadap Muham, mad demikian rupa, tidak kurang dari apa yang kita sebutkan tadi. D, samping itu pihak imperialisma Barat pun mendukung pula kegiatan ini, dengan segala kemampuan yang ada padanya, atas nama kemerdekaan berpikir. Padahal mereka yang melakukan serangan dan kecaman itu telah keluar meninggalkan negerinya sendiri, mereka terpisah dari apa yang mereka namakan ‘peneguhan iman’ dalam jiwa saudara-saudara mereka seagama itu. Juga penganjur-penganjur kebekuan berpikir (Jumud) dj kalangan kaum Muslimin sendiri telah mendapat dukungan imperialisma pula. Selanjutnya tangan imperialisma ini juga yang memberikan dorongan kepada apa saja yang dapat diselundupkan ke dalam Islam — dan yang sebenarnya bukan dari Islam — dan ke dalam sejarah hidup Rasul, berupa dongengan-dongengan yang tak masuk akal dan bertentangan dengan selera. Ia memberikan dorongan kepada usaha-usaha orang yang menge. cam Islam dan mengecam Muhammad dengan apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam Islam dan ke dalam sejarah Rasul.

 

Terpikir akan Menulis Buku Ini

 

Tugas pekerjaan saya memberi kesempatan kepada saya melihat peristiwa-peristiwa itu pada beberapa daerah Islam sebelah timur, bahkan di seluruh daerah Islam, serta mempelajari adanya maksud yang ingin mengikis habis kehidupan moral daerah-daerah itu dengan jalan membasmi kemerdekaan berpikir, kebebasan menyelidiki demi kebenaran itu. Terasa oleh saya bahwa saya memikul suatu kewajiban dalam hal ini. Maksud yang menjadi tujuan rencana itu, yang sebenarnya akan membahayakan seluruh umat manusia — bukan hanya membahayakan Isiam dan dunia Timur saja — harus dipatahkan. Apatah kiranya bencana yang lebih besar menimpa umat manusia daripada kekerdilan dan kebekuan berpikir, yang sepanjang sejarah lebih dari separuhnya telah menimpa peradaban.

 

Karena itu terpikir oleh saya — dan lama sekali saya memikirkan hal itu — yang akhirnya mengantarkan pemikiran saya itu kepada suatu studi tentang kehidupan Muhammad, pembawa risalah Islam itu, tentang sasaran kecaman pihak Kristen di satu segi, dan tentang kebekuan berpikir kaum Muslimin sendiri dari segi lain. Akan tetapi studi ini hendaknya bersifat ilmiah, sejalan dengan metoda modern di Barat, demi kebenaran, dan untuk kebenaran semata.

 

 Quran Sumber yang Paling Otentik

 

Saya mulai dengan membahas sejarah hidup Muhammad. Saya ulangi lagi dengan memeriksa Sirat ibn Hisyam, Tabagat oleh Ibn Sa’d, alMaghazi oleh al-Wagidi, demikian juga buku Syed Ameer Ali The Spirit of Islam. Kemudian tidak lepas saya membaca buku-buku beberapa Orientalis, seperti Dermenghem dan Washington Irving. Ketika pada musim dingin tahun 1932 saya berada di Luxor, saya pergunakan kesempatan ini dengan mulai menulis. Ketika itu saya masih ragu-ragu akan mengadakan penyelidikan yang akan saya kemukakan kepada para pembaca ini sebagai suatu hasil pekerjaan saya sendiri, sebab saya kuatir akan timbul heboh dari golongan yang masih beku cara berpikirnya dan masih percaya kepada bermacam-macam takhayul, sehingga kelak tujuan saya semula akan terganggu karenanya.

 

Akan tetapi adanya sambutan yang saya terima, dorongan dan sumbangan pikiran yang diberikan kepada saya oleh pemuka-pemuka lembaga cukup menunjukkan adanya perhatian terhadap penyelidikan yang akan saya lakukan ini. Saya jadi berpikir lebih sungguh-sungguh lagi hendak melaksanakan niat saya menulis sejarah hidup Muhammad ini lebih terperinci, dengan cara yang ilmiah. Sekarang saya memikirkan jalan yang paling baik dalam meneliti sejarah itu, sesuai dengan kemampuan yang ada pada saya.

 

Sudah jelas buat saya, bahwa sumber yang paling otentik dalam penulisan sejarah ini ialah Quran Suci. Segala peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan Nabi, diberikan isyaratnya dalam Quran, sehingga dapat dipakai sebagai bahan penunjuk dalam mengadakan pembahasan itu. Dengan dasar itu dapat pula diteliti apa yang terdapat dalam bukubuku hadis dan sejarah Nabi yang bermacam-macam itu. Saya pun berusaha hendak mengetahui sesuatu dalam Quran yang ada hubungannya dengan kehidupan Nabi. Suatu bantuan besar dalam hal ini telah diberikan kepada saya oleh Tuan Ahmad Lufti as-Sayyid, pejabat pada Perpustakaan (Nasional) Mesir, berupa buku-buku referensi, bab demi bab, tentang ayat-ayat Quran yang berhubungan dengan kehidupan orang yang telah diberi Wahyu Kitab Suci itu. Saya cocokkan ayat-ayat itu, dan rupanya harus juga saya pelajari sebab-sebab turunnya, waktu turunnya serta hubungannya satu sama lain. Harus saya akui juga — sedemikian jauh saya berusaha — belum juga bertemu dengan semua yang saya maksudkan. Kadang kitab-kitab tafsir Quran memberi petunjuk ke arah ini, tapi kadang juga tidak. Buku-buku seperti Asbab’n-Nuzul oleh Al-Wahidi dan An-Nasikh wal-Mansukh oleh Ibn Sallama hanya dengan singkat Saja membicarakan persoalan yang sangat berharga ini, yang Justru Patut mendapat penelitian dan pembahasan.

 

Akan tetapi apa yang saya temukan dalam kedua buku itu dan dalan buku-buku tafsir mengenai beberapa masalah, dapat juga saya pergunakan sebagai bahan penelitian terhadap buku-buku lain mengenai sejarah Nabi: Dalam kedua buku itu dan dalam buku-buku tafsir tersebut saya temukan beberapa hal yang patut sekali dikoreksi oleh ulama yang sudah mer, dalami pengetahuan Quran dan Hadis serta mencocokkannya kembap Secara lebih teliti.

 

Konsultasi yang Tepat

 

Setelah agak jauh saya mengadakan penyelidikan, tampak oleh say, adanya konsultasi yang tepat sekali disampaikan kepada saya dar beberapa pihak, lebih-lebih lagi — dengan sendirinya — dari kalangan guru, guru besar dan pemuka-pemuka agama. Dan bantuan paling besar saya terima ialah dari Perpustakaan (Nasional) Mesir dan para pejabatnya yang telah mengulurkan tangan memberikan bermacam-macam bantuan, yang sebagai penghargaan tidak cukuplah rasanya ucapan terima kasih saya ini, Memadai juga kiranya bila saya sebutkan, bahwa Tuan “Abd’r-Rahim Mahmud, Korektor bagian Lektur pada Perpustakaan, tidak jarang pula membebaskan saya dari harus pergi sendiri ke perpustakaan serta meminjamkan buku-buku yang saya kehendaki disertai sikap ramah. tamah, baik Direktur atau pejabat-pejabat tinggi lainnya yang bertugas, Juga perlu saya sebutkan, bahwa setiap kali saya mengunjungi perpustaka. an itu sehubungan dengan penyelidikan yang perlu saya lakukan, selalu saya menerima layanan yang begitu baik sekali, baik dari pejabat tinggi atau pejabat bawahan, baik yang saya kenal atau yang tidak saya kenal. Dalam hal saya kadang terbentur pada beberapa masalah, maka datanglah kawan-kawan itu membukakan jalan, sehingga tidak jarang hal ini merupakan bantuan yang besar sekali bagi saya. Sering juga saya jumpai bantuan demikian itu dari Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, dari sahabat karib saya Ja’far (Pasya) Wali, yang telah meminjamkan beberapa buah buku kepada saya seperti Shahih Muslim dan buku-buku sejarah tentang Mekah. Ditunjukkannya pula beberapa masalah, diantarkannya saya ke tempat yang saya perlukan. Demikian juga sahabat saya Makram “Obaid, telah meminjamkan buku Sir William Muir The Life of Mohammad,’ buku Lammens L’Islam, di samping pertolongan yang saya peroleh dari karya-karya kontemporer yang sangat berharga seperti Fajr’l-Islam oleh Ahmad Amin, Oishah’l-Anbia’ oleh ‘Abd’I-Wahhab an-Najjar, Fil-Adab’l-Jahili oleh Dr. Taha Husain, AlYahud fi Bilad’I-Arab oleh Israel Wolfenson. Selain itu banyak lagi bukubuku lain oleh penulis-penulis kontemporer yang saya sebutkan dalam bibliografi buku-buku lama dan baru, yang saya pergunakan dalam menyiapkan buku ini.

 

Setiap saya mengadakan penyelidikan demikian ini lebih dalam, ternyata ada beberapa problema di depan saya yang perlu dipikirkan lagi dan diselidiki lebih lanjut guna dapat mengatasinya. Seperti buku-buku sejarah dan tafsir yang telah memberikan petunjuk kepada saya dengan cukup memuaskan, demikian juga halnya dengan buku-buku para Orientalis. Akan tetapi dalam menghadapi masalah-masalah itu tampaknya terpaksa saya harus membatasi diri hanya dalam menyelidiki kehidupan Muhammad saja, dengan tidak mengurangi persoalan-persoalan lain yang kiranya ada hubungannya dengan penyelidikan ini. Kalau saya mau menyelidiki segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah hidup orang yang begitu besar dan cemerlang ini, tentu diperlukan penulisan beberapa jilid dalam ukuran seperti buku ini. Baik juga saya sebutkan, bahwa Caussin de Perceval menulis tiga jilid buku dengan judul Essai sur I’ Histoir des Arabes, jilid pertama dan kedua mengenai sejarah dan kehidupan kabilah-kabilah Arab, jilid ketiga tentang Muhammad dan dua orang khalifahnya, Abu Bakr dan Umar. Demikian juga Tabagat Ibn Sa’d yang terdiri dari beberapa jilid, jilid pertamanya khusus tentang kehidupan Muhammad, sedang yang selebihnya mengenai kehidupan para sahabatnya.

 

Dalam mengadakan penyelidikan ini pada mulanya memang tidak saya maksudkan hendak melampaui batas sejarah kehidupan Muhammad, sebab saya tidak ingin membiarkan ini nanti menjadi kacau, sehingga akan menyimpang dari tujuan yang saya maksud.

 

Dalam Batas-batas Biografi, Tidak Lebih

 

Hal lain yang menahan saya hanya pada batas-batas sejarah hidup ini, ialah karena indahnya dan besarnya peristiwa itu, sehingga yang lain pun rasanya akan tertutup karenanya. Alangkah besarnya Abu Bakr! Alangkah besarnya Umar! Keduanya dalam masa khilafat mereka masingmasing merupakan cahaya bintang sehingga yang lain tertutup karenanya. Betapa besarnya sahabat-sahabat dahulu itu mendampingi Muhammad, dibuktikan oleh generasi demi generasi dan yang kemudian menjadi kebanggaan generasi itu!

 

Akan tetapi — selama masa hidup Nabi — mereka semua masih dapat bernaung di bawah kebesarannya, masih mendapat percikan sinarnya.

 

Bagi orang yang menyelidiki sejarah hidup Rasul. tidak mudah akan dapat meninggalkan hal itu untuk berpindah ke soal yang lain. Hai in terasa sekali apabila pembahasan demikian ini didasarkan kepada Metoda ilmiah yang baru, seperti yang akan saya coba ini: yang dengan metoda itu pula justru kelak akan terlihat kebesaran Muhammad, kebesaran yang sekaligus menguasai pikiran, hati nurani dan perasaan manusia, da menanamkan rasa hormat karenanya, hormat dan percaya betapa kuatnya kebesaran itu, yang dalam hal ini baik bagi Muslim atau non-Musiin tidakkan berbeda pendapat.

 

Kalau kita kesampingkan mereka yang masih fanatik dan kera kepala, yang dalam merendahkan kebesaran Muhammad sudah menjadi kebiasaan mereka, seperti yang dilakukan oleh kaum misi penginjil dan sebangsanya, maka rasa hormat akan kebesaran dan percaya akan kuatnya kebesaran itu akan kita baca jelas sekali dalam buku-buku sarjana-sarjana Orientalis. Dalam Heroes and Hero Worship Carlyle membicarakan Saty pasal tentang Muhammad yang digambarkannya sebagai percikan sing Ilahi yang kudus yang telah diberikan kepadanya. kemudian dilukiskannya rasa hormat atas kebesaran yang luar biasa kuatnya itu. Demikian juga Irving, Sprenger, Weil dan Orientalis lainnya, masing-masing dapa menggambarkan kebesaran Muhammad dengan cara yang kuat sekali Apabila salah seorang di antara mereka itu, dalam memasuki beberapa masalah masih menganggap ada suatu kekurangan pada diri pembawa risalah Islam itu, maka tidak lain itu hanya karena mereka belum lagi mengujinya dan meneliti secara ilmiah yang lebih saksama, atau karena mereka berpegang pada beberapa buku sejarah atau tafsir yang masih diragukan kebenaran sumbernya, dengan melupakan bahwa buku-buku biografi yang pertama itu baru dua abad kemudian sesudah masa Muhammad ditulis orang, dengan menyelip-nyelipkan, — baik dalam sejarah atau dalam ajaran-ajarannya, — Israiliat (dongeng-dongeng Judaica) dan ribuan hadis-hadis palsu. Meskipun kaum Orientalis itu mengakui kenyataan ini, namun mereka tidak mau mengakui kelalaiannya sendiri untuk dapat menentukan sesuatu yang dianggapnya benar itu: padahal dengan sedikit penelitian saja sudah akan dapat ditolak. Di antaranya soal gharanig misalnya, soal Zaid dan Zainab, soal perkawinan atau istri-istri Nabi, yang justru akan menjadi bahan pengujian dan penelitian dalam buku ini.

 

Sungguhpun begitu saya tidak beranggapan bahwa saya sudah sampai ke tujuan terakhir dalam menyelidiki sejarah hidup Muhammad. Bahkan barangkali akan lebih tepat bila saya katakan, bahwa saya baru dalam taraf permulaan mengadakan penyelidikan dengan metoda ilmiah yang baru ini, dalam bahasa Arab. Segala daya upaya yang saya gunakan dalam hal ini tidak lepas dari, bahwa buku ini baru merupakan taraf permulaan dalam penyelidikan Islam dari segi ilmiahnya. Bilamana sudah ada sarjanasarjana dan ahli-ahli sejarah yang mengkhususkan diri menyelidiki salah satu kurun (perioda) dalam sejarah — seperti Aulard yang khusus ‘ menyelidiki sejarah revolusi Prancis! dan beberapa sarjana lain yang juga menyelidiki masa-masa tertentu dalam sejarah pelbagai bangsa — maka patut sekali bila atas biografi Muhammad ini secara khusus juga diadakan penyelidikan ilmiah yang menyeluruh, yang dapat dilakukan oleh kaum cendekiawan, yang khusus pula dalam bidangnya masing-masing. Tidak sangsi lagi saya, bahwa pengkhususan dan penyelidikan ilmiah untuk waktu yang begitu singkat dalam sejarah tanah Arab serta hubungannya dengan aneka macam bangsa waktu itu, hasilnya akan berguna sekali, bukan saja bagi Islam dan umat Islam, tetapi juga untuk seluruh dunia. Dari segi psikologi dan kehidupan rohani hal ini akan merupakan masalah yang berguna sekali bagi ilmu pengetahuan, di samping penerangan yang akan diperoleh dari segi-segi kehidupan sosial, etika dan hukum. Dalam menghadapi masalah ini ilmu pengetahuan masih saja maju-mundur, terpengaruh oleh pertentangan agama — Islam dan Kristen — serta adanya usaha-usaha yang sia-sia hendak melakukan westernisasi terhadap orang Timur atau kristenisasi terhadap kaum Muslimin, suatu hal yang telah menghasilkan kegagalan dan kekecewaan generasi demi generasi, dan di mana-mana telah menimbulkan pengaruh yang buruk dalam hubungan umat manusia satu sama lain.

 

Penyelidikan Berguna bagi Seluruh Umat Manusia

 

Dengan melihat lebih jauh dari semua itu saya berpendapat, bahwa penyelidikan demikian sudah seharusnya akan mengantarkan umat manusia ke jalan peradaban modern yang selama ini dicarinya. Apabila pihak Nasrani di Barat merasa terlalu besar akan mendapatkan cahaya baru itu dari Islam dan dari Rasulnya, lalu menantikan cahaya itu akan datang dari teosofi India dan dari perlbagai macam aliran Timur Jauh lainnya, maka Orang-orang di Timur, baik umat Islam, Yahudi atau Kristen, sudah layak sekali mengadakan penyelidikan berharga ini dengan sikap yang bersih dan jujur — yakni satu-satunya cara yang akan mencapai kebenaran.

 

Cara pemikiran Islam — yang pada dasarnya adalah pemikiran ilmiah menurut metoda modern dalam hubungan manusia dengan lingkungan hidup sekitarnya, yang dari segi ini realistik sekali — berubah menjadi pemikiran yang subjektif, yang bersifat pribadi, ketika masalahnya menjadi hubungan manusia dengan alam semesta dan Pencipta alam.

 

Dengan demikian, dari segi psikologi dan kerohanian, timbullah pengaruh-pengaruh, yang di dalam menghadapinya, ilmu pengetahuan Sendiri jadi kebingungan, tak dapat mengiakan atau meniadakannya Dengan demikian ia lalu tidak menganggapnya sebagai kenyataan-kenyataan ilmiah. Sungguhpun begitu kenyataan ini menjadi sendi kebahagiaan hidup manusia dan merupakan unsur formatif dalam tingkah-lakunya Apakah hidup itu? Apa pula hubungan manusia dengan alam semesta ini? Apa yang menggairahkan hidupnya. Apakah arti kepercayaan bersama yang memberikan kekuatan moril dalam masyarakat, yang dengan lemahnya kepercayaan bersama itu, masyarakat pun akan turut pula menjadi lemah? Apakah wujud itu? Dan apa pula kesatuan wujud itu? Bagaimana kedudukan manusia dalam kesunyian dan eksistensinya?

 

Masalah-masalah demikian ini berada di bawah kekuasaan logika abstraksi yang sudah mempunyai bahan literatur yang begitu berlimpah. llmpah banyaknya. Akan tetapi, dalam menyampaikan manusia kepada kebahagiaannya, pemecahannya akan lebih dekat kita peroleh dalam kehidupan dan ajaran-ajaran Muhammad daripada dalam logika abstraksi, yang selama berabad-abad sejak dinasti Abbasia kaum Muslimin telah menghabiskan umurnya untuk itu. Demikian juga orang-orang di Barat, selama tiga abad sejak abad ke-16 hingga abad ke-19 mereka telah menghabiskan umur mereka — kecuali ilmu pengetahuan modern — yang berakhir membawa nasib Barat seperti yang dialami kaum Muslimin masa lampau. Seperti pada masa lampau, masa kini pun ilmu itu kemudian terancam akan terbentur pula tanpa dapat memberikan kebahagiaan kepada umat manusia.

 

Maka tak ada jalan lain kiranya untuk mencapai kebahagiaan hidup kecuali dengan kembali mencari hubungan subjektif dengan alam ini sebaik-baiknya serta dengan Pencipta alam ini, Yang tak terikat oleh ruang dan waktu, Yang mutlak dalam kesatuan yang tak berubah-ubah, selain dalam arti nisbi dalam hubungannya dengan hidup kita yang singkat ini.

 

Sudah tentu, sejarah hidup Muhammad ini adalah contoh terbaik dalam mengadakan studi tentang hubungan subjektif dalam artiteori, atau dalam arti praktek, bagi orang yang mempunyai kemampuan ke arah itu. Mengingat jauhnya jarak dalam arti hubungan Ilahi, seperti yang telah dianugerahkan Tuhan kepada Rasulullah, maka orang akan dapat mencoba hal itu pada taraf permulaan. Menurut hemat saya, kedua macam studi ini — bila sudah dapat disesuaikan — akan dapat mengangkat martabat dunia kita sekarang ini dari lembah paganisma, menurut kepercayaan agama dan pengetahuan masing-masing, paganisma yang telah membuat harta satu-satunya tempat pujaan (mammonisma), dengan meremehkan nilai-nilai seni, ilmu, moral dan bakat manusia. Bisa jadi penyesuaian demikian ini masih jauh. Akan tetapi adanya gejala-gejala akan lenyapnya paganisma yang sekarang menguasai dunia kita, mengemudikan kebudayaan yang berkuasa sekarang, tampak jelas sekali bagi setiap orang yang mau mengikuti jalannya sejarah dan peristiwa-peristiwa dunia.

 

Apabila secara khusus dipelajari sungguh-sungguh sejarah hidup Muhammad itu sebagai Nabi serta ajaran-ajarannya, masanya dan revolusi rohani yang dibawanya yang telah tersebar ke seluruh dunia, barangkali gejala-gejala ini akan makin jelas di depan mata dunia, bahwa masalahmasalah rohani ini adalah timbul dari pengaruh yang ditinggalkannya. Jika studi ilmiah dan studi yang subjektif mengenai tenaga umat manusia yang masih tersimpan ini, dapat menambah hubungan umat manusia dengan hakikat alam yang lebih tinggi, maka itu sudah merupakan perletakan batu pertama dalam sendi peradaban modern.

 

Buku ini pun tidak lebih adalah sebagai usaha permulaan ke arah itu, seperti sudah saya sebutkan. Kiranya cukuplah bagi saya bilamana buku ini dapat meyakinkan orang, dapat meyakinkan para sarjana dan ahli-ahli akan pentingnya spesialisasi dan pengkhususan guna mencapai tujuan dalam menyelidiki sesuatu bidang itu. Andaikata usaha ini dapat memberi hasil kepada salah satu atau kedua tujuan itu, ini pun sudah merupakan imbalan yang cukup besar terhadap daya upaya yang saya lakukan. Dan Allah jualah yang akan membalas jasa mereka yang telah berbuat kebaikan.

 

MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL

 

CETAKAN pertama buku ini habis lebih cepat dari yang diduga semula Buku yang diterbitkan 10.000 buah ini sepertiganya telah habis dipesan ketika sedang dicetak, sedang selebihnya habis dalam waktu tiga bulan setelah buku terbit. Sambutan yang diberikan atas buku ini menunjukkan adanya perhatian dari para pembaca, terutama terhadap penyelidikan yang saya lakukan ini. Oleh karana itu, untuk cetakan ulangan sudah harus dipikirkan, isinya perlu ditinjau kembali. Timbulnya sambutan itu sudah tentu karena persoalan yang ada dalam buku ini. Bolehjadi metoda yang dipergunakan memecahkan persoalan-persoalan itu berpengaruh juga atas adanya sambutan ini. Tetapi apa pun yang menjadi sebabnya, saya bertanya-tanya di dalam hati ketika terpikir akan menghadapi cetakan kedua ini: Akan diulang sajakah seperti apa adanya pada cetakan pertama, tanpa ditambah atau dikurangi, ataukah harus saya tinjau lagi dengan mengadakan revisi, penambahan atau koreksi lagi, mana-mana yang ternyata perlu dilakukan?

 

Beberapa orang yang sangat saya hargai pendapatnya menyarankan supaya cetakan kedua ini sama seperti cetakan pertama, supaya mereka yang memiliki dua macam cetakan ini sama adanya, dan supaya waktu buat saya pun cukup terluang dalam mengadakan koreksi dan revisi nanti sesudah cetakan kedua ini. Saran ini hampir-hampir saya terima. Kalaupun saran ini juga yang saya terima, tentu cetakan kedua ini sejak beberapa bulan yang lalu sudah berada di tangan pembaca. Tetapi saya masih maju-mundur juga menerima pendapat ini. Kemudian karena beberapa pertimbangan, akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa memang penting rasanya mengadakan revisi dan tambahan.

 

Pertimbangan pertama dalam hal ini ialah karena adanya beberapa catatan yang diberikan oleh Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, kepada saya, ketika sebagian yang sudah selesai dicetak dari buku ini saya perlihatkan kepadanya. Kemudian beliau bersedia pula memberikan kata perkenalan seperti pada permulaan buku ini.

 

Sesudah kemudian buku ini terbit, beberapa pengarang dan ulama pun memberikan pula tanggapan dan pendapat mereka yang baik sekali melalui surat-surat kabar, majalah dan radio. Semua tanggapan itu disertai dengan pujian yang tidak sedikit pula ditujukan kepada usaha yang saya lakukan ini, yang saya rasa tidak seharusnya saya menerima semua penghargaan demikian itu. Dan yang pertama saya harapkan ialah jangan sampai buku tentang Nabi ini tercampur dengan hal-hal yang kurang layak, sementara pengarang dengan karangannya itu berhasil, sehingga dapat diterima dan dapat dihargai orang. Oleh karena itu saya sangat memperhatikan sekali tanggapan itu.

 

Adanya penghargaan dan sambutan demikian ini agaknya telah menyebabkan timbulnya beberapa pendapat yang bertolak dari masalahmasalah pelengkap saja, yang tak ada hubungannya dengan sumbersumber yang terdapat — atau dengan pokok persoalan yang ada — dalam buku ini. Misalnya ada yang meminta supaya beberapa masalah yang dianggap perlu dijelaskan diberi penjelasan lebih lanjut, yang lain minta supaya diteliti lebih banyak lagi mengenai pemakaian kata-kata perangkai, atau juga diusulkan mengenai beberapa kata pengganti yang lain, yang menurut hemat para pengusul akan lebih tepat dalam mengungkapkan arti yang dikehendaki. Tetapi ada lagi pendapat yang lebih ditujukan pada inti pembahasan dalam buku ini, yang membuat saya lebih banyak lagi memikirkan dan mengoreksinya. Alangkah besarnya keinginan saya supaya cetakan kedua ini lebih mendekati kehendak sarjana-sarjana dan ulama itu semua, meskipun saya sendiri menganggap penyelidikan ini — seperti saya sebutkan dalam prakata — hanya sebagai langkah permulaan saja dalam bidang ini dengan bahasa Arab yang diolah menurut metoda baru.

 

Hal lain yang menyebabkan saya mengadakan revisi dan tambahantambahan dari cetakan pertama ini ialah setelah saya membaca kembali buku tersebut dan sesudah mempelajari beberapa pendapat yang saya terima, yang memang sebagian sudah saya sadari ketika saya sedang menulis. Kemudian juga saya dapat menerima alasan perlunya mengadakan pengamatan lebih luas sesuai dengan yang diusulkan itu guna meyakinkan mereka sehubungan dengan pendapat dan argumentasi saya. Koreksi-koreksi yang saya lakukan untuk maksud tersebut telah membawa beberapa masalah yang patut direnungkan dan patut digarap oleh setiap penulis biografi Nabi.

 

Kalaupun pada cetakan pertama itu saya bergembira karena adanya tanggapan-tanggapan yang sampai kepada saya, maka sekali ini pun lebihlebih lagi saya merasa gembira, karena saya masih akan mengadakan penyelidikan-penyelidikan itu lebih luas lagi. Hal ini saya anggap perlu sekali mengingat studi pendahuluan yang saya lakukan ini menyangkut sejarah hidup seorang manusia terbesar yang pernah dikenal sejarah, Nabi dan Rasul terakhir — selawat dan salam baginya.

 

Pada pengantar cetakan kedua ini saya berusaha mengadakan peng. amatan terhadap beberapa tanggapan tentang metoda penyelidikan yang saya kemukakan pada cetakan pertama. Pada bagian terakhir buku inj saya tambahkan dua pasal mengenai beberapa persoalan yang secara sepintas-lalu sudah disinggung juga pada bagian penutup cetakan pertama, Demikian juga beberapa revisi dan tambahan saya lakukan mana-mana yang saya anggap perlu direvisi dan ditambah dalam teks buku itu, sesuaj dengan koreksi-koreksi dan beberapa pertimbangan saya sekalian guna melengkapi penyelidikan dan memenuhi beberapa tanggapan yang sudah pernah disampaikan.

 

Pembela-pembela Orientalis

 

Yang mula-mula saya terima sebagai sanggahan ialah adanya sebuah karangan yang disampaikan kepada saya oleh seorang penulis bangsa Mesir yang menyebutkan, bahwa itu adalah sebuah terjemahan bahasa Arab dari artikel yang dikirimkannya ke sebuah majalah Orientalis berbahasa Jerman, sebagai kritik atas buku ini. Artikel ini tidak saya siarkan dalam surat-surat kabar berbahasa Arab, karena isinya hanya berupa kecaman-kecaman yang tidak berdasar. Oleh karena itu terserah kepada penulisnya jika mau menyiarkannya sendiri. Saya rasa nama orang itu pun tidak perlu disebutkan dalam pengantar ini dengan keyakinan bahwa dia sudah akan mengenal identitasnya sendiri sesudah membaca sanggahannya itu dimuat di sini. Artikel itu ringkasnya ialah bahwa penyelidikan yang saya lakukan tentang peri hidup Muhammad ini bukan suatu penyelidikan ilmiah dalam arti modern, sebab saya hanya berpegang pada sumber berbahasa Arab saja, tidak pada penyelidikan-penyelidikan kaum Orientalis sebangsa Weil, Goldziher, Noldeke dan yang lain, bukan mengambil dari hasil penyelidikan mereka, dan karena saya menganggap Quran sebagai dokumentasi sejarah yang sudah tidak diragukan, padahal Studi Orientalis-orientalis itu menunjukkan bahwa Quran sudah diubah dan diganti-ganti setelah Nabi wafat dan pada permulaan sejarah Islam, dan bahwa nama Nabi pun pernah diganti. Semula bernama “Qutham” atau “Quthama”. Sesudah itu kemudian diganti menjadi “Muhammad” Untuk disesuaikan dengan bunyi ayat, “Dan membawa berita gembira kedatangan seorang rasul sesudahku, namanya Ahmad”, sebagai isyarat yang terdapat dalam Injil tentang nabi yang akan datang sesudah Isa. Dalam keterangannya penulis itu menambahkan, bahwa penyelidikan kaum Orientalis itu juga menunjukkan, bahwa Nabi menderita penyakit ayan, dan apa yang disebut wahyu yang diturunkan kepadanya itu tidak lain adalah akibat gangguan ayan yang menyerangnya, dan bahwa gejala gejala penyakit ayan itu terlihat pada Muhammad ketika sedang tidak sadarkan diri, keringatnya mengalir disertai kekejangan, dari mulutnya keluar busa. Bila sudah kembali ia sadar dikatakannya bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu, lalu dibacakan kepada mereka yang percaya pada apa yang diduga wahyu dari Tuhan itu.

 

Sebenarnya saya tidak perlu menghiraukan karangan semacam ini atau pada sanggahannya kalau tidak karena penulisnya itu seorang Mesir dan Muslim pula. Andaikata penulisnya itu seorang Orientalis atau misi penginjil, akan saya biarkan saja ia bicara menurut kehendak nafsunya sendiri. Apa yang sudah saya sebutkan pada kata pengantar dan dalam teks buku ini, sudah cukup sebagai argumen yang akan menggugurkan pendapat mereka itu. Bagaimanapun juga penulis surat ini adalah sebuah contoh dari sebagian pemuda-pemuda dan orang-orang Islam yang begitu saja menyambut baik segala apa yang dikatakan pihak Orientalis dan menganggapnya sebagai hasil yang benar-benar ilmiah, dan berdasarkan kebenaran sepenuhnya. Kepada mereka itulah tulisan ini saya alamatkan sekadar mengingatkan tentang adanya kesalahan yang telah dilakukan oleh kaum Orientalis. Ada pula kaum Orientalis yang memang jujur dalam penyelidikan mereka, meskipun tentunya tidak lepas dari kesalahan juga. Sebab-sebab Kesalahan Orientalis

 

Kesalahan-kesalahan demikian yang terselip dalam penyelidikannya itu kadang disebabkan oleh kurang telitinya memahami liku-liku bahasa Arab, kadang juga karena adanya maksud yang tersembunyi dalam jiwa sebagian sarjana-sarjana itu, yang tujuannya hendak menghancurkan sendi-sendi salah satu agama, atau semua agama. Ini adalah sikap berlebih-lebihan yang selayaknya dihindarkan saja oleh kalangan cendekiawan. Kita melihat ada juga orang-orang Kristen yang begitu terdorong oleh sikap berlebih-lebihan ini sampai mereka mengingkari bahwa Isa pernah ada dalam sejarah.

 

Yang lain kita lihat bahkan. sudah melampaui batas-batas yang berlebih-lebihan itu dengan menulis tentang Isa yang sudah gila misalnya.

 

Timbulnya pertentangan antara gereja dengan negara di Eropa itu telah pula menyebabkan kalangan sarjana di satu pihak dan kaum agama di pihak lain hendak saling mencari kemenangan dalam merebut kekuasaan.

 

Sebaliknya Islam, samasekali bersih dari adanya pertentangan serupa itu. Hendaknya mereka yang mengadakan penyelidikan di kalangan Islam dapat menghindarkan diri dari kekuasaan nafsu demikian ini, yang sebenarnya telah menimpa orang-orang Barat, dan sering menodai penyelidikan sarjana-sarjana itu. Juga hendaknya mereka berhati-hati bila mempelajari hasil yang datang dari Barat, yang berhubungan dengan masalah-masalah agama. Segala sesuatu yang telah dilukiskan oleh para Sarjana sebagai suatu kebenaran, hendaklah diteliti lebih saksama. Banyak di antaranya yang sudah terpengaruh begitu jauh, sehingga telah me, nimbulkan permusuhan antara orang-orang agama dengan kalangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus selama berabad-abad.

 

Buku Biografi Penulis-penulis Islam sebagai Pegangan

 

Apa yang disebutkan dalam karangan si Muslim berbangsa Mesir yang Saya ringkaskan itu sudah suatu bukti perlunya ada sikap berhati-hati Pertama-tama ia menyalahkan saya karena saya masih berpegang pad, sumber-sumber Arab sebagai dasar penyelidikan saya, dan ini memang tidak saya bantah. Sungguhpun begitu buku-buku kalangan Orientali, seperti yang saya sebutkan dalam bibliografi, juga saya pakai. Akan tetapi, sumber-sumber bahasa Arab selalu saya pergunakan sebagai dasa, pertama dalam pembahasan ini. Dan sumber-sumber bahasa Arab ini jugalah yang dipakai sebagai dasar pertama dalam penyelidikan-penyeli. dikan kaum Orientalis itu semua.

 

Ini wajar sekali. Sumber-sumber tersebut — terutama sekali Quran – adalah yang pertama sekali bicara tentang sejarah hidup Nabi. Sudah tentu itu jugalah yang menjadi pegangan dan dasar bagi setiap orang yang ingin menulis biografi dengan gaya dan metoda sekarang. Baik Noldeke, Goldziher, Weil, Sprenger, Muir atau Orientalis lain semua berpegang pada sumber-sumber itu juga dalam penyelidikan mereka, seperti yang saya lakukan ini. Dalam membuat pengamatan dan kritik, mereka menempuh cara yang bebas, demikian juga saya. Dalam hal ini juga saya tidak mengabaikan beberapa sumber buku Kristen yang lama-lama yang menjadi pegangan mereka, sekalipun mereka masih terdorong oleh fanatisma agama Kristen, dan samasekali bukan oleh kritik ilmiah.

 

Kalau ada orang yang menyalahkan saya karena saya tidak terikat oleh kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh beberapa kaum Orientalis itu, atau karena saya sampai hati tidak sependapat dengan mereka dan malah melakukan kritik terhadap mereka, maka dalam bidang ilmiah yang demikian itu adalah suatu pendirian yang beku sekali, yang tidak kurang pula beku dan kolotnya dari pendirian yang bagaimanapun dalam bidang intelektual ataupun rohani. Saya rasa tidak seorang pun dari kalangan Orientalis itu sendiri yang akan menyetujui sikap beku demikian itu dalam bidang ilmiah. Andaikata ada di antara mereka yang dapat membenarkan sikap demikian, tentu ia akan membenarkan juga sikap beku itu dalam bidang agama.

 

Tidak saya inginkan dua hal ini terjadi, baik terhadap diri saya atau terhadap siapa pun yang mau bekerja dalam penyelidikan sejarah atas dasar ilmiah yang sebenarnya. Apa yang saya lakukan dan saya ajak orang lain akan dapat melakukannya ialah mengamati hasil-hasil studi yang dilakukan orang lain itu. Apabila ia sudah merasa puas oleh pembuktian yang meyakinkan, maka tentu itulah yang kita harapkan. Kalau tidak, lakukan sendirilah supaya ia dapat mencapai kebenaran itu dengan keyakinan bahwa ia sudah berhasil.

 

Ke arah inilah saya ajak pemuda-pemuda kita dan orang-orang yang mengagumi hasil-hasil penyelidikan kaum Orientalis itu, dan memang ini pula yang saya lakukan. Saya akan merasa sudah mendapat imbalan sebagai orang yang berhasil, sekiranya pekerjaan ini memang sudah tepat, sebaliknya saya akan dapat dimaafkan kiranya sebagai orang yang mencari kebenaran dengan tujuan yang jujur dalam menempuh jalan itu, jika ternyata saya salah.

 

Orientalis dan Ketentuan-ketentuan Agama

 

Sebagai bukti atas agitasi beberapa kaum Orientalis yang ingin menghancurkan ketentuan-ketentuan agama dengan cara-cara mereka yang berlebih-lebihan itu, ialah pendirian si Muslim bangsa Mesir yang telah menulis karangan tersebut, bahwa hasil-hasil studi kaum Orientalis itu menunjukkan, bahwa Quran bukan suatu dokumen sejarah yang tidak boleh diragukan, dan bahwa Quran sudah diubah-ubah setelah Nabi wafat dan pada masa permulaan sejarah Islam, yang dalam pada itu lalu ditambah-tambah dengan ayat-ayat untuk maksud-maksud agama atau politik. Saya bukan mau berdiskusi atau mau berdebat dengan penulis karangan itu dari segi Islamnya dia sebagai Muslim — atas apa yang sudah ditentukan oleh Islam, bahwa Quran itu Kitabullah, yang takkan dikaburkan oleh kepalsuan, baik pada mula diturunkan atau kemudian sesudah itu. Dia sependirian dengan golongan Orientalis, bahwa Quran dikarang oleh Muhammad, padahal dia percaya juga, bahwa Kitab itu adalah wahyu Allah kepada Muhammad seperti pendapat beberapa kaum Orientalis, dan karena ingin menguatkan isi karangannya atas apa yang disebutnya itu, dikatakannya bahwa Quran menurut pendapat yang sebagian lagi adalah memang wahyu Allah. Jadi baiklah saya berdialog dengan dia menurut bahasanya atas dasar dia sebagai orang yang berpikir bebas, yang tidak mau terikat oleh apa pun kecuali atas dasar yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan dengan cara yang benar-benar meyakinkan.

 

Quran Tidak Diubah-ubah

 

Ia percaya sekali kepada kaum Orientalis dan kepada pendapat mereka. Memang ada segolongan Orientalis yang beranggapan seperti yang dikutipnya itu. Tetapi anggapan mereka ini menunjukkan, bahwa mereka terdorong oleh maksud-maksud yang tak ada hubunganny, dengan ilmu pengetahuan. Hal ini sudah bukan rahasia lagi. Sebagai bukti, cukup apa yang mereka katakan, bahwa versi “Dan membawa berita gembira dengan kedatangan seorang Rasul sesudahku, namanya Ahmad” yang tersebut dalam Surah “Ash-Shaf” (61) ayat 6, adalah ditambahkan sesudah Nabi wafat untuk dijadikan bukti atas kenabian Muhammad dapat Risalahnya dari Kitab-kitab Suci sebelum Quran.

 

Andaikata yang berpendapat demikian ini dari kalangan Orientalis yang benar-benar jujur demi ilmu pengetahuan, tentu tidak perlu mereka bersandar kepada argumen semacam itu, yang bagi mereka juga berlaku bahwa Bible itu memang kitab-kitab suci. Kalau mereka memang mau mencari ilmu untuk ilmu, tentu akan mereka samakan Quran dengan kitab-kitab suci sebelum itu, yakni menganggapnya sebagai kitab suci juga dengan menyebutkan, bahwa kitab-kitab suci yang sudah dikenal orang sebelumnya adalah wajar, tak perlu lagi dibantah, atau menganggap kitab. kitab suci itu semua sama juga dengan anggapannya terhadap Quran. Terhadap keduanya itu pendapat mereka pun tentu akan serupa, dengan menentukan bahwa itu adalah untuk maksud-maksud agama atau politik tertentu juga. Andaikata memang ini pendapat mereka, maka selesailah sudah logika demikian itu. Pendirian mereka tentang adanya perubahan dalam Quran untuk maksud politik dan agama tadi, dengan sendirinya jadi gugur pula.

 

Bagi kaum Muslimin tidak perlu lagi mencari bukti dari kitab-kitab suci itu sesudah raja-raja mereka dan imperium Kristen seperti juga bangsa-bangsa lain di dunia menerimanya dan sesudah orang-orang Kristen sendiri beramai-ramai, bahkan bangsa-bangsa secara keseluruhan, menganut agama Islam. Inilah logika yang berlaku bagi penyelidikan yang murni ilmiah.

 

Adapun adanya anggapan Taurat dan Injil itu kitab-kitab suci dan menolak sifat demikian pada Quran, maka ini adalah hal yang tak diterima oleh ilmu pengetahuan. Sedang pendapat yang mengatakan adanya perubahan dalam Quran karena bukti dari Taurat dan Injil, itu adalah omong-kosong, tidak pula diterima oleh logika.

 

Dari kalangan Orientalis yang paling fanatik sekalipun, sedikit.sekali yang beranggapan seburuk itu. Sebaliknya sebagian besar mereka sepakat, bahwa Quran yang kita baca sekarang ini, itu jugalah Quran yang dibacakan oleh Muhammad kepada kaum Muslimin semasa hidupnya, tanpa suatu cacat atau perubahan apa pun. Mereka ingin sekali menyebut kan hal ini, sekalipun — dalam bentuk kritik — mereka kaitkan dengan cara pengumpulan Quran dan penyusunan Surah-surah yang pembahasanny2 tentu di luar bidang studi ini.

 

Kalangan Muslimin sendiri yang sudah mencurahkan perhatiannya dalam seluk-beluk iimu Quran telah menerima bermacam-macam kritik dan sudah mereka tangkis pula. Adapun yang mengenai masalah yang kita hadapi sekarang ini, cukuplah kalau kita mengutip apa yang dikatakan kalangan Orientalis sendiri dalam hal ini, kalau-kalau si Muslim Mesir yang kita bicarakan artikelnya itu akan merasa puas, demikian juga mereka yang masih berpikir semacam dia akan turut merasa puas pula.

 

Sebenarnya apa yang diterangkan kaum Orientalis dalam hal ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh Sir William Muir dalam The Life of Mohammad supaya mereka yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan perubahan Quran itu, dapat melihat sendiri. Muir adalah seorang penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah untuk itu. Dia pun ingin sekali tidak akan membiarkan setiap kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi dan Quran, dan berusaha memperkuat kritiknya. Pendapat Muir

 

Ketika bicara tentang Quran dan akurasinya yang sampai kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:

 

“Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan itu pula yang telah dibertakan oleh wahyu. Oleh karena itu yang hafal Quran di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu ada yang dapat membaca sampai pada ciricirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudah pekerjaan ini. Kecintaan mereka luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka menerima Quran dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemauan yang luar biasa hendak menghafal Quran, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat mengulang kembali dengan ketelitian yang meyakinkan sekali segala yang diketahui daripada Nabi gampai pada waktu mereka membacanya itu.

 

Penulisan Quran pada Zaman Nabi

 

“Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas daya ingatnya itu, kita juga bebas untuk tidak melepaskan kepercayaan kita bahwa kumpulan itu adalah satu-satunya sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin, bahwa sahabat-sahabat Nabi menulis beberapa macam naskah selama masa hidupnya dari berbagai macam bagian dalam Quran. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Quran itu ditulis. Pada umumnya tulis-menulis di Mekah sudah dikeny orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu, Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum .masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan tulis. menulis kepada kaum Anshar di Medinah, sebagai imbalannya mereka dibebaskan. Meskipun penduduk Medinah dalam pendidikan tidak se. pandai penduduk Mekah, namun banyak juga di antara mereka yang pandai tulis-menulis sejak sebelum Islam. Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa ayat-ayat yang dihafal menurut ingatan yang sangat teliti itu, itu juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula.

 

“Kemudian kita pun mengetahui, bahwa Muhammad telah mengutus seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah menganut Islam, supaya mengajarkan Quran dan mendalami agama. Sering pula kita membaca, bahwa ada utusan-utusan yang pergi membawa perintah tertulis mengenai masalah-masalah agama itu. Sudah tentu mereka membawa apa yang diturunkan oleh wahyu, khususnya yang berhubungan dengan upacara-upacara dan peraturan-peraturan Islam serta apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat.

 

Quran sendiri pun menentukan adanya itu dalam bentuk tulisan. Begitu juga buku-buku sejarah sudah menentukan demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar, tentang adanya sebuah naskah Surah ke-20 (Surah Taha) milik saudaranya yang perempuan dan keluarga nya. Umar masuk Islam tiga atau empat tahun sebelum Hijrah. Kalau pada masa permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling dipertukarkan, tatkala jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan mengalami pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan sekali, bahwa naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak kekuasaannya dan kitab itu sudah menjadi undang-undang seluruh bangsa Arab.

 

Bila Berselisih Kembali kepada Nabi

 

“Demikian halnya Quran itu semasa hidup Nabi, dan demikian juga halnya kemudian sesudah Nabi wafat, tetap tercantum dalam kalbu kaum mukmin. Berbagai macam bagiannya sudah tercatat belaka dalam naskahnaskah yang makin hari makin bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu sudah seharusnya benar-benar cocok. Pada waktu itu pun Quran sudah sangat dilindungi sekali, meskipun pada masa Nabi masih hidup, dengan keyakinan yang luar biasa bahwa itu adalah kalam Allah. Oleh karena itu setiap ada perselisihan mengenai isinya, untuk menghindarkan adanya perselisihan demikian itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam hal ini ada beberapa contoh pada kita: “Amr bin Mas’ud dan Ubayy bin Ka’b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi wafat, bila ada perselisihan, selalu kembali kepada teks yang sudah tertulis dan kepada ingatan sahabat-sahabat Nabi yang terdekat serta penulis-penulis wahyu.

 

Sesudah selesai menghadapi peristiwa Musailima – dalam perang Ridda — penyembelihan Yamama telah menyebabkan kaum Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka yang telah menghafal Quran dengan baik. Ketika itu Umar merasa kuatir akan nasib Quran dan teksnya itu, mungkin nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka yang telah menyimpannya dalam ingatan itu, mengalami suatu hal lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah Abu Bakr dengan mengatakan: “Saya kuatir sekali pembunuhan terhadap mereka yang sudah hafal Quran itu akan terjadi lagi di medan pertempuran lain selaan Yamama dan akan banyak lagi dari mereka yang akan hilang. Menurut hemat saya, cepat-cepatlah kuta bertindak dengan memerintahkan pengumpulan Quran.”

 

Pengumpulan Quran Langkah Pertama

 

“Abu Bakr segera menyetujui pendapat itu. Dengan maksud tersebut ia berkata kepada Zaid bin Thabit, salah seorang Sekretaris Nabi yang besar: “Engkau pemuda yang cerdas dan saya tidak meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada Rasulullah s.a.w. dan kau mengikuti Quran itu, maka sekarang kumpulkanlah.”

 

“Oleh karena pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali. Ia masih meragukan gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain melakukannya. Akan tetapi akhirnya ia mengalah juga pada kehendak Abu Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai berusaha sungguh-sungguh mengumpulkar surah-surah dan bagian-bagiannya dari segenap penjuru, sampai dapa juga ia mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas baty putih, dan yang dihafal orang. Setengahnya ada yang menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya dari yang ada pada lembaran, lembaran, tulang-tulang bahu dan rusuk unta dan kambing. Usaha Zaid in mendapat sukses.

 

“ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun terus-menerus mengumpulkan semua bahan-bahan serta menyusun kembali seperti yang ada sekarang ini, atau seperti yang dilakukan Zaid sendiri membawa Quran itu di depan Muhammad, demikian orang mengatakan. Sesudah naskah pertama lengkap adanya, oleh Umar itu dipercayakan penyim. panannya kepada Hafshah, putrinya dan istri Nabi. Kitab yang sudah dihimpun oleh Zaid ini tetap berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks yang otentik dan sah.

 

“Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca, yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah itu yang disalin dari naskah Zaid. Dunia Islam cemas sekali melihat hal ini. Wahyu yang didatangkan dari langit itu “satu”, lalu di manakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan, juga melihat adanya perbedaan Quran orang Suria dengan orang Irak. Mushaf Usman

 

“Karena banyaknya dan jauhnya perbedaan itu, ia merasa gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman turun-tangan. “Supaya jangan ada lagi orang berselisih tentang kitab mereka sendiri seperti orangorang Yahudi dan Nasrani.” Khalifah pun dapat menerima saran itu. Untuk menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin Thabit dimintai bantuannya dengan diperkuat oleh tiga orang dari Quraisy. Naskah pertama yang ada di tangan Hafshah lalu dibawa, dan cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran Isiam itu pun dikemukakan, lalu semuanya diperiksa kembali dengan pengamatan yang luar biasa, untuk kali terakhir. Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya dari Quraisy itu, ia lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu itu diturunkan dengan tujuh dialek Arab yang bermacam-macam.

 

“Selesai dihimpun, naskah-naskah menurut Quran ini lalu dikirimkan ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya naskah-naskah dikumpulkan lagi atas perintah Khalifah lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada Hafshah.

 

“Maka yang sampai kepada kita adalah Mushaf Usman. Begitu cermat pemeliharaan atas Quran itu, sehingga hampir tidak kita dapati — bahkan memang tidak kita dapati — perbedaan apa pun dari naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya, yang tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam yang luas itu. Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri — seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat — telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam — dan memang demikian adanya — namun Quran yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi Quran bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas perintah Usman yang malang itu.

 

“Agaknya di seluruh dunia ini tak ada sebuah kitab pun selain Quran yang sampai dua belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan cermatnya. Adanya cara membaca yang berbeda-beda itu sedikit sekali untuk sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas hanya pada cara mengucapkan huruf hidup saja atau pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya belakangan saja dalam sejarah, yang tak ada hubungannya dengan Mushaf Usman. Persatuan Islam Zaman Usman

 

“Sekarang, sesudah ternyata bahwa Quran yang kita baca ialah teks Mushaf Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah kita bahas lagi: Adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali, bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Usman sedikit pun, bahwa dia bermaksud mengubah Quran guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi’ah kemudian menuduh bahwa dia mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat diterima akal. Ketika Mushaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan pihak Alawi (golongan Mu’awiyah dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan paham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada bahaya yang mengancamnya. Di samping itu juga Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tak adalah maksudmaksud tertentu yang akan membuat Usman sampai melakukan pelanggaran yang akan sangat dibenci oleh kaum Muslimin itu. Orang-orang yang memahami dan hafal benar Quran seperti yang mereka dengar sendirj waktu Nabi membacanya mereka masih hidup tatkala Usman mengumpul. kan Mushaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menghapus setiap usaha guna menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai Pengganti.

 

“Dapatkah diterima akal — pada waktu kemudian mereka sudah memegang kekuasaan — bahwa mereka akan sudi menerima Quran yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu mereka tetap membaca Quran yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikit pun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiri pun telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu se. banyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya dengan tangannya sendiri.

 

“Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan Quran lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushat Usman. Jadi tantangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah Usman dalam hal itu saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di balik itu tidak seorang pun yang menunjukkan adanya usaha mau mengubah atau menukar isi Quran. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha perusakan terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi’ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri. Mushaf Usman Cermat dan Lengkap

 

“Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan, bahwa Mushaf Usman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar di seluruh daerah itu.

 

“Tetapi sungguhpun begitu masih ada suatu soal penting lain yang terpampang di depan kita, yakni: adakah yang dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad? Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah selengkapnya dicapai waktu itu:

 

“Pertama — Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Quran, orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama waktu dua puluh tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala ambisi, sehingga baginya memang tak adalah tempat buat mencari kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.

 

“Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafatnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mukmin biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah. Dalam Quran terdapat peringatan-peringatan bagi barangsiapa yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi iman.

 

Kedua — Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada serombongan ahli-ahli Quran yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata rantai penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Quran dalam satu Mushaf itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan.

 

“Ketiga — Juga kita mempunyai jaminan yang lebih dapat dipercaya tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bagian-bagian Quran yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnya pun sudah banyak sebelum pengumpulan Quran itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya. Maka logis sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam bagian-bagian itu sudah tercakup belaka. Oleh karena itu keputusan mereka semua Sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah melalaikan sesuaty bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang terdapat di dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushaf yang sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini memang ada, maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu, tak ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting.

 

“Keempat — Isi dan susunan Quran itu jelas sekali. menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang bermacam-macam disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat.

 

“Tak ada bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran si penghimpun dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat suci itu seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain.

 

“Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah, bahwa Mushaf Zaid dan Usman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan — seperti beberapa kejadian menunjukkan — adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunannya tidak bermaksud mengabaikan apa pun dari wahyu itu. Juga kita dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari Quran itu, memang sangat teliti sekali dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad.”

 

Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat Sir William Muir seperti yang disebutkan dalam kata pengantar The Life of Mohammad’ itu. Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebutkan tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sama sependapat. Secara positif mereka memastikan tentang persisnya Quran yang kita baca sekarang, serta menegaskan bahwa semua yang dibaca oleh Muhammad adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Tuhan. Kalaupun ada sebagian kecil kaum Orientalis berpendapat jain dan beranggapan bahwa Quran sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir dan sebagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi.

 

Betapapun pandainya tukang-tukang tuduh itu menyusun tuduhannya, namun mereka tidak dapat meniadakan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan caranya itu mereka takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.

 

Sebenarnya kita dapat saja memberikan argumen-argumen seperti yang dikemukakan oleh Sir Muir dan Orientalis-orientalis lain, yang diambil dari sejarah Islam, kemudian mengembalikan semua itu kepada sumbernya yang semula. Tetapi kita sengaja mengutamakan kutipan itu dari salah seorang Orientalis, mengingat pemuda-pemuda kita masih sangat mendambakan segala yang datang dari Barat, tanpa pengamatan lebih dalam. Ketelitian dalam penyelidikan ilmiah dengan maksud baik hendak mencari kebenaran, seharusnya akan mengantarkan orang ke jalan yang ditempuhnya itu semata-mata untuk kebenaran, lepas dari segala pemalsuan. Seseorang yang mau mengadakan penelitian harus menyelidiki benar-benar sehingga ia sampai kepada kebenaran yang menjadi tujuannya itu, tanpa terpengaruh oleh hawa nafsu dan tanpa teralang oleh tradisi. Kaum Orientalis kadang memang berhasil mencari kebenaran demikian, tapi kadang juga, karena tujuan-tujuan tertentu, mereka pun lalu menyimpang. Dan sebagian besar memang begitu. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan sejarah Nabi kita mendapat kesempatan dalam buku ini mengadakan penelitian lebih lanjut.

 

Cara yang Sebenarnya dalam Mengadakan Penyelidikan

 

Baik juga kalau dalam kesempatan ini kita sebutkan bahwa tugas seorang peneliti tidak akan a priori menerima atau menolak sesuatu masalah, sebelum penelitian atau penyelidikannya itu benar-benar meyakinkan bahwa ia sudah sepenuhnya puas dengan kenyataan yang dicapainya itu tanpa ada kekurangan. Seorang ahli sejarah dalam hal ini tidak berbeda dengan sarjana dalam ilmu pengetahuan lainnya atau dalam bidang-bidang fisika. Penulis sejarah dalam hal ini seharusnya mempela, jari buku-buku Orientalis, juga buku-buku sarjana-sarjana Islam.

 

Apabila untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan itu kita diharus, kan mengadakan kritik dan pengamatan terhadap hasil-hasil peninggalan penulis-penulis Arab dan penulis-penulis Islam seperti dalam ilmu ke, dokteran, astronomi, kimia dan sebagainya, lalu kita menolak mana yang tidak dapat diterima oleh kritik ilmiah, dan menerima mana yang dapa dibuktikan oleh cara-cara kritik demikian itu, maka untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan dalam bidang sejarah ini pun kita ber. kewajiban pula meneliti benar-benar, sekalipun yang berhubungan dengar sejarah Nabi s.a.w. Seorang penulis sejarah bukan hanya sekadar menyalin saja, tapi juga harus membuat kritik terhadap yang disalinnya itu. Ia harus mengadakan penelitian guna mengetahui kebenaran yang ada sesungguhnya. Kritik adalah langkah kepada penelitian itu.

 

Ilmu dan pengetahuan adalah dasar kritik dan penelitian. Sesudah kita mengadakan penelitian seperti yang kita kutipkan mengenai Quran dan akurasinya, kita tinggalkan dulu artikel si Muslim Mesir, yang begitu percaya atas segala yang ditulis oleh Orientalis mengenai ayat-ayat yang katanya ditambahkan ke dalam Quran, juga tentang nama Nabi yang katanya Qutham atau Quthama itu. Kata-kata demikian ini bukanlah karena terdorong oleh rasa kebenaran, melainkan karena nafsu belaka.

 

Baiklah kita kembali sekarang pada titik persoalan terakhir dalam sanggahan si Muslim Mesir itu. Dia menyebutkan, bahwa hasil penyelidikan kaum Orientalis itu menunjukkan, bahwa Nabi menderita penyakit ayan. Gejala-gejala demikian itu tampak padanya ketika ia tidak sadarkan diri, keringatnya mengucur disertai kekejangan-kekejangan dan busa yang keluar dari mulutnya. Apabila ia sudah sadar kembali, ia lalu membacakan apa yang dikatakannya wahyu Tuhan kepadanya itu — kepada orang-orang yang mempercayainya. Padahal yang dikatakan wahyu itu tidak lain daripada akibat serangan-serangan ayan tersebut.

 

Fitnah Sekitar Ayan

 

Menggambarkan apa yang terjadi pada Muhammad pada waktu datangnya wahyu dengan cara yang demikian itu, dari segi ilmiah adalah samasekali salah. Serangan penyakit ayan tidak akan meninggalkan sesuatu bekas yang dapat diingat oleh si penderita selama masa terjadinya itu. Bahkan sesudah ia sadar kembali pun samasekali dia lupa apa yang telah terjadi selama itu. Dia tidak ingat apa-apa lagi, apa yang terjadi dan apa yang dilakukannya selama itu. Sebabnya ialah, segala pekerjaan saraf dan pikirannya sudah menjadi lumpuh total. Inilah gejala-gejala ayan yang dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. Jadi bukan yang dialami Nabi Muhammad selama menerima wahyu. Bahkan selama itu inteleknya sedang dalam puncak kesadarannya. Dengan sangat teliti sekali ia ingat semua yang diterimanya dan sesudah itu dibacakannya kembali kepada sahabat-sahabatnya.

 

Dengan kesadaran rohani yang besar itu, samasekali ia tidak dibarengi oleh ketidaksadaran jasmani. Bahkan sebaliknya yang terjadi, pada waktu jtu Nabi sedang dalam puncak kesadarannya yang biasa. Cukuplah kalau kita tunjukkan saja pada apa yang kita sebutkan dalam buku ini tentang turunnya Surah al-Fath (48) yaitu ketika kaum Muslimin kembali dari Mekah ke Medinah sesudah Perjanjian Hudaibiya.

 

Jadi ilmu pengetahuan dalam hal ini membantah bahwa Muhammad dihinggapi penyakit ayan. Yang mengatakan demikian dari kalangan Orientalis pun hanya sebagian kecil saja. Mereka itulah yang mengatakan bahwa Quran sudah diubah. Mereka mengatakan begitu bukan karena ingin mencari kebenaran, melainkan menurut dugaan mereka dengan demikian mereka mau merendahkan martabat Nabi di mata segolongan kaum Muslimin. Ataukah dengan kata-kata itu mereka mengira, bahwa mereka telah menyebarkan keragu-raguan atas wahyu yang diturunkan kepada Muhammad, sebab turunnya itu — menurut dugaan mereka — waktu ia sedang mendapat serangan ayan? Kalau memang begitu, ini adalah suatu kesalahan besar pada mereka, seperti sudah kita sebutkan. Pendapat mereka inilah yang secara ilmiah telah samasekali tertolak.

 

Kembali kepada Ilmu Pengetahuan

 

Kalau yang dipakai pedoman oleh kaum Orientalis demikian itu adalah tujuan yang murni, tentu mereka tidak akan membawa-bawa ilmu yang bertentangan dengan itu. Mereka melakukan itu mau mengelabui orang-orang yang belum menguasai pengetahuan tentang gejala-gejala ayan, dan mereka yang cara berpikirnya masih sederhana yang sudah merasa puas dengan apa yang telah dikatakan oleh kaum Orientalis itu, tanpa mau bertanya-tanya kepada para ahli dari kalangan kedokteran atau mau membaca buku-buku tentang itu. Kalau saja mereka mau melakukan itu, sebenarnya tidak sulit buat mereka untuk menemukan kesalahan kaum Orientalis itu — disengaja atau tidak disengaja. Mereka akan melihat bahwa kegiatan rohani dan intelek manusia akan samasekali tertutup selama terjadi krisis ayan. Si penderita dibiarkan dalam keadaan mekanik semata, bergerak-gerak seperti sebelum mendapat serangan, atau meronta-ronta kalau serangannya itu sudah bertambah keras sehingga dapat mengganggu orang lain. Dalam pada itu, dia pun kehilangan kesadarannya. Ia tidak sadar apa yang diperbuatnya dan apa yang terjadi terhadap dirinya. Ia seperti orang yang sedang tidur, tidak merasakan gerak. geriknya sendiri. Bila itu sudah berlalu, ia pun tidak ingat apa-apa lagi.

 

Ini tentu berbeda dengan suatu kegiatan rohani yang begitu kuar membawanya jauh ke alam ilahiah, dengan penuh kesadaran dan suasang intelek yang meyakinkan. Apa yang diwahyukan kepadanya itu, kemudian dapat diteruskan. Sebaliknya ayan, melumpuhkan seluruh kesadaran manusia. Ia membawa orang berada dalam tingkat mekanik, yang selama itu perasaan dan kesadarannya menjadi hilang. Tidak demikian halnya dengan wahyu, yang merupakan puncak ketinggian rohani, yang khusus diberikan Tuhan kepada para nabi. Kepada mereka kenyataan-kenyataan alam positif yang tertinggi itu diberikan, supaya kemudian disampaikan kepada umat manusia. Kadang ilmu pengetahuan sampai juga memahami beberapa kenyataan-kenyataan itu, mengetahui ketentuan-ketentuan dan rahasianya — sesudah lampau beberapa generasi dan beberapa abad Kadang juga ilmu pengetahuan belum dapat menjangkaunya. Sungguhpun begitu itu adalah kenyataan positif, yang dapat dimasuki hanya oleh hati nurani orang-orang beriman, yang percaya kepada kebenarannya. Dalam pada itu ada juga hati yang tetap tertutup rapat dan tidak mengetahui atau karena memang tidak mau mengindahkannya.

 

Kadang Ilmu yang tidak Cukup

 

Kita dapat mengerti bila Orientalis-orientalis itu berkata, bahwa wahyu ialah suatu gejala psikologi tersendiri dalam penilaian ilmu pengetahuan yang sampai ke tangan kita hingga saat sekarang. Jadi, adalah hal yang tidak mungkin dapat ditafsirkan dengan cara ilmu. Tetapi bagaimanapun juga pendapat ini menunjukkan, bahwa pengetahuan kita — dengan ruang lingkupnya yang luas — masih merasa terbatas akan menafsirkan bagian terbesar dari gejala-gejala spiritual dan psikologis itu. Buat ilmu pengetahuan ini bukan suatu cacat, juga bukan hal yang aneh. Ilmu pengetahuan kita masih terbatas dalam menafsirkan beberapa gejala alam yang dekat pada kita. Kodrat matahari, bulan, bintang-bintang, tatasurya dan lainnya dalam ilmu pengetahuan, masih merupakan hipotesahipotesa penemuan. Semua benda cakrawala ini sebagian ada yang dapat kita lihat dengan mata telanjang, dan tidak sedikit pula yang masih tersembunyi, yang baru akan dapat kita lihat bila menggunakan alat peneropong. Sampai abad yang lalu banyak sekali penemuan-penemuan yang masih dianggap sebagai suatu ciptaan khayal belaka, tak ada jalan akan dapat dijelmakan depan mata kita. Tetapi ternyata sekarang sudah menjadi kenyataan. Malah kita menganggap sebagai hal yang mudah saja. Adanya gejala-gejala spiritual dan psikologis sekarang menjadi sasaran pengamatan para sarjana. Tetapi ini belum lagi dapat dikuasai oleh ilmu, dan hukumnya yang positif pun juga belum ditemukan.

 

Sering kita membaca tentang beberapa masalah yang sudah diketahui oleh para sarjana dan sudah diterima. Tetapi kemudian ternyata bahwa dalam hukum alam yang berlaku menurut kaedah-kaedah ilmu pengetahuan belum lagi memberikan arti yang meyakinkan. Psikologi misalnya, dalam menghadapi beberapa masalah, secara umum masih belum mempunyai hukum yang pasti. Kalau ini terjadi dalam kehidupan biasa, maka jangkah cepat-cepat mau menafsirkan gejala-gejala seluruh hidup dengan cara ilmiah adalah suatu usaha yang memang sia-sia saja, suatu penghamburan yang patut dicela.

 

Datangnya wahyu yang pernah disaksikan oleh beberapa kaum Muslimin selama masa hidup Muhammad – demikian juga Quran – setiap dibacakan kepada mereka, ternyata menambah keteguhan iman mereka. Di antara mereka itu terdapat juga orang Yahudi dan Nasrani. Sesudah lama terjadi debat dan diskusi dengan Nabi, kemudian mereka pun mempercayai. Sekitar risalah dan masalah waktu itu tak ada yang mereka tolak. Memang ada segolongan orang-orang Quraisy yang berusaha menuduh hal itu sebagai perbuatan sihir dan gila. Tetapi kemudian mereka pun mengakui, bahwa dia bukan tukang sihir dan bukan pula orang gila. Mereka pun lalu jadi pengikutnya dan beriman atas ajakan itu. Inilah yang sudah pasti dan meyakinkan.

 

Jadi sekarang yang tak dapat diterima oleh ilmu, dan bertentangan dengan kaedah-kaedah yang ilmiah ialah sikap mengingkari terjadinya wahyu itu dan merendahkan orang yang menerimanya disertai kecaman dengan pelbagai rupa. Inilah yang justru bertentangan dengan ilmu.

 

Seorang sarjana yang sungguh-sungguh bertujuan mencari kebenaran, tidak dapat berkata lain daripada suatu penegasan, bahwa apa yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan sampai sekarang, masih terbatas sekali, belum dapat menguraikan wahyu itu dengan cara ilmiah. Akan tetapi, bagaimanapun juga, ilmu tak dapat menolak terjadinya gejala-gejala wahyu, seperti yang dilukiskan oleh sahabat-sahabat Nabi dan penulispenulis lain pada permulaan sejarah Islam itu. Kalaupun ada yang mengingkarinya, ia berusaha mencari dalih dengan menggunakan ilmu sebagai senjata yang sia-sia dengan sikap keras kepala. Sikap keras kepala dengan ilmu sebenarnya takkan pernah bertemu.

 

Menyerang Muhammad karena Gagal Menyerang Ajarannya

 

Kalau sikap yang menyedihkan ini harus menjurus kepada sesuatu maka sesuatu itu ialah nafsu mereka yang keras hendak menanamkan syak ke dalam hati orang tentang Islam. Agama ini sendiri tidak dapat mereka serang. Mcreka telah menyaksikan, betapa kuat dan luhurnya agama inj dengan sifatnya yang sederhana dan serba mudah yang justru menjagj dasar kekuatannya.

 

Oleh karena itu, mereka lalu menggunakan cara orang yang lemah. Mereka tak mampu menyerang jejak yang sungguh besar itu, mereka lal, menyerang Orang yang meninggalkan jejak itu. Ini adalah kelemahan yang tidak seharusnya menjadi pegangan seorang sarjana. Dalam pada itu jz juga bertentangan dengan hukum kodrat insani. Kodrat manusia ialah memperhatikan jejak itu sendiri saja, menikmati buahnya tanpa ia harus bersusah payah mencari-cari asal-usulnya atau mencari-cari apa yang menyebabkan hal itu terjadi atau tumbuh. Dengan demikian mereka tidak perlu menyusahkan diri mencari-cari asalnya pohon yang telah menghasit. kan buah-buahan yang disukainya itu, atau tentang pupuk yang menyebab. kan pohon tersebut jadi subur, selama tidak terpikirkan olehnya akan menanam pohon lain yang lebih enak buahnya.

 

Ketika orang mengadakan pembahasan tentang filsafat Plato atay tentang drama Shakespeare atau karya-karya Raphael misalnya, orang tidak perlu mencari bahan kecamannya pada kehidupan orang-orang besar itu — yang menjadi lambang kemegahan dan kebanggaan umat manusia – kalau dalam karya-karyanya itu tak ada yang dapat dijadikan sasaran kecamannya. Kalau mereka mencari bahan kecaman yang tidak punya dasar kebenaran, mereka takkan dapat mencapai tujuan. Kalau niat jahat atau rasa dengki itu juga yang mereka perlihatkan, argumentasi mereka akan jatuh dan orang pun takkan mau mendengarkan. Hal ini takkan berubah hanya dengan menuangkan rasa dengki itu ke dalam pola ilmu. Sifat dengki itu tidak pernah mengenal kebenaran. Menyedihkan sekali tentunya bila perasaan dengki itu juga yang menjadi sumber kebenaran. Inilah dasar kecaman Orientalis-orientalis itu terhadap Nabi, Rasul penutup itu. Tetapi dengan demikian kecaman mereka itu pun jadi gugur samasekali.

 

Sekarang saya sudahi sanggahan saya ini terhadap pendapat Orientalis-orientalis yang oleh si Muslim orang Mesir itu dijadikan pegangan dalam penulisan artikelnya. Sudah saya kemukakan dalil-dalil kelemahan pendapat mereka itu.

 

Baiklah sekarang saya pindah ke bagian lain dalam tinjauan ini. Sesudah cetakan pertama buku ini terbit, beberapa kalangan Islam yang aktif dalam bidang pengetahuan agama, memberikan pula pendapatnya.

 

Menurut hemat saya kecaman-kecaman rendah semacam ini, yang tak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan, hendaknya tidakkan berulang lagi. Terhadap kaum Orientalis barangkali masih dapat dimaafkan, terutama atas tindakan mereka yang sebelum itu memang sangat berlebih-lebihan. Mereka merasa, bahwa mereka menulis buat orang-orang Kristen Eropa:

 

Dengan demikian pada waktu itu mereka telah menjalankan suatu tugas nasional atau tugas agama. Mereka didorong oleh keyakinan mereka, dengan memperkosa ilmu pengetahuan sebagai alat dalam melaksanakan tugasnya itu.

 

Tetapi sekarang, dengan adanya komunikasi via telegram dan radio, via pers dan mass media lainnya ke seluruh penjuru dunia, segala apa yang diterbitkan atau diucapkan orang di Eropa atau di Amerika sudah dapat ditangkap hari itu atau saat itu juga di negeri-negeri lain di Timur. Mereka yang ingin memperoleh pengetahuan dan kenyataan sebenarnya, seharusnya segala kabut nasional, rasial dan agama disingkirkan dari depan mata dan dari dalam hati mereka. Mereka hendaknya dapat memperkirakan bahwa apa yang mereka katakan atau mereka tulis, akan secepatnya diketahui oleh semua orang. Di segenap penjuru bumi orang akan mengujinya dan menerima dengan sikap kritis. Biarlah, kebenaran yang sebenarnya tidak terikat oleh apa pun itulah yang akan menjadi pedoman kita semua. Kita arahkan semua perhatian kita pada suatu ikatan masa lampau dan masa datang umat manusia, bahwa itu adalah suatu kesatuan keluarga besar yang mengarah kepada pelaksanaan tujuan yang lebih tinggi, yang dinanti-nantikan oleh segenap manusia sejak pertumbuhannya yang pertama, suatu ikatan persaudaraan yang merdeka di bawah naungan kebesaran dan keindahan. Inilah satu-satunya ikatan yang akan menjamin tercapainya tujuan umat manusia dalam peredaran sejarahnya yang begitu pesat ke arah kebahagiaan dan kesempurnaan itu.

 

Pertimbangan Mereka yang Aktif dalam Soal-soal Islam

 

Sementara ada orang-orang yang begitu percaya pada apa yang dilontarkan oleh kaum Orientalis secara berlebih-lebihan itu menyalahkan kami, karena kami katanya begitu terikat dan berpegang pada sumbersumber berbahasa Arab, maka mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam juga menyalahkan kami, karena kami katanya terlalu berpegang pada pendapat-pendapat kaum Orientalis: bahwa kami katanya tidak memperhatikan segala yang diceritakan oleh buku-buku hadis bertalian dengan sejarah hidup Nabi dan bahwa kami tidak memakai cara seperti yang ada dalam buku-buku sejarah lama itu.

 

Atas dasar ini sebagian mereka telah mengemukakan pendapatpendapat, yang kebanyakannya disampaikan dengan cara yang lemahlembut dan baik sekali dengan tujuan hendak mencari kebenaran. Sebagian lagi, karena keras kepala atau bodoh, tidak mau mengalah kepada yang lebih berpengetahuan. Adapun mereka yang memberikan kritik dengan lemah-lembut, kebanyakan dititik-beratkan pada, bahwa apa yang diterangkan dalam buku-buku sejarah dan hadis Nabi tentang mukjizat-mukjizat, tidak ada kami sebutkan. Bahkan kami sebutkan pada penutup cetakan pertama: “Sejarah hidup Muhammad adalah Sejarah hidup manusia yang telah sampai ke puncak tertinggi yang pernah dicapai seorang manusia. Pada waktu itu Muhammad s.a.w. suka hati karena kaum Muslimin menghargainya sebagai manusia biasa seperti mereka, hanya diberi wahyu. Ia tidak suka apabila ia akan dihubung-hubungkar kepada sesuatu mukjizat selain Quran. Hal ini dinyatakannya kepada para sahabat.” Pada bagian cerita membelah dada ada kita katakan:

 

“Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dar pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammag sifatnya adalah manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu harus bersandar kepada hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat, bahwa apa yang telah dikemukakan itu tidak sejalan dengan yang diminta oleh Quran, yakni supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang. undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Jadi tidak sesuai dengan ekspresi Quran tentang kaum musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.”

 

Mereka yang mengkritik saya dengan cara lemah-lembut itu di antaranya ada juga yang menyalahkan, karena saya mengambil kecaman. kecaman kaum Orientalis terhadap Nabi itu sebagai pengantar untuk menyanggah mereka, sedang bunyi kecaman itu menurut hemat mereka tidak sesuai dengan penghargaan dan penghormatan yang harus mereka berikan kepada Nabi a.s. Adapun mereka yang cuma memaki-maki sudah memang ada sebelum cetakan pertama buku ini terbit, dan sebelum pembahasan ini dikumpulkan menjadi buku.

 

Selawat kepada Nabi

 

Dalam menyalahkan saya yang paling keras mereka lakukan ialah karena pembahasan saya ini saya beri judul Sejarah Hidup Muhammad tanpa saya berikutkan ucapan sallallahu “alaihi wassalama (s.a.w.), ucapan Salam dan Selawat kepada Rasulullah, sekalipun sambil tulisan ini berjalan sudah beberapa kali saya sebutkan. Saya rasa mereka baru reda dari memaki-maki itu sesudah pada judul cetakan pertama saya hiasi dengan ayat Quran: “Allah dan para malaikat memberikan rahmat kepada Nabi. Orang-orang beriman, berikanlah selawat dan salam kepadanya” dan sesudah buku ini mengemukakan sejarah hidup Nabi dengan metoda seperti apa adanya sekarang.

 

Akan tetapi mereka bersikeras juga dengan pendirian mereka itu. Dengan begitu, dengan sikap keras kepala dan kebodohan mereka tentang esensi Islam itu menunjukkan, bahwa mereka sudah cukup merasa puas hanya dengan ikut saja apa yang mereka terima dari nenek-moyang dahulu kala.

 

Baik kita mulai sekarang dengan menyanggah pandangan yang salah ini dengan harapan tidak akan terulang lagi dilakukan orang, baik oleh pihak bersangkutan di atas atau oleh pihak lain dalam menanggapi buku apa pun yang terbit. Kita mulai sanggahan ini dengan kembali kepada buku-buku kaum cendekiawan Islam terkemuka supaya orang mengetahui sampai di mana taraf ketinggian Islam itu, yang sebenarnya tidak terbatashanya pada kata-kata saja, melainkan sudah dapat menempatkan nilai hadis:

 

“Bahwasanya agama ini kukuh sekali. Tanamkanlah dalam-dalam dengan lemah-lembut. Sebenarnya orang yang terputus dalam perjalanan takkan mencapai tujuan, binatang beban pun binasa.”

 

Dalam Kulliatnya Abu’l-Baga’ menerangkan, bahwa “penulisan ashshalat (s.a.w.) dalam buku-buku dahulu terjadi pada masa kekuasaan Abbasia. Oleh karena itu, yang ada dalam kitab-kitab Bukhari dan yang lain tidak mempergunakan kata-kata itu.” Para Imam sebagian besar sepakat, bahwa selawat kepada Nabi cukup sekali saja diucapkan orang selama hidupnya. Ibn Nujaim dalam al-Bahru’rRa’ig menyebutkan: “Perintah dalam firman Tuhan “ucapkan selawat dan salam kepadanya” kewajibannya berlaku sekali saja selama hidup, baik dalam sembahyang atau di luar itu. Tentang ini tak ada perselisihan pendapat.”

 

Adanya perbedaan pendapat antara Syafi’i dan yang lain tentang kewajiban mengucapkan selawat kepada Nabi, berlaku selama dalam sembahyang, bukan di luar itu. Selawat ialah doa, artinya mudah-mudahan Allah memberi rahmat dan salam kepada Nabi.”

 

Demikian sumber para Imam dan ulama Islam menyebutkan mengenai masalah ini. Adanya dugaan bahwa mengucapkan selawat kepada Nabi pada setiap menyebutkan dan menuliskan namanya merupakan suatu keharusan menunjukkan, bahwa dalam hal ini mereka bersikap sangat berlebih-lebihan. Akibat dari kesalahan mereka itu, maka mereka yang mengikutinya akan salah pula jika mereka mengetahui apa yang sudah kita sebutkan tadi. Ahli-ahli hadis terkemuka tidak menuliskan kata-kata .selawat itu dalam kitab-kitab mereka yang mula-mula. Menangkis Kecaman

 

Mereka yang berpendapat bahwa tidak selayaknya menyebutkar kecaman-kecaman kaum Orientalis dan misi penginjil terhadap Nabi yang mulia ini sebagai pendahuluan untuk menyanggah mereka, pendapat inj tidak punya dasar selain daripada rasa sentimen keislaman yang mereka agung-agungkan. Sedang dari segi ilmu dan agama, dasarnya tidak ada Apa yang dikatakan kaum musyrik tentang Nabi, Quran menyebutkannya, lalu menyanggahnya dengan argumen yang kuat. Jadi, moral Quran adalah moral yang lebih sesuai dan tinggi adanya. Quran menyebutkan tuduhan

 

Quraisy terhadap Muhammad sebagai tukang sihir dan gila:

 

“Kami mengetahui benar, bahwa mereka berkata: “Hanyalah Seorang manusia yang mengajarkannya.” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan itu adalah bahasa asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali.” Hal semacam ini sering sekali terjadi. .

 

Selanjutnya alasan tuduhan mereka itu tidak akan dapat ditangkis secara ilmiah, kalau tidak disebutkan dan dicatat secara jujur dan teliti. Dengan buku ini saya mencoba mengemukakan pembahasan ilmiah guna mencari kenyataan ilmiah semata. Juga saya maksudkan supaya dibaca baik oleh kaum Muslimin atau bukan.

 

Hendaknya mereka semua dapat diyakinkan tentang kenyataan ilmiah ini. Hal ini baru akan tercapai bilamana pembahasannya benar-benar bersih dalam kecenderungannya mencari kebenaran itu, tidak terikat oleh apa pun selain oleh kecenderungan tersebut, dan tidak pula ragu-ragu mengakui kebenaran itu dari mana pun datangnya.

 

Buku-buku Sejarah dan Buku-buku Hadis

 

Sekarang kita kembali ke pokok pertama, kepada mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam, yang mengkritik saya dengan cara lemah-lembut dan dengan cara yang baik itu. Mereka mengatakan, bahwa saya tidak menuruti apa yang ada dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis. Dalam mengungkapkan berbagai peristiwa saya tidak menempuh cara yang sudah ada.

 

Dalam hal ini cukuplah kiranya bila saya jawab, bahwa dalam pembahasan ini saya memakai metoda ilmiah, saya tulis dengan gaya zaman kini. Yang demikian ini saya lakukan, karena inilah cara yang baik menurut pandangan ilmu pengetahuan yang berlaku sekarang dengan berbagai macam cabangnya, baik yang berkenaan dengan sejarah atau tidak. Bagi saya — dan ini pendirian saya — tidak perlu kita terikat pada buku-buku lama. Antara kedua cara dan cara-cara lama dengan yang berlaku sekarang terdapat perbedaan yang besar sekali. Secara mudahnya, dalam buku-buku lama tidak dibenarkan adanya kritik seperti yang berlaku sekarang. Kebanyakan buku-buku lama ditulis untuk suatu maksud keagamaan dalam arti ubudiah, sementara penulis-penulis dewasa ini terikat oleh metoda dan kritik-kritik ilmiah. Ini saja sudah cukup buat saya menangkis setiap tantangan dan sekaligus membenarkan metoda yang saya pakai dalam penyelidikan ini. Tetapi saya pikir ada baiknya juga saya jelaskan barang sedikit sehubungan dengan sebab-sebab yang membawa ahli-ahli pikir dari pemuka-pemuka Islam masa lampau itu — dan masa kini — juga yang membawa setiap penyelidik yang teliti — untuk tidak secara serampangan mengambil begitu saja apa yang ada dalam buku-buku sejarah dan buku-buku hadis. Kita terikat pada kaedah-kaedah kritik ilmiah demikian ialah guna menghindarkan diri dari kesalahan sedapat mungkin.

 

Sebab pertama yang menimbulkan perbedaan yang terdapat dalam buku-buku itu ialah, banyaknya peristiwa-peristiwa dan hal-hal yang terjadi, yang dihubung-hubungkan kepada Nabi sejak ia lahir hingga wafatnya. Mereka yang mempelajari buku-buku ini melihat adanya beberapa berita yang ajaib-ajaib, mukjizat-mukjizat dan cerita-cerita lain semacam itu. Di sana sini ditambah atau dikurangi tanpa alasan yang tepat, kecuali perbedaan-perbedaan waktu ketika buku-buku tersebut ditulis. Buku-buku lama tidak seberapa banyak menghidangkan cerita yang aneh-aneh itu dibandingkan dengan buku-buku yang datang kemudian. Peristiwa-peristiwa yang serba ajaib yang terdapat dalam buku-buku lama tidak begitu jauh dari jangkauan akal, dibandingkan dengan yang terdapat dalam buku penulis-penulis yang belakangan. Buku Sirat Ibn Hisyam misalnya – sebagai buku biografi tertua yang pernah dikenal sampai sekarang — tidak banyak menyebutkan apa yang disebutkan oleh Abu’l-Fida’ dalam Tarikhnya, atau seperti apa yang disebutkan oleh Oadzi Iyadz dalam Asy-Syifa’, juga seperti yang disebutkan dalam buku penulispenulis kemudian.

 

Begitu juga tentang buku-buku hadis dengan segala perbedaannya yang ada: Ada yang mengemukakan satu cerita, yang lain menghilangkannya, ada pula yang menambahkan. Dalam mengadakan pembahasan ilmiah dalam buku-buku demikian seorang penyelidik harus membuat sebuah kriterium yang dapat mengukur mana-mana yang cocok dan mana pula yang tidak. Mana-mana yang dapat dipercaya oleh kriterium itu, itu pula yang diakui oleh si penyelidik. Mana-mana yang tidak dapat dipercaya, ia akan dimasukkan ke dalam daftar pengujian kalau memang perlu diuji.

 

Dalam beberapa hal orang-orang dahulu memang menggunakan metoda ini, dan dalam hal yang lain tidak. Tentang cerita Sharani, misalnya yang menyebutkan bahwa ketika Nabi merasa kesal terhadap kepada pemuka-pemuka Quraisy maka lalu dibacakan Surah “an-Najm” Ketika sampai pada ayat:

 

“Adakah kamu perhatikan al-Lat dan al-“Uzza, dan Manat ketiga, yang terakhir?”

 

Dibacanya pula:

 

“Dan itu gharanig yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.”

 

Kemudian pembacaan Surah itu diteruskan sampai selesai. Nabi lalu sujud diikuti oleh kaum Muslimin dan kaum musyrik yang juga sama-sama bersujud.

 

Cerita ini dibawa oleh Ibn Sa’d dalam art-Tabaqar’I-Kubra dan tidak pula diberi suatu kritik. Dalam beberapa buku hadis sahih disebutkan juga adanya cerita gharanig ini dengan beberapa perbedaan. Tetapi Ibn Ishaq membawa cerita ini dengan mengatakan: “Itu berasal dari karangan Orang-orang atheis.” Juga dalam al-Bidaya wan-Nihaya fit-Tarikh Ibn Kathir menyebutkan: “Orang bicara tentang cerita gharanig ini. Tetapi lebih baik kita menghindari pembicaraan ini, supaya jangan ada orang yang mendengarnya lalu menempatkannya tidak pada tempatnya. Akan tetapi mulanya cerita ini memang terdapat dalam Shahih.” Kemudian ia menyebutkan sebuah hadis tentang ini melalui Bukhari dengan mengatakan: “Hanya Bukhari sendiri yang menyebutkan. Muslim -tidak.” Saya sendiri tidak ragu-ragu lagi akan menolak cerita ini dari dasarnya. Saya setuju dengan Ibn Ishaq, bahwa cerita ini adalah bikinan orang-orang atheis. Dalam menyanggah ini saya dapat menarik beberapa argumentasi, bukan saja karena dalam cerita tersebut terdapat kontradiksi, mengingat bahwa para rasul itu mendapat perlindungan dalam menyampaikan risalah Tuhan, tetapi juga saya bersandar pada kaedah-kaedah kritik ilmiah yang berlaku sekarang.

 

Faktor Waktu, ketika Cerita itu Ditulis

 

Sebab-sebab lain yang masih perlu diuji sehubungan dengan bukubuku lama itu, dengan mengadakan suatu kritik yang teliti menurut metoda ilmiah, ialah bahwa buku tertua yang pernah ditulis orang baru seratus tahun atau lebih kemudian sesudah Nabi wafat, dan sesudah meluasnya isu-isu — baik politik atau bukan politik — dalam dunia Islam, dengan menciptakan cerita-cerita dan hadis-hadis sebagai salah satu alat penyebaran. Apalagi kesan kita tentang yang ditulis orang kemudian, yang sudah mengalami zaman yang sangat kacau dan gelisah.

 

Pertentangan-pertentangan politik yang telah dialami oleh mereka yang mengumpulkan hadis — dengan membuang mana yang palsu dan mencatat mana yang dianggap sahih — menyebabkan mereka berusaha lebih berhati-hati lagi. Mereka berusaha melakukan ketelitian dalam menguji, supaya tidak sampai menimbulkan keragu-raguan. Orang akan cukup menyadari apa yang dialami Bukhari yang begitu susah-payah dengan perjalanan yang dilakukannya ke berbagai tempat dunia Islam, guna mengumpulkan hadis dan lalu mengujinya. Apa yang diceritakannya kemudian, bahwa dari hadis-hadis yang beredar yang dijumpainya sampai melebihi 600.000 buah itu, yang dipandang benar (sahih) olehnya tidak jebih dari hanya 4000 buah hadis saja. Ini berarti bahwa dari setiap 150 buah hadis yang dipandang benar olehnya hanya sebuah saja. Sedang pada Abu Daud, dari 500.000 buah hadis, yang dianggap sahih menurut dia hanya 4800 saja. Demikian juga halnya dengan penghimpun-penghimpun hadis yang lain. Banyak sekali dari hadis-hadis itu, yang oleh sebagian dianggap sahih, oleh ulama lain masih dijadikan bahan penelitian dan mendapat kritik. yang akhirnya banyak pula yang ditolak. Ini sama halnya dengan soal gharanig.

 

Jadi, kalau demikian inilah yang sudah terjadi dengan hadis, yang sudah demikian rupa diperjuangkan oleh para penghimpun hadis itu, apalagi dengan buku-buku sejarah hidup Nabi yang datang kemudian, bagaimana kita dapat mengandalkannya tanpa mengadakan penelitian dan pengujian ilmiah!

 

Pengaruh Pertentangan Politik dalam Dunia Islam

 

Sebenarnya, pertentangan politik yang terjadi sesudah permulaan sejarah Islam, telah menimbulkan lahirnya cerita-cerita dan hadis-hadis bikinan untuk mendukung maksud tersebut. Sampai pada saat-saat terakhir zaman Banu Umayya penulisan hadis belum lagi dilakukan orang. Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan supaya hadis-hadis itu dihimpun. Kemudian baru dikumpulkan pada zaman Ma’mun, yaitu Sesudah terjadi “Hadis yang sahih dalam hadis yang palsu itu seperti rambut putih pada kerbau hitam”, seperti kata Ad-Daraqutni. Danmungkin tidak dikumpulkannya hadis pada masa permulaan Islam karena seperti diberitakan bahwa Nabi berkata:

 

“Jangan menuliskan sesuatu tentang aku, selain Quran. Barangsiap, menuliskan itu selain Quran, hendaklah dihapus.”

 

Penghimpunan Hadis

 

Akan tetapi pada waktu itu hadis Nabi sudah beredar dari mulut ke mulut dan penceritaannya pun berbeda-beda. Umar ibn’I-Khattab ketika menjadi khalifah pernah mengambil langkah dalam hal ini dengan maksud akan menuliskan hadis-hadis itu. Ia minta pendapat sahabat-sahabat Nabi yang lain. Mereka pun memberikan pendapat yang sama. Selama sebulan lamanya ia melakukan istikharah, yang kemudian setelah mendapat ketetapan hati ia berkata:

 

“Saya bermaksud akan menulis hadis dan sunah, tapi saya takkan mencampuradukkan Quran dengan apapun.”

 

Penulisan hadis-hadis itu tidak jadi dilakukan. Ditulisnya surat ke kota-kota lain:

 

“Barangsiapa memilikinya supaya dihapuskan.”

 

Sesudah itu hadis-hadis terus juga beredar dan berkembang-biak, sehingga akhirnya terhimpun juga hadis-hadis yang dianggap sahih menurut para penghimpunnya, yakni pada masa Ma’mun.

 

Dengan segala usaha penelitian yang sudah tentu dilakukan oleh para penghimpun hadis itu, tapi masih banyak juga hadis-hadis yang oleh mereka sudah dinyatakan sahih itu, oleh beberapa ulama lain masih dinyatakan tidak otentik. Dalam Syarah Muslim Nawawi menyebutkan: “Ada golongan yang membuat koreksi terhadap Bukhari dan Muslim mengenai hadis-hadis itu sehingga syarat-syarat mereka tidak begitu dihiraukan dan mengurangi pula arti yang menjadi pegangan mereka, yaitu para penghimpun itu. yang sebagai kriterium mereka hanya berpegang pada sanad (askripsi) dan pada kepercayaan mereka kepada sumber cerita sebagai dasar: menerima atau menolak hadis itu. Ini memang suatu kriterium yang berharga. Tetapi itu saja tentu tidak cukup.

 

Bagi kita kriterium yang baik dalam mengukur hadis — dan mengukur setiap berita yang berhubungan dengan Nabi — ialah seperti yang pernah diceritakan orang tentang Nabi ‘alaihissalam ketika menyatakan:

 

“Kamu akan berselisih sesudah kutinggalkan. Maka (oleh karena itu) apa yang dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Quran. Mana yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan, bukan dari aku.”

 

Kriterium yang Sebenarnya tentang Hadis

 

Ini adalah suatu kriterium yang tepat, yang sudah menjadi pegangan pemuka-pemuka Islam sejak permulaan sejarah Islam. Dan sampai sekarang mereka sebagai ahli pikir masih berpegang pada ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Khaidun: “Saya tidak percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga tidak percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang bertentangan dengan Quran, sekalipun ada orang-orang yang memperkuatnya. Beberapa pembawa hadis dipercayai karena keadaan lahirnya yang dapat mengelabui, sedang batinnya tidak baik. Kalau sumber-sumber itu dikritik dari segi marn (teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah mengatakan: bahwa tanda hadis maudzu’ (buatan) itu, ialah yang bertentangan dengan kenyataan Quran atau dengan kaedahkaedah yang sudah ditentukan oleh hukum agama (syariat) atau dibuktikan oleh akal atau pancaindera dan ketentuan-ketentuan axioma lainnya.”

 

Kriterium inilah yang terdapat dalam hadis Nabi tersebut. Dan apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun tadi sesuai sekali dengan kaedah kritik miah modern sekarang.

 

Sebenarnya, perselisihan kaum Muslimin sudah mencapai puncaknya setelah ditinggalkan Nabi, sehingga menimbulkan adanya ribuan hadis dan sumber-sumber yang saling bertentangan. Sesudah Abu Lu’lu’a, bujang Al-Mughira, membunuh Umar ibn’I-Khattab, dan sesudah Usman bin Affan memangku jabatan khalifah, permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya yang terjadi sebelum Islam mulai timbul lagi.

 

Setelah Usman terbunuh, perang saudara antara kaum Muslimin Punpecah. Aisyah melawan Ali dan Ali pun mendapat pendukungnya pula

 

Maka mulailah hadis-hadis buatan bertambah banyak, sampai-sampai Ali bin Abi Talib sendiri menolaknya. Konon dia berkata:

 

“Tak ada kitab pada kami yang dapat kami bacakan kepada kamu kecuali apa yang ada dalam Quran. Dan apa yang ada dalam kitab itu kuterima dari Rasulullah, terdapat kewajiban-kewajiban sedekah.”

 

Akan tetapi ini tidak mengalangi para penyiar hadis itu melancarkan ceritanya, tidak mengalangi adanya golongan tertentu membuat-buar hadis karena sesuatu ambisi atau karena maksud-maksud baik dengan mengajak pula orang lain. Mereka menduga orang lain akan senang sekali menerimanya bila hadisnya itu dihubung-hubungkan kepada Rasulullah,

 

Sesudah keadaan Bani Umayya stabil, juru-juru hadis yang ada hubungannya dengan Keluarga Umayya itu berusaha melemahkan semua hadis tentang Ali bin Abi Talib dan jasa-jasanya. Sementara oleh pembela-pembela Ali dan keluarga Nabi hadis-hadis itu ditambah-tambah serta berusaha pula menyebarkannya dengan segala cara. Sebaliknya segala yang datang dari Aisyah Umm-I’Mu’minin oleh mereka dialang. alangi.

 

Yang aneh lagi dalam hal ini ialah apa yang diceritakan oleh Ibn “Asakir dari Abu Sa’d Ismail bin Muthanna al-Astrabadhi. Tatkala ia sedang berkhutbah di Damsyik, salah seorang yang hadir bertanya tentang hadis Nabi yang berbunyi: “Saya gudang ilmu dan Ali pintunya” Ismail menekur sebentar, lalu diangkatnya kepalanya seraya katanya: “Ya, tak ada yang mengetahui hadis ini dari Nabi, kecuali yang hidup pada masa permulaan Islam. Akan tetapi Nabi berkata: “Saya gudang ilmu, Abu Bakr fondasinya, Umar dindingnya, Usman atapnya dan Ali pintunya.” Dengan demikian para hadirin puas rasanya. Tetapi ketika diminta kepadanya supaya menerangkan sanadnya, ia merasa gusar sekali karena memang tidak mampu.

 

Begitulah hadis-hadis itu dipalsukan orang karena memang ada maksud zolitik atau kemauan-kemauan insidentit lainnya. Demikian banyaknya hadis-hadis palsu itu sehingga kaum Muslimin kemudian terkejut sekali, karena ternyata banyak pula yang tidak cocok dengan yang ada dalam Kitabullah. Usaha hendak menghentikannya pun sudah banyak pula dikerahkan pada zaman Umayya, tapi tidak juga berhasil.

 

Penghimpunan Hadis pada Masa Ma’mun

 

Bagaimanapun juga pada masa dinasti Abbasia dan Ma’mun yang berkuasa dua abad kemudian sesudah Nabi wafat, puluhan atau ratusan ribu hadis-hadis maudzu’ (buatan) itu sudah tersebar — di antaranya terdapat banyak yang lemah dan kontradiksi sekali, yang tidak diduga semula. Pada waktu itulah para penghimpun hadis dan penulis-penulis biografi Nabi juga menuliskan biografinya. Al-Wagidi, Ibn Hisyam dan Al-Mada’ini hidup dan menuliskan buku-buku itu pada masa Ma’mun. Baik mereka ini atau yang lain pada waktu itu, karena takut akibatnya, tidak ada yang berani menentang pendapat khalifah. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang harus mendapat penelitian mana kriterium yang menurut suatu sumber berasal dari Nabi a.s., yakni dengan mencocokkannya kepada Quran sebagaimana mestinya, tidak mereka pakai lagi, yaitu: mana-mana yang cocok dengan Quran, adalah dari Rasul dan yang tidak, bukan dari Rasul.

 

Sekiranya kriterium itu dipakai dengan penelitian sebagaimana mestinya, segala yang sudah ditulis oleh tokoh-tokoh itu niscaya akan berubah. Kritik ilmiah menurut metoda modern samasekali tidak berbeda dari kriterium ini. Akan tetapi situasi masa itu mengharuskan tokoh-tokoh tersebut menyesuaikan kriterium mereka itu untuk sesuatu golongan, sedang untuk golongan lain tidak pula demikian. Cara-cara ini dalam penulisan sejarah hidup Nabi oleh penulis-penulis kemudian telah diwarisi juga dari orang-orang dahulu, dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain dari pertimbangan mereka itu. Kalau orang mau berlaku jujur terhadap sejarah, tentu mereka menyesuaikan hadis itu dengan sejarah hidup Nabi, baik dalam garis besar, maupun dalam perinciannya, tanpa mengecualikan sumber lain, yang tiduk cocok dengan yang ada dalam Quran. Mana yang tidak sejalan dengan hukum alam dan tidak tersebut pula dalam Kitabullah tidak perlu mereka catat. Yang tidak sejalan dengan hukum alam itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah itu baru diperkuat dengan yang ada pada mereka, disertai pembuktian yang positif, dan mana-mana yang tak dapat dibuktikan seharusnya ditinggalkan.

 

Pendapat cara ini telah dijadikan pegangan oleh imam-imam terkemuka dari kalangan Muslimin dahulu, dan beberapa imam lain pun mengikuti mereka sampai sekarang. Syaikh Muhammad Mustafa alMaraghi dalam kata perkenalan buku ini menyebutkan: “Kekuatan mukjizat Muhammad s.a.w. hanyalah dalam Quran, dan mukjizat ini sungguh rasional adanya. Sajak Bushiri berikut ini memang indah sekali:

 

“Tidak juga sampai kita dicoba

Yang akan meletihkan akal karenanya

karena sayangnya kepada kita

 

Kita pun tak ragu, kita pun tak sangsi.”

 

Almarhum Sayid Muhammad Rasyid Ridza, Redaktur majalah Al Manar dalam menjawab kritik orang yang menentang buku kita ini menulis: “Kalangan Al-Azhar dan pengikut-pengikut tarikat yang paling keberatan terhadap Haekal sebagian besar mengenai mukjizat-mukjizat, dan hal-hal yang ajaib-ajaib di luar kebiasaan. Pada pasal dua bagian dua dan pasal lima dalam buku Al-Wahy’I-Muhammadi, dari segala segi dan persoalannya mengenai hal ini, ada saya tulis, bahwa hanya Quranlah satu, satunya pembuktian Tuhan yang positif khusus tentang kenabian Muhammad s.a.w. dan kenabian para Nabi yang lain. Ciri-ciri mereka zaman kita sekarang ini tak dapat dibuktikan tanpa kenyataan tersebut.

 

“Masalah-masalah alam gaib (supernatural) adalah masalah-masalah yang diragukan, bukan suatu pembuktian yang meyakinkan menurut para ahli. Hal tersebut terdapat juga pada zaman kita ini, dan terdapat juga pada setiap zaman. Mereka yang masih terpesona oleh masalah semacam itu, adalah orang-orang yang suka pada takhayul yang memang terdapat pada setiap aliran kepercayaan. Saya terangkan juga sebab timbulnya daya tarik itu serta perbedaan-perbedaan mana yang umumnya termasuk hukum alam, hukum rohani dan lain-lain.” (Majalah Al-Manar, 3 Mei 1935).

 

Syaikh Muhammad Abduh pada bagian pertama buku Al-Islam wan-Nashrania (Islam dan Kristen) menyebutkan: “Dengan adanya ajaran dan tuntutan terhadap keimanan kepada Allah dan keesaan-Nya, Islam tidak memerlukan apa-apa lagi selain pembuktian rasional dan pemikiran insani yang sejalan dengan ketentuan yang wajar. Orang tidak perlu bingung terhadap hal yang gaib, tidak perlu menutup mata terhadap kejadian-kejadian yang tidak biasa, tidak perlu membisu karena ada ledakan dari langit, dan pikiran kita pun jangan terputus karena pekikan yang membawa suara suci. Kaum Muslimin sudah sepakat — kecuali sejumlah kecil dengan pendapat yang tidak berarti – bahwa kepercayaan kepada Allah adalah mendahului kepercayaan kepada nabi-nabi. Tidak mungkin orang percaya kepada rasul-rasul, sebelum ia beriman kepada Allah, sedang beriman kepada Aliah melalui ucapan para rasul atau melalui kitab-kitab suci, tidak dibenarkan. Sungguh tidak masuk akal Orang akan percaya kepada adanya kitab yang diturunkan Allah, jika sebelum itu kita tidak percaya akan adanya Allah. Maka Dialah yang harus menurunkan kitab dan mengutus rasul.”

 

Cerita-cerita Tidak Masuk Akal dan Tidak Ilmiah

 

Saya kira mereka yang pernah menulis sejarah hidup Nabi akan lebih condong pada pandangan semacam ini, kalau tidak karena situasi pada masa mereka dahulu dan kalau tidak karena dugaan mereka yang datang kemudian bahwa dengan menyebutkan peristiwa-peristiwa gaib dan mukjizat-mukjizat yang tidak terdapat dalam Quran itu akan menanamkan rasa keimanan dalam hati orang lebih dalam lagi. Oleh karena itu mereka menduga pula, bahwa dengan menyebutkan mukjizat-mukjizat itu akan berguna sekali, dan tidak akan merugikan. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini dan menyaksikan betapa musuh-musuh Islam itu mempergunakan apa yang mereka sebutkan itu sebagai argumen mereka menghantam Islam dan umat Islam, niscaya mereka akan berpegang pada apa yang ada dalam Quran, mereka akan berkata seperti Imam Ghazali, Muhammad Abduh, Maraghi dan pemuka-pemuka lain yang cukup teliti. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini, dan menyaksikan betapa cerita-cerita demikian itu menyesatkan hati dan kepercayaan orang — bukan sebaliknya, menanamkan dan menguatkan iman — niscaya cukuplah mereka menyebutkan saja ayat-ayat Quran yang begitu jelas dengan dalil-dalil yang memang sudah tak dapat dibantah lagi.

 

Adapun dari segi yang merugikan cerita-cerita yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula ilmiah itu sudah jadi jelas sekali: bagi setiap orang yang mau menggarap masalah-masalah serupa ini hendaknya selalu berpegang pada segi ketelitian ilmiah dalam mengadakan pengujian, demi pengabdiannya kepada kebenaran, kepada Islam dan kepada sejarah Nabi. Kebenaran-kebenaran yang diungkapkan oleh hasil penyelidikan dalam sejarah yang besar ini, adalah sebagai penyuluh yang akan membawa umat manusia kepada peradaban yang sebenarnya.

 

Quran dan Mukjizat

 

Kalau beberapa masalah yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis kita perbandingkan dengan apa yang terdapat dalam Quran, tentu tak bisa lain kita akan menerima pendapatpendapat para imam yang sangat teliti itu. Pada waktu itu penduduk Mekah minta kepada Nabi berbangsa Arab itu supaya Tuhan menurunkan mukjizat-mukjizat kepadanya, kalau ia ingin supaya mereka mempercayainya. Maka Quran datang menyebutkan apa yang mereka minta itu dan menolaknya dengan beberapa argumen:

 

“Dan kata mereka: “Kami takkan percaya kepadamu, sebelum kau pancarkan mata air untuk kami dari bumi ini. Atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, dan di tengah-tengahnya memancar sungai-sungai yang deras mengalir. Atau seperti kau terangkan kepada kami kau jatuhkan langit berkeping-keping. Atau kau datangkan Tuhan dan malaikat-malaikat itu berhadap-hadapan dengan kami. Atau engkau mempunyai sebuah mahligai berhiaskan emas. Atau engkau naik ke langit, dan kenaikanmu itu tidak akan kami percayai, sebelum kau bawakan sebuah kitab kepada kami yang akan kami baca?” Ya, katakan: Maha Sucj Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?

 

“Mereka bersumpah sungguh-sungguh demi Allah, bahwa jika sebuah tanda (mukjizat) dibuktikan kepada mereka, niscaya mereka akan mem, percayainya. Katakan: tanda-tanda itu hanya ada pada Allah. Tapi, sadarkah kamu, bahwa kalaupun itu dibuktikan, mereka tidak juga akan percaya? Juga akan Kami balikkan jantung dan pandangan mata mereka: karena tidak mempercayainya pada pertama kali. Dan akan Kami biarkar mereka mengembara membawa durhaka. Kalaupun Kami kirimkan malaikat-malaikat kepada mereka dan mayat-mayat pun mengajak mereka bicara, lalu segalanya Kami kumpulkan di depan hidung mereka, tidak juga mereka akan mau beriman, kecuali bila Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti.”?

 

Di dalam Quran tidak ada disebutkan sesuatu mukjizat yang oleh Allah dimaksudkan supaya segenap manusia — menurut zamannya masing. masing — mempercayai kerasulan Muhammad, selain daripada Quran, Padahal, beberapa mukjizat disebutkan dengan izin Allah terhadap para rasul yang datang sebelum Muhammad sama halnya seperti apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada Muhammad serta dari percakapan yang ditujukan kepadanya. Apa yang tersebut dalam Quran tentang Muhammad, samasekali tidak bertentangan dengan hukum alam. Mukjizat Terbesar

 

Kalau memang sudah itu yang digariskan oleh Quran dan begitu pula yang terjadi terhadap diri Rasulullah, apa lagi yang mendorong setengah kaum Muslimin — baik pada masa dahulu ataupun sekarang — menerapkan mukjizat-mukjizat kepada Nabi? Mereka terdorong demikian, karena mereka membaca dalam Quran adanya mukjizat-mukjizat pada para rasul sebelum Muhammad. Lalu mereka berkeyakinan, bahwa keajaibankeajaiban materi (mukjizat-mukjizat) semacam itu perlu juga melengkapi kerasulan Muhammad. Mereka lalu percaya tentang itu sekalipun dalam Quran tidak disebutkan. Mereka pun menduga, bahwa makin banyak jumlah mukjizat-mukjizat itu, akan makin kuat membuktikan kedudukan Nabi, akan makin besar pula merangsang orang beriman kepada kerasulan itu. Memperbandingkan Nabi dengan para rasul yang sebelumnya, ada perbedaannya. Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir. Sekalipun begitu dia adalah Rasul pertama diutus Allah kepada seluruh umat manusia — bukan diutus hanya kepada bangsanya saja — supaya memberi penerangan.

 

Oleh karena itu Allah menghendaki supaya mukjizat Muhammad itu adalah mukjizat insani yang rasional, yang masuk akal, yang takkan dapat ditiru, baik oleh manusia maupun jin, sekalipun mereka satu sama lain saling membantu. Mukjizat itu ialah Quran. Ini adalah mukjizat terbesar yang pernah diberikan Allah. Dengan itu Tuhan menghendaki akan memperkuat kerasulan Nabi-Nya itu dengan argumen yang jelas dan dalil yang tak dapat dibantah. Ia menghendaki — dengan itu — agar agama ini mendapat kemenangan pada masa hidup Rasul, supaya dalam kemenangan itu orang melihat kemahakuasaan-Nya. Kalau Tuhan menghendaki adanya mukjizat yang akan membuat mereka yang hidup pada masa Nabi merasa puas, tentu itu akan disebutkan dalam Quran. Tapi ada orang yang tidak mau percaya kalau tidak dibuktikan dengan akal. Karena itu maka ayat yang akan meyakinkan seluruh umat manusia akan kerasulan Muhammad itu ialah yang dekat sekali hubungannya dengan jantung dan pikiran mereka. Maka Allah telah memperlihatkan itu dalam bentuk Quran, sebagai argumen yang paling nyata dan sebagai mukjizat kepada mereka dari Nabi yang umrmni itu. Ia memperlihatkan kemenangan agama dan kekuatan iman kepadanya itu dengan melalui dalil dan keyakinan yang positif. Agama yang dibangun atas dasar inilah yang lebih kuat menanamkan iman ke dalam hati umat manusia sepanjang zaman, kepada pelbagai bangsa dan aneka macam bahasa.

 

Iman Menurut Pemuka-pemuka Islam

 

Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman kepada agama ini sekarang, dan sebagai argumennya supaya ia yakin dan percaya, tidak ada sesuatu mukjizat lain daripada Quran, niscaya itu tidak akan mengurangi imannya, juga tidak akan pula kurang Islamnya. Selama wahyu itu memang bukan bertugas membawa mukjizat-mukjizat semacam itu, tak ada salahnya apabila orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya itu mau menguji lagi segala yang mengenai mukjizat, yang ada hubungannya dengan wahyu itu. Mana yang dapat dibuktikan dengan alasan positif dapat saja diterima, dan mana yang tak dapat dibuktikan, terserah pada pendapatnya sendiri. Ia pun tidak salah. Beriman kepada Allah yang tunggal tiada bersekutu memang memerlukan suatu mukjizat, dan untuk itu cukup dengan merenungkan alam semesta yang telah diciptakan Allah. Begitu juga, sebagai bukti kerasulan Muhammad, yang dengan perintah Tuhan mengajak manusia beriman serta menyelamatkan mereka agar jangan berpaling hati, juga tidak memerlukan sesuatu mukjizat selain Quran: tidak diperlukan lebih Yaripada membacakan Kitab Suci yang telah diwahyukan Allah kepadanya ltu.

 

Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman kepada agama ini sekarang, dan untuk meyakinkan itu tidak diperlukan Sesuatu mukjizat lain daripada Quran, niscaya orang yang pernah beriman itu akan terdiri dari dua macam: pertama orang yang sudah tidak tergoyahkan lagi hatinya: sejak pertama kali ia mendapat ajakan, hatinya Sudah terbuka menerima iman, seperti halnya yang terjadi dengan Aby Bakr. Ia beriman dan percaya tanpa ragu-ragu lagi. Yang kedua, Orang yang untuk imannya itu sudah tidak perlu lagi mencari mukjizat-mukjizar lain dari pihak hukum alam, melainkan dicarinya di dalam penciptaan alam yang luas ini. Jangkauan persepsi kita terbatas sekali. Perbatasan alam dalam arti ruang dan waktu, tak dapat kita tangkap. Sungguhpun demikian ketentuan-ketentuan itu berjalan menurut hukum yang tidak berubah-ubah dan tidak pula bertukar-tukar. Melalui undang-undang Tuhan yang ada dalam alam ini ia akan terbimbing sampai kepada Penciptanya.

 

Buat dua macam golongan ini sama saja: baik dengan mukjizat atau tidak. Bahkan keduanya tak pernah memikirkan tentang mukjizat. mukjizat itu selain daripada, bahwa itu adalah bukti karunia Tuhan. Iman yang semacam inilah yang menurut pendapat bilangan besar pemuka. pemuka Muslimin sebagai bentuk iman yang tertinggi. Yang sebagian lagi berpendapat, bahwa sumber iman yang sejati seharusnya jangan karena takut kepada siksa Allah atau karena mengharapkan pahalaNya, melain. kan harus iman itu semata-mata karena Allah serta fana total ke dalam Ego Tuhan. Kepada-Nyalah semua persoalan itu akan kembali. Kita adalah kepunyaan Allah dan kepada-Nya pula kita kembali. Orang-orang Mukmin pada Masa Nabi

 

Orang-orang sekarang yang sudah beriman, mereka beriman kepada Allah dan Rasul tanpa didorong oleh adanya mukjizat-mukjizat, sama halnya seperti mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul itu pada masa hidup Nabi. Sejarah tidak menyebutkan, bahwa mukjizat-mukjizat Itu pernah membuat orang jadi beriman. Malah bukti mukjizat Tuhan terbesar ialah wahyu yang diturunkan melalui Nabi-Nya, dan peri hidup Nabi sendiri dengan akhlaknya yang begitu tinggi, itulah yang mengajak orang jadi beriman. Semua buku sejarah hidupnya menyebutkan bahwa ada segolongan orang yang sudah beriman kepada kerasulan Muhammad sebelum Isra telah jadi murtad dari imannya tatkala Nabi menyebutkan, bahwa Tuhan telah memperjalankannya pada malam hari dari Mesjid Suci ke Mesjid Aqsha. Tatkala mengejar Muhammad yang sedang hijrah ke pedulikan kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apa pun — seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota — selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.

 

Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan ketidakadilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau melawannya matimatian, dan kalau tidak dapat melawan, ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.

 

Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akari makin hilang apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.

 

Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidakkan taat kepada peraturan apa pun yang berlaku atau kepada lembaga apa pun yang berkuasa.

 

Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang kecilkecil yang tumbuh di sekitar jazirah karena adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan mara bahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka selamat sampai di tempat tujuan.

 

Kota-kota seperti Mekah, Ta’if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian itu. Dalam Susunan kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat Serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, Sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang menetap, yang “Adakah air itu kamu jamah? Jawab mereka: Ya. Lalu Nabi s.a.y, memarahi mereka dan dikata-katakannya mereka itu.” |

 

Katanya: Lalu mereka menciduk mata air itu dengan tangan mereka sedikit-sedikit sampai dapat ditampung dalam sebuah tempat. Katanya: Rasulullah s.a.w. lalu mencuci kedua tangan dan mukanya dengan itu. Kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya. Maka mata air itu pun lalu memercikkan air berlimpah-limpah — atau katanya deras — Abu Ali sangsi yang mana yang dikatakan — sehingga orang-orang pun mendapatkan air itu. Kemudian katanya:

 

“Mu’adh, kalau kau masih akan panjang umur kau akan melihat di sini penuh dengan kebun-kebun.”!

 

Sedang buku-buku sejarah hidup Nabi menceritakan kisah Tabuk itu lain lagi gambarannya. Dalam cerita itu soal mukjizat tidak disebut-sebutkan. Tapi ceritanya berjalan lain sekali, tidak sama dengan yang terdapat dalam Shahih Muslim. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Ibn Hisyam dengan menyebutkan:

 

“Ibn Ishaq mengatakan: Sesudah tiba waktu pagi dan air tidak ada, mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w. berdoa. Maka Allah mengirimkan awan dan hujan pun turut. Orang-orang dapat minum dan dapat membawa air menurut keperluan mereka. Ibn Ishaq mengatakan: Maka “Ashim b. Umar b. Qatada menceritakan kepada saya, lewat Mahmud b. Labid melalui orang-orang dari Banu Abd’1 Asyhal, mengatakan, kataku kepada Mahmud: Adakah di antara orang-orang itu yang sudah dapat membeda-bedakan saudara, bapa, paman dan keluarganya. Lalu kata Mahmud lagi: Beberapa orang dari golongan saya mengatakan tentang adanya orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya. Ia selalu pergi bersama Rasulullah s.a.w. ke mana saja. Demikian juga mengenai soal air di Hijr dan mengenai Rasulullah s.a.w. yang berdoa, sehingga Allah mengirimkan awan, dan turunnya air hujan. Orang-orang dapat minum. Kata mereka kami mendatanginya seraya mengatakan: Apalagi sesudah itu!? Katanya: Awan lalu.”

 

Adanya perbedaan ini di mata ilmu pengetahuan sebenarnya tidak mudah untuk dapat dipastikan. Orang yang mau menguji ini jangan hanya berpegang pada pendapat yang lebih besar dan berpengaruh saja dengan dua macam sumber yang berlain-lainan, yang satu tak dapat menguatkan, yang lain tak dapat pula membantah. Apabila mereka memang tak dapat menguatkan sumber itu, paling kurang mendiamkannya. Jika nanti ada orang lain yang menemukan bukti-bukti positif, sudahlah, kalau tidak, dalam arti ilmiah ia tetap belum dapat dipastikan.

 

Metoda Saya dalam Penyelidikan ini

 

Inilah metoda yang saya pakai dari semula, ketika saya mengadakan penyelidikan mengenai peri hidup Muhammad pembawa risalah Islam ini. Sejak terniat oleh saya akan membuat karangan ini, memang yang saya kehendaki ialah suatu studi ilmiah sesuai dengan metoda ilmu pengetahuan sekarang, demi kebenaran semata-mata. Itu jugalah yang saya sebutkan dalam prakata buku ini, dan yang menjadi harapan saya pada penutup cetakan pertama buku ini. Mudah-mudahan maksud saya itu dapat terlaksana dan usaha ini pun sudah merupakan suatu penyelidikan ilmiah demi kebenaran ilmiah semata. Saya harapkan dengan ini bahwa saya telah merintis jalan ke arah penyelidikan-penyelidikan dalam bidang yang sama dengan lebih luas dan dalam, meliputi masalah-masalah psikologi dan spiritual, yang pada dasarnya akan mengantarkan umat manusia kepada peradaban modern yang sama-sama kita cari itu. Saya yakin bahwa dengan mendalami penyelidikan demikian ini, rahasiarahasia akan banyak diketemukan orang, suatu hal yang pada mulanya diduga tak ada jalan bagi iimu pengetahuan akan dapat mengungkapkannya. Tetapi kemudian ternyata, penyelidikan-penyelidikan psikologi dalam hal ini dapat memberikan analisa dan menjelaskan sejelas-jelasnya kepada segenap kaum cendekiawan. Rahasia-rahasia alam semesta dalam arti spiritual dan psikologis itu makin dikenal oleh umat manusia, hubungannya dengan alam pun akan makin erat, dan akan bertambah pula ia merasa bahagia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih tersembunyi, seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudian pun diketahui orang pula.

 

Oleh karena itu, setiap orang yang mau menggarap penyelidikan seperti ini, seharusnya itu ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya kepada kaum Muslimin saja. Tujuan pekerjaan ini pun sebenarnya tidak bersifat agama semata-mata — seperti mungkin ada yang menduganya demikian — melainkan tujuan sebenarnya ialah agar umat Manusia mengenal bagaimana ia harus menempuh jalan yang akan mengantarkan, nya kepada hidup yang lebih sempurna, yang oleh Muhammad sudah ditunjukkan jalannya kepada kita. Guna memahami tujuan itu memang tidak mudah, bila orang bclum mendapatkan jalan ini dengan hati terbuka dengan dada yang lapang. Sumber daripada ini semua ialah pengetahuan dan ilmu yang sebenarnya. Pemikiran yang tidak dilandasi oleh pengeta, huan, tidak didasarkan kepada metoda-metoda ilmiah, sering akan membawa hasil yang salah dan meleset. Karena itu malah jauh dari tujuan sebenarnya. Kodrat kita sebagai manusia akan membuat pemikiran kita besar sekali terpengaruh oleh temperamen (watak) kita sendiri. Sering juga mereka yang bersamaan ilmunya berbeda-beda pula pemikirannya Tidak lain sebabnya ialah karena adanya perbedaan temperamen itu sekalipun dalam mencapai maksud dan tujuan mereka sama jujur. Ada orang yang temperamennya tinggi, pemikirannya tajam, cepat bereaksi Ada pula yang punya kecenderungan sufi, bawaannya stoik (tenang), menjauhi segala yang bersifat kebendaan serta pengaruhnya. Ada juga yang punya kecenderungan materialistik yang begitu besar, terpengaruh oleh segi materialismanya saja, sehingga tak dapat lagi ia memikirkan adanya tenaga-tenaga lain yang dapat dirasakan, yang ada di sekitarnya, yang sebenarnya menguasai benda (materi) itu.

 

Di samping itu banyak lagi yang lain. Karena temperamen mereka yang berbeda-beda, maka berbeda pula pandangan dan penilaian mereka terhadap sesuatu. Dalam bidang kulturil dan kehidupan praktis, perbeda. an ini merupakan suatu kenikmatan besar bagi umat manusia, tapi dalam bidang ilmu dan nilai-nilai hidup yang lebih tinggi, yang hendak mencari kebaikan bagi seluruh umat manusia, hal ini merupakan suatu bencana. Tujuan studi sejarah hendaknya mencari nilai-nilai yang lebih tinggi dari hakekat hidup itu, dan hendaknya dapat pula menghindari pengaruhpengaruh emosi dan temperamen itu. Tak ada jalan lain dalam menghindarkan diri dari hal semacam itu kecuali bila orang benar-benar mau disiplin terhadap metoda ilmiah, dan jangan pula ilmu dan pembahasan ilmiah tentang sejarah atau bukan tentang sejarah itu hanya sebagai alat guna memperkuat nafsu dan tingkah laku sendiri. Penyelidikan-penyelidikan Para Orientalis

 

Dari kalangan Orientalis yang dalam penyelidikan mereka disusun dalam pola ilmiah itu, masih banyak yang terpengaruh oleh tingkah laku dan temperamen demikian itu, juga tidak sedikit dari kalangan penulispenulis Muslimin sendiri yang demikian. Dan anehnya, kedua mereka itu masing-masing mengikuti apa yang enak saja menurut selera dan kecenderungan mereka sendiri — dengan mengambil peristiwa-peristiwa yang dipakainya sebagai dasar penulisan mereka, yang katanya ilmiah, dengan maksud demi kebenaran. Dalam pada itu ia masih terpengaruh sekali oleh temperamen dan kecenderungan nafsunya sendiri. Sebagai bukti, bagaimanapun mereka masing-masing berusaha secara jujur dan teliti mau menguji satu sama lain tentang apa yang mereka tulis, namun pasti yang terbayang depan mata mereka, ialah peristiwa-peristiwa yang diciptakan oleh khayal mereka sendiri juga.

 

Sekiranya orang mau berusaha menurut kemampuannya, melepaskan diri dari hawa nafsu, dan berpegang hanya pada cara-cara ilmiah saja, tentu tulisan demikian itu akan lebih kuat berpengaruh dalam jiwa, tidak seperti tulisan yang dipengaruhi oleh nafsu belaka. Saya sudah mencoba seperlunya menerangkan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan itu masingmasing — dalam pengantar cetakan kedua ini — seringkas mungkin, disesuaikan dengan tempat yang ada ini pula. Mudah-mudahan berhasil juga kiranya saya mencari kejujuran yang dimaksud itu.

 

Memang tidak mudah bagi kaum Orientalis itu dalam menyelidiki masalah-masalah Islam demikian atau mengadakan penelitian dengan bersikap jujur, betapa pun mereka mau berniat baik dan bersikap bebas dalam penelitian ilmiah itu. Tidak mudah bagi mereka menguasai semua seluk-beluk bahasa Arab sekalipun ilmu bahasa itu sudah mereka kuasai. Ditambah lagi mereka masih terpengaruh oleh cara hidup Kristen Eropa demikian rupa, sehingga kebanyakan mereka memandang agama-agama itu dengan pandangan penuh prasangka pula, sedang sebagian kecil lagi, yang masih memegang ajaran Kristennya, terpengaruh pula oleh adanya pertentangan agama Kristen dengan ilmu pengetahuan. Maka dalam penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Islam, mereka pun lalu terpengaruh seperti dalam penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Kristen atau tentang agama pada umumnya. Maksud saya ialah terpengaruh oleh pertentangan yang merusak. Bagi kaum Orientalis yang jujur ini bukan suatu hal yang tercela. Tak ada orang yang dapat membebaskan diri dari ketentuan-ketentuan lingkungannya sesuai dengan tempat dan waktu.

 

Akan tetapi, penyelidikan-penyelidikan mereka dalam masalah-masalah Islam masih diliputi oleh kabut purbasangka, yang jauh dari kebenaran. Karena itu juga, beban yang berat dan penting itu, hendaknya dipikulkan ke atas bahu para cendekiawan dari kalangan dunia Islam sendiri, baik yang aktif dalam ilmu agama atau dalam bidang ilmu lainnya, yakni beban melakukan pembahasan-pembahasan mengenai Islam secara teliti dan jujur, dalam lingkungan metoda yang ilmiah. Kalau mereka melakukan itu, dengan bantuan pengetahuan mereka mengenai selukbeluk bahasa Arab dan kehidupan orang Arab, maka penyelidikan mereka ini akan ada artinya sehingga akan membuat Orientalis-orientalis itu — atau sekurang-kurangnya sebagian dari mereka — meninjau kembali sebagian besar pendapat mereka itu. Mereka akan dapat diyakinkan dengan hasi yang diperoleh oleh kaum cendekiawan Islam itu dengan rasa puas dan senang hati.

 

Kaum Muslimin dan Penyelidikan

 

Untuk mencapai hasil demikian ini pun bukan soal yang mudah. la memerlukan kesabaran dan kegigihan dalam penyelidikan itu, perly mengadakan perbandingan dan pemikiran yang bebas. Tapi itu bukan suatu hal yang tidak mungkin, juga bukan soal yang terlalu sulit Sungguhpun begitu ini adalah soal penting sekali dan akan besar pula pengaruhnya bagi hari kemudian Islam dan hari kemudian seluruh umar manusia.

 

Menurut hemat saya, melakukan pekerjaan ini sebaiknya harus dibedakan dulu antara dua perioda yang berlain-lainan dalam sejarah Islam: Yang pertama, dari permulaan Islam hingga terbunuhnya Usman. Yang kedua, dari terbunuhnya Usman hingga tertutupnya pintu ijtihad Pada perioda pertama kaum Muslimin masih sepenuhnya kompak, belum dirusak oleh cerita-cerita perbedaan tentang khilafat, juga tidak oleh perang Ridda atau oleh penaklukan kaum Muslimin atas beberapa daerah yang sudah mereka kuasai.

 

Tetapi sesudah Usman terbunuh, perselisihan di kalangan kaum Muslimin mulai berjangkit. Perang saudara antara Ali dan Muawiyah pecah dan pemberontakan-pemberontakan terus berkecamuk, kadang terang-terangan, kadang dengan sembunyi-sembunyi. Ambisi politik telah memegang peranan penting dalam kehidupan agama. Guna menilai adanya kontradiksi itu, dapatlah orang membandingkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pidato Abu Bakr sesudah pelantikannya (sebagai khalifah) tatkala ia berkata: “Kemudian, saudara-saudara. Saya sudah dijadikan penguasa atas kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku tidak baik, luruskanlah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta adalah pengkhianatan. Orang lemah di kalangan kamu adalah kuat sesudah haknya nanti saya berikan kepadanya insya Allah, dan yang kuat bagi saya adalah lemah sesudah haknya itu nanti saya ambil, insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tapi apabila saya membangkang terhadap (perintah) Allah dan Rasul, maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian”, — dengan pidato Mansur dari Banu Abbas, yang sesudah ia mencapai puncak mahligainya mengatakan: “Saudara-saudara, saya adalah penguasa kamu dengan anugerah dan dukungan-Nya. Saya adalah pengawal harta-Nya. Saya melaksanakan ini atas kehendak-Nya dan keinginan-Nya, memberikan harta atas perkenanNya. Allah telah menjadikan saya sebagai kunci. Kalau dikehendaki-Nya akan dibuka, maka dibuka-Nyalah saya, supaya dapat memberikan dan membagi-bagi rezeki kamu. Kalau Ia menghendaki menutup saya, maka ditutup-Nyalah saya……”

 

Biarlah orang membandingkan sendiri kedua macam pidato itu supaya dapat melihat perubahan yang begitu besar atas prinsip-prinsip kehidupan Islam selama masa kurang dari dua abad, suatu perubahan yang mengalihkan cara musyawarah kaum Muslimin, kepada kekuasaan mutlak yang diambil atas nama hak suci itu.

 

Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang sampai membawa akibat perubahan dasar-dasar hukum, adalah kenyataan yang telah menyebabkan kedaulatan Islam kemudian menjadi lemah dan mundur. Di samping berkembangnya Islam dan peradaban Islam selama dua abad berturut-turut sesudah terbunuhnya Usman, di samping adanya kegiatan Islam memasuki beberapa kerajaan, menaklukkan raja-raja di bawah Mongolia dan Saljuk — sesudah yang pertama mengalami kehancuran — maka perioda pertama yan, berakhir dengan terbunuhnya Usman, adalah perioda yang telah membina prinsip-prinsip yang sebenarnya dalam kehidupan Islam pada umumnya. Hanya ini yang boleh dijadikan pegangan yang pasti dan positif akan segala yang telah terjadi itu supaya orang mengetahui prinsip-prinsip yang sebenarnya.

 

Adapun sesudah perioda itu, di samping adanya perkembangan ilmu dan pengetahuan pada masa dinasti Umayya — lebih-lebih pada masa dinasti Abbasia, tangan-tangan kotor sudah mulai menodai prinsip-prinsip pokok yang sebenarnya itu, untuk kemudian diganti dengan ajaran-ajaran yang sering sekali bertentangan dengan jiwa Islam, dan kebanyakannya malah untuk maksud-maksud politik syu’ubia’ (rasialisma).

 

Adanya orang-orang asing, orang-orang Yahudi dan Nasrani yang pura-pura masuk Islam, mereka itulah pula yang turut menyebarkan caracara baru itu, mereka tidak ragu-ragu turut mendorong diciptakannya hadis-hadis yang dihubung-hubungkan kepada Nabi ‘alaihissalam,. atau mendakwakan sesuatu kepada para khalifah yang mula-mula, yang memang tidak sesuai dengan sejarah hidup dan sifat-sifat mereka itu.

 

Apa yang ditulis orang mengenai perioda belakangan ini, tidak dapat dijadikan pegangan secara ilmiah tanpa mengadakan penelitian kembali dan kritik yang benar-benar mendalam dengan tidak dipengaruhi oleh nafsu atau kecenderungan-kecenderungan pribadi. Yang pertama Sekai perlu kita lakukan ialah menolak segala yang bersifat kontradiksi dan tidak sesuai dengan Quran, meskipun tumbuhnya kontradiksi itu dihubung. hubungkan kepada Nabi. Yang boleh dipercaya dari apa yang langsung diceritakan dan dapat juga dipakai sebagai dasar menguji yang datang kemudian, ialah masa permulaan Islam sampai waktu terbunuhnya khalifah yang ketiga. Saya kira, kalau semua ini kita lakukan dengan segala ketelitian ilmiah, kita akan dapat memberikan suatu lukisan yang sebenarnya tentang ajaran Islam yang murni, dan dari kehidupan Islam yang pertama pula, yakni kehidupan intelektual dan spiritual yang begitu kuat dan luhur, sehingga membuat -Arab pedalaman dari jazirah itu dalam waktu beberapa puluh tahun saja dapat tersebar di muka bumi ini, guna menegakkan — dalam pelbagai negara — dasar-dasar peri kemanusiaan yang paling luhur yang pernah dikenal sejarah. Kalau dalam hal ini kita berhasil, kepada umat manusia tentu kita akan dapat mengungkapkan suatu ufuk baru yang akan mengantarkan kita sampai dapat mengetahui seluk-beluk alam dalam arti psikologis dan spiritual, dan dengan mengetahui ini, akan makin erat pula hubungan itu dan akan membawa kenikmatan dan kebahagiaan hidup bagi umat manusia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih tersembunyi seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudian pun diketahui Orang pula.

 

Kalau dalam hal ini kita berhasil, tentu itu adalah jasa Islam terhadap umat manusia sekarang, seperti yang juga sudah terjadi pada permulaan sejarah Islam dahulu, tatkala orang-orang Arab keluar dari lingkungan jazirahnya, keluar menyebarkan prinsip-prinsip Islam yang luhur ke seluruh dunia.

 

Langkah pertama yang perlu kita lakukan dalam hal ini —dalam mengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan — ialah benar-benar mendalami studi tentang sejarah hidup Nabi, sehingga dapat membukakan jalan bagi umat manusia ke arah peradaban yang selama ini menjadi citacitanya. Dalam melakukan studi ini Quran adalah sumber yang paling Otentik, sebagai kitab yang tidak akan membawa kepalsuan dan tidak pula dicampur dengan segala hal yang masih meragukan. Kitab yang selama tiga belas abad ini tetap dan akan tetap terus demikian selama hidup manusia, sebagai suatu mukjizat sejarah dalam kemurnian teksnya, sebagaimana sudah dikuatkan oleh firman Allah: “Kami yang telah memberikan Quran ini dan Kami pula yang menjaganya.”’ Seperti sejak dahulu juga, ia akan tetap sebagai mukjizat Muhammad yang hidup, sejak diwahyukan Allah kepadanya sampai berakhirnya dunia dengan segala isinya ini. Segala yang berhubungan dengan sejarah hidup Muhammad harus dihadapkan kepada Quran, mana yang cocok itu adalah benar, dan mana yang tidak cocok samasekali tidak benar.

 

Dalam studi permulaan ini, memang ke arah itu yang saya usahakan, sekuat kemampuan saya. Sesudah selesai cetakan pertama buku ini saya tinjau kembali, saya bersyukur kepada Allah atas taufik-Nya itu. Saya pun berharap semoga Tuhan akan memberi petunjuk dan pertolongan serta membukakan jalan bagi barangsiapa yang akan meneruskan studi demikian ini secara ilmiah dengan lebih mendalam lagi.

 

Tuhan, kepada-Mu juga kami mempercayakan diri, kepada-Mu juga kami kembali dan kepada-Mu juga kesudahan segala ini.

 

 

 

 

 

CETAKAN ketiga ini tidak berbeda dengan cetakan kedua, kecuali ada beberapa kata yang diganti atau dikorcksi untuk menambah akurasi menurut selera bahasa Arab, atau supaya lebih jelas pada yang dimaksug Itu pun hanya sedikit saja adanya, hampir-hampir tidak terasa, kecuali jik, orang hendak mengadakan perbandingan kata demi kata dalam kedua macam cetakan ini. Dan orang yang akan merepotkan diri dengar pekerjaan semacam ini pun tentu takkan ada gunanya juga.

 

Kalaupun dalam cetakan ketiga ini saya tidak melakukan sesuatu revisi atau tambahan-tambahan, bukanlah karena merasa bahwa sesudah cetakan kedua buku ini sudah sempurna. Saya masih tetap mengulangi apa yang sudah saya katakan dalam pengantar cetakan pertama, bahwa buky ini tidak lepas dari sifatnya sebagai suatu studi permulaan dalam kedudukannya yang begitu penting dari segi ilmu pengetahuan Islam, Akan tetapi, karena yang berhubungan dengan masalah ini sudah banyak saya uraikan dalam buku saya Fi Manzil’I-Wahy (“Di Lembah Wahyu”) segera sesudah saya melakukan ibadah haji serta pada perjalanan saya mengikuti jejak Rasul di Hijaz dan Tihama, rasanya sudah tidak perlu saya meringkaskan lagi di sini apa yang sudah saya bentangkan dalam buku tersebut.

 

Kemudian lagi, sesudah “Di Lembah Wahyu” itu terbit, saya pun sibuk meneruskan studi tentang peri hidup Rasul dan ajaran-ajarannya, tentang sejarah hidup sahabat-sahabat dan pengganti-penggantinya, yang kemudian menyebabkan saya selama delapan tahun belakangan ini sibuk sekali. Saya belum mendapat kesempatan dan waktu yang cukup guna menguraikan lebih luas apa yang sudah saya ringkaskan pada penutup cetakan kedua ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya juga sehingga nanti saya kembali membuat uraian dalam sebuah buku tersendiri. Saya kira pembaca pun akan menyertai saya dengan doa ini, sesudah selesai membaca dua buah pembahasan yang menyertai penutup buku ini.

 

Saya merasa bahagia sekali akan menyudahi kata pengantar cetakan ketiga ini dengan rasa syukur kepada Allah atas sambutan dan penghargaan yang diberikan orang yang telah membaca buku ini, baik dari kalangan Islam atau non-Islam, serta atas segala isyarat yang disebutkan oleh beberapa penulis dan pengarang, di Timur atau di Barat, baik dalam kata pengantar atau dalam isi buku-buku itu. Besar sekali harapan saya, semoga Tuhan memberikan keringanan bagi mereka yang mengikuti studi ini serta yang mau mengabdi sungguh-sungguh kepada kebenaran, sampai mencapai tujuan.

 

 

Sumber Peradaban Pertama — Laut Tengah dan Laut Merah – Agama-agama Kristen dan Majusi — Bizantium Pewaris Rumawi — Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya — Majusi Persia di Jazirah Arab — Antara Dua Kekuatan — Tidak Dikenal, Selain Yaman — Lalu Lintas Kafilah —Yaman dan Peradabannya – Judaisma dan Kristen di Yaman — Hancurnya Bendungan Marrib — Susunan Masyarakat Jazirah Arab — Paganisma Arab dan Sebab-sebabnya — Kristen dan Judaisma — Tersebarnya Paganisma — Peranan Berhala — Kedudukan Mekah

 

Sumber Peradaban Pertama

 

PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang ke dalam kategori prasejarah. Oleh karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya?

 

Apa pun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama – baik di Mesir, Funisia atau Asiria — ada hubungannya dengan Laut Tengah, dan bahwa Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.

 

Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikan,, tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi pengaruh yang terhadap pengembangan peradaban-peradaban Firaun, Asiria at Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan per adaban-peradaban tersebut. Hal ini baru terjadi sesudah ada akultura dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses Salin pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah demikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.

 

Laut Tengah dan Laut Merah

 

Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai saat ini perkembangan, nya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dap teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dap pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan day penjelmaan hidup kembali di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera: demikian sesudah itu timbu perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah mengantarkannya ke dalam ke. hidupan duniawi. Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia, yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini, sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.

 

Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam. Setelah datang izin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berlaku kepada rakyatnya: “Akulah tuhanmu yang tertinggi”, ia pun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa. Ruh dan firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putra Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua yang berada di bawah panji kerajaan Rumawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu.

 

Agama-agama Kristen dan Majusi

 

Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya masingmasing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.

 

Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Rumawi Salib itu pun diambilnya kembali dari tangan Persia.

 

Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama Pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan. Bizantium Pewaris Rurnawi

 

Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin meruncing Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa sampai ke Gau dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisah, kan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris kerajaan Rumawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ke. takutan di bawah kekuasaan Vandal itu. Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya

 

Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah. Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan dasardasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masebi itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad di samping bayangan yang tampak pada manusia, ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya, dan di samping itu ada pula yang mau menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sesudah melahirkan Almasih.

 

Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja.

 

Salah seorang pendeta gereja berkata: “Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan tentang apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan dijawabnya: Bapa lebih besar dari putra dan putra tunduk kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab: “Putra telah diciptakan dari yang tak ada.”

 

Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah ke dalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh. Golongan-golongan itu pun tetap hidup di bawah naungannya dengan tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang melibatkan diri ke dalam polemik teologi atau sampai memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan yang lain. Dan kerajaan pun telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang berkuasa itu.

 

Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir di bawah Rumawi sampai ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.

 

Majusi Persia di Jazirah Arab

 

Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalamj kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalay dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang Paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan kejahata, pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan. golongan dan sekta-sekta pula. Tapi di sini bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu kekuasaan politik Persia tetap kuat juga Polemik keagamaan tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang tergambar di balik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung d bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah Satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memiku akibatnya.

 

Kedua kekuatan yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan Barat berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada di bawah pengaruh kedua kekuatan itu, pada awal abag keenam berada di sekitar jazirah Arab. Kedua kekuatan itu masing-masing mempunyai hasrat ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua agama itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya, Sungguhpun demikian jazirah itu tetap seperti sebuah oasis yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai terjamah oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi, kecuali sebagian kecil saja pada beberapa kabilah. Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau tidak kita lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh keduanya terhadap kehidupan penduduknya, dalam aneka macam perbedaan dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka masing-masing.

 

Antara Dua Kekuatan

 

Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah selatan Samudera Hindia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dan sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan tetapi bukan rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga karena jaraknya yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu kilometer pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungai pun tak ada. Musim hujan yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan yang sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan. Samasekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu, sambil mencai padang hijau untuk makanan ternaknya, beristirahat sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain. Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orangorang badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak di sana sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata air.

 

Tidak Dikenal, Selain Yaman

 

Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup menetap, dan cara hidup manusia yang biasa pun tidak pula dikenal. Juga sudah biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak. Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena sedikitnya orang yang mau mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu telah dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninya pun dapat bertahan diri.

 

Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran. Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat sekarang menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transport perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara Rkumawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah Arab masa it merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalu Mesir atau melalui Teluk Persia, lewat terusan yang terletak di muly, Yeluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana penduduk pedalama jazirah Arab itu menjadi raja sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut, pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai as Yaripada daratan, menjadi raja laut. Dan sudah wajar pula bilamana raja. raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, Merek, sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya “Jalan kafilah itu bukan dibiarkan begitu saja,” kata Heeren,” tetapi Sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah memberikan tempat. tempat tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir 4 sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat meng, hilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan itu. Tempat, tempat peristirahatan itu juga telah menjadi gudang perdagangan mereka dan yang sebagian lagi dipakai sebagai tempat penyembahan, tempat meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta per, tolongan dari tempat itu.”

 

Lalu Lintas Kafilah

 

Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang penting dj antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah, dan karena itu diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.

 

Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya — kecuali bagi mereka yang sudah — biasa sejak masa mudanya. Sedang mereka yang berani secara untung: untungan mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di tengah-tengah padang tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa.hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang yang sampai ke tempat tersebut — yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan — ia akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang yang sudah biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan setiap pribadi pun tidak mempunyai suatu sistem hubungan dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada yang lebih kuat.

 

Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.

 

Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian – sesudah Muhammad s.a.w. lahir di tempat tersebut — orang mulai mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu sekarang sudah mulai dikenal dunia.

 

Yaman dan Peradabannya

 

Tak ada yang dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Hindia saja, tetapi lebih-lebih disebabkan oleh tidak seperti jazirah-jazirah lain — gurun sahara yang tandus. Dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebaliknya, daerah Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma’rrib yang dapat menampung arus air hujan sesuai dengar syarat-syarat peradaban yang berlaku.

 

Sebelum dibangunnya bendungan ini, air hujan yang deras terjun darj pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur turun ke lembah. lembah yang terletak di sebelah timur kota Ma’rib. Mula-mula air turun melalui celah-celah dua buah gunung yang terletak di kanan kiri lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila Sudah sampai di Marrib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai Nij Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu mereka membangun sebuah bendungan, yaitu Bendungan Marrib, Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah yang sempit, laly dibuatnya celah-celah guna memungkinkan adanya distribusi air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur.

 

Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang pernah diselidiki — dan sampai sekarang penyelidikan itu masih diteruskan – menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada suatu saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarah pun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami bencana.

 

Judaisma dan Kristen di Yaman

 

Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan negeri. nya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah turun-temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Hinmyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada agama Musa (Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”, dan menyebabkan turunnya ayat:

 

“Binasalah orang-orang yang telah membuat parit. Api yang penuh bahan bakar. Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang beriman itu mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orangorang itu hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan Terpuji.”

 

Cerita ini ringkasnya ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari kerajaan Rumawi ke Ngyjran.

 

Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka makin lama makin bertambah juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan dimintanya kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat. Menurut beberapa buku sejarah korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Salah seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas, ia lari ke Rumawi dan meminta bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat kepada Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu (abad ke-6) Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi sedang berada dalam puncak kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang kuat! dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan yang memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang kerajaan Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.

 

Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia mengirimkan bersama orang Yaman itu — yang membawa surat — sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha al-Asyram salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu kerajaan Yaman atas nama penguasa Abisinia. Ia memerintah Yaman ini sampai ia dibunuh oleh Abraha yang kemudian menggantikan kedudukannya. Abraha inilah yang memimpin pasukan gajah, dan dia yang kemudian menyerbu Mekah guna menghancurkan Ka’bah tetapi gagal, seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut.

 

Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah. Encyclopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh penulis-penulis buku Historian’s History of the World dan juga dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam La Vie de Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan melalui Hisyam ibn Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi meminta bantuan Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela agama Yahudi itu dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah sebagian dimakan api, Nadasyi berkata: “Tenaga manusia di sini banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan kukirimkan pasukanku.” Lalu ia menulis surat kepada Kaisar dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan: “Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu sampai ke tempat Najasyi, pasukannya pun dinaikkan dan berangkat ke pantai Mandab.” Lihat Tarikh’t-Tabari cetakan Al-Husainia, Vol. 2, p. 106 dan 108.

 

Anak-anak Abraha kemudian menguasai Yaman dengan tindaka, sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu lama menimpa pen, duduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak mencmui Maharaja Rumawi. ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan penguasa lain dari Rumawi ke Yaman. Tetapi karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi permintaan Said bin Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Sai meninggalkan Kaisar dan pergi menemui Nu’man bin’I-Mundhir selaky Gubernur yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya d Irak.’

 

Nu’man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan Resepsi (Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat musim .dinginnya bagian ini dikelilingi dengan tabir. tabir dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan lampu-lampu kendil terbuat daripada perak dan emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di atas tahta itulah terletak mahkotanya yang besar berhiaskan batu delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat itu akan merasa terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.

 

Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu dan Saif pun bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?), salah seorang keluarga ningrat Persia yang paling berani. Persia telah mendapat kemenangan dan orangorang Abisinia dapat diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.

 

Sejak itulah Yaman berada di bawah kekuasaan Persia, dan ketika Islam lahir seluruh daerah Arab itu berada dalam naungan agama baru ini.

 

Akan tetapi orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu tidak fangsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama hal itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri menduduki tahta. Ia membayangkan — dengan pikirannya yang picik itu — bahwa dunia dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa kerajaannya membantu memenuhi kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang tidak mendapat perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam suatu kemewahan yang belum pernah terjadi. Ia berangkat diiringi oleh pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning dan lembayung, dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya, oleh budak-budak yang membawa wangi-wangian, oleh pengusirpengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim semi sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia beserta rombongannya duduk di atas permadani yang lebar dilukis dengan lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan aneka warna, dan dilatar belakangi oleh semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.

 

Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh mengikuti kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan naik takhtanya Syirawih ini telah mengurangi kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.

 

Hancurnya Bendungan Ma’rib

 

Yaman yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Marrib yang oleh suku bangsa Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar. Disebabkan oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu, lalailah mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya. Bendungan itu rapuk dan tidak tahan lagi menahan banjir. Dikatakan juga, bahwa setelah Romawi melihat yaman menjadi pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa perdagangannya terancam karena pertentangar itu, ia pun menyiapkan armadanya menyeberangi Laut Merah — antara Mesir dengan negeri-negeri Timur yang jauh — guna menarik perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan demikian tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.

 

Mengenai peristiwanya, ahli-ahli sejarah sependapat, tetapi mengenai sebab terjadinya peristiwa itu mereka berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Adz di Yaman ke Utara. Semua mereka sependapat tentang kepindahan ini, sekalipun sebagian menghubungkan. nya dengan sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya per. dagangan yang biasa melalui tempat itu. Yang lain menghubung-hubung. kan kepada rusaknya bendungan Mar’rib, sehingga banyak di antara kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apa pun juga kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi berhubungan dengan negeri-negeri Arab lainnya, suatu hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.

 

Susunan Masyarakat Jazirah Arab

 

Apabila sistem politik di Yaman sudah menjadi kacau seperti yang dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat itu medan pertarungan, maka struktur politik serupa itu tidak dikenal pada beberapa negeri Semenanjung Arab lainnya waktu itu. Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem politik seperti pengertian kita sekarang atau seperti pengertian negara-negara yang sudah maju pada masa itu, di daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Najd dan sepanjang dataran luas yang meliputi negerinegeri Arab, pengertian demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa itu — bahkan sampai sekarang — adalah penduduk pedalaman yang tidak bisa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu.

 

Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenali. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan kabilah yang penuh. Sedang orang kota, atas nama tatatertib mau mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan mereka untuk kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan atas ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Sedang seorang pengembara tidak pedulikan kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apa pun -seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota — selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.

 

Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan ketidakadilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau melawannya matimatian, dan kalau tidak dapat melawan, ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.

 

Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akari makin hilang apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.

 

Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidakkan taat kepada peraturan apa pun yang berlaku atau kepada lembaga apa pun yang berkuasa.

 

Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang kecilkecil yang tumbuh di sekitar jazirah karena adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan mara bahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka selamat sampai di tempat tujuan.

 

Kota-kota seperti Mekah, Ta’if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian itu. Dalam susunan kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara hidup pedalaman. Dalam pembicaraar tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut ini akan terlihat agak lebih terperinci.

 

Paganisma Arab dan Sebab-sebabnya

 

Lingkungan masyarakat dalam alam demikian ini serta keadaan moral, politik dan sosial yang ada pada mereka, mempunyai pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya. Melihat hubungannya dengan agama Kristen Rumawi dan Majusi Persia, adakah Yaman dapat ter. pengaruh oleh kedua agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua tangan tersebut di jazirah Arab lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu sama giatnya seperti yang sekarang dalam mempropagandakan agama, Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan adanya wujud yang tak terbatas dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara dirinya dengan alam dengan ketakterbatasannya itu. Sedang bagi orang kota ketakterbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya hari-hari, oleh adanya perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan atas kebebasannya yang diberikan sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya jadi berkurang.

 

Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan dalam menyebarkan ajaran agamanya itu? Barangkali soalnya hanya akan sampai di situ saja kalau tidak karena adanya soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri Arab itu, termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja yang mau menerima agama Kristen.

 

Kristen dan Judaisma

 

Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu – seperti yang sudah kita saksikan — berpusat di sekitar Laut Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen dan Yahudi bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak memperlihatkan permusuha! yang berarti, juga tidak memperlihatkan persahabatan yang berarti pula.

 

Orang-orang Yahudi masa itu — dan sampai sekarang juga — masih menyebut-nyebut adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa kepada agama mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau membendung arus agama Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang masih berlindung di bawah panji Imperium Rumawi yang membentang luas itu.

 

Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab merupakan kaum imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma) Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh keadaan paganisma di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia itu ke Bizantium.

 

Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang bentuk dan ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau anak yang lebih utama dari ibu — suatu perdebatan yang terjadi di mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya apa yang sudah biasa berlaku.

 

Ini tentu disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit yang diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi sehingga akhirnya mustahil sekali orang akan dapat melihat isi atau akan menembusi timbunan kulit itu.

 

Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syam, lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudi pun, melihat hubungannya dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman dalam perjalanan mereka pada musim dingin atau musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu di antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.

 

Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian ini pun sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Yuhan itu baik-baik saja.

 

Tersebarnya Paganisma

 

Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara golongan. golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih tetap hidup dj kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh di tengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri. Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap ber. pengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati mereka. Logikanya yang tampak cemerlang — sekalipun pada dasarnya masih bersifat sofistik – dapat juga menarik kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan kecinta. annya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.

 

Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tak berdaya lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan mempetlihatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya itu.

 

Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma, mereka melihat kaki patung Santa Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat karena diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.

 

Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum mendapat petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya. Mereka melihat pertertangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi tetangga mereka serid cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang masih menyembah berhala itu sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka. Situasi demikian ini sudah begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai saat ini, dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir. Kaum Muslimin dewasa ini pun membiarkan paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang hendak menghapus paganisma, yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.

 

Peranan Berhala

 

Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah — sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya — menunjukkan bahwa sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.

 

Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah ini pun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal dari Yaman. Hal ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang sekali, buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.

 

Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan korban-korban tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali pulang, dapat dibawanya pula dalam perjalanan bila patung itu mengizinkan ia bepergian. Semua patung itu, baik yang ada dalam Ka’bah atau yang ada disekelilingnya, begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atay kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara penganutnya dengar dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa it, sebagai pendekatan kepada Tuhan dan menyembah kepada Tuhan sudap mereka lupakan karena telah menyembah berhala-berhala itu. Kedudukan Mekah

 

Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling tinggi di antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan negerinya Serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka’bah sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan. bulan suci sangat dipelihara melebihi tempat lain.

 

Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazirah Arab yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah. Kemudian takdir pun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran Nabi Muhammad, dan dengan demikian-ia menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang zaman. Ka’bah tetap disucikan dan suku Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang: orang Badwi yang kasar sejak berabad-abad lamanya.

 

 

 

 

Letak Mekah – Ibrahim “Alaihissalam — Ibrahim dan Sarah di Mesir — Siapa yang Disembelih? — Kisah Penebusan dalam Quran — Kisah Demikian dalam Cerita Sejarah — Ibrahim Berangkat dengan Ismail dan Ibunya ke Lembah Mekah — Sumur Zamzam -Perkawinan Ismail — Anak-anak Ismail – Sebuah Diskusi — Membangun Ka’bah – Perkembangan Agama di Jazirah – Kemenangan Quraisy – Qushayy bin Kilab (tahun 400) – Bangunan Rumah-rumah di Mekah — Anak-anak Qushayy – Keluarga “Abd Manaf – Hasyim (tahun 464 M) — Kehidupan yang Berkembang di Mekah – Hasyim Meninggal, Muttalib Penggantinya — Abd’lMuttalib (tahun 495 M) -Penggalian Sumur Zamzam – Bernazar — Tahun Gajah (tahun 570 M) – Abraha dan Ka’bah – Kedudukan Mekah Sesudah Peristiwa Gajah — Rumah-rumah Penduduk di Mekah – Abdullah bin Abd’l-Muttalib

 

Letak Mekah

 

DI TENGAH-TENGAH jalan kafilah yang berhadapan dengan Laut Merah — antara Yaman dan Palestina – membentang bukit-bukit barisan sejauh kira-kira delapan puluh kilometer dari pantai. Bukit-bukit ini mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu luas, yang hampir-hampir terkepung samasekali oleh bukit-bukit itu kalau tidak dibuka oleh tiga buah jalan: pertama jalan menuju ke Yaman, yang kedua jalan dekat Laut Merah di pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke Palestina.

 

Dalam lembah yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak Mekah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota ini sungguh sukar sekali. Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun yang lalu. Yang pasti, lembah itu digunakan sebagai tempat perhentian kafilah sambil beristirahat, karena di tempat itu terdapat sumber mata air. Dengan demikian rombongan kafilah itu membentangkan kemah-kemah mereka, baik yang datang dari jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari Palestina menuju Yaman. Mungkin sekali Ismail anak Ibrahim itu Orang pertama yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, yang sebelum itu hanya dijadikan tempat kafilah lalu saja dan tempat perdagangan secara tukar-menukar antara yang datang dari arah selatan jazirah dengan yang bertolak dari arah utara.

 

Ibrahim ‘ Alaihissalam

 

Kalau Ismail adalah orang pertama yang menjadikan Mekah sebagai tempat tinggal, maka sejarah tempat ini sebelum itu gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa daerah ini dipakai tempat ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap di tempat itu. Kisah kedatangannya ke tempat itu pun memaksa kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara ringkas.

 

Ibrahim dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual kepada masyarakat. nya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa ia melihat patung. patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian disembah oleh masyarakat dan betapa pula mereka memberikan rasa hormat dan kudus kepada sekeping kayu yang pernah dikerjakan ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya. Kepada ayahnya ia pernah bertanya, bagaimana hasil kerajinan tangannya itu sampai disembah orang?

 

Kemudian Ibrahim menceritakan hal itu kepada orang lain. Ayahnya pun sangat memperhatikan tingkah-laku anaknya itu, karena ia kuatir hal ini akan menghancurkan perdagangannya. Ibrahim sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya. Ia ingin membuktikan kebenaran pendapatnya itu dengan alasan-alasan yang dapat diterima. Ia mengambil kesempatan ketika orang sedang lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa, dan berhala itu dihancurkan, kecuali berhala yang paling besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:

 

“Engkaukah yang melakukan itu terhadap dewa-dewa kami, hai Ibrahim?” Dia menjawab: “Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling besar di antara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang mereka bisa bicara.”

 

Ibrahim melakukan itu sesudah ia memikirkan betapa sesatnya mereka menyembah berhala, sebaliknya siapa yang seharusnya mereka sembah.

 

“Bila malam sudah gelap, dilihatnya sebuah bintang. Ia berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu kemudian terbenam, ia pun berkata: Aku tidak menyukai segala yang terbenam’. Dan setelah dilihatnya bulan terbit, ia pun berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam, ia pun berkata: “Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku akan jadi sesat’. Dan setelah dilihatnya matahari terbit, ia pun berkata: “Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar”. Tetapi bilamana matahari itu juga kemudian terbenam, ia pun berkata: “Oh kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku hanya kepada yang telah menciptakan semesta langit dan bumi ini. Aku tidak termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan.

 

Ibrahim dan Sarah di Mesir

 

Ibrahim tidak berhasil mengajak masyarakatnya itu. Malah sebagai balasan ia dicampakkan ke dalam api. Tetapi Tuhan masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya Sarah. Dari Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir. Pada waktu itu Mesir di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit (Hyksosl|.

 

Sarah adalah seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja Hyksos biasa mengambil wanita-wanita bersuami yang cantik-cantik. Ibrahim memperlihatkan, seolah Sarah adalah saudaranya. Ia takut dibunuh dan Sarah akan diperistrikan raja. Dan raja memang bermaksud akan memperistrikannya. Tetapi dalam tidurnya ia bermimpi bahwa Sarah bersuami. Kemudian dikembalikan kepada Ibrahim sambil dimarahi. Ia diberi beberapa hadiah di antaranya seorang gadis belian bernama Hajar. Oleh karena Sarah sesudah bertahun-tahun dengan Ibrahim belum juga beroleh keturunan, maka oleh Sarah disuruhnya ia bergaul dengan Hajar, yang tidak lama kemudian telah beroleh anak, yaitu Ismail. Sesudah Ismail besar kemudian Sarah pun beroleh keturunan, yaitu Ishaq.

 

Siapa yang Disembelih?

 

Beberapa ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail serta kurban yang telah dipersembahkan oleh Ibrahim. Adakah sebelum kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di Palestina atau di Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah Ishaq, bukan Ismail. Di sini kita bukan akan menguji adanya perselisihan pendapat itu. Dalam Qishash’l-Anbia’ Syaikh Abd’l Wahhab an-Najjar berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah Ismail. Argumentasi ini diambilnya dari Taurat sendiri bahwa yang disembelih itu dilukiskan sebagai anak Ibrahim satu-satunya. Pada waktu itu Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq dilahirkan. Setelah Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim tidak lagi tunggal, melainkan sudah ada Ismail dan Ishaq. Dengan mengambil cerita itu seharusnya kisah penyembelihan dan penebusan itu terjadi di Palestina. Hal ini memang bisa terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu terjadi terhadap diri Ishaq. Selama itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di Palestina, tidak pernah pergi ke Hijaz. Akan tetapi cerita yang mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi di atas bukit Mina, maka ini tentu berlaku terhadap diri Ismail. Oleh karena di dalam Quran tidak disebutkan nama person kurban itu, maka ahli-ahli sejarah kaum Muslimin berlain-lainan pen. dapat.

 

Kisah Penebusan dalam Quran

 

Tentang pengorbanan dan penebusan itu kisahnya ialah bahwa Ibrahim bermimpi, bahwasanya Tuhan memerintahkan kepadanya supaya anaknya itu dipersembahkan sebagai kurban dengan menyembelihnya, Pada suatu pagi berangkatlah ia dengan anaknya.

 

“Bila ia sudah mencapai usia cukup untuk berusaha, ia (Ibrahim) berkata: “O, anakku, dalam tidur aku bermimpi, bahwa aku menyembelih. mu. Lihatlah, bagaimanakah pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku. Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Jika dikehendaki Tuhan, akan kaudapati aku dalam kesabaran.” Serelah keduanya menyerahkan diri dan dibaringkannya ke sebelah keningnya, ia Kami panggil: “Hai Ibrahim. Engkau telah melaksanakan mimpi itu.” Dengan begitu, Kami memberikan balasan kepada mereka yang berbuat kebaikan. Ini adalah Suatu ujian yang nyata. Dan Kami menebusnya dengan sebuah korban besar.”’

 

Kisah Demikian dalam Cerita Sejarah

 

Beberapa cerita melukiskan kisah ini dalam bentuk puisi yang indah sekali, sehingga di sini perlu kita kemukakan, sekalipun tidak membawa kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim bermimpi dalam tidurnya bahwa ia harus menyembelih anaknya dan memastikan bahwa itu adalah perintah Tuhan, ia berkata kepada anaknya itu: “Anakku, bawalah tali dan parang itu, mari kita pergi ke bukit mencari kayu untuk keluarga kita.’ Anak itu pun menurut perintah ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk seorang laki-laki, mendatangi ibu anak itu seraya berkata: “Tahukah engkau ke mana Ibrahim membawa anakmu?’ “Ia pergi mencari kayu dari lereng bukit itu’, jawab ibunya. “Tidak”, kata setan lagi, “ia pergi akan menyembelihnya.”’ Ibu itu menjawab lagi: “Tidak. Ia lebih sayang kepada anaknya.’ “la mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan itu.

 

“Kalau itu memang perintah Tuhan biarkan dia menaati perintahNya”, jawab ibu itu. Setan itu lalu pergi dengan perasaan kecewa. Ia segera menyusul anak yang sedang mengikuti ayahnya itu. Kepada anak itu pun ia berkata seperti terhadap ibunya tadi. Tapi jawabannya pun sama dengan jawaban ibunya juga. Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa mimpinya itu hanya tipu muslihat setan supaya menyembelih anaknya dan akhirnya akan menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa jengkel Iblis itu mundur teratur, karena maksudnya tidak berhasil, baik dari Ibrahim, dari istrinya atau dari anaknya.

 

Kemudian itu Ibrahim menyatakan kepada anaknya tentang mimpinya itu dan minta pendapatnya. “Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan.’ Lalu katanya lagi dalam balada itu: “Ayah, kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya darahku nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan. Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih. telungkupkan aku dan jangan dimiringkan. Aku kuatir bila ayah kelak melihat wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau ayah berpendapat akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan baginya. lakukanlah, ayah”.

 

“Anakku’, kata Ibrahim, “ini adalah bantuan besar dalam melaksanakan perintah Allah.”

 

Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya kuat-kuat tangan anak itu lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih. Tetapi kemudian ia dipanggil: “Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan mimpi itu”. Anak itu kemudian ditebusnya dengan seckor domba besar yang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Lalu discmbelihnya dan dibakarnya.

 

Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini adalah kisah penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.

 

Ibrahim Berangkat dengan Ismail dan Ibunya ke Lembah Mekah

 

Ishaq telah menjadi besar di samping Ismail. Kasih-sayang ayah sama terhadap keduanya. Akan tetapi Sarah menjadi gusar melihat anaknya itu dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya itu. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan Hajar dan anaknya tatkala dilihatnya Ismail memukul adiknya itu. Ibrahim merasa bahwa hidupnya takkan bahagia kalau kedua wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu pergilah ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke arah selatan. Mereka sampai ke suatu lembah, letak Mekah yang sekarang. Seperti kita sebutkan di atas, lembah ini adalah tempat para kafilah membentangkan kemahnya pada waktu mereka berpapasan dengan kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman ke Syam. Tetapi pada waktu itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun. Ismail dan ibunya oleh Ibrahim ditinggalkan dan ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar membuat sebuah gubuk tempat ia berteduh dengan anaknya. Dan Ibrahim pun kembali ke tempat semula.

 

Sesudah kehabisan air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan kiri. Is tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun ke lembah mencari air Dalam berlari-lari itu — menurut cerita orang — antara Shafa dan Marwa sampai jangkap tujuh kali, ia kembali kepada anaknya dengan perasaan putus asa. Tetapi ketika itu dilihatnya anaknya sedang mengorek-ngorek tanah dengan kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu keluar air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya mata air itu supaya jangan mengalir terus dan menyerap ke dalam pasir.

 

Anak yang bersama ibunya itu membantu orang-orang Arab yang sedang dalam perjalanan, dan mereka pun mendapat imbalan yang akan cukup menjamin hidup mereka sampai pada musim kafilah yang akan datang.

 

Sumur Zam-zam

 

Mata air yang memancar dari sumur Zamzam itu menarik hati beberapa kabilah akan tinggal di dekat tempat itu. Beberapa keterangan mengatakan, bahwa kabilah Jurhum adalah yang pertama sekali tinggal di tempat itu, sebelum datang Hajar dan anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa mereka tinggal di tempat itu setelah adanya sumber sumur Zamzam, sehingga memungkinkan mereka hidup di lembah gersang itu.

 

Perkawinan Ismail

 

Ismail sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis kabilah Jurhum. Ia dengan istrinya tinggal bersama-sama keluarga Jurhum yang lain. Di tempat itu rumah suci sudah dibangun, yang kemudian berdiri pula Mekah sekitar tempat itu. Juga disebutkan, bahwa pada suatu hari Ibrahim minta izin kepada Sarah akan mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan ini disetujui dan ia pergi. Setelah ia mencari dan menemui rumah Ismail ia bertanya kepada istrinya: “Mana suamimu?”

 

“Ia sedang berburu untuk hidup kami,” jawabnya.

 

Kemudian ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau minuman, dijawab bahwa dia tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan.

 

Ibrahim pergi, setelah mengatakan: “Kalau suamimu datang sampaikan salamku dan katakan kepadanya: “Ganti ambang pintumu.”

 

Setelah pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail, ia segera menceraikan istrinya, dan kemudian kawin lagi dengan wanita Jurhum lainnya, putri Mudzadz bin “Amr. Wanita ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu kemudian ia pernah datang: “Sekarang ambang pintu rumahmu sudah kuat,” (kata Ibrahim).

 

Anak-anak Ismail

 

Dari perkawinan ini Ismail mempunyai dua belas orang anak, dan mereka inilah yang menjadi cakal-bakal Arab al-Musta’-riba, yakni orangorang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum dengan Arab al“Ariba keturunan Ya’rub ibn Oahtan. Sedang ayah mereka, Ismail anak Ibrahim, dari pihak ibunya erat sekali bertalian dengan Mesir, dan dari pihak bapa dengan Irak (Mesopotamia) dan Palestina, atau ke mana saja Ibrahim menginjakkan kaki.

 

Sebuah Diskusi

 

Cerita ini diambil dari sejarah yang hampir merupakan konsensus dalam garis besarnya tentang kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah, meskipun terdapat perbedaan dalam detil. Dan yang memajukan kritik atas peristiwa secara mendetil itu berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail telah pergi ke lembah yang sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di tempat itu terdapat mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar disambut dengan senang hati oleh mereka ketika ia datang bersama Ibrahim dan anaknya ke tempat itu. Sesudah Ismail besar ia kawin dengan wanita Jurhum dan mempunyai beberapa orang anak. Dari percampuran perkawinan antara Ismail dengan unsur-unsur Ibrani-Mesir di satu pihak dan unsur Arab di pihak lain. menyebabkan keturunannya itu membawa sifat-sifat Arab, Ibrani dan Mesir. Mengenai sumber yang mengatakan tentang Hajar yang kebingungan setelah melihat air yang habis menyerap serta tentang usahanya berlari tujuh kal Jan Shafa dan Marwa dan tentang sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka masih diragukan.

 

Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim dan Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu. Dikatakannya, bahwa itu adalah Israiliat (Yudaica) yang dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam, guna mengikat hubungan dengan orang Arab yang sama-sama sebapa dengan Ibrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi nenek-moyang orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail itu moyang orang Arab, maka mereka adalah saudara sepupu yang akan menjadi kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran orang-orang Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan perdagangan orang Yahudi di seluruh jazirah Arab. Pengarang Inggris ini mendasarkan pendapatnya pada cara-cara peribadatan di negeri-negeri Arab yang tak ada hubungannya dengan agama Ibrahim, sebab mereka sudah benarbenar hanyut dalam paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.

 

Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah cukup kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh beberapa abad sesudah meninggalkan Ibrahim dan Ismail paganisma Arab tidak menunjukkar bahwa mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim datang ke Hijaz dan tatkala ia dan Ismail bersama-sama membangun Ka’bah. Andaikata waktu itu paganisma sudah ada, tentu itu akan memperkuat pendapat Si, William Muir. Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala dan ia berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, tapi tidak berhasiy Apabila ia mengajak masyarakat Arab seperti mengajak masyarakatny, sendiri, lalu tidak berhasil, dan orang-orang Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai dengan kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan sejarah itu secara logika bahkan lebih kuat. Ibrahin yang telah keluar dari Irak karena mau menghindar dari keluarganya, is pergi ke Palestina dan Mesir, adalah orang yang mudah bepergian dar biasa mengarungi sahara. Sedang jalan antara Palestina dan Mekah sejak dahulu kala sudah merupakan lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan demikian tidak pula pada tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang dalam garis besarnya sudah menjadi konsensus itu.

 

Sir William Muir dan mereka yang menunjang pendapatnya itu mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan anak-anak Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari Palestina ke negeri-negeri Arab serta adanya pertalian mereka dalam arti hubungan darah. Kita tidak mengerti, kalau kemungkinan mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail inj bagi mereka dapat diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang itu sendiri tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan padahal peristiwa sejarah sudah memperkuatnya. Bagaimana pula takkan terjadi padahal sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan sudah disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam kitab-kitab suci lainnya!

 

Membangun Ka’bah

 

Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu dan “Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat ialah yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan bagi semesta alam. Di situlah terdapat keterangan-keterangan yang jelas sebagai Maqam (tempat) Ibrahim, barangsiapa memasukinya menjadi aman.”

 

“Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam Ibrahim itu tempat bersembahyang, dan Kami serahkan kepada Ibrahim dan Ismail menyucikan Rumah-Ku bagi mereka yang bertawaf, mereka yang tinggal menetap dan mereka yang ruku’ dan sujud. Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata: “Tuhanku, jadikan tempat ini Kota yang aman dan berikanlah buah-buahan kepada penduduknya, mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian’. Ia berkata: “Dan bagi barangsiapa yang menolak iman akan Kuberi juga kesenangan sementara, kemudian Kutarik ia ke dalam siksa api, tujuan yang paling celaka’. Dan ingatlah tatkala Ibrahim dan Ismail mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka berdoa): “Tuhan, terimaJah ini dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

 

Perkembangan Agama di Jazirah

 

Bagaimana Ibrahim mendirikan Rumah itu sebagai tempat tujuan dan tempat yang aman, untuk mengantarkan manusia supaya beriman hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian menjadi tempat berhala dan pusat penyembahannya? Dan bagaimana pula cara-cara peribadatan itu dilakukan sesudah Ibrahim dan Ismail, dan dalam bentuk bagaimana pula dilakukan? Dan sejak kapan cara-cara itu berubah lalu dikuasai oleh paganisma? Hal ini tidak diceritakan kepada kita oleh sejarah yang kita kenal. Semua itu baru merupakan dugaan-dugaan yang sudah dianggap sebagai suatu kenyataan. Kaum Sabian! yang menyembah bintang mempunyai pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya mereka — menurut beberapa keterangan — tidak menyembah bintang itu sendiri, melainkan hanya menyembah Allah dan mereka mengagungkan bintangbintang itu sebagai ciptaan dan manifestasi kebesaran-Nya. Oleh karena lebih banyak yang tidak dapat memahami arti keturunan yang lebih tinggi, maka diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam batu gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dari langit, berasal dari beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan, kemudian batu-batu itu yang disembah, kemudian penyembahan itu dianggap begitu agung, sehingga tidak cukup bagi seorang orang Arab hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang di dalam Ka’bah, bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil batu apa saja dari Ka’bah untuk disembah dan dimintai persetujuannya: akan tinggal ataukah akan melakukan perjalanan. Mereka melakukan Cara-cara peribadatan yang berlaku bagi bintang-bintang atau bagi pencipta bintang, bintang itu. Dengan cara-cara demikian menjadi kuatlah kepercayaan paganisma itu, patung-patung dikuduskan dan dibawanya sesajen-sesajen itu sebagai korban.

 

Ini adalah suatu gambaran tentang perkembangan agama itu di tanah Arab sejak Ibrahim membangun rumah sebagai tempat beribadat kepada Tuhan, sebagaimana dilukiskan oleh beberapa ahli sejarah, dan bagaimana pula hal itu kemudian berbalik dan menjadi pusat berhala. Herodotus bapa sejarah, menerangkan tentang penyembahan Lat itu di negeri Arab Demikian juga Diodorus Siculus menyebutkan tentang rumah di Mekah yang diagungkan itu. Ini menunjukkan tentang paganisma yang sudah begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang dibawa Ibrahim di sang bertahan tidak begitu lama.

 

Dalam abad-abad ini sudah datang pula para nabi yang mengajak kabilah-kabilah jazirah itu supaya menyembah Allah semata-mata. Tetapi mereka menolak dan tetap bertahan pada paganisma. Datang Hug mengajak kaum “Ad yang tinggal di sebelah utara Hadzramaut supaya menyembah hanya kepada Allah: tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut. Sedang yang sebagian besar malah menyombongkan diri dan berkata: “O Hud, kau datang tidak membawa keterangan yang jelas, dan kami tidak akan meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena perkataanmu itu. Kami tidak percaya kepadamu.”’ Bertahun-tahun lamanya Hud mengajak mereka. Hasilnya malah mereka bertambah buas dan congkak. Demikian juga Saleh datang mengajak kaum Thamud supaya beriman. Mereka ini tinggal di Hijr yang terletak antara Hijaz dengan Syam di Wadi’l-Oura ke arah timur daya dari Mad-yan (Midian) dekat Teluk “Aqaba. Sama saja, hasil ajakan Saleh itu tidak lebih seperti ajakan Hud juga, Kemudian datang Syu’aib kepada bangsa Mad-yan yang terletak di Hijaz, mengajak supaya mereka menyambah Allah. Juga tidak didengar. Mereka pun mengalami kehancuran seperti yang terjadi terhadap golongan “Ad dan Thamud.

 

Selain para Nabi itu juga Quran telah menceritakan tentang ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap golongan itu begitu sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam Ka’bah itu. Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun, mereka datang dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun firman Tuhan:

 

“Dan Kami tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”

 

Sejak didirikannya Mekah di tempat itu sudah ada jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy bin Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu itu para pemuka Mekah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba, sigaya” rifada, nadwa, liwa’ dan giyada dipegang semua oleh Qushayy. Hijaba ialah penjaga pintu Ka’bah atau yang memegang kuncinya. Sigaya ialah menyediakan air tawar — yang sangat sulit waktu itu bagi mereka yang datang berziarah serta menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada ialah memberi makan kepada mereka semua. Nadwa ialah pimpinan rapat pada tiap tahun musim. Liwa’ ialah panji yang dipancangkan pada tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentera yang sedang menghadapi musuh, dan giyada jalah pimpinan pasukan bila menuju perang. Jabatan-jabatan demikian itu di Mekah sangat terpandang. Dalam masalah ibadat seolah pandangan orang-orang Arab semua tertuju ke Ka’bah itu.

 

Saya kira semua itu datangnya bukan sekaligus ketika rumah itu dibangun, melainkan satu demi satu, pada satu pihak tak ada hubungannya satu sama lain dengan Ka’bah serta kedudukannya dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada juga hubungannya.

 

Tatkala Ka’bah dibangun — menurut gambaran yang ada dalam khayalan kita — tidak lebih Mekah hanya terdiri dari kabilah-kabilah Amalekit dan Jurhum. Sesudah ismail menetap di sana dan bersama-sama dengan ayahnya memasang sendi-sendi rumah itu, barulah Mekah mengalami perkembangan. Untuk beberapa waktu yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota atau yang menyerupai kota. Kita katakan menyerupai kota, karena Mekah dengan penduduknya waktu itu masih membawa sifat sisa-sisa keterbelakangan dalam arti yang sangat bersahaja. Beberapa penulis sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah itu masih terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan Qushayy pada pertengahan abad kelima Masehi itu. Sukar bagi kita akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Mekah dengan Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada dalam suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan bahwa persoalan Rumah Suci itu berada di tangan Ismail dalam lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian. Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping Mekah masa itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan hubungan langsung dengan perdagangan dunia. Sukar akan dapat dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu akan tetap tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi peradabannya. Beralasan sekali dugaan kita, bahwa Mekah, yang sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah akan menjadi suatu daerah yang aman sentosa, Sudah mengenal hidup stabil selama beberapa generasi sebelum Qushayy. Kemenangan Quraisy

 

Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit Mekah masih di tanga, Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin “Amr ibn Harith. Selama dalam masa generasi ini perdagangan Mekah mengalami perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang yang biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa bahwa mereka berada di tanah tandus dan bahwa, mereka perlu selalu berusaha dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka itu sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza’a merasa perlu memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di tanah suci itu.

 

Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya tentang akibat hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini akan meng, hanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Ka’bah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu, Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya kembali. Ia keluar dengan anak-anak Ismail dari Mekah, Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza’a. Demikian seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilab, nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima.

 

Qushayy bin Kilab (Tahun 400)

 

Fatimah bint Sa’d bin Sahl kawin dengan Kilab dan mempunyai anak bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal dunia ketika Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan Rabi’a bin Haram. Kemudian mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah melahirkan Darraj. Qushayy semakin besar juga dan ia hanya mengenal Rabi’a sebagai ayahnya. Lambat-laun antara Qushayy dengan pihak kabilah Rabi’a terjadi permusuhan. Ia dihina dan dikatakan berada di bawah perlindungan mereka, padahal bukan dari pihak mereka. Qushayy mengadukan penghinaan itu kepada ibunya.

 

“Ayahmu lebih mulia dari mereka”, kata ibunya kepada Qushayy. “Engkau anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di Mekah menempati Rumah Suci.”

 

Qushayy lalu pergi ke Mekah, dan menetap di sana. Karena pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan, orang-orang d Mekah sangat menghormatinya. Pada waktu itu pengawasan Rumah Sud di tangan Hulail bin Hubsyia — orang yang berpandangan tajam dari kabilah Khuza’a. Tatkala Qushayy melamar putrinya, Hubba, ternyata lamarannya diterima baik dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam usaha dan perdagangannya, yang membuatnya ia jadi kaya, harta dan anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat supaya kunci Rumah Suci di tangan Hubba putrinya. Tetapi Hubba menolak dan kunci jitu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari kabilah Khuza’a. Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan minuman keras.

 

Khuza’a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti bila pimpinan Ka’bah itu berada di tangan Qushayy sebagai orang yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di kalangan Quraisy. Mereka merasa keberatan bilamana masalah pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain selain mereka sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa kabilah memang sudah berpendapat bahwa dialah penduduk yang paling kuat dan sangat dihargai di Mekah. Mereka mendukung Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuza’a dari Mekah. Sekarang seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan Qushayy dan dia diakui sebagai pemimpin mereka.

 

Bangunan Rumah-rumah di Mekah

 

Seperti sudah kita kemukakan, beberapa orang berpendapat, bahwa sampai pada waktu pimpinan Mekah berada di tangan Qushayy, bangunan apa pun belum ada di tempat itu, selain Ka’bah. Alasannya ialah, karena baik Khuza’a atau Jurhum tidak ingin melihat ada bangunan lain di sekitar Rumah Tuhan itu, juga karena pada malam hari mereka tidak pernah tinggal di tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka. Ditambahkan pula bahwa setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah ia mengumpulkan Quraisy dan menyuruh mereka membangun di tempat itu. Dengan dipelopori oleh Qushayy sendiri dibangunnya Dar’nNadwa sebagai tempat pertemuan pembesar-pembesar Mekah yang dipimpin oleh Qushayy sendiri. Di tempat ini mereka bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka hadapi selalu diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita atau laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat ini pula.

 

Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy lalu membangun tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka’bah itu, dengan meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan tawaf sekitar Rumah itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus ke tempat tawap tersebut.

 

Anak-anak Qushayy

 

Anak Qushayy yang tertua ialah Abd’d-Dar. Akan tetapi Abd Manar adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah mendapa, tempat pula.

 

Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannya pun sudah berkurang dari sudah tidak kuat lagi ia mengurus Mekah sebagaimana mestinya, kunci Rumah itu pun diserahkannya kepada Abd’d-Dar, demikian juga soal aj, minum, panji dan persediaan makanan. Setiap malam Quraisy memberi, kan sumbangan dari harta mereka yang diserahkannya kepada Qushayy guna membuatkan makanan pada musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka yang datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang pertama mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan makanan. Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga terhadap mereka ketika bersama-sama mereka berhasil mengeluarkan Khuza’a dari Mekah. Ketika mewajibkan itu ia berkata kepada mereka:

 

“Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan, keluarga Rumah-Nya dan Tempat yang Suci. Mereka yang datang berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung Rumah-Nya. Mereka itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada musim ziarah itu sediakanlah makanan dan minuman sampai mereka pulang kembali.”

 

Keluarga “Abd Manaf

 

Seperti ayahnya, Abd’d-Dar juga telah memegang pimpinan Ka’bah dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain lagi.

 

Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka’bah. Mereka bersumpah takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd’d-Dar mengadakan pul: Perjanjian Ahlaf. Antara kedua golongan ini hampir saja pecah perang yang akan memusnahkan Quraisy, kalau tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd Manaf diberi bagian mengurus persoalan  dan makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd’d-Dar. Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.

 

Hasyim (Tahun 464 M)

 

Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dialah yang memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak masyayakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushayy kakeknya, yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi makanan kepada pengunjung pada musim ziarah. Pengunjung Baitullah, tamu Tuhan inilah yang paling berhak mendapat penghormatan. Kenyataannya memang para tamu itu diberi makan sampai mereka pulang kembali.

 

Kehidupan yang Berkembang di Mekah

 

Peranan yang dipegang Hasyim tidak hanya itu saja, bahkan jasanya sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim tandus, dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria.

 

Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan Mekah jadi berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah, sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi anak-anak Abd Manaf membuat perjanjian perdamaian dengan tetangga-tetangganya. Hasyim sendiri membuat perjanjian sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengizinkan orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga Abd Syams membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi (Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak Himyar di Yaman.

 

Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur. Demikian pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada pihak lain yang semasa yang dapat menyainginya. Rombongan kafilah datang ke tempat itu dari segenap penjuru dan berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Di sekitar tempat itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan itu. Itu pula sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam utang-piutang dan riba serta segala sesuatu yang berhubungan dengan perdagangan. Tak ada yang teringat akan menyaingi Hasyim yang kini sudah makin lanjut usianya itu dalam kedudukannya sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian terbayang oleh Umayya anak Abd Syams . sepupunya — bahwa sudah tiba masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak berdaya, dan kedudukan itu tetap dipegang Hasyim. Sementara itu Umayya telah meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun tinggal di Suria.

 

Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan terpandang muncul di tengah-tengah orang yang sedang mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak “Amr dari kabilah Khazraj Hasyim merasa tertarik. Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan dengan laki-laki lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri, Hasyim laly melamarnya. Dan wanita itu pun menerima, karena dia mengetahuj kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.

 

Hasyim meninggal, Muttalib Penggantinya

 

Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Mekah dengan suaminya, Kemudian ia kembali ke Jathrib. Di kota ini ia melahirkan seorang anak yang diberi nama Syaiba.

 

Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke Ghazza (Gaza), Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini masih adik Abd Syams. Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakat. Kerana sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia dijuluki “Al-Faidz” (Yang melimpah). Dengan keadaan Muttalib yang demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah tentu segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana mestinya.

 

Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak itu sudah besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya dan dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya: Abd’l Muttalib (Budak Muttalib). “Hai”, kata Muttalib. “Dia kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari Jathrib.” Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.

 

Abd’l-Muttalib (Tahun 495 M)

 

Pada mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu menguasainya. Sesudah Abd’I-Muttalib mempunyai kekuatan ia meminta bantuan kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan kepadanya. Untuk memberikan bantuan itu pihak Khazraj di Jathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta itu.

 

Sekarang Abd’I-Muttalib sudah menempati kedudukan Hasyim.

 

Sesudah pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air dan persediaan makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini — terutama urusan air — ia menemui kesulitan yang tidak sedikit. Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang persediaan air untuk tamu — sejak terserapnya sumur Zamzam — didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar Mekah, yang kemudian diletakkan di sebuah kolam di dekat Ka’bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar dan memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus. Sebaliknya, kalau Abd’l-Muttalib harus memikul jabatan penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini jugalah yang lama menjadi pikiran.

 

Penggalian Sumur Zamzam

 

Orang-orang Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu. Menjadi harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap ada. Dan sesuai dengan kedudukannya Abd’l-Muttalib pun tentu lebih banyak lagi memikirkan dan mengharapkan hal itu. Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidurnya seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu. Demikian mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur itu. Dan dia pun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam tersebut, sampai akhirnya diketemukannya juga, yaitu terletak antara dua patung: Isaf dan Na’ila.

 

Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang lalu mau mencampuri Abd’I-Muttalib dalam urusan sumur itu serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi Abd’I-Muttalib berkata:

 

“Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan gid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka’bah, dua buat aku dan dua buat kamu.

 

Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa.”

 

Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada jung gid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di tengah-tengah Ka’bah Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd’l-Muttalib dan dua buah pangkal pelana emas buat Ka’bah Pedang-pedang itu oleh Abd’I-Muttalib dipasang di pintu Ka’bah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abdi Muttalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu sesudah sumur Zamzam dapat berjalan lancar. Bernazar

 

Karena tidak banyak anak, Abd’l-Muttalib di tengah-tengah masya, rakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan dapat mem, bantunya. Ia bernazar, kalau sampai beroleh sepuluh anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah seorang di antaranya akan disembelih di Ka’bah sebagai kurban untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang laki-laki akhirnya mencapai sepuluh orang dan takdir pun menentukan pula sesudah itu tidak beroleh anak lagi.

 

Dipanggilnya semua anak-anak dengan maksud supaya dapat me. menuhi nazarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing di atas gid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh Abd’l-Muttalib dan dibawa kepada juru gid-h di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Ka’bah.

 

Apabila sedang menghadapi kebinggungan yang luar biasa, orang: orang Arab masa itu lalu minta pertolongan juru gid-h supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui gid-h. Abdullah bin Abd’l-Muttalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.

 

Setelah juru gid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi namanama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan Dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah maka yang keluar adalah Abdullah. Dituntunnya anak muda itu oleh Abd’l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih di tempat yang biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Na’ila.

 

Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat melarang nya supaya jangan berbuat, dan atas pembatalan itu supaya memohon ampun kepada Hubal. Sekalipun mereka begitu mendesak, namun Abd’Muttalib masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku Makhzum berkata: “Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebuslah.”

 

Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat akan rgi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.

 

“Berapa tebusan yang ada pada kalian?” tanya sang dukun.

 

“Sepuluh ekor unta.”

 

“Kembalilah ke negeri kamu sekalian,” kata dukun itu. “Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan.”

 

Mereka pun menyetujui.

 

Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah itu keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy berkata kepada Abd’l-Mutalib — yang sedang berdoa kepada tuhannya: “Tuhan sudah berkenan.”

 

“Tidak”, kata Abd’l-Muttalib. “Harus kulakukan sampai tiga kali.” Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itu pun tetap keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abd’l-Muttalib merasa puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau binatang.

 

Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan. Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab, kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya kedudukan Mekah dengan Rumah Sucinya itu di tengah-tengah tanah Arab. At-Tabari menceritakan — sehubungan dengan kisah penebusan ini — bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernazar bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia akan menyembelih anaknya. Ternyata kemudian maksudnya terkabul. Ia pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak memberikan pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin Abbas yang ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih seratus ekor unta, seperti halnya dengan penebusan Abdullah anak Abd’l-Muttalib. Tetapi Marwan — penguasa Medinah ketika itu — merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. “Nazar tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa,” katanya.

 

Kedudukan Mekah dengan status Rumah Sucinya itu menyebabkan beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga membuat rumah-rumah ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan perhatian orang dari Mekah dan Rumah Sucinya. Di Hira pihak Ghassan mendirikan rumah suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci di Yaman. Tetapi bagi Oran Arab itu tak dapat menggantikan Rumah Suci yang di Mekah, juga & dapat memalingkan mereka dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikia, rupa Abraha menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membaw, perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira akan menarik Orang. orang Arab — bahkan orang-orang Mekah sendiri — ke tempat itu.

 

Tahun Gajah (570 M)

 

Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu hanya Rumah Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiri pun meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap Ziarah mereka tidak sah kalau tidak ke Mekah, maka sekarang tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu kecuali ia harus menghancurkan rumah Ibrahin dan Ismail itu. Dengan pasukan yang besar didatangkan dari Abisinia di, sudah mempersiapkan perang dan dia sendiri di depan sekali di atas Seekor, gajah besar.

 

Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar sekali kekuatirannya akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya. Suatu hal yang luar biasa bagi mereka, kedatangan seorang laki-laki Abisinia akap menghancurkan rumah suci mereka dan tempat berhala-berhala mereka, Seorang laki-laki bernama Dhu-Nafar — salah seorang bangsawan day terpandang di Yaman — tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang Arab lainnya yang bersedia berjuang melawan Abraha serta maksudnya yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapa menghalangi Abraha. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi tawanan, Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin Habib al. Khath’ami ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari kabilah Syahran dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan, yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk jalan. Ketika Abraha sampai di Taif penduduk tempat itu mengatakan, bahwa rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lit. Kemudian ia diantar oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.

 

Bila Abraha sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda sebagai kurir. Dari Tihama mereka dapat membawa harta benda Quraisy dan yang lain-lain, di antaranya seratus ekor unta kepunyaan Abdl Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya orang-orang Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian berpendapat, bahwa mereka takkan mampu. Sementara itu Abraha sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan bernama Hunata dari Himyar untuk menemui pemimpin Mekah. Ia diantar menghadap Abd’l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia menyampaikan pesan Abraha, bahwa kedatangannya bukan akan berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.

 

Abraha dan Ka’bah

 

Begitu Abd’I-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata, bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah lainnya. Kedatangan delegasi Abd’I-Muttalib ini disambut baik oleh Abraha, dengan menjanjikan akan mengembalikan unta Abd’I-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai Ka’bah serta supaya menarik kembali maksudnya yang hendak menghancurkan tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran delegasi Mekah yang akan mengalah sampai sepertiga harta Tihama baginya, ditolak. Abd’I-Muttalib dan rombongan kembali ke Mekah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu dan pergi ke Jereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan Rumah Purba itu.

 

Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan kota itu dan di mana pula akan tinggal Malam itulah Abd’l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Ourassy. berkumpul sekeliling pintu Ka’bah. Dia bermohon, mereka pun bermohon minta bantuan berhala-berhala terhadap agresor yang ukan menghancurkan Baitullah itu.

 

Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Mekah sunyi dan tiba waktunya bagi Abraha mengerahkan pasukannya menghancurkan Ka’bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman, ketika itu pula wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan Abraha dan membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah dialami sebelumnya. Barangkali kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari jurusan laut, dan menular menimpa Abraha sendiri. Ia merasa ketakutan sekali. Pasukannya diperintahkan pulang kembali ke Yaman, dan mereka yang tadinya menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati. Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan anggota-anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi banyaknya.

 

Sampai juga Abraha ke Shan’a’ tapi badannya sudah dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian dia pun mati seperti anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Mekah mencatatnya sebagai Tahun Gajah. Dan ini yang diabadikan dalam Quran:

 

“Tidakkah kauperhatikan, bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap pasukan orang-orang bergajah? Bukankah Dia gagalkan rencana mereka? Dan dilepaskan di atas mereka pasukan-pasukan burung. Melempari mereka dengan batu yang keras membakar. Sehingga mereka seperti daun. daun kering yang binasa berserakan.” Kedudukan Mekah Sesudah Peristiwa Gajah

 

Peristiwa yang luar biasa ini lebih memperkuat kedudukan Mekah dalam arti agama, di samping itu telah memperkuat pula kedudukannya dalam arti perdagangan. Juga menyebabkan penduduknya lebih banyak memperhatikan dan memelihara kedudukan yang tinggi dan istimewa itu serta mempertahankannya dari segala usaha yang akan mengurangi arti atau akan menyerang kota ini. Orang-orang Mekah lebih bersemangat lagi mempertahankan kota mereka, mengingat kehidupan yang mereka, peroleh karenanya, hidup makmur dan mewah sejauh yang dapat kita bayangkan kemewahan hidup mereka di daerah padang pasir ini, gersang dan tandus.

 

Kegemaran penduduk daerah ini yang luar biasa ialah minum nabidh (minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu mereka menemukan suatu kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu kenikmatan yang akan memudah. kan mereka melampiaskan hawa nafsu, akan menjadikan dayang-dayang dan budak-budak belian yang diperjual-belikan sebagai barang dagangan itu lebih memikat hati mereka. Yang demikian ini mendorong semangat mereka mempertahankan kebebasan pribadi dan kebebasan kota mereka serta kesadaran mempertahankan kemerdekaan dan menangkis segala serangan yang mungkin datang dari musuh. Yang paling enak bagi mereka bersenang-senang waktu malam sambil minum-minum hanyalah di pusat kota sekeliling bangunan Ka’bah. Di tempat itu — di samping tiga ratus buah berhala atau lebih, masing-masing kabilah dengan berhalanya – pembesar-pembesar Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah duduk-duduk, masing-masing menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan pedalaman, dengan Yaman, orang-orang Mundhir di Hira dan orangorang Ghassan di Suria, tentang datangnya kafilah serta lalu-lintas orang:orang pedalaman.

 

Kejadian demikian itu sampai kepada mereka dalam bentuk cerita, dari suatu kabilah kepada kabilah yang lain. Setiap kabilah mempunyai “pemancar” dan “pesawat radio” yang menerima berita-berita kemudian disiarkan kembali. Masing-masing membawa cerita yang ada hubungannya dengan berita-berita orang pedalaman, kisah-kisah tetangga dan handaitolan sambil minum-minum nabidh. Dan sesudah mereka bermalam suntuk di Kabah mereka menyiapkan diri untuk hal yang sama guna lebih memuaskan kehendak hawa nafsu. Dengan mata batu permata berhala berhala itu menjenguk melihat kepada mereka yang sedang berdagang itu, dan mereka merasa mendapat perlindungan, karena Ka’bah itu dijadikan Rumah Suci dan Mekah menjadi kota aman sentosa. Demikian juga berhala-berhala mendapat jaminan mereka, bahwa tak seorang pun Ahli Kitab akan memasuki Mekah kecuali tenaga kerja yang takkan bicara tentang agama atau kitabnya.

 

Itulah sebabnya di sana tak ada koloni-koloni Yahudi seperti di Jathrib atau Nasrani seperti di Najran. Bahkan Ka’bah yang dijadikan tempat paganisma yang paling suci ketika itu mereka lindungi dari semua yang akan menghinanya, dan mereka pun berlindung ke sana dari segala serangan. Begitulah seterusnya Mekah itu bebas berdiri sendiri, seperti kabilah-kabilah Arab yang bebas pula berdiri sendiri-sendiri. Mereka tidak mau kalau kebebasannya itu diganti, dan mereka tidak pedulikan cara hidup lain selain kebebasannya ini di bawah perlindungan berhala-berhala. Masing-masing kabilah tidak pula terganggu, dan tidak pula terfikir oleh mereka akan mengadakan suatu kesatuan bangsa yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi dan Persia dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan.

 

Oleh karena itu tetaplah kabilah-kabilah itu semua tidak mempunyai sesuatu bentuk apa pun selain cara-cara hidup pedalaman, tempat mereka mencari padang rumput untuk ternak, kemudian hidup di tengah-tengah itu dengan cara hidup yang kasar, tertarik oleh segala kebebasan, kemerdekaan, kebanggaan dan kepahlawanan.

 

Rumah-rumah Penduduk di Mekah

 

Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di Mekah mengelilingi lingkungan Ka’bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu dari Ka’bah tergantung dari penting dan tingginya kedudukan sesuatu keluarga atau suku. Kaum Quraisy adalah yang terdekat letaknya dan paling banyak berhubungan dengan Rumah Suci itu. Merekalah yang memegang kuncinya dan kepengurusan air Zamzam, juga segala gelar-gelar kebangsawanan menurut paganisma ada pada mereka, yang sampai menimbulkan perang karenanya, menyebabkan adanya persekutuan, atau perjanjian-perjanjian perdamaian antara kabilah, yang tetap tersimpan di dalam Ka’bah, supaya dapat disaksikan oleh sang berhala untuk kemudian menurunkan murkanya bagi mereka yang melanggar.

 

Di belakang rumah-rumah Quraisy itu menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya, diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Termasuk umat Kristen dan Yahudi di Mekah, seperti kita sebutkan tadi — adalah juga budak. Tempat-tempat tinggal mereka jauh dari Ka’bah, malah sudah berbatasan dengan sahara.

 

Oleh karena itu percakapan mereka tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau Yahudi, tidak sampai mendekati telinga pemuka-pemuk, Quraisy dan penduduk Mekah umumnya. Letak mereka yang lebih jauh itu benar-benar membuat mereka lebih rapat lagi menutup telinga Mereka tidak mau menyibukkan diri dengan itu. Dalam perjalana, mereka melalui biara-biara dan tempat-tempat para rahib sudah biasa mereka mendengar cerita serupa itu.

 

Hanya saja apa yang sudah mulai diperkatakan orang tentang akar datangnya seorang nabi di tengah-tengah orang Arab waktu itu, sudah cukup menimbulkan heboh. Abu Sufyan pernah marah kepada Umayya bin Abi’sh-Shalt karena orang ini sering mengulang-ulang cerita para rahit tentang hal serupa itu. Dan barangkali sesuai dengan kedudukan Aby Sufyan juga ketika itu ketika ia berkata kepada kawannya itu: Para rahih itu suka membawa cerita semacam itu karena mereka tidak mengerti Soajy agama mereka sendiri. Mereka memerlukan sekali adanya seorang nabj yang akan memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi kita yang sudah punya berhala-berhala, yang akan mendekatkan kita kepada Tuhan, tidak memerlukan lagi hal serupa itu. Kita harus menentang semua pembicaraan semacam itu.

 

Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang begitu fanatik kepada Mekah dan kehidupan paganismanya, tak pernah membayangkan bahwa saatnya sudah di ambang pintu, bahwa kenabian Muhammad a.s. sudah dekat dan bahwa dari tanah Arab pagan yang beraneka ragam itu cahaya Tauhid dan sinar kebenaran akan memancar ke seluruh dunia.

 

Abdullah bin Abd’I-Muttalib

 

Abdullah bin Abd’l-Muttalib sebenarnya adalah pemuda yang berwajah tampan dan menarik. Menarik perhatian gadis-gadis dan wanitawanita Mekah. Lebih-lebih lagi yang menarik perhatian mereka ialah kisah penebusan, dan kisah seratus ekor unta yang tidak mau diterima oleh Hubal kurang dari itu. Tetapi takdir sudah menentukan Abdullah akan menjadi seorang ayah yang paling mulia yang pernah dikenal sejarah. Demikian juga Aminah bint Wahab akan menjadi ibu bagi anak Abdullah itu. Ia kawin dengan wanita itu dan selang beberapa bulan kemudian ia pun meninggal. Tak ada lagi penebusan berupa apa pun yang akan melepaskan dia dari maut. Tinggal lagi Aminah kemudian akan melahirkan Muhammad dan akan mati semasa yang dilahirkan itu masih bayi.

 

Pada halaman berikut ini silsilah keturunan Nabi yang menerangkan perkiraan tahun-tahun kelahiran mereka masing-masing.

 

 

 

 

 

 

Perkawinan Abdullah dengan Aminah – Kematian Abdullah dan Peninggalannya – Kelahiran Muhammad (tahun 570 M) — Yang Menyusukan – Halimah bint AbiDhua’ib — Cerita Membedah Dada – Muhammad di Pedalaman — Di Bawah Asuhan Abd’1-Muttalib, Kakeknya — Aminah Wafat – Abd’l-Muttalib Wafat – Di Bawah Asuhan Abu Talib, Pamannya — Perjalanan Pertama .ke Syam – Perang Fijar — Hilrl-Fudzul – Menggembala Kambing —Khadijah – Muhammad Menjalankan Perdagangan Khadijah — Perkawinannya dengan Khadijah

 

Perkawinan Abdullah dengan Aminah

 

USIA Abd’l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuh puluh tahun atay lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah dua puluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abd’I-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahab bin Abd Manaf bin Zuhra, — pemimpin suku Zuhra ketika itu — yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan anaknya menemui Wahab dan melamar putrinya. Sebagian penulis sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd’l-Muttalib juga kawin dengan Hala, putri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia.

 

Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin putri. Sesudah itu mereka pindah bersamasama ke keluarga Abd’l-Muttalib. Tak berapa lama kemudian Abdullah pun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan istri yang dalam keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan Aminah, adakah wanita lain yang datang menawarkan diri kepadanya! Rasanya tak ada gunanya menyelidiki keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi istrinya selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syam untuk menjadi istrinya di samping Aminah.

 

Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal bersama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannya pun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.

 

Kematian Abdullah dan Peninggalannya

 

Begitu berita sampai kepada Abd’l-Muttalib ia mengutus Harith — anaknya yang sulung — ke Medinah supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya. Demikian juga Abd’l-Muttalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.

 

Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman — yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Bolehjadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan, tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.

 

Kelahiran Muhammad (Tahun 570 M)

 

Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain ia pun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l-Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya, karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab, tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa’d (Banu Sa’d), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Mekah.

 

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas juga mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu lima belas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuh puluh tahun.

 

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar, sebagian lagi mengatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadhan.

 

Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal dua belas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

 

Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai sur IHistoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd’l-Muttalib.

 

Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek-moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji,! bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi,” jawab Abd’l-Muttalib.

 

Yang Menyusukan

 

Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada, Salah seorang Keluarga Sa’d yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Mekah Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itu pun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkeng dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahah Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.

 

Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya. Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia hijrah ke Medinah untuk meneruskan hubungan baik itu ia menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah meninggal sebelum ibunya.

 

Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sckali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.

 

Halimah bint Abi-Dhua’ib

 

Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua’ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lain pun tidak menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Mekah, Halimah berkata kepada Harith bin Abd’l-“Uzza suaminya: “Tidak senang aku pulang bersama dengan temantemanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga.”

 

“Baiklah,” jawab suaminya. “Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”

 

Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi bersama-sama dengan teman-temannya di pedalaman. Dia bercerita:

 

bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

 

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima”, putrinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah.

 

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

 

Cerita Membedah Dada

 

Pada masa itu, sebelum usianya mencapar tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang scbaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu bapanya: “Saudaraku yang dar Quraisy atu tclah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju puuh. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil dibalik-balikan.”

 

Dan tentang IHlalimah ani ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lulu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia, demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh Jua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”

 

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah hadis Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan — seperti cerita Halimah kepada Aminah — ketika ia dibawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menhanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu lalu mereka berkata:

 

“Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak Ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya » Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan men, bawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Tabari, tapi in masih diragukan, sebab dia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelun kenabiannya dan usianya empat puluh tahun.

 

Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalan cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahup lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akar tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah. tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai mencapai usia lima tahun, Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapa diterima. Oleh karena itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.

 

Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai menganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang lain pun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkan supaya menjalankan risalah-Nya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?”

 

Apa yang telah diisyaratkan Quran itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.

 

Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

 

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima”, putrinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah.

 

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

 

Cerita Membedah Dada

 

Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang scbaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlian, dan berkata kepada ibu bapanya: “Saudaraku yang dari OJurassy atu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil dibalik-balikan.”

 

Dan tentang Halimah ani ada juga dwernitakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia, demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”

 

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah hadis Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan — seperti cerita Halimah kepada Aminah — ketika ia dibawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu lalu mereka berkata:

 

“Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Ana Ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya » Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan men, bawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Tabari, tapi ir, masih diragukan, sebab dia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelun kenabiannya dan usianya empat puluh tahun.

 

Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimi, sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah. tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai mencapai usia lima tahun, Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.

 

Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju puth itu, dan hanya menycbutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai menganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang lain pun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkan supaya menjalankan risalah-Nya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?”

 

Apa yang telah diisyaratkan Quran itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.

 

Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Quran supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Quran tentang kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.

 

Muhammad di Pedalaman

 

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian: “Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa’d bin Bakr.”

 

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibn Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih-sayang dan hormat selama hidupnya itu.

 

Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima’ putrinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.

 

Di Bawah Asuhan Abd’l-Muttalib, Kakeknya

 

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya. Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang ke tempat keluarganya tapi tidak menjumpainya. Ia mendatangi Abd’I-Muttalib dan memberitahukan bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota Mekah. Lalu Abd’l-Muttalib pun menyuruh orang mencarinya, yang akhirnya dikembalikan oleh Waraga bin Naufal, demikian setengah orang berkata.

 

Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu, Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayang, nya kepada cucu ini, Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah — diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk Pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang, maka didudukkannya ia di sampingnya di atas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak may membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.

 

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.

 

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang-lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

 

Aminah Wafat

 

Sesuaan cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa”,! ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.

 

Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan, sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari ibunda keluhan duka kehilangan ayahnda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

 

Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya, sehingga di dalam Quran pun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim piatu? Lalu diadakan-Nya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkan-Nya jalan itu?”’

 

Abd’I-Muttalib Wafat

 

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abd’I-Muttalib masih dapat hidup febih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapan puluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ke tempat peraduan terakhir.

 

Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangkannya, sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itu pun akhirnya meninggal.

 

Sebenarnya kematian Abd’l-Muttalib ini merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga Umayya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

 

Di bawah Asuhan Abu Talib, Pamannya

 

Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan sigaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib.

 

Perjalanan Pertama ke Syarn

 

Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalih juga, karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan — ketika itu usia Muhammad baru dua belas tahun — mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap ragu. ragu dalam hati Abu Talib.

 

Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.

 

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadi’lOura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebunkebun yang lebat dengan buah-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkan dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.

 

Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling. dengan sikap menvelidiki. meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

 

Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa. Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan Ukaz, Majanna dan Dhu’-Majaz. mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Murallagat.’ Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan. melukiskan nenck-moyang mereka, peperangan mercka, kemurahan hati dan jasa jasa mereka. Didengarnya ahliahli pidato -di antaranya orang-orang Y ahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mcrcka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kcbcnaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hau nuraninya, dilihatnya ani lebih baik daripada paganisma yang tclah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa Iupa.

 

Dengan demikian sejak muda belia takdir tclah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu. tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalah-Nya itu. Yakni nsalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Perang Fijar Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-paman, nya dalam Perang Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang telah menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di kalangan kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar’ ini karena ia terjadi dalan bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah pekan-pekan dagang diadakan di Ukaz, yang terletak antara Ta’if dengan Nakhla dan antara Majanna dengar Dhu’I-Majaz, tidak jauh dari Arafat. Mereka di sana saling tukar-menuka, perdagangan, berlomba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka’bah. Pekan Ukaz adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, tempat itu Quss (bin Sa’ida) berpidato dan di tempat itu pula Orang-orang Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan suci.

 

Akan tetapi Barradz bin Oais dari kabilah Kinana tidak lagi menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan membunuh “Urwa ar-Rahhal bin “Utba dari kabilah Hawazin. Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu’man bin’I-Mundhir setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke “Ukaz membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman, Tiba-tiba Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga “Urwa lalu tampil pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.

 

Adapun pilihan Nu’man terhadap “Urwa (Hawazin) ini telah menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil kafilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut balas kepada Quraisy. Pihak Hawazin segera menyusul Quraisy sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan bahwa tahun depan perang akan diadakan di “Ukaz.

 

Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak dua puluh orang Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi pribahasa yang menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi. Ada yang mengatakan umurnya lima belas tahun, ada juga yang mengatakan dua puluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun permulaan ia berumur lima belas tahun dan pada tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur dua puluh tahun.

 

Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang Muhammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak Hawazin lalu diberikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan kemudian dia sendiri pun ikut melemparkan. Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu: sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”

 

Hilfl-Fudzul

 

Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan Abd’-Muttalib wafat, dan masingmasing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin Abd’l-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud’an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan, dihadiri oleh keluargakeluarga Hasyim, Zuhra dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya sampai Orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Milf’l-Fudzul. Ia mengatakan: “Aku tidak suka mengganti pakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud’an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti kukabulkan.”

 

Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum-minuman keras serta peibagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya.

 

Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang ter, batas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka. pemuka Mekah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyut. kan diri ke dalam kesenangan demikian itu.

 

Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah-olah tidak ikut sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama penduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin,!

 

Menggembala Kambing

 

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berfikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.”

 

Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungarnnya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri. Kerana hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta ini. Bukankah juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari, bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan semesta alam yang tampak membentang di depannya, berhubungan satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan, matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan sampai — selama tugasnya di pedalaman itu — ada domba yang sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan alam yang begitu kuat ini?

 

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.

 

Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata, bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

 

Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah itu terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang martabatnya jauh di bawah Muhammad?

 

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak pernah Muhammad mempedulikan bal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh materi. Apa gunanya ia mengejar itu Padahaj sudah menjadi bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.

 

Bukankah dia juga yang pernah berkata: “Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai kenyang”? Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapj penderitaan hidup? Cara orang mengejar harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, samasekali tidak pernah dikenal Muhammag selama hidupnya. Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suaty kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang. Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang kuat, sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan menyesuai. kannya dengan kehidupan batin.

 

Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala pemikir, yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.

 

Khadijah

 

Akan tetapi Abu Talib pamannya — seperti sudah kita sebutkan tadi – hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rezeki yang akan diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah bint Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu usahanya itu terus dikembangan.

 

Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya — yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.

 

“Anakku”, kata Abu Talib, “aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?”

 

“Terserahlah paman”, jawab Muhammad.

 

Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah.

 

“Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?” tanya Abu Talib. “Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor.”

 

“Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai.” Demikian jawab Khadijah.

 

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan peristiwa itu. “Ini adalah rezeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu,” katanya.

 

Muhammad Menjalankan Perdagangan Khadijah

 

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’-Oura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala umurnya baru dua belas tahun.

 

Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal itu menambah dia lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Mekah.

 

Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam. Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu, dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta — seperti sudah kita uraikan di atas.

 

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, Mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disuka oleh Khadijah.

 

Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Marr’-z-Zahran Ketika itu Maisara berkata: “Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu.”

 

Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya, ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisara pun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

 

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia — yang sudah berusia empat puluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy — tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya — kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?”

 

“Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan”, jawab Muhammad.

 

“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?”

 

“Siapa itu?”

 

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah”.

 

“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

 

Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka ia pun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh pamanpaman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan.

 

Perkawinannya dengan Khadijah

 

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

 

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-istri dan ibu-bapa, suami-istri yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.

 

 

 

 

 

 

Perawakan dan Sifat-sifat Muhammad — Membangun Ka’bah Kembali – Merombak dan Membangun Ka’bah — Keputusan Muhammad tentang Hajar Aswad «Jatuhnya Kekuasaan di Mekah dan Pengaruhnya — Pemikir-pemikir Quraisy dan Paganisma — Putra-putri Muhammad — Perkawinan Putri-putrinya — Menjauhi Dosa ke Gua Hira — Kecenderungan Muhammad Menyendiri – Mencari Kebenaran — Mimpi Hakiki – Wahyu Pertama (tahun 610 M) — Khadijah Lambang Ketulusan

 

DENGAN dua puluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammag melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-istri dan ibu. bapa, saling mencintai — cinta sebagai pemuda berumur dua puluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Oasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib!’ telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Mereka pun sangat setia dan hormat kepadanya. Perawakan dan Sifat-sifat Muhammad

 

Paras mukanya manis dan indah, perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak kemerah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat, pandangan matanya tajam, dengan bulu mata yang hitam pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dar indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal, Bila berjalan badannya agak condong ke depan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaannya, membuat orang patuh kepadanya.

 

Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.

 

Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia memutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu ia pun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.

 

Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai istri yang sungguh setia itu Membangun Ka’bah Kembali

 

Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itu pun pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi sasaran pencur mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut, kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi beratap, dewa Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencang kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam lagenda yang mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.

 

Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan ragu-ragu, Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi, sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum’ yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui haj ini, maka berangkatlah al-Walid bin’I-Mughira dengan beberapa Orang dari Quraisy ke Jedah. Kapai itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna mem. bantu mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa dia pun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.

 

Merombak dan Membangun Ka’bah

 

Sudut-sudut Ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian, tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin’I-Mughirah tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewa nya mulai ia merombak bagian sudut selatan.? Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, mereka pun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.

 

Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dari gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunan pun segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba masanya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga Abd’d-Dar dan keluarga “Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang mana pun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abd’d-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La’aqar’d-Damm, yakni ‘jilatan darah”.

 

Keputusan Muhammad tentang Hajar Aswad

 

Abu Umayya bin’I-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:

 

“Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini.”

 

Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: “Ini al-Amin: kami dapat menerima keputusannya.”

 

Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Ia pun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain”, katanya. Setelah kain dibawakan, dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya: “Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.”

 

Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.

 

Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapan belas hasta (411 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di Suduy barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkar barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberj beratap menjadi sasaran pencurian.

 

Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka’bah dan memberikan keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur dua puluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapar umurnya tiga puluh lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja, tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa, disusuy “dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain laly mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka’bah menunjukkan betapa tingginya kedudukannya di mata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.

 

Jatuhnya Kekuasaan di Mekah dan Pengaruhnya

 

Adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La’agar’d. Damm (Jilatan Darah), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa. menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh. Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd’-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya sesudah matinya Abd’l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.

 

Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itu pun membawa akibat secara wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu — suatu hal yang tidak akan berani mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang Owuraisy sendiri, meskipun pemukapemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini sebenarnya beralasan sekali, sebab mereka melihat, bahwa agama yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir. Dengan adanya penyembahan-penyembahat berhala dalam Ka’bah, ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan. Dan memang demikianlah sebenarnya, di balik kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.

 

Pemikir-pemikir Quraisy dan Paganisma

 

Ada beberapa keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu hari masyarakat Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan berhala “Uzza, empat orang di antara mereka diam-diam meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. “Amr, Usman bin’l-Huwairith, “Ubaidullah b. Jahsy dan Waraga b. Naufal.

 

Mereka satu sama lain berkata: “Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan, mereka dalam kesesatan. Apa artinya kita mengeliling batu itu: mendengar tidak, melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkan pun juga tidak. Hanya darah korban yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama lain, bukan ini.”

 

Dari antara mereka itu kemudian Waraga menganut agama Nasrani. Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. “Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya. Kemudian masuk Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi istrinya ‘Umm Habiba bint Abi Sufyan – tetap dalam Islam, sampai kemudian ia menjadi salah seorang istri Nabi dan Umm’I-Mu’minin.

 

Zaid b. “Amr malah pergi meninggalkan istri dan al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia meninggalkan agama masyarakatnya dan menjauhi berhala. Dialah yang berkata, sambil bersandar ke dinding Ka’bah: “Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembah-Mu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak mengetahuinya.”

 

Usman bin’I-Huwairith, yang masih berkerabat dengan Khadijah pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga, bahwa ia mengharapkan Mekah akan berada di bawah kekuasaan Rumawi dan dia berambisi ingin menjadi Gubenurnya. Tetapi penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah. Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.

 

Putra-putri Muhammad

 

Selama bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Ia menemukan dalam dir, Khadijah teladan wanita terbaik, wanita yang subur dan penuh kasih menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti: al-Oasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyih serta putri-putri seperti Zainab, Rugayya, Umm Kulthum dan Fatimah Tentang al-Oasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali, disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orang tua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.

 

Pada tiap kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan, ditimpa kesedihan berulang. ulang? Perasaan sedih karena kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup terbayang pada istrinya, terlihat setiap ia pulang ke rumah duduk. duduk di sampingnya.

 

Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan anak-anak perem: puan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dari itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.

 

Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan denga? membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka’bah, menyembelih hewan buat Hubal, Lat. “Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir. Ia ingin  menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan tetapi, semua korban-korban dan penyembelihan itu tidak berguna samasekali.

 

Perkawinan putri-putrinya

 

Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu”). Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l“Ash bin’r-Rabi” b. “Abd Syams — ibundanya masih bersaudara dengan Khadijah — seorang pemuda yang dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam — ketika Zainab akan hijrah dari Mekah ke Medinah — mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih terperinci nanti. Rugayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan “Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua istri ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan istri mereka, yang kemudian berturutturut menjadi istri Usman.!

 

Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.

 

Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu ternyata tenteram adanya. Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan bersama Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda yang bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila Muhammad membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula yang dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia berpikir dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalah-Nya. Begitu besar dan kuatnya kecenderungan rohani yang ada padanya, ia tidak ingin menjadikan dirinya sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli pikir seperti dilakukan oleh Waraga b. Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya hanyalah kebenaran semata. pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia bermenung. Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit sekali dinyatakan kepada orang lain.

 

Menjauhi Dosa ke Gua Hira

 

Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rezeki dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan fahannuf dan tahannuth.’

 

Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam dirinya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai mar’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.

 

Kecenderungan Muhammad Menyendiri

 

Di puncak Gunung Hira” — sejauh dua farsakh? sebelah utara Mekah — terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia bertekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya Kebenarg, semata.

 

Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalan hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusi, sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalan kesadaran batinnya segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.

 

Mencari Kebenaran

 

Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalan kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para pendeta, melainka dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalan bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut, ata dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuap wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakikat Tertinggi. Dalam usah mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktek. kan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai korban-korban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rezeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapa pun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan “Uzza, dan semua patung dan berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.

 

Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mam kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan buminya. dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kt hangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang ia tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkdl di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan Tetapi apa eter itu? Apa hidup yang kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubahubah, dan tidak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?

 

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira”. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya terus-menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena dia pun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.

 

Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulamaulama berlainan pendapat. Dalam Tarikhnya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.

 

Mimpi Hakiki

 

Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira’, ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanya pun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki, yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini

 

dicarinya. Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.

 

Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka darj kesesatan ‘itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing-masing meman benar, tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak mengenal segala macan Spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. “Barangsiap, mengerjakan kebaikan seberat atom pun akan dilihat-Nya. Dan barang. siapa mengerjakan kejahatan seberat atom pun akan dilihat-Nya pula.” Dan bahwa surga itu benar adanya dan neraka pun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah, mereka itulah menghuni neraka tempat tinggal dan kediaman yang paling durhaka.

 

Muhammad sudah menjelang usia empat puluh tahun. Pergi ia ke Hira melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.

 

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan jin.

 

Tetapi istri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. Dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran istri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihan-Nya itu dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.

 

Wahyu Pertama (tahun 610 M)

 

Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya:   “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab:   “Saya tak dapat membaca.” Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi:   “Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab:   “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata:

 

“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ………….

 

Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikat pun pergi, setelah katakata itu terpateri dalam kalbunya.?

 

Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.

 

Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanyatanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.

 

Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menciptakan manusia, dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang Mengajarkan kepada manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?

 

Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya, tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya.Dahsyat sekaj: terasanya. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. la memalingkan muka darj yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.

 

Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: “Selimuti aku!” ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya istrinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.

 

“Khadijah, kenapa aku?” katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan terpedaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja. Khadijah Lambang Ketulusan

 

Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram ke dalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:

 

“O putra pamanku.’ Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah,? aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan kau, sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”

 

Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata yenuh terima kasih dan rasa kasih. Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang luar biasa kuatnya. Suatu kehidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulusikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.

 

 

 

 

Percakapan Khadijah dengan Waraga b. Naufal – Wahyu Terputus – Turunnya Surah Adh-Dhuha – Seruan untuk Kebenaran Semata —Sembahyang — Islamnya Abu Bakr —Kaum Muslimin yang Mula-mula — Quraisy dan Kaum Muslimin – Keluarga-keluarga yang Dekat — Islam dan Kebebasan — Penyair-penyair Quraisy – Minta Mukjizat — Muhammad Menyerang Berhala — Apa Tujuan Sejarah — Banu Hasyim Menjauhkan Muhammad dari Quraisy — Siksaan Quraisy terhadap Kaum Muslimin — Tabah Mengalami Siksaan — Dakwah Muhammad dan Metoda Ilmiah Sekarang — Esensi Dakwah Muhammad — Hamzah Masuk Islam — “Utba b. Rabi’a Diutus Quraisy — Hijrah ke Abisinia — Dua Orang Utusan Quraisy kepada Negus – Jawaban Muslimin kepada Utusan Quraisy — Raja dan Kalangan Istana — Muslimin dan Agama Kristen Abisinia — Ruh dan Islam — Islamnya Umar Ibn’I-Khattab

 

MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi mengajaknya bicara itu.

 

Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar, dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi, sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu ke mana saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.

 

Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah depan mata hatinya. Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu harapan, kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.

 

Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya berpindahpindah dari harapan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.

 

Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraga b. Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraga adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bible dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan harapan yang ada dalam dirinya. Waraga menekur sebentar, kemudian katanya: “Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraga. Khadijah, percayalah, dia telah menerima Namus Besar’ seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah.”

 

Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, nafasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:

 

“O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmu pun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu.”?

 

Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat.

 

“Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah”, jawabnya “Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada Uma, manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?”

 

Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia men, ceritakan apa yang didengarnya dari Waraga tadi. Dengan penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besa, kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata, mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa, kalbu dan fikiran yang sudah begitu tinggi, membubung melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia, manusia yang menyembah patung dan membawakan korban-korban ke sana: mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat mendatangkan bencana dan keuntungan, Mereka membayangkan, bahwa itu patut disembah dan diagungkan, Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masy tahannuth itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari gua Hira”, sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.

 

Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang, di. dudukkannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itu pun masih juga dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.

 

Percakapan Khadijah dengan Waraqa b. Naufal

 

Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi Ka’bah. Di tempat itu Waraga b. Naufal menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraga berkata:

 

“Demi Dia Yang memegang hidup Waraga. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahui-Nya pula.”

 

Lalu Waraga mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammad pun segera merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraga itu, dan merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.

 

Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy supaya turut beriman, padahal ia tahu benar mereka sangat kuat mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan sanak famili yang dekat.

 

Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang telah menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka, agar mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang baik, dengan mcmberikan kepada orang berdekatan, hakhak mereka, begitu juga kcpada orang yang dalam perjalanan, agar mereka menjauhkan diri dari menyembah batu batu yang mercka buat jadi berhala, yang menurut dugaan mercka akan mengampuni segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mercka lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu. Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. la mempenngatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi, supaya semua itu menjadi tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya itu akan memahami pula kebesaran al-Khalik Pencipta alam semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur. Mereka akan diisi oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan memerintahkannya, supaya mengajak mereka.

 

Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang Sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala seperti yang Yilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi orang yang akan menyembah berhala? Laly bagaimana pula akan membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda hawa nafsu, hawa nafsu yang akan menjerumuskan mereka sampai kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingar, kan manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi masalah besar itu.

 

Wahyu Terputus

 

Ia sedang menantikan bimbingan wahyu dalam menghadapi masalah. nya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi jalannya, Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibril pun tidak datang lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu. Ia merasa terasing darj orang, dan dari dirinya. Kembali ia merasa dalam ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon Khadijah pernah mengatakan kepada. nya: “Mungkin Tuhan tidak menyukai engkau.”

 

Ia masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi dalam gua Hira”. Ia ingin membubung tinggi dengan seluruh jiwanya, menghadapkan diri kepada Tuhan, akan menanyakan: Kenapa ia lalu ditinggalkan sesudah dipilihNya? Kecemasan Khadijah pun tidak pula kurang rasanya.

 

Ia mengharap mati benar-benar kalau tidak karena merasakan adanya perintah yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi ia kepada dirinya, kemudian kepada Tuhannya. Konon katanya: Pernah terpikir olehnya akan membuang diri dari atas Hira’ atau dari atas puncak gunung Abu Oubais. Apa gunanya lagi hidup kalau harapannya yang besar ini jadi kering lalu berakhir?

 

Turunnya Surah Adh-Dhuha

 

Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian itu — sesudah sekian lama terhenti — tiba-tiba datang wahyu membawa firman Tuhan:

 

“Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila senyap kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak merasa benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari Tuhan kepadamu. Maka engkau pun akan bersenang hati. Bukankah Ia mendapati kau seorang piatu, lalu diberi-Nya tempat berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu diberi-Nya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak piatu, jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang yang meminta, jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau sebarkan.”

 

Maha Mulia Allah. Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa gembiranya dalam hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya. Bibirnya pun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa Tuhan sudah tidak menyukai Muhammad dan ia pun tidak lagi merasa takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua dengan rahmat-Nya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang samasekali dari hatinya.

 

Tak ada lagi bunuh diri.

 

Yang ada sekarang ialah hidup dan ajakan kepada Allah, dan hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di bumi bersujud belaka kepada-Nya. Hanya Dialah Yang Hak, dan yang selain itu batil adanya. Hanya kepada-Nya hati manusia dihadapkan, seluruh hidup ke sana juga bergantung dan kepada-Nya pula ruh akan kembali. “Sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang.”

 

Seruan untuk Kebenaran Semata

 

Ya, hari kemudian tempat berkumpulnya jiwa dengan segala bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang dan waktu, dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi, berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan menjadi tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu hanya bayangan belaka, yang tiada berguna. Kebenaran inilah yang cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad, dan yang baru akan dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana mengajak orang ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada Tuhan, ia harus membersihkan pakaiannya serta menjauhi perbuatan mungkar. Ia harus tabah menghadapi segala gangguan demi menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada ilmu yang belum mereka ketahui, jangan menolak orang meminta, jangan berlaku bengis terhadap anak piatu. Cukuplah Tuhan telah memilihnya sebagai pengemban amanat. Maka katakanlah itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah menemukannya sebagai seorang piatu, lalu dilindungi-Nya di bawah asuhan kakeknya Abd’l-Muttalib dan Paman, hya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin, telah diberi kekayaan dengar amanat Tuhan kepadanya. Dipermudah pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya, kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan yang penuh cinta kasih, yang memberi naseha, Yengan rasa kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan lalu diberi-Nya petunjuk berupa risalah. Cukuplah semua itu. Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat mungkin.

 

Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang telah dipilih, Nya. Ia tidak ditinggalkan-Nya, juga tidak dibenci-Nya. Sembahyang

 

Tuhan telah mengajarkan Nabi bersembahyang, maka ia pun ber, sembahyang, begitu juga Khadijah ikut pula sembahyang. Selain putri, putrinya, tinggal bersama keluarga itu Ali bin Abi Talib sebagai anak muda yang belum baligh. Pada waktu itu suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luar biasa. Abu Talib adalah keluarga yang banyak anaknya. Muhammad sekali berkata kepada Abbas, pamannya — yang pada masa itu adalah yang paling mampu di antara Keluarga Hasyim – “Abu Talib saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang yang mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya itu, Aku akan mengambilnya seorang kau pun seorang untuk kemudian kita asuh.”

 

Kerana itu Abbas lalu mengasuh Ja’far dan Muhammad mengasuh Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.

 

Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku'” dan sujud serta membaca beberapa ayat Quran yang sampai pada waktu itu sudah diwahyukan kepadanya. Anak itu tertegun berdiri: “Kepada siapa kalian sujud?” tanyanya setelah sembahyang selesai.

 

“Kami sujud kepada Allah”, jawab Muhammad. “Yang mengutusku menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah Allah.”

 

Lalu Muhammad pun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah semata tiada bersekutu se:ta menerima agama yang dibawa Nabi utusan-Nya dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan “Uzza. Muhammad lalu membacakan beberapa ayat Quran. Ali sangat terpesona karena ayat-ayat itu luar biasa indahnya.

 

Ia minta waktu akan berunding dengan ayahnya lebih dulu. Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi esoknya ia memberitahukan kepada suami-istri itu, bahwa ia akan mengikuti mereka berdua, tidak perlu minta pendapat Abu Talib.

 

“Tuhan menjadikan saya tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib. Apa gunanya saya harus berunding dengan dia untuk menyembah Allah.”

 

Jadi Ali adalah anak pertama yang menerima Islam. Kemudian Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih terbatas hanya dalam lingkungan keluarga Muhammad: dia sendiri, istrinya, saudara sepupunya dan bekas budaknya. Masih juga ia berpikir-pikir, bagaimana akan mengajak kaum Quraisy itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya mereka itu dan betapa pula kuatnya mereka berpegang pada berhala yang disembah-sembah nenek-moyang mereka itu.

 

Islamnya Abu Bakr

 

Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim adalah teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah diketahuinya benar ia sebagai orang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Oleh karena itu orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan penyembahan berhala, adalah dia. Juga dia laki-laki pertama tempat dia membukakan isi hatinya akan segala yang dilihat serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi memenuhi ajakan Muhammad dan beriman pula akan ajakannya itu. Jiwa yang mana lagi yang memang mendambakan kebenaran masih akan ragu-ragu meninggalkan penyembahan berhala dan untuk kemudian menyembah Allah Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih mau menyembah batu yang bagaimanapun bentuknya! Jiwa yang mana lagi yang sudah bersih masih akan ragu-ragu membersihkan pakaian dan jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan dan berbuat kebaikan kepada anak piatu!

 

Keimanannya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya itu segera diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang seorang pria yang rupawan. “Menjadi kesayangan masyarakatnya dan amikal sekali. Dari kalangan Quraisy ia termasuk orang Quraisy yang berketurunan tinggi dan yang banyak mengetahui segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang jahat. Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik ia cukup terkenal. Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka Mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya karena ilmunya karena perdagangannya dan karena pergaulannya yang baik.” ‘

 

Dari kalangan masyarakatnya yang dipercayai oleh Abu Bakr diajak, nya mereka kepada Islam. Usman b. “Affan, Abdurrahman b. “Auf, Talha b. “Ubaidillah, Sa’d b. Abi Waggash dan Zubair bin’I-“Awwam mengikut, nya pula menganut Islam. Kemudian menyusul pula Abu “Ubaida bin, Djarrah, dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah. Mereka yang sudah Islam itu lalu datang kepada Nabi menyatakan Islamnya, yang selanjutnya menerima ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri.

 

Kaum Muslimin yang Mula-mula

 

Mengetahui. adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka kaum Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila mereka akan melakukan salat, mereka pergi ke celah-celah gunung di Mekah, Keadaan serupa ini berjalan selama tiga tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk Mekah. Wahyu yang datang kepada Muhammad selama itu makin memperkuat iman kaum Muslimin.

 

Yang menambah pula dakwah itu berkembang sebenarnya karena teladan yang diberikan Muhammad sangat baik sekali, ia penuh bakti dan penuh kasih-sayang, sangat rendah hati dan penuh kejantanan, tutur katanya lemah-lembut dan selalu berlaku adil, hak setiap orang masing. masing ditunaikan. Pandangannya terhadap orang yang lemah, terhadap piatu, orang yang sengsara dan miskin adalah pandangan seorang bapa yang penuh kasih, lemah-lembut dan mesra. Malam hari pun, dalam ia bertahajud, malam ia tidak cepat tidur, membaca wahyu yang disampaikan kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari pertanda dari segenap wujud ini, permohonannya selalu dihadapkan hanya kepada Allah. Dia, yang menyerapkan hidup semesta ini ke dalam dirinya dan ke dalam jantung kehidupannya sendiri, adalah suatu teladan yang membuat mereka yang sudah beriman dan menyatakan diri Islam itu, makin besar cintanya kepada Islam dan makin kukuh pula imannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan anutan nenek-moyang mereka dengan menanggung segala siksaan kaum musyrik yang hatinya belum lagi disentuh iman.

 

Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah mengenal arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum yang lemah, semua orang yang sengsara dan semua orang yang tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar di Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, pria dan wanita. Quraisy dan Kaum Muslimin

 

Orang banyak bicara tentang Muhammad dan tentang ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya tidak menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa kata-katanya tidakkan lebih dari kata-kata pendeta atau ahliahli semacam Ouss, Umayya, Waraga dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya, yang akhirnya akan menang ialah Hubal, Lat dan “Uzza, begitu juga Isaf dan Na’ila yang dibawai korban. Mereka lupa bahwa iman yang murni tak dapat dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan mendapat kemenangan. Keluarga-keluarga yang Dekat

 

Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah datang supaya ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu datang:

 

“Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat. Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang beriman yang mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau, katakanlah, “Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu.”! “Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak usah kau hiraukan orang-orang musyrik itu ”

 

Muhammad pun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka kepada Allah. Tetapi Abu Lahab, pamannya, lalu menyetop pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang mereka. Selesai makan, katanya kepada mereka: “Saya tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya bawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu sekalian. Siapa diantara kamu ini yang mau mendukungku dalam hal ini?”

 

Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit – ketika itu ia masih anak-anak, belum lagi baligh.

 

“Rasulullah, saya akan membantumu,” katanya. “Saya adalah lawan Siapa saja yang kautentang.”

 

Banu Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib kepada anaknya. Kemu, dian mereka semua pergi meninggalkannya dengan ejekan.

 

Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah Suatu hari ia naik ke Shafa’ dengan berseru: “Hai masyarakat Quraisy  Tapi orang Quraisy itu lalu membalas: “Muhammad bicara dari atas Shafa.” Mereka lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya. “Ada apa?”

 

“Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?”

 

“Ya,” jawab mereka. “Engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat engkau berdusta.”

 

“Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang Sungguh berat,” katanya. “Banu Abd’l-Muttalib, Banu “Abd Manaf, Bany Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad. Allah memerintah. kan aku memberi peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat. Tak ada sesuatu bagian atay keuntungan yang dapat kuberikan kepada kamu, selain kamu ucapkan: Tak ada tuhan selain Allah.”

 

Atau seperti dilaporkan: Abu Lahab — seorang laki-laki berbadan gemuk dan cepat naik darah — kemudian berdiri sambil meneriakkan: “Celaka kau hari ini. Untuk ini kau kumpulkan kami?”

 

Muhammad tak dapat bicara. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:

 

“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilar-jilat akan menggulungnya.”

 

Islam dan Kebebasan

 

Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja orang yang Isiam — menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih mereka yang tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan untuk sekadar melepaskan renungan akan apa yang telah diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang berkecukupan, baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri. Tidak dipedulikannya harta itu, juga tidak akan memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh (lapang dada, toleransi). Ya, bahkan dia yang menerima wahyu menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah suatu kutukan terhadap jiwa.

 

“Kamu telah dilalaikan oleh perlombaan saling memperbanyak. Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kamu ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kamu mengetahui dengan meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat mereka. Kemudian, tentu akan kamu lihat itu dengan mata yang meyakinkan. Hari itu kemudian baru kamu akan ditanyai tentang kesenangan itu.”

 

Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu! Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang tak ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi setiap manusia Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri! Ya! Bukankah orang mau melepaskan diri dari belenggu dengan pengabdian yang bagaimanapun selain pengabdiannya kepada Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada Hubal, tak ada Lat, “Uzza. Tak ada api Majusi, matahari orang Mesir, tak ada bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin (pengikut-pengikut Isa), tak ada seorang manusia pun, atau malaikat atau pun jin yang akan menjadi batas antara Allah dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya di hadapan-Nya Yang Tunggal tak bersekutu, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan, yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah yang menjadi perantaraannya. Hati kecilnya yang akan menimbang semua perbuatan. Hanya itulah yang berkuasa atas dirinya. Dengan itulah dipertanggungkan ketika setiap jiwa mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad itu? Adakah Abu Lahab dan kawankawannya mengajarkan yang semacam itu — sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan supaya manusia tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?

 

Penyair-penyair Quraisy

 

Akan tetapi Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, hartawan-hartawan yang gemar bersenangSenang, mulai merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Jadi yang mula-mula harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara mendiskreditkannya, d: mendustakan segala apa yang dinamakannya kenabian itu. an

 

Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah Membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin’I-Harith, “Amr bin’IAsh dan Abdullah ibn’z-Ziba’ra, supaya mengejek dan menyerangnya. Dalam pada itu penyair-penyair Muslimin juga tampil membalas serangan Mereka tanpa Muhammad sendiri yang harus melayani.

 

Minta Mukjizat

 

Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mukjizat yang akan dapat mem. buktikan kerasulannya: mukjizat-mukjizat seperti pada Musa dan Isa, Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak disunglapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama inj membuat Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?

 

Tidak hanya sampai di situ saja kaum musyrikin itu mau mengejeknya dalam soal-soal mukjizat, malahan ejekan mereka makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?

 

Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang datang kepada Muhammad menjawab debat mereka:

 

“Katakanlah: “Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib-ghaib, niscaya kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahaya pun tidak menyentuhku. Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa berita gembira bagi mereka yang beriman.”

 

Ya. Muhammad hanya mengingatkan dan membawa berita gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?! Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi padahal yang diharapkannya dari mereka agar mereka mau menerima suara yang sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?!

 

Bagaimana pula mereka masih menuntutnya dengan beberapa mukjizat, padahal kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan yang benar itu adalah mukjizat dari segala mukjizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat lagi dengan keanehankeanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu nanti mereka pun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah mereka atau tidak?

 

Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak lebih adalah batu-batu atau kayu yang disangga atau berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah pasir, yang tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya. Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut pembuktian sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang dituntut, pasti ia akan tetap batu atau kayu, tanpa hidup, tanpa gerak, untuk dirinya pun ia tak dapat menolak bahaya atau membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang menghancurkannya ia pun takkan dapat mempertahankan diri.

 

Muhammad Menyerang Berhala

 

Muhammad pun sudah terang-terangan menyebut berhala-berhala mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya. Ia mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan demikian. Hal ini menjadi soal besar bagi Quraisy dan dirasakan menusuk hati mereka. Tentang lakiJaki itu, serta apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia, sekarang mulai sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka. Sampai sebegitu jauh mereka baru sampai memperolok kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar’n-Nadwa,’ atau di sekitar Ka’bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah mereka dengan sikap tidak lebih dari senyuman mengejek dan berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, “Uzza dan semua berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan cemoohan, melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau, andaikata orang itu sampai dapat menghasut penduduk Mekah melawan mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil apa yang akan diperolehnya dari perdagangan Mekah itu? Dan bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?

 

Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar itu pemuka-pemuka bangsawan Quraisy — dengan diketahui oleh Abu Sufyan b. Harb – pergi menemui Abu Talib.

 

“Abu Talib”, kata mereka, “kemenakanmu itu sudah memak, berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan, harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita. Soalnya sekarang harus kauhentikan dia, kalau tidak biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami tidak sejalan maka cukuplah engkau dari pihak kami menghadapi dia.”

 

Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas dakwahnya dan dakwah itu pun mendapat pengikut bertambah banyak.

 

Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai “Umara bin I-Waliq bin’I-Mughira, seorang pemuda yang montok dan rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak angkat, dan sebagai gantinya Supaya Muhammad diserahkan kepada mereka. Tetapi ini pun ditolak, Muhammad terus juga berdakwah, dan Quraisy pun terus juga berkomplot.

 

Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib.

 

“Abu Talib”, kata mereka, “Engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta supaya menghentikan kemenakanmu itu, tetapi tidak juga kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan mencela berhala-berhala kita — sebelum kau suruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa.”

 

Berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang harus dilakukannya?

 

Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan Quraisy. Lalu katanya: “Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”

 

Apa Tujuan Sejarah

 

Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan sebuah sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak tahu hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi dunia, adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan Kristen yang sudah gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan busuk? Atau ia harus memancarkan terus sinar kebenaran itu, memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran manusia dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan mengangkatnya ke martabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?

 

Pamannya, ini pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela dan memeliharanya. Ia sudah mau meninggalkan dan melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak berdaya akan berperang, tidak dapat melawan Quraisy yang punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah manusia. Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran. Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang. Tak punya apa-apa ia selain imannya kepada kebenaran itu sebagai perlengkapan. Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian itu baginya lebih baik daripada yang sekarang. Ia akan meneruskan misinya, akan mengajak orang seperti yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman kebenaran yang telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah atau ragu-ragu.

 

Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia menoleh kepada pamannya seraya berkata:

 

“Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh udak akan kutinggalkan, biar nanti Allah Yang akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku, atau aku binasa karenanya.”

 

Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman itu! Gementar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad, tertegun ia. Ternyata ia berdiri di hadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada.

 

Muhammad berdiri. Air matanya terasa menyumbat karena sikap pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas kesangsian dalam hatinya sedikit pun akan jalan yang ditempuhnya itu.

 

Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan sikap kemenakannya itu. Tetapi kemudian dimintanya Muhammad datang lagi, yang lalu katanya:

 

“Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun juga!”

 

Banu Hasyim Menjauhkan Muhammad dari Quraisy

 

Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib disampaikan kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Pembicaraannya tentang Muhammad itu terpengaruh oleh suasana yang dilihat dan dirasakannya ketika itu. Dimintanya supaya Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy. Mereka semua menerima usul ini, kecuali Abu Lahab. Terang, terangan ia menyatakan permusuhannya. Ia menggabungkan diri pada pihak lawan mereka. Permintaan mereka supaya ia dilindungi itu sudah tentu karena terpengaruh oleh fanatisma kegolongan dan permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya. Tetapi bukan fanatisma itu saja yang mendorong Quraisy bersikap demikian. Ajarannya itu sungguh berbahaya bagi kepercayaan yang biasa dilakukan oleh leluhur mereka, Kedudukan Muhammad di tengah-tengah mereka, pendiriannya yang teguh serta ajarannya pada kebaikan supaya orang hanya menyembah Zat Yang Tunggal, yang pada waktu itu memang sudah meluas juga di kalangan kabilah-kabilah Arab, bahwa agama Allah itu bukanlah seperti yang ada pada mereka sekarang, membuat mereka dapat membenarkan juga sikap kemenakan mereka itu, Muhammad, dalam menyatakan pendiriannya, seperti yang pernah dilakukan oleh Umayya b. Abi’sh-Shalt dan Waraga b. Naufal dan yang lain. Kalau Muhammad memang benar – dan ini yang tidak dapat mereka pastikan — maka kebenaran itu akan tampak juga dan mereka pun akan merasakan pula kemegahannya. Sebaliknya, kalau tidak atas dasar kebenaran, maka orang pun akan meninggalkannya seperti yang sudah terjadi sebelum itu. Akhirnya ajaran demikian ini tidak akan meninggalkan bekas dalam mengeluarkan mereka dari tradisi yang ada dan dia sendiri pun akan diserahkan kepada musuh supaya dibunuh.

 

Terhadap gangguan Quraisy ia dapat berlindung kepada golongannya, seperti kepada Khadijah bila ia mengalami kesedihan. Baginya — dengan imannya yang sungguh-sungguh dan cinta-kasihnya yang besar — Khadijah adalah lambang kejujuran yang dapat menghilangkan segala kesedihan hatinya, yang dapat menguatkan kembali setiap ciri kelemahan yang mungkin timbul karena siksaan musuh-musuhnya yang begitu keras menentangnya serta melakukan penyiksaan terus-menerus terhadap pengikut-pengikutnya.

 

siksaan Quraisy terhadap Kaum Muslimin

 

Sebelum itu sebenarnya Quraisy memang tidak pernah mengenal hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah itu langsung menyerbu kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka, disiksa dan dipaksa melepaskan agamanya, sehingga di antara mereka ada yang mencampakkan budaknya,. Bilal, ke atas pasir di bawah terik matahari yang membakar, dadanya ditindih dengan batu dan akan dibiarkan mati. Soalnya karena ia teguh bertahan dalam Islam! Dalam kekerasan semacam itu Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad — Hanya Yang Tunggal!” Ia memikul semua siksaan itu demi agamanya.

 

Ketika pada suatu hari oleh Abu Bakr dilihatnya Bilal mengalami siksaan begitu rupa, ia dibelinya lalu dibebaskan. Tidak sedikit budakbudak yang mengalami kekerasan serupa itu oleh Abu Bakr dibeli — di antaranya budak perempuan Umar bin’l-Khattab, dibelinya dari Umar (sebelum masuk Islam). Ada pula seorang wanita yang disiksa sampai mati karena ia tidak mau meninggalkan Islam kembali kepada kepercayaan leluhurnya.

 

Kaum Muslimin di luar budak-budak itu, dipukuli dan dihina dengan berbagai-bagai. Muhammad juga tidak terkecuali mengalami gangguangangguan — meskipun sudah dilindungi oleh Banu Hasyim dan Banu alMuttalib. Umm Jamil, istri Abu Jahl, melemparkan najis ke depan rumahnya. Tetapi cukup Muhammad hanya membuangnya saja. Dan pada waktu sembahyang, Abu Jahl melemparinya dengan isi perut kambing yang sudah disembelih untuk sesajen kepada berhala-berhala. Ditanggungnya gangguan demikian itu dan ia pergi kepada Fatimah, putrinya, supaya mencucikan dan membersihkannya kembali. Ditambah lagi, di’ samping semua itu, kaum Muslimin harus menerima kata-kata biadab dan keji ke mana saja mereka pergi.

 

Cukup lama hal serupa itu berjalan. Tetapi kaum Muslimin tambah teguh terhadap agama mereka. Dengan dada terbuka mereka menerima siksaan dan kekerasan itu — demi akidah dan iman mereka.

 

Tabah Mengalami Siksaan

 

Perioda yang telah dilalui dalam hidup Muhammad ‘a.s. ini adalah perioda yang paling dahsyat yang pernah dialami oleh sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang yang menuntut kebenaran serta keyakinannya akan kebenaran itu. Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi mereka yang mengalami penderitaan, dan membebaskan mereka dari belenggu paganisma yang rendah, yang menyusup ke dalam jiwa manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangar memalukan.

 

Demi tujuan rohani yang luhur itulah — tidak untuk tujuan yang lain – ia mengalami siksaan. Penyair-penyair memakinya, orang-orang Quraisy sama berkomplot hendak membunuhnya di Ka’bah. Rumahnya dilempari batu, keluarga dan pengikut-pengikutnya diancam. Tetapi dengan semua itu malah ia makin tabah, makin gigih meneruskan dakwah. Jiwa kaum mukmin yang mengikutinya itu sudah padat oleh ucapannya:

 

“Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah Yang akan membuktikan kemenangan itu, di tanganku atau aku binasa karenanya.”

 

Segala pengorbanan yang besar-besar itu tak ada artinya bagi mereka, maut pun sudah tak berarti lagi demi kebenaran, dan membimbing Quraisy ke arah rtu. Kadang orang heran, iman sudah begitu mempersona. kan jiwa penduduk Mekah pada waktu agama ini belum lengkap, pada waktu ayat-ayat Quran yang turun masih sedikit. Kadang juga Orang mengira, bahwa pribadi Muhammad, sifatnya yang lemah-lembut, keindahan akhlaknya serta kejujurannya yang sudah cukup dikenal, di sampin: kemauan yang keras dan pendiriannya yang teguh, adalah sebab dari se ua itu. Sudah tentu ini juga ada pengaruhnya. Akan tetapi ada sebab-sebab lain yang juga patut diperhatikan yang tidak sedikit pula ikut memegang peranan.

 

Muhammad tinggal dalam suatu daerah yang merdeka mirip-mirip sebuah republik. Dari segi keturunan ia menempati puncak yang tinggi. Harta pun sudah cukup seperti yang dikehendakinya. Ia dari Keluarga Hasyim pula, juru kunci Ka’bah dan penguasa urusan air. Gelar-gelar keagamaan yang tinggi-tinggi ada pada mereka. Jadi dalam keadaan itu ia tidak lagi membutuhkan harta kekayaan, pangkat atau sesuatu kedudukan politik atau agama. Dalam hal ini ia berbeda pula dengan para rasul dan nabi-nabi sebelumnya. Musa yang dilahirkan di Mesir bertemu dengan Firaun yang oleh penduduk sudah dituhankan, dan Firaun juga yang berkata: “Aku adalah tuhanmu yang tertinggi”, yang dibantu pula oleh pemuka-pemuka agama melakukan tekanan kepada orang dengan pelbagai macam kekejaman, pemerasan dan pemaksaan. Revolusi yang dilakukan Musa atas perintah Tuhan adalah revolusi dalam struktur politik dan agama sekaligus. Bukankah keinginannya supaya Firaun dan orang yang menimba air dengan syaduf dari sungai Nil itu di hadapan Tuhan sama sederajat? Jadi di mana ketuhanan Firaun itu dan di mana pula ketentuan yang berlaku! Harus dihancurkan semua itu dan revolusi itu pun terlebih dulu harus bersifat politik.

 

Oleh karena itu, dari semula ajaran Musa itu sudah mendapat perlawanan hebat dari Firaun. Dengan demikian, supaya orang menerima seruannya itu, ia diperkuat oleh mukjizat-mukjizat. Ia melemparkan tongkatnya, dan tongkat itu menjadi seekor ular yang bergerak-gerak, menelan semua hasil pekerjaan tukang-tukang sihir Firaun itu. Itu pun tidak memberi hasil apa-apa buat Musa. Terpaksa ia meninggalkan Mesir tanahairnya. Dalam hijrahnya itu pun diperkuat pula ia dengan sebuah mukjizat yaitu terbelahnya jalan di tengah-tengah air lautan itu.

 

Juga Isa, yang dilahirkan di Nazareth di bilangan Palestina, yang pada waktu itu merupakan wilayah Rumawi yang berada di bawah kekuasaan kaisar-kaisar dengan segala kekejamannya sebagai pihak penjajah dan kekuasaan dewa-dewa Rumawi, — mengajak orang supaya sabar menghadapi kekejaman itu dan bertobat bagi yang menyesal dan macam-macam perasaan belas-kasih lagi, yang oleh pihak penguasa justru dianggap pemberontakan terhadap kekuasaan mereka. Maka Isa juga diperkuat dengan mukjizat-mukjizat: menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang sakit, dan yang lain diperkuat oleh Ruh Kudus. Memang benar, bahwa inti ajaran-ajaran mereka itu pada dasarnya bertemu dengan inti ajaran-ajaran Muhammad juga, lepas dari detil yang bukan tempatnya untuk dijelaskan di sini. Akan tetapi motif yang berbagai macam ini, dan yang terutama motif politik, adalah yang menjadi tujuannya juga.

 

Sebaliknya Muhammad, keadaannya seperti yang kita sebutkan di atas, sifat ajarannya adalah intelektual dan spiritual. Dasarnya adalah mengajak kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan. Suatu ajakan yang berdiri sendiri dari mula sampai akhir. Karena jauhnya dari segala pertentangan politik, struktur republik yang sudah ada di Mekah itu tidak pernah mengalami-sesuatu kekacauan.

 

Dakwah Muhammad dan Metoda Ilmiah Sekarang

 

Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini ialah mengharuskan kita — apabila kita hendak mengadakan suatu penyelidikan — terlebih dulu membebaskan diri dari segala prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada diri kita yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di situlah kita memulai dengan mengadakan observasi dan eksperimen, mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian baru dengan silogisma yang sudah didasarkan kepada premisa-premisa tadi. Apabila semua itu sudah dapat disimpulkan, maka kesimpulan demikian itu dengan sendirinya masih perlu dibahas dan diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini Sudah merupakan suatu data ilmiah selama penyelidikan tersebut belum memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah demikian ini ialah yang terbaik yang pernah dicapai umat manusia demi kemerdekaan berpikir. Metoda dan dasar-dasar dakwah demikian inilah pula yang menjadj begangan Muhammad.

 

Bagaimana pula mercka yang menjadi pengikutnya itu puas dan beriman sungguh-sungguh akan ajarannya? Segala kepercayaan lama terkikis habis dari jiwa mereka, dan sekarang mereka mulai memikirkan masa depan mereka.

 

Waktu itu setiap kabilah Arab mempunyai berhala sendiri-sendiri, Mana pula gerangan berhala yang benar dan mana yang sesat? Di negeri, negeri Arab dan negeri-negeri sekitarnya ketika itu memang sudah ada penganut-penganut Sabian dan Majusi penyembah api, juga ada yang menyembah matahari. Mana di antara mereka itu yang benar dan mang pula yang sesat?

 

Esensi Dakwah Muhammad

 

Baiklah kita kesampingkan dulu semua ini, kita hapuskan jejaknya dari jiwa kita. Kita bebaskan dulu diri kita dari segala konsepsi dan kepercayaan lama. Baiklah kita renungkan. Merenungkan dan meninjau pada dasarnya sama. Yang pasti ialah bahwa seluruh alam ini satu sama lain saling berhubungan. Manusia, puak-puak dan bangsa-bangsa saling berhubungan. Manusia berhubungan juga dengan hewan dan dengan benda, bumi kita berhubungan dengan matahari, dengan bulan dan tatasurya lainnya. Dan semua itu pun berhubungan pula dengan undangundang yang sudah tali-temali, tak dapat ditukar-tukar atau diubah-ubah lagi. Matahari tidak seharusnya akan mengejar bulan, malam pun takkan dapat mendahului siang. Andaikata di antara isi alam ini ada yang berubah atau berganti, niscaya akan beganti pulalah segala yang ada dalam alam ini. Andaikata matahari tidak lagi menyinari dan memanasi bumi, menurut undang-undang yang sudah berjalan sejak jutaan tahun yang lalu, niscaya bumi dan langit ini sudah akan berubah pula. Dan oleh karena yang demikian ini tidak terjadi, maka atas semua itu sudah tentu ada zat yang menguasainya. Dari situ ia tumbuh, dengan itu ia berkembang dan ke situ pula ia kembali. Hanya kepada Zat ini sajalah semata manusia menyerah. Demikian juga, segala yang ada dalam alam ini menyerah semata kepada Zat ini, persis seperti manusia. Baik manusia, alam, ruang dan waktu adalah suatu kesatuan. Maka Zat itulah inti dan sumbernya. Jadi, hanya kepada Zat itu sajalah semata ibadat dilakukan. Hanya kepada Zat itu sajalah jantung dan jiwa manusia dihadapkan. Ke dalam alam itu juga kita harus melihat dan merenungkan undang-undang alam yang kekal abadi itu. Jadi segala yang disembah manusia selain Allah berupa berhalaberhala, raja-raja, firaun-firaun, api dan matahari, hanyalah suatu ilusi batil saja, tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan manusia, tidak sesuai dengan akal pikiran manusia serta dengan kemampuan yang ada dalam dirinya, yang dapat membuat kesimpulan atas undang-undang Tuhan terhadap ciptaan-Nya itu, dengan jalan merenungkannya.

 

Inilah rasanya esensi ajaran Muhammad seperti yang diketahui kaum Muslimin yang mula-mula itu. Ajaran yang disampaikan wahyu kepada mereka melalui Muhammad itu adalah puncak dari bahasa sastra yang telah menjadi mukjizat dan akan terus berlaku demikian. Terpadunya kebenaran dan cara melukiskannya dengan keindahan yang luar biasa itu kini tampak di hadapan mereka. Di sini jiwa dan kalbu mereka meningkat lebih tinggi, berhubungan dengan Zat Yang Maha Mulia. Lalu datang Muhammad menuntun mereka bahwa kebaikan itulah jalan yang akan sampai ke tujuan. Mereka akan mendapat balasan atas kebaikan itu bilamana mereka sudah menunaikan kewajiban dalam hidup dengan tekun. Setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. “Barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarah pun akan dilihatnya, dan: barangsiapa berbuat kejahatan seberat zarah pun akan dilihatnya pula.”

 

Dalam menjunjung pikiran manusia ke tempat yang lebih tinggi kiranya tak ada yang lebih tinggi dari ini! Juga menghancurkan belenggu yang senantiasa mengikatnya itu! Terserah kepada manusia. Ia mau memahami ini, mau beriman dan mengerjakannya untuk mencapai puncak ketinggian martabat manusia itu! Demi mencapai tujuan, segala pengorbanan terasa ringan bagi orang yang sudah beriman itu.

 

Hamzah Masuk Islam

 

Karena posisi Muhammad dan pengikut-pengikutnya yang begitu agung, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib tambah ketat menjaganya dari setiap gangguan. Pada suatu hari Abu Jahl bertemu dengan Muhammad, ia mengganggunya, memaki-makinya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dialamatkan kepada agama ini. Tetapi Muhammad tidak melayaninya. Ditinggalkannya ia tanpa diajak bicara. Hamzah, pamannya dan saudaranya sesusu, yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah seorang laki-laki yang kuat dan ditakuti. Ia mempunyai kegemaran berburu. Bila ia kembali dari berburu, terlebih dulu mengelilingi Ka’bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.

 

Hari itulah, bilamana ia datang dan mengetahui bahwa kemenakannya itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap marah. Ia pergi ke Ka’bah, tidak lagi ia memberi salam kepada yang hadir di tempat itu seperti biasanya, melainkan terus masuk ke dalam mesjid menemui Abu Jahl. Setelah dijumpainya, diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya keras-keras di kepalanya. Beberapa orang dari Banu Makhzum mencoba may membela Abu Jahl. Tapi tidak jadi. Kuatir mereka akan timbul bencang dan membahayakan sekali, dengan mengakui bahwa ia memang mencaci, maki Muhammad dengan tidak semena-mena.

 

Sesudah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkorban d jalan Allah sampai akhir hayatnya.

 

“Utba b. Rabi’a Diutus Quraisy

 

Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan kawan, kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan dan siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak dapat mengurangi iman mereka dan menyatakannya terus-terang, tidak dapat menghalangi mereka me, lakukan kewajiban agama. Terpikir oleh Quraisy akan membebaskan dirj dari Muhammad, dengan cara seperti yang mereka bayangkan, memberi, kan segala keinginannya. Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah Islam, kemurnian esensi ajaran rohaninya yang begitu tinggi, berada dj atas segala pertentangan ambisi politik. “Utba b. Rabi’a, seorang bang, sawan terkemuka, mencoba membujuk Quraisy ketika mereka dalam tempat pertemuan dengan mengatakan bahwa ia akan bicara dengan Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau memberikan apa saja kehendaknya, asal ia dapat dibungkam.

 

Ketika itulah “Utba bicara dengan Muhammad.

 

“Anakku”, katanya, “seperti kau ketahui, dari segi keturunan, engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah membawa soal besar ke tengah-tengah masyarakatmu, sehingga mereka cerai-berai karenanya. Sekarang, dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa masalah, kalau-kalau sebagian dapat kauterima — Kalau dalam hal ini yang kauinginkan adalah harta, kami pun siap mengumpulkan harta kami, sehingga hartamu akan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami angkat engkau di atas kami semua, kami takkan memutuskan suatu perkara tanpa ada persetujuanmu. Kalau kedudukan raja yang kauinginkan, kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf’ yang tak dapat kautolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya dengan harta-benda kami sampai kau sembuh.” Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah as-Sajda (32 —Ha Mim). “Utba diam mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu.

 

Dilihatnya sekarang yang berdiri di hadapannya itu bukanlah seorang lakiJjaki yang didorong oleh ambisi harta, ingin kedudukan atau kerajaan, juga bukan orang yang sakit, melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang kepada kebaikan. Ia mempertahankan sesuatu dengan cara yang baik, dengan kata-kata penuh mukjizat.

 

Selesai Muhammad membacakan itu “Utba pergi kembali kepada Quraisy. Apa yang dilihat dan didengarnya itu sangat mempesonakan dirinya. Ia terpesona karena kebesaran orang itu. Penjelasannya sangat menarik sekali.

 

Persoalannya “Utba ini tidak menyenangkan pihak Quraisy, juga pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak menggembirakan mereka, sebaliknya kalau mengikutinya, maka kebanggaannya buat mereka.

 

Maka kembali lagilah mereka memusuhi Muhammad dan sahabatsahabatnya dengan menimpakan bermacam-macam bencana, yang selama ini dalam kedudukannya itu ia berada dalam perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Hijrah ke Abisinia

 

Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampaisampai ada yang dibunuh. disiksa dan semacamnya. Waktu itu Muhammad menyarankan supaya mecrcka terpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kepadanya ke mana mercka akan pergi. mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang rakyatnya menganut agama Kristen. “Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi jujur, sampa nanu Allah membukakan jalan buat kita semua.”

 

Sebagian kaum Muslimin keuka itu lalu berangkat ke Abisinia guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Mekah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi.!

 

Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Mekah sudah selamat dari gangguan Quraisy, mereka pun lalu kembali pulang, seperti yang akan diceritakan nanti. Tetapi setelah ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy melebihi yang sudahsudah, kembali lagi mereka ke Abisinia. Sekali ini terdiri dari delapan puluh orang pria tanpa kaum istri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.

 

Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam.

 

Dua Orang Utusan Quraisy kepada Negus

 

Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum Muslimin atas Saran dan anjurannya itu karena akan melarikan diri dari orang-orang kafi, Mekah beserta gangguan yang mereka lakukan, ataukah karena Suaty tujuan politik Islam, yang di balik itu dimaksudkan oleh Muhammag dengan tujuan yang lebih luhur? Sudah pada tempatnya pula apabila sejarah Muhammad itu akan bertanya tentang hal ini, setelah terbukti darj sejarah Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa dia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang pembawa risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung yang tak ada taranya, Dan yang menjadi alasan dalam hal ini ialah apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Mekah tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia. Bahkan mereka kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi. Mereka membawa hadiah-hadiah berharga guna menyakinkan raja supaya dapat mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air mereka. Pada waktu itu penduduk Abisinia dan penguasanya adalah orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang Quraisy tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.

 

Disebabkan oleh rasa kegelisahan terhadap peristiwa itukah maka mereka lalu mengutus orang, meminta supaya kaum Muslimin itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa perlindungan Najasyi terhadap mereka setelah mendengar keterangan mereka itu akan membawa pengaruh juga kepada penduduk jazirah Arab sehingga mereka akan mau menerima agama Muhammad dan mau menjadi pengikutnya. Ataukah mereka kuatir, kalau kaum Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan bertambah kuat, sehingga bila kelak mereka pulang kembali membantu Muhammad, mereka kembali dengan kekuatan, harta dan tenaga?

 

Kedua orang utusan itu ialah “Amr bin’l-“Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud supaya mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Mekah itu kepada mereka.

 

“Paduka Raja”, kata mereka, “mereka datang ke negeri paduka ini adalah budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka, mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka. Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada mereka. Mereka lebih mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan memaki-maki.”

 

Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar-pembesar istana kerajaan, setelah mereka menerima hadiahhadiah dari penduduk Mekah, bahwa mereka akan membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui raja. Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu datang menghadap.

 

“Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama lain?” tanya Najasyi setelah mereka datang.

 

Jawaban Muslimin kepada Utusan Quraisy

 

Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja’far b. Abi Talib.

 

“Paduka Raja”, katanya, “ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkai pun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan tetangga pun kami tidak baik: yang kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya, dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula. Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan nenek-moyang kami menyembahnya. Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta, untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang bersih. Ia minta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Selanjutnya disuruhnya kami melakukan salat, zakat dan puasa. (Lalu disebutnya beberapa ketentuan Islam). Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah Yang Tunggal, tidak mempersekutukanNya dengan apa dan siapa pun juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menghasut supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala, supaya kami membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, mereka menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kami pun keluar pergi ke negeri tuan ini. , jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di deka” tuan, dengan harapan di sini takkan ada penganiayaan.”

 

“Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?” tanya Raja itu lagi.

 

“Ya”, jawab Ja’far: lalu ia membacakan Surah Mariam dari Pertama sampai pada firman Allah:

 

“Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka: Bagai, mana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia? Dia (Isa berkata: “Aku adalah hamba Allah, diberi-iNya aku Kitab dan dijadikan, Nya aku seorang Nabi. Dijadikan-Nya aku pembawa berkah di mana Saja aku berada, dan dipesankan-Nya kepadaku melakukan sembahyang dan zakar selama hidupku. Dan berbaktilah aku kepada ibuku, bukan dijadikan-Nya aku orang congkak yang celaka. Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan, tatkala aku mati dan tatkala aku hidup kembali!”

 

Raja dan Kalangan Istana

 

Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam Injil, pemuka-pemuka istana itu terkejut: “Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus”, kata mereka.

 

Najasyi lalu berkata: “Kata-kata ini dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan (kepada kedua orang utusan Quraisy) pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!”

 

Keesokan harinya “Amr bin’!-“Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luar biasa terhadap Isa anak Mariam. Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakan itu.

 

Setelah mereka datang, Ja’far berkata: Tentang dia pendapat kami seperti yang dikatakan Nabi kami: “Dia adalah hamba Allah dan Utusan-Nya, Ruh-Nya dan Firman-Nya yang disampaikan kepada Perawan Mariam.

 

Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di tanah. Dan dengan gembira sekali baginda berkata:

 

“Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”

 

Setelah dari kedua belah pihak itu didengarnya, ternyatalah oleh Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui Isa, mengenal adanya

 

Kristen dan menyembah Allah.

 

Selama di Abisinia itu kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu kembali ke Mekah untuk pertama kalinya — dan Muhammad pun masih di Mekah.

 

Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekah masih juga mengganggunya dan mengganggu sahabat-sahabatnya, mereka pun kembali lagi ke Abisinia. Mereka terdiri dari delapan puluh orang tanpa wanita dan anak-anak. Adakah kedua kali hijrah mereka itu hanya semata-mata melarikan diri dari gangguan ataukah — meskipun dalam perencanaan Muhammad sendiri — mereka mempunyai tujuan politik? Sebaliknya ahli sejarah akan dapat mengungkapkan hal ini.

 

Muslimin dan Agama Kristen Abisinia

 

Sudah pada tempatnya bagi penulis sejarah hidup Muhammad akan bertanya: bagaimana Muhammad dapat tenang membiarkan sahabatsahabatnya pergi ke Abisinia, padahal agama penduduk itu adalah agama Nasrani, agama ahli kitab. Nabi mereka Isa yang diakui kerasulannya oleh Islam? Lalu ia tidak kuatir mereka akan tergoda seperti yang dilakukan oleh Quraisy walaupun dengan cara lain? Bagaimana pula ia akan merasa tenang terhadap godaan itu, mengingat Abisinia adalah negeri makmur: yang tidak sama dengan Mekah, dan lebih dapat mempengaruhi daripada Quraisy? Kenyataannya, dari kalangan Muslimin yang pergi ke Abisinia itu sudah ada seorang yang masuk Kristen. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa kekuatiran akan adanya godaan ini seharusnya selalu ada pada Muhammad mengingat keadaannya yang masih lemah dan mereka yang menjadi pengikutnya masih menyangsikan kemampuannya melindungi diri mereka sendiri atau akan dapat mengalahkan musuh mereka. Besar sekali dugaan bahwa hal demikian memang sudah terlintas dalam pikiran Muhammad, melihat inteleknya yang begitu tinggi dengan ketajaman pikiran dan pandangannya yang jauh, yang semuanya itu seimbang dengan jiwa besarnya, dengan kemurnian rohaninya, budi pekerti yang luhur serta perasaannya yang halus sekali itu.

 

Tetapi sungguhpun begitu, dari segi ini ia yakin dan tenang sekali. Pada waktu itu — dan sampai pada waktu pembawa risalah itu wafat — inti ajaran Islam masih bersih sekali, kemurniannya masih belum ternodakan. Seperti ajaran Nasrani di Najran, Hira dan Syam, begitu juga paham Nasrani di Abisinia sudah dijangkiti oleh noda perselisihan antara mereka yang menuhankan Ibu Mariam dengan mereka yang menuhankan Isa. Di samping ada lagi yang berlainan dengan kedua golongan itu, mereka yang masih mengambil dari sumber ajaran yang murni, yang tidak perlu dikuatirkan.

 

Sebenarnya, kebanyakan agama-agama itu sesudah beberapa generasi saja berjalan, sudah dijangkiti oleh semacam paganisma, meskipun bukan dari jenis rendahan, yang waktu itu berkembang di negeri-negeri Arab. tetapi bagaimanapun paganisma juga. ‘

 

Kedatangan Islam merupakan musuh berat buat paganisma dalam segala bentuk dan coraknya. Ditambah lagi bahwa agama Nasrani waktu itu sudah mengakui adanya suatu golongan klas khusus di kalangan pemuka-pemuka agama — yang oleh Islam samasekali tidak dikenal — yang pada waktu itu merupakan golongan tertinggi dan paling suci. Juga pada waktu itu — dan dasar ini tetap berlaku — Islam merupakan agama yang menjunjung jiwa manusia ke puncak tertinggi. Tak ada peluang yang akan dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya selain daripada bakti. nya dan perbuatan yang baik, dan orang harus mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya. Tidak ada berhala-berhala, tidak ada pendeta. pendeta, tidak ada dukun-dukun dan tidak ada apa pun yang akan merintangi jiwa manusia itu untuk berhubungan dengan seluruh wujud ini dengan perbuatan dan kelakuan yang baik. Allah juga yang akan membalas segala perbuatan itu dengan berlipat ganda.

 

Ruh dan Islam

 

Dan ruh! Soal ruh adalah urusan Tuhan. Ruh yang berhubungan dengan kekekalan dan keabadian zaman. Segala perbuatan baik bagi ruh ini tak ada tabir yang akan menutupinya dari Tuhan, dan tak ada kekuasaan apa pun selain Allah. Orang-orang yang kaya, yang kuat atau yang jahat dapat saja menyiksa jasad ini, dapat saja memisahkannya dari segala kesenangan dan hawa nafsu dan dapat saja menghancurkan semua itu, tetapi ruh atau jiwa itu takkan dapat mereka kuasai selama yang bersangkutan mau menempatkannya lebih tinggi di atas segala kekuasaan materi dan waktu, dan tetap berhubungan dengan seluruh alam ini.

 

Manusia itu akan mendapat balasan atas segala perbuatan bilamana kelak setiap jiwa menerima balasan menurut apa yang telah dikerjakannya. Ketika itu seorang ayah takkan dapat menolong anaknya, dan seorang anak takkan pula dapat menolong ayahnya sedikit pun. Ketika itu harta si kaya sudah tak berguna lagi, tidak juga si kuat dengan kekuatannya, atau ahli-ahli teologi itu dengan ilmu ketuhanannya. Tetapi yang penting hanyalah perbuatan mereka, yang nanti akan menjadi saksi. Ketika itulah seluruh alam wujud berpadu semua dalam kekekalan dan keabadiannya. Tuhan tidak akan memperlakukan tidak adil terhadap siapa pun. “Dan balasan yang kamu terima hanya menurut apa yang kamu perbuat.”

 

Bagaimana Muhammad akan merasa kuatir akan adanya godaan terhadap mereka yang sudah diajarkan semua arti ini, sudah ditanamkan ke dalam jiwa mereka dan sudah pula akidah dan iman itu terpateri dalam lubuk hati mereka! Bagaimana pula ia akan merasa kuatir akan adanya godaan, sedang teladan yang diberikannya itu hidup di hadapan mereka, dengan pribadinya yang begitu dicintai, sehingga kecintaan mereka kepadanya melebihi cintanya kepada diri sendiri, kepada anak keluarganya! Pribadi, yang telah menempatkan akidah itu di atas semua raja di muka bumi ini, di langit, dengan matahari dan bulan, tatkala ia mengatakan kepada pamannya:

 

“Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau aku binasa karenanya.”

 

Pribadi inilah, pribadi yang telah disinari cahaya iman, kebijaksanaan dan keadilan, kebaikan, kebenaran serta keindahan, di samping itu adalah pribadi yang penuh rasa rendah hati, rasa kesetiaan serta keakraban dan kasih-sayang.

 

Karena itulah, sedikit pun tidak goyah hatinya melepaskan sahabatsahabatnya berangkat hijrah ke Abisinia. Keadaan mereka yang sudah merasa aman di dekat Najasyi, merasa tenang dengan agama mereka di tengah-tengah masyarakat yang tidak punya hubungan famili atau pertalian batin itu, membuat pihak Quraisy lebih menyadari, bahwa gangguan mereka terhadap kaum Muslimin – sebagai masyarakat dari sesama mereka, dari keluarga mereka dan seketurunan pula — adalah suatu penganiayaan, suatu perbuatan kekerasan dan demoralisasi yang tak berkesudahan. Itu semua adalah suatu tekanan dengan pelbagai macam siksaan kepada mereka yang sudah begitu kuat jiwanya untuk menerima siksaan demikian itu. Tetapi mereka sekarang sudah tidak lagi mendapat sesuatu gangguan. Mereka sudah menganggap, bahwa ketabahan menghadapi segala penderitaan itu adalah suatu pendekatan kepada Tuhan, dan suatu ampunan.

 

Islamnya Umar Ibn’l-Khartab

 

Waktu itu Umar ibn’I-Khattab adalah pemuda yang gagah perkasa, berusia antara tiga puluh dan tiga puluh lima tahun. Tubuhnya kuat dan tegap, penuh emosi dan cepat naik darah. Kesenangannya foya-foya dan minum-minuman keras. Tetapi terhadap keluarga ia bijaksana dan lemahlembut. Dari kalangan Quraisy dialah yang paling keras memusuhi kaum Muslimin,

 

Akan tetapi sesudah ia mengetahui, bahwa mereka sudah hijrah ke Abisinia dan mengetahui pula rajanya memberikan perlindungan kepada mereka, ia pun merasa kesepian berpisah dengan mereka itu. Ia merasakan betapa pedihnya hati, betapa pilunya perasaan mereka berpisah dengan tanah air.

 

Tatkala itu Muhammad sedang berkumpul dengan sahabat-sahabat, nya yang tidak ikut hijrah, dalam sebuah rumah di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya, Ali bin Abi Talib sepupunya, Abu Bak, b. Abi Ouhafa dan Muslimin yang lain. Pertemuan mereka ini diketahy Umar. Ia pun pergi ke tempat mereka, ia mau membunuh Muhammad. Dengan demikian bebaslah Quraisy dan kembali mereka bersatu, setelah mengalami perpecahan, sesudah harapan dan berhala-berhala mereka hina.

 

Di tengah jalan ia bertemu dengan Nu’aim b. Abdullah. Setelah mengetahui maksudnya, Nu’aim berkata:

 

“Umar, engkau menipu diri sendiri. Kaukira keluarga “Abd Manar akan membiarkan kau merajalela begini sesudah engkau membunuh Muhammad? Tidak lebih baik kau pulang saja ke rumah dan perbaiki keluargamu sendiri?!”

 

Pada waktu itu Fatimah, saudaranya, beserta Sa’id b. Zaid suamj Fatimah sudah masuk Islam. Tetapi setelah mengetahui hal ini dari Nu’aim, Umar cepat-cepat pulang dan langsung menemui mereka. Di tempat itu ia mendengar ada orang membaca Quran. Setelah mereka merasa ada orang yang sedang mendekati, orang yang membaca itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan kitabnya.

 

“Aku mendengar suara bisik-bisik apa itu?!” tanya Umar.

 

Karena mereka tidak mengakui, Umar membentak lagi dengan suara lantang. “Aku sudah mengetahui, kamu menjadi pengikut Muhammad dan menganut agamanya!” katanya sambil menghantam Sa’id keras-keras. Fatimah, yang berusaha hendak melindungi suaminya, juga mendapat pukulan keras. Kedua suami istri itu jadi panas hati.

 

“Ya, kami sudah Islam! Sekarang lakukan apa saja”, kata mereka.

 

Tetapi Umar jadi gelisah sendiri setelah melihat darah di muka saudaranya itu. Ketika itu juga lalu timbul rasa iba dalam hatinya. Ia menyesal. Dimintanya kepada saudaranya supaya kitab yang mereka baca itu diberikan kepadanya. Setelah dibacanya, wajahnya tiba-tiba berubah. Ia merasa menyesal sekali atas perbuatannya itu. Menggetar rasanya ia setelah membaca isi kitab itu. Ada sesuatu yang luar biasa dan agung dirasakan, ada suatu seruan yang begitu luhur. Sikapnya jadi lebih bijaksana.

 

Ia keluar membawa hati yang sudah lembut dengan jiwa yang tenang sekali. Ia langsung menuju ke tempat Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu sedang berkumpul di Shafa. Ia minta izin akan masuk, lalu menyatakan dirinya masuk Islam. Dengan adanya Umar dan Hamzah dalam Islam, maka kaum Muslimin telah mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat.

 

Dengan Islamnya Umar ini kedudukan Quraisy jadi lemah sekali. Sekali lagi mereka mengadakan pertemuan guna menentukan langkah Jebih lanjut. Sebenarnya peristiwa ini telah memperkuat kedudukan kaum Muslimin, telah memberikan unsur baru berupa kekuatan yang luar biasa yang menyebabkan kedudukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan kedudukan mereka terhadap Quraisy sudah tidak seperti dulu lagi. Keadaan kedua belah pihak ini kemudian diteruskan oleh suatu perkembangan politik baru, penuh dengan peristiwa-peristiwa, dengan pengorbanan-pengorbanan dan kekerasan-kekerasan baru lagi, yang sampai menyebabkan terjadinya hijrah dan munculnya Muhammad sebagai politikus di samping Muhammad sebagai Rasul.

 

 

 

Kembalinya Mereka yang Hijrah ke Abisinia – Gharanig yang Luhur — Kontradiksi

mdalam Cerita Ini – Alasan Pendukungnya — Sebabnya Muhajirin Kembali ke Abisinia — Alasan dengan Ayat-ayat Quran Terbalik Adanya -Cerita yang Kacay dari Segi Ilmiah – Konteks Surah an-Najm Menolak — Segi Semantik — Kejujuran Muhammad Tidak Membenarkan Adanya Cerita Ini – Memfitnah Tauhid Kembalinya Mereka yang Hijrah ke Abisinia

 

KAUM Muslimin yang hijrah ke Abisinia tinggal selama tiga bulan di sana. Sementara itu Umar ibn’I-Khattab sudah pula masuk Islam. Setelah para pengungsi ini mengetahui bahwa pihak Quraisy sudah mulai surut dari mengganggu Muhammad dan pengikut-pengikutnya — setelah Umar masuk Islam — menurut sebuah sumber, banyak di antara mereka itu yang kembali, dan sumber lain mengatakan semua mereka itu kembali ke Mekah. Tetapi setelah mereka sampai di Mekah, ternyata pihak Quraisy kembali menyiksa kaum Muslimin, bahkan lebih keras lagi daripada yang pernah dialami kaum pengungsi itu dulu. Sebagian mereka ada yang kembali ke Abisinia, ada pula yang memasuki Mekah atau di dekat-dekatnya dengan sembunyi-sembunyi. Konon katanya, bahwa mereka yang kembali itu membawa pula sejumlah kaum Muslimin dan mereka ini tinggal di Abisinia sampai sesudah Hijrah dan sesudah keadaan Muslimin di Medinah jadi lebih stabil.

 

Apa pula motif yang mendorong kaum Muslimin di Abisinia itu kembali sesudah tiga bulan mereka tinggal di sana? Di sinilah munculnya cerita gharaniq itu yang dilangsir oleh Ibn Sa’d dalam At-Tabagat’l-Kubra dan oleh at-Tabari dalam Tarikh’r-Rusul wal-Muluk, yang juga sama dilangsir oleh ahli-ahli tafsir kalangan Muslimin dan penulis-penulis sejarah Nabi, dan lalu diambil pula oleh sekelompok Orientalis yang dalam sekian lama oleh mereka tetap dipertahankan.

 

Gharaniq yang Luhur

 

Adapun timbulnya cerita gharanig itu ialah, setelah Muhammad melihat pihak Quraisy menjauhinya dan sahabat-sahabatnya disiksa.

 

berharap-harap sambil mengatakan: Coba aku tidak mendapat perintah apa-apa yang kiranya akan menjauhkan mereka dari aku. Ia mengumpulkan golongannya dan mereka bersama-sama pada suatu hari duduk-duduk dalam sebuah tempat pertemuan di sekitar Mekah. Kepada mereka dibacakannya Surah An-Najm sampai pada firman Allah: “Adakah kamu perhatikan Lat dan “Uzza. Dan itu Manat ketiga, yang terakhir?” Sesudah jtu lalu dibacakannya pula: “Itu gharanig yang luhur, perantaraannya sungguh dapat diharapkan.”

 

Kemudian ia meneruskan membaca Surah itu seluruhnya sampai pada akhirnya ia sujud. Ketika itu semua orang ikut sujud, tak ada yang ketinggalan. Pihak Quraisy menyatakan kepuasannya atas apa yang telah dibaca Muhammad itu.

 

Kata mereka: “Kami tahu sudah bahwa Allah itu menghidupkan dan mematikan, menciptakan dan memberi rezeki. Tetapi dewa kami ini menjadi perantara kami kepada-Nya. Kalau ternyata dia juga kauberi tempat, maka kami pun setuju dengan kau.”

 

Dengan demikian hilanglah perselisihan dengan mereka itu. Peristiwa tersebut lalu tersebar di kalangan umum hingga sampai juga ke Abisinia. Pihak Muslimin lalu berkata: Di sana ada keluarga-keluarga dekat kami yang sangat kami cintai. Lalu mereka pun pulang kembali. Apabila pada tengah hari mereka sampai ke dekat Mekah mereka bertemu dengan rombongan kafilah Kinana yang lalu dan rombongan itu pun menjawab: Ia menyebutkan dewa-dewa mereka dengan baik dan mereka pun lalu mengikutinya. Kemudian ia berbalik lagi mencela dewa-dewa mereka itu dan mereka pun lalu memusuhinya lagi. Perbuatan mereka itu dibicarakan oleh pihak Muslimin. Tidak tahan lagi mereka ingin menemui keluarga, dan mereka lalu memasuki Mekah.

 

Sebabnya maka Muhammad berbalik tidak mau menyebutkan dewadewa Quraisy dengan baik — menurut beberapa sumber yang mencatat berita ini — ialah karena ia sudah tidak tahan atas ucapan Quraisy: “Kalau ternyata dewa-dewa kami juga kauberi tempat, maka kami pun setuju dengan kau,” dan karena ketika dia sedang duduk-duduk di rumahnya hingga sore Jibril datang dan bertanya:

 

“Aku membawakan dua anak kalimat ini kepadamu?” dengan menunjuk kepada “Itu gharanig yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.”

 

Muhammad pun menjawab:

 

“Aku mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan oleh Allah.” Kemudian Allah mewahyukan:

 

“Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang apa yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kamy memalsukannya dengan yang lain.”

 

Ketika itulah mereka mengambil engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung Juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada akan mempunyai penolong menghadapi Kami.”

 

Dengan begitu kembali ia memburuk-burukkan dewa-dewa Quraisy itu, dan Quraisy pun kembali lagi memusuhinya dan mengganggu sahabat, sahabatnya.

 

Kontradiksi dalam Cerita Ini

 

Demikianlah cerita gharanig ini, yang bukan seorang saja dari penulis. penulis biografi Nabi yang menceritakannya, demikian juga ahli-ahli tafsir turut menyebutkan, dan tidak sedikit pula kalangan Orientalis yang memang sudah sekian lama mau bertahan. Jelas sekali dalam cerita ini ada kontradiksi. Dengan sedikit pengamatan saja hal ini sudah dapat digugurkan.

 

Di samping itu cerita ini berlawanan pula dengan segala sifat kesucian setiap nabi dalam menyampaikan risalah Tuhan. Memang mengherankan sekali apabila ada beberapa penulis sejarah Nabi dan ahli tafsir dari kalangan Islam sendiri yang masih mau menerimanya. Oleh karena itu Ibn Ishaq tidak ragu-ragu lagi ketika menjawab perianyaan dengan mengatakan bahwa cerita itu bikinan orang-orang atheis.

 

Alasan Pendukungnya

 

Akan tetapi mereka yang berpegang pada alasan ini berusaha membenarkannya dengan berpegang pada ayat-ayat:

 

“Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau …….” sampai pada firman Tuhan: “Dan tiada seorang rasul atau seorang nabi yang Kami utus sebelum kau, apabila ia bercita-cita, setan lalu memasukkan gangguan ke dalam cita-citanya itu. Tetapi Allah menghapuskan apa yang dimasukkan setan itu. Kemudian Allah menguatkan keterangan-keterangan-Nya itu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana. Apa yang dimasukkan setan itu adalah ujian bagi mereka yang berpenyakit dalam hatinya dan berhati batu. Dan mereka yang melakukan kesalahan akan berada dalam pertentangan yang tak berkesudahan.”?

 

Ada orang yang menafsirkan kata “bercita-cita” jtu dengan arti

 

“membaca”, ada pula yang menafsirkannya dengan arti “bercita-cita” seperti yang sudah umum dikenal. Kedua mereka ini masing-masing berpendapat — diikuti oleh Orientalis-orientalis — bahwa Quraisy telah

 

sampai di puncaknya menyiksa sahabat-sahabat Nabi, ada yang mereka bunuh, ada pula yang dilemparkan ke padang pasir, dijilat oleh terik matahari yang membakar, ditindih pula dengan batu seperti yang dialami oleh Bilal. Karena itu terpaksa ia menyuruh mereka hijrah ke Abisinia. Demikian juga masyarakatnya sendiri pun begitu kasar terhadap dirinya yang juga kemudian memboikotnya. Tetapi karena ia begitu menjaga keislaman mereka yang sudah lepas dari penyembahan berhala, ia pun lalu mendekati kaum musyrik dan membacakan Surah an-Najm dengan menambahkan lagi cerita gharanig. Sesudah ia sujud mereka pun ikut pula sujud. Mereka lalu memperlihatkan suatu kecenderungan hendak mengikutinya, karena ia sudah memberi tempat kepada dewa-dewa mereka itu di samping Allah.

 

Atas peristiwa ini — yang juga disebutkan dalam beberapa buku biografi dan buku-buku tafsir — Sir William Muir menganggapnya sebagai suatu argumen yang kuat tentang adanya cerita gharanig itu. Selanjutnya kaum Muslimin yang telah berangkat ke Abisinia itu belum lagi selang tiga bulan sejak mereka mengungsi, yang dalam pada itu mereka telah diberi suaka dengan baik sekali oleh pihak Najasyi. Kalau tidak karena tersiarnya berita, bahwa antara Muhammad dengan Quraisy sudah tercapai kompromi, tentu tak ada motif lain yang akan mendorong mereka itu kembali, ingin berhubungan dengan keluarga dan kerabat mereka. Dan dari mana pula akan ada kompromi antara Muhammad dengan Quraisy itu, kalau bukan Muhammad juga yang mengusahakannya. Di Mekah ia termasuk minoritas dengan tenaga yang masih lemah. Juga sahabat-sahabatnya masih lemah sekali untuk dapat mempertahankan diri dari gangguan dan penyiksaan Quraisy.

 

Sebabnya Muhajirin Kembali ke Abisinia

 

Alasan-alasan yang dikemukakan mereka, dengan mengatakan, bahwa cerita gharanig itu benar adanya, adalah suatu alasan yang lemah sekali dan tidak tahan uji. Baiklah kita mulai dulu dengan menolak Muir. Kembalinya kaum Muslimin ke Mekah dari Abisinia, pada dasarnya karena dua sebab:

 

Pertama, karena Umar ibn’I-Khattab masuk Islam tidak lama.setelah mereka hijrah. Umar masuk Islam dengan semangat yang sama seperti ketika ia menentang agama ini dahulu. Ia masuk Islam tidak sembunyisembunyi. Malah terang-terangan ia mengumumkan di depan orang banyak dan untuk itu ia bersedia melawan mereka. Ia tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap di celah-cela pegunungan Mckah dalam melakukan ibadat, menjauhkan diri jauh dari gangguan Quraisy. Bahkan ia terus mclawan Quraisy sampai nanti dia beserta kaum Muslimin itu dapat melakukan ibadat dalam Ka’bah.

 

Di sinilah pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang dialamj Muhammad dan sahabat-sahabatnya, hampir-hampir menimbulkan perang saudara, yang akibat-akibatnya tidak akan dapat dibayangkan, dan, Siapa pula yang akan binasa. Ada orang-orang dari kabilah-kabila Quraisy dan dari keluarga-keluarga bangsawannya yang sudah menerima Islam, mereka akan lalu berontak bila siapa saja dari kabilahnya itu ada yang terbunuh sekalipun orang itu berlainan agama. Jadi, dalam me. merangi Muhammad ini, mereka harus menempuh suatu cara yang tidak akan membawa akibat yang begitu berbahaya. Di samping itu supaya cara ini dapat pula disepakati oleh Quraisy mereka mengadakan genjatan senjata dengan pihak Muslimin, sehingga dengan demikian tiada seorang pun dari mereka itu yang boleh diganggu.

 

Inilah yang telah sampai kepada kaum pengungsi di Abisinia itu, dan membuat mereka berpikir-pikir akan kembali ke Mekah.

 

Kedua. Sungguhpun begitu, barangkali mereka masih maju mundur juga akan kembali, kalau tidak karena adanya sebab kedua yang telah menguatkan niat mereka, yakni pada waktu itu di Abisinia sedang berkecamuk suatu pemberontakan melawan Najasyi, yang dilancarkan karena adanya suatu tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia melaksanakan janjinya dan memperlihatkan rasa kasih-sayangnya kepada kaum Muslimin. Kaum Muslimin sendiri menyatakan harapannya sekiranya Tuhan akan memenangkan Negus terhadap lawannya itu. Tetapi mereka sendiri tidak sampai melibatkan diri dalam pemberontakan, karena mereka adalah orang-orang asing, dan lagi mereka belum begitu lama tinggal di Abisinia. Bahwa yang telah sampai kepada mereka itu berita-berita perdamaian antara Muhammad dengan Quraisy, perdamaian yang menyelamatkan Muslimin dari gangguan yang pernah mereka alami, maka bagi mereka akan lebih baik meninggalkan kekacauan yang ada sekarang dan kembali bergabung kepada keluarga mereka sendiri.

 

Inilah yang telah mereka lakukan semua, atau sebagian dari mereka.

 

Hanya saja, sebelum mereka sampai ke Mekah, pihak Quraisy sudah berkomplot lagi terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kabilahkabilah mereka sudah mengadakan persetujuan tertulis bersama-sama, mereka berjanji mengadakan pemboikotan total terhadap Banu Hasyim: tidak akan saling berjual-beli.

 

Dengan adanya perjanjian itu perang yang tak berkesudahan antara kedua belah pihak itu pun segera berkecamuk lagi. Sekarang mereka yang telah pulang dari Abisinia itu kembali lagi ke sana. Bersama mereka ikut pula orang-orang yang masih dapat pergi bersama-sama. Sekali ini mereka menghadapi kekerasan dari Quraisy, yang berusaha hendak merintangi mereka itu hijrah.

 

Jadi, bukanlah kompromi seperti yang disebutkan Muir itu yang menyebabkan Muslimin kembali dari Abisinia, melainkan karena adanya perjanjian perdamaian sebagai akibat Umar yang telah masuk Islam serta semangatnya yang berapi-api hendak membela agama ini. Jadi dukungan mereka atas adanya cerita gharanig dengan alasan kompromi itu, adalah dukungan yang samasekali tidak punya dasar.

 

Alasan dengan Ayat-ayat Quran Terbalik Adanya

 

Adapun alasan yang dikemukakan oleh penulis-penulis biografi dan ahli-ahli tafsir dengan ayat-ayat: “Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau …….. ? dan “Dan tiada seorang rasul atau seorang nabi yang Kami utus sebelum kau, apabila ia bercita-cita, syaitan lalu memasukkan gangguan ke dalam cita-citanya itu …….. ” adalah alasan yang lebih kacau lagi dari argumen Sir Muir. Cukup kita sebutkan ayat pertama itu saja dalam firman Tuhan: “Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit,” untuk kita lihat, bahwa setan telah memasukkan gangguan ke dalam cita-cita Rasul itu, sehingga hampir saja ia cenderung kepada mereka sedikit-sedikit, tetapi Tuhan menguatkan hatinya sehingga tidak sampai dilakukannya, dan kalau dilakukan juga, Tuhan akan menimpakan hukuman berlipat ganda dalam hidup dan mati.

 

Jadi, dengan membawa ayat-ayat ini sebagai alasan, jelaslah alasan itu terbalik adanya.

 

Jalan cerita gharanig ini ialah bahwa Muhammad telah benar-benar berpihak kepada Quraisy dan Quraisy pun sudah benar-benar pula menggodanya sehingga ia mau mengatakan sesuatu yang tidak difirmankan Tuhan. Sedang ayat-ayat di sini menegaskan, bahwa Tuhan telah menguatkan hatinya, sehingga dia tidak melakukan hal itu. Bilamana disebutkan demikian, bahwa buku-buku tafsir dan sebab-sebabnya turun Quran membuat ayat-ayat ini dapat mengubah masalah gharanig, kita lihat bahwa alasan ini berlawanan sekali dengan kesucian para rasul dalam menyampaikan tugas mereka, dan bertentangan dengan seluruh sejarah Muhammad. Suatu alasan yang kacau, bahkan lemah samasekali.

 

Sedang bunyi ayat-ayat: “Dan tiada seorang rasul dan seorang nabi yang Kami utus sebelum kau …….. ” samasekali tak ada hubungannya dengan cerita gharanig itu. Apalagi yang menyebutkan bahwa Tuhan telah menghapuskan gangguan “yang dimasukkan setan dan akan menjadikan godaan bagi mereka yang berpenyakit dalam hatinya dan berhati baty. kemudian Allah menguatkan keterangan-keterangan-Nya. Dan’ Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.

 

Cerita yang Kacau dari Segi Ilmiah

 

Bilamana cerita ini diteliti dengan penyelidikan ilmiah ternyata ia tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang pertama sekali sebagai bukti lalah adanya beberapa sumber yang beraneka-ragam. Pernah diceritakan . Seperti disebutkan di atas — bahwa ungkapan itu ialah “Itu gharanig yang luhur, perantaraannya sungguh dapat diharapkan.” Sumber lain menye. butkan: “Gharaniga yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.” Sumber selanjutnya menyebutkan: “Perantaraannya dapat diharapkan.” tanpa menyebutkan gharaniga atau gharanig. Sumber keempat mengata. kan: “Dan sebenarnya itulah gharanig yang luhur.” Sumber kelima menyebutkan: “Dan sebenarnya mereka itulah gharanig yang luhur, dan perantaraan mereka bagi mereka yang diharapkan.”’ Dalam beberapa buku hadis disebutkan adanya sumber-sumber lain di samping yang lima tadi. Adanya keaneka-ragaman dalam sumber-sumber tersebut menunjuk. kan, bahwa hadis itu palsu adanya, dan bikinan golongan atheis, seperti kata Ibn Ishaq, dan tujuannya ialah hendak menanamkan kesangsian tentang kebenaran ajakan Muhammad dan risalah Tuhan itu.

 

Konteks Surah an-Najm Menolak

 

Bukti lain yang lebih kuat dan pasti, ialah konteks atau susunan Surah an-Najm yang samasekali tidak menyinggung soal gharanig ini. Konteks itu seperti dalam firman Tuhan:

 

“Sungguh dia telah melihat keterangan-keterangan yang amat besar dari Tuhan. Adakah kamu perhatikan Lat dan “Uzza? Dan Manat ketiga, yang terakhir? Adakah untuk kamu itu yang laki-laki dan untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu ini adalah pembagian yang tak seimbang. Ini hanyalah nama-nama yang kamu buat sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah tidak memberikan kekuasaan karenanya, yang mereka turuti hanyalah prasangka dan kehendak nafsu belaka. Dan pada mereka pimpinan yang benar dari Tuhan sudah pernah ada.”

 

Susunan ini jelas sekali, baiwa Lat dan “Uzza adalah nama-nama yang dibuat-buat oleh kaum musyrik, mereka dan nenek-moyang mereka, sedang Allah tidak memberikan kekuasaan untuk itu. Bagaimana mungkin susunan itu akan berjalan sebagai berikut: Adakah kamu perhatikan Lat dan “Uzza. Dan Manat ketiga, yang terakhir. Itu gharanig yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan. Adakah untuk kamu itu yang laki-laki dan untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu ini adalah pembagian yang tak seimbang. Ini hanyalah nama-nama yang kamu buat sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah tidak memberikan kekuasaan karenanya.”

 

Susunan ini rusak, kacau dan bertentangan satu sama lain. Dari pujian kepada Lat, “Uzza dan Manat ketiga yang terakhir dan celaan dalam empat ayat berturut-turut tak dapat diterima akal dan tak ada orang yang akan berpendapat begitu.

 

Yang demikian ini sudah tak dapat diragukan lagi, dan bahwa hadis tentang gharanig itu adalah palsu dan bikinan golongan atheis dengan maksud-maksud tertentu. Orang yang suka pada yang aneh-aneh dan tidak berpikir logis, tentu percaya akan hadis ini.

 

Segi Semantik

 

Argumen lain ialah seperti yang dikemukakan oleh almarhum Syaikh Muhammad Abduh dalam tulisannya yang jelas membantah cerita gharanig ini, yaitu bahwa belum pernah ada orang Arab menamakan dewa-dewa mereka dengan gharanig, baik dalam sajak-sajak atau dalam pidato-pidato mereka. Juga tak ada berita yang dibawa orang mengatakan, bahwa nama demikian itu pernah dipakai dalam percakapan mereka. Tetapi yang ada ialah sebutan ghurnug dan ghirnig sebagai nama sejenis burung air, entah hitam atau putih, dan sebutan untuk pemuda yang putih dan tampan. Dari semua itu, tak ada yang cocok untuk diberi arti dewa, juga orang-orang Arab dahulu tak ada yang menamakannya demikian.

 

Kejujuran Muhammad Tidak Membenarkan Adanya Cerita Ini

 

Tinggal lagi sebuah argumen yang dapat kita kemukakan sebagai bukti bahwa cerita gharanig ini mustahil akan ada dalam sejarah hidup Muhammad sendiri. Sejak kecilnya, semasa anak-anak dan semasa mudanya, belum pernah terbukti ia berdusta, sehingga ia diberi gelar AlAmin, “yang dapat dipercaya,” pada waktu usianya belum lagi mencapai dua puluh lima tahun. Kejujurannya sudah merupakan hal yang tak perlu diperbantahkan lagi di kalangan umum, sehingga ketika suatu hari sesudah kerasulannya ia bertanya kepada Quraisy:

 

“Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kukatakan, bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?”

 

Jawab mercka: “Ya, engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat kau berdusta.”

 

Jadi orang yang sudah dikenal sejak kecil hingga tuanya begitu jujur bagaimana orang akan percaya bahwa ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan oleh Allah, ia akan takut kepada orang dan bukan kepada Allah! Hal ini tidak mungkin. Mereka yang sudah mempelajari jiwanya yang begitu kuat, begitu cemerlang, jiwa yang begitu membentang mempertahankan kebenaran dan tidak pula pernah mencari muka dalan Soal apa pun, akan mengetahui ketidakmungkinan cerita ini. Betapa kit melihat Muhammad berkata: Kalau Quraisy meletakkan matahari dj sebelah kanannya, dan meletakkan bulan di sebelah kirinya dengan maksud supaya ia melepaskan tugasnya, akan mati sekalipun dia tidak akan melakukan hal itu – bagaimana pula akan mengatakan sesuatu yang tidak diwahyukan Allah kepadanya, dan mengatakan itu untuk meruntuh. kan sendi agama yang oleh karenanya ia diutus Allah sebagai petunjuk dan berita gembira bagi seluruh umat manusia!

 

Dan kapan pula ia kembali kepada Quraisy guna memuji-muji dewa. dewa mereka? Ataukah sesudah sepuluh tahun atau sekian tahun dari kerasulannya, demi tugas yang besar itu ia sanggup memikul pelbagai macam siksaan, berupa-rupa pengorbanan, sesudah Allah memperkuat Islam dengan Hamzah dan Umar dan sesudah kaum Muslimin mulai menjadi kuat di Mekah, dengan berita yang sudah meluas pula ke seluruh jazirah, ke Abisinia dan semua penjuru?! Pendapat demikian ini adalah suatu legenda, suatu kebohongan yang sudah tak berlaku.

 

Mereka yang menciptakan cerita ini sebenarnya sudah merasakan bahwa hal ini akan mudah terbongkar. Mereka lalu berusaha menutupinya dengan mengatakan, bahwa begitu Muhammad mendengar kata-kata Quraisy bahwa dewa-dewa mereka sudah mendapat tempat sebagai perantara, hal itu berat sekali dirasanya, sehingga ia kembali kepada Tuhan bertobat, dan begitu ia pulang ke rumah sore itu Jibril pun datang. Tetapi tabir ini akan terbuka juga kiranya. Kalau hal itu oleh Muhammad sudah sangat luar biasa, ketika ia mendengar kata-kata Quraisy itu, apalagi ia sampai akan mengoreksi wahyu pada waktu itu juga.

 

Memfitnah Tauhid

 

Jadi masalah gharanig ini memang tidak punya dasar, selain sebagai karangan yang dibikin-bikin oleh suatu golongan yang mau melakukan tipu-muslihat terhadap Islam, yang terjadi sesudah permulaan sejarah Islam. Yang lebih mengherankan lagi ialah karena kecerobohan mereka yang telah melakukan pemalsuan-pemalsuan itu melemparkan pemalsuan mereka justru ke dalam jantung Islam, yaitu ke dalam Tauhid! Yang justru karena itu pulalah Muhammad diutus, supaya meneruskannya kepada umat manusia sejak dari semula, dan yang sejak itu pula tidak kenal arti mengalah. Juga segala yang ditawarkan kepadanya oleh Quraisy apa saja yang dikehendakinya berupa harta, bahkan akan dijadikannya ia raja atas mereka, tidak sampai membuatnya jadi berpaling. Semua itu ditawarkan kepadanya, pada waktu penduduk Mekah yang menjadi pengikutnya masih sedikit sekali jumlahnya. Waktu itu gangguan-gangguan Quraisy kepada sahabat-sahabatnya tidak sampai membuat ia surut dari dakwah yang diperintahkan Tuhan kepadanya, yaitu supaya diteruskan kepada umat manusia. Jadi sasaran mereka yang telah melakukan pemalsuan terhadap masalah yang begitu teguh menjadi pegangan Muhammad yang tak ada taranya itu, hanya menunjukkan suatu kecerobohan yang tidak rasional, dan yang sekaligus menunjukkan pula, bahwa mereka yang masih cenderung mau mempercayainya ternyata telah tertipu, suatu hal yang sebenarnya tidak perlu sampai ada orang akan tertipu karenanya.

 

Jadi masalah gharanig ini memang samasekali tidak punya dasar, dan samasekali tak ada hubungannya pula dengan kembalinya Muslimin dari Abisinia. Seperti disebutkan di atas, mereka kembali karena Umar sudah masuk Islam dan dengan semangatnya yang sama seperti sebelum itu ia membela Islam, sampai menyebabkan Quraisy terpaksa mengadakan perjanjian perdamaian dengan Muslimin. Juga mereka kembali pulang ketika di Abisinia sedang berkecamuk pemberontakan. Mereka kuatir akan akibatnya. Tetapi setelah Quraisy mengetahui mereka kembali, kekuatirannya makin bertambah akan besarnya pengaruh Muhammad di kalangan mereka. Quraisy pun lalu membuat rencana mengatur langkah berikutnya, yang berakhir dengan dibuatnya piagam yang menentukan di antaranya tidak akan saling mengawinkan, berjual-beli dan bergaul dengan Banu Hasyim, dan yang juga sudah sepakat di antara mereka, akan membunuh Muhammad jika dapat.

 

Alat Propaganda – Muhammad Dituduh Juru Pesona — An-Nadzr bin’l-Harith – Jabr Orang Nasrani — Tufail ad-Dausi – Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas – Merindukan Kesempurnaan — Dengki dan Mau Bersaing — Hari Kebangkitan dan Hari Perhitungan yang Ditakuti — Quraisy dan Surga — Perjuangan antara Baik dan Buruk -Untuk Penyelamatan

 

ISLAMNYA Umar telah membawa kelemahan ke dalam tubuh Quraisy karena ia masuk agama ini dengan semangat yang sama seperti ketika ia menentangnya dahulu. Ia masuk Islam tidak sembunyi-sembunyi, malah terang-terangan diumumkan di depan orang banyak dan untuk itu ia bersedia melawan mereka. Ia tidak mau kaum Muslimin sembunyi. sembunyi dan mengendap-endap di celah-celah pegunungan Mekah, mau melakukan ibadat jauh dari gangguan Quraisy. Bahkan ia terus melawan Quraisy, sampai nanti dia beserta Muslimin itu dapat melakukan ibadat dalam Ka’bah. Di sini pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya, takkan mengobah kehendak orang menerima agama Allah, untuk kemudian berlindung kepada Umar dan Hamzah, atau ke Abisinia atau kepada siapa saja yang mampu melindungi mereka.

 

Quraisy lalu membuat rencana lagi mengatur langkah berikutnya. Setelah sepakat, mereka membuat ketentuan tertulis dengan persetujuan bersama mengadakan pemboikotan total terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib: untuk tidak saling kawin-mengawinkan, tidak saling berjual-beli apa pun. Piagam persetujuan ini kemudian digantungkan di dalam Ka’bah sebagai suatu pengukuhan dan registrasi bagi Ka’bah. Menurut perkiraan mereka, politik yang negatif, politik membiarkan orang kelaparan dan melakukan pemboikotan begini akan memberi hasil yang lebih efektif daripada politik kekerasan dan penyiksaan, sekalipun kekerasan dan penyiksaan itu tidak mereka hentikan. Blokade-blokade yang dilakukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib sudah berjalan selama dua atau tiga tahun, dengan harapan sementara itu Muhammad pun akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Dengan demikian dia dan ajarannya itu tidak lagi berbahaya.

 

Akan tetapi ternyata Muhammad sendiri malah makin teguh berpegang pada tuntunan Allah, juga keluarganya, dan mereka yang sudah beriman pun makin gigih mempertahankannya dan mempertahankan agama Allah. Menyebarkan seruan Islam sampai ke luar perbatasan Mekah itu pun tak dapat pula dialang-alangi. Maka tersiarlah dakwah itu ke tengah-tengah masyarakat Arab dan kabilah-kabilah, sehingga membuat agama yang baru ini, yang tadinya hanya terkurung di tengahtengah lingkaran gunung-gunung Mekah, kini berkumandang gemanya ke seluruh jazirah. Orang-orang Quraisy makin tekun memikirkan bagaimana caranya memerangi orang yang sudah melanggar adat kebiasaannya dan menista dewa-dewanya itu, bagaimana caranya menghentikan tersiarnya ajarannya itu di kalangan kabilah-kabilah Arab, kabilah-kabilah yang tak dapat hidup tanpa Mekah dan juga Mekah tak dapat hidup tanpa mereka dalam perdagangan, dalam kegiatan impor dan ekspor dari dan ke Ibukota itu.

 

Alat Propaganda

 

Quraisy mencurahkan semua kegiatannya dalam memerangi orang yang dianggapnya sudah melanggar kebiasaan mereka, melanggar kepercayaan leluhur mereka. Dengan tabah dan secara terus-menerus selama bertahun-tahun, apa yang telah mereka lakukan untuk menghancurkan ajaran baru ini, sungguh di luar yang dapat kita bayangkan. Muhammad diancam, keluarga dan ninik-mamaknya diancam. Ia diejek, ajarannya diejek. Ia diperolok, dan orang yang jadi pengikutnya juga diperolok. Penyair-penyair mereka didatangkan supaya mengejeknya, supaya memburuk-burukkannya. Ia diganggu, dan orang yang jadi pengikutnya dinista dan disiksa. Ia mau disuap, ditawari kerajaan, ditawari segala yang menjadi kedambaan orang. Kawan-kawan seperjuangannya diusir dari tanah air, perdagangan dan pintu rezeki mereka dibekukan. Ia dan sahabat-sahabatnya diancam dengan perang serta segala akibatnya yang mengerikan.

 

Akhirnya blokade, mereka akan dibiarkan mati kelaparan jika mungkin.

 

Tetapi, sungguhpun begitu, Muhammad tetap tabah. Dengan cara yang amat baik tetap ia mengajak orang menerima kebenaran, yang hanya karena itu ia diutus Tuhan kepada umat manusia, sebagai pembawa berita gembira, dan peringatan. Bukankah sudah tiba waktunya Quraisy meletakkan senjatanya, dan mempercayai al-Amin, orang yang dikenalnya Sejak masa anak-anak, sejak masa muda belia, sebagai orang yang jujur tak pernah berdusta!? Ataukah mereka sudah mencari alat lain selain Senjata perang seperti disebutkan, dan lalu terbayang oleh mereka, bahwa dengan demikian mereka akan menang perang, lalu kedudukan berhala, berhala mereka akan dapat dipertahankan sebagai pusat ketuhanan mereka seperti yang mereka duga, dan Mekah pun akan dapat diper, tahankan sebagai museum berhala-berhala dan tempat yang disucikan karena berhala-berhala itu akan tetap berada di Mekah?!

 

Tidak! Belum tiba saatnya bagi Quraisy akan tunduk dan menyerah Mereka sekarang sedang dalam puncak kekuatirannya bila seruan Muhammad ini nanti akan tersebar di kalangan kabilah-kabilah Arah sesudah terlebih dulu tersebar di Mekah.

 

Tinggal satu senjata lagi pada mereka sekarang yang sejak semula sudah menjadi pegangan dan kekuatan mereka, yaitu senjata propaganda: propaganda dengan segala implikasinya berupa perdebatan, argumentasi. argumentasi, caci maki, penyebaran desas-desus serta sifat merendahkan argumen lawan dengan menganggap lawan-lawannya sendiri yang lebih baik. Propaganda melawan akidah dan pembawa akidah disertai tuduhan. tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Propaganda yang tidak hanya terbatas pada Mekah saja – sebenarnya buat Mekah ini sudah tidak lagi diperlukan dibandingkan dengan daerah pedalaman lain serta kabilahkabilahnya, semenanjung jazirah serta semua penduduknya. Dengan mengadakan ancaman bujukan, teror dan penyiksaan, propaganda tidak diperlukan lagi buat Mekah. Tapi buat ribuan orang yang datang ke Mekah tiap tahun masih tetap diperlukan. Mereka datang dalam urusan perdagangan dan berziarah. Mercka berkumpul di pasar-pasar “Ukaz, Majanna dan Dhul-Majaz, yang kemudian berziarah sambil menyembelih korban, mengharapkan berkah dan ampunan.

 

Oleh karena itu, sejak memuncaknya permusuhan antara Quraisy dengan Muhammad terpikir oleh mereka akan menyusun suatu alat propaganda anti Muhammad. Lebih gigih lagi mereka memikirkan hal ini sesudah orang-orang yang berziarah itu diajaknya supaya beribadat hanya kepada Allah yang Esa dan tidak bersekutu. Hal ini sudah terpikir olehnya sejak tahun-tahun pertama dari kerasulannya itu. Pada mulanya, sejak masa kerasulannya, ia adalah seorang Nabi, sampai datangnya wahyu menyuruh ia memperingatkan keluarga-keluarganya yang dekat. Setelah ia memperingatkan keluarga-keluarga Quraisy dan ada di antara mereka yang menerima Islam, di samping banyak juga yang masih kepala batu dan mau berpikir-pikir dulu, ia masih berkewajiban mengajak bangsanya sendiri, seluruh masyarakat Arab, untuk kemudian meneruskan kewajibannya itu mengajak seluruh umat manusia.

 

Muhammad Dituduh Juru Pesona

 

Setelah terpikir akan mengajak orang yang datang berziarah dari berbagai macam kabilah Arab itu beribadat kepada Allah, beberapa orang dari kalangan Quraisy datang berunding dan mengadakan pertemuan di rumah Walid binl-Mughira: Maksudnya supaya dalam menghadapi persoalan Muhammad itu satu sama lain mereka tidak bertentangan, dan tidak saling mendustakan mengenai apa yang harus mereka katakan kepada orang-orang Arab yang datang musim ziarah itu. Ada yang mengusulkan, supaya dikatakan saja, bahwa Muhammad itu dukun. Tetapi al-Walid menolak pendapat ini, sebab apa yang dikatakan Muhammad bukan kumat-kamit seorang dukun. Yang lain mengusulkan lagi, bahwa Muhammad itu orang gila. Walid pun menolak pendapat ini, sebab gejala atas tuduhan demikian tidak tampak. Ada lagi yang menyarankan supaya Muhammad dikatakan sebagai tukang sihir. Juga di sini Walid menolak, sebab Muhammad tidak mengerjakan rahasia juru tenung atau sesuatu pekerjaan tukang-tukang sihir.

 

Sesudah terjadi diskusi akhirnya Walid mengusulkannya supaya kepada peziarah-peziarah orang-orang Arab itu dikatakan bahwa dia (Muhammad) seorang juru penerang yang mempesonakan,’ apa yang dikatakannya merupakan pesona yang akan memecah-belah orang dengan orang tuanya, dengan saudaranya, dengan istri dan keluarganya. Dan apa yang dituduhkan itu pada orang-orang Arab pendatang itu merupakan bukti, sebab penduduk Mekah sudah ditimpa perpecahan dan permusuhan. Padahal sebelum itu penduduk Mekah merupakan suatu contoh solidaritas dan ikatan yang paling kuat.

 

Pihak Quraisy pada musim ziarah itu segera menyongsong orangorang yang datang berziarah dengan memperingatkan mereka jangan mendengarkan orang itu dan pesona bahasanya. Jangan sampai mereka itu mengalami bencana seperti yang dialami penduduk Mekah dan menjadi api fitnah yang akan membakar seluruh jazirah Arab.

 

An-Nadzr bin’I-Harith

 

Akan tetapi propaganda begini tidak dapat berdiri sendiri, juga tidak dapat melawan penerangan yang mempesonakan yang sudah dipercayai orang itu. Kalau memanglah kebenaran yang dibawa oleh penerangan yang mempesonakan itu, apa salahnya orang mempercayainya? Adakah bila sewaktu-waktu orang mengakui kelemahannya dan menyatakan perlawanannya merupakan suatu propaganda yang ampuh? Di Samping propaganda itu Quraisy harus punya propaganda lain lagi. Untuk propaganda itu Quraisy akan mendapatkannya pada Nadzr b. Harith Manusia Nadzr ini adalah setannya Quraisy, orang yang pernah pergi ke Hira’ dan mempelajari cerita raja-raja Persia, peraturan-peraturan agama, nya, ajaran-ajarannya tentang kebaikan dan kejahatan serta tentang asaj, usul alam semesta. Setiap dalam suatu pertemuan Muhammad mengajak orang kepada Allah, serta memperingatkan mereka tentang akibat-akibay yang telah menimpa bangsa-bangsa sebelumnya yang menentang per, ibadatan kepada Allah, ia lalu datang menggantikan tempat Muhammag dalam pertemuan itu. Maka berceritalah ia kepada Quraisy tentang sejarah dan agamanya, lalu katanya: Dengan cara apa Muhammag membawakan ceritanya lebih baik daripada aku? Bukankah Muhammag membacakan cerita-cerita orang dahulu seperti yang kubacakan juga? Quraisy pun lalu menyebarkan kisah-kisah Nadzr itu dengan jalan bercerita lagi sebagai propaganda atas peringatan dan ajakan Muhammad kepada mereka itu.

 

Jabr Orang Nasrani

 

Dalam pada itu di Marwa Muhammad sering duduk-duduk dengan seorang budak Nasrani yang konon bernama Jabr. Orang-orang Quraisy menuduh, bahwa sebagian besar apa yang dibawa Muhammad itu, Jabr Inilah yang mengajarnya. Apabila ada orang yang mau meninggalkan kepercayaan nenek-moyangnya, maka agama Nasrani inilah yang lebih utama. Jadi tuduhan inilah yang didesas-desuskan oleh Quraisy. Untuk itulah datang firman Tuhan:

 

“Kami sungguh mengetahui bahwa mereka berkata, yang mengajarkan itu adalah seorang manusia. Bahasa orang yang mereka tuduhkan itu bahasa asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali.”

 

Tufail ad-Dausi

 

Dengan propaganda semacam itu dan sebangsanya Quraisy memerangi Muhammad lagi dengan harapan akan lebih ampuh daripada gangguan yang dialaminya dan siksaan yang dialami pengikut-pengikutnya. Akan tetapi kuatnya kebenaran dalam bentuk yang jelas dan sederhana yang dilukiskan melalui ucapan Muhammad, lebih tinggi dari yang mereka katakan. Makin sehari makin tersebar juga itu di kalangan orang-orang Arab. Tufail b. “Amr ad-Dausi, seorang bangsawan dan penyair cendekiawan, ketika datang di Mekah segera dihubungi oleh Quraisy dengan memperingatkannya dari Muhammad dan kata-katanya yang mempesonakan itu, yang hendak memecah belah orang dengan keluarganya, dengan dirinya sendiri bahkan. Mereka kuatir kalau peristiwa seperti Mekah itu akan menimpa mereka juga. Jadi sebaiknya jangan mengajak dan jangan mendengarkan dia bicara.

 

Hari itu Tufail pergi ke Ka’bah. Muhammad sedang di sana. Ketika ia mendengarkan kata-kata Muhammad, ternyata itu kata-kata yang baik sekali. “Biar aku mati, aku seorang cendekiawan, penyair”, katanya dalam hati. “Aku dapat mengenal mana yang baik dan mana pula yang buruk. Apa salahnya kalau aku mendengarkan sendiri apa yang akan dikatakan orang itu! Jika ternyata baik akan kuterima, kalau buruk akan kutinggalkan.”

 

Diikutinya Muhammad sampai di rumah. Lalu dikatakannya apa yang terlintas dalam hatinya itu. Muhammad menawarkan Islam kepadanya dan dibacakannya ayat-ayat Quran. Laki-laki itu segera menerima Islam dan dinyatakannya kebenaran itu dengan mengucapkan kalimat Syahadat.

 

Bilamana kemudian ia kembali lagi kepada masyarakatnya sendiri diajaknya mereka itu menerima Islam. Mereka pun ada yang segera menerima, tapi ada juga yang masih lambat-lambat. Dalam pada itu, beberapa tahun berikutnya sebagian besar mereka sudah pula menerima Islam. Setelah pembebasan Mekah dan sesudah susunan politik dengan bentuk tertentu sudah mulai terarah, mereka pun menggabungkan diri kepada Nabi.

 

Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih adalah sebuah contoh saja dari sekian banyak peristiwa. Yang telah menerima ajakan Muhammad ini bukan terdiri dari hanya penyembah-penyembah berhala saja. Sewaktu dia di Mekah dulu pernah datang kepadanya dua puluh orang Nasrani, setelah mereka mendengar berita itu. Lalu mereka menanyainya, mendengarkan kata-katanya. Mereka pun menerima, mereka beriman dan mempercayainya. Inilah pula yang membuat Quraisy makin geram, sehingga mereka juga dimaki-maki.

 

“Kamu utusan yang gagal. Kamu sekalian disuruh oleh masyarakat seagamamu mencari berita tentang orang itu. Sebelum kamu kenal benarbenar siapa dia agama kamu sudah kamu tinggalkan dan lalu percaya saja apa yang dikatakannya.”

 

Tetapi kata-kata Quraisy itu tidak membuat utusan itu mundur menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu meninggalkan Islam. Bahkan imannya kepada Allah lebih kuat daripada ketika mereka masih dalam agama Nasrani. Mereka sudah menyerahkan diri kepada Tuhan sebelum mereka mendengarkan Muhammad.

 

Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas

 

Tetapi apa yang terjadi terhadap diri Muhammad lebih hebat lagi dar, itu. Orang Quraisy yang paling keras memusuhinya sudah mulai bertanya. tanya kepada diri sendiri: benarkah ia mengajak orang kepada agama yang benar? Dan apa yang dijanjikan dan diperingatkan kepada mereka, itu pula yang benar?

 

Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan al-Akhnas b. Syarig malam itu pergi ingin mendengarkan Muhammad ketika sedang membaca Quran di rumahnya. Mereka masing-masing mengambil tempat sendiri, sendiri untuk mendengarkan, dan tempat satu sama Jain tidak Saling diketahui. Muhammad yang biasa bangun tengah malam, malam itu juga ia sedang membaca Quran dengan tenang dan damai. Dengan suaranya yang sedap itu ayat-ayat suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.

 

Tetapi sudah fajar tiba, mereka yang mendengarkan itu terpencar pulang ke rumah masing-masing. Di tengah jalan, ketika mereka bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan: Jangan terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang yang masih bodoh, ini akan melemahkan kedudukan kita dan mereka akan berpihak kepada Muhammad.

 

Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa perasaan yang sama seperti pada malam kemarin. Tanpa dapat menolak, seolah kakinya membawanya kembali ke tempat yang semalam itu juga, untuk mendengarkan lagi Muhammad membaca Quran. Hampir fajar, ketika mereka pulang, bertemu lagi mereka satu sama lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi sikap mereka demikian itu tidak mengalangi mereka untuk pergi lagi pada malam ketiga.

 

Setelah kemudian mereka menyadari, bahwa dalam menghadapi dakwah Muhammad itu mereka merasa lemah, berjanjilah mereka untuk tidak saling mengulangi lagi perbuatan mereka demikian itu. Apa yang sudah mereka dengar dari Muhammad itu, dalam jiwa mereka tertanam suatu kesan, sehingga mereka satu sama lain saling menanyakan pendapat mengenai yang sudah mereka dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa takut. Mereka kuatir akan jadi lemah, mengingat masing-masing adalah pemimpin masyarakat, sehingga dikuatirkan masyarakatnya pun akan jadi lemah pula dan menjadi pengikut Muhammad juga.

 

Gerangan apa keberatan mereka menjadi pengikut-pengikut Muhammad? Padahal ia tidak mengharapkan harta dari mereka, tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka atau penguasa di atas mereka? Di samping itu dia adalah laki-laki yang sungguh rendah hati, sangat mencintai masyarakatnya, setia kepada mereka dan ingin sekali membimbing mereka. Sangat halus perasaannya, sehingga kalau akal merugikan orang miskin atau yang lemah pun ia merasa takut. Setiap ia mengalami penderitaan, hatinya baru merasa tenang bila ia sudah merasa mendapat pengampunan. Bukankah tatkala suatu hari ia sedang dengan al-Walid bin’I-Mughirah, salah seorang pemimpin Quraisy yang diharapkan keislamannya, tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum yang buta, dan minta diajarkan Quran kepadanya. Begitu mendesak ia, sehingga Muhammad merasa kesal karenanya, mengingat ia sedang sibuk menghadapi Walid. Ditinggalkannya orang buta itu dengan muka masam.

 

Tetapi setelah ia kembali seorang diri hati kecilnya memperhitungkan perbuatannya tadi itu sambil bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu dengan ayat-ayat berikut:

 

“Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya. Dan apa yang memberitahukan kau, barangkali ia orang yang bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna baginya. Tetapi kepada orang yang serba cukup itu. Engkau menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak bersih hati. Tetapi orang yang bersungguhsungguh datang kepadamu. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah memperhatikan peringatan itu. Dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Dijunjung tinggi dan disucikan. Yang ditulis dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang bersih.”’

 

Kalau memang itu soalnya, apalagi yang mengalangi Quraisy menjadi pengikutnya dan mendukung dakwahnya? Terutama sesudah hati mereka jadi lembut, sesudah mereka melupakan masa-masa silam dengan bertahan pada warisan lapuk yang membuat jiwa mereka jadi beku, dan sesudah mereka melihat, bahwa ajaran Muhammad itu sempurna, dan penuh keagungan?

 

Merindukan Kesempurnaan

 

Tetapi! Benarkah masa yang sudah bertahunstahun itu membuat orang lupa akan kebekuan jiwanya, akan sikapnya yang konservatif terhadap masa lampau yang sudah lapuk? Ini dapat terjadi pada orangorang istimewa, yang dalam hatinya selalu terdapat kerinduan pada yang sempurna. Dalam hidup mereka, mereka masih mau mempelajari adanya kebenaran yang sebelumnya sudah mereka percayai untuk kemudian membuang segala kepalsuan yang masih melekat, betapapun tingginya tingkat kebudayaan orang itu. Hati dan pikiran mereka sudah.seperti kuali tempat melebur logam yang selalu mendidih, menerima setiap pendapat baru yang dilemparkan ke dalamnya, lalu dilebur dan disaring. Mana yang bernoda dibuang, dan tinggal yang baik, yang benar dan yang indah Mereka itu mencari kebenaran tentang apa saja, di mana saja dan darj siapa saja. Oleh karena pada setiap bangsa, setiap zaman, mereka inj merupakan inti yang terpilih, maka jumlah mereka selalu sedikit. Merek: selalu mendapat perlawanan, yang datangnya terutama dari Orang-orang kaya, orang-orang berkedudukan dan orang-orang berkuasa. Mecrekz takut setiap corak pembaruan itu akan menelan harta mereka, akan menghilangkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Selain dengan Cara hidup mereka yang demikian itu, kenyataan lain yang sudah begitu jelas tidak mereka kenal. Semua itu bagi mereka adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan mereka, dan tidak benar apabila ia dapat menimbul. kan kesangsian, sedikit sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa moral itu benar adanya bilamana ia dapat memberikan tambahan ke dalam hartanya, dan tidak benar bilamana ia merintanginya. Agama adalah benar, bilamana ia dapat membukakan jalan buat hawa nafsunya, dan tidak benar kalau ia menjadi penghalang hawa nafsu itu. Yang memilikj kedudukan, yang memiliki kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti pemilik harta itu.

 

Dalam perlawanan mereka terhadap segala pembaharuan yang mereka takuti itu, mereka menghasut orang awam yang rezekinya tergantung kepada mereka, supaya memusuhi penganjur pembaharuan itu. Mereka minta bantuan awam supaya menyucikan bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu setelah minggat ruh yang ada di dalamnya. Benteng-benteng itu mereka jadikan kuil-kuil dari batu, untuk menimbulkan kesan kepada awam yang tak bersalah itu, bahwa ruh suci yang mereka bungkus dengan kain putih, masih dalam keagungannya dalam kurungan kuil-kuil itu. Pada umumnya awam itu membela mereka, sebab, yang penting ia melihat pencariannya. Baginya tidak mudah akan dapat memahami, bahwa kebenaran itu tidak akan tahan tinggal terkurung dalam tembok-tembok kuil betapapun indah dan agungnya tempat itu, dan bahwa sifat kebenaran itu akan selalu bebas menyerbu dan mengisi jiwa orang. Baginya tidak beda jiwa seorang tuan atau jiwa seorang budak. Juga tak ada sebuah peraturan betapapun kerasnya yang dapat merintangi hal itu.

 

Bagaimana orang dapat mengharapkan dari mereka, mereka yang pernah datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan Quran itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur mereka yang banyak melakukan pelanggaran itu, karena ia tidak membeda-bedakan si buta miskin dengan orang yang hartanya berlimpah-limpah, kecuali dari kebersihan jiwanya. Kepada seluruh umat manusia diserukannya, bahwa: “Yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling dapat menjaga diri (yang paling takwa).”

 

Dengki dan Mau Bersaing

 

Kalaupun Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih bertahan dengan kepercayaan leluhur mereka bukanlah hal itu karena dilandasi oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi karena mereka sudah terlalu ganderung pada cara lama yang mereka adakan itu. Kemudian nasib membantu mereka pula. Mereka bertahan hanya karena kedudukan dan harta yang sudah berlimpah-limpah, dan untuk itu pula mereka bertempur matimatian.

 

Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi pengikut nabi. Sebelum kedatangan Muhammad, Umayya b. Abi’sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang pernah bicara tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah masyarakat Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin jadi nabi. Perasaan dengki itu rasa membakar jantungnya tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya. Jadi dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya saingannya. Apalagi, karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya penuh berisi pikiran, sehingga pernah suatu hari Nabi a.s. menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya: “Umayya sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar.”

 

Atau seperti kata al-Walid bin’-Mughirah: “Wahyu didatangkan kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas’ud “Amr b. “Umair ath-Thagatfi sebagai pemimpin Thagif. Kami adalah pembesar-pembesar dua kota.”

 

Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:

 

“Dan mereka berkata: “Kenapa Quran ini tidak diturunkan kepada orang besar dari dua kota itu?” Adakah mereka membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan penghidupan mereka itu, dalam hidup dunia ini.”?

 

Setelah Abu Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam berturut-turut mendengarkan pembacaan Quran, seperti dalam cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu Jahl.di rumahnya. “Abu’l-Hakam,? bagaimana pendapatmu tentang yang kita dengar dari Muhammad?” tanyanya kepada Abu Jahl.

 

“Apa yang kaudengar?” kata Abu Jahl. “Kami sudah saling memperebutkan kehormatan itu dengan Keluarga “Abd Manaf. Mereka memberi makan, kami pun memberi makan, mereka menanggung kami pun begitu, mercka memberi kami juga memberi schingga kami dapa, sejajar dan sama tangkas dalam perlombaan itu. Tiba-tiba kata mereka, “Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima “wahyu dari langit” Kapan kita akan menjumpai yang semacam itu? Tidak! Kami samasekaj: tidak akan percaya dan tidak akan membenarkannya.”

 

Jadi yang dalam sekali berpengaruh dalam jiwa orang-orang badui it, ialah rasa dengki, saling bersaing dan saling bertentangan. Dalam hal in: salah sekali bila orang mencoba mau menutup mata atau tidak menilainy, sebagaimana mestinya. Cukup kalau kita sebutkan saja adanya kekuasaar nafsu yang begitu besar dalam jiwa tiap orang. Untuk dapat mengatasi pengaruh ini memang diperlukan suatu latihan yang cukup panjang latihan jiwa dengan mengutamakan hukum akal di atas dorongan nafsu jiwa dan pikiran kita harus cukup tinggi sehingga dapat ia melihat bahwa kebenaran yang datang dari lawan bahkan dari.musuh itu, itu jugalah kebenaran yang datang dari kawan karibnya. Ia harus yakin, bahwa dengan kebenaran yang dimilikinya itu kekayaannya sudah lebih besar dari harta karun, dari kebesaran Iskandar (Agung) dan dari kerajaan seorang kaisar. Tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkat ini kalau tidak karena Tuhan sudah membukakan hatinya untuk kebenaran itu.

 

Di luar itu, untuk mencapai tingkat pengertian yang lebih tinggi, orang sudah dibutakan oleh harta benda duniawi, oleh kenikmatan hidup sejenak yang dirasakannya. Untuk kepentingan duniawi itu, untuk memburu saat sejenak itu, mereka berperang dan bertempur. Tak ada Sesuatu yang akan dapat menghambat mereka menancapkan kuku dan gigi mereka ke batang leher kebenaran, kebaikan dan pengertian moral yang tinggi itu. Lalu, kesempurnaan yang paling suci artinya itu oleh mereka akan diinjak-injak di bawah telapak kaki yang sudah kotor.

 

Bagaimana pendapat kita tentang orang-orang Arab Quraisy itu yang melihat Muhammad makin sehari makin banyak pengikutnya? Mereka kuatir, kebenaran yang sudah diproklamirkan itu suatu ketika akan menguasai mereka, akan menguasai orang-orang yang sudah setia kepada mereka, yang lalu akan menjalar sampai kepada orang-orang Arab di seluruh jazirah. Sebelum melakukan itu mereka harus memotong leher orang itu dulu jika dapat mereka lakukan. Lebih dulu mereka harus melakukan propaganda, pemboikotan, blokade, penyiksaan dan kekerasan terhadap musuh-musuh besar mereka itu.

 

Hari Kebangkitan dan Hari Perhitungan yang Ditakuti

 

Sebab ketiga keberatan mereka menjadi pengikut Muhammad ialah mereka takut sekali pada hari kebangkitan serta siksa neraka pada Hari Perhitungan kelak. Kita sudah melihat masyarakat yang begitu hanyut dalam hidup bersenang-senang dengan cara yang berlebih-lebihan. Mereka menganggap perdagangan dan riba itu wajar. Bagi orang kaya di kalangan mereka itu tak ada sesuatu yang dipandang hina, yang harus dijauhi. Di samping itu, dengan membawakan sesajen segala kejahatan dan dosa mereka itu sudah dapat ditebus. Seseorang cukup mengadu nasibnya dengan gidh (anak panah) di depan Hubal, sebelum ia melakukan sesuatu tindakan. Tanda yang diberikan oleh anak panah, itulah perintah yang datang dari Hubal. Supaya kejahatan-kejahatan dan dosa-dosanya itu diampuni oleh berhala-berhala, cukup ia menyembelih binatang untuk berhala-berhala itu. Ia dapat dibenarkan melakukan pembunuhan, perampokan, melakukan kejahatan, ia tidak dilarang menjalankan pelacuran selama ia mampu memberi suap kepada dewa-dewa itu berupa korban-korban dan penyembelihan-penyembelihan.

 

Sekarang datang Muhammad membawakan ayat-ayat yang begitu menakutkan, membuat jantung mereka rasakan pecah karena ngerinya, sebab Tuhan selalu mengawasi mereka. Pada Hari Kemudian mereka akan dibangkitkan kembali sebagai kejadian baru, dan bahwa yang akan menjadi penolong mereka hanyalah perbuatan mereka-sendiri.

 

“Apabila datang suara dahsyat yang memekakkan. Tatkala seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya. Istrinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan urusannya sendiri. Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri. Tertawa dan bergembira. Dan ada pula wajah-wajah kelabu pada hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang ingkar, orang-orang yang sudah rusak.”!

 

Dan suara dahsyat itu datang. “Apabila langit sudah bagaikan hancuran logam. Dan gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri kepada mereka. Ingin sekali orang jahat itu akan dapat menebus diri dari siksaan hari itu dengan memberikan anak-anaknya. Istrinya, saudaranya. Dan keluarganya yang melindunginya. Dan semua yang ada di bumi: kemudian ia hendak menyelamatkan diri. Tidak sekalikali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepala pun tercabut. Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan yang berpaling. Yang telah menyimpan kekayaan dan menyembunyikannya.”

 

“Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu takkan ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan kepadanya dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia! Bacakan suratku. Sudah percaya benar aku bahwa aku akan menemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan hidup. Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannya pun dekat yekali. Makanlah, dan minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yan, kamu sediakan masa lampau. Tetapi, barangsiapa yang suratnya diberikas dengan tangan kiri, ia akan berkata: Ah, coba aku tidak diberi suraty Dan ridak lagi aku mengetahui bagaimana perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak dapat menolong aku. Hancurlah Sudah kekuasaanku. Sekarang bawalah dia dan belenggukan. Sesudah is, campakkan ia ke dalam api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mat, rantai, panjangnya tujuh puluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada, Tuhan yang Maha Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada orang miskin. Maka, sekarang di sini tak ada lagi kawan setianya. Tiada makanan baginya selain daripada kotoran. Yang hanyg dimakan oleh mereka yang penuh dosa.”

 

Sudahkah orang membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah merasa ngeri, merasa takut? Ini hanya sebagian kecil dari yang pernah diperingatkan Muhammad kepada masyarakatnya. Kita membacanya sekarang, dan sebelum itu pun sudah pula membacanya, mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang terdapat dalam Quran hidup lagi dalam pikiran kita, ketika kita membacanya kembali.

 

“Tatkala kami tanyakan kepada jahanam: — Masih ada lagi???

 

“…… Setiap kulit-kulit mereka itu sudah matang, Kami ganti dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka rasakan.”

 

Dengan merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah memperkirakan betapa sebenarnya perasaan Quraisy dan terutama orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan kata-kata semacam itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa, mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam lindungan dewa-dewa dan berhala-berhala mereka.

 

Juga sesudah itu orang akan mudah pula memperkirakan betapa meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal arti Hari Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa yang didengarnya itu. Tidak ada di antara mereka itu yang membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan hidup ini, ia akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya. Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari kemudian itu, ialah mereka takut akan penyakit, takut akan mengalami bencana pada harta benda, pada turunan, kedudukan dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah seluruh tujuan hidupnya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk memupuk segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang mereka takuti. Bagi mereka hari kemudian ialah masalah gaib yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah merasa bahwa apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu bolehjadi akan mendatangkan bencana kepada mereka. Lalu mereka menantikan adanya alamat baik atau alamat buruk. Segera mereka mengadukan nasib itu dengan permainan anak panah, dengan mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung’ serta menyembelih korban. Semua itu merupakan penangkal terhadap segala yang mereka takuti dalam hidup mereka di kemudian hari.

 

Sebaliknya, segala yang mengenai adanya balasan sesudah mati, mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup, mengenai surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk mereka yang aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah terlintas dalam pikiran mereka.

 

Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar dengan gambaran yang begitu kuat dan menakutkan seperti yang mereka dengar melalui wahyu kepada Muhammad itu, dan yang memberi peringatan kepada mereka — akan siksa abadi dalam perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut hanya dengan mendengar gambarannya saja — kalau mereka masih juga seperti keadaan itu, bersukaria dan berlomba-lomba memperbanyak harta dengan melakukan penindasan terhadap si lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan melakukan riba secara berlebih-lebihan. Apalagi kalau orang dapat melihat dengan hati nuraninya jalan yang ditempuh manusia dengan langkah yang begitu sempit selama hidupnya menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala suka dan dukanya.

 

Quraisy dan Surga

 

Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti langit dan bumi, di situ takkan terdengar cakap kosong, juga tak ada perbuatan dosa. Yang ada hanyalah ucapan “selamat”. Segala yang menyenangkan hati, menyedapkan mata, itulah yang ada. Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan yang menambah lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam kehidupan dunia ini. Mereka tidak betah menunggu sampai hari pembalasan, sebab mereka memang tidak percaya pada hari pembalasan itu.

 

Perjuangan antara Baik dan Buruk

 

Bolehjadi orang akan merasa heran bagaimana jantung orang-orang Arab itu sampai begitu rapat tertutup tidak mau menerima persepsi hidup akhirat serta balasan yang ada. Padahal perjuangan antara yang baik dengan yang jahat itu sudah berkecamuk dalam sejarah manusia sejak dunia ini berkembang, tak pernah berhenti dan tak pernah diam. Orangorang Mesir purbakala, ribuan tahun sebelum kerasulan Muhammad melengkapi mayat mereka dengan segala perbekalan untuk keperluan akhirat, dalam kafannya diletakkan pula “Kitab Orang Mati” lengkap dengan nyanyian-nyanyian dan peringatan-peringatan. Pada kuil-kuil mereka dilukiskan pula gambar-gambar timbangan, perhitungan, tobat dan siksaan. Orang-orang India menggambarkan jiwa bahagia itu dalam Nirwana. Sedang penitisan ruh jahat dilukiskan dalam bentuk makhlukmakhluk yang sejak ribuan dan jutaan tahun tersiksa sampai ia ditelan oleh kebenaran, supaya menjadi suci. Kemudian ia kembali lagi melakukan kebaikan, karena ingin mencapai Nirwana.

 

Juga orang-orang Majusi di Persia. Mereka tidak menolak adanya perjuangan yang baik dan yang jahat, Dewa Gelap dan Dewa Cahaya. Juga agama yang dibawa Musa, agama yang dibawa Kristus, sama-sama melukiskan adanya kehidupan yang kekal, adanya kesukaan Tuhan dan kemurkaan-Nya. Sekarang orang-orang Arab. Tidakkah semua itu pernah sampai kepada mereka? Mereka adalah pedagang-pedagang yang dalam perjalanan mereka pernah mengadakan hubungan dengan agama-agama itu semua. Bagaimana mereka tidak mengenalnya? Bagaimana tidak mungkin itu akan menimbulkan suatu persepsi khusus pada mereka? Mereka adalah orang-orang pedalaman yang banyak sekali berhubungan dengan alam lepas tak terbatas. Lebih mudah bagi mereka melukiskan roh-roh yang terdapat dalam wujud ini, menjelma pada siang hari yang terang menyala atau pada senja menjelang malam gulita. Roh-roh yang baik dan yang jahat, ruh-ruh yang mereka anggap bersemayam dalam diri berhala-berhala yang akan mendekatkan mereka kepada Tuhan itu.

 

Jadi sudah tentu mereka juga mempunyai konsep tentang alam gaib yang ada di sekitar mereka. Akan tetapi, mereka sebagai masyarakat pedagang, jiwa mereka lebih cenderung pada yang nyata saja. Juga karena kegemaran mereka hidup bersenang-senang, minum minuman keras, samasekali mereka menolak adanya balasan hari kemudian. Apa yang diperoleh orang dalam hidupnya, menurut anggapan mereka, baik atau buruk adalah balasan atas perbuatannya. Dan tak ada balasan lagi sesudah hidup ini. Oleh karena itu wahyu yang berisi peringatan dan berita gembira pada mula kerasulan itu kebanyakannya turun di Mekah: karena ia ingin menyelamatkan ruh mereka, tempat Muhammad diutus itu. Sudah sepatutnya pula bila ia mengingatkan mereka atas dosa dan kesesatan yang telah mereka lakukan itu. Sudah sepatutnya pula bila ia ingin mengangkat mereka dari lembah penyembahan berhala kepada penyembahan Allah Yang Tunggal, Maha Kuasa. Untuk Penyelamatan

 

Demi keselamatan rohani keluarga dan umat manusia seluruhnya. Muhammad serta orang-orang yang beriman sudi memikul segala macam siksaan dan pengorbanan, memikul penderitaan rohani dan jasmani, dan kemudian pergi meninggalkan tanah tumpah darah, menjauhi permusuhan sanak-keluarga, yang sepintas-lalu sudah kita lihat di atas. Dan seolah cinta Muhammad makin dalam kepada mereka, makin besar hasratnya ingin menyelamatkan mereka, setiap ia mengalami penderitaan dan siksaan yang lebih besar lagi dari mereka itu. Hari Kebangkitan dan Hari Perhitungan adalah ayat-ayat yang harus diperingatkan kepada mereka guna menolong mereka dari penyakit paganisma dan gelimang dosa yang menimpa mereka itu. Pada tahun-tahun permulaan itu tiada hentihentinya wahyu memperingatkan dan membukakan mata mereka.

 

Sungguhpun begitu mereka tetap gigih tidak mau mengakui, tetap menolak, sampai-sampai mereka terdorong mengobarkan perang matimatian. Bahaya dan bencana peperangan itu baru padam sesudah Islam mendapat kemenangan, sesudah Allah menempatkannya di atas segala agama.

 

 

 

Berdakwah dalam Bulan-bulan Suci – Muslimin Dikepung – Membatalkan Piagam Abi Talib dan Khadijah Wafat – Quraisy Makin Ganas – Muhammad Pergi ke Ta’it – Muhammad Menawarkan Diri kepada Kabilah-kabilah – Kabilah-kabilah Menolak Seruannya – Muhammad Melamar Aisyah – Kawin dengan Sauda – Isra” (tahun 621 M) – Isra” dengan Ruh atau dengan Jasad – Gambaran Isra’ dalam Buku-buku Sejarah Hidup Nabi – Cerita Ibn Hisyam tentang Isra’ – Isra” dan Wihdat”l-Wujud – Isra” dan Ilmu Pengetahuan Modem – Quraisy Sangsi, Beberapa Orang yang Sudah Islam Berbalik – Yang Berpendapat Isra” dengan Jasad Berdakwah dalam Bulan-bulan Suci

 

SELAMA tiga tahun berturut-turut piagam yang dibuat pihak Quraisy untuk memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu tetap ber laku. Dalam pada itu Muhammad dan keluarga serta sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekah, dengan mengalami pelbagai macam penderitaan, sehingga untuk mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa lapar pun tidak ada. Baik kepada Muhammad atau kaum Muslimin tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan orang, kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada waktu itu orang-orang Arab berdatangan ke Mekah berziarah, segala permusuhan dihentikan — tak ada pembunuhan, tak ada penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.

 

Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab itu kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka arti pahala dan arti siksa. Segala penderitaan yang dialami Muhammad demi dakwah itu justru telah menjadi penolongnya dari kalangan orang banyak. Mereka yang telah mendengar tentang itu lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka menerima ajakannya. Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan ketabahan hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah dapat memikat hati orang banyak, hati yang tidak begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab dan yang sebangsanya.

 

Muslimin Dikepung

 

Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu banyak dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy – padahal mercka masih sekeluarga: saudara, ipar, sepupu — banyak di antara mereka itu yang merasakan betapa beratnya kekerasan dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Dan sekiranya tidak ada dari penduduk yang merasa simpati kepada kaum Muslimin, membawakan makanan ke celah-celah gunung’ tempat mereka mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal ini Hisyam ibn “Amr termasuk salah seorang dari kalangan Quraisy yang paling simpati kepada Muslimin.

 

Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati makanan atau gandum. Bilamana ia sudah sampai di depan celah gunung itu, dilepaskannya tali untanya lalu dipacunya supaya terus masuk ke tempat mereka dalam celah itu.

 

Membatalkan Piagam

 

Merasa kesal melihat Muhammad dan sahabat-sahabatnya dianiaya demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair b. Abi Umayya (Banu Makhzum). Ibu Zuhair ini adalah Atika bint Abd”l-Muttalib (Banu Hasyim).

 

“Zuhair”, kata Hisyam. “Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan wanita-wanita, padahal, seperti kau ketahui, keluarga ibumu demikian rupa tidak boleh berhubungan dengan orang, berjual-beli, tidak boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah. bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga Abu’l-Hakam ibn Hisyam, lalu aku diajak seperti mengajak kau, tentu akan kutolak.”

 

Keduanya kemudian sepakat akan sama-sama membatalkan piagam itu. Tapi meskipun begitu harus mendapat dukungan juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus diyakinkan. Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh Mut’im b. “Adi (Naufal), Abu’l-Bakhtari b. Hisyam dan Zam’a bin’I-Aswad (keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat akan mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.

 

Dengan tujuh kali mengelilingi Ka’bah keesokannya paginya Zuhair b. Umayya berseru kepada orang banyak: “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian padahal Banu Hasyim binasa tidak dapat mengadakan hubungan dagang! Demi Allah saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!”

 

Tetapi Abu Jahl, begitu mendengar ucapan itu, ia pun berteriak:

 

“Bohong! Tidak akan kita robek!”

 

Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a, Abu’l-Bakhtari, Mut’im dan “Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahl dan mendukung Zuhair,

 

Abu Jahl segera menyadari bahwa peristiwa ini akan terselesaikan

 

juga malam itu dan orang pun sudah menyetujui. Kalau dia menentang mereka juga, tentu akan timbul bencana. Merasa kuatir, lalu Cepat-Cepat la pergi. Waktu itu, ketika Mut’im bersiap akan merobek piagam tersebut dilihatnya sudah mulai dimakan rayap, kecuali pada bagian pembukaan, nya yang berbunyi: “Atas nama-Mu ya Allah ……”

 

Dengan demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan sahabat-sahabat pergi meninggalkan celah bukit yang curam itu dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli dengan Quraisy juga, terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya seperti dulu juga, masing, masing siap-siaga bila permusuhan itu kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.

 

Beberapa penulis biografi dalam hal ini berpendapat, bahwa di antar mereka yang bertindak menghapuskan piagam itu terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk menghindarkan timbulnya bencana, mereka mendatangi Muhammad dengan permintaan Supaya ia mau saling mengulurkan tangan dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada dewa-dewa mereka sekalipun cukup hanya dengan jari. jarinya saja dikelilingkan. Agak cenderung juga hatinya atas usul itu, sebagai pengharapan atas kebaikan hati mereka. Dalam hatinya seolah ia berkata: “Tidak apa kalau saya lakukan itu. Allah mengetahui bahwa saya tetap taat.”

 

Atau karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan pertemuan dengan Muhammad sampai pagi. Dalam perbicaraan itu mereka sangat menghormatinya, menempatkannya sebagai yang dipertuan atas mereka, mengajaknya kompromi, seraya kata mereka: “Tuan adalah pemimpin kami ……..”

 

Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak mereka. Ini adalah dua sumber hadis, yang pertama sebagian diceritakan oleh Sa’id b. Jubair, sedang yang kedua oleh Oatada. Kata mereka kemudian Allah melindungi Muhammad dari kesalahan, dengan firman-Nya:

 

“Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka mengambil engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami.”

 

Ayat-ayat ini turun — menurut dugaan mereka yang membawa cerita gharanig — sehubungan dengan cerita bohong itu seperti yang sudah kita lihat. Sedang kedua ahli hadis ini menghubungkannya pada cerita pembatalan piagam. Sebaliknya menurut hadis “Ata’ lewat Ibn “Abbas, ayat-ayat ini turun sehubungan dengan delegasi Thagif, yang datang meminta kepada Muhammad supaya lembah mereka dianggap suci seperti pohon, burung dan binatang di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih maju-mundur sebelum ayat-ayat tersebut turun.

 

Apa pun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat itu sumber-sumber tersebut tidak berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi kebesaran jiwa Muhammad, di samping kejujuran dan keikhlasannya, dengan suatu lukisan yang sungguh kuat sekali. Segi ini yang juga dilukiskan oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dari Surah “Abasa” (80) dan pula seluruh sejarah kehidupan Muhammad membuktikannya pula. Secara terus-terang dikatakan, bahwa dia adalah manusia biasa seperti yang lain, tapi yang telah mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa dia, sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau tidak karena mendapat perlindungan Tuhan. Ia telah bersalah ketika bermuka masam dan berpaling dari Ibn Umm Maktum, dan hampir pula salah sehubungan dengan turunnya Surah “Isra” (17), juga hampir pula ia tergoda tentang apa yang telah diwahyukan kepadanya untuk dipalsukan dengan yang lain.

 

Apabila wahyu turun kepadanya memberi peringatan atas perbuatannya terhadap orang buta itu, dan terhadap godaan Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan wahyu itu kepada orang sama pula seperti ketika menyampaikan amanat Tuhan itu. Tak ada sesuatu yang akan menghalanginya ia menyatakan apa yang sebenarnya tentang dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi hati.

 

Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang ada dalam risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain demi idea yang diyakininya, orang yang berjiwa besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan, sekalipun oleh orang-orang besar sendiri. Hal-hal semacam itu biasanya oleh mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun dengan susah payah. Inilah kebesaran yang tak ada taranya, lebih besar dari orang besar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala kebesaran, dan lebih besar dari segala yang besar, yakni sifat kenabian yang menyertai Rasul itu dengan segala keikhlasan dan kejujurannya meneruskan Risalah Kebe, naran Tertinggi.

 

Sesudah piagam disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnya pun keluar dari lembah bukit-bukit itu. Seruannya dikumandangkan lagi kepada penduduk Mekah dan kepada kabilah-kabilah yang pada bulan, bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan Muhammag sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang sudah menjadi pengikutnya, tapi sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga dia tidak dapat mencegahnya.

 

Abu Talib dan Khadijah Wafat

 

Beberapa bulan kemudian sesudah penghapusan piagam itu, secarg tiba-tiba sekali dalam satu tahun saja Muhammad mengalami dukacita yang sangat menekan perasaan, yakni kematian Abu Talib dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu itu Abu Talib sudah berusia delapan puluh tahun lebih. Setelah Quraisy mengetahui ia dalam keadaan sakit yang akan merupakan akhir hayatnya, mereka merasa kuatir apa yang akan terjadj nanti antara mereka dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi sesudah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras. Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera mendatangi Abu ‘Talib, untuk kemudian mengatakan:

 

“Abu Talib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga kami juga. Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui keadaan kami dengan kemenakanmu itu. Panggillah dia. Kami akan saling memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan dari kami, kami pun akan demikian. Biarlah kami dengan agama kami dan dia dengan agamanya sendiri pula.” Muhammad datang tatkala mereka masih berada di tempat pamannya itu. Setelah diketahuinya maksud kedatangan mereka, ia pun berkata: “Sepatah kata saja saya minta, yang akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab.” “Ya, demi bapamu”, jawab Abu Jahl. “Sepuluh kata sekalipun silakan!” Kata Muhammad:

 

“Katakan, tak ada tuhan selain Allah, dan tinggalkan segala penyembahan yang selain Allah.”

 

“Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu Tuhan saja?” kata mereka.

 

Kemudian mereka berkata satu sama lain: “Orang ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah kalian!”

 

Ketika Abu Talib meninggal hubungan Muhammad dengan pihak Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah.

 

Dan sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah, Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad, Khadijah yang telah mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya, dengan perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih, dengan kekuatan iman yang ada padanya. Khadijah, yang dulu menghiburnya bila ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan dan yang menghilangkan rasa takut dalam hatinya. Ia adalah bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan bibirnya Muhammad melihat arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga ia sendiri pun tambah percaya kepada dirinya. Abu Talib pun meninggal, orang yang menjadi pelindung dan perisai terhadap segala tindakan musuh. Pengaruh apakah yang begitu sedih, begitu pedih menusuk jiwa Muhammad “alaihissalam?! Yang pasti, dua peristiwa itu akan meninggalkan luka parah dalam jiwa orang — yang bagaimanapun kuatnya — akan menusukkan racun putus asa ke dalam hatinya. Ia akan dikuasai perasaan sedih dan duka, akan dirundung kepiluan dan akan membuatnya jadi lemah, tak dapat berpikir lain di luar dua peristiwa yang sangat mengharukan itu.

 

Quraisy Makin Ganas

 

Sesudah kehilangan dua orang yang selalu membelanya itu Muhammad melihat Quraisy makin keras mengganggunya. Yang paling ringan di antaranya ialah ketika seorang pandir Quraisy mencegatnya di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke atas kepalanya. Tahukah orang apa yang dilakukan Muhammad? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih di atas kepala. Fatimah putrinya lalu datang mencucikan tanah yang di kepala itu. ia membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya dalam hati seorang ayah daripada mendengar tangis anaknya, lebih-lebih anak perempuan. Setitik air mata kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang putri adalah sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku karena pilu, dan karena pilunya ia akan menangis kesakitan. Juga secercah duka yang menyelinap ke dalam hati adalah rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik leher dan hampir pula menggenangi mata.

 

Sebenarnya Muhammad adalah seorang ayah yang sungguh bijaksana dan penuh kasih kepada putri-putrinya. Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan yang baru saja kehilangan ibunya itu, Yang menangis hanya karena malapetaka yang menimpa ayahnya? J idah lebih dari semua itu ia hanya menghadapkan hatinya kepada Allah dengan penuh iman akan segala pertolongan-Nya.

 

“Jangan menangis anakku”, katanya kepada putrinya yang Sedang berlinang air mata itu. “Tuhan akan melindungi ayahmu.”

 

Kemudian diulangnya: “Sebelum wafat Abu Talib orang-orang Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya.”

 

Muhammad Pergi ke Ta’if

 

Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Ia merasa tertekan sekali.

 

Terasing seorang diri, ia pergi ke Ta’if,! dengan tiada orang yang mengetahuinya. Ia pergi ingin mendapatkan dukungan dan suaka dari Thagif terhadap masyarakatnya sendiri, dengan harapan mereka pun akan dapat menerima Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya secara kejam sekali. Kalaupun sudah begitu, ia masih mengharapkan merek: jangan memberitahukan kedatangannya minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya Itu pun tidak didengar. Bahkan mereka menghasut orang-orang pandir agar bersorak-sorai dan memakinya.

 

Ia pergi lagi dari sana, berlindung pada sebuah kebun kepunyaan “Utba dan Syaiba anak-anak Rabi’a. Orang-orang yang pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah naungan pohon anggur. Ketika itu keluarga Rabi’a sedang memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya. Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan:

 

“Allahumma ya Allah, kepada-Mu juga aku mengadukan kelcmahanku. kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia, O Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan daku? Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku. aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat — daripada kemurkaan-Mu yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga.”

 

Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak Rabi’a itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialaminya itu. Budak mereka, seorang beragama Nasrani bernama “Addas, diutus kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas buah-buahan itu Muhammad berkata: “Bismillah!” Lalu buah itu dimakannya.

 

“Addas memandangnya keheranan.

 

“Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini”, kata “Addas.

 

Lalu Muhammad menanyakan negeri asal dan agama orang itu. Setelah diketahui bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari Nineveh, katanya:

 

“Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta.”

 

“Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta?” tanya “Addas.

 

“Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi”, jawab Muhammad.

 

Saat itu “Addas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan keheranan keluarga Rabi’a yang melihatnya. Sungguhpun begitu mereka tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan tatkala “Addas sudah kembali mereka berkata:

 

“”Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamy yang masih lebih baik daripada agamanya.”

 

Muhammad Menawarkan Diri kepada Kabilah-kabilah

 

Gangguan orang yang pernah dialami Muhammad seolah dapat meringankan perbuatan buruk yang dilakukan Thagif itu, meskipun mereka tetap kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan itu sudah diketahui pula oleh Quraisy sehingga gangguan mereka kepada Muhammad makir menjadi-jadi. Tetapi hal ini tidak mengurangi kemauan Muhammag menyampaikan dakwah Islam. Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah itu ia memperkenalkan diri, mengajak mereka mengenal arti kebenaran. Diberitahukannya kepada mereka, bahwa ia adalah Nabi yang diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.

 

Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak membiarkan. nya, bahkan dibuntutinya ke mana ia pergi. Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.

 

Kabilah-kabilah Menolak Seruannya

 

Muhammad sendiri tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di Mekah saja, bahkan ia mendatangi Banu Kinda! ke rumah-rumah mereka, mendatangi Bany Kalb,? juga ke rumah-rumah mereka. Banu Hanifa? dan Banu “Amir bin Sha’sha’a.” Tapi tak seorang pun dari mereka yang mau mendengarkan, Banu Hanifa bahkan menolak dengan cara yang buruk sekali. Sedang Banu “Amir menunjukkan ambisinya, bahwa kalau Muhammad mendapat kemenangan, maka sebagai penggantinya, segala persoalan nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi setelah dijawab, bahwa masalah itu berada di tangan Tuhan, mereka pun lalu membuang muka dan menolaknya seperti yang lain-lain.

 

Adakah kegigihan kabilah-kabilah yang mengadakan oposisi terhadap Muhammad itu karena sebab-sebab yang sama seperti yang dilakukan oleh Quraisy? Kita sudah melihat, bahwa Banu “Amir ini mempunyai ambisi ingin memegang kekuasaan bila bersama-sama mereka nanti ia mendapat kemenangan. Sebaliknya kabilah Thagif pandangannya lain lagi. Ta’if di samping sebagai tempat musinh panas bagi penduduk Mekah kareng udaranya yang sejuk dan buah anggurnya yang manis-manis, juga kota ini merupakan pusat tempat penyembahan Lat, Ke tempat itu orang berziarah dan menyembah berhala. Kalau Thagif ini sampai menjadi pengikut Muhammad, maka kedudukan Lat akan hilang. Permusuhan mereka dengan Quraisy pun akan timbul, yang sudah tentu akibatnya akan mempengaruhi perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga halnya dengan yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri yang disebabkan oleh keadaan perekonomian setempat. Dalam menentang Islam itu, pengaruh ini lebih besar terhadap mereka daripada pengaruh kepercayaan mereka dan kepercayaan nenek-moyang mereka, termasuk penyembahan berhala-berhala..

 

Muhammad Melamar Aisyah

 

Makin besar oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu, Muhammad makin mau menyendiri. Makin gigih pihak Quraisy melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin pula ia merasakan pedihnya.

 

Masa berkabung terhadap Khadijah itu pun sudah pula berlalu. Terpikir olehnya akan beristri, kalau-kalau istrinya itu kelak akan dapat juga menghiburnya, dapat mengobati luka dalam hatinya, seperti dilakukan Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini ia melihat pertaliannya dengan orang-orang Islam yang mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu sebabnya ia segera melamar putri Abu Bakr, Aisyah. Oleh karena waktu itu ia masih gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun, maka yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang perkawinan berlangsung dua tahun kemudian, ketika usianya mencapai sembilan tahun.

 

Kawin dengan Sauda

 

Sementara itu ia kawin pula dengan Sauda, seorang janda yang suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia dan kemudian meninggal setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembaca pun akan dapat menangkap arti kedua ikatan ini. Arti pertalian perkawinan dan semenda yang dilakukan oleh Muhammad itu, nanti akan lebih jelas.

 

Isra’ (tahun 621 M)

 

Pada masa itulah Isra’ dan Mi’raj terjadi. Malam itu Muhammad sedang berada di rumah saudara sepupunya, Hindun putri Abu Talib yang mendapat nama panggilan Umm Hani’. Ketika itu Hindun mengatakan:

 

“Malam itu Rasulullah bermalam di rumah saya. Selesai salat akhi, malam, ia tidur dan kami pun tidur. Pada waktu sebelum fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan ibadat pagi bersama. sama kami, ia berkata: “Umm Hani”, saya sudah salat akhir malam bersama kamu sekalian seperti yang kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke Bait’I-Magdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat.”

 

Kataku: “Rasulullah, janganlah menceritakan ini kepada orang lain, Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!.

 

“Tapi harus saya ceritakan kepada mereka”, jawabnya.

 

Isra’ dengan Ruh atau dengan Jasad

 

Orang yang mengatakan, bahwa Isra’ dan Mi’raj Muhammad ‘alaihis. salam dengan ruh itu berpegang kepada keterangan Umm Hani’ ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh Aisyah: “Jasad Rasulullah s.a.w tidak hilang, tetapi Allah menjadikan isra”’ itu dengan ruhnya”: Juga Mu’awiya b. Abi Sufyan ketika ditanya tentang isra’ Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi yang benar dari Tuhan. Di samping semua itu Orang berpegang kepada firman Tuhan: “Tidak lain mimpi yang Kami perlihat. kan kepadamu adalah sebagai ujian bagi manusia.”

 

Sebaliknya orang yang berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Bait’I-Magdis itu dengan jasad, landasannya ialah apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa dalam isra’ itu ia berada di pedalaman, seperti yang akan disebutkan ceritanya nanti. Sedang mi’raj ke langit adalah dengan ruh. Di samping mereka itu ada lagi pendapat bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat ini di kalangan ahli-ahli ilmu kalam banyak sekali dan ribuan pula tulisan-tulisan sudah dikemukakan orang. Sekitar arti isra” ini kami sendiri sudah mempunyai pendapat yang ingin kami kemukakan juga. Kita belum mengetahui, sebab adakah orang yang mengemukakannya sebelum kita, atau belum. Tetapi, sebelum pendapat ini kita kemukakan — dan supaya dapat kita kemukakan — perlu sekali kita menyampaikan kisah isra’ dan mi’raj ini seperti yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi. Gambaran Isra” dalam Buku-buku Sejarah Hidup Nabi

 

Dengan indah sekali Dermenghem melukiskan kisah ini yang disarikannya dari pelbagai buku sejarah hidup Nabi, yang terjemahannya sebagai berikut:

 

“Pada tengah malam yang sunyi dan hening, burung-burung malam pun diam membisu, binatang-binatang buas sudah berdiam diri, gemercik air dan siulan angin juga sudah tak terdengar lagi, ketika itu Muhammad terbangun oleh suara yang memanggilnya: “Hai orang yang sedang tidur, pangunlah!” Dan bila ia bangun, di hadapannya sudah berdiri Malaikat Jibril dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju, melepaskan rambutnya yang pirang terurai, dengan mengenakan pakaian berumbaikan mutiara dan emas. Dan dari sekelilingnya sayap-sayap yang beraneka warna bergeleparan. Tangannya memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu burag yang bersayap seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di hadapan Rasul, dan Rasul pun naik.

 

“Maka meluncurlah burag itu seperti anak panah membubung di atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju arah ke utara. Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai di tempat Tuhan berbicara dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat Isa dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.

 

“Sementara itu ada suara-suara misterius mencoba menghentikan Nabi, orang yang begitu ikhlas menjalankan risalahnya. Ia melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menghentikan hewan itu di mana saja dikehendaki-Nya.

 

“Seterusnya mereka sampai ke Bait ‘I-Magdis. Muhammad mengikatkan hewan kendaraannya itu. Di puing-puing kuil Sulaiman ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa. Kemudian dibawakan tangga, yang lalu dipancangkan di atas batu Ya’gub. Dengan tangga itu Muhammad cepat-cepat naik ke langit.

 

“Langit pertama terbuat dari perak murni dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas. Tiap langit itu dijaga oleh malaikat, supaya jangan ada setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula semua makhluk memuja dan memuji Tuhan. Pada keenam langit berikutnya Muhammad bertemu dengan Nuh, Harun, Musa, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat itu ia melihat Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara kedua matanya adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena kekuasaan-Nya, maka yang berada di bawah perintahnya adalah seratus ribu kelompok. Ia sedang mencatat nama-nama mereka yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku besar. ia melihat juga Malaikat Air Mata, yang menangis karena dosa-dosa orang. Malaikat Dendam yang berwajah tembaga yang menguasai anasir api dan sedang duduk di atas singgasana dari nyala api. Dan dilihatnya juga ada malaikat yang besar luar biasa.

 

separuh dari api dan separuh lagi dari salju, dikelilingi oleh malaikat malaikat yang merupakan kelompok yang tiada hentinya menyebut-nyebur nama Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan salju dengan api, telah menyatukan semua hambaMu setia menurut ketentuan-Mu.

 

“Langit ketujuh adalah tempat orang-orang yang adil, dengan malaikat yang lebih besar dari bumi ini seluruhnya. Ia mempunyai tujuh puluh ribu kepala, tiap kepala tujuh puluh ribu mulut, tiap mulut tujuh puluh ribu lidah, tiap lidah dapat berbicara dalam tujuh puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan tujuh puluh ribu dialek. Semua itu memuja dan memuji serta menguduskan Tuhan.

 

“Sementara ia sedang merenungkan makhluk-makhluk ajaib itu, tiba. tiba ia membubung lagi sampai di Sidrat’l-Muntaha yang terletak dj sebelah kanan “Arsy, menaungi berjuta-juta ruh malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap mata pun ia sudah menyeberangi lautan, lautan yang begitu luas dan daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu bagian yang gelap-gulita disertai berjuta-juta tabir kegelapan, api, air, udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500 tahun perjalanan. Ia melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan kesatuan. Di balik itu terdapat tujuh puluh ribu kelompok malaikat yang bersujud tidak bergerak dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.

 

“Kemudian terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang Maha Tinggi. Terpesona sekali ia. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya, seolah-olah sudah hilang tertelan. Keduanya tampak hanya sebesar biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.

 

“Begitu seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.

 

“Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan “Arsy, sudah dekat sekali. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan persepsinya, dan melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan lidah, di luar jangkauan otak manusia akan dapat menangkapnya. Maha Agung Tuhan mengulurkan sebelah tangan-Nya di dada Muhammad dan yang sebelah lagi di bahunya. Ketika itu Nabi merasakan kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang, damai, lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa kenikmatan.

 

“Sesudah berbicara …….. Tuhan memerintahkan hamba-Nya itu supaya setiap Muslim setiap hari sembahyang lima puluh kali. Begitu Muhammad kembali turun dari langit, ia bertemu dengan Musa. Musa berkata kepadanya:

 

“Bagaimana kauharapkan pengikut-pengikutmu akan dapat melakukan salat lima puluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil sejauh yang’ dapat kulakukan. Percayalah dan kembali kepada Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang itu.

 

“Muhammad pun kembali. Jumlah sembahyang juga lalu dikurangi menjadi empat puluh. Tetapi Musa menganggap itu masih di luar kemampuan orang. Disuruhnya lagi Nabi penggantinya itu berkali-kali kembali kepada Tuhan sehingga berakhir dengan ketentuan yang lima kali.

 

“Sekarang Jibril membawa Nabi mengunjungi surga yang sudah disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka yang teguh iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi. Burag pun dilepaskan. Lalu ia kembali dari Bait’I-Magdis ke Mekah naik hewan bersayap.”

 

Cerita Ibn Hisyam tentang Isra”

 

Demikian cerita Dermenghem tentang Isra’ dan Mi’raj. Kita pun dapat melihat, apa yang diceritakannya itu memang tersebar luas dalam buku-buku sejarah hidup Nabi, sekalipun akan kita lihat juga bahwa semua itu berbeda-beda. Di sana sini dilebihi atau dikurangi.

 

Salah satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam melalui ucapan Nabi “alaihissalam sesudah berjumpa dengan Adam di langit pertama, ketika mengatakan: “Kemudian kulihat orang-orang bermoncong seperti moncong unta, tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu dilemparkan ke dalam mulut mereka dan keluar dari dubur. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka yang memakan harta anak-anak yatim secara tidak sah”, jawab Jibril. Kemudian kulihat orang-orang dengan perut yang belum pernah kulihat dengan cara keluarga Fir’aun menyeberangi mereka seperti unta yang kena penyakit dalam kepalanya, ketika dibawa ke dalam api. Mereka diinjak-injak tak dapat beranjak dari tempat mereka. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka itu tukang-tukang riba”, jawabnya. Kemudian kulihat orang-orang, di hadapan mereka ada daging yang gemuk dan baik, di samping ada daging yang buruk dan busuku Mereka makan daging yang buruk dan busuk. itu dan meninggalkan yang gemuk dan baik. Aku bertanya: “Siapakah mereka itu, Jibril? Mereka orang-orang yang meninggalkan wanita yang dihalalkan Tahan dan mencari wanita yang diharamkan”, jawabnya. Kemudian aku melihat: wanita-wanita yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku bertanya Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka itu wanita yang memasukkan laki-laki dan bukan dari keluarga mereka .:…” Kemudian aku dibawa ke surga Disana kulihat seorang budak perempuan, bibirnya merah. Kutanya dia: “Kepunyaan siapa engkau?” — Aku tertarik sekali waktu kulihat. “Aku kepunyaan Zaid ibn Haritha,” jawabnya. Maka Rasulullah S.a.w. lalu memberi selamat kepada Zaid ibn Haritha.”

 

Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam buku-buku sejarah hidup Nabi, yang lain dan dalam buku-buku tafsir orang akan melihat bermacam, macam hal lagi di samping itu. Sudah menjadi hak setiap penulis Sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai di mana benar ketelitian dan penyelidikan yang mereka adakan dalam hal ini semua: mana yang boleh dijadikan begangan (askripsi) sampai kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang sahih (otentik), dan mana pula yang hanya berupa buah khayal Orang, orang tasauf dan sebangsanya.

 

Kalau di sini tidak cukup ruangan untuk mengadakan ketentuan atau penyelidikan dalam bidang tersebut, dan kalau bukan pula di Sing tempatnya untuk menyatakan apakah isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad, ataukah mi’raj dengan ruh dan isra’ dengan jasad, ataukah isra’ dan mi’raj itu semuanya dengan ruh — maka sudah tentu bahwa tiap pendapat itu akan ada dasarnya pada ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya kalau atas pendapat-pendapat itu orang menyatakan pendiriannya sendiri yang akan berbeda pula satu dari yang lain.

 

Jadi barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah seperti yang kita kemukakan tadi dan sudah berulang-ulang pula disebutkan dalam Quran dan diucapkan Rasul.

 

“Sungguh aku ini manusia seperti kamu juga, hanya aku diberi wahyu, Tetapi Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, ” dan bahwa satu-satunya mukjizat Muhammad ialah Quran dan “Bahwasanya Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mempersekutukan-Nya, tetapi Dia meng. ampun segala dosa selain (syirik) itu, siapa saja yang dikehendaki-Nya.”

 

Urang yang berpendapat demikian ini — sebenarnya melebihi yang lain —ia akan bertanya, apa sebenarnya arti isra’ dan mi’raj itu. Di sinilah letak pendapat yang ingin kita kemukakan. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang mengemukakan hal ini sebelum kita, atau belum.

 

Isra” dan Wihdat’I-Wujud

 

Isra” dan mi’raj ini dalam hidup kerohanian Muhammad mempunyai arti yang tinggi dan agung sekali, suatu arti yang lebih besar dari yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak sedikit dikacau dan dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang subur itu. Jiwa yang sungguh kuat itu, tatkala terjadi isra’ dan mi’raj, telah dipersatukan oleh kesatuan wujud ini, yang sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu tak ada sesuatu tabir ruang dan waktu atau sesuatu yang dapat mengalangi intelek dan jiwa Muhammad, yang akan membuat penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi, terbatas oleh kekuatan-kekuatan kita yang sensasional, yang dapat diarahkan menurut akal pikiran: Pada saat itu semua batas jadi hanyut di depan hati nurani Muhammad. Seluruh alam semesta ini sudah bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu disadarinya, sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi — sejak dunia mulai berkembang sampai ke akhir zaman. Digambarkannya dalam perkembangan kesunyian dirinya dalam mencapai kesempurnaan itu, dengan jalan kebaikan dan keindahan dan kebenaran, dalam mengatasi dan mengalahkan segala kejahatan, kekurangan, keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan juga. Orang tidak akan mencapai keluhuran demikian itu, kalau tidak dengan suatu kekuatan yang berada di atas kodrat manusia yang pernah dikenalnya.

 

Apabila sesudah itu kemudian datang orang-orang yang menjadi pengikut Muhammad yang tidak sanggup mengikuti jejak pikirannya yang begitu tinggi, dengan kesadaran yang begitu kuat tentang kesatuan alam, kesempurnaan serta perjuangannya mencapai kesempurnaan itu, maka hal ini tidak mengherankan dan bukan pula aib tentunya. Orang-orang yang piawai dan jenial memang bertingkat-tingkat. Dalam kita mencapai kebenaran ini pun selalu terbentur pada batas-batas ini, tenaga kita sudah tidak mampu mengatasinya.

 

Apabila kita mau menyebutkan sebagai contoh – dengan sedikit perbedaan tentunya, sehubungan dengan apa yang kita hadapi sekarang ini – cerita Orang-orang buta yang ingin mengetahui gajah itu apa, maka salah seorang dari mereka itu akan berkata, bahwa gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab kebetulan yang terpegang adalah buntutnya, yang seorang lagi berkata bahwa gajah itu sebatang pohon, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah kakinya, yang ketiga berkata, bahwa gajah itu runcing seperti anak panah, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah taringnya, yang keempat berkata, bahwa gajah itu bulat panjang dan bengkok, banyak bergerak-gerak, sebab kebetulan yang dipegangnya adalah belalainya.

 

Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang terbayang ketika orang yang tidak buta itu melihat gajah untuk pertama kalinya. Boleh juga kiranya kita mengambil perbandingan antara persepsi (kesadaran) Muhammad menangkap esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya ke dalam isra” dan mi’raj yang berhubungan dengan waktu pertama sejak sebelum Adam sampai pada akhir hari kebangkitan dan yang akan menghilangkan pula kesudahan ruang ini, ketika ia melihat dengan mata batin dari Sidrat’l Muntaha ke alam semesta ini, yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut — dengan persepsi (kesadaran) kebanyakan orang yang dapat menangkap arti isra’ mi’raj itu. Tatkala itu ia berhadapan dengan bagian-bagian yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang hidupnya hanya seperti partikel-partikel tubuh bahkan seperti partikel-partikel yang melekat pada tubuh itu dengan Yusunannya yang tidak terpengaruh karenanya. Dari mana pula partikey bartikel daripada hidup tubuh itu, dari denyutan jantungnya, pancara, jiwanya, pikirannya yang penuh dengan enersi yang tak kenal batas, sebab, dari wujud hidup itulah ia berhubungan dengan segala kehidupan alam ini.

 

Isra” dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra’ dan mi’raj juga yang semuanya dengan ruh. Ini adalah begitu luhur, begitu indah dan agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat sekali dalam arti kesatuan rohani sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi. Ini adalah Suatu pendakian ke atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke Bethlehem, tempat Isa dilahirkan. Pertemuan rohani demikian ini sudah mengandung selawat bagi Muhammad, Isa, Musa dan Ibrahim, suatu manifestasi yang kuat sekali dalam arti kesatuan hidup agama sebagai suatu sendi kesatuan alam dalam edarannya yang terus menerus menuju kepada kesempurnaan.

 

Ilmu pengetahuan pada masa kita sekarang ini mengakui isra’ dengan ruh dan mengakui pula mi’raj dengan ruh. Apabila tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang benar pun akan memancar. Dalam bentuk tertentu sama pula halnya dengan tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan kepada Marconi ketika ia menemukan suatu arus listrik tertentu dari kapalnya yang sedang berlabuh di Venesia. Dengan suatu kekuatan gelombang eter arus listrik itu telah dapat menerangi kota Sydney di Australia.

 

Isra’ dan Ilmu Pengetahuan Modern

 

Ilmu pengetahuan zaman kita sekarang ini membenarkan pula teori telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan dengan itu. Demikian juga transmisi suara di atas gelombang eter dengan radio, telefotografi (facsimile transmisi) dan teleprinter lainnya, suatu hal yang tadinya masih dianggap suatu pekerjaan khayal belaka. Tenaga-tenaga yang masih tersimpan dalam alam semesta ini setiap hari masih selalu memperlihatkan yang baru kepada alam kita. Apabila jiwa sudah mencapai kekuatan dan kemampuan yang begitu tinggi seperti yang sudah dicapai oleh jiwa Muhammad itu, lalu Allah memperjalankan dia pada suatu malam dari Masjid’I-Haram ke al-Masjid’l-Agsha, yang di sekelilingnya sudah diberi berkah guna memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya, maka itu pun oleh ilmu pengetahuan dapat pula dibenarkan. Arti semua ini ialah pengertian-pengertian yang begitu kuat dan luhur, begitu indah dan agung, dan telah pula membayangkan kesatuan rohani dan kesatuan alam semesta ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa Muhammad. Orang akan dapat memahami arti semua ini apabila ia dapat berusaha menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan hidup yang singkat ini. Ia berusaha mencapai esensi kebenaran tertinggi itu guna memahami kedudukannya yang sebenarnya dan kedudukan alam ini seluruhnya.

 

Quraisy Sangsi, Beberapa Orang yang Sudah Islam Berbalik

 

Orang-orang Arab penduduk Mekah tidak dapat memahami semua pengertian ini. Itulah pula sebabnya, tatkala soal isra’ itu oleh Muhammad disampaikan kepada mereka, mereka pun lalu menanggapinya dari bentuk materi — mungkin atau tidaknya isra’ itu. Apa yang dikatakannya itu kemudian menimbulkan kesangsian juga pada beberapa orang pengikutnya, pada orang-orang yang tadinya sudah percaya. Mereka banyak yang mengatakan: Masalah ini sudah jelas. Perjalanan kafilah yang terusmenerus pun antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana bolehjadi Muhammad hanya satu malam saja pergipulang ke Mekah?!

 

Tidak sedikit mereka yang sudah Islam itu kemudian berbalik murtad. Mereka yang masih menyangsikan hal ini lalu mendatangi Abu Bakr dan keterangan yang diberikan Muhammad itu dijadikan bahan pembicaraan.

 

“Kalian berdusta,” kata Abu Bakr.

 

“Sungguh,” kata mereka. “Dia di mesjid sedang bicara dengan orang banyak.”

 

“Dan kalaupun itu yang dikatakannya,” kata Abu Bakr lagi, “tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan.”

 

Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan Bait’I-Magdis. Abu Bakr sudah pernah berkunjung ke kota itu.

 

Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:

 

“Rasulullah, saya percaya.”

 

Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan “Ash-Shiddik.”’ Yang Berpendapat Isra” dengan Jasad

 

Alasan mereka yang berpendapat bahwa isra’ itu dengan jasad ialah karena ketika Quraisy mendengar tentang kejadian Suraga mereka menanyakannya dan mereka yang sudah beriman juga menanyakan tentang peristiwa yang luar biasa itu. Mereka memang belum pernah mendengar hal semacam itu. Lalu diceritakannya tentang adanya kafilah yang pernah dilaluinya di tengah jalan. Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat. dialah yang menunjukkan. Pernah ia minum dari scbuah kafilah lain dan sesudah minum Ialu ditutupnya bejana itu. Pihak Ourary menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itu pun membenarkan apa yang telah diceritakan Muhammad itu.

 

Saya kira, kalau dalam hal ini orang bertanya kepada mercka yang berpendapat tentang isra” dengan ruh itu, tentu mereka tidak akan Merasa heran sesudah ternyata ilmu masa kita sekarang ini dapat mengetahy mungkinnya hyponotisma menceritakan hal-hal yang terjadi di tempat, tempat yang jauh. Apalagi dengan ruh yang dapat menghimpun kehidupan rohani dalam seluruh alam ini. Dengan tenaga yang diberikan Tuhan kepadanya ia dapat mengadakan komunikasi dengan rahasia hidup ini dari awal alam azali sampai pada akhirnya yang abadi.

 

Ketabahan Muhammad — Tanda Kemenangan dari Yathrib Aus’ Khazraj dan Yahudi — Pengaruh Roham — Suwad bim’sh ShamitInsiden Bu’ath — Ikrar “Agaba Pertama Mush’ab b “Umair Muhammad Memikirkan Soal Hijrah Ikrar “Agaba Kedua Dialog Scbelum Ikrar – Ikrar – Quraisy dan Ikrar “Agaba – Posisi Kedua Belah Pihak — Muslimin Hijrah ke Yathrib – Quraisy dan Hijrah Nabi

 

ORANG-ORANG Quraisy tidak dapat memahami arti isra”, juga mereka yang Sudah Islam banyak yang tidak memahami artinya, seperti sudah disebutkan tadi. Itu sebabnya, ada kelompok yang lalu meninggalkan Muhammad yang tadinya sudah sekian lama menjadi pengikutnya. Permusuhan Quraisy terhadap Muhammad dan terhadap kaum Muslimin makin keras juga, sehingga mereka sudah merasa sungguh kesal karenanya. Rasanya tak ada lagi harapan bagi Muhammad akan mendapat dukungan kabilah-kabilah sesudah ternyata Thagif dari Ta’if menolaknya dengan cara yang tidak baik. Demikian juga kemudian kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu “Amir dan. Banu Hanifa semua menolaknya, ketika ia datang mengenalkan diri kepada mereka pada musim ziarah.

 

Sesudah itu Muhammad merasa, bahwa tiada seorang pun dari Quraisy itu nampaknya yang dapat diharapkan diajak kepada kebenaran. Kabilah-kabilah lain di luar Quraisy yang berada di sekitar Mekah dan yang datang berziarah ke tempat itu dari segenap penjuru daerah Arab, melihat keadaannya yang dikucilkan itu dan melihat sikap permusuhan Quraisy kepadanya demikian rupa, membuat setiap orang yang mendukungnya jadi memusuhi mereka. Sekarang sikap Quraisy tambah keras pula menentangnya. .

 

Meskipun Muhammad sudah merasa berbesar hati karena adanya Hamzah dan Umar, dan meskipun ia sudah yakin, bahwa Quraisy tidak akan terlalu membahayakan melebihi yang sudah-sudah mengingat adanya pertahanan pihak keluarganya dari Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib, tapi ia melihat — sampai pada waktu itu — bahwa risalah Tuhan itu akan terhenti hanya pada suatu lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri dari orang-orang yang masih lemah dan sedikit sekap jumlahnya, hampir-hampir saja punah atau tergoda meninggalkan agama, nya kalau tidak segera datang kemenangan dan pertolongan Tuhan. Ha ini berjalan cukup lama. Muhammad makin dikucilkan di tengah-tengah keluarganya, kedengkian Quraisy juga bertambah besar. Ketabahan Muhammad

 

Adakah pengasingan yang demikian ini telah melemahkan jiwanya dan dapat mematahkan semangatnya? Sekali-kali tidak! Bahkan keper, cayaannya akan kebenaran yang datang dari Tuhan itu lebih luhur daripada sekadar pertimbangan-pertimbangan yang akan dapat melemah, kan jiwa biasa. Bagi orang yang berjiwa luar biasa hal ini justru akan lebih memperkuat kepercayaannya.

 

Dalam keadaan terasing itu — dengan sahabat-sahabat di sekelilingnya — Muhammad yakin sekali Tuhan akan memberikan pertolongan kepada, nya dan agamanya pun akan mengatasi semua agama. Badai kedengkian tidak sampai menggoyahkan hatinya. Bahkan tetap ia tinggal di Mekah selama beberapa tahun. Tidak peduli ia harta Khadijah dan hartanya sendiri akan habis. Keadaannya yang sangat miskin tidak sampai melemahkan hatinya. Jiwanya tak pernah ganderung kepada apa pun selain dari pertolongan Tuhan yang sudah pasti akan diberikan kepadanya.

 

Apabila musim ziarah sudah tiba, orang-orang dari segenap jazirah Arab sudah berkumpul lagi di Mekah, ia pun mulai menemui kabilahkabilah itu. Diajaknya mereka memahami kebenaran agama yang dibawanya itu. Tidak peduli ia apakah kabilah-kabilah tidak mau menerima ajakannya, atau akan mengusirnya secara kasar. Beberapa orang pandir dari Quraisy berusaha mengasut ketika diketahui ia terus menyampaikan amanat Tuhan itu kepada orang ramai. Mereka memperlakukannya dengan segala kejahatan. Tetapi semua itu tidak mengubah ketenangan jiwanya dan ia yakin sekali akan hari esok. Allah Maha Agung telah mengutusnya demi kebenaran. Sudah tentu Dialah Pembela dan Pendukung kebenaran itu. Tuhan juga yang telah mewahyukan kepadanya, supaya dalam berdebat hendaknya dilakukan dengan cara yang sebaikbaiknya.

 

“Sehingga permusuhan antara engkau dengan dia itu sudah seperti persahabatan yang erat sekali.! Dan supaya bicara dengan mereka dengan lemah-lembut, kalau-kalau mereka mau sadar dan merasa gentar. Jadi, tabahkanlah hati menghadapi siksaan mereka. Tuhan bersama mereka yang tabah hati. Tanda Kemenangan dari Yathrib

 

Tidak selang berapa tahun kemudian Muhammad menunggu, tiba-tiba tampak tanda permulaan kemenangan itu datang dari jurusan Yathrib. Bagi Muhammad Yathrib mempunyai arti hubungan bukan hubungan dagang, tetapi suatu hubungan yang dekat sekali. Di tempat itu ada sebuah kuburan, dan sebelum wafat, sekali setahun ibunya berziarah ke tempat jitu. Sedang famili-familinya, dari pihak Banu Najjar, ialah keluarga kakeknya Abd’l-Muttalib dari pihak ibu. Kuburan itu ialah makam ayahnya, Abdullah b. Abd’I-Muttalib. Ke makam inilah Aminah sebagai istri yang setia berziarah. Dulu Abd’I-Muttalib juga sebagai ayah yang kehilangan anak yang sedang muda belia dan tegap, pernah berziarah. Ketika berusia enam tahun, Muhammad juga pernah ke Yathrib menemani ibunya. Jadi bersama ibunya ia juga ziarah ke makam ayahnya itu. Kemudian mereka berdua kembali pulang. Aminah jatuh sakit di tengah perjalanan, sampai wafat. Lalu dikuburkan di Abwa’ — pertengahan jalan antara Yathrib dengan Mekah.

 

Jadi tidak heranlah apabila tanda-tanda kemenangan bagi Muhammad itu dimulai dari jurusan sebuah kota yang mempunyai hubungan sedemikian rupa. Ke arah ini jugalah dulu sa menghadap, tatkala dalam sembahyang itu al-Masjid’I-Agsha di Bait’I-Magdis dijadikan kiblatnya, tempat sesepuhnya Musa dan Isa Tidak heran apabila nasib baik itu akan jatuh ke Yathrib. Di tempat ini Muhammad akan beroleh kemenangan, di tempat ini pula Islam akan beroleh sukses dan berkembang.

 

Aus, Khazraj dan Yahudi

 

Nasib baik telah jatuh di Yathrib, suatu hal yang tidak terjadi pada kota yang lain. Waktu itu dua kabilah Aus dan Khazraj adalah penyembah berhala di Yathnb. Mereka saling bertetangga dengan orang-orang Yahudi. Sering pula timbul kebencian antara mereka itu dan dari kebencian ini sampai timbul pula peperangan: Sejarah memperlihatkan bahwa orang-orang Masehi di Syam, yang berada di bawah pengaruh Rumawi Timur (Bizantium) sangat membenci orang-orang Yahudi, sebab mereka percaya bahwa mereka inilah yang telah menyiksa dan menyalib Isa al-Masih. Mereka menyerbu Yathrib guna memerangi orang-orang Yahudi. Akan tetapi karena tidak berhasil mereka lalu membujuk dan meminta bantuan Aus dan Khazraj. Tidak sedikit jumlah orang-orang Yahudi itu kemudian yang mereka bunuh. Dengan demikian kedudukan orang-orang Yahudi sebagai yang dipertuan dijatuhkan, dan orang-orang Arab kabilah Aus dan Khazraj yang tadinya terbatas hanya sebagai kui telah dinaikkan. Sesudah itu Orang-orang Arab itu berusaha lagi akan menghantam orang-orang Yahudi supaya kekuasaan mereka atas kota yang makmur dan subur dengan pertanian dan air itu lebih besar lagi Siasat mereka ini berhasil baik sekali.

 

Tetapi pihak Yahudi sendiri kemudian menyadari akan bencana yang menimpa diri mereka itu. Permusuhan dan kebencian pihak Yahud, Yathrib terhadap Aus dan Khazraj makin mendalam, Aus dan Khazraj pun demikian juga terhadap Yahudi.

 

Sekarang pengikut-pengikut Musa ini melihat, bahwa pertempuran yang dilawan dengan pertempuran berarti akan menghabiskan mereka samasekali, apalagi kalau Aus dan Khazraj sampai bersahabat baik! dengan orang-orang Arab, yang seagama dengan Ahli Kitab. Maka dalam siasat mereka, mereka menempuh suatu cara bukan mencari kemenangan dalam pertempuran, melainkan dengan menggunakan siasat memecah. belah. Mereka melakukan intrik di kalangan Aus dengan Khazraj, menyebarkan provokasi permusuhan dan kebencian di kalangan mereka, supaya masing-masing pihak selalu bersiap-siap akan saling bertempur.

 

Dengan demikian selamatlah propaganda mereka itu. Mereka sekarang dapat memperbesar perdagangan dan kekayaan mereka. Kekuasaan mereka yang sudah hilang dapat mereka rebut kembali, termasuk rumah. rumah dan harta tidak bergerak lainnya.

 

Pengaruh Rohani

 

Di samping konflik karena berebut kedaulatan dan kekuasaan dalam hidup bertetangga Yahudi-Arab Yathrib itu, masih ada pengaruh lain yang lebih dalam pada pihak Aus dan Khazraj — melebihi penduduk jazirah Arab yang mana pun juga — yaitu dalam arti pengaruh rohani.

 

Orang-orang Yahudi sebagai Ahli Kitab dan penganjur monotheisma Sangat mencela tetangga-tetangga mereka yang terdiri dari kaum pagan dengan penyembah berhala sebagai pendekatan kepada Tuhan.

 

Mereka diperingatkan bahwa kelak akan ada seorang nabi yang akan menghabiskan mereka dan mendukung Yahudi. Tetapi propaganda ini tidak sampai membuat orang-orang Arab itu mau menganut agama Yahudi. Soalnya karena dua sebab: pertama karena selalu ada perang antara kaum Nasrani dan kaum Yahudi, yang lalu membuat Yahudi Yathrib hanya hidup cari selamat, yang berarti akan menjamin lancarnya perdagangan mereka. Kedua, orang-orang Yahudi beranggapan, bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan, dan mereka tidak mau ada bangsa jaan memegang kedudukan ini. Di samping itu mereka memang tidak pernah mengajak orang lain menganut agamanya dan mereka pun tidak pula keluar dari lingkungan Keluarga Israil. Atas dasar kedua sebab tersebut, hubungan tetangga dan hubungan dagang antara Yahudi dengan Arab — Aus dan Khazraj — membuat lebih banyak mengetahui cerita-cerita kerohanian dan masalah-masalah agama lainnya dibanding dengan golongan Arab yang lain. Ini menunjukkan bahwa tak ada suatu golongan dari kalangan Arab yang dapat menerima ajakan Muhammad dalam arti spiritual seperti yang dilakukan oleh penduduk Yathrib itu.

 

Suwaid bin ‘sh-Shamit

 

Suwaid bin’sh-Shamit adalah seorang bangsawan terkemuka di Yathrib. Karena ketabahannya, pengetahuannya, kebangsawanan dan keturunannya, masyarakatnya sendiri menamakannya al-Kamil (yang sempurna). Pada waktu membicarakan ini Suwaid sedang berada di Mekah berziarah. Muhammad lalu menemuinya dan diajaknya ia mengenal Tuhan dan menganut Islam.

 

“Barangkali yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku”, kata Suwaid.

 

“Apa yang ada padamu?” tanya Muhammad.

 

“Kata-kata mubara oleh Lugman “

 

Lalu Muhammad minta supaya hal ini dikemukakan.

 

“Memang itu kata-kata yang bak.” kata Muhammad setelah oleh Suwaid dikemukakan. “Tapi yang ada padaku lebih utama tentunya, yaitu Quran sebagai bimbingan dan cahaya.”

 

Lalu dibacakannya ayat-ayat Quran itu kepadanya disertai ajakan agar ia sudi menerima Islam. Gembira sekali Suwaid mendengar ini.

 

“Memang baik sekali ini,” katanya. Lalu ia pergi hendak memikirkan hal tersebut. Ada sementara orang yang berkata ketika ia dibunuh oleh Khazraj, bahwa ia mati sebagai Muslim.

 

Peristiwa Suwaid b. Shamit ini bukan contoh satu-satunya yang menunjukkan adanya pengaruh Yahudi dan Arab di Yathrib yang bertetangga itu, dari segi rohani.

 

Keadaan Aus dan Khazraj yang begitu bermusuhan sebagai akibat provokasi pihak Yahudi seperti yang sudah kita ketahui, satu sama lain mencari sekutu di kalangan kabilah-kabilah Arab untuk memerangi lawannya. Dalam hal ini kedatangan Abu’l-Haisar Ans b. Rafi” ke Mekah disertai pemuda-pemuda dari Banu Abd’-Asyhal — termasuk Iyas b. Mu’adh — adalah dalam rangka mencari persekutuan dengan pihak Quraisy dan golongannya sendiri dam pihak Khazraj. Muhammad mengetahui hal ini. ditemuinya mereka itu, dan diperkenalkannya Islam kepada merek, Lalu dibacanya ayat-ayat Quran kepada mereka.

 

Pada waktu itu, Iyas b. Mu’adh sebagai pemuda remaja mengatakan,

 

“Kawan-kawan, ini adalah lebih baik daripada apa yang ada pada kita semua.”

 

Mereka kemudian kembali pulang ke Yathrib. Tak ada yang masuk Islam di antara mereka itu, selain Iyas. Mereka semua sedang Sibuk mencari sekutu sebagai suatu persiapan karena adanya insiden Bu’ath yang telah melibatkan Aus dan Khazraj ke dalam api perang saudara itu, tidak lama sesudah Abu’l-Haisar dan rombongannya kembali dari Mekah, Akan tetapi kata-kata Muhammad ‘alaihissalam telah meninggalkan bekas yang dalam ke dalam jiwa mereka setelah terjadinya insiden itu, yang lah, membuat Aus dan Khazraj menantikan Muhammad sebagai Nabi, Sebagai Rasul, sebagai wakil dan pemuka mereka.

 

Insiden Bu’ath

 

Memang, terjadinya insiden Bu’ath itu tidak lama sesudah Abu’. Haisar kembali ke Yathrib. Pada waktu itulah pertempuran sengit antara Aus dan Khazraj terjadi, yang membawa akibat timbulnya permusuhan yang berakar dalam sekali. Setiap golongan lalu bertanya-tanya kalau kalau mereka itu yang menang: akan tetapkah mereka dengan kawan, kawan mereka itu, ataukah akan dikikis habis. Abu Usaid Hudzair sebagai pemuka Aus, sangat dendam sekali kepada Khazraj.

 

Tatkala pertempuran sudah dimulai, pihak Aus mengalami suaty kekacauan. Mereka lari tunggang-langgang ke arah Najd, yang oleh pihak Khazraj lalu diejek. Hudzair yang mendengarkan ejekan itu menetakkan ujung lernbingnya ke pahanya, lalu turun dengan mengatakan:

 

“Sungguh luar biasa! Tidak akan tinggal diam sebelum aku mati terbunuh. Wahai masyarakat Aus, kalau kamu mau menyerahkan aku, lakukanlah!”

 

Pihak Aus sekarang mau bertempur lagi. Pengalaman pahit yang telah menimpa mereka menyebabkan mereka kini berjuang mati-matian. Khazraj dapat mereka hancurkan. Rumah-rumah dan kebun kurma Khazraj oleh Aus dibakar. Kemudian Sa’d b. Mu’adh al-Asyhali bertindak melindungi Khazraj. Sementara itu Hudzair bermaksud akan mendatangi rumah demi rumah, membunuhi satu-satu mereka sampai tak ada yang hidup lagi, kalau tidak segera Abu Oais ibn’I-Aslat kemudian datang mencegahnya guna menjaga solidaritas kepercayaan mereka. “Bertetangga dengan mereka lebih baik daripada bertetangga dengan rubah.”

 

Sejak itu orang-orang Yahudi dapat mengembalikan kedudukannya di yathrib. Baik yang menang maupun yang kalah dari kalangan Aus dan Khazraj sama-sama berpendapat tentang akibat buruk yang telah mereka fakukan itu. Hal ini yang sekarang terpikir oleh mereka, dan mereka sudah mempertimbangkan pula akan mengangkat seorang raja atas mereka itu. Untuk itu mereka lalu memilih Abdullah b. Muhammad dari pihak Khazraj yang sudah kalah, mengingat kedudukan dan pandangannya yang baik. Akan tetapi karena perkembangan situasi yang begitu pesat, keinginan mereka itu tidak sampai terlaksana. Soalnya ialah karena ada beberapa orang dari Khazraj pergi ke Mekah pada musim ziarah.

 

Di tempat ini Muhammad menemui mereka dan menanyakan keadaan mereka, yang kemudian diketahuinya, bahwa mereka adalah kawan-kawan orang-orang Yahudi. Ketika itu orang-orang Yahudi di Yathrib mengatakan apabila mereka saling berselisih:

 

“Sekarang akan ada seorang nabi utusan Tuhan yang sudah dekat waktunya. Kami akan jadi pengikutnya dan kami dengan dia akan memerangi kamu seperti dalam perang “Ad dan Iram.”

 

Setelah Nabi bicara dengan mereka dan diajaknya mereka bertauhid kepada Allah, satu sama lain mereka seling berpandang-pandangan.

 

“Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kita,” kata mereka. “Jangan sampai mereka mendahului kita.”

 

Seruan Muhammad mereka sambut dengan baik dan menyatakan diri mereka masuk Islam. Lalu kata mereka:

 

“Kami tclah meninggalkan golongan kami — yakni Aus dan Khazraj — dan tidak ada lagi golongan yang saling bermusuhan dan saling mengancam. Mudah-mudahan Tuhan mempersatukan mereka dengan tuan. Bila mereka itu sudah dapat dipertemukan dengan tuan, maka tak adalah orang yang lebih mulia dari tuan.”

 

Orang-orang itu lalu kembali ke Medinah. Dua orang di antara mereka itu dari Banu’n-Najjar, keluarga Abd’I-Muttalib dari pihak ibu — kakek Muhammad yang telah mengasuhnya sejak kecil. Kepada masyarakatnya itu mereka menyatakan sudah menganut Islam. Ternyata mereka pun menyambut pula dengan senang hati agama ini, yang berarti akan membuat mereka menjadi golongan monotheis seperti orang-orang Yahudi. Bahkan membuat lebih baik dari mereka. Dengan demikian tiada suatu keluarga pun, baik Aus atau Khazraj, yang tidak menyebut nama Muhammad ‘alaihissalam.

 

Ikrar “Agaba Pertama

 

Tiba giliran tahun berikutnya, bulan-bulan suci pun datang lagi bersama datangnya musim ziarah ke Mekah, dan ke tempat itu datang bula dua belas orang penduduk Yathrib. Mereka ini bertemu dengan Nabi di “Agaba. Di tempat inilah mereka menyatakan ikrar atau berjanji kepada Nabi (yang kemudian dikenal dengan nama) Ikrar “Agaba pertama. Mereka berikrar kepadanya untuk tidak menyekutukan Tuhan tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak meng. umpat dan memfitnah, baik di depannya atau di belakang. Jangan menolak berbuat kebaikan. Barangsiapa mematuhi semua itu ia mendapat pahala surga, dan kalau ada yang mengecoh, maka soalnya kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni segala dosa.

 

Mush ab b “Umair

 

Dalam hal ini Muhammad menugaskan kepada Mush’ab bin “Umair supaya membacakan Quran kepada mereka, mengajarkan Islam serta seluk-beluk hukum agama.

 

Setelah adanya ikrar ini Islam makin tersebar di Yathrib. Mush’ab bertugas memberikan pelajaran agama di kalangan Muslimin Aus dan Khazraj. Gembira sekali ia melihat kaum Anshar itu makin teguh kepercayaannya kepada Allah dan kepada kebenaran. Menjelang bulan, bulan suci akan tiba, ia datang lagi ke Mekah dan kepada Muhammad diceritakannya keadaan Muslimin di Yathrib itu: tentang ketahanan dan kekuatan mereka, dan bahwa pada musim haji tahun ini mereka akan datang lagi ke Mekah dalam jumlah yang lebih besar dengan iman kepada Tuhan yang sudah lebih kuat.

 

Berita-berita yang disampaikan oleh Mush’ab ini membuat Muhammad berpikir lebih lama lagi. Pengikut-pengikutnya di Yathrib kini makin Sehari makin berkuasa dan bertambah kuat juga. Dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik mereka tidak mendapat gangguan seperti yang dialami oleh kawan-kawannya di Mekah karena gangguan Quraisy. Di samping itu Yathrib lebih makmur daripada Mekah — ada pertanian, ada kebun kurma, ada anggur. Bukankah lebih baik sekali apabila Muslimin Mekah itu hijrah saja ke tempat saudara-saudara mereka di sana, yang akan terasa lebih aman? Mereka akan bebas dari Quraisy yang selalu memfitnah agama mereka.

 

Muhammad Memikirkan Soal Hijrah

 

Selama Muhammad berpikir-pikir itu teringat olehnya akan orangorang dari Yathrib, mereka yang mula-mula masuk Islam itu, dan yang menceritakan adanya permusuhan antara golongan Aus dan Khazraj. Apabila dengan perantaraannya mereka itu sudah dapat dipersatukan Tuhan, maka tak ada orang yang lebih mulia dari Muhammad. Sekarang mereka sudah dipertemukan Allah bersama dia, bukankah lebih baik apabila dia juga hijrah? Ia tidak ingin membalas kejahatan Quraisy itu. Ia pun sadar bahwa ia lebih lemah dari mereka. Kalaupun Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib melindunginya dari penganiayaan, mereka tidak akan membelanya dalam melakukan penganiayaan. Dan mereka yang sudah menjadi pengikutnya juga takkan dapat melindungi diri dari penganiayaan Quraisy dan segala macam kejahatannya.

 

Apabila iman itu merupakan landasan yang paling kuat, yang akan membuat segalanya di hadapan kita menjadi kecil, dan untuk itu dengan segala senang hati orang mengorbankan harta bendanya, kesenangan, kebebasan dan seluruh hidupnya, apabila penganiayaan itu dengan sendirinya akan membuat iman seseorang bertambah dalam, maka penganiayaan dan pengorbanan yang terus-menerus itu bagi seorang mukmin akan membuatnya ia merenungkan lebih dalam lagi, akan memberinya ruangan yang lebih luas serta pengertian tentang kebenaran yang lebih dalam dan kuat. Dahulu Muhammad pernah menganjurkan kepada pengikut-pengikutnya supaya mereka mengungsi ke Abisinia daerah Kristen, karena di situ ada kebenaran, ada seorang raja yang adil. Maka akan lebih baiklah bila sekarang kaum Muslimin itu mengungsi ke Yathrib, dapat saling memperkuat diri dengan sahabat-sahabat kaum Muslimin di sana, dapat saling tolong-menolong dalam menahan bahaya yang mungkin menimpa mereka. Dengan begitu mereka akan mendapat kebebasan dalam merenungkan agama serta berterang-terang pula guna mengangkat martabat mereka, sebagai jaminan suksesnya dakwah agama ini, suatu dakwah yang tidak mengenal paksaan, melainkan dasarnya adalah kasih-sayang, dapat meyakinkan dan bertukar pikiran dengan cara yang baik.

 

Ikrar “Agaba Kedua

 

Tahun ini — 622 M. — jemaah haji dari Yathrib praktis jumlahnya banyak sekali, terdiri dari tujuh puluh lima orang, tujuh puluh tiga pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini, terpikir oleh Muhammad akan mengadakan suatu ikrar lagi, tidak terbatas hanya pada seruan kepada Islam seperti selama ini, yang selama tiga belas tahun ini terusmenerus dilakukannya, dengan lemah-lembut, dengan segala kesabaran menanggung pelbagai macam pengorbanan dan kesakitan — melainkan kini lebih jauh lagi dari itu. Ikrar itu hendaknya menjadi suatu pakta persekutuan, yang dengan demikian kaum Muslimin dapat mempertahankan diri: pukulan dibalas dengan pukulan, serangan dengan serangan. Muhammad lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan pemimpinpemimpin mereka.

 

Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya pertemuan itu akan diadakan di “Agaba pada tengah malam pada hari-hari Tasyrig.’ Peristiwa ini oleh Muslimin Yathrib tetap dirahasiakan dari kaum musyrik yang datang bersama-sama mereka. Menunggu sampai lewat sepertiga malam dari janji mereka dengan Nabi, mereka keluar meninggalkan kemah, pergi mengendap-endap seperti burung ayam-ayam, sembunyi-sembunyi jangan sampai rahasia itu terbongkar.

 

Sesampai mereka di gunung “Agaba, mereka semua memanjati lereng. lereng gunung tersebut, demikian juga kedua wanita itu. Mereka tinggal di tempat ini menunggu kedatangan Rasul.

 

Kemudian Muhammad pun datang, bersama pamannya “Abbas b. Abd’l-Muttalib — yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan golongannya sendiri. Akan tetapi sejak sebelum itu ia sudah mengetahui dari kemenakannya ini akan adanya suatu pakta persekutuan, dan adakalanya hal ini dapat mengakibatkan perang. Disebutkan juga, bahwa dia sudah mengadakan perjanjian dengan Keluarga Muttalib dan Keluarga Hasyim untuk melindungi Muhammad. Maka dimintanya ketegasan kemanakannya itu dan ketegasan golongannya sendiri, supaya jangan kelak timbul bencana yang akan menimpa Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib, dan dengan demikian berarti orang-orang Yathrib itu akan kehilangan pembela. Atas dasar itulah, maka “Abbas yang pertama kali bicara:

 

“Saudara-saudara dari Khazraj!” kata “Abbas. “Posisi Muhammad di tengah-tengah kami sudah sama-sama tuan-tuan ketahui. Kami dan mereka yang sepaham dengan kami telah melindunginya dari gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Tetapi dia ingin bergabung dengan tuan-tuan juga. Jadi kalau memang tuan-tuan merasa dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu dan dapat melindunginya dari mereka yang menentangnya, maka silakanlah tuan-tuan laksanakan. Akan tetapi, kalau tuan-tuan akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat tuan-tuan, maka dari sekarang lebih baik tinggalkan sajalah.”

 

Setelah mendengar keterangan “Abbas pihak Yathrib menjawab:

 

“Sudah kami dengar apa yang tuan katakan. Sekarang silakan Rasulullah bicara. Kemukakanlah apa yang tuan senangi dan disenangi Tuhan.”

 

Setelah membacakan ayat-ayat Quran dan memberi semangat Islam, Mubammad menjawab:

 

“Saya minta ikrar tuan-tuan akan membela saya seperti membela istri-istri dan anak-anak tuan-tuan sendiri.”

 

Ketika itu Al-Bara’ b. Ma’rur hadir. Dia seorang pemimpin masyarakat dan yang tertua di antara mereka. Sejak ikrar “Agaba pertama ia sudah Islam, dan menjalankan semua kewajiban agama, kecuali dalam sembahyang ia berkiblat ke Ka’bah, sedang Muhammad dan seluruh kaum Muslimin waktu itu masih berkiblat ke Al-Masjid’I-Agsha. Oleh karena ia berselisih pendapat dengan masyarakatnya sendiri, begitu mereka sampai di Mekah segera mereka minta pertimbangan Nabi Muhammad melarang Al-Bara’ berkiblat ke Ka’bah.

 

Dialog Sebelum Ikrar

 

Setelah tadi Muhammad minta kepada Muslimin Yathrib supaya membelanya seperti mereka membela istri dan anak-anak mereka sendiri, Al-Bara” segera mengulurkan tangan menyatakan ikrarnya seraya berkata:

 

“Rasulullah, kami sudah berikrar. Kami adalah orang peperangan dan ahli bertempur yang sudah kami warisi dari leluhur kami.”

 

Tetapi sebelum Al-Bara’ selesai bicara, Abu’l-Haitham ibn’t-Tayyihan datang menyela:

 

“Rasulullah kami dengan orang-orang itu — yakni orang-orang Yahudi terikat oleh perjanjian, yang sudah akan kami putuskan. Tetapi apa jadinya kalau kami lakukan ini lalu kelak Tuhan memberikan kemenangan kepada tuan, tuan akan kembali kepada masyarakat tuan dan meninggalkan kami?”

 

Muhammad tersenyum, dan katanya:

 

“Tidak, saya sehidup semati dengan tuan-tuan. Tuan-tuan adalah saya dan saya adalah tuan-tuan. Saya akan memerangi siapa saja yang tuantuan perangi, dan saya akan berdamai dengan siapa saja yang tuan-tuan ajak berdamai.”

 

Tatkala mereka siap akan mengadakan ikrar itu, “Abbas b. “Ubada datang menyela dengan mengatakan:

 

“Saudara-saudara dari Khazraj. Untuk apakah kalian memberikan ikrar kepada orang ini? Kamu menyatakan ikrar dengan dia tidak melakukan perang terhadap yang hitam dan yang merah’ melawan orang, orang itu.? Kalau tuan-tuan merasa, bahwa jika harta benda tuan-tuan habis binasa dan pemuka-pemuka tuan-tuan mati terbunuh. tuan-tuan akan menyerahkan dia (kepada musuh), maka (lebih baik) dan Sekarang tinggalkan saja dia. Kalaupun itu juga yang tuan-tuan lakukan. ini adalah suatu perbuatan hina dunia akhirat. Sebaliknya, bila tuan-tuan memang dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya na, sekalipun harta benda tuan-tuan akan habis dan bangsawan-bangsawan akan mati terbunuh, maka silakan saja tuan-tuan terima dia. Itulah Suatu perbuatan yang baik, dunia akhirat.”

 

Orang ramai itu menjawab:

 

“Akan kami terima, sekalipun harta benda kami habis. bangsawan. bangsawan kami terbunuh. Tetapi. Rasulullah, kalau dapat kami tepat semua ini, apa yang akan kami peroleh?”

 

“Surga,” jawab Muhammad dengan tenang dan pasti.

 

Ikrar

 

Mereka lalu mengulurkan tangan dan dia juga membentangkan tangannya. Ketika itu mereka menyatakan ikrar kepadanya.

 

Selesai ikrar itu, Nabi berkata kepada mereka:

 

“Pilihkan dua belas orang pemimpin dari kalangan tuan-tuan yang akan menjadi penanggung jawab masyarakatnya.”

 

Mereka lalu memilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kemudian kepada pemimpin-pemimpin itu Nabi berkata:

 

“Tuan-tuan adalah penanggung jawab masyarakat tuan-tuan seperti pertanggungjawaban pengikut-pengikut Isa bin Mariam. Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertanggung jawab.”

 

Dalam ikrar kedua ini mereka berkata:

 

“Kami berikrar mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapa pun atas jalan Allah ini.”

 

Peristiwa ini selesai pada tengah malam di celah gunung ‘Agaba, jauh dari masyarakat ramai, atas dasar kepercayaan, bahwa hanya Allah Yang Mengetahui keadaan mereka. Akan tetapi, begitu peristiwa itu selesai, tiba-tiba mereka mendengar ada suara berteriak yang ditujukan kepada Quraisy: “Muhammad dan orang-orang yang pindah kepercayaan itu sudah berkumpul akan memerangi kamu!”

 

Suara itu datangnya dari seseorang yang keluar untuk urusannya sendiri. Mengetahui keadaan mereka itu sedikit dengan melalui pendengarannya yang selintas, ia lalu bermaksud hendak mengacaukan rencana itu dan mau menanamkan kegelisahan dalam hati mereka, bahwa rencana mereka malam itu diketahui. Akan tetapi pihak Khazraj dan Aus tetap pada janji mereka. Bahkan “Abbas b. “Ubada — setelah mendengar suara Si mata-mata itu — berkata kepada Muhammad:

 

“Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran, kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedang kami.”

 

Ketika itu Muhammad menjawab:

 

“Kami tidak diperintahkan untuk itu. Kembalilah ke kemah ‘tuantuan.”

 

Mereka pun kembali ke tempat mereka bermalam, lalu tidur. Keesokan harinya pagi-pagi baru mereka bangun.

 

Quraisy dan Ikrar “Agaba

 

Akan tetapi pagi itu juga Quraisy sudah mengetahui berita adanya ikrar itu. Mereka terkejut sekali. Pagi itu pemuka-pemuka Quraisy mendatangi Khazraj ke tempat masing-masing. Mereka menyesalkan Khazraj dan mengatakan, bahwa mereka tidak ingin berperang dengan Khazraj. Tetapi kenapa mau bersekutu dengan Muhammad memerangi mereka. Ketika itu juga orang-orang musyrik dari kalangan Khazraj bersumpah-sumpah bahwa hal semacam itu tidak ada samasekali. Sedang Muslimin malah diam saja setelah dilihatnya Quraisy lagaknya akan mempercayai keterangan orang-orang yang seagama dengan mereka itu.

 

Sekarang Quraisy kembali tanpa dapat mengiakan atau meniadakan berita tersebut. Tetapi mereka terus menyelidiki, kalau-kalau dapat mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Sementara itu Orang-orang Yathrib sudah mengangkat perbekalan mereka dan kembali menuju negeri mereka sebelum pihak Quraisy mengetahui benar apa yang mereka lakukan itu.

 

Setelah kemudian Quraisy mengetahui, bahwa berita itu memang benar, mereka berangkat mencari orang-orang Yathrib itu. Tetapi sudah tak ada lagi yang akan dapat mereka jumpai selain Sa’d b. “Ubada, yang lalu diambil dan dibawanya ke Mekah. Ia disiksa. Tetapi kemudian Jubair b. Mut’im b. “Adi dan al-Harith b. Umayya datang menolongnya. Dulu orang ini pernah menolong mereka ketika mereka dalam perjalanan perdagangan ke Syam lewat Yathrib.

 

Kalau begitu kekuatiran Quraisy kiranya tidak berlebih-lebihan, begitu juga dalam mengejar jejak mereka yang telah ikrar kepada Muhammad akan memerangi mereka itu. Mereka telah mengenalnya selama tiga belas tahun terus-menerus, sejak permulaan kenabiannya. Mereka sudah berusaha mati-matian melancarkan perang pasif itu kepadanya, dan masing-masing sudah pula menghadapinya. Mereka mengetahui itu adalah karena keyakinannya kepada Tuhan, karena teguhnya ia berpegang pada ajaran yang benar. Ia sudah tak dapat dilunakkan dan tak dapat pula dibujuk. Ia tak pernah gentar menghadapi gangguan, menghadapi siksaan, menghadapi pembunuhan. Sesudah ia dan pengikutpengikutnya disakiti dengan pelbagai macam gangguan, sesudah ia dikepung di celah-celah bukit, seluruh penduduk Mekah diteror dengan bermacam-macam ketakutan supaya jangan jadi pengikutnya, terbayang oleh Quraisy bahwa mereka sudah hampir mengalahkannya, kegiatannya hanya akan terbatas dalam lingkaran sempit pengikut-pengikutnya yang masih berpegang pada agama itu saja. Dia dan sahabat-sahabatnya tidak lama lagi sudah akan jemu dalam pengasingan, dan akan kembali tunduk menyerah di bawah kekuasaan mereka.

 

Posisi Kedua Belah Pihak

 

Tetapi sekarang, dengan adanya perjanjian persekutuan baru ini, pintu harapan akan menang jadi terbuka di depan Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Setidak-tidaknya harapan kebebasan menyebarkan agama, serta menyerang berhala-berhala dan penyembah-penyembahnya. Siapa tahu apa yang akan terjadi kelak terhadap masyarakat seluruh. jazirah Arab itu, bila sudah mendapat bantuan Yathrib berikut Aus dan Khazrajnya, dan sesudah mendapat perlindungan dari serangan musuh, disertai adanya kebebasan melakukan upacara agama serta mengajak pihak lain turut bergabung. Kalau Quraisy tidak dapat mengikis gerakan ini di tanah tumpah darahnya sendiri maka kekuatiran mereka pada hari kemudiannya tetap selalu membayang, dan kemenangan Muhammad terhadap mereka masih tetap menggelisahkan mereka.

 

Oleh karena itu sungguh-sungguh mereka memikirkan apa yang harus mereka lakukan guna menggagalkan usaha Muhammad itu, serta menghancurkan gerakan barunya. Demikian juga dia sendiri tidak kurang dari Quraisy dalam memikirkan hal ini. Pintu yang telah dibukakan Tuhan di hadapannya itu ialah pintu kehormatan bagi agama Allah, pintu yang akan memberi tempat pada arti kebenaran. Perjuangan yang sekarang berkecamuk antara dia dengan pihak Quraisy, adalah suatu peristiwa yang paling hebat terjadi sejak masa kerasulannya, yakni suatu perjuangan hidup atau mati bagi kedua belah pihak. Sudah tentu, kemenangan itu ada pada pihak yang benar. Keputusannya sudah bulat. Bolehlah ia minta pertolongan Tuhan. Biarlah, segala tipu-daya yang sudah dilakukan Quraisy itu akan bersifat lebih menghina mereka sendiri melebihi yang sudah-sudah. Ia akan terus maju, tapi dengan sikap bijaksana, tenang dan hati-hati. Masalahnya adalah masalah kecekatan politik dan kecerdikan seorang pemimpin yang saksama.

 

Muslimin Hijrah ke Yathrib

 

Dimintanya sahabat-sahabatnya supaya menyusul kaum Anshar ke Yathrib. Hanya saja dalam meninggalkan Mekah hendaknya mereka terpencar-pencar, supaya jangan sampai menimbulkan kepanikan pihak Quraisy terhadap mereka.

 

Mulailah kaum Muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok kecil. Akan tetapi hal itu rupanya sudah diketahui oleh pihak Quraisy. Mereka segera bertindak, berusaha mengembalikan yang masih dapat dikembalikan itu ke Mekah untuk kemudian dibujuk supaya kembali kepada kepercayaan mereka, kalau tidak akan disiksa dan dianiaya. Sampai-sampai tindakan itu ialah dengan cara memisahkan suami dari istri, kalau si istri dari pihak Quraisy ia tidak dibolehkan pergi ikut suami. Yang tidak menurut, istrinya yang masih dapat mereka kurung dikurung.

 

Akan tetapi mereka takkan dapat berbuat lebih dari itu. Mereka kuatir akan pecah perang saudara antar-kabilah jika mereka mencoba membunuh salah seorang dari kabilah itu.

 

Berturut-turut kaum Muslimin hijrah ke Yathrib, sedang Muhammad tetap berada di posnya. Tak ada orang yang mengetahui, dia akan tetap tinggal di tempatnya itu atau sudah mengambil keputusan akan hijrah juga. Dahulu juga mereka tidak mengetahui, ketika sahabat-sahabatnya diizinkan hijrah ke Abisinia, sedang dia sendiri tetap di Mekah menyerukan anggota-anggota keluarganya yang lain ke dalam Islam. Bahkan Abu Bakr pun, ketika minta izin akan turut hijrah ke Yathrib, ia hanya berkata: “Jangan tergesa-gesa, kalau-kalau Tuhan menyertakan Seorang kawan.” Dan tidak lebih dari itu.

 

Quraisy dan Hijrah Nabi

 

Sungguhpun begitu pihak Quraisy sendiri sudah seribu kali memper. hitungkan hijrah Nabi ke Yathrib itu. Jumlah kaum Muslimin di sana sudah begitu banyak sehingga hampir-hampir mereka itu menjadi pihak yang menentukan. Sekarang datang pula mereka yang hijrah dari Mekah menggabungkan diri, sehingga mereka jadi bertambah kuat juga adanya. Dalam pada itu, apabila Muhammad — orang yang sudah mereka kenat berpendirian teguh dengan pendapatnya yang tepat dan berpandangan jauh — sampai menyusul ke Yathrib, mereka kuatir penduduk Yathrib itu kelak akan menyerbu Mekah, atau akan menutup jalur perjalanan perdagangan mereka ke Syam atau akan membuat mereka mati kelaparan seperti yang pernah mereka lakukan dulu terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya tatkala mereka membuat piagam pemboikotan dan memaksa mereka tinggal di celah-celah gunung selama tiga puluh bulan.

 

Apabila Muhammad – masih tinggal di Mekah dan berusaha akan meninggalkan tempat itu, maka mereka masih merasa terancam oleh adanya tindakan pihak Yathrib dalam membela Nabi dan Rasul. Jadi tak ada jalan keluar bagi mereka selain dengan membunuhnya. Dengan begitu mereka lepas dari mala-petaka yang terus-menerus itu. Tetapi kalau juga mereka membunuhnya, tentu Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib akan menuntut balas. Maka pecahlah perang saudara di Mekah, dan Suatu bencana yang sangat mereka takuti juga akan datang dari pihak Yathrib.

 

Sekarang mereka mengadakan pertemuan di Dar’n-Nadwa membahas semua persoalan itu serta cara-cara pencegahannya. Salah seorang dari mereka mengusulkan:

 

“Masukkan dia dalam kurungan besi dan tutup pintunya rapat-rapat kemudian awasi biar dia mengalami nasib seperti penyair-penyair semacamnya sebelum dia: seperti Zuhair dan Nabigha.”

 

Tetapi pendapat ini tidak mendapat suara.

 

“Kita keluarkan dia dari lingkungan kita, kita buang dari negeri kita. Sesudah itu tidak perlu kita pedulikan lagi urusannya”, demikian terdengar suara yang lain. Tetapi mereka kuatir ia akan terus menyusul ke Medinah dan apa yang mereka takuti justru akan menimpa mereka.

 

Akhirnya mereka memutuskan: dari setiap kabilah akan diambil seorang pemuda yang tegap, dan setiap pemuda itu akan dipersenjatai dengan sebilah pedang yang tajam, yang secara bersama-sama sekaligus mereka akan menghantamnya, dan darahnya dapat dipencarkan antarkabilah. Dengan demikian Banu “Abd Manaf takkan dapat memerangi mereka semua. Mereka akan menebus darah itu kemudian dengan harta. Maka terlepaslah Quraisy dari orang yang membuat porak-poranda dan mencerai-beraikan kabilah-kabilah mereka itu.

 

Mereka menyetujui pendapat ini dan merasa cukup puas. Mereka mengadakan seleksi di kalangan pemuda-pemuda mereka. Mereka menganggap bahwa soal Muhammad akan sudah selesai. Beberapa hari lagi ia akan terkubur habis ke dalam tanah, bersama ajarannya, dan mereka yang sudah hijrah ke Yathrib akan kembali ke tengah-tengah masyarakat, akan kembali kepada kepercayaan dan kepada dewa-dewa mereka. Quraisy dan negeri Arab yang sudah dipecah-belah, kedudukannya yang sudah mulai femah, dengan demikian akan kembali bersatu.

 

Perintah Hijrah — Ali di Tempat Tidur Nabi – Di Gua Thaur —Mukjizat Gua — Beberapa Buku Sejarah Tidak Menyebutkan – Berangkat ke Yathrib — Cerita Suraga – Panas Membakar – Muslimin Yathrib Menantikan Kedatangan Rasul – Tersebarnya Islam di Yathrib – Muhammad Memasuki Medinah Perintah Hijrah

 

RENCANA Quraisy akan membunuh Muhammad pada malam hari, karena dikuatirkan ia akan hijrah ke Medinah dan memperkuat diri di sana serta segala bencana yang mungkin menimpa Mekah dan menimpa perdagangan mereka dengan Syam sebagai akibatnya, beritanya sudah sampai kepada Muhammad. Memang tak ada orang yang menyangsikan, bahwa Muhammad akan menggunakan kesempatan itu untuk hijrah. Akan tetapi, karena begitu kuat ia dapat menyimpan rahasia itu, sehingga tiada seorang pun yang mengetahui, juga Abu Bakr, orang yang pernah menyiapkan dua ekor unta kendaraan tatkala ia meminta izin kepada Nabi akan hijrah, yang lalu ditangguhkan, hanya sedikit mengetahui soalnya. Muhammad sendiri memang masih tinggal di Mekah ketika ia sudah mengetahui keadaan Quraisy itu dan ketika kaum Muslimin sudah tak ada lagi yang tinggal kecuali sebagian kecil. Dalam ia menantikan perintah Tuhan yang akan mewahyukan kepadanya supaya hijrah, ketika itulah ia pergi ke rumah Abu Bakr dan memberitahukan, bahwa Allah telah mengizinkan ia hijrah. Abu Bakr ingin sekali menemaninya dalam hijrahnya itu: dan permintaannya itupun dikabulkan.

 

Di sinilah dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman. Sebelum itu Abu Bakr memang sudah menyiapkan dua ekor untanya yang diserahkan pemeliharaannya kepada Abdullah b. Uraiqiz sampai nanti tiba waktunya diperlukan. Tatkala kedua orang itu sudah siap-siap akan meninggalkan Mekah mereka sudah yakin sekali, bahwa Quraisy pasti akan membuntuti mereka. Oleh karena itu Muhammad memutuskan akan menempuh jalan lain dari yang biasa. Juga akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.

 

Ali di Tempat Tidur Nabi

 

Pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy untuk membunuhnya malam itu sudah mengepung rumahnya, karena dikuatirkan ia akan lari Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan kepada Aji hb Abi Thalib supaya memakai mantelnya yang hijau dari Hadzramaut dar Supaya berbaring di tempat tidurnya. Dimintanya supaya sepeninggalan, hya nanti ia tinggal dulu di Mekah menyelesaikan barang-barang amang orang yang dititipkan kepadanya. Dalam pada itu pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah mengintip ke tempat tidu, Nabi. Mereka melihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa dia belum lari.

 

Tetapi, menjelang larut malam waktu itu, dengan tidak setahu mereka Muhammad sudah keluar menuju ke rumah Abu Bakr. Kedua orang itu kemudian keluar dari jendela pintu belakang, dan terus bertolak ke arah selatan menuju gua Thaur. Bahwa tujuan kedua orang itu melalui jalan sebelah kanan adalah di luar dugaan.

 

Di Gua Thaur

 

Tiada seorang yang mengetahui tempat persembunyian mereka dalam gua itu selain Abdullah b. Abu Bakr, dan kedua orang putrinya Aisyah dan Asma’ serta pembantu mereka Amir b. Fuhaira. Tugas Abdullah hari-hari berada di tengah-tengah Quraisy sambil mendengar-dengarkan permupakatan mereka terhadap Muhammad, yang pada malam harinya kemudian disampaikannya kepada Nabi dan kepada ayahnya. Sedang “Amir tugasnya menggembalakan kambing Abu Bakr, sorenya diistirahatkan, kemudian mereka memerah susu dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah b. Abu Bakr keluar kembali dari tempat mereka, dayang “Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejaknya.

 

Kedua orang itu tinggal dalam gua selama tiga hari. Sementara itu pihak Quraisy berusaha sungguh-sungguh mencari mereka tanpa mengenal lelah. Betapa tidak. Mereka melihat bahaya sangat mengancam mereka kalau mereka tidak berhasil menyusul Muhammad dan mencegahnya berhubungan dengan pihak Yathrib. Selama kedua orang itu berada dalam gua, tiada hentinya Muhammad menyebut nama Allah. Kepada-Nya ia menyerahkan nasibnya itu dan memang kepada-Nya pula segala persoalan akan kembali. Dalam pada itu Abu Bakr memasang telinga. Ia ingin mengetahui adakah orang-orang yang sedang mengikuti jejak mereka itu sudah berhasil juga.

 

Kemudian pemuda-pemuda Quraisy — yang dari setiap kelompok diambil seorang itu — datang. Mereka membawa pedang dan tongkat sambil mundar-mandir mencari ke segenap penjuru. Tidak jauh dari gua Thaur itu mereka bertemu dengan seorang gembala, yang lalu ditanya. “Mungkin saja mereka dalam gua itu, tapi saya tidak melihat ada orang yang menuju ke sana.”

 

Ketika mendengar jawaban gembala itu Abu Bakr keringatan. Kuatir ja, mereka akan menyerbu ke dalam gua. Dia menahan napas tidak bergerak, dan hanya menyerahkan nasibnya kepada Tuhan. Lalu orangorang Quraisy datang menaiki gua itu, tapi kemudian ada yang turun lagi.

 

“Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?” tanya kawan-kawannya.

 

? “Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir,” jawabnya. “Saya melihat ada dua ekor burung dara hutan di lubang gua itu. Jadi saya mengetahui tak ada orang di sana.”

 

Muhammad makin sungguh-sungguh berdoa dan Abu Bakr juga makin ketakutan. Ia merapatkan diri kepada kawannya itu dan Muhammad berbisik di telinganya:

 

“Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita.”

 

Dalam buku-buku hadis ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa setelah terasa oleh Abu Bakr bahwa mereka yang mencari itu sudah mendekat ia berkata dengan berbisik:

 

“Kalau mereka ada yang menengok ke bawah pasti akan melihat kita.”

 

“Abu Bakr, kalau kau menduga bahwa kita hanya berdua, ketiganya adalah Tuhan,” kata Muhammad.

 

Orang-orang Quraisy makin yakin bahwa dalam gua itu tak ada manusia tatkala dilihatnya ada cabang pohon yang terkulai di mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke dalamnya tanpa menghalau dahan-dahan itu. Ketika itulah mereka lalu surut kembali. Kedua orang bersembunyi itu mendengar suara mereka supaya kembali ke tempat semula. Kepercayaan dan iman Abu Bakr bertambah besar kepada Allah dan kepada Rasul.

 

Mukjizat Gua “Alhamdulillah, Allahuakbar!” kata Muhammad kemudian.

 

Sarang laba-laba, dua ekor burung dara dan pohon. Inilah mukjizat yang diceritakan oleh buku-buku sejarah hidup Nabi mengenai masalah persembunyian dalam gua Thaur itu. Dan pokok mukjizatnya ialah karena segalanya itu tadinya tidak ada. Tetapi sesudah Nabi dan sahabatnya bersembunyi dalam gua, maka cepat-cepatlah laba-laba menganyan sarangnya guna menutup orang yang dalam gua itu dari penglihatan. Dua ekor burung dara datang pula lalu bertelur di jalan masuk. Sebatang pohon pun tumbuh di tempat yang tadinya belum ditumbuhi. Sehubungan dengan mukjizat ini Dermenghem mengatakan:

 

“Tiga peristiwa itu sajalah mukjizat yang diceritakan oleh sejarah Islam yang benar-benar: sarang laba-laba, hinggapnya burung dara dan tumbuhnya pohon-pohonan. Dan ketiga keajaiban ini setiap hari per. samaannya selalu ada di muka bumi.”

 

Beberapa Buku Sejarah Tidak Menyebutkan

 

Akan tetapi mukjizat begini ini tidak disebutkan dalam Sirat Ibn Hisyam ketika menyinggung cerita gua itu. Paling banyak oleh ahli sejarah ini disebutkan sebagai berikut:

 

“Mereka berdua menuju ke sebuah gua di Gunung Thaur — sebuah gunung di bawah Mekah — lalu masuk ke dalamnya. Abu Bakr meminta anaknya Abdullah supaya mendengar-dengarkan apa yang dikatakan orang tentang mereka itu siang hari, lalu sorenya supaya kembali membawakan berita yang terjadi hari itu. Sedang “Amir b. Fuhaira supaya menggembalakan kambingnya siang hari dan diistirahatkan kembali bila Sorenya ia kembali ke dalam gua. Ketika itu, bila hari sudah sore Asma’ datang membawakan makanan yang cocok buat mereka ….. Rasulullah S.a.w. tinggal dalam gua selama tiga hari tiga malam. Ketika ia menghilang Quraisy menyediakan seratus ekor unta bagi barangsiapa yang dapat mengembalikannya kepada mereka. Sedang Abdullah b. Abi Bakr Siangnya berada di tengah-tengah Quraisy mendengarkan permupakatan mereka dan apa yang mereka percakapkan tentang Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakr, sorenya ia kembali dan menyampaikan berita itu kepada mereka.

 

“Amir b. Fuhaira — pembantu Abu Bakr — waktu itu menggembalakan ternaknya di tengah-tengah para gembala Mekah, sorenya kambing Abu Bakr itu diistirahatkan, lalu mereka memerah susu dan menyiapkan daging. Kalau paginya Abdullah b. Abi Bakr bertolak dari tempat itu ke Mekah, “Amir b. Fuhaira mengikuti jejaknya dengan membawa kambing supaya jejak itu terhapus. Sesudah berlalu tiga hari dan orang pun mulai tenang, aman mereka, orang yang disewa datang membawa unta kedua Orang itu serta untanya sendiri ….. dan seterusnya.”

 

Demikian Ibn Hisyam menerangkan mengenai cerita gua itu yang kami nukilkan sampai pada waktu Muhammad dan sahabat-sahabatnya keluar dari sana.

 

Tentang pengejaran Quraisy terhadap Muhammad untuk dibunuh itu serta tentang cerita gua ini datang firman Tuhan demikian:

 

“Ingatlah tatkala orang-orang kafir (Quraisy) itu berkomplot membuat rencana terhadap kau, hendak menangkap kau, atau membunuh kau, atau mengusir kau. Mereka membuat rencana dan Allah membuat rencana pula. Allah adalah Perencana terbaik.”

 

“Kalau kamu tak dapat menolongnya, maka Allah juga yang telah menolongnya tatkala dia diusir oleh orang-orang kafir (Quraisy). Dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu itu ia berkata kepada temannya itu: Jangan bersedih hati, Tuhan bersama kita! Maka Tuhan lalu memberikan ketenangan kepadanya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu juga yang rendah dan kalam Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Bijaksana.”

 

Berangkat ke Yathrib

 

Pada hari ketiga, bila mereka berdua sudah mengetahui, bahwa orang sudah tenang kembali mengenai diri mereka, orang yang disewa tadi datang membawakan unta kedua orang itu serta untanya sendiri. Juga Asma’ putri Abu Bakr datang membawakan makanan. Oleh karena ketika mereka akan berangkat tak ada sesuatu yang dapat dipakai menggantungkan makanan dan minuman pada pelana barang, Asma’ merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya dipakai menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan. Karena itu ia lalu diberi nama “dhat’n-nitagain” (yang bersabuk dua).

 

Mereka berangkat. Setiap orang mengendarai untanya sendiri dengan membawa bekal makanan. Abu Bakr membawa lima ribu dirham dan itu adalah seluruh hartanya yang ada. Mereka bersembunyi dalam gua itu begitu ketat. Karena mereka mengetahui pihak Quraisy sangat gigih dan hati-hati sekali membuntuti, maka dalam perjalanan ke Yathrib itu mereka mengambil jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Abdullah b. “Uraigit — dari Banu Du’il — sebagai penunjuk jalan, membawa mereka hati-hati sekali ke arah selatan di bawahan Mekah, kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah. Oleh karena mereka melalui jalan yang tidak biasa ditempuh orang, dibawanya mereka ke sebelah utara di seberang pantai itu, dengan agak menjauhinya, mengambil jalan yang baling sedikit dilalui orang.

 

Kedua orang itu beserta penunjuk jalannya sepanjang malam dan di waktu siang berada di atas kendaraan. Tidak lagi mereka pedulikan kesulitan, tidak lagi mereka mengenal lelah. Ya, kesulitan mana yang lebih mereka takuti daripada tindakan Quraisy yang akan merintangi mereka mencapai tujuan yang hendak mereka capai demi jalan Allah dan kebenaran itu! Memang, Muhammad sendiri tidak pernah mengalami kesangsian, bahwa Tuhan akan menolongnya, tetapi “jangan kamy mencampakkan diri ke dalam bencana.” Allah menolong hamba-Nya selama hamba menolong dirinya dan menolong sesamanya. Mereka telah melangkah dengan selamat selama dalam gua.

 

Akan tetapi apa yang dilakukan Quraisy bagi barangsiapa yang dapat mengembalikan mereka berdua atau dapat menunjukkan tempat mereka, wajar sekali akan menarik hati orang yang hanya tertarik pada hasil materi meskipun akan diperoleh dengan jalan kejahatan. Apalagi jika kita ingat orang-orang Arab Quraisy itu memang sudah menganggap Muhammad musuh mereka. Dalam jiwa mereka terdapat suatu watak tipu-muslihat, bahwa membunuh orang yang tidak bersenjata dan menyerang pihak yang tak dapat mempertahankan diri, bukan suatu hal yang hina. Jadi, dua Orang itu harus benar-benar waspada, harus membuka mata, memasang telinga dan penuh kesadaran selalu.

 

Cerita Suraga

 

Dugaan kedua orang itu tidak meleset. Sudah ada orang yang datang kepada Quraisy membawa kabar, bahwa ia melihat serombongan kendaraan unta terdiri dari tiga orang lewat. Mereka yakin itu adalah Muhammad dan beberapa orang sahabatnya. Waktu itu Suraga b. Malik b. Ju’syum hadir. .

 

“Ah, mereka itu Keluarga si anu”, katanya dengan maksud mengelabui orang itu, sebab dia sendiri ingin memperoleh hadiah seratus ekor unta. Sebentar ia masih tinggal bersama orang-orang itu. Tetapi kemudian la segera pulang ke rumahnya. Disiapkannya senjatanya dan disuruhnya Orang membawakan kudanya ke tengah-tengah wadi supaya waktu ia keluar nanti tidak dilihat orang. Selanjutnya dikendarainya kudanya dan dipacunya ke arah yang disebutkan orang itu tadi.

 

Sementara itu Muhammad dan kedua temannya sudah mengaso di bawah naungan sebuah batu besar, sekadar beristirahat dan menghilangkan rasa lelah sambil makan-makan dan minum, dan sekadar mengembalikan tenaga dan kekuatan baru.

 

Matahari sudah mulai bergelincir, Muhammad dan Abu Bakr pun sudah pula mulai memikirkan akan menaiki untanya mengingat bahwa jaraknya dengan Suraga sudah makin dekat. Dan sebelum itu kuda Suray, sudah dua kali tersungkur karena terlampau dikerahkan. Tetapi Setelah penunggang kuda itu melihat bahwa ia sudah hampir berhasil dan menyusul kedua orang itu — lalu akan membawa mereka kembaii ke Mekah atau membunuh mereka bila mencoba membela diri — ia lupa kudanya yang sudah dua kali tersungkur itu, karena saat kemenangar rasanya sudah di tangan. Akan tetapi kuda itu tersungkur sekali lagi dengan keras sekali, sehingga penunggangnya terpelanting dari Punggung binatang itu dan jatuh terhuyung-huyung dengan senjatanya. Latu di. ramalkan oleh Suraga bahwa itu suatu alamat buruk dan dia percaya bahwa sang dewa telah melarangnya mengejar sasarannya itu dan bahwa dia akan berada dalam bahaya besar apabila sampai keempat kalinya ia terus berusaha juga.

 

Sampai di situ ia berhenti dan hanya memanggil-manggil:

 

“Saya Suraga bin Ju’syum! Tunggulah, saya mau bicara. Demi Allah, tuan-tuan jangan menyangsikan saya. Saya tidak akan melakukan sesuatu yang akan merugikan tuan-tuan.”

 

Setelah kedua orang itu berhenti melihat kepadanya, dimintanya kepada Muhammad supaya menulis sepucuk surat kepadanya sebagai bukti bagi kedua belah pihak. Dengan permintaan Nabi, Abu Bakr lalu menulis surat itu di atas tulang atau tembikar yang lalu dilemparkannya kepada Suraga.

 

Setelah diambilnya oleh Suraga surat itu ia kembali pulang. Sekarang, bila ada orang mau mengejar Muhajir Besar itu olehnya dikaburkan, sesudah tadinya ia sendiri yang mengejarnya.

 

Panas Membakar

 

Muhammad dan kawannya itu kini berangkat lagi melalui pedalaman Tihama dalam panas terik yang dibakar oleh pasir sahara. Mereka melintasi batu-batu karang dan lembah-lembah curam. Dan sering pula mereka tidak mendapatkan sesuatu yang akan menaungi diri mereka dari letupan panas tengah hari, tak ada tempat berlindung dari kekerasan alam yang ada di sekitarnya, tak ada keamanan dari apa yang mereka takuti atau dari yang akan menyerbu mereka tiba-tiba, selain dari ketabahan hati dan iman yang begitu mendalam kepada Tuhan. Keyakinan mereka besar sekali akan kebenaran yang telah diberikan Tuhan kepada Rasul-Nya itu.

 

Selama tujuh hari terus-menerus mereka dalam keadaan serupa itu. Mengaso di bawah panas membara musim kemarau dan berjalan lagi sepanjang malam mengarungi lautan padang pasir. Hanya karena adanya ketenangan hati kepada Tuhan dan adanya kedip bintang-bintang yang berkilauan dalam gelap malam itu, membuat hati dan perasaan mereka terasa lebih aman.

 

Bilamana kedua orang itu sudah memasuki daerah kabilah Banu Sahm dan datang pula Buraida kepala kabilah itu menyambut mereka, barulah perasaan kuatir dalam hatinya mulai hilang. Yakin sekali mereka pertolongan Tuhan itu ada.

 

Jarak mereka dengan Yathrib kini sudah dekat sekali.

 

Muslimin Yathrib Menantikan Kedatangan Rasul

 

Selama mereka dalam perjalanan yang sungguh meletihkan itu, beritaberita tentang hijrah Nabi dan sahabatnya yang akan menyusul kawankawan yang lain, sudah tersiar di Yathrib. Penduduk kota ini sudah mengetahui, betapa kedua orang ini mengalami kekerasan dari Quraisy yang terus-menerus membuntuti. Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal di tempat itu menantikan kedatangan Rasulullah dengan hati penuh rindu ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya. Banyak di antara mereka itu yang belum pernah melihatnya, meskipun sudah mendengar tentang keadaannya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin melihatnya. Orang pun sudah akan dapat mengirangirakan, betapa dalamnya hati mereka itu terangsang tatkala mengetahui, bahwa orang-orang terkemuka Yathrib yang sebelum itu belum pernah melihat Muhammad sudah menjadi pengikutnya hanya karena mendengar dari sahabat-sahabatnya saja, kaum Muslimin yang gigih melakukan dakwah Islam dan sangat mencintai Rasulullah itu.

 

Tersebarnya Islam di Yathrib

 

Sa’id b. Zurara dan Mush’ab b. “Umair sedang duduk-duduk dalam salah sebuah kebun Banu Zafar. Beberapa orang yang sudah menganut Islam juga berkumpul di sana. Berita ini kemudian sampai kepada Sa’d b. Mu’adh dan “Usaid b. Hudzair, yang pada waktu itu merupakan pemimpin-pemimpin golongannya masing-masing

 

“Temui dua orang itu,” kata Sa’d kepada “Usaid, “yang datang ke daerah kita ini dengan maksud supaya orang-orang yang hina-dina di kalangan kita dapat merendahkan keluarga kita. Tegur mereka itu dan cegah. Sebenarnya Sa’d b. Zurara itu masih sepupuku dari pihak ibu, jadi saya tidak dapat mendatanginya.”

 

“Usaid pun pergi menegur kedua orang itu. Tapi Mush’ab menjawab:

 

“Maukah kau duduk dulu dan mendengarkan?” katanya. “Kalau hal ini kausetujui dapatlah kauterima, tapi kalau tidak kausukai maukah kau lepas tangan?”

 

“Adil kau”, kata “Usaid, seraya menancapkan tombaknya di tanah. Ia duduk dengan mereka sambil mendengarkan keterangan Mush’ab, yang ternyata sekarang ia sudah menjadi seorang Muslim. Bila ia kembali kepada Sa’d wajahnya sudah tidak lagi seperti ketika berangkat. Hai ini membuat Sa’d jadi marah. Dia sendiri lalu pergi menemui dua orang itu Tetapi kenyataannya ia seperti temannya juga. |

 

Karena pengaruh kejadian itu Sa’d lalu pergi menemui golonganny, dan berkata kepada mereka:

 

“Hai Banu “Abd’l-Asyhal. Apa yang kamu ketahui tentang diriku d tengah-tengah kamu sekalian?”

 

“Pemimpin kami, yang paling dekat kepada kami, dengan pandangan dan pengalaman yang terpuji”, jawab mereka.

 

“Maka kata-katamu, baik wanita maupun pria bagiku adalah sug selama kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

 

Sejak itu seluruh suku “Abd’l-Asyhal, pria dan wanita masuk Islam,

 

Tersebarnya Islam di Yathrib dan keberanian kaum Muslimin di kota itu sebelum hijrah Nabi ke tempat tersebut samasekali di luar dugaan kaum Muslimin Mekah. Beberapa pemuda Muslimin dengan tidak ragu, ragu mempermainkan berhala-berhala kaum musryik di sana. Seseorang yang bernama “Amr bin’I-Jamuh mempunyai sebuah patung berhala terbuat daripada kayu yang dinamainya Manat, diletakkan di daerah lingkungannya seperti biasa dilakukan oleh kaum bangsawan. “Amr ini adalah seorang pemimpin Banu Salima dan dari kalangan bangsawan mereka pula. Sesudah pemuda-pemuda golongannya itu masuk Islam malam-malam mereka mendatangi berhala itu lalu dibawanya dan ditangkupkan kepalanya ke dalam sebuah lubang yang oleh penduduk Yathrib biasa dipakai tempat buang air.

 

Bila pagi-pagi berhala itu tidak ada “Amr mencarinya sampai diketemukan lagi, kemudian dicucinya dan dibersihkan lalu diletakkannya kembali di tempat semula, sambil ia menuduh-nuduh dan mengancam. Tetapi pemuda-pemuda itu mengulangi lagi perbuatannya mempermainkan Manat “Anr itu, dan dia pun setiap hari mencuci dan membersihkannya. Setelah ia merasa kesal karenanya, diambilnya pedangnya dan digantungkannya pada berhala itu seraya ia berkata: “Kalau kau memang berguna, bertahanlah, dan ini pedang bersama kau.”

 

Tetapi keesokan harinya ia sudah kehilangan lagi, dan baru diketemukannya kembali dalam sebuah sumur tercampur dengan bangkai anjing. Pedangnya sudah tak ada lagi.

 

Sesudah kemudian ia diajak bicara oleh beberapa orang pemukapemuka masyarakatnya dan sesudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa sesatnya hidup dalam syirik dan paganisma itu, yang hakekatnya akan mencampakkan jiwa manusia ke dalam jurang yang tak patut lagi bagi seorang manusia, ia pun masuk Islam.

 

Melihat Islam yang sudah mencapai martabat begitu tinggi di Yathrib,

 

akan mudah sekali orang menilai, betapa memuncaknya kerinduan enduduk kota itu ingin menyambut kedatangan Muhammad, setelah mereka mengetahui ia sudah hijrah dari Mekah. Setiap hari selesai sembahyang Subuh mereka pergi ke luar kota menanti-nantikan kedatangannya sampai pada waktu matahari terbenam dalam hari-hari musim panas bulan Juli.

 

Dalam pada itu ia sudah di Ouba’ — dua farsakh jauhnya dari Medinah. Empat hari ia tinggal di tempat itu, ditemani oleh Abu Bakr. Selama masa empat hari itu mesjid Uuba’ dibangunnya. Sementara itu datang pula Ali b. Abi Talib ke tempat itu setelah mengembalikan barang-barang amanat — yang dititipkan kepada Muhammad — kepada pemilik-pemiliknya di Mekah. Setelah itu ia sendiri meninggalkan Mekah, menempuh perjalanannya ke Yathrib dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan, siangnya bersembunyi. Perjuangan yang sangat meletihkan itu ditanggungnya selama dua minggu penuh, yaitu untuk menyusul saudara-saudaranya seagama.

 

Muhammad Memasuki Medinah

 

Sementara kaum Muslimin Yathrib pada suatu hari sedang menantinantikan seperti biasa tiba-tiba datang seorang Yahudi yang sudah mengetahui apa yang sedang mereka lakukan itu berteriak kepada mereka.

 

“Hai, Banu Oaila’ ini dia kawan kamu datang?”

 

Hari itu adalah hari Jum’at dan Muhammad berjum’at di Medinah. Di tempat itulah, ke dalam mesjid yang terletak di perut Wadi Ranuna itulah kaum Muslimin datang, masing-masing berusaha ingin melihat serta mendekatinya. Mereka ingin memuaskan hati terhadap orang yang selama ini belum pernah mereka lihat, hati yang sudah penuh cinta dan rangkuman iman akan risalahnya, dan yang selalu namanya disebut pada setiap kali sembahyang.

 

Orang-orang terkemuka di Medinah menawarkan diri supaya ia tinggal pada mereka dengan segala persediaan dan persiapan yang ada. Tetapi ia meminta maaf kepada mereka. Kembali ia ke atas unta betinanya, dipasangnya tali keluannya, lalu ia berangkat melalui jalanjalan di Yathrib, di tengah-tengah kaum Muslimin yang ramai menyambutnya dan memberikan jalan sepanjang jalan yang dilewatinya itu. Seluruh penduduk Yathrib, baik Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan adanya hidup baru yang bersemarak dalam kota mereka itu, menyaksikan kehadiran seorang pendatang baru, orang besar yang telah mempersatukan Aus dan Khazraj, yang selama itu saling bermusuh-musuhan, saling berperang. Tidak terlintas dalam pikiran mereka — pada saat ini, saat transisi sejarah yang akan menentukan tujuannya yang baru itu — akan memberikan kemegahan dan kebesaran bagi kota mereka, dan yang akan tetap hidup selama sejarah ini berkembang.

 

Dibiarkannya unta itu berjalan. Sesampainya ke sebuah tempat penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim dari Banu’n-Najjar, unta itu berlutut (berhenti). Ketika itulah Rasul turun dari untanya dan bertanya:

 

“Kepunyaan siapa tempat ini?” tanyanya.

 

“Kepunyaan Sahl dan Suhail b. “Amr”, jawab Ma’adh b. “Afra’. Dia adalah wali kedua anak yatim itu. Ia akan membicarakan soal tersebut dengan kedua anak itu supaya mereka puas. Dimintanya kepada Muhammad supaya di tempat itu didirikan mesjid.

 

Muhammad mengabulkan permintaan tersebut dan dimintanya pula supaya di tempat itu didirikan mesjid dan tempat-tinggalnya.

 

Sebab-sebab Penduduk Yathrib Menyambut Nabi – Pembangunan Mesjid dan Tempat Tinggal Rasul — Bangunan Mesjid – Kebebasan Beragama Dijamin Muhammad Tidak Menghendaki Perang – Pertimbangan Orang-orang Yathrib Persaudaraan di Kalangan Muslimin – Mereka yang Berdagang — Mereka yang Bertani – Persahabatan Muhammad dengan Pihak Yahudi -Isi Perjanjian dengan Yahudi — Pintu Baru dalam Kehidupan Politik – Perkawinan Nabi dengan Aisyah – Zakat dan Puasa – Permulaan Sembahyang -Persaudaraan adalah Dasar Peradaban Islam – Akhlak dan Budi Pekertinya – Kesayangannya kepada Binatang — Persaudaraan Atas Dasar Keadilan dan Kasih-sayang — Menahan Diri dari Makanan dan Pakaian – Sunah Muhammad — Yahudi Mulai Cemas — Islamnya Abdullah ibn Sallam — Perang Polemik antara Muhammad dengan Orang-orang Yahudi — Percobaan Menjerumuskan Aus dan Khazraj -Cerita Finhash – Mengalihkan Kiblat ke Ka’bah — Delegasi Nasrani Najran — Pertemuan Tiga Agama — Quraisy di Mekah Menjadi Masalah

 

Sebab-sebab Penduduk Yathrib Menyambut Nabi

 

BERBONDONG-BONDONG penduduk Yathrib ke luar rumah hendak menyambut kedatangan Muhammad, pria dan wanita. Mereka berangkat setelah tersiar berita tentang hijrahnya, tentang Quraisy yang hendak membunuhnya, tentang ketabahannya menempuh panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di tengah-tengah dataran Tihama, yang justru memantulkan sinar matahari yang panas dan membakar itu. Mereka keluar karena terdorong ingin mengetahui sekitar berita tentang ajakannya yang sudah tersiar di seluruh jazirah. Ajakan ini juga yang sudah mengikis kepercayaan-kepercayaan lama yang diwarisi dari nenek-moyang mereka, yang sudah dianggap begitu suci.

 

Akan tetapi mereka keluar itu bukan disebabkan oleh dua alasan ini saja, melainkan lebih jauh lagi, yakni karena orang yang hijrah dari Mekah ini akan menetap di Yathrib. Setiap golongan, setiap kabilah dari nduduk Yathrib, dari segi politik dan sosial dalam hal ini memberikan efek yang bermacam-macam. Inilah yang lebih banyak mendorong mereka menyongsong ke luar, daripada sekadar ingin melihat orang ini. Juga mereka ingin mengetahui, benarkah hal itu akan memperkuat dugaan mereka, ataukah mereka harus menarik diri.

 

Oleh karena itu, sambutan orang-orang musyrik dan Yahudi atas kedatangan Nabi tidak kurang daripada sambutan kaum Muslimin, baik dari Muhajirin maupun dari kalangan Anshar. Mereka semua mengerumuninya. Sesuai dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati masingmasing terhadap pendatang orang besar itu, denyutan jantung mereka pun tidak sama pula satu sama lain. Mereka sama-sama mengikutinya tatkala ia melepaskan kekang untanya dan membiarkannya berjalan sekehendaknya sendiri, dengan agak kurang teratur karena masing-masing ingin memandang wajahnya. Semua ingin mengelilinginya dengan pandangan mata tentang orang yang gambarnya sudah terlukis dalam jiwa masing-masing, tentang orang yang telah membuat Ikrar “Agaba kedua, bersama-sama penduduk kota ini — guna melakukan perang mati-matian terhadap Quraisy, orang yang telah hijrah meninggalkan tanah airnya, berpisah dengan keluarganya dengan memikul segala tekanan permusuhan dan tindakan kekerasan dari mereka selama tiga belas tahun terus-menerus. Ini semua demi keyakinan tauhid kepada Allah, tauhid yang dasarnya adalah merenungkan alam semesta ini serta mengungkapkan hakekat yang ada dengan jalan itu.

 

Pembangunan Mesjid dan Tempar Tinggal Rasul

 

Unta yang dinaiki Nabi ‘alaihissalam berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b. “Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna dipakai tempat membangun mesjid. Sementara tempat itu dibangun ia tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid b. Zaid al-Anshari. Dalam membangun mesjid itu Muhammad juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai mesjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal Rasul. Baik pembangunan mesjid maupun tempat-tempat tinggal itu tidak sampai memaksa seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Muhammad.

 

Bangunan Mesjid

 

Mesjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat temboknya dibuat daripada batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi digunakan tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak punya tempat tinggal. Tidak ada penerangan dalam mesjid itu pada malan hari. Hanya pada waktu salat Isya diadakan penerangan dengan membakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama sembilan tahun Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan penopang atap itu. Sebenarnya tempat-tempat tinggal Nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya daripada mesjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih tertutup.

 

Selesai Muhammad membangun mesjid dan tempat-tinggal, ia pindah dari rumah Abu Ayyub ke tempat ini. Sekarang terpikir olehnya akar adanya hidup baru yang harus dimulai, yang telah membawanya dan membawa dakwahnya itu harus menginjak langkah baru lebih lebar. Ia melihat adanya suku-suku yang saling bertentangan dalam kota ini, yang oleh Mekah tidak dikenal. Tapi juga ia melihat kabilah-kabilah dan suku. suku itu semuanya merindukan adanya suatu kehidupan damai dan tenteram, jauh dari segala pertentangan dan kebencian, yang pada masa lampau telah memecah-belah mereka. Kota ini akan membawa keten. teraman pada masa yang akan datang, yang diharapkan akan lebih kaya dan lebih terpandang daripada Mekah. Akan tetapi, bukanlah kekayaan dan kehormatan Yathrib itu yang menjadi tujuan Muhammad yang pertama, sekalipun ini ada juga. Segala tujuan dan daya-upaya, yang pertama dan yang terakhir, ialah meneruskan risalah, yang penyampaiannya telah dipercayakan Tuhan kepadanya, dengan mengajak dan memberikan peringatan. Akan tetapi, oleh penduduk Mekah sendiri, dengan cara kekerasan risalah ini dilawan mati-matian, sejak dari awal kerasulannya sampai pada waktu hijrah. Karena takut akan penganiayaan dan tindakan kekerasan pihak Quraisy, risalah dan iman itu tidak sampai memasuki setiap kalbu. Segala penganiayaan dan tindakan kekerasan ini menjadi perintang antara iman dengan kalbu manusia yang belum lagi menerima iman itu.

 

Kebebasan Beragama Dijamin

 

Baik kaum Muslimin maupun yang lain seharusnya percaya, bahwa barangsiapa menerima pimpinan Tuhan dan sudah masuk ke dalam agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan, bagi orang yang sudah beriman akan tambah kuat imannya, sedang bagi yang masih ragu-ragu, atau masih takut-takut atau yang lemah, akan segera pula menerima iman itu.

 

Pikiran itulah yang mula-mula meyakinkan Muhammad ia tinggal di Yathrib, ke arah itu politiknya ditujukan dan dengan tujuan itu pula hendaknya sejarah hidupnya ditulis. Ia tak pernah memikirkan kerajaan, harta-benda atau perniagaan. Seluruh tujuannya ialah memberikan ke tenangan jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan bagi mereka dalam menganut kepercayaan agama masingmasing. Baik bagi seorang Muslim, seorang Yahudi, atau seorang Kristen masing-masing mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan yang sama menyatakan pendapat dan kebebasan yang sama pula menjalankan propaganda agama. Hanya kebebasanlah yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju kesatuan yang integral dan terhormat. Setiap tindakan menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan, berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan mengikis habis percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani manusia. Percikan cahaya ini yang akan menghubungkan hati nurani manusia dengan alam semesta ini, dari awal yang azali sampai pada akhirnya yang abadi, suatu hubungan yang menjalin rasa kasih-sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian dan kehancuran. Muhammad Tidak Menghendaki Perang

 

Dengan pemikiran inilah wahyu itu disampaikan kepada Muhammad sejak ia hijrah. Dan karena itu pula ia sangat mendambakan perdamaian, dan tidak menyukai perang. Dalam hal ini selama hidupnya ia sangat cermat sekali. Ia tidak menempuh jalan itu, kalau tidak terpaksa karena membela kebebasan, membela agama dan kepercayaan. Bukankah, ketika mendengar ada mata-mata memanggil-manggil Quraisy, memberi peringatan tentang mereka itu, penduduk Yathrib yang ikut mengadakan Ikrar “Agaba kedua berkata kepadanya?:

 

“Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran, kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedagang kami.”

 

Dijawabnya:

 

“Kami tidak diperintahkan untuk itu.”

 

Bukankah ayat pertama yang datang mengenai perang berbunyi?: “Diizinkan (berperang) kepada mereka yang diperangi, karena mereka dianiayai, dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka.”’ Dan bukankah ayat berikutnya mengenai soal perang itu Tuhan berfirman?: “Dan perangilah mereka supaya jangan ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah.”

 

Jadi pertimbangan pikiran Muhammad dalam hal ini hanya mem, punyai satu tujuan yang luhur, yaitu menjamin kebebasan beragama dan menyatakan pendapat. Hanya untuk mempertahankan itulah perang dibenarkan, dan hanya untuk itu pula dibenarkan menangkis Serangan bihak agresor, sehingga jangan ada orang yang dapat dikacau dar, agamanya dan jangan pula ada orang yang ditindas karena kepercayaan atau pendapatnya.

 

Pertimbangan Orang-orang Yathrib

 

Kalau inilah tujuan Muhammad dalam pertimbangannya mengeng masalah Yathrib serta harus menjamin adanya kebebasan, maka pen. duduk kota ini pun menyambutnya dalam pikiran yang serupa, meskipun setiap golongan pertimbangannya saling bertentangan satu sama lain Penduduk Yathrib pada waktu itu terdiri dari kaum Muslimin — Muhajirin dan Anshar — orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj -sedang hubungan kedua golongan ini sudah sama-sama kita ketahui, kemudian orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza dj Fadak, Banu’n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara,

 

Adapun kaum Muhajirin dan Anshar, karena solidaritas agama baru itu, mereka sudah erat sekali bersatu. Sungguhpun begitu, kekuatiran dalam hati Muhammad belum hilang samasekali, kalau-kalau suatu waktu kebencian lama di kalangan mereka akan kembali timbul. Sekarang terpikir olehnya bahwa setiap keraguan semacam itu harus dihilangkan, Usaha ini akan tampak juga pengaruhnya.

 

Sebaliknya golongan musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, akibat peperangan-peperangan masa lampau, mereka merasa lemah sekali di tengah-tengah kaum Muslimin dan Yahudi itu. Mereka mencari jalan supaya antara keduanya itu timbul insiden. Selanjutnya golongan Yahudi, dengan tiada ragu-ragu mereka pun menyambut baik kedatangan Muhammad dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah Arab. Dengan demikian mereka akan dapat pula membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi, – bangsa pilihan Tuhan – dari Palestina, Tanah yang Dijanjikan di tanah air mereka itu.

 

Dengan dasar pikiran itulah mereka masing-masing bertolak. Mereka membukakan jalan supaya tujuan mereka masing-masing mudah tercapai.

 

Di sinilah fase baru dalam hidup Muhammad itu dimulai, yang sebelum itu tiada seorang nabi atau rasul yang pernah mengalaminya. Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan rasa kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib — tanah airnya yang baru —ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang sebelum itu di seluruh wilayah Hijaz belum dikenal, sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada.

 

Persaudaraan di Kalangan Muslimin

 

Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya itu, Abu Bakr dan Umar — demikianlah mereka dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula ialah menyusun barisan kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud ini diajaknya kaum Muslimin supaya masing-masing dua bersaudara, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b. Abi Talib. Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya. Abu Bakr bersaudara dengan Kharija b. Zaid, Umar ibn’-Khattab, bersaudara dengan “Itban b. Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan Muhajirin yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib — sesudah mereka yang tadinya masih tinggal di Mekah menyusul ke Medinah setelah Rasul hijrah — dipersaudarakan pula dengan setiap orang dari pihak Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum saudara sedarah senasab. Dengan persaudaraan demikian itu persaudaraan kaum Muslimin bertambah kukuh adanya.

 

Ternyata kalangan Anshar memperlihatkan sikap keramah-tamahan yang luar biasa terhadap saudara-saudara mereka kaum Muhajirin ini, yang sejak semula sudah mereka sambut dengan penuh gembira. Sebabnya

 

ialah, mereka telah meninggalkan Mekah, dan bersama itu mereka tinggalkan pula segala yang mereka miliki, harta-benda dan semua kekayaan. Sebagian besar ketika mereka memasuki Medinah sudah hampir tak ada lagi yang akan dimakan di samping mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan selain “Usman b. “Affan. Sedangkan yang lain sedikit sekali yang dapat membawa sesuatu yang berguna dari Mekah. “

 

Mereka yang Berdagang

 

Pada suatu hari Hamzah paman Rasul pergi mendatanginya dengan permintaan kalau-kalau ada yang dapat dimakannya. Abdur-Rahman b. “Auf yang sudah bersaudara dengan Sa’d bin’r-Rabi’, ketika di Yathrib ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ketika Sa’d menawarkan hartanya akan dibagi dua, Abdur-Rahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Dan di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Dalam waktu udak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang ia telah dapat mencapai kekayaan kembali, dan dapat pula memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Medinah. Bahkan sudah mempunyai kafilah. kafilah yang pergi dan pulang membawa perdagangan. Selain Abdur, Rahman, dari kalangan Muhajirin, banyak juga yang telah melakukan haj Serupa itu. Sebenarnya karena kepandaian orang-orang Mekah itu dalam bidang perdagangan sampai ada orang mengatakan: dengan perdagangan, nya itu ia dapat mengubah pasir sahara menjadi emas.

 

Mereka yang Berani

 

Adapun mereka yang tidak melakukan pekerjaan berdagang, di antaranya ialah Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib dan lain-lain. Keluarga, keluarga mereka terjun ke dalam pertanian, menggarap tanah milik orang, orang Anshar bersama-sama pemiliknya. Tetapi selain mereka ada pula yang harus menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup. Sungguhpun begitu, mereka ini tidak mau hidup menjadi beban orang lain. Mereka pun membanting tulang bekerja, dan dalam bekerja itu mereka merasakan adanya ketenangan batin, yang selama di Mekah tidak pernah mereka rasakan.

 

Di samping itu ada lagi segolongan orang-orang Arab yang datang ke Medinah dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan miskin dan serba kekurangan, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak punya tempat tinggal. Bagi mereka ini oleh Muhammad disediakan tempat di selesar mesjid, yaitu shuffa (bagian mesjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu mereka diberi nama Ahl’sh-Shuffa (Penghuni Shuffa). Belanja mereka diberikan dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang berkecukupan.

 

Persahabatan Muhammad dengan Pihak Yahudi

 

Dengan adanya persatuan kaum Muslimin dengan cara persaudaraan itu Muhammad sudah merasa lebih tenteram. Sudah tentu ini merupakan suatu langkah politik yang bijaksana sekali dan sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan yang tepat serta pandangan jauh. Baru tampak kepada kita arti semua ini bila kita melihat segala daya-upaya kaum Munafik yang hendak merusak dan menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan antara Aus dengan Khazraj dan antara Muhajirin dengan Anshar. Akan tetapi suatu operasi politik yang begitu tinggi dan yang menunjukkan adanya kemampuan luar biasa, ialah apa yang telah dicapai oleh Muhammad dengan mewujudkan persatuan Yathrib dan meletakkan dasar organisasi politiknya dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan persekutuan yang kuat sekali. Orang sudah melihat betapa mereka menyambut baik kedatangannya dengan harapan akan dapat dibujuknya ke pihak mereka. Penghormatan mereka ini dengan segera dibalasnya pula dengan penghormatan yang sama serta mengadakan tali silaturahmi dengan mereka. Ia bicara dengan kepala-kepala mereka, didekatkannya pembesar-pembesar mereka, dibentuknya dengan mereka itu suatu tali persahabatan, dengan pertimbangan bahwa mereka juga Ahli Kitab dan kaum monotheis. Lebih dari itu bahwa pada waktu mereka berpuasa ia pun ikut puasa. Pada waktu itu kiblatnya dalam sembahyang masih menghadap ke Bait’I-Magdis, titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya semua Keluarga Israil. Persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengar dia makin sehari makin bertambah erat dan dekat juga.

 

Orang yang begitu mulia, sangat rendah hati, orang yang penuh kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka bagi si miskin, bagi orang yang hidup menderita, ini juga yang memberikan kewibawaan kepadanya terhadap penduduk Yathrib. Dan semua ini telah sampai kepada suatu ikatan perjanjian persahabatan dan persekutuan serta menetapkan adanya kebebasan beragama. Perjanjian ini – menurut hemat kita — merupakan suatu dokumen politik yang patut dikagumi sepanjang sejarah. Dan fase yang dialami dalam sejarah hidup Rasul ini belum pernah dialami oleh seorang nabi atau rasul lain. Pernah ada Isa, ada Musa, ada nabi-nabi yang lain sebelum itu. Mereka terbatas hanya pada dakwah agama saja. Mereka menyampaikan itu kepada orang dengan jalan berdebat, dengan jalan mukjizat. Sesudah itu mereka tinggalkan di tangan para penguasa yang kemudian, dan untuk menyiarkan dakwahnya itu harus dilakukan dengan kekuatan politik dan membela kebebasan orang yang sudah beriman kepadanya itu dengan kekuatan senjata yang disertai peperangan pula. Agama Kristen disiarkan oleh murid-muridnya yang kemudian sesudah Isa. Mereka dan pengikutpengikut mereka masih selalu mengalami siksaan. Baru setelah ada rajaraja yang cenderung kepada agama ini, ia dilindunginya dan disiarkan. Begitu juga halnya dengan agama lain, di dunia Timur ataupun di Barat.

 

Sebaliknya Muhammad, tersebarnya Islam serta menangnya musi kebenaran itu harus berada di tangannya. Ia menjadi Rasul, menjadi negarawan, pejuang dan penakluk. Semua itu demi Allah, demi misi kebenaran, yang oleh karenanya ia diutus. Dalam hal ini semua, sebenarnya dia adalah orang besar, lambang kesempurnaan insani par erellence dalam arti kata yang sebenarnya.

 

Isi Perjanjian dengan Yahudi

 

Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan orang-orang Yahudi Muhammad membuat suatu perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta-benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik, demikian bunyinya:

 

“Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad -Nabi, antara orang-orang beriman dan kaum Muslimin dari kalangan Quraisy dan Yathrib serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka, bahwa mereka adalah satu umat, di luar golongan orang lain.”

 

“Kaum Muhajirin dari kalangan Quraisy tetap menurut adat kebiasaan baik yang berlaku’ di kalangan mereka, bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah? antara sesama mereka dan mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang beriman.”

 

“Bahwa Banu “Auf adalah tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudahsudah. Dan setiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang beriman.”

 

Kemudian disebutnya tiap-tiap suku? Anshar itu serta keluarga tiap puak: Banu’l-Harith, Banu Sa’ida, Banu Jusyam, Banu’n-Najjar, Banu ‘Amr b. “Auf dan Banu’n-Nabit. Selanjutnya disebutkan.

 

“Bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup dan utang yang berat di antara sesama mereka. Mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam membayar tebusan tawanan atau membayar diat.

 

“Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin lainnya.

 

“Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa harus melawan orang yang melakukan kejahatan di antara mereka sendiri, atau orang yang suka melakukan perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan di antara orang-orang beriman sendiri, dan mereka semua harus sama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri.

 

“Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh membunuh sesama mukmin lantaran orang kafir untuk melawan orang beriman.

 

“Bahwa jaminan Allah itu satu: Dia melindungi yang lemah di antara mereka.

 

“Bahwa orang-orang yang beriman itu hendaknya saling tolong menolong satu sama lain.

 

“Bahwa barangsiapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan: tidak menganiaya atau melawan mereka.

 

“Bahwa persetujuan damai orang-orang beriman itu satu, tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah. Mereka harus sama dan adil adanya.

 

“Bahwa setiap orang yang berperang bersama kami, satu sama lain harus saling bergiliran.

 

“Bahwa orang-orang beriman itu harus saling membela terhadap sesamanya yang telah tewas di jalan Allah.

 

“Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa hendaknya berada dalam pimpinan yang baik dan lurus.

 

“Bahwa orang tidak dibolehkan melindungi harta-benda atau jiwa orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang beriman.

 

“Bahwa barangsiapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah dengan cukup bukti, maka ia harus mendapat balasan yang setimpal, kecuali bila keluarga si terbunuh sukarela (menerima tebusan).

 

“Bahwa orang-orang yang beriman harus menentangnya semua dan tidak dibenarkan mereka hanya tinggal diam.

 

“Bahwa seseorang yang beriman yang telah mengakui isi piagam ini dan percaya kepada Allah dan kepada hari kemudian, tidak dibenarkan menolong pelaku kejahatan atau membelanya, dan bahwa barangsiapa yang menolongnya atau melindunginya, ia akan mendapat kutukan dan murka Allah pada hari kiamat, dan tak ada sesuatu tebusan yang dapat diterima.

 

“Bahwa bilamana di antara kamu timbul perselisihan tentang Sesuaty masalah yang bagaimanapun, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad -‘alaihishshalatu wassalam.

 

“Bahwa orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama. sama orang-orang beriman selama mereka masih dalam keadaan perang,

 

“Bahwa orang-orang Yahudi Banu “Auf adalah satu umat dengan orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan orang-orang Islam pun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluarga. nya sendiri.

 

“Bahwa terhadap orang-orang Yahudi Banu’n-Najjar, Yahudi Banu’. Harith, Yahudi Banu Sa’ida, Yahudi Banu-Jusyam, Yahudi Banu Aus, Yahudi Banu Tha’laba, Jafna dan Banu Syutaiba,! berlaku sama seperti terhadap mereka sendiri.

 

“Bahwa tiada seorang dari mereka itu boleh keluar kecuali dengan izin Muhammad s.a.w.

 

“Bahwa seseorang tidak boleh dirintangi menuntut haknya karena dilukai, dan barangsiapa yang diserang ia dan keluarganya harus berjaga diri, kecuali jika ia menganiaya. Bahwa Allah juga yang menentukan ini.

 

“Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri dan kaum Muslimin pun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri pula. Antara mereka harus ada tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang pihak yang mengadakan piagam perjanjian ini.

 

“Bahwa mereka sama-sama berkewajiban, saling nasehat-menasehati dan saling berbuat kebaikan dan menjauhi segala perbuatan dosa.

 

“Bahwa seseorang tidak dibenarkan melakukan perbuatan salah terhadap sekutunya, dan bahwa yang harus ditolong ialah yang teraniaya.

 

“Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban mengeluarkan belanja bersama orang-orang beriman selama masih dalam keadaan perang.

 

“Bahwa kota Yathrib adalah kota yang dihormati bagi orang yang mengakui perjanjian ini.

 

“Bahwa tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan diperlakukan dengan perbuatan jahat.

 

“Bahwa tempat yang dihormati itu tak boleh didiami orang tanpa izin penduduknya.

 

“Bahwa bila di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada Allah dan kepada Muhammad Rasujulah s.a.w. dan bahwa Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini.

 

“Bahwa melindungi orang-orang Quraisy atau menolong mereka tidak dibenarkan.

 

“Bahwa antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Yathrib ini. Tetapi apabila telah diajak berdamai maka sambutlah ajakan perdamaian itu.

 

“Bahwa apabila mereka diajak berdamai, maka orang-orang yang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama. Bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.

 

“Bahwa orang-orang Yahudi Aus, baik diri mereka sendiri atau pengikut-pengikut mereka mempunyai kewajiban seperti mereka yang sudah menyetujui naskah perjanjian ini dengan segala kewajiban sepenuhnya dari mereka yang menyetujui naskah perjanjian ini.

 

“Bahwa kebaikan itu bukanlah kejahatan dan bagi orang yang melakukannya hanya akan memikul sendiri akibatnya. Dan bahwa Allah bersama pihak yang benar dan patuh menjalankan isi perjanjian ini.

 

“Bahwa orang tidak akan melanggar isi perjanjian ini, kalau ia bukan orang yang aniaya dan jahat.

 

“Bahwa barangsiapa yang keluar atau tinggal dalam kota Medinah ini, keselamatannya tetap terjamin, kecuali orang yang berbuat aniaya dan melakukan kejahatan.

 

“Sesungguhnya Allah melindungi orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa.”

 

Pintu Baru dalam Kehidupan Politik

 

Inilah dokumen politik yang telah diletakkan Muhammad sejak seribu tiga ratus lima puluh tahun yang lalu dan yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat: tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Ia telah membukakan pintu baru dalam kehidupan politik dan peradaban dunia masa itu. Dunia, yang selama ini hanya menjadi permainan tangan tirani, dikuasai oleh kekejaman dan kehancuran semata. Apabila dalam penandatanganan dokumen ini orang-orang Yahudi Banu Quraiza, Banu’nNadzir dan Banu Qainuqa’ tidak ikut serta, namun tidak selang lama sesudah itu mereka pun mengadakan perjanjian yang serupa dengan Nabi.

 

Demikianlah, seluruh kota Medinah:dan sekitarnya telah benar-bena, jadi terhormat bagi seluruh penduduk. Mereka berkewajiban memper. tahankan kota ini dan mengusir setiap serangan yang datang dari luar. Mereka harus bekerja sama antara sesama mereka guna menghormati: segala hak dan segala macam kebebasan yang sudah disetujui bersama dalam dokumen ini.

 

Perkawinan Nabi dengan Aisyah

 

Muhammad sudah cukup merasa lega dengan hasil demikian ini. Kaum Muslimin pun merasa tenteram menjalankan kewajiban agama mereka, baik dalam berjamaah ataupun sendiri-sendiri. Mereka tidak lagi kuatir ada gangguan atau akan takut difitnah. Ketika itulah Muhammad menyelesaikan perkawinannya dengan Aisyah bt. Abu Bakr, yang waktu itu baru berusia sepuluh atau sebelas tahun. Ia adalah seorang gadis yang lemah-lembut dengan air muka yang manis dan sangat disukai dalam pergaulan. Ketika itu ia sedang menjenjang remaja putri, mempunyai kegemaran bermain-main dan bersukaria. Pertumbuhan badannya baik sekali.

 

Pertama ia pindah ke tempatnya yang sekarang di samping tempat Sauda di sisi mesjid, ia melihat Muhammad adalah seorang ayah yang penuh kasih-sayang, seorang suami yang penuh cinta-kasih. Ia tidak keberatan ikut bermain-main dengan barang-barang mainannya itu. Dengan itu Aisyah telah menghiburnya pula dari pikiran yang berat-berat yang selalu menjadi bebannya karena suasana politik Yathrib yang kini sudah mulai diarahkan dengan sebaik-baiknya itu.

 

Zakat dan Puasa

 

Dalam suasana kaum Muslimin yang sudah mulai tenteram menjalankan tugas-tugas agama itu, pada waktu itu kewajiban zakat dan puasa mulai pula dijalankan hukumnya. Di Yathrib inilah Islam mulai menemukan kekuatannya. Ketika Muhammad sampai di Medinah, bila ketika itu waktu-waktu sembahyang sudah tiba, orang berkumpul bersama-sama tanpa dipanggil. Lalu terpikir akan memanggil orang bersembahyang dengan mempergunakan terompet seperti orang-orang Yahudi. Tetapi dia tidak menyukai terompet itu. Lalu dianjurkan mempergunakan genta, yang akan dipukul waktu sembahyang, seperti dilakukan oleh orang-orang Nasrani.

 

Permulaan Sembahyang

 

Tetapi kemudian sesudah ada saran dari Umar dan sekelompok — Muslimin menurut satu sumber, — atau dengan perintah Tuhan melalui wahyu, menurut sumber lain — penggunaan genta ini pun dibatalkan dan diganti dengan azan. Selanjutnya diminta kepada Abdullah b. Zaid b. Tha’laba:

 

“Kau pergi dengan Bilal dan bacakan kepadanya — maksudnya teks azan — dan suruh dia menyerukan azan itu, sebab suaranya lebih merdu dari suaramu.”

 

Di samping mesjid ada sebuah rumah kepunyaan seorang wanita dari Banu’n-Najjar yang lebih tinggi dari mesjid. Bilal naik ke atas rumah itu lalu menyerukan azan. Dengan demikian, setiap hari di waktu fajar seluruh penduduk Yathrib mendengar seruan bersembahyang itu diucapkan dengan alunan suara yang indah dan lembut sekali, yang ditujukan Bilal ke segenap penjuru, dan menggema ke telinga pendengarnya:

 

“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Asyhadu an la ilaha illa Allah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Hayy ‘ala’ sh-shala hayy ‘ala’l-falah. Allahu Akbar. Allahu Akbar. La ilaha illa Allah.” (Allah Maha Besar! Allah Maha Besar! Aku bersaksi tak ada tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah. Marilah sembahyang. Marilah mencapai kemenangan. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Tak ada tuhan selain Allah).

 

Dengan demikian ini rasa takut yang selama ini membayangi kaum Muslimin telah berubah jadi aman dan tenteram. Yathrib kini telah menjadi Madinat-‘r-Rasul — menjadi Kota Rasulullah. Penduduk kota ini yang bukan Islam sudah pula merasakan adanya kekuatan kaum Muslimin — suatu kekuatan yang bersumber dari lubuk hati yang sudah mengenal pengorbanan, yang sudah mengalami pelbagai macam penderitaan, demi membela iman. Kini mereka memetik buahnya, buah kesabaran dan ketabahan hati. Mereka merasakan adanya kebebasan beragama yang telah ditentukan Islam itu dan bahwa tidak ada kekuasaan seseorang atas manusia lain, dan bahwa agama hanya bagi Allah semata, hanya kepada-Nya adanya pengabdian itu. Di hadapan Tuhan semua manusia itu sama. Balasan yang akan mereka terima sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan dan dengan niat yang telah mendorong perbuatan itu.

 

Sekarang jalan sudah terbuka di hadapan Muhammad dalam menyebarkan ajaran-ajarannya itu. Dan biarlah pribadinya dan segala tingkah lakunya yang akan menjadi teladan tertinggi dalam ajaran-ajarannya itu.

 

Dan biarlah ini pula yang akan menjadi batu pertama dalam pembinaan peradaban Islam.

 

Persaudaraan adalah Dasar Peradaban Islam

 

Batu pertama ini ialah persaudaraan umat manusia: persaudaraan yang akan mengakibatkan seseorang tidak sempurna imannya sebelum ia dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri dan sebelum persaudaraan demikian itu dapat mencapai kebaikan dan rasa kasih. sayang tanpa suatu sikap lemah dan mudah menyerah.

 

Ada orang yang bertanya kepada Muhammad, “Perbuatan apakah yang baik dalam Islam?” Dijawab:

 

“Sudi memberi makan dan memberi salam kepada orang yang kaukenal dan yang tidak kaukenal.” Dalam khutbah pertama yang diucapkannya di Medinah ia berkata:

 

“Barangsiapa yang dapat melindungi mukanya dari api neraka sekalipun hanya dengan sebutir kurma, lakukanlah itu. Kalau itu pun tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik. Sebab dengan itu, kebaikan itu mendapat balasan sepuluh kali lipat.”

 

Dan dalam khutbahnya yang kedua dikatakannya:

 

“Beribadatlah kamu sekalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Benar-benar takutlah kamu kepada-Nya. Hendaklah kamu jujur terhadap Allah tentang apa yang kamu katakan baik itu, dan dengan ruh Allah hendaklah kamu sekalian saling cintamencintai. Allah sangat murka kepada orang yang melanggar janjinya sendiri ”

 

Dengan kata-kata ini dan yang semacam ini ia berbicara dengan sahabat-sahabatnya itu, ia berkhutbah di mesjid kepada orang banyak, sambil bersandar pada batang pohon kurma yang dijadikan penopang atap mesjid itu, yang kemudian lalu disuruh buatkan mimbar terdiri dari tiga tangga. Waktu menyampaikan khutbah ia berdiri pada tangga pertama, dan pada tingkat tangga kedua di waktu ia duduk.

 

Akhlak dan Budi Pekertinya

 

Bukan hanya kata-katanya itu saja yang menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan demikian itu, yang dalam peradaban Islam merupakan bagian yang penting sekali, melainkan juga perbuatannya serta teladan yang diberikannya adalah contoh persaudaraan dalam bentuknya yang benar-benar sempurna. Dia adalah Rasulullah — Utusan Allah: tapi tidak mau ia menampakkan diri dalam gaya orang berkuasa, atau sebagai raja atau pemegang kekuasaan duniawi. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata:

 

“Jangan aku dipuja, seperti orang-orang Nasrani memuja anak Mariam. Aku adalah hamba Allah. Sebutkan sajalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

 

Sekali pernah ia mendatangi sekelompok sahabat-sahabatnya sambil bertelekan pada sebatang tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Tapi dia berkata:

 

“Jangan kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan.”

 

Apabila ia mengunjungi sahabat-sahabatnya ia pun duduk di mana saja ada tempat yang terluang. Ia bergurau dengan sahabat-sahabatnya, bergaul dengan mereka, diajaknya mereka bercakap-cakap, anak-anak mereka pun diajaknya bermain-main dan didudukkannya mereka itu di pangkuannya. Dipenuhinya undangan yang datang dari orang merdeka atau dari si budak dan si miskin. Dikunjunginya orang yang sedang sakit, yang jauh tinggal di sana, di ujung kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkannya. Dan ia yang memulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya. la yang lebih dulu mengulurkan tangan menjabat sahabar, Sahabatnya. Apabila ada orang yang menunggu ia sedang salat, di, percepatnya sembahyangnya lalu ditanyanya orang itu akan keperluannya, Sesudah itu kembali lagi ia meneruskan ibadatnya. Baik hati ia kepada setiap orang dan selalu senyum. Dalam rumah tangga, ia ikut memikul beban keluarga: ia mencuci pakaian, menambalnya dan memerah susy kambing. Ia juga yang menjahit terompahnya, menolong dirinya sendirj dan mengurus unta. Ia duduk makan bersama dengan bujang, ia juga mengurus keperluan orang yang lemah, yang menderita dan orang miskin. Apabila ia melihat seseorang yang sedang dalam kebutuhan ia dan keluarganya mengalah, sekalipun mereka sendiri dalam kekurangan, tak ada sesuatu yang disimpannya untuk besok, sehingga tatkala ia wafat baju besinya sedang tergadai di tangan seorang Yahudi — karena untuk keperluan belanja keluarganya. Sangat rendah hati ia, selalu memenuhi janji. Tatkala ada sebuah delegasi dari pihak Najasi datang, dia sendiri yang melayani mereka, sehingga sahabat-sahabat menegurnya:

 

“Sudah cukup ada yang lain,” kata sahabat-sahabatnya itu.

 

“Mereka sangat menghormati sahabat-sahabat kita,” katanya. “Saya ingin membalas sendiri kebaikan mereka.”

 

Begitu setianya ia, sehingga bila ada orang menyebut nama Khadijah, selalu menimbulkan kenangan yang indah baginya. Di sinilah Aisyah berkata: “Saya tidak pernah iri hati terhadap seorang wanita seperti terhadap Khadijah, bilamana saja mendengar ia mengenangkannya.” Ketika ada seorang wanita datang, ia menyambutnya begitu gembira dan ditanyainya baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata:

 

“Ketika masih ada Khadijah ia suka mengunjungi kami. Bahwa mengingat hubungan baik masa lampau adalah termasuk iman.”

 

Begitu halusnya perasaannya, begitu lembutnya hatinya, ia membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika ia sembahyang. Bahkan ia bersembahyang dengan Umama, putri Zainab putrinya, sambil dibawa di atas bahunya, bila ia sujud diletakkan, bila ia berdiri dibawanya lagi.

 

Kesayangannya kepada Binatang

 

Kebaikan dan kasih-sayang yang sudah menjadi sendi persaudaraan itu, yang dalam peradaban dunia modern sekarang juga menjadi dasar bagi seluruh umat manusia, tidak hanya terbatas sampai di situ saja, melainkan melampaui sampai kepada binatang juga. Dia sendiri yang bangun membukakan pintu untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat itu. Dia sendiri yang merawat seekor ayam jantan yang sedang sakit, kudanya dielus-elusnya dengan lengan bajunya. Bila dilihatnya Aisyah naik seekor unta, karena menemui kesukaran lalu binatang itu ditariktariknya, ia pun ditegurnya:

 

“Hendaknya kau berlaku lemah-lembut.”

 

Kasih-sayangnya itu meliputi segala hal, dan selalu memberi perlindungan kepada siapa saja yang memerlukannya.

 

Persaudaraan Atas Dasar Keadilan dan Kasih-sayang

 

Tetapi ini bukan sikap kasih-sayang karena lemah atau mau menyerah, juga bersih dari segala sifat mau menghitung jasa atau sikap tinggi diri. Ini adalah persaudaraan dalam Tuhan antara Muhammad dengan semua mereka yang berhubungan dengan dia. Di sinilah dasar peradaban Islam yang berbeda dengan sebagian besar peradaban-peradaban lain. Islam menekankan pada keadilan di samping persaudaraan itu, dan berpendapat bahwa tanpa adanya keadilan ini persaudaraan tidak mungkin ada.

 

“Barangsiapa menyerang kamu, seranglah dengan yang seimbang, seperti mereka menyerang kamu.”’

 

“Dengan hukum gishash berarti kelangsungan hidup bagi kamu, hai orang-orang yang mengerti.”

 

Sifatnya harus untuk mempertahankan jiwa semata-mata dengan kemauan yang bebas sepenuhnya dan untuk mencari rida Tuhan tanpa ada maksud lain. Itulah sumber persaudaraan yang meliputi segala kebaikan dan kasih-sayang. Ini harus bersumber juga dari jiwa yang kuat, tidak mengenal menyerah selain kepada Allah, dan dengan ketaatan kepada-Nya ia tidak pula merasa lemah. Tak ada rasa takut akan menyelinap ke dalam hatinya kecuali dari perbuatan maksiat atau dosa yang dilakukannya. Dan jiwa itu tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan yang lain dan tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan hawa nafsunya, Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah hijrah dari Mekah supaya jangan berada di bawah kekuasaan Quraisy dan jangan ada jiwa mereka yang akan jadi lemah karenanya. Jiwa itu akan menyerah kepada kekuasaan hawa nafsu kalau sudah jasmani yang dapat berkuasa ke dalan rohani dan akal pikiran dapat dikalahkan oleh kehendak nafsu. Dar akhirnya kehidupan materi ini juga yang dapat menguasai hidup kita padahal kita sudah tidak memerlukan yang demikian, sebab ini memang sudah berada di bawah kekuasaan kita.

 

Menahan Diri dari Makanan dan Pakaian

 

Di sini Muhammad adalah contoh kekuatan jiwa yang ideal sekali atas kehidupan ini, suatu kekuatan yang membuat dia sudah tidak peduli lagi akan memberikan segala yang ada padanya kepada orang lain. Itu sebabnya sampai ada orang yang mengatakan: Dalam memberi Muham. mad sudah tidak takut kekurangan. Dan supaya jangan ada sesuatu dalam hidup ini yang dapat menguasainya, sebaliknya dia yang harus menguasaj, maka ia keras sekali menahan diri dalam arti hidup materi, sama kerasnya dengan keinginannya hendak mengetahui segala rahasia yang ada dalam hidup materi itu, ingin mengetahui hakekat sesungguhnya tentang semua itu. Begitu jauhnya ia menahan diri sehingga lapik tempat dia tidur hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan serat. Makannya tak pernah kenyang. Tak pernah ia makan roti dari tepung sya’ir’ dua hari berturut-turut. Sebagian besar makannya adalah bubur.? Pada hari-hari yang lain ia makan kurma. Jarang sekali ia dan keluarganya dapat makanan roti sop. Bukan sekali saja ia harus menahan lapar. Sudah pernah perutnya diganjal dengan batu untuk menahan teriakan rongga pencernaannya itu.

 

Itulah yang sudah biasa dikenal tentang makannya, meskipun ini tidak berarti ia pantang sekali-sekali makan makanan yang enak-enak. Juga ia dikenal suka sekali makan kaki anak kambing, labu, madu dan manisan.

 

Begitu juga kesederhanaannya dalam hal pakaian sama seperti dalam makanan. Suatu hari ada seorang wanita memberikan sehelai pakaian kepadanya yang memang diperlukan. Tetapi kemudian diminta oleh orang lan yang juga memerlukannya guna mengafani mayat. Pakaian itu diberikannya. Pakaiannya yang dikenal terdiri dari sebuah baju dalam dan baju luar, yang terbuat dari wol, katun atau sebangsa serat. Tetapi sekalisekali ia tidak menolak memakai pakaian dari tenunan Yaman sebagai pakaian yang mewah sesuai dengan acara bila memang menghendaki demikian. Juga alas kaki yang dipakainya sederhana sekali. Tak pernah ia memakai sepatu selain waktu mendapat hadiah dari Najasyi berupa sepasang sepatu dan seluar.

 

Sungguhpun begitu dalam hal menahan diri dan menjauhi masalah duniawi bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri. Cara ini juga tidak sesuai dengan ajaran agama. Dalam Quran dapat dibaca:

 

“Makanlah dari makanan yang baik yang sudah Kami berikan kepadamu.

 

“Dan tempuhlah kebahagiaan akhirat seperti yang dianugerahkan Allah kepadamu, tapi juga jangan kaulupakan kebahagiaan hidup duniawi. Dan berbuatlah kebaikan kepada orang lain seperti Allah telah berbuat baik kepadamu.”? Dan dalam hadis:

 

“Berbuatlah untuk duniamu seolah kau akan hidup selama-lamanya, dan berbuat pula untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati besok.”

 

Akan tetapi Muhammad ingin memberikan teladan yang begitu tinggi kepada manusia tentang arti kekuatan dalam menghadapi hidup itu, suatu kekuatan yang tak dapat dipengaruhi oleh perasaan lemah, tak dapat diperbudak oleh kekayaan, oleh harta-benda, oleh kekuasaan atau oleh apa saja yang akan menguasainya, selain Allah. Persaudaraan yang didasarkan kepada kekuatan, yang manifestasinya telah diberikan oleh Muhammad sebagai teladan tertinggi seperti yang sudah kita lihat itu, adalah persaudaraan murni yang sungguh ikhlas dan mulia, suatu persaudaraan yang bersih samasekali. Sebabnya ialah karena adanya rasa keadilan yang terjalin dalam kasih-sayang dan karena yang bersangkutan hanya didorong oleh kemauan sendiri yang bebas mutlak. Tetapi, oleh karena Islam menyertakan rasa keadilan di samping rasa kasih-sayang itu, maka ia juga menyertakan maaf di samping keadilan itu, maaf yang dapat diberikan bila mampu. Rasa kasih-sayang demikian itu hendaklah dengan hati terbuka dan benar-benar, dan hendaklah dengan tujuan mau mencapai perbaikan yang sungguh-sungguh.

 

Sunah Muhammad

 

Inilah dasar yang telah diletakkan oleh Muhammad dalam membangun peradaban baru itu, yang dengan jelas tersimpul dalam cerita yang diambil dari Ali bin Abi Talib ketika ia bertanya kepada Rasulullah tentang sunahnya, dengan dijawab:

 

“Ma’rifat adalah modalku, akal pikiran sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu kendaraanku, berzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan perbendaharaanku, duka adalah kawanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan sasaranku, fagr adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan makananku, kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihag perangaiku dan hiburanku adalah dalam sembahyang.”

 

Yahudi Mulai Cemas

 

Ajaran-ajaran Muhammad serta teladan dan bimbingan yang diberikannya telah meninggalkan pengaruh yang dalam sekali ke dalam jiwa orang, sehingga tidak sedikit orang yang berdatangan menyatakan masuk Islam, dan kaum Muslimin pun makin bertambah kuat di Medinah. Ketika itulah orang-orang Yahudi mulai memikirkan kembali posisi mereka terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka dengan dia telah mengadakan perjanjian. Mereka bermaksud ingin merangkulnya ke pihak mereka dan supaya ketahanan mereka bertambah kuat terhadap orangorang Kristen. Dan dia lebih kuat dari mereka itu semua, ajarannya bertambah kuat. Malah sekarang ia memikirkan orang-orang Quraisy yang telah mengusirnya dan mengusir kaum Muhajirin dari Mekah serta godaan mereka terhadap kaum Muslimin yang dapat mereka goda dari agamanya. Adakah orang-orang Yahudi itu akan membiarkan dakwahnya terus tersebar dan kekuasaan rohaninya makin meluas, dengan cukup puas berada di sampingnya dalam aman sentosa yang berarti akan menambah keuntungan dan kekayaan dalam perdagangan mereka? Barangkali memang akan begitu kalau mereka yakin bahwa dakwahnya itu tidak akan sampai kepada orang-orang Yahudi sendiri dan tidak akan sampai meluas kepada orang-orang awam, sedang ajaran mereka yang berlaku ialah tidak akan mengakui adanya seorang nabi yang bukan dari Keluarga Israil.

 

Islamnya Abdullah ibn Sallam

 

Akan tetapi ada seorang rabbi yang cerdik-pandai, yaitu Abdullah b. Sallam yang telah berhubungan dengan Nabi, ia pun lalu memeluk Islam, dan dianjurkannya pula keluarganya. Lalu mereka pun bersama-sama memeluk agama Islam.

 

Tetapi Abdullah b. Sallam masih merasa kuatir akan ada kata-kata yang tidak biasa yang akan dilontarkan orang-orang Yahudi jika mereka mengetahui ia sudah menganut Islam. Maka dimintanya kepada Nabi untuk menanyai mereka tentang dirinya itu sebelum mereka mengetahui bahwa dia sudah Islam. Ternyata mereka berkata: Dia pemimpin kami, pendeta kami dan orang cerdik-pandai kami. Setelah Abdullah berhadapan dengan mereka dan sekarang jelas sudah sikapnya, bahkan mengajak mereka menganut ajaran Islam, mereka pun merasa kuatir akan nasibnya itu nanti. Maka di seluruh perkampungan Yahudi itu ia pun mulai difitnah dan diumpat dengan kata-kata yang tak senonoh. Dalam hal ini mereka lalu sepakat akan berkomplot terhadap Muhammad menolak kenabiannya. Secepat itu pula sisa-sisa orang yang masih musyrik dari kalangan Aus dan Khazraj serta mereka yang pura-pura masuk Islam segera menggabungkan diri dengan mereka, baik karena mau mengejar keuntungan materi atau karena mau menyenangkan golongannya atau pihak yang berpengaruh. “

 

Perang Polemik antara Muhammad dengan Orang-orang Yahudi

 

Sekarang mulai terjadi suatu perang polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi, yang ternyata lebih bengis dan lebih licik daripada perang polemik yang dulu pernah terjadi antara dia dengan orang-orang Quraisy di Mekah. Dalam perang yang terjadi di Yathrib ini semua orang Yahudi berdiri dalam satu barisan menyerang Muhammad dan risalahnya, menyerang sahabat-sahabatnya, kaum Muhajirin dan Anshar, dengan mengadakan intrik-intrik, tindakan bermuka-muka dengan ilmu yang ada pada mereka tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa masa lampau mengenai para nabi dan rasul-rasul.

 

Mereka mengadakan intrik melalui pendeta-pendeta mereka yang pura-pura Islam dan yang dapat bergaul ke tengah-tengah kaum Muslimin dengan pura-pura sangat takwa sekali, yang kemudian lalu sekali-kali memperlihatkan kesangsian dan keraguannya. Mereka itu memajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Muhammad, yang mereka kira akan dapat menggoncangkan iman umat Islam kepadanya dan kepada ajaran kebenaran yang dibawanya itu. Kemudian orang-orang Aus dan Khazraj yang juga Islamnya pura-pura, menggabungkan diri dengan orang-orang Yahudi dalam memajukan pertanyaan-pertanyaan dan dalam menimbulkan perselisihan di kalangan kaum Muslimin. Begitu keras kepala mereka itu sampai ada di antara orang Yahudi sendiri yang mengingkari isi Taurat — padahal mereka percaya kepada Allah, baik kalangan Keluarga Israil maupun Orang-orang musyrik yang mempergunakan berhala-berhala untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Misalnya mereka ber, tanya kepada Muhammad: Kalau Allah itu sudah menciptakan makhluk ini, lalu siapa yang menciptakan Allah? Muhammad hanya menjawah mereka dengan firman Tuhan:

 

“Katakan: Allah Satu cuma. Allah itu Abadi dan Mutlak. Tidak beranak. Dan tidak pula diperanakkan. Dan tiada satu apa pun yang menyerupai-Nya.”!

 

Percobaan Menjerumuskan Aus dan Khazraj

 

Pihak Muslimin sekarang menyadari keadaan musuh mereka, sudah mengetahui tujuan usaha mereka itu. Ada terlihat pada suatu hari mereka dalam mesjid sedang berbicara antara sesama mereka dengan berbisikbisik. Muhammad meminta supaya mereka dikeluarkan dari dalam mesjid itu dengan paksa. Tetapi ini tidak membuat mereka jera melakukan tipumuslihat dan masih terus berusaha hendak menjerumuskan kaum Muslimin. Ketika ada beberapa orang dari golongan Aus dan Khazraj sedang duduk-duduk bersama-sama salah seorang dari mereka (Syas b. Oais) lewat. Ia jadi panas hati melihat dua puak ini menjadi rukun. Dalam hatinya ia berkata: masyarakat Banu Oaila di negeri ini sudah bersatu. Kita takkan berarti apa-apa kalau pemuka-pemuka mereka sudah sepakat. Seorang pemuda Yahudi yang pernah dengan mereka dulu dimintanya supaya mengambil kesempatan ini dengan menyebut-nyebut kembali peristiwa Bu’ath dahulu serta bagaimana pula pihak Aus dapat mengalahkan Khazraj. Pemuda itu pun lalu bicara. Ternyata hal ini memang menimbulkan ingatan masa lampau pada kedua puak itu. Mereka lalu bersitegang, saling membanggakan diri dan hanyut dalam pertengkaran. “Kalau kamu mau kita boleh kembali seperti dulu,” kata mereka satu sama lain.

 

Peristiwa ini sampai juga kepada Muhammad. Ia pergi menemui mereka dengan beberapa orang sahabat, dan diingatkannya mereka, bahwa Islam telah mempersatukan dan membuat mereka benar-benar bersaudara, saling mencintai. Sementara ia masih di tengah-tengah mereka, mereka pun menangis, mereka saling berpeluk-pelukan. Mereka semua berdoa bermohon ampun kepada Tuhan.

 

Polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu sudah sampai di puncaknya, sebagaimana oleh Quran sudah pula diperlihatkan. Pada permulaan Surah al-Bagarah (2) sampai dengan ayat 81, dan sebagian besar Surah an-Nisa’ (4) semua menyebutkan tentang orangorang Ahli Kitab itu dan betapa mereka mengingkari isi Kitab Suci mereka sendiri. Mereka telah mendapat kutukan keras karena pembangkangan dan pengingkaran mereka itu:

 

“Dan sesungguhnya Kami teiah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan sesudah itu lalu Kami susul pula dengan para rasul, dan Kami telah memberikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa anak Maryam dan Kami perkuat dia dengan Ruh Suci. Adakah setiap datang seorang rasul kepadamu membawa sesuatu yang tak sesuai dengan kehendak hatimu, lalu kamu bersikap sombong? Sebagian kamu dustakan dan yang sebagian lagi kamu bunuh? Dan mereka berkata: “hati kami sudah tertutup”. Tetapi Tuhan telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka juga. Karena itu, sedikit sekali mereka yang beriman. Dan setelah kepada mereka didatangkan Kitab dari Allah, yang membenarkan apa yang ada pada mereka, karena sebelum itu mereka minta didatangkan kemenangan terhadap orang-orang yang masih ingkar, maka setelah yang mereka ketahui itu berada di tengah-tengah mereka, mereka pun juga tidak mempercayainya. Karena itu, kutukan Allah menimpa orang-orang yang ingkar itu.”

 

Cerita Finhash

 

Begitu memuncaknya polemik antara orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin itu, sehingga acapkali — sekalipun sudah ada perjanjian antara mereka — permusuhan itu terjadi sampai dengan main tangan. Sebagai contoh — sekadar sebagai ukuran — kita sudah mengenal Abu Bakr, yang begitu lemah-lembut perangainya, dengan kesabarannya yang luar biasa. Ketika itu ia sedang bicara dengan seorang orang Yahudi yang bernama Finhash, yang diajaknya menganut Islam. Tetapi Finhash menjawab: “Abu Bakr, bukan kita yang membutuhkan Tuhan, tapi Dia yang butuh kepada kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya, tapi Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, tapi Dia yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu Ia tidak akan minta dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini.” Maksud Finhash ini ditujukan kepada firman Tuhan: “Siapa yang mau meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman yang baik, Allah akan selalu membalasnya dengan berlipat ganda.

 

Tetapi dalam hal ini Abu Bakr tidak tahan mendengar jawaban itu. Ia marah. Ditamparnya muka Finhash itu keras-keras.

 

“Demi Allah,” kata Abu Bakr, “kalau tidak karena adanya perjanjian antara kami dengan kamu sekalian, pasti kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan.”

 

Kemudian Finhash mengadukan peristiwa ini kepada Nabi, tapi apa yang dikatakannya tentang Tuhan kepada Abu Bakr tidak diakuinya Dalam hal ini firman Tuhan menyebutkan: |

 

“Tuhan sudah mendengar kata-kata mereka yang menyebutkan: Tuhan tu miskin, dan kamilah yang kaya. Akan Kami tuliskan kata-katg mereka itu, begitu juga perbuatan mereka membunuh nabi-nabi dengan tidak sepantasnya, dan rasakanlah siksa yang membakar ini!”

 

Tidak cukup dengan maksud mau menimbulkan insiden antara Muhajirin dengan Anshar dan antara Aus dengan Khazraj dan tidak pula cukup dengan membujuk kaum Muslimin supaya meninggalkan agamanya dan kembali menjadi syirik tanpa mencoba-coba mengajak mereka menganut agama Yahudi, bahkan lebih dari itu orang Yahudi itu kini berusaha memperdaya Muhammad sendiri. Pendekar-pendekar mereka, pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin mereka datang menemuinya dengan mengatakan: “Tuhan sudah mengetahui keadaan kami, ke. dudukan kami. Kalau kami mengikut tuan, orang-orang Yahudi pun akan juga ikut dan mereka tidak akan menentang kami. Sebenarnya antara kami dengan beberapa kelompok golongan kami timbul permusuhan. Lalu kami datang ini minta keputusan tuan. Berilah kami keputusan. Kami akan ikut tuan dan percaya kepada tuan.”

 

Di sinilah firman Tuhan menyebutkan:

 

“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang sudah diturunkan Allah, dan jangan kauturuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka. Jangan sampai mereka memperdayakan kau dari beberapa peraturan yang sudah ditentukan Tuhan kepadamu. Tetapi kalau mereka menyimpang, ketahuilah, Tuhan akan menurunkan bencana kepada mereka karena beberapa dosa mereka sendiri juga. Sesungguhnya, kebanyakan manusia itu adalah orang-orang fasik. Adakah yang mereka kehendaki itu hukum jahiliah? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi mereka yang yakin?”?

 

Orang-orang Yahudi merasa sesak nafas terhadap Muhammad. Terpikir oleh mereka akan melakukan tipu-daya terhadapnya, akan meyakinkannya sampai ia keluar meninggalkan Medinah seperti yang terjadi karena gangguan-gangguan Quraisy dahulu sampai ia dan sahabatsahabatnya pun keluar meninggalkan Mekah.

 

Mengalihkan Kiblat ke Ka’bah

 

Lalu mereka mengatakan kepadanya, bahwa para rasul sebelum dia semua pergi ke Bait’I-Magdis dan memang di sana tempat tinggal mereka. Jika dia juga memang benar-benar seorang rasul, ia pun akan berbuat seperti mereka, dan kota Medinah ini akan dianggapnya sebagai kota perantara dalam hijrahnya dulu antara Mekah dengan Al-Masjid’I-Agsha. Akan tetapi, apa yang sudah mereka kemukakan kepadanya itu bagi Muhammad tidak perlu lama-lama berpikir untuk mengetahui, bahwa mereka sedang melakukan tipu-muslihat terhadap dirinya. Pada saat itu Tuhan mewahyukan kepadanya, menjelang tujuh belas bulan ia tinggal di Medinah, untuk menghadapkan kiblatnya ke al-Masjid’I-Haram, Rumah Ibrahim dan Ismail:

 

“Kami sebenarnya melihat wajahmu yang menengadah ke langit itu. Akan Kami hadapkan mukamu ke arah kiblat yang kausukai. Hadapkan mukamu ke arah al-Masjid’l-Hfaram. Di mana saja kau berada hadapkanJah mukamu ke arah itu.”

 

Orang-orang Yahudi ternyata menyesalkan kejadian itu. Sekali lagi mereka berusaha memperdayakannya, dengan mengatakan, bahwa mereka akan mau jadi pengikutnya kalau ia kembali ke kiblat semula. Di sini firman Tuhan menyebutkan:

 

“Dari orang-orang yang masih bodoh akan mengatakan: Apakah yang menyebabkan mereka berpaling dari kiblat yang dulu. Katakanlah: Timur dan Barat itu kepunyaan Allah. Dipimpin-Nya siapa yang disukai-Nya ke jalan yang lurus. Begitu juga Kami jadikan kamu suatu umat pertengahan, supaya kamu menjadi saksi kepada umat manusia, dan Rasul pun menjadi saksi kepadamu. Dan Kami jadikan kiblat yang biasa kaupergunakan itu, hanyalah untuk menguji siapa pula yang berbalik belakang. Dan itu memang berat, kecuali bagi mereka yang telah mendapat pimpinan Allah.”

 

Delegasi Nasrani Najran

 

Waktu sedang sengit-sengitnya terjadi polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu, delegasi pihak Nasrani dari Najran tiba di Medinah, terdiri dari enam puluh buah kendaraan. Di antara mereka terdapat orang-orang terkemuka, orang-orang yang sudah mempelajari dan menguasai seluk-beluk agama mereka. Pada waktu itu penguasapenguasa Rumawi yang juga menganut agama Nasrani sudah memberikan kedudukan, memberikan bantuan harta, memberikan bantuan tenaga serta membuatkan gereja-gereja dan kemakmuran buat kaum Nasrani Najran itu. Bolehjadi delegasi ini datang ke Medinah. hanya karena mereka sudah mengetahui adanya pertentangan antara Nabi dengan Orang-orang Yahudi, dengan harapan mereka akan dapat mengobarkan pertentangan itu lebih hebat sampai menjadi permusuhan terbuka. Dengan demikian orang-orang Nasrani yang berada di perbatasan Syam dan Yaman dapat membebaskan diri dari intrik-intrik Yahudi dan sikap permusuhan orang-orang Arab.

 

Dengan datangnya delegasi ini dan polemiknya dengan Nabi serta dibukanya kancah pertarungan teologis yang sengit antara Orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam maka ketiga agama Kitab ini sekarang berkumpul. Dari pihak Yahudi, mereka memang menolak samasekali: ajaran Isa dan Muhammad, yang dasarnya karena sikap keras kepala seperti yang sudah kita lihat. Mereka mendakwakan bahwa ‘Uzair itu putra Allah. Sedang pihak Nasrani, paham mereka adalah Trinitas dan menuhankan Isa: Sebaliknya Muhammad, ia mengajak orang kepada keesaan Tuhan dan kepada kesatuan rohani yang sudah diatur oleh alam, sejak awal yang ajali sampai pada akhir yang abadi — sejak dunia ini berkembang sampai ke akhir zaman. Orang-orang Yahudi dan Nasrani itu bertanya kepadanya, kepada siapa-siapa di antara para rasul itu ia beriman. Ia menjawab:

 

“Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan-Nya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isrnail, Ishaq, Ya’gub Serta anak-cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan Isa Serta apa yang telah diberikan Tuhan kepada nabi-nabi. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami pun patuh kepada-Nya.”

 

Ja sangat menyesalkan sikap mereka yang sifatnya hendak menimbulkan keraguan dengan cara bagaimanapun tentang keesaan Tuhan. Diingatkannya mereka, bahwa mereka telah mengubah kata-kata dari aslinya dalam kitab-kitab mereka itu dan bahwa mereka ternyata berlainan haluan dari apa yang telah ditempuh oleh para nabi dan rasul-rasul yang sudah mereka akui kenabiannya, dan bahwa apa yang diajarkan oleh Isa, oleh Musa dan oleh mereka yang sudah terdahulu, sedikit pun tidak berbeda dari apa yang diajarkannya sekarang. Apa yang telah diajarkan mereka Itu, adalah Kebenaran Abadi yang akan tampak jelas dan sederhana sekali bagi setiap orang yang berjiwa pantang tunduk selain kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia akan melihat Alam ini sebagai suatu kesatuan yang tak terpisah-pisah. Ia akan melihatnya dengan pandangan hati nurani yang lebih tinggi di atas segala kehendak dan tujuan yang bersifat sementara, di atas segala dorongan materi, lepas dari sifat tunduk buta kepada segala ilusi dan angan-angan orang awam, kepada yang diterimanya dari nenekmoyang mereka.

 

Pertemuan Tiga Agama

 

Di manakah ada suatu pertemuan yang hakekatnya lebih besar dari pertemuan yang kini dialami oleh Yathrib? Tiga agama bertemu di tempat ini, yang sampai sekarang saling mempengaruhi perkembangan dunia. Di tempat ini ketiganya bertemu untuk suatu tujuan dan cita-cita yang tinggi dan mulia. Ini bukanlah suatu pertemuan ekonomi, juga bukan dengan suatu tujuan materi, yang sampai saat ini dikejar-kejar dunia namun tiada juga berhasil — melainkan tujuannya adalah rohani semata-mata. Dalam hal Nasrani dan Yahudi ini, di belakangnya berdiri ambisi-ambisi politik serta keinginan-keinginan orang-orang beruang dan berkuasa. Sebaliknya Muhammad, tujuannya adalah rohaniah dan perikemanusiaan sematamata, yang jalannya telah ditunjukkan Tuhan kepadanya dengan bentuk kata yang dialamatkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta seluruh umat manusia. Dikatakan-Nya kepada mereka:

 

“Katakanlah: “Orang-orang Ahli Kitab! Marilah kita menerima suatu istilah yang sama antara kami dengan kamu, bahwa tak ada yang akan kita sembah selain Allah, dan bahwa kita takkan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, dan tidak pula antara kita saling mempertuhan satu sama lain, selain daripada Allah.” Tetapi kalau mereka menyimpang juga, katakanlah: ‘Saksikanlah, bahwa kami ini orang-orang Muslimin.”

 

Apa pula yang akan dapat dikatakan oleh orang-orang Yahudi, yang akan dapat dikatakan oleh orang-orang Nasrani atau oleh yang lain, mengenai ajakan ini: Jangan menyembah apa dan siapa pun selain Allah, jangan mempersekutukan-Nya dan jangan pula saling mempertuhan satu sama lain selain daripada Allah! Bagi jiwa yang benar-benar jujur, jiwa manusia yang telah mendapat kehormatan dengan adanya akal pikiran dan perasaan, tidak bisa lain tentu akan beriman kepada ini, tanpa yang lain. Akan tetapi, dalam arti hidup manusia, di samping segi rohani, juga ada segi materinya. Kelemahan ini yang membuat kita dapat menerima pihak lain menguasai kita, dengan jalan membeli nyawa kita, jiwa kita, kalbu kita. Ilusi ini yang telah membunuh kehormatan, perasaan serta cahaya hati nurani manusia. Segi materi ini, yang tergambar dalam bentuk harta dan kekayaan, dalam kepalsuan gelar-gelar dan pangkat, yang telah membuat Abu Haritha — salah seorang Nasrani Najran yang paling luas ilmu dan pengetahuannya — pernah mengeluarkan isi hatinya kepada salah seorang teman, bahwa ia yakin pada apa yang dikatakan Muhammad itu. Setelah temannya itu bertanya:

 

“Apa lagi yang masih merintangi kau menerima ajarannya, kalau kau sudah mengetahui ini?”

 

“Yang masih merintangi aku ialah apa yang sudah diberikan orang kepada kami,” jawabnya. “Kami sudah diberi kedudukan, diberi harta dan kehormatan. Dan yang mereka kehendaki supaya kami menentangnya.

 

Kalau kuterima ajakannya itu tentu semua yang kaulihat ini akan dicopo, dari kami.”

 

Kepada ajaran inilah orang-orang Yahudi dan Nasrani itu olep Muhammad diajak. Orang-orang Nasrani diajaknya saling berdoa, sedang dengan pihak Yahudi sudah ada perjanjian perdamaian. Dalan pada itu pihak Kristen telah pula mengadakan permusyawaratan antara sesama mereka. yang hasilnya kemudian diberitahukan kepadanya, bahwa mereka tidak akan saling berdoa dan akan membiarkannya ia dengan agamanya itu dan mereka kembali kepada agama mereka. Tetapi mereka juga melihat, betapa cenderungnya Muhammad menjalankan keadilan itu, yang juga diikuti jejaknya oleh sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu mereka minta supaya ada seorang yang dapat dikirimkan bersama-sama mereka guna mengadili masalah-masalah yang bagi mereka sendiri masih merupakan perselisihan pendapat. Dalam hal ini Muhammad mengutus Abu “Ubaida ibn’|-Jarrah guna memutuskan hal-hal yang diperselisihkan itu.

 

Quraisy di Mekah Menjadi Masalah |

 

Peradaban yang batu pertamanya telah diletakkan oleh Muhammad dengan ajaran-ajaran serta teladan yang diberikannya itu, kini sudah makin diperkuat lagi. Terpikir olehnya sekarang dan oleh sahabatsahabatnya dari kalangan Muhajirin, bagaimana seharusnya sikap dan keadaan mereka menghadapi Quraisy itu — suatu pemikiran yang tak pernah mereka lupakan sejak mereka hijrah dari Mekah. Motif yang mendorong mereka berpikir demikian banyak sekali. Di Mekah ini terletak Ka’bah, Rumah Ibrahim, tempat mereka dan semua orang Arab berziarah. Dapatkah mereka melepaskan diri dari kewajiban suci yang sejak dulu mereka jalankan sampai pada waktu mereka dikeluarkan dari Mekah? Di sana masih tinggal keluarga mereka yang mereka cintai dan yang mereka sayangkan bila masih tetap dalam kehidupan syirik. Di sana harta-benda dan perdagangan mereka ditinggalkan, yang telah disita oleh Quraisy tatkala mereka hijrah. Kemudian lagi, tatkala mereka memasuki Medinah, mereka diserang penyakit demam, sehingga bukan main penderitaan yang mereka alami. Mereka sembahyang pun sambil duduk. Makin keras mereka merindukan Mekah. Mereka telah dikeluarkan secara paksa dari Mekah, seolah mereka keluar sebagai pihak yang dikalahkan. Dan tidak pula menjadi adat orang-orang Quraisy dapat persabar terhadap ketidakadilan serupa itu atau menyerah tanpa mengadakan pembalasan. Di samping semua dorongan itu, dorongan naluri juga merangsang mereka, yakni nostalgia — rindu kampung halaman, kampung halaman tempat mereka dilahirkan, tempat mereka dibesarkan. Dengan bumi ini, dengan tanahnya yang lapang, gunungnya, airnya, dengan semua itulah pertama kali mereka bicara, pertama kali mereka bersahabat. Di atas secercah tanah inilah mereka dipupuk tatkala mereka masih kecil dan di sana pula tempat tinggal mereka sesudah mereka besar. Ke sana hati orang dan perasaannya terikat, dan untuk itu pula dengan segala kekuatan dan hartanya ia pertahankan. Dikorbankannya semua tenaga dan hidupnya. Sesudah mati, di tempat itu harapannya akan dikuburkan. Ia mau kembali ke dalam tanah tempat ia dijadikan itu.

 

Naluri inilah yang lebih keras mendorong hati kaum Muhajirin daripada motif-motif lain. Selalu terpikir oleh mereka bagaimana seharusnya sikap mereka itu menghadapi Quraisy. Tetapi yang sudah terang, sikap itu bukanlah sikap menyerah atau sikap menghambakan diri. Sudah cukup sabar mereka selama tiga belas tahun terus-menerus menanggung penderitaan. Agama tidak membenarkan adanya sikap lemah, putus asa atau menyerah bagi mereka yang sudah menanggung penderitaan dan sampai hijrah karenanya.

 

Apabila sikap permusuhan itu memang dibenci dan tidak dibenarkan, sebaliknya yang diperkuat dan dianjurkan adalah sikap persaudaraan, tapi di samping itu yang juga diharuskan ialah membela diri, membela kehormatan, membela kebebasan beragama dan membela tanah air. Untuk membela inilah Muhammad mengadakan Ikrar “Agaba yang kedua dengan penduduk Yathrib. Tetapi bagaimanakah kaum Muhajirin itu akan menunaikan kewajibannya kepada Tuhan, kepada Rumah Suci, kepada tanah: air, Mekah yang mereka cintai itu? Ke arah inilah politik Muhammad dan kaum Muslimin itu ditujukan, sampai selesai ia kelak menaklukkan Mekah, dan agama Allah serta seruan kebenaran pun akan terjunjung tinggi.

 

Politik Muslimin di Mekah — Satuan-satuan Pertama — Nabi Berangkat Sendiri — Pendapat Ahli-ahli Sejarah tentang Perang Pertama — Pendapat Kami tentang Satuan-satuan Ini — Menyudutkan Perdagangan Quraisy – Anshar dan Agresi — Watak Penduduk Medinah – Menakut-nakuti Yahudi — Intrik-intrik Yahudi — Islam dan Perang — Satuan Abdullah ibn Jahsy — Fitnah Lebih Besar dari Pembunuhan — Quran dan Perang — Berjuang untuk Allah —Manusia dan Akidahnya —Agama Kristen dan Perang – Orang-orang Suci dalam Islam dan Kristen — Islam Agama Kodrat Politik Muslimin di Mekah

 

SESUDAH hijrah beberapa bulan keadaan kaum Muslimin yang tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak Muhajirin ke Mekah terasa makin bertambah adanya. Terpikir oleh mereka siapa-siapa dan apa saja yang mereka tinggalkan itu, serta betapa pula pihak Quraisy menyiksa mereka dulu? Tetapi sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus mereka lakukan? Banyak penulis-penulis sejarah yang berpendapat, bahwa mereka — dan terutama Muhammad — telah memikirkan akan mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta mulai membuka permusuhan dan akan mengadakan perang. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa sejak mereka sampai di Medinah niat mengadakan perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja, yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah karena mereka masih sibuk menyiapkan tempat-tempat tinggal serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian mereka mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan Ikrar “Agaba kedua yang justru untuk memerangi Siapa saja. Dan sudah wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah membuat pihak Quraisy segera menyadari akibat perjanjian “Agaba itu. Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan Aus dan Khazraj tentang dia.

 

Satuan-satuan Pertama

 

Mereka memperkuat pendapat ini dengan apa yang telah terjadi delapan bulan sesudah Rasul dan para Muhajirin tinggal di Medinah, yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b. Abd’I-Muttalib ke tepi laut (Laut Merah) di bilangan “Ish dengan membawa 30 orang pasukan yang terdiri dari kalangan Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat Ini ia bertemu dengan Abu Jahl b. Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri dari pepduduk Mekah, dan bahwa Hamzah sudah siap akan memerangi Quraisy tapi lalu dilarai oleh Majdi b. “Amr yang bertindak sebagai pendamai kedua belah pihak. Masing-masing kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga ketika Muhammad mengi, rimkan “Ubaida bin’l-Harith dengan 60 orang pasukan terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka pergi menuju ke suatu tempat air dj Hijaz, yang disebut Wadi Rabigh. Di sini mereka bertemu dengan kelompok Quraisy yang terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka bubar juga tanpa suatu pertempuran, kecuali apa yang diceritakan orang, bahwa Sa’d b. Abi Waggash ketika itu telah melepas. kan anak panahnya, “dan itu adalah anak panah pertama dilepaskan dalam Islam.” Demikianlah ketika Sa’d bin Abi Waggash dikirim ke daerah Hijaz dengan membawa 8 orang Muhajirin menurut satu sumber atau 20 orang menurut sumber yang lain. Kemudian mereka kembali karena tidak bertemu siapa-siapa.

 

Nabi Berangkat Sendiri

 

Alasan mereka ini mereka perkuat lagi dengan menyebutkan, bahwa Nabi telah berangkat sendiri sesudah dua belas bulan tinggal di Medinah, dengan menyerahkan pimpinan kota kepada Sa’d b. “Ubada. Ia pergi ke Abwa’. Sesampainya di Waddan ia bermaksud mencari Quraisy dan Banu Dzamra. Tetapi Quraisy tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak Banu Dzamra, bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi mengepalai 200 orang dari Muhajirin dan Anshar — menuju Buwat dengan sasaran sebuah kafilah yang dipimpin oleh Umayya b. Khalaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta dikawal oleh 100 orang pasukan perang. Tapi juga sudah tidak bertemu lagi, sebab mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah yang sudah diratakan, dan bahwa dua atau tigs bulan sesudah ia kembali dari Buwat di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd’l-Asad, ia beyangkat lagi memimpin kaum Muslimin yang terdiri dari dua ratus orang lebih sampai di “Usyaira di pedalaman Yanbu’. Ia tinggal di sana selam3 bulan Jumadil Awal dan beberapa malam dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623 M.) sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan lewat. Tetapi ternyata mereka sudah tidak ada. Dalam perjalanan ini ia berhasil dapat mengadakan perjanjian perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu Dzamra: dan bahwa begitu ia kembali dan akan tinggal selama sepuluh hari lagi di Medinah, tiba-tiba Kurz b. Jabir al-Fihri, orang yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah dan. Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta dan kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai ia di suatu lembah yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi Kurz sudah menghilang.

 

Inilah yang disebut oleh penulis-penulis sejarah Nabi itu dengan sebutan Perang Badr Pertama.

 

Pendapat Ahli-ahli Sejarah tentang Perang Pertama

 

Bukankah semua peristiwa ini sudah dapat dijadikan bukti, bahwa kaum Muhajirin — dan terutama Muhammad — memang sudah memikirkan akan membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya — menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu — ini membuktikan, bahwa dengan mengirimkan satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:

 

Pertama, mengadakan pencegatan terhadap kafilah-kafilah Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari sana dalam perjalanan musim panas, dengan sedapat mungkin merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang dagangan yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.

 

Kedua, mengambil jalur kafilah Quraisy dalam perjalanannya ke Syam itu dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian perdamaian serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang jalan Medinah-Pantai Laut Merah. Hal ini akan mempermudah pihak Muhajirin melakukan serangan terhadap kafilah-kafilah Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat melindungi mereka dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan yang akan mencegah kaum Muslimin — selaku pihak yang berkuasa dan kuat — bertindak terhadap orang-orang dan harta-benda mereka itu. Adanya Satuan-satuan yang oleh Nabi a.s. pimpinannya diserahkan masing-masing kepada Hamzah, “Ubaida bin’l-Harith dan Sa’d b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan yang telah diadakan dengan Banu Dzamra, Banu Mudlij, dan lain-lain, memperkuat maksud tujuan kedua tadi, begitu juga pengambilan jalan penduduk Mekah ke Syam membuktikan pula sebagai tujuan kaum Muslimin itu.

 

Pendapat Kami tentang Satuan-satuan Ini

 

Bahwa dengan adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai enam bulan Sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti oleh pihak Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini akan membuat orang jadi sangsi dan harus berpikir lagi. Pasukan Hamzah tidak lebih dari 30 orang dari Muhajirin, pasukan “Ubaida tidak lebih dari 60 orang, demikian juga pasukan Sa’g yang menurut suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain 29 orang. Sedang petugas-petugas yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad tinggal di Medinah dan mulai mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah setempat dan dengan daerah-daerah yang berdekatan, pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan perlengkapannya. Baik Hamzah, “Ubaida ataupun Sa’d, betapapun keberanian mereka itu sebagai kepala satuan. satuan Muhajirin, namun persiapan yang ada pada mereka tidak cukup memberi semangat untuk melakukan perang. Bagi mereka ini semua, kiranya cukup dengan menakut-nakuti Quraisy saja, tanpa mengadakan perang, kecuali apa yang dilakukan orang tentang anak panah, yang pernah dilepaskan Sa’d itu.

 

Menyudutkan Perdagangan Quraisy

 

Di samping itu kafilah-kafilah Quraisy ini dikawal oleh penduduk Mekah yang mempunyai hubungan darah dan pertalian kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah bagi mereka itu mau saling bunuh, atau satu sama lain mau melakukan balas-dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah bersama-sama ke dalam suatu perang saudara, suatu hal yang selama tiga belas tahun terus-menerus, dari mulai kerasulan Muhammad sampai pada waktu hijrahnya, kaum Musllmin dan orang-orang pagan di Mekah sudah mampu menghindarinya. Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar “Agaba dulu itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan Khazraj sama-sama berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak pernah memberikan janji kepadanya atau kepada siapa pun dari sahabat-sahabatnya bahwa mereka akan melakukan tindakan permusuhan (agresi).

 

Sungguhpun sudah begitu, memang tidak mudah orang akan menyerah begitu saja kepada ahli-ahli sejarah, yang dalam penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan dan perjalanan-perjalanan yang mula-mula itu tujuannya memang sengaja hendak melakukan perang. Oleh karena itu, dalam hal ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat diterima akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu didasarkan pada prinsip-prinsip persetujuan dan saling pengertian dengan pelbagai macam kabilah, di satu pihak guna menjamin adanya kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna menjamin adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.

 

Menurut hemat saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini tidak lan maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang telah terpaksa keluar dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan mereka dalam perjalanannya ke Syam.

 

Sebenarnya perdagangan yang dikirimkan dari Mekah dan Ta’if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian Selatan, adalah perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan seharga lebih dari 50.000 dinar. Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira 160.000 pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah pasti bahwa bahaya yang mengancam perdagangan ini datangnya dari anak negeri sendiri yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini telah membuatnya berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling pengertian dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan melakukan dakwah agama serta kebebasan memasuki Mekah dan melakukan tawaf di Ka’bah. Tetapi saling pengertian demikian ini takkan ada kalau Quraisy tidak dapat memperhitungkan kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang kini akan mencegat dan menutup jalan lalulintas perdagangannya.

 

Inilah yang menurut penafsiran saya yang menyebabkan Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilarai oleh Majdi b. “Amr. Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga ini pula yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi — setelah melihat kecongkakan Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin — ingin mengadakan perdamaian dengan kabilahkabilah yang tinggal di sepanjang rute perdagangan itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu akan sampai juga kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali memikirkan perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.

 

Anshar dan Agresi

 

Pendapat ini kuat sekali landasannya, yakni bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan “Usyaira itu tidak sedikit kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya. Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk mempertahankannya, bukan untuk melakukan serangan bersama-sama. Hal ini akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr, tatkala Muhammad kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga disetujui oleh orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut memerangi penduduk Mekah. Bagi keduanya alasan berperang yang akan dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu sama lain, tidak ada. Meskipun dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang diadakan Muhammad guna memperkuat kedudukan Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu merupakan suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha ke arah itu.

 

Jadi pendapat yang mengatakan bahwa keberangkatan satuan-satuan Hamzah, “Ubaida bin’I-Harith dan Sa’d bin Abi Waggash hanya untuk memerangi Quraisy, dan menamakannya sebagai suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa’, Buwat dan “Usyaira tidak lain dari suatu penyerbuan, adalah sangat dibuat-buat, yang pada dasarnya sudah tertolak oleh keberatan-keberatan yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis riwayat hidup Muhammad yang telah mengambil alih pendapat tersebut tidak lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri hidup Muhammad Itu baru pada akhir-akhir abad kedua Hijrah, dan bahwa mereka sangat terpengaruh oleh adanya peperangan-peperangan yang terjadi kemudian sesudah Perang Besar Badr. Segala bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka anggap sebagai peperangan, yang dikaitkan pula pada peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.

 

Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis yang memang sudah mengetahui adanya sanggahan demikian ini, meskipun tidak mereka sebutkan dalam buku-buku mereka itu. Adapun yang membuat kita menduga mereka sudah mengetahui hal ini — di samping usaha mereka menyesuaikan diri dengan ahli-ahli sejarah dari kalangan Islam mengenai tujuan Muhajirin dan terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula mereka tinggal di Medinah -ialah karena mereka sudah menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini tujuannya tidak lain ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan bahwa kebiasaan merampok sudah menjadi watak orang-orang pedalaman dan bahwa penduduk Medinah hanya tertarik pada barang rampasan dalam mengikuti Muhammad dengan melanggar janji mereka di “Agaba.

 

Watak Penduduk Medinah

 

Ini adalah pendapat yang terbalik, sebab penduduk Medinah – seperti juga penduduk Mekah — bukanlah orang-orang pedalaman yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Di samping itu sesuai dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian, mereka pun lebih suka tinggal menetap dan samasekali mereka tidak tertarik melakukan perang kecuali jika ada alasan yang luar biasa.

 

Sebaliknya kaum Muhajirin, mereka berhak membebaskan hartabenda mereka dari tangan Quraisy. Tetapi sungguhpun begitu mereka bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya peristiwa Badr. Juga bukan itu pula yang telah mendorong dikirimnya satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi yang mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang ini memang belum diundangkan dalam Islam, sedang Muhammad dan sahabat-sahabatnya bertindak bukanlah dengan tujuan ala pedalaman (badui) seperti diduga oleh kaum Orientalis, melainkan apa yang sudah berlaku dan dilaksanakan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya ada kebebasan berdakwah sebagaimana mestinya. Nanti penjelasan dan pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak lebih jelas di depan kita, bahwa tujuan Muhammad dengan perjanjian-perjanjian itu ialah guna memperkuat Medinah, supaya jangan ada jalan bagi pihak Quraisy dalam mengejar kehendaknya itu, atau mencoba melakukan kekerasan terhadap kaum Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika hendak mengembalikan orang-orang Islam dari Abisinia. Dalam pada itu ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah untuk agama Allah tetap dijamin, dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah bagi Allah.

 

Menakut-nakuti Yahudi

 

Di balik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang Yahudi yang tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa ketika Muhammad baru sampai di Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak merangkulnya. Akan tetapi setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan bersetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksang. kan upacara dan kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi Nabi dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam melakukan permusuhan ini mereka tidak berterus-terang karena dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka akan jadi kacau bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk Medinah, atau karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di kalangan orang-orang Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan Anshar, membangunkan kembali ke. dengkian lama antara Aus dan Khazraj dengan menyebut-nyebut sejarah Bu’ath dan cerita yang terdapat dalam persajakan.

 

Intrik-intrik Yahudi

 

Kaum Muslimin sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai mereka dimasuk. kan ke dalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara paksa. Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka. Dan akhirnya Nabi a.s. menolak mereka sesudah diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan bukti. Sudah tentu pula apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha mengobarkan fitnah. Dari segi istilah kecermatan diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya mereka berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan dapat menumpas setiap fitnah yang ada, membasmi jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke akar-akarnya. Cara yang paling baik untuk membuat mereka berasa ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada bentrokan-bentrokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga diinginkan oleh pihak Quraisy.

 

Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak cukup hanya dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal belum terjadi suatu kontak senjata. Kemudian berhentinya pertempuran itu pun dengan terhormat, dengan suatu siasat yang sudah teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud mencapai tujuan-tujuan tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan dari situ segi guna menakut-nakuti pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke arah persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh dalam menjalankan dakwah agama serta upacaraupacara keagamaan, yang sebenarnya memang tidak perlu sampai terjadi perang.

 

Islam dan Perang

 

Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Islam menolak perang dalam hal membela diri dan membela keyakinan terhadap siapa saja yang hendak memperdayakan. Sekali-kali tidak. Bahkan Islam mewajibkan pembelaan demikian ini. Tetapi artinya, Islam masa itu, juga sekarang dan demikian pula seterusnya, ia menolak perang permusuhan.

 

“Dan janganlah kamu melakukan pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran.”

 

Apabila kepada Muhajirin pada waktu itu dibenarkan menuntut hartabenda mereka yang telah ditahan oleh Quraisy ketika mereka hijrah, maka membela orang-orang beriman yang mau diperdaya dari agama mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk maksud inilah pertama sekali hukum perang itu diundangkan.

 

Satuan Abdullah ibn Jahsy

 

Bukti terhadap hal ini ialah adanya ayat-ayat yang diturunkan sehubungan dengan satuan Abdullah ibn Jahsy. Dalam bulan Rajab tahun itu ia dikirimkan oleh Rasulullah bersama-sama beberapa orang Muhajirin, dan sepucuk surat diberikan kepadanya dengan perintah untuk tidak dibuka sebelum mencapai dua hari perjalanan. Ia menjalankan perintah itu. Kawan-kawannya pun tak ada yang dipaksanya. Dua hari kemudian Abdullah membuka surat itu, yang berbunyi: “Kalau sudah kaubaca surat ini, teruskan perjalananmu sampai ke Nakhla, (antara Mekah dan Tarif dan awasi keadaan mereka. Kemudian beritahukan kepada kami.”

 

Disampaikannya hal ini kepada kawan-kawannya dan bahwa dia tidak memaksa siapa pun. Kemudian mereka semua berangkat meneruskan perjalanan, kecuali Sa’d b. Abi Waqqash (Banu Zuhra) dan “Utba b. Ghazwan yang ketika itu sedang pergi mencari untanya yang sesat tapi oleh pihak Quraisy mereka lalu ditawan.

 

Sekarang Abdullah dan rombongannya meneruskan perjalanan Sampai ke Nakhla. Di tempat inilah mereka bertemu dengan kafilah Quraisy yang dipimpin oleh “Amr bin’l-Hadzrami dengan membawa barang-barang dagangan. Waktu itu akhir Rajab. Teringat oleh Abdullah b. Jahsy dan rombongannya dari kalangan Muhajirin akan perbuatan Quraisy dahulu serta harta-benda mereka yang telah dirampas. Mereka berunding. “Kalau kita biarkan mereka malam ini mereka akan sampai di Mekah dengan bersenang-senang. Tapi kalau mereka kita gempur berarti kita menyerang dalam bulan suci,”! kata mereka.

 

Mereka maju-mundur, masih takut-takut akan maju. Tetapi kemudian mereka memberanikan diri dan sepakat akan bertempur, siapa saja yang mampu dan mengambil apa saja yang ada pada mereka. Salah Seorang anggota rombongan itu melepaskan panahnya dan mengenai “Amr bin’. Hadzrami yang kemudian tewas. Kaum Muslimin menawan dua orang dari Quraisy.

 

Fimah Lebih Besar dari Pembunuhan

 

Sesampainya di Medinah Abdullah b. Jahsy membawa kafilah dan kedua orang tawanannya itu kepada Rasul, dan kelima barang rampasan itu diserahkan mereka kepada Muhammad. Tetapi setelah melihat mereka Ini ia berkata: “Aku tidak memerintahkan kamu berperang dalam bulan suci.”

 

Kafilah dan kedua tawanan itu ditolaknya. Samasekali ia tidak may menerima. Abdullah b. Jahsy dan teman-temannya merasa kebingungan sekali. Teman-teman sejawat mereka dari kalangan Muslimin pun sangat menyalahkan tindakan mereka itu.

 

Kesempatan ini oleh Quraisy sekarang dipergunakan. Disebarkannya provokasi ke segenap penjuru, bahwa Muhammad dan kawan-kawannya telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah, merampas harta-benda dan menawan orang. Karena itu orang-orang Islam yang berada di Mekah pun lalu menjawab, bahwa saudara-saudara mereka seagama yang kini hijrah ke Medinah melakukan itu dalam bulan Sya’ban. Lalu datang orang-orang Yahudi turut mengobarkan api fitnah. Ketika itulah datang firman Tuhan:

 

“Mereka bertanya kepadamu tentang perang dalam bulan suci. Katakanlah: “Perang selama itu adalah soal (pelanggaran) besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah dan mengingkari-Nya, menghalangi orang memasuki Mesjid Suci dan mengusir orang dari sana, bagi Allah lebih besar (pelanggarannya). Fitnah itu lebih besar dari pembunuhan. Dan mereka akan tetap memerangi kamu, sampai mereka berhasil memalingkan kamu dari agamamu, kalau mereka sanggup.”

 

Dengan adanya keterangan Quran dalam soal ini hati kaum Muslimin merasa lega kembali. Penyelesaian kafilah dan kedua orang tawanan itu kini di tangan Nabi, yang kemudian oleh Quraisy akan ditebus kembali. Tetapi kata Nabi:

 

“Kami takkan menerima penebusan kamu, sebelum kedua sahabat kami kembali — yakni Sa’d b. Abi Waggash dan “Utba ibn Ghazwan. Kami kuatirkan mereka di tangan kamu. Kalau kamu bunuh mereka, kawankawanmu ini pun akan kami bunuh.”

 

Setelah Sa’d dan “Utba kembali, Nabi mau menerima tebusan kedua tawanan itu. Tapi salah seorang dari mereka, yaitu Al-Hakam b. Kaisan masuk Islam dan tinggal di Medinah, sedang yang seorang lagi kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya.

 

Pasukan Abdullah b. Jahsy ini dan ayat suci yang diturunkan karenanya itu, patut sekali kita pelajari. Menurut hemat kami, ini adalah suatu persimpangan jalan dalam politik Islam. Kejadian ini merupakan peristiwa baru, yang memperlihatkan adanya jiwa yang kuat dan luhur, suatu kekuatan yang bersifat insani, meliputi seluk-beluk kehidupan material, moral dan spiritual. Ia begitu kuat dan luhur dalam tujuannya hendak mencapai kesempurnaan. Quran memberikan jawaban kepada mereka yang ikut bertanya tentang perang dalam bulan suci: Adalah itu termasuk pelanggaran-pelanggaran besar, yang diiakan bahwa itu memang masalah besar. Tetapi ada yang lebih besar dari itu. Menghalangi orang dari jalan Allah serta mengingkari-Nya adalah lebih besar dari perang dan pembunuhan dalam bulan suci, dan memaksa orang meninggalkan agamanya dengan ancaman, dengan bujukan atau kekerasan adalah lebih besar daripada membunuh orang dalam bulan suci atau bukan dalam bulan suci. Orang-orang musyrik dan Quraisy yang telah menyalahkan kaum Muslimin karena mereka melakukan perang dalam bulan suci mereka akan selalu memerangi umat Islam supaya berpaling dari agamanya bila mereka sanggup. Apabila pihak Quraisy dan orang-orang musyrik itu semua melakukan pelanggaran-pelanggaran ini, menghalangi orang dari jalan Allah dan mengingkari-Nya, apabila mereka ternyata mengusir orang dari Mesjid Suci, memperdayakan orang dari agamanya, maka jangan disalahkan orang yang menjadi korban penindasan dan pelanggaran itu bila ia juga memerangi mereka dalam bulan suci. Tetapi bagi orang yang tidak mengalami beban penderitaan ini, melakukan perang dalam bulan suci memang suatu pelanggaran.

 

Quran dan Perang

 

Fitnah itu lebih besar dari pembunuhan. Memang benar. Bahkan barangsiapa melihat orang lain mencoba membujuk atau memfitnah orang dari agamanya atau menghalangi dari jalan Allah ia harus berjuang demy Allah melawan fitnah itu sampai agama dapat diselamatkan. Di Sinilah kalangan Orientalis dan misi-misi penginjil itu mengangkat suara keras, keras: Lihatlah tuan-tuan! Muhammad dan agamanya itu menganjurkan orang berperang dan berjuang demi Allah (aljihad fi sabilillah) atay memaksa orang masuk Islam dengan pedang. Bukankah ini yang hamanya fanatik? Sedang agama Kristen tidak mengenal adanya pepe, tangan dan membenci perang. Sebaliknya malah menganjurkan toleransi memperkuat tali persaudaraan antara sesama manusia, untuk Tuhan dan untuk Jesus.

 

Sebenarnya saya tidak ingin berdebat dengan mereka, kalau Saya mengutip sebuah kalimat saja dalam Injil: “Bukannya Aku datang membawa keamanan, melainkan pedang……….” dan seterusnya juga tidak tentang arti yang terkandung dalam kalimat tersebut. Umat Islam mengakui agama Isa itu seperti sudah disebutkan dalam Quran. Tetapi yang terutama perlu saya sampaikan ialah menjawab kata-kata mereka: Muhammad dan agamanya menganjurkan perang dan memaksa Orang masuk Islam dengan pedang. Ini adalah suatu kebohongan yang ditolak oleh Quran:

 

“Tak ada pemaksaan dalam agama. Sudah jelas mana jalan yang benar, mana yang salah.”’

 

“Berjuanglah kamu demi Allah melawan mereka yang memerangi kamu. Tetapi janganlah kamu melakukan pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran.”

 

Dan masih banyak ayat-ayat lain selain dari kedua ayat suci tersebut.

 

Berjuang untuk Allah

 

Dalam arti yang sebenarnya, berjuang demi Allah, ialah seperti disebutkan dalam ayat-ayat yang kita kutip tadi dan yang turun sehubungan dengan pasukan Abdullah b. Jahsy, yaitu memerangi mereka yang membuat fitnah dan membujuk si Muslim dari agamanya atau mengalanginya dari jalan Allah. Perang dalam arti untuk kebebasan berdakwah agama. Atau dengan kata lain menurut bahasa sekarang: Mempertahankan idea dengan senjata yang dipergunakan oleh pihak yang memerangi idea itu. Apabila ada seseorang yang hendak membujuk orang lain dengan jalan propaganda dan logika tanpa memaksanya dengan atau tanpa kekerasan melalui cara-cara suap-menyuap atau penyiksaan dengan maksud supaya orang itu meninggalkan ideanya — maka sudah tentu ia akan menghadapi orang itu dengan jalan menggugurkan argumen dan logikanya tadi.

 

Manusia dan Akidahnya

 

Tetapi, apabila dalam usahanya menghadapi orang dan ideanya itu, ia menggunakan kekerasan senjata maka kekerasan senjata itu pun harus dilawan dengan kekerasan senjata pula, bila memang mampu ia berbuat begitu. Tidak lain sebabnya ialah, karena harga diri manusia itu tersimpul hanya dalam sepatah kata saja, yaitu: akidahnya. Akidah itu lebih berharga — bagi orang yang mengenal arti kemanusiaan -daripada harta, daripada kekayaan, kekuasaan dan daripada hidupnya sendiri, hidup materi yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan hewan, sama-sama makan dan minum, mengalami pertumbuhan tubuh dan enersi. Akidah adalah suatu komunikasi moral antara manusia dengan manusia, dan komunikasi rohani antara manusia dengan Tuhan. Nasib inilah yang telah memberikan kelebihan kepada manusia di atas makhluk lain dalam hidup ini, yang membuat dia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. ia mengutamakan orang yang hidup sengsara, hidup miskin dan tidak punya, daripada keluarganya sendiri, meskipun keluarganya itu sedang dalam kekurangan. Ia mengadakan komunikasi dengan alam semesta supaya bekerja secara tekun, supaya dapat mengantarkannya kepada kesempurnaan hidup seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya.

 

Apabila akidah yang semacam ini yang ada pada manusia, lalu ada orang lain yang mau membuat fitnah, mau menceraikannya, sedang dia tak dapat membela diri, ia harus berbuat seperti dilakukan orang-orang Islam dulu sebelum mereka hijrah ke Medinah. Dideritanya segala perbuatan kejam dan serba kekerasan itu, dihadapinya segala penghinaan dan ketidakadilan, dengan hati yang tabah. Rasa lapar dan serba kekurangan yang bagaimanapun juga tidak sampai menghalangi semangatnya berperang terus pada akidahnya.

 

Inilah yang telah dilakukan oleh orang-orang Islam dahulu, dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen dahulu.

 

Akan tetapi mereka yang tabah mempertahankan akidah itu bukanlah orang-orang kebanyakan. Mereka terdiri dari manusia-manusia terpilih, yang telah diberi kekuatan iman oleh Tuhan, sehingga karenanya akan terasa kecil segala siksaan dan kekejaman yang dialaminya, sehingga dapat ia meratakan gunung-gunung, dan apa yang dikatakannya kepada gunung Supaya pindah dari tempatnya, gunung itu akan pindah – seperti kata Injil juga. Tetapi jika orang menangkis fitnah dengan senjata yang dipakai membuat fitnah itu dan dapat menolak pihak yang akan menghalanginya dari jalan Allah dengan cara yang dipakainya itu pula, maka orang itu harus melakukannya. Kalau tidak ini berarti, akidahnya masih goyah, imannya pun masih lemah.

 

Inikah yang telah dilakukan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, Setelah keadaannya di Medinah mulai stabil. Dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen setelah kekuasaan mereka di Rumawi dan Rumawi Timur mulai stabil, dan sesudah hati maharaja-maharaja, Rumawi itu mulai pula lunak terhadap agama Kristen.

 

Agama Kristen dan Perang

 

Misi-misi penginjil itu berkata: Tetapi jiwa Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari peperangan. Di sini saya tidak bermaksud membahas benar tidaknya kata-kata itu. Akan tetapi di hadapan kita sejarah Kristen adalah saksi yang jujur, juga di hadapan kita sejarah Islam adalah saksi yang jujur pula. Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa kita sekarang ini seluruh penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama Almasih. Telah dilumuri oleh Rumawi, dilumuri oleh bangsa-bangsa Eropa semua. Perang-perang Salib terjadi karena dikobarkan oleh orang, orang Kristen, bukan oleh orang Islam. Mengalirnya pasukan-pasukan tentara sejak ratusan tahun dari Eropa menuju daerah-daerah Islam dj Timur, adalah atas nama Salib: peperangan, pembunuhan, pertumpahan darah. Dan setiap kali, paus-paus sebagai pengganti Jesus, memberi berkah dan restu kepada pasukan-pasukan tentara itu, yang bergerak maju hendak menguasai Bait’I-Magdis (Yerusalem) dan tempat-tempat suci Kristen lainnya.

 

Adakah barangkali paus-paus itu semua orang-orang yang sudah menyimpang dari agamanya (heretik) ataukah kekristenan mereka itu yang palsu? Ataukah juga karena mereka itu pembual-pembual yang bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen secara mutlak menjauhkan diri dari perang? Atau akan berkata: Itu adalah Abad Pertengahan, abad kegelapan: janganlah agama Kristen juga yang diprotes. Kalau itu juga yang kadang mereka katakan, maka abad kedua puluh ini, masa kita hidup sekarang ini pun, yang biasa disebut abad kemajuan dan humanisma – toh dunia juga telah mengalami nasib seperti yang dialami oleh Abad-abad Pertengahan yang gelap itu. Sebagai wakil Sekutu — Inggris, Prancis, Itali, Rumania dan Amerika — Lord Allenby berkata di Yerusalem, pada penutup Perang Dunia Pertama, ketika kota itu didudukinya dalam tahun 1918: Sekarang Perang Salib sudah selesai.”

 

Orang-orang Suci dalam Islam dan Kristen

 

apabila di kalangan orang-orang Kristen ada orang-orang suci yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti persaudaraan insani mereka telah mencapai puncaknya, bahkan persaudaraannya dengam unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada orang-orang suci, yang jiwanya sudah begitu luhur. Mereka mengadakan kan komunikasi dalam arti persaudaraan, kasih-sayang dan emanasi dengan alam semesta ini, dengan jiwa yang sudah sarat oleh pengertian kesatuan wujud. Tetapi orang-orang suci itu — baik dari kalangan Kristen atau Islam — kalaupun mereka sudah mencerminkan Cita-cita yang luhur, pamun mereka tidak menerjemahkan kehidupan insani dalam perkempangannya yang terus-menerus serta dalam perjuangannya mencapai kesempurnaan, yakni kesempurnaan yang hendak kita coba mencerminkannya. Lalu pikiran kita terhenti, imajinasi kita terhenti, tanpa dapat kit3 pahami seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan itu kita sudah cukup mengambil risiko sebagai pendahuluan usaha kita ke arah itu.

 

Dan kini sudah lampau masa seribu tiga ratus lima puluh tujuh tahur sejak hijrahnya Nabi dari Mekah ke Yathrib itu. Tetapi meskipun begitu dalam berbagai zaman manusia makin hebat juga berlomba-lomba melakukan perang, membuat senjata-senjata jahanam dan fatal. Kata-kata mencegah perang, penghapusan persenjataan dan menunjuk badan arbitrasi, tidak lebih dari kata-kata yang biasa diucapkan pada setiap selesai perang, waktu bangsa-bangsa sedang mengalami kehancuran. Atau ini hanya serangkaian propaganda yang dilontarkan ke tengah-tengah kehidupan oleh orang-orang yang sampai sekarang belum mampu — dan siapa tahu barangkali takkan pernah mampu — mewujudkan hal ini, mewujudkan perdamaian yang sebenarnya, perdamaian dengan rasa persaudaraan dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian bersenjata, sebagai lambang perang yang akan mengantarkan kita kepada kehancuran.

 

Islam Agama Kodrat

 

Islam bukan agama ilusi dan khayal, juga bukan agama yang terbatas mengajak individu saja mencapai kesempurnaan, tapi Islam adalah agama kodrat (fitrat), yang dengan itu seluruh umat manusia, dalam arti individu dan masyarakat, dikodratkan. Ia adalah agama yang didasarkan pada kebenaran, kebebasan dan tata-tertib. Dan oleh karena perang adalah kodrat manusia juga, maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang perang dalam jiwa kita lalu menempatkannya ke dalam batasbatas kemampuan manusia yang maksimal, adalah cara yang mungkin dapat dicapai oleh kodrat manusia itu, dan yang akan melahirkan kelangsungan evolusi hidup umat manusia dalam mencapai kebaikan dan kesempurnaannya.

 

Koreksi atas konsepsi perang ini yang paling baik ialah hendaknya jangan sampai terjadi perang kecuali untuk membela diri, membela keyakinan dan kebebasan berpikir serta berusaha ke arah itu. Hendaknya rasa harga diri umat manusia secara integral benar-benar dipelihara.

 

Inilah yang sudah menjadi ketentuan Islam seperti yang Sudah dilihat dan yang akan kita lihat nanti. Ini pulalah yang digariskan Oleh Quran seperti yang sudah dan yang akan kita kemukakan kepada Pembaca mengenai peristiwa-peristiwa serta hubungannya maka Quran itu diturunkan.

 

Perdagangan Abu Sufyan — Muslimin Berangkat ke Badr – Utusan Abu Sufyan kepada Quraisy – Dendam Quraisy dan Kinana – Perjalanan Tentara Muslimin – Quraisy Berangkat dari Medinah — Anshar — Mengamat-amati Berita – Abu Sufyan Meloloskan Diri – Muslimin Menuju Badr — Cetusan Pertama — Berhadap-hadapan – Doa Muhammad – Kekuatan Moril – Muhammad di Tengah-tengah Gelanggang – Muslimin Tidak Asal Membunuh -Selisih Pendapat tentang Rampasan – Pembagian Merata — Dua Orang Tawanan Terbunuh – Berita Kemenangan di Medinah – Orang-orang Yahudi dan Orang-orang Musyrik di Medinah — Tawanantawanan Badr — Pendapat Abu Bakr dan Umar — Polemik Orientalis — Revolusi terhadap Paganisma — Penyembelihan Saint Bartholomew – Berita di Mekah – Kematian Abu Lahab – Penebusan Para Tawanan – Quraisy Menangisi Mayatnya — Hindun dan Abu Sufyan

 

SATUAN Abdullah b. Jahsy merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Islam. Ketika itulah Wagid b. Abdullah at-Tamimi melepaskan anak panahnya dan mengenai “Amr bin’I-Hadzrami hingga ia tewas. Ini adalah darah pertama ditumpahkan oleh Muslimin. Karena itu pula ayat yang kita sebutkan tadi turun. Sebagai kelanjutannya maka diundangkan perang terhadap mereka yang mau memfitnah dan mengalihkan kaum Muslimin dari agamanya serta menghalangi mereka dari jalan Allah. Juga satuan ini merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Muslimin terhadap Quraisy, karena dengan ini keduanya dapat berhadapan sama kuat. Sesudah itu kaum Muslimin jadi berpikir lebih sungguh-sungguh lagi dalam membebaskan harta-benda mereka dalam menghadapi Quraisy. Di samping itu pihak Quraisy berusaha menghasut seluruh Jazirah Arab, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya melaku, kan pembunuhan dalam bulan suci. Muhammad pun yakin sudah, bahwa harapan akan dapat bekerja sama dengan jalan persetujuan yang sebaik, baiknya dengan mereka sudah tak ada lagi.

 

Perdagangan Abu Sufyan

 

Pada permulaan musim rontok tahun kedua Hijrah, Abu Sufyan berangkat membawa perdagangan yang cukup besar, menuju Syam, Perjalanan dagang inilah yang ingin dicegat oleh orang-orang Islam ketika Nabi s.a.w. dulu pergi ke “Usyaira. Tetapi tatkala mereka sampai kafilah Abu Sufyan sudah lewat dua hari lebih dulu sebelum ia tiba di tempat tersebut. Sekarang kaum Muslimin bertekad menunggu mereka kembali. Sementara Muhammad menantikan mereka kembali dari Syam itu, dikirimnya Talha b. “Ubaidillah dan Sa’id b. Zaid menunggu berita-berita, Mereka berdua berangkat, dan sesampainya di tempat Kasyd al-Juhani di bilangan Haura”, mereka bersembunyi, menunggu hingga kafilah itu lewat. Kemudian cepat-cepat mereka berdua menemui Muhammad guna memberitahukan keadaan mereka.

 

Muslimin Berangkat ke Badr

 

Tetapi belum lagi selesai Muhammad menunggu kedatangan kedua utusan itu dari Haura’ beserta kabar tentang kafilah yang akan dibawanya, lebih dulu sudah tersebar berita tentang adanya sebuah rombongan kafilah besar, dan bahwa seluruh penduduk Mekah punya saham di situ. Tak ada penduduk laki-laki atau wanita yang dapat memberikan sahamnya yang tidak ikut serta, sehingga seluruhnya mencapai jumlah 50.000 dinar. Ia kuatir, kalau masih menunggu lagi kafilah itu kembali ke Mekah, mereka akan menghilang seperti ketika berangkat ke Syam dulu. Oleh karena itu. ia segera mengutus kaum Muslimin dengan mengatakan:

 

“Ini adalah kafilah Quraisy. Berangkatlah kamu ke sana. Mudahmudahan Tuhan memberikan kelebihan kepada kamu.”

 

Ada orang yang segera menyambutnya dan ada pula yang masih merasa berat-berat. Dan ada lagi orang-orang yang belum Islam ingin bergabung karena mereka hanya ingin mendapatkan harta rampasannya saja. Tetapi Muhammad menolak penggabungan mereka ini sebelum mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Utusan Abu Sufyan kepada Quraisy

 

Sementara itu Abu Sufyan sudah mengetahui pula akan kepergian Muhammad yang akan mencegat kafilahnya dalam perjalanan ke Syam. Ia kuatir kalau-kalau kaum Muslimin akan mencegatnya bila ia kembali dengan membawa laba perdagangan. Sekarang ia tinggal menunggu berita tentang mereka itu, termasuk Kasyd Juhani yang pernah dikunjungi oleh kedua utusan Muhammad di Jaura’ itu, di antara orang yang ditanyainya. Sekalipun Juhani belum mempercayai berita tersebut, tapi berita tentang Muhammad, kaum Muhajirin dan Anshar sudah sampai juga kepadanya seperti tersebarnya berita itu dulu kepada Muhammad. Ia merasa kuatir juga kalau dari pihak Quraisy pengawalan kafilah hanya terdiri dari tiga puluh atau empat puluh orang saja.

 

Ketika itulah ia lalu mengupah Dzamdzam b. Amr al-Ghifari supaya cepat-cepat pergi ke Mekah untuk mengerahkan Quraisy menolong harta-benda mereka, juga diberitahukannya, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya sedang mengancam.

 

Setibanya di Mekah, ketika berada di tengah-tengah sebuah lembah, dipotongnya kedua telinga dan hidung untanya, dibalikkannya pelananya dan dia sendiri berhenti di tempat itu sambil berteriak-teriak memberitahukan, dengan mengenakan baju yang sudah dikoyak-koyak bagian depan dan belakangnya:

 

“Hai orang-orang Quraisy! Kafilah, kafilah! harta-bendamu di tangan Abu Sufyan telah dicegat oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera menyusul. Perlu pertolongan! Pertolongan!”

 

Mendengar ini Abu Jahl segera memanggil orang-orang di sekitar Ka’bah. Mereka dikerahkan. Abu Jahl adalah seorang laki-laki berbadan kecil, berwajah keras dengan lidah dan pandangan mata yang tajam. Sebenarnya orang-orang Quraisy itu sudah tidak perlu lagi dikerahkan karena setiap orang sudah punya saham sendiri-sendiri dalam kafilah itu.

 

Dendam Quraisy dan Kinana

 

Sungguhpun begitu ada juga penduduk Mekah itu sebagian yang Sudah merasakan adanya kekejaman Quraisy terhadap kaum Muslimin Sehingga menyebabkan mereka terpaksa hijrah ke Abisinia dan kemudian hijrah ke Medinah. Mereka ini masih maju-mundur: akan turut juga berperang mempertahankan harta-benda mereka, atau akan tinggal diam saja dengan harapan kalau-kalau kafilah itu tidak mengalami sesuatu gangguan. Mereka ini masih ingat bahwa dulu antara kabilah Quraisy dan kabilah Kinana ada tuntutan darah yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Apabila mereka ini cepat-cepat menghadapi Muhammad dalam membela kafilah itu, mereka kuatir akan diserbu oleh Banu Bakr (dari Kinana) dari belakang. Alasan demikian ini hampir saja memperkuat pendapat yang ingin tinggal diam saja, kalau tidak lalu datang Malik b Ju’syum (Mudlij), seorang pemuka Banu Kinana.

 

“Bagi kamu aku adalah jaminan, bahwa Kinana tidak akan melakukan sesuatu di belakang kamu yang akan merugikan kamu sekalian.”

 

Dengan demikian orang-orang semacam Abu Jahl, “Amir al-Hadzrami serta penganjur-penganjur perang menentang Muhammad dan pengikut. pengikutnya, mendapat dukungan kuat. Tak ada alasan bagi orang yang mampu berperang itu yang akan tinggal di belakang atau akan mengganti. kannya kepada orang lain. Dari pemuka-pemuka Quraisy pun tak ada yang ketinggalan, kecuali Abu Lahab yang diwakili oleh “Ash b. Hisyamb. Mughira. Orang ini punya utang kepadanya (Abu Lahab) sebanyak 4000 dirham yang tak dibayar sehingga ia bangkrut karenanya. Sedang Umayya b. Khalaf sudah bertekad akan tinggal diam. Dia sebagai orang terpan. dang, yang sudah tua sekali usianya, badannya gemuk dan berat.

 

Ketika itu ia didatangi oleh “Ugba b. Abi Mu’ait dan Abu Jahl ke mesjid. “Ugba membawa perapian dengan kemenyan sedang Abu Jahl membawa tempat celak dan pemalitnya. “Ugba meletakkan tempat api itu di depannya seraya berkata:

 

“Abu Ali,’ gunakanlah perapian dan kemenyan ini, sebab kau wanita.”

 

“Pakailah celak ini, Abu Ali, sebab kau perempuan,” kata Abu Jahl.

 

“Belikan buat aku seekor unta yang terbaik di lembah ini,” jawab Umayya.

 

Lalu ia pun pergi bersama mereka. Sekarang tiada seorang pun yang mampu bertempur yang masih tinggal di Mekah. Perjalanan Tentera Muslimin

 

Pada hari kedelapan bulan Ramadan tahun kedua Hijrah, Nabi s.a.w. berangkat dengan sahabat-sahabatnya meninggalkan Medinah. Pimpinan sembahyang diserahkan kepada “Amr b. Umm Maktum, sedang pimpinan Medinah kepada Abu Lubaba dari Rauha’. Dalam perjalanan ini Muslimin didahului oleh dua bendera hitam. Mereka membawa tujuh puluh ekor unta, yang dinaiki dengan cara silih berganti. Setiap dua orang, setiap tiga Orang dan setiap empat orang bergantian naik seekor unta. Dalam hal ini Muhammad juga mendapat bagian sama seperti sahabat-sahabatnya yang lain. Dia, Ali b. Abi Talib dan Marthad b. Marthad al-Ghanawi bergantian naik seekor unta. Abu Bakr, Umar dan Abdur-Rahman b. “Auf bergantian juga dengan seekor unta. Jumlah mereka yang berangkat bersama Muhammad dalam ekspedisi ini terdiri dari tiga ratus lima orang, delapan puluh tiga di antaranya Muhajirin, enam puluh satu orang Aus dan yang selebihnya dari Khazraj.

 

Karena dikuatirkan Abu Sufyan akan menghilang lagi, cepat-cepat mereka berangkat sambil terus berusaha mengikuti berita-berita tentang orang ini di mana saja mereka berada. Tatkala sampai di “Irgz-Zubya mereka bertemu dengan seorang orang Arab gunung yang ketika ditanyai tentang rombongan itu, ternyata ia tidak mendapat berita apa-apa. Mereka meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah wadi bernama Dhafiran, di tempat itu mereka turun. Di tempat inilah mereka mendapat berita, bahwa pihak Quraisy sudah berangkat dari Mekah, akan melindungi kafilah mereka.

 

Quraisy Berangkat dari Medinah

 

Ketika itu suasananya sudah berubah. Kini kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar bukan lagi berhadapan dengan Abu Sufyan dengan kafilahnya serta tiga puluh atau empat puluh orang rombongannya itu saja, yang takkan dapat melawan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, melainkan Mekah dengan seluruh isinya sekarang keluar dipimpin oleh pemuka-pemuka mereka sendiri guna membela perdagangan mereka itu.

 

Andaikata pihak Muslimin sudah dapat mengejar Abu Sufyan, dan beberapa orang dari rombongan itu sudah dapat ditawan, unta beserta muatannya sudah dapat dikuasai, pihak Quraisy pun tentu akan segera pula dapat menyusul mereka. Soalnya karena terdorong oleh rasa cintanya kepada harta dan ingin mempertahankannya. Mereka merasa sudah didukung oleh sejumlah orang dengan perlengkapan yang cukup besar. Mereka bertekad akan bertempur dan mengambil kembali harta mereka, atau bersedia mati untuk itu.

 

Tetapi sebaliknya, apabila Muhammad kembali ke tempat semula, pihak Quraisy dan Yahudi Medinah tentu merasa mendapat angin. Dia sendiri terpaksa akan berada dalam situasi yang serba dibuat-buat, Sahabat-sahabatnya pun terpaksa akan memikul segala tekanan dan gangguan Yahudi Medinah, seperti gangguan yang pernah mereka alami dari pihak Quraisy di Mekah dahulu. Ya, apabila ia menyerah kepada Situasi semacam itu, mustahil sekali kebenaran akan dapat ditegakkan dan Tuhan akan memberikan pertolongan dalam menegakkan agama itu.

 

Sekarang ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy menurut berita yang sudah diterimanya. Abu Bakr dan Umar juga lalu memberikan pendapat Kemudian Migdad b. “Amr tampil mengatakan:

 

“Rasulullah, teruskanlah apa yang sudah ditunjukkan Allah. Kamj akan bersama tuan. Kami tidak akan mengatakan seperti Banu Israil yang berkata kepada Musa: “Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperang. lah. Kami di sini akan tinggal menunggu. Tetapi, pergilah engkau dan Tuhanmu, dan berperanglah, kami bersamamu akan juga turut berjuang.”

 

Semua orang diam.

 

“Berikan pendapat kamu sekalian kepadaku,” kata Rasul lagi. Kata. kata ini sebenarnya ditujukan kepada pihak Anshar yang telah menyatakan Ikrar “Agaba, bahwa mereka akan melindunginya seperti terhadap sanak keluarganya sendiri, tapi mereka tidak mengadakan ikrar itu untuk mengadakan serangan keluar Medinah.

 

Anshar

 

Tatkala pihak Anshar merasa bahwa memang mereka yang dimaksud, maka Sa’d b. Mu’adh yang memegang pimpinan mereka menoleh kepada Muhammad.

 

“Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami,” katanya.

 

“Ya,” jawab Rasul.

 

“Kami telah percaya kepada Rasul dan membenarkan,” kata Sa’d pula. “Kami pun telah menyaksikan bahwa apa yang kaubawa itu adalah benar. Kami telah memberikan janji kami dan jaminan kami, bahwa kami akan tetap taat setia. Laksanakanlah kehendakmu, kami di sampingmu. Demi yang telah mengutus kamu, sekiranya kaubentangkan lautan di hadapan kami, lalu kau terjun menyeberanginya, kami pun akan terjun bersamamu, dan tak seorang pun dari kami akan tinggal di belakang. Kami takkan segan-segan menghadapi musuh kita besok. Kami cukup tabah dalam perang, cukup setia bertempur. Semoga Tuhan membuktikan segalanya dari kami yang akan menyenangkan hatimu. Ajaklah kami bersama, dengan berkah Tuhan.”

 

Begitu Sa’d selesai bicara, wajah Muhammad tampak berseri. Tampaknya ia puas sekali, seraya katanya:

 

“Berangkatlah, dan gembirakan! Allah sudah menjanjikan kepadaku atas Salah satunya dari dua kelompok itu. Seolah kini kehancuran mereka itu tampak di hadapanku.”

 

Mereka pun lalu berangkat semua. Ketika sampai pada suatu tempat dekat Badr, Muhammad pergi lagi dengan untanya sendiri. Ia menemui seorang orang Arab tua. Kepada orang ini ia menanyakan Quraisy dan menanyakan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, yang kemudian daripadanya diketahui, bahwa kafilah Quraisy berada tidak jauh dari tempat itu.

 

Mengamat-amati Berita

 

Lalu kembali lagi ia ke tempat sahabat-sahabatnya. Ali b. Abi Talib, Zubair bin’I-Awwam, Sa’d b. Abi Waggash serta beberapa orang sahabat lainnya segera ditugaskan mengumpulkan berita-berita dari sebuah tempat di Badr. Kurir ini segera kembali dengan membawa dua orang anak. Dari kedua orang ini Muhammad mengetahui, bahwa pihak Quraisy kini berada di balik bukit pasir di tepi ujung Wadi.? Ketika mereka menjawab, bahwa mereka tidak mengetahui berapa jumlah pihak Quraisy, ditanya lagi oleh Muhammad:

 

“Berapa ekor ternak yang mereka potong tiap hari?”

 

“Kadang sehari sembilan, kadang sehari sepuluh ekor,” jawab mereka.

 

Dengan demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka terdiri dari antara 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua anak itu dapat diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy ikut serta memperkuat diri.

 

Lalu katanya kepada sahabat-sahabatnya:

 

“Lihat. Sekarang Mekah sudah menghadapkan semua bunga bangsanya kepada kita.”

 

Mau tidak mau, sekarang ia dan sahabat-sahabatnya harus ber. hadapan dengan suatu golongan yang jumlahnya tiga kali jauh lebih besar. Mereka harus mengerahkan seluruh semangat, harus mengadakan per. siapan mental menghadapi kekerasan itu. Mereka harus siap menungpy suatu pertempuran sengit dan dahsyat, yang takkan dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat memenuhi kalbu, iman dan kepercayaan akan adanya kemenangan itu.

 

Bilamana Ali sudah kembali dengan kedua orang anak yang membawa berita tentang Quraisy itu, dua orang Muslimin lainnya lalu berangkat lapi menuju lembah Badr. Mereka berhenti di atas sebuah bukit tidak jauh dari tempat air, dikeluarkannya tempat persediaan airnya, dan di sini mereka mengisi air itu.

 

Sementara mereka berada di tempat air, terdengar ada suara seorang budak perempuan, yang agaknya sedang menagih utang kepada seorang wanita lainnya, yang lalu dijawab:

 

“Kafilah dagang besok atau lusa akan datang. Pekerjaan akan kuselesaikan dengan mereka dan utang segera akan kubayar …….. ”

 

Kedua laki-laki itu kembali. Disampaikannya apa yang telah mereka dengar itu kepada Muhammad.

 

Abu Sufyan Meloloskan Diri

 

Tetapi, dalam pada itu Abu Sufyan sudah mendahului kafilahnya mencari-cari berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah lebih dulu ada di jalan itu. Sesampainya di tempat air ia bertemu dengan Majdi b. “Amr.

 

“Ada kau melihat orang tadi?” tanyanya.

 

Majdi menjawab bahwa ia ada melihat dua orang berhenti di bukit itu sambil ia menunjuk ke tempat dua orang laki-laki Muslim itu tadi berhenti. Abu Sufyan pun pergi mendatangi tempat perhentian tersebut. Dilihatnya ada kotoran dua ekor unta dan setelah diperiksanya, diketahuinya, bahwa biji kotoran itu berasal dari makanan ternak Yathrib.

 

Cepat-cepat ia kembali menemui teman-temannya dan membatalkan perjalanannya melalui jalan semula. Dengan tergesa-gesa sekali sekarang ia memutar haluan melalui jalan pantai laut. Jaraknya dengan Muhammad sudah jauh, dan dia dapat meloloskan diri.

 

Hingga keesokan harinya kaum Muslimin masih menantikan kafilah itu akan lewat. Tetapi setelah ada berita-berita bahwa ia sudah lolos dan yang masih ada di dekat mereka sekarang adalah angkatan perang Quraisy, beberapa orang yang tadinya mempunyai harapan penuh akan beroleh harta rampasan, terbalik menjadi layu. Beberapa orang bertukar pikiran dengan Nabi dengan maksud supaya kembali saja ke Medinah, tidak perlu berhadapan dengan mereka yang datang dari Mekah hendak berperang. Ketika itu datang firman Tuhan:

 

“Ingat! Tuhan menjanjikan kamu salah satu dari dua kelompok (musuh) itu untuk kamu. Sedang kamu menginginkan, bahwa yang tidak bersenjata itulah yang untuk kamu. Tetapi Allah mau membuktikan kebenaran itu sesuai dengan ayat-ayat-Nya, dan akan merabut akar orangorang yang tak beriman itu.”

 

Mungkinkah Perang Akan Terjadi

 

Pada pihak Quraisy juga begitu. Perlu apa mereka berperang, perdagangan mereka sudah selamat? Bukankah lebih baik mereka kembali ke tempat semula, dan membiarkan pihak Islam kembali ke tempat mereka. Abu Sufyan juga berpikir begitu. Itu sebabnya ia mengirim utusan kepada Quraisy mengatakan: Kamu telah berangkat guna menjaga kafilah dagang. Orang-orang serta harta-benda kita. Sekarang kita sudah diselamatkan Tuhan. Kembalilah. Tidak sedikit dari pihak Quraisy sendiri yang juga mendukung pendapat ini.

 

Tetapi Abu Jahl ketika mendengar kata-kata ini, tiba-tiba berteriak:

 

“Kita tidak akan kembali sebelum kita sampai di Badr. Kita akan tinggal tiga malam di tempat itu. Kita memotong ternak, kita makan-makan, minumminum khamar, kita minta biduanita-biduanita bernyanyi. Biar orang-orang Arab itu mendengar dan mengetahui perjalanan dan persiapan kita. Biar mereka tidak lagi mau menakut-nakuti kita.”

 

Soalnya pada waktu itu Badr merupakan tempat pesta tahunan. Apabila pihak Quraisy menarik diri dari tempat itu setelah perdagangan mereka selamat, bisa jadi akan ditafsirkan oleh orang-orang Arab — menurut pendapat Abu Jahl — bahwa mereka takut kepada Muhammad dan teman-temannya. Dan ini berarti kekuasaan Muhammad akan makin terasa, ajarannya akan makin tersebar, makin kuat. Apalagi sesudah adanya satuan Abdullah b. Jahsy, terbunuhnya Ibn’I-Hadzrami, dirampasnya dan ditawannya orang-orang Quraisy.

 

Mereka jadi ragu-ragu: antara mau ikut Abu Jahl karena takut dituduh pengecut, atau kembali saja setelah kafilah perdagangan mereka selamat. Tetapi yang ternyata kemudian kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka mau mendengarkan saran Akhnas b. Syarig, orang yang cukup ditaati mereka.

 

Pihak Quraisy yang lain ikut Abu Jahl. Mereka berangkat MENUju ke Sebuah tempat perhentian, di tempat ini mereka mengadakan Persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan. Lalu mereka berangkat lap: ke tepi ujung wadi, berlindung di balik sebuah bukit pasir.

 

Muslimin Menuju Badr

 

Sebaliknya pihak Muslimin, yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan, sudah sepakat akan bertahan terhadap musuh bila kelak diserang. Oleh karena itu mereka pun segera berangkar ke tempat mata air di Badr itu, dan perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun. Setelah mereka sudah mendekati mata air, Muhammad berhenti. Ada seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:

 

“Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju atau mundur setapak pun dari tempat ini. Ataukah ini sekadar pendapat tuan sendiri, suatu taktik perang belaka?”

 

“Sekadar pendapat dan sebagai taktik perang,” jawab Muhammad.

 

“Rasulullah,” katanya lagi. “Kalau begitu, tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka, lalu sumur-sumur kering yang di belakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak.”

 

Melihat saran Hubab yang begitu tepat itu, Muhammad dan rombongannya segera pula bersiap-siap dan mengikuti pendapat temannya itu, sambil mengatakan kepada sahabat-sahabatnya, bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan bahwa sesuatu pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia tidak akan menggunakan pendapat sendiri di luar mereka. Dia perlu sekali mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka sendiri.

 

Selesai kolam itu dibuat, Sa’d b. Mu’adh mengusulkan:

 

“Rasulullah,” katanya, “kami akan membuatkan sebuah dangau buat tempat tuan tinggal, kendaraan tuan kami sediakan. Kemudian biarlah kami yang menghadapi musuh. Kalau Tuhan memberi kemenangan kepada kita atas musuh kita, itulah yang kita harapkan. Tetapi kalaupun sebaliknya yang terjadi, dengan kendaraan itu tuan dapat menyusul teman-teman yang ada di belakang kita… Rasulullah”, masih banyak sahabat-sahabat kita yang tinggal di belakang, dan cinta mereka kepada tuan tidak kurang dari cinta kami ini kepada tuan. Sekiranya mereka dapat menduga bahwa tuan akan dihadapakan pada perang, niscaya mereka tidak akan berpisah dari tuan. Dengan mereka Tuhan menjaga tuan. Mereka benar-benar ikhlas kepada tuan, berjuang bersama tuan.”

 

Muhammad sangat menghargai dan menerima baik saran Sa’d itu. Sebuah dangau buat Nabi lalu dibangun. Jadibila nanti kemenangan bukan ditangan Muslimin, ia takkan jatuh ke tangan musuh, dan masih akan dapat bergabung dengan sahabat-sahabatnya di Yathrib.

 

Di sini orang perlu berhenti sejenak dengan penuh kekaguman, kagum melihat kesetiaan Muslimin yang begitu dalam, rasa kecintaan mereka yang begitu besar kepada Muhammad, serta dengan kepercayaan penuh kepada ajarannya. Semua mereka mengetahui, bahwa kekuatan Quraisy jauh lebih besar dari kekuatan mereka, jumlahnya tiga kali lipat banyaknya. Tetapi, sungguhpun begitu, mereka sanggup menghadapi. mereka sanggup melawan. Dan mereka inilah yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan. Tetapi sungguhpun begitu karena bukan pengaruh materi itu yang mendorong mereka bertempur, mereka selalu siap di samping Nabi, memberikan dukungan, memberikan kekuatan. Dan mereka inilah yang juga sangsi, antara harapan akan menang, dan kecemasan akan kalah. Tetapi, sungguhpun begitu, pikiran mereka selalu hendak melindungi Nabi, hendak menyelamatkannya dari tangan musuh. Mereka menyiapkan jalan baginya untuk menghubungi orang-orang yang masih tinggal di Medinah. Suasana yang bagaimana lagi yang lebih patut dikagumi daripada ini? Iman mana lagi yang lebih menjamin akan memberikan kemenangan seperti iman yang ada ini?

 

Sekarang pihak Quraisy sudah turun ke medan perang. – Mereka mengutus orang yang akan memberikan laporan tentang keadaan kaum Muslimin: Mereka lalu mengetahui, bahwa jumlah kaum Muslimin lebih kurang tiga ratus orang, tanpa pasukan pengintai, tanpa bala bantuan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka sendiri. Tiada seorang dari mereka akan rela mati terbunuh, sebelum dapat membunuh lawan.

 

Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy telah juga ikut serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan ahli pikir mereka merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu yang akan terbunuh sehingga Mekah sendiri nanti akan kehilangan arti. Sungguhpun begitu mereka masih takut kepada Abu Jahl yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut dan penakut. Tetapi tiba-tiba tampil “Utba b. Rabi’a ke hadapan mereka itu sambil berkata:

 

“Saudara-saudara kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan hendak memerangi Muhammad dan kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada gunanya. Kalau dia sampai binasa karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan sendiri yang akan melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah saudara sepupunya, dari pihak bapa atau pihak ibu, atau siapa saja dari keluarganya. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan teman-temannya itu. Kalau dia binasa karena pihak lain, maka itu yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi kalau bukan itu yang terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak kita inginkan.”

 

Mendengar kata-kata “Utba itu, Abu Jahl naik darah. Ia segera memanggil “Amir bin’l-Hadzrami dengan mengatakan:

 

“Sekutumu ini ingin supaya orang pulang. Kau sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang harus dituntut balas. Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu!”!

 

“Amir segera bangkit dan berteriak:

 

Cetusan Pertama

 

“O saudaraku! Tak ada jalan lain mesti perang!”

 

Dengan dipercepatnya pertempuran itu Aswad b. “Abd’l-Asad (Makhzum) ke luar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke tengahtengah barisan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah b. AbdiMuttalib segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia tersungkur dengan kaki yang sudah berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya berdiri menyaksikan.

 

Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah “Utba b. Rabi’a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid b. “Utba anaknya, sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu disambut oleh pemudapemuda dari Medinah. Tetapi setelah melihat mereka ini ia berkata lagi:

 

“Kami tidak memerlukan kamu. Yang kami maksudkan ialah golongan kami.”

 

Lalu dari mereka ada yang memanggil-manggil:

 

“Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari asal golongan kami itu tampil!”

 

Berhadap-hadapan

 

Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah b. Abd’l-Muttalib, Ali b. Abi Talib dan “Ubaida bin’I-Harith. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid, mereka itu ditewaskan. Lalu keduanya segera membantu “Ubaida yang kini sedang diterkam oleh “Utba. Sesudah Quraisy sekarang melihat kenyataan ini mereka semua maju menyerbu.

 

Pada pagi Jum’at 17 Ramadan itulah kedua pasukan itu berhadaphadapan muka.

 

Sekarang Muhammad sendiri yang tampil memimpin Muslimin, mengatur barisan. Tetapi ketika dilihatnya pasukan Quraisy begitu besar, sedang anak buahnya sedikit sekali, di samping perlengkapan yang sangat lemah dibanding dengan perlengkapan Quraisy, ia kembali ke pondoknya ditemani oleh Abu Bakr. Sungguh cemas ia akan peristiwa yang akan terjadi hari itu, sungguh pilu hatinya melihat nasib yang akan menimpa Islam sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan.

 

Doa Muhammad

 

Muhammad kini menghadapkan wajahnya ke kiblat, dengan seluruh jiwanya ia menghadapkan diri kepada Tuhan,-ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan kepadanya, ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar Tuhan memberikan pertolongan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam permohonan, sambil berkata:

 

“Allahumma ya Allah. Ini Quraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini Sekarang binasa tidak lagi ada ibadat kepada-Mu.”

 

Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil meren, tangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh. Ketika itu Aby Bakr lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahunya, sambil ia bermohon:

 

“Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”

 

Tetapi sungguhpun begitu, Muhammad makin dalam terbawa dalam doa, dalam tawajuh kepada Allah, dengan penuh khusyu’ dan kesung, guhan hati ia terus memanjatkan doa, memohonkan inayat dan per, tolongan Tuhan dalam menghadapi peristiwa, yang oleh kaum Muslimin samasekali tidak diharapkan, dan untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Karena yang demikian inilah akhirnya ia sampai terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam pada itu tampak olehnya pertolongan Tuhan itu ada. ia sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.

 

Sekarang ia keluar menemui sahabat-sahabatnya: dikerahkannya mereka sambil berkata:

 

“Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad.’ Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”

 

Jiwanya yang begitu kuat, yang telah diberikan Tuhan begitu tinggi melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Dan kekuatan mereka itu sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga setiap seorang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama dengan sepuluh orang.

 

Kekuatan Moral

 

Akan lebih mudah orang memahami ini bila diingat arti kekuatan moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa seseorang, dan ini akan bertambah besar pengaruhnya apabila kekuatan moril ini ada pula dasarnya. Semangat nasionalisma juga dapat menambah ini. Seorang prajurit yang mempertahankan tanah air yang terancam bahaya, jiwanya

 

nuh dengan semangat patriotisma, akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan besar cintanya kepada tanah air serta kekuatirannya akar bahaya yang mengancam tanah air itu dari pihak musuh.

 

Oleh karena itu semangat patriotisma dan pengorbanan untuk tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditanamkan kepada warga negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya kepercayaan kepada kebenaran, kepada keadilan, kebebasan serta arti kemanusiaan yang tinggi menambah pula kekuatan moril dalam jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi. Dan orang yang masih ingat akan propaganda antiJerman yang begitu luas disebarkan pihak Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada dasarnya mereka berperang melawan kekuatan senjata Jerman itu karena hendak membela kebebasan dan kebenaran serta mempersiapkan suatu perjanjian perdamaian, akan menyadari betapa sesungguhnya propaganda itu dapat melipat-gandakan kekuatan semangat prajuritprajurit Sekutu di samping menimbulkan simpati sebagian besar bangsabangsa di dunia.

 

Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian, dibandingkan dengan tujuan yang diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi manusia dengan seluruh wujud, suatu komunikasi yang akan meleburkannya dan keluar menjadi salah satu kekuatan alam semesta, yang akan memberi arah kepadanya menuju kebaikan hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.

 

Ya! Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian di samping kewajibannya di sisi Tuhan, membela orang-orang yang beriman dari renggutan mereka yang hendak membuat fitnah dan godaan, dari mereka yang mengalangi jalan kebenaran, mereka yang hendak menjerumuskan umat manusia ke jurang paganisma dan syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah air jiwa itu makin kuat, sesuai dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan dengan rasa cinta perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa itu pun makin kuat, sesuai dengan kekuatan semua umat manusia yang ada, maka betapa pula dahsyatnya kekuatan jiwa yang dibawa oleh adanya iman kepada semesta wujud dan Pencipta seluruh wujud ini! Iman itulah yang akan membuat tenaga manusia mampu memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia dapat mengawasi — dengan kemampuan morilnya — segala yang masih berada di bawah taraf itu. Dan kemampuan moril ini akan berlipat ganda pula kekuatannya.

 

Apabila secara integral kemampuan moril ini belum lagi mencapai lujuannya disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di kalangan Muslimin sebelum terjadi perang, belum dicapainya kekuatan materi Sebagaimana yang diharapkan, maka dengan daya iman itu justru ia pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini Sekarang binasa tidak lagi ada ibadat kepada-Mu.”

 

Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil meren. tangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh. Ketika itu Aby Bakr lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahunya, sambil ia bermohon:

 

“Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”

 

Tetapi sungguhpun begitu, Muhammad makin dalam terbawa dalam doa, dalam tawajuh kepada Allah, dengan penuh khusyu’ dan kesung, guhan hati ia terus memanjatkan dga, memohonkan inayat dan per. tolongan Tuhan dalam menghadapi peristiwa, yang oleh kaum Muslimin samasekali tidak diharapkan, dan untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Karena yang demikian inilah akhirnya ia sampai terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam pada itu tampak olehnya pertolongan Tuhan itu ada. Ia sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.

 

Sekarang ia keluar menemui sahabat-sahabatnya, dikerahkannya mereka sambil berkata:

 

“Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad.’ Setiap orang yang Sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”

 

Jiwanya yang begitu kuat, yang telah diberikan Tuhan begitu tinggi melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Dan kekuatan mereka itu sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga setiap seorang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama dengan sepuluh orang. Kekuatan Moral

 

Akan lebih mudah orang memahami ini bila diingat arti kekuatan moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa seseorang, dan ini akan bertambah besar pengaruhnya apabila kekuatan moril ini ada pula dasarnya. Semangat nasionalisma juga dapat menambah ini. Seorang prajurit yang mempertahankan tanah air yang terancam bahaya, jiwanya penuh dengan semangat patriotisma, akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan besar cintanya kepada tanah air serta kekuatirannya akan bahaya yang mengancam tanah air itu dari pihak musuh.

 

Oleh karena itu semangat patriotisma dan pengorbanan untuk tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditanamkan kepada warga negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya kepercayaan kepada kebenaran, kepada keadilan, kebebasan serta arti kemanusiaan yang tinggi menambah pula kekuatan moril dalam jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi. Dan orang yang masih ingat akan propaganda antiJerman yang begitu luas disebarkan pihak Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada dasarnya mereka berperang melawan kekuatan senjata Jerman itu karena hendak membela kebebasan dan kebenaran serta mempersiapkan suatu perjanjian perdamaian, akan menyadari betapa sesungguhnya propaganda itu dapat melipat-gandakan kekuatan semangat prajuritprajurit Sekutu di samping menimbulkan simpati sebagian besar bangsabangsa di dunia.

 

Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian, dibandingkan dengan tujuan yang diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi manusia dengan seluruh wujud, suatu komunikasi yang akan meleburkannya dan keluar menjadi salah satu kekuatan alam semesta, yang akan memberi arah kepadanya menuju kebaikan hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.

 

Ya! Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian di samping kewajibannya di sisi Tuhan, membela orang-orang yang beriman dari renggutan mereka yang hendak membuat fitnah dan godaan, dari mereka yang mengalangi jalan kebenaran, mereka yang hendak menjerumuskan umat manusia ke jurang paganisma dan syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah air jiwa itu makin kuat, sesuai dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan dengan rasa cinta perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa Itu pun makin kuat, sesuai dengan kekuatan semua umat manusia yang ada, maka betapa pula dahsyatnya kekuatan jiwa yang dibawa oleh adanya iman kepada semesta wujud dan Pencipta seluruh wujud ini! Iman itulah yang akan membuat tenaga manusia mampu memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia dapat mengawasi — dengan kemampuan morilnya — segala yang masih berada di bawah taraf itu. Dan kemampuan moril ini akan berlipat ganda pula kekuatannya.

 

Apabila secara integral kemampuan moril ini belum lagi mencapai tujuannya disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di kalangan Muslimin sebelum terjadi perang, belum dicapainya kekuatan materi sebagaimana yang diharapkan, maka dengan daya iman itu justru ia mempunyai kelebihannya. Hal ini bertambah kuat lagi tatkala Muhammag dan sahabat-sahabatnya dapat mengerahkan mereka. Maka dengan demikian, jumlah manusia dan perlengkapan yang sangat sedikit itu telah mendapat kompensasi. Dalam keadaan Nabi dan sahabat-sahabatnya yang demikian inilah kedua ayat ini turun:

 

“O Nabi! Bangunkanlah semangat orang-orang beriman itu dalam menghadapi perang. Bila kamu berjumlah dua puluh orang yang tabah, mereka ini akan mengalahkan dua ratus orang. Bila kamu berjumlah seratus orang, niscaya akan mengalahkan seribu orang kafir, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti. Sekarang Tuhan meringankan kamu, karena Ia mengetahui, bahwa pada kamu masih ada kelemahan, Maka, jika kamu berjumlah seratus orang yang tabah, akan dapar mengalahkan dua ratus orang, dan jika kamu seribu orang, akan dapat mengalahkan dua ribu dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang berhati tabah.”

 

Keadaan Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Muhammad membangkitkan semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh. Ia menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka disiksa di Mekah dulu, dirintangi memasuki Mesjid Suci dan berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya b. Khalaf dan anaknya, begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekah dulu. Umayya ini adalah orang yang pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ke tengah-tengah padang pasir yang paling panas di Mekah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu ditindihkannya batu besar di dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad.? Yang Satu, Yang Satu”.

 

Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata:

 

“Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!”

 

Beberapa orang dari kalangan Muslimin mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan sampai ia terbunuh dan akan dibawanya sebagai tawanan.

 

Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu berteriak sekeraskerasnya:

 

“Sekalian tentara Tuhan! Ini Umayya b. Khalaf kepala kafir. Takkan selamat aku kalau ia lolos.”

 

Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilai tak dapat diredakan lagi, dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu’adh b. “Amr b. Jamuh juga dapat menewaskan Abu Jahl b. Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan pahlawanpahlawan Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.

 

Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara. Kepala-kepala ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh Quraisy. Berkat iman yang teguh keadaan Muslimin bertambah kuat juga. Dengan gembira mereka berseru: Ahad, Ahad. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan waktu, sebagai bantuan Tuhan kepada mereka dengan para malaikat yang memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh, sehingga bila salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan dengan tenaga Tuhan.

 

Muhammad di Tengah-tengah Gelanggang

 

Di tengah-tengah medan pertempuran yang sedang sibuk dikunjungi malaikat maut memunguti leher orang-orang kafir itu, Muhammad berdiri. Diambilnya segenggam pasir, dihadapkannya kepada Quraisy. “Celakalah wajah-wajah mereka itu!” katanya sambil menaburkan pasir itu ke arah mereka. Sahabat-sahabatnya lalu diberi komando:

 

“Serbu!”

 

Serentak pihak Muslimin menyerbu ke depan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka bertambah, sehingga kekuatan materi mereka pun bertambah pula. Dalam hal ini firman Allah turun:

 

“Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Aku bersama kamu’. Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu. Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam hati orang-orang kafir itu. Pukullah bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap ujung jari mereka.”

 

“Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah Juga yang telah membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu, melainkan Tuhan juga.”

 

Tatkala Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janji-Nya dan setelah ternyata pula kemenangan berada di pihak orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya. Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri ditawan.

 

Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang stabil kepada umat Islam di seluruh tanah Arab, dan yang merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan seluruh semenanjung di bawah naungan Islam, juga sebagai suatu pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di dunia, yang sampai sekarang masih dan akan terus mempunyaj pengaruh yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.

 

Muslimin Tidak Asal Membunuh

 

Bukan tidak mungkin orang akan merasa kagum sekali bila menge. tahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan sahabat. sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya musuh Tuhan dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh Banu Hasyim dan tidak membunuh orang-orang tertentu dari kalangan pembesar-pembesar Quraisy, sekali. pun pada dasarnya mereka akan membunuh setiap orang dari pihak Islam yang dapat mereka bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia berbuat begitu karena ia mau membela keluarganya atau siapa saja yang punya pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih besar daripada akan terpengaruh oleh hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu yang telah berusaha melindunginya selama tiga belas tahun sejak mula masa kerasulannya hingga masa hijrahnya, sampai-sampai Abbas pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan ikrar “Agaba. Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam pemboikotan, yang oleh Quraisy dia dan sahabatsahabatnya dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua hubungan oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang telah diberikan oleh mereka masing-masing oleh Muhammad dianggap sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh karena itu oleh Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi mereka masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan Quraisy sendiri masih ada yang menolak pemberian pengampunan itu seperti yang dilakukan oleh Abu’l-Bakhtari — salah seorang yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia menolak dan terbunuh.

 

Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang-langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka semua.

 

Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan. Malam harinya Muhammad dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah gelap Muhammad mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Tuhan kepada Muslimin yang dengan jumlah yang begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja. Dalam ia merenungkan hal ini, pada waktu larut malam itu sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:

 

“Wahai penghuni perigi! Wahai ‘Utba b. Rabi’a! Syaiba b. Rabi’a! Umayya b. Khalaf! Wahai Abu Jahl b. Hisyam! …….”

 

Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang dalam perigi itu satu-satu. “…… Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.”

 

“Rasulullah kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah bangar?” kata kaum Muslimin kemudian bertanya.

 

“Apa yang saya lakukan mereka lebih mendengar daripada kamu,” wab Rasul. “Tetapi mereka tidak dapat menjawab.”

 

Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn

 

“Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.

 

“Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai ayahmu, Abu Hudhaifa?” tanyanya.

 

“Sekali-kali tidak, Rasulullah”, jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, Saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi saya harapkan sekaji ia akan mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang terjadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran, sesudah makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya sedih.”

 

Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang dia serta mendoa. kan kebaikan baginya.

 

Selisih Pendapat tentang Rampasan

 

Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang menuju Medinah, mulailah timbul pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, buat siapa seharusnya. Kata mereka yang melakukan serangan: Kami yang mengumpulkannya, jadi itu buat kami, Lalu kata yang mengejar musuh sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran: kalau tidak karena kami, kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu sekalian tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi musuh dan mengambil harta mereka, ketika tak ada suatu pihak pun yang akan melindungi mereka. Tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah. Oleh karena itu kami lalu menjaganya.

 

Tetapi kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan semua harta rampasan yang ada di tangan mereka itu, dan dimintanya supaya dibawa agar ia dapat memberikan pendapat atau akan ada ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.

 

Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b. Haritha ke Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedang dia sendiri dengan sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan pimpinannya kepada Abdullah b. Ka’b.

 

Pembagian Merata

 

Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi selat Shafra”, pada sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan perang yang sudah ditentukan Allah bagi Muslimin itu dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya, sesuai dengan firman Allah:

 

“Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk para kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan, kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua golongan itu saling berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa.”

 

Sebagian besar penulis-penulis sejarah Nabi berpendapat, terutama angkatan lamanya — bahwa ayat tersebut turun sesudah peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang dibagi, dan bahwa Muhammad membaginya secara merata di kalangan Muslimin, dan bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada pada penunggangnya, bagian mereka yang gugur di Badr diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak ikut ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr tapi tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu dibagi secara adil. Yang ikut bersama dalam perang dan mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan yang ikut bersama-sama dalam perang dan mendapat kemenangan itu ialah siapa saja yang ikut bekerja ke arah itu, baik yang di garis depan atau yang jauh dari sana.

 

Dua Orang Tawanan Terbunuh

 

Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr bin’IHarith dan yang seorang lagi bernama “Ugba b. Abi Mu’ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad atau sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu dalam menghadapi para tawanan itu yang akan mengharuskan mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan “Ugba ini keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam Muslimin selama di Mekah dulu. Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu mereka.

 

Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka sampai di Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada Nabi a.s. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian rupa, sehingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang berada di sampingnya:

 

“Muhammad pasti akan membunuh aku”, katanya. “Ia menatapky dengan pandangan mata yang mengandung maut.”

 

“Ini hanya karena kau merasa takut saja”, jawab orang yang sebelahnya.

 

Sekarang Nadzr berkata kepada Mush’ab b. “Umair — orang yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.

 

“Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan membunuh aku.”

 

“Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Nabi”, kata Mush’ab. “Dulu kau menyiksa sahabat. sahabatnya.”

 

“Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup”, kata Nadzr lagi.

 

“Engkau tak dapat dipercaya”, kata Mush’ab. “Dan lagi aku tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus.”

 

Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Migdad, yang dalam hal ini ia ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dari keluarganya. Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya itu, ia segera berkata:

 

“Nadzr tawananku”, teriaknya.

 

“Pukul lehernya”, kata Nabi a.s. “Ya Allah. Semoga Migdad mendapat karunia-Mu.

 

Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi Talib.

 

Pada waktu mereka dalam perjalanan ke “Irg’z-Zubya diperintahkan oleh Nabi supaya “Ugba b. Abi Mur’ait juga dibunuh. “Muhammad”, katanya, “siapa yang akan mengurus anak-anak?” “Ap”, jawabnya. Lalu ia pun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh “Ashim b. Thabit, sumbernya berlain-lain. Berita Kemenangan di Medinah Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah, kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih dulu , sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berlainlainan. Dari atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dari pihak musyrik yang terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang Sama sambil ia menunggu Al-Oashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang masih perada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan berangkat menyambut perita kemenangan besar ini.

 

Orang-orang Yahudi dan Orang-orang musyrik di Medinah

 

Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi merasa terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha akan meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan orang-orang Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.

 

“Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya sudah ditaklukkan”, teriak mereka. “Ini untanya seperti sudah sama-sama kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya mengigau saja dia, karena sudah gugup dan ketakutan.”

 

Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu, sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu terjadi suatu peristiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka itu, yakni peristiwa kematian Rugayya putri Nabi. Tatkala ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan suaminya, Usman b. “Affan, juga ditinggalkan supaya merawatnya.

 

Apabila kemudian ternyata bahwa Muhammad yang menang, mereka merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah seorang pembesar Yahudi yang mengatakan:

 

“Bagi kita sekarang lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi ini sesudah kaum bangsawan, pemimpin-pemimpin dan pemukapemuka Arab serta penduduk tanah suci itu mendapat bencana.” Tawanan-tawanan Badr

 

Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam’a istri Nabi baru saja pulang melawati’ orang mati pada kabilah Banu “Afra”, tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b. “Amr, salah seorang tawanan, yang kedua belah tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:

 

“Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati Sajalah dengan terhormat!”

 

“Sauda!” Muhammad memanggilnya dari dalam rumah. “Kau mem, bangkitkan semangatnya melawan Allah dan Rasul-Nya!”

 

“Rasulullah”, katanya. “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan ‘segala kebenaran. Saya sudah tak dapat menahan diri ketika melihat Aby Yazid dengan tangannya terikat di tengkuk, sehingga saya berkata begitu.”

 

Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada mereka:

 

“Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.”

 

Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus dilakukan. nya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka penuh rasa dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi: kalau dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam hati keluarga-keluarga Quraisy, yang bila dapat ditebus barangkali akan jadi tenang.

 

Pendapat Abu Bakr dan Umar

 

Ia menyerahkan masalah ini ke tangan sahabat-sahabat kaum Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.

 

“Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr”, kata mereka. “Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia.”

 

Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.

 

“Abu Bakr”, kata mereka. “Di antara kita ada yang masih pernah ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami.”

 

Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka kuatir Umar ibn’I-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Maka mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Kemudian kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya.

 

“Rasulullah”, katanya. “Demi ayah dan ibuku. Mereka itu masih keluarga kita, ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau saudarasaudara. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat kaum Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka.”

 

Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.

 

“Rasulullah”, katanya. “Mereka itu musuh-musuh Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan.”

 

Juga Muhammad tidak menjawab.

 

Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan kalau para tawanan itu masih hidup, diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau kasihan tidak ada.

 

Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding, apa yang harus dilakukan. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih. ia hanya berkata:

 

“Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah kamu berakal?”’ Atau seperti katanya:

 

“Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan Penyayang.”

 

Contohnya lagi di kalangan para nabi seperti Isa tatkala ia berkata:

 

“Kalaupun mereka Engkau siksa, mereka itu semua hamba-Mu, dan kalau Engkau ampuni, Engkau Mahakuasa dan Bijaksana. 

 

Sedang Umar, dalam malaikat contohnya seperti Jibril, diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap musuh-musuh. Nya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh tatkala berkata:

 

“Tuhan, jangan biarkan orang-orang yang ingkar itu punya tempat tinggal di muka bumi ini.”

 

Atau seperti Musa bila ia berkata:

 

“O Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan tutuplah hari mereka. Mereka takkan percaya sebelum siksa yang pedih mereka rasakan.”

 

Kemudian katanya:

 

“Kamu semua mempunyai tanggungan. Jangan ada yang lolos mereka itu, harus dengan ditebus atau dipenggal lehernya.”

 

Lalu mereka berunding lagi dengan sesamanya. Di antara mereka itu ada seorang penyair, yaitu Abu “Azza “Amr b. Abdullah b. “Umair alJumahi. Melihat adanya pertentangan pendapat itu cepat-cepat ia mau menyelamatkan diri.

 

“Muhammad”, katanya. “Saya punya lima anak perempuan dan mereka tidak punya apa-apa. Maka sedekahkan sajalah aku ini kepada mereka. Aku berjanji dan memberikan jaminan, bahwa aku tidak akan memerangi kau lagi, juga samasekali aku tidak akan memaki-maki kau lagi.”

 

Orang ini mendapat jaminan Nabi dan dibebaskan tanpa membayar uang tebusan. Hanya dialah satu-satunya tawanan yang berhasil mendapat jaminan demikian. Tetapi kemudian ia memungkiri janjinya, dan kembali ia setahun kemudian ikut berperang di Uhud. Ia kena tawan lagi lalu terbunuh.

 

Pihak Muslimin, sesudah lama berunding akhirnya memutuskan, bahwa mereka dapat mengabulkan cara penebusan itu. Dengan dikabulkannya itu ayat ini turun.

 

“Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki hartabenda dunia, sedang Allah menghendaki akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana. 

 

Polemik Orientalis

 

Menanggapi masalah tawanan-tawanan Badr ini serta terbunuhnya Nadzr dan “Ugba ada beberapa orang Orientalis yang masih bertanyatanya: bukankah dengan demikian ini sudah membuktikan bahwa agama baru ini sangat haus darah? Kalau tidak tentu kedua orang. itu tidak akan terbunuh. Bukankah sesudah mendapat kemenangan dalam pertempuran akan lebih terhormat bagi kaum Muslimin jika mengembalikan saja para tawanan itu, dan mereka sudah cukup memperoleh rampasan perang?

 

Maksudnya dengan pertanyaan ini ialah hendak membangkitkan rasa simpati dalam hati orang yang selama itu belum menjadi masalah, supaya seribu tahun kemudian sesudah perang Badr dan peperangan-peperangan yang terjadi berikutnya akan dijadikan alat untuk mendiskreditkan agama ini serta pembawanya.

 

Tetapi ternyata pertanyaan semacam ini kemudian jadi gugur sendiri apabila terbunuhnya Nadzr dan “Ugba ini kita bandingkan dengan apa yang terjadi dewasa ini dan akan selalu terjadi, selama peradaban Barat, yang memakai jubah Kristen itu masih tetap menguasai dunia. Terhadap apa yang telah terjadi di negara-negara yang dikuasai oleh penjajah secara paksa atas nama hendak memadamkan pemberontakan itu, dapatkah peristiwa di atas tadi — sedikit saja — dijadikan perbandingan? Dapatkah hal itu — sedikit saja — kita bandingkan dengan penyembelihan yang terjadi dalam Perang Dunia? Selanjutnya, dapatkah peristiwa itu kita bandingkan pula — sedikit saja — dengan apa yang telah terjadi selama Revolusi Prancis, dalam pelbagai revolusi yang pernah terjadi dan akan selalu terjadi pada bangsa-bangsa Eropa lainnya?

 

Revolusi terhadap Paganisma

 

Memang sudah tak dapat disangkal bahwa apa yang dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu adalah suatu revolusi yang dahsyat dari Muhammad yang diutus Tuhan, berhadapan dengan paganisma dan orangOrang musyrik sebagai penyembahnya. Suatu revolusi, yang pada mulanya berkecamuk di Mekah, dan yang oleh karenanya, berbagai macan siksaan dan penderitaan dialami oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya selama tiga belas tahun terus-menerus. Kemudian kaum Muslimin pindah ke Medinah. Di tempat ini mereka mengumpulkan tenaga dan kekuatan Sementara itu benih-benih revolusi masih terus tumbuh dalam hat, mereka, juga dalam hati semua orang Quraisy.

 

Pindahnya Muslimin ke Medinah, perjanjian mereka dengan orang. orang Yahudi setempat, terjadinya bentrokan-bentrokan sebelum peristiwa Badr, lalu Perang Badr itu sendiri – semua itu adalah suatu siasat revolusi, bukan prinsip. Kebijaksanaan yang telah ditentukan oleh pemimpin revolusi dan sahabat-sahabatnya itu akan disusul pula oleh adanya ketentuan prinsip-prinsip yang luhur, yang telah dibawa oleh Rasul. Jadi, siasat revolusi itu lain dan prinsip-prinsip revolusi lain lagi, Juga kondisi yang terjadi berikutnya kadang samasekali berbeda dari tujuan pokok kondisi itu. Dalam hal Islam telah menjadikan rasa persaudaraan sebagai dasar peradaban Islam, maka untuk mencapai sukses jalan itu harus ditempuh, sekalipun untuk itu harus berlaku suatu kekerasan kalau memang sudah tak dapat dihindarkan lagi. Penyembelihan Saint Bartholomew

 

Tindakan kaum Muslimin terhadap tawanan-tawanan perang Badr adalah suatu teladan yang baik dan penuh kasih-sayang, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam beberapa revolusi yang oleh pencetusnya diagungkan dengan arti keadilan dan kasih-sayang. Dan ini pun merupakan satu bagian saja di samping penyembelihan-penyembelihan yang banyak terjadi atas nama Kristus, seperti penyembelihan Saint Bartholomew (Saint Barthelemy), suatu peristiwa penyembelihan yang dapat dianggap sebagai suatu aib besar dalam sejarah Kristen, yang dalam sejarah Islam contoh semacam itu samasekali tidak pernah ada. Penyembelihan ini diatur pada waktu malam. Orang-orang Katolik di Paris membantai orang-orang Protestan dengan jalan tipu-muslihat dan pengkhianatan, suatu gambaran tipu-muslihat dan pengkhianatan yang sungguh rendah dan kotor.

 

Jadi kalau dua orang saja dari lima puluh tawanan Badr itu yang dibunuh oleh Muslimin, karena mereka selama tiga belas tahun memang begitu kejam terhadap kaum Muslimin, yang sampai menderita pelbagai

 

macam siksaan selama di Mekah, itu pun karena adanya sikap kasihan yang berlebih-lebihan dan dianggap sebagai suatu keuntungan yang terlalu pagi seperti disebutkan dalam ayat:

 

“Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki kekayaan duniawi, sedang Allah menghendaki akhirat. Allah Maha Kuasd dan Bijaksana.”

 

Berita di Mekah

 

Sementara orang-orang Islam sedang bersukaria karena dengan anugerah Tuhan mereka mendapat kemenangan berikut harta rampasan, Haisuman b. Abdullah al-Khuza’i secara tergesa-gesa sckali berangkat pula menuju Mekah. Dia menjadi orang yang pertama masuk di Mekah dan memberitahukan penduduk mengenai hancurnya pasukan Quraisy serta bencana yang telah menimpa pembesar-pembesar, pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawan mereka. Pada mulanya Mekah terkejut sekali, dan tidak mempercayai berita itu. Betapa takkan terkejut mendengar berita kehancuran itu serta terbunuhnya pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawan mereka! Tetapi tampaknya Haisuman memang tidak mengigau, diyakinkannya sekali apa yang dikatakannya. Dari pihak Quraisy dia sendiri memang yang merasa paling terpukul dengan bencana itu.

 

Kematian Abu Lahab

 

Setelah ternyata berita kejadian tersebut memang benar, seolah-olah mereka tersungkur jatuh pingsan. Abu Lahab jatuh demam, dan tujuh hari kemudian ia pun meninggal. Sekarang orang-orang mengadakan perundingan, apa yang harus mereka lakukan. Kemudian dicapai kata sepakat untuk tidak menyatakan dukacita atas kematian mereka, sebab apabila nanti ini terdengar oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka akan diejek. Juga tidak akan mengirim orang untuk menebus para tawanan itu, supaya jangan sampai Muhammad dan sahabat-sahabatnya nanti memperketat mereka dan meminta tebusan yang terlampau tinggi.

 

Penebusan Para Tawanan

 

Hari pun berjalan juga. Orang-orang Quraisy sedang menahan hati mengalami cobaan itu sambil menunggu kesempatan sampai dapat tawanan-tawanan mereka itu nanti tertebus. Hari itu yang datang adalah Mikraz b. Hafz, hendak menebus Suhail b. “Amr. Rupanya Umar bin’I-Khattab keberatan kalau orang itu bebas tanpa mendapat sesuatu gangguan. Maka lalu ia berkata:

 

“Rasulullah. Izinkan saya mencabut dua gigi seri Suhail b. “Amr ini, supaya lidahnya menjulur keluar dan tidak lagi berpidato mencercamu di mana-mana.”

 

Tapi ini dijawab oleh Nabi dengan suatu jawaban yang sungguh agung:

 

“Aku tidak akan memperlakukannya secara kejam, supaya Tuhan tidak memperlakukan aku demikian, sekalipun aku seorang nabi.” Zainab putri Nabi juga lalu mengirimkan tebusan hendak membebas. kan suaminya, Abu’l-“Ash b. Rabi. Di antara yang dipakai penebus itu ialah sebentuk kalung pemberian Khadijah ketika dulu ia akan dikawinkan dengan Abu’lAsh. Melihat kalung itu, Nabi merasa sangat terharu sekali. “Kalau tuan-tuan hendak melepaskan seorang tawanan dan mengem. balikan barang tebusannya kepada si pemilik, silakan saja”, kata Nabi. Kemudian ia mendapat kata sepakat dengan Abu’l-‘Ash untuk menceraikan Zainab, yang menurut hukum Islam mereka sudah bercerai. Dalam pada itu Muhammad mengutus Zaid b. Haritha dan seorang sahabat lagi guna menjemput Zainab dan membawanya ke Medinah.

 

Akan tetapi sesudah sekian lama Abu’l-“Ash dibebaskan sebagai tawanan, ia berangkat ke Syam membawa barang dagangan Quraisy. Sesampainya di dekat Medinah, ia bertemu dengan satuan Muslimin. Barang-barang bawaannya mereka ambil. Ia meneruskan perjalanan dalam gelap malam itu hingga ke tempat Zainab. Ia minta perlindungan dari Zainab dan Zainab pun melindunginya pula. Ketika itu barang-barang dagangannya dikembalikan oleh Muslimin kepadanya dan dengan aman ia kembali ke Mekah. Setelah barang-barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing dari kalangan Quraisy, ia berkata:

 

“Masyarakat Quraisy! masih adakah dari kamu yang belum mengambil barangnya?”

 

“Tidak ada”, jawab mereka. “Mudah-mudahan Tuhan membalas kebaikanmu. Engkau ternyata orang yang jujur dan murah hati.”

 

“Saya naik saksi”, katanya lagi kemudian, “bahwa tak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Sebenarnya saya dapat saja masuk Islam di kotanya itu, tapi saya kuatir tuan-tuan akan menduga, bahwa saya hanya ingin makan harta tuan-tuan ini. Setelah semua ini saya kembalikan kepada tuan-tuan dan tugas saya selesai, maka sekarang saya masuk Islam.”

 

Kemudian ia kembali ke Medinah. Zainab juga oleh Nabi dikembalikan lagi kepadanya.

 

Dalam pada itu pihak Quraisy terus saja menebus tawanannya. Nilai tebusan waktu itu berkisar antara seribu sampai empat ribu dirham untuk tiap orang. Kecuali yang tidak punya apa-apa dengan kemurahan hati: Muhammad membebaskannya. Quraisy Menangisi Mayatnya

 

Rasanya tidak ringan nasib yang menimpa Quraisy itu, juga mereka tidak mau menghentikan permusuhan dengan Muhammad atau melupa. kan kekalahan yang mereka alami. Bahkan sesudah itu kemudian wanita. wanita Quraisy itu ramai-ramai selama sebulan penuh menangisi mayat mereka. Rambut kepala mereka sendiri mereka gunting. Kendaraan atay kuda orang yang sudah mati itu dibawa, lalu mereka menangis menge. lilinginya.

 

Hindun dan Abu Sufyan

 

Dalam hal ini tak ada yang ketinggalan, kecuali Hindun bt. “Utba, istri Abu Sufyan. Ketika pada suatu hari ia didatangi oleh wanita-wanita dengan mengatakan: “Kau tidak menangisi ayahmu, saudaramu, pamanmu dan keluargamu?”

 

la menjawab:

 

“Aku menangisi mereka? Supaya kalau nanti didengar oleh Muhammad dan teman-temannya mereka menyoraki kita? Dan wanita-wanita Khazraj juga akan menyoraki kita? Tidak! Aku mesti menuntut balas kepada Muhammad dan teman-temannya! Haram kita memakai minyak sebelum dapat kita memerangi Muhammad. Sungguh, kalau aku dapat mengetahui, bahwa kesedihan itu bisa hilang dari hatiku, tentu aku menangis. Tetapi ini baru akan hilang kalau mangsaku yang membunuh orang-orang yang kucintai itu sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri!”

 

Memang ia tidak lagi memakai minyak atau mendekati tempat tidur Abu Sufyan. Ia terus mengerahkan orang sampai pada waktu pecah perang Uhud. Sedang Abu Sufyan, sesudah peristiwa Badr, ia bernazar tidak akan bersuci kepala dengan air sebelum ia memerangi Muhammad.

 

Kesan Badr di Medinah — Orang-orang Yahudi Berkomplot – Terbunuhnya Abu ‘Afak dan Ashma’ — Matinya Ka’b b. Asyraf — Kecemasan dan Permusuhan Pihak Yahudi — Banu Qainuqa Terkepung — Abdullah b. Ubayy b. Salul – Mengosongkan Medinah — Kesatuan Politik di Medinah — Ekspedisi Sawig – Terancamnya Jalan Pantai ke Syam — Ketakutan Orang Arab terhadap Kaum Muslimin — Ketakutan Yahudi — Quraisy Mengambil Jalan Irak ke Syam – Perkawinan Muhammad dengan Hafsha Kesan Badr di Medinah

 

PERISTIWA Badr itu telah menimbulkan kesan yang dalam sekali di Mekah, sebagaimana sudah kita lihat. Bila saja terdapat kesempatan, hasrat hendak membalas dendam terhadap Muhammad dan Muslimin itu besar sekali. Tetapi pengaruh yang timbul di Medinah ternyata lebih jelas dan lebih erat berhubungan dengan kehidupan Muhammad dan Muslimin bersama-sama. Sesudah peristiwa Badr, golongan Yahudi, orang-orang musyrik dan kaum munafik sudah merasakan sekali adanya kekuatan kaum Muslimin yang bertambah. Mereka melihat bahwa orang asing ini yang datang ke tempat mereka kurang dari dua tahun yang lalu pergi hijrah dari Mekah, kini tambah besar kewibawaannya dan tambah kuat pula kedudukannya, bahkan hampir menjadi orang yang menguasai seluruh penduduk Medinah, bukan hanya golongannya sendiri saja. Orang-orang Yahudi Berkomplot

 

Seperti sudah kita lihat orang-orang Yahudi sejak sebelum Badr sudah mulai menggerutu dan mengadakan bentrokan-bentrokan dengan pihak Muslimin, sehingga banyak peristiwa-peristiwa yang kalau tidak sampai meletus, seolah hanya karena masih adanya perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak itu. Itu pula sebabnya, begitu kaum Muslimin kembali dari Badr membawa kemenangan, beberapa kelompok di sekitar Medinah mulai saling bermain mata dan berkomplot. Mereka mulai dihasut dan dibuatkan sajak-sajak yang sifatnya membangkitkan semangat mereka. Dengan demikian, gelanggang revolusi itu kini pindah dari Mekah ke Medinah, dan dari bidang agama ke bidang politik. Jadi yang diperangi sekarang bukan hanya dakwah Muhammad dalam bidang agama saja, melainkan kewibawaan dan pengaruhnya juga membuat hati mereka jadj kecut. Faktor ini yang menyebabkan mereka berkomplot dan membuat rencana hendak membunuhnya.

 

Tetapi semua rahasia itu bukan tidak diketahui oleh Muhammad, Bahkan ia sudah mengetahui semua berita dan setiap rencana yang ditujukan kepadanya itu. Baik pada pihak Muslimin ataupun pihak Yahudi, dari hari ke hari, sedikit demi sedikit hati mereka sudah sarat oleh rasa kebencian. Satu sama lain tinggal lagi menunggu adanya bencana yang akan menimpa lawannya.

 

Sampai pada waktu kaum Muslimin mendapat kemenangan di Badr, mereka masih merasa takut juga kepada penduduk Medinah. Mereka belum berani mengadakan serangan balasan apabila ada seorang Muslim yang diserang. Tatkala mereka sudah kembali membawa kemenangan itu Seorang-orang yang bernama Salim b. “Umair telah mengambil tindakan sendiri terhadap Abu “Afak (dari Banu (Amr b. “Auf), karena orang ini membuat sajak-sajak yang isinya menyerang Muhammad dan kaum Muslimin. Juga orang ini yang telah membakar semangat golongannya supaya memerangi Muslimin. Sampai pada waktu peristiwa Badr selesai ia masih terus menghasut orang.

 

Terbunuhnya Abu “Afak dan Ashma’

 

Suatu malam ketika angin sedang bertiup kencang Salim mendatangi Abu “Afak. Ia sedang tidur di beranda rumahnya. Oleh Salim ditancapkannya pedangnya ke arah hatinya hingga menembus sampai ke pelaminan. Demikian juga “Ashma’ bt. Marwan (dari Banu Umayya b. Zaid). Wanita ini selalu memaki Islam, menyakiti hati dan mengerahkan orang supaya melawannya. Hal ini dilakukannya terus sampai pada waktu sesudah selesainya perang Badr. Pada suatu malam buta ia didatangi oleh “Umair b. “Auf yang masuk sampai ke dalam rumahnya. Ia dikelilingi oleh anakanaknya yang sedang tidur, ada pula yang sedang disusui. Sebenarnya penglihatan “Umair lemah sekali. Ia meraba-raba dengan tangannya dan terpegang olehnya bayi yang sedang disusui itu. Dihalaunya bayi itu dari Sisi ibunya, kemudian dipusatkannya pedangnya ke dada wanita itu sampai menembus punggungnya.

 

Bila “Umair kemudian kembali dari tempat Nabi setelah menyampaikan berita itu, ia melihat anak-anaknya dan beberapa orang sedang menguburkan wanita tersebut. Mereka datang menemuinya seraya bertanya:

 

“Umair, kau yang membunuh wanita itu?”

 

“Ya,” jawabnya. “Jalankanlah tipu-muslihatmu itu terhadapku dan jangan lagi ditunda-tunda. Aku bersumpah demi Dia yang memegang hidupku! kalau kamu semua mengeluarkan kata-kata seperti wanita itu, akan kuhantam kamu dengan pedangku ini. Aku yang mati, atau kamu semua kubunuh.

 

Sikap “Umair yang berani ini telah membawa akibat lahirnya Islam di tengah-tengah kabilah Banu Khatma itu. Suami Ashma’ adalah dari kabilah ini juga. Dari golongan ini yang tadinya masuk Islam dengan sembunyi-sembunyi, sekarang sudah berani mereka berterus-terang dan menggabungkan diri ke dalam barisan dan bersama-sama dengan kaum Muslimin lainnya.

 

Matinya Ka’b b. Asyraf

 

Kiranya cukup kalau kita tambahkan atas dua macam peristiwa di atas ini dengan peristiwa matinya Ka’b b. Asyraf. Ketika mendengar matinya beberapa orang pemuka-pemuka Mekah, dialah orangnya yang mengatakan: “Mereka itu bangsawan-bangsawan Arab dan pemimpin-pemimpin. Sungguh, kalau Muhammad sampai mengalahkan mereka, maka lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi.” Dia pula orangnya, yang telah berangkat ke Mekah — setelah mendapat kabar yang pasti -mengerahkan orang untuk melawan Muhammad, menyanyikan sajak sajak dan menangisi mereka yang terkubur dalam perigi. Dia juga orangnya yang kemudian setelah kembali ke Medinah berusaha mencumbu wanita-wanita Islam. Orang tahu betapa watak dan perangai orang Arab dalam hal ini, betapa mereka menghargai arti kehormatan ini. Untuk itu semangat mereka bangkit. Kaum Muslimin begitu marah. Mereka sudah sepakat hendak membunuh Ka’b. Beberapa orang dari mereka sudah berkumpul. Salah seorang di antara mereka mendatanginya sambil memancingnya dengan memburuk-burukkan Muhammad.

 

“Kedatangan orang ini kemari membawa bencana,” kata salah seorang. “Membuat orang-orang Arab saling bermusuhan dan berpecah-belah. Hubungan kerabat kita terputus, sanak-keluarga hilang dan Orang melakukan perjalanan jauh jadi sukar.”

 

Setelah saling beramah-tamah dengan Ka’b, maka ia dan teman. temannya minta uang kepada Ka’b dengan jalan menggadaikan baju besinya. Ka’b pun setuju asal nanti dibawa. Ketika ia sedang berada di rumahnya yang agak jauh dari Medinah, pada waktu menjelang malam terdengar Abu Na’ila (salah seorang yang berkomplot memanggilnya. Ia keluar menghampirinya, sekalipun sudah diperingatkan oleh istrinya jangan keluar rumah pada waktu malam begitu. Kedua orang itu terus berjalan hingga bertemu dengan teman-teman Abu Na’ila. Ka’b tenteram saja tidak merasa takut. Mereka bersama-sama berjalan kaki hingga agak jauh dari tempat tinggal Ka’b, sambil terus bercakap-cakap. Mereka bercerita tentang diri mereka sendiri dan betapa mereka itu mengalami kesukaran. Ka’b merasa makin tenang.

 

Sementara mereka sedang berjalan itu Abu Na’ila meletakkan tangannya di atas kepala Ka’b, dan tangannya itu kemudian diciumnya. “Belum pernah aku mengalami malam seharum ini,” katanya.

 

Setelah dilihatnya Ka’b tidak menaruh curiga lagi kepada mereka, kembali lagi Abu Na’ila meletakkan tangannya di rambut Ka’b, kemudian digenggamnya kedua pelipis orang itu seraya berkata:

 

“Hantamlah musuh Tuhan ini!”

 

. Mereka menghantamnya dengan pedang, dan saat itu ia menemui ajalnya. Kecemasan dan Permusuhan Pihak Yahudi

 

Kejadian ini membuat pihak Yahudi bertambah cemas. Mereka semua merasa kuatir akan nasibnya sendiri. Tetapi sampai nyawa mereka melayang pun, mereka tidak juga mau berhenti mengecam Muhammad dan kaum Muslimin. Ada seorang wanita Arab datang ke pasar Yahudi Banu Qainuqa’ dengan membawa perhiasan. Ia sedang duduk menghadapi tukang emas. Mereka berusaha supaya ia memperlihatkan mukanya. Tapi wanita itu menolak. Tiba-tiba datang seorang Yahudi dengan diam-diam dari belakang. Disematkannya ujung baju wanita itu dengan sebatang penyemat ke punggungnya, dan bila wanita itu berdiri, maka tampaklah auratnya. Mereka ramai-ramai menertawakannya. Wanita itu menjeritjerit. Waktu itu juga seorang laki-laki Muslim langsung menerkam tukang emas tersebut — seorang orang Yahudi, lalu dibunuhnya. Orang-orang Yahudi yang lain datang ramai-ramai mengikat laki-laki Muslim itu lalu mereka bunuh juga.

 

Sekarang keluarga Muslim ini minta bantuan kaum Muslimin dalam menghadapi pihak Yahudi, yang selanjutnya sampai timbul bencana besar antara mereka dengan pihak Yahudi Banu Qainuqa’.

 

Banu Qainuqa Terkepung

 

Kemudian Muhammad minta kepada mereka ini supaya jangan lagi mengganggu kaum Muslimin dan supaya tetap memelihara perjanjian perdamaian dan ke-eksistensi yang sudah ada. Kalau tidak mereka akan mengalami nasib seperti Quraisy. Akan tetapi peringatan ini oleh mereka diremehkan. Malah mereka menjawab:

 

“Muhammad, jangan kau tertipu karena kau sudah berhadapan dengan suatu golongan yang tidak punya pengetahuan berperang sehingga engkau mendapat kesempatan mengalahkan mereka. Tetapi kalau sudah kami yang memerangi kau, niscaya akan kau ketahui, bahwa kami inilah orangnya.”

 

Jika sudah begitu, maka tak ada jalan lain kecuali harus memerangi mereka juga. Kalau tidak, kaum Muslimin dan kedudukan mereka di Medinah akan runtuh, dan selanjutnya akan menjadi bahan cerita pihak Quraisy, sesudah pihak Quraisy sebelum itu menjadi bahan cerita orangorang Arab.

 

Kaum Muslimin sekarang bertindak dan mengepung orang-orang Yahudi Banu Qainuqa’ berturut-turut selama lima belas hari di tempat mereka sendiri. Tak ada orang yang dapat keluar dari mereka itu, juga tak ada orang yang dapat masuk membawakan makanan. Tak ada jalan lain lagi mereka sekarang harus tunduk kepada undang-undang Muhammad, menyerah kepada ketentuannya. Lalu mereka menyerah. Sesudah bermusyawarah dengan pemuka-pemuka Muslimin, Muhammad menetapkan akan membunuh mereka itu semua.

 

Abdullah b. Ubayy b. Salul

 

Akan tetapi lalu datang Abdullah b. Ubayy b. Salul — orang yang bersekutu baik dengan Yahudi maupun dengan Muslimin.

 

“Muhammad”, katanya. “Hendaklah berlaku baik terhadap pengikutpengikutku.”

 

Nabi tidak segera menjawab. Lalu diulangnya lagi permintaannya. Tetapi Nabi menolak. Orang itu memasukkan tangannya ke saku baju besi Muhammad. Muhammad berubah air mukanya. Lalu katanya:

 

“Lepaskan!” Ia marah. Kemarahannya itu tampak terbayang di wajahnya. Kemudian diulanginya lagi dengan nada suara yang masih membayangkan kemarahan. “Lepaskan! Celaka kau!”

 

“Tidak akan kulepaskan sebelum kau bersikap baik terhadap pengikut-pengikutku. Empat ratus orang tanpa baju besi dan tiga ratus orang dengan baju besi telah merintangi aku melakukan perang habis-habisan, dan kau babat mereka dalam satu hari! Sungguh aku kuatir akan timbul bencana.”

 

Sampai pada waktu itu Abdullah adalah orang yang masih mempunyai kekuasaan atas orang-orang musyrik dari kalangan Aus dan Khazraj, meskipun kekuasaan ini, dengan adanya kekuatan kaum Muslimin telah menjadi lemah.

 

Melihat desakan orang itu yang demikian rupa, Nabi kembali menjadi tenang. Apalagi setelah “Ubada bin’sh-Shamit datang kepadanya bicara seperti pembicaraan Ibn Ubayy. Ketika itu ia berpendapat akan memberi, kan belas kasihannya kepada Abdullah b. Ubayy, dan kepada orang-orang musyrik pengikut-pengikut Yahudi supaya dengan budi kebaikannya dan rasa kasihannya itu mereka akan merasa berutang budi kepadanya. Akan tetapi, sebagai akibat perbuatan mereka sendiri Banu Qainuqa” harus mengosongkan kota Medinah.

 

Mengosongkan Medinah

 

Ibn Ubayy ingin bicara sekali lagi dengan Muhammad mengenai keadaan mereka yang masih ingin menetap di sana itu. Tetapi salah seorang dari kalangan Islam berhasil mencegah adanya pertemuan Ibn Ubayy dengan Muhammad. Mereka lalu bertengkar sehingga kepala Abdullah kena pukul. Ketika itu Banu Qainuqa’ berkata: “Kami bersumpah tidak akan tinggal di kota ini sesudah kepala Ibn Ubayy dipukul sedang kami tidak dapat membelanya.”

 

Dengan demikian, setelah mereka tunduk dan menyerah hendak meninggalkan Medinah, “Ubada membawa mereka itu ke Wadi’l-Oura dengan meninggalkan perlengkapan senjata dan alat-alat tukang emas yang mereka pergunakan. Di tempat ini lama mereka tinggal, dan dari sini barang-barang mereka semua mereka bawa. Mereka menuju ke arah utara sampai di Adhri’at di perbatasan Syam. Di tempat inilah mereka menetap. Atau mungkin juga mereka tertarik ingin ke sebelah utara lagi ke Tanah yang Dijanjikan (Palestina) yang selalu menjadi idaman orang-orang Yahudi.

 

Kesatuan Politik di Medinah

 

Kekuasaan orang-orang Yahudi di Medinah menjadi lemah sekali setelah Banu Qainuqa’ meninggalkan kota ini. Sebagian besar orangorang Yahudi yang disebut-sebut dari Medinah ini, mereka tinggal jauh di Khaibar dan Wadr’l-Oura. Hasil inilah yang menjadi tujuan Muhammad dengan mengosongkan mereka itu. Ini adalah suatu langkah politik yang sungguh cemerlang dalam memperlihatkan kebijaksanaan dan pandangan yang jauh itu. Ini juga merupakan suatu pendahuluan yang tidak bisa tidak akan mempunyai pengaruh politik yang kelak akan berjalan sesuai dengan garis yang telah ditentukan oleh Muhammad. Dalam mempersatukan sesuatu kota yang paling berbahaya adalah adanya pertentangan golongan, Apabila sengketa golongan-golongan ini harus terjadi juga, maka harus pula berakhir pada adanya kemenangan satu golongan atas golongan lainnya yang juga berarti akan berkesudahan dengan menguasainya.

 

Ada beberapa penulis sejarah yang telah mengecam tindakan kaum Muslimin terhadap orang-orang Yahudi itu, dengan anggapan bahwa kisah wanita Islam yang pergi kepada tukang emas itu akan mudah saja penyelesaiannya selama yang terbunuh itu seorang dari pihak Islam dan seorang pula dari pihak Yahudi. Sebenarnya dapat saja kita menolak pendapat ini dengan mengatakan, bahwa terbunuhnya seorang Yahudi dan seorang Muslim itu belum dapat menghapus coreng penghinaan terhadap kaum Muslimin yang disebabkan oleh pribadi wanita yang telah dipermainkan oleh orang Yahudi itu. Bagi orang Arab, melebihi bangsa mana pun, masalah semacam ini dapat mengakibatkan timbulnya huru-hara, dapat menimbulkan peperangan antara dua kabilah atau dua golongan selama bertahun-tahun — hanya karena soal semacam itu saja. Dalam sejarah Arab contoh-contoh serupa itu sudah cukup pula dikenal terutama oleh mereka yang pernah mempelajarinya.

 

Tetapi, di samping pertimbangan ini masih ada pertimbangan lain yang lebih penting lagi. Peristiwa seorang wanita yang telah menyebabkan terkurungnya Banu Qainuqa’ dan terusirnya mereka dari Medinah, adalah sama seperti terbunuhnya putra mahkota Austria di Sarayevo dalam tahun 1914 yang telah menyebabkan pecahnya Perang Dunia dan melibatkan seluruh benua Eropa. Soalnya hanyalah sepercik api yang menyala, yang kemudian membakar hati kaum Muslimin dan Yahudi bersama-sama demikian rupa, sehingga akhirnya dapat menimbulkan letusan serta segala akibat yang timbul karenanya.

 

Sebenarnya, adanya orang-orang Yahudi, adanya orang musyrik dan orang-orang munafik di Medinah, di samping orang-orang Islam, telah memperkuat timbulnya perpecahan itu. Dari segi politik, Medinah merupakan sebuah kawah yang tidak bisa tidak pasti akan meletus. Jadi, terkepungnya Banu Qainuqa’ dan dikeluarkannya mereka dari Medinah adalah gejala pertama ke arah timbulnya letusan itu.

 

Sudah wajar sekali bilamana penduduk Medinah di luar kaum Muslimin menjadi kecut setelah Banu Qainuqa’ dikeluarkan dari kota itu, yang dari luar tampak aman dan tenteram, tapi sebenarnya akan disusul kelak oleh timbulnya angin badai dan topan. Keadaan aman dan tenteram ini telah dirasakan orang selama sebulan, dan seharusnya akan terus demikian selama beberapa bulan, kalau tidak karena Abu Sufyan yang sudah tidak tahan lagi tinggal lama-lama di Mekah, mendekam di bawah telapak kehinaan kekalahannya di Badr, tanpa menanamkan kembali dalam pikiran orang-orang Arab di seluruh Semenanjung itu, bahwa Quraisy masih kuat, masih bersemangat dan masih mampu berperang dan bertempur.

 

Ekspedisi Sawig

 

Karena itu, ia lalu mengumpulkan dua ratus orang — ada yang mengatakan empat puluh orang — dari penduduk bersama-sama dia, Apabila mereka sudah sampai di dekat Medinah, menjelang pagi mereka berangkat lagi ke sebuah daerah bernama “Uraidz. Di tempat ini mereka bertemu dengan seorang-orang Anshar dan seorang teman sekerjanya di kebun mereka sendiri. Kedua orang itu mereka bunuh dan dua buah rumah serta sebatang pohon kurma di “Uraidz itu mereka bakar. Menurut Abu Sufyan, sumpahnya hendak memerangi Muhammad itu sudah terpenuhi. Sekarang ia kembali melarikan diri, takut akan dikejar oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.

 

Muhammad minta beberapa orang sahabat. Dengan dipimpin sendiri mereka berangkat mengejarnya hingga di Oargarat’I-Kudr. Abu Sufyan dan rombongannya makin kencang melarikan diri. Mereka makin ketakutan. Bahan makanan bawaan mereka yang terdiri dari sawig’ mereka lemparkan, yang kemudian diambil oleh kaum Muslimin yang lalu di tempat tersebut. “

 

Setelah melihat bahwa mereka itu terus melarikan diri, Muhammad dan sahabat-sahabatnya kemudian kembali ke Medinah. Larinya Abu Sufyan itu berbalik merupakan pukulan terhadap dirinya sendiri, sebab sebelum itu ia mengira bahwa Quraisy akan dapat mengangkat muka lagi sesudah terjadinya bencana yang pernah dialami di Badr itu.

 

Karena sawig yang dibuang oleh Quraisy itulah, maka ekspedisi ini dinamai “Ekspedisi Sawig”.

 

Terancamnya Jalan Pantai ke Syam

 

Berita tentang Muhammad ini kini tersebar luas di seluruh kalangan Arab. Kabilah-kabilah yang jauh-jauh tetap enak-enak di tempat mereka, sedikit sekali memperhatikan keadaan kaum Muslimin, yang sampai pada waktu itu — masih menjadi orang yang lemah, masih mencari perlindungan di Medinah — sekarang mereka telah dapat menahan Quraisy, dapat mengeluarkan Banu Qainuqa’, dapat membuat Abdullah b. Ubayy jadi ketakutan dan dapat mengusir Abu Sufyan. Mereka dapat memperlihatkan diri dengan suatu sikap yang tidak seperti biasa.

 

Sebaliknya, kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Medinah mulaj melihat apa yang akan mengancam nasib mereka dengan adanya kekuatan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga adanya perimbangan kekuatan ini dengan kekuatan Quraisy di Mekah, suatu perimbangan yang akibat-akibatnya sangat mereka takutkan. Soalnya jalah karena jalan pantai ke Syam adalah satu-satunya jalan rata yang sudah dikenal. Perdagangan Mekah melalui jalan ini dalam arti ekonomi membawa keuntungan yang berarti juga bagi kabilah-kabilah itu. Antara Muhammad dengan kabilah-kabilah yang ada di perbatasan pantai itu sudah ada perjanjian. Tetapi jalan ini sekarang terancam dan perjalanan musim panas pun terancam bahaya pula, yang mungkin kelak Quraisy akan terpaksa meninggalkan perbatasan pantai itu. Apa pula nasib yang akan menimpa kabilah-kabilah ini apabila perdagangan Quraisy nanti jadi terputus? Bagaimana orang dapat membayangkan mereka akan dapat menanggung kesulitan hidup di atas daerah yang alamnya memang begitu sulit dan tandus? Jadi sudah sepatutnya mereka memikirkan nasib mereka itu serta apa pula akibat yang mungkin akan menimpa karena situasi baru yang belum pernah mereka kenal sebelum Muhammad dan sahabatsahabatnya itu hijrah ke Medinah, sebab sebelum kemenangan Muslimin di Badr kehidupan kabilah-kabilah itu belum pernah mengalami ancaman seperti yang mereka bayangkan sekarang.

 

Ketakutan Orang Arab terhadap Kaum Muslimin

 

Peristiwa perang Badr itu telah menimbulkan rasa takut dalam hati kabilah-kabilah itu. Adakah mereka barangkali iri hati terhadap Medinah lalu akan menyerang kaum Muslimin, atau apa yang harus mereka lakukan?

 

Karena sudah ada berita yang sampai kepada Muhammad bahwa ada beberapa golongan dari Ghatafan dan Banu Sulaim yang bermaksud hendak menyerang kaum Muslimin, maka ia segera berangkat ke Oargarat’I-Kudr guna memotong jalan mereka. Di tempat ini ia melihat jejak-jejak binatang ternak tapi tak seorang pun yang ada di padang itu. Disuruhnya beberapa orang sahabatnya naik ke atas wadi dan dia sendiri menunggu di bawah. Ia bertemu dengan seorang anak bernama Yasar. Dari pertanyaannya kepada anak itu ia mengetahui bahwa rombongan itu naik ke bagian atas mata air. Oleh kaum Muslimin ternak yang ada di tempat itu dikumpulkan dan dibagi-bagikan antara sesama mereka sesudah seperlimanya diambil oleh Muhammad, seperti ditentukan menurut nas Quran. Konon katanya barang rampasan itu sebanyak lima ratus ekor unta. Sesudah seperlima dipisahkan oleh Nabi, sisanya dibagikan. Setiap orang mendapat bagian dua ekor unta.

 

Juga sudah ada berita yang sampai kepada Muhammad, bahwa ada beberapa golongan dari Banu Tha’laba dan Banu Muharib di Dhu Amar, yang telah berkumpul. Mereka bersiap-siap akan melakukan serangan Nabi a.s. segera berangkat dengan 450 orang Muslimin. Ia bertemu dengan Salah seorang anggota kabilah Tha’laba ini, dan ketika ditanyainya tentang rombongan itu ditunjukkannya tempat mereka.

 

“Muhammad, kalau mereka mendengar keberangkatanmu ini, mereka lari ke puncak-puncak gunung,” kata orang itu. “Saya bersedia berjalan bersamamu dan menunjukkan tempat-tempat persembunyiar mereka.”

 

Tetapi orang-orang yang iri hati itu tatkala mendengar bahwa Muhammad sudah berada dekat dari mereka, cepat-cepat mereka lari ke gunung-gunung.

 

Selanjutnya sampai pula berita, bahwa sebuah rombongan besar darj Banu Sulaim di Bahran sudah siap-siap akan menyerang. Pagi-pagi sekali ia segera berangkat dengan 300 orang, dan satu malam sebelum sampai dj Bahran dijumpainya seorang laki-laki dari kabilah Banu Sulaim. Ketika ditanyakan oleh Muhammad tentang mereka itu, dikatakannya bahwa mereka telah cerai-berai dan sudah kembali pulang.

 

Demikian jugalah halnya dengan orang-orang Arab Badwi, mereka serba ketakutan kepada Muhammad, gelisah akan nasib mereka sendiri. Begitu terpikir oleh mereka hendak berkomplot terhadap Muhammad, hendak berangkat memeranginya, tapi baru mendengar saja mereka, bahwa ia sudah berangkat hendak menghadapi mereka, hati mereka sudah kecut ketakutan.

 

Ketakutan Yahudi

 

Pada waktu inilah pembunuhan terhadap Ka’b b. Asyraf itu terjadi, seperti yang sudah kita kemukakan di atas. Sejak itu orang-orang Yahudi merasa ketakutan. Mereka tinggal dalam lingkungannya sendiri, tak ada yang berani keluar. Mereka kuatir akan mengalami nasib seperti Ka’b. Lebih-lebih lagi ketakutan mereka, setelah Muhammad menghalalkan darah mereka sesudah peristiwa Banu Qainuqa” yang sampai harus mengalami blokade itu.

 

Oleh karena itu mereka lalu datang menemui Muhammad mengadukan hal-ihwal mereka. Mereka mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Ka’b itu adalah pembunuhan gelap, dia tidak berdosa dan persoalannya pun tidak diberitahukan. Tetapi jawabnya kepada mereka: Dia sangat mengganggu kami, mengejek kami dengan sajak. Sekiranya dia tetap saja seperti yang lain-lain yang sepaham dengan dia, tentu dia tidak akan mengalami bencana.

 

Setelah terjadi pembicaraan yang cukup lama dengan mereka, maka dimintanya mereka membuat sebuah perjanjian bersama dan supaya mereka dapat menghormati isi perjanjian itu. Tetapi orang-orang Yahudi sudah merasa hina sendiri dan ketakutan, meskipun yang tersimpan dalam hati mereka terhadap Muhammad akan tampak juga akibatnya kelak. Duraisy Mengambil Jalan Irak ke Syam

 

Apa yang harus dilakukan Quraisy dengan perdagangannya itu setelah ternyata Muhammad kini menguasai jalan tersebut?

 

Hidupnya Mekah dari perdagangan. Apabila jalan ke arah itu tidak ada, maka ini adalah bahaya yang tidak akan pernah dialami oleh kota lain. Sekarang Muhammad akan membuat blokade atas jalan itu, dan posisinya akan dihancurkan dari jiwa orang Arab.

 

Dalam hal ini Shafwan b. Umayya berkata di hadapan orang-orang Quraisy:

 

“Perdagangan kita sekarang telah dirusak oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Tidak tahu lagi kita apa yang harus kita perbuat terhadap pengikut-pengikutnya itu, sementara mereka tidak pula mau meninggalkan pantai. Dan orang-orang pantai pun sudah pula mengadakan perjanjian perdamaian dengan mereka dan golongan awamnya juga sudah jadi pengikutnya. Tidak tahu di mana kita harus tinggal. Kalau kita tinggal saja di tempat kita ini, berarti kita akan makan modal sendiri, dan ini tidak akan bisa bertahan. Hidup kita di Mekah ini hanya bergantung pada perdagangan, musim panas ke Syam dan musim dingin ke Abisinia.”

 

Aswad b. Abd’l-Muttalib menjawab:

 

“Jalan ke pantai sudah dibelokkan. Ambil sajalah jalan Irak.”

 

Lalu ditunjukkannya kepada mereka itu Furat b. Hayyan dari kabilah Banu Bakr b. Wa’il supaya menjadi penunjuk jalan.

 

“Teman-teman Muhammad tidak pernah menginjakkan kakinya ke jalan Irak”, kata Furat. “Jalan ini merupakan dataran tinggi dan padang pasir.”

 

Tetapi Shafwan tidak takut padang pasir. Selama perjalanan itu dalam musim dingin tidak seberapa mereka membutuhkan air. Untuk itu Shafwan sudah menyediakan perak dan barang lain seharga 100.000 dirham. Ketika Quraisy sedang sibuk mengatur perjalanan yang akan membawa perdagangannya itu, Nu’aim b. Mas’ud al-Asyja’i sedang berada di Mekah. Ia pulang kembali ke Medinah. Apa yang dibicarakan dan diperbuat Quraisy itu meluncur juga dari lidahnya dan sampai kepada Salah seorang dari kalangan Islam. Orang yang belakangan ini cepat-cepat menyampaikan berita itu kepada Muhammad. Waktu itu juga Nabi menugaskan Zaid b. Haritha dengan seratus orang pasukan berkendaraan, Mereka mencegat perdagangan itu di Oarda, (sebuah pangkalan air di Najd. Orang-orang Quraisy itu lari dan kafilah dagangnya dikuasaj Muslimin. Ini merupakan rampasan berharga yang pertama sekali dikuasaj oleh kaum Muslimin.

 

Kemudian Zaid dan anak buahnya kembali. Setelah yang seperlima dipisahkan oleh Muhammad sisanya dibagikan kepada yang lain. Selanjut. nya Furat b. Hayyan dibawa, dan untuk keselamatannya kepadanya ditanyakan untuk masuk Islam, dan ini pun diterimanya.

 

Sesudah semua ini adakah Muhammad lalu merasa puas bahwa keadaan sudah stabil? Atau sudah terpesona oleh hari itu saja laly melupakan hari esoknya? Ataukah juga sudah terbayang olehnya, bahwa ketakutan kabilah-kabilah dan diperolehnya rampasan dari Quraisy sudah menunjukkan, bahwa perintah Allah dan perintah Rasul-Nya sudah dapat diamankan dan tak perlu lagi dikuatirkan? Ataukah kepercayaannya akan pertolongan Tuhan itu berarti ia boleh berbuat sesuka hati, karena sudah mengetahui bahwa segala persoalan keputusannya berada di tangan Tuhan? Tidak! Memang benar, segala persoalan keputusannya di tangan Tuhan. Tetapi orang tidak akan mendapat perubahan dalam hukum Tuhan itu. Tak ada jalan lagi orang akan membantah adanya naluri yang sudah ditanamkan Tuhan dalam dirinya. Quraisy sebagai pemimpin orang Arab, tidak mungkin mereka akan surut dari tindakan membalas dendam. Kafilah Shafwan b. Umayya yang sudah dikuasai itu pun akan menambah hasrat mereka hendak membalas dendam, akan bertambah keras kehendak mereka mengadakan serangan kembali.

 

Dengan siasatnya yang sehat serta pandangannya yang jauh hal semacam itu oleh Muhammad tidak akan terabaikan. Jadi sudah tentu ia harus menambah kecintaan kaum Muslimin kepadanya, dan mempererat pertalian. Kendatipun Islam sudah memberikan kebulatan tekad kepada mereka dan membuat mereka seperti sebuah bangunan yang kokoh, satu sama lain saling memperkuat, namun kebijaksanaan pimpinan terhadap mereka itu akan lebih lagi menguatkan kerjasama dan tekad mereka. Perkawinan Muhammad dengan Hafsha

 

Justru karena kebijaksanaan pimpinan inilah hubungan Muhammad dengan mereka itu makin erat. Dalam hubungan ini pula ia melangsungkan perkawinannya dengan Hafsha, putri Umar ibn’I-Khattab, seperti juga sebelum itu dengan Aisyah, putri Abu Bakr. Sebelum itu Hafsha adalah istri Khunais — termasuk orang yang mula-mula dalam Islam – yang sudah meninggal tujuh bulan lebih dulu sebelum perkawinannya dengan Muhammad. Dengan perkawinannya kepada Hafsha ini, kecintaan Umar ibn’I-Khattab kepadanya makin besar. Juga Fatimah, putrinya, dikawinkannya dengan sepupunya, Ali b. Abi Talib, orang yang sejak kecilnya sangat cinta dan ikhlas kepada Nabi. Oleh karena Rugayya, putrinya, telah berpulang ke rahmatullah, maka sesudah itu Usman b, ‘Affan, dikawinkannya kepada putrinya yang seorang lagi, Umm Kulthum.

 

Dengan demikian, ia diperkuat lagi oleh pertalian keluarga semenda dengan Abu Bakr, Umar, Usman dan Ali. Ini merupakan gabungan empat orang kuat dalam Islam yang sekarang mendampinginya, bahkan yang jerkuat. Dengan ini kekuatan dalam tubuh kaum Muslimin makin mendapat jaminan lagi. Di samping itu rampasan perang yang mereka peroleh dalam peperangan itu menambah pula keberanian mereka bertempur, yang juga merupakan gabungan antara berjuang di jalan Allah dan mendapat rampasan perang dari orang-orang musyrik.

 

Dalam pada itu, berita-berita serta segala persiapan Quraisy selalu diikuti dengan saksama dan sangat teliti sekali. Pihak Quraisy sendiri memang sudah mengadakan persiapan hendak menuntut balas, dan membuka jalan perdagangannya ke Syam, supaya dari segi perdagangan dan segi keagamaannya kedudukan Mekah jangan sampai meluncur jatuh tidak lagi dapat mempertahankan diri.

 

Persiapan Quraisy di Mekah – Persiapan Quraisy Berperang – Keberangkatan Quraisy ke Medinah — Utusan “Abbas kepada Nabi — Nabi Berunding dan Suara Suara yang Mau Bertahan di Medinah — Suara-suara yang Mau Menyerang Menghadapi Musuh -Suara Keberanian dan Kepahlawanan — Suara-suara yang Mau Menyerang Lebih Banyak — Cara Hidup dengan Musyawarah – Muslimin Berangkat – Yahudi dan Ibn Ubayy Kembali ke Medinah – Nabi Menyusun Barisan – Abu Dujana dan Pita Merah — Sikap Heroik Hamzah, Abu Dujana dan Ali — Terbunuhnya Hamzah, Bapa Syuhada – Kekuatan Akidah dan Iman – Sibuk dengan Rampasan Perang — Pasukan Pemanah Melanggar Perintah Nabi dan Khalid bin’I-Walid Mengambil Posisi Mereka — Bencana yang Menimpa Muslimin – Yang Menimpa Rasulullah – Bersedia Mati Membela Rasul – Mayat-mayat Muslimin Dianiaya – Dukacita Muhammad terhadap Hamzah – Penguburan dan Kembali ke Medinah – Berhadapan dengan Musuh Lagi

 

Persiapan Quraisy di Mekah

 

SEJAK terjadinya perang Badr pihak Quraisy sudah tidak pernah tenang lagi. Juga peristiwa Sawig tidak membawa keuntungan apa-apa buat mereka. Lebih-lebih karena kesatuan Zaid b. Haritha telah berhasil mengambil perdagangan mereka ketika mereka hendak pergi ke Syam melalui jalan Irak. Hal ini mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah besar keinginan mereka hendak membalas dendam. Bagaimana Quraisy akan dapat melupakan peristiwa itu, sedang mereka adalah bangsawan-bangsawan dan pemimpin-pemimpin Mekah, pembesar-pembesar yang angkuh dan punya kedudukan terhormat? Bagaimana mereka akan dapat melupakannya, padahal wanita-wanita Mekah selalu ingat akan korban-korban yang terdiri dari anak, atau saudara, bapak, suami atau teman sejawat? Mereka selalu berkabung, selalu menangisi dan meratapi.

 

Demikianlah keadaannya. Orang-orang Quraisy sejak Abu Sufyan b. Harb datang membawa kafilahnya dari Syam, yang telah menyebabkan timbulnya perang Badr, begitu juga mereka yang selamat kembali dari Badr, telah menghentikan kafilah dagang itu di Dar’n-Nadwa. Pembesarpembesar mereka yang terdiri dari Jubair b. Mut’im, Shafwan b. Umayya, “Ikrima b. Abi Jahl, Harith b. Hisyam, Huaitib b. Abd’l-“Uzza dan yang jain, telah mencapai kata sepakat, bahwa kafilah dagang itu akan dijual, keuntungannya akan disisihkan dan akan dipakai menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan supaya ikut serta bersama-sama dengan Quraisy menuntut balas terhadap kaum Muslimin. Ikut pula dikerahkan di antaranya Abu “Azza penyair yang telah dimaafkan oleh Nabi dari antara tawanan perang Badr. Begitu juga kabilah Ahabisy’ yang mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita pun mendesak akan ikut pergi berperang.

 

Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita juga ikut serta.

 

“Biar mereka bertugas merangsang kemarahan kamu, dan mengingatkan kamu kepada korban-korban Badr. Kita adalah masyarakat yang sudah bertekad mati, tidak akan pulang sebelum sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri mati untuk itu.”

 

“Saudara-saudara dari Quraisy,” kata yang lain lagi. “Melepaskan wanita-wanita kita kepada musuh, bukanlah suatu pendapat yang baik. Apabila kalian mengalami kekalahan, wanita-wanita kita pun akan tercemar.”

 

Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba Hindun bt. “Utba, istri Abu Sufyan berteriak kepada mereka yang menentang ikut sertanya kaum wanita itu:

 

“Kamu yang selamat dari perang Badr kamu kembali kepada istrimu. Ya. Kita berangkat dan ikut menyaksikan peperangan. Jangan ada orang yang menyuruh kamu pulang, seperti gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr disuruh kembali ketika sudah sampai di Juhfa.? Kemudian orang-orang yang menjadi kesayangan kita waktu itu terbunuh, karena tak ada orang yang dapat memberi semangat kepada mereka.”

 

Persiapan Quraisy Berperang

 

Akhirnya pihak Quraisy berangkat dengan membawa kaum wanitanya juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah orang paling panas hati ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa Badr itu ayahnya, saudaranya dan orang-orang yang dicintainya telah mati terbunuh. Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Medinah yang disiapkan dari Dar’n-Nadwa itu terdiri dari tiga brigade. Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b. Abj Talha terdiri dari 3000 orang. Kecuali 100 orang saja dari Thagif,! selebihnya semua dari Mekah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekuty serta golongan Alhabisynya. Perlengkapan dan senjata tidak sedikit yang mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi.

 

Sesudah ada kata sepakat, sekarang sudah siap mereka akan ber. angkat. Sementara itu “Abbas b. Abd’I-Muttalib, paman Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka, dengan teliti dan saksama sekali memperhatikan semua kejadian itu. Di samping kesayangannya pada agama nenek moyangnya dan agama golongannya sendiri, juga Abbas mempunyai rasa solider dan sangat mengagumi Muhammad. Masih ingat ia perlakuannya yang begitu baik ketika perang Badr. Mungkin karena rasa kagum dan solidernya itu yang membuat dia ikut Muhammad menyaksikan Ikrar “Agaba dan berbicara kepada Aus dan Khazraj bahwa kalau mereka tidak akan dapat mempertahankan kemenakannya itu seperti mempertahankan istri dan anak-anak mereka sendiri, biarkan sajalah keluarganya sendiri yang melindunginya, seperti yang sudahsudah.

 

Hal inilah yang mendorongnya — tatkala diketahuinya keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan yang begitu besar — sampai ia menulis surat menggambarkan segala tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka itu. Surat itu diserahkannya kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada Nabi. Dan orang ini pun sampai di Medinah dalam tiga hari, dan surat itu pun diserahkan.

 

Keberangkatan Quraisy ke Medinah

 

Dalam pada itu pasukan Quraisy pun sudah pula berangkat sampai di Abwa’. Ketika melalui makam Aminah bt. Wahb, timbul rasa panas hati beberapa orang yang pendek pikiran. Terpikir oleh mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan demikian, supaya jangan kelak menjadi kebiasaan Arab.

 

“Jangan menyebut-nyebut soal ini”, kata mereka. “Kalau ini kita lakukan, Banu Bakr dan Banu Khuza’a akan membongkar juga kuburan mayat-mayat kita.”

 

Utusan “Abbas kepada Nabi Quraisy mencruskan perjalanan sampai di “Agig, kemudian mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari Medinah.

 

Orang dari Ghifar yang diutus oleh “Abbas b. Abd’l-Muttalib

 

membawa surat ke Medinah itu telah sampai. Setelah diketahuinya berada di Ouba’, ia langsung pergi ke sana dan dijumpainya Muhammad di depan pintu mesjid sedang menunggang keledai. Diserahkannya surat itu kepadanya, yang kemudian dibacakan oleh Ubayy b. Ka’b. Muhammad minta isi surat itu supaya dirahasiakan, dan ia kembali ke Medinah langsung menemui Sa’d ibn’I-Rabi’ di rumahnya. Diceritakannya apa yang telah disampaikan “Abbas kepadanya itu dan juga dimintanya supaya hal itu dirahasiakan. Akan tetapi istri Sa’d yang sedang dalam rumah waktu itu mendengar juga percakapan mereka, dan dengan demikian sudah tentu tidak lagi hal itu menjadi rahasia.

 

Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu Anas dan Mu’nis, oleh Muhammad ditugaskan menyelidiki keadaan Quraisy. Menurut pengamatan mereka kemudian ternyata Quraisy sudah mendekati Medinah. Kuda dan unta mereka dilepaskan di padang rumput sekeliling Medinah. Di samping dua orang itu kemudian Muhammad mengutus lagi Hubab ibn’I-Mundhir bin’I-Jamuh. Setelah keadaan mereka itu disampaikan kepadanya seperti dikabarkan oleh “Abbas, Nabi a.s. jadi terkejut sekali. Ketika kemudian Salama b. Salama keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda Quraisy sudah mendekati Medinah, bahkan sudah hampir memasuki kota. Ia segera kembali dan apa yang dilihatnya itu disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah tentu pihak Aus dan Khazraj, begitu juga semua penduduk Medinah mierasa kuatir sekali akan akibat serbuan ini, yang dalam sejarah perang, Quraisy belum pernah mengadakan persiapan sebaik itu. Pemuka-pemuka Muslimin dari penduduk Medinah malam itu berjaga-jaga dengan senjata di mesjid guna menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat.

 

Nabi berunding dan Suara-suara yang Mau Bertahan di Medinah

 

Keesokan harinya orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam — atau orang-orang munafik seperti disebutkan waktu itu dan seperti dilukiskan pula oleh Quran — oleh Nabi diminta berkumpul, lalu mereka sama-sama bermusyawarah, bagaimana seharusnya menghadapi musuh Nabi ‘alaihis-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraisy di luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul mendukung pendapat Nabi itu dengan mengatakan:

 

“Rasulullah, biasanya kami bertempur di tempat ini, kaum wanita dan anak-anak sebagai benteng kami lengkapi dengan batu. Kota kami sudah terjalin dengan bangunan sehingga ia merupakan benteng dari segenap penjuru. Apabila musuh sudah muncul, maka wanita-wanita dan anak, anak melempari mereka dengan batu. Kami sendiri menghadapi mereka dj jalan-jalan dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih perawan belum pernah diterobos orang. Setiap ada musuh menyerbu kami ke dalam kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap kami menyerbu musuh keluar, maka selalu kami yang dikuasai. Biarkanlah mereka itu, Rasulullah, ikutlah pendapat saya dalam hal ini. Saya mewarisi pendapat demikian ini dari pemuka-pemuka dan ahli-ahli pikir golongan kami.”

 

Apa yang dikatakan oleh Abdullah b. Ubay itu adalah merupakan pendapat terbesar sahabat-sahabat Rasulullah — baik Muhajirin ataupun Anshar, mereka sependapat dengan Rasul a.s. Akan tetapi pemudapemuda yang bersemangat yang belum mengalami perang Badr — juga orang-orang yang sudah pernah ikut dan mendapat kemenangan disertai hati yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat mengalahkan mereka — lebih suka berangkat keluar menghadapi musuh di tempat mereka berada. Mereka kuatir akan disangka segan keluar dan mau bertahan di Medinah karena takut menghadapi musuh. Seterusnya apabila mereka ini di pinggiran dan di dekat kota akan lebih kuat dari musuh. Ketika dulu mereka di Badr penduduk tidak mengenal mereka samasekali.

 

Suara-suara yang Mau Menyerang Menghadapi Musuh

 

Salah seorang di antara mereka ada yang berkata:

 

“Saya tidak ingin melihat Quraisy kembali ke tengah-tengah golongannya lalu mengatakan: Kami telah mengepung Muhammad di dalam benteng dan kubu-kubu Yathrib. Ini akan membuat Quraisy lebih berani. Mereka sekarang sudah menginjak-injak daun palm kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun kita, kebun kita tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang Quraisy yang sudah tinggal selama setahun dapat mengumpulkan orang, dapat menarik orang-orang Arab, dari badwinya sampai kepada Ahabisynya. Kemudian, dengan membawa kuda dan mengendarai unta, mereka kini telah sampai ke halaman kita. Mereka akan mengurung kita di dalam rumah kita sendiri? Di dalam benteng kita sendiri? Lalu mereka pulang kembali dengan kekayaan tanpa mengalami luka samasekali. Kalau kita turuti, mereka akan lebih berani. Mereka akan menyerang kita dan menaklukkan daerah-daerah kita. Kota kita akan berada di bawah pengawasan mereka. Kemudian jalan kita pun akan mereka potong.”

 

Selanjutnya penganjur-penganjur yang menghendaki supaya keluar menyongsong musuh masing-masing telah berbicara berturut-turut. Mereka semua mengatakan, bahwa bila Tuhan memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh itu, itulah yang mereka harapkan, dan itu pula kebenaran yang telah dijanjikan Tuhan kepada Rasul-Nya. Kalaupun mereka mengalami kekalahan dan mati syahid pula, mereka akan mendapat surga.

 

Suara Keberanian dan Kepahlawanan

 

Kata-kata yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid ini, sangat menggetarkan hati mereka. Jiwa mereka tergugah semua untuk sama-sama menempuh arus ini, untuk berbicara dengan nada yang sama. Waktu itu, bagi orang-orang yang kini sedang berhadap-hadapan dengan Muhammad, orang-orang yang hatinya sudah penuh dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada Quran dan Hari Kemudian, yang tampak di hadapan mereka hanyalah wajah kemenangan terhadap musuh agresor itu. Pedang-pedang mereka akan mencerai-beraikan musuh itu, akan membuat mereka centang-perenang, dan rampasan perang akan mereka kuasai. Lukisan surga adalah bagi mereka yang terbunuh di jalan agama. Di tempat itu akan terdapat segala yang menyenangkan hati dan mata, akan bertemu dengan kekasih yang juga sudah turut berperang dan mati syahid.

 

“Ucapan yang sia-sia tidak mereka dengar di tempat itu, juga tidak yang akan membawa dosa. Yang ada hanyalah ucapan “Damai! Damai!”

 

“Mudah-mudahan Tuhan memberikan kemenangan kepada kita, atau sebaliknya kita mati syahid,” kata Khaithama Abu Sa’d b. Khaithama. “Dalam perang Badr saya telah meleset. Saya sangat mendambakannya sekali, sehingga begitu besarnya kedambaan saya sampai saya bersama anak saya turut ambil bagian dalam pertempuran itu. Tapi kiranya dia yang beruntung, ia telah gugur, mati syahid. Semalam saya bermimpi bertemu dengan anak saya, dan dia berkata: Susullah kami, kita bertemu dalam surga. Sudah saya terima apa yang dijanjikan Tuhan kepada saya. Ya Rasulullah, sungguh rindu saya akan menemuinya dalam surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya ingin bertemu Tuhan.”

 

Suara-suara yang Mau Menyerang Lebih Banyak

 

Setelah jelas sekali suara terbanyak ada pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Muhammad berkata kepada mereka:

 

“Saya kuatir kamu akan kalah.”

 

Tetapi mereka ingin berangkat juga. Tak ada jalan lain ia pun menyerah kepada pendapat mereka. Cara musyawarah ini sudah menjadj undang-undang dalam kehidupannya. Dalam sesuatu masalah ia tidak may bertindak sendiri, kecuali yang sudah diwahyukan Tuhan kepadanya.

 

Hari itu hari Jum’at. Nabi memimpin sembahyang jamaah, dan kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan hati mereka itu, mereka akan beroleh kemenangan. Lalu dimintanya mereka bersiap-siap menghadapi musuh.

 

Cara Hidup dengan Musyawarah

 

Selesai sembahyang Asar Muhammad masuk ke dalam rumahnya diikuti oleh Abu Bakr dan Umar. Kedua orang ini memakaikan sorban dan baju besinya dan ia mengenakan pula pedangnya. Sementara ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang ramai bertukar pikiran. Usaid b. Hudzair dan Sa’d b. Mu’adh — keduanya termasuk orang yang berpendapat mau bertahan dalam kota — berkata kepada mereka yang berpendapat mau menyerang musuh di luar:

 

“Tuan-tuan mengetahui, Rasulullah berpendapat mau bertahan dalam kota, lalu tuan-tuan berpendapat lain lagi, dan memaksanya bertempur ke luar. Dia sendiri enggan berbuat demikian. Serahkan sajalah soal ini di tangannya. Apa yang diperintahkan kepadamu, jalankanlah. Apabila ada sesuatu yang disukainya atau ada pendapatnya, taatilah.”

 

Mendengar keterangan itu mereka yang menyerukan supaya menyerang saja, jadi lebih lunak. Mereka menganggap telah menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu datang dari Tuhan. Setelah kemudian Nabi datang kembali ke tengah-tengah mereka, dengan memakai baju besi dan sudah pula mengenakan pedangnya, mereka yang tadinya menghendaki supaya mengadakan serangan berkata:

 

“Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan.”

 

“Ke dalam pembicaraan yang semacam inilah saya ajak tuan-tuan tapi tuan-tuan menolak,” kata Muhammad. “Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.”

 

Muslimin Berangkat

 

Demikianlah prinsip musyawarah itu oleh Muhammad sudah dijadikan undang-undang dalam kehidupannya. Apabila sesuatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tapi orang yang akan mejaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang akan mencapai sukses.

 

Sekarang Muhammad berangkat memimpin kaum Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan’ ia berhenti. Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan, bahwa mereka itu orang-orang Yahudi sekutu Abdullah b. Ubay. Lalu kata Nabi “alaihis-salam: “Jangan minta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, — sebelum mereka masuk Islam.”

 

Yahudi dan Ibn Ubayy Kembali ke Medinah

 

Dalam pada itu orang-orang Yahudi itu pun kembali ke Medinah. Lalu kata sekutu Ibn Ubayy itu:

 

“Kau sudah menasehatinya dan sudah kauberikan pendapatmu berdasarkan pengalaman orang-orang tua dahulu. Sebenarnya dia sependapat dengan kau. Lalu dia menolak dan menuruti kehendak pemuda-pemuda yang menjadi pengikutnya.”

 

Percakapan mereka itu sangat menyenangkan hati Ibn Ubayy. Keesokan harinya ia berbalik menggabungkan diri dengan pasukan teman-temannya itu. Tinggal lagi Nabi dengan orang-orang yang benar-benar beriman, yang berjumlah 700 orang, akan berperang menghadapi 3000 orang terdiri dari orang-orang Quraisy Mekah, yang kesemuanya sudah memikul dendam yang tak terpenuhi ketika di Badr. Semua mereka ingin menuntut balas.

 

Nabi Menyusun Barisan

 

Pagi-pagi sekali kaum Muslimin berangkat menuju Uhud, Lalu mereka memotong jalan sedemikian rupa sehingga pihak musuh itu berada di belakang mereka. Selanjutnya Muhammad mengatur barisan para sahabat. Lima puluh orang barisan pemanah ditempatkan di lereng-lereng gunung, dan kepada mereka diperintahkan:

 

“Lindungi kami dari belakang, sebab kita kuatir mereka akan mendatangi kami dari belakang. Dan bertahanlah kamu di tempat itu, jangan ditinggalkan. Kalau kamu melihat kami dapat menghancurkan mereka sehingga kami memasuki pertahanan mereka, kamu jangan meninggalkan tempat kamu. Dan jika kamu lihat kami yang diserang jangan pula kami dibantu, juga jangan kami dipertahankan. Tetapi tugasmu ialah menghujani kuda mereka dengan panah, sebab dengan serangan panah kuda itu takkan dapat maju.”

 

Selain pasukan pemanah, yang lain tidak diperbolehkan menyerang siapa pun, sebelum ia memberi perintah menyerang.

 

Ada pun pihak Quraisy mereka pun juga sudah menyusun barisan. Barisan kanan dipimpin oleh Khalid bin’I-Walid sedang sayap kiri dipimpin oleh “Ikrima b. Abi Jahl. Bendera diserahkan kepada Abd! “Uzza Talha b. Abi Talha. Wanita-wanita Quraisy sambil memukul tambur dan genderang berjalan di tengah-tengah barisan itu. Kadang mereka di depan barisan, kadang di belakangnya. Mereka dipimpin oleh Hindun bt. “Utba, istri Abu Sufyan, seraya berteriak-teriak:

 

Hayo, Banu Abd’d-Dar

Hayo, hayo pengawal barisan belakang

Hantamlah dengan segala yang tajam.

Kamu maju kami peluk

Dan kami hamparkan kasur yang empuk

Atau kamu mundur kita berpisah

Berpisah tanpa cinta.

 

Kedua belah pihak sudah siap bertempur. Masing-masing sudah mengerahkan pasukannya. Yang selalu teringat oleh Quraisy ialah peristiwa Badr dan korban-korbannya. Yang selalu teringat oleh kaum Muslimin ialah Tuhan serta pertolongan-Nya. Muhammad berpidato dengan memberi semangat dalam menghadapi pertempuran itu. Ia menjanjikan pasukannya akan mendapat kemenangan apabila mereka tabah. Sebilah pedang dipegangnya sambil ia berkata:

 

“Siapa yang akan memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?”

 

Beberapa orang tampil. Tapi pedang itu tidak pula diberikan kepada mereka. Kemudian Abu Dujana Simak b. Kharasya dari Banu Sa’ida tampil seraya berkata:

 

“Apa tugasnya, Rasulullah?”

 

“Tugasnya ialah menghantamkan pedang kepada musuh sampai ia bengkok”, jawabnya.

 

Abu Dujana dan Pita Merah

 

Abu Dujana seorang laki-laki yang sangat berani. Ia mengenakan pita (kain) merah. Apabila pita merah itu sudah diikatkan orang pun mengetahui, bahwa ia sudah siap bertempur dan waktu itu pun ia sudah mengeluarkan pita mautnya itu.

 

Pedang diambilnya, pita dikeluarkan lalu diikatkannya di kepala. Kemudian ia berlagak di tengah-tengah dua barisan itu seperti biasanya apabila ia sudah siap menghadapi pertempuran. |

 

“Cara berjalan begini sangat dibenci Allah, kecuali dalam bidang ini,” kata Muhammad setelah dilihatnya orang itu berlagak.

 

Orang pertama yang mencetuskan perang di antara dua pihak: itu adalah Abu “Amir “Abd “Amr b. Shaifi al-Ausi (dari Aus). Orang ini sengaja pindah dari Medinah ke Mekah hendak membakar semangat Quraisy supaya memerangi Muhammad. Ia belum pernah ikut dalam perang Badr. Sekarang ia menerjunkan diri dalam perang Uhud dengan membawa lima belas orang dari golongan Aus. Ada juga budak-budak dari penduduk Mekah yang juga dibawanya. Menurut dugaannya, apabila nanti ia memanggil-manggil orang-orang Islam dari golongan Aus yang ikut berjuang di pihak Muhammad, niscaya mereka akan memenuhi panggilannya, akan berpihak kepadanya dan membantu Quraisy.

 

“Saudara-saudara dari Aus! Saya adalah Abu “Amir!” teriaknya memanggil-manggil.

 

Tetapi Muslimin dari kalangan Aus itu membalas:

 

“Tuhan takkan memberikan kesenangan kepadamu, durhaka!”

 

Perang pun lalu pecah. Budak-budak Quraisy serta “Ikrima b. Abi Jahl yang berada di sayap kiri, berusaha hendak menyerang Muslimin dari saMping, tapi pihak Muslimin menghujani mereka dengan batu sehingga Abu “Amir dan pengikut-pengikutnya lari tunggang-langgang. Ketika itu juga Hamzah b. Abd’l-Muttalib berteriak, membawa teriakan perang Uhud:

 

Sikap heroik Hamzah, Abu Dujana dan Ali

 

“Mati, mati!” Lalu ia terjun ke tengah-tengah tentara Quraisy itu, Ketika itu Talha b. Abi Talha, yang membawa bendera tentara Mekah berteriak pula:

 

“Siapa yang akan duel?”

 

Lalu Ali b. Abi Talib tampil menghadapinya. Dua orang dari dua barisan itu bertemu. Cepat-cepat Ali memberikan satu pukulan, yang membuat kepala lawannya itu belah dua. Nabi merasa lega dengan itu. Ketika itu juga kaum Muslimin bertakbir dan melancarkan serangannya. Dengan pedang Nabi di tangan dan mengikatkan pita maut di kepala, Abu Dujana pun terjun ke depan. Dibunuhnya setiap orang yang dijumpainya. Barisan orang-orang musyrik jadi kacau-balau. Kemudian ia melihat seseorang sedang mencencang-cencang sesosok tubuh manusia dengan keras sekali. Diangkatnya pedangnya dan diayunkannya kepada orang itu. Tetapi ternyata orang itu adalah Hindun bt. “Utba. Ia mundur. Terlalu mulia rasanya pedang Rasul akan dipukulkan kepada seorang wanita.

 

Dengan secara keras sekali pihak Quraisy pun menyerbu pula ke tengah-tengah pertempuran itu. Darahnya sudah mendidih ingin menuntut balas atas pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka mereka yang sudah tewas setahun yang lalu di Badr. Dua kekuatan yang tidak seimbang itu, baik jumlah orang maupun perlengkapan, sekarang berhadap-hadapan. Kekuatan dengan jumlah yang besar ini motifnya adalah balas-dendam, yang sejak perang Badr tidak pernah reda. Sedang jumlah yang lebih kecil motifnya adalah: pertama mempertahankan akidah, mempertahankan iman dan agama Allah, kedua mempertahankan tanah air dan segala kepentingannya. Mereka yang menuntut bela itu terdiri dari orang-orang yang lebih kuat dan jumlah pasukan yang lebih besar. Di belakang mereka itu kaum wanita turut pula mengobarkan semangat. Tidak sedikit di antara mereka yang membawa budak-budak itu menjanjikan akan memberikan hadiah yang besar apabila mereka dapat membalaskan dendam atas kematian seorang bapa, saudara, suami atau orang-orang yang dicintai lainnya, yang telah terbunuh di Badr, Hamzah b. Abd’I-Muttalib adalah seorang pahlawan Arab terbesar dan paling berani. Ketika terjadi perang Badr dialah yang telah menewaskan ayah dan saudara Hindun, begitu juga tidak sedikit orang-orang yang dicintainya yang telah ditewaskan. Seperti juga dalam perang Badr, dalam perang Uhud ini pun Hamzah adalah singa dan pedang Tuhan yang tajam. Ditewaskannya Arta b. “Abd Syurahbil, Siba’ b. “Abd’I-“Uzza al-Ghubsyani, dan setiap musuh yang dijumpainya nyawa mereka tidak luput dari renggutan pedangnya. Terbunuhnya Hamzah, Bapa Syuhada

 

Sementara itu Hindun bt. “Utba telah pula menjanjikan Wahsyi, orang Abisinia dan budak Jubair (b. Mut’im) akan memberikan hadiah besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah. Begitu juga Jubair b. Mut’im sendiri, tuannya, yang pamannya telah terbunuh di Badr, mengatakan kepadanya:

 

“Kalau Hamzah paman Muhammad itu kau bunuh, maka engkau kumerdekakan.” Wahsyi sendiri dalam hal ini bercerita sebagai berikut:

 

“Kemudian aku berangkat bersama rombongan. Aku adalah orang Abisinia yang apabila sudah melemparkan tombak cara Abisinia, jarang sekali meleset. Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia. Kemudian kulihat dia di tengah-tengah orang banyak itu seperti seekor unta kelabu sedang membabati orang dengan pedangnya. Lalu tombak kuayunkan-ayunkan, dan sesudah pasti sekali kulemparkan. Ia tepat mengenai sasaran di bawah perutnya, dan keluar dari antara dua kakinya. Kubiarkan tombak itu begitu sampai dia mati. Sesudah itu kuhampiri dia dan kuambil tombakku itu, lalu aku kembali ke markas dan aku diam di sana, sebab sudah tak ada tugas lain selain itu. Kubunuh dia hanya supaya aku dimerdekakan saja dari perbudakan. Dan sesudah aku pulang ke Mekah, ternyata aku dimerdekakan.”

 

Adapun mereka yang berjuang mempertahankan tanah air, contohnya terdapat pada Ouzman, salah seorang munafik, yang hanya pura-pura Islam. Ketika kaum Muslimin berangkat ke Uhud ia tinggal di belakang. Keesokan harinya, ia mendapat hinaan dari wanita-wanita Banu Zafar.

 

“Ouzman”, kata wanita-wanita itu. “Tidak malu engkau dengan sikapmu itu. Seperti perempuan saja kau. Orang semua berangkat kau tinggal dalam rumah.”

 

Dengan sikap berang Ouzman pulang ke rumahnya. Dikeluarkannya kudanya, tabung panah dan pedangnya. Ia dikenal sebagai seorang pemberani. Ia berangkat dengan memacu kudanya sampai ke tempat tentara. Sementara itu Nabi sedang menyusun barisan Muslimin. Ia terus menyeruak sampai ke barisan terdepan. Dia adalah orang pertama dari pihak Muslimin yang menerjunkan diri, dengan melepaskan panah demi panah, seperti tombak layaknya.

 

Hari sudah menjelang senja. Tampaknya ia lebih suka mati daripada lari. Ia sendiri lalu membunuh diri sesudah sempat membunuh tujuh orang Quraisy di Suway’a — selain mereka yang telah dibunuhnya pada permulaan pertempuran. Tatkala ia sedang sekarat itu, Abu’I-Khaidag lewat di tempat itu.

 

“Ouzman, beruntung kau akan mati syahid”, katanya.

 

“Abu “Amr”, kata Ouzman. “Sungguh saya bertempur bukan atas dasar agama. Saya bertempur hanya sekadar menjaga jangan sampai Quraisy memasuki tempat kami dan melanda kehormatan kami, meng, Injak-injak kebun kami. Saya berperang hanya untuk menjaga nama keturunan masyarakat kami. Kalau tidak karena itu saya tidak akan berperang.”

 

Sebaliknya mereka yang benar-benar beriman, jumlahnya tidak lebih dari 700 orang. Mereka bertempur melawan 3000 orang. Kita sudah melihat, tindakan Hamzah dan Abu Dujana yang telah memperlihatkan Suatu teladan dalam arti kekuatan moril yang tinggi pada mereka itu, Suatu kekuatan yang telah membuat barisan Quraisy jadi lemas seperti rotan, membuat pahlawan-pahlawan Quraisy, yang tadinya di kalangan Arab keberaniannya dijadikan suri teladan, telah mundur dan surut, Setiap panji mereka lepas dari tangan yang seorang panji itu diterima oleh yang lain di belakangnya. Setelah Talha b. Abi Talha tewas di tangan Ali datang “Uthman b. Abi Talha menyambut bendera itu, yang juga kemudian menemui ajalnya di tangan Hamzah. Seterusnya bendera itu dibawa oleh Abu Sa’d b. Abi Talha sambil berkata:

 

“Kamu mendakwakan bahwa korban-korban kamu dalam surga dan korban-korban kami dalam neraka! Kamu bohong! Kalau kamu benar. benar orang beriman majulah siapa saja yang mau melawanku”:

 

Entah Ali atau Sa’d b. Abi Waggash ketika itu menghantamkan pedangnya dengan sekali pukul hingga kepala orang itu terbelah.

 

Berturut-turut pembawa bendera itu muncul dari Banu Abd’d-Dar. Jumlah mereka yang tewas telah mencapai sembilan orang, yang terakhir ialah Shu’ab orang Abisinia, budak Banu Abd’d-Dar. Tangan kanan orang itu telah dihantam oleh Ouzman, maka bendera itu dibawanya dengan tangan kiri. Tangan kiri ini pun oleh Ouzman dihantam lagi dengan pedangnya. Sekarang bendera itu oleh Shu’ab dipeluknya dengan lengan ke dadanya, kemudian ia membungkuk sambil berkata: Hai Banu Abd’dDar, sudahkah kau maafkan? Lalu ia ditewaskan entah oleh Ouzman atau oleh Sa’d bin Abi Waggash, sumbernya masih berbeda-beda.

 

Setelah mereka yang membawa bendera itu tewas semua, pasukan orang-orang musyrik itu hancur. Mereka sudah tidak tahu lagi bahwa mereka dikerumuni oleh wanita-wanita, bahwa berhala yang mereka mintai restunya telah terjatuh dari atas unta dan pelangking yang membawanya.

 

Kekuatan Akidah dan Iman

 

Kemenangan Muslimin dalam perang Uhud pada pagi hari itu sebenarnya adalah suatu mukjizat. Adakalanya orang menafsirkan, bahwa kemenangan itu disebabkan oleh kemahiran Muhammad mengatur barisan pemanah di lereng bukit, merintangi pasukan berkuda dengan anak panah sehingga mereka tidak dapat maju, juga tidak dapat menyergap Muslimin dari belakang. Ini memang benar. Tetapi juga tidak salah, bahwa 600 orang Muslimin yang menyerbu jumlah sebanyak lima kali lipat itu pun, dengan perlengkapan yang juga demikian, motifnya adalah iman, iman yang sungguh-sungguh, bahwa mereka dalam kebenaran.

 

Inilah yang membawa mukjizat kepahlawanan melebihi kepandaian pimpinan. Barangsiapa yang telah beriman kepada kebenaran, ia takkan goncang oleh kekuatan materi, betapa pun besarnya. Semua kekuatan batil yang digabungkan sekalipun, takkan dapat menggoyahkan kebulatan tekadnya itu. Dapatkah kita menganggap cukup dengan kepandaian pimpinan itu saja, padahal barisan pemanah yang oleh Nabi ditempatkan di lereng bukit itu jumlahnya tidak lebih dari 50 orang? Andaikata sekalipun mereka itu terdiri dari 200 orang atau 300 orang, mendapat serbuan dari mereka yang sudah bertekad mati, niscaya mereka tidak akan dapat bertahan. Tetapi kekuatan yang terbesar, ialah kekuatan konsepsi, kekuatan akidah, kekuatan iman yang sungguh-sungguh akan adanya Kebenaran Tertinggi. Kekuatan inilah yang takkan dapat ditaklukkan selama orang masih teguh berpegang kepada kebenaran itu.

 

Karena itulah, 3000 orang pasukan berkuda Quraisy jadi hancur menghadapi serangan 60 orang Muslimin. Dan hampir-hampir pula wanita-wanita mereka pun akan menjadi.tawanan perang yang hina dina. Sibuk dengan Rampasan Perang

 

Muslimin kini mengejar musuh itu sampai mereka meletakkan senjata di mana saja asal jauh dari bekas markas mereka. Kaum Muslimin sekarang mulai memperebutkan rampasan perang. Alangkah banyaknya jumlah rampasan perang itu! Hal ini membuat mereka lupa mengikuti terus jejak musuh, karena sudah mengharapkan kekayaan duniawi.

 

Mereka ini ternyata dilihat oleh pasukan pemanah yang oleh Rasul diminta jangan meninggalkan tempat di gunung itu, sekalipun mereka melihat kawan-kawannya diserang. Dengan tak dapat menahan air liur melihat rampasan perang itu, kepada satu sama lain mereka berkata:

 

“Kenapa kita masih tinggal di sini juga dengan tidak ada apa-apa. Tuhan telah menghancurkan musuh kita. Mereka, saudara-saudara kita itu, sudah merebut markas musuh. Ke sanalah juga kita, ikut mengambij rampasan itu.”

 

Yang seorang lagi tentu menjawab:

 

“Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan tempa, kita ini? Sekalipun kami diserang janganlah kami dibantu.”

 

Yang pertama berkata lagi:

 

“Rasulullah tidak menghendaki kita tinggal di sini terus-menerus setelah Tuhan menghancurkan kaum musyrik itu.” Pasukan Pemanah Melanggar Perintah Nabi dan Khalid bin’-Walid Mengambil Posisi Mereka

 

Lalu mereka berselisih. Ketika itu juga tampil Abdullah bin Jubair berpidato agar jangan mereka itu melanggar perintah Rasul. Tetapi mereka sebagian besar tidak patuh. Mereka berangkat juga. Yang masih tinggal hanya beberapa orang saja, tidak sampai sepuluh orang. Seperti kesibukan Muslimin yang lain, mereka yang ikut bergegas itu pun sibuk pula dengan harta rampasan. Pada waktu itulah Khalid bin’I-Walid mengambil kesempatan — dia sebagai komandan kavaleri Mekah – pasukannya dikerahkan ke tempat pasukan pemanah, dan mereka ini pun berhasil dikeluarkan dari sana. Bencana yang Menimpa Muslimin

 

Tindakan ini tidak disadari oleh pihak Muslimin. Mereka sangat sibuk untuk memperhatikan soal itu atau soal apa pun, karena sedang menghadapi harta rampasan perang yang mereka keduk habis-habisan itu, sehingga tiada seorang pun yang membiarkan apa saja yang dapat mereka ambil. Sementara mereka sedang dalam keadaan serupa itu, tiba-tiba Khalid bin’-Walid berseru sekuat-kuatnya, dan sekaligus pihak Quraisy pun mengerti, bahwa ia telah dapat membalikkan anak buahnya ke belakang tentara Muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul mundur sekarang kembali lagi maju dan mendera Muslimin dengan pukulan maut yang hebat sekali. Di sinilah giliran bencana itu berbalik. Setiap Muslim telah melemparkan kembali hasil renggutan yang sudah ada di tangan itu, dan kembali pula mereka mencabut pedang hendak bertempur lagi.

 

Tetapi sayang, sayang sekali! Barisan sudah centang-perenang, persatuan sudah pecah-belah, pahlawan-pahlawan teladan dari kalangan Muslimin telah dihantam oleh pihak Quraisy. Mereka yang tadinya berjuang dengan perintah Tuhan hendak mempertahankan iman, sekarang berjuang hendak menyelamatkan diri dari cengkaman maut, dari lembah kehinaan. Mereka yang tadinya berjuang dengan bersatu-padu, sekarang mereka berjuang dengan bercerai-berai. Tak tahu lagi haluan hendak ke mana. Tadinya mereka berjuang di bawah satu pimpinan yang kuat dan teguh, sekarang berjuang tanpa pimpinan lagi.

 

Jadi tidak heran, apabila ada seorang Muslim menghantamkan pedangnya kepada sesama Muslim dengan tiada disadarinya.

 

Dalam pada .itu terdengar pula ada suara orang berteriak-teriak, bahwa Muhammad sudah terbunuh. Keadaan makin panik, makin kacaupalau. Kaum Muslimin jadi berselisih, jadi saling bunuh-membunuh, satu sama lain saling hantam-menghantam, dengan tiada mereka sadari lagi karena mereka sudah tergopoh-gopoh, sudah kebingungan. Kaum Musfimin telah membunuh sesama Muslim, Husail b. Jabir membunuh Abu Hudhaifa karena sudah tidak diketahuinya lagi. Yang paling penting bagi setiap Muslim ialah menyelamatkan diri, kecuali mereka yang telah mendapat perlindungan Tuhan, seperti Ali b. Abi Talib misalnya.

 

Yang Menimpa Rasulullah

 

Akan tetapi begitu Quraisy mendengar Muhammad telah terbunuh, seperti banjir mereka terjun mengalir ke jurusan tempat dia tadinya berada. Masing-masing ingin supaya dialah yang membunuhnya atau ikut memegang peranan di dalamnya, suatu hal yang akan dibanggakan oleh generasi kemudian. Ketika itulah Muslimin yang dekat sekali dengan Nabi bertindak mengelilinginya, menjaga dan melindunginya. Iman mereka telah tergugah kembali memenuhi jiwa, mereka kembali mendambakan mati, dan hidup duniawi ini dirasanya sudah tak ada arti lagi. Iman mereka makin besar, keberanian mereka makin bertambah bilamana mereka melihat batu yang dilemparkan Quraisy itu telah mengenai diri Nabi. Gigi gerahamnya yang sebelah terkena, wajahnya pecah-pecah dan bibirnya luka-luka. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi wajahnya, telah menusuk pula menembusi pipinya. Batu-batu yang menimpanya itu dilemparkan oleh “Utba b. Abi Waggash.

 

Sekarang Rasul dapat menguasai diri. Ia berjalan sambil dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Tetapi tiba-tiba ia terperosok ke dalam sebuah lubang yang sengaja digali oleh Abu “Amir guna menjerumuskan kaum Muslimin. Cepat-cepat Ali b. Abi Talib menghampirinya, dipegangnya tangannya, dan Talha bin “Ubaidillah mengangkatnya hingga ia berdiri kembali. Ia meneruskan perjalanan dengan sahabat-sahabatnya itu, terus mendaki Gunung Uhud, dan dengan demikian dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh.

 

Bersedia Mati Membela Rasul

 

Pada waktu itu juga Muslimin berkumpul di sekitar mereka. Dalam membela Rasul dan menjaga keselamatannya, mereka bersedia mati. Hari itu menjelang tengah hari, Umm “Umara — seorang wanita Anshar berangkat pula membawa air berkeliling dengan membagi-bagikan ai, itu kepada Muslimin yang sedang berjuang itu. Setelah melihat Muslimin terpukul mundur, dilemparkannya tempat air itu dan dengan Menghunus pedang wanita itu terjun pula ikut bertempur, ikut melindungi Muhammag dengan pedang dan dengan melepaskan anak panah, sehingga karenanya dia sendiri mengalami luka-luka. Sementara Abu Dujana membuat dirinya sebagai perisai melindungi Rasulullah, dengan membungkukkan pung. gungnya, sehingga lemparan anak panah musuh mengenai dirinya. Sedang di samping Muhammad Sa’d b. Abi Waggash melepaskan pula panahnya dan Muhammad memberikan anak panah itu seraya berkata: “Lepaskan (anak panah itu). Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu.”?

 

Sebelum itu Muhammad melepaskan sendiri anak panahnya, sampai, sampai ujung busurnya itu patah.

 

Adapun mereka yang mengira Muhammad telah tewas – termasuk di antara mereka itu Abu Bakr dan Umar — pergi ke arah gunung dan mereka ini sudah pasrah. Hal ini diketahui oleh Anas bin’n-Nadzr yang lalu berkata kepada mereka:

 

“Kenapa kamu duduk-duduk di sini?”

 

“Rasulullah sudah terbunuh,” jawab mereka.

 

“Perlu apa lagi kita hidup sesudah itu? Bangunlah! Dan biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama.”

 

Kemudian ia maju menghadapi musuh. Ia bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya. Akhirnya ia baru menemui ajalnya setelah mengalami tujuh puluh pukulan musuh, sehingga ketika itu orang tidak dapat lagi mengenalnya, kalau tidak karena saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenal dia dari ujung jarinya.

 

Karena sudah percaya sekali akan kematian Muhammad, bukan main girangnya pihak Quraisy waktu itu, Abu Sufyan pun sibuk pula mencari nya di tengah-tengah para korban. Soalnya ialah mereka yang telah menjaga keselamatan Rasulullah tidak membantah berita kematiannya itu, sebab memang diperintahkan demikian oleh Rasul, dengan maksud supaya pihak Quraisy jangan sampai memperbanyak lagi jumlah pasukannya yang berarti akan memberikan kemenangan kepada mereka.

 

Akan tetapi tatkala Ka’b bin Malik datang mendekati Abu Dujana dan anak buahnya, ia segera mengenal Muhammad waktu dilihatnya sinar matanya yang berkilau dari balik topi besi penutup mukanya itu. Ia memanggil-manggil dengan suara yang sekeras-kerasnya:

 

“Saudara-saudara kaum Muslimin! Selamat, selamat! Ini Rasulullah!”

 

Ketika itu Nabi memberi isyarat kepadanya supaya diam. Tetap begitu Muslimin mengetahui hal itu, Nabi segera mereka angkat dan ia pun berjalan pula bersama mereka ke arah celah bukit didampingi oleh Aby Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib, Zubair bin’I–Awwam dan yang lain Teriakan Ka’b itu pada pihak Quraisy juga ada pengaruhnya. Memang benar, bahwa sebagian besar mereka tidak mempercayai teriakan itu sebab menurut anggapan mereka itu hanya untuk memperkuat semanga kaum Muslimin saja. Tetapi dari mereka itu ada juga yang lalu segera pergi mengikuti Muhammad dan rombongannya itu dari belakang. Ubayy b. Khalaf kemudian dapat menyusul mereka, dan lalu bertanya:

 

“Mana Muhammad?! Aku tidak akan selamat kalau dia yang masih selamat,” katanya.

 

Waktu itu juga oleh Rasul ia ditetaknya dengan tombak Harith bin’sh. Shimma demikian rupa, sehingga ia terhuyung-huyung di atas kudanya dan kembali pulang untuk kemudian mati di tengah jalan.

 

Sesampainya Muslimin di ujung bukit itu, Ali pergi lagi mengisi air ke dalam perisai kulitnya. Darah yang di wajah Muhammad dibasuhnya serta menyirami kepalanya dengan air. Dua keping pecahan rantai besi penutup muka yang menembus wajah Rasul itu oleh Abu “Ubaida bin’I-Jarrah dicabut sampai dua buah gigi serinya tanggal.

 

Selama mereka dalam keadaan itu tiba-tiba Khalid bin’I-Walid dengan pasukan berkudanya sudah berada di atas bukit. Tetapi Umar bin’l. Khattab dengan beberapa orang sahabat Rasul segera menyerang dan berhasil mengusir mereka. Sementara itu orang-orang Islam sudah makin tinggi mendaki gunung. Tetapi keadaan mereka sudah begitu payah, begitu letih tampaknya, sampai-sampai Nabi melakukan salat lohor sambil duduk -juga karena luka-luka yang dideritanya, — demikian juga kaum Muslimin yang lain melakukan salat makmum di belakangnya, sambil duduk pula.

 

Sebaliknya pihak Quraisy dengan kemenangannya itu mereka sudah girang sekali. Terhadap peristiwa perang Badr mereka merasa sudah sungguh-sungguh dapat membalas dendam. Seperti kata Abu Sufyan: “Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!”

 

Mayat-mayat Muslimin Dianiaya

 

Tetapi istrinya, Hindun bint “Utba tidak cukup hanya dengan kemenangan, dan tidak cukup hanya dengan tewasnya Hamzah b. Abd’lMuttalib, malah bersama-sama dengan wanita-wanita lain dalam rombongannya itu ia pergi lagi hendak menganiaya mayat-mayat Muslimin, mereka memotongi telinga-telinga dan hidung-hidung mayat itu, yang oleh Hindun lalu dipakainya sebagai kalung dan anting-anting. Kemudian diteruskannya lagi, dibedahnya perut Hamzah, dikeluarkannya jantungnya, lalu dikunyahnya dengan giginya: tapi ia tak dapat menelannya, Begitu kejinya perbuatannya itu, begitu juga perbuatan wanita-wanita anggota rombongannya, bahkan kaum prianya pun turut pula melakukan kejahatan serupa itu, sehingga Abu Sufyan sendiri menyatakan lepas tangan dari perbuatan itu. Ia menyatakan, bahwa dia samasekali tidak memerintahkan orang berbuat serupa itu, sekalipun dia sudah terlibat di dalamnya. Bahkan ia pernah berkata, yang ditujukan kepada salah seorang Islam. “Mayat-mayatmu telah mengalami penganiayaan. Tapi aku sungguh tidak senang, juga tidak benci: aku tidak melarang, juga tidak memerintahkan.” Dukacita Muhammad terhadap Hamzah

 

Selesai menguburkan mayat-mayatnya sendiri, Quraisy pun pergi. Sekarang kaum Muslimin kembali ke garis depan guna menguburkan mayat-mayatnya pula. Kemudian Muhammad pergi hendak mencari Hamzah, pamannya. Bilamana kemudian ia melihatnya sudah dianiaya dan perutnya sudah dibedah, ia merasa sangat sedih sekali, sehingga ia berkata:

 

“Takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti kejadian itu.” Lalu katanya lagi:

 

“Demi Allah, kalau pada suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab.”

 

Dalam kejadian inilah firman Tuhan turun.

 

“Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi kalau kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati tabah (sabar). Dan hendaklah kau tabahkan hatimu, dan ketabahan hatimu itu hanyalah dengan berpegang kepada Tuhan. Jangan pula engkau bersedih hati terhadap mereka, jangan engkau bersesak dada menghadapi apa yang mereka rencanakan itu.”

 

Lalu Rasulullah memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan ia melarang orang melakukan penganiayaan. Diselubunginya jenazah Hamzah itu dengan mantelnya lalu disembahyangkannya. Ketika itu Shafia bt Abd’l-Muttalib — saudara perempuannya — juga datang. Ditatapnya saudaranya itu, lalu ia pun menyembahyangkannya dan mendoakan pengampunan baginya.

 

Penguburan dan Kembali ke Medinah

 

Nabi memerintahkan supaya korban-korban itu dikuburkan di tempat mereka menemui ajalnya dan Hamzah juga dikuburkan. Sesudah itu kaum Muslimin berangkat pulang ke Medinah, di bawah pimpinan Muhammad, dengan meninggalkan 70 orang korban. Kepedihan terasa sekali melecut hati mereka, karena kehancuran yang mereka alami setelah mendapat kemenangan, karena rasa hina serta rendah diri yang menimpa mereka, setelah mendapat sukses yang gilang-gemilang. Semua kejadian itu ialah karena pasukan pemanah sudah melanggar perintah Nabi. Muslimin sudah terlalu sibuk mengurus rampasan perang dari pihak musuh.

 

Nabi memasuki rumahnya dengan penuh pikiran. Orang-orang Yahudi, orang-orang munafik dan musyrik di Yathrib memperlihatkan perasaan gembira yang luar biasa melihat kehancuran yang dialaminya dan dialami sahabat-sahabatnya itu. Kewibawaan Muslimin di Medinah yang sudah mulai stabil, dan tak ada lagi pihak yang merongrongnya, sekarang sudah hampir pula goncang dan goyah.

 

Abdullah b. Ubayy b. Salul sudah berbalik dari rombongan itu, ia pulang kembali dari Uhud, tidak ikut serta dalam pertempuran, dengan alasan bahwa karena Muhammad tidak mau menerima pendapatnya, atau karena Muhammad marah kepada orang-orang Yahudi anak buahnya. Sekiranya kekalahan Uhud itu merupakan keputusan terakhir dalam hubungannya antara Muslimin dengan Quraisy yang akan menentukan kedudukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya di kalangan Arab, tentu kewibawaan mereka di Yathrib akan goyah dan akan menjadi sasaran ejekan Quraisy. Di mana-mana di seluruh jazirah Arab akan disebarkan pula cemoohan-cemoohan demikian itu. Sekiranya ini jugalah yang terjadi tentu akibatnya akan memberikan keberanian kepada orang-orang musyrik dan penyembah-penyembah berhala terhadap agama Allah. Maka ini berarti suatu bencana besar.

 

Oleh karena itu harus ada pukulan yang benar-benar berani, yang akan dapat mengurangi beban kekalahan selama di Uhud, akan mengembalikan kekuatan moril Muslimin dan sekaligus dapat menimbulkan kegentaran pada pihak Yahudi dan orang-orang munafik. Dengan demikian kewibawaan Muhammad dan sahabat-sahabatnya di Yathrib akan kembali kuat seperti sediakala.

 

Berhadapan dengan Musuh Lagi

 

Keesokan harinya setelah peristiwa Uhud — yang terjadi pada malam 16 Syawal (tahun ke 5 Hijrah) — salah seorang muazzin Nabi berseru kepada Muslimin dan mengerahkan mereka supaya bersiap-siap meng, hadapi musuh dan mengadakan pengejaran. Tetapi yang dimintanya hanya mereka yang pernah turut dalam peperangan itu. Setelah kaum Muslimin berangkat, pihak Abu Sufyan merasa ketakutan sekali, bahwa musuhnya yang dari Medinah itu sekarang datang dengan bantuan baru. Tidak berani ia menghadapi mereka.

 

Sementara itu Muhammad pun sudah sampai pula di Hamra’ I-Asad.! Sedang Abu Sufyan dan teman-temannya berada di Rauha’. Waktu itu Ma’bad al-Khuza’i lewat dan sebelumnya ia sudah pula lewat di tempat Muhammad dan rombongannya itu. Ia ditanya oleh Abu Sufyan tentang keadaan mereka itu, yang oleh Ma’bad — ketika itu ia masih dalam syirik – dijawab:

 

“Muhammad dan sahabat-sahabatnya sudah berangkat mau mencari kamu, dalam jumlah yang belum pernah kulihat semacam itu. Orang. orang yang dulunya tidak ikut, sekarang mereka menggabungkan diri dengan dia. Mereka semua terdiri dari orang-orang yang sangat geram kepadamu, orang-orang yang hendak membalas dendam.”

 

Akan terpikir juga oleh Abu Sufyan bagaimana pula nanti akibatnya apabila ia lari dari Muhammad dan tidak sampai menghadapinya sesudah ia pernah mendapat kemenangan?! Bukankah Quraisy nanti akan dicemooh oleh orang-orang Arab seperti yang pernah diinginkannya akan terjadi demikian terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya?! Baiklah, misalnya ia kembali menghadapi Muhammad lalu ia dikalahkan oleh Muslimin, bukanlah itu berarti bahwa bagi Quraisy sudah tamat riwayatnya dan tidak akan pernah bangun kembali!? Lalu dicarinya suatu helat, diusutnya sebuah kafilah dari suku Abd’l-Oais pergi ke Medinah dengan memberitahukan kepada Muhammad bahwa ia (Abu Sufyan) sudah memutuskan akan berangkat menyerbu, dia dan sahabat-sahabatnya akan digempur dan dikikis habis sampai ke sisa-sisanya. Setelah oleh rombongan pesan itu disampaikan kepada Muhammad di Hamra’ ‘I-Asad, sedikit pun semangat dan ketabahannya tidak goyah. Bahkan sepanjang malam selama tiga hari itu terus-menerus ia memasang api unggun, sekalian mau menunjukkan kepada Quraisy bahwa ia tetap siap-siaga dan menunggu kedatangan mereka. Akhirnya semangat Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy jadi buyar sendiri. Mereka lebih suka bertahan dengan kemenangan di Uhud itu. Kemudian mereka pun kembali pulang menuju arah ke Mekah.

 

Muhammad juga lalu kembali ke Medinah. Sudah banyak posisi yang dapat diambil kembali setelah tadinya mengalami kegoyahan akibat peristiwa Uhud itu, meskipun kaum munafik mulai pula mengangkat kepala menertawakan kaum Muslimin sambil menanyakan: Kalau peristiwa Badr itu merupakan pertanda dari Tuhan atas kerasulan Muhammad, maka dengan peristiwa Uhud itu apa pula konon pertandanya dan apa yang akan jadi alamatnya??!

 

Politik Muhammad Sesudah Uhud -Pasukan Abu Salama — Pasukan Abdullah b. “Unais — Peristiwa ar-Raji’ (tahun 625 M) — Zaid b. Khubaib Dibunuh – Orientalis Diam Saja — Peristiwa Bi’ir Ma’una (tahun 625 M) — Orang-orang Yahudi dan Orang-orang Munafik di Medinah — Yahudi Berkomplot terhadap Muhammad – Abdullah b. Ubayy Membakar Semangat Orang-orang Yahudi — Banu Nadzir Dikepung -Exodus -Sekretaris Nabi — Badr Terakhir — Ekspedisi Dhat’r-Riga’ – Ekspedisi Dumat’i-Jandal

 

ABU SUFYAN telah kembali dari Uhud ke Mekah. Berita-berita kemenangannya sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk dengan rasa gembira, karena dianggap sudah dapat menghapus cemar yang dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke Mekah, langsung menuju Ka’bah sebelum ia pulang ke rumah. Kepada Hubal dewa terbesar ia menyatakan puji dan syukur. Dicukurnya lebih dulu rambut yang di bawah telinganya, lalu ia pulang ke rumah sebagai orang yang sudah memenuhi janji bahwa ia takkan mendekati istrinya sebelum dapat mengalahkan Muhammad.

 

Sebaliknya kalangan Muslimin, mereka melihat kota Medinah sudah banyak terasa aneh sekali, meskipun musuh tetap mengejar-ngejar mereka. Selama tiga hari terus-menerus mereka tetap tabah menghadapi musuh yang masih tidak mempunyai keberanian menghadapi mereka itu. Padahal belum selang dua puluh empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai pihak yang menang.

 

Politik Muhammad Sesudah Uhud

 

Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu sudah terasa banyak sekali mengalami perubahan, meskipun kekuasaan Muhammad di kota itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi a.s. merasa, bahwa keadaan memang sudah sangat genting dan gawat sekali, bukan hanya dalam kota Medinah saja, bahkan juga sudah melampaui sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang sudah merasa ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada mereka, sehingga terpikir oleh mereka itu hendak menentangnya lagi dan mengadakan perlawanan. Oleh karena itu ia ingin sekali mengikuti berita-berita sekitar penduduk Medinah dan kalangan Arab umumnya, yang kiranya akan memberikan suatu kemungkinan menempatkan kembali kedudukan, kekuatan dan kewibawaan Muslimin ke dalam hati mereka.

 

Berita pertama yang sampai kepadanya sesudah peristiwa Uhud, ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua bersaudara — dan keduanya waktu itu yang memimpin Banu Asad — sedang mengerahkan masyarakatnya dan mereka yang mau menaatinya, untuk menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam rumahnya sendiri dengan maksud memperoleh keuntungan dan merampas ternak Muslimin yang dipelihara di ladang-ladang sekeliling kota itu. Yang menyebabkan mereka berani berbuat begitu ialah karena anggapan bahwa Muhammad dan temantemannya masih menderita karena telah mengalami pukulan hebat selama di Uhud.

 

Pasukan Abu Salama

 

Berita itu terbetik juga oleh Nabi. Ia segera memanggil Abu Salama b. Abd’I-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan yang terdiri dari 150 orang, termasuk Abu ‘Ubaida bin’I-Jarrah, Sa’d b. Abi Waggash dan Usaid b. Hudzair. Mereka diperintahkan supaya berjalan pada malam hari dan siangnya bersembunyi dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui orang, supaya jangan ada orang yang mengenal jejak mereka. Dengan demikian mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara yang tiba-tiba sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia berhasil menyerbu musuh dalam keadaan tidak siap. Dalam pagi buta mereka sudah terkepung. Dikerahkannya anak buahnya dalam menghadapi perjuangan itu. Tetapi pihak musyrik sudah tak dapat bertahan lagi. Dua pasukan segera dikirim mengejar mereka dan merebut rampasan perang yang ada. ia dan anak buahnya menunggu di tempat itu sambil menantikan pasukan pengejar itu kembali membawa rampasan perang.

 

Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan untuk Tuhan, untuk Rasul, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu mereka kembali ke Medinah dengan sudah membawa kemenangan. Kewibawaan yang karena peristiwa Uhud itu terasa sudah agak berkurang, kini mulai kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri hidup tidak lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka akibat perang Uhud dan luka-lukanya itu belum sembuh benar kecuali yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah ia bekerja keras lukanya itu terbuka dan kembali mengucurkan darah, yang diderita terus sampai meninggalnya.

 

Pasukan Abdullah b. “Unais

 

Sesudah itu kemudian sampai pula berita kepada Muhammad bahwa Khalid b. Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang tinggal di Nakhla atau dj “Urana telah mengumpulkan orang pula hendak menyerangnya. Men. dengar ini Muhammad segera mengutus Abdullah b. Unais meneliti dan mencek kebenaran berita tersebut. Abdullah berjalan menuju ke tempat Khalid, yang ketika itu dijumpainya ia sedang berada di rumah bersama dengan istri-istrinya.

 

“Siapa kamu”, tanya Khalid setelah Abdullah sampai.

 

“Saya dari golongan Arab juga,” jawabnya. “Mendengar tuan mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya datang kemari.”

 

Khalid berterus-terang, bahwa ia memang sedang mengumpulkan orang hendak menyerang Medinah. Setelah Abdullah melihat sekarang ia seorang diri jauh dari anak-buahnya — kecuali istri-istrinya — dicarinya jalan supaya ia mau berjalan bersama-sama. Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang itu dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya dia di tangan istri-istrinya yang berkerumun menangisinya. Sekembalinya ke Medinah disampaikannya berita itu kepada Rasul. .

 

Setelah kematian pemimpinnya itu, Banu Lihyan sebagai cabang Hudhail yang selama beberapa waktu tenang-tenang saja, sekarang mulai terpikir akan mengadakan pembalasan dengan suatu tipu-muslihat.

 

Pada waktu itulah kabilah yang berdekatan itu mengutus rombongan kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan kami ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa orang sahabat tuan bersama kami, yang akan dapat kelak mengajarkan hukum agama dan Quran kepada kami.

 

Peristiwa Ar-Raji’ (tahun 625)

 

Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap diperlukan pada waktu itu Muhammad selalu siap mengutus sahabat-sahabatnya untuk memberikan bimbingan kepada orang dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi pengikut Muhammad dan sahabatsahabatnya menghadapi lawan, seperti yang sudah kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke Medinah sesudah Ikrar “Agaba kedua. Oleh karena itu enam orang sahabat besar kemudian diutusnya berangkat bersamasama dengan rombongan utusan itu. Tetapi sesampainya di suatu pangkalan air kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang disebut Ar-Raji’, ternyata mereka telah dikhianati, dengan tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan Hudhail. Tetapi sni tidak membuat keenam orang Muslimin itu jadi gugup ketakutan, yang dalam perlengkapannya itu mereka hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang hendak mempertahankan diri, Tetapi pihak Hudhail berkata kepada mereka:

 

“Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan kamu ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak bermaksud membunuh kamu.”

 

Keenam orang Muslim itu berpandang-pandangan. Mereka sadar sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke Mekah itu berarti suatu penghinaan yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan. Mereka menolak janji Hudhail itu, dan mereka tetap akan mengadakan perjawanan, meskipun mereka sudah menyadari, bahwa dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang dari mereka ini dibunuh oleb Hudhail, sedang sisanya sudah makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan dibawa sebagai tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b. Tarig, salah seorang dari ketiga orang Islam itu di tengah jalan berhasil melepaskan belenggu dari tangannya lalu ia mencabut pedang. Oleh karena rombongan yang lain berada di belakangnya, dihujaninya ia dengan batu dan ia pun tewas karenanya.

 

Kedua orang tawanan lainnya sempat dibawa oleh Hudhail ke Mekah, lalu dijual. Zaid bin’d-Dathinna dijual kepada Shafwan b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan kepada Nastas, budaknya supaya membunuhnya sebagai balasan atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf. Ketika dibawa, oleh Abu Sufyan ia ditanya:

 

“Zaid, sangat kuharapkan sekali. Bersediakah engkau memberikan tempatmu itu kepada Muhammad? Dialah yang harus dipenggal lehernya, sedang engkau dapat kembali kepada keluargamu.”

 

“Tidak,” jawab Zaid. “Sekiranya Muhammad di tempatnya sekarang ini akan menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku di tempat keluarga, aku tidak sudi.”

 

Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya:

 

“Belum pernah aku melihat seseorang mencintai kawannya demikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”

 

Zaid b. Khubaib Dibunuh Zaid lalu dibunuh oleh Nastas. Maka ia pun gugur sebagai syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi. Adapun Khubaib waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka:

 

“Dapatkah kamu membiarkan aku sekadar melakukan salat dua rakaat?”

 

Permintaan demikian itu dikabulkan. Ia pun sembahyang dua raka’at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka lagi:

 

“Kalau tidak karena kamu akan menyangka saya sengaja memper, lambat karena takut dibunuh, niscaya saya masih akan sembahyang lebih banyak lagi.”

 

Setelah ia dinaikkan dan diikat di atas tonggak kayu, dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya:

 

“Ya Allah, hitungkan bilangan mereka itu, binasakan mereka dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorang pun dari mereka itu.”

 

Mendengar suara yang keras itu mereka gemetar, mereka merebahkan diri takut terkena kutukannya. Sesudah itu ia pun dibunuh. Seperti Zaig yang telah gugur sebagai syahid. Khubaib juga kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang pula. Padahal, sebenarnya mereka akan dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad meninggalkan agamanya. Tetapi demi keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada keluhuran rohani dan hari kemudian — tatkala setiap jiwa hanya akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada orang yang akan memikul beban orang lain — mereka melihat maut itu – sebagai tujuan hidup — adalah tujuan yang paling baik dalam hidupnya demi akidah, demi iman dan demi kebenaran. Mereka pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di atas bumi Mekah, akan memanggil saudara-saudaranya kaum Muslimin supaya memasuki kota itu sebagai pihak yang menang, yang akan menghancurkan berhala-berhala, akan membersihkan segala noda paganisma dan kehidupan syirik. Dan kesucian Ka’bah sebagai Baitullah akan dikembalikan juga sebagaimana mestinya, bersih dari segala sebutan nama-nama selain asma Allah. Orientalis Diam Saja

 

Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis tidak bicara apa-apa seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk memandang jijik perbuatan khianat yang dilakukan Banu Hudhail terhadap dua orang yang tidak berdosa itu, yang bukan ditawan dari medan perang, tapi diambil dengan cara tipu-muslihat, yang berangkat karena perintah Rasul dengan maksud supaya mengajarkan agama kepada orang-orang yang mengkhianati mereka itu, orang-orang yang menyerahkan mereka kepada Quraisy, setelah kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan licik. Kaum Orientalis tidak menganggap jijik perbuatan Quraisy terhadap dua orang yang tak bersenjata itu, padahal apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan pengecut dan tindakan permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya prinsip kejujuran yang harus menjadi pegangan kaum Orientalis, yang merasa tidak dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa jijik sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya yang didatangkan atas permintaan mereka untuk mengajarkan agama, telah lebih dulu pula mereka bunuh.

 

Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih sekali atas malapetaka yang telah menimpa keenam orang yang gugur sebagai syahid di jalan Tuhan karena pengkhianatan Hudhail itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.

 

Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad memikirkan keadaan umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka.

 

Sementara ia sedang berpikir-pikir demikian itu tiba-tiba datang Abu Bara” Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu juga ia tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap Islam. Bahkan katanya: “Muhammad, kalau ada sahabat-sahabatmu yang dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu saya harap mereka itu akan menerima.”

 

Tetapi Muhammad masih kuatir akan melepaskan sahabat-sahabatnya itu ke Najd dan ia kuatir penduduk daerah itu nanti akan mengkhianati mereka seperti pernah dilakukan Hudhail terhadap Khubaib dan kawankawan. Ia tidak yakin dan tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara”.

 

“Saya menjamin mereka”, katanya lagi. “Kirimkanlah utusan ke sana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu.”

 

Abu Bara’ adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya dan didengar orang perkataannya. Barangsiapa yang sudah diberinya perlindungan ia tidak kuatir akan mendapat serangan pihak lain.

 

Peristiwa Bi’ir Ma’una (tahun 625)

 

Dengan demikian Muhammad mengutus Al-Mundhir b. “Amr dari Banu Sa’ida dengan memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun berangkat. Sampai di Bi’ir Ma’una — antara daerah Banu “Amir dan Banu Sulaim — mereka berhenti. Dari sana mereka mengutus Haram b. Milhan membawa surat Muhammad kepada “Amir bin’t-Tufail. Tetapi oleh “Amir surat itu tidak dibacanya, malah orang yang membawanya dibunuh, dan dia minta bantuan Banu “Amir supaya membunuhi kaum Muslimin. Tetapi Setelah mereka menolak untuk melakukan pelanggaran atas pertanggung. jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh Abu Bara”, “Amir meminta bantuan kabilah-kabilah lain. Permintaan ini oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama dia mereka berangkat dan mengebung rombongan Muslimin di tempat itu. Melihat keadaan ini pihak Muslimin pun segera mencabut pedang. Mereka mengadakan perlawanan mati-matian sampai akhirnya mereka terbunuh semua.

 

Hanya Ka’b b. Zaid yang masih selamat, yang tadinya dibiarkan begitu saja oleh Ibn’t-Tufail. Ternyata ia belum mati. Kemudian ia pun pergi pulang ke Medinah. Demikian juga “Amr b. Umayya, yang oleh “Amir bin’t-Tufail dimerdekakan karena dikiranya ia masih terikat dengan suatu niat ibunya. Dalam perjalanan pulang di tengah jalan “Amr bertemu dengan dua orang yang dikiranya turut menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua orang itu sampai tidur lebih dulu, kemudian diserangnya dan dibunuhnya. Sesudah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya. Sesampainya di Medinah diberitahukannya perbuatannya itu kepada Rasul a.s. Ternyata kedua orang itu dari Banu “Amir, dari golongan Abu Bara”, dan yang juga terikat oleh suatu perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini berarti harus diselesaikan dengan diat.

 

Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan di Bi’ir Ma’una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas sahabatsahabatnya itu. Ia berkata: “Ini adalah perbuatan Abu Bara”. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali.”

 

Abu Bara’ juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran “Amir bin’t-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi’a anaknya lalu bertindak menghantam “Amir dengan tombak sebagai balasan atas perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya rasa dukacita Muhammad sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah membunuh sahabatsahabatnya itu. Demikian juga seluruh umat Muslimin turut merasa pilu karena malapetaka yang telah menimpa saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan penuh iman bahwa mereka semua gugur sebagai syuhada, dan mereka semua akan mendapat surga.

 

Orang-orang Yahudi dan Orang-orang Munafik di Medinah

 

Malapetaka yang telah menimpa kaum Muslimin di Raji’ dan di Bi’ir Ma’una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan kemenangan Quraisy di Uhud, dan membuat mereka lupa akan kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi pandangan mereka terhadap kewibawaan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi a.s. berpikir dengan suatu pemikiran politik yang cermat sekali serta pandangan yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam kaum Muslimin ialah sikap penduduk Medinah yang kiranya akan merendahkan kewibawaan mereka. Begitu juga yang sangat diharapkan oleh kabilah-kabilah Arab, mereka akan dapat menanamkan perpecahan di dalam, yang berarti akan dapat menimbulkan perang saudar3 jika nanti ada saja tetangga yang menyerbu Medinah. Di samping itu pihak Yahudi dan orang-orang munafik seolah-olah memang sedang menantikan pencana yang akan menimpa itu. Karena itu dilihatnya tak ada jalan lain yang lebih baik daripada membiarkan mereka, supaya nanti niat mereka serbongkar.

 

Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu sekutu Banu “Amir, maka Nabi perangkat sendiri ke tempat mereka — yang tidak jauh dari Ouba’ — dengan membawa sepuluh orang Muslimin terkemuka di antaranya Abu Bakr, Umar dan Ali. Ia minta bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang yang telah dibunuh tidak sengaja oleh “Amr b. Umayya itu dan tidak diketahuinya pula bahwa Nabi telah memberikan perlindungan kepada mereka.

 

Setelah dijelaskan maksud kedatangannya, mereka memperlihatkan sikap gembira dan dengan senang hati bersedia mengabulkan. Akan tetapi, sementara sebagian mereka sedang asyik bercakap-cakap dengan dia, dilihatnya yang lain sedang berkomplot. Salah seorang dari mereka pergi menyisih ke suatu tempat dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian Ka’b b. Asyraf. Salah seorang dari mereka itu (“Amr b. Jihasy b. Ka’b) tampak memasuki rumah tempat Muhammad sedang duduk-duduk bersandar di dinding. Ketika itulah ia merasa curiga sekali, lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka dan percakapan mereka itu telah didengarnya.

 

Yahudi Berkomplot terhadap Muhammad

 

Dengan demikian, diam-diam ia menarik diri dari tempat itu dengan meninggalkan sahabat-sahabatnya. Mereka menduga ia pergi untuk suatu urusan.

 

Sebaliknya pihak Yahudi, mereka jadi kebingungan. Tidak tahu lagi mereka, apa yang harus mereka katakan, dan apa pula yang harus mereka perbuat terhadap sahabat-sahabat Muhammad. Kalau mereka ini yang akan mereka jerumuskan niscaya Muhammad akan mengadakan pembalasan keras. Jika mereka biarkan saja, kalau-kalau persekongkolan mereka terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya tetap tak akan terbongkar. Dengan demikian perjanjian mereka dengan pihak Muslimin tetap berlaku. Jadi sekarang mereka berusaha meyakinkan tamu-tamu Muslimin itu yang mungkin akan dapat menghilangkan rasa kecurigaan mereka tanpa samasekali menyebut-nyebut hal tersebut.

 

Tetapi sahabat-sahabat Muhammad setelah lama menunggunya, mereka pun pergi pula mencarinya. Tatkala ada orang yang datang dari Medinah dijumpai, tahulah mereka bahwa Muhammad sudah sampai dj kota itu dan langsung menuju ke mesjid. Mereka pun juga pergi ke sana. Ia menceritakan kepada mereka mengenai apa yang telah menimbulkan kecurigaan dari sikap orang Yahudi itu serta maksud mereka yang hendak mengkhianatinya. Barulah mereka menyadari apa yang telah mereka lihat itu. Mereka percaya akan ketajaman pandangan Rasul serta akan apa yang telah diwahyukan kepadanya.

 

Kemudian Nabi memanggil Muhammad b. Maslama, dan katanya:

 

“Pergilah kepada Yahudi Banu Nadzir dan katakan kepada mereka, bahwa Rasulullah mengutus aku kepada kamu sekalian supaya kamy keluar dari negeri ini. Kamu telah melanggar perjanjian yang sudah kubuat dengan kamu dengan maksudmu hendak mengkhianati aku. Aku memberikan waktu sepuluh hari kepada kamu. Barangsiapa yang masih terlihat sesudah itu akan dipenggal lehernya.”

 

Yahudi Banu Nadzir sekarang merasa putus asa dan kebingungan. Atas keterangan itu mereka tidak dapat membela diri lagi, mereka tidak menjawab apa-apa lagi, kecuali katanya kepada Ibn Maslama:

 

“Muhammad, kami tidak menduga hal ini akan datang dari orang golongan Aus.” Ini adalah suatu isyarat tentang persekutuan mereka dengan pihak Aus dahulu dalam perang dengan Khazraj. Tetapi Ibn Maslama hanya menjawab:

 

“Hati orang sudah berubah.”

 

Abdullah b. Ubayy Membakar Semangat Orang-orang Yahudi

 

Selama beberapa hari golongan ini sudah bersiap-siap. Tetapi dalam pada itu tiba-tiba datang pula dua orang suruhan Abdullah b. Ubayy dengan mengatakan: “Jangan ada orang yang mau meninggalkan rumahrumah kamu dan harta-benda kamu. Tetaplah bertahan dalam benteng kamu sekalian. Dari golonganku sendiri ada dua ribu orang dan selebihnya dari golongan Arab yang akan bergabung dengan kita dalam benteng dan mereka akan bertahan sampai titik darah penghabisan, sebelum ada pihak lain menyentuh kamu.”

 

Banu Nadzir mengadakan perundingan atas keterangan Ibn Ubayy itu. Mereka tambah bingung. Ada yang samasekali tidak percaya kepada Ibn Ubayy. Bukankah dulu pernah ia menjanjikan Banu Qainuqa’ seperti yang dijanjikannya kepada Banu Nadzir sekarang, tetapi tiba waktunya ia cuci tangan dan menghilang meninggalkan mereka? Juga mereka mengetahui, bahwa Banu Ouraidza takkan dapat membela mereka mengingat adanya suatu perjanjian dengan pihak Muhammad. Di samping itu, kalau mereka keluar dari kampung mereka itu ke Khaibar atau ke tempat lain yang berdekatan mereka masih akan dapat kembali ke Yathrib bila kurma mereka nanti sudah berbuah: mereka akan memetik buah kurma itu lalu kembali ke tempat mereka semula. Mereka tidak akan mengalami banyak kerugian.

 

“Tidak”, kata Huyayy b. Akhtab pemimpin mereka. “Malah kita yang harus mengirim pesan kepada Muhammad: bahwa kita tidak akan meninggalkan kampung kita dan harta-benda kita. Terserah apa yang akan diperbuat. Kita hanya tinggal memperbaiki kubu kita, kita akan memasuki tempat ini sesuka hati kita. Kita akan membiasakan memakai jalan-jalan kita, kita pindahkan batu-batu ke tempat itu. Persediaan makanan kita cukup buat setahun, air pun tidak pernah terputus. Muhammad tidak akan mengepung kita setahun penuh.”

 

Tetapi sepuluh hari sudah lampau. Mereka tidak juga keluar dari perkampungan itu.

 

Dengan membawa senjata pihak Muslimin selama dua belas malam bertempur melawan mereka. Ketika itu bila sudah tampak Muslimin di jalan-jalan atau di rumah-rumah, mereka mundur ke rumah berikutnya sesudah rumah-rumah itu mereka robohkan. Kemudian Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya menebangi pohon-pohon kurma kepunyaan orang-orang Yahudi itu, lalu membakarnya. Dengan demikian orang-orang Yahudi itu tidak akan terlalu terikat pada harta-bendanya lagi dan tidak akan terlalu bersemangat mau berperang.

 

Banu Nadzir Dikepung

 

Dengan tidak sabar orang-orang Yahudi itu berteriak:

 

“Muhammad! Tuan melarang orang berbuat kerusakan. Tuan cela orang yang berbuat begitu. Tetapi kenapa pohon-pohon kurma ditebangi dan dibakar?!”

 

Dalam hal ini firman Tuhan turun:

 

“Mana pun pohon kurma yang kamu tebang atau kamu biarkan berdiri dengan batangnya, adalah dengan izin Allah juga, dan karena Ia hendak mencemoohkan mereka yang melanggar hukum itu.”

 

Exodus

 

Sia-sia saja rupanya pihak Yahudi itu menunggu adanya bantuan dari Abdullah b. Ubayy atau pertolongan yang mungkin datang dari salah satu golongan Arab. Sekarang mereka yakin, bahwa mereka hanya akan beroleh nasib buruk saja apabila terus bersitegang hendak berperang. Yetelah ternyata mereka dalam putus asa dan ketakutan, mereka meminta damai kepada Muhammad, meminta jaminan keamanan atas harta-benda darah serta anak-anak keturunan mereka, sampai mereka keluar dar Medinah. Muhammad pun mengabulkan permintaan mereka, asal mereka keluar dari kota itu: Setiap tiga orang diberi seekor unta dengan muatan harta-benda, persediaan makanan dan minuman sesuka hati mereka. Di luar itu tidak ada. Pihak Yahudi menerima. Mereka dipimpin oleh Huyayy b. Akhtab.

 

Dalam perjalanan itu mereka ada yang berhenti di Khaibar, yang lain meneruskan perjalanan sampai ke Adhri’at di bilangan Syam. Harta. benda yang mereka tinggalkan menjadi barang rampasan Muslimin yang terdiri dari hasil bumi, senjata berupa 50 buah baju besi, 340 bilah pedang, di samping tanah milik orang-orang Yahudi itu. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap sebagai rampasan perang: oleh karenanya tak dapat dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin, melainkan khusus di tangan Rasulullah yang nantinya akan ditentukan sendiri menurut kebijaksanaannya. Dan tanah itu kemudian dibagi-bagikan kepada golongan Muhajirin yang pertama di luar golongan Anshar, setelah dikeluarkan bagian khusus yang hasilnya akan menjadi hak fakir miskin. Dengan demikian kaum Muhajirin itu tidak perlu lagi harus menerima bantuan kaum Anshar dan ini pun sudah menjadi harta kekayaan mereka. Dari pihak Anshar yang turut mendapat bagian hanya Abu Dujana dan Sahl b. Hunaif, yang sudah terdaftar sebagai orang miskin.

 

Muhammad memberikan bagian kepada mereka ini seperti kepada kaum Muhajirin.

 

Dari golongan Yahudi Banu Nadzir sendiri tak ada yang masuk Islam kecuali dua orang. Mereka masuk Isiam karena harta mereka, yang kemudian mereka peroleh kembali.

 

Tidak begitu sulit orang akan menilai arti kemenangan Muslimin serta pengosongan Banu Nadzir dari Medinah itu, setelah kita kemukakan betapa Rasul a.s. memperhitungkan, bahwa adanya mereka di tempat itu akan memberikan semangat dalam menimbulkan bibit-bibit fitnah, akan mengajak orang-orang munafik itu mengangkat kepala setiap mereka melihat pihak Muslimin mendapat bencana dan mengancam timbulnya perang saudara bila saja ada musuh menyerang kaum Muslimin.

 

Tentang perginya Banu Nadzir itu Surah Hasyr (59) ini turun:

 

“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang bersikap munafik, yang berkata kepada saudara-saudaranya yang tak beriman dari kalangan Ahli Kitab: Kalau kamu diusir ke luar, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, dan tidak sekali-kali kami akan dipengaruhi oleh siapa pun menghadapi persoalanmu ini, dan kalau kamu dipengaruhi niscaya kami pun akan membelamu. Tetapi Tuhan mengetahui, bahwa mereka adalah pendusta belaka. Kalaupun mereka ini diusir ke luar, mereka pun tidak akan ikut bersama-sama ke luar, juga kalau mereka ini diperangi, mereka pun tidak akan turut membantu, dan kalaupun mereka sampai membantu, niscaya mereka akan lari mengundurkan diri, lalu mereka ini tidak mendapat pertolongan. Sungguh dalam hati mereka kamu sangat ditakuti lebih dari Allah. Demikian itulah, sebab mereka adalah golongan yang fidak mengerti.”

 

Kemudian Surah itu dilanjutkan dengan memberi keterangan tentang iman dan kekuasaannya. Iman hanya kepada Allah semata-mata. Bagi jiwa manusia, yang tahu harga diri dan kehormatan, dirinya, yang dikenalnya hanyalah kekuasaan Tuhan.

 

“Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha mengetahui segala yang gaib dan yang nyata. Dia Pengasih dan Penyayang. Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus, Pembawa Keselamatan, Keamanan, Penjaga segalanya, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Agung. Maha Suci Allah dari segala yang mereka persekutuan. Dialah Allah. Pencipta, Pengatur, Pembentuk rupa, Pada-Nyalah ada Asma Yang Indah. Segala yang ada di langit dan di bumi berbakti kepada-Nya. Dan Dia Mahakuasa, Mahabijaksana.

 

Sekretaris Nabi

 

Sampai pada waktu dikosongkannya Medinah dari Banu Nadzir, yang menjadi sekretaris Nabi ketika itu ialah orang Yahudi. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengiriman surat-surat dalam bahasa Ibrani dan Asiria. Tetapi setelah orang-orang Yahudi ke luar, Nabi jadi kuatir kalau jabatan yang memegang rahasianya itu bukan di tangan orang Islam. Dari kalangan pemuda Islam di Medinah dimintanya Zaid b. Thabit supaya mempelajari kedua bahasa tersebut, yang dalam segala urusan kemudian ia akan menjadi sekretaris Nabi. Dan Zaid b. Thabit inilah yang telah mengumpulkan Quran pada masa khilafat Abu Bakr, dan dia pula yang kembali dan mengawasi pengumpulan Quran tatkala terjadi perbedaan cara membaca pada masa pemerintahan Usman. Lalu yang dipakai hanya Mushhaf Usman, yang lain dibakar.

 

Suasana Medinah jadi tenteram setelah Yahudi Banu Nadzir keluar. Pihak Muslimin tidak lagi merasa takut terhadap orang-orang munafik. Bahkan kaum Muhajirin bersuka hati memperoleh tanah bekas orang-orang Yahudi itu. Juga kalangan Anshar turut gembira karena Muhajirin sudah tidak lagi bergantung pada bantuan mereka. Hati mereka semua merasa lega. Dalam suasana yang begitu tenang, aman dan tenteram, baik Muhajirin maupun Anshar, semua mereka merasa senang. Dalam pada mereka dalam keadaan demikian, setelah berlalu waktu setahun Sejak peristiwa Uhud, teringat oleh Muhammad alaihis-shalatu was-salam – ucapan Abu Sufyan: “Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa tahun depan!” serta ajakannya kepada Muhammad untuk mengadakan perang Badr lagi. Tetapi tahun itu sedang terjadi musim kering (paceklik). Harapan Abu Sufyan ialah sekiranya perang itu diadakan dalam waktu lain saja.

 

Untuk itu diutusnya Nu’aim (b. Mas’ud) ke Medinah dengan mengatakan kepada pihak Muslimin, bahwa Quraisy telah mengerahkan tentaranya begitu besar yang belum ada taranya dalam sejarah Arab: sudah siap akan memerangi mereka, akan menghancur-luluhkan mereka sehingga tidak akan tersisa lagi. Tampaknya kaum Muslimin pun mau menghindari bahaya itu. Banyak di antara mereka yang memperlihatkan keengganan pergi ke Badr. Tetapi Muhammad jadi marah karena sikap lemah dan mau surut itu. ia bersumpah mengatakan kepada mereka, bahwa ia akan pergi juga ke Badr walaupun seorang diri.

 

Melihat kejengkelan yang luar biasa itu segala sikap maju-mundur dan perasaan takut-takut segera lenyap. Kaum Muslimin sekarang siap memanggul senjata dan berangkat ke Badr. Dalam hal ini pimpinan kota Medinah oleh Nabi diserahkan kepada Abdullah b. Abdullah b. Ubayy b. Salul.

 

Muslimin yang sudah sampai di Badr, sekarang menantikan kedatangan Quraisy. Mereka sudah siap bertempur. Demikian juga pihak Quraisy dengan pimpinan Abu Sufyan sudah pula berangkat dari Mekah dengan kekuatan 2000 orang. Tetapi sesudah dua hari perjalanan tampaknya Abu Sufyan mau kembali pulang. Ia memanggil-manggil teman-temannya sambil katanya:

 

“Saudara-saudara dari Quraisy, sebenarnya yang cocok buat kita hanyalah dalam musim subur, sedang sekarang kita dalam musim kering. Saya sendiri mau kembali pulang. Maka pulang sajalah kamu sekalian.”

 

Mereka itu kembali pulang.

 

Badr Terakhir

 

Tinggal lagi Muhammad dengan tentara Muslimin selama delapan hari terus-menerus menantikan mereka, yang selama di Badr itu pula waktu mereka pergunakan sambil berdagang. Dan dalam perdagangan itu mereka mendapat laba. Mereka kembali ke Medinah pun kemudian dengan gembira, telah mendapat karunia dari Tuhan. Dalam Badr Terakhir itulah firman Tuhan ini turun:

 

“Mereka yang berkata kepada teman-temannya, dan mereka sendiri tinggal di belakang: “Sekiranya mereka itu mengikut kita, niscaya mereka takkan mati terbunuh.’ Katakanlah: “Cobalah hindarkan dirimu dari kematian, kalau memang kamu orang-orang yang benar. Jangan kamu kira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu sudah mati. Tidak! Mereka itu hidup dengan mendapat bagian dari Tuhan. Mereka dalam suasand gembira karena karunia yang diberikan Tuhan juga, mereka girang sekali terhadap mereka yang tidak ikut dan tinggal di belakang, bahwa mereka tidak merasa takut dan tidak pula berdukacita. Mereka girang karena karunia dan nikmat Tuhan dan Tuhan tidak akan menghilangkan jasa orang-orang beriman, orang-orang yang telah memenuhi panggilan Tuhan dan Rasul meskipun mereka sudah mengalami malapetaka, orang-orang yang berbuat baik dan dapat memelihara diri dari kejahatan, mereka itulah yang akan mendapat pahala besar. Orang yang sudah berkata kepada mereka: “Sebenarnya orang-orang sudah berkumpul hendak melawan kamu. Karena itu hendaklah kamu tgkut kepada mereka. Tetapi hal ini bahkan menambah kuat iman mereka, dan jawab mereka: Cukup Tuhan bersama kami dan Ia Pelindung yang sebaik-baiknya. Mereka kembali mendapatkan nikmat dan karunia dari Tuhan. Mereka tidak mengalami bencana, dan mereka mengikut perkenaan Allah. Dan Allah Maha Pemberi karunia yang besar. Yang demikian itu hanyalah setan yang menakut-nakuti pengikut-pengikutnya. Jangan kamu takut kepada mereka, tapi takutlah kepada-Ku, kalau benar-benar kamu orang-orang beriman.”

 

Dengan demikian perang Badr yang terakhir benar-benar telah menghapus pengaruh perang Uhud samasekali. Buat Quraisy hanya tinggal lagi menunggu kesempatan lain, dengan tetap mereka bergelimang dalam kecemaran karena sifat pengecutnya yang tidak kurang cemarnya dari kekalahan yang mereka derita dalam perang Badr pertama.

 

Dengan pertolongan Tuhan itu Muhammad merasa lega tinggal di Medinah, merasa tenteram hatinya karena kewibawaan Muslimin kini telah kembali. Sungguhpun begitu ia selalu waspada terhadap segala tipumuslihat musuh, selalu awas-awas ke segenap jurusan.

 

Ekspedisi Dhat’r-Riga’

 

Sementara dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba terbetik berita, bahwa ada sebuah kelompok dari Ghatafan di Najd yang sedang bersepakat hendak memeranginya. Dan taktiknya selalu dalam hal ini ialah menyergap musuh sccara tiba-tiba sebelum musuh itu sempat mengadakan persiapan mempertahankan diri. Oleh karena itulah, dengan kekuatan empat ratus orang ia berangkat menuju Dhat’r-Riga’. Di tempat Ini pihak Banu Muharib dan Banu Tha’laba dari Ghatafan sudah berkumpul. Begitu ia dilihat oleh mereka, ia langsung melakukan penyerbuan ke tempat-tempat mereka itu. Dengan meninggalkan kaum wanita dan harta, mercka lari tunggang-langgang. Apa yang dapat dibawa oleh Muslimin dibawanya, dan mereka kembali pulang ke Medinah.

 

Akan tetapi, karena dikuatirkan pihak musuh akan kembali menye. rang mereka, siang malam mereka pun secara bergantian mengadakan penjagaan. Dalam pada itu dalam memimpin sembahyang juga oleh Muhammad dilakukan dengan shalat khauf’. Dalam hal ini sebagian mereka menghadap ke jurusan musuh, karena dikuatirkan kalau-kalau pihak musuh menyusul menyerang mereka, sementara mereka sedang bersembahyang dua raka’at bersama-sama Muhammad itu. Akan tetapi selama itu tidak ada bayangan musuh yang tampak. Kemudian Nabi dan sahabat-sahabat kembali ke Medinah setelah 15 hari meninggalkan kota itu. Dengan sukses demikian ini mereka kembali dengan gembira sekali. Ekspedisi Dumat’I-Jandal

 

“Tidak lama sesudah itu Nabi pun berangkat lagi dalam suatu ekspedisi, yakni ekspedisi Dumat ‘I-Jandal. Dumat’I-Jandal ini adalah sebuah wahah (oasis) pada perbatasan Hijaz-Syam, yang terletak pada pertengahan jalan antara Laut Merah dengan Teluk Persia. Muhammad sendiri tidak sampai bertemu dengan kabilah-kabilah yang ingin dihadapinya itu dan yang suka menyerang kafilah-kafilah di sana, sebab baru mereka mendengar namanya saja, mereka sudah ketakutan dan sudah kabur lebih dulu, dengan meninggalkan harta-benda yang kemudian dibawa Muslimin sebagai barang ghanima (rampasan perang). Berdasarkan batas Dumat’l-Jandal secara greografis kita sudah dapat melihat betapa luasnya pengaruh Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, betapa jauhnya kekuasaan mereka dan betapa pula seluruh jazirah itu merasa takut. Begitu juga kita melihat bagaimana Muslimin itu menanggung segala macam beban dalam ekspedisi-ekspedisi itu, dengan tidak pedulikan panas terik yang membakar, tanah yang kering dan gersang, air yang sukar diperoleh, bahkan maut sendiri pun tidak lagi mereka hiraukan. Hanya satu yang menggerakkan mereka sampai mencapai kemenangan dan sukses itu, yang telah memberikan kekuatan moril kepada mereka, yaitu: Keteguhan iman, iman yang hanya kepada Allah semata-mata.

 

Sekarang tiba waktunya buat Muhammad beristirahat di ‘Medinah untuk selama beberapa bulan berikutnya, sementara menantikan Quraisy sampai tahun depan — tahun kelima Hijrah — dan menjalankan perintah Tuhan menyelesaikan suatu susunan masyarakat bagi umat Islam yang baru tumbuh itu, suatu organisasi yang pada waktu itu meliputi beberapa ribu orang dan yang kemudian akan meliputi jutaan bahkan ratusan juta umat Islam. Dalam membuat struktur masyarakat itu, ia bertindak dengan gara yang begitu cermat dan baik sekali, sejalan dengan wahyu Tuhan yang diberikan kepadanya, dan ditentukannya sendiri pula mana-mana yang sesuai dengan perintah dan ajaran wahyu itu, dengan ketentuan-ketentuan terperinci yang oleh sahabat-sahabat pada waktu itu diberi tempat yang suci, dan yang selanjutnya akan tetap berlaku begitu sepanjang masa dan generasi, wahyu yang tiada dimasuki kepalsuan dari mana pun juga, baik dari semula maupun sesudah itu.

 

Teriakan Orientalis — Zainab seperti Dilukiskan Kaum Orientalis — Orang-orang Besar Tidak Tunduk kepada Undang-undang — Penggambaran Orientalis yang Keliru — Sampai Usia 50 Tahun Hanya Beristerikan Khadijah — Hanya Khadijah yang Membawa Keturunan -Perkawinannya dengan Sauda bt. Zam’a — Penelitian Sejarah dan Hasilnya — Cerita Zainab bt. Jahsy – Hubungan Kerabat Muhammad dengan Zainab — Dilamar untuk Zaid dan Ditolak — Zaid Mengeluh dan Perceraian — Bagaimana Muhammad Kawin dengan Zainab — Sekarang Apa Pendapat Orientalis tentang Zainab – Muhammad Mengangkat Martabat Kaum Wanita

 

Teriakan Orientalis

 

SEMENTARA peristiwa-peristiwa dalam dua bagian di atas itu terjadi, Muhammad kawin dengan Zainab bt. Khuzaima, kemudian kawin dengan Umm Salama bt. Abi Umayya bin’l-Mughira, selanjutnya kawin lagi dengan Zainab bt. Jahsy setelah dicerai oleh Zaid b. Haritha. Zaid inilah yang telah diangkat sebagai anak oleh Muhammad setelah dibebaskan sebagai budak sejak ia dibelikan oleh Yasar untuk Khadijah. Di sinilah kaum Orientalis dan misi-misi penginjil itu kemudian berteriak keraskeras: Lihat! Muhammad sudah berubah. Tadinya, ketika ia masih di Mekah sebagai pengajar yang hidup sederhana, yang dapat menahan diri dan mengajarkan tauhid, sangat menjauhi nafsu hidup duniawi, sekarang ia sudah menjadi orang yang diburu syahwat, air liurnya mengalir bila melihat wanita. Tidak cukup tiga orang istri saja dalam rumah, bahkan ia kawin lagi dengan tiga orang wanita seperti yang disebutkan di atas. Sesudah itu mengawini tiga orang wanita lagi, selain Raihana. Tidak cukup kawin dengan wanita-wanita yang tidak bersuami, bahkan ia jatuh cinta kepada Zainab bt. Jahsy yang masih terikat sebagai istri Zaid b. Haritha bekas budaknya. Soalnya tidak lain karena ia pernah singgah di rumah Zaid ketika ia sedang tidak ada di tempat itu, lalu ia disambut oleh Zainab. Tatkala itu ia sedang mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan kecantikan ini sangat mempengaruhi hatinya. Waktu itu ia berkata “Maha suci Ia yang telah dapat membalikkan hati manusia!” Kata-kata ini diulanginya lagi ketika ia meninggalkan tempat itu. Zainab mendengar kata-kata itu dan ia melihat api cinta itu bersinar dari matanya.

 

Jainab merasa bangga terhadap dirinya dan apa yang didengarnya itu diberitahukannya kepada Zaid. Langsung waktu itu juga Zaid menemui Nabi dan mengatakan bahwa ia bersedia menceraikannya. Lalu kata Nabi kepadanya:

 

“Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takuf kepada Allah.”

 

Tetapi pergaulan Zainab dengan Zaid sudah tidak baik lagi. Kemudian ia dicerai. Muhammad menahan diri tidak segera mengawininya sekalipun hatinya gelisah. Ketika itu firman Tuhan datang:

 

“Ingat, tatkala engkau berkata kepada orang yang telah diberi karunid oleh Allah dan engkau pun telah pula berbudi kepadanya: Jagalah baik: baik istrimu. Hendaklah engkau takut kepada Allah. Dan engkau menyembunyikan sesuatu di dalam hatimu apa yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia, padahal seharusnya Allah yang lebih patut kau takuti. Maka setelah Zaid meluluskan kehendak wanita itu, Kami kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi alangan bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas) istri-istri anak-anak angkat mereka, bilamana kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan.”

 

Ketika itulah wanita itu dikawininya. Dengan perkawinan ini semarak cinta berahi dan api asmaranya yang menyala-nyala dapat dipadamkan. Nabi apa itu!? Bagaimana ia membenarkan hal itu buat dirinya sedang buat orang lain tidak?! Bagaimana ia tidak tunduk kepada undang-undang yang katanya diturunkan Tuhan kepadanya?! Bagaimana pula “harem” ini diciptakan, yang mengingatkan orang pada raja-raja yang hidup mewahmewah, bukan pada para nabi yang saleh dan memperbaiki kehidupan umat?! Selanjutnya bagaimana pula ia menyerah kepada kekuasaan cinta dalam hubungannya dengan Zainab sehingga ia menghubungi Zaid bekas budaknya supaya menceraikannya, kemudian ia tampil mengawininya! Hal semacam ini pada zaman jahiliah dilarang, tapi Nabinya orang Islam ini membolehkan, karena mau menuruti kehendak nafsunya, mau memenuhi dorongan cintanya.

 

Zainab seperti yang Dilukiskan Kaum Orientalis

 

Bilamana kaum Orientalis dan para misi penginjil bicara mengenai masalah ini dalam sejarah Muhammad, maka mereka membiarkan khayal mereka itu bebas tak terkendalikan lagi: sehingga ada di antara mereka itu yang menggambarkan Zainab — ketika terlihat oleh Nabi — dalam keadaan Setengah telanjang atau hampir telanjang, dengan rambutnya yang hitam panjang lepas terurai sampai menjamah tubuhnya yang lembut gemulai, yang akan dapat menerjemahkan segala arti cinta berahi. Yang lain lag, menyebutkan, bahwa ketika ia membuka pintu rumah Zaid, angin menghembus menguakkan tabir kamar Zainab. Ketika itu ia Sedang telentang di tempat tidur dengan mengenakan baju tidur. Pemandangan Ini sangat menggetarkan jantung laki-laki yang gila perempuan dengan kecantikannya itu. Ia menyembunyikan perasaan hatinya meskipun sebenarnya ia tidak dapat tahan lama demikian!

 

Gambaran yang diciptakan oleh khayal demikian itu banyak sekali Akan kita jumpai ini dalam karya-karya Muir, Dermenghem, Washington Irving, Lammens dan yang lain, baik mereka ini para Orientalis atau misi. misi penginjil. Dan yang sungguh disayangkan lagi karena dalam membuat cerita-cerita itu, semua mereka memang mengambil sumbernya dari kitab. kitab sejarah Nabi dan tidak sedikit pula dari hadis. Kemudian dengan apa yang mereka gambarkan itu, mereka membangun istana-istana gading dari khayal mereka sendiri tentang Muhammad serta hubungannya dengan wanita. Alasan mereka ialah karena istrinya banyak, yang sampai sembilan orang menurut pendapat yang lebih tepat, atau lebih dari itu menurut sumber-sumber lain.

 

Orang-orang Besar Tidak Tunduk kepada Undang-undang

 

Sebenarnya dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka itu dengan ucapan: Anggaplah semua itu benar, tetapi dengan itu apa pula kiranya yang akan dapat mendiskreditkan kebesaran Muhammad atau kenabian dan kerasulannya. Undang-undang yang biasanya berlaku pada umum, tidak mempan terhadap orang-orang besar, lebih-lebih terhadap para rasul dan nabi. Bukankah ketika Musa a.s. melihat perselisihan dua orang, yang seorang dari golongannya sendiri, dan yang seorang lagi dari pihak musuhnya, ditinjunya orang yang dari pihak musuh itu hingga menemui ajalnya, padahal pembunuhan demikian itu dilarang, baik dalam perang atau pun setengah perang? Ini berarti melanggar undang-undang. Jadi Musa tidak tunduk kepada undang-undang, tapi juga tidak berarti ini dapat mendiskreditkan kenabian atau kerasulannya, bahkan mengurangi kebesarannya pun juga tidak. Dan dalam hal Isa, dalam menyalahi undang-undang lebih besar lagi dari masalah Muhammad, dari para nabi dan para rasul semuanya. Dan soalnya tidak hanya terbatas pada besarnya kekuatan dan keinginan saja, bahkan kelahiran dan kehidupannya pun sudah melanggar undang-undang dan kodrat alam. Di hadapan ibunya malaikat muncul sebagai manusia yang sempurna, yang akan mengantarkan seorang anak yang suci bersih kepadanya. Wanita itu keheranan, sambil berkata: “Bagaimana aku akan beroleh seorang putra, padahal aku belum disentuh seorang manusia, juga aku bukan seorang pelacur.” Malaikat berkata, bahwa Tuhan menghendaki supaya ia menjadi pertanda bagi umat manusia.

 

Setelah terasa sakit hendak melahirkan, ia berkata: “Aduhai, coba sebelum ini aku mati saja, maka aku akan hilang dilupakan orang. Lalu datang suara memanggilnya dari bawah: Jangan berdukacita, Tuhan telah mengalirkan sebatang anak sungai di bawahmu. Dibawanya anak itu kepada keluarganya. Mereka pun berkata: “Maryam, engkau datang membawa masalah besar. Dalam buaiannya itu (usia semuda itu) Isa berkata kepada mereka: “Aku adalah hamba Allah……..” dan seterusnya. Penggambaran Orientalis yang Keliru

 

Betapapun orang-orang Yahudi menolak semua ini, dan oleh mereka Isa dinasabkan kepada Yusuf an-Najjar (Yusuf anak Heli), sebagian sarjana semacam Renan sampai sekarang pun memang menganggapnya demikian. Kebesaran Isa, kenabiannya dan kerasulannya serta penyimpangannya dari hukum dan kodrat alam adalah suatu pertanda mukjizat Tuhan kepadanya. Tapi anehnya, misi-misi penginjil Kristen itu minta orang supaya percaya kepada hal-hal yang di luar hukum alam mengenai diri Yesus, sementara mengenai diri Muhammad mereka sudah menjatuhkan hukuman sendiri. Padahal apa yang dilakukannya tidak seberapa dan tidak lebih karena Muhammad memang terlalu tinggi untuk dapat tunduk kepada undang-undang masyarakat yang biasa berlaku terhadap setiap orang besar, terhadap raja-raja, kepala-kepala negara yang pada umumnya sudah didahului oleh undang-undang dasar sehingga membuat mereka tak dapat diganggu-gugat.

 

Sebenarnya dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka itu dengan jawaban yang sudah tentu akan menjatuhkan semua argumen misimisi penginjil dan orang-orang Orientalis yang juga mau ikut cara-cara mereka itu. Tetapi dalam hal ini kita lalu memperkosa sejarah dan memperkosa kebesaran Muhammad dan kerasulannya. Dia bukanlah orang seperti yang mereka gambarkan: orang yang pikirannya dipengaruhi Oleh hawa nafsu. Tak ada istrinya itu yang dikawininya hanya karena ia terdorong oleh syahwat atau nafsu berahi. Kalaupun ada beberapa penulis Muslim pada zaman-zaman tertentu dengan sesuka hati berkata demikian dan mengemukakan alasan itu kepada lawan-lawan Islam dengan niat baik, soalnya ialah karena tradisi yang berlaku telah membawa mereka kepada pengertian materi. Mereka ingin menggambarkan Muhammad itu besar dalam segalanya, juga besar dalam kehidupan nafsunya. Sudah tentu ini suatu penggambaran yang salah samasekali. Sejarah hidup Muhammad samasekali tak dapat menerima ini, dan seluruh hidup pribadinya pun dengan sendirinya sudah menolak.

 

Ia kawin dengan Khadijah dalam usia dua puluh tiga tahun, usia muda. remaja, dengan perawakan yang indah dan paras muka yang begity tampan, gagah dan tegap. Namun sungguhpun begitu Khadijah tetap istri Satu-satunya, selama dua puluh delapan tahun, sampai melampaui usia lima puluhan. Padahal masalah poligami masalah yang umum sekali di kalangan masyarakat Arab waktu itu. Di samping itu Muhammad pun bebas kawin dengan Khadijah atau dengan yang lain, dalam hal ia dengan Istrinya tidak beroleh anak laki-laki yang hidup, sedang anak perempuan pada waktu itu dikubur hidup-hidup dan yang dapat dianggap sebagai keturunan pengganti hanyalah anak laki-laki.

 

Sampai Usia 50 Tahun Hanya Beristerikan Khadijah

 

Muhammad hidup hanya dengan Khadijah selama tujuh belas tahun sebelum kerasulannya dan sebelas tahun sesudah itu: dan dalam pada itu pun samasekali tak terlintas dalam pikirannya ia ingin kawin lagi dengan wanita lain. Baik pada masa Khadijah masih hidup, atau pun pada waktu ia belum kawin dengan Khadijah, belum pernah terdengar bahwa ia termasuk orang yang mudah tergoda oleh kecantikan wanita-wanita yang pada waktu itu justru wanita-wanita belum tertutup. Bahkan mereka itu suka memamerkan diri dan memamerkan segala macam perhiasan, yang kemudian dilarang oleh Islam. Sudah tentu tidak wajar sekali apabila akan kita lihat, sesudah sampai lima puluh-tahun, mendadak sontak ia berubah demikian rupa sehingga begitu ia melihat Zainab bt. Jahsy — padahal waktu itu istrinya sudah lima orang di antaranya Aisyah yang selalu dicintainya – tiba-tiba ia tertarik sampai ia hanyut siang-malam memikirkannya. Juga tidak wajar sekali apabila kita lihat, sesudah lampau lima puluh tahun usianya, yang selama lima tahun sudah beristrikan lebih dari tujuh orang, dan dalam tujuh tahun sembilan orang istri. Semuanya itu, motifnya hanya karena dia terdorong oleh nafsu kepada wanita, sehingga ada beberapa penulis Muslim — dan juga penulis-penulis Barat mengikuti jejaknya — melukiskannya sedemikian rupa, demikian merendahkan, yang bagi seorang materialis sekalipun sudah tidak layak, apalagi buat orang besar, yang ajarannya dapat mengubah dunia dan mengubah jalannya roda sejarah, dan masih. selalu akan mengubah dunia sekali lagi, dan zkan mengubah jalannya roda sejarah sekali lagi.

 

Hanya Khadijah yang membawa keturunan

 

Apabila ini suatu hal yang aneh dan tidak wajar, maka akan jadi aneh juga kita melihat bahwa perkawinan Muhammad dengan Khadijah telah memberikan keturunan, laki-laki dan perempuan, sampai sebelum ia mencapai usia lima puluh tahun, dan bahwa Maria melahirkan Ibrahim sesudah Muhammad berusia enam puluh tahun dan hanya dari yang dua orang ini sajalah yang membawa keturunan. Padahal istri-istri itu ada yang dalam usia muda, yang akan dapat juga hamil dan melahirkan, baik dari pihak suami atau pihak istri, dan ada yang sudah cukup usia, sudah lebih dari tiga puluh tahun umurnya, dan sebelum itu pun pernah pula punya anak. Bagaimana pula gejala aneh dalam hidup Nabi ini ditafsirkan, suatu gejala yang tidak tunduk kepada undang-undang yang biasa, yang sekaligus terhadap kesembilan wanita itu?! Sebagai manusia, sudah tentu jiwa Muhammad cenderung sekali ingin beroleh seorang putra, sekalipun – dalam kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul – dari segi rohani ia sudah menjadi bapa seluruh umat Muslimin.

 

Perkawinannya dengan Sauda bt. Zam’a

 

Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah serta logikanya juga menjadi saksi yang jujur mendustakan cerita misi-misi penginjil dan para Orientalis itu sehubungan dengan poligami Nabi. Seperti kita sebutkan tadi, selama 28 tahun ia hanya beristrikan Khadijah seorang, tiada yang lain. Setelah Khadijah wafat, ia kawin dengan Sauda bint Zam’a, janda Sakran b. “Amr b. “Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu. Melainkan soalnya ialah, Sauda adalah istri orang yang termasuk mula-mula dalam Islam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga sudah Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setarap dengan Umm’I-Mu’minin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.

 

Adapun Aisyah dan Hafsha adalah putri-putri dua orang pembantu dekatnya, Abu Bakr dan Umar. Segi inilah yang membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan putri-putri mereka. Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Usman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua putrinya kepada mereka. Kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Muhammad kepadanya itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin. Gadis itu dipinangnya kepada orang tuanya, tatkala ia berusia sembilan tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil. Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha bt. Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai Saksi.

 

“Sungguh”, kata Umar, “tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita, Wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.” Dan katanya lagi: “Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba istri saya berkata: “Coba kau berbuat begini atau begitu.” Jawab saya: “Ada urusan ap3 engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku! Dia pun membalas: “Aneh sekali engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang badahal putrimu menentang Rasulullah s.a.w. sehingga ia gusar se. panjang hari.” Kata Umar selanjutnya: “Kuambil mantelku, lalu aky keluar, pergi menemui Hafsha. “Anakku”, kataku kepadanya. “Engkay menentang Rasulullah s.a.w. sampai ia merasa gusar sepanjang hari?!” Hafsha menjawab: “Memang kami menentangnya.” “Engkau harus tahu” kataku. “Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan Rasul-Nya. Anakku, engkau jangan terpedaya oleh kecintaan orang yang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dengan kecintaan Rasulullah s.a.w……” Katanya lagi: “Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu, dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan.”

 

Kita sudah melihat bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsha bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu. Sama halnya ketika ia kawin dengan Sauda, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur untuk agama Allah, istri-istri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.

 

Perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah istri “Ubaida bin’I-Harith bin’I-Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm’l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun dua saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah dialah satu-satunya istri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.

 

Sedang Umm Salama sudah banyak anaknya sebagai istri Abu Salama, seperti sudah disebutkan di atas, bahwa dalam perang Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi ia diserahi pimpinan untuk menghadapi Banu Asad yang berhasil dikucar-kacirkan dan ia kembali ke Medinah dengan membawa rampasan perang. Tetapi bekas lukanya di Uhud itu terbuka dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya terus sampai meninggalnya. Ketika sudah di atas ranjang kematiannya, Nabi juga hadir dan terus mendampinginya sambil mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia wafat. Empat bulan setelah kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama. Tetapi wanita ini menolak dengan temah-lembut karena ia sudah banyak anak dan sudah tidak muda lagi. Hanya dalam pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan dia sendiri yang bertindak menguruskan dan memelihara anakanaknya.

 

Adakah sesudah ini semua para misi penginjil dan Orientalis itu masih akan mendakwakan. bahwa karena kecantikan Umm Salama itulah maka Muhammad terdorong hendak mengawininya? Kalau hanya karena itu saja, masih banyak gadis-gadis kaum Muhajirin dan Anshar yang lain, yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula ia akan dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia mengawininya itu karena pertimbangan yang luhur itu juga, sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya dan membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai Nabi dan Rasul Allah. Di samping jitu mereka semua memang sudah menganggapnya sebagai ayah mereka. Ayah bagi segonap orang miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.

 

Penelitian Sejarah dan Hasilnya

 

Dari apa yang sudah diuraikan di atas, apakah yang dapat disimpulkan oleh penelitian sejarah yang murni? Yang dapat disimpulkan ialah bahwa Muhammad menganjurkan orang beristri satu dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara demikian seperti contoh yang sudah diberikannya selama masa Khadijah. Untuk itu firman Tuhan dalam Quran menyebutkan:

 

“Dan kalau kuatir takkan dapat berlaku lurus terhadap anakanak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, tiga dan (sampai) empat. Tetapi kalau kamu kuatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu.”

 

“Dan (itu pun) tidak akan kamu dapat berlaku adil terhadap wanita, betapa kamu sendiri menginginkan itu. Sebab itu, janganlah kamu terlalu condong kepada yang seorang, lalu kamu biarkan dia terkatung-katung.””

 

Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah Nabi kawin dengan semua istrinya, maksudnya untuk membatasi jumlah istri itu sampai empat orang, sementara sebelum turun ayat tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata orang: Muhammad membolehkan buat dirinya sendiri dan melarang buat Orang lain. Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya istri saty dan menganjurkan demikian karena dikuatirkan takkan berlaku adit dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu tidak akan disanggupi. Hanya saja dalam keadaan kehidupan masyarakat yang dikecualikan ia melihat suatu kemungkinan yang mendesak perlunya kawin sampai empat dengan syarat berlaku adil. Dia telah melakukan itu dengan contoh yang diberikannya ketika kaum Muslimin terlibat dalam peperangan dan banyak di antara mereka itu yang gugur dan mati syahid.

 

Tolonglah sebutkan! Pada waktu peperangan sedang berkecamuk, penyakit menular berjangkit dan pemberontakan berkobar merenggut ribuan bahkan jutaan umat manusia, dapatkah orang memastikan, bahwa membatasi pada istri satu itu lebih baik dari poligami yang dibolehkan dengan jalan kekecualian itu? Dapatkah orang-orang Eropa — pada waktu ini, setelah selesai Perang Dunia — mengatakan bahwa sistem monogami itu sistem yang paling tepat dalam praktek, karena mereka memang sudah mengatakan bahwa sistem itu tepat sekali dalam undang-undang? Bukankah timbulnya kekacauan ekonomi dan sosial setelah perang disebabkan oleh tidak adanya kerjasama yang teratur antara pria dan wanita dalam perkawinan, suatu kerjasama yang kiranya sedikit banyak akan dapat membawa keseimbangan ekonomi? Saya tidak bermaksud dengan ini hendak membuat suatu keputusan hukum. Saya serahkan soal ini kepada ahli-ahli pikir, kepada pihak penguasa untuk memikirkan dan merencanakannya, dengan catatan selalu, bahwa bilamana keadaan hidup sudah kembali biasa, maka yang paling baik dapat menjamin kebahagiaan masyarakat ialah membatasi laki-laki hanya pada satu istri.

 

Cerita Zainab bt. Jahsy

 

Sehubungan dengan cerita tentang Zainab bt. Jahsy serta apa yang ditambah-tambahkan oleh beberapa orang ahli hadis, oleh kaum Orientalis dan misi-misi penginjil dengan bermacam-macam tabir khayal sehingga ia dijadikan sebuah cerita roman percintaan, sejarah yang sebenarnya dapat mencatat, bahwa teladan yang diberikan oleh Muhammad dan patut dibanggakan, dan sebagai contoh iman yang sempurna, jalah bahwa dia telah menerapkan bunyi hadis yang maksudnya: Iman seseorang belum sempurna sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.’ Dirinya telah dijadikan contoh pertama manakala ia melaksanakan suatu hukum yang pada dasarnya hendak menghapus tradisi dan segala adat-istiadat jahiliah, dan yang sekaligus dengan itu ia menctapkan peraturan baru, yang diturunkan Tuhan sebagai pimbingan dan rahmat buat semesta alam.

 

Hubungan Kerabat Muhammad dengan Zainab

 

Untuk menghapuskan semua cerita mereka yang kita baca itu darj dasarnya, cukup kalau kita sebutkan, bahwa Zainab bt. Jahsy ini adalah putri Umaima bt. Abd’I-Muttalib, bibi Rasulullah a.s. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan dengan bantuannya pula. Maka dengan demikian ia sudah seperti putrinya atau seperti adiknya sendiri. Ia sudah mengenal Zainab dan mengetahui benar apakah dia cantik atau tidak, sebelum ia dikawinkan dengan Zaid. ia sudah melihatnya sejak dari mula pertumbuhannya, sebagai bayi yang masih merangkak hingga menjelang gadis remaja dan dewasa, dan dia juga yang melamarnya buat Zaid bekas budaknya itu.

 

Jadi, kalau orang sudah mengetahui semua ini, maka hancurlah segala macam khayal dan cerita-cerita yang menyebutkan bahwa dia pernah ke rumah Zaid dan orang ini tidak di rumah, lalu dilihatnya Zainab, ia terpesona sekali melihat begitu cantik, sampai ia berkata: “Maha Suci Tuhan, yang telah membalikkan hati manusia!” Atau juga ketika ia membuka pintu rumah Zaid, kebetulan angin bertiup menguakkan tirai kamar Zainab, lalu dilihatnya wanita itu dengan gaunnya sedang berbaring – seolah seperti Madame Recamier — mendadak sontak hatinya berubah. Lupa ia kepada Sauda, Aisyah, Hafsha, Zainab bt. Khuzaima dan Umm Salama. Juga Khadijah sudah dilupakannya, yang seperti kata Aisyah, bahwa dirinya tidak pernah cemburu terhadap istri-istri Nabi seperti terhadap Khadijah ketika disebut-sebut. Kalau perasaan cinta itu sedikit banyak sudah terlintas dalam hati, tentu ia akan melamar kepada keluarganya untuk dirinya, bukan untuk Zaid. Dengan demikian hubungan Zainab dengan Muhammad ini serta gambaran yang kita kemukakan di atas, maka segala macam cerita khayal yang dibawa orang itu, sudah tidak lagi dapat dipertahankan dan ternyata samasekali memang tidak mempunyai dasar yang benar.

 

Dilamar untuk Zaid dan Ditolak

 

Dan apakah yang telah dicatat oleh sejarah? Sejarah mencatat bahwa Muhammad telah melamar Zainab anak bibinya itu buat Zaid bekas budaknya. Abdullah b. Jahsy saudara Zainab menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang dari suku Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di samping itu semua ia masih sepupu Rasul dari pihak ibu — akan berada di bawah seorang budak belian yang dibeli oleh Khadijah lalu dimerdeka, kan oleh Muhammad. Hal ini dianggap sebagai suatu aib besar buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di kalangan Arab ketika itu merupakan suatu aib yang besar sekali. Memang tidak ada gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah dimerdekakan. Tetapi Muhammad justru ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa dalam jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.

 

“Bahwa orang yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Tuhan ialah orang yang lebih bertakwa.”

 

Sungguhpun begitu ia merasa tidak perlu memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab bt. Jahsy, sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang karena telah meninggalkan tradisi dan menghancurkan adat-lembaga Arab, menjadi sasaran buah mulut orang tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya. Juga biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang menurut hukum adat dan tradisi Arab orang yang berhak menerima waris sama seperti anak-anaknya sendiri itu, dia juga yang mengawininya. Maka dia pun bersedia berkorban, karena sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah dijadikan anaknya itu. Biarlah Muhammad memperlihatkan desakannya itu supaya Zainab dan saudaranya Abdullah b. Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami. Dan untuk itu biarlah firman Tuhan juga yang datang:

 

“Bagi laki-laki dan wanita yang beriman, bilamana Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketentuan, mereka tidak boleh mengambil kemauan sendiri dalam urusan mereka itu. Dan barangsiapa tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya, mereka telah melakukan kesesatan yang nyata sekali.”?

 

Setelah turun ayat ini tak ada jalan lain buat Abdullah dan Zainab saudaranya, selain harus tunduk menerima. “Kami menerima Rasulullah”, kata mereka. Lalu Zaid dikawinkan kepada Zainab setelah mas-kawinnya oleh Nabi disampaikan. Dan sesudah Zainab menjadi istri, ternyata ia tidak mudah dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah ia banyak mengganggu Zaid. Ia membanggakan diri kepadanya dari segi keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau ditundukkan oleh seorang budak.

 

Zaid mengeluh dan Perceraian

 

Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia meminta izin kepadanya hendak menceraikannya. Tetapi Nabi menjawabnya:

 

“Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah.”

 

Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama bergaul dengan Zainab serta sikapnya yang angkuh kepadanya itu. Lalu diceraikannya.

 

Kehendak Tuhan juga kiranya yang mau menghapuskan melekatnya hubungan anak angkat dengan keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi anutan masyarakat Arab, juga pemberian segala hak anak kandung kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama. Demikian firman Tuhan turun:

 

“Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu menjadi anakanak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.”

 

Ini berarti bahwa anak angkat boleh kawin dengan bekas istri bapa angkatnya, dan bapa boleh kawin dengan bekas istri anak angkatnya. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan ini? Siapa pula dari kalangan Arab yang dapat membongkar adat-istiadat yang sudah turun-temurun itu. Muhammad sendiri kendatipun dengan kemauannya yang sudah begitu keras dan memahami benar arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang mampu melaksanakan ketentuan itu dengan jalan mengawini Zainab setelah diceraikan oleh Zaid, masih terlintas dalam pikirannya apa yang kira-kira akan dikatakan orang, karena dia telah mendobrak adat lapuk yang sudah berurat berakar dalam jiwa masyarakat Arab itu. Itulah yang dikehendaki Tuhan dalam firman-Nya:

 

“Dan engkau menyembunyikan sesuatu dalam hatimu yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia padahal hanya Allah yang lebih patut kautakuti.”

 

Bagaimana Muhammad Kawin dengan Zainab

 

Akan tetapi Muhammad adalah suri teladan dalam segala hal yang oleh Tuhan telah diperintahkan dan telah dibebankan kepadanya supaya disampaikan kepada umat manusia. Tidak takut ia apa yang akan dikatakan orang dalam hal perkawinannya dengan istri bekas budaknya itu. Takut kepada manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya kepada Tuhan dalam melaksanakan segala perintahNya. Biarlah dia kawin Saja dengan Zainab supaya menjadi teladan akan apa yang telah dihapuskan Tuhan mengenai hak-hak yang sudah ditentukan dalam hay bapa angkat dan anak angkat itu. Dalam hal inilah firman Tuhan itu turun:

 

“Maka setelah Zaid meluluskan kehendak wanita itu, Kami kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi alangan bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas) istri-istri anak-anak angkat mereka, bila. mana kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan.”

 

Inilah peristiwa sejarah yang sebenarnya sehubungan dengan soal Zainab bt. Jahsy serta perkawinannya dengan Muhammad. Dia adalah putri bibinya, sudah dilihatnya dan sudah diketahuinya sampai berapa jauh kecantikannya sebelum dikawinkan dengan Zaid, dan dia pula yang melamarnya buat Zaid, juga dia melihatnya setelah perkawinannya dengan Zaid, karena pada waktu itu bertutup muka belum lagi dikenal.

 

Sungguhpun begitu dari pihak Zainab sendiri, sesuai dengan ketentuan hubungan kekeluargaan dari satu segi, dan sebagai istri Zaid anak angkatnya dari segi lain, Zainab menghubungi dia karena beberapa hal dalam urusannya sendiri dan juga karena seringnya Zaid mengadukan halnya itu. Semua ketentuan hukum itu sudah diturunkan. Lalu diperkuat lagi dengan peristiwa perkawinan Zaid dengan Zainab serta kemudian perceraiannya, lalu perkawinan Muhammad dengan dia sesudah itu. Semua ketentuan hukum ini, yang mengangkat martabat orang yang dimerdekakan ke tingkat orang merdeka yang terhormat, dan yang menghapuskan hak anak-anak angkat dengan jalan praktek yang tidak dapat dikaburkan atau ditafsir-tafsirkan lagi.

 

Sekarang Apa Pendapat Orientalis tentang Zainab

 

Sesudah semua itu, masih adakah pengaruh cerita-cerita yang selalu diulang-ulang oleh pihak Orientalis dan oleh misi-misi penginjil, oleh Muir, Irving, Sprenger, Weil, Dermenghem, Lammens dan yang lain, yang suka menulis sejarah hidup Muhammad? Ya, kadang ini adalah nafsu misi penginjilan yang secara terang-terangan, kadang cara misi penginjilan atas nama ilmu pengetahuan.

 

Adanya permusuhan lama terhadap Islam adalah permusuhan yang sudah berurat berakar dalam jiwa mereka, sejak terjadinya serentctan perang Salib dahulu. Itulah yang mengilhami mereka semua dalam menulis, yang dalam menghadapi soal perkawinan, khususnya perkawinan Muhammad dengan Zainab bt. Jahsy, membuat mereka sampai memperkosa sejarah, mereka mencari cerita-cerita yang paling femah sekalipun asal dapat dimasukkan dan dihubung-hubungkan kepadanya.

 

Andaikata apa yang mereka katakan itu memang benar, tentu saja kita pun masih akan dapat menolaknya dengan mengatakan, bahwa kebesaran itu tidak tunduk kepada undang-undang. Bahwa sebelum itu, Musa, Isa dan Yunus, mereka itu berada di atas hukum alam, di atas ketentuan-ketentuan masyarakat yang berlaku. Ada yang karena kejahirannya, ada pula yang dalam masa kehidupannya, tapi itu tidak sampai mendiskreditkan kebesaran mereka. Sebaliknya Muhammad, ia telah meletakkan ketentuan-ketentuan masyarakat yang sebaik-baiknya dengan wahyu Tuhan, dan dilaksanakan atas perintah Tuhan, yang dalam hal ini merupakan contoh yang tinggi sekali, sebagai teladan yang sangat baik dalam melaksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan itu. Ataukah barangkali yang dikehendaki oleh misi-misi penginjil itu supaya ia menceraikan istri-istrinya dan jangan lebih dari empat orang saja seperti yang kemudian disyariatkan kepada kaum Muslimin, setelah perkawinannya dengan mereka semua itu?

 

Muhammad Mengangkat Martabat Kaum Wanita Adakah juga pada waktu itu ia akan selamat dari kritik mereka?

 

Sebenarnya hubungan Muhammad dengan istri-istrinya itu adalah hubungan yang sungguh terhormat dan agung, seperti sudah kita lihat seperlunya dalam keterangan Umar bin’l-Khattab yang sudah kita sebutkan, contoh semacam itu akan banyak kita jumpai dalam beberapa bagian buku ini. Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahwa belum ada orang yang dapat menghormati wanita seperti yang pernah diberikan oleh Muhammad, belum ada orang yang dapat mengangkat martabat wanita ke tempat yang layak seperti yang dilakukan oleh Muhammad itu.

 

Naluri Orang-orang Arab dan Kewaspadaan Muhammad — Permusuhan Yahudi yang Sengit — Utusan Yahudi kepada Quraisy — Yahudi Lebih Mengutamakan Paganisma daripada Islam — Pendapat Seorang Yahudi — Yahudi Menghasut Semua Orang Arab — Muslimin Gentar — Menggali Parit Sekitar Medinah – Quraisy Terkejut Melihat Parit — Musim Dingin yang Luar Biasa — Huyayy Kuatir Pihak Ahzab Menarik Diri – Quraiza Melanggar Perjanjian — Utusan Muhammad kepada Quraiza — Mereka yang Menyerbu Parit — Muslimin Dianggap Enteng oleh Quraiza — Intrik Nu’aim di Kalangan Ahzab dan Quraiza — Angin Topan Menghancurkan Perkemahan Ahzab — Ahzab Berangkat Pulang — Perang Quraiza — Meminta Pendapat Abu Lubaba — Keputusan Sa’d b. Mu’adh — Keuletan Orang-orang Yahudi dalam perang — Kematian Quraiza Atas Tanggung Jawab Huyayy b. Akhtab —Membagi Harta Benda Banu Quraiza

 

SETELAH Madinah dikosongkan dari Banu Nadzir, kemudian setelah peristiwa Badr Terakhir dan sesudah ekspedisi-ekspedisi Ghatafan dan Dumat’I-Jandal berlalu, tiba waktunya kaum Muslimin sekarang merasakan hidup yang lebih tenang di Medinah. Mereka sudah dapat mengatur hidup, sudah tidak begitu banyak mengalami kesulitan berkat adanya rampasan perang yang mereka peroleh dari peperangan selama itu, meskipun dalam banyak hal kejadian ini telah membuat mereka lupa terhadap masalah-masalah pertanian dan perdagangan. Tetapi di samping ketenangan itu Muhammad selalu waspada terhadap segala tipu-muslihat dan gerak-gerik musuh. Mata-mata selalu disebarkan ke seluruh pelosok jazirah, mengumpulkan berita-berita sekitar kegiatan masyarakat Arab yang hendak berkomplot terhadap dirinya. Dengan demikian ia selalu dalam siap-siaga, sehingga kaum Muslimin dapat selalu mempertahankan diri.

 

Naluri Orang-orang Arab dan Kewaspadaan Muhammad

 

Tidak begitu sulit orang menilai betapa perlunya harus bersikap waspada dan berhati-hati selalu setelah kita melihat adanya segala macam tipu-muslihat Quraisy dan yang bukan Quraisy terhadap kaum Muslimin, juga karena negeri-negeri masa itu — juga sesudah itu sebagian besar dalam perkembangan sejarahnya masing-masing mereka itu merupakan sekumpulan republik-republik kecil, yang satu sama lain berdiri sendiri-sendiri. Mereka masing-masing menggunakan sistem organisasi yang lebih dekat pada cara-cara kabilah. Hal ini memaksa mereka harus berlindung pada adat-lembaga dan tradisi yang ada, yang tidak mudah dapat kita bayangkan seperti halnya pada bangsa-bangsa yang sudah teratur. Dalam hal im Muhammad pun sebagai orang Arab sangat waspada sekali mengingat nafsu hendak membalas dendam yang ada dalam naluri orang-orang Arab itu besar sekali. Baik Quraisy maupun Yahudi Banu Qainuqa” dan Yahudi Banu Nadzir, demikian juga kabilah-kabilah Arab Ghatafan, Hudhail dan kabilah-kabilah yang berbatasan dengan Syam, mereka saling menunggu, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu akan binasa. Kalaupun mereka akan mendapat kesempatan, masing-masing berharap akan dapat mengadakan balas dendam terhadap laki-laki yang sekarang datang mencerai-beraikan masyarakat Arab dengan kepercayaan mereka itu. Laki-laki yang pergi keluar Mekah, mengungsi dalam keadaan tidak berdaya, tidak punya kekuatan, selain iman yang telah memenuhi jiwanya yang besar itu, dalam waktu lima tahun sekarang orang ini sudah kuat, sudah mempunyai kemampuan, sehingga kota-kota dan kabilah-kabilah Arab yang terkuat sekalipun, merasa segan kepadanya.

 

Permusuhan Yahudi yang Sengit

 

Orang-orang Yahudi ialah musuh Muhammad yang paling tajam memperhatikan ajaran-ajaran dan cara berdakwahnya. Dengan kemenangannya itu merekalah yang paling banyak memperhitungkan nasib yang telah menimpa diri mereka. Mereka di negeri-negeri Arab sebagai penganjur-penganjur ajaran tauhid (monotheisma). Mengenai penguasaan bidang ini mereka bersaingan sekali dengan pihak Kristen. Mereka selalu berharap akan dapat mengalahkan lawannya ini. Dan barangkali mereka benar juga mengingat bahwa orang-orang Yahudi ialah bangsa Semit yang pada dasarnya lebih condong pada pengertian monotheisma. Sementara a aran trinitas Kristen suatu hal yang tidak mudah dapat dicernakan oleh | wa Semit. Dan sekarang Muhammad, orang yang berasal dari pusat Arab dan dari pusaf orang-orang Semit sendiri, menganjurkan ajaran tauhid d ngan cara yang sungguh kuat dan mempesonakan sekali, dapat menjelajahi dan merasuk sampai ke lubuk hati orang, dan mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Sekarang ia sudah begitu u t dapat mengeluarkan Banu Qainuqa’ dari Medinah, mengusir Banu N dar dari daerah koloni mereka. Dapatkah mereka membiarkannya t begitu, gan mereka sendiri pergi ke Syam atau pulang ke tanah air mereka yang pertama, ke Bait’l-Magdis (Yerusalem) di Negeri Yang Dijanjikan’ (Palestina), ataukah mereka harus berusaha menghasut Orang-orang Arab itu supaya dapat membalas dendam kepada Muhammad? Utusan Yahudi kepada Quraisy

 

Rencana hendak menghasut orang-orang Arab adalah yang Paling terutama menguasai pikiran pemuka-pemuka Banu Nadzir. Untuk me, laksanakan rencana itu, beberapa orang dari kalangan mereka pergi hendak menemui Quraisy di Mekah. Mereka terdiri dari Huyayy  Akhtab, Sallam b. Abi’I-Hugaig dan Kinana bin’I-Hugaig, bersama-sama dengan beberapa orang dari Banu Wa’il Hawadha b. Oais dan Aby “Ammar.

 

Ketika oleh pihak Mekah Huyayy ditanya mengenai golongannya itu ia menjawab:

 

“Mereka saya biarkan mundar-mandir ke Khaibar dan ke Medinah sampai tuan-tuan nanti datang ke tempat mereka dan berangkat bersama. sama menghadapi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.”

 

Ketika oleh mereka ditanya tentang Quraiza, ia menjawab:

 

“Mereka tinggal di Medinah sekadar mau mengelabui Muhammad. Kalau tuan-tuan sudah datang mereka akan bersama-sama dengan tuantuan.”

 

Yahudi Lebih Mengutamakan Paganisma daripada Islam

 

Pihak Quraisy jadi ragu-ragu akan maju, atau mundur saja. Mereka dengan Muhammad tidak berselisih apa-apa, selain ajarannya tentang Tuhan. Bukan tidak mungkinkah bahwa dia juga yang benar, sebab makin hari ajarannya itu ternyata makin kuat dan tinggi juga?

 

“Tuan-tuan dari golongan Yahudi”, kata pihak Quraisy. “Tuan-tuan adalah ahli kitab yang mula-mula dan sudah mengetahui pula apa yang menjadi pertentangan antara kami dengan Muhammad. Soalnya sekarang: manakah yang lebih baik, agama kami atau agamanya?”

 

Pihak Yahudi menjawab:

 

“Tentu agama tuan-tuan yang lebih baik, sebab tuan-tuan lebih benar dari dia.”

 

Dalam hal ini firman Tuhan dalam Quran menyebutkan:

 

“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah diberi sebagian kitab? Mereka percaya kepada sihir dan berhala dan mereka berkata kepada orang-orang kafir: “Jalan mereka lebih benar dari orang yang beriman.” Mereka itulah yang dikutuk oleh Tuhan. Dan barangsiapa yang dikutuk Tuhan, maka baginya takkan ada penolong.” Pendapat Seorang Yahudi

 

Dalam posisi orang-orang Yahudi menghadapi Quraisy ini dengar sikap lebih mengutamakan paganisma mereka daripada tauhid Muhammad, maka dalam Tarikh’l-Yahudi fi Bilad’I-“Arab, Dr. Israel Wolfinson menyebutkan: “Seharusnya mereka itu tidak boleh sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang begitu kotor, dan jangan pula berkata dengan terusterang di depan pemuka-pemuka Quraisy, bahwa cara menyembah berhala itu lebih baik daripada tauhid seperti yang diajarkan Islam, meskipun hal itu akan mengakibatkan permintaan mereka tidak akan dipenuhi. Oleh karena orang-orang Israel sejak berabad-abad lamanya atas nama nenek-moyang dahulu kala sebagai pengemban panji tauhid (monotheisma) di antara bangsa-bangsa di dunia, dan telah pula mengalami pelbagai macam penderitaan, pembunuhan dan penindasan hanya karena iman mereka kepada Tuhan Yang Tunggal itu, yang mereka alami dalam berbagai zaman selama dalam perkembangan sejarah, maka sudah seharusnya mereka bersedia mengorbankan hidup mereka, mengorbankan segala yang mereka cintai dalam menghadapi dan menaklukkan kaum musyrik itu. Apalagi dengan minta perlindungan kepada pihak penyembah berhala, itu berarti mereka telah memerangi diri sendiri serta menentang ajaran-ajaran Taurat yang meminta mereka menjauhi penyembahpenyembah berhala dan dalam menghadapi mereka supaya bersikap seperti menghadapi musuh.” Yahudi Menghasut Orang Arab

 

Huyayy b. Akhtab dan orang-orang Yahudi yang sepaham dengan dia, yang telah mengatakan kepada Quraisy bahwa paganisma mereka lebih baik daripada tauhid Muhammad dengan maksud supaya mereka sudi memeranginya, dan yang akan mereka laksanakan setelah sekian bulan disiapkan, tampaknya tidak cukup sampai di situ saja. Malah orang-orang Yahudi itu pergi lagi menemui kabilah Ghatafan? yang terdiri dari Oais “Ailan, Banu Fazara, Asyja” Sulaim, Banu Sa’d dan Asad, serta semua pihak yang ingin menuntut balas kepada Muslimin. Mereka ini aktif sekali mengerahkan orang supaya menuntut balas dengan menyebutkan bahwa Quraisy juga ikut serta memerangi Muhammad. Paganisma Quraisy mereka puji dan mereka menjanjikan, bahwa mereka pasti akan mendapat kemenangan.

 

Kelompok-kelompok yang sudah diorganisasikan oleh pihak Yahudi itu kini berangkat hendak memerangi Muhammad dan sahabat-sahabat, nya. Dari pihak Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan sudah disiapkan 4000 orang prajurit, tiga ratus ekor kuda dan 1500 orang dengan unta. Pimpinan brigade yang disusun di Dar’n-Nadwa diserahkan kepada “Uthman b. Talha. Ayah orang ini telah mati terbunuh dalam memimpin pasukan di Uhud. Banu Fazara yang dipimpin oleh “Uyaina b. Hishn b. Hudhaifa telah siap dengan sejumlah pasukan besar dan 100 unta. Sedang Asyja’ dan Murra masing-masing membawa 400 prajurit. Pihak Murra dipimpin .oleh Al-Harith b. “Auf dan dari pihak Asyja’ oleh Mis’ar ibn Rukhaila. Menyusul pula Sulaim, biang-keladi peristiwa Bi’ir Ma’una, dengan 700 orang. Mereka itu semua berkumpul, yang kemudian datang pula Banu Sa’d dan Asad menggabungkan diri. Jumlah mereka kurang lebih semuanya menjadi 10.000 orang. Semua mereka itu berangkat menuju Medinah di bawah pimpinan Abu Sufyan.

 

Setelah mereka sampai, selama dalam perang, pemuka-pemuka kabilah itu saling bergantian pimpinan, masing-masing sehari mendapat giliran.

 

Muslimin Gentar

 

Berita keberangkatan mereka ini sampai juga kepada Muhammad dan kaum Muslimin di Medinah. Mereka merasa gentar. Ya, sekarang seluruh kabilah Arab sudah bersatu sepakat hendak menumpas dan memusnahkan mereka, sudah datang dengan perlengkapan dan jumlah manusia yang besar, suatu hal yang dalam sejarah peperangan Arab secara keseluruhannya belum pernah terjadi. Apabila dalam perang Uhud Quraisy telah mendapat kemenangan atas mereka, ketika mereka keluar menyongsong keluar Medinah, padahal baik jumlah perlengkapan maupun jumlah manusia jauh di bawah pasukan sekutu ini, apa lagi yang dapat dilakukan kaum Muslimin sekarang dalam menghadapi jumlah pasukan yang terdiri dari beribu-ribu manusia itu — barisan berkuda, unta, persenjataan serta perlengkapan lainnya?! Tidak ada jalan lain, hanya bertahan di Yathrib yang masih perawan ini, seperti dikatakan oleh Abdullah b. Ubayy.

 

Menggali Parit Sekitar Medinah

 

Tetapi cukup hanya bertahan sajakah menghadapi kekuatan raksasa stu? Salman al-Farisi adalah orang yang banyak mengetahui seluk-beluk peperangan, yang belum dikenal di daerah-daerah Arab. Ia menyarankan supava di sekitar Medinah itu digali parit dan keadaan kota diperkuat dari dalam. Saran ini segera dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Ketika menggali parit itu Nabi a.s. juga dengan tangannya sendiri ikut bekerja. Ia turut mengangkat tanah dan sambil terus memberi semangat, dengan menganjurkan kepada mereka supaya terus melipat-gandakan kegiatan. Pihak Muslimin sudah membawa alat-alat yang diperlukan, terdiri dari sekop, cangkul dan keranjang pengangkat tanah dari tempat orang-orang Yahudi Quraiza yang masih berada di bawah pihak Islam. Dengan bekerja giat terus-menerus penggalian parit itu selesai dalam waktu enam hari. Dalam pada itu dinding-dinding rumah yang menghadap ke arah datangnya musuh, yang jaraknya dengan parit itu kira-kira dua farsakh, diperkuat pula. Rumah-rumah yang ada di belakang parit itu dikosongkan. Wanita dan anak-anak ditempatkan dalam rumah-rumah .yang sudah diperkuat, dan di samping parit dari arah Medinah ditaruh pula batu supaya di waktu perlu dapat dilemparkan sebagai senjata.

 

Tatkala pihak Quraisy dan kelompok-kelompoknya itu datang dengan harapan akan menemui Muhammad di Uhud, ternyata tempat itu kosong. Mereka meneruskan perjalanan ke Medinah:, tapi mereka dikejutkan oleh adanya parit. Di luar dugaan semula, mereka heran sekali melihat jenis pertahanan yang masih asing bagi mereka itu. Dibawa oleh perasaan jengkel, mereka pun menganggap bahwa berlindung di balik parit semacam itu adalah suatu perbuatan pengecut yang belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab. Pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya lalu bermarkas di Mujtama'” I’-As-yal di bilangan Ruma, dan pasukan Ghatafan serta pengikut-pengikutnya dari Najd, bermarkas di Dhanab Nagama. Sedang Muhammad sekarang berangkat dengan tiga ribu orang Muslimin, dengan membelakangi bukit Sal” dan dijadikannya parit itu sebagai batas dengan pihak musuh. Di tempat inilah ia bermarkas dan memasang kemahnya yang berwarna merah.

 

Quraisy Terkejut Melihat Parit

 

Pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya melihat, bahwa tidak mungkin mereka menerobos parit itu. Dengan demikian selama beberapa hari mereka hanya saling melemparkan anak panah. Abu Sufyan sendiri dengan pengikut-pengikutnya pun yakin bahwa akan sia-sia saja mereka lama-lama menghadapi kota Yathrib dengan paritnya itu, karena tidak akan dapat mereka menerobosnya.

 

Musim Dingin yang Luar Biasa

 

Pada waktu itu sedang terjadi musim dingin yang luar biasa disertai angin badai yang bertiup kencang, sehingga sewaktu-waktu dikuatirkan hujan lebat akan turun. Kalau orang-orang Mekah dan orang-orang Ghatafan dengan mudah saja dapat berlindung dalam rumah-rumah mereka di Mekah atau di Ghatafan, maka kemah-kemah yang mereka pasang sekarang di depan kota Yathrib itu samasekali takkan dapat melindungi mereka. Di samping itu tadinya memang mereka mengharap kan memperoleh kemenangan secara lebih mudah, tidak perlu susahpa ah seperti pada waktu di Uhud. Mereka akan kembali pulang dengan menyanyikan lagu-lagu kemenangan serta menikmati adanya pembagian barang-barang jarahan dan rampasan perang. Jadi apalagi kalau begitu ang masih menahan Ghatafan buat kembali pulang?! Mereka ikut m libatkan diri dalam perang itu hanya karena pihak Yahudi pernah m njanjikan mereka dengan buah-buahan hasil pertanian dan perkebunan Khaibar, apabila mereka memperoleh kemenangan. Tetapi sekarang mereka melihat untuk memperoleh kemenangan itu tampaknya tidak mudah, atau setidak-tidaknya sudah di luar kenyataan. Dalam musim dingin yang begitu hebat rupanya diperlukan kerja keras yang luar biasa yang akan membuat mereka lupa segala buah-buahan berikut kebunk bunnya itu!

 

Sebaliknya pihak Quraisy yang hendak menuntut balas karena peristtwa Badr dan kekalahan-kekalahan lain sesudah Badr, pada suatu waktu masih akan dapat mengejar Jengan harapan parit itu tidak akan elamanya berada dalam genggaman Muhammad dan selama pihak Banu Quraiza masih bersedia memberikan bantuan kepada penduduk Yathrib, yang akan memperpanjang perlawanan mereka sampai berbulan-bulan. Bukankah lebih baik pihak Ahzab itu kembali pulang saja? Ya! Akan tetapi mengumpulkan kembali kelompok-kelompok itu nanti buat memerangi Muhammad lagi bukanlah soal yang mudah. Sebenarnya Orang-orang Yahudi 1tu, terutama Huyayy b. Akhtab sebagai pemimpin mereka, sekali itu telah berhasil mengumpulkan kabilah-kabilah itu untuk m mbalas dendam golongannya dan golongan Banu Qainuqa” terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apabila kesempatan itu sudah hlang maka jangan diharap ia akan kembali, dan bilamana Muhammad m ndapat kemenangan dengan ditariknya pihak Ahzab itu, maka bahaya  akan mengancam pihak Yahudi.

 

Huyay Kuatir Pihak Ahzab Menarik Diri

 

Semua itu sudah diperhitungkan oleh Huyayy b. Akhtab. Ia kuatir kibatnya jalan lain tidak ada. Ia harus mempertaruhkan nasib terakhir. Kepada pihak Ahzab itu ia membisikkan, bahwa ia sudah dapat meyakinkan Banu Quraiza supaya membatalkan perjanjian perdamaan. nya dengan Muhammad dan pihak Muslimin, dan selanjutnya akan menggabungkan diri dengan mereka, dan bahwa begitu Banu Quraiza melaksanakan hal ini, maka dari suatu segi terputuslah semua perbekalan dan bala bantuan kepada Muhammad itu, dan dari segi lain jalan masuk ke Yathrib akan terbuka. Quraisy dan Ghatafan merasa gembira atas keterangan Huyayy itu. Huyayy sendiri cepat-cepat berangkat hendak menemui Ka’b b. Asad, orang yang berkepentingan dengan adanya perjanjian Banu Quraiza itu. Tetapi begitu mengetahui kedatangannya itu Ka’b sudah menutup pintu bentengnya, dengan perhitungan bahwa pembelotan Banu Quraiza terhadap Muhammad dan membatalkan per janjiannya secara sepihak kemudian menggabungkan diri dengan musuh. nya, adakalanya memang akan menguntungkan pihak Yahudi kalaupun pihak Muslimin yang dapat dihancurkan. Tetapi sebaliknya sudah seharus. nya pula mereka akan habis samasekali bila pihak Ahzab itu yang mengalami kekalahan dan kekuatan mereka hilang dari Medinah. Sungguhpun begitu Huyayy terus juga berusaha, hingga akhirnya pintu benteng itu dibuka. .

 

“Ka’b, sungguh celaka”, katanya kemudian. “Saya datang pada waktu yang tepat dan membawa tenaga yang tepat pula. Saya datang membawa Quraisy dan Ghatafan dengan pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka mereka. Mereka sudah berjanji kepadaku, bahwa mereka tidak akan beranjak sebelum dapat mengikis habis Muhammad dan kawan-kawannya itu.”

 

Tetapi Ka’b masih juga maju mundur. Disebutnya kejujuran serta kesetiaan Muhammad kepada perjanjian itu. Ia kuatir akan akibatnya atas apa yang diminta oleh Huyayy . Tetapi: Huyayy masih terus menyebutnyebut bencana yang dialami orang-orang Yahudi karena Muhammad itu, dan juga bencana vang akan mereka alami sendiri nanti bilamana Ahzab tidak berhasil mengikisnya. Diuraikannya juga kekuatan pihak Ahzab itu serta perlengkapan dan jumlah orangnya. Yang sekarang masih merintangi mereka untuk menumpas semua orang-orang Islam dalam sekejap mata itu, hanyalah parit itu saja. Sekarang Ka’b sudah mulai lunak.

 

Quraiza Melanggar Perjanjian

 

“Kalau pasukan Ahzab itu berbalik?” tanyanya kemudian. Di sini Huyayy memberikan jaminan, bahwa kalau Quraisy dan Ghatafan sampai kembali dan tidak berhasil menghantam Muhammad ia pun akan tinggal dalam benteng itu dan akan tetap bersama-sama dalam seperjuangan. Dalam hati Ka’b nafsu Yahudinya sudah mulai bergerak-gerak. Permintaan Huyayy itu diterimanya, perjanjian dengan Muhammad dan kaum Muslimin mulai dilanggarnya dan ia sudah keluar dari sikap kenetralan, nya. Utusan Muhammad kepada Quraiza

 

Berita-berita penggabungan Quraiza dengan pihak Ahzab itu sampai juga kepada Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka sangat terkejur sekali dan kuatir juga akan akibat yang mungkin terjadi. Muhammag segera mengutus Sa’d b. Mu’adh, pemimpin Aus dan Sa’d b. “Ubada, pemimpin Khazraj, disertai pula oleh Abdullah b. Rawaha dan Khawat b Jubair dengan tujuan supaya mempelajari duduk perkara yang sebenar, nya. Bilamana mereka kembali pulang, hendaknya dapat memberikan Isyarat kalau memang hal itu benar, supaya jangan nanti sampai mematahkan semangat orang.

 

Tetapi sesampainya para utusan itu ke sana, mereka melihat keadaan Quraiza justru lebih jahat lagi dari apa yang pernah mereka dengar semula. Diusahakan juga oleh utusan itu supaya mereka mau menghormati perjanjian yang ada. Tetapi Ka’b berkata kepada mereka, supaya orang-orang Yahudi Banu Nadzir dikembalikan ke kampung halaman mereka. Ketika itu Sa’d b. Mu’adh — yang juga bersahabat baik dengan pihak Quraiza — mencoba meyakinkan supaya jangan sampai mereka mengalami nasib seperti yang pernah dialami oleh Banu Nadzir, atau yang lebih parah lagi dari itu. Pihak Yahudi sekarang mau terus melancarkan serangan kepada Muhammad a.s.

 

“Siapa Rasulullah itu?” kata Ka’b. “Kami dengar Muhammad tidak terikat oleh sesuatu persahabatan atau perjanjian apa pun!”

 

Kedua belah pihak itu lalu saling adu mulut.

 

Utusan-utusan Muhammad pulang. Mereka melaporkan apa yang telah mereka saksikan. Bencana besar kini mengancam. Kekuatiran makin menjadi-jadi. Penduduk Medinah kini melihat pihak Quraiza telah membukakan jalan bagi Ahzab, yang akan memasuki kota dan membasmi mereka. Hal ini bukan hanya sekadar khayal dan ilusi saja. Terbukti Banu Quraiza sekarang sudah memutuskan segala bantuan dan bahan makanan kepada mereka. Juga terbukti — sekembalinya Huyayy b. Akhtab yang memberitahukan kepada mereka, bahwa Quraiza telah tergabung dengan pihak Quraisy dan Ghatafan — jiwa mereka sudah berubah dan mereka sudah siap-siap melakukan peperangan. Soalnya lagi pihak Quraiza telah memperpanjang waktu selama sepuluh hari lagi buat pihak Ahzab guna mengadakan persiapan, asal Ahzab selama sepuluh hari itu benar-benar mau menyerbu kaum Muslimin. Dan memang itulah yang mereka lakukan. Mereka telah menyusun tiga buah pasukan besar guna memerangi Nabi. Sebuah pasukan di bawah pimpinan Ibn’I-A’war as-Sulami didatangkan dari jurusan sebelah atas wadi, pasukan yang dipimpin oleh Uyayna b Hishn datang dari sebelah samping, dan pasukan yang pin oleh Abu Sufyan ditempatkan di jurusan parit. Dalam peristiwa | hayat berikut ini turun:

 

Tatkala mereka datang kepadamu dari jurusan atas dan bawah, dani

 

gan mata sudah jadi kabur, hati pun naik menyekat di keronggan (sangat gelisah), kerika itu kamu berprasangka tentang Tuhan, prasangka yang salah belaka. Saat itulah orang-orang yang beriman mendapat cobaan dan mereka mengalami kegoncangan yang hebar sekali. Dan angat! Kerika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakil dalam harinya itu berkata: Apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami hanyalah tipu-daya belaka. Juga ketika ada satu golongan di antara mereka itu berkata: “Wahai penduduk Yathrib! Tak ada tempat bual kamu. Kembalilah kamu pulang.” Dan ada sebagian dari mereka itu yang meminta izin kepada Nabi seraya berkata: “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka”. Tetapi sebenarnya tidak terbuka. Hanya saja mereka itu ingin melarikan diri.”

 

Tetapi buat penduduk Yathrib masih dapat dimaafkan kalau mereka sampai begitu takut dan hati mereka tergoncang karenanya. Mereka yang masih dapat dimaafkan itu ialah yang berpendapat: Dulu Muhammad menjanjikan kami, bahwa kami mendapat harta kekayaan Kisra dan Kaisar Rumawi. Tetapi sekarang orang sudah merasa tidak aman lagi sekalipun hanya akan pergi ke kebun. Pandangan mata mereka yang jadi kabur pun dapat dimaafkan. Demikian juga mereka yang merasa sangat gelisah dalam ketakutan dapat juga dimaafkan. Bukankah maut juga yang sekarang sedang menari-nari di depan matanya, menjilat-jilat menyala keluar dari mata pedang yang di tangan Quraisy dan Ghatafan, menyusupnyusup ke dalam hati sebagai ancaman, dan juga yang datang dari rumahrumah Banu Quraiza yang berkhianat itu? Sungguh celaka orang-orang Yahudi. Sungguh patut sekali kalau Muhammad mengikis habis saja Banu Nadzir itu daripada hanya sekadar membiarkan mereka pergi dalam keadaan berkecukupan, serta membiarkan Huyayy cs. menghasut masyarakat dan kabilah-kabilah Arab supaya menghantam kaum Muslimin. Ya, sungguh suatu bencana besar, suatu ancaman besar. “Tak ada daya upaya kalau tidak dengan Allah juga.”

 

Mereka yang Menyerbu Parit

 

Dari segi moril pihak Ahzab sudah merasa begitu tinggi, sehingga ada beberapa orang ksatria dari Quraisy yang sudah berani maju ke depan, seperti “Amr b. “Abd Wudd, “Ikrima b. Abi Jahl dan Dzirar bin’I-Khattab.

 

Mereka langsung menyerbu parit itu. Mereka menuju ke suatu bagia yang agak sempit. Dipacunya kuda mereka itu sehingga mereka dapa, menyeberangi parit dan sampai di Sabkha yang terletak antara pari, Yengan bukit Sal”. Ketika itu juga Ali b. Abi Talib keluar dengan beberapa orang dari kalangan Muslimin, terus cepat-cepat merebut sebuah rongga dalam parit yang telah diserbu oleh pasukan berkuda mereka Ketika itu “Amr b. “Abd. Wudd memanggil-manggil:

 

“Siapa berani bertanding?!”

 

Setelah ajakannya itu disambut oleh Ali b. Abi Talib, ia berkata lagi dengan congkak sekali:

 

“Oh kemenakanku! Aku tidak ingin membunuhmu.”

 

“Tapi aku ingin membunuh kau”, sahut Ali.

 

Kemudian duel itu terjadi, dan Ali berhasil membunuhnya. Saat itu juga pasukan berkuda pihak Ahzab lari kucar-kacir, sehingga mereka terbentur sekali lagi ke dalam parit sambil lari terus tanpa melihat ke kanan kiri lagi. 

 

Tatkala matahari sudah terbenam, ketika itu datang pula Naufal b. Abdullah bin’-Mughira dengan menunggang kudanya hendak menyeberangi parit itu, tapi saat itu juga ia mendapat pukulan hebat sehingga ia berikut kudanya itu mati dan hancur di tempat tersebut. Dalam hal ini Abu Sufyan menyampaikan tawaran hendak menebus mayat kawannya itu dengan seratus ekor unta. Tetapi ia oleh Nabi a.s. ditolak seraya berkata:

 

“Ambillah mayat itu. Barang yang kotor tebusannya kotor juga.”

 

Dengan cara yang bertebih-lebihan pihak Ahzab sekarang mulai lagi hendak mengobarkan api permusuhannya dengan maksud menakut-nakuti dan melemahkan jiwa kaum Muslimin. Orang-orang Quraiza yang bersemangat mulai turun dari benteng-benteng dan kubu-kubu mereka. Mereka memasuki rumah-rumah di Medinah yang terdekat pada mereka. Maksud mereka mau menakut-nakuti penduduk.

 

Muslimin Dianggap Enteng oleh Quraiza

 

Pada waktu itu Shafia bt. Abd’l-Muttalib sedang berada dalam Fari’, benteng Hassan b. Thabit. Juga Hassan ketika itu di sana dengan kaum wanita dan anak-anak. Waktu itu ada seorang orang Yahudi yang mundarmandir sekeliling benteng itu.

 

“Kaulihat bukan?” kata Shafia kepada Hassan, “Orang Yahudi itu mundar-mandir sekeliling benteng kita. Sungguh aku tidak mempercayainya. Ia akan menunjukkan rahasia kita kepada pihak Yahudi. Sedang Rasulullah dan sahabat-sahabat sedang sibuk. Turunlah kau dan bunuh orang itu.”

 

“Semoga Tuhan mengampunimu, Shafia”, jawab Hassan. “Engkau tahu. aku bukan orangnya akan melakukan itu.”

 

Mendengar itu Shafia langsung mengambil sebatang tongkat. ia turun gan benteng itu dan orang Yahudi tadi dipukulnya sampai ia menemui ajainya.

 

“Hassan, turunlah dan lucuti dia. Sayang dia laki-laki, kalau tidak aku sendiri yang akan melakukannya.”

 

“Shafia, tidak perlu aku melucuti dia”, jawab Hassan. Penduduk Medinah masih dalam ketakutan, hati mereka masih gelisah selalu. Dalam pada itu yang selalu menjadi pikiran Muhammad ialah bagaimana caranya mencari jalan keluar. Dan sudah tentu menghadapi musuh dengan begitu saja bukan caranya. Harus ada suatu taktik. Dikirimnya utusan kepada pihak Ghatafan dengan menjanjikan sepertiga hasil buah-buahan Medinah untuk mereka asal mereka mau pergi meninggalkan tempat itu.

 

Intrik Nu’aim di Kalangan Ahzab dan Quraiza

 

Pihak Ghatafan sendiri sebenarnya sudah mulai jemu. Mereka sudah memperlihatkan perasaan muak, karena begitu lama mereka mengadakan pengepungan dengan segala jerih payah yang mereka hadapi selama itu. Soalnya hanyalah karena mau memenuhi ajakan Huyayy b. Akhtab dan orang-orang Yahudi yang menjadi pengikutnya. Di samping itu, Nu’aim b. Mas’ud, dengan perintah Rasul telah pergi hendak menemui pihak Quraiza, yang ketika itu belum mengetahui bahwa dia sudah masuk Islam. Pada zaman jahiliah ia bergaul rapat sekali dengan pihak Quraiza. Diingatkannya kembali hubungan dan persahabatn mereka masa dahulu itu. Kemudian disebut-sebutnya juga bahwa mereka telah mendukung Quraisy dan Ghatafan dalam menghadapi Muhammad, sedang baik Quraisy maupun Ghatafan mungkin tidak akan tahan lama tinggal di tempat itu. Kedua kabilah ini tentu akan berangkat pulang, dan mereka akan ditinggalkan sendirian menghadapi Muhammad yang tentunya nanti akan menghajar mereka pula. Oleh karena itu dinasehatinya supaya mereka jangan mau ikut golongan itu sebelum mendapat jaminan beberapa orang sebagai sandera dari kedua golongan itu. Dengan demikian Quraisy dan Ghatafan tidak akan meninggalkan mereka. Quraiza merasa puas dengan keterangan Nu’aim itu.

 

Selanjutnya ia pergi lagi kepada Quraisy dengan membisikkan, bahwa sebenarnya pihak Quraiza merasa menyesal sekali atas tindakannya melanggar perjanjian dengan Muhammad dan bahwa mereka sekarang berusaha hendak mengambil hatinya dan mengadakan tali persahabatan lagi dengan jalan hendak menyerahkan pemimpin-pemimpin Quraisy kepadanya supaya dibunuh. Oleh karena itu lalu disarankannya, bahwa bilamana nanti pihak Yahudi mengutus orang meminta jaminan berupa bemimpin-pemimpin mereka, jangan dikabulkan. Seperti terhadap Quraisy, kemudian Nu’aim melakukan hal yang sama pula terhadap Ghatafan. Keterangan Nu’aim ini telah menimbulkan keraguan dalam hati Quraisy dan Ghatafan.

 

Pemimpin-pemimpin mereka segera berunding. Abu Sufyan lalu mengutus orang menemui Ka’b, pemimpin Banu Quraiza dengan pesan: “Kami sudah cukup lama tinggal di tempat dan mengepung orang itu. Menurut hemat kami besok kamu harus sudah menyerbu Muhammad dan kami di belakangmu.”

 

Tetapi utusan Abu Sufyan itu kembali dengan membawa jawaban pemimpin Quraiza: “Besok hari Sabtu, dan pada hari Sabtu itu kami tidak dapat berperang atau bekerja apa pun.”

 

Mendengar itu Abu Sufyan naik pitam. Benar juga kata Nu’aim kalau begitu. Utusan itu disuruhnya kembali dengan mengatakan kepada pihak Quraiza: “Cari Sabtu! lain saja sebagai pengganti Sabtu besok, sebab besok Muhammad harus sudah diserbu. Kalau kami sudah mulai menyerang Muhammad sedang kamu tidak ikut serta dengan kami, maka persekutuan kita dengan sendirinya bubar, dan kamulah yang akan kami serbu lebih dulu sebelum Muhammad.”

 

Pernyataan Abu Sufyan itu oleh Quraiza tetap dijawab dengan mengulangi bahwa mereka tidak akan melanggar hari Sabtu. Ada golongan mereka yang telah mendapat kemurkaan Tuhan karena telah melanggar hari Sabtu sehingga mereka itu menjadi monyet dan babi. Kemudian disebutnya juga jaminan yang mereka minta sebagai sandera, supaya mereka lebih yakin akan perjuangan mereka itu.

 

Mendengar permintaan semacam itu Abu Sufyan lebih yakin lagi akan keterangan yang telah diberikan Nu’aim itu. Terpikir olehnya sekarang apa yang harus diperbuatnya. Ketika hal ini dibicarakan dengan pihak Ghatafan ternyata mereka juga masih maju-mundur hendak memerangi Muhammad. Mereka terpengaruh oleh janji yang pernah diberikan kepada mereka, bahwa sepertiga hasil buah-buahan kota Medinah nanti untuk mereka, tapi janji tersebut belum terlaksana karena masih mendapat tantangan dari Sa’d b. Mu’adh dan pemuka-pemuka Medinah, baik kalangan Aus dan Khazraj maupun dari sahabat-sahabat Rasulullah. Angin Topan Menghancurkan Perkemahan Ahzab

 

Malam harinya angin topan bertiup kencang sekali, disertai oleh hujan yang turun dengan lebatnya. Bunyi petir menderu-deru diseling oleh halilintar yang sabung menyabung. Tiba-tiba angin topan itu bertiup kencang sekali dan kuali-kuali tempat mereka masak terbalik belaka. Sekarang timbul rasa takut dalam hati. Terbayang oleh mereka bahwa kaum Muslimin akan mengambil kesempatan ini untuk menyerang dan menghantam mereka. Ketika itu Tulaiha b. Khuailid tampil seraya berteriak: “Muhammad telah mendahului menyerang kita. Selamatkan dirimu! Selamatkan!”

 

“Saudara-saudara dari Quraisy”, kata Abu Sufyan. “Tidak layak lagi kita tinggal lama-lama di tempat ini. Pasukan kita yang terdiri dari kuda dan unta sudah binasa, Banu Quraiza sudah tidak menepati janjinya lagi dengan kita, bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Ditambah lagi kita menghadapi angin yang begitu dahsyat. Maka lebih baik pulang sajalah. Saya pun akan berangkat pulang.”

 

Ahzab Berangkat Pulang

 

Di tengah-tengah angin yang masih bertiup kencang, rombongan itu berangkat dengan membawa perbekalan seringan mungkin, diikuti oleh Ghatafan dan kelompok-kelompok lainnya.

 

Keesokan harinya sudah tidak seorang juga yang dijumpai oleh Muhammad di tempat itu. Ia pun lalu kembali pulang ke Medinah bersama-sama umat Islam yang lain. Mereka bersama-sama menyatakan rasa syukur yang sedalam-dalamnya kepada Tuhan, karena mereka telah terhindar dari segala mara bahaya, orang-orang beriman itu tidak sampai terlibat dalam pertempuran. 

 

Setelah pihak Ahzab berangkat pulang, Muhammad kembali memikirkan keadaannya. Tuhan telah menyelamatkannya dari musuh yang selama ini mengancamnya. Tetapi sungguhpun begitu pihak Yahudi dapat saja mengulang kembali peristiwa semacam itu, dapat saja mereka mencari kesempatan lain, tidak lagi pada musim dingin yang begitu dahsyat seperti dalam tahun ini, yang telah merupakan bantuan Tuhan dalam menghancurkan pihak musuh. Di samping itu, kalaupun tidak karena Ahzab telah pergi, dan peristiwa perpecahan di pihaknya sendiri telah terjadi, niscaya Banu Quraiza itu sudah siap-siap pula turun ke Medinah, akan menghantam dan akan memberikan segala macam bantuan dalam menghancurkan kaum Muslimin.

 

Perang Quraiza

 

Jadi, jangan membiarkan ekor ular yang sudah dipotong. Atas perbuatannya itu Banu Quraiza harus dibasmi. Dalam hal ini Nabi a.s.

 

memerintahkan supaya diserukan kepada segenap orang, yakni: Barang, siapa yang tetap setia, bersembahyang Asar supaya dilakukan di perkampungan Banu Quraiza. Lalu Ali diberangkatkan lebih dulu dengan membawa bendera ke tempat itu. Sungguhpun pihak Muslimin sudah begitu payah akibat pengepungan Quraisy dan Ghatafan yang cukup lama, namun mereka segera bergegas ke medan perang lagi. Mereka yakin bahwa mereka akan mendapat kemenangan. Memang benar, bahwa Banyu: Quraiza tinggal dalam benteng-benteng yang begitu kukuh seperti per. bentengan Banu Nadzir, tetapi kendatipun benteng-benteng itu dapat melindungi mereka, namun mereka tidak akan dapat tahan menghadapi pihak Muslimin. Persediaan bahan makanan kini berada di tangan penduduk Medinah, setelah pihak Ahzab meninggalkan tempat tersebut, Oleh karena itu, pihak Muslimin pun dengan perasaan gembira bergegas pula berangkat di belakang Ali, menuju ke tempat Banu Quraiza.

 

Ternyata mereka itu — juga Huyayy b. Akhtab dari Banu Nadzir ada di tempat itu — melemparkan kata-kata yang tidak senonoh dialamatkan kepada Muhammad. Mereka mendustakannya dan memakinya serta mau mencemarkan nama baik istrinya. Setelah kekalahan pasukan Ahzab di Medinah, seolah mereka memang sudah merasakan apa yang akan terjadi terhadap diri mereka.

 

Ketika Rasul kemudian sampai ke tempat itu Ali segera menemuinya dan dimintanya supaya jangan ia mendekati perbentengan Yahudi itu.

 

“Kenapa?” tanya Muhammad. “Rupanya kau mendengar mereka memaki-maki aku.”

 

“Ya” jawab Ali.

 

“Kalau mereka melihat aku” kata Rasulullah, “tentu mereka tidak akan mengeluarkan kata-kata itu.”

 

Setelah berada dekat dari perbentengan itu mereka dipanggil-panggil:

 

“Hai, golongan kera. Tuhan sudah menghinakan kamu bukan, dan sudah menurunkan murkaNya kepada kamu sekalian?!”

 

“Abu’-Oasim”, kata mereka. “Tentu engkau bukan tidak mengetahui.”

 

Sepanjang hari itu kaum Muslimin terus berdatangan ke tempat Banu Quraiza, sehingga mereka dapat berkumpul di sana. Kemudian Muhammad memerintahkan supaya tempat itu dikepung.

 

Pengepungan demikian itu terjadi selama dua puluh fima malam. Sementara itu terjadi pula beberapa kali bentrokan dengan saling melempar anak panah dan batu. Selama dalam kepungan itu Banu Quraiza samasekali tidak berani keluar dari kubu-kubu mereka. Setelah terasa lelah dan yakin pula bahwa mereka tidak akan dapat tertolong dari bencana dan mereka pasti akan jatub ke tangan kaum Muslimin apabila masa pengepungan berjalan lama, maka mereka mengutus orang kepada Rasulullah dengan permintaan “supaya mengirimkan Abu Lubaba kepada kami tuk kami mintai pendapatnya sehubungan dengan masalah kami ini.” benarnya Abu Lubaba ini golongan Aus yang termasuk sahabat baik mereka.

 

Meminta Pendapat Abu Lubaba

 

Begitu mereka melihat kedatangan Abu Lubaba, mereka memberikan sambutan yang luar biasa. Kaum wanita.dan anak-anak segera meraung la, menyambutnya dengan ratap tangis. Ia merasa iba sekali melihat mereka.

 

Abu Lubaba”, kata mereka kemudian. “Apa kita harus tunduk kepada keputusan Muhammad?”

 

“Ya” jawabnya sambil memberi isyarat dengan tangan ke lehernya.

 

Kalau tidak berarti potong leher.”

 

Beberapa buku sejarah Nabi mengatakan, bahwa Abu Lubaba merasa sangat menyesal sekali memberikan isyarat demikian itu.

 

Setelah Abu Lubaba pergi, Ka’b b. Asad menyarankan kepada mereka, supaya mereka mau menerima agama Muhammad dan menjadi orang Islam. Mereka serta harta-benda dan anak-anak mereka akan hidup lebih aman. Tetapi saran itu ditolak oleh teman Ka’b: “Kami tidak akan meninggalkan ajaran Taurat, tidak akan menggantikannya dengan yang lain

 

Kemudian disarankannya lagi supaya kaum wanita dan anak-anak itu dibunuh saja, dan mereka boleh melawan Muhammad dan sahabat-sahabatnya dengan pedang terhunus tanpa meninggalkan suatu beban di belakang. Biar nanti Tuhan menentukan, kalah atau menang melawan Muhammad. Kalau mereka hancur, tidak ada lagi turunan nanti yang akan dikuatirkan. Sebaliknya, kalau menang mereka akan memperoleh wanitanita dan anak-anak lagi.

 

Kasihan kita membunuhi mereka. Apa artinya hidup tanpa mereka itu Kalau begitu tak ada jalan lain kita harus tunduk kepada keputusan Muhammad. Kita sudah mendengar, apa sebenarnya yang sedang menunggu kita.” Demikian kata Ka’b kemudian kepada mereka.

 

Mereka sekarang berunding antara sesama mereka.

 

Nasib mereka tidak akan lebih buruk dari Banu Nadzir”, kata salah rang dari mereka. “Wakil-wakil mereka dari kalangan Aus akan mbela Kalau mereka mengusulkan supaya mereka dibolehkan pergi ke hrrat di wilayah Syam, tentu terpaksa Muhammad mengabulkan.”

 

Banu Ouraza mengirimkan utusan kepada Muhammad dengan menyarankan bahwa mereka akan pergi ke Adhri’at dengan meninggalkan harta-benda mereka. Tetapi ternyata usul ini ditolak. Mereka harus tunduk kepada keputusan. Dalam hal ini mereka lalu mengirim orang kepada Aus dengan pesan: Tuan-tuan hendaknya dapat membantu saudara-saudaramu ini, seperti yang pernah dilakukan oleh Khazra terhadap saudara-saudaranya.

 

Sebuah rombongan dari kalangan Aus segera berangkat hendak menemui Muhammad.

 

“Ya Rasulullah”, kata mereka memulai, “dapatkah permintaan kawan-kawan sepersekutuan’ kami itu dikabulkan seperti permintaan kawan-kawan sepersekutuan Khazraj dulu yang juga sudah dikabulkan?”

 

“Saudara-saudara dari Aus”, kata Muhammad, “dapatkah kamy menerima kalau kuminta salah seorang dari kamu menengahi persoalan dengan teman-teman sepersekutuanmu itu?”

 

“Tentu sekali”, jawab mereka.

 

“Kalau begitu”, katanya lagi, “katakan kepada mereka memilih siapa saja yang mereka kehendaki.”

 

Keputusan Sa’d b. Mu’adh

 

Dalam hal ini pihak Yahudi lalu memilih Sa’d b. Mu’adh. Mata mereka seolah-olah sudah tertutup dari nasib yang sudah ditentukan bagi mereka itu, sehingga mereka samasekali lupa akan kedatangan Sa’d tatkala pertama kali mereka melanggar perjanjian, lalu diberi peringatan, juga tatkala mereka memaki-maki Muhammad di depannya serta mencerca kaum Muslimin tidak pada tempatnya.

 

Sa’d lalu membuat persetujuan dengan kedua belah pihak itu. Masingmasing hendaknya dapat menerima keputusan yang akan diambilnya. Setelah persetujuan demikian diberikan, kepada Banu Quraiza diperintahkan supaya turun dan meletakkan senjata. Keputusan ini mereka laksanakan. Seterusnya Sa’d memutuskan, supaya mereka yang terjun melakukan kejahatan perang dijatuhi hukuman mati, harta-benda dibagi, wanita dan anak-anak supaya ditawan.

 

Mendengar keputusan itu Muhammad berkata:

 

“Demi yang menguasai diriku. Keputusanmu itu diterima oleh Tuhan dan oleh orang-orang beriman, dan dengan itu aku diperintahkan.”

 

Sesudah itu ia keluar ke sebuah pasar di Medinah. Diperintahkannya supaya digali beberapa buah parit di tempat itu. Orang-orang Yahudi itu dibawa dan di sana leher mereka dipenggal, dan di dalam parit-parit itu mereka dikuburkan. Sebenarnya Banu Quraiza tidak menduga akan menerima hukuman demikian dari Sa’d b. Mu’adh teman sepersekutuannya itu. Bahkan tadinya mereka mengira ia akan bertindak seperti Abdullah b. Ubayy terhadap Banu Qainuqa’. Mungkin teringat oleh Sa’d, bahwa kalau pihak Ahzab yang menang karena pengkhianatan Banu Guraiza itu, kaum Muslimin pasti akan dikikis habis, akan dibunuh dan dianiaya. Maka balasannya seperti yang sedang mengancam kaum Musjimin sendiri.

 

Keuletan Orang-orang Yahudi dalam Perang

 

Keuletan orang-orang Yahudi menghadapi maut dapat kita lihat dalam percakapan Huyayy b. Akhtab ini ketika ia dihadapkan untuk menjalani hukuman potong leher. Nabi telah menatapnya seraya berkata:

 

“Huyayy, bukankah Tuhan sudah membuat kau jadi hina?”

 

“Setiap orang merasakan kematian”, kata Huyayy. “Umurku juga tidak akan dapat kulampaui. Aku tidak akan menyalahkan diriku dalam memusuhimu ini.” Lalu ia menoleh kepada orang banyak sambil katanya lagi: “Saudara-saudara. Tidak apa kita menjalani perintah Tuhan, yang telah mentakdirkan kepada Banu Israil menghadapi perjuangan ini.”

 

Kemudian juga peristiwa yang terjadi dengan Zubari b. Bata dari Banu Quraiza. Ia pernah berjasa kepada Thabit b. Oais ketika terjadi perang Bu’ath, sebab ia telah membebaskannya dari tawanan musuh. Sekarang Thabit ingin membalas dengan tangannya sendiri budi orang itu, setelah Sa’d ibn Mu’radh menjatuhkan keputusannya terhadap orang-orang Yahudi. Disampaikannya kepada Rasulullah tentang jasa Zubair kepadanya dulu dan ia mempertaruhkan diri minta persetujuannya akan menyelamatkan nyawa Zubair. Rasulullah mengabulkan permintaannya itu. Tetapi setelah Zubair mengetahui usaha Thabit itu ia berkata: “Orang yang sudah setua aku ini, tidak lagi ada istri, tidak lagi ada anak, buat apa lagi aku hidup?!”

 

Sekali lagi Thabit mempertaruhkan diri minta supaya istri dan anakanaknya dibebaskan. Ini pun dikabulkan juga. Selanjutnya dimintanya supaya hartanya juga diselamatkan. Juga ini dikabulkan.

 

Setelah Zubair merasa puas tentang istri, anak dan hartanya itu, ia bertanya lagi tentang Ka’b b. Asad, tentang Huyayy b. Akhtab dan “Azzal b. Samu’al serta pemimpin-pemimpin Quraiza yang lain. Sesudah diketahuinya, bahwa mereka sudah menjalani hukuman mati, ia berkata:

 

“Thabit, dengan budiku kepadamu itu aku minta, susulkanlah aku kepada mereka. Sesudah mereka tidak ada, juga tidak berguna aku hidup lagii Aku sudah tidak betah hidup lama-lama lagi. Biarlah aku segera bertemu dengan orang-orang yang kucintai itu!”

 

Dengan demikian hukuman potong leher dijalankan juga atas permintaannya sendiri.

 

Pada dasarnya dalam perang itu pihak Muslimin tidak akan mem, bunuh wanita atau anak-anak. Tetapi pada waktu itu mereka sampa membunuh seorang wanita juga yang telah lebih dulu membunuh seorang Muslim dengan mempergunakan batu giling. Dalam hal ini Aisyah pernah berkata:

 

“Tentang dia sungguh suatu hal yang aneh tidak pernah akan Saya lupakan. Dia seorang orang yang periang dan banyak tertawa, padahal diaz mengetahui akan dibunuh mati.”

 

Waktu itu ada empat orang pihak Yahudi yang masuk Islam. Mereka ini terhindar dari maut.

 

Kematian Quraiza Atas Tanggungjawab Huyayy b. Akhtab

 

Menurut hemat kami terbunuhnya Banu Quraiza itu berada di tangan Huyayy b. Akhtab, meskipun dia sendiri juga turut terbunuh. Dia telah melanggar janji yang dibuat oleh golongannya sendiri, oleh Banu Nadzir, yang oleh Muhammad telah dikeluarkan dari Medinah dengan tiada seorang pun yang dibunuh, setelah keputusannya itu mereka terima. Tetapi dengan tindakannya menghasut pihak Quraisy dan Ghatafan, kemudian menyusun masyarakat dan kabilah-kabilah Arab semua supaya memerangi Muhammad, hal ini telah memperbesar rasa permusuhan antara golongan Yahudi dengan kaum Muslimin, sehingga mereka itu berkeyakinan, bahwa kaum Israil itu tidak akan merasa puas sebelum dapat mengikis habis Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Dia juga lagi yang kemudian mengajak Banu Quraiza melanggar perjanjian dan meninggalkan sikap kenetralannya. Sekiranya Banu Quraiza tetap bertahan, tentu mereka takkan mengalami nasib seburuk itu. Dia juga yang kemudian datang ke benteng Banu Quraiza — setelah kepergian pihak Ahzab — dan mengajak mereka melawan kaum Muslimin. Sekiranya dari semula mereka sudah bersedia pula menerima keputusan Muhammad serta mengakui kesalahannya yang telah melanggar janjinya sendiri itu, pertumpahan darah dan pemotongan leher niscaya takkan terjadi. Akan tetapi, permusuhan itu sudah begitu berakar dalam jiwa Huyayy dan kemudian menular pula ke dalam hati orang-orang Quraiza, sehingga Sa’d b. Mu’adh sendiri sebagai kawan sepersekutuan mereka yakin bahwa kalau mereka dibiarkan hidup, keadaan tidak akan pernah jadi tenteram. Mereka akan menghasut lagi golongan Ahzab, akan mengerahkan kabilahkabilah dan orang-orang Arab supaya memerangi Muslimin, dan akan mengikis sampai ke akar-akarnya kalau mereka dapat mengalahkan. Keputusan yang telah diambilnya dengan begitu keras, hanyalah karena terdorong oleh sikap hendak mempertahankan diri, dengan pertimbangan bahwa adanya atau lenyapnya orang-orang Yahudi itu berarti hidup atau matinya kaum Muslimin.

 

Membagi Harta Benda Banu Quraiza

 

Kaum wanita, anak-anak serta harta-benda Banu Quraiza oleh Nabj dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin, setelah seperlimanya dikeluarkan, Setiap seorang dari pasukan berkuda mendapat dua pucuk panah, untuk kudanya sepucuk panah. Prajurit yang berjalan kaki mendapat sepucuk panah. j umlah kuda dalam peristiwa Quraiza itu sebanyak tiga puluh enam ekor.

 

Setelah itu, Sa’d b. Zaid kemudian mengirimkan tawanan-tawanan Banu Quraiza itu ke Najd. Dengan demikian dibelinya beberapa ekor kuda dan senjata untuk lebih memperkuat angkatan perang Muslimin.

 

Raihana adalah salah seorang tawanan Banu Quraiza. Ia jatuh menjadi bagian Muhammad. Kepadanya ditawarkan kalau-kalau ia bersedia menjadi orang Islam. Tetapi ia tetap bertahan dengan agama Yahudinya. Juga ditawarkan kepadanya kalau-kalau ia mau dikawini. Tetapt dia menjawab: “Biar sajalah saya di bawah tuan. Ini akan lebih ringan buat saya, juga buat tuan.”

 

Barangkali juga, melekatnya ia kepada agama Yahudi dan penolakannya akan dikawin, berpangkal pada fanatisma kegolongan, serta sisa-sisa kebencian yang masih tertanam dalam hatinya terhadap kaum Muslimin dan terhadap Nabi. Tetapi tidak ada orang yang bicara tentang kecantikan Raihana seperti yang pernah disebut-sebut orang tentang Zainab bt. Jahsy, sekalipun ada juga yang menyebutkan bahwa dia juga cantik. Buku-buku sejarah dalam hal ini berbeda-beda pendapat: Adakah ia juga menggunakan tabir seperti terhadap istri-istri Nabi, atau masih seperti wanita-wanita Arab umumnya pada waktu itu, yang memang tidak menggunakan tutupjmuka. Sampai pada waktu Raihana wafat di tempat Nabi, ia tetap sebagai miliknya.

 

danya serbuan Ahzab serta hukuman yang telah dijatuhkan kepada san Quraiza, telah memperkuat kedudukan Muslimin di Medinah. Orang-orang golongan munafik sudah samasekali tidak bersuara lagi. Semup masyarakat dan kabilah-kabilah Arab sudah mulai bicara tentang aj dan kekuasaan Muslimin, di samping posisi dan kewibawaan Muhammad yang ada. Akan tetapi ajaran itu bukan hanya buat Medinah saja. melainkan buat seluruh dunia. Jadi Nabi dan sahabat-sahabatnya masi harus terus meratakan jalan dalam menjalankan perintah Allah, salon mengajak orang menganut agama yang benar, dengan terus membendung setiap usaha yang hendak melanggarnya. Dan memang inilah yang mereka lakukan.

 

Menyusun Masyarakat Arab — Hubungan Pria dan Wanita — Affair Percintaan dan Semangat Perang — Wanita, di Negeri Arab dan Eropa Masa itu — Wanita dalam Undang-undang Rumawi -Muhammad dan Reformasi Sosial – Islam Melarang Orang Mempertontonkan Diri — Rumah-tangga Nabi — Persiapan Kehidupan Sosiaj untuk Masyarakat Islam — Ekspedisi Banu Lihyan — Pembersihan Dhu Oarad – Ekspedisi Menghadapi Banu’I-Mushtaliq — Fitnah Abdullah b. Ubayy – Kedengki. an Ibn Ubayy kepada Nabi – Perjuangan Batin yang Berat – Nabi Memaafkan Ibn Ubayy – Tertinggal Tidak Terasa — Juwairia bint’I-Harith – Perkawinannya dengan Nabi -Berita Bohong -Aisyah Jatuh Sakit — Berita Sampai kepada Aisyah – Muhammad Minta Pendapat Usama dan Ali – Muhammad Menemui Aisyah – Wahyu Membebaskan Aisyah — Maaf yang Sungguh Indah

 

SELESAI perang Khandag dan setelah hukuman dilaksanakan terhadap Banu Quraiza, keadaan Muhammad dan kaum Muslimin sudah makin stabil. Oleh orang-orang Arab mereka sangat ditakuti sekali. Banyak dari kalangan Quraisy sendiri mulai berpikir-pikir, tidakkah lebih baik lagi Quraisy sendiri kalau mereka berdamai saja dengan Muhammad, sebagai orang yang berasal dari mereka juga dan demikian juga sebaliknya, juga kaum Muhajirin, sebagai pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin mereka pula.

 

Menyusun Masyarakat Arab

 

Kaum Muslimin sekarang merasa lega setelah pihak Yahudi yang berada di sekitar Medinah itu dapat dibersihkan sehingga mereka sudah tidak punya arti apa-apa lagi. Mereka masih tinggal di Medinah selama enam bulan lagi sesudah peristiwa itu. Mereka meneruskan hidup dalam usaha perdagangan, hidup tenteram dan sejahtera. Iman mereka akan risalah yang dibawa Muhammad makin dalam makin patuh mereka menjalankan ajaran-ajarannya. Berjalan bersama-sama dengan dia mereka menyusun suatu masyarakat Arab, dengan cara yang belum biasa bagi mereka sebelum itu. Bagaimanapun juga suatu masyarakat yang teratur harus ada, masyarakat yang punya eksistensi dan bersatu, seperti masyarakat yang berangsur-angsur terbentuk di bawah naungan Islam.

 

ada zaman jahiliah orang-orang Arab itu tidak pernah mengenal arti satu organisasi yang tetap, selain daripada apa yang sudah berjalan menurut adat-istiadat. Mereka tidak punya suatu ketentuan keluarga, suatu undang-undang perkawinan dan syarat-syarat perceraian. Hubungan suami-istri dan anak-anak yang ada hanyalah apa yang diberikan oleh pawaan iklim yang kadang sangat berlebih-lebihan dalam bertindak bebas, dan kadang membawa orang justru jadi beku dan terikat, sampai-sampai ke tingkat perbudakan dengan segala penindasannya. Maka kini Islam datang dengan menyusun suatu masyarakat Islam yang baru tumbuh, yang belum lagi punya tradisi. Dalam waktu singkat ia telah membukakan jalan dalam meletakkan bibit sebuah kebudayaan, yang kemudian tersusun terdiri dari peradaban Persia, Rumawi dan Mesir, serta diwarnai dengan pola peradaban Islam, yang berkembang setapak demi setapak sampai ia mencapai kesempurnaannya tatkala firman Allah ini datang:

 

“Hari ini Kusempurnakan bagimu agamamu ini dan Kulengkapkan pula pikmatKu kepadamu, kemudian Kurelakan Islam itu menjadi agama tam Hubungan Pria dan Wanita

 

Apa pun juga pendapat orang tentang peradaban tanah Arab serta daerah pedalamannya, namun sudahkah kota-kota seperti Mekah dan Medinah mempunyai peradaban yang tidak dikenal oleh daerah pedalaman, ataukah juga ia masih berada pada tingkat permulaan? Pada dasarnya hubungan pria dan wanita dalam masyarakat Arab itu seluruhnya

 

berdasarkan bukti-bukti Quran serta peninggalan-peninggalan sejarah masi itu — tidak lebih adalah suatu hubungan jantan dengan betina, dengan sedikit perbedaan, sesuai dengan tingkat-tingkat kelompok dan golongan-golongan kabilah masing-masing, yang pada umumnya tidak jauh dari cara hidup yang masih mirip-mirip dengan tingkatan manusia primitif. Dalam hal ini kaum wanitanya pada zaman jahiliah yang mulamul4 mempertontonkan diri, memamerkan kecantikannya dengan berbagai-bagai perhiasan yang bukan lagi terbatas hanya pada suaminya, Merpka pergi keluar sendiri-sendiri atau beramai-ramai untuk keperluan yang mereka adakan di tengah-tengah padang sahara. Di tempat ini pemuda-pemuda dan kaum pria lainnya menyambut mereka, dan mereka d pertemukan dengan kelompoknya masing-masing. Kedua belah pihak mergka sudah tidak peduli lagi, saling bertukar pandangan, saling bergumbu dengan kata-kata yang manis-manis, yang membuat si jantan jad senang dan si betina jadi tenteram. Sudah begitu melekatnya cara hubungan demikian itu dalam hati mereka, sehingga Hindun istri Aby Sufyan tidak segan-segan lagi mengatakan, di tengah-tengah Peristiwa yang sangat genting dan gawat dalam perang Uhud, tatkala ia membakar Semangat pasukan Quraisy:

 

Kamu maju kami peluk

Dan kami hamparkan kasur yang empuk

Atau kamu mundur kita berpisah

Berpisah tanpa cinta.

 

Pada beberapa kabilah masa itu masalah zina bukanlah suaty kejahatan yang patut mendapat perhatian. Masalah cumbu-cumbuan sudah merupakan salah satu kebiasaan semua orang. Sumber-sumber sejarah menyebutkan peristiwa-peristiwa percintaan yang dilakukan Hindun itu — dengan mengingat kedudukan Abu Sufyan yang begitu kua dan penting — tidak sampai mengubah kedudukan wanita itu, baik dj kalangan masyarakatnya mau pun di tengah-tengah keluarganya. Bila ada wanita yang melahirkan anak, dan tidak diketahui siapa bapa anak itu tidak segan-segan ia akan menyebutkan, laki-laki mana yang telah menjamahnya untuk kemudian menghubungkan anaknya kepada orang yang dianggapnya paling mirip.

 

Affair Percintaan dan Semangat Perang

 

Juga pada waktu itu masalah poligami dan perbudakan tanpa ada batas atau sesuatu ikatan. Laki-laki boleh kawin sesukanya, boleh mengambil gundik sesukanya. Mereka semua boleh saja beranak sesukasukanya. Soal ini tidak penting waktu itu, kecuali jika dianggap sebagai rahasia yang akan terbongkar dan dikuatirkan akan membawa malu serta apa yang kadang sampai menimbulkan ejek-mengejek. Tiada seorang yang mengetahui akan permusuhan atau peperangan yang mungkin timbul karenanya. Ketika itulah masalahnya jadi berubah samasekali. Kalau dahulu orang melihat semangat cinta-berahi dan api asmara telah menutupi rasa keakraban, kini hal itu telah dicabik oleh adanya permusuhan yang dapat menyebabkan timbulnya api peperangan dan semangat pertempuran. Dan bila permusuhan ini sudah berkecamuk, maka masing-masing pihak akan menyebarkan desas-desus sesuka hati dan akan saling menuduh sesuka hati pula. Imajinasi orang Arab itu biasanya subur sekali, terbawa oleh cara hidupnya di bawah langit terbuka serta pengembaraannya dalam mencari rezeki. Ia didorong oleh cara yang berlebih-lebihan, dan kadang berdusta dalam soal-soal perdagangan.

 

Seorang orang Arab suka sekali pada waktu yang terluang dan diisinya dengan bercumbu. Dalam hal ini khayalnya bertambah subur, baik di waktu damai maupun waktu perang. Apabila di waktu damai si buyung pertemu dengan si upik, berbicara dengan bahasa asmara, dengan katakata yang sedap, dengan pujian yang manis-manis, maka di waktu perang dan dalam keadaan bermusuhan orang akan melihat si buyung ini juga membuka suara keras-keras ditujukan kepada si upik, yang dilihatnya di hadapannya dalam keadaan telanjang, sambil mengata-ngatainya, misalnya, gentang leher wanita itu, tentang dadanya, tentang payudaranya, tentang pinggangnya, tentang bokongnya dan sebagainya dengan cara permusuhan yang beraneka ragam, khayalnya itu terangsang, yang mengenal wanita hanya sebagai betina dan yang akan menghamparkan kasur.

 

Kendatipun Islam sudah mengikis mental semacam itu, namun pengaruhnya masih saja ada seperti yang kita baca dalam sajak-sajak Umar b. Abi Rabi’a dan sajak-sajak erotik lainnya dalam sastra yang masih terpengaruh kepadanya, dalam zaman-zaman tertentu. Meskipun hanya sedikit sekali, namun pengaruhnya dalam sastra masih juga terasa sampai pada masa kita sekarang ini.

 

Wanita, di Negeri Arab dan di Eropa Masa itu

 

Bagi pembaca yang suka mengagumi Arab dan peradabannya, bahkan yang suka mengagumi Arab jahiliah sekalipun, gambaran demikian ini barangkali akan terasa agak dilebih-lebihkan. Pembaca demikian ini tentu dapat dimaafkan. Ia membandingkan gambaran yang kita kemukakan ini dengan fakta yang terjadi dalam masa sekarang, dengan segala hubungannya antara pria dan wanita dalam perkawinan dan perceraian serta hubungan suami-istri dengan anak-anaknya. Akan tetapi perbandingan demikian ini salah sekali, yang akibatnya akan sangat menyesatkan. Sebaliknya yang harus dibandingkan ialah antara masyarakat Arab yang salah satu seginya kita gambarkan terjadi dalam abad ketujuh Masehi itu, dengan masyarakat-masyarakat beradab lainnya masa itu juga.

 

Wamta dalam Undang-undang Rumawi Rasanya tidak terlalu berlebih-lebihan kalau kita katakan, bahwa masyarakat-masyarakat Arab masa itu dengan segala yang sudah kita lukiskan, jauh lebih baik dari masyarakat-masyarakat lain yang sezaman, di Asia dan di Eropa. Kita tidak akan bicara tentang keadaan di Tiongkok, tau di India. Kita belum punya bahan-bahan yang cukup tentang itu. P ngetahuan kita tentang itu sedikit sekali, belum cukup adanya. Akan tapi Eropa Utara dan Eropa Barat masa itu berada dalam kegelapan, ng dapat kita lihat dari susunan keluarganya, yang memang mirip-mirp dengan manusia primitif. Rumawi sebagai pemegang undang-undang itu, sebagai yang perkasa dan berkuasa, satu-satunya kerajaan yang ng kuat menyaingi Persia, menempatkan kedudukan kaum wanita Dibandingkan dengan prianya, masih di bawah kedudukan wanita Arab sekalipun yang di pedalaman. Menurut undang-undang Rumawi masa jry wanita adalah harta-benda milik laki-laki, dapat diperlakukan sehendak hati, ia berkuasa dari soal hidup sampai matinya, dipandang persis Seperti budak. Dalam pandangan undang-undang Rumawi wanita tidak berbeda, Dengan budak. Ia menjadi milik bapanya, kemudian milik suaminya, laly milik anaknya. Pemilikan demikian ini persis seperti memiliki budak atap Seperti memiliki binatang dan benda mati. Wanita dipandangnya hanya, Sebagai pembangkit nafsu berahi. Ia tidak punya kuasa apa-apa terhadap sifat kebetinaannya, hingga mau tidak mau ia harus pura-pura berbuat sopan sedapat mungkin, dan ini tetap berlaku demikian selama berabad, abad kemudian dari apa yang sudah kita gambarkan tentang keadaan dj jazirah Arab itu. Padahal Isa Almasih a.s. cukup hormat dan lemah, lembut kepada wanita. Beberapa orang pengikutnya merasa heran melihat dia begitu baik terhadap Maryam Magdalena, ketika ia berkata: “Barang. siapa dari kamu yang tidak berdosa, lemparilah dia dengan batu.”

 

Tetapi Eropa yang sudah menganut Kristen tetap seperti dulu juga, seperti Eropa yang masih pagan, sangat merendahkan wanita. Hubungan. nya dengan pria bukan hanya dilihatnya sebagai hubungan jantan dan betina saja, bahkan dianggapnya sebagai hubungan perbudakan dan sangat hina, sehingga pada masa-masa tertentu ahli-ahli agamanya masih bertanya-tanya: Apakah wanita itu punya ruh yang akan dapat diadili, atau seperti hewan saja tanpa ruh dan tidak ada pengadilan Tuhan kepadanya dan tidak ada tempat pula di kerajaan Tuhan. Muhammad dan Reformasi Sosial

 

Dengan wahyu yang diterimanya Muhammad dapat menentukan, bahwa takkan ada perbaikan masyarakat tanpa ada kerjasama pria dan wanita, dalam arti saling bantu-membantu sebagai saudara yang penuh kasih-sayang. Hak dan kewajiban wanita sama, dengan cara yang sopan, hanya laki-laki mempunyai kelebihan atas mereka itu. Tetapi pelaksanaannya secara sekaligus tidak mudah. Betapapun tebalnya iman orang-orang Arab yang menjadi pengikutnya, namun mengajak dengan perlahan-lahan dan tanpa menyinggung perasaan, akan lebih mempertebal iman mereka serta memperbanyak pendukung. Demikian juga dalam setiap reformasi sosial, yang oleh Tuhan diwajibkan kepada kaum Muslimin. Bahkan dalam kewajiban-kewajiban agama sendiri: dalam sembahyang, puasa, zakat dan haji, demikian juga dalam larangan-larangannya, seperti minuman-minuman keras, judi, daging babi dan sebagainya.

 

Sehubungan dengan reformasi sosial ini serta ketentuan hubungan pria dan wanita, oleh Muhammad telah dimulai dengan contoh yang diberikannya melalui dirinya dengan istri-istrinya yang disaksikan sendiri oleh semua kaum Muslimin. Masalah hijab (tabir) bagi istri-istri Nabi misalnya, sebelum perang Ahzab (Khandag) tidak diwajibkan. Demikian juga pembatasan kepada empat oran: ‘ tri dengan syarat adil ditentukannya baru sesudah perang Ahzab, bahan lebih dari setahun setelah perang Khaibar. Bagaimanakah Nabi dapat membina hubungan yang kuat antara jaki-laki dan wanita atas dasar yang sehat, sebagai pengantar kepada adanya persamaan yang memang menjadi tujuan Islam itu? Ya, suatu persamaan yang menjadikan hak dan kewajiban wanita itu sama, dengan cara yang sopan, sedang laki-laki mempunyai kelebihan atas mereka itu.

 

Pada mulanya hubungan pria dan wanita di kalangan Muslimin, seperti di kalangan Arab lainnya — sebagaimana sudah kita sebutkan — terbatas hanya pada hubungan jantan dan betina. Mempertontonkan diri dan memamerkan perhiasan (berdandan) dengan cara yang akan membuat laki-laki itu terangsang oleh kaum wanita setiap ada kesempatan, berarti akan saling menambah nafsu berahi antara laki-laki dengan perempuan. Sebaliknya, hal yang akan lebih dapat membatasi antara kedua belah pihak itu berarti akan lebih mendekatkan orang pada dasar kemanusiaan yang lebih tinggi, dasar persamaan jiwa dalam beribadat, yang hanya kepada Allah semata-mata.

 

Islam Melarang Mempertontonkan Diri

 

Dengan adanya kelompok-kelompok Yahudi dan orang-orang munafik dalam Kota, serta sikap permusuhan mereka terhadap Muhammad dan terhadap kaum Muslimin, nyatanya mereka itu sampai berani pula menggoda wanita-wanita Islam yang akhirnya sampai mengakibatkan dikepungnya Banu Qainuqa’ seperti yang sudah kita lihat. Meningkatnya gangguan-gangguan kepada wanita-wanita Islam itu telah menimbulkan problema-problema baru yang tidak seharusnya ada. Sekiranya wanita-wanita Islam itu tidak sampai memamerkan diri berdandan ketika mereka keluar rumah, niscaya mereka akan lebih mudah dikenal orang dan dengan demikian mereka tidak akan diganggu. Adanya problema-problema itu pun akan dapat dikurangi dan persamaan antara kedua jenis yang dikehendaki oleh Islam itu pun dalam pelaksanaannya akan merupakan suatu permulaan yang baik pula — dengan tanpa dirasakan oleh kaum Muslimin — baik pria dan wanita — akan adanya suatu masa peralihan dalam konsepsi yang belum dibiasakan itu.

 

Dalam situasi yang semacam itulah firman Tuhan ini datang:

 

“Dan mereka yang mengganggu kaum laki-laki dan wanita yang sudah beriman, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, orang-orang itu sebenarnya telah berbuat kebohongan dan dosa terang-terangan. Wahai Nabi, katakanlah kepada iSstri-istrimu, putri-putrimu dan, istri-istri orang-orang beriman, hendaklah mereka itu menutup tubuh dengan baju la Dengan demikian mereka akan lebih mudah dikenal, dan karena mereka tidak akan diganggu. Sungguh Tuhan adalah Pengampun dan Penyayang. Kalaupun orang-orang munafik, orang-orang yang dalan, hatinya berpenyakit dan orang-orang yang suka menghasut di dalam kota tiada juga berhenti (menyerang kamu) niscaya akan Kami dorong Engkau menyerang mereka, kemudian mereka akan menjadi tetanggamu di lempar itu hanya sementara saja. Mereka sudah terkutuk. Di mana saja merek, berada, mereka ditangkap, dan dibunuh secara tidak kenal ampun Begitulah ketentuan Tuhan terhadap mereka yang telah lampau, dan tidak akan ada ketentuan Tuhan itu yang berubah-ubah.”

 

Dengan pendahuluan demikian itu. tidak sulit bagi kaum Muslimin dalam meninggalkan adat kebiasaan Arab dahulu kala itu. Demikian jupa yang menjadi tujuan hukum Islam dengan penyusunan masyarakat atas dasar keluarga yang bersih dari segala hama sehingga masalah zina itu dianggap sebagai kejahatan besar, telah mempermudah setiap Muslim untuk menilai, bahwa wanita yang mempertontonkan diri kepada pria adalah suatu perbuatan tercela, sebab hubungan laki-laki dengan wanita tidak mengizinkan hal yang serupa itu. Dalam hal ini Tuhan berfirman:

 

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman supaya mereka menahan penglihatan dan menjaga kehormatan mereka. Yang demikian akan lebih bersih buat mereka. Sungguh Tuhan mengetahui benar apa yang kamu perbuat. Juga katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman supaya mereka menahan penglihatan, memelihara kehormatan dan tiada menonjol kan perhiasannya (dandanan) selain yang memang nyata kelihatan. Hendaklah mereka menyampaikan tutup itu ke bagian dada, dan jangan menonjolkan dandanan itu selain kepada suami, bapa, bapa suami, anakanak saudara, anak-anak suaminya, saudara-saudara atau anak-anak saudara, anak-anak suaminya, saudara-saudara atau anak-anak saudara, anak-anak saudara perempuan atau sesama wanita, yang menjadi miliknya atau pelayan-pelayan laki-laki yang sudah tidak punya keinginan atau anakanak yang belum mengerti aurat wanita dan jangan pula menggerakgerakkan kaki supaya perhiasannya yang tersembunyi diketahui orang. Orang-orang beriman, hendaklah kamu sekalian bertobat kepada Allah kalau-kalau kamu berhasil.”

 

Demikianlah prakteknya dalam Islam. Hubungan pria-wanita itu berkembang setapak demi setapak meninggalkan yang lama. Jadi hubungan jantan-betina yang dikuatirkan akan menimbulkan fitnah, tak ada lagi Sedang mengenai keperluan hidup sehari-hari lainnya dan yang mangenai segala hubungan pria-wanita, maka dalam semuanya adalah semua hamba Allah, semua bekerja sama untuk kebaikan dan untuk takwa kepada Allah. Apabila ada pihak yang sudah terlanjur membangkitkan nafsu kelamin, baik laki-laki atau wanita, maka orang itu rus bertobat kepada Tuhan. Tuhan Maha Pemurah, dan Pengampun. Akan tetapi untuk mengubah semua itu, untuk mengalihkan mental A bdari semua pendirian lama — seperti halnya dengan pendirian tentang keimanan kepada Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan kepercayaan syirik — ke dalam mental yang baru, tidak akan cukup dalam waktu yang begitu singkat. Hal ini sudah wajar sekali. Benda yang sudah diacu dalam bentuk tertentu misalnya, tidak akan mudah mengubahnya, kalau tidak dengan sedikit demi sedikit. Dan bagaimanapun diusahakan mengubahnya namun yang akan dapat berubah tidak seberapa juga. Begitulah halnya hidup manusia yang hidup serba-benda (materialistis). Ia dibentuk oleh adat-kebiasaan yang sudah turun-temurun, oleh tradisi lingkungan dalam soal-soal hidupnya. Apabila dikehendaki adanya sesuatu perubahan, maka dalam memindahkan perubahan itu harus dengan berangsur-angsur, dan perubahan yang berangsur-angsur ini tidak akan terjadi kalau tidak mengubah diri sendiri. Adakalanya orang dapat mengubah dalam arti mental dari satu segi saja dengan menghilangkan rintangan yang mungkin ada di hadapannya. Hal ini sudah dapat dilakukan Islam terhadap kaum Muslimin sehubungan dengan tauhid serta iman kepada Allah, kepada Rasul dan hari kemudian. Akan tetapi masih banyak segi-segi mental Arab itu yang belum lagi dapat ditembus, terutama dalam soal-soal hidup kebendaan. Oleh karenanya keadaan kaum Muslimin ketika itu tetap tidak begitu jauh dari suasana sebelum Islam. Mereka serba lamban, karena memang sudah menjadi bawaan cara hidup padang pasir, dan sudah terbiasa pula suka bicara dengan wanita.

 

Rumah-tangga Nabi

 

Jadi apa yang sudah kita kemukakan mengenai perubahan yang dibawa oleh agama baru itu terhadap pandangan hidup mereka tentang hubungan laki-laki dengan perempuan, namun selain itu keadaan mereka masih seperti dahulu juga, atau mirip-mirip begitu. Banyak di antara mereka itu yang mau begitu saja memasuki rumah Nabi, kemudian mau duduk-duduk dan mau mengobrol dengan Nabi dan dengan istri-istrinya. Padahal persoalan-persoalan kenabian yang begitu besar lebih penting daripada membiarkan Muhammad sibuk menghadapi pembicaraan mereka yang datang mengunjunginya itu, serta mereka yang mau mengobrol dengan istri-istrinya dan yang kemudian pembicaraanpembicaraan mereka itu dibawa kepadanya. Oleh karena itu Allah menghendaki supaya Nabi dihindarkan dari soal-soal kecil semacam itu maka ayat-ayat berikut ini datang:

 

“Orang-orang yang beriman! Janganlah kamu masuk ke dalam rumah Nabi, kecuali bila diizinkan dalam menghadapi suatu hidangan makan yang bukan sengaja mau mengintip-intip untuk itu. Tetapi bila kamu diundang hendaklah kamu masuk. Maka apabila sudah selesai hendaklah kam, pergi, dan jangan mau enak-enak mengobrol. Sesungguhnya yang demikian itu sangat mengganggu Nabi, tetapi dia malu kepada kamu, sedang Allah tidak akan malu dalam hal kebenaran. Dan apabila ada sesuatu yang kamy minta dari mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tirai. Hal ing akan lebih bersih dalam hati kamu dan hati mereka. Tiada semestinya kamy akan mengganggu Rasulullah, juga jangan pula kamu akan mengawini janda-jandanya setelah ia wafat: sebab yang demikian itu dipandang Tuhan sebagai (dosa) yang besar.”

 

Seperti halnya ayat-ayat ini turun ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan yang juga sebagai bimbingan kepada mereka mengenai kewajiban mereka terhadap Nabi dan istri-istrinya, juga kedua ayat berikut ini pun turun ditujukan kepada istri-istri Nabi dalam hal yang sama pula:

 

“Wahai istri-istri Nabi. Kamu tidak sama dengan wanita-wanita lain. Kalau kamu berbakti (kepada Allah), janganlah kamu berlemah-lembut dalam kata-kata, nanti timbul keserakahan orang yang hatinya berpenyakit (jahat). Tetapi katakanlah dengan kata-kata yang baik-baik saja. Tinggal sajalah kamu di dalam rumah. Jangan kamu mempertontonkan diri seperti kelakuan orang zaman jahiliah dahulu. Lakukanlah sembahyang, keluarkan zakat serta patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan noda dari kamu — keluarga Nabi, dan membersihkan kamu sungguh-sungguh.”

 

Persiapan Kehidupan Sosial untuk Masyarakat Islam

 

Demikian inilah persiapan kehidupan sosial yang baru yang dikehendaki oleh Islam untuk suatu masyarakat umat manusia. Landasannya ialah mengubah samasekali pandangan masyarakat itu akan hubungan laki-laki dengan wanita. la menghendaki dihapusnya segala tanggapan tentang sex (libido) yang menguasai pikiran manusia selama ini, dan dalam segala hal menganggapnya sebagai satu-satunya yang berkuasa. Dengan demikian yang dikehendaki ialah mengarahkan masyarakat itu sesuai dengan tujuan hidup umat manusia yang lebih tinggi dengan tidak mengurangi kesenangan hidupnya, yaitu kesenangan hidup yang tidak akan mengurangi pula kebebasannya untuk berkeinginan — apalagi sampai akan menghilangkan kebebasan untuk berkeinginan ini – dan yang akan melahirkan hubungan manusia dengan semesta alam. Dari tingkat hidup mengolah tanah, dari tingkat hidup usaha perindustrian dan perdagangan, yang bagaimanapun, ke tingkat yang lebih tinggi, setaraf dengan kehidupan orang-orang suci, dan akan berkomunikasi dengan para malaikat. Puasa, salat, zakat yang telah ditentukan oleh Islam, ialah alat untuk mencapai taraf ini, yang akan mencegah perbuatan keji, kemungkaran serta pelanggaran. Sekaligus ia akan membersihkan jiwa dan hati orang dan segala penyakit menghambakan diri selain kepada Allah, di samping memperkuat tali persaudaraan antara sesama orang beriman, memperkuat hubungan antara manusia dengan segala yang ada dalam semesta alam ini.

 

Penyusunan suatu kehidupan sosial secara berangsur-angsur sebagai suatu persiapan ke arah transisi besar yang telah disediakan oleh Islam bagi umat manusia ini, tidak mengurangi pihak Quraisy dan kabilahkabilah Arab lainnya dalam menantikan kesempatan hendak menghancurkan Muhammad. Tetapi juga Muhammad tidak kurang pula selalu waspada. Cepat-cepat ia bergerak untuk menanamkan rasa takut dalam hati pihak musuh, bila dianggap perlu.

 

Ekspedisi Banu Lihyan

 

Itu sebabnya, enam bulan kemudian setelah Banu Quraiza dapat dihancurkan, ia sudah merasakan adanya suatu gerakan lain di sekitar Mekah. Terpikir olehnya akan membalas kematian Khubaib b. “Adi dan kawan-kawannya yang telah dibunuh oleh Banu Lihyan di Raji” dua tahun yang lalu itu. Akan tetapi maksudnya ini tidak diumumkan, kuatir pihak musuh akan segera berjaga-jaga. Untuk dapat menyergap pihak musuh ia pura-pura pergi ke Syam. Dengan membawa perlengkapan perang ia berangkat menuju ke arah utara.

 

Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan sekutu-sekutunya yang berdekatan tak ada yang menyadari maksudnya, ia pun membelok ke arah Mekah dengan berjalan lebih cepat lagi. Tetapi sesampainya di perkampungan Banu Lihyan di “Uran, masyarakat setempat telah melihatnya ketika pertama kali ia menyusur jalan ke selatan. Dari  inilah Banu Lihyan mengetahui bahwa ia menuju ke tempat mereka. Mereka pun segera berlindung ke puncak-puncak bukit dengan membawa harta-benda yang ada. Nabi tidak sampai berhasil menyergap mereka.

 

Ketika itu ia lalu menugaskan Abu Bakr dengan membawa seratus Orang pasukan menuju “Usfan’ tidak jauh dari Mekah. Rasulullah sendiri kemudian kembali ke Medinah.

 

Ketika itu panas musim sedang sampai di puncaknya, sehingga Nabi berkata:

 

“Yang kembali dan yang bertobat -jika dikehendaki Allah kiranya kepada Tuhan juga kami memuji syukur. Saya berlindung kepada Allah dari perjalanan yang sangat meletihkan ini, serta kedukaan karena dir kembali dari perjalanan,’ dengan keburukan yang tampak pada keluarga dan harta-benda.”

 

Baru beberapa malam saja Muhammad kembali ke Medinah, tiba-tiba datang “Uyaina b. Hishn menyerang pinggiran kota itu. Di tempat tersebut ada beberapa ekor unta yang digembalakan, dijaga oleh seorang laki-laki dengan istrinya. Laki-laki itu oleh “Uyaina dan kawan-kawannya di. bunuh, unta diambil dan perempuan itu dibawa. Mereka segera pergi dengan perkiraan bahwa mereka telah dapat menyelamatkan diri dari pengejaran. Tetapi sebenarnya Salama b. “Amr bin’I-Akwa’ yang sudah lebih dulu memacu kudanya menuju hutan dengan bersenjatakan panah dan busur, ketika melintasi Thaniat’I-Wada’ dan menjenguk ke bawah dari arah bukit Sal” rombongan yang sedang menggiring unta dan membawa wanita itu dilihatnya. Ketika itu pula ia berteriak meminta bantuan sambil terus mengikuti jejak rombongan itu. Ia melepaskan anak panahnya ke arah mereka, setelah ia berada agak lebih dekat. Dalam pada itu tiada henti-hentinya ia berteriak. Dan teriakan Salama itu akhirnya sampai juga kepada Muhammad. Maka kemudian ia pun memanggil-manggil penduduk Medinah: Ada bahaya! Ada bahaya! Pembersihan Dhu Oarad Seketika itu juga pahlawan-pahlawan kota datang dari segenap penjuru. Setelah mendapat perintah mereka pun berangkat mengikuti jejak gerombolan itu. Dia sendiri mempersiapkan pasukannya lalu berangkat menyusul mereka. Ia berhenti di sebuah gunung di bilangan Dhu Oarad. Sementara itu “Uyaina dan anak buahnya sudah mempercepat langkah, ingin lekas-lekas bergabung dengan Ghatafan dan melepaskan dia dari pengejaran Muslimin. Akan tetapi pasukan Medinah berhasil mencapai barisan belakang mereka. Sebagian unta itu dapat diselamatkan kembali dari tangan mereka. Kemudian Muhammad datang menyusul dan memberikan bantuannya. Wanita beriman yang dibawa oleh orangprang Arab itu pun selamat pula.

 

Ada beberapa orang dari sahabat-sahabat Nabi, terdorong oleh rasa panas hati, ingin terus mengejar “Uyaina. Tetapi dilarang oleh Rasulullah, sebab sudah diketahuinya bahwa “Uyaina dan anak buahnya sudah sampai ke tempat Ghatafan dan berlindung kepada mereka.

 

Bila kaum Muslimin kemudian kembali ke Medinah, istri penjaga itu pun datang pula menyusul di atas seekor unta kepunyaan kaum Muslimin. Wanita itu sudah bernazar, bahwa kalau unta itu dapat diselamatkan, akan disembelihnya seekor sebagai kurban buat Tuhan. Tetapi setelah nazarnya disampaikan kepada Nabi, Nabi berkata: “Suatu balasan yang buruk sekali, Tuhan sudah mengantarkan engkau dan menyelamatkan engkau dengan unta itu, lalu unta itu yang akan kausembelih. Nazar dengan berdosa kepada Tuhan tidak berlaku, juga atas sesuatu yang baik kaupunyai.”

 

Ekspedisi Menghadapi Banu’l-Mushtaliq

 

Sesudah itu Muhammad tinggal di Medinah hampir dua bulan sudah. Kemudian terjadi suatu ekspedisi terhadap Banu Mushtaliq di Muraisi’ — suatu ekspedisi yang telah dijadikan bahan studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah hidup Nabi. Soalnya bukan karena ekspedisi itu sangat penting, atau karena kedua belah pihak — Muslimin dan musuhnya — bertempur mati-matian sampai melampaui batas, tetapi karena kenyataan adanya malapetaka yang kemudian hampir menjalar ke dalam tubuh Muslimin sendiri kalau tidak segera Rasul mengambil langkah yang sangat baik sekali, tegas dan meyakinkan, juga karena kemudian Rasul kawin dengan Juwairiah bt. al-Harith, dan karena ekspedisi ini telah pula menimbulkan hadirh’t-ifk — peristiwa kebohongan — tentang diri Aisyah. Pernsttwa ini telah menempatkannya ke dalam persoalan iman dan kekuatan hati — sementara usianya masih enam belas tahun — sehingga segalanya tidak akan berdaya, hanya karena keagungan iman dan kekuatan hati itu jugalah.

 

Bahwa kegiatan Banu Musthaliq — yang merupakan bagian dari Khuza’a — yang telah mengadakan persepakatan dalam perkampungan mereka di dekat Mekah, beritanya telah sampai pula kepada Muhammad. Mereka sedang mengerahkan segala potensi dengan maksud hendak membunuh Muhammad dengan dipimpin oleh komandan mereka AlHarith b. Abi Dzirar. Rahasia ini diperoleh Muhammad dari salah seorang orang badwi. Maka ia pun cepat-cepat berangkat sementara mereka Sedang lengah, seperti biasanya bila ia menghadapi musuh. Pimpinan pasukan Muhajirin di tangan Abu Bakr dan pimpinan pasukan Anshar di tangan Sa’d b. “Ubada. Pihak Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah bangkalan air yang bernama Muraisi’, tidak jauh dari wilayah Bany Mushtaliq. Kemudian Banu Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak yang tadinya datang hendak memberikan pertolongan sekarang mereka Sudah lari. Dari Banu Mushtaliq sepuluh orang terbunuh, dari Muslimin seorang konon bernama Hisyam b. Shubaba, dibunuh oleh salah seorang darj Anshar, yang keliru dikira dari pihak musuh.

 

Setelah terjadi sedikit saling hantam dengan panah, tak ada jalan lain buat Banu Mushtaliq mereka harus menyerah di bawah tekanan pihak Muslimin yang kuat dan bergerak cepat itu. Mereka dibawa sebagai tawanan perang, begitu juga wanita mereka, unta dan binatang ternak yang lain. Dalam pasukan tentara itu Umar ibn’l-Khattab mempunyai orang upahan yang bertugas menuntunkan kudanya. Selesai pertempuran orang ini pernah berselisih dengan salah seorang dari kalangan Khazraj karena soal air. Mereka jadi berkelahi dan sama-sama berteriak. Pihak Khazraj berkata: “Saudara-saudara Anshar!” Sedang orang sewaan Umar berkata pula: “Saudara-saudara Muhajirin!”

 

Fitnah Abdullah b. Ubayy

 

Teriakan demikian itu terdengar juga oleh Abdullah b. Ubayy, yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang munafik turun pula dalam ekspedisi dengan harapan akan beroleh bagian rampasan perang. Dendamnya kepada pihak Muslimin dan kepada Muhammad segera timbul. Dalam hal ini ia berkata kepada kawan-kawannya:

 

“Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin. Penggabungan kita dengan mereka akan seperti kata peribahasa: “Membesarkan anak harimau.’!’ Sungguh, kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina.”

 

Kemudian kepada golongannya yang hadir waktu itu ia berkata:

 

“Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu benarkan mereka tinggal di negerimu ini, dan kamu bagi harta-bendamu dengan mereka.

 

Demi Allah, kalau apa yang ada pada kamu itu kamu pertahankan, pasti mereka akan beralih ke tempat lain.”

 

Percakapan itu dibawa orang kepada Rasulullah, yang ketika itu baru selesai menghadapi musuh. Ketika itu Umar ibn’i-Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali.

 

“Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya”, katanya.

 

Seperti biasanya, di sini Nabi memperlihatkan sikap sebagai seorang pemimpin yang sudah matang, bijaksana dan punya pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata:

 

“Umar bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang dan orang mengatakan, bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri?”

 

Akan tetapi dalam pada itu ia sudah mempertimbangkan, bahwa soalnya akan jadi rumit sekali kalau tidak segera diambil langkah yang tegas. Oleh karena itu diperintahkannya agar diumumkan untuk segera berangkat dalam waktu yang tidak biasanya kaum Muslimin meninggalkan tempat itu. Berita yang disampaikan orang kepada Nabi itu sampai juga kepada Ibn Ubayy. Cepat-cepat ia menemui Nabi hendak membantah adanya berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia bersumpah atas nama Tuhan, bahwa dia tidak mengatakan dan tidak pernah bicara begitu. Tetapi ini tidak mengubah keputusan Muhammad hendak meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga sore dan sepanjang malam hingga pagi harinya lagi terus-menerus ia memimpin perjalanan itu hingga pada pertengahan hari kedua tatkala terik matahari sudah terasa sangat mengganggu.

 

Setelah sampai, karena sudah sangat lelah, begitu badan mereka menyentuh lantai, mereka pun segera tertidur. Karena sangat lelah orang sudah lupa cakap Ibn Ubayy, Sesudah itu mereka pulang ke Medinah dengan membawa rampasan perang dan orang-orang tawanan Banu Mushtaliq, di antaranya Juwairiah bint’I-Harith b. Abi Dzirar, pemimpin dan komandan daerah yang sudah dikalahkan itu.

 

Kedengkian Ibn Ubayy kepada Nabi

 

Kaum Muslimin sudah sampai di Medinah. Abdullah ibn Ubayy pun sudah di sana. ia sudah tidak pernah tenang, hatinya gelisah selalu, terbawa oleh rasa dengki kepada Muhammad dan kepada Muslimin. Purapura ia sebagai orang Islam, bahkan sebagai orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah berita yang bersumber dari dia ditujukan kepada Rasulullah di Muraisi’ itu. Pada waktu itulah Surah Munafiqin ini turun:

 

“Mereka itulah yang berkata: Jangan memberikan bantuan apa-apa kepada mereka yang di sekitar Rasulullah, supaya mereka berpisah.” Padahal segala perbendaharaan langit dan bumi milik Allah. Tetapi orang-orang munafik iru tidak mengerti. Kata mereka: Kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina.” Padahal sebenarnya kekuasaan itu milik Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang yang beriman, hanya saja orang-orang munafik itu tidak mengetahui.”

 

Dengan demikian lalu ada orang-orang yang mengira bahwa ayat-ayat, itu merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubayy, dan Muhammag pasti akan memerintahkan supaya ia dibunuh. Ketika itu Abdullah Abdullah b. Ubayy, yang sudah menjadi seorang Muslim yang baik datang dengan mengatakan:

 

“Rasulullah, saya mendengar tuan ingin supaya Abdullah b. Ubayy itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan itu kepada saya Akan saya bawakan kepalanya kepada tuan. Orang-orang Khazraj sudah mengetahui, tak ada orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya kuatir tuan akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan dapat menahan diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir. Maka saya akan masuk neraka.”

 

Perjuangan Batin yang Berat

 

Begitulah kata-kata Abdullah b. Abdullah b. Ubayy kepada Muhammad. Saya rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih dalam dari ucapannya itu — dengan begitu kuat meskipun singkat — dalam melukiskan suasana batin yang sedang gelisah, batin yang dibawa oleh pengaruh pergolakan yang dahsyat sekali dalam jiwanya: gelisah karena pengaruh rasa berbakti kepada ayah dan pengaruh iman yang sungguh-sungguh di samping rasa harga diri sebagai orang Arab serta rasa cintanya akan kesejahteraan Muslimin supaya jangan timbul dendam yang berlarut-larut.

 

Inilah perasaan seorang anak yang melihat ayahnya akan dibunuh. Dia tidak minta kepada Nabi supaya ayahnya jangan dibunuh, sebab dia Nabi, dia akan tunduk kepada perintah Tuhan, dan yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena kuatir akan sampai menuntut balas kepada orang yang kelak akan membunuh ayahnya — yang diharuskan oleh rasa baktinya kepada ayah dan oleh rasa kehormatan dan harga diri — maka dia sendirilah yang akan memikul beban itu, dia sendiri yang akan membunuh ayahnya, kepalanya akan dibawanya sendiri kepada Nabi, betapapun itu akan sangat menyayat hati dan perasaannya.

 

Dengan imannya itu ia merasa agak mendapat hiburan juga menghadapi hal luar biasa yang menekan perasaan itu. Ia kuatir akan masuk neraka apabila ia membunuh seorang mukmin yang telah mendapat perintah Nabi membunuh ayahnya. Sungguh suatu perjuangan yang sangat dahsyat antara di satu pihak dengan perasaan dan moral di pihak yang Suatu perjuangan batin yang sungguh fatal menghunjam ke dalam hati sungguh tragis! Tetapi, tahukah kita betapa jawaban Nabi kepada Abdullah setelah mendengar itu?

 

“Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih bersama dengan kita.”

 

Nabi Memaafkan Ibn Ubayy

 

Memaafkan. Sungguh indah dan agung maaf itu. Muhammad berlaku begitu baik kepada orang yang telah menghasut penduduk Medinah supaya memusuhinya dan memusuhi sahabat-sahabatnya. Biarlah sikap baiknya dan kemaafannya itu memberi bekas yang lebih dalam daripada kalau ia menjatuhkan hukuman kepada orang itu.

 

Sejak itu apabila Abdullah b. Ubayy mencoba mau bermain api, golongannya sendiri menegurnya. menyalahkannya dan membuatnya ia merasa bahwa sisa hidupnya itu dari pemberian Muhammad. Tatkala pada suatu hari Nabi sedang bicara-bicara dengan Umar mengenai masalahmasalah kaum Muslimin, sampai juga menyebut-nyebut Abdullah b. Ubayy, begitu juga tentang golongannya sendiri yang menegurnya dan menyalahkannya itu.

 

“Umar, bagaimana pendapatmu”, kata Muhammad. “Ya, kalau kau bunuh dia ketika kaukatakan kepadaku supaya dibunuh saja, tentu akan jad gempar karenanya. Kalau sekarang kusuruh bunuh tentu akan kaubunuh.”

 

“Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintah saya.”

 

Semua peristiwa itu terjadi setelah kaum Muslimin — dengan membawa tawanan dan rampasan perang — kembali ks Medinah. Akan tetapi lalu ada suatu peristiwa yang pada mulanya tidak memberi bekas apa-apa, tetapi kemudian menjadi pembicaraan yang panjang juga. Soalnya ialah Nabi mengadakan undian terhadap istri-istrinya bila akan berangkat mengadakan ekspedisi. Barangsiapa yang keluar namanya maka dialah yang ikut serta. Sorenya pada waktu mau mengadakan ekspedisi terhadap kepada Banu Musthaliq, maka yang keluar ialah nama Aisyah. Jadi dia yang dibawa, Aisyah adalah seorang wanita yang berperawakan kecil, nngan. Bila pelangkin sudah diantarkan orang sampai di depan pintu rumahnya, dia pun naik. Lalu mereka membawanya pada punggung unta Karena ringannya, mereka hampir tidak dapat merasakan.

 

Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu, dengan rombongannya ia berangkat lagi meneruskan perjalanan yang panjang dan sangat meletih. Kan seperti sudah kita sebutkan. Sesudah itu ia menuju Medinah. Sampai di suatu tempat dekat kota ia berhenti dan bermalam di tempat 1tu. Kemudian diumumkan kepada rombongan, perjalanan akan diteruskan lagi.

 

Tertinggal Tidak Terasa

 

Karena hendak menunaikan hajat, Aisyah ketika itu sedang keluar dari kemah Nabi, sedang pelangkin sudah menunggu di depan kemah, menantikan ia masuk kembali. Aisyah mengenakan seutas kalung yang keuka sedang menyelesaikan keperluannya, kalung itu lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan berangkat, dirabanya kalung itu sudah tidak ada. Ia kembali menyusur jalan sambil mencari-carinya. Dan barangkali lama juga ia mencarinya, baru kemudian benda itu diketemukannya kembali. Mungkin sementara :tu ta terlena karena sudah begitu lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke markas untuk kemudian naik ke atas pelangkin, ternyata pelangkin itu sudah dipasang kembali di punggung unta dengan perkiraan bahwa dia sudah berada di dalamnya: lalu mereka berangkat jupa dengan anggapan bahwa mereka sedang membawa Ummi’Mukminin, istri yang sangat dekat ke dalam hau Nabi. Dalam markas itu orang yang akan dapat ditanyas Tidak ada Dia tidak merasa takut bahkan dia yakin bahwa apabila rombongan itu nanti mengetahui dia tidak ada, tentu mereka akan kembali ke tempatnya semula. Jadi lebih baik dia tidak meninggalkan tempat itu, daripada mengarungi padang pasir tanpa pedoman, ia akan sesat karenanya. Tanpa merasa takut, dengan berselilmutkan pakaian luarnya ia berbaring di tempat itu, sambil menunggu Orang yang akan datang mencarinya.

 

Sementara ia sedang berbaring itu, Shafwan bin’I-Mu’attal lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat dari rombongan tentara karena harus menunaikan urusannya pula. Ia sudah pernah melihatnya sebelum ada ketentuan hijab terhadap istri-istri Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali dan surut sambil berkata: “Inna lillahi wainna ilaihi raji’un! Istri Rasulullah s.a.w.? Kenapa sampai tertinggal? Semoga rahmat Tuhan juga.” Aisyah tidak menjawab. Didekatkannya untanya itu dan dia sendiri mundur sambil berkata: “Naiklah.”

 

Setelah Aisyah naik kemudian ia berangkat dengan unta itu cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi tidak terkejar juga. karena ternyata mereka mempercepat perjalanan, ingin segera sampai di Medinah, agar dapat beristirahat setelah mengalami perjalanan yang cukup meletihkan, yang juga diperintahkan oleh Rasulullah yuna menghindarkan fitnah yang hampir-hampir terjadi akibat perbuatan Ibn Ubayy

 

” Shafwan memasuki Medinah pada siang hari disaksikan oleh orang panyak sementara Aisyah di atas untanya. Sampai di depan rumahnya dalam rangkaian rumah istri-istri Rasul, ia pun masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa hal ini akan dijadikan buah bibir, atau akar! menimbulkan syak karena ia terlambat dari rombongan, juga dalam hati Rasul tidak terlintas suatu prasangka buruk terhadap Shafwan, seorang orang mukmin yang beriman teguh.

 

Sebenarnya tidak perlu sampai menjadi buah bibir, dia memasuki Medinah di depan mata orang banyak, di belakang pasukan tentara yang juga datang dalam waktu hampir bersamaan sehingga tidak perlu harus menimbulkan sesuatu prasangka. Dia datang disaksikan oleh orang banyak dengan wajah bersih dan berseri-seri, tak ada tanda-tanda yang akan menimbulkan kecurigaan. Seharusnya biarlah kota Medinah berjalan seperti biasa. Biarlah hasil rampasan perang dan tawanan perang Banu Mushtaliq itu dibagi-bagi antara sesama kaum Muslimin, biarlah mereka menikmati hidup sejahtera, yang makin hari sudah makin terasa. Iman mereka pun makin dalam menanamkan rasa harga diri dalam menghadapi musuh, di samping adanya kesungguhan hati, keberanian menghadapi maut demi Allah, untuk agama dan untuk kebebasan orang lain menganut kepercayaan agamanya, kebebasan yang sebelum itu tidak pula dikenal oleh masyarakat Arab.

 

Juwairia bint’I-Harith

 

Juwairia bint’-Harith termasuk salah seorang tawanan perang Banu Mushtaliq. Dia memang seorang wanita cantik dan manis. Ia jatuh menjadi bagian salah seorang Anshar. Dalam hal ini ia ingin menebus diri, tetapi mengetahui bahwa dia putri seorang pemuka Banu Mushtaliq, dan ayahnya akan mampu menebus berapa saja diminta, maka tebusan yang diminta itu cukup tinggi. Kuatir akan membawa akibat yang melampaui batas, maka Juwairia sendiri segera pergi menemui Nabi, yang ketika itu sedang berada di rumah Aisyah.

 

“Saya Juwairia putri Al-Harith bin Abi Dzirar, pemimpin masyarakat”, katanya. “Saya mengalami bencana, seperti sudah tuan ketahui tentunya. Tetapi karena saya sudah menjadi milik si anu, maka saya telah memajukan penawaran guna membebaskan diri saya. Kedatangan saya kemari ingin mendapat bantuan tuan mengenai penawaran saya itu.”

 

“Maukah engkau dengan yang lebih baik dari itu?” tanya Nabi.

 

“Apa?”

 

“Saya penuhi pcnawaranmu dan saya kawin dengan kau.”

 

Setelah berita itu tersiar, sebagai penghormatan kepada semenda Rasulullah dengan Banu Mushtaliq. tawanan-tawanan perang yang ada di tangan mereka segera mereka bebaskan, sehingga mengenai Juwairia inj Aisyah pernah berkata: Tak pernah saya lihat ada seorang wanita lebih besar membawa keuntungan buat golongannya seperti dia ini. Perkawinannya dengan Nabi

 

Demikianlah sebuah sumber menyebutkan. Ada pula sumber lain yang mengatakan, bahwa Al-Harith b. Abi Dzirar datang mengunjungi Nabi hendak menebus putrinya itu, dan dia sendiri pun masuk Islam setelah dia percaya akan ajaran Nabi, dan bahwa dia mengambil Juwairia putrinya yang juga lalu masuk Islam seperti ayahnya. Kemudian Muhammad meminangnya dan mengawininya, dengan mas kawin sebesar 400 dirham.

 

Seterusnya sumber ketiga menyebutkan, bahwa ayahnya tidak senang dengan perkawinan ini, bahkan dia tidak setuju, dan bahwa yang mengawinkannya dengan Nabi ialah salah seorang kerabatnya tanpa sekehendak ayahnya.

 

Setelah Muhammad kawin dengan Juwairia, dibuatkannya rumah di samping rumah-rumah istrinya yang lain di dekat mesjid. Dengan demikian ia menjadi Ibu kaum Muslimin pula.

 

Sementara itu Orang di luaran mulai pula berbisik-bisik kenapa Aisyah terlambat di belakang pasukan tentara dan datang bersama Shafwan menumpang untanya, sedang Shafwan seorang pemuda yang tampan dan tegap.

 

Berita bohong

 

Saudara perempuan Zainab bt. Jahsy yang bernama Hamna, sudah mengetahui bahwa Aisyah dalam hati Muhammad mempunyai tempat melebihi saudaranya itu. Ia segera menyebarkan desas-desus orang tentang Aisyah ini. Ia mendapat dukungan Hassan b. Thabit, dan Ali b. Abi Talib juga menyambutnya.

 

Dengan demikian Abdullah b. Ubay merasa mendapat tanah yang subur dalam usahanya menyebarkan bibit berita itu, yang sekaligus merupakan obat penawar pula terhadap api kebencian yang ada dalam hatinya. Mati-matian ia berusaha menyebar-luaskan berita itu. Akan tetapi dalam hal ini kalangan Aus telah menentukan sikap hendak membela Aisyah. Aisyah adalah lambang kesucian dan seorang wanita yang berakhlak tinggi, yang patut menjadi teladan. Peristiwa ini hampir saja menjadi suatu fitnah di Medinah.

 

Berita-berita ini kemudian sampai juga kepada Muhammad. Ia jadi gelisah Apa? Aisyah akan mengkhianatinya? Tidak mungkin! Itu adalah perbuatan keji dan bertentangan. Dengan rasa cinta dan kasihnya kepada Assyah hal yang hanya didasarkan pada prasangka semacam itu adalah suatu dosa besar. Ya. Tetapi wanita! Cih! Siapa pula gerangan yang dapat menduga lubuk hati mereka. Lagi pula Aisyah masih muda belia. Kalung serupa apa benar yang hilang dan dicarinya pada malam buta serupa itu? Kenapa hal itu tidak disebut-sebut ketika mereka masih berada di markas? Nabi sendiri masih dalam kebingungan, belum tahu ia, akan percayakah atau tidak.

 

Orang tak ada yang berani menyampaikan desas-desus itu kepada Aisyah, meskipun ia sendiri sudah merasa aneh melihat sikap suaminya yang kaku, yang belum pernah dilihatnya dan memang tidak sesuai dengan perangainya yang selalu lemab-lembut, selalu penuh kasih kepadanya. Arsyah Jatuh Sakit

 

Kemudian Aisyah jatuh sakit, sakit yang cukup keras. Bila ia datang menengoknya dan ibunya ada di tempat itu merawatnya, tidak lebih ia hanya berkata: “Bagaimana?” Sungguh pilu hati Aisyah merasakannya bila ia melihat sikap Nabi begitu kaku kepadanya. Ia bicara dengan hatinya sendiri, tidakkah karena Juwairia yang sekarang menggantikan tempatnya dalam hati suaminya? Begitu sesak dadanya karena sikap Muhammad yang kaku kepadanya itu, sehingga pernah ia berkata:

 

“Kalau kauizinkan, aku akan pindah ke rumah ibu, supaya ia dapat merawatku.”

 

Ia pun pindah ke tempat ibunya. Sikapnya yang berlebih-lebihan itu menimbulkan kepedihan pula dalam hatinya sendiri. Lebih dari dua puluh hari ia menderita sakit, baru kemudian ia sembuh. Segala pembicaraan orang yang terjadi tentang dirinya, dia tidak tahu.

 

Sebaliknya Muhammad, ia merasa sangat terganggu karena beritaberita yang disebarkan orang itu. Sekali ia mengucapkan pidato ini di hadapan orang banyak.

 

Saudara-saudara, kenapa orang-orang mengganggu saya mengenai keluarga saya. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya mengeDa diri saya Padahal yang saya ketahui mereka itu orang baik-baik. Lalu mereka mengatakan sesuatu yang ditujukan kepada seseorang, yang saya ketahui, demi Allah, dia juga orang baik: tak pernah ia datang ke salah Satu rumah saya hanya jika bersama dengan saya.”

 

Kemudian Usaid b. Hudzair berdiri seraya berkata:

 

Rasulullah, kalau mereka itu dari saudara-saudara kami kalangan Au biarlah kami selesaikan, dan kalau mereka itu dari saudara-saudara kami golongan Khazraj perintahkanlah juga kepada kami. Sungguh patut leher mereka itu dipenggal.”

 

Akan tetapi Sa’d b. “Ubada lalu menjawab, bahwa dia berani mengatakan itu karena dia mengetahui bahwa mereka dari golongan Khazraj. Kalau mereka itu dari Aus tentu takkan mengatakannya. Orang ramai lalu mengadakan perundingan, dan hampir-hampir terjadi suatu bencana fitnah, kalau tidak karena Rasul segera campur tangan dengan suatu kebijaksanaan yang baik sekali.

 

Berita Sampai kepada Aisyah

 

Akhirnya berita itu pun sampai juga kepada Aisyah, diceritakan oleh seorang wanita dari Muhajirin. Terkejut sekali mendengar berita itu, hampir-hampir ia jatuh pingsan. Ia menangis tersedu-sedu, tak dapat lagi ia menahan air mata yang begitu deras berderai, sehingga terasa seolah pecah jantungnya. Ia pergi menjumpai ibunya, dengan membawa beban perasaan yang cukup berat, hampir-hampir terbawa jatuh terhuyung.

 

“Ampun, Ibu”, katanya, dengan suara tersekat oleh air mata. “OrangOrang sudah begitu rupa bicara di luar, tapi samasekali tidak ibu katakan kepada saya.”

 

Melihat kesedihan yang begitu menekan perasaan, ibunya berusaha hendak meringankannya.

 

“Anakku”, katanya, “jangan terlampau gundah. Seorang wanita cantik yang dimadu, yang dicintai suami, Tidak jarang menjadi buah bibir madunya dan buah bibir orang.”

 

Akan tetapi dengan kata-kata itu Aisyah belum terhibur juga. Kembali ia merasa lebih pedih lagi bila teringat sikap Nabi kepadanya yang terasa kaku, padahal tadinya sangat lemah-lembut. ia merasa, bahwa berita itu tampaknya terkesan juga dalam hati Nabi, dan karenanya ia jadi curiga. Tetapi, gerangan apa yang akan dapat diperbuatnya? Akan dimulainya sajakah ia yang bicara serta menyebutkan berita itu, dan akan bersumpah bahwa ia samasekali tidak berdosa? Jadi kalau begitu ia menuduh diri sendiri, kemudian menyanggah tuduhan itu dengan sumpah dan permohonan. Ataukah sudah saja membuang muka seperti dia, dan juga membalasnya bersikap kepadanya seperti dia pula? Tetapi dia adalah Rasul Allah, dia telah memilihnya di atas istri-istrinya yang lain. Bukan salah dia kalau orang sampai menyiarkan desas-desus tentang dirinya, karena dia telah terlambat dari pasukan tentara dan kembali pulang dengan Shafwan. Ya Allah! Berikanlah jalan keluar kepadanya dalam suasana yang demikian rumit itu, supaya terbuka kepada Muhammad keadaan yang sebenarnya tentang dirinya itu, supaya ia pun kembali seperti dalam suasana semula, penuh cinta, penuh kasih dan selalu lemah-lembut kepadanya.

 

Muhammad Minta Pendapat Usama dan Ali

 

Tetapi keadaan Muhammad sebenarnya tidak lebih enak dari Aisyah, fa merasa tersiksa karena percakapan orang mengenai dirinya itu, sehingga akhirnya terpaksa ia meminta pendapat sahabat-sahabatnya yang terdekat, apa yang akan diperbuatnya. Ia pergi ke rumah Abu Bakr. Ali dan Usama bin Zaid dipanggilnya akan dimintai pendapat. Usama ternyata menolak samasekali segala tuduhan yang dilemparkan orang kepada Aisyah itu. Itu bohong dan tidak punya dasar. Sebagaimana Nabi mengenalnya, orang lain pun juga mengenal dia sebagai seorang wanita yang sangat baik. Sebaliknya Ali. Ia berkata: “Rasulullah, wanita yang lain banyak.” Lalu sarannya supaya menanyai bujang pembantu Aisyah, kalaukalau ia dapat dipercaya. Pembantu rumah itu pun dipanggil. Ali berdiri menghampirinya, lalu memukulnya yang cukup membuat bujang itu merasa kesakitan seraya berkata: “Katakanlah yang sebenarnya kepada Rasulullah!”

 

“Demi Allah yang saya ketahui dia adalah baik”, jawab pembantu rumah itu. Segala tuduhan jahat yang ditujukan kepada Aisyah dibantahnya.

 

Muhammad Menemui Aisyah

 

Akhirnya tak ada jalan lain Muhammad harus menemui sendiri istrinya dan dimintanya supaya mengaku. Ia masuk menemui Aisyah, di tempat itu ada ayahnya dan seorang wanita dari Anshar. Aisyah sedang menangis dan wanita itu juga turut pula menangis. Tiada terderita olehnya betapa dalamnya kesedihannya itu mencabik hati, tergetar ia setelah mengetahui bahwa oleh Muhammad ia dicurigai. Dicurigai oleh itu lakilaki yang sangat dicintainya, dipujanya, laki-laki yang sangat dipercayainya, tempat dia rela mati untuknya.

 

Melihat kedatangannya itu, disekanya air matanya, dan terdengar olehnya ketika ia berkata:

 

“Aisyah, engkau sudah mengetahui apa yang menjadi pembicaraan Orang. Hendaknya engkau takut kepada Allah jika engkau telah melakukan suatu kejahatan seperti apa yang dikatakan orang. Bertobatlah engkau kepada Allah, sebab Allah akan menerima segala tobat yang datang dari hamba-Nya.”

 

Selesai kata-kata itu diucapkan, Aisyah merasa darahnya sudah mendidih. Air matanya jadi kering. Ia menoleh ke arah ibunya dan ke arah ayahnya. Ia menunggu bagaimana mereka akan menjawab. Tetapi ternyata mereka diam, tiada sepatah kata pun yang keluar dari mereka. Hati Aisyah makin panas, seraya katanya:

 

“Kenapa kalian tidak menjawab?”

 

“Sungguh kami tidak tahu bagaimana harus kami jawab”, jawah mereka.

 

Lalu mereka berdua kembali terdiam lagi. Ketika itulah ia tak dapat menahan diri. Ia menangis lagi tersedu-sedu. Air matanya itu telah dapat meredakan api amarah yang menyala-nyala seolah hendak membakar jantungnya. Sambil menangis itu kemudian ia bicara, ditujukan kepada Nabi:

 

“Demi Allah, samasekali saya tidak akan bertobat kepada Tuhan Seperti yang kausebutkan itu. Saya tahu, kalau saya mengiakan apa yang dikatakan orang itu, sedang Tuhan mengetahui bahwa saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan sesuatu yang tak ada. Tetapi kalaupun saya bantah, kalian takkan percaya.” Ia diam sebentar. Kemudian sambungnya lagi: “Saya hanya dapat berkata seperti apa yang dikatakan oleh ayah Yusuf: “Maka sabar itulah yang baik, dan hanya Allah tempat meminta pertolongan atas segala yang kamu ceritakan itu!”

 

Sejenak jadi sunyi, setelah terjadi pergolakan itu. Orang tidak tahu pasti sampai berapa lama hal itu berjalan. Akan tetapi begitu Muhammad hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba ia terlelap oleh kedatangan wahyu, seperti biasanya. Pakaiannya segera diselimutkan kepadanya dan sebuah bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya.

 

Dalam hal ini Aisyah berkata: “Saya sendiri samasekali tidak merasa takut dan tidak peduli setelah melihat kejadian ini. Saya sudah mengetahui, bahwa saya tidak berdosa dan Allah tidak akan berlaku tidak adil terhadap diri saya. Sebaliknya orang tua saya, setelah Rasulullah s.a.w. terjaga, saya kira nyawa mereka akan terbang karena ketakutan, kalaukalau wahyu dari Allah akan memperkuat apa yang dikatakan orang.” Wahyu Membebaskan Aisyah

 

Setelah Muhammad terjaga, ia duduk kembali, dengan bercucuran keringat. Sambil menyeka keringat dari dahi ia berkata:

 

“Gembirakanlah hatimu, Aisyah! Tuhan telah membebaskan kau dari tuduhan.”

 

“Alhamdulillah”, kata Aisyah.

 

Kemudian Muhammad pergi ke mesjid, dan membacakan ayat-ayat berikut ini kepada kaum Muslimin:

 

“Mereka yang datang membawa berita bohong itu sebenarnya dari golonganmu juga. Jangan kamu mengira ini suatu bencana buat kamu, tetapi sebaliknya, suatu kebaikan juga buat kamu. Setiap orang dari mereka itu akan mendapat ganjaran hukum atas dosa yang mereka perbuat. Dan orang yang mengetuai penyiarannya di antara mereka itu akan mendapat siksa yang berat. Mengapa orang-orang beriman — laki-laki dan perempuan ketika mendengar berita itu, tidak berprasangka baik terhadap sesama mereka sendiri, dan mengatakan: ini adalah suatu berita bohong yang nyata sekali? Mengapa dalam hal ini mereka tidak membawa empat orang saksi. kalau mereka tak dapat membawa saksi-saksi itu, maka mereka itu di sisi Allah adalah orang-orang pendusta. Dan sekiranya bukan karena kemurahan Tuhan dan kasih-sayang-Nya juga kepadamu — di dunia dan di akhirat – niscaya siksa Allah yang besar akan menimpa kamu, karena fitnah yang kamu lakukan itu. Tatkala kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan pula dengan mulut kamu sendiri apa yang tidak kamu ketahui dengan pasti, dan kamu mengiranya hanya soal kecil saja, padahal pada Allah itu adalah perkara besar. Dan tatkala kamu mendengarnya, mengapa tidak kamu katakan saja: tidak sepatutnya kami membicarakan masalah ini. Maha Suci Tuhan. Ini adalah kebohongan besar. Allah memperingatkan kamu, jangan sekali-kali hal serupa itu akan terulang jika kamu memang orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan keterangan-keterangan itu kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Mereka yang suka melihat tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, akan mengalami siksaan pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

 

Dalam hubungan ini pula datangnya ketentuan hukuman terhadap orang yang melemparkan tuduhan buta kepada kaum wanita yang baik-baik.

 

“Dan mereka yang melemparkan tuduhan keji kepada wanita-wanita yang baik-baik, lalu mereka tak dapat membawa empat orang saksi, maka deralah mereka dengan delapan puluh kali pukulan, dan jangan sekali-kali menerima lagi kesaksian mereka itu. Mereka itu adalah orang-orang yang jahat. ”?

 

Untuk melaksanakan ketentuan Quran, mereka yang telah menyebarkan berita keji itu — Mistah b. Uthatha, Hassan b. Thabit dan Hamna bt. Jahsy, masing-masing mendapat hukuman dera delapan puluh kali.

 

Sekarang kembali Aisyah seperti dalam keadaannya semula, dalam rumah-tangga dan dalam hati Muhammad.

 

Sebagai komentar atas peristiwa ini Sir William Muir menyebutkan sebagai berikut: “Sejarah Aisyah, baik sebelum atau sesudah peristiwa itu mengharuskan kita mengambil keputusan yang pasti bahwa dia adalah bersih dari segala tuduhan itu dan mengharuskan kita pula untuk tidak ragu-ragu lagi menggugurkan segala macam prasangka terhadap dirinya.”

 

Maaf yang Sungguh Indah

 

Akan tetapi sesudah itu pun Hassan b. Thabit kembali diterima dan mendapat kasih-sayang Muhammad lagi. Demikian juga Muhammad minta kepada Abu Bakr, supaya jangan mengurangi kasih-sayang kepada Mistah seperti yang sudah-sudah. Sejak itu selesailah peristiwa itu dan tidak lagi meninggalkan bekas di seluruh Medinah. Aisyah pun cepat pula Sembuh dari sakitnya, lalu kembali ke rumahnya di tempat Rasul, dan kembali pula ke dalam hati Rasul, kembali dalam kedudukannya yang tingg’ dalam hati sahabat-sahabatnya seluruh kaum Muslimin. Dengan demikian Nabi dapat kembali mengabdikan diri kepada ajarannya dan kepada pengarahan kaum Muslimin sebagai suatu persiapan guna menghadapi perjanjian Hudaibiya. Semoga Allah memberikan kemenangan yang nyata kepada umat Muslimin.

 

Muslimin dirintangi ke Mesjid Suci — Muslimin Merindukan Mekah —Orang Arab dan Ka’bah — Muslimin dan Ka’bah – Muhammad Mengumumkan Supaya Naik Haji – Dua Perkemahan Bertemu — Muhammad Memelihara Perdamaian — Utusan Quraisy kepada Muhammad — Perutusan “Urwa ibn Mas’ud — Utusan Muhammad kepada Quraisy — Ikrar Ridzwan — Perutusan Quraisy kepada Muhammad – Perundingan Kedua Belah Pihak -Abu Bakr dan Umar -Perjanjian Hudaibiya (Maret 628) -Perjanjian Mulai Berlaku — Hudaibiya: Suatu Kemenangan yang Nyata — Cerita Abu Bashir — Wanita-wanita Muslimat yang Hijrah — Apa yang Dilakukan Muhammad

 

ENAM tahun lamanya sudah sejak Nabi dan sahabat-sahabatnya hijrah dari Mekah ke Medinah. Seperti kita lihat, selama itu mereka terusmenerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan kepada peperangan, kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. Sementara itu Islam pun makin tersebar luas, makin kuat dan ampuh pula.

 

Sejak tahun pertama Hijrah, Muhammad sudah mengubah kiblatnya dari Al-Masjid’l-Agsha ke Al-Masjid’I-Haram. Sekarang kaum Muslimin menghadap ke Baitullah yang dibangun oleh Ibrahim di Mekah, dan yang kemudian bangunan itu dibaharui lagi tatkala Muhammad masih muda belia. Waktu itu ia juga turut mengangkut batu hitam ke tempatnya di ujung dinding bangunan itu. Tak terlintas dalam pikirannya atau dalam pikiran siapa pun juga waktu itu, bahwa Tuhan akan menurunkan risalah kepadanya. Muslimin dirintangi ke Mesjid Suci

 

Sejak ratusan tahun yang lalu, Al-Masjid’I-Haram ini (Mesjid Suci) sudah menjadi arah tujuan orang-orang Arab dalam melakukan ibadat. Dalam bulan-bulan suci setiap tahun mereka datang ke tempat itu. Setiap orang yang datang keamanannya terjamin. Apabila orang bertemu dengan musuh yang paling keras sekalipun, di tempat ini ia tak dapat menghunus pedang atau mengadakan pertumpahan darah. Akan tetapi sejak Muhammad dan kaum Muslimin sudah hijrah, pihak Quraisy telah mengambil tanggung jawab dengan melarang mereka memasuki Mesjid Suci itu, melarang mereka mendekatinya di luar golongan Arab lainnya, Dalam hal ini firman Tuhan turun pada tahun Hijrah pertama itu:

 

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan suci, bolehkah berperang» Katakanlah: Berperang dalam bulan itu suatu dosa besar. Tetapi merintangi orang dari jalan Allah dan ingkar kepada-Nya, merintangi orang memasuki Mesjid Suci serta mengusir penduduk dari sekitar tempat itu, lebih besar lagi dosanya di sisi Allah.”

 

Dan sesudah perang Badr juga firman Tuhan ini datang:

 

“Dan kenapa Allah tidak akan menyiksa mereka padahal mereka merintangi orang memasuki Mesjid Suci, sedang mereka bukan penang. gung jawabnya. Mereka yang bertanggung jawab mengurusnya sebenarnya ialah orang-orang yang bertakwa. Tetapi mereka kebanyakan tidak mengetahui. Dan sembahyang mereka di sekitar Rumah Suci itu tidak lain hanya bersiul dan bertepuk tangan. Oleh karena itu rasakan siksaan yang disebabkan oleh kekafiranmu itu. Orang-orang kafir itu mengeluarkan harta mereka guna melarang orang dari jalan Allah, maka mereka masih akan mengeluarkan harta mereka. Sesudah itu mereka menyesal, lalu mereka kalah. Dan orang-orang yang kafir itu akan dikumpulkan di dalam neraka.”

 

Selama enam tahun itu banyak sekali ayat-ayat turun berturut-turut mengenai Mesjid Suci itu yang oleh Tuhan dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Akan tetapi pihak Quraisy menganggap Muhammad dan pengikut-pengikutnya telah mengingkari dewadewa dalam Rumah Suci itu: Hubal, Isaf, Na’ila dan berhala-berhala yang lain. Oleh karena itu memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke Ka’bah adalah suatu kewajiban buat Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali kepada dewa-dewa nenek-moyangnya.

 

Muslimin Merindukan Mekah

 

Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Di samping itu kaum Muhajirin sendiri pun sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan — tersiksa dalam pembuangan, tertekan karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja mereka itu semua yakin akan adanya pertolongan Tuhan kepada Rasul dan kepada mereka serta mengangkat taraf agama mereka di atas agama lain. Mereka percaya sekali, bahwa tak lama lagi pasti akan datang waktunya Tuhan membukakan pintu Mekah kepada mereka, dan mereka akan bertawaf di Rumah Purba (Ka’bah) itu, menunaikan kewajiban agama yang diwajibkan Tuhan kepada seluruh umat manusia. Kalau selama itu, tahun demi tahun yang terjadi hanya peperangan, dari perang Badr ke Uhud, lalu Khandag, kemudian peperangan-peperangan dan kesibukan-kesibukan lain, maka hari yang mereka harap-harapkan itu kini pasti akan tiba. Mereka sangat merindukan hari yang diharap-harapkan itu. Tidak kurang pula Muhammad seperti mereka, sangat merindukannya dan yakin sekali, bahwa saatnya sudah dekat!

 

Orang Arab dan Ka’bah

 

Dengan melarang mengadakan ziarah ke Mekah serta menunaikan kewajiban berhaji dan menjalankan umrah, sebenarnya orang-orang Quraisy sudah melakukan kekejaman terhadap Muhammad dan sahabatsahabatnya. Rumah Purba ini bukanlah milik Quraisy, melainkan milik semua orang Arab. Hanya saja orang-orang Quraisy itu berkewajiban menjaga Ka’bah dan mengurus air buat para pengunjung, yakni yang meliputi segala macam kepengurusan Rumah Suci dan pemiliharaan pengunjung-pengunjungnya. Tujuan sesuatu kabilah itu satu sama lain dengan menyembah berhala tidaklah berarti membenarkan tindakan Quraisy melarang orang berziarah dan bertawaf di Ka’bah serta melakukan segala upacara dan penyembahan berhala. Muhammad datang mengajak orang menjauhi penyembahan berhala dan membersihkan diri dari segala noda paganisma dan syirik. la mengajak orang ke tingkat jiwa yang lebih tinggi, yakni menyembah hanya kepada Allah Yang Tunggal dan tidak bersekutu. Ia akan menempatkannya di atas segala kekurangan, akan membawa kehidupan rohani ke tempat yang dapat menangkap arti kesatuan alam serta keesaan Tuhan. Jadi oleh karena menjalankan ibadah haji dan umrah itu. merupakan salah satu kewajiban agama, maka melarang penganut-penganut agama baru ini melakukan kewajiban agamanya berarti suatu tindakan permusuhan.

 

Akan tetapi apabila Muhammad kemudian datang juga disertai orangorang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada ajarannya, yang sebenarnya mereka ini penduduk asli Mekah, maka orang-orang Quraisy itu kuatir rakyat jelata di Mekah akan menggabungkan diri kepadanya lalu merasa pula bahwa memisahkan mereka dari sanak keluarga, adalah suatu tindakan kekejaman. Dengan demikian ini akan merupakan benih yang dapat mencetuskan perang saudara.

 

Di samping itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah tidak pula melupakan Muhammad dan pengikutnya yang telah menghancurkan perdagangan mereka, merintangi jalan mereka yang sudah rata itu ke Syam. Oleh karenanya dalam jiwa mereka sudah tertanam rasa dendam dan permusuhan, padahal sudah cukup diketahui, bahwa Rumah itu kepunyaan Allah dan kepunyaan seluruh masyarakat Arab, dan bahwa kewajiban mereka hanyalah menjaganya dan meme, lihara orang-orang yang datang berziarah.

 

Muslimin dan Ka’bah

 

Telah lampau enam tahun sejak hijrah, kaum Muslimin sudah gelisah sekali karena rindu ingin berziarah ke Ka’bah dan ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Pada suatu pagi bila mereka sedang berkumpul dj mesjid, tiba-tiba Nabi memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah mendapat ilham dalam mimpi hakiki, bahwa insya Allah mereka akan memasuki Mesjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa akan merasa takut.

 

Begitu mereka mendengar berita mengenai mimpi Rasulullah itu, serentak mereka mengucap, Alhamdulillah. Secepat kilat berita ini telah tersebar ke seluruh penjuru Medinah. Tetapi bagaimana caranya memasuki Mesjid Suci itu? Dengan perangkah? Ataukah orang-orang Quraisy secara paksa harus dikosongkan? Atau barangkali Quraisy dengan tunduk menyerah membukakan jalan?

 

Muhammad Mengumumkan Supaya Nark Haji

 

Tidak. Tak ada pertempuran, tak ada perang. Bahkan Muhammad mengumumkan kepada orang ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji dalam bulan Zulhijah yang suci. Dikinmnya utusan-utusan kepada kabilah-kabilah yang bukan dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka supaya ikut bersama-sama pergi berangkat ke Baitullah, dengan aman, tanpa ada pertempuran. Dalam pada itu yang diinginkan sekali oleh Muhammad ialah supaya kaum Muslimin dapat berangkat sebanyak mungkin. Maksud baik daripada ini ialah supaya semua orang Arab mengetahui bahwa kepergiannya dalam bulan suci itu hendak menunaikan ibadah haji, bukan akan berperang. Ia hanya ingin melaksanakan suatu kewajiban dalam hukum Islam, yang juga diwajibkan dalam agama-agama orang Arab sebelum itu. Untuk itu diajaknya orang-orang Arab yang tidak seagama itu agar juga melakukan kewajiban tersebut. Sesudah semua itu, kalaupun Quraisy masih juga bersikeras hendak memeranginya dalam bulan suci, hendak melarang orang Arab akan apa yang sudah menjadi kepercayaan sekalipun berlain-lainan, maka takkan ada orang-orang Arab yang mau mendukung sikap Quraisy atau akan membantu mereka melawan kaum Muslimin. Dengan sikap keras itu mereka hendak membendung orang pergi ke Mesjid Suci, hendak membelokkan orang dari agama Ismail dan dari agama Ibrahim, leluhur mereka.

 

Oleh karena itu pihak Muslimin merasa aman juga kalau orang-orang Arab itu dapat menggabungkan diri seperti golongan Ahzab dulu. Agamanya akan lebih terpandang di mata orang-orang Arab yang belum beriman itu. Apa pula yang akan dikatakan Quraisy terhadap kepada mereka yang datang ke tanah suci itu, tanpa membawa senjata kecuali pedang yang disarungkan, didahului oleh binatang kurban yang hendak mereka sembelih. Buat mereka tak ada urusan lain daripada hanya akan menunaikan tugas agama dengan bertawaf di Baitullah, yang juga menjadi kewajiban semua masyarakat Arab itu.

 

Muhammad mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan ibadah haji. Kepada kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi banyak juga dari mereka itu yang masih menunda-nunda. Dalam bulan Zulkaidah sebagai salah satu bulan suci, ia berangkat dengan rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab yang mau menggabungkan diri, didahului di depan oleh untanya, Al-Oashwa. Jumlah mereka yang berangkat ketika itu sebanyak seribu empat ratus orang. Muhammad membawa binatang kurban terdiri dari tujuh puluh ekor unta’ dengan mengenakan pakaian ihram, dengan maksud supaya orang mengetahui, bahwa ia datang bukan mau berperang, melainkan khusus hendak berziarah dan mengagungkan Baitullah.

 

Bilamana rombongan sudah sampai di Dzul’l-Hulaifa? mereka menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiah. Binatang kurban itu dilepaskan dan di sebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda, di antaranya terdapat unta Abu Jahl yang kena rampas dalam perang Badr. Tiada seorang juga dari rombongan haji itu yang membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Istri Nabi yang ikut serta dalam perjalanan ini ialah Umm Salama.

 

Berita tentang Muhammad dan rombongannya serta tujuan kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji itu sudah sampai juga kepada Quraisy. Akan tetapi dalam hati mereka timbul rasa kuatir. Masalahnya buat mereka adalah sebaliknya. Mereka menduga kedatangannya hanya sebagai suatu tipu-muslihat saja. Dengan begitu Muhammad mau menipu supaya dapat memasuki Mekah, karena mereka dan golongan Ahzab pernah pula terlarang tak dapat memasuki Medinah. Apa yang mereka ketahui tentang lawan mereka yang hendak memasuki Tanah Suci melakukan Umrah itu serta apa yang sudah diumumkan di seluruh jazirah bahwa sebenarnya mereka hanya didorong oleh rasa keagamaan hendak menunaikan kewajiban yang sudah juga diakui oleh seluruh orang Arah tidak akan dapat mengubah keputusan Quraisy hendak Mencegah Muhammad memasuki Mekah: betapapun besarnya pengorbanan yang harus mereka lakukan guna melaksanakan keputusan mereka itu.

 

Oleh karena itu sebuah pasukan tentara yang barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang, oleh Quraisy segera dikerahkan dan pimpinannya diserahkan kepada Khalid bin’I-Walid dan “Ikrima bin Abi Jahl. Pasukan ini maju ke depan supaya dapat merintangi Muhammad masuk ibukota (Mekah). Mereka maju terus sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa. Dua Perkemahan Bertemu

 

Sebaliknya Muhammad ia meneruskan perjalanannya. Sesampainya di ‘Usfan!’ ia bertemu dengan seseorang dari suku Banu Ka’b. Nabi menanyakan kalau-kalau orang itu mengetahui berita-berita sekitar Quraisy.

 

“Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini”, jawabnya. “Lalu mereka berangkat dengan mengenakan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dhu Tuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu samasekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin’l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah maju terus ke Kira’l-Ghamim.”?

 

“O, kasihan Quraisy!” kata Muhammad. “Mereka sudah lumpuh karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka membiarkan saja saya dengan orang-orang Arab yang lain itu. Kalaupun mereka sampai membinasakan saya, itulah yang mereka harapkan, dan kalau Tuhan memberi kemenangan kepada saya, mereka akan masuk Islam secara beramai-ramai. Tetapi jika itu pun belum mereka lakukan, mereka pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai kekuatan. Quraisy mengira apa. Saya akan terus berjuang, demi Allah, atas dasar yang diutuskan Allah kepada saya sampai nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher ini putus terpenggal.”

 

Kemudian ia berpikir, apa gerangan yang akan diperbuatnya. Keberangkatannya dari Medinah bukan akan berperang. la mau memasuki Tanah Suci hanya hendak berziarah ke Baitullah, ia hendak menunaikan kewajiban kepada Tuhan. Ia tidak mengadakan persiapan perang. Boleh jadi juga kalaupun dia berperang dan dikalahkan, hal ini akan dijadikan kebanggaan oleh Quraisy. Atau barangkali Khalid dan “Ikrima itu disuruh dengan tujuan sengaja hendak mencapai maksud itu, setelah diketahui bahwa ia berangkat bukan dengan maksud hendak berperang Muhammad Memelihara Perdamaian

 

Sementara Muhammad sedang berpikir-pikir itu pasukan Quraisy sudah tampak sejauh mata memandang. Tampaknya sudah tak ada jalan jauh buat Muslimin akan dapat mencapai tujuan, kecuali jika mau menerobos barisan itu. Dan jika pun terjadi pertempuran pihak Quraisy akan mempertahankan kehormatan dan tanah airnya. Suatu pertempuran yang memang tidak diingini oleh Muhammad. Akan tetapi Quraisy hendak memaksanya juga supaya ia bertempur dan supaya melibatkan diri ke dalam peperangan.

 

Sungguhpun begitu pihak Muslimin pun tidak kurang pula semangat pertahanannya. Adakalanya dengan pedang terhunus saja sudah cukup

 

buat mereka menangkis serangan musuh. Tetapi dengan demikian tujuannya jadi hilang, dan akan dipakai alasan oleh Quraisy di kalangan orang-orang Arab yang lain. Pandangannya lebih jauh dari itu, siasatnya lebih dalam dan lebih matang……. Jadi, dia menyerukan kepada orang banyak itu sambil katanya:

 

“Siapa yang dapat membawa kita ke jalan lain daripada tempat mereka sekarang berada?”

 

Dengan demikian ia masih berpegang pada pendapatnya hendak menempuh saluran damai yang sudah digariskannya sejak ia berangkat dari Medinah dan berniat hendak pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah.. .

 

Dalam pada itu kemudian ada seorang laki-laki yang bersedia membawa mereka ke tempat lain dengan melalui jalan berliku-liku antara batu-batu karang yang curam yang sangat sulit dilalui. Kaum Muslimin merasa sangat letih menempuh jalan itu. Tetapi akhirnya mereka sampai Juga ke sebuah jalan datar pada ujung wadi. Jalan ini mereka tempuh melalui sebelah kanan yang akhirnya keluar di Thaniat’I-Murar, jalan menurun ke Hudaibiya di sebelah bawah kota Mekah.

 

Setelah pasukan Quraisy melihat apa yang dilakukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, mereka pun cepat-cepat memacu kudanya kembali ke tempat semula dengan maksud hendak mempertahankan Mekah bila diserbu oleh pihak Muslimin.

 

Bila kaum Muslimin sampai di Hudaibiya, Al-Oashwa’ (unta kepunyaan Nabi) berlutut. Kaum Muslimin menduga ia sudah terlalu lelah. Tetapi Rasulullah berkata:

 

“Tidak. Ia tunta itu) ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari Mekah. Setiap ada ajakan dari Quraisy dengan tujuan mengadakan hubungan kekeluargaan, tentu saya sambut.”

 

Kemudian dimintanya orang-orang itu supaya turun dari kendaraan. Tetapi mereka berkata:

 

“Rasulullah, kalaupun kita turun, di lembah ini tak ada air.”

 

Mendengar itu ia mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikannya kepada seseorang supaya dibawa turun ke dalam salah Sebuah sumur yang banyak tersebar di tempat itu. Bila anak panah jty ditancapkan ke dalam pasir pada dasar sumur ketika itu air pun memancar, Orang baru merasa puas dan mereka pun turun.

 

Mereka turun dari kendaraan. Akan tetapi pihak Quraisy di Mekah Selalu mengintai. Lebih baik mereka mati daripada membiarkan Muham. mad memasuki wilayah mereka — dengan cara kekerasan sekalipun Adakah agaknya mereka sudah mengadakan persiapan dan perlengkapan perang guna menghadapi Quraisy, kemudian Tuhan yang akan menentu, kan nasib mereka masing-masing dan Tuhan juga yang akan memutuskan persoalannya jika sudah mesti terjadi?!

 

Ke arah inilah mereka sebagian berpikir dan pada kemungkinan ing pula pihak Quraisy itu berpikir. Sekiranya hal ini memang terjadi dan yang mendapat kemenangan pihak Muslimin, tentu tamatlah riwayat Quraisy itu di mata orang, untuk selama-lamanya. Posisi Quraisy jadi terancam kalau begitu. Jabatan menjaga Ka’bah dan mengurus air para pengunjung dan segala macam upacara keagamaan yang dibanggakan kepada masya. rakat Arab itu, akan hilang dari tangan mereka. Jadi apa yang harus mereka lakukan kalau begitu? Kedua kelompok itu masing-masing sekarang sedang memikirkan langkah berikutnya. Adapun Muhammad sendiri ia tetap berpegang pada langkah yang sudah digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk ‘umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari adanya pertempuran, kecuali jika pihak Quraisy menyerangnya atau mengkhianatinya: tak ada jalan lain ia pun harus menghunus pedang.

 

Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Kemudian terpikir oleh mereka akan mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan mereka, dari satu segi untuk menjajagi kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan sampai masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemuinya ialah Budail b. Warga’ dalam suatu rombongan yang terdiri dari suku Khuza’a. Oleh mereka ditanyakan, gerangan apa yang mendorongnya datang. Setelah dalam perbicaraan itu mereka merasa puas, bahwa ia datang bukan untuk berperang, melainkan hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah Suci, mereka pun pulang kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan Quraisy, supaya orang itu dan sahabat-sahabatnya dibiarkan saja mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka malah dituduh dan tidak diterima baik oleh Quraisy. Dikatakannya kepada mereka: Kalau kedatangannya tidak menghendaki perang, pasti ia takkan masuk kemari secara paksa dan kita pun takkan menjadi bahan pembicaraan orang.

 

Urasan Quraisy kepada Muhammad

 

Kemudian Quraisy mengutus orang lain yang sudah mengetahui keadaan mereka dari orang yang sudah diutus sebelumnya. Ia tidak akan serampangan Supaya jangan dituduh pula oleh Quraisy. Dalam maksudnya hendak memerangi Muhammad itu Quraisy banyak menyandarkan diri kepada sekutunya dari golongan Ahabisy.’ Terpikir oleh Quraisy pemimpun mereka ini yang hendak diutus, kalau-kalau bila sudah diketahui pahwa Muhammad tidak juga mau mengerti dan tidak ada saling pengertian dengan dia Quraisy akan merasa lebih mendapat dukungan dan akan lebih kuat mereka menghadapi Muhammad. Untuk itu maka berangkatlah Hulais pemimpin Ahabisy itu menuju ke perkemahan Muslimin.

 

Tatkala Nabi melihatnya ia datang, dimintanya supaya ternak kurban itu dilepaskan di depan matanya, supaya dapat melihat dengan mata kepala sendiri adanya suatu bukti yang sudah jelas, bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak diperangi itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah ke Rumah Suci. Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang tujuh puluh ekor itu, mengalir dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok. Terharu ‘sekali ia melihat pemandangan itu. Dalam hatinya timbul rasa keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan ingin berperang atau mencari permusuhan.

 

Sekarang ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Muhammad lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam.

 

“Duduklah”, kata mereka kepada Hulais. “Engkau ini Arab badwi yang tidak tahu apa-apa.”

 

Mendengar itu Hulais juga jadi marah. Diingatkannya bahwa persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi orang dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah, dan tidak semestinya mereka akan mencegah Muhammad dan beberapa orang Ahabisy yang datang dengan dia ke Mekah. Takut akan akibat kemarahannya itu, Uuraisy mencoba membujuknya kembali dan memintanya supaya menunda sampai dapat mereka pikirkan lebih lanjut.

 

Perutusan “Urwa ibn Mas’ud

 

Kemudian terpikir oleh mereka hendak mengutus orang yang bijaksana dan dapat mereka yakinkan kebijaksanaannya. Hal ini mereka bicarakan kepada “Urwa ibn Mas’ud ath-Thagafi. Menanggapi pendapat, nya mengenai sikap mereka yang keras dan memperlakukan tidak layak terhadap kepada utusan yang sebelumnya, mereka meminta maaf kepada ‘Urwa. Setelah mereka minta maaf dan sekaligus menegaskan bahwa mereka sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan yakin sekali akan kebijaksanaan dan pandangannya yang baik, ia pun berangkat menemui Muhammad dan dikatakannya bahwa Mekah juga tanah tumpah darah, nya yang harus dipertahankan. Kalau ini sampai dirusak, yang akan diderita oleh penduduk yang tinggal di tempat itu, yang terdiri dari rakyat jelata yang campur-aduk, kemudian dia ditinggalkan oleh rakyat jelata itu, maka yang akan mengalami kecemaran yang cukup parah adalah Quraisy, suatu hal yang oleh Muhammad juga tidak diinginkan, sekalipun antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.

 

Ketika itu Abu Bakr berkata kepada “Urwa dengan membantah keras, bahwa orang akan meninggalkan Rasulullah. “Urwa mengajaknya berbicara sambil memegang janggut Muhammad. Sedang Musghira bin Syu’ba yang berdiri di arah kepala Rasul memukul tangan ‘Urwa setiap ia memegang janggut Muhammad meskipun ia sadar bahwa sebelum ia masuk Islam, “Urwa pernah menebuskan tiga belas diat atas beberapa orang yang telah dibunuh oleh Mughira.

 

Sekarang ‘Urwa pulang kembali setelah ia mendapat keterangan dari Muhammad sama seperti yang juga diberikan kepada mereka yang datang sebelumnya, bahwa kedatangannya bukan hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan Rumah Suci, menunaikan kewajiban kepada Tuhan.

 

“Saudara-saudara”, katanya setelah ia berada kembali di tengahtengah masyarakat Quraisy. “Saya sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan Negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dengan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudu’, sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas. Begitu mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik.”

 

Utusan Muhammad kepada Quraisy

 

Pembicaraan seperti yang kita kemukakan itu berjalan lama juga. Terpikir oleh Muhammad, mungkin utusan-utusan Quraisy itu tidak berani menyampaikan pendapatnya yang akan dapat meyakinkan pihak Quraisy. Oleh karena itu dari pihaknya ia lalu mengutus orang menyampaikan pendapatnya itu. Akan tetapi di sini unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan itu hendak mereka bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah dan utusan itu dilepaskan. Ini menunjukkan, bahwa dengan tingkah-lakunya itu pihak Mekah memang sudah dikuasai oleh jiwa kebencian dan permusuhan, yang membuat pihak Muslimin gelisah tidak sabar lagi, sampai-sampai ada di antaranya yang sudah berpikir sampai ke soal perang.

 

Sementara mereka sedang berusaha hendak mencapai persetujuan dengan jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang tidak bertanggung jawab dari pihak Quraisy malam-malam keluar dan mereka im melempari kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka ini pada suatu ketika sampai empat puluh atau lima puluh orang, dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat Nabi. Tetapi mereka ini tertangkap basah lalu dibawa kepada Nabi. Tahukah kita apa yang dilakukannya? Mereka itu dimaafkan semua dan dilepaskan, sebagai suatu tanda ia ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan suci, jangan ada pertumpahan darah di Hudaibiya, yang juga termasuk daerah suci Mekah. Mengetahui hai ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud memerangi mereka, jadi gugur samasekali. Mereka yakin kini bahwa semua tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap Muhammad, oleh pihak Arab hanya akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad mempertahankan diri dengan segala kekuatan yang ada.

 

Kemudian Nabi “alaihissalam sekali lagi berusaha hendak menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Umar bin’l-Khattab dipanggil dan dimintainya menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy.

 

“Rasulullah”, kata Umar, “Saya kuatir Quraisy akan mengadakan tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah tidak ada pihak Banu “Adi b Ka’b yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam hal ini daripada saya yatu Usman b. “Affan.”

 

Nabi pun segera memanggil Usman b. “Affan — menantunya — dan diutusnya kepada Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Bila Usman berangkat membawa pesan itu, ketika memasuki Mekah terlebih dulu ia menemui Aban b. Sa’id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa tugas itu sampai selesainya. Sekarang Usman berangkat menemui pemimpin-pemimpin Quraisy itu dan menyampaikan pesannya. Tetapi kata mereka kepadanya:

 

“Usman, kalau engkau mau bertawaf di Ka’bah, bertawaflah.”

 

“Saya tidak akan melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf”, jawab Usman. “Kedatangan kami kemari hanya akan berziarah ke Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa binatang kurban, setelah disembelih kami pun akan kembali pulang dengan aman.”

 

Quraisy menjawab, bahwa mereka sudah bersumpah tahun inj Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan itu jadi lama, dan lama pula Usman menghilang dari Muslimin. Desas. desus segera timbul di kalangan mereka bahwa pihak Quraisy telah membunuhnya secara gelap dan dengan tipu-muslihat. Bolehjadi semen. tara itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan Usman sedang sama-sama mencari suatu rumusan jalan tengah antara sumpah mereka supaya Muhammad jangan datang ke Mekah tahun ini dengan kekerasan, dengan keinginan pihak Muslimin yang akan bertawaf di Ka’bah serta menunaikan kewajiban kepada Tuhan. Bolehjadi juga mereka sudah akrab kepada Usman dan dalam pada itu mereka sama-sama mencari suatu cara yang akan mengatur hubungan mereka dengan Muhammad dan hubungan Muhammad dengan mereka.

 

Ikrar Ridzwan

 

Akan tetapi bagaimanapun juga pihak Muslimin di Hudaibiya sudah gelisah sekali memikirkan nasib Usman. Terbayang oleh mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman dalam bulan suci. Semua agama orang Arab tidak membenarkan seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di sekitar Ka’bah atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang pula oleh mereka kelicikan Quraisy itu terhadap orang yang datang mengunjungi mereka membawa pesan perdamaian dan tidak saling menyerang. Oleh karena itu mereka lalu meletakkan tangan mereka di atas empu pedang masing-masing, suatu tanda mengancam, tanda kekerasan dan kemarahan. Juga Nabi a.s. sudah merasa kuatir bahwa Quraisy telah mengkhianati dan membunuh Usman dalam bulan suci itu. Lalu katanya:

 

“Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat menghadapi mereka.”

 

Dipanggilnya sahabat-sahabatnya sambil ia berdiri di bawah sebatang pohon dalam lembah itu. Mereka semua berikrar (berjanji setia) kepadanya untuk tidak akan beranjak sampai mati sekalipun. Mereka semua berikrar kepadanya dengan iman yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak mengadakan pembalasan terhadap pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka menyatakan ikrar kepadanya (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai’arr Ridzwan (Ikrar Ridzwan). Untuk itulah firman Tuhan ini turun:

 

“Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah mengetahui isi hati mereka, lalu diturunkan-Nya kepada mereka rasa ketenangan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat ini.”

 

Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu Nabi a.s. menepukkan sebelah tangannya pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar buat Usman seolah ia juga turut hadir dalam Ikrar Ridzwan itu. Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih tersalut dalam sarungnya itu seolah sudah turut guncang. Tampaknya bagi Muslimin perang itu pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal menunggu saat kemenangan atau gugur sebagai syahid dengan rela hati.

 

Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba tersiar pula berita bahwa Usman tidak terbunuh. Dan tidak lama kemudian disusul pula dengan kedatangan Usman sendiri ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu Ikrar Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya

 

dengan Ikrar “Agaba Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri senang sekali menyebutnya, sebab di sini terlihat adanya pertalian yang erat sekali antara dia dengan sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa benar keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut, tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan memperoleh kemenangan. Perutusan Quraisy kepada Muhammad

 

Usman kembali. Apa yang dikatakan Quraisy disampaikannya kepada Muhammad. Mereka sudah tidak ragu-ragu lagi bahwa kedatangannya dengan sahabat-sahabatnya itu hanya akan menunaikan ibadah haji. Mereka juga menyadari bahwa mereka tidak melarang siapa saja dari kalangan Arab yang akan datang berziarah dan melakukan umrah dalam bulan-bulan suci itu. Akan tetapi mereka sudah lebih dulu berangkat di bawah panji Khalid bin’I-Wahd dengan tujuan akan memerangi dan mencegahnya masuk ke Mekah. Dan memang sudah terjadi bentrokanbentrokan antara anak buah mereka dengan anak buah Muhammad. Kalau sesudah peristiwa itu mereka membiarkannya masuk ke Mekah, kalangan Arab akan bicara bahwa mereka sudah kalah menyerah kepadanya. Kedudukan dan kewibawaan mereka di mata orang-orang Arab itu akan jatuh. Oleh karena itu dengan maksud menjaga kewibawaan dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap bertahan pada pendirian dan sikap mereka itu. Baiklah ia juga memikirkan seperti mereka. Dia dan mereka, dengan sikapnya masing-masing. Begini ini pendiriannya dan begitu jalan keluar dari pendirian dan sikap masingmasing itu. Sebab kalau tidak, mau tidak mau tentu hanya jalan perang yang dapat ditempuh. Tetapi sebenarnya dalam bulan-bulan suci mereka udak mau, dari satu segi mereka menghormati kesucian agama, dan dari segi lain, bila bulan suci ini sekarang tidak dihormati dan terjadi peperangan, maka untuk hari depan orang-orang Arab itu sudah merasa tidak aman lagi datang ke Mekah atau ke pasaran kota itu, sebab kuatir bulan-bulan suci jtu akan dilanggar lagi. Ini suatu perkosaan terhadap perdagangan Mekah dan mata pencarian penduduk kota itu. Perundingan Kedua Belah Pihak

 

Pembicaraan diteruskan. Perundingan-perundingan antara kedua belah pihak sudah dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail b. “Amr dengan pesan:

 

“Datangitah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu “untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan.”

 

Sesampainya Suhail ke tempat Rasul, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya’ secara panjang lebar segera pula dibicarakan. Sekalisekali pembicaraan itu hampir saja terputus yang kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua belah pihak sama-sama ingin mencapai hasil. Pihak Muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan itu.

 

Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa masalah, sedang Nabi menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran. Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang mutlak kepada Nabi, kalau tidak karena iman mereka yang teguh kepadanya, niscaya hasil persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke Mekah atau sebaliknya.

 

Abu Bakr dan Umar Sampai pada akhir perundingan itu Umar bin’I-Khattab pergi menemui Abu Bakr dan terjadi percakapan berikut ini:

Umar: — Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?

Abu Bakr: — Ya, memang!

Umar: — Bukankah kita ini Muslimin? ‘

Abu Bakr: – Ya, memang!

Umar: — Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?

Abu Bakr: — Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia Rasulullah.

 

Setelah itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya pembicaraan itu kepada Muhammad dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir pembicaraannya dengan Umar itu ialah:

 

 

“Saya hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya takkan melanggar perintah. Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya.”

 

Perjanjian Hudaibiya (Maret 628)

 

Selain itu kesabaran Muhammad terlihat pula ketika terjadi penulisan isi persetujuan itu, yang membuat beberapa orang Muslimin jadi lebih kesal. Ia memanggil Ali b. Abi Talib dan katanya:

 

“Tulis: Bismillahir-Rahmanir-Rahim (Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang).”

 

“Stop!” kata Suhail. “Nama Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah: Bismmikallahuma (Dengan nama-Mu ya Allah).”

 

Kata Rasulullah pula:

 

“Yulislah: Atas nama-Mu ya Allah”. Lalu sambungnya lagi: “Tulis: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail b. “Arr.”

 

“Stop” sela Suhail lagi. “Kalau saya sudah mengakui engkau Rasulullah, tentu saya tidak memerangimu. Tapi tulislah namamu dan nama bapamu.”

 

Perjanjian Mulai Berlaku

 

Lalu Kata Rasulullah pula:

 

“Tulis: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad b. Abdullah.”

 

Dan selanjutnya perjanjian antara kedua belah pihak itu ditulis, bahwa kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun — menurut pendapat sebagian besar penulis sejarah Nabi — atau dua tahun menurut Al-Waqidi — bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan, bahwa barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan, bahwa untuk tahun ini Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Mekah, dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya, mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.

 

Begitu perjanjian ini ditanda-tangani, pihak Khuza’a segera bersekutu dengan Muhammad dan Banu Bakr bersekutu pula dengan Quraisy. Selanjutnya begitu perjanjian ini ditanda-tangani begitu pula Abu Jandal b. Suhail b. “Amr datang dan terus hendak menggabungkan diri dengan Muslimin, dan akan pergi bersama-sama pula. Tetapi Suhail sendiri melihat anaknya demikian dipukulnya mukanya dan direnggutnya di: tentang leher untuk kemudian dikembalikan kepada Quraisy. Dalam pada itu Abu Jandal sendiri berteriak sekuat-kuatnya:

 

“Saudara-saudara Muslimin. Saya akan dikembalikan kepada orangorang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini?!”

 

Dengan peristiwa itu kaum Muslimin makin gelisah, makin tidak senang mereka pada hasil perjanjian yang diadakan antara Rasul dengan Suhail. Tetapi Muhammad lalu mengarahkan kata-katanya kepada Abu Jandal:

 

“Abu Jandal, tabahkan hatimu. Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersama kau merupakan suatu jalan keluar. Kita sudah menanda-tangani persetujuan dengan golongan itu, dan ini sudah kita berikan kepada mereka dan mereka pun sudah pula memberikan kepada kita, dengan nama Allah. Kita tidak akan mengkhianati mereka.”

 

Sekarang Abu Jandal kembali kepada Quraisy, sesuai dengan isi persetujuan dan janji Nabi. Suhail juga lalu berangkat pulang ke Mekah.

 

Muhammad masih tinggal. Ia gelisah melihat keadaan orang-orang sekelilingnya. Kemudian ia sembahyang, dan keadaannya mulai tenang kembali. Ia berdiri, hewan korbannya mulai disembelih. ia duduk kembali, rambut kepalanya dicukur sebagai tanda umrah sudah dimulai. Hatinya sudah merasa tenang, merasa tenteram. Melihat Nabi melakukan tu, dan melihat ketenangannya pula, mereka pun bergegas pula menyembelih hewan dan mencukur rambut kepala — sebagian ada yang bercukur dan ada juga yang hanya memangkas (menggunting) rambut:

 

“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur rambut”, kata Muhammad.

 

Orang-orang jadi gelisah sambil bertanya:

 

“Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah?”

 

“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang bercukur rambut”, katanya lagi.

 

Orang-orang masih gelisah sambil bertanya:

 

“Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah?”

 

“Dan mereka yang berpangkas rambut”, katanya lagi.

 

“Rasulullah” kata setengah mereka lagi, “kenapa doa buat yang bercukur saja yang dinyatakan, bukan buat yang bergunting rambut?”

 

“Karena mereka sudah tidak ragu-ragu.”

 

Tidak ada jalan lain buat Muslimin mereka mesti kembali ke Medinah dengan harapan akan kembali ke Mekah tahun depan. Sebagian besar mereka itu membawa pikiran demikian ini dengan berat hati. Kalau tidak karena perintah Rasul, mereka takkan dapat menahan hati. Tiada biasanya mereka menerima kekalahan atau menyerah tanpa pertempuran. Karena iman mereka akan pertolongan Allah kepada Rasul dan agama, mereka tidak ragu-ragu lagi akan menyerbu Mekah, kalau saja Muhammad memerintahkan yang demikian itu.

 

Mereka tinggal di Hudaibiya selama beberapa hari lagi. Ada mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah perjanjian yang dibuat oleh Nabi itu: ada pula yang dalam hati kecilnya masih menyangsikan adanya hikmah demikian itu.

 

Akhirnya mereka berangkat pulang.

 

Sementara mereka di tengah perjalanan antara Mekah dengan Medinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi dengan Surah al-Fat-h. Firman Tuhan itu pun oleh Nabi kemudian dibacakannya kepada sahabatsahabat:

 

“Kami telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata, supaya Tuhan mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, dan Tuhan akan mencukupkan karuniaNya kepadamu serta membimbing engkau ke jalan yang lurus.”’ Dan seterusnya sampai pada gkhir Surah. Hudaibiya: Suatu Kemenangan yang Nyata

 

Tidak sangsi lagi kalau begitu bahwa Perjanjian Hudaibiya ini adalah suatu kemenangan yang nyata sekali. Dan memang demikianlah adanya. Sejarah pun mencatat, bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa depan Islam dan masa depan orang-orang Arab itu semua. Ini adalah yang pertama kali pihak Quraisy mengakui Muhammad, bukan sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah. Dan sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam itu. Kemudian juga suatu pengakuan bahwa Muslimin pun berhak berziarah ke Ka’bah serta melakukan upacara-upacara ibadah haji, suatu pengakuan pula dari mereka, bahwa Islam adalah agama yang sah diakui salah satu agama di jazirah itu. Selanjutnya gencatan senjata yang selama dua tahun atau sepuluh tahun membuat pihak Muslimin merasa lebih aman dari jurusan selatan tidak kuatir akan mendapat serangan Quraisy, yang juga berarti jalan buat Islam untuk lebih tersebar lagi. Bukankah orang-orang Quraisy yang merupakan musuh Islam paling gigih dan lawan berperang yang paling keras itu sekarang sudah tunduk, sedang sebelum itu mereka samasekali tidak pernah akan mau tunduk?

 

Kenyataannya setelah persetujuan perletakan senjata itu Islam memang tersebar luas, berlipat ganda lebih cepat daripada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiya ketika itu sebanyak 1400 orang. Tetapi dua tahun kemudian, tatkala Muhammad hendak membuka Mekah jumlah mereka yang datang sudah sepuluh ribu orang. Mereka yang masih menyangsikan hikmah perjanjian Hudaibiya ini, yang sangat keberatan ialah adanya sebuah klausul dalam perjanjian itu yang menyebutkan, bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy tidak akan dikembalikan kepada Muhammad. Tanggapan Muhammad dalam hal ini ialah apabila ada orang yang murtad dari Islam dan minta perlindungan Quraisy, orang semacam ini tidak perlu lagi kembali kepada jamaah Muslimin, dan siapa-siapa yang masuk Islam dan berusaha menggabungkan diri dengan Muhammad mudah-mudahan Tuhan akan membukakan jalan ke luar.

 

Cerita Abu Bashir

 

Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah itu memang membuktikan kebenaran pendapat Muhammad bahkan lebih cepat dari yang diduga sahabat-sahabatnya. Juga ini menunjukkan, bahwa dengan persetujuan Hudaibiya itu Islam telah memperoleh keuntungan besar yang luar biasa, dan dua bulan kemudian sesudah itu telah pula membukakan jalan buat Muhammad memulai mengirimkan surat-surat kepada raja-raja dan kepala-kepala negara asing mengajak mereka masuk Islam.

 

Peristiwa-peristiwa yang terjadi itu memang membuktikan kebenaran pendapat Muhammad lebih cepat dari yang diduga sahabat-sahabatnya. Abu Bashir! telah datang dari Mekah ke Medinah sebagai seorang Muslim. Sesuai dengan isi persetujuan ia mesti dikembalikan kepada Quraisy sebab ia pergi tidak seizin tuannya. Untuk itu maka Azhar b. “Auf dan Akhnas b. Syarig berkirim surat kepada Nabi supaya orang itu dikembalikan. Surat-surat itu dibawa oleh seorang laki-laki dari Banu “Amir yang datang bersama seorang budak.

 

“Abu Bashir”, kata Nabi, “Kita telah membuat perjanjian dengan pihak mereka. seperti sudah kauketahui. Suatu pengkhianatan menurut agama kita tidak dibenarkan. Semoga Allah membuat engkau dan orangorang Islam yang ditindas bersama kau merupakan suatu kelapangan dan jalan ke luar. Berangkat sajalah engkau kembali ke dalam lingkungan masyarakatmu.”

 

“Rasulullah”, kata Abu Bashir. “Saya akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini.”

 

Lalu Nabi mengulangi kata-kata tadi. Dan kedua orang itu pun berangkat.

 

Sesampainya di Dhu’l-Hulaifa dimintanya kepada kawan seperjalanannya dari Banu “Amir itu supaya memperlihatkan pedangnya. Setelah digenggamnya erat-erat pedang itu di tangannya, diayunkannya kepada orang dari Banu “Amir itu dan dibunuhnya orang itu. Sekarang sang budak lari ke jurusan Medinah, langsung menemui Nabi.

 

“Orang ini tampaknya dalam ketakutan”, kata Nabi setelah melihat orang itu. Lalu katanya kepada orang tersebut, “He! Ada apa?”

 

“Teman tuan membunuh teman saya”, kata orang itu.

 

Tidak lama kemudian Abu Bashir muncul dengan membawa pedang terhunus dan berkata dengan menujukan kata-katanya kepada Muhammad.

 

“Rasulullah”, katanya. “Jaminan tuan sudah terpenuhi, dan Tuhan sudah melaksanakan buat tuan. Tuan menyerahkan saya ke tangan mereka dan dengan agama saya itu saya tetap bertahan, supaya jangan Saya dianiaya atau dipermainkan karena keyakinan agama saya itu.”

 

Sebenarnya Rasul tidak dapat menyembunyikan kekagumannya dan harapannya sekiranya dia punya anak buah.

 

Sesudah itu Abu Bashir berangkat juga. Ia berhenti di Al-Ish, dj pantai laut sepanjang jalur Quraisy ke Syam. Dalam perjanjian Muhammad dengan Quraisy ialah membiarkan jalan ini sebagai lalu-lintas perdagangan, yang tidak boleh diganggu olehnya atau oleh Quraisy, Tetapi setelah Abu Bashir pergi ke daerah itu dan hal ini didengar oleh umat Muslimin yang tinggal di Mekah serta tentang kekaguman Rasul kepadanya, sebanyak kira-kira tujuh puluh laki-laki dari mereka ini lari pula menemuinya dan menggabungkan diri di tempat tersebut, lalu dijadikannya dia sebagai pemimpin mereka. Sekarang mereka bersama, sama mencegat Quraisy dalam perjalanan itu. Setiap orang yang berhasil mereka tangkap, mereka bunuh dan setiap ada kafilah dagang tentu mereka rampas. Ketika itulah Quraisy menyadari bahwa hal ini merupakan suatu kerugian besar buat mereka, apabila kaum Muslimin itu masih tetap tinggal di Mekah. Mereka memperhitungkan, bahwa usaha mengurung orang yang benar-benar teguh imannya, lebih berbahaya daripada membebaskannya. Tentu ia akan mencari kesempatan lari. Ia akan melancarkan perang yang tak berkesudahan terhadap mereka yang mengurungnya, dan mereka juga yang akan rugi. Seolah teringat oleh Quraisy ketika Muhammad hijrah ke Medinah. Ia mencegat perjalanan kafilah mereka. Perbuatan semacam itu mereka kuatirkan akan diulangi oleh Abu Bashir.

 

Sehubungan dengan inilah mereka lalu mengutus orang kepada Nabi. Dimintanya supaya ia mau menampung orang-orang Islam itu, dan supaya membiarkan jalan lalu-lintas itu kembali aman. Dengan demikian Quraisy telah mundur setapak dari apa yang secara gigih disyaratkan oleh Suhail b. “Amr bahwa Muslimin Quraisy yang pergi menyeberang kepada Muhammad tidak seizin walinya harus dikembalikan ke Mekah. Dengan sendirinya syarat itu jadi gugur, yang dulu pernah membuat Umar bin’lKhattab jadi gusar karenanya dan yang telah menyebabkan dia jadi marahmarah kepada Abu Bakr.

 

Wanita-wanita Muslimat yang Hijrah

 

Selanjutnya Muhammad telah menampung sahabat-sahabatnya itu dan jalan ke Syam itu pun kembali jadi aman.

 

Terhadap wanita-wanita Quraisy yang turut hijrah ke Medinah, Muhammad mempunyai pendapat lain lagi.

 

Setelah ada persetujuan gencatan senjata itu Umm Kulthum bt. “Ugba p. Mu’ait keluar dari Mekah. Saudaranya, “Umara dan Walid, yang kemudian menyusul, menuntut kepada Rasulullah supaya wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiya. Akan tetapi Nabi menolak. Ia berpendapat, bahwa menurut hukum, kaum wanita tidak termasuk dalam persetujuan itu. Apabila ada wanita yang minta perlindungan, maka harus dilindungi. Di samping itu, bilamana wanita itu sudah masuk Islam, maka suaminya yang masih musyrik sudah tidak sah lagi. Mereka harus berpisah. Dalam hal inilah firman Tuhan datang:

 

“Orang-orang yang beriman. Apabila wanita-wanita yang beriman itu datang hijrah kepada kamu hendaklah mereka itu kamu uji. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Bila kamu juga sudah mengetahui, bahwa mereka memang wanita-wanita yang beriman, jangan hendaknya mereka dikembalikan kepada orang-orang yang kafir. Mereka tidak halal buat (menjadi istri) orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itu pun tidak halal buat (menjadi suami) mereka. Dan bayarkanlah kepada (Suami-suami) mereka apa yang sudah mereka nafkahkan. Tiada salahnya kamu menikah dengan mereka itu kalau sudah kamu bayarkan maharnya. Dan janganlah kamu bertahan pada perkawinan wanita-wanita kafir, dan mintalah apa yang telah kamu nafkahkan, begitu pun biarlah mereka juga minta apa yang telah mereka nafkahkan. Demikian itulah Dia memberikan keputusan antara sesama kamu. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”

 

Sekali lagi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi itu membuktikan kebenaran kebijaksanaan Muhammad. Membenarkan pandangannya yang jauh serta politiknya yang tepat sekali. Selanjutnya membuktikan pula, bahwa ketika ia membuat Perjanjian Hudaibiya itu ia telah meletakkan dasar yang kukuh sekali dalam kebijaksanaan politik dan penyebaran Islam. Dan inilah kemenangan yang nyata itu.

 

Apa yang Dilakukan Muhammad

 

Dengan adanya Perjanjian Hudaibiya ini segala hubungan antara Quraisy dengan Muhammad telah menjadi tenang sekali. Masing-masing pihak sudah merasa aman pula. Sekarang Quraisy semua mencurahkan perhatiannya pada perluasan perdagangannya, dengan harapan kalau-kalau semua kerugian yang dialaminya selama perang antara Muslimin dengan Quraisy itu dapat ditarik kembali, demikian juga ketika jalan ke Syam itu tertutup perdagangannya terancam akan mengalami kehancuran.

 

Sebaliknya Muhammad, ia mencurahkan perhatiannya pada soal kelanjutan menyampaikan ajarannya kepada seluruh umat Manusia  segenap pelosok dunia. Pandangannya diarahkan dalam langkah mencapai sukses untuk ketenteraman umat Muslimin di seluruh jazirah. Bidan itulah yang dilakukannya dengan mengirimkan utusan-utusan kepada raja-raja pada beberapa negara, di samping mengosongkan Orang-orang Yahudi dari seluruh jazirah Arab, yang semuanya itu selesai samasekali, sesudah perang Khaibar.

 

Kematangan Ajaran Islam — Larangan Khamr (Minuman Keras) – Kerajaan Rumawi dan Persia – Utusan Muhammad kepada Raja-raja dan Para Penguasa – Persia dan Bizantium — Islam: Keseimbangan Rohani dan Jasmani – Penumpasan Terakhir Yahudi Seluruh Jazirah – Rencana Yahudi – Kekuatan Kedua Belah Pihak – Benteng-benteng Khaibar Dikepung — Pihak Yahudi Mati-matian –

Sebabnya Yahudi Futus Asa – Perdamaian Khaibar – Yahudi Fadak – Menyerahnya Wadi’l-Oura – Tunduk kepada Kekuasaan Muslimin —Perkawinan Shafia dengan Muhammad -Utusan Nabi kepada Heraklius – Jawaban Heraklius — Kisra dan Surat Nabi — Jawaban Mugaugis — Jawaban Najasyi – Apa Sebab Kebanyakan Jawaban itu Lemah-lembut? — Muslimin Kembali dari Abisinia – Menantikan Umrah Pengganti

 

MUHAMMAD dan kaum Muslimin kembali lagi dari Hudaibiya menuju Medinah, setelah tiga minggu persetujuan antara mereka dengan Quraisy itu selesai — yaitu persetujuan yang menyatakan bahwa untuk tahun ini mereka tidak akan masuk Mekah, dan baru tahun berikutnya mereka boleh masuk. Mereka kembali dengan membawa suatu perasaan dalam hati. Ada sebagian mereka yang masih beranggapan bahwa isi persetujuan itu tidak sesuai dengan harga diri kaum Muslimin, sampai akhirnya datang Surah al-Fath sementara mereka sedang dalam perjalanan itu dan Nabi pun telah pula membacakannya kepada mereka. Sekarang yang menjadi pikiran Muhammad selama tinggal di Hudaibiya dan setelah kembali pulang, ialah apa yang harus dilakukannya dalam menambah ketabahan hati sahabat-sahabatnya di samping memperluas penyebaran dakwah. Akhirnya ia berpendapat akan mengutus orang-orang kepada Heraklius, Kisra, Mugaugis,’ Najasyi (Negus) di Abisinia, kepada Harith al-Ghassani dan kepada penguasa Kisra di Yaman. Bersamaan dengan itu dianggap perlu sekali menumpas samasekali kekuasaan Yahudi dari seluruh jazirah Arab.

 

Kematangan Ajaran Islam

 

Pada waktu itu ajaran Islam sebenarnya sudah mencapai kematangan, nya, schingga ia menjadi suatu agama untuk seluruh umat manusia, yang tidak lagi terbatas hanya pada masalah tauhid serta segala konsekwensinya Seperti dalam masalah-masalah ibadat, tetapi juga sudah meluas dan meliputi segala macam kehidupan sosial. Hal ini sesuai dengan kebesaran konsep tauhid itu dan membuat pembawanya dapat mencapai kematangan hidup insani serta terlaksananya cita-cita hidup yang lebih tinggi. Oleh karena itu turunlah peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah-masalah kemasyarakatan.

 

Larangan Khamr (Minuman Keras)

 

Penulis-penulis riwayat hidup Nabi berbeda pendapat mengenai kapan diturunkannya larangan khamr (minuman keras). Ada yang mengatakan dalam tahun keempat Hijrah. Tetapi sebagian besar mengatakan dalam masa Hudaibiya. Idea larangan khamr ini sosial sifatnya, yang tak ada hubungannya dengan tauhid dari segi tauhid an sich. Bukti yang lebih jelas dalam hal ini ialah, bahwa larangan itu disebutkan dalam Quran baru sekitar dua puluh tahun kemudian setelah kerasulan Nabi, dan selama itu pula Muslimin tetap minum khamr sampai datangnya larangan. Dan bukti yang lebih jelas lagi dalam hal ini ialah, bahwa larangan itu tidak sekaligus turunnya, melainkan berangsur-angsur sehingga kaum Muslimin dapat mengurangi kebiasaan itu sedikit demi sedikit. Bilamana larangan itu kemudian datang, maka mereka pun berhenti minum. Dalam suatu sumber tentang Umar bin’I-Khattab disebutkan, bahwa ketika ia bertanya tentang khamr itu ia berkata: “Ya Allah, berikanlah penjelasannya kepada kami.” Lalu turun ayat ini:

 

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, dalam keduanya itu terdapat dosa besar dan juga banyak manfaatnya buat manusia, tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya.”

 

Oleh karena sesudah turunnya ayat ini kaum Muslimin belum juga mau berhenti, bahkan dari mereka ada yang sepanjang malam minum sampai berlimpah-limpah, sehingga bila mereka pergi sembahyang sudah tidak tahu lagi apa yang mereka baca, kembali lagi Umar berkata: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami hukum khamr itu, sebab ini menyesatkan pikiran dan harta”, maka turun ayat ini:

 

“Orang-orang yang beriman. Janganlah kamu melakukan sembahyang sementara kamu dalam keadaan mabuk supaya kamu ketahui apa yang kamu baca.”

 

Pada waktu itu muazzin Rasul pada waktu sembahyang berseru:

 

“Orang yang mabuk jangan ikut sembahyang!”

 

Sekalipun yang demikian ini membawa akibat berkurangnya minuman itu dan dari segi ini pula pengaruhnya cukup besar, sehingga sudah banyak dari mereka itu yang mengurangi minuman khamr sedapat mungkin, namun beberapa waktu kemudian kembali Umar berkata lagi:

 

“Ya Allah, jelaskanlah kepada kami hukum khamr itu, jelaskan dengan tegas, sebab ini menyesatkan pikiran dan harta.” Sebenarnya tepat sekali Umar berkata begitu, mengingat orang-orang Arab — termasuk juga kaum Musliminnya — dengan minuman demikian itu mereka jadi kacau, saling bertengkar, saling menarik janggut dan saling memukul kepala satu sama lain.

 

Pernah ada orang dari kalangan mereka itu mengadakan pesta makan minum. Setelah mereka dalam keadaan mabuk, pihak Muhajirin dan Anshar mulai saling adu mulut. Yang satu menunjukkan sikap fanatiknya kepada Muhajirin sedang yang fanatik kepada Anshar mengambil sebatang tulang kepala unta yang mereka makan lalu dipukulkan ke hidung salah seorang Muhajirin. Ada lagi dua kelompok suku sedang mabukmabuk. Mereka saling bertengkar, lalu saling bertikaman. Di antara mereka timbul rasa benci-membenci, sedang sebelum itu hubungan mereka hidup rukun dan saling cinta-mencintai. Ketika itulah firman Tuhan ini turun:

 

“Orang-orang yang beriman! Bahwasanya khamr, perjudian, berhala, mengadu nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Hindarilah itu supaya kamu beruntung. Tentu setan bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di kalangan kamu dengan jalan khamr dan perjudian itu, merintangi kamu dari mengingat Allah dan dari sembahyang. Maka maukah kamu menghentikan itu?”

 

Ketika ada pelarangan khamr, waktu itu Anas yang bertugas sebagai pelayan. Setelah didengarnya ada orang yang menyerukan bahwa minuman itu dilarang, cepat-cepat cairan itu dibuangnya. Tetapi ada orang-orang yang bagi mereka soal larangan ini belum jelas, mereka berkata: mungkinkah khamr itu keji padahal sudah di perut si anu dan si pulan, yang sudah terbunuh dalam perang Uhud, juga dalam perut si anu dan si anu yang terbunuh dalam perang Badr? Maka firman Tuhan ini turun:

 

“Tiada berdosa orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik, karena makanan yang telah mereka makan dahulu, asal saja mereka tetap memelihara diri dari kejahatan, letap beriman dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik. Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman kemudian bertakwa dan berbuat kebaikan. Tuhan menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”’

 

Segala perbuatan baik dan kasih-sayang yang dianjurkan Islam, mengajak orang selalu melakukan amal kebaikan, latihan jiwa dan watak yang terdapat dalam ibadat, funksi ruku’ dan sujud dalam sembahyang yang telah menghapuskan kecongkakan hati, semua itu merupakan pelengkapan yang wajar terhadap agama-agama yang sebelumnya dan yang menyebabkan ajaran itu tertuju kepada semua umat manusia.

 

Kerajaan Rumawi dan Persia

 

Pada waktu itu Heraklius dan Kisra masing-masing sebagai kepala kerajaan Rumawi dan Persia, dua buah kerajaan yang terkuat pada zamannya — merupakan dua orang yang telah menentukan jalannya politik dunia serta nasib seluruh penduduknya. Perang antara dua kerajaan ini berkecamuk dengan kemenangan yang selalu silih berganti seperti yang sudah kita lihat. Pada mulanya Persia adalah pihak yang menang. Ia menguasai Palestina dan Mesir, menaklukkan Bait’l-Magdis (Yerusalem) dan berhasil membawa Salib Besar (The True Cross). Kemudian giliran Persia mengalami kekalahan lagi. Panji-panji Bizantium kembali berkibar lagi di Mesir, di Suria dan di Palestina, dan Heraklius berhasil mengembalikan salib itu — setelah ia bernazar — bahwa kalau ia telah mencapai kemenangan, ia akan berziarah kYerusalem dengan berjalan kaki dan mengembalikan salib ke tempatnya.

 

Kalau saja orang ingat akan kedudukan kedua kerajaan itu, orang akan dapat mengira-ngirakan betapa besarnya dua nama itu telah dapat menimbulkan kegentaran dan ketakutan dalam hati. Tiada sebuah kerajaan pun yang pernah berpikir hendak melawannya. Yang terlintas dalam pikiran orang ialah hendak membina persahabatan dengan kedua kerajaan itu. Kalau kerajaan-kerajaan dunia yang terkenal pada waktu itu sudah begitu semua keadaannya, maka tidak aneh bila negeri-negeri Arab itu pun akan demikian pula. Yaman dan Irak waktu itu di bawah pengaruh Persia, sedang Mesir sampai ke Syam di bawah pengaruh Heraklius. Pada waktu itu Hijaz dan seluruh semenanjung jazirah terkurung dalam lingkaran pengaruh kedua kemaharajaan itu. Kehidupan orang Arab pada masa itu hanya tergantung pada soal perdagangan dengan Yaman dan Syam. Dalam hal ini perlu sekali mereka mengambil hati Kisra dan Heraklius supaya kekuasaan kedua kerajaan itu jangan sampai merusak perdagangan mereka. Di samping itu kehidupan orang-orang Arab itu tidak lebih daripada kabilah-kabilah, yang dalam bermusuhan, kadang keras, kadang lunak. Tak ada sesuatu ikatan di antara mereka yang akan merupakan suatu kesatuan politik, yang akan dapat mereka pikirkar/ dalam menghadapi pengaruh kedua kerajaan raksasa itu.

 

Oleh karena itu mengherankan sekali jika pada waktu itu Muhammad berpikir hendak mengirimkan utusan-utusannya kepada kedua penguasa besar itu — juga kepada Ghassan. Yaman, Mesir dan Abisinia. Diajaknya mereka itu menganut agamanya, tanpa ia merasa kuatir akan segala akibat yang mungkin timbul karena tindakannya itu, dan yang mungkin juga akan dapat membawa seluruh negeri Arab itu tunduk di bawah cengkraman Persia dan Bizantium.

 

Utusan Muhammad kepada Raja-raja dan Para Penguasa

 

Akan tetapi kenyataannya Muhammad tidak “ragu-ragu mengajak semua raja-raja itu menganut agama yang benar. Bahkan pada suatu hari ia pergi menemui sahabat-sahabatnya dan berkata:

 

“Saudara-saudara, Tuhan mengutus saya sebagai rahmat kepada seluruh umat manusia. Janganlah saudara-saudara berselisih pendapat tentang saya, seperti kaum Hawariyun (pengikut-pengikut Almasih) tentang Isa anak Mariam.”

 

“Rasulullah”, kata sahabat-sahabatnya. “Bagaimana pengikutpengikut Isa itu berselisih pendapat?”

 

“Ia mengajak mereka kepada apa yang seperti saya ajak saudarasaudara. Orang yang diutusnya ke tempat yang dekat, orang itu menerima dan dengan senang hati. Tetapi orang yang diutusnya ke tempat yang jauh, muka orang itu terpaksa dan segan-segan.”

 

Kemudian dikatakannya kepada mereka bahwa ia akan mengutus Orang-orang kepada MHeraklius, kepada Kisra, Mugaugis, Harith alGhassani raja Hira, Harith al-Hiryari raja Yaman dan kepada Najasyi di Abisinia. Akan diajaknya mereka itu masuk Islam. Sahabat-sahabatnya menyatakan mereka bersedia melakukan itu. Lalu dibuatnya sebentuk cincin dari perak tertuliskan: “Muhammad Rasulullah”.

 

Isi surat-surat yang dikirimkan itu seperti contoh yang kita kemukakan kepada pembaca, yaitu suratnya kepada Heraklius yang berbunyi:

 

“Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah kepada Heraklius pembesar Rumawi. Salam sejahtera kepada orang yang sudi mengikut petunjuk yang benar.

 

Kemudian daripada itu. Dengan ini saya mengajak tuan menuruti ajaran Islam. Terimalah ajaran Islam, tuan akan selamat. Tuhan akan memberi pahala dua kali kepada tuan. Kalau tuan mengelak, maka dosa orang-orang arisiyin’ menjadi tanggung jawab tuan. Wahai orang-orang Ahli Kitab. Marilah sama-sama kita berpegang pada kata yang sama antara kami dan kamu yakni bahwa tak ada yang kita sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, bahwa yang satu takkan mengambil yang lain menjadi tuhan selain Allah. Tetapi kalau mereka mengelak juga, katakanlah kepada mereka, saksikanlah bahwa kami ini orang-orang Islam.”

 

Surat kepada Heraklius itu kemudian dibawa oleh Dihya b. Khalifa, surat kepada Kisra dibawa oleh Abdullah b. Hudhafa, surat kepada Najasyi oleh “Amr b. Umayya, surat kepada Mugaugis oleh Hatib b. Abi Balta’a, surat kepada penguasa Oman oleh “Amr bin’I“Ash, surat kepada penguasa Yamama oleh Salit b. “Amr, surat kepada raja Bahrain oleh Al“Ala bin’I-Hadzrami, surat kepada Harith al-Ghassani, raja perbatasan Syam, oleh Syuja’ b. Wahb, surat kepada Harith al-Himyari, raja Yaman, oleh Muhajir b. Umayya. “

 

Mereka semua berangkat masing-masing menuju ke tempat yang telah ditugaskan oleh Nabi. Mereka berangkat dalam waktu yang bersamaan menurut pendapat sebagian besar penulis-penulis sejarah, sebagian lagi berpendapat mereka berangkat dalam waktu berlain-lainan.

 

Persia dan Bizantium

 

Tindakan Muhammad mengirim utusan-utusan itu memang luar biasa sekali menakjubkan. Betapa tidak! Belum selang tiga puluh tahun sesudah itu daerah-daerah tempat Muhammad mengirim utusan-utusannya itu telah dimasuki oleh kaum Muslimin dan sebagian besar mereka telah beragama Islam. Akan tetapi ketakjuban akan segera hilang bila kita ingat, bahwa kedua imperium raksasa ini, yang telah mengemudikan jalannya dunia masa itu, dengan peradabannya yang telah menguasai seluruh dunia, mereka ini saling memperebutkan kemenangan materi, sementara kekuatan rohani keduanya sudah rontok dan hilang. Persia sendiri sudah terbagi antara paganisma dan Mazdaisma. Demikian juga agama Kristen di Bizantium sudah goyah sekali karena adanya pelbagai macam aliran sekta dan golongan: Ia sudah tidak lagi merupakan suatu ajaran yang utuh, yang dapat menggerakkan dan memberi tenaga hidup ke dalam jiwa manusia. Malahan ia sudah berbalik menjadi sekadar upacaraupacara serta tradisi yang dielu-elukan oleh pemuka-pemuka agama ke dalam pikiran orang-orang awam supaya dapat mereka itu dikuasai dan diperkuda. Sedang ajaran baru yang dibawa oleh Muhammad dasarnya adalah kekuatan rohani yang murni. Ia dapat mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan sifat kemanusiaannya. Apabila materi dan rohani itu bertemu, kepentingan yang bersifat sementara bertentangan dengan yang abadi sifatnya, maka segala materi dan yang bersifat sementara itu akan kalah adanya.

 

Di samping semua itu, baik Persia maupun Bizantium, dengan besarnya kekuasaan yang ada pada mereka, sebenarnya mereka sudah sama-sama kehilangan tenaga inisiatif dan kreatifnya. Dalam bidang pemikiran, dalam mengembangkan selera dan bekerja mereka hanya sekadar meniru dan meneruskan yang ada. Segala macam pembaruan dianggap bid’ah (menyimpang dari agama) dan setiap penyimpangan adalah sesat.

 

Masyarakat manusia seperti pribadi manusia dan seperti setiap makhluk hidup juga, ia selalu berkembang setiap hari. Kalau ia masih muda belia, maka perkembangannya bersifat membentuk, membangun dan menambah vitalitas dalam hidupnya sendiri. Dengan demikian, hidupnya itu akan menyusut terus-menerus, ia akan meluncur turun sampai ke dasarnya yang terakhir. Masyarakat manusia yang sudah meluncur turun sampai ke dasarnya itu, nasibnya akan dibentuk dalam bentuk yang baru samasekali oleh unsur dari luar dengan segala kesemarakan hidupnya. Unsur dari luar yang penuh dengan tenaga hidup yang bersemarak itu, di samping Persia dan Bizantium, adanya bukan di bilangan Tiongkok atau India, juga bukan di tengah-tengah Eropa, melainkan unsur itu ialah Muhammad sendiri.

 

Islam: Keseimbangan Rohani dan Jasmani

 

Sudah wajar sekali bila ajarannya yang segar bersemarak itu akan dapat mengembalikan denyutan hidup baru yang penuh vitalitas ke dalam jiwa yang sedang mengalami kehancuran dari dalam itu, yang disebabkan oleh pengaruh tradisi agama dan takhayul, yang sudah hidup berakar menggantikan kedudukan iman dan akidah. Kerdip iman baru yang telah menyinari kalbu Rasul itu, kekuatan jiwanya yang sudah melampaui segala kekuatan, itulah yang memberikan ilham kepadanya untuk mengirim utusan-utusan mengajak pembesar-pembesar dunia itu mengenal ajaran Islam, sebagai agama yang benar, agama yang sempurna, agama Allah Yang Maha Agung. Mengajak mereka mengenal agama yang akan membebaskan pikiran manusia supaya dapat menilai, akan membebaskan jantung orang supaya dapat menyadari, dapat berpikir. Dalam sistem hidup berakidah dan bermasyarakat, ia telah meletakkan kaidah-kaidah umum buat manusia yang akan merupakan keseimbangan antara kemampuan rohani dengan kekuatan materi yang akan dapat menguasai jiwa. Dengan jalan keseimbangan itu manusia akan dapat mencapai tujuan berupa kekuatan dalam menghadapi hidup, suatu kekuatan yang bersih dari segala kelemahan dan kecongkakan hati. Dengan sistem masyarakat demikian itu manusia akan sampai ke tempat yang lebih baik seperti yang diharapkan, setelah ia melalui pelbagai macam proses evolusinya di tengah-tengah semua makhluk alam ini.

 

Penumpasan Terakhir Yahudi Seluruh Jazirah

 

Adakah Muhammad akan mengirim utusan-utusannya kepada rajaraja itu kalau ia masih kuatir akan adanya pengkhianatan pihak Yahudi yang tinggal di sebelah utara Medinah? Memang dia sudah membuat perjanjian Hudaibiya. Dari pihak Quraisy sudah aman, dari sebelah selatan juga sudah aman. Tetapi dari sebelah utara ia tidak akan merasa aman sekiranya nanti Heraklius atau Kisra datang meminta bantuan Yahudi Khaibar, atau juga dendam lama dalam hati mereka itu akan bangkit kembali, akan mengingatkan mereka kepada Banu Quraiza, Banu Nadzir dan Banu Qainuqa, saudara-saudara mereka seagama. Perkampungan mereka oleh Muhammad telah dikosongkan setelah dikepung dan terjadi pertempuran serta pertumpahan darah. Orang-orang Yahudi memusuhinya lebih sengit lagi daripada Quraisy, sebab mereka lebih bertahan dengan agama mereka itu daripada Quraisy. Juga di kalangan mereka orang cerdik pandai lebih banyak daripada di kalangan Quraisy. Memang tidak mudah mengadakan perjanjian perdamaian dengan mereka seperti perdamaian Hudaibiya, juga ia tidak akan merasg tenang terhadap mereka melihat permusuhan yang terjadi dahulu, mereka sebagai pihak yang tidak pernah menang. Wajar sekali mereka akan mengadakan pembalasan bila saja mereka mendapatkan bala bantuan dari pihak Heraklius. Jadi kalau begitu kekuasaan orang-orang Yahudi itu harus juga ditumpas sampai habis, sehingga samasekali mereka tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan di negeri-negeri Arab. Dan hal ini harus cepat-cepat dilaksanakan, sebelum ada waktu yang cukup terluang buat mereka guna meminta bantuan pihak Ghatafan atau kabilah-kabilah lain yang membantu mereka dan sedang memusuhi Muhammad.

 

Yang demikian inilah yang harus dilakukan.

 

Sekembalinya dari Hudaibiya — menurut sebuah sumber ia hanya tinggal lima belas malam, sumber lain menyatakan satu bulan. Disuruhnya supaya orang bersiap-siap untuk menyerbu Khaibar, dengan syarat hanya mereka yang ikut ke Hudaibiya saja yang boleh menyerbu, juga harus sukarela tanpa ada rampasan perang yang akan dibagikan.

 

Sebanyak seribu enam ratus orang dengan seratus kavaleri Muslimin itu sekarang berangkat lagi. Mereka semua percaya akan adanya pertolongan Tuhan, mereka masih ingat akan firman Tuhan dalam Surah alFath yang turun semasa Hudaibiya.

 

“Orang-orang yang tinggal di belakang itu akan berkata ketika kamu berangkat mengambil harta rampasan perang: Biarlah kami turut bersamasama kamu. Mereka hendak mengubah perintah Tuhan. Katakanlah: Kamu tidak akan turut bersama-sama kami. Begitulah Allah telah menyatakan sejak dulu. Nanti mereka akan berkata lagi: Tetapi kamu dengki kepada kami. Tidak. Mereka yang mengerti hanya sedikit saja.”

 

Jarak antara Khaibar dengan Medinah itu mereka tempuh dalam waktu tiga hari. Dengan tiada mereka rasakan ternyata malamnya mereka telah berada di depan perbentengan Khaibar. Keesokan harinya bila pekerja-pekerja Khaibar berangkat kerja ke ladang-ladang dengan membawa sekop dan keranjang, setelah melihat pasukan Muslimin, mereka berlarian sambil berteriak-teriak:

 

“Muhammad dengan pasukannya!”

 

Ketika mendengar suara mereka itu Rasul berkata:

 

“Khaibar binasa. Apabila kami sampai di halaman golongan ini, maka Pagi itu amat buruk buat mereka yang telah diberi peringatan itu.”

 

Rencana Yahudi

 

Akan tetapi Yahudi Khaibar memang sudah menanti-nantikan Muhammad akan menyerang mereka. Mereka ingin mencari jalan membebaskan diri. Sebagian mereka ini ada yang menyarankan supaya cepat-cepat dibentuk sebuah blok, yang terdiri dari mereka dan Yahudi Wadi’l-Qura dan Taima’ yang akan langsung menyerbu Yathrib (Medinah) tanpa menggantungkan diri kepada kabilah-kabilah Arab yang lain. Sedang yang sebagian lagi berpendapat supaya masuk saja bersekutu dengan Rasul, kalau-kalau kebencian terhadap mereka dapat terhapus dari hati kaum Muslimin — terutama dari pihak Anshar — setelah dalam kenyataan Huyayy b. Akhtab dan segolongan Yahudi lainnya terlibat dalam usaha menghasut kabilah-kabilah Arab untuk menyerang Medinah dan secara kekerasan mengadakan perang Parit. Akan tetapi semangat kedua belah pihak sudah memuncak, sehingga sebelum terjadi perang pihak Muslimin sudah lebih dulu berhasil menewaskan pemimpinpemimpin Khaibar masing-masing Sallam b. Abi’l-Hugaig dan Yasir ibn Razzam. Oleh karena golongan Yahudi selalu mengadakan kontak dengan Ghatafan tatkala pertama kali tersiar berita Muhammad akan menyerang mereka, cepat-cepat mereka meminta bantuan kabilah-kabilah itu, Mengenai Ghatafan ini, para ahli masih berbeda pendapat: Jadikah kabilah ini memberikan bala bantuan, ataukah pasukan Muslimin sudah memutuskan hubungan dengan Khaibar?

 

Besarnya Kekuatan Kedua Belah Pihak

 

Lepas dari apakah Ghatafan ini sampai membantu pihak Yahudi atau malah menjauhkan diri setelah Muhammad menjanjikan hendak memberikan harta rampasan perang nanti, namun kenyataannya peperangan ini merupakan perang terbesar yang pernah terjadi, mengingat pula kelompok-kelompok Yahudi di Khaibar ini merupakan koloni Israil yang terkuat yang paling kaya dan paling besar pula persenjataannya. Di samping itu pihak Muslimin pun sudah yakin sekali, bahwa selama Yahudi tetap menjadi duri dalam daging seluruh jazirah, maka selama itu pula persaingan antara agama Musa dengan agama baru ini akan jadi panjang tanpa dapat mencapai suatu penyelesaian. Dengan demikian mereka terjun menyabung nyawa tanpa ragu-ragu lagi.

 

Sebaliknya pihak Quraisy dan seluruh jazirah Arab berbaris menonton peperangan ini. Dari kalangan Quraisy sampai ada yang berani bertaruh mengenai kesudahan perang itu dan siapa pula yang akan menang. Kebanyakan Quraisy mengharapkan pihak Muslimin akan mengalami kehancuran, melihat kukuhnya benteng-benteng Khaibar yang sudah terkenal serta letaknya di atas batu-batu karang dan gunung, di samping pengalaman mereka yang cukup lama dalam medan perang.

 

Dengan persiapan senjata yang cukup kaum Muslimin sekarang sudah berada di depan perbentengan Khaibar. Yahudi juga sedang berunding dengan sesama mereka. Pemimpin mereka Sallam b. Misykam menyarankan, supaya harta-benda dan sanak keluarga mereka dimasukkan ke dalam benteng Watih dan Sulaim, bahan makanan dan perlengkapan dimasukkan ke dalam benteng Na’im. Perajurit dan barisan penggempur dimasukkan ke dalam benteng Natat dan Sallam b. Misykam sendiri bersama-sama mereka, mengerahkan mereka dalam peperangan.

 

Sekarang kedua belah pihak sudah berhadap-hadapan di sekitar benteng Natat dan pertempuran mati-matian sudah pula dimulai. Dalam hal ini sampai ada yang berkata: “Yang luka-luka dari pihak Muslimin sebanyak lima puluh orang. Apalagi jumlah yang luka-luka dari pihak Yahudi.”

 

Benteng-benteng Khaibar Dikepung

 

Setelah Sallam b. Misykam tewas, maka pimpman pasukan dipegang oleh Harith b. Abi Zainab. Ia keluar dari benteng Na’im itu dengan maksud hendak menggempur pasukan Muslimin. Tetapi oleh Khazraj ia dapat dihalau dan dipaksa kembali mundur ke bentengnya. Pihak Muslimin lalu memperketat kepungannya atas benteng-benteng Khaibar jtu sedang pihak Yahudi mati-matian mempertahankan dengan keyakinan, bahwa kekalahan mereka menghadapi Muhammad berarti suatu penumpasan terakhir terhadap Banu Israil di negeri-negeri Arab.

 

Hal ini berlangsung selama beberapa hari. Kemudian Rasul menyerahkan bendera kepada Abu Bakr supaya memasuki benteng Na’im. Tetapi setelah terjadi pertempuran ia kembali tanpa berhasil menaklukkan benteng itu. Keesokan harinya pagi-pagi Rasul menugaskan Umar bin’lKhattab. Tetapi dia pun mengalami nasib yang sama seperti Abu Bakr. Sekarang Ali b. Abi Talib yang dipanggilnya seraya katanya:

 

“Pegang bendera ini dan bawa terus sampai Tuhan memberikan kemenangan kepadamu.”

 

Ali berangkat membawa bendera itu. Setelah ia berada dekat dari benteng, penghuni benteng itu keluar menghadapinya dan seketika itu juga pertempuran pun terjadi. Salah seorang Yahudi dapat memukulnya dan perisai yang di tangannya terlempar. Tetapi Ali segera menyambar daun pintu yang ada di benteng dan dengan memperisaikan daun pintu yang masih di tangan itu ia terus bertempur. Benteng itu akhirnya dapat didobraknya. Kemudian daun pintu tadi dijadikannya jembatan dan Jengan “jembatan” ini kaum Muslimin dapat menyeberang masuk ke dalam benteng itu. Akan tetapi benteng Na’im ini baru jatuh setelah . komandannya, Harith b. Abi Zainab terbunuh. Hal ini menunjukkan betapa sebenarnya pihak Yahudi itu mati-matian bertempur dan betapa pula pihak Muslimin juga mati-matian mengepung dan menyerbu.

 

Setelah benteng Na’im jatuh, sekarang pihak Muslimin menaklukkan benteng Oamush setelah lebih dulu terjadi pertempuran sengit. Oleh ” karena persediaan bahan makanan pada mereka (Muslimin) sudah tidak mencukupi lagi terpaksa ada beberapa orang yang datang kepada Muhammad mengeluh, dan minta sesuatu sekadar dapat menyambung hidup, dan oleh karena tidak ada sesuatu yang dapat diberikannya kepada mereka itu, maka mereka diizinkan makan daging kuda. Dalam pada itu salah seorang dari pihak Muslimin melihat ada sekawanan kambing memasuki salah satu benteng Yahudi itu. Dua ekor kambing di antaranya dapat mereka tangkap, lalu mereka sembelih dan mereka makan bersamasama.

 

Pihak Yahudi Mati-matian

 

Akan tetapi, setelah mereka menaklukkan benteng Sha’b b. Mu’adh, kebutuhan mereka sekarang sudah tidak begitu mendesak lagi, sebab ternyata di tempat ini persediaan makanan cukup banyak, yang akan memungkinkan lagi mereka meneruskan perjuangan melawan Yahudi dan mengepung benteng-benteng yang ada lainnya. Sementara itu tidak sejengkal tanah pun atau sebuah benteng pun mau diserahkan kepada pihak Yahudi sebelum mereka benar-benar mempertahankannya secara heroik dan setelah dengan tenaga mereka berusaha membendung serangan Muslimin itu. Dengan terlebih dulu menyiapkan persenjataan dan perlengkapan untuk berperang, tiba-tiba keluar Marhab orang Yahudi itu dari salah satu benteng sambil ia membaca sajak-sajak ini:

 

Khaibar sudah mengenal

Akulah Marhab

Memanggul senjata pahlawan teruji.

Kadang menetak sekali memukul

Bila singa sudah muncul

Maka ia pun menggeram murka

Pertahananku

Inilah pertahanan tak terkalahkan

Segala serangan terlumpuhkan oleh si pendekar.

 

Mendengar itu Muhammad berseru kepada sahabat-sahabatnya:

 

“Siapa yang akan menjawab ini.”

 

Saat itu juga Muhammad b. Maslama menjawab:

 

“Saya ya Rasulullah. Saya yang harus berontak menuntut balas. Saudara saya kemarin dibunuh.”

 

Kemudian setelah mendapat izin dari Nabi ia tampil ke depan dan mulai mereka saling menyerang sehingga hampir-hampir ia sendiri dapat dibunuh oleh Marhab. Tetapi pedangnya itu dapat ditahan dengan perisai oleh Ibn Maslama dan pedang itu tersangkut dan tertahan. Dengan demikian orang itu dihantam oleh Muhammad Ibn Maslama sampai menemui ajalnya.

 

Demikianlah perang antara Yahudi dan Muslimin itu terjadi sangat seru sekali, ditambah lagi ketahanan benteng-benteng Yahudi ketika itu memang sangat kuat dan keras.

 

Sebabnya Yahudi Putus Asa

 

Sekarang pihak Muslimin mengepung benteng Zubair. Pengepungan ini tampaknya cukup lama disertai dengan pertempuran yang sengit pula. Sungguhpun begitu mereka tidak juga berhasil menaklukkannya. Baru setelah akhirnya saluran air ke benteng itu diputuskan, pihak Yahudi terpaksa keluar dan dengan mati-matian mereka memerangi kaum Muslimin sekalipun mereka itu akhirnya lari juga. Dengan demikian benteng-benteng itu satu demi satu jatuh ke tangan Muslimin yang berakhir pada benteng Watih dan Sulalim dalam kelompok perbentengan Katiba, dua buah benteng terakhir yang kukuh dan kuat.

 

Sejak itulah perasaan putus asa mulai merayap ke dalam hati mereka. Kini mereka minta damai. Semua harta-benda mereka di dalam bentengbenteng asy-Syigg, Natat dan Katiba diserahkan kepada Nabi untuk disita, asal nyawa mereka diselamatkan. Permohonan ini oleh Muhammad diterima. Dibiarkannya mereka itu tinggal di kampung halaman mereka, yang menurut hukum penaklukan sudah berada di bawah kekuasaannya.

 

Mereka akan mendapat separuh hasil buah-buahan daerah itu sebagai imbalan atas tenaga kerja mereka.

 

Perdamaian Khaibar

 

Muhammad memperlakukan Yahudi Khaibar tidak sama seperti terhadap Yahudi Banu Qainuqa dan Banu Nadzir tatkala mereka dikosongkan dari kampung halaman itu, sebab dengan jatuhnya Khaibar itu ia sudah merasa terjamin dari adanya bahaya Yahudi dan yakin pula bahwa mereka samasekali tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan. Di samping itu di Khaibar terdapat pula beberapa perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma. Semua ini masih memerlukan tenaga-tenaga ahli yang cukup banyak untuk mengolahnya dan yang akan dapat pula mengurus pengolahan itu dengan cara yang sebaik-baiknya. Kendatipun bengikut-pengikut Medinah terdiri dari penduduk yang bercocok tanam, tanah mereka pun sangat pula memerlukan tenaga mereka, namun mengingat, bahwa Nabi juga sangat memerlukan tentara untuk angkatan perangnya, maka ia tidak suka membiarkan mereka semua itu dalam bercocok tanam. Dalam pada itu orang-orang Yahudi Khaibar tetap bekerja meskipun kekuasaan politik mereka sudah runtuh demikian rupa yang juga mempengaruhi kegiatan mereka, sehingga dari segi pertanian dan perkebunan pun cepat sekali Khaibar mengalami kemunduran dan kehancuran, padahal sudah begitu baik Nabi memperlakukan penduduk daerah itu, di samping Abdullah b. Rawaha utusan Nabi kepada mereka yang cukup adil, setiap tahun mengadakan pembagian hasil dengan mereka. Demikian baiknya Nabi memperlakukan penduduk Yahudi Khaibar itu sehingga tatkala kaum Muslimin menyerbu mereka, dan di antara barang-barang rampasan perang itu terdapat juga ada beberapa buah kitab Taurat, ketika oleh pihak Yahudi diminta, maka oleh Nabi diperintahkan supaya kitab-kitab itu diserahkan kembali kepada mereka. Ia tidak sampai berbuat seperti yang pernah dilakukan oleh pihak Rumawi ketika menaklukkan Yerusalem. Kitab-kitab suci itu oleh mereka dibakar dan diinjak-injak dengan telapak kaki. Juga ia tidak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh pihak Nasrani dalam perang menindas kaum Yahudi Andalusia (Spanyol). Kitab-kitab Taurat itu oleh mereka juga dibakar.

 

Yahudi Fadak

 

Setelah Yahudi Khaibar minta damai — selama Muslimin mengepung mereka di perbentengan Watih dan Sulalim, Nabi telah mengutus orang kepada penduduk Fadak’ dengan maksud supaya mereka mau menerima ajakannya atau menyerahkan harta-benda mereka. Mengetahui peristiwa yang sudah terjadi di Khaibar, penduduk Fadak sudah merasa ketakutan sekali. Persetujuan diadakan dengan menyerahkan separuh harta mereka tanpa pertempuran. Kalau daerah Khaibar menjadi milik Muslimin karena mereka yang telah berjuang membebaskannya, maka Fadak untuk Muhammad karena pihak Muslimin tidak memperolehnya dengan pertempuran. Menyerahkan Wadi’l-Oura

 

Selesai semua itu Rasul pun berkemas-kemas hendak kembali ke Medinah melalui Wadi’-Oura.? Akan tetapi pihak Yahudi daerah ini sudah menyiapkan diri hendak menyerang Muslimin. Dan pertempuran segera pecah. Tetapi mereka juga terpaksa menyerah dan minta damai seperti halnya dengan pihak Khaibar. Sebaliknya golongan Yahudi Taima” mereka bersedia membayar jizya (pajak) tanpa terjadi peperangan atau pertempuran.

 

Dengan demikian semua orang Yahudi tunduk kepada kekuasaan Nabi, dan berakhir pulalah semua kekuasaan mereka di seluruh jazirah. Dari jurusan utara ke Syam sekarang Muhammad sudah tidak kuatir lagi, sama halnya seperti dulu, dari jurusan selatan juga ia sudah tidak kuatir jadi setelah adanya Perjanjian Hudaibiya.

 

Dengan habisnya kekuasaan Yahudi itu, maka kebencian pihak Muslimin — terutama kaum Anshar — terhadap kepada mereka jadi berkurang sekali. Bahkan mereka menutup mata terhadap beberapa orang Yahudi yang kembali ke Yathrib. Dan Nabi berdiri bersama-sama dengan orang-orang Yahudi yang sedang berkabung terhadap kematian Abdullah b. Ubayy dan menyatakan turut berdukacita pula kepada anaknya. Kepada Mu’adh b. Jabal pun dipesannya untuk tidak membujuk orangorang Yahudi itu dari agama Yahudinya. Juga pajak jizya tidak dikenakan kepada orang-orang Yahudi Bahrain meskipun mereka tetap berpegang pada keyakinan agama mereka. Dengan Yahudi Banu Ghazia dan Banu “Aridz dibuat pula persetujuan bahwa mereka akan memperoleh dhimma (perlindungan) dan kepada mereka dikenakan pula pajak.

 

Tunduk kepada Kekuasaan Muslimin

 

Ringkasnya, pihak Yahudi itu sekarang tunduk kepada kekuasaan kaum Muslimin. Kedudukan mereka di negeri-negeri Arab sudah berantakan dan mereka pun terpaksa meninggalkan daerah itu. Tadinya mereka di tempat itu sebagai golongan yang dipertuan, sampai selesai mereka itu dikeluarkan, yang menurut satu pendapat sejak semasa hidup Rasul, pendapat lain mengatakan setelah Rasul wafat.

 

Akan tetapi tunduknya penduduk Khaibar dan golongan Yahudi lainnya di seluruh jazirah itu tidak terjadi sekaligus setelah mereka jatuh. Bahkan akibat kejatuhan mereka itu hati mereka masih penuh memikul kebencian dan dendam yang kotor sekali. Zainab bint’l-Harith isteri Sallam b. Misykam pernah menyampaikan hadiah daging domba kepada Muhammad — setelah ia merasa aman dan setelah ada perjanjian perdamaian dengan pihak Khaibar. Ketika ia dan sahabat-sahabat sedang duduk hendak memakan daging itu, Nabi a.s. mengambil bagian kakinya dan sudah akan mulai dikunyah, tapi tidak sampai ditelannya. Dalam pada itu Bisyr bin’l-Bara” yang duduk makan bersama-sama telah pula mengambil daging itu sekerat. Tapi Bisyr lalu menelannya sekaligus. Sedang Rasul memuntahkannya kembali seraya katanya:

 

“Ada tanda-tanda tulang itu beracun.”

 

Kemudian Zainab dipanggil, dan ia pun mengaku. Lalu katanya:

 

“Tuan telah mengadakan tindakan terhadap golongan saya seperti Sudah tuan ketahui.” Lalu kataku: “Kalau dia seorang raja, aku sudah lega: kalau dia seorang Nabi tentu dia akan diberi tahu!”

 

Akibat makan daging itu Bisyr kemudian meninggal dunia.

 

Dalam hal ini ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat. Tetapi sebagian besar menyatakan, bahwa Nabi telah memaafkan Zainab, dan sangat menghargai sekali alasannya mengingat malapetaka yang telah menimpa ayah dan suaminya itu. Di samping itu ada juga yang mengatakan bahwa dia pun dibunuh karena Bisyr yang telah mati diracun itu.

 

Sebenarnya perbuatan Zainab itu telah menimbulkan kesan yang dalam sekali di dalam hati kaum Muslimin. Peristiwa-peristiwa yang timbul sesudah Khaibar membuat mereka tidak percaya lagi kepada orang-orang Yahudi. Bahkan mereka kuatir akan segala akibat tipu muslihat yang akan dilakukan secara perseorangan, setelah secara massal mereka dapat dihancurkan. Shafia bt. Huyayy b. Akhtab dari Banu Nadzir termasuk salah seorang tawanan yang oleh kaum Muslimin diambil dari benteng Khaibar. Dia istri Kinana bin’I-Rabi’. Setahu pihak Muslimin, di tangan Kinana inilah harta-benda Banu Nadzir itu disimpan. Ketika Nabi menanyakan harta itu kepadanya, ia bersumpah-sumpah bahwa dia tidak mengetahui tempatnya.

 

“Kalau kami dapati di tempatmu, mau kamu. dibunuh?” tanya Muhammad.

 

“Ya”, jawab Kinana.

 

Salah seorang dari mereka ini pernah melihat Kinana sedang mundarmandir pada sebuah puing, dan hal ini disampaikan kepada Nabi. Oleh Nabi diperintahkan supaya puing itu digali dan dari dalam puing itulah harta simpanan itu dikeluarkan. Kinana akhirnya dibunuh karena perbuatannya itu.

 

Perkawinan Shafia dengan Muhammad

 

Sekarang Shafia berada di tangan Muslimin sebagai salah seorang tawanan perang.

 

“Shafia adalah ibu Banu Ouraidza dan Banu Nadzir. Dia hanya pantas buat tuan”, demikian dikatakan kepada Nabi.

 

Setelah wanita itu dimerdekakan kemudian ia diperistri oleh Nabi seperti biasanya dilakukan oleh orang-orang besar yang menang perang. Mereka kawin dengan putri-putri orang-orang besar guna mengurangi tekanan karena bencana yang dialaminya dan memelihara pula kedudukannya yang terhormat.

 

Kuatir akan timbulnya dendam kepada Rasul dalam hati wanita — yang baik ayahnya, suaminya atau pun golongannya sudah terbunuh itu — maka semalaman itu dalam perjalanan pulang dari Khaibar Abu Ayyub Khalid al-Anshari dengan membawa pedang terhunus berjaga-jaga di sekitar kemah tempat perkawinan Muhammad dengan Shafia itu dilangsungkan. Pagi harinya, setelah Rasul melihatnya, ia ditanya: “Ada apa?”

 

“Saya kuatir akan keselamatan tuan dari perbuatan wanita itu”, katanya, “karena ayahnya, suaminya dan golongannya sudah dibunuh sedang belum selang lama dia masih kafir.”

 

Akan tetapi sampai Muhammad wafat ternyata Shafia sangat setia kepadanya. Ketika menderita sakit terakhir istri-istrinya sedang berada di sekelilingnya, Shafia berkata:

 

“Ya Nabiullah. Sekiranya saya saja yang menderita sakit ini.”

 

Istri-istri Nabi saling mengedipkan mata kepadanya.

 

“Bersihkan mulutmu”, kata Nabi kepada mereka.

 

“Dari apa ya Nabiullah?” kata mereka pula.

 

“Dari kedipan matamu kepada teman sejawatmu itu. Demi Allah, dia sungguh jujur.”

 

Setelah Nabi wafat, Shafia masih mengalami masa khilafat Mu’awiyah. Pada masa itulah ia meninggat dan dimakamkan di Baqi’. 

 

Sekarang apa yang terjadi dengan para utusan yang telah diutus oleh Muhammad kepada Heraklius, kepada Kisra, Najasyi dan raja-raja sekeliling negeri Arab itu? Adakah keberangkatan mereka itu sebelum perang Khaibar atau mereka turut mengalaminya juga dan baru kemudian setelah kemenangan berada di pihak Muslimin mereka berangkat masingmasing menuju tujuannya? Dalam hal ini pendapat ahli-ahli sejarah masih jauh sekali berbeda-beda, sehingga sukar sekali kita dapat mengambil suatu kesimpulan yang lebih pasti. Tetapi menurut dugaan kami mereka tidak semua berangkat dalam waktu itu bersamaan, dan keberangkatan mereka ada yang sebelum dan ada pula yang sesudah Khaibar.

 

Utusan Nabi kepada Heraklius

 

Tidak hanya sebuah sumber saja yang menyebutkan, bahwa Dihya b. Khalifa al-Kalbi pernah mengalami perang Khaibar tetapi dia juga yang telah pergi membawa surat kepada Heraklius, yang ketika itu tengah kembali pulang membawa kemenangan setelah ia berhasil mengalahkan Persia, dan berhasil pula menyelamatkan Salib Besar yang mereka ambil dari Yerusalem. Dan sudah tiba pula saatnya ia akan menunaikan nazarnya hendak berziarah ke Yerusalem dengan berjalan kaki guna mengembalikan salib itu ke tempatnya semula.

 

Ketika surat itu disampaikan baginda sudah di kota Himsh.’ Apakah orang-orang sendiri yang menyerahkan surat itu kepada Heraklius setelah oleh Dihya diserahkan kepada penguasanya di Bostra, ataukah Dihya yang memimpin rombongan Arab badwi itu — yang setelah diperkenalkan — dia sendiri yang menyerahkan surat tersebut kepadanya? Juga dalam hal ini sumber tersebut masih kacau.

 

Jawaban Heraklius

 

Selanjutnya surat itu dibacakan dan diterjemahkan di hadapan Maharaja. Baginda tidak murka atau geram, juga tidak lalu merencanakan hendak mengirim angkatan perangnya menyerbu negeri-negen Arab. Sebaliknya malah surat itu dibalas dengan baik sekali. Ini pula agaknya yang menyebabkan beberapa ahli sejarah salah menduga, dikira baginda telah masuk Islam.

 

Dalam waktu bersamaan Harith al-Ghassani telah pula menyampaikan berita kepada Heraklius, bahwa ada seorang utusan Muhammad datang kepadanya membawa surat. Heraklius melihat isi surat itu sama seperti yang dikirimkan kepadanya, mengajaknya memeluk agama Islam. Harith meminta persetujuan baginda hendak memimpin sendiri sebuah pasukan yang akan menghajar orang yang mendakwakan diri Nabi itu. Akan tetapi menurut Heraklius lebih baik Harith berada di Yerusalem bila baginda nanti berziarah, supaya perayaan mengembalikan salib lebih meriah adanya, dan orang yang menyerukan agama baru itu tak usah dipedulikan. Tidak terlintas dalam pikirannya, bahwa tidak akan selang berapa tahun lagi Yerusalem dan Syam itu sudah akan berada di bawah panji Islam pula, bahwa ibukota Islam akan pindah ke Damsyik dan bahwa pertentangan antara negeri-negeri Islam dengan kemaharajaan Rumawi baru menjadi reda setelah Konstatinopel dalam tahun 1453 dikuasai oleh pihak Turki, gerejanya yang besar diubah menjadi mesjid, sehingga itu Nabi yang oleh Heraklius dicoba hendak ditaklukkannya dengan cara tanpa menghiraukannya, namanya tertulis dalam bangunan itu, dan selama berabad-abad gereja itu tetap menjadi mesjid, sampai akhirnya oleh Muslimin Turki ia diubah lagi menjadi sebuah museum kesenian Rumawi.

 

Kisra dan Surat Nabi

 

Ada pun Kisra Maharaja Persia, begitu surat Muhammad yang mengajaknya menganut Islam itu dibacakan, baginda murka sekali dan surat itu disobeknya. Sepucuk surat segera dikirimnya kepada Bazan, penguasanya di Yaman dengan perintah supaya kepala itu laki-laki yang di Hijaz segera dibawa kepadanya. Barangkali menurut perkiraannya ini akan meringankan pengaruh kekalahannya berhadapan dengan Heraklius.

 

Setelah kata-kata Kisra serta perbuatannya merobek-robek surat itu disampaikan kepada Nabi, ia berkata:

 

“Allah telah merobek-robek kerajaannya.”

 

Ternyata Bazan ini telah pula mengirimkan utusan dengan sepucuk surat kepada Muhammad dan dalam pada itu Kisra pun telah pula digantikan oleh putranya Syiruya (Kavadh II). Peristiwa ini telah diketahui oleh Nabi sehingga sekaligus ia dapat memberitahukan kejadian ini kepada utusan-utusan Bazan itu. Kepada mereka dimintanya pula supaya mereka ini menjadi utusan-utusannya kepada Bazan dengan mengajaknya menganut Islam. Sebenarnya penduduk Yaman sudah mengetahui bencana yang telah menimpa Persia itu dan sudah merasa pula akan hancurnya kerajaan itu. Juga berita-berita kemenangan Muhammad atas Quraisy dan hancurnya kekuasaan Yahudi sudah pula sampai kepada mereka.

 

Setelah utusan-utusan Bazan itu kembali dan pesan Nabi disampaikan kepada penguasa itu, dengan senang hati ia menjadi orang Islam dan tetap sebagai penguasa Muhammad di Yaman. Kiranya apakah yang akan diminta oleh Muhammad kepada penguasanya itu mengingat Mekah yang masih dalam sengketa dengan dia? Sebenarnya, setelah bayangan Persia menghilang, ia telah mendapat keuntungan dengan berlindung kepada suatu kekuatan yang baru tumbuh di negeri Arab itu, dengan tidak meminta risiko apa-apa. Dan bisa jadi Bazan sendiri ketika itu tidak sampai memperhitungkan, bahwa penggabungannya kepada Muhammad sudah merupakan suatu perbentengan yang kuat sekali di pihak Islam bagian selatan jazirah itu, seperti yang terbukti dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi dua tahun kemudian.

 

Jawaban Muqauqis

 

Tetapi jawaban Mugaugis, seorang pembesar Kopti di Mesir, tidak Sama dengan jawaban Kisra, bahkan lebih indah lagi daripada jawaban Heraklius. Kepada Muhammad ia memberitahukan bahwa ia memang percaya, bahwa seorang Nabi akan datang, tetapi kedatangannya itu di Syam. Ia menyambut utusan itu dengan segala penghormatan sebagaimana mestinya. Kemudian ia mengirim hadiah di tangan utusan itu berupa dua orang dayang-dayang, seekor bagal putih, seekor himar, sejumlah harta dan bermacam-macam produksi Mesir lainnya. Maria dari dua dayang, dayang itu diterima buat Nabi sendiri dan yang kemudian telah melahirkan Ibrahim, dan Sirin dihadiahkannya kepada Hassan b. Thabit. Adapun bagal itu oleh Nabi diberi nama “Duldul” dan warna putihnya memang unik sekali dibandingkan dengan bagal-bagal yang ada di negeri-negeri Arab, sedang keledainya diberi nama “Ufair” atau “Ya’fur”. Hadiah itu oleh Muhammad diterima baik, dan disebutkan, bahwa Mugaugis tidak sampai menganut Islam, sebab dia takut kerajaan Mesir akan direnggut oleh Rumawi. Kalau tidak karena itu tentu ia akan sudah beriman dan termasuk orang yang telah mendapat hidayah pula.

 

Jawaban Najasyi

 

Setelah kita ketahui adanya hubungan yang begitu baik antara Najasyi di Abisinia dengan kaum Muslimin, sudah wajar sekali bila balasannya juga akan sangat baik, sehingga ada beberapa sumber menyebutkan bahwa ia telah masuk Islam, meskipun ada juga segolongan Orientalis yang masih menyangsikan keislamannya itu. Akan tetapi di samping surat yang berisi ajakan kepada Islam disertai pula sepucuk surat lain dengan permintaan supaya umat Muslimin yang ada di Abisinia sudah dapat dikembalikan ke Medinah. Dalam hal ini Najasyi telah menyiapkan dua buah kapal yang akan mengangkut mereka itu dengan dipimpin oleh Ja’far b. Abi Talib. Dalam rombongan ini ikut pula Umm Habiba (Ramla) bt. Abi Sufyan setelah suaminya meninggal, yaitu Ubaidillah ibn Jahsy yang datang ke Abisinia sebagai Muslim kemudian jadi Nasrani dan tetap menganut agama Nasrani itu sampai matinya.

 

Sekembalinya dari Abisinia Umm Habiba ini kemudian menjadi salah seorang istri Nabi dan Umm’l-Mukminin. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Nabi mengawini Umm Habiba ini dengan maksud hendak mengadakan pertalian nasab dengan Abu Sufyan sebagai penegasan lebih kuat lagi terhadap perjanjian Hudaibiya. Yang lain berpendapat bahwa perkawinan Umm Habiba dengan Muhammad dengan Abu Sufyan yang masih tetap dalam paganisma — hanya akan menimbulkan kekesalan dan kesedihan saja dalam hatinya.

 

Sebaliknya amir-amir (penguasa-penguasa) Arab, baik mereka yang dari Yaman atau dari Omman telah membalas surat Nabi itu dengan kasar sekali, sedang amir Bahrain membalasnya dengan baik dan dia pun masuk Islam. Sebaliknya amir Yamama, ia memperlihatkan kesediaannya akan masuk Islam asal dia diangkat jadi gubernur. Karena ambisinya itu oleh Nabi ia dikutuk. Penulis-penulis sejarah menyebutkan, bahwa tidak berselang setahun kemudian orang itu pun meninggal.

 

Apa Sebab Kebanyakan Jawaban itu Lemah-lembut?

 

Pembaca akan memperhatikan sekali sikap lemah-lembut dan pandangan yang begitu baik yang terkandung dalam jawaban sebagian besar raja-raja dan penguasa-penguasa itu. Tiada seorang pun dari utusanutusan Muhammad itu yang dibunuh atau dipenjarakan. Bahkan mereka semua kembali dengan membawa balasan pesan yang sebagian besar jemah-lembut, sekalipun dua balasan di antaranya ada yang kasar sifatnya. Bagaimana sebenarnya raja-raja itu menerima ajakan agama baru ini tanpa bertindak menghasut pembawa ajakan itu, juga tanpa mau menindasnya beramai-ramai? Soalnya ialah karena dunia pada waktu itu sama seperti dunia kita sekarang, pengaruh materi telah menguasai kehidupan rohani, yang menjadi tujuan hidup ialah kemewahan. Bangsabangsa saling berperang karena hendak mencari kemenangan, ingin memenuhi dan memuaskan ambisi dan nafsu raja-raja dan penguasapenguasa itu ingin hidup lebih mewah lagi. Dalam dunia semacam ini segala pengertian akidah atau keyakinan akan jatuh ke bawah kaki upacara-upacara yang demonstratif sifatnya, sedang apa yang dilaksanakan itu tanpa disertai hati yang penuh iman. Yang dijadikan perhatian hanyalah supaya hal itu berada di tangan pemegang kekuasaan yang dapat memberi makan, pakaian dan menjamin adanya kesejahteraan dan kemakmuran hidup dengan segala keyakinan harta-benda. Upacaraupacara itu dipertahankan hanyalah sekadar hendak memenuhi kepentingan materi itu. Kalau kepentingan itu sudah tak ada lagi, semangat mereka pun jadi hancur dan nafsu mengadakan perlawanan juga jadi lemah sekali.

 

Orang mendengar ada ajakan baru sekitar suatu ajaran tentang iman — yang mudah dan kuat, yang membuat semua manusia sama di hadapan Tuhan Yang Maha Tunggal, Tempat orang menyembah dan meminta pertolongan. Yang menentukan apa yang berguna dan apa yang tidak untuk dirinya itu. Dengan cahaya yang memancar dari kehendak Tuhan, ia akan menganggap kecil segala ancaman raja-raja di muka bumi ini semua. Orang yang hanya takut kepada kemurkaan Tuhan ia akan dapat menggetarkan hati raja-raja yang sedang hanyut dalam kemenangan hidup itu. Hanya orang yang bertobatlah, orang yang benar-benar beriman dan berbuat kebaikan sajalah dapat mengharapkan pengampunan Tuhan.

 

Oleh karena itu, tatkala orang mendengar tentang adanya ajakan baru itu, dan melihat pembawanya begitu tabah menghadapi segala macam penindasan, menghadapi kekejaman, penyiksaan dan segala kekuatan hidup materi, dengan kekuatannya yang terus berkembang, padahal dia adalah yatim piatu, miskin dan tidak punya apa-apa, suatu hal yang tak pernah terbayangkan, baik oleh negerinya sendiri ataupun oleh negeri-negeri Arab lainnya — ketika itulah orang menjulurkan leher, ia memasang telinga baik-baik, jiwanya merasa haus, hatinya ingin terbang melihat sumber mata air itu, hanya saja masih ada rasa takut, rasa sangsi yang mengalanginya dari kenyataan yang ada itu. Itu sebabnya maka ada di antara raja-raja itu yang memberikan balasan dengan sangat lemah. lembut, dan dengan demikian iman dan keyakinan kaum Muslimin pun makin kuat pula.

 

Muslimin Kembali dari Abisinia

 

Muhammad sudah kembali dari Khaibar. Ja’far bersama-sama kaum Muslimin sudah kembali dari Abisinia, dan utusan-utusan Muhammad juga sudah pula kembali dari tempat mereka masing-masing ditugaskan. Mereka semua bertemu lagi di Medinah. Mereka bertemu untuk samasama tinggal selama dalam tahun itu, dengan penuh rindu menantikan tahun yang akan datang, akan menunaikan ibadah haji ke Mekah, memasuki kota itu dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa akan merasa takut. Begitu gembiranya Muhammad berjumpa dengan Ja’far sampai ia berkata, mana yang lebih menggembirakan hatinya: kemenangannya atas Khaibar ataukah pertemuannya dengan Ja’far. Pada waktu itulah timbulnya cerita yang mengatakan, bahwa pihak Yahudi telah menyihir Muhammad dengan perbuatan Labid, sehingga ia mengira bahwa dia melakukan sesuatu, padahal ia tidak melakukannya. Sumber-sumber cerita ini sebenarnya sangat kacau sekali dan ini menguatkan pendapat orang yang mengatakan bahwa cerita ini cuma dibikin-bikin dan samasekali tidak punya dasar.

 

Menantikan Umrah Pengganti

 

Kaum Muslimin tinggal di Medinah dengan aman dan tenteram, dan menikmati hidup dan menikmati karunia dan keridaan Tuhan. Masalah perang tidak mereka pikirkan lagi. Tidak lebih yang dilakukan hanya mengirimkan pasukan-pasukan guna menindak barangsiapa saja yang bermaksud hendak melanggar hak-hak orang, atau hendak merampas harta-benda orang.

 

Setelah berjalan setahun — ketika itu bulan Zulkaidah — Nabi pun berangkat dengan membawa dua ribu orang guna melakukan umrah pengganti sesuai dengan ketentuan-ketentuan Hudaibiya, juga untuk menghilangkan rasa haus yang sudah sangat dirasakan oleh jiwa yang tengah dahaga hendak menunaikan ibadah ke Rumah Purba itu.

 

Muslimin Berangkat ke Mekah – Quraisy Menyingkir dari Mekah – Muslimin di depan Ka’bah – Bertawaf di Ka’bah – Tiga Hari di Mekah – Muslimin ke Medinah – Islamnya Khalid bin’I-Walid – Islamnya “Amr bin’I-‘Ash dan “Uthman b. Talha

 

SETELAH berjalan setahun sejak berlakunya isi perjanjian Hudaibiya Muhammad dan sahabat-sahabatnya sudah bebas dapat melaksanakan isi perjanjian dengan pihak Quraisy itu guna memasuki Mekah dan berziarah ke Ka’bah. Atas dasar itu Muhammad lalu memanggil orang agar bersiap-siap untuk berangkat melakukan ‘umrar’I-gadza” (umrah pengganti) yang sebelum itu telah teralang. Muslimin Berangkat ke Mekah

 

Dengan mudah orang sudah dapat memperkirakan betapa kaum Muslimin menyambut panggilan itu. Ada di antara mereka kaum Muhajirin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Mekah, kaum Anshar yang sudah memang punya hubungan dagang dengan Mekah dan sudah rindu sekali hendak berziarah ke Ka’bah. Oleh karenanya anggota rombongan itu telah bertambah sampai dua ribu orang dari 1400 orang pada tahun yang lalu. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiya tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung. Tetapi Muhammad masih selalu kuatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslama disiapkan berangkat lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Mekah, dan bila sampai di Marr’z-Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari Sana.

 

Ternak kurban itu digiring oleh kaum Muslimin di depan mereka, terdiri dari enam puluh ekor unta, didahului oleh Muhammad di atas untanya sendiri Al-Oashwa”. Mereka berangkat dari Medinah dengan hati yang damba hendak memasuki Umm’l-Oura (Mekah) dan bertawaf di Baitullah. Setiap Muhajirin menunggu ingin melihat daerah tempat ia dilahirkan, ingin melihat rumah tempat ia dibesarkan, teman-teman yang ditinggalkan. Ia ingin menghirup udara harum tanah airnya yang suci itu, dengan penuh rasa hormat dan syahdu, ingin menyentuh bumi daerah suci dan kudus yang penuh berkah itu, yang telah melahirkan Rasul, dan tempat wahyu pertama kali diturunkan.

 

Orang akan dapat membayangkan suasana kemeriahan yang baru satu-satunya terjadi itu, yang bergerak karena didorong oleh rasa iman, terbawa oleh Rumah yang oleh Allah dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Dengan mata hatinya orang akan melihat betapa besarnya rasa kegembiraan mereka itu. Orang-orang yang sudah pernah dirintangi hendak menunaikan kewajiban suci itu berangkat dengan penuh kegembiraan, akan memasuki Mekah dalam keadaan aman, dengan bercukur kepala atau bergunting tanpa merasa takut lagi.

 

Quraisy Menyingkir dari Mekah

 

Bilamana Quraisy sudah mengetahui kedatangan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka segera keluar dari Mekah, sesuai dengan bunyi persetujuan Hudaibiya. Mereka pergi ke bukit-bukit berdekatan dan di tempat itu mereka memasang kemah dan yang lain ada pula yang berteduh di bawah-bawah pohon. Dari atas bukit Abu Oubais dan dari atas Hira” atau dari semua tempat ketinggian yang dapat melihat ke Mekah, orang-orang Mekah itu menjenguk, dengan mata ingin tahu, ingin melihat orang yang dengan kawan-kawannya itu dulu terusir, ketika mereka kini datang memasuki Rumah Suci, tanpa ada lagi pihak yang mengalangi.

 

Muslimin di depan Ka’bah

 

Sekarang kaum Muslimin sudah mulai menyusur dari arah utara Mekah. Abdullah b. Rawaha ketika itu memegang tali keluan Al-Oashwa’ sedang sahabat-sahabat besar lainnya berada di sekeliling Nabi “alaihissalam. Barisan yang berjalan di belakang mereka itu terdiri dari orang-orang yang berjalan kaki dan yang duduk di atas unta. Begitu Rumah Suci itu terlihat di hadapan mereka serentak kaum Muslimin itu semua bergema dalam satu suara berseru: Labbaika, labbaika! dengan hati dan jiwa tertuju semata kepada Allah Yang Maha Agung, berkeliling dalam satu lingkaran dengan penuh harap dan hormat kepada Rasul yang telah diutus Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, yang akan mengatasi semua agama. Sebenarnya ini adalah suatu pemandangan yang sungguh unik dalam sejarah, yang dapat menggetarkan segenap penjuru tempat itu, dan yang telah dapat menawan hati orang musyrik ke dalam Islam, betapa pun kerasnya mereka bertahan pada paganisma.

 

Pada pemandangan yang unik itulah mata penduduk Mekah tertaut. Sementara suara yang keluar dari kalbu menggema: Labbaika, labbaika! tetap menembus telinga dan menggetarkan jantung mereka.

 

Bertawaf di Ka’bah

 

Sesampainya Rasul di mesjid ia menyelubungkan dan menyandangkan kain jubahnya di badan dengan membiarkan lengan kanan terbuka sambil mengucapkan:

 

(“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada orang, yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya.”)

 

Kemudian ia menyentuh sudut hajar aswad (batu hitam) dan berlarilari kecil, yang diikuti oleh sahabat-sahabat, juga dengan berlari-lari. Setelah menyentuh ar-rukn’iI-yamani (sudut selatan) ia berjalan biasa sampai menyentuh hajar aswad, lalu berlari-lari lagi berkeliling sampai tiga kali dan selebihnya dengan berjalan biasa. Setiap ia berlari kedua ribu kaum Muslimin itu juga ikut berlari-lari, dan setiap ia berjalan mereka pun ikut pula berjalan. Dalam pada itu pihak Quraisy menyaksikan semua itu dari atas bukit Abu Oubais. Pemandangan ini sangat mempesonakan mereka. Tadinya orang bicara tentang Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, bahwa mereka sedang berada dalam kesulitan, dalam keadaan susah payah. Tetapi apa yang mereka lihat sekarang ternyata menghapus segala anggapan tentang kelemahan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu.

 

Karena bersemangatnya dalam saat seperti itu, Abdullah b. Rawaha bermaksud hendak melontarkan kata-kata yang berisi teriakan perang ke muka Quraisy. Tetapi segera dilarang oleh Umar, dan Rasul juga berkata kepadanya:

 

“Sabarlah Ibn Rawaha, atau ucapkan sajalah: La ilaha illa Allah wahdah, wanashara abdah wa’a’azza jundah, wakhadhala’l-ah-zaba Wahdahk.”

 

(“Tiada tuhan selain Allah Yang Tunggal, yang telah menolong hambaNya, memperkuat tentaraNya dan menghancurkan sendiri musuh

 

yang bersekutu.”)

 

Abdullah ibn Rawaha kemudian mengucapkan pula dengan suara keras yang kemudian disambut oleh kaum Muslimin. Suara itu bersahut, sahutan dan berkumandang ke tepi-tepi wadi dengan dahsyat sekali, kedahsyatannya membubung dan menyusup ke dalam jantung orang, Orang yang sedang berada di atas gunung-gunung sekitar tempat itu.

 

Selesai kaum Muslimin bertawaf di Ka’bah, Muhammad berpindah memimpin mereka ke bukit Shafa dan Marwa yang dilalui dari atas kendaraannya sebanyak tujuh kali, seperti halnya orang Arab dahulu, Kemudian ternak kurban itu disembelih dan dia bercukur. Dengan demikian selesailah sudah ibadah umrah itu dikerjakan.

 

Keesokan harinya Muhammad memasuki Ka’bah dan tinggal di sana sampai waktu sembahyang lohor. Pada waktu itu berhala-berhala masih banyak memenuhi tempat itu. Tetapi meskipun begitu Bilal naik juga ke atap Ka’bah lalu menyerukan azan untuk bersembahyang lohor di tempat tersebut. Kemudian Nabi bersembahyang dengan bertindak sebagai imam, atas dua ribu kaum Muslimin di Rumah Suci itu. Selama tujuh tahun sebelumnya mereka teralang melakukan salat menurut pimpinan Islam di tempat itu.

 

Tiga Hari di Mekah

 

Kaum Muslimin tinggal selama tiga hari di Mekah seperti sudah ditentukan dalam Perjanjian Hudaibiya, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduk. Selama tinggal di situ kaum Muslimin tidak mengalami sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula sahabat-sahabatnya dari pihak Anshar turut menengoknya. Seolah mereka semua penduduk kota yang aman itu. Mereka semua bertindak menurut tuntunan Islam, setiap hari menjalankan kewajiban kepada Tuhan dengan melakukan salat dan samasekali menghilangkan sikap tinggi diri, yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Nabi sendiri di tengah-tengah mereka sebagai seorang ayah yang penuh cinta dan dicintai. Yang seorang diajaknya tertawa, yang lain diajaknya bergurau. Tetapi semua yang dikatakannya selalu yang sebenarnya.

 

Dalam pada itu orang-orang Quraisy dan penduduk Mekah lainnya, dari tempat-tempat mereka di lereng-lereng bukit menyaksikan sendiri pemandangan yang luar biasa dalam sejarah itu. Mereka melihat orangprang dengan akhlak yang demikian rupa — tidak minum minuman keras, tidak melakukan perbuatan maksiat, tidak mudah tergoda oleh makanan dan minuman. Kehidupan duniawi tidak sampai mempengaruhi mereka. Mereka tidak melanggar apa yang dilarang, mereka menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan. Alangkah besarnya pengaruh yang ditinggalkan oleh pemandangan demikian itu, yang sebenarnya telah mengangkat martabat umat manusia ke tingkat yang paling tinggi!

 

Tidak terlalu sulit orang akan menilai kiranya bila sudah mengetahui, bahwa beberapa bulan kemudian Muhammad telah kembali dan dapat membebaskan Mekah dengan kekuatan sebanyak 10.000 orang Musjimin.

 

Umm’l-Fadzl istri Abbas b. Abd’l-Muttalib paman Nabi, telah mewakili Maimunah saudaranya ketika perkawinannya dilangsungkan. Maimunah ketika itu berusia dua puluh enam tahun, dan dia adalah bibi Khalid bin’1-Walid dari pihak ibu. Umm’l-Fadzl meminta Abbas suaminya bertindak mewakilinya dalam mengawinkan saudaranya itu. Maimunah sendiri setelah melihat keadaan umat Islam dalam ‘umrar’I-gadza’ hatinya tertarik sekali kepada Islam. Kemudian datang Abbas yang meminang kemenakannya itu agar ia sudi mengawini Maimunah. Tawaran ini diterima oleh Muhammad dan diberinya mas kawin sebesar 400 dirham.

 

Waktu tiga hari yang sudah ditentukan menurut Perjanjian Hudaibiya telah berakhir. Akan tetapi dengan perkawinannya dengan Maimunah ituMuhammad ingin memperpanjang waktunya supaya didapat jalan lebih baik dalam mengadakan saling pengertian dengan pihak Quraisy.

 

Akan tetapi pada waktu itu juga dari pihak Quraisy Suhail b. “Amr dan Huwaitib b. “Abd’l-“Uzza datang kepada Muhammad dengan mengatakan:

 

“Waktumu sudah habis, silakan keluar.”

 

“Apa salahnya kalau kamu membiarkan aku selama melangsungkan perkawinan berada di tengah-tengah kamu? Kami akan membuat jamuan dan kalian ikut hadir”, demikian jawaban Muhammad kepada mereka, dengan kesadaran betapa dalamnya ‘umrat’I-gadza”’ itu meninggalkan kesan dalam hati penduduk Mekah, betapa benar hal itu mempesonakan mereka, membuat sikap permusuhan mereka jadi reda. Ia mengetahui, bahwa kalau mereka mau memenuhi undangannya untuk perjamuan itu dan dapat saling mengadakan dialog, maka dengan mudah pintu Mekah akan terbuka di hadapannya. Dan ini pulalah yang dikuatirkan oleh Suhail dan Huwaitib, dan karena itu mereka berkata lagi:

 

“Kami tidak memerlukan jamuanmu. Keluar sajalah.” Muslimin ke Medinah Dengan tidak ragu-ragu Muhammad pun mengalah kepada permintaan mereka sesuai dengan perjanjian yang harus dilaksanakan. Kepada Segenap Muslimin diumumkan siap-siap meninggalkan tempat. Sesudah Itu ia pun berangkat dengan diikuti kaum Muslimin. Ketika itu yang tinggal ialah Abu Rafi’, bekas budaknya yang kemudian menyusu membawa Maimunah ke Sarif’ dan perkawinan dilangsungkan di sana Dan Maimunah sebagai Umm’l-Mu’minin adalah istri Nabi yang terakhi, yang masih hidup lima puluh tahun kemudian sesudah Nabi wafat. Ia minta dikuburkan di tempat Rasulullah melangsungkan perkawinannya. Salma, janda pamannya Hamzah dan saudara perempuan Maimunah serta “Ammara (putri Hamzah) yang masih perawan belum kawin, telah menjadi tanggungan Muhammad pula.

 

Kaum Muslimin sudah sampai kembali dan sudah menetap lagi di Medinah. Dalam pada itu Muhammad pun yakin bahwa ‘umrar I-gada’ itu telah meninggalkan pengaruh yang cukup besar dalam hati Quraisy dan seluruh penduduk Mekah. Juga ia yakin bahwa sebagai akibat semua itu akan timbul pada peristiwa-peristiwa penting yang berjalan cepat sekali. Islamnya Khalid bin’l-Walid

 

Sejarah telah membenarkan perkiraannya. Begitu ia berangkat kembali ke Medinah, Khalid bin’I-Walid — Jenderal Kaveleri kebanggaan Quraisy dan pahlawan perang Uhud itu -telah berdiri di tengah-tengah sidang masyarakatnya sendiri sambil berkata:

 

“Sekarang nyata sudah bagi setiap orang yang berpikiran sehat, bahwa Muhammad bukan tukang sihir, juga bukan seorang penyair. Apa yang dikatakannya adalah firman Tuhan semesta alam ini. Setiap orang yang punya hati nurani berkewajiban menjadi pengikutnya.”

 

“Ikrima b. Abi Jahl merasa ngeri sekali mendengar kata-katanya itu.

 

“Khalid”, kata “Ikrima kemudian, “engkau telah bertukar agama.”

 

Selanjutnya terjadi percakapan antara mereka sebagai berikut:

 

Khalid ‘” — Aku tidak bertukar agama, tetapi aku mengikuti agama Islam.

 

‘Ikrima, — Tak ada orang akan berkata begitu di kalangan Quraisy Ikrima selain engkau.

 

Khalid – Mengapa?

 

‘Ikrima — Ya, sebab Muhammad sudah menjatuhkan derajat ayahmu ketika ia dilukai. Pamanmu dan sepupumu sudah dibunuhnya di Badr. Demi Allah, aku tidak akan masuk Islam dan tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti kau itu, Khalid. Engkau tidak melihat Quraisy yang sudah berusaha hendak membunuhnya?

 

Khalid — Itu hanya semangat dan fanatisma jahiliah. Tetapi sekarang, setelah kebenaran itu bagiku sudah jelas, demi Allah aku mengikut agama Islam.

 

Setelah itu Khalid lalu mengutus pasukan berkudanya kepada Nabi menyatakan dirinya masuk Islam dan mengakuinya.

 

Khalid menganut Islam ini beritanya kemudian sampai juga kepada Abu Sufyan. Khalid dipanggil.

 

“Benarkah apa yang kudengar tentang engkau?” tanya Abu Sufyan. Setelah dijawab oleh Khalid, bahwa memang benar, Abu Sufyan marahmarah seraya katanya:

 

“Demi Latta dan “Uzza. Kalau aku sudah mengetahui apa yang kaukatakan benar, niscaya engkaulah yang akan kuhadapi, sebelum aku menghadapi Muhammad.”

 

“Dan memang itulah yang benar, apa pun yang akan terjadi.”

 

Terbawa oleh kemarahannya ketika itu juga Abu Sufyan maju hendak menyerangnya. Tetapi “Ikrima yang pada waktu itu turut hadir segera bertindak mengalanginya seraya berkata:

 

“Abu Sufyan, sabarlah. Seperti engkau, aku juga kuatir kelak akan mengatakan sesuatu seperti kata-kata Khalid itu, dan ikut ke dalam agamanya. Kamu akan membunuh Khalid karena pandangannya itu, padahal seluruh Owuraisy sependapat dengan dia. Sungguh aku kuatir, jangan-jangan sebelum bertemu tahun depan seluruh penduduk Mekah sudah menjadi pengikutnya.”

 

Islamnya “Amr bin’lAsh dan “Uthman b. Talha

 

Sekarang Khalid sudah pergi meninggalkan Mekah ke Medinah. Ia menggabungkan diri ke dalam barisan Muslimin.

 

Sesudah Khalid, ikut pula “Amr bin’l-“Ash dan “Uthman b. Talha penjaga Ka’bah, masuk Islam. Dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam, maka banyak pula penduduk Mekah yang turut menjadi pengikut agama ini. Dengan demikian kedudukan Islam makin menjadi kuat, dan terbukanya pintu Mekah buat Muhammad sudah tidak diragukan lagi.

 

Bentrokan-bentrokan Kecil — Jalur Dakwah — Ekspedisi Mu’ta — Persiapan Rumawi -Zaid b. Haritha Gugur — Ja’far Gugur — Rawaha Gugur — Muslihat Khalid bin’I-Walid — Penarikan Mundur — Muhammad Menangisi Para Syuhada – Ekspedisi Dhat’s-Salasil

 

Bentrokan-bentrokan Kecil

 

MUHAMMAD belum merasa perlu tergesa-gesa membebaskan Mekah. Dia mengetahui sekali, bahwa soalnya hanya tinggal soal waktu saja. Perjanjian Hudaibiya baru setahun berjalan. Juga bukan maksudnya akan mengadakan pelanggaran. Muhammad orang yang sangat setia, tiada sebuah kata yang pernah diucapkan atau perjanjian yang pernah dibuat, akan dilanggarnya. Oleh karena itu tatkala ia kembali ke Medinah selama beberapa bulan tidak terjadi bentrokan-bentrokan, kecuali kecil-kecilan saja, seperti pengiriman SO orang kepada Banu Sulaim dengan tugas dakwah mengajak mereka menganut Islam, yang kemudian dibunuh oleh Banu Sulaim secara gelap dan dengan tidak semena-mena, sehingga pemimpinnya yang berhasil lolos hanya karena kebetulan saja. Begitu juga Banu Laith dan Zafar yang telah menyerang dan merampas mereka itu. Sama pula dengan hukuman yang telah dijatuhkan kepada Banu Murra karena pengkhianatan mereka itu tadinya. Demikian juga adanya lima belas orang yang telah dikirim ke Dhat’t-Talh di perbatasan Syam dengan tugas dakwah mengajak mereka mengikut Islam, dibalas dengan pembunuhan juga, sehingga tak ada yang selamat kecuali pemimpinnya. Jalur Dakwah

 

Memang perhatian Nabi tertuju ke wilayah Syam dan bagian-bagian utara ini, yaitu setelah di bagian selatan diadakan perjanjian keamanan dengan pihak Quraisy dan setelah penguasa di Yaman bersedia menerima seruannya. Jalur penyebaran dakwah Islam yang pertama setelah keluar dari semenanjung Arab sudah dibayangkannya. Dilihatnya bahwa Syam dan daerah-daerah di dekatnya itu merupakan pintu pertama jalur dakwah jitu. Oleh karena itu beberapa bulan kemudian sekembalinya dari umrah ia telah mengerahkan tiga ribu orang yang kemudian di Mu’ta berhadapan dengan seratus ribu orang pasukan lawan. Ekspedisi Mu ‘ta

 

Ahli-ahli masih berbeda pendapat mengenai sebab-musabab terjadinya ekspedisi Mu’ta itu. Sebagian mengatakan bahwa dibunuhnya sahabat Nabi di Dhat’t-Talh itulah yang menyebabkan adanya penyerbuan sebagai hukuman atas mereka yang telah berkhianat itu, yang lain berpendapat bahwa ketika Nabi mengirim seorang utusan kepada gubernur Heraklius di Bushra (Bostra), utusan itu dibunuh oleh orang badwi, dari Ghassan, atas nama Heraklius. Lalu Muhammad mengirimkan mereka yang sedang berperang di Mu’ta supaya memberi hukuman kepada penguasa itu dan siapa saja yang membantunya.

 

Kalau Perjanjian Hudaibiya merupakan pendahuluan “umrar’I-gadza’, Jalu pembebasan Mekah, maka ekspedisi Mu’ta ini juga merupakan pendahuluan Tabuk: dan setelah Nabi wafat kemudian terjadi pembebasan Syam. Soalnya akan sama saja, yang menimbulkan ekspedisi Mu’ta itu karena dibunuhnya utusan Nabi kepada penguasa Bushra, atau karena lima belas orang sahabatnya yang juga dibunuh di Dhat’t-Talh.

 

Dalam bulan Jumadilawal tahun kedelapan Hijrah (tahun 629 M.) Nabi a.s. memanggil tiga ribu orang pilihan, dari sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya kepada Zaid b. Haritha dengan mengatakan:

 

“Kalau Zaid gugur, maka Ja’far b. Abi Thalib yang memegang pimpinan, dan kalau Ja’far gugur, maka Abdullah b. Rawaha yang memegang pimpinan.

 

Ketika pasukan tentara ini berangkat Khalid bin’l-Walid secara sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan kesanggupannya dalam perang hendak memperlihatkan iktikad baiknya sebagai orang Islam. Masyarakat ramai mengucapkan selamat jalan kepada komandan-komandan beserta pasukannya itu, dan Muhammad juga turut mengantarkan mereka sampai ke luar kota, dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang buta atau anak-anak, jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohonpohon. Nabi a.s. mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan dengan berkata: Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat.

 

Komandan pasukan itu semua merencanakan hendak menyergap pihak Syam secara tiba-tiba, seperti yang biasa dilakukan dalam ekspedisiekspedisi yang sudah-sudah. Dengan demikian kemenangan akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan membawa kemenangan. Mereka berangkat sampai di Ma’an di bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka hadapi di sana.

 

Persiapan Rumawi

 

Akan tetapi berita keberangkatan mereka sudah lebih dulu sampai. Syurahbil penguasa Heraklius di Syam sudah mengumpulkan kelompok. kelompok kabilah yang ada di sekitarnya. Pasukan tentara yang terdiri dari orang-orang Yunani dan orang-orang Arab sebagai bantuan dari Heraklius didatangkan pula. Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa Heraklius sendirilah yang tampil memimpin pasukannya itu sampai bermarkas di Ma’ab di bilangan Balga”, terdiri dari seratus ribu orang Rumawi, ditambah dengan seratus ribu lagi dari Lakhm, Judham, Oain, Bahra’ dan Bali. Dikatakan juga bahwa Theodore saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan Heraklius sendiri.

 

Ketika pihak Muslimin berada di Ma’an, adanya kelompok-kelompok Itu mereka ketahui. Dua malam mereka berada di tempat itu sambil melihat-lihat apa yang harus mereka lakukan berhadapan dengan jumlah yang begitu besar. Salah seorang dari mereka ada yang berkata: Kita menulis surat kepada Rasulullah s.a.w. dengan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Kita bisa diberi balabantuan, atau kita mendapat perintah lan dan kita maju terus. Saran ini hampir saja diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah ibn Rawaha, yang dikenal ksatria dan juga penyair, berkata:

 

“Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita memerangi mereka hanyalah karena agama juga, yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini: menang atau mati syahid.”

 

Rasa bangga dari penyair pemberani ini segera pula menular kepada anggota-anggota tentara yang lain. Mereka berkata: Ibn Rawaha memang benar!

 

Mereka lalu maju terus. Ketika sudah sampai di perbatasan Balga”, di sebuah desa bernama Masarif, mereka bertemu dengan pasukan Heraklius, yang terdiri dari orang-orang Rumawi dan Arab. Bilamana posisi musuh sudah dekat pihak Muslimin segera mengelak ke Mu’ta, yang dilihatnya sebagai kubu pertahanan akan lebih baik daripada Masyarif. Di Mu’ta inilah pertempuran sengit — antara seratus atau dua ratus ribu tentara Heraklius dengan tiga ribu tentara Muslimin — mulai berkobar.

 

Zaid b. Haritha Gugur

 

Alangkah agungnya iman, alangkah kuatnya! Bendera Nabi dibawa oleh Zaid b. Haritha dan dia terus maju ke tengah-tengah musuh. Ia yakin bahwa kematiannya itu takkan dapat dielakkan. Tetapi mati di sini berarti syahid di jalan Allah. Selain kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid. Dan di sinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur luluh ia oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya disambut oleh Ja’far b. Abi Talib dari tangannya. Ketika itu usianya baru tiga puluh tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan dan berani, Ja’far terus bertempur dengan membawa bendera itu. Bilamana kudanya oleh musuh dikepung, diterobosnya kuda itu dan ditetaknya, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah musuh, menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang kena. Ja’far Gugur

 

Bendera waktu itu dipegang di tangan kanan Ja’far, ketika tangan ini terputus, dipegangnya dengan tangan kirinya, dan bila tangan kiri ini pun terputus, dipeluknya bendera itu dengan kedua pangkal lengannya sampai ia tewas. Konon katanya yang menghantamnya orang dari Rumawi dengan sekaligus hingga ia terbelah dua.

 

Setelah Ja’far tewas bendera diambil oleh Abdullah ibn Rawaha. Dia maju dengan kudanya membawa bendera itu. Sementara itu terpikir olehnya akan turun saja. Ia masih agak ragu-ragu. Kemudian katanya:

 

O diriku, bersumpah aku

Akan turun engkau, akan turun

Atau masih terpaksa juga

Jika orang sudah berperang

dan genderang sudah berkumandang

Kenapa kulihat kau masih membenci surga?

Kemudian diambilnya pedangnya dan dia maju terus bertempur sampai akhirnya dia pun tewas juga.

 

Rawaha Gugur

 

Mereka itulah Zaid, Ja’far dan Ibn Rawaha. Mereka bertiga telah mati syahid di jalan Allah, dalam satu peristiwa. Tetapi setelah berita ini diketahui oleh Nabi, ia sangat terharu sekali, terutama terhadap Zaid dan Ja’far. Lalu katanya: Mereka telah diangkat kepadaku di surga — seperti mimpi orang yang sedang tidur — di atas ranjang emas. Lalu saya lihat ranjang Abdullah b. Rawaha agak miring daripada ranjang kedua temannya itu. Lalu ditanya: Kenapa begitu? Dijawabnya: Yang dua orang terus maju, tapi Abdullah agak ragu-ragu. Kemudian terus maju juga.

 

Orang sudah melihat teladan dan nasehat yang baik ini! Tidak lain ini artinya, bahwa seorang mukmin tidak boleh ragu-ragu atau takut mati di jalan Allah. Bahkan sebaliknya, setiap ia menghadapi sesuatu persoalan ia harus yakin bahwa itu untuk Tuhan dan tanah-air, ia harus menggenggam hidupnya di tangan, siap dilemparkan ke muka siapa saja yang akan merintanginya dari jalan itu. Salah satu: dia menang dan berhasil mencapai kebenaran Tuhan dan tanah-air, seperti yang sudah menjadi keyakinan. nya, atau ia gugur sebagai syahid. Ini adalah suatu teladan yang hidup bagi angkatan kemudian, dan suatu kenangan abadi buat jiwa besar yang bisa mengerti, bahwa harga hidup itu ialah hidup yang dikorbankan untuk tujuan cita-citanya, bahwa mempertahankan hidup dalam hina seperti menyia-nyiakan hidup. Orang semacam itu tidak perlu lagi nanti dikenang dalam hidup kita. Ada orang yang menerjunkan diri ke dalam bahaya bila terasa hidupnya terancam demikian rupa sehingga ia pun menjadi korban tujuan yang tidak berharga. Begitu juga ia berarti mengorbankan diri jika ia masih mempertahankan hidupnya padahal oleh Tuhan Yang Maha Kuasa ia diminta supaya hidupnya dilemparkan ke muka kebatilan, supaya dapat menghancurkan kebatilan itu. Tetapi ia lalu bersembunyi di balik tabir, ia sudah takut menghadapi maut, suatu perasaan takut yang sebenarnya lebih celaka daripada maut.

 

Jadi kalau sikap ragu-ragu yang hanya sedikit saja tampak pada Ibn Rawaha, padahal sesudah itu, dengan keberanian yang luar biasa ia pun bertempur lagi sampai mati sebagai syahid masih ditempatkan tidak sama dengan Zaid dan Ja’far yang menyerbu barisan maut dengan gembira menghadapi mati sebagai syahid, apalagi buat orang yang lalu berbalik surut hanya karena mengharapkan kedudukan atau harta atau sesuatu tujuan duniawi lainnya! Kalau begitu tidak lebih dia hanyalah serangga yang hina saja, meskipun kedudukannya di muka orang banyak sudah tinggi dan hartanya sudah melampaui harta karun. Benarlah jiwa manusia itu baru merasa gembira apabila ia sudah dapat berkorban untuk sesuatu yang diyakininya bahwa itu benar, sampai akhirnya ia pun gugur untuk membela kebenaran itu, atau kebenaran itu dapat menguasai hidupnya!

 

Ibn Rawaha tewas setelah sebentar ragu-ragu lalu tampil lagi dengan keberanian yang luar biasa. Sekali ini bendera diambil oleh Thabit b. Argam (Banu “Ajlan), yang kemudian berkata:

 

“Saudara-saudara kaum Muslimin. Mari kita mencalonkan salah seorang dari kita.”

 

Mereka segera menjawab: “Engkau sajalah.”

 

“Tidak, saya tidak akan mampu.”

 

Muslihat Khalid bin’I-Walid

 

Kemudian pilihan mereka jatuh kepada Khalid bin’l-Walid. Diambilnva bendera itu oleh Khalid setelah dilihatnya barisan Muslimin mulaj centang-perenang, kekuatan moril mereka mulai kendor. Khalid sendiri seorang jenderal yang cukup ulung, seorang penggerak militer yang tidak banyak bandingannya. Dengan demikian ia mulai memberikan komando, Barisan Muslimin dapat diaturnya kembali. Sekarang dalam menghadapi musuh itu sengaja ia membuat insiden-insiden kecil yang diulur-ulur sampai petang hari. Malamnya kedua pasukan itu tentu akan meletakkan senjata menunggu sampai pagi.

 

Pada saat itulah Khalid mengambil kesempatan menyusun siasat perangnya. Anak buahnya dipencar-pencar demikian rupa dengan jumlah yang tidak kecil, dalam suatu garis memanjang, yang dikerahkan maju dari barisan belakang. Pagi-pagi bila orang sudah bangun, dirasakannya ada kesibukan dan hiruk-pikuk demikian rupa yang cukup menimbulkan perasaan gentar di kalangan musuh, dengan anggapan bahwa bala bantuan telah didatangkan dari pihak Nabi. Kalau jumlah tiga ribu orang itu pada hari pertama telah membuat peranan begitu besar terhadap pasukan Rumawi dan tidak sedikit pula jumlah mereka yang sudah terbunuh — meskipun tak dapat mereka pastikan — konon apa lagi yang akan dapat mereka lakukan dengan adanya bala bantuan yang baru didatangkan itu, dengan tiada orang yang mengetahui berapa besarnya!

 

Penarikan Mundur

 

Oleh karena itu pihak Rumawi jadi menjauhkan diri dari serangan Khalid dan senang sekali mereka kalau Khalid tidak sampai menyerang mereka. Tetapi sebenarnya Khalid lebih senang lagi. Ia dapat menarik mundur pasukannya, kembali ke Medinah, setelah mengalami suatu pertempuran yang tidak membawa kemenangan buat pasukan Muslimin, dan yang juga sama tidak membawa kemenangan buat lawan mereka itu.

 

Bilamana Khalid dan pasukannya sudah hampir sampai di Medinah, Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sudah pula bersama-sama menyongsong mereka. Atas permintaan Muhammad kemudian Abdullah b. Ja’far dibawa dan diangkatnya di depannya. Orang ramai datang menaburkan tanah kepada pasukan tentara itu seraya berkata:

 

“He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!”

 

Tapi Rasul segera berkata:

 

“Mereka bukan pelarian. Tetapi mereka orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah.”

 

Sungguhpun sudah begitu rupa Muhammad menghibur orang-orang yang baru kembali dari Mu’ta itu, namun Muslimin belum mau juga memaafkan mereka karena penarikan mundur dan mereka kembali itu: sampai-sampai Salama ibn Hisyam tidak mau ikut sembahyang bersama. sama dengan Muslimin yang lain, kuatir masih akan terdengar suara. Suara orang bila melihatnya:

 

“He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah.”

 

Kalau tidak karena adanya tindakan-tindakan yang berarti dari mereka yang kembali dari Mu’ta itu, terutama tindakan Khalid sendiri, niscaya Mu’ta masih akan dianggap suatu cemar karena pelarian yang telah dicontengkan saudara-saudara seagama di kening mereka itu.

 

Begitu pedih perasaan duka itu menusuk hati Muhammad setelah diketahuinya Zaid dan Ja’far telah tewas. Begitu sedih ia menanggung dukacita karena mereka itu.

 

Setelah Ja’far mendapat malapetaka, Muhammad pergi sendiri ke rumahnya, dijumpainya istrinya Asma bt. “Umais yang pada waktu itu ia sudah membuat adonan roti, anak-anaknya sudah dimandikan, sudah diminyaki dan dibersihkan.

 

“Bawa kemari anak-anak Ja’far itu”, kata Muhammad kepadanya.

 

Muhammad Menangisi para Syuhada

 

Setelah mereka dibawa, diciuminya anak-anak itu, dengan air mata yang sudah berlinangan.

 

“Rasulullah”, kata Asma’ gelisah: ia sudah merasa apa yang terjadi. “Demi ayah bundaku! Kenapa menangis, Rasulullah?! Ada hal-hal yang menimpa Ja’far dan kawan-kawannya barangkali?”

 

“Ya”, jawabnya. “Hari ini mereka tewas.” Berkata begitu air matanya sudah makin tak dapat ditahan, deras berderai. Asma” juga lalu menangis keras-keras sehingga banyak wanita-wanita yang datang berkumpul.

 

Bila Muhammad pulang ia berkata kepada keluarganya:

 

“Keluarga Ja’far jangan dilupakan. Buatkan makanan buat mereka.

 

Mereka sekarang dalam kesusahan.” Ketika dilihatnya putri Zaid — bekas budaknya itu — datang, dibelai-belainya bahunya sambil ia menangis. Ada sahabat-sahabat yang merasa terkejut melihat Rasul menangisi orang yang mati syahid itu. Lalu katanya, yang maksudnya: Tapi itu air mata seorang kawan yang kehilangan kawannya.

 

Ada sumber yang menyebutkan, bahwa jenazah Ja’far dibawa ke Medinah dan dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah Khalid dan pasukannya sampai. Sejak hari itu Rasul menyuruh orang supaya jangan lagi menangis. Kedua tangan ia far yang terputus, oleh Tuhan telah diganti dengan sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga.

 

Ekspedisi Dhat’s-Salasil

 

Beberapa minggu kemudian setelah Khalid kembali, Muhammad permaksud hendak mengembalikan pula kewibawaan Muslimin di bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini ia menugaskan “Amr bin’l-“Ash supaya mengerahkan orang-orang Arab ke Syam. Memang demikian, sebab ibn ‘Amr ini berasal dari kabilah daerah itu. Tentu akan lebih mudah ia bergaul dengan mereka. Tetapi setelah ia sampai di sebuah pangkalan air di daerah kabilah Judham yang disebut Silsil, mulai ia merasa kuatir. Segera ia mengirim kurir kepada Nabi “alaihissalam meminta bantuan. Dan Nabi pun segera mengirim Abu “Ubaida bin’l-Jarrah dari kalangan Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Sebagai orang yang masih baru dalam Islam, Muhammad kuatir “Amr akan berselisih dengan Abu “Ubaida sebagai anggota Muhajirin yang mula-mula, maka dipesannya kepada Abu “Ubaida ketika dilepaskan jangan berselisih.

 

“Engkau datang ke mari sebagai pembantuku. Pimpinan tentara di tanganku”, kata “Amr kemudian kepada Abu “Ubaida.

 

Abu “”Ubaida adalah orang yang sangat lemah-lembut, dan serba mudah dalam masalah-masalah duniawi.

 

“Rasulullah sudah berpesan”, katanya kepada “Amr. “Kita jangan berselisih. Kalau engkau tidak taat kepadaku, akulah yang taat kepadamu.”

 

Dan dalam melakukan sembahyang jamaah juga “Amr yang menjadi imam.

 

Sekarang ia mulai bergerak maju memimpin pasukannya itu. Pihak Syam yang bermaksud hendak menggempurnya telah diubrak-abrik. Dengan demikian kewibawaan Muslimin di bilangan daerah itu telah dapat dipulihkan.

 

Dalam pada itu Muhammad masih teringat juga pada Mekah dan segala sesuatunya. Akan tetapi, seperti sudah disebutkan, ia sangat memegang teguh isi Perjanjian Hudaibiya. Ia harus menunggu sampai habis waktu dua tahun. Sementara itu satuan-satuan tetap dikirimkan guna menjaga adanya pemberontakan kabilah-kabilah, yang berjiwa memang suka berontak itu. Tetapi hal ini tidak banyak makan tenaga. Utusan-utusan sudah berdatangan kepadanya dari segenap penjuru, mereka sudah menyatakan ketaatan dan kesetiaan yang penuh kepadanya. Hal inilah yang telah merupakan pengantar akan dibebaskannya Mekah serta akan kedudukan Islam yang kukuh di tempat ini, sebagai tempat yang paling disucikan untuk selama-lamanya.

 

Kesan Mu’ta yang Berbeda-beda — Tersebarnya Islam di sebelah Utara — Quraisy Melanggar Perjanjian Hudaibiya — Khuza’a Meminta Bantuan Nabi — Orang-orang Bijaksana Quraisy Cemas — Abu Sufyan di Medinah — Kegagalan Misi Abu Sufyan — Persiapan Muslimin Membebaskan Mekah — Surat Ibn Abi Balta’a kepada Quraisy — Perjalanan Tentara Muslimin — Banu Hasyim Masuk Islam — Abbas Hb. Abd’I-Muttalib — Abu Sufyan Mengintai — Pertemuannya dengan Abbas — Abu Sufyan di Hadapan Rasul — Karena Kebetulankah Peristiwa itu Terjadi? – Persiapan Memasuki Mekah — Pembagian Pasukan — Memasuki Mekah – Suatu Amnesti – Gambar-gambar dalam Ka’bah — Ka’bah Dibersihkan dari Berhala – Pengampunan Buat yang Sudah Dijatuhi Hukuman Mati — Mekah, Kota Suci buat Semua Orang — Khalid di Jadhima

 

DI BAWAH pimpinan Khalid bin’1-Walid pasukan Muslimin kini kembali pulang setelah terjadi peristiwa Mu’ta itu. Mereka kembali tidak membawa kemenangan, juga tidak membawa kekalahan. Mereka kembali pulang dengan senang hati.

 

Kesan Mu’ta yang Berbeda-beda

 

Penarikan mundur ini — setelah Zaid b. Haritha, Ja’far b. Abi Talib dan Abdullah b. Rawaha tewas — telah meninggalkan kesan yang berlain-lainan sekali pada pihak Rumawi, pada pihak Muslimin yang tinggal di Medinah dan pada pihak Quraisy di Mekah. Rumawi merasa gembira sekali dengan penarikan mundur pasukan Muslimin itu. Mereka sudah merasa bersyukur, sebab pertempuran itu tidak sampai berlangsung lama, meskipun tentara Rumawi terdiri dari seratus ribu menurut satu sumber, – atau dua ratus ribu menurut sumber yang lain, — sementara pasukan Muslimin terdiri dari tiga ribu orang. Kegembiraan pihak Rumawi itu – baik disebabkan oleh ketangkasan Khalid bin’l-Walid dalam bertahan mnati-matian dengan kekuatannya dalam mengadakan serangan, sehingga ia menghabiskan sembilan pedang yang patah di tangannya ketika bertempur setelah tewasnya tiga sahabatnya itu, atau disebabkan oleh kecerdikannya dalam mengatur dan membagi-bagi pasukannya pada hari kedua dan yang telah menimbulkan hiruk-pikuk sehingga pihak Rumawi mengira bahwa bala bantuan telah didatangkan dari Medinah — namun kabilah-kabilah Arab yang tinggal di perbatasan dengan Syam sangat kagum sekali melihat tindakan Muslimin ketika itu.

 

Karena peristiwa itu pula salah seorang pemimpin mereka (Farwa b. ‘Amr al-Judhami, seorang komandan pasukan Rumawi| langsung menyatakan diri masuk Islam. Akan tetapi, atas perintah Heraklius dia kemudian ditangkap dengan tuduhan berkhianat. Sungguhpun begitu Heraklius masih bersedia membebaskannya kembali asal saja ia mau kembali ke dalam pangkuan agama Nasrani, bahkan ia bersedia mengembalikannya pada jabatan semula sebagai komandan pasukan. Tetapi Farwa menolak dan tetap menolak dengan tetap bertahan dalam keislamannya, sehingga akhirnya ia dibunuh juga. Tetapi karena itu pula Islam makin luas tersebar di kalangan kabilah-kabilah Najd yang berbatasan dengan Irak dan Syam. Ketika itu di sana Rumawi sedang berada dalam puncak kekuasaannya.

 

Tersebarnya Islam di sebelah Utara

 

Dengan bertambah banyaknya orang masuk ke dalam agama baru ini Kerajaan Bizantium makin goyah kedudukannya, sehingga ada penguasa Heraklius, yang bertugas membayar gaji militer, ketika itu berkata lantang kepada orang-orang Arab Syam yang ikut dalam perang, “Lebih baik kalian menarik diri. Kerajaan dengan susah payah baru dapat membayar gaji angkatan perangnya. Untuk makanan anjingnya pun sudah tidak ada.”

 

Tidak heran kalau mereka lalu meninggalkan kerajaan dan meninggalkan angkatan perangnya. Sebaliknya, agama baru ini makin cemerlang sinarnya memancar di hadapan mereka, yang akan mengantarkan mereka kepada kebenaran yang lebih tinggi, yang akan menjadi tujuan umat manusia. Itu pula sebabnya, selama waktu itu saja ribuan orang telah masuk Islam, yang terdiri dari kabilah Sulaim dengan pemimpinnya Al“Abbas ibn Mirdas, kabilah-kabilah Asyja’ dan Ghatafan yang dahulu sudah bersekutu dengan Yahudi sampai hancurnya Yahudi di Khaibar, demikian juga kabilah-kabilah “Abs, Dhubyan dan Fazara. Peristiwa Mu’ta ini jugalah yang telah memudahkan persoalan bagi Muslimin di bagian utara Medinah sampai ke perbatasan Syam itu, dan ini pula yang telah membuat Islam lebih terpandang dan lebih kuat.

 

Akan tetapi buat Muslimin yang tinggal di Medinah pengaruhnya lain lagii Bilamana mereka melihat Khalid dan pasukannya kembali dari perbatasan Syam tidak membawa kemenangan atas pasukan Heraklius, mereka bersorak-sorak mengatakan: “He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!” Beberapa orang anggota pasukan itu merasa demikian malu sampai ada yang tidak berani keluar rumah, supaya jangan lagi diperolok-olok oleh anak-anak dan pemuda-pemuda Muslimin dengan tuduhan melarikan diri itu.

 

Sebaliknya di mata Quraisy, akibat Mu’ta itu dipandang oleh mereka sebagai suatu kehancuran dan pukulan berat buat Muslimin, sehingga tak ada lagi orang yang mau menghiraukan mereka atau menganggap penting segala perjanjian dengan mereka. Biarlah keadaan kembali seperti sebelum ‘umrat’I-gadza’. Biarlah keadaan kembali seperti sebelum Perjanjian Hudaibiya. Biarlah orang-orang Quraisy kembali lagi menyerang kaum Muslimin dan siapa saja yang masih terikat perjanjian dengan mereka tanpa harus merasa takut ada tindakan hukum dari Muhammad.

 

Quraisy Melanggar Perjanjian Hudaibiya

 

Perdamaian Hudaibiya antara lain sudah menentukan, bahwa barang. siapa yang ingin masuk ke dalam persekutuan dengan Muhammad boleh saja, dan barangsiapa ingin masuk ke dalam persekutuan dengan pihak Quraisy juga boleh. Ketika itu Khuza’a masuk bersekutu dengan Muhammad sedang Banu Bakr dengan pihak Quraisy. Sebenarnya antara Khuza’a dengan Banu Bakr ini sudah lama timbul permusuhan yang baru reda setelah ada perjanjian Hudaibiya, masing-masing kabilah menggabungkan diri dengan pihak yang mengadakan perdamaian itu.

 

Dengan adanya peristiwa yang telah terjadi di Mu’ta itu, sekarang terbayang oleh Quraisy bahwa Muslimin pasti mengalami kehancuran. Sudah terbayang oleh Banu’d-Dil. sebagai bagian dari Banu Bakr b. “Abd Manat, bahwa sekarang sudah tiba waktunya akan membalas dendam lamanya kepada Khuza’a, ditambah lagi memang ada segolongan orang dari pihak Quraisy yang ikut mendorong, di antaranya “Ikrima b. Abi Jahl dan beberapa orang pemimpin Quraisy lainnya yang sekalian memberikan bantuan senjata.

 

Khuza’a Meminta Bantuan Nabi

 

Malam itu pihak Khuza’a sedang berada di tempat pangkalan air milik mereka sendiri yang bernama Al-Watir, oleh pihak Banu Bakr mereka diserang dengan tiba-tiba sekali dan beberapa orang dari pihak Khuza’a dibunuh. Sekarang Khuza’a lari ke Mekah, berlindung kepada keluarga Budail b. Warga’ dengan mengadukan perbuatan Quraisy dan Banu Bakr yang telah melanggar perjanjian dengan Rasulullah itu. Untuk itu “Amr Hb. Salim dari Khuza’a cepat-cepat pula pergi ke Medinah. Dan bila ia sudah menghadap Muhammad yang ketika itu sedang dalam mesjid dengan beberapa orang, diceritakannya apa yang telah terjadi itu dan ia meminta pertolongannya.

 

“Amr b. Salim, mesti engkau dibela”, kata Rasulullah.

 

Sesudah itu Budail b. Warga’ bersama beberapa orang dari pihak Khuza’a kemudian berangkat pula ke Medinah. Mereka melaporkan kepada Nabi mengenai nasib yang mereka alami itu serta adanya dukungan Quraisy kepada Banu Bakr. Melihat apa yang telah dilakukan Quraisy dengan merusak perjanjian itu, maka tak ada jalan lain menurut Nabi, Mekah harus dibebaskan. Untuk itu ia bermaksud mengutus orang kepada kaum Muslimin di seluruh jazirah supaya bersiap-siap menantikan panggilan yang belum mereka ketahui apa tujuannya panggilan demikian itu.

 

Orang-orang Bijaksana Quraisy Cemas

 

Sebaliknya orang-orang yang dapat berpikir lebih bijaksana di kalangan Quraisy, mereka sudah dapat menduga bahaya apa yang akan timbul akibat tindakan “Ikrima dan kawan-kawannya dari kalangan pemuda itu. Kini persetujuan Hudaibiya sudah dilanggar, dan pengaruh Muhammad di seluruh jazirah sekarang sudah bertambah kuat. Sekiranya apa yang telah terjadi itu dipikirkan, bahwa pihak Khuza’a akan menuntut balas terhadap penduduk Mekah, pasti Kota Suci itu akan sangat terancam bahaya. Jadi apa yang harus mereka lakukan sekarang?

 

Mereka mengutus Abu Sufyan ke Medinah, dengan maksud supaya persetujuan itu diperkuat kembali dan diperpanjang waktunya. Barangkali waktu yang sudah itu berlaku untuk dua tahun, sekarang mereka mau supaya menjadi sepuluh tahun.

 

Abu Sufyan, sebagai pemimpin mereka dan sebagai orang yang bijaksana di kalangan mereka kini berangkat menuju Medinah. Ketika sampai di “Usfan dalam perjalanannya itu ia bertemu dengan Budail b. Warga’ dan rombongannya. Ia kuatir Budail sudah menemui Muhammad dan melaporkan apa yang telah terjadi. Hal ini akan lebih mempersulit tugasnya. Tetapi Budail membantah bahwa ia telah menemui Muhammad. Sungguhpun begitu, dari kotoran binatang tunggangan Budail itu ia mengetahui, bahwa orang itu memang dari Medinah. Oleh karena itulah, ia tidak akan langsung menemui Muhammad lebih dulu, melainkan akan menuju ke rumah putrinya, Umm Habiba, istri Nabi.

 

Abu Sufyan di Medinah

 

Mungkin ia (Umm Habiba) memang sudah mengetahui rasa kasihsayang Nabi kepada Quraisy meskipun ia belum mengetahui apa yang sudah menjadi keputusannya mengenai Mekah. Dan mungkin juga Semua Muslimin yang ada di Medinah demikian.

 

Waktu itu Abu Sufyan sudah akan duduk di lapik yang biasa diduduki Nabi, tapi oleh Umm Habiba lapik itu segera dilipatnya. Lalu oleh ayahnya ia ditanya, melipat lapik itu karena ia sayang kepada ayah, ataukah karena sayang kepada lapik.

 

“Ini lapik Rasulullah — s.a.w.”, jawabnya. “Ayah orang musyrik yang kotor. Saya tidak ingin ayah duduk di tempat itu.”

 

“Sungguh engkau akan mendapat celaka, anakku”, kata Abu Sufyan. Lalu ia keluar dengan marah.

 

Kegagalan Misi Abu Sufyan

 

Sesudah itu ia pergi menemui Muhammad, bicara mengenai perjanjian serta perpanjangan waktunya. Tetapi Nabi tidak memberikan jawaban samasekali. Selanjutnya ia pergi menemui Abu Bakr supaya membicara. kan maksudnya itu dengan Nabi. Tetapi Abu Bakr juga menolak. Sekarang Umar bin’l-Khattab yang dijumpainya. Tetapi Umar memberikan jawaban yang cukup keras: “Aku mau menjadi perantara kamu kepada Rasulullah? Sungguh, kalau yang ada padaku hanya remah, pasti dengan itu pun akan kulawan engkau.” Seterusnya ia menemui Ali b. Abi Talib, dan Fatimah ada di tempat itu. Dikemukakannya maksud kedatangannya itu dan dimintanya supaya ia menjadi perantaranya kepada Rasul. Tetapi Ali mengatakan dengan lemah-lembut bahwa tak ada orang yang akan dapat menyuruh Muhammad menarik kembali sesuatu yang sudah menjadi keputusannya. Selanjutnya utusan Quraisy itu meminta pertolongan Fatimah supaya Hasan — anaknya — berusaha memintakan perlindungan di kalangan khalayak ramai.

 

“Tak ada orang akan berbuat demikian itu dengan maksud akan dihadapkan kepada Rasulullah”, jawab Fatimah.

 

Sekarang keadaannya jadi makin gawat buat Abu Sufyan. Ia meminta pendapat Ali.

 

“Sungguh saya tidak tahu, apa yang kiranya akan berguna buat kau”, jawab Ali. “Tetapi engkau pemimpin Banu Kinana. Cobalah minta perlindungan kepada orang ramai: sesudah itu, pulanglah ke negerimu. Saya kira ini tidak cukup memuaskan. Tapi hanya itu yang dapat saya usulkan kepadamu.”

 

Abu Sufyan lalu pergi ke mesjid dan di sana ia mengumumkan bahwa ia sudah meminta perlindungan khalayak ramai. Kemudian ia menaiki untanya dan berangkat pulang ke Mekah dengan membawa perasaan kecewa karena rasa hina yang dihadapinya dari anaknya sendiri dan dari orang-orang — yang sebelum mereka hijrah — pernah mengharapkan belaskasihnya.

 

Abu Sufyan kembali ke Mekah. Kepada masyarakatnya ia melaporkan segala yang dialaminya selama di Medinah serta perlindungan yang dimintanya dari masyarakat ramai atas saran Ali, dan bahwa Muhammad pelum memberikan persetujuannya.

 

“Sial!” kata mereka. “Orang itu lebih-lebih lagi mempermainkan kau.”

 

Persiapan Muslimin Membebaskan Mekah

 

Lalu mereka kembali lagi mengadakan perundingan.

 

Sebaliknya Muhammad, ia berpendapat tidak akan memberikan kesempatan mereka mengadakan persiapan untuk memeranginya. Oleh karena itu sudah percaya pada kekuatan sendiri dan pada pertolongan Tuhan kepadanya, ia berharap akan dapat menyergap mereka dengan tiba-tiba, sehingga mereka tidak lagi sempat mengadakan perlawanan dan dengan demikian mereka menyerah tanpa pertumpahan darah.

 

Surat Ibn Balta’a kepada Quraisy

 

Oleh karena itu diperintahkannya supaya orang bersiap-siap. Dan setelah persiapan selesai, diberitahukan kepada mereka, bahwa kini ia siap berangkat ke Mekah, dan diperintahkan pula supaya mereka cepat-cepat. Sementara itu ia berdoa kepada Tuhan mudah-mudahan Quraisy tidak sampai mengetahui berita perjalanan Muslimin itu.

 

Ketika tentara Muslimin sudah siap-siap akan berangkat, Hatib b. Abi Balta’a mengirim sepucuk surat di tangan seorang wanita dari Mekah, budak salah seorang Banu “Abd’l-Muttalib bernama Sarah dengan diberi upah supaya surat itu disampaikan kepada pihak Quraisy, yang isinya memberitahukan, bahwa Muhammad sedang mengadakan persiapan hendak menghadapi mereka. Sebenarnya Hatib orang besar dalam Islam. Tapi sebagai manusia, dari segi kejiwaannya ia mempunyai beberapa kelemahan, yang kadang cukup menekan jiwanya sendiri dan menghanyutkannya ke dalam suatu masalah yang memang tidak dikehendakinya. Masalah ini oleh Muhammad segera pula diketahui.

 

Cepat-cepat disuruhnya Ali b. Abi Talib dan Zubair bin’I-“Awwam mengejar Sarah. Wanita itu disuruh turun, surat dicarinya di tempat barang tapi tidak juga diketemukan. Wanita itu diperingatkan, bahwa kalau surat itu tidak dikeluarkan, merekalah yang akan membongkarnya. Melihat keadaan yang begitu sungguh-sungguh, wanita itu berkata: Lalulah.

 

Kemudian ia membuka ikatan rambutnya dan surat itu pun dikeluarkan, yang oleh kedua orang itu lalu dibawa kembali ke Medinah.

 

Sekarang Hatib dipanggil oleh Muhammad dan ditanya kenapa ia sampai berbuat demikian.

 

“Rasulullah”, kata Hatib. “Demi Allah, saya tetap beriman kepada Allah dan kepada Rasulullah. Sedikit pun tak ada perubahan pada diri saya. Akan tetapi saya, yang tidak punya hubungan keluarga atau kerabar dengan mereka itu, mempunyai seorang anak dan keluarga di tengah. tengah mereka. Maka itu sebabnya saya hendak menenggang mereka.”

 

“Rasulullah”, sela Umar bin’I-Khattab. “Serahkan kepada saya, akan Saya penggal lehernya. Orang ini bermuka dua.”

 

“Dari mana engkau mengetahui itu, Umar”, kata Rasulullah.

 

“Mudah-mudahan Allah sudah menempatkan dia sebagai orang-orang Badr ketika terjadi Perang Badr.” Lalu katanya:

 

“Berbuatlah sekehendak kamu. Sudah kumaafkan kamu.”

 

Dan Hatib memang orang yang ikut dalam Perang Badr. Ketika itulah firman Tuhan datang:

 

“Orang-orang yang beriman! Janganlah musuh-Ku dan musuh kamu dijadikan sahabat-sahabat kamu, dengan memperlihatkan kasih-sayang kamu kepada mereka.”

 

Sekarang pasukan tentara Muslimin sudah mulai bergerak dari Medinah menuju Mekah, dengan tujuan membebaskan kota itu serta menguasai Rumah Suci, yang oleh Tuhan telah dijadikan tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.

 

Perjalanan Tentara Muslimin

 

Pasukan ini bergerak dalam suatu jumlah yang belum pernah dialami oleh kota Medinah. Mereka terdiri dari kabilah-kabilah Sulaim, Muzaina, Ghatafan dan yang lain, yang telah menggabungkan diri, baik kepada Muhajirin ataupun kepada Anshar. Mereka berangkat bersama-sama dengan mengenakan pakaian besi. Mereka melingkar ke tengah-tengah padang sahara yang membentang luas itu, sehingga apabila kemah-kemah mereka sudah dikembangkan, tertutup belaka oleh debu pasir sahara itu, sehingga karenanya orang takkan dapat melihatnya. Mereka yang terdiri dari ribuan orang itu telah mengadakan gerak cepat. Setiap mereka melangkah maju, kabilah-kabilah lain ikut menggabungkan diri, yang berarti menambah jumlah dan menambah kekuatan pula. Semua mereka perangkat dengan kalbu yang penuh iman, bahwa dengan pertolongan Allah mereka akan mendapat kemenangan. Perjalanan ini dipimpin oleh Muhammad dengan pikiran dan perhatian tertuju hanya hendak memasuki Rumah Suci tanpa akan mengalirkan darah setetes sekalipun.

 

Bila pasukan ini sudah sampai di Marr’z-Zahran’ dan jumlah anggota pasukan sudah mencapai sepuluh ribu orang, pihak Quraisy belum juga mendapat berita. Mereka masih dalam silang-sengketa, bagaimana caranya akan menangkis serangan dari Muhammad.

 

Oleh Abbas b. “Abd’I-Muttalib — paman Nabi — ditinggalkannya mereka itu dalam perdebatan dan dia sendiri sekeluarga berangkat menemui Muhammad di Juhfa.? Bolehjadi sudah ada orang-orang dari Banu Hasyim yang sudah menerima berita atau semacam berita tentang kebenaran Nabi. Lalu mereka bermaksud menggabungkan diri tanpa akan mendapat sesuatu gangguan.

 

Banu Hasyim Masuk Islam

 

Di samping Abbas, yang juga berangkat menyongsong ialah Abu Sufyan bin’I-Harith b. “Abd’I-Muttalib, sepupu Nabi, Abdullah b. Abi Umayya bin’I-Mughira, anak bibinya. Mereka menggabungkan diri dengan pasukan Muslimin di Nig’l-“Ugab. Mereka berdua minta izin akan menemui Nabi, tapi Nabi menolak.

 

“Tidak perlu aku kepada mereka”, katanya kepada Umm Salama, istrinya, ketika ia mencoba membicarakan masalah dua orang itu. “Aku sudah banyak menderita karena anak pamanku itu. Sedang anak bibiku, dan iparku pula, ia sudah mengatakan yang bukan-bukan ketika ia di Mekah.”

 

Keterangan ini disampaikan kepada Abu Sufyan, dan dia berkata:

 

“Demi Allah, bagiku hanyalah aku ingin diizinkan bertemu, atau, dengan bantuan anakku ini, kami akan pergi ke mana saja, Sampai kami mati kehausan dan kelaparan.”

 

Nabi merasa kasihan kepada mereka. Kemudian mereka pun diizin. kan masuk menemuinya, dan mereka menyatakan masuk Islam.

 

Abbas b. Abd’I-Muttalib

 

Menyaksikan pasukan Muslimin serta kekuatannya yang demikian rupa, Abbas b. “Abd’l-Muttalib sekarang merasa cemas dan terkejut sekali. Sekalipun ia sudah masuk Islam, namun hatinya selalu kuatir akan bencana yang akan menimpa Mekah jika kekuatan pasukan yang belum pernah ada bandingannya di seluruh jazirah Arab itu kelak menyerbu ke dalam kota. Bukankah baru saja ia meninggalkan Mekah, meninggalkan keluarga dan handai-tolan, yang belum lagi terputus pertalian mereka karena Islam yang baru dianutnya itu? Bolehjadi ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Rasul, dan ia bertanya apa yang akan diperbuat, nya kalau pihak Quraisy minta damai. Atau bolehjadi juga sepupunya in yang dengan senang hati membuka pembicaraan dengan Abbas dalam haj ini, dan diharapkannya ia menjadi seorang utusan yang akan memberi kesan yang menakutkan kepada sekelompok orang di kalangan Quraisy itu, sehingga kelak dapat memasuki Mekah tanpa sesuatu pertumpahan darah dan Mekah akan tetap dalam kesuciannya seperti dulu dan seperti yang seharusnya akan demikian.

 

Dengan duduk di atas seekor bagal! putih kepunyaan Nabi, Abbas berangkat pergi ke daerah Arak, dengan harapan kalau-kalau ia akan berjumpa dengan orang mencari kayu, atau tukang susu atau dengan manusia siapa saja yang sedang pergi ke Mekah. Ia akan menitipkan pesan kepada penduduk kota itu tentang kekuatan pasukan Muslimin yang sebenarnya supaya mereka kelak menemui Rasulullah dan minta damai sebelum pasukan ini memasuki kota dengan kekerasan.

 

Sejak pihak Muslimin berlabuh di Marr’z-Zahran, pihak Quraisy sudah mulai merasakan adanya bahaya yang sedang mendekati mereka. Maka diutusnya Abu Sufyan b. Harb, Budail b. Warga’ dan Hakim b. Hizam — masih kerabat Khadijah — mencari-cari berita serta mengajuk sampai seberapa jauh bahaya yang mungkin mengancam mereka itu.

 

Abu Sufyan Mengintai

 

Sementara Abbas sedang di atas bagal Nabi yang putih itu, tiba-tiba ia mendengar ada percakapan antara Abu Sufyan b. Harb dengan Budail b. Warga’ sebagai berikut:

 

Abu Sufyan: “Aku belum pernah melihat api unggun dan pasukan tentara seperti yang kita lihat malam ini.”

 

Budail: “Tentu itu api unggun Khuza’a yang sudah dirangsang perang.”

 

Pertemuannya dengan Abbas

 

Abbas sudah mengenal suara Abu Sufyan itu, lalu dipanggilnya dengan nama julukannya:

 

“Abu Hanzala!”

 

“Abu’l-Fadzl!” gilir Abu Sufyan menyahut.

 

“Abu Sufyan, kasihan engkau!” kata Abbas. “Rasulullah berada di tengah-tengah rombongan itu. Apa jadinya Quraisy kalau mereka memasuki Mekah dengan kekerasan.”

 

“Apa yang harus kita perbuat!” kata Abu Sufyan. “Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu.”’

 

Oleh Abbas ia dinaikkannya di belakang bagal dan diajaknya berangkat bersama-sama, sedang kedua temannya disuruhnya kembali ke Mekah. Oleh karena ketika melihat bagal itu mereka sudah mengenalnya, dibiarkannya ia dengan penumpangnya itu lalu di hadapan mereka, di tengah-tengah sepuluh ribu orang yang sedang memasang api unggun, yang sengaja dipasang untuk menimbulkan kegentaran dalam hati penduduk Mekah.

 

Akan tetapi ketika bagal itu lalu di depan api unggun Umar bin’lKhattab, dan Umar melihatnya, sekaligus ia mengenal Abu Sufyan dan diketahuinya pula bahwa Abbas hendak melindunginya. Cepat-cepat ia pergi ke kemah Nabi dan dimintanya kepada Nabi supaya batang leher orang itu dipenggal.

 

“Rasulullah”, kata Abbas. “Saya sudah melindunginya.”

 

Menghadapi situasi semacam itu dan waktu sudah malam pula, dan setelah terjadi perdebatan yang kadang sengit juga antara Umar dan Abbas, Muhammad berkata:

 

“Bawalah dia dulu ke tempatmu, Abbas. Pagi-pagi besok bawa ke mari.” ,

 

Abu Sufyan di Hadapan Rasul

 

Keesokan harinya, bilamana Abu Sufyan sudah dibawa lagi menghadap Nabi dan disaksikan oleh pembesar-pembesar dari kalangan Muhajirin dan Anshar — terjadi dialog demikian ini:

 

Nabi: “Kasihan kamu Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba waktunya sekarang engkau harus mengetahui, bahwa tak ada Tuhan selain Allah!?”

 

Abu Sufyan: “Demi ibu-bapaku! Sungguh bijaksana engkau! Sungguh pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga! Aku memang sudah menduga, bahwa tak ada tuhan selain Allah, itu sudah mencukupi segalanya.”

 

Nabi: “Kasihan engkau Abu Sufyan! Bukankah sudah tiba waktunya engkau harus mengetahui, bahwa aku Rasulullah!?”

 

Abu Sufyan: “Demi ibu-bapaku! Sungguh bijaksana engkau! Sungguh pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga! Tetapi mengenai hal ini, sungguh sampai sekarang masih ada sesuatu dalam hatiku.”

 

Sekarang Abbas campur tangan. Ia bicara dengan ditujukan kepada Abu Sufyan, supaya ia mau menerima Islam dan bersaksi bahwa tak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad pesuruhNya — sebelum batang lehernya dipenggal. Menghadapi hal ini buat Abu Sufyan tak ada jalan lain ia harus menerima. Sekarang Abbas menghadapkan pembicaraannya kepada Nabi “alaihissalam:

 

“Rasulullah”, katanya. “Abu Sufyan orang yang gila hormat. Berikanlah sesuatu kepadanya.”

 

“Ya”, kata Rasulullah.

 

“Barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan, orang itu selamat, barangsiapa menutup pintu rumahnya orang itu selamat dan barangsiapa masuk ke dalam mesjid orang itu juga selamat.”

 

Karena Kebetulankah Peristiwa itu Terjadi?

 

Ahli-ahli sejarah dan penulis-penulis riwayat hidup Nabi semua sepakat tentang terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Hanya sebagian mereka masih ada yang bertanya-tanya: Adakah semua itu terjadi karena kebetulan saja? Kepergian Abbas kepada Nabi dengan maksud hendak pergi ke Medinah, tiba-tiba bertemu dengan pasukan tentara Muslimin di Juhfa, begitu juga kepergian Budail b. Warga’ dan Abu Sufyan b. Harb yang hanya sekadar mau mengintai, padahal sebelum itu Budail sendiri sudah ke Medinah dan melaporkan kepada Nabi apa yang telah terjadi terhadap Khuza’a dan dari Nabi diketahuinya bahwa Nabi akan membelanya. Adakah dalam kepergiannya ini Abu Sufyan tidak menyadari bahwa Muhammad juga telah berangkat hendak menyerbu Mekah? Ataukah karena sesuatunya itu — sedikit banyak — dengan suatu persepakatan yang sudah diatur lebih dulu, dan karena persepakatan itu pula, telah mempertemukan Abbas dengan Abu Sufyan, dan bahwa Abu Sufyan sudah yakin — sejak ia pergi ke Medinah hendak meminta perpanjangan waktu Perjanjian Hudaibiya dan kembali dengan tangan kosong — bahwa tak ada jalan lain buat Quraisy akan dapat menahan Muhammad dan yakin pula ia bahwa kalau ia membukakan jalan untuk pembebasan itu ia akan tetap memegang pimpinan dan: mempertahankan kedudukannya yang penting di Mekah, dan bahwa apa yang telah menjadi persepakatan mereka itu tidak sampai pula kepada Muhammad dan kepada orang-orang yang berkepentingan dengan soal itu, dengan kenyataan bahwa Umar sendiri pun telah bermaksud hendak membunuh Abu Sufyan? Besar sekali risikonya kita akan menjatuhkan vonis. Tetapi rasanya kita sudah akan dapat memastikan — untuk memuaskan hati kita — bahwa baik karena suatu kebetulan saja yang telah menyebabkan semua peristiwa itu, atau karena memang sudah ada semacam suatu persepakatan, tapi yang terang kedua kejadian itu menunjukkan, betapa cermat dan pandainya Muhammad dapat menguasai suatu peperangan terbesar dalam sejarah Islam tanpa pertempuran dan tanpa pertumpahan darah. Persiapan Memasuki Mekah

 

Isslamnya Abu Sufyan itu tidak akan mengurangi kewaspadaan dan kesiap-siagaan Muhammad dalam menyiapkan diri hendak memasuki Mekah. Kalau kemenangan yang di tangan Tuhan itu memang diberikan kepada siapa saja yang dikehendakiNya, tapi Tuhan akan memberikan pertolongan hanya kepada orang yang sudah mengadakan persiapan, dan dalam segala hal dan setiap saat berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan. Oleh karena itu diperintahkannya supaya Abu Sufyan ditahan dulu di sela wadi, pada sebuah jalan masuk gunung ke Mekah, sehingga bila nanti pasukan Muslimin lewat, ia akan melihatnya sendiri, dan dapat pula dengan jelas ia melaporkan kepada golongannya, supaya jangan timbul perlawanan yang bagaimanapun bentuknya, apabila ia dapat cepat-cepat kembali kepada mereka kelak.

 

Bilamana kemudian kabilah-kabilah itu lewat di hadapan Abu Sufyan, yang sangat mempesonakan hatinya ialah batalion serba hijau yang mengelilingi Muhammad, yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, dan yang tampak hanyalah pakaian besi. Setelah mengetahui keadaan itu Abu Sufyan berkata: | “Abbas, kiranya takkan ada orang yang sanggup menghadapi mereka Itu. Abu’l-Fadzl, kerajaan kemenakanmu ini kelak akan menjadi besar!”

 

Sesudah itu kemudian ia dibebaskan pergi menemui golongannya dan dengan suara keras ia berteriak kepada mereka:

 

“Saudara-saudara Quraisy! Muhammad sekarang datang dengan kekuatan yang takkan dapat kamu lawan. Tetapi barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan orang itu selamat, barangsiapa menutup pintu rumahnya, orang itu selamat dan barangsiapa masuk ke dalam mesjid Orang itu juga selamat!”

 

Muhammad sudah berangkat bersama pasukannya sampai ke Dhu. Tuwa. Setelah dilihatnya dari tempat itu tak ada perlawanan dari pihak Mekah, pasukannya dihentikan. Ia membungkuk menyatakan rasa Syukur kepada Tuhan, yang telah membukakan pintu Lembah Wahyu dan tempat Rumah Suci itu kepadanya dan kepada kaum Muslimin, sehingga mereka dapat masuk dengan aman, dengan tenteram.

 

Dalam pada itu Abu Ouhafa (ayah Abu Bakr) — yang belum Iagi masuk Islam waktu itu — meminta kepada cucunya yang perempuan supaya ia dibawa mendaki gunung Abu Oubais. Sesampainya di atas gunung, Orang yang sudah buta itu bertanya kepada cucunya apa yang dilihatnya, Oleh cucunya dijawab bahwa ia melihat sesuatu serba hitam berkelompok. “Itu pasukan berkuda”, kata orang tua itu.

 

“Sekarang yang serba hitam itu sudah terpencar”, kata cucunya lagi.

 

“Kalau begitu pasukan berkuda itu sedang bertolak ke Mekah, Cepat-cepatlah bawa aku pulang ke rumah.”

 

Pembagian Pasukan

 

Tetapi scbelum ia sampai ke rumahnya pasukan berkuda itu sudah lebih dulu sampai.

 

Muhammad merasa bersyukur kepada Tuhan karena pintu Mekah kini telah terbuka. Tetapi sungguhpun demikian ia tetap selalu waspada dan berhati-hati. Diperintahkannya pasukannya supaya dipecah menjadi empat bagian. Diperintahkan kepada mereka semua supaya jangan melakukan pertempuran, jangan sampai meneteskan darah, kecuali jika sangat terpaksa sekali. Zubair bin’I-“Awwam dalam memimpin pasukan itu ditempatkan pada sayap kiri dan diperintahkan memasuki Mekah dari sebelah utara. Khalid bin’I-Walid ditempatkan pada sayap kanan dan diperintahkan supaya memasuki Mekah dari jurusan bawah. Sa’d b. “Ubada yang memimpin orang Medinah supaya memasuki Mekah dari sebelah barat, sedang Abu “Ubaida bin’l-Jarrah oleh Muhammad ditempatkan ke dalam barisan Muhajirin dan bersama-sama memasuki Mekah dari bagian atas, di kaki gunung Hind.

 

Sementara mereka sedang dalam persiapan demikian itu, tiba-tiba terdengar Sa’d b. “Ubada berkata:

 

“Hari ini adalah hari perang. Hari dibolehkannya segala yang terlarang……… ?

 

Dalam hal ini ia telah melanggar perintah Nabi, bahwa kaum Muslimin tidak boleh membunuh penduduk Mekah. Oleh karena itu ketika Nabi mengetahui apa yang dikatakan oleh Sa’d itu, terpikir olehnya akan mengambil bendera yang ada di tangannya dan menyerahkannya kepada anaknya, Oais. Oais adalah laki-laki yang bertubuh besar, tapi ia lebih tenang dari ayahnya. Ketika pasukan sudah memasuki kota, dari pihak Mekah tidak ada

 

perlawanan, kecuali pasukan Khalid bin’1-Walid yang berhadapan dengar perlawanan dari mereka yang tinggal di daerah bagian bawah Mekah Mereka ini terdiri dari orang-orang Quraisy yang paling keras memusuhj Muhammad dan yang ikut serta dengan Banu Bakr melanggar Perjanjian Hudaibiya dengan mengadakan serangan terhadap Khuza’a. Mereka inj tidak mau memenuhi seruan Abu Sufyan. Bahkan mereka telah menyiap. kan diri hendak berperang, sementara yang lain dari golongan mereka ini juga telah bersiap-siap pula hendak melarikan diri. Mereka dipimpin oleh Safwan, Suhail dan “Ikrima b. Abi Jahl. Bilamana pasukan Khalid ini datang, mereka menghujaninya dengan serangan panah. Tetapi secepat itu pula Khalid berhasil mencerai-beraikan mereka. Sungguhpun begitu dua orang dari anak buahnya tewas, karena mereka ini ternyata sesat jalan dan terpisah dari induk pasukannya, sementara pihak Quraisy kehilangan tiga belas orang, menurut satu sumber, atau dua puluh delapan orang, menurut sumber yang lain.

 

Melihat malapetaka yang sekarang sedang menimpa mereka ini, Shafwan, Suhail dan “Ikrima cepat-cepat angkat kaki melarikan diri, dengan meninggalkan orang-orang yang tadinya mereka kerahkan mengadakan perlawanan menghadapi kekuatan dan pukulan Khalid yang heroik itu. Dalam pada itu Muhammad dengan pasukan Muhajirin yang kini di atas sebuah dataran tinggi itu, sedang menyusur turun menuju ke Mekah, dengan keyakinan hati hendak membebaskannya dalam keadaan aman dan damai. Dilihatnya kota itu dengan segala isinya, dilihatnya pula kilatan pedang di bagian bawah kota serta pasukan Khalid yang sedang mengejar-ngejar mereka yang menyerangnya itu. Di sini ia merasa sedih sekali dan berteriak geram dengan mengingatkan kembali akan perintahnya untuk tidak mengadakan pertempuran. Setelah diketahuinya kemudian apa yang telah terjadi, teringat ia bahwa yang sudah dikehendaki

 

Tuhan itulah yang baik.

 

Memasuki Mekah

 

Sekarang Muhammad berhenti di hulu kota Mekah, di hadapan

 

Bukit Hind. Di tempat itu dibangunnya sebuah kubah (kemah lengkung). tidak jauh dari makam Abu Talib dan Khadijah. Ketika ia ditanya. maukah ia beristirahat di rumahnya, dijawabnya:

 

“Tidak. Tidak ada rumah yang mereka tinggalkan buat saya di Mekah”, katanya.

 

Kemudian ia masuk ke dalam kemah lengkung itu, ia beristirahat dengan hati penuh rasa syukur kepada Tuhan, karena ia telah kembali dengan terhormat, dengan membawa kemenangan ke dalam kota, kota yang dulu telah mengganggunya, menyiksanya dan mengusirnya dari keluarga dan kampung halamannya. Ia melepaskan pandang ke sekitar tempat itu, ke lembah wadi dan gunung-gunung yang ada di sekelilingnya. Gunung-gunung, tempat ia dahulu tinggal di celah-celahnya, ketika tindakan Quraisy sudah begitu memuncak, begitu keras mengasingkan dia. Di pegunungan itulah, yang juga di antaranya Gua Hira, tempat ia menjalankan tahannuth ketika datang kepadanya wahyu:

 

“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya…….’”

 

Ke sekitar gunung-gunung itu ia melepaskan pandang, ke lembahlembah, dengan rumah-rumah Mekah yang bertebaran, dan di tengahtengah adalah Rumah Suci. Begitu rendah hati ia kepada Tuhan, sehingga air mata menitik dari matanya, setitik air mata Islam dan rasa syukur demi Kebenaran Yang Mutlak, yang dalam segala soal kepadaNya jua akan kembali.

 

Saat itu juga terasa olehnya bahwa tugasnya sebagai komandan sudah selesai. Tidak lama tinggal dalam kemah itu, ia segera keluar lagi. Dinaikinya untanya Al-Oashwa” dan ia pergi meneruskan perjalanan ke Ka’bah. Ia bertawaf di Ka’bah tujuh kali dan menyentuh sudut (hajar aswad) dengan sebatang tongkat? di tangan. Selesai ia melakukan tawaf, dipanggilnya Uthman b. Talha dan pintu Ka’bah dibuka. Sekarang Muhammad berdiri di depan pintu, orang mulai berkumpul di masjid. Ia berkhutbah di hadapan mereka itu serta membacakan firman Tuhan: “Wahai manusia. Kami menciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling mengenal. Tetapi orang yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah orang yang paling takwa (menjaga diri dari kejahatan). Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengerti.”

 

Suatu Amnesti

 

Kemudian ia menanya kepada mereka:

 

“Orang-orang Quraisy. Menurut pendapat kamu, apa yang akan kuperbuat terhadap kamu sekarang?”

 

“Yang baik-baik. Saudara yang pemurah, sepupu yang pemurah”, jawab mereka.

 

“Pergilah kamu sekalian. Kamu sekarang sudah bebas!” katanya.

 

Dengan ucapan itu maka kepada Quraisy dan seluruh penduduk Mekah ia telah memberikan pengampunan umum (amnesti).

 

Alangkah indahnya pengampunan itu di kala ia mampu! Alangkah besarnya jiwa ini, jiwa yang telah melampaui segala kebesaran, melampaui segala rasa dengki dan dendam di hati! Jiwa yang telah dapat menjauhi segala perasaan duniawi, telah mencapai segala yang di atas kemampuan insani! Itu orang-orang Quraisy, yang sudah dikenal betul oleh Muhammad, siapa-siapa mereka yang pernah berkomplot hendak membunuhnya, siapa-siapa yang telah menganiayanya dan menganiaya sahabat-sahabatnya dahulu, siapa-siapa yang memeranginya di Badr dan di Uhud, siapa yang dahulu mengepungnya dalam perang Khandag? Dan siapa-siapa yang telah menghasut orang-orang Arab semua supaya melawannya, dan siapa pula, kalau berhasil, yang akan membunuhnya, akan mencabiknya sampai berkeping-keping kapan saja kesempatan itu ada!? Mereka itu, orang-orang Quraisy itu sekarang dalam genggaman tangan Muhammad, berada di bawah telapak kakinya. Perintahnya akan segera dilaksanakan terhadap mereka itu. Nyawa mereka semua kini tergantung hanya di ujung bibirnya dan pada wewenangnya atas ribuan balatentara yang bersenjatakan lengkap, yang akan dapat mengikis habis Mekah dengan seluruh penduduknya dalam sekejap mata

 

Gambar-gambar dalam Ka’bah

 

Tetapi Muhammad, tetapi Nabi, tetapi Rasulullah, bukanlah manusia yang mengenal permusuhan, atau yang akan membangkitkan permusuhan di kalangan umat manusia! Dia bukan seorang tiran, bukan mau menunjukkan sebagai orang yang berkuasa. Tuhan telah memberi keringanan kepadanya dalam menghadapi musuh, dan dalam kemampuannya itu ia memberi pengampunan. Dengan itu, kepada seluruh dunia dam semua generasi ia telah memberi teladan tentang kebaikan dan keteguhan menepati janji, tentang kebebasan jiwa yang belum pernah dicapai oleh siapa pun!

 

Apabila Muhammad kemudian memasuki Ka’bah, dilihatnya dindingdinding Ka’bah sudah penuh dilukis dengan gambar-gambar malaikat dan para Nabi. Dilihatnya Ibrahim yang dilukiskan sedang memegang azlam! yang diperundikan, dilihatnya sebuah patung burung dara dari kayu. Dihancurkannya patung itu dengan tangannya sendiri dan dicampakkannya ke tanah. Ketika melihat gambar Ibrahim agak lama Muhammad memandangnya, lalu katanya: Mudah-mudahan Tuhan membinasakan mereka! Orang tua kita digambarkan mengundi dengan azlam! Apa hubungannya Ibrahim dengan azlam!? Ibrahim bukan orang Yahudi, juga bukan orang Nasrani. Tetapi ia adalah seorang hanif (yang murni imannya), yang menyerahkan diri kepada Allah dan bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sedang malaikat-malaikat yang dilukiskan sebagai wanita-wanita cantik, gambar-gambar itu oleh Muhammad disangkal samasekali, sebab malaikat-malaikat itu bukan lakilaki dan bukan perempuan. Lalu diperintahkannya supaya gambar-gambar itu dihancurkan. Berhala-berhala sekeliling Ka’bah yang disembah oleh Quraisy selain Allah, telah dilekatkan dengan timah di sekeliling Ka’bah. Demikian juga berhala Hubal yang berada di dalamnya. Dengan tongkat di tangan Muhammad menunjuk kepada berhala-berhala itu semua seraya berkata:

 

“Dan katakanlah: Yang benar itu sudah datang, dan yang palsu segera menghilang, sebab kepalsuan itu pasti akan lenyap.”!

 

Ka’bah Dibersihkan dari Berhala

 

Berhala-berhala itu kemudian disungkurkan dan dengan demikian Rumah Suci itu dapat dibersihkan. Pada hari pertama dibebaskannya mereka itu Muhammad telah dapat menyelesaikan apa yang dianjurkan. nya sejak dua puluh tahun itu, dan yang telah ditentang oleh Mekah dengan mati-matian. Dihancurkannya berhala-berhala dan dihapuskannya paganisma dalam Rumah Suci itu disaksikan oleh Quraisy sendiri. Mereka melihat berhala-berhala yang mereka sembah dan disembah oleh nenek. moyang mereka itu samasekali tidak dapat memberi kebaikan atau bahaya buat mereka sendiri.

 

Pihak Anshar dari Medinah telah menyaksikan semua kejadian itu. Mereka melihat Muhammad yang berdoa di atas gunung Shafa. Terbayang oleh mereka sekarang bahwa ia pasti akan meninggalkan Medinah dan kembali ke tempat tumpah darahnya semula yang kini telah dibukakan Tuhan. Mereka berkata satu sama lain: “Menurut pendapat kamu, adakah Rasulullah s.a.w. akan menetap di negerinya sendiri?” Mungkin kekuatiran mereka itu beralasan sekali. Ini adalah Rasulullah, dan di Mekah ini Rumah Suci Baitullah dan di Mekah ini pula Mesjid Suci.

 

Tetapi setelah selesai berdoa Muhammad bertanya kepada mereka: Apa yang mereka katakan itu. Setelah diketahuinya akan kekuatiran mereka yang mereka sampaikan dengan agak maju mundur itu, ia berkata: “Berlindunglah kita kepada Allah! Hidup dan matiku akan bersama kamu.” Dengan itu ia telah memberikan teladan kepada orang tentang keteguhannya memegang janji pada Ikrar “Agaba serta kesetiaannya kepada sahabat-sahabatnya yang seiring sepenanggungan di kala menderita, teladan yang takkan dapat dilupakan, baik oleh tanah-air, oleh penduduk ataupun oleh Mekah sebagai Tanah Suci.

 

Setelah berhala-berhala itu dibersihkan dari Ka’bah, Nabi menyuruh Bilal menyerukan azan dari atas Ka’bah. Sesudah itu orang melakukan sembahyang bersama dan Muhammad sebagai imam. Sejak saat itu, sampai masa kita sekarang ini, selama empat belas abad, tiada pernah terputus Bilal dan pengganti-pengganti Bilal terus menyerukan azan, lima kali setiap hari, dari atas mesjid Mekah. Sejak saat itu, selama empat belas abad sudah, kaum Muslimin menunaikan kewajiban salat kepada Allah dan selawat kepada Rasul, dengan mengharapkan wajah, kalbu dan seluruh pikiran kepada Allah semata, dengan menghadap Rumah Suci ini, yang pada hari pembebasannya itu oleh Muhammad telah dibersihkan dari patung-patung dan berhala-berhala.

 

Atas apa yang telah terjadi itu baru sekarang Quraisy mau menerima, dan mereka pun sudah yakin pula akan pengampunan yang telah diberikan Muhammad kepada mereka. Mereka melihat Muhammad dan Muslimin yang ada di sekitarnya sekarang dengan mata penuh takjub bercampur cemas dan hati-hati sekali. Namun sungguhpun begitu ada sekelompok manusia terdiri dari tujuh belas orang, oleh Muhammad telah dikecualikan dari pengampunannya itu. Sejak ia memasuki Mekah, sudah dikeluarkan perintah supaya mereka itu, golongan laki-lakinya, dibunuh, meskipun mereka sudah berlindung ke tirai Ka’bah. Di antara mereka itu ada yang bersembunyi dan ada pula yang sudah lari. Keputusan Muhammad supaya mereka dibunuh bukan didorong oleh rasa dengki atau karena marah kepada mereka, melainkan karena kejahatan-kejahatan besar yang mereka lakukan. Ia tidak pernah mengenal rasa dengki. Di antara mereka jtu terdapat Abdullah b. Abi’s-Sarh, orang yang dulu sudah masuk Islam dan menuliskan wahyu, kemudian berbalik murtad menjadi musyrik di pihak Quraisy dengan menggembor-gemborkan bahwa dia telah memalsukan wahyu itu waktu ia menuliskannya. Juga Abdullah b. Khatal, yang dulu sudah masuk Islam kemudian sesudah ia membunuh salah seorang bekas budak itu berbalik menjadi musyrik dan menyuruh kedua budaknya yang perempuan — Fartana dan temannya — menyanyi-nyanyi mengejek Muhammad. Dia dan kedua orang itu juga dijatuhi hukuman mati. Di samping itu “Ikrimah b. Abi Jahl, orang yang paling keras memusuhi Muhammad dan kaum Muslimin dan sampai waktu Khalid bin’l-Walid datang memasuki Mekah dari jurusan bawah itu pun tiada henti-hentinya ia mengadakan permusuhan.

 

Pengampunan Buat yang Sudah Dijatuhi Hukuman Mati

 

Sesudah memasuki Mekah pun Muhammad sudah mengeluarkan perintah jangan sampai ada pertumpahan darah dan jangan ada seorang pun yang dibunuh, kecuali kelompok itu saja. Oleh karena itu, mereka suami istri lalu menyembunyikan diri, ada pula yang lari. Tetapi setelah keadaan kembali aman dan tenteram, dan orang melihat betapa Rasulullah berlapang dada dan memberikan pengampunan yang begitu besar kepada mereka, ada beberapa orang sahabat yang minta supaya mereka yang sudah dijatuhi hukuman mati itu juga diberi pengampunan. Usman bin “Affan – yang masih saudara susuan dengan Abdullah b. Abi’s-Sarh – juga datang kepada Nabi, memintakan jaminan pengampunan. Seketika lamanya Nabi diam. Kemudian katanya: “Ya”. Dan dia pun diampuni.

 

Sedang Umm Hakim (bint’I-Harith b. Hisyam) telah pula memintakan kepada Muhammad jaminan pengsmpunan buat suaminya. “Ikrima b. Abi Jahl yang telah lari ke Yaman. Dia ini pun diampuni. Wanita itu kemudian pergi menyusul suaminya dan dibawanya kembali menemui Nabi. Demikian juga Muhammad telah memaafkan Shafwan b. Umayya, orang yang telah menemani “Ikrima lari ke jurusan laut dengan tujuan hendak ke Yaman, Kedua orang itu dibawa kembali tatkala perahu yang hendak membawa mereka sudah siap akan berangkat. Juga Hindun, istri Abu Sufyan yang telah mengunyah jantung Hamzah — paman Rasul sesudah gugur dalam perang Uhud — telah dimaafkan, di samping orang-orang lain yang tadinya sudah dihukum mati, semuanya dimaafkan. Yang dibunuh hanya empat orang, yaitu Huwairith yang telah mengganggu Zainab putri Nabi sepulangnya dari Mekah ke Medinah, serta dua orang yang sudah masuk Islam lalu melakukan kejahatan dengan mengadakan pembunuhan di Medinah dan kemudian melarikan diri ke Mekah berbalik meninggalkan agamanya menjadi musyrik dan dua orang budak perempuan Ibn Khatal, yang selalu mengganggu Nabi dengan nyanyian-nyanyiannya. Yang seorang dari mereka ini lari, dan yang seorang lagi diberi pengampunan.

 

Keesokan harinya setelah hari pembebasan itu ada seseorang dari pihak Hudhail yang masih musyrik oleh Khuza’a dibunuh. Nabi marah sekali karena perbuatan itu, dan dalam khutbahnya di hadapan orang banyak ia berkata:

 

“Wahai manusia sekalian! Allah telah menjadikan Mekah ini tanah suci sejak Ia menciptakan langit dan bumi. Ia suci sejak pertama, kedua dan ketiga,! sampai hari kiamat. Oleh karena itu, orang yang beriman kepada Allah dan kepada Hari Kemudian tidak dibenarkan mengadakan pertumpahan darah atau menebang pohon di tempat ini. Tidak dibenarkan kepada siapa pun sebelum aku, dan tidak dibenarkan kepada siapa pun sesudah aku ini. Juga aku pun tidak dibenarkan marah kepada penghuni daerah ini hanya untuk saat ini saja, kemudian ia kembali dihormati seperti sebelum itu. Hendaklah kamu yang hadir ini memberitahukan kepada yang tidak hadir. Kalau ada orang yang mengatakan kepadamu bahwa Rasulullah telah berperang di tempat ini, katakanlah bahwa Allah telah membolehkan hal itu kepada Rasul-Nya, tapi tidak kepada kamu sekalian, wahai orang-orang Khuza’a! Lepaskanlah tangan kamu dari pembunuhan, sebab sudah terlalu banyak, itu pun kalau ada gunanya. Kalau kamu sudah membunuh orang, tentu aku juga yang akan menebusnya. Barangsiapa ada yang dibunuh sesudah ucapanku ini: maka keluarganya dapat memilih satu dari dua pertimbangan ini: kalau mereka mau, dapat menuntut darah pembunuhnya, atau dengan jalan diat.”

 

Mekah, Kota Suci buat Semua Orang

 

Sesudah itu kemudian ia mendiat (memampas) keluarga orang yang dibunuh oleh Khuza’a itu. Dengan khutbah itu serta sikapnya yang begitu lapang dada dan suka memaafkan, hati penduduk telah begitu tertarik kepada Muhammad yang tadinya di luar dugaan mereka. Dengan demikian pula orang telah beramai-ramai masuk Islam.

 

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Setiap berhala dalam rumahnya hendaknya dihancurkan”, demikian kemudian suara orang menyerukan.

 

Kemudian dikirimnya serombongan orang dari Khuza’a untuk memperbaiki tiang-tiang sekitar Tanah Suci itu, suatu hal yang menunjukkan betapa besar penduduk Mekah itu menghormati tempat ini, dan yang menambah pula kecintaan mereka kepadanya. Setelah diberitahukan bahwa mereka adalah masyarakat yang patut dicintai dan bahwa ia tidak akan membiarkan atau meninggalkan mereka, kalau tidak karena mereka yang mengusirnya, kecintaan mereka terasa makin besar kepadanya.

 

Ketika itu Abu Bakr datang membawa ayahnya — yang dulu pernah mendaki gunung Abu Oubais waktu ada pasukan berkuda — ke hadapan Nabi. Melihat orang itu Muhammad berkata:

 

“Kenapa orang tua ini tidak tinggal saja di rumah, biar saya yang datang ke sana.”

 

“Rasulullah”, kata Abu Bakr, “sudah pada tempatnya dia yang datang kepadamu daripada engkau yang mendatanginya.”

 

Orang tua itu oleh Nabi dipersilakan duduk dan dielus-elusnya dadanya, kemudian katanya:

 

“Sudilah menerima Islam.”

 

Kemudian ia pun menyatakan diri masuk Islam dan menjadi orang Islam yang baik. Akhlak Nabi yang tinggi dan cemerlang inilah yang banyak menawan hati bangsa itu. Bangsa yang tadinya begitu keras melawan Muhammad, sekarang mereka sangat mencintai dan menghormatinya. Kini orang-orang Quraisy itu, laki-laki dan perempuan, sudah menerima Islam dan sudah pula memberikan ikrarnya.

 

Khalid di Jadhima

 

Lima belas hari Muhammad tinggal di Mekah. Selama itu pula keadaan Mekah dibangunnya dan penduduk diajarnya mendalami hukum agama. Dan selama itu pula regu-regu dakwah dikirimkan untuk mengajarkan Islam, bukan untuk berperang, dan untuk menghancurkan

 

berhala-berhala tanpa pertumpahan darah. Khalid bin’I-Walid waktu itu sudah berangkat ke Nakhla untuk menghancurkan “Uzza — berhala Banu Syaiban. Tetapi setelah berhala itu dihancurkan dan Khalid berada di Jadhima, begitu mereka melihatnya, mereka pun segera mengangkat senjata. Oleh Khalid mereka diminta supaya meletakkan senjata, orang semua sudah masuk Islam. Salah seorang dari Banu Jadhima berkata kepada golongannya: “Hai Banu Jadhima! Celaka kamu! Itu Khalid. Sesudah perletakan senjata tentu kita ditawan dan sesudah penawanan potong leher.”

 

Tetapi golongannya itu menjawab:

 

“Maksudmu kita akan menumpahkan darah kita? Orang semua sudah masuk Islam, perang sudah tidak ada, orang sudah aman.”

 

Sesudah itu terjadi perletakan senjata. Ketika itulah dengan perintah Khalid mereka dibelenggu, kemudian dibawai pedang dan sebagian mereka ada yang dibunuh.

 

Apabila kemudian berita itu sampai kepada Nabi ia mengangkat tangan ke langit seraya berdoa:

 

“Allahumma ya Allah! Aku bermohon kepada-Mu lepas tangan dari apa yang telah diperbuat oleh Khalid bin’l-Walid itu.”

 

Sesudah itu Ali b. Abi Talib yang diutus dengan pesan:

 

“Pergilah kepada mereka dan lihat bagaimana keadaan mereka. Caracara jahiliah harus kauletakkan di bawah telapak kakimu.”

 

Ali segera berangkat dengan membawa harta yang oleh Nabi diserahkan kepadanya. Sesampainya di tempat itu diat dan rampasan sebagai tebusan darah dan harta-benda yang telah dirusak, diserahkan kepada mereka, sehingga semua tebusan darah dan rampasan harta-benda itu selesai dilaksanakan. Sedang uang selebihnya yang diserahkan Rasulullah kepadanya itu, semua diserahkan juga kepada mereka, untuk menjaga maksud Rasulullah, kalau-kalau ada yang belum diketahuinya.

 

Dalam waktu dua minggu selama Muhammad tinggal di Mekah semua jejak paganisma sudah dapat dibersihkan. Jabatan dalam Rumah Suci yang sudah pindah kepada Islam sampai pada waktu itu ialah kunci Ka’bah, yang oleh Nabi diserahkan kepada Uthman b. Talha dan sesudah dia kepada anak-anaknya, yang tidak boleh berpindah tangan, dan barangsiapa mengambilnya orang itu aniaya adanya. Sedang pengurusan Air Zamzam pada musim haji di tangan pamannya Abbas.

 

Dengan demikian seluruh Mekah sudah beriman, panji dan menara tauhid sudah menjulang tinggi dan selama berabad-abad dunia sudah pula disinari cahayanya yang berkilauan.

 

Malik b. “Auf Menghasut — Kabilah-kabilah Berkubu di Lembah – Ketabahan Hati Muhammad – Abbas Memanggil-manggil – Kembali Bertempur Mati-matian –

Kemenangan Muslimin — Kehancuran Total Pihak Musyrik – Harga Sebuah Kemenangan -Ta’if Dikepung — Diserang dengan Manjanig – Kebun Anggur Ditebang dan Dibakar — Utusan Hawazin Meminta Kembali Tawanan Perangnya – Tawanan Hawazin Dikembalikan — Anshar dan Mereka yang Dilunakkan Hatinya

 

DENGAN perasaan gembira karena kemenangan yang telah diberikan Tuhan, kaum Muslimin masih tinggal di Mekah setelah kota itu dibebaskan. Mereka sangat bersenang hati sekali karena kemenangan besar ini tidak banyak minta korban. Setiap terdengar suara Bilal mengucapkan azan sembahyang, cepat-cepat mereka pergi ke Mesjid Suci, berebut-rebut di sekitar Rasulullah, di mana saja ia berada dan ke mana saja ia pergi.

 

Kaum Muhajirin pun sekarang dapat pulang, dapat berhubungan dengan keluarga mereka, yang kini telah mendapat petunjuk Tuhan. Hati mereka pun sudah yakin bahwa keadaan Islam sudah mulai stabil, dan bahwa perjuangan sebagian besar sudah membawa kemenangan. Akan tetapi lima belas hari kemudian setelah mereka tinggal di Mekah itu, tiba-tiba tersiar berita yang membuat mereka harus segera sadar kembali. Soalnya ialah, kabilah Hawazin yang tinggal di pegunungan tidak jauh di sebelah timur-laut Mekah, setelah melihat kemenangan Muslimin yang telah membebaskan Mekah dan menghancurkan berhala-berhala, mereka pun kuatir akan mendapat giliran, pihak Muslimin akan juga menyerbu daerah mereka. Terpikir oleh mereka apa yang harus mereka lakukan dalam mencegah bencana yang akan menimpa mereka itu, dan membendung Muhammad serta mencegah arus kaum Muslimin yang akan menghilangkan kemerdekaan kabilah-kabilah itu di seluruh jazirah bila mereka semua digabungkan ke dalam suatu kesatuan di bawah naungan Islam.

 

Malik b. “Auf Menghasut

 

Untuk itu Malik b. “Auf dari Banu Nashr sekarang berusaha mengumpulkan kabilah-kabilah Hawazin dan Thagif, demikian juga kabilah-kabilah Nashr dan Jusyam. Dari pihak Hawazin semua ikut, kecuali Ka’b dan Kilab. Sedang dari pihak Jusyam ada orang yang bernama Duraid bin’sh-Shimma, orang yang sudah berusia lanjut dan sudah tidak berguna buat ikut berperang, tetapi sebagai orang yang sudah bertahun-tahun punya pengalaman dalam perang, pendapatnya sangat diperlukan. Kabilah-kabilah itu semua berkumpul, membawa serta harta, benda, wanita dan anak-anak mereka. Mereka menuju dataran Autas, Bilamana dengusan unta, keledai yang melengking, tangisan anak dan kambing yang mengembik-ngembik sampai di telinga Duraid, ia bertanya kepada Malik b. “Aut:

 

“Kenapa semua harta-benda, wanita dan anak-anak itu ikut serta dalam peperangan?”

 

Malik menjawab bahwa hal itu dilakukan guna memberi semangat kepada angkatan perangnya.

 

“Kalau kalian akan mengalami kekalahan mungkinkah hal ini bisa mencegahnya?” kata Duraid lagi. “Kalau harus menang juga, maka yang penting hanyalah laki-laki dengan pedang dan panahnya: sebaliknya kalau kamu harus mengalami kekalahan, keluarga dan hartamu hanya akan membawa bencana.”

 

Pengan Malik ia berselisih pendapat. Tetapi orang banyak ikut Malik. Dia seorang pemuda berusia tiga puluh tahun, bersemangat dan punya kemauan keras. Sekalipun sudah berpengalaman dalam perang, sekali ini Duraid menyerah kepada pendapat mereka.

 

Kabilah-kabilah Berkubu di Lembah

 

Sekarang Malik memerintahkan supaya orang berangkat ke puncak gunung dan ke selat Lembah Hunain. Bilamana nanti kaum Muslimin turun ke lembah itu, maka hendaklah mereka diserang, sehingga dengan serangan satu orang saja barisan mereka akan sudah jadi lemah, mereka akan kucar-kacir, akan saling menghantam sesama mereka. Dengan demikian mereka akan hancur, pengaruh kemenangan mereka ketika membebaskan Mekah sudah takkan berarti lagi. Yang ada nanti hanya kemenangan kabilah-kabilah Hunain itu saja di seluruh jazirah Arab, suatu kemenangan yang akan dapat dibanggakan dalam menghadapi kekuatan yang kini menguasai tanah Arab itu. Perintah Malik ditaati oleh kabilah-kabilah dan mereka membuat pertahanan di selat wadi itu.

 

Pihak Muslimin sendiri setelah dua minggu tinggal di Mekah, dalam persiapan senjata dan tenaga yang belum pernah mereka alami sebelum itu, dengan pimpinan Muhammad mereka berangkat pula cepat-cepat. Mereka bergerak dalam jumlah dua belas ribu orang. Sepuluh ribu terdiri dari mereka yang telah menyerbu. dan membebaskan Mekah dan yang dua ribu lagi terdiri dari orang-orang Quraisy yang sudah Islam — di antaranya Abu Sufyan b. Harb. Mereka semua mengenakan pakaian berlapis besi didahului oleh pasukan berkuda dan unta yang membawa perlengkapan dan bahan makanan. Keberangkatan Muslimin dengan pasukan demikian ini, sebenarnya memang belum pernah dikenal di seluruh jazirah. Setiap kabilah didahului oleh panjinya masing-masing, tampil ke depan dengan hati bangga karena jumlah yang begitu besar, yang tidak akan dapat dikalahkan. Sampai-sampai antara mereka satu sama lain ada yang berkata: Karena jumlah kita yang besar ini sekarang kita takkan dapat dikalahkan.

 

Menjelang sore hari itu mereka sudah sampai di Hunain. Di pintupintu masuk wadi itu mereka berhenti dan tinggal di sana sampai waktu fajar keesokan harinya. Ketika itulah pasukan mulai bergerak lagi. Muhammad mengikuti: dari belakang dengan menunggang bagalnya yang putih. Sementara Khalid bin’I-Walid yang memimpin Banu Sulaim berada di depan. Dari selat Hunain itu mereka menyusur ke sebuah wadi di Tihama. Akan tetapi sementara mereka sedang menuruni lembah itu, tibatiba datanglah serangan mendadak secara bertubi-tubi dari pihak kabilahkabilah dengan komando Malik b. “Auf. Sementara masih dalam keadaan remang-remang subuh itu mereka telah dihujani panah oleh pihak Malik. Ketika itulah keadaan Muslimin jadi kacau-balau. Dalam keadaan terpukul demikian itu mereka berbalik surut dengan membawa perasaan takut dan gentar dalam hati, dan ada pula yang lari sekuat-kuatnya. Dalam hal ini, dengan senyum gembira di bibir — Abu Sufyan yang sekarang melihat kegagalan orang-orang yang kemarin telah dapat mengalahkan Quraisy itu — berkata: “Mereka takkan berhenti lari sebelum sampai ke laut.”

 

Begitu juga Syaiba b. “Uthman b. Abi Talha berkata: “Sekarang aku dapat membalas Muhammad.” Berkata begitu, karena bapanya telah terbunuh dalam perang Uhud.

 

Ketika Kalada b. Hanbal berkata: “Ya, sihirnya sekarang sudah tidak mempan”, dibalas oleh Shafwan saudaranya sendiri: “Diam kau! Sungguh aku lebih suka di bawah orang Quraisy daripada di bawah Hawazin.”

 

Percakapan demikian itu terjadi sementara keadaan pasukan perang sedang kucar-kacir. Dalam pada itu, kabilah-kabilah yang sedang mengalami kekalahan itu satu demi satu berlarian di hadapan Nabi yang berada di belakang — tanpa melihat ke kanan kiri lagi.

 

Ketabahan Hati Muhammad

 

Apa kiranya yang diperbuatnya? Mungkinkah pengorbanan yang dua puluh tahun itu akan hilang dalam sekejap mata begitu saja pada pagi buta itu? Ataukah Tuhan sudah menjauhinya dan sudah tidak lagi memberikan pertolongan? Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin! Sebelum itu, sudah ada bangsa-bangsa yang sudah punah, golongan-golongan yang Sudah tak ada lagi. Sebelum itu pun Muhammad sudah biasa bergumul dengan maut, dan kalau-kalau dalam mati membela agama Allah itu kemenangan akan ada. Dan apabila ajal itu sudah datang tidak akan dapat sedetik pun ditunda atau dimajukan.

 

Muhammad tetap tabah tiada bergerak di tempatnya. Beberapa orang dari kalangan Muhajirin, Anshar serta kerabat-kerabatnya tetap berada dj sekelilingnya.

 

Dalam pada itu dipanggilnya orang-orang yang melarikan diri lewat di hadapannya itu seraya katanya:

 

“Hai orang-orang! Kamu mau ke mana? Mau ke mana?”

 

Tetapi, orang-orang yang sudah penuh ketakutan itu sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Yang tergambar dalam mata mereka hanya Hawazin dan Thagif yang kini sedang meluncur turun dari perkubuan di puncak-puncak gunung mengejar mereka. Dan gambaran mereka itu tidak salah. Pihak Hawazin sudah mulai turun dari tempat semula, didahului oleh seseorang di atas seekor unta berwarna merah, dan membawa sebuah bendera hitam yang dipancangkan pada sebilah tombak panjang. Setiap ia bertemu dengan pihak Muslimin ditetakkannya tombak itu kepada mereka, sementara pihak Hawazimm, Thagif dan sekutu-sekutunya terus meluncur turun dari belakang sambil terus menghantam.

 

Semangat baru timbul dalam hau Muhammad. Dengan bagalnya yang putih itu ia ingin menerjang sendiri ke tengah-tengah musuh yang sedang meluap-luap seperti banjir itu. Sesudah itu terserah kepada Tuhan. Akan tetapi Abu Sufyan b. Hanith b. “Abd’I-Muttalib segera menahan kekang bagal itu dan dimintanya jangan dulu maju.

 

Abbas Memanggil-manggil

 

Abbas b. “Abd’-Muttalib seorang laki-laki yang berperawakan besar dan lantang sekali suaranya. Ia berseru yang kira-kira akan dapat didengar oleh semua orang dari segenap penjuru: “Saudara-saudara dari kalangan Anshar yang telah memberikan tempat dan pertolongan! Saudara-saudara dari Muhajirin yang telah memberikan ikrar di bawah pohon! Marilah saudara-saudara, Muhammad masih hidup!”

 

Seruan demikian itu diulang-ulangnya oleh Abbas, sehingga suaranya bersipongang dan bergema ke segenap penjuru wadi. Di sinilah adanya mukjizat itu: Orang-orang “Agaba mendengar nama “Agaba, teringat oleb mereka Muhammad, teringat akan janji dan kehormatan diri mereka.

 

Demikian juga orang-orang Muhajirin, begitu mendengar nama Muhajirin, teringat oleh mereka akan pengorbanan mereka selama ini, teringat akan kehormatan diri mereka. Mereka itu sudah mendengar dan mengetahui tentang ketenangan dan ketabahan hati Muhammad, di samping sejumlah kecil orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang sama tabahnya seperti ketika Perang Uhud dulu — dalam menghadapi musuh yang begitu besar. Dalam hati mereka kini terbayang betapa akibatnya kemenangan Orang-orang musyrik itu terhadap agama Allah kelak sekiranya mereka ini sekarang gagal.

 

Seruan Abbas yang selama itu masih tetap berkumandang dalam telinga, hati mereka sekaligus tersentak karenanya. Ketika itulah mereka saling menyambut dari segenap penjuru: “Labbaika,’ Labbaika!”

 

Mereka semua kini kembali, dan bertempur lagi secara heroik sekali.

 

Kembali Bertempur

 

Pihak Hawazin yang sudah menyusur turun dari tempatnya semula, sekarang sudah berhadapan muka dengan Muslimin dalam lembah itu, Sinar siang sudah mulai tampak dan remang pagi dengan sendirinya menghilang. Di samping Rasulullah sekarang sudah berkumpul beberapa ratus orang siap akan berhadapan dengan kabilah-kabilah itu. Jumlah mereka ini bertambah juga. Dan dengan kembalinya mereka itu, semangat yang tadinya sudah lemah kini kembali berkobar-kobar. Pihak Anshar sendiri berteriak: “Hai Anshar!” Lalu mereka saling memanggil-manggil: “Hai Khazraj!”

 

Perasaan lega mulai terasa oleh Muhammad tatkala dilihatnya mereka kini kembali lagi.

 

Sementara Muhammad menyaksikan pertempuran itu berkobar dengan pertarungan yang semakin sengit dan melihat moril anak buahnya makin tinggi dalam memukul lawan, ia berkata: “Sekarang pertempuran benar-benar berkobar. Tuhan tidak menyalahi janji kepada RasulNya.”

 

Kemenangan Muslimin

 

Kepada Abbas dimintanya segenggam batu kerikil dan kemudian kerikil itu dilemparkannya ke muka musuh seraya katanya: “Wajah-wajah yang buruk!” Dan terjunlah kaum Muslimin itu ke tengah-tengah gelanggang dengan tidak lagi menghiraukan maut demi di jalan Allah. Mereka percaya, bahwa kemenangan pasti datang dan barangsiapa gugur ia akan mendapat kemenangan yang lebih besar lagi daripada hidup. Perjuangan ketika itu hebat sekali. Baik Hawazin maupun Thagif dan pengikut-pengikutnya, begitu melihat bahwa setiap perlawanan ternyata tidak berhasil, bahkan mereka sendiri terancam akan habis samasekali, cepat-cepat mereka lari dalam keadaan berantakan tanpa melihat ke kanan kiri lagi, dengan meninggalkan wanita-wanita dan anak-anak mereka sebagai rampasan perang di tangan kaum Muslimin, yang ketika itu dihitung sebanyak 22.000 ekor unta, 40.000 kambing dan 4.000 ‘ugiya’ perak. Sedang tawanan perang yang terdiri dari 6.000 orang itu telah dipindahkan dengan pengawalan ke Wadi Ji’rana. Mereka ditempatkan di sana sementara menunggu Muslimin kembali dari mengejar sisa-sisa musuh serta sekaligus mengepung pihak Thagif di Ta’if.

 

Muslimin meneruskan pengejarannya terhadap musuh mereka itu. Lebih tertarik lagi mereka mengadakan pengejaran itu karena Rasul mengumumkan, bahwa barangsiapa dapat menyerbu orang musyrik, maka ia boleh merampasnya. Ketika itu Rabi’a bin’d-Dughunna telah dapat mengejar seekor unta yang membawa pelangkin, yang diduganya berisi wanita, ia pun ingin merampasnya. Unta itu berlutut dan ternyata isinya seorang laki-laki tua yang oleh pemuda itu tidak dikenalnya, yaitu Duraid bin’sh-Shimma. Kepada Rabi’a itu Duraid bertanya: Mau diapakan dirinya. “Akan kubunuh kau”, jawabnya, sambil mengayunkan pedas. Tetapi tidak berhasil.

 

“Jahat sekali ibumu mempersenjataimu!” kata Duraid. “ Ambillah pedangku di belakang itu dan pukulkan. Keluarkan tulang dan otaknya. Begitulah aku menghantam orang dengan pedang itu. Dan kalau kau sudah pulang, katakan kepada ibumu bahwa engkau telah membunuk Duraid bin’sh-Shimma. Sudah sering sekali aku melindungi wanitawanitamu.”

 

Sesampainya di rumah, oleh Rabi’a hal itu diceritakan kepada ibunya.

 

“Dasar tangan celaka kau”, kata ibunya. “Dia mengatakan itu hanya akan mengingatkan kita akan jasa-jasanya kepada engkau. Dia telah memerdekakan tiga orang ibu pada suatu pagi: Yaitu aku, ibuku dan ibu ayahmu.”

 

Kehancuran Total Pihak Musyrik

 

Pengejaran terhadap pihak Hawazin oleh pihak Muslimin diteruskan sampai di Autas. Di tempat ini mereka digempur dan dihancurkan samasekali. Kaum wanita dan barang-barang mereka dirampas lalu dibawa kepada Muhammad. Malik b. “Auf hanya sebentar saja bertahan kemudian ia pun lari, dia bersama-sama dengan kabilahnya dan golongan Hawazin, dan di Nakhla ia berpisah dengan mereka. Ia memutar haluan ke Ta’if dan di tempat ini ia berlindung.

 

Dengan demikian nyatalah sudah kemenangan orang-orang beriman itu dan nyata pula kehancuran total orang-orang musyrik, setelah remang. remang subuh itu pihak Muslimin dalam keadaan terancam, mendapat Serangan serentak sehingga mereka menjadi kacau-balau. Kemenangan Muslimin yang sangat menentukan itu ialah karena ketabahan Muhammad dan sejumlah kecil orang-orang di sekelilingnya. Dalam hal inilah firman Tuhan turun:

 

“Tuhan telah menolong kamu pada beberapa tempat dan dalam Perang Hunain, tatkala kamu merasa bangga sekali karena jumlah kamu yang besar. Tetapi ternyata jumlah yang besar itu sedikit pun tidak menolong kamu, dan bumi yang seluas ini pun terasa amat sempit buat kamu, lalu kamu berbalik mundur. Sesudah itu Tuhan menurunkan perasaan tenang kepada Rasul dan kepada orang-orang berirman serta diturunkan-Nya pula balatentara yang tidak kamu lihat, dan disiksanya orang-orang kafir itu, dan memang itulah balasan buat orang-orang kafir. Sesudah itu kemudian Allah menerima tobat barangsiapa yang dikehendaki-Nya, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Orang-orang beriman! Ingatlah, orang-orang musyrik itu kotor. Sebab itu sesudah ini, janganlah mereka memasuki Mesjid Suci, dan kalau kamu kuatir menjadi miskin, maka Tuhan dengan kurnia-Nya akan memberikan kekayaan kepada kamu, jika dikehendaki. Sesungguhnya Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana.”

 

Harga Sebuah Kemenangan

 

Akan tetapi kemenangan ini tidak diperoleh dengan harga murah oleh kaum Muslimin. Mereka membayarnya dengan harga yang cukup mahal. Mungkin ini tidak akan mereka lakukan, kalau tidak karena pada mulanya mereka telah mengalami kegagalan, lari dalam kekalahan, sehingga seperti dikatakan oleh Abu Sufyan: “Mereka takkan berhenti lari sebelum mencapai laut.” Mereka membayar harga mahal itu dengan jiwa Orang-orang penting, dengan pahlawan-pahlawan yang gugur dalam pertempuran itu, meskipun jumlah semua korban tidak disebutkan dalam buku-buku biografi Nabi. Seperti sudah disebutkan, bahwa dua kabilah Muslimin hampir habis binasa, dan Nabi telah mendoakan semoga Tuhan memasukkan arwah mereka ke dalam surga. Tetapi bagaimanapun juga nyatanya ia telah mendapat kemenangan: kemenangan total yang diperoleh Muslimin terhadap lawan mereka, disertai rampasan dan tawanan perang, yang sebelum itu tidak pernah mereka alami. Kemenangan adalah segalanya dalam suatu pertempuran, betapapun besarnya harga yang harus dibayar, selama itu merupakan suatu kemenangan terhormat. Dengan demikian Muslimin merasa gembira sekali akan kurnia yang telah diberikan Tuhan itu. Mereka tinggal menunggu pembagian rampasan perang dan dengan itu mereka kembali pulang.

 

Akan tetapi Muhammad menginginkan suatu kemenangan yang lebih cemerlang lagi. Kalau Malik b. “Auf yang teiah mengerahkan orang-orang, kemudian setelah mengalami kekalahan ia.sendiri mencari perlindungan pada pihak Thagif di Ta’if, maka pihak Muslimin sekarang hendaknya dapat mengepung Ta’if lebih ketat lagi. Begitu itulah cara dalam Khaibar setelah perang Uhud, dan terhadap Quraiza setelah Khandag. Mungkin suasana ini mengingatkan dia ketika beberapa tahun sebelum Hijrah ia pergi ke Ta’if, menganjurkan Islam kepada penduduk kota itu. Tetapi dia malah dicemooh, dan anak-anak melemparinya dengan batu, sehingga terpaksa ia berlindung pada sebuah kebun anggur. Juga mungkin ia teringat betapa benar ia berangkat seorang diri ketika itu, dalam keadaan sangat lemah, tiada daya upaya selain Tuhan, selain iman yang besar yang telah memenuhi dadanya, iman yang telah dapat meruntuhkan gunung. Sekarang, sekarang ia berangkat menuju Ta’if dengan sebuah rombongan Muslimin, dengan suatu jumlah yang belum pernah disaksikan sepanjang sejarah jazirah itu.

 

Ta’if Dikepung

 

Jadi sahabat-sahabat itu oleh Muhammad diperintahkan berangkat ke Ta’if dan mengepung Thagif yang dipimpin oleh Malik b. “Auf. Ta’if adalah sebuah kota yang sangat kukuh tertutup rapat oleh pintu-pintu gerbang seperti kebanyakan kota-kota negeri Arab ketika itu. Penduduk kota ini sudah punya pengetahuan dalam soal kepung-mengepung dan peperangan dan punya kekayaan yang cukup besar pula untuk membuat perkubuan yang kuat. Dalam perjalanan itu Muslimin singgah di Liya. Di tempat ini ada sebuah benteng khusus buat Malik b. “Auf, yang kemudian mereka hancurkan, demikian juga sebuah kebun kepunyaan pihak Thagif mereka hancurkan selama dalam perjalanan itu.

 

Bilamana Muslimin sudah sampai di Ta’if, Nabi memerintahkan pasukannya berhenti dan bermarkas di dekat kota itu. Sahabat-sahabat dikumpulkan dan mereka berunding apa yang akan mereka lakukan. Tetapi pihak Thagif begitu melihat mereka dari atas perbentengan, dihujaninya mereka dengan serangan panah, sehingga tidak sedikit Muslimin yang terbunuh. Dan tidak pula mudah kaum Muslimin dapat menyerbu benteng-benteng yang sangat kukuh itu, Suatu cara lain harus mereka tempuh bukan seperti yang selama ini mereka lakukan ketika mengepung Quraiza dan Khaibar. Dapatkah kita menduga, bahwa kalay hanya dikepung saja sampai mengalami kelaparan pihak Thagif itu akan mau menyerah? Dan kalau akan mereka serbu saja, dengan cara bary bagaimana harus mereka lakukan?

 

Inilah beberapa masalah yang perlu dipikirkan dan akan memakan waktu. Jadi sebaliknya pasukan ini harus ditarik mundur jauh-jauh dar sasaran panah, supaya jangan ada lagi orang-orang Islam yang akan mengalami bencana dan tewas karenanya. Sesudah itu boleh Muhammad memikirkan apa yang harus dilakukannya.

 

Dengan perintah Nabi a.s. markas itu sekarang dipindahkan jauh dari sasaran panah, dipindahkan ke sebuah tempat yang kemudian setelah Ta’if menyerah dan menerima Islam dibangunnya mesjid Ta’if di tempat itu. Hal ini sudah menjadi suatu keharusan. Anak panah Thagif sudah menewaskan delapan belas orang Islam, dan tidak sedikit pula yang telah mendapat luka-luka, di antaranya salah seorang anak Abu Bakr. Di samping tempat itu, yang sudah jauh dari sasaran panah, dipasang pula dua buah kemah dari kulit berwarna merah untuk tempat-tinggal kedua istri Nabi – Umm Salama dan Zainab — yang sejak ia meninggalkan Medinah, ikut bersama-sama dalam perjalanan menghadapi peristiwaperistiwa itu. Di antara kedua kemah inilah Muhammad melakukan salat. Dan agaknya Mesjid Ta’if itu pun di tempat ini pula dibangun.

 

Kaum Muslimin tinggal di tempat itu sambil menantikan apa yang akan ditentukan Tuhan terhadap mereka dan terhadap lawan mereka itu nanti. Ada salah seorang orang Arab gunung berkata kepada Nabi: Orangorang Thagif yang dalam benteng itu sama seperti rubah yang di dalam llangnya. Untuk dapat mengeluarkan mereka meminta waktu lama. Kalau dibiarkan saja, juga ia takkan mengganggu. Tetapi Muhammad sudah tidak mau kembali lagi sebelum mendapatkan sesuatu dari pihak Thagif. Banu Daus (salah satu kabilah yang tinggal di bawah Mekah) yang sudah berpengalaman dalam menggunakan manjanig’ dan “tank”? salah seorang pemimpinnya adalah Tufail, yang sudah bersahabat dengan Muhammad sejak perang Khaibar, dan yang sekarang ikut pula mengepung Ta’if. Orang ini oleh Nabi diutus memintakan bantuan kepada kabilahnya itu. piserang dengan Manjanig

 

Kemudian orang ini datang kembali sudah membawa beberapa orang dari golongan itu lengkap dengan alat-alat. Mereka sampai di Ta’if empat hari kemudian setelah kota itu dikepung oleh Muslimin. Di sinilah pihak Muslimin menyerang Ta’if dengan manjanig, dan beberapa orang menyerbu dengan masuk ke dalam “tank” untuk menerobos dinding-dinding benteng itu. Tetapi pihak Ta’if tidak kurang pula pandainya sehingga mereka dapat memaksa lawannya harus melarikan diri juga. Beberapa batang besi mereka panaskan, bilamana sudah mencair, besi itu dilemparkannya ke arah “tank” dan alat itu pun terbakar. Karena takut terbakar juga tentara Muslimin pun menyusup lari dari bawah alat-alat itu. Oleh pihak Thagif mereka terus diserang dengan panah sehingga banyak pula yang terbunuh.

 

Jadi perjuangan ini juga tidak berhasil. Pihak Muslimin tidak dapat mengalahkan benteng-benteng yang kukuh itu.

 

Sesudah itu, kiranya apa pula yang harus mereka lakukan? Lama sekali Muhammad memikirkan hal ini. Tetapi bukankah ia sudah dapat mengalahkan dan mengosongkan Banu Nadzir dari perkampungannya dengan jalan membakar kebun kurma mereka? Sekarang kebun anggur Ta’if jauh lebih berharga daripada kebun kurma Banu Nadzir. Apalagi anggur ini sangat terkenal sekali di seluruh tanah Arab yang membuat Ta’if bangga sebagai tempat yang paling subur di seluruh jazirah, dan sebagai wahah, Ta’if seolah surga di tengah-tengah padang sahara.

 

Kebun Anggur Ditebang dan Dibakar

 

Perintah Muhammad oleh kaum Muslimin sudah akan dilaksanakan. Mereka akan menebangi dan membakari tanaman-tanaman anggur itu — yang sampai sekarang masih tetap terkenal seperti dulu juga. Melihat hal ini orang-orang Thagif yakin sekali bahwa Muhammad memang bersungguh-sungguh. Mereka mengutus orang kepadanya supaya kebun itu diambil saja kalau mau, kalau tidak supaya dibiarkan mengingat pertalian keluarga antara dia dengan mereka yang masih berkerabat itu. Muhammad segera menangguhkan hal itu, dan kemudian ia berseru kepada kalangan Thagif, bahwa barangsiapa dari penduduk Ta’if yang bersedia datang kepadanya, orang itu akan dimerdekakan. Hampir sebanyak dua puluh orang dari mereka lalu melarikan diri dan datang kepadanya. Dari mereka inilah kemudian diketahui, bahwa dalam benteng-benteng itu terdapat persediaan makanan yang cukup untuk waktu lama. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa pengepungan ini akan meminta waktu yang panjang, sedang pasukannya sudah mau pulang akan membagi-bagikan barang rampasan perang yang sudah mereka peroleh. Kalau diminta supaya mereka tetap tinggal juga, mungkin mereka akan kehilangan kesabaran. Di samping itu bulan suci pun sudah dekat pula dan perang tidak diperkenankan.

 

Oleh karena itu ia lebih senang pengepungan itu dibubarkan saja sesudah satu bulan berjalan. Ketika itu bulan Zulhijah, bulan muda sudah keluar. Dengan pasukannya itu ia kembali hendak melakukan umrah, dan diingatkannya pula, bahwa ia sudah bersiap hendak ke Ta’if bila bulan suci sudah lalu.

 

Utusan Hawazin Meminta Kembali Tawanan Perangnya

 

Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sekarang berangkat meninggalkan Ta’if menuju Ji’rana, tempat barang rampasan dan tawanan perang itu ditinggalkan. Di tempat ini mereka berhenti mengadakan pembagian. Seperlima di antaranya oleh Rasul dipisahkan buat dirinya dan yang selebihnya dibaginya kepada para sahabat. Tetapi tatkala mereka di Ji’rana ini, tiba-tiba datang utusan dari pihak Hawazin yang sudah masuk Islam. Mereka ini mengharapkan, supaya harta mereka, wanita dan anakanak dikembalikan kepada mereka karena sudah sekian lama mereka berpisah, dan sudah sekian lama pula mereka mengalami kepahitan hidup. Utusan itu datang menemui Muhammad. Salah seorang dari mereka berkata:

 

“Rasulullah, di tempat-tempat berpagar’ orang-orang tawanan itu terdapat juga bibi-bibimu dari pihak ayah dan pihak ibu, ibu-ibu yang dulu pernah memeliharamu. Jika sekiranya kami yang menyusui Harith b. Abi Syimr atau Nu’man bin’l-Mundhir, kemudian ia datang melihat keadaan kami seperti yang kaualami sekarang ini, tentu kami manfaatkan dan kami mintai belas-kasihannya. Konon pula engkau, yang sudah mendapat pemeliharaan yang terbaik.”

 

Mereka tidak salah dalam mengingatkan Muhammad akan adanya hubungan dan pertalian keluarga itu. Dari kalangan tawanan perang itu terdapat seorang wanita yang sudah berusia lanjut mendapat perlakuan keras dari tentara Muslimin. Wanita itu berkata kepada mereka: “Kamu tahu, bahwa aku masih. saudara susuan dengan kawanmu itu.”

 

Karena mereka tidak percaya, oleh mereka ia dibawa kepada Muhammad, yang ternyata segera mengenalnya, bahwa wanita itu Syaima’ bint’l-Harith ibn “Abd’l-Uzza. Dimintanya ia ke dekatnya dan dihamparKemudian ia terus bicara dengan Nabi sehingga bayangan kemarahannya berangsur hilang dari wajahnya dan ia pun tertawa. Setelah Umar melihat hal ini lalu diceritakannya keadaan Muslimin yang di mesjid serta apa yang mereka katakan, bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Dengan adanya keterangan dari Nabi bahwa ia tidak menceraikan mereka, ia minta izin akan mengumumkan hal ini kepada orang-orang yang sekarang masih tinggal di mesjid menunggu.

 

Ia pergi ke mesjid, dan dengan suara keras ia berkata kepada mereka: “Rasulullah — s.a.w. — tidak menceraikan istrinya.” Sehubungan dengan peristiwa inilah ayat-ayat suci ini turun:

 

“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang oleh Tuhan dihalalkan untukmu, hanya karena engkau ingin memenuhi segala yang disenangi para istrimu? Dan Allah jua Maha Pengampun dan Penyayang. Tuhan telah mewajibkan kamu melepaskan sumpah kamu itu. Dan Tuhan jua Pelindungmu, Dia Mengetahui dan Bijaksana. Tatkala Nabi membisikkan cerita itu kepada salah seorang istrinya, maka bila ia (istri) itu mengumumkan hal tersebut dan Tuhan mengungkapkan hal itu kepadanya, sebagian diterangkannya dan yang sebagian lagi tidak. Bila hal itu kemudian disampaikan kepada istrinya, ia bertanya:

 

“Siapa yang mengatakan itu kepadamu?” Ia menjawab: “Yang mengatakan itu kepadaku Allah Yang Maha Mengetahui. Kalau kamu berdua mau bertobat kepada Allah maka hatimu sudah sudi menerima. Tetapi kalau kamu berdua bantu-membantu menyusahkannya, maka Tuhanlah Pelindungnya, demikian juga Jibril dan setiap orang baik-baik di kalangan orang-orang beriman, di samping itu para malaikat juga jadi penolongnya. Jika ia menceraikan kamu, bolehjadi Tuhan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu — yang berserah diri, yang beriman, berbakti dan bertobat, yang rendah hati beribadat dan berpuasa, janda-janda atau perawan.”

 

Dengan demikian peristiwa itu selesai. Istri-istri Nabi kembali Sadar, dan dia pun kembali kepada mereka setelah mereka benar-benar bertobat, menjadi manusia yang rendah hati beribadat dan beriman. Kehidupan rumah tangganya sekarang kembali tenang, yang memang demikian diperlukan oleh setiap manusia yang sedang melaksanakan suatu beban besar yang ditugaskan kepadanya.

 

Kritik Sejarah yang Cermat

 

Apa yang sudah saya ceritakan tentang Muhammad yang sudah Meninggalkan istri-istrinya dan menyuruh mereka supaya memilih, tetapi Banu Sulaim sendiri tidak mengakui penolakan Abbas itu. Dalam hal ini Nabi berkata:

 

“Barangsiapa mau mempertahankan haknya atas tawanan itu, maka untuk setiap orang ia akan mendapat ganti enam bagian dari tawanan yang mula-mula didapat.”

 

Tawanan Hawazin Dikembalikan

 

Dengan demikian wanita-wanita dan anak-anak Hawazin itu di, kembalikan kepada kabilahnya setelah mereka menyatakan diri masuk Isiam. Kepada utusan Hawazin itu Muhammad menanyakan Malik b. “Auf. Setelah diberitahukan bahwa orang itu masih di Ta’if dengan Thagif, dimintanya kepada mereka supaya disampaikan: kalau dia mau datang dengan sudah menerima Islam, maka keluarga dan harta-bendanya akan dikembalikan dan akan diberi pula seratus ekor unta.

 

Sekarang orang mulai merasa kuatir — kalau Muhammad memberikan ini kepada setiap utusan yang datang — rampasan perang yang menjadi bagian mereka akan jadi berkurang. Oleh karena itu mereka mendesak supaya tiap-tiap orang mengambil bagiannya. Dan mereka terus saling berbisik. Bisikan demikian ini tampaknya sampai juga kepada Nabi, yang dalam hal ini ia lalu berdiri di samping seekor unta, diambilnya seutas bulu dari ponok unta itu, dan sambil dipegang dengan jari dan diacungkan ke atas ia berkata:

 

“Saudara-saudara.!’ Demi Allah! Bagianku dari harta rampasan dan dari bulu ini hanya seperlima, ini pun sudah dikembalikan kepada kamu.” Kemudian dimintanya kepada mereka masing-masing supaya harta rampasan itu dikembalikan dan dengan demikian dapat dibagi secara adil.

 

“Barangsiapa mengambil ini secara tidak adil sekalipun hanya sebesar iarum, maka buat yang bersangkutan ini suatu cemar, api dan aib sampai hari kiamat.”

 

Muhammad mengatakan itu dengan sikap marah setelah manteinya yang mereka ambil dikembalikan, dan setelah mengatakan kepada mereka: “Kembalikan mantelku itu, saudara-saudara. Demi Allah, andaikata kamu mempunyai ternak sebanyak pohon di Tihama ini, tentu kubagi-bagikan kepada kamu, kemudian akan kamu lihat bahwa aku pukan orang yang kikir, pengecut dan pembohong.”

 

Kemudian rampasan perang itu dibagi lima dan yang seperlima diberikan kepada mereka yang paling sengit memusuhinya. Seratus ekor unta diberikan masing-masing kepada Abu Sufyan dan Mu’awiya anaknya, Harith bin’I-Harith b. Kalada, Harith b. Hasyim, Suhail b. “Amr, Huwaitib b. “Abd’i-“Uzza, kepada bangsawan-bangsawan dan kepada beberapa pemuka kabilah yang telah mulai lunak hatinya setelah pembebasan Mekah. Kepada mereka yang kekuasaan dan kedudukannya kurang dari yang tadi, diberi lima puluh ekor unta. Jumlah yang mendapat bagian itu mencapai puluhan orang. Ketika itu Muhammad menunjukkan sikap sangat ramah dan murah hati, yang membuat orang yang tadinya sangat memusuhinya, lidah mereka telah berbalik jadi memujinya. Tiada seorang dari mereka yang perlu diambil hatinya itu yang tidak dikabulkan segala keperluannya.

 

Ketika Abbas b. Mirdas mendapat beberapa ekor unta ia tidak senang hati dan mencela karena menurut anggapannya “Uyaina, Agra’ dan yang lain tampaknya lebih diutamakan. Lalu Nabi berkata: “Temui dia dan berilah lagi supaya dia puas dan diam.”’

 

Lalu diberi lagi sampai dia puas. Dan itulah yang membuat dia diam.

 

Anshar dan Mereka yang Dilunakkan Hatinya Akan tetapi tindakan Nabi mengambil hati orang-orang yang tadinya merupakan musuh besar itu, telah menjadi bahan pembicaraan di kalangan Anshar, dan satu sama lain mereka berkata: “Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri.” Dalam hal ini Sa’d b. “Ubada berpendapat akan meneruskan kata-kata Anshar itu kepada Nabi dan akan mendukung pula pendapat mereka itu. “Sekarang kumpulkan masyarakatmu di tempat berpagar ini”,? kata Nabi. Setelah oleh Sa’d mereka dikumpulkan dan kemudian Nabi datang, maka terjadi dialog berikut:

 

Muhammad: “Saudara-saudara kaum Anshar. Suatu desas-desus! berasal dari kamu yang telah disampaikan kepadaku itu merupakan suatu perasaan yang ada dalam hatimu terhadap diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Tuhan membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan memberikan kecukupan kepadamu, kamu dalam permusuhan, Tuhan mempersekutukan kamu?”

 

Anshar: “Ya, memang! Tuhan dan Rasul juga yang lebih bermurah hati.”

 

Muhammad: “Saudara-saudara kaum Anshar. Kamu tidak menjawab kata-kataku?”

 

Anshar: “Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah dan Rasul-Nya juga.”

 

Muhammad: “Ya, sungguh, demi Allah! Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan — kamu benar dan pasti dibenarkan: “Engkau datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang mempercayaimu. Engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu. Engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau dalam sengsara, kami yang menghiburmu.’ Saudara-saudara dari Anshar! Adakah sekelumit juga rasa keduniaan itu dalam hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu golongan supaya mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu aku sudah percaya. Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar. Allahuma ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar.”

 

Semua itu oleh Nabi diucapkan dengan kata-kata penuh keharuan, penuh rasa cinta dan kasih-sayang kepada mereka yang pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama lain saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu, sehingga orangorang Anshar pun menangis, sambil berkata: “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami.”

 

Dengan demikian Nabi telah memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta yang telah diperoleh sebagai rampasan perang di Hunain itu, yang sebenarnya belum pernah ada suatu rampasan perang diperoleh sebanyak itu. Ia memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta itu sebagai langkah dalam mengambil hati mereka — yang dalam beberapa minggu yang lalu masih musyrik — dapat melihat bahwa dalam agama yang baru itu ada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi harta itu Muhammad sendiri sudah merasa payah sekali sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin, dan kalau pun ini telah membawa kemarahan pihak Anshar karena ia telah bermurah hati kepada mereka yang perlu dijinakkan itu, namun dengan demikian ia telah memperlihatkan sikap yang adil, pandangan yang jauh serta kebijaksanaan politik yang baik sekali. Dengan demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang Arab ini — semua dengan senang hati, dengan perasaan lega — bersedia memberikan nyawanya demi jalan Allah.

 

Selanjutnya Rasul pun berangkat dari Ji’rana menuju Mekah, hendak menunaikan umrah. Selesai melakukan umrah ia menunjuk “Attab b. Asid sebagai tenaga pengajar untuk Mekah dengan didampingi oleh Mu’adh b. Jabal guna mengajar orang-orang memperdalam agama dan mengajarkan Quran.

 

Ia kembali pulang ke Medinah bersama orang-orang Anshar dan Muhajirin. Sementara Nabi tinggal di kota ini lahir pula anaknya Ibrahim, dan selama beberapa waktu itu, setelah agak merasakan adanya ketenangan hidup, kemudian ia pun harus bersiap-siap pula menghadapi perang Tabuk di Syam.

 

Kembali ke Medinah — Banat Su’ad — Utusan Kabilah-kabilah kepada Nabi – Zainab Wafat — Ibrahim Lahir — Istri Nabi Cemburu — Keterangan Umar – Istri Nabi Gelisah — Suatu Pertentangan — Permohonan Umar kepada Nabi – Kritik Sejarah yang Cermat — Serangan Orientalis

 

Kembali ke Medinah

 

MUHAMMAD kembali ke Medinah selesai ia membebaskan Mekah dan setelah mendapat kemenangan di Hunain dan mengepung Ta’if. Dalam hati orang Arab semua sudah nyata dan yakin, bahwa tak ada yang dapat menandinginya di seluruh jazirah, juga sudah tak ada lagi lidah yang mau mengganggu atau mencelanya. Pihak Anshar dan Muhajirin semua merasa gembira sekali karena Tuhan telah membukakan jalan kepada Nabi, membebaskan negeri tempat Mesjid Suci. Mereka gembira karena penduduk Mekah telah beroleh hidayah dengan menganut Islam, dan orang-orang Arab — dengan kabilahnya yang beraneka ragam itu — telah tunduk dan taat kepada agama ini. Banat Su’ad

 

Untuk sekadar menikmati adanya ketenangan hidup, mereka semua kembali ke Medinah setelah Muhammad menunjuk “Attab b. Asid untuk Mekah di samping Mu’adh b. Jabal guna mengajar orang memperdalam agama dan mengajarkan Quran. Kemenangan yang belum ada taranya dalam sejarah Arab ini telah menimbulkan kesan yang dalam sekali di dalam hati orang-orang Arab itu semua, juga dalam hati pembesarpembesar dan bangsawan-bangsawan yang samasekali tidak membayangkan, bahwa pada suatu hari mereka akan tunduk kepada Muhammad atau akan menerima agamanya sebagai agama mereka, dalam hati penyairpenyair, yang bicara atas nama bangsawan-bangsawan dengan sekadar mendapatkan simpati dan dukungan sebagai imbalan, atau sekadar mendapatkan bantuan dan dukungan kabilah-kabilah: dalam hati kabilahkabilah di pedalaman, yang biasanya tidak mau menukarkan kebebasannya dengan apa pun, atau akan terbayang dalam pikirannya, bahwa mereka akan tergabung dalam satu panji di luar panji mereka sendiri yang khusus gtau akan bersedia mati untuk semua itu dalam suatu peperangan sampai habis samasekali. Para penyair dengan sajak-sajaknya, kaum bangsawan dengan kebangsawanannya dan kabilah-kabilah yang mau mempertahankan kepribadiannya, apa artinya semua itu dalam berhadapan dengan kekuatan yang berada di luar kodrat alam itu, tiada dapat dibendung oleh suatu kekuatan, tiada suatu kekuasaan dapat mengalanginya.

 

Begitu besarnya pengaruh itu dalam hati orang-orang Arab, sehingga pujair ibn Zuhair menulis surat kepada saudaranya, Ka’b, setelah Nabi meninggalkan Ta’if. Ia mengatakan, bahwa Muhammad di Mekah telah menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang yang dulu pernah mengejek dan mengganggunya, dan penyair-penyair yang masih ada, mereka melarikan diri tak tentu arahnya. Dinasehatinya saudaranya itu, supaya segera datang kepada Nabi di Medinah. Ia tidak pernah menghukum orang yang datang kepadanya menyatakan penyesalannya, atau orang menyelamatkan diri dengan ke mana saja ia mau pergi.

 

Apa yang diceritakan Bujair itu memang benar. Tak ada orang yang terbunuh di Mekah atas perintah Muhammad kecuali empat orang saja, di antaranya seorang penyair yang sangat mengganggu Nabi dengan ejekan-ejekannya, dua orang yang telah menyakiti Zainab putrinya, ketika dengan izin suaminya ia pergi hijrah dari Mekah hendak menyusul ayahnya. Ka’b yakin bahwa apa yang dikatakan saudaranya itu benar, dan kalau dia tidak mau menemui Muhammad ia akan hidup dalam petuajang. Oleh karena itu cepat-cepat ia datang ke Medinah dan menumpang di rumah seorang kawan lama. Keesokan harinya pagi-pagi ia datang ke mesjid, ia meminta suaka kepada Nabi kemudian ia membacakan sajak ini.

 

Berpisah dengan Su’ad

 

Hatiku kini merana karena cinta

Tergila-gila mengikutinya, terpukau

Tiada lagi ada belenggu.

 

Nabi kemudian memaafkannya dan setelah itu dia menjadi orang Islam yang baik. Utusan Kabilah-kabilah kepada Nabi

 

Karena pengaruh itu jugalah, maka kabilah-kabilah mulai berdatangan kepada Nabi dan menyatakan kesetiaannya. Dari kabilah Tayy datang pula utusan dipimpin oleh ketuanya sendiri, Zaid al-Khail. Setelah mereka ini tiba, Nabi pun menyambut mereka dengan baik sekali. Ketika terjadi pembicaraan dengan Zaid, Nabi berkata:

 

“Setiap ada orang dari kalangan Arab yang digambarkan begitu baik, kemudian orang itu datang kepadaku, ternyata ia kurang daripada apa yang digambarkan orang, kecuali Zaid al-Khail ini. Ia melebihi daripada apa yang digambarkan orang.”

 

Lalu ia dinamainya “Zaid al-Khair’ (Zaid yang baik) bukan lagi “Zaid al-Khail” (Zaid si kuda).’ Kabilah Tayy kemudian masuk Islam termasuk Zaid sendiri sebagai pemimpinnya.

 

Kemudian “Adi b. Hatim at-Ta’iy. Ia seorang Nasrani, dan sangat benci kepada Muhammad. Setelah melihat keadaan Muhammad dan Muslimin di jazirah Arab, ia pergi dengan untanya, membawa keluarga dan anaknya hendak bergabung dengan orang-orang seagama dari kalangan Nasrani di Syam. Larinya “Adi ini ialah ketika Nabi mengutus Ali b. Abi Talib supaya menghancurkan berhala Tayy. Setelah berhala itu oleh Ali dihancurkan, ia membawa rampasan dan tawanan perang, di antaranya putri Hatim — saudara “Adi — yang telah ditahan dalam sebuah tempat berpagar di pintu masuk mesjid, tempat tawanan-tawanan perang dikurung. Tatkala Nabi lewat di tempat itu, ia menghampirinya dan berkata:

 

“Rasulullah, ayah saya sudah meninggal, sedang penopang saya sudah menghilang. Bermurah hatilah kepadaku, mudah-mudahan Tuhan akan memberi kurnia kepadamu.”

 

Setelah diketahui bahwa penopangnya itu “Adi b. Hatim, yang telah melarikan diri dari Tuhan dan Rasul, Nabi memalingkan muka dari dia. Tetapi perempuan itu memintanya meninjau kembali. Lalu teringat oleh Nabi, betapa pemurahnya ayah mereka dulu pada zaman jahiliah sehingga dapat mengangkat nama jazirah itu. Kemudian diperintahkannya supaya wanita itu dibebaskan. Ia diberi pakaian yang bagus-bagus dan diberinya pula belanja, lalu diberangkatkan dengan rombongan pertama yang berangkat ke Syam. Bila kemudian ia bertemu dengan saudaranya (“Adi) dan diceritakannya betapa Muhammad menghormatinya dan bermurah hati kepadanya, ia pun kembali dan menerjunkan diri ke dalam barisan Muslimin.

 

Demikian juga pemuka-pemuka kabilah yang lain berdatangan kepada Muhammad — setelah pembebasan Mekah dan kemenangan di Hunain serta pengepungan Ta’if – mereka hendak mengakui risalahnya dan menerima Islam, sementara ketika itu ia tinggal di Medinah, mereka lega dengan adanya pertolongan Tuhan dan kehidupan yang agak tenteram itu.

 

Zainab Wafat

 

Akan tetapi ketenteraman hidup masa itu tampaknya tidak begitu cerah. Pada waktu itu Zainab putrinya sedang menderita sakit yang Sangat menguatirkan sekali. Sejak ia mendapat gangguan Huwairith dan Habbar tatkala ia berangkat dari Mekah yang sangat mencemaskan hatinya dan menyebabkan ia keguguran, sejak itu kesehatannya mundur Sekali, yang sampai berakhir membawa kematiannya. Dengan kematiannya itu tak ada lagi dari keturunan Muhammad yang masih hidup selain Fatimah, setelah Umm Kulthum dan Ruqayya wafat pula lebih dulu Sebelum Zainab. Dengan kehilangan putrinya inih Muhammad merasa gundah sekali. Teringat olehnya, betapa lembutnya perasaan Zainab, betapa indahnya kesetiaannya kepada suaminya — Abu’lAsh bin’r-Rabi’ – ketika sebagai orang tawanan di Badr, ditebusnya ia dari ayahnya. Ia menebusnya, padahal ia dalam Islam sedang suaminya masih syirik, di Samping begitu gigih ia memerangi ayahnya, yang kalau kemenangan itu berada di tangan Quraisy, pasti Muhammad tidak akan dibiarkan hidup.

 

Semua itu teringat oleh Muhammad betapa lembutnya perasaannya, betapa indahnya kesetiaannya. Teringat pula olehnya betapa ia menderita Sakit, sejak ia kembali dari Mekah sampai ia wafat. Muhammad, yang dalam kemalangan, ia pergi ke pelosok-pelosok dan ke ujung kota, Menengoki orang yang sedang sakit, ia menghibur orang yang dalam menderita, dalam kesakitan. Maka bilamana sampai pula takdir menimpa butrinya ini, setelah lebih dulu menimpa kedua saudaranya yang laki-laki lidak salah apabila ia akan sangat merasa duka, akan sangat bertambah luka di hati, meskipun dengan adanya rahmat dan kasih-sayang Tuhan kepadanya ia akan merasa sudah terhibur. Ibrahim Lahir

 

Akan tetapi tidak lama ia mengalami kesedihan itu, dengan melalui Maria orang Kopti, Tuhan telah memberi karunia seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim, nama yang diambil dari Ibrahim leluhur para Nabi, para hanif yang patuh kepada Tuhan. Sejak Maria diberikan oleh Mugaugis kepada Nabi sampai pada waktu itu masih berstatus hamba sahaya. Oleh karena itu tempatnya tidak di samping mesjid seperti istriistri Nabi Umm’l-Mukminin yang lain. Oleh Muhammad ia ditempatkan di “Alia, di bagian luar kota Medinah, di tempat yang sekarang diberi nama Masyraba Umm Ibrahim, datam sebuah rumah di tengah-tengah kebun anggur. Ia sering berkunjung ke sana seperti biasanya orang mengunjungi hak-miliknya. Ia mengambilnya sebagai hadiah dari Mugaugis bersamasama saudaranya yang perempuan, Sirin, dan Sirin ini diberikannya kepada Hassan b. Thabit. Sesudah Khadijah wafat, dari semua istrinya, baik yang muda remaja atau yang sudah setengah umur, yang dulu pernah — memberikan keturunan, Muhammad tidak pernah menantikan mereka masih akan memberikan keturunan lagi, yang selama sepuluh tahun berturut-turut belum ada tanda-tanda kesuburan pada mereka.

 

Setelah ternyata Maria mengandung dan kemudian lahir Ibrahim – ketika itu usianya sudah lampau enam puluh tahun — sangat gembira sekali ja. Rasa sukacita telah memenuhi hati manusia besar ini. Dengan kelahirannya itu kedudukan Maria dalam pandangannya tampak lebih tinggi, dari tingkat bekas-bekas budak ke derajat istri. Ini menambah ia lebih disenangi dan lebih dekat lagi.

 

Istri Nabi Cemburu

 

Wajar sekali hal ini akan menambah rasa iri hati di kalangan istriistrinya yang lain, lebih-lebih karena Maria ibu Ibrahim, sedang mereka semua tidak beroleh putra. Juga pandangan Nabi kepada bayi ini sehari ke sehari makin memperbesar kecemburuan mereka. Ia sangat menghormati Salma, istri Abu Rafi”, yang bertindak sebagai bidan Maria. Ketika lahirnya itu ia memberikan sedekah uang dengan ukuran tiap seutas rambut kepada setiap fakir miskin, dan untuk menyusukannya telah diserahkan pula kepada Umm Saif disertai tujuh ekor kambing untuk dimanfaatkan air susunya buat si bayi. Setiap hari ia singgah ke rumah Maria sekadar ingin melihat Ibrahim, dan ia pun tambah gembira setiap melihat senyuman bayi yang masih suci dan bersih itu: makin senang hatinya setiap melihat pertumbuhan bayi bertambah indah. Apa lagikab yang akan lebih besar dari semua ini, akan menimbulkan rasa iri hati dalam diri istri-istri yang tidak mempunyai anak itu? Dan sampai di mana pula pengaruh iri hati itu pada mereka?

 

Dengan penuh perasaan gembira pada suatu hari Nabi datang dengan memondong Ibrahim kepada Aisyah. Dipanggilnya Aisyah supaya melihat betapa besarnya persamaan Ibrahim dengan dirinya itu. Aisyah melihat kepada bayi itu, kemudian katanya, bahwa dia tidak melihat adanya persamaan itu. Setelah dilihatnya Nabi begitu gembira karena pertumbuhan bayi itu, ia tampak marah: semua bayi yang mendapat susu seperti Ibrahim, akan sama pertumbuhannya atau akan lebih baik. Istri-istri Nabi telah marah dan tidak suka hati karena kelahiran Ibrahim itu, yang akibatnya tidak terbatas hanya pada jawaban-jawaban yang kasar, bahkan sudah lebih dari itu, sampai-sampai dalam sejarah Muhammad dan dalam sejarah Islam telah meninggalkan pengaruh, sehingga karenanya datang pula wahyu dan disebutkan dalam Kitabullah.

 

Keterangan Umar

 

Dan wajar sekali pengaruh demikian ini akan timbul, Muhammad telah memberi tempat dan kedudukan kepada istri-istrinya demikian rupa, suatu hal yang tidak pernah dikenal di kalangan Arab. Dalam suatu keterangan Umar bin’I-Khattab berkata: “Sungguh”, kata Umar, “kalau kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.” Dan katanya lagi: “Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba istri saya berkata: “Coba kau berbuat begini atau begitu. Jawab saya, “Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusan yang kuinginkan.” Dia pun membalas, “Aneh sekali engkau, Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal putrimu menentang Rasulullah s.a.w. sehingga ia gusar sepanjang hari. Kata Umar selanjut, nya: “Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsha, “Anakku”, kataku kepadanya. “Engkau menentang Rasulullah s.a.w, Sampai ia merasa gusar sepanjang hari?! Hafsha menjawabnya: “Memang kami menentangnya.’ “Engkau harus tahu”, kataku. “Kuperingatkan Engkau jangan terpedaya. Orang telah terpesona oleh kecantikannya Sendiri dan mengira cinta Rasulullah s.a.w. hanya karenanya.” Kemudian Saya pergi menemui Umm Salama, karena kami masih berkerabat. Hal ini Saya bicarakan dengan dia. Lalu kata Umm Salama kepadaku: “Aneh Sekali engkau ini, Umar! Engkau sudah ikut campur dalam segala hal, Sampai-sampai mau mencampuri urusan Rasulullah s.a.w. dengan rumah. langganya!” Kata Umar lagi: “Kata-katanya mempengaruhi saya sehingga lidak jadi saya melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Lalu saya pun Pergi.”

 

Muslim dalam Shahihnya melaporkan, bahwa Abu Bakr pernah Meminta izin kepada Nabi akan menemuinya dan setelah diizinkan ia pun Masuk, kemudian datang Umar meminta izin dan masuk pula setelah diberi izin. Dijumpainya Nabi sedang duduk dalam keadaan masygul di tengah-tengah para istrinya yang juga sedang masygul dan diam. Ketika itu Umar berkata: “Saya akan mengatakan sesuatu yang akan membuat Nabi S.a.w. tertawa. Lalu katanya: “Rasulullah, kalau tuan melihat Bint Kharija’ yang meminta belanja kepada saya, maka saya bangun dan saya tinju lehernya. Maka Rasulullah pun tertawa seraya katanya: “Mereka itu sekarang di sekelilingku meminta belanja! Ketika itu Abu Bakr lalu menghampiri Aisyah dan ditinjunya lehernya, demikian juga Umar lalu menghampiri Hafsha dan meninjunya, sambil masing-masing berkata: “Kalian minta yang tidak ada pada Rasulullah s.a.w.! Mereka pun menjawab: “Demi Allah kami samasekali tidak minta kepada Rasulullah S.a.w. sesuatu yang tidak dipunyainya.’

 

Sebenarnya Abu Bakr dan Umar waktu itu menemui Nabi, karena Nabi a.s. tidak tampak keluar waktu bersembahyang. Karena itu kaum Muslimin bertanya-tanya apa gerangan yang mengalanginya. Dalam peristiwa Abu Bakr dan Umar dengan Aisyah dan Hafsha inilah datang firman Tuhan:

 

“Wahai Nabi! Katakan kepada istri-istrimu: “Kalau kamu menghendaki kehidupan dan perhiasan dunia, marilah ke mari, akan kuberikan semua itu dan akan kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Tetapi kalau kamu menghendaki Allah dan Rasul serta kehidupan akhirat, maka Allah telah menyediakan pahala yang besar untuk orang-orang yang berbuat kebaikan dari kalangan kamu.”

 

Kemudian istri-istri Nabi saling mengadakan sepakat. Biasanya lepas salat asar Nabi mengunjungi istri-istrinya. Ketika itu ia sedang berkunjung kepada Hafsha menurut satu sumber — atau kepada Zainab bt. Jahsy menurut sumber yang lain — dan lama tidak keluar, lebih dari biasanya. Hal ini telah menimbulkan rasa iri hati pada istri-istrinya yang lain. Aisyah mengatakan: “Lalu aku dan Hafsha bersepakat, bahwa bilamana Nabi s.a.w. datang kepada salah seorang dari kami hendaklah berkata bahwa aku mencium bau maghafir’. Apa kau makan maghafir?” (Maghafir ialah sesuatu yang manis rasanya, berbau tidak sedap. Sedang Nabi tidak menyukai segala yang berbau tidak enak). Ketika ia mendatangi salah seorang dari mereka ini, hal itu oleh yang seorang ditanyakan kepadanya.

 

“Saya hanya minum madu di rumah Zainab bt. Jahsy, dan tidak akan saya ulang lagi,” katanya.

 

Menurut laporan Sauda, yang juga sudah mengadakan persepakatan yang serupa dengan Aisyah, menceritakan, bahwa setelah Nabi berada di dekatnya, ditanyanya: “Kau makan maghafir?”

 

“Tidak.” jawabnya.

 

“Ini bau apa?”

 

“Hafsha menyuguhi aku minuman dari madu.”

 

“Yang lebahnya mengisap “urfut?”

 

Dan bila ia mendatangi Aisyah dikatakannya seperti yang dikatakan oleh Sauda. Juga Shafia ketika dijumpainya mengatakan seperti apa yang dikatakan mereka juga. Sejak itu ia lalu mengharamkan madu untuk dirinya.

 

Setelah melihat kenyataan ini Sauda berkata: “Maha suci Tuhan! Madu telah jadi haram buat kita!”

 

Ditatapnya ia oleh Aisyah dengan pandangan mata penuh arti seraya katanya: Diam!

 

Nabi yang telah memberi kedudukan kepada istri-istrinya, sedang sebelum itu, seperti wanita-wanita Arab lainnya, mereka tidak pernah mendapat penghargaan orang, sudah wajar sekali apabila sikap mereka kini mau berlebih-lebihan dalam menggunakan kebebasan, suatu hal yang tidak pernah dialami oleh sesama kaum wanita, sampai-sampai ada di antara mereka itu yang menentang Nabi dan membuat Nabi gusar Sepanjang hari. Ia sudah berusaha hendak menghindarkan diri dari

 

mereka, meninggalkan mereka, supaya sikap kasih-sayang kepada mereka itu tidak sampai membuat tingkah laku mereka tambah melampaui batas, dan sampai ada dari mereka yang mengeluarkan rasa cemburunya dengan Cara yang tidak layak. Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati pada istri-istri Nabi itu sudah melampaui sopan santun, sehingga ketika terjadi percakapan antara dia dengan Aisyah, Aisyah menolak menyatakan | adanya persamaan rupa Ibrahim dengan Nabi itu, dan hampir-hampir pula menuduh Maria yang bukan-bukan, yang oleh Nabi dikenal bersih.

 

Pernah terjadi ketika pada suatu hari Hafsha pergi mengunjungi ayahnya dan bercakap-cakap di sana, Maria datang kepada Nabi tatkala ia sedang di rumah Hafsha dan agak lama. Bila kemudian Hafsha kembali Pulang dan mengetahui ada Maria di rumahnya, ia menunggu keluarnya Maria dengan rasa cemburu yang sudah meluap. Makin lama ia menunggu, Cemburunya pun makin menjadi. Bilamana kemudian Maria keluar, Hafsha masuk menjumpai Nabi.

 

“Saya sudah melihat siapa yang dengan kau tadi”, kata Hafsha.

 

Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak akan berbuat begitu kalau tidak kedudukanku yang rendah dalam pandunganmu.”

 

Istri Nabi Gelisah

 

Muhammad segera menyadari bahwa rasa cemburulah yang telah mendorong Hafsha menyatakan ‘apa yang telah disaksikannya itu serta membicarakannya kembali dengan Aisyah atau istri-istrinya yang lain. Dengan maksud hendak menyenangkan perasaan Hafsha, ia bermaksud hendak bersumpah mengharamkan Maria buat dirinya kalau Hafsha tidak akan menceritakan apa yang telah disaksikannya itu. Hafsha berjanji akan melaksanakan. Tetapi rasa cemburu sudah begitu berkecamuk dalam hati, sehingga dia tidak lagi sanggup menyimpan apa yang ada dalam hatinya, dan ia pun menceritakan lagi hal itu kepada Aisyah. Aisyah memberi kesan kepada Nabi bahwa Hafsha tidak lagi dapat menyimpan rahasia. Barangkali masalahnya tidak hanya terhenti pada Hafsha dan pada Aisyah saja dari kalangan istri Nabi. Barangkali mereka semua — yang sudah melihat bagaimana Nabi mengangkat kedudukan Maria -telah pula mengikuti Hafsha dan Aisyah ketika kedua mereka ini berterang-terang kepada Nabi sehubungan dengan Maria ini, meskipun cerita demikian sebenarnya tidak lebih daripada suatu kejadian biasa antara seorang suami dengan istrinya, atau antara seorang laki-laki dengan hamba sahaya yang sudah dihalalkan. Dan tidak perlu diributkan seperti yang dilakukan oleh kedua putri Abu Bakr dan Umar itu, yang dari pihak mereka sendiri berusaha hendak membalas karena kecenderungan Nabi kepada Maria. Kita sudah melihat adanya semacam ketegangan dalam saat-saat tertentu antara Nabi dengan para istrinya karena soal belanja, karena soal madu Zainab, atau karena sebab-sebab lain, yang menunjukkan bahwa mereka melihat Nabi lebih mencintai Aisyah atau lebih mencintai Maria.

 

Begitu memuncaknya keadaan mereka, sehingga pada suatu hari mereka mengutus Zainab bt. Jahsy kepada Nabi di rumah Aisyah dan dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia berlaku tidak adil terhadap para istrinya, dan karena cintanya kepada Aisyah ia telah merugikan yang Jain. Bukankah setiap istri mendapat bagian masing-masing sehari semalam? Kemudian juga Sauda, karena melihat Nabi menjauhinya dan tidak bermuka manis kepadanya, maka supaya Rasul merasa senang, ia telah mengorbankan waktu siang dan malamnya itu untuk Aisyah. Dalam berterus-terang itu Zainab tidak hanya terbatas dengan mengatakan Nabi bersikap tidak adil di antara para istri, bahkan juga ia telah mencerca Aisyah yang ketika itu sedang duduk-duduk, sehingga membuat Aisyah bersiap hendak membalasnya kalau tidak karena adanya isyarat dari Nabi, yang membuat dia jadi tenang kembali. Akan tetapi Zainab begitu bersikeras menyerangnya dan mencerca Aisyah melampaui batas, sehingga tak ada jalan lain buat Nabi kecuali membiarkan Aisyah membela diri. Ketika itu Aisyah membalas bicara dan membuat Zainab jadi terdiam. Dengan demikian Nabi merasa senang dan kagum sekali terhadap putri Abu Bakr itu. Suatu Pertentangan

 

Pada waktu-waktu tertentu pertentangan istri-istri Nabi itu sudah begitu memuncak, sebab dia dianggap lebih mencintai yang seorang daripada yang lain, sehingga karenanya Nabi bermaksud hendak menceraikan mereka itu sebagian, kalau tidak karena mereka lalu memberikan kebebasan kepadanya mengenai siapa saja yang lebih disukainya. Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati pada mereka makin menjadi-jadi, lebih-lebih pada Aisyah. Dalam menghadapi kegigihan sikap mereka yang iri hati ini Muhammad — yang sudah mengangkat derajat mereka begitu tinggi — masih tetap lemah-lembut. Muhammad tidak punya waktu yang senggang untuk melayani sikap kegigihan serupa itu dan membiarkan dirinya dipermainkan oleh sang istri. Mereka harus mendapat pelajaran dengan sikap yang tegas dan keras. Persoalan pada istri-istri itu harus dapat dikembalikan ke tempat semula. Dia harus kembali dalam ketenangannya berpikir, dalam menjalankan dakwah ajarannya, seperti yang sudah ditentukan Tuhan kepadanya itu. Dapat juga pelajaran itu berupa tindakan meninggalkan mereka atau mengancam mereka dengan perceraian. Kalau mereka mau kembali sadar, baiklah: kalau tidak, berikanlah bagiannya dan ceraikan mereka dengan cara yang baik.

 

Selama sebulan penuh akhirnya Nabi memisahkan diri dari mereka. Tiada orang yang diajaknya bicara mengenai mereka, juga orang pun tak ada yang berani memulai membicarakan masalah mereka itu. Dan selama Sebulan itu ia memusatkan pikirannya pada apa yang harus dilakukannya, apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin dalam menjalankan dakwah Islam, serta menyebarkan agama itu keluar jazirah.

 

Dalam pada itu Abu Bakr dan Umar serta bapa-bapa mertua Nabi yang lain merasa gelisah sekali melihat nasib Umm’l-Mukminin (Ibu-ibu Orang-orang Beriman) serta apa yang akan terjadi karena kemarahan Rasulullah, dan karena kemarahan Rasul itu akan berakibat pula adanya kemurkaan Tuhan dan para malaikat. Bahkan sudah ada orang berkata, bahwa Nabi telah menceraikan Hafsha putri Umar setelah ia membocorkan apa yang dijanjikannya akan dirahasiakan. Desas-desus pun beredar di kalangan Muslimin bahwa Nabi sudah menceraikan istri-istrinya. Dalam pada itu istri-istri pun gelisah pula, menyesal, yang karena terdorong oleh rasa cemburu, sampai begitu jauh mereka menyakiti hati ‘uami yang tadinya sangat lemah-lembut kepada mereka. Bagi mereka Via adalah saudara, bapa, anak dan segala yang ada dalam hidup dan di balik hidup ini.

 

Sekarang Muhammad sudah menghabiskan sebagian waktunya dalam sebuah bilik kecil. Dan selama ia dalam bilik itu pelayannya Rabah duduk menunggu di ambang pintu. Jalan masuk ke tempat itu melalui tangga dari batang kurma yang kasar sekali.

 

Permohonan Umar kepada Nabi

 

Sudah sebulan lamanya ia dalam bilik itu sesuai dengan niatnya hendak meninggalkan para istrinya itu samasekali. Ketika itu kaum Muslimin sedang berada dalam mesjid dalam keadaan menekur. Mereka berkata: Rasulullah s.a.w. telah menceraikan istri-istrinya. Jelas sekali kesedihan yang mendalam itu membayang pada wajah mereka. Ketika itu

 

Umar yang berada di tengah-tengah mereka lalu berdiri. ia hendak pergi ke tempat Nabi dalam biliknya itu. Dipanggilnya Rabah si pelayan supaya dimintakan izin ia hendak menemui Rasulullah. Ia melihat kepada Rabah dengan mengharapkan jawaban. Tapi rupanya Rabah tidak berkata apaapa, yang berarti bahwa Nabi belum mengizinkan. Sekali lagi Umar mengulangi permintaan itu. Juga sekali lagi Rabah tidak memberikan jawaban. Sekali ini Umar berkata lagi dengan suara lebih keras.

 

“Rabah, mintakan aku izin kepada Rasulullah — s.a.w. — Kukira dia sudah menduga kedatanganku ini ada hubungannya dengan Hafsha. Sungguh, kalau dia menyuruh aku memenggal leher Hafsha, akan kupenggal.”

 

Sekali ini Nabi memberi izin dan Umar pun masuk. Bila ia sudah duduk dan membuang pandang ke sekeliling tempat itu, ia menangis.

 

“Apa yang membuat engkau menangis, Ibn’I-Khattab?” tanya Muhammad.

 

Yang membuatnya menangis ialah melihat tikar tempat Nabi berbaring itu sampai membekas di rusuknya, dan bilik sempit yang tiada berisi apa-apa selain segenggam gandum,’ kacang-kacangan? dan kulit yang digantungkan.

 

Setelah oleh Umar disebutkan apa yang telah menyebabkannya menangis itu dan Nabi mengatakan perlunya meninggalkan kehidupan duniawi, ia pun mulai kembali tenang.

 

Kemudian kata Umar:

 

“Rasulullah, apa yang menyebabkan tuan tersinggung karena para istri itu. Kalau mereka itu tuan ceraikan, niscaya Tuhan di sampingmu, demikian juga para malaikatJibril dan Mikail — juga saya, Abu Bakr, dan semua Orang-orang beriman berada di pihakmu.”

 

Kemudian ia terus bicara dengan Nabi sehingga bayangan kemarahannya berangsur hilang dari wajahnya dan ia pun tertawa. Setelah Umar melihat hal ini lalu diceritakannya keadaan Muslimin yang di mesjid serta apa yang mereka katakan, bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Dengan adanya keterangan dari Nabi bahwa ia tidak menceraikan mereka, ia minta izin akan mengumumkan hal ini kepada orang-orang yang sekarang masih tinggal di mesjid menunggu.

 

Ia pergi ke mesjid, dan dengan suara keras ia berkata kepada mereka: “Rasulullah — s.a.w. — tidak menceraikan istrinya.” Sehubungan dengan peristiwa inilah ayat-ayat suci ini turun:

 

“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang oleh Tuhan dihalalkan untukmu, hanya karena engkau ingin memenuhi segala yang disenangi para istrimu? Dan Allah jua Maha Pengampun dan Penyayang. Tuhan telah mewajibkan kamu melepaskan sumpah kamu itu. Dan Tuhan jua Pelindungmu, Dia Mengetahui dan Bijaksana. Tatkala Nabi membisikkan cerita itu kepada salah seorang istrinya, maka bila ia (istri) itu mengumumkan hal tersebut dan Tuhan mengungkapkan hal itu kepadanya, sebagian diterangkannya dan yang sebagian lagi tidak. Bila hal itu kemudian disampaikan kepada istrinya, ia bertanya:

 

“Siapa yang mengatakan itu kepadamu?” Ia menjawab: “Yang mengatakan itu kepadaku Allah Yang Maha Mengetahui. Kalau kamu berdua mau bertobat kepada Allah maka hatimu sudah sudi menerima. Tetapi kalau kamu berdua bantu-membantu menyusahkannya, maka Tuhanlah Pelindungnya, demikian juga Jibril dan setiap orang baik-baik di kalangan orang-orang beriman, di samping itu para malaikat juga jadi benolongnya. Jika ia menceraikan kamu, bolehjadi Tuhan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu — yang berserah diri, yang beriman, berbakti dan bertobat, yang rendah hati beribadat dan berpuasa, janda-janda atau perawan.”

 

Dengan demikian peristiwa itu selesai. Istri-istri Nabi kembali Sadar, dan dia pun kembali kepada mereka setelah mereka benar-benar bertobat, menjadi manusia yang rendah hati beribadat dan beriman. Kehidupan rumah tangganya sekarang kembali tenang, yang memang demikian diperlukan oleh setiap manusia yang sedang melaksanakan suatu beban besar yang ditugaskan kepadanya.

 

Kritik Sejarah yang Cermat

 

Apa yang sudah saya ceritakan tentang Muhammad yang sudah Meninggalkan istri-istrinya dan menyuruh mercka supaya memilih, peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah ditinggalkan serta beberapa kejadian yang sebelum itu dan akibatnya, menurut hemat saya itulah cerita yang sebenarnya mengenai sejarah kejadian ini. Cerita ini saling menguatkan satu sama lain, seperti yang ada dalam kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab hadis. Demikian juga adanya keterangan-keterangan di sana sini mengenai diri Muhammad dan istri-istrinya dalam pelbagai buku biografi itu. Sungguhpun begitu tiada sebuah juga buku-buku sejarah itu yang membawa peristiwa ini atau mengemukakan peristiwa-peristiwa sebelumnya serta kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya seperti yang saya kemukakan dalam buku ini. Dalam menghadapi kejadian seperti ini oleh buku-buku sejarah Nabi itu kebanyakan dilewati begitu saja tanpa ditelaah lebih lanjut: seolah-olah ini dilihatnya sebagai barang yang kesat dipegang dan takut sekali mendekatinya. Ada lagi yang menelaah soal madu dan maghafir, tanpa sepatah kata juga menyebut-nyebut soal Hafsha dan Maria.

 

Sebaliknya oleh pihak Orientalis — soal Hafsha dan Maria, soal Hafsha yang membuka rahasia kepada Aisyah – hal yang dijanjikan kepada Nabi akan dirahasiakan — dijadikannya pangkal sebab semua kejadian itu. Dengan demikian mereka berusaha hendak menambah hal-hal baru untuk meyakinkan pembacanya tentang diri Nabi, bahwa dia laki-laki yang senang kepada wanita dengan cara yang tidak bersih. Menurut hemat saya, penulis-penulis sejarah dari kalangan Muslimin sendiri tidak punya alasan akan mengabaikan kejadian-kejadian ini dengan segala artinya yang sangat dalam itu seperti sudah sebagian kita kemukakan soalnya. Sedang pihak Orientalis, yang dalam hal ini sudah terpengaruh oleh nafsu kekristenannya, mereka sudah menyalahi cara-cara penelitian sejarah. Terhadap siapa pun – lepas dari orang besar seperti Muhammad – kritik sejarah yang murni tidak dapat menerima bahwa pengungkapan Hafsha kepada Aisyah karena ia telah menemui suaminya dalam rumahnya dengan hamba sahayanya yang sudah menjadi haknya itu dan dengan demikian ia halal baginya — akan dijadikan suatu sebab kenapa Muhammad sampai meninggalkan semua istri selama sebulan penuh, serta mengancam mereka semua akan diceraikan. Juga kritik sejarah yang murni tidak dapat menerima bahwa cerita madu itu telah juga dijadikan sebab adanya perpisahan dan ancaman itu.

 

Apabila orang itu orang besar seperti Muhammad, lemah-lembut seperti Muhammad, berlapang dada, tahan menderita, orang berwatak dengan segala sifat-sifat yang ada pada Muhammad, yang sudah sepakat diakui pula oleh semua penulis sejarah hidupnya, maka menggambarkan salah satu dari kedua peristiwa itu an sich sebagai sebab ia memisahkan diri dan mengancam hendak menceraikan istri, adalah suatu hal yang kebalikannya, jauh daripada suatu cara kritik sejarah. Sebaliknya, kritik yang akan dapat diterima orang dan sejalan pula dengan logika sejarah jalah apabila peristiwa-peristiwa itu mengikuti jejak yang sebenarnya, yang akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan yang sudah pasti tidak bisa lain akan ke sana. Maka dengan demikian ia akan menjadi masalah biasa, masuk akal dan secara ilmiah dapat diterima. Dan apa yang sudah kita lakukan ini menurut hemat saya adalah langkah yang wajar dalam peristiwa itu, yakni yang sesuai dengan kebijaksanaan Muhammad, dengan segala kebesarannya, keteguhan hati serta pandangannya yang jauh.

 

Ada beberapa Orientalis yang juga bicara tentang ayat-ayat yang turun pada permulaan Surah At-Tahrim (66) seperti yang sudah saya kutip itu. Disebutkannya bahwa semua kitab-kitab suci di Timur tidak ada yang menyebut-nyebut peristiwa rumah-tangga dengan cara semacam itu. Serangan Orientalis

 

Rasanya tidak perlu kita mengatakan lagi apa yang tersebut dalam kitab-kitab suci itu semua — termasuk Quran di antaranya — tentang masyarakat Lut dengan segala cacat mereka, di samping bagaimana mereka mendebat dua malaikat tamu Lut itu serta tentang apa yang disebutkan dalam kitab-kitab suci itu tentang istri Lut, dan bahwa dia termasuk orang yang tertinggal di belakang. Bahkan Taurat (Perjanjian Lama) membawa cerita tentang Lut dan dua anaknya yang perempuan ketika mereka memberikan minuman anggur kepada bapanya sehingga dua malam berturut-turut ia mabuk, dengan maksud supaya dapat berseketiduran dengan anak itu masing-masing dan dengan demikian Supaya beroleh keturunan, karena dikuatirkan keluarga Lut kelak akan punah, setelah Tuhan menurunkan bencana kepada mereka itu. Sebabnya maka semua kitab suci membuat kisah-kisah para rasul serta apa yang mereka lakukan dan segala apa yang terjadi, ialah sebagai suri teladan bagi umat manusia.

 

Banyak sekali kisah-kisah demikian dalam Quran. Tuhan menyampaikan kisah-kisah yang baik sekali kepada Rasul. Sedang Quran bukan hanya diturunkan kepada Muhammad, melainkan kepada seluruh umat manusia. Muhammad adalah seorang Nabi dan seorang Rasul, sebelum dia Pun telah banyak rasul-rasul lain yang dibawakan kisahnya dalam Quran. Kalau Quran menyampaikan berita-berita tentang Muhammad dan menyangkut pula kehidupan pribadinya yang perlu menjadi contoh buat kaum Muslimin dan teladan yang baik pula, serta memberi isyarat tentang arti dalam tindakan dan kebijaksanaannya itu, maka kisah-kisah para Nabi Yang terdapat dalam Quran itu samasekali tidak berarti keluar daripada Apa yang terdapat dalam kitab-kitab suci lain. Apabila kita mengatakan, bahwa masalah Muhammad meninggalkan istrinya itu bukan sebab yang berdiri sendiri di samping sebab-sebab lain yang telah menimbulkan cerita Itu, juga bukan Hafsha bercerita kepada Aisyah apa yang dilakukan Muhammad dengan Maria — suatu hal yang memang patut dilakukan oleh setiap laki-laki terhadap istrinya atau siapa saja yang menjadi miliknya yang sah — orang akan melihat, bahwa tinjauan yang dikemukakan oleh beberapa Orientalis itu, dari segi kritik sejarah samasekali tidak dapat dibenarkan, juga tidak pula sejalan dengan apa yang ada dalam kitab-kitab suci sehubungan dengan kisah-kisah dan kehidupan para nabi itu.

 

 

 

Ketentuan Zakat dan Pajak — Rumawi Siap Menyerbu – Seruan Muhammad Menghadapi Rumawi -Muslimin Menyambut Seruan Rasul — Mereka yang Tinggal di Belakang dan Orang-orang Munafik — Persiapan Pasukan ‘Usra — Perjalanan Pasukan ‘Usra — Rumawi Menarik Diri -Perjanjian dengan Pihak Perbatasan — Ekspedisi Khalid ke Duma – Muslimin Kembali ke Medinah – Mereka yang Tinggal – Sikap Tegas terhadap Orang-orang Munafik — Dibakarnya Mesjid Dzirar – Tabuk Ekspedisi Terakhir — Ibrahim Sakit – Muhammad Menangisi Kematian Ibrahim

 

PERISTIWA rumah-tangga serta ketegangan dan kegelisahan yang timbul antara Nabi dengan istri-istrinya tidak sampai mengubah segala sesuatu mengenai masalah-masalah umum. Setelah Mekah dibebaskan dan penduduk kota itu menerima Islam, sekarang masalah-masalah umum itu Sudah terasa makin penting sekali. Seluruh masyarakat Arab sudah mulai merasakan betapa pentingnya hal itu. Rumah Suci itu sudah merupakan tempat suci buat orang Arab, tempat mereka berziarah sejak berabadabad lamanya. Rumah Suci ini dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan itu — penjagaan, penyediaan makanan dan air serta hal-hal yang berhubungan dengan masalah haji dari pelbagai macam upacara – sekarang berada di tangan Muhammad dan di bawah undang-undang agama baru ini. Sudah tentu sekali dengan dibebaskannya Mekah masalah-masalah umum di kalangan Muslimin akan jadi bertambah, dan kaum Muslimin pun akan bertambah pula merasakan akan adanya Pengaruh mereka di segala pelosok jazirah. Dengan bertambahnya masalah-masalah umum ini dengan sendirinya akan bertambah pula Pengeluaran-pengeluaran masyarakat umum itu.

 

Ketentuan Zakat dan Pajak

 

Oleh karena itu kaum Muslimin harus mengeluarkan zakat ‘usyr’ dan Orang-orang Arab yang masih bertahan dengan jahiliahnya diharuskan pula membayar kharaj (pajak tanah). Hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan mereka, kadang mereka menggerutu, bahkan lebih dari hanya sekadar menggerutu. Akan tetapi, peraturan baru yang berhubungan dengan agama baru ini, soal pemungutan “usyr dan kharaj di seluruh jazirah belum merupakan suatu jalan ke luar. Untuk maksud itu Muhammad kemudian mengutus sahabat-sahabatnya — tak lama setelah ia kembali dari Mekah — untuk memungut ‘usyr dari penghasilan para kabilah yang sudah beragama Islam tanpa mengusik-usik modal pokok. Mereka semua itu berangkat menuju tujuannya masing-masing, dan para kabilah itu pun menyambut mereka dengan ramah sekali dan zakat ‘usyr itu pun dibayarnya dengan segala senang hati. Tak ada pihak yang mau mengelak dari itu selain daripada anak-suku dari Banu Tamim dan Banu’Mushtaliq. Sementara zakat “usyr itu dikenakan kepada kabilah-kabilah dekat kabilah Banu Tamim yang mereka laksanakan berupa ternak dan harta, tiba-tiba Banu’l-“Anbar (anak suku Banu Tamim), sebelum mereka itu dimintai zakat, mereka sudah siap membawa tombak dan pedang mengusir petugas itu dari daerahnya.

 

Setelah berita ini disampaikan kepada Muhammad, ia segera menugaskan “Uyaina b. Hishn memimpin lima puluh orang anggota pasukan berkuda. Mereka diserbu dengan tiada setahu mereka dan mereka pun lari tunggang-langgang. Lebih dari lima puluh orang terdiri dari laki-laki, wanita dan anak-anak menjadi tawanan, dan mereka ini dibawa pulang ke Medinah. Tawanan itu oleh Nabi dipenjarakan. Di kalangan Banu Tamim ini sudah ada sejumlah kaum Muslimin yang pernah ikut berperang di samping Nabi dalam membebaskan Mekah dan di Hunain. Yang sebagian lagi masih tetap dalam jahiliah. .

 

Setelah mengetahui apa yang terjadi terhadap kawan-kawan mereka dari Banu’l-‘Anbar itu, mereka mengirimkan utusan ke Medinah, terdiri dari pemuka-pemuka mereka sendiri. Bila mereka sudah sampai di mesjid, mereka memanggil-manggil Nabi dari luar kamar: Muhammad, keluarlah ke mari. Panggilan mereka ini sangat mengganggu Nabi. Sebenarnya is tidak akan keluar menemui mereka, kalau tidak karena terdengar suara azan sembahyang lohor. Begitu mereka melihat Nabi, segera mereka melaporkan apa yang telah dilakukan “Uyaina terhadap golongan mereka itu. Juga mereka melaporkan tentang beberapa orang yang sudah masuk Islam dan pernah berjuang di sampingnya, selanjutnya dikatakan betapa kedudukan mereka itu di tengah-tengah masyarakat Arab.

 

“Kami ke mari hendak berlomba”, kata mereka lagi. “Berilah izin kepada penyair dan orator kami.”

 

Kemudian juru pidato mereka, “Utarid b. Hajib berpidato. Setelah selesai, Rasulullah memanggil Thabit b. Oais untuk membalasnya. Seterusnya penyair mereka, Az-Zabrigan b. Badr membacakan sajak-sajak yang kemudian dibalas oleh Hassan b. Thabit. Setelah selesai perlombaan itu, “Afra’ b. Habis berkata: Orang ini memang tepat sekali. Oratornya lebih ulung dari orator kita, penyairnya juga lebih pandai dari penyair kita dan suara mereka lebih nyaring dari suara kita. Dan rombongan itu pun menerima Islam. Tawanan-tawanan itu oleh Nabi dibebaskan dan dikembalikan kepada mereka.

 

Adapun Banu Mushtaliq, begitu mereka melihat pemungut zakat dan pajak, mereka lari ketakutan. Kemudian mereka mengutus orang kepada Nabi melaporkan, bahwa adanya kekuatiran yang tidak pada tempatnya itu telah menimbulkan adanya salah paham.

 

Pengaruh Muhammad kini sudah mulai terasa sampai ke pelosokpelosok jazirah. Setiap ada golongan atau kabilah yang mencoba-coba hendak melawan pengaruh itu, Nabi sudah siap pula mengirimkan kekuatan ke sana dan mengharuskan mereka tunduk membayar kharaj dengan tetap dalam kepercayaan mereka, atau sebagai orang Islam dengan membayar zakat.

 

Rumawi Siap Menyerbu

 

Sementara perhatiannya sedang diarahkan ke seluruh jazirah Arab Supaya jangan lagi ada pihak yang akan dapat menggoyahkan, dan keamanan di seluruh wilayah itu benar-benar aman sampai ke pelosokpelosok, tiba-tiba ada berita sampai kepadanya dari pihak Rumawi, bahwa hegara itu sedang menyiapkan sebuah pasukan tentara yang hendak menyerang perbatasan tanah Arab sebelah utara, dengan suatu serangan yang akan membuat orang lupa akan penarikan mundur yang secara cerdik dilakukan pihak Arab di Mu’ta dulu itu. Juga akan membuat orang lupa akan pengaruh Muslimin yang deras maju ke segenap penjuru yang hendak membendung kekuasaan Rumawi di Syam dan kekuasaan Persia di Hira. Berita itu tiba sudah begitu konkrit. Ia tidak lagi ragu-ragu dalam mengambil kesempatan ini. Ia hendak menghadapi sendiri kekuatan itu dan akan menghancurkannya sekali dengan mengikis habis setiap harapan dalam hati pemimpin-pemimpin mereka yang bermaksud hendak menyeTang dan mengganggu kawasan itu.

 

Ketika itu musim panas belum berakhir. Suhu panas musim pada awal musim rontok yang sampai pada titik yang sangat tinggi itu merupakan musim maut yang sangat mencekam di wilayah padang pasir. Di samping Itu memang perjalanan dari Medinah ke Syam, selain perjalanan yang banjang juga sangat sukar sekali ditempuh. Perlu ada keuletan, persediaan bahan makanan dan air. Jadi, tidak ada jalan lain Muhammad harus memberitahukan niatnya hendak berangkat menghadapi Rumawi itu kepada umum, supaya mereka juga bersiap-siap. Tidak ada jalan lain juga harus menyimpang pula dari kebiasaannya dalam ekspedisi-ekspedisinya yang sudah-sudah, yang dalam memimpin pasukannya sering ia menuju ke jurusan lain daripada yang sebenarnya dituju, untuk menyesatkan pihak musuh supaya berita perjalanannya itu tidak diketahui.

 

Seruan Muhammad Menghadapi Rumawi

 

Kemudian Muhammad menyerukan kepada semua kabilah bersiapsiap dengan pasukan yang sebesar mungkin. Orang-orang kaya dari kalangan Muslimin juga dimintanya supaya ikut serta dalam menyiapkan pasukan itu dengan harta yang ada pada mereka serta mengerahkan orang supaya sama-sama menggabungkan diri ke dalam pasukan itu. Dengan demikian, itu akan berarti sekali sehingga dapat membawa rasa cemas ke dalam jiwa pihak Rumawi, yang sudah terkenal oleh banyaknya jumlah orang dan besarnya perlengkapan.

 

Bagaimana gerangan kaum Muslimin menyambut seruan ini, yang berarti harus meninggalkan istri, anak dan harta-benda, dalam panas musim yang begitu dahsyat, dalam mengarungi lautan tandus padang sahara, kering, air pun tak seberapa, kemudian harus pula menghadapi musuh yang sudah mengalahkan Persia, dan belum dapat dikalahkan oleh kaum Muslimin? Akan tetapi iman mereka, kecintaan mereka kepada Rasul, serta kemesraan kepada agama, mereka pun terjun menyambut seruan itu, berangkat dalam satu arak-arakan yang rasanya dapat menyempitkan ruang padang sahara itu, sambil mengerahkan semua harta dan ternak mereka, siap dengan senjata di tangan, dengan debu yang sudah mengepul, yang begitu sampai beritanya kepada musuh, mereka akan lari tunggang-langgang. Ataukah barangkali perjalanan yang begitu sulit itu, di bawah lecutan udara panas, di bawah ancaman lapar dan haus, mereka akan jadi enggan dan kembali surut?

 

Muslimin Menyambut Seruan Rasul

 

Dua perasaan itu di kalangan Muslimin ada pada waktu itu. Ada yang menyambut agama ini dengan hati yang bersemarak cahaya dan bimbingan Tuhan, hati yang sudah berkilauan cahaya iman, dan ia sudah tidak mengenal yang lain. Ada yang masuk agama dengan suatu harapan, dan dengan rasa gentar. Mereka mengharapkan harta rampasan perang, karena kabilah-kabilah itu sudah tak berdaya menahan serbuan Muslimin, Jalu mereka menyerah dan bersedia membayar jizya’ dengan taat dan patuh. Yang merasa gentar karena kekuatan ini dapat menghantam kekuatan lain yang merintanginya, dan ditakuti kekuasaannya oleh setiap raja. Golongan pertama, dengan segera mereka itu berbondong-bondong menyambut seruan Rasulullah. Ada orang miskin dari mereka itu, tidak ada binatang beban yang akan ditungganginya, ada pula orang yang kaya raya, menyerahkan semua harta kepadanya untuk diserahkan kepada perjuangan di jalan Allah, dengan hati ikhlas, dengan harapan akan gugur pula sebagai syahid di sisi Tuhan. Sedang yang lain masih berat-berat langkah dan mulai mereka itu mencari-cari alasan, sambil berbisik-bisik sesama mereka dan mencemooh ajakan Muhammad kepada mereka untuk menghadapi suatu peperangan yang jauh, dalam udara yang begitu panas membakar. Mereka yang Tinggal di Belakang dan Orang-orang Munafik

 

Itulah mereka orang-orang munafik, yang karenanya Surah AtTaubah turun, yang berisi ajakan perjuangan yang paling besar dan tegas-tegas menyampaikan ancaman Tuhan kepada mereka yang membelakangi ajakan Rasulullah.

 

Ada sekelompok orang-orang munafik yang berkata satu sama lain: Jangan kalian berangkat perang dalam udara panas. Maka firman Tuhan Ini turun:

 

“…….dan mereka berkata: Jangan kamu berangkat perang dalam udara panas begini.” Tapi katakanlah: “Api neraka lebih panas lagi, kalau kamu mengerti! Biarlah mereka tertawa sedikit dan menangis lebih banyak sebagai balasan atas hasil perbuatan mereka.”

 

Kata Muhammad kepada Jadd b. Oais — salah seorang Banu Salima:

 

“Hai Jadd, engkau bersedia tahun ini menghadapi Banu’l-Ashfar?”

 

“Rasulullah”, kata Jadd. “Izinkanlah saya untuk tidak dibawa ke dalam ujian serupa ini. Masyarakat saya sudah cukup mengenal, bahwa lak ada orang yang lebih berahi terhadap wanita seperti saya ini. Kuatir Saya, bahwa kalau saya melihat wanita-wanita Banu’l-Ashfar, saya takkan dapat menahan diri.” (Banu’I-Ashfar ialah bangsa Rumawi).

 

Oleh Rasulullah ia ditinggalkan. Dalam hubungan ini ayat berikut ini turun:

 

“Ada pula di antara mereka yang berkata: “Izinkanlah saya (tidak ikut Serta) dan jangan kaubawa saya ke dalam ujian ini.” Ya, ketahuilah, mereka kini sudah terjatuh ke dalam ujian itu, dan bahwa neraka itu melingkungi Orang-orang kafir.”

 

Orang-orang yang memang sudah membawa bibit-bibit kebencian dalam hatinya kepada Muhammad, mereka mengambil kesempatan dalam peristiwa ini supaya orang-orang munafik itu tambah munafik dan menghasut orang supaya tinggal di belakang medan perang. Muhammad melihat bahwa mereka itu tak dapat diberi hati, kuatir nanti akan merajalela. Ia berpendapat akan mengambil tindakan terhadap mereka dengan tangan besi. Ia mengetahui, bahwa banyak orang berkumpul di rumah Sulaim orang Yahudi itu. Mereka mau mengalang-alangi orang, mau menanamkan rasa enggan dalam hati orang dan supaya mereka tinggal saja di garis belakang. Didampingi oleh beberapa orang sahabat ia mengutus Talha b. “Ubaidillah kepada mereka dan rumah Sulaim itu dibakar. Salah seorang dari mereka patah kakinya ketika ia melarikan diri dari dalam rumah itu. Yang lain-lain langsung menerobos api itu dan dapat meloloskan diri. Tetapi mereka sudah tidak lagi mengulangi perbuatan semacam itu. Bahkan itu menjadi contoh buat yang lain. Sesudah itu aku ada lagi orang berani melakukan perbuatan demikian.

 

Persiapan Pasukan “Usra

 

Tindakan tegas terhadap orang-orang munafik itu ada juga bekasnya. Dalam mempersiapkan pasukan itu orang-orang kaya dan orang-orang berada telah pula datang menyumbangkan hartanya dalam jumlah yang cukup besar. Usman b. “Affan saja sendiri menyumbang seribu dinar, dan banyak lagi yang lain, masing-masing menurut kemampuannya. Setiap Orang yang mampu tampil dengan perlengkapan dan biaya sendiri pula. Orang-orang yang tidak punya juga banyak yang datang ingin dibawa serta oleh Nabi. Mereka yang mampu oleh Nabi dibawa, sedang kepada yang Jain ia berkata: “Dalam hal ini saya tidak mendapat kendaraan yang akan dapat membawa kamu.”

 

Dengan demikian mereka pun kembali, kembali dengan bercucuran air mata. Mereka sedih, karena tak ada pula yang dapat mereka sumbangkan. Karena tangisan mereka itu mereka diberi nama Al-Bakka’un (orang: orang yang menangis). Pasukan yang sudah berkumpul mendampingi Muhammad ini — yang disebut Pasukan “Usra karena kesukaran yang dialami sejak mulai dibangun — sebanyak tiga puluh ribu Muslimin. Dalam menunggu Muhammad kembali dari mengurus beberapa masalah di Medinah, sementara dia tidak ada, di tengah-tengah pasukan yang sudah berkumpul itu Abu Bakrlah yang bertindak sebagai imam sembahyang.

 

Sekarang, setelah masalah-masalah dalam kota diserahkan kepada Muhammad b. Maslama: dan Ali b. Abi Talib diserahi urusan keluarga dan disuruhnya ia tinggal dengan mereka. Setelah segala sesuatunya sudah dianggap beres, ia pun kembali ke tempat semula memimpin pasukan. Ketika itu Abdullah b. Ubayy juga sudah siap dengan sebuah pasukan terdiri dari golongannya sendiri, akan berangkat di samping pasukan Muhammad. Akan tetapi menurut Nabi, Abdullah dan pasukannya itu supaya tetap di Medinah saja karena selain kurang dapat dipercaya imannya juga ia tidak kuat.

 

Setelah mendapat perintah, pasukan itu pun berangkat, debu dan pasir halus mengepul-ngepul ke udara diselingi oleh ringkik kuda. Wanitawanita Medinah pergi naik ke atas loteng hendak menyaksikan pasukan tentara yang dahsyat ini, berangkat hendak menerobos padang sahara menuju ke arah Syam, yang demi di jalan Allah, tidak mereka pedulikan lagi udara panas, rasa dahaga dan lapar, dengan meninggalkan mereka yang mau duduk-duduk dan tinggal di belakang, orang-orang yang lebih suka tinggal di tempat yang teduh dan bersenang-senang daripada suatu ujian iman dan perkenanan Tuhan. Pasukan tentara yang telah didahului Oleh sepuluh ribu pasukan berkuda serta kaum wanita yang begitu terpesona menyaksikan segala kebesaran dan kekuatan itu, suasananya telah dapat menggerakkan hati beberapa orang yang tadinya surut dalam menerima ajakan Rasul dan tidak mau ikut. Demikian juga Abu Khaithama, setelah melihat suasana itu ia kembali pulang. Kedua orang istrinya dijumpainya masing-masing sedang menyirami tempat ia berteduh dan sedang mendinginkan air minum dan menyediakan makanan buat dia. Setelah dilihatnya apa yang dilakukan wanita itu ia berkata:

 

“Rasulullah dalam terik matahari, angin dan udara panas, sedang Abu Khaithama di tempat yang teduh, sejuk dengan makanan dan wanita Cantik diam di rumah. Sediakan perbekalanku, aku akan menyusul.”

 

Setelah bekal yang diperlukan disediakan, ia pun pergi menyusul pasukan tentara. Mungkin masih ada juga sekelompok orang yang tinggal di belakang telah pula mengikuti jejak Abu Khaithama, setelah mereka menyadari bahwa tindakan mereka yang hendak mengelak dan takut-takut Itu Suatu tindakan tercela dan hina.

 

Perjalanan Pasukan ‘Usra

 

Dalam perjalanannya tentara itu sudah sampai di Hijr. Di tempat ini terdapat pula puing-puing bekas rumah-rumah kaum Thamud yang terukir pada batu besar. Di tempat itu mereka oleh Rasulullah diperintahkan berhenti. Orang-orang pun mulai mengambil air dari sumur. Setelah Selesai, kata Rasul kepada mereka:

 

“Jangan ada yang minum air Sumur ini, juga jangan dipakai berwudu Untuk sembahyang. Bila sudah ada adonan yang kamu buat dengan air itu berikanlah kepada ternak dan samasekali jangan kamu makan. Juga Jangan ada yang keluar malam ini kalau tidak disertai seorang teman.”

 

Soalnya tempat itu tiada pernah dilalui orang dan kadang timbul angin badai berupa pasir yang dapat menimbun manusia atau binatang. Malam itu ada dua orang yang keluar di luar perintah Rasul. Salah seorang daripada mereka dibawa angin dan yang seorang lagi tertimbun pasir. Keesokan harinya orang melihat pasir itu telah menimbuni sumur sehingga air tidak ada lagi. Orang jadi takut akan kehausan lebih ngeri lagi karena perjalanan masih panjang. Akan tetapi, sementara mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datang awan membawa hujan dan mereka pun kini mendapat air berlimpah-limpah. Perasaan takut hilang dan mereka semua bergembira. Ada mereka yang berkata satu sama lain, bahwa itu suatu mukjizat. Sedang yang lain mengatakan itu hanya awan lalu.

 

Rumawi Menarik Diri

 

Setelah itu pasukan tentara itu meneruskan perjalanan ke Tabuk. Sebenarnya tentang pasukan ini dan kekuatannya beritanya sudah sampai kepada pihak Rumawi. Oleh karena itu ia lebih suka menarik mundur pasukannya yang tadinya sudah ditujukan ke perbatasan dengan maksud hendak melindungi daerah Syam dengan benteng-bentengnya itu. Setelah pihak Muslimin sampai di Tabuk dan Muhammad mengetahui pihak Rumawi menarik diri dan berada dalam ketakutan, dirasa sudah tidak pada tempatnya akan mengejar mereka terus sampai ke dalam negeri mereka.

 

Oleh karena itu ia tetap tinggal di perbatasan, akan menghadapi siapa saja yang akan menyerang atau melawannya. Ia berusaha menjaga perbatasan-perbatasan itu supaya jangan ada pihak yang melandanya.

 

Ketika itulah Yohanna bin Ru’ba — seorang amir (penguasa) Aila’ yang tinggal di perbatasan — oleh Nabi telah dikirimi surat supaya ia tunduk atau akan diserbu. Yohanna datang sendiri dengan memakai salib dari emas di dadanya. Ia datang dengan membawa hadiah dan menyatakan setia. Ia mengadakan perdamaian dengan Muhammad dan bersedia membayar jizya seperti yang juga dilakukan oleh pihak Jarba” dan Adhruh’ dengan membayar jizya. Di samping itu Rasulullah telah pula membuat surat-surat perjanjian perdamaian dengan mereka. Berikut ini salah satu bunyi teks itu, yakni yang dibuat dengan Yohanna: Perjanjian dengan Pihak Perbatasan

 

“Atas nama Allah, Pengasih dan Penyayang. Surat ini ialah perjanjian keamanan atas nama Tuhan dari Muhammad, Nabi Utusan Allah kepada Yohanna ibn Ru’ba serta penduduk Aila, atas kapal-kapal dan kendaraankendaraan dalam perjalanan mereka di darat dan di laut, mereka berada dalam jaminan Allah dan Muhammad, termasuk mereka penduduk Syam, penduduk Yaman dan penduduk pantai laut. Barangsiapa melakukan suatu pelanggaran maka selain dirinya, hartanya itu tidak akan dapat melindunginya dan Muhammad dibenarkan mengambil itu dari mereka. Mereka tidak boleh dirintangi dari air yang dikehendaki atau jalan yang akan ditempuhnya, di darat atau di laut.”

 

Sebagai tanda persetujuan atas perjanjian ini Muhammad telah pula memberikan hadiah kepada Yohanna berupa mantel tenunan Yaman disertai perhatian penuh kepadanya, setelah diperoleh persetujuan bahwa Aila akan membayar jizya sebesar 3000 dinar tiap tahun.

 

Ekspedisi Khalid ke Duma

 

Muhammad sebenarnya sudah tidak perlu lagi berperang setelah pihak Rumawi menarik diri, dan telah dibuat perjanjian dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan dan karena sudah merasa aman setelah pula balatentara Bizantium kembali dari wilayah itu, kalau tidak karena lalu timbul suatu kekuatiran baru. Pihak Ukaidir b. “Abd’l-Malik al-Kindi orang Nasrani, Penguasa Duma’ itu akan memberontak dengan mendapat bantuan balatentara Rumawi bilamana mereka datang dari jurusan itu. Itu sebabnya Nabi lalu menugaskan Khalid bin’I-Walid dengan sebuah pasukan berkuda terdiri dari 500 orang. Dia sendiri berbalik dengan pasukannya kembali ke Medinah.

 

Dengan cepat sekali Khalid terjun menyusur ke Duma dengan tidak Setahu penguasa itu, yang dalam malam terang bulan dengan disertai Saudaranya yang bernama Hassan, sedang sama-sama memburu lembu liar. Khalid tidak mendapat perlawanan yang berarti. Hassan terbunuh Ian Ukaidir ditawan. Ia diancam akan dibunuh kalau pintu gerbang Duma lidak dibuka. Oleh karena itu pintu-pintu kota kemudian dibuka sebagai tebusan atas diri sang amir. Dari tempat ini Khalid kemudian dapat mengangkat sebanyak dua ribu ekor unta, delapan ratus ekor kambing, Empat ratus wasg (muatan) gandum dan empat ratus buah pakaian besi. Semua itu diangkutnya bersama-sama dengan Ukaidir sampai dapat menyusul Nabi di Ibukota. Muhammad menawarkan Islam kepada Ukaidir yang kemudian diterimanya dan ia pun menjadi pula sekutunya. Muslimin Kembali ke Medinah .. Muhammad kembali dengan memimpin ribuan anggota Pasukan “Usra Ini dari perbatasan Syam ke Medinah, bukanlah soal yang ringan. Mereka itu kebanyakan tidak mengerti makna persetujuan yang telah diadakan dengan amir Aila dan negeri-negeri tetangganya, juga mereka tidak menganggap begitu penting persetujuan-persetujuan yang telah dibuat oleh Muhammad guna menjamin keamanan di perbatasan seluruh jazirah itu serta dibangunnya benteng-benteng di tempat-tempat itu sebagai perbatasan dengan pihak Rumawi. Sebaliknya yang dapat mereka lihat hanyalah, bahwa mereka menempuh jalan yang sulit dan panjang ini, dengan mengalami gangguan-gangguan, kemudian kembali tanpa membawa rampasan, tanpa membawa tawanan perang, bahkan berperang juga tidak. Segala yang dapat mereka lakukan hanyalah tinggal di Tabuk selama hampir dua puluh hari.

 

Jadi, hanya untuk inikah mereka mengarungi padang sahara di bawah tekanan panas musim yang dahsyat, sementara buah-buahan di Medinah sudah mulai masak, dan orang sudah pula dapat menikmatinya” Ada segolongan orang yang lalu mengejek apa yang telah dilakukan Muhammad itu. Orang yang memang sudah teguh imannya, menyampaikan kabar ini kepadanya. Ia mengambil tindakan terhadap orang-orang yang mengejeknya itu, kadang dengan kekerasan, kadang dengan cara lemah-lembut, sementara pasukan tentara meneruskan perjalanan pulang ke Medinah sambil selalu Muhammad menjaga dan mengatur barisan itu.

 

Tatkala ia sudah sampai di kota, Khalid bin’l-Walid pun menyusul pula sampai. Ia datang bersama dengan Ukaidir yang dibawanya dari Duma, berikut unta, kambing, gandum dan baju-baju besi. Ketika itu Ukaidir mengenakan pakaian lengkap dari sutera berat dengan berumbaikan emas. Penduduk Medinah sangat terpesona melihatnya.

 

Mereka yang Tinggal

 

Mereka yang tinggal di belakang tidak mengikutinya merasa gelisah sekali. Mereka yang tadinya mengejek kini mulai sadar sendiri. Mereka datang sekarang sambil membawa dalih minta maaf. Tetapi kebanyakan mereka minta maaf itu disertai kebohongan. Sikap mereka ini oleh Muhammad ditolak, diserahkan kepada kebijaksanaan Tuhan. Tetapi ada tiga orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada Rasul, mereka ini mengakui akan tindakan mereka tinggal di belakang dan mengakui pula dosa mereka. Mereka itu ialah Ka’b b. Malik, Murara bin’r-Rabi’ dan Hilal b. Umayya. Karena larangan yang pernah dikeluarkan oleh Muhammad, mereka bertiga itu selama lima puluh hari tidak diajak bicara oleh kaum Muslimin, juga tidak seorang Muslim pun mengadakan hubungan dagang dengan mereka. Tetapi Tuhan kemudian mengampuni mereka bertiga, dan firman Tuhan ini turun:

 

“Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang” orang Anshar yang telah mengikuti Nabi pada masa kesulitan (‘usra) setelah ada sebagian mereka yang hampir menyimpang hatinya. Tetapi kemudian Tuhan menerima tobat mereka. Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada mereka. Juga terhadap tiga orang yang tinggal di belakang, sehingga bumi yang seluas ini terasa sempit oleh mereka, nafas mereka pun terasa sesak, dan mereka sudah mengerti, bahwa tak ada tempat berlindung dari siksa Tuhan selain kepada Tuhan juga. Kemudian Allah menerima tobat mereka supaya mereka selalu bertobat. Dan Allah Maha Penerima segala tobat dan Maha Pengasih.” Sikap Tegas terhadap Orang-orang Munafik

 

Sejak itu Muhammad bersikap tegas terhadap orang-orang Munafik, suatu sikap yang tidak biasa mereka alami sebelumnya. Soalnya ialah karena jumlah kaum Muslimin sudah bertambah banyak. Tingkah-laku kaum Munafik terhadap mereka akan berbahaya sekali dan sangat dikuatirkan. Oleh karena itu perlu diatasi. Muhammad memang sudah yakin sekali — setelah janji Tuhan akan memberikan kemenangan kepada agama dan perintah Tuhan — bahwa jumlah mereka akan bertambah, akan berlipat ganda banyaknya dari yang sekarang. Maka ketika itulah orangorang Munafik akan merupakan bahaya besar. Keadaan sebelum itu, tatkala Islam masih terbatas dalam kota Medinah dan sekitarnya, segala yang terjadi terhadap kaum Muslimin dia sendiri yang mengawasinya. Tetapi, sesudah agama meluas tersebar ke seluruh jazirah Arab, bahkan Sudah hampir meluas ke luar, maka setiap kelalaian terhadap orang-orang Munafik itu, berarti akan merupakan suatu bencana yang sangat dikuatirkan akibatnya, akan merupakan bahaya yang cepat sekali akan menjalar Jika tidak lekas-lekas pula kuman-kuman itu diberantas.

 

Dibakarnya Masjid Dzirar

 

Ada beberapa orang membuat sebuah mesjid? di Dhu Awan — sejauh Satu jam perjalanan dari Medinah. Ke dalam mesjid inilah kelompok Orang-orang Munafik itu selalu datang. Mereka berusaha hendak mengUbah ajaran Tuhan dari yang sebenarnya. Dengan itu mereka hendak memecah-belah kaum Muslimin dengan menimbulkan bencana dan kekufuran. Kelompok ini meminta kepada Nabi supaya membuka mesjid Gan sekalian sembahyang di tempat itu. Permintaan mereka diajukan “belum peristiwa Tabuk. Oleh Nabi mereka diminta menunggu sampai ia kembali, Tetapi setelah kembali dan mengetahui persoalan mesjid itu serta Untuk apa pula tujuan sebenarnya dibangun, oleh Nabi diperintahkan supaya mesjid itu dibakar. Dengan demikian hal itu telah menjadi contoh, yang membuat orang-orang Munafik itu jadi ketakutan. Mereka surut dan menyisihkan diri. Yang akan melindungi mereka pun sudah tak ada lagi selain Abdullah b. Ubayy, ketua dan pemimpin mereka itu.

 

Hanya saja sesudah Tabuk, Abdullah b. Ubayy ini tidak lama lagi hidupnya. Setelah dua bulan menderita sakit ia mati. Meskipun rasa dengki terhadap Muslimin sudah menggerogoti hatinya sejak Nabi tinggal di Medinah, namun Muhammad lebih suka kaum Muslimin jangan mengganggu Ibn Ubayy. Ketika orang ini meninggal dan Nabi diminta menyembahyangkannya, dengan segera pula Nabi pun menyembahyangkan dan mendoakan ketika dikuburkan sampai upacara itu selesai. Dengan matinya Ibn Ubayy sendi kaum Munafik itu juga runtuh. Mereka yang masih ada, sekarang dengan sungguh-sungguh mereka bertobat kepada Tuhan.

 

Tabuk Ekspedisi Terakhir

 

Dengan ekspedisi Tabuk ini maka selesailah amanat Tuhan diajarkan ke seluruh jazirah Arab, dan Muhammad sudah merasa aman dari setiap permusuhan yang akan ditujukan kepada agama. Utusan-utusan dari pelbagai daerah sekarang datang menghadap kepadanya dengan menyatakan sekali kesetiaannya serta mengumumkan pula keislamannya. Ekspedisi sekali ini buat Nabi a.s. merupakan ekspedisi terakhir. Sesudah itu Muhammad menetap di Medinah, menikmati karunia pemberian Tuhan kepadanya. Ibrahim anaknya merupakan jantung hati cindur mata selama enam belas atau delapan belas bulan. Apabila ia selesai menerima para utusan, mengurus masalah-masalah kaum Muslimin, menunaikan kewajiban kepada Tuhan serta hak kewajiban seluruh keluarga, hatinya merasa sejuk dengan melihat bayi yang selalu berkembang dan baik sekali pertumbuhannya itu. Makin lama makin jelas kesamaannya, yang membuat sang ayah makin cinta dan kasih kepadanya. Sepanjang bulan itu yang menjadi inang pengasuhnya ialah Umm Saif, yang menyusui dan memberikan susu kambing pengasih Nabi dulu itu.

 

Cinta-kasih Muhammad kepada Ibrahim sebenarnya bukan karena suatu maksud pribadi yang ada hubungannya dengan Risalah yang dibawanya, atau dengan yang akan menjadi penggantinya. Muhammad a.s. dengan imannya kepada Tuhan dan kepada Risalah Tuhan tidak akan memikirkan anak atau siapa yang akan mewarisinya. Bahkan dikatakannya:

 

“Kami para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan untuk sedekah.”

 

Akan tetapi, rasa kasih insani dalam artinya yang luhur, rasa kasih insani yang begitu dalam tertanam dalam hati Muhammad – yang kiranya tidak akan dicapai oleh siapa pun, rasa insani yang akan membuat manusia Arab memandang anak laki-laki yang akan mewarisinya sebagai sebuah lukisan abadi — rasa kasih inilah yang telah membuat Muhammad mencurahkan semua cintanya kepada Ibrahim, kasih-sayang yang tiada taranya. Dan rasa kasih ini lebih parah merasuk ke dalam hati, karena sebelum itu ia telah kehilangan kedua putranya — Oasim dan Tahir, dan keduanya masih bayi dalam pangkuan Khadijah ibunya. Setelah Khadijah wafat ia kehilangan putri-putrinya pula, satu demi satu, setelah mereka bersuami dan menjadi ibu. Sekarang tak ada lagi yang masih hidup, selain Fatimah. Putra-putra dan putri-putri itu, yang satu demi satu berguguran di tangannya dan dengan tangan sendiri pula ia menguburkan mereka ke dalam pusara, yang telah meninggalkan luka yang begitu pedih dalam hatinya, kini terasa terobat juga dengan lahirnya Ibrahim, tempat buah hati meletakkan segala harapan. Dan sudah sepantasnya pula bila dengan harapan itu ia merasa gembira, merasa bahagia.

 

Ibrahim Sakit

 

Tetapi harapan ini tidak berlangsung lama, hanya selama beberapa bulan saja seperti yang sudah kita sebutkan. Sesudah itu Ibrahim jatuh Sakit, sakit yang sangat menguatirkan. Ia dipindahkan ke sebuah tempat dengan kebun kurma di samping Masyraba Umm Ibrahim. Maria dan Sirin adiknya selalu menjaga dan merawatnya. Bayi ini tidak lama sakitnya. Tatkala ajal sudah dekat dan Nabi diberi tahu, karena tasa sedih yang Sangat mendalam, ia berjalan dengan memegang tangan Abdur-Rahman b. “Auf sambil bertumpu kepadanya. Bila ia sudah sampai ke tempat itu di Samping “Alia — tempat Masyraba yang sekarang — dijumpainya Ibrahim dalam pangkuan ibunya, sedang menarik nafas terakhir. Diambilnya anak Itu, Jalu diletakkannya di pangkuannya dengan hati yang remuk-redam Tasanya. Tangannya menggigil. Kalbu yang duka dan pilu rasa mencekam Seluruh sanubari. Lukisan hati yang sedih mulai membayang dalam raut Wajahnya. Sambil meletakkan anak itu di pangkuan ia berkata:

 

“Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah .” Muhammad Menanyisi Kematian Ibrahim

 

Dalam keadaan hening yang menekan itu kemudian air matanya berderai bercucuran, sementara anak itu sedang menarik nafas terakhir.

 

Sang ibu dan Sirin menangis menjerit-jerit, oleh Rasulullah dibiarkan mereka begitu.

 

Setelah tubuh Ibrahim tiada bergerak lagi, sudah tiada bernyawa, dan dengan kematiannya itu padam pula semua harapan yang selama ini membuka hati Nabi, makin deras pula air mata Muhammad mengucur, sambil ia berkata:

 

“Oh Ibrahim, kalau bukan karena soal kenyataan, dan janji yang tak dapat dibantah lagi, dan bahwa kami yang kemudian akan menyusul orang yang sudah lebih dahulu daripada kami, tentu akan lebih lagi kesedihan kami dari ini.” Dan setelah diam sejenak, katanya lagi: “Mata boleh bercucuran, hati dapat merasa duka, tapi kami hanya berkata apa yang menjadi perkenan Tuhan, dan bahwa kami, O Ibrahim, sungguh sedih terhadapmu.”

 

Muslimin yang melihat Muhammad begitu duka, beberapa orang terkemuka hendak mengurangi hal itu dengan mengingatkannya akan larangannya berbuat demikian. Tapi ia menjawab:

 

“Aku tidak melarang orang berdukacita, tapi yang kularang menangis dengan suara keras. Apa yang kamu lihat padaku sekarang, ialah pengarub cinta dan kasih di dalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayangnya, orang lain pun tiada akan menunjukkan kasih-sayang kepada nya.”

 

Atau seperti dikatakan juga: Kemudian ia berusaha menahan duka hatinya. Ia memandang Maria dan Sirin dengan pandangan penuh kasih. Kepada mereka dimintanya supaya lebih tenang sambil katanya: “Ia akan mendapat inang pengasuh di surga.”

 

Kemudian setelah ia dimandikan oleh Umm Burda, — sumber lain menyebutkan oleh Fadzl bin’I-“Abbas — dibawa dari rumah itu di atas sebuah ranjang kecil. Nabi dan Abbas pamannya, begitu juga sejumlah kaum Muslimin ikut mengantarkan sampai ke Baqi’. Di tempat itu ia dimakamkan setelah disembahyangkan oleh Nabi. Selesai pemakaman Muhammad minta supaya makam itu ditutup kemudian diratakannya dengan tangannya sendiri. Ia memercikkan air dan memberi tanda di atas kubur itu. Lalu katanya:

 

“Sebenarnya ini tidak membawa kerugian, juga tidak mendatangkan keuntungan. Tetapi hanya akan menyenangkan hati orang yang masih hidup. Apabila orang mengerjakan sesuatu, Tuhan lebih suka bila dikerjakan secara sempurna.”

 

Bersamaan dengan kematian Ibrahim itu kebetulan terjadi pula matahari gerhana. Kaum Muslimin menganggap peristiwa itu suatu mukjizat. Kata mereka matahari gerhana karena Ibrahim meninggal. Hal ini terdengar oleh Nabi.

 

Karena cintanya yang begitu besar kepada Ibrahim, dan rasa duka yang begitu dalam karena kematiannya, adakah ia lalu merasa terhibur mendengar kata-kata itu, atau setidak-tidaknya akan didiamkan saja, menutup mata melihat orang sudah begitu terpesona karena telah menganggap itu suatu mukjizat? Tidak. Dalam keadaan serupa itu, kalaupun ini layak dilakukan oleh mereka yang suka mengambil kesempatan karena kebodohan orang, atau layak dilakukan oleh mereka yang sudah tak Sadar karena terlampau sedih, buat orang yang berpikir sehat tentu hal Ini tidak layak, apalagi buat Nabi Besar! Muhammad melihat mereka yang mengatakan bahwa matahari telah jadi gerhana karena kematian Ibrahim, dalam khutbahnya kepada mereka ia berkata:

 

“Matahari dan bulan ialah tanda kebesaran Tuhan, yang tidak akan jadi gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Kalau kamu melihat hal itu, berlindunglah dalam zikir kepada Tuhan dengan salat.”

 

Sungguh suatu kebesaran yang tiada taranya. Rasul tidak melupakan tisalahnya itu dalam suatu situasi yang begitu gawat, situasi jiwa yang Sedang dalam keharuan dan kesedihan yang amat dalam! Kalangan Orientalis dalam menanggapi peristiwa yang terjadi terhadap diri Muhammad ini, tidak bisa lain mereka bersikap hormat dan kagum sekali! Mereka tidak dapat menyembunyikan rasa kekaguman dan rasa hormatnya itu kepadanya. Mereka menyatakan pengakuan mereka tentang kejujuran orang itu, yang dalam situasi yang sangat gawat ia tetap mempertahankan hak dan kejujurannya yang sungguh-sungguh!

 

Gerangan bagaimana pula perasaan istri-istri Nabi melihat keSedihan dan dukacita yang menimpanya begitu mendalam karena keMatian Ibrahim itu? Dia sendiri sudah merasa terhibur dengan karunia Tuhan itu dan dapat pula meneruskan tugas menunaikan risalah serta dengan bertambahnya Islam tersebar pada perutusan yang terus-menerus datang kepadanya dari segenap penjuru, sehingga tahun kesepuluh Hijrah ini diberi nama “Am’I-Wufud – Tahun Perutusan’. Pada tahun itulah Abu Bakr memimpin orang menunaikan ibadat haji.

 

Pengaruh Tabuk – Kecenderungan Orang-orang Arab kepada Islam — Islamnya ‘Urwa bin Mas’ud – Perutusan Thagif – Nabi Menolak Berhala – Minta Dibebaskan dari Salat — Lat Dibinasakan – Berturut-turut Para Utusan Datang ke Medinah — Abu Bakr Memimpin Jemaah Haji – Dasar Ideal Buat Negara yang Baru Tumbuh — Keputusan yang Berlebih-lebihan — Kebebasan Berpikir dan Peradaban Barat – Bolsjevisma sebagai Konscpsi Ekonomi – Membungkan Kebebasan Berpikir yang Beralasan – Gambaran Kehidupan Syirik – Revolusi terhadap Syirik Dibenarkan – “Amir bin’t-Tufail

 

Pengaruh Tabuk

 

DENGAN berakhirnya ekspedisi ke Tabuk itu maka ajaran Islam sudah Selesai tersebar ke seluruh jazirah Arab. Muhammad sudah aman dari Setiap serangan yang datang dari luar. Sebenarnya, begitu Muhammad kembali ke Medinah dari perjalanan ekspedisi itu, semua penduduk lazirah yang masih berpegang pada kepercayaan syirik, sekarang sudah Yulai berpikir-pikir. Meskipun kaum Muslimin yang telah ikut menemani Muhammad dalam perjalanan ke Syam itu cukup mengalami pelbagai macam kesukaran, memikul segala penderitaan karena haus dan panas nusim yang begitu membakar, namun mereka kembali dengan hati kesal, Sebab mereka tidak jadi berperang, tidak membawa rampasan perang, karena pihak Rumawi menarik pasukannya hendak bertahan dalam benteng-benteng di pedalaman Syam. Akan tetapi penarikan mundur ini Sebenarnya telah meninggalkan kesan yang dalam sekali dalam hati kabilah-kabilah bagian selatan — di Yaman, Hadramaut dan “Umman (Oman). Bukankah pasukan Rumawi itu juga yang telah mengalahkan Persia, telah mengambil kembali Salib Besar, kemudian membawanya kembali ke Yerusalem dalam suatu upacara besar-besaran? Sedang Persia, Waktu itu dalam waktu yang cukup lama merupakan penguasa yang Perkasa atas wilayah Yaman dan daerah-daerah sekitarnya itu.

 

Kecenderungan Orang-orang Arab kepada Islam

 

Selama kaum Muslimin berada tidak jauh dari Yaman dan daerah- daerah Arab lainnya, bukankah sudah selayaknya apabila seluruh wilayah ini bergabung semua dalam suatu kesatuan di bawah naungan panji Muhammad, panji Islam, supaya mereka dapat diselamatkan dari kekuasaan pihak Rumawi dan Persia? Apa salahnya kalau kepala-kepala kabilah dan daerah itu berbuat begitu, selama mereka memang membutktikan Muhammad tetap mengakui kekuasaan daerah-daerah dan kabilahkabilah mereka yang datang menyatakan keislaman dan kesetiaan mereka itu?! Ya, hendaknya tahun kesepuluh Hijrah ini memang menjadi Tahun Perutusan, manusia datang berbondong-bondong menyambut agama Allah. Hendaknya ekspedisi Tabuk dan penarikan mundur pasukan Rumawi menghadapi pihak Muslimin itu akan memberi pengaruh lebih besar daripada pembebasan Mekah, kemenangan Hunain dan pengepungan kota Ta’if selama ini.

 

Nasib baik yang telah membawa Ta’if — kota yang tadinya paling gigih melawan Nabi selama kota itu dalam pengepungan sehingga akhirnya ditinggalkan kaum Muslimin tanpa dapat diterobos — ialah karena sesudah peristiwa Tabuk, kota inilah yang pertama-tama menyatakan kesetiaan nya, meskipun sebelum itu lama sekali ia maju-mundur hendak mengumumkan pernyataan setianya itu.

 

Islamnya “Urwa bin Mas’ud

 

Setelah kejadian Hunain, selama Nabi memimpin ekspedisi ke Ta’if, “Urwa b. Mas’ud — salah seorang pemimpin Thagif yang tinggal di kota tersebut — sedang tak ada di tempat. Ia sedang pergi ke Yaman. Bilamana kemudian ia kembali ke daerahnya dan melihat Nabi mendapat kemenangan di Tabuk dan sudah kembali ke Medinah, ia pun segera menyatakan dirinya masuk Islam serta memperlihatkan betapa besar hasratnya ingin mengajak masyarakatnya juga masuk Islam. “Urwa bukan tidak mengenal Muhammad dan kebesarannya. Dia termasuk salah seorang yang pernah ikut berunding mewakili Quraisy dalam perdamaian Hudaibiya. Setelah “Urwa masuk Islam dan Nabi mengetahui hasratnya hendak pergi mengajak golongannya menerima agama ini yang sudah juga dianutnya, Nabi yang sudah pula mengetahui betapa bangga dan kerasnya fanatik orang-orang Thagif itu terhadap Lat berhala mereka, diingatkan: nya “Urwa dengan katanya: “Mereka akan membunuh engkau.”

 

Tetapi “Urwa yang merasa kedudukannya cukup kuat di tengahtengah golongannya itu sebaliknya berkata:

 

“Rasulullah, mereka mencintai saya lebih daripada mencintai mat? mereka sendiri.”

 

Kemudian “Urwa pergi hendak mengajak golongannya itu menganut Islam. Mereka berunding sesama mereka dan tidak memberikan sesuatv pendapat kepadanya. Keesokan harinya pagi-pagi ia pergi ke ruangan atas rumahnya, ia mengajak orang bersembahyang. Tepat sekalilah firasat Rasulullah waktu itu. Masyarakatnya itu sudah tak dapat menahan hati. Ia dikepung lalu dihujani panah dari segenap penjuru, dan sebatang anak panah telah dapat pula menewaskannya. Keluarga “Urwa yang berada di sekelilingnya jadi gelisah. Kata “Urwa ketika sedang mengembuskan nafas terakhir:

 

“Suatu kehormatan telah diberikan Tuhan kepadaku, suatu kesaksian oleh Tuhan telah dilimpahkan kepadaku. Yang kualami ini sama seperti yang dialami para syuhada yang berjuang di samping Rasulullah — s.a.w. — sebelum meninggalkan kita.”

 

Kemudian dimintanya supaya ia dikuburkan bersama-sama para syuhada. Oleh keluarganya ia pun dikuburkan bersama-sama mereka.

 

Tetapi nyatanya darah “Urwa tidak sia-sia mengalir. Kabilah-kabilah yang berada di sekitar Ta’if semuanya sudah masuk Islam. Di sini mereka menyadari bahwa apa yang telah diperbuat Thagif terhadap pemimpin itu adalah suatu dosa besar. Akibat perbuatan itu Thagif menyadari juga, bahwa mereka merasa tidak tenang. Setiap ada orang keluar dari kalangan mereka pasti tertangkap. Sekarang mereka yakin, bahwa bila tidak diadakan suatu perdamaian atau semacam gencatan senjata, pasti nasib mereka akan hilang tak ada artinya. Segera mereka mengadakan perundingan dengan sesama mereka. Mereka mengusulkan kepada pemimpin mereka (“Abd Yalail| supaya ia berangkat menemui Nabi dan mengusulkan suatu perdamaian Thagif.

 

Perutusan Thagif

 

Akan tetapi “Abd Yalail kuatir akan mengalami nasib seperti yang dialami “Urwa b. Mas’ud dari masyarakatnya sendiri. Ia tidak akan berangkat menemui Muhammad kalau tidak diantar oleh lima orang lainnya, dengan keyakinan bahwa kalau ia berangkat dengan mereka lalu kembali pulang, mereka akan dapat menggarap golongannya masingnasing.

 

Ketika sudah mendekati Medinah dan Mughira b. Syu’ba berjumpa lengan mereka, ia pergi cepat-cepat hendak menyampaikan berita kedatangan mereka itu kepada Nabi. Abu Bakr juga melihatnya ia sedang berjalan cepat-cepat itu. Setelah ia mengetahui maksud kedatangan mereka dari Mughira, dimintanya biarlah dia yang akan meneruskan berita kembira itu kepada Rasulullah. Dan Abu Bakr pun masuk menyampaikan berita kedatangan perutusan Thagif itu kepada Nabi.

 

Tetapi sebenarnya perutusan ini masih juga mau membanggakan Bolongannya. Mereka masih juga mau mengingat-ingat pengepungan Nabi di Tarif yang kemudian kembali. Kendatipun Mughira sudah memberitahukan mereka bagaimana caranya memberi salam secara Islam kepada Nabi, namun mereka tidak mau juga dan akan memberi salam hanya dengan cara jahiliah itu juga. Nabi Menolak Berhala

 

Kemudian mereka memasang sebuah gubba — kemah bulat’ yang khas di sebelah mesjid. Mereka memasang kemah itu sebab mereka masih sangat berhati-hati sekali terhadap Muslimin, dan belum yakin. Yang menjadi perantara antara mereka dengan Rasulullah dalam perundingan itu ialah Khalid b. Sa’id bin’I-“Ash. Mereka tidak mau merasakan makanan yang datang dari pihak Nabi sebelum dicoba dimakan terlebih dahulu oleh Khalid. Sebagai perantara orang ini menyampaikan kepada Muhammad bahwa mereka menerima Islam, dengan permintaan supaya Lat berhala mereka itu dibiarkan selama tiga tahun jangan dihancurkan, dan mereka supaya dibebaskan dari kewajiban sembahyang. Tetapi permintaan mereka itu samasekali ditolak oleh Muhammad. Permintaan mereka sekarang dikurangi lagi: supaya Lat dibiarkan selama dua tahun lalu berubah menjadi satu tahun, selanjutnya menjadi satu bulan saja, setelah mereka kembali kepada golongan mereka. Akan tetapi penolakannya itu sudah tegas sekali dan tidak lagi ragu-ragu atau dapat ditawar-tawar.

 

Bagaimana mereka mengharapkan dari Nabi, yang mengajak manusia menyembah hanya kepada Tuhan Yang Tunggal dan menghancurkan semua berhala tanpa ampun, akan sudi membiarkan soal berhala mereka itu, meskipun masyarakatnya sendiri tidak kurang pula gigihnya seperti pada pihak Thagif di Ta’if. Buat manusia, yang ada hanyalah: dia beriman atau tidak beriman, di luar itu yang ada hanya syak (skeptis) dan serba sangsi. Sedang syak dan iman tidak bisa bertemu dalam satu jantung, sama halnya seperti iman dan kufur. Membiarkan Lat – datuknya Banu Thagif itu — berarti suatu perlambang bahwa mereka masih saling berganti ibadat antara berhala dengan Tuhan, dan ini adalah perbuatan mempersekutukan Tuhan, sedang Tuhan takkan mengampuni dosa orang yang mempersekutukan Tuhan.

 

Minta Dibebaskan dari Salat

 

Sekarang pihak Thagif minta dibebaskan dari kewajiban menjalankan salat. Tetapi Muhammad menolak dengan mengatakan:

 

“Tidak baik agama yang tidak disertai salat.”

 

Kemudian tidak lagi pihak Thagif mempertahankan Lat itu, mereka mau menerima Islam dan menjalankan salat. Tetapi mereka inasih meminta berhala-berhala itu jangan dihancurkan oleh tangan mereka sendiri. Mereka orang baru dalam mengenal iman, dan masyarakat mereka yang masih menunggu mereka kembali itu ingin mengetahui apa benar yang sudah mereka lakukan. Hendaknya Muhammad membebaskan mereka untuk tidak menghancurkan sendiri apa yang mereka sembah dan disembah nenek-moyang mereka itu. Dalam hal ini Muhammad menganggap tidak perlu berkeras. Akan sama saja, berhala itu dihancurkan oleh tangan orang-orang Thagif atau oleh tangan orang lain. Yang penting berhala itu dibinasakan, dan pihak Thagif hanya akan menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Kata Nabi a.s.:

 

“Kami akan membebaskan kamu menghancurkan berhala-berhalamu itu dengan tanganmu sendiri.”

 

Untuk mengurus mereka itu kekuasaan diberikan kepada “Uthman b. Abi’l-“Ash — orang yang paling muda usianya di antara mereka. Dalam usia semuda itu ia diberi kekuasaan mengurus mereka, karena dialah yang paling sungguh-sungguh dalam memahami hukum Islam dan pendidikan Quran, dengan disaksikan oleh Abu Bakr dan orang-orang yang mulamula dalam Islam.

 

Utusan Banu Thagif itu tinggal dengan Muhammad sampai akhir bulan puasa. Mereka ikut berpuasa bersama-sama dan dikirimkannya pula makanan kepada mereka untuk sahur dan berbuka. Bilamana sudah tiba Saatnya mereka akan kembali kepada golongannya, Muhammad berpesan kepada “Uthman b. Abi’l-“Ash dengan mengatakan:

 

“Ringkaskanlah dalam bersembahyang dan ambil orang yang lemah Sebagai ukuran. Di antara mereka itu ada yang tua, ada yang masih anak-anak, ada yang lemah dan yang mempunyai keperluan.”

 

Lat Dibinasakan

 

Perutusan itu kemudian kembali ke negeri mereka. Untuk melaksanas kan pembinasaan Lat itu, Nabi mengutus bersama mereka Abu Sufyan b, Harb dan Mughira b. Syu’ba. Kedua mereka ini memang sudah mem, bunyai hubungan yang baik dan akrab dengan Banu Thagif. Bilamana Abu Sufyan dan Mughira tiba dan Mughira menghancurkan berhala itu, wanitaWanita Thagif karena merasa sedih mereka menangis, tapi tiada seorang yang berani mendekatinya, karena memang sudah ada persetujuan antara perutusan Thagif dengan Nabi untuk membinasakan berhala itu. Mughira mengambil semua harta Lat termasuk perhiasannya untuk dipergunakan membayar utang-utang “Urwa dan Aswad — atas perintah Rasul dan dengan persetujuan Abu Sufyan.

 

Jadi dengan runtuhnya berhala Lat dan Ta’if masuk Islam, tnaka seluruh Hijaz sekarang sudah menjadi Islam. Pengaruh Muhammad sekarang membentang dari wilayah Rumawi di utara sampai ke daerah Yaman dan Hadzramaut di selatan. Daerah-daerah selebihnya di bagian selatan jazirah ini semua sudah pula bersiap-siap hendak menggabungkan diri ke dalam agama baru ini. Dengan segala kekuatan yang ada semua ini sudah siap membela agama dan tanah air masing-masing. Sementara itu utusan-utusan terus berdatangan dari segenap penjuru. Mereka semua menuju Medinah, untuk menyatakan kesetiaannya, untuk menyatakan diri masuk Islam.

 

Berturut-turut Para Utusan Datang ke Medinah

 

Sementara para utusan itu berturut-turut datang ke Medinah, dari bulan ke bulan, akhirnya bulan Haji pun sudah pula di ambang pintu, Sampai pada waktu itu Nabi tidak menunaikan kewajiban itu seluruhnya seperti yang dilakukan kaum Muslimin dewasa ini. Adakah kita lihat ia pergi dalam tahun ini sebagai tanda syukur kepada Tuhan karena pertolongan yang diberikanNya dalam menghadapi Rumawi, memasukkan Ta’if ke dalam pangkuan Islam serta perutusan yang datang kepadanya dari segenap penjuru?

 

Sebenarnya di semenanjung itu masih juga ada orang-orang yang belum beriman kepada Allah dan kepada Rasul, masih juga ada orang: orang kafir dan masih juga ada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sedang orang-orang kafir masih berpegang pada adat lembaga jahiliah. Dalam bulan-bulan suci mereka masih berziarah ke Ka’bah, sedang orang-orang kafir kotor. Jadi kalau begitu, biar dia akan tinggal saja di Medinah, sampai Tuhan menyelesaikan firmanNya, sampai Tuhan mengizinkan id pergi berhaji ke Baitullah. Biar Abu Bakr saja memimpin orang naik haji: Abu Bakr Memimpin Jemaah Haji

 

Pada waktu itulah Abu Bakr memimpin 300 orang Muslimin menuju Mekah. Akan tetapi mungkin dari tahun ke tahun orang musyrik masib’ juga akan tetap berziarah ke Baitullah yang suci. Bukankah secara umum antara Muhammad dengan orang-orang itu sudah ada suatu perjanjian bahwa tidak boleh orang dirintangi datang ke Rumah Suci, dan orang tidak boleh merasa takut selama dalam bulan-bulan suci? Bukankah antara dia dengan kabilah-kabilah Arab sudah ada perjanjian-perjanjian sampai saatsaat tertentu? Selama ada perjanjian-perjanjian demikian, selama itu pula orang-orang yang mempersekutukan Tuhan dan menyembah yang selain Tuhan itu akan tetap berziarah ke Baitullah, dan Muslimin pun akan selalu menyaksikan cara peribadatan jahiliah di bawah matanya sendiri, dilangsungkan di sekitar Ka’bah, sedang menurut perjanjian-perjanjian khusus dan perjanjian secara umum tak ada alasan mengalangi orang datang berhaji dan beribadat di tempat itu.

 

Kalau berhala-berhala yang disembah orang-orang Arab itu sudah banyak yang dihancurkan dan berhala-berhala yang dulu di dalam Ka’bah dan di sekitarnya sudah pula dimusnahkan, maka suatu pertemuan dalam Baitullah yang suci dengan mempersatukan orang-orang yang berontak pada kehidupan syirik dan paganisma, dengan orang-orang yang tetap dalam kehidupan syirik dan paganismanya itu, adalah suatu kontradiksi yang tak dapat dimengerti. Kalau orang dapat memahami orang-orang Yahudi dan Nasrani pergi berziarah ke Bait’I-Magdis (Yerusalem) sebab itu adalah Tanah yang Dijanjikan buat orang-orang Yahudi, dan tempat kelahiran Isa Almasih buat orang-orang Nasrani, maka orang tidak akan dapat memahami pertemuan dua macam peribadatan dalam sebuah tempat, di tempat itu berhala-berhala dihancurkan dan di tempat itu pula berhala-berhala yang sudah dihancurkan itu disembah. Oleh karena itu, sudah wajar sekali apabila orang-orang musyrik itu tidak boleh lagi mendekati Rumah Suci yang sudah dibersihkan dari segala kehidupan Syirik dan segala macam suasana paganisma. Dalam hal inilah ayat-ayat dalam Surah Bara’ah (At-Taubah (9) itu turun. Tetapi musim haji kini Sudah dimulai dan orang-orang musyrik sudah pula ada yang datang dari pelosok-pelosok hendak menjalankan upacaranya. Baiklah pertemuan Sekali ini menjadi saat menyampaikan perintah Allah kepada mereka dalam memutuskan segala perjanjian antara paganisma dengan iman, kecuali buat perjanjian yang dibuat untuk waktu tertentu ia tetap berlaku Sampai pada waktu yang sudah ditentukan itu.

 

Untuk maksud itu Nabi lalu mengutus Ali b. Abi Talib menyusul Abu Bakr, dan berkhutbah menyampaikan perintah Allah dan Rasul itu kepada Orang ramai waktu musim haji di Arafat. Dalam menunaikan tugasnya Ali dapat menyusul Abu Bakr dan kaum Muslimin yang berangkat bersamaYama pergi haji itu. Begitu Abu Bakr melihatnya ia bertanya:

 

“Amir atau ma’mur?”’

 

“Mu’mur”?, jawab Ali.

 

Kemudian diceritakannya maksud kedatangannya itu, dan bahwa Nabi mengutus dia kepada orang banyak karena dia termasuk keluarganya.

 

Bilamana orang sudah berkumpul di Mina melaksanakan upacara haji, Ali berdiri di samping Abu Huraira, dan diserukannya kepada orang banyak dengan membaca firman Allah ini:

 

“Suatu pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang telah kamu ikat dengan perjanjian (1). Oleh karena itu, bolehlah kamu berjalan di muka bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah, bahwa kamu tidak akan dapat melemahkan Tuhan dan Tuhan akan mencampakkan kehinaan kepada orang-orang kafir (2). Dan ini sebuah Maklumat dari Allah dan Rasul kepada umat manusia pada Hari Haji Akbar? bahwa Allah dan Rasul lepas tangan dari orang-orang musyrik. Terapi kalau mau bertobat, itu lebih baik buat kamu. Tetapi kalau kamu mengelak juga, ketahuilah, kamu takkan dapat melemahkan Tuhan. Beritahukanlah kepada orang-orang yang kafir itu akan adanya siksa yang pedih (3). Kecuali mereka, yang telah kamu adakan perjanjian dengan orang-orang musyrik dan tiada pula mereka melanggar sesuatu dalam perjanjian itu, dan mereka tidak membantu seseorang dalam memusuhi kamu, maka penuhilah perjanjian itu dengan mereka sampai batas waktunya. Allah menyukai orang-orang yang teguh dalam kebenaran (4). Apabila bulan-bulan suci sudah lalu, orang-orang musyrik itu boleh diperangi di mana saja kamu jumpai mereka, tangkap dan kepunglah mereka dan intailah mereka pada setiap tempat penjagaan. Tetapi apabila mereka sudah bertobat, sudah menjalankan salat dan mengeluarkan zakat, biarkanlah mereka bebas berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang (5). Dan apabila ada seseorang dari pihak musyrik itu meminta perlindungan (suaka) kepadamu, lindungilah ia supaya sempat ia mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman. Demikianlah, sebab mereka orang-orang yang tidak mengetahui (6). Bagaimana mungkin di hadapan Allah dan Rasul-Nya akan ada suatu berjanjian dengan orang-orang musyrik, kecuali yang telah kamu adakan Perjanjian dengan mereka di dekat Masjid’I-Haram. Maka selama mereka berlaku lurus kepada kamu, hendaklah kamu berlaku lurus juga kepada mereka, sebab Allah menyukai orang-orang yang teguh dalam kebenaran (7). Bagaimana mungkin (ada perjanjian demikian itu), padahal bilamana mereka dapat menguasai kamu, mereka tidak akan menghormat kamu, dalam tali kekeluargaan maupun dalam perjanjian. Mereka menyenangkan kamu dengan mulut (manis) tapi hati mereka sebaliknya. Dan kebanyakan mereka itu orang-orang fasik (8). Ayat-ayat Tuhan mereka jual dengan harga murah dan mereka mau mengalangi orang dari jalan Allah. Memang buruk sekali perbuatan mereka itu (9). Mereka tidak lagi menghormati orang beriman, baik dalam kekeluargaan maupun dalam perjanjian. Mereka itulah orang-orang yang melanggar batas (10). Akan tetapi bila mereka bertobat, menjalankan sembahyang dan mengeluarkan zakat, maka mereka itu saudara-saudara seagama. Ayat-ayat itu Kami uraikan kepada mereka yang mau mengerti (11). Tetapi bilamana mereka sudah melanggar sumpah mereka sendiri sesudah perjanjian mereka itu, dan mereka memaki agamamu, maka perangilah pemuka-pemuka orang kafir itu — mereka orang-orang yang tak dapat menahan diri (12). Kamu tidak mau melawan golongan yang telah melanggar sumpahnya sendiri, padahal mereka sudah berkomplot hendak mengusir Rasul, dan mereka itulah yang pertama kali mulai memerangi kamu. Takutkah kamu kepada mereka? Padahal Allah yang harus lebih ditakuti, kalau kamu orang-orang beriman (13). Lawanlah mereka itu! Tuhan akan menyiksa mereka melalui fangan kamu, Allah akan menista mereka dan akan menolong kamu melawan mereka, akan melegakan hati orang-orang beriman (14). Tuhan akan menghapuskan kemarahan hati mereka, akan menerima tobat siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana (15). Adakah kamu mengira, bahwa kamu akan dibiarkan begitu saja, padahal Allah belum membuktikan kamu yang benar berjuang dan tiada pula mengambil sebagai teman akrabnya, selain Allah, Rasul dan orang-orang beriman. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat (16). Bukanlah orang-orang musyrik itu yang akan memeriahkan mesjid-mesjid Allah, karena mereka sudah mengakui sendiri kekufuran mereka. Perbuatan mereka itu rendah sekali, dan mereka akan kekal dalam api neraka (17). Tetapi yang akan memeriahkan mesjid-mesjid Allah ialah orang yang sudah beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta menjalankan sembahyang dan mengeluarkan zakat dan tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Mereka inilah yang diharapkan akan mendapat petunjuk (18). Pemberian minuman kepada jemaah haji dan mengurus Mesjid Suci adakah kamu samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjuang di jalan Allah? Dalam pandangan Tuhan mereka fidak sama. Allah tidak memberi perunjuk kepada orang-orang yang bersalah (19). Orang-orang yang beriman, yang berhijrah dan berjuang di Jalan Allah dengan harta dan jiwa raga mereka dalam pandangan Allah lebih tinggi derajatnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapal kemenangan (20). Tuhan memberikan berita gembira kepada mereka dengan rahmat, keridaan dan surga daripada-Nya buat mereka. Di sana tempat kesenangan abadi (21). Mereka kekal selalu di sana. Padahal yang besar ada pada Tuhan (22). Orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu itu sebagai wakil-wakil kamu kalau mereka lebih mengutamakan kekufuran daripada iman, dan barangsiapa mengambil mereka menjadi wakil, mereka itulah orang-orang yang aniaya (23). Ya, katakanlah: Kalau bapa-bapa kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara dan istri-istri kamu serta keluarga kamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kuatirkan akan menjadi rugi, tempat-tempat tinggal yang kamu senangi, semua itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta daripada berjuang di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan. Allah tidak memberikan bimbingan kepada orang-orang fasik (24). Allah telah menolong kamu pada beberapa tempat dan pada Peristiwa Hunain, tatkala kamu merasa bangga sekali karena jumlah kamu yang besar. Tetapi lernyata jumlah yang besar itu sedikit pun tidak menolong kamu, dan bumi yang seluas ini pun terasa amat sempit olehmu, lalu kamu berbalik mundur (25). Sesudah itu Tuhan menurunkan perasaan tenang ke dalam hati Rasul dan orang-orang beriman serta diturunkan-Nya pula balatentara yang tidak kamu lihat, dan disiksa-Nya orang-orang kafir itu dan memang itulah balasan buat orang-orang kafir (26). Sesudah itu kemudian Allah menerima tobat barangsiapa yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun dan Penyayang (27). Orang-orang beriman! Ingatlah, orang-orang musyrik itu kotor. Sebab itu, sesudah ini, janganlah mereka memasuki Mesjid Suci, dan kalau kamu kuatir akan menjadi miskin, maka Tuhan dengan karunia-Nya akan memberikan kekayaan kepada kamu. Jika dikehendaki, sesungguhhya Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana (28). Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula beragama menurut agama yang benar, yaitu orang-orang yang Sudah mendapat Alkitab, sampai mereka membayar jizya dengan batuh dalam keadaan tunduk (29). Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putra Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata: “Almasih Iu putra Allah’. Demikianlah kata-kata mereka, menurut mulut mereka. Mereka meniru-niru perkataan orang-orang kafir masa dulu. Tuhan mengutuk mereka. Bagaimana mereka sampai dipalingkan? (30). Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan Almasih putra Mariam (juga mereka pertuhan), padahal mereka diperintahkan hanya menyembah Tuhan Yang Mahuesa. Tiada tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (31). Mereka berkehendak memadamkan Nur Ilahi dengan mulut mereka. Tetapi kehendak Tuhan hanya ukan menyelesaikan pancaran cahaya-Nya itu, meskipun tidak disukai orang-orang kafir (32). Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa Petunjuk Quran dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas semua agama, meskipun tidak disukai oleh orangorang musyrik (33). Orang-orang beriman! Banyak sekali para pendeta dan rahib-rahib memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka merintangi orang dari jalan Allah. Dan mereka yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka adanya siksa yang pedih (34). Tatkala semuanya dipanaskan dalam Api jahanam, lalu dengan itu dahi mereka, lambung mereka dan punggung mereka dibakar. Inilah harta-bendamu yang kamu timbun untuk dirimu sendiri. Sebab itu, rasakan sekarang akibat apa yang kamu timbun itu (35). Sebenarnya bilangan bulan dalam pandangan Tuhan ialah dua belas bulan. Demikian ditentukan Allah tatkala Ia menciptakan langit dan bumij di antaranya ada empat bulan suci. Itulah ketentuan agama yang lurus. Oleh karena itu janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan itu. Lawanlah orang-orang musyrik itu semua, seperti mereka juga memerangi kamu semua. Ketahuilah, Allah beserta orang-orang yang teguh bertakwa (36).

 

Ketika itu Ali berdiri di tengah-tengah orang yang sedang menunaikan upacara haji di Mina. Dibacakannya kepada mereka itu ayat-ayat Surah At-Taubah, yang di sini saya kutip secara keseluruhan, dengan maksud seperti yang akan saya terangkan kemudian. Selesai membaca ia berhenti sejenak, kemudian serunya lagi kepada orang ramai itu:

 

“Saudara-saudara! Orang kafir tidak akan masuk surga. Sesudah tahun ini orang musyrik tidak boleh lagi naik haji, tidak boleh lagi bertawaf di Ka’bah dengan telanjang. Barangsiapa terikat oleh suatv perjanjian dengan Rasulullah s.a.w. maka itu tetap berlaku sampai pada waktunya.”

 

Ali menyampaikan keempat perintah itu di tengah-tengah orang ramai, kemudian sesudah itu kepada mereka diberi waktu empat bulan supaya masing-masing golongan itu sempat pulang ke daerah dan negeri masing-masing. Sejak itu tiada seorang musyrik lagi mengerjakan haji, tiada lagi orang telanjang bertawaf di Ka’bah. Juga sejak itulah dasaf tempat berdirinya suatu negara Islam diletakkan.

 

Dasar Ideal Buat Negara yang Baru Tumbuh

 

Karena dasar ini pulalah maka di sini saya kutip bagian-bagiar permulaan Surah At-Taubah itu secara keseluruhan. Dengan hasraf supaya dasar itu diketahui oleh semua orang Arab, Ali bukan saja membacakan ayat-ayat Bara’ah (At-Taubah) itu pada musim haji saja — menurut suatu sumber yang sudah disetujui — melainkan juga sesudah itu pun dibacakannya pula di rumah-rumah mereka — demikian sumbersumber lain menyebutkan. Kalau orang membaca bagian-bagian permulaan Surah Bara’ah ini lalu diulang membacanya dan diteliti dengan seksama, orang akan merasakan sekali bahwa itulah dasar ideal dalam bentuk yang paling jelas bagi setiap negara yang baru tumbuh. Turunnya Surah Bara’ah ini secara keseluruhan ialah pada ekspedisi terakhir yang dilakukan Nabi. Setelah penduduk Ta’if datang menyatakan diri sebagai keluarga agama baru ini, setelah seluruh Hijaz berikut Tihama dan Najd bernaung di bawah bendera Islam, dan setelah sebagian besar kabilah-kabilah selatan semenanjung menyatakan diri tunduk kepada Muhammad dan bergabung ke dalam ajaran agamanya, ketika itulah tampak hikmah sejarah turunnya ayat-ayat yang mengatur dasar negara ideal sampai pada waktu itu. Supaya negara menjadi kuat, maka ia harus mempunyai suatu ideologi ideal yang umum sifatnya dapat dijadikan keyakinan masyarakat dan semua bersedia pula membelanya dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada. Dalam hal ini mana pula ada suatu ideologi yang lebih besar daripada keimanan kepada Allah Yang Mahaesa dan tidak bersekutu. Dan daripada suatu kesadaran bahwa ia merasa dirinya berhubungan dengan Alam dengan segala manifestasinya yang paling tinggi. Tak ada yang dapat menguasai dirinya selain Allah dan hanya Allah pula dapat mengawasi hati nuraninya. Apabila ada orang yang menentang ideologi umum yang harus menjadi dasar negara ini, maka mereka itu ialah orang-orang fasik, orangOrang yang mau menyebarkan benih-benih pergolakan perang saudara dan fitnah yang merusak. Oleh karena itu, terhadap orang-orang semacam itu tidak ada suatu perjanjian. Negara harus memerangi mereka. Kalau pembangkangan mereka terhadap ideologi umum itu bersifat liar dan tak terkemudikan, mereka harus diperangi sampai mereka tunduk. Kalau pembangkangannya terhadap ideologi bersifat tidak liar dan dapat dikendalikan — seperti halnya dengan Ahli Kitab — maka mereka wajib membayar jizyah dengan taat dan patuh pada peraturan yang berlaku.

 

Keputusan yang Berlebih-lebihan

 

Dari tinjauan kita mengenai arti ayat-ayat Surah At-Taubah yang Sudah kita baca itu, dari segi sejarah dan sosiologi, tentu akan mengantarkan kita pada penilaian itu juga. Dan setiap orang yang jujur dan beritikad baik, akan ke sana pula penilaiannya. Akan tetapi, mereka yang telah memberikan tanggapan kepada Rasul dengan cara yang sudah melampaui batas itu, akan meninggalkan tinjauan demikian ini. Mereka akan menafsirkan ayat dalam Surah At-Taubah yang sudah begitu jelas dan kuat Iu dengan mengatakan, bahwa hal itu akan mendorong orang jadi fanatik, yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa toleransi peradaban dewasa ini: akan mendorong orang supaya mengejar dan membunuh orang-orang musyrik di mana saja ada orang-orang yang beriman — tanpa mengenal ampun dan kasihan lagi, juga mendorong orang membuat undang-undang atas dasar tirani.

 

Demikian inilah kata-kata yang sering kita baca dalam buku-buku kaum Orientalis. Kata-kata ini sangat menarik pikiran orang yang memang belum matang dalam masalah-masalah kritik sosial dan sejarah, dalam kalangan Muslimin sendiri sekalipun. Kata-kata demikian itu sebenarnya samasekali tidak sesuai dengan kenyataan sejarah, juga tidak sesuai dengan kenyataan sosial. Hal inilah – yang dalam penafsiran mereka mengenai Surah At-Taubah seperti yang kita sebutkan, dan yang serupa itu pula yang banyak terdapat dalam surah-surah lain dalam Quran – yang menyebabkan orang membuat suatu penafsiran yang samasekali tak dapat diterima oleh logika dan kenyataan dalam sejarah Rasul, juga bertentangan dengan rangkaian sejarah hidup Nabi Besar itu sejak ia diutus Allah membawa agama ini sampai ia berpulang kembali ke rahmatullah.

 

Kebebasan Berfikir dan Peradaban Barat

 

Untuk menjelaskan hal ini, baik juga kalau kita bertanya mengenai dasar ideal peradaban yang berlaku sekarang, lalu kita bandingkan dengan dasar ideal seperti yang dibawa oleh Muhammad itu. Dasar ideal peradaban yang berlaku dewasa ini ialah kebebasan berpikir yang tidak terbatas, dan hanya cara menyatakannya dibatasi dengan undang-undang. Dan kebebasan berpikir inilah yang lalu dijadikan suatu ideologi, yang dibela orang dan bersedia ia berkorban untuk itu. Ia berjuang dan berperang mati-matian hendak mewujudkan hal itu, dan menganggap semua itu sebagai kejayaan yang patut dibanggakan oleh setiap generasi, dan dibanggakan juga terhadap masa lampau. Karena itu pulalah Orientalis-orientalis seperti yang kita sebutkan itu berkata:

 

“Ajaran Islam yang hendak memerangi orang yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, ialah ajaran yang menyuruh orang jadi fanatik. Sebenarnya ini bertentangan dengan kebebasan berpikir.”

 

Ini suatu pemalsuan yang memalukan, apabila kita sudah mengetahui bahwa nilai pikiran itu terletak pada ajaran dan perbuatannya. Islam tidak menyuruh menentang orang-orang musyrik penduduk semenanjung itu, kalau saja mereka patuh dan tidak mengajak orang melakukan syirik dan menyuruh pula melaksanakan upacaranya. Peradaban yang sedang berkuasa (the ruling culture) sekarang, dalam memerangi pikiran-pikiran yang berlawanan dengan situasi ideologi itu sudah melebihi perlawanan kaum Muslimin terhadap orang-orang musyrik. Juga peradaban yang berkuasa sekarang ini seribu kali lebih jahat dibandingkan dengan jizya yang berlaku terhadap orang yang dianggap Ahli Kitab itu.

 

Bolsjevisma sebagai Konsepsi Ekonomi

 

Sengaja di sini kita tidak akan mengambil contoh kejadian dulu ketika terjadi gerakan pemberantasan perdagangan budak-belian, sekalipun mereka yang bekerja dalam perdagangan ini yakin sekali bahwa hal itu tidak dilarang. Kita tidak mengambil ini sebagai contoh, supaya jangan ada yang berkata, bahwa kita bukan tidak menyetujui adanya perdagangan Semacam itu meskipun Islam tidak menyuruh lebih daripada memberantas apa yang tidak disetujuinya itu. Sebaliknya Eropa sekarang, Eropa yang punya peradaban yang sedang berkuasa itu, dengan dibantu oleh Amerika, oleh kekuatan-kekuatan bersenjata di Asia bagian selatan dan Timur Jauh, telah pula memerangi gerakan bolsyevisma (komunisma), dan bersedia berperang terus mati-matian. Kami di Mesir ini pun bersedia pula bersama-sama dengan peradaban yang sedang berkuasa ini memerangi dan memberantas bolsyevisma, meskipun dalam hal ini bolsyevisma tidak lebih dari suatu gagasan ekonomi yang mau melawan gagasan lain yang dianut Oleh peradaban yang sedang berkuasa sekarang itu. Adakah seruan Islam yang hendak memberantas orang-orang musyrik yang telah melanggar perjanjian Tuhan setelah disahkan itu sebagai suatu seruan biadab yang menganjurkan fanatisma dan anti-kebebasan? Sebaliknya seruan yang hendak memberantas bolsyevisma yang merusak susunan masyarakat itu, dalam peradaban yang sedang berkuasa ini dipandang sebagai seruan yang menganjurkan kebebasan berpikir dan berideologi dan patut dihormati?

 

Kemudian ada segolongan orang pada beberapa negara di Eropa yang memandang bahwa pendidikan rohani harus disertai pula dengan pendidikan jasmani, dan bahwa kebiasaan orang menutup seluruh badan atau Sebagian anggota badannya sebenarnya lebih membangkitkan nafsu kelamin (sex) dalam jiwa orang lain, dan tentunya lebih-lebih lagi akan merusak moral, daripada kalau orang itu semua telanjang bulat. Maka Orang-orang yang punya gagasan ini mulailah melaksanakan gagasannya, mulai mengadakan tempat-tempat nudis dalam beberapa kota.’ Mereka mendirikan tempat-tempat yang dapat dikunjungi oleh siapa saja yang mau membiasakan diri dengan pendidikan jasmani demikian itu. Tetapi begitu gagasan ini tersebar orang-orang yang bertanggung jawab dalam beberapa negara memandang tersebarnya gejala-gejala semacam ini akan sangat merusak pendidikan akhlak dan membahayakan masyarakat. “Perkumpulan-perkumpulan nudis” ini dilarang, mereka yang bertanggung jawab atas gagasan itu dikejar-kejar dan mengadakan tempat-tempat pendidikan jasmani semacam itu dilarang dengan undang-undang. Kita tidak akan sangsi, bahwa bilamana gagasan ini sampai tersebar luas pada suatu bangsa secara keseluruhan, pasti ia akan menyebabkan timbulnya pengumuman perang dari bangsa-bangsa lain atas bangsa itu dengan alasan bahwa hal ini akan merusak nilai-nilai kehidupan rohani umat manusia, seperti yang pernah terjadi dengan timbulnya peperangan-peperangan karena budak-belian, timbulnya peperangan atau yang semacam itu karena memperdagangkan budak kulit putih atau perdagangan candu.

 

Kenapa terjadi semua itu? Sebabnya ialah, karena kebebasan berpikir secara mutlak itu memang dapat diterima selama ia tetap tersimpan dalam batas-batas ucapan yang tidak sampai menyentuh tubuh masyarakat secara membahayakan. Akan tetapi bilamana pikiran itu akan sampai menyebabkan timbulnya kerusakan pada masyarakat manusia, maka penyebabnya itu harus diberantas, juga manifestasi gagasan itu semua harus diberantas, bahkan gagasannya sendiri harus diberantas, meskipun manifestasi perang ini berbeda-beda, sesuai dengan tingkat kerusakan dalam masyarakat sebagai akibat dari manifestasi itu, yang dengan bertahannya itu dikuatirkan membawa akibat dalam perkembangan etik, sosial dan ekonomi.

 

Membungkam Kebebasan Berpikir yang Beralasan

 

Inilah kenyataan sosial yang sudah diakui dan disahkan oleh peradaban yang sedang berkuasa sekarang. Kalau kita masih mau menjelajahi terus manifestasi itu serta pengaruh-pengaruhnya dalam pelbagai bangsa, tentu akan terlalu panjang kita bicara, dan bukan pula tempatnya di sini. Hanya saja orang akan dapat berkata, bahwa setiap undang-undang yang tujuannya hendak membungkam setiap gerakan sosial, ekonomi atau politik, maka ini berarti perang melawan pikiran yang melahirkan gerakan itu, dan perang ini dapat dibenarkan sesuai dengan bahaya yang menimpa masyarakat manusia, apabila pikiran-pikiran yang menjadi sasaran perang tersebut dilaksanakan.

 

Gambaran Kehidupan Syirik

 

Kalau kita mau menilai seruan Islam dalam memberantas kehidupan syirik dan penganut-penganutnya serta dalam memerangi mereka sampai mereka itu patuh, dapat dibenarkankah perang demikian ini atau tidak dapat dibenarkan? Kita perlu sekali melihat peranan yang dimainkan oleh pikiran syirik ini serta tujuannya. Apabila sudah ada kata sepakat mengenai betapa besar bahayanya terhadap masyarakat manusia dalam berbagai zaman, maka pengumuman perang yang dicetuskan oleh Islam kepada mereka itu dapat sekali dibenarkan, bahkan suatu kewajiban adanya.

 

Kehidupan syirik yang pada waktu Muhammad s.a.w. membawa dakwah agama yang benar itu, bukan hanya menggambarkan penyembahan berhala saja — dan kalaupun demikian adanya harus juga diberantas, sebab adalah suatu ironi terhadap akal pikiran dan kehormatan martabat manusia, bahwa manusia akan menyembah batu – tetapi kehidupan syirik ini juga menggambarkan sekelompok tradisi, adat-istiadat dan kebiasaan, bahkan menggambarkan suatu sistem masyarakat yang lebih berbahaya dari perbudakan, lebih berbahaya dari bolsyevisma dan lebih berbahaya dari segala yang dapat digambarkan oleh otak manusia menjelang akhir abad kedua puluh ini. Mereka menggambarkan cara hidup yang menguburkan bayi perempuan hidup-hidup, poligami yang tiada terbatas, lakilaki boleh mengawini perempuan sampai tiga puluh, empat puluh, seratus, tiga ratus atau lebih dari itu. Mereka menggambarkan suatu perbuatan riba dalam bentuknya yang paling kotor yang dapat digambarkan manusia, juga mereka menggambarkan kehidupan anarkhisma moral dalam bentuknya yang paling rendah. Masyarakat Arab pagan itu sebenarnya adalah masyarakat yang paling jahat yang pernah dilahirkan ke tengah-tengah umat manusia ini.

 

Dari setiap orang yang jujur sangat saya harapkan kiranya akan dapat menjawab pertanyaan ini: Sekiranya sekarang ada suatu masyarakat manusia membuat suatu sistem untuk mereka sendiri dengan segala tradisi, adat-istiadat dan kebiasaan meliputi segala perbuatan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, poligami tak terbatas, membolehkan perbudakan dengan suatu sebab atau tanpa sebab, eksploitasi harta-benda dengan cara yang kejam, kemudian karena itu semua lalu timbul pemberontakan hendak menghancurkan dan mengikisnya habis-habis — dapatkah pemberontakan demikian itu kita tuduh dengan fanatisma, dengan tindakan anti kebebasan berpikir? Kalau kita umpamakan, ada Suatu bangsa yang sudah puas dengan sistem sosial yang rendah ini dan Sudah hampir pula menular sampai ke negara-negara lain, lalu negaranegara ini mengumumkan perang, dapat juga dibenarkan? Bukankah ini lebih-lebih dapat dibenarkan daripada Perang Dunia yang baru lalu yang telah menelan jutaan penduduk dunia ini tanpa suatu sebab selain karena sifat keserakahan dari pihak negara-negara imperialis?

 

Revolusi terhadap Syirik Dibenarkan

 

Dan kalau memang sudah begitu adanya, di mana pula nilai kritik para Orientalis itu terhadap ayat-ayat yang sudah pembaca ikuti dari Surah Bara’ah dan terhadap seruan Islam dalam memberantas syirik dan penganut-penganutnya yang berusaha hendak menegakkan suatu sistem dengan segala akibatnya yang berbahaya seperti yang kita sebutkan tadi?

 

Kalau ini sudah merupakan suatu kenyataan sejarah sehubungan dengan sistem yang berlaku di tanah Arab di bawah naungan panji syirik dan paganisma, maka juga di sana ada suatu kenyataan lain dalam sejarah yang bersumber dari kehidupan Rasul. Sejak ia diutus Tuhan mengemban Risalah selama tiga belas tahun, dengan segala susah-payah ia mengorbankan segalanya, mengajak orang ke dalam agama Allah dengan memberikan bukti dan mengajak mereka berdiskusi dengan cara yang baik. Semua peperangan dan ekspedisi yang dilakukannya, sekali-kali tidak bersifat agresi, melainkan selalu mempertahankan sifatnya, mempertahankan kaum Muslimin, mempertahankan kebebasan mereka melakukan dakwah agama, agama yang sudah mereka imani, mereka mengorbankan hidup mereka untuk agama itu.

 

Seruan yang tegas dan sudah cukup jelas, bahwa orang-orang musyrik itu patut dilawan — karena mereka kotor, mereka tidak dapat memegang janji dan piagam perjanjian, mereka tidak lagi dapat memegang sesuatu amanat dan pertalian keluarga dengan orang-orang beriman -ayatayatnya turun pada akhir ekspedisi Nabi ke Tabuk. Apabila Islam turun di suatu daerah dengan kehidupan paganisma yang sedang luas menjalar, dan berusaha hendak menanamkan suatu sistem sosial dan ekonomi yang begitu merusak yang sudah ada di semenanjung itu tatkala Nabi diutus, Jalu datang kaum Muslimin mengajak mereka supaya meninggalkan cara semacam itu dan mari mengambil apa yang dibenarkan Tuhan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya — tidak juga mereka mau patuh – maka buat orang yang jujur tidak bisa lain ia mesti berontak terhadap mereka, memberantas mereka sampai ajaran Tuhan ini selesai, dan yang tersebar luas hanya keadilan dan keimanan kepada Allah.

 

Ayat-ayat Bara’ah (At-Taubah) yang dibacakan oleh Ali itu, demikian juga seruannya kepada orang banyak, bahwa orang kafir tidak akan masuk surga, bahwa sesudah tahun ini tidak dibenarkan lagi orang musyrik melakukan ibadah haji dan melakukan tawaf di Ka’bah dengan telanjang – telah membawa hasil yang baik sekali. Sikap ragu yang tadinya tertanam dalam hati kabilah-kabilah, yang selama itu masih lambat-lambat akan menerima ajakan Islam — telah hilang samasekali. “Amir bin’t-Tufail

 

Dengan demikian negeri-negeri seperti Yaman, Mahra, Bahrain dan Yamama masuk Islam. Sudah tak ada lagi pihak yang akan mengadakan perlawanan kepada Muhammad kecuali sejumlah kecil, yang karena kecongkakannya malah berbuat dosa dan tertipu oleh golongannya sendiri, di antaranya “Amir bin’t-Tufail, yang pergi bersama-sama dengan perutusan Banu “Amir yang hendak berlindung di bawah bendera Islam. Tetapi setelah berhadapan dengan Nabi, ‘Amir menolak dan tidak mau menerima Islam. Ia ingin supaya ia dijadikan sekutu Nabi. Nabi masih berusaha meyakinkan supaya dia menerima Islam. Tetapi ia tetap menolak. Kemudian sambil keluar ia berkata:

 

“Kota ini akan saya hujani dengan pasukan berkuda dan tentara untuk melawan kamu.”

 

Lalu kata Muhammad.

 

“Allahumma ya Allah! Lindungi aku dari perbuatan “Amir bin’tTufail.”

 

“Amir pun lalu pergi hendak menuju kabilahnya. Tetapi di tengah perjalanan itu tiba-tiba ia terserang penyakit sampar di leher sampai ia menemui ajalnya ketika ia sedang berada di rumah seorang wanita dari Banu Salul. Ketika akan menemui ajalnya berulang-ulang ia berkata: “Oh Banu “Amir! Ini penyakit kelenjar seperti penyakit serdi pada unta dan mati pula di rumah wanita Banu Salul!”

 

Juga Arbad b. Oais, ia tidak mau menerima Islam, ia kembali ke Banu ‘Amir. Tetapi belum lama tinggal di tempat itu ia mati terbakar disambar petir, tatkala ia pergi naik unta yang akan dijualnya. Sungguhpun begitu, penolakan “Amir dan Arbad ini tidak mengalangi golongannya untuk masuk Islam. Yang lebih jahat lagi dari mereka itu semua ialah Musailima ibn Habib. Ia datang bersama-sama dengan perutusan Banu Hanifa dari Yamama. Oleh rombongan itu ia ditinggalkan di belakang dengan barang-barang, dan mereka pergi menemui Rasulullah. Ketika Itulah mereka semua masuk Islam, dan oleh Nabi mereka diberi hadiah. Juga mereka menyebut-nyebut tentang Musailima, yang oleh Nabi kemudian juga diberi hadiah seperti mereka, dengan katanya: “Dia tidak lebih buruk kedudukannya di kalangan kamu”, yakni karena dia menjagakan barang-barang teman-temannya. Tetapi mendengar kata-kata itu dari mereka Musailima lalu mendakwakan dirinya Nabi, dan menduga bahwa Tuhan mempersekutukannya dengan Muhammad dalam kenabian itu.

 

Kepada masyarakat golongannya ia bersajak’ dan menggunakan kata-kata dengan mencoba-coba hendak meniru-niru Quran: “Tuhan memberikan kenikmatan kepada yang bunting. Yang mengeluarkan nyawa bergerak. Dari antara kulit bawah dengan isi lambung.”?

 

Musailima menghalalkan minuman keras dan perzinaan dan membebaskan golongannya dari sembahyang. Ia aktif sekali mengajak orang supaya mempercayainya. Selain mereka ini, orang-orang Arab dari segenap pelosok jazirah datang berduyun-duyun menyambut agama Allah, dipimpin oleh orang-orang terpandang dan terhormat semacam “Adi b. Hatim dan “Amir b. Ma’di Karib. Raja-raja Himyar juga telah mengutus orang membawa surat kepada Nabi menyatakan diri mereka masuk Islam. Nabi pun menetapkan dan berkirim pula surat kepada mereka mengenai hak dan kewajiban mereka menurut syariat Allah.

 

Sesudah Islam tersebar di bagian selatan semenanjung, Muhammad mengutus orang-orang yang mula-mula dalam Islam supaya dapat mengajarkan hukum dan memperdalam dan menguatkan agama mereka.

 

Kita tidak akan lama-lama berhenti pada masalah perutusan orangorang Arab kepada Nabi itu seperti yang biasa dilakukan oleh penulispenulis dahulu, sebab masalahnya hampir sama, mereka semua bernaung di bawah bendera Islam. Ibn Sa’d dalam At-Tabagat’I-Kubra telah mengkhususkan 50 halaman besar mengenai perutusan-perutusan Arab ini saja kepada Rasul. Kiranya cukup di sini kita menyebutkan nama-nama kabilah dan anak-kabilah yang punya perutusan. Utusan-utusan itu datang dari: Muzaina, Asad, Tamim, “Abs, Fazara, Murra, Tha’laba, Muharib, Sa’d b. Bakr, Kilab Ru’as Kilab, “Ugail b. Ka’b, Ja’da, Ousyair b. Kab, Banu’l-Bakka’, Kinana, Asyja’, Bahila, Sulaim, Hilal b. “Amir, “Amir b. Sha” sha’a dan Thagif. Utusan-utusan Rabi’a datang dari “Abd’l-Oais, Bakr b. Wa’il, Taghlib, Hanifa dan Syaiban. Dari Yaman datang utusanutusan: Tayy, Khaulan, Ju’fi, Shuda’, Murad, Zubaid, Kinda, Shadif, Khusyain, Sa’d Hudhail, Bali, Bahra’, Udhra, Salaman, Juhaina, Kalb, Jarm, Azd, Ghassan Harith b. Ka“b, Hamdan, Sa’d’I-Asyira, “Ans, Dar, Raha” (dari daerah Madhhij|, Ghamid, Nakha’, Khath’am, Asyari. Hadzramaut, Azd “Uman, Ghafiq, Bariq, Daus, Thumala, Hudan, Aslam. Judham, Muhra, Himyar, Najran dan Jaisyah. Demikian seterusnya, tiada sebuah kabilah atau anak-kabilah di Semenanjung itu yang tidak masuk Islam, kecuali yang sudah kita sebutkan di atas. Demikian juga orang-orang musyrik penduduk jazirah itu, mereka berlomba-lomba masuk Islam, dan dengan sendirinya meninggalkan penyembahan berhala. Sekarang seluruh tanah Arab sudah bersih dari berhala-berhala dengan segala penyembahannya. Sesudah perjalanan ke Tabuk, selesailah semua itu secara sukarela dan atas kemauan sendiri, tanpa bersusah payah atau pertumpahan darah.

 

Sekarang apa yang dilakukan pihak Yahudi dan pihak Nasrani terhadap Muhammad, dan apa pula yang dilakukan Muhammad terhadap mereka”

 

 

Muhammad dan Ahli Kitab — Kedudukannya di kalangan Orang-orang Nasrani – Keramahannya Terhadap Mereka -Kesatuan Arab di Bawah Islam — Islamnya Ahli Kitab — Perutusan Terakhir ke Medinah – Persiapan Nabi Naik Haji – Perjalanan Kaum Muslimin ke Haji — Ihram dan Talbiah – Melepaskan Umrah -Ali Kembali dari Yaman — Menjalankan Manasik Haji — “Hari Inilah Kusempurnakan Agamamu.”

 

SEJAK Ali b. Abi Talib membacakan awal Surah Bara’ah kepada orang.orang yang pergi haji, yang terdiri dari orang-orang Islam dan musyrik, waktu Abu Bakr memimpin jemaah haji, dan sejak ia mengumumkan kepada mereka atas perintah Muhammad waktu mereka berkumpul di Mina, bahwa orang kafir tidak akan masuk surga, dan sesudah tahun ini orang musyrik tidak boleh lagi naik haji, tidak boleh lagi bertawaf di Ka’bah dengan telanjang, dan barangsiapa terikat oleh suatu perjanjian dengan Rasulullah s.a.w. itu tetap berlaku sampai pada waktunya – sejak itu pula orang-orang musyrik penduduk jazirah Arab semua yakin sudah, bahwa buat mereka tak lagi ada tempat untuk terus hidup dalam paganisma. Dan kalau masih juga mereka melakukan itu, ingatlah, akan pengumuman perang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini akan berlaku buat penduduk daerah selatan jazirah Arab, yaitu Yaman dan Hadzramaut, sebab buat daerah Hijaz dan sekitarnya sampai ke utara mereka sudah masuk Islam dan bernaung di bawah bendera agama baru ini. Di bagian selatan itu sebenarnya masih terbagi antara penganut paganisma, dengan penganut Kristen. Tetapi orang-orang pagan ini kemudian menerima juga, seperti yang sudah kita lihat di atas. Secara berbondong-bondong mereka masuk Islam, mereka mengirim utusan ke Medinah, dan Nabi pun menyambut mereka dengan sangat baik sekali, yang kiranya membuat mereka lebih gembira lagi menerima Islam. Sebagian besar mereka kembali ke daerah kekuasaan mereka masing-masing dan ini membuat mereka lebih cinta lagi kepada agama baru ini.

 

Muhammad dan Ahli Kitab

 

Mengenai Ahli Kitab yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, ayat-ayat yang telah dibacakan oleh Ali dari Surah At-Taubah demikian bunyinya:

 

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula beragama menurut agama yang benar, yaitu orang-orang yang sudah mendapat Alkitab, sampai mereka membayar jizya dengan patuh dalam keadaan tunduk.” sampai kepada firman Tuhan:

 

“Orang-orang beriman! Banyak sekali para pendeta dan rahib-rahib memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka merintangi orang dari jalan Allah. Dan mereka yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka adanya siksa yang pedih. Tatkala semuanya dipanaskan dalam api jahanam, lalu dengan itu dahi mereka, lambung mereka dan punggung mereka dibakar. “Inilah harta-bendamu yang kamu timbun untuk dirimu sendiri. Sebab itu, rasakan sekarang akibat apa yang kamu timbun itu.’?

 

Menghadapi ayat-ayat Surah At-Taubah sebagai wahyu penutup dalam Quran itu, banyak ahli-ahli sejarah yang bertanya-tanya dalam hati: apakah perintah Muhammad a.s. mengenai Ahli Kitab itu berbeda dengan perintahnya dulu ketika baru-baru ia membawa ajarannya? Beberapa Orientalis lalu berpendapat bahwa ayat-ayat ini hendak menempatkan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik dalam kedudukan yang hampir sama, dan bahwa Muhammad, yang sudah berhasil mengalahkan paganisma di Seluruh jazirah, setelah meminta bantuan pihak Yahudi dan Nasrani, dengan menyatakan pada tahun-tahun pertama risalahnya itu, bahwa ia datang membawa agama Isa, Musa, Ibrahim dan rasul-rasul lain yang Sudah lebih dulu, telah mengarahkan sasarannya kepada orang-orang Yahudi, yang sudah lebih dulu menghadapinya dengan permusuhan. Mereka tetap bersikap demikian, sampai akhirnya mereka diusir dari Jazirah. Sementara itu ia hendak mengambil hati orang-orang Nasrani, lalu turun ayat-ayat yang memperkuat iman mereka yang baik, sehingga datang firman Tuhan ini:

 

“Pasti akan kaudapati orang-orang yang paling keras memusuhi mereka yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan pasti akan kaudapati orang-orang yang paling akrab bersahabat dengan mereka yang beriman ialah mereka yang berkata: “Kami ini orang-orang Nasrani”. Sebab, di antara mereka terdapat kaum pendeta dan rahib-rahib, dan mereka itu tidak menyombongkan diri.”

 

Nah, sekarang ia mengarahkan tujuannya kepada pihak Nasrani, sarmna seperti yang dulu ditujukan kepada pihak Yahudi.

 

Orang-orang Nasrani digolongkan ke dalam mereka yang tidak percaya kepada Tuhan dan kepada Hari Kemudian. Ia melakukan hal itu setelah pihak Nasrani memberikan perlindungan kepada pengikut-pengikutnya kaum Muslimin ketika mereka dulu pergi ke Abisinia di bawah naungan rajanya yang adil, dan setelah pula Muhammad menulis surat kepada penduduk Najran dan kaum Nasrani lainnya dengan menjamin agama mereka dan segala upacara keagamaan yang mereka lakukan. Lalu golongan Orientalis itu berpendapat bahwa sikap kontradiksi dalam siasat Muhammad inilah yang kemudian membuat permusuhan antara pihak Muslimin dengan Nasrani itu jadi berlarut-larut, dan bahwa dia pula yang membuat saling pendekatan antara pengikut-pengikut Yesus dengan pengikut-pengikut Muhammad jadi tidak begitu mudah, kalaupun tidak akan dikatakan mustahil.

 

Kedudukannya di Kalangan Orang-orang Nasrani

 

Mengambil argumen ini secara mendatar adakalanya dapat memikat orang bahwa itu ada juga benarnya, ataupun dapat memikat orang sampai mempercayainya. Akan tetapi bila orang mau mengikuti jalur sejarah, mau menelitinya sehubungan dengan masalah-masalah dan sebab-sebab turunnya ayat-ayat itu, samasekali orang tidak perlu sangsi tentang kesatuan sikap Islam dan sikap Muhammad terhadap agama-agama Kitab – sejak dari permulaan risalah itu sampai akhirnya. Almasih anak Mariam jalah Hamba Allah yang diberi-Nya kitab, dijadikan-Nya ia seorang nabi, dijadikannya ia orang yang beroleh berkah di mana pun ia berada, diperintahkan-Nya ia melakukan sembahyang, mengeluarkan zakat selama ia masih hidup. Itulah yang diturunkan oleh Quran sejak dari permulaan risalah sampai akhirnya. Allah cuma Satu. Allah itu Abadi dan Mutlak. Tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada suatu apa pun yang menyerupai-Nya. Itulah jiwa dan dasar Islam sejak dari langkah pertama, dan itu pula jiwa Islam selama dunia ini berkembang.

 

Orang-orang Nasrani Najran pernah mendatangi Nabi hendak mengajaknya berdebat tentang Tuhan dan tentang kenabian Isa terhadap Tuhan jauh sebelum Surah At-Taubah ini turun. Mereka bertanya kepada Muhammad:

 

“Ibu Isa itu Mariam, lalu siapa bapanya?” Untuk itu datang firman Allah:

 

“Hal seperti terhadap Adam, dijadikan-Nya ia dari tanah lali dikatakan: jadilah, maka jadilah ia. Kebenaran itu datangnya hanya dar! Tuhan. Jangan kau jadi orang yang sangsi. Barangsiapa mengajak engkau berdekat tentang Dia setelah engkau mendapat pengetahuan, katakanlah: Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, diri kami sendiri dan diri kamu: kemudian kita berdoa supaya laknat Tuhan itu ditimpakan kepada yang berdusta. Inilah kisah-kisah sebenarnya: tiada tuhan selain Allah. Dan Allah sungguh Maha Kuasa dan Bijaksana. Kalaupun mereka menyimpang juga, Tuhan jua yang mengetahui mereka yang berbuat bencana. Katakanlah: Orangorang Ahli Kitab! Marilah kita menerima suatu istilah yang sama antara kami dengan kamu, bahwa tak ada yang akan kita sembah selain Allah, dan bahwa kita takkan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, dan tidak pula antara kita akan saling mempertuhan satu sama lain, selain daripada Allah. Tetapi kalau mereka menyimpang juga, katakanlah: Saksikanlah, bahwa kami ini orang-orang Muslimin.”

 

Percakapan dalam surah ini, Surah Keluarga “Imran dengan gaya bahasa yang luar biasa, ditujukan kepada Ahli Kitab, menegur mereka mengapa mereka merintangi orang beriman dari jalan Allah dan mengapa mereka mengingkari ayat-ayat yang datang dari Tuhan, padahal ayat-ayat itu juga yang dibawa oleh Isa, oleh Musa, oleh Ibrahim, sebelum kata-kata itu diubah-ubah dan sebelum diartikan menurut kehendak nafsu sendiri disesuaikan dengan kehidupan duniawi dengan kesenangan yang penuh tipu daya. Banyak lagi surah-surah lain, yang dalam kata-katanya ditujukan seperti yang terdapat dalam surah Keluarga “Imran itu.

 

Dalam Surah Al-Ma’idah (5) Tuhan berfirman:

 

“Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap Tuhan), mereka yang mengatakan, bahwa Allah satu dari tiga dalam trinitas. Tak ada tuhan kecuali Tuhan Yang Satu. Apabila tidak mau juga mereka berhenti (menghina Tuhan), pasti mereka yang telah merendahkan (Tuhan) Uu akan dijatuhi siksaan yang amat pedih. Tidakkah mereka mau bertobat kepada Tuhan dan meminta ampun. Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Sebenarnya Almasih putra Mariam itu hanya seorang rasul, dan ibunya adalah wanita yang tulus dan jujur, keduanya memakan makanan. Perhatikanlah, berapa Kami menjelaskan ayat-ayat itu kepada mereka, lalu perhatikanlah, bagaimana mereka sampai dipalingkan?””

 

Kemudian dalam Surah Al-Ma’idah itu juga Tuhan berfirman:

 

“Dan ingat ketika Allah berkata: “Hai Isa anak Mariam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang: mengangkatku dan ibuku sebagai dua luhan selain Allah?” Ia menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak akan aku mengatakan yang bukan menjadi hakku. Kalaupun aku mengatakannya, tentu Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam hatiku, tapi aku tidak mengetahui apa yang ada di dalam Diri-Mu,” sampai pada ayat-ayat selanjutnya seperti sudah kita nukilkan dalam pengantar buku ini. Salah satu ayat dalam Surah Al-Ma’idah inilah yang oleh penulis-penulis sejarah Kristen dipersoalkan dan dijadikannya alasan tentang perkembangan sikap Muhammad terhadap mereka sesuai dengan perkembangan politiknya, yaitu ketika Tuhan berfirman: Keramahannya Terhadap Mereka

 

“Pasti akan kaudapati orang-orang yang paling keras memusuhi mereka yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan pasti akan kaudapati orang-orang yang paling akrab bersahabat dengan mereka yang beriman ialah mereka yang berkata: “Kami ini orang-orang Nasrani’. Sebab, di antara mereka terdapat kaum pendeta dan rahib-rahib, dan mereka itu tidak menyombongkan diri.”

 

Sebaliknya, ayat-ayat yang terdapat dalam Surah Bara’ah (9) yang juga bicara tentang Ahli Kitab sekali-kali tidak membicarakan kepercayaan mereka mengenai Almasih anak Mariam itu. Ayat-ayat itu bicara tentang kelakuan mereka mempersekutukan Tuhan, makan harta orang secara tidak sah serta menimbun emas dan perak. Sedang menurut Islam Ahli Kitab itu sudah keluar dari rel agama Isa, mereka menghalalkan apa yang dilarang oleh Tuhan dan melakukan perbuatan orang yang tidak beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian. Tetapi sungguhpun demikian — lepas dari semua itu — keimanan mereka kepada Tuhan sudah menjadi jembatan buat mereka untuk tidak dipersamakan dengan orang-orang pagan. Buat mereka yang masih gigih mau menjadikan Tuhan satu dari tiga dalam trinitas dan mau menghalalkan apa yang dilarang Tuhan, cukup dengan membayar jizya dengan taat dan patuh.

 

Seruan yang telah disampaikan oleh Ali tatkala Abu Bakr memimpin jamaah haji itu merupakan puncak dari masuknya penduduk jazirah bagian selatan ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Utusan-utusan itu secara berturut-turut telah datang ke Medinah seperti sudah kita sebutkan — di antaranya perutusan dari orang-orang musyrik dan dari Ahli Kitab. Nabi memberi hormat secukupnya kepada setiap utusan yang datang dan para amir itu dikembalikan ke daerah kekuasaan mereka dengan cara terhormat sekali. Hal ini sudah kita sebutkan dalam bagian yang lalu. Asy’ath b. Oais dengan memimpin 80 orang dari Kinda dengan berkendaraan, mereka datang kepada Nabi dalam mesjid, dengan berhias rambut, bercelak mata, mengenakan jubah yang indah-indah dan berselempang sutera. Begitu melihat mereka, Nabi berkata:

 

“Bukankah kamu sudah menjadi Islam?”

 

“Ya”, jawab mereka.

 

“Buat apa kamu mengenakan sutera ini di leher?” kata Nabi lagi.

 

Mereka lalu melepaskan sutera itu.

 

“Rasulullah”, kata Asy’ath kemudian, “kami dari Keluarga Akil’l-Murar’ dan tuan juga dari keturunan Akil’l-Murar.”

 

Mendengar itu Nabi tersenyum. Ia teringat pada “Abbas bin “Abd’lMuttalib dan Rabi’a bin’l-Harith.

 

Bersama dengan Asy’ath itu juga datang Wa’il b. Hujr al-Kindi, seorang amir dari daerah pantai di Hadzramaut. ia kemudian masuk Islam. Nabi mengakui daerah kekuasaannya itu dan dimintanya ia memungut ‘usyr dari penduduk untuk diserahkan kepada pemungutpemungut pajak yang sudah ditunjuk oleh Rasul. Dalam hal ini Nabi menugaskan Mu’awiya b. Abi Sufyan menemani Wa’il ke negerinya. Tetapi Wa’il tidak mau sekendaraan dengan dia dan tidak pula mau memberikan kepadanya alas kaki. Sekadar dapat menahan panasnya musim cukup dengan membiarkan dia berjalan di bawah naungan untanya. Meskipun ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan persamaan antara sesama kaum Muslimin dan semua orang Islam bersaudara, namun Mu’awiya menerimanya juga demi menjaga Islamnya Wa’il dan golongannya.

 

Setelah Islam tersiar di kawasan Yaman, Nabi mengutus Mu’adh (b. Jabal) ke daerah itu untuk memberikan pelajaran kepada penduduk serta Untuk memperdalam hukum Islam, dengan pesan:

 

“Permudahlah dan jangan dipersulit. Gembirakan dan jangan ditakut-takuti. Engkau akan bertemu dengan golongan Ahli Kitab yang akan bertanya kepadamu: “Apa kunci surga?’ Maka jawablah: “Suatu kesaksian, bahwa tak ada tuhan selain Allah yang tiada bersekutu.”

 

Mu’adh pun berangkat, disertai beberapa orang dari kalangan Muslimin yang mula-mula dan yang bertugas mengurus “usyr, serta memberikan pelajaran dan menjalankan hukum sesuai dengan perintah Tuhan dan Rasul.

 

Kesatuan Arab di Bawah Islam

 

Dengan tersebarnya Islam di seluruh kawasan jazirah itu — dari timur sampai ke barat, dari utara sampai ke selatan — maka seluruh lingkungan itu telah menjadi satu di bawah satu panji, yaitu panji Muhammad Rasulullah s.a.w. dan berada dalam satu agama yaitu Islam, jantung mereka pun hanya satu pula arahnya, yaitu menyembah Allah Yang Tunggal tiada bersekutu.

 

Sebelum dua puluh tahun yang lalu, kabilah-kabilah itu saling ber musuhan, satu sama lain serang menyerang dalam peperangan, setiap ada kesempatan. Tetapi dengan penggabungan mereka di bawah panji Islam ini) mereka telah menjadi bersih dari segala noda paganisma, mereka hidup tenteram di bawah undang-undang Tuhan Yang Mahakuasa Dengan demikian permusuhan di kalangan penduduk itu sudah tak ada lagi. Perang dan permusuhan sudah tidak punya tempat. Sudah tak ada lagi orang yang akan menghunus pedang, kecuali jika hendak mempertahankan tanah-air, membela agama Allah dari serangan pihak lain.

 

Islamnya Ahli Kitab

 

Akan tetapi masih ada sekelompok orang-orang Nasrani Najran yang masih berpegang pada agama mereka, yang berbeda dengan sebagian besar masyarakat mereka sendiri, yaitu Banu Harith yang sudah lebih dahulu masuk Islam. Kepada mereka ini Nabi mengutus Khalid bin’Walid mengajak mereka menganut Islam supaya terhindar dari serbuannya. Tetapi begitu diserukan mereka sudah mau masuk Islam. Khalid kemudian mengirim utusan dari kalangan mereka sendiri ke Medinah supaya menemui Nabi, yang kemudian disambutnya dengan ramah dan akrab sekali. Di samping itu ada lagi sekelompok masyarakat Yaman yang masih merasa enggan sekali tunduk di bawah panji Islam, sebab Islam lahir di Hijaz, sedang biasanya Yaman yang menyerbu Hijaz. Sebaliknya, sebelum itu Hijaz tidak pernah menyerang Yaman.

 

Perutusan Terakhir ke Medinah

 

Kepada mereka ini Nabi mengutus Ali b. Abi Talib dengan tugas mengajak mereka ke dalam Islam. Juga pada mulanya mereka sangat congkak sekali. Menyambut ajakan Ali dengan menyerangnya. Akan tetapi Ali — dengan usianya yang masih begitu muda dan hanya membawa tiga ratus orang — sudah dapat membuat mereka cerai-berai. Pihak penyerang yang sudah dipukul mundur itu kembali menyusun lagi barisannya. Akan tetapi Ali segera mengepung mereka sehingga timbul panik dalam barisan mereka itu. Tak ada jalan lain mereka harus menyerah. Dengan demikian kemudian mereka masuk Islam dan menjadi orang Islam yang baik. Semua pelajaran yang diberikan oleh Mu’adh dan sahabat-sahabatnya mereka dengarkan baik-baik. Utusan mereka ini merupakan utusan terakhir yang diterima Nabi di Medinah sebelum Nabi berpulang ke rahmatullah.

 

Persiapan Nabi Naik Haji

 

Sementara Ali sedang bersiap-siap kembali ke Mekah, Nabi pun sedang dalam persiapan pula hendak menunaikan ibadah haji, dan dimintanya orang juga bersiap-siap. Bulan berganti bulan dan bulan Zulkaidah pun sudah pula hampir lalu. Nabi belum lagi melakukan ibadah haji akbar meskipun sebelum itu sudah dua kali mengadakan umrah dengan melakukan ibadah haji ashghar.’

 

Dalam ibadah haji ada suatu manasik (upacara) yang dalam hal ini Nabi a.s. adalah contoh bagi umat Islam. Begitu orang mengetahui benar Nabi telah menetapkan akan pergi haji dan mengajak mereka ikut serta, tersiarlah ajakan itu ke segenap penjuru semenanjung. Beribu-ribu orang datang ke Medinah dari segenap penjuru, dari kota-kota dan dari pedalaman, dari gunung-gunung dan dari sahara, dari semua pelosok tanah Arab yang membentang luas, yang sekarang sudah bersinar dengan Cahaya Tuhan dan cahaya Nabi yang mulia itu. Di sekitar kota Medinah sudah pula dipasang kemah-kemah untuk seratus ribu orang atau lebih, yang datang memenuhi seruan Nabi, Rasulullah s.a.w. Mereka datang sebagai saudara untuk saling kenal-mengenal, mereka dipertalikan semua Oleh rasa kasih-sayang, oleh keikhlasan hati dan oleh ukhuah islamiah. yang dalam tahun-tahun sebelum itu mereka saling bermusuhan. Manusia yang berjumlah ribuan itu kini sedang melihat-lihat kota, masing-masing dengan bibir tersenyum, dengan wajah yang cerah dan berseri-seri. Berkumpulnya mereka itu menggambarkan adanya suatu kebenaran yang telah mendapat kemenangan, Nur Ilahi telah tersebar luas, yang membuat mereka semua teguh bersatu seperti sebuah bangunan yang kukuh.

 

Perjalanan Kaum Muslimin ke Haji

 

Pada 25 Zulkaidah tahun kesepuluh Hijrah Nabi berangkat dengan Membawa semua istrinya, masing-masing dalam hodahnya. la berangkat dengan diikuti jumlah manusia yang begitu melimpah — penulis-penulis sejarah ada yang menyebutkan 90.000 orang dan ada pula yang menyebutkan 114.000 orang. Mereka berangkat dibawa oleh iman, jantung mereka penuh kegembiraan, penuh keikhlasan, menuju ke Baitullah yang suci. Mereka hendak menunaikan kewajiban ibadah haji besar.

 

Ihram dan Talbiah

 

Bilamana mereka sampai di Dhu’l-Hulaifa, mereka berhenti dan tinggal selama satu malam di sana. Keesokan harinya, bila Nabi sudah mengenakan pakaian ihram kaum Muslimin yang lain juga memakai pakaian ihram. Mereka semua masing-masing mengenakan kain selubung bagian bawah dan atas. Mereka berjalan semua dengan pakaian yang sama, yaitu pakaian yang sangat sederhana. Dengan demikian mereka telah melaksanakan suatu persamaan dalam arti yang sangat jelas.

 

Dengan seluruh kalbu Muhammad telah menghadapkan diri kepada Tuhan dengan mengucapkan talbiah yang diikuti pula oleh kaum Muslimin dari belakang: “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaika. Alhamdu lillah wan-ni’matu wa’sy-syukru laka labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika.” (“Kupenuhi panggilan-Mu, ya Allah, kupenuhi panggilan-Mu. Kupenuhi panggilan-Mu. Tiada bersekutu Engkau. Kupenuhi panggilan-Mu. Puji, nikmat dan syukur kepunyaanMu. Kupenuhi panggilan-Mu, kupenuhi panggilan-Mu, tiada bersekutu Engkau. Kupenuhi panggilan-Mu.”)

 

Lembah-lembah dan padang sahara bersahut-sahutan menyambut seruan ini, semua turut berseru dengan penuh iman. Ribuan, ya puluhan ribu kafilah itu menyusuri jalan antara Madinat’r-Rasul dengan Kota Mesjid Suci. Ia berhenti pada setiap mesjid, menunaikan kewajiban sambil menyerukan talbiah, sebagai tanda taat dan syukur atas nikmat Allah. Dengan penuh kesabaran ia menantikan saat ibadah haji akbar itu tiba. Dengan hati rindu, dengan jantung berdetak penuh cinta akan Baitullah. Padang-padang pasir seluruh jazirah, gunung-gunung, lembah-lembah dan padang tanaman yang segar menghijau, terkejut mendengarnya, dengan kumandangnya yang bersahut-sahutan, suatu hal yang belum pernah dikenal, sebelum Nabi yang ummi ini, Rasul dan Hamba Allah ini datang memberkahinya.

 

Melepaskan Umrah

 

Tatkala rombongan itu sampai di Sarif — suatu tempat antara jalan Mekah dengan Medinah — Muhammad berkata kepada sahabat-sahabatnya:

 

“Barangsiapa di antara kamu tidak membawa binatang kurban dan ingin menjadikan (ihram) ini sebagai umrah, lakukanlah, tetapi yang membawa binatang kurban jangan.”

 

Bilamana jamaah haji sudah sampai di Mekah pada hari keempat Zulhijjah, Nabi cepat-cepat menuju Ka’bah diikuti oleh kaum Muslimin yang lain. Kemudian ia mengusap hajar aswad dan menciumnya, lalu bertawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali dan pada kali yang pertama ia berlari-lari seperti yang dilakukan pada waktu “umrat’I-gadza”. Setelah melakukan salat di Maqam Ibrahim ia kembali dan sekali lagi mencium hajar aswad. Kemudian ia keluar dari mesjid itu menuju ke sebuah bukit di Shafa, lalu melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa. Selanjutnya Muhammad berseru supaya barangsiapa tidak membawa ternak kurban untuk disembelih, jangan terus mengenakan pakaian ihram. Ada beberapa orang yang masih ragu-ragu. Atas sikap yang masih ragu-ragu ini Nabi marah sekali seraya katanya:

 

“Apa yang kuperintahkan, lakukanlah.”

 

Dalam keadaan masih gusar itu Nabi memasuki kubahnya, sehingga Aisyah bertanya:

 

“Kenapa jadi marah?”

 

“Bagaimana takkan marah, aku memerintahkan sesuatu tidak dijalanan.”

 

Ketika ada salah seorang sahabat menemuinya ia masih dalam keadaan marah.

 

“Rasulullah”, katanya, “orang yang membuat tuan jadi marah akan masuk neraka.”

 

Ketika itu Rasul menjawab:

 

“Tidak kauketahui, bahwa aku memerintahkan sesuatu kepada mereka tapi mereka masih ragu-ragu? Jika aku menghadapi tugasku, aku takkan pernah mundur! Aku tidak membawa ternak kurban itu ke mari Sebelum aku membelinya. Sesudah itu aku melepaskan ihram seperti mereka juga.” Demikian Muslim melaporkan.

 

Setelah kaum Muslimin mengetahui, bahwa Rasulullah sampai marah, ribuan mereka segera melepaskan pakaian ihramnya dengan perasaan menyesal sekali. Juga istri-istri Nabi, Fatimah putrinya seperti yang lain Juga melepaskan pakaian ihramnya. Yang masih mengenakan ihram hanya mereka yang membawa ternak kurban.

 

Ali Kembali dari Yaman

 

Sementara kaum Muslimin sedang menunaikan ibadah haji, Ali pun kembali dari ekspedisinya ke Yaman. ia sudah mengenakan pula pakaian ihram sebagai persiapan pergi haji setelah diketahuinya bahwa Rasulullah memimpin jamaah berhaji. Ketika ia menemui Fatimah dan dilihatnya sudah melepaskan kain ihram, hal itu ditanyakannya. Fatimah menerangkan bahwa Nabi memerintahkan mereka supaya melepaskan ihram itu waktu umrah. Ia pun segera pergi menemui Nabi, hendak melaporkari hasil perjalanannya ke Yaman. Selesai laporan itu Nabi berkata:

 

“Pergilah bertawaf di Ka’bah kemudian lepaskan ihrammu sepe teman-temanmu yang lain.”

 

“Rasulullah”, kata Ali, “saya sudah mengucapkan ihlal seperti yang tuan ucapkan.”!

 

“Kembalilah dan lepaskan ihrammu seperti dilakukan teman-temaanmu yang lain,” kata Nabi lagi.

 

“Rasulullah”, demikian Ali berkata, “ketika saya mengenakan ihram, saya sudah berkata begini: Allahumma Ya Allah, saya berihlal seperti yang dilakukan oleh Nabi-Mu, Hamba-Mu dan Rasul-Mu Muhammad.

 

Nabi bertanya, kalau-kalau dia sudah mempunyai binatang kurban. Setelah oleh Ali dijawab tidak, Muhammad membagikan binatang kurban yang dibawanya itu kepada Ali. Dengan demikian Ali tetap mengenakan ihram dan melakukan manasik haji akbar sampai selesai.

 

Menjalankan Manasik Haji

 

Pada hari kedelapan Zulhijjah, yaitu Hari Tarwia, Muhammad pergi ke Mina. Selama sehari itu sambil melakukan kewajiban salat ia tinggal dalam kemahnya itu. Begitu juga malamnya, sampai pada waktu fajar menyingsing pada hari haji. Selesai salat subuh, dengan menunggang untanya al-Oashwa’ tatkala matahari mulai tersembul ia menuju arah ke gunung “Arafat. Arus manusia dari belakang mengikutinya. Bilamana ia sudah mendekati gunung itu dengan dikelilingi oleh ribuan kaum Muslimin yang mengikuti perjalanannya — ada yang mengucapkan talbiah, ada yang bertakbir, sambil ia mendengarkan mereka itu, dan membiarkan mereka masing-masing.

 

Di Namira, sebuah desa sebelah timur “Arafat, telah pula dipasang sebuah kemah buat Nabi, atas permintaannya. Bila matahari sudah tergelincir, dimintanya untanya Al-Oashwa’ dan ia berangkat lagi sampai di perut wadi di bilangan “Urana. Di tempat itulah manusia dipanggilnya, sambil ia masih di atas unta, dengan suara lantang, tapi sungguhpun begitu masih diulang oleh Rabi’a b. Umayya b. Khalaf. Setelah mengucapkan syukur dan puji kepada Allah, dengan berhenti pada setiap anak kalimat ia berkata:

 

“Wahai manusia sekalian!” perhatikanlah kata-kataku ini! Aku tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti ini, tidak lagi aku akan bertemu dengan kamu sekalian.

 

“Saudara-saudara!””) Bahwasanya darah kamu dan harta-benda kamu sekalian adalah suci buat kamu, seperti hari ini dan bulan ini yang suci — sampai datang masanya kamu sekalian menghadap Tuhan. Dan pasti kamu akan menghadap Tuhan: pada waktu itu kamu dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu. Ya, aku sudah menyampaikan ini!

 

“Barangsiapa telah diserahi amanat, tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya.

 

“Bahwa semua riba sudah tidak berlaku. Tetapi kamu berhak menerima kembali modalmu. Janganlah kamu berbuat aniaya terhadap orang lain, dan jangan pula kamu teraniaya. Allah telah menentukan bahwa tidak boleh lagi ada riba dan bahwa riba “Abbas b. “Abd’I-Muttalib semua sudah tidak berlaku.

 

“Bahwa semua tuntutan darah selama masa jahiliah tidak berlaku lagi, dan bahwa tuntutan darah pertama yang kuhapuskan ialah darah Ibn Rabi’a bin’I-Harith b. “Abd’I-Muttalib!.

 

“Kemudian daripada itu saudara-saudara.”) Hari ini nafsu setan yang minta disembah di negeri ini sudah putus buat selama-lamanya. Tetapi, kalau kamu turutkan dia walaupun dalam hal yang kamu anggap kecil, yang berarti merendahkan segala amal perbuatanmu, niscaya akan senanglah dia. Oleh karena itu peliharalah agamamu ini baik-baik.

 

“Saudara-saudara”). Menunda-nunda berlakunya larangan bulan suci berarti memperbesar kekufuran. Dengan itu orang-orang kafir itu tersesat. Pada satu tahun mereka langgar dan pada tahun lain mereka sucikan, Untuk disesuaikan dengan jumlah yang sudah disucikan Tuhan. Kemudian mereka menghalalkan apa yang sudah diharamkan Allah dan mengharamkan mana yang sudah dihalalkan.

 

“Zaman itu berputar sejak Allah menciptakan langit dan bumi ini. Jumlah bilangan bulan menurut Tuhan ada dua belas bulan, empat bulan di antaranya jalah bulan suci, tiga bulan berturut-turut dan bulan Rajab itu antara bulan Jumadilakhir dan Sya’ban.

 

“Kemudian daripada itu, saudara-saudara.”) Sebagaimana kamu mempunyai hak atas istri kamu, juga istrimu sama mempunyai hak atas kamu. Hak kamu atas mereka ialah untuk tidak mengizinkan orang yang tidak kamu sukai menginjakkan kaki ke atas lantaimu, dan jangan sampai mereka secara jelas membawa perbuatan keji. Kalau sampai mereka melakukan semua itu Tuhan mengizinkan kamu berpisah tempat tidur dengan mereka dan boleh memukul mereka dengan suatu pukulan yang tidak sampai mengganggu. Bila mereka sudah tidak lagi melakukan itu, maka kewajiban kamulah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan sopan-santun. Berlaku baiklah terhadap istri kamu, mereka itu kawan-kawan yang membantumu, mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka. Kamu mengambil mereka sebagai amanat Tuhan, dan kehormatan mereka dihalalkan buat kamu dengan nama Tuhan.

 

“Perhatikanlah kata-kataku ini, saudara-saudara”). “Aku sudah menyampaikan ini. Ada masalah yang sudah jelas kutinggalkan di tangan kamu, yang jika kamu pegang teguh, kamu takkan sesat selama-lamanya — Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

 

“Wahai Manusia sekalian!”) Dengarkan kata-kataku ini dan perhatikan! Kamu akan mengerti, bahwa setiap Muslim adalah saudara Muslim yang lain, dan kaum Muslimin semua bersaudara. Tetapi seseorang tidak dibenarkan (mengambil sesuatu) dari saudaranya, kecuali jika dengan senang hati diberikan kepadanya. Janganlah kamu menganiaya diri sendiri.

 

“Ya Allah! Sudahkah kusampaikan?””

 

Sementara Nabi mengucapkan itu Rabi’a mengulanginya kalimat demi kalimat, sambil meminta kepada orang banyak itu menjaganya dengan penuh kesadaran. Nabi juga menugaskan dia supaya menanyai mereka misalnya: Rasulullah bertanya “hari apakah ini? Mereka menjawab: Hari Haji Akbar! Nabi bertanya lagi:

 

“Katakan kepada mereka, bahwa darah dan harta kamu oleh Tuhan disucikan, seperti hari ini yang suci, sampai datang masanya kamu sekalian bertemu Tuhan.”

 

Setelah sampai pada penutup kata-katanya itu ia berkata lagi:

 

“Ya Allah! Sudahkah kusampaikan?!”

 

Maka serentak dari segenap penjuru orang menjawab: “Ya!”

 

Lalu katanya:

 

“Ya Allah, saksikanlah ini!”

 

Selesai Nabi mengucapkan pidato ia turun dari al-Oashwa’ — untanya itu. ia masih di tempat itu juga sampai pada waktu sembahyang lohor dan asar. Kemudian menaiki kembali untanya menuju Shakharat. Pada waktu jtulah Nabi a.s. membacakan firman Tuhan ini kepada mereka:

 

“Hari Inilah Kusempurnakan Agamamu.”

 

“Hari inilah Kusempurnakan agamamu ini untuk kamu sekalian, dengan Kucukupkan nikmat-Ku kepada kamu, dan yang Kusukai Islam inilah meniadi agama kamu.”

 

Abu Bakr ketika mendengarkan ayat itu dibaca ia menangis, ia merasa. bahwa risalah Nabi sudah selesai dan sudah dekat pula saatnya Nabi hendak menghadap Tuhan.

 

Setelah meninggalkan Arafat malam itu Nabi bermalam di Muzdalifa. Pagi-pagi ia bangun dan turun ke Masy’ar’I-Haram. Kemudian ia pergi ke Mina dan dalam perjalanan itu ia melemparkan batu-batu kerikil. Bila sudah sampai di kemah ia menyembelih 63 ekor unta, setiap seekor unta untuk satu tahun umurnya, dan yang selebihnya dari jumlah seratus ekor

 

unta kurban yang dibawa Nabi sewaktu keluar dari Medinah – disembelih Oleh Ali. Kemudian mencukur rambut dan menyelesaikan ibadah hajinya.

 

Dengan selesainya ibadah haji ini, ada orang yang menamakannya Ibadah haji perpisahan’ yang lain menyebutkan “ibadah haji penyampaian ada lagi yang mengatakan “ibadah haji Islam’.? Nama-nama itu memang benar semua. Disebut “ibadah haji perpisahan” karena ini yang penghabisan kali Muhammad melihat Mekah dan Ka’bah. Dengan ibadah haji Islam’, karena Tuhan telah menyempurnakan agama ini kepada umat manusia dan mencukupkan pula nikmatNya. “Ibadah haji penyampaian’ berarti Nabi telah menyampaikan kepada umat manusia apa yang telah diperintahkan Tuhan kepadanya. Tiada lain Muhammad hanya memberi peringatan dan pembawa berita gembira kepada orang-orang beriman.

 

 

 

Ibadah Haji Perpisahan – Tiga Orang Mendakwakan Dirinya Nabi — Rencana Ekspedisi – Pesan nabi kepada Usama — Nabi Sakit — Nabi Pergi ke Pekuburan — Bergurau Sekalipun dalam Keadaan Sakit – Demam Keras – Pergi ke Mesjid — Pesannya kepada Muhajirin dan Anshar – Percakapan dengan Fatimah Anaknya – Bermaksud Menuliskan Wasiat — Tidak Mau Diobati Keluarganya — Kesadaran sebelum Wafat.

 

IBADAH haji perpisahan kini sudah selesai, dan sudah tiba pula saatnya puluhan ribu orang yang menyertai Nabi dalam ibadah ini akan pulang ke rumah masing-masing. Penduduk Najd pulang mendaki dataran tinggi! penduduk Tihama ke daerah pantai dan penduduk Yaman dan Hadzrat maut serta daerah-daerah sekitarnya menuju arah selatan. Nabi dan sahabat-sahabat pun bertolak menuju Medinah.

 

Ibadah Haji Perpisahan

 

Bila mereka sudah sampai dan menetap lagi di kota itu, keadaan seluruh semenanjung sudah aman. Tetapi, yang masih selalu menjadi pikiran buat Muhammad ialah soal beberapa daerah yang masih di bawah kekuasaan Rumawi dan Persia di daerah Syam, Mesir dan Irak. Dari pihak seluruh jazirah itu kini sudah tidak ada apa-apa lagi. Orang secara berbondong-bondong datang memeluk agama Allah, perutusan datang berturut-turut ke Yathrib menyatakan kesetiaannya, menyatakan kehendaknya bernaung di bawah bendera Islam, dan semua orang sudab menggabungkan diri kepadanya ketika dalam ibadah haji perpisahan itus Raja-raja Arab dengan daerahnya masing-masing itu betapa takkan ikhlas kepada Nabi dan kepada agamanya, jika oleh Nabi yang ummi itu mereka dibiarkan tetap dengan kekuasaannya dan dalam kemerdekaannya sendiri pula! Bukankah Bad-han — Gubernur Persia di Yaman — dibiarkanny3 dalam kekuasaan itu tatkala ia menyatakan keislamannya dan lebib menyukai kesatuan wilayah Arab itu dan membuang penyembahan ap’ Persia? Timbulnya gerakan-gerakan semacam pemberontakan yang di adakan oleh beberapa orang di sepanjang jazirah, tidak sampai akan menghanyutkan Nabi dalam pemikirannya atau akan menimbulkan rasa kuatir dalam hati, setelah ternyata pengaruh agama baru ini sudah tersebar ke segenap penjuru, semua wajah menghadap hanya kepada Allah Yang Mahakuasa, kalbu beriman hanya kepada Allah Yang Mahaesa.

 

Tiga Orang Mendakwakan Dirinya Nabi

 

Itu sebabnya, tatkala ada tiga orang yang mendakwakan diri sebagai nabi, oleh Muhammad tidak banyak dihiraukan. Memang ada beberapa kabilah yang berjauhan dari Mekah — begitu mengetahui Muhammad mendapat sukses dengan ajarannya itu — cepat-cepat pula mereka menyambut orang yang datang mendakwakan diri nabi dari kabilah mereka itu, dengan harapan mereka akan mendapatkan nasib seperti yang ada pada Quraisy, meskipun kabilah-kabilah ini, karena letaknya yang jauh dari pusat agama baru, tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Akan tetapi ajakan kepada kebenaran Tuhan itu sudah benar-benar berakar di tanah Arab. Tidak mudah orang akan dapat melawannya. Apa yang telah dialami Muhammad demi menyampaikan ajaran ini, beritanya sudah sampai ke mana-mana. Kiranya takkan ada orang yang sanggup memikul beban ini, selain putra Abdullah itu. Setiap ada orang hendak mendakwakan diri dengan dasar kepalsuan, pasti kepalsuan itu akan segera terbongkar. Setiap ada orang yang mendakwakan kenabian tidak pernah ia dalam nasibnya akan mendapat sukses secara berarti.

 

Datang Tulaiha — pemimpin Banu Asad, salah seorang pahlawan Arab dalam perang dan yang berkuasa di Najd — mendakwakan diri, bahwa dia Seorang nabi dan rasul, dan ia memperkuat dakwaannya itu dengan membuat ramalan mengenai sebuah tempat sumber air, ketika golongannya itu dalam perjalanan hampir mati kehausan. Tetapi selama Muhammad masih hidup ia tidak berani mengadakan “pemberontakan” dan baru ia mengadakan pemberontakan itu setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah. Pembangkangan Tulaiha ini oleh Khalid bin’l-Walid dihancurkan dan dia sendiri kembali lagi ke pihak Muslimin dan menjadi Orang Islam yang baik.

 

Juga Musailima, juga Aswad al-‘Ansi, yang selama hidup Nabi, tidak lebih baik daripada nasib Tulaiha. Musailima ini pernah mengirim surat kepada Nabi dengan mengatakan bahwa dia nabi, dan “Separuh bumi ini buat kami dan yang separuh lagi buat Quraisy, tapi Quraisy adalah golongan yang tidak suka berlaku adil.”

 

Setelah surat itu dibaca kedua orang utusan Musailima itu oleh Nabi ditatapnya, dan hendak memberikan kesan kepada mereka, bahwa Nabi dkan menyuruh supaya mereka dibunuh, kalau tidak karena memang adanya ketentuan bahwa para utusan harus dijamin keselamatannya. Kemudian Nabi membalas surat Musailima dengan mengatakan ia sudah mendengarkan isi suratnya dengan segala kebohongannya itu, dan bahwa bumi ini kepunyaan Allah yang akan diwarisi oleh hamba-hamba yang berbuat kebaikan. Dan salam bagi orang yang mengikut bimbingan yang benar.

 

Adapun Aswad al-‘“Ansi — penguasa Yaman sesudah Bad-han meninggal — orang ini mendakwakan sebagai ahli sihir dan mengajak orang dengan sembunyi-sembunyi. Karena sudah merasa dirinya sebagai orang penting di daerah selatan, wakil-wakil Muhammad yang di Yaman diusirnya, dan dia pergi lagi ke Najran, anak Bad-han di sana dibunuhnya, istrinya dikawini dan singgasana diwarisinya. Ia hendak menyebarkan pengaruhnya di kawasan itu. Tapi bahaya ini tidak banyak mempengaruhi pikiran Muhammad. Dalam hal ini tidak lebih ia hanya mengutus orang kepada pejabat-pejabat’ di Yaman dengan perintah supaya Aswad dikepung atau dibunuh. Sekali lagi kaum Muslimin di Yaman berhasil memaksa Aswad, dan dia sendiri mati dibunuh istrinya sendiri sebagai balasan atas dibunuhnya anak Bad-han — suaminya yang dulu.

 

Rencana Ekspedisi

 

Sekembalinya dari ibadah haji perpisahan, pikiran dan perhatian Muhammad tertuju ke bagian utara, sebab daerah selatan sudah tidak perlu dikuatirkan lagi. Sebenarnya sejak terjadinya ekspedisi Mu’ta, dan Muslimin kembali dengan membawa rampasan perang dan sudah merasa puas pula melihat kepandaian Khalid bin’I-Walid menarik pasukan, sejak itu pula Muhammad sudah memperhitungkan pihak Rumawi matang matang. Ia berpendapat kedudukan Muslimin di perbatasan Syam itu perlu sekali diperkuat, supaya mereka yang dulu pernah keluar dari jazirah ini ke Palestina, tidak kembali lagi menghasut perang dan mengerahkan penduduk daerah itu. Oleh karena itu ia menyiapkan pasukan perangnya yang cukup besar, seperti persiapannya yang dulu, tatkala ia mengetahui rencana Rumawi hendak menyerbu perbatasan jazirah itu dan dia sendiri yang memimpin pasukan sampai di Tabuk. Tetapi waktu itu pihak Rumawi sudah menarik pasukannya sampai ke perbatasan dalam negeri dan ke dalam benteng mereka sendiri. Sungguhpun begitu daerah utara ini harus tetap diperhitungkan, kalau-kalau kenangan lama — di bawah lindungan Kristen dan pihak yang merasa berkuasa di bawah Imperium Rumawi waktu itu — akan bangkit kembali dan mengumumkan perang kepada pihak yang pernah mengeluarkan orang-orang Nasrani dan di luar Najran di bilangan Semenanjung Arab itu.

 

Oleh karena itu, selesai ibadah haji perpisahan di Mekah, belum lama lagi kaum Muslimin tinggal di Medinah, Nabi mengeluarkan perintah supaya menyiapkan sebuah pasukan besar ke daerah Syam, dengan menyertakan kaum Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan ini dipimpin oleh Usama b. Zaid b. Haritha. Usia Usama waktu itu masih muda sekali, belum melampaui dua puluh tahun. Kalau tidak karena terbawa oleh kepercayaan yang teguh kepada Rasulullah, pimpinan Usama atas orang-orang yang sudah lebih dahulu dan atas kaum Muhajirin serta sahabat-sahabat besar itu, tentu akan sangat mengejutkan mereka. Tetapi ditunjuknya Usama b. Zaid oleh Nabi dimaksudkan untuk menempati tempat ayahnya yang sudah gugur dalam pertempuran di Mu’ta dulu, dan akan menjadi kemenangan yang dibanggakan sebagai alasan atas gugurnya ayahnya itu, di samping semangat yang akan timbul dalam jiwa pemuda-pemuda, juga untuk mendidik mereka membiasakan diri memikul beban tanggung jawab yang besar dan berat.

 

Pesan Nabi kepada Usama

 

Muhammad memerintahkan kepada Usama supaya menjejakkan kudanya di perbatasan Balga’ dengan Darum di Palestina, tidak jauh dari Mu’ta tempat ayahnya dulu terbunuh, dan supaya menyerang musuh Tuhan itu pada pagi buta, dengan serangan yang gancar, dan menghujani mereka dengan api. Hal ini supaya diteruskan tanpa berhenti sebelum berita sampai lebih dulu kepada musuh. Apabila Tuhan sudah memberi kemenangan, tidak usah lama-lama tinggal di tempat itu. Dengan membawa hasil dan kemenangan itu ia harus segera kembali.

 

Nabi Sakit

 

Sekarang Usama dan pasukannya berangkat ke Jurf (tidak jauh dari Medinah). Mereka mengadakan persiapan hendak berangkat ke Palestina. Tetapi, dalam pada mereka sedang bersiap-siap itu tiba-tiba Rasulullah jatuh sakit, dan sakitnya makin keras juga, sehingga akhirnya tidak jadi mereka berangkat.

 

Bisa jadi orang akan bertanya: Bagaimana sebuah pasukan yang persiapan dan keberangkatannya diperintahkan oleh Rasulullah, tidak jadi berangkat karena dia sakit? Ya. Perjalanan pasukan ke Syam yang akan mengarungi sahara dan daerah tandus selama berhari-hari itu bukan soal Tingan, dan tidak pula mudah buat kaum Muslimin — dengan Nabi yang Sangat mereka cintai melebihi cinta mereka kepada diri sendiri — akan meninggalkan Medinah sedang Nabi dalam keadaan sakit, dan yang sudah mereka sadari pula apa sebenarnya di balik sakitnya itu. Ditambah lagi mereka memang belum pernah melihat Nabi mengeluh karena sesuatu penyakit yang berarti. Penyakit yang pernah dideritanya tidak lebih dari kehilangan nafsu makan yang pernah dialaminya dalam tahun keenam Hijrah, tatkala ada tersiar berita bohong bahwa ia telah disihir oleh orangorang Yahudi, dan satu penyakit lagi yang pernah dideritanya sehingga karenanya ia berbekam, yaitu setelah termakan daging beracun dalam tahun ketujuh Hijrah. Cara hidupnya dan ajaran-ajarannya memang jauh dari gejala-gejala penyakit dan akibat-akibat yang akan timbul karenanya. Dalam membatasi diri dalam makanan, dan makannya yang hanya sedikit: kesederhanaannya dalam berpakaian dan cara hidup, kebersihannya yang dipeliharanya luar biasa dengan mengharuskan wudu yang sangat disukainya, sampai pernah ia berkata: Kalau tidak karena kuatir akan memberatkan orang ia ingin mewajibkan penggunaan siwak’ lima kali sehari, kegiatannya yang tiada pernah berhenti, kegiatan beribadat dari satu segi dan kegiatan olah-raga dari segi lain, kesederhanaan dalam segalanya terutama dalam kesenangan, keluhurannya yang jauh dari segala hawa, nafsu, dengan jiwa yang begitu tinggi tiada taranya, komunikasinya dengan kehidupan dan dengan alam dalam bentuknya yang sangat cemerlang, dan tiada putusnya, — semua itu menjauhkan dirinya dari penyakit dan dapat memelihara kesehatan. Bentuk tubuh yang sempurna tiada cacat, perawakan yang tegap kuat, seperti halnya dengan Muhammad, akan jauh selalu dari penyakit.

 

Jadi kalau sekarang ia jatuh sakit, wajar sekali menjadi kekuatiran sahabat-sahabat dan orang-orang yang mencintainya.

 

Wajar sekali mereka merasa kuatir, menyatakan betapa ia pernah mengalami kesulitan dan penderitaan hidup selama dua puluh tahun terusmenerus. Sejak ia terang-terangan berdakwah di Mekah mengajak orang menyembah Allah yang tiada bersekutu dan meninggalkan semua berhala yang pernah disembah nenek-moyang mereka, ia sudah mengalami pahit getirnya penderitaan, penderitaan yang sungguh menekan jiwa, sehingga ia terpisah dari sahabat-sahabatnya yang kemudian disuruhnya hijrah ke Abisinia, dan dia sendiri yang terpaksa berlindung di celah-celah gunung tatkala pihak Quraisy mengumumkan pemboikotannya. Juga ketika ia berangkat hijrah dari Mekah ke Medinah – setelah Ikrar “Agaba – ia hijrah dalam keadaan yang gawat dan sangat berbahaya, ia hijrah tanpa ia ketahui lagi apa yang akan terjadi terhadap dirinya di Medinah kelak. Pada tahun-tahun pertama ia tinggal di sana, ia telah menjadi sasaran kongkalikong dan intrik orang-orang Yahudi.

 

Kemudian, setelah dengan adanya pertolongan Tuhan orang di seluruh jazirah itu datang berbondong-bondong menerima agama ini, tugas dan pekerjaannya telah bertambah jadi berlipat ganda banyaknya dan untuk penjagaannya sangat memerlukan tenaga dan daya upaya yang sungguh berat. Begitu juga Nabi a.s. telah menghadapi sendiri beberapa peperangan yang sungguh dahsyat dan mengerikan sekali. Mana pula saat yang lebih mengerikan daripada peristiwa Uhud, ketika kaum Muslimin dalam keadaan kucar-kacir, ia berjalan mendaki gunung, dengan terusmenerus secara ketat diintai oleh Quraisy, dihujani serangan sehingga gigi gerahamnya pecah! Mana pula saat yang lebih dahsyat kiranya daripada peristiwa Hunain, ketika kaum Muslimin dalam pagi buta itu kembali mundur dan lari tunggang-langgang, sehingga kata Abu Sufyan: Hanya laut saja yang akan menghentikan mereka. Sedang Muhammad berdiri tegak, tidak beranjak surut dari tempatnya, seraya ia berseru kepada kaum Muslimin: Mau ke mana, mau ke mana! Kemarilah kemari! Kemudian mereka kembali sampai mendapat kemenangan. Tugas risalah! Tugas wahyu! Dan itu daya upaya rohani yang sungguh meletihkan dalam komunikasi yang terus-menerus dengan rahasia alam nurani dan alam Ilahi. Itu daya upaya, yang oleh karenanya pernah diceritakan tentang Nabi yang berkata, “Surah Hud dan yang semacamnya membuat aku jadi tua.”!

 

Semua itu disaksikan oleh sahabat-sahabat Muhammad. Mereka melihat dia memikul beban yang begitu berat tidak mengenal sakit. Apabila kemudian ia jatuh sakit, sudah sepantasnya sahabat-sahabatnya itu jadi kuatir, dan menunda perjalanan dari markas mereka di Jurf ke Syam, sebelum mereka yakin benar apa yang akan terjadi dengan kehendak Tuhan kepada diri Nabi.

 

Nabi Pergi ke Pekuburan

 

Ada suatu peristiwa yang membuat mereka lebih cemas lagi. Pada malam pertama Muhammad merasa sakit ia tak dapat tidur, lama sekali tak dapat tidur. Dalam hatinya ia berkata, bahwa ia akan keluar pada malam musim itu, musim panas yang disertai hembusan angin di sekitar kota Medinah. Ketika itulah ia keluar, hanya ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayhiba. Tahukah ke mana ia pergi? Ia pergi ke Baqi’’I-Ghargad, pekuburan Muslimin di dekat Medinah. Sesampainya di pekuburan itu ia berbicara kepada penghuni kubur, katanya: “Salam sejahtera bagimu, wahai penghuni kubur! Semoga kamu selamat akan apa yang terjadi atas dirimu, seperti atas diri orang lain. Fitnah telah datang seperti malam gelap-gulita, yang kemudian menyusul yang pertama, dan yang kemudian lebih jahat dari yang pertama.”

 

Abu Muwayhiba ini juga bercerita, bahwa ketika pertama kali sampai di Baqi’I-Ghargad Nabi berkata kepadanya:

 

 

“Aku mendapat perintah memintakan ampun untuk penghuni Baqi’ ini. Baiklah engkau berangkat bersama aku!”

 

Setelah memintakan ampun dan tiba saatnya akan kembali, ia menghampiri Abu Muwayhiba seraya katanya:

 

“Abu Muwayhiba, aku telah diberi anak kunci isi dunia ini serta kekekalan hidup di dalamnya, sesudah itu surga. Aku disuruh memilih ini atau bertemu dengan Tuhan dan surga.”

 

Kata Abu Muwayhiba:

 

“Demi ayah bundaku! Ambil sajalah kunci isi dunia ini dan hidup kekal di dalamnya, kemudian surga.”

 

“Tidak, Abu Muwayhiba”, kata Muhammad. “Aku memilih kembali menghadap Tuhan dan surga.”

 

Abu Muwayhiba bercerita apa yang telah dilihat dan apa yang telah didengarnya, sebab Nabi mulai menderita sakit ialah keesokan harinya setelah malam itu ia pergi ke Baqi’. Orang jadi makin cemas, dan pasukan tidak jadi bergerak. Memang benar, bahwa hadis yang dibawa melalui Abu Muwayhiba ini oleh beberapa ahli sejarah diterima dengan agak sangsi. Disebutkan bahwa bukan karena sakit Muhammad itu saja yang membuat pasukan tidak jadi bergerak ke Palestina, tetapi karena banyaknya orang yang menggerutu, yang disebabkan oleh penunjukkan Usama dalam usia semuda itu sebagai pemimpin pasukan yang terdiri dari Orang-orang penting dalam kalangan Anshar dan Muhajirin yang mulamula. Itulah yang lebih banyak mempengaruhi tidak berangkatnya pasukan itu daripada sakitnya Muhammad. Dalam memberikan pendapatnya ahli-ahli sejarah itu berpegang pada peristiwa-peristiwa yang sudah pembaca ikuti dalam bagian (bab) ini. Kalau kita tidak akan mendebaf mereka yang berpendapat seperti apa yang diceritakan oleh Abu Muway: hiba secara terperinci itu, kita pun mendapat alasan akan menolak dasar kejadian-kejadian itu, dan menolak kepergian Nabi ke Baqi’ I-Gharqad serta memintakan ampunan buat penghuni kubur, juga adanya perasaag yang kuat akan dekatnya waktu, yaitu waktu menghadap Tuhan. Ilmu pengetahuan masa kita sekarang ini pun tidak menolak adanya spiritism3 sebagai salah satu gejala psychis. Perasaan yang kuat akan dekatnya ajal itu sudah banyak dialami orang, sehingga siapa saja tidak sedikit orang yang dapat menceritakan apa yang diketahuinya tentang peristiwa-peristiwa itu. Juga adanya hubungan antara yang hidup dengan yang mati, antara kesatuan masa lampau dengan masa datang, kesatuan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dewasa ini sudah pula dapat ditentukan, meskipun — menurut kodrat bentuk kita — masih terbatas sekali kita akan dapat mengungkapkan keadaan sebenarnya.

 

Kalau sudah itu yang dapat kita lihat sekarang dan sudah diakui oleh ilmu pengetahuan, tidak ada alasan kita akan menolak dasar peristiwa seperti apa yang diceritakan oleh Abu Muwayhiba itu, juga tak ada alasan kita dapat menolak adanya apa yang sudah dapat dipastikan mengenai komunikasi Muhammad dalam arti rohani dan spiritual dengan alam semesta ini demikian rupa, sehingga ia dapat menangkap persoalan itu sekian kali lipat daripada yang biasa ditangkap oleh para ahli dalam bidang ini.

 

Bergurau Sekalipun dalam Keadaan Sakit

 

Keesokan harinya bila tiba waktunya ia ke tempat Aisyah, dilihatnya Aisyah sedang mengeluh karena sakit kepala: “Aduh kepalaku!” Tetapi ia berkata — sedang dia sudah mulai merasa sakit: “Tetapi akulah, Aisyah, yang merasa sakit kepala.”

 

Tetapi sakitnya belum begitu keras dalam arti ia harus berbaring di tempat tidur atau akan merintanginya pergi kepada keluarga dan istriIStrinya untuk sekadar mencumbu dan bergurau. Setiap didengarnya ia mengeluh Aisyah juga mengulangi lagi mengeluh sakit kepala.

 

Lalu kata Nabi: “Apa salahnya kalau engkau yang mati lebih dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu, menyembahyangkan kau dan menguburkan kau!”

 

Karena senda-gurau itu cemburu kewanitaannya timbul dalam hati Aisyah yang masih muda itu, sekaligus cintanya akan gairah hidup ini, lalu katanya:

 

“Dengan begitu yang lain mendapat nasib baik. Demi Allah, dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau menyuruh aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin baru dengan istriIstrimu.”

 

Nabi tersenyum, meskipun rasa sakitnya tidak mengizinkan ia terus bergurau.

 

Setelah rasa sakitnya terasa agak berkurang, ia mengunjungi istriIstrinya seperti biasa. Tetapi kemudian sakitnya terasa kambuh lagi, dan terasa lebih keras lagi. Ketika ia sedang berada di rumah Maimunah ia Sudah tidak dapat lagi mengatasinya. la merasa perlu mendapat perawatan. Ketika itu dipanggilnya istri-istrinya ke rumah Maimunah. Dimintanya izin kepada mereka, setelah melihat keadaannya begitu, bahwa ia akan dirawat di rumah Aisyah. Istri-istrinya mengizinkan ia pindah.

 

Dengan berikat kepala, ia keluar sambil bertopang dalam jalannya itu kepada Ali b. Abi Talib dan kepada “Abbas pamannya. Ia sampai di rumah Aisyah dengan kaki yang sudah terasa lemah sekali.

 

Demam Keras

 

Pada hari-hari pertama ia jatuh sakit, demamnya sudah terasa makin keras, sehingga ia merasa seolah seperti dibakar. Sungguhpun begitu, ketika demamnya menurun ia pergi berjalan ke mesjid untuk memimpin sembahyang. Hal ini dilakukannya selama berhari-hari. Tapi tidak lebih dari sembahyang saja. Ia sudah tidak kuat duduk bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya. Namun begitu apa yang dibisikkan orang bahwa dia menunjuk anak yang masih muda belia di atas kaum Muhajirin dan Anshar yang terkemuka untuk menyerang Rumawi, terdengar juga oleh Nabi. Meskipun dari hari ke hari sakitnya bertambah juga, tapi dengan adanya bisik-bisik demikian itu rasanya perlu ia bicara dan berpesan kepada mereka. Dalam hal ini ia berkata kepada istri-istri dan keluarganya:

 

“Tuangkan kepadaku tujuh kirbat air dari pelbagai sumur, supaya aku dapat menemui mereka dan berpesan’! kepada mereka.”

 

Pergi ke Mesjid

 

Lalu dibawakan air dari beberapa sumur, dan setelah oleh istriistrinya ia didudukkan di dalam pasu kepunyaan Hafsha, ketujuh kirbat air itu disiramkan kepadanya. Kemudian katanya: Cukup. Cukup.

 

Lalu ia mengenakan pakaian kembali, dan dengan berikat kepala ia pergi ke mesjid. Setelah duduk di atas mimbar, ia mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, kemudian mendoakan dan memintakan ampunan buat sahabat-sahabatnya yang telah gugur di Uhud. Banyak sekali ia mendoakan mereka itu. Kemudian katanya:

 

“Saudara-saudara.” Laksanakanlah keberangkatan Usama itu. Demi hidupku. Kalau kamu telah berbicara tentang kepemimpinannya, tentang kepemimpinan ayahnya dulu pun juga kamu telah berbicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan, seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan.”

 

Muhammad diam sebentar. Sementara itu orang-orang juga diam, tiada yang bicara. Kemudian ia meneruskan berkata lagi:

 

“Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara di dunia ini atau di sisiNya, maka ia memilih di sisi Tuhan.”

 

Muhammad diam lagi, dan orang-orang juga diam tidak bergerak. Tetapi Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan kata-kata terakhir itu adalah dirinya. Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya persahabatannya dengan Nabi, ia tak dapat menahan air mata dan menangis sambil berkata:

 

“Tidak. Bahkan tuan akan kami tebus dengan jiwa kami dan anakanak kami.”

 

Kuatir rasa terharu Abu Bakr ini akan menular kepada yang lain, Muhammad memberi isyarat kepadanya:

 

“Sabarlah, Abu Bakr.”

 

Kemudian dimintanya supaya semua pintu yang menuju ke mesjid ditutup, kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Setelah semua pintu ditutup, katanya lagi:

 

“Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Sekiranya ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan) maka Abu Bakrlah khalilku, tetapi persahabatan dan persaudaraan adalah dalam iman, sampai tiba saatnya Tuhan mempertemukan kita.”

 

Pesannya kepada Muhajirin dan Anshar

 

Bilamana Muhammad turun dari mimbar, sedianya akan kembali pulang ke rumah Aisyah, tapi ia lalu menoleh kepada orang banyak itu dan kemudian katanya: |

 

“Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar itu baik-baik,

 

Sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang Anshar akan seperti Itu juga keadaannya, tidak bertambah. Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan maafkanlah! kesalahan mereka.”

 

Ia kembali ke rumah Aisyah. Tetapi energi yang digunakannya selama ia dalam keadaan sakit itu, telah membuat sakitnya terasa lebih berat lagi. Sungguh suatu pekerjaan berat, terutama buat orang yang sedang menderita demam, ia keluar juga setelah disirami tujuh kirbat air, ia keluar dengan membawa beban pikiran yang sangat berat: Pasukan Usama, nasib Anshar kemudian hari, nasib orang-orang Arab yang kini telah dipersatukan oleh agama baru itu dengan persatuan yang sangat kuat. Itu pula sebabnya, tatkala keesokan harinya ia berusaha hendak bangun memimpin sembahyang seperti biasanya, ternyata ia sudah tidak kuat lagi. Ketika itulah ia berkata

 

“Suruh Abu Bakr memimpin urang-orang sembahyang.”

 

Aisyah ingin sekali Nabi sendiri yang melaksanakan salat mengingat bahwa tampaknya sudah berangsur sembuh.

 

“Tapi Abu Bakr orang yang lembut hati, suaranya lemah dan suka menangis kalau sedang membaca Quran”, kata Aisyah.

 

Aisyah pun mengulangi kata-katanya itu. Tetapi dengan suara lebih keras Muhammad berkata lagi, dengan sakit yang masih dirasakannya:

 

“Sebenarnya kamu ini seperti perempuan-perempuan yang di sekeliling Yusuf. Suruhlah dia memimpin orang-orang bersembahyang!”

 

Kemudian Abu Bakr datang memimpin sembahyang seperti diperintahkan oleh Nabi.

 

Pada suatu hari karena Abu Bakr tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umarlah yang dipanggil untuk memimpin orang-orang bersembahyang sebagai pengganti Abu Bakr. Oleh karena Umar orang yang punya suara lantang, maka ketika mengucapkan takbir di mesjid, suaranya terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.

 

“Mana Abu Bakr?” tanyanya. “Allah dan kaum Muslim.s tidak menghendaki yang demikian.”

 

Dengan demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr sebagai penggantinya kemudian, karena memimpin orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda pertama untuk menggantika kedudukan Rasulullah.

 

Percakapan dengan Fatimah Anaknya

 

Tatkala sakitnya sudah makin keras, panas demamnya makin memuncak, istri-istri dan tamu-tamu yang datang menjenguknya, bila meletakkan tangan di atas selimut yang dipakainya, terasa sekali panas demam yang sangat meletihkan itu. Dan Fatimah putrinya, setiap hari datang menengok. Ia sangat mencintai putrinya itu, cinta seorang ayah kepada anak yang hanya tinggal satu-satunya sebagai keturunan. Apabila ia datang menemui Nabi, ia menyambutnya dan menciumnya, lalu didudukkannya di tempat ia duduk. Tetapi setelah sakitnya demikian payah, putrinya itu datang menemuinya dan mencium ayahnya.

 

“Selamat datang, putriku”, katanya. Lalu didudukkannya ia di sampingnya. Ada kata-kata yang dibisikkannya ketika itu, Fatimah lalu menangis. Kemudian dibisikkannya kata-kata lain. Fatimah pun jadi tertawa. Bila hal itu oleh Aisyah ditanyakan, ia menjawab:

 

“Sebenarnya saya tidak akan membuka rahasia Rasulullah s.a.w.”

 

Tetapi setelah Rasul wafat, ia mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh sakitnya sekali ini. Itu sebabnya Fatimah menangis. Kemudian dibisikkannya lagi, bahwa putrinya itulah dari keluarganya yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia tertawa.

 

Karena panas demam yang tinggi itu. sebuah bejana berisi air dingin diletakkan di sampingnya. Sekali-kali ia meletakkan tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke muka. Begitu tingginya suhu panas demam itu, kadang ia sampai tak sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali dengan keadaan yang sudah sangat payah sekali. Karena perasaan sedih yang menyanyat hati, pada suatu hari Fatimah berkata mengenai penderitaan ayahnya itu:

 

“Alangkah beratnya penderitaan ayah!”

 

“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini”, jawabnya.

 

Maksudnya ia akan meninggalkan dunia ini, dunia duka dan penderitaan.

 

Bermaksud Menuliskan Wasiat

 

Suatu hari sahabat-sahabatnya berusaha hendak meringankan pendeTitaannya itu dengan mengingatkan kepada nasehat-nasehatnya, bahwa Orang yang menderita sakit jangan mengeluh. Ia menjawab, bahwa apa yang dialaminya dalam hal ini lebih dari yang harus dipikul oleh dua orang. Dalam keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak orang, la berkata:

 

“Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah sesat.”

 

Dari orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit Rasulullah S.a.w. sudah sangat gawat: pada kita sudah ada Quran, maka sudah Cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang menyebutkan, bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di kalangan yang hadir itu terdapat perselisihan.

 

Ada yang mengatakan: Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita tidak sesat. Ada pula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah. Setelah melihat pertengkaran itu, Muhammad berkata: “Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di hadapan

 

Nabi.” Tetapi Ibn “Abbas masih berpendapat, bahwa mereka membuang

 

waktu karena tidak segera menuliskan apa yang hendak dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya Umar masih tetap dengan pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman:

 

“Tiada sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu.”

 

Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah tersiar dari mulut ke mulut, sehingga akhirnya Usama dan anak buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke Medinah. Bila Usama kemudian masuk menemui Nabi di rumah Aisyah, Nabi sudah tidak dapat berbicara. Tetapi setelah dilihatnya Usama, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya kepada

 

Usama sebagai tanda mendoakan.

 

Tidak Mau Diobati Keluarganya

 

Melihat keadaannya yang demikian keluarganya berpendapat hendak membantunya dengan pengobatan. Asma’ — salah seorang kerabat Maimunah — telah menyediakan semacam minuman, yang pernah dipelajari cara pembuatannya selama ia tinggal di Abisinia. Tatkala Nabi sedang dalam keadaan pingsan karena demamnya itu, mereka mengambil kesempatan menegukkan minuman itu ke mulutnya. Bila ia sadar kembali ia bertanya:

 

“Siapa yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan itu?”

 

“Kami kuatir Rasulullah menderita sakit radang selaput dada”, kata

 

“Abbas pamannya. “Allah tidak akan menimpakan penyakit yang demikian itu kepadaku.”

 

Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam rumah — supaya meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang berpuasa. Muhammad memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya mulai terasa berat. Kuatir bila ia Meninggal harta masih di tangan, maka dimintanya supaya uangnya itu disedekahkan. Tetapi karena kesibukan mereka merawat dan mengurus selama sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka lupa melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum hari wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia bertanya kepada mereka: Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu? Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya. Kemudian dimintanya supaya dibawakan. Bilamana uang itu sudah diletakkan di tangan Nabi, ia berkata:

 

“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhan, sekiranya ia menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya.”

 

Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan kepada fakir miskin di kalangan Muslimin. 

 

Malam itu Muhammad dalam keadaan tenang. Panas demamnya Sudah mulai turun, sehingga seolah karena obat yang diberikan keluarganya itulah yang sudah mulai bekerja dan dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu ia dapat pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke mesjid dengan berikat kepala dan bertopang kepada Ali b. Abi Talib dan Fadzl bin’I-“Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang. Setelah kaum Muslimin yang sedang melakukan Salat itu melihat Nabi datang, karena rasa gembira yang luar biasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan salatnya. Bukan main Muhammad merasa gembira melihat semua itu.

 

Abu Bakr merasa apa yang telah dilakukan mereka itu, dan yakinlah dia bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau tidak karena Rasulullah. Ia surut dari tempat sembahyangnya untuk memberikan tempat kepada Muhammad. Tetapi Muhammad mendorongnya dari belakang seraya katanya: Pimpin terus orang bersembahyang. Dia sendiri kemudian duduk di samping Abu Bakr dan sembahyang sambil duduk di Sebelah kanannya.

 

Selesai sembahyang ia menghadap kepada orang banyak, dan kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar sampai ke luar mesjid:

 

“Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun datang seperti malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah kiranya kamu berlindung kepadaku tentang apa pun. Demi Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu, kecuali yang dihalalkan oleh Quran, juga aku tidak akan mengharamkan sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Quran. Laknat Tuhan kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai mesjid.”

 

Melihat tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju, bukan main gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usama b. Zaid datang menghadap kepadanya dan minta izin akan membawa pasukan ke Syam, dan Abu Bakr pun datang pula menghadap dengan mengatakan:

 

“Rasulullah!! Saya lihat tuan sekarang dengan karunia dan nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah bagian Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?”

 

Nabi pun mengizinkan. Abu Bakr segera berangkat pergi ke Sunh di luar kota Medinah — tempat tinggal istrinya. Umar dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing. Kaum Muslimin sudah mulai terpencarpencar lagi. Mereka semua dalam suasana suka-cita dan gembira sekali, – sebab sebelum itu mereka semua dalam kesedihan, berwajah suram setelah mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya semakin keras sampai ia pingsan.

 

Sekarang ia kembali pulang ke rumah Aisyah. Senang sekali hatinya melihat kaum Muslimin sudah memenuhi mesjid dengan hati bersemarak, meskipun ia masih merasakan badannya sangat lemah sekali.

 

Dipandangnya laki-laki itu oleh Aisyah, dengan kalbu yang penuh pemujaan akan kebesaran orang itu, dan sekarang penuh rasa iba hati karena ia lemah, ia sakit. ia ingin sekiranya ia dapat mencurahkan segala yang ada dalam dirinya untuk mengembalikan tenaga orang itu, mengembalikan hidupnya.

 

Kesadaran Sebelum Wafat

 

Akan tetapi, kiranya perginya Nabi ke mesjid itu adalah suatu kesadaran batin, yang akan disusul oleh kematian. Setelah memasuki yumah, tiap sebentar tenaganya bertambah lemah juga. Ia melihat mauf sudah makin mendekat. Tidak sangsi ia bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa saat saja lagi. Ya, kiranya apakah yang diperhatikannya pada detik-detik yang masih ada sebelum ia berpisah dengan dunia ini? Adakah ia mengenangkan hidupnya sejak diutus Tuhan sebagai pembimbing dan sebagai nabi, mengenangkan segala yang pernah dialaminya selama itu, kenikmatan yang diberikan Tuhan kepadanya sampai selesai, kemudian hati merasa lega karena kalbu orang-orang Arab itu sudah terbuka menerima agama yang hak? Ataukah selama itu ia tinggal hanya membaca istighfar — meminta pengampunan Tuhan dan dengan seluruh jiwa ia menghadapkan diri seperti yang biasanya dilakukan selama dalam hidupnya? Ataukah juga dalam saat-saat terakhir itu ia harus menahan penderitaan sakratulmaut sehingga tidak lagi punya tenaga akan mengingat?

 

Dalam hal ini beberapa sumber masih sangat berlain-lainan sekali keterangannya. Sebagian besar menyebutkan bahwa pada hari musim panas yang terjadi di seluruh semenanjung itu — 8 Juni 632 -ia minta disediakan sebuah bejana berisi air dingin dan dengan meletakkan tangan ke dalam bejana itu ia mengusapkan air ke wajahnya, dan bahwa ada seorang laki-laki dari keluarga Abu Bakr datang ke tempat Aisyah dengan sebatang siwak di tangannya. Muhammad memandangnya demikian rupa, yang menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh Aisyah benda yang di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah dikunyah (ujungnya) sampai lunak diberikannya kepada Nabi. Kemudian dengan itu ia menggosok dan membersihkan giginya. Sementara ia sedang dalam sakratulmaut, ia menghadapkan diri kepada Allah sambil berdoa:

 

“Allahumma ya Allah! Tolonglah aku dalam sakratulmaut ini.”

 

Aisyah berkata — yang pada waktu itu kepala Nabi berada di pangkuannya. “Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata:

 

“Ya Handai Tertinggi! dari surga.”

 

Kataku: “Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi yang mengutusmu dengan Kebenaran.” Maka Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada’ dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang lain. Dalam kurangnya pengalamanku”? dan usiaku yang masih muda. Rasulullah s.a.w. berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri dan bersamasama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku.”

 

Benarkah Muhammad sudah meninggal? Itulah yang masih menjadi perselisihan orang ketika itu, sehingga hampir-hampir timbul fitnah di kalangan mereka dengan segala akibat yang akan menjurus kepada perang saudara, kalau tidak karena Tuhan yang menghendaki kebaikan juga untuk mereka dan agama yang sebenarnya ini.

 

Menggemparkan Muslimin -Umar tidak Percaya Rasul wafat — Kedatangan Abu Bakr — Benarkah Muhammad Sudah Wafat? — Pasukan Usama Kembali ke Medinah — Sambutan Abu Bakr kepada Anshar — Ikrar Sagifa — Ikrar Umum -Pidato Khulafa’ur-Rasyidin yang Pertama — Di Mana Rasul Akan Dimakamkan? – Nabi Dimandikan — Perpisahan dengan Jenazah yang Suci — Detik-detik yang Khidmat dalam Sejarah – Kegoncangan Orang-orang yang Lemah Iman – Aisyah di Ruangan sebelah Makam — Menyelamatkan Pasukan Usama — Para Nabi Tidak Mewariskan — Warisan Rohani Terbesar

 

Berita Kematian Menggemparkan Muslimin

 

NABI telah memilih Handai Tertinggi di rumah Aisyah dengan kepala di pangkuannya. Kemudian Aisyah meletakkan kepalanya di atas bantal. Ia berdiri, dan bersama-sama dengan wanita-wanita lain — yang segera datang begitu berita sampai kepada mereka — ia memukul-mukul mukanya Sendiri. Dengan peristiwa itu kaum Muslimin yang sedang berada dalam mesjid sangat terkejut sekali, sebab ketika paginya mereka melihat Nabi dari segalanya menunjukkan, bahwa ia sudah sembuh. Itu pula sebabnya Abu Bakr pergi mengunjungi istrinya Bint Kharija di Sunh.

 

Umar tidak Percaya Rasul Wafat

 

Setelah mengetahui hal itu cepat-cepat Umar ke tempat jenazah disemayamkan. Ia tidak percaya bahwa Rasulullah sudah wafat. Ketika dia datang, dibukanya tutup mukanya. Ternyata ia sudah tidak bergerak lagi. Umar menduga bahwa Nabi sedang pingsan. Jadi tentu akan siuman lagi. Dalam hal ini sia-sia saja Mughira hendak meyakinkan Umar atas kenyataan yang pahit ini. Ia tetap berkeyakinan, bahwa Muhammad tidak mati. Oleh karena Mughira tetap juga mendesak, ia berkata:

 

“Engkau dusta!”

 

Kemudian ia keluar ke mesjid bersama-sama sambil berkata:

 

“Ada orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah s.a.w. lelah wafat. Tetapi, demi Allah sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin “Imran. Ia telah menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka setelah dikatakan dia sudah mati. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong!”

 

Teriakan Umar yang datang bertubi-tubi ini telah didengar oleh kaum Muslimin di mesjid. Mereka jadi seperti orang kebingungan. Memang, kalau memang benar Muhammad telah berpulang, alangkah pilunya hati! Alangkah gundahnya perasaan mereka yang pernah melihatnya, pernah mendengarkan tutur katanya, orang-orang yang beriman kepada Allah yang telah mengutusnya membawa petunjuk dan agama yang benar! Rasa gundah dan kesedihan yang sungguh membingungkan, sungguh menyayat kalbu! Apabila Muhammad telah pergi menghadap Tuhan — seperti kata Umar — ini sungguh membingungkan. Dan menunggu dia kembali lagi seperti kembalinya Musa, lebih-lebih lagi ini mengherankan.

 

Mereka semua datang mengerumuni Umar, lebih mempercayainya dan lebih yakin, bahwa Rasulullah tidak meninggal. Belum selang lama tadi mereka bersama-sama, mereka melihatnya dan mendengar suaranya yang keras dan jelas, mendengar doanya dan pengampunan yang dimohonkannya. Betapa ia akan meninggal, padahal ia adalah Khalilullah yang dipilihNya untuk menyampaikan risalah, risalah yang sekarang sudah dianut oleh Arab seluruhnya, tinggal lagi Kisra dan Heraklius yang akan menganut Islam! Betapa ia akan meninggal, padahal dengan kekuatannya itu selama dua puluh tahun terus-menerus ia telah menggoncangkan dunia dan telah menimbulkan suatu revolusi rohani yang paling hebat yang pernah dikenal sejarah!

 

Tetapi di sana wanita-wanita masih juga memukul-mukul muka sendiri sebagai tanda, bahwa ia telah meninggal. Sungguhpun begitu Umar di mesjid masih juga terus menyebutkan bahwa dia tidak wafat, dia sedang pergi kepada Tuhan seperti Musa bin “Imran, dan mereka yang berpendapat bahwa ia sudah meninggal, mereka itu golongan orang-orang munafik, orang munafik, yang tangan dan kakinya oleh Muhammad nanti akan dihantamnya setelah ia kembali. Mana yang mesti dipercaya oleh kaum Muslimin? Mula-mula mereka cemas sekali. Kemudian kata-kata Umar itu masih menimbulkan harapan dalam hati mereka, karena Muhammad masih akan kembali. Hampir saja angan-angan mereka itu mereka percayai, menggambarkan dalam hati mereka sendiri hal-hal yang hampir-hampir pula membawa mereka jadi puas karenanya.

 

Kedatangan Abu Bakr

 

Sementara mereka dalam keadaan begitu tiba -tiba Abu Bakr datang: ia segera kembali dari Sunh setelah berita sedih itu diterimanya. Ketika dilihatnya Muslimin demikian, dan Umar sedang berpidato, ia tidak berhenti lama-lama di tempat itu melainkan terus ke rumah Aisyah tanpa menoleh lagi ke kanan-kiri. Ia minta izin akan masuk, tapi dikatakan kepadanya, orang tidak perlu minta izin untuk hari ini.

 

Bila ia masuk, dilihatnya Nabi di salah satu bagian dalam rumah itu sudah diselubungi dengan burd hibara.! Ia menyingkapkan selubung itu dari wajah Nabi dan setelah menciumnya ia berkata:

 

“Alangkah sedapnya di waktu engkau hidup, alangkah sedapnya pula di waktu engkau mati.”

 

Kemudian kepala Nabi diangkatnya dan diperhatikannya paras mukanya, yang ternyata memang menunjukkan ciri-ciri kematian.

 

“Demi ibu-bapaku.? Maut yang sudah ditentukan Tuhan kepadamu sekarang sudah sampai kaurasakan. Sesudah itu takkan ada lagi maut menimpamu!”

 

Kemudian dikembalikannya kepala itu ke bantal, ditutupkannya kembali kain burd itu ke mukanya. Sesudah itu ia keluar. Ternyata Umar masih bicara dan mau meyakinkan orang bahwa Muhammad tidak meninggal. Orang banyak memberikan jalan kepada Abu Bakr.

 

“Sabar, sabarlah Umar!” katanya setelah ia berada di dekat Umar. “Dengarkan!”

 

Tetapi Umar tidak mau diam dan juga tidak mau mendengarkan. Ia terus bicara. Sekarang Abu Bakr menghampiri orang-orang itu seraya memberi isyarat, bahwa dia akan bicara dengan mereka. Dan dalam hal ini Siapa lagi yang akan seperti Abu Bakr! Bukankah dia Ash-Siddig yang telah dipilih oleh Nabi dan sekiranya Nabi akan mengambil orang sebagai teman kesayangan tentu dialah teman kesayangannya?! Oleh karena itu Cepat-cepat orang memenuhi seruannya itu dan Umar ditinggalkan.

 

Setelah mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Abu Bakr berkata:

 

“Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati.”

 

Kemudian ia membacakan firman Tuhan:

 

“Muhammad hanyalah seorang rasul. Sebelum dia pun telah banyak rasul-rasul yang sudah lampau. Apabila dia mati atau terbunuh, apakah kamu akan berbalik ke belakang? Barangsiapa berbalik ke belakang, ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”’

 

Ketika itu Umar juga turut mendengarkan tatkala dilihatnya orang banyak pergi ke tempat Abu Bakr. Setelah didengarnya Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah ia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat. Adapun orang banyak, yang sebelum itu sudah terpengaruh oleh pendapat Umar, begitu mendengar bunyi ayat yang dibacakan Abu Bakr, baru mereka sadar, seolah mereka tidak pernah mengetahui, bahwa ayat ini pernah turun. Dengan demikian segala perasaan yang masih raguyagu bahwa Muhammad sudah berpulang ke rahmat Allah, dapat dihilangkan.

 

Benarkah Muhammad Sudah Wafat

 

Sudah melampaui bataskah Umar ketika ia berkeyakinan bahwa Muhammad tidak mati, ketika mengajak orang lain supaya juga yakin seperti dia? Tidak! Para sarjana sekarang mengatakan kepada kita, bahwa matahari akan terus memercik sepanjang abad sebelum tiba waktunya ia habis hilang samasekali. Akan percayakah orang pada pendapat ini tanpa ia ragukan lagi kemungkinannya? Matahari yang memancarkan sinar dan kehangatan sehingga karenanya alam ini hidup, bagaimana akan habis, bagaimana akan padam sesudah itu kemudian alam ini masih akan tetap ada? Muhammad pun tidak kurang pula dari matahari itu sinarnya, kehangatannya, kekuatannya. Seperti matahari yang telah melimpahkan jasa, Muhammad pun telah pula melimpahkan jasa. Seperti halnya dengan matahari yang telah berhubungan dengan alam, jiwa Muhammad pun telah pula berhubungan dengan semesta alam ini, dan selalu sebutan Muhammad s.a.w. mengharumkan alam ini keseluruhannya. Jadi tidak heran apabila Umar yakin bahwa Muhammad tidak mungkin akan mati. Dan memang benar ia tidak mati, dan tidak akan mati.

 

Pasukan Usama Kembali ke Medinah

 

Usama b. Zaid yang telah melihat Nabi pagi itu pergi ke mesjid, seperti orang-orang Islam yang lain dia pun menduga bahwa Nabi sudah sembuh. Bersama-sama dengan anggota pasukan yang hendak diberangkatkan ke Syam yang sementara itu pulang ke Medinah, sekarang ia kembali menggabungkan diri dengan markas yang di Jurf. Perintah sudah dikeluarkan supaya pasukannya itu siap-siap akan berangkat. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ada orang yang datang menyusulnya, dengan membawa berita sedih tentang kematian Nabi. Ia membatalkan niatnya akan berangkat dan pasukannya diperintahkan kembali semua ke Medinah. Ia pergi ke rumah Aisyah dan ditancapkannya benderanya di depan pintu rumah itu, sambil menantikan keadaan Muslimin.

 

Sebenarnya Muslimin sendiri dalam keadaan bingung. Setelah mereka mendengar pidato Abu Bakr dan yakin sudah bahwa Muhammad sudah wafat, mereka lalu terpencar-pencar. Golongan Anshar lalu menggabungkan diri kepada Sa’d b. “Ubada di Sagifa’ Banu Sa’ida, Ali b. Abi Talib, Zubair bin’I-“Awwam dan Talha b. “Ubaidillah menyendiri pula di rumah Fatimah: pihak Muhajirin, termasuk Usaid b. Hudzair dari Banu “Abd’lAsyhal menggabungkan diri kepada Abu Bakr.

 

Sementara Abu Bakr dan Umar dalam keadaan demikian, tiba-tiba ada orang datang menyampaikan berita kepada mereka, bahwa Anshar telah menggabungkan diri kepada Sa’d b. “Ubada, dengan menambahkan bahwa: Kalau ada masalah yang perlu diselesaikan dengan mereka, segera Susullah mereka, sebelum keadaan jadi berbahaya. Rasulullah s.a.w. masih di dalam rumah, belum lagi selesai (dimakamkan) dan keluarganya Juga sudah menutupkan pintu.

 

… Baiklah”, kata Umar menujukan kata-katanya kepada Abu Bakr. Kita berangkat ke tempat saudara-saudara kita dari Anshar itu, supaya dapat kita lihat keadaan mereka.”

 

Ketika di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan dua orang baikbaik dari kalangan Anshar, yang kemudian menceritakan kepada pihak Muhajirin itu tentang adanya orang-orang yang sedang mengadakan Persepakatan.

 

“Tuan-tuan mau ke mana?” tanya dua orang itu.

 

Setelah diketahui bahwa mereka akan menemui orang-orang Anshar, kedua orang itu berkata:

 

“Tidak ada salahnya tuan-tuan tidak mendekati mereka. Saudara-saudara Muhajirin, selesaikanlah persoalan tuan-tuan.”

 

“Tidak, kami akan menemui mereka”, kata Umar.

 

Lalu mereka meneruskan perjalanan sampai di Serambi Banu Sa’ida. Di tengah-tengah mereka itu ada seorang laki-laki yang sedang berselubung.

 

“Siapa ini?” tanya Umar bin’l-Khattab. “Sa’d b. “Ubada”, jawab mereka. “Dia sedang sakit.”

 

Setelah pihak Muhajirin duduk, salah seorang dari Anshar berpidato. Sesudah mengucapkan syukur dan puji kepada Tuhan ia berkata:

 

“Kemudian daripada itu. Kami adalah Ansharullah dan pasukan Islam, dan kalian dari kalangan Muhajirin sekelompok kecil dari kami yang datang ke mari mewakili golongan tuan-tuan. Ternyata mereka itu mau menggabungkan kami dan mengambil hak kami serta mau memaksa kami.”

 

Sambutan Abu Bakr kepada Anshar

 

Yang demikian ini memang merupakan jiwa Anshar sejak masa hidup Nabi. Oleh karena itu, begitu Umar mendengar kata-kata tersebut ia ingin segera menangkisnya. Tetapi oleh Abu Bakr ditahan, sebab sikapnya yang keras sangat dikuatirkan.

 

“Sabarlah, Umar!” katanya. Kemudian ia memulai pembicaraannya, ditujukan kepada Anshar:

 

“Saudara-saudara! Kami dari pihak Muhajirin orang yang pertama menerima Islam, keturunan kami baik-baik, keluarga kami terpandang, kedudukan kami baik pula. Di kalangan Arab kamilah yang banyak memberikan keturunan, dan kami sangat sayang kepada Rasulullah. Kami sudah Islam sebelum tuan-tuan dan di dalam Quran juga kami didahulu-: kan dari tuan-tuan, seperti dalam firman Tuhan:

 

“Orang-orang yang terdahulu dan mula-mula (masuk Islam), dari Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam melakukan kebaikan.” Jadi kami Muhajirin dan tuan-tuan adalah Anshar, saudara-saudara kami seagama, bersama-sama menghadapi rampasan perang dan mengeluarkan pajak serta penolong-penolong kami dalam menghadapi musuh. Apa yang telah tuan-tuan katakan, bahwa segala kebaikan ada pada tuan-tuan, itu sudah pada tempatnya. Tuan-tuanlah dari seluruh penghuni bumi ini yang patut dipuji. Dalam hal ini orang-orang Arab itu hanya mengenal lingkungan Quraisy ini. Jadi dari pihak kami para amir dan dari pihak tuan-tuan para wazir.”?

 

Ketika itu salah seorang dari kalangan Anshar ada yang marah, lalu berkata:

 

“Saya tongkat lagi senjata.’ Saudara-saudara Quraisy, dari kami seorang amir dan dari tuan-tuan juga seorang amir.”

 

“Dari kami para amir dan dari tuan-tuan para wazir,” kata Abu Bakr. “Saya menyetujui salah seorang dari yang dua ini untuk kita. Berikanlah ikrar tuan-tuan kepada yang mana saja yang tuan-tuan sukai.”

 

Lalu ia mengangkat tangan Umar bin’l-Khattab dan tangan Abu “Ubaida bin’I-Jarrah, sambil dia duduk di antara dua orang itu. Lalu timbul suara-suara ribut dan keras. Hal ini dikuatirkan akan membawa pertentangan. Ketika itu Umar lalu berkata dengan suaranya yang lantang:

 

“Abu Bakr, bentangkan tanganmu!”

 

Abu Bakr membentangkan tangan dan dia diikrarkan seraya kata Umar:

 

Ikrar Saqifa

 

“Abu Bakr, bukankah Nabi sudah menyuruhmu, supaya engkaulah yang memimpin Muslimin bersembahyang? Engkaulah penggantinya (khalifah). Kami akan mengikrarkan orang yang paling disukai oleh Rasulullah di antara kita semua ini.”

 

Kata-kata ini ternyata sangat menyentuh hati Muslimin yang hadir, karena benar-benar telah dapat melukiskan kehendak Nabi sampai pada hari terakhir orang melihatnya. Dengan demikian pertentangan di kalangan mereka dapat dihilangkan. Pihak Muhajirin datang memberikan ikrar, kemudian pihak Anshar juga memberikan ikrarnya.

 

Ikrar Umum

 

Bilamana keesokan harinya Abu Bakr dusuk di atas mimbar, Umar bin’I-Khattab tampil berbicara sebelum Abu Bakr, dengan mengatakan – setelah mengucapkan syukur dan puji kepada Tuhan:

 

“Kepada saudara-saudara kemarin saya sudah mengucapkan kata-kata yang tidak terdapat dalam Kitabullah, juga bukan suatu pesan yang diberikan Rasulullah kepada saya. Tetapi ketika itu saya berpendapat, bahwa Rasulullah yang akan mengurus soal kita, sebagai orang terakhir yang tinggal bersama-sama kita. Tetapi Tuhan telah meninggalkan Quran buat kita, yang juga menjadi penuntun Rasul-Nya. Kalau kita berpegang pada Kitab itu Tuhan menuntun kita yang juga telah menuntun Rasulullah. Sekarang Tuhan telah menyatukan persoalan kita di tangan sahabat Rasulullah — s.a.w. — yang terbaik di antara kita dan salah seorang dari dua orang, ketika keduanya itu berada dalam gua. Maka marilah kita ikrarkan dia.”

 

Ketika itu orang lalu memberikan ikrarnya kepada Abu Bakr sebagai Ikrar Umar setelah Ikrar Sagifa.

 

Selesai ikrar kemudian Abu Bakr berdiri. Di hadapan mereka itu ia mengucapkan sebuah pidato yang dapat dipandang sebagai contoh yang sungguh bijaksana dan sangat menentukan. Setelah mengucap puji syukur kepada Tuhan Abu Bakr r.a. berkata:

 

Pidato Khulafa’ur-Rasyidin yang Pertama

 

“Kemudian, saudara-saudara. Saya sudah dijadikan penguasa atas kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepertayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya nanti saya berikan kepadanya — insya Allah, dan orang yang kuat, buat saya adalah lemah Sesudah haknya itu nanti saya ambil — insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada Suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana pada mereka.

 

Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasul maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian.”

 

Sementara kaum Muslimin sedang berlainan pendapat — kemudian kembali sependapat lagi dalam melantik Abu Bakr dalam Ikrar Sagifa kemudian Ikrar Umum — jenazah Nabi masih tetap di tempatnya di atas ranjang kematian dikelilingi oleh kerabat-kerabat dari pihak keluarga.

 

Selesai memberikan ikrar kepada Abu Bakr orang segera bergegas lagi hendak menyelenggarakan pemakaman Rasulullah. Dalam hal di mana akan dimakamkan, orang masih berbeda pendapat. Kalangan Muhajirin berpendapat akan dimakamkan di Mekah, tanah tumpah darahnya dan di tengah-tengah keluarganya. Yang lain berpendapat supaya dimakamkan di Bait’I-Magdis (Yerusalem) karena para nabi sebelumnya di sana dimakamkan. Saya tidak tahu bagaimana orang-orang ini berpendapat demikian, padahal Bait’I-Magdis pada waktu itu masih di tangan Rumawi dan sejak kejadian Mu’ta dan Tabuk, Rumawi dengan pihak Islam sedang dalam permusuhan, sehingga Rasulullah menyiapkan pasukan Usama untuk mengadakan pembalasan.

 

Di Mana Rasul Akan Dimakamkan?

 

Kaum Muslimin tak dapat menyetujui pendapat ini, juga mereka tidak setuju Nabi dimakamkan di Mekah. Mereka ini berpendapat supaya Nabi dimakamkan di Medinah, kota yang telah memberikan perlindungan dan pertolongan, dan kota yang mula-mula bernaung di bawah bendera Islam. Mereka berunding, di mana akan dimakamkan? Satu pihak mengatakan: dimakamkan di mesjid, tempat dia memberi khutbah dan bimbingan serta memimpin orang sembahyang, dan menurut pendapat mereka supaya dimakamkan di tempat mimbar atau di sampingnya. Tetapi pendapat demikian inikemudian ditolak, mengingat adanya keterangan berasal dari Aisyah, bahwa ketika Nabi sedang dalam sakit keras, ia mengenakan kain selubung hitam, yang sedang ditutupkan di mukanya, kadang dibukakan sambil ia berkata: “Laknat! Tuhan kepada suatu golongan yang mempergunakan pekuburan nabi-nabi sebagai mesjid.”

 

Kemudian Abu Bakr tampil memberikan keputusan kepada orang ramai itu dengan mengatakan:

 

“Saya dengar Rasulullah s.a.w. berkata — Setiap ada nabi meninggal, ia dimakamkan di tempat dia meninggal.”

 

Lalu diambil keputusan, bahwa pada letak tempat tidur ketika Nabi meninggal itu, di tempat itulah akan digali.

 

Nabi Dimandikan

 

Selanjutnya yang bertindak memandikan Nabi ialah keluarganya yang dekat. Yang pertama sekali Ali b. Abi Talib, lalu “Abbas b. “AbdilMuttalib serta kedua putranya, Fadzl dan Qutham serta Usama b. Zaid. Usama b. Zaid dan Syugran, pembantu Nabi, bertindak menuangkan air sedang Ali yang memandikannya berikut baju yang dipakainya. Mereka tidak mau melepaskan baju itu dari (badan) Nabi. Dalam pada itu mereka juga mendapatkan Nabi begitu harum, sehingga Ali berkata: “Demi ibu bapaku! Alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan di waktu mati.”

 

Karena itu juga beberapa Orientalis ada yang berpendapat, bahwa bau harum itu disebabkan Nabi selama hidupnya biasa memakai wangiwangian. Ia menganggap wangi-wangian itu sudah menjadi barang kesukaannya dalam kehidupan dunia ini.

 

Selesai dimandikan dengan mengenakan baju yang dipakainya itu, Nabi dikafani dengan tiga lapis pakaian: dua Shuhari’ dan satu pakaian jenis burd hibara dengan sekali dilipatkan. Selesai penyelenggaraan dengan cara demikian, jenazah dibiarkan di tempatnya. Pintu-pintu kemudian dibuka untuk memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin, yang memasuki tempat itu dari jurusan mesjid, untuk mengelilingi serta melepaskan pandangan perpisahan dan memberikan doa selawat kepada Nabi. Kemudian mereka keluar Iagi dengan membawa perasaan duka dan kepahitan yang dalam sekali, yang sangat menekan hati.

 

Ruangan itu telah menjadi penuh kembali tatkala kemudian Abu Bakr dan Umar masuk melakukan sembahyang bersama-sama Muslimin yang lain, tanpa ada yang bertindak selaku imam dalam sembahyang itu. Setelah orang duduk kembali dan keadaan jadi sunyi, Abu Bakr berkata:

 

“Salam kepadamu ya Rasulullah, beserta rahmat dan berkah Tuhan.” Kami bersaksi, bahwa Nabi dan Rasulullah telah menyampaikan risalah Tuhan, telah berjuang di jalan Allah sampai Tuhan memberikan pertolongan untuk kemenangan agama. Ia telah menunaikan janjinya, dan menyuruh orang menyembah hanya kepada Allah tidak bersekutu.”

 

Perpisahan dengan Jenazah yang Suci

 

Pada setiap kata yang diucapkan oleh Abu Bakr disambut oleh Muslimin dengan penuh syahdu dan khusyu: Amin! Amin!

 

Selesai bagian laki-laki melakukan sembahyang, setelah mereka keluar, masuk pula kaum wanita, dan setelah mereka, kemudian masuk pula anak-anak. Semua mereka itu, masing-masing membawa hati yang pedih, perasaan duka dan sedih menekan kalbu, karena mereka harus berpisah dengan Rasulullah, penutup para nabi.

 

Detik-detik yang Khidmat dalam Sejarah

 

Di hadapan saya sekarang — setelah lampau seribu tiga ratus tahun yang lalu — terbentang sebuah lukisan peristiwa khidmat dan syahdu yang telah memenuhi hati saya, dengan segala kerendahan hati dan hormat. Tubuh yang terbungkus kini terletak dalam sebuah sudut, dalam ruangan yang nantinya akan menjadi sebuah makam, dan ruangan yang tadinya dihuni oleh orang yang mengenal makna hidup, orang yang penuh rahmat, penuh cahaya. Tubuh yang suci ini, yang telah mengajak dan membimbing orang ke jalan yang benar, dan yang buat mereka telah menjadi teladan tertinggi tentang arti kebaikan dan kasih sayang, tentang ketangkasan dan harga diri, tentang keadilan dan kesadaran dalam menghadapi kekejaman serta segala tindakan tirani.

 

Orang yang banyak itu kini lalu dengan perasaan yang sudah remukredam, dengan hati yang sendu, hati yang tersayat pilu. Setiap pria, setiap wanita, setiap anak-anak — terhadap laki-laki yang sekarang memilih tempatnya di sisi Tuhan itu – mengenangkannya sebagai ayah, sebagai kawan setia dan sahabat, sebagai Nabi dan Rasulullah. Betapakah perasaan yang sekarang sedang rimbun memenuhi kalbu yang penuh Semarak iman itu, kalbu yang penuh prihatin akan rahasia hari esok Setelah Rasul wafat?! Lukisan peristiwa khidmat inilah yang sekarang terbentang di hadapan saya. Saya lihat. diri saya sedang tercengang menatapnya, dengan sepenuh hati akan keagungan yang penuh syahdu dan khidmat ini: hampir-hampir saya tak dapat melepaskan diri.

 

Kegoncangan Orang-orang yang Lemah Iman

 

Sudah sepantasnya pula apabila kaum Muslimin jadi kuatir. Sejak diumumkannya berita kematian Nabi di Medinah dan kemudian tersebar Pula sampai kepada kabilah-kabilah Arab di sekitar kota, pihak Yahudi dan Nasrani segera memasang mata dan telinga, sifat-sifat munafik mulai timbul, iman orang-orang Arab yang masih lemah pula goncang. Dalam bada itu orang-orang Mekah juga sudah siap-siap akan berbalik dari Islam, bahkan sudah mau bertindak demikian, sehingga “Attab b. Asid Wakil Nabi di Mekah merasa kuatir dan tidak menampakkan diri kepada mereka. Tepat sekali Suhail b. “Amr yang berada di tengah-tengah mereka Itu ketika ia tampil dan berkata — setelah menerangkan kematian Nabi bahwa Islam sekarang sudah bertambah kuat, dan siapa yang masih menyangsikan kami, kami penggal lehernya. Kemudian katanya lagi:

 

“Penduduk Mekah! Kamu adalah orang yang terakhir masuk Islam maka janganlah jadi orang yang pertama murtad! Demi Allah, ini adalah suatu anugerah dari Allah kepadamu sekalian, seperti kata Rasulullah s.a.w. — Belum jugakah mereka sadar dari kemurtadan mereka itu?”

 

Ada dua cara orang-orang Arab ketika itu dalam menggali kuburan: Pertama cara orang Mekah yang menggali kuburan dengan dasarnya yang rata, kedua cara orang Medinah yang menggali kuburan dengan dasarnya yang dilengkungkan. Abu “Ubaidah bin’lI-Jarrah misalnya, ia menggali cara Orang Mekah, sedang Abu Talha Zaid b. Sahl menggali kuburan cara Orang Medinah. Keluarga Nabi juga memperbincangkan cara mana kuburan itu akan digali. “Abbas paman Nabi segera mengutus dua orang, masing-masing supaya memanggil Abu “Ubaida dan Abu Talha. Yang diutus kepada Abu “Ubaida kembali tidak bersama dengan yang dipanggil, sedang yang diutus kepada Talha datang bersama-sama. Maka makam Rasulullah digali menurut cara Medinah.

 

Nabi Dikebumikan

 

Bilamana hari sudah senja, dan setclah kaum Muslimin selesai menjenguk tubuh yang suci itu serta mengadakan perpisahan yang terakhir, keluarga Nabi sudah siap pula akan menguburkannya. Mereka menunggu sampai tengah malam. Kemudian sehelai syal berwarna merah yang biasa dipakai Nabi dihamparkannya di dalam kuburan itu. Lalu ia diturunkan dan dikebumikan ke tempatnya yang terakhir oleh mereka yang telah memandikannya. Di atas itu lalu dipasang bata mentah kemudian kuburan itu ditimbun dengan tanah.

 

Dalam hal ini Aisyah berkata: “Kami mengetahui pemakaman Rasulullah s.a.w. ialah setelah mendengar suara-suara sekop pada tengah malam itu.”

 

Fatimah juga berkata seperti itu.

 

Upacara pemakaman itu terjadi pada malam Rabu 14 Rabiulawal, yakni dua hari setelah Rasul berpulang ke rahmatullah.

 

Sesudah itu Aisyah tinggal menetap di rumahnya dalam ruangan yang berdampingan dengan ruangan makam Nabi. Ia merasa bahagia di! samping tetangga yang sangat mulia itu.

 

Aisyah di Ruangan sebelah Makam

 

Setelah Abu Bakr wafat ia dimakamkan di samping Nabi, demikian juga Umar menyusul dimakamkan di sebelahnya lagi. Ada disebutkan, bahwa Aisyah berziarah ke ruangan makam itu tidak mengenakan kudung, sebab sebelum Umar dimakamkan, di sana hanya ayah dan suaminya. Tetapi setelah juga Umar dimakamkan, setiap ia masuk selalu berkudung dengan mengenakan pakaian lengkap.

 

Begitu selesai kaum Muslimin menyelenggarakan pemakaman Rasulullah, Abu Bakr memerintahkan pasukan Usama yang akan menyerbu Syam segera diteruskan sebagai pelaksanaan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Ada juga kaum Muslimin yang merasa tidak setuju dengan itu, seperti yang pernah terjadi ketika Nabi sedang sakit. Umar termasuk orang yang tidak setuju. Ia berpendapat supaya kaum Muslimin tidak bercerai-berai. Mereka harus tetap di Medinah, sebab dikuatirkan akan terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan. Tetapi dalam melaksanakan perintah Rasul Abu Bakr tidak pernah ragu-ragu. Dia pun menolak pendapat orang yang mengusulkan supaya mengangkat seorang komandan yang lebih tua usianya dari Usama dan lebih berpengalaman dalam perang.

 

Menyelamatkan Pasukan Usama

 

Dengan demikian pasukan di Jurf itu tetap disiapkan di bawah pimpinan Usama, dan Abu Bakr pergi melepaskannya. Ketika itu dimintanya kepada Usama supaya Umar dibebaskan dari tugas itu. Ia perlu tinggal di Medinah supaya dapat memberi nasihat kepada Abu Bakr.

 

Belum selang dua puluh hari setelah tentara berangkat, pihak Muslimin sudah dapat menyerang Balga’. Usama telah dapat mengadakan pembalasan buat kaum Muslimin dan ayahnya yang telah terbunuh di | Mu’ta dulu. Dalam peristiwa yang gemilang itu semboyan perang yang diucapkan ialah: “Untuk kemenangan, matilah!”’

 

Dengan demikian baik Abu Bakr maupun Usama telah dapat melaksanakan perintah Nabi. Ia kembali dengan pasukannya itu ke Medinah didahului panji yang oleh Rasulullah dulu diserahkan di tangannya — dengan menunggang kuda yang juga dulu dipakai ayahnya di Mu’ta sampai tewasnya.

 

Para Nabi Tidak Mewariskan

 

Setelah Nabi berpulang, Fatimah putrinya minta kepada Abu Bakr tanah peninggalan Nabi di Fadak dan di Khaibar diberikan kepadanya. Tetapi Abu Bakr menjawab dengan kata-kata ayahnya: “Kami, para nabi tidak mewariskan.? Apa yang kami tinggalkan buat sedekah” Kemudian kata Abu Bakr kepada Fatimah:

 

“Kalau ayahmu dulu memang sudah menghibahkan harta ini kepadamu, maka usulmu itu saya terima, dan saya laksanakan apa yang dimintanya itu.” Tetapi Fatimah menjawab bahwa tentang itu ayahnya tidak berkata apa-apa kepadanya hanya Umm Aiman yang mengatakan kepadanya bahwa yang demikian itulah yang dimaksudkan. Dalam hal ini Abu Bakr menekankan supaya Fadak dan Khaibar tetap dikembalikan ke baitulmal untuk kaum Muslimin.

 

Warisan Rohani Terbesar

 

Demikianlah, Muhammad pergi melepaskan dunia ini dengan tiada meninggalkan sesuatu kekayaan dunia yang fana kepada siapa pun. Ia pergi melepaskan dunia ini seperti ketika ia datang. Sebagai peninggalan ia telah memberikan agama yang lurus ini kepada umat manusia. Ia telah merintis jalan kebudayaan Islam yang maha besar, yang telah menaungi dunia sebelumnya, dan akan menaungi dunia kemudian. Ia telah me nanamkan ajaran Tauhid, menempatkan ajaran Tuhan yang tinggi di atas dan ajaran orang-orang kafir yang rendah di bawah. Kehidupan paganisma dalam segala bentuk dan penampilannya telah dikikis habis. Manusia sekarang diajaknya melakukan perbuatan yang baik dan takwa, bukart perbuatan dosa dan permusuhan. Kemudian ia meninggalkan Kitabullah buat manusia, sebagai rahmat dan petunjuk. Ia meninggalkan teladan yang tinggi, contoh nan indah. Contoh terakhir diberikannya kepada umat manusia, ketika dalam sakit, ia berkata kepada orang banyak:

 

“Wahai manusia! Barangsiapa punggungnya pernah kucambuk, punggungku, balaslah! Barangsiapa kehormatannya pernah kucela, ini kehormatanku, balaslah! Dan barangsiapa hartanya pernah kuambil, ini hartaku» ambillah! Janganlah takut akan terjadi permusuhan, karena itu bukar bawaanku.”

 

Bilamana ada orang yang pernah menuntut uang tiga dirham kepadanya, kepada orang itu diberikan pula gantinya. Kemudian ia melepaskan dunia ini dengan meninggalkan warisan rohani yang agung. yang selalu memancar di semesta dunia ini. Tuhan akan menyempurnakan ajaranNya, akan menolong agamaNya di atas semua agama, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak diakui. Semoga Allah memberi rahmat dan kedamaian kepadanya. Sallallahu “alaihi wa sallam.

 

MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung, yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu. Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan cahaya-Nya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian, bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan dasar kebudayaan satuSatunya yang akan menjamin kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi terpisahkan. Dua Kebudayaan: Islam dan Barat | Kalaupun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda Ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, — dan dalam hal ini sama seperti yang menjadi pegangan kebudayaan Barat masa kita sekarang, dan | kalaupun sebagai agama Islam berpegang pada pemikiran yang subjektif Ian pada pemikiran metafisika — namun hubungan antara ketentuanketentuan agama dengan dasar kebudayaan itu erat sekali. Soalnya ialah karena cara pemikiran yang metafisik dan perasaan yang subjektif di satu pihak, dengan kaedah-kaedah logika dan kemampuan ilmu pengetahuan di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu ikatan, yang mau tidak Mau memang perlu dicari sampai dapat ditemukan, untuk kemudian tetap menjadi orang Islam dengan iman yang kuat pula. Dari segi ini kebudayaan Islam berbeda sekali dengan kebudayaan Barat yang sekarang nenguasai dunia, juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya berbeda. Perbedaan kedua kebudayaan ini, antara yang satu dengan yang lain sebenarnya prinsip sekali, yang sampai menyebabkan dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak belakang.

 

Pertentangan Gereja dan Negara di Barat

 

Timbulnya pertentangan ini ialah karena alasan-alasan sejarah, seperti Sudah kita singgung dalam prakata dan kata pengantar cetakan kedua buku ini. Pertentangan di Barat antara kekuasaan agama dan kekuasaan temporal’ sebagai bangsa yang menganut agama Kristen — atau dengan bahasa sekarang — antara gereja dengan negara — menyebabkan keduanya itu harus berpisah, dan kekuasaan negara harus ditegakkan untuk tidak mengakui kekuasaan gereja. Adanya konflik kekuasaan itu ada juga pengaruhnya dalam pemikiran Barat secara keseluruhan. Akibat pertama dari pengaruh itu ialah adanya pemisahan antara perasaan manusia dengan pikiran manusia, antara pemikiran metafisik dengan ketentuan-ketentuan ilmu positif (knowledge of reality) yang berlandaskan tinjauan materialsma. Kemenangan pikiran materialisma ini besar sekali pengaruhnya terhadap lahirnya suatu sistem ekonomi yang telah menjadi dasar utama kebudayaan Barat.

 

Sistem Ekonomi Dasar Kebudayaan Barat

 

Sebagai akibatnya, di Barat telah timbul pula aliran-aliran yang hendak membuat segala yang ada di muka bumi ini tunduk kepada kehidupan dunia ekonomi. Begitu juga tidak sedikit orang yang ingin menempatkan sejarah umat manusia dari segi agamanya, seni, filsafat, cara berpikir dan pengetahuannya — dalam segala pasang surutnya pada berbagai bangsa — dengan ukuran ekonomi. Pikiran ini tidak terbatas hanya pada sejarah dan penulisannya, bahkan beberapa aliran filsafat Barat telah pula membuat pola-pola etik atas dasar kemanfaatan materi ini semata-mata. Sungguhpun aliran-aliran demikian ini dalam pemikirannya sudah begitu tinggi dengan daya ciptanya yang besar sekali, namun perkembangan pikiran di Barat itu telah membatasinya pada batas-batas keuntungan materi yang secara kolektif dibuat oleh pola-pola etik itu secara keseluruhan. Dan dari segi pembahasan ilmiah hal ini sudah merupakan suatu keharusan yang sangat mendesak.

 

Sebaliknya mengenai masalah rohani, masalah spiritual, dalam pandangan kebudayaan Barat ini adalah masalah pribadi semata, orang tidak perlu memberikan perhatian bersama untuk itu. Oleh karenanya membiarkan masalah kepercayaan ini secara bebas di Barat merupakan” suatu hal yang diagungkan sekali, melebihi kebebasan dalam soal etik. Sudah begitu rupa mereka mengagungkan masalah kebebasan etik itv dcmi kebebasan ekonomi yang sudah samasekali terikat oleh undang: undang. Undang-undang ini akan dilaksanakan oleh tentara atau oleh negara dengan segala kekuatan yang ada.

 

Kisuh Kebudayaan Barat Mencari Kebahagiaan Umat Manusia

 

Kebudayaan yang hendak menjadikan kehidupan ekonomi sebagai dasarnya, dan pola-pola etik didasarkan pula pada kehidupan ekonomi itu dengan tidak menganggap penting arti kepercayaan dalam kehidupan umum, dalam merambah jalan untuk umat manusia mencapai kebahagiaan seperti yang dicita-citakannya itu, menurut hemat saya tidak akan mencapai tujuan. Bahkan tanggapan terhadap hidup demikian ini sudah sepatutnya bila akan menjerumuskan umat manusia ke dalam penderitaan berat seperti yang dialami dalam abad-abad belakangan ini. Sudah seharusnya pula apabila segala pikiran dalam usaha mencegah perang dan mengusahakan perdamaian dunia tidak banyak membawa arti dan hasilnya pun tidak seberapa. Selama hubungan saya dengan saudara dasarnya adalah sekerat roti yang saya makan atau yang saudara makan, kita berebut, bersaing dan bertengkar untuk itu, masing-masing berpendirian atas dasar kekuatan hewaninya, maka akan selalu kita masing-masing menunggu kesempatan baik untuk secara licik memperoleh sekerat roti yang di tangan temannya itu. Masing-masing kita satu sama lain akan selalu melihat teman itu sebagai lawan, bukan sebagai saudara. Dasar etik yang tersembunyi dalam diri kita ini akan selalu bersifat hewani, sekali pun masih tetap tersembunyi sampai pada waktunya nanti ia akan timbul. Yang selalu akan menjadi pegangan dasar etik ini satu-satunya ialah keuntungan. Sementara arti perikemanusiaan yang tinggi, prinsip-prinsip akhlak yang terpuji, altruisma, cinta kasih dan persaudaraan akan jatuh tergelincir, dan hampir-hampir sudah tak dapat dipegang lagi.

 

Apa yang terjadi dalam dunia dewasarini ialah bukti yang paling nyata | atas apa yang saya sebutkan itu. Persaingan dan pertentangan ialah gejala pertama dalam sistem ekonomi, dan itu pula gejala pertamanya dalam kebudayaan Barat, baik dalam paham yang individualistis, maupun Sosialistis sama saja adanya. Dalam paham individualisma, buruh bersaing dengan buruh, pemilik modal dengan pemilik modal. Buruh dengan pemilik modal ialah dua lawan yang saling bersaing. Pendukung-pendukung paham ini berpendapat bahwa persaingan dan pertentangan ini akan membawa kebaikan dan kemajuan kepada umat manusia. Menurut mereka ini merupakan perangsang supaya bekerja lebih tekun dan perangsang untuk pembagian kerja, dan akan menjadi neraca yang adil dalam membagi kekayaan.

 

Sebaliknya paham sosialisma yang berpendapat bahwa perjuangan kelas yang harus disudahi dengan kekuasaan berada di tangan kaum buruh, merupakan salah satu keharusan alam. Selama persaingan dan perjuangan mengenai harta itu dijadikan pokok kehidupan, selama pertentangan antar-kelas itu wajar, maka pertentangan antar-bangsa juga wajar, dengan tujuan yang sama seperti pada perjuangan kelas. Dari Sinilah konsepsi nasionalisma itu, dengan sendirinya, memberi pengaruh yang menentukan terhadap sistem ekonomi. Apabila perjuangan bangsabangsa untuk menguasai harta itu wajar, apabila adanya penjajahan untuk itu wajar pula, bagaimana mungkin perang dapat dicegah dan perdamaian di dunia dapat dijamin? Pada menjelang akhir abad ke-20 ini kita telah dapat menyaksikan — dan masih dapat kita saksikan — adanya bukti-bukti, bahwa perdamaian di muka bumi dengan dasar kebudayaan yang semacam ini hanya dalam impian saja dapat dilaksanakan, hanya dalam cita-cita yang manis bermadu, tetapi dalam kenyataannya tiada lebih dari suatu fatamorgana yang kosong belaka.

 

Dasar Kebudayaan Islam

 

Kebudayaan Islam lahir atas dasar yang bertolak belakang dengan dasar kebudayaan Barat. Ia lahir atas dasar rohani yang mengajak manusia supaya pertama sekali dapat menyadari hubungannya dengan alam dan tempatnya dalam alam ini dengan sebaik-baiknya. Kalau kesadaran demikian ini sudah sampai ke batas iman, maka imannya itu mengajaknya supaya ia tetap terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan hatinya selalu, mengisi jantung dan pikirannya dengan prinsi-prinsip yang lebih luhur — prinsip-prinsip harga diri, persaudaraan, cinta kasih, kebaikan dan berbakti. Atas dasar prinsip-prinsip inilah manusia hendaknya menyusun kehidupan ekonominya. Cara bertahap demikian ini adalah dasar kebudayaan Islam, seperti wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad, yakni mula-mula kebudayaan rohani, dan sistem kerohanian di sini ialah dasar sistem pendidikan serta dasar pola-pola etik (akhlak). Dan prinsip-prinsip etik ini ialah dasar sistem ekonominya. Tidak dapat dibenarkan tentunya dengan cara apa pun mengorbankan prinsip-prinsip etik ini untuk kepentingan sistem ekonomi tadi.

 

Tanggapan Islam tentang kebudayaan demikian ini menurut hemat saya ialah tanggapan yang sesuai dengan kodrat manusia, yang akan menjamin kebahagiaan baginya. Kalau ini yang ditanamkan dalam jiwa kita dan kehidupan seperti dalam kebudayaan Barat itu ke sana pula jalannya, niscaya corak umat manusia itu akan berubah, prinsip-prinsip yang selama ini menjadi pegangan orang akan runtuh, dan sebagai gantinya akan timbul prinsip-prinsip yang lebih luhur, yang akan dapat mengobati krisis dunia kita sekarang ini sesuai dengan tuntunannya yang lebih cemerlang.

 

Sekarang orang di Barat dan di Timur berusaha hendak mengatasi krisis ini, tanpa mereka sadari — dan kaum Muslimin sendiri pun tidak pula menyadari — bahwa Islam dapat menjamin mengatasinya. Orang-orang di Barat dewasa ini sedang mencari suatu pegangan rohani yang baru, yang akan dapat menating mereka dari paganisma yang sedang menjerumuskan mereka, dan sebab timbulnya penderitaan mereka itu, penyakit yang menancapkan mereka ke dalam kancah peperangan antara sesama mereka, ialah mammonisma — penyembahan kepada harta. Orang-orang Barat mencari pegangan baru itu di dalam beberapa ajaran di India dan di Timur Jauh, padahal itu akan dapat mereka peroleh tidak jauh dari mereka, akan mereka dapati itu sudah ada ketentuannya di dalam Quran, sudah dilukiskan dengan indah sekali dengan teladan yang sangat baik diberikan oleh Nabi kepada manusia selama masa hidupnya.

 

Bukan maksud saya hendak melukiskan kebudayaan Islam dengan segala ketentuannya itu di sini. Lukisan demikian menghendaki suatu pembahasan yang mendalam, yang akan meminta tempat sebesar buku ini atau lebih besar lagi. Akan tetapi — setelah dasar rohani yang menjadi landasannya itu saya singgung seperlunya — lukisan kebudayaan itu di sini ingin saya simpulkan, kalau-kalau dengan demikian ajaran Islam dalam keseluruhannya dapat pula saya gambarkan dan dengan penggambaran itu saya akan merambah jalan ke arah pembahasan yang lebih dalam lagi. Dan sebelum melangkah ke arah itu kiranya akan ada baiknya juga saya memberi sekadar isyarat, bahwa sebenarnya dalam sejarah Islam memang tak ada pertentangan antara kekuasaan agama (teokrasi) dengan kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal ini dapat menyelamatkan Islam dari pertentangan yang telah ditinggalkan Barat dalam pikiran dan dalam haluan sejarahnya.

 

Dalam Islam Tak Ada Pertentangan Agama dengan Negara

 

Islam dapat diselamatkan dari pertentangan serta segala pengaruhnya itu, sebabnya ialah karena Islam tidak kenal apa yang namanya gereja itu atau kekuasaan agama seperti yang dikenal oleh agama Kristen. Belum ada orang di kalangan Muslimin — sekalipun ia seorang khalifah — yang akan mengharuskan sesuatu perintah kepada orang, atas nama agama, dan akan mendakwakan dirinya mampu memberi pengampunan dosa kepada Siapa saja yang melanggar perintah itu. Juga belum ada di kalangan Muslimin — sekalipun ia seorang khalifah — yang akan mengharuskan Sesuatu kepada orang selain yang sudah ditentukan Tuhan di dalam Quran. Bahkan semua orang Islam sama di hadapan Tuhan. Yang seorang tidak lebih mulia dari yang lain, kecuali tergantung kepada takwanya — kepada baktinya. Seorang penguasa tidak dapat menuntut kesetiaan seorang Muslim apabila dia sendiri melakukan perbuatan dosa dan melanggar perintah Tuhan. Atau seperti kata Abu Bakr ash-Shiddig kepada kaum Muslimin dalam pidato pelantikannya sebagai Khalifah: “Taatilah Saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasul maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya.”

 

Kendatipun pemerintahan dalam Islam sesudah itu kemudian diPegang oleh seorang raja tirani, kendatipun di kalangan Muslimin pernah limbul perang saudara, namun kaum Muslimin tetap berpegang kepada kebebasan pribadi yang besar itu, yang sudah ditentukan oleh agama, kebebasan yang sampai menempatkan akal sebagai patokan dalam segala hal, bahkan dijadikan patokan di dalam agama dan iman sekalipun. Kebebasan ini tetap mereka pegang sekalipun sampai pada waktu datangnya penguasa-penguasa orang-orang Islam yang mendakwakan diri sebagai pengganti Tuhan di muka bumi ini — bukan lagi sebagai pengganti Rasulullah. Padahal segala persoalan Muslimin sudah mereka kuasai belaka, sampai-sampai ke soal hidup dan matinya. Sebagai bukti misalnya apa yang sudah terjadi pada masa Ma’mun, tatkala orang berselisih mengenai Quran: makhluk atau bukan makhluk — yang diciptakan atau bukan diciptakan! Banyak sekali orang yang menentang pendapat Khalifah waktu itu, padahal mereka mengetahui akibat apa yang akan mereka terima jika berani menentangnya.

 

Dalam Segala Hal Akal Dijadikan Patokan

 

Dalam segala hal akal pikiran oleh Islam telah dijadikan patokan. Juga dalam hal agama dan iman ia dijadikan patokan. Dalam firman Tuhan:

 

“Perumpamaan orang-orang yang tidak beriman ialah seperti (gembala) yang meneriakkan (ternaknya) yang tidak mendengar selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, sebab mereka tidak menggunakan akal pikiran.”

 

Oleh Syaikh Muhammad Abduh ditafsirkan, dengan mengatakan: “Ayat ini jelas sekali menyebutkan, bahwa taklid (menerima begitu saja) tanpa pertimbangan akal pikiran atau suatu pedoman ialah bawaan orangOrang tidak beriman. Orang tidak bisa beriman kalau agamanya tidak disadari dengan akalnya, tidak diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin. Kalau orang dibesarkan dengan biasa menerima begitu saja tanpa disadari dengan akal pikirannya, maka dalam melakukan suatu perbuatan, meskipun perbuatan yang baik, tanpa diketahuinya benar, dia bukan orang beriman. Dengan beriman bukan dimaksudkan supaya orang merendahrendahkan diri melakukan kebaikan seperti binatang yang hina, tapi yang dimaksudkan supaya orang dapat meningkatkan daya akal pikirannya, dapat meningkatkan diri dengan ilmu pengetahuan, sehingga di dalam berbuat kebaikan itu benar-benar ia sadar, bahwa kebaikannya itu memang berguna, dapat diterima Tuhan. Dalam meninggalkan kejahatan pun juga dia mengerti benar bahaya dan berapa jauhnya kejahatan itu akan membawa akibat.

 

Inilah yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat ini, yang di dalam Quran, selain ayat tersebut sudah banyak pula ayat ayat lain yang disebutkan secara jelas sekali. Quran menghendaki manusia supaya merenungkan alam semesta ini, supaya mengetahui berita-berita sekitar itu, yang kelak renungan demikian itu akan mengantarkannya kepada kesadaran tentang wujud Tuhan, tentang keesaan-Nya, seperti dalam firman Allah:

 

“Bahwasanya dalam penciptaan langit dan bumi, dalam pergantian malam dan siang, bahtera yang mengarungi lautan membawa apa yang berguna buat umat manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang sudah mati kering, kemudian disebarkan-Nya di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikemudikan dari antara langit dan bumi — adalah tandatanda (akan keesaan dan kebesaran Tuhan) buat mereka yang menggunakan akal pikiran.”

 

“Dan sebagai suatu tanda buat mereka, ialah bumi yang mati kering. Kami hidupkan kembali dan Kami keluarkan dari sana benih yang sebagian dapat dimakan. Di sana Kami adakan kebun-kebun kurma dan palm dan anggur dan di sana pula Kami pancarkan mata air — supaya dapat mereka makan buahnya. Semua itu bukan usaha tangan mereka. Kenapa mereka tidak berterima kasih. Maha Sudi yang telah menciptakan semua yang ditumbuhkan bumi berpasang-pasangan, dan dalam diri mereka sendiri serta segala apa yang tiada mereka ketahui. Juga sebagai suatu tanda buat mereka — ialah malam. Kami lepaskan siang, maka mereka pun berada dalam kegelapan. Matahari pun beredar menurut ketetapan yang sudah ditentukan. Itulah ukuran dari Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Juga bulan, sudah Kami tentukan tempat-tempatnya sampai ia kembali lagi seperti mayang yang sudah tua. Matahari tiada sepatutnya akan mengejar bulan dan malam pun tiada akan mendahului siang. Masing-masing berjalan dalam peredarannya. Juga sebagai suatu tanda buat mereka — ialah turunan mereka yang Kami angkut dalam kapal yang penuh muatan. Dan buat mereka Kami ciptakan pula yang serupa, yang dapat mereka kendarai. Kalau Kami kehendaki, Kami karamkan mereka. Tiada penolong lagi buat mereka, juga mereka tak dapat diselamatkan. Kecuali dengan rahmat dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai pada waktunya.”?

 

Anjuran supaya memperhatikan alam ini, menggali segala ketentuan dan hukum yang ada di dalam alam ini serta menjadikannya sebagai pedoman yang akan mengantarkan kita beriman kepada Penciptanya, Sudah beratus kali disebutkan dalam pelbagai surah dalam Quran. Kesemuanya ditujukan kepada tenaga akal pikiran manusia, menyuruh manusia menilainya, merenungkannya, supaya imannya itu didasarkan kepada akal pikiran, dan keyakinan yang jelas. Quran mengingatkan Supaya jangan menerima begitu saja apa yang ada pada nenek moyangnya, tanpa memperhatikan, tanpa meneliti lebih jauh serta dengan keyakinan pribadi akan kebenaran yang dapat dicapainya itu.

 

Kekuatan Iman

 

Iman demikian inilah yang dianjurkan oleh Islam. Dan ini bukan iman yang biasa disebut “iman nenek-nenek’, melainkan iman intelektual yang sudah meyakinkan, yang sudah direnungkan lagi, kemudian dipikirkan matang-matang, sesudah itu, dengan renungan dan pemikirannya itu ia akan sampai kepada keyakinan tentang Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya rasa tak ada orang yang sudah dapat merenungkan dengan akal pikiran dan dengan hatinya, yang tidak akan sampai kepada iman. Setiap ia merenungkan lebih dalam, berpikir lebih lama dan berusaha menguasai ruang dan waktu ini serta kesatuan yang terkandung di dalamnya, yang tiada berkesudahan, dengan anggota-anggota alam semesta tiada terbatas, yang selalu berputar ini — sekelumit akan terasa dalam dirinya tentang anggotaanggota alam itu, yang semuanya berjalan menurut hukum yang sudah ditentukan dan dengan tujuan yang hanya diketahui oleh penciptanya. Ia pun akan merasa yakin akan kelemahan dirinya, akan pengetahuannya yang belum cukup, jika saja ia tidak segera dibantu dengan kesadarannya tentang alam ini, dibantu dengan suatu kekuatan di atas kemampuan pancaindera dan otaknya, yang akan menghubungkannya dengan seluruh anggota alam, dan yang akan membuat dia menyadari tempatnya sendiri. Dan kekuatan itu ialah iman.

 

Beriman kepada Allah

 

Jadi iman itu ialah perasaan rohani, yang dirasakan oleh manusia meliputi dirinya setiap ia mengadakan komunikasi dengan alam dan hanyut ke dalam ketakterbatasannya ruang dan waktu. Semua makhluk alam ini akan terjelma dalam dirinya. Maka dilihatnya semua itu berjalan menurut hukum yang sudah ditentukan, dan dilihatnya pula sedang memuja Tuhan Maha Pencipta. Adapun Ia menjelma dalam alam, berhubungan dengan alam, atau berdiri sendiri dan terpisah, masih merupakan suatu perdebatan spekulatif yang kosong saja. Mungkin berhasil, mungkin juga jadi sesat, mungkin menguntungkan dan mungkin juga merugikan. Di samping itu hal ini tidak pula menambah pengetahuan kita. Sudah berapa lama penulis-penulis dan filsuf-filsuf itu satu sama jain berusaha hendak mengetahui zat Maha Pencipta ini, namun usaha dan daya upaya mereka itu sia-sia. Dan ada pula yang mengakui, bahwa itu memang berada di luar jangkauan persepsinya. Kalau memang akal yang sudah tak mampu mencapai pengertian ini, maka ketidakmampuannya itu lebih-lebih lagi memperkuat keimanan kita. Perasaan kita yang meyakinkan tentang adanya Wujud Mahatinggi, Yang Maha Mengetahui akan segalanya dan bahwa Dialah Maha Pencipta, Maha Perencana, segalanya akan kembali kepada-Nya, maka keadaan semacam itu akan sudah meyakinkan kita, bahwa kita takkan mampu menjangkau zat-Nya betapa pun besarnya iman kita kepada-Nya itu.

 

Demikian juga, kalau sampai sekarang kita tak dapat menangkap apa sebenarnya listrik itu meskipun dengan mata kita sendiri kita melihat bekasnya, begitu juga eter yang tidak kita ketahui meskipun sudah dapat ditentukan, bahwa gelombangnya itu dapat memindahkan suara dan gambar, pengaruh dan bekasnya itu buat kita sudah cukup untuk mempercayai adanya listrik dan adanya eter. Alangkah angkuhnya kita, setiap hari kita menyaksikan keindahan dan kebesaran yang diciptakan Tuhan, kalau kita masih tidak mau percaya sebelum kita mengetahui zat-Nya. Tuhan Yang Maha Transenden jauh di luar jangkauan yang dapat mereka lukiskan. Kenyataan dalam hidup ialah bahwa mereka yang mencoba menggambarkan zat Tuhan Yang Maha Suci itu ialah mereka yang dengan persepsinya sudah tak berdaya mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi dalam melukiskan apa yang di atas kehidupan insan. Mereka ingin mengukur alam ini serta Pencipta alam menurut ukuran kita yang nisbi dan terbatas sekali dalam batas-batas ilmu kita yang hanya sedikit itu. Sebaliknya mereka yang sudah benar-benar mencapai-ilmu, akan teringat oleh mereka firman Tuhan ini:

 

“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Jawablah: Ruh itu termasuk urusan Tuhan. Pengetahuan yang diberikan kepada kamu itu hanya sedikit Sekali.”

 

Kalbu mereka sudah penuh dengan iman kepada Pencipta Ruh dan Pencipta semesta Alam ini, sesudah itu tidak perlu mereka menjerumuskan diri ke dalam perdebatan spekulatif yang kosong, yang takkan memberi hasil, takkan mencapai suatu kesimpulan.

 

Islam yang dicapai dengan iman dan Islam yang tanpa iman oleh Quran dibedakan:

 

“Orang-orang Arab badwi itu berkata: Kami sudah beriman’ Katakanlah “Kamu belum beriman, tapi katakan saja: kami sudah Islam’. Iman itu belum lagi masuk ke dalam hati kamu.”?

 

Iman Dasar Islam

 

Contoh Islam yang demikian ini ialah yang tunduk kepada ajakan Orang karena kehendaknya atau karena takut, karena kagum atau karena mengkultuskan di luar hati yang mau menurut dan memahami benar-benar akan ajaran itu sampai ke batas iman. Yang demikian ini belum mendapat petunjuk Tuhan sampai kepada iman yang seharusnya dicapai, dengan jalan merenungkan alam dan mengetahui hukum alam, dan yang dengan renungan dan pengetahuannya itu ia akan sampai kepada Penciptanya – melainkan jadi Islam karena suatu keinginan atau karena nenek-moyangnya memang sudah Islam. Oleh karenanya iman itu belum merasuk lagi ke dalam hatinya, sekalipun dia sudah Islam. Manusia-manusia Muslim semacam ini ada yang hendak menipu Tuhan dan menipu orang-orang beriman, tetapi sebenarnya mereka sudah menipu diri sendiri dengan tiada mereka sadari. Dalam hati mereka sudah ada penyakit. Maka oleh Tuhan ditambah lagi penyakit mereka itu. Mereka itulah orang-orang beragama tanpa iman, Islamnya hanya karena didorong oleh suatu keinginan atau karena takut, sedang jiwanya tetap kerdil, keyakinannya tetap lemah dan hatinya pun bersedia menyerah kepada kehendak manusia, menyerah kepada perintahnya. Sebaliknya mereka, yang keimanannya kepada Allah itu dengan iman yang sungguh-sungguh, diantarkan oleh akal pikiran dan oleh jantung yang hidup, dengan jalan merenungkan alam ini, mereka itulah orang yang beriman. Mereka yang akan menyerahkan persoalannya hanya kepada Tuhan, mereka itulah orang yang tidak mengenal menyerah selain kepada Allah. Dengan Islamnya itu mereka tidak memberi jasa apaapa kepada orang.

 

“Tetapi sebenarnya Tuhanlah yang berjasa kepada kamu, karena kamu telah dibimbing-Nya kepada keimanan, kalau kamu memang orang-orang yang benar.”!

 

Jadi barangsiapa menyerahkan diri patuh kepada Allah dan dalam pada itu melakukan perbuatan baik, mereka tidak perlu merasa takut, tidak usah bersedih hati. Mereka tidak takut akan menghadapi hidup miskin atau hina, sebab dengan iman itu mereka sudah sangat kaya, sangat mendapat kehormatan. Kehormatan yang ada pada Tuhan dan pad3 Orang-orang beriman.

 

Jiwa yang rela dan tenteram dengan imannya ini, ia merasa lega bil4 selalu ia berusaha hendak mengetahui rahasia-rahasia dan hukum-hukum alam, yang berarti akan menambah hubungannya dengan Tuhan. Dar langkah ke arah pengetahuan ini ialah dengan jalan membahas dar merenungkan segala ciptaan Tuhan yang ada dalam alam ini dengan car4 ilmiah seperti dianjurkan oleh Quran dan dipraktekkan pula sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin dahulu, yaitu seperti cara ilmiah yang modern di Barat sekarang. Hanya saja tujuannya dalam Islam dan dalam kebudayaan Barat itu berbeda. Dalam Islam tujuannya supaya manusia membuat hukum Tuhan dalam alam ini menjadi hukumnya dan peraturannya sendiri, sementara di Barat tujuannya ialah mencari keuntungan materi dari apa yang ada dalam alam ini. Dalam Islam tujuan yang pertama sekali ialah “irfan — mengenal Tuhan dengan baik, makin dalam irfan atau persepsi (pengenalan) kita makin dalam pula iman kita kepada Tuhan. Tujuan ini ialah hendak mencapai “irfan yang baik dari segi seluruh masyarakat, bukan dari segi pribadi saja. Masalah integritas rohani bukan suatu masalah pribadi semata. Tak ada tempat buat orang mengurung diri sebagai suatu masyarakat tersendiri. Bahkan ia seharusnya menjadi dasar kebudayaan untuk masyarakat manusia sedunia — dari ujung ke ujung. Oleh karena itu seharusnya umat manusia berusaha terus demi integritas (kesempurnaan) rohani itu, yang berarti lebih besar daripada pengamatannya mengenai hakikat indera (sensibilia). Persepsi’ mengenai rahasia benda-benda dan hukum-hukum alam yang hendak mencapai integritas itu lebih besar daripada persepsi sebagai alat guna mencapai kekuasaan materi atas benda-benda itu.

 

Dengan Mencari Pertolongan Tuhan sampai kepada Hukum Alam

 

Untuk mencapai integritas rohani ini tidak cukup kita bersandar hanya kepada logika kita saja, malah dengan logika itu kita harus membukakan jalan buat hati kita dan pikiran kita untuk sampai ke tingkat tertinggi. Hal ini bisa terjadi hanya jika manusia mencari pertolongan dari Tuhan, menghadapkan diri kepada-Nya dengan sepenuh hati dan jiwa. Hanya kepada-Nya kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan, untuk mencapai rahasia-rahasia alam dan undang-undang kehidupan ini. Inilah yang disebut hubungan dengan Tuhan, mensyukuri nikmat Tuhan, supaya bertambah kita mendapat petunjuk akan apa yang belum kita capai, seperti dalam firman Tuhan:

 

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakan) Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang bermohon — apabila dia bermohon kepada-Ku. Maka sambutlah seruan-Ku dan berimanlah kepada-Ku, kalau-kalau mereka terbimbing ke jalan yang Uurus.”?

 

“Dan carilah pertolongan Tuhan dengan tabah, dan dengan menjalankan sembahyang, dan sembahyang itu memang berat, kecuali bagi orangOrang yang rendah hati — kepada Tuhan. Orang-orang yang menyadari bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan dan kepada-Nya mereka kembali.”

 

Salat

 

Salat ialah suatu bentuk komunikasi dengan Tuhan secara beriman serta meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan salat bukanlah sekadar ruku’ dan sujud saja, membaca ayat-ayat Quran atau mengucapkan takbir dan ta’zim demi kebesaran Tuhan tanpa mengisi jiwa dan hati sanubari dengan iman, dengan kekudusan dan keagungan Tuhan. Tetapi yang dimaksudkan dengan salat atau sembahyang ialah arti yang terkandung di dalam takbir, dalam pembacaan, dalam ruku’, sujud serta segala keagungan, kekudusan dan iman itu. Jadi beribadat demikian kepada Tuhan ialah suatu ibadat yang ikhlas — demi Tuhan Cahaya langit dan bumi.

 

“Kebaikan itu bukanlah karena kamu menghadapkan muka ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu ialah orang yang sudah beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, malaikat-malaikat, Kitab, dan para Nabi serta mengeluarkan harta yang dicintainya itu untuk kerabat-kerabat, anakAnak yatim, orang-orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta, untuk melepaskan perbudakan, mengerjakan sembahyang dan mengeluarkan zakat, kemudian orang-orang yang suka memenuhi janji bila berjanji, orang-orang yang tabah hati dalam menghadapi penderitaan dan kesulitan dan di waktu perang. Mereka itulah

 

orang-orang yang benar dan mereka itu orang-orang yang dapat memelihara diri.”?

 

Orang mukmin yang benar-benar beriman ialah yang menghadapkan seluruh kalbunya kepada Allah ketika ia sedang sembahyang, disaksikan oleh rasa takwa kepada-Nya, serta mencari pertolongan Tuhan dalam menunaikan kewajiban hidupnya. Ia mencari petunjuk, memohonkan taufik Allah dalam memahami rahasia dan hukum alam ini.

 

Orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah tengah ia sembahyang akan merasakannya sendiri, selalu akan merasa, dirinya adalah sesuatu yang kecil berhadapan dengan kebesaran Allah Yang Maha Agung. Apabila kita dalam pesawat terbang di atas ketinggian seribu atav beberapa ribu meter, kita melihat gunung-gunung, sungai dan kota-kota sebagai gejala-gejala kecil di atas bumi. Kita melihatnya terpampang di depan mata kita seperti jalur-jalur yang tergaris di atas sebuah peta dar seolah permukaannya sudah rata mendatar tak ada gunung atau bangunan yang lebih tinggi, tak ada ngarai, sumur atau sungai yang lebih rendah, warna-warna sambung-menyambung, saling berkait, tercampur, makin tinggi kita terbang warna-warna itu makin tercampur. Seluruh bumi kita ini tidak lebih dari sebuah planet kecil saja. Dalam alam ini terdapat ribuan tata surya dan planet-planet. Semua itu tidak lebih dari sejumlah kecil saja dalam ketakterbatasan seluruh eksistensi ini. Alangkah kecilnya kita, alangkah lemahnya keadaan kita berhadapan dengan Pencipta dan Pengurus wujud ini. Kebesaran-Nya di atas jangkauan pengertian kita!

 

Persamaan di Hadapan Tuhan

 

Dalam kita menghadapkan seluruh kalbu kita dengan penuh ikhlas kepada Kebesaran Tuhan Yang Mahasuci, kita mengharapkan pertolongan kepada-Nya untuk memberikan kekuatan atas kelemahan diri kita ini, memberi petunjuk dalam mencari kebenaran — alangkah wajarnya bila kita dapat melihat persamaan semua manusia dalam kelemahannya itu, yang dalam berhadapan dengan Tuhan tak dapat ia memperkuat diri dengan harta dan kekayaan, selain dengan imannya yang teguh dan tunduk hanya kepada Allah, berbuat kebaikan dan menjaga diri.

 

Persamaan yang sesungguhnya dan sempurna ini di hadapan Tuhan tidak sama dengan persamaan yang biasa disebut-sebut dalam kebudayaan Barat waktu-waktu belakangan ini, yaitu persamaan di hadapan hukum. Sudah begitu jauh kebudayaan itu memandang persamaan, sehingga hampir-hampir pula tidak lagi diakui di depan hukum. Buat orang-orang tertentu sudah tidak berlaku lagi untuk menghormatinya. Persamaan di hadapan Tuhan, persamaan yang kenyataannya dapat kita rasakan di kala sembahyang, yang dapat kita capai dengan pandangan kita yang bebas — tidak sama dengan persamaan dalam persaingan untuk mencari kekayaan, persaingan yang membolehkan orang melakukan segala tipu-daya dan bermuka-muka, kemudian orang yang lebih pandai mengelak dan bisa main, ia akan selamat dari kekuasaan hukum.

 

Persamaan di hadapan Allah ini menuju kepada persaudaraan yang Sebenarnya, sebab semua orang dapat merasakan bahwa mereka sebenarnya bersaudara dalam beribadat kepada Allah dan hanya kepada-Nya mereka beribadat. Persaudaraan demikian ini didasarkan kepada saling penghargaan yang sehat, renungan serta pandangan yang bebas seperti dianjurkan oleh Quran. Adakah kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang lebih besar daripada umat ini di hadapan Allah, semua menundukkan kepala kepada-Nya, bertakbir, ruku’ dan bersujud. Tiada perbedaan antara Satu dengan yang lain — semua mengharapkan pengampunan, bertobat, mengharapkan pertolongan. Tak ada perantara antara mereka itu dengan Tuhan kecuali amalnya yang saleh (perbuatan baik) serta perbuatan baik yang dapat dilakukannya dan menjaga diri dari kejahatan. Persaudaraan yang demikian ini dapat membersihkan hati dari segala noda materi dan menjamin kebahagiaan manusia, juga akan mengantarkan mereka dalam memahami hukum Tuhan dalam kosmos ini, sesuai dengan petunjuk dalam cahaya Tuhan yang telah diberikan kepada mereka.

 

Puasa

 

Tidak semua orang sama kemarnpuannya dalam melakukan baktinya sebagaimana diperintahkan Allah. Adakalanya tubuh kita membebani jiwa kita, sifat materialisma kita dapat menekan sifat kemanusiaan kita, kalau kita tidak melakukan latihan rohani secara tetap, tidak menghadapkan kalbu kita kepada Allah selama dalam salat kita, dan sudah cukup hanya dengan tata tertib sembahyang, seperti ruku’, sujud dan bacaanbacaan. Oleh karena itu harus diusahakan sckuat tenaga menghentikan daya tubuh yang terlampau memberatkan jiwa, sifat matcrialisma yang sangat menekan sifat kemanusiaan. Untuk satu Islam telah mewajibkan puasa sebagai suatu langkah mencapai martabat kebaktian (takwa) itu, seperti dalam firman Tuhan:

 

“Orang-orang beriman! Kepadamu telah diwajibkan berpuasa, seperti yang sudah diwajibkan juga kepada mereka yang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa — memelihara diri dari kejahatan.”‘

 

Bertakwa dan berbuat baik (bsrr) itu sama. Yang berbuat baik orang yang bertakwa dan yang berbuat baik talah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab dan para nabi dan diteruskan dengan ayat yang sudah kita sebutkan.

 

Kalau tujuan puasa itu supaya tubuh tidak terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma kita jangan terlalu menekan sifat kemanusiaan kita, orang yang menahan diri dari waktu fajar sampai malam, kemudian sesudah itu hanyut dalam berpuas-puas dalam kesenangan, berarti i3 sudah mengalihkan tujuan tersebut. Tanpa puasa pun hanyut dalam memuaskan diri itu sudah sangat merusak, apalagi kalau orang berpuasa, sepanjang hari ia menahan diri dari segala makanan, minuman dan segala kesenangan, dan bilamana sudah lewat waktunya ia lalu menyerahkan diri kepada apa saja yang dikiranya di waktu siang ia tak dapat menikmatinya! Kalau begitu Tuhan jugalah yang menyaksikan, bahwa puasanya bukan untuk membersihkan diri, mempertinggi sifat kemanusiaannya, juga ia berpuasa bukan atas kehendak sendiri karena percaya, bahwa puasa itu memberi faedah ke dalam rohaninya, tapi ia puasa karena menunaikan suatu kewajiban, tidak disadari oleh pikirannya sendiri perlunya pudsa itu. ia melihatnya sebagai suatu kekangan atas kebebasannya, begitu kebebasan itu berakhir pada malam harinya, begitu hanyut ia ke dalam kesenangan, sebagai ganti puasa yang telah mengekangnya tadi. Orang yang melakukan ini sama seperti orang yang tidak mau mencuri, hanya karena undang-undang melarang pencurian, bukan karena jiwanya sudah cukup tinggi untuk tidak melakukan perbuatan itu dan mencegahnya atas kemauan sendiri pula.

 

Puasa Bukan suatu Tekanan

 

Sebenarnya tanggapan orang mengenai puasa sebagai suatu tekanan atau pencegahan dan pembatasan atas kebebasan manusia adalah suatu tanggapan yang salah samasekali, yang akhirnya akan menempatkan fungsi puasa tidak punya arti dan tidak punya tempat lagi. Puasa yang sebenarnya ialah membersihkan jiwa. Orang berpuasa diharuskan oleh pikiran kita yang timbul atas kehendak sendiri, supaya kebebasan kemauan dan kebebasan berpikirnya dapat diperoleh kembali. Apabila kedua kebebasan ini sudah diperolehnya kembali, ia dapat mengangkat ke martabat yang lebih tinggi, setingkat dengan iman yang sebenarnya kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman Tuhan — setelah menyebutkan bahwa puasa telah diwajibkan kepada orang-orang beriman seperti sudah diwajibkan juga kepada orang-orang yang sebelum mereka:

 

“Beberapa hari sudah ditentukan. Tetapi barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau sedang dalam perjalanan, maka dapat diperhitungkan pada kesempatan lain. Dan buat orang-orang yang sangat berat menjalankannya, hendaknya ia membayar fid-yah dengan memberi makan kepada orang miskin, dan barangsiapa mau mengerjakan kebaikan atas kemauan sendiri, itu lebih baik buat dia, dan bila kamu berpuasa, itu lebih baik buat kamu, kalau kamu mengerti.”

 

Seolah tampak aneh apa yang saya katakan itu, bahwa dengan puasa kita dapat memperoleh kembali kebebasan kemauan dan kebebasan berpikir kalau yang kita maksudkan dengan puasa dengan segala apa yang baik itu untuk kehidupan rohani kita. Ini memang tampak aneh, karena dalam bayangan kita bentuk kebebasan ini telah dirusak oleh pikiran modern, bilamana batas-batas rohani dan mental itu dihancurkan, kemudian batas-batas kebendaannya dipertahankan, yang oleh seorang prajurit dapat dilaksanakan dengan pedang undang-undang. Menurut pikiran modern, manusia tidak bebas dalam hal ia melanda harta atau pribadi Orang lain. Akan tetapi ia bebas terhadap dirinya sendiri sekalipun hal ini Sudah melampaui batas-batas segala yang dapat diterima akal atau dibenarkan oleh kaidah-kaidah moral. Sedang kenyataan dalam hidup bukan yang demikian. Kenyataannya ialah manusia budak kebiasaannya. Ia sudah biasa makan di waktu pagi: waktu tengah hari, waktu sore. Kalau dikatakan kepadanya: makan pagi dan sore sajalah, maka ini akan dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya. Padahal itu adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya, kalau benar ungkapan demikian ini. Orang yang sudah biasa merokok sampai ke batas ia diperbudak oleh kebiasaan merokoknya itu, lalu dikatakan kepadanya: sehari ini kamu jangan merokok, maka ini dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya: Padahal sebenarnya itu tidak lebih adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya. Ada lagi orang yang sudah biasa minum kopi atau teh atau minuman lain apa saja dalam waktu-waktu tertentu lalu dikatakan kepadanya: gantilah waktu-waktu itu dengan waktu yang lain, maka pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya itu dianggapnya sebagai pelanggaran atas kebebasannya. Budak kebiasaan serupa ini merusak kemauan, merusak arti yang sebenarnya dari kebebasan dalam bentuknya yang sesungguhnya.

 

Di samping itu, ini juga merusak cara berpikir sehat, sebab dengan demikian berarti ia telah ditunjukkan oleh pengaruh hajat jasmani dari segi kebendaannya, yang sudah dibentuk oleh kebiasaan itu. Oleh karena itu banyak orang yang telah melakukan puasa dengan cara yang bermacam-macam, yang secara tekun dilakukannya dalam waktu-waktu tertentu setiap minggu atau setiap bulan. Tetapi Tuhan menghendaki yang lebih mudah buat manusia dengan diwajibkan kepada mereka berpuasa selama beberapa hari yang sudah ditentukan, supaya dalam pada itu semua sama, dengan diberikan pula kesempatan fid-yah. Mereka masing-masing yang telah dibebaskan karena dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan dapat mengganti puasanya itu pada kesempatan lain.

 

Kewajiban berpuasa selama hari-hari yang sudah ditentukan untuk memperkuat arti persaudaraan dan persamaan di hadapan Tuhan, sungguh suatu latihan rohani yang luar biasa. Semua orang, selama menahan diri sejak fajar hingga malam hari mereka telah melaksanakan persamiaan itu antara sesama mereka, sama halnya seperti dalam sembahyang jamaah. Dengan persaudaraan demikian selama itu mereka merasakan adanya suatu perasaan yang mengurangi rasa kelebihan mereka dalam mengecap kenikmatan rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya. Dengan demikian puasa berarti memperkuat arti kebebasan, persaudaraan dan persamaan dalam jiwa manusia seperti halnya dengan sembahyang.

 

Kalau kita menyambut puasa dengan kemauan sendiri dengan penuh kesadaran bahwa perintah Tuhan tak mungkin bertentangan dengan caracara berpikir yang sehat, yang telah dapat memahami tujuan hidup dalam bentuknya yang paling tinggi, tahulah kita arti puasa yang dapat membebaskan kita dari budak kebiasaan itu, yang juga sebagai latihan dalam menghadapi kemauan dan arti kebebasan kita sendiri. Di samping itu kita pun sudah diingatkan, bahwa apa yang telah ditentukan manusia terhadap dirinya sendiri — dengan kehendak Tuhan — mengenai batas-batas rohani dan mentalnya sehubungan dengan kebebasan yang dimilikinya untuk melepaskan diri dari beberapa kebiasaan dan nafsunya, ialah cara yang paling baik untuk mencapai martabat iman yang paling tinggi itu. Apabila taklid dalam iman belum dapat disebut iman, melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka taklid dalam puasa juga belum dapat disebut puasa. Oleh karena itu orang yang bertaklid menganggap puasanya suatu kekangan dan membatasi kebebasannya — sebaliknya daripada dapat memahami arti pembebasan dari belenggu kebiasaan serta konsumsi rohani dan mental yang sangat besar itu.

 

Zakat

 

Apabila dengan jalan latihan rohani ini manusia telah sampai kepada arti hukum dan rahasia-rahasia alam dan mengetahui pula di mana tempatnya dan tempat anak manusia ini, cintanya kepada sesama anak manusia akan lebih besar lagi, dan semua anak manusia saling cinta dalam Tuhan. Mereka akan saling tolong-menolong untuk kebaikan dan rasa takwa — menjaga diri dari kejahatan. Yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya mengulurkan tangan kepada yang tidak punya. Ini adalah zakat, dan selebihnya sedekah. Dalam sekian banyak ayat Quran selalu mengaitkan zakat dengan salat. Kita sudah membaca firman Tuhan:

 

“Tetapi kebaikan itu ialah orang yang sudah beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, malaikat, Kitab dan para Nabi: mengeluarkan harta yang dicintainya itu kepada kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang melepaskan perbudakan, mengerjakan salat dan mengeluarkan zakat.”

 

“Kamu kerjakanlah sembahyang dan keluarkan pula zakat serta tundukkan kepala (ruku’) bersama orang-orang yang menundukkan kepala.”?

 

“Beruntunglah orang-orang yang sudah beriman. Mereka yang dengan khusyu’ mengerjakan sembahyang. Mereka yang menjauhkan diri dari percakapan yang tiada berguna. Dan mereka yang mengeluarkan zakat.”

 

Ayat-ayat yang mengaitkan zakat dengan salat itu banyak sekali.

 

Apa yang disebutkan dalam Quran tentang zakat dan sedekah cukup menyeluruh dan kuat sekali. Dalam melakukan perbuatan baik, sedekah Itu terletak pada tempat pertama, orang yang melakukannya akan mendapat pahala yang amat sempurna. Bahkan ia terletak di samping iman kepada Allah, sehingga kita merasa seolah itu sudah hampir sebanding. Tuhan berfirman:

 

“Tangkaplah orang itu dan belenggukanlah. Kemudian campakkan ke dalam api menyala. Sesudah itu belitkan dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Dahulu ia sungguh tidak beriman kepada Allah Yang Mahabesar. Juga tidak mendorong orang memberi makan orang miskin.”!

 

“… Dan sampaikan berita gembira kepada mereka yang taat. Yaitu mereka, yang apabila disebutkan nama Tuhan hatinya merasa takut karena taatnya, dan mereka yang tabah hati terhadap apa yang menimpa mereka serta mereka yang mengerjakan salat dan menafkahkan sebagian rezeki yang diberikan Tuhan kepada mereka.”

 

“Mereka yang menafkahkan hartanya — baik di waktu malam atau di waktu siang, dengan sembunyi atau terang-terangan, mereka akan mendapat pahala dari Tuhan. Tidak usah mereka takut, juga jangan bersedih hati.”

 

Lembaga Zakat

 

Quran tidak hanya menyebutkan masalah-masalah sedekah serta pahalanya yang akan diberikan Tuhan yang sama seperti pahala orang beriman dan mengerjakan sembahyang, bahkan adab sedekah itu telah dilembagakan pula dengan suatu tata-cara yang sungguh baik sekali.

 

“Bilamana kamu memperlihatkan sedekah itu, itu memang baik sekali. Tetapi kalaupun kamu sembunyikan memberikannya kepada orang fakir, maka itu pun lebih baik buat kamu. »4

 

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai hal-hal yang tidak menyenangkan hati. Allah Mahakaya dan Maha Penyantun. Orang-orang beriman, janganlah kamu hapuskan nilai sedekahmu itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati orang.”

 

Firman Tuhan itu memberikan pula penjelasan kepada siapa sedekah itu harus diberikan:

 

“Sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya, untuk melepaskan perbudakan, orang-orang yang dibebani utang, untuk jalan Allah dan mereka yang sedang dalam perjalanan. Inilah yang telah diwajibkan oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.

 

Zakat dan sedekah itu salah satu kewajiban dalam Islam, termasuk salah satu rukun Islam. Tetapi apakah kewajiban ini termasuk ibadat, ataukah masuk bagian akhlak? Tentu ini termasuk ibadat. Semua orang beriman bersaudara, dan iman seseorang belum lagi sempurna sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Dengan berpegang pada Nur Ilahi antara sesama mereka, orang-orang beriman saling cintamencintai. Kewajiban zakat dan sedekah terikat oleh persaudaraan ini, bukan oleh akhlak dan disiplinnya serta oleh hubungan antar-manusia dengan segala tata-tertibnya. Segala yang terikat oleh persaudaraan, terikat juga oleh iman kepada Allah, dan segala yang terikat oleh iman kepada Allah ialah ibadah. Itu sebabnya maka zakat menjadi salah satu rukun Islam yang lima, dan karena itu pula setelah Nabi wafat Abu Bakr menuntut supaya Muslimin menunaikan zakatnya. Setelah dilihatnya ada sebagian orang yang mau membangkang, Pengganti Muhammad itu melihat pembangkangan ini sebagai suatu kelemahan dalam iman mereka, mereka lebih mengutamakan harta daripada iman, mereka hendak meninggalkan disiplin rohani yang telah ditentukan Quran itu. Dengan demikian ini merupakan kemurtadan dari Islam. Karena ‘perang ridda” itu jugalah Abu Bakr berhasil mengukuhkan kembali sejarah Islam itu selengkapnya, dan yang tetap menjadi kebanggaan sepanjang sejarah.

 

Cinta Harta

 

Dengan fungsi zakat dan sedekah sebagai kewajiban yang bertalian dengan iman dalam disiplin rohani ia dianggap sebagai salah satu unsur yang harus membentuk kebudayaan dunia. Inilah hikmah yang paling tinggi yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaannya. Harta dan segala keserakahan orang memupuk-mupuk harta merupakan sebab timbulnya superioritas (rasa keunggulan) seorang kepada yang lain. Sampai sekarang ia masih merupakan sebab timbulnya penderitaan dunia ini dan sumber pemberontakan dan peperangan selalu. Sampai sekarang mammonisma — penyembahan harta — masih tetap merupakan sebab timbulnya dekadensi moral yang selalu menimpa dunia dan dunia tetap bergelimang di bawah bencana itu. Memupuk-mupuk harta dan keserakahan akan harta itulah yang telah menghilangkan rasa persaudaraan umat manusia, dan membuat manusia satu sama lain saling bermusuhan. Sekiranya pandangan mereka itu lebih sehat dengan pikiran yang lebih luhur, tentu akan mereka lihat bahwa persaudaraan itu lebih kuat menanamkan kebahagiaan daripada harta, mereka akan melihat juga bahwa memberikan harta kepada yang membutuhkan akan lebih terhormat pada Tuhan dan pada manusia daripada orang harus tunduk kepada harta itu. Kalau benar-benar mereka beriman kepada Allah tentu mereka akan saling bersaudara, dan manifestasi persaudaraan ini ialah pertolongan kepada orang yang sedang dalam penderitaan, membantu orang yang membutuhkannya dan dapat pula menghapuskan kemiskinan yang akan menjerumuskan manusia ke dalam penderitaan itu.

 

Apabila negara-negara yang sudah tinggi kebudayaannya pada zaman kita sekarang ini mendirikan rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga sosial dan amal untuk menolong fakir-miskin, atas nama kasih sayang dan kemanusiaan, maka didirikannya lembaga-lembaga itu karena didorong oleh rasa persaudaraan serta rasa cinta dan syukur kepada Allah atas nikmat yang diterimanya, sungguh ini suatu pikiran yang lebih tinggi dan

 

lebih tepat memberikan kebahagiaan kepada seluruh umat manusia, seperti dalam firman Tuhan:

 

“Dengan kenikmatan yang telah diberikan Allah kepadamu, carilah kebahagiaan akhirat, tapi jangan kaulupakan nasibmu dalam dunia ini. Berbuatlah kebaikan (kepada orang lain) seperti Tuhan telah berbuat kebaikan kepadamu, dan jangan engkau berbuat bencana di muka bumi ini. Allah sungguh tidak mencintai orang-orang yang berbuat bencana.”!

 

Ibadah Haji

 

Persaudaraan insani ini akan menambah rasa cinta manusia satu sama lain. Dalam Islam, rasa cinta demikian ini tidak seharusnya akan terhenti pada batas-batas tanah air tertentu, atau hanya terbatas pada salah satu benua. Yang seharusnya bahkan tidak boleh mengenal batas samasekali.

 

Oleh karena itu, dari seluruh pelosok bumi manusia harus saling mengenal, supaya satu sama lain dapat menambah rasa cinta kepada Allah, dan rasa cinta ini akan menambah tebal iman mereka kepada Allah. Untuk mencapai itu manusia dari segenap penjuru bumi harus berkumpul dalam satu irama yang sama, tanpa diskriminasi, dan tempat berkumpul yang terbaik untuk itu ialah di tempat memancarnya cinta ini. Dan tempat itu ialah Baitullah di Mekah, dan inilah yang disebut ibadah haji. Orangorang beriman tatkala berkumpul di sana, tatkala mereka melaksanakan segala upacara, mereka menempuh cara hidup yang luhur sebagai teladan iman kepada Allah, dengan niat yang ikhlas menghadapkan diri kepadaNya.

 

“Musim haji itu ialah dalam beberapa bulan yang sudah ditentukan. Barangsiapa sudah membulatkan niat selama bulan-bulan itu hendak menunaikan ibadah haji, maka tidak boleh ada suatu percakapan kotor, perbuatan jahat dan berbantah-bantahan selama dalam mengerjakan haji. Segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Tuhan mengetahuinya. Bawalah perbekalanmu, dan perbekalan yang paling baik ialah menjaga diri dari perbuatan hina. Patuhilah Aku, wahai orang-orang yang berpikiran sehat.”

 

Di dataran tinggi ini, di tempat orang-orang beriman menunaikan ibadah haji untuk saling berkenalan, untuk saling mempererat tali persaudaraan, dan tali persaudaraan ini akan lebih memperkuat iman di tempat ini — segala perbedaan dan diskriminasi yang bagaimanapun di kalangan orang-orang beriman itu harus hilang. Mereka harus merasa, bahwa di hadapan Tuhan mereka itu sama. Mereka menghadapkan seluruh hati sanubarinya untuk memenuhi panggilan Tuhan, benar-benar beriman akan keesaan-Nya, bersyukur akan nikmat yang telah diberikanNya. Rasanya tak ada kenikmatan yang lebih besar daripada nikmat iman akan keagungan Tuhan, sumber segala kebahagiaan. Di hadapan cahaya iman serupa ini, segala angan-angan kosong tentang hidup akan sirna, segala kebanggaan dan kecongkakan karena harta, karena turunan, karena kedudukan dan kekuasaan akan lenyap. Dan karena cahaya iman itu juga, maka manusia akan dapat menyadari arti kebenaran, kebaikan dan keindahan yang ada dalam dunia ini, akan dapat memahami undangundang Tuhan yang abadi, dalam semesta alam ini, yang takkan pernah berubah dan berganti. Suatu pertemuan umum yang luas ini telah dapat melaksanakan arti persaudaraan dan persamaan semua orang beriman dalam bentuknya yang paling luas, luhur dan bersih.

 

Norma-norma Etik dalam Islam

 

Inilah ketentuan-ketentuan dan kaedah-kaedah Islam seperti yang diwahyukan kepada Muhammad ‘“alaihissalam. Ini termasuk prinsipprinsip iman seperti sudah kita lihat dalam ayat-ayat yang kita kutip tadi, dan sebagai prinsip-prinsip kehidupan rohani Islam. Sesudah semua kita lihat, akan mudah sekali kita menilai, norma-norma etik apa yang harus kita terapkan atas dasar itu. Norma-norma ini memang sungguh luhur Sekali, yang memang belum ada tandingannya dalam kebudayaan mana pun atau dalam zaman apa pun. Apa yang akan membawa manusia untuk mencapai kesempurnaannya bila saja ia dapat melatih diri sebagaimana mestinya, oleh Quran sudah dirumuskan, bukan hanya dalam satu surah Saja hal ini disebutkan, bahkan di sana-sini juga disebut. Begitu salah satu Surah kita baca, kita sudah dibawa ke puncak yang lebih tinggi, yang belum dicapai oleh suatu kebudayaan sebelum itu, juga tidak mungkin akan dicapai oleh kebudayaan yang sesudah itu. Untuk mengetahui betapa agungnya klimaks yang telah dicapai itu cukup kita lihat misalnya adat sopan santun atas dasar rohani ini yang bersumberkan keimanan kepada Allah serta latihan mental dan hati kita atas dasar tersebut, tanpa orang melihat akan mencari keuntungan materi di balik semua itu.

 

Insan Kamil dalam Quran

 

Dalam berbagai zaman dan bangsa, penulis-penulis sudah sering sekali melukiskan gambar Manusia Sempurna — atau Superman. Penyairpenyair, para pengarang, filsuf-filsuf dan penulis-penulis drama, sejak zaman dahulu mereka sudah pernah melukiskan gambaran ini, dan sampai sekarang masih terus melukiskan. Tetapi sungguhpun demikian, tidak akan ada sebuah gambaran manusia sempurna yang dilukiskan begitu cemerlang dan unik seperti disebutkan dalam rangkaian Surah al-Isra’ (17). Ini baru sebagian saja hikmah yang diwahyukan Allah kepada Rasul, bukan dimaksudkan untuk melukiskan Manusia Sempurna melainkan untuk mengingatkan manusia tentang beberapa kewajiban. Dalam hal ini firman Allah:

 

“Dan Tuhanmu sudah memerintahkan, jangan ada yang kamu sembah selain Dia dan supaya berbuat baik kepada ibu-bapa. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada mereka dan jangan pula kamu membentak mereka, tapi ucapkanlah dengan kata-kata yang mulia kepada mereka (23). Dan rendahkanlah hatimu dengan penuh kesayangan kepada mereka, dan doakan: “Ya Allah, beri rahmatlah kepada mereka berdua, seperti kasih-sayang mereka mendidikku sewaktu aku kecil’ (24). Tuhan kamu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Kalau kamu orang-orang yang berguna. Dia Maha Pengampun kepada mereka yang mau bertobat (25). Berikanlah kepada keluarga yang dekat itu bagiannya, begitu juga kepada orang-orang miskin dan orang dalam perjalanan. Tetapi jangan kamu hambur-hamburkan secara boros (26). Pemboros-pemboros itu sungguh golongan setan, sedang setan sungguh ingkar kepada Tuhan (27). Dan jika kamu berpaling dari mereka karena hendak mencari kurnia Tuhan yang kauharapkan, katakanlah kepada mereka dengan kata-kata yang lemah lembut (28). Jangan kaujadikan tanganmu terbelenggu ke kuduk, dan jangan pula engkau terlalu mengulurkannya, supaya engkau tidak jadi tercela dan menyesal (29). Sesungguhnya Tuhan melimpahkan rezeki kepada siapa saja dan menentukan ukurannya. Dia Maha Mengetahui akan hamba-hamba-Nya (30). Dan jangan kamu membunuhi anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami yang memberi rezeki mereka, juga rezeki kamu, sebab membunuh mereka suatu kesalahan besar (31). Janganlah kamu mendekati perzinahan, sebab perbuatan itu sungguh keji, dan cara yang sangat buruk (32). Janganlah kamu menghilangkan nyawa orang yang sudah dilarang Tuhan, kecuali atas dasar yang benar. Dan barangsiapa dibunuh tidak pada tempatnya, maka kepada penggantinya telah kami berikan kekuasaan, tetapi janganlah dia membunuh dengan melanggar batas karena dia pun (yang dibunuh) mendapat pertolongan (33). Harta anak yatim jangan kamu dekati, kecuali dengan cara yang baik sekali — sampai dia dewasa. Dan penuhilah janji itu, sebab setiap janji menghendaki tanggung jawab (34). Jagalah sukatanmu bila kamu menakar, penuhilah dan timbanglah dengan timbangan yang jujur. Itulah cara yang baik dan akan lebih baik sekali kesudahannya (35). Dan janganlah engkau mencampuri persoalan yang tidak kauketahui, sebab segala pendengaran, penglihatan dan isi hati orang, semua itu akan dimintai pertanggung jawaban (36). Juga janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan congkak, sebab engkau tidak akan dapat menembus bumi ini, juga tidak akan sampai setinggi gunung (37)… Semua itu suatu kejahatan yang dalam pandangan Tuhan sebagai buruk sekali.” (38).

 

Sungguh ini suatu budi pekerti yang luhur, suatu integritas moral yang sempurna sekali! Setiap ayat yang tersebut ini akan membuat pembaca jadi tertegun membacanya, ia akan mengagungkannya melihat susunan yang begitu kuat, begitu indah, dengan daya tarik kata-katanya, artinya yang Sangat luhur serta cara melukiskannya yang sudah merupakan suatu mukjizat.2 Sayang sekali di sini tempatnya tidak mengizinkan kita menyatakan rasa kekaguman itu! Ya, bagaimana akan mungkin, sedang untuk membicarakan keenam belas ayat itu saja seharusnya diperlukan sebuah buku tersendiri yang cukup besar!

 

Quran dan Budi-pekerti

 

Kalau kita mau membawakan satu segi saja dari budi-pekerti dan pendidikan akhlak yang terdapat dalam Quran, tentunya bidangnya akan luas sekali, yang tidak mungkin dapat ditampung dalam penutup buku ini. Cukup kiranya kalau kita sebutkan, bahwa tidak ada sebuah buku pun yang pernah memberikan dorongan begitu besar kepada orang supaya melakukan kebaikan, seperti yang diberikan oleh Quran itu. Tidak ada buku yang begitu agung mengangkat martabat manusia seperti yang diperlihatkan Quran. Juga yang bicara tentang perbuatan baik dan kasihsayang, tentang persaudaraan dan cinta-kasih, tentang tolong-menolong dan keserasian, tentang kedermawanan dan kemurahan hati, tentang kesetiaan dan menunaikan amanat, tentang kebersihan dan ketulusan hati, keadilan dan sifat pemaaf, kesabaran, ketabahan, kerendahan hati dan dorongan melakukan perbuatan terhormat, berbakti dan mencegah melakukan perbuatan jahat, dengan i’jaz! (mukjizat) yang tak ada taranya dalam menyajikan — seperti yang dikemukakan oleh Quran itu. Tak ada buku melarang sikap lemah dan pengecut, sifat egoisma dan dengki, kebencian dan kezaliman, berdusta dan mengumpat, pemborosan, kekikiran, tuduhan palsu dan perkataan buruk, permusuhan, perusakan, tipu-muslihat, pengkhianatan dan segala sifat dan perbuatan hina dan mungkar — seperti yang dilarang oleh Quran, dengan begitu kuat, meyakinkan, dengan i’jaz (mukjizat), yang diturunkan dalam wahyu kepada Nabi berbangsa Arab itu. Tiada sebuah surah pun yang kita baca, yang tidak akan memberi anjuran yang mendorong kita melakukan perbuatan baik, menganjurkan kita berbakti dan mencegah kita melakukan perbuatan jahat. Dianjurkannya orang mencapai kesempurnaan yang akan membawa kepada kehidupan harga diri dan budi-pekerti yang luhur. Kita dengarkan Quran mengenai toleransi:

 

“Tangkislah kejahatan iru dengan cara yang sebaik-baiknya. Kami mengetahui apa yang mereka sebutkan.”

 

“Kebaikan dan kejahatan iru tidak sama. Tangkislah (kejahatan) itu dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga orang yang tadinya bermusuhan dengan engkau, akan menjadi sahabat yang akrab sekali.”

 

Tetapi toleransi yang dianjurkan Quran ini tidak mendorong orang bersikap lemah, melainkan menyuruh orang supaya berwatak terhormat (nobility of character), selalu berlomba untuk kebaikan dan menjauhkan diri dari segala kehinaan:

 

“Apabila ada orang memberi salam penghormatan kepadamu, balaslah dengan cara yang lebih baik, atau (setidak-tidaknya) dengan yang serupa. “

 

“Dan kalau kamu mengadakan (pukulan) pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi kalau kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati tabah (sabar).

 

Dan ini jelas sekali bahwa toleransi yang dianjurkan itu ialah dalam arti yang terhormat, tanpa bersikap lemah samasekali, melainkan sepenuhnya sikap yang disertai harga diri.

 

Toleransi yang dianjurkan oleh Quran dengan cara yang terhormat ini dasarnya ialah persaudaraan, yang oleh Islam dijadikan tiang kebudayaan, dan yang dimaksud pula menjadi persaudaraan antar-manusia di seluruh jagat. Corak persaudaraan Islam ini ialah yang terjalin dalam keadilan dan kasih-sayang tanpa suatu sikap lemah dan menyerah. Persaudaraan atas dasar persamaan dalam hak, dalam kebaikan dan kebenaran tanpa terpengaruh oleh untung-rugi kehidupan duniawi, sekalipun mereka dalam kekurangan. Mereka ini lebih takut kepada Allah daripada kepada yang lain. Mereka ini orang-orang yang punya harga diri. Sungguhpun begitu mereka sangat rendah hati. Mereka orang-orang yang dapat dipercaya, yang menepati janji bila mereka berjanji, orang-orang yang sabar dan tabah dalam menghadapi kesulitan, yang apabila mendapat musibah, mereka berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un — “Kami kepunyaan Allah dan kepada-Nya juga kami kembali.’ Tak ada yang membuang muka dan berjalan di muka bumi dengan sikap congkak. Tuhan menjauhkan mereka dari sifat serakah dan kikir, tiada berkata dusta, terhadap Tuhan dan kepada sesamanya. Mereka tidak mau menyebarkan perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka menjauhkan diri dari segala dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka segera meminta maaf. Mereka dapat menahan amarah dan dapat pula memaafkan orang lain. Sedapat mungkin mereka menghindarkan prasangka, mereka tidak mau saling memata-matai atau saling menggunJing dari belakang. Mereka tidak boleh memakan harta sesamanya dengan cara yang tidak sah, lalu akan membawa perkara itu kepada hakim, supaya mereka dapat memakan harta orang lain dengan cara dosa itu. Jiwa mereka dibersihkan dari segala sifat dengki, tipu-menipu, cakap kosong dan segala perbuatan yang rendah. Sister Moral

 

Ciri-ciri khas watak dan etika yang menjadi landasan budi-pekerti dan pendidikan akhlak yang murni itu dasarnya ialah — seperti yang sudah kita Sebutkan — disiplin rohani seperti yang ditentukan oleh Quran dan yang bertalian pula dengan iman kepada Allah. Inilah soal yang pokok sekali dan ini pula yang akan menjamin adanya sistem moral dalam jiwa orang dengan tetap bersih dari segala noda, jauh dari segala penyusupan yang mungkin akan merusak. Moral yang dasarnya memperhitungkan untung-rugi segera akan diperbesar selama ia yakin bahwa kelemahan demikian Itu tidak akan mengganggu keuntungannya. Orang yang dasar moralnya memperhitungkan untung-rugi demikian ini sikap luarnya akan berbeda dengan isi hati. Keadaannya yang disembunyikan akan berbeda dengan yang diperlihatkan kepada orang. Ia berpura-pura jujur, tapi tidak akan segan-segan ia menjadikan itu hanya sebagai taming untuk memancing keuntungan. Ia berpura-pura benar, tapi tidak akan segan-segan ia meninggalkannya kalau dengan meninggalkan itu ia akan mendapat keuntungan. Orang yang pertimbangan moralnya demikian ini dalam menghadapi godaan mudah sekali jadi lemah, mudah sekali terbawa arus nafsu dan tujuan-tujuan tertentu!

 

Kelemahan ini ialah gejala yang jelas terlihat dalam dunia kita sekarang. Sudah sering sekali orang mendengar adanya perbuatanperbuatan skandal dan korupsi di mana-mana dalam dunia yang sudah beradab ini. Sebabnya ialah karena kelemahan, orang lebih mencintai harta dan kedudukan atau kekuasaan daripada nilai moral yang tinggi dan iman yang sebenarnya. Tidak sedikit mereka terjerumus masuk ke dalam jurang tragedi moral dan melakukan kejahatan yang paling keji, kita lihat pada mulanya mereka pun berakhlak baik, tetapi masih untung-rugi itu juga yang menjadi dasar moralnya. Tadinya mereka menganggap bahwa sukses dalam hidup ini bergantung pada kejujuran. Lalu mereka bersikap jujur karena ingin sukses, bukan bersikap jujur karena terikat oleh akidahnya — oleh keyakinan batinnya. Mereka berhenti hanya sampai di Situ, meskipun ini sangat membahayakan dirinya. Tetapi setelah mereka lihat bahwa mengabaikan masalah kejujuran dalam peradaban abad kini merupakan salah satu jalan mencapai sukses, maka kejujuran itu pun mereka abaikan. Yang demikian ini ada yang tetap tertutup dari mata orang, rahasianya tidak sampai terbongkar dan akan tetap dipandang terhormat, tetapi ada juga yang rahasianya terbongkar dan ia tercemar, yang kadang berakhir dengan bunuh diri.

 

Jadi pembinaan sistem watak dan moral atas dasar untung-rugi ini sewaktu-waktu akan menjerumuskannya ke dalam bahaya. Sebaliknya, apabila pembinaannya itu didasarkan atas sistem rohani seperti dirumuskan oleh Quran, ini akan menjamin tetap bertahan, takkan terpengaruh oleh sesuatu kelemahan. Niat yang menjadi pangkal bertolaknya perbuatan ialah dasar perbuatan itu dan sekaligus harus menjadi kriteriumnya pula. Orang yang membeli undian untuk pembangunan sebuah rumah sakit, ia tidak membelinya dengan niat hendak beramal, melainkan karena mengharapkan keuntungan. Orang yang memberi karena ada orang yang datang meminta secara mendesak dan ia memberi karena ingin melepaskan diri, tidak sama dengan orang yang memberi karena kemauan sendiri, yaitu memberi kepada mereka yang tidak meminta secara mendesak, mereka yang oleh orang yang tidak mengetahui dikira orang-orang yang berkecukupan karena mereka memang tidak mau meminta-minta itu. Orang yang berkata sebenarnya kepada hakim karena takut akan sanksi hukum terhadap seorang saksi palsu, tidak sama dengan orang yang berkata sebenarnya karena ia memang yakin akan arti kebenaran itu. Juga moral yang landasannya perhitungan untung-rugi kekuatannya tidak akan sama dengan moral yang sudah diyakini benar bahwa itu bertalian dengan kehormatan dirinya sebagai manusia, bertalian dengan keimanannya kepada Allah. Dalam hatinya sudah tertanam landasan rohani yang dasarnya keimanan kepada Allah itu.

 

Arti Larangan Minuman Keras dan Judi

 

Quran tetap menekankan, bahwa pikiran yang rasional harus tetap bersih, jangan dimasuki oleh sesuatu yang akan mempengaruhi lukisan iman dan watak yang indah itu. Oleh karenanya minuman keras dan judi itu dipandang kotor sebagai perbuatan setan. Kalaupun ada manfaatnya buat orang, namun dosanya lebih besar dari manfaatnya. Dengan demikian harus dijauhi. Perjudian akan mengalihkan perhatian si penjudi dari persoalan lain, wataknya akan habis dan hiburan ini akan membuatnya lupa dari segala kewajiban moral yang baik. Sedang minuman keras akan menghilangkan pikiran dan harta — untuk meminjam kata-kata Umar bin’l-Khattab, ketika ia berharap Tuhan akan memberikan penjelasan mengenai hal ini. Sudah wajar sekali pikiran yang rasional itu akan jadi sesat kalau ia hilang atau berubah, dan kesesatan itu akan lebih mudah mendorong orang melakukan perbuatan rendah, sebaliknya daripada akan menjauhkan diri dari kejahatan.

 

Sistem moral yang dibawa Quran. untuk “negara utama” itu bukan dengan tujuan supaya jiwa manusia samasekali jauh dari kenikmatan hidup yang diberikan Tuhan, sehingga karenanya ia akan hanyut ke dalam hidup pertapaan dalam merenungkan alam, dan menyiksa diri dalam menuntut ilmu untuk itu. Sistem moral ini tidak rela membiarkan manusia menyerahkan diri kepada kesenangan supaya jangan ia tenggelam ke dalam jurang kemewahan dan karenanya ia akan melupakan segalanya. Bahkan moral ini hendak membuat menjadi umat pertengahan, mengarahkan mereka kepada lembaga budi yang lebih murni, lembaga yang mengenal alam dan segala isinya ini.

 

Quran dan Ilmu Pengetahuan

 

Quran bicara tentang ciptaan Tuhan yang ada dalam alam ini dengan Suatu pengarahan yang hendak mengantarkan kita sejauh mungkin dapat kita ketahui. Ia bicara tentang bulan hari pertama, tentang matahari dan bulan, tentang siang dan malam, tentang bumi dan apa yang dihasilkan bumi, tentang langit dan bintang-bintang yang menghiasinya, tentang samudera, dengan kapal yang berlayar supaya kita dapat menikmati karunia Tuhan, tentang binatang untuk beban dan ternak, tentang ilmu dan segala cabangnya yang terdapat dalam alam ini. Quran bicara tentang semua ini, dan menyuruh kita merenungkan dan mempelajarinya, supaya kita menikmati segala peninggalan dan hasilnya itu sebagai tanda kita bersyukur kepada Allah. Apabila Quran telah mengajarkan etika Quran kepada manusia, menganjurkan mereka supaya berusaha terus untuk mengetahui segala yang ada dalam alam ini, sudah sepatutnya pula bila dari pengamatan mereka dengan jalan akal pikiran itu, mereka akan sampai ke tujuan sejauh yang dapat ditangkap oleh akal pikirannya itu. Sudah sepatutnya pula mereka membangun sistem ekonominya itu atas dasar yang sempurna.

 

Sistem Ekonomi

 

Sistem ekonomi yang dibangun atas dasar moral dan rohani seperti yang sudah kita sebutkan itu, sudah seharusnya akan mengantarkan manusia ke dalam hidup bahagia, dan menghapus segala penderitaan dari muka bumi ini. Prinsip-prinsip agung yang oich Quran ditekankan sekali supaya ditanamkan ke dalam jiwa seperti di tempat akidah dan iman itu, akan membuat orang tidak sudi melihat masih adanya penderitaan di muka bumi ini, atau masih adanya kekurangan yang dapat diberantas tapi tidak dilakukan. Bagi orang yang sudah mendapat ajaran ini yang pertama sekali akan ditolaknya ialah riba yang menjadi dasar kehidupan ekonomi dewasa ini, dan yang menjadi sumber penderitaan seluruh umat manusia. Oleh karena itu Quran secara tegas sekali mengharamkan, seperti dalam firman Tuhan:

 

“Mereka yang memakan riba tidak akan dapat berdiri, kalaupun berdiri hanya akan seperti orang yang sudah kemasukan setan karena penyakit gila.”

 

“Seriap riba yang kamu lakukan untuk menambah harta orang lain dalam pandangan Allah tidak akan dapat bertambah. Tetapi zakat yang kamu lakukan demi keridaan Allah, mereka itu yang akan mendapat balasan berlipat ganda.”

 

Larangan Riba

 

Diharamkannya riba adalah norma dasar untuk kebudayaan yang Akan dapat menjamin kebahagiaan dunia. Bahaya riba dalam bentuknya yang paling kecil ialah ikut sertanya orang yang tidak bekerja dalam suatu hasil usaha orang lain hanya karena ia sudah meminjamkan uang kepadanya, dengan alasan lagi bahwa dengan meminjamkan itu ia sudah membantu orang lain memperoleh hasil keuntungan itu. Sebaliknya kalau ini tidak dilakukan si peminjam tidak akan dapat berusaha dan dengan sendirinya takkan dapat memungut keuntungan. Kalau hanya ini saja satusatunya bentuk riba itu, ini pun takkan dapat dijadikan alasan. Kalau orang yang meminjamkan uang itu mampu menjalankan sendiri, ia tidak akan memimjamkannya kepada orang lain, dan kalau uang itu tetap di tangannya sendiri tidak dijalankan dalam usaha, maka uang itu pun tidak akan mendatangkan keuntungan. Sebaliknya, sedikit demi sedikit uangnya itu akan habis dimakan pemiliknya sendiri. Jika ia akan meminta bantuan orang lain menjalankan uangnya dengan bagi hasil menurut keuntungan yang akan diperoleh, tentu caranya bukan dengan jalan dipinjamkan sebagai modal dengan laba tertentu, melainkan dengan cara Si pemilik uang itu ikut serta dengan orang yang menjalankan uangnya atas dasar bagi untung. Kalau si penguasaha beruntung, maka si pemilik modal itu pun akan mendapat bagian keuntungan: kalau rugi, dia pun akan turut memikul kerugiannya. Sebaliknya kalau kepada pemilik modal itu akan ditentukan suatu laba, meskipun yang mengusahakan tidak mendapat keuntungan apa-apa, maka itu adalah suatu eksploitasi illegal, suatu pemerasan yang tidak sah.

 

Dan tidak akan dapat terjadi bahwa harta itu dapat diperlakukan seperti yang lain-lain, dapat dipersewakan seperti menyewakan tanah atau menyewakan hewan, dan bahwa laba uang tunai harus sesuai dengan hasil sewa barang-barang yang lain itu. Uang yang dapat dipakai untuk pengeluaran dan dapat juga dipakai untuk produksi, yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan dan juga dapat menimbulkan kejahatan (dosa), dengan harta bergerak dan tidak bergerak lainnya, besar sekali perbedaannya. Orang yang menyewa tanah, rumah, hewan atau barang apa pun, tentu karena ingin dimanfaatkan, yang berarti akan sangat berguna buat dia, kecuali jika dia memang orang bodoh atau orang edan, yang segala perak-geriknya sudah tidak lagi diperhitungkan orang.

 

Sebaliknya yang mengenai uang modal, yang biasanya dipinjam untuk tujuan-tujuan perdagangan yang sebaik-baiknya. Perdagangan itu senantiasa dihadapkan kepada soal untung atau rugi. Sedang mengenai sewamenyewa barang-barang bergerak dan tidak bergerak untuk dijalankan dalam usaha, sedikit sekali yang mengalami kerugian, kecuali dalam keadaan yang abnormal, yang tidak masuk dalam keadaan biasa. Apabila keadan abnormal ini yang terjadi, maka kekuasaan hukum segera pula Campur tangan antara si pemilik dengan si penyewa — seperti yang sering terjadi dalam semua negara di dunia — untuk menghilangkan ketidakadilan terhadap si penyewa serta menolongnya dari tindakan si pemilik yang hanya akan memungut laba dari usahanya itu. Sebaliknya, dengan menentukan bunga uang tunai, dengan lebih-kurang 7% atau 9%, maka ini tidak akan mengubah, bahwa si peminjam dapat terancam oleh kerugian modal, di samping kerugian usahanya sendiri. Apabila di samping itu dia masih juga lagi dituntut dengan bunga, maka inilah yang disebut kejahatan (dosa). Akibat ini akan menimbulkan permusuhan, sebaliknya daripada persaudaraan, akan menimbulkan kebencian, bukan cinta kasih. Inilah sumber kesengsaraan dan segala krisis yang diderita umat manusia dewasa ini.

 

Bahaya Riba yang Lain

 

Kalau memang inilah bahaya riba dalam bentuknya yang paling kecil, dan begitu pula akibat-akibat yang timbul, apalagi dengan bentuk lain tatkala si pemberi pinjaman itu sudah lebih mendekati binatang buas daripada manusia, atau si peminjam itu sudah sangat membutuhkan uang di luar keperluan penanaman modal atau produksi. Adakalanya ia sangat membutuhkan uang untuk keperluan nafkah yang konsumtif, untuk keperluan makannya atau makan keluarganya. Ketika itulah perhatiannya hanya pada yang lebih mudah saja dulu, sebelum ia dapat memegang sesuatu pekerjaan yang dapat menjamin keperluan hidupnya dan kemudian dapat membayar kembali utangnya. Ini sudah merupakan satu tugas perikemanusiaan sebagai langkah pertama. Dan ini pula yang dirumuskan oleh Quran. Bukankah dalam keadaan serupa ini pemberian pinjaman dengan riba sudah merupakan suatu kejahatan yang sama dengan pembunuhan? Yang lebih parah lagi dari kejahatan ini ialah adanya segala macam tipu-muslihat dengan jalan riba itu. untuk merampas harta orangOrang yang lemah, orang-orang yang tidak pandai menjaga hartanya. Tipumuslihat ini tidak kurang pula jahatnya dari pencurian yang rendah. Dan setiap pelaku ke arah ini harus dihukum seperti pencuri atau lebih keras lagi.

 

Riba dan Penjajahan

 

Riba adalah salah satu faktor yang turut menjerumuskan dunia ke dalam bencana penjajahan, dengan segala macam penderitaan yang ditimbulkan oleh penjajahan itu. Sebagian besar masalah penjajahan itu dimulai oleh sekelompok tukang-tukang riba — secara perseorangan atau dalam bentuk badan-badan usaha — yang mendatangi beberapa negara dengan memberikan pinjaman kepada penduduk. Kemudian mereka menyusup masuk lebih dalam lagi sampai mereka dapat menguasai sumber-sumber kekayaan. Bilamana kelak anak negeri sudah menyadari kembali dan hendak mempertahankan diri dan harta mereka, orang-orang asing itu cepat-cepat meminta bantuan negaranya. Negara ini pun kemudian masuk atas nama hendak melindungi rakyatnya. Kemudian ia menyusup juga masuk lebih dalam lagi, lalu berkuasa sebagai penjajah. Sekarang mereka sebagai yang dipertuan. Kemerdekaan orang lain dirampas. Sebagian besar sumber-sumber kekayaan dalam negeri itu mereka kuasai. Dengan demikian kekayaan mereka jadi hilang, penderitaan mulai mencekam seluruh kawasan itu dan bayangan kesengsaraan sudah pula merayap-rayap ke dalam hati mereka. Pikiran mereka jadi kacau, moral jadi lemah, iman mereka pun mulai goyah. Martabat mereka jadi turun dari taraf manusia yang sebenarnya ke taraf yang lebih hina, yang bagi orang yang beriman kepada Allah tidak akan sudi hidup demikian, sebab, hanya kepada Allah semata orang merendahkan diri dan harus mengabdi.

 

Juga penjajahan itu sumber peperangan, sumber penderitaan besar yang sangat menekan kehidupan seluruh umat manusia dewasa ini. Selama ada riba, selama ada penjajahan, jangan diharap manusia akan dapat kembali ke masa persaudaraan dan saling cinta antara sesamanya. Harapan akan kembali ke masa serupa itu tidak akan ada, kecuali jika kebudayaan atas: dasar yang dibawa oleh Islam dan diwahyukan dalam Quran itu dapat dibangun kembali.

 

Sosialisma Islam

 

Di dalam Quran ada konsepsi sosialisma yang belum lagi dibahas Orang. Sosialisma ini tidak didasarkan kepada perang modal dan perjuangan kelas, seperti yang terdapat sekarang dalam sosialisma Barat, melainkan dasarnya ialah karakter dan moral yang tinggi yang akan menjamin adanya persaudaraan kelas, adanya kerjasama dan saling bantu atas dasar kebaikan dan kebaktian, bukan kejahatan dan saling permusuhan. Tidak sulit orang akan melihat landasan sosialisma atas dasar persaudaraan ini, seperti yang sudah ditentukan oleh Quran mengenai zakat dan sedekah misalnya. Orang dapat menilai, bahwa ini bukanlah Sosialisma dengan dominasi suatu kelas atas kelas yang lain, atau kekuasaan suatu golongan atas golongan yang lain. Kebudayaan yang dilukiskan oleh Quran tidak mengenal adanya dominasi atau sikap berkuasa, melainkan atas dasar persaudaraan yang sungguh-sungguh yang didorong oleh keyakinan yang kuat akan persaudaraan itu, suatu keyakinan yang membuat orang dengan mengingat karunia Tuhan itu mau memberi untuk si miskin, orang melarat, orang yang membutuhkan dan segala yang diperlukannya akan makanan, tempat tinggal, obat-obatan, Pengajaran dan pendidikan. Mereka memberikan itu atas dasar keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian penderitaan dapat dihilangkan, karunia Tuhan dan kebahagiaan dapat merata kepada umat manusia.

 

Tidak Menghapuskan Hak Milik Secara Mutlak

 

Sosialisma Islam ini tidak sampai menghapuskan hak milik secara mutlak, seperti halnya dengan sosialisma Barat. Kenyataan sudah membuktikan — bolsyevisma di Rusia dan negara-negara sosialis lainnya — bahwa menghapuskan hak milik itu suatu hal yang tidak mungkin. Sungguhpun begitu, namun perusahaan-perusahaan negara harus tetap menjadi milik bersama untuk kepentingan semua orang. Mengenai ketentuan perusahaan-perusahaan negara itu terserah kepada negara. Oleh karena itu mengenai ketentuan ini sejak abad-abad permulaan dalam sejarah Islam sudah terdapat perbedaan pendapat. Dari kalangan sahabatsahabat Nabi sendiri ada yang terlampau keras menjalankan ketentuan sosialisma ini, sehingga segala yang diciptakan Tuhan dijadikan milik bersama dan untuk kepentingan umum. Mereka memandang tanah dan segala yang terkandung, sama dengan air dan udara, tidak boleh menjadi milik pribadi. Yang boleh dimiliki hanya hasilnya, yang disesuaikan dengan usaha dan perjuangan masing-masing. Ada juga yang tidak berpendapat demikian. Mereka menyatakan bahwa tanah boleh dimiliki dan dianggap sebagai barang-barang yang boleh dipertukarkan.

 

Sistem Sosialisma yang sudah Mantap

 

Akan tetapi persetujuan yang sudah dicapai di kalangan mereka ialah sama dengan yang berlaku.di Eropa sekarang, yaitu menentukan bahwa setiap orang harus mencurahkan segala kemampuannya untuk kepentingan masyarakat, dan masyarakat harus pula berusaha, untuk kepentingan pribadi dalam mengatasi segala keperluannya. Setiap Muslim berhak menerima kebutuhannya serta kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya dari baitulmal (perbendaharaan negara) Muslimin, selama ia belum mendapat pekerjaan yang akan menjamin keperluan hidupnya, atau selama pekerjaan yang dipegangnya itu tidak mencukupi keperluannya dan keperluan keluarganya.

 

Selama norma-norma etik di dalam Quran seperti yang sudah kita sebutkan itu dijalankan, maka tidak akan ada orang yang mau berdusta, tidak akan ada orang yang mau mengatakan, bahwa ia penggangur, padahal yang sebenarnya dia tidak mau bekerja, tidak akan ada orang yang mau menyatakan, bahwa penghasilan dari pekerjaannya tidak mencukupi, padahal sebenarnya sudah lebih dari cukup. Khalifah-khalifah pada masa permulaan Islam dahulu sudah mewajibkan diri menyelidiki sendiri keadaan umat Islam untuk kemudian dapat mengatasi segal keperluan orang yang memang berada dalam kebutuhan.

 

Sosialisma Dasarnya Persaudaraan

 

Dari sini dapat kita lihat bahwa sosialisma dalam Islam bukanlah sosialisma harta serta pembagiannya, melainkan sosialisma yang menyeluruh, yang dasarnya persaudaraan dalam kehidupan rohani dan moral serta dalam kehidupan ekonomi. Kalau seseorang belum sempurna imannya sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, maka imannya itu pun memang tidak sempurna kalau tidak dapat ia turut mendukung orang memberantas kemiskinan dan memberikan derma atau dana untuk kemakmuran bersama, membagikan kekayaan sebagai karunia Tuhan itu, baik dengan diketahui, atau tidak diketahui orang. Makin besar cintanya kepada orang lain, makin dekat ia kepada Tuhan. Dia sedikit pun merasa lebih gembira. Apabila Tuhan telah membuat manusia itu bertingkat-tingkat, memberikan rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya serta menentukan pula, maka manusia takkan lebih baik keadaannya kalau tak ada rasa’ saling hormat, yang kecil menghormati yang lebih besar, yang besar mencintai yang lebih kecil, si kaya mau memberi untuk si miskin demi Allah semata, karena rasa syukur.

 

Rasanya tidak perlu kita menyebutkan lagi apa yang sudah disebutkan Quran tentang sistem ekonomi, tentang waris, tentang usiat (testamen), tentang perjanjian-perjanjian, perdagangan dan sebagainya. Dalam memberikan isyarat yang singkat sekalipun mengenai masalah-masalah hukum atau soal-soal kemasyarakatan, akan memerlukan ruangan sekian kali lebih banyak dari pasal ini. Cukup kalau kita sebutkan saja, bahwa apa yang sudah disebutkan dalam Quran sehubungan dengan masalah-masalah tersebut kiranya sampai sekarang belum ada suatu undang-undang yang lebih baik dari itu. Bahkan orang akan terkejut sekali bila ia melihat adanya beberapa penjelasan seperti perjanjian tertulis mengenai utangpiutang sampai pada waktu tertentu kecuali dalam perdagangan, atau Seperti dalam mengirimkan dua orang juru pendamai jika dikuatirkan akan terjadi perceraian antara suami-istri, atau terhadap dua golongan yang sedang berperang dan pihak yang menyerang dengan sewenangwenang dan tidak mau diajak damai itu harus diperangi sampai ia mau kembali kepada perintah Tuhan — sungguh orang akan kagum sekali melihat semua ini. Apalagi akan membandingkannya dengan berbagai macam undang-undang yang pernah ada, kalaupun perundang-undangan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diletakkan Quran itu Sudah memang cukup baik.

 

Jadi tidak mengherankan sekali — seperti yang sudah kita sebutkan tentang riba dan tentang sosialisma Islam sebagai dasar sistem ekonomi, yang dilukiskan di dalam Quran dengan penjelasan hukum sebagai suatu penyusunan undang-undang yang terbaik yang pernah ada dalam sejarah — kalau kebudayaan Islam itu juga yang menjadi kebudayaan yang layak buat umat manusia dan yang benar-benar akan memberikan hidup bahagia.

 

Mungkin Ada yang Menjadi Keberatan Pihak Barat

 

Setelah melihat apa yang sudah kita kemukakan mengenai lukisan Quran tentang kebudayaan serta landasannya, mungkin ada beberapa penulis Barat yang berpendapat bahwa sifat manusia tidak sesuai dengan sistem yang hendak memaksanya ke tingkat yang lebih tinggi di atas kemampuan kodratnya sendiri, dan bahwa sistem demikian ini tidak akan mampu hidup atau akan bertahan lama. Manusia menurut tanggapan mereka, digerakkan oleh rasa harap dan cemas, oleh keinginan dan nafsu, sama halnya dengan makhluk hewan, hanya saja dia makhluk berpikir -: homo sapiens. Bahwa manusia akan menganut suatu sistem kebudayaan seperti yang digambarkan oleh Islam itu, adalah suatu hal yang tidak mungkin, sekurang-kurangnya tidak mudah. Paling jauh yang dapat kita lakukan dalam menyusun kehidupan masyarakat manusia ini ialah memperbaiki nafsu itu, mengarahkan pikiran tentang harap dan cemas itu sebaik-baiknya dari segi materialisma ekonomi semata. Sedang yang di luar itu masyarakat tidak akan mampu melaksanakannya. Mungkin yang menjadi alasan mereka ialah karena sistem Islam itu — seperti yang digambarkan Quran dan sudah saya coba menguraikannya di sini secara ringkas — belum dapat diharapkan di dalam masyarakat Islam sendiri kecuali pada masa. Nabi dan pada masa permulaan sejarah Islam. Kalau sistem ini memang sesuai dengan struktur kehidupan, tentu di dalam lingkungan Islam dahulu sudah dapat dijalankan dan dari sana akan sudah tersebar ke seluruh dunia. Akan tetapi bilamana hal ini tidak terjadi, bahkan sebaliknya yang terjadi, maka anggapan bahwa sistem ini sangat layak, dan dapat menjamin kebahagiaan umat manusia, adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

 

Keberatan yang Salah

 

Atas keberatan ini kiranya pengakuan mereka sendiri sudah cukup untuk menggugurkannya, yaitu bahwa sistem Islam itu berjalan dan dipraktekkan pada masa Nabi dan pada permulaan sejarah Islam. Dan Muhammad sendiri teladan yang paling baik dalam pelaksanaan itu. Kemudian teladan yang baik itu diteruskan oleh para khalifah yang mulamula. Mereka terus berjalan dengan sistem itu sampai mencapai tujuan yang sempurna sebagaimana mestinya. Akan tetapi, adanya intrik-intrik dan ambisi-mabisi yang timbul kemudian kadang dengan jalan Israiliat, kadang pula dengan jalan rasialisma, itulah yang sedikit demi sedikit telah mengancam dasar-dasar Islam yang sebenarnya.

 

Akibat daripada semua itu orang berangsur-angsur kembali mengganti kehidupan rohani dengan materi, sifat kemanusiaan dengan kebinatangan. Dan berhenti hanya sampai pada batas lingkaran peradaban dewasa ini berada, yang hakikatnya hendak menjerumuskan umat manusia ke dalam penderitaan.

 

Teladan yang Diberikan Muhammad

 

Muhammad sendiri teladan yang baik sekali dalam melaksanakan kebudayaan seperti dilukiskan Quran itu. Dalam buku ini contoh itu sudah kita lihat, bagaimana rasa persaudaraannya terhadap seluruh umat manusia dengan cara yang sangat tinggi dan sungguh-sungguh itu di

 

laksanakan. Saudara-saudaranya di Mekah semua sama dengan dia sendiri dalam menanggung duka dan sengsara. Bahkan dia sendiri yang lebih banyak menanggungnya. Sesudah hijrah ke Medinah, dipersaudarakannya orang-orang Muhajirin dengan Anshar demikian rupa, sehingga mereka berada dalam status saudara sedarah. Persaudaraan sesama orangorang beriman secara umum itu adalah persaudaraan kasih-sayang untuk membangun suatu sendi kebudayaan yang masih muda waktu itu. Yang memperkuat persaudaraan ini ialah keimanan yang sungguh-sungguh kepada Allah dengan demikian kuatnya sehingga dibawanya Muhammad ke dalam komunikasi dengan Tuhan, Zat Yang Mahaagung. Sikapnya dalam perang Badr, bagaimana ia berdoa kepada Tuhan mengharapkan pertolongan yang dijanjikan kepadanya. Ia minta pertolongan itu dilaksanakan, dengan menyebutkan bahwa bilamana angkatan Badr itu hancur, tak ada lagi ibadat. Ini merupakan suatu manifestasi yang kuat dalam komunikasi.

 

Begitu juga tindakan-tindakannya yang lain di luar Badr menunjukkan, bahwa dia selalu dalam komunikasi.dengan Tuhan, di luar saat-saat tertentu sewaktu wahyu turun. Komunikasinya ini ialah melalui keimanannya dengan sungguh-sungguh, keimanan yang sampai membuat mati itu tiada arti lagi. Maut malah dihadapinya dan diharapkannya. Orang yang Sungguh-sungguh dalam imannya tidak pernah takut mati, bahkan mengharapkannya selalu. Ajal sudah ditentukan. Di mana pun manusia berada, maut akan mencapainya selalu, sekalipun di dalam benteng-benteng yang kukuh. Iman inilah yang membuat Muhammad tetap tabah ketika melihat kaum Muslimin lari tunggang-langgang pada permulaan pecah perang Hunain. Dipanggilnya orang-orang itu tanpa menghiraukan maut yang sedang mengepungnya, dengan sejumlah kecil orang-orang yang masih bertahan bersama-sama dia. Iman inilah yang membuat dia memberikan apa saja yang ada padanya tanpa ia sendiri takut kekurangan. Ia telah mencapai puncak nilai-nilai kebaikan seperti yang diserukan oleh Kitabullah.

 

Dengan teladan baik yang diberikannya itu dalam permulaan sejarah Islam kaum Muslimin telah mengikuti jejaknya.

 

Semua itu, dengan Muslimin pada permulaan sejarah Islam, yang telah mengikuti teladan baik yang diberikannya, telah membuat Islam begitu pesat berkembang pada dasawarsa pertama, yang kemudian disusul dengan berpulangnya Nabi ke rahmatullah. Islam tersebar ke seluruh kawasan, panji-panji Islam berkibar tinggi sesuai dengan kebudayaan yang berlaku. Dari bangsa-bangsa yang tadinya sangat lemah dan berantakan, telah dapat pula dibangun menjadi bangsa-bangsa dan negara-negara yang kuat, dan menjadi pelopor ilmu pengetahuan. Dengan jalan ini telah banyak sekali rahasia-rahasia alam yang dapat diketahuinya. Karena itu diciptakannya pula karya-karya besar yang menjadi kebanggaan zaman sekarang, yang sudah dianggap sebagai zaman keemasan dan ilmu, tanpa memperkosa kebahagiaan umat manusia karena pengabdiannya kepada materi dan imannya kepada Tuhan yang masih lemah itu.

 

Ulama yang Menyesatkan

 

Seperti dalam kebudayaan lain, kebudayaan Islam juga banyak dimasuki oleh ambisi-mabisi rasialisma dan Israiliat. Soalnya ialah karena ada segolongan ulama yang seharusnya menjadi pewaris para nabi malah mereka ini lebih menyukai kekuasaan daripada kebenaran, daripada nilai moral. Ilmu yang ada pada mereka dipakai alat untuk menyesatkan orangorang awam dan generasi mudanya, sama halnya dengan kebanyakan ulama-ulama sekarang yang juga mau menyesatkan orang-orang awam beserta angkatan mudanya itu. Ulama-ulama demikian ini ialah pembelapembela setan, yang akan lebih berat memikul tanggung jawab di hadapan Tuhan.

 

Maka kewajiban pertama buat setiap ulama yang benar-benar ikhlas demi ilmu dan demi Tuhan, ialah harus siap melawan mereka dan memberantas semua bibit yang merusak itu. Mereka hendak membelokkan orang dari kebenaran, hendak menyesatkan orang dari jalan yang Jurus. Apabila ulama-ulama (pendeta-pendeta) yang menyesatkan di Barat itu telah ikut memegang peranan dalam melibatkan gereja dan ilmu ke dalam kancah saling berperang dalam merebut kekuasaan, maka peranan demikian tidak ada buat mereka di negeri-negeri Islam, sebab dalam kebudayaan Islam agama dan ilmu saling terjalin, sebab agama tanpa ilmu suatu kekufuran, ilmu tanpa agama sesat. Sekiranya dunia ini sampai bernaung di bawah kebudayaan Islam seperti yang dilukiskan Quran, dan tidak diperkosa oleh adanya penaklukan-penaklukan Mongolia dan yang semacamnya yang telah masuk Islam tapi tidak menjalankan prinsipprinsip Islam atau berusaha menyebarkannya, malah Islam dipakainya sebagai alat untuk menguasai orang-orang awam di kalangan Muslimin dengan prinsip yang samasekali bertentangan dengan prinsip-prinsip persaudaraan Islam — tentu keadaan dunia ini tidak akan seperti ini, umat manusia akan selamat dari beberapa hal yang kini menjerumuskan mereka ke dalam jurang penderitaan.

 

Kebudayaan Islam dalam Dunia Kita Sekarang

 

Saya yakin, bahwa kebudayaan yang dilukiskan oleh Quran itu akan tersebar ke dunia luas kalau saja korps ulama ini mau tampil ke depan dengan suatu ajakan yang ilmiah caranya, jauh dari segala cara berpikir yang beku dan fanatik. Kebudayaan ini akan berdialog dengan hati, juga akan berdialog dengan pikiran, dan dapat dijamin manusia dari segala bangsa akan menerimanya dengan hati terbuka tanpa dapat dicegah oleh ambisi-ambisi pribadi. Untuk ini yang diperlukan oleh ulama-ulama itu tidak lebih dari hanya supaya mereka menjadi orang-orang yang benarbenar beriman, mengajak orang kepada ajaran Tuhan yang sebenarnya dan kepada kebudayaan yang demikian ini dengan hati yang ikhlas demi agama. Ketika itulah orang merasa bahagia dengan persaudaraannya dalam Tuhan seperti pada zaman Nabi, mereka merasa bahagia.

 

Apa yang terjadi pada masa Nabi dan pada permulaan sejarah Islam sudah tidak memerlukan pembuktian lagi, dengan apa yang sudah saya sebutkan dalam pengantar buku ini, bahwa revolusi rohani yang sinarnya sudah dipancarkan oleh Muhammad ke seluruh dunia ini sudah seharusnya akan membukakan jalan umat manusia kepada kebudayaan baru yang selama ini dicarinya. Dan saya tidak pernah ragu sekejap pun mengenai hal ini.

 

Akan tetapi ada beberapa sarjana Barat yang menyatakan beberapa keberatan dengan menghubungkannya pada jiwa yang menjadi sumber konsepsi kebudayaan Islam itu. Atas dasar itu mereka mengambil kesimpulan, bahwa Islamlah yang menjadi sebab mundurnya bangsabangsa yang menganut agama ini. Yang penting di antaranya ialah apa yang mereka katakan, bahwa jabariah Islam itulah yang membuat Semangat umat Islam jadi kendor, membuat mereka malas menghadapi perjuangan hidup, sehingga mereka menjadi golongan yang hina-dina. Dalam menghadapi tantangan ini dan apa yang sejalan dengan itu, inilah yang akan menjadi pokok pembahasan kedua pada bagian penutup buku ini,

 

 

Tantangan Pihak Orientalis

 

WASHINGTON Irving sebagai penulis terkemuka telah menjadi kebanggaan Amerika Serikat terhadap bangsa-bangsa lain dalam abad ke19. Dia telah menulis buku tentang sejarah hidup Nabi. Dalam buku ini dibentangkannya sejarah Nabi itu dengan kemampuan retorika yang cukup besar sehingga tidak sedikit bagian-bagian yang dapat memikat hati pembacanya. Di samping kemampuannya itu kadang terlihat juga kejujurannya, tapi kadang tampak pula tidak toleran dan penuh prasangka. Buku ini disudahi dengan sebuah penutup yang menjelaskan pokok-pokok ajaran rukun Islam, serta apa yang dikiranya sumber-sumber yang berdasarkan sejarah yang telah dijadikan landasan ajaran itu, didahului dengan soal keimanan kepada Tuhan, kepada para malaikat, kitab-kitab, para rasul dan hari kemudian. Kemudian katanya:

 

“Rukun keenam dan terakhir daripada rukun akidah Islam (rukun iman) ialah jabariah.! Sebagian besar kemenangan Muhammad dalam perang didasarkan kepada ajaran ini. Segala peristiwa yang terjadi dalam hidup sudah ditentukan lebih dulu oleh takdir Tuhan, sudah tertulis dalam ‘Papan Abadi”? sebelum Tuhan menciptakan alam ini, dan bahwa nasib dan ajal manusia semua sudah ditentukan, sudah tak dapat dielakkan lagi. Dengan cara apa pun menurut kemampuan usaha dan pikiran manusia, sudah tak dapat dimajukan lagi. Dengan keyakinan ini kaum Muslimin terjun ke medan perang tanpa merasa takut samasekali. Kalau mati dalam pertempuran demikian ini sama dengan mati syahid yang akan langsung masuk surga, maka mereka yakin salah satu ini pasti akan mereka capai — syahid atau menang. Irving dan Jabariah

 

“Ajaran yang menentukan, bahwa manusia tidak berdaya dengan kemauannya yang bebas itu untuk menghindari dosa atau selamat dari siksa, sebagian kaum Muslimin menganggapnya bertentangan dengan keadilan dan rahmat Tuhan. Beberapa golongan timbul. Mereka berusaha dan terus berusaha hendak meringankan dan memberi penjelasan mengenai ajaran yang membingungkan ini. Tetapi jumlah yang masih sangsi tidak banyak. Mereka ini tidak termasuk golongan Sunah (ortodoks).

 

“Muhammad mendapat inspirasi tentang ajaran ini tepat pada waktunya. Memang ini ilham yang luar biasa terjadi pada waktu yang tepat sekali. Kejadian ini persis sesudah Perang Uhud yang malang itu, yang tidak sedikit makan korban sahabat-sahabatnya, termasuk Hamzah pamannya. Ketika itulah, tatkala kesedihan dan kegelisahan sedang mencekam hati sahabat-sahabat yang mengelilinginya, peraturan ini dikeluarkan — bahwa manusia tak dapat mengelak dari kematian, bila ajal Sudah tiba, sama saja di tempat tidur atau di medan perang……..

 

“Kiranya orang takkan dapat melukiskan suatu ajaran yang lebih tepat dari ini untuk mendorong sekelompok tentara yang bodoh tidak berpengalaman itu menyerbu secara buas ke medan perang. Mereka sudah diyakinkan, kalau hidup mendapat rampasan perang, kalau mati mendapat Surga! Karena ajaran ini juga tentara Muslimin sudah hampir tak dapat dikalahkan lagi. Akan tetapi ini juga yang mengandung racun yang akan menghancurkan kekuasaan Islam itu. Begitu pengganti-pengganti Nabi itu berhenti sebagai penakluk, begitu mereka menyarungkan kembali pedangnya untuk selama-lamanya, ajaran jabariah ini pun mulai pula mengerumit (menggerogoti) untuk merusak. Urat-saraf Muslimin sudah peka terhadap perdamaian, juga sudah peka terhadap kekayaan materi yang dibolehkan Oleh Quran, dan yang merupakan pemisahan yang tajam antara prinsipPrinsip ini dengan agama Kristen, agama suci dan kasih sayang. Seorang Muslim yang ditimpa kemalangan menganggapnya sebagai nasib yang Sudah ditakdirkan Tuhan dan tak dapat dihindarkan, jadi harus tunduk dan menerima, selama segala daya dan upaya dan pikiran manusia memang tdak berguna.

 

“Rumus yang berbunyi: “Tolonglah dirimu, Tuhan akan menolongmu” dipandang oleh pengikut-pengikut Muhammad tak dapat dilaksanakan, bahkan sebaliknya yang mereka ambil. Dari sanalah salib berhasil mengikis bulan sabit. Adanya bulan sabit ini sampai sekarang di Eropa – yang pada suatu waktu pernah mencapai kekuatan yang luar biasa – hanyalah karena perbuatan negara-negara Kristen yang besar-besar, atau lebih tepat lagi: karena persaingan mereka sendiri. Bertambahnya bulan sabit itu barangkali untuk menjadi bukti yang baru, bahwa: “barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang.”

 

Demikianlah kata-kata Washington Irving, orang yang dengan studinya itu belum memungkinkan ia dapat menangkap jiwa Islam dan dasar kebudayaannya. Salah sekali pendapatnya dalam mengartikan soal algadza wal-gadar (kadar atau takdir) serta soal ajal itu. Barangkali dia masih dapat dimaafkan mengingat beberapa buku Islam yang dijadikan bahan bacaannya membuat dia berpendirian demikian itu. Tetapi sebaliknya Quran, tidak dapat diukur dengan kalimat “Tolonglah dirimu, Tuhan akan menolongmu” dari segi kuatnya dorongan Quran supaya orang percaya kepada diri sendiri, dan bahwa manusia mendapat imbalan sesuai dengan perbuatan serta niat yang melahirkan perbuatan itu.

 

“Katakan: “Wahai umat manusia! Kebenaran dari Tuhan sudah datang. Barangsiapa menurut jalan yang benar, maka kebenaran itu buat kebaikan dirinya, dan barangsiapa menjadi sesat, dia sesat karena dirinya juga.”

 

“Barangsiapa menurut jalan yang benar, maka kebenaran itu buat kebaikan dirinya, dan barangsiapa menjadi sesat, dia sesat karena dirinya juga. Seorang tidak dapat memikulkan beban orang lain, dan Kami tiada akan menjatuhkan siksaan sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

 

“Barangsiapa menghendaki keuntungan akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu, dan barangsiapa menghendaki keuntungan dunia akan Kami berikan juga. Tetapi di akhirat ia tidak mendapat bagian.”

 

“Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu golongan kalau mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri.”

 

Dan contoh serupa ini banyak sekali dalam Quran. Jelas sekali ia menunjukkan bahwa manusia mendapat pahala atau mendapat siksa sumbernya pada kehendak dan perbuatannya sendiri. Tuhan mendorong manusia berusaha dan mencari rezeki untuk makannya di muka bumi ini. Mereka disuruh berjuang di jalan Allah dengan ayat-ayat yang cukup jelas dan kuat seperti yang sudah kita baca sebagian dalam buku ini. Ini samasekali tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Irving dan beberapa penulis Barat, bahwa Islam agama tawakal, serba tak acuh dan pasrah, mengajar pemeluknya bahwa mereka tidak berkuasa atas diri mereka sendiri untuk mendatangkan kebaikan atau keburukan, jadi tak ada gunanya mereka berusaha dan berkehendak, sebab usaha dan kehendaknya tergantung kepada takdir Tuhan. Kalau kita berusaha dan ditakdirkan takkan memberi hasil atas usaha kita, tidak akan berhasil juga. Sebaliknya kalaupun kita tidak berusaha tapi sudah ditakdirkan kita akan menjadi orang kaya, orang kuat atau menjadi orang beriman, kita pun akan jadi demikian tanpa ada usaha atau kerja. Ayat-ayat yang sudah kita kemukakan itu menolak dan bertentangan sekali dengan pendapat ini. Quran dan Takdir

 

Mereka yang menghubungkan sikap tawakal kaum Muslimin pada masa-masa belakangan ini berpegang pada ayat terakhir, seperti firman Tuhan ini:

 

“Nyawa yang harus menemui kematiannya, hanyalah dengan izin Tuhan, sebab waktunya sudah ditentukan.”

 

“Setiap kaum sudah mempunyai waktunya tertentu. Apabila sudah tiba waktunya, mereka takkan dapat mengundurkan atau memajukannya barang sedikit pun juga.”

 

“Setiap peristiwa yang terjadi di bumi dan pada dirimu sendiri sudah ditentukan terlebih dulu sebelum Kami menciptakannya. Buat Tuhan hal Semacam ini mudah sekali.”

 

“Katakan: Takkan ada yang menimpa kita, kalau tidak sudah ditentukan Tuhan kepada kita. Dialah Pelindung kita, dan orang-orang yang beriman kepada-Nyalah mempercayakan diri.”

 

Kalaupun itu yang menjadi pegangan mereka, sebenarnya mereka tidak dapat menangkap arti ayat-ayat itu dan yang semacamnya serta hubungan erat yang digambarkan antara hamba dengan Tuhannya. Mereka sudah terdorong dengan dugaan bahwa Islam mengajarkan orang pasrah, padahal yang sebenarnya Islam menyuruh orang berjuang dan bersedia mati sebagai pahlawan, mempertahankan harga diri dan kehormatannya, dengan kebudayaannya yang dibangun atas dasar persaudaraan dan kasih-sayang.

 

Sebenarnya ayat-ayat itu dan yang sejalan dengan itu telah melukiskan suatu kenyataan ilmiah yang telah diakui pula oleh sebagian besar filsuffilsuf dan sarjana-sarjana Barat dengan diberi nama mazhab jabariah (fatalisma) juga dan menghubungkan pengertian jabr (nasib) ini kepada hukum alam dan sejumlah kehidupan biologis yang ada, sebaliknya daripada akan menghubungkannya kepada kehendak dan kekuasaan Allah. Mazhab yang sudah diakui oleh sebagian besar filsuf-filsuf Barat ini tidak lebih puas, tidak lebih toleran, juga tidak lebih sesuai untuk umat manusia daripada mazhab filsuf yang disarikan dari Quran Suci itu, seperti yang akan kita lihat nanti.

 

Jabariah ilmiah (scientific determinism) ini berpendapat, bahwa ikhtiar’ yang ada pada kita dalam kehidupan ini ialah ikhtiar nisbi dengan nilai yang kecil sekali, sedang pendapat tentang ikhtiar nisbi ini lebih banyak bergantung kepada keperluan hidup sosial dari segi praktisnya daripada kepada kenyataan ilmiah atau filsafat. Kalau mazhab ikhtiar ini tidak dijadikan suatu keputusan, akan sulit juga masyarakat menemukan suatu patokan sebagai dasar hukumnya dan batas-batasnya, akan menyusun suatu pola kehidupan dan tingkah laku setiap orang yang sudah ditentukan hukumannya itu, dengan suatu hukuman pidana atau perdata.

 

Memang benar, bahwa di kalangan sarjana-sarjana dan ahli-ahli hukum itu ada juga yang tidak mendasarkan patokan hukumannya kepada pengertian jabr dan ikhtiar (nasib dan usaha, atau sengaja dan tidak sengaja), melainkan kepada reaksi yang terjadi yang sudah merupakan pegangan masyarakat yang hendak menjaga eksistensi mereka, dan yang juga berlaku buat individu yang hendak menjaga eksistensinya pula. Buat masyarakat yang berpegang kepada reaksi ini sama saja, apakah individu itu bertindak atas kemauan sendiri atau tidak atas kemauan sendiri. Akan tetapi tindakan secara ikhtiar (dengan sadar) ini pada sebagian besar ahliahli hukum tetap merupakan dasar dalam menjatuhkan hukuman. Sebagai alasannya ialah orang yang sudah kehilangan kebebasan atau kemauan, seperti orang gila, anak kecil atau orang dungu, ia tidak dikenakan hukuman atas perbuatannya seperti terhadap orang dewasa yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

 

Kalau pertimbangan-pertimbangan praktis dalam yurispruden perundang-undangan ini kita kesampingkan dan kita hanya mau mencurahkannya kepada kenyataan ilmiah dan filsafat, maka kita melihat jabariah inilah kenyataannya. Tak ada orang yang dapat memilih pada zaman mana ia mau dilahirkan, pada bangsa apa, pada lingkungan mana, juga ibu bapa yang siapa, dengan segala kekayaan dan kemiskinannya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Juga bukan karena dia pria atau wanita, bukan karena peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya — dalam banyak hal — yang akan menjadi faktor utama dalam membentuk dan mengarahkan segala pekerjaan dan kehidupannya. Mengenai mazhab ini Hippolyte Taine menyatakan: “Manusia itu produk lingkungannya.”

 

Tidak sedikit kalangan sarjana dan para filsuf yang mendukung kenyataan ini, sampai-sampai mereka mengatakan bahwa kalau dunia kita dapat mencapai pengetahuan mengenai segala hukum dan rahasia hidup manusia ini seperti pengetahuan yang sudah diketahuinya dalam hukum tata surya, tentu orang akan dapat menentukan nasib setiap individu atau masyarakat dengan pasti sekali, seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli ilmu falak yang secara pasti sudah dapat menentukan waktu-waktu akan terjadinya gerhana matahari atau bulan. Namun begitu, tidak ada orang — baik di Barat atau di Timur — yang mengatakan bahwa mazhab jabariah ini merintangi orang dalam usahanya mencapai sukses dalam kehidupan, atau akan merintangi bangsa-bangsa untuk terjun ke tempat yang paling baik, juga tak ada yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa yang menganut mazhab ini akan mengalami kemunduran. Sungguhpun begitu namun mazhab fatalisma di Barat tidak memberikan dorongan kepada orang supaya berusaha dan bekerja seperti yang terdapat dalam ayat-ayat Quran tentang tanggung jawab manusia terhadap pekerjaannya. “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya. Dan hasil usahanya itu akan terlihat juga.” (Quran 53: 39-40). Bukankah satu ini saja sudah Cukup tepat sebagai argumen terhadap prasangka pihak Orientalis yang menduga bahwa jabariah Islam itu membawa bangsa-bangsa yang menganutnya menjadi mundur?

 

Bahkan jabariah Islam ini lebih besar memberi dorongan orang berusaha untuk kebaikan dan untuk mendapatkan hasil rezekinya daripada fatalisma di Barat. Kedua mazhab ini memang sudah bertemu bahwa dalam alam ini sudah ada hukum-hukum yang tak dapat diubah atau diganti, dan semua yang ada dalam alam ini tunduk kepada hukumhukum tersebut. Juga manusia tunduk seperti yang lain yang ada dalam alam ini. Tetapi fatalisma ini menundukkan orang kepada lingkungannya dan cara yang turun-temurun yang sudah tak dapat lagi dihindari dan membuat iradat manusia harus tunduk kepada lingkungannya. Dalam hal ini sudah tak ada jalan lagi ia dapat mengubah diri. Sebaliknya Quran mengajak iradat setiap individu atas dasar rasio menuju ke arah yang lebih baik, dan diingatkannya bahwa bilamana hasil yang baik itu sudah ditentukan buat mereka, maka itu adalah atas usaha mereka sendiri dan mereka tidak akan mendapat hasil yang baik dengan seenaknya saja tanpa Usaha.

 

“Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu golongan kalau mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri.”

 

Setelah Tuhan memberi petunjuk kepada umat manusia dengan kitabkitab suci mengenai apa yang harus mereka lakukan, setelah kepada para nabi dan rasul dibukakan jalan yang benar dan disuruh memikirkan dan merenungkan segala isi dan hukum alam serta kekuasaan Tuhan, maka dengan kemampuan mereka sendiri, mereka akan memikirkan dan merenungkan semua.itu. Orang yang sudah beriman akan hal ini dan mengarahkan diri ke arah itu, tentu ia akan memperoleh apa yang sudah ditentukan Tuhan. Apabila sudah ditentukan dia akan mati membela kebenaran atau kebaikan seperti diperintahkan Allah, tidak perlu ia kuatir. Dia dan yang sebangsanya akan tetap hidup di sisi Tuhan. Manakah anjuran yang lebih besar ini supaya orang berinisiatif, berusaha dan berkemauan?! Dan di mana pula tempatnya sikap serba tak acuh seperti diduga oleh Irving dan Orientalis-orientalis lain itu?

 

Sikap serba tak acuh samasekali bukan tawakal? kepada Allah. Dengan bertawakal kepada Allah tidak mungkin orang hanya akan bertopang dagu berpeluk lutut dan meninggalkan segala yang diperintahkan Tuhan. Bahkan sebaliknya, ia harus bekerja keras untuk itu, seperti dalam firman Allah: “Kalau engkau telah berketetapan hati, tawakallah kepada Allah.” Jadi ketetapan hati dan iradat ini harus mendahului tawakal. Kita sudah berketatapan hati, lalu kita bertawakal kepada Allah, kita mencapai tujuan kita berkat itu juga. Apa yang patut kita tuju hanya Dia semata, kita patut bersikap takut hanya kepada-Nya semata — kita akar! mencapai semua hasil yang baik itu berdasarkan undang-undang Tuhan dalam alam ini. Undang-undang Tuhan takkan berubah dan tidak akan berganti-ganti. Hasil yang baik ini yang harus menjadi tujuan kita sampai usaha kita mencapai sukses, atau kita akan mati karenanya. Hasil usaha baik yang kita capai adalah dari Tuhan. Segala bencana yang menimpa kita karena perbuatan kita sendiri dan karena kita menempuh jalan bukan ke jalan Allah. Jadi segala kebaikan dari Tuhan dan segala kesesatan dan kejahatan dari perbuatan setan.

 

Tentang kekuasaan Tuhan mengetahui segala yang terjadi dalam alam sebelum Tuhan menciptakan alam, dan bahwa Tuhan Mahaagung “….:: tiada yang tersembunyi pada-Nya barang seberat atom pun di langit dan dibumi, tiada yang lebih besar atau lebih kecil dari itu, semua sudah dalam Kitab yang nyata,”? berarti bahwa Tuhan telah menentukan beberapa hukum dalam alam ini yang tak dapat diubah-ubah dan pengaruhnya harus lahir pula dari sana.

 

Apabila sarjana-sarjana berpendapat seperti yang sudah kita kemukakan tadi, bahwa bila ilmu yang positif dapat mengetahui rahasia-rahasia dan undang-undang kehidupan manusia, mengetahui apa yang sudah ditentukan setiap individu dan masyarakat, seperti halnya dalam menentukan waktu-waktu akan terjadinya gerhana matahari dan bulan, maka keimanan kepada Allah tidak bisa lain berlaku juga keimanan kepada kekuasaan-Nya yang mengetahui segalanya sebelum alam ini diciptakan. Apabila seorang arsitek bangunan yang membuat sebuah rencana rumah atau gedung serta menantikan dilaksanakannya rencana itu, dapat mengetahui sampai berapa lama kekuatan bangunan itu dan bagian-bagiannya yang mungkin akan bertahan selama beberapa tahun lagi: demikian juga sarjana-sarjana ekonomi berpendapat, bahwa hukum ekonomi pun memberi kepastian kepada mereka untuk mengetahui adanya krisis atau kemakmuran yang akan terjadi dalam kehidupan dunia ekonomi, maka memperdebatkan ilmu Tuhan mengenai segala yang kecil dan yang besar yang menjadi ciptaan-Nya dalam alam ini sifatnya akan sangat merendahkan Tuhan, suatu hal yang tak dapat diterima oleh akal sehat.

 

Ilmu ini tidak seharusnya akan menghentikan orang dari memikirkan hari kemudian mereka serta berusaha sekuat tenaga mengikuti jalan yang benar dan menghindarkan diri dari jalan yang sesat. Ilmu Allah itu buat mereka masih gaib. Tetapi akhirnya mereka akan sampai juga kepada kebenaran sekalipun agak lambat. Tuhan telah menetapkan sifat kasihsayang itu dalam Diri-Nya. Ia selalu menerima tobat hamba-Nya yang mau bertobat dan sudah banyak dosa yang diampuni-Nya. Selama rahmat Tuhan itu meliputi segalanya, manusia tidak perlu berputus asa akan memperoleh jalan yang benar, asal ia mau merenungkan dan memikirkan alam semesta ini. Orang tidak perlu berputus asa dari rahmat Tuhan kalau renungannya itu akhirnya akan mengantarkannya ke jalan Allah. Manusia yang celaka ialah yang tidak mengakui sifat manusianya, dan merasa dirinya sudah terlampau besar untuk memikirkan dan merenungkan halhal yang akan mengantarkan dirinya kepada petunjuk Tuhan. Mereka Itulah orang-orang yang hendak menentang Tuhan, bukan mengharapkan beroleh rahmat Tuhan. Jantung mereka oleh Tuhan sudah ditutup, mereka yang akan menjadi penghuni neraka, yang akan mendapat tempat yang paling celaka.

 

Apakah Orientalis-orientalis itu sudah melihat arti jabariah Islam yang begitu tinggi, begitu luas jangkauannya? Apakah mereka melihat bahwa anggapan mereka itu memang sangat lemah, yang menduga bahwa jabariah Islam itu menyuruh orang berpeluk lutut tanpa usaha atau mau menerima hidup hina atau mau menyerah begitu saja? Di samping semua itu ajaran ini selalu memberikan harapan, bahwa pintu rahmat dan tobat selalu terbuka bagi barangsiapa yang mau bertobat. Apa yang mereka duga bahwa ajaran ini menyuruh tiap Muslim menganggap setiap keuntungan dan malapetaka yang menimpa dirinya sebagai takdir yang sudah ditentukan Tuhan dan oleh karenanya ia harus diam saja, menerima segala bencana dan kehinaan itu dengan sabar — maka semua itu jauh dari kenyataan yang sebenarnya dari ajaran jabariah ini, yang mengajar orang supaya selalu berjuang dan berusaha untuk memperoleh kerelaan Allah, untuk selalu berhati teguh sebelum tawakal kepada Allah. Apabila orang belum berhasil mendapat sukses sekarang, hendaknya terus ia berusaha kalau-kalau besok ia berhasil. Harapannya yang selalu pada Tuhan agar langkahnya mendapat bimbingan ke arah yang benar, agar mendapat pengampunan dari segala dosa, adalah pendorong yang paling utama untuk berpikir dan berusaha terus-menerus dalam mencapai tujuan menurut kehendak Allah. Kepada-Nya ia menyembah dan kepada-Nya pula ia meminta pertolongan. Tempat orang mengharapkan petunjuk batin, dan ke sana pula segalanya akan kembali.

 

Sungguh besar kekuatan yang dibangkitkan oleh ajaran yang tinggi ini ke dalam jiwa manusia! Sungguh luas jangkauan harapan yang dibukakan itu. Kita terbimbing kepada kebaikan selama apa yang kita kerjakan memang karena Allah. Kalau kita sampai disesatkan oleh setan, tobat kita pun akan diterima selama pikiran kita dapat mengalahkan nafsu kita dan membawa kita kembali ke jalan yang lurus. Jalan lurus ini ialah undang-undang Tuhan dalam ciptaan-Nya, undang-undang yang akan menjadi penyuluh kita dengan segenap hati dan pikiran kita, serta dengan permenungan kita akan segala yang diciptakan Tuhan. Dan kita pun mulai berusaha mengenal semua rahasia alam itu.

 

Akan tetapi, apabila sesudah itu masih ada orang yang sesat dan mempersekutukan Tuhan, masih ada orang yang mau melakukan kerusakan di muka bumi ini, masih ada yang mau menutup mata dari segala arti persaudaraan, maka itu adalah contoh yang diberikan Tuhan kepada manusia guna memperlihatkan kekuasaan Tuhan sehingga yang demikiar itu kelak menjadi suatu teladan buat mereka. Inilah keadilan dan rahmat Tuhan kepada seluruh umat manusia. Orang tidak akan mencegah atav membatasi melakukan semua itu. Tetapi hukuman yang akan diterimany3 sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya.

 

Akan tetapi, buat apa manusia berpikir, buat apa bekerja, kalau mauf jlu memang selalu mengintai mereka! Bila ajal sudah sampai sesaat puntak dapat diundurkan atau dimajukan. Buat apa manusia berpikir dan buat apa pula bekerja kalau orang yang bahagia sudah ditentukan lebih dulv akan jadi bahagia, dan yang sengsara akan jadi sengsara?

 

Ini adalah pertanyaan ulangan sengaja jawabannya kita kemukakan supaya dapat kita lihat masalah ketentuan ajal ini dari segi lain: Apa yang sudah ditentukan Tuhan lebih dulu ialah undang-undang alam sejak sebelum alam itu diciptakan dan sebelum difirmankan kepadanya “Jadilah?! maka ia pun jadi.” Dalam melukiskan ini tak ada yang lebih tepat dari firman Allah ini “Tuhan kamu telah menetapkan sifat kasih-sayang itu dalam Diri-Nya.” Ini berarti bahwa kasih-sayang itu sudah menjadi sifat Tuhan dan menjadi salah satu undang-undang-Nya dalam alam semesta. Tak ada suatu kewajiban yang diharuskan terhadap Diri-Nya. Kewajiban memang tidak seharusnya ada atas Yang Mahakuasa. Dalam hal ini Allah berfirman:

 

“Kami riada akan menjatuhkan siksaan sebelum Kami mengutus Seorang rasul.”

 

Apabila ada suatu golongan yang sesat dan kepada mereka Tuhan tidak mengutus seorang rasul, maka undang-undang Tuhan di sini berlaku — tiada seorang dari mereka akan dijatuhi siksaan. Buat setiap orang yang beriman, tanda-tanda kebesaran Tuhan dalam alam ini sudah wajar sekali, bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam. Apabila Tuhan sudah mengutus seorang rasul kepada suatu golongan, kemudian berlaku hukum alam dan kehendak Tuhan atas golongan itu, yaitu bahwa setelah diberi petunjuk ada orang dari golongan tersebut yang masih tetap mempertahankan kesesatannya, maka orang yang telah menganiaya dirinya sendiri itu akan menjadi contoh buat orang lain.

 

Sungguh naive sekali untuk mengatakan bahwa orang yang telah sesat ini diperlakukan tidak adil karena telah dijatuhi hukuman atas kesesatannya, padahal kesesatan demikian memang sudah termaktub lebih dulu (ditentukan) terhadap dirinya. Kita mengatakan naive untuk tidak mengatakan merendahkan Tuhan, sebab jalan pikiran yang paling tepat akan mengatakan kepada kita, bahwa barangsiapa yang sesat, ia telah menganiaya dirinya, bukan Tuhan yang menganiayanya.

 

Yang Sesat Merugikan Diri Sendiri

 

Untuk menjelaskan ini cukup kiranya kita mengambil contoh seorang ayah yang penuh kasih-sayang mendekatkan api kepada anaknya yang masih bayi. Kalau si anak memegangnya, dijauhkannya api itu seraya memberi isyarat, bahwa api itu panas. Kemudian secara berulang-ulang api itu didekatkannya lagi kepada si bayi, tidak apa juga kalau jari bayi itu sampai terbakar sedikit supaya dialami sendiri dalam kenyataan apa yang Sudah diperingatkan kepadanya itu dan supaya selalu diingat selama hidupnya. Tetapi bilamana sesudah dewasa ia masih mau memegang api atau menceburkan diri ke dalam api, maka apa yang sudah menimpanya itulah ganjarannya, dan jangan ayahnya yang disalahkan, jangan ada yang minta supaya sang ayah mengalanginya dari perbuatan itu. Begitu juga ‘misalnya seorang ayah yang sudah memberi petunjuk tentang bahaya judi atau minuman keras kepada anaknya. Maka bilamana si anak itu kelak sudah dewasa dan dia melanggar juga apa yang sudah dilarang oleh ayahnya lalu karenanya ia mendapat bencana, maka bukanlah sang ayah yang kejam menganiayanya, sekalipun ia akan mampu mencegah dari berbuat demikian. Sang ayah samasekali bukan kejam kalau membiarkan si anak sampai melanggar apa yang sudah menjadi larangan, dan ini merupakan contoh buat keluarga dan saudara-saudaranya yang lain. Begitu juga keluarga dan saudara-saudara yang sampai ratusan atau ribuan jumlahnya dalam sebuah kota yang memang banyak godaannya karena pengaruh keadaan. Sudah cukup baik dan adil sekali kiranya kalau konsekwensi yang tak dapat dihindarkan menimpa mereka sebagai ganjaran terhadap perbuatan mereka sendiri. Itu akan dapat memperbaiki keadaan anggota masyarakat yang lain, meskipun apa yang telah menimpa anak-anak negeri yang aniaya itu sangat disesalkan. Inilah contoh keadilan yang paling sederhana dan berimbang sehubungan dengan masyarakat manusia kita ini, seperti yang sudah kita lukiskan tadi. Apalagi bila kita membayangkan dan membandingkan dengan alam semesta, dengan makhluk-makhluk yang berjuta-juta banyaknya dalam luasan ruang dan waktu yang tak terbatas! Apa yang sudah menimpa individu dan masyarakat — karena perbuatannya sendiri — dalam bentuk yang sudah tidak mampu lagi khayal kita membayangkannya, semua itu baru merupakan contoh keadilan atau keseimbangan dalam bentuknya yang sangat sederhana.

 

Contoh dalam Kehidupan Pribadi

 

Kalau adanya kekejaman itu kita alamatkan kepada sang ayah, karena dia membiarkan anaknya yang sesat itu harus menerima ganjaran kesesatannya, padahal kesesatan itu memang sudah termaktub atas dirinya, maka juga beralasan sekali kekejaman demikian itu kita alamatkan kepada diri kita sebab kita telah membunuh seekor kutu yang sangat mengganggu, dikuatirkan akan membawa penularan kepada kita, yang ada kalanya akan menimbulkan bencana kepada masyarakat kalau ini sampai menular kepada orang lain. Atau karena kita membuang batu dari dalam kandung empedu atau ginjal kita sebab takut mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan, atau kita memotong salah satu bagian anggota tubuh kita karena dikuatirkan bagian yang rusak itu akan menjalar ke seluruh badan dan akibatnya akan fatal sekali. Kalau semua itu tidak kita lakukan, karena memang sudah termaktub atas diri kita, kemudian kita menderita Atau sampai mati karenanya, maka yang harus disalahkan akibat bencana itu hanyalah diri kita sendiri, sebab Tuhan sudah membukakan pintu penderitaan buat kita, sama halnya dengan pintu tobat yang terbuka buat orang yang berdosa. Hanya orang-orang bodoh sajalah yang rela menerima penderitaan demikian itu dengan anggapan bahwa itu memang sudah termaktub atas dirinya. Ini karena kedunguan dan ketololan mereka saja.

 

Sementara kita melihat kutu yang dibunuh, batu yang dibuang dan dicabutnya anggota tubuh yang sakit sungguh adil sekali — meskipun dalam hukum alam sudah termaktub, bahwa kutu akan mengganggu dan akan membawa penularan penyakit kepada manusia, batu dan anggota tubuh yang sakit akan merusak bagian tubuh yang lain sehingga dapat membinasakan — dengan melihat semua ini bagaimana kita tidak akan menganggapnya suatu kebodohan yang naive sekali, yang tak dapat diterima akal selain pikiran egoistis yang sempit, yang melihat keadilan itu hanya dari segi kita yang subjektif saja, dan tidak menghubungkannya kepada seluruh masyarakat insani, atau lebih dari itu, menghubungkannya kepada alam semesta?!

 

Berbuat Baik Suatu Ibadah

 

Apa artinya kutu, batu dan manusia dibandingkan dengan alam ini? Bahkan apa artinya seluruh umat manusia dibandingkan dengan alam? Dengan khayal kita yang sempit, kita berusaha hendak membayangkan batas-batas alam yang luas, dengan ruang dan waktu, dengan awal dan akhir, dan dengan segala kata-kata yang semacam itu. Sudah tak ada jalan lain lagi buat kita akan dapat membayangkan bentuk alam ini selain itu, karena memang sangat terbatas sekali, sesuai dengan pengetahuan yang | ada pada kita, yang juga terbatas, dan masih sedikit sekali. Dan yang sedikit ini sudah cukup memperlihatkan kepada kita bahwa undangundang Tuhan dalam alam ialah undang-undang yang teratur dan seimbang, yang tak berubah-ubah dan bertukar-tukar. Kita sampai mengetahui undang-undang ini karena Tuhan menganugerahkan kepada kita pendengaran, penglihatan dan jantung, supaya kita melihat segala keindahan ciptaan-Nya ini, dapat memahami alam sesuai dengan undangundang-Nya itu. Maka kita pun mengagungkan kemuliaan Tuhan, kita berbuat baik menurut yang diperintahkan-Nya. Dan berbuat baik atas dasar iman, buat mereka yang mengerti ialah suatu manifestasi ibadat yang paling tinggi kepada Tuhan.

 

Maut, Akhir dan Awal Hidup

 

Maut ialah akhir hidup dan permulaan hidup. Oleh karena itu yang merasa takut mati hanya mereka yang menolak adanya hidup akhirat dan merasa takut pada kehidupan akhirat karena perbuatan mereka yang buruk selama dalam dunia. Mereka tidak ingin mati mengingat adanya perbuatan tangan mereka sendiri. Akan tetapi mereka yang memang sudah bersedia mati, ialah orang-orang yang benar-benar beriman dan mereka yang berbuat kebaikan selama hidup di dunia. Seperti dalam firman Allah:

 

“Dia yang telah menciptakan Mati dan Hidup untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik perbuatannya. Dia Mahakuasa, Maha Pengampun.”’

 

Dan firman-Nya lagi yang ditujukan kepada Nabi:

 

“Kami tidak pernah menjadikan manusia sebelum engkau itu kekal selamanya. Kalau engkau mati, apakah mereka akan hidup kekal? Setiap jiwa akan merasakan mati dan kamu akan Kami uji dengan yang buruk dan yang baik sebagai suatu cobaan, dan kamu kelak pun akan kembali kepada Kami.”

 

“Perumpamaan mereka yang dibebani membawa Kitab Taurat, kemudian tidak mereka bawa, sama seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar. Buruk sekali perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayatayat Tuhan itu, dan Tuhan tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Katakanlah: “Wahai orang-orang yang menganut agama Yahudi, kalau kamu mendakwakan bahwa kamu sahabat-sahabat Tuhan di luar orang lain, nyatakanlah keinginanmu akan mati itu — jika benar-benar kamu jujur. Tetapi kamu tidak akan pernah menyatakan keinginanmu itu, karena perbuatan tangan mereka sendiri yang telah mereka lakukan. Tuhan Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim itu.”

 

“Dialah yang telah mengambil jiwamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang harinya. Kemudian kamu dibangkitkan kembali supaya waktu tertentu dapat dipenuhi. Sesudah itu kepada-Nya juga tempat kamu kembali. Kemudian kepadamu diberitahukan-Nya apa yang telah kamu kerjakan.”

 

Inilah beberapa ayat yang sudah jelas sekali menolak apa yang dikatakan orang bahwa jabariah Islam itu mengajar orang bertopang dagu dan enggan berusaha. Tuhan menciptakan maut dan hidup untuk menguji manusia, siapa daripada mereka yang melakukan perbuatan baik. Perbuatan dalam dunia dan balasannya sesudah mati. Mereka yang tidak berusaha, tidak berjuang di muka bumi ini, tidak mencari nafkah sebagai karunia Tuhan: kalau mereka tidak mau menafkahkan harta mereka, kalau mereka tidak mau mengutamakan sahabatnya meskipun mereka sendiri dalam kekurangan, mereka telah melanggar perintah Tuhan.

 

Sebaliknya, bilamana semua itu mereka lakukan dengan baik, perbuatan mereka akan diterima baik oleh Allah dan pada hari kemudian mendapat pahala dan balasan yang baik. Tuhan akan menguji kita dalam hidup kita ini dengan yang baik dan yang buruk sebagai suatu cobaan. Dengan otak kita, kita juga yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Barangsiapa berbuat baik seberat atom pun akan dilihatnya, barangsiapa berbuat keburukan seberat atom juga akan dilihatnya. Kalau apa yang sudah menimpa kita itu bukan karena sudah ditentukan Tuhan terhadap diri kita, niscaya itu akan membuat kita lebih tekun melakukan kebaikan untuk melihat hasil yang baik pula. Sesudah itu sama saja buat kita: adakah Tuhan akan menjadikan kita manusia yang kuat, yang masih giat bekerja, atau akan dikembalikan ke usia yang sudah pikun, yang sudah tidak dapat kita ketahui lagi apa yang dulunya sudah pernah kita ketahui. Kriterium atau ukuran hidup seseorang bukanlah dari jumlah tahun yang sudah ditempuhnya, melainkan dari perbuatanperbuatan baik apa yang sudah dilakukannya selama itu, dan yang akan menjadi peninggalannya. Mereka yang sudah meninggal di jalan Tuhan (dalam berbuat kebaikan), dalam pandangan Tuhan mereka hidup, di tengah-tengah kita juga kenangan mereka tetap hidup. Berapa banyak nama-nama yang tetap kekal selama berabad-abad karena orang-orang itu telah mengabdikan diri dan segala daya upayanya untuk kebaikan, mereka itu berada di tengah-tengah kita yang masih hidup, sungguhpun mereka telah berpulang sejak ratusan tahun yang lalu.

 

“Apabila sudah tiba waktunya, mereka takkan dapat mengundurkan atau memajukannya barang sedikit pun juga.”

 

Inilah yang benar. Hanya ini yang sesuai dengan hukum alam. Manusia sudah mempunyai batas waktu yang takkan dapat dilampauinya. Sama halnya dengan matahari dan bulan, sudah mempunyai waktu-waktu gerhana yang tidak berubah-ubah, tak dapat dimajukan atau diundurkan. Waktu yang sudah ditentukan ini lebih mendorong orang untuk berusaha dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Ia akan berusaha sekuat tenaga. ia tidak tahu kapan ia akan menemui ajalnya. Bilamana ajal itu sampai maka balasannya apa yang sudah dikerjakannya. Di hadapan kita setiap hari sudah ada buktinya bahwa ajal itu takdir yang tak dapat dielakkan. Ada orang yang mati dengan tiba-tiba dan orang tidak tahu apa sakitnya. Ada orang yang sakit, yang sudah sekian puluh tahun menderita dan merintih melawan penyakitnya itu sampai ia tua serta sudah tak bertenaga lagi. Dari kalangan kedokteran dewasa ini ada yang berpendapat bahwa manusia itu dilahirkan dalam proses pembentukannya sudah ada benih yang menentukan hidupnya. Jarak waktu yang akan ditempuh oleh benih itu untuk mencapai tujuannya yang terakhir dapat pula diketahui asal saja benihnya sendiri dapat kita ketahui. Tetapi untuk mengetahui benih ini bukan soal yang begitu mudah. Adakalanya ia dalam bentuk fisik, tersembunyi dalam salah satu bagian dalam tubuh — bagian yang penting atau tidak penting — adakalanya dalam bentuk psichis dalam pikiran kita, bertalian dengan lapisan-lapisan otak yang akan mendorong pihak yang bersangkutan hidup berpetualang dan mau menghadapi bahaya, atau sebagai pemberani. Allah mengetahui belaka semua itu. Dia yang mengetahui saat kematian setiap manusia itu akan tiba, menurut hukum alam, tanpa dapat diubah dan ditukar-tukar.

 

Rasul-rasul Tuhan dari Anak Negerinya

 

Sebagai tanda kasih-sayang Tuhan, Ia tidak akan menjatuhkan siksaan sebelum mengutus seorang rasul yang akan memberikan bimbingan kepada manusia dalam mencapai Kebenaran serta menjelaskan pula jalan kebaikan yang harus ditempuhnya. Sekiranya Tuhan akan menghukum manusia karena perbuatan mereka yang salah, niscaya takkan ada makhluk hidup di muka bumi ini yang akan ketinggalan. Tuhan menunda mereka sampai pada waktu tertentu sampai mereka dapat mendengarkan dan mau menerima ajakan para rasul itu dan tidak sampai benar mereka terpesona oleh godaan hidup duniawi. Tuhan tidak mengutus para rasul itu dari kalangan raja-raja, orang-orang kaya, orang-orang berpangkat atau dari kalangan orang cerdik pandai. Mereka diutus dari kalangan rakyat jelata. Nabi Ibrahim tukang kayu, ayahnya pun tukang kayu. Nabi Isa juga tukang kayu di Nazareth. Juga tidak sedikit dari nabi-nabi itu yang tadinya penggembala kambing, termasuk Nabi penutup Muhammad “alaihissalam. Tuhan mengutus para rasul dari rakyat jelata itu untuk memperlihatkan bahwa Kebenaran itu bukan menjadi milik orang-orang kaya atau orang-orang kuat melainkan milik orang yang mencari Kebenaran demi kebenaran semata. Kebenaran yang azali, yang abadi, ialah orang yang baru sempurna imannya apabila ia sudah dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. “Yang paling mulia di kalangan kamu dalam pandangan Tuhan ialah yang paling takwa — yang dapat menjaga diri dari kejahatan.” “Dan bekerjalah, nanti Tuhan akan melihat hasil pekerjaan kamu, dan balasan diberikan hanya sesuai dengan apa yang kamu lakukan.” Dan Kebenaran terbesar ialah bahwa Allah itu Benar, tiada tuhan selain Dia.

 

Maut akhir dan permulaan hidup. Akhir hidup duniawi dan permulaan hidup akhirat. Soal hidup duniawi yang kita ketahui hanya sedikit sekali. Yang kita ketahui tentang hidup hanya yang berhubungan dengan indera kita, dengan akal kita yang membimbing kita, kemudian dengan jantung kita yang membukakan rahasia hidup itu kepada kita. Sedang mengenai hidup akhirat tak ada yang dapat kita ketahui selain apa yang sudah diterangkan Tuhan kepada kita. Hukum-hukum alam buat kita masih gelap. Ilmunya ada pada Tuhan. Apa yang sudah diterangkan Tuhan dalam Kitab Suci mengenai hal ini sudah memadai kiranya, bahwa itu adalah tempat pembalasan. Kita menyiapkan diri kita dalam dunia ini dengan perbuatan kita, dengan kehendak dan niat kita serta sikap kita sesudah itu: kita bertawakal kepada Allah akan adanya balasan yang adil itu. Sedang apa yang di balik itu soalnya ada pada Tuhan semata-mata.

 

Sudahkah agaknya mereka sependapat dengan Washington Irving dari kalangan Orientalis dan di luar Orientalis dalam melihat sampai berapa jauh kesalahan mereka dalam menggambarkan jabariah Islam itu? Yang kita catat di sini hanyalah yang ada di dalam Quran. Kita tidak ingin menempatkan masalah ini dalam suatu perdebatan seperti pendapat ahliahli ilmu kalam dari kalangan kaum sufi dan yang lain, termasuk para filsuf dan golongan-golongan tertentu dalam kalangan Muslimin. Yang jelas sekali kesalahan Irving ialah dugaannya bahwa masalah gadza dan gadar (takdir atau nasib) dan ketentuan umur diturunkan dan disebutkan di dalam Quran sesudah Perang Uhud dan setelah terbunuhnya Hamzah sebagai syahid utama. Pada hal ayat-ayat yang sudah kita kutipkan itu ialah ayat-ayat yang turun di Mekah sebelum hijrah dan sebelum peperangan-peperangan dimulai. Irving dan yang semacamnya telah terjerumus ke dalam kesalahan semacam itu sebab mereka tidak mau menyulitkan diri dalam membahas persoalan yang begitu penting dengan cara yang ilmiah dan cermat. Bahkan mereka menggambarkan Islam menurut konsepsi yang sejalan dengan kecenderungan mereka sendiri sebagai orang-orang Kristen, lalu mereka mengarang-ngarang dalil menurut nafsu mereka sendiri, dengan dugaan bahwa dalil mereka itu akan sudah meyakinkan pembaca tanpa ada orang lain yang akan membuktikan kesalahan mereka itu.

 

Pengertian Filosofis dalam Jabariah Islam

 

Kalau kalangan Orientalis dapat memahami arti jabariah Islam seperti yang sudah kita gambarkan, niscaya mereka dapat pula menghargai konsepsi filsafatnya yang begitu tinggi, begitu dalam melukiskan hidup ini Sehingga dapat menampilkan teori-teori ilmu dan filsafat. Dan ini telah dicapai oleh pikiran manusia dalam pelbagai zaman dengan segala perkembangan dan kemajuannya. Pengertian filsafat Islam ini ialah bengertian yang berimbang, yang tidak mempersempit pengertian determinisma, dunia sebagai kemauan dan pikiran (die Welt als Wille und Vorstellung) dan evolusi kreatif! Bahkan semua mazhab itu, dalam susunannya mengikuti jalannya hukum alam dan kehidupan. Kalaupun di sini tempatnya tidak cukup memadai untuk menjelaskan gambaran ini, namun akan saya coba meringkaskannya dengan seteliti dan sejelas mungkin. Saya kira orang yang sudah membaca apa yang saya tulis akan sependapat, bahwa dari semua yang pernah kita ketahui tentang teoriteori, pengertian ini memang sangat tinggi, luas dan dalam sekali. Pengertian ini kemudian hari akan membukakan jalan pada pemikiran umat manusia yang lebih agung.

 

Sebelum saya menjelaskan ini secara ringkas, ada dua masalah ingin saya catat dalam hai ini, hendaknya jangan dilupakan – pertama dengan ini saya tidak bermaksud hendak menentang teori Kristen. Apa yang pernah diajarkan Isa, oleh Islam juga diakui seperti sudah beberapa kali saya sebutkan dalam buku ini. Hanya saja apa yang diajarkan Islam lebih menyeluruh dan memahkotai semua kenabian dan kerasulan sebelumnya. Kitab-kitab Injil telah juga menegaskan kata-kata Yesus ini: “Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya.” Begitu juga keimanan Muslimin kepada Ibrahim, kepada Musa, kepada Isa dan nabi-nabi yang lain sebelum itu, semua sama. Hanya saja kedatangan Islam melengkapi apa yang telah diutus Tuhan kepada mereka itu, mengoreksi kata-kata yang telah dibelokkan oleh pengikut-pengikut mereka, dari arti yang sebenarnya. Kedua mengenai filsafat Islam yang diambil dari Quran sudah dikemukakan orang sebelum saya, meskipun tidak sama dengan yang saya kemukakan sekarang ini. Hanya saja yang saya tempuh dalam hal ini sesuai dengan garis tuntunan Quran dan dengan cara yang sesuai dengan metoda ilmiah sekarang. Kalau ini berhasil mencapai sasarannya, sudah tentu karena rahmat dan karunia Tuhan juga. Kalau hasil itu belum juga saya peroleh, maka doa yang paling besar saya panjatkan kepada Tuhan ialah semoga mereka yang berpengetahuan dapat memberi petunjuk kepada saya untuk mencapai sasaran itu.

 

Yang mula-mula ditentukan oleh Quran ialah bahwa Tuhan sudah menentukan hukum tertentu dalam alam semesta ini, yang tidak berubahubah dan bertukar-tukar. Sudah tentu alam itu bukan hanya planet kita ini saja dengan segala isinya, juga bukan terbatas hanya pada apa yang tertangkap oleh pancaindera kita saja yang terdiri dari planet-planet dan tata surya, tetapi alam itu ialah segala yang diciptakan Tuhan, yang dapat dan yang tidak dapat dirasakan — sensibilia dan insensibilia, yang nyata dan yang gaib. Untuk mengetahui hal ini benar-benar, cukup kalau kita bayangkan bahwa pengetahuan yang ada pada kita memang sedikit sekali, eter yang ada di sekitar kita dan sekitar tata surya yang lain, listrik yang memenuhi eter dan memenuhi bumi kita, jarak yang begitu jauh memisahkan kita dari matahari dan planet-planet lain yang lebih jauh dari matahari, dan di balik planet-planet itu yang jaraknya sampai ribuan tahun cahaya lebih jauh dari matahari.

 

Kemudian, di balik semua itu yang tiada terbatas, yang takkan dapat dijangkau oleh imajinasi kita, dan yang hanya ada pada Tuhan ilmunya — semua itu berjalan menurut hukum yang sudah pasti tak berubah-ubah. Apa yang sudah kita ketahui semua ini berdasarkan data ilmiah — menurut istilah kita sekarang — yang tidak mencampuradukkan fantasi dengan fakta. Kemudian fakta itu di samping fantasi menjadi makin kecil sampai sedemikian rupa, kemudian fakta itu masih tinggal sejauh yang dapat kita ketahui, yang dapat kita ukur menurut ukuran kita, dan apa yang kita peroleh dengan dasar itu, itulah yang kita sebut hukum alam dan kehidupan. Kalau kita mau melepaskan fantasi kita sebebas-bebasnya untuk menggambarkan betapa kecilnya apa yang kita ketahui itu, tentu contohnya akan banyak sekali di hadapan kita, sehingga ruangan dalam buku ini pun akan terlalu sempit karenanya. Kita ambil misalnya penghuni planet Mars. Mereka membangun sebuah pemancar dengan kekuatan 100.000.000 kilo wat supaya dengan demikian apa yang terjadi di tempat mereka diperdengarkan dan diperlihatkan melalui pesawat televisi kepada kita penghuni bumi ini. Sesudah itu, dapatkah kita menahan pikiran kita? Sedang Mars bukanlah planet yang terjauh jaraknya dari kita, juga bukan yang paling sulit akan dapat kita hubungi.

 

Pengetahuan kita tentang alam ini yang hanya sedikit sekali, segala yang ada dalam alam itu memberi pengaruh juga kepada kehidupan bumi kita dengan segala isinya. Andaikata satu saja dari planet-planet itu dengan ketentuan dari Tuhan berbeda edarannya, tentu hukum alam itu akan jadi berubah, dan berubah pula hidup kita yang pendek dan sedikit ini, terpengaruh oleh keadaan di sekitar kita, oleh hal-hal yang tiada penting sekalipun. Hidup itu terpengaruh dan tunduk kepada kodrat alam karena peristiwa-peristiwa alam yang besar-besar. Dalam menerima pengaruh itu kadang ia menjurus kepada yang baik, kadang malah menyimpang. Baik dalam tujuan yang menjurus ke arah yang baik atau yang menyimpang, dalam kedua hal itu atas dasar yang mempengaruhinya tidak didorong oleh faktor-faktor kehidupan saja melainkan juga oleh kesediaannya dalam menerima pengaruh kehidupan itu serta kekuatan yang timbal-balik saling mempengaruhi. Ada beberapa faktor tertentu yang dapat memberi pengaruh besar dan beraneka rupa ke dalam jiwa orang. Kemudian pengaruh-pengaruh itu akan saling terdesak ke sudut. Salah satu di antaranya akan jadi juru pemisah, akan jadi batas antara yang baik dengan yang jahat. Yang selebihnya, yang satu akan menjurus kepada yang baik, yang lain kepada yang jahat.

 

Yang Baik dan yang Jahat

 

Adanya yang baik dan yang jahat dalam kehidupan ini tidak lain ialah suatu akibat saja dari adanya saling pengaruh antara faktor-faktor kehidupan dengan jiwa manusia. Oleh karena itulah yang baik dan yang jahat itu sudah merupakan sebagian dari gejala hukum yang sudah pasti dalam alam ini. Adanya kedua sifat baik dan jahat ini sudah pula merupakan suatu keharusan, seperti halnya dengan negatif dan positif yang merupakan suatu keharusan adanya listrik. Demikian juga adanya beberapa macam kuman sudah merupakan keharusan hidup dalam tubuh manusia. ,

 

Tidak ada suatu kejahatan hanya untuk kejahatan saja atau kebaikan hanya untuk kebaikan saja, tetapi itu tergantung kepada maksud yang menjadi tujuannya serta akibat yang terjadi karenanya. Adakalanya terjadinya kejahatan dan kebaikan itu karena keharusan yang mendesak sekali. Alat-alat perusak yang dipakai dalam peperangan guna menghancurkan jutaan manusia, memusnahkan karya-karya ciptaan manusia yang sungguh agung dan indah, di waktu damai besar sekali artinya. Kalau tidak karena dinamit manusia takkan mampu membelah terowong dan memasang jalan kereta api di dalamnya, takkan mampu menemukan tambang-tambang yang berisikan harta karun terdiri dari batu-batu dan logam yang sangat berharga. Begitu juga gas beracun yang dilepaskan Orang yang sedang berperang kepada penduduk sipil dari bangsa yang diperanginya dan yang dianggap sebagai suatu cemar dan cacat besar kepada perikemanusiaan dan sebagai suatu manifestasi kebiadaban dan kepengecutan yang tiada taranya, di masa damai gas ini besar sekali faedahnya: ia dapat mengabdi kepada perikemanusiaan, menolong umat manusia dari pelbagai penyakit menular yang cukup mengerikan. Gas ini juga yang dapat menjernihkan air dari kuman-kuman berbahaya, seperti gas chlorine misalnya. Dalam dunia perkapalan ia berguna sekali karena sebagian dapat digunakan membasmi hama tikus dan sebagian lagi dapat membahayakan kehidupan para nelayan.

 

Dahulu kala orang membayangkan, bahwa ada jenis-jenis serangga, burung dan binatang-binatang yang samasekali tak ada gunanya. Tetapi kemudian setelah diselidiki dan dipelajari betapa besar manfaat seranggaserangga, burung-burung dan binatang-binatang itu buat manusia. Negara pun telah pula membuat undang-undang memberikan suaka dan melarang orang membunuh atau memburunya, mengingat betapa menguntungkan makhluk-makhluk itu untuk umat manusia. Mereka yang telah mempelajari makhluk-makhluk ini melihat bahwa makhluk-makhluk ini ingin damai, ingin sekali menyesuaikan diri dengan dunia di sekitarnya dalam batas-batas ia dapat mempertahankan eksistensinya, supaya dapat pula ia mengimbangi adanya kebaikan yang harus dipelihara. Binatang-binatang ini tidak mengganggu, kecuali bila hendak membela diri, bila ada pihak yang menyerangnya atau yang mengganggunya.

 

Juga perbuatan-perbuatan kita sebagai manusia tidak ada kebaikan hanya untuk kebaikan saja atau kejahatan hanya untuk kejahatan saja, tetapi yang ada, semua itu tergantung kepada maksud yang menjadi tujuannya serta akibat yang terjadi karenanya. Bukankah pembunuhan itu Suatu perbuatan dosa yang dilarang? Sungguhpun begitu dalam melarang pembunuhan Tuhan berfirman:

 

“Dan janganlah kamu membunuh yang oleh Tuhan sudah dilarang, kecuali jika atas dasar kebenaran.” Membunuh atas dasar kebenaran tidak berdosa. “Dengan hukum gishash itu berarti suatu kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang mengerti…..”

 

Algojo yang membunuh seorang penjahat yang telah dijatuhi hukuman mati, orang yang membunuh karena membela diri, prajurit yang membunuh karena membela tanah air, orang beriman yang membunuh Supaya jangan digoda orang dari keyakinan agamanya — mereka semua tidak melakukan perbuatan dosa, tidak melakukan pelanggaran. Tidak lebih mereka hanya menyampaikan tugas yang telah diwajibkan Tuhan kepada mereka, dan balasan untuk mereka pun sebagai orang-orang yang telah berbuat kebaikan.

 

Apa yang berlaku terhadap pembunuhan itu, berlaku juga terhadap yang lain, terhadap perbuatan-perbuatan yang silih berganti antara yang baik dengan yang jahat. Sarjana yang telah menemukan alat-alat perusak Untuk kepentingan pertahanan tanah air, atau alat-alat perusak yang dapat memberi manfaat kepada dunia di masa damai, orang yang membuat S€njata, setiap pekerja, setiap orang di muka bumi ini, apakah ia bekerja Untuk melakukan pekerjaan baik atau melakukan pelanggaran, tergantung kepada sasaran yang menjadi tujuannya serta akibat yang terjadi karena perbuatannya itu.

 

Ini adalah iradat dan undang-undang Tuhan dalam alam. Oleh karena dalam menangkap hukum ini manusia yang diciptakan Tuhan itu kesanggupannya bertingkat-tingkat satu dengan yang lain, maka ada orang yang hanya memusatkan seluruh kegiatannya pada “titik” tempat ia dilahirkan, serta berusaha mengembangkan dan memeliharanya, ada pula yang bakatnya dalam kerajinan, sedang yang lain punya bakat dalam bidang usaha lain — dalam bidang kesenian, tehnik, ilmu pengetahuan misalnya, yang tidak begitu mudah bagi mereka akan dapat menangkap arti hukum itu. Oleh karena mengenal hukum alam itu merupakan dasar bagi manusia supaya ia dapat mencapai tujuan hidupnya, maka ada pula di antara mereka yang telah diberi bakat kenabian. Yang lain diberi kesanggupan untuk menjelaskan ajaran itu kepada kita, mana yang baik dan mana pula yang jahat. Yang lain lagi mendapat karunia berupa ilmu dan pikiran yang akan membuat mereka menjadi pewaris para nabi, maka dituntunnya kita kepada apa yang harus kita lakukan dan apa pula yang harus kita hindarkan. Juga kita dilengkapi dengan tenaga pikiran dan perasaan, supaya kita dapat menangkap ajaran yang diberikan kepada kita. Dengan itu kita dapat melatih diri supaya kita dapat mencapai tujuan kita dalam hidup ini sebaik-baiknya, supaya kita dapat mengajak orang berbuat baik dan mencegah melakukan kejahatan.

 

Pintu Tobat

 

Sungguhpun begitu, apabila ada orang-orang yang terjerumus dalam hal ini sampai mereka itu melakukan pelanggaran — lalu untuk menjaga eksistensinya masyarakat menjatuhkan hukuman kepada mereka dengan maksud supaya pelanggaran mereka tidak sampai merugikan masyarakat – maka adanya hukuman ini tidak berarti suatu jalan buntu untuk mereka bertobat dan kembali kepada kebenaran. Barangsiapa melakukan perbuatan dosa karena tidak tahu kemudian ia menyadari dan mau mengubah keadaan dirinya, mau kembali kepada Tuhan sebagai orang yang patuh, Tuhan akan mengampuni dosanya yang telah lampau. Dengan demikian Orang yang telah bersalah dan berbuat dosa akan mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah itu dan akan membersihkan hatinya. Ia akan kembali ke jalan yang benar dengan penuh tobat, dan Allah pun akan menerima tobatnya, sebab Dia Maha Pengasih dan Pengampun.

 

Gambaran kehidupan demikian ini dapat mempertemukan beberapa aliran filsafat yang bermacam-macam, yang tadinya diduga tidak akan dapat dipertemukan. Jelas sekali bahwa eksistensi ini suatu kemauan. “Sesungguhnya perintah Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya Kami hanya mengatakan kepadanya “Jadilah!’ maka ia pun jadi.” Alam dapat memantulkan apa yang dapat ditangkap oleh daya rasa dan apa yang tidak. Alam sudah mempunyai hukum-hukum tertentu, yang dalam batas-batas ilmu kita yang nyata ini kita dapat mengetahui apa yang akan dicapai oleh pikiran kita. Makin bertambah kita berusaha akan makin bertambah pula penemuan kita tentang alam. Yang menjadi dasar hukum alam ialah kebaikan. Akan tetapi kejahatan selalu hendak melawannya dan kadang sampai hampir mengalahkannya. Perlawanan kebaikan terhadap kejahatan, itulah yang disebut evolusi kreatif yang telah membawa kemajuan yang luar biasa kepada alam dan umat manusia, sehingga dengan langkah itu ia telah mencapai kesempurnaannya seperti sekarang ini.

 

Evolusi Rohani dalam Kehidupan

 

Kita sudah melihat, bahwa gambaran ini mengandung suatu konsepsi dengan tujuan hidup yang lebih sempurna dengan lukisan yang begitu baik yang pernah dikenal oleh pemikiran filsafat. Di samping apa yang sudah kita sebutkan, hal ini menunjukkan penggambaran Quran mengenai evolusi rohani dalam kehidupan sejak Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya. “Tuhan telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia pun berkuasa di atas Singgasana.” Adakah enam hari ini sama dengan hari-hari kita di bumi ataukah hari-hari seperti dalam firman Tuhan:

 

“Satu hari menurut Tuhanmu sama dengan seribu tahun menurut perhitungan kamu.”

 

Tetapi bukanlah di sini tempatnya kita mengadakan pembahasan. Kalaupun kita menjumpai adanya teori evolusi, dan yang sudah menjadi salah satu pula undang-undang Tuhan dalam alam, namun pembicaraan dalam hal ini masih akan luas sekali. Tuhan menciptakan Adam dan Hawa lalu berkata kepada para malaikat supaya bersujud kepada Adam. Selain Iblis mereka pun bersujud, Iblis masih tetap menolak meskipun Tuhan telah mengajarkan semua nama-nama kepada Adam, seperti dalam firman | Allah:

 

“Hai Adam! Tinggallah engkau dengan istrimu di dalam surga! Dan makanlah mana yang kamu sukai, tetapi pohon ini jangan kamu dekati, Sebab nanti kamu akan menjadi orang yang salah karenanya. Lalu datang Setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka, supaya aurat mereka yang tertutup dibuka. Dan setan pun berkata: “Tuhan melarang mendekati pohon ini hanya supaya kamu berdua jangan menjadi malaikat atau menjadi orang-orang yang kekal.” Dan dia bersumpah kepada mereka: “Sungguh aku ini penasehat kamu.’ Lalu dengan tipu daya itu setan pun dapat menjatuhkan mereka berdua, setelah keduanya merasakan buah pohon itu, tampaklah bagi mereka berdua itu aurat mereka, lalu mereka pun menutupi diri dengan daun pohon surga. Oleh Tuhan kedua mereka dipanggil-Nya:

 

Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan sudah Kukatakan kepadamu bahwa setan itu musuh yang jelas sekali buat kamu. Keduanya mengatakan: “Wahai Tuhan kami. Kami telah menganiaya diri kami sendiri. Kalau tidak karena pengampunan dan rahmat yang akan Engkau limpahkan kepada kami, niscaya kami akan menjadi orang yang rugi. Tuhan berkata: “Turunlah kamu. Kamu akan saling bermusuhan. Kamu akan tinggal dan hidup di dunia sampai pada waktu tertentu! Tuhan berkata: “Di tempat itu kamu hidup, di sana kamu akan mati dan dari sana pula kamu akan dibangkitkan kembali. Wahai anak Adam! Kepadamu Kami telah menurunkan pakaian penutup auratmu, dan pakaian perhiasan. Akan tetapi pakaian takwa itu lebih baik. Itulah tanda-tanda kebesaran Tuhan, supaya kamu ingat. Wahai anak Adam! Jangan sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan seperti yang dilakukannya dalam mengeluarkan ibu bapamu dari surga. Ia menanggalkan pakaian mereka berdua untuk saling memperlihatkan aurat, ia dan pengikut-pengikutnya dapat melihat kamu dari Suatu arah yang tak dapat kamu lihat mereka. Kami telah menjadikan setan itu pemuka-pemuka mereka yang tiada beriman.”

 

Adam dan Hawa turun dari surga, sebahagian keturunannya satu sama lain akan saling bermusuhan. Mereka turun dengan kekuatan yang diberikan Tuhan untuk memperjuangkan hidup, dan demikian seterusnya generasi demi generasi.

 

Mulanya, adalah Kekerasan dan Fanatisma

 

Gejala pertama kehidupan manusia di dunia ini ialah kekerasan dan fanatisma, seperti firman Allah:

 

“Ceritakanlah kepada mereka dengan sebenarnya kisah kedua putra Adam itu ketika keduanya mempersembahkan kurban. Dari yang seorang diterima, dari yang lain tidak. Yang seorang berkata: “Akan kubunuh engkau.’ Yang lain menjawab: “Tuhan hanya menerimanya dari orang: orang yang bertakwa. Kalau engkau menggerakkan tangan hendak membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Sungguh aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam. Akan kubiarkan engkau memikul dosaku dan dosamu sendiri, supaya engkau menjadi isi neraka. Dan itulah balasan orang-orang yang melakukan kejahatan.’ Kemudian kehendak nafsunya akan membunuh saudaranya itu diturutinya, maka dibunuhnyalah ia. Dia sudah menjadi orang yang rugi. Kemudian Tuhan pun mengirim seekor burung gagak menggali tanah dengan memperlihatkan kepadanya bagaimana caranya ia menguburkan mayal saudaranya itu. Katanya: “Aduhai! Kenapa aku tidak seperti burung gagak ini, aku menguburkan mayat saudaraku.” Itu sebabnya, ia menjadi orang menyesal sekali. Oleh karena itulah, Kami telah menetapkan kepada anakanak Israil, bahwa barangsiapa membunuh seorang manusia bukan karena suatu pembunuhan atau karena melakukan keonaran di muka bumi ini, maka orang itu seolah membunuh semua manusia. Dan barangsiapa dapat memelihara hidup seorang manusia, maka seolah ia telah menghidupkan semua manusia. Rasul-rasul Kami kepada mereka pun sudah datang, sudah memberikan keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi sesudah itu masih banyak juga di kalangan mereka orang-orang yang melampaui batas melakukan kejahatan di bumi bumi ini.”

 

Pembunuhan seorang saudara atas saudaranya jelas sekali karena dendam, dengki, perangai yang kasar dan keras hati. Tetapi saudaranya itu orang yang bertakwa, yang takut kepada Tuhan — ketika dikatakan oleh saudaranya: aku akan membunuhmu — ia tidak mau meminta pengampunan Tuhan, bahkan katanya: Akan kubiarkan engkau memikul dosaku dan dosamu sendiri supaya engkau menjadi isi neraka. Ini adalah Suatu dominasi kodrat manusia serta logika hukum terhadap kebesaran Jiwa dan maaf yang sungguh indah. Anak cucu Adam pun berkembang biak di bumi ini. Lalu Tuhan mengutus para nabi kepada mereka dengan memberikan berita gembira di samping peringatan. Tetapi mereka tetap bersikeras, masih dalam kesesatan. Kehidupan rohani mereka jadi beku, hati mereka kaku tertutup. Tuhan mengutus Nuh dengan mengajak golongannya sendiri, supaya hanya Tuhanlah yang disembah sebab “aku kuatir kamu akan mendapat siksaan Tuhan.” Ia pun didustakan oleh masyarakat itu dan hanya sedikit saja yang mau percaya. Sesudah itu berturut-turut datang pula nabi-nabi yang lain sesudah Nuh, datang pula ajaran-ajaran yang menyerukan agar jangan orang mempersekutukan Tuhan. Akan tetapi sikap manusia itu lebih berkuasa, pikiran mereka tetap beku belum dapat memahami. Beberapa macam manifestasi alam ini dijadikannya Tuhan. Setiap ada scorang rasul yang diutus Tuhan, ada yang mendustakannya, ada pula yang membunuhnya. Akan tetapi kekakuan mereka itu berangsur kendor. Dengan datangnya ajaran-ajaran Tuhan secara berturut-turut itu sudah merupakan bibit yang baik juga meskipun lamban sekali tumbuhnya. Sungguhpun begitu namun ada juga meninggalkan bekas. Pernahkah ajaran kebenaran itu pada suatu waktu menjadi hilang! Kalaupun orang sudah terdorong oleh rasa congkak dan Unggi hati terhadap ajaran itu dan dalam beberapa hal mereka memperolok pembawanya, namun bila mercka sudah kembali seorang du, mereka kembali bertanya tanya tentang Kebenaran yang ada dalam ajaran itu. Hanya saja mereka yang dapat memahami kebenaran yang terkandung di dalamnya tidak banyak jumlahnya.

 

Pada masa Firaun di Mesir para pendetanya percaya akan keesaan Tuhan. Tetapi mereka mengajar orang sebaliknya dengan bermacammacam Tuhan. Tidak lain mereka melakukan itu karena ingin mempertahankan kekuasaan terhadap orang lain dan mempertahankan kedudukan mereka. Malah sengaja mereka memerangi Musa dan Harun ketika keduanya datang kepada Firaun, mengajaknya menyembah Tuhan, dan dimintanya Anak-anak Israil itu dilepaskan pergi bersama mereka.

 

Oleh Quran juga diceritakan berita tentang para nabi, yang silih berganti selama beberapa generasi di kalangan umat manusia. Tetapi umat itu tetap dalam kesesatan, hanya sedikit saja yang mendapat petunjuk Tuhan dalam mengenal kebenaran itu. Dalam kisah-kisah para nabi ada suatu gejala yang perlu sekali direnungkan. Untuk jelasnya, baik juga kalau kita kembali ke masa Musa dan Isa serta kepada tuntunan Muhammad ‘alaihissalam kemudian.

 

Rasio dan Iman tentang Mukjizat

 

Gejala ini ialah adanya pemisahan atau yang semacam itu pada mulanya, antara rasio dan logikanya dengan iman kepercayaan yang didasarkan kepada mukjizat dan hal-hal yang tak masuk akal. Para nabi itu oleh Tuhan telah diperkuat dengan mukjizat untuk masyarakatnya, supaya mereka percaya. Sungguhpun demikian cuma sedikit mereka itu yang mau percaya. Logika dan cara berpikir mereka belum cukup untuk dapat memahami, bahwa Tuhan menciptakan segalanya, bahwa Ia Mah3 Kuasa. Setelah dengan ketentuan Tuhan Musa disuruh keluar meninggal kan Mesir, sebelum kerasulannya itu ia pergi dari sana dengan membaw3 perasaan takut. Ketika sampai pada sebuah mata air di Madyan, ia kawin Aengan seorang wanita penduduk kota itu. Setelah Tuhan memberi izin i3 kembali…… terdengar ada suara memanggilnya dari balik lembah sebelah kanan, pada tempat yang telah diberi berkah dari batang pohon itu: “Ha! Musa! Aku ini Allah, Tuhan semesta alam. Lemparkanlah tongkatmu! Setelah dilihatnya tongkat itu bergerak-gerak seperti ular, ia lari ke belakang tidak menoleh lagi. “Hai Musa! Kembalilah, jangan takut! Engkau sudah mendapat lindungan keamanan. Masukkanlah tanganmu ke dalam saku bajumu, niscaya akan keluar dalam keadaan putih tanpa cacat dan dekapkan tanganmu ke badanmu jika engkau merasa takut.’ Inilah dua mukjizat dari Tuhan ditujukan kepada Firaun dan pembesar: pembesarnya: sebab mereka itu orang-orang yang jahat!

 

Sungguhpun begitu tukang-tukang sihir Firaun itu tidak juga percaya kepada ajakan Musa. Ketika kemudian apa yang mereka kerjakan itu disergap oleh tongkat Musa, ketika itulah tukang-tukang sihir itu menyerah sujud, lalu mereka berkata: Kami beriman kepada Tuhannya Harun dan Musa, sungguhpun demikian orang-orang Israil masih juga dalam keadaan sesat, sampai-sampai mereka berkata kepada Musa: “Perlihatkan Allah itu terang-terang kepada kami.” Setelah Musa wafat, kembali mereka menyembah anak sapi. Kemudian sesudah Musa, datang lagi nabi-nabi yang lain kepada mereka, diajaknya mereka menyembah Allah. Tetapi nabi-nabi itu malah dibunuh dengan sewenang-wenang. Setelah kemudian mereka kembali teringat kepada Tuhan, mereka menanti-nantikan kedatangan seorang nabi lagi yang akan dapat mengembalikan kerajaan mereka dengan memerintah dunia untuk selama-lamanya.

 

Peristiwa ini berlangsung dalam sejarah belum begitu lama dari kita. Tidak lebih dari 25 abad yang lalu. Dalam pada itu jelas sekali ini membuktikan adanya dominasi perasaan di atas pengertian rohani. Sesudah lampau lima-enam abad kemudian datang pula Isa mengajak masyarakatnya itu menyembah Tuhan, diperkuat dengan Ruh Kudus dari Tuhan. Oleh karena Isa orang Yahudi, ketika begitu pertama kali berita tentang dia itu sampai kepada pihak Yahudi mereka menduga bahwa dia inilah nabi yang mereka nanti-nantikan (Missiah) untuk mengembalikan kerajaan yang hilang itu ke Tanah atau Negeri yang Dijanjikan. Mereka rindu sekali akan kerajaan semacam ini setelah begitu lama mereka berada di bawah kekuasaan dan kekejaman pihak Rumawi. Akan tetapi mereka masih menunggu, ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya tentang diri Isa. Adakah ia bicara kepada mereka dengan bahasa rasio semata-mata? Tidak, malah jalan mukjizat itulah yang ditempuhnya untuk meyakinkan mereka.

 

Kalaupun sumber Kristen itu benar, bahwa ia telah mengubah air menjadi minuman anggur dalam suatu pesta perkawinan di Kana, Galilea, itulah yang mula-mula menarik perhatian orang. Sesudah itu lalu mukjizat roti dan ikan, mukjizat-mukjizat menyembuhkan orang-orang sakit dan menghidupkan orang-orang mati. Itulah yang membuat dia tidak raguragu lagi mengajar orang melalui jalan hati dan perasaan tanpa memberikan tempat yang terutama kepada rasio dan logika dalam ajaran-ajarannya itu. Tetapi bidang ini memang diberikan lebih luas daripada yang pernah diberikan oleh rasul-rasul sebelumnya. Dalam ajaran-ajarannya itu dorongan perasaan kepada kasih-sayang, pengampunan dosa dan cintakasih bercampur-baur dengan ajaran rasional yang tidak dilandasi oleh dalil logika tentang Kerajaan Tuhan. Apabila ada rasa syak yang menyusup ke dalam hati orang mengenai ajaran rasional ini maka Tuhan segera memberikan mikjizat baru yang akan membuat orang lebih dapat menerima dan percaya kepada Almasih. Dengan mukjizat-mukjizat yang telah dapat menyembuhkan penyakit kusta, orang buta dan menghidupkan orang mati, sudah begitu jauh membuat pengikut-pengikutnya percaya, sehingga sebagian ada yang mengira dia adalah Tuhan yang menjelma di atas bumi untuk menebus dosa umat manusia. Ini bukti yang jelas sekali bahwa kemampuan rasio sampai pada waktu itu belum begitu matang, yang akan membuat orang dengan itu saja sudah dapat memahami hakekat tertinggi tentang arti Al-Khalik dan bahwa Dia Mahaesa, Tempat segalanya bergantung, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada suatu apa pun yang menyerupai-Nya.

 

Ilmu Pengetahuan

 

Pada zaman Musa dan Isa itu keadaan ilmu, filsafat dan perundangundangan di Mesir zaman Firaun sudah pindah ke Yunani dan Rumawi, dan dengan segala pengaruhnya sudah dapat menguasai cara berpikir bangsa-bangsa itu terutama dalam bidang filsafat dan peradaban Yunani. Kesadaran berpikir logis sudah mulai menggugah orang bahwa hal-hal yang tak masuk akal dengan sendirinya secara logis tak dapat dijadikan pegangan. Karena pengaruh itu pula filsafat Yunani yang bertetangga dengan agama Kristen di Mesir, Palestina dan Syam telah dapat menimbulkan bermacam-macam mazhab Kristen — seperti sudah kita sebutkan dalam buku ini. Dalam undang-undang Tuhan sudah menentukan bahwa akal pikiran adalah mahkota hidup umat manusia, dengan syarat bahwa pikiran demikian itu jangan sampai kering tanpa perasaan dan jiwa. Bahkan hendaknya ia dapat menjadi pikiran yang berimbang, dapat mengimbangi akal, perasaan dan jiwa, sehingga dapat ia memahami rahasia-rahasia alam ini sejauh mungkin. Demikian juga Tuhan telah menentukan pula kedatangan seorang nabi yang akan membawa Islam ke dalam alam ini dengan mengajarkan kebenaran menurut hukum logika, dilandasi oleh perasaan dan jiwa, dan yang akan menjadi mukjizat logika ini ialah Kitab Suci Quran yang telah diwahyukan oleh Allah kepada Nabi. Dengan demikian Tuhan telah menyempurnakan agama ini dan memberikan nikmat secukupnya kepada umat manusia. Ia telah menjadi mahkota dan penutup semua ajaran Ilahi.

 

Tetapi semua itu terjadi baru setelah adanya perjuangan yang begitu berat terus-menerus, yang juga pernah dilakukan oleh para nabi dan para rasul, yang membawa umat manusia ke dalam evolusi rohani sehingga akhirnya ajaran Islam dapat mencapai kemurnian tauhid serta keimanan kepada Tuhan Yang Mahatunggal.

 

Untuk melengkapi akidah ini maka keimanan itu harus meliputi beberapa kewajiban seperti yang sudah kita sebutkan pada pembahasan pertama dalam penutup buku ini. Supaya orang yang beriman dapat mencapai puncak akidahnya maka ia harus sungguh-sungguh dapat memahami hukum Tuhan dalam alam ini dengan cara terus-menerus sampai pada waktu Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya ini. Dan inilah yang sudah dimulai oleh orang-orang Islam pada permulaan sejarahnya dan pada zaman berikutnya, hingga tiba masanya zaman itu beredar lagi.

 

Alasan-alasan yang saya kemukakan ini dengan sendirinya sudah membantah apa yang ditafsirkan oleh Orientalis-orientalis tentang jabariah Islam serta tafsiran mereka tentang takdir, nasib dan umur seperti yang terdapat dalam Quran. Dengan tidak usah diragukan lagi argumen ini sudah dapat memperkuat, bahwa Islam agama usaha, agama perjuangan dalam pelbagai lapangan hidup, rohani dan ilmu. agama dan dunia. Dalam hukum alam ini Tuhan sudah menentukan bahwa manusia mendapat ganjaran sesuai dengan perbuatannya, dan bahwa Tuhan takkan merugikan siapa pun, tapi manusia itu sendirilah yang merugikan dirinya. Mereka merugikan diri sendiri bilamana mereka menduga bahwa mereka sudah mendapat kasih Tuhan hanya dengan berpeluk lutut dan menyerah begitu saja atas nama tawakal kepada Allah.

 

Harta, Anak-anak Keturunan dan Perbuatan Baik yang Kekal

 

Kendatipun argumen-argumen ini sudah cukup kuat sesuai dengan maksud yang saya kemukakan itu, namun saya tak dapat mengabaikan argumen terakhir yang saya pandang sangat tepat dan kuat sekali, yakni argumen yang dapat diambil dari firman Tuhan: |

 

“Harta dan anak-anak keturunan adalah hiasan kehidupan dunia, letapi perbuatan baik yang kekal lebih baik pahalanya dalam pandangan Tuhan serta harapan yang lebih baik pula.”

 

Dalam hidup ini rasanya tak ada yang lebih baik merangsang kita dalam bekerja dan berusaha seperti dalam mencari nafkah dan harta. Demi harta sebagian besar orang berusaha dan berjuang, yang kadang Sampai di luar kemampuannya. Dalam dunia kita sekarang ini, sekali lihat Saja orang sudah dapat memperoleh kesan apa yang sedang bergolak dalam dunia ini — perjuangan dan kesulitan, perang dan damai, pemberontakan dan kekacauan — demi harta. Demi harta inilah kerajaan-kerajaan terbalik menjadi republik, untuk harta ini pertumpahan darah terjadi, nyawa manusia melayang. Juga anak-anak keturunan! Kesulitan yang bagaimanakah yang tidak akan kita pikul demi anak-anak buah hati kita! Kepahitan yang bagaimana pula yang takkan terasa manis kalau memang untuk kesenangan mereka, untuk menjamin kemakmuran hidup dan kemuliaan mereka! Segala kesulitan untuk mencapai kebahagiaan mereka itu jadi mudah. Bahkan, demi harta dan anak-anak keturunannya itu, ada orang yang menganggap segala yang mustahil itu tiada berarti. Ada yang sampai berlebih-lebihan sekali dalam hal ini sehingga untuk itu ia mengorbankan segala kesenangannya, bahkan hidupnya.

 

Memang demikianlah, harta dan anak-anak keturunan itu memang hiasan (bentuk luar) kehidupan dunia. Tetapi di samping inti kehidupan yang sebenarnya bentuk luar itu bukan apa-apa. Orang yang mengorbankan inti demi hiasan lahir, sama dengan orang yang berpikir sempit dan bodoh saja: sama dengan perempuan yang tidak memandang penting kesehatannya sendiri asal dia tampak cantik untuk sementara waktu, sama dengan pemuda yang sudah lupa daratan, yang mau mengorbankan pikiran dan harga dirinya di tengah-tengah ejekan kawan-kawannya bila ia mengira bahwa dirinya adalah pemimpin mereka sebab dia sudah menghambur-hamburkan harta untuk mereka itu, atau sama seperti mereka, orang-orang yang begitu bodoh, yang tertipu oleh kenyataan di balik kebenaran, oleh hari ini di balik hari esok. Mereka yang mengejar harta dan anak-anak keturunan sebagai hiasan kehidupan dunia dan melupakan yang lain, mereka ini tidak kurang pula bodohnya. Harta dan anak-anak keturunan suatu hiasan. Sedang inti kehidupan ialah segala pekerjaan dan perbuatan baik yang kekal. Dan untuk perbuatanperbuatan baik inilah orang harus mencurahkan tenaga dan perjuangannya lebih daripada untuk hiasan (bentuk luar) kehidupan dunia, harta dan anak-anak keturunannya.

 

Kita sudah melihat betapa luhurnya tujuan yang digambarkan ayat Quran Suci ini. Kalau kita sudah mencurahkan segala tenaga dan darah kita demi hiasan kehidupan dunia ini, maka kita juga harus mencurahkan jiwa dan hati kita untuk inti daripada kehidupan itu, bentuk harus tunduk kepada inti. Oleh karena itu segala hidup kita, harta kita dan anak-anak keturunan kita harus ditujukan kepada tujuan ini, kepada inti daripada perbuatan-perbuatan baik yang kekal itu yang lebih besar pahalanya dalam pandangan Tuhan serta harapan yang lebih baik pula.

 

Mengenai logika yang begitu sehat dan jelas ini bagaimana dalam pemikiran Muslimin dapat berubah menjadi bermacam-macam kepercayaan yang samasekali tidak sesuai? Pada pembahasan yang pertama buku ini sepintas lalu ada juga kita singgung tatkala kita sebutkan tentang keadaan yang sudah berubah pada umat Islam itu.

 

Berpikirnya Muslimin Karena adanya penaklukan-penaklukan yang pernah menguasai imperium Islam secara berturut-turut sejak berakhirnya zaman dinasti Abbasiah — seperti yang sudah kita singgung sepintas lalu dalam pengantar cetakan kedua — cara musyawarah yang berlaku pada permulaan sejarah Islam telah berubah menjadi kerajaan yang sewenang-wenang pada zaman dinasti Umayyah, lalu menjadi hak suci pada masa Abbasiah kedua. Pendapat Syaikh Muhammad Abduh Baiklah sekarang kita ikuti keterangan almarhum Syaikh Muhammad Abduh dengan agak terperinci dalam Al-Islam wan-Nashrania sebagai berikut:

 

“Islam pada mulanya agama yang dianut orang Arab. Kemudian setelah berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang tadinya bercorak Yunani ilmu itu pun lalu bercorak Arab pula. Kemudian ada seorang khalifah yang salah dalam menjalankan politik. Keluasan Islam digunakannya untuk apa yang dikiranya akan membawa keuntungan untuk kepentingannya — dikiranya bahwa tentara yang terdiri dari orang-orang Arab itu mungkin saja akan jadi pendukung seorang khalifah golongan Ali, sebab golongan ini dekat sekali pertaliannya dengan keluarga Nabi S.a.w. Oleh karena itu ia mau mempergunakan tentara dari luar, yang terdiri dari orang-orang Turki, Dailam dan lain-lain yang dikiranya pula bahwa dengan kekuasaannya itu mereka ini akan dapat diperhamba, dapat dipergunakan untuk. kepentingannya. Suasana tidak akan membantu adanya pihak yang akan memberontak kepadanya atau menuntut kedudukannya sebagai penguasa, meskipun keluasan hukum Islam akan membenarkan ia melakukan itu. Sejak itulah Islam jadi bercorak asing.

 

“Ada seorang khalifah Banu Abbas — yang karena mengingat kepentingannya sendiri serta anak cucunya — ia ingin sebagian besar tentaranya itu diangkat dari orang-orang asing, demikian juga pembesar-pembesarnya. Suatu tindakan yang buruk sekali, baik terhadap bangsanya ataupun terhadap agama. Tetapi tidak lama kemudian pembesar-pembesar militer ini pun telah pula dapat mengalahkan para khalifah itu. Dengan kekuasaan yang ada itu mereka telah dapat bertindak sewenang-wenang. Sekarang kekuasaan negara berada di tangan mereka, dengan tiada persiapan pikiran seperti yang diajarkan Islam dan dengan hati yang sudah diisi oleh pendidikan agama. Bahkan sebaliknya, mereka datang menerima Islam dalam keadaan biadab dan bodoh, dengan membawa segala macam kekejaman. Tubuh mereka mengenakan pakaian Islam, tapi ajarannya belum sampai menembusi hati mereka. Masih banyak di antara mereka itu yang membawa berhala untuk disembah dengan diam-diam. Kalaupun ada yang menjalankan salat bersama-sama, itu hanya untuk memperkuat kekuasaannya.

 

“Kemudian datang lagi yang lain melanda Islam, seperti bangsa Tatar dan yang lain misalnya, malah persoalan agama juga di bawah kekuasaannya. Buat mereka musuh yang paling besar ialah ilmu pengetahuan. Orang pun sudah mengenal siapa mereka, sudah mengetahui sejarah mereka yang buruk itu. Mereka sangat memusuhi ilmu, juga memusuhi yang menjadi pelindung ilmu, yakni Islam! Segala yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan tidak pernah mendapat perhatian mereka, bantuan untuk itu pun dihentikan. Tidak sedikit dari kaki tangan mereka itu yang turut menyusup ke dalam jiwa orang yang masih awam dalam agamanya. Mereka menempatkan diri ke tengah-tengah orang yang masih hijau dalam agama itu, sebagai orang yang taat dan pelindung agama. Mereka menganggap agama masih belum sempurna, perlu disempurnakan, atau sedang sakit, perlu diobati, atau juga sedang miring, perlu ditopang, sudah hampir roboh, jadi perlu dibangun kembali.

 

“Dengan mengingat masa lampau mereka yang masih dalam kemegahan paganisma, adat-istiadat golongan-golongan Nasrani yang terdapat di sekitarnya, mereka pun hendak menerapkan semua itu ke dalam Islam — suatu hal yang di luar tanggung jawab Islam. Tetapi dalam meyakinkan orang-orang awam bahwa yang demikian ini demi kebesaran syiar agama, mereka berhasil. Rakyat jelata memang alat penguasa dan senjata kaum tiran. Mereka telah menciptakan bermacam-macam pesta dan upacara-upacara keagamaan. Merekalah yang membuat peraturan kepada kita tentang adanya pemujaan kepada para wali, kepada ulama dan yang sebangsanya. Mereka telah memecah belah umat Islam, dan menjerumuskan orang ke dalam kesesatan. Mereka juga yang menentukan, bahwa kita yang datang kemudian harus mengikuti apa yang dikatakan oleh orang dahulu. Hal ini oleh mereka telah dijadikannya pul3 suatu akidah, yang membuat orang jadi berhenti berpikir, membuaf pikiran jadi beku.

 

“Lalu kaki tangan mereka menyebarkan cerita-cerita, berita-berita dan bermacam-macam pandangan ke seluruh pelosok kawasan Islam – yang akan membuat orang awam jadi puas dan yakin — bahwa mereka tidak berhak mencampuri soal-soal umum. Segala yang berhubungan dengan soal-soal masyarakat dan negara adalah menjadi wewenang para penguasa. Barangsiapa mau mencampuri soal semacam ini di luar mereka, berarti ia memasuki persoalan yang bukan bidangnya. Apabila sampai! timbul kerusakan-kerusakan dan suasana yang tidak menyenangkan, semua itu bukan karena perbuatan para penguasa, melainkan suatu kenyataan seperti yang disebutkan dalam hadis-hadis sebagai ciri-cir! akhir zaman. Orang tidak perlu menghindarkan diri baik. untuk masa Sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Maka lebih aman apabila hal ini kita serahkan saja kepada Tuhan. Kewajiban seorang Muslim! hanyalah mengurus diri sendiri.

 

“Dalam hal ini mereka menemukan pula beberapa hadis yang secara harfiah membantu sekali maksud mereka. Demikian juga adanya hadits-hadits palsu dan lemah dapat memperkuat tujuan mereka menyebarkan pelbagai ilusi semacam itu. Barisan yang menyesatkan semacam itu sudah tersebar luas di kalangan Muslimin sendiri, dengan mendapat bantuan di mana:mana dari pembesar-pembesar yang memang berbahaya itu. Kepercayaan tentang takdir mereka pergunakan sebagai alat pemadam semangat, sebagai belenggu yang akan dipasang di tangan orang yang mau berusaha. Faktor yang paling kuat mendorong hati orang menerima dongengan-dongengan semacam ini ialah tingkat pengetahuan yang masih bersahaja, kesadaran beragama yang lemah dan mudah terbawa nafsu. Ketiga faktor ini bila bertemu berarti suatu kehancuran. Kebenaran sudah tertimbun oleh kepalsuan yang begitu tebal. Kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran pokok agama, dan mengaburkannya sekaligus — seperti kata orang — sudah sangat melekat ke dalam hati.

 

“Politik demikian ini adalah politik tirani dan egoistis sifatnya. Politik inilah yang menyebarkan hal-hal yang bukan dari agama dimasukkan ke dalam agama. Politik inilah yang telah merampas harapan dari si Muslim yang tadinya hendak menembusi lapisan langit, terpaku ia dalam hidup putus asa, hidup dengan makhluk-makhluk hewan yang membisu…… Sebagian besar yang kita saksikan sekarang, yang dinamakan Islam, sebenarnya bukan Islam. Hanya bentuknya saja yang masih dipelihara sebagai amalan-amalan Islam — sembahyang, puasa, naik haji, ditambah sedikit hafalan kata-kata yang artinya sudah dibelokkan pula. Ajaranajaran bid’ah dan dongengan-dongengan yang dimasukkan ke dalam agama dan dianggap sebagai agama, telah membuat orang jadi beku dalam berpikir, seperti sudah saya sebutkan tadi. Semoga Tuhan menjauhkan semua kita dari mereka dan dari kebohongan yang mereka buat-buat atas nama Tuhan dan agama itu! Segala cacat yang sekarang dialamatkan kepada kaum Muslimin sebenarnya bukan dari Islam, tetapi sesuatu yang lain yang mereka namakan Islam.”’

 

Pandangan Muslimin yang Datang Kemudian

 

Keadaan yang digambarkan oleh Syaikh Muhammad Abduh ini memang merupakan beberapa pendirian yang bertentangan sekali, yang Oleh mereka disiar-siarkan dan disebarkan begitu luas dengan mengatakan bahwa itu ajaran Islam, itu perintah Tuhan dan Rasul. Dari pelbagai macam pendirian inilah lahirnya mazhab jabariah, yang oleh mereka yang datang kemudian telah digambarkan begitu rupa, berlainan sekali dengan apa yang ada dalam Quran. Lukisan Quran mengenai hal ini sudah kita lihat di atas. Sebaliknya yang datang kemudian, mereka hanya menyuruh orang duduk-duduk dan menyerah saja, dengan mengatakan bahwa lapangan hidup ini bukan harus dilakukan dengan usaha dan rencana, tetapi memang sudah tergantung kepada rezeki dan takdir juga, bukan kepada jasa pekerjaan seseorang. Ini adalah jabariah yang salah samasekali, yang telah memberi peluang kepada beberapa orang di Barat untuk menuduh Islam dengan tidak pada tempatnya. Berdasarkan pendirian inilah timbul mazhab merendahkan arti materi dan tidak mau campur tangan dalam persoalan semacam ini. Ini adalah mazhab kaum Stoa’ di Yunani, juga pada suatu ketika pernah tersebar di kalangan segolongan kaum Muslimin, kendatipun ini memang bertentangan dengan firman Tuhan: “Dan jangan kau lupakan nasibmu dalam kehidupan dunia ini.”

 

Sungguhpun demikian aliran ini mempunyai literatur yang cukup luas pada masa Banu Abbas dan sesudahnya. Yang dikehendaki oleh Quran ialah jalan tengah. Ia tidak membenarkan orang hidup serba menahan diri, juga tidak membenarkan ibahiyah atau hidup serba boleh seperti diduga oleh Irving, bahwa cara hidup demikian itu telah menghanyutkan kaum Muslimin ke dalam kemewahan dan melupakan perjuangannya, serta menjerumuskan umat Islam ke dalam keadaan mereka seperti sekarang ini.

 

Islam-Kristen dan Jalan Tengah

 

Penulis Amerika ini mengatakan, bahwa ajaran Kristen mengajarkan kesucian dan kasih-sayang sebaliknya daripada Islam, seperti yang dituduhkannya. Bukan maksud saya akan membanding-bandingkan Islam dengan Kristen dalam hal ini, sebab keduanya memang sejalan, dan tidak berbeda. Biasanya membanding-bandingkan demikian itu hanya akan berakhir pada perdebatan dan pertentangan yang tidak akan menguntungkan Kristen ataupun Islam. Akan tetapi apa yang saya perhatikan — dan inilah yang ingin saya tekankan — ialah bahwa antara sejarah hidup Isa a.s. dengan ajaran Stoaisma dan hidup menahan diri secara berlebih-lebihan yang dihubungkan kepada ajaran Kristen, terdapat perbedaan yang jelas sekali. Almasih bukan seorang penganut ajaran stoa. Bahkan mukjizatnya yang mula-mula dan utama, ialah ketika ia mengubah air tawar menjadi minuman anggur dalam pesta perkawinan di Kana, Galilea, yang juga dia diundang, dan dia ingin jangan orang kekurangan minuman keras itu setelah habis dari persediaan. Juga dia tidak menolak undangan kaum Parisi’ yang mengadakan pesta makan yang mewah dan dia tidak keberatan orang mengecap kenikmatan yang diberikan Tuhan.

 

Sedang sejarah hidup Muhammad dalam hal ini lebih menekankan pada keseimbangan jalan tengah. Memang benar bahwa Isa menganjurkan orang-orang kaya bermurah hati kepada fakir-miskin dan mencintai mereka. Tetapi sepanjang yang pernah dikenal umat manusia dalam hal ini, Quran lebih-lebih lagi menekankan. Pembaca tentu sudah melihat sendiri ketika kita bicara tentang zakat dan sedekah, sehingga tidak perlu lagi kiranya diulang. Dan cukup kalau terhadap Irving dan yang semacamnya itu kita jawab, bahwa Quran mengajarkan jalan tengah dalam segala hal.

 

Barangsiapa Menggunakan Pedang akan Binasa oleh Pedang

 

Tinggal lagi kata-kata terakhir yang diuraikan Irving itu, yaitu katakata yang oleh pihak Barat dimaksudkan untuk mencemarkan kita tapi sebenarnya itu merupakan kecemaran Barat sendiri, merupakan arang di kening dan aib di wajah kebudayaannya sendiri. Irving berkata: “Adanya bulan sabit ini sampai sekarang di Eropa — yang pada suatu waktu pernah mencapai kekuatan yang luar biasa — hanyalah karena perbuatan negaranegara Kristen yang besar-besar, atau lebih tepat lagi: karena persaingan mereka sendiri. Bertahannya bulan sabit itu barangkali untuk menjadi bukti yang baru, bahwa: “Barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang.”

 

“Barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang.” Ini sebuah ayat dalam Injil (Perjanjian Baru) yang oleh Irving dialamatkan kepada Islam, atas nama Kristen. Sungguh aneh! Barangkali Irving masih dapat dimaafkan mengingat apa yang dikatakannya itu sudah seabad yang lalu. Pada waktu itu penjajahan Barat, menurut istilah kita — atau penjajahan Kristen menurut istilahnya — keserakahan dan penggunaan pedangnya belum separah seperti sekarang. Tetapi Marshal Allenby, yang dalam tahun 1918 menaklukkan Yerusalem atas nama Sekutu, ia berkata seperti kata-kata itu juga sambil berteriak di Kuil Sulaiman: “Sekarang Perang Salib sudah selesai!”

 

Atau seperti dikatakan oleh Dr. Peterson Smith dalam sebuah bukunya tentang kehidupan al-Masih, bahwa “Penaklukan Yerusalem itu adalah merupakan Perang Salib kedelapan yang dilancarkan pihak Kristen untuk mencapai maksudnya.” Bisa jadi benar juga bahwa penaklukan itu berhasil bukan atas usaha pihak Kristen, tapi atas usaha orang-orang Yahudi yang telah mempergunakan mereka untuk menjadikan impian Israil dahulu kala suatu kenyataan, lalu menjadikan Tanah yang dijanjikan itu sebagai daerah nasional bangsa Yahudi.

 

Islam tidak Menggunakan Pedang

 

“Barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang.” Kalau kata-kata Injil ini dapat diterapkan kepada sesuatu golongan maka golongan yang paling tepat menerimanya dewasa ini ialah Eropa yang menganut Kristen itulah. Islam tidak pernah mempergunakan pedang dan oleh karenanya tidak akan binasa oleh pcdang. Sebaliknya Eropa yang menganut Kristen, pada zaman belakangan im tclah menggunakan pedang untuk mengejar kebebasan hidup yang berlebih-lebihan dan kemewahan yang oleh Irving dipalsukan alamatnya kepada Islam dan Muslimin. Dewasa ini Eropa yang menganut Kristen itu telah mengambil alih peranan yang dulu dipegang oleh Mongolia dan Tatar, tatkala mereka yang secara lahir menggunakan baju Islam menaklukkan beberapa kerajaan tanpa membawa ajaran-ajaran Islam. Mereka pun mengalami kehancuran bersama-sama kaum Muslimin. Inilah keruntuhan yang telah menimpa bangsa-bangsa Islam. Tetapi Eropa yang menganut Kristen dewasa ini tidak lebih baik dari bangsa-bangsa Tatar dan Mongolia itu. Begitu menaklukkan bangsa-banggsa Islam, segera pula mereka sendiri menganut Islam, melihat kebesaran dan kesederhanaan yang ada dalam ajaran Islam. Sebaliknya Eropa, ia menyerang bukan mau menyiarkan sesuatu kepercayaan atau kebudayaan, tapi mau menjajah, mau menjadikan agama Kristen sebagai alat penjajahan.

 

Oleh karena itu propaganda misi Kristen Eropa tidak pernah berhasil, sebab tujuannya memang sudah tidak ikhlas. Terutama di kalangan bangsa-bangsa beragama Islam propaganda ini tidak pernah berhasil dan tidak akan berhasil. Kebesaran dan kesederhanaan Islam, demikian jug? ajarannya yang memberi tempat kepada pikiran logis dan ilmu, tidak memberi harapan kepada propaganda agama apa pun untuk berhasil mempengaruhi pemeluk-pemeluk Islam.

 

“Barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang.” In benar. Meskipun ini memang sesuai dengan keadaan Muslimin yang datang kemudian, yang berperang hendak menaklukkan beberapa kera’ jaan dan untuk menjajahnya, bukan untuk membela diri dan membela keyakinannya, tapi buat masa sekarang hal ini lebih sesuai lagi dengan Barat yang berperang dan menaklukkan untuk merendahkan dan menjajah bangsa-bangsa lain.

 

Kaum Muslimin yang mula-mula pada zaman Nabi dan para penggantinya dan yang datang sesudah itu, mereka berperang bukan untuk menaklukkan atau menjajah, melainkan untuk mempertahankan keyakinan mereka tatkala mereka diancam oleh Quraisy dan oleh orangorang Arab, kemudian diancam pula oleh Rumawi dan oleh Persia. Dalam peperangan ini mereka tidak memaksa orang harus menganut Islam, karena memang tak ada paksaan dalam agama. Juga dengan peperangan itu mereka tidak bermaksud hendak menjajah bangsa lain. Beberapa kerajaan dan amirat oleh Nabi dibiarkan dalam kerajaan dan amiratnya masing-masing. Tujuannya hanyalah supaya ada kebebasan mempropagandakan agama. Oleh karena akidah Islam memang begitu kuat dan jelas mempertahankan kebenaran yang diajarkannya. jelas sekali bahwa tidak ada keistimewaan orang Arab terhadap bangsa lain yang non-Arab, kecuali dengan takwa, dan bahwa kekuasaan tertinggi itu hanya ada pada Allah, maka cepat sekalilah ajaran ini tersebar ke segenap penjuru bumi, seperti halnya dengan setiap kebenaran yang sungguh-sungguh jujur akan cepat pula tersebar.

 

Akan tetapi setelah kemudian ada pihak-pihak yang masuk Islam dan mereka ini terjun ke dalam kancah peperangan dan menaklukkan dengan menggunakan pedang, mereka pun kemudian dihancurkan oleh pedang pula. Tetapi Islam tidak sekali-kali mempergunakan pedang dan tidak akan binasa oleh pedang. Islam tidak pernah mempergunakan pedang. Malah ia dapat memikat pikiran dan hati nurani manusia hanya dengan kekuatan yang ada di dalam Islam itu sendiri.

 

Itu juga sebabnya, meskipun bangsa-bangsa yang menganut Islam secara silih berganti ditaklukkan, dikuasai dan dijajah oleh bangsa-bangsa lain, namun keislaman mereka tak pernah goyah, keimanan mereka tak pernah berubah. Sampai saat ini Eropa masih tetap menguasai bangsabangsa beragama Islam. Tetapi mereka takkan mampu mengubah iman bangsa itu kepada Tuhan. Sebaliknya, mereka yang dewasa ini mempergunakan pedang dan menaklukkan umat Islam, maka nasib mereka pun — supaya cocok dengan kata-kata dalam Injil itu — binasa oleh pedang sebagai balasan yang sesuai pula.

 

Pax Islamica

 

Para penguasa dan raja-raja itu oleh Nabi telah dikembalikan kepada kekuasaan mereka masing-masing. Negeri Arab yang pada akhir zaman Nabi itu merupakan suatu kesatuan beberapa bangsa Arab yang beragama Islam, tak ada sebuah negara pun yang dalam status jajahan tunduk kepada Mekah atau Medinah. Dengan iman mereka yang begitu teguh semua golongan Arab pada waktu itu merasa sama rata di hadapan Allah. Mereka semua sejalan seiring dalam menghadapi pihak yang hendak melanda mereka atau hendak membujuk mereka dari agamanya sampai pada waktu sesudah itu, pada waktu Pax Islamica atau liga kesatuan bangsa-bangsa Islam mulai goyah, pusat kediaman khalifah tetap menjadi pusat liga itu. Kekuasaan Khalifah tidak pernah mendakwakan sebagai pemegang monopoli masalah-masalah rohani atau monopoli dalam kebudayaan. Bahkan semua bangsa yang menganut Islam tidak mengenal adanya suatu kekuasaan rohani di luar kekuasaan Tuhan. Semua pusat kawasan Islam waktu itu adalah juga pusat pengembangan seni, ilmu dan teknologi. Yang demikian ini berjalan terus, sampai datang waktunya keadaan kaum Muslimin terpisah dari Islam. Ajaran Islam yang begitu gemilang sudah tidak mereka kenal lagi, persaudaraan di kalangan sesama mukmin sudah mereka lupakan, seseorang tidak sempurna imannya sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri, sudah mereka lupakan pula. Yang mulai berlaku kemudian ialah mementingkan diri sendiri, yang mulai memegang peranan kemudian ialah politik destruktif. Maka pedang itulah yang dijadikan juru selamat. Terjadilah mereka yang mempergunakan pedang akan binasa oleh pedang.

 

Berhubung dengan itu, sejak abad ke-15 Kristen Eropa mulai bangkit dengan jiwa baru, yang barangkali akan ada juga gunanya buat dunia kalau tidak segera mengalami kehancuran yang sudah menjadi suatu keharusan sebagai akibat pecah-belahnya ajaran Kristen menjadi sektasekta. Dalam pada itu, bersamaan dengan masa kebangkitan itu pula bangsa-bangsa Islam yang sudah melupakan Islam itu pun mulai pula dihadapkan pada kekerasan pedang dan akan tetap dihadapkan pada pedang. Dan pedang itu jugalah yang dijadikan juru selamat dalam berhadapan dengan bangsa-bangsa Islam. Dalam hal ini apabila pedang yang berbicara, maka segala pikiran, ilmu pengetahuan, segala kebaikan, cinta kasih, iman bahkan kemanusiaan, sudah tak ada gunanya lagi.

 

Dikuasainya dunia dewasa ini oleh pedang, ialah karena adanya krisis rohani dan psikologi yang telah melandanya dan sampai manusia menderita karenanya. Beberapa negara besar yang telah menguasai dunis dengan pedang selama Perang Dunia Pertama — yakni dua puluh tahun yang lalu — mereka sudah yakin sekali akan kenyataan ini, dan lalv bermaksud hendak mengadakan perdamaian di dunia. Maka untuk mencapai tujuan ini dibangunlah Liga Bangsa-bangsa dan tugas liga in salah seperti dalam firman Tuhan:

 

“Dan apabila ada dua golongan orang-orang beriman berkelahi, maka damaikanlah keduanya itu. Tetapi jika salah satu dari keduanya membangkang terhadap yang lain, maka lawanlah yang membangkang itu sampai id kembali kepada perintuh Allah. Bila mereka kembali, damaikanlah keduanya itu dengan cara yang adil. Hendaklah berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Demikianlah kedua golongan saudara kamu itu. Berbaktilah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”

 

Jiwa Perdamaian di Dunia

 

Akan tetapi jiwa perdamaian itu belum lagi merata ke seluruh dunia, karena dasar kebudayaan yang kini berkuasa ialah kebudayaan imperialisma, imperialisma yang didasarkan kepada nasionalisma dengan segala pertentangan dengan segala daya upayanya, setiap negara yang kuat hendak mengisap negara-negara kecil lainnya, maka sudah menjadi hak setiap bangsa yang masih dijajah, bahkan harus menjadi kewajiban pertama, berusaha menghancurkan belenggu si penjajah itu, sebab penjajahan itulah bibit segala pemberontakan dan peperangan. Selama masih ada penjajahan, perdamaian tak mungkin terwujud, peperangan takkan berkesudahan, kecuali dalam bentuk formatis saja. Setiap bangsa, satu sama lain akan tetap memandang dengan saling curiga-mencurigai, dengan hati-hati dan menunggu-nunggu kesempatan hendak mengadakan pembunuhan gelap. Di mana mungkin ada perdamaian kalau jiwa semacam ini masih tetap berakar! Perdamaian itu baru ada, apabila orang dari pelbagai bangsa dapat mengubah diri. Mereka harus benar-benar percaya akan arti perdamaian, memegang teguh segala ajaran yang didasarkan pada perdamaian dan dengan ikhlas pula bersepakat menghadapi setiap usaha yang hendak mengeruhkannya.

 

Hal ini baru akan terjadi apabila imperialisma itu sudah tidak lagi menjadi dasar kebudayaan dunia, apabila semua orang di segenap pelosok bumi ini sudah menyadari kewajibannya yang pokok, yaitu yang kuat membantu yang lemah, yang besar mengasihi yang kecil, yang pandai mau mendidik yang belum pandai, dengan menyebarkan sinar panji ilmu pengetahuan ke segenap penjuru bumi, dengan hasrat hendak memberi kebahagiaan kepada umat manusia, bukan hendak mempergunakannya sebagai alat memeras bangsa-bangsa lain atas nama ilmu pengetahuan, atas nama perkembangan teknologi.

 

Apabila dunia semua sudah memegang prinsip ini, apabila orang semua sudah merasa, bahwa dunia semua tanah airnya, dan bahwa mereka Semua bersaudara, satu sama lain saling mencintai seperti mencintai diri Sendiri — ketika itu akan ada toleransi antara semua manusia, akan ada keakraban, ketika itu mereka akan berdialog dengan bahasa yang tidak lagi seperti sekarang. Mereka akan saling percaya-mempercayai, sekalipun masing-masing berjauhan tempat. Mereka semua akan bekerja untuk kebaikan demi Allah. Ketika itulah segala permusuhan dan kebencian akan terhapus. Dengan rahmat Tuhan kepada umat manusia, dan kerelaan manusia kepada Tuhan, hanya kebenaran yang akan ada, hanya perdamaian yang akan merata.

 

“Orang-orang yang beriman dari pengikut-pengikut Yahudi, Nasrani dan orang-orang Shabi’un yang percaya kepada Allah dan Hari Kemudian serta mengerjakan perbuatan yang baik, mereka akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Mereka tidak perlu takut, tidak usah bersedih hati.”

 

Adakah dalam hal ini toleransi yang lebih luas dari ini! Orang yang beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian lalu berbuat kebaikan, mereka akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Pada dasarnya tiada perbedaan antara orang-orang yang beriman itu dengan mereka yang belum mendapat ajakan Islam, baik Yahudi, Nasrani atau Shabi’un? (atau Sabian) yang belum dipalsukan itu.

 

Tuhan berfirman:

 

“Dan ada sebagian Ahli Kitab itu yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang sudah diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka. Mereka sangat berendah hati kepada Tuhan, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah. Mereka itulah yang akan mendapat ganjaran dari Tuhan, sebab Allah sangat cepat memperhitungkan.”!

 

Mana pula semua itu bila dibandingkan dengan kebudayaan Barat yang kini menguasai dunia dengan segala chauvinisma dan fanatisma agamanya serta segala peperangan dan kehancuran yang timbul sebagai akibat fanatisma itu!

 

Inilah semangat jiwa yang begitu tinggi memberikan toleransi, semangat yang harus merata menguasai dunia bila memang dikehendaki supaya perdamaian itu bertakhta di dunia demi kebahagiaan umat manusia. Semangat inilah yang telah membuat setiap studi tentang sejarah hidup orang yang telah menerima wahyu Allah dengan firman ini, menjadi suatu studi ilmiah yang benar-benar bersih demi ilmu semata. Masalahmasalah psikologi dan spiritual yang hendak mengantarkan manusia ke jalan kebudayaan baru yang selama ini dicarinya, seharusnya sudah dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Dengan mendalami studi demikian ini akan banyak sekali hal-hal yang akan dapat diungkapkan, yang sejak sekian lama orang menduga tidak mungkin akan dapat dianalisa secara ilmiah. Ternyata pembahasan-pembahasan ilmu jiwa kemudian dapat menerangkan dengan jelas sekali, terutama bagi mereka yang memang mau memahaminya.

 

Keluhuran Hidup Muhammad

 

Seperti sudah kita lihat, keluhuran hidup Muhammad adalah hidup manusia yang sudah begitu tinggi sejauh yang pernah dicapai oleh umat manusia. Hidup yang penuh dengan teladan yang luhur dan indah bagi setiap insan yang sudah mendapat bimbingan hati nurani, yang hendak berusaha mencapai kodrat manusia yang lebih sempurna dengan jalan iman dan perbuatan yang baik. Di mana pulakah ada suatu keagungan dan keluhuran dalam hidup seperti yang terdapat dalam diri Muhammad ini, yang dalam hidup sebelum kerasulannya sudah menjadi suri teladan pula sebagai lambang kejujuran, lambang harga diri dan tempat kepercayaan Orang. Demikian juga sesudah masa kerasulannya, hidupnya penuh pengorbanan, untuk Allah, untuk kebenaran, dan untuk itu pula Allah telah mengutusnya. Suatu pengorbanan yang sudah berkali-kali menghadapkan nyawanya kepada maut. Tetapi, bujukan masyarakatnya sendiri pun — yang dalam gengsi dan keturunan ia sederajat dengan mereka — yang baik dengan harta, kedudukan atau dengan godaan-godaan lain — mereka tidak dapat merintanginya.

 

Kehidupan insani yang begitu luhur dan cemerlang itu belum ada dalam kehidupan manusia lain yang pernah mencapainya, keluhuran yang sudah meliputi segala segi kehidupan. Apalagi yang kita lihat suatu kehidupan manusia yang sudah bersatu dengan kehidupan alam semesta sejak dunia ini berkembang sampai akhir zaman, berhubungan dengan Pencipta alam dengan segala karunia dan pengampunan-Nya. Kalau tidak karena adanya kesungguhan dan kejujuran Muhammad menyampaikan risalah Tuhan, niscaya kehidupan yang kita lihat ini lambat laun akan menghilangkan apa yang telah diajarkannya itu.

 

Tetapi, seribu tiga ratus lima puluh tahun ini sudah lampau, namun amanat Tuhan yang disampaikan Muhammad, masih tetap menjadi saksi kebenaran dan bimbingan hidup. Untuk itu cukup satu saja kiranya kita kemukakan sebagai contoh, yaitu apa yang diwahyukan Allah kepada Muhammad, bahwa dia adalah penutup para nabi dan para rasul. Empat belas abad sudah lalu, tiada seorang juga sementara itu yang mendakwakan diri bahwa dia seorang nabi atau rasul Tuhan lalu orang mempercayainya. Sementara dalam abad-abad itu memang sudah lahir tokohtokoh di dunia yang sudah mencapai kebesaran begitu tinggi dalam pelbagai bidang kehidupan, namun anugerah sebagai kenabian dan kerasulan tidak sampai kepada mereka. Sebelum Muhammad memang sudah ada para nabi dan rasul yang datang silih berganti. Mereka semua sudah memberi peringatan kepada masyarakatnya masing-masing bahwa mereka itu sesat, dan diajaknya mereka kepada agama yang benar. Namun tiada seorang di antara mereka itu yang menyebutkan, bahwa dia diutus kepada seluruh umat manusia, atau bahwa dia adalah penutup para nabi dan para rasul. Sebaliknya Muhammad, ia mengatakan itu, dan sejarah pun sepanjang abad membenarkan kata-katanya. Dan itu bukan suatu cerita yang dibuat-buat, tetapi memang hendak memperkuat apa yang sudah ada, serta menjelaskan sesuatunya, sebagai petunjuk dan rahmat bagi mereka yang beriman.

 

Tujuan pokok yang saya harapkan ialah, semoga apa yang saya maksudkan dengan pembahasan ini sudah akan memadai juga hendaknya, dan semoga dengan ini saya sudah merambah jalan ke arah adanya pembahasan-pembahasan yang lebih dalam dan menyeluruh dalam bidangnya. Saya sudah berusaha ke arah itu sekuat kemampuan saya, dan Tuhan juga kiranya yang akan memberi keringanan kepada saya.

 

“Tuhan tidak akan memaksa seseorang di luar kesanggupannya. Segala usaha baik yang dikerjakannya adalah untuk dirinya, dan yang sebaliknya pun untuk dirinya pula. “Ya Allah, jangan kami dianggap bersalah, bila kami lupa atau keliru. Ya Allah, janganlah Kaupikulkan kepada kami beban seperti yang pernah Kaupikulkan kepada mereka yang sebelum kami. Ya Allah, jangan hendaknya Kaupikulkan kepada kami beban yang kiranya takkan sanggup kami pikul. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Engkau jugalah Pelindung kami terhadap mereka yang tiada beriman.”

 

 

PADA bagian terakhir cetakan pertama buku ini ada saya sebutkan mengenai bermacam-macam bantuan yang diberikan kepada saya oleh almarhum Muhammad Tal’at Harb Pasya — ketika itu Direktur Bank Mesir. Besar sekali jasanya dalam membantu saya mempercepat terbitnya buku ini dan yang membuat saya menyediakan seribu buku dari sepuluh ribu yang dicetak itu untuk lembaga sosial Islam. Demikian juga perlu saya sebutkan bantuan almarhum Mahmud Bey Khatir, Direktur Percetakan Mesir ketika itu, sehingga buku ini sampai ke tangan pembaca dengan tipografi dan perwajahan (desain) yang cukup indah. Juga bantuan almarhum al-Ustadz Abd’r-Rahim Mahmud, Korektor pada Perpustakaan (Nasional) Mesir yang telah mengoreksi buku ini serta mencocokkan nama-nama dan ayat-ayat Quran. Selanjutnya atas jasa Tuan-tuan Muhammad Husni, Sayyid Ibrahim dan almarhum Mustafa Bey Ghazlan, ahli-ahli khat (kaligrafi) yang telah menyusunkan halaman-halaman pertama buku ini. Juga kepada Tuan-tuan Ibrahim al-Abyari, Abd’I-Hafid Syalabi, Syaikh Ahmad “Abd’l-“Alim al-Barduni, Ali Ahmad asySyahdawi, para Korektor pada Perpustakaan, yang telah berusaha membuat beberapa indeks dalam buku ini. Saya ingin mencatat juga nama Tuan Ali Fauda yang telah membantu saya dan membantu Tuan Abd’rRahim Mahmud dalam mengadakan koreksi ini.

 

Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada yang lain yang juga telah membantu saya, kalau nama-nama mereka itu tidak sampai saya sebutkan, karena saya pun kuatir akan terbawa oleh sifat pelupa. Saya ingi! mengulangi rasa terima kasih saya kepada mereka semua ketika cetakan kedua buku ini terbit.

 

Bantuan demikian itu tiada sudahnya saya terima.

 

Banyak juga orang yang secara berturut-turut telah memberikan bantuan sejak cetakan pertama buku ini terbit hingga mencapai cetakan kedua. Jasa mereka itu pun tidak saya lupakan. Syaikh Ahmad Mustafa alMaraghi yang ketika itu lektor bahasa pada fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, telah bersedia pula mengoreksi naskah buku ini dan mengirimkan kembali kepada saya dengan beberapa catatan mengenai seluk-beluk bahasa, yang besar sekali artinya untuk saya pergunakan dalam cetakan kedua ini.

 

Di samping itu tidak sedikit pula orang yang telah mengirimkan catatan semacam itu kepada saya, yang juga tidak lepas dari perhatian saya tentunya. Beberapa orang sahabat saya ada juga yang mengirimkan bukubuku karangan mereka yang perlu saya baca dan saya pergunakan, di antaranya buku sahabat saya, pengarang Palestina Muhammad Is’af anNasyasyibi Al-Islam’sh-Shahih, dua buku lagi oleh Muhammad Fuad Abd’l-Bagi, yakni Miftah Kunuz’s Sunna yang diterjemahkan dari Wensinck dengan lebih disempurnakan dan Tafshil Ayat’l-Quran’I-Hakim yang disadur berdasarkan susunan J. La Baume. Buku yang belakangan ini sangat berguna sekali buat orang yang ingin memakai Quran sebagai referensi. Dengan susunan yang sistematis, yang cukup teliti, semua masalah dalam buku itu dikumpulkan. Di samping itu ada beberapa buku lain yang sudah saya sebutkan dalam bibliografi.

 

Ketika cetakan kedua buku ini mulai dicetak di percetakan Perpustakaan (Nasional) Mesir — Dar’l-Kutub’l-Mishria — saya melihat orangOrang yang berwenang dalam perpustakaan itu sangat besar memberikan perhatian pada buku ini, yang rasanya tidak akan demikian sekiranya ini bukunya sendiri sekalipun. Yang demikian ini sudah menjadi kebiasaan Tuan Muhammad Bey As’ad Barradah, Direktur lembaga tersebut ketika itu, demikian juga Tuan Muhammad Nadim, Direktur percetakan dan semua bahagian Lektur badan tersebut di bawah pimpinan almarhum Tuan Ahmad Zaki al-“Adawi. Tidak jarang pula tokoh-tokoh pada bagian lektur itu yang telah turut membantu saya dalam mencocokkan beberapa masalah yang ternyata dalam buku-buku hadis dan beberapa buku sejarah Nabi masih terdapat adanya beberapa perbedaan, dengan tujuan lebih cermat dan tepat. Juga sering sekali kami bekerja sama dalam meneliti beberapa istilah atau susunan kata dari segi ilmu bahasa untuk sedapat mungkin menghindarkan adanya pengaruh bahasa asing dalam buku ini. Bagian Lektur ini pulalah yang telah membuat catatan bawah mengenai ayat-ayat Quran dan memberikan anotasi dari segi semantik mengenai kata-kata yang dianggap perlu.

 

Almarhum Rektor Magnificus Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi telah juga bersedia sekali lagi membawa beberapa pasal yang telah dibaharui dalam cetakan kedua ini.

 

Mengenai penyelenggaraan pencetakan hingga sampai ke tangan pembaca dalam bentuk yang begitu indah dan teliti (pada cetakan kedua) adalah atas jasa Tuan Muhammad Nadim, Direktur percetakan serta Pembantu-pembantunya dari kalangan ahli dalam percetakan itu. Mereka itu semua bekerja sesuai sekali dengan ucapan Nabi ‘alaihissalam: “Apabila orang mengerjakan sesuatu, Tuhan lebih suka bila dikerjakan Secara lebih sempurna.”

 

Dan memang sudah sepantasnya pula — pada cetakan ketiga ini – bila saya mengulangi rasa terima kasih saya kepada pihak perpustakaan serta kepada mereka yang bertugas dalam percetakan. Karena kesibukan yang saya hadapi, saya sendiri tidak banyak mencampuri cetaka:: .ni selain pada cetakan percobaan yang terakhir serta izin fiat dicetak. Selain itu, mengenai judul-judul tambahan pada tiap halaman serta koreksinya yang lebih teliti, semua itu karena jasa mereka, mengingat pula adanya hubungan baik saya dengan pihak perpustakaan itu semua, terutama sekali dengan Direkturnya waktu itu, sahabat karib saya Dr. Mansur Fahmi Pasya.

 

Oleh karena itu saya ingin menyampaikan rasa terima kasih serta penghargaan saya yang setinggi-tingginya kepada mereka itu semua yang telah berusaha sedemikian rupa. Semoga Tuhan juga yang akan memberikan balasan sesuai dengan amal kebaikan yang telah mereka curahkan. Segala balasan yang baik hanya pada Allah juga adanya.

 

Dan sekarang, sehubungan dengan cetakan keempat yang dicetak pada Percetakan Mesir, rasanya patut sekali bila saya menyampaikan ucapan terima kasih saya kepada Tuan Yusuf Bahjat, Direktur percetakan tersebut dan kepada pimpinannya, Tuan Muhammad Ibrahim Usman dan semua petugas Percetakan Mesir, atas segala perhatian yang telah diberikan, sampai terbitnya buku ini dengan perwajahan dan tipografi yang indah. Terima kasih yang sama saya sampaikan juga kepada Tuan Syaikh Ahmad “Abd’I-Alim al-Barduni yang telah membantunya dengan sungguh-sungguh dalam menyusunkan indeks pada cetakan ini.

 

Dalam cetakan kelima ini tentu dengan senang hati saya ingin juga menyatakan terima kasih kepada Dr. Sayyid Naufal, Ketua Dewan Legislatif pada Majelis Senat, yang telah dengan teliti membantu memeriksa cetakan-cetakan percobaan ini dan juga untuk cetakan yang keempat.

 

Saya bersyukur kepada Allah disertai harapan semoga dengan pertolongan-Nya akan berhasil juga kita melaksanakan kewajiban kita dalam hidup ini — dengan sebaik-baiknya.

 

MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL