Asy-Syaikh al-Faqih al-Wali ash-Shalih Abu Abdillah Muhammad Yusuf as-Sanusi al-Hasani Semoga Allah Ta’ala merahmatinya, memberi manfaat kepada kita dengannya dan ilmunya, amin berkata:

 

“Segala Puji Bagi Allah Zat Yang Maha Luas Kedermawanan dan Pemberian-Nya, yang keesaan-Nya menjadi saksi atas kepastian wujud-Nya, dan kepastian butuhnya semua makhluk di bumi dan di langit kepada-Nya menjadi saksi atas keagungan-Nya,

 

Yang Maha Perkasa yang perkasa di kerajaan-Nya dari sekutu baginya dalam mengatur apa pun Maha Luhur Allah Jalla wa “Azza dari sekutu-sekutu

 

Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih yang nikmat nikmat-Nya merata pada semua alam, maka tidak ada orang yang mampu menghitungnya,

 

Yang Maha Luas, Maha Mulia dan Yang Sendiri dalam menciptakan, maka tidak bisa mensyukuri nikmat-Nya kecuali dengan syukur dari nikmat-nikmat-Nya yang banyak,

 

Yang Maha Kaya dan Maha Suci, maka tidak bisa mencapai anugerah-Nya kecuali dengan murni anugerah-Nya-Maha Luhur dan Maha Agung Tuhan kami yang suci dari tujuan, penolong, wakil dan wazir.

 

Aku memuji Allah Yang Maha Suci atas nikmat-nikmat-Nya yang tidak terhitung dan atas nikmat-Nya yang teragung.

 

Aku bersyukur kepada-Nya Tabaraka wa Ta’ala-Yang Maha Pemberi Nikmat dengan nikmat yang muncul dari kecintaan-Nya dan yang Maha Pemberi nikmat dengan nikmat yang muncul karena kebutuhan hamba, yang dengan anugerah-Nya melapangkan orang-orang yang terkunci hati, lisan, dan anggota tubuhnya, dengan pujian yang indah.

 

Dan aku bersaksi, sungguh tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan syahadat yang muncul dari keyakinan murni, maka berkat anugerah Allah Ta’ala berbagai macam keraguan dan kebimbangan tidak mendatangi hati yang menjadi tempatnya.

 

Aku bersaksi, sungguh Sayyidina wa Maulana Muhammad , hamba dan utusan Allah, dengan syahadat yang dengan anugerah-Nya dan keindahan pertolongan-Nya, aku simpan karena kengerian kematian dan alam kubur yang menghancurkan raga, dan karena kedahsyatan yang menyusulnya di hari kebangkitan dan pembalasan.

 

Dengannya, dengan anugerah Allah Ta’ala, aku peroleh puncak ketinggian dan keluhuran di surga Firdaus tertinggi bersama ayah, ibu, anak keturunan, saudara, dan orang-orang yang mencintaiku.

 

Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Sayyidina wa Maulana Muhammad, yang menjadi penerang bagi makhluk, yang menjadi makhluk termulia, yang menjadi pengantin kerajaan dunia akhirat,

 

Pemilik berbagai keistimewaan yang tidak terhitung dan teringkas, pemilik derajat terpuji, telaga yang didatangi, dan wasilah agung di dunia dan akhirat, tempat berlindung semua makhluk, dan kepadanya mereka segera menghadap, pada hari di mana huru-hara terus bertambah dan terus berlangsung, sehingga tokoh-tokoh para Rasul dan Nabi berlepas diri dari syafaat.

 

Semoga Allah memberi rahmat pengagungan dan keselamatan bagi Rasul yang seluruh kebaikan dan kebanggaan menyerahkan kunci-kuncinya kepadanya, sehingga ia berada di atas kursinya sekira secara umum tidak ada harapan bagi makhluk lain untuk memperoleh derajat luhur tersebut.

 

Semoga Allah Ta’ala meridhai para keluarga dan sahabatnya, yang setelah tidak adanya matahari kenabian muncul laksana bintang-bintang di langit untuk memberi bimbingan dan petunjuk, semoga Allah juga meridhai para tabi’in dan pengikut mereka dalam keimanan sampai hari pemutusan dan penghukuman.

 

Wa ba’du, Hal terpenting yang harus dilakukan oleh orang berakal dan cerdas di zaman penuh kesulitan ini (masa hidup penulis, 832-895 H/1428-1490 M) adalah mengejar hal yang dapat menyelamatkannya dari keabadian di neraka.

 

Hal itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan memperkukuh akidah tauhid berdasarkan ejaan yang telah ditetapkan para Imam Ahlusunah yang ahli ilmu dan yang terpilih. Sungguh jarang sekali orang yang mempunyai keyakinan kokoh seperti itu di zaman yang penuh kesulitan ini, di mana samudra kebodohan semakin banyak dan kebatilan tersebar secara luas,

 

dan kebodohan melempar manusia di setiap tempat di bumi dengan ombak-ombak pengingkaran kebenaran, kebencian terhadap ahlinya, dan menghiasi kebatilan dengan ucapan batil yang menipu manusia. Sungguh beruntung di zaman ini orang yang diberi taufik untuk menguatkan akidah-akidah keimanannya, kemudian setelah itu diberi pengetahuan atas cabang-caban agama yang harus diketahuinya secara lahir batin sehingga hatinya bahagia dengan cahaya kebenaran dan bercahaya sempurna.

 

Kemudian uzlah dari seluruh manusia dengan memutus kejelekannya sampai berpindah mendekati kematiannya dari kerusakan dunia ini.

 

Maka Allah membahagiakannya dengan kenikmatan dan kesenangan yang dilihatnya setelah kematian yang tidak terbatas dan terpikirkan.

 

Sungguh ia telah sabar sebentar kemudian mendapat banyak keuntungan. Maha Suci Allah yang telah mengkhususkan anugerah-Nya bagi orang yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya, dan mendekatkan serta menjauhkannya dengan murid pilihannya.

 

Sungguh Allah Yang Maha Suci dengan anugerah dan keagungan kedermawanannya di zaman yang banyak keburukan ini telah memberi ilham mengetahui akidah-akidah keimanan yang tidak mampu aku syukuri. Allah-Jalla wa ‘Azza-telah menempatkan pengetahuan itu direlung hati dengan dalil qath’i yang aku butuhkan.

 

Dengan murni anugerah dan kebaikan-Nya Allah telah mengajarkan hal-hal parsial yang di zaman ini sedikit sekali Imam yang diakui kredibilitasnya yang mengetahuinya dan sedikit sekali Imam yang mengajarkannya kepada orang lain secara khusus.

 

Allah Yang Maha Suci dengan murni kedermawanannya telah memberi petunjuk untuk menguatkan  hal-hal yang orang yang dikenal memiliki banyak ilmu dan kokoh pun diuji melakukan kesalahan di dalamnya.

 

Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberi nikmat, maka tambahkanlah bagi kami, . Wahai Zat Pemilik Keagungan dan Kemuliaan, sebagian dari . anugerah-Mu, dan sempurnakanlah anugerah itu bagi aku dengan Khusnul khatimah dan pasca kematian tinggal bersama orang-orang yang mencintaiku di surga tempat kesentosaan.

 

Jangan jadikan kami, wahai Zat Yang Paling Pengasih di antara para pengasih termasuk orang-orang yang tertipu dengan nikmat-Mu, wahai Zat Pemilik Anugerah dan Kenikmatan.

 

Dengan kemuliaan keagungan-Mu dan keluhuran Zat-Mu, kemudian dengan rahmat-Mu yang dihidayahkan kepada kami, yaitu Sayyiduna wa Maulana Muhammad, aku memohon perlindungan dengan-Mu dari pencabutan nikmat setelah diberikan, dari kemurkaan-Mu yang tidak mampu ditanggung, dan dari bertemu dengan orang-orang yang merugi dan terhalangi dari nikmat.

 

Di antara sejumlah nikmat Allah yang agung dan karunia-Nya yang luhur dan agung adalah Allah Yang Maha Suci telah memberi taufik padaku dengan anugerah-Nya di zaman yang banyak kebodohannya, untuk menulis kitab berjudul Akidah, yang mengandung banyak ilmu dan mencakup seluruh akidah-akidah tauhid, kemudian menguatkannya dengan bukti-bukti yang bersifat gath’i dan mudah dipahami bagi orang yang mempunyai pemahaman benar, kemudian aku akhiri Kitab al’Aqidah itu dengan materi yang belum aku lihat ada seorang pun selainku dari ulama terdahulu maupun ulama belakangan yang menyampaikannya, yaitu aku menjelaskan dua kalimat syahadat yang pasti harus diketahui oleh orang mukallaf dan menjelaskan makna-maknanya yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang merindukannya.

 

Sebab dengannya pintu-pintu anugerah Allah Ta’ala diketuk dan dengannya dapat masuk ke golongan orang-orang bertakwa bersama para shadiqin, syuhada’ dan shalihin, dan dengan mengokohkan pengetahuan tentangnya seorang hamba dapat selamat dari bahaya kelanggengan dalam kemurkaan Allah, dan dengan anugerah-Nya naik ke A’la al’iliyyin di surga.

 

Pertama-tama aku sebutkan maknanya, kemudian aku jelaskan cara masuknya seluruh akidah-akidah keimanan ke dalamnya sekira hati orang-orang yang bertakwa merasa bahagia saat masuk ke golongan muttaqin dengan menyebutkannya.

 

Terbentanglah kebaikan-kebaikan makna kalimat syahadat yang terlipat, pada sisi batin : dan lahir mereka, di mana mereka berjalan mondar-mandir dengan penuh keagungan di tengah makna-maknanya yang indah di antara taman surga.

 

Maka wahai para perindu masuk ke golongan auliyaillah Ta’ala, ambillah kitab berjudul Akidah tersebut yang tidak akan berpindah darinya setelah menelaahnya dan membutuhkan materinya kecuali orang-orang yang terhalang.

 

Sebab kitab itu tiada bandingannya sejauh yang aku tahu. Dengan anugerah Allah Ta’ala, kitab itu melebihi kitab-kitab lain yang besar.

 

Maka mantaplah wahai orang yang menjaganya, bila Anda memahaminya, akan memperoleh harapan memahami akidah secara benar.

 

Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala, sebab la telah menganugerahimu dengan nikmat agung yang banyak orang terpalingkan darinya, sehingga mereka mendapat musibah sangat besar dalam pokok-pokok akidah mereka.

 

Ikhlaskanlah untukku dari sebagian doamu, sebab Tuanku Allah Yang Maha Mandiri dalam menciptakan semua makhluk dan Yang Maha Mengetahui semua kesamaran hati, telah mengeluarkannya dari hatiku, dan menggerakkannya dengan darah dan lisanku.

 

Ingatlah untuk kedua kalinya, dengan pertolongan Allah Ta’ala aku menyuguhkan kepadamu penjelasan ringkas terhadap Kitab al-Aqidah tersebut yang menyempurnakan maksud kitab bagi Anda, yang insyaallah Ta’ala akan membukakan penutup dari makna-maknanya yang lurus yang masih samar bagi Anda, maka insyaallah Anda akan memperoleh keuntungan mati dalam Islam yang sangat diharapkan dan keselamatan yang diidam-idamkan.”

 

Inilah saatnya memulai penjelasan yang penuh berkah ini dengan anugerah Allah Ta’ala Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi. Aku memohon kepada-Nya agar menolongku untuk menghasilkannya dan memberi Taufiq kepadaku agar mendapat hakikat kebenaran di dalamnya, dengan wasilah derajat Sayyidina wa Maulana Muhammad-semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepadanya, keluarganya, dan junjungan kita para sahabatnya yang karena menjumpainya memperoleh kemuliaan yang sangat besar.

 

 

 

 

 

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan Salam semoga terlimpah bagi Rasulullah

 

Al-Hamd adalah memuji dengan kalam (ucapan) kepada yang dipuji dengan keindahan sifatnya, baik dari sisi berbuat baik atau dari sisi kesempurnaan yang khusus dimiliki yang dipuji, seperti ilmu dan keberaniannya, misalnya.

 

Aku katakan: “Memuji dengan kalam” sebagai ganti dari ucapan ulama: “Memuji dengan lisan”, agar batasan itu mencakup pujian yang bersifat qadim maupun hadits.”

 

Adapun asy-syukr (syukur) adalah memuji dengan lisan dan selainnya, dari hati dan seluruh anggota tubuh kepada yang memberi nikmat sebab nikmat-nikmat yang telah diberikannya kepada orang yang bersyukur. Antara asy-syukr dan al-hamd terdapat keumuman dan kekhususan dari suatu sisi. Yakni al-hamd lebih umum daripada asy-Syukur dengan mempertimbangkan muta’allig (yang berkaitan dengan)nya, sebab al-hamd berkaitan dengan kesempurnaan, baik berupa berbuat baik atau selainnya, sedangkan asy-syukr tidak berkaitan kecuali dengan berbuat baik.

 

Di lain sisi, asy-syukr lebih umum daripada al-hamd dengan mempertimbangkan tempatnya. Sebab asy-syukr bisa dengan lisan, hati dan seluruh anggota tubuh. Penyair berkata:

 

“Kenikmatan yang kalian berikan kepadaku menguntungkanmu pada tiga hal, yaitu syukur dengan tanganku, lisanku, dan hatiku yang tersimpan.” Sementara al-hamd hanya terjadi dengan lisan.

 

Shalawat dari Allah semoga terlimpah bagi Rasulullah  sebagai tambahan kemuliaan dan pemberian nikmat, dan salam Allah semoga terlimpah bagi beliau sebagai tambahan keselamatan, penghormatan yang baik, dan pengagungan baginya.

 

 

 

 

Hukum aqli.

 

Ketahuilah, sungguh hukum ‘aqli terbatas dalam tiga bagian: wajib, mustahil dan jaiz. Wajib adalah hukum yang ketiadaannya tidak tertashawurkan di dalam akal: mustahil adalah hukum yang wujudnya tidak ter tashawurkan di dalam akal: dan jaiz adalah hukum yang wujud dan tidaknya sah (tertashawurkan) di dalam akal.

 

Hukum adalah menetapkan atau menafikan suatu hal. Hakim (yang menghukumi) adakalanya syariat, adat, atau akal. Karena itu, hukum terbagi menjadi tiga, hukum syar’i hukum adat, dan hukum ‘aqli.

 

Hukum syar’i adalah khitab Allah Ta’ala berupa tuntutan, ibahah, atau wadh’ (ketentuan) untuk keduanya yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf.

 

Maka ada empat hal yang masuk dalam ucapanku: “Berupa tuntutan”

 

Kewajiban, yaitu tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas, seperti mengimani Allah dan para rasul: kelima rukun Islam: dan semisalnya.

 

Kesunnahan, yaitu tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas, seperti shalat sunnah fajar dan semisalnya. Keharaman, yaitu tuntutan mencegah dari suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas, seperti menyekutukan Allah, zina, dan semisalnya.

 

Kemakruhan, yaitu tuntutan mencegah dari suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas, seperti membaca al-Quran, seperti saat ruku dan sujud. Adapun ibahah adalah memberi pilihan antara melakukan suatu perbuatan dan meninggalkannya, seperti nikah, jual beli, dan semisalnya.

 

Adapun wadha’ untuk tuntutan dan ibahah adalah ungkapan dari penetapan syariat pada suatu sebab, syarat, atau mani’ (pencegah) bagi kelima hukum yang telah masuk dalam ucapanku yang tercakup dalam tuntutan dan ibahah.

 

Sebab adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan ketiadaan, dan wujudnya menetapkan wujud, dengan memandang zatnya, seperti condongnya matahari ke arah barat, misalnya, karena Allah menjadikannya sebagai sebab wajibnya shalat zhuhur. Jadi, sebab wujudnya, ada kewajiban shalat zhuhur: dan sebab tidak wujudnya, tidak ada kewajiban shalat zhuhur.

 

Aku katakan: “Dengan memandang pada zatnya” karena terkadang wujudnya sebab tidak memastikan wujudnya musabab, karena adanya pencegah atau belum terpenuhinya syarat. Hal ini tidak menjadi cacat untuk penamaannya sebagai sebab, karena bila dipandang zatnya tanpa memandang faktor yang membuat tidak terpenuhinya syarat, niscaya wujudnya sebab memastikan wujudnya musabab.

 

Adapun syarat adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan ketiadaan, namun wujudnya tidak menetapkan wujud maupun ketiadaan, dengan memandang zatnya, seperti haul berkaitan dengan kewajiban zakat pada suatu barang atau hewan ternak. Dalam hal ini tidak wujudnya kesempurnaan haul menetapkan tidak adanya kewajiban zakat pada komoditas tersebut: namun wujudnya kesempurnaan haul tidak menetapkan wajib dan tidak wajibnya zakat, sebab tergantungnya kewajiban zakat pada kepemilikan secara sempurna harta sebanyak satu nisab.

 

Adapun mani’ adalah sesuatu yang wujudnya menetapkan ketiadaan, namun ketiadaannya tidak menetapkan wujud maupun ketiadaan dengan memandang zatnya, seperti haid. Sungguh wujudnya haid menetapkan tidak adanya kewajiban shalat, umpamanya, dan ketiadaannya tidak menetapkan wajib dan tidak wajibnya shalat, sebab tergantungnya kewajiban shalat pada sebab-sebab lain yang saat tidak adanya haid terkadang terpenuhi dan terkadang tidak terpenuhi.

 

Dari sini dapat Anda ambil kesimpulan, bahwa (1) sebab berpengaruh pada dua arahnya, yaitu arah wujud dan tidaknya: (2) syarat hanya berpengaruh pada arah ketiadaannya pada ketiadaan saja, dan (3) mani’ hanya berpengaruh pada arah wujudnya pada ketiadaan saja. Adapun pembahasan mendalam yang berkaitan dengan pembahasan hukum syar’i adalah ilmu ushul fiqih.

 

Sementara hakikat hukum adat adalah menetapkan hubungan antara satu hal dengan hal lain dari sisi wujud dan ketiadaannya dengan perantara terulang-ulangnya kebersamaan di antara keduanya secara nyata.

 

Misalnya menghukumi bahwa api dapat membakar. Ini adalah hukum adat, sebab maknanya adalah pembakaran terjadi berbarengan dengan tersentuhnya api pada mayoritas benda, karena secara nyata hal itu terbukti terjadi berulang kali.

 

Hukum ini tidak berarti, bahwa api yang berpengaruh (menciptakan)  pada terbakarnya benda yang tersentuh olehnya misalnya, atau berpengaruh memanaskannya. Sebab makna demikian sama sekali tidak ditunjukkan oleh adat. Maksimal yang ditunjukkan adat hanyalah kebersamaan antara dua hal tersebut.

 

Adapun penentu faktor yang membakar benda, maka adat sama sekali tidak terkait dengannya dan tidak bisa diketahui darinya.

 

Samakanlah seluruh hukum adat pada kasus ini, seperti keberadaan makanan dapat mengenyangkan, air dapat menyegarkan, matahari dapat menyinari, pisau dapat memotong, dan contoh kasus lain yang tidak terbatas.

 

Pengetahuan tentang faktor yang mempengaruhi dan yang berbarengan dengan berbagai hal tersebut hanya dapat diketahui dari dalil ‘aqli dan naqli. Sementara akal dan syariat telah sepakat atas mandirinya Allah Maha Penguasa-Jalla wa ‘Azza-dalam menciptakan seluruh perkara yang wujud secara umum, sebab tidak ada atsar (kemampuan menciptakan) bagi apa pun selain Allah Ta’ala dalam menciptakan perkara apa pun, baik secara global maupun terperinci.

 

Sungguh sekelompok kaum telah salah memahami hukum-hukum adat, menganggapnya sebagai hukum ‘aqli, dan menyandarkan wujud setiap atsar dalam permasalahan tersebut pada sebab yang biasanya wujud bersamaan dengannya, adakalanya menyandarkan pada tabiatnya atau kekuatan yang diletakkan padanya, sehingga mereka-dalam keterbalikannya-meyakini akidah yang rusak dan tercela, bid’ah yang keji dalam ushul ad-din, dan syirik besar, la haula wa Ia quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim.

 

Aku memohon keselamatan dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan memedomani petunjuk sunnah secara lahir dan batin, kepada Allah dengan wasilah derajat Sayyidina wa Maulana Muhammad.

 

Sementara itu, hukum akal adalah istilah dari hukum yang penetapan dan penafiannya ditemukan oleh akal tanpa tergantung pada pengulangan-pengulangan dan pada putusan syariat. Hukum ketiga inilah yang aku jelaskan dalam pembahasan Kitab Asal, Kitab al-‘Akidah.

 

Maka ucapanku: “Hukum ‘aqli” dalam al-‘Akidah merupakan pengecualian dari hukum syariat dan hukum adat, yang telah Anda ketahui maknanya.

 

Ungkapan Kitab Asal: “Hukum ‘aqli terbatas dalam tiga bagian”, maksudnya sungguh setiap hal yang tertashawurkan dalam akal, maksudnya berbagai zat dan sifat, yang bersifat wujud atau yang bersifat salbiyah, atau haliyah yang bersifat gadim atau hadits, yang dipahami akal, tidak terlepas dari ketiga bagian hukum ‘aqli ini. Maksudnya pasti bersifat dengan salah satunya, ada kalanya bersifat wajib, jawaz, atau mustahil.

 

Ungkapan Kitab Asal: “Wajib adalah hukum yang ketiadaannya tidak tertashawurkan di dalam akal”, maksudnya sungguh wajib ‘aqli adalah hal yang ketiadaannya tidak ditemukan menurut akal.

 

Maksudnya ada kalanya langsung dipahami dari awal tanpa butuh pemikiran dahulu, yang disebut sebagai dharuri, seperti bertempat bagi benda fisik umpamanya, sebab akal dari awal tidak memahami terlepasnya benda fisik dari mengambil tempat, maksudnya mengambil tempat seukuran zatnya dari ruang yang kosong, dan adakalanya yang dipahami setelah adanya pemikiran, yang disebut nazhari, seperti sifat qidam bagi Allah-Jalla wa ‘Azza-, sebab akal menemukan wajibnya sifat qidam bagi Allah Ta’ala ketika akal melakukan proses berpikir dan mengetahui daur (perputaran) dan tasalsul (ketersambungan) yang jelas-jelas mustahil, yang muncul dari tetapnya sifat huduts bagi-Nya.

 

Dengan penjelasan ini Anda mengetahui terbaginya hukum wajib pada wajib yang bersifat dharuri dan nazhari.

 

Ungkapan Kitab Asal: “Mustahil adalah hukum yang wujudnya tidak tertashawurkan di dalam akal”, maksudnya adakalanya mulai dari awal atau setelah adanya pemikiran, sebagaiman dalam hukum wajib.

 

Contoh bagian pertama adalah sepinya benda fisik dari gerakan dan diam, maksudnya terlepasnya dari keduanya secara bersamaan sekira salah satunya tidak ditemukan padanya, sebab sungguh akal dari awal tidak mentashawurkan tetapnya hal ini bagi benda fisik.

 

Contoh bagian kedua adalah keberadaan Zat Allah Yang Maha Tinggi sebagai benda fisik-Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya, sebab sungguh kemustahilan hal ini bagi Allah Jalla wa ‘Azza—hanya dapat ditemukan oleh akal setelah ia melakukan pemikiran tentang kemustahilan yang muncul dari hal tersebut, yaitu berkumpulnya naqidhain” (pada Allah). Penjelasannya adalah, sungguh telah wajib bagi Allah-jalla wa ‘azza-sifat qidam dan Baqa’agar tidak terjadi daur atau tasalsul, – andaikan Allah Ta’ala adalah ‘ benda fisik maka wajib baginya sifat huduts Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya karena wajibnya sifat huduts bagi : setiap benda fisik. Bila demikian maka bisa dipastikan, andaikan ‘ Allah Ta’ala adalah benda fisik maka ia (tetap) wajib bersifat qidam karena sifat ketuhanannya, dan wajib bersifat huduts karena sifat benda fisiknya Maha ‘ Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya. Hal ini secara pasti merupakan berkumpulnya dua hal yang bertentangan pada satu objek.

 

Dengan penjelasan ini Anda juga mengetahui terbaginya hukum ‘ mustahil pada mustahil yang bersifat dharuri dan nazhari.

 

Ungkapan kitab Asal: “Ja’iz adalah hukum yang wujud dan tidaknya sah (tertashawurkan) di dalam akal”, maksudnya adakalanya yang bersifat dharuri maupun nazhari.

 

Contoh yang pertama adalah benda fisik bersifat bergerak saja umpamanya, sebab sungguh akal dari awal memahami keabsahan wujud dan tidak wujudnya gerakan baginya.

 

Contoh yang kedua adalah penyiksaan (di akhirat) bagi orang yang taat yang sama sekali tidak pernah bermaksiat kepada Allah sekejap pun, sebab akal hanya menghakimi bolehnya penyiksaan itu baginya secara akal setelah melakukan pemikiran tentang dalil wahdaniyah Allah Ta’ala, dan akal mengerti bahwa semua perbuatan merupakan ciptaanNya, sama sekali tidak ada pengaruh (menciptakan) apapun bagi selain Allah Ta’ala terhadap sesuatu yang tercipta.

 

Dari hal itu terpastikan kesamaan antara iman dan kekufuran, ketaatan dan maksiat, menurut akal: dan dipastikan bahwa masing-masing dari keempat hal ini pantas dijadikan sebagai tanda sesuatu (siksaan atau pahala) yang selainnya dijadikan sebagai tandanya. Kezaliman bagi Allah Jalla wa ‘Azza—adalah mustahil, bagaimanapun Allah bertindak dan menghakimi, sebab zalim adalah tasaruf (tindakan) yang tidak bertentangan dengan perintah, sementara Allah Jalla wa Azza adalah Zat Yang Maha Memerintah, Maha Mencegah, dan Maha Membolehkan. Karena itu, tidak ada perintah dan larangan dari selain Allah yang diarahkan kepada-Nya, sebab semua hal selain Allah adalah milik-Nya, yang sama sekali tidak dapat menciptakan sesuatu tanpa permulaan, tidak dapat mengembalikan sesuatu setelah ketiadaannya, dan tidak mempunyai pengaruh (menciptakan) apa pun kepada sesuatu. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengatur makhluknya, dan Dia tidak diminta pertanggungjawaban atas perbuatan-Nya.

 

Bila demikian, maka benar akal memahami keabsahan wujudnya pahala dan siksaan, atau ketiadaan keduanya bagi setiap mukmin dan kafir, orang yang taat dan yang maksiat. Kekhususan masing-masing dengan pahala atau siksaan yang dikhususkan baginya, hanyalah merupakan murni pilihan dari Allah-Jalla wa ‘Azza-, bukan karena sebab ‘aqli yang menuntutnya, namun pemahaman akal atas bolehnya hal ini tergantung pada penalaran yang benar atas dalil wahdaniyah Allah yang telah aku sebutkan tadi.

 

Dengan penjelasan ini maka menjadi jelas bagi Anda, sungguh hukum ja’iz juga terbagi pada ja’iz dharuri dan ja’iz nazhari, sebagaimana pembagian hukum wajib dan mustahil sebelumnya. Dengan ini pula menjadi jelas, sungguh ketiga bagian hukum ini bercabang menjadi enam bagian, dari hasil mengalikan tiga pada dua, sebab dalam masing-masing ketiga hukum itu ada dua bagian.

 

Aku batasi kata sah dengan kata menurut akal dalam definisi hukum ja’iz, sehingga aku katakan: “Yang sah (tertashawurkan) di dalam akal”, agar mencakup semisal bolehnya siksa bagi orang yang taat, sebab hanya akal yang menghakimi keabsahan wujud dan tidak wujudnya siksa baginya. Artinya, andaikan masing-masing dari kedua hal itu terjadi maka tidak menetapkan kekurangan bagi Allah Ta’ala dan tidak mustahil sama sekali.

 

Adapun syariat maka telah menjelaskan, bahwa dengan murni anugerah-Nya, Allah Ta’ala telah memilihkan salah satu dari dua hal yang ja’iz bagi-Nya yaitu pahala dan kenikmatan abadi untuk orang mukmin yang taat kepada-Nya, sebagaimana Allah Ta’ala dengan keadilan-Nya telah memilihkan hal ja’iz lain yaitu neraka dan siksa yang pedih untuk orang kafir.

 

Ketahuilah, sungguh gerakan dan diam untuk benda fisik itu sah ditamsilkan pada ketiga bagian hukum akal. Wajib ‘aqli, yaitu tetapnya salah satu dari keduanya bukan karena zatnya untuk benda fisik: mustahil ‘aqli, yaitu penafian keduanya secara bersamaan dari benda fisik: dan ja’iz ‘aqli, yaitu tetapnya salah satunya bagi benda fisik.

 

Ketahuilah, sungguh mengetahui ketiga bagian hukum ‘aqli ini -dan mengulang-ulang berbagai contohnya merupakan menentram hati, sehingga untuk menghadirkan maknanya pikiran sama sekali tidak membutuhkan usaha yang berat termasuk kebutuhan primer bagi setiap orang berakal yang menghendaki kesuksesan mengenal Allah Ta’ala dan para rasul-Nya. Bahkan Imam al-Haramain dan sekelompok ulama mengatakan: “Sungguh mengetahui ketiga buku ‘aqli ini merupakan akal sejati. Sebab itu, orang yang tidak mengetahui maknanya, maka bukanlah orang berakal.”

 

Wallahul muwaffiq.

 

 

 

 

Bagi setiap mukallaf secara syar’i wajib mengetahui sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah -Jalla wa “Azza-. Begitu pula wajib mengetahui sifat-sifat tersebut bagi para Rasul

 

Maksudnya sungguh secara syar’i wajib bagi setiap mukallaf-yaitu orang yang baligh dan berakal mengetahui hal tersebut, sebab dengan mengetahuinya, ia akan menjadi mukmin yang memastikan keimanannya atas dasar pengetahuan agama.

 

Kitab Asal mengatakan: “Yarifu (mengetahui)”, tidak mengatakan: “Yajzimu (mantap)’, sebagai isyarat bahwa yang dituntut dalam akidah-akidah keimanan adalah makrifat, yaitu kemantapan yang sesuai dengan dalil. Dalam hal ini tidak cukup taqiid, yaitu kemantapan yang sesuai dengan kaidah-kaidah keimanan tanpa dalil.

 

Mayoritas ulama, seperti Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Qadhi Abu Bakr al-Baqilani, dan Imam al Haramain berpendapat atas wajibnya makrifat dan tidak cukupnya taqlid. Hal demikian juga diriwayatkan Ibn al-Qashshar dari Imam Malik.

 

Kemudian mayoritas ulama yang berpendapat atas wajibnya makrifat berbeda pendapat. Sebagian berpendapat, muqallid (orang yang taqlid) berstatus mukmin, namun ia maksiat sebab meninggalkan makrifat yang dihasilkan dari proses berpikir yang benar, sebagian lagi berpendapat, ia mukmin dan tidak bermaksiat kecuali bila memang mempunyai kemampuan memahami pemikiran: dan sebagian lain berpendapat, ia tidak mukmin sama sekali, dan pendapat ini diingkari ulama lainnya.

 

Dalam kitab asy-Syamil Imam al Haramain mempunyai konsep pembagian mukallaf pada empat bagian.

 

Orang yang setelah baligh hidup dalam waktu yang cukup digunakan untuk melakukan pemikiran dan ia melakukannya, maka keabsahan imannya tidak diperselisihkan,

 

Bila ia tidak melakukannya, maka tidak absahan imannya tidak diperselisihkan,:

 

Orang yang setelah baligh hidup dalam waktu yang tidak cukup digunakan untuk melakukan pemikiran, namun waktu tersebut digunakannya untuk melakukan pemikiran semampunya, maka keabsahan imannya tidak diperselisihkan: dan

 

Bila ia memalingkan pikirannya pada waktu yang sedikit itu, dari melakukan pemikiran, maka terkait keabsahan imannya ada dua pendapat, dan pendapat al-Ashah menyatakan ketidak absahannya.

 

Aku katakan: “Mungkin pembagian ini hanya untuk orang yang sama sekali tidak mempunyai kemantapan atas kaidah-kaidah keimanan, meskipun dengan cara taqlid.”

 

Selain mayoritas ulama berpendapat, bahwa pemikiran (atas wahdaniyah Allah) tidak menjadi syarat keabsahan iman, bahkan sama sekali tidak wajib, namun hanya merupakan syarat kesempurnaan. Asy-Syaikh al-‘Arif al Wali Ibn Abi Jamrah, al-Imam al-Qusyairi, al-Gadhi Abu al-Walid bin Rusyd, al-Imam al-Ghazali, dan sekelompok ulama lain memilih pendapat ini.

 

Kebenaran yang ditunjukkan al Quran dan as-Sunnah adalah wajibnya melakukan pemikiran yang benar, dan belum jelas apakah hal ini menjadi syarat keabsahan iman atau tidak. Namun pendapat ar-Rajih menyatakan hal tersebut merupakan syarat keabsahan iman.

 

Ibn al-‘Arabi ” menisbatkan pendapat yang menyatakan bahwa Allah Ta’ala dapat diyakini dengan taqlid, kepada ahli bid’ah. Redaksinya dalam kitabnya al Mutawassith yang membahas tentang itiqad: “Ketahuilahsemoga Allah mengajari kalian-, sungguh keyakinan atas akidah-akidah tauhid yang ditaklifkan ini tidak dapat diperoleh secara dharuri (langsung tanpa pemikiran) dan secara ilham, tidak sah taqlid untuknya, dan tidak mungkin khabar (al-Qur’an dan al Hadits) menjadi jalan untuk mencapainya. Jalannya hanyalah melakukan proses pemikiran.

 

Sementara definisi rasm dari nazhar (pemikiran) adalah proses berpikir yang teratur dalam hati berdasarkan metode yang dapat mengantarkan pada keyakinan atau pada dugaan bagi pelakunya, yang dengannya ia mencari keyakinan dalam hal-hal yang bersifat keyakinan, atau mencari dugaan kuat dalam hal-hal yang bersifat zhanni. Andaikan ilmu ini dapat diperoleh secara dharuri, niscaya semua orang berakal dapat memahaminya, atau dapat diperoleh secara ilham niscaya Allah Ta’ala akan meletakkan ilmu tersebut di setiap hati orang hidup, agar taklif benar-benar dihasilkan dengannya. Selain itu, sungguh ilham termasuk macam dharuri yang sudah aku batalkan.

 

Tidak sah dikatakan, bahwa Allah Ta’ala dapat diyakini dengan taqlid, sebagaimana pendapat sekelompok ahli bid’ah. Sebab, andaikan Allah dapat diyakini dengan taqlid, niscaya pendapat salah seorang yang ditaqlidi tidak lebih utama diikuti dan dipatuhi

 

daripada selainnya. Bagaimana (pula), sementara pendapat mereka berkesebalikan dan bertentangan.

 

Dan tidak boleh pula dikatakan, sungguh Allah dapat diyakini berdasarkan khabar (al-Quran dan al-Hadits), sebab orang yang belum meyakini Allah Ta’ala, bagaimana bisa meyakini bahwa suatu: khabar merupakan khabarNya?

 

Bila demikian, maka menjadi tetap, bahwa jalan untuk mencapai keyakinan tentang Allah adalah pemikiran. Hal ini menjadi kewajiban pertama bagi mukallaf, sebab makrifat terhadap Allah merupakan kewajiban pertama yang tidak dapat dihasilkan kecuali dengannya. Karena kepastian lebih dahulunya pemikiran daripada ma’rifah, maka sifat wajib bagi pemikiran menjadi tetap sebelum tetapnya makrifat. Sementara kewajiban makrifat kepada Allah merupakan hal yang diketahui dari agama secara masyhur.

 

Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah. Di saat aku berpendapat bahwa makrifat dan pemikiran yang mengantarkan padanya wajib, sebagian Ashab kita (ulama Asy’ariyah) berpendapat, bahwa orang yang meyakini kebenaran tentang Allah Ta’ala dan keyakinannya terhadap sifat-sifat Allah bergantung padanya dengan cara yang benar, maka ia adalah seorang mukmin muuwahid. Namun hal ini pada umumnya hanya diperoleh oleh orang yang melakukan pemikiran. Andaikan hal itu diperoleh selain orang yang melakukan pemikiran, keyakinannya tidak aman dari kegoncangan.

 

Maka menurutku, orang harus mengetahui setiap permasalahan akidah dengan dalilnya. Keyakinan tidak akan bermanfaat baginya kecuali bila keyakinannya muncul dari suatu dalil. Bila orang mati dalam kondisi keyakinannya . terhadap Allah Ta’ala Yang Maha Selamat sebagaimana mestinya dan tidak mampu melakukan pemikiran, maka sebagian ulama ‘ Asy’ariyah berpendapat, bahwa orang tersebut adalah mukmin, bila ia mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurut al-Ustadz Abu – Ishaq” ia mukmin yang maksiat! sebab tidak melakukan penalaran yang mana pendapat ini, dibangunnya pada ajaran Syaikh Abu Hasan al-Asy’ari .

 

Adapun pernyataan Abu Ishaq, bahwa orang tersebut mukmin bila tidak mampu melakukan penalaran dan mati, maka jelas benarnya, insyaallah, sedangkan pernyataan bahwa ia mukmin besertaan mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurutku dalam hal ini perlu pemikiran lebih lanjut, dan sekarang aku tidak meyakini kebenarannya.

 

Bila disangkal: “Anda telah mewajibkan pemikiran sebelum keimanan sesuai makna ucapan Anda, lalu bila seorang mukallaf disuruh untuk makrifat (beriman) dan menjawab: “(Nanti dulu), sampai saya melakukan pemikiran, sebab sungguh sekarang saya masih dalam masa pemikiran yang lama dan sedang mengulang-ulangnya”, maka apa pendapat Anda? Apakah Anda akan mewajibkannya untuk mengikrarkan keimanan, sehingga Anda merusak prinsip Anda sendiri yang mewajibkan pemikiran sebelumnya, atau membiarkannya melakukan penalaran sampai waktu yang tidak diketahui batasnya, atau Anda tentukan batas waktunya sehingga Anda menghukuminya tanpa nash?

 

Maka jawabannya adalah, aku katakan: “Adapun pendapat yang mewajibkan iman sebelum makrifat (mengenal Allah) maka lemah, sebab mewajibkan pembenaran dengan suatu nisbat yang belum diyakini keabsahannya akan mengantarkan pada penyamaan antara Nabi dan orang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi, pada penetapan awal mulanya ia beriman, lalu melakukan pemikiran, menemukan kebenaran, dan meneruskan keimanannya, atau ia menemukan kebatilan, lalu ia kembali pada kondisi sebelumnya, yaitu meyakini kekufuran.

 

Adapun ketika orang yang diperintah beriman tadi meminta melakukan pemikiran (dahulu), maka dikatakan kepadanya (bila tidak hidup bersama-sama umat Islam): “Bila Anda mampu melakukan pemikiran (yang benar), maka lakukanlah sekarang juga: bila tidak, maka dengarkanlah, dan alur pemikiran yang benar disampaikan kepadanya dalam waktu secukupnya.” Bila beriman, maka ia nyata-nyata telah mendapatkan petunjuk, bila menolaknya, maka ia jelas-jelas telah mengingkarinya, maka pengingkaran itu wajib dikeluarkan darinya dengan ancaman pembunuhan, kecuali ia mati tanpa dibunuh.”

 

Bila ia termasuk orang yang hidup bersama umat Islam dan mengetahui cara beriman, maka ia tidak diberi waktu sedikitpun ‘ untuk menunda keimanannya. Tidakkah Anda tahu, bahwa ulama mensunnahkan memberi kesempatan kepadanya, mungkin ia murtad karena keraguan, lalu ditunggu sebentar mungkin ia dapat mengganti keraguannya dengan keyakinan, dan mengganti kebodohannya dengan ilmu, dan pemberian kesempatan pada . orang murtad tersebut tidak wajib karena keyakinan dapat dihasilkan dengan pemikiran yang benar di permulaannya.

 

Bagaimana benar menurut seorang pemikir, pendapat yang menyatakan bahwa wajib iman dahulu sebelum pemikiran? Sebab, menurut akal tidak sah iman tanpa kebenaran yang diketahui. Keimanan yang ditemukannya terjadi karena husnuzhan dirinya kepada orang yang memberitakan keimanan kepadanya, bila tidak demikian, maka bila keraguan atau anggapan bohong mendatanginya, hal itu akan menggantikan kemantapan imannya.

 

Selain itu, sungguh Nabi -pada masa awal risalahnya mengajak manusia untuk melakukan pemikiran, kemudian setelah hujjah menjadi kuat berdasarkan pemikiran dan beliau mencapai uzur tertinggi untuk melakukannya, maka beliau mengajak mereka beriman dengan ancaman perang. Tidakkah Anda lihat, bahwa setiap Orang yang diajaknya beriman berkata kepadanya: “Tunjukkan tandatanda kenabian mu kepadaku!” Lalu beliau menunjukkannya, maka jelaslah kebenaran bagi orang tersebut, kemudian dia beriman dan mendapatkan keamanan, atau mengingkarinya dan mendapatkan kerusakan.”

 

Demikian pernyataan Ibn al-‘Arabi yang merupakan pendapat bagus, namun dimuskilkan dengan konsekuensi, bahwa seorang muqallid tidak berstatus mukmin, sebab pendapat tersebut berkonsekuensi mengkafirkan mayoritas muslim awam, padahal mereka adalah mayoritas umat al-ijabah” ini. Hal ini mencemari fakta yang telah diketahui, yaitu sungguh Sayyiduna wa Nabiyyuna Muhammad adalah Nabi yang paling banyak pengikutnya, dan telah ada hadits yang menyatakan bahwa umatnya yang mulia merupakan 2/3 penghuni surga.”

 

Kemuskilan itu dapat dijawab dengan jawaban, sungguh yang dimaksud dengan dalil yang wajib diketahui oleh seluruh mukallaf adalah dalil ijmali (yang bersifat umum), yang pada umumnya menghasilkan keyakinan dan penerimaan hati atas akidah-akidah keimanan bagi mukallaf sekira hatinya tidak mengatakan: “Aku tidak mengetahui, aku dengar orang-orang mengatakan Sesuatu, lalu aku pun mengatakannya.”

 

Tidak disyaratkan mengetahui pemikiran sesuai metode mutakallimin, yaitu meneliti dan membenarkan dalil-dalil, menolak syubhat yang datang padanya, dan mengungkapkan dalil ijmali yang ada di hati yang menghasilkan penerimaan.

 

Tidak diragukan, bahwa pemikiran sederhana semacam ini tidak sulit diperoleh bagi mayoritas atau semua umat al-ijabah ini sebelum akhir zaman yang pada waktu itu ilmu nafi’ akan diangkat: banyaknya kebodohan yang membahayakan: tidak ada taqlid yang benar, apalagi makrifat, pada orang-orang yang disangka mempunyai ilmu, apalagi pada orang-orang awam. Mungkin tanpa diragukan, kita menjumpai zaman ini. Allah Zat Yang Maha diminta Pertolongan. La haula wala quwwata ia billahil ‘aliyyil azhirmn.

 

Diriwayatkan dalam suatu hadits dari Abu Umamah  ia berkata: “Rasulullah bersabda: “Akan ada fitnah di akhir zaman, di pagi hari orang berstatus mukmin dan sorenya sudah menjadi kafir, kecuali orang yang dijaga oleh Allah dengan ilmu.

 

Kesimpulannya, hati-hati dalam segala permasalahan merupakan langkah terbaik yang ditempuh orang berakal, apalagi terkait keimanan yang merupakan modal utama manusia, yang di atasnya semua kebaikan dibangun. Bagaimana orang berfirman rela

 

menempuh jalan taqlid yang masih diperselisihkan dan memperkeruh akidahnya, meninggalkan makrifat dan belajar melakukan pemikiran yang benar yang dapat menghindarkannya dari segala kekhawatiran, kemudian dengannya mencapai derajat ulama yang masuk dalam makna firman Allah Ta’ala: “Allah menjelaskan, sungguh tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Menegakkan Keadilan, Malaikat dan orang-orang yang berpengetahuan pun mengakuinya …

 

Tidaklah mencukupkan diri jauh dari derajat yang aman dan suci ini kecuali orang yang berjiwa rendah dan berhimmah hina. Namun demikian, pertama kali wajib bagi orang berakal untuk mempertimbangkan orang yang mengajarinya secara benar ilmu akidah keimanan ini, dan memilihnya untuk dijadikan guru, dari para imam yang oleh Allah dikokohkan dengan cahaya hati, yang zuhud dengan hatinya dari dunia yang ada ini, yang penuh belas kasihan kepada orang-orang miskin ilmu, dan orang-orang mukmin yang lemah pemahamannya.

 

Orang yang menemukan guru semacam itu pada zaman yang sedikit sekali kebaikannya ini, hendaklah selalu mengikutinya. Ketahuilah, sungguh ia tidak akan menemukannya lagi-wallahu alam-untuk kedua kalinya pada masanya. Sebab, orang yang mempunyai sifat seperti itu atau yang mendekatinya (yang secara terang-terangan mengajarkan ilmu ini), di akhir zaman tidak ada kecuali seorang saja, dan orang yang mendekatinya, sesuai penjelasan ulama.

 

Pada umumnya di zaman ini, orang yang seperti itu samar (sulit ditemukan), sekira tidak ditunjukkan kepadanya kecuali sedikit orang saja. Hendaklah ia bersyukur kepada Allah sepanjang malam dan siang yang telah memperlihatkannya atas kesuksesan besar ini. Sebab Allah Yang Maha Pemurah Jallah wa ‘Azz dengan kemurnian anugerah-Nya telah memberinya kesuksesan mendapat kekayaan surga yang sangat besar (guru dengan sifat-sifat yang telah disebutkan) yang dapat menjadi sumber belajar dan dengan cara bagaimanapun yang dikehendakinya ia belajar kepadanya. Sedikit sekali orang yang dapat belajar kepada guru semacam ini pada masa sekarang ini kecuali orang beruntung yang langkah

 

Adapun orang yang membacakan ilmu akidah ini kepada orang yang meminta kepadanya sementara ia tidak mempunyai sifat-sifat yang telah aku disebutkan, maka mafsadah menjadi muridnya di dunia dan akhirat lebih banyak daripada kemaslahatannya. Sangat banyak orang-orang seperti itu di zaman kita di setiap tempat. Aku memohon keselamatan kepada Allah Ta’ala dengan derajat Sayyidina Muhammad – dari keburukan diriku dan keburukan setiap orang yang mempunyai keburukan.

 

Hendaklah pelajar pemula menghindarkan kemampuannya untuk belajar ushu/ ad-dinnya dari kitab-kitab yang dipenuhi pendapat-pendapat kaum filosuf, para penulisnya menggantungkan diri dengan mengutip kegilaan mereka yang merupakan kekufuran nyata, yaitu akidah-akidah yang kenajisannya mereka tutupi dengan berbagai istilah dan ungkapan yang samar yang mayoritas hanya merupakan nama tanpa subtansi, seperti kitab-kitab karya al-Imam al-Fakr ar-Razi tentang kalam, kitab Thawali’ karya al-Baidhawi, dan orang-orang yang menempuh metode mereka dalam ilmu kalam

 

Jarang sekali beruntung orang yang menggantungkan diri dengan menekuni kafan para filosof, atau mendapatkan cahaya keimanan di hati atau lisannya. Bagaimana beruntung orang yang mengasihi orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, membakar haibah Allah yang laksana ijab, membuang syariat di belakang punggungnya, dan berkata bagi Allah—jalla wa Azza—dan para Rasul-Nyaa ala’himus shalatu was salam dengan perkataan yang dihiaskan oleh dirinya yang bodoh dan diajak oleh persangkaannya yang rusak.

 

Sungguh sebagian orang telah terlalaikan, sehingga Anda lihat ia memuliakan kalam kaum filosof terlaknat, memuliakan kitab-kitab yang ditulis untuk mengutip berbagai kebodohan mereka karena cinta pangkat dan keunikan mengungguli orang lain dengan berbagai ungkapan dan istilah yang samar bagi kebanyakan orang, yang mengesankan bagi mereka bahwa di bawahnya terdapat ilmu-ilmu yang mendalam dan bagus, padahal kenyataannya hanya pencampuradukan, kegilaan, dan kekufuran yang orang berakal tidak sudi mengucapkannya.

 

Terkadang sebagian orang bodoh memprioritaskan memelajari kegilaan kaum filosuf daripada menyibukkan diri dengan memelajari ushul dan furu’ ad-din sesuai metode kaum as-Salaf ash-Shalih dan mengamalkannya, yang bermanfaat baginya. Karena terhapusnya mata hati dan terlemparnya dari pintu anugerah Allah Ta’ala ke pintu murka-Nya. Orang bodoh yang keji ini menganggap orang-orang yang fokus memelajari agama Allah Ta’ala yang besar manfaatnya di dunia dan akhirat, sebagai orang-orang berwatak bodoh dan kurang cerdas.

 

Sungguh bodoh, sungguh keji dan sungguh buta hatinya, sampai ia melihat kegelapan sebagai cahaya dan melihat cahaya sebagai kegelapan. Orang yang Allah menghendaki kesesatan nya, maka sekali-kali kamu (Muhammad ) tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dariNya. Mereka adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hatinya. Bagi mereka kehinaan di dunia dan akhirat. Bagi mereka siksaan yang besar. Mereka adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta haram …

 

Aku memohon kepada Allah SWT agar la menjagaku dan orang-orang yang mencintaiku sampai mati dengan kemurnian anugerahnya, dan agar mengasihi semua mukminin, dan menjaga mereka di zaman yang penuh kesulitan ini dari datangnya berbagai fitnah, dengan kemurahan dan kedermawanan-Nya, dengan lantaran derajat manusia termulia, Sayyidina wa Maulana Muhammad -.

 

 

 

 

Diantara yang wajib dimiliki Allah-Jalla wa ‘Azza adalah 20 sifat

 

Kitab Asal berisyarat dengan huruf  tab’idiyah untuk menunjukkan, bahwa sifat-sifat Allah-Jalla wa ‘Azza—tidak terbatas pada 20 sifat ini, sebab kesempurnaan-Nya tidak terbatas, namun ketidakmampuan mengetahui sifat-sifat yang tidak terjelaskan oleh dalil ‘aqli dan naqli membuat kita tidak disiksa karenanya, berkat anugerah Allah Ta’ala.

 

 

(1) Wujud

 

Yaitu (1) wujud.

 

Maknanya jelas, namun dalam menghitung wujud sebagai suatu sifat berdasarkan madzhab as-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari merupakan tasamnuh (majaz). Sebab menurutnya, wujud merupakan Zat Allah itu sendiri, bukan selainnya, dan Zat Allah bukanlah suatu sifat. Namun ketika dalam pelafalan wujud dijadikan sifat bagi Zat Allah, dan dikatakan: zat Allah—Jalla wa Azza—itu maujud” maka secara umum wujud sah dihitung sebagai suatu sifat.

 

Adapun menurut madzhab ulama yang menjadikan wujud sebagai sesuatu yang bukan Zat Allah, sebagaimana Imam ar-Razi, maka menghitungnya sebagai bagian dari sifat-sifat Allah adalah benar dan tidak ada tasamnuh di dalamnya.

 

Sebagian ulama ada yang menjadikan umujud sebagai sesuatu yang bukan Zat Allah pada masa hadits, bukan masa gadim. Ini madzhab kaum filosuf.

 

 

(2) Qidam .

 

Pendapat al-Ashah menyatakan, bahwa qidam adalah sifat salbiyah. Maksudnya tidak ada makna yang maujud padanya, seperti sifat ilmu misalnya. Qidam hanya merupakan . ungkapan untuk menafikan sifat adam (tiada) yang mendahului wujud. Bila mau Anda dapat mengatakan: “Qidam merupakan ungkapan dari tidak adanya permulaan bagi wujud Allah.” Bisa pula Anda katakan: “Qidam merupakan ungkapan dari tidak adanya pembukaan wujud.” Ketiga ungkapan tersebut satu makna.

 

Inilah makna qidam bagi Allah Ta’ala dengan memertimbangkan Zat-Nya Yang Maha Tinggi dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Agung dan Maha Luhur.

 

Adapun maknanya ketika diucapkan untuk sesuatu yang hadits, sebagaimana saat Anda berkata misalnya: ini adalah bangunan yang gadim, dan tandan yang gadim’, maka gadim merupakan ungkapan dari lamanya waktu wujudnya dalam kondisi bila sesuatu itu bersifat hadits dan didahului oleh ketiadaan, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala: “Sungguh Kamu niscaya dalam kesesatranmu yang lama” dan firman Allah SWT: “Seperti tandan yang tua.”

 

Qidam dengan makna semacam ini mustahil bagi Allah Ta’ala, sebab wujud-Nya—jalla wa Azza—tidak terbatasi dengan zaman dan tempat karena sifat huduts keduanya. Sebab itu, tidak terbatasi dengan keduanya kecuali sesuatu yang hadist yang sama dengannya.

 

Apakah boleh melafalkan kata gadim bagi Allah Ta’ala, sehingga dikatakan Allah jalla wa Azza Adalah Zat Yang Qidam, karena maknanya adalah wajib bagi-Nya Jalla wa “Azza secara akal dan naqlih, atau tidak boleh melafalkannya?

 

Yang boleh diucapkan hanya: wajib bagi Allah Ta’ala sifat : qidam”, atau ungkapan semisalnya: dan tidak boleh diucapkan bagi-Nya nama al-Qadim sebab Asama’ Allah Jalla wa Azza bersifat tauqifi.

 

Ini termasuk permasalahan yang diperselisihkan oleh sebagian para Masyayikh. Namun dalam Syarh Ushul as-Subki, al-‘Iraqi mengatakan: “Al-Halimi menyebut al-Gadim dalam Asma’ Allah, dan ia berkata: “Al-Gadim tidak ada nashnya dalam al-Quran, hanya ada dalam as-Sunnah.” Imam al-raqi mengatakan: “Dengan ungkapan itu al-Halimi memberi isyarat pada hadits riwayat Ibn Majah dalam Sunannya dari hadits Abu Hurairah Ra., yang di dalamnya terdapat penyebutan nama alGadim dari 99 Asma Allah.”

 

 

(3) Baqa’ (abadi). 

 

Yaitu merupakan ungkapan dari menafikan ketiadaan yang terjadi setelah wujud. Bila mau Anda dapat mengatakan: “Baqa’ merupakan ungkapan dari tidak adanya batas akhir bagi wujud Allah.” Kedua ungkapan ini satu makna.

 

Sebagian Imam mengatakan, bahwa makna Baqa’ bagi Allah Ta’ala adalah terus-menerusnya wujud Allah pada masa mendatang tanpa batas, sebagaimana makna qidam bagi Allah Ta’ala adalah terus-menerus nya wujud Allah pada masa lalu tanpa batas awal.

 

Seolah-olah ungkapan ini mengesankan pengucapnya beranggapan, bahwa qidam dan Baqa’ merupakan sifat nafsiyah. Sebab menurutnya keduanya merupakan wujud yang terus-menerus di masa lalu dan masa mendatang, dan wujud adalah sifat nafsiyah karena tanpanya zat tidak akan nyata. Pendapat ini lemah, sebab bila keduanya merupakan sifat nafsiyah, maka memastikan bahwa tidak dapat diterima akal wujudnya Zat tanpa keduanya. Hal tersebut bathil dengan argumen, bahwa wujud zat (tanpa keduanya) bisa diterima akal, kemudian baru dicari bukti atas wajibnya qidam dan Baqa’nya.

 

Ada sekelompok orang yang menyimpang. Mereka berpendapat, bahwa qidam dan Baqa’ merupakan sifat yang wujud yang ada pada Zat Allah, seperti ilmu

 

dan qudrah. Tidak samar lagi kelemahan pendapat ini, sebab memastikan bahwa keduanya juga bersifat gadim karena sifat qidam lain yang wujud (sebagaimana ilmu dan qudrah), dan bersifat juga Baqa’ karena sifat Baqa’ lain yang wujud (sebagaimana ilmu dan qudrah, kemudian pembahasannya beralih pada: ini adalah qidam dan Baqa’ lain, maka dalam keduanya terdapat kelaziman yang ada qidam dan Baqa’ yang pertama dan menetapkan tasalsul.

 

Yang lebih lemah dari pendapat Ini adalah pendapat orang yang membedakan antara qidam dan baga. la menyatakan bahwa qidam adalah sifat sabiyah dan Baqa’adalah sifat wujudiyah.

 

Pemahaman yang benar yang dipedomani ulama muhaqqiqun adalah keduanya merupakan sifat salbiyah. Maksudnya masing-masing dari keduanya merupakan ungkapan dari menafikan makna yang tidak pantas bagi Allah Ta’ala, dan keduanya tidak mempunyai makna yang maujud dalam kenyataan (dapat dilihat secara kasat mata) dari hati.

 

 

 

(4) Mukhalafatuhu Ta’ala li al-Hawadits (berbeda dengan semua makhluk)

 

Maksudnya tidak ada satupun makhluk yang menyamai Allah Ta’ala secara mutlak, tidak sama dalam zat, sifat, maupun perbuatannya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

 

Bagian awal ayat ini merupakan tanzih (penyucian Allah dari menyerupai mahluk), dan bagian akhirnya menetapkan (sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat bagi Allah). Maka bagian awalnya menolak kaum /Mujassimah dan berbagai variannya, dan bagian akhirnya menolak kaum Mu’ahthilah yang menafikan seluruh sifat-sifat Allah. Hikmah mendahulukan tanzih pada ayat tersebut meskipun termasuk mendahulukan penafian daripada penetapan, meskipun yang lebih utama dalam beberapa tempat adalah sebaliknya adalah andaikan al-Qur’an memulai dengan menyebutkan sifat mendengar dan melihat, niscaya akan mengesankan keserupaan Allah terhadap makhluk. Sebab yang segera dipahami dalam sifat mendengar adalah mendengar dengan telinga, dan dalam sifat melihat adalah melihat dengan bola mata, sementara masing-masing dari keduanya dalam hal yang dapat disaksikan hanya berhubungan dengan sebagian makhluk dan tidak berhubungan dengan yang lainnya: dan hanya pada sifat tertentu seperti tidak adanya jarak yang jauh sekali dan semisalnya.

 

Maka dalam al-Quran memulai dengan penyebutan tanzih agar darinya dipahami penafian keserupaan Allah Ta’ala dengan makhluk secara mutlak, sampai pada sifat mendengar dan melihat yang disebutkan setelahnya. Sebab mendengar dan melihatnya Allah tidak seperti mendengar dan melihatnya makhluk, karena mendengar dan melihatnya Allah Ta’ala merupakan sifat yang ada pada Zat-Nya Yang Maha Luhur yang mustahil ada unsur fisik, anggota tubuh, dan berbagai kelazimannya, yang wajib (pasti) qidam dan baga, yang berhubungan dengan setiap wujud yang bersifat gadim maupun hadits, yang berupa zat maupun sifat: dan lahir maupun batin.

 

 

 

(5) Qiyamuhu bi Nafsih (kemandirian Allah dengan Zatnya) Maksudnya Ia tidak membutuhkan mahaliI (zat lain yang menjadi tempat Zat-Nya) dan mukhashshish (zat lain yang mewujudkan-Nya).

 

Maksudnya, di antara sifat yang wajib bagi Allah Ta’ala adalah Allah mandiri dengan diri-Nya, maksudnya Zat-Nya. Maksud mandirinya Allah Ta’ala dengan Zat-Nya adalah menafikan butuhnya Allah pada sesuatu apapun. Maka Allah Ta’ala tidak membutuhkan pada muhall, yaitu zat selain-Nya dimana Allah wujud di dalamnya, sebagaimana sifat yang wujud pada hal yang disifatinya. Sebab kebutuhan semacam itu hanya untuk sifat, sementara Allah Ta’ala adalah Zat yang disifati dengan suatu sifat. Allah —jalla wa Azza—bukan suatu sifat sebagaimana anggapan orang-orang Nasrani dan sekte Bathiniyah yang sepaham dengan mereka semoga Allah Ta’ala membinasakan mereka Dalilnya akan disebutkan pada penjelasanku tentang berbagai dalil, insyaallah Ta’ala.

 

Begitu pula Allah Ta’ala tidak butuh kepada mukhashshish, yaitu pelaku yang mewujudkannya, tidak butuh dalam zat, dan satu sifat pun dari sifat-sifat-Nya, karena wajibnya qidam dan Baqa’ bagi Zat Allah Ta’ala dan semua sifat-Nya. Yang butuh kepada mukhashshish adalah zat yang menerima ketiadaan (mungkin menjadi tidak ada), sedangkan Allah Jalla wa Azza—tidak mungkin menerimanya. Bila demikian, maka secara umum mustahil bagi Allah—jalla wa Azza Membutuhkan zat lain.

 

Dengan penjelasan ini Anda ketahui, sungguh maksudku dengan kata mahall dalam Kitab Asal, yakni al-‘Aqidah, adalah zat: sedangkan maksudku dengan kata mukhashshish adalah fa’il (pelaku yang mewujudkannya). Maka dengan ketidakbutuhan Allah Ta’ala pada mahall, maksudnya zat lain, tetaplah bahwa Allah—Jalla wa Azza—bukan sifat: dan dengan ketidakbutuhan Allah Ta’ala pada mukhashshish, maksudnya fail (pelaku yang mewujudkannya), tetaplah bahwa Zat Allah—Jalla wa Azza-tidak seperti zat lain yang juga tidak membutuhkan pada mahall seperti berbagai jirm upamanya, meskipun berbagai jirim ini tidak membutuhkan nahah, maksudnya dari zat yang menjadi tempat eksistensinya, sebagaimana eksistensi sifat pada sesuatu yang disifatinya, namun untuk permulaan dan keberlangsungannya secara pasti membutuhkan pada mukhashshish, yakni fa’il, yaitu Allah—Jalla wa Azza Bila demikian, maka giyam bi annafs merupakan ungkapan dari kemandirian secara mutlak, yang tidak mungkin kecuali bagi Allah Jalla wa Azza

 

Allah Yang Maha Agung berkata: “Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah, dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” Allah berkata pula: ‘Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.”

 

Dengan firman-Nya:  , Allah menetapkan butuhnya selain Allah kepada-Nya— Jalla wa Azza—. Sebab makna  adalah Zat yang dituju dalam berbagai kebutuhan, maksudnya yang menjadi rujukan berbagai kebutuhan, dan dari-Nya berbagai kebutuhan diminta. Tidak diraguan, sungguh setiap selain Allah Ta’ala adalah zat yang butuh kepada-Nya, maksudnya mulai dari awal dan pada keberlanjutannya membutuhkan kepada Allah dengan kondisinya, ucapannya, atau dengan keduanya secara bersamaan.

 

Dengan firman-Nya:   Allah menetapkan wajibnya ketidakbutuhan Allah—Jalla wa Azza—pada muatstsir dan atsar. Maka tidak ada kebutuhan bagi Allah Ta’ala kepada mu atsar, dan tidak ada ‘illat bagi wujud-Nya Jalla wa Azza—Pada pemahaman itu isyarat firman Allah Ta’ala:   maksudnya wujud-Nya tidak terlahirkan dari sesuatu pun. Artinya tidak ada sebab bagi wujud-Nya, karena wajibnya qidam dan Baqa’ bagi-Nya.

 

Begitu pula tidak ada kebutuhan bagi Allah Ta’ala pada atsar, yaitu makhluk yang diwujudkan-Nya: tidak ada tujuan bagi-Nya—Jalla wa Azza—dalam suatu makhluk pun Maha Luhur Allah dari berbagai tujuan dan harta benda-, dan tidak ada penolong bagi-Nya dalam suatu makhluk pun, justru Allah Jalla wa ‘Azza—adalah Zat yang menciptakannya, dengan murni pilihan-Nya tanpa perantara, aktivitas (bergerak dan diam), maupun alasan. Pada pemahaman seperti itu isyarat firman Allah Ta’ala:   maksudnya tidak ada sesuatupun yang terlahir dari ZatNya Yang Maha Luhur, yaitu menjadi bagian dari-Nya, muncul dari-Nya tanpa sengaja, muncul dari-Nya dengan pertolongan orang yang menikahi-Nya untuk mewujudkannya, atau di situ ada tujuan yang mengarahkan-Nya untuk mewujudkannya, sebagaimana kondisi suami istri dan semisalnya dalam penisbatannya terhadap anak, dan semisalnya dalam hal yang telah disebutkan.

 

Sebab, andaikan Allah Ta’ala demikian adanya, maka pasti menyamai makhluk. Bagaimana hal itu benar, sementara Allah Tabaraka-tiada satu makhlukpun yang sepadan dengan-Nya. Bila demikan maka tidak ada orang tua, teman, anak baginya, dan tidak ada kesamaan antara Allah dan makhluk dari satu sisi pun tabarokallohu rabbul ‘alamin-.

 

 

(6) Wahdaniyyah (keesaan Allah dengan Zat-Nya). Maksudnya tidak ada duanya zat, sifat dan perbuatan Allah.

 

Maksudnya, sungguh wahdaniyyah bagi Allah Ta’ala mencakup tiga sisi: pertama, menafikan jumlah banyak bagi Zat Allah Ta’ala, yang disebut al-kamm al-muttashil kedua, menafikan zat lain yang sepadan bagi-Nya—Jalla wa Azza dalam zat atau salah satu sifat-sifat-Nya, yang disebut al-kamm al-munfashik dan ketiga, kesendirian  Allah Ta’ala dalam mewujudkan, dan menciptakan alam secara sempurna dan menyeluruh, tanpa perantara, dan tanpa aktifitas (bergerak dan diam). Maka tidak ada mu’atsrtsir (yang memberi efek) apapun selain Allah Ta’ala pada efek apa saja secara menyeluruh.

 

Allah Yang Maha Agung berfirman: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” Allah Ta’ala berfirman: “ (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu tidak ada Tuhan selain Dia pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia” Allah -Jalla wa ‘Azza- berfirman : “kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah”  Allah -Tabaraka Wa Ta’ala- berfirman pula :” Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”

 

*Kesimpulan sifat Nafsiyah dan Salbiyah

 

Inilah enam sifat Allah, yang pertama adalah sifat nafsiyah, yaitu wujud; dan 5 sifat setelahnya adalah sifat salbiyah.

 

Hakikat sifat nafsiyah adalah haliyah (kondisi) yang wajib bagi suatu zat selama zat tersebut tidak di ‘illati dengan suatu ‘illat, seperti tahayyuz (mengambil tempat atau ruang secukupnya) bagi jirm umpamanya. Sebab bagi jirm, tahayyuz bagi jirm tidak di ‘illati dengan ‘illat apapun, Dengan ucapan    kitab asal mengecualikan al ahwal al ma’aninya seperti keberadaan zat Allah yang Maha Mengetahui Maha Kuasa dan Maha Berkehendak umpamanya sebab ter’illati dengan adanya ilmu, kekuasaan, dan kehendak yang ada pada zat Allah dan juga mengecualikan sifat ma’ani.

 

Adapun sifat ilmu dan qudrah maka tidak termasuk sifat nafsiyah maupun sifat ma’nawiyah. Sebab sifat nafsiyah dan sifat maknawiyah merupakan kondisi, sementara kondisi itu tidak wujud dan tidak tiada dengan sendirinya sedangkan ilmu dan qudrah adalah sifat yang wujud dengan mempertimbangkan dirinya (mungkin dilihat) yang ada pada sesuatu yang maujud.

 

Bila anda mengetahui ini maka ketahuilah bahwa wujud hanya sah menjadi sifat nafsiyah bagi ulama yang menjadikannya sebagai suatu selain zat. adapun bagi orang yang menjadikannya sebagai zat itu sendiri maka wujud sama sekali bukan merupakan sifat. Telah lewat keterangan terkait wujud tidak bisa dianggap sebagai sifat, dan dengan keterangan seperti itu pula di sini wujud tidak bisa dianggap sebagai sifat nafsiyah, maksudnya maknanya wujud itu kembali pada zat, baik kita katakan bahwa wujud merupakan zat itu sendiri ataupun selain hakikatnya. Sebab, sungguh zat tidak wujud secara nyata dari hati kecuali diwujudkan.

 

Ungkapan Matan.   Maksudnya adalah, sungguh masing-masing madlulnya adalah tidak. Artinya tidak pantas bagi Allah -Jalla wa ‘Azza- dan tidak berupa sifat yang maujud dengan mempertimbangkan dirinya sendiri sebagaimana ilmu, qudroh dan sifat-sifat ma’ani dan semisalnya yang akan dijelaskan.

 

Maka makna qidam adalah salb, yaitu menafikan mendahuluinya ketiadaan daripada wujudnya bila mau dapat anda katakan: “Qidam adalah menafikan permulaan bagi wujud Allah.” Sementara maknanya sama.

 

Makna baqa’ adalah munafikan menyusulnya ketiadaan bagi wujud. Bila mau dapat anda katakan: “Baqa’ adalah menafikan berakhirnya wujud Allah”.

 

Makna mukhalafah li al-Hawadits adalah menafikan kesamaan Allah pada makhluk dalam zat, sifat, dan perbuatan.

 

Makna Qiyama bi an-nafs adalah menafikan butuhnya Allah kepada mahall, yaitu zat lain yang menjadikan kelaziman bagi wujudnya, sebagaimana kelaziman sifat pada mausuf dan menafikan butuhnya Allah ta’ala kepada mukhashshish, maksudnya zat yang menciptakan.

 

Adapun makna wahdaniyyah adalah tidak ada duanya Allah dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Bila mau dapat anda katakan: “Wahdaniyyah adalah menafikan al-kammiyah al-muttashilah dan al-kammiyah al-munfashilah, dan menafikan sekutu bagi perbuatan-perbuatan Allah secara menyeluruh” adapun maknanya sama. Wabillahit Taufik.

 

Tujuh Sifat Ma’ani

 

Kemudian wajib bagi Allah ta’ala tujuh sifat yang disebut sifat ma’ani

 

Maksud ulama dengan istilah sifat-sifat ma’ani adalah sifat-sifat yang wujud dengan mempertimbangkan dirinya sendiri, baik bersifat hadis, seperti warna putih suatu benda dan warna hitamnya, umpamanya, ataupun sifat qadim, seperti ilmu dan qudrah Allah ta’ala. maka setiap sifat yang wujud dengan mempertimbangkan dirinya sendiri dalam istilah ilmu kalam disebut sifat makna (ma’ani)

 

Bila suatu sifat tidak wujud dengan mempertimbangkan dirinya sendiri, maka bila wajib bagi zat, selama zat tersebut tidak di ‘illati  dengan suatu ‘illat, mata disebut sifat nafsiyah atau hal nafsiyah, seperti mengambil tempat secukupnya bagi benda, dan keberadaannya menerima sifat-sifat yang datang padanya, umpamanya.

 

bila suatu sifat tidak wujud dengan mempertimbangkan dirinya sendiri, namun ter’illati dengan suatu ‘illat dan hanya wajib bagi zat selama ‘illat itu ada padanya maka disebut sifat ma’nawiyah seperti keberadaan suatu zat ‘alimatan (yang mengetahui) dan qadiratan (yang mampu) umpamanya.

 

7&8 Qudrah dan Iradah

 

(7dan8) tujuh sifat ma’ani tersebut adalah qudrah dan iradah yang berhubungan dengan seluruh perkara yang mumkin.

 

Maksudnya, sungguh yang berhubungan dengan qudrah dan iradah adalah suatu yaitu mumkinat (perkara-perkara yang mungkin wujud dan mungkin tidak wujud), tidak yang wajib dan yang mustahil; namun, sisi hubungannya dengan mumkinat berbeda-beda.

 

Qudrah adalah sifat yang berpengaruh mewujudkan dan meniadakan mumkin; sedang iroda adalah sifat yang berpengaruh mengkhususkan (menentukan) salah satu dari dua opsi mumkin, yaitu wujud panjang pendek dan misalnya menjadi wujud sebagai ganti dari lawannya. Maka pengaruh qudrah merupakan cabang dari pengaruh iroda sebab Allah -Jalla wa Azza- tidak mewujudkan atau meniadakan mumkinat dengan qudrah-Nya kecuali apa yang dikehendaki-Nya diwujudkan atau ditiadakan-Nya.

 

Menurut ahlussunnah wal jamaah pengaruh iradah Allah itu cocok dengan ilmu-Nya. Sebab itu setiap mumkinat yang diketahui Allah -Tabaraka Wa Ta’ala- akan diwujudkan atau tidak akan diwujudkan maka itulah yang dikehendaki-Nya.

 

Golongan Mu’tazilah -semoga Allah ta’ala memperbanyak keburukan mereka- menjadikan hubungan iradah mengikuti perintah-Nya, sehingga menurut mereka Allah -Jalla wa ‘Azza- tidak menghendaki kecuali perkara yang diperintahkan-Nya yaitu keimanan dan ketaatan, baik terjadi maupun tidak.

 

Maka menurut kitab ahlussunnah wal jamaah imam Abu Jahal itu diperintahkan namun tidak dikehendaki oleh Allah -Tabaraka wa Ta’ala- karena -Jalla wa ‘Azza- mengetahui tidak akan terjadinya sedangkan ke kuburan abu Jahal dilarang oleh Allah namun terjadi dengan iradah dan qudrah-nya.

 

Sementara menurut muktazilah -semoga Allah ta’ala menampakan keburukan pendapat mereka- iman Abu Jahal itulah yang dikehendaki oleh Allah ta’ala bukan kekufurannya. Konsekuensinya, terjadi kekurangan bagi kekuasaan Allah -Jalla wa ‘Azza- sebab berpijak pada pendapat mereka, telah terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki Allah. Maha Luhur Allah yang baginya kerajaan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya. Maha Luhur Allah dari hal seperti itu dengan seluhur-luhurnya.

 

Kesimpulannya, menurut ahlussunnah wal jamaah secara umum ta’alluqat (hubungan dalam ranah penalaran bukan ranah kenyataan) ada tiga level yaitu: hubungan qudrah, hubungan iradah, dan hubungan ilmu Allah dengan mumkinat. Yang pertama ada karena yang kedua dan yang kedua ada karena yang ketiga.

 

Qudroh dan iradah tidak berhubungan dengan perkara yang wajib dan yang mustahil karena keduanya merupakan dua sifat yang mempengaruhi, di mana kelaziman suatu pengaruh adalah wujud setelah ketiadaan, maka hal itu memastikan bahwa sesuatu yang sama sekali tidak menerima ketiadaan seperti perkara wajib tidak bisa menjadi atsar (pengaruh) bagiku qudrah dan iradah. Bila tidak demikian maka akan memastikan adanya tahsil al-hasil (menghasilkan sesuatu yang sudah ada) dan sesuatu yang sama sekali tidak menerima (tidak bisa) wujud seperti perkara yang mustahil jika tidak menjadi atsar (pengaruh) bagiku droh dan iradah bila tidak demikian maka pasti membalik berbagai hakikat, seperti perkara mustahil menjadi perkara Jaiz.

 

Maka tidak ada kekurangan sama sekali dalam tidak adanya hubungan qudrah dan iradah yang pedim dengan perkara yang wajib dan mustahil. bahkan bila keduanya berhubungan dengan perkara yang wajib dan mustahil justru akan ada kekurangan. sebab pengandaian yang salah seperti ini akan berkonsekuensi bolehnya hubungan keduanya meniadakan dirinya sendiri, bahkan bisa meniadakan zat Allah Yang Maha Luhur, menetapkan sifat ketuhanan bagi makhluk yang tidak dapat menerimanya, dan menafikannya dari zat yang wajib menerimanya, yaitu Allah -Jalla wa ‘Azza- adakah kekurangan dan kerusakan yang lebih besar dari hal ini?

 

Kesimpulannya, pengandaian yang salah semacam itu mengarahkan pada kesalahan besar yang sama sekali tidak akan menyisakan keimanan dan hukum-hukum aqliyah sedikitpun. karena begitu samarnya pemahaman ini bagi sebagian orang bodoh dari golongan ahli bid’ah, secara terang-terangan ia menyatakan kebalikannya, kemudian mengutip pendapat Ibn Hazm yang dalam al-milal wa an-Nihal menyatakan : “sesungguhnya Allah ta’ala Maha Mampu untuk beranak sebab andaikan ia tidak mampu melakukannya niscaya Ia adalah zat yang lemah.”

 

Lihatlah kerancual akal ahli bidah ini. bagaimana ia lalai dari konsekuensi-konsekuensi yang ditetapkannya berdasarkan pendapat keji ini yang akan masuk pada wahm (prasangka); dan bagaimana ia tidak memahami bahwa ketidakmampuan Allah hanya terjadi bila muncul dari arah sifat qudroh-Nya? adapun bila ketidakmampuan itu karena tidak adanya hubungan sifat qudrah (pada suatu objek), maka orang berakal tidak akan salah sangka bahwa hal ini merupakan ketidakmampuan Allah.

 

Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Isfirayini menyebutkan, sesungguhnya sumber pertama kali yang diambil oleh ahli bid’ah ini dan golongannya dengan pemahamannya yang ruwet adalah kisah Idris saat iblis yang menjelma dengan wujud ada mendatanginya, dimana dirinya sedang menjahit dan setiap masuk keluarnya jarum mengatakan: “subhanallah walhamdulillah” sementara iblis datang kepadanya dengan membawa kulit telur lalu berkata kepadanya: “apakah Allah ta’ala mampu menjadikan dunia di dalam kulit telur ini?” Idris menjawabnya: “Allah ta’ala Maha mampu menjadikan dunia di dalam lubang jarum ini.” Kemudian beliau menusuk salah satu matanya sehingga ia menjadi bermata satu.

 

Al-Ustadz Abu Ishaq berkata: “meskipun kisah ini tidak diriwayatkan dari Rasulullah namun telah masyhur dan tersebar luas, dengan kemasyhuran yang tidak terbantahkan.”

 

Al-Ustadz Abu Ishaq berkata: ” Abu Al-Hasan Al-Asy’ari telah mengambil berbagai jawaban dari banyak permasalahan yang sejenis dari jawaban Idris tersebut, dan menjelaskan jawaban ini kemudian berkata: “Bila penanya menghendaki dunia tetap pada keadaannya dan kulit telur ada pada keadaannya maka ia tidak menanyakan sesuatu yang dapat diterima akal. Sebab, jisim yang banyak mustahil saling masuk memasuki dan berada dalam satu tempat kecil. bila ia menghendaki Allah mengecilkan dunia seukuran kulit telur dan menjadikannya di dalamnya atau membesarkan kulit telur seukuran dunia dan menjadikan dunia di dalamnya, maka demi umurku Allah ta’ala mampu melakukannya, dan melakukan yang lebih hebat lagi darinya.”

 

Sebagai masyayikh mengatakan : “Nabi Idris tidak memerinci jawabannya seperti ini karena penanyanya keras kepala. sebab itu beliau menghukumnya dengan menusuk matanya. itulah hukuman setiap orang yang bertanya sepertinya”.

 

 

(9) Dan sifat ilmu yang berhubungan dengan seluruh perkara wajib Jaiz dan mustahil.

 

Ilmu adalah sifat yang dengannya terbuka selebar-lebarnya tanpa peluang sedikitpun bagi pelawannya apa yang berhubungan dengannya.

 

Makna ucapanku.     sampai akhir, adalah sungguh seluruh hal ini terbuka bagi ilmu Allah ta’ala, jelas bagi-Nya pada azali dan selamanya tanpa perlu pemikiran dan penggalian nalar, dengan kejelasan yang tidak mungkin dalam kenyataannya bertentangan dengan apa yang diketahuinya -Jalla wa ‘Azza-.

 

 

(10) Dan hayat, yang tidak berhubungan dengan apapun

 

Hayat adalah sifat yang tidak membenarkan zat yang mempunyai bersifat dengan idrak.

 

Makna hayat tidak berhubungan dengan suatu apapun adalah ia tidak menuntut kelaziman pada perkara lain selain berada pada posisinya. adapun sifat yang mempunyai hubungan adalah sifat yang menentukan kelaziman lain. Ingatlah bahwa sifat ilmu setelah berada pada posisinya (dalam ranah penalaran bukan kenyataan) menurut perkara lain yang diketahui dengannya. Begitu pula sifat qudrah iradah dan semisalnya.

 

Kesimpulannya, seluruh sifat ma’ani selain sifat hayat, merupakan sifat yang berhubungan dengan hal lain, maksudnya menurut hal lain selain berada pada posisinya. hubungan ini bagi sifat-sifat tersebut berstatus nafsi sebagaimana keberadaannya pada zat juga berstatus nafsi pula.

 

 

(11 dan 12) Sama’ dan Bashar (Maha mendengar dan maha melihat) yang berhubungan dengan seluruh perkara yang wujud.

 

Sama’ dan Bashar adalah dua sifat yang dengannya suatu objek menjadi terbuka dan menjadi jelas sebagaimana sifat ilmu, namun terbukanya dengan keduanya melebihi terbukanya dengan sifat ilmu, maksudnya bukan merupakan keterbukaan dengan ilmu. perbedaan keterbukaan dengan keduanya dan dengan ilmu secara pasti sudah maklum dalam keterbukaan pada makhluk yang terlihat.

 

Yang berhubungan dengan keduanya lebih khusus dari yang berhubungan dengan sifat ilmu. Segala hal yang berhubungan dengan sama’ dan bashar berhubungan dengan ilmu dan tidak sebaliknya kecuali bersifat partikular.

 

 Dengan redaksi: “berhubungan dengan seluruh perkara yang wujud” kitab asal mengingatkan bahwa hubungan sifat sama dan bashar Allah ta’ala berbeda dengan hubungan sifat sama dan Bashar kita (manusia).

 

Sebab sama’ kita secara adat hanya berhubungan dengan sebagian hal yang wujud, yaitu hal yang dapat didengar pada arah dan dengan cara tertentu, yaitu tidak adanya jarak yang sangat jauh dan suara yang sangat kecil dan bashar kita secara adat hanya berhubungan dengan sebagian hal yang wujud, yaitu jism (bentuk fisik), warna dan kondisi bergerak, diam, terkumpul, dan terpisah pada arah dan dengan sifat yang tertentu.

 

Adapun sama’ Allah -Jalla wa ‘Azza- dan bashar-Nya, maka berhubungan dengan segala hal yang wujud, baik yang bersifat kodim maupun hadits. Sebab itu, pada azali Allah -Jalla wa ‘Azza- mendengar dan melihat zatnya yang Maha luhur dan semua sifatnya yang bersifat wujud dan pada selain azali Allah tabaroka wa ta’ala mendengar dan melihat semua zat yang wujud dan semua sifat yang bersifat wujud baik dari golongan suara ataupun lainnya, baik berupa jism, kondisi, warna, atau selainnya.

 

 

(13) Kalam (Maha Bicara) yang tanpa huruf dan suara, an yang berhubungan dengan hal-hal yang berhubungan dengan sifat ilmu. 

 

Kalam Allah Ta’ala yang ada pada Zat-Nya adalah sifat azaliyah tanpa huruf, tanpa suara, dan tidak dapat tiada dan yang semakna dengannya yaitu diam, tidak terbagi-bagi, didahulukan atau diakhirkan.

 

Kemudian sifat kalam Allah bersertaan ketunggalannya berhubungan, maksudnya pada azali dan selamanya, menunjukkan pada seluruh yang diketahui yang tiada batas. Itulah yang diungkapkan dengan istilah annazm al-mu’jiz runtutan kalam Allah yang melemahkan orang yang mau menandinginya yang juga dinamakan kalamullah Ta’ala dalam hakikat bahasa, karena wujudnya kalam Allah Azza wa Jalla padanya dengan melihat dilalahnya, bukan bertempatnya.

 

Keduanya juga dinamakan Al-Qur’an.

 

Hakikat sifat ini dan seluruh sifat Allah Ta’ala lainnya tertutup bagi akal, seperti Zat-Nya-Jalla wa ‘Azza-. Sebab itu, siapapun tidak boleh membahas hakikatnya setelah mengetahui hal yang wajib bagi Zat Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya.

 

Dari pengumpamaan kalam Allah dengan al-kalam an-nafsi (perkataan hati manusia) yang ditemukan dalam kitab-kitab ulama Ahli Kalam saat mereka menolak Mu’tazilah yang berpendapat terbatasinya kalam Allah dalam huruf dan suara, tidak bisa dipahami adanya penyamaan hakikat kalam Allah-Jalla wa ‘Azza-dengan perkataan hati manusia. Maha Luhur dan Maha Agung Allah dari adanya sekutu bagi-Nya dalam Zat, sifat-sifat, ataupun perbuatan-perbuatanNya.

 

Bagaimana disalah sangka bahwa kalam Allah Ta’ala sama dengan perkataan hati kita, sementara perkataan hati kita merupakan sifat yang baru yang didalamnya terdapat pendahuluan, pengakhiran, adanya sebagian setelah tiadanya sebagian yang lain yang mendahuluinya, berurutan, dan menjadi tidak ada, dengan melihat wujudnya semua hal itu dalam ucapan verbal.

 

Barangsiapa salah sangka terhadap hal ini bagi kalam Allah Ta’ala, maka tidak ada beda antara dirinya dan kaum Hasyawiyah dan semisalnya dari golongan ahli bid’ah yang berpendapat bahwa kalam Allah Ta’ala berupa huruf dan suara.

 

Maksud ulama menyebut perkataan hati yang ada pada manusia adalah mencounter Muktazilah yang membatasi kalam Allah pada huruf dan suara. Lalu dikatakan kepada mereka: “Pembatasan kalian seperti itu gugur dengan perkataan hati kita (manusia). Sebab, sungguh perkataan hati kita juga kalam yang hakiki, dan tidak dengan huruf maupun suara.”

 

Bila hal itu benar, maka kalam Allah juga tidak berupa huruf dan suara. Sebab itu, di antara kalam Allah dan perkataan hati manusia tidak terjadi kesamaan kecuali dalam sifat penafian ini, yaitu sungguh kalam Allah-Jalla wa ‘Azza-tidak berupa huruf dan suara sebagaimana perkataan hati kita yang tidak berupa huruf dan suara: adapun hakikat keduanya maka sangat berbeda. Ketahuilah hal ini, sungguh banyak orang yang tidak dikuatkan dengan cahaya dari Allah Yang Maha Merajai dan Maha Mengetahui, yang ia salah memahaminya. Di sini berakhirlah penjelasan sifat-sifat yang dikategorikan sifat-sifat ma’ani. Kesimpulannya, sifat ma’ani terbagi pada empat bagian:

 

  1. bagian yang tidak berhubungan dengan apapun, yaitu sifat hayat (Maha Hidup),

 

  1. bagian yang hanya berhubungan dengan mumkinat, yaitu ada dua: qudrah dan iradah,

 

  1. bagian yang berhubungan dengan seluruh hal yang wujud, yaitu ada dua sifat sama’ dan bashar,

 

  1. bagian yang berhubungan dengan seluruh bagian hukum ‘aqli, yaitu sifat ilmu dan kalam.

 

Sifat-sifat yang berhubungan yang paling umum hubungannya adalah sifat ilmu dan kalam. Diantara hal yang berhubungan dengan sifat qudrah dan iradah dan hal yang berhubungan dengan sifat sama’ dan bashar terdapat keumuman dan kekhususan dari suatu sisi. Sifat qudrah dan iradah dengan hubungannya pada perkara yang tidak ada melebihi sifat sama’ dan bashar: dan sifat sam’ dan bashar dengan hubungannya pada perkara yang wajib wujud seperti Zat Allah-Jalla wa ‘Azza—dan sifat-sifat-Nya. Sifat qudrah dan iradah, dan sifat sama’ dan bashar samasama berhubungan dengan hal-hal mumkin.

 

Dalam Kitab al-‘Aqidah hanya dicukupkan (sifat ma’ani) dengan tujuh sifat ini dan tidak menyebut sifat ma’ani yang ke delapan bersamanya, yaitu idrak (kemampuan menemukan) Allah Ta’ala pada rasa, aroma, dan kaifiyah semisalnya yang pada manusia secara adatnya menuntut pertemuan-pertemuan berbagai hal, karena pertentangan pendapat terkait sifat ini, apakah bagi Allah ia di luar sifat ilmu-Nya, sehingga idrak Allah Ta’ala pada berbagai hal tersebut terjadi dengan idrak yang di luar sifat ilmu-Nya, tanpa pertemuan dengannya? Dan Zat Allah Yang Maha Luhur tidak diandaikan kebagaimanaan-Nya dengan apa yang terjadi pada zat kita manusia ketika menemukan kenikmatan, rasa sakit, dan semisalnya. Menurut pendapat ini, idrak bagi Allah Ta’ala berhubungan dengan setiap hal yang wujud, seperti sifat sam’-Nya-Jalla wa “Azza—. Pendapat yang dipilih sebagian ulama Muhaqqiqin terkait sifat idrak ini adalah memauqufkan (tidak membahasnya), karena tidak adanya dalil wahyu (hadits) yang menjelaskannya.

 

Karena pertentangan pendapat yang terjadi ini, aku tidak menyebutnya dalam sifat-sifat ma’ani, dan aku cukupkan pada sifat ma’ani yang disepakati. Wabillahi ta’alat taufiq.

 

Sifat Ma’nawiyah

 

Kemudian tujuh Sifat yang dinamakan sifat ma’nawiyah, yaitu kelaziman tujuh sifat (ma’ani yang telah disebutkan) yang pertama. 

 

Sifat-sifat ini disebut sifat ma’nawiyah karena bersifat dengannya merupakan cabang (pada ranah penalarannya) dari bersifat dengan tujuh sifat ma’ani yang pertama. Sebab, sungguh bersifatnya suatu zat dari berbagai zat dengan sifat alim (yang tahu) atau qadir (yang mampu) umpamanya, tidak sah kecuali bila padanya ada ilmu dan qudrah (kemampuan). Qiyaskanlah (sifat yang lain) pada hal ini.

 

Maka, tujuh sifat yang telah disebutkan pertama kali, yaitu sifat-sifat ma’ani merupakan ‘illat bagi ketujuh sifat ma’nawiyah ini, maksudnya yang dilazimkan. Karena hal ini, sifat-sifat ma’nawiyah ini dinisbatkan padanya, lalu dikatakan padanya: “Sifat ma’nawiyah.”

 

Karenanya, sifat ini berjumlah tujuh seperti sifat yang disebut pertama. Maka, huruf ya’ pada kata   merupakan ya’ nisbat yang dinisbatkan pada kata dan huruf wauwu padanya merupakan ganti dari huruf  yang ada pada kata

 

14-20. Qadiran, Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiran, dan Mutakalliman

 

Sifat ma’nawiyah tersebut adalah (14) qadiran, keberadaan Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa, (15) Muridan, Yang Maha Berkehendak, (16) ” Aliman, Yang Maha Mengetahui, (17) Hayyan, Yang Maha Hidup, (18) Samian, Yang Maha Mendengar, (19) Bashiran, Yang Maha Melihat, dan (20) Mutakalliman, Yang Maha Berbicara. 

 

Ketika sifat-sifat ma’nawiyah ini merupakan sifat yang melazimi (menetapi) sifat-sifat ma’ani, maka Kitab Asal mengurutkannya sesuai urutan sifat-sifat ma’ani. Maka keberadaan Allah Ta’ala Yang Maha Mampu menetapi sifat pertama dari sifat-sifat ma’ani, yaitu qudrah yang ada pada Zat Allah Ta’ala: dan keberadaan Allah—Jalla wa Azza-Yang Maha Berkehendak menetapi sifat , iradah yang ada pada Zat Allah Ta’ala: begitu seterusnya sampai akhir. Ketahuilah, sungguh pendapat ulama yang memasukkan tujuh sifat ini pada sifat-sifat Allah ada pada konteks hakikatnya, jika kita berpendapat dengan pendapat yang menetapkan sifat-sifat ahwal, yaitu sifat-sifat yang tetap, yang tidak wujud (dalam kenyataan), dan bukan ketiadaan yang ada pada hal yang wujud. Maka sifat-sifat ma’nawiyah ini merupakan sifat-sifat yang menetap dan ada pada Zat Allah Ta’ala.

 

Adapun bila kita berpendapat dengan pendapat yang menafikan ahwal, dan yang menyatakan sungguh tidak ada tengah-tengah antara wujud dan ketiadaan seperti madzhab Imam al-Asy’ari, maka sifat-sifat yang tetap yang ada pada Zat Allah hanyalah tujuh sifat yang pertama (ma’ani). Adapun tujuh sifat ma’nawiyah ini (hanya) merupakan ungkapan dari adanya sifat-sifat ma’ani terseput pada Zat Allah, tidak berarti bahwa sifat-sifat ma’nawiyah ini ada secara nyata.

 

 

 

Di antara sifat yang mustahil bagi Allah Ta’ala, ada 20 sifat, yaitu kebalikan 20 sifat wajib yang telah disebutkan pertama kali.

 

Maksud Kitab Asal dengan kata   (kebalikan) di sini adalah kebalikan lughawi, yaitu setiap hal yang menafikannya, baik yang bersifat wujud maupun yang bersifat tidak wujud, seolah Kitab Asal menyatakan: “Mustahil bagi Allah Ta’ala setiap sifat yang menafikan suatu sifat dari sifat-sifat wajib-Nya yang telah disebutkan pertama kali.“

 

Ketika alasan ‘aqli dan syar’i telah menetapkannya bagi Allah Ta’ala, padahal Anda tahu, bahwa hakikat wajib adalah sesuatu yang ketiadaannya tidak dapat dibayangkan dalam akal, maka hal itu memastikan bahwa Allah—Jalla wa Azza-tidak bersifat dengan sifat yang menafikan sifat manapun darinya.

 

Adapun macam-macam hal yang saling menafikan (menegasikan) ada 4, yaitu penafian naqidharin, penafian adam dan malakah, penafian dhiddain, dan penafian mutadhayifain. Di antara dua sisi dari masing-masing keempat penafian ini tidak mungkin menjadi satu.

 

Adapun penafian naqidhain adalah tetapnya sesuatu dan penafiannya. Seperti tetapnya dan ternafikannya gerakan.

 

Adapun penafian adarn dan malakah adalah tetapnya sesuatu dan penafiannya dari suatu objek yang semestinya bersifatan dengannya. Seperti melihat dan buta, umpamanya. melihat merupakan sesuatu yang bersifat wujud, yaitu merupakan malakah, sedangkan buta adalah menafikannya dari sesuatu yang semestinya bersifat melihat. Karena itu, tembok tidak dapat disebut buta, karena adatnya tidak semestinya ia memiliki sifat melihat. Dengan demikian, penafian ini berbeda dengan penafian naqidhain. Sebab, meskipun masing-masing dari keduanya merupakan tetapnya sesuatu dan penafiannya, namun penafian antara adam dan malakah dibatasi dengan penafian malakah dari sesuatu yang semestinya bersifat dengannya, sementara penafian naqidhain makna masing-masing dari mutadhayifai’in adalah tidak adanya sesuatu, bukan bahwa keduanya wujud secara nyata. Sebab, telah maklum bagi muhaqqiqin bahwa sifat kebapakan dan kenabian merupakan dua hal yang bersifat i’tibari yang tidak ada wujudnya secara nyata.

 

Sementara para Ahli Ushul menjadikan pembagian hal yang saling menafikan menjadi dua saja, yaitu penafian dhiddain dan penafian naqidhain, dan mengkategorikan adam dan

malakah termasuk dalam kategori naqidhain dan mengkategorikan mutadhayifain dalam kategori dhiddain.

 

Sebab itu, mereka berpendapat, bahwa ma’lumat (sesuatu yang dipahami akal dan diketahui) hanya ada empat macam, yaitu mitslain, dhiddain, khilafain, dan naqidhain. Sebab sungguh ma’lumain (dua hal yang yang dipahami akal dan diketahui), bila mungkin wujud secara bersamaan, maka merupakan khilafain, bila tidak mungkin wujud secara bersamaan, maka bila dalam kondisi tersebut keduanya tidak mungkin tiada secara bersamaan, maka keduanya merupakan naqidhain, dan bila dalam kondisi tersebut keduanya mungkin tiada secara bersamaan, maka pada hakikatnya mungkin keduanya berbeda, dan mungkin tidak berbeda. Kemungkinan pertama merupakan dhiddain, dan kemungkinan kedua merupakan mitslain.

 

Karenanya, dari hal ini muncul kesimpulan, bahwa bagian pertama dari ma’lumat adalah khilafain, yaitu dua hal yang dapat wujud secara bersamaan dan tiada secara bersama, seperti bicara dan duduk bagi Zaid. Kedua adalah naqidhain yang tidak dapat wujud secara bersamaan dan tidak dapat tiada secara bersamaan, seperti wujud dan tidak wujudnya Zaid. Ketiga adalah dhiddain, yang tidak dapat wujud secara bersamaan namun terkadang dapat tiada secara bersamaan, seperti gerak dan diam, sebab keduanya tidak dapat berkumpul (dalam satu objek) karena tidak adanya objek keduanya, yaitu jirm. Keempat adalah mitslain, yang tidak dapat wujud secara bersamaan, namun terkadang tiada secara bersamaan, seperti hitam dan putih.

 

Ulama Ahlussunnah berhujah atas pendapat bahwa mitslain tidak dapat wujud secara bersamaan, dengan alasan bahwa suatu objek bila menerima mitslain, niscaya ia menerima dhiddain. Sebab suatu objek yang dapat menerima sesuatu, pasti tidak terlepas dari sesuatu tersebut, dari sesamanya, atau dari perlawanannya. Sebab itu, bila suatu objek menerima mitslain, niscaya dapat terjadi wujudnya salah satu dari mitslain itu pada objek yang ditempatinya, bersamaan dengan tidak adanya salah satu yang lain, lalu lawan darinya menggantikannya, dan berkumpullah dhiddain, sementara hal semacam itu mustahil terjadi.

 

 

 

1,2 &3. Adam, Huduts, dan Thuruw al-‘adam (Datangnya ‘Adam)

 

20 sifat mustahil bagi Allah tersebut adalah (1) ‘adam (tidak wujud sama sekali), (2) huduts (wujud dengan permulaan), dan (3) thuruw al-‘adam (tiada setelah wujud).

 

Ketahuilah, sungguh urutan 20 sifat mustahil ini sesuai dengan urutan 20 sifat wajib. Sebab itu ‘ disebutkan sifat mustahil yang menafikan sifat wajib yang pertama, kemudian yang : menafikan sifat wajib yang kedua, dan seterusnya sesuai urutannya sampai akhir.

 

‘Adam lawan sifat wajib yang pertama, yaitu wujud huduts ‘ lawan sifat wajib kedua, yaitu qidam, dan thuruw al-‘adam yang disebut fana’ lawan sifat wajib ketiga, yaitu baga.

 

Kemustahilan ‘adam bagi Allah Ta’ala menetapkan kemustahilan dua sifat selainnya bagi-Nya—Jalla wa Azza-, yaitu huduts dan thuruw al-adam. Sebab, sungguh bila adam mustahil bagi Allah Ta’ala, maka “adam tidak tertashawwurkan pernah dan akan terjadi pada-Nya. Dari hal ini diketahui, bahwa wajibnya sifat wujud bagi Allah—Jalla wa “Azza-menetapkan wajibnya sifat qidam dan Baqa’ bagi-Nya—Tabaraka wa Ta’ala-.

 

Sebab itu, peng’athafan qidam dan baqa’ pada wujud dalam penjelasan sifat wajib merupakan ‘athfa al-khash ‘ala al-‘amm atau al-lazim ‘ala al-malzum, seperti halnya peng’athafan huduts dan thuruw al-‘adam pada ‘adam dalam penjelasan sifat mustahil.

 

Dalam kedua penjelasan itu tidak dicukupkan penyebab sifat yang pertama saja, karena maksudnya menyebutkan sifat wajib dan mustahil secara rinci. Sebab, andaikan dalam hal penjelasan tersebut didukung kan penyebab lafal ‘amm dari lafal khash, dan malzum dari lazim-nya, niscaya mengantarkan pada ketidaktahuan pada sifat allah yang banyak karena kamarnya sifat lazim dan sulitnya masuk sifat-sifat juz’iyyah pada sifat-sifat kulliyah-nya. padahal resiko ketidaktahuan atau sifat-sifat Allah ini sangat besar.

 

Karena itu sebaiknya keseriusan dalam hal tersebut harus disertai penjelasan extra sesuai kemampuan dan kehati-hatian yang dalam, agar hati ter hiasi dengan intan-intan keimanan. Allah sang penunjuk orang yang dikehendaki nya menuju jalan lurus dengan kemurnian anugrah nya.

 

 

4. Mumatsalah Ii al-Hawadits

 

Mumatsalah Ii al-hawadits (menyamai sesuatu yang hadits baru tercipta-), berupa jirm, maksudnya Zat Allah Yang Maha Tinggi mengambil suatu ruang kosong, berupa sifat yang ada pada jirm, berupa sifat yang ada pada arah tertentu bagi jirm, mempunyai arah, terbatasi dengan tempat atau waktu, bersifat dengan sifat hadits, bersifat kecil atau besar, atau bersifat punya tujuan (yang menguntungkan-Nya) dalam berbagai perbuatan atau hukum Nya.

 

Mitslani adalah dua hal yang sama dalam seluruh sifat nafsinya, yaitu sifat yang hakikat suatu zat tidak dapat eksis tanpanya. Karena itu, dua hal yang sama dalam sebagian sifat nafsinya saja atau sama dalam sifat “aradhnya, yaitu sifat di luar hakikat suatu zat, maka bukan mitslani.

 

Zaid umpamanya, ia hanya semisal dengan zat yang menyamainya dalam seluruh sifat nafsinya, yaitu sebagai hewan yang mempunyai potensi berfikir. Adapun zat yang menyamainya dalam sebagian sifat nafsinya, seperti kuda yang hanya menyamainya dalam sifat kehewanan, maka tidak semisal dengannya.

 

Begitu pula zat yang menyamainya dalam sifat ‘aradhnya, seperti putih yang menyamainya dalam sifat huduts, bisa dilihat, dan semisalnya, maka juga tidak semisal dengannya.

 

Setelah Anda mengetahui hakikat mitslain, ketahuilah, sungguh seluruh alam hanya berupa jirm dan aradh, yaitu sifat yang ada pada jirm. Tidak diragukan lagi, bahwa di antara sifat nafsih suatu jirm adalah tahayyuz, yakni mengambil tempat kosong di mana ia bisa diam di situ atau bergerak darinya.

 

Di antara sifat nafsi suatu jirm adalah menerima aradh, maksudnya sifat yang hadits seperti bergerak, diam, berkumpul, bersamaan, warna, tujuan (yang menguntungkan), dan semisalnya. Begitu pula berada . pada sebagian arah dan tempat.

 

Semua sifat tersebut mustahil bagi Allah—Jalla wa ‘Azza-maka tetaplah bahwa Allah Ta’ala bukan jirm.

 

Adapun di antara sifat ‘aradh adalah ada pada jirm. Begitu pula wajib ketiadaannya pada zaman kedua bagi wujudnya, sekira aradh tersebut tidak tersisa sama sekali.

 

Semua ini mustahil bagi Allah Jalla wa ‘Azza-, sehingga bila demikian Allah bukan ‘aradh. Sebab Allah Ta’ala wajib bersifat qiyamuhu binafsihi sesuai pemahaman yang penjelasannya telah Anda ketahui pada pembahasan yang telah lewat.

 

Kesimpulannya, segala sesuatu selain Allah-Jalla wa Azza—pasti bersifat huduts dan butuh pada pencipta, sedangkan Allah-Jalla wa Azza-pasti wujud dan mandiri secara mutlak. Bila demikian maka pasti bahwa Allah-Tabaraka wa ta’ala-merupakan zat yang berbeda dengan segala sesuatu selain-Nya, apapun itu, baik berupa jirm, ‘aradh, atau selainnya bila ada alam selain jirm dan ‘aradh.

 

Sebab, berdasarkan pengandaian adanya bagian alam yang terakhir ini, maka bagian tersebut bersifat hadist berdasarkan ijma, sebagaimana dua bagian yang pertama adalah hadits berdasarkan dalil ‘aqli. Kehudutsan jirm dan ‘aradh dapat menjadi pengantar yang mengantarkan pada marifat terhadap Allah Ta’ala dan Rasul-rasul-Nya—alaihimush shalatu was salam sehingga sah bagi kita untuk berdalil dengan dalil naqli dari mereka atas kehudutsan bagian alam yang diandaikan tadi, sebab secara qath’ ia tidak pantas menyandang sifat ketuhanan dengan Burhan atas keesaan Allah dan ijma’ atas kehudutsan segala hal selain Allah Yang Maha Haq -Tabaraka wa Ta’ala

 

Jelaslah bagi Anda, sungguh sama sekali tidak ada misal bagi Allah Jalla wa Azza-, sebab perbedaan dalam hal yang jazim adalah dalil bagi perbedan dalam makumahnya. Wa billahi ta’alat Taufiq.

 

 

5. La Yakun Qa’iman bi Nafsih

 

Begitu pula mustahil bagi Allah Ta’ala (5) tidak qiyamuhu bi nafsih (mandiri dengan Zat-Nya), ‘ yaitu dengan berupa sifat yang ada pada suatu objek, atau membutuhkan pencipta.

 

Dalam penjelasan yang telah lewat Anda mengetahui makna qiyamuhu binafsih, yaitu ungkapan dari kemandirian Allah Ta’ala dari mahall dan mukhashhish. Maksudnya Allah bukan sesuatu yang bukan zat, sehingga membutuhkan mahal! alias zat yang menjadi tempat eksistensiNya.

 

Allah Jalla wa Azza juga tidak mungkin tiada, sehingga membutuhkan mukhashhish, yakni zat yang menentukan segala sesuatu yang jai’z dengan sebagian kondisi yang boleh terjadi padanya. Justru Allah-Jalla wa Azza—adalah Zat yang wajib bersifat qidam, baga, dan Zat-Nya Yang Maha Tinggi dan Sifat-Nya Yang Maha Luhur sama sekali tidak menerima ketiadaan. Sehingga Allah adalah satu-satunya Zat yang mandiri secara mutlak—Tabaraka wa Ta’ala

 

 

6. La Yakun Wahidan

 

Begitu pula mustahil bagi Allah Ta’ ala (6) tidak esa, yakni Zat-Nya tersusun, ada hal lain yang sama dengan Zat atau sifat-sifat-Nya, atau wujud muatstsir dalam Suatu perbuatan bersama-Nya.

 

Sungguh Anda telah mengetahui, bahwa dimensi Wahdaniyyah ada tiga, yaitu: Wahdaniyyah az-Zat, Wahdaniyyah ash-Shifat, dan Wahdaniyyah al-Af’al.

 

Semuanya wajib bagi Allah-Jalla wa ‘Azza—saja. Wahdaniyyah azZat menafikan ketersusunan Zat Allah Ta’ala, dan wujudnya zat lain yang menyamai Zat-Nya Yang Maha Tinggi.

 

Kesimpulannya, Wahdaniyyah azZat menafikan keterbilangan bagi hakikat Zat-Nya, baik yang muttashil maupun yang munfashil. Wahdaniyyah ash-Shifat menafikan keterbilangan bagi hakikat masing-masing sifat Allah, baik keterbilangan yang Muttashil maupun yang munfashil. Dengan demikian tidak ada yang menyamai ilmu Allah-Jalla wa ‘Azza—, baik yang muttashil, maksudnya yang ada pada ZatNya Yang Maha Tinggi, maupun yang munfashil, maksudnya yang ada pada zat selainnya. Justru Allah Ta’ala mengetahui berbagai pengetahuan yang tidak terbatas dengan ilmu yang satu, tidak lebih, tidak ada duanya sama sekali. Qiyaskanlah seluruh sifat Allah—Jalla wa ‘Azza—lainnya pada sifat ini.

 

Adapun Wahdaniyyah Al-Af’al menafikan adanya kemampuan menciptakan bagi selain Allah Jalla wa Azza—dalam salah satu perbuatan-Nya. Justru semua makhluk yang ada bersifat huduts, yang mempunyai sifat lemah yang pasti dan abadi untuk mewujudkan ciptaan apapun. Justru Allah alfa wa Azza—, Dialah satu-satunya Zat yang menciptakan makhluk sendiri tanpa perantara. Adapun sesuatu yang dinisbatkan pada selain Allah—Jalla wa Azza—dengan pola yang mengesankan penciptaan, maka dita’wil wa billahi subhanahu wa ta’alat taufiq.

 

 

7. Ajz’an Mumkin

 

Begitu pula mustahil bagi Allah Ta’ ala (7) Sifat lemah dari menciptakan sesuatu yang mumkin, apapun itu.

 

Sungguh Anda telah mengetahui, bahwa qudrah Allah-Tabaraka wa Ta’ala-adalah satu dan menyeluruh berhubungan dengan seluruh mumkinat. Sebab andaikan hanya berhubungan dengan sebagian mumkinat, niscaya qudrah Allah butuh pada mukhashshish, sehingga bersifat huduts dan itu mustahil bagi Allah-Tabaraka wa Ta’ala-Andaikan Allah Ta’ala bersifat lemah dari menciptakan sesuatu yang mumkin, apapun itu, niscaya ternafikanlah kemenyeluruhan yang wajib bagi sifat qudrah. Bahkan pasti menetapkan ternafikannya sifat qudrah secara total, karena kemustahilan berkumpulnya dhiddain,

 

 

8 Iyjad ma’ al-Karahah

 

(8) Dan menciptakan sesuatu dari alam disertai keengganan atas wujudnya, maksudnya tanpa kehendak-Nya, disertai lalai atau lupa, karena ‘illat atau karena tabiat.

 

Sungguh telah Anda ketahui, bahwa hakikat iradah adalah bermaksud menentukan perkara Ja’iz dengan sebagian hal yang mungkin terjadi padanya, dan telah tetap, bahwa iradah Allah Ta’ala berhubungan secara menyeluruh dengan semua murnkinat, sehingga pasti mustahil terjadi suatu hal mumkin tanpa iradah dari Allah Ta’ala atas terjadinya hal tersebut.

 

Kemustahilan terjadinya suatu hal mumkin tanpa iradah dari Allah itu menafikan iradah Allah Ta’ala terhadap kebalikan dari kenyataan terjadinya hal mumkin tersebut, bila tidak demikian maka akan wujud dhiddain secara bersamaan: menafikan kebersifatan Allah Ta’ala dengan sifat lalai dan lupa, karena keduanya menafikan maksud Allah yang merupakan makna iradah, dan menafikan keberadaan Zat Allah Yang Maha Lurus sebagai ‘ilat bagi wujudnya suatu hal yang mumkin atau sebagai faktor yang mempengaruhi wujudnya karena tabiatnya, sebab hal itu berkonsekuensi memastikan keqidaman hal mumkin tersebut, karena ‘ilat pasti bersamaan dengan yang di ‘illatinya, dan tabiat pasti bersamaan dengan yang ditabiatinya. Adapun keqidaman hal mumkin, menafikan iradah wujudnya yang gadim, sebab bermaksud mewujudkan hal yang sudah wujud adalah mustahil, karena termasuk kategori tahsil al-hasil.

 

Karena kepastian ‘illat bersamaan dengan yang di ‘illatinya, dan tabiat bersamaan dengan yang ditabiatinya, ketika kaum filosuf yang menyeleweng—semoga Allah Ta’ala membinasakannya-meyakini bahwa penyandaran alam semesta kepada Allah Ta’ala hanya terjadi berdasarkan penyandaran ma’lul (yang di’illat) pada “illat-nya, mereka berpendapat atas keqidaman alam, dan menafikan-semoga Allah melaknatnya-seluruh sifat wajib Allah-Jalla wa ‘Azza-, yaitu qudrah, iradah, dan selainnya, dan hal itu merupakan kekufuran yang sangat nyata. ‘

 

Perbedaan antara penciptaan dengan cara ‘illat dan dengan cara tabiat, meskipun keduanya sama-sama meniadakan ikhtiar, adalah bahwa penciptaan dengan cara ‘illat tidak tergantung pada ‘ wujudnya syarat dan tidak adanya pencegah. Sedangkan penciptaan dengan cara tabiat tergantung dengannya.

 

Karena itu, ‘illat pasti bersamaan dengan ma’lulnya, seperti gerakan jari bersamaan cincin yang ada padanya, umpamanya: dan tabiat ‘ tidak pasti bersamaan dengan yang ditabiatinya, seperti hidupnya api bersamaan dengan kayu, sebab – terkadang kayu tidak terbakar ketika bersamaan dengan api ‘ karena adanya pencegah, seperti . basah-basah yang ada padanya, umpamanya, atau tidak terpenuhinya syarat, seperti sentuhan api padanya. Pemahaman ini bagi zat yang bersifat hadits.

 

Adapun bagi Allah Yang Maha Bebas —Jalla wa Azza—andaikan perbuatan-Nya terjadi dengan cara at atau tabiat, maka hal itu menetapkan keqidaman perbuatan-Nya dalam kedua kondisi ini secara bersamaan, karena wajibnya sifat qidam Allah Ta’ala dan wajibnya kebersamaan perbuatanNya dalam kondisi semacam ini dengan wujud-Nya. Kebersamaan perbuatan-Nya dengan wujud-Nya berdasarkan anggapan Allah adalah ‘illat, maka sudah jelas: adapun berdasarkan bahwa Allah melakukan perbuatan dengan tabiat-Nya, maka tidak sah ada pencegah disitu, bila tidak maka tidak akan ada perbuatan Allah selamanya, sebab pencegah itu pasti gadim dan sesuatu yang gadim tidak akan sirna selamanya, dan tidak sah tertundanya syarat karena pasti menyebabkan tasalsul.

 

Karena itu, dalam penjelasan yang telah lewat aku berpendapat, berdasarkan pengandaian ta’lil dan tabiat bagi Allah Ta’ala, maka yang di’illati dan yang ditabiati pasti qidam, padahal sudah ada Burhan yang menyatakan wajibnya sifat huduts bagi segala hal selain Allah Ta’ala, dan atas wajibnya qidam dan Baqa’bagi-Nya—Jalla wa Azza- sehingga pasti tersimpulkan bahwa Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Berbuat murni atas pilihan-Nya, dan gugurlah pendapat madzhab kaum filosuf dan kaum Naturalisme—semoga Allah merendahkan mereka dan mengosongkan bumi darinya—.

 

Kesimpulannya, berdasarkan analisa akal macam-macam fa’il (pelaku) ada tiga:

 

  1. Pelaku dengan pilihannya, yaitu yang dengan mudah melakukan dan meninggalkan perbuatan.

 

  1. Pelaku sebab ‘illat, yang mudah melakukan dan tidak mudah meninggalkan perbuatan, yang perbuatannya tidak tergantung pada adanya syarat dan tidak adanya pencegah.

 

  1. Pelaku sebab tabiat, yang mudah melakukan dan tidak mudah meninggalkan perbuatan, yang perbuatannya tergantung ‘ pada adanya syarat dan tidak adanya pencegah.

 

Menurut kaum filosuf dan kaum Naturalisme, ketiga macam fa’il tersebut ada. Sedangkan menurut kaum mukminin yang ada hanya satu, yaitu zat yang menciptakan dengan pilihannya. Kemudian ia hanya ada satu, yaitu Allah Jalla wa Azza—. Sebab tiada yang mewujudkan selain Allah-Tabaraka wa Ta’ala—. Ketika terdapat lafal ta’lil (‘illat-ma’lul) dalam ungkapan-ungkapan ulama Ahlussunnah, tidak ada yang dikehendaki kecuali menetapkan talazum antara suatu perkara dengan perkara lain, ada kalanya dari sudut pandang akal atau syara” tanpa mengakui adanya pengaruh ‘illat pada ma’lulnya sama sekali. Ketahuilah hal ini, dan jangan tertipu dengan lahiriah teks, sehingga binasa bersama orang-orang yang binasa.

 

Kami tafsiri karahah (keterpaksaan) dengan tiadanya ‘iradah agar mengecualikan karahah yang ada pada hukum syar’i, yaitu tuntutan mencegah dari suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas, maka karahah jenis ini dapat berkumpul bersama penciptaan, sehingga bisa saja Allah Ta’ala menciptakan perbuatan disertai karahah-Nya padanya, maksudnya pencegahan dari-Nya, sebagaimana Allah menyesatkan banyak makhluk disertai laranganNya terhadap mereka dari kesesatan itu.

 

Adapun karahah dengan makna tiadanya iradah Allah ta’ala terhadap suatu perbuatan, maka mustahil berkumpul bersama penciptaan. Sebab mustahil di kerajaan Allah -Jalla wa Azza- terjadi sesuatu yang tidak dikehendakinya. Ingatlah catatan indah ini terkait batasan yang aku gunakan untuk membatasi karahah dalam kitab asal yakni kitab al-‘Aqidah. Wa billai ta’alat taufiq.

 

 

9-13. Jahl, Maut Shamam, Ama, dan Bukm

 

Begitu pula mustahil bagi Allah (9) sifat jahl (bodoh) dan sifat yang semakna dengannya pada pengetahuan, apapun itu, 40) maut (mati), (11) shamam (tuli), (12) ama (buta) dan (13) bukm (bisu).

 

Maksud Kirab Asal dengan ungkapan”: “Dan sifat yang semakna dengan bodoh” adalah zhann (dugaan), syakk (keraguan) wahm (salah sangka), nisyan (lupa), naurm (tidur), keberadaan ilmu bersifat nazhari (penalaran), dan semisalnya. Kesimpulannya, yang dimaksud dengan jahl adalah segala hal yang sama dengan kebodohan dalam perlawanannya terhadap sifat ilmu. Semua hal ini termasuk dalam kategori jahl karena menafikan sifat ilmu sebagaimana penafian jahl.

 

Maksud shamarm (tuli) dan ‘ama (buta) di sini adalah sama sekali tidak adanya sifat mendengar dan melihat dengan adanya sifat yang menafikan keduanya: atau dengan tidak wujudnya suatu hal yang wujud dari sifat mendengar dan melihat, karena penjelasan yang telah lewat, yaitu wajibnya keterhubungan keduanya dengan segala hal yang wujud.

 

Sementara maksud bukm (bisu) adalah sama sekali tidak adanya sifat bicara karena adanya penyakit yang mencegah wujudnya bicara. Berbicara dengan huruf dan suara termasuk dalam kategori bukm. Sebab, bicara yang dengan ‘perantara huruf dan Suara Meskipun mencapai puncak balaghah dan kefasihan, dan sempurna bila dinisbatkan kepada makhluk yang penuh kekurangan, bila—dinisbatkan pada magam lahiyyah yang tinggi merupakan kekurangan yang sangat besar, sebab mempunyai dua kehinaan:

 

  1. Hina ketiadaan, yang pasti ada pada huruf dan suara, yaitu ketiadaan sebelum dan setelah wujudnya: dan yang menetapkan hudutsnya zat yang bersifat dengannya. Lalu, kekurangan apa yang lebih besar daripada kekurangan sifat huduts yang pasti membutuhkan pada selainnya selamanya?

 

  1. Hina kebisuan, yang pasti ada pada huruf dan suara. Sebab, ketika dua huruf mustahil berkumpul dalam satu waktu, apalagi dua kata dan dua kalimat, maka zat yang berbicara dengan huruf dan suara pasti bisu, dan tercegah untuk menunjukkan beberapa -: pengetahuan dalam satu waktu dengan pembicaraan yang tersusun dari huruf dan suara. Andaikan kalam atau firman Allah Ta’ala berperantara huruf dan suara, maka kebersifatan Allah dengan tercegah berbicara-yang merupakan asal kebisuan dari menunjukkan berbagai pengetahuan yang tidak terbatas dengan sifat kalam memastikan bertambahnya kehinaan atas kehinaan sifat huduts, bahkan menetapkan ketercegahan menunjukan dua pengetahuan atau lebih dalam satu waktu dengan sifat kalam bagi-Nya.

 

Dengan ini maka jelas bagi Anda, bahwa kalam yang berperantara huruf dan suara, dan yang semakna dengannya yaitu kalam nafsi, menetapi makna bisu, maka Allah Jalla wa “Azza—mustahil bersifat dengan sifat yang semisal dengan keduanya: dan orang yang menyifati Allah-Jalla wa “Azza dengan sifat tersebut, dengan dasar bahwa yang semacam itu merupakan kesempurnaan bagi manusia yang menafikan kehinaan bisu dari kita, sungguh telah menyifati Allah Ta’ala dengan kekurangan yang sangat besar. Maha Luhur Allah darinya dengan keluhuran yang besar.

 

Analoginya dalam hal itu adalah orang yang mengetahui bahwa ringkikan keledai dan suaranya merupakan kesempurnaan baginya. Begitu pula gonggongan anjing merupakan kesempurnaan baginya. Lalu ia ditanya tentang ucapan salah seorang raja yang belum pernah didengarkannya sama sekali, kemudian menjawab: “Ucapannya seperti ringkikan keledai dan gonggongan anjing dengan meyakini bahwa suara dari keledai dan anjing tersebut ketika menjadi kesempurnaan yang mencegah keduanya dari kehinaan bersifat bisu, maka memastikan bahwa kebersifatan seorang raja dengan sifat seperti ini juga merupakan kesempurnaan baginya yang dapat menafikan kehinaan bisu darinya.

 

Dan dimaklumi secara pasti, bahwa orang yang menyifati raja dengan sifat seperti ini sungguh telah merendahkannya dengan serendah-rendahnya dan telah menyifatinya dengan macam kebisuan yang paling hina bagi kemanusiawiannya, meskipun tidak termasuk kebisuan bagi keledai dan anjing.

 

Tidak diragukan, bahwa ucapan kita meskipun mencapai puncak sastra dan keindahan, bila dinisbatkan kepada Allah pasti lebih rendah sampai tidak terhingga daripada ringkikan keledai dan gonggongan Anjing bila dinisbatkan pada ucapan yang terfasih dan terindah. Sebab di antara sesama makhluk tidak ada keutamaan karena zatnya, bahkan sifat kekurangan atau kesempurnaan yang ada pada salah satunya sah berada pada makhluk selainnya.

 

Adapun Allah—Subhanah—adalah Zat Yang Maha Berbuat dengan pilihan-Nya. Dia yang membeda-bedakan makhluk, menentukan sebagian makhluk yang dikehendakiNya dengan sifat kekurangan atau kesempurnaan yang dikehendaki-Nya.

 

Jika kesempurnaan sebagian makhluk bisa menjadi kekurangan yang sangat besar bagi selainnya yang dapat menerima sifatnya dan sama-sama hudutsnya, maka bagaimana dengan orang yang menyifati Allah Yang Maha Agung yang tidak ada permisalan bagiNya dan tidak menyekutui apapun selain-Nya dari sisi jenis dan macam, dengan sifat yang menyamai sifat-sifat makhluk yang penuh kekurangan yang menjadi kesempurnaan yang pantas dengan kekurangannya, sementara sifat-sifat itu merupakan sifat yang paling kurang dan paling rendah bila dinisbatkan kepada Allah Yang Maha Menguasai, Maha Mulia Maha Agung, dan Maha Luhur?

 

Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi Musa-‘Alaihish shalatu was salam—bahwa beliau menutup kedua telinganya setelah kembali dari bermunajat dan mendengar kalam Allah sampai waktu yang cukup lama, agar tidak mendengar ucapan manusia sehingga mati karena keburukan dan kehinaannya secara hakiki bila dinisbatkan pada kalam Allah yang tiada banding. Beliau tidak mampu mendengar ucapan manusia sampai waktu yang lama dan Allah lupakan kenikmatan mendengar kalam-Nya yang pernah dicicipinya.

 

Ibn ‘Athaillah ra. telah mengutip kisah dari Makinuddin al-Asmar, seorang wali abdal bahwa ia pernah mimpi melihat bidadari yang kemudian berbicara kepadanya. Lalu sekitar dua atau tiga bulan berikutnya ia tidak mampu mendengar ucapan manusia kecuali muntah-muntah (karena keburukan dan kehinaannya)

 

Lihatlah kasus ini, bagaimana ucapan manusia bila dinisbatkan pada ucapan bidadari yang masih sejenis dengan ucapannya, lebih rendah dan lebih hina daripada suara keledai dan gonggongan anjing bila dinisbatkan pada ucapan manusia, sebab kita tidak menemukan orang yang muntah-muntah karena mendengar suara keledai dan gonggongan anjing, meskipun ia mendengarnya setelah mendengar ucapan terfasih dan terindah dari manusia.

 

Bila demikian, bagaimana dengan penisbatan ucapan makhluk pada kalam Allah yang tidak ada padanannya dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya-Tabaraka wa Ta’ala— Penjelasan berikutnya sudah jelas.

 

 

Kebalikan Sifat Ma’nawiyah

 

(14-20) Kebalikan Sifat-sifat ma’nawiyah sudah jelas dari kebalikan sifat-sifat ma’ani ini.

 

Maksudnya, sungguh ketika Anda telah mengetahui bahwa kebalikan qudrah yang menyeluruh adalah lemah dari melakukan hal mumkin, apapun itu, maka pasti kebalikan sifat ma’nawiyah yang menetapi sifat ‘ qudrah, yaitu kaunuhu qadiran (keberadaan Allah sebagai Zat Yang Maha Kuasa atas segala hal mumkin), adalah kaunuhu ‘ajizan (keberadaan Allah lemah) dari hal mumkin, apapun itu. Begitu pula seterusnya bagi setiap sifat ma’nawi, sifat yang menetapi kebalikannya adalah sifat ma’nawiyah yang menetapinya.

 

Setelah Kitab Asal selesai menyebutkan sifat wajib dan mustahil bagi Allah Ta’ala, di sini Kitab Asal menyebutkan bagian ketiga, yaitu sifat jai’z bagi Allah Ta’ala.

 

Lalu Kitab Asal menyebutkan bahwa sifat ja’iz bagi Allah Ta’ala adalah melakukan segala hal mumkin atau meninggalkannya. Bila demikian maka pahala, siksa, mengutus para nabia-Alaihimush shalatu was salamm termasuk di dalamnya.

 

Melakukan kebaikan dan yang paling baik (ash-shalah wa aliashlah) sekecil apapun bagi makhluk, tidak wajib bagi Allah Ta’ala. Sebab andaikan wajib bagiNya melakukan ash-shalahma alashlah seperti pendapat Mu’tazilah, niscaya tidak akan , terjadi siksaan di dunia dan akhirat, tidak akan ada taklif dengan perintah dan larangan Allah, dan hal itu gugur dengan keyataan yang ada: dan Allah tidak akan menakdirkan kemaslahatan besertaan dengan siksaan dan taklif sebab Allah Ta’ala Maha Kuasa memberi kemaslahatan tanpa disertai kesulitan dan ujian taklif dan juga kemaslahatan itu tidak menyeluruh bagi semua orang yang diberi ujian dan takli’f sebab ujian dan takli’f bagi orang yang dipastikan kufur—semoga Allah Ta’ala melindungi kita darinya adalah petaka yang sangat dahsyat dan jalan menuju kebinasaan abadi diakhirat.

 

Kami memohon kepada Allah Ta’ala atas keselamatan bagi agama dan dunia kami, khusnul khatimah tanpa ujian dan kesulitan.

 

 

 

Burhan Wujud Allah

 

Burhan wujudnya Allah Ta’ala adalah kehudutsan alam. Sebab andaikan alam tidak ada yang menciptakan, namun ada dengan sendirinya, maka pasti ada salah satu dari dua hal yang sama, yang menyamai selainnya, dan yang mengunggulinya tanpa sebab, dan hal itu muhal. Dalil kehudutsan alam adalah selalu mencetapi sifat baru seperti bergerak, diam, dan selainnya. Padahal sesuatu yang selalu menetapi sifat baru adalah baru. Adapun dalil kehudutsan sifat baru adalah perubahan yang terlihat kasat mata, dari tidak ada menjadi ada, dan dari ada menjadi tidak ada.

 

Tidak samar lagi, bahwa alam yaitu langit, bumi, apa yang ada di dalam keduanya, dan apa yang ada di antara keduanya, merupakan jirm yang selalu menetapi sifat baru yang ada padanya, yaitu bergerak, diam, dan selainnya.

 

Sebaiknya kita batasi pada gerakan dan diam saja, sebab mengetahui kepastian jirm pada keduanya merupakan kebenaran yang pasti diakui oleh semua orang berakal. Lalu kita katakan:

 

“Tidak diragukan lagi wajibnya sifat huduts bagi masing-masing dari bergerak dan diam. Sebab andaikan salah satunya gadim, niscaya sama sekali ia tidak dapat tiada selamanya, sebab sesuatu yang telah diterapkan qidamnnya, maka mustahil keriadaannya.“

 

“Tidak samar lagi bahwa masing-masing dari bergerak dan diam pasti bisa tiada, sebab telah disaksikan ketiadaan masing-masing dari keduanya dengan wujud lawannya dalam berbagai jirm, sehingga hal itu memastikan kesamaan berbagai jirm dalam hal wujudnya salah satu dari bergerak dan diam dengan wujud lawannya.

 

Bila demikian, tetaplah kehudutsan keduanya dan mustahil wujud keduanya pada azali secara pasti, karena kemustahilan terlepasnya jirm dari keduanya.” Kesimpulannya, kehudustan salah satu dari dua hal yang saling melazimi, secara pasti menetapkan kehudustan yang lainnya.

 

Ketika dengan penjelasan ini kehudustan alam telah jelas, maka pastilah kebutuhan alam terhadap zat yang menciptakannya. Sebab andaikan tidak ada penciptanya, namun tercipta dengan sendirinya, niscaya akan berkumpul dua hal yang saling menafikan, yaitu kesamaan dan keunggulan tanpa faktor yang mengunggulkan. Sebab (pada hakikatnya) wujud masing-masing alam itu sama dengan ketiadaannya, zaman wujudnya sama dengan zaman selainnya, ukuran yang terkhusus baginya sama dengan ukuran selainnya, tempat yang terkhusus baginya sama dengan tempat selainnya, arah yang terkhusus baginya sama dengan arah selainnya, dan sifat yang terkhusus baginya sama dengan sifat selainnya.

 

Inilah berbagai macam-macam hal yang di dalam masing-masing sifatnya terdapat dua hal yang sama. Andaikan salah satunya ada tanpa pencipta, niscaya ia telah mengungguli yang lainnya padahal ia menyamainya. Sebab penerimaan setiap jirm pada keduanya adalah sama. Kemudian sungguh menjadi tetap bahwa andaikan ada sesuatu dari alam yang wujud dengan sendirinya tanpa pencipta, maka pasti terjadi berkumpulnya kesamaan dengan keunggulan yang saling menafikan. Padahal hal tersebut muhal.

 

Bila demikian, andaikan Tidak ada Allah Ta’ala yang menentukan ketentuan-ketentuan khusus bagi masing-masing alam, niscaya tidak akan wujud alam sedikit pun. Maha suci Allah Zat yang kewajiban wujud-Nya ditunjukkan oleh kewajiban butuhnya semua kepadaNya-Tabaraka wa Ta’ala.

 

Maka maksud ucapanku: “Maka pasti ada salah satu dari dua hal yang sama” adalah wujud dan ketiadaan, ukuran tertentu dan selainnya, dan semisalnya dari beberapa hal yang telah aku : sebutkan barusan. Pembahasan selanjutnya sudah jelas. Wabillait taufiq.

 

Burhan Sifat Qidam

 

Burhan wajibnya sifat qidam bagi Allah Ta’ ala adalah, andaikan Allah tidak gadim pasti ia zat yang hadits, maka membutuhkan pencipta, dan hal ini pasti menyebabkan daur atau tasalsul.”

 

Maksudnya, ketika wujudnya Allah Ta’ala telah tetap (diakui) dengan Burhan yang telah lewat, yaitu butuhnya seluruh makhluk kepada-Nya, maka sungguh wajib bagi-Nya sifat qidam.

 

Burhannya adalah, andaikan Allah tidak gadim niscaya la hadits karena pasti terbatasinya setiap hal yang wujud pada qidam dan huduts. Maka ketika wujud salah satunya ternafikan, pasti wujud yang lainnya.

 

Sifat huduts mustahil bagi Allah-Jalla wa Azza, sebab hal ini memastikan adanya pencipta baginya, karena alasan yang telah Anda ketahui pada kerudursan alam. Kemudian pencipta Allah (andaikan ada) pasti menyamainya, sehingga bersifat hadits. Lalu ia juga mempunyai pencipta, dan pasti pencipta terakhir ini juga membutuhkan pencipta lain sebagaimana pencipta sebelumnya, dan seterusnya begitu (tanpa berujung siapa pencipta awalnya)

 

Bila jumlah pencipta yang dibutuhkan terbatas maka pasti terjadi daur, karena pencipta pertama pasti merupakan salah satu dari zat yang tercipta setelahnya, yaitu zat yang diciptakannya, atau zat yang diciptakan oleh zat lain yang wujudnya disandarkan kepada pencipta pertama secara langsung atau dengan perantara.

 

Kemustahilan daur sangat jelas, sebab pasti masing-masing pencipta mendahului atau tertinggal dari yang lain. Hal ini merupakan jam’ baina mutanafiyain (berkumpulnya dua hal yang saling menafikan), bahkan juga pasti masing-masing mendahului dan tertinggal dari dirinya dengan dua urutan atau lebih, dan ini adalah kesalahan yang tidak dapat dibenarkan akal sehat.

 

Bila jumlah pencipta yang dibutuhkan tidak terbatas dan sebelum setiap pencipta ada pencipta lain yang ada sebelumnya, maka pasti terjadi rasalsul. Hal ini juga mustahil, sebab akan mengantarkan pada jumlah yang tidak berujung, dan hal ini juga tidak dapat diterima akal sehat.

 

Bila sifat huduts mustahil bagi Allah—Subhanah—maka pasti la bersifat qidam, dan inilah kesimpulan yang dicari.

Burhan Sifat Baqa’

Burhan wajibnya sifat Baqa’bagi Allah Ta’ala adalah, andaikan bila Allah dapat tiada, niscaya Ia tidak bersifat qidam, sebab bila demikian maka hukum wujudnya Allah adalah ja’iz, tidak wajib, di mana tidak ada wujudnya hal ja’iz kecuali bersifat hadits. Bagaimana hal itu benar, sementara wajibnya sifat qidam Allah Ta’ala baru saja ditetapkan.

 

Tidak diragukan lagi bahwa wajibnya sifat qidam menetapkan sifat Baqa’ bagi Allah. Maka ketika telah ada burhan yang memastikan wajibnya sifat qidam bagi Allah, maka hal itu pasti menetapkan sifat baga-Nya Tabaraka wa Ta’ala-. Sebab andaikan Allah boleh menjadi tiada-Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya-, maka hukum wujud-Nya adalah ja’iz tidak wajib, sebab bila begitu cocoklah hakikat ja’iz bagi Zat Allah I. Sebab jaiz adalah suatu hal yang sah wujud dan tidaknya.

 

Pengandaian yang salah ini menetapkan keabsahan wujud dan adam bagi Zat Allah Yang Maha Luhur-Tabaraka wa Ta’ala, sehingga wujud Allah ja’iz Hal ini memastikan kehudutsan-Nya Maha Luhur dan Maha Suci Allah darinya karena alasan yang telah Anda ketahui, yaitu kemustahilan unggulnya wujudnya suatu hal yang ‘ ja’iz atas ketiadaan yang . menyamainya dalam hal bisa diterima, tanpa faktor atau zat yang . mengunggulkannya.

 

Bagaimana pemahaman seperti itu bisa dibenarkan, padahal baru saja ‘ terbuktikan dengan burhan yang memastikan wajibnya sifat qidam Allah—Jalla wa Azza—. Bila demikian wajiblah sifat Baqa’ Allah sebagaimana wajibnya sifat qidam-Nya.

 

Burhan sifat mukhlafatuh li al-hawadits

 

Burhan wajibnya sifat mukhlafatuh li al-hawadits Allah Ta’ala adalah, sungguh andaikan Allah menyamai sesuatu dari hawadits (makhluk) niscaya Allah juga bersifat hadist sama dengannya dan hal ini mustahil karena alasan yang sudah Anda ketahui sebelumnya, yaitu wajibnya sifat qidam dan Baqa’ bagi Allah. 

 

Tidak diragukan lagi, sungguh dua hal yang semisal (mitslain) pasti sesuatu yang wajib bagi salah satunya pasti wajib pula bagi yang lainnya: sesuatu yang mustahil baginya juga mustahil bagi yang lainnya, sesuatu yang boleh baginya juga boleh bagi yang lainnya.

 

Anda telah mengetahui burhan yang memastikan bahwa segala sesuatu selain Allah Ta’ala pasti bersifat huduts. Andaikan Allah Ta’ala menyamai sesuatu selainNya, pasti la—jalla wa Ala—bersifat huduts-Maha Luhur Allah darinyayang wajib ada pada sesuatu tersebut. Hal ini batal (gugur) karena alasan yang telah Anda ketahui dengan burhan yang bersifat pasti, yaitu wajibnya sifat qidam dan Baqa’ bagi Allah I.

 

Kesimpulannya, andaikan Allah menyamai suatu makhluk, niscaya wajib baginya sifat qidam karena ketuhanannya dan sifat huduts karena pengandaian kesamaannya dengan makhluk, dan hal ini pasti merupakan jam” baina mutanafiyain.

 

Burhan Sifat Qiyamuhu bi Nafsih

 

Burhan wajibnya sifat qiyamuhu bi nafsih bagi Allah Ta’ala adalah, andaikan Allah butuh pada tempat, niscaya Ia berupa sifat, dan suatu sifat tidak dapat bersifat dengan sifat-sifat ma’ani dan ma’nawiyah. padahal Allah pasti bersifat dengan keduanya, maka Ia bukan merupakan suatu sifat. Andaikan Allah butuh pada mukhashshish (zat yang menentukan segala hal ja’iz dengan sebagian kondisi yang boleh terjadi padanya) , niscaya ja adalah Zat yang hadits. Bagaimana hal seperti ini dibenarkan padahal sudah ada burhan yang menunjukkan wajibnya sifat qidam dan Baqa’ bagi Allah Ta’ala.

 

Sudah dijelaskan bahwa sifat qiyamuhu bi nafsih bagi Allah adalah ungkapan dari ketidak butuhan-Nya-Jalla wa “Azza—dari tempat dan mukhashsish.

 

Burhan ketidakbutuhan Allah Ta’ala pada mahal, yakni zat yang ditempatinya, adalah andaikan Allah Ta’ala membutuhkan zat lain yang menjadi tempat eksistensinya, maka pasti Allah merupakan sifat bagi zat tersebut, sebab tidak ada yang menempati suatu zat kecuali sifat-sifatnya.

 

Semetara Allah—Jalla wa Azza-mustahil berupa sifat sehingga membutuhkan mahall yang menjadi tempat eksistensi-Nya. Andaikan Allah berupa sifat pasti la tidak bersifat dengan sifat-sifat ma’ani, yaitu qudrah, iradah, ilmu, dan seterusnya: dan tidak bersifat dengan sifat-sifat ma’ani, yaitu kaunuhu qadiran, muridan, ‘aliman, dan seterusnya, sebab suatu sifat tidak bersifat dengan sifat tsubutiyyah yang bukan nafsiyyah dan bukan salbiyyah, sebab sifat nafsiyyah dan salbiyyah merupakan sifat bagi zat dan hal-hal yang bersifat ma’nawi. Sebab andaikan suatu sifat dapat menerima sifat lain pasti sifat itu tidak akan terlepas darinya, dari semisalnya, atau dari kebalikannya.

 

Hal seperti itu juga pasti terjadi pada sifat lain yang menjadi tempat eksistensi sifat yang pertama tadi, sebab penerimaan pada sifat lain yang sama, yang berkebalikan, atau yang berbeda dengannya, bersifat nafsi, dan pasti akan terjadi penyatuan antara beberapa hal yang semisal. Hal ini mustahil karena pasti akan menimbulkan tasalsul dan masuknya sifat-sifat yang tidak terbatas pada sesuatu yang wujud. Hal ini juga mustahil, sebab suatu sifat tidak dapat bersifat dengan sifat tsubutiyyah yang bukan nafsiyyah yang menjadi tempat eksistensinya. Maksudku sifat-sifat ma’ani dan ma’nawiyah.

 

Padahal telah ada burhan yang memastikan Allah—Jalla wa Azza-bersifat dengan sifat-sifat ma’ani dan ma’nawiyah, sehingga Allah pasti merupakan Zat Yang Maha Luhur yang bersifat dengan sifat-sifat luhur, dan. pada Allah-Subhanah-sendiri bukan merupakan sifat bagi selainnya-Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya-.

 

Adapun burhan atas ketidakbutuhan Allah Ta’ala pada mukhashish , maksudnya fa’il, adalah andaikan Allah butuh pada fa’il niscaya ia adalah zat yang hadits, dan hal ini mustahil karena alasan yang sudah Anda ketahui dengan burhan yang memastikan wajibnya sifat qidam dan Baqa’’bagi Allah. Maka wajibnya ketidak butuhan secara mutlak bagi Allah—Jalla wa Azza—pada selainnya menjadi jelas dengan kedua burhan ini. Inilah makna qiyamuhu ta’ala bi nafsih.

 

Burhan Sifat Wahdaniyyah

Burhan wajibnya sifat Wahdaniyyah bagi Allah ta’ala adalah, andaikan Allah tidak esa, pasti alam apapun tidak akan terwujud, karena dalam kondisi demikian oleh pasti lemah.

 

Maksudnya, andaikan ada sesuatu yang menyamai Allah Ta’ala dalam ketuhanan-Nya, niscaya tidak ada makhluk apapun yang tercipta. Frase yang terakhir ini jelas-jelas gugur secara pasti.

 

Penjelasan kepastian itu adalah, sungguh telah tetap wajibnya kemenyeluruhan qudrah dan iradah Allah Ta’ala pada seluruh hal yang mumkin dengan burhan yang bersifat qath’i. Jadi, andaikan ada suatu hal yang wujud yang mempunyai qudrah (kemampuan) menciptakan hal yang mumkin, apapun itu, sebagaimana qudrah Allah—Jalla wa Azza—ketika terjadi keterhubungan dua sifat qudrah tersebut dengan penciptaan hal mumkin, pasti hal mumkin itu tidak akan terwujud dengan keduanya “secara bersamaan, karena mustahil terjadinya satu arsar di antara dua mu’atstsir, sebab pasti satu atsar akan kembali pada dua atsar, dan hal ini tidak diterima akal, sebab salah satunya pasti lemah. Hal ini memastikan kelemahan mu’atstsir yang lain yang menyamainya dalam kemampuan menciptakan.

 

Ketika kelemahan keduanya untuk menciptakan hal mumkin tersebut secara bersamaan telah pasti, maka pasti pula kelemahan mereka untuk menciptakan hal mumkin lain, karena tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini juga memastikan kemustahilan terciptanya semua makhluk, padahal fakta menggugurnya secara pasti. Bila kepastian lemahnya kedua mu’atstsir menciptakan satu hal mumkin secara bersaman telah jelas, apalagi kepastian lemahnya keduanya pada objek penciptaan yang berbeda yang bertentangan, maka pastilah wajibnya sifat wahdaniyyah Allah—Jalla wa Azza-dalam Zat, sifat, dan perbuatanNya.

 

Dengan penjelasan ini Anda tahu, sungguh tidak ada atsar (pengaruh) bagi kemampuan kita pada perbuatan ikhtiari kita, apapun itu, seperti gerakan, diam, berdiri, duduk, jalan kita, dan semisalnya. Bahkan seluruhnya merupakan makhluk Allah—Jalla wa Azza-tanpa perantara, dan juga kemampuan kita seperti itu merupakan sifat yang diciptakan Allah—Jalla wa Azza- yang bersamaan dengan perbuatan iktiari dan berhubungan dengannya tanpa berpengaruh sedikitpun padanya. Niscaya Allah Ta’ala hanya menjalankan adat menciptakan suatu perbuatan yang dikehendakiNya ketika ada kemampuan tersebut, tidak menciptakan dengannya: dan Allah-Subhanah-menjadikan wujudnya kemampuan tersebut berbarengan dengan perbuatan manusia sebagai syarat bagi wajibnya taklif

 

Kebersamaan dan keterhubungan kemampuan manusia yang bersifat hadits ini dengan perbuatannya tanpa pengaruh apapun padanya, inilah yang dalam istilah ilmu kalam dan syariat disebut dengan term kasab dan iktisab.

 

Berdasarkan istilah ini perbuatan manusia disandarkan padanya, sebagaimana firman Allah: “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” adapun menciptakan sesuatu, maka merupakan kekhususan Allah -Jalla wa Azza- tidak ada apapun selain nya yang menyekutuinya pada penciptaan itu.

 

Saat Allah Ta’ala menciptakan kemampuan yang bersamaan dengan perbuatan pada seorang hamba, maka hamba itu disebut sebagai mukhtar (orang yang merdeka atas pilihannya melakukan perbuatan), dan saat Allah Ta’ala menciptakan perbuatan padanya tanpa bersamaan dengan kemampuan yang bersifat padirs maka ia disebut sebagai majbur dan muththar (orang yang terpaksa atas perbuatannya), seperti orang gemetar misalnya.

 

Tanda kebersamaan kemampuan yang bersifat hadits pada perbuatan yang tercipta pada tempat kemampuan tersebut adalah kemudahannya secara adat dalam melakukan atau meninggalkan perbuatan. Sedangkan tanda keterpaksaan dan tidak adanya kemampuan adalah tidak adanya kemudahan melakukan atau meninggalkan perbuatan.

 

Setiap orang berakal sehat pasti bisa menemukan perbedaan di antara kedua kondisi ini, sebagaimana syara” telah menetapkan keduanya, dan kondisi yang kedua diperinci (dibedakan) dengan pengguQuran taklif yaitu kondisi terpaksa, bukan kondisi yang pertama. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’”, maksudnya kecuali apa yang pada adatnya dalam batas kemampuannya. Adapun pada ranah pemikiran dan faktanya, tidaklah manusia mampu melakukan sesuatu, apapun itu.

 

Dengan penjelasan ini Anda mengetahui gugurnya madzhab Jabriyyah yang berpendapat atas samanya seluruh perbuatan dan tidak ada qudrah Allah yang menyeluruh yang membarengi perbuatan manusia satupun. Tidak diragukan lagi sungguh mereka karena pendapatnya ini adalah ahli bid’ah yang bodoh dan kebohongannya ditunjukkan oleh syara.

 

Dengan penjelasan tersebut Anda juga mengetahui gugurnya madzhab Iadariyyah, kaum Majuzi umat Islam ini, yang berpendapat atas berpengaruhnya kemampuan manusia yang bersifat hadits pada perbuatan-perbuatannya sesuai kehendaknya. Tidak diragukan lagi, mereka ahli bidah yang telah menyekutukan Allah pada selainNya.

 

Maka benarlah madzhab Ahlussunnah di antara dua madzhab rusak tadi. Madzhab Ahlussunnah ibarat susu yang menyegarkan bagi para peminum yang keluar dari antara kotoran dan darah: di antara kaum yang lalai, yaitu Jabriyyah, dan kaum yang melampaui batas, yaitu Qadariyyah.

 

Sebagaimana kemampuan manusia yang bersifat hadits tidak mempunyai pengaruh apapun pada perbuatannya, begitu pula tidak ada pengaruh apapun bagi api pada terbakar, termasak, dan terpanasinya sesuatu, atau selainnya. Tidak berpengaruh dengan wataknya atau kekuatan yang ditempatkan padanya. Justru Allah Ta’ala yang memberlakukan adat secara merdeka dari-Nya, dengan menciptakan hal-hal tersebut ketika ada (bersamaan dengan) kemampuan manusia yang bersifat hadits, bukan dengannya.

 

Samakanlah pada hal ini, terputusnya sesuatu saat ada pisau memotong: sakit saat lapar: . kenyang saat makan: segar dan tumbuh saat ada air: sinar saat ada matahari, lampu, dan semisalnya: bayangan saat ada tembok, pohon, dan semisalnya, dinginnya air panas ketika air dingin dituangkan padanya, dan sebaliknya, serta berbagai hal lain yang semisal dengannya yang tidak terbatas.

 

Pastikan bahwa semuanya itu adalah makhluk Allah Ta’ala tanpa perantara sama sekali, dan sungguh tidak ada pengaruh apapun padanya bagi semua hal yang menurut adat wujud bersamaan dengannya.

 

Kesimpulannya, ketahuilah sungguh mustahil ada kemampuan menciptakan pengaruh apapun dari semua makhluk. Justru semuanya merupakan makhluk Allah—Jalla wa Azza-yang sangat butuh kepada-Nya, pada permulaan dan keberlangsungan wujudnya tanpa perantara.

 

Kebenaran inilah yang disaksikan oleh burhan dan ditunjukkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ as-salaf as-shalih, sebelum keluarnya berbagai bid’ah. Jangan dengarkan dengan kedua telinga Anda, apa yang dinukil segelintir orang yang terkagum-kagum dengan nukilan yang buruk dan yang baik dari pendapat sebagian Ahlussunnah, yang bertentangan dengan keterangan yang aku sampaikan kepada anda.

 

Konsistensi Anda pada penjelasan yang aku sampaikan, itulah : kebenaran tanpa keraguan, dan yang selainnya tidak benar. Putuslah keinginan Anda untuk mendengar pendapat yang salah, maka Anda akan hidup penuh keuntungan dan insyaallah mati dengan baik dan mendapat petunjuk. Allahul musta’an.

 

Burhan Sifat Qudrah, Iradah, ‘Ilmu dan Hayat

 

Burhan wajib nya Allah bersifat qudrah, iradah dah ilmu dan hayat adalah andaikan salah satunya ternak ikan niscaya tidak ada makhluk apapun yang wujud.

 

Telah Anda ketahui, sungguh arsar qudrah azaliyyah Allah Ta’ala tergantung pada iradah-Nya atas arsar tersebut: iradah Allah Ta’ala pada atsar itu tergantung pada ilmu Allah terhadapnya: kebersifatan Allah dengan qudrah, iradah, dan ilmu tergantung pada kebersifatannya dengan hayat, karena hayat merupakan syarat bagi sifat-sifat tersebut, dan wujudnya masyruth tanpa adanya syarat adalah mustahil.

 

Bila demikian, maka wujudnya sesuatu yang hadits, apapun itu, tergantung pada kebersifatan penciptanya dengan keempat sifat ini. Andaikan salah satunya tidak ada, niscaya tidak akan wujud makhluk apapun, karena kepastian lemahnya pencipta tersebut dalam kondisi seperti ini.

 

Dengan ini jelaslah wajibnya wujud kebersifatan Allah dengan sifat-sifat tersebut pada azal Sebab andaikan sifat-sifat tersebut bersifat hadits niscaya penciptaannya tergantung pada kebersifatan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat yang semisal dengannya sebelum sifat-sifat itu.

 

Kemudian pembahasan akan pindah pada sifat-sifat yang semisal dengannya itu, dan pasti terjadi tasalsul, padahal mustahil. Sehingga wujudnya sifat-sifat tersebut berdasarkan pengadaian ini adalah mustahil. Pengandaian itu juga mengarah pada konsekuensi yang telah disebutkan, yaitu tidak ada satu makhluk pun yang wujud.

 

Dengan gugurnya frase terakhir ini Anda juga mengetahui wajibnya kemenyeluruhan ta’alluq sifat-sifat tersebut pada muta’aliqnya, seperti ‘ilmu, qudrah, dan iradah. Sebab, andaikan sifat tersebut hanya bertaa’lluq pada sebagian muta’alignya, niscaya Allah butuh pada mukhasshis, sehingga sifat tersebut berstatus hadits, dan tidak mungkin penciptanya tidak bersifat dengannya, karena alasan yang telah Anda ketahui, yaitu wajibnya wahdaniyyah bagi Allah Ta’ala, dan kesendiriannya dalam menciptakan.

 

Penciptaan Allah Ta’ala pada sifat tersebut merupakan cabang kebersifatan Allah dengan sifatsifat lain yang semisal dengannya sebelum sifat-sifat itu, dan akan terjadi tasalsul sebagaimana tadi.

 

Dengan ini maka jelas bagi Anda, sungguh ada tiga hal yang disimpulkan dari burhan yang aku sebutkan dalam Kitab Asal al-Aqidah, yaitu: wujudnya sifat qudrah, iradah, Yimu, dan hayat ini, wajibnya qidamn dan Baqa’ baginya: ‘ dan wajibnya kemenyeluruhan ta’aluqnya pada muta’alliqnya.

 

Penulis telah memberi isyarat dalam Kitab Asal al-Aqidah, bahwa burhan yang disebutkannya adalah untuk menghasilkan tiga | kesimpulan ini.

 

Adapun wujud dan wajibnya sifat’ sifat tersebut, penulis memberi isyarat dengan ucapannya: “wajibnya Allah bersifat qudrah, iradah”, sebab wajibnya sifat-sifat ini memastikan wujudnya.

 

Penulis memberi Isyarat pada kesimpulan ketiga, yaitu kemenyeluruhan ta’alluqnya pada  muta’allignya dengan   yang dimasukkannya pada sifat qudrah’ dan sifat-sifat setelahnya. Sebab   tersebut berfungsi menentukan, dan yang ditentukannya adalah sifat-sifat yang tra allugnya telah dijelaskan pada keterangan yang telah lewat. Wa billahi Taufiq.

Burhan sifat sama’, Bashar dan kalam

Burhan wajib nya sifat sama’, bashar, dan kalam bagi Allah Ta’ala adalah al-qur’an, as-Sunnah, dan ijma’. juga adek dan emboh tidak bersifat dengannya, pasti bersifat dengan kebalikannya, yakni sifat-sifat kekurangan padahal kekurangan bagi Allah ta’ala itu mustahil.

 

Ketika penunjukan mujizat atas kebenaran para Rasul-‘alaihimush shalatu was salam-tidak tergantung pada pengetahuan atas ketiga sifat ini maka pengetahuan atas wajibnya kebersifatan Allah dengan ketiganya menjadi sah disandarkan pada sabda Rasulullah-‘alaihish shalatu was salam-.

 

Dalil syar’i bagi ketiga sifat ini lebih kuat daripada dalil ‘aqli. Karenanya, dalam Kitab Asal al’Aqidah, aku memulai dengannya.

 

Ucapanku dalam Kitab Asal al-Aqidah pada dalil kedua yang bersifat aqli “Padahal kekurangan bagi Allah Ta’ala itu mustahil ‘, dalam kondisi seperti itu Allah pasti membutuhkan zat lain yang menyempurnakannya, yakni menghilangkan kekurangan dari-Nya dan menciptakan kesempurnaan bagiNya. Hal ini menetapkan huduts dan butuhnya Allah kepada tuhan lain. Bagaimana hal itu benar, padahal wajibnya sifat wahdaniyyah bagi Allah Ta’ala sudah ditetapkan dengan dalil.

 

Juga andaikan Allah Ta’ala bersifat dengan sifat-sifat kekurangan tersebut, maka pasti sebagian makhluk-Nya ada yang lebih sempurna dari-Nya-Maha Luhur Allah — darinya-karena — banyak makhluk yang terhindar darinya, padahal mustahil makhluk lebih mulia daripada Penciptanya.

 

Meskipun dalil ‘aqli ini tidak terhindar dari penentangan, penyebutan nya yang dilakukan dalam rangka mendukung dan menguatkan dalil syar’i yang sebenarnya sudah kuat dengan sendirinya dan tidak ada satu dalil naqli pun yang menyebutkannya, adalah hal baik. Dalam kitab asal al-‘Aqidah hal itu telah aku isyarat kan dengan melahirkan penyebutan nya. Wabillahit taufik.

 

Burhan Sifat Ja’iz

 

Burhan bahwa melakukan berbagai hal mumkin atau meninggalkannya adalah ja’iz bagi Allah Ta’ala adalah, sungguh andaikan ada sesuatu darinya yang wajib atau mustahil bagi Allah menurut akal, maka hal mumkin akan berbalik menjadi wajib atau mustahil, dan itu tidak diterima akal.

 

Tidak diragukan lagi, sungguh term mumkin dalam Istilah Mutakallimin, merupakan sinonim dari term ja’iz, sehingga maknanya adalah sesuatu yang wujud dan tidak wujudnya dibenarkan oleh akal.

 

Bila demikian, andaikan wujudnya hal mumkin itu wajib atau mustahil menurut akal, maka pasti berbagai kenyataan akan terbolak-balik, dan hal ini tidak diterima akal. Selain itu, kaum Mu’tazilah hanya mewajibkan berbuat baik dan yang terbaik bagi Allah terhadap makhluk, dari berbagai hal mumkin, padahal kenyataan serta syara’ memastikan kesalahan pendapat mereka itu sebagaimana aku isyaratkan pada penjelasan atas ucapanku yang ada di Kitab Asal al-‘Aqidah yang telah lewat.

 

Adapun sifat ja’iz bagi Allah Ta’ala, andaikan berbuat baik dan yang terbaik itu wajib bagi Allah Ta’ala sebagaimana pendapat Mu’tazilah, pasti Allah I telah menunjukkan mereka pada kebenaran dalam akidahnya, dan tidak membiarkan mereka bingung dalam kebuataannya Kegilaan mereka dalam pembahasan ini sangat jelas bagi orang berakal maka aku tidak menjelaskannya secara panjang lebar. Wa billahit taufiq.

 

 

 

 

Para Rasul- “alaihimush shalatu was salam-wajib bersifat shiddq, amanah, tabligh (menyampaikan) ajaran yang diperintahkan untuk disampaikan kepada makhluk.

 

Mereka – ‘alaihimush shalatu was salam-, mustahil bersifat dengan kebalikannya, yaitu kidzb, khiyanah dengan melakukan apa yang mereka larang dengan larangan keharaman atau kemakruhan, dan menyembunyikan ajaran yang diperintahkan untuk disampaikan kepada makhluk.

 

Mereka boleh bersifat dengan sifat-sifat manusia yang tidak mengantarkan pada kekurangan bagi derajat luhurnya, sebagaimana sakit dan semisalnya.

 

Ketahuilah, sungguh Rasul adalah manusia yang Allah Ta’ala utus untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya kepada makhluk, dan Rasul merupakan istilah khusus bagi orang yang mempunyai kitab, syariat, atau naskh (menyalin) sebagian hukum syariat sebelumnya.

 

Menurut Ahlussunnah pengutusan rasul merupakan bagian dari hal-hal yang jai’z dilakukan Allah, sedangkan Mu’tazilah mewajibkannya berdasarkan prinsipnya yang rusak tentang kewajiban menjaga ash-shalah wa al-ashlah, dan Brahmanisme (Hindu) yang menganggapnya mustahil juga karena prinsip tersebut. Tidak samar lagi kegilaan dan kekufuran mereka.

 

Dalil Ahlussunnah yang menunjukkan bahwa pengutusan para rasul adalah ja’iz, tidak wajib, adalah sungguh pengutusan para rasul merupakan salah satu perbuatan Allah, dan Anda tahu bahwa tidak ada perbuatan apapun yang wajib bagi Allah Jalla wa ‘Azza-, meskipun ashshalah wa al-ashlah, dan Allah tidak harus meninggalkannya.

 

Ungkapan ku dalam kitab asal al-‘Aqida sudah jelas tidak perlu penjelasan lebih lanjut.

 

Burhan sifat Shiddiq

 

Burhan wejibnya sifat shiddig (jujur) bagi para Rasul – ‘alaihimush shalatu was salam-adalah, — karena andaikan mereka tidak jujur, pasti kabar dari Allah Ta ala tentang pembenaran-Nya terhadap mereka dengan mukjizat yang turun seperti (menempati posisi) firman Allah Ta’ ala: “Hambaku jujur dalam setiap hal yang Ia Sampaikan dari-Ku” , merupakan kebohongan.

 

Ini burhan wajib punya sifat shiddiq bagi para rasul-‘alaihimush shalatu was salam- bagi pengakuan mereka atas risalah (kerasulan) dan bagi hal-hal yang disampaikannya kepada makhluk setelah diutus.

 

Kesimpulan Burhan ini adalah, sungguh mukjizat yang Allah ta’ala ciptakan pada diri para rasul yang merupakan amr khaliq al-‘adah (hal yang keluar dari adat kebiasaan) yang dibarengi dengan tahaddi dan tanpa mampu ditentang turun dari Allah Jalla wa Azza menempati posisi firman-Nya: “hambaku jujur dalam setiap hal yang ia sampaikan dari-Ku”

 

Andaikan para Rasul boleh berbohong, maka Allah Ta’ala juga boleh. Sebab membenarkan orang bohong merupakan kebohongan. Padahal kebohongan mustahil bagi Allah. Sebab kabar Allah Ta’ala pasti sesuai dengan ilmu-Nya dan kabar yang sesuai dengan Ilmu pasti jujur, maka tidak ada kabar Allah Ta’ala melainkan suatu kejujuran (kebenaran). ‘

 

Ungkapanku dalam mendefinisikan mukjizat:   lebih baik daripada ungkapan sebagian ulama: “  ” sebab kata    mencakup perbuatan seperti keluarnya air dari antara jari-jari, dan tidak adanya perbuatan, seperti tidak membakarnya api bagi Nabi Ibrahim As.

 

Batasan “Dibarengi pengakuan (tahaddi)” mengecualikan karamah para wali: irhash yang mendahului terutusnya para nabi sebagai dasar untuk kerasulannya: dan mengecualikan klaim pembohong atas mukjizat nabi terdahulu sebagi hujah baginya.

 

Batasan “Tanpa mampu ditentang” mengecualikan sihir dan sulap. Makna tahaddi adalah pengakuan khariq li al-“adah pada suatu dalil atas pengakuannya: ada kalanya . dengan lisan al-hal dan ada kalanya dengan ucapan.

 

Sungguh ulama telah membuat perumpamaan pengakuan seorang rasul atas kerasulannya dan permintaan mukjizatnya kepada Allah Ta’ala sebagai dalil atas kejujurannya, agar dengan perumpamaan itu penunjukan mukjizat atas kejujuran para Rasul-alaihimush shalatu was salam-menjadi sah, dan agar hal itu diketahui secara pasti. Mereka berkata:

 

“Perumpamaannya adalah, bila seseorang berdiri di majelis seorang Raja, di tempat yang terlihat dan terdengar olehnya, di hadapan orang banyak, dan ia mengaku bahwa dirinya adalah utusan Raja tersebut kepada mereka, Lalu orang-orang menuntut hujah kepadanya. Kemudian orang tersebut berkata:  “Hujahnya adalah bila Sang Raja keluar dari adat kebiasaannya, berdiri dan duduk dari singgasananya tiga kali, umpamanya, lalu Sang Raja melakukannya, maka tidak diragukan lagi bahwa perbuatan Raja meluluskan permintaan orang tersebut merupakan pembenaran untuknya:  berfaidah memberi pengetahuan pasti atas kejujurannya tanpa keraguan, dan menempati posisi ucapan Sang Raja: “Orang ini jujur (benar) dalam setiap hal yang disampaikannya dariku.”

 

Hasilnya pengetahuan pasti atas kejujuran utusan tersebut berlaku sama (tidak beda) bagi orang yang melihat perbuatan raja tersebut dan orang yang tidak melihatnya namun ja menerima beritanya secara mutawatir.

 

Maka tidak diragukan lagi kecocokan perumpamaan ini dengan kondisi para Rasul-alaihimush shalatu was salam. Sehingga tidak ragu atas kejujuran (kebenaran) mereka kecuali orang yang Allah kunci hatinya. Wal ‘iyadz billahi ta’ala.

 

Kami memohon kepada Allah Yang Maha Suci atas tetapnya keimanan dan terpenuhi kesempurnaan kondisinya secara maksimal tanpa siksa dunia dan akhirat.

 

Burhan Sifat Amanah

 

Burhan wajibnya sifat amanah bagi para Rasul – ‘alaihimush shalatu was salam-adalah, karena sungguh andaikan mereka berkhiyanat dengan melakukan keharaman atau kemakruhan, niscaya keharaman atau kemakruhan pasti berbalik menjadi ketaatan bagi mereka. Sebab Allah Ta’ ala memerintahkan kita untuk mengikuti perkataan dan perbuatan mereka, padahal Allah Ta’ala tidak memerintahkan perbuatan haram dan makruh. Ini juga menjadi dalil wajib nya sifat ketiga (tabligh)

 

Tiada keraguan, sungguh para Rasul-alaihimush shalatu was salam-telah memerintahkan kita untuk mengikuti perkataan dan perbuatannya kecuali yang telah ditetapkan sebagai kekhususan mereka bukan untuk umatnya.

 

Allah Ta’ala berfirman terkait Nabi Muhammad : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihimu”. “Dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat — petunjuk” “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat-Ku. (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang Ummi” dan ayat selainnya yang terlalu untuk disebutkan.

 

Diketahui pula secara pasti kebiasaan para Sahabat mengikuti Nabi tanpa berfikir dahulu sama sekali dalam seluruh perkataan dan perbuatannya, kecuali yang ada dalil kekhususannya bagi beliau.

 

Abu Bakar dan Umar-radhiyallahu ta’ala ‘anhuma-pernah menyingkap kedua lutut mereka dalam kisah duduknya mereka di pinggir sumur sebagaimana perbuatan Nabi .

 

Sahabat satu dengan lainnya pernah hampir saling menyerang karena berebut tukang cukur saat mereka melihat Nabi  mencukur rambutnya dan tahallul dari ibadah umrahnya dalam kisah Hudaibiyah. Mereka juga mencari tahu sedalam-dalamnya tentang cara duduk, tidur, makan Nabi  , dan selain untuk diikutinya.

 

Ketika mereka menghendaki membujang dan fokus ibadah di malam dan siang hari, Nabi-alaihish shalatu was salam-pernah bersabda kepadanya: “Adapun aku, maka aku makan, tidur, dan menikahi perempuan-atau Sabda yang mirip seperti Ini-, maka siapa yang benci terhadap kebiasaanku, ja tidak termasuk golonganku.”

 

Lihatlah, bagaimana Nabi  menolak maksud mereka dengan perbuatannya yang harus diikuti, padahal sebelum diangan-angan, sungguh apa yang dimaksud mereka termasuk ketaatan dan perang melawan hawa nafsu terbesar.

 

Sungguh telah ada riwayat yang menyebutkan, bahwa Ibn Umar-radhiyallahu ta’ala ‘anhuma-ketika ada orang yang menanyai tentang tindakannya menyemir rambut dengan warna kuning: tidak ihram ketika masuk bulan Dzul Hijjah, tapi pada hari Tarwiyah, memakai sandal sibtiyyah dan hanya menyentuh dua Rukun Yamani (ketika nusuk), lalu beliau menjawab bahwa semuanya disandarkan pada perbuatan Nabi .

 

Ibn Umar Ra. pernah memutar-mutar kan tunggangannya di tempat kuburan para Syuhada, dan beralasan bahwa ia pernah melihat Nabi  melakukannya.

 

Perhatikanlah ucapan Umar Ra. pada al-Hajar al-Aswad “Sungguh aku tahu, bahwa kamu hanyalah batu yang tidak dapat membahayakan dan tidak dapat memberi manfaat. Andaikan aku tidak melihat Rasulullah menciummu, maka aku tidak akan menciummu.”

 

Telah diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, aku duga ia adalah Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau tidak memakan semangka. Lalu hal itu ditanyakan kepadanya. Kemudian ia menjawab: “Yang mencegahku memakannya adalah tidak ada riwayat hadits yang resmi sepengetahuanku yang menerangkan bagaimana cara Nabi memakannya.”

 

Kesimpulannya, mengikuti Nabi dalam seluruh perbuatan dan ucapannya, kecuali sesuatu yang dikhususkan baginya: dan meyakini kesempurnaannya secara umum dan terperinci, tanpa keraguan, dan tanpa terhenti sama sekali, termasuk dari kebiasaan ulama salaf yang diketahui secara pasti. Tiada keraguan, sungguh ini merupakan dalil qath’i yang disepakati atas kema’shuman Nabi . Termasuk pula kema’shuman para Rasul-alaihimush shalatu was salam—dari semua maksiat dan kemakruhan, dan bahwa perbuatan mereka berkisar di antara wajib, sunnah dan mubah.

 

Hal demikian hanya melihat pada hakikat perbuatannya saja.

 

Adapun bila melihat dari faktor lain yang ada padanya, maka sungguh perbuatan mereka berkisar di antara wajib dan sunnah, tidak selainnya. Sebab perbuatan mubah tidak dilakukan mereka karena tuntutan syahwat dan semisalnya sebagaimana perbuatan selain mereka, bahkan perbuatan mubah tidak dilakukan mereka kecuali berbarengan dengan niat yang menjadikannya sebagai ibadah.

 

Minimal mereka bertujuan tasyri’ (mensyariatkannya) bagi orang lain. Hal Ini termasuk bagian dari pembelajaran. Cukuplah bagi Anda derajat ibadah pembelajaran dan keutamaannya yang agung.

 

Waliyullah yang paling rendah saja bisa mencapai derajat yang seluruh kemubahannya menjadi ketaatan dengan niat baik saat melakukannya, maka bagaimana menurutmu dengan manusia pilihan Allah Ta’ala, yaitu para Nabi dan Rasul-alaihimush shalatu was salam-? Apalagi makhluk paling utama dan paling mulia secara umum maupun terperinci, berdasarkan ijma’ ulama yang ‘ijmanya dipertimbangkan, yaitu Nabi Muhammad 

 

Karena perbuatan para Rasul hanya berkisar pada wajib dan sunnah sebagaimana yang aku sebutkan, maka dalam Kitab Asal al-‘Aqidah aku cukup menyebut khususannya, yaitu ketaatan.

 

Aku tambahkan batasan dengan ungkapanku: “ ” sebagai isyarat bahwa sebagian perbuatan mereka, meskipun dikatakan mubah dengan memandang hakikat perbuatannya, dan kemutlakan wujudnya dari mukminin awam, bagi para Rasul-alaihimush shalatu was salam-karena kesempurnaan makrifat mereka terhadap Allah Ta’ala: selamatnya mereka dari ajakan hawa nafsu: terhindarnya mereka dari datangnya kejenuhan dan kebosanan, saat sadar dan tidur: dan kuatnya mereka dengan penjagaan Allah Ta’ala dalam setiap kondisi, tidak dilakukan mereka kecuali karena ketaatan yang mendatangkan pahala. Semoga Allah memberi rahmat tazhim dan keselamatan bagi Nabi kita dan seluruh saudaranya, yaitu para Nabi dan Rasul.

 

Hendaklah Anda, wahai orang beriman, sangat khawatir dan takut atas tercerabutnya keimanam dari Anda, sebab memfokuskan telinga atau akal Anda pada berbagai kepalsuan yang dinukil oleh para sejarawan pembohong yang diikuti sebagian ahli tafsir yang bodoh. Sebab Anda telah mendengarkan kebenaran yang tanpa keraguan bagi para Nabi-alaihimush shalatu was salam

 

Maka pedomanilah kuat-kuat kebenaran Itu, dan buanglah selainnya. Wallahul musta’an.

 

Ungkapan Kitab Asah “Ini juga menjadi dalil wajibnya sifat ‘ ketiga’, maksudnya adalah burhan wajibnya sifat ketiga, dan yang dimaksud adalah tabligh (penyampaian) para Rasulala/himush shalatu was salam-pada apa yang diperintahkan untuk disampaikan.

 

Tidak diragukan, sungguh andaikan terjadi perbuatan yang bertentangan dengan tabligh dari , mereka, niscaya kita diperintahkan untuk mengikuti mereka dalam : perbuatan tersebut. Maka kita juga akan menyimpan sebagian hal yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala kepada kita untuk disampaikan, yaitu ilmu manfaat bagi orang yang sangat membutuhkannya. Bagaimana bisa dibenarkan, padahal hal itu haram dan pelakunya dilaknat.

 

Allah Ta’ala berfiman: “Sungguh orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam alKitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.”

 

Bagaimana hal itu bisa tertashawwurkan dilakukan oleh para Rasul-alaihimush shalatu was salam-, sementara Allah—Jalla wa ‘Azza telah berfirman kepada Nabi Muhammad : “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya”, maksudnya, andaikan Anda tidak menyampaikan sebagian risalah yang Aku perintahkan untuk disampaikan, maka kamu hukumnya seperti orang yang tidak menyampaikan risalah sama sekali.

 

Lihatlah peringatan keras ini bagi makhluk-Nya yang paling mulia dan yang kemakrifatannya paling sempurna, dan ketakutannya sesuai dengan kadar kemakrifatannya. Karenanya, terdengar suara gemuruh seperti gemuruh air mendidih dari dada Nabi  karena . ketakutan kepada Allah Ta’ala.

 

Allah—Jalla wa Azza-telah bersaksi bagi kesempurnaan tabligh Nabi ‘ Muhammad . AllahTabaraka wa Ta’ala—berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam jadi agama bagimu”

 

Allah  berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam): sesungguhnya telah Jelas jalan yang benar dat jalan yang sesat; Allah Ta’ala berfirman: “Maka berpalinglah kamu dari mereka dan kamu sekali-kali tidak tercela.” Ayat tentang hal Itu sangat banyak. Wa billahi subhanahu wa ta’alat taufiq.

 

Burhan Sifat Jawaz al-A’radh al-Basyariyah

 

Burhan bolehnya al-a’radh al-basyariyah (sifat manusiawi) bagi para Rasul adalah fakta terjadinya hal itu pada mereka, adakalanya karena mengagungkan pahala mereka, tasyri” , bersabar dari urusan dunia, mengingatkan terhadap rendahnya derajat dunia di sisi Allah Ta’ala dan ketidak relakanlah padannya di akhirat bagi para nabi-Nya, dengan mempertimbangkan kondisi mereka -‘alaihimus shalatu was salam- di akhirat.

 

Maksudnya sungguh al-a’radh albasyariyah tidak terjadi pada para Nabi-alaihimush  shalatu was salam-kecuali yang tidak mencederai magam dan tidak menQurangi martabat mereka sedikit pun.

 

Sakit umpamanya, meskipun terjadi pada mereka, maka terbatas pada badan lahiriah, adapun hati mereka melihat makrifat dan cahaya keimanan yang kadarnya hanya diketahui oleh Allah-Jalla wa Azza-yang menganugerahkannya kepada mereka, maka tidak ada penyakit sepotongan kuku pun yang menyerangnya, yang mengeruhkan kebeningannya, yang membuat mereka gelisah, menyeleweng, dan lemah sama sekali, karena kekuatan batin mereka, sebagaimana hal itu ada pada selain mereka alaihimush shalatu was salam-,

 

Begitu pula lapar dan tidur tidak menguasai hati mereka sedikit pun. Karena itu, mata mereka tertidur, bukan hatinya.

 

Adapun kondisi hati mereka dalam berhadapan dengan cahaya-cahaya kemakrifatan, kehadiran, dan naik ke derajat-derajat kedekatan, yang sekitar derajat terendahnya belum pernah dirasakan oleh seorang pun selain mereka, pelaksanaan mereka secara sangat sempurna atas kesunnahan yang ditaklifkan kepada mereka saat di rumah dan di perjalanan, saat sehat dan sakit, itu sama dalam segala kondisi.

 

Adapun faidah badan lahiriah mereka-alaihimush shalatu was salam-mengalami berbagai al-a’radh al-basyariyah adalah isyaratku : dalam Kitab Asal al’Aqidah, yaitu untuk mengagungkan pahala : mereka-alaihimush shalatu was salam-. Seperti penyakit, kelaparan, dan kejahatan orang lain terhadap mereka.

 

Karena itu, Nabi bersabda: “Orang yang paling berat ujiannya dari kalian adalah para nabi, para wali, orang yang paling mulia, kemudian orang yang paling mulia (setingkat di bawahnya)”

 

Tidak samar, sungguh Allah-Jalla wa ‘Azza-mampu menyampaikan pahala agung tersebut kepada para Nabi-alaihimush  shalatu was salam-tanpa kerepotan yang menimpa mereka. Namun dengan keadilan-Nya-Jalla wa ‘Ala-dan keagungan hikmah-Nya yang tidak terhitung oleh akal, Allah memilih menyampaikan pahala kepada mereka disertai dengan al-a’radh al-basyariyah tersebut. Allah melakukan apa yang dikehendakiNya dan tidak ditanya dari apa yang dilakukan-Nya- Tabaraka wa Ta’ala-, sementara mereka ditanya.

 

Di antara faidah turunnya al-a’radh al-basyariyah tersebut pada para Nabi-alaihimush shalatu was salam—adalah mensyariatkan berbagai hukum yang berkaitan dengannya bagi makhluk, sebagaimana kita mengetahui berbagai hukum lupa dalam solat dari kelupaan Rasulullah : bagaimana kita melaksanakan shalat ketika dalam kondisi sakit dan ketakutan dari cara shalat Rasulullah dalam kondisi seperti itu: kita tahu cara memakan makanan dan meminum minuman dari cara makan dan minum Rasulullah . Bila tidak berfaidah mensyariatkan, maka beliau tidak perlu makan dan minum, sebab Ia bermalam di sisi Tuhannya yang memberinya makan dan minum serta selainnya.

 

Diantara faidah turunnya al-a’radh al-basyariyah tersebut kepada para Nabialaihimush — shalatu was salam— adalah bersabar dari dunia: maksudnya bersabar dan wujudnya kelapangan dan kelezatan ketika kehilangan dunia, mengingatkan kerendahan derajat dunia di sisi Allah I dengan kesabaran para Nabi yang mulia, manusia pilihan Allah, yang dilihat oleh orang berakal terhadap beratnya penderitaan tersebut: keberpalingan mereka dari dunia dan kemegahannya, yang menipu orang-orang bodoh, sebagaimana keberpalingan orang berakal dari bangkai dan najis. Karenanya Nabi bersabda: “Dunia ibarat bangkai kotor yang menjijikkan.”

 

Para Nabia/aihimush shalatu was salam-tidak mengambil dunia kecuali seperti kadar bekal musafir … Karenanya Nabi  bersabda: “Jadilah di dunia seakan-akan sungguh kamu orang asing atau yang melintasinya Nabi  juga bersabda: “Andaikan dunia ditimbang di sisi Allah dengan seberat sayap nyamuk, maka orang kafir tidak bisa menuangkan darinya seteguk air pun.”

 

Bila orang berakal melihat kondisi para Nabi Alaihimus shalatu was salam-dengan mempertimbangkan hiasan dan kemewahan dunia, niscaya ia mengetahui secara yakin bahwa dunia tidak ada kadarnya di sisi Allah  kemudian secara total hatinya akan berpaling darinya bila ia adalah orang yang mempunyai himmah yang tinggi untuk tinggal di surga Firdaus yang tinggi, yang sangat agung kenikmatannya, yang tidak dapat diketahui bagaimana nikmatnya dengan terbukanya hijab karena melihat Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia di pagi dan sore hari. la akan menyingsingkan pakaiannya untuk beribadah kepada Tuhan-Nya—Jalla wa Ala-, dan bersabar dalam umurnya yang sangat singkat ini untuk taat kepada Tuhannya.

 

Sungguh beruntung usaha orang yang mendapat taufik ini, karena ia telah menyerahkan sesuatu yang sedikit, mudah dan tidak berharga karena kemudahan dan kehinaannya, lalu memperoleh sesuatu yang banyak yang tiada ternilai karena banyaknya, keagungan kualitasnya, dan selalu bertambah kenikmatannya setiap saat selama-lamanya.

 

Ketika orang yang mendapat taufik ini berada dalam kehinaan lusuhnya pakaian, debaran hatinya: cucuran air matanya, tangisannya di waktu sahur, kegelisahannya dari makhluk, semuanya, mengadukan nasib dirinya dengan dirinya: dan ketakutan terlepasnya ridha Allah yang tidak mungkin tergantikan, maka ruhnya sesekali melayang-layang karena ingin keluar dari tubuhnya karena cinta yang sangat kuat dan ketajaman panasnya rindu, kemudian menghantamkannya ke sekeliling badan yang seperti menjadi sangkarnya.

 

Kemudian wushul ilallahyang seperi angin sepoi-sepoi menerpanya, agak tenanglah ruhnya karenanya. Di saat mengalami berbagai kondisi dan kenikmatan wushul ilallah yang dicintainya di balik hijab ini, ia menjadi sangat dekat dengan kematiannya, bertemu dengan Allah yang dicintainya tanpa hijab, menikmati melihat Zat yang tidak ada apapun yang menyamainya, Maha Agung Tuhan segala makhluk.

 

Lalu diberikan kepadanya berbagai karamah yang laksana hadiah dari raja, yang pantas dengan kemulian dan anugerah-Nya, yang tidak dapat dipahami akal dan tidak terhitung oleh daftar, dari pemberian-Nya yang sangat bagus dan nikmat-Nya yang yang sangat agung. Setelah sebelumnya (sebelum mati) menjadi orang yang hina, miskin, dan tidak dipedulikan, (setelah mati) ia menjadi salah satu raja dari para raja di surga, pergi ke mana saja yang dikehendakinya, di dalam surga, bernikmat-nikmat dengan apa saja yang ia kehendaki darinya, bidadari dan anak-anak surga mengelilinginya, dan melihat kenikmatan-kenikmatan setelah kematian yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terbersit di hati manusia.

 

Kenikmatan inilah, wahai orang berakal, sebenar-benarnya kerajaan yang berhak diserahi jiwa dan zat. Demi Allah, keduanya bukan harga darinya andaikan tidak ada anugerah Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi. Lalu ceritakanlah anugerah-Nya yang seluas samudra, yang agung, dengan apa yang Anda kehendaki, dan tanpa dosa. Penyair berkata: Tahap demi tahap aku mengupayakan kemuliaan, sementara orang-orang yang mengupayakannya telah mencapai batas kemampuan jiwa, dan menjatuhkan pakaiannya di arah kemuliaan. Mereka menanggung kesusahan dalam meraih kemuliaan sampai kebanyakan dari mereka bosan orang yang memenuhi sebab-sebabnya dan sabar meraihnya.

 

Jangan anggap kemuliaan seperti kurma yang Anda makan Anda tidak akan mencapai kemuliaan sehingga menanggung derita kesabaran.

 

Maha Suci Allah yang memuliakan kaum yang taat, menyempurnakan akhlaknya, memuliakannya di dunia dan akhirat pada tempat yang paling mulia: dan merendahkan kaum yang bermaksiat padahal mereka sama-sama berbentuk manusia (dengan kaum yang taat) ke tempat yang paling bawah, menyerahkan mereka pada makhluk yang paling rendah, yaitu nafsu, setan, dan hawa, kemudian mereka mengikutinya dalam hal yang tidak bermanfaat, lalu makhluk-makhluk itu membuangnya di dunia dan akhirat pada berbagai kerusakan yang besar dan kengerian pasca kematian yang sangat dahsyat, lama, dan yang terjadi.

 

Karena kebutaan hatinya, parahnya kebodohannya, dahsyatnya bencananya, dan banyaknya ujiannya, mereka menganggap bahwa dirinya telah mendapat sebagian kelezatan, padahal demi Allah, mereka keluar dari dunia tanpa mendapat sedikitpun kelezatan dunia dan akhirat.

 

Seseorang dipastikan dalam harihari kelapangannya sehingga ia melihat sesuatu yang tidak baik sebagai kebaikan.

 

Hanya kepada Allah Yang Maha Penguasa dan Yang Maha Mulia kami mengadukan ketertinggalan dari mengikuti para tuan yang mulia dan punya himmah tinggi, dan stagnannya kami dengan kondisi lemah dan terlempar dalam golongan orang-orang hina yang mengingkari janji terhadap Tuhannya.

 

Sahwat yang hanya dugaan yang tidak berfaidah, yang tidak ada keuntungannya ketika diuji dengan akal sempurna, menarik-narik hati dan badan kami bersama mereka.

 

Bahkan pada hakikatnya sahwat adalah racun mematikan, aib yang tampak, dan kotoran yang busuk, yang bau busuknya menutupinya dari orang-orang bodoh yang lalai dan mengikuti dugaannya.

 

Lalu kami sibuk dengannya sungguh panjang kepayahan, penyesalan, dan besarnya kebodohan kami di padang kerusakan, yang dikhawatirkan mendatangkan keterputusan dan kerusakan hanya dengan sekali berpaling dari akidah yang benar.

 

Bagaimana dengan keberpalingan kami dari jalan keistiqomahan sehingga kami pindah—aduh celakanya—dari jalan petunjuk, dan sebab kebodohah kami menuju ke tempat-tempat kebinasaan dengan keinginan yang kuat?

 

Ya Allah, wahai Penyelamat orang-orang tenggelam, setelah mereka putus asa, selamatkan kami, wahai Tuhan kami, dari ketakutan yang dahsyat ini, yang kami alami, tanpa ujian, wahai Zat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Wahai Zat Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.

 

Ya Allah, hanya bagi-Mu pujian, hanya kepadamu ditujukan pengaduan, hanya denganmu istighasah. Andah Zat Yang Maha Penolong, hanya kepadamu bertawakal, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolonganmu. Jagalah kami, wahai Tuhan kami, dengan penglihatanMu yang tidak pernah tidur. Jagalah kami dengan penjagaanmu yang tidak pernah sirna. Semoga Allah — melimpahkan rahmat tazhim kepada Sayyidina Muhammad, para keluarga, para sahabatnya yang menjadi pemimpin yang terkenal, dan orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan sepanjang zaman.

 

 

 

 

 

Berbagai makna akidah ini, semuanya, terkumpul dalam ucapan : لااله الا الله محد رسول الله

 

Setelah Kitab Asal selesai menyebutkan akidah-akidah keimanan bagi Allah—Jallaa wa Azzadan para Rasul-Nyaa/aihimush shalatu was salam-yang wajib diketahui oleh mukallaf. di sini ia menyempurnakan faidahnya dengan menyebutkan masuknya seluruh akidah tersebut di dalam cakupan kalimat tauhid, yaitu لااله الا الله محد رسول الله agar Anda mendapatkan pengetahuan tentang — akidah keimanan secara terperinci dan secara global.

 

Dengan hal itu hendaknya Anda mengetahui sirri kalimat tauhid yang mulia Ini dan berbagai kebaikan yang terkandung di dalamnya, sehingga saat menyebutnya hati memancarkan keyakinan yang laksana cahaya, dan berkibar-kibar keimanan yang laksana sinar di dalamnya, sehingga pengaruhnya tampak di luar dan menyebar sampai ke ‘illiyyin, sehingga makna yang tersimpan dalam kalimat agung ini membukakan berbagai akidah yang laksana yaqut yang menyebabkan masuk surga Firdaus bagi Anda: dan Anda mengetahui banyaknya kenikmatan yang sangat agung yang Allah-Yang Maha Pemurah, Maha Maha Penyayang Anugerahkan dengan murni anugerahNya setelah sebelumnya badan Anda yang laksana — rumah menyimpan simpanan hakidah) agung yang mengantarkan ke terbukanya hijab dan bernikmat-nikmat dengan ridha Allah yang agung.

 

Sementara Anda tidak mengetahui,wahai orang miskin, apa yang ada di baliknya, dan sulitnya Anda mencapai berbagai kebaikan yang agung yang ada di dalam akidah tersebut yang demi Allah andaikan tidak ada anugerah Allah  Anda tidak akan mendapat keimanan sedikit pun.

 

Tiada keraguan, sungguh kalimat tauhid ini termasuk kewajiban yang hal ihwalnya harus diperhatikan oleh setiap orang mukmin, sebab merupakan harga surga dan yang menyelamatkan dari berbagai kerusakan di dunia dan akhirat. Sungguh ulama telah menjelaskan secara terang-terangan bahwa kalimat itu harus dipahami maknanya, bila tidak maka tidak akan mensyafa’ati pengucapnya dalam menyelamatkannya dari kelanggengan di neraka.

 

Karena itu, pembahasanku tentangnya teringkas dalam tujuh pasal:

 

  1. Cara pengucapannya.
  2. I’rabnya.
  3. Keterangan makna-maknanya.
  4. Keterangan hukumnya.
  5. Keterangan keutamaannya.
  6. Cara berzikir dengannya dengan cara paling sempurna, yang dengannya pelakuknya dapat merasakan seluruh kelezatan berbagai kebaikannya, semuanya atau sebagiannya, sesuai takhliyyah dan tahliyyah yang dibukakan oleh Allah baginya saat berzikir dengannya.
  7. Keterangan tentang berbagai faidahnya yang diperoleh orang yang berzikir dengannya secara kontinyu dengan cara yang paling sempurna, insyaallahu Tabaraka wa Ta’ala.

 

Saya akan menunda penjelasan empat pasal, yaitu pasal keempat dan setelahnya sampai pembahasan dalam Kitab Asal al-‘Aqidah yang selaras dengannya, yaitu ungkapanku dalam Kitab Asal alAqidah

 

PASA I

 

Pelafalan kalimat  لااله الا الله محد رسول الله

 

Adapun cara pelafalan kalimat tauhid yang mulia ini adalah, hendaknya orang yang zikir Zakir) tidak — terlalu memanjangkan bacaan mad pada lafal, dan membaca gatha’ hamzah dari lafal  . Sebab banyak sekali orang yang salah baca dan menggantinya dengan huruf  . Begitu pula ia memfasihkan hamzah dari lafal   dan mentasydid  setelahnya. Sebab banyak sekali orang yang salah baca dan menggantikan hamzahnya dengan   dan membaca   dengan cara takhfif.

 

Adapun kalimah al-jalalah wa attazhim setelah  maka tidak terlepas dari kemungkinan, yaitu: adakalanya Zakir waqaf padanya atau tidak. Bila ia waqaf padanya maka harus disukun, dan bila ia mewashakannya dengan lafal lain seperti: لااله الاالله وحده لاشريك له, maka ia boleh membacanya dengan dua cara, yaitu rafa-ini pendapat yang arjah-, dan nashab-ini pendapat yang marjuh-, dan keduanya akan dijelaskan dalam Pasal i’rab.

 

Zakir hendaknya mentanwin nama Sayyidina Muhammad  dan mengidghamkannya ke dalam .

 

PASAL II

 

I’rob Kalimat   لااله الا الله محد رسول الله

 

Adapun I’rab kalimat tauhid yang mulia ini adalah, sungguh Anda mengetahui bahwa ia terdiri dari shadr (bagian awal) dan ‘ajz hbagian akhir), Adapun i’rab ‘ajznya telah jelas, karena – merupakan jumlah mubtada khabar dan mudhaf ilaih.

 

Adapun shadrmya, maka huruf Ynya adalah la nafiyah li al-jinsi. Lafal  mabni saat bersamaan dengan  karena mengandung makna — huruf   Sebab perkiraannnya adalah   (tidak ada dari jenis “ tuhan). Karena itu  merupakan nash yang bersifat umum, seolah-olah Zakir menafikan seluruh tuhan kecuali Allah—Jalla wa Azza—dari permulaan berbagai tuhan yang dikira-kirakan sampai batas yang tidak berujung. Dikatakan, ism   dimabnikan bersama  karena alasan tarkib sebagaimana tarkib  . Sedangkan az-Zujaj berpendapat bahwa ism  murab dan manshub dengan.

 

Bila kita kembangkan dari pendapat , masyhur yang memabnikan , maka status ism  adalah nashab dengan  yang beramal pada ismnya dengan ‘amal . Kumpulan   dalam status rafa’, yang dirafa’kan karena menjadi mubtada’, dan ada khabar yang dikira-kirakan untuk mubtada’ ini.  tidak beramal pada  menurut Sibawaih, sedangkan menurut al-Akhfas  itulah yang beramal padanya.

 

Ad-Damamini dalam Talignya atas kitab al-Mughni berkata: “Al-Qadhi Muhibbuddin Nazhir alJaisy sungguh telah membicarakan ‘rab kalimat tauhid yang mulia ini dalam kitab Syarh at-Tashil dengan ungkapan yang akan aku sampaikan seluruhnya, meskipun sangat panjang, karena mencakup berbagai faidah. Al-Gadhi Nazhir al-Jaisy berkata: “Ahlul Ilmi berkata: “Sungguh al-ism almu’azhzham (lafal  ) dalam tarkib ini dibaca rafa’, inilah yang banyak, dan dalam al-Qur’an al’Aziz tidak ada selainnya, dan terkadang dibaca nashab.

 

Adapun bila dibaca rafa’ pendapat ulama sesuai perbedaan i’rab mereka, ada lima. Dua pendapat adalah pendapat mu’tabar, sedangkan tiga pendapat lainnya tidak bisa dijadikan pedoman.

 

Dua pendapat mu’tabar tersebut adalah rafa’ lafal   berdasarkan pola badaliyyah dan berdasarkan pola khabariyyah. Adapun pendapat dengan pola badal adalah pendapat masyhur yang terlaku pada bahasa kaum mu’rabin, yakni pendapat Ibn Malik.

 

Saat menjelaskan pembuangan khabar   yang beramal dengan ‘amal  , ia berkata: “Yang paling banyak dibuang oleh ahli Nahwu wilayah Hijaz bersamaan dengan lafal   adalah seperti contoh:   Pendapat dari Ibn Malik ini menunjukkan bahwa rafa’nya alism al-muazham tidak berdasarkan pola khabariyyah. Bila demikian maka pasti al-ism almuazham tersebut menjadi badal dari dhamir yang tersimpan dalam khabar yang dikira-kirakan.

 

Terkadang dikatakan, bahwa alism al-muazham menjadi badal dari ism  dengan mempertimbangnkan mahall ibtida’, maksudnya mempertimbangkan mahall ism sebelum makuknya . Alasan pendapat yang menyatakan bahwa al-ism al-muazham merupakan badal dari dlamir mustatirlebih utama, karena badal dari lafal yang lebih dekat lebih utama daripada badal dari lafal yang lebih jauh, dan sungguh tidak ada faktor yang menarik untuk mengikuti pertimbangan mahal saat memungkinkan mengikuti pertimbangan lafal.

 

Kemudian bila badal tersebut merupakan badal dari dhamir yang tersimpan dalam khabar, maka badal tersebut sebagaimana badal dalam contoh:   Sebab badal dalam kedua masalah tersebut mempertimbangkan lafal. Adapun bila badal tersebut merupakan madal dari ism  maka badal tersebut sebagaimana badal dalam contoh:   Sebab badal dalam kedua masalah mempertimbangkan mahall.

 

Ulama memusykilkan badal dalam penjelasanku. ‘Dalam contoh:  ada dua kemusykilan. Pertama, itu adalah badal ba’d, dan di sana tidak terdapat dhamir yang kembali pada mubdal minhu. Kedua, di antara badal dan mubdal minhu terdapat perbedaan. Sebab badal bersifat mujab hipositif /menatapkan) dan mubdal minhu bersifat manfi (negatif menegasi).

 

Kemusykilan pertama dijawab dengan jawaban, sungguh  dan lafal setelahnya merupakan kesempurnaan kalam yang pertama, dan  menjadi garinah yang memberi pemahaman bahwa kalam yang kedua tercakup oleh kalam pertama, maka menjadi maklum bahwa ia merupakan bagian darinya, sehingga tidak membutuhkan rabith, berbeda dengan contoh:   Kemusykilan kedua dijawab dengan jawaban, sungguh itu merupakan badal dari lafal yang pertama dalam ‘amalnya ‘amil, sedangkan perbedaan di antara keduanya dalam nafi dan itsbat tidak mencegah pola badaliyyah, sebab pola badal adalah menjadikan lafal yang pertama seolah-olah tidak disebutkan, dan memposisikan lafal yang kedua pada tempatnya.

 

Sungguh Ibn adh-Dzha’i’ berkata: “Bila, — kita mengatakan   maka kata   itulah badalnya, yang posisinya ditempati lafal  , bukan lafal   saja badal dari   Ibn adh-Dzha’i berkata: “  itulah   yang dinafikan berdirinya. Maka  merupakan bayan bagi  yang telah ditentukan.” Setelah itu Ibn adh-Dzha’i’ berkata: “Berdasarkan hal ini, maka badal . dalam ististsna’ lebih identik dengan badal syai’ min syai” daripada dengan badal ba’dh min kull.” Di tempat lain Ibn adhDzha’i’ berkata: “Andaikan dikatakan, sungguh badal dalam istitsna merupakan bagian tersendiri sesuai karakteristiknya, dan bukan merupakan bagian dari badal-badal lain tersebut yang jelas dalam selain istitsna’, niscaya kuat, dan itulah yang benar.” Demikian kata Ibn adh-Dzha’i.

 

Adapun kemusykilan dalam contoh:  ,adalah bahwa   merupakan badal dari  , dan tidak mungkin bagi Anda menempatkannya pada posisinya. Kemusykilan ini telah dijawab oleh asy-Syalaubin dengan jawaban, pernyataan ini muncul karena salah paham dengan susunan   karena maknanya sama. Dalam susunan ini memungkinkan menempati posisi  , dengan Anda katakan   Demikian jawaban asy-Syalaubin. Ini pendapat yang bagus.

 

Ad-Damamini berkata: “Berdasarkan pendapat asy-Syalaubin, maka kalimat kebenaran, yaitu   menjadi … bermakna:  Tidak satu zat pun yang berhak diibadahi kecuali Allah)” Dalam ‘ pendapat ini badal mungkin ‘ diposisikan pada tempat mubdal minhu, dengan Anda ucapkan:  Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah). Demikian pendapat ad-Damamini (yang ditambahkan oleh as-Sanusi di sela-sela kutipan pendapat Nazhir al-Jaisy).

 

Nazhir al-Jaisy berkata: “Adapun pendapat yang menyatakan pola khabariyyah dalam al-ism almu’azhzham, maka sekelompok ulama telah menyatakannya. Menurutku pendapat itulah yang lebih unggul daripada pendapat badaliyyah.

 

Sungguh ada tiga hal yang melemahkan pendapat khabriyyah, yaitu:

 

  1. Pendapat itu berkonsekuensi menganggap khabar adalah ma’rifat, padahal tidak ber’amal pada ism ma’rifat,

 

  1. Al-ism al-mu’azhzham berstatus sebagai mustatsna, dan tidak sah suatu mustatsna merupakan mustatsna minhu itu sendiri, sebab mustatsna tidak disebutkan kecuali untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan mustasna minhu,

 

  1. Ism merupakan lafal yang umum, sedangkan al-ism almu’azhzham lafal yang khusus, padahal lafal yang khusus tidak bisa menjadi khabar bagi lafal yang umum, tidak boleh dikatakan: “Hewan itu adalah manusia.”

 

Jawaban dari ketiga hal ini adalah:

 

  1. Anda telah mengetahui, sungguh madzhab Sibawaih menyatakan, bahwa kondisi tarkib al-ism al-mu’azhzham bersama huruf tidak beramal pada khabar, dan dalam kondisi seperti itu ia dibaca rafa’ dengan ‘amil yang merafa’kannya sebelum masuknya  Sibawaih mendasarkan pendapatnya pada alasan bahwa keserupaan  dengan  lemah ketika disusun dengan lafal lain dan menjadi seperti bagian suatu kata, padahal bagian suatu kata tidak beramal apapun. Konsekuensinya, batal pula ‘amalnya dalam ismnya. Namun ‘amalnya disisakan pada salah satu dari dua ma’mul yang paling dekat, dan  bersama ma’mulnya ditempatkan pada posisi mubtada, sedangkan khabar setelah keduanya tetap berada pada kondisinya, yaitu terlepas dari ‘amal  Bila demikian maka ‘amal  tidak berfungsi dalam ism ma’rifah.

 

  1. Adapun yang kedua, maka saya tidak menerima bahwa ism adalah mustatsna minhunya. Sebab sungguh al-ism almu’azhzham bila menjadi khabar, maka istitsna’nya adalah istitsna’ mufarraqh, yaitu yang mustatsna minhunya tidak disebutkan. Ya, istitsna yang ada di situ adalah istitsna” dari lafal yang dikira-kirakan karena keabsahan maknanya, dan lafal yang dikira-kirakan itu tidak dipertimbangkan secara lafzi, serta tidak diketahui khilaf ulama dalam semisal contoh bahwa   merupakan khabar dari  . Tiada keraguan pula bahwa   merupakan fa’il dalam ucapan:   padahal ia merupakan mustatsna dari lafal yang dikira-kirakan dalam maknanya. Sebab kira-kiranya adalah:   Berdasarkan hal ini maka tidak ada kesaling menafikan antara adanya al-ism al-mu’azhzham  menjadi khabar dari ism sebelumnya, dan adanya al-ism , al-mu’azhzham menjadi mustatsna dari lafal yang dikira-kirakan. , Sebab menjadikannya sebagai “ khabar karena mempertimbang| kan lafainya dan menjadikannya sebagai mustatsna mempertimbangkan maknanya.

 

  1. Diterima bahwa lafal yang . khusus tidak bisa menjadi khabar dari lafal yang umum. Namun dalam kalimat kata khusus tidak dijadikan . sebagai khabar dari kata umum, . karena lafal yang umum  dinafikan, sedangkan kalam   disampaikan karena penafian yang bersifat umum . dan karena mengkhususkan khabar yang disebutkan dengan ‘ salah satu dari afrad lafal yang ditunjukkan oleh lafal yang umum.

 

Adapun tiga pendapat terakhir yang tidak dapat dijadikan ‘ pedoman, maka: “

 

  1. Sungguh bukan adat istitsna’, hanya bermakna Ia bersama al-ism al-mu’azhzham menjadi sifat bagi ism dengan mempertimbangkan mahallnya. Demikian disebutkan oleh asySyaikh Abdul Qahir al-Jurjani dari sebagian ulama. Maka kirakiranya adalah: “   (tiada tuhan selain Allah Tabaraka wa Ta’ala yang wujud).

 

Tiada keraguan, sungguh pendapat, yang menyatakan bahwa   dalam tarkib ini menggunakan makna   dari ada faktor yang mencegahnya dari sisi disiplin nahwu. Yang mencegahnya adalah sisi makna, yaitu sungguh maksud kalimat tauhid ini adalah dua hal, yaitu: menafikan uluhiyyah dari selain Allah-Tabaraka wa Ta’ala—dan menetapkannya bagi AllahTabaraka wa Ta’ala—, dan tarkib tersebut tidak menunjukkan maksud ini.

 

Bila dikatakan: “Hal itu ditunjukkan dengan mafhumnya”, maka saya jawab: “Di mana posisi dilalah mafhum dari dilalah manthuq?” Kemudian bila mafhum ini adalah mafhum laqab, maka tidak dipertimbangkan, sebab tidak ada yang mengatakannya kecuali orang-orang yang rendah. Saya katakan, ada sebagian Hanabilah yang juga mengatakannya.

 

Bila berupa mafhum sifat, maka telah Anda ketahui dalam Ushul al-Fiqih bahwa mafhum sifat tidak disepakati legalitasnya. Dengan demikian, jelaslah kelemahan pendapat ini secara pasti.

 

  1. Pendapat yang dinisbatkan kepada az-Zamakhsyari, bahwa menempati posisi khabar dan menempati posisi mubtada’. Az-Zamakhsyari telah menetapkannya dengan suatu penetapan karena penalaran – yang di dalamnya terdapat kejanggalan. Tiada kesamaran atas lemahnya pendapat ini, dan berkonsekuensi memabnikan khabar ketika bersama dengan , padahal tidak ada yang dimabnikan ketika bersama dengannya kecuali mubtada. Kemudian andaikan yang benar adalah pendapat az-Zamakhsyari, maka tidak boleh ada nashab dalam tarkib ini, padahal ia membolehkannya sebagaimana keterangan nanti.

 

  1. Sungguh al-ism al-mu’azhzham dibaca rafa” sebab sebagaimana ism shifat dalam ucapanku: sehingga ism yang dibaca rafa’ tidak memerlukan khabar, dan hal itu telah tetap dengan alasan, bahwa makna   adalah (yang disembah) dari , maksudnya  sehingga al-ism al-mu’azhzham dibaca rafa’ karena menjadi maful yang diposisikan pada posisi fa’il, sehingga tidak membutuhkan khabar,sebagaimana, dalam ucapanku:   la (tidak ada yang terpukul kecuali dua ‘Amr).

 

Sebagian ulama yang terhormat telah menjawabnya dengan jawaban, bahwa sebagian ahli nahwu membolehkan membuang tanwin dalam contoh seperti itu. Pada pemahaman inilah firman Allah:   dan  dipahami.

 

Dalam jawaban ini masih terdapat tinjauan, sebab orang yang membolehkan membuang tanwin dalam contoh seperti itu, juga membolehkan menetapkannya, dan kita tidak mengetahui seorang ulama pun yang membolehkan tanwin pada kalimat   Ini adalah akhir pembahasan atas alasan rafa’.

 

Adapun nashab, maka ulama telah menyebutkan duasisi:

 

  1. Menjadi istitsna’ dari dhamir yang ada dalam khabar yang dikira-kirakan.

 

  1. Menjadi sifat bagi ism.

 

Keberadaan    menjadi sifat maka tiada lain kecuali  bermakna   dan Anda tahu bila demikian maka kalimat   tidak dapat menunjukkan tetapnya uluhiyyah bagi Allah-Tabaraka wa Ta’ala-dengan manthuqnya, padahal maksud utama dari kalimat tersebut adalah menetapkan uluhiyyah bagi Allah Ta’ala setelah menafikannya dari selain-Nya. Berdasarkan hal ini pendapat ini tercegah, maksudnya keberadaan   menjadi sifat bagi ism

 

Adapun sisi yang pertama, ulama “mengatakan bahwa di situ terdapat pendapat yang marjuh, padahal sebenarnya ia rajih, sebab kalamnya tidak mujab, padahal konsekuensi bagi ketidak-arjahan badal di sini adalah sungguh pentarjihan badal dalam contoh   terjadi karena musyakalah, sehingga meskipun musyakalah terjadi dalam suatu tarkib yang di dalamnya itba’ dan nashab sama-sama memungkinkan, seperti  . Karena itu, bila dalam itba’ tidak terjadi musyakalah, apalagi nashab karena istitsna’, Ulama berkata: “Dalam tarkib   ini nashab menjadi unggul “secara giyas, namun sima’ dan kebanyakannya adalah rafa’.

 

Dikutip dari al-Ubbadi: “Bila Anda berkata:  ,menashabkan kata   karena menjadi istitsna’ lebih utama dan lebih bagus daripada merafa’kannya karena menjadi badal. Ini yang disebutkan ulama.

 

Yang sesuai dengan penalaran adalah sungguh nashab karena menjadi istitsna” tidak boleh, bahkan rafa’ karena menjadi badal juga tidak boleh. Penjelasannya adalah, bila dikatakan: “Sungguh Yi dalam kalam tamm yang mujab seperti   pasti untuk istitsna’,  mengecualikan apa yang ada setelahnya dari apa yang ditunjukkan kalam yang terletak sebelumnya. Penjelasannya, sungguh kalam ini hanya dimaksudkan untuk mengabarkan kaum yang berdiri, kemudian Zaid merupakan bagian dari mereka dan ia tidak sama dengan mereka dalam hukum yang disandarkan kepada mereka, maka harus dikecualikan.

 

Begitu pula hukum  dalam kalam tamm yang tidak mujab, seperti   Karena itu tarkib seperti ini berfaidah meringkas sekaligus untuk istitsna’ juga, sebab lafal yang disebutkan setelah   dikecualikan dari sesuatu yang terletak pada sebelumnya. Bila kalam sebelum   adalah kalam tamm, maka tidak membutuhkan perkiraan, bila tidak tamm, maka pasti ada perkiraan sesuatu sebelum   sehingga ada pengecualian darinya.

 

Saya membutuhkan perkiraan ini karena membenarkan maknanya, sehingga jelaslah dari makna yang saya katakan ini, bahwa maksud dalam kalam yang tidak tamm adalah menetapkan hukum yang dinafikan sebelum  untuk lafal yang disebutkan setelahnya, dan istitsna’ bukan menjadi maksudnya. Karena itu Ahli Nahwu sepakat bahwa lafal yang disebutkan setelah   dalam contoh   merupakan ma’mul bagi ‘amil yang disebutkan sebelumnya. Tiada keraguan bahwa maksud tarkib   ini ada dua, yaitu menafikan uluhiyyah dari segala sesuatu selain Allah, dan menetapkannya bagi Allah Ta’ala sebagaimana penjelasan yang telah lewat.

 

Bila  dihadirkan karena istitsna’ saja, maka maksud tersebut tidak akan sempurna baik kita menashabkan al-ism almu’azhzham atau menjadikannya sebagai badal. Penjelasannya, alism al-mu’azhzham tidak dinashabkan dan tidak dijadikan badal kecuali bila kalam sebelum  berupa kalam tamm, yang tidak akan sempurna kecuali dengan mengira-ngirakan khabar yang dibuang. Dalam kondisi demikian hukum .menafikan pada lafal setelah  dalam kalam mujab dan hukum itsbat dalam kalam yang tidak mujab, tidak mujma’ ‘alaih (disepakati). Sebab tidak ada yang mengatakannya kecuali orang yang menurut madzhabnya bahwa istitsna’ dari itsbat adalah nafi dan istitsna’ dari nafi adalah itsbat, dan orang yang madzhabnya menyatakan bahwa mustatsna dalam tarkib   tidak disebutkan. Memang madzhabnya tidak demikan, ia mengatakan, bahwa lafal setelah berstatus maskut ‘anhu, maka bagaimana ucapan   berfaidah mentauhidkan Allah?”

 

Saya Nazhir al-Jaisy) berpendapat, dalam pendapat tersebut masih ada peninjauan, sebab ucapan   berfaidah mentauhidkan Allah berdasarkan dilalah ‘urfnya, dan tidak ada pertentangan tetapnya uluhiyyah bagi Allah-Jalla wa ‘Azza—bagi seluruh orang yang berakal. Yang ingkar hanyalah orang yang mengingkarinya dengan menambah tuhan lain. Maka menafikan selain Allah Ta’ala berdasarkan pandangan inilah yang dibutuhkan, dan telah menghasilkan tauhid. Renungkanlah.”

 

Kemudian Nazhir al-Jaisy berkata: “Berdasarkan hal itu atas pembahasan yang aku tentang yang telah jelas bagi al-Ubbadi, maka  dalam tarkib ini harus dihadirkan karena tujuan menetapkan hukum yang dinafikan sebelumnya pada kalam yang terletak setelahnya. Hal itu tidak akan sempurna kecuali kalam yang sebelumnya adalah kalam ghairu tamm, dan kalam tidak akan berupa kalam ghairu tamm kecuali bila sebelum akhirnya dikira-kirakan suatu lafal yang dibuang. Bila tidak dikira-kirakan khabar sebelum Y maka kalam setelah Y) wajib menjadi khabar. Inilah yang dicondongi hati, dan telah dijelaskan dimuka penetapan keabsahan adanya al-ism almu’azhzham dalam tarkib   ini sebagai khabar.”

 

Saya as-Sanusi) berkata: “Pendapat Nazhir al-Jaisy ini menetapkan bahwa khilaf tentang adanya istitsna’ dari nafi adalah itsbat atau tidak, memasukkan istitsna’ mufarraqh, dan lahiriah kalam ar-Razi dan banyak ulama ushul lainnya menunjukkan masuknya khilaf itu pada istitsna’ mufarraqh. Karena itu mereka menolak orang yang berpendapat bahwa istitsna’ dari nafi tidak itsbat, bahwa pendapat ini memastikan bahwa tauhid tidak diperoleh dengan kalimat syahadat.

 

Penolakan mereka itu terjawab dengan penalaran yang telah saya sebutkan sebelumnya dalam pembahasan Nazhir al-Jaisy (yaitu kalimat syahadat   menghasilkan — tauhid dengan melihat ‘urf syara’).” Inilah akhir pembahasan terkait Pasal I’rab alKalimah asy-Syarifah ini secara ringkas. Wa billahit taufi..

 

PASAL III

 

Makna Kalimat لااله الا الله محد رسول الله

 

Adapun makna kalimat   ini adalah, sungguh tiada keraguan bahwa ia mencakup nafi/

 dan itsbat Yang dinafikan adalah setiap fard dari afrad hakikat ilah selain Allah Jalla wa Azza-, sedangkan yang diitsbatkan dari hakikat tersebut adalah satu fard, yaitu Allah—Jalla wa Azza-.

 

Pencantuman  bertujuan meringkas hakikat ilah bagi Allah Ta’ala, dengan makna sungguh tidak mungkin hakikat tersebut ditemukan kecuali pada selain Allah Ta’ala, baik secara ‘aqli maupun syari.

 

Hakikat ilah adalah Zat yang wajib wujudnya dan yang berhak disembah.

 

Tiada keraguan, bahwa makna ini adalah kulli. Maksudnya, dengan menemukan maknanya saja ia menerima untuk membenari tuhan yang banyak, namun burhan yang qath’i menunjukkan kemustahilan keterbilangan di dalamnya, dan sungguh maknanya terkhusus bagi Allah -Jalla wa ‘Azza-

 

Karena itu, al-ism al-mu’azhzham yang disebutkan setelah huruf Istitsna” tidak — bermakna  sehingga bukan Kulli, namun ia adalah juz’i yang merupakan “alam bagi Zat Allah-Jalla wa ‘Azza-, yang maknanya tidak menerima keberbilangan baik dalam penalaran maupun dalam kenyataan. Andaikan makna   seperti makna   otomatis terjadi mengecualikan sesuatu dari dirinya, dan otomatis tidak diperoleh tauhid dari al-kalimah al-Musyarrafah ini.

 

Begitu pula bila makna  adalah juzi sebagaimana al-ism almu’azhzham, otomatis terjadi pengecualian sesuatu dari dirinya dan terjadi pertentangan dalam kalam dengan menetapkan sesuatu lalu menafikannya.

 

Kesimpulannya, sungguh berbagai makna yang dikira-kirakan dalam ranah akal dalam al-kalimah al-Musyarrafah ini dengan mempertimbangkan mustatsna minhu dan mustatsna, ada empat. Yang tiga salah dan yang keempat terbagi dua, yang salah satu bagiannya salah dan bagian yang lain itulah yang benar dari berbagai bagian makna al-kalimah al-Musyarrafah, semuanya.

 

Tiga makna yang salah tersebut adalah mustatsna minhu dan mustatsna sama-sama juz’i atau kulli, atau yang pertama juz’ dan yang kedua kulli. Makna keempat kebalikan dari makna ketiga, yaitu yang pertama kulli dan yang kedua juz’i, sehingga bila yang dimaksud dengan kulli, yakni  , adalah zat yang disembah secara mutlak, maka tidak sah, karena otomatis bohong, sebab banyaknya zat yang disembah yang batil: dan bila maksud adalah (zat yang disembah secara benar), maka sah.

 

Bila demikian, maka tidak ada makna yang sah dari semua bagian ini kecuali bila   kulli dengan makna  , sedangkan al-ism al-mu’azhzham menjadi ‘alam bagi fard yang wujud dari kulli tersebut.

 

Maknanya berdasarkan pemaknaan ini adalah tidak ada zat yang berhak disembah yang wujud atau ada wujudnya kecuali fard yaitu Sang Pencipta Alam—Jalla wa “Aza-.

 

Bila menghendaki, dalam makna   Anda dapat mengatakan: “Ja adalah zat yang mandiri(tidak membutuhkan) pada segala sesuatu selainnya, dan segala sesuatu selainnya merupakan zat yang membutuhkannya.” Makna ini lebih jelas dan lebih ‘memahamkan daripada makna pertama. Ia merupakan asal baginya, sebab sungguh tidak ada yang berhak disembah, maksudnya — segala sesuatu merendah kepadanya, kecuali zat yang mandiri dari segala sesuatu selainnya.”

 

Sehingga menjadi jelas bahwa ungkapan kedua lebih baik daripada ungkapan pertama. Dengan ungkapan kedua, tampaklah masuknya seluruh akidah keimanan di bawah al-kalimah al-musyarrafah ini, dengannya hati orang mukmin menjadi lapang untuk menampung curahan berbagai makrifat yang laksana cahanya: Ia berada di pinggir keselamatan dan aman dari segala kesalahan yang terjadi dalam makna al-kalimah almusyarrafah ini, bersukacita dalam berbagai tajalliyah dan ma’rifat yang laksana bunga yang muncul dari banyaknya berzikir dengannya dan dari memahami maknanya, bersuci dalam tajalliyah dan ma’rifat yang laksana sungai Salsabil di surga yang muncul dari banyaknya berzikir dengannya dan dari memahami maknanya, memanen berbagai makrifatnya yang laksana buah: dan mendengar dari kemerduan hidayahnya yang indah yang laksana suara burung yang ditakdirkan baginya.

 

Karena alasan ungkapan kedua lebih baik daripada ungkapan pertama ini, dalam Kitab Asal alAqidah saya memilih menafsirkan dengannya untuk al-kalimah almusyarrafah ini.

 

Dalam al-Asrar al-‘Aqliyyah alMugtarih berkata tentang makna al-kalimah al-musyarrafah ini, yang redaksinya adalah: “Pada hakikatnya lafal istitsna’ tidak berlaku sebagaimana makna lahiriah yang dipahami oleh semua orang yang dangkal pemahamannya, yakni bermakna nafi dan itsbat. Sebab bila begitu maka pasti di situ ada kekufuran dan keimanan. Sungguh Fuqaha ‘telah berkata, bahwa mugirr (orang yang ikrar menanggung) 10 kecuali tiga, berarti ia mengakui 7, tidak 10 dan menafikan 3 darinya, sebab pasti penafiannya tidak akan diterima. Memang demikian, namun 7 mempunyai dua ungkapan, yaitu: 7, dan 10 kecuali 3. Namun sighat nafi lebih kuat dalam menunjukkan makna wahdaniyyah, karena hal itu pasti menafikan al-kammiyyah al-muttashilah dan al-kammiyyah al-munfashilah.” Demikian kata al-Muqtarlh.

 

Saya katakan: “Maksud al-kammiyyah al-muttashilah adalah ketersusunan dalam Zat Allah-Jalla wa Ala-dan maksud al-kammiyyah al-munfashilah adalah wujudnya tuhan kedua (tuhan lain) yang terpisah dari-Nya dan menyamaiNya,”

 

Makna yang disebutkan al-Muqtarih untuk menolak pertentangan dalam istitsna” bukan suatu keharusan, sebab sungguh ulama ushul telah berbeda pendapat dalam menetapkan makna dalam contoh:  ” Kebanyakan mereka berpendapat, bahwa maksud   adalah   sedangkan   merupakan garinah yang menunjukkan bahwa yang dikehendaki adalah 7, dan istitsna’ menjelaskan bahwa maksud dari mutakallim , adalah 7, sehingga pengucapan  -nya adalah pola menghendaki juz dengan menyebutkan kull.

 

Al-Qadhi Abu Bakr . berkata: “Kumpulannya yaitu   sepadan dengan 7, seolah-olah ada dua nama bagi 7: yang mufrad yaitu  , dan yang murakkab yaitu  ” Pendapat inilah : yang dipilih al-Mugtarih dalam kalimah al-wahdaniyyah.

 

Dikatakan, maksud   dalam tarkib ini adalah makna   dengan mempertimbangkan seluruh afradnya, maksudnya 3 dan 7 secara bersamaan, lalu 3 dikecualikan dengan  , sehingga tersisa 7. Kemudian hukum disandarkan padanya setelah dikecualikan, sehingga pasti tidak terjadi pertentangan dalam hukumnya, karena tetapnya hukum hanya untuk yang tersisa setelah dikecualikan. Dikatakan, inilah pendapat yang shahih.

 

Dalil-dalil semua pendapat tersebut terpenuhi dalam disiplin Ushul, dan tidak samar lagi penerapan seluruh pendapat tersebut dalam kalimah atwahdaniyyah. Wabillahi ta’alat taufiq.

 

PASAL III 1 MAKNA ULUHIYYAH

 

Karena makna uluhiyyah adalah kemandirian (ketidak butuhan) Tuhan dari segala sesuatu selain-Nya, dan butuhnya segala sesuatu selain-Nya kepada-Nya, maka makna   adalah tidak ada zat yang mandiri dari segala sesuatu selainnya dan segala sesuatu selainnya adalah zat yang membutuhkannya, kecuali Allah Ta’ala.

 

Telah disebutkan pilihan saya untuk penafsiran al-kalimah al musyarrafah dengan makna ini. Saya menafsirkan makna uluhiyyah dalam rangka menyendirikan, kemudian saya susulkan padanya makna tarkib dalam al-kalimah al musyarrafah, dan hal itu sudah jelas.

 

ISTIGHNA’, MENETAPKAN DELAPAN SIFAT WAJIB BAGI ALLAH

 

Adapun kemandirian Allah – Jalla wa “Azza” dari segala sesuatu selain Nya, menetapkan sifat wujud, qidam, Baqa’, al mukhalafah li al hawadits, al giyag bi anmafs, dan tersucikan dari berbagai kekurangan bagi Allah Ta’ala. Dalam hal itu Juga masuk wajibnya sifat sama” , bashar, dan kalam bari Allah Ta’ ala, Sebab andaikan sifat sifat Ini tidak wajib bagi Allah, niscaya Ia membutuhkan muhdits, muhall, atau zat yang menolak berbagai kekurangan dari Nya.

 

Setelah Kitab Asal menyebutkan bahwa makna uluhiyyah yang terkhususkan bagi Allah—Jalla wa Azza-mengandung dua makna, yaitu: pertama, kemandirian Allah-Jalla wa Azza-dari segala sesuatu selain-Nya: dan kedua, butuhnya segala sesuatu selain-Nya kepadaNya-Jalla wa ‘Ala-, la langsung menyebutkan berbagai akidah kelmanan yang masuk pada makna pertama, yaitu kemandirian Allah Lalu setelah solasal darinya, Ie menyebutkan berbagai akidah keimanan yang masuk dalam makna kedua, yaitu butuhnya selain Allah kepada-Nya.

 

Ungkapan Matan: ”   maksudnya adalah wajibnya ketiga sifat Ini bagi Allah Ta’ala masuk dalam wajibnya ketersucian Allah Ta’ala dari berbagai kekurangan, karena alasan yang telah Anda ketahui dalam penjelasan yang telah lewat, bahwa dalil ‘aqli yang menunjukkan tetapnya ketiga sifat Itu adalah berbagai kebalikannya merupakan sifat-sifat kekurangan, padahal Allah-Jalla wa Azza-tersucikan dari berbagai sifat kekurangan berdasarkan kesepakatan orang-orang berakal.

 

Ungkapan Maran:

 

  sampai akhir, dengan perkataan ini Kitab Asal menjelaskan sisi kelaziman kemandirian Allah Ta’ala terhadap ketiga sifat ini. Penjelasannya, andaikan salah satu darinya ternafikan maka  memastikan tetapnya kebutuhan Allah terhadap muhdits, mahall, atau zat yang menolak berbagai kekurangan dari-Nya.

 

Adapun sifat wujud, qidam, baga, al-mukhalafah Ii al-hawadits, dan salah satu dari dua bagian makna al-giyam bin nafs, yaitu ketidakbutuhan Allah dari mukhashshish, maka tidak samar bagi Anda setelah sampai pada tempat ini, bahwa ternafikannya setiap satu sifat dari kelima sifat ini menetapkan /huduts.

 

Anda sudah tahu dari penjelasan yang telah lewat, sungguh setiap zat yang hadits membutuhkan muhdits selainnya, dan Maha Luhur darinya Zat yang kemandirian mutlak dari segala sesuatu selain-Nya wajib bagi-Nya.

 

Kemudian ucapanku dalam Kitab Asal al-Aqidah: “   merupakan istidlal atas wajibnya kelima sifat ini bagi Allah Ta’ala, ucapanku: “. ” merupakan istidlal atas wajibnya bagian kedua dari makna al-qiyam bi an-nafs yaitu ketidakbutuhan Allah terhadap mahall: dan ucapanku: “  “ merupakan istidlal atas wajibnya ketersucian Allah dari berbagai kekurangan, yang masuk di dalamnya wajib sifat sama’, bashar, dan kalam.

 

ALLAH SUCI DARI MENGAMBIL KEUNTUNGAN DAN TIDAK WAJIB BAGI-NYA MELAKUKAN ATAU MENINGGALKAN MUMKINAT

 

Dari ketidak butuhan Allah tersebut disimpulkan ketersucian Allah Ta’ ala dari berbagai tujuan yang menguntungkannya dalam berbagai perbuatan dan hukum-hukum-Nya. Bila tidak demikian, maka pasti Allah butuh sesuatu yang menghasilkan tujuannya. Bagaimana mungkin hal itu terjadi, sementara Allah Jalla wa “Azza Adalah Zat Yang Maha Kaya dari segala sesuatu sclainNya. Dari situ juga disimpulkan bahwa Allah tidak wajib melakukan atau meninggalkan mumkinat apapun. Sebab andaikan ada sesuatu dari mumkinat yang wajib bagi Allah Ta’ala menurut akal, seperti memberi pahala umpamanya, niscaya Allah Jalla wa “Azza-adalah zat yang membutuhkan pada sesuatu tersebut agar tujuannya tercapai secara sempurna. Sebab tidak ada yang wajib bagi Allah kecuali kesempurnaan bagi-Nya. Bagaimana hal itu terjadi, sementara Allah – Jalla wa “Azza-adalah Zat Yang Maha Kaya dari segala sesuatu selain-Nya.

 

Tujuan yang dinafikan dari Allah Ta’ala merupakan ungkapan dari wujudnya ba’its (faktor pembangkit) yang membangkitkan Allah Ta’ala untuk mewujudkan suatu perbuatan dari berbagai macam perbuatan, atau yang membangkitkan-Nya — membuat suatu hukum dari berbagai hukum syari’ah, yakni menjaga kemaslahatan yang kembali kepada-Nya atau kepada makhluk-Nya. Tiada kesamaran, bahwa kedua hal itu sama-sama mustahil bagi Allah Azza wa Jalla—.

 

Adapun kemustahilan kembalinya kemaslahatan kepada Allah Ta’ala, maka karena kelazimannya yaitu butuhnya Allah menyempurnakan diri-Nya dengan makhluk-Nya.

 

Begitu pula kemustahilan kembalinya kemaslahatan kepada makhlukNya, karena kelazimannya yaitu butuhnya Allah menolak kekurangan dari-Nya dengan menciptakan kemaslahatan bagi makhlukNya-Maha Luhur Allah darinya-. Menolak kekurangan merupakan kesempurnaan, sehingga dalam bagian kedua ini (kembalinya kemaslahatan kepada makhlukNya) juga memastikan butuhnya Allah—Jalla wa ‘Ala-pada perbuatan tersebut kepada makhluk, yakni kemaslahatan yang diciptakan bagi makhluk-Nya, seperti pahala dan semisalnya, agar la mendapat kesempurnaan dengannya. Maha Luhur Allah yang kemandirian mutlak wajib bagi-Nya—Tabaraka wa Ta’ala.

 

Dari penjelasan saya tersebut sungguh menjadi jelas, bahwa semua perbuatan dan hukum Allah—Jalla wa ‘Azza-tidak mempunyai ‘illat yang membangkitkannya. Semunya murni karena pilihannya. Kemaslahatan makhluk yang dijaga oleh Allah Ta’ala terjadi karena anugerahNya saja. Tidak ada hak apapun bagi seseorang yang wajib bagi Allah Ta’ala.

 

Karena itu, dalam Kitab Asal al’Aqidah aku memberi isyarat pada bagian pertama hkembalinya kemaslahatan kepada Allah Ta’ala) dengan ucapanku: “Dari ketidakbutuhan Allah tersebut disimpulkan ketersucian Allah Ta’ala dari berbagai tujuan yang menguntungkannya”, sampai ucapanku: “Dari segala sesuatu selain-Nya”, dan saya memberi isyarat pada bagian kedua (kembalinya kemaslahatan kepada makhluk) dengan ucapanku: “Dari situ juga disimpulkan bahwa Allah tidak wajib melakukan atau meninggalkan mumkinat apapun …” sampai akhir.

 

IFTIQAR MA SIWAH, MENETAPKAN EMPAT SIFAT WAJIB BAGI ALLAH

 

Adapun butuhnya segala sesuatu selain Allah kepadaNya Jalla wa “Azza-, maka menetapkan sifat hayat, qudrah yang umum, iradah, dan ilmu. Sebab, andaikan salah satu dari beberapa sifat ini ternafikan maka mungkin ada sesuatu dari hawadits yang wujud, sehingga tidak ada sesuatu pun yang butuh kepada Allah. bagaimana hal itu dibenarkan sementara Allah adalah zat yang segala sesuatu selain-Nya butuh kepada-Nya?

 

Ini merupakan awal Kitab Asal dalam menyebutkan akidah-akidah yang masuk ke dalam makna kedua yang dikandung oleh makna uluhiyyah.

 

Tiada kesamaran, sungguh tetapnya kebutuhan kepada Allah menetapkan sifat qudrah Allah Ta’ala dalam menciptakan sesuatu yang wujudnya membutuhkan Allah.

 

Hal itu memastikan wajibnya kebersifatan Allah dengan sifat qudrah, ‘ iradah, dan ‘ilmu yang menyeluruh pada seluruh muta’alliqahnya, karena alasan yang telah Anda ! ketahui dalam penjelasan yang telah lewat, yaitu kepastian tergantungnya . tatsir (pengaruh) sifat qudrah pada sifat iradah, dan ilmu.

 

Hal itu itu juga memastikan : wajibnya kebersifatan Allah Ta’ala |dengan sifat hayat karena kepastian tergantungnya wujudnya sifat-sifat tersebut pada sifat hayat.

 

IFTIQAR MA SIWAH, JUGA MENETAP. KAN SIFAT WAHDANIYYAH BAGINYA

 

Butuhnya segala sesuatu selain Allah kepada-Nya juga menetapkan sifat wahdaniyyah. Sebab andaikan ada pihak kedua yang sama dengan Allah dalam sifat ketuhanannya, maka tidak ada apapun yang butuh kepada Allah, karena dalam kondisi seperti itu kedua-duanya pasti lemah. Bagaimana hal itu bisa dibenarkan, sementara Allah adalah Zat yang segala sesuatu selainNya butuh kepada-Nya.

 

Dalam penjelasan burhan sifat wahdaniyyah telah disampaikan kepada Anda, sungguh wujudnya tuhan kedua yang menyaingi Allah memastikan kelemahan kedua-duanya, baik mereka bersepakat atau berbeda. Sementara zat yang lemah tidak dapat mewujudkan apapun, sehingga tidak ada apapun yang butuh kepadanya.

 

KEHUDUTSAN SELURUH ALAM

 

Dari butuhnya segala sesuatu selain Allah kepada-Nya juga disimpulkan hudutsnya seluruh alam. Sebab, andaikan ada sesuatu dari alam yang gadim, niscaya ia tidak membutuhkan Allah Ta’ ala. Bagaimana hal itu terjadi, sementara Allah-Jalla wa “Azza – yang segala sesuatu selain-Nya pasti membutuhkan-Nya.

 

Dalam penjelasan yang telah lewat Anda ketahui, bahwa sungguh sesuatu yang tetap qidamnya, maka mustahil ke’adamannya. Sehingga andaikan ada sesuatu dari alam yang qidam, maka ia pasti wajib wujud dan tidak bisa tiada sama sekali, baik tiada sebelum wujud maupun setelah wujud. Bila ia tidak bisa tiada, maka ia tidak membutuhkan pada mukhashshish. Bagaimana hal itu dibenarkan, sementara segala sesuatu selain Allah Ta’ala, sangat butuh kepada-Nya, pada permulaan atau bagi kelangsungan wujudnya. Bila demikian maka pastilah sifat huduts bagi segala sesuatu selain Allah—Jalla wa “Ala-.

 

TIDAK ADA ATSAR (PENGARUH) APAPUN DARI MUMKINAT 

 

Dari butuhnya segala sesuatu selain Allah kepada-Nya juga disimpulkan bahwa tidak ada ta’tsir (pengaruh) apapun bagi sesuatupun dari mumkinat. Bila tidak demikian, pasti atsar tersebut tidak membutuhkan Allah – Jalla wa “Azza-Bagaimana hal itu dibenarkan, sementara Allah adalah Zat yang segala sesuatu selain-Nya secara umum dan dalam kondisi apapun butuh kepada-Nya. Ini bila Anda andaikan bahwa ada sesuatu dari mumkinat yang mampu memberi atsar dengan tabiatnya. Adapun bila Anda andaikan ia memberi atsar dengan kekuatan yang Allah Ta’ ala ciptakan padanya, sebagaimana dugaan orang-orang awam, maka juga mustahil. Sebab, dalam kondisi seperti ini Allah menjadi Zat yang dalam mewujudkan sebagian perbuatannya membutuhkan perantara. Hal ini gugur karena alasan yang telah Anda ketahui sebelumnya, yaitu wajibnya kemandirian Allah – Jalla wa Azza-dari segala sesuatu selain-Nya.

 

Tiada keraguan, sungguh andaikan ada sesuatu apapun dari hal mumkin yang keluar dari qudrah Allah Ta’ala, maka hal mumkin tersebut tidak butuh Allah Ta’ala, tapi butuh kepada zat lain yang mewujudkannya. Bagaimana hal itu terjadi sementara segala sesuatu selain Allah sangat butuh kepada-Nya.

 

Dengan alasan segala sesuatu selain Allah sangat butuh kepada-Nya ini, gugurlah madzhab Qadariyyah yang berpendapat, berpengaruhnya qudrah haditsah pada perbuatan makhluk, baik berpengaruh secara langsung atau tawalludan (lahir darinya): gugur pula madzhab kaum filosuf yang berpendapat atas berpengaruhnya ‘uqul al-aflak, batal pula pendapat kaum naturalisme yang berpendapat atas berpengaruhnya tabiat, dan semisalnya, seperti makanan dapat mengenyangkan, air dapat menyegarkan, menumbuhkan, menyucikan, membersihkan, api dapat membakar, pakaian dapat menutup aurat, melindungi dari panas dan dingin, dan semisalnya dari berbagai contoh yang tidak terbatas.

 

Mereka berbeda keyakinan dalam keberpengaruhan hal-hal tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hal-hal tersebut berpengaruh pada objek-objek tertentu yang menyertainya dengan tabiat alias hakikatnya. Ibn Dihaq berkata: “Tidak ada khilaf dalam kufurnya orang yang meyakini Ini.”

 

Ada yang meyakini bahwa hal-hal tersebut tidak berpengaruh dengan tabiatnya, tapi dengan kekuatan yang Allah Ta’ala letakkan padanya. Andaikan Allah mengambil kekuatan itu darinya maka ia tidak dapat berpengaruh. Ibn DiHaq berkata: “Sungguh banyak kaum mukminin awam yang mengikuti orang filsafat pada keyakinan ini. Tidak ada khilaf dalam bid’ahnya orang yang meyakini ini, dan kufurnya diperselisihkan.”

 

Orang mukmin yang benar keimanannya adalah orang yang sama sekali tidak menyandarkan pengaruh apapun pada hal-hal tersebut, tidak dengan tabiatnya dan tidak dengan kekuatan yang ditempatkan padanya. Niscaya ia hanya menyakini bahwa Allah Jalla wa ‘Ala-memberlakukan adat dengan murni pilihannya menciptakan berbagai pengaruh pada hal-hal tersebut, tidak dengan tabiatnya dan tidak dengan kekuatan yang ditempatkan padanya. Karena anugerah, Allah orang mukmin ini selamat dari berbagai penderitaan akhirat.

 

Yang paling sering menipu para ahli bid’ah adalah berbagai adat yang diberlakukan oleh Allah-Jalla wa Ala-dan lahiriah al-Qur’an dan as-Sunnah yang tidak mereka kuasai ilmunya.

 

Kesimpulannya, pegangan pokok mereka adalah taklid pada berbagai adat dan hal lainnya yang tidak pantas ditaklidi dan diikuti: dan mereka meninggalkan penalaran akal sehat yang diterangi al-Qur’an dan as-Sunnah yang laksana cahaya.

 

Karena ketertipuan ini, dikatakan, bahwa sebab-sebab kekufuran ada 6 (enam), yaitu: al-ijab adz-dzati, at-tahsin al-‘aqli, at-taqlid ar-radi, ar-ribt al-‘adi, al-jahl al-murakkab, hanya berpegangan pada lahiriah al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah pokok-pokok akidah tanpa mendialogkannya dengan burhan ‘aqliyyah dan dalil gathi syar’iyyah karena ketidaktahuan pada dalil-dalil ‘agii, tidak adanya penguasaan terhadap berbagai uslub “arab, dan berbagai batasan serta prinsip yang ada dalam disiplin ilmu bahasa Arab.

 

Al-ijab adz-dzati merupakan sebab kufurnya kaum filosuf dimana mereka menjadikan Zat Yang Maha Luhur sebagai “Yang Melakukan’ karena konsekuensi al-ijab adz-dzati. Maksudnya, Zat Yang Maha Luhur merupakan ‘illat bagi hal mumkin yang disandarkan kepada-Nya tanpa (di Iuar) pilihan-Nya. Karena ibu mereka berpendapat atas ternafikannya qudrah, iradah, dan sifat-sifat Allah lainnya-Maha Luhur Allah dari pendapat mereka dengan seluhur-luhurnya—. Karena itu pula mereka berpendapat atas keqidaman alam dan menafikan burhan gath’i yang menunjukkan kehudutsannya.

 

Tiada kesamaran, sungguh bila Anda telah memahami secara benar penjelasan yang telah lewat, yaitu wajibnya sifat huduts bagi alam dan wajibnya sifat qidam dan Baqa’ bagi Allah-Jalla wa Azza-, maka Anda pasti memahami bahwa . keluarnya alam dari Allah hanya – terjadi karena murni pilihan-Nya, , tidak dengan ijab (keharusan alamiah) atau karena ta’lil. Bila tidak demikian maka alam bersifat , gadim atau penciptanya hadits, “ karena wajibnya keberbarengan ma’lul pada ‘illatnya, dan kedua hal , ini mustahil secara pasti.

 

At-tahsin al-‘aqli merupakan sebab kekufuran kaum Brahmanisme dari : sebagian kaum filosuf sehingga mereka menafikan kenabian: dan merupakan sebab kesesatan mu’tazilah sehingga mereka ( mewajibkan Allah Ta’ala menjaga ash-shalah wa al-ashlah bagi  makhluk, dimana mereka meng”Ilati berbagai perbuatan dan hukum Allah dengan berbagai tujuan, serta menjadikan akal saja tanpa syara’ yang mengantarkan pada hukum-hukum Allah Ta’ala, : dan berbagai kesesatan lainnya.

 

At-taqlid ar-radi’ merupakan sebab kesesatan penyembah – berhala dan selainnya, sehingga mereka berkata: “Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.”

 

Karena itu ulama MuHaqgigun berkata: “Taklid tidak mencukupi dalam akidah-akidah keimanan.” Sebagian Masyayikh berkata: Tidak ada bedanya antara muqallid yang selamat dan hewan yang dituntun.”

 

Ar-ribt al-‘adi merupakan sebab kesesatan kaum naturalisme dan para orang-orang mukmin yang mengikutinya, sehingga mereka menyangka adanya keterhubungan kenyang dengan makan, segar dengan air, menutup aurat dengan pakaian, sinar dengan matahari, dan semisalnya dari berbagai contoh yang tidak terbatas. Karena kebodohannya mereka memahami, bahwa hal-hal tersebut yang memberi pengaruh dalam objek yang wujudnya bersamaan dengannya, adakalanya karena tabiatnya atau karena kekuatan yang Allah tempatkan padanya.

 

Sedangkan Ahlussunnah-radhiyallahu ‘anhum wa nawwarallahu basha ‘irahum-tidak terfitnah dengan apapun dari berbagai hal yang wujud, dan berbagai hakikat terbukakan bagi mereka sesuai dengan kenyataan nya. Mukasyafah Inilah yang Allah Ta’ala khususkan bagi para kekasih Nya, sehingga Allah menyelamat-kan mereka dari bahaya kekufuran dan bid’ah dalam pokok-pokok akidah, Adapun mukasyafah selain ini,” maka termasuk hal yang tidak diperhatikan oleh orang-orang yang mendapat taufik.

 

Adapun al-jahl al-murakkab maka termasuk hal yang menjadi cobaan orang banyak, sehingga Anda menemukan mereka meyakini sesuatu yang bertentakan pada hakikatnya. Inilah kebodohan pertama. Kemudian mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh. Inilah kebodohan yang kedua. Karenanya kebodohan ganda ini disebut sebagai al-jahl — al-murakkab, seperti keyakinan kaum filosuf atas keberpengaruhan ‘ugul al-aflak dan keyakinan atas keqidamannya. Lalu mereka tidak menyadari kebodohan mereka ini, dan menganggap diri mereka berada dalam kebenaran. Ingatlah, sungguh mereka orang-orang pembohong.

 

Hanya berpegangan dengan lahiriah al-Qur’an dan as-Sunnah dalam pokok-pokok akidah tanpa penalaran akal sehat merupakan kesesatan kaum Hasywiyyah, sehingga mereka berpendapat dengan tasybih, tajsim, dan jihah, karena — mengamalkan lahiriah Firman Allah Ta’ala: “Di atas ‘arsy”, “Apakah kamu beriman kepada zat yang ada dilangit?” “Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua Yad-Ku’, dan ayat semisalnya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dia-lah Allah yang menurunkan al-Qur’an kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat darinya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta wilnya.”

 

Ya Allah, pastikanlah kami dalam golongan kekasih-kekasih-Mu yang selamat dari segala fitnah dunia dan akhirat, wahai dzat yang maha pengasih diantara para pengasih.

 

KALIMAH  لااله الل الله  MENCAKUP TERHADAP SIFAT WAJIB, MUSTAHIL DAN JA’IZ BAGI ALLAH

 

Bila demikian, maka telah jelas bagi Anda pencakupan ucapan لااله الل الله  pada tiga bagian akidah yang wajib diketahui oleh mukallaf terkait Allah Jalla wa ‘Azza-, yaitu sifat yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz bagi Allah Ta’ala.

 

Tiada kesamaran atas benarnya penjelasan yang disebutkan Kitab : Asal, dan meneliti ungkapannya secara langsung akan membuktikan kebenarannya. Tidaklah keterpercayaan berita sebagaimana melihat langsung.

 

PASAL III 2 CAKUPAN MAKNA محمدرسول الله

 

Adapun ucapanku: محمدرسول الله  maka iman dengan nabi-nabi selainnya dan malaikat -alaihimush shalatu was salam-, kitab-kitab samawi, dan hari akhir, masuk padanya. Sebab, Nabi Muhammad membenarkan semuanya.

 

Tiada keraguan, sungguh pembenaran terhadap kerasulan Nabi Muhammad  berdasarkan petunjuk mukjizatnya yang tidak terbatas, dan pengakuan atas hal itu menetapkan pembenaran terhadap seluruh berita yang dibawa Nabi Muhammad  yang berasal dari Allah.

 

Di antara yang dibawa oleh Nabi Muhammad  adalah apa yang disebutkan di sini. Begitu pula selainnya yang tidak terbatas, seperti pengutusan sebagai rasul pada badan (diri)nya, bukan selainnya yang menyamainya, fitnah dan siksa kubur, shirath, mizan, telaga, syafa’at, dan semisalnya yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu, yang terperinci dalam al-Quran, as-Sunnah dan karya ulama syariat.

 

 

KEWAJIBAN SIFAT SHIDDIQ, KEMUSTAHILAN BOHONG DAN KEMUSTAHILAN MELAKUKAN LARANGAN

 

Dari ucapan: ”  ” disimpulkan wajibnya sifat shiddig para Rasul – “alaihimush shalatu was salamdisimpulkan kemustahilan bohong bagi mereka, bila tidak demikian, maka mereka bukan rasul yang amanah terhadap Allah Yang Maha Mengetahui berbagai kesamaran – Jalla wa Azza- dan disimpulkan kemustahilan melakukan semua larangan, sebab mereka sebagai rasul diutus untuk mengajar manusia dengan perkataan, — perbuatan, — dan diamnya, — sehingga menetapkan dalam keseluruhan hal tersebut mereka tidak bertentangan dengan perintah Allah Jalla wa Azza-yang memilih mereka daripada seluruh makhluk, dan mengamanahi mereka atas rahasia wahyuNya.

 

Tidak diragukan, bahwa pengidhafahan kata  pada kata  , berkonsekuensi bahwa Allah-Jalla wa ‘Azza-telah memilih Nabi Muhammad  untuk menjadi rasul sebagaimana Allah telah memilih para Rasul lainnya untuk menjadi rasul. Telah Anda ketahui, bahwa ilmu Allah Ta’ala meliputi hal yang tidak terbatas, dan sungguh kebodohan dan sifat yang semakna dengannya mustahil bagi Allah Ta’ala. Sebab itu, pembenaran Allah Ta’ala terhadap mereka sesuai dengan sifat jujur dan amanah mereka yang diketahui oleh Allah Ta’ala, sehingga mustahil pada kenyataannya mereka berbeda dengan sifat dari mereka yang diketahui oleh Allah Ta’ala, dan Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti mereka dalam berbagai perkataan dan perbuatannya, sehingga hal itu menetapkan bahwa seluruh perkataan dan perbuatan mereka sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah-Jalla wa Azza-. Inilah kesimpulan yang dicari.

 

AL-A’RADH AL-BASYARIYYAH

 

Dari ucapan: “  ” disimpulkan pula bolehnya al-a’radh al-basyariyyah hsifat manusiawi) bagi para Rasul“alaihimush shalatu was salam-yang tidak mengantarkan pada berkurangnya martabat luhur mereka. Sebab, hal itu tidak mencederai kerasulan dan keluhuran derajat mereka di sisi Allah Ta’ ala, bahkan termasuk hal yang menambah derajat martabat mereka.

 

Jadi jelas bagi Anda, dua kalimat syahadat dengan hurufnya yang sedikit mencakup seluruh akidah keimanan terkait Allah dan para Rasul-Nya“alaihinush shalatu was salam-yang wajib diketahui orang mukalIaf,

 

Tiada keraguan, sungguh bagian akhir al-kalimah hanya menetapkan kerasulan bagi Nabi Muhammad , tidak menetapkan uluhiyyah. Termasuk pula menetapkan kerasulan bagi para rasul selainnya, sehingga al-atadh albasyariyyah tidak tercegah bagi mereka kecuali yang mencederai martabat kerasulannya.

 

Tiada kesamaran, sungguh alaradh al-basyariyyah seperti berbagai penyakit dan semisalnya sedikitpun tidak mencederai martabat para rasul dan nabi-alaihimush shalatu was salam-, bahkan termasuk faktor yang menambah luhur martabat mereka dengan menimbang pengagungan pahala bagi mereka karena ketaatan bersabar dan selainnya yang menyertainya.

 

Dalam al-aradh al-basyariyyah juga terdapat dalil terbesar atas kejujuran mereka, sungguh mereka adalah orang-orang yang diutus dari sisi Allah Ta’ala: dan sungguh khawariq al-‘adah yang tampak dari diri mereka murni sebab penciptaan Allah Ta’ala sebagai pembenaran bagi mereka. Sebab, andaikan mereka mempunyai kekuatan untuk membuatnya niscaya mereka dapat menolak berbagai penyakit, kelaparan, serangan panas dan dingin, dan semisalnya yang lebih . mudah darinya, dari hal-hal yang banyak orang yang tidak menjadi nabi yang selamat darinya.

 

Dalam al-a’radh al-basyariyyah juga terdapat kemudahan bagi orang yang lemah penalarannya, agar mereka tidak menyakini ketuhanan terhadap para rasul sebab khawariq al-adah dan berbagai kekhususan yang Allah Ta’ala khususkan bagi mereka.

 

Karena hal ini Allah Ta’ala mengambil dalil bagi orang Nasrani terkait pendapat mereka atas ketuhanan Nabi Isa dan Ibunya-‘alaihimash shalatu was salam-dengan butuhnya mereka berdua terhadap al-‘aradh al-basyariyyah, seperti memakan makanan dan semisalnya, sehingga Allah Ta’ala berfirman: “Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam” sampai firman Allah: “Al-Masih putera Maryam hanya seorang — Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya orang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.”

 

Maha Suci Allah, sungguh agung kelembutan-Nya terhadap ‘ makhluk. Semoga Allah Ta’ala . menjadikan kita termasuk orang yang berilmu lalu beramal: beramal lalu ikhlas, ikhlas lalu selalu begitu sampai mati dan selamat dari segala penderitaan, dan terhindar dari neraka.

 

Ungkapan Kitab Asal “Jadi telah jelas bagi Anda” sampai akhir, ‘ adalah pernyataan yang benar dan kesaksiannya ada bersamanya.

 

PASAL III 3 KENAPA SYAHADAT MENJADI ‘PINTU’ KEISLAMAN

 

Mungkin karena ringkasnya kalimat dan cakupannya terhadap berbagai akidah yang saya jelaskan, Nabi  sebagai penyampai syariat menjadikannya sebagai petunjuk keislaman yang ada di hati seseorang, dan tidak menerima pengakuan keimanan dari siapapun kecuali dengannya.

 

Tiada keraguan, sungguh Nabi Muhammad  diberi kekhususan dengan jawami’ al-kalam (ucapan singkat dan penuh makna), sehingga Anda temukan faidah yang tidak terbatas dari setiap kata dari perkataannya. la memilih al-kalimah al-musyarrafah yang mudah dihafal dan diingat ini, yang banyak sekali faidahnya secara keilmuan maupun kenyataan, bagi umatnya untuk menunjukkan keimanan dan menunjukkan apa yang menjadi ketenangan di hati sesuai kehendak mereka.

 

Pelajaran akidah keimanan yang sangat banyak dan terperinci yang menyulitkan mereka, semuanya terkumpul dalam cakupan kalimat yang kokoh ini: dan mereka mampu mengingat semua akidah keimanan dengan menyebutkan satu kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan amal, yang mempunyai kadar yang tidak mampu kita ketahui secara persis yang ada di sisi Allah Yang Maha Mulia Yang Menyeluruh Kebaikannya.

 

Kemudian setiap akidah dari berbagai akidah keimanan bagi orang yang mengetahuinya, ibarat perang tajam yang dapat digunakannya untuk menebas punggung iblis dan anak-anaknya, dan mencurahkan berbagai ma’rifat yang kuat di hati yang membukakan gelapnya dugaan darinya dan membasuh berbagai kotorannya. Kemudian syara’ menjadikan al-kalimah al-musyarrafah yang ringan ini sebagai penghimpun semua pedang-pedang akidah yang dapat menghasilkan seluruh ma’rifat yang . laksana cahaya. Ia adalah zikir yang lainnya hanya satu, namun hakikatnya adalah zikir yang banyak yang dengan satu kali berzikir dengannya orang yang mengetahui maknanya dapat menghasilkan pahala yang tidak didapatkan dengan zikir selainnya kecuali dalam waktu yang sangat lama.

 

Kemudian ingatlah wahai orang mukmin, pada keagungan rahmat dan nikmat Allah Ta’ala kepada kita dengan al-kalimah al-musyarrafah ini yang umumnya manusia tidak mengetahui keagungan kadarnya kecuali setelah mati di akhirat. Penjelasannya, sungguh orang mukallaf hanya dapat selamat dari keabadian di neraka, bila di akhir hidupnya meyakini akidah keimanan yang berhubungan dengan Allah dan para Rasul-Nya-alaihimush shalatu was salam-.

 

Yang umum terjadi pada waktu yang mencekam tersebut adalah ketidakmampuan menghadirkan seluruh akidah keimanan secara terperinci, kemudian Allah sebagai pemilik syariat dengan anugerahNya yang murni dan agung akan mengajarkan kalimat yang mudah dan agung kadarnya ini kepadanya, sehingga dengannya ia mampu menyebutkan seluruh akidah keimanan dengan lisan atau hatinya tanpa kesulitan yang menyelimutinya pada waktu yang mendesak dan mencekam tersebut, dan Allah menganggap cukup darinya dalam waktu yang mendesak ini dengan hanya menyebutkannya secara global, karena ia sudah sangat lama mengulang-ulanginya dengan lisan dan hatinya secara terperinci.

 

Karena itu Nabi Muhammad – bersabda: “Siapa saja yang akhir ucapannya adalah  , maka ia masuk surga.” Beliau juga bersabda: “Siapa saja yang mati dalam kondisi mengetahui, sungguh tidak ada Tuhan selain Allah, maka ia masuk surga.” Hadits yang pertama bagi orang yang mampu berkata, dan hadits yang kedua bagi orang yang tidak mampu berkata. Wallahu ta’ala alam.

 

Begitu pula dalam menjawab pertanyaan dua malaikat yang mulia di alam kubur, ia cukup menyebutkan al-kalimah al-musyarrafah ini di mana wibawa malaikat dan ketakutan dapat mencegahnya dari menyebutkan akidah keimanan secara terperinci kepada mereka.

 

Dan telah ada riwayat hadits yang menyatakan, bahwa kedua malaikat tersebut menganggap cukup jawaban tersebut darinya. Bagaimana mereka tidak menganggap cukup dengan jawaban agung Ini darinya, sementara orang mukmin telah menyebutkan seluruh akidah keimanan secara sempurna kepada mereka dalam kalimat ini. Sungguh luas kemurahan Allah Jalla wa ‘Azza-, sungguh banyak nikmat-nikmat-Nya, dan sungguh lembut hukum-Nya bagi orang mukmin.

 

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang mengetahui kadar nikmat-nikmat-Nya sehingga mensyukurinya, dan tergolong orang yang mensyukurinya kemudian Allah menerima syukur itu, dan menemukan keagungan barakahnya di dunia dan akhirat dengan jah(derajat) Nabi Muhammad .

 

PASAL III 4 ANJURAN DAN KEUTAMAAN DZIKIR

 

Jadi hendaknya orang berakal memperbanyak zikir   dengan menghadirkan akidah keimanan yang dicakupnya sehingga kalimat tersebut dan maknanya mendarah daging padanya. Bila demikian, maka ia akan melihat berbagai rahasia dan keajaibannya yang tidak terbatas, insyaallah. Wa billahit taufiq. Tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada Zat yang berhak disembah selain-Nya.

 

Saya memohon kepada Allah agar menjadikan kami dan Orang-orang mencintai kami ketika mati menjadi orang-orang yang mampu mengucapkan dan meyakini kalimat syahadat, Semoga Allah mencurahkan rahmat ta’zhinnya kepada Nabi Muhammad sejumlah orang-orang yang ingat yang mengingat Allah dan sejumlah orang orang lalai yang lalai dari mengingat Allah, Semoga Allah Ta’ala meridhat para sahabat Rasulullah, semuanya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan keimanan sampai hari kiamat, Surga keselamatan terlimpahkan bagi para utusan, Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam,

 

Sudah waktunya bagiku untuk dalam penjelasan kalimat-kalimat ini, untuk menyebutkan empat pasal yang sudah saya janji dan akan disebutkan di sini, yaitu sisa dari tujuh pasal yang berhubungan dengan al-kalimah al-Musyarrafah ini.

 

PASAL IV 1.HUKUM KALIMAT

 

Adapun pasal pertama dari pasal keempat, menerangkan hukum kalimat   ini. Ketahuilah sungguh manusia terbagi dalam dua kriteria, yaitu mukmin dan kafir.

 

Adapun orang mukmin asli (belum pernah kufur), maka wajib baginya mengucapkan kalimat   sekali dalam umurnya, yang diniatinya melaksanakan kewajiban mengucapkannya. Bila tidak melakukannya maka ia berstatus orang yang maksiat meskipun keimanannya sah.

 

Kemudian hendaknya ia memperbanyak zikir dengannya setelah melaksanakan kewajiban mengucapkannya sekali, sebagaimana hal itu aku isyaratkan dengan ucapanku dalam Kitab Asal al-Aqidah. “Jadi hendaknya orang berakal memperbanyak zikir   dengan menghadirkan akidah keimanan yang dicakupnya” dan mengetahui maknanya untuk pertama kalinya, agar zikir dengannya bermanfaat baginya di dunia dan akhirat.

 

Adapun orang kafir bila mampu maka pengucapannya. terhadap kalimat   ini hukumnya wajib dan menjadi syarat bagi keabsahan keimanan di hatinya. Bila tidak mampu mengucapkannya setelah adanya keimanan di hati karena tiba-tiba mati dan semisalnya, maka kewajiban mengucapkan kalimat tersebut gugur dan ia berstatus mukmin. Inilah pendapat yang masyhur dari berbagai madzhab ulama Ahlussunnah.

 

Pendapat lain mengatakan, iman tidak sah secara mutlak tanpa mengucapkannya, dan tidak ada perbedaan dalam hal itu di antara orang yang mampu dan yang tidak mampu.

 

Pendapat lain mengatakan, iman sah secara mutlak tanpa mengucapkannya, meskipun orang yang tidak mengucapkannya dalam kondisi mampu berstatus sebagai orang yang bermaksiat, sebagaimana orang mukmin asli yang mengucapkannya dan tidak meniatinya melaksanakan kewajiban.

 

Pemicu munculnya ketiga pendapat “ini adalah perbedaan pendapat mengenai kalimat ini akan menjadi syarat keimanan, bagian dari nya, atau tidak menjadi syarat dan tidak merupakan bagian dari nya. Pendapat pertama itulah yang merupakan pendapat terpilih.

 

PASAL IV 2 KEUTAMAAN KALIMAT

 

Adapun pasal kedua dari keempat pasal yang tersisa, maka menerangkan keutamaan kalimat   Ketahuilah, sungguh andaikan tidak ada penjelasan tentang keutamaan kalimat   kecuali adanya kalimat ini menjadi pemberitahuan keimanan menurut syara”, yang jiwa dan harta dijaga kecuali karena haknya, dan adanya iman orang kafir digantungkan pada pengucapannya, niscaya hal itu cukup menunjukkan keutamaannya bagi orang-orang berakal. Bagaimana keutamaannya dapat pungkiri, sementara terdapat banyak riwayat hadits yang telah menjelaskan keutamaannya.

 

Di antaranya sabda Rasulullah : “Ucapan yang paling utama ku ucapkan, dan diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu baginya.” HR. Malik dalam al-Muwaththa’. At-Tirmidzi dalam riwayatnya menambahkan: “BagiNya kerajaan, bagi-Nya pujian, dan Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” At-Tirmidzi dan an-Nasa’i . meriwayatkan, sungguh Rasulullah  bersabda: “Zikir yang paling utama adalah  , dan doa yang paling utama adalah   An-Nasa’i meriwayatkan, sungguh Rasulullah  bersabda “Musa’alaihish shalatu was salam-berkata: ‘ “Wahai Tuhanku, ajarilah aku zikir yang  aku gunakan untuk mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Musa, ucapkanlah   Musa—alaihish shalatu was salam—berkata: “Wahai Tuhanku, semua hamba-hamba-Mu mengucapkan zikir ini” Allah berfirman: “Ucapkanlah  .” Musa-alaihish shalatu was salam-berkata: “Tiada Tuhan selain – Engkau, sungguh yang Aku kehendaki adalah zikir yang Engkau khususkan bagiku.” lalu Allah berfirman: “Wahai Musa, sungguh andaikan ketujuh langit sementara : penjaganya bukan Aku, dan ketujuh bumi di satu sisi timbangan, dan   di sisi yang lain, niscaya   akan mengalahkan beratnya’

 

Rasulullah  bersabda: “Seseorang akan didatangkan ke ‘ timbangan amal, dan didatangkan | kepadanya 99 kitab besar, yang masing-masing panjang dan | lebarnya sejauh pandangan mata, di dalamnya tercatat berbagai kesalahan dan dosanya, kemudian diletakkan di sisi timbangan amal, kemudian dikeluarkan secarik kertas hdarinya) seukuran ujung jari yang di dalamnya terdapat syahadat bahwa tiada Tuhan selain : Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian dilatakan di sisi timbangan yang lain, maka ia mengalahkan berbagai kesalahan dan dosanya.

 

At-Tirmidzi meriwayatkan, bahwa Nabi  bersabda: “Tasbih adalah separuh keimanan, alhamdulillah memenuhi mizan, dan laa ilaaha Illallaah, maka tidak ada hijab baginya untuk diterima Allah, sehingga dilaporkan kepada-Nya.”

 

Nabi bersabda: “Tidaklah orang mengucapkan   dengan keikhlasan hatinya, melainkan dibukakan baginya pintu-pintu langit, sehingga ucapan itu tembus ke ‘arsy selama dosa-dosa besar dijauhi.”

 

Nabi  bersabda kepada Abu Thalib: “Wahai Pamanku, katakanlah   sebagai kalimat yang aku gunakan untuk membelamu di sisi Allah.”

 

Nabi  bersabda kepada Abu Thalib: “Aku diperintah memerangi manusia sampai mereka mengucapkan  . Bila telah mengucapkannya “maka mereka telah menjaga jiwa dan hartanya dariku, kecuali dengan haknya. Sedangkan hisab mereka kembali kepada Allah Ta’ala.

 

Nabi  bersabda: “Ada malaikat yang mendatangiku dari Tuhanku, lalu ia mengabariku bahwa orang yang mati dengan menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya, maka ia masuk surga.” Kemudian Abu Dzar bertanya kepada beliau: “Meskipun ia zina dan mencuri?” Beliau menjawab: meskipun ia zina dan mencuri”

 

Nabi  bersabda: “Orang yang masuk kubur dengan membawa   maka Allah akan menyelamatkannya dari neraka. Nabi  bersabda: “Orang yang paling beruntung dengan memperoleh syafaatku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan   secara ikhlas dan mengikhlaskan (yakin) dari hatinya.”

 

Nabi  bersabda: “Orang yang mati dalam kondisi meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah, maka ia masuk surga.”

 

Diriwayatkan dari ‘Itban bin Malik  ia berkata: “Rasulullah  melewatiku di pagi hari, lalu beliau bersabda: “Tidaklah seorang hamba datang di hari kiamat dengan ucapan karena mencari ridha Allah, melainkan Allah mengharamkannya masuk neraka.”

 

Diriwayatkan dari Nabi , beliau bersabda: “Kunci surga adalah 

 

Anas  meriwayatkan bahwa   adalah harga surga.

 

Diriwayatkan dari Nabi , beliau bersabda: “Orang yang saat meninggalnya ditalgin kalimat  , maka ia masuk surga.”

 

Diriwayatkan dari Nabi , beliau bersabda: “Talqinlah orang-orang sekarat mati kalian dengan ucapan  , sebab benar-benar akan merobohkan dosa-dosanya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana bila ia mengucapkannya di masa hidupnya?” Beliau menjawab: “la akan merobohkannya dan merobohkannya.”

 

Dalam Musnad al-Bazzar, diriwayatkan dari Abu Hurairah  , Ia berkata: “Rasulullah   bersabda: “Orang yang mengucapkan   dalam suatu hari dari masa hidupnya, ia akan bermanfaat baginya, meskipun sebelumnya ia pernah melakukan dosa yang dilakukannya.”

 

Dalam kitab Ihya ‘Ulum ad-Din disebutkan, Rasulullah  bersabda: “Andaikan orang yang mengucapkan   dengan meyakininya, datang dengan membawa dosa yang hampir sepenuh bumi, maka dosanya diampuni.”

 

Dalam kitab Ihya “Ulum ad-Din juga disebutkan: “Dan Rasulullah  bersabda: “Tidak ada kesepian bagi ahli   di dalam kubur mereka, dan tidak dalam kebangkitan mereka, seolah-olah aku melihat mereka ketika peniupan terompet Israfil menggeleng-gelengkan kepalanya untuk membersihkan debu, dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dariku. Sungguh Tuhanku Maha Pengampun dan Maha Membalas kesyukuran hamba-Nya.”

 

Dalam kitab Ihya “Ulum ad-Din juga disebutkan: “Rasulullah  bersabda kepada Abu Hurairah  “Wahai Abu Hurairah, sungguh setiap kebaikan yang kamu lakukan akan ditimbang di hari kiamat, kecuali syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah, karena sungguh ia tidak diletakkan di timbangan amal.” Sebab, andaikan  diletakkan di timbangan orang  yang mengucapkannya dengan jujur, dan ketujuh langit, ketujuh bumi, dan apa yang ada di dalamnya (juga di letakkan di timbangan), niscaya lebih unggul daripadanya.

 

Dalam kitab Ihya “Ulum ad-Din juga disebutkan: “Dan Rasulullah bersabda: “Orang yang mengucapkan   secara mengikhlaskan, maka ia masuk surga.”

 

Rasulullah bersabda: “Sungguh kalian semua akan masuk surga kecuali orang yang enggan dan lari dari Allah sebagaimana larinya onta dari pemiliknya.” Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?” Beliau menjawab: “Orang yang tidak mengucapkan  . Karena itu perbanyaklah ucapan   sebelum terhalangi antara kalian dan ucapan tersebut. Sebab sungguh ucapan tersebut adalah kalimat tauhid, kalimat ketakwaan, kalimat yang baik, dakwah Allah Yang Maha Haq, tonggak yang kuat yang digunakan untuk menyelamatkan diri dari neraka, dan harga surga.”

 

Dalam kitab Ihya “Ulum ad-Din juga disebutkan: “Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” Lalu dikatakan: “Kebaikan di dunia adalah ucapan   dan kebaikan di akhirat adalah surga bagi orang yang mengucapkannya.” Begitu pula firman Allah-Jalla wa ‘Azza“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” Dalam kitab Ihya “Ulum ad-Din juga disebutkan: “Diriwayatkan, sungguh seorang hamba ketika mengucapkan   maka ucapan ini akan mendatangi catatan amalnya, lalu ia tidak melewati suatu kesalahan kecuali akan menghapusnya, sehingga ia menemukan kebaikan yang menyamainya, lalu duduk di sisinya.”

 

Dalam Kitab Abdul Ghafur disebutkan: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah , dari Nabi : “Sungguh Allah-Tabaraka wa Ta’ala Mempunyai tiang dari cahaya di depan ‘Arsy, lalu bila ada seorang hamba yang mengucapkan   tiang itu bergetar. Lalu Allah berfirman: “Tenanglah.” Tiang itu pun menjawab: “Bagaimana saya tenang, sementara Tuan belum mengampuni orang yang mengucapkannya?” Lalu Allah berfirman: “Aku telah mengampuninya.” Lalu tenanglah tiang itu seketika.

 

Dalam Kitab Abdul Ghafur disebutkan: “Diriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, wasiatilah aku!” Beliau menjawab: “Aku wasiati kamu dengan takwa kepada Allah, dan bila kamu melakukan kesalahan maka ikutilah dengan kebaikan yang akan menghapusnya.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah   termasuk kebaikan?” Beliau menjawab: “Ia merupakan kebaikan yang paling utama.”

 

Dalam Kitab Abdul Ghafur disebutkan: “Diriwayatkan dari Ka’b, Allah telah menyampaikan wahyu. kepada Musa dalam Kitab at-Taurat: “Andaikan tidak ada orang yang mengucapkan   niscaya neraka Jahannam akan menyerang penduduk dunia.”

 

Dalam Kitab Abdul Ghafur disebutkan: “Rasulullah  bersabda: “Orang yang mengucapkan   tiga kali setiap harinya, maka ucapan itu menjadi tebusan bagi dosa yang dilakukannya pada hari itu.”

 

Dalam Kitab Abdul Ghafur disebutkan: “Disebutkan dari Ibn Abi al-Fudhail al-Jauhari, ia berkata: “Ketika penduduk surga memasuki surga, mereka mendengar pepohonan, burung-burung, sungai-sungai, dan seluruh hal yang ada di dalamnya mengucapkan   lalu sebagian dari mereka mengucapkan suatu kalimat kepada yang lainnya, yaitu: “Kita lupa darinya di dunia.” Dalam Kitab Abdul Ghafur disebutkan: “Ibn Abi al-Fudhail alJauhari, juga menuturkan, ia berkata: “’Arsy goncang karena tiga ,hal, yaitu: karena ucapan   dari orang mukmin, ucapan orang kafir ketika mengucapkan-nya, dan karena Orang asing yang mati di tempat asingnya.”

 

Diriwayatkan dari sebagian sahabat: “Orang yang mengucapkan   dengan keikhlasan dari hatinya dan memanjangkan bacaan madnya karena bertujuan mengagungkan Allah, maka diampuni 4000 dosa besarnya.” Ditanyakan: “Bila ia tidak mempunyai dosa sebanyak ini?” Sahabat tersebut menjawab: “Karenanya diampuni dosa-dosa kedua orang tua, keluarga, dan tetangganya.”

 

Dalam al-Madarik al-Qadhi ‘Iyadh menyebutkan: “Diriwayatkan dari Yunus bin Abdul Ala, sungguh ia mengalami sakit, lalu dalam mimpinya bertemu orang yang berkata kepadanya: “Nama Allah yang paling agung adalah  ” lalu ia mengucapkannya “dan mengusapkan pada sakit yang dideritanya. Di pagi harinya lalu ia sembuh.

 

Ibn al-Fakihani menyebutkan, sungguh keajegan mengucapkannya ketika masuk rumah menghilangkan kefakiran.

 

Keutamaan al-kalimah al-Musyarrafah ini tidak mungkin disebutkan semuanya, karena itu para Imam memilih mengajegkan zikir ini setiap saat, sehingga sebagian dari mereka ada yang tidak kendur darinya di malam dan siang hari: sebagian yang lain berzikir dengannya 70.000 kali di antara — siang dan malam, sedangkan orang yang sibuk berdagang, sibuk memberi pelayanan dan bekerja, berzikir dengannya sejumlah 12.000 kali.

 

Diriwayatkan, sungguh orang yang mengucapkannya 70 kali, maka ia akan menjadi tebusannya dari neraka.

 

Asy-Syaikh Abu Muhammad Abdullah bin As’ad al-Yafi’i al-Yamani asy-Syafi’i dalam kitabnya, al-Irsyad wa at-Tathriz fi Fadhil Dzikrillah — Ta’ala wa Tilawah ‘ Kitabih al-‘Aziz, telah menyebutkan riwayat dari asy-Syaikh Abu Yazid al-Ourthubi, bahwa ia berkata: “Dalam sebagian atsar aku mendengar bahwa orang yang mengucapkan   70.000 kali maka ia akan menjadi tebusannya dari neraka. lalu aku mengamalkannya beberapa kali karena mengharap berkah janji tersebut, yang aku rahasiakan untuk diriku, dan aku mengamalkannya untuk keluargaku (setiap orang dibacakan 70.000 kali). Suatu ketika ada pemuda yang menginap bersama kami, yang — dikatakan terkadang ia dibukakan (mampu melihat) surga dan neraka, namun aku tidak memercayainya. Kemudian sebagian saudara mengundangku untuk menginap di rumah pemuda tersebut. Di saat kami makan, tibatiba pemuda itu menjerit keras sekali, gemetar ketakutan, dan berkata: “Wahai paman, ini ruh ibuku di neraka”, ia terus berteriak dengan keras dimana orang yang mendengarnya pasti tidak ragu bahwa teriakan itu karena pemandangan dahsyat yang dilihatnya. Ketika melihatnya seperti itu, aku berkata dalam hati: “Hari ini akan ku coba kejujurannya.” Lalu Allah mengilhamiku untuk membaca   70.000 kali, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala. Aku berkata dalam hati: “Atsar ini benar dan orang-orang yang meriwayatkannya padaku adalah orang-orang jujur.

 

Ya Allah, sungguh 70.000 kali bacaan “  itu aku jadikan sebagai tebusan untuk perempuan hibu pemuda) ini atau pemuda ini dari neraka.” Belum selesai aku ” berbicara dihati tiba-tiba pemuda itu berkata: “Paman, lihatlah ruh ibuku keluar dari neraka, Alhamdulillah.” Dari peristiwa ini aku mendapatkan dua faidah, ‘ yaitu: keimananku atas kebenaran atsar tersebut dan selamatku dari pemuda tersebut serta mengetahui kejujurannya.” Demikian keterangan asy-Syaikh Abu Muhammad Abdullah bin As’ad al Yafi’i al-Yamani asy-Syafi’i.

 

Untuk menyemangati memperbanyak zikir a/-kalimah al-musyarrafah ini, agar orang yang zikir dengannya memperoleh fadhilahnya yang besar, aku memberi isyarat dengan ungkapanku dalam Kitab Asal al-Aqidah: “Jadi hendaknya orang berakal memperbanyak zikir 

 

Ketika untuk benar-benar mendapatkan keuntungan yang -: besar ini bagi orang yang berzikir dengannya, pertama kalinya tergantung pada memahami maknanya, lalu menghadirkannya saat berzikir dengannya meskipun secara global, maka dalam Kitab Asal al-Aqidah aku membatasi zikirnya dengan ungkapanku: “Dengan menghadirkan akidah keimanan yang dicakupnya'”, setelah aku jelaskan maknanya kepada Anda dalam Kitab Asal al’Aqidah, dengan penjelasan yang belum aku lihat ada orang yang bisa menjelaskan seperti yang disebutkan di dalam kitab tersebut, sesuai ilham yang diberikan oleh Allah Yang Maha Menguasai lagi Yang Maha Mulia.

 

Maka meninggallah, wahai orang yang dianugerahi oleh Allah Ta’ala dengan mampu menjaga (menghapal matn) Kitab Asal alAqidah yang penuh berkah ini, insyaallah ta’ala, di taman surga, di mana dan bagaimana pun Anda kehendaki. Sungguh Anda telah sanggup menjaganya, dari kunci surga sesuai cara yang paling sempurna, sehingga hati menjadi tenang dengannya. Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas seluruh anugerahnya kepadamu, dengan anugerah yang banyak orang kesusahan di akhirat karenanya, yaitu orang-orang yang tidak mendapatkan taufik sebagaimana yang kamu dapatkan.

 

Aku memohon kepada Allah-Subhanah-agar menjadikanku dan Anda di dunia dan akhirat termasuk orang-orang pilihan, aitu Ahli

 

PASAL IV 3 CARA DZIKIR

 

Pasal ketiga dari keempat pasal tersisa tentang cara berdzikir dengan al-kalimah al-musyarratah Ini dengan cara yang paling sempurna.

 

Telah dimaklumi, sungguh orang yang berdzikir dengan al-kalimah al-musyarrafah Ini dalam kondisi apapun dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah memperoleh pahala, Namun, cara yang paling sempurna yang dapat mendatangkan al-mawahib al-ilahlyyah, al-futuhat arsrabbaniyyah, dan amthar arsrahmah al-ghaibiyyah al-ladduniyyah, yang tidak dapat disifati, adalah Zakir (pelaku zikir) mengagungkan dan beradab yang baik terhadap kalimah   yang diagungkan dan dimuliakan Allah Jalla wa Azza

 

Sungguh Anda sudah tahu, bahwa al kallmah al musyarrafah Ini termasuk zikir yang paling utama dan paling mulia di sisi Allah Ta’ala, karena itu hendaknya orang mukmin memperhatikan derajatnya saat berzikir denganNya. Ia wudhu karenanya, memakai pakaian suci, mengusahakan tempat suci, mengusahakan untuk menyendiri dan berkhalwat dari makhluk semampunya, mengusahakan waktu-waktu mulia seperti setelah subuh sampai munculnya matahari, setelah asar sampai tenggelamnya matahari, atau waktu yang memungkinkan baginya dari waktu tersebut, dan antara maghrib-isya’ dan waktu sahur.

 

Kemudian menghadap kiblat, membuka wiridannya pertama kali dengan istighfar meskipun hanya 100 kali agar membasuh batinnya dari maksiat yang laksana kotoran dan setelah itu agar siap menghiasinya dengan cahaya-cahaya yang dihasilkan dari wirid-wiridnya yang tersisa.

 

Kemudian setelah itu, susullah dengan bacaan shalawat Nabi meskipun hanya 500 kali agar batinnya tersinari dengannya dan siap menerima rahasia tahlil yang akan mendatanginya setelah itu, dan hendaklah memaksudkan Semua zikirnya karena mematuhi perintah Allah dan mencari ridhaNya.

 

Yang dapat membantunya menghadirkan hati dan memaksudkan mendekatkan diri kepada Allah dalam zikir-zikir ini adalah Zakir mengingat perintah Allah—Jalla wa “Azza-atas masing-masing zikir tersebut agar hatinya merasakan haibah perintah sebab mengetahui Allah yang dari-Nya perintah Itu berasal.

 

Cara mengingat perintah Allah tersebut dalam hati adalah pertama kalinya dengan memohon perlindungan terhadap Allah-Jalla wa Azza-dari setan yang terkutuk, dengan memaksudkan bacaan itu karena firman Allah Ta’ala: “Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

 

Setelah taawudz kemudian hendaklah membaca firman Allah Ta’ala: “Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Mohonlah ampunan kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Setelah selesai membaca ayat ini, seketika itu hatinya akan merasakan khitab dan perintah Allah Yang Maha Menguasai dan Maha Mulia, sebab anugerah Allah kepada hamba-Nya yang lemah dan hina, agar beristighfar dan mengungsikan diri kepada Tuhannya Yang Maha Penyayang, Maha Pengasih, Maha Kuat, dan Maha Pengampun: lalu hatinya akan hancur lebur karena sangat malu terhadap Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia, dan dirinya merasa hina sebab ia merasa tidak pantas menjadi orang yang dikhitabi Allah Sang Pencipta semua makhluk besertaan butuhnya mereka semua kepada Allah. Allah adalah Zat Yang Maha Kaya secara mutlak, Yang Maha Memiliki Anugerah Yang Agung.

 

Saat itu pula, saat dirinya bergetar karena sangat takut, malu dan mengagungkan Allah, ia berkata: “Aku memenuhi panggilanmu wahai Tuanku, demi beruntunnya keberuntungan dari-Mu, semua kebaikan dalam kekuasaan-Mu. Ini hamba-Mu yang lemah, hina, menghadap-Mu.

 

Pedomannya dalam menyucikan batin dan lahirnya adalah dengan mengucapkan: “Dengan taufik-Mu aku mati, tidak dengan perintahMu, dalam kondisi menjadi orang yang memohon pertolongan-Mu. Ya Allah, sungguh aku memohon ampunan kepada-Mu, wahai Tuanku, aku bertobat kepadamu dari seluruh dosa kecil, dosa besar, dan bisikan-bisikan hati”, atau ucapan semisalnya dari berbagai ungkapan istighfar. Hendaknya ia pilih ungkapan istighfar yang menurutnya berpengaruh kuat bagi hatinya.

 

Kemudian ia terus-menerus melakukan istighfar sampai wirid istighfarnya sempurna, lalu memuji kepada Allah Ta’ala tiga, tujuh atau beberapa kali dengan menghadirkan besarnya nikmat yang telah Allah Yang Maha Mengusai dan Maha Mulia beri taufik dirinya untuk memulai dan menyempurnakannya, sehingga kotoran-kotoran hatinya terbasuh, kotoran dosa dan karatnya terbuka darinya. Dalam kondisi seperti itu ia katakan: “Segala puji bagi Allah Zat yang telah memberi nikmat kepada kita dengan nikmat iman dan Islam, dan yang telah menunjukkan kita dengan Sayyidina wa Maulana Muhammad, baginya shalawat yang paling utama dan keselamatan yang paling suci dari Allah Ta’ala. Segala Puji bagi Allah yang telah menunjukkan kita pada keimanan ini, dan kita tidak akan mendapat petunjuk andaikan Allah tidak memberi petunjuk kepada kita. Sungguh para utusan Tuhan kita telah datang dengan membawa kebenaran.

 

Kemudian setelah memuji Allah, hendaklah ia segera membaca ta’awaudz sesuai cara yang telah lewat, lalu setelah itu membaca di hati firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

 

Seketika itu ia hadirkan ke hatinya agungnya keutamaan Sayyidina wa Maulana Muhammad  di sisi Allah Ta’ala, dan sungguh ia telah memperoleh derajat di sisi Allah yang tidak mungkin disusul oleh orang lain, sebab Allah—Jalla wa Azza-atas keagungan dan kesempurnaannya telah mengabarkan, bahwa la dengan Zat-Nya telah bershalawat kepada Sayyidina Muhammad  Begitu pula para Malaikat yang mulia-‘alaihimush shalatu was salam atas banyaknya dan kemuliaannya mereka bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan membaca shalawat bagi kekasih dan pilihan-Nya dari seluruh makhluknya, yaitu Muhammad

 

Kemudian seketika itu baHaqialah hamba yang lemah dan fakir, karena Allah telah ‘ memberi keutamaan padanya . yaitu dengan khitab yang agung ini dan perintah agung yang terkandung di dalamnya, ia telah dimasukkan ke taman mendekatkan diri kepada kekasih-Nya, makhluk-Nya yang paling mulia, baginya diri Allah-Jalla wa Azza. shalawat yang paling utama dan keselamatan yang paling suci.

 

Maka dalam kondisi seperti ini bersegera dengan lisannya, dalam kondisi sangat baHaqia karena besarnya anugerah Allah—Jalla wa ‘Ala-kepadanya, karena Allah telah membukakan baginya pintu yang darinya ia menuju wasilah teragung di sisinya, yaitu Sayyidina wa Maulana Muhammad , lalu karena memenuhi perintah agung ini ia katakan: “Aku memenuhi panggilanmu wahai Tuanku, demi . beruntungnya keberuntungan dariMu, semua kebaikan dalam kekuasaan-Mu. Inilah hamba yang fakir, dan hina, orang yang condong kepada sisimu yang kokoh, yang bertawassul kepadaMu dengan kekasih paling utamaMu Muhammad  berkata dengan taufik-Mu, yang mengikuti perintahmu, yang memohon pertolonganmu dalam segala urusannya. Ya Allah, bershalawatlah bagi Sayyidina Muhammad, Nabi-Mu, Rasul-Mu, kekasih-Mu, dengan shalawat yang dengannya aku meniti tangga-tangga keikhlasan dan memperoleh puncak kekhususan dan berilah dia keselamatan, dengan keselamatan sejumlah apa yang dicakup oleh ilmu-Mu, dan yang ditulis oleh kitab-Mu’, atau dengan redaksi shalawat selainnya, yang pantas bagi keagungan Nabi Muhammad .

 

Kemudian terus-menerus ia baca shalawat dengan menghadirkan shurah Nabi Muhammad , yang tidak ada makhluk yang menyamai kebagusannya, dengan merasakan besarnya kehormatan beliau di sisi Allah Yang Maha Luhur Yang Maha Memiliki Keagungan, dengan mengingat besarnya belas kasih sayang dan kelembutan-Nya terhadap orang-orang mukmin, ketawadhuannya yang sangat tinggi terhadap mereka saat hidup dan setelah mati, dan upayanya menunjukkan mereka dan menyelamatkannya dari segala bahaya di dunia dan akhirat-semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam baginya, dan para nabi dan rasul selainnya, semuanya agar dengannya bertambahlah keagungan cintanya terhadap beliau di hatinya, dan cahaya-cahaya kebaikan mengikutinya berpancar di lahiriah dan hatinya.

 

Setelah selesai dari wiridnya dengan shalawat Nabi ia memuji Allah Ta’ala juga atas taufik-Nya memulai wirid dan menyelesaikannya. Hendaklah kenikmatan agung mampu mengamalkan wirid ini diiringi dengan syukur karena khawatir nikmat itu hilang. Pujian kepada Allah tersebut dilakukan minimal tiga atau tujuh kali.

 

Setelah itu hendaklah ia mulai membaca taawudz dengan bermaksud membaca al-Quran, lalu setelah itu susullah dengan firman Allah Ta’ala: “Maka ketahuilah, sungguhtidak ada Tuhan selain Allah.”

 

Kemudian penuhilah perintah Allah Yang Maha Perkasa, dengan ucapannya: “Aku memenuhi panggilanmu wahai Tuanku, demi beruntunnya keberuntungan dariMu, semua kebaikan dalam kekuasaan-Mu, Ini hamba yang fakir dan hina, mengesakanmu dengan bacaan tahlil, yang terserabut dari segala kesyirikan, pengubahan, dan penggantian, dengan dirman-Nya, yang mengikhlaskan diri dari hati, yang ingat kepada Tuhannya, Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah  …”, dengan tahlil sampai akhir putaran tasbihnya.

 

Hendaklah ia mengulangi taawwudz dan bacaan al-Qur’an tadi di setiap wirid al-kalimah almusyarrafah. Bila ia mencukupkan diri pada bacaan pertama kalinya, mata tidak apa-apa.

 

Hendaklah Zakir menjaga kehadiran hatinya pada makna tahlil, : agar memperoleh berbagai buahnya, yaitu bersinar hatinya dengan keagungan cahaya-cahaya -nya, berhasil baginya kemerdekaan besar dari penghambaannya pada apapun dari makhluk: berhias dengan martabat yang tinggi, mulia, dan indah, sebab penyandaran dirinya kepada Allah Tuhannya Yang Maha Mandiri memberi jalan dan mengatur, yang tidak ada pemberi manfaat dan yang membahayakan secara umum selain Dia-Tabaraka wa Ta’ala, ni’mal maula wa ni’mal wa ni’man neshir-, dalam kondisi mengetahui makna al-kalimah almusyarrafah dan mengingat-Nya, secara lahir dan batin.

 

Karena penyandaran dirinya tersebut, al-kalimah al-musyarrafah ini menghimpun antara takhliyyah dan tahliyyah. Pertama kalinya Zakir membersihkan hatinya, yaitu dengan menghilangkan seluruh bersitan prasangka darinya, dan menghilangkan seluruh makhluk yang menjadikannya sebagai hambanya, yaitu pangkat, harta, perempuan, anak, dinar, dirham, pujian, celaan, dan semisalnya dengan ucapannya: “ ” maksudnya tiada selain Allah—Jalla wa ‘Azza—dari seluruh makhluk secara umum, zat yang maha mandiri dalam dirinya, yang dibutuhkan dalam memberi pengaruh apapun sampai berhak disembah, ditaati, ditakuti, atau dipedomani dalam memberi pengaruh apapun. Bahkan semuanya sangat lemah untuk menyampaikan perkara apapun pada dirinya sendiri atau pada zat lain. Sebab itu, semuanya harus dibuang dari hati, karena wujudnya seperti tiadanya, tanpa keraguan dan kebimbangan.

 

Sesuatu yang ditemukan bersamaan dengan hal-hal tersebut yang diciptakan, seperti makanan, minuman, air, pakaian, perempuan, anak, harta, api, senjata, macan, ular, kegelapan, surga, neraka dari berbagai kemaslahatan dan kelezatan, serta berbagai bahaya dan sakit, maka tidak ada yang menjadi asal dan tidak dipedomani dalam berbagai pengaruh tersebut, dan pengaruh lainnya.

 

Maka memperhatikan pada apapun darinya merupakan kebutaan dan kegelapan yang besar, kondisi buruk yang tidak lurus, kebodohan yang tercela, kotoran yang sangat berbau busuk, yang sangat harus dibasuh dari hati, supaya hati siap bercahaya dengan cahaya suci yang terang benderang dari ma’rifatullah Zat Yang Maha Luhur, Maha Memiliki Keagungan. Ketika Zakir membasuh hatinya dengan penafian yang kuat dan bersifat umum Itu, maka hendaklah ia menshalati jasad dan ruhnya seperti shalatnya terhadap mayit yang mati empat kali takbir, dan menghakhirinya dengan salam.” Dalam kondisi seperti ini Allah akan menghiasainya dengan hiasan masuk dalam hadhratullah Yang Maha Merajal dan Maha Mengetahui. Lalu ia berkata sebagaimana ucapan orang yang terdesak, sangat takut, putus asa sekali dan selamanya dari segala sesuatu selain Allah setelah penafian dalam  

 

Ketika hatinya bersuka cita dengan cahaya hakikat, dan mengambil manfaat darinya tergantung dengan konsistensi menjalankan syariat, yang tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan selalu mengingat pembawa syariat yang menyampaikannya dari Allah Ta’ala, yaitu Sayyidina wa Maulana Muhammad , setelah menyebutkan kalimat tauhid yang menunjukkan hakikat, Zakir perlu menggenapinya dengan menetapkan kerasulan Sayyidiha wa Maulana Muhammad, agar ia menjaga cahaya tauhidnya dengan memasukkannya ke dalam penjagaan syariat yang sangat kokoh.

 

Karena itu, Zakir mengucapkan: “ 

 

Begitu pula sebaiknya, dalam setiap zikir terhadap Allah Ta’ala seorang mukmin tidak lupa menyebut Sayyidina wa Maulana Muhammad , yaitu dengan mendoakan shalawat bagi beliau setelahnya, mengakui kerasulannya disertai mendoakan shalawat baginya, atau semisalnya, dari redaksi yang menetapkan pengagungan baginya dan berpegangan dengan syariatnya. Sebab Nabi Muhammad  adalah pintu terbesar untuk menghadap Allah yang segala kebaikan dunia dan akhirat tidak akan diperoleh kecuali dengan bergantung kepadanya.

 

Jadi orang yang lalai dari mengingatnya dan berpengangan dengan syariatnya, tidak akan mencapai tujuannya, justru terlempar dalam keputusasaan yang laksana penjara, dan terhalang dari kebaikan dunia dan akhirat.

 

Sementara Sayyidina wa Maulana Muhammad  itulah penunjuk makhluk terhadap Allah Ta’ala. Bagaimana orang yang lalai menyebutkan penunjuknya bisa wushul ilallahi ta’ala? Sebagian orang yang sudah ditutup hatinya oleh Allah Ta’ala dari orang-orang yang berlagak mengamalkan tasawuf, padahal ia bukan ahli tasawuf, berkata dengan perkataan yang mendekati kekufuran atau bahkan sudah merupakan kekufuran, yaitu: “Sungguh memperbanyak mengingat Nabi  menghalangi dari Allah Ta’ala.”

 

Sebagian orang sesat telah menempuh jalan yang sama, ia berkata: “Bija aku membaca tahlil saja, tanpa menetapkan kerasulan, maka lebih tepat dan lebih cepat pengaruh makna tauhidnya.” la beralasan bagi kesesatan dan gangguan setannya dengan berkata: “Tahlil mempunyai makna sendiri, begitu pula penetapan kerasulan. Ketika ada berbagai makna yang berbeda di hati, maka pengaruhnya lemah dan jauhlah hasilnya.” la berkata: “Penetapan kerasulan itu hanya dibutuhkan untuk menyambung orang-orang yang menzikirkannya ketika masuk islam.”

 

Sebagian Imam dari al-A’immah ar-Rasikhin  berkata: “Perkataan ini-aku berlindung kepada Allah Taala-termasuk dari fitnah yang tidak ada ujungnya selain neraka, dan tidak ada akibatnya kecuali tempat kebinasaan. Tidaklah ucapan itu kecuali tipu daya, dan istidraj membuang syariat, melepaskan diri dari kewajibannya, dan mengosongkan aturannya. Andaikan orang sesat ini mengetahui rahasia-rahasia tauhid dan hikmah-hikmah tahlil yang ada dalam ucapannya “ ” niscaya kebutaannya hilang dan memperoleh tujuannya.” Begitu kata sebagian Imam.

 

Ya Allah, aku memohon perlindunganmu dari berbagai fitnah, yang lahir dan yang batin, dengan derajat Sayyidina wa Maulana Muhammad  dengan shalawat dan salam, yang dengannya kami bersama orangorang yang mencintai dengan anugerah Allah Ta’ala sampai ke surga Firdaus yang tinggi dan bernikmat-nikmat di sana di sisi Allah Ta’ala dengan berbagai pemberian dan nikmat anugerah Allah Ta’ala.

 

PASAL IV 4 MANFAAT DZIKIR KALIMAT

 

Pasal keempat dari keempat pasal yang tersisa menjelaskan berbagai faidah yang diperoleh orang yang melakukannya secara kontinyu dengan cara yang paling sempurna

 

Ketahuilah, sungguh kontinyu melakukan zikir a-kalimah almusyarrafah dengan cara yang aku sebutkan tadi menghasilkan berbagai faidah yang banyak.

 

Di antaranya ada yang kembali pada mahasin al-akhlak addiniyyah, da nada yang kembali pada karamah, yakni khawarig aladat

 

Pertama:

Di antaranya adalah bersifat zuhud. Yang aku maksudkan adalah sepinya batin dari condong kepada makhluk apapun yang pasti sirna, yaitu kosongnya hati dari mengandalkan pada sesuatu asti sirna. Bila dirinya yang mempunyai banyak harta halal, maka merasa merupakan pinjaman saja dan membelanjakannya dengan Izin syar’i sebagaimana tasaruf wakalah murni, yang bisa dipecat setiap saat dari tasaruf tersebut dengan kematian atau selainnya.

 

Hal itu menafikan ketergantungan hati pada sesuatu yang pasti sirna.

 

Di antaranya tawakal, yaitu kepercayaan hati terhadap Allah Zat Yang Maha Dipasrahi dan Maha Haq, sekira ia tenang di sisiNya dari kebingungan ketika tidak adanya berbagai sebab kehidupan, karena percaya dengan Allah Zat Pembuat Berbagai Sebab. Namun tidak mencederai tawakalnya, kesibukan lahiriahnya dengan berbagai sebab ketika hatinya terbebas darinya, sekira ada dan tidak adanya berbagai sebab sama baginya.

 

Di antaranya adalah malu, dengan mengagungkan Allah-Jalla wa Azza-dengan selalu mengingatnya, mematuhi larangan dan Perintahnnya, mencegah diri mengadu kepada makhluk yang lemah dan fakir selain Allah daripada mengadu kepada Nya.

 

Di antaranya adalah bersifat kaya, yaitu kaya hati dengan terselamatkannya dari fitnah berbagai sebab, dan tidak menentang hukum-hukum Allah dengan perkataan, bila tadi demikian… dan bila nanti demikian … karena mengetahui Allah-Jalla wa ‘Azza-Yang Maha Mandiri dengan penciptaan dan pengaturan, Yang Maha Merajai dan Maha Memberi, yang menjadi asal dari hukum-hukum tersebut.

 

Di antaranya adalah fakir, yaitu membiarkan hati terputus dari dunia karena kesenangan memperoleh dan memperbanyaknya, karena kepastian bahwa kebutuhannya tidak ada pada sesuatu apapun dari dunia: dan diamnya lisan secara total dari memuji dan mencelanya.

 

Di antaranya adalah memprioritaskan orang lain daripada dirinya sendiri dengan hal yang tidak dicela oleh syariat,

 

Di antaranya adalah futuwah, yaitu menjauhkan diri dari menuntut makhluk lain berbuat baik terhadap dirinya. Bila Ia berbuat baik kepada mereka, niscaya Ia meyakini bahwa kebaikannya kepada mereka dan kejahatan mereka kepadanya, semuanya adalah makhluk Allah Ta’ala. “Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”, karena itu ia tidak melihat dirinya telah berbuat baik sehingga meminta balasan, dan melihat mereka berbuat jahat sehingga mencelanya, kecuali syara’ yang memerintah mencela atau menghukum mereka, maka dalam kondisi seperti ini ia melakukan apa yang diperintah syara’ karena menjalankan tugas penghambaan saja. Futuwah ini di atas magam musalamah.

 

Di antaranya adalah bersyukur, yaitu mengkhususkan hati dengan memuji Allah Ta’ala dan melihat berbagai nikmat dari-Nya di selasela kesengsaraan.

 

Faidah al-kalimah al-musyarrafah ini sangat banyak. Orang yang menghendakinya hendaklah bersungguh-sungguh melaksanakan berbagai sebabnya, sehingga mengetahui rasanya.

 

Faidah Kedua dari berbagai faidah al-kalimah al-musyarrafah:

 

Yaitu yang kembali pada karamah.

 

Di antara adanya keberkahan dalam makanan dan semisalnya, sehingga makanan sedikit menjadi banyak, dan makanan sedikit cukup untuk orang banyak. Hal ini terlihat pada para waliyullah.

 

Diantaranya kemudahan memperoleh dinar, dirham, kedua-duanya, atau selainnya dari berbagai barang yang dibutuhkan. Sebagian Masyayikh pada mulanya bekerja sebagai penjual sutera, kemudian usaha sutera itu sulit dijalankannya secara syar’i, lalu ketika ia laksanakan wazhifah zikirnya dengan mengangkat kepalanya, kemudian ia temukan dirham di pangkuannya, yang digunakan untuk membeli makanan di hari tersebut.

 

Dikutip dari asy-Syaikh Abu Abdillah at-Tawudi, ia membutuhkan pakaian bagi anak istrinya, padahal anaknya banyak, lalu ia membeli secarik kain dan membawanya ke penjahit, memberikan satu ujungnya dan memegang ujung lainnya. Lalu Si Penjahit mulai menariknya dan memotongnya sedikit demi sedikit sampai selesai membuat banyak baju, dimana biasanya baju sebanyak itu tidak bisa buat dengan secarik kain saja. Hal itu terus dialami Si Penjahit, lalu ia berkata kepada asy-Syaikh Abu Abdillah at: Tawudi: “Wahai Tuanku, secarik kain ini tidak akan selesai dijahit selamanya,” Lalu beliau menjawab karena khawatir fitnah: “tu sudah selesai” sambil melempar sisa kain ‘ kepada penjahit tersebut.

 

Sebagian Masyayikh ada yang tidak melakukan zikir dan shalat di atas sajadahnya dalam kesendiriannya, kecuali Allah ciptakan baginya dirham-dirham baru diatas dan dibawah sajadahnya. la mempunyai keluarga dan anak yang banyak. Lalu ketika melihatnya melakukan shalat dan zikir, anak-anaknya mengawasi dan menanti selesainya. Ketika selesai, mereka mengambil dirham-dirham tersebut. Ada yang mendapatkan sedikit dan ada yang banyak. Mereka selalu begitu, sampai mereka mebicarakannya sehingga pembiCaraan itu terdengar masyarakat. Lalu berhentilah karamah tersebut.

 

Di antaranya terbukanya hakikat apa yang hendak digunakannya, seperti makanan, lalu ia ketahui yang halal dari yang haram dan yang syubhat dengan berbagai tanda yang ditemukannya. Adakalanya dari batin atau lahirnya, atau dari selainnya.

 

Karamah seperti ini banyak sekali dan tidak bisa dihitung, namun sungguh orang mukmin tidak semestinya menjadikannya sebagai tujuan dari ketaatannya. Bila tidak, maka asy-syirk al-khafi akan memasukinya dan tertipu dengannya,—wal ‘iyadz billah-, karena hal itu termasuk hal yang hati wajib bersih darinya ketika menyebutkan kalimat tauhid.

 

Hendaklah perhatinnya fokuskan pada kalimat tauhid secara total, yang menjadi tujuannya adalah ridha Allah yang tidak ada gantinya, yang pasti dibutuhkan makhluk, dan terbuka hijab dari hatinya yang laksana dua mata, sehingga dalam kondisi seperti itu tersucikanlah Allah Yang Maha Agung Yang Tiada Bandingannya, dan Allah pun menghadapkannya pada berbagai keajaiban dan rahasia yang tidak mungkin diungkapan dengan kata-kata.

 

Ya Allah, bukakanlah bagi kami faidah al-kalimah al-musyarrafah, dan tambahkanlah bagi kami dari ‘anugerah-Mu di dunia dan akhirat, wahai Zat Yang Maha Pengasih di antara sekian pengasih, dengan derajat Tuannya golongan awal dan golongan akhir, Nabiyyuna wa Maulana Muhammad , atas para saudaranya dari para nabi dan rasul, dan atas seluruh malaikat mugarrabin.

 

Pada keutamaan al-kalimah almusyarrafah ini dan berbagai faidah yang diperoleh orang yang berzikir dengannya, aku memberi isyarat dengan ucapanku dalam Kitab Asal al-‘Aqidah: “Bila demikian, maka ia akan melihat berbagai rahasia dan keajaibannya yang tidak terbatas.”

 

Pasal keempat ini merupakan akhir dari ketujuh pasal yang berhubungan dengan kalimat tauhid. Aku menjadikannya tujuh pasal karena tafa’ul dan berharap kepada Allah yang Maha Menguasai dan Maha Mulia—Jalla wa “Ala-agar menjadikannya sebagai benteng kuat, dan penghalang kokoh, bagiku, dan seluruh orang yang mencintaiku, dari azab apapun dari derajat neraka yang juga berjumlah tujuh, sebagaimana aku akhiri Kitab al’Aqidah dan Syarhnya ini, dengan mentahgig makna dua kalimat syahadat.

 

Dengannya aku berharap kepada Allah-Jalla wa “Ala-agar menutup kehidupan bagi kami, seluruh orang yang mencintai kami, dan saudara seagama kami, dengan derajat keimanan yang paling utama, dan mengumpulkan keterceraiberaian kami dan ketercerai-beraian mereka setelah kematian bersama al-Auliya’ al-Muqarrabin, ahli kenikmatan yang kontinyu, kelapangan, dan rejeki di alam kubur.

 

Kami akhiri Syarh yang penuh berkah ini, insyaallah, dengan doa penuh berkah. Aku ucapkan:

 

“Segala Puji bagi Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pemberi, dan Maha Pemberi berbagai nikmat yang agung, kepada orang yang dikehendakinya dengan murni anugerah-Nya, tanpa sebab dari berbagai sebab, Maha Pembuka hati para hamba dengan kedermawanannya sehingga cahayanya membakar hijab semua makhluk, dan menggapai puncak tujuan.

 

Semoga Alalh Ta’ala meridhai keluarga dan sahabatnya yang pasca kewafatannya dan perjumpaannya dengan Zat Yang Maha Pengasih dan Maha Tinggi, menjadi bintang-bintang bersinar, yang merupakan panutan bagi seluruh makhluk setelahnya mereka adalah umat terbaik yang medapatkan petunjuk, dan meridhai orang yang mengikuti mereka dengan keimanan sampai hari di saat Allah membangkitkan tulang belulang yang busuk,

 

Wahai Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami, dan bila tidak Engkau maafkan dan Engkau rahmati, niscaya kami tergolong orang-orang yang merugi. Wahai Tuhan Kami, kami telah sering menzalimi diri kami, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka Ampunilah kami dengan ampunan dari-Mu, dan rahmatilah kami, sungguh Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Wahai Tuhan Kami, jangan jadikan kami sebagai fitnah bagi orang-orang zalim, dan selamatkanlah kami dari orang-orang kafir dengan rahmat-Mu.

 

Ya Allah Penolong orang-orang yang meminta pertolongan, Zat Pelindung orang-orang yang mempunyai kebutuhan dan yang haus pertolongan. Wahai Zat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Wahai Zat Yang Maha Memiliki Keagungan dan Kemuliaan, aku meminta kepadaMu agar Engkau jadikan kami di dunia dan akhirat termasuk orang pilihan ahli   ahli ma’rifat terhadap-Mu, dan Engkau beri nikmat Kami bersama orang-orang yang mencintal kami setelah kematian di surga Firdaus dengan keagungan nikmat-Mu, dan keindahan melihat-Mu, Engkau ampuni seluroh dosa kami tanpa siksaan dan cobaan, dan Engkau lunasi seluruh hak-hak adami kami sebagai ganti dari kami dengan murni anugerah-Mu, tanpa kerendahan di dunia dan akhirat, wahai Zat Pemilik anugerah dan kemurahan.

 

Ya Allah, bagi-Mu segala puji, hanya kepada-Mu pengaduan dari kami, dan dari berbagai penghalang yang bersamanya sulit mendapatkan keselamatan di zaman yang penuh kesulitan ini, maka selamatkanlah aku wahai Tuanku, dari bahayanya bagi agama dan dunia kami, sekarang dan esok hari, sampai kami memperoleh ridha-Mu yang agung ketika masih hidup maupun setelah mati.

 

Ya Allah, wahai Zat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, sungguh berbagai praduga dan hawa nafsu telah menawan kami, dan lemahlah kekuatan kami dari bangkit menuju bernikmat-nikmat di sisi-Mu Zat Yang Maha luhur yang kokoh. Sungguh kendali hati telah mengalahkam kami, beruntunnya maksiat dan menumpuknya karat dosa telah melemahkannya dan menggelapkan pandangannya, maka hati kami menangis dan menyesal, meskipun lisan kami tertawa, dan menginginkan kebangkitan meraih kesempurnaan, karena rindu padanya. Lalu penawanan dan kebutaan mencegahnya, kekuatan tidak dapat menolongnya, begitu pula hati dan anggota lahir, sehingga kami terlempar dalam kesempitan penjara berbagai mara bahaya, terborgol di dalamnya dengan tali belenggu berbagai syahwat.

 

Maka wahai Zat Pemilik Anugerah Agung yang tidak terbatas, tidak ter’illati, dan tidak terukur dengan takaran dan timbangan, wahai Zat Pemilik Kedermawanan yang umum, yang membanjiri seluruh alam, sehingga orang yang terdekat dan orang yang terjauh dan merugi pun mengharapkannya. Sungguh Engkau telah memerintah kami Wahai Zat Pemilik Keagungan dan Kemulaian, dengan lantaran sabda Nabi dan Rasul-Mu, Sayyidina wa Maulana Muhammad , untuk membebaskan tawanan dan menyelamatkannya dari tawanan orang kafir, yang bahayanya ringan dan mudah sirna, sementara kami wahai Tuhanku adalah tawanan secara hakiki yang khawatir terputus dari kebaikan agung yang langgeng, yang Engkau rambatkan dengannya para kekasih-Mu di surga tertinggi, dan keberuntungan meraih indahnya keridhaan dariMu yang tiada gantinya, Zat yang mengangkat hati dan zat kami yang terawan dan terpenjara dari bernikmat-nikmat dengan kelezatan hadhrah keagungan-Mu, yang tidak tertahan oleh kesabaran. Anugerahilah kami dengan apa yang Engkau perintahkan kepada kami wahai Zat Yang Maha Pemurah, Maha Pemberi, Maha Penyayang, Maha Pengasih, dan yang tiada duanya dalam mengatur kerajaan-Nya.

 

Ya Allah, ampunilah kami, para bapak kami, ibu kami, guru kami, saudara kami, orang-orang yang mencintai kami, dan keturunan kami. Kumpulkanlah ketercerai-beraian kami dan keterceraiberaian mereka, tanpa ujian bersama pembesar kekasih-Mu di A’la al-‘lliyyin, dan berilah nikmat : kepada kami semua pasca kematian di surga Firdaus tertinggi, dengan kelezatan melihat-Mu, dan berkumpul bersama para nabi, shiddiqqin, syuhada”, dan shalihin, yang Engkau beri nikmat.

 

Ya Allah, berikanlah manfaat dengan Kitab Syarh ini kepada setiap ahli kebaikan dan keimanan yang mempelajarinya, dan ya Allah, anugerahkanlah kepada setiap orang yang menghafal Kitab al-‘Aqidah yang menjadi Kitab Asal dari Syarh ini dengan memperoleh husnul khatimah, dan memperoleh ampunan yang menyeluruh.

 

Ya Allah, jadikanlah hafalan Kitab al-Aqidah tersebut menjadi cahaya agung bagi mereka di dunia dan akhirat. Muliakanlah mereka sebab Kitab al-‘Aqidah itu tanpa ujian di surga Firdaus tertinggi, tempat yang membanggakan. Jagalah kami dan mereka sampai mati dari seluruh fitnah. Jadikanlah penghalang yang menutupi di antara kami dan orang-orang zalim, dalam urusan agama dan dunia kami. Wahai Zat Yang Maha Agung Pemberian dan Kemurahan-Nya, kami bertawassul kepadamu wahai Tuhan kami, dalam meraih semua harapan ini dengan Zat-Mu Yang Maha Luhur, dan dengan Nabi-Mu Sayyidina wa Maulana Muhammad pemilik nafsu suji, pemberi syafaat dan yang diterima syafaatnya di sisi-Mu, pimpinan orang-orang awal dan orang-orang akhir, Sayyidina Muhammad , dan bagi para keluarganya sejumlah zikir dilakukan oleh para Zakir terhadap-Mu dan terhadap dia, dan sejumlah zikir yang dilalaikan oleh orang-orang lalai terhadapMu dan terhadap dia.

 

Akhir doa kami adalah sungguh segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Zat yang mencukui kami adalah Allah, dan sebaik-baik penguasa dan yang dipasrahi adalah Allah. Tiada daya berpaling dari maksiat dan kekuatan beribadah kecuali dengan taufik Allah Yang Maha Luhur dan Maha Agung. Zat yang mencukupi kami adalah Allah, dan ia telah memberi kecukupan. Semoga keselamatan terlimpahkan bagi para hambaNya yang terpilih. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan keselamatan bagi Sayyidina Muhammad, para keluarga dan sahabatnya, sejumlah tetesan hujan, sejumlah daun pepohonan, sejumlah beratnya gunung dan batu, sejumlah pasir dan buih lautan, sejumlah orang baik dan orang jahat, sejumlah sesuatu yang bergerak di malam dan siang hari. Jadikanah wahai Allah, shalawat ini sebagai keselamatan dari neraka bagi kami. Wahai Tuhan Yang Tunggal, Yang Maha Esa, Yang Maha Mengawasi, Yang Maha Memaksa. Semoga keselamatan terlimpah kan bagi seluruh nabi dan rasul. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.