Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sulaiman, dari Asy-Syafi’i, ia berkata: Allah Ta’ala berfirman:   “Dan engkau (Muhammad) tidak berada di tengah mereka ketika mereka melemparkan anak panah (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam.” (QS. Ali Imran: 44) 

 

Dan Allah Azza wa Jalla berfirman:   “Dan sungguh, Yunus benar-benar termasuk salah seorang rasul, ketika ia lari ke kapal yang penuh (muatan), kemudian ia ikut diundi, lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian.” (QS. Ash-Shaffat: 139-141) 

 

Asy-Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata: Asal hukum undian dalam Kitabullah adalah dalam kisah orang-orang yang mengundi untuk memelihara Maryam dan orang-orang yang mengundi (nasib) Yunus. Maka, undian—wallahu a’lam—hanya berlaku di antara kaum yang setara dalam alasan (hak), dan tidak melampaui itu. 

 

Mengenai orang-orang yang mengundi untuk memelihara Maryam, mereka mungkin setara dalam hak memeliharanya sehingga saling bersaing. Ketika pemeliharaan diberikan kepada salah seorang di antara mereka, itu lebih tepat. Sebab, jika bergilir setiap hari atau lebih lama pada masing-masing, justru lebih berisiko merugikan Maryam. Seorang penanggung (kafil) yang tunggal akan lebih penyayang, lebih tahu cara merawatnya, memahami sifat-sifatnya, mana yang baik dan buruk, serta cara memberinya makan dengan benar. Sedangkan jika bergantian, setiap yang mengambil alih mungkin tidak tahu cara merawatnya hingga akhirnya berpindah ke orang lain yang sama-sama tidak ahli. 

 

Ada alasan lain yang sah: Jika pengasuhan seorang anak perempuan (yang belum mandiri secara akal) ditangani satu orang, bukan banyak orang, itu lebih mulia dan lebih baik baginya. (Asy-Syafi’i berkata): Boleh juga anak itu diasuh oleh satu penanggung, sementara yang lain menanggung biayanya secara proporsional—seperti anak yang diasuh bibinya atau ibunya, tetapi nafkahnya tetap menjadi kewajiban pihak yang seharusnya menanggung. 

 

Orang-orang yang mengundi untuk memelihara Maryam tidak lepas dari dua kemungkinan: 

  1. Mereka berebut hak asuh (ini lebih mungkin—wallahu a’lam), atau
  2. Mereka saling menolak hak asuh, lalu mengundi siapa yang wajib menanggungnya.

 

Jika yang awalnya berebut kemudian rela melepaskan hak asuh, ia tidak boleh memaksa orang lain untuk membantunya dalam biaya kecuali dengan kerelaan. (Asy-Syafi’i berkata): Apapun situasinya, undian memastikan satu pihak menanggung kewajiban, sementara yang lain terbebas, sesuai keinginannya. 

 

Inilah makna undian Yunus—shallallahu ‘alaihi wasallam— saat kapal terhenti. Mereka berkata: “Tidak ada yang menghalanginya berlayar kecuali ada masalah. Dan masalahnya pasti karena ada seorang pendosa di antara kita.” Lalu mereka mengundi, dan undian jatuh pada Yunus—’alaihis salam—sehingga mereka membuangnya, lalu kapal pun berlayar. 

 

Ini serupa dengan undian orang-orang yang memperebutkan hak asuh Maryam, karena kondisi penumpang kapal saat itu setara. Meskipun dalam hal ini tidak ada kewajiban harta yang baru muncul setelah undian, atau gugurnya kewajiban dari sebagian pihak, undian tetap menetapkan hak bagi sebagian dan membebaskan sebagian lain—seperti dalam kasus Maryam, ada yang menanggung beban dan ada yang terbebas. 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Setiap undian yang dilakukan Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—memiliki makna yang sama dengan undian hak asuh Maryam, tanpa perbedaan. Misalnya: 

– Beliau mengundi antara budak yang dimerdekakan bersamaan, lalu kemerdekaan diberikan kepada sepertiga mereka, sementara dua pertiga lainnya gugur karena undian. Ini terjadi ketika seseorang memerdekakan budak (sebagai wasiat) saat sakit, tetapi harta yang digunakan adalah milik orang lain. Maka, Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—memfokuskan kemerdekaan pada sepertiga hartanya, tanpa membaginya—seperti pembagian warisan yang tidak dipaksakan. 

– Demikian pula undian beliau di antara istri-istrinya saat bepergian. Di rumah, beliau membagi waktu untuk masing-masing. Namun saat bepergian, sulit membawa semua, maka diundi. Siapa yang terpilih, dialah yang ikut, sementara hak istri lain gugur selama perjalanan. Ketika kembali, hak mereka kembali seperti semula, dan tidak dihitung sebagai hari-hari perjalanan.

 

Demikian pula pembagian Khairb. 

Ada empat bagiannya untuk orang yang hadir, seperti Aqra’. Siapa pun yang undiannya jatuh pada bagian yang terkumpul, maka dia berhak sepenuhnya tanpa dipotong hak orang lain, dan hak orang lain terputus darinya. 

 

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Uyainah dari Isma’il bin Umayyah dari Yazid bin Yazid bin Jabir dari Makhul dari Ibnul Musayyib: 

“Seorang wanita memerdekakan enam budaknya saat menjelang kematiannya, dan dia tidak memiliki harta selain mereka. Nabi ﷭ kemudian mengundi antara mereka, lalu memerdekakan dua dan membiarkan empat tetap sebagai budak.” 

 

Diriwayatkan oleh Abdul Wahhab dari Ayyub dari seorang laki-laki dari Abul Muhallab dari Imran bin Hushain: 

“Seorang laki-laki dari Anshar—ada yang mengatakan: Dia berwasiat saat kematiannya untuk memerdekakan enam budak, dan dia tidak memiliki harta selain mereka. Atau ada yang mengatakan: Dia memerdekakan enam budak saat kematiannya tanpa memiliki harta lain. Ketika hal itu sampai kepada Nabi ﷭, beliau memberikan teguran keras, lalu membagi mereka menjadi tiga bagian dan mengundi antara mereka. Akhirnya, dua dimerdekakan dan empat tetap sebagai budak.” 

 

Diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah ﷭ bersabda: 

“Barangsiapa memerdekakan bagiannya dalam kepemilikan seorang budak…” (lalu disebutkan haditsnya). 

 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Fudaik dari Ibnu Abi Dzi’b dari Abu Az-Zinad: 

“Umar bin Abdul Aziz memutuskan kasus seorang laki-laki yang berwasiat untuk memerdekakan budak-budaknya, di antara mereka ada yang tua dan muda. Umar bermusyawarah dengan beberapa orang, termasuk Kharijah bin Zaid bin Tsabit, lalu mengundi antara mereka.” 

Abu Az-Zinad berkata: “Seorang laki-laki menceritakan kepadaku dari Al-Hasan bahwa Nabi ﷭ pernah mengundi antara mereka.” 

 

Diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah ﷭ bersabda: 

“Barangsiapa memerdekakan bagiannya dalam kepemilikan seorang budak, dan dia memiliki harta yang mencapai nilai budak tersebut, maka nilai budak itu ditaksir secara adil. Lalu, bagian para pemilik lainnya diberikan, dan budak itu dimerdekakan. Jika tidak, maka hanya bagiannya saja yang merdeka.” 

 

Ar-Rabi’ berkata: “Asy-Syafi’i meriwayatkan, dan Ibnu ‘Uyainah meriwayatkan dari Amr bin Dinar dari Sami bin Abdullah dari ayahnya bahwa Nabi ﷭ bersabda: 

‘Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya memerdekakan bagiannya, maka jika dia mampu, budak itu dinilai dengan harga tertinggi lalu dimerdekakan.’ Kadang beliau bersabda: ‘Dengan nilai yang wajar, tanpa penambahan atau pengurangan.'” 

 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Fudaik dari Ibnu Abi Dzi’b dari Abu Az-Zinad: 

“Seorang laki-laki memerdekakan sepertiga budaknya, lalu Marwan bin Al-Hakam mengundi antara mereka.” 

 

Diriwayatkan oleh Malik dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman: 

“Seorang laki-laki di masa Marwan bin Al-Hakam memerdekakan semua budaknya tanpa memiliki harta lain. Marwan kemudian memerintahkan agar budak-budak itu dibagi menjadi tiga bagian, lalu diundi untuk menentukan siapa yang merdeka. Undian jatuh pada sepertiga bagian, dan mereka pun dimerdekakan.” 

Malik berkata: “Itu adalah pendapat terbaik yang pernah kudengar.” 

 

Asy-Syafi’i berkata: 

“Kami mengambil semua ini, dan hadits tentang undian dari Imran bin Hushain dan Ibnul Musayyib sesuai dengan perkataan Ibnu Umar tentang memerdekakan budak. Tidak ada perbedaan dalam riwayat keduanya. Jika seseorang memerdekakan budaknya saat menjelang kematian tanpa memiliki harta lain, maka itu dianggap sebagai pembebasan penuh selama hidupnya. Namun, jika dia sakit dan tidak sembuh sebelum meninggal, maka itu dianggap wasiat seperti memerdekakan setelah kematian. Ketika Nabi ﷭ mengundi antara mereka dan memerdekakan sepertiga sementara dua pertiga tetap sebagai budak, kami memahami bahwa dia memerdekakan hartanya dan harta orang lain. Nabi ﷭ mengizinkan hartanya dan mengembalikan hak orang lain—seperti jika budak dimiliki seseorang lalu dia menjual atau menghadiahkan sepertiganya. Kami membagi dan mengundi, lalu memberikan hak pembeli atau penerima hadiah sesuai bagiannya jika mereka rela. Jika undian jatuh pada bagian mitra atau penerima hadiah, maka itu menjadi hak mereka, dan sisanya untuk mitra lainnya. Jadi, pembebasan terjadi jika ada pemindahan kepemilikan—seperti hibah atau jual beli—sehingga cara pembagiannya sama.” 

 

Dia (Asy-Syafi’i) berkata: 

“Jika si pemberi merdeka sembuh dari sakitnya, maka semua budak itu merdeka karena dia menjadi pemilik penuh tanpa halangan. Demikian pula jika dia meninggal dan budak-budak itu termasuk dalam sepertiga hartanya—mereka semua merdeka. Tetapi jika dia meninggal dan hanya sepertiga yang dimerdekakan sementara dua pertiga tetap sebagai budak, maka maknanya sesuai hadits Ibnu Umar tanpa pertentangan. Rasulullah ﷭ bersabda: 

‘Barangsiapa memerdekakan bagiannya dalam kepemilikan seorang budak, dan dia memiliki harta yang mencapai nilai budak tersebut, maka nilai budak itu ditaksir secara adil. Lalu, bagian para pemilik lainnya diberikan, dan budak itu dimerdekakan. Jika tidak, maka hanya bagiannya saja yang merdeka.’ 

Jadi, jika seseorang memerdekakan bagiannya dalam kepemilikan budak dan dia mampu membayar tebusan kepada mitranya, maka budak itu merdeka.”

 

Jika orang yang membebaskan budak tidak mampu membayar tebusan, maka budak yang dibebaskan itu merdeka sesuai bagiannya, dan pemilik bersama tetap memiliki haknya. Kedua hadis ini saling mendukung. Jika orang yang membebaskan budak tidak mampu, dia tidak boleh mengambil harta milik mitranya tanpa kompensasi. Namun, jika orang yang membebaskan budak mampu, maka pembebasan itu sah, dan mitranya berhak menerima kompensasi senilai bagian yang dibebaskan. Kedua hadis ini membatalkan sistem istisna’ (pembebasan sebagian) dalam segala kondisi dan sepakat dalam tiga hal: (1) membatalkan istisna’, (2) menetapkan perbudakan kembali jika orang yang membebaskan tidak mampu, dan (3) keabsahan pembebasan jika orang yang membebaskan mampu. 

 

Hadis Imran bin Hushain dan Ibnu al-Musayyab menambahkan dua makna: 

  1. Pembebasan total saat kematian jika orang yang membebaskan tidak sempat berwasiat.
  2. Wasiat boleh diberikan kepada non-kerabat, termasuk budak yang bukan kerabat (misalnya, budak asing yang dimiliki orang Arab). Ini bertentangan dengan pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa ayat “Wasiat untuk orang tua dan kerabat” (QS. Al-Baqarah: 180) telah dihapus oleh hukum waris.

 

Selain itu, jika wasiat melebihi sepertiga harta, kelebihannya dikembalikan ke batas sepertiga. Ini menjadi dalil bahwa wasiat tidak boleh melebihi sepertiga. Seandainya ada yang berpendapat bahwa Rasulullah ﷺ hanya memberi isyarat kepada Sa’d tanpa menjelaskan batas wasiat, maka hadis ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengklaim bahwa orang tanpa ahli waris boleh mewasiatkan seluruh hartanya. 

 

Hadis Imran bin Hushain mencakup lima makna, sedangkan hadis Ibnu al-Musayyab mencakup tiga makna yang sudah tercakup dalam hadis Imran. 

 

### Tentang Pengundian dalam Pembagian Budak dan Lainnya 

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: 

Dahulu, orang Arab melakukan undian dengan anak panah yang diukir rata, lalu setiap anak panah diberi tanda nama seseorang, kemudian diacak dan diambil secara acak. Siapa pun yang namanya keluar, dialah yang berhak. 

 

Cara undian yang paling aku sukai—dan paling jauh dari kecurangan—adalah dengan menulis nama-nama pemilik hak di potongan kertas kecil yang seragam, lalu dimasukkan ke wadah yang sama. Jika tidak memungkinkan, kertas itu bisa ditimbang agar seragam, dikeringkan sebentar, lalu dimasukkan ke kain. Seorang yang tidak tahu nama-nama itu diminta mengambil satu kertas, lalu dibaca namanya, dan haknya diberikan. Proses ini diulang hingga semua bagian terbagi. 

 

Hal yang sama berlaku untuk budak. Jika seseorang meninggal dan meninggalkan budak yang dibebaskan seluruhnya atau sebagian (misalnya sepertiga atau dua pertiga), sementara tidak ada harta lain selain mereka dan nilai mereka setara, maka mereka dibagi menjadi tiga bagian: satu bagian untuk merdeka, dua bagian tetap budak. 

 

Jika undian pertama mengeluarkan bagian merdeka, maka sepertiga budak merdeka, dan dua pertiga tetap budak. Jika undian pertama mengeluarkan bagian budak, maka dua pertiga tetap budak, dan undian diulang untuk sepertiga sisanya. Jika nilai budak tidak setara, mereka disesuaikan—misalnya, jika enam budak bernilai 100, 200, dan 300, mereka dibagi menjadi tiga bagian (satu budak = satu bagian, dua budak = satu bagian, tiga budak = satu bagian). Jika undian mengeluarkan satu budak, maka dia merdeka.

 

Demikian pula jika undian jatuh pada bagian kedua atau ketiga, maka penyesuaian di antara mereka dilakukan berdasarkan nilai, apakah nilainya sama atau berbeda. Jika satu bagian bernilai dua ratus, dua bagian bernilai lima puluh, dan tiga bagian bernilai lima puluh, maka diadakan undian di antara mereka. Jika undian jatuh pada satu bagian, maka dibebaskan sepertiga dari total harta, yaitu setengah dari budak, dan separuhnya lagi serta dua bagian lainnya tetap sebagai budak. Jika pembebasan jatuh pada dua bagian, maka keduanya dibebaskan, kemudian undian diulang, diundi antara satu bagian dan tiga bagian, dimulai dengan membagi mereka menjadi tiga bagian. Siapa pun yang undiannya jatuh pada pembebasan, maka dibebaskan dari bagian yang tersisa dari sepertiga, dan sisanya serta bagian lainnya tetap sebagai budak. Jika masih ada sisa dari sepertiga yang kecil dan undian pembebasan jatuh pada satu bagian, maka dibebaskan dari sisa bagian pembebasan. Jika jatuh pada dua atau tiga bagian dan mereka tidak bisa dibebaskan sekaligus, maka mereka dibagi menjadi tiga bagian, kemudian diundi di antara mereka. Siapa pun yang undian pembebasan jatuh padanya, maka seluruhnya dibebaskan. Jika undian jatuh pada satu bagian, maka seluruhnya dibebaskan, atau sesuai dengan sisa bagian pembebasan darinya. Jika seluruhnya dibebaskan dan masih ada sisa, maka diundi di antara mereka yang masih tersisa dalam bagiannya, karena pembebasan hanya berlaku bagi mereka hingga sepertiga terpenuhi. Undian tidak pernah diulang dari bagian mereka yang sudah mendapatkan undian pembebasan, kecuali hingga kebebasan terpenuhi bagi mereka. Jika satu dari mereka dibebaskan, kemudian diundi di antara yang tersisa, dan undian jatuh pada dua bagian, maka diundi lagi di antara keduanya. Siapa pun yang undiannya jatuh pada pembebasan, maka dibebaskan, atau dibebaskan sesuai dengan sisa sepertiga. Jika seluruhnya dibebaskan dan masih ada sisa dari sepertiga, maka dibebaskan sesuai dengan sisa sepertiga dari bagian yang tersisa. 

 

Jika ada tiga bagian dengan nilai berbeda, kemudian diundi di antara mereka dan undian jatuh pada satu bagian, sementara jumlah mereka tidak cukup untuk memenuhi sepertiga, maka diundi di antara bagian yang mendapatkan undian pembebasan, dan siapa pun yang undiannya jatuh padanya, maka dibebaskan. Jika masih ada sisa dari pembebasan, maka diundi di antara yang tersisa dari bagian tersebut saja, karena dua bagian lainnya kembali menjadi budak. Undian tidak diulang dari bagian yang sebelumnya mendapatkan undian pembebasan hingga sepertiga terpenuhi, atau jika masih ada sisa dari pembebasan, maka dua bagian yang tersisa diperlakukan sama, dan undian dimulai di antara mereka dengan membagi menjadi tiga bagian. Jika yang tersisa hanya dua budak, maka diundi di antara keduanya. Siapa pun yang undiannya jatuh pada pembebasan, maka dibebaskan sesuai dengan sisa pembebasan, dan sisanya tetap sebagai budak. Undian tidak pernah dimulai di antara mereka kecuali dengan membagi menjadi tiga bagian jika memungkinkan. 

 

Jika dua budak yang dibebaskan tidak memiliki bagian lain, maka tidak bisa dilakukan pembagian, sehingga diundi di antara keduanya. Siapa pun yang undiannya jatuh pada pembebasan, maka dibebaskan sesuai dengan sepertiga harta. Jika undian jatuh pada yang nilainya lebih kecil dan seluruhnya dibebaskan sementara masih ada sisa dari sepertiga, maka dibebaskan dari sisa sesuai dengan sepertiga, dan sisanya tetap sebagai budak. 

 

Jika ada delapan budak dengan nilai yang sama, maka ada dua pendapat: 

  1. Membuat empat undian, kemudian diundi di antara mereka. Jika undian jatuh pada satu atau dua bagian, maka dibebaskan, kemudian sisanya dibagi dengan cara yang sama, dan undian diulang di antara mereka. Siapa pun yang undiannya jatuh padanya, maka dibebaskan sesuai dengan sepertiga. Jika undian jatuh pada dua bagian tetapi tidak cukup untuk memenuhi sepertiga, maka diundi di antara keduanya. Siapa pun yang mendapatkan pembebasan, maka dibebaskan, dan sisanya tetap sebagai budak. Jika dibebaskan dan masih ada sisa dari sepertiga, maka dibebaskan dari sisa sesuai dengan sepertiga, dan sisanya tetap sebagai budak. Pendapat ini lebih sesuai jika nilai mereka sama, karena tidak mungkin membebaskan dua dan meninggalkan empat sebagai budak kecuali jika dua bagian itu sudah memenuhi sepertiga tanpa lebih atau kurang. Jika ada tujuh budak, maka dibuat tujuh undian, kemudian diundi di antara mereka hingga sepertiga terpenuhi.
  2. Membagi mereka menjadi tiga bagian. Jika ada tujuh budak dengan nilai yang sama, maka satu bagian digabung dengan dua bagian lainnya. Jika undian jatuh pada pembebasan, maka diundi di antara mereka, dan siapa pun yang mendapatkan undian, maka dibebaskan seluruhnya, sementara sisa pembebasan diberikan kepada yang tidak mendapatkan undian. Pendapat ini lebih benar dan sesuai dengan makna Sunnah, karena Rasulullah ﷺ membagi mereka menjadi tiga bagian. Pendapat ini juga sesuai dengan hadis, baik nilai mereka berbeda atau tidak.

 

Tidak boleh mengundi di antara budak, baik sedikit atau banyak, kecuali dengan tiga undian. Jika nilai mereka sama atau digabungkan yang lebih kecil dengan yang lebih besar hingga nilainya seimbang, maka itu seperti mengundi di antara mereka dengan tiga undian. Sebenarnya, bisa saja mengundi di antara mereka dengan enam undian seperti mengundi di antara ahli waris, tetapi jika satu undian keluar, maka dibebaskan.

 

Contohnya, undian diulang untuk yang tersisa hingga sepertiga terpenuhi, dan itu lebih disukai oleh budak; karena jika diundi antara lima yang tersisa dua kali, lebih mereka sukai daripada diundi sekali. Undian dua atau tiga kali tidak merugikan ahli waris; karena tidak akan keluar dalam sekali, dua kali, atau tiga kali kecuali sepertiga. Ketika Nabi ﷺ menetapkan di antara mereka dengan tiga bagian, tidak diperbolehkan mengundi mereka kecuali dengan tiga bagian, meskipun nilai dan jumlah mereka berbeda. Allah Ta’ala lebih tahu. Seandainya boleh ketika nilai mereka berbeda, maka juga boleh ketika nilai mereka sama untuk diundi sesuai jumlah budak, seperti diundi sesuai jumlah ahli waris. Namun, undian antara budak untuk pembebasan dan ahli waris untuk pembagian berbeda dalam satu aspek meski sama dalam lainnya. 

 

Jika ada yang bertanya: “Mengapa budak tidak dibagi berdasarkan nilai, lalu yang sedikit nilainya digabung dengan yang banyak?” Bagaimana jika ini dilakukan dalam pembebasan, lalu bagaimana dengan pembagian antara ahli waris? Kami jawab: “Berdasarkan nilai.” Ditanyakan lagi: “Jika nilai mereka berbeda dan yang tersisa beragam, seperti satu budak senilai seribu dan dua budak senilai lima ratus, dengan dua ahli waris?” Jawabannya: “Diundi antara mereka. Jika undian pertama jatuh pada satu budak, maka dikembalikan kepada saudaranya dua ratus lima puluh. Jika jatuh pada dua budak, diambil dari rekannya dua ratus lima puluh. Jika rekannya tidak mampu, dia mengambil dua budak dan menjadi mitra dalam budak yang dipegangnya sesuai sisa haknya hingga setengah warisan terpenuhi. Misalnya, dia dapat seperempat budak dan yang lain tiga perempat.” 

 

Demikian juga untuk harta lain seperti tanah, pakaian, rumah, dll. Ada pendapat lain: nilai mereka diperiksa. Jika seperti dijelaskan, dikatakan kepada ahli waris: “Jika kalian setuju diundi seperti ini, siapa yang dapat bagian besar mengembalikan kelebihan nilainya, dan yang dapat bagian kecil mengambil sisa nilai.” Jika mereka setuju, diundi. Jika tidak, kami katakan: “Kalian adalah ahli waris yang tidak bisa adil dalam pembagian, seolah mewarisi harta yang tidak terbagi. Maka, kembalilah ke hak waris hingga kalian sepakat atau jual lalu bagi harganya. Kami tidak memaksa menjual.” 

 

Jika ditanya: “Mengapa tidak pakai nilai untuk budak? Jika bagian besar menang, dia bebas seluruhnya dan sisa menjadi hutang pada ahli waris jika budak setuju.” Jawabannya: “Budak tidak sama dengan ahli waris. Budak tidak punya harta. Jika punya, itu milik tuannya. Tidak boleh membebaskan separuh budak dan menghutangkan sisa pada ahli waris, karena mungkin tidak akan dibayar. Jika menyelisihi hadits Imran bin Hushain, Ibnu Umar, dan Ibnu Al-Musayyib dari Nabi ﷺ, serta masuk dalam isti’a’ah (pemaksaan), maka salah dalam qiyas terhadap pembagian ahli waris.” 

 

Jika ditanya: “Apa kesalahan pendapat ini?” Jawabannya: “Pembagian ahli waris berdasarkan nilai dan tambahan dengan kerelaan. Jika mereka marah, diserahkan pada yang tidak bisa dibagi. Budak tidak punya harta untuk rela memberi. Kami tidak bisa memaksa pemegang hak waris untuk mengambil atau memberi tanpa kerelaan. Budak dibagi berdasarkan nilai jika setara. Jika berbeda, diundi, lalu dibebaskan sesuai nilai hingga sepertiga terpenuhi. 

 

Jika ada enam budak dengan nilai sama dan lima bagian harus bebas, mereka dibagi tiga bagian dan diundi. Jika bagian bebas jatuh pada yang bebas, diundi lagi hingga bagian perbudakan jatuh pada satu, dan sisanya bebas. Dua bagian yang tidak kena undian perbudakan bebas. Undian berlaku sama, baik budak yang dibebaskan saat sakit lalu meninggal, atau yang dibebaskan setelah kematian, jika semua dibebaskan sekaligus. Jika ada budak yang dibebaskan saat sakit dan setelah kematian, prioritas untuk yang dibebaskan saat sakit hingga tak tersisa. Jika tidak ada sisa sepertiga, tidak ada yang dibebaskan setelah kematian. 

 

Hal sama berlaku untuk mudabbar (budak yang akan bebas setelah tuannya meninggal) atau yang diwasiatkan bebas. Jika ada sisa sepertiga setelah pembebasan saat sakit, diundi antara mudabbar dan yang diwasiatkan. Yang menang diundi bebas seperti sebelumnya. Kami menyamakan mudabbar dan yang diwasiatkan karena keduanya bisa dibatalkan oleh tuannya saat hidup, tetapi bebas setelah kematian dan keluar dari sepertiga. Keduanya sama dalam status, tidak berbeda, karena sama-sama bebas setelah kematian dan tetap budak jika tuannya menghendaki saat hidup. Jika tuannya membatalkan mudabbar atau wasiat sebelum meninggal, itu boleh.

 

Bab tentang Memerdekakan Budak dan Hutang 

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata:) 

 

Jika mayit memiliki hutang yang meliputi seluruh hartanya, maka budak-budaknya dijual dan tidak ada seorang pun yang dimerdekakan. Namun jika hutangnya hanya meliputi sebagian hartanya, budak-budak dibagi menjadi beberapa bagian. Kemudian ditulis satu bagian untuk status perbudakan dan bagian lainnya untuk kemerdekaan, sesuai besaran hutangnya. 

 

Misalnya, jika hutangnya sebesar dua pertiga, maka ditulis satu bagian untuk hutang dan dua bagian untuk kemerdekaan. Lalu diadakan undian di antara mereka. Siapa yang terpilih bagian hutang, statusnya tetap sebagai budak dan dijual untuk melunasi hutang mayit. Jika bagian hutang jatuh pada satu bagian sementara jumlah budak lebih banyak dari nilai hutang, diadakan undian lagi antara kemerdekaan dan perbudakan. Siapa yang terpilih bagian perbudakan, dijual untuk melunasi hutang. 

 

Jika masih ada sisa setelah melunasi hutang, sisa budak dibagi lagi bersama yang lain, kemudian diundi kembali seolah-olah tidak ada yang tersisa selain mereka. Jika bagian perbudakan jatuh pada bagian yang nilainya lebih kecil dari hutang, mereka dijual, lalu diadakan undian lagi bagi yang tersisa hingga hutang lunas. 

 

Demikian pula jika hutangnya lebih dari sepertiga, ditambahkan bagian perbudakan dan diundi hingga hak kreditur terpenuhi. Selalu dimulai dengan bagian perbudakan terlebih dahulu. 

 

Jika ada yang bertanya: “Mengapa diundi antara kemerdekaan dan perbudakan, lalu yang terpilih bagian perbudakan dijual, sementara yang terpilih kemerdekaan dibebaskan?” 

Dijawab: “Hutang lebih didahulukan daripada memerdekakan budak. Karena status mereka sama antara merdeka dan budak, tidak ada cara lain kecuali dengan undian.” 

 

Jika undian perbudakan keluar, maka yang terpilih statusnya tetap budak dan dijual. Sisanya yang statusnya masih setara (antara merdeka dan budak) diundi kembali untuk ahli waris. Siapa yang terpilih kemerdekaan, dibebaskan; yang terpilih perbudakan, tetap sebagai budak. 

 

Jika mayit hanya meninggalkan satu budak tetapi memiliki hutang, budak itu dijual sebesar nilai hutang, lalu sepertiga dari sisa nilainya digunakan untuk memerdekakan dirinya, sedangkan dua pertiganya tetap sebagai budak. 

 

Jika semua budak dimerdekakan setelah hutang dilunasi dan tidak ada hutang lain yang diketahui, lalu kemudian muncul hutang baru yang meliputi mereka, maka pembebasan dibatalkan dan budak-budak dijual untuk melunasi hutang. Demikian pula, budak yang ada di tangan ahli waris dijual, dan harta mereka diambil jika hutang meliputi seluruh harta. 

 

Jika ada yang bertanya: “Mengapa keputusan sebelumnya dibatalkan padahal sudah benar?” 

Dijawab: “Keputusan itu benar berdasarkan informasi yang ada saat itu. Ketika muncul informasi baru, kami membatalkan keputusan lama karena adanya bukti yang lebih kuat. Kami tidak membatalkan sesuatu yang tersembunyi, hanya yang tampak jelas lebih berhak.” 

 

Jika hutang yang muncul tidak meliputi seluruh budak, diadakan undian antara perbudakan dan kemerdekaan, dimulai dengan undian kemerdekaan. Siapa yang terpilih, pembebasannya dibatalkan dan dijual untuk melunasi hutang. 

 

Contoh: Jika dua budak yang dibebaskan bernilai 100 dinar, dan ahli waris menerima empat budak bernilai 200 dinar, lalu muncul hutang 100 dinar, maka: 

– Jika ahli waris hanya satu dan memilih membayar 100 dinar, sepertiga harta mayit berkurang. 

– Pembebasan dua budak dikurangi bagian yang melebihi sepertiga, lalu diundi antara perbudakan dan kemerdekaan. Yang terpilih perbudakan, statusnya dikembalikan sebagai budak sebesar kelebihan itu. 

 

Jika ahli waris lebih dari satu, bagian empat budak dikurangi dan dijual hingga hutang lunas. Lalu diundi kembali antara dua budak yang tersisa untuk menentukan status merdeka atau budak. 

 

Setiap kali muncul hutang baru, dilakukan seperti penjelasan di atas, termasuk membagi kembali harta dan mengulang undian. Jika ada budak yang ternyata tidak sah dimiliki, pembagian dibatalkan dan pembebasan dikurangi dengan undian, karena sepertiga harta mayit berkurang. 

 

Jika salah satu dari dua budak yang dibebaskan ternyata tidak sah, yang satu tetap merdeka, lalu diundi antara budak yang ada di tangan ahli waris. Yang terpilih kemerdekaan dibebaskan sesuai sisa sepertiga harta, dan pembagian diulang dari awal. 

 

Bab tentang Pembebasan Budak yang Kemudian Ditemukan Harta Mayit 

(Lanjutan penjelasan tentang penyesuaian pembebasan jika muncul harta baru atau hutang tambahan.)

 

 

Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata: “Seandainya kami memperbudak dua pertiga dari mereka dan memerdekakan sepertiganya, kemudian muncul harta milik mereka yang termasuk dalam sepertiga yang dimerdekakan, maka kami merdekakan yang telah kami perbudak dari mereka dan menyerahkan kepada ahli waris apa yang menjadi hak mereka sebelum dimerdekakan, serta menyerahkan kepada para budak apa yang mereka peroleh setelah dimerdekakan oleh pemiliknya. Adapun harta milik budak yang telah dimerdekakan yang berada di tangan mereka atau orang lain sebelum kematian majikan yang memerdekakan secara mutlak, atau sebelum kematian majikan yang memerdekakan secara tadbir atau wasiat, maka semuanya menjadi milik ahli waris seolah-olah mayit meninggalkannya. Kemudian dihitung nilai budak dan harta yang diambil dari mereka, lalu dimerdekakan sepertiga dari total harta peninggalan mayit. Jika budak yang telah dimerdekakan secara mutlak memperoleh harta setelah dimerdekakan dan sebelum diadakan undian, atau diberi hadiah, atau memperolehnya dengan cara apa pun, atau budak yang diwasiatkan untuk dimerdekakan setelah kematian secara tadbir atau lainnya, maka dihitung seluruh harta yang diperoleh masing-masing, kemudian dilihat harta peninggalan mayit. Jika mayit meninggalkan harta yang mencukupi untuk memerdekakan semua budak dari sepertiga hartanya, maka mereka semua dimerdekakan dan setiap orang berhak atas harta yang mereka peroleh tanpa dihitung sebagai bagian warisan mayit. Jika tidak mencukupi sehingga budak tidak bisa dimerdekakan semua dari sepertiga harta mayit, maka dihitung harta masing-masing dan ditahan, kemudian dihitung nilai budak, yang dimerdekakan, dan total harta peninggalan mayit. Misalnya, mayit meninggalkan seribu dirham dan budak senilai seribu dirham, dan yang dimerdekakan adalah dua pertiga dari budak, yaitu sepertiga harta mayit, maka kami mengadakan undian di antara mereka. Kami memerdekakan dua pertiga dari mereka dan membiarkan mereka dengan harta mereka, karena harta itu mereka peroleh saat sudah merdeka. Kami memperbudak sepertiga budak dan mengambil harta yang mereka peroleh saat masih budak, misalnya seratus dirham, sehingga harta mayit bertambah. Kemudian kami mengadakan undian di antara budak yang tersisa hingga memenuhi sepertiga harta mayit. Budak yang terpilih dalam undian dimerdekakan seluruhnya atau sebagian sesuai sisa sepertiga harta. Jika dimerdekakan seluruhnya, maka harta yang telah diberikan kepada ahli waris harus dikembalikan kepadanya. Jika harta itu dikembalikan dan mengurangi harta mayit hingga tidak mencukupi sepertiga, maka dihitung hartanya dan nilainya, lalu dimerdekakan sesuai kadar yang bisa dimerdekakan dan diberikan hartanya sesuai kadar kemerdekaannya. Jika dimerdekakan separuhnya, diberikan separuh hartanya; jika sepertiga, diberikan sepertiga hartanya. Harta itu ditahan di tangannya untuk digunakan sehari-hari dalam melayani majikannya. Demikianlah perhitungan jika harta mayit bertambah atau berkurang.” [Bab: Cara Menghitung Nilai Budak]

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata: “Dan apabila budak-budak yang dimerdekakan dengan merdeka penuh ketika sakitnya orang yang memerdekakan, atau budak-budak yang dimerdekakan dengan tadbir (janji merdeka setelah tuannya meninggal), atau wasiat, kemudian orang yang mentadbir atau mewasiatkan meninggal sebelum diajukan ke hakim hingga nilai budak-budak itu berubah (naik atau turun), maka pendapat tentang nilai budak-budak tersebut adalah nilai mereka pada hari ketika merdeka berlaku bagi mereka, tanpa memperhatikan kenaikan atau penurunan nilai setelahnya. Hal ini karena budak-budak yang dimerdekakan dengan merdeka penuh, kemerdekaan mereka sempurna baik jika tuannya hidup atau meninggal, sehingga mereka keluar dari sepertiga harta, dan yang berlaku pada kelompok mereka hanyalah dikembalikan jika mayit tidak meninggalkan harta yang cukup untuk membebaskan mereka, atau sebagian dari mereka dikembalikan. Jika sebagian mereka merdeka dan sebagian dikembalikan, maka mereka dimerdekakan berdasarkan kemerdekaan yang telah ditetapkan sebelumnya selama hidupnya orang yang memerdekakan, bukan dengan keputusan hakim melalui undian, karena keputusan dengan undian adalah keputusan baru seolah-olah mereka baru merdeka saat itu, dan undian tidak menyebabkan kemerdekaan yang belum semestinya atau menambah apa yang tidak berhak, melainkan hanya membedakan antara yang merdeka dan yang tetap sebagai budak. Adapun tambahan dalam sesuatu yang tidak diperintahkan, maka tidak ada, tetapi hanya pembeda antara yang tetap sebagai budak dan yang merdeka berdasarkan perkataan sebelumnya. Jika demikian, maka seharusnya nilai budak ditetapkan pada hari ketika kemerdekaan berlaku, bukan pada hari keputusan hakim dijatuhkan. Adapun budak yang ditadbirkan atau dimerdekakan dengan wasiat, maka nilai mereka adalah pada hari kematian mayit, karena kemerdekaan mereka berlaku pada hari itu. Barangsiapa berpendapat demikian, maka seharusnya dia juga berpendapat bahwa jika yang dimerdekakan adalah budak perempuan atau di antara mereka ada budak perempuan yang hamil, maka nilai mereka adalah nilai budak hamil. Jika kemerdekaan mereka tertunda hingga melahirkan, maka nilai mereka adalah nilai budak hamil. Anak yang lahir dari budak perempuan yang merdeka adalah merdeka bersamanya, karena ketika undian dijatuhkan dan dia dalam keadaan hamil, maka hukum anak mengikuti hukum ibunya: merdeka jika ibunya merdeka, dan tetap sebagai budak jika ibunya tetap sebagai budak. Jika anaknya terpisah sebelum kemerdekaan, maka hukumnya berbeda dengan ibunya. Demikian juga, setiap anak yang lahir dari mereka dan tetap sebagai budak bersama ibunya, tidak ada hukum bagi anak kecuali mengikuti hukum ibunya. Jika dia melahirkan setelah kemerdekaan tetapi sebelum undian, kemudian dia merdeka, maka anaknya merdeka seperti dia. Jika dia melahirkan sebelum merdeka dengan merdeka penuh, maka anaknya seperti budak lainnya milik tuannya. Harta yang berada di tangan budak-budak yang dimerdekakan dengan merdeka penuh saat kematian, atau dimerdekakan setelah kematian, sebelum kemerdekaan berlaku bagi mereka, maka seluruh harta itu adalah harta peninggalan mayit, diambil dan menjadi warisan sebagaimana harta lainnya yang ditinggalkan. Demikian juga diyat (uang tebusan) atas kejahatan yang dilakukan terhadap salah satu dari mereka sebelum kemerdekaan berlaku, meskipun tidak ditemukan kecuali setelah kemerdekaan, dan segala sesuatu yang diberikan kepada mereka, atau menjadi milik mereka dari upah, mahar budak perempuan, dan lainnya, maka semuanya adalah harta dari harta mayit, karena itu menjadi hak mereka sebelum kemerdekaan berlaku bagi mereka saat mereka masih budak, dan harta budak adalah milik tuannya. Jika seseorang menikahkan budak perempuannya dengan mahar seratus dinar, kemudian suaminya belum bercampur dengannya hingga dia memerdekakannya, maka seratus dinar itu milik tuannya jika suaminya bercampur dengannya atau meninggal sebelum bercampur. Seratus dinar itu menjadi hak penuh dengan akad nikah, dan budak perempuan itu tetap sebagai milik kecuali jika dia diceraikan, maka suaminya berhak mengambil kembali separuh dari seratus dinar, dan separuhnya lagi milik tuannya.”

 

Dia (Imam Syafi’i) juga berkata: “Apa yang diperoleh budak-budak yang dimerdekakan dan budak perempuan setelah kemerdekaan berlaku, dari hasil usaha, pemberian, diyat kejahatan, dan lainnya, maka itu ditahan dan dicegah. Jika mereka keluar dari sepertiga harta, maka mereka merdeka dan harta yang mereka usahakan atau peroleh dengan cara apa pun adalah harta orang merdeka yang tidak pernah dimiliki mayit, sehingga diberikan kepada masing-masing mereka. Jika tidak semua mereka keluar dari sepertiga harta, maka diadakan undian di antara mereka. Siapa pun yang mendapatkan kemerdekaan, maka dia merdeka dan hartanya yang diperoleh setelah kemerdekaan berlaku diserahkan kepadanya. Dalam pembahasan tentang kemerdekaan penuh atau kematian orang yang memerdekakan dengan kemerdekaan penuh, dan budak-budak yang bersamanya tetap sebagai budak, maka diambil harta yang ada di tangan mereka, diyat kejahatan, mahar perempuan yang dinikahi, dan lainnya yang mereka miliki. Setelah diambil, maka harta mayit bertambah. Jika harta mayit bertambah, maka wajib bagi kita untuk memerdekakan budak sejumlah sepertiga dari tambahan harta. Kita harus membatalkan pembagian budak-budak yang telah kita bagi di antara ahli waris dan mengadakan undian di antara mereka. Siapa pun yang mendapatkan undian kemerdekaan, maka kita merdekakan dia, atau sejumlah yang tersisa dari sepertiga harta mayit, dan budak-budak yang tersisa, atau sebagian dari mereka jika sebagian telah merdeka, tetap sebagai budak. Jika ahli waris ingin membagi mereka kembali, maka kita mengulang pembagian mereka seolah-olah harta mayit bertambah dengan harta yang ada di tangan budak-budak yang tetap sebagai budak sejumlah seribu dua ratus, sehingga sepertiga harta mayit darinya adalah empat ratus dinar, dan nilai budak-budak yang dimerdekakan mayit adalah seribu, maka mereka mendapatkan kemerdekaan seperlima berdasarkan makna tertentu, yaitu kita mengadakan undian di antara mereka. Jika undian kemerdekaan jatuh pada seorang budak yang nilainya empat ratus dan dia tidak memiliki hasil usaha apa pun, maka kita merdekakan dia dan budak-budak yang tersisa tetap sebagai budak, dan maknanya sah. Jika undian kemerdekaan jatuh pada seorang budak yang nilainya empat ratus, maka kita merdekakan dia. Jika kita melihat dan menemukan bahwa kita telah mengambil sebagian hartanya, maka kita harus mengembalikannya kepadanya. Seolah-olah kita mengambil hasil usahanya sejumlah empat ratus, maka ketika kita ingin mengembalikannya kepadanya, kita menemukan harta mayit berkurang, sehingga kemerdekaan mereka juga berkurang. Kita menahan empat ratus dan memerdekakan sepertiga darinya, yaitu sepertiga dari delapan ratus, sehingga dua pertiganya merdeka dan sepertiganya tetap sebagai budak. Kemudian dia mendapatkan dua pertiga dari empat ratus, lalu kita menambah kemerdekaannya sebesar dua pertiga dari empat ratus. Jika kita tidak menambah kemerdekaannya, maka kita menambahnya sesuai kadar itu hingga dia mendapatkan dari hasil usaha dan hartanya sejumlah yang membuatnya merdeka. Jika dia merdeka sepertiga, maka dia mendapatkan sepertiga hartanya. Kemudian kita mengembalikan sisa hasil usahanya sebagai warisan untuk ahli waris. Ini termasuk dalam perputaran, dan dasarnya adalah selalu memperhatikan budak-budak jika sepertiga harta mayit tidak mencukupi, maka kita memerdekakan separuh dari mereka dengan undian. Kemudian jika harta mayit bertambah dengan cara apa pun, maka kita menghitung sepertiga dari tambahan itu, lalu memerdekakan dari budak-budak yang tersisa sejumlah tambahan harta mayit.”

 

Beberapa budak memulai pembebasan sebagian budak lainnya dalam kehidupan.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata: “Seandainya seorang laki-laki mengatakan saat sakitnya, ‘Budakku ini merdeka karena Allah,’ lalu mengatakannya lagi, ‘Budakku ini merdeka,’ kemudian mengulanginya sekali lagi, sementara ia tidak memiliki harta selain mereka, maka kami menangguhkan status mereka. Jika ia meninggal, kami merdekakan yang pertama. Jika sepertiga hartanya mencukupi, semuanya merdeka. Jika melebihi sepertiga, yang merdeka hanya sebatas sepertiga, sedangkan sisanya tetap budak bersamanya. Jika kurang dari sepertiga, semuanya merdeka, dan dari yang kedua merdeka sebatas sepertiga. Jika bagian kedua keluar dari sepertiga, ia merdeka seluruhnya. Jika keluar dari sepertiga dan masih ada sisa, sisa itu dimerdekakan dari yang kedua.

 

Jika mereka berempat atau lebih, dan masalahnya seperti ini, maka pendapatnya seperti yang telah kujelaskan. Jika ia berkata bersama mereka, ‘Merdekakan yang keempat sebagai wasiat,’ atau ‘Jika aku mati,’ atau yang keempat adalah mudabbara (budak yang dimerdekakan setelah tuannya meninggal), maka pendapatnya seperti yang telah kujelaskan, dan dimulai dengan memerdekakan yang pasti (batat), karena kemerdekaan itu terjadi selama hidup untuk setiap pembebasan setelah kematian melalui tadbir atau wasiat. Tadbir adalah wasiat karena ia bisa menariknya kembali selama hidup, dan tidak terjadi kecuali setelah kematian. Jika ada sisa dari sepertiga setelah memerdekakan mereka yang dibebaskan secara batat, maka dari yang mudabbara atau yang diwasiatkan untuk dimerdekakan, merdeka sebatas sepertiga, dan sisanya tetap budak.

 

Demikian pula jika ia berkata, ‘Salim merdeka, Ghaiman merdeka, Zaid merdeka,’ kami tunda pembebasan mereka. Jika ia meninggal, dimulai dengan Salim karena kemerdekaan telah ditetapkan untuknya sebelum Ghaiman jika ia hidup. Jika ada sisa, dimerdekakan Ghaiman. Jika ada sisa lagi, dimerdekakan Zaid atau sebatas sepertiga darinya. Jika dimulai dengan memerdekakan sebagian mereka atas yang lain secara batat, maka seperti yang telah kujelaskan tanpa undian, karena kemerdekaan masing-masing mereka terjadi dengan kepemilikan penuh, dengan makna jika yang dimerdekakan hidup atau keluar dari sepertiga jika yang memerdekakan meninggal.

 

Jika ada kejahatan yang menimpa budak setelah kemerdekaan terjadi tetapi sebelum undian, maka itu ditangguhkan sampai diundi di antara mereka. Siapa yang keluar undiannya, ia merdeka, dan kejahatannya seperti kejahatan terhadap orang merdeka, dan ditangguhkan. Jika ada hukuman had dalam keadaan itu, maka jika undiannya keluar, dihukum had seperti orang merdeka. Jika ia bersaksi dalam keadaan itu, kesaksiannya ditangguhkan. Jika ia merdeka, kesaksiannya sah. Jika ia mewarisi dalam keadaan itu, ditangguhkan. Jika undiannya keluar, maka seperti orang merdeka, tidak berbeda hukumnya, dan perwalian berlaku, ia mewarisi dan diwarisi seperti yang telah kujelaskan bahwa kemerdekaan terjadi dengan ucapan yang terdahulu dalam pembebasan batat, dan ucapan yang terdahulu dalam kematian yang memerdekakan dalam tadbir dan pembebasan wasiat.

 

Demikian pula jika mereka melakukan kejahatan, kejahatan mereka ditangguhkan. Siapa yang merdeka, di-‘aqilah (dibayar diyat) oleh keluarganya. Jika tidak mampu, maka oleh maulanya (bekas tuannya). Siapa yang tetap budak, kejahatannya adalah kejahatan budak yang diserahkan kepada tuannya untuk memilih antara membayar tebusan, menjualnya untuk membayar kejahatan, atau menyerahkan seluruhnya.

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika pelakunya adalah sebagian dari mereka yang dimerdekakan, lalu setengahnya merdeka melalui undian, maka dikatakan kepada pemiliknya, ‘Jika engkau mau, tebuslah setengah yang engkau miliki dengan setengah diyat kejahatan itu, atau jika tidak, juallah apa yang engkau miliki darinya sampai engkau membayar setengah dari seluruh diyat.’ Jika dalam setengahnya ada sisa setelah setengah diyat, dijual sebesar setengah diyat, kecuali jika engkau mau menjual semuanya dan sisa dikembalikan kepadamu dari harganya. Sisanya dari setengah diyat dalam harta yang ia peroleh pada hari ia menjadi miliknya sendiri, diambil sisa setelah kebutuhan hidup dan pakaiannya, dan sisanya adalah hutang yang harus dibayar sampai ia merdeka sepenuhnya.

 

Jika ia memerdekakan tiga budak dan tidak memiliki harta selain mereka, lalu meninggal, dan tidak diundi di antara mereka sampai salah satu atau dua orang meninggal, maka diundi antara yang mati dan yang hidup. Jika undian keluar untuk yang hidup, ia merdeka dan diberikan semua harta yang ia peroleh sejak tuannya mengucapkan pembebasan. Yang mati tetap budak. Jika nilai mereka sama, dan yang mati memiliki harta, dihitung seolah-olah mereka meninggalkan seribu yang mereka peroleh setelah tuannya mengucapkan pembebasan, masing-masing lima ratus. Jika harta yang mati bertambah, kami mengundi di antara mereka. Jika undian kemerdekaan keluar untuk salah satunya, kami hitung seberapa banyak ia merdeka dari lima ratus yang menjadi milik yang menerima manfaat, seolah-olah itu adalah nilai lima ratus, dan kami temukan itu sepertiganya. Kemudian kami melihat lima ratus dirham yang ia peroleh setelah tuannya mengucapkan pembebasan, dan kami berikan sepertiganya, yaitu seratus enam puluh enam dan dua pertiga dirham, dan sisanya, tiga ratus tiga puluh tiga dan sepertiga, kami tambahkan ke harta yang mati. Jika kami menambahkannya dalam pembebasan, ia mengembalikan kelebihan yang kami ambil dari hartanya, maka kami kurangi dari pembebasan.”

 

Abu Ya’qub berkata: “Itu dihitung berdasarkan seberapa banyak ia merdeka dari hartanya, tanpa menghitung dari harta yang mati, karena itu adalah bagian orang merdeka, miliknya bukan tuannya.”

 

(Imam Syafi’i berkata): “Sebagian ulama berpendapat tentang budak yang dimerdekakan tetapi tidak cukup sepertiga hartanya: ‘Mereka dinilai pada hari diundi, bukan pada hari pembebasan, karena kemerdekaan terjadi melalui undian.’ Seolah-olah ia berpendapat bahwa jika tidak diketahui siapa yang merdeka dan siapa yang tetap budak, dan tidak ada kemerdekaan penuh pada salah satu dari mereka kecuali melalui undian.”

 

(Imam Syafi’i berkata): “Siapa yang meninggal di antara mereka sebelum merdeka, ia meninggal sebagai budak, dan hartanya diambil oleh ahli waris tuannya. Kemudian diundi di antara yang hidup, seolah-olah ia tidak meninggalkan budak selain mereka.”

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seorang budak dimiliki oleh tiga orang, lalu salah satu memerdekakan bagiannya sementara ia mampu, maka ada dua pendapat: Pertama, pembebasannya ditangguhkan. Jika ia memiliki harta yang mencukupi nilainya, diberikan kepada mitranya, suka atau tidak, dengan nilai yang adil, dan pembebasannya sah dengan penyerahan.” (Ia berkata): “Hal yang sama berlaku untuk budak laki-laki, perempuan, yang tinggi atau rendah nilainya, kafir atau muslim, tidak ada perbedaan dalam hal ini.”

 

“Barangsiapa berpendapat seperti ini, seharusnya ia juga berkata seperti yang diputuskan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang seseorang yang memerdekakan bagiannya dalam sebuah budak dan ia memiliki harta yang mencukupi nilai budak tersebut: dinilai dengan nilai yang adil, diberikan kepada mitra-mitranya bagian mereka, dan budak itu merdeka atasnya. Jika tidak…”

 

Telah dibebaskan darinya apa yang telah dibebaskan, maka dibangun dalam Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa seorang budak dapat dibebaskan dengan ucapan jika pemiliknya memiliki harta dan nilai dalam hartanya. 

 

Jika rekan-rekan pemiliknya tidak setuju dengan pembebasan, kami berpendapat bahwa pembebasannya sah jika ia memiliki harta dan nilai budak tersebut dibayarkan untuk mengeluarkannya dari kepemilikan bersama, baik mereka setuju atau tidak. Jika demikian, pembebasan terjadi, dan kewalian (hak waris) tetap untuk orang yang membebaskan, sementara kewajiban membayar nilai bagian rekan-rekannya dibebankan padanya. 

 

Jika salah satu rekan pemilik atau semua mereka membebaskan setelah pembebasan dengan ucapan terjadi, maka pembebasan itu tidak berlaku karena budak tersebut sudah keluar dari kepemilikannya setelah pembebasan sempurna dengan pembayaran harga. Dikatakan kepadanya: “Ini harganya, jika engkau mau, ambillah; jika tidak, tinggalkan.” Kewalian tetap untuk yang lebih dahulu membebaskan. 

 

Jika mereka membebaskan bersama-sama, maka pembebasan mengikat keduanya, dan kewalian untuk mereka berdua. Kewajiban membayar tetap pada rekan pemilik jika ada, dengan pembagian yang sama. Namun, jika salah satu dari mereka yang membebaskan lebih dahulu adalah orang yang mampu, maka pembebasan sempurna dan kewalian untuknya. Pembebasan setelahnya tidak sah karena membebaskan sesuatu yang tidak dimilikinya. 

 

Jika salah satu rekan pemiliknya tidak hadir, haknya ditahan sampai ia datang atau mengutus seseorang untuk menerimanya. Jika yang tidak hadir itu membuktikan bahwa ia telah membebaskan budak tersebut pada waktu sebelum pembebasan oleh yang hadir, dan ia adalah orang yang mampu, maka budak itu merdeka dan kewalian untuknya, sementara pembebasan oleh yang hadir batal karena ia membebaskan orang yang sudah merdeka. 

 

Jika ia tidak mampu, maka bagiannya saja yang merdeka dengan kewalian untuknya, sisa bagian tetap pada yang hadir dan ia harus membayar nilai bagian rekan-rekannya. 

 

Jika satu orang membebaskan, lalu yang lain membebaskan juga, maka pembebasan ditangguhkan dari keduanya. Jika yang pertama mampu, ia membayar dan budak itu merdeka untuknya, sementara pembebasan yang kedua batal. Jika yang pertama tidak mampu, maka pembebasan jatuh pada yang kedua untuk bagian rekannya. Jika ia mampu, ia membebaskan bagian rekannya dan membayar nilainya, sementara kewalian dibagi sesuai porsi pembebasan—sepertiga untuk yang pertama dan dua pertiga untuk yang kedua. 

 

Sebab, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menetapkan bahwa jika seseorang membebaskan bagiannya dalam sebuah budak dan ia mampu, ia harus membebaskan seluruhnya dengan membayar dari hartanya kepada rekan-rekannya. Ini juga berlaku bagi yang membebaskan setelahnya. 

 

Keputusan dengan sedikit kewajiban pembayaran jika membebaskan lebih dahulu lebih utama daripada keputusan dengan banyak kewajiban, atau makna serupa. Dalam keputusan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan sabdanya: “Jika ia memiliki harta yang mencukupi nilai budak, maka budak itu dinilai,” terdapat dua penjelasan: 

 

Pertama, seseorang yang melakukan perbuatan yang mengharuskan orang lain mengeluarkan sesuatu dari hartanya harus mengeluarkannya. Sebab, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengatakan kecuali jika tidak ada harta selain nilai budak. Adapun dalam harta manusia, ini sahih. Bisa juga dianalogikan dengan apa yang Allah tetapkan dari hartanya, atau dibedakan. 

 

Pendapat kedua: Aku melihat orang yang membebaskan bagiannya dalam budak. Jika saat itu ia mampu, lalu dinilai setelah ia menjadi tidak mampu, budak itu merdeka dan ia tetap harus membayar, tanpa memperhatikan perubahan keadaannya. Aku hanya melihat keadaan saat hukum diterapkan. Jika ia termasuk yang harus membayar, maka ia membayar. Ini pendapat yang benar dalam analogi. 

 

Jika seseorang membebaskan budak senilai seribu, tetapi saat membebaskan ia hanya memiliki seratus, maka kita membebaskan sepersepuluh darinya. Setengahnya merdeka, sepersepuluhnya merdeka, dan sisanya tetap sebagai budak. 

 

Demikian pula, setiap kali hartanya tidak mencukupi nilai bagian rekannya, maka yang dibebaskan hanya sebanding dengan apa yang dimiliki, sisa bagian tetap sebagai budak jika hartanya tidak mencukupi. 

 

Jika seseorang membebaskan sebagian budak dalam keadaan sehat, lalu ia meninggal sebelum dinilai, maka budak itu dinilai dari seluruh hartanya jika ia mampu saat membebaskan, karena kewajiban itu harus dikeluarkan dari hartanya. Sebab, ia wajib dalam keadaan mampu dan memiliki harta untuk membayar saat membebaskan. Kematian tidak menghalanginya dari kewajiban yang berlaku dalam keadaan sehat, seperti jika ia melakukan pelanggaran lalu meninggal, kewajiban tetap berlaku pada hartanya atau keluarganya, baik ditunda atau didahulukan. 

 

Demikian pula jika budak itu sepenuhnya miliknya, lalu ia membebaskan sebagiannya, kemudian meninggal, maka seluruh budak itu merdeka berdasarkan ucapan sebelumnya, meskipun ia tidak meninggalkan harta lain. Sebab, pembebasan terjadi dalam keadaan sehat dan ia tidak terhalang dari hartanya. 

 

Jika ia meninggal setelah membebaskan bagiannya dalam budak dan memiliki harta, maka budak itu dinilai saat itu, nilai bagiannya dibayarkan, dan seluruh budak merdeka. Jika ia membebaskan tanpa memiliki harta, budak tetap sebagai budak, dan hanya bagian yang dimilikinya yang merdeka. Jika ia menjadi mampu setelahnya, tidak ada penilaian ulang. Baik ia menjadi mampu sebelum atau setelah keputusan, yang dilihat adalah keadaan saat pembebasan. 

 

Jika ia mampu dan membayar, maka pembebasan sah menurut pendapat yang menyatakan pembebasan hanya terjadi dengan kemampuan dan pembayaran. Juga sah menurut pendapat yang menyatakan pembebasan hanya terjadi dengan kemampuan, meskipun tidak membayar, jika ia mampu saat membebaskan.

 

Dan jika dia tidak mampu membayar, maka bagian yang tidak dimerdekakan tetap menjadi miliknya; karena pada saat itu keputusan telah jatuh dan jika kemudian dia mampu, itu karena Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—ketika berbicara tentang orang yang memerdekakan bagiannya dalam kepemilikan seorang budak, jika dia mampu, maka budak itu dinilai dengan harga yang adil, lalu dia memberikan bagian kepada para pemilik lainnya, dan budak itu dimerdekakan atas namanya. Jika tidak, maka hanya bagiannya saja yang merdeka. Ini membuat budak itu keluar dari kepemilikan orang yang tidak memerdekakan karena bagian rekannya yang merdeka, dengan syarat rekannya mampu membayar nilainya. Ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa budak tidak merdeka kecuali dengan pembayaran. Pendapat lain mengatakan bahwa budak merdeka dengan kemudahan, meskipun tidak ada pembayaran, selama rekannya mampu meski tidak membayar. Jika budak itu keluar dari kepemilikan orang yang dimerdekakan dengan dua syarat: kemampuan dan pembayaran, maka tidak sah jika keluar hanya dengan satu syarat. Ini adalah pendapat yang baik secara mazhab, dan lebih tepat dalam qiyas untuk melihat kondisi orang yang memerdekakan saat pembebasan terjadi. Jika dia mampu membayar nilainya, maka pembebasan sah dan dia menanggung nilainya. Jika kemudian dia bangkrut, dia tetap bertanggung jawab atas nilainya. 

 

Jika budak perempuan yang dimerdekakan sedang hamil saat sebagiannya dimerdekakan, dan nilainya belum ditetapkan sampai dia melahirkan, maka nilainya dinilai dalam keadaan hamil, dan anaknya merdeka bersamanya. Karena dia hamil saat dimerdekakan, maka anaknya merdeka karena pembebasannya dan statusnya mengikuti status ibunya, tidak terpisah darinya. Jika ada yang berpendapat bahwa pembebasan hanya terjadi saat keputusan dijatuhkan, maka seharusnya anak tidak merdeka bersamanya, karena anak tidak dimerdekakan. Tidakkah kamu lihat bahwa jika seseorang memerdekakan budak perempuan tepat saat dia melahirkan, anaknya tidak ikut merdeka? Anak hanya merdeka karena pembebasan ibunya jika ibunya hamil saat dimerdekakan. Adapun jika anak sudah lahir, maka hukumnya seperti anak budak lainnya. 

 

Pembebasan Kepemilikan Bersama dalam Sakit 

Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata: Jika seseorang memerdekakan bagiannya dalam kepemilikan budak saat sakit yang mengakibatkan kematiannya, maka budak itu merdeka sepenuhnya. Jika dia meninggal, maka bagian yang dimerdekakan dihitung dari sepertiga hartanya, baik untuk dirinya maupun orang lain, selama tidak melebihi sepertiga. Urusannya dalam sepertiga hartanya sama seperti orang sehat dalam seluruh hartanya, tidak ada perbedaan. Jika dia memerdekakan, maka budak itu merdeka sepenuhnya. Begitu juga jika dia memerdekakan satu bagian dari seratus bagian dalam budak saat sakit, lalu meninggal dan sepertiga hartanya mencukupi, maka seluruh budak itu merdeka atas namanya, karena dia menjatuhkan pembebasan saat masih memiliki sepertiga hartanya atau seluruhnya. Ini seperti seseorang yang memerdekakan budaknya sepenuhnya. Namun, jika dia berwasiat untuk memerdekakan sepertiga budaknya setelah kematiannya, maka hanya sepertiga yang merdeka, karena pembebasan hanya terjadi dengan kematian, dan dia tidak memiliki apa-apa saat itu. Seluruh hartanya milik ahli waris kecuali yang diambil dari sepertiganya. Karena hanya sepertiga budaknya yang diambil, maka tidak ada harta yang bisa menanggung budak itu, sehingga budak merdeka dengan pembayaran nilai. 

 

Perselisihan antara yang Memerdekakan dan Rekannya 

Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata: Jika seseorang memerdekakan bagiannya dalam budak, dan mereka tidak mengadukan ke pengadilan sampai beberapa bulan kemudian, lalu pengadilan memutuskan berdasarkan nilai saat pembebasan, namun mereka berselisih tentang nilai saat pembebasan terjadi—yang memerdekakan mengatakan nilainya 30, sedangkan yang dimerdekakan mengatakan 40—maka ada dua pendapat: Pertama, perkataan yang memerdekakan yang diterima, karena dia mampu dan bersedia membayar. Jika dia memerdekakan budak dengan ini, maka tidak diambil dari hartanya kecuali apa yang dia akui sebagai kewajibannya.

 

Pendapat kedua: bahwa keputusan adalah hak pemilik hamba dan tidak ada yang dapat mengeluarkan hak miliknya kecuali dengan keridhaannya, sebagaimana ketika terjadi perselisihan tentang harga dan hamba tersebut masih ada. 

 

Keputusan adalah hak pemilik harta, sedangkan pembeli memiliki hak pilih. Dalam hal ini ada sunnah, dan tidak sah dianalogikan dengan jual-beli sebelumnya, karena dalam jual-beli jika masih berlaku, pembeli boleh mengembalikan hamba atau menerimanya sesuai harga penjual. Namun, dalam pembebasan, tidak ada opsi mengembalikan pembebasan. Tetapi jika ada yang berpendapat bahwa jika terjadi perselisihan dan nilai hamba dibebankan pada yang membebaskan, sebagaimana pembeli menanggung nilai yang hilang jika terjadi perselisihan harga, maka itu menjadi sebuah mazhab. 

 

Jika mereka berselisih dan pihak yang menanggung kerugian mengatakan bahwa hamba tersebut adalah tukang roti, penulis, atau memiliki keahlian yang meningkatkan nilainya, sementara yang membebaskan menyangkal, maka diperiksa. Jika terbukti hamba tersebut memiliki keahlian itu, nilainya dihitung berdasarkan keahliannya. Jika tidak terbukti, perkataan pihak yang menanggung kerugian tidak diterima, dan keputusan tetap pada yang membebaskan karena dialah yang didakwa atas nilai tambah. 

 

Jika keahlian hamba tersebut biasa dalam kurun waktu perselisihan sejak hari pembebasan, maka keputusan tetap pada yang membebaskan. Jika yang membebaskan mengatakan, “Aku membebaskan hamba ini saat dia kabur, mencuri, atau memiliki cacat yang tidak terlihat,” sementara pihak yang menanggung kerugian menyangkal, maka keputusan ada padanya, dan dia terbebas dari cacat sampai cacat itu terbukti. 

 

Jika kita berpendapat bahwa keputusan ada pada salah satu pihak dalam hal ini atau lainnya, dan pihak yang menentang mengetahui kebenaran perkataannya, maka dia disumpah. Jika dia bersumpah, dia terbebas. Jika menolak sumpah, sumpah dialihkan kepada lawannya. Jika lawan bersumpah, dia berhak; jika tidak, haknya gugur. 

 

Contohnya, jika dia berkata, “Aku membebaskan hamba saat dia kabur,” dan kita berpendapat bahwa keputusan ada pada pihak yang menanggung kerugian, lalu yang membebaskan mengatakan, “Dia tahu hamba itu kabur,” maka dia disumpah seperti dijelaskan. 

 

Jika hamba yang dibebaskan sebagiannya sudah meninggal atau tidak hadir, dan mereka berselisih tentang nilainya—misalnya, yang membebaskan mengatakan nilainya sepuluh dinar, sementara yang lain mengatakan seribu dinar—maka keputusan ada pada pihak yang menanggung kerugian, kecuali jika dia bisa membuktikan klaimnya atau yang membebaskan bersedia bersumpah. 

 

Jika mereka sepakat bahwa hamba itu Barbar atau Persia tetapi berselisih soal harga, keputusan ada pada yang membebaskan dengan sumpah. Jika mereka sepakat nilainya seribu dinar jika terlihat jelas atau lima ratus jika tidak, dan yang membebaskan mengklaim tidak terlihat jelas, maka keputusan ada pada pihak yang menanggung kerugian kecuali jika yang membebaskan bisa membuktikannya atau bersedia bersumpah. 

 

Jika tidak disebutkan cacat, maka nilai hamba dihitung sebagaimana mestinya. Namun jika ada klaim cacat, maka kerugian dibebankan, dan klaim pengurangan nilai harus dibuktikan. 

 

Bab tentang orang yang memerdekakan hamba atas nama laki-laki atau perempuan jika mereka mengetahui. 

 

Menurut Syafi’i—semoga Allah meridhainya—termasuk juga orang yang memerdekakan hamba jika dia memiliki ayah, kakek, anak, cucu (baik dari jalur laki-laki atau perempuan), atau kerabat dekat lainnya seperti saudara, istri, atau keluarga dekat. Jika seseorang memiliki sebagian hamba melalui hibah, pembelian, atau cara lain selain warisan, maka bagian yang dimilikinya merdeka, dan sisanya dinilai. Jika dia mampu, sisanya juga dimerdekakan; jika tidak, sisanya tetap menjadi budak. 

 

Jika seseorang memiliki kerabat yang otomatis merdeka ketika dimiliki, maka statusnya seperti orang yang memerdekakan. Jika dia diberi hamba melalui wasiat atau hibah, dia boleh menolak, tetapi tidak bisa menolak warisan karena Allah telah menetapkan hak waris. 

 

Jika dia mewarisi hamba yang sakit atau buta, dia wajib menafkahinya, berbeda dengan kepemilikan selain warisan di mana seseorang bisa melepaskan kepemilikan.

 

Dan jika seorang budak yang dimiliki oleh seseorang yang berhak memerdekakannya memiliki sebagian saham, maka budak tersebut merdeka atas bagian yang dimilikinya, dan pemiliknya wajib membayar nilai sisa bagian yang belum dimilikinya. Hal ini karena pemilik tidak dapat menguasai kepemilikannya sendiri, melainkan hanya menguasainya dari sisi yang tidak dapat dia tolak. 

 

Baik yang dimiliki itu seorang budak Muslim, kafir, kecil, atau dewasa, tidak ada perbedaan dalam hal ini. Begitu pula jika yang mewarisi adalah anak kecil yang belum baligh, orang gila yang tidak berakal, mayit yang diwarisi, atau seseorang yang berhak memerdekakannya—maka budak itu merdeka atas setiap bagian yang dimiliki melalui warisan. 

 

Jika salah satu dari mereka (seperti anak kecil, orang gila, atau mayit) memiliki sebagian saham melalui warisan, maka budak merdeka atas bagian itu, tetapi bagian lainnya tidak merdeka dengan membayar nilainya, karena mereka tidak mampu menolak kepemilikan itu. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seorang anak kecil atau orang gila diberi hadiah oleh ayahnya, anaknya, diwasiatkan, atau disedekahkan kepadanya—sementara anak kecil itu tidak memiliki harta tetapi memiliki wali—maka wali tersebut berhak menerima semua itu untuknya, dan budak itu merdeka ketika diterima. 

 

Jika seseorang menyedekahkan separuh atau sepertiganya, mewasiatkannya, atau memberikannya sebagai hadiah—sementara anak kecil atau orang gila itu miskin—maka wali boleh menerimanya, dan budak merdeka atas bagian yang diberikan oleh ayah atau anaknya. 

 

Namun, jika mereka kaya, lalu seseorang memberikan separuh anaknya atau separuh ayahnya sebagai hadiah, wali tidak boleh menerimanya, karena separuh itu akan merdeka, sementara mereka kaya—sehingga hukumnya mewajibkan memerdekakan sisa bagiannya. Wali tidak boleh menerima hal seperti ini, karena penerimaannya merugikan harta anak kecil atau orang gila tersebut tanpa manfaat yang jelas. 

 

Jika wali tetap menerimanya, penerimaannya batal, karena itu merugikan anak kecil atau rekan pemiliknya. Sebab, Rasulullah ﷺ telah memutuskan bahwa jika seseorang memerdekakan sebagian budak, rekan pemiliknya wajib membayar nilainya. Jika nilai itu tidak dibayar, budak merdeka tanpa hak, sehingga kepemilikannya menjadi sah. 

 

[Hukum-hukum tentang Tadbir]

 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. 

 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i—semoga Allah meridhainya—ia berkata: Diriwayatkan oleh Muslim bin Khalid dan Abdul Majid bin Abdul Aziz dari Ibnu Juraij, ia berkata: Diriwayatkan oleh Abu Az-Zubair bahwa ia mendengar Jabir bin Abdullah berkata: 

 

“Sesungguhnya seorang laki-laki dari Bani ‘Adzrah memiliki budak Koptik, lalu ia memerdekakannya setelah kematiannya (tadbir). Kemudian Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—mendengar hal itu, lalu beliau menjual budak tersebut dan bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian miskin, hendaknya ia memulai dengan dirinya sendiri. Jika ia memiliki kelebihan, maka mulailah dengan orang yang ia tanggung. Jika masih ada kelebihan setelah itu, maka bersedekahlah kepada selain mereka.'” 

 

Muslim menambahkan sesuatu dalam hadits yang serupa dengan riwayat Al-Laits bin Sa’d. 

 

Asy-Syafi’i berkata: Diriwayatkan oleh Huyay bin Hassan dari Al-Laits bin Sa’d dan Muhammad bin Salamah dari Abu Az-Zubair dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: 

 

“Seorang laki-laki dari Bani ‘Adzrah memerdekakan budaknya setelah kematiannya (tadbir), lalu hal itu sampai kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—. Beliau bertanya: ‘Apakah kamu memiliki harta selain dia?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Maka Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda: ‘Siapa yang mau membelinya dariku?’ Lalu Nu’aim bin Abdullah Al-‘Adawi membelinya dengan harga delapan ratus dirham. Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—memberikan uang itu kepadanya dan bersabda: ‘Mulailah dengan dirimu sendiri, bersedekahlah untuk dirimu. Jika ada kelebihan setelah itu, maka untuk keluargamu. Jika masih ada kelebihan setelah itu, maka untuk kerabatmu. Jika masih ada kelebihan setelah itu, maka begini dan begini.'” 

 

Beliau mengisyaratkan kepada tetangga dan orang-orang di sekitarnya. 

 

Asy-Syafi’i berkata: Jabir berkata—dan Allah lebih tahu—seorang laki-laki dari Bani ‘Adzrah, yakni sekutu atau termasuk dalam bilangan Anshar. Dan dalam riwayat lain, ia berkata: “Seorang laki-laki dari kami,” yakni sekutu, dan ia juga termasuk mereka dalam nasab, serta dalam riwayat lain dinisbatkan kepada suatu suku. 

 

Asy-Syafi’i berkata: Diriwayatkan oleh Huyay bin Hassan dari Muhammad bin Zaid dari ‘Amr bin Dinar dari Jabir bin Abdullah: 

 

“Seorang laki-laki memerdekakan budaknya setelah kematiannya (tadbir), sementara ia tidak memiliki harta selain budak itu. Maka Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda: ‘Siapa yang mau membelinya dariku?’ Lalu Nu’aim bin Abdullah membelinya dengan delapan ratus dirham, dan beliau memberikan harganya.” 

 

Asy-Syafi’i berkata: Diriwayatkan oleh Huyay bin Hassan dari Muhammad bin Salamah dari ‘Amr bin Dinar dari Jabir bin Abdullah dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—dengan redaksi yang mirip dengan hadits Muhammad bin Zaid. 

 

Asy-Syafi’i berkata: Diriwayatkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dan dari Abu Az-Zubair, mereka mendengar Jabir bin Abdullah berkata: 

 

“Seorang laki-laki dari kami men-tadbir budaknya, sementara ia tidak memiliki harta selain budak itu. Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda: ‘Siapa yang mau membelinya dariku?’ Lalu Nu’aim bin Abdullah An-Nahham membelinya.” 

 

‘Amr berkata: Aku mendengar Jabir berkata: “Budak Koptik itu meninggal pada tahun pertama pemerintahan Ibnu Az-Zubair.” Abu Az-Zubair menambahkan: “Dia dipanggil Ya’qub.” 

 

Asy-Syafi’i berkata: Demikianlah yang kudengar darinya sepanjang hidupku. Namun, aku menemukan dalam catatanku: “Seorang laki-laki dari kami men-tadbir budaknya, lalu budak itu meninggal.” Mungkin ini kesalahan dalam catatan atau kesalahan Sufyan. Jika dari Sufyan, maka Ibnu Juraij lebih hafal hadits Abu Az-Zubair daripada Sufyan. Bersama Ibnu Juraij ada hadits Al-Laits dan lainnya. Abu Az-Zubair menyebutkan hadits dengan jelas, termasuk kehidupan orang yang di-tadbir. Muhammad bin Zaid bersama Muhammad bin Salamah dan lainnya lebih hafal hadits ‘Amr daripada Sufyan sendiri. 

 

Bukti hafalan hadits bisa dilihat dari sedikit kesalahan dibandingkan apa yang ditemukan dalam hadits Ibnu Juraij dan Al-Laits dari Abu Az-Zubair, serta dalam hadits Muhammad bin Zaid dari ‘Amr bin Dinar. Selain Muhammad, banyak yang meriwayatkan dari ‘Amr seperti riwayat Muhammad bin Zaid. 

 

Aku telah mendengar dari banyak orang yang bertemu Sufyan sejak lama bahwa ia tidak memasukkan kata “meninggal” dalam haditsnya. Sebagian orang heran ketika kusampaikan bahwa aku menemukan dalam catatanku kata “meninggal”. Ia berkata: “Mungkin ini kesalahan atau kekeliruan yang kau hafal darinya.” 

 

Asy-Syafi’i berkata: Jika Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—menjual seorang budak yang di-tadbir tanpa menyebut adanya hutang atau kebutuhan, itu karena pemiliknya mungkin tidak memiliki harta lain atau tidak membutuhkan harga budak itu. Maka budak yang di-tadbir dan yang tidak di-tadbir sama saja, boleh dijual kapan saja pemiliknya menghendaki. 

 

Dalam segala hak yang menjadi kewajiban pemiliknya, budak boleh dijual kapan saja pemiliknya mau. Termasuk dalam segala hal yang mengharuskan penjualan harta tuannya jika tidak ada cara lain untuk memenuhi kewajiban kecuali dengan menjual mereka. 

 

Sebab tadbir tidak lebih dari apa yang kami jelaskan, yaitu tidak menjadi penghalang untuk dijual. Hal itu ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—. 

 

Atau tadbir bisa menjadi penghalang, seperti kami melarang penjualan budak mukatab (yang sedang dalam proses merdeka) karena hutang tuannya, sebab ia bisa menjadi penghalang. Jika kami melarangnya, maka ia bisa menjadi budak yang boleh dijual jika gagal membayar. 

 

Kami menjual budak yang di-tadbir, dan itu menunjukkan bahwa tadbir adalah wasiat sebagaimana yang kami jelaskan.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa menjual ummul walad, maka penjualannya sah dan dia memerdekakannya setelah tuannya meninggal dalam keadaan bebas dari harta dan segala kewajiban. Ini menunjukkan bahwa tadbir adalah wasiat. (Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami orang yang terpercaya dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau membeli seorang mudabbar yang pemiliknya membutuhkan harganya. (Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami orang yang terpercaya dari Ma’mar dari Amr bin Muslim dari Thawus yang berkata: Seseorang boleh menarik kembali mudabbar-nya. Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid yang berkata: Mudabbar adalah wasiat, pemiliknya boleh menarik kembali kapan saja dia mau. (Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami orang yang terpercaya dari Ma’mar dari Ibnu Thawus yang berkata: Aku bertanya kepada Ibnul Munkadir: Bagaimana pendapat ayahmu tentang mudabbar, apakah pemiliknya boleh menjualnya? Dia menjawab: Ayahku berkata: Dia boleh menjualnya jika pemiliknya membutuhkan harganya. Ibnul Munkadir berkata: Dia boleh menjualnya meskipun tidak membutuhkan harganya. (Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami orang yang terpercaya dari Ma’mar dari Ayyub bin Abi Tamimah bahwa Umar bin Abdul Aziz menjual seorang mudabbar untuk melunasi hutang pemiliknya. (Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara manusia bahwa tadbir seorang budak adalah ketika tuannya berkata kepadanya dalam keadaan sehat atau sakit: Kamu mudabbar, atau jika dia berkata: Aku bermaksud memerdekakannya dalam segala keadaan setelah kematianku, atau kamu merdeka setelah kematianku, atau kamu merdeka jika aku mati, atau ketika aku mati, atau setelah kematianku, atau perkataan semacam ini, maka semua ini adalah tadbir. Sama saja menurutku apakah dia berkata: Kamu merdeka setelah kematianku, atau jika aku mati selama aku tidak melakukan sesuatu padamu, atau tanpa pengecualian jika terjadi sesuatu padamu, karena dia boleh membatalkan tadbir. (Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berkata kepada budaknya: Kamu merdeka setelah berlalu satu tahun, dua tahun, bulan tertentu, tahun tertentu, atau hari tertentu, lalu waktu itu tiba sementara budak masih dalam kepemilikannya, maka budak itu merdeka, dan dia boleh menarik kembali selama budak belum keluar dari kepemilikannya melalui penjualan, hibah, atau semacamnya, sebagaimana dia boleh menarik kembali penjualannya. Jika dia tidak menarik kembali dan berkata: Ini untuk ummul walad, maka ada dua pendapat: Pertama, segala sesuatu yang pasti tanpa syarat adalah seperti tadbir, dan anaknya seperti anak mudabbarah, statusnya seperti mudabbarah dalam segala hal kecuali bahwa dia merdeka dari pokok harta. Ini adalah pendapat yang sesuai dengan qiyas dan ini pendapat kami. Bisa juga dikatakan bahwa anak mudabbarah dan anak ummul walad ini merdeka bersamanya. Pendapat kedua, ummul walad berbeda dengan mudabbarah, anaknya tidak seperti statusnya, dia merdeka sementara anak-anak yang lahir setelah perkataan ini tidak. (Imam Syafi’i berkata): Jika dia berkata dalam keadaan sehat kepada budak atau ummul waladnya: Jika si Fulan datang maka kamu merdeka, atau jika si Fulan sembuh maka kamu merdeka, maka dia boleh menarik kembali sebelum si Fulan datang atau sembuh. Jika si Fulan datang atau sembuh sebelum dia menarik kembali, maka budak itu merdeka dari pokok hartanya jika si Fulan datang atau orang yang dijadikan syarat merdeka masih hidup, baik tuannya dalam keadaan sakit atau sehat, karena dia tidak melakukan sesuatu dalam keadaan sakit. Ini adalah poin di mana semua orang yang berbeda pendapat dengan kami sepakat bahwa dia boleh menarik kembali sebelum si Fulan datang atau sembuh. Jika ditanya tentang alasannya, mereka berkata: Ini mungkin terjadi atau tidak, jadi tidak seperti sesuatu yang pasti. Bukankah mudabbar dan orang yang dimerdekakan dalam setahun akan merdeka jika budak itu masih hidup dan tuannya sudah meninggal serta setahun telah berlalu? Bukankah mungkin budak itu meninggal sebelum tuannya dan setahun belum berlalu sehingga tidak ada kepastian hukum untuk merdeka? Mungkin juga tuannya hilang sehingga tidak diketahui kematiannya dan budak tidak merdeka, atau mungkin tuannya sudah meninggal tetapi tidak diketahui dengan pasti, karena merdeka itu harus dengan kepastian. (Imam Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui perbedaan antara anak ummul walad yang dikatakan: Jika si Fulan datang maka kamu merdeka, dengan anak mudabbarah dan orang yang dimerdekakan dalam setahun. Seharusnya mereka dalam status yang sama. Jika dia berkata: Jika si Fulan datang maka kamu merdeka ketika aku mati, atau jika setahun berlalu maka kamu merdeka ketika aku mati, maka itu adalah tadbir pada waktu itu. Jika dia berkata: Kamu merdeka jika aku mati dalam sakitku ini, atau dalam perjalananku ini, atau dalam tahunku ini, maka ini bukan tadbir. (Imam Syafi’i berkata): Jika dia sembuh lalu mati bukan karena sakit itu, maka budak tidak merdeka. Tadbir adalah apa yang ditetapkan oleh tuan untuk mudabbar. (Imam Syafi’i berkata): Jika dia berkata kepada budaknya: Kamu merdeka setelah kematianku dalam sepuluh tahun, maka budak itu merdeka pada waktu itu dari sepertiga harta. Jika itu ummul walad, maka anak-anaknya seperti statusnya, mereka merdeka ketika dia merdeka. Ini lebih kuat kemerdekaannya daripada mudabbarah, karena ini tidak bisa ditarik kembali jika tuannya meninggal. Selama tuannya masih hidup, statusnya seperti mudabbarah.

 

[Kebebasan memilih dalam memerdekakan dan mentadbir]

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Imam Syafi’i berkata: Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Jika kamu mau, kamu merdeka saat aku mati,” maka budak itu menjadi mudabbir (merdeka setelah tuannya meninggal). Jika budak itu tidak mau, maka dia tidak menjadi mudabbir. 

 

Imam Syafi’i juga berkata: Jika seseorang berkata, “Jika aku mati dan kamu mau, kamu merdeka,” maka jika budak itu memilih saat tuannya meninggal, dia merdeka. Jika tidak memilih, dia tidak merdeka. Begitu juga jika dikatakan, “Kamu merdeka jika aku mati dan kamu mau,” atau jika kebebasan disebutkan sebelum atau setelah keinginan. 

 

Imam Syafi’i menambahkan: Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Kamu merdeka,” lalu budak itu menjawab, “Aku tidak butuh dimerdekakan,” atau jika tuannya mengatakan, “Aku tidak butuh mengatur pembebasanmu,” maka pembebasan itu tetap berlaku tanpa memberi pilihan kepada budak. Ini seperti perkataan, “Kamu merdeka jika kamu mau.” 

 

Imam Syafi’i menjelaskan: Pembebasan mutlak atau pembebasan mudabbir terjadi dengan ucapan tuannya tanpa persetujuan budak. Tuannya wajib mengeluarkan budak itu dari hartanya. Jika tuannya meninggal, budak itu merdeka secara mutlak atau sebagai mudabbir, dan keduanya wajib menunaikan hak serta kewajiban yang sebelumnya tidak berlaku. Tidak ada keraguan dalam pembebasan ini sehingga tidak perlu menunggu kesempurnaan pilihan. Pembebasan ini berlaku sempurna tanpa kekurangan atau keraguan. 

 

Demikian juga dengan talak. Jika seorang menalak istrinya, istri tidak bisa menolak talak karena talak itu sempurna dan mengeluarkannya dari kekuasaan suami. Jika suami berkata, “Kamu tertalak jika kamu mau,” talak tidak sempurna karena ada keraguan. Talak hanya sempurna jika diucapkan dengan jelas dan pilihan disetujui sepenuhnya. 

 

Imam Syafi’i juga menyatakan: Jika seseorang berkata, “Jika dia mau, maka fulan dan fulan merdeka,” atau “Budakku merdeka mutlak atau setelah kematianku jika dia mau,” maka kebebasan tergantung pada persetujuannya. Begitu juga dengan mudabbir. Jika salah satu setuju dan yang lain tidak, atau salah satu meninggal atau pergi, budak tidak merdeka sampai keduanya sepakat. 

 

Jika seseorang berkata kepada dua orang, “Merdekakan budakku jika kalian berdua mau,” dan keduanya setuju, budak itu merdeka. Jika hanya satu yang setuju, budak tidak merdeka. Jika dikatakan, “Jadikan dia mudabbir jika kalian mau,” lalu mereka membebaskannya, itu menjadi pembebasan mutlak. 

 

Mudabbir bisa dibatalkan selama belum keluar dari kepemilikan tuannya, baik dalam keadaan sehat atau sakit. Tidak ada perbedaan antara wasiat mudabbir dan wasiat lainnya. Tuannya bisa membatalkan mudabbir selama budak masih dalam kepemilikannya. 

 

Jika tuannya tidak membatalkan mudabbir hingga meninggal, maka mudabbir diambil dari sepertiga harta karena termasuk wasiat. 

 

Imam Syafi’i meriwayatkan dari Ali bin Zhabiyan, dari Ubaidillah bin Abdullah bin Umar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang berkata, “Mudabbir diambil dari sepertiga harta.” 

 

Ali bin Zhabiyan awalnya mengira hadis itu marfu’ (sampai ke Nabi), tetapi para ulama menjelaskan bahwa itu hanya perkataan Ibnu Umar. 

 

Imam Syafi’i menyatakan bahwa para ahli hadis sepakat bahwa mudabbir adalah wasiat dari sepertiga harta. 

 

Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Imam Syafi’i dua pendapat tentang mudabbir: 

  1. Jika tuannya membatalkan mudabbir dengan ucapan, budak tidak keluar dari status mudabbir sampai keluar dari kepemilikan melalui jual beli, hibah, atau sedekah.
  2. Mudabbir adalah wasiat yang bisa dibatalkan dengan ucapan, seperti wasiat lainnya. Pendapat kedua ini lebih kuat menurut Imam Syafi’i.

 

[Mengeluarkan mudabbir dari status mudabbir]

 

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang men-dabarkan budaknya, ia boleh membatalkan tadbir tersebut selama budak itu masih dalam kepemilikannya. Jika budak yang di-dabarkan berkata: “Segera bebaskan aku dan aku akan memberimu lima puluh dinar,” lalu tuannya menjawab: “Ya, aku telah membatalkan tadbirku, sekarang merdekakan dia,” maka ini adalah pembebasan dengan tebusan. Budak itu bebas sepenuhnya dan tetap wajib membayar lima puluh dinar, sementara status tadbir-nya batal. Jika pemilik budak yang di-dabarkan memiliki hutang yang membahayakan, budak yang di-dabarkan boleh dijual untuk melunasi hutang tersebut, seperti halnya budak biasa, karena tuannya berhak membatalkan tadbir dengan menjual atau cara lain. Tidak ada penghalang kebebasan yang mencegah penjualan budak itu untuk melunasi hutang tuannya, atau untuk kepentingan tuannya sendiri, atau alasan lain yang biasa menjadi sebab penjualan budak non-mudabbar. Jika tuannya berhutang, harta non-mudabbar-nya dijual terlebih dahulu. Budak mudabbar tidak boleh dijual kecuali tidak ada lagi cara lain untuk melunasi hutang selain menjualnya, atau jika tuannya menyatakan: “Aku membatalkan tadbir-nya,” sementara status tadbir tetap berlaku sampai dibatalkan, atau tidak ada lagi hartanya selain budak itu untuk melunasi hutang.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika tuannya tidak memiliki hutang, ia boleh membatalkan tadbir. Jika tuannya berkata: “Aku membatalkan tadbir budak ini,” atau “Aku mencabutnya,” atau ucapan serupa yang bermakna pembatalan wasiat untuk seseorang (seandainya ia mewasiatkannya), hal itu tidak membatalkan tadbir sampai budak itu keluar dari kepemilikannya. Ini berbeda dengan wasiat dalam konteks ini dan juga berbeda dengan iman. Demikian pula, jika ia men-dabarkan budak, lalu menghadiahkannya kepada seseorang, baik sudah diterima atau belum, atau ia menarik kembali hadiahnya, atau menyesal, atau mewasiatkannya kepada seseorang, atau menyedekahkannya, atau mewakafkannya semasa hidup atau setelah mati, atau berkata: “Jika setelah kematianku ia membayar sekian, maka ia merdeka,” semua ini termasuk pembatalan tadbir karena memutuskan kepemilikan. Jika ia men-dabarkan separuh budaknya, maka separuhnya berstatus mudabbar dan hanya separuh itulah yang merdeka setelah kematiannya, karena tadbir hanya berlaku pada bagian yang diambil dari sepertiga hartanya. Jika hanya separuh yang diambil, maka tidak ada lagi harta miliknya setelah kematian yang menjadi tanggungan tadbir, karena Allah telah memindahkan kepemilikannya kepada ahli waris yang masih hidup. Jika ia men-dabarkan budak, lalu mewasiatkan separuhnya kepada seseorang, maka separuh untuk penerima wasiat dan separuhnya tetap mudabbar. Jika penerima wasiat menolak wasiat dan tuannya meninggal, hanya separuh budak yang merdeka, karena tuannya telah membatalkan tadbir pada separuh yang diwasiatkan. Demikian pula, jika ia menghadiahkan atau menjual separuhnya saat masih hidup, maka tadbir pada separuh yang dijual atau dihadiahkan batal, sementara separuh lainnya tetap mudabbar selama tidak dibatalkan. Jika pada awalnya ia boleh men-dabarkan separuh budaknya, maka ia juga boleh menjual separuhnya dan membiarkan separuh lainnya tetap mudabbar. Jika ia men-dabarkan budak, lalu berkata: “Aku membatalkan tadbir sepertiga/seperempat/separuh bagianmu,” maka bagian yang dibatalkan keluar dari status tadbir karena telah keluar dari kepemilikannya, sementara bagian yang tidak dibatalkan tetap mudabbar. Jika ia men-dabarkan budak lalu membuat perjanjian kitabah (pembebasan dengan cicilan), kitabah tidak membatalkan tadbir. Kitabah dalam konteks ini setara dengan kharaj (pajak tanah). Kharaj adalah pengganti dari khidmah (pelayanan), dan tuannya boleh meminta khidmah atau kharaj. Demikian pula, ia boleh membuat kitabah jika disepakati. Jika budak melunasi sebelum tuannya meninggal, ia merdeka melalui kitabah. Jika tuannya meninggal, ia merdeka melalui tadbir jika nilai budak mencukupi sepertiga harta, dan sisa cicilan kitabah batal. Jika tidak mencukupi sepertiga, hanya bagian yang tercakup sepertiga yang merdeka, sisa cicilan kitabah tetap berlaku sesuai proporsinya, kecuali jika budak itu tidak mampu, karena mungkin ia ingin segera merdeka dan budak juga ingin segera merdeka sehingga membuat kitabah.

 

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang men-tadbir budaknya, misalnya ia berkata, “Berilah pelayanan kepada si Fulan selama tiga tahun, lalu merdeka,” maka jika si pen-tadbir (tuan yang men-tadbir) menghilang, bisu, atau hilang akal sebelum dimintai penjelasan, budak itu tidak merdeka selamanya kecuali jika tuan pen-tadbir meninggal, dan budak itu merdeka dari sepertiga harta serta melayani si Fulan selama tiga tahun. Jika budak itu mati sebelum atau setelah kematian tuannya dan belum melayani selama tiga tahun, ia tidak merdeka selamanya karena kemerdekaannya disyaratkan dengan sesuatu yang batal (tidak terpenuhi). 

 

Jika tuan itu ditanya dan ia menjawab, “Aku bermaksud membatalkan tadbir dan bahwa budak itu harus melayani si Fulan selama tiga tahun, lalu merdeka,” maka tadbir-nya batal. Jika ia melayani selama tiga tahun, ia merdeka. Jika ia mati sebelum atau selama masa pelayanan, budak itu tidak merdeka. Jika tuan bermaksud menarik kembali syarat pelayanan, ia boleh melakukannya, dan budak itu tidak merdeka. 

 

Jika tuan berkata, “Aku bermaksud agar ia menjadi mudabbar (budak yang di-tadbir) setelah melayani si Fulan selama tiga tahun,” maka tadbir-nya sah, dan budak tidak merdeka kecuali dengan kedua syarat tersebut, sebagaimana penjelasan pada masalah pertama. 

 

Jika seseorang men-tadbir budaknya lalu sebelum mati ia berkata, “Jika ia membayar seratus (dirham) setelah kematianku, ia merdeka,” atau “Ia wajib melayani selama sepuluh tahun setelah kematianku, lalu merdeka,” atau “Ia merdeka setahun setelah kematianku jika membayar seratus (dirham) atau melayani sepuluh tahun,” maka jika ia memenuhi syarat itu setelah kematian tuannya, ia merdeka. Jika tidak, ia tidak merdeka. Semua ini dianggap sebagai wasiat baru setelah tadbir, dan wasiat ini menggantikan tadbir sebelumnya, seperti halnya jika ia berkata, “Budakku ini untuk si Fulan,” lalu ia berkata, “Tidak, setengahnya saja,” maka hanya setengah yang berlaku. 

 

Jika seseorang berkata, “Budakku untuk si Fulan,” lalu setelah itu ia berkata, “Budakku untuk si Fulan jika ia menyerahkan sepuluh dinar kepada ahli warisku atau kepada selain ahli warisku,” maka jika ia menyerahkan sepuluh dinar, ia merdeka. Jika tidak, ia tidak merdeka karena ini adalah wasiat baru yang membatalkan syarat sebelumnya. Wasiat terakhir lebih berhak dibanding yang pertama. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang mudabbar melakukan kejahatan dan tuannya tidak bersedia menebusnya, lalu penguasa menjualnya dan seseorang membelinya, maka status tadbir-nya batal sama sekali. Penjualan oleh penguasa dalam hal ini seperti penjualan oleh dirinya sendiri dan merupakan pembatalan tadbir. Jika tuannya menebusnya secara sukarela, status tadbir tetap berlaku. 

 

Jika budak mudabbar murtad dari Islam dan pergi ke negeri kafir, lalu tuannya mengambilnya kembali sebagai tawanan, status tadbir-nya tetap dan tidak batal karena kemurtadan atau pelarian (jika ia melarikan diri). Demikian pula jika kaum Muslimin menyerang (negeri kafir) dan tuannya mengambilnya sebelum atau setelah pembagian rampasan perang, ia tetap sebagai mudabbar selama tuannya tidak mencabut tadbir-nya atau melepaskan kepemilikannya. Jika ia termasuk dalam rampasan perang, tuannya boleh mengambilnya dalam keadaan apa pun, dan status tadbir tetap. 

 

Jika tuannya yang murtad dan hartanya disita hingga ia mati, terbunuh, atau kembali kepada Islam—baik ia pergi ke negeri kafir atau tidak—lalu ia kembali kepada Islam, ia kembali memiliki hartanya, dan budak itu tetap sebagai mudabbar. Jika ia mati, hartanya menjadi fa’i (harta rampasan untuk kaum Muslimin), dan budak mudabbar merdeka karena kaum Muslimin tidak mewarisi harta orang murtad, dan ahli warisnya tidak berhak mewarisi sesuatu karena agama mereka berbeda. Tadbir itu sah selama ia masih hidup dan memiliki wewenang atas hartanya. 

 

Jika si mudabbar berkata, “Aku membatalkan tadbir selama tuannya hidup atau setelah kematiannya,” itu tidak berlaku. Sebab, tidak ada cara bagi budak untuk memerdekakan dirinya sendiri, berbeda dengan orang merdeka yang berwasiat. Siapa pun yang diberi wasiat harta boleh menolaknya, tetapi siapa pun yang dimerdekakan tidak boleh membatalkan kemerdekaannya karena itu adalah sesuatu yang telah keluar dari kepemilikan tuannya secara penuh, sehingga status kemerdekaannya tetap dan hak-haknya wajib dipenuhi. Demikian pula jika ia dimerdekakan secara bertahap. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang men-tadbir budak perempuannya lalu mencampurinya dan ia melahirkan anak, ia menjadi umm walad yang merdeka setelah kematian tuannya dari pokok harta. Jika ia men-tadbir budaknya lalu membuat perjanjian kitabah (pembebasan dengan pembayaran), ia menjadi mukatab tanpa keluar dari status tadbir karena kitabah bukan pembatalan tadbir. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia men-tadbir budaknya lalu berkata, “Kamu merdeka jika membayar ini dan itu,” maka ia merdeka dengan syarat tambahan jika ia bermaksud membatalkan tadbir. Jika tidak bermaksud membatalkan tadbir, ia merdeka jika memenuhi syarat. Jika tuannya mati sebelum ia memenuhi syarat, ia merdeka karena tadbir. Jika tuan bermaksud membatalkan tadbir, maka itu pembatalan, dan pembatalan hanya sah dengan perkataan yang jelas menunjukkan maksudnya. 

 

Jika ia men-tadbir budaknya lalu membuat perjanjian qith’ah (pembebasan dengan pembayaran sekaligus) untuk mempercepat kemerdekaannya, ini bukan pembatalan tadbir. Perjanjian qith’ah tetap berlaku sesuai kesepakatan. Jika ia memenuhinya, ia merdeka. Jika tuannya mati sebelum ia memenuhi syarat, ia merdeka karena tadbir. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang men-tadbir budaknya lalu tidak ada pembatalan atau perubahan dalam tadbir-nya, serta tidak ada alasan untuk menjualnya, status tadbir tetap berlaku.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Tuan mengadakan perjanjian pembebasan budak (tadbir), lalu bisu sehingga tidak berbicara hingga meninggal. Perjanjian itu tetap berlaku dan tidak dapat dibatalkan kecuali dengan membatalkannya selama hidupnya, yaitu dengan mencabut wewenangnya, atau seperti yang dijelaskan mengenai hak yang melekat padanya dalam memerdekakan budak, atau tanggungan tuan meskipun telah dibuat perjanjian tadbir. Kemudian jika dia bisu tetapi bisa menulis atau memberi isyarat yang dipahami, lalu menarik kembali perjanjian tadbir-nya dengan isyarat atau tulisan, maka penarikan kembali itu seperti penarikan kembali dengan ucapan jika dia mencabutnya dari kekuasaannya. 

 

Jika tadbir dibuat dalam keadaan sehat, lalu akalnya terganggu dan dia menarik kembali tadbir dalam keadaan tidak waras, maka penarikan itu tidak sah. Demikian pula jika tadbir dibuat saat tidak waras, kemudian akalnya kembali normal tetapi tidak melakukan tindakan tadbir, maka tadbir yang dibuat saat tidak waras itu batal. Begitu pula jika dia memerdekakan budak dalam keadaan tidak waras, pemerdekaan itu tidak sah. 

 

(Masalah jinayat terhadap budak mudabbar dan sebagian yang membatalkan tadbir) 

Menurut pendapat Imam Syafi’i rahimahullah: Jika budak mudabbar melakukan jinayat (tindak pidana), statusnya seperti budak biasa yang tidak ada perjanjian tadbir. Tuannya boleh memilih untuk menanggung diyat (denda) jinayat tersebut secara sukarela. Jika tuannya membayar, tadbir tidak batal dan tetap berlaku. Jika tidak membayar, dan jinayat itu menghabiskan nilai pembebasannya, maka budak dijual untuk membayar diyat kepada korban. Jika nilai budak lebih besar dari diyat, tuannya tidak wajib menanggung lebih. Jika jinayat kecil sementara nilai budak besar, tuannya diberi pilihan: menjual seluruh budak dan membayar diyat, lalu menerima sisa harganya; atau menjual sebagian budak sebesar diyat, dan sisanya tetap menjadi budak mudabbar. 

 

Bagian sisa budak (sepertiga, kurang, atau lebih) tetap tunduk pada hak tuan untuk membatalkan tadbir, menjual, atau lainnya, seolah-olah tadbir baru dimulai untuk bagian itu. 

 

Jika tuan telah berjanji tidak akan menarik kembali tadbir, lalu budak melakukan jinayat sehingga sebagiannya dijual untuk membayar diyat, sisa budak tetap dalam status tadbir tanpa dianggap melanggar janji, karena bukan tuan yang menjualnya. 

 

(Hukum jinayat yang menimpa budak mudabbar) 

Jika budak mudabbar menjadi korban jinayat, statusnya seperti budak biasa dalam semua aspek: kesaksian, hudud, jinayat yang dilakukannya, bagian perang jika ikut serta, warisan, pernikahan, talak, dan hukum lainnya. 

 

Jika seorang merdeka melakukan jinayat yang menghabiskan atau melukai budak mudabbar, tuannya boleh mengambil ganti rugi (qimah atau arsy). Harta itu menjadi miliknya, boleh digunakan sesuai keinginannya. Jika pelakunya budak lain, budak itu diserahkan sebagai ganti, sementara budak mudabbar korban tetap dalam status tadbir. 

 

Jika budak mudabbar dibunuh, dan pelakunya menyerahkan budak pengganti atau harta, maka pengganti itu tidak otomatis menjadi mudabbar kecuali tuannya membuat perjanjian baru. 

 

(Perbedaan antara budak mudabbar dan budak gadai dalam masalah jinayat) 

Jika ada yang bertanya: Mengapa budak gadai yang menjadi korban jinayat, diyatnya berupa budak atau harta, status gadainya tetap, sementara diyat untuk budak mudabbar tidak otomatis menjadi pengganti mudabbar? 

 

Jawabannya: Karena hak pemilik gadai terbatas—dia tidak bisa menjual atau menghibahkan budak gadai selama hak penerima gadai masih ada. Sedangkan pemilik mudabbar punya hak penuh: bisa menjual atau membatalkan tadbir. 

 

Jika dikatakan bahwa tadbir mengandung unsur kemerdekaan yang pasti (seperti wasiat “jika aku mati, budak ini merdeka”), itu tetap bisa dibatalkan selama tuan hidup, berbeda dengan gadai yang hak orang lain mengikat. 

 

Demikianlah perbedaan keduanya. 

 

(Note: Translated while maintaining classical Islamic legal terminology and structure.)

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i berkata): Dikatakan tentang Al-Had: Jika ada yang berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang ummul walad, bukankah dia merdeka karena kematian tuannya dari harta pokok, sehingga tuannya tidak boleh menjualnya atau memindahkannya ke kepemilikan orang lain?” Jika dia menjawab, “Ya,” maka dikatakan, “Maka status kemerdekaannya lebih kuat daripada mudabbir menurut pendapat kami dan pendapatmu. Jika seorang budak membunuhnya dan menyerahkannya kepada tuannya, atau seorang budak perempuan lalu dia masuk Islam atau orang merdeka yang membayar diatnya, apakah uang tersebut menggantikan posisi ummul walad atau budak perempuan yang dimerdekakan karena Islam?” Jika dia menjawab, “Tidak,” maka dikatakan, “Karena ummul walad tidak merdeka dan meninggal dalam status budak, sedangkan anak yang dilahirkannya hanya merdeka jika dia melahirkannya dari tuannya saat tuannya meninggal. Sedangkan yang membayar atau dibayarkan untuk diat kejahatannya, dia tidak melahirkan dari tuannya sehingga merdeka karena anak?” Jika dia menjawab, “Ya,” maka dikatakan, “Demikian pula mudabbir dan yang disyaratkan merdeka melalui wasiat, tetapi syaratnya tidak terpenuhi saat dia membunuh seorang budak dan tidak ada pengganti dalam syarat wasiat tersebut sehingga dia merdeka karenanya.”

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika budak perempuan yang melakukan kejahatan sedang hamil, maka hukum anaknya sama seperti anggota tubuhnya selama belum terpisah. Jika dia dijual, anaknya seperti anggota tubuh yang tidak terpisah dari penjualan. Jika dia melahirkan sebelum dijual setelah kejahatan dan sebelum putusan hukum atau setelahnya, maka sama saja, anaknya tidak termasuk dalam kejahatan karena jika terpisah, terpisah pula hukum kejahatannya. Karena anak bukan pelaku kejahatan, hukumnya seperti budak perempuan yang melakukan kejahatan dan memiliki anak. Siapa yang berpendapat boleh menjualnya dan memisahkannya dari anaknya, maka dia boleh menjualnya. Siapa yang tidak membolehkan penjualannya kecuali bersama anaknya, maka jika tuannya tidak bersedia menebusnya, dia menjual keduanya dan mengembalikan bagian harga anak kepada tuannya serta membayar diat kejahatannya jika sesuai atau kurang, tidak dikembalikan. Pendapat ini lebih kuat berdasarkan qiyas dan Sunnah. Allah Ta’ala lebih mengetahui, dan inilah pendapatku. Karena Nabi ﷺ membatalkan penjualan anak seorang wanita yang dipisahkan darinya karena masih kecil, dan penjualan oleh pemilik dengan alasan ini tidak lebih besar daripada penjualan anak kecil yang wajib atas ibunya.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang mudabbir (budak yang dijanjikan merdeka setelah tuannya meninggal) atau mudabbirah melakukan kejahatan dengan diat seratus unta, sementara nilai pelakunya tidak mencapai lima puluh unta, dan mudabbir memiliki harta dan anak, maka hartanya adalah milik tuannya. Korban tidak berhak atasnya, karena statusnya seperti harta tuannya lainnya. Anak mudabbirah atau budak perempuan yang tidak dijadikan mudabbirah tidak termasuk dalam kejahatan mereka karena mereka tidak melakukan kejahatan, sehingga tidak masuk dalam diat kejahatan. Mereka seperti harta tuannya selain mereka.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada kejahatan terhadap mudabbir atau mudabbirah, maka pelaku wajib membayar diat sesuai nilai mereka sebagai budak tanpa status tadbir. Jika kejahatan berupa pemotongan tangan, maka pelaku membayar setengah nilai masing-masing kepada tuannya. Dikatakan kepada tuannya, “Dia seperti hartamu lainnya, engkau boleh memilikinya seperti memilik mudabbir dan mudabbirah, menjualnya, atau melakukan apa saja yang kau inginkan.” Jika kejahatan terhadap mudabbir atau mudabbirah berupa pembunuhan, maka pelaku wajib membayar nilai mereka sebagai budak pada hari kejadian, baik dalam keadaan sehat atau sakit. Jika mudabbirah hamil lalu dibunuh, pelaku wajib membayar nilainya dalam keadaan hamil tanpa diat untuk anaknya. Jika ada kejahatan terhadapnya sehingga keguguran dan meninggal, maka untuk janinnya sepersepuluh nilai ibunya pada hari kejahatan, dan untuk budak perempuan tersebut, nilainya dan nilai janinnya menjadi milik tuannya untuk diperlakukan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Jika dia keguguran janin hidup lalu janin dan ibunya meninggal, maka untuk ibunya nilainya, dan untuk janinnya nilainya jika hidup, karena hukumnya seperti dirinya sendiri. Jika janin meninggal, hukumnya seperti ibunya.

 

[Tentang Penulisan dan Tadbir bagi Mukatab]

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang men-tadbir budaknya lalu mem-mukatab-nya, maka mukatab tidak membatalkan tadbir kecuali jika tuannya bermaksud mengeluarkannya dari kepemilikannya sebelum mukatab. Dia akan ditanya. Jika dia berkata, “Aku bermaksud menetapkan tadbir tanpa mempercepat kemerdekaan,” maka statusnya tetap mudabbir dan mukatab. Demikian juga jika dia mem-mukatab budak perempuan, lalu dia melahirkan anak, maka anaknya ikut menjadi mukatab bersamanya. Jika budak perempuan itu mudabbirah dan mukatabah, maka anaknya juga mukatab dan mudabbir.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mem-mukatab budaknya lalu men-tadbir-nya sebelum ‘aqad (cacat dalam pembayaran), kemudian terjadi ‘aqad, maka statusnya menjadi mudabbir. Jika dia memilih tetap pada mukatab, maka tetap berlaku. Jika dia melunasi, dia merdeka. Jika tuannya meninggal sebelum pelunasan, dia merdeka karena tadbir jika masuk sepertiga harta warisan. Jika tidak masuk sepertiga, maka yang merdeka hanya sebesar sepertiga dan batal dari mukatab sebesar yang merdeka. Jika dia berkata, “Aku bermaksud membatalkan tadbir,” maka tidak dianggap batal kecuali jika mengeluarkannya dari kepemilikannya. Maka statusnya tetap mudabbir dan mukatab. Pendapat kedua: Dia ditanya. Jika dia berkata, “Aku bermaksud membatalkan tadbir,” maka dianggap batal dan statusnya mukatab tanpa tadbir.

 

Jika seseorang mem-mukatab budaknya lalu men-tadbir-nya sebelum ‘aqad, kemudian terjadi ‘aqad, maka statusnya menjadi mudabbir. Jika dia memilih tetap pada mukatab, maka tetap berlaku, dan dia memiliki hak mukatab dan tadbir. Jika dia men-tadbir budaknya lalu mem-mukatab-nya, tetapi belum melunasi hingga meninggal, maka dia merdeka dari sepertiga harta dan batal mukatabnya, karena mukatab tidak membatalkan tadbir kecuali jika tuannya bermaksud membatalkannya dan mengeluarkannya dari kepemilikannya sebelum mukatab.

 

Berikut adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

[Jami’ at-Tadbir]

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki berkata kepada budaknya, “Pada hari engkau memasuki rumah, engkau merdeka setelah kematianku,” lalu majikan itu menjadi gila, dan budak itu memasuki rumah, maka budak itu menjadi mudabbar (akan merdeka setelah majikan meninggal). 

 

Jika majikan memerdekakannya saat memasuki rumah dalam keadaan akal sehat, lalu ia menjadi gila dan budak memasuki rumah saat majikan dalam keadaan gila, maka budak itu merdeka. Namun, jika majikan mengucapkan ini dalam keadaan gila, lalu budak memasuki rumah sementara majikan dalam keadaan akal sehat, maka budak tidak merdeka karena ucapannya dianggap tidak sah akibat kegilaan. Jika ia memerdekakan (saat gila), tidak sah. Jika ia berwasiat, wasiatnya tidak berlaku karena ia tidak waras saat mengucapkan pembebasan atau wasiat. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berkata, “Pada hari engkau memasuki rumah, engkau merdeka setelah kematianku,” lalu budak tidak memasuki rumah hingga majikan meninggal, kemudian budak memasukinya, ia tidak merdeka karena budak itu telah keluar dari kepemilikan majikan dan menjadi milik orang lain. 

 

Jika ia berkata, “Jika aku mati dan engkau telah memasuki rumah, engkau merdeka,” lalu majikan meninggal, kemudian budak memasuki rumah, ia tidak merdeka karena pembebasan terjadi saat ia sudah menjadi milik orang lain. 

 

Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Jika aku mati, engkau merdeka (atau tidak merdeka),” lalu ia meninggal, budak tidak merdeka. Jika ia berkata, “Jika aku mati dan engkau adalah si A, engkau merdeka,” sementara ia memiliki banyak budak dan tidak jelas mana yang dimaksud, lalu ia meninggal tanpa menjelaskan, maka kita mengundi mereka, dan siapa yang keluar undiannya, ia dimerdekakan. 

 

Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Jika aku mati dan engkau adalah si B, engkau merdeka,” atau “Jika aku mati dan engkau telah menghafal seluruh Al-Qur’an, engkau merdeka,” lalu majikan meninggal dan budak adalah si B serta telah menghafal seluruh Al-Qur’an, maka ia merdeka. Jika ia meninggal dan budak bukan si B atau belum menghafal seluruh Al-Qur’an, ia tidak merdeka. 

 

Jika ia berkata, “Jika aku mati dan engkau telah membaca sebagian Al-Qur’an, engkau merdeka,” lalu budak membaca sedikit Al-Qur’an, ia merdeka. 

 

Jika ia berkata, “Jika aku mati, engkau merdeka jika anakku menghendaki,” maka jika anaknya menghendaki, ia merdeka; jika tidak, tidak. Jika anaknya meninggal sebelum memutuskan, menjadi bisu, atau gila sebelum memutuskan, budak tidak merdeka kecuali jika ia sembuh dari kebisuannya atau akalnya kembali lalu memutuskan. Jika keputusan itu dalam batas sepertiga harta, ia merdeka. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Kesimpulannya, jika seseorang memerdekakan budak dengan syarat (satu atau lebih), ia tidak merdeka kecuali jika syarat itu terpenuhi. Ia tidak merdeka dengan kurang dari syarat yang ditetapkan. 

 

Contohnya, seseorang berkata kepada budak atau pelayannya dalam wasiat, “Jika aku meninggal karena penyakit ini, engkau merdeka,” atau ia berwasiat kepada beberapa orang, lalu ia sembuh dari penyakitnya kemudian meninggal tanpa membatalkan wasiat, maka budak atau pelayan tidak merdeka, dan wasiat untuk orang lain tidak berlaku karena wasiat itu diberikan dalam kondisi tertentu yang tidak berlaku lagi. 

 

Inilah ketentuan dalam bab ini dan analoginya. 

 

[Budak yang Dimiliki Dua Orang dan Salah Satunya Mentadbirnya] 

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang budak dimiliki dua orang dan salah satunya mentadbirnya, maka bagiannya menjadi mudabbar tanpa harus membayar nilai budak kepada mitranya karena ia hanya berwasiat untuk budaknya yang bisa dibatalkan. Karena pembebasan tidak terjadi dalam semua keadaan, ia tidak menanggung nilai untuk mitranya. 

 

Jika ia meninggal dan separuhnya dimerdekakan, ia tidak menanggung nilai separuh lainnya karena itu wasiat. Jika ia berwasiat memerdekakan separuhnya, separuh lainnya tetap menjadi tanggungan karena ia tidak memiliki harta kecuali dari sepertiga hartanya, dan ia tidak mengambil dari sepertiganya selain wasiat itu. 

 

Mitranya tetap memiliki hak atas separuh budak. Budak tidak merdeka jika mitra yang mentadbirnya meninggal atau hidup. 

 

Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Jika aku mati dan si A mati, engkau merdeka,” maka budak tidak merdeka kecuali setelah kematian yang terakhir dari keduanya. 

 

Jika budak dimiliki dua orang dan keduanya berkata, baik bersamaan atau terpisah, “Jika kami mati, engkau merdeka,” maka budak tidak merdeka kecuali setelah kematian yang terakhir. 

 

Jika mereka berkata, “Engkau tetap menjadi budak sampai yang terakhir dari kami meninggal, lalu engkau merdeka,” maka masing-masing telah berwasiat untuk mitranya atas separuh budak setelah kematiannya, lalu budak itu merdeka. Wasiat dalam sepertiga harta dianggap sah, dan budak merdeka setelah kematian yang terakhir. Wallahu a’lam.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Harta Budak yang Dijanjikan Kebebasan (Mudabbar) 

Imam Syafi’i (rahimahullah) berkata: Jika seseorang menjanjikan kebebasan budaknya (tadbir) dan meninggalkan harta yang belum jelas (ghaib) maupun yang jelas (hadir), maka budak tersebut tidak merdeka kecuali dari harta yang ada di tangan ahli waris. Ia merdeka dari sepertiga harta yang sampai kepada ahli waris, dan tidak merdeka dari harta yang belum jelas sampai harta itu hadir. Ahli waris mengambil dua bagian, dan budak merdeka dari satu bagian. Jika harta itu hadir kemudian rusak sebelum diambil ahli waris, statusnya seperti tidak pernah ada. Budak merdeka dari harta yang diketahui milik tuannya, bukan dari yang tidak diketahui. Ahli waris berhak mengambil seluruh harta yang dipegang budak mudabbar yang diperoleh sebelum tuannya meninggal. Jika tuannya meninggal dan budak memperoleh harta setelah kematian tuannya, maka jika harta itu termasuk dalam sepertiga, seluruh hartanya aman. Jika tidak, ia hanya mendapat bagian sesuai sepertiga, sisanya untuk ahli waris. Budak mudabbar, umm walad, atau budak biasa tidak memiliki harta. Jika mereka dimerdekakan, harta mereka diambil. Harta hanya dimiliki oleh orang merdeka atau budak mukatab yang merdeka setelah membayar. 

 

Tadbir oleh Orang Nasrani 

Imam Syafi’i (rahimahullah) berkata: Jika seorang Nasrani menjanjikan kebebasan budaknya yang juga Nasrani, lalu budak itu masuk Islam, maka Nasrani itu diberi pilihan: Jika ia ingin membatalkan tadbir, budak itu dibeli darinya. Jika tidak, dipisahkan antara keduanya, dan budak menyerahkan upah (kharaj) sampai tuannya meninggal, lalu merdeka. Atau tuannya boleh menarik kembali dan menjual budak itu. Hal serupa berlaku untuk mukatab dan umm walad: umm walad dicegah sampai tuannya meninggal lalu merdeka, sedangkan mukatab dicegah sampai gagal membayar lalu dijual atau berhasil membayar lalu merdeka. Ada pendapat lain bahwa budak mudabbar Nasrani harus dijual dalam semua kondisi. Orang Nasrani berhak mengambil harta dari budak mudabbar, budak biasa, atau umm waladnya sebagaimana Muslim. 

 

Tadbir oleh Penduduk Darul Harb 

Imam Syafi’i (rahimahullah) berkata: Jika seorang harbi (penduduk darul harb) masuk darul Islam dengan jaminan keamanan (aman) lalu menjanjikan kebebasan budaknya, tadbir itu sah. Jika ia ingin kembali ke darul harb, tidak dilarang. Jika budak mudabbar masuk Islam, kita katakan kepada harbi: “Jika engkau membatalkan tadbir, kami tidak menghalangimu menarik wasiatmu, dan kami beli budak itu darimu, baik engkau setuju atau tidak, karena kami tidak membiarkanmu memiliki seorang Muslim. Jika engkau tidak membatalkan tetapi ingin tinggal (di darul Islam), kami pisahkan budak itu dan larang ia melayanimu. Jika engkau ingin kembali ke negerimu: jika engkau membatalkan tadbir, kami beli budaknya; jika tidak, kami pisahkan dan menunjuk seseorang untuk menyerahkan upahnya (kharaj) jika engkau mau. Jika tuannya meninggal, budak itu merdeka.” Jika tadbir dilakukan di darul harb lalu mereka datang ke darul Islam tanpa membatalkan tadbir, statusnya tetap mudabbar selama tidak dibatalkan. Ada pendapat lain bahwa budak itu harus dijual dalam semua kondisi. 

 

Tadbir oleh Murtad 

(Teks tidak lengkap, terjemahan dihentikan di sini.) 

 

Catatan: Beberapa bagian teks asli tidak utuh atau terpotong, sehingga terjemahan disesuaikan dengan konteks yang tersedia.

 

Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:

 

Pendapat Asy-Syafi’i (semoga Allah meridhainya):

 

– Tentang Murtad yang Memerdekakan Budak dengan Tadbir: 

  Jika seorang murtad melakukan tadbir (memerdekakan budak setelah kematiannya), ada beberapa pendapat: 

  1. Tadbirnya ditangguhkan. Jika ia kembali masuk Islam, tadbirnya tetap berlaku hingga ia membatalkannya, dan harta miliknya utuh. Jika ia mati dalam kemurtadan, tadbir batal dan hartanya menjadi fa’i (harta rampasan untuk baitulmal). Pendapat ini menyatakan bahwa hartanya ditahan saat murtad untuk menjadi fa’i jika mati dalam kemurtadan, atau dikembalikan jika ia bertaubat.
  2. Tadbir batal karena hartanya ditahan untuk menjadi fa’i dan tidak lagi miliknya kecuali jika ia kembali. Maka, tadbir dan pembebasannya batal seluruhnya. Pendapat ini menyatakan hartanya keluar dari kepemilikannya kecuali jika ia kembali, dan kepemilikannya hanya sah jika ia bertaubat. Ini pendapat yang paling kuat dan aku memilihnya.
  3. Tadbir tetap berlaku, baik ia hidup atau mati, karena ia tidak memiliki hartanya kecuali setelah kematian, dan pembebasan terjadi setelah kematian.

 

Pendapat Ar-Rabi’ tentang pendapat Asy-Syafi’i: 

Ada tiga pendapat, yang paling sahih adalah tadbir batal. 

 

— 

 

Tadbir untuk Anak Kecil yang Belum Baligh: 

Jika seseorang mentadbirkan budak yang belum baligh atau tidak berakal, lalu budak itu mati, tadbir dianggap sah menurut yang membolehkan wasiat karena ia dianggap wasiat. Walinya boleh menjual budak tersebut selama hidupnya. Jika budak sudah baligh tetapi lemah akalnya, tadbirnya tidak sah kecuali jika dilakukan saat ia sadar. 

 

— 

 

Tadbir untuk Budak Mukatab: 

– Jika seorang mukatab (budak yang sedang membayar pembebasan diri) ditadbirkan: 

  – Jika ia menyelesaikan pembayaran sebelum tuannya meninggal, ia merdeka sepenuhnya. 

  – Jika tuannya meninggal sebelum ia menyelesaikan pembayaran, ia merdeka karena tadbir, dan sisa pembayaran batal jika masuk dalam sepertiga harta warisan. Jika tidak cukup, ia merdeka sesuai proporsi sepertiga harta. 

  – Jika tuannya mentadbirkan sebelum meninggal, tuannya boleh menyatakan ketidakmampuan mukatab dan mengambil hartanya, tetapi perjanjian mukatab tidak batal karena tadbir justru menambah keuntungan bagi budak. 

 

Jika tuannya meninggal dan meninggalkan mukatab yang belum melunasi, mukatab tidak dijual untuk hutang tuannya, tetapi tetap membayar angsuran. Jika gagal, barulah ia dijual sebagai budak. 

 

— 

 

Kasus Budak yang Dimiliki Dua Orang: 

Jika satu pemilik mentadbirkan bagiannya, lalu pemilik lain membebaskan bagiannya (dan mampu membayar), ada dua pendapat: 

  1. Budak merdeka seluruhnya, tetapi pemilik kedua wajib membayar setengah nilai budak sebagai kompensasi. Ini pendapat yang aku pilih.
  2. Hanya bagian yang dibebaskan yang merdeka, sedangkan bagian tadbir tetap berlaku hingga pemiliknya memutuskan.

 

— 

 

Harta Budak yang Ditadbirkan: 

Budak yang ditadbirkan tidak boleh dijual kecuali untuk kebutuhan tertentu, berbeda dengan mukatab yang tidak bisa dijual oleh tuannya kecuali gagal memenuhi pembayaran. 

 

— 

 

Catatan: Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa fikih yang formal dan jelas.

 

Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:

 

Tentang Harta yang Diperoleh oleh Budak Mudabbar 

Imam Syafi’i (rahimahullah) berkata: 

“Apa pun yang diperoleh seorang budak mudabbar selama masa pengabdiannya, lalu ia merdeka setelah kematian tuannya, maka harta itu menjadi milik ahli waris tuannya. Sebab, budak mudabbar tidak memiliki apa pun kecuali yang ia peroleh setelah merdeka. Segala yang dimiliki oleh seorang budak pada dasarnya adalah milik tuannya. Demikian pula, tuannya berhak mengambil semua yang dimiliki budak sebelum mencabut status tadbir, baik kepemilikan itu berasal dari hasil usaha, hadiah, wasiat, ganti rugi kejahatan yang menimpanya, atau sebab lainnya. 

 

Jika budak mudabbar tetap dalam status tadbir hingga tuannya meninggal dan ia merdeka sementara ia memiliki harta yang diakuinya diperoleh sebelum kematian tuannya, maka harta itu menjadi warisan tuannya. Namun, jika ia mengatakan, ‘Aku memperolehnya setelah tuanku meninggal,’ maka perkataannya diterima selama disertai sumpah. Kewajiban ahli waris adalah membuktikan bahwa harta itu telah dimiliki sebelum kematian tuannya. Jika mereka bisa membuktikan seluruh atau sebagian harta tersebut, mereka berhak mengambil sesuai bukti. Jika tidak, maka harta yang ada di tangan budak itu menjadi miliknya, meskipun diperoleh sesaat setelah kematian tuannya. Sebab, banyak harta bisa diperoleh dalam waktu singkat, sedangkan sedikit harta bisa sulit diperoleh dalam waktu lama. Selama ada kemungkinan ia memiliki harta seperti itu, maka perkataannya diterima dengan sumpah.” 

 

Imam Syafi’i juga berkata: 

“Jika terjadi perselisihan antara budak mudabbar dan ahli waris tuannya tentang harta yang ada di tangannya, lalu budak itu membuktikan bahwa harta itu diperoleh setelah kematian tuannya, sementara ahli waris membuktikan bahwa harta itu diperoleh sebelum kematian tuannya, maka bukti budak mudabbar yang diterima. Kedua pihak setara dalam klaim dan bukti, tetapi jika harta sudah berada di tangannya, itu lebih menguatkan posisinya. 

 

Jika harta ada di tangannya dan ahli waris membuktikan bahwa harta itu pernah ada di tangannya saat tuannya masih hidup, sementara budak itu berkata, ‘Harta itu milik orang lain, dan aku memilikinya setelah tuanku meninggal,’ maka perkataannya diterima dengan sumpah, dan harta tidak boleh diambil darinya kecuali jika saksi menyatakan, ‘Harta itu memang milik tuannya.’ Jika terbukti demikian, harta itu diambil darinya. 

 

Hukum ini berlaku sama, baik budak mudabbar itu kecil atau dewasa, muslim atau kafir, perempuan atau laki-laki.” 

 

Tentang Anak Budak Mudabbar 

Imam Syafi’i (rahimahullah) berkata: 

“Jika seorang tuan mengizinkan budak mudabbar-nya untuk menikah, baik sebelum atau setelah tadbir, maka status anak yang dilahirkan mengikuti status ibunya. Jika ibunya merdeka, anak itu merdeka; jika ibunya budak, anak itu juga budak, sebagaimana hukum umum pada budak non-mudabbar.” 

 

Imam Syafi’i menambahkan: 

“Seorang budak, baik mudabbar maupun bukan, atau seseorang yang belum merdeka sepenuhnya, tidak boleh menikah tanpa izin tuannya. Ia juga tidak boleh mengawini budak perempuan (istitba’). Jika tuannya mengizinkannya untuk mengawini budak perempuan, maka pernikahan itu dianggap sah demi menghindari hukuman had (karena syubhat), dan anak yang lahir dinasabkan kepadanya. Namun, keduanya harus dipisahkan jika ketahuan. Jika tidak ketahuan hingga tuannya meninggal dan budak itu memiliki budak perempuan tersebut, maka anak yang lahir tidak menjadikan budak perempuan itu sebagai umm walad, karena hubungan itu adalah hubungan yang fasid (tidak sah), bukan hubungan kepemilikan yang sah. Seorang budak perempuan tidak menjadi umm walad kecuali jika anak dan hubungannya berasal dari pemilik yang merdeka sepenuhnya.” 

 

Tentang Anak Budak Perempuan Mudabbar dan Hubungan dengan Tuannya 

Imam Syafi’i (rahimahullah) berkata: 

“Seorang tuan boleh menggauli budak perempuan mudabbar-nya karena statusnya masih sebagai budak.” 

Diriwayatkan dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia pernah memerdekakan dua budak perempuannya secara tadbir, dan ia tetap menggauli mereka meskipun status mereka adalah mudabbar.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang men-dabbar (memerdekakan setelah kematiannya) seorang budak perempuan lalu budak itu melahirkan setelah di-dabbar selama sisa hidupnya dalam status di-dabbar, maka hukumnya sama. Pendapat tentang anak-anak itu sama dengan pendapatku tentang budak yang di-dabbar. Ini adalah salah satu mazhabku. Allah Ta’ala lebih mengetahui.

 

Adapun anak-anaknya, jika tuannya telah men-dabbar budak perempuan itu dan tidak menarik kembali keputusan dabbar-nya, maka budak itu tetap sebagai hamba sahaya yang status kemerdekaannya tertunda. Selama tuannya tidak menarik kembali dabbar-nya, maka anak-anak yang lahir tetap dalam kepemilikannya. Hukum mengenai anak dari setiap perempuan yang mengandung mengikuti status ibunya – jika ibunya merdeka maka anaknya merdeka, jika ibunya budak maka anaknya budak. Tidak ada status tertunda selain status budak. Anak dari budak yang di-dabbar mengikuti status ibunya – mereka merdeka jika ibunya merdeka dan tetap budak jika ibunya budak. Sebagian ulama berpendapat demikian.

 

Barangsiapa yang berpendapat seperti ini, seharusnya mengatakan: Jika tuannya menarik kembali keputusan terhadap anak-anaknya, maka anak-anak itu menjadi miliknya. Namun hal itu bukan berarti menarik kembali dabbar terhadap ibu mereka. Demikian pula jika dia menarik kembali dabbar terhadap ibunya, itu bukan berarti menarik kembali dabbar terhadap anak yang dilahirkan dalam status di-dabbar. Penarikan kembali berarti mengeluarkan mereka dari kepemilikannya.

 

Jika ada yang bertanya: Bagaimana mungkin dia bisa menarik kembali dabbar terhadap ibu tanpa berarti menarik kembali dabbar terhadap anaknya? Padahal status dabbar mereka terkait dengan status ibu mereka yang di-dabbar, sehingga kita memutuskan mereka seperti orang yang baru di-dabbar, bukan menganggap mereka sebagai bagian dari ibu mereka. Apa dalilnya? Dijawab: Tidakkah kamu melihat bahwa jika nilai mereka sama, lebih rendah, atau lebih tinggi dari nilai ibunya, lalu tuannya meninggal, maka mereka dinilai seperti ibunya dan tidak merdeka tanpa pembayaran sebagaimana ibunya tidak merdeka tanpa pembayaran? Jika kita memutuskan demikian, berarti kita menyamakan hukum mereka dengan hukum diri mereka sendiri. Jika hal itu terbukti, maka itu sudah cukup.

 

Jika kamu menjadikan hukum mereka mengikuti hukum ibu mereka, dan menetapkan pembayaran untuk ibu mereka tanpa memberi hak penarikan kembali terhadap anak-anaknya, dan menganggap bahwa jika dia menarik kembali terhadap ibu berarti juga menarik kembali terhadap anak-anaknya, serta menjadikan mereka sebagai budak jika ibu mereka meninggal sebelum tuannya, dan membatalkan status dabbar mereka jika ibu mereka tidak merdeka – maka ini tidak boleh bagi yang berpendapat demikian. Allah Ta’ala lebih mengetahui.

 

(Imam Syafi’i berkata): Baik anaknya laki-laki atau perempuan sama saja. Jika melahirkan anak laki-laki atau perempuan, maka anak-anak perempuan mengikuti status ibu mereka. Pendapat tentang penarikan kembali terhadap ibu dan anak-anaknya, atau tidak menarik kembali, atau menarik kembali terhadap ibu tanpa anak-anaknya, sama dengan pendapat tentang anak-anak perempuan dari budak yang di-dabbar itu sendiri. Anak-anak laki-laki mengikuti status ibu mereka – jika ibu mereka merdeka maka mereka merdeka, jika ibu mereka budak maka mereka budak bagi pemilik ibu mereka.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang men-dabbar budak perempuannya lalu budak itu melahirkan anak setelah di-dabbar, maka pendapat tentang ibu dan anak-anaknya seperti yang telah kujelaskan. Jika dia menarik kembali dabbar terhadap ibu, lalu ibu melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak penarikan kembali, maka menurut pendapat ini anak itu statusnya di-dabbar; karena sudah pasti bahwa status dabbar berlaku untuk keduanya. Jika melahirkan enam bulan atau lebih setelah penarikan kembali, maka anak itu adalah anak budak biasa tanpa status dabbar kecuali tuannya memberikan status dabbar baru.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang men-dabbar budak perempuannya, lalu berkata: “Dabbar-nya tetap tetapi aku menarik kembali dabbar untuk setiap anak yang dilahirkannya meski belum ada anak”, maka ini tidak berarti apa-apa; karena penarikan kembali hanya berlaku untuk sesuatu yang sudah ada status dabbar-nya. Adapun sesuatu yang belum dimiliki dan belum ada status dabbar-nya, atas apa dia menarik kembali? Tidak ada yang bisa ditarik kembali.

 

Jika budak yang di-dabbar melahirkan anak lalu tuannya dan budak itu berselisih, atau budak itu dan ahli waris tuannya setelah kematian tuannya berselisih – jika tuan atau ahli waris berkata: “Dia melahirkan sebelum di-dabbar” sementara budak itu berkata: “Dia melahirkan setelah di-dabbar”, maka perkataan tuan atau ahli waris yang diikuti; karena merekalah pemiliknya sementara budak itu mengklaim melepaskan hak milik mereka. Bagi yang menyatakan sesuatu harus disertai sumpah. Jika budak itu bisa mendatangkan bukti atas pernyataannya, maka bukti dari orang adil lebih utama daripada sumpah dari pendusta. Jika kedua belah pihak mendatangkan bukti, maka bukti tuan atau ahli waris lebih utama dan anak itu statusnya budak karena mereka pemiliknya yang sah.

 

Jika ada budak perempuan dimiliki dua orang lalu mereka men-dabbar-nya, kemudian budak itu melahirkan anak lalu salah seorang pemilik mengaku anak itu sebagai anaknya, maka dia harus membayar separuh nilai anak itu dan separuh nilai budak itu serta separuh uqiyah (denda) kepada rekannya jika rekannya menghendaki; karena keinginan rekannya untuk mengambil nilainya berarti menarik kembali dabbar-nya dan budak itu menjadi umm walad baginya. Jika anak yang diklaim itu lahir dalam keadaan meninggal, maka tidak ada nilai yang harus dibayar. Jika ada orang melakukan pelanggaran sehingga harus membayar diyat, maka diyat itu dibagi antara keduanya.

 

Pendapat kedua: Jika seseorang men-dabbar budaknya lalu budak itu melahirkan anak setelah di-dabbar, maka anak-anak itu statusnya budak. Karena budak itu hanya diwasiatkan untuk dimerdekakan untuk pemiliknya dengan kemungkinan penarikan kembali kemerdekaan atau dijual. Ini bukan kemerdekaan yang pasti. Ini adalah budak yang diwasiatkan dan wasiat itu bukan sesuatu yang mengikat, melainkan sesuatu yang bisa ditarik kembali oleh pemiliknya. Anak-anaknya statusnya budak. Beberapa ulama berpendapat demikian.

 

(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar Ibnu ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Abi Syu’tsa’ yang berkata: “Anak-anak budak yang di-dabbar statusnya budak.” Selain Abi Syu’tsa’, ada ulama lain yang berpendapat demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui.

 

(Imam Syafi’i berkata): Memerdekakan berbeda dengan men-dabbar menurut semua orang. Jika seseorang memerdekakan budak perempuan yang punya anak, maka anak-anaknya tidak otomatis merdeka dengan kemerdekaan ibunya, kecuali jika dia secara khusus memerdekakan mereka juga.

 

[Pembahasan tentang dabbar terhadap janin dalam kandungan]

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata: 

 

“Jika seseorang mengatur (mendandani) budak perempuannya yang sedang hamil, maka dia tidak boleh menjualnya kecuali jika ingin membatalkan pengaturan tersebut. Jika dia memerdekakannya, dia juga tidak boleh menjualnya. Kami berpendapat bahwa dia tidak boleh menjualnya karena tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika budak perempuan hamil dijual, dihibahkan, atau dimerdekakan, maka janin dalam kandungannya mengikutinya selama belum terpisah, seperti bagian dari tubuhnya yang menjadi miliknya dan merdeka ketika dia merdeka. Hukumnya seperti hukum bagian tubuhnya selama belum terpisah. Tidak boleh menjual budak yang hamil karena hukum janinnya seperti hukum dirinya. 

 

Jika orang yang mengatur anaknya (dalam kandungan) menjual ibunya yang sedang hamil, lalu dia berkata, ‘Aku ingin membatalkan pengaturan terhadap anak itu,’ maka penjualannya sah. Jika dia berkata, ‘Aku tidak bermaksud membatalkannya,’ maka penjualannya batal. 

 

Jika seseorang menjual budak perempuan dan mengecualikan janin dalam kandungannya, lalu budak itu melahirkan kurang dari enam bulan, maka anak itu statusnya sesuai pengaturan (jika diatur) atau merdeka (jika dimerdekakan). Jika dia melahirkan setelah enam bulan atau lebih sejak hari pengaturan atau pembebasan, maka anak itu tidak termasuk yang diatur atau dimerdekakan. 

 

Jika dia melahirkan dua anak, satu kurang dari enam bulan dan satu lagi lebih dari enam bulan, maka keduanya berasal dari kandungan yang sama dan hukumnya satu. Jika sebagian kurang dari enam bulan, maka dia merdeka atau diatur, dan semua yang bersama dalam kandungan itu statusnya sama. 

 

Jika seseorang mengatur atau memerdekakan janin dalam kandungan, lalu menjual budak itu dan budak itu melahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu merdeka atau diatur, dan penjualannya batal. Jika melahirkan setelah enam bulan, ada dua pendapat: 

 

  1. Karena penjualannya dilarang sampai jelas keadaan janin, maka penjualannya batal dalam segala kondisi karena saat itu dia dilarang menjual.
  2. Penjualannya sah.

 

Jika seseorang berkata kepada budak perempuannya, ‘Anakmu adalah anak yang diatur,’ ini tidak dianggap sebagai pengaturan kecuali jika dia bermaksud demikian.” 

 

Tentang Pengaturan Budak Sebagian Sebelum Sebagian Lainnya 

 

Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata: 

 

“Jika seseorang mengatur budak-budaknya dalam keadaan sehat, sebagian sebelum sebagian lain, lalu dalam keadaan sakit mengatur yang lain, dan berwasiat untuk memerdekakan yang lain setelah kematiannya, maka tidak ada yang didahulukan satu atas yang lain. Seperti jika dia berwasiat untuk seseorang dalam keadaan sehat dan untuk yang lain dalam keadaan sakit, wasiat yang lama tidak didahulukan atas yang baru karena wasiat itu diberikan kepada mereka dalam waktu yang sama. Mereka semua memiliki hak yang sama saat itu, karena wasiat berlaku pada hari itu. 

 

Jika mereka keluar dari sepertiga harta, mereka semua merdeka. Jika tidak, diadakan undian di antara mereka, dan yang keluar namanya dalam undian dimerdekakan sampai sepertiga harta mayit habis. Ini dianalogikan dengan orang-orang yang diundi oleh Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – ketika seorang yang sakit memerdekakan mereka, lalu Nabi memerdekakan sepertiga harta mayit dan dua pertiganya menjadi milik ahli waris.” 

 

Perbedaan Pendapat dalam Masalah Pengaturan

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Imam Syafi’i—semoga Allah meridhainya—berkata: 

 

“Sebagian orang menyelisihi kami dan berpendapat tentang mudabbir (budak yang dijadikan tadbir) dengan pendapat yang berbeda. Akan kusebutkan sebagiannya, insya Allah. Sebagian dari mereka yang menyelisihi kami berkata kepadaku: 

 

‘Berdasarkan apa engkau berpendapat bahwa mudabbir adalah wasiat yang bisa ditarik kembali oleh pemiliknya kapan saja ia kehendaki?’ 

 

Aku menjawab: ‘Berdasarkan sunnah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—yang Allah jadikan sebagai hujah bagi siapa pun yang mengetahuinya.’ 

 

Dia berkata: ‘Kalau begitu, tunjukkan hujahnya.’ Kami berkata: ‘Sebutkanlah.’ 

 

Dia berkata: ‘Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—dalam hadis kalian membeli (budak mudabbir) tanpa diminta oleh pemiliknya?’ 

 

Aku berkata: ‘Ilmu itu luas. Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—tidak pernah membeli sesuatu yang dimiliki seseorang kecuali jika itu wajib baginya atau diperintahkan.’ 

 

Dia bertanya: ‘Lalu dengan alasan apa beliau membelinya?’ 

 

Aku menjawab: ‘Yang ditunjukkan oleh akhir hadis adalah bahwa beliau menyerahkannya kembali kepada pemiliknya yang mentadbirnya. Pemilik itu mentadbirkannya sambil meyakini bahwa tidak boleh menjualnya saat mentadbir. Namun, ia ingin menarik kembali (tadbirnya), mungkin karena butuh atau tidak butuh. Lalu Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—menjualnya. Dalam tindakan jual beli itu terdapat petunjuk bahwa menjual mudabbir diperbolehkan kapan saja ia mau. Beliau juga memerintahkannya, jika ia butuh, agar memulai dengan dirinya sendiri (dengan menjual mudabbir) agar tidak membutuhkan orang lain.’ 

 

Dia berkata: ‘Bagaimana jika ada yang berkata bahwa kami meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali—semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—hanya membeli khidmah (pelayanan) mudabbir?’ 

 

Imam Syafi’i berkata: ‘Aku menjawab: Tidak ada seorang pun yang meriwayatkan hal itu dari Abu Ja’far sepengetahuanku dengan sanad yang sahih. Seandainya ada yang meriwayatkannya dengan sanad sahih, itu pun tidak bisa dijadikan hujah bagimu dari beberapa sisi.’ 

 

Dia bertanya: ‘Apa saja sisi-sisinya?’ 

 

Aku berkata: ‘Engkau tidak menerima hadis munqathi’ (terputus sanadnya) meskipun tidak ada yang menyelisihinya, apalagi jika hadis munqathi’ itu bertentangan dengan hadis maushul (bersambung sanadnya) yang sahih. Apakah ada yang menyelisihinya?’ 

 

Aku menjawab: ‘Ini bukan hadis, tetapi aku perlu menyebutkannya sebagaimana adanya.’ 

 

Dia berkata: ‘Seandainya sahih, boleh saja aku berkata bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—membeli budak mudabbir sebagaimana diriwayatkan Jabir, dan membeli khidmah mudabbir sebagaimana diriwayatkan Muhammad bin Ali.’ 

 

Imam Syafi’i berkata: ‘Jika engkau berkata bahwa itu bertentangan, maka aku katakan: Itu justru menunjukkan bahwa hadismu adalah hujah atas dirimu sendiri.’ 

 

Dia bertanya: ‘Bagaimana bisa?’ 

 

Aku menjawab: ‘Jika Muhammad bin Ali mengatakan tentang mudabbir yang diriwayatkan Jabir bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—hanya membeli khidmah-nya, bukan budaknya, sebagaimana klaimmu, maka orang yang mengatakan beliau membeli budaknya telah keliru karena membedakan antara khidmah dan budak. Dengan begitu, engkau telah menyelisihi hadis kami dan hadis Muhammad bin Ali.’ 

 

Dia bertanya: ‘Di mana letak penyelisihannya?’ 

 

Aku berkata: ‘Apakah engkau berpendapat bahwa menjual khidmah mudabbir itu boleh?’ 

 

Dia menjawab: ‘Tidak, karena mengandung gharar (ketidakjelasan).’ 

 

Aku berkata: ‘Maka engkau telah menyelisihi apa yang diriwayatkan dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam.’ 

 

Dia berkata: ‘Mungkin beliau membelinya dari dirinya sendiri (bukan dari pemiliknya).’ 

 

Aku menjawab: ‘Jabir menyebutkan bahwa beliau membelinya dengan harga 800 dirham dari Na’im an-Nahham. Jabir juga berkata: “Seorang budak Qibti bernama Ya’qub meninggal tahun lalu di masa pemerintahan Ibnu Zubair.” Bagaimana mungkin dikira beliau membelinya dari dirinya sendiri?’ 

 

Aku juga berkata kepadanya: ‘Abu Ja’far meriwayatkan bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—memutuskan dengan sumpah bersama saksi.’ Aku katakan: ‘Ini hadis mursal.’ Padahal, banyak orang yang meriwayatkannya bersamanya. Aku menolaknya, tetapi riwayatnya didukung oleh banyak orang dalam dua atau tiga hadis maushul yang sahih, dan tidak ada yang menyelisihinya dengan riwayat lain. 

 

Namun, engkau berusaha membenarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Ja’far, padahal Jabir telah menyelisihinya dengan riwayat dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh jauh perbedaan antara pendapat-pendapatmu! 

 

Aku juga berkata: ‘Pokok pendapatmu adalah bahwa seandainya tidak ada riwayat dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—tetapi sebagian sahabat Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—mengatakan sesuatu tanpa ada yang menyelisihinya, maka itu mengikatmu. Padahal, ‘Aisyah pernah menjual budak mudabbir miliknya. Mengapa engkau menyelisihinya sementara ada hadis Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—dan kalian sendiri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari istrinya, dari ‘Aisyah tentang jual beli? Kalian mengklaim bahwa qiyas berbeda dengan pendapatnya, tetapi engkau berkata: “Aku tidak menyelisihi ‘Aisyah.” Padahal, engkau menyelisihinya sementara ia bersama sunnah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—qiyas, dan akal sehat.’ 

 

Imam Syafi’i berkata: ‘Aku juga berkata: Engkau telah terkalahkan dengan apa yang kami sebutkan dari sunnah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—yang tidak ada alasan bagi siapa pun untuk meninggalkannya. Seandainya engkau tidak terkalahkan dengan apa yang kami sahihkan, engkau tetap terkalahkan dengan perkataan ‘Aisyah yang engkau klaim sebagai pendapatmu. Seandainya ‘Aisyah tidak punya pendapat dalam hal ini, engkau tetap terkalahkan dengan qiyas dan hujah lainnya.’ 

 

Dia bertanya: ‘Apa hujah lainnya itu?’ 

 

Aku berkata: ‘Tidak bisakah engkau berpendapat kecuali berdasarkan asal (dalil pokok) atau qiyas atas asal?’ 

 

Dia menjawab: ‘Tidak.’ 

 

Aku berkata: ‘Asal itu adalah Kitab, sunnah, perkataan sebagian sahabat Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—atau ijma’ umat.’ 

 

Dia berkata: ‘Tidak ada asal selain empat hal ini.’ 

 

Aku bertanya: ‘Apakah pendapatmu tentang mudabbir termasuk dalam salah satu dari empat ini?’ 

 

Dia menjawab: ‘Tidak.’ 

 

Aku berkata: ‘Apakah itu qiyas atas salah satunya?’ 

 

Dia berkata: ‘Tidak sepenuhnya qiyas.’ 

 

Aku bertanya: ‘Lalu qiyas atas apa?’ 

 

Dia menjawab: ‘Jika bagiannya sepertiga dan tuannya meninggal, ia merdeka.’ 

 

Aku berkata: ‘Ya, berdasarkan wasiatnya, seperti memerdekakan budak non-mudabbir.’ 

 

Dia berkata: ‘Itu pendapat kebanyakan fuqaha.’ 

 

Aku menjawab: ‘Sebaliknya, kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa ia dijual.’ 

 

Dia berkata: ‘Kami dan penduduk Madinah tidak berpendapat demikian.’ 

 

Aku berkata: ‘Jabir bin Abdullah, ‘Aisyah, Umar bin Abdul Aziz, Ibnul Munkadir, dan lainnya di Madinah menjual mudabbir. Demikian pula Atha’, Thawus, Mujahid, dan lainnya di Makkah. Di Irak juga ada yang berpendapat demikian. Pendapat mayoritas tabi’in adalah menjualnya. Bagaimana engkau mengklaim mayoritas sementara mayoritas ulama sebelumnya menyelisihimu? Lagi pula, tidak ada hujah bagi siapa pun yang bertentangan dengan sunnah. Engkau telah terkalahkan dengan semua yang kauklaim dan dengan perkataanmu sendiri.’ 

 

Dia bertanya: ‘Di mana letak perkataanku sendiri?’ 

 

Aku berkata: ‘Bagaimana pendapatmu jika mudabbir tidak merdeka karena melebihi sepertiga, lalu kauperintahkan untuk bekerja? Bagaimana jika ia merdeka secara tetap seperti ummul walad, apakah engkau tidak memerdekakannya sehingga ia bebas dari harta dan tidak perlu bekerja selamanya?’ 

 

Dia menjawab: ‘Aku melakukan ini karena ia wasiat.’ 

 

Aku bertanya: ‘Apakah wasiat tidak bisa ditarik kembali oleh pemiliknya?’ 

 

Dia berkata: ‘Tidak, kecuali mudabbir.’ 

 

Aku berkata: ‘Apakah boleh engkau membedakan antara wasiat, sehingga pemiliknya boleh menarik kembali sebagian wasiat dan tidak boleh pada sebagian lainnya tanpa alasan yang mengikat? Dengan demikian, boleh bagimu mengatakan bahwa pemberi wasiat boleh menarik kembali mudabbir tetapi tidak boleh menarik kembali budak yang diwasiatkan untuk dimerdekakan secara biasa.’ 

 

Dia berkata: ‘Orang-orang sepakat bahwa wasiat bisa ditarik kembali, tetapi mereka berbeda pendapat tentang wasiat mudabbir.’ 

 

Aku berkata: ‘Jika mereka sepakat…’

 

Namun, perhatikanlah bahwa tadbir adalah wasiat yang memungkinkan untuk ditarik kembali dalam semua wasiat lainnya. Bagaimana mungkin pendapat yang mengatakan tidak boleh menarik kembali bertentangan dengan pendapat yang membolehkannya? 

 

Ini menunjukkan bahwa orang yang berpendapat tidak boleh menarik kembali telah meninggalkan dasar pendapatnya bahwa tadbir adalah wasiat, karena ia membolehkan penarikan kembali dalam wasiat lainnya. 

 

Asy-Syafi’i berkata: Kemudian aku menyebutkan bahwa pengikut pendapat ini berkata, “Jika seseorang berkata kepada budaknya, ‘Jika aku mati, engkau merdeka,’ maka ia boleh menjual budak itu. Namun jika ia berkata, ‘Jika tahun ini tiba, engkau merdeka,’ maka ia boleh menarik kembali pernyataannya.” 

 

Aku bertanya, “Bagaimana menurutmu jika engkau berpendapat bahwa ia boleh menarik kembali dalam kasus ini, tetapi tidak boleh menarik kembali jika ia berkata, ‘Jika aku mati, engkau merdeka’?” 

 

Ia menjawab, “Tidak ada perbedaan dalam qiyas, dan qiyas mengharuskan bahwa ia boleh menarik kembali semuanya. Karena pada dasarnya, budak-budak ini adalah miliknya, dan ia mewasiatkan kemerdekaan mereka pada waktu yang belum tiba, sehingga kebebasan mereka belum pasti.” 

 

Kami berkata, “Inilah argumen yang membantah pendapatmu dalam masalah mudabbar.” 

 

Ia berkata, “Aku mengeluarkan mudabbar berdasarkan pendapat ulama sebelumnya, padahal qiyas mengharuskan bahwa ia boleh menarik kembali.” 

 

Kami berkata, “Siapa yang kau ikuti dalam hal ini? Jika engkau berkata bahwa pendapatmu didukung oleh Sa’id bin Al-Musayyib atau lainnya, sebutkanlah! Engkau telah menyelisihi qiyas menurut pengakuanmu sendiri, menyelisihi Sunnah dan atsar, sementara engkau berpegang pada pendapat Sa’id bin Al-Musayyib yang tidak diselisihi oleh siapa pun dan menganggap bahwa tidak ada hujjah bagimu dalam hal ini. Padahal, orang-orang yang kau jadikan argumen dari kalangan pengikut mazhab kami justru berselisih denganmu dalam masalah mudabbar. Mereka membolehkan penjualan mudabbar setelah kematian tuannya jika tuannya memiliki hutang dan tidak meninggalkan harta.” 

 

Ia berkata, “Mereka menjualnya pada saat ia seharusnya merdeka, tetapi melarang penjualan sebelum saat itu.” 

 

Aku berkata, “Mereka juga berkata, jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya mentadbirkan budak itu, maka mereka berdua harus membagi. Jika budak itu menjadi milik orang yang tidak mentadbirkan, maka tadbir menjadi batal.” 

 

Ia berkata, “Ini lebih aneh dari pendapat pertama, karena mereka membatalkan tadbir padahal sang tuan tidak bermaksud membatalkannya, dan mereka memaksa pemilik untuk membagi, padahal mereka tidak menginginkannya. Dua pendapat ini adalah yang paling jauh dari kebenaran.” 

 

Aku berkata, “Jika argumenmu adalah bahwa mereka sepakat denganmu dalam sebagian pendapatmu, sementara engkau sendiri mengakui bahwa dalam pendapat mereka ada hal yang engkau kritik, apakah engkau menganggap bahwa dirimu dan mereka adalah hujjah bagi siapa pun yang menyelisihimu?” 

 

Ia menjawab, “Tidak ada hujjah dari kami atas siapa pun.” 

 

Aku bertanya, “Bagaimana jika yang menyelisihimu tidak memiliki Sunnah maupun atsar?” 

 

Ia berkata, “Jika aku berkata bahwa hujjah itu ada pada Sunnah, maka hujjah itu bersama orang yang memiliki Sunnah.” 

 

Aku berkata, “Jika tidak ada Sunnah, apakah hujjah bersama orang yang memiliki atsar?” 

 

Ia menjawab, “Ya.” 

 

Aku berkata, “Keduanya ada pada kami.” 

 

Aku bertanya lagi, “Jika tidak ada atsar, apakah hujjah bersama orang yang memiliki qiyas?” 

 

Ia menjawab, “Ya.” 

 

Aku berkata, “Engkau dan lawanmu bersaksi bahwa Sunnah, atsar, dan qiyas ada pada kami. Lalu bagaimana engkau menyimpang dari semua ini?” 

 

Sebagian ulama mereka akhirnya kembali kepada pendapat kami dalam masalah mudabbar. 

 

Asy-Syafi’i berkata: Aku diberitahu bahwa Abu Yusuf berkata, “Sunnah, atsar, qiyas, dan akal sehat mendukung pendapat yang mengatakan bahwa mudabbar boleh dijual. Aku tidak melihat pendapat yang lebih kontradiktif daripada pendapat kami dalam hal ini, tetapi teman-teman kami memaksakannya.” 

 

Pendapat mayoritas darinya tidak berubah meskipun dengan penjelasan ini. Diriwayatkan kepadaku bahwa ia pernah membeli seorang mudabbar lalu menjualnya dan berkata, “Ini adalah Sunnah.” Wallahu a’lam. 

 

Asy-Syafi’i berkata: Seorang dari mereka berkata kepadaku, “Ulama hadis tidak ragu bahwa memasukkan Sufyan dalam hadits Amr dan Abu Az-Zubair—’Ia meninggal, lalu Nabi ﷺ menjual mudabbar-nya’—adalah kesalahan. Tetapi, mereka menghafalnya sebagaimana yang kau katakan, dari Amr bin Dinar dan Abu Az-Zubair dengan konteks yang menunjukkan bahwa tuannya masih hidup. Jika mereka tidak tahu bahwa ini adalah kesalahan, kita tidak akan pernah tahu mana yang salah dan mana yang benar.” 

 

“Tetapi, seandainya hadits itu sahih, tidak ada yang menyelisihi bahwa Nabi ﷺ menjual mudabbar setelah kematian tuannya. Maka, pendapat tentang hal ini hanya ada dua: Pertama, tadbir tidak sah jika tidak dijual untuk membayar hutang tuannya, karena setidaknya menurut kami dan menurutmu, jika tadbir diperbolehkan, maka ia merdeka dengan sepertiga harta jika tuannya tidak punya hutang. Ini lebih sesuai dengan zahir hadits. Kedua, jika masyarakat sepakat membolehkan tadbir, maka tidak mungkin mayoritas mereka tidak tahu Sunnah Nabi ﷺ, sehingga Nabi ﷺ tidak menjualnya. Dan jika ada bagian yang keluar dari sepertiga, meskipun tidak disebutkan dalam hadits…” 

 

Ia berkata, “Seandainya ini satu-satunya hujjah dalam masalah mudabbar dan hadits itu sahih, apakah kau punya argumen?” 

 

Aku menjawab, “Ya.” 

 

Ia bertanya, “Apa itu?” 

 

Aku berkata, “Jika Nabi ﷺ menjualnya setelah kematian, itu menunjukkan bahwa kemerdekaannya tidak sempurna, bahwa tadbir adalah wasiat, dan wasiat diambil dari sepertiga harta. Ini seperti pendapatmu tentang umm walad yang dimerdekakan tanpa harta.”

 

Dan penulis (budak yang membuat perjanjian pembebasan) tidak batal tulisannya dengan kematian tuannya. Ketika wasiat ini batal dan penjualannya diperbolehkan, aku berargumen bahwa penjualannya selama hidup diperbolehkan karena itu adalah wasiat dari pewasiat yang tidak bisa ditarik kembali, berbeda dengan wasiat biasa. Dan dia keluar dari makna orang yang ditetapkan kebebasannya, karena budak yang menulis (mukatab) tetap menjadi budak jika gagal membayar. Tulisan itu tidak batal sampai dia sendiri yang membatalkannya, sehingga batal karena kegagalan. Dan karena itu terkait dengan kebebasan, maka tidak batal sampai dia yang membatalkannya. Dan batal pula pengaturan (tadbir) budak mudabbar. Aku juga berargumen bahwa budak mudabbar adalah wasiat, meskipun kebebasannya kembali kepadanya, tetapi melalui wasiat, bukan makna kebebasan yang ditetapkan. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan pendapat lain mengatakan: Kesimpulannya, budak mudabbar tidak boleh dijual, karena jika pemilik budak mudabbar berutang dan hartanya disita, budak mudabbar tidak dijual untuk utangnya atau untuk kejahatan yang dia lakukan, karena dia tertahan sampai kematian tuannya yang akan membebaskannya. Jika tuannya meninggal dan memiliki utang, budak itu dijual untuk utangnya. Begitu pula jika budak itu melakukan kejahatan, dia tidak dijual untuk kejahatannya. Dia dicegah dari dijual selama tuannya masih hidup sebelum kebebasannya terjadi. Jika budak mudabbar meninggal sebelum tuannya, dia mati sebagai budak, karena kebebasannya hanya terjadi setelah kematian tuannya menurut pendapat ini. Ketika tuannya meninggal dan status perbudakannya berakhir, serta kebebasannya terjadi, dia dijual untuk kejahatannya sendiri atau utang tuannya. Jadi, dia dijual dalam keadaan pertama yang sebelumnya mencegah penjualannya. 

 

Dan kepada Allah-lah meminta pertolongan, dan kepada-Nya aku memohon taufik. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata: “Aku hanya menjualnya setelah kematian tuannya karena dia meninggal tanpa harta, dan dia adalah wasiat, sedangkan wasiat hanya dari sepertiga harta,” maka jawabannya: “Itulah argumen yang membantahmu, karena kamu menjadikannya seperti wasiat dalam hal memperbudaknya jika tidak keluar dari sepertiga, tetapi kamu menolak menjadikannya sebagai wasiat sehingga pemiliknya bisa menarik kembali, sebagaimana wasiat biasa. Jika kamu berkata: ‘Di dalamnya ada kebebasan, dan kebebasan tidak boleh dibatalkan,’ maka aku katakan: ‘Kamu telah membatalkannya ketika itu terjadi.’ Jika kamu berdalih dengan kebangkrutan tuannya, maka bisa saja dia bangkrut dan memiliki umm walad (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya), tetapi dia tidak boleh menariknya dan pembebasannya tetap berlaku. Bisa juga dia bangkrut dan memiliki mukatab dengan pembayaran bertahap, tetapi perjanjiannya tidak batal, dan dia tidak menjadi budak setelah kematian tuannya kecuali dengan alasan yang sama ketika hidup. 

 

Dan kamu telah mengatakan tentang umm walad Nasrani yang masuk Islam dan merdeka, meskipun tuannya belum meninggal, sehingga waktu kebebasannya terjadi ketika kemaluannya terlarang bagi tuannya. Dan kamu tidak memperhatikan isti’a’ (pembayaran bertahap) dengan utang.” 

 

Mereka (ulama lain) berkata: “Budak mudabbar tidak boleh dijual sama sekali.” Mereka berkata: “Dia merdeka dan harus bekerja untuk membayar nilainya.” Demikian pula pendapat mereka tentang umm walad Nasrani. Argumen mereka lebih konsisten dengan prinsip mazhab mereka daripada argumenmu dengan prinsip mazhabmu. 

 

Bagaimana pendapatmu jika seseorang yang bangkrut, budaknya dianggap seperti orang mati, sehingga hartanya dijual dan hutangnya dibayar? Mengapa budak mudabbar tidak dijual sebagaimana dijual setelah kematian, dan hutangnya dibayar setelah kematian? Jika ada yang berkata: “Bisa saja muncul harta,” maka aku katakan: “Mengapa kamu tidak menunggu utangnya sampai seratus tahun dan menjadikannya seperti keadaan kematian?” 

 

Jika kamu berkata: “Aku hanya menghukumi berdasarkan keadaannya saat itu, dan itu adalah hukum kematian,” maka demikian pula penjualan budak mudabbar karena kebangkrutan. Bisa saja setelah kematian muncul harta yang sebelumnya tidak diketahui. Aku tidak melihat alasan untuk tetap memperbudaknya setelah kematian, atau melarang penjualannya selama hidup karena kebangkrutan tuannya, berdasarkan hukum saat itu. Tidak ada perbedaan antara hukumnya dalam hidup dan mati. 

 

Dan dia (budak) tetap menjadi budak selama hidup tanpa kebangkrutan atau penarikan dari tuannya, karena tidak ada yang memerdekakan budak mudabbar atau lainnya. Karena yang memerdekakan selama hidup hanya melakukannya jika tuannya menarik kembali. 

 

Dan jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya melakukan tadbir (penetapan kebebasan setelah kematian), mereka harus berbagi. Jika yang men-tadbir memiliki seluruhnya, maka dia menjadi mudabbar sepenuhnya. Jika yang men-tadbir tidak membeli bagiannya, tadbir itu batal, kecuali jika pemilik bagian lain memberikannya dengan nilai setengah, sehingga mengikat dan budak itu menjadi mudabbar. 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan tidak boleh dalam pendapatnya—wallahu a’lam—budak mudabbar dijual selama tuannya hidup, kecuali jika dia menjadi mudabbar sepenuhnya dan yang men-tadbir menjamin setengah nilainya kepada mitranya. Karena tadbir menurutnya adalah pembebasan, sebagaimana jika dia memerdekakannya. Dan tidak boleh dalam pendapatnya bahwa tadbir dibatalkan, karena jika dia memberikan hak kepada tuannya untuk membatalkan tadbir, bagaimana dia memberikannya jika tidak membeli budak itu? Jika tadbir dibatalkan, dia telah memberikannya, tetapi dia menetapkannya di tempat yang bukan haknya. 

 

Dan dia menyebutkan “mereka berdua harus berbagi,” tetapi mereka tidak ingin berbagi, dan tidak satupun dari mereka mau. Aku tidak tahu makna “mereka berdua berbagi” dalam ilmu apa pun. 

 

Dan kepada Allah-lah meminta pertolongan. Pendapat dalam hal ini adalah pendapat yang melarang penjualannya seperti yang telah kujelaskan, bahwa dia adalah mudabbar sepenuhnya, dan pemiliknya harus membayar setengah nilainya. 

 

Demikianlah pendapat yang melarang penjualan budak mudabbar. Adapun kami (mazhab Syafi’i), jika kami memberikan hak kepada tuannya untuk membatalkan tadbir dan menjualnya, maka tadbir adalah wasiat. Dan jika setengah budak di-tadbir, setengahnya tetap budak untuk mitra, karena dia tidak memerdekakannya, sehingga dia harus menjamin setengah nilainya kepada mitra, dan setengahnya merdeka untuknya. 

 

[Al-Mukatab]

 

 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala meridhainya—dia berkata: Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (QS. An-Nur: 33). 

 

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Al-Harits bin Abdul Malik bin Juraij bahwa dia berkata kepada Atha’: “Apa yang dimaksud dengan kebaikan? Harta, amal shalih, atau semuanya?” Atha’ menjawab: “Kami tidak memahaminya kecuali harta.” Aku bertanya: “Jika dia tidak memiliki harta tetapi dia seorang yang jujur?” Atha’ berkata: “Aku tidak menganggap kebaikan kecuali harta.” Mujahid berkata tentang firman Allah “Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka” (QS. An-Nur: 33): “Harta, berdasarkan akhlak dan agamanya, apa pun itu.” 

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Kebaikan adalah kata yang maknanya diketahui dari konteks pembicaraan. Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.’ (QS. Al-Bayyinah: 7). Maka kami memahami bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk karena iman dan amal shalih, bukan karena harta. Allah Azza wa Jalla juga berfirman: ‘Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar Allah, padanya ada kebaikan untukmu.’ (QS. Al-Hajj: 36). Maka kami memahami bahwa kebaikan itu adalah manfaat pahala, bukan bahwa mereka memiliki harta pada unta-unta tersebut. 

 

Allah Azza wa Jalla juga berfirman: ‘Apabila salah seorang di antara kamu menghadapi kematian, jika dia meninggalkan harta…’ (QS. Al-Baqarah: 180). Maka kami memahami bahwa yang dimaksud adalah jika dia meninggalkan harta, karena harta adalah sesuatu yang ditinggalkan. Dan dalam firman-Nya: ‘Berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat.’ (QS. Al-Baqarah: 180). 

 

Ketika Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka’ (QS. An-Nur: 33), makna yang paling jelas berdasarkan petunjuk dari Al-Qur’an adalah kekuatan dalam mencari harta dan amanah. Sebab, bisa saja seseorang kuat dalam mencari harta tetapi tidak menunaikannya jika tidak amanah, atau amanah tetapi tidak kuat dalam mencari harta sehingga tidak bisa menunaikannya. 

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Menurutku—dan Allah Ta’ala lebih tahu—tidak ada makna lain dalam firman-Nya ‘Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka’ (QS. An-Nur: 33) kecuali ini. Tidaklah benar jika dikatakan bahwa yang dimaksud adalah ‘jika kamu mengetahui bahwa budakmu memiliki harta’, karena harta tidak selalu ada padanya. Tetapi yang dimaksud adalah kemampuan menghasilkan harta. Kedua, harta yang ada di tangan budak adalah milik tuannya, jadi bagaimana mungkin dia bisa membuat perjanjian dengan hartanya sendiri? Yang benar adalah dia membuat perjanjian dengan apa yang akan dihasilkan budak setelah perjanjian, karena pada saat itu harta yang dihasilkan budak digunakan untuk membayar perjanjian.” 

 

“Mungkin orang yang berpendapat bahwa kebaikan itu adalah harta berargumen bahwa budak menghasilkan harta untuk tuannya, sehingga dia bisa membayar harga dirinya sebagaimana dia menghasilkan harta sebelumnya. Budak laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dalam hal ini sama, baik mereka memiliki keahlian atau tidak, selama mereka memiliki kemampuan menghasilkan harta dan amanah. Tidak wajib bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan budaknya yang kuat dan amanah.” 

 

(Telah mengabarkan Ar-Rabi’): Asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala meridhainya—berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Al-Harits dari Ibnu Juraij, dia berkata: Aku bertanya kepada Atha’: “Apakah wajib bagiku jika aku mengetahui ada kebaikan padanya untuk membuat perjanjian?” Atha’ menjawab: “Aku tidak melihatnya kecuali wajib.” Amr bin Dinar juga mengatakan hal yang sama. Aku bertanya kepada Atha’: “Apakah engkau mendengarnya dari seseorang?” Dia menjawab: “Tidak.” 

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika budak itu kuat dalam mencari harta tetapi tidak amanah, atau amanah tetapi tidak kuat, maka tidak diragukan lagi—dan Allah Ta’ala lebih tahu—bahwa tuannya tidak wajib membuat perjanjian. Tetapi jika dia memiliki kedua sifat itu (kuat dan amanah), aku lebih suka jika tuannya membuat perjanjian. Aku sendiri—insya Allah—tidak akan menolak membuat perjanjian dengan budak yang memiliki kedua sifat itu, dan tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolaknya.” 

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Menurutku, hakim tidak boleh memaksa seseorang untuk membuat perjanjian dengan budaknya, karena ayat ini mengandung petunjuk dan kebolehan untuk membuat perjanjian yang mengubah status budak dari sebelumnya, bukan kewajiban. Sebagaimana dibolehkan berburu yang sebelumnya dilarang saat ihram, atau jual beli setelah shalat Jumat, bukan berarti mereka diwajibkan berburu atau berjual beli. Sejumlah ulama yang aku temui juga berpendapat seperti ini.” 

 

“Jika ada yang bertanya: ‘Apakah ada petunjuk lain selain yang kau jelaskan?’ Katakanlah: ‘Bagaimana pendapatmu jika dikatakan “buatlah perjanjian dengan mereka”, apakah boleh dikatakan bahwa itu wajib seperti kewajiban mut’ah (nikah sementara)? Padahal perjanjian itu dibatasi dengan syarat minimal yang disebut perjanjian, atau sampai batas tertentu yang diketahui.’ Jika dikatakan ‘tidak’, maka tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa jika seorang budak bernilai seribu, lalu tuannya berkata: ‘Aku buat perjanjian denganmu untuk tiga ratus dirham dalam tiga tahun,’ maka tuannya tidak wajib membuat perjanjian seperti itu. Jika ditanya: ‘Lalu berapa?’ Jika tuannya berkata: ‘Aku buat perjanjian denganmu untuk seribu,’ lalu budaknya menerima, apakah tuannya melanggar jika tidak membuat perjanjian? Jika dikatakan ‘ya’, maka apakah dia bisa dipaksa untuk membuat perjanjian sebesar nilai budaknya? Jawabannya: ‘Tidak, karena perjanjian itu adalah hutang, sedangkan nilai budak bukan hutang. Sekalipun dianggap hutang, itu hanya berlaku bagi orang yang memiliki tanggungan yang mengikat dalam segala kondisi, sedangkan budak tidak memiliki tanggungan yang mengikat.'” 

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Allah Azza wa Jalla memiliki hak atas hamba-hamba-Nya, dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa budak tidak bisa keluar dari kepemilikan tuannya kecuali dengan ketaatan. Bukankah ini menunjukkan bahwa tuannya wajib membuat perjanjian dengan budaknya? Begitu pula dengan mudabbar (budak yang akan merdeka setelah tuannya meninggal) dan umm walad (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya), karena keduanya tidak keluar dari kepemilikan. Budak laki-laki dan perempuan dalam hal ini sama, karena keduanya adalah harta milik.” 

 

“Jika seseorang menyewakan budaknya, lalu budak itu meminta dibuatkan perjanjian, hal itu tidak menjadi hak penyewa berdasarkan kontrak sewa. Sebab, budak itu terhalang dari mencari harta karena melayani penyewanya. Jika tuannya membuat perjanjian saat budak itu disewa, maka perjanjian itu batal. Jika penyewa membatalkan sewa, perjanjian tidak sah sampai tuannya memperbarui perjanjian dengan kerelaan budak.” 

 

“Dalam firman Allah Azza wa Jalla ‘Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka’ (QS. An-Nur: 33), terdapat petunjuk bahwa perjanjian hanya diperbolehkan bagi yang berakal, bukan yang tidak berakal. Maka perjanjian dengan anak kecil, orang gila, atau orang yang belum baligh tidak sah. Kami juga membatalkan perjanjian yang dibuat oleh wali bagi orang yang tidak memiliki hak atas hartanya, karena dia tidak mempertimbangkan manfaat perjanjian bagi dirinya, padahal itu adalah pembebasan, sedangkan dia tidak berhak memerdekakan dirinya.”

 

[

“Apakah dalam penulisan ada sesuatu yang engkau benci?”

(Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – menjawab):

“Jika seseorang ingin memerdekakan budaknya yang tidak kuat atau tidak amanah, atau budak perempuan yang tidak terampil, aku tidak membencinya karena ia melakukan kitabah (perjanjian pembebasan) secara sukarela. Hal itu diperbolehkan sebagaimana diperbolehkan bagi budak yang kuat dan amanah. Alasan kedua, karena harta yang diwajibkan Allah dalam zakat mungkin bisa digunakan untuk memerdekakan budak, sebab Allah telah menetapkan zakat untuk memerdekakan budak, termasuk mereka yang dalam perjanjian kitabah. Oleh karena itu, aku tidak membenci kitabah untuk budak perempuan yang tidak terampil, karena orang-orang bersemangat memberi sedekah sukarela untuk budak yang sedang dalam kitabah.”

 

Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Kitabah tidak berarti memaksa budak perempuan untuk mencari nafkah, karena mereka tidak memiliki kewajiban itu. Jika mereka berusaha mencari nafkah, itu bukan termasuk zakat atau sedekah sukarela orang lain untuk mereka sebagaimana dalam kitabah.”

 

Dia juga berkata: “Hakim harus mencegah seseorang menjual budaknya yang terampil jika budak itu tidak menyukainya. Namun, budak boleh disewakan, dan tuannya boleh menafkahinya jika mau. Aku tidak membenci seseorang menerima sedekah dari hasil kitabahnya, baik yang wajib maupun sunah. Sedekah wajib menjadi milik budak yang sedang dalam kitabah, sedangkan sedekah sunah adalah pemberian yang sah diterima.”

 

Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku tidak memakan sedekah,” tetapi beliau memakan sedekah yang diberikan kepada Barirah, seraya berkata: “Ini hadiah untuk kami dan sedekah baginya.” Demikian pula sedekah untuk budak dalam kitabah, itu menjadi hak tuannya seperti hak kreditur atas orang yang diberi sedekah.

 

Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Jika budak dalam kitabah membayar tuannya dengan harta halal, tuannya wajib menerimanya kecuali jika tahu itu dari sumber haram. Jika budak berkata: ‘Aku dapatkan dari yang halal,’ hakim harus memaksa tuannya menerima atau membebaskannya. Jika tuannya meminta budak bersumpah bahwa hartanya halal, hakim harus menyuruhnya bersumpah. Jika budak menolak, tuannya boleh menolak pembayaran dan menyuruhnya membayar dengan yang halal atau yang tidak jelas keharamannya. Jika budak menolak, tuannya boleh membatalkan kitabah.”

 

Dia menambahkan: “Tuan hanya boleh dipaksa menerima pembayaran sesuai perjanjian. Jika kitabah dengan dinar, tidak boleh dipaksa menerima dirham. Jika dengan barang, tidak boleh dipaksa menerima uang. Jika dengan kompensasi, tidak boleh dipaksa menerima nilainya. Namun, jika kitabah dengan dinar berkualitas dan budak membayar dengan emas seberat dinar berkualitas, tuannya boleh dipaksa menerimanya karena sama-sama bernilai baik. Jika kitabah dengan dinar cetakan tertentu dan budak membayar dengan cetakan lain, selama masih berlaku di negerinya, tuannya boleh dipaksa menerimanya. Hal serupa berlaku untuk kurma atau barang lainnya.”

 

[Tafsir firman Allah SWT: “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (QS. An-Nur: 33)]

 

Ar-Rabi’ meriwayatkan: “Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata: Diriwayatkan oleh perawi terpercaya dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa ia pernah membuat perjanjian kitabah dengan budaknya sebesar 35.000 dirham dan mengurangi 5.000 dirham – aku kira dari akhir pembayarannya.”

 

Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i berkata): “Ini, demi Allah Ta’ala, menurutku seperti firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan bagi wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan) mut’ah secara ma’ruf’ (QS. Al-Baqarah: 241). Maka wajib bagi tuan makatib untuk mengurangi sebagian dari perjanjian kitabahnya. Jika dia mengurangi sebagian, tidak wajib lebih dari itu. Jika dia meninggal sebelum mengurangi, maka wajib bagi ahli warisnya untuk melakukannya. Jika mereka masih kecil, hakim mengurangi sedikit dari kitabahnya sesuai yang pantas disebut sebagai ‘sesuatu’. Jika tuan makatib atau ahli warisnya memberi lebih, selama tindakan mereka sah, itu dianggap sedekah. Jika ada yang bertanya: ‘Mengapa Anda mewajibkan tuan makatib untuk mengurangi tetapi tidak mewajibkannya untuk membuat perjanjian kitabah?’ Jawabnya: Untuk menjelaskan perbedaannya. Sebab jika dia membuat perjanjian kitabah, hartanya terlarang kecuali yang dia berikan sebagai makatib. Sedangkan jika dia tetap budak, hartanya tidak terlarang dan statusnya tidak berubah. Apa yang dimiliki budak sebenarnya milik tuannya. Setelah kitabah, harta yang dimiliki budak adalah miliknya sendiri.”

 

(Dia juga berkata): “Jika makatib telah melunasi seluruh kitabahnya, tuan wajib mengembalikan sebagian darinya. Jika tuan meninggal, ahli warisnya yang wajib melakukannya. Jika ahli warisnya masih kecil, atau di bawah perwalian, atau mayit memiliki utang atau wasiat, maka makatib diberi prioritas terendah. Jika makatib melunasi kitabahnya, lalu tuannya meninggal dan berwasiat agar diberikan kepada makatib, tetapi tidak ada wali, hakim harus menunjuk wali yang disetujui makatib dan mewajibkannya untuk memberikan minimal yang pantas. Jika makatib dan tuannya meninggal setelah pelunasan, ahli waris wajib memenuhi hak makatib dari harta tuan. Jika tuan memiliki utang, ahli waris tidak boleh berbagi dengan pemegang utang kecuali dengan minimal yang pantas. Jika mereka rela memberi lebih dari harta mereka sendiri, makatib tidak boleh dipaksa dan tidak boleh diambil dari harta ayah mereka karena yang wajib hanya minimal. Jika mereka memberi minimal, mereka tidak bertanggung jawab karena tidak ada kewajiban lebih. Jika tuan makatib meninggal dan ahli waris memberi makatib lebih dari minimal, ahli waris lain boleh menariknya. Hal yang sama berlaku untuk pemegang utang dan wasiat karena itu adalah pemberian sukarela dari harta yang bukan miliknya semata. Demikian juga jika tuannya bangkrut. Namun, jika tuannya memberinya sesuatu tanpa bangkrut atau mengurangi kitabahnya, itu sah meskipun sedikit, bahkan kurang dari satu dirham. Jika dia membuat perjanjian kitabah dengan dinar dan memberinya sebutir emas atau kurang dari itu, itu sah. Jika perjanjiannya dengan dirham, juga sah. Jika tuannya ingin memberinya perak dari emas atau perak dari sesuatu yang menjadi dasar kitabah, budak tidak wajib menerima kecuali jika mau. Dia harus memberinya dari harta yang diambil darinya, karena firman Allah: ‘Dari harta yang Allah berikan kepadamu’ (QS. An-Nur: 33) menunjukkan pemberian dari harta itu sendiri. Jika dia memberinya dari harta lain, itu tidak memenuhi perintah. Tidakkah Anda lihat bahwa saya tidak mewajibkan siapa pun untuk memberi hak dari harta lain?”

 

(Dari bagian tentang kitabah yang melampaui batas): Ar-Rabi’ meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata: “Allah Azza wa Jalla berbicara tentang budak dengan kata kerja yang menunjukkan kepemilikan tetap dan tidak ada larangan. Ini hanya berlaku untuk orang merdeka yang dewasa dan tidak terlarang. Jika orang yang terlarang membuat perjanjian kitabah dengan budaknya, lalu larangan dicabut, kitabah itu batal kecuali diperbarui setelah pencabutan larangan. Perempuan merdeka yang dewasa dan cakap sama dengan laki-laki, tidak ada perbedaan. Jika dia membuat perjanjian kitabah sebelum larangan dicabut, lalu larangan dicabut dan budak melunasi seluruh kitabah, budak tidak merdeka kecuali kitabah diperbarui setelah pencabutan larangan, atau tuannya berkata setelah pencabutan: ‘Jika kamu melunasi sekian, kamu merdeka.’ Maka budak merdeka dengan perkataan ini tanpa melunasi seluruh kitabah, seperti jika tuannya berkata kepada budaknya: ‘Jika kamu masuk rumah, kamu merdeka.’ Lalu budak masuk rumah setelah pencabutan larangan, dia tidak merdeka sampai ada pernyataan baru atau pembebasan setelah pencabutan. Jika budak mengklaim bahwa tuannya membuat perjanjian kitabah, sementara tuannya berkata: ‘Aku membuat perjanjian kitabah tetapi aku terlarang,’ dan budak berkata: ‘Kamu membuat perjanjian kitabah dan tidak terlarang,’ maka perkataan budak yang diterima, dan tuan harus membuktikan. Jika tuan membuat perjanjian kitabah dengan budaknya saat tidak terlarang, lalu dia terlarang atau budaknya terlarang, kitabah tetap sah dan walinya wajib memenuhi kitabah. Jika budak melunasi, dia merdeka.”

 

(Dia juga berkata): “Jika seseorang membuat perjanjian kitabah dengan budaknya saat mabuk, sakit parah, atau gangguan pikiran yang dominan meski tidak sepenuhnya menguasainya, kitabah itu batal karena dalam kondisi seperti itu, jika dia membebaskan budak, pembebasan tidak sah. Jika dia sadar dan mengukuhkannya, kitabah tetap batal sampai diperbarui saat dia dalam kondisi yang sah untuk membebaskan atau menjual budak. Jika seseorang membuat perjanjian kitabah dengan budaknya saat tidak terlarang, lalu pikirannya terganggu, kitabah tetap sah asal akadnya sah. Jika tidak sah, tidak diakui meski dia sadar kembali.”

 

 

Berikut adalah terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:

 

[Penulisan Perjanjian oleh Anak Kecil]

 

Imam Syafi’i—semoga Allah meridhainya—berkata: Jika seorang anak kecil membuat perjanjian pembebasan dengan budaknya, perjanjian itu tidak sah tanpa izin ayahnya, qadhi, atau walinya. Demikian pula jika dia memerdekakan budaknya dengan imbalan harta yang diambil darinya, karena anak kecil tidak diperbolehkan memerdekakan budak. Jika anak kecil membuat perjanjian pembebasan sebelum baligh, lalu setelah baligh dia meneguhkan perjanjian itu, perjanjian tersebut tidak sah kecuali diperbarui setelah baligh dan dewasa.

 

[Kematian Tuan]

 

Ar-Rabi’ meriwayatkan: Imam Syafi’i—semoga Allah meridhainya—berkata: Jika seorang laki-laki membuat perjanjian pembebasan dengan budaknya, lalu tuannya meninggal, perjanjian itu tetap berlaku. Jika tuannya bangkrut, perjanjian itu juga tetap berlaku. Namun, jika seorang umm walad atau mudabbir membuat perjanjian pembebasan dengan budaknya, perjanjian itu tidak sah, meskipun seluruh pembayaran diserahkan, karena mereka tidak boleh dijual atau dimerdekakan. Jika seorang budak yang sudah memiliki perjanjian pembebasan membuat perjanjian lagi dengan budaknya, perjanjian itu tidak sah, meskipun pembayaran diterima, karena budak tersebut tidak boleh dimerdekakan dan tidak memiliki kewenangan. Hal ini berlaku baik dia bertindak untuk dirinya sendiri atau tidak. Demikian pula jika dia menerima pembayaran segera di awal perjanjian senilai dirinya berkali-kali, karena hasil usaha budak itu milik tuannya, dan tuannya tidak boleh mengeluarkan budak itu dari kepemilikannya dengan memerdekakan atau menghalangi dirinya dari hartanya.

 

[Perjanjian oleh Wali, Ayah, atau Pengampu]

 

Imam Syafi’i—semoga Allah meridhainya—berkata: Seorang ayah dari anak kecil, wali anak yatim, atau pengampu tidak boleh membuat perjanjian pembebasan dengan budaknya secara sah, karena perjanjian itu tidak mempertimbangkan kepentingan anak kecil maupun dewasa. Tidakkah kamu melihat bahwa jika budak yang memiliki perjanjian pembebasan memiliki harta atau kepercayaan dan usaha, maka dirinya, hartanya, dan usahanya tetap milik anak kecil atau pengampu? Jika dia tidak dapat dipercaya, maka yang perlu dilakukan adalah mencegah penjualan atau penyewaannya, menetapkan diyat atasnya, dan membuat perjanjian pembebasan dengan syarat-syarat yang mencegah manfaatnya. Bisa jadi dia tidak memenuhi kewajibannya. Jika ada yang berkata: “Dia mungkin akan jujur dan berusaha jika diberikan perjanjian,” jawabannya: Jika kejujurannya berupa pembayaran yang dia penuhi, maka itu untuk anak kecil atau pengampu, dan tidak menghalangi kepemilikan budak atau manfaatnya. Jika kejujurannya berupa usaha, maka upahnya harus diberikan. Jika akhlaknya buruk, dikatakan: “Dia mungkin akan melarikan diri jika tidak diberi perjanjian.” Jawabannya: Tidak ada jaminan bahwa jika diberi perjanjian, dia akan tetap tinggal hingga mendekati waktu pembayaran, lalu melarikan diri. Jadi, perjanjian pembebasan bukanlah solusi yang baik. Perjanjian ini hanya diperbolehkan bagi yang mengurus hartanya, karena jika dia memerdekakan budak, itu sah. Jika ayah anak kecil, wali anak yatim, atau pengampu membuat perjanjian pembebasan, perjanjian itu batal. Jika budak itu membayar atau dimerdekakan, budak itu tetap sah sebagai hamba. Apa yang dia bayarkan halal untuk tuannya. Jika dia diberi dari saham budak, pengampu boleh mengambilnya kembali dari yang menerimanya, karena itu bukan bagian dari budak. Jika dia menjualnya kepada orang asing dan menerima nilainya, atau lebih, atau menjualnya dengan harga yang wajar menurut pengampu untuk kemerdekaan atau lainnya, penjualan itu sah karena pengampu memiliki hak atas harta budak untuk pengampu, yang tidak dimiliki pengampu sebelumnya. Pengampu tidak memiliki hak atas perjanjian pembebasan yang tidak dimilikinya, karena kepemilikannya atas budak, harta, dan usahanya hanya berlaku untuk hal-hal baru. Demikian pula, wali anak kecil—baik ayah atau lainnya—tidak boleh memerdekakan budaknya dengan imbalan harta yang diberikan budak. Jika budak memberikan dan menerima harta, atau dimerdekakan karenanya, harta itu milik pengampu, dan kemerdekaan itu batal. Wali pengampu—siapa pun dia—tidak boleh menjual budak kepada seseorang dengan utang. Jika dia menjualnya dengan utang, penjualan itu batal. Jika pembeli memerdekakan budak, kemerdekaan itu ditolak. Dalam kemerdekaan ayah atau wali atas budak yang diampu dengan imbalan harta atau perjanjian pembebasan, wal

 

Dari kutipan yang ditulis oleh Al-Muzani dari Al-Rabi’, dia berkata (Imam Syafi’i—semoga Allah meridhainya—berkata): 

 

Tidak diperbolehkan seseorang membuat perjanjian pembebasan (mukatabah) dengan budaknya yang gila atau budak yang belum baligh. Sebab, Allah ‘Azza wa Jalla hanya mewajibkan kewajiban-kewajiban kepada orang yang sudah baligh dan tidak terganggu akalnya. Perjanjian mukatabah adalah kewajiban yang mengikat budak dan tuannya untuk memenuhi amanah dan janji. Namun, anak kecil atau orang yang tidak waras tidak termasuk yang dibebani kewajiban berdasarkan ucapannya, sebagaimana kesaksian dan pengakuannya tidak sah, baik dalam hak Allah maupun hak manusia. 

 

(Imam Syafi’i) berkata: Demikian juga, tidak sah jika orang tua dari orang gila atau anak kecil membuat perjanjian mukatabah atas nama mereka, baik sebagai pemilik atau pihak yang membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu untuk diri mereka sendiri. Sebab, seorang budak tidak boleh dibebani kewajiban kepada tuannya selain mukatabah yang diizinkan Allah sebagai jalan pembebasannya. Adapun membebankan kewajiban atas nama orang lain, itu tidak sah. 

 

Jika kedua orang tuanya merdeka dan membuat perjanjian untuk anak mereka dengan membayar sejumlah uang dan menjaminnya, lalu tuannya mensyaratkan bahwa mereka tetap menjadi budak sampai melunasi, maka perjanjian itu tidak sah. Jika mereka melunasi, mereka merdeka seperti budak yang merdeka melalui perjanjian yang sah. Namun, jika perjanjian itu rusak, tuan berhak mengambil nilai budak yang dimerdekakan dari mereka, dan mereka boleh menuntut kembali seperti dalam kasus perjanjian rusak. 

 

Kedua orang tua tidak berhak menuntut kembali apa yang mereka berikan kepada tuan untuk memerdekakan anaknya, sebagaimana jika mereka berkata, “Merdekakan budakmu dengan bayaran seratus,” lalu tuannya memerdekakannya, mereka tidak boleh meminta kembali uangnya. Jika mereka menjamin pembayaran untuk memerdekakan, tetapi tuannya tidak memerdekakan, mereka boleh menuntut kembali jaminannya. 

 

(Imam Syafi’i) berkata: Jika kedua orang tua ingin perjanjian ini sah, mereka harus membayar tunai atau berutang dengan tempo tertentu atau langsung. Jika mereka melakukannya, harta itu menjadi tanggungan mereka, dan anak mereka merdeka dengan kepemilikan orang tua. Demikian juga hukumnya untuk orang luar dalam semua masalah ini, kecuali jika orang luar yang membuat perjanjian, budak tidak merdeka sampai mereka membayar. 

 

Jika seseorang membuat perjanjian mukatabah untuk dirinya dan anak kecilnya, perjanjian itu batal. Demikian juga jika untuk dirinya dan anaknya yang gila atau anak dewasa yang tidak gila tetapi tidak hadir. Begitu pula jika seseorang membuat perjanjian untuk dirinya dan anak yang dilahirkan bukan dari budaknya, ini tidak sah. 

 

Jika seorang budak yang baligh dan sehat membuat perjanjian, lalu akalnya terganggu, tuannya tidak boleh membatalkan perjanjian sampai tiba waktu pembayarannya. Jika waktu itu tiba, tuannya tidak boleh membatalkannya, karena budak itu tidak bisa mengungkapkan keinginannya sampai hakim memutuskan. Hakim seharusnya tidak membatalkan perjanjian sampai menanyakan tentang hartanya. Jika ditemukan harta untuk membayar perjanjian, hakim akan menyuruh membayarnya dan memberinya nafkah dari kelebihannya. Jika tidak ditemukan harta untuk membayar atau saat waktu pembayaran tiba, hakim boleh membatalkan perjanjian. 

 

Jika setelah pembatalan, budak itu sadar dan menunjukkan hartanya, atau hakim menemukan hartanya sebelum dia sadar, pembatalan dibatalkan, dan perjanjian tetap berlaku selama harta itu ada sebelum pembatalan dan budak mengklaimnya. Jika hartanya didapat setelah pembatalan, itu menjadi milik tuannya, dan pembatalan tidak dibatalkan. 

 

Jika hakim menemukan harta untuk membayar perjanjian saat budak itu tidak waras dan membayarkannya, budak itu merdeka. Jika tidak ditemukan harta atau nafkah, dan tidak ada yang bersedia menafkahinya, hakim boleh membatalkan perjanjian dan mewajibkan tuan memberinya nafkah. Namun, tuan tidak wajib memberinya nafkah sampai hakim memutuskan pembatalan. 

 

Jika hartanya ditemukan sebelum pembatalan, pembatalan dibatalkan, dan tuan boleh menuntut nafkah yang telah dikeluarkan dari harta itu sambil melanjutkan perjanjian. 

 

(Imam Syafi’i) berkata: Ini penjelasan tentang pembatalan perjanjian. Jika budak yang membuat perjanjian menjadi tidak waras dan penguasa (sultan) membayarkan untuknya, perjanjian tetap berlaku karena itu adalah haknya. Jika seseorang membayarkan secara sukarela, hakim boleh menerimanya untuk budak itu sampai dia memiliki harta untuk membayar tuannya. Namun, tuan tidak wajib menerimanya kecuali jika sukarelawan itu berkata, “Aku memberikannya untukmu.” 

 

Jika tuan menolak menerima dan hakim tidak mengetahui hal itu lalu membatalkan perjanjian, kemudian hakim mengetahuinya, pembatalan dibatalkan, dan hakim mengambil pembayaran sukarela itu jika diberikan. Jika tidak diberikan, hakim tidak boleh memaksanya. 

 

### Perjanjian dengan Budak Nasrani 

(Al-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i—semoga Allah meridhainya—berkata: Jika seseorang membuat perjanjian mukatabah dengan budak Nasrani sesuai ketentuan yang diperbolehkan untuk budak Muslim, perjanjian itu sah. Jika mereka mengadukan kepada kami, kami akan menegakkannya.

 

Jika seorang tuan menulis perjanjian pembebasan budak (mukatabah) untuk budaknya, lalu budak tersebut memeluk Islam, maka perjanjian tetap berlaku kecuali jika tuan memilih untuk membatalkannya karena ketidakmampuan budak. Jika tuan memilih untuk membatalkannya karena ketidakmampuan, maka perjanjian batal. Hal yang sama berlaku jika budak tersebut adalah perempuan. Jika budak memilih untuk membatalkan karena ketidakmampuan, perjanjian batal. Jika tidak, perjanjian tetap berlaku. 

 

Jika tuan dan budak yang beragama Nasrani sama-sama memeluk Islam, maka perjanjian pembebasan tetap berlaku. Demikian pula jika keduanya memeluk Islam bersamaan. 

 

Jika seorang Nasrani membuat perjanjian pembebasan dengan budaknya yang juga Nasrani berdasarkan anggur, babi, atau sesuatu yang dihalalkan bagi mereka tetapi haram bagi Muslim, lalu tuan ingin membatalkan perjanjian sementara budak ingin meneguhkannya, atau sebaliknya, maka perjanjian tersebut kami batalkan. Kami membatalkannya selama budak belum menyerahkan anggur atau babi. Jika keduanya masih Nasrani dan budak telah menyerahkan anggur atau babi, lalu mereka mengadukan kepada kami atau salah satu datang, maka budak merdeka dan tidak ada tambahan dari salah satu pihak karena transaksi itu terjadi dalam status Nasrani yang menganggap anggur seperti barang halal. 

 

Jika perjanjian pembebasan dibuat dengan anggur saat masih Nasrani, lalu budak menyerahkan sebagian kecil, kemudian tuan dan budak memeluk Islam, maka kami batalkan perjanjian itu karena seorang Muslim tidak boleh mengambil anggur. Demikian pula jika budak memeluk Islam lalu tuan dan budak datang, kami batalkan perjanjian karena seorang Muslim tidak boleh menyerahkan anggur. Jika keduanya tidak memeluk Islam dan salah satu datang, kami tetap membatalkan perjanjian karena seorang Muslim tidak boleh menuntut anggur. 

 

Jika tuan dan budak memeluk Islam sementara masih tersisa satu ritl anggur yang harus diserahkan budak, lalu tuan menerima sisanya, maka budak merdeka dengan penerimaan terakhir itu, dan tuan berhak menuntut seluruh nilai budak sebagai hutang karena ia menerimanya tanpa hak kepemilikan jika ia yang Muslim. Jika budak yang Muslim, ia tidak boleh menerimanya, dan seorang Muslim tidak boleh menyerahkannya. 

 

Jika seorang Nasrani membeli budak Muslim atau memiliki budak Nasrani yang kemudian memeluk Islam, lalu membuat perjanjian pembebasan setelah keislaman budak dengan dinar, dirham, atau sesuatu yang halal bagi Muslim atau tidak halal, maka ada dua pendapat: 

  1. Perjanjian batal karena bukan cara yang sah untuk melepaskan kepemilikan. Jika mereka mengadukan kepada kami, kami kembalikan dan apa yang diambil Nasrani tetap menjadi miliknya karena ia mengambilnya dari budaknya. Jika tidak ada pengaduan hingga budak melunasi, ia merdeka, dan mereka saling menuntut sisa nilai budak. Jika yang diterima Nasrani kurang dari nilai budak, ia berhak menuntut sisanya. Jika yang dibayarkan budak melebihi nilai, budak berhak menuntut kelebihannya.
  2. Jika perjanjian dibuat dengan anggur, babi, atau sesuatu yang tidak bernilai dalam Islam setelah budak memeluk Islam, maka perjanjian rusak. Jika budak melunasinya, ia merdeka, dan Nasrani berhak menuntut nilai budak karena anggur yang diberikan tidak bernilai.

 

Jika perjanjian untuk budak perempuan Nasrani, aturannya sama dalam semua masalah selama belum disetubuhi. Jika disetubuhi tetapi tidak hamil, ia berhak mahar seperti biasanya. Jika hamil, perjanjian aslinya sah, dan ia boleh memilih antara membatalkan atau melanjutkan. Jika memilih melanjutkan, ia berhak mahar dan statusnya sebagai mukatabah selama tidak gagal. Jika memilih batal atau gagal, ia dijual sebelum melahirkan. Jika melahirkan, anaknya Muslim merdeka karena mengikuti status ibunya. 

 

Jika perjanjian berlanjut lalu Nasrani meninggal, budak perempuan merdeka dengan kematiannya, dan sisa pembayaran dihapus. Ia berhak waris, tetapi ahli waris Nasrani tidak mendapat apa-apa karena terhalang oleh status kebebasannya. Jika melahirkan lalu gagal, ia diberi nafkah dan dilarang disetubuhi. Jika Nasrani meninggal, ia merdeka dan bekerja sesuai kemampuannya, dan hasil kerjanya untuk dirinya. 

 

Pendapat kedua: Jika Nasrani membuat perjanjian pembebasan dengan budak Muslim menggunakan sesuatu yang halal, maka perjanjian sah. Jika budak gagal, ia dijual. Jika melunasi, ia merdeka, dan Nasrani berhak perwalian karena ia adalah pemilik yang memerdekakan. Jika perjanjian rusak, budak dijual sebelum melunasi. Jika melunasi, ia merdeka, dan Nasrani berhak perwalian. Mereka saling menuntut nilai budak sebagai hutang. 

 

Keterangan: Hukum terkait pelanggaran oleh budak Nasrani, pelanggaran terhadapnya, anaknya, dan anak mukatabahnya jika diajukan kepada kami sama dengan hukum pelanggaran oleh mukatab Muslim, pelanggaran terhadapnya, dan anaknya—tidak ada perbedaan dalam hukum.

 

Penulisan Al-Harib 

(Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata): 

 

“Jika seorang harbi (orang kafir yang memerangi umat Islam) membuat perjanjian mukatabah (pembebasan budak dengan pembayaran cicilan) dengan budaknya di negeri perang (darul harb), kemudian mereka keluar sebagai musta’min (orang yang diberi jaminan keamanan), maka perjanjian mukatabah itu tetap berlaku di antara mereka, kecuali jika sang tuan memaksa budaknya untuk tetap menjadi budak dan membatalkan perjanjian tersebut. Jika hal itu dilakukan, maka perjanjian mukatabah itu batal. 

 

Jika seorang Muslim membuat perjanjian mukatabah dengan budaknya di negeri perang, baik budak itu Muslim atau kafir, perjanjian itu tetap sah sebagaimana di negeri Islam. Jika seorang Muslim memaksa budaknya, maka perjanjian itu batal. Jika budak itu melunasi pembayarannya kepada tuannya yang Muslim, maka ia merdeka, baik ia Muslim atau kafir. Namun, jika tuannya yang Muslim kemudian menawannya, ia tidak boleh melakukannya, dan budak itu tetap merdeka karena perjanjian mukatabah adalah jaminan keamanan baginya jika ia kafir, dan pembebasan sempurna jika ia Muslim atau kafir. 

 

Jika budak itu kafir dan dimukatabah oleh seorang Muslim, kemudian ditawan oleh kaum Muslimin, ia tidak menjadi budak lagi karena ia memiliki jaminan keamanan dari seorang Muslim yang memerdekakannya. Namun, jika yang memerdekakannya adalah orang kafir (baik melalui mukatabah atau tanpa perjanjian), lalu ia ditawan oleh kaum Muslimin, maka ia menjadi budak karena tidak ada jaminan keamanan dari seorang Muslim baginya. Orang yang memerdekakannya sendiri bisa menawannya kembali jika berkuasa atasnya. 

 

Jika seorang harbi masuk ke negeri kita dengan jaminan keamanan, lalu memukatabahkan budaknya di hadapan kita (sedangkan budaknya kafir), kemudian ia ingin membawanya kembali ke negeri perang, lalu mereka meminta keputusan hukum kepada kita, maka kita melarangnya membawa budak itu keluar dan menunjuk seseorang untuk menerima pembayarannya. Jika budak itu melunasi pembayarannya, ia merdeka, dan walanya (hak perwalian) kembali kepada si harbi. 

 

Dikatakan kepada si harbi: ‘Jika engkau ingin menetap di negeri Islam, masuklah Islam atau bayarlah jizyah jika engkau termasuk orang yang wajib membayar jizyah. Jika tidak, kami biarkan engkau tinggal di negeri Islam karena engkau memiliki jaminan keamanan dan hartamu tidak dikenai jizyah.’ 

 

Jika seorang harbi memukatabahkan budaknya di negeri Islam atau negeri perang, kemudian mereka keluar dengan jaminan keamanan, lalu tuannya kembali ke negeri perang dan terbunuh atau meninggal, sementara mukatab itu masih memiliki kewajiban membayar, maka jika pembayaran itu diterima, diserahkan kepada ahli waris si harbi karena itu adalah hartanya yang memiliki jaminan keamanan. 

 

Jika tuannya tidak meninggal atau terbunuh, tetapi ia kembali ke negeri perang sementara mukatab itu berada di negeri Islam, maka mukatab itu tidak merdeka dan perjanjiannya tidak batal karena kepulangan tuannya. Jika tuannya meninggalkan mukatab itu, perjanjian tidak batal, dan mukatab itu tetap terikat dengan kewajiban pembayarannya. Jika ia melunasi, ia merdeka. 

 

Kemudian dilihat status tuannya yang memukatabahkannya: 

– Jika tuannya terbunuh saat kembali atau ditahan, atau ia ditebus, maka walanya kembali kepada tuannya yang memukatabahkannya. 

– Jika tuannya ditawan dan meninggal sebagai budak, maka walanya tidak ada, dan mukatab itu merdeka tanpa perwalian. Tidak boleh menjadikan perwalian untuk seorang budak. 

 

Jika tuannya memerdekakannya setelah ditawan, maka walanya kembali kepada tuannya karena ia telah memerdekakannya dan termasuk orang yang layak memiliki hak perwalian. 

 

Jika ada yang bertanya: ‘Bagaimana perwaliannya jika tuannya memerdekakannya setelah menjadi budak?’ 

Jawab: ‘Berdasarkan perjanjian mukatabah awalnya, sebagaimana perwalian mukatab diberikan kepada orang yang memukatabahkannya. Misalnya, jika tuannya meninggal, lalu mukatab itu merdeka beberapa tahun setelah kematian tuannya, maka walanya tetap untuk tuannya karena perjanjian mukatabah itu sah, meskipun almarhum tidak meninggalkan harta lain.’ 

 

Jika ada yang bertanya: ‘Mengapa perjanjian mukatabah tidak batal ketika tuannya ditawan?’ 

Jawab: ‘Karena perjanjian itu sah dan tidak dibatalkan oleh kejadian yang menimpa tuannya, sebagaimana perjanjian tidak batal karena kematian tuannya, kebangkrutannya, atau pembatasan hukum atasnya.’ 

 

Jika seorang harbi memukatabahkan budaknya di negeri Islam, lalu tuannya kembali ke negeri perang dan meninggalkannya, kemudian mukatab itu melunasi pembayarannya sementara si harbi menjadi budak atau telah meninggal sebagai budak, maka pembayaran itu diserahkan kepada baitul mal kaum Muslimin karena ia tidak lagi memiliki hak atas harta itu setelah statusnya sebagai tuan batal. 

 

Jika tuannya terbunuh, ditawan, atau ditebus sebelum ia menjadi budak, maka ia tidak menjadi budak dalam semua keadaan ini, dan hartanya dikembalikan kepada tuannya di negeri perang atau negeri Islam. Jika tuannya meninggal, harta itu diberikan kepada ahli warisnya. 

 

Jika tuannya ditawan, kemudian merdeka, maka ada dua pendapat: 

  1. Pembayaran mukatabah diserahkan kepadanya. Jika ia meninggal sebelum menerima, diberikan kepada ahli warisnya karena itu adalah harta yang tertahan untuknya.
  2. Jika ia sempat menjadi budak, maka pembayaran mukatabah diserahkan kepada baitul mal karena kaum Muslimin memiliki hak atas hartanya setelah ia menjadi budak.

 

Jika budak itu berada di negeri perang dan tuannya tidak memaksanya untuk tetap menjadi budak hingga mereka keluar dengan jaminan keamanan, maka perjanjian mukatabah tetap berlaku. Jika budak itu melunasi pembayarannya di negeri perang tanpa paksaan dari tuannya, lalu mereka keluar dengan jaminan keamanan, maka ia merdeka.”

 

Dan jika seorang musuh dan budaknya masuk ke wilayah kami dengan jaminan keamanan, lalu budaknya dibebaskan, kemudian musuh tersebut pergi ke negeri perang, lalu budaknya pergi mengikutinya atau bersamanya dan mengalami tekanan, maka perjanjian pembebasannya batal. Demikian juga jika budak itu menyerahkan diri kepada musuh, kemudian diperbudak, lalu keduanya masuk Islam bersama di negeri perang, budak itu tetap menjadi miliknya sebagaimana tekanan perang di negeri musuh, sehingga budak itu tetap menjadi miliknya. 

 

Jika musuh masuk ke wilayah kami dengan jaminan keamanan, lalu memerdekakan budaknya dengan perjanjian pembebasan, kemudian musuh itu pergi ke negeri perang, lalu kaum musyrik menyerang negeri Islam dan menawan budak milik musuh tersebut, kemudian kaum Muslimin menyelamatkannya, maka budak itu tetap menjadi hak milik musuh karena dia memiliki jaminan keamanan. Sebagaimana jika mereka menyerang seorang Nasrani dan memperbudaknya, lalu kaum Muslimin menyelamatkannya, maka dia bebas karena memiliki jaminan keamanan. Demikian juga jika mereka menyerang musuh di negeri Islam yang telah masuk dengan jaminan keamanan dan menawannya, lalu kaum Muslimin menyelamatkannya, maka dia tetap memiliki jaminan keamanannya. 

 

Jika budak yang dibebaskan dengan perjanjian (mukatab) milik musuh berada di tangan mereka hingga meninggal sebelum melunasi pembebasannya, maka musuh tersebut—baik di negeri Islam atau negeri perang—berhak menuntutnya. Jika dia tidak mampu melunasi, perjanjiannya batal. Jika masih mampu, perjanjian tetap berlaku. Ini semua berlaku jika perjanjiannya sah. Namun, jika perjanjiannya tidak sah karena syarat yang tidak dibenarkan atau perjanjian untuk hal haram seperti minuman keras atau babi dan sejenisnya, lalu dia berada di tangan kaum Muslimin dan tuannya membatalkannya, maka perjanjian itu rusak. 

 

[Pembebasan Budak oleh Murtad dari Pemilik atau yang Dimiliki] 

Imam Syafi’i—semoga Allah meridhainya—berkata: Jika seorang murtad dari Islam memerdekakan budaknya dengan perjanjian sebelum hartanya dibekukan oleh hakim, maka perjanjian itu sah. Demikian juga semua transaksi yang dia lakukan terhadap hartanya tetap sah sebagaimana sebelum kemurtadannya. Namun, jika hakim telah membekukan hartanya hingga dia mati atau dibunuh karena murtad, maka hartanya menjadi fa’i (harta rampasan untuk baitulmal). Atau jika dia bertaubat, hartanya kembali menjadi miliknya, tetapi perjanjian pembebasan yang dia lakukan tidak sah. 

 

Jika seorang murtad memerdekakan budaknya dengan perjanjian sebelum murtad, lalu dia murtad, maka perjanjian itu tetap berlaku. Beliau (Imam Syafi’i) berkata: Aku tidak membenarkan perjanjian pembebasan yang dilakukan oleh tuan yang murtad atau budak yang murtad dari Islam kecuali seperti yang dibenarkan bagi seorang Muslim. Keduanya tidak seperti orang Nasrani. 

 

Siapa pun yang belum pernah masuk Islam, maka hukumnya berdasarkan apa yang dihalalkan dalam agamanya, selama tidak diajukan ke pengadilan kami. Jika seorang tuan yang murtad menerima pembayaran dari budak mukatabnya—baik Muslim atau murtad—dengan perjanjian yang haram, maka budak itu merdeka, dan tuan harus mengembalikan nilainya. Demikian juga semua perjanjian tidak sah yang telah dibayar, budak itu merdeka, dan keduanya saling menuntut nilai seperti yang dijelaskan dalam perjanjian yang rusak. 

 

Jika seorang tuan berada di negeri perang dan hakim membekukan hartanya, lalu budak mukatabnya melunasi pembebasannya tetapi meninggal sebelum melunasi, maka hakim berhak mengembalikannya sebagai budak. Jika dia melunasi, dia merdeka, dan walinya adalah tuannya yang membuat perjanjian, meskipun tuannya murtad, karena dialah pemilik yang membuat perjanjian. 

 

Jika hakim menyatakan budak mukatab tidak mampu membayar, lalu tuannya datang dan bertaubat, maka ketidakmampuan itu tidak berlaku bagi budak mukatab kecuali jika tuan dan budak ingin memperbarui perjanjian. 

 

Jika hakim membekukan harta tuan yang murtad sehingga budak mukatabnya tidak bisa membayar apa pun dari hasil usahanya, lalu dia tetap membayar, maka pembayaran itu tidak sah, dan tuan mengambilnya secara tidak benar. 

 

Jika seorang laki-laki memerdekakan budaknya dengan perjanjian, lalu budak mukatab itu murtad di negeri Islam atau pergi ke negeri perang, maka perjanjian itu tetap berlaku, karena kemurtadan tidak membatalkannya. 

 

Demikian juga jika budak murtad terlebih dahulu, lalu tuannya—yang juga murtad—memerdekakannya dengan perjanjian, maka perjanjian itu sah, baik budak itu berada di negeri Islam atau pergi ke negeri perang. Jika dia melunasi, dia merdeka, dan walinya adalah tuannya. Jika dia meninggal sebelum melunasi—baik hadir atau tidak—dan tidak membayar, maka tuannya berhak menuntutnya sebagaimana terhadap budak mukatab yang tidak murtad. 

 

Jika dia dibunuh karena murtad atau meninggal sebelum melunasi, maka hartanya menjadi milik tuannya. Harta budak mukatab tidak menjadi fa’i meskipun dia pergi ke negeri perang, karena kepemilikannya belum sempurna. Kepemilikan budak mukatab dibekukan hingga dia merdeka atau meninggal, sehingga menjadi milik tuannya. Baik harta itu diperoleh di negeri perang atau negeri Islam, jika dia meninggal atau dibunuh sebagai mukatab, maka itu milik tuannya—Muslim yang memerdekakannya—bukan fa’i atau ghanimah. 

 

Jika budak mukatab murtad dan pergi ke negeri perang dengan membawa harta, lalu harta itu dibagi atau tidak, maka itu milik tuannya, termasuk semua hartanya. Demikian juga jika dia ditawan dan dijadikan tawanan, maka itu milik tuannya. 

 

Imam Syafi’i berkata: Jika dia melunasi dan merdeka sebagai murtad di negeri perang, lalu ditawan, maka dia dan hartanya adalah ghanimah, karena kepemilikannya atas hartanya telah berakhir. Namun, jika dia ditangkap sebagai mukatab atau merdeka, dia harus diminta bertaubat. Jika bertaubat, baik; jika tidak, dia dibunuh sebagai mukatab, dan hartanya milik tuannya. 

 

Jika sebelum dibunuh dia menawarkan untuk menyerahkan hartanya kepada tuannya sebagai ganti dirinya, maka tuannya boleh menerimanya, lalu dia dibebaskan dan dibunuh, dan hartanya menjadi fa’i. Jika dia tidak menyerahkan hingga dibunuh, maka semua hartanya milik tuannya, asalkan tuannya seorang Muslim.

 

Jika seorang tuan murtad dan budaknya yang Muslim melakukan kitabah (perjanjian pembebasan), lalu budak itu gagal membayar dan tuannya terbunuh atau meninggal dalam keadaan murtad, maka budak beserta hartanya menjadi fa’i (harta rampasan perang), karena itu adalah harta orang murtad. 

 

Jika budak itu berhasil membayar dan merdeka, maka harta yang telah dibayarkan menjadi milik orang murtad (fa’i), sedangkan sisa hartanya tetap menjadi milik budak yang merdeka melalui kitabah dan tidak boleh diambil. 

 

Jika seseorang mengadakan kitabah dengan budaknya, lalu budak itu murtad dari Islam, maka: 

– Apa yang telah diterima budak dari pembayaran kitabah sebelum dihentikan (dihijr) oleh penguasa, maka budak itu bebas dari kewajiban. 

– Apa yang diterima setelah dihijr, maka pemimpin (wali) berhak mengambilnya sesuai pembayaran bertahap (najm) dan tidak membebaskan budak itu. 

 

Jika tuannya masuk Islam dan mengakui telah menerima pembayaran, maka wali membebaskannya. Jika tuannya menerima pembayaran saat murtad, lalu wali menuntut pembayaran itu tetapi budak tidak memberikannya sehingga dianggap gagal, kemudian budak itu masuk Islam, maka kegagalan itu dihapus karena sebenarnya ia tidak gagal selama telah membayar kepada tuannya. Ini berbeda dengan kasus harta yang dihijr, karena penguasa menahan harta orang murtad demi kepentingan Muslimin jika mereka menguasainya. 

 

Jika budak itu meninggal sebelum bertaubat, tidak ada kerugian dalam menahan hartanya, karena hartanya tetap digunakan untuk nafkahnya, membayar utangnya, dan menebus kesalahannya. Ini bukti bahwa harta itu masih dalam kepemilikannya. 

 

Jika seorang budak murtad dari Islam dan tuannya mengadakan kitabah, maka kitabah itu sah. Jika mereka berada di darul harbi bersama budak lain yang juga dalam kitabah, maka bagian budak lain diambil dan ia merdeka sesuai pembayarannya, sementara bagian budak murtad tidak diambil. Demikian pula jika budak wanita murtad melakukan kitabah, lalu melahirkan dalam masa kitabah: jika ia gagal dan meninggal, anaknya tetap budak; jika ia merdeka, anaknya juga merdeka. 

 

Jika seorang budak dalam kitabah Muslim ditinggalkan, maka tuannya berhak atasnya, baik ia telah masuk dalam pembagian (qismah) atau belum. Jika seseorang membelinya di darul harbi dengan izin tuannya, ia bisa menuntut kembali uang pembeliannya kecuali jika harganya lebih tinggi. Jika dibeli tanpa izin, ia tidak bisa menuntut apa pun. 

 

Jika seorang budak dalam kitabah berada di darul harbi, lalu ia keluar sebagai Muslim sementara tuannya tetap musyrik, maka ia merdeka tanpa kewajiban kitabah. Demikian pula jika ia keluar sebagai Muslim dalam status makitab. Jika tuannya Muslim di darul harbi, ia tidak merdeka hanya dengan keluar, tetapi tetap dalam status kitabah. 

 

Jika tuannya keluar (masuk Islam) sesaat setelah budak itu, budak tidak kembali menjadi budak dan tidak ada kewaliban, karena ia tidak merdeka. 

 

Jika seorang Muslim mengadakan kitabah dengan budaknya yang Muslim, lalu budak itu murtad sebelum tuannya, atau tuannya murtad sebelum budak, atau keduanya murtad bersamaan, maka kitabah tetap berlaku. Jika budak membayar kepada tuannya sebelum hartanya dihentikan, ia merdeka, baik ia kembali masuk Islam atau tidak, selama ia membayar kepada tuannya. Demikian pula, baik tuannya kembali masuk Islam atau tidak, budak tetap merdeka dengan pembayaran. 

 

Jika budak datang kepada hakim dan berkata, “Ini pembayaran kitabahku, terimalah, karena tuanku telah murtad,” hakim tidak boleh langsung menerimanya sampai diperiksa. Jika tuannya benar murtad, hakim menerima pembayaran, memerdekakan budak, dan menahan harta itu. Jika tuannya kembali masuk Islam, kitabah dikembalikan kepadanya. Jika tidak bertaubat sampai mati atau dibunuh karena murtad, maka kitabah menjadi fa’i seperti harta lainnya. 

 

[Sebagian teks terpotong: “Jika seorang budak dimiliki setengah oleh seorang lelaki, lalu ia mengadakan kitabah, kemudian ia memiliki seluruhnya, maka ia boleh mengadakan kitabah untuk separuhnya.”]

 

Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata: “Jika seorang budak setengahnya merdeka dan setengahnya dimiliki oleh seseorang, lalu pemilik separuhnya melakukan mukatabah (perjanjian pembebasan dengan tebusan) atas separuh yang dimilikinya, maka mukatabah itu sah karena itu mencakup seluruh bagian yang ia miliki, sedangkan sisanya dimiliki oleh orang lain. Namun, jika seseorang memiliki separuh budak dan separuhnya sudah merdeka, lalu ia melakukan mukatabah atas seluruh budak tersebut, maka mukatabah itu batal karena serupa dengan menjual sesuatu yang tidak sepenuhnya ia miliki. Seandainya budak itu menunaikan tebusan dalam mukatabah yang fasid (tidak sah) ini, ia tetap merdeka, dan pemilik berhak mendapatkan kembali separuh nilainya seperti penjelasan dalam kasus mukatabah fasid. 

 

Jika pemilik hanya memiliki separuh budak lalu memukatabahkan dua pertiganya, maka mukatabah itu fasid karena ia memukatabahkan bagian yang tidak ia miliki. Tetapi jika ia memukatabahkan hanya bagian yang dimilikinya, sedangkan sisanya sudah merdeka, maka sah baik separuh, sepertiga, atau lebih. Namun, jika ia memukatabahkan kurang dari bagian yang dimilikinya, mukatabah itu batal, seperti seseorang yang memiliki separuh budak lalu memukatabahkan separuhnya. 

 

Jika separuh budak dimiliki oleh satu orang dan separuhnya lagi oleh orang lain—baik yang sudah dideder (dijanjikan merdeka setelah tuannya meninggal), dimerdekakan secara bertahap, dijadikan pelayan, atau tidak ada perubahan status—lalu salah satu pemilik melakukan mukatabah, maka itu tidak sah. Jika budak sepenuhnya dimiliki satu orang lalu ia memukatabahkan separuhnya atau sebagian, maka mukatabah itu tidak menyebabkan kemerdekaan sama sekali. Jika ia memerdekakan seluruh budak berdasarkan Sunnah, tidak boleh menjadikannya mukatab seluruhnya, tetapi hanya separuh yang dimilikinya. Karena budak itu tidak sepenuhnya dalam kepemilikannya, mukatabah separuhnya tetap berlaku. 

 

Sebab, jika budak dimukatabahkan seluruhnya, tuannya bisa menghalanginya dari hartanya dan pelayanannya. Namun, jika hanya separuh yang dimukatabahkan, tuannya tidak bisa menghalangi separuh lainnya. Jika pembagian pelayanan tidak seimbang, budak tidak bisa sepenuhnya bekerja. Hasil usahanya pada hari ia melayani tuannya tidak sah, sedangkan pada hari ia bebas bekerja, hasilnya sah. Jika ia ingin bepergian, ia tidak bisa karena tuannya menghalanginya pada hari wajib melayani. Oleh karena itu, mukatabah seperti ini batal. 

 

Jika kedua belah pihak mengajukan pembatalan sebelum tebusan lunas, maka mukatabah batal, dan apa yang sudah dibayarkan menjadi hak tuannya. Jika tidak diajukan pembatalan sampai tebusan lunas, budak merdeka seluruhnya, tetapi tuannya berhak menuntut separuh nilai budak karena separuh lainnya dibebaskan melalui mukatabah fasid. Ia tidak boleh menuntut lebih dari separuh karena separuh kedua merdeka secara otomatis akibat ikrar pembebasan separuh pertama melalui mukatabah. Ini seperti seseorang yang berkata kepada budaknya: ‘Separuh dirimu merdeka jika kau memberiku 100 dinar.’ Jika budak itu memberikannya, ia merdeka seluruhnya karena tuannya memang pemilik penuh. Jika tuannya memerdekakan sebagian, seluruhnya merdeka. 

 

Jika dalam kondisi seperti ini tuannya meninggal sebelum tebusan lunas, mukatabah batal. Jika ahli waris menerima tebusan, budak tidak merdeka karena mereka bukan pemilik yang mengikrarkan syarat pembebasan. Demikian pula semua mukatabah fasid: jika tuannya meninggal sebelum menerima tebusan, lalu ahli waris menerimanya, budak tidak merdeka, dan tebusan itu menjadi hak ahli waris. Ini seperti budak yang dikatakan tuannya: ‘Jika kau masuk rumah, kau merdeka.’ Jika budak tidak masuk sampai tuannya meninggal, lalu ia masuk setelahnya, ia tidak merdeka karena status kepemilikannya sudah berakhir. 

 

Jika seseorang memukatabahkan budaknya dengan syarat tidak sah, lalu menjualnya sebelum tebusan lunas, penjualan itu sah karena mukatabah batal. Begitu pula jika dihadiahkan, disedekahkan, atau dialihkan dengan cara apa pun. Jika disewakan, penyewaan sah. Jika budak melakukan pelanggaran (jinayah), ia diperlakukan seperti budak biasa: bisa ditebus sukarela atau dijual untuk menutupi denda. 

 

[Kasus] budak yang dimiliki dua orang, salah satunya memukatabahkan bagiannya…”

 

 

(Akhbaran Ar-Rabi’) berkata: (Asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala memberkahinya—berkata): 

 

Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, maka salah satu dari mereka tidak boleh membuat perjanjian pembebasan (mukatabah) dengan budak tersebut tanpa izin rekannya, baik diizinkan maupun tidak. Sebab, jika tidak diizinkan, maka syarat yang diberikan tuan kepada budaknya untuk membayar separuh dengan lima puluh dinar agar merdeka sepenuhnya tidak sah. Budak itu tidak boleh mengambil lima puluh dinar kecuali jika rekannya juga memberikan jumlah yang sama, sehingga perjanjiannya menjadi lima puluh dinar dan budak itu hanya merdeka dengan seratus dinar. Jika dia mengambil lima puluh dinar, maka rekannya berhak atas separuhnya, dan budak itu tidak merdeka dengan dua puluh lima dinar, melainkan harus lima puluh dinar. Tidak sah membebaskan budak dengan lima puluh dinar jika belum diserahkan kepada tuannya yang membuat perjanjian. 

 

(Dia berkata): 

 

Jika diizinkan untuk membuat perjanjian, maka hukumnya sama seperti jika tidak diizinkan sebelumnya, karena keinginannya untuk membuat perjanjian atas separuh bagiannya tidak menghilangkan kepemilikannya atas separuh itu. Jika kepemilikannya tidak hilang, maka pihak yang membuat perjanjian tidak boleh menerima pembayaran apa pun kecuali separuhnya. 

 

Jika salah satu tuannya berkata, “Bayarlah sesuai keinginanmu, dan aku tidak menuntut apa pun,” dia boleh menarik kembali ucapannya karena dia memberikan sesuatu yang bukan haknya dari hasil usaha budak tersebut. Jika budak itu menghasilkan uang dan memberikannya saat itu dengan sepengetahuan dan izin rekannya, serta diketahui jumlahnya, maka itu diperbolehkan. Namun, dia boleh menarik kembali sebelum rekannya menerimanya. Adapun sebelum budak itu menghasilkan uang atau sebelum rekannya mengetahuinya dan menyetujuinya, maka tidak sah. 

 

Tidak boleh membuat perjanjian kecuali jika diizinkan untuk membuat perjanjian atas seluruh budak, sehingga rekannya menjadi wakil dalam perjanjian tersebut. Maka, dibuatlah satu perjanjian yang berlaku untuk keduanya dengan pembagian separuh. 

 

Jika seseorang membuat perjanjian dengan budak tanpa izin rekannya dengan syarat lima puluh dinar, lalu budak itu membayarnya, maka rekannya berhak atas separuhnya, dan budak itu tidak merdeka. Namun, jika budak itu membayar kepada tuannya yang membuat perjanjian dan juga membayar kepada tuannya yang tidak membuat perjanjian dengan jumlah yang sama, maka dia merdeka, karena telah menyerahkan lima puluh dinar yang sah. 

 

Tuannya yang membuat perjanjian dapat menuntut kembali nilai separuh budak karena pembebasan itu dilakukan dengan perjanjian yang tidak sah. Jika nilai separuhnya kurang dari lima puluh dinar, budak itu harus menanggung kekurangannya. Jika lebih, tuannya harus mengembalikan kelebihannya. 

 

Jika rekannya yang tidak membuat perjanjian ingin mencegah pembebasan dengan mengatakan, “Aku tidak menerima lima puluh dinar,” maka itu tidak boleh, karena budak itu telah membayar jumlah yang sama kepada kedua tuannya. Jika tuannya mampu, dia harus menanggung separuh nilai budak kepada rekannya, dan budak itu merdeka sepenuhnya karena dia telah membebaskan bagian yang dimilikinya, sedangkan bagian lainnya masih milik bersama. 

 

(Asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala memberkahinya—berkata): 

 

Jika tuannya tidak mampu, maka hanya bagiannya yang merdeka, sedangkan kepemilikan rekannya tetap seperti sebelum perjanjian. Jika rekannya ikut membebaskan bagiannya, maka status pembebasan ditangguhkan. Jika tuan pertama mampu dan membayar nilainya, maka budak itu merdeka sepenuhnya, dan dia berhak atas perwaliannya. Jika tidak mampu, maka hanya bagian yang dibebaskan oleh rekannya yang merdeka, dan perwaliannya dibagi antara mereka. 

 

Hal yang sama berlaku jika budak itu dimiliki oleh tiga, empat, atau lebih banyak orang. 

 

Jika budak dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya membuat perjanjian dengan izin rekannya atau tanpa izin, kemudian yang lain juga membuat perjanjian, maka seluruh perjanjian itu tidak sah karena akad pertama sudah tidak sah, begitu pula akad kedua. Tidak boleh membuat perjanjian untuk budak yang dimiliki dua orang kecuali keduanya sepakat membuat satu akad bersama sebagai mitra yang setara, tanpa salah satu pihak memiliki hak lebih dalam perjanjian. 

 

[Budak yang Dimiliki Dua Orang dan Keduanya Membuat Perjanjian Bersama] 

 

(Akhbaran Ar-Rabi’) berkata: 

 

Akhbaran Asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala memberkahinya—berkata: Akhbaran Abdullah bin Al-Harits meriwayatkan dari Ibnu Juraij, yang berkata: Aku bertanya kepada ‘Atha’ tentang seorang budak mukatab yang dimiliki beberapa orang dan ingin membayar tebusan kepada sebagian dari mereka. Dia menjawab: “Tidak boleh kecuali dia memiliki harta senilai tebusan yang dia bayarkan kepada mereka.” 

 

(Asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala memberkahinya—berkata): 

 

Kami berpendapat demikian. Tidak boleh salah satu mitra dalam perjanjian mengambil pembayaran dari budak mukatab tanpa sepengetahuan rekannya. Jika dia mengambil, maka dia harus menanggung bagian rekannya. Rekannya berhak memilih untuk mengejar budak mukatab atau mengejar pihak yang menerima pembayaran. Budak mukatab tidak bebas sampai setiap pemegang hak menerima seluruh bagiannya dalam perjanjian.

 

Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang dan mereka bersama-sama membuat perjanjian pembebasan (mukatabah) dengan satu akad, maka perjanjian itu sah. Tidak boleh salah satu dari mereka mengambil bagian tanpa yang lain. Jika salah satu mengambil tanpa yang lain, ia wajib menanggung hingga menyerahkan kepada rekannya. Jika salah satu menyerahkan seluruh bagiannya tanpa rekannya, budak itu tidak merdeka karena tidak diserahkan secara sah hingga rekannya menerima bagian yang sama atau pemilik yang lain membebaskannya dari kewajiban yang sama. Jika hal itu dilakukan, budak itu merdeka. 

 

Jika salah satu pemilik mengizinkan rekannya untuk menerima pembayaran dari budak tanpa dirinya, lalu rekannya menerima seluruh bagiannya, ada dua pendapat: 

  1. Budak tidak merdeka karena rekannya dapat menuntut kembali apa yang telah diambil, dan izin untuk menerima sesuatu yang belum ada di tangan pemilik tidak sah, sehingga ia berhak menuntut kembali.
  2. Budak merdeka, tetapi pemilik yang tidak menerima berhak menuntut ganti rugi.

 

Jika budak yang dimiliki dua orang gagal membayar sebagian kewajibannya, dan salah satu pemilik ingin memberinya tenggat waktu sementara yang lain ingin memaksakan kegagalan, maka budak itu dianggap gagal, dan seluruh perjanjian batal. Tidak ada hak bagi salah satu untuk meneguhkan perjanjian atau bagi yang lain untuk membatalkannya karena kegagalan, sebagaimana tidak boleh membuat perjanjian untuk sebagian budak tanpa melibatkan pemilik lainnya. 

 

Jika dua orang memiliki budak dan membuat perjanjian pembebasan dengan pembayaran berbeda—sebagian lebih cepat atau lebih besar dari yang lain—perjanjian itu tidak sah. Jika hal ini diizinkan, berarti satu pihak boleh membuat perjanjian tanpa yang lain, padahal hak mereka dalam hasil budak sama. Jika salah satu tidak menerima bagian yang sama, perjanjian tidak sah. Jika pembayaran dilakukan secara tidak adil dan budak merdeka, masing-masing pemilik berhak menuntut setengah nilai budak dan mengembalikan kelebihan jika ada. Mereka juga berhak saling menuntut kelebihan yang diterima dari budak tanpa melibatkan pemilik lain. 

 

Jika dua orang memiliki budak, dan satu mengatakan perjanjian dibuat dengan pembayaran seribu, sementara yang lain mengatakan dua ribu, dan budak mengaku seribu, maka perjanjian dibatalkan karena ketidaksesuaian klaim. Jika budak membenarkan klaim pemilik yang mengatakan dua ribu, perjanjian batal karena perbedaan. Jika budak mengatakan perjanjian dibuat bersama untuk dua ribu dan pemilik yang mengklaim seribu membenarkannya, perjanjian tetap sah. Tetapi jika pemilik yang mengklaim seribu bersikeras dan pemilik yang mengklaim dua ribu bersumpah, perjanjian batal. 

 

Jika dua orang membuat perjanjian pembebasan dengan pembayaran seribu, dan budak mengaku telah membayar kepada salah satu pemilik, budak tidak merdeka hingga pemilik yang belum menerima mendapatkan bagian lima ratus dari rekannya atau dibebaskan darinya. Jika ia menerima atau dibebaskan, budak merdeka. Sebab, pemilik yang menerima seribu hanya berhak lima ratus untuk dirinya, sementara lima ratus lainnya harus diserahkan kepada rekannya. Ia bertindak sebagai perantara bagi budak, dan budak hanya bebas jika kewajibannya terpenuhi. 

 

Jika dua orang membuat perjanjian dengan pembayaran seribu, dan budak mengaku telah membayar kepada keduanya, sementara satu mengakui seluruh pembayaran dan yang lain menyangkal, maka pemilik yang menyangkal harus bersumpah. Jika ia bersumpah, bagian yang diakui merdeka, dan pemilik yang mengakui berhak menuntut rekannya untuk setengah dari lima ratus. Ia tidak berhak menuntut budak karena mengakui bahwa budak telah memenuhi kewajibannya kepada pemilik lain, dan pemilik itu mengambilnya secara zalim. Bagian yang tersisa tidak membuat budak merdeka hingga dibayarkan. Jika budak membayar sisa itu, ia merdeka. Jika gagal, separuhnya kembali sebagai budak, dan separuh lainnya tetap milik pemiliknya. Jika kemudian pemilik itu membuat perjanjian pembebasan dan budak gagal, berlaku ketentuan yang sama.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Seandainya seorang mukatab (budak yang membuat perjanjian pembebasan) dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya mengakui bahwa si mukatab telah membayar bagian mereka sehingga dia merdeka, sedangkan rekannya mengingkari, maka rekannya harus bersumpah dan menuntut orang yang mengakui untuk mengambil separuh dari apa yang ada di tangannya. Si penerima (yang mengakui) membayar sisa kitabah seperti yang dijelaskan dalam masalah sebelumnya. Jika si mukatab mengingkari telah memberikan sesuatu kepada yang mengingkari, maka tidak ada sumpah, dan si pengingkar menuntut orang yang mengakui untuk mengambil separuh dari apa yang diakui telah diterimanya. Dan jika si mukatab mengaku telah membayar semuanya kepada salah satunya, sedangkan tergugat (yang lain) berkata: ‘Tidak, dia membayar kepada kami berdua,’ maka tergugat harus bersumpah dan rekannya bergabung dalam apa yang diambil. Dan engkau (hakim) meminta sumpah orang yang dibebaskan oleh mukatab untuk rekannya, bukan untuk si mukatab. Jika dia bersumpah, maka dia bebas.”

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Jika seorang mukatab dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya memberi izin kepada rekannya untuk mengambil bagiannya darinya, kemudian si mukatab gagal (membayar) atau meninggal, maka sama saja. Mereka berdua mendapatkan separuh dari harta yang ada di tangan si mukatab jika yang diizinkan belum menerima seluruh haknya dari kitabah.”

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Jika yang diizinkan telah menerima seluruh haknya dari kitabah, maka ada dua pendapat. Pertama, apa yang dia terima sah, dan rekannya tidak bisa menuntut bagiannya. Maka bagian rekannya menjadi merdeka, dan dia bertanggung jawab (membayar) jika mampu. Jika tidak mampu, maka bagiannya merdeka. Jika si mukatab gagal, maka semua yang ada di tangannya menjadi milik orang yang masih memiliki hak perbudakan atasnya. Hal ini karena dia mengambilnya berdasarkan sisa kitabah. Jika cukup untuk memerdekakan, maka merdekalah. Jika tidak cukup, dia mengambilnya berdasarkan sisa kitabah dan kegagalan membayar sisanya. Jika si mukatab meninggal, maka hartanya dibagi dua. Pemiliknya mewarisi sesuai dengan bagian perbudakan yang tersisa, dan ini mengambil bagiannya sesuai dengan sisa perbudakan.”

 

“Pendapat kedua: tidak merdeka, dan rekannya bisa menuntut untuk bergabung dalam apa yang diizinkan kepadanya, padahal dia tidak memilikinya. Maka yang mengambil adalah orang yang memiliki hak atas orang merdeka. Izin atau tidak izin untuk menerima adalah sama. Jika dia menerimanya, lalu memberikannya, maka itu adalah hibah yang sah jika telah diterima.”

 

[Perkara yang Sah dalam Kitabah] 

Ar-Rabi’ bin Sulaiman meriwayatkan: (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Allah ‘azza wa jalla mengizinkan kitabah, dan izin-Nya mencakup semua yang sah. Karena kitabah berbeda dengan status perbudakan dalam hal tuannya tidak boleh mengambil harta mukatabnya, dan mukatabnya merdeka dengan memenuhi syarat yang ditetapkan tuannya jika dia membayarnya, maka jelas bahwa kitabah tidak sah kecuali seperti yang sah dalam jual beli dan sewa-menyewa. Yaitu harus dengan harga yang diketahui, hingga waktu yang diketahui, dengan pekerjaan yang diketahui, dan jangka waktu yang diketahui. Apa yang sah antara dua orang merdeka Muslim dalam sewa dan jual beli, maka sah pula antara mukatab dan tuannya. Dan apa yang ditolak antara dua orang merdeka Muslim dalam jual beli dan sewa, maka ditolak pula antara mukatab dan tuannya dalam kepemilikan kitabah, tanpa perbedaan.”

 

“Oleh karena itu, boleh membuat perjanjian kitabah dengan seratus dinar yang diketahui berat dan jenisnya, hingga sepuluh tahun, dengan tahun pertama adalah tahun tertentu dan tahun terakhir adalah tahun tertentu, dan dia membayar setiap tahun dari sepuluh tahun ini sekian dinar. Tidak mengapa jika dinar dalam tahun-tahun berbeda, seperti membayar satu dinar dalam satu tahun, lima puluh dinar di tahun lain, dan jumlah di antaranya di tahun lainnya, asalkan disebutkan berapa yang dibayar setiap tahun.”

 

“Tidak boleh mengatakan: ‘Aku mengikat perjanjian kitabah denganmu untuk seratus dinar yang kau bayar dalam sepuluh tahun,’ karena saat itu jatuh tempo pada akhir sepuluh tahun, sehingga menjadi satu utang. Padahal kitabah tidak sah dengan satu utang. Atau jatuh tempo dalam sepuluh tahun, tetapi tidak diketahui apakah di awal atau akhir. Demikian pula tidak boleh mengatakan: ‘Aku mengikat perjanjian kitabah denganmu bahwa sepuluh tahun tidak berlalu hingga kau membayar seratus dinar kepadaku.'”

 

“Begitu pula jika dia berkata: ‘Kau membayar seratus dinar kepadaku dalam sepuluh tahun sesukamu,’ kecuali bahwa sepuluh tahun tidak berlalu hingga dia membayarnya. Ini karena tidak diketahui berapa yang dibayar setiap kali. Demikian pula tidak boleh mengatakan: ‘Aku mengikat perjanjian kitabah denganmu untuk seratus dinar atau seribu dirham,’ meskipun disebutkan tempo yang diketahui, karena saat itu tidak diketahui atas apa kitabah itu.”

 

“Demikian pula jika dia berkata: ‘Aku mengikat perjanjian kitabah denganmu untuk seratus dinar yang kau bayar kepadaku setiap tahun sepuluh dinar, dengan syarat kau memberiku sepuluh dinar saat setiap tahun tiba berupa seratus dirham atau barang tertentu,’ maka tidak sah. Karena kitabah terjadi dengan sepuluh dinar setiap tahun, sedangkan dia membeli sepuluh dirham dengan sepuluh dinar, yaitu membeli utang dirham dengan utang dinar. Ini haram dari segala sisi.”

 

“Demikian pula jika dia berkata: ‘Aku membeli darimu jika jatuh tempo berupa barang,’ karena ini adalah utang dengan utang, dan utang dengan utang tidak sah, plus ada kerusakan dari sisi lain.”

 

“Boleh mengikat kitabah dengan barang saja atau uang tunai. Jika mengikat kitabah dengan barang, tidak sah kecuali barang itu harus diketahui sifatnya dan temponya, sebagaimana tidak boleh menjual hingga tempo tertentu kecuali dengan tempo dan sifat yang diketahui untuk dijadikan pedoman.”

 

“Jika barang dalam kitabah tidak sah kecuali seperti dalam salaf (pesanan) dalam barang, sama atau berbeda. Jika barang itu pakaian, dia harus mengatakan: ‘Kain Marwi, panjangnya sekian, lebarnya sekian, tebal, atau tipis, bagus,’ dan dia menyerahkannya di tempat tertentu. Jika meninggalkan sesuatu dari ini, kitabah tidak sah, sebagaimana tidak boleh melakukan salaf (pesanan) kecuali seperti ini.”

 

 

Demikianlah, jika barang yang ditawarkan adalah makanan, hewan, budak, atau apa pun jenisnya, jika berupa budak, dikatakan: “Seorang budak hitam dari jenis tertentu, hitam pekat, tidak berbulu, berpostur sedang, tinggi, atau pendek, bebas dari cacat.” Jika berupa unta, dikatakan: “Unta betina berumur dua tahun, atau jantan dari unta tertentu, berwarna merah, atau abu-abu yang tidak terlalu gelap, bebas dari cacat,” dan dia akan menyerahkannya di tempat tertentu pada waktu tertentu. Jika ada yang diabaikan dari ketentuan ini, penulisan kontrak tidak sah kecuali jika dia menyebutkan “bebas dari cacat.” Meskipun tidak disyaratkan, pernyataan “bebas dari cacat” tetap berlaku, baik kontrak itu ditulis untuk barang tunggal atau kombinasi barang dan uang tunai, semuanya diperbolehkan sebagaimana diperbolehkan menjual rumah dengan barang dan uang tunai selama semua yang dijual diketahui dan untuk jangka waktu tertentu. Dan Allah Ta’ala yang memberi taufik. 

 

[Penulisan Kontrak dalam Ijarah] 

(Imam Syafi’i berkata – semoga Allah merahmatinya –): 

Ijarah memiliki ketentuan yang sama seperti jual beli jika disyaratkan bersamaan dengan ijarah. Jika seseorang membuat kontrak dengan budaknya untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan tangannya, dan dia menerima sebagian pembayaran saat kontrak dibuat serta diwajibkan membayar sisanya di waktu lain, maka kontrak itu sah. Namun, jika kontrak hanya menyatakan pekerjaan tanpa menentukan pembayaran setelahnya, kontrak itu tidak sah karena pekerjaan itu dianggap satu jenis. 

 

Kontrak tidak sah untuk satu jenis dalam harta atau selainnya. Jika kontrak menyatakan pekerjaan dimulai hari ini dan pekerjaan lain setelah sebulan, ijarah untuk waktu setelahnya tidak sah karena mungkin terjadi halangan seperti sakit, kematian, atau penahanan yang menghalangi pekerjaan. Pekerjaan fisik tidak dijamin bisa dilakukan, berbeda dengan harta yang bisa diserahkan meskipun sakit. 

 

Jika kontrak menyatakan budak harus membangun rumah dan merenovasinya seluruhnya, serta menentukan ukuran, lokasi, dan bahan bangunan seperti batu bata dan batu, itu dianggap pekerjaan tangan dan tidak sah kecuali jika sebagian pembayaran diterima saat kontrak dan sisanya dibayarkan kemudian. Menunda pekerjaan tidak diperbolehkan. 

 

Jika kontrak menyatakan budak harus melayani selama satu bulan dengan pembayaran saat kontrak dan sisanya setelah sebulan, itu sah. Namun, jika kontrak menyatakan pelayanan satu bulan saat kontrak dan satu bulan setelahnya, itu tidak sah karena mengandung ketidakpastian. Ini seperti tidak sahnya menyewa orang merdeka untuk pekerjaan yang ditunda. 

 

Jika kontrak menyatakan budak harus melayani selama satu bulan, lalu memberikan susu, batu, atau tanah liat yang sudah ditentukan setelah sebulan, itu sah karena dianggap sebagai harta. 

 

Jika kontrak menyatakan pelayanan satu bulan, lalu budak sakit di bulan itu, kontrak batal dan majikan tidak boleh memaksa budak lain menggantikannya, sebagaimana jika menyewa orang merdeka yang sakit. 

 

Jika kontrak dibuat dengan pembayaran bertahap untuk pelayanan atau pekerjaan di masa depan, kontrak itu rusak. Jika budak tetap menyelesaikan kewajibannya, dia merdeka, dan nilai kontrak disesuaikan dengan upah standar. 

 

Jika kontrak menyatakan pembayaran 100 dinar dengan cicilan 10 per bulan dan pekerjaan tertentu setiap pembayaran, itu tidak sah karena penundaan pekerjaan. Namun, jika kontrak menyatakan 100 dinar dalam 10 tahun dengan tambahan hewan kurban yang sudah dideskripsikan (seperti kambing betina berumur dua tahun dari daerah tertentu), itu sah. Jika hewan kurban tidak dideskripsikan, kontrak rusak karena ketidakjelasan. 

 

Jika kontrak mencantumkan pembayaran tetap dan hewan kurban sesuai jumlah anggota keluarga (bertambah atau berkurang), kontrak tidak sah karena mengandung ketidakpastian.

 

 

Dan jika dia berkata kepadanya: “Bangunlah rumah ini dengan deskripsi tertentu,” atau “Pelajarilah ilmu ini,” atau “Bekerjalah untukku selama satu bulan,” atau “Buatkan aku pakaian seperti ini, dan kamu akan merdeka,” lalu budak itu melakukannya, maka dia merdeka dan bukan sebagai mukatab. Dia juga boleh menjual budak itu sebelum budak tersebut menyelesaikan tugasnya. Jika tuannya meninggal sebelum budak itu menyelesaikan tugasnya, maka budak itu tetap menjadi miliknya. Ini seperti perkataan, “Jika kamu masuk ke rumah ini, kamu merdeka,” atau “Jika kamu berbicara denganku sekarang, kamu merdeka.” 

 

Demikian pula jika dia berkata, “Berikan aku seratus dinar, dan kamu merdeka,” lalu budak itu memberikannya, maka dia merdeka. Jika tuannya ingin menjual budak itu sebelum memberikannya, itu boleh dilakukan. Ini tidak dianggap sebagai kitabah (perjanjian pembebasan dengan pembayaran bertahap), karena kitabah harus dilakukan dengan pembayaran bertahap. 

 

Jika tuannya membuat perjanjian kitabah dengan syarat budak itu membangun rumah dan merawat kebun sesuai deskripsi tertentu, serta merawatnya hingga selesai, lalu memberikannya sejumlah dinar sebelum atau sesudahnya, itu diperbolehkan. Sebab ini adalah jaminan atas pekerjaan yang mungkin atau tidak mungkin dilakukannya, seperti halnya jaminan atas harta, disertai dengan pembayaran lain. 

 

Demikian juga jika tuannya membuat perjanjian kitabah dengan syarat budak itu membangun dua rumah, satu pada waktu tertentu dan satu lagi pada waktu lain, itu adalah perjanjian yang sah. Ini berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan langsung dalam waktu tertentu. Jika tuannya menyewa orang merdeka untuk bekerja, dia tidak wajib menyediakan orang lain. Tetapi jika budak itu menjamin suatu pekerjaan, dia harus menyelesaikannya sendiri atau melalui orang lain. 

 

Kitabah dalam Jual Beli 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membuat perjanjian kitabah dengan budaknya untuk membayar seratus dinar dalam sepuluh tahun, dengan syarat tuannya menjual budak lain yang dikenal, maka perjanjian itu batal karena mengandung unsur jual beli. 

 

Demikian pula jika perjanjian kitabah dibuat dengan syarat budak itu harus memberikan seorang budak kepada tuannya, itu juga batal karena menyerupai jual beli. Ini berbeda jika perjanjian itu mensyaratkan budak tersebut melakukan suatu pekerjaan, karena itu termasuk dalam pembayaran kitabah, seperti membayar dengan dinar, budak, atau hewan. 

 

Jika seorang budak memiliki budak lain, lalu tuannya membuat perjanjian kitabah seratus dinar dengan syarat budak itu membeli budaknya seharga sepuluh dinar, perjanjian itu tidak sah. Sebab, jika budak itu membeli budaknya dengan syarat kitabah, itu berarti dia membeli harta tuannya sendiri, yang tidak boleh. 

 

Namun, jika perjanjian kitabah sah, lalu tuannya membeli dari budak mukatab atau sebaliknya, itu diperbolehkan. Sebab, tuannya terhalang dari harta budak mukatab, tetapi tidak terhalang dari harta budak biasa. 

 

Kitabah Budak dengan Satu Perjanjian yang Sah

 

Kerusakan Musim Semi: 

 

Dikatakan oleh Al-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—: 

 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Al-Harits, dari Ibnu Juraij, yang berkata: Atha’ berkata: 

“Jika engkau membuat perjanjian pembebasan (mukatabah) dengan seorang budak milikmu yang memiliki anak-anak saat itu, lalu ia membuat perjanjian atas dirinya dan mereka, kemudian ayah mereka meninggal atau salah satu dari mereka meninggal, maka nilai (tebusan) budak yang meninggal pada hari kematiannya dikurangi dari jumlah pembebasan. Jika engkau memerdekakannya atau sebagian anak-anaknya, maka berlaku ketentuan yang sama.” 

 

Dan ini juga dikatakan oleh ‘Amr bin Dinar. 

 

Al-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—berkata: 

“Ini, insya Allah, sesuai dengan pendapat ‘Amr bin Dinar dan Atha’ jika anak-anak tersebut sudah dewasa, lalu ayah mereka membuat perjanjian pembebasan atas mereka dengan persetujuan mereka. Maka setiap anak menanggung bagiannya sesuai dengan nilai dirinya. Jika salah satu meninggal atau dimerdekakan, bagiannya dikurangi dari sisa yang harus dibayar, berdasarkan nilainya pada saat perjanjian, bukan pada hari kematian, bukan sebelum kematian, dan bukan setelah perjanjian.” 

 

Al-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—berkata: 

“Jika seseorang memiliki tiga budak, lalu ia membuat perjanjian pembebasan dengan mereka sebesar seratus (dinar) yang dibayar secara bertahap dalam beberapa tahun, dengan syarat jika mereka melunasinya, mereka merdeka, maka perjanjian itu sah. Seratus (dinar) itu dibagi berdasarkan nilai ketiganya. Jika salah seorang bernilai seratus dinar, sedangkan dua lainnya masing-masing bernilai lima puluh dinar, maka separuh dari seratus menjadi tanggungan budak yang bernilai seratus, dan separuh sisanya dibebankan kepada dua budak yang masing-masing bernilai lima puluh—masing-masing menanggung dua puluh lima dinar. Siapa yang melunasi bagiannya, ia merdeka. Siapa yang gagal, ia tetap budak tanpa membatalkan perjanjian yang lain. Jika dua yang lain berkata, ‘Kami akan bekerja dan melunasi untuknya,’ itu tidak diperbolehkan. Jika salah seorang meninggal sebelum melunasi bagiannya, ia mati dalam status budak, dan hartanya menjadi milik tuannya—bukan milik rekan-rekannya dalam perjanjian, bukan ahli warisnya seandainya ia merdeka, dan bukan anak-anaknya jika mereka ikut dalam perjanjian, karena ia mati sebagai budak.” 

 

“Jika mereka membayar enam puluh dinar kepada tuannya, lalu mereka berkata, ‘Kami membayar masing-masing dua puluh,’ maka itu diakui. Sisa sepuluh dinar dibebankan kepada dua budak yang masing-masing menanggung lima dinar, dan tiga puluh dinar dibebankan kepada budak yang menanggung lima puluh. Jika budak yang menanggung lima puluh berkata, ‘Kami membayar sesuai porsi kami,’ sedangkan dua lainnya berkata, ‘Tidak, pembayaran berdasarkan jumlah, bukan porsi,’ maka pendapat dua budak yang menanggung lima dinar yang diutamakan, karena pembayaran dari ketiganya adalah sepertiga masing-masing, kecuali ada bukti atau kesepakatan lain.” 

 

“Demikian pula jika salah seorang atau dua orang meninggal, pembayaran didasarkan pada jumlah, bukan porsi, jika nilai mereka berbeda. Jika perjanjian dibuat seperti yang kami jelaskan, setiap budak membayar sesuai porsinya. Jika mereka membayar berdasarkan jumlah, lalu dua budak yang membayar lebih ingin menarik kelebihan itu dan berkata, ‘Kami rela memberikan kelebihan itu,’ mereka tidak bisa menariknya kembali jika tuannya sudah menerimanya. Jika belum diterima, mereka boleh menahan kelebihan itu. Jika para budak dan tuan sepakat bahwa mereka membayar untuk rekan mereka, mereka boleh menuntut kelebihan itu dari tuan, karena tuan tidak berhak mengambil pembayaran selain untuk diri mereka sendiri.” 

 

“Jika tuan mensyaratkan agar mereka membayar tiga puluh dinar setiap tahun, dengan masing-masing membayar sepuluh dinar, itu sah. Mereka wajib membayar demikian—masing-masing sepuluh dinar per tahun. Sisa lima dinar dibayar oleh dua budak yang bernilai lima puluh pada waktu yang disepakati, dan tiga puluh dinar dibayar oleh budak yang bernilai seratus. Jika pembayaran dijadikan satu angsuran, maka sisa lima dinar dibayar oleh dua budak, dan tiga puluh dinar dibayar oleh budak yang bernilai seratus—seolah-olah pembayaran dijadikan tiga tahun: dua tahun pertama masing-masing membayar sepuluh dinar, dan sisanya dibayar pada tahun ketiga.” 

 

“Jika mereka membayar berdasarkan jumlah, lalu dua budak yang membayar lebih berkata, ‘Kami ingin menarik kelebihan dari angsuran kami,’ itu tidak diperbolehkan. Tapi mereka boleh mengkompensasikannya pada angsuran berikutnya jika mau. Sedangkan budak yang membayar kurang wajib melunasi kekurangannya. Jika tidak, ia dianggap gagal. Jika gagal, tuannya boleh membatalkan perjanjiannya di hadapan hakim atau tanpa hakim, asal menghadirkannya dan meminta pembayaran. Jika budak itu berkata, ‘Aku tidak mampu,’ maka tuannya boleh menyatakan pembatalan perjanjian. Dengan demikian, perjanjiannya batal, dan bagiannya dihapus dari dua budak lainnya, sementara mereka tetap menanggung bagian masing-masing. Jika dua budak itu meminta agar pembayaran mereka dihitung sebagai kompensasi, itu tidak diperbolehkan, karena mereka membayar untuk diri sendiri, bukan untuk rekan mereka. Apa yang diterima tuan halal baginya, karena itu adalah bagian dari perjanjian. Jika budak itu gagal, hartanya menjadi milik tuannya, sebab harta budak adalah milik tuannya.” 

 

“Jika tuannya memerdekakannya, bagiannya dihapus dari dua budak lainnya, tetapi mereka tidak otomatis merdeka karena pembebasannya. Demikian pula jika tuannya memerdekakannya secara bersyarat atau mengambil sesuatu yang sah darinya—itu tidak merusak perjanjian dua budak lainnya dan tidak mengurangi bagian mereka.” 

 

“Sama saja apakah para budak membuat satu perjanjian dengan menyebutkan bagian masing-masing atau tidak, seperti halnya jika mereka dijual dalam satu transaksi—apakah disebutkan bagian masing-masing dari harga atau tidak. Pembebasan dibebankan sesuai nilai mereka saat perjanjian, bukan nilai sebelum atau sesudahnya. Ini berlaku sama, baik budak-budak itu memiliki hubungan kekerabatan atau tidak, baik mereka seorang ayah dan anaknya, atau orang asing dalam semua masalah mukatabah.”

 

Jika seorang budak menulis perjanjian pembebasan (mukatab) bersama dua anaknya yang sudah baligh, lalu salah satu dari keduanya meninggal dan meninggalkan harta, atau sang ayah meninggal sementara dua anaknya masih hidup dan meninggalkan harta sebelum melunasi, maka harta itu menjadi milik tuannya. Bagiannya dalam perjanjian mukatab dihapus dari rekan-rekannya. Siapa pun dari mereka yang gagal memenuhi kewajiban, tuannya berhak menyatakan kegagalannya. Jika tuannya membebaskan salah satu dari mereka, pembebasan itu sah. Jika tuannya membebaskannya dari kewajiban perjanjian, maka dia merdeka, dan bagiannya dalam perjanjian dihapus dari rekan-rekannya. Jika salah satu dari mereka rela melunasi kewajiban rekan-rekannya, maka mereka semua merdeka, tetapi dia tidak boleh menuntut kembali apa yang telah dibayarkan. Jika dia melunasi atas persetujuan mereka, dia boleh menuntut kembali apa yang telah dibayarkan. Jika dia melunasi untuk dua orang, satu dengan persetujuannya dan satu tanpa persetujuan, dia boleh menuntut kembali dari orang yang memberinya persetujuan, tetapi tidak dari yang lain. 

 

[Syarat Pembebasan Mukatab] 

(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) – Asy-Syafi’i (rahimahullah ta’ala) berkata: “Perjanjian mukatabah adalah ketika seseorang membuat perjanjian dengan budaknya untuk membayar sejumlah uang atau lebih dengan syarat kepemilikan dan penjualannya tetap sah, seperti transaksi jual beli yang halal dengan tenggat waktu yang jelas. Jika syarat-syarat ini terpenuhi, dan baik pihak pemilik maupun budak memenuhi syarat untuk melakukan perjanjian, maka mukatabah itu sah. Namun, budak tidak merdeka kecuali jika tuannya berkata dalam perjanjian: ‘Jika kamu melunasi ini (dengan menyebut jumlahnya), maka kamu merdeka.’ Jika budak melunasi apa yang disyaratkan, dia merdeka karena telah memenuhi kewajiban. Begitu pula jika tuannya membebaskannya dari kewajiban tanpa kegagalan dari budak, maka dia merdeka karena penghalang kemerdekaannya (yaitu hutang perjanjian) telah hilang. 

 

Jika tuannya berkata: ‘Aku membuat perjanjian mukatabah denganmu untuk membayar sekian,’ tetapi tidak mengatakan: ‘Jika kamu melunasinya, kamu merdeka,’ maka budak tidak merdeka meskipun melunasinya. Jika ada yang berargumen dengan firman Allah: “Maka buatlah perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui kebaikan pada mereka,” (QS. An-Nur: 33), dijawab bahwa ini termasuk ketetapan Allah yang membolehkan mukatabah melalui ayat-Nya. Namun, Allah juga menjelaskan dalam kitab-Nya bahwa pembebasan budak hanya terjadi jika tuannya membebaskannya, seperti dalam firman-Nya: “Maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak,” (QS. Al-Maidah: 89). 

 

Jelas dalam kitab Allah bahwa memerdekakan budak adalah dengan pernyataan pembebasan, sebagaimana jelas juga bahwa talak hanya terjadi dengan ucapan yang jelas, bukan sindiran. Demikianlah kebanyakan hukum faraid ditetapkan dalam satu ayat dan dijelaskan rinciannya dalam kitab, sunnah, atau ijma’. 

 

Jika seseorang membuat perjanjian mukatabah dengan budaknya tanpa mengatakan: “Jika kamu melunasi, kamu merdeka,” lalu budak itu melunasi, dia tidak merdeka, dan itu dianggap sebagai pembayaran biasa. Ini berlaku jika tuannya meninggal, bisu, atau tidak menyatakan apa pun setelah perjanjian. Namun, jika dia berkata: “Aku membuat perjanjian dengan syarat jika kamu melunasi, kamu merdeka,” lalu budak melunasi, maka dia merdeka karena perkataan itu mengandung makna pembebasan, seperti jika tuannya berkata: “Pergilah,” atau “Bebaskan dirimu,” yang bermaksud kemerdekaan. 

 

Sebagaimana jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Pergilah,” atau “Lepaskanlah dirimu,” dengan maksud talak, maka talak terjadi. Namun, talak atau pembebasan tidak terjadi dengan sindiran kecuali jika perkataan itu diucapkan dengan niat talak atau pembebasan. 

 

[Pembebasan Budak]

 

[Gagal diterjemahkan]

 

Kerusakan dalam Perjanjian Pembebasan (Mukatabah): 

 

Imam Syafi’i (rahimahullah) berkata: 

“Setiap perjanjian mukatabah yang kau anggap rusak, lalu tuannya bersaksi untuk membatalkannya, maka itu batal. Demikian pula jika diajukan ke hakim dan hakim membatalkannya. Jika tuannya bersaksi untuk membatalkannya atau hakim membatalkannya, lalu budak itu menunaikan kewajibannya dalam perjanjian yang rusak tersebut, dia tidak merdeka sebagaimana jika perjanjian itu tidak batal. 

 

Misalnya, jika tuannya berkata, ‘Jika engkau masuk rumah, engkau merdeka,’ lalu dia berkata, ‘Aku batalkan ini,’ maka itu tidak membatalkan perjanjian jual beli. Jika perjanjian itu batal dan budak menunaikan kewajibannya, maka itu dianggap sebagai pembayaran di luar perjanjian. Tidakkah kau lihat, jika tuannya berkata, ‘Jika engkau masuk rumah dengan memakai pakaian tertentu, engkau merdeka,’ atau ‘Jika engkau masuk rumah sebelum matahari terbit, engkau merdeka,’ maka budak tidak merdeka kecuali jika memenuhi syarat tersebut? Demikian pula, budak tidak merdeka dalam mukatabah jika perjanjian dibatalkan, karena syarat pembebasan tidak terpenuhi. Siapa pun yang dimerdekakan dengan syarat, tidak merdeka kecuali jika syarat itu terpenuhi sepenuhnya. 

 

Jika seorang tuan membuat perjanjian mukatabah yang rusak dengan budaknya, lalu tidak membatalkannya hingga budak itu menunaikan kewajibannya, maka budak itu merdeka karena dia memenuhi syarat yang ditetapkan. Namun, jika yang diberikan budak itu haram dan tidak halal, maka tuannya boleh menuntut kembali nilai budak itu sepenuhnya pada hari pembebasan, bukan pada hari perjanjian, karena kepemilikan baru berakhir saat pembebasan. Jika yang diberikan adalah barang haram dan ada syarat yang merusak perjanjian, maka semua yang diberikan dikembalikan, dan status budak tetap berlaku pada hari pembebasan, bukan pada hari perjanjian atau keputusan hakim. 

 

Misalnya, jika budak membayar 20 dinar (atau senilai itu), sementara nilai budak itu 100 dinar, maka tuannya boleh menuntut kembali 80 dinar. Namun, tuan tidak bisa memprioritaskan tuntutan ini di atas hutang-hutang lain, karena ini adalah hutang dari seorang merdeka, bukan dari perjanjian mukatabah. Sebaliknya, jika nilai budak 20 dinar tetapi dia membayar 100 dinar, maka budak boleh menuntut kembali 80 dinar dari tuannya. 

 

Jika seseorang membuat perjanjian mukatabah yang rusak dengan budaknya, lalu tuannya meninggal dan ahli warisnya menerima pembayaran—baik mereka tahu perjanjian itu rusak atau tidak—budak tidak merdeka, karena ahli waris bukanlah pihak yang menyatakan, ‘Engkau merdeka jika…’ Perjanjian itu rusak, sehingga apa yang dibayarkan kepada mereka adalah milik mereka tanpa syarat pembebasan. 

 

Imam Syafi’i (rahimahullah) juga berkata: 

“Jika tuannya menerima pembayaran setelah dia dianggap tidak cakap hukum (misalnya karena gila), budak tidak merdeka, karena pembebasan bergantung pada pernyataan sah dari tuannya. Jika tuannya tidak cakap, pernyataannya tidak sah. Demikian pula, jika perjanjian mukatabah rusak sejak awal, lalu tuannya gila dan budak membayar dalam keadaan tuannya tidak sadar, budak tidak merdeka. Namun, jika budak yang gila dan tuannya yang sehat menerima pembayaran, maka budak merdeka berdasarkan perjanjian, dan hakim dapat menunjuk wali untuk mengurus sisa nilai budak.” 

 

### Syarat yang Merusak Perjanjian Mukatabah 

Imam Syafi’i (rahimahullah) berkata: 

“Jika seseorang memberi syarat kepada budak mukatab, seperti ‘Jika engkau membayar sesuai kerelaanku, engkau merdeka,’ atau ‘Engkau tidak merdeka kecuali jika aku rela,’ maka perjanjian itu rusak. 

 

Jika tuannya membuat perjanjian dengan syarat ‘Jika engkau membayar, engkau merdeka setelah aku meninggal,’ maka itu dianggap sebagai pernyataan ‘Engkau merdeka setelah aku meninggal’ (seperti budak mudabbar), dan tuannya boleh menjual budak itu sebelum atau sesudah pembayaran. 

 

Jika perjanjian dibuat dengan ketentuan ‘Bayarlah 100 dinar dalam 10 tahun,’ lalu budak membayar 50 dinar di tahun pertama, perjanjian itu rusak karena tidak sesuai jangka waktu. Jika dia membayar 50 dinar lagi, dia tidak merdeka kecuali tuannya dengan sukarela memerdekakannya. Ini bukanlah mukatabah yang sah. 

 

Jika budak membayar setelah tuannya meninggal, dia tidak merdeka, karena ini seperti sistem kharaj (pembayaran sewa), dan ahli waris boleh menjual budak itu. 

 

Demikian pula, jika tuannya berkata, ‘Jika engkau membayar 100 dinar, engkau menjadi mukatab,’ tanpa menyebut ‘Jika engkau membayar, engkau merdeka,’ maka ini bukan mukatabah. Jika budak membayar 100 dinar, dia tidak menjadi mukatab, karena perjanjian baru dimulai setelah pembayaran, bukan sebagai perjanjian awal. 

 

Ini berbeda dengan ucapan, ‘Jika engkau masuk rumah, engkau merdeka,’ atau ‘Jika engkau membayar 100 dinar, engkau merdeka,’ karena mukatabah lebih mirip dengan jual beli. Seperti seseorang yang berkata, ‘Jika engkau memberiku 10 dinar, aku jual rumahku seharga 100 dinar,’ lalu diberi 10 dinar—itu bukan jual beli yang sah sampai ada kesepakatan jelas. Demikian pula, budak tidak menjadi mukatab kecuali ada perjanjian yang disepakati bersama.”

 

Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:

 

[Pilihan dalam Penulisan]

(Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata): Jika seseorang menulis perjanjian dengan budaknya bahwa sang majikan boleh membatalkan perjanjian kapan saja selama budak belum melunasi, maka perjanjian itu batal. Namun, jika majikan memberi syarat kepada budak bahwa budak boleh membatalkan perjanjian kapan saja, perjanjian itu sah karena hak itu ada di tangan budak. Jika budak tidak mensyaratkannya, bukankah kamu lihat bahwa budak tidak merdeka dengan perjanjian tanpa pelunasan dan belum sepenuhnya keluar dari kepemilikan majikan? Kapan pun ia mau, ia bisa meninggalkan perjanjian. Atau tidakkah kamu lihat bahwa perjanjian itu adalah syarat yang ditetapkan majikan untuk dirinya sendiri, bukan untuk budak, sehingga majikan tidak boleh membatalkannya?

 

[Perselisihan antara Majikan dan Budak yang Berperjanjian]

(Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata): Jika majikan dan budaknya sepakat bahwa mereka telah membuat perjanjian yang sah, tetapi mereka berselisih tentang isinya—misalnya, majikan berkata, “Aku memebuat perjanjian denganmu untuk dua ribu,” sementara budak berkata, “Untuk seribu”—maka mereka harus saling bersumpah seperti dua orang merdeka yang berselisih dalam jual beli. Hal yang sama berlaku jika mereka sepakat tentang perjanjian tetapi berselisih tentang tenggat waktu: majikan mengatakan, “Kamu harus melunasinya dalam satu bulan,” sementara budak mengatakan, “Dalam tiga bulan atau lebih.” Ini berlaku baik jika budak telah melunasi sebagian besar, sedikit, atau belum sama sekali. Bahkan jika keduanya mengajukan bukti atas klaim mereka, dan bukti itu bersaksi pada hari yang sama, sementara budak dan majikan mengakui bahwa hanya ada satu perjanjian, maka bukti itu dibatalkan dan keduanya harus bersumpah seperti yang telah disebutkan.

 

Demikian pula, jika bukti budak bersaksi bahwa perjanjian itu untuk seribu dan ia telah melunasinya, sementara bukti majikan bersaksi bahwa perjanjian itu untuk dua ribu dan budak baru melunasi seribu, maka budak tidak merdeka. Mereka harus bersumpah dan membatalkan perjanjian karena kedua bukti saling bertentangan, dan tidak ada yang lebih layak diterima daripada yang lain. Jika kedua bukti bersaksi bersama bahwa majikan telah memerdekakannya lebih awal, sementara bukti majikan mengatakan masih ada seribu yang tertunda dan dijadikan utang, maka kemerdekaan itu diakui karena kesepakatan mereka, dan masing-masing harus bersumpah kepada yang lain. Kemudian, nilai budak ditetapkan untuk majikannya—apakah lebih dari dua ribu atau kurang dari seribu—karena mereka sepakat dalam hal ini dan melaksanakannya saat bersepakat.

 

[Klaim Pelunasan dan Pembatalan Perjanjian]

Dia (Imam Syafi’i) juga berkata: Jika mereka sepakat bahwa perjanjian itu untuk seribu, dengan cicilan seratus per tahun, dan beberapa tahun telah berlalu, lalu majikan berkata, “Kamu belum membayar apa pun,” sementara budak berkata, “Aku telah melunasi semuanya,” maka klaim majikan yang diterima dengan sumpah, dan budak harus membuktikannya. Jika tidak ada bukti dan majikan bersumpah, budak diberi pilihan: lunasi semua yang tertunda sekarang, atau majikan berhak menyatakanmu gagal. Jika majikan berkata, “Aku telah menyatakannya gagal dan membatalkan perjanjian,” sementara budak menyangkal pembatalan itu—baik ia mengakui kegagalan atau tidak—klaim budak yang diterima dengan sumpah. Majikan tidak bisa diyakini tentang kegagalan budak tanpa bukti yang menunjukkan jatuh tempo cicilan atau bahwa budak mengaku tidak mampu membayar. Jika majikan bersaksi bahwa ia telah membatalkan perjanjian, maka perjanjian itu batal, baik di hadapan hakim atau tidak.

 

[Kasus Budak dengan Anak dari Perempuan Merdeka]

Jika seseorang membuat perjanjian dengan budaknya yang memiliki anak dari perempuan merdeka, lalu majikan berkata, “Aku telah menerima semua pembayaran dari budakku,” baik saat majikan sehat atau sakit, maka budak itu merdeka, dan budak yang dimerdekakan serta anaknya dari perempuan merdeka mendapatkan warisan. Jika kasus ini dipersengketakan dan budak itu meninggal, lalu majikan berkata, “Aku telah menerima semua cicilannya untuk membuktikan kemerdekaannya sebelum kematian,” tetapi ahli waris perempuan merdeka mendustakannya dan anak-anak budak yang merdeka membenarkannya, maka klaim ahli waris yang diterima bahwa budak tidak merdeka sampai meninggal. Warisan untuk anak mantan budak mereka tetap sah, dan harta budak—jika ada—diserahkan kepada ahli warisnya yang merdeka karena pengakuan majikan bahwa ia meninggal dalam keadaan merdeka. Hal yang sama berlaku jika budak yang dimerdekakan dituduh oleh seseorang: ahli warisnya tidak bisa membenarkan kemerdekaannya tanpa bukti yang menunjukkan ia merdeka sebelum meninggal. Majikan budak hanya bisa dipercaya tentang kewajibannya, bukan tentang hartanya.

 

Jika seorang tuan mengakui selama sakitnya bahwa dia telah menerima pembayaran dari budak mukatabnya secara tunai, atau sebagai hutang, maka pengakuannya dianggap benar. Ini bukan wasiat atau pembebasan, melainkan pengakuan bahwa dia telah dibebaskan dari hutang yang ada padanya, sebagaimana pengakuannya dianggap valid untuk membebaskan diri dari hutang yang dimilikinya terhadap orang lain. 

 

Jika seseorang memiliki dua budak mukatab, lalu dia mengakui bahwa dia telah menerima pembayaran penuh dari salah satunya, kemudian dia meninggal tanpa menjelaskan mana yang telah melunasi, maka diadakan undian antara keduanya. Siapa yang keluar undiannya, dia merdeka, sedangkan yang lain tetap wajib membayar sisa kewajibannya kecuali jika bisa membuktikan telah melunasinya. 

 

Jika seseorang membuat perjanjian mukatabah dengan budaknya untuk membayar sejumlah uang setiap tahun, lalu setelah beberapa tahun berlalu, budak itu berkata, “Aku telah melunasi pembayaran tahun-tahun sebelumnya,” sementara tuannya mengingkarinya, maka perkataan budak itu diterima disertai sumpah. Budak mukatab tetap wajib membayar kewajiban tahun-tahun sebelumnya. Jika tidak mampu, tuannya bisa membatalkan perjanjian. Begitu pula jika tuannya meninggal dan ahli warisnya mengklaim bahwa pembayaran tahun-tahun sebelumnya masih terutang, maka perkataan mereka diterima sebagaimana perkataan ayah mereka disertai sumpah, karena hak perjanjian mukatabah adalah hak ayah mereka yang tidak batal kecuali ada bukti pelunasan. Jika ada bukti bahwa tuannya menerima pembayaran pada suatu tahun, itu tidak membatalkan kewajiban tahun-tahun sebelumnya, karena bisa saja satu tahun lunas sementara tahun sebelumnya belum. Jika tuannya bersumpah, klaim budak itu batal. Jika tuannya tidak bersumpah, budak itu bersumpah atas klaimnya, dan tuan terikat dengannya. 

 

Jika seseorang mengklaim bahwa tuannya telah memukatabkannya, lalu tuannya meninggal dan ahli warisnya mengingkari, maka dia harus membawa bukti. Jika tidak ada bukti, ahli waris bersumpah bahwa mereka tidak tahu ayah mereka pernah memukatabkannya, dan klaim itu batal. 

 

Jika ahli waris terdiri dari dua anak, lalu salah satunya mengakui bahwa ayah mereka telah memukatabkan budak itu, atau menolak bersumpah, sementara yang lain mengingkari dan bersumpah bahwa dia tidak tahu ayahnya pernah memukatabkannya, maka separuh budak itu statusnya mukatab dan separuhnya tetap budak. Jika ada harta di tangan budak itu yang diperoleh setelah perjanjian, ahli waris yang mengingkari perjanjian berhak atas separuhnya, sedangkan separuh lagi milik budak mukatab. Ahli waris yang mengingkari boleh mempekerjakannya atau menyewakannya sehari, sedangkan yang mengakui boleh menerima separuh pembayaran yang diakuinya. Saudaranya tidak bisa menuntut bagiannya. Jika budak itu merdeka, dia tidak wajib membayar lagi, karena pengakuan itu hanya terkait tindakan ayah mereka. Seperti jika dua orang mewarisi budak, lalu salah satu mengaku ayahnya telah memerdekakan separuhnya, maka separuhnya merdeka tanpa kewajiban ganti rugi, karena pengakuan itu hanya terkait pembebasan oleh orang lain. Hak waris separuhnya tetap untuk ayah mereka, dan tidak ada kewajiban atas harta ayah atau anak. 

 

Ini berbeda dengan kasus budak yang dimiliki dua orang, lalu salah satunya memukatabkannya tanpa sepengetahuan yang lain. Dalam kasus ini, pengakuan berarti dia tidak mewarisi kecuali sebagai mukatab, sedangkan yang lain tetap sebagai pemilik budak. Tidak boleh mengambil sesuatu darinya tanpa persetujuan mitranya. Jika budak mukatab gagal memenuhi kewajiban, statusnya kembali sebagai budak biasa. Jika ada harta yang diperoleh sebelum kematian tuannya, mereka berbagi. Jika harta itu diperoleh setelah penetapan separuh perjanjian dan pembatalan separuhnya, maka yang mengakui perjanjian berhak atas separuh, sementara yang lain boleh mempekerjakannya sehari. 

 

Perkataan yang mengakui perjanjian lebih diutamakan, karena keputusan menyatakan bahwa hartanya ada di tangannya. Jika kita memutuskan separuhnya mukatab dan memberi hak separuh kepada yang mengingkari, lalu menyuruhnya mempekerjakan sehari dan membiarkannya bekerja sehari untuk pembayaran, lalu tuannya menuntut hasil kerjanya, maka klaim yang mengakui perjanjian lebih diutamakan. Yang mengingkari berhak atas upah sepadan untuk hari-hari yang tidak dia gunakan, dikurangi biaya hidup budak. Jika budak tidak mampu membayar, kegagalan itu membatalkan perjanjian, sebagaimana kegagalan membayar kewajiban membatalkan mukatab. 

 

Jika seorang budak mengklaim bahwa tuannya telah memukatabkannya, atau bahwa ayah seseorang telah memukatabkannya karena dia mewarisinya, lalu tuannya berkata, “Aku memukatabkanmu saat aku di bawah pengampuan,” atau “Ayahku memukatabkanmu saat dia di bawah pengampuan atau gila,” sementara budak itu berkata, “Tidak, saat itu kamu (atau ayahmu) tidak dalam pengampuan atau gila,” maka jika diketahui bahwa tuannya memang dalam pengampuan atau gila saat itu, perkataan tuannya diterima disertai sumpah, dan klaim perjanjian batal. Jika tidak diketahui, perjanjian tetap sah, dan klaim bahwa tuannya dalam pengampuan atau gila tanpa bukti diabaikan. Budak itu bersumpah bahwa perjanjian dilakukan dalam keadaan sah.

 

Dan jika seorang budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan (mukatab) mengklaim kepada tuannya bahwa dia telah membuat perjanjian pembebasan dengan membayar seribu, lalu dia melunasinya dan merdeka, sementara tuannya berkata, “Aku membuat perjanjian pembebasan denganmu dengan dua ribu, dan kamu hanya membayar seribu, sehingga kamu tidak merdeka kecuali setelah melunasi seribu yang kedua,” maka jika kedua belah pihak menghadirkan saksi, dan saksi budak tersebut menyatakan, “Dia membuat perjanjian pembebasan pada bulan Ramadan tahun sekian,” sementara saksi tuannya menyatakan, “Dia membuat perjanjian pembebasan pada bulan Syawal tahun sekian,” maka kesaksian kedua pihak saling membatalkan, dan budak tersebut tetap menjadi hamba sahaya. Ini jika keduanya menyatakan bahwa hanya ada satu perjanjian pembebasan. 

 

Namun, jika saksi tuannya menyatakan, “Dia membuat perjanjian pembebasan pada bulan Ramadan tahun sekian,” dan saksi budak menyatakan, “Dia membuat perjanjian pembebasan pada bulan Syawal tahun itu,” maka kesaksian budak yang diambil, karena keduanya mungkin benar, sehingga dianggap bahwa perjanjian pertama dibuat pada bulan Ramadan, kemudian dibatalkan dan dibuat perjanjian baru. 

 

(Dia berkata): Jika saksi budak menyatakan, “Dia membuat perjanjian pembebasan pada bulan Ramadan tahun sekian dengan membayar seribu,” tanpa menyebutkan apakah dia merdeka atau telah melunasi, sementara saksi tuannya menyatakan, “Dia membuat perjanjian pembebasan pada bulan Syawal tahun itu dengan membayar dua ribu,” maka kesaksian tuannya yang diambil, dan perjanjian pertama dianggap batal. Sebab, ada kemungkinan keduanya benar. Namun, jika saksi pertama menyatakan bahwa dia telah merdeka, maka setelah merdeka, dia tidak lagi dalam perjanjian pembebasan. Dalam hal ini, kedua kesaksian batal, dan dia tidak lagi terikat dalam perjanjian pembebasan. 

 

Jika budak menghadirkan saksi bahwa perjanjian pembebasannya adalah dengan membayar seribu, sementara tuannya menghadirkan saksi bahwa perjanjiannya adalah dengan membayar dua ribu, dan tidak ada penentuan waktu dalam salah satu kesaksian, maka kedua belah pihak disumpah, dan perjanjian pembebasan dibatalkan. Dalam hal ini, jika tuannya menolak bersumpah sementara budak bersedia bersumpah, maka budak tersebut dianggap dalam perjanjian pembebasan sesuai klaimnya. Jika budak tidak bersedia bersumpah, dia tetap menjadi budak. Jika kedua belah pihak menolak bersumpah, maka budak tersebut tetap menjadi hamba sahaya sampai tuannya menolak bersumpah dan budak bersedia bersumpah meskipun tuannya menolak. 

 

Jika seorang budak mengklaim kepada tuannya bahwa dia telah membuat perjanjian pembebasan dan menghadirkan saksi, tetapi saksi tersebut tidak menyebutkan jumlah atau waktu pembayaran, maka kesaksian tersebut tidak diterima. Demikian pula jika saksi menyatakan, “Dia membuat perjanjian pembebasan dengan seratus dinar,” tetapi tidak menjelaskan cara pembayarannya. Atau jika saksi menyatakan, “Dia membuat perjanjian pembebasan dengan seratus dinar yang dibayar dalam tiga tahun,” tetapi tidak menjelaskan berapa yang harus dibayar setiap tahun—apakah sepertiga, kurang, atau lebih—maka kesaksian tersebut tidak diterima sampai dijelaskan jumlah, jangka waktu, dan pembayaran per tahun. Jika saksi tidak memenuhi syarat ini, kesaksiannya gugur, dan tuannya disumpah. Jika tuannya menolak, budak tersebut disumpah, dan dianggap dalam perjanjian pembebasan sesuai sumpahnya. 

 

Jika budak menghadirkan saksi bahwa dia telah membuat perjanjian pembebasan, melunasi pembayaran, dan merdeka, lalu muncul saksi lain bahwa tuannya mengakui perjanjian pembebasan dengan syarat jika dia melunasi maka dia merdeka, dan bahwa dia telah melunasi, sementara tuannya mengingkari atau mengklaim bahwa perjanjian tersebut cacat, maka budak tersebut disumpah tentang kecacatan perjanjian. Jika dia bersumpah, dia dibebaskan. Jika tidak, tuannya yang disumpah, dan nilai budak tersebut dikembalikan. 

 

[Hukum-hukum terkait mukatab]

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Diriwayatkan bahwa barangsiapa menulis perjanjian pembebasan budaknya dengan tebusan seratus uqiyah, lalu ia hanya mampu membayar sepuluh uqiyah, maka ia tetap budak.

 

Ar-Rabi’ berkata: “Akhraban Asy-Syafi’i berkata: Akhraban Sufyan bin Uyainah dari Ibn Abi Najih dari Mujahid bahwa Zaid bin Tsabit berkata tentang mukatab (budak yang berjanji merdeka): ‘Ia tetap budak selama masih tersisa satu dirham (utang).'”

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Inilah pendapat yang kami ambil dan merupakan pendapat mayoritas ulama yang saya temui. Ini adalah pendapat Malik, dan makna perkataan mereka -Wallahu a’lam- adalah:

 

Seorang mukatab tetap dianggap budak dalam kesaksian, warisan, hudud, tindak pidana terhadapnya, dan pidana yang ia lakukan. Tidak ada akad yang membebaskannya, tidak ada kekerabatan bagi budak, dan ia tidak menanggung lebih dari nilai dirinya dalam tindak pidana yang dilakukannya, berapapun nilai budak tersebut. Ia tetap budak dalam sebagian besar hukumnya, namun tidak seperti budak biasa dalam hal tuannya boleh menjualnya. Tidak boleh mengambil hartanya selama perjanjian masih berlaku.

 

Seorang mukatab tidak merdeka kecuali setelah melunasi seluruh tebusannya. Jika seseorang membuat perjanjian dengan budaknya untuk membayar seratus dinar secara bertahap setiap tahun dengan syarat jika kamu mati setelah membayar sebagian, kamu merdeka sesuai pembayaranmu, lalu ia melunasi semuanya, maka ia merdeka seluruhnya dan tuannya berhak menuntut sisa nilai budaknya. Perjanjian ini batal.

 

Barangsiapa menuduh mukatab (berzina), hukumannya sama seperti menuduh budak. Jika mukatab dituduh, hadnya adalah had budak. Demikian pula setiap pelanggaran yang dilakukan mukatab yang mengharuskan had, maka hadnya adalah had budak.

 

Mukatab tidak mewarisi dan tidak diwarisi karena statusnya sebagai budak. Jika mukatab meninggal, ia mewarisi uang tebusannya. Contohnya, jika mukatab memiliki budak lalu budaknya meninggal, maka mukatab mengambil harta budaknya sebagaimana ia boleh menjual budaknya, karena ia adalah pemiliknya.

 

Jika mukatab meninggal dan masih memiliki sisa tebusan, sedikit atau banyak, maka perjanjian batal. Jika selama hidupnya mukatab berkata: ‘Aku tidak mampu,’ maka perjanjian batal karena ia memilih meninggalkannya atau karena ketidakmampuan yang ditetapkan tuannya. Jika ia meninggal, lebih utama perjanjian batal karena mukatab bukan ahli waris yang membayar utangnya kepada tuannya. Kematiannya lebih membatalkan daripada ketidakmampuan. Tidak ada keistimewaan bagi mukatab yang lebih utama antara melanjutkan perjanjian atau merdeka.

 

Jika ia meninggal dan keluar dari perjanjian, kami memandangnya sebagai budak dan seluruh hartanya menjadi milik tuannya. Baik ia memiliki anak-anak yang lahir dari budak perempuan atau ummu walad, atau anak-anak yang sudah balig ketika perjanjian dibuat dan ikut dalam perjanjian, atau kerabat yang ikut dalam perjanjian, maka seluruh hartanya menjadi milik tuannya.

 

Jika tuannya berkata setelah mukatab meninggal: ‘Aku membebaskan perjanjiannya,’ atau ‘Aku menghadiahkan tebusannya,’ atau ‘Aku memerdekakannya,’ maka ia tidak merdeka dan harta tersebut tetap milik tuannya, karena ia hanya menghadiahkan harta miliknya sendiri.

 

Dan jika seorang laki-laki menuduhnya (budak mukatab) telah meninggal dan tidak membayar, maka dia tidak bebas; karena dia telah mati dan tidak merdeka. 

 

Jika budak mukatab meninggal, maka tuannya wajib memandikan dan mengafaninya; karena dia masih budaknya. Demikian pula jika dia telah menyiapkan harta untuk diserahkan, lalu meninggal sebelum tuannya menerimanya, atau menyerahkan harta kepada seorang utusan untuk disampaikan kepada tuannya, tetapi tuannya belum menerimanya hingga dia meninggal, maka statusnya tetap budak. 

 

Begitu juga jika dia membawa harta untuk diserahkan, lalu ada orang asing atau anak tuannya yang membunuhnya, maka pelaku wajib membayar diyat (tebusan) sebagai budak. Jika tuannya sendiri yang membunuhnya, maka dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, dan budak itu tetap mati dalam status budak. Harta budak tersebut menjadi milik tuannya, dan tuannya dihukum atas pembunuhannya. 

 

Jika budak mukatab mewakilkan seseorang untuk menyerahkan pembayaran terakhir kepada tuannya, lalu dia meninggal, maka anak-anaknya yang merdeka berkata, “Wakil telah menyerahkan pembayaran itu kepadamu,” sementara tuannya berkata, “Dia tidak menyerahkannya kecuali setelah ayahmu meninggal,” maka perkataan tuan yang diterima, karena harta itu miliknya. 

 

Namun, jika mereka (ahli waris) membawa bukti bahwa pembayaran diserahkan pada hari Senin dan ayah mereka meninggal pada hari Senin juga, maka perkataan tuan tetap diterima sampai ada bukti yang jelas bahwa pembayaran diserahkan sebelum kematian budak mukatab. Misalnya, saksi berkata, “Dia menyerahkannya sebelum matahari terbit pada hari Senin,” dan sang tuan mengakui bahwa budak itu meninggal setelah matahari terbit, atau ada bukti yang menunjukkan hal itu, maka budak tersebut merdeka. 

 

Jika wakil budak mukatab bersaksi bahwa dia telah menyerahkan pembayaran kepada tuannya sebelum kematiannya, kesaksiannya tidak diterima. 

 

Namun, jika tuan mewakilkan seseorang untuk menerima pembayaran terakhir dari budak mukatab, lalu wakil tersebut bersaksi bahwa dia telah menerimanya sebelum kematian, sementara tuannya berkata, “Dia menerimanya setelah kematian,” maka kesaksian wakil tuan diterima, dan ahli waris budak harus bersumpah bersama kesaksian itu. Dengan demikian, ayah mereka dianggap merdeka, dan harta warisannya diberikan kepada ahli warisnya yang merdeka serta orang-orang yang merdeka karena kebebasannya. 

 

### [Anak dan Harta Budak Mukatab] 

(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) – Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i (rahimahullah Ta’ala) – 

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Al-Harits dari Ibnu Juraij, aku berkata kepada ‘Atha’: “Seorang laki-laki membuat perjanjian pembebasan (mukatab) dengan budaknya dan menyembunyikan harta, budak-budak lain, dan harta lainnya darinya.” ‘Atha’ menjawab: “Semua itu milik tuannya.” Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Amr bin Dinar dan Sulaiman bin Musa. 

 

(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) – Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i (rahimahullah Ta’ala) – 

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Al-Harits dari Ibnu Juraij, aku berkata kepada ‘Atha’: “Jika tuannya menanyakan hartanya, tetapi budak itu menyembunyikannya?” ‘Atha’ menjawab: “Itu milik tuannya.” Aku bertanya lagi: “Bagaimana jika dia menyembunyikan anak dari seorang budak perempuan, dan tuannya tidak mengetahuinya?” ‘Atha’ menjawab: “Anak itu milik tuannya.” Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Amr bin Dinar dan Sulaiman bin Musa. 

 

Ibnu Juraij berkata: Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana jika tuannya mengetahui anak budak itu, tetapi tidak menyebutkannya saat perjanjian mukatab?” Dia menjawab: “Anak itu tidak termasuk dalam perjanjian mukatab, melainkan tetap milik tuannya.” Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Amr bin Dinar. 

 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): 

Pendapat yang benar adalah seperti yang dikatakan ‘Atha’ dan ‘Amr bin Dinar mengenai anak budak mukatab, baik tuannya mengetahuinya atau tidak, anak itu tetap milik tuannya. Demikian pula harta budak adalah milik tuannya, bukan milik budak. Jika seseorang membuat perjanjian mukatab dengan budaknya, dan budak itu memiliki harta, maka tuannya berhak mengambil semua harta yang dimiliki budak sebelum perjanjian mukatab. 

 

### [Harta Budak Mukatab]

 

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah ta’ala- berkata): 

“Jika seorang budak berdagang atau tidak berdagang, namun di tangannya ada harta, lalu tuannya membuat perjanjian kitabah (pembebasan dengan tebusan), maka harta itu milik tuan. Maka tidak ada hak bagi mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian kitabah) atas harta tersebut. Dan apa yang diperoleh mukatab selama masa kitabah, tuan tidak berhak mengambilnya sampai mukatab dinyatakan gagal (tidak mampu melunasi). 

 

Jika terjadi perselisihan antara budak dan tuan, dan keduanya mengklaim adanya kitabah, padahal tidak ada perjanjian kitabah atau tidak ada klaim kitabah atas harta yang ada di tangan budak, maka harta itu milik tuan. Tidak ada ruang untuk pertanyaan dalam hal ini. 

 

Namun, jika mereka berselisih tentang harta yang ada di tangan budak setelah kitabah, lalu budak berkata: ‘Aku memperolehnya setelah kitabah,’ sedangkan tuan berkata: ‘Aku memperolehnya sebelum kitabah,’ atau tuan berkata: ‘Itu adalah hartaku yang aku titipkan padamu,’ maka perkataan mukatab diterima disertai sumpahnya, sedangkan tuan harus mendatangkan bukti. 

 

Jika tuan mendatangkan dua saksi, atau satu saksi dan dua wanita, atau satu saksi disertai sumpah bahwa harta itu ada di tangan budak sebelum kitabah, maka harta itu milik tuan. Demikian pula jika budak mengakui bahwa harta itu ada di tangannya sebelum kitabah, maka itu milik tuan. 

 

Jika para saksi bersaksi tentang sesuatu yang ada di tangan budak, tetapi mereka tidak menentukan waktu yang menunjukkan bahwa harta itu ada sebelum kitabah, maka perkataan budak yang diterima sampai mereka menentukan waktu yang jelas bahwa harta itu ada sebelum kitabah. 

 

Demikian pula jika mereka berkata: ‘Harta itu ada di tangannya pada hari Senin tanggal sekian,’ sedangkan kitabah terjadi pada hari yang sama, maka perkataan budak yang diterima sampai bukti menunjukkan bahwa harta itu ada sebelum kitabah sah. 

 

Jika mereka bersaksi bahwa harta itu ada di tangannya pada bulan Rajab, dan mereka juga bersaksi tentang kitabah pada bulan Syakban di tahun yang sama, lalu budak berkata: ‘Aku telah melakukan kitabah tanpa bukti sebelum Rajab atau pada Rajab, atau pada waktu sebelum waktu yang disaksikan oleh bukti,’ maka perkataan budak yang diterima. Aku mengatakan ini karena tuan mukatab hanya mengikat perjanjian kitabah atas dirinya dan hartanya, sedangkan harta itu milik tuan, bukan milik budak.” 

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah ta’ala- berkata): 

“Jika seseorang membuat perjanjian kitabah dengan budaknya atas dirinya dan hartanya, maka kitabah itu batal, baik harta itu diketahui dan dihadirkan atau tidak, karena itu adalah gabungan antara kitabah dan jual beli. Sebab, tidak diketahui bagian kitabah dan bagian jual belinya, karena masing-masing memiliki bagian yang tidak terpisah. Jika budak gagal, ia tetap budak, dan hartanya hilang. 

 

Jika ia melunasi dan merdeka, maka nilai budak itu dihitung ulang pada hari kitabah, dan tuan berhak mengambil hartanya yang dijadikan tebusan, atau yang semisalnya, atau nilainya jika harta itu hilang di tangannya. 

 

Diperbolehkan membuat kitabah, lalu menjual harta yang ada di tangannya setelah kitabah, atau menghadiahkannya, atau menyedekahkannya. Namun, tidak boleh mengikat kitabah atas harta itu.” 

 

(Ar-Rabi’ berkata): 

“Ada alasan lain bahwa jika tuan mengikat kitabah atas budak dan hartanya, maka kitabah itu batal, karena ia mengikatnya atas dirinya dan hartanya yang ada di tangannya, padahal harta itu milik tuan, bukan milik budak.” 

 

(Ar-Rabi’ mengabarkan): 

(Imam Syafi’i -rahimahullah ta’ala- berkata): 

“Apa pun yang diperoleh mukatab setelah kitabah dengan cara apa pun, itu adalah hartanya sendiri. Tuan tidak boleh mengambilnya atau mengambil sedikit pun darinya. 

 

Jika ada yang bertanya: ‘Bagaimana mungkin tuan tidak boleh mengambil hartanya, padahal budak belum keluar dari kepemilikannya?’ 

 

Dijawab -insya Allah ta’ala-: 

Karena Allah memerintahkan kitabah, dan kitabah adalah harta yang harus dibayarkan budak untuk merdeka. Jika tuan dibolehkan mengambilnya, maka kitabah tidak ada artinya. Sebab, jika tuan mengambil harta yang seharusnya digunakan budak untuk membayar tebusan, maka budak bisa saja mampu membayar tetapi dicegah oleh tuan, atau ia memang tidak mampu. Dengan demikian, makna kitabah menjadi batal dari kedua sisi. 

 

Mukatab boleh melakukan apa pun dengan hartanya selama untuk kepentingan yang wajar dan bukan pemborosan. Ia tidak boleh melakukan pemborosan. Jika ia menghadiahkan satu dirham dari hartanya, itu ditolak. Jika ia membeli sesuatu dengan harga yang tidak wajar, itu ditolak. Demikian pula jika ia menjual sesuatu dari hartanya dengan harga yang tidak wajar, itu ditolak. 

 

Jika ada orang yang melukainya, lalu ia memaafkan tanpa kompensasi harta, maka maafnya batal, karena itu termasuk menyia-nyiakan hartanya. 

 

Ia boleh menjual dengan pertimbangan yang wajar dan mengakui transaksi jual beli, tetapi tidak boleh menikah tanpa izin tuannya. Jika ia menikah dan menggauli istrinya, maka pernikahannya batal, dan ia wajib membayar mahar yang setara jika ia merdeka. Namun, mahar itu tidak boleh dituntut sebelum ia merdeka, karena wanita itu menikah dengannya atas kerelaannya. 

 

Jika ia membeli seorang budak perempuan dengan transaksi yang tidak sah, lalu budak itu meninggal di tangannya, maka ia wajib mengganti nilainya, karena jual belinya sah. Apa pun yang menjadi konsekuensi dari pembelian yang sah, itu menjadi tanggungan hartanya.”

 

Jika aku membeli seorang budak perempuan lalu menikahinya, kemudian seorang laki-laki menuntut haknya atasnya, maka dia berhak mengambilnya dan mengambil mahar semisalnya. Ini karena transaksi jual-beli, sedangkan asal pernikahan baginya tidak sah. Oleh karena itu, dia hanya diwajibkan membayar mahar wanita itu dari hartanya sendiri. 

 

Jika dia adalah seorang mukatab (budak yang sedang menebus dirinya), mahar wanita itu tetap menjadi tanggungannya bahkan setelah dia merdeka. Jika seseorang menanggung mahar itu untuknya atau menjamin atas nama orang lain, maka itu batal. Sebab, ini adalah bentuk sukarela yang seharusnya menjadi tanggungannya sendiri dari hartanya, seperti hibah yang dia berikan, dan tidak wajib setelah merdeka. 

 

Jika dia memiliki anak kecil atau besar dalam keadaan membutuhkan, atau ayah yang membutuhkan, nafkah mereka tidak wajib baginya. Namun, nafkah istrinya tetap wajib baginya, baik sang majikan mengizinkan pernikahannya sebelum atau setelah perjanjian pembebasan. 

 

Jika dia menikah selama masa mukatab tanpa izin majikannya, lalu majikannya tidak mengetahui hingga dia merdeka, kemudian dia menikahinya atau telah menikah sebelum merdeka, maka dalam kedua kondisi itu dia wajib membayar mahar semisal. Anaknya merdeka, dan mereka harus dipisahkan. 

 

Jika dia memiliki budak lalu budak itu meninggal, dia wajib mengkafaninya setelah kematiannya dan memberinya nafkah saat sakit. 

 

Jika dia membeli kerabat yang tidak akan merdeka atasnya seandainya dia merdeka, maka pembeliannya sah selama untuk tujuan yang baik, sebagaimana dia boleh membeli orang lain dengan niat baik. Namun, jika dia membeli mereka dengan niat buruk, maka jual-belinya batal. Jika pembelinya memerdekakan budak itu, maka pembebasannya tidak sah. 

 

Jika seorang mukatab membeli budak dengan syarat yang telah disebutkan (jual-beli batal) lalu memerdekakan mereka dari kepemilikan mereka sendiri, maka pembebasannya batal hingga dia memperbarui jual-beli. Jika dia memperbaruinya, mereka tetap budak, kecuali jika pembelinya ingin memerdekakan mereka. 

 

Jika dia menjual budak dalam jual-beli yang rusak lalu memerdekakannya, kemudian ada ganti rugi yang dibebankan oleh imam kepada para mantan majikannya, lalu diketahui bahwa jual-belinya rusak, maka transaksi itu dibatalkan dan ganti rugi dikembalikan kepada yang mengambilnya. 

 

Demikian pula, jika ada ganti rugi yang dibebankan padanya sebagai ganti rugi orang merdeka, lalu dia menerimanya atau diterima untuknya, maka itu harus dikembalikan kepada yang mengambilnya. 

 

Seorang mukatab tidak boleh membeli seseorang yang akan merdeka atasnya jika dia merdeka, seperti anak atau orang tua. Jika dia membeli mereka, maka pembeliannya batal. Jika mereka meninggal dalam kepemilikannya sebelum dikembalikan, dia wajib mengganti nilainya karena itu akibat pembelian. Jika dia tidak mengembalikan mereka hingga merdeka, pembeliannya batal dan mereka tidak merdeka atasnya, sebab dia tidak memiliki mereka melalui pembelian yang rusak hingga dia memperbarui pembelian setelah merdeka. Jika dia memperbaruinya, mereka merdeka atasnya. 

 

Dia juga tidak boleh membeli apa yang tidak boleh dia jual. Pembelian semacam itu hanya merugikan harga mereka. Seorang mukatab juga tidak boleh memiliki selir, meskipun majikannya mengizinkannya. Jika dia memiliki selir dan melahirkan anak baginya, dia boleh menjual selir itu, tetapi tidak boleh menyetubuhinya karena persetubuhan dengan kepemilikan tidak sah. 

 

Dia boleh membeli budak perempuan yang pernah melahirkannya dalam pernikahan sah dan menjualnya. Dia juga boleh membeli kerabat atau orang lain yang tidak akan merdeka atasnya jika pembeliannya untuk tujuan baik. 

 

Jika dia diwasiati oleh ayah, ibu, atau anaknya, atau mereka memberinya hadiah atau sedekah, dia boleh menolaknya. Jika dia menerimanya, dia harus memerintahkan mereka untuk bekerja dan mengambil kelebihan hasil kerja serta harta yang mereka peroleh, karena itu adalah miliknya untuk membantunya dalam pembebasan dirinya. Siapa pun yang melunasi, dia merdeka, dan mereka merdeka dengan kemerdekaannya.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Tidak ada harta yang dimiliki, atau kejahatan yang dilakukan terhadap mereka, atau kepemilikan mereka dalam bentuk apa pun, itu adalah milik orang yang memerdekakan (mukatab). Apa yang mereka miliki setelah merdeka adalah milik mereka sendiri. Jika kejahatan dilakukan terhadap mereka sebelum merdeka, itu dianggap kejahatan terhadap budak. Dia tidak wajib menafkahi mereka jika mereka mampu bekerja, dan dia tidak boleh menghalangi mereka untuk bekerja, sebagaimana tidak boleh dilakukan terhadap budak orang lain, karena itu merugikan hartanya. Namun, dia wajib menafkahi mereka jika sakit atau tidak mampu bekerja. Jika dia khawatir akan ketidakmampuan, dia tidak boleh menjual salah satu dari mereka yang akan dimerdekakan, termasuk orang tua dan anak. Jika mereka tidak mampu, status mereka kembali sebagai budak dan menjadi milik tuannya, karena budaknya adalah milik mereka seperti yang dijelaskan. Jika salah satu dari mereka melakukan kejahatan, dia tidak boleh menebusnya dengan apa pun, tetapi harus menjual sebagian dari hartanya sebesar nilai kejahatan tersebut. Dia tidak boleh menjual lebih dari nilai kejahatan, karena sisanya akan bebas ketika dia merdeka. Jika dia membeli atau menjual seseorang yang tidak berhak dia beli atau jual, transaksi itu batal dan tidak sah karena transaksinya rusak.

 

Anak mukatab dari selain budak perempuannya:

Jika seorang mukatab memiliki anak yang tidak termasuk dalam perjanjian kemerdekaan, dan jika perjanjian itu mencakup anak-anak kecil, perjanjian itu batal karena tidak boleh membebankan kewajiban kepada orang lain selain tuannya. Perjanjian untuk anak-anak kecil juga tidak sah. Jika anak-anak lahir setelah perjanjian, status mereka mengikuti status ibu mereka karena status anak dalam perbudakan mengikuti ibu. Jika ibu mereka merdeka, mereka merdeka. Jika ibu mereka budak, mereka adalah budak dari pemilik ibu mereka, baik tuannya adalah tuannya mukatab atau orang lain. Jika ibu mereka adalah mukatab untuk selain tuannya, ayah tidak memiliki hak atas mereka. Mereka menunggu keputusan status ibu mereka: jika ibu merdeka, mereka merdeka; jika ibu tetap budak, mereka tetap budak. Jika ibu adalah mukatab untuk tuannya atau orang lain, status mereka sama dan mengikuti ibu mereka, bukan ayah mereka. Jika ibu mereka menyelesaikan pembayaran, dia merdeka. Jika dia menyelesaikan pembayaran, dia merdeka karena tidak ada tanggungan antara mereka.

 

Budak perempuan mukatab dan anaknya dari budak perempuannya:

Seorang mukatab tidak boleh memiliki budak perempuan (istri) tanpa izin tuannya. Jika dia melakukannya dan memiliki anak selama masa perjanjian, kemudian merdeka, ibu anak tersebut tidak dianggap sebagai umm walad (ibu anak tuan) karena hubungan itu terjadi sebelum merdeka. Dia baru dianggap umm walad jika melahirkan setelah merdeka dari hubungan yang sah. Jika melahirkan dalam enam bulan atau lebih setelah merdeka, dia dianggap umm walad. Jika kurang dari enam bulan, tidak dianggap umm walad.

 

Jika budak perempuan atau istrinya (yang dibeli) melahirkan anak selama masa perjanjian, dia boleh menjualnya karena istri yang melahirkan dari pernikahan tidak dianggap umm walad. Hubungan yang tidak sah juga tidak membuatnya menjadi umm walad. Seseorang hanya dianggap umm walad jika hubungan terjadi dengan kepemilikan yang sah, sebagian atau seluruhnya. Jika seorang budak perempuan melahirkan dari hubungan dengan mukatab, kemudian melahirkan dari hubungan dengan orang merdeka setelah tuannya merdeka, dia dianggap umm walad dari hubungan setelah merdeka, bukan sebelumnya. Jika seorang mukatab memerdekakan budak perempuannya, itu tidak sah dan budak itu tidak merdeka. Dia juga tidak bisa menjadi umm walad yang mencegah penjualannya, karena status umm walad lebih lemah dari kemerdekaan. Dia tidak seperti orang merdeka yang memiliki sebagian dari budak perempuan dengan kepemilikan sah. Jika dia memerdekakan budak itu, dia hanya memerdekakan bagiannya, dan bagian pemilik lainnya jika dia mampu. Jika umm walad mukatab melakukan kejahatan, dia diperlakukan seperti budak lainnya: boleh dijual atau ditebus seperti budak lainnya.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Imam Syafi’i (semoga Allah Ta’ala merahmatinya) berkata: “Jika seorang mukatab (budak yang sedang menebus diri) memiliki anak dari budak perempuannya, ia tidak boleh menjual anaknya tetapi boleh menjual ibunya kapan saja ia mau. Jika ia merdeka, anaknya ikut merdeka bersamanya. Namun ibunya tidak otomatis menjadi umm walad (ibu anak merdeka) sehingga tetap boleh dijual. Hasil penjualan atau upah anak boleh digunakan untuk nafkah anak atau membantu pembayaran tebusan sang ayah jika ia mau.”

 

“Jika seorang mukatab membeli anak, ayah, atau ibunya yang seharusnya merdeka bersamanya dari orang merdeka, pembelian itu tidak sah karena merugikan hak kemerdekaan mereka. Ia hanya boleh membeli apa yang boleh dijual. Jika mereka dihadiahkan atau diwariskan padanya, ia tetap tak boleh menjual mereka dan status mereka tergantung padanya. Jika ia merdeka, mereka merdeka bersamaan karena saat itu ia sah memilikinya. Jika ia gagal merdeka, mereka kembali menjadi budak tuannya dan tidak boleh dijual. Jika ia meninggal sebelum lunas, mereka tetap budak. Sekalipun mereka menawarkan melunasi tebusan, itu tidak dianggap. Mukatab boleh mengambil harta mereka jika ada untuk membayar tebusan, atau mengambil diyat jika mereka dizalimi, serta mempekerjakan mereka untuk mengambil upahnya karena harta mereka dianggap miliknya sampai ia merdeka. Ketika ia merdeka, mereka merdeka bersamanya.”

 

Imam Syafi’i menambahkan: “Mukatab tidak boleh memerdekakan mereka karena status mereka tergantung pada kegagalan tebusan dimana mereka akan kembali menjadi budak tuannya. Tuannya juga tidak boleh memerdekakan mereka karena hasil kerja mereka bisa membantu mukatab. Jika kedua pihak sepakat memerdekakan, maka boleh.”

 

“Jika ada perselisihan tentang anak mukatab – tuannya mengklaim lahir sebelum perjanjian sementara mukatab mengklaim setelahnya – maka klaim mukatab diterima selama memungkinkan benar, misalnya jika perjanjian sudah berjalan setahun lebih dan usia anak wajar. Namun jika usia anak jelas lebih tua dari perjanjian, klaimnya ditolak. Jika bukti samar, klaim mukatab diterima kecuali tuan bisa membuktikan anak lahir sebelum perjanjian sehingga statusnya tetap budak. Jika kedua pihak sama-sama punya bukti, maka bukti dianggap batal dan status quo dipertahankan.”

 

“Jika tuan bisa membuktikan ada dua anak kembar dimana satu lahir sebelum perjanjian dan satu setelahnya, keduanya tetap budak karena status kembar sama. Jika tuan berhasil membuktikan anak adalah budaknya dan mukatab mengakuinya, pengakuan diterima karena tidak mungkin mengaku merdeka untuk orang lain. Namun bukti tuan hanya diterima jika menyebutkan anak lahir sebelum perjanjian atau setelah mukatab gagal menebus, sekalipun ada perjanjian baru setelahnya.”

 

[Catatan tentang perjanjian mukatab untuk anaknya]

 

Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata:  

 

“Jika seorang budak melakukan mukatabah (perjanjian pembebasan dengan tebusan) atas dirinya sendiri dan dia memiliki anak-anak yang sudah dewasa serta mereka setuju, maka mukatabah itu sah, sebagaimana sahnya jika dia melakukan mukatabah atas dirinya sendiri bersama dua budak atau lebih. Namun, jika dia melakukan mukatabah atas dirinya sendiri dan dua anaknya dengan tebusan seribu, maka seribu itu dibagi berdasarkan nilai ayah dan kedua anaknya. Jika nilai ayah adalah seratus dan nilai kedua anaknya seratus, maka ayah menanggung setengah dari seribu, dan kedua anak menanggung setengahnya, yaitu masing-masing dua ratus lima puluh jika nilai mereka sama. 

 

Jika ayah meninggal, bagiannya dalam mukatabah dihapus. Jika salah satu anak meninggal, bagiannya dalam mukatabah juga dihapus (yaitu dua ratus lima puluh), dan sisanya menjadi tanggungan anak yang lain (dua ratus lima puluh). Jika ayah meninggal dan memiliki harta, maka hartanya menjadi milik tuannya, dan anak-anaknya tidak mendapatkan apa-apa, karena mereka seperti orang asing yang ikut dalam mukatabah. 

 

Demikian pula jika kedua anak atau salah satunya meninggal dan memiliki harta, maka hartanya untuk tuannya, karena siapa pun yang meninggal sebelum menyelesaikan pembayaran mukatabah statusnya tetap budak. Jika salah satu dari mereka membayarkan tebusan untuk mereka, maka mereka dibebaskan tanpa persetujuan mereka, dan tidak ada tuntutan balik atas mereka. Namun, jika pembayaran dilakukan dengan persetujuan mereka, maka tuntutan balik berlaku. 

 

Jika salah satu dari mereka gagal membayar, bagiannya dalam mukatabah gugur, dan statusnya kembali sebagai budak. Hukum mereka sama seperti tiga budak asing yang melakukan mukatabah, tanpa perbedaan. Jika ayah menyelesaikan bagiannya dalam mukatabah, dia bebas, sedangkan anak-anak yang bersamanya tetap dalam status mukatabah. Jika mereka membayar, mereka bebas; jika gagal, status mereka kembali sebagai budak. 

 

Ayah tidak berhak memanfaatkan anak-anaknya dalam mukatabah, juga tidak berhak atas harta mereka. Demikian pula, ayah tidak bertanggung jawab atas tindakan kriminal yang dilakukan salah satu anaknya, atau atas tindakan kriminal yang dilakukan terhadap salah satu dari mereka dalam mukatabah. Tindakan kriminal yang dilakukan oleh atau terhadap mereka menjadi tanggung jawab mereka sendiri, bukan ayah atau anak-anaknya, meskipun mereka bersama dalam perjanjian mukatabah. 

 

Prinsipnya adalah, jika seseorang melakukan mukatabah bersama anak-anaknya, saudara-saudaranya, atau orang asing, maka setiap orang bertanggung jawab atas bagiannya sendiri dalam mukatabah, terlepas dari yang lain. Dia boleh gagal membayar, dan tuannya berhak membatalkan mukatabah jika dia gagal, sebagaimana layaknya mukatabah individu. Dia juga boleh mempercepat pembayaran untuk meraih kebebasan, jika hal itu diperbolehkan. 

 

Jika seorang ayah dan anaknya atau saudara-saudaranya melakukan mukatabah, lalu ayah atau anak meninggal sebelum menyelesaikan pembayaran, maka mereka meninggal dalam status budak. Tuannya berhak mengambil hartanya, dan bagiannya dalam mukatabah dihapus dari rekan-rekannya. Demikian pula, tuannya boleh memerdekakan siapa pun yang dia kehendaki. Jika dia memerdekakan salah satu dari mereka, bagiannya dalam mukatabah dihapus dari yang lain. 

 

Seorang mukatab tidak boleh melakukan mukatabah atas dirinya sendiri bersama anak yang tidak waras atau gila, karena ini adalah bentuk mukatabah yang mustahil, dan kemustahilan tidak boleh dibebankan kepada orang lain. Jika mukatabah dilakukan dalam kondisi seperti ini, maka perjanjiannya batal. 

 

### Tentang Anak yang Lahir dari Mukatabah 

 

Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata: 

 

“Diperbolehkan melakukan mukatabah dengan seorang wanita. Jika tuannya membuat perjanjian mukatabah dengannya saat dia memiliki suami, atau dia menikah dengan izin tuannya lalu melahirkan, atau melahirkan tanpa suami selama masa mukatabah, maka status anaknya tertunda. Jika dia menyelesaikan pembayaran dan merdeka, anaknya juga merdeka. Jika dia meninggal sebelum menyelesaikan pembayaran—baik memiliki harta untuk melunasi mukatabah, ada sisa, atau tidak memiliki harta—maka dia meninggal dalam status budak, dan hartanya (jika ada) menjadi milik tuannya. Anaknya tetap budak, karena mereka tidak terikat perjanjian mukatabah sehingga tidak ada bagian yang harus mereka bayarkan untuk merdeka jika ibu mereka tidak melunasi. Mereka tidak seperti anak dari umm walad (budak yang melahirkan anak tuannya) yang tidak kembali menjadi budak. 

 

Namun, mukatabah bisa kembali menjadi budak, berbeda dengan umm walad menurut pendapat yang mengatakan umm walad tidak kembali menjadi budak. Ada juga pendapat bahwa anak yang dilahirkan oleh mukatabah statusnya budak, karena ibu mereka bukan orang merdeka. Pendapat pertama lebih aku sukai. 

 

Jika terjadi tindak kriminal terhadap anak yang dilahirkan selama mukatabah sebelum ibunya menyelesaikan pembayaran, ada dua pendapat: 

 

  1. Nilainya menjadi milik tuannya. Pendapat ini berargumen bahwa wanita tersebut tidak memiliki hak kepemilikan atas anaknya, sehingga tidak ada sebab kepemilikan baginya, berbeda dengan budak yang melahirkan anak tuannya. Jika anak itu adalah anak kandungnya, maka itu menjadi sebab kepemilikan baginya. Demikian pula, harta yang dia peroleh atau menjadi miliknya, jika dia meninggal sebelum merdeka, maka menjadi milik tuannya karena dia meninggal sebagai budak. Ibunya tidak berhak atas hartanya selama hidupnya, karena dia bukan pemiliknya.

 

Menurut pendapat ini, tuannya wajib menafkahi anak itu saat kecil, tetapi ibunya tidak, karena dia tidak memilikinya. Jika ibunya merdeka, anak itu juga merdeka. Jika anak itu menghasilkan harta atau memperolehnya dengan cara apa pun, maka harta itu digunakan untuk menafkahinya dan tidak boleh diambil tuannya. Jika anak itu meninggal sebelum ibunya merdeka, hartanya menjadi milik tuannya. Jika anak itu merdeka karena kemerdekaan ibunya, maka hartanya menjadi milik anak itu. 

 

Perbedaan antara anak ini dan anak budak perempuan yang dimiliki oleh seorang mukatab adalah bahwa ibunya tidak memilikinya, tetapi status hukumnya mengikuti ibunya, bukan sebagai kepemilikan. Seorang mukatab, jika budak perempuannya melahirkan, maka anak itu adalah miliknya, sama seperti budak lain. 

 

Jika budak mukatabah melahirkan anak, lalu tuannya memerdekakan mereka, maka itu sah. Namun, jika seorang mukatab memiliki anak dari budak perempuannya, lalu tuannya memerdekakan mereka, maka itu tidak sah. Demikian pula, jika seorang mukatab memiliki ayah, ibu, atau anak, lalu tuannya memerdekakan mereka, itu juga tidak sah, karena tuannya tidak boleh merusak harta mukatabnya. 

 

Anak yang dilahirkan oleh mukatabah setelah perjanjian mukatabah—bahkan sesaat setelahnya—statusnya seperti yang telah dijelaskan. Sedangkan anak yang dilahirkan sebelum mukatabah adalah budak tuannya dan tidak termasuk dalam ketentuan di atas. 

 

Pendapat kedua mengatakan bahwa ibu mereka lebih berhak atas apa yang dimiliki anak-anaknya, karena anak itu akan merdeka jika ibunya merdeka. Namun, pendapat pertama lebih sesuai.”

 

Jika seorang budak perempuan yang sedang dalam perjanjian pembebasan (mukatabah) melahirkan anak, lalu terjadi perselisihan antara dia dan tuannya—si tuan berkata, “Dia melahirkan sebelum perjanjian,” sementara budak perempuan itu berkata, “Aku melahirkan setelah perjanjian”—maka perkataan tuan dianggap benar dengan disertai sumpah. Namun, budak perempuan itu boleh mengajukan bukti. Jika dia bisa menghadirkan bukti, buktinya diterima. Tetapi jika dia dan tuannya sama-sama menghadirkan bukti, maka kedua bukti itu ditolak, dan perkataan tuan tetap dianggap benar, terutama jika perjanjian pembebasan belum lama berjalan. 

 

Jika anak yang dilahirkan masih kecil dan tidak mungkin dilahirkan sebelum perjanjian, maka tuan dibenarkan atas apa yang mungkin terjadi. Namun, jika sesuatu mustahil terjadi, perkataannya tidak diterima. Anak yang dilahirkan budak mukatabah setelah perjanjian, baik laki-laki maupun perempuan, statusnya sama. Jika anaknya melahirkan anak selama masa perjanjian, maka anak dari anak perempuannya statusnya seperti anak perempuan budak itu sendiri, sedangkan anak dari anak laki-lakinya statusnya mengikuti ibu mereka. Jika ibu mereka budak, maka mereka milik tuan sang ibu. Jika ibu mereka merdeka, mereka juga merdeka. Jika ibu mereka dalam status mukatabah, maka anak-anak itu mengikuti status ibu mereka. Begitu pula keturunan mereka selanjutnya, sementara budak perempuan mukatabah tetap dalam statusnya. 

 

Seorang budak mukatabah tidak boleh menikah tanpa izin tuannya. Jika dia melakukannya tanpa izin lalu melahirkan—baik dari pernikahan yang sah maupun dari perzinaan—maka anaknya mengikuti statusnya. Baik anak itu lahir dari hubungan halal (dengan izin tuan) atau haram (karena perzinaan tanpa izin tuan), hukumnya sama, karena statusnya seperti ummul walad (budak yang melahirkan anak tuannya). 

 

Harta Mukatabah 

Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata: “Tuan dilarang mengambil harta budak mukatabah, sebagaimana dia dilarang mengambil harta budak laki-laki yang sedang dalam perjanjian pembebasan. Dia juga dilarang menyetubuhinya, sebagaimana dia dilarang menyakitinya, karena budak perempuan itu memiliki hak atas tubuhnya yang tidak halal diganggu, sama seperti larangan menyakitinya. Jika dia (tuan) menyetubuhinya—baik budak itu rela atau terpaksa—tidak ada had (hukuman) baginya atau bagi budak itu. Namun, dia (tuan) bisa dihukum ta’zir (hukum pengajaran) jika melakukannya dengan sengaja, kecuali jika salah satu dari mereka tidak tahu hukum, maka hukuman bisa dihindari karena ketidaktahuan. Jika budak itu dipaksa, dia tidak dikenai hukuman. 

 

Tuan wajib membayar mahar seperti mahar wanita merdeka yang harus diberikan kepada budak itu. Jika dia memiliki utang dalam pembebasan, mahar itu bisa menjadi pelunasan utangnya. Jika tidak ada utang yang bisa dilunasi dan tuan itu bangkrut, mahar itu dianggap sebagai pelunasan, kecuali jika dia menjadi kaya sebelum pelunasan, maka budak itu berhak menerimanya. Baik budak itu rela atau dipaksa, dia berhak atas mahar, karena tidak ada had dalam persetubuhan ini, seperti halnya wanita yang dinikahi dengan nikah fasid (tidak sah), dia tetap berhak mahar karena tidak ada had baginya. 

 

Jika budak mukatabah dibebaskan lalu melahirkan anak dari tuannya, maka budak itu memiliki pilihan: mengambil mahar dan tetap melanjutkan perjanjian pembebasan (dengan risiko gagal), atau memilih status sebagai ummul walad. Jika dia memilih mahar, dia berhak menerimanya dan tetap terikat perjanjian. Jika dia berhasil melunasi, dia merdeka. Jika tuan meninggal sebelum pelunasan, dia merdeka karena statusnya sebagai ummul walad menurut pendapat yang membebaskan ummul walad. Perjanjian pembebasan dan hartanya batal, karena hartanya sebelumnya dilarang diambil tuannya berdasarkan perjanjian. Hartanya tidak seperti harta ummul walad non-mukatabah, karena ummul walad biasa adalah budak, dan tuannya tidak dilarang mengambil hartanya. 

 

Jika dia memilih gagal dalam perjanjian, maka statusnya menjadi ummul walad, dan hartanya menjadi milik tuannya. Jika tuan meninggal, harta itu menjadi milik ahli warisnya, dan maharnya batal karena mereka mewarisi harta yang menjadi hak tuan akibat kegagalannya membebaskan dirinya. 

 

Jika tuan menyetubuhi budak mukatabah sekali atau berkali-kali, dia hanya berhak satu mahar sampai dia diberikan pilihan (untuk memilih mahar atau status ummul walad). Jika dia memilih mahar lalu tuan menyetubuhinya lagi, dia berhak mahar lagi. Setiap kali dia memilih mahar dan disetubuhi lagi, dia berhak mahar baru—seperti wanita yang dinikahi dengan nikah fasid: sekali atau berkali-kali bersetubuh hanya mewajibkan satu mahar. Namun, jika mereka berpisah dan mahar sudah dibayarkan, lalu menikah lagi dengan akad baru, dia berhak mahar baru.

 

Jika seorang budak mukatab melahirkan anak perempuan dari seorang laki-laki, lalu anak perempuan tersebut melahirkan anak perempuan dari budak mukatab tersebut, maka anak itu berhak mendapatkan mahar darinya. Jika dia hamil, dia tidak seperti ibunya ketika hamil, karena dia tidak memiliki bagian dalam perjanjian mukatab. Ibunya hanya bisa merdeka jika dibebaskan, atau tuannya meninggal sehingga dia menjadi umm walad, atau ibunya gagal memenuhi perjanjian sehingga tetap menjadi budak sementara dia menjadi umm walad tanpa pilihan dalam hal itu. 

 

Jika seseorang menyetubuhi budak perempuan milik seorang mukatab, maka mukatab berhak mendapatkan mahar budak tersebut darinya, sebagaimana dia juga berhak menuntut ganti rugi jika terjadi pelanggaran terhadap budak itu. Jika budak tersebut hamil, dia menjadi umm walad bagi penyetubuh, dan dia wajib membayar mahar serta nilainya kepada mukatab, kecuali jika mukatab memilih untuk menguranginya dari pembayaran mukatabnya. 

 

Demikian pula, jika seseorang menyetubuhi budak perempuan milik anak dari budak mukatab dalam perjanjian, maka dia wajib membayar mahar jika tidak hamil, atau mahar dan nilai budak jika hamil, karena semua itu adalah harta yang terlarang baginya. 

 

(Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): 

Jika seorang budak mukatab dimiliki oleh dua orang dan salah satunya menyetubuhinya tanpa menyebabkan kehamilan, maka penyetubuh wajib membayar mahar semisal. Mitra yang tidak menyetubuhi tidak berhak mengambil bagian selama perjanjian mukatab masih berlaku. Jika budak itu gagal memenuhi perjanjian atau memilih untuk gagal sebelum mahar diambil, maka mitra yang tidak menyetubuhi berhak mengambil separuh mahar dari mitra penyetubuh. Jika mahar telah diberikan kepada budak mukatab dan kemudian dia gagal, mitra tidak bisa menuntut kembali dari penyetubuh, karena mahar telah menjadi milik budak tersebut. 

 

Jika setelah menerima mahar, budak itu gagal dan masih memiliki harta selain mahar, mitra yang tidak menyetubuhi tidak bisa mengambil mahar saja, karena mahar itu telah menjadi milik budak dalam perjanjian mukatab, dan semua yang menjadi miliknya harus dibagi dua. 

 

Jika budak itu hamil lalu memilih gagal, maka tuannya yang tidak menyetubuhi berhak separuh mahar dan separuh nilai budak dari penyetubuh. Jika dia hamil tetapi memilih melanjutkan perjanjian, dia boleh mengambil mahar dari penyetubuh, dan jika kemudian gagal, mitra tidak bisa menuntut kembali mahar, tetapi bisa menuntut separuh nilai budak. Budak itu menjadi umm walad bagi penyetubuh. 

 

Jika budak hamil, memilih melanjutkan perjanjian, mengambil mahar dari penyetubuh, lalu tuannya meninggal sebelum dia melunasi, dia merdeka karena kematian tuannya (menurut pendapat yang membebaskan umm walad), dan mitra bisa menuntut separuh nilai budak dari harta almarhum, karena perjanjian mukatab batal akibat penyetubuhan. 

 

Jika seorang budak mukatab dimiliki dua orang dan keduanya menyetubuhinya, maka masing-masing wajib membayar mahar semisal. Jika budak itu gagal dan kedua mahar sama, masing-masing bisa menuntut setengah dari yang lain. Jika maharnya berbeda—misal, satu menyetubuhi di daerah dengan mahar 100, dan yang lain di daerah dengan mahar 200—maka 100 dibanding 100, dan yang wajib 100 bisa menuntut 50 dari yang wajib 200, karena separuh dari 100 adalah haknya, sementara separuh mahar penyetubuh hangus karena kegagalan budak.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i berkata – semoga Allah meridhainya -): Jika ada dua orang yang memiliki seorang budak mukatab (budak yang sedang dalam proses merdeka), lalu salah seorang darinya mencampurinya, kemudian yang lain juga mencampurinya, maka budak tersebut berhak mendapatkan mahar seperti mahar wanita merdeka dari masing-masing lelaki itu. Jika budak itu gagal merdeka, dia tidak berhak mendapatkan mahar karena persetubuhan, tetapi masing-masing lelaki itu wajib membayar setengah mahar wanita merdeka kepada rekannya sebagai ganti dari kewajiban mahar.

 

Seperti dua orang yang memiliki budak perempuan bersama lalu keduanya mencampurinya secara bersamaan, maka masing-masing berhak mendapatkan setengah mahar dari rekannya, di mana salah satu setengahnya menjadi ganti rugi dari yang lain. Ini berlaku jika budak itu tidak hamil. Jika salah satu persetubuhan menyebabkan kerusakan (misalnya kehilangan keperawanan), maka dia wajib membayar ganti rugi atas kerusakan itu beserta mahar yang menjadi kewajibannya. Jika salah satunya menyebabkan farajnya robek (hingga menyentuh dubur), dia wajib membayar kepada rekannya setengah nilai budak itu dan setengah maharnya. Jika farajnya robek lalu masing-masing saling menuduh bahwa rekannya yang menyebabkan robekan itu, maka tidak ada kewajiban bagi keduanya untuk membayar apa pun terkait robekan tersebut. Jika keduanya saling mengingkari persetubuhan, maka tidak ada kewajiban bagi keduanya sampai salah satu mengakuinya atau ada bukti yang sah.

 

(Ar-Rabi’ berkata): Robekan faraj yang dimaksud adalah robekan yang mencapai dubur, dan jika budak itu merdeka, maka wajib membayar diyat (tebusan) yang dibebankan kepada keluarga pelaku (aqilah), baik dilakukan sengaja maupun tidak. Begitu juga dengan cambukan atau pukulan yang menyebabkan kematian, diyatnya dibayar dengan 30 ekor unta betina usia 3 tahun, 30 ekor unta betina usia 4 tahun, dan 40 ekor unta bunting. 

 

Jika seorang lelaki merobek faraj budak milik orang lain, maka dia wajib membayar nilai budak itu dari hartanya sendiri. Namun, Imam Syafi’i berpendapat bahwa diyatnya dibebankan kepada aqilah (keluarga pelaku). 

 

(Imam Syafi’i berkata – semoga Allah meridhainya -): Jika budak mukatab dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya mencampurinya, kemudian yang lain juga mencampurinya, lalu budak itu melahirkan anak setelah enam bulan dari persetubuhan yang kedua, dan keduanya saling mengklaim atau menolak anak itu, sementara budak itu mengakui persetubuhan tetapi tidak mengklaim anak itu sebagai hasil istibrā’ (persetubuhan untuk membebaskan status budak), maka budak itu boleh memilih antara melanjutkan mukatabah atau gagal merdeka. Jika dia memilih gagal merdeka, maka anak itu diserahkan kepada ahli qā’ifah (pengenal garis keturunan). Jika ahli qā’ifah tidak bisa menentukan ayahnya, maka anak itu bukan anak salah satu dari keduanya, dan keduanya dilarang mencampuri budak itu lagi. Mereka wajib menafkahi budak itu dan boleh menyewakannya, dengan pembagian sewa sesuai porsi kepemilikan mereka. 

 

Ketika anak itu dewasa dan mengaku sebagai anak salah satunya, maka hak ayah dari yang lain terputus, dan anak itu menjadi anak dari yang diakuinya. Jika ayah yang diakui itu mampu, dia wajib membayar setengah nilai budak itu dan budak itu menjadi umm walad (ibu dari anak tuannya) baginya menurut pendapat yang melarang penjualan umm walad. Jika dia tidak mampu, maka setengah haknya dalam budak itu menjadi milik rekannya. Persetubuhannya setelah itu tidak menyebabkan status umm walad kecuali jika dia memerdekakannya, sementara dia dalam keadaan tidak mampu. Pemilik budak bisa menuntut orang yang diakui sebagai ayah untuk membayar setengah nilai anak itu. 

 

Kedua mahar menjadi gugur jika keduanya setara. Jika salah satu mahar lebih besar, maka yang satu bisa menuntut kelebihan itu dari yang lain sebesar setengahnya. 

 

(Ar-Rabi’ berkata): Abu Ya’qub berpendapat bahwa orang yang tidak diakui sebagai ayah bisa menuntut penggantian nafkah yang telah dikeluarkan kepada orang yang diakui sebagai ayah. 

 

(Imam Syafi’i berkata – semoga Allah meridhainya -): Jika ayah yang diakui itu mampu dan budak itu memilih gagal merdeka sehingga menjadi umm walad baginya, sementara persetubuhan orang yang tidak diakui sebagai ayah terjadi sebelum persetubuhan orang yang diakui sebagai ayah, dan mahar belum diambil, maka orang yang diakui sebagai ayah berhak mendapatkan setengah mahar dari orang yang tidak diakui, dan dia juga wajib membayar setengah mahar kepada orang yang tidak diakui serta setengah nilai budak itu. 

 

Mengenai setengah nilai anak itu, ada dua pendapat: 

  1. Dia berhak mendapatkannya sejak anak itu lahir.
  2. Dia tidak berhak mendapatkannya karena anak itu menyebabkan status merdeka.

 

Jika persetubuhan orang yang tidak diakui sebagai ayah terjadi setelah persetubuhan orang yang diakui sebagai ayah, maka mengenai kewajiban mahar, ada dua pendapat: 

  1. Orang yang diakui sebagai ayah wajib membayar setengah mahar karena dia mencampuri budak yang dimiliki bersama, sementara orang yang tidak diakui wajib membayar mahar penuh karena dia mencampuri budak yang bukan miliknya sepenuhnya.
  2. Dia hanya wajib membayar setengah mahar, sama seperti rekannya, karena budak itu tidak sepenuhnya miliknya sampai dia membayar setengah nilainya.

 

(Imam Syafi’i berkata – semoga Allah meridhainya -): Jika salah satu pemilik mencampuri budak itu lalu budak itu melahirkan anak, kemudian pemilik lain mencampurinya setelahnya dan budak itu melahirkan anak lagi, sementara budak itu mengakui anak dari pemilik kedua dan tidak menyebut anak dari pemilik pertama, maka: 

– Jika pemilik pertama mampu dan telah membayar setengah nilai budak, maka budak itu menjadi umm walad baginya, dan dia wajib membayar setengah nilai budak kepada rekannya. 

– Mengenai setengah nilai anak pertama, berlaku ketentuan seperti yang telah dijelaskan. 

– Anak kedua diakui sebagai anak dari pemilik kedua, dan pemilik kedua wajib membayar mahar penuh serta nilai anak itu sepenuhnya pada hari kelahirannya sebagai ganti rugi dari setengah nilai budak, karena dia mencampuri umm walad orang lain. Anak itu diakui sebagai anaknya karena adanya syubhat (keraguan dalam status).

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

[Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata:] “Jika dua orang menggauli seorang budak perempuan secara bergantian, lalu melahirkan dua anak, dan keduanya sepakat bahwa kedua anak itu adalah anak mereka, namun masing-masing mengklaim bahwa anaknya lahir lebih dahulu daripada anak yang lain, maka kedua anak itu dinisbatkan kepada keduanya dan status ibu mereka ditangguhkan. Kedua majikan wajib menafkahinya. Jika salah satu majikan meninggal, bagiannya merdeka, dan majikan yang lain wajib menafkahi bagiannya sendiri. Jika majikan kedua meninggal, sang budak merdeka, dan status walanya ditangguhkan jika kedua majikan mampu menurut pendapat ulama yang membebaskan budak perempuan. Jika keduanya tidak mampu atau salah satunya tidak mampu, maka walanya tetap ditangguhkan dalam semua kondisi. Wallahu a’lam.”

 

[Catatan percepatan penulisan]

[Ar-Rabi’ berkata:] [Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata:] “Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan budak (mukatab) dengan pembayaran tertentu dalam jangka waktu tertentu, lalu sang budak ingin mempercepat pembayaran sebelum jatuh tempo namun majikannya menolak, maka:

– Jika perjanjiannya menggunakan dinar atau dirham, majikan dipaksa untuk menerimanya dan budak tersebut merdeka.

– Jika perjanjian dibuat di satu tempat tetapi pertemuan terjadi di tempat lain, dan majikan berkata, ‘Aku tidak mau menerimanya di tempat ini,’ maka ia dipaksa untuk menerima di tempat mana pun kecuali jika di jalur yang rawan perampokan atau di wilayah perang. Majikan tidak dipaksa menerima di dua situasi ini jika bukan di tempat perjanjian awal. Jika di tempat perjanjian awal, majikan dipaksa menerimanya di dua situasi tersebut. Budak tidak diwajibkan membayar di luar tempat perjanjian.”

 

[Imam Syafi’i berkata:] “Demikian juga jika ahli waris seseorang membuat perjanjian pembebasan budak, lalu majikan meninggal, mereka menggantikan posisinya dalam kewajiban pembayaran budak dan kewajiban mereka untuk memenuhi pembayaran.”

 

[Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – berkata:] “Jika perjanjian menggunakan barang selain uang (seperti besi, tembaga, timah, batu, atau barang lain yang tidak rusak selama penyimpanan), majikan wajib menerimanya di tempat perjanjian atau tempat yang disyaratkan. Ia tidak wajib menerima di tempat lain karena ada biaya pengangkutan, berbeda dengan dinar dan dirham yang tidak memerlukan biaya pengangkutan. Apa yang bisa dipaksakan kepada seseorang dalam hutang, maka bisa dipaksakan kepada majikan. Apa yang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang, tidak bisa dipaksakan kepada majikan. Jika ada keraguan apakah barang itu rusak atau tidak, tanyakan kepada ahli ilmu. Jika tidak rusak dalam penyimpanan, ia seperti besi atau timah. Jika bisa rusak (seperti gandum, jelai, beras, atau hewan), majikan tidak wajib menerimanya kecuali setelah budak menyerahkannya. Jika barang itu rusak karena waktu (misal ditunda setahun atau lebih) tetapi majikan tidak menghalangi, lalu majikan menolak dengan alasan ‘ini bukan waktunya,’ ia tetap dipaksa menerima kecuali jika ia khawatir kerusakan, karena ini adalah pembayaran yang jatuh tempo. Ini termasuk dalam kitab jual beli dengan tempo.”

 

Jika ada yang bertanya, “Apakah ada riwayat bahwa majikan wajib menerima percepatan pembayaran jika budak menawarkan secara sukarela sebelum jatuh tempo?” Jawab: “Ya, diriwayatkan dari Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – bahwa seorang budak mukatab milik Anas datang kepadanya dan berkata, ‘Aku sudah membayar tebusanku kepada Anas tetapi ia menolak.’ Umar berkata, ‘Anas ingin menunggu warisan.’ Lalu Umar memerintahkan Anas untuk menerimanya – aku kira Umar berkata, ‘Ambil dan masukkan ke Baitul Mal.’ Anas pun menerimanya. Diriwayatkan juga dari Atha’ bin Abi Rabah bahwa ia meriwayatkan hal serupa dari sebagian pejabat, dan sepertinya ia menyukainya.”

 

“Budak yang sehat akal dan yang gila dalam hal ini sama. Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan budak, lalu budak itu merdeka, walinya dipaksa untuk menerima apa yang bisa dipaksakan kepada majikan budak yang sehat. Demikian juga ahli waris majikan yang sudah baligh dipaksa seperti majikan, begitu pula wali orang yang underage.”

 

Dan jika

beredar di hamba mukatab dua jin atau lebih dan tuannya tidak melarangnya, maka dikatakan: “Jika aku melarangnya, itu tidak akan terjadi baginya hingga dikatakan kepada hamba mukatab: ‘Bayarlah semua yang telah jatuh tempo padamu, baik yang lama maupun yang baru.’ Jika dia melakukannya, maka dia tetap dalam perjanjian mukatab. Namun jika dia gagal membayar sebagian dari itu, baik yang lama maupun yang baru, maka dia dianggap gagal.”

 

[Jual Beli Hamba Mukatab] 

(Imam Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—berkata): 

Jika tuannya menjual sebagian kepemilikan dalam sebuah properti di mana hamba mukatab memiliki bagian, maka hamba mukatab berhak atas syuf’ah (hak beli pertama). Sebab, tuannya terhalang dari harta hamba mukatab selama dia masih hidup dalam perjanjian mukatab, sebagaimana dia terhalang dari harta orang asing. Seandainya hamba mukatab yang menjual, maka tuannya berhak atas syuf’ah. Hal ini sama saja, baik hamba mukatab menjual dengan izin tuannya atau tanpa izin, asalkan dia menjual dengan harga yang umum di pasaran. 

 

(Dia juga berkata): 

Jika hamba mukatab menjual dengan izin tuannya, lalu pembeli berkata: “Tuannya telah melepaskan hak syuf’ah kepadaku,” maka itu tidak dianggap sebagai pelepasan hak syuf’ah. Tidakkah kamu melihat, seandainya seorang asing memiliki sebagian dalam properti, lalu salah satu mitranya mengizinkannya untuk menjual bagiannya, itu tidak dianggap sebagai pelepasan hak syuf’ah? Karena izin atau diamnya sama saja, dan dia tetap berhak menuntut syuf’ah. 

 

Jika tuannya mengizinkan hamba mukatab untuk menjual bagiannya dengan harga yang tidak umum di pasaran, lalu hamba mukatab menjualnya, maka penjualan itu sah, dan tuannya tetap berhak syuf’ah dalam penjualan tersebut. Ini tidak dianggap sebagai pelepasan hak syuf’ah. 

 

Jika tuannya berkata kepada pembeli: “Aku bersumpah bahwa izinku adalah pelepasan hak syuf’ah,” maka dia tidak boleh disumpah. Sebab, jika dia melepaskan hak syuf’ah sebelum penjualan, dia tetap berhak menuntutnya. Dia hanya boleh disumpah jika dia mengatakan telah melepaskan hak syuf’ah setelah penjualan.

 

Jika seorang budak mukatab menjual sesuatu yang tidak ada hak syuf’ah di dalamnya, baik berupa harta, budak, barang, atau lainnya, lalu tuannya berkata, “Aku akan mengambilnya dengan hak syuf’ah,” maka hal itu tidak diperbolehkan baginya, dan dia tidak memiliki hak syuf’ah atas apa yang dijual oleh budak mukatabnya, kecuali seperti hak syuf’ah atas apa yang dijual oleh orang asing. 

 

Budak mukatab tidak boleh menjual sesuatu dari hartanya kecuali dengan harga yang umum di antara orang-orang (harga wajar), karena menjual dengan harga yang tidak wajar merupakan bentuk kerusakan (itlaf), dan pada saat itu dia dilarang merusak hartanya, baik sedikit maupun banyak. Jika dia menjual dengan harga yang tidak wajar tanpa izin tuannya, maka penjualannya batal. Jika barangnya masih ada, harus dikembalikan. Jika sudah hilang, maka pembeli harus menggantinya dengan barang serupa jika ada, atau dengan nilainya jika tidak ada. 

 

Jika yang dijual adalah seorang budak lalu pembeli memerdekakannya, maka pembebasannya batal dan budak itu harus dikembalikan. Demikian pula jika yang dijual adalah budak perempuan lalu dia melahirkan anak bagi pembeli, maka budak perempuan itu harus dikembalikan, dan pembeli wajib membayar ‘aqr (kompensasi) serta nilai anaknya pada hari kelahiran, sementara anaknya tetap merdeka. Jika budak perempuan itu meninggal, pembeli wajib membayar nilainya, ‘aqr, dan nilai anaknya. Jika dia belum melahirkan tetapi pembeli menyetubuhinya, maka pembeli wajib membayar ‘aqr dan mengembalikannya. Jika ada kekurangan, pembeli harus mengembalikannya beserta nilai kekurangannya. 

 

Jika tuan ingin melanjutkan penjualan dalam masalah ini, hal itu tidak diperbolehkan. Penjualan yang dilakukan tanpa izinnya tidak sah, dan akadnya batal sampai budak mukatab melakukan penjualan baru dengan izin tuannya. Penjualan baru itu sah jika dilakukan dengan harga yang wajar. Atau, jika dia melakukan penjualan baru tanpa izin tuannya tetapi dengan harga yang wajar, maka sah. 

 

Jika tuan berkata, “Aku telah memaafkan penjualan budak mukatab, dan aku rela tidak mengembalikannya,” hal itu tidak diperbolehkan. Demikian pula jika tuan berkata, “Aku telah memaafkan pengembalian penjualan dan membebaskan pembeli dari kewajiban ‘aqr, nilai anak, atau nilai sesuatu yang hilang dari penjualan,” lalu budak mukatab berkata, “Aku tidak memaafkannya,” maka hal itu diperbolehkan bagi budak mukatab jika dia menolak, karena tindakan awalnya tidak sah. 

 

Demikian pula jika budak mukatab berkata, “Aku telah memaafkannya,” sementara tuan berkata, “Aku tidak memaafkannya,” maka tidak ada yang bisa memaafkan sebagian dari hal tersebut. Jika mereka sepakat untuk melakukan penjualan baru, maka penjualan itu sah. Budak yang dimerdekakan tidak sah kemerdekaannya, dan budak perempuan yang melahirkan tidak dihukumi sebagai umm al-walad sampai mereka berdua menyepakati penjualan baru atau budak mukatab menjualnya sendiri dengan penjualan yang sah. 

 

Jika setelah penjualan yang sah, pembeli memerdekakan budak itu, maka budak itu merdeka. Jika pembeli menyetubuhi budak perempuan hingga melahirkan, maka dia dihukumi sebagai umm al-walad. Jika hal itu belum terjadi setelah penjualan yang sah, maka budak itu tetap milik tuannya, dan tuannya boleh menjualnya atau mewariskannya jika dia meninggal sebelum hal itu terjadi. 

 

Demikian pula semua yang dijual oleh budak mukatab dengan harga yang tidak wajar, hukumnya sama. Jika budak mukatab memulai penjualan dengan izin tuannya tetapi dengan harga yang tidak wajar, maka penjualan itu sah. Jika tuan ingin membatalkan penjualan setelah memberinya izin, atau mereka berdua ingin membatalkannya, hal itu tidak diperbolehkan, karena penjualannya sah dan tidak boleh dibatalkan. 

 

Jika tuan mengakui bahwa dia telah mengizinkan budak mukatab untuk menjual sesuatu dari hartanya dengan harga yang tidak wajar, lalu dia berkata, “Aku telah menarik kembali izinku,” dan budak mukatab membenarkan atau mendustakannya, maka hal itu sama saja jika terjadi setelah penjualan. Penjualan tetap mengikat kecuali ada bukti bahwa tuan menarik izinnya sebelum penjualan terjadi, maka penjualan harus dibatalkan. 

 

Jika budak mukatab menjual dengan harga yang tidak wajar, lalu pembeli berkata, “Itu dilakukan dengan izin tuan,” sementara tuan mengingkarinya, maka pembeli harus membuktikannya, dan tuan harus bersumpah. 

 

Jika budak mukatab menghibahkan sesuatu dari hartanya, sedikit atau banyak, hal itu tidak diperbolehkan. Jika tuan merestuinya, hibah itu tetap harus dikembalikan. Hibah budak mukatab tidak sah kecuali dia memulainya dengan izin tuannya. Jika dia memulai hibah dengan izin tuannya, maka hibah itu sah seperti hibah orang merdeka. 

 

Pembelian budak mukatab sama seperti penjualannya, tidak ada perbedaan. Dia tidak boleh membeli sesuatu dengan harga yang tidak wajar. Jika barang itu rusak di tangannya, dia wajib membayar nilainya, seperti yang telah dijelaskan dalam penjualannya. Jika pembeliannya dengan harga yang tidak wajar tetapi dengan izin tuannya, maka sah, sebagaimana penjualannya.

 

Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Seandainya budak mukatab membeli atau menjual sesuatu dengan harga yang tidak wajar (ghaban fahisy) dan tuannya mengetahuinya namun tidak membatalkannya, baik tuannya menyerahkan barang tersebut atau tidak, atau bahkan tidak mengetahuinya sampai budak mukatab merdeka dalam kedua keadaan tersebut, maka budak mukatab berhak mengambil barang itu dari pembelinya. Jika barangnya sudah tidak ada, budak mukatab boleh menuntut pembeli dengan membayar nilainya jika barang tersebut tidak ada padanannya, atau dengan membayar harga yang sepadan jika barang tersebut memiliki padanan.”

 

“Dan seandainya budak mukatab membeli seorang budak perempuan dengan harga yang tidak wajar, lalu dia menghamilinya atau memerdekakannya kemudian budak itu melahirkan, maka jual beli tersebut batal (ditolak). Dia wajib membayar ‘aqr (kompensasi karena menghamili budak orang lain) dan nilai anaknya saat dilahirkan, dan anaknya itu statusnya merdeka, tidak dimiliki oleh siapa pun. Hal ini berlaku dalam jual beli budak perempuan dengan harga yang tidak wajar tanpa izin. Demikian pula jika dia membeli seorang budak dengan harga yang tidak wajar, lalu jual beli itu tidak dibatalkan sampai budak mukatab merdeka, kemudian dia memerdekakan budak tersebut, maka pemerdekaan itu tidak sah karena akad jual belinya pada dasarnya telah batal.”

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Seandainya budak mukatab menjual atau membeli dengan akad jual beli yang sah dengan syarat hak khiyar (hak memilih) bagi budak mukatab, atau hak khiyar bagi budak mukatab dan penjual selama tiga hari atau kurang, namun waktu khiyar habis sampai budak mukatab meninggal, maka tuannya berhak menggantikan posisi budak mukatab dalam khiyar. Jika budak mukatab memiliki hak khiyar, dia boleh memilih untuk membatalkan atau melanjutkan jual beli.”

 

Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Seandainya budak mukatab menjual atau membeli dengan akad yang sah tanpa syarat khiyar, lalu dia dan mitranya belum berpisah dari tempat akad sampai budak mukatab meninggal, maka jual beli itu wajib dilaksanakan. Karena dia tidak memilih untuk membatalkannya sampai meninggal, maka jual beli itu sah dengan akad pertama. Budak mukatab tidak boleh memberikan hibah dengan imbalan, karena jika hibah dengan imbalan diperbolehkan lalu imbalannya lebih rendah dari nilai hibahnya, dan sebelumnya tidak ada hak bagi pemberi hibah untuk menarik kembali hibahnya, maka itu dianggap sebagai kerelaan yang mengikat mereka dengan apa yang mereka relaikan.”

 

“Budak mukatab tidak boleh bersedekah, baik sedikit maupun banyak, dari hartanya. Dia juga tidak boleh membayar kafarat sumpah, kafarat zhihar, kafarat pembunuhan, atau kafarat apa pun dalam haji, meskipun tuannya mengizinkannya atau dari hartanya yang lain. Dia tidak boleh menebus semua kafarat itu kecuali dengan puasa selama masih menjadi mukatab. Jika dia menundanya sampai merdeka, maka dia boleh menebusnya dengan hartanya karena saat itu dia sudah memiliki hartanya sendiri. Kafarat berbeda dengan jinayat (denda pidana), karena kafarat bisa berupa puasa sehingga dia tidak boleh mengeluarkan harta atau selainnya untuk menebusnya. Sedangkan jinayat dan kerusakan yang ditimbulkan terhadap jiwa hanya bisa ditebus dengan harta dalam segala keadaan.”

 

“Segala yang aku katakan tidak boleh dilakukan budak mukatab terhadap hartanya, jika dia melakukannya tanpa izin tuannya lalu tuannya tidak membatalkannya sampai budak mukatab merdeka, dan tuannya menyetujuinya atau tidak menyetujuinya, maka itu tidak sah. Karena persetujuan itu hanya berlaku untuk segala sesuatu yang merusak akad setelah akad dilakukan. Jika dia memulai kembali apa yang dia lakukan, seperti hibah atau sesuatu yang diperbolehkan, atau urusan terhadap orang yang berada dalam tanggungan kitabahnya dengan izin tuannya atau setelah merdekanya, maka itu diperbolehkan.”

 

“Dan seandainya budak mukatab memerdekakan budaknya tanpa izin tuannya atau menuliskan kitabah untuknya, lalu dia menyerahkan budak itu kepada tuannya namun tuannya tidak menolaknya sampai budak mukatab merdeka, lalu budak mukatab tidak sempat memerdekakan budak itu sampai budak yang dimerdekakan itu meninggal, kemudian dia ingin memperbarui pemerdekaan untuk mayit tersebut, maka itu tidak sah karena pemerdekaan tidak berlaku untuk mayit.”

 

“Apa yang budak mukatab lakukan dengan izin tuannya, seperti hibah atau jual beli dengan harga yang wajar, maka itu sah baginya. Karena larangan itu hanya untuk mencegahnya menyia-nyiakan hartanya agar tidak bangkrut sehingga kembali kepada tuannya dengan harta yang habis. Jika tuannya mengizinkannya untuk melakukan hal itu, lalu dia melakukannya, maka apa yang dia lakukan dalam hal yang diperbolehkan untuk orang merdeka, itu juga diperbolehkan baginya.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Dia berkata): Jika seorang tuan mengizinkan budaknya untuk memerdekakan budaknya, lalu budak itu memerdekakannya, atau mengizinkannya untuk membuat perjanjian pembebasan (mukatab) dengan budak lain atas sesuatu, lalu budak itu membuat perjanjian dan membayar (tebusan) sebelum budak pertama yang membuat perjanjian membayar atau belum membayar, maka dalam hal ini tidak boleh kecuali salah satu dari dua pendapat: Pertama, bahwa pemerdekaan dan perjanjian itu batal, karena Rasulullah SAW bersabda, “Hak waris (wala’) adalah bagi yang memerdekakan.” Karena budak mukatab tidak boleh memiliki hak wala’, maka tidak boleh memerdekakan atau membuat perjanjian dengan orang yang dimerdekakan melalui perjanjian, dan dia tidak memiliki hak wala’ atasnya. Siapa yang berpendapat demikian mengatakan bahwa ini tidak seperti jual beli atau hibah, karena ini adalah sesuatu yang keluar dari hartanya tanpa ada manfaat yang kembali kepadanya, sedangkan pemerdekaan melalui perjanjian adalah sesuatu yang keluar dari hartanya yang di dalamnya ada hak wala’ bagi yang dimerdekakan. Karena kita tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa hak wala’ hanya dimiliki oleh orang merdeka, maka tidak boleh memerdekakan secara sukarela.

 

Pendapat kedua: bahwa hal itu boleh, dan mengenai hak wala’ ada dua pendapat: Pertama, jika budak mukatab atau budak yang membuat perjanjian sebelumnya dimerdekakan, maka hak wala’ tetap tergantung pada budak mukatab. Jika budak mukatab dimerdekakan, maka hak wala’ adalah miliknya karena dia adalah pemilik yang memerdekakan. Jika dia tidak dimerdekakan sampai meninggal, maka hak wala’ adalah milik tuan budak mukatab karena dia adalah budak dari budaknya yang dimerdekakan. Pendapat kedua: bahwa hak wala’ adalah milik tuan budak mukatab dalam segala keadaan karena pemerdekaan terjadi dengan izinnya saat dia tidak memiliki hak wala’ atasnya.

 

Jika budak mukatab yang dimerdekakan atau budak yang membuat perjanjian meninggal setelah dimerdekakan, maka warisannya ditahan menurut pendapat yang menahan warisan sebagaimana dijelaskan, dan hak wala’-nya ditahan. Jika budak mukatab yang memerdekakannya dimerdekakan, maka warisan itu adalah miliknya. Jika dia meninggal sebelum dimerdekakan atau tidak mampu, maka harta itu adalah milik tuan budak mukatab yang masih hidup pada saat kematian budak yang membuat perjanjian. Jika tuan budak mukatab sudah meninggal, maka warisan itu adalah untuk ahli warisnya dari kalangan laki-laki sebagaimana hal itu menjadi milik mereka dari orang yang memerdekakannya sendiri. Warisannya menurut pendapat kedua adalah milik tuan budak mukatab karena dia memiliki hak wala’-nya.

 

(Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): Adapun apa yang diberikan oleh budak mukatab kepada tuannya yang membuat perjanjian dengannya melalui jual beli yang tidak merugikan orang lain, atau hibah, atau sedekah, maka itu diperbolehkan untuk tuannya sebagaimana diperbolehkan bagi orang merdeka jika melakukannya, karena itu adalah harta milik budaknya yang boleh diambil sesuka hatinya.

 

Jika budak mukatab menjual kepada tuannya, maka jual beli antara mereka tidak sah kecuali sebagaimana jual beli antara tuannya dan orang merdeka asing yang tidak berbeda dalam harta masing-masing jika mereka saling menjual. Demikian juga apa yang diambil darinya dalam perjanjian mukatab, dan demikian juga jika tuan menjual kepada budak mukatab, maka jual beli antara mereka tidak sah kecuali sebagaimana jual beli antara dua orang merdeka asing. Diperbolehkan adanya kerugian antara mereka dalam apa yang tuan ambil dari budak mukatab atau budak mukatab ambil dari tuan, meskipun banyak, karena itu tidak lebih dari sekadar harta milik salah satunya. Sebagaimana diperbolehkan jual beli antara dua orang merdeka yang saling berjual beli dengan kerelaan, budak mukatab tidak boleh menjual sesuatu dari hartanya dengan hutang, meskipun kelebihan di dalamnya adalah sukarela dan menggadaikannya sebagai gadai serta mengambilnya dengan cara yang tidak sah, karena gadai bisa hilang dan pihak yang berhutang bisa bangkrut. Budak mukatab tidak boleh berhutang kecuali apa yang diperbolehkan bagi mudharib kecuali dengan izin tuannya. Budak mukatab tidak boleh bermudharabah dengan siapa pun, tetapi dia boleh menjual dengan hak khiyar tiga hari jika telah menerima harga, karena jual beli dijamin oleh penerimanya baik dengan harga maupun nilai.

 

Budak mukatab boleh membeli dengan hutang meskipun tuannya tidak mengizinkan, karena itu menguntungkannya dan tidak merugikan pihak yang memberinya hutang. Dia boleh meminjam, tetapi tidak boleh menggadaikan dalam pinjaman atau lainnya, karena dia tidak boleh menghilangkan sesuatu dari hartanya, dan gadai tidak dijamin. Budak mukatab tidak boleh meminjamkan makanan karena itu adalah hutang yang bisa hilang, tetapi dia boleh meminjam makanan karena kerugian ada pada pihak yang meminjamkan. Apa yang aku benci dari pembelian budak mukatab dan jual beli lainnya yang tidak menguntungkan adalah makruh antara dia dan anak tuannya atau ayah tuannya, tetapi aku tidak memakruhkannya untuk tuannya.

 

[Pemutusan perjanjian mukatab]

 

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Imam Syafi’i berkata: 

 

Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan budak (mukatabah) dengan budaknya atas suatu jumlah tertentu yang diperbolehkan, lalu budak tersebut melunasi sebelum jatuh tempo, kemudian tuannya menawarkan untuk mengambil sesuatu yang lain darinya atau mengurangi sebagian dan mempercepat pembebasannya, maka itu tidak boleh. Jika pembayarannya belum jatuh tempo, lalu budak meminta untuk membayar sebagian secara tunai dengan dihapuskan sisanya sehingga ia merdeka, hal itu juga tidak diperbolehkan. Sebagaimana tidak boleh dalam hutang yang berjangka bagi orang merdeka untuk mempercepat sebagian pembayaran dengan syarat sebagian dihapuskan. 

 

Jika hal ini terjadi dalam mukatabah, maka budak harus mengembalikan apa yang telah diambil darinya, dan ia tidak merdeka karenanya, karena tuannya telah membebaskannya dari sesuatu yang tidak boleh dihapuskan. Namun, jika hal ini dilakukan dengan syarat terjadi pembebasan, lalu pembebasan itu terjadi, maka budak tersebut merdeka, dan tuannya dapat menuntut nilai budak tersebut karena ia membebaskannya melalui transaksi yang tidak sah, sebagaimana penjelasan dalam dasar-dasar mukatabah yang batal. Tuannya tidak berhak atas apapun dari perjanjian mukatabah karena telah batal dengan pembebasan, dan ia hanya berhak atas nilai budak seperti yang telah dijelaskan. 

 

Jika keduanya ingin memperbaiki perjanjian ini, maka budak harus rela dengan ketidakmampuannya, dan tuannya rela menerima sesuatu yang diambil darinya sebagai syarat pembebasan. Jika ini dilakukan, maka perjanjian mukatabah batal, tetapi pembebasan atas apa yang telah diambil tetap sah tanpa ada tuntutan balik. 

 

Imam Syafi’i juga berkata: 

 

Jika tuannya membuat perjanjian mukatabah dengan barang tertentu, lalu ingin mempercepat pembayaran dengan dinar yang lebih rendah dari nilai barang tersebut sebagai syarat pembebasan, maka tidak boleh karena dua alasan: 

  1. Ia mengurangi sebagian untuk mempercepat pembebasan, sehingga yang dibayarkan terbagi antara pembebasan yang belum sepenuhnya dimiliki dan barang tertentu yang tidak jelas porsinya.
  2. Ia membeli sesuatu yang masih menjadi haknya sebelum menerimanya dari budak.

 

Hal serupa berlaku jika perjanjian mukatabah dilakukan dengan sesuatu, lalu tuannya ingin mengambil sesuatu yang lain darinya tanpa perbedaan. Namun, jika seluruh pembayarannya sudah jatuh tempo (misalnya dalam bentuk dinar), lalu tuannya ingin mengambil dirham atau barang lain yang disepakati dan diterima sebelum berpisah, maka itu diperbolehkan, dan budak tersebut merdeka setelah menerimanya dengan syarat budak terbebas dari kewajibannya. 

 

Sebagaimana jika seseorang memiliki hutang tunai berupa dinar dari orang merdeka, lalu mengambil barang atau dirham yang disepakati dan diterima sebelum berpisah, maka itu sah, dan budak merdeka tanpa ada tuntutan balik. 

 

Jika budak memiliki piutang 100 dinar tunai dari tuannya, sementara tuannya memiliki piutang 1.000 dirham tunai dari budak, lalu keduanya ingin menjadikan 100 dinar sebagai pembayaran untuk 1.000 dirham, itu tidak diperbolehkan karena termasuk hutang dibayar hutang. 

 

Demikian pula jika hutangnya berupa barang, sedangkan perjanjian mukatabah-nya dengan uang tunai. Namun, jika perjanjian mukatabah-nya dengan dinar dan hutangnya kepada tuannya juga dinar tunai, lalu ia ingin menjadikan pembayaran mukatabah sebagai pelunasan hutang, maka itu diperbolehkan karena bukan transaksi jual-beli, melainkan seperti pembayaran hutang. 

 

Jika budak memiliki piutang 100 dinar dari seseorang, sementara ia berhutang 100 dinar tunai kepada tuannya, lalu ia ingin menjual hutangnya kepada tuannya dengan piutangnya dari orang tersebut, itu tidak diperbolehkan. Tetapi jika ia menagih piutangnya dari orang tersebut, lalu orang itu datang dan tuannya rela menerima piutang tersebut sebagai pembayaran, maka itu sah, dan hutangnya dihapus. Ini bukan jual-beli, melainkan pemindahan hutang (hawalah), dan hawalah bukan jual-beli. Budak merdeka jika tuannya membebaskannya, meskipun ia memberikan sesuatu sebagai ganti, hawalah tidak berlaku bagi budak. 

 

Jika pembayaran mukatabah sudah jatuh tempo, lalu budak meminta tuannya untuk membebaskannya dan menunda pembayarannya, lalu tuannya membebaskannya, maka pembebasan itu sah, dan tuannya berhak menagih hutang tersebut. Demikian pula jika pembayarannya berjangka, lalu budak meminta dibebaskan dengan syarat hutangnya dalam perjanjian mukatabah tetap menjadi kewajibannya, maka pembebasan itu sah, dan hutangnya tetap menjadi tanggungannya. 

 

Ini seperti seorang budak yang berkata kepada tuannya: “Bebaskan aku, dan aku berutang kepadamu sekian, baik tunai, berjangka, atau bertahap.” 

 

[Pembahasan tentang jual-beli perjanjian mukatabah dan status budak.]

 

Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang memiliki hutang yang sudah jatuh tempo atau belum jatuh tempo dari budak mukatabnya, dia tidak boleh menjual hutang tersebut atau sebagiannya, baik yang sudah jatuh tempo maupun belum, kepada siapa pun. Jika dia menjualnya kepada seseorang, maka jual belinya batal. Jika pembeli telah menerimanya, dia harus mengembalikannya. Jika hutang itu telah habis, dia harus mengembalikan yang semisal atau nilainya, dan penjual harus mengembalikan uang yang telah diterimanya.

 

Jika seseorang memiliki hutang dari budak mukatabnya yang belum jatuh tempo, lalu dia menjualnya kepada orang lain, kemudian orang asing tersebut menerimanya dari budak mukatab atau menerima sebagian yang disepakati, budak mukatab tidak merdeka karena transaksi dasarnya batal. Ini berbeda dengan seseorang yang mewakilkan tuannya untuk memerdekakan budak mukatab, karena dia adalah wakilnya dan bertindak berdasarkan perintah tuannya. Sedangkan orang asing ini memerdekakan budak dengan mengambil sesuatu untuk dirinya sendiri, bukan untuk tuannya.

 

Jual beli perjanjian mukatab batal karena beberapa alasan: itu adalah hutang atas hutang yang tidak tetap seperti hutang orang merdeka. Tidakkah kamu melihat bahwa jika budak mukatab tidak mampu, dia tidak wajib membayar apa pun dari perjanjiannya? Atau tidakkah kamu melihat bahwa orang yang membolehkan jual beli perjanjian mukatab telah membolehkan sesuatu yang tidak akan diterima pembeli? Dan tanggungan budak mukatab tidak seperti tanggungan orang merdeka. Jika dia berkata, “Jika dia tidak mampu, maka dia kembali menjadi budakku,” ini lebih buruk dari yang pertama karena itu adalah jual beli hutang atas budak mukatab, sehingga kepemilikan budak tersebut menjadi miliknya, padahal kepemilikan budak tidak pernah dijual. Jika dia berkata dalam akad jual beli perjanjian mukatab, “Jika pembeli menerimanya, jika tidak, budak itu tetap milikku,” dikatakan bahwa ini adalah syarat. Jika seperti yang kamu katakan, itu haram karena itu adalah jual beli sesuatu yang tidak diketahui penjual maupun pembeli, apakah itu ada dalam tanggungan budak mukatab atau kepemilikannya. Bagaimana pendapatmu jika seseorang berkata, “Aku menjualmu hutang atas orang merdeka. Jika dia bangkrut, maka budakku untukmu,” itu bukan jual beli. Jika dia menganggap ini boleh, berarti dia membolehkan jual beli sesuatu yang tidak diketahui. Jika dia menganggap ini tidak boleh, maka jual beli perjanjian mukatab lebih pantas untuk dibatalkan karena alasan yang telah aku sebutkan, dan pembeli tidak memiliki kepemilikan budak mukatab. Jika seorang hakim membolehkan ini, lalu budak mukatab tidak mampu dan dia menjadikannya budak bagi pembeli perjanjiannya, lalu pembeli memerdekakannya, budak itu tidak merdeka dan keputusan hakim itu dibatalkan karena dia tidak memilikinya melalui jual beli yang rusak. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- yang lebih tahu.

 

[Hibah dan Jual Beli Budak Mukatab]

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Seseorang tidak boleh menjual atau menghibahkan budak mukatabnya sampai budak itu tidak mampu. Jika dia menjual atau menghibahkannya sebelum budak mukatab tidak mampu atau memilih untuk tidak mampu, maka jual belinya batal. Jika pembeli memerdekakannya, pemerdekaan itu batal karena dia memerdekakan sesuatu yang tidak dimilikinya. Demikian juga jika dia menjualnya sebelum budak tidak mampu atau menyetujui ketidakmampuan, lalu setelah jual beli budak menyetujui ketidakmampuan, jual beli itu batal sampai terjadi jual beli baru setelah persetujuannya atas ketidakmampuan. Jika tuannya menjual budak mukatab sebelum tidak mampu atau menyetujui ketidakmampuan, dan tuannya mengambil uang yang bukan haknya, jual beli itu batal dan uang itu dikembalikan kepada budak mukatab, kecuali jika itu adalah pembayaran sebagian hutangnya yang sudah jatuh tempo. Demikian juga jika dia menjualnya, dan budak itu memiliki uang dari seseorang yang mengambil uangnya dari tangan pembeli, maka uang itu kembali menjadi bagian dari perjanjiannya. Jika uang itu sudah tidak ada di tangan pembeli, budak mukatab dapat menuntut tuannya atas uangnya jika perjanjiannya atau sebagiannya belum jatuh tempo. Jika sebagian sudah jatuh tempo, itu adalah qishash dan tetap menjadi bagian perjanjian. Jika uang itu masih ada, budak mukatab dapat memilih salah satu: menuntut orang yang mengambil uangnya atau tuannya. Jika dia menjualnya sementara budak tidak memiliki uang atau hanya sedikit, dan uang itu berada di tangan pembeli selama dua tahun, lalu dua hutang dari perjanjiannya jatuh tempo, kemudian jual beli dibatalkan, dan budak meminta penangguhan dua tahun untuk bekerja membayar dua hutang yang sudah jatuh tempo, ada dua pendapat: Pertama, dia tidak berhak atas penangguhan, seperti jika dia ditahan oleh penguasa atau zalim, dia tidak diberi penangguhan karena penahan. Demikian juga jika dia sakit atau bepergian, dia tidak diberi penangguhan karena sakit atau bepergian. Dia berhak menuntut tuannya atas nilai sewa dua tahun di mana dia terhalang oleh jual beli dari membayar hutangnya. Jika tuannya membayarkannya, perjanjiannya selesai. Jika tidak, tuannya harus membayar sisa hutang yang sudah jatuh tempo. Jika tidak, dia dianggap tidak mampu. Jika dari sewa dua tahun ada kelebihan setelah perjanjiannya, dia merdeka dan dapat mengambil kelebihannya. Baik budak itu mengajukan gugatan atau tidak, jika itu terjadi dan jual beli terjadi sebelum ketidakmampuan atau persetujuan atas ketidakmampuan, maka aturan ini berlaku jika perjanjiannya bertahap. Demikian juga jika tuannya menulis perjanjian, lalu menahannya selama setahun atau lebih, tuannya wajib membayar sewa orang semisalnya selama penahanan. Jika penahan dilakukan oleh orang lain, budak dapat menuntutnya untuk mengambil sewa dan tidak diberi penangguhan untuk membayar hutangnya setelah penahanan, kecuali jika tuannya mengizinkan.

 

Pendapat kedua: dia diberi penangguhan sesuai lamanya penahanan oleh tuannya atau penahanan karena jual beli. Ini jika perjanjiannya rusak, maka dia seperti budak biasa yang tidak memiliki perjanjian dalam semua hukum jual beli, pembelian, dan lainnya.

 

[Kejahatan Budak Mukatab terhadap Tuannya]

 

(Kerusakan di Musim Semi) Dia berkata: (Imam Syafi’i – semoga Allah Ta’ala memberkahinya – ) berkata: 

 

Jika seorang mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) dengan sengaja melukai tuannya, maka tuannya berhak menuntut qisas (balasan setara) dalam kasus yang memang berlaku qisas. Begitu pula ahli waris tuannya jika tuannya meninggal akibat luka tersebut. Sedangkan untuk kasus yang tidak berlaku qisas, tuannya atau ahli warisnya berhak menuntut diyat (tebusan) yang menjadi tanggungan mukatab. Jika dia membayarnya, itu termasuk dalam pembayaran kitabah (perjanjian pembebasan). Perjanjian kitabah tidak batal, baik tuannya meninggal akibat lukanya atau tidak. Jika dia melunasinya, itu tetap bagian dari kitabah. Namun jika tidak melunasi, tuannya boleh memaksanya membayar jika menghendaki. Jika dia dipaksa dan tidak mampu, maka gugurlah tuntutan diyat, kecuali dalam kasus qisas, di mana qisas tetap berlaku. Adapun diyat, tidak wajib atas seorang budak terhadap tuannya. Jika tidak wajib bagi tuannya, maka tidak wajib pula bagi ahli warisnya. 

 

Jika seorang mukatab melukai tuannya dan orang lain, maka tuan dan orang lain tersebut memiliki hak yang sama dalam menuntut diyat dari mukatab—tidak ada yang lebih diutamakan selama dia belum dinyatakan tidak mampu. Jika dia dinyatakan tidak mampu, maka gugur tuntutan diyat terhadap tuannya, tetapi dia tetap wajib menanggung diyat untuk orang lain tersebut, dan dia boleh dijual untuk menutup diyat itu—kecuali jika tuannya rela membayarkan diyat secara sukarela. Jika dia tidak mampu membayar diyat untuk kedua pihak (tuan dan orang lain), dan tuannya ingin tetap mempertahankan perjanjian kitabah, maka orang lain tersebut berhak memaksanya atau menjualnya untuk menutup diyat—kecuali jika tuannya membayarkan diyat secara sukarela. 

 

Jika seorang mukatab dimiliki oleh dua orang lalu melukai salah satunya, dia wajib membayar diyat atau nilai yang lebih rendah antara diyat atau harganya. Jika dia membayarnya, itu termasuk dalam kitabah. Jika dia tidak mampu membayarnya sementara perjanjian kitabah masih berlaku, maka orang yang dilukai boleh memaksanya. Jika dipaksa dan tidak mampu, gugurlah separuh diyat karena dia adalah pemilik separuhnya—tidak ada tuntutan utang atas bagian yang dia miliki. Rekan pemiliknya boleh membayarkan diyat separuh dari jumlah diyat atau separuh nilainya secara sukarela. Jika tidak, separuh budak itu boleh dijual untuk menutup diyat. 

 

Jika mukatab melukai kedua tuannya sekaligus, maka masing-masing memiliki hak yang sama dalam menuntut diyat. Jika mukatab dinyatakan tidak mampu oleh salah satu atau kedua tuannya, maka gugur separuh diyat dari masing-masing tuan, seolah-olah dia melukai keduanya secara terpisah. Misalnya, jika lukanya adalah mudhahah (luka hingga tulang tampak) dan diyatnya sepuluh ekor unta, maka masing-masing tuan boleh memilih antara: 

  1. Membayar tebusan separuh bagiannya dengan dua setengah ekor unta, atau
  2. Menyerahkan separuh haknya agar dijual seharga dua setengah ekor unta, lalu mengambilnya kembali, atau
  3. Menjadikan diyat mudhahah sebagai qisas, sehingga statusnya kembali menjadi budak.

 

Jika dia melukai salah satu tuannya dengan mudhahah dan yang lain dengan ma’mumah (luka dalam), maka separuh diyat mudhahah menjadi hak tuan yang dilukai mudhahah atas separuh hak rekannya, dan separuh diyat ma’mumah menjadi hak tuan yang dilukai ma’mumah atas separuh hak rekannya. Demikianlah ketentuan dalam bab ini dan analoginya. 

 

[Dosa Mukatab dan Budaknya]

 

Imam Syafi’i – semoga Allah Ta’ala meridhainya – berkata: 

 

“Apabila seorang mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) melakukan kejahatan, atau budak milik mukatab/mukatabah (perempuan yang sedang dalam perjanjian pembebasan) melakukan kejahatan, maka hukumnya sama. Mukatab/mukatabah wajib menanggung diyat (denda) atas kejahatan mereka, yaitu yang lebih ringan antara nilai diyat atau harga diri mereka pada hari kejahatan dilakukan. Jika mereka mampu membayarnya sambil melanjutkan pembayaran mukatabah, maka status mukatab tetap berlaku, dan mereka boleh membayar diyat sebelum melunasi pembayaran mukatabah jika diyat tersebut harus dibayar tunai. Namun, jika diyat diselesaikan dengan perjanjian yang sah untuk dibayar kemudian, maka mereka tidak boleh membayarnya sebelum jatuh tempo, karena itu termasuk menambah kewajiban dari hartanya, dan ia tidak boleh menambah kewajiban dari hartanya tanpa izin tuannya. 

 

Ia boleh melunasi pembayaran mukatabah sebelum membayar diyat atau sebelum jatuh tempo pembayaran mukatabah, karena dalam hubungannya dengan tuannya, ia boleh melakukan penambahan (pembayaran) yang tidak diperbolehkan dalam hubungannya dengan pihak luar. 

 

Jika ia memiliki hutang, diyat, dan kewajiban mukatabah, sementara hutang dan diyat harus dibayar tunai, ia boleh membayarnya sebelum melunasi mukatabah. Namun, pembayaran mukatabah (baik tunai maupun tidak) didahulukan selama ia belum melunasinya. Hakim akan mengatur pembagian hartanya sebagaimana orang merdeka yang membayar sebagian krediturnya sebelum yang lain, kecuali jika hakim belum mengatur pembagian hartanya. 

 

Bedanya dengan orang merdeka adalah bahwa ia tidak boleh membayar hutang sebelum jatuh tempo tanpa izin tuannya, karena itu termasuk menambah kewajiban dari hartanya. Ia tidak boleh menambah kewajiban dari hartanya tanpa izin tuannya, tetapi ia boleh membayarnya kepada tuannya karena hartanya adalah milik tuannya. Ia juga boleh membayar kepada pihak luar dengan harta non-tunai jika tuannya mengizinkan. 

 

Jika hakim telah mengatur pembagian hartanya, maka ia membayarkan mukatabah kepada tuannya dan hutang-hutangnya kepada kreditur sesuai ketentuan syariat. Jika hartanya tidak cukup untuk membayar semuanya, maka ia dinyatakan bangkrut terhadap hak pihak luar, meskipun tuannya dan mukatab tidak menyukainya, selama pihak luar menghendakinya. 

 

Jika tuannya rela melepas haknya dan membiarkan kreditur mengambil hak mereka hingga terpenuhi, maka status mukatab tetap berlaku selama tuannya tidak menyatakan kebangkrutannya. Jika pihak luar dan tuannya memberinya tenggat waktu, maka ia tidak bangkrut. Namun, jika salah satu dari mereka menuntut pembayaran hingga haknya terpenuhi atau menyatakannya bangkrut, maka itu diperbolehkan. 

 

Jika tuannya menyatakannya bangkrut, atau mukatab rela (dinyatakan bangkrut), atau hakim memutuskan kebangkrutannya, maka hakim memberikan pilihan kepada tuannya: apakah ia ingin membayarkan diyat (dengan nilai terendah antara diyat atau harga diri budak) sebagai bentuk kebaikan. Jika tuannya membayarkannya, maka status mukatab tetap berlaku. Jika tidak, budak dijual dan diyat diberikan kepada korban, sisa hasil penjualan dikembalikan kepada tuannya. Jika tidak ada sisa, tuannya tidak menanggung apa-apa. 

 

Segala bentuk kejahatan seperti membakar harta, merampas, mencuri, atau merusak budak, dihukumi sama dengan diyat. Jika tuannya membayarkannya, status mukatab tetap. Jika tidak, budak dijual dan hasilnya diberikan kepada korban. Pembagian diyat dilakukan secara merata tanpa mendahulukan salah satu korban. 

 

Jika ia memiliki hutang dari transaksi jual beli atau lainnya, kreditur tidak berhak menuntut pembagian harta secara paksa, karena hutang tersebut berada di tanggungannya. Jika ia dibebaskan, hutang itu tetap menjadi tanggungannya. 

 

Hukumnya sama apakah kejahatan dilakukan dalam keadaan mukatab terhadap seseorang, atau setelah kebangkrutan terhadap orang lain—diyat dibagi secara merata di antara mereka. Jika sebagian korban memaafkan, atau tuannya berdamai dengannya, atau sebagian diyat telah dibayar, maka sisanya berhak menjual budak hingga hak mereka terpenuhi atau menerima pembayaran sesuai bagian masing-masing. 

 

Diyat mukatab terhadap anak tuannya, ayah tuannya, istri tuannya, atau siapa pun yang bukan hak milik tuannya, dihukumi sama seperti diyat terhadap orang luar. Begitu pula diyat terhadap harta mereka. Diyat terhadap anak yatim di bawah perwalian tuannya juga dihukumi sama. Tuannya tidak boleh memaafkan diyat terhadap salah satu dari mereka atau mengurangi hak mereka selama korban masih hidup. 

 

Jika kejahatan mukatab berupa pembunuhan tidak sengaja, dan tuannya adalah ahli waris korban (tanpa ahli waris lain), maka tuannya boleh memaafkan diyat mukatab. Jika ada ahli waris lain selain tuannya, tuannya hanya boleh memaafkan bagian warisannya, bukan bagian ahli waris lainnya. 

 

Jika mukatab melakukan kejahatan terhadap mukatab lain milik tuannya, dan korban masih hidup, maka diyatnya dihukumi seperti kejahatan terhadap orang luar—mukatab wajib membayar nilai terendah antara diyat atau harga diri korban. Jika ia tidak mampu, tuannya diberi pilihan: membayarkan diyat (nilai terendah antara harga diri korban atau diyat), atau membiarkannya hingga budak dijual dan diyat diberikan kepada korban. Sisa hasil penjualan dikembalikan kepada tuannya. Jika tidak ada sisa, tuannya tidak menanggung apa-apa. 

 

Jika kejahatan dilakukan terhadap mukatabah milik tuannya yang mengakibatkan kematian, maka diyat menjadi hak tuannya. Tuannya boleh memaafkan, mengambilnya sebagai hibah, atau menyatakannya bangkrut dan mengembalikannya sebagai budak. 

 

Jika mukatab memotong tangan tuannya, lalu tuannya memaafkan dan mukatab melanjutkan pembayaran mukatabah hingga merdeka, atau tuannya membebaskannya dari kewajiban mukatabah, atau ia merdeka dengan cara lain, maka tuannya tetap berhak menuntut diyat. Jika tuannya memaafkan diyat tetapi mukatab tidak membayarnya, lalu tuannya meninggal, maka ahli waris tuannya berhak menuntut diyat atau menyatakannya bangkrut hingga budak dijual.”

 

Jika seorang budak melakukan kesepakatan pembebasan (mukatabah) secara tunggal, lalu salah satu dari mereka melakukan kejahatan, maka tanggungan kejahatan itu hanya pada pelaku, bukan pada yang lain yang ikut dalam perjanjian. Demikian pula, jika ada utang atau hak yang menjadi kewajibannya dengan cara apa pun, itu tidak menjadi tanggungan rekan-rekan seperjanjiannya. Dia dianggap seperti orang yang melakukan perjanjian sendirian. Jika dia mampu membayar tanggungan kejahatannya, dia tetap dalam perjanjian. Jika tidak mampu, dia kembali menjadi budak, dan perjanjiannya batal. Majikannya boleh memilih antara menebusnya secara sukarela atau menjualnya. Bagian tanggungan perjanjian dari rekan-rekannya pun dihapus. Begitu pula dengan setiap hak yang menjadi kewajibannya, dia bisa dijual untuk melunasi, baik dengan menjual harta atau lainnya. Namun, jika utang itu timbul karena pinjaman yang dia terima secara sukarela dari pemberi utang, dia tidak bisa dijual untuk itu. Utang itu tetap menjadi tanggungannya selama status mukatab. Jika dia melunasinya, selesai; jika tidak, itu menjadi kewajibannya setelah merdeka. 

 

Jika seorang mukatab melakukan kejahatan terhadap majikannya yang mengakibatkan kerugian jiwa, kejahatannya dianggap seperti kejahatan terhadap orang lain dan tidak membatalkan perjanjiannya. Jika dia membayar tanggungannya, dia tetap dalam perjanjian. Jika tidak mampu, dia dikembalikan sebagai budak jika ahli waris menghendaki. Jika kejahatan itu disengaja, mereka berhak menuntut qisas (balasan setara), kecuali jika mereka memilih diyat (tebusan). Begitu pula jika kejahatan itu tidak sampai merenggut nyawa majikannya, mukatab tetap dalam perjanjian jika qisas diambil (untuk kasus sengaja) atau diyat (untuk kasus tidak sengaja). 

 

Jika dua orang membuat perjanjian pembebasan dengan seorang budak, lalu salah satu dari mereka menjadi korban kejahatan budak itu, perlakuan hukumnya sama seperti budak milik satu orang yang melakukan perjanjian lalu berbuat jahat. Jika dia membayar, perjanjian tetap berlaku. Jika tidak, dia dianggap gagal. Majikan yang menjadi mitra dalam kepemilikan budak boleh memilih antara menebus separuh bagiannya sesuai tanggungan atau membiarkannya dijual untuk menutup kejahatan. Jika nilai separuh budak melebihi separuh tanggungan kejahatan, kelebihannya dikembalikan kepada majikan. Jika tidak, majikan tidak menanggung apa pun, dan separuh tanggungan kejahatan gugur karena pelaku kejahatan telah menjadi milik majikan sepenuhnya, dan mereka boleh memperlakukan separuh bagian itu sesuai kehendak—karena budak itu sepenuhnya menjadi milik mereka jika gagal. 

 

Jika budak itu melakukan kejahatan senilai sepuluh unta (setara seratus), lalu dia berkata, “Aku akan membayar seperlima dari unta dan keluar dari perjanjian,” itu tidak diperbolehkan sampai dia melunasi seluruh diyat kejahatan jika nilai budak itu setara atau lebih. Tidak ada pengurangan dari tanggungan kejahatan sampai dia dinyatakan gagal. Jika gagal, separuh diyatnya gugur. 

 

Kejahatan Budak Milik Mukatab 

(Imam Syafi’i berkata—semoga Allah merahmatinya): Jika seorang mukatab memiliki budak, lalu salah satu budaknya melakukan kejahatan, mukatab boleh memilih antara menebus budaknya dengan nilai diyat kejahatan yang lebih rendah atau nilai budak pada hari kejahatan terjadi—jika nilai budak saat itu lebih menguntungkan bagi mukatab. Jika tidak, budak itu dijual untuk menutup diyat kejahatan. Jika ada kelebihan, itu menjadi hak mukatab. 

 

Jika budak milik mukatab melakukan kejahatan terhadap orang merdeka, dan saat kejahatan terjadi budak itu sehat (nilainya seratus), lalu sakit sehingga nilainya turun menjadi dua puluh, sementara diyat kejahatan tetap seratus atau lebih, mukatab tidak boleh menebusnya dengan seratus jika nilai budak saat itu hanya dua puluh—karena membeli budak dengan harga lebih dari nilainya saat itu tidak sah. Namun, dia boleh menebusnya dengan harga lebih rendah dari nilai budak saat kejahatan terjadi, asalkan harganya wajar sesuai nilai saat penebusan. Hakim akan memutuskan, dan mukatab hanya wajib membayar nilai budak saat itu. Tidak ada tanggungan lain baginya. Dalam hal ini, statusnya berbeda dengan orang merdeka yang budaknya berbuat jahat. 

 

Wallahu a’lam.

 

Jika seorang budak mukatab melakukan seratus kejahatan senilai seratus atau lebih, 

budak mukatab tersebut tidak boleh ditebus dengan apapun. Jika ditemukan dan tuannya ingin 

menebusnya dengan nilai kurang dari harganya saat ditebus, itu diperbolehkan. Jika tidak, budak itu dijual untuk menutupi kejahatan tersebut. Jika ada sisa, dikembalikan kepadanya; jika tidak, dia tidak berkewajiban lebih. 

 

Apa pun yang dihadiahkan kepada mukatab atau dibeli untuknya oleh orang yang berhak memilikinya jika dia merdeka—seperti kerabat, istri, atau lainnya—boleh dibeli untuknya, karena semua itu adalah miliknya yang bisa dijual. 

 

Jika ayah, ibu, anak, atau orang yang akan merdeka bersamanya jika dia merdeka memberikan hadiah kepada mukatab, lalu dia melakukan kejahatan, tuannya tidak boleh menebusnya dengan apapun, meskipun nilai kejahatan itu lebih kecil, karena kepemilikannya tidak penuh. Tidakkah kamu lihat bahwa tuannya tidak boleh menjualnya jika menebusnya? Dia juga tidak boleh mengeluarkan hartanya untuk kepentingan selain dirinya. 

 

Demikian pula, jika anak lahir dari budak perempuan mukatab atau budak mukatab lainnya, tuannya tidak boleh menebusnya. Mereka diserahkan dan dijual sebesar nilai kejahatan, sisanya tetap menjadi haknya. Mereka merdeka ketika mukatab merdeka, dan tuannya tidak boleh menebus siapa pun yang tidak berhak dijualnya kecuali dengan izin tuannya. 

 

Jika seseorang yang tidak boleh dijual oleh mukatab melakukan kejahatan terhadap tuannya atau harta tuannya, mukatab tidak boleh menebusnya, sebagaimana dia tidak boleh menebus orang asing. Kecuali jika dia dan tuannya sepakat untuk menebusnya, itu diperbolehkan. Jika tuannya tidak setuju, pelaku dijual sebesar nilai kejahatan, dan sisanya tetap statusnya sampai dia merdeka bersama mukatab atau kembali menjadi budak. 

 

Jika seseorang yang akan merdeka bersama mukatab dengan sengaja membunuh orang lain, dia boleh dihukum mati. Jika seseorang yang tidak boleh dijual oleh mukatab melakukan kejahatan terhadap budaknya, dia boleh menjualnya sebesar nilai kejahatan atau memaafkannya. Jika kejahatan itu sengaja, dia berhak membalas, kecuali jika pelakunya adalah orang tua mukatab—dia tidak boleh membunuh orang tuanya karena budaknya, dan dia sendiri tidak dihukum mati jika membunuh budaknya. 

 

Jika mukatab melakukan kejahatan dan tidak menebusnya sampai dia bangkrut, tuannya boleh memilih antara menebusnya atau menjualnya untuk menutupi kerugian kejahatan tersebut. Demikian pula, jika budak mukatab melakukan kejahatan dan mukatab tidak menebusnya sampai bangkrut, hartanya menjadi milik tuannya, seolah-olah kejahatan itu dilakukan saat budak itu di bawah kepemilikan tuannya. Tuannya boleh menebusnya atau menjualnya untuk menutupi kejahatan tersebut. Jika ada sisa setelah menutupi kejahatan, tuannya boleh memilih antara menjual seluruh budak dan mengambil sisanya atau menjual sebagian sebesar nilai kejahatan. 

 

Jika mukatab melakukan kejahatan dan tidak menebusnya sampai dia melunasi dan merdeka, kemerdekaannya tetap sah, dan dia berkewajiban membayar nilai kejahatan atau harga dirinya, mana yang lebih rendah. Jika kejahatan terjadi sebelum pelunasan dan tuannya memerdekakannya sebelum pelunasan, tuannya menanggung nilai yang lebih rendah antara harga budak atau kejahatan tersebut. 

 

Jika mukatab melakukan kejahatan lagi, lalu melunasi dan merdeka, ada dua pendapat: pertama, dia hanya wajib membayar nilai yang lebih rendah antara satu harga dirinya atau nilai kejahatan (dibagi rata). Kedua, dia wajib membayar nilai yang lebih rendah antara harga dirinya atau nilai kejahatan untuk setiap kejahatan. Hal yang sama berlaku jika kejahatannya besar. 

 

[Kejahatan yang dilakukan terhadap mukatab…]

 

(Kehancuran Musim Semi) Dia berkata: A Kharban Asy-Syafi’i— 

semoga Allah Ta’ala merahmatinya— 

berkata: Kehancuran Abdullah bin Al-Harits dari Ibnu Juraij, dan Atha’ berkata: Jika seorang mukatab terluka, nadarnya terlindungi darinya. Amr bin Dinar berkata, Ibnu Juraij berkata: Karena dia menulisnya dari hartanya sebagai perlindungan, sebagaimana dia melindungi hartanya? 

Dia menjawab: Ya. (Asy-Syafi’i— 

semoga Allah Ta’ala merahmatinya—) berkata: Sebagaimana dikatakan Atha’ dan Amr bin Dinar, kerusakan padanya dari hartanya bukan milik tuannya untuk mengambilnya sebagai hutang. Jika dia terluka hingga cacat dan mukatab tidak mampu bekerja, karena dia mungkin masih membayar meski cacat, dan tuannya tidak berhak atas kerusakan itu kecuali jika dia meninggal sebelum membayar, maka seluruh kerusakan menjadi milik tuannya karena dia mati sebagai budak.  

 

[Kerusakan Mukatab terhadap Tuannya dan Tuannya terhadap Mukatab] 

(Asy-Syafi’i— 

semoga Allah Ta’ala merahmatinya—) berkata: Setiap kerusakan yang dilakukan tuannya terhadap mukatab yang tidak membahayakan nyawanya, diperlakukan seperti kerusakan dari orang asing. Mukatab dapat menuntut seluruhnya sebagaimana dia menuntut dari orang asing, kecuali jika ada hutang yang jatuh tempo dari perjanjiannya, maka tuannya dapat mengkompensasikannya. Namun, jika tuannya melakukan kerusakan yang membahayakan nyawanya, perjanjiannya batal, dan dia mati sebagai budak jika meninggal sebelum membayar. Tuannya tidak bertanggung jawab atas apa pun karena itu adalah kerusakan terhadap budaknya jika dia tidak dibebaskan. 

 

Jika tuannya melukai budaknya, misalnya memotong tangannya, dan mukatab meminta wasit untuk memberinya diyat sebelum sembuh, maka dilihat dampak lukanya. Jika itu membebaskannya, dia bisa berkata: “Jika aku menjadikannya qishash atas hutangmu, dan perjanjianmu tetap berlaku, aku akan membebaskanmu dan mengambil kelebihan darimu jika ada.” Jika dia memilih itu, lalu mukatab meninggal, tuannya bertanggung jawab atas diyatnya selama hidup, sebagaimana dia bertanggung jawab jika melukai budak orang lain. Jika dia dibebaskan sebelum mati, lalu meninggal tanpa qishash, bahkan jika kerusakan itu disengaja, karena kerusakan telah terjadi dan tidak ada qishash antara mereka. Jika dia tidak memilih itu hingga mati, kerusakan itu batal karena dia mati sebagai budak. 

 

Jika masih ada sisa hutang mukatab, lalu tuannya melukainya dengan kerusakan yang setara, dan perjanjiannya jatuh tempo, maka boleh dijadikan qishash sesuai keinginan salah satu pihak. Jika perjanjian belum jatuh tempo, tidak bisa dijadikan qishash kecuali mukatab menghendakinya tanpa persetujuan tuannya. 

 

Jika tuannya melukai mukatab dengan kerusakan yang tidak membebaskannya, dan mukatab berkata: “Segera berikan sebelum lukanya sembuh,” kami memberinya seluruh kerusakan kecuali jika kerusakan itu melebihi diyat jika dia mati. Jika melebihi, tidak diberikan hingga sembuh dan dibayar penuh, karena kami tidak tahu mungkin dia mati dan kerusakan itu batal dari tuannya. 

 

Jika anak tuannya, ayahnya, atau selain tuannya melukai mukatab, kerusakannya diperlakukan seperti kerusakan dari orang asing tanpa perbedaan. Tuannya tidak bisa memaafkannya kecuali jika mukatab meninggal sebelum menerimanya, maka saat itu tuannya boleh memaafkannya karena itu menjadi miliknya. Wallahu a’lam. 

 

[Kerusakan terhadap Mukatab dan Budaknya]

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) mengalami kejahatan sengaja, lalu ia menginginkan qishash sedangkan tuannya menginginkan diyat, maka hak mukatab adalah qishash. Sebab tuannya terhalang dari menguasai harta dan tubuhnya. (Ar-Rabi’ berkata): Dalam hal ini ada pendapat lain bahwa mukatab tidak berhak melakukan qishash, karena dikhawatirkan ia nanti gagal membayar dan hak itu kembali ke tuan, sehingga mukatab telah membatalkan diyat yang seharusnya menjadi hak tuan jika tidak diqishash.

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Tuannya mukatab tidak berhak memberikan hukuman hudud atau ta’zir. Mukatab boleh mendidik budaknya, tapi tidak boleh menghukum had, karena had hanya berlaku untuk orang merdeka. Begitu pula jika terjadi kejahatan terhadap budak mukatab yang berhak qishash, maka yang berlaku adalah diyat. Mukatab dan budaknya tidak boleh memaafkan diyat sedikit atau banyak, kecuali dengan menerima seluruh diyat atau lebih. Jika berdamai dengan tambahan, ia tidak boleh mengurangi kelebihan itu sedikitpun karena ia telah memilikinya dan tidak boleh merusak hartanya sendiri.

 

Jika mukatab atau budaknya mengalami kejahatan sengaja, ia boleh memilih antara diyat atau qishash. Jika ia memaafkan qishash tanpa diyat, maka pengampunannya batal, karena ia memiliki hak atas kejahatan sengaja terhadap dirinya atau budaknya berupa harta atau qishash, dan tidak boleh membatalkan keduanya jika ia dilarang merusak hartanya. Ini termasuk merusak hartanya meski dimaafkan. Jika kemudian ia merdeka, ia berhak mengambil harta tapi tidak berhak qishash karena telah memaafkan, sebagaimana jika ia memberikan sesuatu kepada mukatab lalu merdeka, ia berhak mengambilnya kembali karena ia tidak berhak memberi.

 

Tuannya mukatab tidak berhak menuntut kejahatan terhadap mukatab atau mengambil sebagian diyat dari tangan mukatab, baik untuk dirinya maupun budaknya. Bahkan jika mukatab menjadi cacat total, tuan tidak berhak mengambil apapun sampai mukatab gagal membayar. Namun jika akal mukatab hilang, hakim boleh menyerahkan harta mukatab kepada orang adil untuk mengelolanya sampai merdeka atau gagal. Hal yang sama berlaku untuk mukatabah (budak perempuan dalam perjanjian) dan budaknya.

 

Jika kejahatan menimpa jiwa budak mukatab/mukatabah, hukumnya sama. Jika kejahatan menimpa jiwa mukatab/mukatabah sebelum membayar, perjanjian batal dan mereka kembali menjadi harta tuan. Tuan berhak atas sisa pembayaran jika ada kejahatan yang belum dituntaskan, baik terhadap harta atau diri mereka. Untuk kejahatan terhadap budak non-mukatab, tuan berhak atas diyatnya.

 

Jika mukatab melakukan kejahatan yang berhak qishash, lalu ditebus dengan setengah diyat kemudian meninggal, ahli waris mengambil sisa diyat dan harta mukatab tetap pada posisinya. Jika kejahatan berupa potong tangan dan mukatab berdamai dengan kurang dari setengah diyat, tuan berhak mengambil selisihnya karena mukatab telah meninggalkan kelebihan itu, seperti halnya jika ia membebaskan hutang atau memberikan hadiah lalu meninggal sebelum merdeka, tuannya berhak mengambil kembali jika mukatab gagal atau meninggal bukan karena kejahatan itu.

 

Kejahatan terhadap mukatab dinilai berdasarkan harga dirinya sebagai budak biasa pada saat kejahatan terjadi. Kejahatan tuannya terhadap mukatab, budaknya, atau hartanya sama dengan kejahatan orang asing. Mereka bertanggung jawab sebagaimana orang asing, kecuali jika mereka menanggung lalu tidak membayar sampai mukatab gagal/meninggal, maka gugur karena sudah bukan haknya. Jika terjadi kejahatan yang mengharuskan tuan membayar pembebasan mukatab, lalu mukatab memilih qishash, maka tuan berhak mengambilnya jika mukatab meninggal sebelum memilih qishash, sehingga statusnya kembali sebagai budak dan perjanjian batal, dan harta itu menjadi milik tuan.

 

 

Jika tuan menyerang budak mukatab (budak yang sedang membayar tebusan untuk merdeka) dan membunuhnya, padahal budak tersebut bernilai seribu dinar, sementara sisa pembayaran tebusannya tinggal satu dinar atau kurang atau lebih hingga jatuh tempo yang belum tiba, maka budak itu tidak merdeka. 

 

Demikian pula jika tuan memotong tangannya dan diwajibkan membayar lima ratus dinar sebagai ganti rugi (diyat) atau melalui perdamaian, sementara sisa pembayaran tebusan budak hanya satu dinar, budak itu tidak merdeka hingga dia berkata, “Aku menjadikan apa yang menjadi hakku sebagai qishash (ganti rugi).” Jika dia mengatakannya sebelum meninggal, maka dia merdeka saat mengucapkannya. Namun, jika tidak mengatakannya hingga meninggal, dia tetap budak. 

 

Begitu juga jika tuan melakukan kejahatan terhadap harta budak mukatab yang mengharuskannya membayar seribu dinar, sementara budak hanya memiliki sisa satu dinar yang belum jatuh tempo, dan budak tidak mengatakan, “Aku menjadikannya qishash,” hingga dia meninggal, maka dia mati dalam status budak. Namun, jika dia mengatakan, “Aku menjadikan sisa pembayaran tebusanku sebagai qishash atas apa yang menjadi kewajiban tuanku,” maka dia merdeka saat mengucapkannya. 

 

Demikian pula jika dia mengatakan, “Aku menjadikan sisa pembayaran tebusanku sebagai qishash atas apa yang menjadi kewajiban tuanku,” maka itu menjadi qishash, dan dia merdeka, serta berhak atas kelebihan pembayaran.  

 

Ini semua berlaku jika tidak ada kejahatan lain dari budak mukatab. Jika sisa pembayaran tebusan budak hanya satu kejahatan (diyat) atau sebagian diyat atau lebih, tetapi semua kewajibannya telah jatuh tempo dan tuannya tidak menagihnya hingga tuannya melakukan kejahatan yang mencukupi sisa pembayaran tebusan atau bahkan lebih, maka budak itu merdeka karena tuannya telah menerima semua haknya. 

 

Perlu diketahui bahwa tuannya tidak boleh dipaksa untuk membayar diyat kecuali jika ada kelebihan dari pembayaran tebusan. Jika budak memiliki harta, dia tidak boleh dipaksa untuk membayar sisa kewajibannya kepada tuan jika dia juga memiliki hak yang sama atau lebih dari tuan. 

 

Demikian pula jika semua kewajiban budak telah jatuh tempo, lalu tuan mengambil harta budak tanpa izin untuk melunasi sisa kewajibannya, maka budak itu merdeka jika kewajibannya telah jatuh tempo. 

 

Jika kewajibannya belum jatuh tempo dan tuan mengembalikannya, budak tidak merdeka kecuali jika dia bersedia menjadikannya qishash. Tuan boleh dipaksa untuk memberikannya jika kewajibannya belum jatuh tempo, tetapi budak tidak boleh dipaksa untuk menjadikannya qishash. 

 

Semua ini berlaku jika kejahatan tuan terhadap budak mukatab termasuk dalam jenis pembayaran tebusan. Jika kejahatan tuan berbeda jenis dengan pembayaran tebusan, budak tidak merdeka karenanya, dan itu tidak menjadi qishash hingga dia menerimanya dan membayar sisa kewajibannya, atau mereka berdamai dengan syarat itu menjadi qishash. 

 

Misalnya, jika budak berutang 50 dinar berupa gandum, lalu tuan melakukan kejahatan yang mengharuskannya membayar emas, perak, atau unta yang lebih bernilai, maka ini tidak menjadi qishash meskipun pembayaran tebusan telah jatuh tempo, karena jenisnya berbeda. Namun, jika tuan membakar 100 sha‘ gandum milik budak yang sejenis dengan gandum yang menjadi kewajibannya, maka itu menjadi qishash meskipun tuannya tidak setuju. 

 

Jika gandum yang dibakar lebih baik atau lebih buruk dari gandum kewajibannya, itu tidak menjadi qishash hingga budak rela (jika lebih baik) atau tuan rela (jika lebih buruk). 

 

Jika tuan melakukan kejahatan terhadap budak mukatab yang mengharuskan diyat, lalu mereka berdua menjadikannya qishash untuk melunasi sisa kewajiban budak, atau kewajiban budak telah jatuh tempo dan tuan wajib membayar sesuai kewajiban budak atau lebih dengan kerelaan, lalu tuan melakukan kejahatan lagi, maka kejahatan itu dianggap sebagai kejahatan terhadap orang merdeka, sehingga berlaku qishash (jika bisa diqishash) atau diyat (jika tidak bisa diqishash). 

 

Jika tuan mengklaim tidak tahu bahwa budaknya telah merdeka, klaimnya tidak diterima. Dia tetap wajib membayar sesuai sisa kewajiban budak sebagai qishash, sehingga budak merdeka. Ini seperti seseorang yang membunuh budak orang lain setelah budak itu merdeka tanpa mengetahuinya—dia tidak bisa dibebaskan. 

 

(Rabi‘ berkata): Ada pendapat lain bahwa dia hanya wajib membayar diyat orang merdeka tanpa qishash karena ada syubhat, seperti membunuh orang kafir harbi tanpa tahu dia telah masuk Islam—dia wajib membayar diyat tanpa qishash. Namun, ini berbeda dengan kasus budak karena membunuh orang kafir harbi pada awalnya halal, sedangkan membunuh budak tidak. 

 

(Rabi‘ berkata): Pendapat Syafi‘i lebih kuat. 

 

(Syafi‘i rahimahullah berkata): Jika budak mukatab telah merdeka, lalu tuannya atau orang lain melakukan kejahatan terhadapnya setelah kemerdekaannya, baik pelaku tahu atau tidak, maka kejahatan itu dianggap sebagai kejahatan terhadap orang merdeka.

Jika seorang tuan dari mukatab melakukan tindak pidana terhadap mukatab lalu memotong tangannya, maka dia wajib membayar setengah nilainya. Dia juga terkena kewajiban yang sama seperti yang dibebankan padanya, dan pembebasan terakhirnya adalah dengan memerdekakannya. 

 

Demikian pula, jika seorang budak yang telah dimerdekakan dengan pembayaran (mukatab) melakukan tindak pidana, lalu tuannya dan mukatab tersebut memotong tangannya, maka dia merdeka karenanya. Jika kemudian tuannya memotong tangan lainnya secara tidak sengaja hingga menyebabkan kematian, maka ahli warisnya wajib membayar setengah diyat orang merdeka karena tindak pidana terhadap tangan yang lain, karena tindak pidana itu terjadi saat dia sudah merdeka. 

 

Jika seorang mukatab menjadi korban tindak pidana lalu memaafkan pelaku dengan izin tuannya, maka pemaafan itu diperbolehkan. 

 

Jika seorang mukatab menjadi korban tindak pidana lalu dimerdekakan, lalu dia berkata, “Tindak pidana itu terjadi saat aku sudah merdeka,” sementara pelaku berkata, “Itu terjadi saat kamu masih mukatab,” maka perkataan pelaku yang diikuti, dan mukatab harus membuktikannya. 

 

Baik tuannya membenarkan atau mendustakannya, jika tuannya memberikan kesaksian bahwa tindak pidana terjadi saat dia sudah merdeka, maka kesaksian itu diterima karena tidak ada unsur yang menguntungkan dirinya sendiri. Jika dia menghadirkan saksi lain dan membuktikannya, maka dia berhak mendapatkan diyat orang merdeka. 

 

Jika seorang mukatab memiliki ayah lalu ayahnya melakukan tindak pidana terhadapnya, maka dia boleh menjual (ayahnya) sebesar nilai kerusakan yang ditimbulkan. 

 

Jika pelaku tindak pidana bukan orang yang boleh dijual oleh mukatab, maka dia boleh menjualnya sebesar nilai kerusakan, tidak lebih. Jika seorang budak mukatab melakukan tindak pidana terhadap mukatab, maka kerusakan itu dianggap sia-sia kecuali jika ada qisas, maka dia boleh menuntut qisas. Namun, jika kerusakan itu berupa patah tulang atau luka, dan dia menuntut diyat, maka itu tidak diperbolehkan. Tetapi dia boleh menjualnya setelah pertimbangan, sebagaimana dia boleh menjualnya tanpa adanya tindak pidana. 

 

Jika seorang mukatab melakukan tindak pidana terhadap budaknya yang boleh dijual, maka kerusakan itu dianggap sia-sia kecuali jika itu tindak pidana sengaja yang mengandung qisas, maka dia boleh menuntut qisas. Namun, tidak ada kewajiban harta bagi budak terhadap tuannya. 

 

Demikian pula, jika seorang mukatab memiliki ayah atau ibu lalu melakukan tindak pidana terhadap mereka, maka jika tindak pidana itu mengandung qisas, mereka boleh menuntut qisas. Namun, mereka tidak boleh memilih mengambil harta darinya, karena mereka tidak keluar dari kepemilikan mukatab, dan mereka tidak boleh mengambil harta jika tindak pidana itu tidak sengaja. Jika mereka dimerdekakan, mereka tidak boleh menuntut harta, karena itu terjadi saat mereka masih dalam kepemilikannya. 

 

Jika seorang budak mukatab melakukan tindak pidana terhadap anaknya yang juga mukatab, maka tindak pidana itu dianggap seperti terhadap orang asing, dan anak itu boleh mengambil diyat. Anak tidak boleh memaafkannya karena dia adalah milik orang lain. Jika tindak pidana itu sengaja, anak tidak boleh menuntut qisas tetapi wajib mengambil diyat, dan tidak boleh meninggalkannya. Jika dia tidak mengambil diyat hingga merdeka, maka dia boleh memaafkannya setelah ayahnya merdeka atau tidak, karena haknya adalah harta yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun. 

 

(Akhiran Ar-Rabi’) 

Berkata (Asy-Syafi’i): Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan (mukatabah) dengan budaknya, lalu budak itu melunasi atau belum melunasi hingga dimerdekakan, maka pembebasan itu sah dan perjanjian mukatabah batal. Harta yang dia peroleh selama masa mukatabah adalah miliknya sepenuhnya, tuannya tidak berhak sedikit pun.

 

Dan jika tuannya menuliskan (pernyataan) kepadanya, misalnya berkata: “Aku telah melepaskanmu dari seluruh kewajiban tulisanmu,” maka budak itu merdeka. Hal ini sama seperti perkataannya: “Engkau merdeka,” karena pada dasarnya dia telah memerdekakannya dalam akad mukataba dengan membebaskannya dari kewajiban mukataba.

 

Jika tuannya berkata: “Aku telah melepaskanmu dari kewajiban mukataba kecuali satu dinar atau sepuluh dinar,” maka dia terbebas dari kewajiban mukataba kecuali apa yang dikecualikan, dan tidak merdeka kecuali dengan membayar sisa tersebut.

 

Pernyataan tentang pengecualian yang dilakukan tuannya dalam akad mukataba adalah sesuai dengan apa yang dikatakan tuannya. Jika dia berkata: “Yang aku bebaskan adalah bagian yang tertunda, dan yang aku tunda adalah bagian yang seharusnya dibebaskan lebih awal,” maka perkataannya yang diikuti. Jika tuannya meninggal, maka perkataan ahli warisnya yang dianggap. Jika ahli waris tidak dapat menjelaskan maksud tuannya, maka hakim memastikan bahwa pembebasan tersebut berlaku pada akhir kewajiban mukataba, karena hal itu terkait dengan hak tuannya. Tidak ada pembebasan kecuali atas apa yang dipastikan sebagai pembebasan. Jika dia membebaskan bagian terakhir dengan keyakinan bahwa itu mencakup bagian sebelumnya, maka bagian terakhir menggantikan bagian pertama.

 

Jika tuannya membebaskan budak mukatab atau memerdekakannya saat sakit, maka kemerdekaannya tergantung. Jika nilai pembebasan tidak melebihi sepertiga dari hartanya atau sisa kewajiban mukataba, maka budak itu merdeka. Jika tidak, maka hanya bagian yang sesuai dengan sepertiga hartanya yang dianggap merdeka, dan sisa kewajiban mukataba tetap berlaku.

 

Jika tuannya mengaku telah menerima pembayaran dari budak mukatab saat sakit yang mengakibatkan kematiannya atau saat sehat, maka pengakuannya sah, sebagaimana pengakuannya terhadap orang lain tentang penerimaan hutang juga sah.

 

Jika seseorang membuat perjanjian mukataba dengan budaknya atas seribu dirham, lalu tuannya berkata: “Aku telah membebaskanmu dari seribu dirham kewajiban tulisanmu,” maka tidak ada pembebasan karena tidak ada kewajiban dirham atas budak itu. Demikian pula jika tuannya membuat perjanjian mukataba atas dasar dirham, lalu berkata: “Aku telah membebaskanmu dari seratus dinar kewajiban tulisanmu,” padahal nilainya sama, lebih rendah, atau lebih tinggi dari kewajiban dirham, maka tidak ada pembebasan karena dia hanya membebaskan sesuatu yang bukan kewajibannya. Hal yang sama berlaku untuk semua jenis kewajiban yang diganti dengan jenis lain.

 

Jika tuannya berkata: “Aku membuat perjanjian mukataba atas seribu dirham, dan aku katakan: ‘Aku telah membebaskanmu dari lima puluh dinar,'” dengan maksud membebaskan seribu dirham yang setara dengan lima puluh dinar, maka itu dianggap pembebasan, dan budak itu merdeka. Jika tuannya tidak menjelaskan hal ini, lalu budak mengklaim kepada tuannya, maka tuannya harus bersumpah bahwa dia tidak bermaksud demikian. Jika tuannya meninggal tanpa penjelasan, maka ahli waris harus bersumpah bahwa mereka tidak tahu maksud pembebasan seribu dirham jika dikatakan nilainya setara lima puluh dinar.

 

Jika saksi bersaksi untuk budak mukatab bahwa tuannya berkata: “Aku telah menerima pembayaran darimu,” atau budak berkata kepada tuannya: “Bukankah aku telah melunasimu?” dan tuannya menjawab: “Ya,” lalu budak berkata: “Ini adalah pembayaran terakhirku,” maka perkataan tuannya yang diikuti. Jika tuannya berkata: “Dia belum melunasi kecuali satu dirham,” maka perkataannya yang dianggap (dengan sumpah). Demikian pula perkataan ahli warisnya jika tuannya meninggal, karena budak itu tetap budak sampai saksi bersaksi bahwa dia telah melunasi seluruh kewajiban mukatabanya atau sekian dinar. Dia tetap terikat dengan apa yang dibuktikan oleh saksi.

 

Jika saksi bersaksi bahwa tuannya berkata: “Aku telah menerima pembayaran terakhir kewajiban tulisanmu,” tanpa tambahan, maka perkataan tuannya (atau ahli warisnya jika tuannya meninggal) yang diikuti untuk sisa kewajiban, karena penerimaan pembayaran tidak terbukti. Jika saksi bersaksi bahwa tuannya berkata: “Aku telah menerima pembayaran terakhir kewajiban tulisanmu, insya Allah,” atau “jika Allah menghendaki,” maka ini bukan penerimaan yang sah karena mengandung pengecualian. Demikian pula jika dia berkata: “Aku telah menerima pembayaran terakhir kewajiban tulisanmu jika engkau menghendaki,” maka itu bukan penerimaan yang sah karena mengandung syarat.

 

[Budak mukatab antara dua orang yang salah satunya memerdekakannya.]

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Imam Syafi’i berkata – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ): 

Jika dua orang membuat perjanjian pembebasan (mukatabah) dengan seorang budak, lalu budak tersebut melunasi sebagian tebusannya atau belum melunasi sama sekali hingga salah satu dari dua orang itu membebaskan bagiannya, maka bagiannya menjadi merdeka sebagaimana bolehnya membebaskan budak umm walad, mudabbar, atau budak biasa yang tidak ada perjanjian pembebasan. 

 

Jika budak itu memiliki harta, maka dihitung nilai tebusannya dan dibebaskan seluruhnya, sebagaimana hukum budak yang dimiliki dua orang lalu salah satunya membebaskannya. Jika budak tidak memiliki harta, maka separuh lainnya tetap dalam status mukatab. Jika salah satu membebaskannya, lalu yang lain juga membebaskannya: 

– Jika yang pertama berkecukupan, maka dibayar separuh nilai budak sebagai mukatab, sehingga budak merdeka. Yang pertama wajib membayar separuh nilainya, sedangkan pembebasan oleh yang kedua batal, dan hak perwalian (wala’) tetap untuk yang pertama. 

– Jika yang pertama tidak berkecukupan, maka pembebasan oleh yang kedua sah, dan hak perwalian dibagi antara keduanya. 

 

Jika dua orang memiliki budak lalu salah satunya menghapus bagiannya dari perjanjian tanpa membebaskannya, hukumnya sama seperti membebaskannya. Ia wajib membayar nilainya jika berkecukupan, begitu pula jika memaafkan haknya, karena itu adalah hartanya. Jika ia membebaskan, hak perwalian untuknya, berbeda dengan mukatab yang bisa diwariskan. 

 

[Pewarisan Mukatab] 

(Imam Syafi’i berkata – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ): 

Jika seorang menikahkan anak perempuannya yang sudah dewasa dengan kerelaannya kepada budak mukatab atau budak biasa, lalu membuat perjanjian pembebasan, pernikahan itu sah. Jika majikan meninggal dan anak perempuannya sebagai ahli waris, pernikahan batal karena ia memiliki sebagian dari suaminya. Jika meninggal tanpa anak perempuan sebagai ahli waris, pernikahan tetap sah. 

 

Jika salah satu ahli waris membebaskan bagiannya, maka bagian itu merdeka dan hak perwalian untuk yang membuat perjanjian. Begitu pula jika memaafkan haknya, bagian itu merdeka. Jika budak gagal melunasi, tidak ada hak atas dirinya, dan bagian itu merdeka dalam segala keadaan tanpa kewajiban membayar, karena pembebasan atau pemaafan tidak disertai hak perwalian. Hak perwalian hanya untuk yang membuat perjanjian. 

 

Dilarang memaksa budak membayar karena hak perwalian tidak sah sebelum budak gagal melunasi. Pembebasan setelah gagal tetap terkait status budaknya, sebab jika tidak memiliki hak kepemilikan saat gagal, ia tidak boleh memilikinya. Jika dua ahli waris membebaskan budak, pembebasan tidak sah kecuali jika mereka mewarisi hartanya. Tetapi jika mewarisi budak, pembebasan sah dan hak perwalian untuk yang membuat perjanjian. 

 

(Riwayat Ar-Rabi’) 

Ar-Rabi’ berkata: Imam Syafi’i berkata: Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha – bahwa ia ingin membeli budak perempuan untuk dibebaskan, tetapi pemiliknya berkata, “Kami menjualnya dengan syarat hak perwalian untuk kami.” Aisyah menyampaikannya kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, lalu beliau bersabda, “Jangan halangi, karena hak perwalian hanya untuk yang membebaskan.” 

 

(Imam Syafi’i berkata – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ): 

Malik juga meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dari ‘Amrah tanpa menyebut Aisyah, sehingga riwayat ini mursal. 

 

(Imam Syafi’i berkata – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ): 

Malik meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah. Menurutku, hadits Nafi’ lebih kuat karena bersanad dan lebih sesuai. Dalam riwayat Nafi’, Aisyah mengajukan syarat hak perwalian untuk pemilik, tetapi Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberitahunya bahwa jika ia membebaskan, hak perwalian untuknya. Jika demikian, syarat itu bukan perintah Nabi. Mungkin Hisyam atau Urwah ketika mendengar sabda Nabi, “Jangan halangi,” mengira itu perintah untuk memberi syarat, padahal Ibnu Umar – radhiyallahu ‘anhuma – meriwayatkan dengan jelas. Wallahu a’lam.

 

Dia berkata: “Ketiga hadis tersebut sepakat kecuali pada huruf ini yang mungkin terjadi kesalahan yang sangat besar, dan Allah Ta’ala lebih mengetahui. Dengan demikian kami mengambilnya, dan itu lebih sahih dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak mungkin diperbolehkan menjual budak mukatab (yang sedang dalam proses merdeka) selama mereka tidak gagal memenuhi syarat. Karena aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa budak mukatab tidak boleh dijual sampai dia gagal atau rela membatalkan perjanjian, maka ini bukan makna hadis. Sebab aku tidak menemukan hadis yang lebih sahih dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan orang yang aku ketahui dari semua manusia menyelisihinya. Maka makna hadis bukan ini, dan yang lebih tepat adalah bahwa hadis menunjukkan bahwa perjanjian mukatabah adalah syarat bagi budak mukatab terhadap tuannya. Kapan saja budak mukatab menghendaki, dia bisa membatalkan perjanjian, karena itu adalah perjanjian baginya yang belum mengeluarkannya dari kepemilikan tuannya. Dia tidak bisa keluar kecuali dengan memenuhi syarat atau membatalkannya. Ini adalah makna pertama yang lebih kuat. Allah Ta’ala lebih mengetahui, dan inilah pendapatku. Jika budak mukatabah atau mukatab rela membatalkan perjanjian, maka dia berhak membatalkannya, sebagaimana setiap pemilik hak boleh membatalkannya. Seperti dikatakan kepada budak: ‘Jika kamu masuk rumah, kamu merdeka,’ lalu dia memilih tidak masuk, atau dikatakan: ‘Jika kamu berbicara demikian, kamu merdeka,’ lalu dia memilih tidak mengatakannya, maka dia tidak merdeka dalam kedua kasus tersebut. Tidakkah kamu melihat bahwa Barirah meminta bantuan dalam perjanjian mukatabah, lalu Aisyah menawarkan untuk membeli atau memerdekakannya? Barirah pergi kepada keluarganya dengan tawaran Aisyah, lalu kembali kepada Aisyah dengan tawaran keluarganya, kemudian Aisyah membelinya dan memerdekakannya dengan sepengetahuan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini adalah bukti atas apa yang aku jelaskan tentang kerelaan Barirah membatalkan perjanjian atau kegagalannya.”

 

“Jika budak mukatab berkata: ‘Aku gagal atau membatalkan perjanjian,’ maka itu haknya, baik dia tahu atau tidak, atau mampu atau tidak. Jika tuannya berkata: ‘Aku tidak rela dengan kegagalannya,’ maka dikatakan kepadanya: ‘Ambillah, dia tetap budakmu, ambil hartamu di mana pun dan pekerjakan dia.’ Ambil kelebihan dari tenaga dan pekerjaannya, dan hartanya lebih baik daripada membayar tebusannya. Begitu pula jika ada dua budak atau lebih dalam satu perjanjian, lalu salah satu gagal atau rela membatalkan, maka dia keluar dari perjanjian, dan bagiannya dihapus dari yang lain, seperti jika dia mati atau dimerdekakan tuannya. Sama saja, apakah budak mukatab gagal saat jatuh tempo atau sebelumnya. Kapan pun dia menyatakan gagal, maka dia gagal. Jika dia gagal dan membatalkan perjanjian, lalu berkata: ‘Aku kembali ke perjanjian,’ maka itu tidak boleh kecuali dengan perjanjian baru. Menyatakan kegagalan di hadapan atau tidak hadirnya tuan adalah sama. Jika dia gagal dan membatalkan perjanjian, lalu membayar kepada tuannya dan merdeka dengan syarat pertama, kemudian ada bukti bahwa dia gagal atau rela membatalkan, maka dia tetap budak, dan apa yang diambil tuannya halal baginya. Jika tuannya ingin memperbarui perjanjian, itu boleh. Jika masalahnya seperti ini, lalu dia menyerahkan tebusannya kepada tuan lain dan berkata: ‘Kamu merdeka dengan makna pertama,’ sementara dia tidak tahu tentang kegagalannya atau kerelaannya membatalkan, maka dalam hukum dia harus dimerdekakan, dan tuannya bisa menuntut nilai budaknya sepenuhnya tanpa mengurangi apa yang telah dibayarkan, karena itu diambil saat dia masih budak, dan dia dimerdekakan karena perjanjiannya, sehingga tuannya berhak menuntut nilainya sepenuhnya.”

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika tuan dan budak mukatab sepakat dengan perjanjian mukatabah, maka tuan tidak boleh membatalkannya sampai budak gagal membayar salah satu cicilannya. Jika dia gagal dan tidak berkata: ‘Aku batalkan perjanjian,’ maka perjanjian tetap berlaku sampai tuan memilih membatalkannya, karena hak tuan di bawah hak budak mukatab bahwa perjanjian tidak bisa dipaksakan jika dia tidak mampu membayar, kecuali jika tuan rela membatalkannya. Ketika cicilan jatuh tempo dan tidak dibayar, dan tuan tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian tetap berlaku. Jika dia membayar setelah jatuh tempo, baik dalam waktu singkat atau lama, tuan tidak boleh menyatakannya gagal. Tuan hanya boleh menyatakannya gagal jika cicilan atau sebagiannya jatuh tempo dan tidak dibayar. Jika budak mukatab hadir di negeri tersebut, tuan tidak boleh menyatakannya gagal kecuali di hadapannya. Jika dia hadir dan ditanya tentang apa yang jatuh tempo, sedikit atau banyak, lalu dia berkata: ‘Aku tidak punya,’ maka tuan boleh menyaksikan bahwa dia gagal atau membatalkan perjanjian, dan perjanjian batal. Jika budak datang dengan membawa pembayarannya di tempat, maka dia bukan lagi mukatab, dan tuannya boleh mengambilnya seperti mengambil budak biasa, baik di hadapan penguasa atau tidak. Jika dia dibawa ke penguasa dan meminta tenggat waktu untuk membayar, atau tuannya meminta itu, maka tuan atau penguasa tidak wajib memberinya waktu kecuali jika dia membawa sesuatu untuk dijual di tempat, maka dia diberi waktu sesuai penjualannya.”

 

Jika dia mengatakan sesuatu yang tidak hadir, maka hadirkanlah. Penguasa tidak boleh menunda hingga waktu yang tidak ditentukan bagi yang tidak hadir, karena mungkin dia akan menundanya hingga budak tersebut menguasai dirinya sendiri dan tidak menyerahkan hartanya. 

 

Ini berbeda dengan orang merdeka yang meminta penundaan dalam hutang, karena hutang berada di tanggungannya, bukan pada dirinya. Sedangkan budak ini justru menahan dirinya dari apa yang menjadi kewajibannya. Jika dia tidak hadir, maka jatuhlah kewajibannya. Jika tuannya bersaksi bahwa dia telah gagal atau membatalkan perjanjiannya, maka dia dianggap gagal. 

 

Jika dia kembali dari ketidakhadirannya dan membawa bukti bahwa tuannya telah menerima pembayaran yang membuatnya gagal, atau membebaskannya darinya, atau memberinya penundaan, maka perjanjian tetap berlaku. Demikian pula, jika tuannya datang kepada penguasa dan meminta pembatalan, penguasa tidak boleh membatalkannya sampai terbukti bahwa dia gagal memenuhi perjanjiannya. 

 

Jika tuannya bersumpah bahwa dia tidak membebaskannya, tidak menerima pembayaran, tidak ada yang menerima untuknya, dan tidak memberinya penundaan, maka penguasa boleh membatalkannya dan membiarkan budak tersebut membela diri jika memiliki alasan. 

 

Jika dia datang kepada penguasa dan berkata, “Aku telah memberinya penundaan untuk satu kewajiban hingga waktu tertentu, tetapi waktu itu telah berlalu,” maka penguasa boleh melakukan seperti yang dilakukan dalam kewajiban lainnya. 

 

Jika dia berkata, “Aku telah memberinya penundaan tanpa batas waktu atau hingga waktu tertentu, tetapi aku memutuskan untuk tidak memberinya penundaan lagi,” maka penguasa tidak boleh membatalkannya. Suratlah kepada hakim di daerahnya, hadirkan dia, dan beri tahu bahwa pemiliknya telah menarik penundaannya. Katakan, “Jika kamu membayar kepada wakilnya atau langsung kepadanya, baiklah. Jika tidak, perjanjianmu akan dibatalkan dan kamu akan dikembalikan kepadanya.” 

 

Jika dia meminta penundaan, dia tidak boleh diberi penundaan jika tuannya memiliki wakil sampai dia membayar kepadanya. Jika tuannya tidak memiliki wakil, beri dia penundaan sesuai waktu perjalanan kepada tuannya dan tetapkan batas waktu. Jika dia tidak datang dalam waktu tersebut, hakim daerahnya boleh membatalkannya, kecuali jika dia membawa sesuatu untuk dijual segera, maka beri penundaan sesuai waktu penjualannya tanpa melebihi itu. 

 

Atau jika dia membawa orang yang berhutang untuk membayar gantinya, atau menjual sesuatu yang ada kepada orang berhutang tersebut. Jika orang berhutang tidak memiliki sesuatu yang bisa dijual, maka batalkan perjanjiannya dan anggap hutang tersebut sebagai milik tuannya, karena itu adalah harta budaknya. 

 

Jika aku katakan bahwa tuannya boleh membatalkan atau penguasa boleh membatalkan, lalu penguasa atau tuannya membatalkan, kemudian harta itu hadir, pembatalan tidak boleh dibatalkan. 

 

Jika seseorang bertanya, “Apakah ada pengaruh dalam pendapatmu bahwa tuannya boleh membatalkan tanpa penguasa?” Aku jawab, itu bisa dipahami berdasarkan penjelasanku. 

 

Al-Rabi’ meriwayatkan, Al-Syafi’i meriwayatkan, Abdullah bin Al-Harits meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Ismail bin Umayyah bahwa Nafi’ meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah membuat perjanjian dengan budaknya sebesar tiga puluh ribu. Budaknya datang dan berkata, “Aku gagal.” Ibnu Umar berkata, “Jika kamu membatalkan perjanjianmu…” Budak itu berkata, “Aku gagal, batalkanlah.” Ibnu Umar pun membatalkannya. Budak itu memiliki dua anak atau satu anak. Ibnu Umar berkata, “Pisahkan dia dari budak perempuanku.” Kemudian Ibnu Umar membebaskan anaknya setelah itu. 

 

Al-Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—meriwayatkan dari Ibnu ‘Uyainah dari Syabib bin Ghurqadah yang berkata, “Aku menyaksikan Syuraih membatalkan perjanjian seorang budak yang gagal dan mengembalikannya ke perbudakan.” 

 

Al-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—berkata: Tuannya atau penguasa boleh membatalkan perjanjian budak. Jika kewajiban budak jatuh tempo dan tuannya meminta pembayaran, lalu budak itu berkata, “Aku telah membayar kepadamu atau kepada wakilmu atau kepada si fulan atas perintahmu,” tetapi tuannya mengingkari, maka hakim tidak boleh segera membatalkan. Beri dia penundaan sehari, maksimal tiga hari. 

 

Jika dia datang dengan saksi, hakim harus menyumpahnya bersama saksi dan membebaskannya dari apa yang disaksikan. Jika saksi tidak dikenal, hakim tidak boleh terburu-buru sampai memeriksa keabsahannya. Jika saksi adil, hakim menyumpahnya. Jika tidak, cari saksi lain. 

 

Jika dia mengaku memiliki bukti yang tidak hadir, hakim harus mencatat bahwa dia mengaku memiliki bukti dan di mana dia dinyatakan gagal, kecuali jika dia memiliki bukti bahwa dia telah membayar atau tuannya membebaskannya. Jika bukti itu datang, perjanjiannya diteguhkan dan tuannya mengambil hasil atau nilai kerjanya. Jika tidak, pembatalan tetap berlaku. 

 

Jika dia dibatalkan dengan syarat ini, lalu muncul bukti bahwa dia dibebaskan dari kewajiban terakhirnya dan budak itu meninggal, maka hartanya menjadi warisan bagi ahli warisnya yang merdeka, karena dia meninggal dalam keadaan merdeka. Tuannya mengambil hasil atau nilainya. Jika itu bukan kewajiban terakhirnya, maka dia meninggal sebagai budak. 

 

Jika budak dibatalkan oleh tuannya atau penguasa, lalu tuannya berkata setelah pembatalan, “Aku mengembalikanmu ke perjanjian,” maka perjanjian itu tidak berlaku sampai dibuat perjanjian baru. 

 

Jika dia membayar berdasarkan perjanjian pertama dan tuannya berkata, “Aku meneguhkan kebebasanmu,” maka kebebasannya sah, dan mereka boleh menuntut nilai budak seperti dalam perjanjian yang rusak. 

 

Demikian pula jika tuannya berkata, “Aku meneguhkan perjanjian pertamamu,” tanpa menyebut kebebasan, karena ucapannya “Aku meneguhkan perjanjian pertamamu” berarti meneguhkan kebebasan berdasarkan perjanjian pertama dengan pembayaran. 

 

Jika tuannya membatalkannya, lalu dia membayar seperti biasa tanpa tuannya mengatakan “Aku meneguhkan perjanjianmu,” maka dia tidak merdeka dengan pembayaran itu. Pembayarannya dianggap sebagai hasil kerja yang diambil tuannya.

 

Dan jika seseorang memerdekakan budak-budaknya dengan satu perjanjian pembebasan (mukatabah), lalu mereka semua tidak mampu memenuhi salah satu cicilan, maka tuannya berhak memutuskan untuk membatalkan perjanjian bagi siapa yang ia kehendaki dan memberi tenggat waktu bagi yang ia kehendaki. Ia boleh menetapkan sebagian untuk melanjutkan perjanjian dan mengambil bagian yang menjadi haknya dari cicilan yang telah dibayar. Demikian pula jika sebagian dari mereka membayar dan sebagian tidak, maka yang telah membayar sesuai perjanjian merdeka dan tuannya tidak berhak membatalkannya, sedangkan yang belum membayar, tuannya berhak membatalkannya. Mereka dianggap sebagai budak yang terpisah perjanjiannya. Jika mereka gagal memenuhi cicilan, tuannya berhak membatalkan perjanjian bagi siapa yang ia kehendaki dan menetapkan bagi yang ia kehendaki untuk melanjutkan perjanjian, tetapi tuannya tidak berhak membatalkan perjanjian bagi yang telah membayar.

 

Jika seorang budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan tidak mampu memenuhi salah satu cicilannya dan tuannya tidak membatalkan perjanjian atau memberinya tenggat waktu, lalu budak itu meninggal sebelum membayar, maka ia meninggal dalam status budak dan harta miliknya menjadi hak tuannya.

 

Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan dengan budaknya, lalu budak itu tidak mampu memenuhi salah satu cicilan dan tuannya memberinya tenggat waktu, kemudian tuannya meninggal, maka ahli waris tuannya berhak mengambil budak itu sebagai budak penuh untuk cicilan yang belum dibayar. Jika ayah mereka (almarhum tuan) memberikan tenggat waktu sampai suatu masa tetapi masa itu belum tiba, mereka boleh mengambil budak itu seketika, sebagaimana ayah mereka berhak menarik kembali tenggat waktu dan mengambil budak itu seketika. Jika budak itu membayar, maka selesai; jika tidak, mereka berhak membatalkan perjanjian, dan mereka menggantikan posisi ayah mereka dalam pembatalan tersebut.

 

Jika sekelompok orang mewarisi seorang budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan, lalu budak itu tidak mampu memenuhi salah satu cicilan, dan sebagian ahli waris ingin memberinya tenggat waktu sementara sebagian lain ingin membatalkan perjanjian, maka yang ingin membatalkan berhak membatalkan, dan yang ingin memberi tenggat waktu berhak memberikannya. Bagian ahli waris yang ingin melanjutkan perjanjian tetap terikat dengan perjanjian tersebut. Jika pada saat salah satu ahli waris membatalkan perjanjian, budak itu memiliki harta, maka ahli waris yang membatalkan berhak mengambil sebagian sesuai bagiannya, dan sisanya dibiarkan untuk ahli waris yang tidak membatalkan. Dikatakan kepada ahli waris yang membatalkan: “Kamu berhak mengambil budak itu sehari sesuai bagianmu, lalu kamu boleh menyewakannya atau mempekerjakannya, dan kamu wajib menafkahinya pada hari itu.” Demikian pula jika budak itu sakit, kamu wajib menafkahinya sesuai bagianmu, karena perjanjian pembebasan awalnya sah bagi setiap pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Bagian ahli waris yang melanjutkan perjanjian tetap memiliki hak sebagaimana hak budak dalam perjanjian terhadap tuannya, dan hak tuan terhadap budak dalam perjanjian. Ini berbeda dengan kasus budak yang dimiliki oleh dua orang, di mana salah satu ingin memulai perjanjian pembebasan tanpa yang lain. Dalam kasus seperti itu, perjanjian pembebasan tidak sah. Namun, dalam kasus ini, perjanjian tersebut sah dan diperbolehkan.

 

(Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan dengan beberapa budak dalam satu perjanjian, lalu mereka tidak mampu memenuhi cicilan, dan tuannya ingin membatalkan perjanjian bagi sebagian dan melanjutkan bagi sebagian lain, maka itu diperbolehkan baginya, dengan ketentuan setiap bagian terikat dengan perjanjiannya masing-masing.

 

Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan dengan budaknya, lalu budak itu tidak mampu memenuhi cicilan, dan tuannya berkata, “Aku membatalkan sebagian perjanjianmu dan melanjutkan sebagian lain,” maka itu tidak diperbolehkan, sebagaimana tuannya tidak boleh membuat perjanjian pembebasan hanya untuk sebagian budak. Jika hal itu dilakukan dan budak itu membayar sesuai perjanjian, maka ia merdeka, tetapi tuannya boleh menuntut kembali setengah dari nilai budak itu, dan budak itu merdeka seluruhnya. Karena jika separuhnya merdeka dan separuhnya masih milik tuannya, maka seluruhnya menjadi merdeka. Wallahu a’lam.

 

[Jual Beli Perjanjian Pembebasan Budak]

(Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Tidak diperbolehkan menjual perjanjian pembebasan budak, baik dengan utang, tunai, atau dalam bentuk apa pun, karena perjanjian tersebut tidak dijamin pemenuhannya oleh budak. Jika budak itu ingin, ia bisa membatalkan perjanjian. Jika perjanjian itu dijual, maka penjualannya batal.

 

Dan jika budak yang menulis (mukatab) membayar kepada tuannya, lalu tulisan itu diperintahkan oleh tuannya untuk membebaskannya, maka ia bebas; karena mukatab terbebas darinya dengan perintah tuannya. Maka ia merdeka dan mengembalikan harga pembelian tulisan yang telah diambil jika masih ada di tangannya, atau yang serupa jika ada yang serupa, atau nilainya jika telah hilang dan tidak ada yang serupa. Demikian juga penjual mengembalikan apa yang telah diambil dari harga tulisan mukatab. 

 

[Pembatalan Kitabah] 

(Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Jika seseorang membuat perjanjian kitabah dengan budaknya atas suatu ganti rugi, hewan ternak dengan sifat tertentu, atau makanan dengan takaran, lalu mukatab melunasi seluruh kitabahnya dan merdeka, kemudian pembayaran itu dibatalkan setelah kematian mukatab, maka ia mati dalam status budak. 

 

Tuannya berhak mengambil apa yang menjadi haknya, dan apa yang telah diambil oleh ahli warisnya jika mereka telah menerimanya. Demikian juga jika ada klaim terhadap mukatab, lalu diambil diyat orang merdeka, maka mereka yang membayar diyat dapat mengambil kelebihan dari diyat budak tersebut. 

 

Demikian juga jika kitabah dilakukan dengan dinar, lalu dinar itu dibatalkan (karena cacat). Jika masalah ini terjadi secara cuma-cuma, lalu ada klaim terhadap mukatab atas sesuatu dari jenis yang telah dibayarkan dan dengan sifat yang sama, maka pembebasannya tetap sah, dan mukatab diharuskan membayar apa yang dibatalkan darinya, tanpa mengembalikan apa yang telah diambil darinya. 

 

Jika pembayaran kitabah dibatalkan setelah dilunasi sementara mukatab masih hidup, maka yang berhak mengambil adalah yang membatalkannya. Jika semua kewajiban mukatab telah jatuh tempo pada hari pembatalan pembayaran kepada tuannya, maka dikatakan kepada mukatab: “Jika kamu melunasi seluruh kitabahmu kepada tuanmu sekarang, kamu merdeka. Jika tidak, dia berhak memaksa kamu.” 

 

Jika pembayaran dibatalkan sementara mukatab tidak ada (ghaib), dan mukatab memiliki harta, maka hartanya ditahan dan ditunggu sebagaimana dijelaskan dalam kasus mukatab yang jatuh tempo kewajibannya saat ghaib. Jika ia melunasi, maka ia merdeka; jika tidak, tuannya berhak memaksanya. Jika ia meninggal dalam keadaan ghaib sebelum melunasi, maka ia mati sebagai budak. 

 

Demikian juga jika pembayaran mukatab dibatalkan. Jika seseorang datang dan membatalkan pembayaran kepada tuannya berdasarkan pengakuan tuannya atau terhadap mukatab, sementara mukatab mengingkari apa yang diakui tuannya atau mengeluarkannya dari kepemilikannya dengan bukti yang sah, maka mukatab merdeka. Ini adalah kerusakan harta yang disebabkan tuannya. 

 

Jika pembayaran kepada tuannya dibatalkan sementara tuannya telah merusaknya, maka berlaku seperti ini. Yang membatalkan berhak menuntut tuannya jika ia mau, karena tuannya telah merusak hartanya, atau menuntut mukatab karena ia memberikan wewenang kepada tuannya untuk merusaknya. 

 

Jika saksi bersaksi bahwa tuannya, saat menerima pembayaran kitabah yang dibatalkan, berkata kepada mukatab: “Kamu merdeka,” lalu tuannya mengatakan: “Aku hanya mengatakan ‘kamu merdeka’ jika kamu telah melunasi kewajibanmu,” maka ia bersumpah atas nama Allah bahwa ia tidak bermaksud membebaskannya di luar kitabah, dan budak itu tetap sebagai hamba. 

 

Demikian juga jika mereka bersaksi setelah pembayaran kitabah tetapi sebelum pembatalan barang, bahwa tuannya mengatakan: “Ia merdeka” atau “Kamu merdeka.” Jika mereka bersaksi setelah pembatalan pembayaran kitabah bahwa tuannya mengatakan: “Kamu merdeka,” maka ia merdeka, dan ini dianggap sebagai pembebasan baru. 

 

Demikian juga jika mereka bersaksi sebelum pembayaran kitabah bahwa tuannya mengatakan: “Kamu merdeka” atau “Ia merdeka” saat atau setelah pembayaran. Jika ada yang bertanya: “Mengapa ia tidak merdeka jika pembayaran dibatalkan?” Dijawab: “Tidakkah kamu melihat bahwa ia secara lahiriah merdeka, dan hakim memutuskan bahwa ia merdeka? Perkataan tuannya ‘kamu merdeka’ dan diamnya adalah sama.” 

 

Jika tuannya mengatakan: “Ia merdeka karena telah melunasi,” lalu pembayaran itu batal, maka pembebasannya batal jika yang dibayarkan tidak sah karena menjadi milik orang lain. Ini berbeda dengan budak yang membuat kitabah dengan tuannya atas barang yang rusak atau mati, lalu ia membayarnya dan merdeka, sementara tuannya menuntut kembali nilainya. Dalam kasus ini, budak telah menyerahkan pembayaran kepada tuannya, dan tidak ada yang membatalkannya atas kepemilikan tuannya. Hanya saja, haram bagi tuannya untuk memilikinya, sehingga merusak kitabah dan menjadikan pembebasan sah dengan kerelaan tuannya atas sesuatu yang tidak diterima budak darinya. 

 

Jika khamr (minuman keras) dibatalkan oleh pemiliknya terhadap tuannya, budak tidak merdeka dengan khamr tersebut, karena ia hanya merdeka jika tuannya memilikinya. Jika ia merdeka, tuannya dapat menuntut mukatab dengan nilainya.

 

Dan jika seorang majikan berkata kepada budaknya: “Jika kamu membunuh sekarang atau memukul sekarang, maka kamu merdeka,” lalu budak itu membunuh sekarang atau memukul sekarang, maka dia merdeka dan majikan tidak dapat menuntutnya kembali karena majikan tidak memerdekakannya dengan syarat kepemilikan sesuatu, sehingga seperti seseorang yang memerdekakan budaknya tanpa syarat. Namun, jika majikan memerintahkannya untuk membunuh atau memukul seseorang yang tidak bisa dilawan, lalu budak itu membunuh atau memukul, maka dia tidak merdeka. 

 

Jika seorang budak mukatab menyerahkan kepada majikannya apa yang disepakati dalam perjanjian, lalu qadhi memerdekakannya, kemudian pernyataan merdeka itu terbatal, maka qadhi membatalkan kemerdekaannya karena qadhi hanya memerdekakannya berdasarkan bukti lahiriah, sebagaimana memutuskan kepemilikan rumah yang dibeli seseorang dengan budak, lalu jika budak itu terbukti bukan miliknya, rumah dikembalikan kepada pemilik aslinya. 

 

Jika majikan berkata kepadanya—saat menerima pembayaran mukatab—”Kamu merdeka,” kemudian budak itu terbukti masih sebagai hamba dan majikan bersumpah bahwa yang dia maksud dengan “Kamu merdeka” bukanlah memerdekakannya tanpa pembayaran mukatab, karena perkataan “Kamu merdeka” sama seperti diamnya, yaitu status merdeka menurut hukum sampai pembayaran mukatab terbukti sah. 

 

Jika majikan berkata, “Kamu merdeka setelah melunasi mukatab,” lalu majikan meninggal dan pembayaran itu terbukti tidak sah sehingga budak tetap hamba, maka ahli waris bersumpah bahwa mereka tidak tahu maksud majikan dengan perkataan “Kamu merdeka” adalah memerdekakannya tanpa pembayaran mukatab. 

 

(Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): 

Seandainya seseorang berkata kepada budaknya, “Jika kamu membayar kepadaku lima puluh dinar atau seorang budak yang kamu sebut cirinya, maka kamu merdeka,” lalu budak itu membayar, kemudian pembayaran itu terbukti tidak sah sehingga statusnya tetap hamba. Jika majikan berkata saat pembayaran, “Kamu merdeka,” maka hukumnya seperti yang dijelaskan dalam kasus mukatab. 

 

Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Jika kamu memberiku budak ini dan pakaian ini,” lalu budak itu memberikannya dan dia merdeka, kemudian pemberian itu terbukti tidak sah sehingga statusnya kembali hamba, karena makna perkataan “Jika kamu memberiku budak ini dan pakaian ini” adalah kepemilikan yang sah, seperti perkataan kepada budak mukatab, “Jika kamu membayar ini, maka kamu merdeka.” Demikian pula jika seseorang berkata kepada budaknya, “Jika aku menikahkanmu, maka kamu merdeka,” lalu dia menikahkannya dengan pernikahan fasid, atau berkata, “Jika aku menjualmu, maka kamu merdeka,” atau “Jika kamu menjual sekarang, maka kamu merdeka,” lalu dia menjualnya atau menjual sekarang dengan jual beli fasid, maka budak tidak merdeka karena semua ini mensyaratkan keabsahan transaksi. 

 

Jika majikan berkata, “Jika kamu dipukul sekarang, maka kamu merdeka,” lalu budak itu dipukul, maka dia merdeka karena ini bukan pembebasan dengan syarat kepemilikan sesuatu. 

 

Namun, jika majikan berkata, “Jika kamu dipukul sekarang, maka kamu merdeka,” lalu budak itu dipukul setelah majikan meninggal, maka dia tidak merdeka karena pukulan hanya berlaku untuk orang hidup. Tidakkah kamu melihat bahwa jika hukuman hadd dijatuhkan pada seseorang, lalu dia meninggal, hukuman itu tidak boleh dilaksanakan karena hukuman hanya berlaku untuk orang hidup?

 

Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan (mukatabah) atas dua budak yang dimilikinya, lalu ia memelihara mereka hingga merdeka, kemudian salah satunya ditemukan cacat, maka ia berhak mengembalikan budak yang cacat tersebut. Jika perjanjian telah berlaku, dikatakan: “Jika engkau membayar penggantinya, engkau merdeka. Jika tidak membayar, tuanmu berhak memaksa pembatalan.” 

 

Demikian pula jika seseorang membuat perjanjian pembebasan atas beberapa hal, lalu ia membayar sebagian, kemudian ditemukan cacat pada salah satunya. Atau jika ia membuat perjanjian pembebasan dengan dinar dan dirham tertentu, lalu membayar kurang dari yang disyaratkan, ia tidak merdeka kecuali memenuhi syarat. 

 

Begitu juga jika ia membuat perjanjian pembebasan atas beberapa budak, lalu membayar mereka dalam keadaan cacat atau sebagian cacat dan merdeka, kemudian tuannya mengetahui cacat tersebut, ia berhak mengembalikan yang cacat secara spesifik. Jika ia memilih mengembalikannya, pembebasannya batal. Jika ia memilih menahannya, pembebasan tetap berlaku, karena perjanjian mukatabah dalam banyak hukumnya seperti jual beli. Jika dalam jual beli pembeli berhak mengembalikan barang cacat dan membatalkan transaksi, hal itu juga berlaku dalam mukatabah. 

 

Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan atas dua budak, lalu ia memelihara mereka dalam keadaan cacat, kemudian salah satu meninggal atau dimerdekakan, lalu diketahui ada cacat yang disembunyikan oleh pemilik—baik mukatab mengetahuinya atau tidak—dikatakan kepada mukatab: “Jika engkau membayar selisih nilai antara budak yang sehat dan yang cacat, engkau merdeka. Jika tidak, tuanmu berhak memaksa pembatalan, karena engkau tidak memenuhi kewajibanmu sepenuhnya, seperti jika engkau membayar dinar kurang dari takaran, engkau tidak merdeka kecuali melunasinya atau memberikan kekurangannya.” 

 

Hal ini berlaku sama dalam makanan, minuman, dan semua komoditas yang dijadikan objek perjanjian mukatabah, tanpa perbedaan. 

 

Wasiat untuk Mukatab 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berwasiat untuk memerdekakan mukatab miliknya kepada orang lain, wasiat itu tidak sah, karena ia tidak berhak memindahkan kepemilikan kepada orang lain selama perjanjian mukatabah masih berlaku. 

 

Jika ia berkata: “Jika aku meninggal karena sakit ini atau sebab lain, maka fulan berhak memerdekakan mukatabku untuk fulan,” wasiat itu batal. Jika mukatab gagal memenuhi syarat sebelum atau setelah kematiannya, wasiat tidak berlaku, karena ia berwasiat atas sesuatu yang bukan haknya untuk dipindahkan, seperti jika ia berkata: “Jika aku meninggal, fulan merdeka untuk budak yang bukan miliknya.” 

 

Jika ia menghibahkan hak mukatab kepada seseorang dan menyerahkannya, hibah itu batal. Jika mukatab gagal memenuhi syarat di tangan penerima hibah, hibah tetap batal, karena ia menghibahkan sesuatu yang bukan haknya. Namun, jika ia berwasiat agar mukatabnya dimerdekakan untuk seseorang, wasiat itu sah selama perjanjian masih berlaku. Jika mukatab memenuhi syarat, ia merdeka, dan walinya adalah yang membuat perjanjian. 

 

Jika seseorang berwasiat agar mukatabnya dimerdekakan untuk seseorang, lalu mukatab gagal memenuhi syarat, statusnya kembali sebagai budak ahli waris, dan wasiatnya batal. 

 

Jika seseorang berkata: “Aku mewasiatkan mukatabku untuk fulan, jika ia gagal, maka ia untuk fulan,” wasiat itu sah sesuai ketentuan. Selama perjanjian berlaku, hak pembebasan menjadi milik penerima wasiat. Jika gagal, budak itu menjadi milik penerima wasiat atas kepemilikan fisiknya, baik ia diwasiatkan untuk pembebasan atau lainnya.

 

Dan jika seseorang mewasiatkan penulisan budaknya kepada seorang laki-laki dengan membayar salah satu angsurannya, lalu budak itu tidak mampu membayarnya, dan penerima wasiat ingin agar budak tersebut tidak dianggap gagal dan menunda pembayaran angsuran itu, sementara ahli waris ingin menggagalkannya, maka hak itu ada pada ahli waris; karena kepemilikan budak tersebut telah berpindah kepada mereka. Demikian juga jika seseorang mewasiatkan penulisan budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan (mukatab) kepada seorang laki-laki, sedangkan kepemilikan budak itu diwasiatkan kepada orang lain, maka jika budak itu gagal, haknya berpindah kepada orang yang diwasiatkan kepemilikannya jika dia gagal menggagalkannya; karena kepemilikan budak itu ada padanya. 

 

Jika seseorang mewasiatkan bahwa penulisan budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan (mukatab) diberikan kepada seorang laki-laki jika dia membayar angsurannya sebelum jatuh tempo, maka jika dia membayar sebelum jatuh tempo, penulisan itu sah untuknya. Namun jika tidak, dia tidak wajib membayar lebih awal, dan tidak dianggap gagal selama tidak membayar lebih awal, sehingga wasiat untuk penerima wasiat batal karena wasiat itu hanya sah jika maknanya terpenuhi. Jika makna itu tidak terpenuhi, wasiat itu batal. 

 

Jika dia berkata: “Setiap angsuran dari penulisan budak mukatab yang dibayar sebelum jatuh tempo adalah untuk si Fulan,” maka sesuai dengan ucapannya. Setiap angsuran yang dibayar lebih awal adalah untuk si Fulan, dan setiap angsuran yang tidak dibayar lebih awal adalah untuk ahli warisnya. Ini semua berlaku jika perjanjian penulisan (kitabah) itu sah. 

 

Jika seorang laki-laki membuat perjanjian penulisan (kitabah) dengan budaknya yang tidak sah, kemudian dia mewasiatkan penulisan budaknya kepada seorang laki-laki, maka wasiat itu batal karena tidak ada perjanjian penulisan yang sah atas budaknya. Namun jika masalahnya adalah dia memberikan budaknya sebagai hadiah, lalu mewasiatkan kepemilikan budaknya kepada seorang laki-laki, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, wasiat itu batal kecuali jika dia menyatakan bahwa budak itu bukan mukatab karena perjanjian penulisannya tidak sah. Tetapi jika dia mewasiatkannya sementara dia menganggap budak itu sebagai mukatab, maka wasiat itu batal. Demikian juga jika dia menjual budak itu dengan penjualan yang tidak sah, lalu mewasiatkannya kepada seorang laki-laki, wasiat itu batal karena dia mewasiatkannya sementara menganggap budak itu milik orang lain. 

 

Pendapat kedua mengatakan bahwa wasiat itu sah dalam kedua kasus karena budak itu bukan mukatab dan tidak keluar dari kepemilikannya melalui penjualan yang tidak sah. (Ar-Rabi’ berkata: “Menurutku, pendapat kedua inilah yang benar.”) 

 

[Wasiat untuk Budak Mukatab] 

(Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Jika seorang tuan mewasiatkan pembebasan budak mukatabnya, maka budak itu merdeka dengan membayar nilai yang lebih rendah antara harga dirinya atau sisa pembayaran perjanjiannya. Misalnya, jika nilainya seribu dan sisa perjanjiannya lima ratus, maka dia merdeka dengan membayar lima ratus. Sebab, jika tuannya mewasiatkan pembebasannya, berarti dia menghapus perjanjian penulisan. Jika dia mewasiatkan dan menghapus perjanjian penulisan, maka budak itu merdeka seolah-olah nilainya seribu dan sisa perjanjiannya dua ribu, sehingga dia merdeka dengan membayar seribu. Jika dia merdeka, perjanjian penulisan itu gugur. Jika tuannya berkata, “Hapuskan perjanjian penulisannya,” atau mewasiatkan perjanjian penulisan untuknya, maka itu sama seperti mewasiatkan pembebasannya, karena jika perjanjian penulisan dihapus, dia merdeka dengan membayar nilai yang lebih rendah antara harga dirinya atau sisa perjanjiannya. Baik perjanjian itu sebagai utang atau tunai, dihitung dari sepertiga harta warisan sebagai pembayaran tunai.

 

Jika dia mewasiatkan untuknya dengan satu bagian dari hutangnya, maka itu untuk ahli waris. Mereka boleh memberikannya bagian mana pun yang mereka kehendaki, baik yang terlambat maupun yang lebih awal. Jika bagian-bagiannya berbeda, maka mereka boleh memilih yang paling kecil jika mereka menghendaki. Jika dia berkata, “Hapuskan untuknya bagian mana pun dari hutangnya yang kalian inginkan,” maka seperti itulah. Jika dia berkata, “Hapuskan untuknya bagian mana pun dari hutangnya yang dia kehendaki,” maka itu diserahkan kepada orang yang berhutang. Bagian mana pun dari hutangnya yang dia kehendaki, dihapuskan dari sepertiga, baik yang lebih awal maupun yang terlambat. Jika hutangnya berbeda-beda dan dia berkata, “Hapuskan untuknya bagian tengah dari hutangnya,” maka bagian tengah dari hutangnya adalah yang pertengahan dalam jumlah atau pertengahan dalam waktu jatuh tempo. Tidak ada yang lebih utama dari yang lain secara zahir. Maka dikatakan kepada ahli waris, “Hapuskan bagian tengah dari hutangnya jika kalian menghendaki.” Jika mereka mau, mereka bisa memilih yang pertengahan dalam jumlah, atau jika mereka mau, yang pertengahan dalam waktu. Jika orang yang berhutang mengklaim bahwa yang diwasiatkan untuknya bukan yang dihapuskan, maka ahli waris harus bersumpah bahwa mereka tidak mengetahui apa yang dia katakan dan menghapuskan yang pertengahan dari mana pun mereka kehendaki. 

 

Jika masalahnya seperti ini dan masih tersisa tiga bagian hutang, dan yang terakhir adalah yang paling kecil, dikatakan kepada mereka, “Kalian boleh menghapuskan yang pertengahan dalam jumlah atau nilai.” Jika mereka ingin menghapuskan yang pertengahan dalam waktu, maka hapuskan yang kedua, yaitu yang sebelumnya satu dan sesudahnya satu. Jika ada empat bagian hutang dan mereka ingin menghapuskan yang pertengahan dari bagian-bagian yang tertunda, mereka boleh menghapuskan bagian kedua atau ketiga mana pun yang mereka kehendaki, karena tidak ada yang lebih berhak disebut pertengahan daripada yang lain. Jika ada lima bagian, maka ada satu pertengahan, yaitu yang ketiga, karena sebelumnya ada dua bagian dan sesudahnya dua bagian. Jika jumlah hutangnya ganjil, maka ada satu bagian tengah. Jika genap, ada dua bagian tengah. 

 

Jika hutangnya berbeda dalam jumlah nilai, misalnya ada yang sepuluh, seratus, dan tiga, lalu dia berkata, “Hapuskan untuknya satu bagian dari hutangnya,” maka mereka boleh menghapuskan bagian mana pun yang mereka kehendaki. Jika dia berkata, “Hapuskan untuknya bagian terbanyak dari hutangnya,” atau “Hapuskan untuknya bagian terkecil dari hutangnya,” maka mereka harus menghapuskan sesuai wasiatnya. Ini hanya berlaku dalam hal jumlah. Jika dia berkata “terbanyak,” maka yang terbanyak jumlahnya. Jika dia berkata “terkecil,” maka yang terkecil jumlahnya. 

 

Jika dia berkata “pertengahan,” maka bisa merujuk pada nilai atau posisi tengah. Jika dia berkata, “Hapuskan untuknya bagian tengah dari hutangnya dalam jumlah nilai,” dan dia memiliki tiga bagian hutang, maka dihapuskan yang tengah, bukan yang paling kecil atau paling besar. Jika ada empat bagian: sepuluh, dua puluh, tiga puluh, dan empat puluh, lalu dia berkata, “Hapuskan untuknya bagian tengah dari hutangnya dalam jumlah,” maka mereka boleh menghapuskan sepuluh atau tiga puluh, karena tidak ada yang lebih berhak disebut tengah daripada yang lain. Demikianlah seluruh bab ini dan analoginya. 

 

Jika dia berkata, “Hapuskan untuknya sepertiga dari hutangnya,” maka mereka boleh menghapuskan sepertiga dari hutangnya dalam jumlah, baik yang terakhir maupun yang sebelumnya, sesuai kehendak mereka. Begitu juga jika dia berkata setengah, seperempat, atau sepuluh darinya. 

 

Jika dia mewasiatkan untuk orang yang berhutang seperti yang telah dijelaskan, baik berupa satu bagian, sepertiga, kurang, atau lebih, dan orang yang berhutang tidak menerima wasiat tersebut, maka itu menjadi milik orang yang berhutang. 

 

Jika dia mewasiatkan sesuatu untuk dihapuskan darinya, lalu dia tidak mampu membayar, maka dia kembali menjadi budak. 

 

Jika dia mewasiatkan untuk orang yang berhutang dengan sesuatu yang spesifik, wasiat itu sah. Namun, jika orang yang berhutang tidak mampu sebelum menerima wasiat tersebut, maka wasiat itu batal untuknya, karena tidak boleh mewasiatkan untuk budaknya. Itu menjadi milik ahli waris, karena wasiat untuk mereka sesuai dengan kepemilikan mereka atasnya.

 

Dan jika dia berkata: “Jika dia menghendaki pembebasan budak dengan pembayaran bertahap (mukatab), maka juallah dia.” Lalu budak itu menghendaki pembebasan sebelum menyelesaikan pembayarannya, maka dia boleh dijual. Namun jika tidak menghendaki, tidak boleh dijual. 

 

Dan jika seseorang berkata: “Jika budak mukatab tidak mampu membayar, maka dia merdeka.” Lalu budak itu mengaku tidak mampu sebelum jatuh tempo pembayarannya, maka dia tidak merdeka. Tetapi jika sudah jatuh tempo dan dia berkata: “Aku tidak mampu,” sementara ahli waris pemiliknya mengatakan: “Dia masih mampu,” maka mereka harus membuktikan hartanya. Jika ditemukan cukup untuk membayar cicilannya, dia tidak dianggap tidak mampu. Namun jika tidak ditemukan harta yang cukup, dia harus bersumpah bahwa dia memang tidak memiliki harta untuk membayar, dan barulah dia dianggap tidak mampu. 

 

Dan jika seseorang berwasiat: “Jika budak mukatab menghendaki, juallah dia,” tetapi budak itu tidak mengaku tidak mampu sampai dia berkata: “Aku setuju untuk dijual,” maka dia tidak boleh dijual kecuali dengan kerelaannya atas ketidakmampuan. Jika dia berkata: “Aku rela,” maka boleh dijual. Namun jika tidak rela, wasiat itu batal karena tidak boleh menjual budak yang masih dalam perjanjian pembebasan. 

 

Dan jika seseorang berkata saat sakit: “Hapuskan sebagian kewajiban budak mukatab atau sebagian dari utangnya,” maka mereka boleh menghapuskan sebagian kewajibannya sesuai keinginan, meskipun sedikit. Mereka juga boleh memilih menghapusnya dari cicilan terakhir atau pertama, seperti halnya jika seseorang mewasiatkan untuk menghapus sebagian utang yang sudah jatuh tempo atau belum. Mereka boleh memilih menghapus dari yang sudah jatuh tempo atau belum, karena semuanya termasuk dalam kewajiban mukatab dan bagian dari utang. 

 

Dan jika dia berkata: “Hapuskan satu cicilan dari cicilannya atau sebagian cicilannya,” maka mereka tidak boleh kecuali menghapus satu cicilan penuh. Namun jika dia berkata: “Hapuskan sebagian dari cicilannya,” maka mereka boleh menghapus sesuai keinginan, karena perintah menghapus satu cicilan berarti menghapus sebagian darinya. 

 

Jika dia berkata: “Hapuskan sebagian yang meringankan kewajibannya,” atau “hapuskan sebagian kecil atau besar dari kewajibannya,” atau “hapuskan bagian yang bernilai harta atau tidak bernilai harta dari kewajibannya,” maka mereka boleh menghapus sesuai keinginan, karena sedikit pun sudah meringankan kewajibannya. Begitu juga jika dia berkata: “Hapuskan seratus yang tersisa dari kewajibannya dan tambahan,” maka yang dihapus hanya seratus, sedangkan kata “tambahan” tidak berarti apa-apa karena tidak boleh menghapus yang bukan kewajibannya. 

 

Dan jika dia berkata: “Hapuskan sebagian besar dari sisa kewajibannya,” maka mereka boleh menghapus setengah atau lebih sesuai keinginan, karena itu termasuk “sebagian besar.” 

 

Dan jika dia berkata: “Hapuskan sebagian besar dari sisa kewajibannya dan tambahan setengahnya,” maka mereka boleh menghapus lebih dari setengah sesuai keinginan, lalu menambahkan setengah dari yang sudah dihapus. Begitu juga jika dia berkata: “dan tambahan tiga perempatnya,” maka dihapus sesuai perkataannya. 

 

Dan jika dia berkata: “Hapuskan sebagian besar dari kewajibannya dan tambahan yang sama,” maka seluruh kewajibannya dihapus, sedangkan kelebihan dari kewajibannya batal karena tidak boleh menghapus yang bukan kewajibannya.

 

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Jika dia berkata: “Hapuskan darinya apa yang dia kehendaki dari tulisannya,” lalu dia menjawab: “Aku ingin kalian menghapus semuanya,” maka itu tidak diperbolehkan baginya. Karena yang dimaksud adalah bahwa yang dihapus dari sesuatu haruslah masih ada sebagian yang tersisa dari hal tersebut. Dan dihapuskan darinya semua yang dia katakan jika masih tersisa sebagian dari tulisan, baik sedikit maupun banyak, karena itu termasuk bagian dari tulisan.

 

[Wasiat untuk Budak yang Hendak Dibebaskan]

 

(Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Jika seseorang berwasiat agar budaknya dibebaskan dengan membayar, maka itu dikeluarkan dari sepertiga hartanya, dan ahli wasiat harus menerima seluruh nilainya secara tunai. Budak itu dibebaskan dengan syarat yang sama seperti kebiasaan, tanpa memberatkan ahli waris untuk selain itu. Jika tidak ada harta lain, utang, atau wasiat, ahli waris tidak boleh dipaksa untuk membebaskannya. Dikatakan kepadanya: “Jika kamu mau, kami akan membebaskanmu dengan sepertiga hartamu, dan jika tidak, kamu tetap budak.” Jika dia tidak mau dibebaskan dengan sepertiga hartanya, dia tetap budak. Jika dia mau, dia dibebaskan dengan syarat yang sama seperti kebiasaan, tanpa dikurangi. Ketika dia merdeka, sepertiga miliknya adalah untuk tuannya yang mewasiatkan pembebasannya, dan dua pertiganya tetap sebagai budak. Seandainya masalah ini berupa hibah, lalu dia berkata: “Aku segera membayar dua pertiga nilainya,” itu tidak diperbolehkan. Karena jika dia memiliki harta, hartanya milik ahli waris tuannya. Demikian juga jika seseorang memberinya harta, itu menjadi milik ahli waris tuannya. Jika seseorang berkata: “Jika kalian mau, aku akan segera membayar dua pertiga nilainya,” mereka tidak wajib menerimanya, tidak wajib membebaskannya segera, dan tidak boleh mengeluarkan dua pertiganya dari tangan mereka dengan pembebasan, sementara sepertiganya tidak terpenuhi.

 

Jika dia berwasiat agar budaknya dibebaskan sementara dia memiliki utang, maka wasiatnya batal.

 

Jika dia berwasiat agar budaknya dibebaskan dan itu melebihi sepertiga hartanya, lalu dia berkata: “Bebaskanlah dia dengan seribu dinar,” padahal nilainya tidak sampai sepuluh dinar dan tidak mungkin dibebaskan dengan lima puluh dinar, maka dikatakan: “Jika kamu rela dengan pembebasan yang diwasiatkan ini, kamu akan dibebaskan. Jika tidak rela atau tidak mampu, kamu tetap budak.”

 

Jika dia gagal dalam proses pembebasan dan memilih meninggalkannya, lalu meminta untuk dibebaskan lagi, itu tidak diperbolehkan. Karena dia telah meninggalkannya, seperti halnya seseorang yang menolak wasiat yang diberikan kepadanya, tidak boleh menarik kembali dan menerimanya.

 

Jika dia berkata: “Bebaskanlah salah satu budakku,” maka mereka boleh memilih budak mana saja yang mereka kehendaki dan wajib melakukannya. Namun, mereka tidak boleh membebaskan budak perempuan. Demikian juga jika dia berkata: “Bebaskanlah salah satu dari budak-budakku.” Jika dia berkata: “Bebaskanlah salah satu dari hamba sahayaku,” maka mereka boleh memilih budak laki-laki atau perempuan sesuai keinginan, karena istilah “hamba sahaya” mencakup budak laki-laki dan perempuan.

 

Jika dia berkata: “Bebaskanlah salah satu dari budak perempuanku,” maka mereka tidak boleh membebaskan budak laki-laki atau khuntsa (hermafrodit) dalam konteks ini. Begitu juga jika dia berwasiat untuk membebaskan salah satu hamba sahayanya yang ambigu jenis kelaminnya.

 

[Penulisan dalam Keadaan Sakit] 

(Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): 

Jika seseorang menulis perjanjian pembebasan budaknya saat sakit, dan nilai tersebut melebihi sepertiga hartanya, meskipun sedikit, itu diperbolehkan. Sebab, seandainya ia membebaskannya langsung, itu juga sah, padahal pembebasan langsung lebih berat daripada perjanjian pembebasan. Namun, jika nilainya tidak melebihi sepertiga, perjanjian itu tertunda. Jika tuan tersebut memiliki harta lain untuk menutupi kelebihan dari sepertiga, perjanjian itu sah dalam segala kondisi. Tetapi jika tidak ada harta tambahan dan perjanjian itu setara dengan nilai budak tersebut, perjanjian tidak sah untuk dua pertiga hartanya karena itu bukan transaksi mutlak. Namun, sah untuk sepertiga hartanya. Demikian pula, jika perjanjian itu lebih rendah dari nilai budak, batal untuk dua pertiga tetapi sah untuk sepertiga, asalkan tidak ada utang atau wasiat. Jika ada utang yang meliputi hartanya, perjanjian itu batal. Jika ada wasiat, ahli waris wasiat berhak menuntut hak mereka, dan perjanjian tidak didahulukan atas mereka. 

 

[Kebangkrutan Tuan Budak] 

(Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata): 

Jika seseorang membuat perjanjian pembebasan budaknya lalu bangkrut, perjanjian itu tidak otomatis batal. Kreditur berhak mengambil hak mereka dari pembayaran budak tersebut ketika ia melunasi. Jika budak itu melunasi sebelum jatuh tempo, tuannya tidak boleh menghalangi, dan kreditur tetap berhak mengambilnya. Jika budak menyerahkan pembayaran kepada tuannya dan ia merdeka, kreditur tetap boleh menyita pembayaran itu. Jika hartanya habis, statusnya seperti harta lain yang lenyap. Perjanjian pembebasan tetap berlaku sampai hakim menetapkan status hartanya. Setelah hakim menetapkan, perjanjian baru tidak sah. Jika tuannya tetap membuat perjanjian setelah penetapan hakim, perjanjian itu ditolak. Jika budak melunasi, ia tidak merdeka, dan pembayaran serta dirinya disita untuk dijual. Demikian pula jika tuannya membebaskannya langsung, ia tidak merdeka dan dijual. Jika tidak ada pelunasan utang, ia tidak merdeka. 

 

Jika tuan dan kreditur berselisih—kreditur mengklaim perjanjian dibuat setelah penetapan hakim, sementara tuan menyatakan sebelum penetapan—dan tidak ada bukti, perkataan tuan yang diterima. Ini bukan bentuk pengistimewaan untuk dirinya, melainkan hak budak jika ia yang mengklaim. Begitu pula jika budak berkata perjanjian dibuat sebelum penetapan, sementara tuan dan kreditur menyatakan setelahnya, perkataan budak diterima dengan sumpah, dan kreditur wajib membuktikan klaim mereka. 

 

Jika budak mengakui perjanjian sah, lalu tuannya—setelah bangkrut—mengaku telah menerima pembayaran sebelum penetapan hakim, perkataannya diterima. Demikian pula pengakuan kreditur tentang hak mereka terhadap budak, itu membebaskannya. 

 

Namun, jika tuannya mengaku menerima pembayaran setelah penetapan hakim, budak tidak terbebas sampai tuannya melunasi atau kreditur mengejar utang tersebut dari tanggungan budak setelah hak-hak mereka dipenuhi. 

 

[Warisan Tuan Budak]

 

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

Imam Syafi’i—semoga Allah Ta’ala meridhainya—berkata: 

 

“Jika seseorang memerdekakan budaknya dengan pembayaran (mukatabah), lalu tuannya meninggal, maka perjanjian itu tetap berlaku. Jika budak itu melunasi pembayaran kepada ahli waris, dia merdeka dan perwaliannya menjadi hak mantan tuannya. Namun jika dia gagal melunasi, dia tetap menjadi budak ahli waris. 

 

Jika budak yang sedang dalam perjanjian itu menikahi putri tuannya semasa tuannya masih hidup dengan izinnya, lalu tuannya meninggal dan putrinya menjadi ahli waris, maka pernikahan itu batal karena putri tersebut berhak atas bagian warisan dari budak itu. Namun jika putri itu tidak mewarisi ayahnya karena perbedaan agama atau karena dia pembunuh ayahnya, maka perjanjian mukatabah tetap sah dan pernikahan juga sah. Jika putri itu masuk Islam setelah ayahnya meninggal, pernikahan tidak batal karena dia tidak mewarisi ayahnya. 

 

Ahli waris mengambil alih posisi almarhum dalam perjanjian mukatabah, sehingga mereka berhak atas hak yang sebelumnya dimiliki almarhum. Namun, jika budak itu gagal melunasi, statusnya tidak kembali menjadi budak sepenuhnya. Jika ada yang bertanya, ‘Mengapa mereka tidak menjual budak itu?’ Jawabannya adalah karena hak yang mereka warisi tidak mencakup menjualnya. Mereka tidak boleh melebihi hak almarhum atau mengurangi hak budak itu, sebab mereka hanya mewarisi hak almarhum atasnya. 

 

Jika ada yang bertanya, ‘Mengapa perwaliannya tidak menjadi milik ahli waris, bukan mantan tuannya?’ Jawabannya adalah karena perjanjian yang mengikat antara tuan dan budak tetap berlaku selama budak itu memenuhi kewajibannya. Perjanjian itu menghubungkan antara tuan dan pembebasan serta hartanya selama dia melunasi. Dalam perjanjian itu, jika budak melunasi, maka kemerdekaan dan perwalian menjadi hak mantan tuannya berdasarkan syarat yang disepakati. 

 

Jika salah satu ahli waris membebaskan bagiannya dari budak itu, maka bagian itu merdeka, dan perwaliannya tetap untuk mantan tuannya. Jika budak itu gagal melunasi, perwaliannya tertahan untuk mantan tuannya. Namun, jika semua ahli waris membebaskannya bersama-sama, perwaliannya menjadi hak mantan tuannya. Jika budak itu gagal melunasi, maka bagian yang sudah dibebaskan atau dibatalkan perjanjiannya tidak lagi menjadi hak ahli waris, dan sisanya tetap menjadi milik mereka. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa jika budak itu gagal, perhitungan dilakukan berdasarkan bagian yang belum lunas, dan perwalian sepenuhnya menjadi hak mantan tuannya karena perjanjian mukatabah telah batal. 

 

Jika ahli waris atau sebagian dari mereka membatalkan perjanjian mukatabah, maka budak itu terbebas dari bagian mereka dan merdeka atas bagian tersebut, sebagaimana jika mantan tuannya sendiri yang membatalkan perjanjian. 

 

Jika sekelompok orang mewarisi budak mukatab, lalu satu dari cicilannya jatuh tempo tetapi tidak dibayar, sebagian ingin menyatakan kegagalannya, sedangkan sebagian lain tidak, maka ada dua pendapat: 

 

  1. Setiap ahli waris berhak atas bagiannya. Siapa yang menyatakan kegagalan, maka bagiannya menjadi budaknya. Siapa yang tidak menyatakan kegagalan, perjanjian tetap berlaku. Jika budak itu merdeka, perwaliannya untuk mantan tuannya, dan ahli waris yang tidak menyatakan kegagalan tidak berhak atas perwalian karena perwalian itu untuk orang lain.

 

  1. Jika semua sepakat untuk tidak menyatakan kegagalan, perjanjian tetap berlaku. Tetapi jika tidak sepakat dan sebagian ingin menyatakan kegagalan, maka budak itu dinyatakan gagal sepenuhnya, dan hak ahli waris yang tidak ingin menyatakan kegagalan hilang.

 

Pendapat kedua menganggap ini seperti memulai perjanjian baru. Jika budak itu dimiliki oleh dua orang, salah satu tidak boleh membuat perjanjian mukatab tanpa persetujuan yang lain. Jika keduanya membuat perjanjian bersama, maka budak itu merdeka jika melunasi, dan perwaliannya untuk orang lain. Mereka menggantikan posisi almarhum dalam menerima pembayaran atau mengambil budak jika gagal, tetapi mereka tidak menggantikan hak perwalian. Mereka bukan pihak yang memulai perjanjian mukatab, melainkan hanya melepaskan hak mereka untuk menyatakan kegagalan. 

 

Jika salah satu ahli waris meninggal, ahli warisnya menggantikan posisinya. 

 

Jika tuan budak mukatab meninggal dan memiliki dua anak, lalu mereka bersaksi bahwa ayah mereka telah menerima pembayaran, sementara ahli waris lain mengingkari atau mereka masih kecil atau perempuan, maka: 

 

– Jika dua anak itu adil, kesaksian mereka diterima, budak itu merdeka, dan perwaliannya untuk mantan tuannya. 

– Jika mereka tidak adil, budak itu terbebas dari bagian mereka, tetapi tetap terikat dengan bagian ahli waris yang mengingkari dan bagian ahli waris yang masih kecil. Mereka tidak berhak memerdekakan bagian mereka karena perwalian bukan untuk mereka, sebab mereka hanya bersaksi atas tindakan orang lain tanpa kewajiban yang mengikat mereka untuk memerdekakan, meskipun mereka mampu.”

 

Dan jika tuan yang membuat perjanjian pembebasan (mukatab) meninggal, dan mukatab ingin membayar sisa pembayaran untuk meraih kebebasannya, maka ia tidak boleh membayar kecuali kepada hakim. Jika mayit memiliki ahli waris yang masih kecil dan dewasa, hakim memerintahkan agar pembayaran diserahkan kepada ahli waris dewasa sesuai bagian mereka dan kepada wali untuk bagian ahli waris kecil, lalu ia dibebaskan. 

 

Jika ahli waris dewasa tidak ada di tempat, dan mukatab meminta untuk menyerahkan pembayaran kepada seorang yang adil untuk disampaikan kepada mereka, maka hal itu diperbolehkan. Jika ia telah menyerahkannya, mukatab merdeka. Namun, ini berbeda dengan utang biasa yang harus dibayar langsung kepada pemiliknya atau wakilnya. Jika tidak ada wakil, hakim tidak memerintahkan untuk menerimanya dari pihak yang berutang, karena dalam perjanjian mukatab terdapat unsur pembebasan budak, sehingga tidak boleh ditahan. 

 

Jika ahli waris berada di bawah perwalian, mukatab menyerahkan pembayaran kepada wali mereka. Baik mayit memiliki utang atau tidak, atau memiliki wasiat atau tidak, mukatab tetap merdeka. Jika harta itu musnah di tangan wali sebelum sampai kepada ahli waris kecil, pemegang utang, atau penerima wasiat, mukatab tetap merdeka, karena wali bertindak sebagai pengganti mayit dalam urusan utang, wasiat, dan warisan. 

 

Jika di antara ahli waris ada yang sudah dewasa dan tidak berada di bawah perwalian, atau mayit memiliki dua wali, dan pembayaran diserahkan kepada salah satunya, mukatab belum merdeka sampai pembayaran sampai kepada kedua wali dan ahli waris dewasa. 

 

Jika mayit meninggalkan ahli waris dewasa tanpa ada yang kecil, tetapi memiliki utang dan wasiat, mukatab tidak boleh membayar kepada ahli waris sampai utang dilunasi, karena warisan tidak sah sebelum utang dibayar. Setelah utang dilunasi, wasiat harus dipenuhi, karena penerima wasiat berhak atas sepertiga harta. Jika pembayaran telah sampai kepada penerima wasiat dan ahli waris, mukatab merdeka. 

 

Jika hakim atau wali memerintahkan pembayaran, tetapi belum sampai kepada semua pihak yang berhak, mukatab belum merdeka. Jika mukatab meninggal sebelum pembayaran selesai, ia tetap sebagai budak. 

 

Jika dua orang membuat perjanjian pembebasan bersama, dan salah satunya membayar seluruhnya tetapi tidak memberikan hak kepada mitranya, maka ia tetap budak. Namun, jika ia telah menyerahkan hak mitranya sebelum meninggal, ia merdeka. 

 

Jika mukatab mengirim pembayaran melalui perantara, dan perantara menyerahkannya saat mukatab masih hidup, ia merdeka. Jika tidak, ia tetap budak. Jika perantara tidak menyerahkan dan mukatab tidak meninggal, mukatab belum bebas dari kewajiban. 

 

Jika tuan menunjuk wakil untuk menerima pembayaran, dan mukatab menyerahkannya, ia merdeka seperti halnya menyerahkan langsung kepada tuannya. Demikian pula jika pembayaran diserahkan atas perintah hakim atau kepada wali yang sah. 

 

Jika mukatab menyerahkan pembayaran kepada orang yang memiliki utang atas tuannya, ia merdeka selama tidak ada kelebihan dari utang mereka. Jika tidak ada utang dan ada wasiat, pembayaran diserahkan kepada ahli waris dan penerima wasiat sesuai bagian mereka. Jika ada yang belum menerima, mukatab belum merdeka sampai semua menerima haknya. Jika ia menyerahkan hanya kepada sebagian ahli waris atau sebagian pemegang utang, ia belum merdeka sampai semua menerima hak mereka. 

 

Catatan: 

Diriwayatkan dari Ar-Rabi’ bahwa Asy-Syafi’i (rahimahullah) berkata: Diriwayatkan dari Abdullah bin Al-Harits dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku bertanya kepada Atha’, “Jika seorang mukatab meninggal dan memiliki anak yang merdeka, sementara ia meninggalkan harta lebih banyak daripada sisa pembayaran perjanjiannya?” Atha’ menjawab, “Sisa pembayaran dilunasi, dan kelebihannya untuk anak-anaknya.” Aku bertanya, “Apakah engkau mendengar ini dari seseorang?” Ia menjawab, “Dikatakan bahwa Ali bin Abi Thalib (radhiyallahu ‘anhu) pernah memutuskan demikian.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

“(Akhbaran ar-Rabi’) berkata: (Berkata asy-Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – Akhbaran Abdullah bin al-Harits dari Ibnu Juraij berkata: Akhbaran Ibnu Thawus dari ayahnya bahwa ia berkata: ‘Ditunaikan apa yang menjadi kewajibannya, kemudian sisanya untuk anak-anaknya.’ Berkata Amru bin Dinar: ‘Aku berpendapat itu untuk tuannya.’ (Berkata asy-Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya -): ‘Maksudnya itu untuk tuannya, wallahu a’lam.’ (Berkata asy-Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya -): ‘Dan kami mengambil pendapat Amru yang juga merupakan pendapat Zaid bin Tsabit. Adapun riwayat Atha’ bahwa ia menerima kabar dari Ali bin Abi Thalib – semoga Allah Ta’ala meridhainya – dan ia meriwayatkan darinya bahwa beliau berkata tentang mukatab: “Dia merdeka sesuai dengan apa yang telah dibayarnya,” maka aku tidak tahu apakah itu benar berasal darinya atau tidak. Kami hanya berpendapat seperti pendapat Zaid bin Tsabit dalam hal ini.’ (Berkata asy-Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya -): ‘Prinsip mazhab kami dan banyak ulama adalah bahwa mukatab tidak merdeka kecuali setelah melunasi seluruh pembayaran kitabah atau tuannya membebaskannya. Jika dia kaya dan mampu, maka menurut pendapat kami tidak boleh kecuali jika kitabahnya telah batal dan hartanya menjadi milik tuannya, dan dia mati dalam status budak; karena siapa yang mati sebagai budak, statusnya tidak berubah setelah kematian. Dia mati bukan orang merdeka, maka tidak mungkin menjadi merdeka setelah mati. Tidakkah engkau lihat, jika seorang budak mati lalu tuannya berkata “Dia merdeka”, maka dia tidak merdeka; karena pembebasan tidak berlaku bagi yang sudah mati. Jika ada anak yang lahir selama masa kitabah dan ibu mereka tidak termasuk dalam kitabah, maka mereka tetap budak. Jika ada anak dewasa yang ikut dalam kitabah, maka status mereka seperti budak yang ikut berkontrak bersama, maka bagian si mayit dalam kitabah dihapus dan dia hanya menanggung bagiannya sendiri. Mukatab tidak mewarisi mayit sebelum melunasi. Anak-anaknya tidak merdeka, baik yang lahir selama kitabah maupun yang ikut berkontrak bersamanya. Jika dalam kitabah ada anak-anak yang sudah baligh dan ikut berkontrak serta ada orang asing, maka sama saja, tuannya mengambil hartanya karena dia mati sebagai budak dan bagiannya dalam kitabah dihapus. Jika bersamanya ada anak yang lahir selama kitabah dari budak perempuan yang tidak termasuk dalam kitabah, lalu dia mati sebelum melunasi, maka mereka dan ibu mereka tetap budak dan hartanya untuk tuannya; karena mereka hanya merdeka jika dia merdeka. Jika kitabahnya batal karena kematian, mereka tidak merdeka bersama orang yang tidak merdeka. Demikian pula jika dia memiliki ayah dan ibu, kemudian mati, mereka kembali menjadi budak. Adapun orang yang diikutsertakan dalam kitabah dengan kerelaan, maka dia terikat kitabah karena memiliki bagian dalam pembayaran. Jika dia memiliki istri yang budak tuannya dan diikutsertakan dalam kitabah dengan kerelaannya, lalu melahirkan anak selama kitabah, kemudian dia mati sebelum melunasi, maka bagiannya dalam kitabah dihapus dan bagian istrinya tetap. Anak-anak yang lahir selama kitabah statusnya mengikuti ibu mereka. Jika ibu merdeka, mereka merdeka. Jika ibu gagal bayar atau mati sebelum melunasi, mereka tetap budak. Jika mereka menawarkan untuk melunasi agar merdeka, itu tidak boleh karena mereka tidak termasuk dalam perjanjian kitabah. Mereka hanya merdeka jika ibu merdeka. Ketika pembebasan ibu batal, mereka tidak boleh merdeka.’

 

[Tentang Kebangkrutan Mukatab]

(Akhbaran ar-Rabi’) berkata: Akhbaran asy-Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: Akhbaran Abdullah bin al-Harits dari Ibnu Juraij berkata: Aku bertanya kepada Atha’ tentang mukatab yang bangkrut, meninggalkan harta dan hutang kepada orang lain tanpa cukup untuk membayar, apakah orang lain didahulukan sebelum pembayaran kitabah? Ia menjawab: ‘Ya.’ Dan Amru bin Dinar juga berpendapat demikian. Ibnu Juraij berkata: Aku bertanya kepada Atha’: ‘Tidakkah mereka berhak mendapat bagian dari hasil kerjanya selama dua puluh tahun yang telah menjadi miliknya?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ (Berkata asy-Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya -): ‘Dan ini yang kami ambil. Jika mukatab mati dan memiliki hutang, maka hutang kepada orang lain didahulukan karena dia mati sebagai budak dan kitabahnya batal. Tidak ada hutang untuk tuannya dan sisa harta adalah milik tuan. Demikian pula jika dia gagal bayar dan dinyatakan bangkrut, insya Allah Ta’ala; karena jika gagal bayar, kitabahnya batal. Adapun jika masih dalam masa kitabah, maka hutang dibayar sebelum kitabah karena hartanya bukan milik tuannya. Saat itu, tuannya terhadap hartanya seperti kreditur lainnya. Jika kitabah batal, maka segala hak tuan atas hartanya seperti kerusakan atau pelanggaran yang dilakukannya dan lainnya juga batal; karena tuan tidak memiliki hutang atas budaknya. Jika Atha’ berpendapat bahwa ketika mukatab gagal bayar, tuannya tidak memiliki hutang atasnya; karena tidak ada hutang kecuali selama status kitabah, maka tidak ada perbedaan jika dia mati; karena kitabah batal dengan kematian sebelum pelunasan.’

 

[Warisan Mukatab dan Anaknya]”

 

(Akhbaran ar-Rabi’) berkata: Akhbaran asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—berkata: Akhbaran Abdullah bin al-Harits dari Ibnu Juraij berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Thawus, “Bagaimana ayahmu menyatakan pendapatnya tentang seorang laki-laki yang mengadakan perjanjian kitabah (pembebasan berangsur) dengan seorang budak, lalu budak itu meninggal dan meninggalkan anak perempuan yang kemudian melanjutkan pembayaran kitabahnya hingga lunas dan merdeka, lalu anak perempuan itu meninggal?” Dia menjawab, “Ayahku berpendapat bahwa walanya (hak perwalian) adalah miliknya (orang yang mengadakan kitabah), dan dia berkata, ‘Aku tidak menyangka ada orang yang berselisih pendapat dalam hal ini,’ serta merasa heran dengan pendapat yang mengatakan walanya bukan miliknya.” 

 

(Akhbaran ar-Rabi’) berkata: Akhbaran asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—berkata: Akhbaran Abdullah bin al-Harits dari Ibnu Juraij berkata: Aku bertanya kepada Atha’, “Seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan dua anak serta seorang budak yang sedang dalam perjanjian kitabah. Kemudian budak itu menjadi milik salah satu anaknya dan melunasi kitabahnya untuk anak yang mewarisinya, lalu budak itu meninggal. Siapa yang mewarisinya?” Atha’ menjawab, “Semua warisannya menjadi milik anak itu.” Amr bin Dinar juga berpendapat demikian. Atha’ berkata, “Walanya kembali kepada orang yang mengadakan kitabah, dan dia mengembalikannya kepadanya.” Hal ini diulanginya berkali-kali. 

 

(Asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—berkata): Atha’ dan Amr bin Dinar berkata, “Kami berpendapat tentang seorang budak yang mengadakan perjanjian kitabah dengan seseorang, lalu tuannya meninggal, kemudian budak itu melunasi kitabahnya dan merdeka: Sesungguhnya walanya adalah milik orang yang mengadakan perjanjian kitabah, karena ketika perjanjian itu dibuat, tuannya tidak berhak memperbudaknya selama kitabah masih berlaku. Maka walanya hanya miliknya. Kami tidak sependapat dengan Atha’ dalam kasus seorang laki-laki yang meninggal dan meninggalkan budak dalam perjanjian kitabah serta dua anak, bahwa kedua anak itu boleh membagi harta mayit hingga budak itu menjadi milik salah satunya, sebab pembagian seperti itu adalah jual beli, dan jual beli budak kitabah tidak diperbolehkan. Para ahli waris boleh membagi apa yang telah dibayarkan budak itu. Jika budak itu gagal melunasi, dia menjadi hamba sahaya mereka dan boleh dibagi. Jika mereka membagi sebelum budak itu gagal, lalu budak itu jatuh ke bagian salah seorang dari mereka, maka pembagian itu batal, dan apa yang telah diambil harus dikembalikan kepada ahli waris ayahnya.” Wallahu a’lam. 

 

### [Bab tentang Walā’] 

(Asy-Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—berkata): Rasulullah ﷺ bersabda, “Keputusan Allah lebih berhak, dan syarat-Nya lebih kuat. Sesungguhnya walā’ itu bagi orang yang memerdekakan.” Beliau juga bersabda, “Walā’ adalah ikatan seperti ikatan nasab, tidak boleh dijual atau dihibahkan.” Maka tidak boleh seseorang memiliki hak walā’ atas orang lain kecuali jika dia telah memerdekakannya. Barangsiapa yang tidak memerdekakan, maka dia adalah orang merdeka tanpa walā’, dan diyatnya dibayarkan oleh kas umum kaum muslimin. Wallahu a’lam.