Artinya:
“Segala puji dan sanjung hanya kepunyaan Allah semata-mata yang telah memuliakan Anak Adam (manusia) dan memilih dari jumlah manusia itu sejumlah Ulama-ulama. Dan Allah memilih pula dari golongan itu mereka yang Zahid, Para Ahli : Hikmat dan para Ahli Karomah.
Allah utamakan dari golongan-golongan tersebut mereka yang “Arifin (ahli Makrifat) kepada Allah, sifat-sifat-Nya serta nama-nama-Nya. Allah rasakan pula buat mereka kelezatan cinta kasih dan Allah tunjukkan pula untuk mereka hakikat segala sesuatu dibumi dan dilangit. Shalawat dan salam terhadap junjungan kita Muhammad Saw. penutup segala Nabi-nabi yang Ia ciptakan Nur Muhammad itu dari Zat-Nya dan Ia ciptakan pula segala sesuatu daripada Nur Muhammad itu. Shalawat dan salam pula untuk seluruh Sahabat beliau sebagai pimpinan ‘ Para Auliya. Demikian juga selanjutnya shalawat dan salam untuk Para tabi‘in dan Tabi ‘ittabi’in semoga kebaikan selalu ‘ buat mereka sampai Hari Pembalasan.
Wabakdu, maka pada tahun 1200 Hijriah Nabi yang Mulia-selamat dan kesejahteraan yang utama untuk beliau – ‘ Sungguh telah meminta kepadaku sebagian kawan-kawan, semoga Allah bukakan hatiku dan hatinya dengan Nur Musyahadah dan ‘Irfan (pengenalan sempurna) agar saya
menyusun sebuah risalah ringkas dengan Bahasa Jawa (Melayu) yang baik agar dengan demikian dapat berguna untuk mereka yang belum mengerti Bahasa ‘ Arab yang jelas. Di dalam risalah ini dijelaskan tentang ke-Esa-an Dzat, Sifat, Nama, dan perbuatan Allah SWT. agar dapat menghilangkan (membersihkan) Syirik Khofi yakni rasa riya’ dan “ujub (Pamer dan megah diri) dari segala amal. Dijelaskan pula sebagian Ilmu-Hakikat serta maqam (tingkatan) golongan Ahli Sufi tentang musyahadah (pandangan hati) mereka kepada Allah Yang Maha Mulia. Lalu saya jawablah permintaan – kawan-kawan itu meskipun sebenarnya saya bukan ahlinya dalam lapangan tersebut.
Dengan demikian sambil memohonkan inayat (pertolongan) dan pegangan penuh kepada-Nya untuk merealisasikan keinginan dan kehendak tersebut sepanjang kemampuan saya berdasar ucapan dan perkataan para ahli : dalam bidang pengetahuan ini yakni golongan Ahlil-minnah wa al-syuhud. Dan saya beri nama kitab ini dengan nama Addurr al-nafis (permata yang indah) yang menjelaskan tentang ke-Esa-an Af’al, Asma dan Zat yang Maha Suci. Dengan suatu harapan semoga dengan risalah ini akan memberi manfaat bagi mereka yang berminat (muridin) dan Allah jadikan risalah ini sebagai pernyataan tulus ikhlas karena-Nya semata-mata. Selain itu kuharapkan pula semoga risalah ini Allah jadikan sebagai suatu simpananku yang paling berharga di hari Kiamat kelak.
Saya susun risalah ini atas beberapa bagian, 1) Pendahuluan, 2) empat pasal, wihdatul af’al, asma, sifat, dan zat 3) penutup. Dan saya cantumkan pula didalamnya masalah yang pelik rumit bersumber dari kitab-kitab Tasauf.
Hendaklah anda ketahui, bahwa yang terpenting, anda harus memelihara diri anda agar jangan sampai jatuh ke lembah maksiat, maupun maksiat lahir ataupun maksiat batin.
Begitu juga hendaknya anda dapat melepaskan diri – anda dari hal-hal yang dapat merusakkan perjalanan cita-cita menuju keridlaan Allah, atau yang dapat menggagalkan maksud anda ke arah yang dimaksud.
Hal-hal yang dapat “merusakkan” perjalanan menuju Allah SWT. itu banyak sekali, di antaranya :
- a) Kasal
(Malas), untuk mengerjakan ibadat kepada Allah SWT. padahal sebenarnya anda dapat dan sanggup untuk melakukan ibadat tersebut.
b). Futur
(Bimbang/lemah pendirian), tidak memiliki tekad yang kuat karena terpengaruholeh kehidupan duniawi.
c)Malal
(Pembosanan), cepat merasa jemu dan bosan untuk melaksanakan ibadat karena merasa terlalu sering dilakukan, padahal tujuan belum juga tercapai.
Timbulnya hal-hal tersebut di atas adalah disebabkan: kurang kuatnyarasa keimanan, kurang mantapnya keyakinan, dan banyak terpengaruh oleh hawa nafsunya sendiri.
Selanjutnya hal-hal yang mengakibatkan “gagalnya” untuk mencapai tujuan, antara lain adanya penyakit Syirik Khofi (syirik tersembunyi) atau dengan lain perkataan, timbulnya suatu tanggapan di dalam hatinya, bahwa segala amal ibadat yang dilakukannya adalah sepenuhnya dari kemampuannya sendiri, tidak dirasakannya dan ‘ diyakininya, bahwa apa yang dilakukannya itu semua, pada hakikatnya dari pada Allah SWT.
“Segala sesuatu yang Allah ciptakan ini (makhluk) pada dasarnya/hakikatnya adalah seakan-akan alat belaka dari Allah, namun maha sucilah Allah daripada memerlukan alat.”
Hal-hal yang tergolong dalam syirik-khofi antara lain adalah sebagai berikut :
- Ria’ (Pamer)
Sengaja mempertotonkan, menampak-nampakkan ibadat atau amalnya kepada orang lain atau ada suatu maksud tertentu “yang lain daripada Allah”, misalnya beramal semata-mata mengharapkan surga.
- Sum’ah (Memperdengar-dengarkan)
Sengaja mencerita-ceritakan tentang amal ibadatnya kepada orang lain bahwa dia beramal dengan ikhlas karena Allah dengan suatu maksud agar orang lain memberikan pujian.dan sanjungan kepadanya.
3.” Ujub (Membanggakan diri)
Rasa hebat sendiri yang timbul dari dalam hatinya karena banyak amal ibadatnya, tidak dia rasakan bahwa semua itu adalah semata-mata karena karunia dan rahmat Allah SWT.
Gugur permulaannya karena terhenti pada ‘ibadatnya semata-mata.
- Hajbun (Hijab/Dinding)
Dinding yang dimaksud adalah karena terlena dan kagum atas keindahan amalnya, sehingga tertahan pandangan hatinya (syuhudnya) kepada kekaguman itu semata-mata atau dengan kata lain, terpengaruh kepada keindahan amal ibadatnya sendiri tidak dirasakannya bahwa semua itu adalah karunia Allah SWT.
Oleh sebab itu, agar anda dapat terlepas dari hal-hal/ penyakit tersebut hal mana dapat membahayakan perjalanan anda maka tidak ada lain jalan, kecuali memantapkan pandangan batin (musyahadah) dengan penuh keyakinan bahwa “segala apa pun yang terjadi pada hakikatnya/ dasarnya adalah daripada Allah SWT.” sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian berikut ini.
Artinya :
“Andai kata -terlintas kilas dalam khatarku getaran hati di dalam dada, suatu kehendak yang lain dari pada Mu Ya Tuhan, disadari ataupun tidak, wahai celakanya diri ini, remuk hancur dilumpur murtad.
Dengan pandangan, tanggapan dan anggapan yang keliru itu, menyebabkan anda tidak termasuk dalam golongan Mukmin yang sempurna.
Tetapi bilamana musyahadah anda benar :
“Tidak Ada yang Berbuat Pada Hakikatnya Melainkan Allah Tidak Ada yang Hidup Pada Hakikatnya Melainkan Allah dan Tidak Ada yang Maujud Pada Hakikatnya Melainkan Allah” maka dengan demikian, termasuklah anda dalam golongan Ahli Tauhid yang Benar, suatu golongan yang dijanjikan Allah dengan dua surga, surga yang pertama adalah surga Makrifatullah di dunia, dan surga kedua adalah surga akhirat yang sudah dikenal berdasarkan dalil dan nas.
Syeikhuna ‘Alimul ‘Allamah Al-Bahrul ‘arieg Abdullah ibnu Hijazi As-Syargowi Al-Mishrie rahimahullahu ta’ala telah berkata : “Siapa yang memasuki surga makrifatullah di dunia, niscaya tidak berhasratia kepada surga akhirat yang berupa bidadari, istana, pakaian, makanan dan lain-lain. Hasrat-nya hanya ingin sedekat-dekatnya pada Hidrat Allah dengan Rukyatullah (melihat Allah dengan nyata) di akhirat kelak”.
Nikmat yang paling tinggi di akhirat adalah Rukyatullah. Jauh sekali beda nilai antara nikmat, itu dibandingkan dengan nikmat surga dalam pengertian bidadari, istana, pakaian dan lain-lain sebagai yang sering dikemukakan.
Begitu pula tentang kenyataan melihat Tuhan, dalam arti Makrifatullah di dunia ini yang telah terbuka pada hati orang-orang yang ‘Arifbillah, hanya sebagian kecil saja dibandingkan dengan rukyatullah di akhirat kelak Namun mereka akan mendapatkannya karena mereka telah memuliakannya.
Hubaya-hubaya, wahai saudara-saudara janganlah anda lupa bermusyahadah Wihdatul Af’al yang memungkinkan anda untuk dapat memandang keindahan
Dzat Wajibal Ujud.
Penjelasan penting :
Berkata Abdul Wahab Sya’rani qaddasallahu sirahu dalam Kitab Jawahiru wad-Durar beliau memetik ucapan Syekh Mahyuddin Ibnu ‘Araby r.a. :
“Segala keadaan ini adalah dinding yang dapat mendindingi pandangan pada Hak Ta’ala, padahal pada hakikatnya Ia juga yang berlaku dibalik semua keadaan (akwan) ini laksana bayang-bayang kayu di dalam air sungai, tidak akan mungkin dapat menahan lewatnya perahu yang didayung. Adapun perahu yang tidak – berani melewatinya, karena menyangka benar-benar kayu penghalang (dinding). Hal tersebut tidak lain karena sangkaan belaka bagi mereka yang belum terbuka hijab, sehingga tidak mampu memandang Fa’il yang Hakiki (pelaku yang sebenar-nya) yaitu Allah SWT.”
Tentang pengertian Af’al Hamba menurut pendapat beberapa mazhab.
Pertama : Mazhab Mu’tazilah Mazhab ini berpendapat bahkan merupakan iktikad mereka bahwa segala apa pun yang terjadi adalah pada hakikatnya terjadi karena adanya kodrat (daya mampu) makhluk itu sendiri. Kodrat hamba yang hawadits (yang . baru) itu, menurut mereka adalah memberi bekas/ menentukan.
Mereka tidak mau tahu tentang apa yang kita sebutkan “pada hakikatnya dari pada Allah”. Oleh sebab itu golongan ini termasuk golongan “bid’ah ” bahkan “fasig”.
Catatan :
Mu ‘tazilah menurut arti bahasa ialah “orang yang terasing/terpisah”. Pembangun mazhab ini ialah Washil bin ‘Atha. Menurut sejarah, Washil pernah berguru/ belajar . dengan Imam Hasan Bashri r.a. Pembangun golongan Ahlussunnah wal-Jama’ah. Pernah terjadi. suatu debat yang sengit antara Imam Hasan Bashri dengan murid beliau ini (Washil) tentang masalah: apakah seorang Mukmin yang maksiat.bisa masuk surga atau tetap di dalam neraka. Imam Hasan Bashrie menyatakan bahwa orang tersebut dinamakan Mukmin ‘Ashie (Mukmin maksiat).
Apabila dia tidak mendapat ampunan Tuhan, maka orang tersebut dimasukkan ke dalam neraka, kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam surga karena adanya Iman..
Tentang pendapat ini Washil tidak dapatmenerimanya meskipun si guru sudah memberikan keterangan dan dalil-dalil yang kuat.
Dengan adanya pertentangan ini, Imam . Hasan Bashrie berkata “itazala ‘anna Washil” (telah berpisah “dari kita si Washil). “
Dari kata ‘itazala inilah kemudian lahirlah Mazhab Mu ‘tazilah.
Pendapat golongan Mu’tazilah mengenai “perbuatan hamba” yang mereka yakini, jelas bertentangan dengan ajaran Al-Our’an dalam Surah As Syu’ara ayat 78 s/d 82 yang artinya :
ALLAH YANG MENCIPTAKAN AKU DAN MEMBERI PE-TUNJUK KEPADAKU, DIA PULA YANG MEMBERI MAKAN DAN MINUM KEPADAKU, BILA AKU SAKIT DIA PULA YANG MENYEMBUHKAN AKU. DIA YANG MEMATIKAN AKU DAN KEMUDIAN MENGHIDUPKAN AKU, DIA PULA YANG KUHARAP MEMBERI AMPUNAN KEPADAKU HINGGA HARI PEMBALASAN (DN. yang di-ind. “)
Kedua : Mazhab Jabariyah
Mazhab ini beriktikad bahwa segala macam perbuatan adalah “perbuatan Allah sendiri” dan mereka tegas pada pendirian demikian.
“… Mereka tidak memandang adanya “kenyataan” perbuatan Tuhan pada hamba sebagai sandaran. Dengan pendirian demikian maka mereka tidak dapat mencapai “darjat kamal” (tingkat kesempurnaan) dan nyata-nyata bertentangan dengan jalan syariat.
Catatan :
Jabariyah menurut arti bahasa ialah “paksaan”. Maksudnya ialah bahwa manusia ini dipaksa oleh Tuhan untuk berbuat. Mengenai pengertian “perbuatan Allah sendiri” misalnya, makan, artinya Allah makan, kalau si hamba minum, artinya Allah minum. Demikian seterusnya. Apabila mengerjakan maksiat, tidak perlu meminta ampun, karena itu adalah kehendak Allah dan perbuatan Allah sendiri. Maka jelaslah bahwa iktikad demikian adalah Kufur Zindik. “
Pelopor/pendiri paham ini ialahJaham bin Sofwan oleh sebab itu paham ini dinamakan juga dengan nama Jahmiah. Penganjurnya yang terkenal ialah Ju’di bin Sam’an yang dipelajarinya dari seorang Yahudi bernama Thalud bin ‘Asham.
Jaham bin Sofwan adalah seorang yang berasal dariParisi di Khurasan yang dahulunya adalah seorang Yahudi. Karena kalah dalam suatu peperangan, dia ditawan oleh pasukan Tentara Islam kemudian dia .masuk Agama Islam. Beberapa lama kemudian dia diangkat menjadi sekretaris dari Suraih bin Haris. Pada waktu itulah ia berkesempatan mengedarkan pahamnya. Karena kesesatanajarannya ini, dia dibunuh oleh Muslim bin Ahwaz Almazani pada akhir pemerintahan Bani Marwan.
Ibnu ‘Abbas r.a. pada waktu menghadapi golongan ini di Syam, beliau berkata: “Wahai orang-orang munafik di zaman lampau dan pengunjung masjid yang fasik, kenapa kamu melemparkan kejahatan kepada Tuhan? sedang kamu nyata-nyata berbuat jahat. Rasulullah Saw, pernah bersabda : Akan Datang Suatu Masa Nanti Suatu Kaum yang Melakukan Maksiat, Kemudian Mereka Berkata Allah yang Menakdirkan Demikian (maksudnya mereka lepas dari tanggung jawab dan Allah sendirilah yang harus menanggung akibatnya) Maka Siapa yang Menantang Kaum Ini, Sama Artinya Mereka Mencabut Pedang Dalam Suatu Perang Sabilillah. (DN yang di-Ind. “)
Ketiga : Mazhab Asy’ariyah
Golongan ini berpendapat dan berkeyakinan bahwa segala macam perbuatan (kejadian dan peristiwa) pada hakikatnya, adalah perbuatan Allah.
Hendaklah anda ketahui, bahwa segala apa pun juga yang terjadi di dalam alam ini pada hakikatnya adalah Af’al (perbuatan) Allah SWT.
Yang terjadi di dalam alam ini dapat digolongkan pada 2 (dua) golongan :
- a) Baik pada bentuk (rupa) dan isi (hakikatnya) seperti iman dan taat.
- b) Jelek pada bentuk (rupa) namun baik pada pengertian isi (hakikat) seperti Kufur dan Maksiat. Dikatakan ini jelek pada bentuk karena adanya ketentuan hukum/
syara’ yang mengatakan demikian. Dikatakan baik pada pengertian isi (hakikat) karena hal ini adalah – suatu ketentuan dan perbuatan daripada Allah Yang Maha Baik.
Maka “kaifiyat” (cara) untuk melakukan pandangan (syuhud / musyahadah) sebagaimana dimaksudkan di atas ialah :
“Setiap apa pun yang disaksikan oleh mata hendaklah ditanggapi oleh hati bahwa semua itu adalah Af’al (Perbuatan) daripada Allah SWT.”
Bila ada sementara anggapan tentang ikut sertanya “yang lain daripada Allah” di dalam proses kejadian sesuatu, maka hal tersebut tidak lain hanya dalam pengertian majazi (bayangan) bukan menurut pengertian hakiki.
Catatan :
Misalnya si A bekerja untuk mencari makan dan/ ‘atau memberi makan anak-anaknya makasi A tergolong dalam pengertian “yang lain daripada Allah” dan juga dapat dianggap “ikut serta dalam proses” memberi makan anaknya. Fungsi si A dalam keterlibatannya ini hanya majaz (bayangan) saja, bukan dalam arti hakiki. Karena menurut pengertian hakiki yang memberi makan dan minum pada hakikatnya ialah Allah, sebagaimana tersebut dalam Al Our’an S. As-Syu’ara ayat 79 “Dialah (Allah) yang Memberi Makan dan Minum Kepada Saya” (D.N. yang di-ind. “)
Segala macam “perbuatan” (sikap atau laku) apakah perbuatan diri sendiri ataupun perbuatan yang terjadi di luar dirinya, adalah termasuk dalam dua macampengertian. Pengertian pertama dinamakan Mubasyarah dan pengertian kedua dinamakan Tawallud. Kedua macam pengertian ini tidak terpisah satu sama lain.
Contohnya adalah sebagai berikut :
- a) Gerakan pena ditangan seorang penulis, ini dinamakan Mubasyarah (terpadu) karena adanya : “perpaduan” dua kemampuan kodrati yaitu kemampuan kodrati gerak tangan dan kemampuan ——’kodrati gerak pena.
- b) Gerakan batu yang lepas dari tangan pelempar. Hal ini d namakan Tawallud (terlahir) karena lahirnya gerakan batu yang dilemparkan itu adalah kemampuan kodrati gerak tangan.
Namun pada hakikatnya, kedua macam pengertian itu (Mubasyarah dan Tawallud) adalah Af’al Allah SWT., didasarkan kepada dalil/nas Al Our’an :
Artinya : “Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan”.
Syekh Sulaiman Al Jazuli r.a. menyebutkan dalam syarah/ penjelasan Kitab Dala-ilul Khairat bahwa apa pun juga yang dilakukan oleh hamba, perkataan, tingkah laku, gerak dan diam, namun itu sudah lebih dahulu pada Ilmu,
Oodlo dan Oodar/Takdir Allah SWT.
Firman Allah di dalam Al Our’an :
Artinya : “Tidaklah anda yang melempar (Hai Muhammad) tetapi Allah-lah yang melempar ketika anda melempar.
Artinya : “Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan (daya dan kekuatan) Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
Hadis Rasulullah Saw.
Artinya : Tidak bergerak satu zarrah pun melainkan atas izin Allah.
Atas dasar pandangan (musyahadah) inilah, maka Nabi Saw. tidak mendoakan kehancuran bagi kaumnya yang telah menyakiti beliau.
Catatan :
Bermacam-macam hinaan, cacian, bahkan siksaan yang dilakukan oleh golongan Jahiliyah kepada Rasulullah Saw., namun beliau balas dengan doa.
Artinya : “Ya Allah, tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (D.N. yang di-ind.)
Apabila anda tetap selalu atas pandangan (musyahadah) tauhidul-afal dengan penuh yakin (tahkik) maka terlepaslah anda dari pada penyakit dan bahaya syirik-khofi sebagaimana tersebut di atas.
Sehingga akhirnya anda akan dapat menyaksikan dengan jelas bahwa segala yang berupa Ujud Majazi (ujud bayangan) ini, lenyap dan hilang sirna, dengan Nyatanya Nur Ujudullah yang hakiki.
Catatan :. Apalah artinya cahaya pelita yang dinyalakan di siang hari, dibandingkan dengan cahaya matahari yang cerah memancar. “
Apabila secara terus menerus anda latih dengan pandangan/ musyahadah demikian sedikit demi sedikit dengan tidak tercampur baur antara pandangan lahir dan pandangan batin, maka sampailah anda pada suatu “magom (tingkatan) yang dinamakan Magom Wihdatul Af’al.
Pada tingkatan ini, berarti fana (lenyap) segala perbuatan makhluk, perbuatan anda sendiri atau perbuatan yang lain dari anda karena “nyatanya” perbuatan Allah Yang Maha Hebat.
Jahat/jelek ataupun baik pada hakikatnya dari pada Allah.
Sebagaimana saya kemukakan di atas berkali-kali bahwa segala macam perbuatan, kejadian, peristiwa apa pun yang terjadi pada hakikatnya adalah perbuatan Allah SWT., . yang jahat ataupun yang baik.
Kita katakan demikian, karena didasarkan atas keterangan Hadis Rasulullah Saw. di dalam doa beliau :
Artinya : ” Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yang datang dari pada-Mu. ,
Akan tetapi bagi hamba, masih ada yang dinamakan “usaha ikhtiar”. Namun sebenarnya usaha ikhtiar itu sendiri menurut paham ini, tidak memberi bekas (tidak menentukan). Pada usaha ikhtiar inilah “Ta’alluq Hukum Syara” (berlakunya hubungan perintah dan larangan) tetapi Allah jualah yang memberi bekas (menentukan).
Iktikad ini dinamakan iktikad Mazhab Asy ‘Ariyah. Iktikad yang demikian ini adalah iktikad yang magbudl (dapat dipegang) dan yang dapat menyelamatkan dari bahaya dunia dan akhirat.
Hanya saja, tingkat ini masih belum dapat mencapai suatu martabat kasyaf (tingkat pandangan tembus/cerah dalam arti hakiki) karena masih adanya apa yang mereka sebutkan “usaha ikhtiar dari hamba”.
Sehingga dengan demikian berarti masih dalam keadaan ghisyawah (tertutup) menurut pengertian wihdatul ‘af’al yang kita maksud.
Catatan :
Pembangun mazhab ini ialah Imam Al-asy ‘Arie r.a. beliau ternyata berjasa besar dengan menyusun ‘Ilmu Kalam/Ilmu Tauhid yang sampai sekarang dipakai oleh hampir seluruh Umat Islam di dunia. Beliau juga tercatat sebagai pembangun Ahlussunnah Wal-Jama’ah. (DN yang di-ind. “)
Keempat : Ahlul Kasyaf (Kelompok yang berpandangan tembus/cerah kepada Allah SWT.) Kelompok ini adalah suatu kelompok yang sudah terbuka segala dinding/hijab) serta tembus pandangan serta pengertian mereka terhadap Ke-Esa-an Allah SWT. karena mereka memandang (musyahadah) bahwa segala macam peristiwa ini pada hakikatnya perbuatan (af’al) Allah yang-disandarkannya kepada hamba.
Misalnya : “Kalam (pena) ditangan seorang penulis kemudian timbul hurufnya karena goresan pena”. Kalam (pena) tersebut pada hakikatnya tidak mempunyai, kemampuan apa-apa untuk membuat huruf tersebut. Semua huruf itu adalah dari si penulis pemegang pena.
Begitulah sebenarnya, apa pun juga yang terjadi dj dalam alam ini pada hakikatnya perbuatan Allah SWT,
Catatan :
Ahlul Kasyaf bukanlah suatu golongan tertentu se. bagaimana mazhab-mazhab lain. Mereka sebenarnya, adalah suatu kelompok di dalam lingkungan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang tetap mempertahankan pendirian “syari’at yang berhakikat dan hakikat yang ‘bersyari’at” hal ini dapat dibuktikan terhadap diri pengarang Kitab Ad-Durrun-Nafis bahwa beliau tetap bermazhab Syafi’i dan iktikadnya adalah Asy’ari. Ada sementara orang berpendapat bahwa paham mereka ini termasuk Jabariyah. Menurut saya, pendapat demikian adalah keliru. Yang jelas perbedaannya dengan Jabariyah ialah dari segi pegangan terhadap hukum-hukum syara. Ahlul Kasyaf amat menekankan tentang keharusan melaksanakan hukum syariat, melaksanakan perintah menjauhi segala larangan atau setidak-tidaknya jangan berkeyakinan bahwa bilamana sudah berhakikat lalu gugur beban syara.
Ahlul Kasyaf adalah kelompok yang benar-benar ingin mencapai tingkat Ihsan sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.
Artinya :
“Ihsan itu ialah, bahwa engkau menyembah Allah seakanakan engkau melihat-Nya. Andai kata anda tidak dapat melihatnya, namun Allah tetap melihat anda”.
Begitu pula mereka selalu mempertebal dan meningkatkan rasa cinta kasih serta rindunya kepada Allah SWT. dan Rasul, tekun dalam ibadat mereka lahir dan batin. Mereka amat menekankan masalah perasaan (zaug) terutama perasaan dalam bercinta kasih kepada Allah SWT. “Menurut cerita bersambung dari masa ke masa sekitar 150 tahun yang lalu, di Kalimantan ada seorang Datu (mencapai tingkat awliya) yang bernama Datu Muning. Beliau ini apabila hendak sholat, kadang’ kadang berpantun (bersya’ir) lebih dahulu :
Riu-riu padang sibundan,
padang si tamu-tamu,
aku rindu kadengan Tuhan,
sabarang tempat kawa batamu.
Pantun ini jelas menggambarkan rasa cinta kasih yang mendalam. Oleh sebab itu janganlah kita bersalah sangka (Su’udhon) terhadap mereka. Yang nyata mereka telah mendapat sinar terang dalam hati dan perasaannya, karunia daripada Allah SWT. yang bernilai tinggi yakni “Mahabbatun, Ilallah” (cinta kasih kepada Allah). Semoga kita juga mendapat karunia demikian. (DN. yang di-ind. ”)
Syekh Abdul Wahab Sya’rani r.a. berkata bahwa Syekh Ibnu ‘Arabiy telah mencantumkan dalam kitab beliau yang bernama Futuhatul-Makkiyah pada bab ‘ 422 di mana beliau menjelaskan apa yang dimaksud “segala perbuatan dari pada Allah” dan hamba sebagai: sandaran “perbuatan-Nya, karena memang si hamba inilah yang menanggung beban siksa dan pahala.
Bila sekiranya kita terhenti pada suatu dakwa (perkiraan) bahwa segala amal perbuatan itu pada hakikatnya daripada perbuatan kita sendiri, maka berarti Allah telah “menyandarkan (meletakkan) dakwa demikian terhadap diri kita sebagai suatu cobaan Allah”
Catatan :
Berdoalah kita semoga dakwa demikian jangan sampai datang kepada kita karena berarti suatu kerugian yang amat besar. (DN yang di-ind. “) :
Namun demikian bila sekiranya Allah hendak memasukkan kita ke dalam Hidrat Ihsan (maksudnya: beribadat seakan-akan melihat Tuhan) maka berarti tipislah hijab (dinding) itu dan kita saksikan selanjutnya bahwa segala amal pada hakikatnya adalah daripada Allah, sedang kita sendiri tidak mempunyai amal apa-apa.
Demikian selanjutnya, bila musyahadah menurut mestinya, niscaya akan timbul rasa takut kita, kalau-kalau tergelincir “qidam’ (pendirian) kita.
Sebagian daripada kesempurnaan adab (akhlak/ tertib hukum) untuk menyatakan bahwa suatu amal dari kita sendiri sepanjang apa yang kita ketahui, hanya sekedar untuk mengamalkan apa yang difirmankan oleh Allah SWT. :
Artinya :
“Apa saja yang menimpa anda daripada yang baik, adalah daripada Allah, dan apa saja yang menimpa anda daripada yang jelek maka hal itu dari dirimu sendiri”.
Syekhuna Al-‘allamah Maulana Syekh Yusuf Abu Zarrah Al Mishrie berkata, ketika beliau memberikan pelajaran di Masjid al-Haram, “Tidak seharusnya berkata “bahwa kejahatan itu dari Allah, kecuali dalam waktu dan tingkat belajar/ mengajar (maqom ta’lim) dalam jurusan ilmu ini.
Catatan :
Kata-kata “perbuatan daripada Allah” adalah khusus dalam pengertian hakikat yang seharusnya hanya ada pada suara batin. Tetapi boleh diucapkan dalam saat-saat belajar / mengajar.
Syekhuna Ibnu Hajarr.a. dalam Syarah Arba’in, men-jelaskan perkataan Nabi Saw. yang tercantum pada sebagian doa iftitah yang berbunyi “wassyarru laisa ilaik” (Kejelekan/kejahatan bukan untuk-Mu) tidak lain maksudnya, ialah untuk mengajar/mendidik adab, karena tidak seharusnya berkata dalam bentuk dan arti yang menghina terhadap Allah, seperti perkataan “Ya Allah yang menjadikan anjing” atau “Ya Allah yang menjadikan babi” meskipun sebenarnya diakui dengan. pasti bahwa anjing ataupun babi itu sendiri adalah makhluk (yang dijadikan) Allah.
Pengertian dimaksud sehubungan pula dengan firman Allah yang tersebut di atas. ‘
Syekh Abdul Wahab Sya’rani q.s. pernah mengajukan pertanyaan kepada guru beliau, Syekh “Ali Al Khawwas : Tanya : Apa maksud yang sebenarnya pengertian “usaha ikhtiar” yang dinyatakan oleh Imam Asy’ari (Asy’ariyah)?
Jawab : Yang dimaksud dengan pengertian “usaha ikhtiar” menurut Imam Asy’arie itu ialah ta’allug iradat mumkin (hubungan kehendaksi makhluk) dengan segala kejadian // peristiwa yang dalam halitu sesuai dengan takdir Ilahi (ketentuan Tuhan). Manakala terjadi “ta’allug iradat” (hubungan kehendak) dengan takdir Tuhan, mereka sebutkan hal itu dengan nama “usaha ikhtiar” bagi mumkin/ makhluk, pada makna, sedang mengambil manfaat dari usaha ikhtiar itu sendiri, adalah sudah ada pada takdir. ‘
Selanjutnya Syekh Abdul Wahab Sya’rani q.s. berkata “aku pernah mendengar perkataan guruku Syekh ‘Ali AlKhawwaskata beliau : semestinya setiap orang harus sudah mengerti “perbuatan makhluk tidak memberi bekas” (menentukan) itu, adalah sepanjang keadaan (takwin) menurut hukum semata-mata”.
Maka untuk itu hendaklah anda pahami dengan benar karena pada umumnya masih banyak yang belum mengerti perbedaan antara hukum dan atsar (bekas/kekuatan). Syekh ‘Ali r.a. seterusnya berkata “Allah SWT. berkeinginan untuk mengadakan harkat (gerak) atau makna (arti/nilai) terhadap pekerjaan apa pun, tidak bisa terjadi pekerjaan itu (tidak sah ujudnya) kecuali pada “maddahnya” (materi pekerjaan itu sendiri). Karena mustahil pekerjaan itu akan terjadi dengan sendirinya, pasti pada mahallun’ (obyek) yang dapat menimbulkan takwin (keadaan/ peristiwa).
Obyek (mahallun) yang dimaksud adalah hamba yang mana dapat pula diartikan “si mumkin” yang melakukannya, namun sebenarnya apa yang dilakukan oleh si mumkin tadi tidak sekali-kali memberi bekas (menentukan). Fafham fa in nahu dagigun (pahamilah oleh anda karena hal ini cukup rumit).
Syekh Abdul Wahab Sya’rani q.s. berkata lagi “aku mendengar saudaraku Afdlaluddin rahimahullah berkata: — bagi mumkin ini sama sekali tidak memiliki kodrat tetapi hanya sekedar menerima Atsar Ilahi (bekas/ ketentuan Tuhan). Karena sifat Kodrat itu sebenarnya adalah suatu sifat yang tidak pernah terpisah-cerai (infikak) dengan sifat-sifat ketuhanan. Oleh sebab itu menetapkan adanya “kodrat bagi mumkin” adalah suatu dakwa yang tidak berdasar/berdalil.
Catatan :
Salah seorang guru saya berkata, bahwa hamba ini sebenarnya hanya mustanir (menerima cahaya). Ini pula yang dimaksud dengan kata “hanya sekedar menerima atsar Ilahi” seperti yang tersebut di atas. (DN yang di-ind. “)
SyekhAfdlaluddin meneruskanperkataan beliau, kami sependapat dengan golongan Asya’irah (Asy’ariyah) tentang pengertian kodrat-hamba dan pengertian “menafikan (meniadakan) perbuatan hamba”.
Syekh Abdul Wahab Sya’rani r.a. meneruskan keterangan beliau ini dengan mensitir (mengutip) perkataan Syekh Mahyuddin Ibnu ‘Arabiy dalam kitabbeliau yang bernama Futuhatul Makkiyah bab 120 sebagai berikut – “Menqitsbatkan kodrat (menetapkan adanya kodrat) bagi mumkin dengan meniadakan fa’il (meniadakansi pelaku) adalah sebagian persoalan yang amat sukar, karena melibatkan. masalah fi’il.
Selanjutnya Syekh Mahyuddin berkata : “Allah belum juga menghilangkan labas (kesamaran/ ketidakpastian) dalam pikiranku dalam masalah ini, yaitu tentang menafikan fa’il (meniadakan si pelaku) dan terlibatnya fi’il. Namun pada saat aku menyusun kitab ini (Futuhatul makkiyah) pada tahun 633 H. Hendak menguraikan pengertian “usaha ikhtiar” sepanjang pendapat Ahlussunnah (Asy’ariyah) atau apa yang dinamakan kholak (perbuatan makhluk)oleh golongan Mu’tazilah, maka Allah memberikan taufig kepadaku . dengan membukakan pandangan yang cerah (kasyaf) tentang mula-mula terjadinya makhluk, sebelum ada makhluk lain kecuali Allah. :
Allah berfirman kepadaku di dalam “sirku'” (tingkat perasaan yang paling dalam)
Firman-Nya:
Perhatikan olehmu pada mula-mula kujadikan makhluk adakah pada waktu itu terdapat Labas dan Heran? Jawabku : Tidak Ya Tuhan -:
Firman-Nya :
Begitulah yang terjadi terhadap segala yang baharu (muhaddas), tiada seorangpun yang dapat memberi bekas (menentukan) Akulah Tuhan, yang menjadikan segala asyya (sesuatu) disamping sesuatu yang lain tanpa sebab, sebagaimana kujadikan nafakh (tiupan roh) pada ‘Isa atau takwin-thoir (menyusun kembali tulang-tulang burung yang berserakan).
Kemudian aku bertanya kepada-Nya :
‘Ya Tuhanku, kalau demikian, maka berarti Engkau sendirilah yang dikhithob (sasaran pembicaraan) sehubungan dengan firman-Mu lakukan atau jangan lakukan (maksudnya perintah atau larangan).
Firman-Nya :
Andai kata kuperlihatkan kepadamu sebagian Ilmuku maka haruslah engkau dengan penuh adab (tertib) karena hidlratKu ini tidak senang dengan adanya “banyak tanya” tentang perbuatan-Ku sebagaimana Ku-katakan :
“Allah tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun mereka tetap ditanya.”
Selanjutnya Syekh Abdul Wahab Sya’rani berkata :
“fataammulhu fainnahu nafisun” (renungkanlah karena sesungguhnya masalah ini indah sekali).
Oleh sebab itu, maka tetaplah bermusyahadah pada magom Tauhidul – Afal ini. Insya Allah anda akan sampai kepada tujuan anda yaitu sampai kepada Allah SWT. dan keridlaan-Nya.
Memarg diakui bahwa magom/tingkatan Tauhidul Af’al ini bagi orang yang. ‘arifin (sempurna | makrifatnya) masih merupakan tingkat yang terbawah, karena tingkatan ini adalah salah satu tingkatan yang selanjutnya akan kitajelaskan berikut ini.
Di antara orang-orang yang sampai kepada Allah ada di-antaranya yang dinamakan majdzub (ditarik oleh Allah ke hidrat-Nya) dengan suatu kejutan, sehingga orang demikian dapat tahu/ mengerti tentang Dzat, Sifat, Asma dan Af’al Allah SWT. tanpa lebih dahulu menerima pelajaran dari seorang guru (Syekh) dan tanpa melakukan latihan-latihan (riyadlah).
Catatan :
Perkataan majdzub dapat pula diartikan, dialiri oleh daya magnit (daya tarik) seperti sebilah jarum yang tertarik oleh sepotong besi berani. Tetapi hal ini jarang terjadi. (DN yang di-ind. ”) .
Dengan tingkatan (magom) Tauhidul – Afal itu akan dapat mencapai natijatussuluk dan tsamarahnya (natijatussuluk – hasil perjalanan, tsamarah – buah).
Yang dinamakan salik (orang yang berjalan) ialah orang yang penuh dengan kesungguhan dan ijtihad (ketekunan) melaksanakan ibadah kepada Allah.
PENJELASAN TAMBAHAN Tentang Tauhidul Afal Ps. 1 Bag. II (D.N. yang diind.)
Pada beberapa titik persoalan di dalam pasal ini telah pula saya tambahkan beberapa catatan dan penjelasan sekedarnya dengan suatu maksud agar persoalan yang ‘ tertera di dalamnya akan tambah jelas.
Hendaklah diketahui, bahwa karangan susunan Kitab ini cukup padat isinya, meskipun oleh pengarangnya sendiri sering terdapat kalimat yang berulang-ulang.
Karena kepadatan itulah, kadang-kadang timbul salah pengertian, yang berarti salah pemakaian dan tanggapan.
Akibatnya yang lebih buruk lagi kalau timbul salah iktikad (istilah Banjar, salah kaih) atau kemungkinan pula timbul persangkaan buruk terhadap pengarang dari Kitab Durrun Nafis ini dengan mudah memberikan titel yang mengerikan “sesat dan menyesatkan”.
Saya mengajak kepada para pembaca, agar jangan mudah untuk memberikan nilai yang negatif terhadap Kitab ini, yang penting pelajarilah lebih dahulu, kalau perlu dan memang sebaiknya mempelajarinya dengan seorang guru yang benar-benar menguasai ilmu ini.
Apabila timbul keinginan untuk mempelajarinya, umumnya Kitab-kitab Tasawuf maka ada beberapa faktor yang perlu kita persiapkan :
- Jangan berburuk sangka (Su’udhon)
Karena dengan modal “buruk sangka” bagaimana pun juga akan tetap memberikan nilai buruk. Meskipun ada kata-kata yang baik dalam Kitab Durrun Nafis namun bisa saja akhirnya diulas dengan kata-kata yang menimbulkan kesan-kesan negatif terhadap ilmu ini.
- Menerima dan mengakui bahwa Ilmu Tasawuf adalah salah satu cabang keilmuan di dalam ajaran Islam.
“Untuk apa membacanya kalau di hati sendiri sudah menolak kehadiran Ilmu Tasawuf. Fakta sejarah yang tidak mungkin ditolak bahwa Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang sudah berkembang dan hidup ribuan tahun. Selama itu pulalah ilmu ini mengalami tantangan, namun dia tetap hidup dan berkembang di seluruh dunia Islam.
- Tetap berpegang kepada hukum syara (syariat)
Apabila ada ajaran yang mengatakan bahwa ajaran itu adalah ajaran Tasawuf yang asli dan sejati tetapi meninggalkan hukum syara, maka jelaslah ajaran yang sesat.
4,” Rajin melakukan latihan-latihan
Masalah Tasawuf adalah masalah kejiwaan, seakan-akan kita berjanji dengan diri maka mulailah kita mempelajari ini, yang Insya Allah akan sampai kepada tujuan yang dikehendaki.
Perbedaan prinsip antara Jabariyah dengan Ahlul-Kasyaf
- Maksiat dan taat, kufur atau mukmin kedua-duanya .daripada Allah
Jabariyah :
Maksiat dan taat pada dasarnya adalah sama, karena kehendak Allah. Sihamba tidak dipersalahkan atas maksiatnya, apabila dia beriktikad bahwa maksiat itu perbuatan Allah sendiri.
Ahl. Kasyaf :
Maksiat dan taat, kufur atau mukmin kedua-duanya daripada Allah (kehendak Allah) sebagaimana firman Allah :
Artinya : “Ia sesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan diberi-Nya petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Rugi, siapa yang disesatkan-Nya, beruntung siapa yang diberi-Nya petunjuk | (Iman dan taat).
- Tentang usaha-ikhtiar hamba
Jabariyah :
Usaha ikhtiar hamba, tidak ada. Dan dianggapnya menentang kehendak Tuhan. Apabila hendak maksiat, maksiat-lah. Apabila hendak taat, taatlah. Laku dan sikap demikian adalah Tuhan sendiri.
Ahl. Kasy :
Usaha ikhtiar hamba, memang pada arti hakiki tidak ada (fana) namun pada kenyataannya, usaha ikhtiar itu sendiri adalah ciptaan Allah SWT. untuk si hamba, sejalan dengan takdir Ilahi terhadap hamba tersebut. Si hamba diciptakan Allah pada “zatiyahnya” (aslinya). . memerlukan kepada usaha ikhtiar, sebagaimana perlunya manusia kepada makan dan minum. Begitu, pula secara aslinya penciptaan manusia ini perlu kepada, kebenaran dan tidak mau kepada kesalahan, kejelekar atau keburukan. Tiap-tiap maksiat/ kufur itu nyata salahnya, dan tiap-tiap taat/iman itu nyata benarnya Untuk inilah perlunya usaha ikhtiar menuju kebenaran sesuai dengan keaslian penciptaan manusia.
3, Perbuatan hamba “kenyataan” perbuatan Tuhan
Istilah ini sama-sama menjadi pegangan Jabariyah : . dan Ahlul Kasyaf, tetapi keduanya memberi tafsiran yang berbeda. Jabariyah menafsirkan : “nyatanya” perbuatan Allah — SWT. sama dengan perbuatan hamba atau perbuatan .” hamba sama dengan perbuatan Allah.
“ Adapun penafsiran Ahlul-Kasyaf : arti “kenyataan” itu ialah nyata perbuatan Allah pada hamba. Jadi si hamba adalah madhhar (tempat nyatanya). Misalnya si hamba sedang duduk (duduk adalah suatu perbuatan) dalam arti hakikat. Di mana hamba-sebagai madhar/obyek maka kata-kata itu harus diartikan: “Allah mendudukkan si hamba” lalu jelas nyata perbuatan Allah “mendudukkan” bukanlah berarti “Allah duduk” sebagai yang ditafsirkan oleh Jabariyah.
Arti dan makna hakikat Seluruhnya pembicaraan dalam kitab ini menyangkut masalah hakikat. Arti menurut bahasa ialah “kebenaran”. Berhubung pembicaraan di dalamnya “tentang Allah SWT. maka dapatlah diartikan” kebenaran dari segala kebenaran” atau “hagigatul hagaig”.
Pada makna dan tujuan pembicaraan adalah membahas “kebenaran asal, inti atau dasar dari segala sesuatu dan segala persoalan.”
Salah sekali bila ada yang mengira bahwa Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang membahas “hakikat ujud Allah” (kunhi dzat-Nya — keadaan bentuk dan rupa zat Allah).
Ujud zat-Nya adalah mustahil untuk dibicarakan dan dicari, karena sudah ada kepastian “laisa kamitslihi syai “un” (tidak ada seumpama-Nya). .
Misalnya untuk mengatakan bahwa “ujud zat Allah itu berupa cahaya yang putih dan sebagainya” maka kata-kata yang demikian jelas merupakan kata-kata yang syirik. (na’uzubillahi min dzalik).
Hal yang demikianlah yang amat dilarang, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
Artinya : .
“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah, tetapi jangan kamu memikirkan tentang Pencipta-Nya (kunhi dzat-Nya).
Tetapi kalau kita berpikir “apakah asal dan hakikat segala sesuatu ini” atau “apakah asal dan hakikatnya perbuatan kita ini, dan dari mana asalnya?” maka berpikir demikian berarti melaksanakan anjuran Rasulullah Saw. sendiri sebagaimana bunyi hadits tersebut.
Untuk menjawabnya supaya “benar” maka dengan cara yang lebih tepat adalah meneliti Kalamullah sendiri. Karena dengan menggunakan pikiran sendiri, nyata tidak akan mungkin tercapai.
Hal ini terbukti dengan pendapat-pendapat orang-orang ahli filsafat (filosofis) terutama di zaman sebelum lahirnya Nabi ‘Isa a.s., ada yang berkata “asal dan hakikat dari sesuatu ini adalah air, air dalam arti subtrat dan substansi (bingkai dan isi)” yang tidak terbatas. Ada lagi yang mengatakan bahwa hakikat dan asal dari segala sesuatu adalah apeiron (a — tidak, peiron – kenyataan). Pitagoras berkata, hakikat segala sesuatu adalah angka. Dan bermacam-macam uraian dengan bermacam-macam alasan dan hujjah.
Semua itu jelas menurut pikiran akal sendiri, yang pada suatu masa akan ada pendapat lain untuk membantahnya dan bahkan menolaknya dengan alasan-alasan yang menurut si pembantah adalah alasan yang kuat.
Secara sederhana Kita dapat mengemukakan bantahan atas semua itu, “yakni mungkinkah akal manusia dapat bercerita dengan benar tentang asal usul dan sumbernya sendiri?, tanpa mendengarkan dan mempelajari kata-kata yang datang dari sumber akal?”. Misalnya seorang anak, apakah mungkin dapat bercerita tentang ayah dan ibunya selagi jaka dan gadis kalau tidak lebih dahulu mendengarkan dan mempelajari cerita si ayah dan ibu itu sendiri?
Kelemahan lain dari si akal tentang pembahasan ini adalah bahwa “akal tidak pernah dapat berbicara tentang , bentuk dan wujudnya sendiri, berapa beratnya, apa warnanya, bagaimana keadaannya yang pasti, ke mana akal ini pergi bila seseorang itu meninggal dunia dan sebagainya dan sebagainya. Konon lagi untuk berbicara tentang asal usulnya sendiri.
Oleh sebab itu untuk membicarakan hakikat dan sumber segala sesuatu ini dan segala macam hal dan – keadaannya, harus mendengarkan dan mempelajari kata-kata dari Si Sumber dan Pencipta/ Pengatur sesuatu itu.
Tinggal lagi soalnya, apakah mau percaya atau tidak terhadap kata-kata si Pencipta/Pengatur tersebut.
Bagi kita Kaum Muslimin, tidak ada jalan lain kecuali percaya sepenuhnya apa yang dikatakan (difirmankan) oleh Allah dalam Al Qur’an dan apa yang dikatakan oleh “’Utusan-Nya Muhammad Rasulullah Saw.
Dalam lapangan tasawuf, mau tidak mau, kita orang yang masih awam harus pula mendengar dan mempelajari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh mereka yang punya keahlian dalam bidang ilmu tersebut, yaitu Ahlut Tasawuf golongan Arif Billah dan kita tahu pula bahwa pembicaraan-pembicaraan mereka di bidang ilmu itu bersumber pada Al Our’an dan Hadis Rasulullah Saw.
Dalam lapangan hukum pidana atau perdata misalnya, apakah diterima pendapat seorang Dokter gigi yang sebenarnya tidak mempunyai keahlian di dalam lapangan hukum tersebut? Tentu tidak mungkin. Untuk hal-hal yang terjadi, menyangkut tindak pidana atau perdata, mau tidak mau kita mendengar dan memperhatikan pendapat Ahli Hukum (Sarjana Hukum) atau “yuris prodensi'”.
Kita yakin bahwa Arif-billah (Ahli Tasawuf) adalah mereka yang benar-benar sudah banyak mempunyai pengalaman batiniyah, sudah merasakan kenikmatan serta kesejukan berenang dan tenggelam dalam lautan Tasawuf, lautan Hidrat Ketuhanan.
Mereka laksana ikan di dalam air, mati dan hidupnya di air, muka, belakang atas dan bawah adalah air. Di sanalah kebahagiaan yang hakiki buat mereka.
Syekh Ahmad Al-Oassasi berkata dalam doanya :
Artinya : Tuhanku, masukkanlah aku di dasar lautan ke-Esaan Zat-Mu.
Inilah pula yang tentu pernah dialami dan dirasakan oleh Syekh “Alimul ‘Allamah Al Pahhamah, Muhammad Nafis Bin Idris Bin Husein Al Banjari.
Kaifiyat (cara-cara) memusyahadahkan tentang ke-Esa-an nama-nama Allah SWT. adalah sebagai berikut : . “anda pandang dengan mata kepala dan anda syuhud (pandang/ tanggapi) dengan matahati, bahwa segala nama apa punjuga pada hakikatnya kembali kepada sumbernya/ asalnya ialah nama Allah SWT.”
Alasannya ialah, bahwa nama apa pun juga yang ada di dalam alam ini tentu ada yang diberi nama (ujud musamma). Dalam arti hakiki sudah jelas bahwa “tidak ada yang maujud/ diadakan ini, kecuali Allah”. :
Segala yang maujud (yang diadakan) pada hakikatnya hanyalah khayal (kosong) atau waham (sangka-sangka) belaka, bila dinisbahkan (dibandingkan) dengan Ujud Allah.
Catatan :
Misalnya, kita melihat seseorang yang bernama si A, maka nama “A” ini adalah suatu nama dari seseorang. Seseorang ini disebutkan Ujud Musamma. Si Ujud Musamma tadi andai kata-kita bandingkan dengan Ujud Allah tentu tidak akan sebanding. Atau dengan perkataan lain si Ujud Musamma tadi, sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan Ujud Allah. Allah Maha Kuat, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Pintar, Maha Hebat dan sebagainya, tetapi seseorang atau sesuatu itu, amat lemah, amat tidak berdaya, penuh dengan serba kekurangan dan lain-lain.
Oleh sebab itulah maka kita katakan dan kita musyahadah kan bahwa pada hakikatnya segala nama – apa pun juga kembali kepada nama-nama Allah sebagai sumbernya. ,
Ujud Allah itu “qo – im” (berdiri) pada segala nama sesuatu. Dhahir (nyatanya) nama sesuatu ini pada hakikatnya adalah satu. Maksudnya ialah bahwa sesuatu ini sebagai pembuktian/kenyataan dari Ujud Allah yang Maha Esa.
Pengertian ini bukan berarti Ittihad dan bukan pula dalam arti Hulul. Maha Sucilah Allah dari pengertian-pengertian itu. “
Catatan :
- Qo’im (berdiri) pada segala nama sesuatu:
Maksudnya ini bukan seperti berdirinya pohon pada akar atau seperti berdirinyajasad karena adanya roh, yang satu saat bisa berkumpul dan berpisah. Pengertian ini tidak dapat diterima.
Akan tetapi, bilamana kita melihat sesuatu (yang tentu ada namanya) dengan penuh perhatian/ konsentrasi, sebenarnya yang terlihat’ itu adalah “adanya” bukan “sesuatunya”, namun Si-sesuatu dengan adanya itu sukar untuk diceraikan dan dipisahkan. Si sesuatu berbentuk dan berupa, tetapi si “adanya” itu tidak berbentuk dan pula bukan berupa.
“Adanya” sesuatu adalah maujud (yang diadakan) sedang Allah SWT. adalah Ujud (ada yang kekal abadi, sedia tanpa permulaan) :
Allah SWT. bernama Adh-Dhohir (Maha Nyata) lebih nyata dari segala yang nyata bahkan lebih nyata daripada diri sendiri.
- ittihad dan hulul
Ittihad artinya “terpadu”. Hulul artinya “bersatu”, Kata-kata ini tidak tepat kalau ditujukan kepada Allah SWT. seakan-akan terpadu /bersatu alam dan Allah. Memang ada Di antara Ahli Sufi yang melahirkan kata-kata demikian, namun bilamana kita pelajari hanya sekedar contoh-contoh atau misal-misal yang ingin memberikan pengertian yang mantap.
Akhirnya mereka pun berkata dengan kerendahan hati “ma yakhruju baina syafataini illa isyaratan wa’tibar” (apa saja yang keluar dari ‘dua bibir hanyalah sekedar isyarat dan ‘itibar). “Al Bathin huwa mutaharrikun lil ajsam, wamutaharrikul bathin fa huwal-Bathin”, (Bathin adalah penggerak jisim. Penggerak bathin adalah Bathin).
Batin pada pengertian ini ada. dua dan saling berbeda. Batin “yang digerakkan” dan Batin “yang menggerakkan ialah Allah yang bernama Al-Bathin (Maha tersembunyi). :
Contoh lain dapat kita kemukakan, misalnya selembar kaca polos, diwarnai dengan bermacam-macam warna, merah, kuning, hijau dan sebagainya. Kemudian kita letakkan di bawah cahaya matahari, tentu akan terlihat bermacam-macam warna pada bumi sebagaimana warna yang tercantum pada kaca tadi.
Di situ dapat terlihat jelas bahwa cahaya matahari tidak terpisah cerai dengan zat mataharinya sendiri dan tidak pula berpindah cahaya matahari itu kepada kaca tadi.
Adanya bermacam warna pada bumi menunjukkan tentang ke-Esa-an matahari.
Maha Sucilah Allah daripada contoh dan misal, maka pahamilah oleh anda dengan kata-kata yang baik dan sempurna, semoga anda dapat memahaminya dengan kasih sayang Allah SWT. dan dapat sesuai dengan maksud yang sebenarnya (muwafagat — sesuai).
Wahai saudara-saudaraku yang ‘Arif! andai kata anda telah berhasil pada magom (tingkatan) ini lalu kemudian Tajalli Hak Ta’ala (tampak nyata kebenaran Allah Ta’ala) bagi anda dari celah-celah dinding madhhar (kenyataan) jni dengan dua macam nama (isim) maka semua yang berupa madhhar tersebut lenyap sirna di dalam ke-Esaan (ahadiyat) Allah SWT.
Syekhuna Al’allamah An-Narul muhrigah Maulana Syekh Abdullahibnu Hijazi As-Syargowi -Al-Mishrie rahimahullah berkata dalam Syarah Wirid Sahur:
“Apabila Tajalli Allah Ta’ala (tampaknyata) dengan asma-Nya/nama-nama-Nya Dhohirun terhadap hambaNya, niscaya si hamba itu akan dapat melihat. bahwa segala akwan (kejadian) semua ini adalah Kebenaran Allah, sepanjang pengertian bahwa dhohir akwan itu adalah dengan dhohirnya Allah. Berdirinya akwan itu dengan nyatanya goyyumiyah-Nya (sifat giyamuhu ta’ala binafsihi – berdiri Allah dengan sendiri-Nya) dan Kekalnya Allah SWT. Karena tidak akan mungkin bagi akwan ini ada dengan sendirinya. Dan pula tidak mampu si hamba membedakan satu per satu segala akwan ini. Jelasnya hanya pada suatu pengertian bahwa makhluk ini hanya sekedar mazhar/sandaran semata-mata. Si hamba dapat memandang (musyahadah) bahwa Allah adalah hakikat segala sesuatu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah di dalam Al-Our’an :
Artinya :
“Ke mana pun kamu berhadap, di sana lah Wujud Allah, Maksudnya, ke mana pun dan di mana pun akal, hati dan roh inj dihadapkan di sanalah adanya Allah SWT.”.
Karena itulah kadang-kadang tergelincir lidah, keluar kata-kata Syathathah (Syathiyat) suatu kata-kata “kejutan” yang tidak dibenarkan oleh syara (hukum) hal mana merupakan suatu bahaya musyahadah. Tidak terlihat lagi baginya segala akwan ini, karena sepenuhnya memandang Ujudullah yang Muthlak.
Menurut perkataan Syekh Abdul Karim Al-Jilli q.s. seorang hamba yang seakan-akan: tidak terlihat lagi baginya segala makhluk ini karena memandang terhadap
Hak Ta’ala (Kebenaran Tertinggi) sehingga “si hamba | tersebut berkata: ‘ | “tidak ada yang maujud ini kecuali Ujud Allah”. Adalah karena mabuknya dan ghoib seperti yang telah terjadi terhadap Al-hallaj.
Maka perkataan orang yang mabuk demikian tidak bisa dijadikan pegangan.
Catatan :
Yang dimaksudkan “tidak bisa dijadikan pegangan” adalah semau-maunya berkata seperti perkataan AlHallaj, atau perkataan Al-Hallaj dijadikan suatu dalil untuk memperkuat hujjah (alasan). (D.N. yang di-ind. “) Sulthonul Auliya Maulana Syekh Abdul Oodir Jaelani q.s. berkata: “andai kata peristiwa Al-Hallaj itu terjadi di zaman/ dimasaku ini, pasti aku larang orang membunuhnya.
Tentang Isim jami’ dan Isim Mani’
Untuk musyahadah ini ada dua cara, yang kedua-duanya bertujuan satu.
Pertama : Jami’ (menghimpun/pemusatan)
Pandangan batin(syuhud/musyahadah) diawali ‘ segala kenyataan ini kemudian: terhimpun/ terpusat pandangan kepada Yang Satu (Allah SWT.) inilah yang dimaksudkan dengan istilah Syuhudul Katsrah Fil Wahidah.
Artinya :
“(Pandangan yang banyak pada yang satu).
Kedua : Mani’ (Pencegahan/yang menggagalkan)
Yang dicegah dan yang menggagalkan : pandangan itu adalah, bilamana dianggap/ dipandang bahwa segala kenyataan makhluk ini adalah dari makhluk jua. Seharusnya adalah sesuai dengan istilah :
Artinya :
“Pandang yang satu pada yang banyak”. Maksudnya : ialah, daripada Allah jua nyatanya segala isi alam ini.
Allah berfirman :
Artinya :
“Kepunyaan Allah segala urusan dan kepada-Nya jua kamu (segala urusan itu) dikembalikan. |
Bilamana anda melihat seseorang yang bersikap, berwatak Pemurah, hendaklah anda tanggapi bahwa sifat pemurah itu adalah kepunyaan Allah. Yang terlihat pada hamba itu hanyalah mazhar daripada Nama Tuhan Al-Kariem (Maha Pemurah).
Demikian pula seterusnya, bila anda melihat seseorang yang berwatak sabar maka dia itu sebenarnya adalah mazhar daripada Nama Tuhan As-Shobur (Maha Penyabar).
Al-Kariem dan As-Shobur adalah nama-nama Tuhan, maka hendaklah anda luruskan pandangan itu sampai kepada nama-nama/ Asma Allah SWT. sesuai dengan kenyataan pada si hamba/makhluk ini. . Masalahsifat-sifat Allah yang sehubungan dengan asma,
Ada sementara orang yang ‘Arif Billah menyatakan pendapatnya tentang sifat-sifat Allah. Menurut mereka Allah itu tidak mempunyai sifat. yang ada bagi Allah hanya asma/nama-nama saja.
Mereka mengemukakan dengan dua dalil (keterangan) yaitu dalil nagli dan dalil ‘agli. :
Dalil nagli ialah apa yang tercantum dalam Al-Our’an dan Hadist, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah :
Artinya :
“Allah mempunyai beberapa nama, maka berdoalah anda dengan nama-nama tersebut.
Hadits Rasulullah Saw. :
“Sesungguhnya yang kamu seru itu adalah yang Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha berkata-kata, dan Dia (Allah) beserta kamu di mana pun kamu berada.”
Dalil ‘agliialah dalil akal, atau keterangan yang didapat sepanjang pertimbangan akal.
Menurut. akal (logika) sifat adalah sesuatu yang “melekat” pada zat atau dapat pula dikatakan bahwa sifat adalah sesuatu tambahan pada zat.
Jika seandainya Allah itu mempunyai sifat, berarti Allah adalah “majhul” (tidak dapat dikenal) kalau tidak melekat sifat-sifat itu.
Catatan :
Maksudnya,seakan-akan Allah/zat Allah tidak berarti apa-apa kalau tidak dilengkapi sifat. (DN yang di-ind. “) : Kalau demikian, Maha Sucilah Allah dari segala sifat karena Zat Allah tidak memerlukan (berhajat) kepada sifat. Zat Allah adalah Maha Mengerti dari segala yang mengerti, sama sekalibukanlahdiamajhul . (tidak dikenal).
Catatan :
Pendapat yang dikemukakan ini, adalah hanya pendapat dari segolongan kecil, atau dalam istilah disebut gaul / gila merupakan pendapat yang lemah. Secara dalil agli, hal inipun dapat ditolak dengan alasan sederhana ‘mungkinkah ada sesuatu nama yang sehubungan dengan Sifat, kalau dia tidak mempunyai sifat?”. Misalnya Nama Allah Oodirun (Maha Kuasa) mungkinkah ada nama demikian kalau Dia tidak memiliki suatusifat yang disebut Oudrat (Kuasa) tentu tidak mungkin.
Syekh Muhammad Nafis (Pengarang kitab ini) tidak berpendapat demikian. (D.N. yang di-ind ”)
Sampai disinilah dahulu penjelasan tentang Tauhidul Asma yang merupakan magam/ tingkat kedua di kalangan Arif-Billah, setelah memahami dan matang dalam tingkat yang pertama yaitu Tauhidul Af’al. Kematangan tersebut adalah anugerah Allah kepada mereka yang tekun sebagai salik (penuntut) maupun anugerah-Nya secara majdzub.
Magom yangkedua ini adalah hasil dan buah daripada magom yang pertama.
CATATAN TAMBAHAN
Untuk Ps. 2 Bg. II (DN yang di-ind)
Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang Baik-baik)
- Allah : Lafazh/ ucapan Yang Maha Mulia yang merupakan nama bagi Zat ‘ Ilahi Yang Maha Suci serta wajib ada-Nya (Ismuzzat).
- Ar-Rahman : Maha Pengasih, pemberi kenik| matan yang agung-agung, pengasih di dunia atau pengasih pada zahir.
- Ar-Rahiem : Maha Penyayang, pemberi : kenikmatan yang pelik-pelik, penyayang di akhirat dan/atau | pengasih pada batin.
- Al-Malik ‘ : Maha Merajai, Maha Memiliki, mengatur kerajaan dan milik-Nya : ‘ dengan kehendak-Nya.
- Al-Quddus : Maha Suci, suci dari segala cacat dan cela.
- As-Salam : Maha Penyelamat, pemberi keamanan dan kesentosaan bagi makhluk-Nya.
- Al-Mu’min : “ Maha Pemelihara Keamanan siapa yang salah mendapat siksa, sedang yang taat diberi pahala.
- Al-Muhaimin : Maha Penjaga, Maha Pemberi Kebahagiaan lahirbatin,melindungi 9 : segala sesuatu.
- Al-Aziz : Maha Mulia, kuasa dan mampu berbuat sekehendak-Nya.
- Al-Jabbar : Maha Perkasa, mencukupi segala kebutuhan, melangsungkan segala perintah-Nya serta memperbaiki keadaan seluruhnya.
- Al-Mutakabbir : Maha Megah, menyendiri . dengan sifat keagungan dan kemegahan-Nya.
- Al-Khaliq : Maha Pencipta, mengadakan seluruh makhluk tanpa asal, juga menakdirkan adanya semua ini.
- Al-Bari . : Maha Pembuat, mengadakan sesuatu yang bernyawa yang ada asal mulanya.
- Al-Mushawwir : Maha Pembentuk, memberikan gambaran atau bentuk pada sesuatu yang berbeda dengan lainnya, yang sesuai dengan keadaan dan keperluan-nya.
- Al-Ghaffar : Maha Pengampun, banyak pemberian maaf-Nya, dan menutupi dosa-dosa dan kesalahan.
- Al-Oahhar : Maha Pemaksa, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaanNya serta memaksa makhluk menurut kehendak-Nya.
- Al-Wahhab : Maha Pemberi, banyak kenikmatan dan selalu memberi kurnia.
- Ar-Razzaq : Maha Pemberi Rejeki, membuat berbagai rezki serta membuat pula sebab-sebab diperolehnya.
- Al-Fattah : Maha -Membukakan, yakni membuka gedung penyimpanan rahmat-Nya untuk seluruh hamba- Nya.
- Al-‘Aliem : Maha Mengetahui, yakni mengetahui segala yang maujud ini, dan tidak ada.sesuatu benda apa pun yang tersembunyi dari ‘ pengetahuan-Nya.
- Al-Qobidl : Maha Pencabut, mengambil nyawa atau mempersempit rezki bagi ‘ siapa yang dikehendaki-Nya.
- Al-Basith : Maha Meluaskan, memudahkan terkumpulnya rezki bagi siapa yang diinginkan oleh-Nya.
- Al-Khafidl : Maha Menjatuhkan, yakni terhadap orang-orang yang selayaknya dijatuhkan karena akibat kelakuannya sendiri.
- Ar-Rafi’ : Maha Mengangkat, yakni terhadap orang yang selayaknya diang-kat karena usahanya yang giat yaitu yang termasuk golongan kaum yang bertakwa.
- Al-Mu’iz : Maha Pemberi Kemuliaan, yakni kepada orang yang berpegang teguh kepada agama-Nya dengan memberinya pertolongan dan kemenangan.
- Al-Mudzil : Maha Pemberi Kehinaan, yakni – kepada musuh-musuh-Nya dan musuh ummat Islam seluruhnya.
- As-Sami’ :’ Maha Mendengar
- Al-Bashir : ‘Maha Melihat,
- Al-Hakam : Maha Menetapkan Hukum, sebagai hakim yang memutuskan yang tidak seorangpun dapat : menolak keputusan-Nya, juga ‘ tidak seorangpun yang kuasa merintangi kelangsungan hukumNya.
- Al-‘Adlu : Maha Adil, serta sangat sempurna dalam keadilan-Nya.
- ‘ Al-Lathief : Maha Halus, yakni mengetahui segala yang samar-samar, yang . pelik-pelik dan yang kecil-kecil.
- Al-Khobir: : Maha Waspada/Maha Pemberi Khabar.
- Al-Halim : Maha Penghiba/Maha Penyantun, penyantun yang tidak tergesa-gesa — melakukan kemarahan dan tidak pula, gegabah memberikan siksaan.
- Al Adhiem: : Maha Agung, yakni mencapai puncak tertinggi dari mercusuar ke-agungan karena bersifat . dengan segala macam sifat kebesaran dan kesempurnaan.
- Al-Ghafur : Maha Pengampun, banyak pengampunan-Nya kepada hambahamba-Nya. :
- As-Syakur ” : Maha – Pembalas, yakni memberikan balasan yang banyak sekali atas amalan yang kecil dan tidak berarti.
- Al-‘Aliy : Maha Tinggi, yakni mencapai . tingkat yang setinggi-tingginya yang tidak mungkin digambarkan oleh akal fikiran siapa pun dan tidak dapat dipahami oleh otak yang bagaimana pun pandainya.
- Al-Kabir : Maha Besar, yang kebesaran-Nya : tidak dapat diikuti oleh panca indera ataupun akal manusia. .
- Al-Hafidz : Maha Pemelihara, yakni menjaga sesuatu jangan sampai rusak dan goncang. Juga menjaga segala amal perbuatan hamba-hamba-Nya, sehingga tidakkan disia-siakan sedikitpun untuk memberi balasan Nya.
- Al-Muqit : Maha Pemberi Kecukupan, baik yang berupa makanan tubuh ataupun makanan rohani.
- Al-Hasib : Maha Penjamin, yakni memberi jaminan kecukupan kepadaseluruh hamba-Nya, juga dapat diartikan MAHA MENGHISAB amalan hamba-Nya pada hari Kiamat.
- Al-Jalil : Maha Luhur, yang memiliki sifat sifat keluhuran karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
- Al-Kariem : Maha Pemurah, mulia hati dan memberi siapa pun tanpa diminta .atau sebagai penggantian .dari sesuatu pemberian.
- Ar-Raqieb:’ Maha Peneliti, yang mengamatamati gerak-gerik segala sesuatu . dan mengawasinya.
- Al-Waasi’ : Maha Luas, yakni bahwa segala ‘ kerahmatan-Nya itu merata kepada segala yang maujud dan luas pula ilmu-Nya terhadap segala sesuatu.
46: Al-Mujib : Maha Mengabulkan, yang mei menuhi permohonan siapa saja. yang berdoa kepada-Nya.
- Al-Hakim : Maha Bijaksana, yakni memiliki ” kebijaksanaan yang tertinggi, | kesem-purnaan ilmu-Nya serta kerapian-Nya dalam membuat segala sesuatu.
- Al-Wadud : Maha Pencinta, yang menginginkan segala kebaikan untuk seluruh | hamba-Nya dan pula berbuat baik pada mereka itu dalam segala halihwal dan keadaan.
- Al-Majid : Maha Mulia, yakni yang mencapai tingkat teratas dalam hal kemuliaan dan keutamaan.
50 Al-Baa’its . : Maha Membangkitkan, yakni membangkitkan para Rasul, membangkitkan semangat dan kemauan, juga membangkitkan orang-orang yang telah mati dari masing-masing kuburnya nanti setelah tibanya Hari Kiamat.
- Asy-Syahid : Maha Menyaksikan atau Maha Mengetahui keadaan semua makhluk.
- Al-Haq . : Maha Haq, Maha Benar yang kekal dan tidak akan berubah sedikitpun.
- Al-Wakil : Maha Memelihara Penyerahan yakni memelihara semua urusan hamba-hamba-Nya dan apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka itu.
- Al-Qawiy : Maha Kuat, yaitu yang memiliki kekuatan yang sesempurna| sempurna-nya.
- Al-Matin : Maha Kokoh atau Perkasa, yakni memiliki keperkasaan yang sudah sampai dipuncaknya.
- Al-Waliy : Maha Melindungi, yakni melindungi serta menertibkan . semua kepentingan makhluk-Nya karena kecintaan-Nya yang sangat pada mereka itu dan pemberian pertolongan-Nya yang tidak terbatas pada keperluan mereka.
- Al-Hamid : Maha Terpuji, yang memang sudah selayaknya untuk memperoleh pujian dan sanjungan.
- Al-Muhshi : Maha Menghitung, yang tidak satupun tertutup dari pandangaNya dan semua amalan itupun diperhi-tungkan sebagaimana wajarnya.
- Al-Mubdi : Maha Memulai, yang melahirkan sesuatu yang asalnya tidak ada dan belum maujud.
- Al-Murid : Maha Mengulangi, – yakni menumbuhkan kembali setelah lenyapnya atau setelah rusaknya.
- Al-Muhyi : Maha Menghidupkan, yakni memberikan daya kehidupan pada setiap sesuatu yang berhak hidup.
- Al-Mumit : Yang Maha Mematikan, yakni mengambil kehidupan (roh) dari apa-apayang hidup, lalu disebut mati.
- Al-Hayy : : Maha Hidup, kekal pula hidupNya itu.
- Al-Oayyum : Maha Berdiri Sendiri, Baik Dzatnya, Sifatnya, Asmanya, dan Af’alnya. Juga membuat berdirinya apa-apa yang selain Dia. Dengan-Nya pula berdirinya langit dan bumi ini. ‘
- Al-“waajid : Maha Kaya, dapat menemukan apa saja yang diinginkan-Nya, maka tidak membutuhkan pada suatu apa pun karena sifat kaya. Nya yang secara mutlak.
- Al-Maajid : Maha Mulia (sama dengan no. 49) yang berbeda hanyalah tulisannya dalam bahasa Arab.
- Al-Waahid : Maha – Esa.
- As-Shomad : Maha Dibutuhkan/Tempat Bergantung, yakni selalu menjadi : tujuan dan harapan orang diwaktu ada hajat dan keperluannya.
- Al-Qaadir : Maha Kuasa
- Al-Muqtadir : Maha Menentukan
- Al-Muqaddim : Maha Mendahulukan, yakni mendahulukan sebagian benda dari yang lainnya. dalam perwujudannya, atau dalam kemuliaan, selisih waktu dan tempatnya.
- Al-Mu’akhkhir : Maha Mengakhirkan atau Membelakangkan.
- Al-Awwal : Maha Pertama, dahulu sekali dari semua yang maujud .
- Al-Aakhir : Maha Penghabisan, Kekal selama-lamanya tanpa ujung.
- Adh-Dhohir : Mahanyata, yakni menyatakan dan menampakkan. ke-wujudan-Nya itu dengan bukti-bukti dan tanda-tanda ciptaan-Nya.
- Al-Baathin ‘ Maha Tersembunyi, tidak dapat dimaklumi Dzatnya, sehingga tidak seorangpun yang dapat mengenal Dzatnya (istilah D.N. Kunhi Dzat).
- Al-Waati : Maha Menguasai, menggengam | sesuatu dalam kekuasaan-Nya dan menjadi milik-Nya.
- Al-Muta’ali : Maha Suci/MahaTinggi terpelihara dari segala kekurangan dan kerendahan.
- Al-Barr : Maha Dermawan, banyak kebaikan-Nya dan besar : kenikmatan yang dilimpahkan| -Nya.
- At-Tawwab : Maha Penerima Taubat, memberikan pertolongan kepada Orang-orang yang bermaksiat untuk melakukan taubat lalu Allah akan mencrim.. Nya.
- Al-Muntaqim : Maha Penyiksa k–. :: orang yang berhakuntuk mu. . eroleh siksa-Nya.
- Al-“Afuw : Maha Pemaaf, pelebur kesalahan orang yang suka kembali untuk meminta maaf kepada-Nya.
- Ar-Ra’uf : Maha Pengasih, banyak ke rahmatan-Nya dan kasih sayangNya.
- Maalikul-Mulki : Maha Menguasai Kerajaan, maka segala perkara yang berlaku di alam semesta, langit, bumi dan sekitarnya serta yang dibaliknya alam semesta itu semuanya sesuai dengan kehendak dan iradat-Nya.
85 Dzul-Jalali : Maha Memiliki Kebesaran Wal Ikram dan Kemuliaan, juga dzat yang mempunyai keutamaan dan : kesempurnaan pemberi karunia dan kenikmatan yang amat , banyak dan melimpah ruah.
- Al-Muqsith : Maha Mengadili, yakni memberikan kemenangan pada orang-orang yang teraniaya dari tindakan orang-orang yang menganiaya dengan keadilan-Nya.
- Al-Jaami’ : Maha Mengumpulkan, yakni mengumpulkan berbagai hakikat | yang telah bercerai-berai dan juga mengumpulkan seluruh ummat manusia pada hari pembalasan.
- Al-Ghoniy : Maha Kaya, maka tidak membutuhkan apa pun dari yang selain Dzat-Nya sendiri, tetapi yang selain-Nyaitu amatmembutuhkan pada-Nya.
- Al-Mughniy : Maha Pemberi Kekayaan, yakni memberikan kelebihan yang berupa kekayaan yang berlimpah-limpah kepada siapa saja yang di-kehendaki dari golongan hamba-hamba-Nya.
- Al-Maani’ : Maha Pembela atau Maha Penolak, yaitu membela hamba-hamba-Nya yang shalih dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan kerusakan.
- Adl-dlar: Maha Pemberi Bahaya, yakni dengan menurunkan siksa-siksa| Nya kepada musuh-musuh-Nya
- An-Naafi’ : Maha Pemberi Kemanfa’atan, ‘ yakni meratalah kebaikan yang dikaruniakan-Nya itu kepada semua hamba dan negeri
- An-Nur : Maha Bercahaya, yakni menonjolkan Dzatnya sendiri dan menampakkan untuk yang selain-Nya dengan menunjukkan : tanda-tanda kekuasaan-Nya.
- Al-Haadi . : Maha Pemberi Petunjuk, yaitu memberikan jalan yang benar kepada segala sesuatu agar langsung adanya dan terjaga: kehidupan-nya.
- Al-Badi’ : Maha Pencipta yang Baru, sehinggatidakadacontoh dan yang menyamai sebelum keluarnya ciptaan-Nya itu.
- Al-Baagi : Maha Kekal, yakni kekal hidup| Nya. untuk selama-lamanya.
- Al-Warits : Maha Pewaris, yakni kekal setelah musnahnya seluruh makhluk.
- Ar-Rasyid : Maha Cendekiawan yakni memberi penerangan dan tuntunan pada seluruh hamba-Nya dan yang segala peraturan-Nya itu berjalan menurut ketentuan yang i digariskan oleh ke-bijaksanaan dan kecendekiawanan-Nya.
- Ash-Shabur : Maha Penyabar yang tidak tergesa-gesa memberikan siksaan dan tidak pula cepat-cepat melaksanakan sesuatu sebelum waktunya.
Jalla-Jalaluh : Nyata Benar Kemuliaannya.
Hadist Rasulullah Saw., riwayat Ibnu Majah .
Artinya :
“Allah mempunyai 99 nama, siapa yang menghafalnya masuk surga. Sesungguhnya Allah itu maha ganjil dan paling senang kepada yang ganjil (tidak genap)”.
Ismul ‘Adhom (Nama Yang Agung) atau umumnya disebut nama yang satu.
Allah Swt. mempunyai nama Yang Agung, siapa yang berdoa, doanya terkabul. Banyak ‘ orang yang mencari-cari nama tersebut, yang umumnya juga disebut “Nama Yang Satu” Kadang-kadang ada orang yang mengajarkannya dengan cara-cara dan syarat-syarattertentu, ditambahi ulasan, “apabila cecak mendengar, cecakpun masuk surga”.
Untuk hal tersebut, Syekh Abdurrahman Shiddiq penyusun Kitab “Amal Ma’rifat sangat tidak menyetujui bahkan oleh beliau dikatakan bid’ah (mengada-ada).
Salah seorang guru saya, mengatakan bahwa nama yang dimaksud (Ismul ‘Adhom) adalah suatu rahasia antara seorang hamba yang dikasihi-Nya dengan Dia sendiri, tidak mungkin diketahui dan disampaikan kepada orang lain.
Syekh Abu Hayyullah Al-Marzugi dalam kitab beliau (salah seorang “Ulama ahli “Ilmu Hikmat) yang bernama Jawahirul-Luma’ah, di sana banyak sekali nama-nama yang disebutkan Ismul ‘Adhom.
Berdasarkan beberapa Hadits Rasulullah Saw. antaranya sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Buraidah r.a. katanya :
Artinya : “Nabi Saw. mendengar seorang laki-laki berkata doanya: Ya Allah sesungguhnya hamba memohon kepadaMu, dengan sesungguhnya aku naik saksi bahwa Engkau adalah Allah yang tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Engkau, Yang Maha Esa, Tempat bergantung, yang tidak beranak dar tidak diperanakkan dan tidak pula yang dapat menyamai-Nya.
Buraidah berkata selanjutnya – Lalu Rasulullah bersabda, . Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya orang itu telah meminta kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Yang apabila dipanjatkan doa dengan nama itu, Allah kabulkan dan apabila dimintai dengan Ismul ‘Adhom itu diberi-Nya.
Selain itu, ada pula Hadits Rasulullah yang lain diriwayatkan dari Asma puteri Yazid r. ‘anha, katanya. Nabi Saw. bersabda :
Artinya : “Nama Allah yang Agung ada di dalam dua ayat ini: -“wa ilahukum…….(Tuhanmu adalah Esa, tidak ada Tuhan lain yang patut disembah kecuali Dia Yang Maha Pengasih Maha Penyayang) dan pada pembukaan surat Ali “Imran, -alif lam mim …….. (Alif Lam Mim, tidak ada Tuhan lain kecuali Dia Yang Maha Hidup dan Berdiri dengan sendiri-Nya ‘.
Banyak Hadits Rasulullah yang mengungkapkan tentang ini, namun Ismul ‘Adhom yang dimaksud kelihatannya “tersembunyi” di dalam susunan kata-kata yang panjang.
Syekh Sayyid Sabiq dalam Kitab beliau yang bernama Oawa’idul Islamiyah cetakan Darul Outhub 1383 H. Kairo, beliau menjelaskan : “….jikalau seorang memahami pengertian dan makna dari semua nama-nama dan berkesan dalam jiwanya sendiri disertai penyelidikan atas nama-nama tersebut maka akan terbuka jelas baginya hakikat yang ada dalam alam semesta ini………..’.
Ucapan Al-Hallaj yang menjadi permasalahan. Al-Hallaj, nama yang sebenarnya adalah Husein Ibnu Manshur lahir 244 H. meninggal 309 H. di Bagdad.
Persangkaan bahwa dia adalah golongan Syi’ah masih belumadaketerangan yang kuat. Yangjelas dia mempunyai faham sendiri sepanjang ilmu yang dipelajarinya dan diyakininya.
Di antara sekian banyak ucapannya, terdapat ‘ kesimpangsiuran kata-kata, kadang-kadang seakan-akan Hulul, dan kadang-kadang kedengarannya Ittihad dan kadang-kadang juga dalam nada-nada Mahabbah (Cinta Kasih) yang berkelebihan sehingga lahir dari lidahnya katakata Syathathah.
Kata-kata yang menghebohkan ituialah :
Artinya : “Akulah Al-Haq, apa yang dalam jubahKu adalah Tuhan”.
Menurut suatu ulasan, bahwa dia sendiri tidak mengakui bahwa jubah yang dimaksud adalah jubah yang ia pakai,jubah yang dimaksudkan adalah jubah Tuhan sendiri Selain itu ada pula kata-katanya :
Ana Ahwa Waman Ahwa Ana Nahnu Ruhani Hallalna ‘Badana.
“Artinya : Aku rindu, yang kurindui adalah Aku, kami dua roh yang bersatu tubuh.
Dilihat susunan kata-katanya ini, jelas sekali dalam keadaan Hulul (bersatu antara dia dengan Tuhan). Di lain fihak dia sendiri menyatakan tentang kefanaan dirinya.
Apa yang dia katakan semuanya itu tidak bisa dijadikan hujjah atau diambil sebagai suatu keterangan untuk menjadi pegangan kita. Hal itu tentu khusus untuk dia sendiri yang lahir dari perasaannya sendiri (dzaugnya). Mungkin karena “mabuknya” yang dalam istilah kalangan Shufi “sakar rububiyah”.
Dari segi ini mungkin, sampai Syekh Outhubul ‘Azham ‘Abdul Oadir Jaelani q.s. berhasrat mencegah pembunuhan terhadap Al Hallaj, andaikata terjadi semasa dengan beliau.
Hadits Rasulullah Saw. yang dikemukakanoleh Imam Ghazaly r.a. berbunyi :
Artinya :
Perbanyaklah mengatakan la-Ilaha Illa Allah, meskipun mereka berkata, orang gila.
Kepada orang-orang. yang belum sampai/ mencapai tingkat perasaan yang demikian (dimabuk cinta) jangan coba-coba untuk meniru-niru kata-kata tersebut atau dengan mudah membuat kata-kata yang serupa, selain apa yang tercantum dalam Al-Our’an.
Bahayanya besar sekali. Tanpa mencapai tingkatan perasaan atau kesadaran yang tinggi, salah-salah akan serupa dengan Fir’aun la’natullah (na’udzu billahi min dzalik).
Namun demikian, bagaimana pun juga, ‘ilmunya dapat. dituntut oleh orang yang berminat untuk menambah pengetahuan dalam bidang ini, dan baik pula untuk dipelajari sebagai ilmu pengetahuan perbandingan. Semoga kita bisa mencapai tingkatan makrifatullah dalam arti kesadaran yang hakiki.
Yang penting dalam pengertian kita adalah, bahwa kita ini adalah “hanya setetes embun berbanding dengan lautan yang tak terbatas” apabila kita membandingkan diri kita dengan Allah SWT.
Hal itu bukanlah kata-kata lagi, hendaklah dihayati dengan penuh perasaan murni dan akal murni, pasrah dalam arti yang hakiki, cinta yang bukan dibuat-buat. Menghafal nama-nama Allah SWT. masuk surga.
Untuk menghafalkan nama-nama Allah bukanlah soal yang sukar dan sulit, semua orang akan bisa. :
Bagi seorang muslim, menghafal nama-nama tersebut tentu ada harga dan nilainya meskipun dalam arti hafalan. Tetapi apakah dengan menghafal demikian saja, dapat menjamin masuk surga? Bagaimana kalau
| seorang fasik atau munafik yang menghafalkannya?.
— Untuk menjawab itu dapatlah kita kemukakan, bahwa Mukmin Kholis (Mukmin yang bersih imannya) adalah mereka yang benar-benar menghayati Nama-nama Tuhan itu bagi diriya dan segala sesuatu ini.
Bagi mereka, Allah yang mempunyai banyak namanama itu tajalli/tarmpak nyata dan lebih nyata dari apa pun juga.
Mereka takut berkata bohong (suatu ciri orang munafik) karena pasti kedengaran oleh Allah As-Sami’u (Maha mendengar) pasti pula dilihat dan diketahui oleh Al-Bashir (Maha melihat) dan Al-‘Alim (Maha Tahu) dan seterusnya.
Konon lagi Allah itu Ooribun (Maha dekat) lebih dekat dari diri sendiri.
Orang yang ‘Arif Billah merasakan benar-benar nyatanya As-Salam (Maha penyelamat) Al-Mu’min (Maha Pengaman) Al-Muhaimin (Maha Pemberi kebahagiaan)oleh karena itulah mereka tidak merasa takut dan gentar menghadapi hidup ini. Merekalah yang dituju oleh firman Allah :
Artinya :
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Wali-Wali Allah itu, tidak merasa takut dan tidak pula merasa gentar”.
Rezki buat mereka sudah ada yang menjamin yaitu Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezki) sudah pula ada ketentuannya ditangan Al-Mugtadir (Maha Menentukan). Karena mereka tidak tahu jumlahnya rezki itu, merekapun meminta dengan penuh kesungguhan karena Allah itu AlWahhab (Maha Pemberi) dan Al-Mujib (Maha Memperkenankan). ,
Allah itu Al-Ghoniy (Maha Kaya) Al-Kariem (Maha Murah/Dermawan) mereka yakin bahwa bagi Allah, tidak ada kesulitan untuk memperkenankan apa yang mereka mau karena sifat permurah-Nya, tidak sebagai manusia satu saat dia pemurah tapi di saat lain manusia itu bersifat kikir.
Pada waktu mereka makan dan minum, terasa sekali nyatanya Al-Muqit (Maha Mencukupi termasuk segala makan dan minum) bahkan lebih nyata buat mereka AlMugit dibanding dengan makanan dan minuman yang mereka hadapi.
Semua ini adalah permainan rasa, rasa iman, rasa yakin, rasa kebenaran, rasa indah, rasa cinta dan rasa kerendahan dirinya dalam arti yang hakiki, berbaur dengan asyik dan indahnya.
Yang dimaksudkan tentang ke-Esa-an sifat Allah adalah sepanjang pengertian”f ana seluruh sifat-sifat makhluk termasuk sifat dirinya sendiri di dalam atau pada sifatsifat Allah SWT.”
Cara untuk memusyahadahkan sifat-sifat Allah tersebutadalah: “bahwa segala sifat apa pun yang melekat/ berdiri pada zat seperti sifat-sifat kodrat (kuasa) iradat (kehendak)ilmu (tahu) hayat (hidup) sama’ (pendengaran) bashar (penglihatan) kalam (berkata-kata) pada hakikatnya semua itu adalah sifat-sifat Allah”. Yang ada pada makhluk itu sebenarnya hanyalah mazhar dari sifat-sifat Allah, karena sifat-sifat makhluk ini hanya majaz (bayangan) saja.
Apabila musyahadah anda tambah mantap (tahkik) akhirnya anda akan dapat merasakan bahwasifat-sifat anda adalah fana (lenyap sirna) di dalam/pada sifat-sifat Allah. Terasalah bahwa pendengaran itu adalah pendengaran Allah,-artinya tiada pada hakikatnya pendengaran hamba melainkan dengan pendengaran Allah, tiada lagi penglihatan hamba pada hakikatnya melainkan dengan penglihatan Allah.
Tiada lagi pada hakikatnya pengetahuan hamba, hidup hamba, kuasa hamba melainkan dengan pengetahuan, hidup kuasa Allah SWT.
Dalil (nas) yang membenarkan hal tersebut adalah dengan adanya sebuah Hadits Oudsi (firman Allah yang langsung datangnya ke dalam kalbu Rasulullah) yang berbunyi :
Artinya :
“Orang-orang yang merasa dekat kepada-Ku, tidak hanya melaksanakan apa yang aku fardlukan kepada mereka, malah si hamba itu merasa dekat kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah (tambahan) hingga Aku pun mencintainya. Apabila : Aku sudah mencintainya, Akulah menjadi pendengarannya yang dengan itulah dia mendengar, Akulah menjadi penglihatannya yang dengan itulah ia melihat, Akulah yang menjadi lidahnya yang dengan itulah ia berkata-kata. Aku menjadi tangannya yang dengan itu ia memegang, Akulah yang menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan dan aku pulalah yang menjadi hatinya yang dengan itu ia berdlomir (bercita-cita) – Riwayat Imam Bukhari.
Cara-cara yang tepat agar Tajalli Sifat (nampaknya sifat-sifat Allah) itu adalah dengan suatu pandangan (syuhud) yang mantap bahwa pendengaran hamba itu adalah dengan pendengaran Allah, maka berarti fanalah pendengaran dirinya, kemudian setelah tajalli (nyata) pada perasaan anda sifat Sama’ Allah (pendengaran Allah)hendaklah berpindah dari satu sifat ke sifat yang lain dengan musyahadah yang tekun. (tadrij – satu persatu).
Yakni seperti sifat-sifat Bashar, Kalam, Ilmu, Iradat, atau sifat-sifat seperti ‘atho (pemberi) man’u (tahan) yang semuanya adalah sifat-sifat Allah. Sedang yang ada pada hamba itu hanya sekedar “menerima” saja dari pada-Nya.
Setelah selesai serhuanya, hendaklah anda pandang (syuhud) bahwa hanya Allah yang Hayyun (Maha Hidup) maka berarti fanalah sifat hayat itu dari diri anda.
Mana kala anda berhasil dengan cara-cara demikian yang berarti pula telah fana sifat maka langsung anda mencapai magom atau tingkatan bagobillah (kekal dengan sifat-sifat Allah).
Dengan demikian berarti pula anda telah mencapai kemenangan pada ketika itu dengan pengenalan atau kesadaran yang benar.
Oleh sebab itu, kenalilah Allah dengan layak dan dengan pengenalan yang sempurna. agar anda benar-benar dapat merasakan Fana Fi Shifatillah (lenyap dalam/pada sifat-sifat Allah) dan Bago Bi Shifatillah (kekal dengan sifat-sifat Allah) Allah akan memberi tahu kepada anda tentang rahasia-rahasia sifat-Nya yang mulia.
Catatan :
Bagian ini adalah bagian yang terpenting yang perlu dipahami dengan benar. Dilihat pada susunan kata di dalam kitab ini, (Durrun-Nafis) seakan-akan mudah untuk dilaksanakan, tetapi sebenarnya tidaklah semudah apa yang kita kira. Karena masalahnya cukup rumit-pelik karena berhubungan dengan perasaan (dzauq). Yang penting adalah lebih dahulu harus ada kesempurnaan “pengertian” di atas dasar dalil-dalil yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Dalam Hadits Oudsi beliau berkata/bersabda : “Allah berfirman :
Artinya :
“Semua kamu ‘adalah sesat kecuali orang yang kuberi petunjuk, maka mintalah kamu petunjuk-Ku, Aku akan memberi petunjuk kepadamu. Semua kamu adalah lapar kecuali yang telah kuberi makan, maka mintalah makan kepada-Ku, Aku akan memberi makan kepadamu. Wahai hamba-Ku, semua kamu adalah bertelanjang kecuali orang yang aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, Aku akan berikan pakaian kepadamu. Wahai hamba-Ku, kamu semua berbuat salah siang dan malam, akulah yang memberi ampunan atas dosa-dosa itu semua, kecuali Syirik……………(Diriwayatkan oleh Muslim, Abu ‘Uwainah, Ibnu Hibban dan Hakim dari Abu Dzarrin).
Dengan Hadits ini jelaslah bahwa apa artinya kekuatan dan kemampuan kita?
Selain itu hendaklah kita sadari bahwa semua sifat. sifat kita mi adalah amanah. Satu saat dia pasti akan kembali kepada pemiliknya, Allah SWT.
Karena sifat-sifat dan hidup ini adalah amanah, maka benar sekali bila kita musyahadahkan “hakikatnya” adalah daripada Allah, sedang kita ini hanya sekedar mazharnya atau sandaran semata-mata.
Lalu bagaimanakah seharusnya kita bertugas memelihara amanah?
Allah sebagai pemilik amanah telah menentukan apa yang harus dibuat terhadap amanah-Nya.. Untuk melaksanakan amanah, diletakkan pula akal pada manusia tenaga dan kemampuan, sehingga semua tugas akan dapat terlaksana. Siapa yang tidak memelihara amanahnya dan tidak digunakan menurut garis-garis ketentuan hukum yang disampaikan-Nya melalui utusan-Nya maka jelas berarti suatu penyelewengan.
Jadi jelasnya, bila benar-benar “tajalli sifat” maka sifat Orang yang demikian itu malah bertambah tekun ibadahnya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan sesuai dengan prinsip kebenaran hidup.
Mereka laksanakan itu bukan karena terpaksa atau dipaksa-paksa, atau tidak pula mengharapkan apa-apa.
Kita tidak boleh lupa tentang adab kita kepada Allah sebagaimana firman-Nya :
“Artinya :
“Apa yang kamu amalkan daripada kebajikan, maka itu adalah daripada Allah, dan daripada kejahatan, adalah dari nafsumu.
Disinilah perbedaan prinsip antara Jabariyah dengan Ahlul Kasyaf. (DN. yang di-ind. “)
Maqom Baqo Bisifatillah inilah tujuan terakhir yang diharap-harapkan dan dimaksud oleh para penuntut. Dan pada titik tujuan ini pula kabanyakan para Nabi dan para Wali, namun tidak ada yang dapat melampaui tingkat ini kecuali Nabi kita Muhammad Saw. atau para Nabi dan Wali yang berada di bawah gidam (telapak) Nabi kita.
Untuk mencapai faedah dalam masalah tajalli-sifat – ini haruslah dengan cara “tadrij” (satu persatu) jangan sekaligus, karena kadang-kadang salah satu di antara sifat-sifat itu malah lebih berat dari yang lain.
Di samping itu pula akan didapat rasa “tamkin” (kemantapan) yang menghasilkan kekuatan untuk menerima Tajalli Zat. Tidak mungkin seseorang akan mencapai Tajalli Zat apabila belum mantap di dalam hatinya Tajalli Sifat.
Siapa-siapa yang mampu sampai kepada magom/ tingkatan ini niscaya ia akan mendapat gelar resmi dari Allah sebagai “Khalifatullah” seperti gelar yang diterima Nabi Adam a.s.
Allah berfirman tersebut di dalam Al-Our’an :
Artinya : ‘ “Dan ingatlah ketika Allah berkata kepada Malaikat, sungguhnya Aku menjadikan seorang kholifah di muka bumi”.
Yakni maksudnya “mengganti Aku untuk – melaksanakan hukum-hukum-Ku di muka bumi” (kholifah – pengganti). Allah pun mengajarkan kepada beliau tentang nama-nama semua ini sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Dan Ia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya”. ‘
Selanjutnya pula Allah memberikan petunjuk-petunjuk kepada Nabi Adam a.s. tentang hal-hal yang mengakibatkan kesesatan termasuk juga hal-hal yang halus-halus (tersembunyi) mengingat kedudukan Nabi Adam a.s. sebagai kholifah-Nya.
Di kalangan ‘Arif-Billah ada yang berkata : –
Artinya :
“Orang yang makrifat (kenal/menyadari) kepada Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi kepadanya ‘. ‘
Allah anugerahkan kepadanya ilmu laduni (ilmu yang langsung dari sisi Allah) suatu ilmu yang diilhamkan oleh Allah ke dalam hati seseorang hamba-Nya tanpa belajar melalui perantaraan guru (talqien masyayikh) ilmu mana tidak akan hilang dan tidak akan terlupakan.
Seseorang yang mendapatkan ilmu yang seperti ini adalah orang yang benar-benar ‘Alim sebagai yang dikatakan oleh Syekh Abu Yazid Bushthomi q.s. demikian pula menurut pendapat Arif Billah yang lain.
Orang yangalim sebenarnya itu bukanlah yang hanya menghafal dari kitab-kitab, sesuatu waktu bila mana lupa atas hafalannya berarti tidak sebagai orang ‘Alim lagi. Tetapi orang yang alim sebenarnya itu ialah mereka yang mendapat ilmunya langsung dari Tuhannya”.
Mereka memetik ilmu itu kapan mereka mau, maka merekalah yang juga dinamakan “Alim Rabbani” sebagai yang di isyaratkan oleh Allah di dalam Al-Ouran :
“Kami ajarkan kepadanya (Nabi Khaidira.s.) ilmu dari sisi Kami”.
Ilmu Laduni itu dapat pula diartikan ialah sebagai “terbukanya sir (rahasia) hati yang kemudian menimbulkan pendapat pada akal (kharij)”.
Syekh Abu Yazid Bushthomi q.s. berkata terhadap Ulama Ahludh Dhohir, perkataan mana yang juga disitir (dinukil) oleh Imam Ghazali r.a. dalam kitab beliau Ihya ‘Ulumuddin :
Artinya :
“Kamu mendapat ilmumu itu dalam keadaan seperti mayit dan dari sesuatu yang mati (kitab-kitab dan buku-buku adalah benda mati) sedang kami mendapatkan ilmu kami adalah dari Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati”.
Mereka yang berada pada magom / tingkatan ini mempunyai pandangan tembus/kasyaf-nyata ataupun tersembunyi dan terbuka jelas buat mereka segala hakikat sesuatu berkat cahaya yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka dan tidak terlindung meskipun seberat zarrah. Tak ada satupun yang dapat menghalangi pandangan mereka.
Firman Allah dalam Al-Our’an :
Artinya :
“Semuanya yang Kami anugerahkan. di sana sini, adalah pemberian Tuhan-mu dan tidak ada yang dapat menahan pemberian . Tuhan-mu itu”.
Dengan anugerah Tuhan itu, mereka mampu mendengar panggilan jarak jauh atau dekat, panggilan dengan lidah yang zhohir atau batin meskipun panggilan itu datang dari balik gunung Qof (Jabal Qof).
Sebagaimana tersebut dalam Hadits bahwa alam semesta ini bagi seorang Wali hanyalah setapak kaki belaka
“karena karunia dan rahmat Allah semata-mata.
Oleh sebab itu bersungguh-sungguhlah anda mencapai tingkat yang demikian agar andapun dapat merasakan karunia dan rahmat demikian.
Firman Allah :
Artinya:
“Mintalah kepada-Ku pasti akan Kuperkenankan”. Tentang pengertian “sifat adalah zat” atau “sifat pada zat’.
Ada perbedaan pendapat di kalangan Para ulama tentang masalah sifat. Apakah “sifat itu sama dengan zat atau tidak”.
Di kalangan Ulama Ahlus-Sunnah (Mazhab Asy’ari) berpendapat bahwa “Sifat Allah Itu Oodim (Sedia Lebih Dahulu) Seperti Zatnya Juga. Sifat Ujud Allah Adalah Dengan Ujudnya Jua…. Antara sifat dan zat tidak terpisah cerai. Dengan kata lain, “sifatadalah makna yang melekat pada zat” atau “sifat merupakan tambahan pada zat menurut makna”.
Oleh sebab itu mazhab ini berpendapat bahwa Allah Qodirun Biqudratihi, Muridun Bi-lradatihi, ‘Alimun Bi ‘Ilmihi, Hayyun Bihayatihi, Sami’un Bi Sam’ihi, Bashirun Bi Basharihi, Mutakallimun Bi Kalamihi. (Allah Maha kuasa dengan kekuasaan-Nya, Maha berkehendak dengan
kehendak-Nya, Maha Tahu dengan pengetahuan-Nya, Maha Hidup dengan kehidupan-Nya, Maha Mendengar dengan pendengaran-Nya, Maha Melihat dengan penglihatan-Nya, Maha Berkata-kata dengan perkataan-Nya).
Adapun pendapat kalangan Shufi qaddasallahu asra-rahum, adalah tegas. Sifat Adalah Diri Maushuf (sifat adalah zat yang disifati) tidak ada perbedaan pada makna, tidak pula merupakan tambahan pada Zat dan bukan pula melekat pada Zat.
Dengan pendapat ini jelaslah bahwa :
Allahu Qodirun Bidzatihi, Allahu Muridun Bidzatihi, Allahu ‘Alimun Bidzatihi, Allahu Hayyun Bidzatihi, Allahu Sami’un, Bashirun, Mutakallimun Bidzatihi.
Syekhuna Al-‘arif Billah Maulana As-Syekh Shiddieg Ibnu Amirkhan Murid Almarhum Al-Quthubur Rabbani Maulana Syekh Muhammad Bin ‘Abdul Karim As-Saman .Al-Madaniy radliallahu ‘anhuma berkata : “Pendapat yang mengatakan bahwa sifat itu tidak lain dari maushuf adalah sepanjang pendapat menurut “kasyaf” yaitu terbuka dinding dengan jalan musyahadah. Mereka yang berpendapat ini tetap pada pendiriannya karena mereka secara terusmenerus musyahadah kepada Allah SWT. maka Allah SWT. pun membuka buat mereka dinding sifatnya sehingga jelas buat mereka bahwa sifat itu tidak melekat pada zat menurut makna, tetapi sifat itu sendiri adalah zat”.
Selain itu mereka (Ahlussufi) mengambil dalil akal (‘aqli) bahwa bilamana sifatitu lain dari maushuf berarti Allahitu tidak dapat dikenal kalau tidak disertai dengan sifat, atau dengan perkataan lain bahwa “Allah berhajat kepada sifat” agar Dia dapat dikenal.
Maha Suci-lah Allah dari hal yang demikian, karena Allah itu nyata dari segala yang nyata……demikian kata-kata Syekh Muhammad ibnu ‘Abdul Kariem As-Saman AlMadani.
Tentang pendapat yang menyatakan bahwa sifat itu adalah melekat atau merupakan tambahan pada zat (Mazhab Asy’ari) didasarkan kepada pendapat akal pula menurut sepanjang pengertian tata bahasa.
Sifat adalah termasuk Isim Musytag (Isim yang diterbitkan). Maka tiap-tiap ada isim musytag pasti ada Musytaq Minhu (sumber terbitnya).
Contohnya seperti Dodirun, ini adalah isim musytag. Pastilah Oodirun itu bersumber dari adanya Judrat. Maka Oudrat inilah musytag minhu untuk kata-kata Oodirun.
Bagaimana pun juga Qudrat bukanlah zat menurut arti bahasa, tetapisifat Oudratitu pasti tidakakan berdiri sendiri tanpa adanya zat, kedua-duanya tidak terpisah cerai.
Menurut pendapat kita (Pengarang D.N. Syekh M.. Nafis) bahwa pendapat diatas ini dapat kita pakai “sebelum: kita sampai ke tingkat mukafahah (berhadap-hadapan) dan tingkat musyahadah” .
Namun sebenarnya bila sudah mencapai tingkat mukafahah dan musyahadah pasti akan jelas terlihat pada pengertian bahwa “sifat itu tidak lain dari maushuf”.
Dapat kita misalkan sebagai berikut, seseorang yang berada di Jawa (Indonesia) umpamanya mendengar berita-berita orang lain tentang “hajarul aswad” yang terletak di salah satu sudut Baitullah di Mekkah. Si penerima berita akan tentu membayangkan “bahwa ada satu yang melekat padanya warna hitam”.
Bayangan demikian pasti tidak akan sama dengan keadaan yang sebenarnya bila dibandingkan antara bayangan dengan hajar aswad atau dengan perkataan lain, tidak semua. batu hitam itu sama dengan hajar aswad.
Bila si penerima berita itu datang langsung ke kota Mekkah/Baitullah dan langsung pula “memandang” dan berhadap-hadapan” dengan hajar aswad, ia pasti akan berkata “inilah dia hajar aswad yang disifatkan orang” pahamlah. wasalam..
Perbedaan pendapat antara Ahlussufi dengan Mu’tazilah tentang “sifat adalah zat”. “
Dalam memecahkan masalah sifat antara Ahlussufi dengan Mu’tazilah mempunyai susunan kata yang sama tetapi berbeda jauh dalam makna.
Pertanyaan : Apakah perbedaan pendapat antara Ahlussufi dengan Mu’tazilah tentang pengertian sifat adalah zat
Jawab : Pendapat Mu’tazilah bahwa sifat itu adalah “zat (catatan : Mu’tazilah tidak meyakini Allah mempunyai sifat) adalah dengan pengertian “ittihad” (terpadu) seolah-olah sifat dalam arti “ujud istiqlal” dan zat dalam arti “ujud istiglal” (adasebagian). Sebagian dengan sebagian yang lain saling berpadu sebagai tercampurnya gula (sakar nabat) dengan air.
Maha Sucilah Allah dari paham demikian, paham ‘Mutazilah yang fasig. | Demikianlah uraian tentang Tauhidus Sifat dan magam inilah yang tepat dan rasikh (dapat diterima). Bila sudah selesai Tajalli Sifat itu dan mantap di dalam hati maka Allah akan menganugerahkan tingkat yang lebih tinggi dengan suatu kekuatan untuk menerima magam
Tauhidudz dzat.
Maqam inilah magam yang keempat bagi mereka yang ‘Arif. Billah.
CATATAN TAMBAHAN
Untuk Pasal 3 bagian II. (Dn. yang di-ind.)
Pada pasal-pasal pertama dan kedua, jelas buat kita tentang ke-Esa-an-Nya. Untuk membicarakan tentang ke-Esa-an Allah bagaimana pun juga tidak mungkin melepaskan atau memisahkan pembicaraan tentang masalah sifat.
Misalnya kita melihat sehelai kertas putih tentu ada zatnya, ada namanya “kertas” dan tentu ada pula sifatsifatnya, putih, tipis, lemas, dan lain-lain.
Antara zatnya, namanya dan sifatnya adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Istilah yang cukup dikenal “Laisa Fihil-Infikak Wat-Tafarrug”.
Kalausalah satunya terpisah, tentu bukan lagi bernama kertas, lain dari zat kertas dan lain pula sifatnya. .
Ini adalah sekedar misal dalam pembicaraan agar mudah mengerti dan memahami masalah ketuhanan Allah SWT., meskipun sebenarnya Allah itu tidak ada yang dapat menyamai-Nya.
Memang diakui bahwa perbedaan pendapat dalam pembicaraan masalah Tuhan banyak sekali, halmana dapat dimengerti karena masalah yang dibicarakan tidak dapat dilihat oleh mata, tidak bisa diraba oleh tangan, bahkan masalahnya terletak “di atas puncak akal” yang tidak dapat dijangkau oleh akal itu sendiri. Imam Ghazali r.a. menyebutkan ‘faugathuril ‘agli’.
Allah berfirman :
Artinya :
“Tak ada mata yang dapat melihat-Nya, malah Dia yang , meletakkan pandangan pada mata dan Dia Maha Halus Maha Waspada .Pemberi Kabar.
Oleh sebab itu di saat kita mempelajari masalah ini alangkah baiknya kita ambil pendapat yang kira-kira dapat kita pahami dan mudah pula memahaminya dengan Suatu patokan bahwa kita jangan sampai memegang pendapat Mu tazilah.
Tiga pendapat yang berbeda :
- Mu’tazilah :
- Sifat Adalah Zat, dengan perkataan lain, Allah tidak mempunyai sifat. Kalau Allah bernama Oodirun, maka Kuasa berpadu (ittihad) dengan Zat.
- Sifat hamba adalah mutlak milik hamba.
2, Asy’ariyah:
- Sifat melekat pada Zat menurut makna. Hal ini dilihat dari segi bahasa. Sedang pada hakikatnya : adalah “laisa kamitslihi syai’un’.
- Sifat hamba adalah amanah Allah pada hamba dan bukan milik hamba : . secara mutlak.
- Ahl-Kasyaf:
- Sifat adalah maushuf (yang disifat) Halini dipahami denganjalan kasyaf pada magom musyahadah/ mukafahah.
- Sifat hamba adalah mazhar sifat Allah. Dalam arti hakiki, hamba tidak memiliki. apa-apa.
Dari ketiga pendapat ini yang kita pilih tentu yang kedua dan ketiga karena ajaran itu sudah umum diterima dan terjamin kebenarannya.
Memang untuk mencapai tingkat atau pendapat yang ketiga jelas harus berdasarkan ajaran yang tercantum dalam . Kitab Durrun-Nafis atau kitab-kitab lain yang serupa dan sepaham.
Pengertian dari istilah “bumi hanya setelapak kaki para wali” “pendengaran jarak jauh” dalam bentuk karomah.
Tentang peristiwa-peristiwa yang “luar biasa” atau biasa dalam istilah kitab disebutkan “khawarigun lil adat” sebenarnya bukanlah sesuatu yang mustahil.
La Istihalata Fil-Hawadits”.
Artinya :
“Tidak ada yang mustahil dalam lingkungan hawadits/ makhluk”. :
Yang mustahil itu hanya menyatakan dan beriktikad bahwa Allah itu mempunyai sifat-sifat kekurangan, menyatakan Allah lebih dari satu atau menyatakan-Nya tidak ada. Jelasnya bila menyatakan sifat-sifat yang berlawanan dengan kesempurnaan Allah SWT., maka itulah yang bisa dikatakan mustahil.
Ada sementara pendapat yang tidak mau menerima terjadinya hal-hal “khawarigun lil ‘adat” ini terhadap para Wali namun lebih banyak yang mengakui adanya hal-haj tersebut dilihat dari segi kenyataan hal mana sering terjadj meskipun di kalangan orang awam.
Khawarigunlil’adat (keluar biasaan) ini dinamakan Mukjizat bila terjadi terhadap para Nabi/Rasul-Rasul, dinamakan Karomah bila terjadi terhadap para Wali. wali, dinamakan Ma’unah bila terjadi terhadap Mukmin yang awam, sedang bilamana terjadi terhadap Musyrik/ Kafir/Munafik dinamakan Istidraj.
Imam Ghazali r.a. menekankan tentang keharusan percaya terhadap adanya khawarigunlil’adat dengan dalildalil dan ras-nas yang meyakinkan selain apa yang pernah beliau alami atau hal-hal yang terjadi terhadap para Wali.
“Oleh sebab itu pengistilahan yang dikemukakan dalam Kitab ini jelas mempunyai dasar-dasar yang kuat dan meyakinkart.
Jenis-jenis karomah dan bagaimana seharusnya sikap hati terhadapnya, akan dijelaskan pada bagian terakhir dari kitab ini. :
Allah berfirman :
Artinya :
“Sesungguhnya orang yang berkata “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka istigomah (teguh pendirian), turunlah Malaikat kepada mereka (seraya berkata) janganlah kamu takut dan gentar, dan bergembiralah kamu dengan surga yang dijanjikan buat kamu. Kami (Para Malaikat) membantu kamu dalam kehidupan duniamu dan akhiratmu. Di sana kamu mendapat apa yang kamu ingini dan apa pun yang kamu kehendaki”. :
Memang segala sesuatu yang Allah ciptakan ini berlakulah “sunnah-Nya” atau hukum-hukumNya, termasuk diantaranya hukum “sebab akibat’ (‘illat wa ma’lul).
Terjadinya kharigunlil’adat bisa saja terjadi dengan melalui “hukum sebab akibat’, sebagaimana ayat tersebut di atas menegaskan adanya bantuan malaikat untuk urusan dunia maupun urusan akhirat.
“Namun kita harus yakin bahwa segala apa pun bisa terjadi, dengan adanya sebab atau tidak, karena Allah tidak terpengaruh oleh “hukum sebab akibat”, bilamana Allah menghendaki jadi, maka jadilah.
Beberapa istilah dalam pasal Tauhidus-Sifat.
Fana Fi Sifatillah/ Bago Bisifatillah : Artinya “lenyapsirna di dalamsifat Allah dan kekal dengan sifat Allah. Perkataan “di dalam” atau “dengan pada kata-kata di atas jangan diartikan Ittihad (terpadu) atau Hulul (bersatu). Karena Ittihad atau Hulul adanya dua teori yang tidak bisa diterima berhubung dalafn pengertian dua kata itu terdiri adanya perpaduan dan persatuan dua unsur (elemen) yakni antara Zat Tuhan dengan hamba, hal Man : tidak bisa jadi (mustahil).
Isim Musytag/ Mustaq Minhu : Dalam bahasa Arab ada yang dinamakan Asmaul Musytag.s yaitu, Mashdar, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Isim Makan, Isim Zaman, Isim Alat, Sifat dan lain. lain. Musytag artinya Yang Di terbitkan Musytag Minhu artinya Yang Diterbitkan Dari Padanya.
Ilmu Laduni : Ladun artinya “sisi”. Ilmu laduni ialah ilmu yang diterima langsung dari sisi Allah. Nabi Musa a.s. diperintah oleh Allah untuk menjumpai Khaidir a.s. seorang yang telah memiliki ilmu laduni. Beliau (Nabi Khaidir, a.s.) telah menunjukkan hal-hal yang kharigun lil’adat. Selain itu ini ada yang dinamakan Ilmu Iktisabi (ilmu yang didapat dengan usaha).
Sifat-sifat Allah yang wajib diketahui/diimani sekurang: kurangnya 20 (dua puluh) sifat.
- WUJUD (Ada).
Allah wajib ada-Nya/ Allah pasti ada-Nya. Mustahil (tidak bisa jadi) kalau Allah itu tidak ada.
Tanya: Bisakah alam dan sesuatu ini terjadi dengan sendirinya?
Akal menjawab : Tidak bisa jadi.
Tanya : Kalau tidak bisa, lalu siapakah yang menciptakan alam dan sesuatu ini?
jawab : Yang menciptakannya tentu yang Ada.
Tanya : Siapakah nama-Nya?
Jawab : Nama-Nya tidak ada yang tahu kecuali Dia sendiri. Tapi Dia ada mempunyai beberapa utusan, maka dari utusan-Nya itu.kita akan tahu tentang nama-Nya. Selain itu ada pula nama-Nya sebagai gelar atau jabatan-Nya.
Tanya : Siapa-siapa utusan-Nya dan apa kata utusan itu tentang Yang Maha Ada?
Jawab : Utusan-Nya yang terakhir adalah Muhammad Saw. Menurut kata utusan itu, nama-Nya si Maha Ada ialah Allah. Suatu nama Zat-Nya sendiri.
Tanya : Dapatkah dijamin kebenaran kata dari si UtusanNya itu?
Jawab : Tentu. karena sejarah telah membuktikan tentang pribadi utusan-Nya itu, seorang yang selalu benar, terpercaya, cakap dan berterus terang dalam penyampaian berita, memiliki watak dan sifat terpuji sepanjang hidupnya.
Tanya : Apakahpembuktian sejarahitu dapatpula dijamin kebenarannya’.
Jawab : Pembuktian kebenaran sejarah dibuktikan dengan perjalanan sejarahitu sendiri. Dalam perjalanan sejarah itu tidak ada satu bantahan apa pun yang menunjukkan ketidakbenaran tentang kehadiran, keterpujiannya, kebesaran jiwanya, kepemimpinan dan kemuliaan pribadi Muhammad Saw. Malah dalam perjalanan sejarah banyak bukti-bukti yang meyakinkan.
Tanya : Adakah bukti autentik (tertulis) tentang hal tersebut?
Jawab : Bukti autentik yang tidak pernah berubah katakata dan isinya, semenjak 14 abad ini ialah Al’ Ouran. Kata-kata dan isinya sampai hari ini tetap bermutu, up to date/hangat dan tidak pernah basi.
Tanya : Lalu apa kesimpulan anda tentang ini. ‘
Jawab : Allah pasti Adanya (Wujud).
- QIDAM (Sedia Ada, tidak berawal dan tidak berakhir)
Adanya Allah Pasti Sedia, Tidak Berawal dan Tidak Berakhir, tidak ada pangkal dan tidak ada ujungnya. Akal sehat tidak dapat menerima kalau Dia berawal atau berakhir nantinya. Bila Dia ada awalnya, tentu ada yang lebih awal lagi begitu seterusnya laksana lingkaran. Hal itu tidak bisa jadi. Kalau ada yang mendahuluinya, tentu satu saat diapun akan berakhir atau musnah. Kalau Dia bisa musnah,. tidak mungkin dapat menciptakan alam dan segala isinya ini.
- BAQO’ (Kekal Abadi)
Allah Yang Maha Ada Itu Pasti Kekal Abadi. Tidak bisa jadi kalau Dia bisa berubah-ubah atau satu waktu bisamusnah. Kalau bisa berubah-ubah dan bisa musnah, apa bedanya dengan benda-benda yang ada ini yang selalu mengalami perubahan.
- MUKHOLAFATUHU LIL HAWADITS (Berbeda atau tidak sama, dengan sesuatu yang baru)
Allah pasti berbeda dan tidak sama dengan sesuatu yang baru.
Alam semesta ini dan segala isinya dinamakan sesuatu yang baru (hawadits) karena dia “diciptakan”. Baru dalam artian dibandingkan dengan si “Pencipta”. Si Penciptpasti “lebih dahulu” (godim) daripada yang dicipta-Nya. Kedua-duanya pasti tidak sama dan pasti tidak akan pernah sama.
- OIYAMUHU TA’ALA BINAFSIHI ‘(Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya)
Allah berdiri sendiri, tidak memerlukan kawan berunding dan bermusyawarah dan tidak pula memerlukan bantuan kepada siapa pun dan apa pun juga. Kalau ada kawanberunding tentu mempunyai kedudukan yangsama, atau setidak-tidaknya bisa terpengaruh oleh kata-kata si kawan tadi. Hal ini pasti tidak bisa jadi, mustahil adanya.
- WAHDANIYAT (Esa/Tunggal tidak terbilang)
Allah tunggal tidak ada sekutu bagi-Nya. Yang Maha Ada itu pasti tunggal/Esa. Kalau Dia lebih dari satu berarti ada saingan dan pasti akan ada kongkurensi. Hal ini tidak bisa jadi.
- OUDRAT (Kuasa)
Allah memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Kekuasaan-Nya adalah mutlak, kalau Dia tidak kuasa bagaimana mungkin Dia bisa berbuat, mencipta, mengatur dan sebagainya. Kekuasaan manusia ini amatlah terbatas termasuk makhluk lainnya, dibatasi oleh ruang dan waktu serta keadaan yang sukar untuk diatasi.
- IRADAT (Kehendak)
Kehendak Allah itu pasti terjadi. Makhluk ini juga mempunyai kehendak, tetapi belum tentu semua kehendaknya dapat terjadi. Sudah tentu kehendak Allah tidak bisa dipersamakan sebagaimana kehendak makhluk.
- ILMU . (Pengetahuan)
Pengetahuan Allah amat luas dan tidak terbatas. Kalau Dia tidak berpengetahuan, mungkinkah terjadi ala sesuatu ini? Tentu tidak akan terjadi.
Mustahil kalau Allah itu bodoh. Adapun pengetahuan manusia dan makhluk lain, bagaimana pun juga pintarnya, namun tetap ada batasnya. Sedang Allah Yang Maha Ada, justru Dialah yang menciptakan akal dan pengetahuan.
- HAYAT (Hidup)
Kehidupan Allah adalah abadi. .
Hidup yang tidak pernah dan tidak akan mati. Kalau Allah itu bisa mati, berarti sama dengan makhluk yang diciptakan-Nya, hal ini mustahil adanya.
- SAMA” (Mendengar)
Pendengaran Allah amat nyata.
Pendengaran-Nya tidak terpengaruh oleh jarak dan keadaan. Pendengaran manusia malah sebaliknya. Meskipun telapak kaki semut pasti akan didengar-Nya.
- BASHAR (Melihat)
“Penglihatan Allah terang dan jelas. Tidak ada satupun yang.tersembunyi dari penglihatan-Nya, meskipun ulat di dalam batu, hatta sekecil atom sekalipun di mana pun adanya. Kemampuan pandang dan lihat yang ada pada makhluk, justru ciptaan-Nya.
- KALAM (Berkata-kata)
Pembicaraan/perkataan Allah tidak terpengaruh oleh susunan huruf dan bunyi. Pembicaraan dan perkataan. Nya tidak berupa huruf dan bunyi, karena bila berupa huruf danbunyi berarti Allah dipengaruhi oleh susunan huruf dan nada. Mustahil Allah bisa terpengaruh oleh apa pun juga,
- OODIRUN (Yang Maha Kuasa)
- MURIDUN (Yang Maha Berkehendak)
- ‘ALIMUN (Yang Maha Tahu)
- HAYYUN (Yang Maha Hidup)
- SAMIUN (Yang Maha Mendengar)
- BASHIRUN (Yang Maha Melihat)
- MUTAKALLIMUN ( Yang Maha berkata-kata).
Sifat-sifat yang mencakup Kemuliaan-Nya (Jalal), Keindahan-Nya (Jamal), Kegagah Perkasaan-Nya (Oohhar) dan kesempurnaan-Nya (Karnal) amatlah banyak, sesuai dengan kedudukan-Nya sebagai Maha Pencipta.
Tidak ada satupun yang melekat pada-Nya sifat-sifat kekurangan, kelemahan, kebodohan, kejelekan dan keterbatasan seperti yang dimiliki oleh manusia dan makhluk-makhluk lain di alam semesta ini.
Maha Suci dan Maha Tinggilah Allah jalla jalaluhu.
Pasal ini adalah pasal ke empat yang menjelaskan tentang Tauhiduz Zat yaitu menyatakan ke-Esa-an Allah pada Zat-Nya.
Magam atau tingkatan inilah magam yang tertinggi dan tidak ada lagi tingkatan yang lebih tinggi dari ini.
Pada tingkatan inilah titik puncak pengetahuan makhluk tentang Allah SWT. atau tujuan terakhir dari perjalanan menuju Allah, pelabuhan dan bandar terakhir dalam perjalanan.
Pada tingkatan inilah akan dapat dirasakan suatu kelezatan yang tidak dapat digambarkan oleh kata-kata dan suara, oleh huruf dan angka.
Tidak ada yang mampu untuk melebihi tingkatan ini meskipun Para Nabi-nabi yang diutus (mursal), sekalipun malaikat muqarrabien. Tiada satupun makhluk ini yang dapat mencapai tingkatan Kunhi Zat (keadaan Zat). Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah :
Artinya : “Allah mencegah kamu untuk mengenali Kunhi Zatnya Begitu pula Hadits Rasulullah Saw. :
Artinya :
“Kamu semua tetap tidak bisa mengerti tentang Kunhi Zat Allah SWT.”
Catatan :
Pengertian “menyatakan” tentang ke-Esa-an Zatjangan disamakan dengan pengertian “mengenal Kunhi Zat”. Menurutkalangan Arif Billah, kita dilarang “mengenal Kunhi Zat” dan tidak mungkin mencapainya. Pada halaman lalu tentang “arti dan makna hakikat” telah dijelaskan. (DN yang di-ind. “)
Syekh ‘Abdul Wahab Sya’roni q.s. dalam rangka memberikan penjelasan arti tentang ucapan guru beliau, Syekh Sayyid’Ali Alkhawwash r.a. beliau berkata sebagai berikut :
“Tidak ada seorangpun Di antara makhluk ini yang dapat menggambarkan dalam hatinya serta menemukan Kunhi Zat Allah Ta’ala, karena Allah itu bukan sesuatu ” ‘ain” yang bisa diperkirakan oleh akal atau yang bisa dipandang oleh pandangan hati dan mata kepala, bahkan Dia sebenarnya bukan sesuatu ‘ain yang dapat dikenali atau – yang pernah dikenal”.
Dengan demikian, apabila sudah dipahami hendaklah menyembah-Nya dengan persembahan atau ibadat yang benar.
Saya tegaskan sekali lagi, bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mencapai TAUHIDUZ-ZAT kecuali Rasulullah Muhammad s.a.w. sendiri serta para wali pengikut beliau.
(ingat yang dimaksudkan pada alenia ini adalah TauhiduzZat bukan Kunhi Zat).
Kaifiyat (cara) menyatakan Tauhiduz Zat itu adalah :
“Kita pandang dengan mata kepala dan mata hati bahwasanya tidak ada yang maujud ini kecuali wujud Allah, fana segala zat apa pun termasuk zat kita sendiri di bawah zat Allah yang berdiri dengan sendirinya”.
Semua yang lain daripada-Allah atau “aghyar” ini, tidak akan ada kalau tidak “diadakan”. Sedang segala yang diadakan (maujud) ini Oo’im Bi Wujudillah (berdiri dengan ujud Allah).
Segala “yang diadakan” (maujud) ini tentu tadinya Tidak Ada dan akan kembali kepada Tidak Ada. Jelaslah bahwa maujud ini diapit oleh Ketidak adaan. Pada hakikatnya berarti tidak ada atau khayal (kosong) waham (persangkaan) semata-mata, dinisbahkan (dibandingkan) dengan nyatanya Wujud Allah.
Kata Syekh Shiddieg Bin Amirkhan rahimahullah : “Adanya semua yang lain daripada Allah (aghyar) ‘ ini adalah laksana kenyataan yang kita lihat di dalam mimpi. apabila kita bangun tidur barulah kita sadar bahwa semuanya itu sebenarnya tidak ada.”
Mati “Hissi” dan mati “Maknawi
Seperti apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah :
Artinya : “Semua manusia sebenarnya dalam tidur. Apabila mereka mati barulah itu yang dinamakan bangun/terjaga”.
Di kalangan Ahli Tashawuf menjelaskan bahwa mati itu ada dua macam.
Pertama : yang dinamakan “mati hissi”, yaitu mati dalam arti berpisah nyawa dengan badan.
Kedua ‘: yang dinamakan “mati maknawi” mati . sepanjang pengertian semata-mata.
Mati yang kedua (mati-maknawi) inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dengan sabda beliau :
Artinya : “Matilah kamu sebelum mati, siapa yang ingin melihat mayit yang berjalan di permukaan bumi, lihatlah Abu Bakar”.
Mati maknawi ini diartikan pula dengan mati segala ‘, nafsu ammarah (nafsu yang selalu menyuruh kepada jalan yang jelek dan nafsu yang hanya mementingkan sematamata urusan perut dan kesenangan duniawi). Mati yang kita maksudkan di sini ialah fana dalam arti hakiki.
Nabi Muhammad Saw. bersabda :
Artinya : “Ketahuilah, segala sesuatu yang lain daripada Allah adalah batil”.
Dalil-dalil lain yang menunjukkan kebenaran uraian diatas dapat dilihat pada firman Allah dan hadits-hadits Rasulullah Saw.
Artinya :
“Semua orang adalah fana, sedang yang kekal abadi hanyalah Zat Allah, Tuhanmu (Hai Muhammad) yang memiliki kebesaran dan kemuliaan”.
Artinya :
“Semuanya segala sesuatu ini binasa, kecuali Zat-Nya”.
Kata-kata “binasa atau lenyap (halikun – fana)” dalam ayat ini adalah dalam arti “fana fil mustagbal” (masa akan datang) “fana fil hadlir” (masa sekarang) dan “fana fil madli” (masa yang telah lalu).
Artinya :
“Adalah Allah itu tak ada satupun yang menyertai-Nya. (Hadis).
Ditambahkan oleh para “Ulama:
Artinya : “Dan Dia (Allah) itu, sekarang maupun dahulu adalah tetap demikian”.
Sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi:
“Demi diri Muhammad yang berada dalam tangan-Nya, andaikata anda ulurkan tali ke bumi pasti sampai ujungnya kepada Allah. Kemudian Rasulullah membaca ayat – Dialah yang awalawal (tiada berpangkal) dan akhir-akhir (tiada berujung).
Berkata Arif Billah Maulana Sayyid “Abdullah Bin Ibrahim Mirghani rahimahullah salam Tuhfatul Mursalah: “segala mumkin yang maujud pada kharij (tampak) dilihat dari segi “adanya” maka itulah ” ‘ain wujudul Haqqi subhanahuwata’ala” (kenyataan/pembuktianadanya Allah SWT.).
Dilihat dari segi “zhohir mumkin” (bentuk dan rupa) sama sekali bukanlah dia Tuhan. Sebenarnya “wujud mumkin” itulah yang diartikan “ain wujudul Hag SWT.”.
Misalnya buih ombak atau es, semua itu adalah “‘ain wujud air” pada hakikatnya, namun pada rupa dan bentuknya (dhohir) tidaklah dapat dikatakan air.
Sebagian ‘Arif Billah berkata bahwa “alam ini adalah Nuskhatul Haqqi (Naskah Tuhan) dan ada pula yang berkata bahwa alam ini adalah Cermin Tuhan.
Assyekhul Akbar wal Kibritul Ahmar q.s. di dalam Pushush (nama kitabnya) mengemukakan: “Bilamana Haq Ta’ala itu wigayah (tertera) pada suatu segi bagi hamba, artinya bahwa Hak Allah Ta’ala itu dhohir (nyata) pada cermin hamba, maka si hamba adalah “bathin” (tersembunyi). Begitu pula sebaliknya bilamana si hamba itu wigayah pada suatu segi Hak Ta’ala, artinya si hamba itu dhohir pada cermin Hag ta’ala dan hag Ta’ala adalah bathin.
Wahai para penuntut! dengan itu anda dapat . membuat ‘itibar (gambaran) terhadap segala sesuatu ini dengan mencari lawannya.
Untuk memudahkan pengertian dalam perkataan “si hamba dhohir pada cermin Hak Ta’ala dalam arti si hamba wigayah pada Wujud Hak ta’ala”, adalah sinonim (ada persamaan) dengan istilah “Syuhudul Katsrah Fil Wahdah”‘.
Menurut Syekh Suhaimi q.s. “mendahulukan pengertian ini dalam istilah, agar bagi orang yang awam tidak begitu sulit untuk memahami gambaran (‘itibar) dalam kata-kata “cermin Hak Ta’ala”, ‘itibar mana memang sulit untuk dipahami.
Begitu pula andai kata anda ingin memahami perkataan “Hak Ta’ala dhohir pada cermin hamba atau dengan perkataan lain Hak Ta’ala itu wigayah pada hamba” maka ‘itibar ini adalah persamaan (sinonim) dengan istilah “Syuhudul Wahdah Fil Katsrah”.
Andai kata anda tidak mungkin dapat membedakan antara kedua ‘itibar itu, dua cermin yang terletak pada suatu arah yang tidak terkencong sehingga ada persamaan rupa pada cermin-cermin tersebut dhohir adalah batin atau batin adalah zhohir, maka hendaklah dimengerti bahwa ‘itibaritibar itu “tsabit” (tetap) di dalam Ilmu Allah SWT.
Begitu pula sebaliknya bila anda berkata “bahwajelas Hak Ta’ala itu, lain daripada makhluk dan makhluk lain daripada Hak Ta’ala, maka hal demikian karena suatu pandangan atau cermin pada suatu segi, bahwa alam itu bukanlah Zat , atau dengan perkataan lain, bahwa alam itu berbeda dengan Zat. –
Syekh ‘Abdul Ghoni An Nablusi q.s. berkata : “yang dimaksud dengan keadaan hamba itu bukanlah dia Hak Ta’ala, namunpada segi lain dapatlah diartikan ‘Itibar Hag Ta’ala karena hamba itu adalah maujud.
Andaikata anda heran (bingung) dalam hal demikian hingga anda tidak dapat mengerti, mana yang dhohir dan mana yang batin, namun dengan beberapa alasan dan keterangan di atas sudah cukup nyata bagi anda apa yang dicari dan dituntut oleh orang yang muttagien meskipun dengan keyakinan yang terbatas: |l
Keterbatasan (tahdid) dalam pengertian terhadap Hak Allah ta’ala tidaklah menjadi persoalan, bagi Allah hal tersebutadalahjaiz (boleh), bisa saja terjadi terhadap hamba.
Keterbatasan itu didasarkan kepada keterangan Rasulullah Saw. sendiri, bahwa Allah Ta’ala dapat “bertahwil” (berubah keadaan) dalam segala rupa.
Menurut kata Syekh An-Nablusi q.s. bahwa keterbatasan itu adalah dalam arti tetap yakin terhadap ‘amat nyatanya Allah Ta’ala” tidak berubah pada batinnya, bahwa Allah SWT. adalah tetap sejak asal-Nya.
Keterangan tentang “Allah bertahwil” didasarkan kepada Hadis Rasulullah Saw. bahwasanya Allah SWT. akan tampak nyata (tajalli) di Hari Kiamat dalam rupa makhlukseraya berkata “Ana Rabbukumul ‘Ala” (Akulah Tuhanmu yang Maha Tinggi) kemudian si hambapun menjawab dengan tegas “na ‘udzu billahi minka” (kami berlindung kepada Allah dan pada engkau). Lalu Allah tampak nyata (tajalli) dalam rupa yang sebenarnya — sebagaimana yang diiktikadkan oleh si hamba. Kemudian si hambapun bersujud kepada-Nya.
Untuk tegasnya hendaklah kita fahami bahwa “wujud yang lain daripada Allah Ta’ala itu fana di bawah wujud Allah maka tidak adalah yang maujud ini pada hakikatnya hanyalah wujud Allah dan wujud alam ini adalah mazhar wujud Allah”. :
Di kalangan Arif Billah dibuat suatu misal sekedar untuk mendekatkan paham yaitu : buih, ombak, dan laut yang ketiga-tiganya ini pada hakikatnya adalah “air” atau – dengan lain perkataan bahwa ketiga-tiganya itu adalah. “kenyataan wujud air”.
Apabila si air itu bergerak lalu dinamakan ombak yang kemudian timbul buih dari gerakan ombak tersebut. Karena . air itu ada batas dan tepinya, lalu air itu dinamakan dengan, lautan.
Jadi jelaslah bahwa pada arti hakiki semua itu adalah air atau dalam artian lain, hilanglah ombak, buih dan laut, yang nyata hanya air semata-mata.
Maka fanalah alam ini, yang ada hanyalah Ujud Allah dan meliputi segala sesuatu sebagaimana firman-Nya “Wallahu bikulli syai’in muhith” (Allah meliputi segala – sesuatu). : :
Pengertian “meliputi” ini, menurut kata Syekh Al’Alimul ‘Allamah al-‘Arif Billah Maulana ‘Abdurrahman Bin Abdul ‘Aziz Al Maghribi Al’umry Rahimahuilahu Ta’ala, adapun “meliputi” Allah Ta’ala adalah Zat-Nya serta sifat. Karena Allah Ta’ala itu adalah nama bagi Zat Yang Wajibul Wujud, memiliki sifat-sifat terpuji serta sempurna. Maka pengertian meliputi itu bukanlah hanya dalam arti “ilmu-Nya” saja, sebagai persangkaan kebanyakan Ulama zahir yang jelas belum sempurna makrifat mereka terhadap Zat Allah SWT. Firman Allah SWT. :
Artinya : “Kepunyaan Allah Barat dan Timur, ke mana pun hadapmy di sanalah Zat Allah.
Artinya : “Dia (Allah) bersama kamu, ke mana pun /di mana pun kamu berada”.
Pengertian “beserta” dalamayatini tentu beserta dengan Zat-Nya yang pada maknanya, adalah juga “sifat”.
Menurut perkataan Syekh Abdul Wahab Sya’roni g-s. di dalam Kitab Jawagitu wal jawahir : “barang Siapa mengatakan bahwa ma’iyah (penyertaan) Allah akan makhluk-Nya hanya dalam arti sifat saja bukan beserta Zat-Nya berarti bisa terjadi pemisahan (infikak) antara Zat dengan Sifat, yang dalam hal ini berarti mustahil.
Akan tetapi bila dikatakan bahwa “penyertaan” Allah terhadap hamba itu dalam artian sifat (beserta dengansifat ilmu Allah) yang tidak berpisah cerai antara Zat dan Sifat
.maka perkataan tersebut adalah dalam rangka kesempurnaan adab.
Oleh sebab itu pelajarilah dan fahamilah hal ini benarbenar karena masalahnya cukup rumit.
Allah “laisa kamitslihi syai’un” (tidak ada persamaan-Nya dengan sesuatu).
Zat Allah SWT. dan ujud-Nya itu bukan “jisim” (berupa bentuk) bukan “jauhar” (sesuatu kesatuan yang tidak terbagi-bagi) dan bukan pula “arad!’ (inti jauhar tetapi bukan jauhar) dan bukan pula ‘ittihad” dan tidak pula “hulul” sebagaimana firman Allah :
Artinya :
“Tidakada seumpama-Nya/persamaan-Nya dengan sesuatu dan Dia, Maha Mendengar dan Maha Melihat”.
Tidaklah Allah itu bersahabat, beranak dan diperanakkan, dan tidak pula ada pasangan-Nya. (5. Al-Ikhlash).
Dengan penjelasan semua itu, maka dapatlah disimpulkan seluruh pengertian ini dan hendaklah dengan penuh kemantapan (tahkik) “tidak ada yang maujud ini pada hakikatnya hanya Allah” berarti fanalah segala perbuatan hamba/ makhluk pada perbuatan Allah, fanalah asma hamba/makhluk pada asma Allah, fana pula sifat hamba/makhluk pada sifat Allah dan akhirnya fanalah zat hamba/makhluk pada Ujud Zat Allah Ta’ala.
Segala apa pun yang ada pada makhluk ini hilang sirna dan semata-mata khayal dan waham (sangka-sangka).
Berarti pula “lenyap atsar” (ketentuan) pada “mu’ atstsir” (yang menentukan). Si hamba hanyalah laksana benang melayang di udara, ke mana angin bertiup ke sanalah ia.
Demikian selanjutnya, si hamba tersebut berarti telah tenggelam dalam lautan “Ahadiyatullah (ke-Esa-an Zat Allah)seakan-akan sudah tidak mungkin dapat diselamatkan lagi atau seakan-akan mabuk (sakar) karena meminum “khamarul hagigat” yang hampir saja tidak dapat bangun lagi akibat kerasnya minuman tersebut. :
Dengan adanya dan timbulnya “rasa” yang demikian, maka dapatlah dikatakan bahwa ia telah berhasil dalam tingkatan “fana fillah” hilang sirna ujudnya pada ujud
Namun sebenarnya tingkatan yang demikian itu belum lagi mencapai tingkatan yang lebih tinggi yaitu tingkatan — ‘Bago Billah” kekal dengan Allah, dengan pandangan yang mantap, bahwa Allah yang menyatakan kekekalan pandangan tersebut.
Syuhudul katsrah fil wahdah. (Pandang yang banyak pada yang satu)
Kita ulangi lagi penjelasan tentang istilah ini agar lebih mantap pengertiannya, pandangan yang pasti bahwa ujud akwan (peristiwa, keadaan dan alam) ini adalah mazhar Ujud Allah Ta’ala. Semuanya kenyataan yang bermacam ragam ini (katsrah) adalah “qo’im (berdiri)” adanya semua ini karena adanya Allah SWT. yang Tunggal/Maha Esa.
Laksana sepohon kayu, kita lihat banyaknya daun, cabangdanranting, pohon danakar dansebagainya, semua itu datang dari biji yang tampak pada sir hati dan pikiran kita, hanyalah biji semata-mata.
Dari contoh ini dapat diambil pengertian bahwa daun, cabang, ranting, batang dan akar adalah alam dan akwan ini, sedang bijiitu adalah misal, adalah Allah Yang Maha Esa.
Catatan
Ini hanya sekedar contoh untuk memudahkan pengertian saja, jangan diputar lagi pengertiannya, “lantas biji datang dari mana?”. Contoh ini hanya menitik ‘beratkan pada pengertian biji sebagai sumber segala galanya. (DN. yang di-ind. “) La
syuhudul wahdah fil katsrah Artinya “pandangan yang satu pada yang banyak” maksudnya langsung pandangan dan pengertian kepada Allah Yang Esa, mesra dan meliputi ia pada segala zarratul wujud sebagai contoh di atas tadi, tampak hanya biji yang dari itulah timbul segala daun dan sebagainya.
Harap pengertian yang sungguh-sungguh bahwa pandangan yang dimaksudkan itu bukanlah pandangan dalam arti “gauli” dan “Tafdhi” (kata-kata dan ucapan) tetapi adalahsepanjang pandangan dalamarti “dzaugi’ (perasaan).
Ucapan dan kata-kata hanya sekedar untuk memudahkan pengertian. Tetapi yang penting adalah dinilai, dipandang dan ditanggapi dengan perasaan.
Catatan :
Perasaan yang dimaksud adalah kemantapan keyakinan dengan akal dan hati yang jernih. Kalau hanya sekedar. diucapkan dan dikatakan, maka seorang yang kafirpun atau munafik dapat pula mengatakannya dan mengucapkannya. (DN. yang di-ind. “)
Sayyidi Musthofa Al Bakry r.a. berkata : “jalan yang ditempuh oleh orang-orang Arif Billah ini, nyata sekali jalan yang diridloi oleh Allah SWT. Jalan mereka yang sebenarnya bukarilah jalan yang dapat diraba oleh panca indera atau dilihat oleh mata, tetapijalan tersebut hanyalah dengan keyakinan hati dan perasaan hal mana adalah gaib sehinggajelasnya,jalan yang mereka tempuh adalah dengan cara Ilmu Dzaugi yang tidak mungkin dapat diuraikan dengan kata dan tulisan.
Catatan :
Seorang sufi ada yang berkata, ma yakhruju baina syafataini illa isyaratan wa’tibar, artinya apa yang keluar dari dua bibir ini hanya sekedar isyarat dan i’tibar. (DN. yang di-ind. “)
Siapa saja yang mengatakan, hal itu dapat diungkapkan secara tepat dengan kata dan gambaran, maka orang itu jelas kafir zindik.
Apabila Tajalli Zat Allah Ta’ala pada seorang hamba yang dikehendaki-Nya, tak ada seorangpun yang dapat menceritakan keadaan yang demikian itu dengan kata dan tulisan. Karena keadaan yang demikian adalah “amrun dzaugi” atau urusan perasaan. Oleh sebab itu ada sementara pujangga yang berkata :
Artinya :
“Siapa yang belum pernah merasa, pasti tidak tahu”.
Seorang kawan yang berada: di jawa ini misalnya mendengar cerita tentang buah “saparjalin” (sejenis buah jambu di tanah Arab) bagaimana pun juga jelasnya kata-kata – dan ucapan menguraikan tentang buah tersebut namun sama sekali tidak ada faedahnya sebelum dia merasai atau memakan buah itu. Dengan demikian apabila dia sudah memakan dan merasakan barulah dia mengerti, beginilah rasanya buah saparjalin itu.
Para guru dan Syekh-Syekh di kalangan Ilmu Tasawuf hanyalah sekedar menunjukkan jalan dalam bentuk isyarat dan gambaran semata-mata. Mereka pasti tidak akan mampu memberikan ta’rif (definisi / batasan) apa sebenarnya yang dikatakan Tajalli Zat.
Benar sekali apa yang disabdakan oleh nabi Saw. :
Artinya :
“Tidaklah kami dapat mengenal-Mu dengan pengenalan yang setepat-tepatnya”. ‘
Nabi bersabda lagi :
Artinya :
“Siapa yang dapat mengenal Allah, kelulah lidahnya”.
Allah ada pada segala zarratul-wujud
Maksud perkataan “Allah ada pada segala zarratulwujud’ adalah dalam pengertian hakikat dan qayyumiyahNya bukan sekali-kali dalam arti ittihad dan hulul.
Jika seandainya anda tidak dapat mencapai makrifat kepada Zat-Nya, hanya mampu mencapai tingkatan sifat saja, sebenarnya hal tersebut sudah dijelaskan pada bagian terdahulu tidak ada yang dapat mencapainya kecuali Rasulullah Saw. dan golongan para wali-Nya pengikut: Rasulullah.
Tegasnya : Manakala merasa seseorang akan tajalli zat berarti ia lenyap dalam lautan ahadiyat wujud Allah yang muthlak yang laisa kamitslihi syai’un.
Tidak terlihat lagi padanya apa yang disebut “amal yang disandarkan kepadanya” atau “:amal yang disandarkan kepada selain daripada dirinya” tidak pula dia sendiri yang dapat membanding-banding, tidak pula dia merasa bahwa dia sendirilah yang dapat mencapai tingkat demi tingkat itu dengan penuh kesungguhan, tidak pula dia tahu apa sebabnya dia dapat mencapai tingkat demikian, karena dirinya sendiri “ghoib” memandang ujud Mutlak.
Mereka yang berada pada tingkatan ini tidak pula merasa apa-apa karena bahwasanya Tajalli Zat itu yang mengakhiri pandangannya, seakan-akan hilang terbang segala akalnya sendiri karena amat nyatanya Nur dipandang.
Dapatlah dimengerti, mereka yang demikian hampir saja tidak berpegang kepadahukum, tidak berpegang kepada syara’ atau kadang-kadang lahirlah kata-katanya yang tidak dapat diterima oleh tata dan aturan hukum, tidak pula dapat diterima baik oleh Ulama-Ulama Ahli Syara’ sehingga para Ulama-Ulama itu menuduhnya dengan kafir zindiglq.
Inilah mungkin yang dimaksudkan oleh Imam Junaid r.a.
Artinya :
“Tidakakan mungkin seseorang akan sampai derajat hakikat kecuali dia sanggup menghadapi tuduhan zindig dari seribu orang Shiddigien”.
Syekh Abdul Wahab Sya’rani r.a. bertanya kepada guru beliauSyekh ‘Ali Al-Khawwashr.a. “apa sebenarnya tingkat hakikat itu?” gurunya menjawab : “tingkat hakikat itu ialah hilang pada pandangan segala yang dhohir ini, bukan hilang dalam arti hilang bentuk dan rupa (nafsul amri), yang terpandang itu hanya Allah semata-mata, yang memandang itu. adalah Allah jua, maka tidak tahuia apa yang ia harus-katakan, tidak pula “ia tahu apakah perkataan yang telah dikatakannya, tidak . pula ia terikat dengan kaedah-kaedah syara’ sehingga mereka dituduh zindig oleh orang-orang Shiddig.
Shiddiqien itu menuduh mereka tidak lain dengan maksud agar tetap terpelihara dhohir syari’at Rasulullah Saw. dan jangan sampai ada yang mengikuti jejaknya, sebagaimana terjadi peristiwa terhadap Hallaj (Husein Ibnu Manshur):
Lalu beliau (Sy. Abd. Wahab Sya’roni) berkata kepada ‘ gurunya “kalau demikian wahaiguru, takada seorangpun yang akan sampai kepada tingkatan tersebut”. Si guru (Sy. “Ali al Khawwash) menjawab: “benar katamu wahai muridku. Namun seorang guru akan dapat membukakan dinding (hijab) bagi muridnya hingga si murid tetap dalam adab yang sempurna (syariat) seperti golongan Salafus Sholihien.
Memelihara dan melaksanakan hukum-hukum syariat
Maka oleh sebab itu, bila telah nyata bagi anda yahasia yang didapat dalam musyahadah itu, jangan anda ceritakan atau beberkan kepada siapa pun karena menceritakan hal-hal itu adalah sebagian yang diharamkan atau dilarang oleh Allah SWT. dan sebenarnya Allah menyuruh anda menutupinya sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
Artinya: .
“Dan Allah itu mempunyai beberapa rahasia yang diharamkan mengeluarkannya, maka oleh sebab itu jangan sekalikali anda buka hal itu. |
Bilamana nyata hal itu dengan dzaugi, maka tetaplah anda mengerjakan segala yang diperintah dan menjauhi segala larangan, tetap memelihara adab atau syariat Supaya. kenikmatan dan keindahan rahasia itu tetap ada padamu.
Turutilah ajaran syariat bahwa anda tetap menyembunyikan hal tersebut kecuali kepada ahlinya.
Yang dikatakan ahlinya, adalah mereka yang mempersiapkan hatinya,sunyi dari yang lain daripada Allah, mereka yang menguburkan segala rahasia di dalam dadanya sendiri, hal mana tidaklah mereka beritahukan kepada siapa pun kecuali yang oleh Allah sendiri memerintahkar ‘agar diberi tahu.
Perlu diingat benar-benar bahwa Magom Bago itu berarti pula kembali melaksanakan zahir syariat, amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, yang benar adalah benar yang salah adalah salah diberikannya apa yangpantas kepada yang berhak menerima pemberian, disempurnakannya segala hak dan kewajiban sebagaimana mestinya. :
Beberapa kesimpulan :
Kesimpulan dari seluruh uraian ini adalah dua hal, pertama Magom Fana dan kedua, Magom Bago.
Yang menyangkut magom fana adalah :
- Tauhidul Af’al.
- Tauhidul Asma. :
- Tauhidus Sifat
- Tauhiduz Zat.
Semua ini sudah dijelaskan pada pasal-pasal terdahulu, ‘ bagaimana pengertiannya dan bagaimana pula cara-cara musyahadahnya.
Kemudian yang menyangkut magom bago adalah :
- Syuhudul Katsrah Fil Wahdah.
- Syuhudul Wahdah Fil Katsrah
Kedua-duanya inipun sudah pula dijelaskan.
Di antara kedua magom ini (fana dan bago) yang tertinggi adalah magombago. Dapat pula dikatakan, bahwa magom fana itu adalah magom hilang sirna di bawah ahadiyatullah sedang magom bago itu adalah magom kekal dengan wahidiyatullah.
Tentang magom bago ini dapat pula diungkapkan dengan perkataan lain “hawiyatullah dan gayyumiyahNya (ke-Dia-an Allah dan tegak-Nya) sariyun (mesra/ meliputi) pada tiap-tiap zarratul wujud.
Magom Bago dinamai pula dengan nama Magom Tajalli atau Magom Zhuhur. Penguraian seluruhnya dapat disimpulkan dalam 4 (empat) kalimat : .
Artinya :
“Apa pun yang kulihat, hanya Allah yang kulihat besertanya”.
Artinya :
“Apa pun yang kulihat, hanya Allah yang kulihat padanya”.
Artinya :
“Apa pun yang kulihat, hanya Allah yang kulihat sebelumnya”.
Artinya :
“Apa pun yang kulihat, hanya Allah yang kulihat sesudahnya”.
Magom Tajalli ini tidak akan dapat dicapai, sebelum melewati magom fana dan magom “fana’ul-fana”.
Tidak salahnya bila disini dicantumkan beberapa pendapat para Arif Billah mengenai magom bago.
Pendapat Syekhuna ‘Alimul ‘AHamah wal Bahru. mughrig Maulana Syekh Abdullah bin Hijazi Al Mishrj rahimahullahu ta’ala tercantum dalam kitab Wirid Sahur : “Tidak akan dapat tercapai magom Billah itu, kecuali setelah berhasil tingkatfana. Tercapainya tingkat bago | ini adalah dengan jizib. Kalau ada yang berhasif tingkatan bago tanpa melalut tingkatan fana, hal itu adalah jarang terjadi (nadir)”.
Pendapat-pendapat di kalangan Ahli Tasawuf : .
- Fana menurut pengertian tasawuf adalah fana segala hawa nafsu basyariyah (kemanusiaan) dan tampak “nyata sifat-sifat ketuhanan.
- Bagoitu adalah tampak nyatanya “go’im” Allah Ta’ala pada segala sesuatu.
- Al Bago’u An (y) Yakuna Minallahi, Lillahi, Billahi.
Artinya : “Bago’ adalah daripada Allah, karena Allah, dengan Allah”.
Maksudnya: Daripada Allah, dijadikan segala sesuatu ini dan segala yang terjadi.
Karena/untuk Allah, maksudnya segala apa pun juga adalah karena Allah, untuk Allah danpada hakikatnya adalah milik/kepunyaan Allah.
Dengan Allah, maksudnya ada dan diadakan segala sesuatu ini adalah dengan Hak Ta’ala. :
- Syekh Qutubuddin Qasthoni q.s. berpendapat : Magom Fana dan Magom Bago, kedua-duanya adalah . “sifat maknawiyah” pada hamba. Bilamana berhasil pada satu tingkatan, di lain pihak dia berhasil pula.
Dengan pengertian lain, bilamana berhasil magom fana berarti fana pula sifat-sifattercela dan basyariah (kemanusiaan) dan sekaligus berarti berhasil magom bago, kekal dengan sifat-sifat terpuji yang uluhiyah (ketuhanan).
- Syekh Ibrahim bin Sofyan q.s. berpendapat : faria dan bago itu adalah berarti mengandung nilai ikhlas terhadap wahdaniyah (ke-Esa-an) dan menegakkan sifat-sifat kehambaan.
Demikianlah beberapa pendapat tentang masalah fana dan bago,yangbilamana seseorang berhasil mencapai tingkat tersebutakan dapat merasakan rasa lezat kejiwaan yang luar biasa, mendapat gelar shiddig, mugarrabin, ahli tauhid yang benar, arif billah yang sejati.
Setiap nafas dari orang yang demikian mempunyai nilai yang tinggi, seakan sama dengan pahala seribu orang yang syahid sebagaimana ucapan Outhubul Ghaus Mahyunnufus Maulana Sayid Al-‘Idrus q.s.. –
Artinya. :
“Sesungguhnya, tiap nafas seorang arif-billahsama pahalanya dengan seribu orang perang syahid”.
Hitungannafas dalam sehari semalam itu diperkirakan 28.000 kali Wallahu’alam.
Selain itu, orang yang arif-billah telah mendapat apa yang dinamakan “jannatun ma’jalah” (surga yang didapat dengan segera) yaitu surga makrifatullah dan didapat pula apa yang ia inginkan serta kenikmatan pandangan mata yang abadi sebagai yang tersebut di dalam Al. Our’an :
Artinya :
“Di surga itu terdapat apa yang mereka mau serta kesedapan pandangan mata dan mereka kekal di dalamnya”.
Demikian pula sabda Rasulullah Saw :
Artinya :
“Di Surga itu adalah suatu keadaan yang tidak pernah dipandang oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah pula tergambar atau terbayang pada hati manusia”.
Allah bukakan hijab buat mereka dan Allah sendiri memperkenalkan diri-Nya, sehingga mereka dapat mengenal Allah dengan pengenalan yang sempurna, mereka melihat dengan Nyata Zat-Nya yang laisa kamitslihi syai’un sehingga mereka merasa kedekatan dengan sebenarnya, tidaklah mereka dilanda rasa takut dan gentar selamanya sebagaimana tersebut dalam firman Allah.”
Artinya :
“Ketahuilah, sesungguhnya para Wali Allah itu tidak merasa takut dan gentar”.
Mereka memiliki dan mendapat kerajaan serta kemuliaan, sebagai seorang raja mereka dapat berbuat apa saja yang mereka mau, tidak ada satupun yang dapat membantah kehendaknya meskipunbatu dan pasir dapat mereka ciptakan menjadi emas atau perak.
Seperti cerita Ibrahim bin Idham r.a. pada suatu waktu beliau ingin menyeberang laut, beliau minta kepada seorang nahkoda kapal (mallahun) agar menyeberangkan beliau ke satu tujuan, namun semua awak kapal itu tidak bersedia menyeberangkan beliau apabila tidak memberikan upah sedinar emas. Beliaupun sembahyang dua rakaat. Setelah selesai beliau memohon kepada Allah Allahumma Innahum Oad Sa’aluni Ma Laisa ‘Indi Wa ‘Indaka Katsir (Ya Allah, sesungguhnya mereka minta kepadaku sesuatu yang tidak kupunyai, namun Engkau Ya Allah memiliki apa saja banyak sekali). Pasir di pantai kemudian menjadi dinar-dinar emas dengan izin Allah.
Selanjutnya beliau ambil sebuah diantaranya sekedar untuk membayar upah penyeberangan.
Jin dan manusia umumnya tunduk kepada mereka, kehendak dan keinginan mereka sesuai pula dengan kehendak Allah, segala makhluk memberikan penghormatan terhadap mereka, termasuk para raja dan penguasa duniawi.
Benar apa yang dikatakan oleh Sayid Musthofa Ibny Kamajuddin al Bakry r.a. di dalam wirid :
Artinya :
“Hamba yang benar-benar sebagai hamba Allah, Kepada mereka, raja dan penguasa tunduk hormat, segala makhluk menyampaikan khidmat.
Syekh Al-‘Arif Billahi Maulana Syekh Shiddig bin Amir khan q.s. berkata : “segala kaun dan kebendaan ini menyatakan khidmatnya kepada manusia, apalagi terhadap mereka Arif Billah orang-orang utama, ahli kebenaran yang kedudukan mereka bila dibandingkan dengan kedudukan raja atau penguasa jauh lebih tinggi 10 : 1 (sepuluh banding satu).
Kalau para Raja atau Penguasa punya kerajaan di dunia, para Wali-walipun lebih dari itu, yang mana mereka juga akan dapat kerajaan di akhirat, sedang nilai kerajaan akhirat itu jauh lebih besar daripada kerajaan dunia.
Diakhiratmerekaakanmendapatapa yang disebutkan dalam Al-Our’an, firman Allah :
Artinya :
“Bilamana anda melihat di akhirat, anda akan melihat kenikmatan dan kerajaan yang besar. “Terlihatlah betapa besarnya kerajaan akhirat itu dibandingkan dengan kerajaan dunia, sebagaimana pula apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. dalam sabda-sabda beliau, dan pendapat-pendapat Ulama yang antaranya berkata : Addun-Ya Agallu Minal Oolil, Wa ‘Asyiquha Adzallu Minadz-Dzalil (Dunia itu pada hakikatnya adalah sedikit daripada yang sedikit, dan lebih hina dari segala yang hina).
Semoga Allah menjadikan kita semua tergolong dalam golongan ahli syuhud dan ahlul-minnah (penuh cita-cita) dihiasi rasa kerinduan dan cinta kasih kepada Allah SWT. serta merasakan kelezatan yang terindah, berkat syafaat Nabi Muhammad Saw. :
Catatan :
Bagian selanjutnya adalah Bagian III yang berupa penutup khotimah dengan penjelasan tentang tingkatan-tingkatan tajalli zat. Sebelum sampai kepada bagian itu, harap ikuti dahulu penjelasan berikut ini. (DN yang diind. “)
BEBERAPA PENJELASAN
(D.N. yang di-indonesiakan)
Untuk pasal ini perlurasanya dijelaskan beberapa istilah dan pengertian sekedarnya, meskipun penjelasanpenjelasan yang ada sebenarnya sudah cukup memadai, Alam dan Zat Allah SWT.
Alam yang dimaksudkan dalamkitab ini adalah sesuatu yang lain daripada Allah, yang diadakan atau yang. diciptakan, umumnya juga dikatakan dengan “aghyar”.
Jadi jelas sekali bahwa “alam” bukanlah Zat Allah.
Dari sinilah sebenarnya patokan kita untuk memahami setiap masalah yang menyangkut Ilmu Tasawuf yang membicarakan tentang Ketuhanan.
Di dalam pasal ini ada kata-kata sebagai berikut :
- a) “Alam Nuskhatul Haqqi – Alamadalahnaskah Tuhan.
- b) Alam Cermin Tuhan – Dalam istilah Arab dan umumnya dalam kalangan Sufi lebih dikenal istilah Alam Mir’atul Haqqi.
- Alam Mazhar Wujudullah – Alam, pembuktian ujud Allah.
- . Alam ‘Ainul Haqqi – Alam adalah kenyataan Tuhan.
Kata-kata yang seperti ini tidak bisa hanya dilihat dan dibaca menurut bunyi kata-kata itu semata-mata (leterlijk), sehingga asosiasi tertuju kepada arti dari kata-kata. Kata-kata dan ungkapan dari kalangan Sufi pada umumnya adalah berupa rumuz-rumuz, gambaran-gambaran sebagai pelampiasan kata hati dan perasaan.
Sebagaimana kita maklum, bahwa kata-kata adalah suatu alat komunikasi antara satu pihak dengan pihak yang lain sehingga terjadi hubungan pengertian dari kedua belah pihak.
Dapat pula dimengerti, bahwa kata-kata itu sendiri dapat pula menimbulkan perkiraan yang salah terhadap mereka yang melahirkan kata-kata itu.
Akan tetapi bila kita kembali kepada suatu ungkapan bahwa kata-kata hanyalah sekedar isyarat dan gambaran belaka, lebih-lebih lagi bila kata-kata itu ada hubungannya dengan perasaan, maka seharusnya tidaklah perlu ada prasangka buruk (negatif) terhadap mereka yang melahirkan kata-kata dan ucapan itu.
Lebih ngeri lagi kalau kita bandingkan dengan sebuah sabda Rasulullah Saw. .
Artinya :
“Allah ciptakan Adam seperti rupa-Nya’.
Kata-kata demikian ini sukar untuk menolaknya, lebihlebih bila diingat datang dari lidah Rasulullah sendiri yang . diriwayatkan oleh seorang Imam Hadits yang terkenal ketelitiannya dalam merawikan hadits.
Sabda Rasulullah ini tetap akan kita terima dan kita yakini, namun pasti ada pengertian yang lebih mendalam dibalik lafaz dan kata-kata dimaksud.
Begitu pula Hadits Rasulullah berupa Hadits Oudsi yang mana Allah berfirman “Aku jadi penglihatan, Aku jadi kakinya, Aku jadi tangannya….dan sebagainya….dan sebagainya.
Alangkah hebatnya kata-kata itu.
Adakah yang bertanya dan membantah? ‘
Kenapa Allah mau jadi tangan dan kaki hamba?
Dan kenapa jadi begitu?
Tidak ada tanya dan bantah.
Masya Allah hebat sekali.
Kalau demikian, apakah salahnya Ahlul Arifin Billah melahirkan kata-kata gambaran di atas? Kalau – mereka nyata-nyata tenggelam dalam lautan “rasa” akhirnya mereka tidak dapat berkata, bingung, nanar dan sasar, apakah ini harus dipersalahkan pula? Apabila mereka berkata “Tak dapat lagi membedakan antara hamba dengan Tuhan” apakah tepat bila kita secara langsung menuduh mereka “mempersamakan hamba : dengan Tuhan?”.
Tuduhan demikian adalah keliru.
Apa sebabnya? Jawabnya mudah saja. Tidak ada seorang hambapun yang dahulunya dapat membedakan antara hamba dengan Tuhan kecuali asalnya Allah sendiri. Para Rasulpun tidak. Para Rasul hanya menyampaikan apa-apa yang difirmankan Allah kepada mereka.
Tidak ada seorang manusiapun tadinya yang mengetahui bahwa Allah itu Ada, bahwa Allah itu Maha Pencipta, bahwa Allah itu Hidup dan sebagainya, semua itu adalah pemberitahuan Allah.
Setelah Allah memberitahu semua itu melewati Para Rasul dan nabi-nabi, barulah manusia ini tahu ‘keadaan Allah SWT. dan barulah manusia dapat membedakan antara hamba dengan Tuhan.
Karena pembicaraan ini menyangkut masalah hakikat dan yang sebenar-benarnya, maka pantas kalau mereka berkata dengan kata-kata tersebut itu.
“Oleh sebab itu, maka diharapkan jangan sampai ada tuduhan-tuduhan yang mengerikan kepada mereka (Arif Billah) yang hanya dengan kata-kata nuskhatul Haqqi, ‘ainul Haqqi, atau mu’atul Haqqi lalu langsung menuduh mereka berfaham sesat atau dengan perkataan lain berupa gelargelar yang cukup menyinggung perasaan, malah hanya membawa perpecahan dan pemisahan yang tajam di kalangan Umat Islam sendiri.
Untuk menjaga kemurnian dan kelanggengan Ajaran Islam memang seharusnya kita berusaha mempertahankan kebenaran Islam, menolak ajaran yangnyata kekafirannya, nyatapula kesesatannya. Penolakanitu tergantung dengan : kekuatan Da’wah sampai di mana kita bisa memikat . denganmengemukakan cara berfikir yang benar dan sehat sebagai yang. diajarkan oleh Allah sendiri : ‘
Artinya :
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik dan bantahlah keterangan mereka dengan cara yang baik”.
Metoda yang demikian saya kira tidaklah berarti merusakkan kerukunan beragama dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Mengembalikan Tasawuf Ke Pangkalnya sebagaimana anjuran Buya Prof. Dr. Hamka pada Pidato Dies Natalis PTAIN di Jogyakarta tahun 1959 merupakan suatu anjuran yang beralasan, mengingat banyaknya gerakan kebatinan yang tumbuh laksana cendawan di musim hujan, tidak sedikit diantaranya yang lepas dari dasar-dasar Iman sepanjang ajaran Islam.
Saya beranggapan dan berharap bahwa dengan penyempurnaan Kitab Durrun Nafis yang diindonesiakan ini, Insya Allah dalam rangka itu, mengingat pula bahwa Kitab ini dahulunya (sebelum perang) termasuk Kitab yang tersebar luas dan merupakan pegangan masyarakat banyak. Kita Kaum Muslimin yang berpegang teguh kepada pendirian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah masih tetap mempunyai kekuatan dan senjata ampuh ialah “doa” dan harap kepada Allah SWT. agar tetap memelihara . keagungan Agama Islam di mana pun juga serta memelihara Agama Islam dan kaum Muslimin dari segala cobaan-cobaan.
Kita tetap menginginkan persatuan bangsa dan keutuhan Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini sesuai dengan azas Pancasila, dengan adanya suatujaminan untuk tidak membiarkan tumbuhnya bermacam-macam kepercayaan dan iktikad yang memanggil-manggil orangorang Muslim agar mengikuti ajaran mereka, di mana akhirnya selembar demi selembar daun-daun Muslimin berterbangan dari pohonnya.
Berparjang kata tentang masalah ini, hanya dengan suatu maksud agar Kaum Muslimin dan Ulama Islam yang ada kini, tidak begitu mudah melontarkan kata-kata, mengucilkan sesama umat yang bernabikan Muhammad Saw. dan berkitab sucikan Al Our’an, umat yang masih tetap percaya kepada hari kebangkitan, karena dengan cara demikian akan menghancurkan barisan Umat Islam sendiri pada akhirnya.
pengertian kata “nuskhatul Haqqi”
Sebagaimana dijelaskan pada bagian muka bahwa arti kata ini adalah “naskah ketuhanan”. Alam adalah naskah ketuhanan. Karena alam ini adalah laksana naskah atau kitab yang semuanya dapat dibaca dan dipelajari untuk mencari kebenaran hakiki ialah Allah SWT.
Allah banyak sekali berfirman dan berseru kepada manusia yang berakal agar membaca dan mempelajarinya, karena apa pun yang terpampang di permukaan alam ini adalah “ayat-ayat” yang harus difikirkan. Kumpulan ayatayat itu dapat pula dikatakan suatu naskah atau kitab.
Ibnu ‘Athoillah r.a. mengungkapkan dalam rangka membaca semua ini, janganlah laksana seekor sapi yang bekerja menggiling padi di penggilingan karena bagaimana pun tidak akan sampai kepada titik tujuan yang sebenarnya.
Seorang manusia yang berfikir : Hidup perlu Kerja, Kerja perlu Makan, Makan untuk tambah Tenaga, Tenaga untuk dapat Kerja, Kerja untuk Makan dan seterusnya…… danseterusnya…… Akhirnya hanya laksana bulatan (sirkel) yang terus-menerus berputar dalam lingkaran itu saja, tidak bedanya dengan seekor sapi di penggilingan padi.
Kapan waktunya dia mencari kebenaran hakiki? kalau dia tetap disibukkan dalam suatu sirkulasi demikian, Kenapa dia tidak mau “membaca” naskah berupa dirinya dalam alam ini?
Apabila seseorang mau mempergunakan waktu untuk membaca naskah dirinya dan alam ini, dia pasti akan sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, akan dapat mengenal dengan pengenalan sempurna kepada Maha Pencipta Naskah yang berupa diri dan alam.
Maka misal dan ungkapan bahwa alam ini adalah Naskah Ketuhanan sebenarnya dapat kita terima.
Pengertian Kata “Cermin Tuhan”
Pada umumnya kita menyebutkan kata-kata “cermin” hanyalah dalam arti kata pinjaman. Untuk mengena keadaan tubuh.kita, sudah rapi atau belum, apa dan bagaimana rupa dan bentuk mata, sipit ataukah tidak, kita ingin tahulidah atau gigi hal mana tidak dapat dilihat langsung oleh mata, umumnya semua .itu kita mempergunakan cermin.
Tetapi mata yang terlihat dalam cermin, gigi dan lidah “hanyalah sekedar bayangan, bukan keadaan yang sebenarnya.
Tiap-tiap yang bernama “bayangan” tidak mungkin dapat dipegang. Kalau kita pegang kita hanya menemukan suatu permukaan yang rata dari kaca cermin. Alam Adalah Cermin Tuhan, karena “diri” atau Kunhi Zat (keadaan Diri) Allah SWT. tidak bisa dilihat oleh mata kepala ini. Yang dapat dilihat dengan mata kepala hanyalah Alam dan segala peristiwa yang terjadi di dalam Alam. Alam ini dapat dimisalkan Cermin Tuhan untuk . setidak-tidaknya dapat melihat “bayangan Tuhan di dalam cermin” namun apa yang terpampang di dalam cermin – bukanlah dia Tuhan yang kita cari.
Maha sucilah Allah daripada mempunyai bayangan. Menurut ungkapan di kalangan sufi, alam ini adalah dua macam. Pertama Alam Kabir dan kedua: Alam Shoghir. Alam Kabir atau Alam Besar ialah alam semesta ini, sedang Alam Shoghir atau Alam Kecil “adalah diri manusia ini sendiri.
Kalangan Ahli Filsafat menyebutkan Mikro Kosmos (kecil) dan Makro Kosmos (besar).
Alam Kecil adalah. sebagai “bayangan Alam Besar” “karena hampir seluruh macam dan jenis Alam Besar tergambar dan terbayang pada diri manusia:
Tanah, Air, Api dan Udara merupakan unsur-unsur yang ada pada Alam Besar yang semuanya terbayang pada diri manusia Tumbuh-tumbuhan dan binatang, langit dan – bumi juga ada bayangannya dan gambarannya pada diri manusia kita ini.
Tetapi yang jelas, diri manusia bukanlah alam semesta dan alam semesta bukanlah diri manusia. Ungkapan akal ini boleh dan dapat diterima menurut pendapat akal sehat.
Diri manusia dikatakan oleh Allah Swt. adalah KHALIFAHNYA di muka burni, yang menurut arti bahasa adalah “gantian-Nya” di muka bumi. Tapi haruslah diingat bahwa manusia bukanlah Tuhan di muka bumi.
Artinya :
“Siapa yang mengenal dirinya, pasti dia dapat mengenal Tuhannya”.
Kalimat ini cukup masyhur di kalangan Sufi.
Hadis Rasulullah ini sebagai patokan dasar masalah makrifat kepada Allah SWT.
Dari ungkapan ini kita dapat merumuskan dengan suatu rangkaian Insan — Alam — Tuhan.
Insan adalah bayangan dan cermin Alam, Alam ‘ juga merupakan bayangan dan cermin Tuhan, Tetapi Insan dan Alam adalah “maujud” (diadakan) sedang Allah adalah Zat Wajibul Wujud. .
Insan dan Alam yang kita lihat bukanlah rupa dan bentuknya, tetapi kita melihat “adanya”. Adanya Insan dan Alam adalah “fana” di dalam lautan Wujudullah. Adanya Insan dan Alam hanyalah sekedar “majaz” semata. .
Wujud yang Hak adalah Wujud Allah.
Akhirnya kita dapat menerima ungkapan kata Alam Adalah Cermin Tuhan. Pengertian kata “ainul Haqqi” (kenyataan Tuhan).
Insan ‘ainul Haqqi atau alam ‘ainul Haqqi, kata-kata inilah yang dihebohkan, sehingga timbullah tuduhan buruk kepada mereka. Sepanjang yang kita kaji, tidak ada yang berkata misalnya “al-insan huwallah” atau “al’alam huwallah” (manusia atau alam, itulah Allah) atau kata-kata “insan atau alam sama dengan Allah”. Tidak ada kata-kata demikian yang lahir dari mulut para Sufi yang benar.
Kalimat atau kata-kata yang nyata dari mereka ialah “insan/alam ‘ainul Hakki”.
Kalau Ibnu ‘Araby berkata :
“Al ‘Abdu Rabbun, Warrabbu ‘Abdun.
Ya Laita Syi’ri, Manil Mukallaf?
Ya Laita Syi’ri, Manil Mukallaf? .
In Qulta — ‘Abdun Fadzaka Rabbun
Aw Qulta Rabbun — Anna Yukallaf? – Artinya : | “Hamba adalah Tuhan, Tuhan adalah Hamba, betapa syu urku, siapakah yang dibebani? Kalau anda berkata hamba, maka itulah Tuhan, Atau anda Tuhan, betapakah ia dibebani?
Maka rangkuman kata dari Ibnu ‘Araby ini berupa sajak/puisi. Puisi adalah suatu untaian kata menggambarkan cetusan perasaan seseorang pengarang. Diterima atau tidak oleh orang lain bukanlah soal yang penting, namun ia merasa puas dengan apa yang ia ungkapkan dalam bentuk puisi ini, yang menggambarkan kebingungannya sendiri (tahayyur).
Oleh Sajaknya itu terlihatjelas tentangrasabingungnya, apa dan bagaimana. Biarkanlah dia tenggelam dalam kebingungan demikian, itu adalah urusannya sendiri.
ibnu ‘Araby r.a. sebagai seorang Sufi besar pada zamannya, tercatat sebagai seorang yang taat melaksanakan perintah agama, apakah kita harus menuduhnya sebagai seorang yang kafir? Sedang rangkuman sajaknya adalah perasaannya, getaran hatinya sendiri, bukankah dia tidak ingin melibatkan orang lain dalam cetusan perasaannyaitu?
Kalau Ibnu ‘Araby r.a. berada di zaman ini mungkin kita acan berkata kepadanya.
“silahkan tuan dengan serba bingung,
luan puas dengan merenung,
aku diam seribu bahasa,
kelu lidahku tiada kata,
engkau adalah engkau,
aku adalah aku,
aku dan engkau datang dari satu rumpun,
kesanalah kita kembali
Kesimpulannya adalah, kata-kata “alam ‘ainul Haqqi” atau “alam madhhar wujudullah” adalah dua kalimat yang sama maksud dan tujuannya.
Allah Bertahwil (Berubah Keadaan) Dalam Segala Rupa
Salah seorang guru saya membuka masalah ini dengan kata-kata .”tidak mustahil bagi Allah mewujudkan sifat-Nya dalam rupa makhluk, tetapi mustahil adanya makhluk sama dengan Allah”. –
Zat danSifat Allah tidak pernah dan tidak akan berubahTubah. Namun bertahwilnya Allah SWT. adalah urusan Allah sendiri dan kehendak-Nya sendiri.
Artinya :
“Apa saja yang Allah kehendaki jadi, dan apa saja yang tidak dikehendaki -Allah tidak akan jadi”.
Mungkin kata “tahwil” ini yang diartikan oleh Buya Hamka dengan kata “jelma” dalam tulisan beliau yang menyangkut faham Ibnu ‘Araby, halaman 146 Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya.
Andaikata Allah itu bertahwil pada segala rupa dan keadaansebagaimana akan terjadi di Hari Kiamat kemudian kita tidak mengakuinya sebagai Tuhan. dengan ucapan “A’udzubillahi Minka” (Aku berlindung kepada Allah daripadaengkau) maka hal tersebut tidaklah dipersalahkan. Yang tidak diterima itu adalah “rupa dan bentuknya” bukan ‘ain wujudnya.
Dunia sebagai sesuatu “sedikit dari yang sedikit, orang yang mengasyikinya adalah hina dari segala yang hina. Yang paling ramai dibicarakan golongan Sufi adalah . masalah dunia dan sikap hidup terhadapnya. Hampir semua mufakat mereka untuk menolak dunia dan keduniaan ini dengan bermacam cara dan laku, dengan bermacamriyadloh dan latihan, ‘uzlah dan zuhud, berhaus berlapar perut, bertongkat mata diwaktu malam.
Apabila kita bertanya kepada mereka “kenapa anda berbuat demikian, berpayah-payah berlemas badan, cekung mata karena bergadang, kapan lagi anda ‘ berjuang?. Mereka menjawab dengan pandangan mata lurus ke depan “inilah namanya perjuangan payah kami ini, namun segar nyaman pasti mendatang, ‘inna ma’a) ‘usri yusran dibalik kepayahan mengiringi kesenangan, lapar kami hari ini,besok kami akan kenyang, cekung mata hari ini, besok ia bertambah terang dan cemerlang, biarlah kami….biarlah kami….
Menurutadat dan kebiasaan, dipandang dari segi lahir dan kenyataan, bagaimana nanti nasib umat jika mereka terus-menerus demikian. Mana lagi orang yang berzakat, mana lagi kegiatan membangun Masjid, mana lagi perjuangan, dan bermacam tanya yang diajukan.
Ada yang mencela sikap mereka, dianggap hanya mengurus dirinya sendiri tidak lagi menghiraukan perjuangan dan kepentingan masyarakat banyak.
Namun mereka tetap begitu dan terus begitu. . Tapi ada yang ganjil dan istimewanya.
Sepatah kata yang keluar dari mulut mereka untuk membangunjiwa ummat, ternyata lebih berharga dariseribu ucapan dan pidato seribu pejabat negeri.
Terdengar kabar dan berita, raja dan menteri datang bersujud sungkern kepada mereka memohon restu dan doa, apa katanya takut dilanggar, apa nasehatnya disimak dan didengar.
Ini suatu kenyataan dan sering terjadi.
Betapa pengaruhnya ucapan dan kata panggilan Yang Mulia Tuan Guru H. Anang “Ilmi Martapura terhadap gerombolan Ibnu Hajar, sewaktu beliau hidup, tanyakanlah kepada bekas pengikut Ibnu Hajar yang masih ada sekarang
Cukup menggoncangkan posisi gerombolan itu dalam tubuh kesatuannya sendiri, padahal sebelumnya mereka bertekad mati atau berhasil.
Sebelum ada panggilan Tuan Guru, beribu kata dan himbawan, ratusan mortirdan ribuan peluru yang “ dilepaskan, mereka masih mampu bertahan. Si Tuan ‘ Guru yang sederhana itu, berdoa dengan khusuk kepada Ciri-ciri khas hidup keduniaan :
- Sibuk mencari dan mengeluarkan biaya hidup.
- Mementingkandan mengutamakan kepentinganperut pakaian, perumahan.
- Sibuk dengan kepentingan jasmani.
- Sibuk dengan urusan rumah tangga atau masyarakat yang semata-mata duniawi.
- Lebih mementingkan diri pribadi.
- Berusaha sekuatnya mempertahankan hidup.
- Memerlukan waktu mengasuh, istirahat dan tidur.
- Sering menunjukkan permusuhan.
- Dan lain-lain yang bersifat jasmaniah serupa hayawaniah.
Sementara kalangan filsafat menyatakan pendapatnya, bahwa manusia ini adalah “hayawanun-nathig” (Binatang yang mampu berbicara dan berakal).
Manusia menghimpun dua unsur yang berlawanan, yaitu unsur malakiyah (kemalaikatan) dan hayawaniyah (kebinatangan) ataujuga disebut unsur samawi (langit) dan unsur ardli (bumi).
Kedua unsurini pada diri manusia saling tarik menarik siapa yang menang dalam pergulatan itu, maka di sanalah manusia ini akhirnya. Apabila dia tertarik oleh unsur malakiyah atau samawi maka beruntunglah manusia itu.
Tetapi sebaliknya bila tarikan unsur hayawani atau ardli lebih kuat, maka rugilah manusia itu. .
Maka untuk menjawab pertariyaan di atas, ambillah contoh Nabi Sulaeman a.s. yang kaya raya tapi tidak tersangkut hati dengan kekayaan, hatinya benar-benar rumah Allah, selalu dzikir dan puji kepada Allah, kekayaan dan harta bukan tempatnya di hati.
Ambillah pula contoh Nabi Yusuf a.s., berpangkat ‘ danrebutan wanita. Tanda pangkat hanya sekeping perak atau tembaga atau hanya sekedar emas sepuhan, bukan letaknya di hati tetapi terletak di bahu kanan atau kiri, bisa dilepas bisa dipasang, tidak pula beliau tersangkut hati pada wanita, dan tidak meletakkan wanita dalam hatinya, – karena hati ini mutlak sepenuhnya tempat dzikir kepada Allah.
Inilah jawaban atas pertanyaan di atas, suatu cata yang mudah. Hati dan roh adalah unsur langit, janganlah dia dijatuhkan ke bumi menjadi makanan binatang, cara ini adalah cara yang selamat. Ikutilah ajaran Allah dan Rasul dan ikutilah jejak Arif Billah, sediakan hati sepenuhnya untuk Allah, karena Allah dengan Allah dan daripada Allah.
KETERANGAN TENTANG TINGKAT-TINGKAT TAJALLI ZAT
Pada bagian penutup ini akan diterangkan tentang “tingkat Tajjali Zat, hendaklah anda ketahui, bahwa Tajalli Zatituatastujuhmartabat (tingkat) “Tanazzul” (turun) dari Hidratus-Sarij yaitu Hidlrat Zat sematamata yang dalam pengertiannya tidak menyangkut sifat dan asma atau dalam pengertian lain, lepas dari pada : isyarat.
‘Arif Billah Sayyid ‘Abdullah bin Ibrahim AlMirghani q.s. dalam Kitab beliau tuhfatul Mursalah menyebutkan : “Kunhi Zat Allah Swt. tidak dapat digambarkan oleh akal dan indera (hissi) yang lima, tidak terbatas (had) dengan ukuran akal dan panca indera maka usaha yang demikian termasuk usaha yang mustahil. Hal itu hanya mungkin dicapai dengan jalar kasyaf.
Martabat Tanazzul ini dapat dikelaskan sebagai berikut :
1 Martabat Ahadiyat :
Martabat (tingkat) ini dinamakan pula dengan “martabat Kunhi Zat” yaitu keadaan Zat sematamata, dari sini nyata apa yang dinamakan sifat dan asma. Tidak ada martabat lain yang lebih atas dari pada ini. Semua martabat yang berikut ini, bersumber dari martabat ini.
2) Martabat Wahdah :
Tingkat ini adalah tingkatsifat secara keseluruhan . (ijmal) dengan segala nama, disinilah hakikat Nabi kita Muhammad Saw. yaitu sebagai asal jadi dari segala yangjadi, hawiyatul-alam atau hakikatalam. Segala apa pun adalah dari pada Nur Nabi kita Muhammad Saw. sebagai sabda beliau :
Artinya :
“Mula-mula yang Allah jadikan adalah Nur Ibrahim Ya Jabir. Dan Allah jadikan dari pada Nur itu , segala sesuatu ini. Dan engkau Hai Jabir termasuk pada sesuatu : itu. ”
Pada Hadits yang lain Nabi bersabda :
Artinya : “Aku adalah dari pada Allah, dan orang-orang Mukmin adalah dari padaku.” :
Sabda Nabi Saw. :
Artinya :
“Sesungguhnya Allah ciptakan Roh Nabi Muhammad dari pada Zat-Nya, lalu Allah ciptakan alam dengan rahasiaNya dari pada Nur Muhammad Saw.”
Selain itu ada juga riwayat dari Abdurrazag r.a yang diterimanya dari pada Jabir r.a. Jabir pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. “Ya Rasulullah “beritahukanlah kepadaku, apakah yang mula-mula “ sekali Allah jadikan?” Rasulullah menjawab :
Artinya :
“Sesungguhnya Allah ciptakan sebelum adanya sesuatu adalah Nur Nabimu dari pada NurNya.”
Dari hadits-hadits ini jelaslah bahwa kejadian Nur Muhammad Saw. adalah dari pada Nur ZatNya. Allah berikan nama dengan NurNya sebagai tercantum di dalam Al-Our’an yang mulia :
Artinya :
“Sungguh telah Allah datangkan untuk kamu Nur dari “pada Allah. Yaitu Nur Muhammd Saw.”
Sebagaimana kita ketahui bahwa Nur adalah salah satu nama Allah SWT. Diambil nama itu untuk Nabi kita karena tidak lain dari padaNya jua dalam arti hakiki.
“Untuk memudahkan pengertian baiklah kita misalkan “matahari” dengan “cahaya matahari”. Cahaya matahari menunjukkan tentang adanya si matahari, tetapi cahayanya itu sendiri sebenarnya bukanlah : matahari pada rupa/bentuknya (surah) namun cahaya matahari itu dapat kita sebutkan matahari sepanjang gambaran arti saja. (itibar makna). Karena bilamana cahayanya tidak ada, kita akan mengatakan tidak ada ynatahari padahal matahari itu bukanlah cahaya.
Berhubung hal ini adalah suatu “kebenaran (hag)” ‘ maka Allahpun memberi pula sebuah nama yang lain kepada beliau dengan nama Al-Hag yang nama ini adalah juga salah satu dari nama-nama Allah SWT. sebagaimana firmanNya :
Artinya :
“Wahai manusia, telah datang Al-Hag dari pada Tuhanmu, yaitu Nabi kita Muhammad Saw.”
3) Martabat Wahidiyah :
Pada martabatininyata pula sifat dan asma itu dalam arti'”munfashil” (terurai). Pada martabat wahdahnyata – sifat dan asma dalam arti ijma maka pada martabat ini adalah dalam arti munfashil. Dari sini pula lahirnya Kalam Oodim (ucapan Allah Yang Maha Sedia) yaitu “annahu Anallahu” artinya, sesungguhnya Aku-lah Allah. Adanya tuturan kata (khithob) dengan kalam godim” itu berarti ada yang “dituturi” (sasaran pembicaraan) yaitu alam sifat dan asma. :
Ketiga-tiga martabat yang tersebutitu adalah godim. Adapun terjadinya susunan pada tingkat-tingkat itu hanya sekedar suatu gambaran semata-mata (amrun ‘itibary) janganlah hendaknya diartikan seolah-olah terdapat tingkat menurut ukuran masa dan ruang atau tempat.
Maka nyata dengan jelas pada alam asma dan alam ‘ sifat-sifat roh Nabi kita Muhammad Saw. menyeluruh pada hidlrat wahdah dan terurai pada hidlrat wahidiyah. Pada alam syahadah/alam nyata ini, diartikan awal dari segala yang jadi, awal dari segala mumkinat yang datang dari hidlrat Mahabbah sebagai yang tersebut dalam Hadits Rasulullah Saw., suatu hadits Qudsi (firman Allah SWT.) yang berbunyi :.
Artinya :
“Aku (Allah) adalah suatu perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku berkeinginan agar dikenal maka Kujadikan makhluk (Muhammad s.a.w) agar dia kenal atau makrifat kepada-Ku.”
Lalu kemudian lahirlah Nabi kita Muhammad Saw. dialam syahadah atau alam nyata ini, yang dari padanya jua jadi segala isi alam ini.
Rasulullahpun bersabda :
Artinya :
“Akulah bapak atau sumber dari segala roh, dan Adam bapak atau sumber segala tubuh (basyariyat).”
Kata Syekh Abdul Gani .An-Nablus g.s di dalam :Syarah Fushush “Roh segala jasad itu adalah satu “sedang yang berbilang ini hanyalah nafas. Maka nafas itulah yang mengalami mati, namun roh tidak akan mati karena berdirinya roh itu adalah dengan Hag Ta’ala pada semua keadaan.” Nabi kita Muhammad Saw. sebagaimana uraian yang terdahulu adalah jelas sebagai bapak/sumber dari segala sesuatu ini, serta sumber dari segala hayat kehidupan.
Berarti dengan itu jelas pulalah bahwa “mesralah . Nur Muhammad pada segala sesuatu ini, laksana mesranya air pada tumbuh-tumbuhan. Fafham fainnahu muhimmun (fahamilah, sungguh halini amat . penting) Syekh Muhammad ibnu ‘Abdul Karim As-Saman — r.a. berkata dalam susunan sholawat pada .kitab ‘Minhatul Muhammadiyah :
Artinya :
“Alif Zat, adalah mesra rahasianya pada segala zarrah dan Ha’ adalah Hayatul “Alam (kehidupan alam semesta) dari situlah permulaannya dan menetapnya.” Alif dan Ha yang dimaksud ini di ‘itibar dari huruf-. huruf yang tertera pada nama nabi kita Muhammad Saw. dengan nama yang lebih dikenal di langit yaitu Ahmad.
Selanjutnya ikutilah uraian tentang martabat tanazzul ada tingkat-tingkat berikut ini:
- Alam Arwah
Pada tingkat inilah terhimpun dan terhampar luas segala roh yang tidak bersusun-susun.
- Alam Mitsal – :
Ada rupa, tetapi tidak bisa dibagi-bagi karena amat halusnya. (catatan : istilah ilmiyahnya atom, atidak, dibagi-bagi)
- . Alam Ajsad
Berupa dan berbentuk dan bisa dibagi-bagi atau terbagi-bagi.
- Alam Insan
Terhimpun menurut pengertiannya (amrun ‘itibary) . dari yang ke 1 sampai dengan 6
Martabat yang ke-7 iniadalah martabat yang terakhir, kesemuanya ini dinamakan pula umumnya dengan nama Martabat Tujuh.
Seorang yang zahir pada alam Insan (alam manusia) kemudian sempurna makrifatnya sampai kepada martabat yang pertama, maka orang tersebut dapat diberi gelar dengan Insan Kamil (manusia seutuhnya/sempurna)
Insan Kamil atau Manusia Sempurna yang” dimaksudkan ini, di mana terhimpun sifat Jalal (kemuliaan) dan Sifat Jamal (keindahan) yang nyata ‘ sekali pada diri nabi kita Muhammad Saw. sehingga . tepat kalau beliau dikatakan atau dinyatakan sebagai Penutup para Nabi.
Kesimpulan penutup .
Setelah anda mempelajari apa yang tertera dalam Kitab ini, tidaklah salah kiranya bila disini kita cantumkari ringkasan-ringkasan meskipun sudah cukup jelas pada pasal dan bagiannya masing-masing.
a). Segala perbuatan adalah perbuatan Allah. Si Hamba . sama sekali tidak memiliki perbuatan.
b). Segala asma pada hakikatnya adalah Asma Allah.
- c) ‘ Segala sifat pada hakikatnya adalah’sifat Tuhan, yang ‘ ada pada hamba adalah mazhar WujudNya
d). Muhammad Saw. adalah dari pada Nur Zat Allah Ta’ala.
Sekalian makhluk dan segala sesuatu ini dijadikan dari padanya.
Bagi mereka yang ingin mendapatkan perbendaharaan Ulu-hiyah dan khazanah rabbaniyah seharusnya lah mereka secara terus-menerus dengan zikirullah dan sholawat atas Nabi Saw. agar memudahkan terbukanya khazanah hati. untuk menampung. “makrifatullah” dalam waktu yang Singkat.
Dalam rangka terus menerus zikir dan mentauhidkan Allah SWT. adalah cara-cara :
1) Anda lihat segala gerak dan diam, ucapan atau bukan ucapan, semua itu adalah dari pada Allah SWT. Apakah hal itu dari dirimu sendiri atau bukan. Maka . dengan kesungguhan dan ketekunan sehingga tahkik (mantap) hal itu bagi anda dengan penuh perasaan dan. Dinamakan cara ini dengan nama Tauhidul Af’al.
- b) Dengan isyarat guru, berpindah anda pada cara berikutnya Tauhidul Asma dan Tauhidul-Sifat engkau lihat dan pandang dengan penuh perasaan dan jiwa serta keyakinan yang mantap atau dengan perkataan-lain, dengan “cara syuhudi”, “kasyfi” dan “zauqi” takada yang kuasa, tak ada yang berkehendak, tak ada yang tahu, tak ada yang hidup, melihat, mendengar dan berkata-kata, kecuali Allah Zat Wajibul Wujud.
- c) Selanjutnya anda berpindah tingkat Tauhiduz-Zat dengan suatu kepastian bahwa tidak ada yang maujud ini kecuali Allah, fanakan segala akwan ini serta dirimu sendiri.
- d) Anda tenggelamkan dirimu dalam kefanaan, selanjutnya anda fanakan pula kefanaan itu dari anda, yang dimaksud-nya “bukan anda yang memfanakan tetapi memfanakan itu adalah Allah SWT. Hal inilah yang disebut “fana-ul-fana”. Apabila semua itu sudah mencapai hasil, Allah akan letak-kan anda pada suatu tingkatan Bago Billah, yang dengan itu Allah karuniai anda dengan karomah (kemuliaan) dan kegembiraan yang tiada tara dari Hidirat Yang Suci, begitu pula berarti anda telah diangkat Allah dari lembah kehinaan dan dibebaskan olehNya dari perhambaan dan belenggu hawa nafsu, lalu merdekalah anda dalam arti yang sebenarnya sebagai hamba Allah SWT.
Semua cara-cara yang dikemukakan ini adalah cara-cara musyahadah, hal mana merupakan pula jalan yang paling dekat menuju Tuhan serta merupakan ibadat yang paling utama (afdhal). .
Hadits Rasulullah Saw.
Artinya :
“Berfikir sesa’at dengan musyahadah, lebih baik dari pada ibadah sunnat 70 tahun tanpa musyahadah.”
Dalam suasana Makrifatitu selalu “hudlur” (tetap) hati sehingga jangan anda merasa rendah diri karena kurangnya ‘amal-amal anda yang zahir. Untuk ini Syekh Ibnu ‘Athoilah dalam Kitab Hikam ada menyebutkan :
Artinya :
“Apabila sudah terbuka bagi anda meskipun satu segi saja dari pada ilmu makrifat, maka tidak mengapa bagi anda meskipun sedikit saja amal anda yang sunnat. Apakah tidak anda ketahui bahwa Ilmu Makrifat itu adalah pemberian Allah terhadap anda, sedang amal-amal anda hanyalah sekedar persembahan anda, kepada-Nya. Manakah yang lebih bernilai antara amal-amal anda yang anda persembahkan kepadaMu dibandingkan dengan anugerah (pemberianNya) yang langsung buat anda?” .
Perlu pula anda ketahui dan yakini Makrifat itu sebenarnya adalah anugerah Allah kepada hambaNya sekali-kali bukanlah usaha ikhtiar si hamba.
Dalam suatu sabda Nabi Saw.
Artinya : |
“Aku ma’rifat kepada Tuhanku adalah dengan anugerah Tuhanku jua.”
Tentang apa yang kami kemukakan di atas agar anda terus “menerus sholawat untuk Nabi Saw. adalah untuk. memudahkan terbukanya khazanah hati sehingga dapat menampung ma’rifatullah dalam waktu singkat, maka caracara yang dapat kami kemukakan di sini adalah sebagai berikut : ‘
- A) Berwudlulah anda dan duduklah menghadap giblat sambil mengharapkan bantuan dan berkat Nabi kita Muhammad Saw.
- b) Pada saat anda membaca Allahumma Sholli (Ya Allah sejahterakanlah)… hadirlah Allah pada perasaan anda , sebagai kawan bicara anda.
- c) Pada kata “Shollaita… (Engkau sejahterakan). hendaklah anda ingat bahwa yang mengucapkan ‘ sholawatitu sebenarnya adalah “rahasia Nurnya” yang mesra pada anda dan pada segala sesuatu sebagaimana yang dijelaskan pada beberapa hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.
Lakukanlah ini secara rutin setiap hari dengan dasar perasaan yang penuh cinta kasih kepada beliau, niscaya Allah akan membukakan buat anda keindahan hakikat Nabi kita dan kemudian Allah akan meningkatkan anda dalam musyahadah terhadap “wujudullah” Yang Mutlak dalam kandungan Nabi kita Muhammad Saw. Sebagaimana anda tahubahwa Rasulullah itu tidak ada bayang-bayang tubuhnya yang dengan itu . menunjukkan bahwa benar Nur Muhammad itu adalah dari padaNur Zat Allah SWT. ‘
Selain bermacam keindahan yang akan anda dapati seperti tersebut di atas, maka andapun termasuk orang yang benar-benar mewarisi Nabi Saw. yang akan menjadi Imam (ikutan) dari banyak orang, begitulah pendapat yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim g-s. dalam risalah beliau yang bernama “Ighastatul lihfan wa mu annisatul-lihwan”.
Syekh Shiddig bin Amirkhan rahimahullahu ta’ala menyatakan dalam syarah Ooshidah ‘Ainiyah :. “Patut sekiranya anda ketahui bahwa guru kami Syekh Abdul Karim Muhammad bin Abdul Karim As-Saman q.s. adalah salah seorang ulama yang tetap mengamalkan ajaran agama yang lurus (gowim) ini dan telah pula menerima warid (karunia batin) dengan “kalam godim” yang mana beliau tetap mengamalkan perintah Allah yang berbunyi :
Artinya :
“Wahai orang yang beriman, tagwalah kamu kepada Allah dan seyogyanya kamu berwasilah kepadanya (Muhammad).”
Tidak ada wasilah (perantara) yang paling baik dan mulia hanyalah Muhammad Saw. Dan beliau juga sebagai wasilah (pengantar) bagi hamba yang ingin mengenal Allah.
Ketahuilah oleh anda bahwa siapa pun juga yang memasuki alam makrifat dengan melalui pintu (baab). Kenabian ini menuju Hidlrat Zat Allah, menurut pendapat Ahlul-MuHaqqigir (ahli hakikat) adalahjauh lebih sempurna dari pada melewati pintu Tauhidul. Asma dan Sifat, malah lebih sempurna pula dibandingkan dengan mereka yang mendapatkannya dengan cara jizbah.
Mereka yang melalui lewat pintu Kenabian ini adalah mereka yang tetap melaksanakan syariat agama dan tetap pula menunjukkan sifat-sifat kehambaannya.
Para Nabi dan Para Awliya yang sempurna makrifatnya kepada Zat Allah SWT. dengan memusyahadahkan Nur Muhammad, mereka ini yang disebut “Nabi-Nabi dan Awliya yang berada di bawah gidam Nabi Muhammad Saw.
Demikianlah apa yang di ijazahkan oleh guru kami (Syekh Al-Arif Billah, Shiddig bin Amirkhan q.s.) kepada faqir, (Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al Banjari) dengan kata-kata beliau : Musyahadahkan olehmu akan Nur Muhammad Saw. itu mesra ia pada sekalian rahim dan batang tubuhmu dan pada sekalian ka’inat seperti mesranya air dengan tumbuh-tumbuhan insya Allah Ta’ala lagi akan membukakan allah ta’ala akan dikau kepada melihat akan keelokan zatnya yang wajibul wujud lagi yang suci, karena allah ta’ala itu tiada akan dapat dikenal akan dia melainkan dengan nurnya yang mesra ia pada kita dengan washithoh Nur Muhammad Saw. adapun dengan batang tubuh kita yang kasar dan zhulmah ini sekali-kali tiada akan dapat mengenal Allah Jalla Jalaluhu (Wallahu’alam)
Catatan :
Kata-kata aslinya menurut kitab D.N. saya cantumkan karena masalah ini merupakan kunci pembicaraan mengenai Nur Muhammad Wasithoh = pengatur, Zhulmah = gelap (DN yang di-ind*)
Catatan:
Sebelum diteruskan isi kitab D.N. mata diharap mengikuti dahulu beberapa penjelasan tambahan dari penyusun D.N. yang di-Indonesiakan*)
PENJELASAN TAMBAHAN
(Untuk Bab III (Khotimah))
Oleh: Pen». D.N. yang di-Indonesiakan
Martabat tanazzul yang umumnya disebutkan Martabat Tujuh anazzul artinya menurut bahasa “menurun”. Lawan katanya adalah “targy” artinya “menaik”. Kedua istilah ini cukup dikenal di kalangan Ilmu tasawuf. .
Cerita Mi’rajnya Rasulullah Saw. pada waktu naik ke langitjuga dinamakan “targy” dan pada waktu beliau turun ke bumi dinamakan “tanazzul”.
Adapula pengertianlain, bahwa kita inijangan “targy” melulu, maksudnya jangan “hakikat” semata-mata,:
“akibatnya akan meninggalkan syariat. Dan jangan pula “tanazzul’ melulu, maksudnya jangan syariat semata,. akibatnya ibadat demikian tidak mendapat nilai.
Oleh itu pengarang kitab D.N menyatakan bahwa dengan adanya martabat atau tingkatan itujangan diartikan “turun” menurut tingkatan waktu dan tempat.
Didasarkan kepada rumusan ini, maka nyata sekali pendapat Arif Billah bahwa “insan ‘ainul Haqqi (Manusia kenyataan Tuhan).
Penampilan teori Martabat Tanazzul, Martabat Tujuh . ini benar-benar memudahkan proses pengertian dan faham, dibandingkan dengan teori af’al, asma, dan sifat :
Dalam tangga peningkatan makrifat, yang lebih penting adalah “mengerti” dan “faham”. Karena dengan demikian berarti akal sudah bisa menerima.
Lalu kemudian mengikuti proses berikutnya ialah “yakin” meskipun mungkin belum merupakan keyakinan yang mantap. Apabila seseorang sudah dapat menjelajahi wilayah “yakin” maka berarti sudah mulai memasuki nilai rasa atau zaug, hal mana adalah sasaran pokok dari pada Ilmu Tasawuf. ,
Apabila sudah sampai kepada suatu tingkatan yang dinamakan “tahkik” atau mantapnya keyakinan, tidak akan goyah lagi dalam keadaan apa pun dan bagaimana punjuga, seakan-akan seribupedang sejuta peluru untuk merubah keyakinan dan pegangannya atau itikadnya tidak di hiraukan. Apalagi kalau hanya seribu kata dan. seribu dalih.
Orang yang demikian ini dinamakan dengan ahluttahkik dan termasuk golongan muHaqqigin. Salah seorang guru saya berkata “apa bila undur setapak ikam kapir”. Ahadiyat, Wahdah, Wahidiyah
Ketiga kata ini dapatpula kita artikan dengan ke-Esaan Zat, ke-Esa-an Sifat dan ke-Esa-an Asma. Ketiga-tiganya . adalah gadim, karena ketiga-tiganya tidak bisa dipisah cerai.
Sudah dijelaskan bahwa adanya istilah-istilah itu pada “itibar makna”.
Ahadiyat adalah suatu tingkatan di mana pengertiannya hanya Kunhi Zat semata-mata yang laisa kamitslihi syai’un. Pada keadaan demikian dinamakan pula “penuh yang tidak terbatas atau ada pula yang menamakan “Kekosongan yang berisi”.
Pada tingkat itu “belum ada apa-apa, Ruang, dan Kosong pun belum ada”, yang ada hanyalah si Ada, padahal kata-kata Ada itupun belum ada. Di tingkat inilah yang dinamakan Oiyamuhu Ta’ala Binafsihi tidak terjangkau oleh akal dan fikiran manusia.
Kemudian, apakah si Ada yaitu Allah SWT. belum mempunyai dan memiliki sifat? Mustahil, : Kalau belum memiliki sifat, berarti sifat itu adalah sesuatu yang baru, kemudian dilekatkan atau menempel pada Zat. Hal ini jelas tidak diterima oleh akal dan tidak bisa jadi terhadap Zat Allah Yang Maha Suci.
Kalau demikian maka sifat-Nya si Ada sudah siap sedia bersamasi Ada sendiri, kalau si Adaitu gadim maka . sifatNya pun juga gadim.
Tingkatan pengertian tentang sifat ini dinamakan dengan kata Wahdah. Namun semua sifat-sifat dan nama sifat-sifatitu tersembunyi pada tingkatan wahdah dalam arti keseluruhan (mujmal)
Mustahil adanya kalausi Adaitu tidak mempunyai nama. Seorang anak yang baru lahirpun sudah sedia dengan namanya sendiri. Sebelum dia diberi nama oleh orang lain (ayah dan ibu-nya) semua orang tentu berkata dengan spontan si “Bayi” lahir. Nama “si bayi” ini adalah suatu nama yang sudah sedia pada dirinya
Pada tingkat wahdah inilah si Ada berkata “Sesungguhnya Akulah Allah” terurai namaNya yang sebenarnya (munfashil) “Aku Adalah Perbendaharaan Tersembunyi, Aku Berkeinginan Untuk Dikenal Lalu Kujadikanlah Makhlukku, Agar Dia Kenal Kepadaku”. Semua ini jelas terurai. Alam Roh, Alam Mitsal, dan Alam Ajsad/Ajsam
Sehubungan dengan kehendak Allah SWT. agar Dia dikenal, Allah dijadikan Alam Semesta ini pada tingkattingkat tertentu.
Yang menjadi pertanyaan, bahan baku untuk menjadikan alam nyata ini apa? Maha Sucilah Allah dari pada bertanya-tanya.
Pada tingkat Allah SWT. berdiri dengan sendiriNya, penuh dengan keadaanNya sendiri. Pada tingkat itu tidak”
ada apa-apa dan tidak ada siapa-siapa. Maka apabila Allah menciptakan bahan baku daripada Alam dan segala sesuatu ini, tentulah “bahan baku” itu dari diriNya sendiri, bukari dari sesuatu yang lainkarena sesuatu yang lain pada tingkat itu belum ada. Pengertian “bahan baku itu dari diriNya sendiri” bisa kita artikan dari sifat kelamNya”Kun” dan dari sifat “Iradatnya” (kehendak).
Yang kita maksudkan dengan istilah “bahan baku” ini, tentu-lah Nur Muhammad sebagai yang tercantum dalam beberapa Hadis Nabi Saw. Sebelum Nur Muhammad ini zahir sebagai sesuatu “yang diadakan” (makhluk) pastilah Nur Muhammad yang Diadakan.ini sudah tersedia secara mujmal dalam Hidlrat/ Martabat Wahdah.
Dengan demikian, maka kita dapat menerima keterangan Hadis Rasulullah Saw. bahwa ‘Nur Muhammad Adalah Daripada Nur Zat Allah SWT.” Apabila kemudian ternyata sudah ada bahan bakunya tentu -tidak ada kesulitan lagi bagi Allah SWT. untuk selanjutnya menciptakan roh, alam mitsal dan alam ajsad/ ajsam. Atau dengan lain perkataan, bahwa memang Allah sendiri berkehendak untuk menciptakan sesuatu ini dengan lebih dahulu menciptakan Nur Muhammad sebagai sumbernya.
Saya ingin mencoba membawakan sebuah contoh, seorang yang bernama “A” hendak membangun rumah, semoga dapat membuahkan pengertian dalam rangka memahami Martabat Tanazzul ini.
Contoh si A membangun rumah
I.Qadim (si Ada yang Sedia)
- Manusia
Esa Zat , Diri Esa Sifat Sifat/rupa
ADA YANG KURANG HALAMAN 162
Martabat Insan/Alam Insan
Insan atau alam semesta ini jelas sekali sebagai yang dikatakan “ainul Haqqi”. Apabila manusia sudah mengerti, faham dan sadar tentang asal usul rohnya sendiri, hakikat dari pada dirinya yangsebenarnya maka seharusnya dan sewajarnya dengan kesadaran demikian tidak akan dia menurunkan harkat dirinya sebagai manusia kepada hakikat kebinatangan. Memang ada yang bertanya, bukankah manusia itu asalnya dari pada tanah? Sebagaimana yang banyak disebutkan dalam Al-Our’an? Teori martabat-tujuh ini bukanlah melemahkan dalil-dalil dan nas-nas yang sudah nyata dalam Al-Our’an yang menyatakan manusia dari pada tanah.
Tentang asal dari pada tanah adalah jasmaniatnya manusia sebagai di bagian muka ada dijelaskan bahwa jasmaniatnya manusia adalah termasuk “unsur ardli” (unsur bumi).
Tetapi rohnya manusia bukanlah berasal dari tanah, seperti apa yang difirmankan oleh Allah sendiri di dalam. Al-Our’an :
Artinya : “Aku tiupkan dari RohKu padanya (Adam).”
Apabila seseorang yang sudah memahami dan mengerti serta sadar tentang hakikat dirinya, lalu didasarkan keyakinan yang mantap dia ber'”musyahadah” dengan cara musyahadah yang benar, tidak ada pada hakikatnya segala yang muhaddas ini, yang ada hanya Dodim – sebagai Mazhar Wujud Allah dia tegakkan sifatsifat kehambaan, orang demikian inilah yang benar-benar : hamba kekasih Allah seperti yang dimaksud Hadis Oudsi “pandangannya, pendengarannya, perasaannya, tenaganya (pada kaki dan tangan) hatinya, diakui oleh Allah sebagai pandangan pendengaran, perasaan, hati dan tenaga Allah sendiri.
Sementara orang ada yang mengira bahwa dengan sampai tingkatnya seseorang pada tingkat itu, apasaja yang ia mau bisa jadi, hal-hal yang kharigun lil’adat (luar biasa) mudah bagi mereka.
Perkiraan ini mungkin pula benar tetapi mungkin juga keliru. Benarnya, karena apa yang mereka inginkan tentu sesuai dengan apa yang sudah ditakdirkan oleh Allah buat mereka dan mereka diberi tahu oleh Allah dalam hal itu. Kelirunya, bila kemampuan mereka demikian itu dianggap seakan-akan bisa saja kita minta agar mau menuruti kehendak kita sebagai yang sering terjadi, misalnya ada seseorang dikhabarkan bertaraf waliullah, berbondong-bondong manusia datang kepadanya, meminta kepada si wali itu dengan bermacammacam maksud dan kehendak, padahal permintaan itu pada umumya berbau dunia semata-mata (minta banyak rejeki, minta sembuhkan penyakit, minta pangkat atau jabatan dan lain-lain).
Si Wali kadang-kadang tidak mau melayani, akhirnya dianggap salah. Atau si Wali berkata Insya Allah, kemudian . ternyata tidak berhasil, lalu si Wali itulah yang dipersalahkan.
Kita harus mengerti bahwa mereka yang sampai pada tingkat tinggi dalam makrifat kepada Allah hatinya dan jiwanya penuh dengan “mahabbah” kepada Allah, cinta kasih serta penuh kerinduan hanya kepada Allah, mungkinkah ada kecenderungan dan keinginan mereka untuk hal-hal yang sifatnya duniawi secara berlebihlebihan? Sebagaimana cerita Ibrahim bin Adham r.a. pasir bisa menjelma menjadi uang, namun yang beliau perlukan hanya sebiji dinar sekedar membayar ongkos penyeberangan, tidak ingin mengantongi uang itu sebanyak banyaknya.
Memang masalah karomah untuk orang-orang Arif Bilah, adalah sesuai dengan firman Allah dan sabda Rasulullah Saw. sudah dijanjikan oleh Allah untuk mereka.
Sikap kita terhadap mereka, hendaklah dengan penuh hormat dan ta’dhim kita, karena memuliakan para waliullah besar sekali hikmah dan barakahnya. Tetapi bukanlah mereka didesak-desak dengan bermacam-macam kehendak dan keinginan kita.
Masalah karomah ini akan kita uraikan pada halaman lain.
Tidak benar para Arif Billah mengakui dirinya sebagai Tuhan
Manusia mana pun juga yang mengakui dirinya sebagai Tuhan adalah “syirik”. Sebagaimana Fir’aun la’natullah alaihi, pernah mengakui dirinya sendiri sebagai Tuhan, akhirnya hancur lebur.
Banyak bukti menunjukkan betapa bahayanya bila seseorang mengakui dirinya sendiri sebagai Tuhan, lebihlebih kata-kata demikian keluar dari mulutnya dengan penuh kesombongan.
Lalu bagaimanakah dengan adanya ucapan dari Al-Hallaj (Husein ibnu Manshur) yang menghebohkan itu? Bagaimana pula dengan ucapan-ucapan Abu yazid Busthomi r.a. yang kedengarannya cukup ngeri? Dan bagaimana pula puisi dan sajak dengan gaya bahasa yang indah yang mereka susun dalam tema yang sama?
Di Sumatera ada Hamzah Fansuri, di Jawa ada Syekh Siti Jenar, di Kalimantan ada H. Abdul Hamid Habulung (dikenal dengan Datuk Habulung) danbanyak lagi mungkin, ‘ Sama-sama pernah berungkap kata semacam Al-Hallaj. Terlepas dari soal mereka telah menerima hukum bunuh oleh penguasa pada masanya, hal mana dapat dimengerti karena adanya pengaruh politik dan pengaruh lain, namun kita akan mencoba memberi nilai secara obyektif sebagaimana penilaian yang pernah diberikan oleh Imam Ghazali r.a. atau Syekh Abdul Oadir Jaelani q.s. Sulthonul-Awliya.
Penilaian kita adalah :
- Ucapan Firaun adalah penuh kesombongan dalam . kedudukan seorang Raja di Raja, seorang penentang Nabi Musa “a.s. seorang yang ingin disujuti dan disembah.
- Firaun dapat kita katakan “tokoh duniawi” terbesar dalam sejarah manusia, dibalik keadikaraannyasebagai . Maha raja diraja terselip “jiwa penakut” hingga memerlukan ribuan ahli sihir, ribuan bodygards (pelindung keselamatan dirinya). Hampir sama dengan cerita Napoleon seorang Diktator terkenal tapi paling takut dengan tikus.
3 Firaun dalam sejarahnya tidak pernah merasakan kelemahan-kelemahan dirinya, kekurangan-kekurangannya, apa yang ia ucapkan adalah hukum mutlak yang sama sekali tidak boleh dibantah.
Dan banyak lagi bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa sifat dan perwatakan Fir’aun sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran hidup. Lebih.tepat kalau kita katakan seekor singa raja hutan yang sama sekali tidak mengerti terhadap dirinya sendiri, akhirnya dia mati kelaparan dalam gua yang gelap karena tua dan lumpuh. Pendek kata Fir’aun pantas untuk mendapat laknat Allah SWT.
Dengan ciri-ciri khas kepribadian Fir’aun itu terlihat jelasperbedaannya denganpara Arif Billahradliallahu ‘anhum yang dapat dilihat nyata :
- Para Arif Billah berbudi halus, kehalusan perasaannya . terpancar pada puisi dan sya’irnya yang indah, kerendahan hati terpancar pada sikap hidupnya.
- Ibadat buat mereka bukan lagi sesuatu yang dirasakan ‘ terpaksa, tetapi sesuatu keindahan dalam hidupnya.
- Nafsu duniawi yang berlebih-lebihan, tidak ada pada kamus mereka.
- Tidak pernah mereka takut dan gentar dalam menghadapi dunia dan keduniaan, penuh keyakinan bahwa kehidupan mereka di akhirat kelak jauh lebih bernilai.
Dan banyak lagi ciri-ciri khas kepribadian mereka yang benar-benar menghayati kebenaran hidup,seperti . Al-Hallaj, Mahyuddin Ibnu ‘Araby, Abu Yazid Busthomi r. ‘anhum dan lain-lain.
Begitu pula dengan Hamzah Fansuri, Syekh Siti Jenar, H.Abdul Hamid Habulung (Datuk Habulung), nama-nama yang kita sebutkanitu bukanlah orang-orang yang hidupnya dengan keadikaraan dan kekayaan yang berlimpah ruah, tetapi hidup dengan kesederhanaan.
Kita tidak memasukkan dalam golongan Arif Billah pada pembahasan ini, mereka yang nyata-nyata memfatwakan agar melepaskan syariat.
Dan yang kita bahas di sini adalah ingin untuk menarik garis yang jelas dan terang antara ucapan Fir’aun dengan ucapan Arif Billah tentang ke-Aku-an Tuhan.
Garis pertama yangsudah kita tarikadakah perbedaan yang jauh dan berlawanan antara keduanya (Fir’aun dan Arif Billah) dari segi kepribadian. Dengan adanya perbedaan itu pasti berbeda pula kesan yang-terkandung dalam kata-kata, meskipun keduanya melontarkan susunan kata yang sama dalam nadanya.
Kesan-kesan itu adalah:
- Firaun mengucapkan kata-kata itu adalah dengan keutuhan dirinya sendiri “ditujukan” kepada orang lain dengan maksud tertentu, agar orang yang mendengarkan kata-katanya mengakui dia sebagai Tuhan.
- Arif Billah “mengucapkan kata-kata itu adalah suatu pelampiasan “suara halus danabadi” setelah menerima “kalam gadim” yang tercetusnya kata-kata itu dalam situasi kejutan (syatathoh) hilang akal dan hilang rasa.
- Arif Billah terlanjur mengeluarkan kata-kata itu bukan ditujukan kepada siapa pun juga Di antara manusia lain, hanyalah seakan-akan orang latah yang meniru-niru kalam atau ucapan yang datang pada dasarnya hatinya sendiri.
Hakikatnya kata-kata itu sama dengan wahyu yang diterima oleh Para Rasul dan para Nabi. Perbedaannya adalah, kalau wahyu terhadap Para Rasul dan Nabiadalah mempunyai nilai-nilai dan unsur-unsur pendidikan dan pelajaran (paedagogis) perlu disampaikan kepada orang jain, sedang kalam gadim yang mereka terima hanya : untuk mereka sendiri. Tentang Nur Muhammad Saw.
Cukup banyak Ulama-ulama yang menolakajaran Nur Muhammad dan banyak pula yang menerima, dan meyakininya. Penyusun Kitab Durrun Napis (Syekh Muhammad Napis) adalah salah seorang yang meyakini ajaran ini, yang beliau terima atau mendapat jjazah dari guru beliau Syekh Shiddig bin Amirkhan q.s.
Penyusun sendiri (H. Haderanie HN) juga telah menerima ijazah ini dari salah seorang guru, H. Habran Negara yang beliau terima ijazah itu dari yang Mulia
Tuan Guru H. Anang llmy Martapura rahmatullah ‘alaihi.
Letak permasalahannya hanyalah pada satu titik perbedaan, yaitu lemah (dlo’if) atau kuat (shohih) hadits-hadits yang berkenaan dengan ajaran Nur Muhammad. Karena hal ini adalah suatu “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) tentang masalah hadits-hadits maka tergartung setiap penuntut untuk dapat menerima atau tidak.
Untuk jelasnya baiklah kita cantumkan disini hasil selidik buya Hamka tentang ajaran Al Hallaj dan Ibnu ‘Araby mengenai Nur Muhammad pada buku beliau yang bernama Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya halaman 97/98. Tentang Nur Muhammad. Beliaulah (Al-Hallaj) yang mula-mula menyatakan bahwasanya kejadian alam ini pada mulanyaialah dari pada Hakikatul Muhammadiyah, atau Nur Muhammad.
“Nur Muhammad itulah asal segala kejadian. Hampir sama-lah perjalanan persamaannya itu dengan renungan ahli Filsafat yang menyatakan bahwa mula terjadi ialah “Agal Pertama”. Menurut katanya, Nabi Muhammad itu terjadi dua rupa. Rupa yang gadim dan Azali. Dia telah terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Dari padanya disauk seluruh ilmu dan ‘irfan. Kedua ialah rupanya sebagai manusia, sebagai Seorang Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. rupa yang sebagaimana manusia itu menempuh maut. Tetapirupa yang gadim tetap ada meliputi alam. Maka dari Nur rupanya yang gadim itulah diambil segala Nur buat menciptakan segala Nabi-Nabi dan Rasul. Rasul dan Awliya.
“Cahaya segala keNabian dari pada Nur-Nyalah menyata. Dan cahaya mereka dari pada cahayanyalah mengambil. Tidaklah ada suatu cahaya yang bercahaya dan lebih nyata yang lebih gadim dari pada cahaya : yang Oadim itu, yang mendahului cahaya beliau yang mulia. KehendakNya mendahului segala kehendak, ujudNya mendahului segala yang ‘adam, namanya mendahului akan Oalam pun sendiri, karena ia terjadi sebelum apa pun terjadi.
“Segala yang diketahui hanyalah satu tetes saja dari pada lautan ilmunya. Di atasnya mega mengguruh, di . bawahnya kilat menyinar dan memancar, menurunkan hujan dan memberi subur. Segalailmu adaiah setetes dari air lautannya. Segala hikmat hanyalah satu piala dari sungainya. Satu zaman hanyalah satupiala dari sungainya. Satu zaman hanyalah satu saat kecil dari masanya yang jauh”.
“Dalam hal kejadian dialah yang awal, dalam hal kenabian dialah yang akhir. Al-Hag adalah dengan dia, dan dengan dialah hakikat. Dia pertama dalam hubungan, dia yang akhir dalam kenabian, dan dialah yang batin dalam hakikat dan dialah yang lahir dalam marrifat”.
“Pendeknya Nur Muhammad itulah pusat Kesatuan alam, dan pusat Kesatuan Nubuwat segala Nabi, dan NabiNabi itu Nubuwatnya. Segala macam ilmu hikmat, dan Nubuwatadalah pancaran dari sinarnya. Halaman 146/147. Al-hagigatul Muhammadiyah (Ibnu ‘Araby)
Tuhan Allah adalah suatu dan satu. Dialah Wujud Yang Mutlak, Maka Nur Allah itu sebagian dari pada dirinya, itulah dia Hakikat Muhammadiyah. Itulah kenyataan pertama dalam uluhiyah.
Daripadanyalah terjadi segala alam dalam setiap ttngkatnya. Seumpama Alam Jabarut, Alam Malakut, . Alam Mitsal, Alam Ajsam dan Alam Arwah. Dia segenap . kesempurnaan ilmu dan amal yang ternyata pada Nabi sejak Adam sampai Muhammad. Dan sampai kepada Wali-wali dan segalatubuh “Insan Kamil”.
Nur Muhammad itu atau hakikat Muhammadiyah itu Oadim, sebab dia sebagian dari pada Ahadiyat. Sebagian dari Suatu dan Satu. dia tetap ada, hakikat Muhammadiyah itulah yang memenuhi tubuh Adam dan tubuh Muhammad. Dan apabila Muhammad telah mati sebagai tubuh, namun Nur Muhammad atau hakikat Muhammadiyah itu tetaplah ada. Jadi Allah, Adam, dan Muhammad adalah satu. Dan Insan Kamil adalah dia jua pada hakikatnya.
Demikianlah kumpulan faham ini kalau hendak kita populerkan tetapi bila kita hendak selidiki ke dalam kitabkitab Ibnu Araby sendiri, bila kita.hendak “menangkap” kesimpulan itu kita bertemu dengan berbagai-bagai “jalan. keluar” yang telah disediakan, yaitu kata-kata rumus dan isyarat.
Demikian sebagian yang kita kutip dari buku susunan Buya Hamka.
Menurut sepanjang kaji yang saya tuntut tentang masalah ini adalah sebagai berikut :
- Nur Muhammad daripada Nur Zatadalah dalam arti gadim pada Hidlrat/ Martabat Wahdah yang nyata dia secara “mujmal” (menyeluruh).
- Nur Muhammad atau Nur Zat dalam arti “tafshili” (terurai) adalah suatu asma pada hidlrat Wahidiyah.
- Sehubungan dengan Zat Allah SWT., maka kata-kata Nur Muhammad atau Nur Zat atau Nur, tidak boleh diartikan dengan arti “Cahaya” dalam bahasa Indonesia. Karena definisi cahaya adalah akibat balik dari sesuatu dan mempunyai ketergantungan dengan sesuatu itu.
- Nur adalah Nur, salah satu Asma Allah (99 nama). Misalnya kalau ada seseorang bernama Nur Hayati, menurutarti bahasanyaialah “cahaya kehidupan”. Maka tidak benar kalau kita memanggilnya dengan kata-kata “Hei Cahaya Hidup sini engkau”. Orang yang bernama Nur Hayati itu sendiri pasti tidak akan mengerti atas panggilan itu.
- Dalam kajian selalu guru menegaskan ‘Ingat, jangan “Muhammad nang di Makkah, kena nang kaya urang Keresten manuhankan Isa”. (Ingat,jangan Muhammad yang di Mekkah, nanti seperti orang Kristen menuhankan Isa).
- Muhammad arti menurut bahasa “yang terpuji” (dalam bahasa banjar “nang pahaharatnya.’ maka kata-kata Nur Muhammad: dalam iktikad kegadimannya, Asma Allah Nur yang terpuji, sehingga jangan sampai tasawwur/terbaur dengan Muhammad Rasul Allah Yang bermakam di Madinah. –
Suatu kesalahan pengertian bila Nur Muhammad
- dalam arti gadim dinyatakan sebagai “bagian dari Ahadiyat Allah SWT.” Maha Sucilah Allah dari pada terbagi-bagi.
Banyak keterangan yang bisa diungkapkan untuk menjelaskan masalah ini, namun yang paling pokok adalah jangan sekali-kali memegang pendapat bahwa Muhammad Saw. yang terbaring dimakamnya di Madinah itu adalah gadim.
Dalam suatu Hadis Rasulullah Saw. riwayat Imam Baihagy dan dinyatakan shohih : .
Artinya :
“Rasulullah Saw. bersabda : Ketika Adam telah mengakui kesalahannya dia berkata/bermohon : Ya Tuhanku hamba mohon kepada Engkau demi kebenaran Muhammad, melainkan Engkau ampuni aku. Lalu Allah berfirman kepada Adam : Hai Adam bagaimana engkau bisa tahu tentang Muhammad padahal Aku belum menjadikannya? Adam-pun menjawab ya Tuhanku Sesungguhnya ketika Engkau ciptakan aku, aku mengangkat kepala kemudian terlihat oleliku tulisan di tiang Arasy berbunyi La Ilaha Illa Allah, Muhammad Rasulullah”.
Karomah bagi Para Wali/Arif Billah Kita ingin kembali melanjutkan pembicaraan tentang karomah yang pada bagian terakhir pada kitab D.N. disebut-sebut.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian depan bahwa karomahbagipara Wali adalah senada dengan mu ‘jizat untuk para Rasul dan para Nabi, yang keduaduanya adalah “Khariqun lil ‘adat”. –
Karomah tidak didapat karena turunan, siapa saja yang di-kehendaki Allah, bisa jadi. Pintu kewalian tidaklah tertutup. Kalau ada seseorang pada zahirnya telah menujukkan hal-hal yang kharigun lil’adat (keluar biasaan) yang mana orang-orang tersebut dihubung-hubungkan dengan turunan, sebenarnya hal tersebut menyangkut dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah karena doa yang magbul sehubungan dengan takdir yang telah Allah tetapkan buat dia, dari nenek datuknya yang telah terdahulu. Menurut cerita orang tua-tua bahwa Di antara turunannya Syekh Muhammad Arsyad Pelampaian Martapura selalu ada Di antara turunang beliau yang mencapai magam kewalian memiliki karomah. Hal ini sebenarnya berhubungan dengan doa ibu Syekh Muhammad Arsyad sendiri pada suatur malam di bulan Ramadhan menemukan Lailatul Oadar di saat itu beliau berdoa agar Di antara turunan beliau dalam 7 (ujuh) turunan dikaruniai oleh Allah SWT: pangkat kewalian dan karomah.
Kemungkinan kedua adalah dengan adany ketekunan menuntut ilmu sehingga bergelar orang Alim k manan yang mantap dan tidak akan goyah (istigomah) serta amal ibadat yang terus-menerus ditambah latihanlatihan tertentu.
Pada umumnya turunan dari Syekh Muhammad Arsyad yang terlihat memiliki karomah adalah mereka yang benar-benar tingkat Ulama/Tuan Guru dan terlihat pula kerendahan hati pada tutur dan sikap misalnya Almarhum Tuan Guru H. Anang Ilmi. Inilah alasan kita yang menyatakan bahwa kewalian jitu tidaklah monopoli turunan dan tidak pula tertutup pintunya. Allah berfirman :
Artinya :
“Allah telah berjanji terhadap orang yang beramal sholeh untuk mengangkat mereka sebagai kholifah seperti Allah mengangkat orang-orang sebelum mereka di muka bumi, dan Allah mantapkan untuk mereka agama mereka yang Allah ridloi buat mereka. Dan Allah gantikan rasi takut (khawatir) mereka dengan rasa aman.”
“ Di dalam ayat ini ada tiga kata penekanan (aksentuasi) La-Yastakhlifannahum, Walayumakkinannahum, . Walayubaddilannahum Ketiga kata-kata ini memakai mun littasydid” (tekanan kata) menunjukkan janji Allahitu adalah dengan penuh kesungguhan terhadap orang yang ber-iman dan beramal sholeh.
Di lain ayat Allah memerintahkan kita dengan firmanNya Kuunuu Rabbaniyyin (Jadilah kamu keluarga Tuhan/Ahli Ketuhanan). Orang-orang “rabbaniy” adalah orang yang mendapat karomah.
Di ayat lain pula Allah berfirman :
Artinya :
“Sesungguhnya orang yang berkata : “Tuhan kami idlah Allah” kemudian mereka tetap pendiriannya (istigomah), Malaikat turun kepada mereka (seraya berkata) jangan kamu takut dan gentar, dan bergembiralah kami dengan surga yang dijanjikan untukmu. Kami (malaikat) membantu kamu dalam kehidupan duniamu, dan akhiratmu, dan kamu mendapat apa yang kamu mau dan apa pun yang kami ingini.”
Adanya hal-hal karigun lil’adat sejalan dengan hukum akal
Hal-hal yang kharigun lil’adat sering terjadi dikalangan manusia. Ini adalahsuatu kenyataan. Di dalam Al-Our’an banyak sekali diceritakan hal demikian terhadap para Rasul dan Para Nabi, sekalipun kepada yang lainnya seperti Ashabul Kahfi atau Siti Maryam, ibu dari Nabi Isa a.S. “
Yang menjadi pertanyaan, apakah hal tersebut dapat diterima oleh akal sehat? Untuk menjawab itu maka kitapun akan bertanya lagi, apakahakal-sehat mau menerima bahwa “Allah itu Maha Berkuasa dan dapat berbuat sekehendakNya'”.
Ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang masalah “kharigun lil’adat” ini terhadap selain Para Rasul atau Para Nabi dan orang-orang tertentu sebagai yang tersebut di dalam Al-Our’an.
Pendapat pertama dipelopori oleh Imam Ghazali . r.a. tentang bisa terjadi hal-hal yang kharigun lil’adat bagi orang yang selain para Nabi atau Rasul-rasul, dengan alasan bahwa apa yang diceritakan oleh AlOur’an ternyata ada yang mendapat tingkat keistimewaan mampu berbuat hal-hal yangluarbiasa, meskipun mereka bukan berpangkat Nabiatau Rasul, seperti Ashabul Kahfi dan lain-lain. Mengingat pula bahwa sesuai dengan kekuasaan dan kemampuan Allah yang tidak terbatas, “harus” bagi Allah memberikan keistimewaan terhadap hamba yang dikehendakiNya. (pengertian “harus” diambil dari arti kata “jaiz” yang menurut tata bahasa zaman kini mungkin bisa kita artikan dengan kata “boleh-boleh saja”). Di tambah pula dengan penegasan dalam AlOur’an antaranya ialah ayat yang tersebut di atas, bahwa “para Malaikat membantu mereka yang istigomah atau tetap pendiriannya dalam kehidupan dunia dan akhirat”.
Pendapat kedua, dipelopori oleh Ibnu Rusydi yang sama sekali tidak menerima pendapat dimaksud, dengan alasan bahwa hal-hal kharigun lil’adat yang diceritakan dalam Al-Our’an adalah wajib menerimanya didasarkan iman dan yagin. Tetapi bagi yang selain itu tidak berlaku, karena semua ini harus terjadi “sepanjanghukumsebab dan akibat yang sudah menjadi “suhatullah” yang tidak bisa berubah sesuai dengan firman Allah sendiri “tidak ada perubahan bagi sunnatullah”
Menanggapi dua pendapat yang berbeda ini, kita akan lebih condong kepada dasar-dasar pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ghazali dengan satu catatan, bahwa kita tidak wajib untuk percaya terhadap “pemberitaan tentang kharigun lil’adat terhadap seseorang selain apa yang dikabarkan oleh Al-Our’an, namun kita wajib percaya bahwa peristiwa yang kharigun.lil’adat bisa saja terjadi terhadap siapa saja, apabila dikehendakioleh Allah SWT. mengingat Oudrat dan Iradat Allah SWT. tidak terbatas.
Keyakinan yang demikian ini jelas tidak bertentangan dengan akal sehat, karena akal sehat pula yang mengakui bahwa Allah itu dapat berbuat sekehendaknya sebagai tersebut pada banyak ayat AlOur’an. Lalu bagaimana tentang keterangan Ibnu Rusydi bahwa semua peristiwa, tidak bisa tidak, didasarkan pada “hukum sebab akibat” (causalitas) sedang Allah menyatakan tidak merubah apa yang ditetapkannya sebagai “sunnah” Nya.
Untuk itu kita dapat melihat dari susunan kata pada ayat yang tertera di atas, bahwa para Malaikat dapat membantu apa saja yang:diingini oleh mereka yang sudah mencapai tingkat istigomah, apakah urusan dunia ataupun urusan akhirat. Maka jelas sekali bahwa “bantuan Malaikat” itu bisa kita katakan sebagai berlakunya hukum sebab akibat. Hanya saja caranya MaIalaikat membantu,jelas tidak seperti'”biasanya” terjadi dikalangan alam nyata.ini. Maka untuk ini dapat kita impulkan sebagai berikut :
1.Peristiwa yang “luar biasa” bagi para Waliullah yang disebutkan dengan “karomah” bisa saja terjadi.
- Disebutkan denganhal yang “luar biasa” atau Kharigun liYadat,artinya bahwa hal itu tidak berlaku menurut hukum kebiasaan yang terjadi di dalam alam nyata ini, tetapi tidak berarti bertentangan dengan hukum sebab akibat.
- Tidak pula bertentangan dengan akal sehat, karena akal dapat menerima dan meyakini bahwa Allah dapat . berbuat sekehendakNya.
- Kenyataan banyak menunjukkan bahwa hal-hal yang luar biasa itu sering saja terjadi di kalangan manusia ini.
Jenis-jenis karomah, dan sikap hati terhadap hal itu . Jenis-jenis karomah ada tercantum dalam Kitab D.N. pada bagian terakhir sebanyak 40 macam, 20 untuk akhirat dan 20 untuk dunia, Untuk setiap orang yang diberi karomah oleh Allah SWT. belum tentu ke empat puluhnya dia miliki. | Nafsu dan keinginan kita yang menuntut ilmu makrifat, jalan pengenalan kepada Allah, harus lepas dari jenis-jenis karomah yang demikian. Kalau karomah dijadikan tujuan dalam mempelajari ilmu makrifat, maka tujuan yang sebenarnya ialah Allah yang Maha Ada, tidak akan bisa didapat. Mungkin saja orang itu dapat menemukan hal-hal yang ganjil, namun itu adalah sebagai hijab antara dia dengan Allah SWT.
Banyak memang yang mempelajari ilmu makrifat, hanya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan hal: hal yang ganjil-ganjil atau hal-hal yangluar biasa. Apabila mereka tidak menemukannya, timbul kebosanan untuk menuntut pelajaran lebih lanjut.
Kalau gurunya menganjurkan jangan sampai terpengaruh dengan hal-hal demikian, maka si guru dianggap sebagai guru yang tidak bonafid, padahal si guru benar-benar ingin membawa muridnya sesuai dengan jalan yang semestinya.
Syekh Muhammad As-Saman Al Madany, Syekh Abu Yazid Busthomi, tidak terkecuali Ibnu “Athoillah, bahkan banyak lagi para ‘Arif Billah berpesan agarjangan tersangkut hati dengan masalah karomah. Yang .terpentingadalah “istigomah” (pendirian yang tidak akan goyah) tetap dalam perpaduan syariat dan hakikat. Syekh Abu Yazid Busthoni r.a mengingatkan “lihatlah hukum syariat yang dilaksanakannya, jangan tersangkut hati dengan keajaiban/keganjilan yang ditunjukkan”. Kalau dia bisa terbang, burungpun bisa. Kalau dalam sekejap dia bisa sampai ke suatu tempat yang jauh, maka syetanpun bisa.
Kata-kata ini jelas sekali menghendaki kehati-hatian kita dalam menanggapi karomah.
(Lanjutan Kitab D.N)
- Keharusan melalui seorang guru adalah kebiasaan saja. Tarikan Tuhan adalah lebih bernilai.
Al ‘Arif Billah Maulana Syekh Muhammad bin Ahmad AlJauhary rahmatullah ‘alaihi mengatakan “Perpegangan yang teguh kepada Allah adalah suatu keharusan untuk tetap mengikut dan melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Bukanlah suatu keharusan, bahwa untuk sampai kepada Allah harus dengan wasithoh/ perantaraan guru (syekh) sebagai umumnya disangkaoleh sementara kalangan Shufi.
Tentang wasithoh guru itu hanyalah sekedar kebiasaan saja. Allah sampaikan seseorang hambanya kepadaNya, atas kehendakNya sendiri, dengan beberapa macam tarikan (jadzabaat)”.
Sebagian dari cara-cara tarikan Tuhan untuk menyampaikan seseorang hamba kepadaNya antara lan adalah dengan cara “membaca shclawat” sedapat-dapatnya 10.000 kali tiap malam dengan lafazh (ucapan) sholawat sebagai berikut :
Artinya : “Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan dan keselamatan terhadap Nabi Muhammad yang ummiy, dan terhadap keluarga serta sahabat beliau.”
Demikian pendapat Syekh Malawy rahmatullah ‘alam Selanjutnya Syekh Jauhary mengemukakan : “Siapa yang mengamalkan apa-apa yang tercantum dalam risalah ini, insya Allah akan mendapat “jizbah” dengan segera” dari TuhanNya. Nilaijizbahitujauh : lebih tinggi dari amalanjin dan manusia sebagaimana sabda Nabi kita Muhammad Saw. :
Artinya :
“Satu-tarikan dari beberapa tarikan Tuhan, tidak akan dapat disamakan dengan amal-amal jin dan manusia.”
Catatan, dari kami D.N. yang di-indonesiakan tentang berguru Memang benar bahwa keharusan melalui seorang guru dalam hal menuntut ilmu Tasawuf adalah kebiasaan. Tetapi dalam banyak hal, ungkapan ungkapan dan rumus serta isyarat di dalam ilmu itu banyak sekali yang harus dimengerti. Apabila . dipelajari sendiri melalui kitab-kitab tasawuf, pasti akan bertemu dengan rumuz dan isyarat. Tanpa guru banyak kemungkinan salah pengertian yang . akibatnya malah akan menyesatkan. Guru bukanlah seseorang yang pasti mengantar muridnya untuk sampai kepada Allah. Sama sekali tidak. Guru hanyalah sekedar menunjukkan jalan, memberi pengertian. dan pemahaman. Namun semua itu tergantung seluruhnya pada kehendak Allah sendiri. Apalagi bila sampai kepada pengertian hakiki tentang makrifat ialah “Allah sendiri yang memperkenalkan dirinya”.
- Ilmu tanpa amal sama sekali tidak ada gunanya
Seyogyanyalah anda mengamalkan segala ilmu yang anda ketahui agar anda mendapat kemenangan dunia dan akhirat, seperti yang telah kami sebutkan dalamrisalah ini, karena Rasulullah bersabda :
Artinya :
“Sesungguhnya manusia yang mendapatazab yang paling hebat di hari Kiamat ialah seorang yang berilmu tetapi tidak memanfaatkan ilmunya.”
Syekh Ruslan r.a. dalam syairnya berkata :
Artinya :
“Seorang yang berpengetahuan tidak mengamalkan ilmunya, diazab lebih dahulu dari pada penyembah berhala.”
Begitu pula suatu amal yang tidak didasarkan. ilmu maka amal yang demikian sama sekali tidak ada nilai dan harganya, bahkan mungkin membawa kesesatan.
Sebagaimana bunyi syair :
Artinya:
“Ilmu tanpa amal dosa besar, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan yang nyata.”
Ilmu dan amal memungkinkan seseorang mendapatkan ilmuladuni sebagaimana tersebut dalam firman Allah :
Artinya :
“Takwalah kepada Allah, Allah akan ajarkan ilmu langsung kepadamu.”
Hadis Rasulullah Saw.
Artinya :
“Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya. Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak pernah diketahuinya.” :
Ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu yang langsung dari pada Allah SWT. tanpa lebih dahulu dipelajari, suatu ilmu yang juga akan membawa dia ke tingkat makrifatullah.
Seseorang tidak akan mencapai tingkatmakrifatullah tanpa ilmu laduni. Pengertian makrifatullah itu sebenarnya adalah “Allah yang memperkenalkan dirinya”.
- Mengenal diri dapat mengenal Tuhan, setelah mengenal Tuhan dia tidak mengerti lagi terhadap dirinya.
Makrifat itu ta’allug (berhubungan) dengan pengenalan terhadap diri. Pengenalan diri berhubungan pula kepada pengenalan terhadap Allah. Selanjutnya bila seseorang itu sudah makrifat kepada Allah, barulah dia menyadari bahwa dia sendiri sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Hadis Rasulullah Saw. :
Artinya :
“Orang yang benar-benar makrifat kepada Allah, adalah yang lebih mengerti/kenal terhadap dirinya.”
Makrifat adalah “kasyaf” yang maksudnya, terbuka baginya hakikat segala sesuatu ini, fana dirinya, kemudian fanalah fana itu sendiri, artinya bukan dirinya sendiri yang memfanakan Allah-lah yang memfanakannya,
Dari tingkat ini langsung mencapai tingkat Bago Billah, yang maksudnya, Allah meliputi segalagalanya.
Akan terasa kemanisan dan keindahannya, lebih .manis dari pada gula, lebih indah dari pada yang indah.
Tentang fana ini dapat kita bagi kepada tiga tingkatan:
1, Fana Ilmu
Fana segala sesuatu ini pada hakikatnya, dilihat dari segi ilmu dan pengetahuan anda.
- Fana “Ain
Fananya segala sesuatu ini, sepanjang pandangan mata hati anda.
- Fana Hag
Fana dalam arti sebenarnya, fana dirinya dan fana yang dilihatnya menurut pengertian hakiki.
- Kelemahan pendapat untuk menemukan Tuhan, berarti adalah suatu penemuan
Kata Syekh Junaid r.a. “Bagaimana juga untuk sampai kepada Tuhan,.bukanlah karena “sebab” dan “nazhor” (pengamatanpikiran)halitu hanyalah sematamata karunia Tuhan yang Lathief, dalam isyarat yakin – dan tahkik imam (kemantapan irnan).
Kata Shiddig Al-Akbar r.a. :.
Artinya :
“Kelemahan menemukan pendapat, maka itulah sebenarnya yang merupakan penemuan.”
Sayyidul ‘Arifin, Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib r.a. .karamallahu wajhahu berkata :
Artinya :
“Semua yang terlintas dan tergambar pada khayalmu, – Semuanya adalah musnah, maka Allah berbeda jauh dengan semua itu.” Syekh Abu Ja’far bin Abdullah Suhrawardi r.a. berkata: “Ketahuilah oleh anda, bahwa sampai atau kertemunya hamba dengan Tuhan itu ada beberapa maratib (tingkatan)”.
Demikian pendapat para guru.
Seseorang yang sampai pada “hening yakin” adalah salah satu tingkatan sampai.
Tentang pengertian sampai ini, terdapat pula perbedaan tingkatan. Ada yang sampai pada titik perhentian Af’al pada tajali af’almaka fanalah fi’ilnya (perbuatannya) sendiri, atau perbuatan selain dirinya pada perhentiannya serta Af’al Allah, yang dengan demikian berarti dia telah keluar dari batas “tadbir” (pengaturan) dan “ikhtiar” (usaha).
Ada pula diantaranya sampai pada titik perhentian Sifat. Batas perhentiannya pada magom haibah (rasa kagum yang mendalam) sehingga ia dapat menyaksikan sifat Jalal dan sifat Jamal Allah SWT.
Selain itu ada pula antaranya sampai pada tingkat Zat karena terhias hatinya dengan nurul yakin dan musyahadah. Mereka inilah orang khawwas (istimewa) dan orang yang mugarrabin.
Demikianlah apa yang kita maksudkan dengan “perbedaan tingkat sampai” seseorang kepada Aliah — SWT.
- Ilmu batin adalah Ilmu rahasia
Ketahuilah oleh anda, bahwa ilmu yang kami kemukakan dalam risalah ini adalah suatu ilmu rahasia yang halus dan dalam. Jarang yang dapat memahaminya kecuali Ulama-Ulama yang dalam pengertiannya (rasikh) yaitu mereka yang telah mendapatkan cahaya pada kata-katanya, suatu rahasia yang diwarisinya dari para Nabi dan para Awliya.
Selain itu, mereka yaitu para Ulama yang rasikh itu benar-benar mengamalkan apa yang diamalkan oleh para Nabi dan para Awliya. Mereka telah mendapatkan “khashais” (beberapa keistimewaan) karena mengamalkan apa yang mereka ketahui.
Allah berfirman:
Artinya :
“Begitulah beberapa contoh dan misal yang kami kemukakan kepada manusia, namun tidak ada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang alim.”
Rasulullah Saw. bersabda :
Artinya :
“Kami para Nabi-Nabi, Allah perintah kami untuk berbicara kepada manusia, menurut tingkat kecerdasan mereka (manusia).”
Menyampaikan hal-hal yang halus itu, bila tidak dilihat tingkat kecerdasannya, kemungkinan akan menimbulkan fitnah di kalangan mereka. Seperti yang disabdakan oleh Nabi kita Muhammad Saw.:
Artinya :
“Apa pun yang dibicarakan seseorang kepada suatu kaum dengan pembicaraan yang tingkat kecerdasan mereka tidak mampu untuk memahaminya, hanya akan menimbulkan fitnah terhadap mereka.”
Hadis Rasulullah Saw.:
Artinya :
“Sesungguhnya ada sebagian ilmu itu laksana mutiara yang tersembunyi, tak ada yang tahu kecuali orang yang Alim Billah.”
Orang yang Alim Billah itu ialah yang mengenal Zat Allah. Sifat-sifatNya dan AsmaNya serta Af’alNya. Allah menyertaiilmunya dan mereka amalkan dengan – tekun apa yang mereka ketahui tanpa cacat.
Imam Ghazali r.a. menjelaskan di dalam Ihya Ulumuddin: “Larangan dimaksud berhubung sulit . dan sukarnya faham”.
Hadits selanjutnya menegaskan:
Artinya :
“Kelebihan Abu Bakar dari padamu, bukanlah karena banyak sembahyang dan banyak puasa, tetapi kelebihan itu karena suatu rahasia yang terletak di dadanya/hatinya.”
Catatan:
Khusus untuk ini perlu sedikit penjelasan tentang:
1) Apa yang dikatakan rahasia dan
2) Siapa yang dikatakan ahlinya. .
Menurut sepanjang kaji dan pengamatan bahwa rahasia yang dimaksud menyangkut dua segi.
Pertama : “rahasia yang dapat dikatakan, ditulis dan dijabarkan
Kedua : ada pula rahasia yang tidak mungkin untuk diucapkan, ditulis dan dijabarkan
Menurut istilah, yang dikatakan rahasia adalah sesuatu yang tersembunyi. Di dalam bahasa arab dikatakan “Sir”. Ilmu psykologi (ilmu jiwa) atau Ilmu Batin adalah sesuatu ilmu yang membicarakan tentang apa-apa yang tersembunyi pada diri ‘manusia. Ilmu ini adalah tergolong pada segi pertama di atas. Begitu pula tentang Ilmu Metafisika, ilmu yang mengungkapkan apa-apa yang ada dibalik alam nyata ini. Itupun juga termasuk ilmu yang tersembunyi/rahasia. Rahasia pada segi kedua, ialah hakikat atau arti yang. sebenar-benarnya dari sesuatu yang tersembunyi pada segi yang pertama itu. Misalnya, siapakah yang dapat menunjukkan secara tepat apakah itu “rasa”. Apakah rasa itu seperti atom, molekul, jauharkah ia? dari sebagainya…,dan sebagainya…. Tak ada seorangpun yang sanggup menunjukkannya dengan tepat, meskipun jaman kini sudah memiliki kemajuan teknologi yang pesat. Yapisiapakah yang dapat mengingkari adanya rasa? Tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.. Pembicaraan dalam Kitab D.N adalah pembicaraan hal-hal yang tersembunyi itu. Pembicaraan sepanjang yang dapat ditulis dikatakan dan dijabarkan. Namun tetap dalam suatu lingkaran yang dikatakan isyarat dan itibar. –
Siapakah yang dikatakan ahlinya?
Banyak yang menyangka dan berpendapat bahwa mempelajari tasawuf-ketuhanan ini, haruslah sudah matang dalam hal-hal syarat, mendalam Ilmu Figihnya, harus tahu segala hukum secara terperinci (tafshili). Katanyajanganlah kita berikanilmurahasia ini kepada yang selain itu.
“Akhirnya banyak pengajian dalam hal ini ilmu ini secarasembunyi-sembunyi, diajarkan malaholehorang . yang bukan ahlinya. Manusia ingin mencari kepuasan batin dengan mencari ilmu kearah itu, akan tetapi bila diberati dengan bermacam-macam syarat dan “ketentuan yang dirasa sulit untuk dilaksanakan akhirnya, mereka mundur teratur atau timbul kecenderungan untuk pengisian batin itu dengan caracara yang praktis, yang malah timbul hasil sebaliknya tidak sesuai dengan ajaran yang benar.
Tapi apa mau dikata, namun mereka merasa mendapat pengisian batin sesuai hajat mereka. Kita jangan heran, bahwa orang yang berada di tempat padang pasir yang sedang kehabisan air dan tidak menemui apa-apa untuk pelepas haus dahaga, di Saat-saat demikian, air yang kotor bagaimana pun akan diminum. sebagai yang disabdakan oleh Rasulullah, Kadal Fagru ‘Yuritsul Kufra (artinya : Hampir saja orang yang fakir itu menderita kekafiran)
Guru-guru saya dansayasendiritidak berpendapat bahwa. untuk menuntut ilmu ini harus serba lengkap dengan ilmu-ilmu yang lain. Pengertian yang dikatakan “ahlinya” ialah orang-orang yang memiliki kecerdasan dan intelejensi untuk dapat memahami permasalahannya, dan ada kegairahan untuk mendalami masalah kebatinan. Tentu saja mereka sudah harus mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, meskipun pengertian mereka secara “ijmali” (global — jumlah).
Sebagaimana seorang muslim, mereka tentu mengerti dan mengucapkan dua kalimat syahadat, sholat, puasa dan sebagaimana yang mereka laksanakan.
Apabila “ala gadri ‘ugulihim (menurut ukuran kecerdasannya) ternyata tidak mungkin diberikan, maka jelas sekali akan membawa bahaya bagi si penuntut. Kecerdasan itu tentu saja dilihat dari segi usia atau unsur yang menurut ahli ilmu jiwa bahwa kecerdasan manusia meningkat sesuai dengan peningkatan umurnya. Dan tidak mungkin juga diberikan kepada seseorang meskipun cukup usia tetapi sikapnya terlihat ciri-ciri kebodohan atau bebal. Hal ini tergantung dengan pengamatan seorang guru terhadap murid-muridnya.
Kalau sekiranya dipakai sepanjang pendapat yang pertama, di mana harus mendalamisyareat, ilmu figih, dan lain-lain secara terperinci, apakah hal tersebut mungkin dilakukan, sedang waktu smencurahkan perhatian kepada masalah itu memerlukan waktu yang panjang. Bagaimana kalau habis umur?
Dengan uraian ini semoga jelaslah apa yang kita maksudkan dengan kata”rahasia” dan “ahlinya”. (D.N yang diindonesiakan) .
- Larangan tentang membeberkan rahasia ketuhanan. Imam Ghazali r.a.menegaskan “rahasia itu ada hubungan (ta’allug) kepada kepentingan agama
Semua rahasia-rahasia itu tidak terlepas dari kepentingan dan kegunaan untuk Agama. Didasarkan kepada itulah, maka tidaklahadaalasan untuk melarang melahirkannya kepada yang memang ahlinya.
Sahl At-Tustury r.a. juga berkata:
Artinya :
“Bagi orang alim ada tiga macam ilmu 1) Ilmu Zohir adalah iImu yang seharusnya disampaikan kepada ahli zahir 2) Ilmu Batin, tidak seharusnya disampaikan kecuali kepada ahlinya 3) Ilmu antaranya dengan Allah, yang tidak seorangpun yang dapat menzahirkannya.”
Sebagian Arif Billah ada yang berkata:
Artinya :
“Membeberkan rahasia ketuhanan adalah kufur.” Begitu pula selanjutnya mereka berkata ‘Bagi ketuhanan ada rahasianya, yang apabila dizahirkan, batallah kenabian, bagi kenabian ada pula rahasianya, kalau dibuka malah batallah segala ilmu. Bagi Ulama ada pula rahasianya, kalau mereka zahirkan rahasia itu, maka batallah hukum” (Li-rrububiyyati sirrun, law azhhara labuthilatin-nubuwwatu, walinnubuwwatisirrun law kusyifa labuthilatil-‘ilmu. Walil ‘ulama-‘isirrun, law azhharuuhu labuthilatil ahkam).
Untuk semua itu maka Rasulullah bersabda:
Artinya :
“Kamu berbicara kepada manusia yang belum sampai tingkat kecerdasannya, apakah kamu dalam hal jni ingin agar mereka mendustakan Allah dan RasulNya?.”
- Menzahirkan “kalam gadim” adalah bahaya Berkata Abu Hurairah r.a. tentang Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a:
Artinya : “Aku menghafalkan dua macam ilmu dari Rasulullah Saw. Adapun satu diantaranya kuterangkan, tetapi yang satu macam lagi kalau kuterangkan akan dipotong orang leherku.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib k.w. berkata:
Artinya :
“Ya Tuhanku, andai kata kutunjukkan permata ilmuku, dikatakan orang aku termasuk orang-orang penyembah berhala. Laki-laki muslim menghalalkan darahku, mereka menyangka apa yang kutunjukkan itu adalah yang paling jelek, dan apa yang mereka perbuat itu adalah yang paling baik.”
Ibnu’Abbasr.a. menyatakan tentang tafsir Al-guran yang berbunyi:
Artinya :
“Allah-lah yang menjadikan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi, ia turunkan perintah kepada keduanya.”
Untuk itu beliau berkata:
Artinya :
“Kalau kutafsirkan ayat ini, kamu akan melempari aku dengan batu dalam riwayat lain kamu mengatakan bahwa aku adalah orang kafir.”
Catatan:
Tentang kalam gadim sudah kita kemukakan pada bagian muka. Kata-kata ini yang diucapkan atau lahir dari mulutnya sementara kalangan Arif Billah sehingga sebagian mereka harus berhadapan dengan penguasa yang waktu itu adalah penguasa dari pemerintahan Islam. Begitu pula bila hal itu terjadi pada masa kini terutama bila disebarkan secara luas tanpa memandang tingkatan dan kecerdasan masyarakat, setidak-tidaknya pasti menimbulkan fitnah.
Sikap orang yang bisa menimbulkan fitnah berarti suatu dosa dan suatu kesalahan. Tetapi bagaimana andaikata “kalam gadim” itu tidak kita zahirkan? Bagaimana pula kalau kata-kata itu zahir di dalam hatinya sendiri? :
Maka saya jawab: “Itu adalah urusannya sendiri dengan Allah”. Bagaimana pulajika seandainya orang itu ragu-ragu? Tiap-tiap ada keragu-raguan maka pasti itu bukan “kalam gadim” tetapi kalam/katakata nafsunya sendiri. Untuk ini jelas salahnya. Misalnya seseorang menyangka bahwa daging ayam yang sudah masak berada di hadapannya adalah daging babi, maka kalau dia memakannya, berarti memakan benda haram buat dia. Begitu pula bila segumpal daging babi dihadapannya, berat sangkanya bahwa daging itu adalah daging halal lalu dimakannya tanpa ragu-ragu, maka hukumpun dapat memaafkannya.
Hadis Rasulullah Saw. yang diterima oleh Sayyidina “Ali k.w. tercantum dalam Kitab Ihya ‘Ulumuddin, halaman 319/320 Jilid 1 (Percetakan Maktab wal Mathba’ah Al-Masyhad Al-Husaini Kairo):
Artinya :
“Ali kw. meriwayatkannya dari Nabi Saw. yang telah berkata: Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi selalu memuji diriNya setiap hari dengan kataNya Sesungguhnya Akulah Allah Pengatur Alam Semesta, sesungguhnya Akulah Allah yang tidak ada Tuhan lain selain Aku Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, sesungguhnya Akulah Allah dak ada Tuhan lain kecuali Aku Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, sesungguhnya Akulah Allah tidak ada Tuhan lain selain Aku, tidak melahirkan dan.tidak pula dilahirkan, sesungguhnya Akulah Allah tidak ada Tuhan lain selain Aku Maha Pemaaf dan Maha Pengampun, sesungguhnya Akulah Allah tidak ada Tuhan lain selain Aku, Yang Maha, Menzahirkan segala sesuatu dan kepadaKu kembali segala sesuatu itu, Akulah Yang Maha Mulia, Maha Bijaksana, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Merajai Hari Pembalasan, Maha Pencipta kebaikan dan keburukan, Maha Pencipta Surga, dan Neraka, Maha Esa, Maha Tunggal, Maha Sendiri, Maha “Tempat Bersandar/Bergantung yang tidak punya kawan dan anak…dan seterusnya.”
Hadis ini tercatat cukup panjang, tapi dicukupkan sekian saja.
Menurut Imam Ghazali r.a. siapa yang hendak berdoa dengan itu hendaklah diganti kalimat Ini Anallahu La Ilaha Illa Ana, diganti dengan Innaka Antallahu La Ilaha Illa Anta (Sesungguhnya Engkaulah Allah tidak ada Tuhan lain selain Engkau), siapa yang berdoa demikian, tercatat sebagai orang yang sujud terus menerus, dan bertetangga dengan: Rasulullah, Ibrahim a.s. Musa a.s. ‘Isa a.s. dan Para Nabi-Nabi yang lain dihidlrat Allah, selain itu tercatat bagi orang yang berdoa demikian sama pahalanya dengan ahli ibadat di langit dan di bumi.
Maksud pencantuman kalimat-kalimat ini, selain boleh dipakai untuk berdoa, yang penting adalah bila ingin menzahirkan “kalam gadim” itu diganti dengan kata-kata, “Engkaulah Allah, tidak lain kecuali Engkau Yang Maha…” dan sebagainya.
Dengan demikian maka selamat dalam arti hakikat dan selamat pula dalam arti syariat. Tidak ada seorangpun yang menuduh, memfitnah dan menghukum.
Cukup sekian uraian ini dari penyusun yang saya anggap penting dan hendaklah difahami benar-benar. Semoga kita semua mendapat ridlo Allah. Selanjutnya ikutilah keterangan-keterangan berikut ini dari Kitab D.N. berbahasa Melayu (D.N. yang di-ind. “)
- Syareat, Tharekat, Hakikat, tidak bisa dipisahpisahkan
Berkata Sahl At-Tustury (Abdullah At-Tustury) r.a.
Artinya: .
“Jangan kamu angkat bicara tentang rahasia-rahasia ketuhanan, sebelum mereka/pendengar itu tetap pendirian mereka.”
Demikian pula Nabi ‘Isa a.s. berkata:
Artinya : “Jangan anda gantungkan permata di leher babi.”
Perlukami jelaskan kepada anda tentang pengertian syareat, hal mana sama sekali tidak boleh terpisah . dan terlepas padaitikad hati, apakahitu andalakukan atau tidak.
- a) Syareat, ialah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul sehubungan dengan perintah dan larangan, tata : cara melakukannya pada arti zahir,
- b) Tarekat, maksudnya, sengaja anda amalkan segala ilmu karena Allah,
- c) Hakikat ialah menyangkut masalah batin yang dengan suatu tanggapan selalu tertuju kepada Allah lewat sinar cahaya kebenaran yang terpancang pada hati.
Syareat dan hakikat itu kedua-duanya berlazim-laziman (tidak terpisahcerai) yang maksudnya, tidak bisa terjadi yang zahir tanpa dorongan batin. Begitu pula tidak adanya dorongan batin berarti tidak ada terjadi yang zahir.
Begitulah apa yang diisyaratkan oleh para Ulama: ‘As-Syari’atu Bila Hagigatin ‘Athilatun (Syareat tanpa Hakikat adalah sia-sia dan Hakikat tanpa Syareat adalah salah).
Berkata pula Al-Outhubur-Rabbaniy Maulana Syekh Abdul Oadir Jaelani q.s.:
Artinya :
“Tiap-tiap hakikat yang tidak dikuatkan dengan syareat adalah kufur zindiq.”
Syekh Ibnu ‘Ubbad q.s. mencatat ucapan sebagian Arif Billah berkata: “Siapa saja yang mengatakan bahwa hakikat berlawanan dengan syareat, berarti Orang itu kafir”.
Perlu anda ketahui juga bahwa hal-hal yang menyangkut syareat dijelaskan dalam suatu ilmu yang disebutkan “ilmu figih” dan yang menyangkut hal-hal yang batin/ hakikat dijelaskan dalam suatu macam ilmu yang dinamakan “ilmu tasauf”. Kedua-duanya ini bersumber dari ajaran Nabi kita Muhammad Saw.
Selanjutnya Imam Junaedi r.a. berkata:
Artinya :
“Barangsiapa yang melulu figih/syareat saja tanpa tashawuf adalah fasig, siapa yang melulu Tasawuf saja tanpa figih adalah zindig. Siapa yang mengumpulkan keduanya (syareat dan hakikat/figih dan tasnuf) adalah benar.”
Adapun tentang syareat, thorigat dan hakikat ini adalah dimisalkan sebiji kelapa. Syareat laksana tempurung, thorigat laksana isinya, dan hakikat laksana minyak. Tempurung berfungsi menjaga isinya, sedang minyak adalah sesuatu yang tersembunyi pada isi.
Minyak inilah yang dirahasiakan atau disembunyikan dan tidak boleh diajarkan kepada seorang yang bukan ahlinya. Itu misalnya hakikat.
(Catatan: harap dipelajari maksud kata-kata “rahasia” dan “ahlinya” pada catatan yang lalu).
9, Ilmu Hakikat (tasauf) adalah suatu Ilmu Laduni, . siapa mengingkarinya mendapat siksa, siapa yang tidak mengetahuinya kemungkinan mati sesat.
Menurut syarah Kitab Al-Hikam, Ibnu Ruslan mengemukakan pendapatnya bahwa yang dimaksudkan dengan Ilmu Hakikatitu adalahsuatu Ilmu Laduni yang bersifat “nurani”. Ilmu tersebut itulah yang telah diajarkan kepada semua rohroh (dialam roh) sewaktu Tuhan berbicara kepada roh-rohitu “Alastu Birabbikum?” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?) Maka segala rohpun menjawab: Balaa Ya Rabbi (Benar ya Tuhanku). Itulah pula yang pernah diajarkan lagi kepada Nabi Adam a.s. sebagaimana firmanNya ‘Wa ‘Allama Aadamal Asma’a Kullaha (Allah telah ajarkan . kepada Adam semua nama-nama). Akan tetapi pengetahuan tersebut tersembunyi karena manusia pada umumnya .
Bilamana semua tutupan kegelapan itu telah hilang sirna kemudian menyatalah hakikat itu dengan terang dan jelas. Inilah juga yang dimaksudkan oleh Hadis Rasulullah “Siapa yang mengamalkan ilmunya, Allah wariskan kepadanya ilmu yang belum pernah diketahuinya/ dipelajarinya sebelum itu. Allah berikan taufig kepadanya, dihormati oleh segala makhluk dan disediakan baginya surga di akhirat.
Ada tuduhan sementara fisik bahwa Para Sufi menyembunyikan ilmunya, adalah tidak benar. Mereka menyatakan bahwa Para Nabi dan Rasul tidak pernah menyembunyikan apa yang disampaikan Allah SWT. Dengan adanya Hadis-Hadis Rasulullah yang telah dikemukakan di atas jelas sekali bahwa Para Arif Billah bukanlah hendak menyembunyikan
“ilmunya (Ilmu Hakikat) namun penyampaian ilmu itu hendaklah dengan hati-hati, sambil melihat tingkat kecerdasan, keghairahannya, ketekunan . mereka dalam beragama.
Imam Hujjatul Islam Imam Ghazali r.a. dalam Kitab “Ihya” menegaskan, siapa pun yang tidak memperoleh ilmu ini (ilmu batin) maka -: dikhawatirkan mereka mati dalam kekafiran.
Orang-orang yang tetap kasih kepada dunia dan tetap pula dalam kungkungan hawa nafsunya, tidak akan menemukan rasa “tahkik” / kemantapan ilmu ini, meskipun dalam ilmu-ilmu lain dia berhasil. Setidaktidaknya dia tidak akan diberikan perasaan kemanisan ilmu.
| Orang yang mengingkari ilmu ini, bagaimana pun juga tidak pula akan bisa merasakan keindahan ilmu “” ini, dan tidak mungkin mereka bisa mendapatkan “‘mukasyafah” (terbuka hijab/ dinding) sebagaimana . yang dialami oleh Para Shiddigien dan AhlulMugarrabien.
Mukasyafah adalah suatu gambaran tentang kebersihan hati, sehingga memancarcahaya kebenaran – hidup yang diiringi pula dengan “karomah” dan “‘magom wilayah” (kewalian).
Untuk itulah hendaknya perlu adanya ketekunan, mujahadah (kesungguhan). riyadloh (latihan), murogobah (intipan) dan musyahadah serta jangan sekali-kali mengingkari atau memusuhi Para AhlulKarimah, malah sebaiknya perlu mengambil pelajaran dari mereka itu.
- Pintu kewalian dan karomah tidak tertutup Sabda Nabi kita Muhammad Saw.:
Artinya :
“Siapa yang menuntut sesuatu dengan kesungguhan, dia pasti mendapat.”
Jangan hendaknya kita terpengaruh dengan pendapat yang mengatakan bahwa pada masa sekarang initidakadalagi yang dapat memperoleh “magom kewalian” karena sudah mendekati akhir zaman. Pendapat itu adalah “mardud” (tertolak).
Pendapat itu pula menunjukkan adanya rasa “dengki (hasud) dan rasa ingkar (‘inad). Bila dalam iktikad mereka tumbuh anggapan bahwa Allah tidak kuasa lagi mendatangkan karomah dan wilayah kepada hambaNya, maka iktikad yang demikian adalah kufur. Sebenarnya bagi Allah tidak ada kesulitan sedikitpun untuk menganugerahkan-kewalian kepada hambaNya, kapan saja Dia mau, kini maupun masa yang akan – datang, sebagaimana juga tidak sulit bagi Allah menganugerahkan kewalian itu kepada mereka yang terdahulu.
Memperoleh tingkat kewalian,berhubungan dengan ketekunannya, kesungguhannya, latihanlatihan tertentu. Sehingga mempercepat datangnya. Menurut kata Syekh Yusuf Al-Mishri rahimahullahu Ta’ala sewaktu beliau mengajar di Masjidil-Haram “Pendapat dikalangan Ahli Sufi yang menyatakan bahwa magom kewalian itu bisa didapat dengan usaha seperti tersebut di atas adalah suatu pendapat yang mu tamad” (dapat dipertanggungjawabkan).
Mereka yang telah mendapat pangkat kewalian itu adalah mereka yang benar-benar tekun melakukan ibadat dan melawan hawa nafsu sendiri. Tentang kemungkinan dianugerahkan pangkat kewalian tanpa usaha demikian adalah yang jarang terjadi (nadir).
Menurut perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Karim g-s. dalamrisalah beliau yang bernama “Unwanul Jalwati fi Sya’nilkhalwati” bahwa seseorang akan mendapat pangkat wali dan abdal (wali-pengganti) pada “umumnya dengan melaksanakan segala rukunyukunnya.
Rukun-rukunnya itu adalah:
- Khalwat artinya bersunyi diri
- Tahan lapar, berpuasa
- Tidak banyak bicara
- Berjaga malam, tidak banyak-banyak tidur.
Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Mahyuddin Ibnul-‘Araby q.s.:
Artinya :
“Wahai orang-orang yang menginginkan pangkat abdal, tapi tiada maksud untuk beramal, “tidak mungkin anda dapat merasakannya, dan anda bukanlah ahlinya, bila anda tidak melaksanakan segala ahwalnya. Istana kewalian itu terbagi atas rukun-rukun tertentu, sepanjang pendapat penghulu-penghulu kita, yang diantaranya terdapat wali abdal, yaitu, tidak banyak kata dan mengasing diri menahan lapar dan berjaga, memuji dan tasbih kepada Allah yang Maha Tinggi.”
- Mujahadah, murogabah, riyadloh
Arti mujahadah yang disebutkan di atas, adalah penuh kesungguhan hati melawan dan menahan. getaranhawanafsunya. Riyadlah adalahlatihan-latihan berat dalam rangka melawan getaran hawa nafsu dengan melakukan puasa, khalwat, bangun di tengah malam dan tiada banyak bicara serta ibadat yang terusmenerus.
Murogabah adalah mengintip dan memperhatikan , dirinya dengan sungguh-sungguh yang hakikatnya tiada mempunyai daya dan kemampuan apa pun “juga, karena dia dalam lautan musyahadah. Muragabah akan berhasil bila terus-menerus zikir yang dalam zikirnya itu keluar dan tersisih segala – yang lain dari pada Allah, termasuk dirinya sendiri. Intipan demikian akan mencapai tingkat musyahadah (menyaksikan) yang pada tingkat itu berartitidak adalagi dzikir dariorang yangberdzikir.
Begitulah keadaannya sebagaimana apa yang diucapkan oleh sementara Arif Billah “ana atubu min gauli La Ilaha Illa Allah” (Aku bertaubat dari “’mengatakan la ilaha illa Allah). (Catatan : Hati-hati memahami ini yang dimaksud adalah ana (keakuan yang berzikir)sudah karam/ fana, sebagaimana bunyi hadis Oudsi, Allah berfirman: La Ilaha Illa Allah Kalamiartinya,lailaha illa Allah adalah perkataanKu. : (DN. yang di-ind.z)
Syekh Abu Abbas Al-Mursi r.a. berkata:
Artinya :
“Andai kata aku terlindung dari Tuhanku meskipun sekejap mata, tidaklah lagi aku terhitung manusia.”
Syeikhul Islam q.s. (maksudnya Syekh Ruslan g-s.) menegaskan tentang murogabah sebagaiberikut: “murogabah ialah selalu memelihara hati memusatkan pandangan kepada Allah SWT. seakanakan seekor kucing yang mengintip tikus,. lalai sedikit, tikus yang diintip dan dicintai akan lari”. Demikianlah keadaan orang yang bermurogabah terhadap Tuhannya.
Bila terdapat cacat dalam bermurogabah, niscaya cela pula yang terdapat pada maksud (ghorod) makrifat kepada Allah SWT.
Demikianlah yang dimaksud oleh Syekh Umar AlFaridl g.s:
Artinya :
“Andaikata tergetar kehendak di dalam hati, selain padaMu Ya Tuhan, i karena lalai dan lupa, : kuhukumkanlah diriku terjerumus, hancur berkeping di lembah murtad.”
- Menafikan/memfanakan ke-aku-an diri, dengan kalimah La Ilaha Illallah dan Tajalli Zat Allah dengan musyahadah
Sayyid Abdullah bin Ibrahim al-Mirghani q.s. salah seorang wali Allah yang masyhur di Negeri Tho”if menyebutkan dalam Kitab tuhfatul Mursalah: “Kaifiyat (cara) murogabah itu adalah andanafikan/ tiadakan inayahmu (ananiyah —keakuan) itulah yang dimaksudkan dengan kalimah La Ilaha Illallah,
Apabila ada yang bertanya kepada anda: “Kalau yang wujuditu hanya satu, lalu apakah yang dinafikan dan diitsbatkan? Pertanyaan itu hendaklah andajawab” yang dinafikan/ditiadakan itu sebenarnya adalah waham/sangka-sangka dan keraguan/syak yang seakan-akan masih ada yang lain dari pada wujud Allah Ta’ala. i
Jadi jelasnya, yang ditiadakan itu adalah apa yang disangka dan diragukan itu, yaitu dengan kalimah La Ilaha.
Peniadaan itu termasuk peniadaan diri kita sendiri. Kemudian dengan kalimah Illallah berarti Allahlah yang Ada. .
Apabila hal itu sudah menjadi kebiasaan (gholib) maka berarti tetap dalam itsbat.
Keadaan yang demikian itu adalah sangat indah dan manis sekali, labih manis dari pada gula tebu (sakar nabat) dan lebih lezat dari pada burung dara.
Tentang musyahadah (af’al, asma, sifat dan zat) kadang-kadang dengan nazhor fikir/ pendapatpikiran sebagai tenaga pertama, kemudian meningkat pada perasaan.
Pada tingkat dzaug inilah yang sebenarnya musyahadah. Istilah Tasawuf sudahjelas”idrakus-syai” bidzdzauqi (menemukan sesuatu adalah dengan perasaan). Istilah ini adalah ucapan dari Syekh Shiddig bin Amrikhan dalam Kitab OlQoshidah ‘Ainiyah.
Penegasan dari “Alimul ‘Allamah (Maha Guru) –
‘ Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarkawi rahmatullah ‘alaihi, bahwa yang disebutkan musyahadah dalam istilah adalah “memandang Allah Ta’ala dengan Hag Ta’ala”. |
Pendapat Syekh Jaili q.s. bahwa “nazhor syuhud/ penglihatan musyahadah”ituadalah, memperlihatkan Allah kepadamu atas kenyataan-kenyataan yang ada sehingganyata tajalli Allah Ta’ala tanpa ragu-ragu lagi dan tiada yang serupaNya, pandangan mana adalah anugerah dan karunia Allah.
Syuhud yang tidak dalam arti hulul (bersatu) tidak terbagi-bagi seperti terbagi-bagi jisim dan tidak pula tasybih (terserupa) serta siak pula dalam arti tersentuh.
Allah Ta’ala itu tetap dalam sifat-sifat kesucianNya, kesempurnaanNya dan ketinggianNya.
Terhadap para Auliya, adalah sudah biasa bahwa Allah itu Tajalli Pada Segala Mazharnya, seperti anda ketahui bahwa Allah tajalli pada sebatang pohon yang dilihat oleh Nabi Musa a.s. di mana Nabi Musa a.s.mendengar panggilan Allah Ta’ala “Annahu AnaAllahu Lailaha Illa Ana” (Sesungguhya Akulah Allah, tidak ada Tuhan lain kecuali Aku). Pada waktu itu Nabi Musa.a.s. tidak menent sebagaiang (munkar) pada kenyaataan itu, penuh kepercayaan dan membenarkannya.
Hubaya-hubaya hai sekalian ikhwan hendaklah kerjakan dan amalkan musyahadah itu pada tiaptiaptempatdan zaman dan jangan jemu dari padanya supaya beroleh segera ganjaran dan persalin karomah dari pada Tuhan karenabahwasanya Allah itu amat segera menyampaikan kepadanya akan orang yang senantiasa mengerjakan musyahadah akan rahman. .
Penjelasan tentang rasa (DN yang di-ind).
Di dalam risalah tulisan tangan yang ada pada saya, berhijrat tahun 1320 H. tanpa nama, di sana tercantum keterangan tentang.rasa, yang dibagi dengan tiga istilah: 1) rasa yang terperi, 2) rasa yang terperikan, dan 3) rasa tajalli. .
Dilain penjelasan rasa itu dibagi dengantigabagian, 1) rasa jasmani, 2) rasa rohani, dan 3) rasa nurani. Identik dengan istilah.di atas.
- a) rasa jasmani, ialah rasa manis, pahit, asin, asam, dan sebagainya.
- b) rasarohani,ialah rasa gembira, sedih, bingung, rasa tenang dan. sebagainya.
- c) rasa nurani, ialah kebenaran, rasa bertuhan, rasa kemerdekaan, rasa yakin dan sebagainya.
Yang paling dalam Di antara tiga macam rasa ini adalan rasa nurani. Di sinilah sasaran pembicaraan dalam Kitab Durrun-Nafis ini.
Ketiga nama rasa tersebut pada dasarnya dapat dibedakan pada pembicaraan tetapi tidak bisa dipisahpisahkan.
Apabila pengamatan seseorang terhadap masalah Ketuhanan sampai kepada tingkat “rasa nurani” misalnya terhadap rasa kebenaran, maka orang tersebutakan mempertahankannya meskipun harus berkorban nyawanya sendiri. Kalaupun harus jadi korban tidaklah mereka berkeluh kesah, tidak bergoyang pendiriannya, tidak pula merasa takut dan gentar sedikitpun jua.
Mereka inilah yang Allah maksudkan dalam firmanNya: “Ala Anna Awliyaallahi Lakhaufun ‘Alaihim Walahum Yahzanun” (Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para Awliya Allah itu tidak merasa takut dan gentar). .
Mempertahankan kebenaran yang bersifat duniawi semata-mata dan untuk kepentingan dunia, maka kebenaran yang demikian bukanlah kebenaran yang hakiki dan bukan pula kebenaran mutlak. Korban dalam keadaan demikian berarti, berkorban karena dunia adalah suatu kerugian yang besar.
Adapun pengorbanan karena Allah, berarti berkorban, demi kebenaran Allah semata-mata, maka berkorban demikian namanya “berkorban karena Allah”. Inilah Para Awliya. :
Harap diikuti kembali uraian selanjutnya dalam Kitab Durrun Nafis tentang karomah dan sholawat.
KAROMAH
Saya (Syekh Muhammad Nafis) ingin menyelesaikan Kitab ini dengan ucapan Imam Ghazali r.a. dalam Kitab Minhajul ‘abidin, perlu saya kemukakan bahwa Allah akan menganugerahkan terhadap hamba yang selalu taat kepadaNya, tetap berkhidmatkepadaNyaserta benar-benar menjalankan segala hukum-hukumNya selama hidup, sepanjang jalan Tasawuf ini, hamba itu akan mendapat 40 (empat puluh) macam karomah, 20 diantaranya didapat di dunia, dan 20 lainnya akan didapat di akhirat. ‘ .
Macam karomah yang didapat dunia adalah:
- Allah selalu ingat kepada si hamba yang demikian dan Allah memberikan pujian kepadanya, selama si hamba itu ingat dan memuji Allah.
- Allah Jalla Jalaluhu menyatakan terima kasih kepada si hamba itu, Allah besarkan pula pengaruhnya. Dapatlah anda rasakan bagaimana kalau sesama hamba bisa saling berterima kasih, saling menghargai, konon lagi kalau terima kasih dan penghargaanitu dari Allah yang Maha Awwal dan Maha Akhir.
- Mendapat karunia kasih-cinta, Allah (mahabbah). Betapa rasanya bila anda dikasihi dan dicintai oleh raja atau atasan anda yang dengan itu anda akan mendapatkan manfaat kapan saja dan di mana saja, konon lagi bila anda mendapatkan kasih cinta Allah SWT.
- Allah SWT, meng-iakan apa pun yang hendak dilakukannya
5, Allah selalu memberikanpertolongan dan menjaganya terhadap musuh-musuhnya dan memeliharanya dari segala macam kejahatan.
- Allah selalu menjamin rezekinya dalamsetiap keadaan tanpa dicari dengan susah payah.
- Allah terangkan hati dan perasaannya menghadapi segala rnacam perubahan dan pergantian apa punjuga.
- Allah berikan kemuliaan dan tidaklah ia tunduk kepada dunia, malah hormat dan tunduk kepadanya segala raja-raja.
- Tinggi himmah (kemauan) tanpa cacat cela karena pengaruh dunia, tidak pula terpengaruh dia dengan segala macam keindahan duniawi.
- Kaya hatinya, lebih kaya daripada orangkayaharta, selalu baik keinginannya dan lapang dada, tidak menangis karena lapar, dan tidak berduka karena papa-miskin.
- Bercahaya hatinya dan dengan cahaya itu selalu mendapat petunjuk yang benar, petunjuk ilmu dan rahasia-rahasia (asrar) yang halus yang bagi orang lain memerlukan umur lanjut bila hendak mendapatkannya.
- Lapang dada dan cemerlang mata hatinya dalam menanggapi segala macam kesulitan dunia dan kesulitan orang lain, malah orang lain itu datang kepadanya mengemukakan kesulitan mereka hadapi.
- Manusia-manusia yang kejam dan kasar, orang-orang baik atau tidak memberikan penghormatan karena wibawanya.
- Semua orang mencintainya, mendengar kata-katanya, sebagaimana firman Allah:
Artinya : “Allah jadikan rasa kasih sayang untuk mereka.”
- Banyak Orang yang meminta berkatnya,dan mengambil berkat pula terhadap segala ucapannya.
- Dalam satu saat (jarak waktu yang cepat) hendak ke mana ia mau, di tanah ataupun udara, tidaklah merupakan kesulitan buat mereka.
- Tunduk segala binatang-binatang yang bagaimana pun juga, menurut segala perintahnya. Dikatakan bahwa Abul Hasan Al-Yamani bila mencari kayu api disertai oleh seekor harimau.
- Memiliki anak kunci bumi, bila ia ingin air yang memancar, di padang pasir sekalipun akan terjadi.
- Menjadi pemimpin dan ikutan orang banyak, menjadi wasilah bagi orang-orang yang berhajat, orang-orangpun tunduk khidmat kepadanya. .
- Mustajab segala doanya, siapa yang meminta dan berhajat melalui dia akan terkabul, siapa saja yang memohon syafaatnya akan didapat. Inilah semua karomah yang didapatnya di dunia
Tentang karomah yang didapatnya di akhirat adalah sebagai berikut:
- Allah memudahkan baginya pada waktu sakaratul maut, karena su’ul khatimah (kesakitan pada akhir hidupnya) adalah sesuatu yang paling ditakuti oleh semua Awliya dan Para Nabi sehingga Rasulullah Muhammd Saw. sendiri berdoa:
Artinya :
“Ya Allah mudahkan bagiku pada waktu sakaratil maut.”
Kemudahan itu adalah laksana meminum air yang manis dan nyaman ketika dahaga.
Sebagaimana firman Allah SWT.:
Artinya :
“Merekalah yang diwafatkan oleh Malaikat maut dalam keadaan baik. Malaikat itu berkata kepada mereka “salamun ‘alaikum” sejahteralah atas anda.” –
- Tetap dalam makrifat dan iman, karena kematian itulah akhir dari segala keluh kesah dan akhir dari segala tangis dan kesedihan.
Sebagaimana firman Allah:
Artinya :
“Allah tetapkan terhadap orang yang beriman dengan kata yang tetap yaitu kalimah La Ilaha Illallah Muhammadurrasulullah dalam kehidupan dunia dan akhirat.”
- Pada waktu sakaratul maut mendapat berita yang menyenangkan tentang dirinya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Our’an:
Artinya :
“Janganlah anda takut dan gentar dan bergembiralah anda dengan surga yang disediakan buat anda.”
- Kekal di dalam surga dan sekampung dengan Allah Ar-Rahman.
- Rohnya disambut oleh para Malaikat dengan penuh kebesaran dan kemuliaan, banyak manusia yang menyembahyangkannya untuk mendapat pahala dari pada Allah.
- Lepas dari pertanyaan di dalam kubur.
- Diluaskan kuburnya dan bercahaya-cahaya, sedang ia merasakan di dalam kubur sebagai suatu kebun yang indah dan permai merupakan kebun surga hingga hari kiamat.
- Tenang dan gembira rohnya berada dalam perut “thuyur” (burung) di ‘Arasy Allah Ta’ala, berkumpul dengan kawan-kawannya yang sholeh sambil bersenda gurau dengan gembira.
- Dibangkitkan menuju alam mahsyar dengan upacara kebesaran, kemuliaan dan keindahan, malaikat membawakan mahkota dan pakaian yang indah serta kendaraan yang tercepat.
- Putih mukanya penuh cahaya, sebagaimana firman Allah:
Artinya :
“Pada hari itu, wajah mereka bersinar terang, ketawa ria penuh kegembiraan.”
- Aman dari pada huru hara hari kiamat. Seperti firman Allah:
Artinya :
“Atau orang-orang yang datang hari Kiamat dengan aman sentosa.”
- Mendapat buku catatan amal di pihak kanan, bahkan sebagian tidak memerlukan buku catatan.
- Lepas dari segala hisab dan hitungan, sedikit-dikitnya dihitung atau dihisab dengan suatu keringanan.
- Berat timbangan amal baiknya, bahkan ada yang tanpa ditimbang.
- Meminum air kolam Rasulullah Saw. yang menghilangkan haus dan dahaga selama-lamanya.
- Tidak ada kesulitan meniti Shirotal Mustagim dengan cepat tanpa terdengar guruh api neraka.
- Diberi hak untuk memberi syafaat pada hari kiamat, sebagaimanajuga diberikan haksyafaat kepada Para Nabi dan Para Rasul. :
- Kekal dalam surga dengan penuh kebesaran.
- Selalu mendapat keridlaan, aman sentosa.
- Berjumpa dengan Allah dalam suatu perjumpaan ‘ yang paling indah, tanpa batas dan tanpa dapat digambarkan.
Selanjutnya Imam Ghazali r.a. menyatakan bahwa semua ituadalah ringkasan saja dan kalau hendak diuraikan (ditafshilkan) tidak akan cukup kitab Minhajul ‘Abidin untuk menampung uraian satu persatu tentang karomah yang dimaksud.
Satu jenis karomah itu dapat pula dijelaskan dengan bermacam-macam tambahan lainnya, misalnya tentang bidadari, tentang tempat perangian dan sebagainya.
Selain itu pula, hanya Allah yang lebih mengerti seluruh macam kenikmatan yang dirasakan oleh orang-orang ahlulkaromah. Allah sendiripun telah berfirman:
Artinya :
“Tak ada seorangpun yang tahu apa-apa yang tersembunyi bagi mereka dari bidadari-bidadari yang sejuk dipandang, sebagai balasan atas apa-apa yang mereka lakukan.”
Begitu pula sabda Rasulullah Saw:
Artinya :
“Allah ciptakan di dalam surga itu, sesuatu yang tidak pernah dipandang oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah pula tergambar dalam hati manusia.”
Menurut Imam Al-Ousyairi (Abdul Oashim AlOusyairi) q.s. “Hendaklah anda ketahui, merekapara Auliya yang mendapat karomah-karomah itu, mereka tetap dalam menjalankan taat dan terpelihara dari segala macam pekerjaan maksiat. ‘
Itulah yang dinamakan Istigomah.
Sebagian para Arif Billah berkata:
Artinya :
“Istigomah, adalah lebih baik dari pada seribu karomah dalam arti kharigun lil ‘adat.”
Malah karomah yang sifatnya “kharigun lil’adat” itu bisa diberikan oleh Allah SWT. terhadap orang yang belum sempurna istigomahnya.
Pendapat Syekh Ibnu ‘Ibbad r.a. dalam syarah beliau, karomah yang sebenarnya -itu adalah hasil dari pada kesempurnaan istigomah. Istigomah yang sebenarnya itu adalah, pertama sah dan benar imannya kepada Allah, dan kedua, mengikuti dan melaksanakan ajaran Rasulullah Saw. zahir dan batin”.
Adapun karomah yang kharigun lil’adat itu banyak sekali yang terdapat pada Ulama ahli hakikat, tetapi karomah yang demikian kadang-kadang diberikan oleh Allah kepada mereka yang sebenarnya belum sempurna istigomahnya.
Menurut Imam Abu Hasan as-Syadzali r.a bahwa istigomah itu meliputi dua macam karomah, yang merupakan puncak dari segala karomah. Yaitu pertama karomah iman dan yaqin, kedua adalah karomah amal dengan melaksanakan segala perintah dan ajaran Rasulullah Saw. menjauhi segala macam prasangka buruk dan tipu daya.
Siapa saja yang dianugerahi dua macam karomah tersebut, namun sikap orang itu sebaliknya hanya ingat kepada yang lain dan mementingkan urusan lain dari pada Allah SWT. maka orang yang demikian adalahorang yang “kadzdzab” (pendusta) dan bersalah dengan kesalahan besar terhadap ilmu dan amal.
Orang demikian dapat diumpamakan sebagaiseorang yang berpangkat tinggi duduk di samping raja serta disenangi oleh raja sendiri, malah dia sendiri memilih untuk menjadi gembala binatang atau mencari pekerjaan lain yang lebih berat bagi dirinya, ditinggalkannya pangkat dan jabatan kerajaan yang telah diberikan kepadanya.
Tiap-tiap karomah yang didapat seseorang tanpa disertai oleh Allah SWT. maka hal itu tidak bisa disebut karomahlagi tetapinamanya “istidraj” (pemberian dengan kemurkaan Tuhan).
Sayid Abu Abbasal Mursir.a. berkata: “Bukanlah dinamakan karomah orang yang dapat melakukan perjalanan jauh dalam sekejap mata ke mana pun yang dia kehendaki, tetapi karomah yang sebenarnya ialah Orang yang dapat menundukkan hawanafsunya sendiri, kemudian dia dapat sampai kepada Tuhannya.”
Ada yang bertanya kepada Sahl. bin Abdulllah r.a. “Apakah orang yang dapat menghilang dengan cara luar biasa (kharigunlil’adat) adakah itu suatu tanda karomah.” Beliau menjawab: “Karomah yang sebenarnya itu adalah prang-orang yang dapat menghilangkan sifat-sifat tercela pada dirinya diganti dengan sifat-sifat yang terpuji.”
Sementara para guru Tasawuf menegaskan “Jangan anda herankan bila ada seseorang yang tidak ada uang di dalam kantongnya, kemudian dengan keadaan luar biasa dia dapat mengeluarkan uang apa pun yang dia kehendaki di kantong tersebut, tetapi hendaklah anda heran bila melihat seseorang yang tadinya ada mempunyai uang di dalam kantong, kemudian, pada waktu yang diperlukan malah uang tersebut tidak ada tadi dalam kantongnya.”
Ada pula yang bercerita kepada Abu Murta’asyr.a. bahwa ada orang yang dapat berjalan di atas air, beliau menegaskan “seseorang yang dapat melakukan bertentangan dengan tuntutan hawa nafsu yang tercela (menentang kehendak hawa nafsunya) malah lebih baik daripada orang yang dapat berjalan diatasair dan terbang di udara.”
Abu Yazid Busthomi r.a. berkata: “Andai kata ada seseorang yang dapat menghamparkan sajadahnya di atas air dan dapat pula duduk di udara, maka janganlah anda terpedaya dengan hal demikian, yang penting hendaklah anda perhatikan bagaimana dia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.”
Ada yang bertanya kepada beliau (Abu Yazid Busthami) “Bagaimana halnya seseorang yang. bisa melakukan perjalanan dalam waktu satu malam darisini bisa sampai di Mekkah?” Beliau menjawab: “Bahwa syaitan terkutukpun juga bisa berjalan dari Barat ke Timur dalam satu detik (lahzhoh). Ditanya lagi beliau tentang seseorang yang mampu berjalan di air. Beliau menjawab “bahwa ikan lebih pandai berenang di air dan burung-burungpun lebih pandai terbang di udara.” Herankah anda dengan hal yang demikian?
-Menurut Syekh Junaid r.a. bahwa dinding bagiorangorang yang khawwas (tingkat keistimewaan) ialah orang yang tertuju pandangannya kepada kelezatan nikmat dan terhenti pandangannya terhadap karomah.
Perlu anda. ketahui bahwa karomah bagi golongan Arif Billah atau Ahlullah yang lebih utama adalah “karomah maknawi'”. Karomah maknawi itu antara lain adalah, makrifat kepada Allah dengan rindu kasih kepadaNya, mengagungkan Allah pada tiap waktu, tempat dan kesempatan, merasa malu kepada Allah mengingat nikmatNya yang .tidak terhitung, tagwa sepenuhnya kepada Allah segera melaksanakan segala suruhNya dan menjauhi segala laranganNya, ikhlas dan jujur melakukan taat yakni ia tidak merasa bahwa ia sendiri yang mengerjakan taat itu, namun. semua adalah semata-mata nikmat, karunia, dan rahmatNya yang dilaksanakan dengan penuh gembira, seperti apa yang difirmankan oleh Allah SWT.:
Artinya :
“Katakanlah olehmu Hai Muhammad, dengan karunia dan rahmatNya. Maka sebab itulah hendaknya mereka bergembira, hal itu adalah lebih baik dari pada apa yang mereka kumpulkan, yaitu lebih baik dari pada amal yang mereka lakukan yang mereka anggap dari mereka sendiri.”
Mereka yang melihat segala amalnya adalah karunia dan rahmat Allah terhadap -dirinya, golongan ini disebutkan dengan “khawwash” (orang-orang istimewa) pada tingkat menengah (wustho).
Golongan khawwash tingkat tinggi atau disebut “khawwasul khawwash” ialah mereka yang melakukan ibadat tidak merasa atas daya dan kekuatannya tetapi semata-mata. dari pada Allah SWT.
Allah berfirman:
Artinya :
“Segala nikmat yang ada padamu itu, semuanya dari pada – Allah.”
Mereka ini adalah seorang yang selalu ridla dan rindu untuk berjumpa Tuhannya, tetap berpegang teguh kepadaNya, tawakal/berserah diri sepenuhnya, tidak tersangkut hatinya kepada dunia, hadir hatinya beserta Allah, di mana pun dan dalam keadaan yang bagaimana pun juga, syukur atas segala nikmatNya, selalu memperbaiki adab, melaksanakan syareat lahir dan batin.
Inilah sebenarnya karomah yang paling besar.
Wallahu ‘alam. ‘ Fadlilat (Kelebihan) Membaca Sholawat
Sebagai tambahan untuk memudahkan anda mendapatkan kemuliaan di sisi Allah, dicatat di sini tentang kelebihan membaca sholawat untuk Nabi Muhammad Saw.
Sholawat Allah terhadap Nabi maksudnya adalah rahmatNya dan penganugerahan kebesaran. Sedang sholawat/salam yang selain itu hanyalah sekedar doa.
Hendaklah anda ketahui bahwa sholawat adalah salah satu cara yang dapat lebih memantapkan perasaan dekat kepada Allah, cara yang lebih tepat yang di sampaikan untuk Rasulullah Saw. sebagai suatu pernyataan terima kasih yang besar atas petunjuk-petunjuk beliau terhadap kita,dengansholawatitu pulaakan tertolak segala kesulitan dan kemudaratan, tertarik segala manfaat dalam hidup di dunia dan akhirat.
Di dalam firman Allah SWT.:
Artinya :
“Sesungguhnya Allah dan seluruh Malaikat mengucapkan sholawat untuk Nabi Muhammad, wahai orang yang beriman ucapkanlah sholawat untuknya dan ucapkanlah salam.”
Rasulullah bersabda:
Artinya :
“Siapa yang mengucapkan sholawat untukku sekali saja, Allah akan mengucapkan sholawat untuknya (yang membaca) sepuluh kali. .Maksudnya Allah memberi rahmat kepada pembaca.”
Rasulullah Saw. bersabda lagi mengenai ini, siapa yang ingin berjumpa, dengan Tuhannya dengan mendapat redla Tuhan, maka perbanyaklah membaca sholawat, karena itu akan menghilangkan segala ikatan dan kesulitan dan menghindarkan dari timbulnya rasa duka cita. Siapa yang membaca sholawat untukku seratus kali, niscaya dikabulkannya untuknya seratus hajat, tigapuluh untuk dia di dunia dan selebihnya untuk dia di akhirat. ,
Seorang ahli Tasawuf bercerita, katanya: aku ada mempunyai seorang tetangga (jaar) yang pekerjaannya penuh dengan maksiat, sampai dia sendiri lupa apa yang dia lakukannya itu karena luar biasa banyaknya. Ku ajarkan kepadanya agar ber-taubat, kelihatannya dia tidak begitu menghiraukan nasehatku itu.. Sewaktu si ahli maksiat itu meninggal dunia, aku melihatnya sedang berada di tempat yang tinggi, dengan pakaian hijau satu pakaian surga, suatu pakaian kebesaran ahli surga. Lalu aku bertanya kepadanya, dengan jalan apa anda bisa dapat kedudukan yang tinggi ini? Dia menjawab, “Suatu hari aku ikut hadir dalam suatu majelis zikir. Di sana ada seorang alim berkata, siapa yang mengucapkan sholawat untuk Nabi Saw. pasti dia akan mendapat surga. Lalu kemudian bersama-sama yang hadir saya mengucapkan sholawat dengan suara yang agak nyaring, ternyata dengan itu Allah telah memberikan keampunan untuk kami semua termasuk saya sendiri dengan limpahan rahmat dari pada Allah SWT.
Ada pula suatu cerita, seorang ibu yang mempunyai anak yang nakal luar biasa, ahli maksiat banyak melakukan kejahatan. Si Ibu menyuruh anaknya supaya bertaubat, namun si anak ternyata tidak begitu menghiraukan nasehat ibunya. Tidak berapa lama kemudian si anak meninggal dunia, si ibu bermimpi melihat anaknya diazab sehingga hal itu menyebabkan duka cita yang luar biasa terhadap siibu. Tetapi pada suatu ketika si ibu bermimpi lagi melihat anaknya dalam keadaan menyenangkan dengan kenikmatan, lalu si Ibu bertanya kepada anaknya, dahulu engkau kulihat berada dalam azab, tetapi sekarang malah sebaliknya, apakah sebabnya? Si anak menjawab: Wahai ibu sesuatu waktu ada orang yang melewati kubur (pesarean) ini, rupanya orang itu insyaf terhadap dirinya bahwa suatu saat diapun akan mati. Orang itu amat menyesal atas segala dosa-dosanya lalu dia duduk dengan membaca ayatayat Al-Our’an dan membaca sholawat.
Orang itu kemudian berdoa dan menghadiahkan pahala apa yang dibacanya kepada ahli kubur. Doanya ternyata dikabulkan oleh Allah, sehingga aku sendiri ikut merasakan hadiah pahala dari orang tersebut sekarang ini. Oleh sebab itu wahai ibuku ketahuilah, bahwa sholawat. itu membawa cahaya di dalam kubur dan menghapus dosa, membawa rahmat bagi yang hidup dan yang telah mati.
Ada lagi suatu cerita, dua anak beranak sedang melakukan perjalanan jauh. Di tengah jalan si ayah meninggal dunia. Si anak bersedih luarbiasa – tak ada kawan tak ada sanak lebih-lebih setelah dilihatnya wajah si ayah yang telah meninggal itu, kehitam-hitaman.
Melihat keadaan ayahnya dengan warna hitam pekat! yang mengerikan itu, kesedihannya bertambah-tambah. Karena sedihnya si anakpun tertidur di samping jenazah ayahnya itu. Di dalam tidur si anak melihat seorang laki-laki yang gagah tampan dan bercahaya-cahaya mukanya, datang langsung mengusap wajah si ayah. Tiba-tiba terlihatlah oleh si anak wajah ayahnya putih bersih. Si anak bertanya kepada orang itu, “Siapakah anda?” Orang itupun menjawab:” Akulah Muhammad Rosulullah ayahmu ini memang banyak dosanya dan banyak maksiat yang dilakukannya, namun demikian ayahmu adalah seorang yang banyak membaca sholawat untukku. Hasilnya ialah sebagai apa yang engkau lihat sekarang ini.” Setelah si anak itu terbangun dari tidurnya, terlihat olehnya cahaya putih pada wajah ayahnya, Si anak mengucapkan syukur puji dan sanjung atas rahmat Allah, lalu bergegas-gegas menanamkan mayat ayahnya itu.
Wallahu subhanahu wata’ala wa’alam.
Artinya :
“Semoga Allah jadikan kami dan anda semua termasuk golongan ahlil-minnati dan ahli syuhud. Termasuk pula dalam golongan yang selalu rindu dan ahli perasaan, demi kebesaran Muhammad sebagai pemimpin dari segala yang ada, dan demi keluarga dan sahabat yang Arif Billah yang sudah tenggelam dalam lautan ke-Esa-an Zat bersih dari faham dan pengertian Ittihad, Hulul dan Terbatas. Telah selesai penyusunan risalah ini di Kota Mekkah Musyarrafah, di waktu “isya yang sudah larut malam, di malam Rabu 217 Muharram tahun “Arab basithoh, ketika peredaran matahari pada perbintangan kalajengking (Scorpio) dari tahun Hijriah yang telah disebutkan Allah yang lebih tahu dengan tepat dan kepadaNyalah tempat kembali dan pulang. Semoga pula Allah memberikan taufik untukku dan kawan- kawanku yang sepaham pada jalan Allah, kepada kebajikan dan kenyataan.
Ampunilah aku Ya Allah, dan untuk kedua ayah bundaku, serta siapa pun yang telah memanfaatkan risalah ini. Sholawat untuk Penghulu kami Muhammad pemimpin Para Rasul, demikian pula untuk keluarga dan sahabat beliau seluruhnya, para Tabi’in dan Tabi ‘it-Tabi’in sampai Hari Pembalasan, untuk mereka segala yang baik.
Hanya untukMu Ya Allah segala macam puji dan sanjung di setiap waktu demi rahmatMu, wahai yang Maha Pengasih dart’ segala pengasih.
Penyusun ingin menyampaikan, semoga Allah memberi rahmat kepadanya, yang telah menyusun risalah ini, hamba yang fagir dan hina, hamba yang mengakui penuh dosa dan kekurangan,.hamba yang selalu mengharapkan maaf Tuhan yang Maha Kuasa, yang paling berhajat kepada keridlaan Allah yang Maha Kuasa, yang paling berhajat kepada keridlaan Allah yang Maha Perancang-Muhammad Nafis bin Idris bin Husein di Banjarmasin”) tempat lahirnya, di Mekkah tempat tinggalnya, Syafi’i mazhabnya, Asy arie iktikadnya, Juanaidie ikutannya, Oadiriyah thorikatnya, Syathariyah pakaiannya, Nagsyabandiyah amalannya, Khalwatiyah makanannya, Samaniyah minumannya, semoga juga Allah memberi maaf kepadanya dan kepada kedua ibu bapaknya, para guru-gurunya, semua muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, yang hidup maupun yang telah meninggal.
Selamat dan sejahtera untuk Penghulu kami Muhammad Saw. sebaik-baik makhluk, demikian pula untuk keluarga para sahabat dan istri-istri beliau yang suci, selamat sejahtera sampai hari kiamat yang penuh rahmat.”
DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Ihya “Ulumuddin – Imam Ghazali r.a.
- Ar-Risalatul-Ousyairiyah – Imam Abil Oosim Abdul Karim, tahkik – Dr. Abdul Halim Mahmud dan Mahmud bin Syarif
- Insan Kamil – Al Jilli
- Tanwirul Oulub Fi Mu’amalatil ‘Allamil Ghuyub – Syekh M.Amin Al Kurdy
- Sirajut-Tholibin, Syarah Minhajul ‘Abidin – Syekh Ihsan M. Dahlan Aljampasy Al-Kediri.
- Al-Adzkaar-lmam Nawawi
- Jawahirul Luma’ah-Syekh Abi Hayyillah Al-Marzugi .
- Kitab-kitab Tafsir ,
- Buku berbahasa Indonesia karangan Buya Hamka, KH. Sirajudin Abbas dan lain-lain.
Kutipan dari Kitab IHYA ‘ULUMUDDIN halaman 311/ 312 Juz 1 Penerbitan Al-Masyad Al-Husaini. Kairo
KELEBIHAN (KADLILAT) SHOLAWAT . TERHADAP RASULULLAH SAW.
Allah berfirman: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat mengucapkan sholawat untuk Nabi Muhammad, wahai orang yang beriman, ucapkanlah sholawat dan salam untuknya. Diriwayatkan, sesungguhnya . Rasulullah Saw. pada suatu hari datang dengan wajah riang seraya beliau bersabda: “Bahwa Jibril a.s. telah datang kepadaku dengan membawa kabar gembira, ia berkata: – apakah anda tidak merasa gembira wahai Muhammad bahwa siapa pun dari ummat anda yang mengucapkan sholawat dan salam untuk anda sekali saja, maka aku (Jibril) akan mengucapkan sholawat dan salam untuknya sepuluh kali” (Hadis Riwayat dari Abi Tholhah).
Rasulullah bersabda lagi: “Siapa saja yang mengucapkan sholawat untukku sedikit maupun banyak, maka para Malaikatpun mengucapkan sholawat untuknya”. Selanjutnya beliau bersabda: “Manusia yang utama bagiku ialah mereka yang banyak mengucapkan sholawat untukku” (Hadis dari Abi Mas’udr.a.).
Rasulullah bersabda pula: “Seorang mukmin yang bakhil ialah orang yang tidak mengucapkan sholawat untukku ketika disebutkan namaku di sampingnya” (Oosim bin Asbagh dari Hasan bin Ali r.a.).
“Perbanyaklah mengucapkan sholawat untukku di hari Juma’t (Hadis Ausbin Aus). “Siapa saja dari ummatku yang mengucapkan sholawat untukku, ditulis untuknya sepuluh kali kebaikan dan dihapus. darinya sepuluh macam kejelekan” (Hadis ‘Amru Ibnu Dinar, ditambah pula kata-ikhlas dari hatinya Allahpun mengucapkan sholawat untuknya sepuluh kali dan Allah angkat untuknya sepuluh derajat).
Rasulullah seterusnya bersabda: “Siapa-siapa yang berkata ketika mendengar adzan dari igomatAllahumma Rabba Hadzihid Da’watit Tammati Wassholatil Oo’imati… Halallah untuknya syafaat dariku.
Rasulullah bersabda: “Siapa yang menulis ucapan sholawat untukku di dalam kitab, para Malaikat selalu mengucapkan istighfar untuk yang menulis itu, selama namaku masih tetap berada di dalam kitab tersebut.” (Imam Thobrani dalam kitab Awsath, Abu Syekh dari Abu Hurairah r.a.).
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya para Malaikat bertebaran di muka bumi yang bertugas menyampaikan salam dari ummatku kepadaku.” (Hadis dari Abu Hurairah r.a.) “Takada seorang yang mengucapkan salam untukku, melainkan Allah tolakkan salam itu kepada rohku, sehingga akupun menjawab salam itu.”
Ada orang bertanya kepada Rasulullah Saw. “Bagaimana kami mengucapkan sholawat untukmu Ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Katakan olehmu:”
Artinya :
“Ya Allah, sejahterakanlahatas Muhammad, keluarga, isteriisteri dan turunan beliau, sebagaimana Engkau telah “memberi : kesejahteraan kepada Ibrahim dan keluarga beliau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (Hadis dari Humaid As-Sa’idi).
Sebagian Ulama berkata: “Aku sedang menyusun Kitab Hadis dan aku mencantumkan ucapan sholawat dalam kitab itu, tetapi tidak kucantumkan ucapan salam di dalamnya, lalu aku bermimpi berjumpa Rasulullah di dalam tidur, beliaupun bersabda kepadaku “Kenapa tidak anda sempurnakan ucapan sholawat untukku di dalam kitabmu?.” Maka sejak itu aku tetap mencantumkan ucapan sholawat dan salam. .
Diriwayatkan dari Abil Hasan, beliau berkata: “Aku bermimpi dalam tidurku berjumpa Rasulullah Saw. lalu aku bertanya kepada beliau “Ya Rasulullah, ganjaran apakah yang diberikan untuk Syafi’i ketika ja menyebutkan (mencantumkan) dalam kitab beliau yang bernama Arrisalah, Sholallahu ‘Ala Muhammadin Kullama Dzakarahudz Dza-kirun Waghafala ‘An Dzikrihil Ghofilun (semoga Allah limpahkan kesejahteraan untuk Muhammad, ketika ingatnya orang yang ingat dan ketika lalainya orang yang lalai untuk mengingat Rasulullah). Lalu Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Syafi’i mendapat ganjaran dariku bahwa ia tidak dikenakan (dibebaskan) hisab.”
Catatan:
Sayapisahkan dalam alih bahasa ini ucapan Sayyidina ‘Umar Ibnul-Khathab r.a., dengan maksud sekiranya ucapanbeliau itu dapat kita hayati dengan penuh perasaan. (KH. DR. Haderanie H.N)
Ketika ‘Umar Ibnul-Khathab r.a. mendengar berita kematian Rasulullah Saw., beliau menangis seraya berkata: “Demi Bapakku, engkau dan demiibuku, Wahai | Rasulullah, ranting-ranting korma pernah menangis sendiri dihadapanmu ketika engkau sedang berkhotbah di depan manusia di atas mimbar, ranting-ranting itu menangis karena berpisah denganmu Ya Rasululah, kemudian engkau letakkan tanganmu di atas rantingyanting itu dengan penuh rasa cinta kasihmu, sehingga yanting-ranting itupun menghentikan tangisnya. Kalau ranting korma bersedih dengan tangis yang memelas, konon lagi ummatmu yang engkau tinggalkan ini, ya Rasulullah.”
“Demi Bapakku, Engkau dan Ibuku, Ya Rasulullah, betapa “bahagianya hati ini, Allah telah tegaskan keistimewaanmu Ya Rasulullah, di sampingNya. Taat kepadamu berarti juga taat kepadaNya, seperti apa yang telah difirmankanNya “Siapa yang taat kepada Rasul berarti juga taat kepada Allah.”
“Demi Bapakku, Engkau dan demi Ibuku, Ya Rasulullah, nyata sekali keistimewaanmu di sisi Allah. Berita maaf untukmu sebelum tiba berita dosa, Allah berfirman “Allah memaafkan engkau atas seruanmu kepada mereka.”
“Demi bapakku, Engkau dan demi Ibuku, Ya Rasulullah. Nyata pula keistimewaanmu Ya Rasulullah di sisiNya, Allah. bangkitkan engkau sebagai Nabi yang terakhir, namun engkau pula yang pertama kali disebut-sebut. Allah berfirman:”Ingatlah engkau ketika Kami mengikat janji terhadap Para Nabi, terhadapmu (Muhammad), Nuh dan Ibrahim.”
Demi Bapakku, Engkau dan demi Ibuku, nyata sekali keistimewaanmu di sisiNya, Ahli neraka berkeinginan “untuk bisa mentaatimu, namun mereka sudah berada Di antara lapisan-lapisan neraka terdengar keluhan mereka. “celaka kami ini, kenapa dahulu kami tidak taat kepada Allah dan Rasul.”
“Demi Bapakku, engkau dan demi Ibuku, ya Rasulullah, Di tangan Musa anak ‘Imran, atas karunia Allah dengan jamahan tongkatnya, mengalir air menganak sungai, pelepas dahaga dan panas terik, namun lebih hebat lagi apa yang terjadi atas jari jemari tanganmu ya Rasulullah, dari sela-selajari-jarimu itu telah mengalir air susu rahmat dan nikmat, pelepas haus dan dahaga, pengisi perut di kala lapar.
“Demi Bapakku, Engkau dan demi Ibuku, ya Rasulullah.” Betapa hebatnya karunia Allah terhadap Sulaiman Ibnu Daud, dengan hamparan yang indah dan hembusan angin nyaman berbulan-bulan, namun lebih indah lagi perjalananmu Ya Rasululallah. Dengan Burag secepat kilat, engkau naik di kejauhan sampai ke langit yang ketujuh, engkau sembahyang Subuh di Abthah dalam suasana keheningan dan keindahan.
“Hebat Pula karunia Allah kepada ‘Isa bin Maryam, sanggup menghidupkan yang mati, namun lebih hebat apa yang terjadi padamu Ya Rasulullah, sepotong daging kambing dapat berbicara denganmu, dengan merendahkan diri di hadapanmu potongan daging itu berkata “Jangan anda makan aku Ya Rasulullah, karena aku telah dibubuhi racun ganas.”
“Ya Rasulullah, Nabi Nuh pernah berdoa:”Ya Tuhan, jangan engkau biarkan orang-orang kafir berdiam di bumi ini”, engkau lain dari itu ya Rasulullah, tidak pernah engkau berdoa mencelakakan kami, padahal dahulu kami ini ingin menghancurkan hidupmu, kami lecut mukamu “ wajahmu sampai berdarah, gigi-gigimu pecah berjatuhan, . namun betapa indahnya doamu Ya Rasulullah, “Ya Allah, ampunilah kaumku ya Allah, sesungguhnya mereka belum mengerti.”
“Ya Rasulullah, singkat sekali waktuku mengikuti Ya Rasulullah, betapa pendeknya usiamu ini, tidak sepanjang usia Nuh a.s. Namun sependek usiamu itu, banyak orang yang beriman kepadamu, jauh lebih banyak dari pengikut Nuh, meskipun sepanjang itu umurnya.” “
keterangan tentang ucapan “Umar Bin Khatab r.a.”
1) Ranting korma menangis, yang tadinya tempat berdiri Rasulullah untuk berkhotbah, kemudian setelah ada mitnbar ranting korma itu tidak dipakai lagi. Hadis shohih, muttafagun ‘alaihi dari Jabir dan Ibnu ‘Umar r.a. huma.
2) Cerita tentang mengalirnya air susu dari jari-jari Rasurullah Saw. adalah hadis muttafaqun ‘alaihi, dari Anas dan lain-lain (Muttafaqun – mufakat ulama: hadis).
3) Cerita tentang Isra, juga muttafagun ‘alaihi.
4) Cerita tentang daging kambing yang diracuni, berbicara dengan Rasulullah, adalah Hadis dari Jabir r.a.
5) Cerita tantang siksaan kaum Jahiliyah kepada Rasulullah, sampai muka beliau berdarah dan gigi beliau lepas, adalah hadis Muttafagun ‘alaihi, dari ‘ Sahal bin Sa’ad r.a.
6) Tentang doa Rasulullah “Allahum ahdi gaumi innahum la ya’lamun” (Ya Allah, tunjuki kaumku, karena mereka belum mengerti adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bahaqi). ,
Kutipan dari Kitab Tanwirul Oulub karangan Syek Muhammad Amin Al-Khurdi, bermazhab Syafi’i, Thoriqa Naqsyabandy. Penerbit Najamuddin Amin Al-Khurdy pada Nurutsagafah tahun 1377 H.
TENTANG NAFSUIDIRI
Ketahuilah bahwa mengenal /menyadari diri itu adalah suatu hal yang amat penting bagi tiap individu atau perorangan. Karena siapa saja yang mengerti terhadap dirinya pasti dia akan mengerti tentang Tuhannya.
Tegasnya, siapa yang mengerti, mengenali, menyadari tentang dirinya yang hina dina, lemah, penuh kekurangan dan fana, pasti ia dapat mengenali, mengerti dan menyadari terhadap Allah SWT. yang memiliki kemuliaan, kekuasaan, dan keabadian. Begitu vula sebaliknya, siapa yang tidak mengerti tentang dirinya, berarti ia lebih tidak mengerti tentang Tuhannya.
Maka seharusnyalah orang yang beriar-benar berakal menyingsingkan lengan bajunya untuk menuntut ilmu makrifat dengan penuh kesungguhan tanpa putus asa dan rasa lemah untuk menuntut, agar supaya jangan sampai terjadi, bila maut datang menjelang padahal dia mengidap penyakit buta karena kebodohan. Karena apabila sesudah kematian itu, tidak mungkin dia mendapat jalan terang, sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya :
“Siapa pun selagi masih hidup di dunia ini tetap di dalam kebutaan, maka di akhirat kelak dia akan lebih buta dan sesat jalan.”
Selanjutnya hendaklah anda ketahui bahwa nafsu/ diri itu adalah suatu “Lathifah Rabbaniyah” (Cahaya Ketuhanan yang amat halus).
Dan itulah yang dinamakan “roh” sebelum dia berhubungan dengan jasad. Allah ciptakan roh-roh itu sebelum diciptakan jasad.
Pada waktu itu keadaan roh adalah bertetangga dengan Allah SWT. dan dekat sekali. Manakala Allah perintahkan roh-roh tersebut untuk berhubungan dengan jasad, barulah roh-roh itu mengenal tentang al-ghair (yang selain dari pada Tuhan) maka sejak itulah roh-roh itu terdinding dari Hidratul Haqqi (hidrat ketuhanan).
Maka karena itulah roh-roh itu berhajat sekali kepada “al mudzakir” (yang bisa menerima peringatan) sebagaimana firman Allah SWT.:
Artinya :
“Berilah peringatan (Hai Muhammad) karena ingat itu bermanfaat bagi orang yang beriman.”
Rohadalah suatu “jauhar yang cemerlang” pada tubuh.
Apabila jauhar itu memancar pada lahir dan batin seseorang, berhasillah ia mencapai tingkat kesadaran (yagzhohbangun). Tetapi bila jauhar itu hanya memancar pada batin saja, tidak pada lahirnya, berarti orang demikian masih dalam keadaan tidur. Apabila terputus kecemerlangan jauhar tersebut berarti mati. | Pokok pangkal dari pada segala maksiat, kelalaian, nafsu syahwat dan syirik, adalah senang dan rela terhadap desakan hawa nafsunya sendiri. Apakah anda tidak memperhatikan bahwasannya Fir’aun adalah pertanda orang yang rela terhadap desakan hawa nafsu sendiri secara menyeluruh, sampai pada tingkatan pendurhakaan yang melebihi batas, hingga ia berkata seperti tersebut di dalam Al Ouraan: “
Artinya :
“Akulah (Fir’aun) yang maha tinggi.”
Pokok pangkal dari segala macam ketaatan, kesadaran, kasih sayang dan musyahadah, adalah tidak ada kerelaan untuk menerima desakannafsu. Pada waktu itu tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seseorang dari pada mendidik/ meneliti dirinya sendiri. Untuk penelitian itu dilihat dari kesan-kesan yang timbul pada nafsu, dengan melatih diri secara sungguh-sungguh pada tujuh tingkatan nafsu.
1) Nafsul Ammarah (nafsu yang berperan memerintah kepada hal-hal yang jelek)
Nafsu ini cenderung kepada tabiat badaniah, mendorong untuk berfoya-foya dengan kelezatan duniawi dan kebirahian yang terlarang menurut syara (hukum) dan menggeret/ menarik-narik hati ke arah kerendahan. Di sinilah tempat dari segala macam kejahatan dan sumber segala akhlak yang tercela seperti sifat sombong, tamak, syahwat, kedengkian, kemarahan membabi buta, kedekut.
Dan inilah suatu tingkatan yang umum bagi nafsu yang belum dilatih secara sungguh-sungguh . (mujahadah).
2) Nafsul Lawwamah
Nafsuini mendapatcahaya dengan cahaya hati, maka tunduklah ia kepada kekuatan akal sehat, tetapi kadang-kadang ia membangkang terhadap desakan akal sehat itu, lalu timbul penyesalan dan jiwanya terasa pedih. Nafsu ini adalah sumber dari segala rasa penyesalan.
- Nafsul Muthma’innah (nafsu yang tenteram)
Nafsu ini bercahaya dengan cahaya hati hinggaterasa kosong darisifat-sifat yang tercela dan tenang tenteram menuju ke kesempurnaan. Magamnya adalah permulaan kesempurnaan. Apabila seorang salik (penuntut) meletakkan pendiriannya padajiwa yang tenteram ini, terhitunglah dia seorang Ahli Tariqat yang berpindah dari kehidupan yang warna warni yang tak menentu kepada penghidupan yang tetap pada pendirian. Kawannyaadalah mabukketuhanan, orang-orang yang telah sampai, membangunkannya. Penuh rasa ketergantungan kepada Tuhan yang Maha Tinggi.
4) Nafsul Mulhimah jiwa yang mendapat ilham) Allah mengilhamkan kepadanya ilmu pengetahuan, rasa tawadlu’ (ketundukan hati) gona’ah (kesederhanaan) dan sakhawah (sifat murah hati). Hal itu adalah sumber dari kesabaran/tabah dan kesyukuran.
5) Nafsul Arradliyah (jiwa yang rela)
Nafsu ini adalah yang rela (ridlo) terhadap Allah . (terhadap ketentuan Allah kepada dirinya) . sebagaimana yang difirmankan Allah “Wa Radlu ‘Anhu” (mereka rela kepadaNya). Keadaan jiwa/ nafsu ini adalah penuh penyerahan kepada Allah SWT. dan selalu merasa kelezatan dengan timbulnya “hairah” (kekaguman) karena nyatanya Allah buat dia, sebagai tersebut pada sebuah syi’ir. –
Artinya :
“Artian bebasYa Tuhan, tambahkan bagiku rasa hairah, – karena cintaku padaMu melebihi batas, sayangilah sepenuhnya panas membara.”
6) Nafsul Al-mardliyah (jiwa yang diridloi)
Nafsu ini mendapat ridlo Allah, nampak bekas ridlo Tuhan, mendapat karomah, ikhlas dan selalu ingat, pada tingkatinilah salik meletakkan langkahnya yang pertama untuk Makrifat kepada Allah dengan pengenalan yang benar, pada jiwa inilah merasakan Tajalli Af’al.
7) Nafsul-Kamilah (Nafsu yang sempurna)
Terjadilah kesempurnaan yang sepenuhnya, tercela sebagai suatu tabiat yang mendalam, dengan ini meningkat terus pada tingkatan yang lebih tinggi lalu kemudian jiwa kamilah ini mendorong untuk kembali kepada manusia, memberikan petunjuk-petunjuk kepada hamba Allah, magam-nya adalah magam Tajjati Asma dari Shifat, dan keadaannya adalah Baga Billah berjalan dengan Allah, kepada Allah dan jiwa itu kembali-dari Allah kepada Allah, tiada ruang dan tempat baginya kecuali Allah, ilmunya berfaedah dari pada Allah, sebagaimana diungkapkan dalam syiir ini:
Artinya :
“Setelah fana fillah, jadilah apa yang anda mau, ilmumu, tiada kebodohan. laku tingkahmu, tiada dosa.”
Beberapa kutipan dari Kitab Al-Adzkar Al Muntakhabatu Min Kalami Sayyidil Abraari Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, disusun oleh Al-Imam As Syeikhul Islam, Mahyuddin Abi Zakaria Yahya bin Syarafun-Nawawi.
- Bacaan waktu hendak tiduratau berbaring di ranjang (tempat tidur)
- Tercantum dalam Shohih Bukhari rahimahullah, dari riwayat Hudzaifah dan Abi Dzarrin r.’anhuma “sesungguhnya Rasulullah Saw. apabila beliau berada di tempat tidur beliau. Beliau mengucapkan -kata-kata:”
Artinya :
“Dengan namaMu Ya Allah, aku hidup dan aku mati (Al-Adzkar halaman 83).”
- Tersebut di dalam Shohih Muslim, riwayat dari Al-Barra” bin ‘Azibr.’anhuma dan tercantum pula dalam Shohih Bukhary dan Muslim dari ‘Ali r.a.
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah berkata kepada ‘Ali dan Fathimah r.’anhuma – apabila kamu berdua (‘Ali dan Fathimah) memasuki tempat tidurmu atau kamu membaringkan tubuhmu, hendaklah bertakbir 33 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali.”
Pada riwayat lain, takbir 34 kali, ‘Ali berkata
“Sejak aku mendengarkan hal itu dari Rasulullah Saw., tidak pernah kutinggalkan” (Al-Adzkar -sda).
- Diriwayatkan dalam dua kitab shohih Bukhary dan Muslim dari Abi Hurairahr.a. beliau berkata:
Rasulullah Saw. telah bersabda: “Apabila salahseorang kamu berbaring di ranjangnya, hendaklah ia kirapkan (bersihkan) lebih dahulu tempat tidurnya itu dengan kain, karena dia sendiri tidak tahu ada yang menggantikannya. “Kemudian beliau berkata:
Artinya :
“Dengan NamaMu Ya Tuhanku, saya letakkan lambungku (geger, bahasa Jawa atau higa bahasa Banjar) dan dengan Engkau pula aku angkatkan dia (bangun tidur), jika Engkau tahan rohku, berilah rahmat : kepadanya, dah jika Engkau utus dia (dalam mimpi) maka peliharakarlah dia, sebagaimana Engkau . perliharakan jiwa hamba-hambaMu yang sholih.” Dalam riwayat lainmengirapkan kain tiga kali (Al-Adzkar halaman 84).”
- Dalam Shohih Bukhary dan Muslim, dari ‘Aisyah r’anha sesungguhnya Rasulullah Saw. apabila beliau membaringkan tubuhnya di tempat tidur, beliau tiup dua telapak tangannya dengan “‘mu’awwidzat” (ucapan berlindung diri) lalu beliau sapu tubuhnya dengan dua telapak tangan itu. Pada riwayat itu disebutkan, tiap-tiap malam beliau lakukan begitu (menghimpunkan dua tangannya) lalu beliau baca Oul hua Allah, Oula’udzu Birrabil Falag, Oul ‘Audzu Birabbinnas, lalu beliau sapukan ditubuhnya sepanjang ‘ yang dapat disapukan, beliau mulai dari ada bagian kepala, muka dan tubuh bagian depan. Beliau lakukan itu 3 (tiga) kali. (Al-Adzkar halaman 84).
- Juga diriwayatkan dalam Shoheh Bukhary dan Muslim dari Abi Mas’ud Al-Anshory Al-Badry (golongan Anshor pejuang perang Badar) “Uqbah bin ‘Amer r.a. beliau berkata: “Rasulullah Saw. telah bersabda: “Duaayat yang terakhir dari Surah “Al-Baqarah, siapa yang membacanya kedua ayat . tersebut, maka cukup memadai baginya” yang dimaksud cukup memadai kedua ayatitu adalah, sebagai pemeliharaan pada malam itu dan mendirikan sembahyang malam. (Al-Adzakar halaman 84).
- Dalam Shoheh Bukhary dan Muslim, dari AlBarra” bin ‘Azibr.’anhurna, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah Saw. kepadaku: “Apabila engkau (Barra”) hendak kepembaringan, berwudlulah engkau seperti wudlu untuk sembahyang, kemudian berbaringlah miring ke sebelah kanan, dan katakanlah (ucapkanlah):
Artinya :
“Ya Allah, hamba serahkan diri hamba ini hanya kepadaMu, dan hamba serahkan pula segala urusan hamba hanya kepadaMu, dan hamba sandarkan diri hamba ini hanya kepadaMu, mengharap dan takut hanya kepadaMu. Tidak ada tempat bersandar dan tidak pula ada yang dapat menyelamatkan darisiksaMu kecuali , kepadaMu, hamba percaya dengan Kitab yang Engkau turunkan dan kepada NabiMu yang Engkau utus.
Apabila anda mati, mati dalam keadaan suci. Dan jadikanlah bacaan ini, akhir dari apa yang engkau – ucapkan.” (Al-Adzkar halaman 84).
- Doa dikala menghadapi kesulitan/kesengsaraan
Diriwayatkan oleh dua Imam Hadis, ‘Bukhary dan Muslim dari Ibnu ‘Abbasr.a. huma, sesungguhnya Rasulullah Saw. mengucapkan kata-kata ini ketika dalam kesulitan: ,
- Di dalam Kitab Imam Turmudzi (Perawi Hadis), dari Anas r.a. diterima beliau dari Nabi Saw. “Sesungguhnya, Rasulullah apabila menghadapi suatu urusan yang sulit, beliau mengucapkan kata-kata:”
Al-Hakim juga perawi hadis) berkata, hadis ini shohih sanadnya. — Al-Adzkar halaman 111.
- Ucapan dikala merasa cemas dan gentar Di dalam Kitab Ibnus-Sunniy, dari Abi Musa 3 Al-Asy’arier.a., beliau berkata “Rasulullah Saw. telah bersabda, siapa yang merasa cemas dan gentar maka hendaklah ia berdoa dengan kata-kata ini:
Artinya :
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulllah, Ya Rasulullah, bagaimana bila seseorang yang berjualan, khawatir ditipu orang, bisakah ini dibaca? Rasulullah menjawab: “Ya, Katakanlah dan ajarkanlah, Siapa yang mengucapkannya, Allah hilangkan kekhawatirannya dan rasa gentarnya””. (Al-Adzkar halaman 113).
- Diriwayatkan dalam Kitab Ibnu Sunniy dari Alir.a. beliau berkata: “Rasulullah bersabda: Hai ‘Ali, inginkah anda kuajarkan beberapa kalimat, anda ucapkan kata-kata itu ketika terjadi suatu bencana?” Aku (‘Ali) menjawab, Ya.
Selanjutnya Rasulullah bersabda:
“Apabila terjadi suatu bencana, hendaklah anda ucapkan kata-kata ini:
“Sesungguhnya Allah akan memalingkan bala bencana dengan (berkat) bacaan itu. (Al-Adzkar halaman 113).
- Bacaan di kala menghadapi kesulitan hidup/ ekonomi hidup Dalam Kitab Ibnu Sunniy disebutkan, dari Ibnu ‘Umar r.a. huma, diterima beliau dari Nabi Saw. Nabi bersabda: “Bila salah seorang kamu – mengalami kesulitan dalam urusan penghidupannya, hendaklah ia mengucapkan kata-kata ini bila ia keluar rumahnya:” :
Artinya :
“Dengan nama Allah atas diriku, hartaku, dan agamaku, Ya Allah, ridloi hamba dengan ketentuanMu, berilah berkah untukku pada apa yang telah Engkau takdirkan buatku, hingga tidaklah hamba menginginkan segera terhadap apa yang Engkau lambatkan, dan tidak pula hamba ingin ditunda/dilambatkan terhadap apa yang Engkau tetapkan segera.”
Kutipan dari Kitab: Al-Jawahirul-Luma’ah, Susunan syekh Abu Hayyilah Al-Mazugi halaman 43 dan 44
- Sebagian dari khasiat (kegunaan) menyebutkan IsmuZat (Allah) adalah dapat memudahkan datangnya rezeki.. Dibaca asma itu tiap-tiap hari 5000 kali. Tidak melewati seminggu, rezeki akan datang kepada anda dari segala penjuru.
- Siapa yang ingin mendoakan dengan Ismul-‘Azhom hendaklah ditulis wagaf sebagai yang tertulis di bawah ini (lihat gambar di halaman muka), di saat bulan menunjukkan setengahnya (gamarus-syathrain) sambil membaca Ismuz-Zat (Allah) sebanyak 66 kali dan meminta/memohon apa Yang dikehendaki. Mustajab dalam waktu yang singkat.
- Untuk terlaksananya semua yang anda inginkan, yang baikmaupunyangtidak, anda berzikir dengan Lafzhul Jalalah (Allah) dengan didahului Ya’un-nida (kata Ya Allah) 66 kali, kemudian anda ucapkan doa ini:
Bismillahirrahmanirrahiem Alhamdulillahi rabbil ‘alamien. washalla-llahu ‘ala sayyidina muhammadin wa’ala aalihi washahbihi wasallama ya Arhamar-rahimien 3x Ya rahman ya rahiem 3x ya khairal mas’ulien ya mujibu da’watal mu-dlthorrien ya ilaha al’alamien bika anzalta hajati wa anta ‘alamu bi fagdli ha… allahumma anta laha wa likulli hajatin fagdliha bi fadlli bismillahirrahmanirrahiem ma yaftahillahulinnasi min-rahmatin fala mumsika-laha. . Baca Doa ini sebanyak 10 (sepuluh) kali.
- Selanjutnya, anda zikirkan Asma Yang Mulia ini, sebanyak 3456 (tiga ribu empat ratus lima puluh enam kali), bila sampai bilangan 96 (sembilan enam) kali, hendaklah anda baca doa berikut ini sekali, maka hajat anda akan terlaksana, betapa pun juga hajat itu.
“Allahumma inni as’aluka bi ‘azhomatil uluhiyyati wa bi asraarir-rububiyyati wa bi’izzatis-sarmadiyati wa biHaqqi dzatiksl’aliyyatil-munazzahati ‘anil kaifiyyati was syubhiyyati wa bihaqqi malaaikatika ahlis-. Shifatil jauhariyyati wa bi’arsyika alla-dzi taghsyahul anwaaru ma fihi minal as-raari illa magadlaita hajati… (sebutkan hajat. apa) uminuka ya allah ya allah ya allah al-guddus al-guddus al-guddus, irfa’ ‘anni hijabazzhulumati wa a-rini binurika ma ashhartahu lifibadika ahlil-gulubit-thohirrati, ya man kasaa gulubal ‘arifina bi nuril uluhiyyati falan tasta-thi’al malaa-ikatu raf’a ru’usihim min sathwatil-jabarutiyyah, ya man gala fi mahkami kitabihil ‘azizi wakalimatihil azaliyyah – allahu nurussamawati wal ardli mastalu nurihi ka misykatin fiha mish bahun, almishbahu fizujajatin, azzujajatu ka’annaha kaukabun durriyyun yugadu min syajaratin mubaraka tin zainatunatin la syargiyyatin wala gharbiyyah, yakadu zaituha judli’u wa lau lam tamsashu narun, nurun ‘ala nurin, yahdillahu linurihi may-yasya’u wa yad)i-ribullahul-amstala linnasi, wallahu bi kulli syai’in ‘aliem” Artinya :
“Ya Allah hamba memohon kepada-Mu, dengan kebesaran dan rahasia-rahasia ketuhanan, dengan kemuliaan yang agung, demi kebenaran Zat-Mu yang tinggi, bersih dari segala bentuk dan kesamaran, dan demi kebenaran Malaikat-Mu yang memiliki sifat-sifat cemerlang, demi ‘Arasy-Mu yang penuh diliputi oleh serba cahaya, apa pun yang ada di ‘Arasy itu serba rahasia. Engkau perkenankanlah hajatku… hamba percaya kepada-Mu Ya Allah, Ya Allah, Ya Alah, Yang Maha Suci 3x, angkatlah dinding kegelapan dariku, perlihatkanlah kepadaku demi Nurmu, apa yang telah . engkau tampakkan terhadap hamba-hamba-Mu golongan yang memiliki hati yang cerah ya Tuhan, yang telah memberikan pakaian terhadap hati orang-orang yang ‘ Arif (ahli Makrifat) dengan Nur Ketuhanan, sehingga Malaikat pun tak mampu mengangkatkan kepala mereka karena sifat kehebatan, Ya (Allah) yang telah-berfirman dalam kitab-Nya yang mulia dan kalimatNya yang azaliAllah Nur langit dan bumi, NurNya laksana kaca tembus, terdapat di dalamnya sebuah dian lampu, dian “itu laksana kaca kristal berkelap-kelip dinyalakan dengan sebatang kayu zaitun yang diberkati (nyalanya tidak bergoyang) tidak ke timur dan tidak pula ke barat, — hampir-hampir minyaknya saja dapat menerangi meskipun tanpa sentuhan api, Nur di atas Nur, Allah berikan petunjuk kepada NurNya kepada siapa-pun yang dikehendakiNya, dan Allah memberikan contoh/ misal untuk manusia, dan Allah Maha Tahu terhadap segala sesuatu.”
Kutipan dari Kitab Sirajut-Tholibien (Jilid I) Syarah Minhajul ‘Abidien Ila Jannati Rabbil ‘Alamien Oleh : Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampisy Al-Kediri (Halaman 5)
Sebagian yang berhubungan dengan “Basmalah” (ucapan Bismillahirrahmanirrahiem) terdapat pengertian-pengertian. yang halus, ada yang berpendapat: Sesungguhnya huruf Baialah Baha’ullah (Kecendekiaan Allah) dan huruf Sin ialah Sanaa’ullah (Ketinggian Allah) dan huruf Mim ialah Maj-dullah (Kemuliaan Allah). Ada pula pendapat, huruf Ba ialah Baka-Utta’ibien (Tangis orang yang bertaubat) dan huruf Sin ialah Sahwul Ghofilien (Kelalaian orang yang lalai) dan huruf Mim ialah Maghfiratuhu Lilmudzhibien (Ampunan Allah terhadap orang yang berdosa).
Sebagian besar kalangan Ahli Shufi berkata: kata Allah untuk Ahlus-Shofa (Golongan yang telah bersih hatinya), kata Ar-Rahmaan untuk Ahlul-Wafaa (Golongan yang telah sempurna/mencapai tingkat kesempurnaan iman), dan kata Ar-Rahiem untuk Ahlul-Jafaa (Golongan yang masih kasar tabiatnya).
Mereka berkata: Allah meletakkan semua ‘ilmu pada Ba, artinya, Bi Kaana Maa Kaana Bi Yakuunu Ma Yakuunu (dengan Aku (Allah) ada yang telah ada dan dengan Aku (Allah) akan ada yangakanada) Fa Wujudul ‘Awalim Bi (Maka ujud ‘alam semua ini dengan Aku (Allah). Tidak ada yang lain kecuali Aku, ujud hakiki melainkan dengan nama.
Inilah pengertian yang mereka katakan “Tidak kulihat sesuatu, melainkan aku melihat Allah, padanya atau sebelumnya.” (Halaman 31)
Dari hal-hal menyangkut pengertian yang halus, mereka (Para pembantah) membantah terhadap ungkapan Imam Ghazali di dalam Kitab Ihya sehubungan ucapan Imam Sahl At-Tusturiy “Sesungguhnya rahasia bagi Ketuhanan itu, kalau ia tampak nyata, niscaya batallah Kenabian. Dan sesungguhnya rahasia Kenabian. itu, kalau ia tampak nyata, niscaya batallah ilmu, dan sesungguhnya rahasia bagi ‘Ulama itu, kalauia tampak nyata, niscaya batallah hukum dan syara’.”
Ibnul Ooyyim berkata: (sebagai pembantah): “Perhatikanlah kekeliruan paham yang jelek ini, mereka mendakwa bahwa batin syari’at berlainan dengan zhohir syari’at. Itulah antaranya kesalahan dari keduanya (Sahl dan ghazali).”
Jawab atas bantahan itu adalah, tidak sewajarnya membantah atas ucapan Sahl dan Ghazali itu, karena keduanya beliau mengungkapkannya hanya sepanjang pengertian “Fardlu” dan “Takdir”. | (Penjelasan tambahan dari D.N yang di-indonesiakan)
Apabila seseorang sudah mengetahui takdir tentang dirinya padahal itu adalah suatu rahasia Ketuhanan maka dengan sendirinya ajaran Nabi dan para Ulama seakan-akan tidak ada lagi, karena hal itu buat dia sudah nyata senyata-nyatanya, dan memang sebenar-benarnya. Sekaligus segala kewajiban yang dibebankan kepadanya bukan lagi suatu paksaan tetapi sesuatu keindahan yang amat lezat.
Dalam suatu ungkapan Rasulullah pernah berkata: “Bahwa apabila seseorang melihatnyata keadaan di dalam kubur” padahal itu sesuatu rahasia Ketuhanan, maka orang itu pasti tidak menghiraukan lagi kehidupan duniawinya.
Dengan itu maka orang tersebut akan melaksanakan – ibadatnya tidak karena terpaksa atau dipaksakan. (Halaman 35)
Pengarang Minhajul ‘Abidin (Imam Ghazali) semoga rahmat Allah untuk beliau berkata: “apakah anda tidak mendengar” jelasnya -apakah anda tidak mendengar kepada apa yang diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. beliau berkata: “Saya telah menghafal dari Rasulullah Saw. dua karung (Al-jiraab – Wia min jildin/karung dari kulit) ‘ilmu. Salah satunya saya sebarkan untuk manusia.
Adapun yang satu lagi, andai kata saya sebarkan, kamu pasti memenggal leherku ini. Perkataan Ibnu ‘Abbas r.a. tentang firman Allah ‘Allahulladzi khalaga…bainahunna’ kalau saya (Ibnu ‘Abas) sebutkan tafsirnya sebagaimana yang telah kuketahui, niscaya kamu merajam saya. Artinya, kecerdasanmu tidak sampai kesana untuk menemukannya,lalu kami ingkar/membantah kepadaku tentang hal itu. Pada susunan kata (lafadz) yang lain: Niscaya kamu mengatakan bahwa Ibnu ‘Abbas adalah kafir. . (Halaman 50)
…kemudian tentang Haqqul-Yaqin, ialah musyahadahnya pada segala sesuatu tanpa ‘hulul”, ‘ittihad” dan tidak pula “ittishol”. Seperti cermin, anda dapat melihat wajahmu dalam cermin itu, tanpa hulul dan ittihad. | Inilah Musyahadah Dzaugiy (pandangan batin melalui rasa) tidaklah yang dapat mencapai hal itu kecuali ahlinya. Orang yang sudah memiliki magam ini, tidak meninggalkan ibadat, karena ibadat itu buat dia sudah menjadi tabi’at. Kadang-kadang ibadat melalui lisan dan kadang-kadang dengan hati dan kadang-kadang pula dengan anggota tubuh. Gerak langkahnya selalu baik, nafasnya terhitung ibadat, lalu dia terpelihara dari kejatuhan pada hal-hal yang menyalahi syara’/karena ia merasa kehadirannya selalu beserta Allah dalam tiap-tiap keadaan. Demikianlah penegasan dari Al’allamah (orang yang sangat alim) Sayyid Ahmad Dardir dan Al’llamah sayyid Ahmad bin Muhammad As-Showi.
Catatan dari D.N. yang di-indonesiakan
Hulul : Bersatu.
Contoh: seperti bersatunya gula dan tepung dan bahan-bahan lain pada sepotong roti
lttihad : Terpadu.
Contohnya: seperti berpadunya teh, gula dan air dalam segelas dir teh manis.
Ittishol : Bersambung.
Contoh: seperti benang yang disambung .
Infishol : Berpisah-cerai.
Contoh: seperti terpisah cerainya segala benda-benda ini.
Ke-empat faham ini adalah tertolak dan berbahaya pada ‘itikad sedang yang benar adalah “fana fillah wa baga billah” dan tidak ada lagi isyarat dan ‘itibar (kata dan gambaran) ‘ yang bisa mengungkapkannya. Hal ini adalah soal “dzauqiy”rasa). :
(Halaman 51)
…. tidaklah aku kenal kecuali Allah dan tidaklah aku tahu kecuali Allah” inilah pengertian atas ucapan pengarang (AlGhazali) “siapa yang melihat Allah Al-Hag, melihatia kepada Allah pada segala sesuatu… dan seterusnya.”
Dan andai kata seseorang tashawwur/tergambar pada kata-katanya bahwa ia tidak melihat di segala ufug/penjuru, benarlah apa yang ia katakan: “Tidak – ada apa-apa yang kulihat kecuali matahari” sesungguhnya cahaya matahari itu melimpuh dari matahari itu sendiri, padahal cahaya itu sendiri termasuk matahari itu sendiri bukan berarti cahaya itu keluar dari pada matahari.
Seluruh apa saja yang ujud adalah nur dari An-warul-Qudratil-Azaliyah (Cahaya Oudrat yang azali) dan atsar dari atsar anwarul-gudratul azaliyah itu.
Seperti matahari yang mengalirkan cahaya atas semua yang ada ini, maka tidak adalah pada ujud ini kecuali Allah.
Siapa yang mengenalNya, ia akan mengerti bahwa segala sesuatu ini yang selain Allah adalah batil.
Sesungguhnya segala sesuatu ini adalah batil kecuali Dzat Allah. Tidaklah maksud batil danbinasanya/lenyapnya sesuatu hanya pada sesuatu waktu saja (yang akan datang saja). Bahkan sekarangpun adalah batil dan binasa dalam arti ‘azali” dan “selama-lamanya”. Tidak ada gambaran lain kecuali itu.
- Dalam buku Permata Yang Indah (Ad-Durun Nafis) tercantum sedikit tentang Nur Muhammad. Yang saya tanyakan: “Apakah meyakini Nur Muhammad itu termasuk “hukum-wajib” atau tidak? Apakah dengan tidak meyakini itu termasuk kufur?
Jawab: Masalah Nur Muhammad adalah masalah “khilafiyah” (perbedaan pendapat) dan pernah dan sering menjadi bahan pembicaraan di kalangan Ulama sejak ribuan tahun yang lalu. Menurut sepanjang penelitian saya, kalangan penganut ajaran Nur Muhammad, tidak ada yang mengkafirkan orang-orang yang tidak menerima ajaran itu. Malah sebaliknya, golongan yang tidak mau menerima ajaran itu banyak dengan mudah melontarkan tuduhan “sesat menyesatkan” terhadap mereka Penganut ajaran Nur Muhammad hanya mewajibkan diyakininya ajaran itu terhadap pengikut-pengikut mereka sendiri.
- Apakah faham Wihdatul Wujud benar-benar termasuk ajaran yang “sesat dan menyesatkan?”
Jawab: Faham Wihdatul Wujud yang menyatakan “Dirinya sendiri sebagai Tuhan” jelas sekali suatu faham yang “sesat dan menyesatkan” dan siapa saja yang menerima ajaran demikian adalah Musyrik. Sedang faham yang dipaparkan. dalam Ad-Durrun-Nafis adalah faham yang Ahlul Kasyaf, suatu golongan dalam lingkungan Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah, tetap pula memegang ajaran syariat (figih) dari Empat—Mazhab. Kata-kata Wihdatul Wujud hanyalah sekedar “suatu istilah”, sulit untuk dicari dalam Al-Our’an dan Hadits Rasul. Sama halnya dengan istilah-istilah misalnya: Figih,
Jlumu Kalam, Tasawuf dan lain-lain, kata-kata ini tidak pernah ada secara leterlek dalam Al-Our’an dan hadits Rasul namun hal itu sudah diterima baik oleh Dunia Islam sejak berabad-abad yang lalu. Maka jelasnya, “Sesat atau tidaknya tergantung dengan isi yang ada dalam ajarannya.”
- Pada halaman 117 dinukil (disitir) ucapan Syekh Junaid r.a. “tidak akan mungkin sampai kepada derajat hakikat kecuali dia sanggup menghadapi tuduhan zindig dari seribu orangshiddigien.” Yang saya tanyakan: “apa maksudnya kata-kata ini?”
Jawab: Untuk menjawab itu, baiklah saya kutip berita menarik dari TVRI tanggal 17—3—1989, ada seorang pemuda yang “menekuni bidang elektronik, dengan membuat robotrobot, perpaduan antara seni dan teknologi. Rekan-rekannya dan banyak orang yang mengatakan dia sinting, gila, bodoh dan lain-lain cemoohan atas upaya itu. Namun si pemuda tidak memperdulikan segala cemoohan tersebut. Dia yakin atas apa yangia lakukan. Setelah berhasil, segala cemoohan itu berbalik menjadi . pujian, menghargai kreativitas pemuda tersebut. Hasil karyanya justru banyak menarik peminat. . Jadi jelaslah, ucapan Syekh Junaid r.a. itu, tidak lain. untuk mendorong para penuntut agar “teguh pada pendirian”, meskipun ribuan orang lain menyatakan salah. Bahkan dibunuh sekalipun, tidaklah akan menggoyahkan pendirian dan keyakinan.
- Kata-kata “tafakkur sesaat lebih baik dari ibadah 70tahun” seakan-akan merendahkan nilai ibadah. Atau dengan kata lain, “tafakkur lebih baik dari ibadah.” Bagaimana maksud kata-kata ini sebenar-nya?
Jawab: Lebih dahulu harus kita mengerti watak orang Sufi, bahwa yang mereka perbincangkan itu adalah tentang “diri mereka sendiri.” Mereka tidak merasa perlu untuk memperbincangkan orang lain. Baik atau tidak ibadah orang lain, bukanlah urusan mereka. Yang mereka perlukan ibadah mereka harus “berbobot” dalam penilaian Tuhan. Prinsip “mukmin ‘indallah” (beriman pada sisi Allah) itulah yang mereka pentingkan. Selain itu, kata-kata tersebut dapat diartikan sebagai suatu “kata kinayah” (kata pinjaman). Misalnya “Sesaatgetaran – pena seorang pejabat tinggi, akan lebih tinggi nilainya dari kerja keras seorang petani bertahun-tahun. “Tafakkur”, adalah sangat dianjurkan oleh Agama. Dengan tafakkur dan merenung terhadap alam, diri, -hidup dan kehidupan, menimbulkan pengertian yang menuju kepada kebenaran. Kebenaran membawa kepada kesadaran yang tinggi, tidakikut-ikutan, tidak , pula karena paksaan atau terpaksa.
- Pada halaman 117 ada kalimat sebagai berikut: “Bagi Ketuhanan ada rahasianya,-yang apabila dizahirkan batallah kenabian. Bagi kenabian ada pula rahasianya, kalau dibuka batallah segala ilmu. Bagi Ulama ada pula rahasianya, bila mereka zahirkan rahasia itu, maka batallah hukum
Jawab: Memang kalimat ini, bila salah pengertian memungkinkan seorang menghilangkan hukum syara.
Mereka beranggapan bila sudah sampai kepada Ilmu Makrifat, maka tidak perlu lagi sholat dan lain-lainnya. Padahal bukan demikian yang dimaksud oleh kalimat jini. Yang benar adalah, bila seseorang terbuka baginya rahasia-rahasia ketuhanan, melihat nyata peristiwa kubur, surga, neraka, dan sebagainya, maka dengan sendirinya orang itu tambah tekun ibadahnya, tambah dekat perasaannya kepada Allah, maksiat amat dibencinya. Ini yang dikatakan “lisanul hal” (keadaan. yang berbicara). Andaikata tidak ada seorang Nabipun yang diutus, namun dia akan tetap menegakkan nilai-nilai kebenaran hidup dan sifat kehambaan dengan tekun dan kesungguhan hati. Terhadap Para Nabi, teristimewa terhadap Rasulullah Muhammad Saw., . tambah mendalam rasa cinta kasihnya. Segala ajaran Para Ulama yang berupa ketentuan-ketentuan hukum dilaksanakannya dengan suka-rela, ikhlas dan penuh ketundukan hati. Dia tidak merasa adanya “unsur paksaan” karena hakikat kebenaran yang terkandung di dalam hukum-hukum itu sudah disaksikan dengan jelas dan nyata. Inilah yang dimaksudkan “batal . kenabian, batal ilmu dan batal hukum”. Jadi, perkataan “batal” yang dimaksudkan – adalah “tidak mempermasalahkan” karena amat nyatanya. Misalnya, apa yang pernah dialami oleh Syekh Ibrahim At-Tamimy. Beliau menerima pelajaran suatu bacaan dari Nabi Khaidir ‘alaihissalam, yang beliau terima dari Rasulullah Saw. Syekh Ibrahim At-Tamimy (salah seorang wali-abdal) bertanya kepada Nabi Khaidir a.s. ‘Apa keistimewaan bacaan ini?” Nabi Khaidir a.s. menjawab: “Tanyakan sendiri kepada Rasulullah yang telah mengajari aku”. Syekh — Ibrahim At-Tamimy r.a. hidup di sekitar abad ke II Hijriyah berarti ratusan tahun setelah meninggalnya Rasulullah. Pada suatu malam, beliau bermimpi berjumpa dengan Rasulullah. Lalu bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, benarkah engkau yang mengajarkan bacaan ini kepada Khaidir a.s.?” Rasulullah menjawab: “Benar” Selanjutnya Rasulullah menjelaskan keistimewaan bacaan tersebut. Dalam hal ini, Syekh Ibrahim At—Tamimy r.a. yakin seyakin-yakinnya, karena bermimpi berjumpa Rasulullah dalam mimpi pasti benaradanya, menurut hadits Rasulullah sendiri menyatakan bahwa setan atau Iblis tidak mampu menyerupai dan mengaku Muhammad Rasulullah. Syekh Ibrahim At—Tamirmyr.a. “Tidak mempermasalahkan” ada atau tidak hadits yang berkenaan dengan bacaan itu, andai kata ada, tidak pula beliau permasalahkan shohih atau doifnya hadits. Begitu juga tentang hukumnya membaca bacaan itu, apakah bid’ah atau tidak, dan sebagainya. Demikian satu contoh semoga memuaskan si penanya.
- Pada halaman 204 ada ucapan orang Sufi yang disitir “Aku Bertobat Daripada Mengucapkan Lailahailla Allah”. Kata-kata ini menunjukkan “tidak ingin lagi” mengucapkan kalimat tauhid itu. Bagaimana menurut pendapat Bapak?” –
Jawab: Ucapan orang sufi pada umumnya, dibalik yang “tersurat” ada “yang tersirat”. Yang dapat memahaminya dalam arti “tersirat” itu hanyalah kalangan Sufi sendiri. Di sinilah pangkal perselisihan dan timbulnya tuduhan orang-orang Ahli Zahir (Ulama Syareat). Untuk dapat memahami ucapanucapan ganjil dari mereka itu, seharusnya dengan kacamata mereka pula. Untuk saya pribadi beranggapan bahwa kalimat tersebut terlalu “berani”
untuk diucapkan, dan amat membahayakan terhadap orang awam. Selain itu mengundang silih sengketa.
Namun demikian, saya tetap bersangka baik terhadap mereka. Alasannya adalah: pa
1) Dalam kesendiriannya kata-kata itu lahir dalam keadaan “Syatathoh” tanpa terkendali oleh akal.
2) Dahulu dia ucapkan kalimah Tauhid itu dalam serba keutuhan dirinya, sama sekali tidak dia rasakan bahwa kalimat Tauhid itu dia ucapkan adalah karena karunia dan rahmat Allah.
3) Dahulu dia sangka bahwa kalimat Tauhid itu seutuhnya miliknya sendiri, lahir dari lidahnya sendiri dan atas dasar pengetahuan dan kemampuannya sendiri. Tidak diketahuinya ada suatu Hadits Qudsi yang Shohih berbunyi: “La laha Illa Allah adalah ucapan-Ku (Allah) dan dia adalah benteng-Ku, siapa yang memasuki benteng-Ku, amanlah dia dari siksa-Ku.”
Setelah merenungkan itu semua, sadarlah si Sufi bahwa apa yang dia yakini dahulu adalah salah. Maka ucapan taubatsi Sufiitu, dengan penyesalan yang dalam, bergetar sendi tulang belulangnya, air matanya bermanik-manik: “Aku taubat mengucap kata La Ilaha Illa.”
Allah seperti dahulu, Dahulu, “Kusangka kata-kata itu milikku, “karena mampuku, ‘ “karena pintarku, “kini kandil kemerlap dihati ini, “dahulu, kebodohan-kekufuran, “semua, karena-Mu, untuk-Mu, – “dan milik-Mu, kini,. “Inna Lillah. La Ilaha Illa Allah
- Pada bagian terjemahan Kitab Tanwirul Oulub halaman 241 tercantum sebuah ungkapan:
“Setelah fana fillah,
“Jadilah apa yang anda mau,
“Yimumu, tiada kebodohan,
“Laku tingkahmu, tiada dosa.
Ungkapan ini sekan-akan, apa saja yang dilakukan sudah tiada dosa lagi.
Apakah maksudnya ungkapan ini?
Jawab: Tentang ini, hendaklah dilihat pada keseluruhan uraian. Di sana dibicarakan masalah nafsu menurut tingkatan-tingkatannya. Jelasnya, bila seseorang itu sampai pada tingkat nafsu yang ke-7, dalam arti sikap hidupnya, bukan hanya sekedar tahu dan mengerti saja, maka pastilah orang pada tingkat nafsu tersebut “tidak ada niatannya” untuk berbuat sesuatu yang bisa melanggar hukum. Dan dia sudah benar-benar mengerti tentang apa yang dilarang dan apa yang diperintah. Disinilah letaknya yang dimaksud oleh ungkapan tersebut. Umpama seseorang yang sudah dewasa, tidak mungkin dia mau berbicara, bersikap atau bertingkah laku seperti “balita”.
Demikianlah beberapa Tanya-Jawab berkenaan dengan isi Buku Permata Yang Indah (Ad-Durrun-Nafis) yang saya kumpulkan dari beberapa pertanyaan lisan dan tulisan. Kepada para penanya saya sampaikan terima kasih.