Kitab Ahlal Musamaroh Dan Terjemah [PDF]

Segala puji bagi Allah aygn menjelaskan kepada kita cara mencarai kebenaran, dan memerintahkan untuk mengigat dan i’tibar, maka allah menceritakan kepada kita kisah-kisah orang baik dan orang jelek, agar kami dapat mengambil contoh terhadap yang sudah terjadi di waktu yang dahulu, dan selawat serta salam untuk junjungan kita Muhammad yang diutus dengan kabar bahagia dan peringata, dan untuk keluarga beliau dan sahabat beliau yang mulia dan pilihan.

Amma ba’du, berkata seorang hamba yang tertipu dengan perkara yang tidak ada faidah, abul fadlol ib abdus syakur assenori sebuah desa di tuban: ketika mengetahi sejarah adalah perkara yang pentign menurut orang yang memiliki mata hati, dan pemilk fikiran dan contoh, jika tidak karena hal itu maka Allah tidak menceritakan kepada kita kisah-kisah umat terdahulu dalam masa yang telah lewat, dan menganjurkan kita untuk berjalan di ujung-ujung bumu untuk melihat peninggalan, maka saya melihat untuk menulis kitab yang ringkas ini, agar menjadi pengigat untuk diriku dan untuk orang yang sepertiku dari anak bangsaku, dan aku beri nama ahlal musamarah fi hikayat auliya asyroh, karena untuk mengikutu ulama’ yang mulia, dan orang utama yang pandai, karena aku melihat mereka menulis sejarah kota-kota mereka, dan apa yang terjadi di penduduknya, dari pendahulunya dan yang sezaman. agar hal tersebut menjadi pengigat bagi orang yang datang sesudahnya. dan Allah yang memberi petunjuk dengan anugra dan kemurahan Allah.

Diriwayatkan -wallahu a’lam-  bahwa sayyidina zainal abidin ibn sayyidina husan ibn sayyidatina fatimah binti rosulullah saw. memiliki putra yang dinamai zainul adzim, dan zainul adzim memiliki admal yang dinamakan zainul kubro, dan zainul kubro memilik anak yang di namakan zainul husain, dan zainul husai memiliki anak yang dinamak mahmud al kubro, dan mahmud al kubro memilik anak bernama jumadil kubro, dan jumadil kubro memiliki tiga anak: sayyid maulana ishaq, sayyid ibrohim al asmar -dikatakan yang benar ibrohim assamarqond- dan sayyidah asfa isti putra raja romawi abdul majid.

Dikatakan zainul abidin memilik anak bernama zaiul alim, dan zainul alim memiliki anak bernama zainul kubro, zainul kubro memiliki anak bernama jumadil kubro, jumadil kubro memiliki anak bernama zainul hasan, zainul hasan memiliki anak bernama syamun, saymun memiliki anak bernama abdullah, abdullah memiliki anak bernama abdurrahman, abdurrohman memiliki anak bernama al kubro, al kubro memiliki anak bernama mahmud, mahmud memiliki anak bernama najmuddin al kubro, najmuddin al kubro memiliki anak bernama ibrohim asmar, ibrohim asmar memiliki anak bernama maulana ishaq.

Dikatakan: zainul abidin memiliki anak bernama zainul hakam, zainul hakam memiliki anak bernama zainul husain, zainul husain memiliki anak bernama zainul kabir, zainul kabir memiliki anak bernama najmuddin al kabir, najmuddin al kabir memiliki anak bernama syamun, symaun memiliki anak bernama ustur, ustur memiliki anak bernama abdullah, abdullah memiliki anak bernama abdurrahman, abdurrahman memiliki anak bernama mahmud al akbar, mahmud al akbar memiliki anak bernama najmuddin, najmuddin memiliki tifa anak: sayyid ibrohim al asmar, maulana ishaq dan sayyidah asfa.

dan dengan riwayat-riwayat ini walaupun berbeda-beda kita yakin bahwa ibrohim al asmar termasuk keturunan rosulullah saw.

Diriwayatkan ketika asyyid Ibrohim al asmar menginjak dewasa, beliau berkelana di muka bumi sampai ke suatu daerah yang bernama cempa, dan beliau menetap di situ sampai ia mampu untuk masuk ke raja cempa, ketika beliau masuk ke raja, raja berkata: wahai darwisy, siapa namamu? dan apa kebutuhanmu masuk kepadaku? sayyid ibrohim menjawab: namaku adalah ibrohim dan kebutuhanku masuk kepadamu adalah aku mengajakmu meniggalkan menyembha berhala untuk ibada kepada raja seluruh agama, dan masuk di agama yang luru yang sucu, yaitu agama muhammad saw, yaitu agama islam, hal tersebut kamu mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu: aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya muhammad adalah utusan Allah. lalu raja mengiyakan dan mengucapkan dua kalimat syahadat, dan diikuti penduduk negaranya, dan ia memerintahkan memecahkan seluruh berhalan dan membangun masjid untuk ibadah dan mendekatkan sayyid ibrohim dan mencintainya dengan sangat.

Dan raja punya tiga anak: ratu murtaningrum istri raja brawijaya yang beragama budha, raja kepulaan jawa. ratu condrowulan dan raden jenkaro dialah yang menggantikan ayahnya setelah ayahnya meniggal. maka raja menikahkan sayyid ibrohim al asmar dengan putrinya yang bernama condro wulan, dan si istri mencintai sayyid ibrohim dengan sangat, dan mentaati beliau dengan sempurna, bersama juga beliau taan kepada Allah, yang memiliki kecantikan dan harta yang banyak.

Dan sayyid ibrohim dari putri condro wulan dikarunia tiga putra, yaitu: raden rojo pendeto, sayyid rohmat dan sayyidah zainab. 

ini adalah cerita sayyid ibrohim al asmar

Dan di pulau jawa di waktu itu ada raja budha yang bernama rangkawijaya, yang masyhur disebut brawijaya, dia adalah akhir raja-raja budha di pulau jawa, dan akhir orang terakhir yang menjadikan kota majapahit sebagai pusat kerajaan. 

sudah disebut dahulu bahwa ia menikah dengan putri raja cempa yang namanya murtaningrum, dan dia dikarunia tidak anak, yang pertama cewek namanya putraadi istri menteri daya ningrat. yang kedua lembu peteng, dia adalah gubenur di madura. yang ketiga adalah radin gugur, dan ia tidak memiliki kekuasaan, akan tetapi ia sibuk membantu ayahnya dan menolongnya dalam urusan kerajaan.

Dan brawijaya memiliki anak lain dari istri lani yaitu putri seksadana, namanya arya damar, dan ia diberi kekuasaan palembang dan sekitarnya. 

dan brawijaya memiliki dua anak lagi dari istrinya yang dari ponorogo, yaitu: bathoro katung dan ki jaran panulih. adapun batorokatung ia menjadi penguasa di ponorogo, adapun jaran panulih ia menjadi penguasa sumenep dan sampang dari daerah madura.

Dan Brawijaya menikah dengan wanita lain dari putri raja cina, dan ia memiliki kecantikan, dan ia sangat mencintainya, ketika putri cina mengandung dan sudah hampir melahirkan, brawijaya memerintahkan putranya arya damar untuk membawa putri cina ke palembang, dan memberikan putri tersebut kepadanya, dan berwasiat agar arya damar tidak menidurinya sampai melahirka. lalu arya damar membara putri cina ke palempang. ketika putri tersebut berada di palembang dan kehamilannya mencapai sebelas bulan ia melahirkan seorang putra yang sangat tampan, yang katakan:
Ia seperti rembulan yang menerangi kegelapan, muncul di kegelapan malam dan bercahaya
cahaya yang meneragi angkasa, dan petunjuk menjadi terbuka di bumi, dan telah muncul.

Dan arya damar menamahinya dengan raden fatah, dan namanya cocok dengan orangnya, karena ia menjadi sebab terbukanya penduduk islam di tanah jawa, yang akan dijelaskan.

Setelah itu arya damar menjadikan putri cina sebagai istri, dan mengandung anak, ketika kandungannya mencapai sembilan bulan, putri cina melahirkan seorang anak laki-laki yang cerah dahinya, yang setiap kejelekan hilangn darinya, dan ayahnya memberi nama radin husain, dan dikatakan:
seakan-akan kedua dahinya dibawah rambut adalah rembulan di antra kegelapan malam
memberi tahu kita dua lembar rembulan yang bercahaya, dengan wajah yang terbuat dari sumber keindahan.

Lalu setelah itu brawijaya sakit yang lama, yang para dokter tidak mampu untuk menyembuhkannya, maka para peramal mangatakan, engkau tidak akan sembuh dari sakitmu ini kecuali kemu menikah dengan seorang wanita yang namanya wandan kuning, dan ia dari rakyat bawah dan berupa jelek, maka brawijaya tidak mau, tetapi karena mengharap kesembuhan brawijaya terpaksa menikahinya. ketika menikahinya dan lewat tiga hari sakit brawijaya menjadi ringan, dan tidak lama brawijaya sembuh dari sakitnya dan kembali seperti sedia kala. 

Lalu wanita itu mengandung, ketika sudah sembilan bulan ia melahirkan purta yang diberi nama bundan kejawen. dan ketika itu brawijaya malu dari para mentrinya, terhusus istana kerajaanya, karena ia memiliki seorang anak dari wanita yang rendahan dan jelek, lalu brawijaya mengeluarkan wanita tersebut dan menaruhnya di seorang petani di suatu desa yang namanya karang jambu. Dan anak tersebut tumbuh besar di desa tersebut sampi menginjak dewasa dan dinamakan lembu peteng, dan ia di keadaan yang jelek dan sempitnya maisyah, karena ia tidak memiliki pekerjaan kecuali petani, dan ia malu dari manusia, karena ia menjadi rakyat bawan dan rakyat biasa, dan sudah menyebar bahwa ia anak raja brawijaya, maka ia sedih dan berfikir akan urusan mereka, dan hatinya bingung di lembah fikiran, lalu ia kelluar dari desa tersebut dan berjalan di bumi sampai di suatu gunun kadeng, maka ia menyendiri di sana, dan sibuk melakukan latihan, dengan menyiksa dirinya, dengan menyedikitkan makanan dan kurangnya tidur, seraya berharap agar kendali tanah jawa berada di tangannya, dan di bawah kekuasaanya. dan ia berada di situ lama, sampai ia mendengan suara agar ia meninggalkan tempat ini dan carilah seorang guru dari guru zaman ini, ketiak kamu menemukannya maka sibuklah untuk berkhidman padanya dan selalu taat padanya.

Lalu ia keluar dari tempat tersebut dan turun dari pucuk gunung dan berkelana di bumi, menapaki dalan kecul dan tanah becek, naik di atas gunu, dan turun di lembah, dan tempat-tempat yang menakutkan, mendatangi kota-kota dan desa-desa, keluar dari tempat ini masuk di tempat lain, semua itu bersama meninggalkan enaknya minuman dan makanan, dan meninggalkan tikar untuk istirahat dan tidur, seraya mencari kemuliaan yang tinggi dan kehormatan di antara para manusia.

Dai ia tidak henti-henti melakukan hal tersebut sampai datang di suatu daerah , yang di situ adah soerng pemimpin yang namanya ki tarub, dan ki tarub berkata: apa yang membuatmu datang kesini wahai pemuda?. ia berkata: aku datang kepadamu dan menyerahkan padamu diriku dan urusanku padamu, seraya meminta berkah dengan melayanimu. maka ki tarub tersenyum dan memandangnya dan memiriki firasan dari wajahnya dan cahaya matanya bahwa anak ini termasuk putra raja, lalu ki tarub menanyakan namanya dan ayahnya dan kotanya. ia berkata: namaku lembu peteng, dan saya putra seorang wanita yang bernama wandan kuning dari suatu desa yang namanya karang jambu. maka ki tarub ingan bahwa brawijaya memiliki istri yang namanya wandan kuning, dan ia ingat apa yang terjadi padanya, dan bahwa brawijaya mengeluarkannya dan anaknya sampai akhir cerita. maka ki tarub sangat bahagia dan berkata: wahai anakku jika enkau ingin melayaniku maka lakukanlah dengan serius dan niat yang kuat, dan niatlah melatih diri untuk memperoleh apa yang kau inginkan seperti kerajaan dan kekuasaan. lembu peteng berkata: siap, dan hal tersebut adalah tujuanku dan puncak harapanku, dan menerimamu akan pelayananku adalah termsuk kebahagiannku yng besar, seraya mengharap keberkahan doamu.

Maka lembu peteng tidak henti-henti melayani ki tarub siang malam, dan tidak terputus dari latihannya bersama pelayanan tersebut, maka ki tarub takjub dari ketaatannya dan pelayanannya dan mencintainya dengan sangat. dan berkata padanya: wahai anakku: apakah engkau mau aku nikahkan dengan putriku yang namanya nawang sih. lembu peteng berkata: iya saya mau. ini adalah cerita lembu peteng.

Suatu hari
berbicang Brawijaya dengan istrinya yaitu Martaningrum. Istrinya menceritakan
bahwasanya ia memiliki seorang saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang
saat itu memiliki keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :

Rambutnya seolah senja menghitam dan
di wajahnya seolah fajar bersinar …

Giginya bagaikan lampu-lampu yang
berjejer …

Perawakan tubuh bagian belakangnya
berpostur kencang …

Berlenggak-lenggok dari belakang menonjol
bagaikan bukit …

Seolah dirinya acuh orang-orang mensifatinya
dan larut dalam pikiran kotor mereka …

Entah mereka dari kalangan manusia
atau seperti kijang …

Maka ketika
Brawijaya mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari
perempuannya; Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya menikahkan saudari
perempuannya dengannya. Ia kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya
Ba’ah, yang dia juga orang kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan
permisalan dari Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau
kepada raja Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan
raja Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya
dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata
Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke
negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :

Aku keluar akan tetapi keluarku
bukan untuk mencari rintangan …

Akan tetapi untuk meraih keridhaanmu
yang kau impikan …

Sekiranya bukan karenanya, tidaklah
aku mau mencari hal yang membahayakan …

Dengan mendatangi negeri asing dan
lautan sembari membawa pesan …

Kepada raja di negeri yang aku belum
pernah masuk padanya …

Untuk membawa anaknya yang seperti
terangnya bulan purnama …

Dengan hati yang di kelilingi
ketakutan …

Yang bahwasanya seperti burung kecil
yang dilempar kepada elang …

Wahai kiranya ini (yaitu resiko
sebagai menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …

Aku akan raih dengan kegembiraan dan
kemuliaan  termulia …

Arya Ba’ah tidak berhenti melangkah
kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia memasuki negeri Campa,
ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja setelahnya adalah puteranya
sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu penyebutannya. Anaknya yaitu
Candrawulan telah menikah dengan seorang laki-laki bernama Ibrahim dari
Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas pernikahannya tersebut, bersedihlah
utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu akan kebenarannya, merasa telah gagal
akan usahanya dan merasa tidak mendapat hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan
raja Cangkar, raja bertanya akan namanya dan tentang negerinya serta
keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya seorang laki-laki dari Jawa,
namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus oleh seorang raja yang mulia bernama
Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya : Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta
merta mengatakan tujuanku sebenarnya kemungkinan dia akan marah, aku tidak
boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya
sembari ramah tamah dengan tanpa mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya
diutus Brawijaya, berpura-pura dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri.
Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan
amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri
raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri
kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu
dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan
raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri
Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada
raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana
yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang
bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al
Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa juga
sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja setelahnya
adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa pesan dari raja
Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum). Berkata
raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa
gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian
bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan
berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan
bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka
ketika digenggamnya (gelang dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu
adalah pemberian saudara laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian
Arya ketakutan dan memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan
berteriak, menangislah seisi rumah sehingga ramai terdengar. Ketika Brawijaya
mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah sembari memendam kekesalan yang tidak
diragukan lagi karena sebab ia menyangkan semua ini akibat pengkabaran akan
meninggalnya bapaknya. Berkata Brawijaya kepada istrinya : Tidak benar engkau
melakukan demikian, engkau menangis, dan menjatuhkan diri di lantai. Ia
istrinya berkata : Aku menangis karena sebab wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya
: Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun
tulisan (yang sampai) berkenaan dengan hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh
bapakku berpesan padaku untuk mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia
telah wafat, dan keduanya telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa
bapakku telah tiada. Inilah yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan
Istrinya.

Adapun yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang keduanya adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua berasal dari negeri Campa, keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua pernah mengunjungi bibinya yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri Majapahit. Pada saat itu bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu Hurairah untuk menemani keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun, agar senantiasa berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar dari negeri Campa menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada negeri yang dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang milik orang Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis. Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu. Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan raja Brawijaya, yang datang kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun ke-enam hijriyyah.

Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua anak ini, seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati karena tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa secara umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang menyembah Tuhannya.

Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala, sebagaimana berkata sebagian Ulama :

Keimanan seorang hamba tidaklah sempurna …

Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja …

Pujian dan celaan mereka sama saja …

Tidaklah merasa takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …

Dahulu sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning , dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan namanya Candrawata  dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3 anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam. Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.

Lalu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri, pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak tahu bagaimana akhirnya.

Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung. Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji kapas.

Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk bekerja sebagai tukang besi.

Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak : Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo

Sayyid Rahmat memiliki 5 orang anak dari Raden Ayu Candrawati :Sayyidah Syarifah, Mutmainnah, Hafsah dan Sayyid Ibrahim, Sayyid Qasim. Kemudian menikah lagi dengan Maskarimah binti Kembang Kuning yang lahir padanya 2 anak perempuan : Murtiah dan Murtasimah. Seluruh anak-anaknya belajar ilmu-ilmu syariah (agama) dari bapaknya. Inilah keterangan yang menjelaskan tentang Sayyid Rajafandita dan saudaranya (Sayyid Rahmat).

Anak-anak Ki Tarub yang telah lalu nama mereka disebut maka yang bernama Nawangsih ia menikah dengan Lembu Peteng bin Brawijaya atau yang dinamakan Shohroh Tarub yang dikaruniai anak yang bernama Getas Pandawa. Dan anaknya yang bernama Nawangsasi menikah dengan Raden Jaka Kandar bermukim di desa Malaya di Bangkalan di Madura; Kemudian memiliki anak bernama Asiyah dan Dewi Irah. Adapun anak perempuan Ki Tarub yang bernama Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang ia menguasai negeri Wilatikta (Tumenggung Wilatikta).

Telah disebutkan bahwasanya raja Pajajaran Mundi Wangi memiliki istri kedua dan dikarunia anak laki-laki yang bernama Giyung Manar yang dikarunia anak bernama Bambang Wecana yang dikaruniai anak Bambang Pamengker., dan bapaknya ini tunduk di bawah kuasa raja Majapahit, menjauhkan diri tinggal di desa di bawah gunung semeru, Bambang Pamengker dikarunia anak bernama Minak Paranggula yang dikarunia anak bernama Minak Sambayu yang menjadi raja di negeri Blambangan. Akan datang keterkaitan kisah mereka.

Maulan Ishak yang telah lalu penyebutannya, ia adalah saudara Sayyid Ibrahim; Maka ketika ia menjadi laki-laki petualang di bumi, sampai ke negeri Pasa yaitu negeri di pulau sumatera, maka tinggallah ia di sana (Pasa). Dikaruniai anak bernama Sayyid Abdul Qadir dan Sarah.

Kemudian pergilah Mulana Ishak ke pulau jawa dan meninggalkan kedua anaknya kepada ibunya. Dimana keduanya masih kecil. Naiklah Maulana Ishak ke kapal milik laki-laki asal Gresik dan berjalan kapal dengan baik sampai tibalah di Gresik, kemudian turun dan menuju ke Surabaya, masuk ke desa Ampel saat waktu ashar. Secara kebetulan di situ bertemu dengan Sayyid Rahmat shalat sebagai imam yang di-ikuti tiga laki-laki : Abu Hurairah, Ki Wirajaya dan Ki Bangkuning. Maka Maulana Ishaq menunggu di luar masjid. Ketika Sayyid Rahmat sudah salam dari shalatnya, Maulana Ishaq memberi salam dan dijawab salamnya. Kemudian mereka berdua saling bertanya tentang nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Maka tahulah Sayyid Rahmat bahwasanya Maulana Ishaq adalah saudara dari bapaknya. Maulana Ishak berkata : Engkau berarti adalah anakku, karena sebab bapakmu saudara laki-lakiku. Kemudian berkata kepadanya Sayyid Rahmat : Dulu tidak ada seorangpun muslim di sini kecuali aku dan saudaraku Sayyid Rajafandita dan temanku Abu Hurairah, kami adalah yang pertama kali muslim di pulau jawa. Maulana Ishak berkata : Aku namakan engkau Sunan yang pertama, pertama karena sebab engkau yang awal muslim di pulau jawa. Maka sepakatlah manusia yaitu menetapkan nama ini kepada Sayyid Rahmat. Senantiasa Sayyid Rahmat menyeru manusia kepada agama Allah Ta’ala dan kepada ibadah  kepada-Nya. Sampai-sampai seluruh penghuni Ampel mengikutinya dan yang di sekitarnya serta kebanyakan orang-orang Surabaya. Tidaklah itu kecuali kebaikan akan nasihatnya dan hikmahnya dalam berdakwah serta baiknya akhlaknya kepada manusia dan baiknya dalam berjidal, menerapkan firman Allah : Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta berjidallah dengan mereka dengan sebaik-baik jidal (Al-Ayat), dan Firman Allah Ta’ala : Rendah dirilah kamu kepada orang-orang yang beriman, dan firman-Nya : Perintahkan kepada kebaikan dan dan menjauhi kemungkaran serta sabarlah atas apa yang menimpamu, sungguh yang demikan itu adalah yang diwajibkan oleh Allah. Inilah yang semestinya para imam-imam muslim dan masyaikh mereka mengikuti jalan tersebut yang diridhai sampai manusia masuk agama Allah berbondong-bondong. Berkata penyair :

Terimalah maaf mereka, berjalanlah dengan adat sebagaimana …

Engkau diperintah, dan tampakanlah (perintah tersebut) kepada mereka yang jahil …

Lemah lembutlah semampumu pada setiap manusia …

Maka akan tampak baik atas mereka yang jahil …

Dan kepada mereka yang keras kepala, sentuhlah mereka …

Dengan sabar, agar supaya terangkat mereka yang sempurna …

Kemudian berselang beberapa lama, Maulana Ishaq undur diri kepada Sayyid Rahmat dan kemudian keluar dari Ampel berjalan menuju timur laut menaiki gunung dan turun di lembah-lembah sampai ke negeri Banyuwangi. Naik di atas gunung yang dikatakan Selangu semata-mata untuk beribadah di sana, shalat wajib, sunnah dan berpuasa untuk mencari ridha Ar-Rahman dan menjauhkan diri dari seluruh maksiat; Ia Menyendiri, bersungguh-sungguh meninggalkan hawa nasfu dan godaan setan semata-mata untuk hati dan mensucikannya dari kebimbangan agar menjadi orang yang bersyukur dan memuji Rabb-nya, ia bergegas kepada-Nya menghilangkan syirik yang tersembunyi untuk benteng dan senjata dalamnya iman dan keyakinan.

 

Minak Sambayu (raja Blambangan) yang telah lalu penyebutannya memiliki anak perempuan bernama Sekar Dadu yang ia dahulu intinya adalah orang yang baik, yang memikat laki-laki, sehingga padanya dikatakan :

Ia adalah perempuan yang memiliki kehidupan seperti purnama yang menyihir …

Rambutnya seperti malam ketika gelap gulita …

Keluar dari mulutnya cahaya ketika tersenyum …

Sebagaimana kilat yang menyapu penglihatan ketika dipandang …

Ia berjalan malu-malu tersipu dan menoleh …

Maka jadilah yang memandangnya sebagaimana orang mabuk …

Ketika ia menghadap, aku lihat tidak montok pada keduanya …

Seperti dua delima, bagi siapa yang memandang …

Dan ketika ia membalikkan badan seolah bergelombang acak (rambutnya) …

Perawakannya tidak tinggi ataupun pendek, artinya cukup …

Pada saat itu ia sakit keras, telah banyak tabib letih bingung mesti menggunakan obat apa lagi. Bersedihlah raja Blambangan karena sebab hal itu, dengan kesedihan yang sangat. Maka dikumpulkanlah menteri-menteri, pemerintahan, pegawai dan ahli fatwa kerajaan. Setiap dari mereka diseru untuk mencari obat penyembuh pada setiap wilayah mereka untuk anak perempuan raja, maka barangsiapa yang berhasil menyembuhkannya akan dinikahkan dengannya dan diberikan separuh harta kerajaan. Maka mereka semua menyeru seluruh orang-orang desa dan penjuru negeri, akan tetapi tidak ada hasil. Maka pada suatu hari, berkata sebagaian menteri-menterinya : Sungguh kami melihat seorang manusia berpakaian jubah memakai kopyah putih yang tinggal menyendiri di atas gunung Salangu dan berbeda dengan manusia pada umumnya, ketika tergelincir matahari di langit, ia berdiri dan meletakkan tangannya ke dadanya dan digerak-gerakkan mulutnya dengan berucap dengan apa yang kami tidak paham, tidak tolah-toleh sampai kemudian tertunduk meletakkan tangannya di lututnya kemudian mengangkat kedua tangannya, kemudian menjatuhkan diri dan meletakkan dahinya ke bumi, kemudian duduk dan akhirnya menoleh ke kanan dan kiri; Maka jika terbenam matahari ia melakukan hal itu lagi, jika hilang matahari ia melakukan lagi, jika sebelum matahari muncul ia melakukan itu lagi dengan ringan, itulah kegiatannya setiap hari. Kemudian raja berkehendak memanggilnya agar menyembuhkan anak perempuannya yang mulia, semoga ia dapat menyembuhkannya. Raja berkata : Panggil dia yang telah kalian bicarakan. Maka menteri tersebut memanggil Maulana Ishak agar menghadap di hadapan raja Blambangan, maka ketika mereka bertemu dengan Maulan Ishak, mereka mengkabarkan keinginan raja padanya. Maulana Ishak pun memenuhi panggilan raja, dan turun bersama menteri-menteri kerajaan. Maka ketika sampai di hadapan raja, raja berkata : Sungguh aku memiliki anak perempuan, ia adalah buah hatiku dan separuh jiwaku dan sekarang ia sedang sakit, sudah lama sakitnya, sampai-sampai para tabib sudah lelah mencari obatnya, maka sekiranya engkau memiliki obat, sembuhkanlah dia; Aku bernadzar : Barangsiapa yang menyembuhkannya, akan aku nikahkan dengannya dan bersamanya akan aku berikan setengah dari kerajaanku. Maka Maulana Ishak menerima tawaran tersebut sembari berdoa kepada Allah, mengiba kepada-Nya agar Allah memberi kesembuhan dan menghilangkan sakitnya dengan izin-Nya. Maka tiba-tiba anak raja sembuh, kemudian dinikahkanlah ia dengannya dan memberikan setengah dari kerajaannya. Oleh karena itu, menjadi mudahlah menyeru manusia kepada islam, ia senantiasa menyeru mereka kepada islam sampai-sampai berislam kebanyakan dari penduduk negeri tersebut. Pada suatu hari Maulana Ishak masuk menemui raja Blambangan dan berkata padanya : Wahai bapakku, aku datang kepadamu untuk menyeru agar meninggalkan patung-patung berhala dan mengikuti setan menuju hanya beribadah kepada Allah Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, Yang Menghidupkan dan Mematikan, Raja seluruh alam; Katakanlah Asyhadu Anlaa illaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Maka ketika mendengar ucapan Maulana Ishak, berubah wajahnya dan memerah, marah kepada Maulana Ishak dan berkata : Jika engkau tidak keluar sekarang dari hadapanku, aku akan cerai beraikan tubuhmu. Keluarlah Maulana Ishak, menghilang sebagai buronan. Saat itu istrinya telah hamil 7 bulan, menangis karena berpisah dengan suaminya, redup dan sedih menyelimutinya. Maulan Ishak tidak kunjung datang. Maulana Ishak tetap bersembunyi sembari berdoa memohon pertolongan Allah agar Allah menghukum raja Blambangan. Maka Allah turunkan pada penduduk Blambangan wabah dan kematian mendadak, matilah kebanyakan rakyatnya, dan tidak mampu menghalau (adzab dari Allah). Bersedihlah raja Blambangan, sampai-sampai tidak nafsu makan, tidak bisa tidur, ia berkata : Ini adalah akibat dari kesialan laki-laki itu (maksudnya Maulana Ishak) dan anaknya yang sekarang dalam kandungan anakku, sungguh kalau dia lahir akan aku hempaskan ke laut. Maka ketika sempurna masa kandungannya, ia lahir seperti emas murni. Raja mengambilnya dan meletakkannya di peti mati, dan memerintahkan untuk dibuang ke lautan. Terhempaslah kelaut terbawa ombak (peti tersebut) naik turun terjaga, dijaga oleh Allah Ta’ala dan terjaga oleh perhatian-Nya. Itulah yang termasuk sebagian karamah. Ketika peti tersebut melalui kapal dagang penduduk Gresik, diambillah oleh awak kapalnya, maka ketika peti itu dibuka, dijumpai padanya seorang anak yang bercahaya dan wajahnya seperti bulan yang bersinar. Saat itu, para pedagan yang menaiki kapal itu akan pergi menuju Bali. Dibawalah anak tersebut sampai Bali dengan selamat. Ketika pedagang itu selesai urusannya di Bali, mereka beranjak menuju Tandes kemudian barulah pulang menuju Gresik bersamaan dengan anak tersebut. Diturunkannya anak itu di pelabuhan, kemudian diserahkanlah anak itu kepada perempuan yang bernama Nyai Gede anak Sayyid Rajafandita yang telah lalu kisahnya. Nyai berkata : Anak siapa ini ? Mereka (para pedagang) berkata : Anak ini hanyut di dekat pelabuhan Blambangan, berbutar-putar di air laut. Maka sangat senanglah Nyai Gede, di mana ia belum melahirkan anak seorang pun. Anak tersebut ia namakan Broedin, dididiklah ia dengan didikan yang baik, dan sangat dicintai; Akan tetapi anak tersebut tidak dapat menyusu pada seorang perempuanpun, hanya menghisap jemarinya saja sampai umur 7 hari. Setelah itu barulah bisa minum susu, ini sudah menjadi kebiasan bayi.

Maulana Ishak setelah bersembunyi di balik bukit kecil, kembali menuju negerinya yakni Pasa di pulau Sumatera berkumpul dengan istrinya dan anak-anaknya. Maulana Ishak mengkabarkan bahwa istri dan anaknya masih punya kerabat yaitu anak dari pamannya di pulau jawa di desa Ampel yang termasuk wilayah Surabaya yang namanya adalah Sayyid Rahmat yang ia termasuk dari yang pertama kali islam di pulau Jawa, ia juga imam bagi orang-orang islam, wali dan orang shalih; Mengajarkan islam, jalan islam dan hakikat islam. Maulana Ishak tidak menetap di Pasa kecuali hanya selama beberapa hari dan kemudian wafat, dikatakan selama 7 hari di Pasa dan kemudian wafat. Datang para ulama dan para wali untuk menyolatkannya, setelah dishalatkan dibawa ia ke kubur yang dikatakan Kuburan Taman Sari. Mereka semua berdesakan sembari bershalawat di kuburnya, bertasbih, tahmid, tahlil dan membaca Al-Qur’an, semoga mendapatkan balasan yang luas atas ruh Maulana Ishak, ia dikuburkan di sana, semoga baginya rahmat Allah yang tak terputus bagi Maulana Ishak.

Kisah anaknya yaitu Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah, maka mereka berdua sepeninggal bapak mereka sepakat untuk berkeliling bumi. Sehingga sampailah mereka ke negeri Adan yaitu di jazirah arab, mereka menetap berhari-hari di sana kemudian lanjut menaiki kapal yang kemudian melaju ke Keling selama 11 hari, dan menetap di sana selama sebulan kemudian naik kapal lagi sampai tiba di pulau Jawa, kemudian naik kapal sampai negeri yang dinamakan Juwana ia adalah pelabuhan di antara pelabuhan-pelabuhan di waktu itu. Dan keluar mereka berdua menuju Surabaya. Dan berjalan sampai desa Ampel, mereka berdua bertanya akan rumah dari Sayyid Rahmat, maka ditunjukkanlah mereka berdua menuju rumah Sayyid Rahmat. Maka ketika bertemu dengannya, mereka berdua mengucapkan salam, dan dibalas salamnya. Kemudian Sayyid Rahmat bertanya tentang nama mereka, negerinya dan siapa orang tua mereka berdua. Berkata Sayyid Abdul Qadir : Namaku adalah Abdul Qadir, dan ini adalah saudari perempuanku Sarah, kami berdua datang dari negeri Pasa di pulau Sumatera, bapak kami bernama Maulana Ishak dan ia telah wafat; Dikabarkan kepada kami ketika ia masih hidup bahwa kami punya kerabat dekat bernama Sayyid Rahmat yang tinggal di desa Ampel di Surabaya pulau Jawa dan menjadi imam bagi orang-orang islam di sana. Berkata Sayyid Rahmat : Kalau begitu kalian berdua adalah saudaraku, bapak kalian berdua adalah saudara dari bapakku. Mereka saling berpelukan dan menangis gembira.

 

Telah lalu penjelasan Arya Baribain yang memiliki 2 anak, perempuan yang namanya Madu Ratna dan telah menikah dengan Sayyid Rajafandita; Dan yang lak-laki bernama Jaka Kondar. Dahulu Jaka Kondar bahwasanya masuk islam dan menganut paham zuhud sembari menyendiri di atas gunung untuk beribadah dan riyadhah di desa yang bernama Malaya; Ia tidak behenti demikian sampai dia menjadi wali di antara wali-wali Allah Ta’ala, dan terkenal dengan nama Sunan Malaya. Ia memiliki anak perempuan yang bernama Asiya dan menikah dengan Sayyid Abdul Qadir bin Maulana Ishak yang telah lalu penyebutannya. Sayyid Abdul Qadir menetap di desa Gunung Jati yang berada di Cirebon; Menjadi imam di sana dan juga memilih jalan zuhud dengan tetap menyendiri dan riyadhah, sedikit makan, sedikit tidur untuk berkhalwat dan riyadhah dengan macam-macam ibadah wajib dan sunnah yang baik. Keadaannya tetap demikian hingga jadilah ia wali di antara wali-wali Allah dan terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Ia senantiasa berdakwah menyeru manusia kepada islam, dan masuk islamlah banyak manusia; Dan yang tidak masuk islam pada saat itu ketakutan sehingga mengasingkan diri ke hutan dan pedesaan, mereka takut ikut-ikutan masuk islam. Sayyid Abdul Qadir memiliki 2 anak, yang laki-laki bernama Abdul Jalil dan perempuan bernama Sufiyyah. Inilah kisah dari Sayyid Abdul Qadir.

Pada waktu itu telah datang di pulau Jawa 3 orang laki-laki dari arab dari negeri Yaman yang juga sebagai keturunan dari Rasulullah bernama Sayyid Muhsin, Sayyid Ahmad dan Khalifah Husain. Mereka datang ke Ampel dan menemui Sayyid Rahmat memberi salam lalu salam mereka dijawab. Mereka ditanya tentang nama, negeri asal dan tujuan mereka. Berkata Sayyid Muhsin : Nama saya Muhsin, ini saudaraku Khalifah Husain dan ini Ahmad; Kami datang dari dari Yaman kepadamu untuk belajar ilmu-ilmu syariah dan metodenya serta hakikat dari ilmu tersebut. Berkata Sayyid Rahmat : Wahai anak-anakku, sungguh ilmu itu berat. Berkata Sayyid Muhsin : Kami berharap karunia dari Allah dan dari keberkahan doa engkau kepada kami semua; Begitu juga dengan seruan bapak-bapak kami agar kami bertakwa di atas amalan dengan ilmu dan ikhlas. Maka belajarlah mereka dengan ilmu tersebut, mulazamah dengan khidmah dan beramal dengan ketaatan yang di tunjuki oleh ilmu yang kemudian jadilah mereka bertiga wali di antara wali-wali Allah Ta’ala.

Telah lalu penyebutan bahwa Sayyid Rahmat memiliki 7 orang anak dan telah lalu penyebutan nama mereka. Adapun Syarifah binti Sayyid Rahmat, menikah dengan Haji Ustman bin Sayyid Rajafandita dan tinggal di desa dekat dengan Mayuran, menyendiri di sana beribadah, melepaskan segala penyelisihan diri dan hawa nafsu hingga menjadi wali di antara wali-wali Allah, yang terkenal dengan nama Sunan Mayuran dan memiliki anak bernama Amir Husain.

Adapun Sayyidah Mutmainnah binti Sayyid Rahmat, menikah dengan Sayyid Muhsin dan tinggal di desa Wilis, menyendiri di sana untuh riyadhah dan ibadah sembari menempuh jalan para wali hingga menjadi wali di antara wali-wali Allah Ta’ala dan terkenal dengan nama Sunan Wilis serta memiliki anak yang bernama Amir Hamzah.

Adapun Sayyidah Hafsah binti Sayyid Rahmat yang disebut juga Nyai Ageng Meluka menikah dengan Sayyid Ahmad dan tinggal di desa dekat gunung Kamlaka menyendiri di sana untuk mujahadah diri dan semata-mata beribadah meraih ridha Allaah dengan sedikit makan, tidur dan terus keadaannya demikian sampai 3 tahun hingga menjadi wali di antara wali-wali Allah Ta’ala yang terkenal dengan nama Sunan Kamlaka dan tidak dikarunia anak.

Adapun Sayyid Ibrahim bin Sayyid Rahmat menikah dengan Dewi Irah binti Jaka Kondar dan memiliki anak perempuan bernama Rahil dan jadilah Sayyid Ibrahim imam bagi penduduk Lasem dan Tuban serta tinggal di desa Bonang di Lasem. Ia menyendiri dan ibadah di atas gunung Gading dekat dengan pesisir pantai dan bersungguh-sungguh untuk riyadhah dengan sedikit makan dan tidur serta menahan hawa nafsu pada dirinya; Ia fokus mengerjakan kewajiban dan sunnah dalam ibadah-ibadah semata-mata untuk taat kepada Ar-Rahman dan menjauhi godaan setan dengan menyendiri dari manusia seperti perkataan yang cocok saat itu dikatakan :

Hijrahku dari manusia menghalau dari maksiat kepada-Mu …

Aku menyendiri dari keluarga untuk melihat-Mu …

Sekiranya engkau menghalau-ku dari kecintaan, bimbinglah oleh-Mu …

Dengan tidak diamnya hati ini dari selain-Mu …

Melampaui diri dari kelemahan yang sungguh Engkau berikan …

Telah datang pada-Mu dengan teguh mengharap ridha-Mu …

Sekiranya tidak demikian, sungguh wahai Yang Maha Hidup, maksiatku pada-Mu …

Tidaklah ia bersujud kepada selain-Mu …

Inilah hamba-Mu yang bermaksiat datang pada-Mu …

Bersimbah dosa dan maksiat pada-Mu …

Jika Engkau tak ampuni, Engkaulah pemilik hikmah …

Jika Engkau tolak (diriku), siapa lagi yang ku harap selain diri-Mu …

Senantiasa Sayyid Ibrahim beribadah kepada-Nya sampai menjadi pembesar wali Allah Ta’ala yang terkenal dengan nama Sunan Bonang. Di antara karamahnya yang nampak adalah bekas dahi, hidung, lutut dan ujung kakinya yang ada di atas batu besar sampai sekarang, terkenal nama batu itu dengan Sujudan, tinggal batu tersebut di atas gunung yang telah disebutkan tadi. Di tempat dekat dengan batu itu terdapat makam dari perempuan, anak dari raja Cina, Putri Cempa. Dikatakan ia berislam ketika melihat Sayyid Ibrahim shalat di atas batu dan tercetak bekas shalatnya ketika ia meninggalkannya. Puteri tersebut tidak berpindah dari melihat hal tersebut sampai wafat dan dikubur di sana, dibangunlah kubah di atas kuburnya yang tiang-tiangnya dari tulang ikan laut. Dikatakan pula dari karamah Sayyid Ibrahim adalah menjadikan dua babi menjadi batu, ceritanya ketika ia berjalan melihat dua babi bersama sebagian muridnya, babi itu kawin dengan babi betina, maka muridnya berkata padanya dan mengira tak melihat babi-babi itu : Sungguh di hadapanmu ada babi yang kawin. Sayyid Ibrahim menjawab : Bukan, itu hanyalah dua batu. Jadilah babi-babi itu batu yang ada sampai sekarang di tempat yang dikatakan batu babi (Watu Celeng) di desa Karas kecamatan Sedan yang ikut Rembang. Dan karamah-karamah selainnya.

Adapun Sayyid Utsman Hajj adalah saudara Hajj Utsman yang anak dari Sayyid Rajafandita yang ia menikah dengan perempuan bernama Dewi Sari anak dari Raden Syakur bin Arya Tija yang telah lalu disebutkan, dan ia menjadi imam penduduk Jipang dan Panulan. Tinggal di desa Ngudung dan menempuh jalan para wali, mengesampingkan dunia dan senantiasa riyadhah semata-mata beribadah hingga jadilah wali yang dikenal dengan nama Sunan Ngudung. Memiliki anak perempuan bernama Sujinah dan laki-laki yang bernama Amirul Hajj.

Adapun Nyai Gede Tundo binti Sayyid Rajafandita menikah dengan Sayyid Khalifah Husein dan menjadi imam di Madura, menetap di desa Kertayasa, menyendiri di sana untuk ibadah, mencari ridha Allah hingga menjadi wali Allah dan terkenal dengan nama Sunan Kertayasa. Memiliki anak yang bernama Khalifah Sughro. Orang-orang banyak mengikuti islam di negeri tersebut.

Raden Syakur yang telah disebutkan lalu memiliki anak bernama Radin Syahid dan menikah Raden Syahid dengan Sayyidah Sarah binti Maulan Ishak yang ia adalah saudara kandung dari Sayyid Abdul Qadir. Raden Syahid menjadi imam bagi penduduk Dermayu dan Manulan dan tinggal di desa Kali Jaka dan menyendiri di sana untuk ibadah dan bersungguh-sungguh terus-menerus riyadhah sampai menjadi wali di antara wali-wali Allah Ta’ala yang di-ikuti oleh banyak manusia dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan ia tidak selesai dalam menyendiri dan riyadhah serta menghadapkan hatinya menuju akhirat dan membelakangi dunia seluruhnya. Ia memiliki 3 orang anak : Raden Said, Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah Rafi’ah.

Kemudian bahwasanya Sayyid Abdul Jalil bin Sayyid Abdul Qadir dan Sayyid Amir Husain bin Hajj Utsman dan Sayyid Amir Hajj bin Sayyid Utsman Hajj dan Raden Said bin Raden Syahid dan Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin yang mereka telah lalu disebutkan; Mereka semua pergi menuju ampel untuk mengabdi kepada Sayyid Rahmat dan mengambil ilmu darinya. Sayyid Qasim bin Sayyid Rahmat adalah orang yang kehidupannya hanya untuk belajar.

Telah lalu bahwasanya anak laki-laki dari Maulana Ishak yang dibuang oleh raja Blambangan, menuju ke penduduk Gresik dan diserahkan kepada Nyai Gede Tundo Pinatih. Nyai namakan dengan Raden Paku. Ia dididik oleh Nyai Gede sampai menginjak usia 15 tahun, dan mulai untuk menuntut ilmu syariah. Raden Paku mendengar bahwasanya di Ampel daerah Surabaya ada seorang Alim dari pembesar para ulama yang mengajarkan manusia 3 ilmu : Syariah, Thariqah dan hakikat. Iaa berkata kepada ibunya : Wahai ibu, aku dengar di Surabaya ada seorang Alim dari pembesar para ulama yang ia terkenal sebagai bagian dari para wali Allah Ta’ala namanya adalah Sayyid Rahmat yang bergelar Sunan Maqdum, ia tinggal di desa Ampel, aku ingi pergi kepadanya, dan ingin berkhidmah padanya; Akan tetapi aku meminta engkau pergi bersamaku untuk menyerahkanku padanya. Maka ibunya berkata : Lakukanlah apa yang menjadi kepastianmu, dan aku akan pergi bersamamu kepadanya. Maka pergilah mereka berdua menuju Ampel, maka ketika sampai, ibunya menemui Sayyid Rahmat dan berkata padanya  : Aku datang kemari untuk menyerahkan anakku padamu, karena ia mencintai belajar denganmu, belajar ilmu-ilmu yang ia butuhkan dari agamanya. Berkata Sayyid Rahmat : Di mana anak itu sekarang ?. Berkata Ibunya : Itu dia ada di luar rumah berteduh di bawah pohon besar. Maka ia dipanggil untuk menghadap Sayyid Rahmat, duduk di hadapannya. Ketika Sayyid Rahmat melihatnya, ia terdiam dan memperhatikan wajahnya dan teringat wajah Maulan Ishak dan anaknya yang mirip dengannya. Ia berkata kepada ibunya : Apakah ini anakmu sendiri atau anak anak angkat. Kemudian ibunya mengkabarkan yang sebenarnya akan urusannya sebagaimana kisah yang telah lalu. Berkata Sayyid Rahmat : Jika apa yang telah kau kabarkan adalah benar adanya, maka ini adalah anak dari pamanku dan aku ingin penjelasan darimu. Ibunya berkata : Yang terpenting engkau ajari anak ini, sungguh aku menyerahkan padamu untuk diajar adab dan ilmu-ilmu agama. Ibunya meninggalkannya di sisi Sayyid Rahmat, maka diajarilah ia adab, ilmu dan jalan naqsabandiyyah. Inilah kisah Raden Paku.

Telah lalu bahwasanya raja Brawijaya memiliki seorang anak dari istri orang cina yang bernama Raden Patah, Raden Patah memiliki saudara seibu yang bernama Raden Husain dan keduanya berada di Palembang. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk pergi ke Ampel untuk berkhidmat kepada Sayyid Rahmat belajar ilmu darinya. Maka ditinggalkanlah bapak mereka berdua yaitu Raden Arya Damar, dan ia mengizinkan mereka berdua. Maka mereka berdua pergi sampai ke Ampel dan masuk menemui Sayyid Rahmat, maka Sayyid Rahmat bertanya akan nama mereka dan negeri asal mereka berdua. Berkata Raden Patah : Namaku Patah dan saya adalah anak dari raja Brawijaya dan ini adalah saudaraku yang bernama Raden Husain, anak dari Raden Arya Damar pemimpin negeri Palembang; Kami datang untuk berkhidmat kepadamu dan belajar agama islam darimu. Kemudian mereka berdua tinggal bersamanya dan belajar agama islam darinya. Adapun Raden Patah adalah anak yang cepat paham, kuat akalnya, paham tentang semua yang diajarkan padanya dari ilmu. Adapun Raden Husain lambat. Jadilah Patah seorang Alim akan ilmu syariah, thariqah dan hakikat. Ia sibuk untuk beramal wajib dan sunnah dalam ibadah-ibadahnya, menjauhi yang haram dan yang makruh. Kemudian Raden Husain setelah berjalannya waktu tinggal di Ampel, berkata pada dirinya sendiri : Bagaimana aku dapat berpisah dari saudaraku Patah dan menyendiri belajar ilmu-ilmu agama dan sibuk dengannya, yang hal itu didapat tanpa perlu orang-orang mengetahui kedudukanku sebagai anak raja. Maka selang beberapa lama ia berkata kepada Raden Patah : Wahai saudaraku, kita telah tinggal di sini melayani Sayyid Rahmat dan kita telah meraih tujuan kita belajar ilmu ibadah. Oleh karena itu kita sekarang pergi ke Majapahit berkhidmat kepada raja Brawijaya agar supaya kita berhasil mensunnikan (Majapahit) dan memberikan kedudukan yang tinggi. Raden Patah berkata : Aku tidak ingin hal tersebut, pergilah engkau sendiri menuju raja Brawijaya sedangkan aku tinggal di sini sebagai pelayan Sayyid Rahmat. Berkata padanya Raden Husain : Lakukanlah apa yang kau suka, adapun aku akan pergi menuju Majapahit, aku izin demikian. Berkata Raden Patah : Kalau begitu pergilah. Raden Husain pergi meninggalkan Sayyid Rahmat menuju ke Majapahit, bertemu dengan Raden Patah sebentar kemudian lanjut meninggalkan Ampel. Raden Husain terus berjalan sampai Majapahit, masuklah ia bertemu dengan raja Brawijaya kemudian mencium bumi di hadapannya maka raja menahannya dan memperhatikannya dari wajahnya dan ingat anaknya Arya Damar ketika melihat Raden Husain karena padanya terdapat kemiripan. Berkata raja Brawijaya : Siapa namamu, dari negeri mana dan siapa bapakmu ?. Berkata Raden Husain : Wahai raja, namaku Raden Husain dan bapakku bernama Arya Damar dan ia pemimpin Palembang; Aku datang untuk berkhidmat padamu. Maka ketika lama khidmah Raden Husain, diangkatlah ia menjadi menteri dan diangkat di negeri yang bernama Terung dan digelari Pecut Tanda.

 

Suatu hari berbicang Brawijaya dengan istrinya yaitu Martaningrum. Istrinya menceritakan bahwasanya ia memiliki seorang saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang saat itu memiliki keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :

Rambutnya seolah senja menghitam dan di wajahnya seolah fajar bersinar …

Giginya bagaikan lampu-lampu yang berjejer …

Perawakan tubuh bagian belakangnya berpostur kencang …

Berlenggak-lenggok dari belakang menonjol bagaikan bukit …

Seolah dirinya acuh orang-orang mensifatinya dan larut dalam pikiran kotor mereka …

Entah mereka dari kalangan manusia atau seperti kijang …

Maka ketika Brawijaya mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari perempuannya; Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya menikahkan saudari perempuannya dengannya. Ia kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya Ba’ah, yang dia juga orang kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan permisalan dari Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau kepada raja Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan raja Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :

Aku keluar akan tetapi keluarku bukan untuk mencari rintangan …

Akan tetapi untuk meraih keridhaanmu yang kau impikan …

Sekiranya bukan karenanya, tidaklah aku mau mencari hal yang membahayakan …

Dengan mendatangi negeri asing dan lautan sembari membawa pesan …

Kepada raja di negeri yang aku belum pernah masuk padanya …

Untuk membawa anaknya yang seperti terangnya bulan purnama …

Dengan hati yang di kelilingi ketakutan …

Yang bahwasanya seperti burung kecil yang dilempar kepada elang …

Wahai kiranya ini (yaitu resiko sebagai menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …

Aku akan raih dengan kegembiraan dan kemuliaan  termulia …

Arya Ba’ah tidak berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu penyebutannya. Anaknya yaitu Candrawulan telah menikah dengan seorang laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak mendapat hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya akan namanya dan tentang negerinya serta keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya seorang laki-laki dari Jawa, namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya : Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri. Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa juga sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa pesan dari raja Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum). Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah seisi rumah sehingga ramai terdengar. Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah sembari memendam kekesalan yang tidak diragukan lagi karena sebab ia menyangkan semua ini akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya. Berkata Brawijaya kepada istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian, engkau menangis, dan menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku menangis karena sebab wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan (yang sampai) berkenaan dengan hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh bapakku berpesan padaku untuk mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia telah wafat, dan keduanya telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa bapakku telah tiada. Inilah yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan Istrinya.

Adapun yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang keduanya adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua berasal dari negeri Campa, keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua pernah mengunjungi bibinya yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri Majapahit. Pada saat itu bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu Hurairah untuk menemani keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun, agar senantiasa berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar dari negeri Campa menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada negeri yang dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang milik orang Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis. Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu. Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan raja Brawijaya, yang datang kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun ke-enam hijriyyah.

Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua anak ini, seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati karena tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa secara umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang menyembah Tuhannya.

Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala, sebagaimana berkata sebagian Ulama :

Keimanan seorang hamba tidaklah sempurna …

Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja …

Pujian dan celaan mereka sama saja …

Tidaklah merasa takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …

Dahulu sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning , dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan namanya Candrawata  dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3 anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam. Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.

Lalu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri, pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak tahu bagaimana akhirnya.

Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung. Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji kapas.

Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk bekerja sebagai tukang besi.

Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak : Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo

 

 

Suatu hari berbicang Brawijaya dengan istrinya yaitu Martaningrum. Istrinya menceritakan bahwasanya ia memiliki seorang saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang saat itu memiliki keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :

Rambutnya seolah senja menghitam dan di wajahnya seolah fajar bersinar …

Giginya bagaikan lampu-lampu yang berjejer …

Perawakan tubuh bagian belakangnya berpostur kencang …

Berlenggak-lenggok dari belakang menonjol bagaikan bukit …

Seolah dirinya acuh orang-orang mensifatinya dan larut dalam pikiran kotor mereka …

Entah mereka dari kalangan manusia atau seperti kijang …

Maka ketika Brawijaya mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari perempuannya; Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya menikahkan saudari perempuannya dengannya. Ia kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya Ba’ah, yang dia juga orang kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan permisalan dari Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau kepada raja Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan raja Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :

Aku keluar akan tetapi keluarku bukan untuk mencari rintangan …

Akan tetapi untuk meraih keridhaanmu yang kau impikan …

Sekiranya bukan karenanya, tidaklah aku mau mencari hal yang membahayakan …

Dengan mendatangi negeri asing dan lautan sembari membawa pesan …

Kepada raja di negeri yang aku belum pernah masuk padanya …

Untuk membawa anaknya yang seperti terangnya bulan purnama …

Dengan hati yang di kelilingi ketakutan …

Yang bahwasanya seperti burung kecil yang dilempar kepada elang …

Wahai kiranya ini (yaitu resiko sebagai menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …

Aku akan raih dengan kegembiraan dan kemuliaan  termulia …

Arya Ba’ah tidak berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu penyebutannya. Anaknya yaitu Candrawulan telah menikah dengan seorang laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak mendapat hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya akan namanya dan tentang negerinya serta keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya seorang laki-laki dari Jawa, namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya : Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri. Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa juga sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa pesan dari raja Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum). Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah seisi rumah sehingga ramai terdengar. Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah sembari memendam kekesalan yang tidak diragukan lagi karena sebab ia menyangkan semua ini akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya. Berkata Brawijaya kepada istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian, engkau menangis, dan menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku menangis karena sebab wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan (yang sampai) berkenaan dengan hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh bapakku berpesan padaku untuk mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia telah wafat, dan keduanya telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa bapakku telah tiada. Inilah yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan Istrinya.

Adapun yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang keduanya adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua berasal dari negeri Campa, keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua pernah mengunjungi bibinya yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri Majapahit. Pada saat itu bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu Hurairah untuk menemani keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun, agar senantiasa berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar dari negeri Campa menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada negeri yang dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang milik orang Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis. Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu. Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan raja Brawijaya, yang datang kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun ke-enam hijriyyah.

Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua anak ini, seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati karena tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa secara umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang menyembah Tuhannya.

Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala, sebagaimana berkata sebagian Ulama :

Keimanan seorang hamba tidaklah sempurna …

Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja …

Pujian dan celaan mereka sama saja …

Tidaklah merasa takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …

Dahulu sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning , dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan namanya Candrawata  dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3 anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam. Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.

Lalu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri, pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak tahu bagaimana akhirnya.

Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung. Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji kapas.

Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk bekerja sebagai tukang besi.

Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak : Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo.

Sayyid Rahmat memiliki 5 orang anak dari Raden Ayu Candrawati :Sayyidah Syarifah, Mutmainnah, Hafsah dan Sayyid Ibrahim, Sayyid Qasim. Kemudian menikah lagi dengan Maskarimah binti Kembang Kuning yang lahir padanya 2 anak perempuan : Murtiah dan Murtasimah. Seluruh anak-anaknya belajar ilmu-ilmu syariah (agama) dari bapaknya. Inilah keterangan yang menjelaskan tentang Sayyid Rajafandita dan saudaranya (Sayyid Rahmat).

Anak-anak Ki Tarub yang telah lalu nama mereka disebut maka yang bernama Nawangsih ia menikah dengan Lembu Peteng bin Brawijaya atau yang dinamakan Shohroh Tarub yang dikaruniai anak yang bernama Getas Pandawa. Dan anaknya yang bernama Nawangsasi menikah dengan Raden Jaka Kandar bermukim di desa Malaya di Bangkalan di Madura; Kemudian memiliki anak bernama Asiyah dan Dewi Irah. Adapun anak perempuan Ki Tarub yang bernama Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang ia menguasai negeri Wilatikta (Tumenggung Wilatikta).

Yang telah lalu bahwasanya raja Pajajaran Mundi Wangi memiliki istri kedua dan dikarunia anak laki-laki yang bernama Giyung Manar yang dikarunia anak bernama Bambang Wecana yang dikaruniai anak Bambang Pamengker., dan bapaknya ini tunduk di bawah kuasa raja Majapahit, menjauhkan diri tinggal di desa di bawah gunung semeru, Bambang Pamengker dikarunia anak bernama Minak Paranggula yang dikarunia anak bernama Minak Sambayu yang menjadi raja di negeri Blambangan. Akan datang keterkaitan kisah mereka.

Maulan Ishak yang telah lalu penyebutannya, ia adalah saudara Sayyid Ibrahim; Maka ketika ia menjadi laki-laki petualang di bumi, sampai ke negeri Pasa yaitu negeri di pulau sumatera, maka tinggallah ia di sana (Pasa). Dikaruniai anak bernama Sayyid Abdul Qadir dan Sarah.

Kemudian pergilah Mulana Ishak ke pulau jawa dan meninggalkan kedua anaknya kepada ibunya. Dimana keduanya masih kecil. Naiklah Maulana Ishak ke kapal milik laki-laki asal Gresik dan berjalan kapal dengan baik sampai tibalah di Gresik, kemudian turun dan menuju ke Surabaya, masuk ke desa Ampel saat waktu ashar. Secara kebetulan di situ bertemu dengan Sayyid Rahmat shalat sebagai imam yang di-ikuti tiga laki-laki : Abu Hurairah, Ki Wirajaya dan Ki Bangkuning. Maka Maulana Ishaq menunggu di luar masjid. Ketika Sayyid Rahmat sudah salam dari shalatnya, Maulana Ishaq memberi salam dan dijawab salamnya. Kemudian mereka berdua saling bertanya tentang nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Maka tahulah Sayyid Rahmat bahwasanya Maulana Ishaq adalah saudara dari bapaknya. Maulana Ishak berkata : Engkau berarti adalah anakku, karena sebab bapakmu saudara laki-lakiku. Kemudian berkata kepadanya Sayyid Rahmat : Dulu tidak ada seorangpun muslim di sini kecuali aku dan saudaraku Sayyid Rajafandita dan temanku Abu Hurairah, kami adalah yang pertama kali muslim di pulau jawa. Maulana Ishak berkata : Aku namakan engkau Sunan yang pertama, pertama karena sebab engkau yang awal muslim di pulau jawa. Maka sepakatlah manusia yaitu menetapkan nama ini kepada Sayyid Rahmat. Senantiasa Sayyid Rahmat menyeru manusia kepada agama Allah Ta’ala dan kepada ibadah  kepada-Nya. Sampai-sampai seluruh penghuni Ampel mengikutinya dan yang di sekitarnya serta kebanyakan orang-orang Surabaya. Tidaklah itu kecuali kebaikan akan nasihatnya dan hikmahnya dalam berdakwah serta baiknya akhlaknya kepada manusia dan baiknya dalam berjidal, menerapkan firman Allah : Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta berjidallah dengan mereka dengan sebaik-baik jidal (Al-Ayat), dan Firman Allah Ta’ala : Rendah dirilah kamu kepada orang-orang yang beriman, dan firman-Nya : Perintahkan kepada kebaikan dan dan menjauhi kemungkaran serta sabarlah atas apa yang menimpamu, sungguh yang demikan itu adalah yang diwajibkan oleh Allah. Inilah yang semestinya para imam-imam muslim dan masyaikh mereka mengikuti jalan tersebut yang diridhai sampai manusia masuk agama Allah berbondong-bondong. Berkata penyair :

Terimalah maaf mereka, berjalanlah dengan adat sebagaimana …

Engkau diperintah, dan tampakanlah (perintah tersebut) kepada mereka yang jahil …

Lemah lembutlah semampumu pada setiap manusia …

Maka akan tampak baik atas mereka yang jahil …

Dan kepada mereka yang keras kepala, sentuhlah mereka …

Dengan sabar, agar supaya terangkat mereka yang sempurna …

Kemudian berselang beberapa lama, Maulana Ishaq undur diri kepada Sayyid Rahmat dan kemudian keluar dari Ampel berjalan menuju timur laut menaiki gunung dan turun di lembah-lembah sampai ke negeri Banyuwangi. Naik di atas gunung yang dikatakan Selangu semata-mata untuk beribadah di sana, shalat wajib, sunnah dan berpuasa untuk mencari ridha Ar-Rahman dan menjauhkan diri dari seluruh maksiat; Ia Menyendiri, bersungguh-sungguh meninggalkan hawa nasfu dan godaan setan semata-mata untuk hati dan mensucikannya dari kebimbangan agar menjadi orang yang bersyukur dan memuji Rabb-nya, ia bergegas kepada-Nya menghilangkan syirik yang tersembunyi untuk benteng dan senjata dalamnya iman dan keyakinan.

Minak Sambayu (raja Blambangan) yang telah lalu penyebutannya memiliki anak perempuan bernama Sekar Dadu yang ia dahulu intinya adalah orang yang baik, yang memikat laki-laki, sehingga padanya dikatakan :

Ia adalah perempuan yang memiliki kehidupan seperti purnama yang menyihir …

Rambutnya seperti malam ketika gelap gulita …

Keluar dari mulutnya cahaya ketika tersenyum …

Sebagaimana kilat yang menyapu penglihatan ketika dipandang …

Ia berjalan malu-malu tersipu dan menoleh …

Maka jadilah yang memandangnya sebagaimana orang mabuk …

Ketika ia menghadap, aku lihat tidak montok pada keduanya …

Seperti dua delima, bagi siapa yang memandang …

Dan ketika ia membalikkan badan seolah bergelombang acak (rambutnya) …

Perawakannya tidak tinggi ataupun pendek, artinya cukup …

Pada saat itu ia sakit keras, telah banyak tabib letih bingung mesti menggunakan obat apa lagi. Bersedihlah raja Blambangan karena sebab hal itu, dengan kesedihan yang sangat. Maka dikumpulkanlah menteri-menteri, pemerintahan, pegawai dan ahli fatwa kerajaan. Setiap dari mereka diseru untuk mencari obat penyembuh pada setiap wilayah mereka untuk anak perempuan raja, maka barangsiapa yang berhasil menyembuhkannya akan dinikahkan dengannya dan diberikan separuh harta kerajaan. Maka mereka semua menyeru seluruh orang-orang desa dan penjuru negeri, akan tetapi tidak ada hasil. Maka pada suatu hari, berkata sebagaian menteri-menterinya : Sungguh kami melihat seorang manusia berpakaian jubah memakai kopyah putih yang tinggal menyendiri di atas gunung Salangu dan berbeda dengan manusia pada umumnya, ketika tergelincir matahari di langit, ia berdiri dan meletakkan tangannya ke dadanya dan digerak-gerakkan mulutnya dengan berucap dengan apa yang kami tidak paham, tidak tolah-toleh sampai kemudian tertunduk meletakkan tangannya di lututnya kemudian mengangkat kedua tangannya, kemudian menjatuhkan diri dan meletakkan dahinya ke bumi, kemudian duduk dan akhirnya menoleh ke kanan dan kiri; Maka jika terbenam matahari ia melakukan hal itu lagi, jika hilang matahari ia melakukan lagi, jika sebelum matahari muncul ia melakukan itu lagi dengan ringan, itulah kegiatannya setiap hari. Kemudian raja berkehendak memanggilnya agar menyembuhkan anak perempuannya yang mulia, semoga ia dapat menyembuhkannya. Raja berkata : Panggil dia yang telah kalian bicarakan. Maka menteri tersebut memanggil Maulana Ishak agar menghadap di hadapan raja Blambangan, maka ketika mereka bertemu dengan Maulan Ishak, mereka mengkabarkan keinginan raja padanya. Maulana Ishak pun memenuhi panggilan raja, dan turun bersama menteri-menteri kerajaan. Maka ketika sampai di hadapan raja, raja berkata : Sungguh aku memiliki anak perempuan, ia adalah buah hatiku dan separuh jiwaku dan sekarang ia sedang sakit, sudah lama sakitnya, sampai-sampai para tabib sudah lelah mencari obatnya, maka sekiranya engkau memiliki obat, sembuhkanlah dia; Aku bernadzar : Barangsiapa yang menyembuhkannya, akan aku nikahkan dengannya dan bersamanya akan aku berikan setengah dari kerajaanku. Maka Maulana Ishak menerima tawaran tersebut sembari berdoa kepada Allah, mengiba kepada-Nya agar Allah memberi kesembuhan dan menghilangkan sakitnya dengan izin-Nya. Maka tiba-tiba anak raja sembuh, kemudian dinikahkanlah ia dengannya dan memberikan setengah dari kerajaannya. Oleh karena itu, menjadi mudahlah menyeru manusia kepada islam, ia senantiasa menyeru mereka kepada islam sampai-sampai berislam kebanyakan dari penduduk negeri tersebut. Pada suatu hari Maulana Ishak masuk menemui raja Blambangan dan berkata padanya : Wahai bapakku, aku datang kepadamu untuk menyeru agar meninggalkan patung-patung berhala dan mengikuti setan menuju hanya beribadah kepada Allah Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, Yang Menghidupkan dan Mematikan, Raja seluruh alam; Katakanlah Asyhadu Anlaa illaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Maka ketika mendengar ucapan Maulana Ishak, berubah wajahnya dan memerah, marah kepada Maulana Ishak dan berkata : Jika engkau tidak keluar sekarang dari hadapanku, aku akan cerai beraikan tubuhmu. Keluarlah Maulana Ishak, menghilang sebagai buronan. Saat itu istrinya telah hamil 7 bulan, menangis karena berpisah dengan suaminya, redup dan sedih menyelimutinya. Maulan Ishak tidak kunjung datang. Maulana Ishak tetap bersembunyi sembari berdoa memohon pertolongan Allah agar Allah menghukum raja Blambangan. Maka Allah turunkan pada penduduk Blambangan wabah dan kematian mendadak, matilah kebanyakan rakyatnya, dan tidak mampu menghalau (adzab dari Allah). Bersedihlah raja Blambangan, sampai-sampai tidak nafsu makan, tidak bisa tidur, ia berkata : Ini adalah akibat dari kesialan laki-laki itu (maksudnya Maulana Ishak) dan anaknya yang sekarang dalam kandungan anakku, sungguh kalau dia lahir akan aku hempaskan ke laut. Maka ketika sempurna masa kandungannya, ia lahir seperti emas murni. Raja mengambilnya dan meletakkannya di peti mati, dan memerintahkan untuk dibuang ke lautan. Terhempaslah kelaut terbawa ombak (peti tersebut) naik turun terjaga, dijaga oleh Allah Ta’ala dan terjaga oleh perhatian-Nya. Itulah yang termasuk sebagian karamah. Ketika peti tersebut melalui kapal dagang penduduk Gresik, diambillah oleh awak kapalnya, maka ketika peti itu dibuka, dijumpai padanya seorang anak yang bercahaya dan wajahnya seperti bulan yang bersinar. Saat itu, para pedagan yang menaiki kapal itu akan pergi menuju Bali. Dibawalah anak tersebut sampai Bali dengan selamat. Ketika pedagang itu selesai urusannya di Bali, mereka beranjak menuju Tandes kemudian barulah pulang menuju Gresik bersamaan dengan anak tersebut. Diturunkannya anak itu di pelabuhan, kemudian diserahkanlah anak itu kepada perempuan yang bernama Nyai Gede anak Sayyid Rajafandita yang telah lalu kisahnya. Nyai berkata : Anak siapa ini ? Mereka (para pedagang) berkata : Anak ini hanyut di dekat pelabuhan Blambangan, berbutar-putar di air laut. Maka sangat senanglah Nyai Gede, di mana ia belum melahirkan anak seorang pun. Anak tersebut ia namakan Broedin, dididiklah ia dengan didikan yang baik, dan sangat dicintai; Akan tetapi anak tersebut tidak dapat menyusu pada seorang perempuanpun, hanya menghisap jemarinya saja sampai umur 7 hari. Setelah itu barulah bisa minum susu, ini sudah menjadi kebiasan bayi.

Maulana Ishak setelah bersembunyi di balik bukit kecil, kembali menuju negerinya yakni Pasa di pulau Sumatera berkumpul dengan istrinya dan anak-anaknya. Maulana Ishak mengkabarkan bahwa istri dan anaknya masih punya kerabat yaitu anak dari pamannya di pulau jawa di desa Ampel yang termasuk wilayah Surabaya yang namanya adalah Sayyid Rahmat yang ia termasuk dari yang pertama kali islam di pulau Jawa, ia juga imam bagi orang-orang islam, wali dan orang shalih; Mengajarkan islam, jalan islam dan hakikat islam. Maulana Ishak tidak menetap di Pasa kecuali hanya selama beberapa hari dan kemudian wafat, dikatakan selama 7 hari di Pasa dan kemudian wafat. Datang para ulama dan para wali untuk menyolatkannya, setelah dishalatkan dibawa ia ke kubur yang dikatakan Kuburan Taman Sari. Mereka semua berdesakan sembari bershalawat di kuburnya, bertasbih, tahmid, tahlil dan membaca Al-Qur’an, semoga mendapatkan balasan yang luas atas ruh Maulana Ishak, ia dikuburkan di sana, semoga baginya rahmat Allah yang tak terputus bagi Maulana Ishak.

Kisah anaknya yaitu Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah, maka mereka berdua sepeninggal bapak mereka sepakat untuk berkeliling bumi. Sehingga sampailah mereka ke negeri Adan yaitu di jazirah arab, mereka menetap berhari-hari di sana kemudian lanjut menaiki kapal yang kemudian melaju ke Keling selama 11 hari, dan menetap di sana selama sebulan kemudian naik kapal lagi sampai tiba di pulau Jawa, kemudian naik kapal sampai negeri yang dinamakan Juwana ia adalah pelabuhan di antara pelabuhan-pelabuhan di waktu itu. Dan keluar mereka berdua menuju Surabaya. Dan berjalan sampai desa Ampel, mereka berdua bertanya akan rumah dari Sayyid Rahmat, maka ditunjukkanlah mereka berdua menuju rumah Sayyid Rahmat. Maka ketika bertemu dengannya, mereka berdua mengucapkan salam, dan dibalas salamnya. Kemudian Sayyid Rahmat bertanya tentang nama mereka, negerinya dan siapa orang tua mereka berdua. Berkata Sayyid Abdul Qadir : Namaku adalah Abdul Qadir, dan ini adalah saudari perempuanku Sarah, kami berdua datang dari negeri Pasa di pulau Sumatera, bapak kami bernama Maulana Ishak dan ia telah wafat; Dikabarkan kepada kami ketika ia masih hidup bahwa kami punya kerabat dekat bernama Sayyid Rahmat yang tinggal di desa Ampel di Surabaya pulau Jawa dan menjadi imam bagi orang-orang islam di sana. Berkata Sayyid Rahmat : Kalau begitu kalian berdua adalah saudaraku, bapak kalian berdua adalah saudara dari bapakku. Mereka saling berpelukan dan menangis gembira.

Suatu hari berbicang Brawijaya dengan istrinya yaitu Martaningrum. Istrinya menceritakan bahwasanya ia memiliki seorang saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang saat itu memiliki keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :

Rambutnya seolah senja menghitam dan di wajahnya seolah fajar bersinar …

Giginya bagaikan lampu-lampu yang berjejer …

Perawakan tubuh bagian belakangnya berpostur kencang …

Berlenggak-lenggok dari belakang menonjol bagaikan bukit …

Seolah dirinya acuh orang-orang mensifatinya dan larut dalam pikiran kotor mereka …

Entah mereka dari kalangan manusia atau seperti kijang …

Maka ketika Brawijaya mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari perempuannya; Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya menikahkan saudari perempuannya dengannya. Ia kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya Ba’ah, yang dia juga orang kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan permisalan dari Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau kepada raja Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan raja Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :

Aku keluar akan tetapi keluarku bukan untuk mencari rintangan …

Akan tetapi untuk meraih keridhaanmu yang kau impikan …

Sekiranya bukan karenanya, tidaklah aku mau mencari hal yang membahayakan …

Dengan mendatangi negeri asing dan lautan sembari membawa pesan …

Kepada raja di negeri yang aku belum pernah masuk padanya …

Untuk membawa anaknya yang seperti terangnya bulan purnama …

Dengan hati yang di kelilingi ketakutan …

Yang bahwasanya seperti burung kecil yang dilempar kepada elang …

Wahai kiranya ini (yaitu resiko sebagai menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …

Aku akan raih dengan kegembiraan dan kemuliaan  termulia …

Arya Ba’ah tidak berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu penyebutannya. Anaknya yaitu Candrawulan telah menikah dengan seorang laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak mendapat hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya akan namanya dan tentang negerinya serta keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya seorang laki-laki dari Jawa, namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya : Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri. Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa juga sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa pesan dari raja Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum). Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah seisi rumah sehingga ramai terdengar. Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah sembari memendam kekesalan yang tidak diragukan lagi karena sebab ia menyangkan semua ini akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya. Berkata Brawijaya kepada istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian, engkau menangis, dan menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku menangis karena sebab wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan (yang sampai) berkenaan dengan hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh bapakku berpesan padaku untuk mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia telah wafat, dan keduanya telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa bapakku telah tiada. Inilah yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan Istrinya.

Adapun yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang keduanya adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua berasal dari negeri Campa, keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua pernah mengunjungi bibinya yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri Majapahit. Pada saat itu bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu Hurairah untuk menemani keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun, agar senantiasa berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar dari negeri Campa menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada negeri yang dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang milik orang Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis. Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu. Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan raja Brawijaya, yang datang kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun ke-enam hijriyyah.

Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua anak ini, seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati karena tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa secara umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang menyembah Tuhannya.

Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala, sebagaimana berkata sebagian Ulama :

Keimanan seorang hamba tidaklah sempurna …

Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja …

Pujian dan celaan mereka sama saja …

Tidaklah merasa takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …

Dahulu sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning , dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan namanya Candrawata  dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3 anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam. Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.

Lalu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri, pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak tahu bagaimana akhirnya.

Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung. Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji kapas.

Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk bekerja sebagai tukang besi.

Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak : Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo.

Sayyid Rahmat memiliki 5 orang anak dari Raden Ayu Candrawati :Sayyidah Syarifah, Mutmainnah, Hafsah dan Sayyid Ibrahim, Sayyid Qasim. Kemudian menikah lagi dengan Maskarimah binti Kembang Kuning yang lahir padanya 2 anak perempuan : Murtiah dan Murtasimah. Seluruh anak-anaknya belajar ilmu-ilmu syariah (agama) dari bapaknya. Inilah keterangan yang menjelaskan tentang Sayyid Rajafandita dan saudaranya (Sayyid Rahmat).

Anak-anak Ki Tarub yang telah lalu nama mereka disebut maka yang bernama Nawangsih ia menikah dengan Lembu Peteng bin Brawijaya atau yang dinamakan Shohroh Tarub yang dikaruniai anak yang bernama Getas Pandawa. Dan anaknya yang bernama Nawangsasi menikah dengan Raden Jaka Kandar bermukim di desa Malaya di Bangkalan di Madura; Kemudian memiliki anak bernama Asiyah dan Dewi Irah. Adapun anak perempuan Ki Tarub yang bernama Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang ia menguasai negeri Wilatikta (Tumenggung Wilatikta).

Yang telah lalu bahwasanya raja Pajajaran Mundi Wangi memiliki istri kedua dan dikarunia anak laki-laki yang bernama Giyung Manar yang dikarunia anak bernama Bambang Wecana yang dikaruniai anak Bambang Pamengker., dan bapaknya ini tunduk di bawah kuasa raja Majapahit, menjauhkan diri tinggal di desa di bawah gunung semeru, Bambang Pamengker dikarunia anak bernama Minak Paranggula yang dikarunia anak bernama Minak Sambayu yang menjadi raja di negeri Blambangan. Akan datang keterkaitan kisah mereka.

Maulan Ishak yang telah lalu penyebutannya, ia adalah saudara Sayyid Ibrahim; Maka ketika ia menjadi laki-laki petualang di bumi, sampai ke negeri Pasa yaitu negeri di pulau sumatera, maka tinggallah ia di sana (Pasa). Dikaruniai anak bernama Sayyid Abdul Qadir dan Sarah.

Kemudian pergilah Mulana Ishak ke pulau jawa dan meninggalkan kedua anaknya kepada ibunya. Dimana keduanya masih kecil. Naiklah Maulana Ishak ke kapal milik laki-laki asal Gresik dan berjalan kapal dengan baik sampai tibalah di Gresik, kemudian turun dan menuju ke Surabaya, masuk ke desa Ampel saat waktu ashar. Secara kebetulan di situ bertemu dengan Sayyid Rahmat shalat sebagai imam yang di-ikuti tiga laki-laki : Abu Hurairah, Ki Wirajaya dan Ki Bangkuning. Maka Maulana Ishaq menunggu di luar masjid. Ketika Sayyid Rahmat sudah salam dari shalatnya, Maulana Ishaq memberi salam dan dijawab salamnya. Kemudian mereka berdua saling bertanya tentang nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Maka tahulah Sayyid Rahmat bahwasanya Maulana Ishaq adalah saudara dari bapaknya. Maulana Ishak berkata : Engkau berarti adalah anakku, karena sebab bapakmu saudara laki-lakiku. Kemudian berkata kepadanya Sayyid Rahmat : Dulu tidak ada seorangpun muslim di sini kecuali aku dan saudaraku Sayyid Rajafandita dan temanku Abu Hurairah, kami adalah yang pertama kali muslim di pulau jawa. Maulana Ishak berkata : Aku namakan engkau Sunan yang pertama, pertama karena sebab engkau yang awal muslim di pulau jawa. Maka sepakatlah manusia yaitu menetapkan nama ini kepada Sayyid Rahmat. Senantiasa Sayyid Rahmat menyeru manusia kepada agama Allah Ta’ala dan kepada ibadah  kepada-Nya. Sampai-sampai seluruh penghuni Ampel mengikutinya dan yang di sekitarnya serta kebanyakan orang-orang Surabaya. Tidaklah itu kecuali kebaikan akan nasihatnya dan hikmahnya dalam berdakwah serta baiknya akhlaknya kepada manusia dan baiknya dalam berjidal, menerapkan firman Allah : Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta berjidallah dengan mereka dengan sebaik-baik jidal (Al-Ayat), dan Firman Allah Ta’ala : Rendah dirilah kamu kepada orang-orang yang beriman, dan firman-Nya : Perintahkan kepada kebaikan dan dan menjauhi kemungkaran serta sabarlah atas apa yang menimpamu, sungguh yang demikan itu adalah yang diwajibkan oleh Allah. Inilah yang semestinya para imam-imam muslim dan masyaikh mereka mengikuti jalan tersebut yang diridhai sampai manusia masuk agama Allah berbondong-bondong. Berkata penyair :

Terimalah maaf mereka, berjalanlah dengan adat sebagaimana …

Engkau diperintah, dan tampakanlah (perintah tersebut) kepada mereka yang jahil …

Lemah lembutlah semampumu pada setiap manusia …

Maka akan tampak baik atas mereka yang jahil …

Dan kepada mereka yang keras kepala, sentuhlah mereka …

Dengan sabar, agar supaya terangkat mereka yang sempurna …

Kemudian berselang beberapa lama, Maulana Ishaq undur diri kepada Sayyid Rahmat dan kemudian keluar dari Ampel berjalan menuju timur laut menaiki gunung dan turun di lembah-lembah sampai ke negeri Banyuwangi. Naik di atas gunung yang dikatakan Selangu semata-mata untuk beribadah di sana, shalat wajib, sunnah dan berpuasa untuk mencari ridha Ar-Rahman dan menjauhkan diri dari seluruh maksiat; Ia Menyendiri, bersungguh-sungguh meninggalkan hawa nasfu dan godaan setan semata-mata untuk hati dan mensucikannya dari kebimbangan agar menjadi orang yang bersyukur dan memuji Rabb-nya, ia bergegas kepada-Nya menghilangkan syirik yang tersembunyi untuk benteng dan senjata dalamnya iman dan keyakinan.

Minak Sambayu (raja Blambangan) yang telah lalu penyebutannya memiliki anak perempuan bernama Sekar Dadu yang ia dahulu intinya adalah orang yang baik, yang memikat laki-laki, sehingga padanya dikatakan :

Ia adalah perempuan yang memiliki kehidupan seperti purnama yang menyihir …

Rambutnya seperti malam ketika gelap gulita …

Keluar dari mulutnya cahaya ketika tersenyum …

Sebagaimana kilat yang menyapu penglihatan ketika dipandang …

Ia berjalan malu-malu tersipu dan menoleh …

Maka jadilah yang memandangnya sebagaimana orang mabuk …

Ketika ia menghadap, aku lihat tidak montok pada keduanya …

Seperti dua delima, bagi siapa yang memandang …

Dan ketika ia membalikkan badan seolah bergelombang acak (rambutnya) …

Perawakannya tidak tinggi ataupun pendek, artinya cukup …

Pada saat itu ia sakit keras, telah banyak tabib letih bingung mesti menggunakan obat apa lagi. Bersedihlah raja Blambangan karena sebab hal itu, dengan kesedihan yang sangat. Maka dikumpulkanlah menteri-menteri, pemerintahan, pegawai dan ahli fatwa kerajaan. Setiap dari mereka diseru untuk mencari obat penyembuh pada setiap wilayah mereka untuk anak perempuan raja, maka barangsiapa yang berhasil menyembuhkannya akan dinikahkan dengannya dan diberikan separuh harta kerajaan. Maka mereka semua menyeru seluruh orang-orang desa dan penjuru negeri, akan tetapi tidak ada hasil. Maka pada suatu hari, berkata sebagaian menteri-menterinya : Sungguh kami melihat seorang manusia berpakaian jubah memakai kopyah putih yang tinggal menyendiri di atas gunung Salangu dan berbeda dengan manusia pada umumnya, ketika tergelincir matahari di langit, ia berdiri dan meletakkan tangannya ke dadanya dan digerak-gerakkan mulutnya dengan berucap dengan apa yang kami tidak paham, tidak tolah-toleh sampai kemudian tertunduk meletakkan tangannya di lututnya kemudian mengangkat kedua tangannya, kemudian menjatuhkan diri dan meletakkan dahinya ke bumi, kemudian duduk dan akhirnya menoleh ke kanan dan kiri; Maka jika terbenam matahari ia melakukan hal itu lagi, jika hilang matahari ia melakukan lagi, jika sebelum matahari muncul ia melakukan itu lagi dengan ringan, itulah kegiatannya setiap hari. Kemudian raja berkehendak memanggilnya agar menyembuhkan anak perempuannya yang mulia, semoga ia dapat menyembuhkannya. Raja berkata : Panggil dia yang telah kalian bicarakan. Maka menteri tersebut memanggil Maulana Ishak agar menghadap di hadapan raja Blambangan, maka ketika mereka bertemu dengan Maulan Ishak, mereka mengkabarkan keinginan raja padanya. Maulana Ishak pun memenuhi panggilan raja, dan turun bersama menteri-menteri kerajaan. Maka ketika sampai di hadapan raja, raja berkata : Sungguh aku memiliki anak perempuan, ia adalah buah hatiku dan separuh jiwaku dan sekarang ia sedang sakit, sudah lama sakitnya, sampai-sampai para tabib sudah lelah mencari obatnya, maka sekiranya engkau memiliki obat, sembuhkanlah dia; Aku bernadzar : Barangsiapa yang menyembuhkannya, akan aku nikahkan dengannya dan bersamanya akan aku berikan setengah dari kerajaanku. Maka Maulana Ishak menerima tawaran tersebut sembari berdoa kepada Allah, mengiba kepada-Nya agar Allah memberi kesembuhan dan menghilangkan sakitnya dengan izin-Nya. Maka tiba-tiba anak raja sembuh, kemudian dinikahkanlah ia dengannya dan memberikan setengah dari kerajaannya. Oleh karena itu, menjadi mudahlah menyeru manusia kepada islam, ia senantiasa menyeru mereka kepada islam sampai-sampai berislam kebanyakan dari penduduk negeri tersebut. Pada suatu hari Maulana Ishak masuk menemui raja Blambangan dan berkata padanya : Wahai bapakku, aku datang kepadamu untuk menyeru agar meninggalkan patung-patung berhala dan mengikuti setan menuju hanya beribadah kepada Allah Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, Yang Menghidupkan dan Mematikan, Raja seluruh alam; Katakanlah Asyhadu Anlaa illaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Maka ketika mendengar ucapan Maulana Ishak, berubah wajahnya dan memerah, marah kepada Maulana Ishak dan berkata : Jika engkau tidak keluar sekarang dari hadapanku, aku akan cerai beraikan tubuhmu. Keluarlah Maulana Ishak, menghilang sebagai buronan. Saat itu istrinya telah hamil 7 bulan, menangis karena berpisah dengan suaminya, redup dan sedih menyelimutinya. Maulan Ishak tidak kunjung datang. Maulana Ishak tetap bersembunyi sembari berdoa memohon pertolongan Allah agar Allah menghukum raja Blambangan. Maka Allah turunkan pada penduduk Blambangan wabah dan kematian mendadak, matilah kebanyakan rakyatnya, dan tidak mampu menghalau (adzab dari Allah). Bersedihlah raja Blambangan, sampai-sampai tidak nafsu makan, tidak bisa tidur, ia berkata : Ini adalah akibat dari kesialan laki-laki itu (maksudnya Maulana Ishak) dan anaknya yang sekarang dalam kandungan anakku, sungguh kalau dia lahir akan aku hempaskan ke laut. Maka ketika sempurna masa kandungannya, ia lahir seperti emas murni. Raja mengambilnya dan meletakkannya di peti mati, dan memerintahkan untuk dibuang ke lautan. Terhempaslah kelaut terbawa ombak (peti tersebut) naik turun terjaga, dijaga oleh Allah Ta’ala dan terjaga oleh perhatian-Nya. Itulah yang termasuk sebagian karamah. Ketika peti tersebut melalui kapal dagang penduduk Gresik, diambillah oleh awak kapalnya, maka ketika peti itu dibuka, dijumpai padanya seorang anak yang bercahaya dan wajahnya seperti bulan yang bersinar. Saat itu, para pedagan yang menaiki kapal itu akan pergi menuju Bali. Dibawalah anak tersebut sampai Bali dengan selamat. Ketika pedagang itu selesai urusannya di Bali, mereka beranjak menuju Tandes kemudian barulah pulang menuju Gresik bersamaan dengan anak tersebut. Diturunkannya anak itu di pelabuhan, kemudian diserahkanlah anak itu kepada perempuan yang bernama Nyai Gede anak Sayyid Rajafandita yang telah lalu kisahnya. Nyai berkata : Anak siapa ini ? Mereka (para pedagang) berkata : Anak ini hanyut di dekat pelabuhan Blambangan, berbutar-putar di air laut. Maka sangat senanglah Nyai Gede, di mana ia belum melahirkan anak seorang pun. Anak tersebut ia namakan Broedin, dididiklah ia dengan didikan yang baik, dan sangat dicintai; Akan tetapi anak tersebut tidak dapat menyusu pada seorang perempuanpun, hanya menghisap jemarinya saja sampai umur 7 hari. Setelah itu barulah bisa minum susu, ini sudah menjadi kebiasan bayi.

Maulana Ishak setelah bersembunyi di balik bukit kecil, kembali menuju negerinya yakni Pasa di pulau Sumatera berkumpul dengan istrinya dan anak-anaknya. Maulana Ishak mengkabarkan bahwa istri dan anaknya masih punya kerabat yaitu anak dari pamannya di pulau jawa di desa Ampel yang termasuk wilayah Surabaya yang namanya adalah Sayyid Rahmat yang ia termasuk dari yang pertama kali islam di pulau Jawa, ia juga imam bagi orang-orang islam, wali dan orang shalih; Mengajarkan islam, jalan islam dan hakikat islam. Maulana Ishak tidak menetap di Pasa kecuali hanya selama beberapa hari dan kemudian wafat, dikatakan selama 7 hari di Pasa dan kemudian wafat. Datang para ulama dan para wali untuk menyolatkannya, setelah dishalatkan dibawa ia ke kubur yang dikatakan Kuburan Taman Sari. Mereka semua berdesakan sembari bershalawat di kuburnya, bertasbih, tahmid, tahlil dan membaca Al-Qur’an, semoga mendapatkan balasan yang luas atas ruh Maulana Ishak, ia dikuburkan di sana, semoga baginya rahmat Allah yang tak terputus bagi Maulana Ishak.

Kisah anaknya yaitu Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah, maka mereka berdua sepeninggal bapak mereka sepakat untuk berkeliling bumi. Sehingga sampailah mereka ke negeri Adan yaitu di jazirah arab, mereka menetap berhari-hari di sana kemudian lanjut menaiki kapal yang kemudian melaju ke Keling selama 11 hari, dan menetap di sana selama sebulan kemudian naik kapal lagi sampai tiba di pulau Jawa, kemudian naik kapal sampai negeri yang dinamakan Juwana ia adalah pelabuhan di antara pelabuhan-pelabuhan di waktu itu. Dan keluar mereka berdua menuju Surabaya. Dan berjalan sampai desa Ampel, mereka berdua bertanya akan rumah dari Sayyid Rahmat, maka ditunjukkanlah mereka berdua menuju rumah Sayyid Rahmat. Maka ketika bertemu dengannya, mereka berdua mengucapkan salam, dan dibalas salamnya. Kemudian Sayyid Rahmat bertanya tentang nama mereka, negerinya dan siapa orang tua mereka berdua. Berkata Sayyid Abdul Qadir : Namaku adalah Abdul Qadir, dan ini adalah saudari perempuanku Sarah, kami berdua datang dari negeri Pasa di pulau Sumatera, bapak kami bernama Maulana Ishak dan ia telah wafat; Dikabarkan kepada kami ketika ia masih hidup bahwa kami punya kerabat dekat bernama Sayyid Rahmat yang tinggal di desa Ampel di Surabaya pulau Jawa dan menjadi imam bagi orang-orang islam di sana. Berkata Sayyid Rahmat : Kalau begitu kalian berdua adalah saudaraku, bapak kalian berdua adalah saudara dari bapakku. Mereka saling berpelukan dan menangis gembira.