Segala puji bagi Allah yang menjadikan akhlak yang baik sebagai penyebab kebahagiaan dan kenikmatan serta menyeru manusia agar melakukannya. Disamping itu, menjadikan akhlak yang buruk sebagai penyebab kebinasaan dan kesengsaraan serta melarang manusia melakukannya. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan atas Nabi yang paling utama, Sayyidina Muhammad dan keluarga serta sahabatnya yang berbakti dan bertakwa.

 

Selanjutnya, inilah jilid keempat yang terakhir dari kitab Al-Akhlaq li al-Banin, (Bimbingan Akhlak Bagi PutraPutra Anda), yang kami selesaikan atas taufik dari Allah Ta’ala dan Dia-lah sebaik-baik penolong.

 

Selain itu, kami mohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberi manfaat terhadap kitab ini kepada para remaja dan menjadikannya sebagai pembimbing bagi mereka menuju budi pekerti mulia, disamping memberi manfaat kepada mereka dengan jilid-jilid sebelumnya, dimana mereka mempelajari adab-adab yang baik.

 

Sesungguhnya, hanya Allah Ta’ala yang memberi hidayah dan kepada-Nya kita kembali. Dia-lah yang patut mengabulkan do’a.

 

Surabaya, Ramadhan 1385 H.

 

Al-Ustadz Umar Bin Ahmad Baradja

  1. Akhlak ibarat keadaan jiwa yang kokoh, dari mana timbul berbagai perbuatan dengan mudah tanpa menggunakan pikiran dan perencanaan. Bilamana perbuatan-perbuatan yang timbul dari jiwa itu baik, maka keadaannya disebut “akhlak yang baik”. Jika yang ditimbulkan kebalikan dari itu, maka keadaannya disebut “akhlak yang buruk”. Apabila keadaan itu tidak mantap di dalam jiwa, maka ia tidak disebut akhlak.

 

  1. Akhlak dapat dihasilkan dengan latihan dan perjuangan pada awal, hingga akhirnya menjadi watak. Misalnya, seseorang yang ingin mempunyai tulisan indah, maka pertama kali dia harus memaksakan diri untuk meniru tulisan-tulisan yang indah, hingga tulisan itu menjadi wataknya. Ini tidaklah aneh pada manusia yang diberi oleh Allah akal dan pengertian. Bahkan, tidak aneh pula pada hewan buas, karena ia bisa diubah akhlaknya dengan latihan hingga menjadi jinak. Tidakkah Anda lihat, kalau anjing bisa diajar untuk berburu dan menjaga?

 

  1. Akan tetapi, pendidikan akhlak menjadi berat bagi murid pada mulanya, kemudian dia dapat menikmati pada : akhirnya. Misalnya, bayi yang disapih dari payudara ibunya, pada mulanya dia menangis keras dan kurus tubuhnya serta pucat warna kulitnya. Dia semakin tidak menyukai makanan yang diberikan kepadanya sebagai pengganti air susu. Akan tetapi, apabila dia langsung dihentikan dari minum air susu hari demi hari, lalu semakin payah dalam bersabar dan diliputi rasa lapar, maka dia pun terpaksa makan makanan, kemudian menjadi watak (kebiasaan). Seandainya disuruh kembali minum air susu ibu, dia tidak akan mau. Selanjutnya, dia pun menjauhi payudara dan tidak menyukai air susu ibu, namun terbiasa dengan makanan penggantinya.

 

Begitu pula binatang, pada mulanya ia tidak menyukai pelana, kekang besi dan tidak mau dinaiki. Akan tetapi ia dipaksa melakukan itu dengan rantai dan tali. Ia pun menjadi jinak, sehingga apabila dibiarkan ditempatnya, ia pun berdiri tanpa diikat maupun dirantai.

 

Untuk menunjukkan bahwa akhlak itu dapat diubah, tersebutlah dalam hadits: “Sesungguhnya ilmu didapat dengan belajar dan kebijakan didapat dengan sering berbuat bijaksana. Barangsiapa mencari kebaikan, Ia pun diberi kebaikan itu. Dan barangsiapa menghindari kejahatan, ia pun dilindungi dari kejahatan itu.

 

Al-Imam Al-Bushiri rahimahullah berkata :

 

Nafsu itu seperti bayi, jika kamu biarkan, ia tetap suka menyusu, dan jika kamu lepas, ia pun berhenti.

Orang yang dapat mengendalikan nafsu dari pembangkangannya, seperti kuda liar yang dikendalikan dengan besi di mulutnya.

 

  1. Induk akhlak yang baik adalah empat keutamaan: kebijakan, keadilan, keberanian dan keluhuran budi.

 

Hikmah adalah suatu kebenaran dengan ilmu dan amal, dan ia adalah sumber akhlak yang baik.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang diberi al-Hikmah, maka dia pun telah diberi kebaikan yang banyak.” (OS. Al-Baqarah: 269)

 

Ketika Ibnu Abbas ra meriwayatkan firman Allah Ta’ala pada surat Luqman, ayat 12, yaitu : “Dan sesungguhnya telah kami berikan Al-Hikmah kepada Luqman”, dia berkata: “Al-Hikmah ialah akal, pengertian dan kecerdasan selain kenabian.”

 

Keadilan ialah keadaan jiwa dan kekuatan untuk mengendalikan kemarahan dan syahwat serta mengarahkannya secara bijaksana.

 

Keberanian ialah tunduknya kekuatan amarah pada akal dalam bertindak dan berhenti.

 

Keluhuran budi ialah terdidiknya kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan syara’ (syariat atau perintah agama).

 

  1. Akhlak yang terpuji ialah pertengahan dari kewajaran antara berlebih-lebihan dan kekurangan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam memuji Rasul saw. dan para sahabatnya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29).

 

Dan Allah Ta’ala berfirman dalam memuji hamba-hamba-Nya yang shalih: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan) itu ditengah-tengah antara yang demikian.” (AS. Al-Furqaan: 67). –

 

Dalam hadits disebutkan: “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.”

 

Penyair berkata :

 

Suka berlebih-lebihan itu salah, sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.

 

Keberanian adalah sikap yang terpuji antara keras hati (berani) dan pengecut.

 

Kedermawanan adalah antara pemborosan dan kikir. Rendah hati adalah antara kehinaan dan kesombongan. Rasa malu adalah antara kelemahan dan kekasaran. Keramahan adalah antara keberandalan dan kekakuan. Keluhuran budi adalah antara keserakahan dan kebekuan, dan akhlak-akhlak lainnya.

 

  1. Akhlak terpuji adalah penyebab kebahagiaan di dunia dan akhirat. la mengangkat pemiliknya ke wilayah malaikat yang mugarrabin (yang dekat dengan Allah), sedangkan akhlak yang buruk adalah racun pembunuh dan perbuatan buruk yang menjauhkan diri dari rahmat Tuhan sekalian alam.

 

la menjerumuskan pemiliknya ke jurang setan yang terusir. Akhlak yang buruk adalah penyakit hati dan jiwa. Di samping itu, ia adalah penyakit yang menghilangkan kehi dupan yang abadi. Bandingkan ia dengan penyakit yang hanya menghilangkan kehidupan jasad. Apalagi para dokter sangat memperhatikan pengobatan badan demi memelihara kehidupan yang fana, maka perhatian untuk mengobati penyakit hati lebih utama, karena ia melindungi kehidupan yang abadi.

 

Pengobatan macam Ini wajib dipelajari oleh setiap orang yang berakal, dan ia merupakan cara pengobatan para Nabi. Shalawat dan salam semoga atas mereka. Allah Ta’ala telah mengutus mereka untuk mengajari umat, bagaimana menyuc kan hati mereka dari akhlak tercela dan menghiasi jiwanya dengan akhlak mulia?

 

  1. Maka, ambillah buku ini, lalu bacalah dengan penuh perhatian dan renungkan. Paksalah diri Anda untuk mengamalkan isinya. Setelah itu, lanjutkanlah dengan buku buku besar, sehingga Anda dapat memahami hakikat akhlak dan menjadi orang terdidik dan bahagia di dunia dan agama. dan Allah-lah pemberi taufik.

Ketahuilah! hai anak tercinta, rasa malu adalah pokok segala keutamaan dan sumber segala adab. Maka, manusia wajib berakhlak dengan rasa malu sejak awal pertumbuhannya, agar dia terbiasa dengan akhlak mulia dan adab yang baik di kala dewasa. Dalam hadits disebutkan: “Rasa malu itu selalu membawa kebaikan”. “Rasa malu itu . sebagian dari iman”. Juga “Rasa malu adalah pengamalan agama seluruhnya”.

 

Adapun perbuatan keji atau keberandalan, maka ia merupakan pembuka pintu perbuatan yang rendah dan hina seluruhnya. Nabi saw. bersabda: “Apabila engkau tidak merasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu.” Penyair berkata:

 

Jika engkau tak takut akibat di kemudian hari dan tidak merasa malu, maka lakukanlah segala yang engkau kehendaki

Demi Allah, tiada kebaikan dalam kehidupan di dunia bila lenyap rasa malu.

Manusia hidup dalam kebaikan, selama ia merasa malu sebagaimana batang yang terjaga, selama ada kulitnya.

 

Sayyidina Abu Bakar ra. sering mengucapkan bait berikut:

 

Sungguh, seakan-akan aku melihat orang yang tak malu dan tidak jujur, telanjang di tengah masyarakat.

 

  1. Rasa malu itu terbagi menjadi tiga macam:

Pertama, terhadap Allah Ta’ala: Kedua, terhadap manusia, dan Ketiga, terhadap diri sendiri.

 

Rasa malu terhadap Allah Ta’ala: Hal itu terwujud dengan mematuhi perintah-perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Nabi saw. bersabda: “Malulah terhadap Allah Azza wa Jalla dengan rasa malu yang sebenarnya.” Ada yang mengatakan: “Hai Rasulullah, bagaimana kami merasa malu kepada Allah dengan sebenarnya?” Beliau menjawab:

 

“Barangsiapa memelihara Kepala dan apa yang dikandungnya (akal), perut dan isinya (makanan), dan meninggalkan perhiasan kehidupan dunia serta mengingat mati dan kehancuran, maka ia pun telah merasa malu terhadap Allah Azza wa Jalla dengan sebenarnya.”

 

Rasa malu ini adalah buah dari kekuatan iman dan keyakinan. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadits: “Sedikit rasa malu adalah kufur, sedang rasa malu adalah ikatan iman. Jika ikatan dari suatu benda terlepas, maka bercerai berai dan berantakanlah segala isinya.”

 

Rasa malu terhadap manusia: Hal itu terwujud apabila kamu menjaga pandangan dari suatu yang tidak halal dari mereka. Disebutkan dalam hadits: “Allah melaknat orang yang memandang (aurat orang lain) dan orang yang menyuruh melihatnya”.

 

Seorang bijak ditanya tentang orang fasik, dia menjawab: “Dia (orang fasik) adalah orang yang tidak menjaga pandangannya dari pintu-pintu manusia dan aurat mereka”. Hendaklah kamu menampilkan akhlak yang baik terhadap. mereka, tidak mengganggunya dengan akhlak yang buruk, dan tidak melakukan perbuatan maksiat atau kebiasaan buruk di hadapan mereka, juga tidak berbicara dengan perkataan yang tidak pantas didekatnya, lebih-lebih perkataan yang keji.

 

Rasulullah saw. bersabda : “Rasa malu itu termasuk pengamalan iman, sedang iman itu di surga. Perkataan yang keji itu termasuk kebejatan akhlak, dan kebejatan akhlak itu di neraka.”

 

Hendaklah kamu menampakkan penampilan yang bagus dalam semua urusan dan memelihara citra yang baik, agar tidak diceritakan perkara yang buruk tentang diri kamu.

 

Dalam hadits disebutkan : “Termasuk takwa kepada Allah ialah menghindari celaan orang.”

 

Rasa malu ini menjadikan kamu memiliki harga diri, kebenaran, keberanian, kemurahan hati, kebijakan dan kejujuran. Maka, kamu pun berjiwa mulia dan bercitra baik. Ia mencegah kamu dari perbuatan rendah, sifat pengecut, kikir, dusta, khianat dan kebodohan. Karena kamu merasa malu apabila orang-orang melihatmu memiliki sifat-sifat yang buruk tadi.

 

Imam Syafii ra. berkata : “Demi Allah, seandainya aku tahu bahwa minum air dingin itu bisa merusak harga diriku, niscaya aku tidak akan meminumnya sepanjang hidupku.”

 

Termasuk rasa malu terhadap manusia adalah: Apabila menghargai setiap orang yang memiliki keutamaan dan menghargai orang-orang yang patut dihargai menurut derajat mereka, misalnya, ayah, ibu, dan para guru serta orang-orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya dari kamu. Yakni harus berendah diri pada mereka.

 

Dalam Atsar (perkataan sahabat) disebutkan: “Berendah dirilah kepada orang-orang yang mengajari kamu.” “Ya Allah, jangan sampai aku mendapati zaman, dimana orang berilmu tidak diikuti dan orang yang tidak merasa malu terhadap orang yang bijak.” “Sesungguhnya yang mengetahui keutamaan bagi pemilik keutamaan, hanyalah orang yang mempunyai keutamaan.”

 

Rasa malu terhadap diri sendiri: Janganlah melakukan Suatu perbuatan di kala sendirian, apabila kamu merasa malu bila orang-orang mengetahuinya. Seorang beradab menga. takan: “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan di kala sendirian (tidak merasa malu), sedangkan apabila ia melakukannya secara terang-terangan merasa malu, maka ia tidak menghargai dirinya.”

 

Seorang bijaksana berkata: “Hendaklah kamu lebih merasa malu terhadap dirimu dari pada orang lain.”

 

Penyair berkata :

 

Perbuatanku yang tersembunyi seperti terang-terangan, dan inilah watakku,

Gelapnya malamku seperti terangnya siangku.

 

Rasa malu ini menunjukkan isi hatimu yang baik dan merupakan pengetahuan akan derajat dirimu. Bilamana dalam dirimu berkumpul ketiga macam rasa malu diatas, maka lengkaplah padamu hal-hal yang menimbulkan kebaikan dan lenyaplah darimu hal-hal yang menimbulkan keburukan. Disamping itu, kamu pun memperoleh ridha Allah dan dicintai oleh orang banyak.

 

  1. Janganlah kamu memiliki rasa malu yang tercela, yaitu rasa malu yang menjadikanmu merasa tercegah untuk melakukan kebaikan, membela kebenaran dan berkata benar serta mengingkari kemungkaran. Jangan sampai rasa malu itu menjadikan kamu seorang yang hina dan takut, malu dan pengecut. Orang yang memiliki rasa malu semacam ini tidak mendapat kebaikan. Sebagaimana kata Sayyidina Ali ra.: “Rasa takut itu menimbulkan kegagalan dan rasa malu (yang tidak wajar) tidak menghasilkan kebaikan.”
  1. Rasulullah saw. adalah orang yang sangat pemalu. Beliau tidak menatapkan pandangannya pada wajah seseorang dan tidak berbicara kepada seseorang dengan perkataan yang tidak disukainya. Seorang laki-laki datang kepadanya dengan memakai warna kuning pada rambutnya, sehingga beliau tidak menyukainya. Namun beliau tidak mengatakan apa-apa, sampai orang itu keluar.

 

Kemudian beliau bersabda kepada seseorang: “Sekiranya kamu katakan kepada orang tersebut agar menanggalkan warna kuning ini.

 

Hal itu disebabkan terdapat semacam keserupaan dengan perempuan. Apabila tidak bertujuan menyerupai mereka, maka hukumnya makruh dan apabila bertujuan menyerupai perempuan, maka hukumnya haram.

 

Rasulullah saw. tidak pernah terlihat menjulurkan kedua kaki holiau di antara para sahabatnya.

 

Apabila hendak buang hajat, beliau tidak mengangkat bajunya hingga mendekati tanah. Pernah Rasulullah saw. melewati seorang laki-laki yang sedang mandi. Kemudian beliau berkata:

 

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Maha Pemalu, Maha Penyantun lagi Maha Penutup dan menyukai sifat malu serta menutupi kejelekan. Maka, apabila seseorang diantara kamu mandi, hendaklah kamu bersembunyi dari pandangan orang-orang.”

 

  1. Sayyidah Aisyah ra. adalah sangat pemalu dan memelihara diri, hingga ia berkata: “Aru memasuki rumah tempat Rasulullah saw. dimakamkan bersama ayahku, (semoga Allah meridhainya) dan menanggalkan bajuku. Aku berkata: “Sesungguhnya kedua orang itu adalah suami dan ayahku. Ketika Umar ra. dikubur di tempat itu, demi Allah, aku tidak memasukinya kecuali mengenakan baju rapat-rapat, karena merasa malu terhadap Umar”.

 

Perhatikan! Bagaimana rasa malunya terhadap orang asing (yang bukan mahramnya) sekalipun orang itu di dalam kubur.

 

  1. Diriwayatkan, bahwa Khuzaifah ibn Al-Yaman ra. mendatangi shalat Jum’at, ternyata dia mendapati orang orang yang sudah bubar. Maka, ia pun menjauhi jalan seraya berkata: “Tiada kebaikan pada orang yang tidak merasa malu terhadap orang-orang.”

 

  1. Sekelompok orang memanggil seorang teman mereka untuk bermain-main di majlisnya, namun dia tidak memenuhi ajakan dan menulis surat kepada mereka: “Tadi malam aku memasuki usia 40 tahun, dan aku merasa malu terhadap umurku.”

 

  1. Seorang bijaksana datang kepada seorang laki-laki. Dia melihat sebuah rumah yang tinggi dengan berbagai permadani terhampar. Namun terlihat pemiliknya kosong dari keutamaan budi (tidak mempunyai pekerti). Maka orang itu meludahi wajahnya. Pemilik rumah berkata kepadanya: “Apa maksud dari kebodohan ini hai orang bijaksana?” Orang bijaksana itu berkata: “Justru ini adalah hikmah. Sesungguhnya ludah itu dilontarkan ke tempat terhina di rumah ini dan aku tidak melihat di dalamnya orang yang lebih hina dari pada kamu.”
  1. Al-‘Iffah (kelurusan budi) dan Al-Qana’ah (rasa puas dengan apa yang ada) adalah akhlak yang baik dan sifat yang terpuji. Al-‘Iffah artinya: Pencegahan manusia terhadap dirinya dari berbagai perbuatan haram dan penghindaran kebiasaan yang tidak baik hingga terpelihara tangannya: Yakni, dia tidak mencuri, tidak mengambil hak seseorang tanpa izin darinya, tidak mengganggu makhluk manapun dengan tangannya dan tidak menulis sesuatu yang tidak layak dengan kemuliaannya serta tidak menipu. Dalam hadits disebutkan: “Bahwa Rasulullah saw. melewati setumpuk makanan, lalu memasukkan tangan beliau ke dalamnya. Ternyata, tangan beliau menyentuh barang basah. Maka beliau bersabda: Hai pemilik makanan, apakah ini? Orang itu menjawab: “Makanan ini terkena air hujan, wahai, Rasulullah.” Beliau berkata: ‘Mengapa engkau tidak meletakkannya di bagian atas makanan sehingga orang orang melihatnya? Barang siapa menipu kami, maka ia pun bukan dari golongan kami.”

 

  1. Hendaklah manusia itu memelihara kakinya dan tidak berjalan menuju kemaksiatan atau untuk mengganggu seseorang. Memelihara lidahnya, yaitu tidak boleh berbicara dengan perkataan yang tidak pantas. Memelihara pendengarannya, maksudnya tidak boleh mendengarkan kata-kata yang diharamkan. Memelihara penglihatannya, maksudnya tidak boleh melihat pada sesuatu yang tidak halal baginya atau tidak patut dilihatnya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya …” (QS. Al-Isra’: 36)

 

Dalam hadits disebutkan: “Bahwa seorang laki-laki mengintai ke dalam rumah Rasulullah saw. Beliau membawa alat untuk menggaruk kepalanya. Ketika Nabi saw. melihatnya, beliau bersabda: ‘Andaikata aku tahy bahwa engkau melihatku, tentu aku tusuk matamu. Sesungguhnya minta Izin itu diharuskan, agar menjaga pandangan’.”

 

Dalam hadits lain : “Barangsiapa mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, lalu mereka mencukil matanya, maka tidak berlaku qishas atau tebusan atas matanya.”

 

Handak lah manusia memelihara nafsunya. Tidak berlarut-larut dalam menuruti syahwat dan tidak menjadikan keinginannya hanya untuk meraih berbagai kenikmatan, tetapi menerima sesuatu yang ada dan tidak memaksa untuk mengadakan yang tidak ada. Hendaklah dia tidak hidup boros dan mewah, serta tidak meminta sesuatu dari seseorang. Rasulullah saw. bersabda.

 

“Janganlah kamu meminta sesuatu kepada orang orang. Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Telah beruntung orang yang berserah diri dan diberi kepuasan oleh Allah dengan apa yang diberikanNya kepadanya.

 

Barangsiapa memelihara diri, maka Allah menjadikan dirinya terpelihara. Barangsiapa yang tidak membutuhkan kepada orang lain, maka Allah akan mencukupinya. Barangsiapa mengalami kekurangan, lalu menimpakannya kepada orang lain, maka tidaklah terpenuhi kekurangannya.

 

Dan barangsiapa mengandalkan Allah untuk mengatasi kekurangannya, maka Allah akan segera memberinya rezeki yang cepat atau di kemudian hari.”

 

3 Termasuk Al-‘lffah juga, apabila manusia tidak mengarahkan pandangannya pada makanan, minuman, pakaian orang atau lainnya. Apabila melihat seseorang makan, janganlah mendekatinya dengan maksud agar diberi makanannya. Apabila mendengar ada walimah, janganlah menghadirinya jika tidak diundang ke tempat itu. Janganlah menjadi tamu yang tak diundang, berjiwa rendah dan tidak disukai oleh semua orang.

 

Hendaklah tidak ikut campur dalam perkara yang bukan urusannya, demi mengikuti sabda Rasulullah saw.: “Termasuk kebaikan pengamalan Islam adalah, bila manusia meninggalkan perkara yang bukan urusannya.” Maka, janganlah bertanya kepada orang tentang berbagai rahasianya dan jangan menjawab pertanyaan yang tidak ditujukan kepadanya. Apabila bertemu dengan sekelompok orang yang berbicara tentang berbagai urusan yang khusus menyangkut mereka, maka janganlah ikut bicara dengan mereka dan jangan mendengarkan pembicaraannya, agar tidak bersifat ingin tahu atau suka menyelidiki, sehingga tidak disukai oleh semua orang. Allah Ta’ala berfirman: “…. dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain ….” (AS. Al-Hujurat:12).

 

Dalam hadits disebutkan: “Janganlah kamu memata matai. Barangsiapa mendengarkan pembicaraan suatu kaum, sedang mereka tidak menyukainya, maka kelak pada hari Kiamat akan dituangkan dalam kedua telinganya timah cair.”

 

  1. Termasuk Al-‘lffah dan yang terpenting darinya adalah terpelihara kemaluan dan perutnya dari hal-hal yang diharamkan. Misalnya, zina, liwath (homoseks), makan riba’ atau makan harta anak yatim.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke api yang menyala-nyala (neraka).” (AS. AnNisa’:10).

 

Dalam hadits ditegaskan: “Kesucian yang paling disukai Allah Ta’ala adalah sucinya kemaluan dan perut.”

 

Penyebab terjerumus ke dalam maksiat kemaluan adalah pandangan. Maka, kamu harus memelihara matamu dan tidak membiarkannya terus-menerus memandang hal-hal ” yang membangkitkan nafsu (selera) yang diharamkan.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …'” (QS. An. Nur:30).

 

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam hati.” (QS. Al. Mukmin:19).

 

Dalam hadits Qudsi: “Pandangan (yang terlarang itu) merupakan salah satu panah beracun dari Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, maka Aku menggantinya dengan iman yang dirasakan kenikmatan di dalam hatinya.”

 

Dalam hadits Nabawi: “Wanita adalah perangkap setan. Tidaklah aku tinggalkan sesudah aku wafat, fitnah yang lebih berbahaya atas laki-laki daripada wanita.”

 

Maka, sadarlah atas nasihat ini dan amalkanlah itu, agar kamu selamat dari siksa dunia dan akhirat. Terutama di zaman ini, di mana tersebar berbagai kemungkaran (kemaksiatan) dan orang-orang meremehkannya.

 

Nabi saw. bersabda: “Tidaklah pelaku zina itu berzina bila dia seorang mukmin, tidaklah pencuri itu mencuri bila dia seorang mukmin, dan tidaklah peminum khamar itu meminumnya bila dia seorang mukmin.”

 

“Rasulullah saw. telah melaknat pemakan riba’ (dimakan sendiri), dan yang memakannya (memberi makan kepada orang lain) dan penulis serta kedua saksinya.”

 

Dalam hadits juga disebutkan: “Terkutuklah orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks).”

 

  1. Sesungguhnya, Qana’ah adalah kemuliaan, kehormatan dan ketenangan, sedangkan ketamakan adalah kehinaan, kepayahan dan kecemaran.

 

Nabi saw. bersabda: “Kemuliaan orang mukmin ads lah apabila dia tidak mengandalkan manusia lainnya.

 

Selanjutnya Nabi saw. bersabda: “Ketamakan menghilangkan hikmah dari hati para ulama.”

 

Datang seorang laki-laki kepada Nabi saw.,, lalu berkata: “Berilah aku wasiat.” Nabi bersabda: “Janganlah kamu mengharapkan milik orang lain dan janganlah kamu tamak, karena ketamakan adalah kemiskinan yang nyata.”

 

Sayyidina Ali Karamallahu Wajha berkata: “Janganlah kamu mengandalkan orang yang kamu kehendaki, niscaya kamu sebanding dengannya. Butuhkanlah orang yang kamu kehendaki, tentu kamu menjadi tawanannya. Berbuatlah baik kepada siapa saja yang kamu kehendaki, tentu kamu menjadi pemimpinnya. Orang merdeka itu dapat menjadi budak apabila dia tamak dan budak itu dapat merdeka apabila dia dapat menerima apa adanya.”

 

Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang memelihara diri melalui firman-Nya: “…. Orang yang bodoh menyangka mereka (sebagai) orang kaya, karena memelihara diri dari minta-minta …” (QS. Al-Baqarah:273).

 

  1. Asal Qana’ah adalah berhemat. Disebutkan dalam hadits: “Tidaklah menjadi miskin orang yang berhemat.”

 

Selanjutnya, disebutkan lagi dalam hadits: “Barangsiapa berhemat, Allah akan membuatnya kaya. Dan barangsiapa boros, maka Allah membuatnya miskin.”

 

Percayalah pada takdir Allah dan tenangkan hatimu dengan perbendaharaan Allah yang tidak pernah habis. Allah Ta’ala berfirman: “… dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangkanya.” (AS. At-Thalaq:2-3).

 

Apabila keadaanmu sempit, maka tunggulah pertolongan dari Allah Ta’ala.

 

Sayyidina Ali Karramaliahu Wajha berkata:

 

Janganlah kamu tunjukkan kepada mianusia, kecuali kebaikan.

Musibah akan menimpamu atau teman akan menjauhimu.

Jika rezeki hari ini menjadi sempit, sabariah hingga esok.

Mudah-mudahan musibah dunia lenyap darimu.

 

Berkata Ath-Thaghrai:

Kutenangkan jiwa dengan harapan yang aku nantikan

Alangkah sempitnya kehidupan kalau bukan karena harapan yang lurus.

 

Abu Firas Al-Hamdani berkata tentang qana’ah:

Sesungguhnya orang kaya Itu adalah yang kaya jiwa.

Apabila kamu miliki sifat qana’ah, maka segala sesuatu menjadi cukup.

 

Penyair lain berkata:

Qana’ah menimbulkan setiap kemuliaan padaku

Kekayaan manakah yang lebih mulia daripada qana’ah?

Jadikan ia sebagai modalmu dan jadikan ketakwaan sesudah itu Sebagai barang dagangan.

 

  1. Diantara hal-hal yang dapat membantu memelihara diri dari harta milik orang lain, ialah mencari harta dari berbagai jalannya yang sah. Misalnya, berdagang, bertani ataupun industri.

 

Dalam hadits disebutkan: “Lebih baik seseorang di antara kamu mengambil tali-talinya, kemudian pergi ke gunung dan mengambil kayu sambil memikulnya, lalu menjualnya, hingga Allah melindungi wajahnya dari pada meminta-minta kepada orang-orang, baik mereka memberi atau menolaknya.”

 

Hal itu dapat memelihara kehormatan dan kemuliaa” Serta mendatangkan harta yang membantu dalam berbagai urusan dunia dan agama serta menjauhkan bahaya-bahaya pengangguran dan kekosongan.

 

Penyair berkata:

 

Sesungguhnya masa muda, pengangguran dan kekayaan itu menimbulkan kerusakan yang besar bagi manusia.

  1. Rasulullah saw. menerima tamu seorang laki-laki yang kafir, lalu menyuruh memerah susu seekor kambing dan tamu itu meminum susunya. Kemudian beliau menyuruh memerah susu dari kambing lain dan orang itu meminumnya, hingga minum susu dari tujuh ekor kambing. Kemudian pada waktu pagi dia masuk Islam. Maka, Rasulullah saw. menyuruh memerah susu seekor kambing, lalu orang itu minum air susunya. Kemudian beliau menyuruh memerah susu seekor kambing lainnya, namun orang itu tidak menghabiskannya. Maka, Rasulullah saw. bersabda: “Orang mukmin itu minum dalam satu usus, sedang orang kafir minum dalam tujuh usus.” (H.R. Muslim).

 

  1. Diceritakan, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz melihat anaknya pada hari raya memakai baju yang sudah usang, maka dia menangis. Lalu anaknya bertanya: “Kenapa ayah menangis?” Beliau berkata: “Hai anakku, aku khawatir hatimu sedih di hari raya, apabila anak-anak melihatmu dengan baju yang usang ini.” Maka berkatalah anak itu:

 

“Sesungguhnya yang sedih hanyalah hati orang yang tidak mendapat ridha Allah atau mendurhakai ibu dan ayahnya. Sungguh aku berharap Allah ridha kepadaku sebab ridhamu.” Maka menangislah Sayyidina Umar dan memeluk serta mendoakannya.

 

  1. Abdullah bin Dinar berkata: “Aku keluar bersama Umar ibnul Khattab ra. ke Makkah. Lalu kami beristirahat di suatu jalan. Kemudian datang kepadanya seorang pengembala dari gunung.” Umar berkata kepadanya: “Hai pengembala, juallah kepadaku seekor di antara kambing-kambing ini.” Pengembala itu menjawab: “Aku seorang budak.” Umar berkata: “Katakan kepada tuanmu, bahwa serigala telah memakannya.” Pengembala itu berkata: “Jika begitu, dimana Allah?” Maka Umar menangis.

 

Kemudian Umar mendatangi tuannya, lalu membeli budak tersebut dan memerdekakannya. Umar berkata: “Perkataan ini telah membebaskanmu di dunia dan aku berharap ia akan membebaskanmu di akhirat.”

 

  1. Dalam hadits diterangkan: “Seorang laki-laki membeli sebidang kebun dari seseorang. Kemudian ia menemukan sebuah pundi berisi emas di kebun itu. Maka pembeli kebun berkata: “Ambillah emasmu dariku. Sesungguhnya aku hanya membeli tanah darimu dan tidak membeli emas”. Pemilik tanah berkata: ‘”Sesungguhnya aku menjual tanah itu beserta isinya padamu”. Kemudian kedua orang itu mengadukan perkaranya kepada seorang laki-laki. Orang itu berkata: Apakah kalian (berdua) mempunyai anak?’

 

Salah seorang dari mereka berkata: “Aku mempunyai seorang anak laki-laki”. Yang satunya lagi berkata: ‘Aku mempunyai seorang anak perempuan.’ Orang itu berkata: ‘Nikahkanlah anak laki-laki itu dengan anak perempuan ini dan keluarkan (belanjakan) bagi mereka (untuk keperluannya) dari emas itu dan bersedekahlah’.” (H.R. Bukhari).

 

  1. Diceritakan, seorang laki-laki menangkap seekor burung. Kemudian burung itu berkata: “Apa yang ingin Anda lakukan terhadapku?” Orang itu menjawab: “Aku akan menyembelih dan memakanmu.” Burung itu berkata: “Demi Allah, aku tidak bisa memuaskan keinginan dan mengenyangkan dari lapar.

 

Akan tetapi aku ajari kamu tiga perkara yang lebih baik bagimu daripada memakan aku. Pertama, ketika aku berada di tanganmu. Kedua, bila aku berada di atas pohon. Ketiga, ketika aku berada di atas gunung.” Orang itu berkata: “Ajarilah yang pertama.” Burung itu berkata: “Janganlah kamu menyesali sesuatu yang luput darimu.” Maka orang itu melepaskannya. Ketika burung itu berada di atas pohon, orang itu berkata: “Ajarilah yang kedua”. Burung itu berkata: “Janganlah kamu mempercayai sesuatu yang tidak terjadi”. Kemudian burung itu terbang ke atas gunung. Kemudian burung itu berkata: “Hai orang yang sengsara, seandainya kamu menyembelihku, tentu kamu keluarkan dari rongga . tubuhku dua butir mutiara dan berat setiap butir adalah 20 mitsqal “. Orang itu menggigit kedua bibirnya dan menyesal, seraya berkata: “Ajarilah yang ketiga.”

 

Burung itu berkata: “Kamu telah melupakan dua perkara, maka, bagaimana aku ceritakan kepadamu yang ketiga? Bukankah aku katakan, janganlah menyesali sesuatu yang luput darimu dan jangan mempercayai sesuatu yang tidak terjadi? Daging, darah, dan buluku, semuanya tidak mencapai berat 20 mitsqal, maka, bagaimana mungkin terdapat dua butir mutiara di dalam rongga tubuhku, yang masing-masing seberat 20 mitsqal?” Kemudian burung itu terbang dan lenyap.

 

Maksud dari cerita di atas adalah melarang keserakahan dan ketamakan.

  1. Kejujuran termasuk akhlak yang agung dan kita diperintahkan Allah untuk mengamalkannya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya …..” (QS. An-Nisa’:58). .

 

Allah menjadikan tanggung jawab amanat sangat berat, Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat pada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.” (QS. Al-Ahzab:72).

 

  1. Arti amanat ialah: Apabila manusia memelihara perintah-perintah Tuhannya. Di samping itu, dia pun mengerjakan berbagai kewajiban, misalnya, shalat, puasa dan haji, sebagaimana diperintahkan Allah mengamalkannya. Manusia harus menjauhi perbuatan maksiat dan mungkar. Maka, dia tidak boleh mendurhakai salah satu anggotanya, karena itu adalah amanat baginya, sedangkan Allah telah melarangnya berbuat durhaka.

 

Ia harus menunaikan hak-hak para hamba. Maka, dia tidak boleh mencuri, menipu, mengkhianati titipan, mengingkari agama dan lengah dalam menunaikan kewajibannya terhadap perbuatan yang diwajibkan kepadanya dan larangan-larangan lainnya.

 

Dalam hadits dijelaskan: “Shalat, wudhu’ , timbangan, dan takaran adalah amanat.” Dan hal-hal lain yang disebutnya, sedangkan yang paling berat adalah titipan.

 

Dalam hadits lain diterangkan: “Masing-masing di antara kamu adalah pemimpin, dan masing-masing da kamu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Pelayan adalah pemimpin mengenai harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”

 

  1. Termasuk amanat ialah: Apabila kamu memelihara hak dari beberapa majlis. Maka, janganlah kamu menyiarkan rahasia-rahasianya. Banyak pertengkaran dan pemutusan hubungan yang terjadi karena menyiarkan rahasia.

 

Dalam hadits disebutkan: “Apabila seseorang berbicara kepada orang lain tentang suatu hal, kemudian dia menoleh, maka ia merupakan amanat. Kecuali majlismajlis maksiat, maka tidak ada kehormatan baginya.” Dalam hadits lain: “Majlis-majlis itu harus disertai amanat, kecuali tiga majlis: menumpahkan darah haram, kemaluan haram dan mengambil harta tanpa hak.”

 

  1. Amanat adalah bukti adanya iman dan cinta kepada Allah, sedangkan kebalikannya adalah khianat.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. “ (QS. Al Anfal: 58).

 

“.. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.” (QS. An-Nisa’:107).

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) serta janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal:27).

 

Dari Anas ra., beliau berkata: “Tidaklah Rasulullah saw. berkhotbah kepada kami, melainkan beliau bersabda: “Tiada iman bagi orang yang tidak menunaikan amanat dan tiada agama bagi orang yang tidak menunaikan janji.”

 

Dalam hadits lain disebutkan : “Tenda orang munafik Itu ada tiga, apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari dan apabila diserahi amanat dia berkhianat,”

 

“Oleh karena itu, Nabi saw. telah memohon perlindungan dari khianat. Sabda Nabi: “Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena la adalah seburuk. buruk teman tidur. Dan aku berlindung kepada-Mu dari khianat, karena ia adalah seburuk-buruk kekenyangan.”

 

Dalam hadits lain: “Apabila Allah mengumpulkan antara orang-orang terdahulu dan yang kemudian di hari Kiamat, (maka) setiap pengkhianat diberi (dikibari) bendera untuk mengenalinya. Kemudian dikatakan: Inilah pengkhi-anatan si Fulan.”

Rasulullah saw. bercerita tentang seorang laki-laki dari Bani Israel yang minta dipinjami 1000 dinar oleh seorang yang lain dari Bani Israel juga. Orang itu berkata: “Berilah aku saksisaksi, agar mereka menyaksikannya.” Orang itu berkata: “Cukuplah Allah menjadi saksi.” Pemilik uang itu berkata: “Berilah aku penjamin.” Orang itu berkata: “Cukup Allah sebagai penjamin.” Pemilik uang itu berkata: “Engkau benar”. Kemudian dia menyerahkan uang tersebut kepadanya hingga waktu tertentu, lalu peminjam itu berlayar dan menyelesaikan keperluannya. Setelah itu, dia mencari kapal untuk dinaikinya menuju pemilik uang, guna melunasi hutangnya dalam waktu yang telah ditentukan.

 

Namun, dia tidak mendapatkan kapal. Maka, dia pun mengambil sepotong kayu dan melubanginya, kemudian memasukkan uang 1000 dinar dan selembar surat kepada temannya. Lalu dia mengatur letaknya dan membawa kayu . itu ke laut seraya berkata: :

 

“Wahai Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku meminjam uang 1000 dinar dari si Fulan, oleh karena itu, aku mohon penjamin. Maka aku berkata: “Cukuplah Allah sebagai penjamin.’ Dia pun setuju dengan-Mu. Dia minta saksi dariku, lalu aku katakan: “Cukup Allah sebagai saksi.” Maka dia pun setuju dengan-Mu. Aku telah berusaha mendapatkan sebuah kapal untuk mengirimkan uang miliknya. Namun, aku tidak mampu. Sekarang aku titipkan uang itu kepada-Mu.” Kemudian dia melemparkannya ke laut hingga terapung-apung di atasnya. Kemudian orang itu pergi, sementara dia mencari sebuah kapal untuk berlayar menuju negerinya.

 

Orang yang meminjami uang keluar ke tepi laut untuk melihat, barangkali ada sebuah kapal datang membawa uangnya. Tiba-tiba, datanglah sepotong kayu yang di dalamnya berisi uang. Maka, dia pun mengambilnya sebagai kayu bakar buat keluarganya. Ketika dia menggergajinya, ia menemukan uang dan surat.

 

Tidak lama, datang orang yang meminjam uang darinya. Dia membawa 1000 dinar. Orang itu berkata: “Demi Allah, aku tetap berusaha mencari sebuah kapal untuk membawa uang kepadamu. Namun aku tidak menemukan kapal sebelum waktu keberangkatanku kemari.” Pemilik uang itu berkata: “Apakah kamu telah mengirimkan sesuatu kepadaku?” Peminjam uang itu berkata: “Kuberitahukan kepadamu, bahwa aku tidak menemukan kapal sebelum waktu keberangkatanku kemari.” Pemilik uang itu berkata: “Sesungguhnya Allah telah menyampaikan uangmu yang kamu kirimkan di dalam sepotong kayu. Pergilah dengan uang 1000 dinar itu dengan benar.” (H.R. Bukhari).

  1. Berbuat benar merupakan dasar akhlak dan tonggak adab serta sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat.

 

Macam perbuatan yang benar sangat banyak. Yang paling tersohor dan menonjol ialah pemberitahuan tentang hal-hal yang sebenarnya, baik dengan lisan, tulisan ataupun isyarat, misalnya, menggoyangkan kepala dan memberi isyarat dengan tangan serta dilakukan dengan diam.

 

Apabila kamu melihat seorang murid melakukan perbuatan yang patut dihukum, lalu guru menghukum anak lain secara tidak disengaja, sedangkan kamu diam, maka yang demikian itu dianggap dusta. Berkata benar ialah apabila kamu berterus terang kepada guru tentang siapa yang berhak dihukum.

 

Termasuk macam-macamnya: bersikap benar dalam niat dan keinginan, berbuat benar dalam tekad dan melaksanakan maksud, bersikap benar dalam perbuatan serta berbagai urusan agama.

 

Bersikap benar dalam niat ialah: Apabila kamu tidak mempunyai pendorong dalam gerak dan diam, kecuali Allah, dan bukan karena menurut hawa nafsu. Inilah makna ikhlas, dan kebalikannya adalah riya’.

 

Bersikap benar dalam tekad ialah: Apabila kamu mempunyai kemauan yang benar untuk melakukan berbagai kebaikan dan tidak memiliki kecondongan maupun kebimbangan, misalnya, kamu bertekad memanfaatkan iImumu kepada orang lain, jika Allah mengaruniai ilmu. ‘

 

Penyair berkata:

Apabila kamu mempunyai pendapat, hendaklah kamu mempunyai tekad, karena pendapat yang buruk adalah bila kamu bimbang.

 

Berbuat benar dalam melaksanakan maksud ialah: Apabila kamu bertekad melakukan, kemudian melaksanakannya dan tidak mundur darinya. Misalnya, kamu katakan: “Apabila Allah mengaruniaiku harta, aku akan menyedekahkannya.” Maka, janganlah kamu mundur dari sedekah, apabila kamu mendapat harta.

 

Bersikap benar dalam perbuatan, ia:ah: Apabila kamu tidak menampakkan perbuatan-perbuatan yang berlainan dengan isi hatimu. Misalnya, memperlihatkan sikap khusyu’ ketika shalat, padahal hatimu lalai, dan berjalan dengan sikap tenang dan wibawa, sedangkan hatimu tidak bersifat begitu. Maka, berusahalah menjadikan batinmu seperti lahirmu, atau lebih dari pada lahirmu.

 

Dalam hadits disebutkan: “Ya Allah, jadikan batinku lebih baik daripada lahirku dan jadikan lahirku suatu kebaikan.”

 

Bersikap benar dalam berbagai amalan agama, misalnya, bersikap benar dalam pengesaan terhadap Allah, sangat berhati-hati dari syirik yang serendah-rendahnya, bersikap benar dalam rasa takut atas siksa Allah dan harapan akan pahala-Nya, itulah yang dianjurkan.

 

Di samping itu, hendaklah kamu bersikap benar dalam kecintaan dan keridhaan serta tawakal kepada-Nya dalam segala urusanmu.

 

  1. Agama telah memerintahkan kita agar berbuat benar dalam semua perkataan dan keadaan, walaupun hal itu menimbulkan bahaya bagi kita, misalnya Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah:119).

 

Dalam hadits dijelaskan: “Berusahalah berbuat benar, walaupun kamu lihat bahwa di dalamnya terdapat kebinasaan, karena pada hakikatnya terdapat keselamatan. Jauhilah dusta, walaupun kamu lihat bahwa di dalam dusta terdapat keselamatan, karena pada hakikatnya terdapat kebinasaan.”

 

Agama sangat melarang kita berdusta. Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS. An-Nahl:105).

 

Dalam ayat lain diterangkan: “…. agar kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang pendusta.” (QS. Ali. Imran:61). .

 

Dalam hadits yang lalu diterangkan, bahwa ia termasuk tanda orang munafik.

 

Dalam hadits lain: “Hendaklah kamu berkata benar, karena kebenaran menyebabkan kebajikan, dan kebajikan menyebabkan masuk surga. Ada orang yang selalu berkata benar dan berusaha berbuat benar hingga dia ditulis di sisi Allah sebagai Shiddiq (pembenar). Janganlah kamu berdusta, karena dusta menyebabkan kedurjanaan, dan kedurjanaan menyebabkan masuk neraka. Apabila hamba selalu berdusta, maka dia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.”

 

  1. Alangkah indahnya perkataan yang benar! Dan alangkah bahagianya manusia yang berkata benar. Dia hidup bahagia dan terhormat serta dipercaya di antara masyarakat. Apabila berbicara, orang-orang membenarkan perkataannya karena mereka tidak menuduhnya berdusta. Alangkah buruknya kedustaan itu, karena ia adalah pokok setiap dosa dan penyebab setiap kejahatan serta sumber setiap kesengsaraan dan kehinaan. Pendusta itu lebih keji dari pada pencuri, karena pencuri adalah mencuri hartamu, sedangkan pendusta adalah mencuri akalmu.

 

Penyair berkata:

Aku mampu menghadapi orang yang mengadu domba, sedang terhadap pendusta aku tidak berdaya.

Siapa berbohong dalam apa yang dikatakan, maka sedikitlah dayaku terhadapnya.

 

Alangkah sengsaranya manusia yang berdusta dalam perkataannya. Dia telah kehilangan kepercayaan manusia terhadapnya dan tidak berharga sedikit pun di sisi mereka.

 

Mereka enggan berteman dengannya dan tidak mempercayai mengenai segala sesuatu, walaupun dia benar.

 

Sebagaimana kata penyair:

Engkau berdusta dan orang yang berdusta, maka sama balasannya bila ia berkata benar, tidaklah ia dipercaya.

 

Penyair lain berkata:

Apabila manusia dikenal suka berdusta, ja pun tetap dianggap pendusta oleh masyarakat, walaupun berkata benar.

Jika dia berkata, teman-teman duduknya tidak memperhatikan dan tidak mendengar omongannya, walaupun dia bicara.

 

Apabila kamu melakukan kesalahan, maka akuilah kesalahanmu, walaupun ayah atau gurumu marah kepadamu. Janganlah kamu mengemukakan alasan atas kesalahan itu secara dusta.

 

Semoga Allah membalas kebaikan penyair yang berkata:

 

Hendaklah kamu berkata benar, walaupun kebenaran itu membakarmu dengan api ancaman.

Carilah ridha Tuhan, karena manusia yang paling dungu jalah yang membuat murka Tuhan dan mencari kerelaan para hamba-Nya.

 

  1. Dusta adalah penyakit yang jahat. Apabila manusia terbiasa melakukannya, sulitlah baginya untuk melepaskannya. Sebagaimana kata Yahya bin Khalid: “Kami melihat peminum khamar berhenti, dan pencuri mengakhiri per, buatannya, serta pelaku perbuatan-perbuatan keji bertobat tetapi kami tidak melihat pendusta berubah menjadi orang yang benar”.

 

Penyair berkata:

Biasakan lisanmu berkata benar, maka kamu pun menjadi benar.

Sesungguhnya lisan itu terbiasa dengan apa yang kamu biasakan.

la bertugas menurut apa yang kamu buat dalam kebaikan dan keburukan, maka lihatlah, bagaimana kamu membiasakannya.

 

Oleh sebab itu, waspadalah agar jangan mudah berdusta dalam pembicaraan atau senda guraumu.

 

Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah penjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta, walaupun dia bergurau.”

 

Dan janganlah kamu berdusta, walaupun terhadap anak kecil. Dalam hadits disebutkan: “Barangsiapa berkata kepada anak kecil: ‘Kemarilah, ambil ini’, kemudian dia tidak memberinya, maka itu adalah dusta.” Ini adalah ajaran dari Rasul saw. bagi setiap orang yang mengurusi pendidikan anak-anak, hingga mereka menjadi besar di atas kebenaran sejak mereka kecil dan tidak menganggap dusta sebagai dosa kecil.

 

Allah Ta’ala berfirman: “…. dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal ia di sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nur:15)

 

  1. Termasuk dusta pula ialah kecurangan dan ingkar janji, kesaksian palsu, dusta mengenai nasab (keturunan). dusta mengenai mimpi, dusta dalam sumpah dan buruk Sangka.

 

Nabi saw. bersabda: “Maukah aku beritahukan tentang dosa terbesar?” (diulang tiga kali). Kami menjawab: “Tentu.” Beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah, durhaka kepada ibu-bapak dan membunuh jiwa.” Tadinya beliau bersandar, lalu duduk dan bersabda: “Ketahuilah, dan perkataan dusta: ketahuilah, dan kesaksian palsu.” Beliau terus mengulanginya hingga kami katakan: “Semoga beliau diam.” Beliau bersabda lagi:

 

“Sesungguhnya termasuk dusta terbesar adalah apabila seseorang mengaku anak dari selain bapaknya, mengatakan melihat sesuatu yang tidak dilihatnya atau mengatakan sebagai perkataanku, padahal aku tidak mengatakannya.”

 

Dusta terhadap Rasul saw. adalah macam dusta paling besar. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits: “Sesungguhnya dusta terhadap diriku, tidaklah seperti dusta terhadap seseorang. Maka, barangsiapa berdusta terhadapku dengan sengaja, biarlah dia menduduki tempatnya di dalam neraka.”

 

Mengenai larangan berburuk sangka dan bersumpah dusta dikatakan dalam hadits: “Janganlah kamu berburuk sangka, karena sangkaan itu adalah pembicaraan paling dusta. Barangsiapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah telah mewajibkan neraka baginya dan mengharamkan surga atasnya.”

 

Kemudian seorang laki-laki berkata kepadanya: “Walaupun sesuatu yang sedikit, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Meskipun sebatang kayu arok.”

 

  1. Kebenaran itu menyebabkan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia, maka lihatiah (perhatikanlah) para dokter, pedagang dan tukang, apabila mereka bertindak benar dalam pekerjaannya, bagaimana orang-orang mencintai dan mempercayai mereka!

 

Mereka pun mendapat keuntungan besar. Kebalikan dari itu adalah dusta. Sebagaimana tersebut dalam hadits: “Dusta itu mengurangi rezeki.”

 

Kebenaran juga menyebabkan pahala yang banyak dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Sebagaimana tersebut dalam Al-Our’an: “Allah berfirman: Ini adalah suatu hari ‘ yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengali, sungai-sungai, mereka kekal didalamnya, selama, lamanya: Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar’.” (QS. Al-Maidah:119).

  1. Kaab bin Malik Al-Anshari ra. terlambat dari mengikuti Perang Tabuk, padahal dia telah bertekad untuk berangkat, tetapi dia menunda-nunda dan menangguhkan tekad hingga hilang kesempatannya, kemudian sampailah berita kepadanya, bahwa Rasulullah saw. telah kembali dari Tabuk. Maka, dia pun sangat sedih dan bermaksud mengemukakan alasan dusta atas keterlambatannya. Akan tetapi dia memerangi nafsunya. Maka, dia membulatkan tekadnya untuk berkata benar dan menceritakan secara terus terang, bahwa dia tidak mempunyai alasan sedikit pun atas tertinggalnya dalam mengikuti peperangan. Maka Nabi saw. memaafkannya dan turunlah ayat mengenai tobatnya dalam Al-Our’an. Hal itu berkat kebenarannya dan dia tetap dalam keadaan yang menyatakan kebenaran serta tidak pernah dengan sengaja melakukan dusta, Kisahnya panjang dan telah tersebut dalam kitab-kitab sejarah.

 

2, Disebutkan dalam hadits, bahwa Tsa’labah bin Hathib berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah, agar Dia mengaruniai aku harta.” Maka Rasulullah saw. bersabda:

 

“Wahai Tsa’labah, sedikit harta yang kamu syukuri adalah lebih baik dari pada banyak harta, tetapi tidak mampu kamu syukuri.”

 

Tsa’labah memohon lagi kepadanya dan berkata: “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya Dia mengaruniai aku harta, tentu aku berikan hak setiap orang yang mempunyai hak.” Kemudian Rasulullah saw. mendoakannya. Lalu dia memelihara kambing. Kambingnya berkembang biak dengan cepat seperti ulat (cacing), hingga kota Madinah terasa sesak karenanya. Maka, Tsa’labah pun tinggal di sebuah lembah dan terputus dari shalat jamaah dan Jumat, lalu Rasulullah saw. menanyakan tentang keadaannya. Maka dijawab oleh sahabat: “Hartanya menjadi banyak. hingga tidak cukup ditampung dalam sebuah lembah.” “ Rasulullah saw. berkata: “Ah! Celakalah Tsa’labah.”

 

Kemudian, Rasulullah saw. mengutus dua orang pemungut sedekah untuk mengambil sedekah. Lalu orangorang menyambutnya dengan memberikan sedekah mereka. Kedua orang itu singgah di rumah Tsa’labah untuk meminta sedekah darinya dan membacakan kepadanya surat dari Rasulullah saw. yang berisi kewajiban-kewajiban. Maka Tsa’labah berkata: “Ini tidak lain hanyalah pajak. Ini tidak lain hanyalah semacam pajak.”

 

Selanjutnya dia berkata: “Pulanglah, sampai aku putuskan pendapatku.” Ketika kedua orang itu pulang, Rasulullah saw. berkata kepada mereka, sebelum keduanya bicara: “Ah! Celakalah Tsa’labah” (diucapkannya dua kali). Kemudian turunlah ayat: “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’

 

Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).

 

Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, kare. na mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka Ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena me. reka selalu berdusta.” (QS. At-Taubah: 75-77).

 

Lalu Tsa’labah datang membawa sedekah. Namun Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah melarang aku menerima sedekah darimu.” Kemudian Tsa’labah menaburkan tanah di atas kepalanya. Rasulullah saw. bersabda: “Inilah perbuatanmu. Aku telah menyuruhmu, namun kamu tidak menaati aku.”

 

Ketika Rasulullah saw. wafat, Tsa’labah membawa sedekah kepada Abu Bakar ra., tetapi beliau tidak menerimanya. Kemudian dia membawanya kepada Umar ra. ketika beliau menjadi Khalifah, beliau pun tidak menerimanya. Akhirnya, Tsa’labah meninggal di zaman pemerintahan Utsman ra.

 

  1. Dari Anas bin Malik ra., bahwa pamannya yang bernama Anas bin Nadhr ra. tidak ikut perang Badar bersama Rasulullah saw. Maka dia pun menyesali hal itu di dalam hatinya.

 

Dia berkata: “Itu adalah perang pertama yang dihadiri Rasulullah saw., dimana aku tidak hadir. Demi Allah, jika Allah menunjukkan aku sebuah peperangan bersama Rasulullah, maka Allah akan melihat apa yang aku lakukan.”

 

Dia berkata: Kemudian dia ikut perang Uhud di tahun berikutnya. Saad bin Muadz menyambutnya seraya bertanya: “Hai Abu Amr, hendak kemana kamu?” Anas menjawab: “Alangkah harumnya bau surga. Aku merasakan baunya di dekat Gunung Uhud.” Kemudian dia berperang hingga terbunuh.

 

Lalu ditemukan pada tubuhnya lebih dari delapan puluh luka: di antaranya ada yang terkena panah, pukulin dan tikaman pedang.

 

Saudara perempuannya, putri An-Nadhr, berkata: “Tidaklah aku mengenali saudaraku, melainkan dengan jarinya.” Kemudian turun ayat berikut: “… ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah …” (QS. Al-Ahzab: 23)

 

  1. Tsauban ra. adalah bekas sahaya Rasulullah saw. yang sangat mencintai dan gelisah apabila tidak melihatnya. Pada suatu hari, Tsauban menemui beliau, sementara raut wajahnya telah berubah. Terlihat kesedihan. Maka Rasulullah saw. bertanya kepadanya: “Mengapa warna wajahmu berubah?” Tsauban menjawab: “Wahai Rasulullah, aku tidak sakit dan tidak menderita, namun bila tidak melihat Anda, aku merasa sangat kesepian hingga berjumpa.

 

Di samping itu, aku teringat akan akhirat, dan aku takut kelak tidak akan melihat Anda, karena derajat Anda diangkat bersama para Nabi. Jika aku masuk surga, maka derajatku lebih rendah daripada derajat Anda. Jika aku tidak masuk surga, maka aku tidak akan melihat Anda sama sekali. Maka turunlah firman Allah Ta’ala:

 

“Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (AS. AnNisa”: 69)

 

  1. Disebutkan dalam hadits, bahwa Nabi saw. melewati setumpuk makanan. Kemudian beliau memasukkan tangan ke dalamnya. Ternyata, jari-jarinya menyentuh barang basah. Maka beliau bersabda: “Hai pemilik makanan, apakah ini?” la menjawab: “Makanan itu terkena air hujan, wahai Rasulullah.”

 

Beliau berkata: “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas makanan, agar terlihat oleh orang-orang? barangsiapa menipu kami, maka dia bukan dari golongan kami.”

 

  1. Diceritakan, Al-Hajjaj berkhotbah secara panjang Ie. bar. Tiba-tiba, berdirilah seorang laki-laki dan berkata: “Ingatlah shalat, karena waktu tidak menunggumu dan Tuhan tidak memberimu alasan.” Maka Hajjaj memerintah agar me. menjarakannya. Kemudian kaumnya mendatanginya. Mereka menganggapnya gila. Mereka minta agar melepaskannya. Maka Al-Hajjaj berkata: “Jika dia mengaku gila, aku akan melepaskannya.” Kemudian dikatakan kepadanya. Orang itu berkata: “Semoga Allah melindungi. Aku tidak yakin, bahwa Allah menimpakan cobaan padaku, sedangkan Dia telah mengaruniai aku kesehatan.” Sampailah berita itu kepada AlHajjaj. Maka, beliau memaafkan karena kebenarannya.”

 

  1. Diceritakan, seorang laki-laki mempunyai seekor sapi yang diperah susunya. Kemudian dia mencampur dengan air dan menjualnya. Di saat sapi itu sedang berdiri makan rumput, tiba-tiba datang banjir yang menenggelamkannya. Maka orang itu sangat sedih atas kehilangan sapinya. Kemu“ dian anak-anaknya berkata kepadanya: “Duhai Bapak kami, janganiah Anda bersedih, karena air yang kita campur dengan susunya telah berkumpul dan menenggelamkannya.” Maka Orang itu pun menyadari, bahwa penipuan itu berakibat kebinasaan dan kerugian.

Sesungguhnya kesabaran itu termasuk akhlak yang agung. la merupakan taufik yang baik dari Allah bagi hambaNya yang beriman dan termasuk tanda-tanda yang menunjukkan kebahagiannya. .

 

Kesabaran terbagi menjadi tiga macam: dalam melakukan ketaatan: tidak berbuat maksiat: dan dalam menghadapi musibah.

 

Macam pertama: lalah bersabar untuk mematuhi perintah-perintah Allah Ta’ala. Dia pun bersabar dalam menegakkan shalat, baik pada waktu sehat atau sakit, dalam perjalanan atau menetap di rumah, serta dalam semua keadaan dengan melakukan seluruh syarat dan rukunnya, dan tidak ceroboh dalam mengerjakan sunnah-sunnahnya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabariah kamu dalam mengerjakannya …” (QS. Thaha: 132).

 

Bersabar dalam menyempurnakan wudhu. Rasulullah saw, bersabda: “Maukah kutunjukkan sesuatu, yang dengannya Allah dapat menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat?”

 

Para sahabat menjawab: “Tentu saja wahai Rasulullah.”

 

Beliau bersabda: “Sempurnakanlah wudhu dalam keadaan yang tidak menyenangkan (musim dingin) dan perbanyaklah langkah menuju masjid serta menunggu shalat demi shalat. Itulah perjuangan. Itulah perjuangan.”

 

Bersabar pula dalam mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan haji ke Baitullah, menuntut ilmu dan berbakti kepada kedua orang tua serta mengerjakan perintah-perintah lainnya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “… Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabariah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).

 

“.. dan bersabarlah kamu sekalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46). ”

 

Rasulullah saw. bersabda: “Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan.api neraka dikelilingi oleh hal-hal yang menyenangkan.”

 

Macam kedua: Bersabar untuk meninggalkan maksiat. Ini adalah macam kesabaran tertinggi dan paling utama. Kesabaran ini dilakukan dengan meninggalkan hal-hal yang terlarang, misalnya, mendurhakai ibu-bapak, mengganggu orang-orang, memakan harta mereka, mencuri, membunuh jiwa. minum khamar, berzina, memandang pada hal-hal yang diharamkan dan lainnya. Terutama perbuatan-perbuatan maksiat yang tersebar dan menjadi kebiasaan di antara orang. orang, misalnya, menggunjing orang, mengadu domba, bersikap sombong, dendam dan dengki.

 

Alangkah perlunya manusia bersabar untuk me. ninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut, karena hal itu adalah macam kesabaran terberat dan dengan itu ia men. dapat ridha Allah serta selamat dari kemurkaan dan kebencian-Nya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shaiatnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (werbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemuiuannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka aalam hal ini tiada tercela.

 

Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

 

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, serta orang-orang yang memelihara shalatnya.

 

Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-11).

 

Macam ketiga: Kesabaran dalam menghadapi musibah dengan menerima keputusan Allah dan takdir-Nya serta menghindari keluh kesah (kegelisahan), karena ia adalah amalan yang haram dan menghilangkan pahala. Tidak banyak mengeluh kepada orang-orang, apabila dia sakit, kehilangan Sesuatu, diganggu orang, salah satu dari keluarga atau orang yang dicintainya meninggal dunia, penghidupannya terasa Sempit, atau tidak dapat mencapai suatu cita-citanya. Akan tetapi, dia harus menyerahkan urusannya kepada Allah yang menguasai segala urusan. Hendaklah dia mengeluh kepada Allah Azza wa Jalla atas cobaan yang menimpanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang menceritakan tentang Sayyidina Ya’gub as.: “Sesungguhnya hanyalah Kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku . (QS. Yusuf: 86).

 

Juga firman Allah Ta’ala yang mengabarkan tentang Sayyidina Ayub as.: “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: ‘(Ya, Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara para penyayang’.” (QS. AlAnbiya’ : 83).

 

Hendaklah menghadapi semua musibah dengan segala kesabaran dan ketabahan. Dengan demikian dia pun mendapat pahala yang besar dan Allah membebaskannya dari kesedihan serta menyampaikan pada tujuannya di dunia atau menyimpan baginya di akhirat pahala yang lebih besar dari itu.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah: 5-6).

 

Allah juga berfirman: “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

 

(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157).

 

Dalam hadits: “Rasulullah saw. ditanya: “Manusia manakah yang paling keras cobaannya?” Beliau men. jawab: “Para Nabi. Kemudian orang-orang yang terbaik (sahabat-sahabat Nabi), lalu orang-orang pilihan (para ulama).” :

 

Manusia diuji menurut kadar agama mereka. Maka, barangsiapa yang kuat agamanya, semakin beratlah cobaannya. Dan barangsiapa yang lemah agamanya, semakin ringanlah cobaannya. Ada orang yang ditimpa cobaan hingga dia berjalan di atas bumi tanpa dosa.”

 

Dalam hadits lain: “Menunggu kebebasan adalah ibadah.”

 

Dalam hadits lain lagi: “Barangsiapa berusaha untuk sabar, maka Allah menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang mendapatkan pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari pada kesabaran.”

 

Termasuk macam ini adalah kesabaran dalam menghadapi berbagai musibah yang ringan. Sebagaimana tersebut dalam hadits, ketika lampu Nabi saw. padam. Lalu beliau mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kemudian Aisyah ra. berkata: “Ini hanya lampu!” Maka Nabi saw. bersabda: “Setiap sesuatu yang mengganggu orang mukmin adalah musibah.”

 

Disunahkan bagi orang mukmin. ketika mengalami musibah, agar mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Dalam hadits disebutkan: “Barangsiapa mengucapkan, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun pada waktu menghadapi musibah, maka Allah memberinya pahala dalam musibah itu, dan menggantinya dengan yang lebih baik.”

 

Maka, hendaklah kamu selalu menjalankan kesabaran dalam segala keadaan, niscaya kamu mencapai cita-cita mulia dan selamat dari ketakutan. Renungkanlah hadits yang Mulia berikut:

 

“Kesabaran itu ada tiga macam, yaitu: Kesabaran dalam menghadapi musibah, kesabaran untuk melakukan ketaatan dan kesabaran untuk menjauhi maksiat. Maka, barangsiapa bersabar pada waktu menghadapi musibah hingga menyatakan kembali kepada Allah dengan sebaikbaik kesabaran, niscaya Allah menetapkan baginya 300 derajat, sedang jarak antara dua derajat seperti antara langit dan bumi.

 

Barangsiapa bersabar untuk melakukan ketaatan, maka Allah menetapkan baginya 600 derajat dan jarak antara dua derajat seperti antara perbatasan bumi hinaga akhir bumi itu.

 

Dan barangsiapa bersabar untuk meninggalkan maksiat, maka Allah menetapkan baginya 900 derajat, jarak antara dua derajat seperti antara perbatasan bumi hingga puncak ‘Arsy, dua kali.”

 

Penyair berkata :

Sabarlah sedikit dan berlindunglah kepada Allah.

Jangan terburu-buru, karena kegagalan itu dalam ketergesaan.

Kesabaran itu seperti namanya dalam Setiap bencana, tapi akibatnya lebih manis daripada madu.

 

Penyair lain berkata :

Dan sedikit sekali orang yang bersungguhsungguh dalam suatu perkara yang diusahakannya dan menjadikan sabar sebagai sahabatnya, melainkan ia mendapatkan kesuksesan.

 

Kata penyair yang lain :

Janganlah kamu berputus asa, walaupun lama tuntutannya

Jika kamu andalkan kesabaran akan kamu lihat kebebasan.

Orang yang sabar akan terpenuhi keperluannya dan orang yang selalu mengetuk pintu akan masuk.

 

Diceritakan, seorang badawi (orang arab yang hidupnya di padang pasir) mengucapkan takziah (belasungkawa) kepada sahabat Jbnu Abbas ra. atas kematian ayahnya.

 

Maka dia berkata :

Sabarlah, kita akan menjadi sabar denganmu.

Kesabaran rakyat adalah sesydah kesabaran pemimpin lebih baik dari Abbas adalah pahalamu sesudahnya dan Allah lebih baik darimu, bagi Abbas.

 

Kemudian Ibnu Abbas berkata: “Tidaklah seseorang mengucapkan takziah kepadaku yang lebih baik daripada takziahnya.”

 

  1. Allah telah mengutus para Nabi kepada kaum-kaum mereka dan menjadikannya sebagai ulul ‘azmi, yakni tabah dan sabar dalam menghadapi kesulitan. Yang paling utama di antara mereka adalah Nabi kita, Muhammad saw. Sudah berapa banyak beliau diganggu, sejak pertama kali diutus hingga wafatnya. Maka, beliau sangat bersabar karena mematuhi firman Allah Ta’ala: “Maka bersabariah kamu, seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul …,” (Al-Ahgaf: 35).

 

Ketika gangguan kaum musyrikin terhadapnya Meningkat, beliau berkata kepada pamannya, Abu Thalib:

 

Demi Allah, hai Paman, seandainya mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, agar aku tinggalkan sedikit saja dari agama yang aku bawa dari Tuhanku, tentulah aku tidak menyetujuinya . sampai Allah menampakkan kebenarannya atau aku binasa dalam membelanya.”

 

Mereka meletakkan kotoran unta di atas tubuhnya pada saat beliau sedang sujud di depan Ka’bah.

 

Mereka mencekik dan ingin membunuh serta mengusirnya dari tanah kelahirannya (Makkah). Mereka patahkan gigi dan melukai wajah sehingga berdarah serta menjatuhkannya dalam sebuah lubang pada waktu Perang Uhud.

 

Mereka memaki dan mendustakannya, menyihir dan meracunnya serta gangguan-gangguan lainnya yang keras dan berlebihan. Mereka juga mengganggu keluarga dan para sahabatnya. Namun beliau tetap sabar dalam menghadapi semua itu, sampai Allah memenangkan agama dan menyenangkannya dengan keberhasilan tugasnya hingga beliau wafat.

 

  1. Sayyidina Nuh as. bersabar dalam menghadapi gangguan kaumnya dan tinggal di antara mereka selama 950 tahun. Mereka memukulnya sampai pingsan. Sayyidina Ibrahim as. bersabar dalam menghadapi api Raja Namrud dan ketika disuruh menyembelih putranya, Sayyidina Ismail as., hingga Allah menyelamatkannya dari kedua cobaan itu. Sayyidina Ya’qub as. bersabar atas kehilangan anaknya, Yusuf, hingga memutih kedua matanya karena sedih. Sayyidina Yusuf as. bersabar ketika dimasukkan ke sumur dan penjara serta mengalami berbagai ujian lainnya. Sayyidina Musa as. bersabar dalam menghadapi Bani Israel, Fir’aun dan Qarun. Sayyidina Isa as. bersabar dalam menghadapi gangguan Yahudi. Para Nabi yang lainnya bun bersabar. Di antara mereka ada yang dipotong dengan gergaji, ada yang dikupas kulit kepala dan wajahnya, dan ada yang dibakar dengan api.

 

  1. Diantara kisah-kisah Sayyidina Ayub as.: Bahwa Allah memberi kekayaan yang banyak berupa unta, berbagai jenis ternak dan kebun. Allah mengaruniainya istri dan anak laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi itu semua tidak melalaikannya dari menyembah Tuhan dan menunakar kewajiban-kewajibannya.

 

Beliau seorang yang menyayangi orang-orang Miskin menghormati tamu dan memelihara anak-anak yatim serta para janda.

 

Kemudian Allah mengujinya dengan berbagai cobaan berat pada badan, keluarga dan hartanya, agar menjadi pe. lajaran baginya dan orang lain, di samping agar mereka mengetahui bahwa dunia adalah tanaman untuk akhirat, sedang yang wajib atas manusia adalah bersabar da am keadaan susah dan senang.

 

Sayyidina Ayub terserang penyakit di tubuhnya selama 18 tahun dan rumahnya roboh menimpa anak-anaknya h ngga semuanya meninggal. Harta bendanya terkena gangguan hingga binasa. Kemudian setan menimbulkan perasaan waswas ke dalam dirinya. Namun Allah melindunginya dari kejahatan dan menyelamatkannya dari fitnah setan. Beliau menghadapi semua itu dengan kesabaran dan penyerahan diri di samping menghadapi kenikmatan dengan pujian dan syukur.

 

Maka Allah Ta’ala memujinya: “Sesungguhnya kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (AQ. Shaad: 44)

 

Beliau berdo’a dan memohon perlindungan kepada Tuhannya dalam menolak cobaan dari“Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

 

“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: ‘(Ya, Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.

 

Maka, Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 83-84).

 

Kemudian Allah memberi karunia kepadanya dengan menjadikan Ayub muda dan sehat kembali serta melipatgandakan keluarga, anak dan harta yang pernah dimilikinya, sehingga keadaannya pun menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

 

  1. Demikian juga kesabaran Sayyidina Dawud, Sulaiman, Yunus, Zakaria dan Yahya. Jejak mereka diikuti oleh para wali dan ulama. Mereka pun bersabar dan mendapat pahala yang banyak. Di antara mereka ada yang tersebut dalam sebuah hadits, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

 

Sesungguhnya ada orang di zaman dahulu yang diuji: pertama, dalam hal mencintai anak-anaknya, dia pun bersabar dan selamat dari mendurhakai ibu-bapak. Kedua, dalam hal mencintai putri pamannya, dia pun bersabar dan selamat dari perbuatan zina. Ketiga, dalam hal mencintai hartanya, dia pun teguh di atas kebenaran dan menyampaikan amanat serta selamat dari khianat. Lafazh hadits tersebut ialah:

 

“Ada tiga orang dari umat sebelum kamu bepergian, mereka masuk dan bermalam di dalam sebuah gua. Tibatiba jatuh sebuah batu besar dari gunung hingga menutupi gua itu terhadap mereka. Maka, mereka berkata: ‘Sesungguhnya tidak ada yang menyelamatkan kamu dari batu ini, kecuali, bila kamu berdoa dengan perantaraan amal-amalmu yang shalih.’ Salah seorang dari mereka berkata:

 

‘Ya, Allah, dahulu aku mempunyai ibu dan bapak yang sudah lanjut usianya, sedangkan aku tidak memberi minum susu seorang pun, baik keluarga maupun hamba Sahaya, sebelum kedua orang tuaku.

 

Pada suatu hari, aku mencari pohon untuk makanan ternak di tempat yang jauh hingga aku belum menjumpai kedua orangtuaku, sampai mereka tidur. Maka, kuperah Susu bagi mereka dan aku dapati kedua orangtuaku sedang tidur. Akan tetapi aku enggan membangunkan dan tidak ingin memberi keluarga maupun hamba sahaya. Aku tetap diam sambil memegang gelas di tanganku. Aku menunggu mereka bangun hingga terbit fajar, sementara anak-anakku menjerit-jerit di kakiku. Ketika kedua orangtuaku telah bangun, lalu mereka meminumnya.

 

Ya Allah, jika aku melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka bebaskanlah kami dari batu ini.’ Maka, tersingkirlah batu itu sedikit. Namun, mereka tidak bisa keluar dari goa itu.

 

Orang kedua berkata: ‘Ya, Allah, aku mempunyai putri paman yang paling aku cintai. Aku menginginkan dirinya, namun dia menolak keinginanku hingga dia mengalami musim paceklik (kemarau panjang). Kemudian dia datang padaku. Aku pun memberinya 120 dinar dengan syarat dia mau menyerahkan dirinya kepadaku. Dia setuju hingga aku berhasil menguasainya. Namun perempuan itu berkata: Takutlah kepada Allah dan jangan melepas cincin,’? kecuali dengan haknya.”

 

Kemudian dia kutinggalkan, padahal dia orang yang paling aku cintai. Aku tinggalkan pula emas yang kuberikan kepadanya. :

 

Ya Allah, jika aku melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka bebaskanlah kami dari kesulitan yang kami alami.” Maka batu itu tersingkir sedikit, tetapi mereka belum dapat keluar dari tempat itu.

 

Orang ketiga berkata: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku (majikan) menyewa orang-orang dan kuberi upah, kecuali satu orang yang membiarkan upahnya, kemudian pergi. Aku pun mengembangkan upahnya hingga menjadi banyak hartanya. Setelah beberapa waktu, dia (buruk itu) datang kepadaku. Dia berkata:

 

Wahai hamba Allah, berikan upah yang dulu kepadaku. Aku berkata: Semua yang engkau lihat adalah dari upahmu, yakni, unta, sapi, kambing dan budak.

 

Orang itu berkata: Hai hamba Allah, janganlah kamu mengejek aku. Kemudian aku berkata: Aku tidak mengejekmu. Orang itu pun mengambil semua miliknya. Dia mengambil harta seluruhnya tanpa meninggalkan sedikit pun.

 

Ya Allah, jika aku melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka bebaskanlah kami dari kesulitan yang kami alami.’ Kemudian, tersingkirlah batu itu dan mereka keluar sambil berjalan.”

 

  1. Ketahuilah! Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung memberimu nikmat yang banyak dan besar, khusus dan umum. Nikmat-nikmat yang khusus misalnya, iman, Islam, wujud (terciptanya diri), akal, ilmu, rezeki, kesehatan, keselamatan, makan, minum, tidur serta nikmat lain yang tidak terhitung banyaknya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika kamu menghitunghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya ….” (QS. An-Nahi: 18).

 

.“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya) ….” (QS. An-Nahl: 53).

 

Adapun nikmat-nikmat umum, yaitu: Allah menciptakan langit dan isinya: berupa matahari, bulan dan bintang-bintang untuk digunakan para hamba-Nya. Begitu pula bumi dan isinya : berupa lautan, sungai-sungai, gunung-gunung, angin, berbagai hewan dan pohon-pohon.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu, supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya. Mudah-mudahan kamu bersyukur.

 

Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian Itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Jaatsiyah: 12-13).

 

  1. Oleh karena itu, kamu wajib bersyukur kepada Tuhanmu atas nikmat-nikmat ini. Allah Ta’ala berfirman: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS: al-Baqarah: 152).

 

“.. maka carilah rezeki itu di sisi Allah dan sembahlah Dia serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 17).

 

Apabila kamu bersyukur kepada Tuhanmu, maka tidaklah diragukan bahwa Allah akan membalasmu atas rasa syukur kepada-Nya.

 

Allah Azza wa Jalla berfirman: “… dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali-lmran: 144).

 

Di samping itu, Allah akan menambah nikmat-Nya bagimu, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu …” (QS. Ibrahim: 7).

 

Apabila kamu tidak bersyukur kepada-Nya, maka Dia akan murka kepadamu, sebagaimana firman-Nya: “… dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).

 

Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah atas dirinya, maka dia telah membiarkan kehilangan nikmatnikmat itu. Tersebut dalam hadits: “Mensyukuri nikmat itu menimbulkan rasa aman dari kehilangannya.”

 

Penyair berkata:

 

Apabila kamu dalam kenikmatan, maka peliharalah kenikmatan itu karena maksiat menghilangkan kenikmatan.

Jagalah kenikmatan itu dengan bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan cepat menghukum.

 

  1. Banyak orang hanyut dalam nikmat-nikmat Allah Yang Maha Pemurah, tetapi mereka lalai dari mensyukuriNya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13).

 

Tidaklah diragukan bahwa faedah syukur akan kembali kepadamu, karena Allah tidak membutuhkan dari seorang pun.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendirinya, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (AlQS. Lukman: 12).

 

Di antara doa-doa Nabi saw.: “Ya, Allah, jadikan aku orang yang bersyukur. Jadikan aku orang yang sabar. Jadikan aku kecil di depan pandanganku dan besar dalam pandangan orang-orang.”

 

Dalam hadits lain: “Sungguh mengherankan keadaan orang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah kebaikan dan tidaklah hal itu terjadi untuk semua orang, kecuali bagi orang mukmin. Jika mengalami kesenangan, dia pun bersyukur. Maka hal itu menimbulkan kebaikan baginya. Jika mengalami kesusahan, dia pun bersabar. Maka hal itu menimbulkan kebaikan baginya.”

 

  1. Rasa syukur itu ialah: Pengalihan pandangan hamba atas semua kenikmatan yang diberikan Allah kepada-Nya menjadi renungan untuk apa dia diciptakan.

 

Rasa syukur itu dinyatakan dengan hati, lisan dan anggota tubuh. Pernyataan syukur dengan hati: Apabila kamu selalu mengingat Tuhanmu dengan hati yang disertai ke cintaan dan pengagungan serta menggambarkan Seimuz kenikmatan dari Allah. Pernyataan syukur dengan lisan: Apa. bila kamu mengingat-Nya dengan puji-pujian yang menunjukkan rasa syukur kepada-Nya. Yang paling utama menurut hadits ialah mengucapkan:

 

“Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam, dengan pujian yang sesuai dengan kenikmatan-Nya dan setimpal dengan tambahan-Nya.”

 

Hendaklah kamu gunakan lisanmu untuk membaca AlOur’an, hadits, perkataan ulama dan menyebut nama Allah serta mengucap shalawat atas Nabi saw., di samping berbicara yang baik.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia ….” (QS. An-Nisaa’: 114).

 

  1. Pernyataan syukur dengan anggota tubuh: Apabila kamu beribadah kepada-Nya. Yaitu mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat untuk hartamu, berpuasa, pergi haji ke Baitullah dan menggerakkan anggota tubuhmu untuk perbuatan yang diridhai Allah SWT. Engkau pun berjalan dengan kedua kakimu untuk menuntut ilmu, menunaikan shalat dan memenuhi keperluanmu serta keperluan orang lain, terutama kedua orang tua dan guru-gurumu.

 

Hendaklah kamu hindari berjalan kaki menuju maksiat, agar kamu tidak mengingkari nikmat kedua kakimu. Hendaklah kamu bekerja dengan kedua tanganmu dalam melaksanakan berbagai pekerjaan dan mengkhususkan tangan kanan dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersih. Disebutkan dalam hadits:

 

“Nabi saw. menjadikan tangan kanannya untuk makan, minum, wudhu’, berpakaian, mengambil dan memberi, sedangkan tangan kirinya untuk selain itu.”

 

Hendaklah kamu hindari mengganggu seseorang dengan kedua tanganmu: baik dengan cara memukul, mencuri harta, mengkhianati dalam suatu amanat atau titipan, ataupun menulis sesuatu yang tidak boleh kamu bicarakan, karena pena adalah satu lisan. Adapun cara mensyukuri nikmat kedua mata ialah, apabila kamu membaca Al-Our’an yang mulia dan hadits yang terhormat serta kitab-kitab yang berguna dengannya.

 

Di samping itu, untuk memandang orang-orang fakir miskin, anak-anak yatim dan cacat serta mengasihi dan menolong mereka. Kamu juga memperhatikan orang-orang yang bodoh dan sesat, lalu kamu ajari dan bimbing mereka ke jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan. Dengan kedua mata, kamu perhatikan tujuan-tujuanmu yang baik dan keajaiban-keajaiban makhluk ciptaan Allah serta kamu pikirkan kebesaran dan kekuasaan-Nya.

 

Hendaklah kamu tidak menggunakan kedua mata untuk memandang hal-hal terlarang atau aurat.

 

Disebutkan dalam hadits: “Allah melaknat orang yang memandang dan yang dipandang (bilamana terlarang).”

 

Atau jangan menggunakannya untuk menyelidiki aib orang lain dan memandang kepadanya dengan penghinaan dan ejekan.

 

Dalam hadits dijelaskan: “Beruntunglah orang yang disibukkan oleh aibnya hingga tidak mengurusi aib orang lain.”

 

Dalam hadits lain: Cukuplah kejahatan seseorang bila dia menghina saudaranya yang muslim.”

 

Mensyukuri nikmat dua telinga: Apabila kamu menggunakannya untuk mendengarkan kebaikan, misalnya, bacaan Al-Our’an, nasihat-nasihat dan ilmu pengetahuan: serta menjaga” keduanya dari kejahatan, misalnya, mendengarkan ghibah (pergunjingan), namimah (mengadu domba) serta perkataan yang keji.

 

Dalam hadits disebutkan: “Sesungguhnya pendengar itu adalah sekutu dari orang yang mengucapkan pergunjingan, dan dia termasuk salah seorang penggunjing.”

 

  1. Kamu harus membesarkan nikmat Allah atas dirinya dengan memandang orang yang di bawahmu dalam berbagai, urusan dunia, agar kamu bersyukur kepada Tuhanmu, Allah Ta’ala, dan tidak meremehkan nikmat-nikmat-Nya. Adapun dalam urusan-urusan agama, maka kamu harus memandang orang yang diatasmu, agar bertambah kegiatanmu dalam ke. baikan dan menjadi besar keinginanmu akan ketaatan. Nabi saw. bersabda:

 

“Barangsiapa dalam urusan dunia memandang kepada orang yang di bawahnya dan dalam masalah agama memandang kepada orang yang di atasnya, maka Allah menetapkannya sebagai orang yang sabar dan bersyukur. Dan barangsiapa dalam urusan dunia memandang kepada orang yang di atasnya dan dalam masalah agama memandang kepada orang yang di bawahnya, maka Allah tidak menetapkannya sebagai orang yang sabar dan bersyukur.”

 

Penyair berkata:

Barangsiapa ingin kehidupan yang lapang dalam masa yang panjang atas agama maupun dalam keduniaannya menjadi makmur,

Hendaklah ia memandang kepada orang yang shalih (takwa) di atasnya.

Dan memandang kepada orang yang lebih Sedikit harta daripadanya.

 

Apabila kamu lihat seseorang terkena musibah dalam agama, akal, badannya ataupun selain itu, maka bagimu disunahkan melakukan sujud kepada Allah atas keselamatan dari cobaan tersebut.

 

Disunahkan pula mengucapkan secara perlahan, aga! tidak terdengar: oleh penderita sehingga dia tidak meras3 sedih atas ucapan itu: “Segala puji bagi Allah yang menye lamatkan aku dari cobaan yang menimpamu dar melebihkan aku dari makhluk banyak yang diciptakan Nya. “

 

Disebutkan dalam hadits: “Barangsiapa mengucapkan perkataan itu, maka dia tidak ditimpa cobaan tersebut selama hidupnya.”

 

  1. Termasuk pernyataan syukur kepada Allah Ta’ala Apabila kamu bersyukur kepada orang yang berbuat baik kepadamu, khususnya kedua orangtua dan guru-gurumu.

 

Dalam hadits dijelaskan: “Orang yang paling bersyukur kepada Allah lalah orang yang paling bersyukur kepada manusia.”

 

Dalam hadits lain: “Barangsiapa berbuat baik kepadamu, maka balaslah dia. Jika kamu tidak dapat membalasnya, maka doakanlah dia hingga kamu mengetahui bahwa kamu telah bersyukur, karena Allah mencintai orang-orang yang bersyukur.”

 

Sabda yang lain: “Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak beryukur kepada manusia.”

 

Adapun orang yang tidak berterima kasih kepada orang yang berbuat baik kepadanya, maka dia adalah orang yang hina dan jahat jiwanya.

 

Penyairberkata:

Aku ajari dia memanah setiap hari, ketika sudah tepat bidikannya, dia pun memanahku

Betapa banyak aku ajari dia membuat bait syair, Setelah pandai bersyair, dia mencaci aku.

  1. Sayyidah Aisyah ra., berkata: Nabi saw. melakukan shalat pada waktu malam hingga pecah-pecah kakinya. Maka aku bertanya kepadanya: “Mengapa Anda lakukan ini, waha, Rasulullah, padahal telah diampuni dosamu terdahulu dan terkemudian?”” Beliau menjawab: “Bukankah aku harus menjadi seorang hamba yang bersyukur?”

 

  1. Al-Faqih Abu Ishaq: Muhammad bin Oasim bin Sya’ban Al-Qurtubi rahimahullah —tidak keluar dari rumahnya, melainkan bila beliau memegang kaki ibunya, lalu meletakkan di pipinya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau katakan dalam Kitab-Mu: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (OS. Al-Isra’:24). Sesungguhnya aku telah merendahkan diriku kepadanya, maka ampunilah dosaku, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”

 

  1. Diceritakan, seorang laki-laki yang sudah tua digendong oleh putranya dan dipelihara serta diberi makan olehnya seperti anak kecil. Pada suatu hari putranya berkata kepadanya: “Hai Ayahku, aku telah membalas dan memeliharamu sebagaimana engkau memelihara aku. Kita telah sama-sama berbuat begitu.” Maka ayahnya berkata: “Sekalikali tidak.” Putranya berkata: “Bagaimana itu?” Sang ayah menjawab: “Ketika aku memeliharamu, aku mengharapkan hidupmu dan menanti masa mudamu, sedangkan kamu sekarang mengharap kematianku.”

 

  1. Dalam kitab Tarikh Ibnu Khallikan diriwayatkan, seorang laki-taki dari umat terdahulu sedang makan dan di depannya ada seekor.ayam panggang. Kemudian seorang pengemis datang kepadanya, namun dia menolaknya dengan tangan hampa. Padahal orang itu hidup mewah. Pada suatu ketika, terjadi percerdian antara dia dengan istrinya, maka habislah hartanya.

 

Kemudian pengemis itu kawin dengan istrinya. Di saat suami kedua sedang makan ayam panggang di hadapannya. tiba-tiba datang kepadanya seorang pengemis. Lalu orang itu berkata kapada istrinya: “Berikanlah ayam itu kepadanya.” Maka istrinya memberikan ayam panggang itu dan memandang kepadanya. Ternyata dia adalah suaminya yang pertama. Kemudian diceritakannya kisah itu kepada suaminya. Maka suami kedua itu berkata: “Demi Allah, akulah orang miskin yang pertama itu, yang disia-siakan olehnya. Maka Allah memindahkan kenikmatan dan istrinya kepadaku. karena dia kurang bersyukur.”

 

  1. Seorang laki-laki mengeluh mengenai kemiskinannya kepada seorang arif bijaksana dan menampakkan kesedihannya yang sangat. Orang bijaksana itu bertanya: “Apakah kamu senang apabila dirimu buta dengan imbalan 10.000 dirham?” Orang itu menjawab: “Tidak”. Orang bijaksanra itu bertanya: “Apakah kamu senang apabila dirimu bisu dengan imbalan 10.000 dirham”? Orang itu menjawab: “Tidak.” Kemudian orang bijasana itu bertanya: “Apakah kamu senang apabila kedua tangan dan kedua kakimu buntung dengan imbalan 20.000 dirham?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Orang bijaksana itu bertanya: “Apakah kamu senang ” apabila kamu gila dengan imbalan 10.000 dirham?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Maka orang bijaksana itu berkata: “Tidakkah kamu merasa malu apabila kamu mengeluh pada Tuhanmu, sedangkan Dia mempunyai harta padamu sebanyak 50.000 dirham?”

 

.6. Ibnu Sammak masuk menemui seorang khalifah, sedang di tangannya membawa kendi air yang diminumnya. Khalifah itu berkata kepadanya: “Nasihatilah aku.” Ibnu Sammak bertanya: “Seandainya kamu tidak diberi minuman ini, kecuali dengan memberikan semua hartamu atau kamu tetap haus, apakah engkau mau memberikannya?” Khalifah menjawab: “Ya”. Ibnu Sammak bertanya: “Seandainya kamu tidak diberi minum air, kecuali dengan imbalan seluruh kerajaanmu, apakah kamu mau meninggalkannya?” Khalifah menjawab: “Ya.” Ibnu Sammak berkata: “Maka jangan gembira dengan kerajaan yang tidak menyamai seteguk air.”

 

Maksudnya, nikmat Allah atas hamba-Nya dalam meminum air pada waktu haus, lebih besar daripada kerajaan bumi seluruhnya.

  1. Sifat menahan diri, adalah mengendalikan nafsu pada waktu marah. Sifat ini termasuk akhlak paling mulia dan adab yang paling baik. Maka, kamu harus memiliki akhlak itu, agar kehormatan dirimu selamat dari celaan dan hatimu tenang dari kekhawatiran serta mendapat pujian yang baik dan pahala yang banyak. –

 

Allah Azza wa Jalla berfirman: “… dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-Imran:134)

 

Nabi saw. bersabda: “Carilah kemuliaan di sisi Allah.” Para sahabat bertanya: “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sambunglah hubungan dengan orang yang menjauhi kamu dan berilah orang yang tidak memberimu dan menahan diri terhadap orang yang mengganggumu.”

 

Di antara doa Nabi saw.: “Ya Allah, cukupilah aku dengan ilmu. Hiasilah aku dengan sifat menahan diri dan muliakanlah aku dengan takwa serta baguskanlah aku dengan kesehatan.”

 

Jika seseorang mengganggumu, maka maafkanlah, dan jika dia mengemukakan alasan, maka terimalah alasannya.

 

Disebutkan dalam hadits: “Barangsiapa yang dikemukakan alasan kepadanya oleh saudaranya, sedang dia tidak mau menerimanya, maka dia pun berdosa, Seperti pemungut pajak gelap.”

 

Dalam hadits lain: “Barangsiapa yang dikemukakan alasan kepadanya oleh saudaranya yang bersalah, sedang dia tidak mau menerimanya, maka dia pun tidak bisa menemui aku di Al-Haudh (telaga Nabi di hari Kiamat).”

 

Penyair berkata:

 

Terimalah alasan dari orang yang datang mengemukakan alasan, walaupun ia berkata baik atau buruk kepadamu.

 

Telah tunduk kepadamu orang yang lahirnya membuatmu ridha dan telah mengagungkanmu orang yang mendurhakaimu secara tersembunyi.

 

  1. Sifat menahan diri mempunyai banyak sebab.

 

Pertama, kasih sayang terhadap orang-orang bodoh. Disebutkan dalam hadits: “Seorang badui kencing di masjid, lalu orang-orang menghampiri untuk memukulnya. Kemudian Nabi saw. bersabda: “Biarkan dia, dan tuangkan di atas kencingnya seember air. Sesungguhnya kamu diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus memberi kesulitan’.

 

Kedua, kemampuan untuk membalas dendam. Disebutkan dalam hadits: “Apabila kamu dapat mengalahkan musuhmu, maka jadikanlah maaf sebagai rasa syukur atas kemenangan itu.”

 

Rasul saw. telah memaafkan Du’tsur, yang ingin membunuhnya dan orang badui yang menarik serbannya hingga membuat pundaknya membekas dan sakit.

 

Beliau memaafkan orang yang mengeraskan suaranya ketika dia datang menagih utang. Para sahabat bermaksud memukulnya, namun beliau berkata: “Biarkan dia, karena sesungguhnya pemilik hak boleh berbicara.”

 

Nabi saw. memaafkan penduduk Makkah yang telah mengganggunya dengan sangat, selama 13 tahun, hingga mereka mengeluarkan dari negerinya, Makkah. Beliau memaafkan banyak orang.

 

Dalam hadits dijelaskan: “Rasulullah saw. tidak mem. balas dendam untuk dirinya sedikit pun, kecuali apabila larangan Allah dilanggar. Jika demikian, beliau membalas karena Allah.”

 

Ketiga: menghindari caci maki. Dalam hadits diceritakan: “Dua orang yang saling memaki adalah dua setan yang saling memusuhi dan menjauhi”. Terutama laknat.

 

Nabi saw. bersabda: “Orang mukmin bukanlah orang yang suka memaki dan melaknat, serta tidak suka berkata keji maupun kotor.”

 

Penyair berkata: Katakan apa saja berupa kepalsuan dan dusta Maafku tuli, tapi telingaku tidak.

 

Penyair lain berkata:

Aku menyukai akhlak mulia sekuat tenagaku dan aku tidak suka mencela maupun dicela.

Aku maafkan makian orang karena menahan diri.

Seburuk-buruk orang adalah yang suka mencaci maki.

 

Diceritakan, seorang laki-laki berkata kepada Dhirar bin Qa’ga’:. “Demi Allah, seandainya kamu katakan kepadaku sekali, tentu kamu dengar sepuluh kali.” Maka Dhirar berkata kepadanya: “Demi Allah, seandainya kamu katakan sepuluh kali, tentu kamu tidak mendengar sekali pun”

 

Dari Sayyidina Ali bin Husein bin Ali ra.: Bahwasanya Seorang laki-laki memakinya. Maka dia pun melemparkan baju yang dipakainya dan memberi dia uang 1000 dirham.

 

  1. Adapun sifat marah, maka ia sangat tercela dan merupakan kunci setiap kejahatan. Sabda beliau: “Marah itu merusak iman, sebagaimana jadam merusak madu.” Beliau juga bersabda: “Tidaklah seseorang marah, melainkan dia mendekati Jahanam.”

 

Seseorang bertanya kepada Nabi saw.: “Sesuatu apakah yang paling berat?” Beliau menjawab: “Murka Allah.” Orang itu bertanya: “Apakah yang menjauhkan aku dari murka Allah?” Beliau menjawab: “Jangan marah.”

 

Sayyidina Ali Karramallahu Wajha berkata: “Marah itu sebagian dari gila, karena pelakunya akan menyesal. Jika dia tidak menyesal, maka kegilaannya akan menguat (sempurna).”

 

Sifat marah terkadang menyebabkan pelakunya bunuh diri, seperti murid yang gagal dalam ujian atau orang yang mengeluh karena kesusahan dan kemiskinan. Semua itu berasal dari was-was setan dan kelemahan iman. Dalam hadits dijelaskan: “Barangsiapa yang menjatuhkan diri dari gunung hingga membunuh dirinya, maka dia masuk neraka Jahanam, menjatuhkan diri ke dalamnya. Dia kekal abadi di neraka untuk selama-lamanya.

 

Barangsiapa meneguk racun sehingga membunuh dirinya, maka racun itu kelak berada di tangan dan diteguknya di neraka Jahanam. Dia kekal abadi di tempat itu untuk selama-lamanya.

 

Barangsiapa membunuh dirinya dengan sepotong besi, maka itu berada di tangan dan ditusukkannya ke perutnya di neraka Jahanam. Dia kekal abadi di tempat itu untuk selama-lamanya.” (HR. Bukhari).

 

  1. Apabila kamu marah, maka tahanlah marahmu itu. Jangan bicara pada waktu marah, agar kamu tidak menguCapkan perkataan yang akan kamu sesali. Dan, duduklah bila kamu berdiri.

 

Dalam hadits disebutkan: “Apabila seseorang di antara kamu marah, maka hendaklah dia diam.”

 

Dalam hadits lain: “Apabila seseorang di antara kamu marah, maka hendaklah duduk. Jika dia masih marah, hendaklah berbaring.”

 

Pada waktu marah, janganlah kamu lupa memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah ….” (QS. Al-A’raaf:200).

 

Hendaklah kamu membaca do’a sesuai dengan hadits: “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Ya, Allah, Tuhan dari Nabi Muhammad, ampunilah dosaku, hilangkan kejengkelan hatiku dan lindungilah aku dari fitnah-fitnah yang menyesatkan.”

 

Jika kamu masih marah, maka berwudhu’lah, sesuai dengan sabda Nabi saw.: “Apabila seseorang di antara kamu marah, hendaklah dia berwudhu’ dengan air, karena marah itu dari api.”

 

  1. Di antara cara-cara menenangkan marah, hendaklah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

 

Pertama, renungkanlah ayat-ayat Al-Our’an dan haditshadits Nabi, yang menerangkan keutamaan menahan diri dan memberi maaf. Beliau bersabda:

 

“Seorang malaikat berseru di hari Kiamat: ‘Barangsiapa mempunyai pahala yang menjadi tanggungan Allah Azza wa Jalla, hendaklah ia berdiri.’ Maka berdirilah orang-orang yang suka memaafkan orang lain.”

 

Kemudian beliau membaca ayat: “… maka, barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah …” (QS. Asy-Syura:40).

 

Kedua, hendaklah kamu mengingat Allah dan membayangkan bahwa kekuasaan Allah atas dirimu lebih besar daripada kekuasaanmu untuk membalas orang yang berbuat jahat kepadamu.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa ….” (QS. Al-Kahfi:24).

 

Sahabat Ikrimah berkata, yakni, “Jika kamu marah.” Diriwayatkan bahwa Nabi mengutus seorang pelayan dalam suatu keperluan. Ternyata pelayan itu lambat. Ketika dia datang, Nabi saw. bersabda: “Kalau bukan karena takut Oishash, tentu aku telah menyakitimu.” (Qishash yaitu pembalasan hukuman di akhirat).

 

Ketiga, janganlah kamu mendengarkan perkataan setan, bahwa tidak membalas dendam itu merupakan kerendahan dan kehinaan. Ini adalah kedustaan dari setan terkutuk.

 

Yang benar adalah hal itu merupakan kemuliaan dan kehormatan. Sebagaimana tersebut dalam hadits: “Sifat rendah hati tidaklah menambahi seorang hamba, kecuali kemuliaan.

 

Maka, bersikap rendah hatilah kamu. Semoga Allah Ta’ala mengangkat derajatmu. Maaf itu tidaklah menambah seorang hamba, kecuali kemuliaan. Maka, berilah maaf. Semoga Allah memuliakan kamu.”

 

Keempat, hendaklah kamu memperingatkan diri akan keburukan akibat pembalasan dendam, karena ia menambah permusuhan dan memperbanyak musuh, serta mendatangkan rasa gembira mereka terhadap musibah-musibah (bencana) yang menimpa dirimu, sehingga hidupmu menjadi keruh. Kemarahan itu tidak dapat memusatkan pikiranmu untuk menuntut ilmu dan beribadah, tidak pula untuk pekerjaanpekerjaanmu yang khusus.

 

Kelima, hendaklah kamu berpikir tentang keburukan rupamu pada waktu marah. Wajah yang cemberut, kedua mata yang memerah, pipi yang membengkak dan anggotaanggota tubuh yang bergetar. Terkadang menginjak bumi dengan kedua kaki dan memukul dadanya serta bersikap Seperti anjing atau hewan buas yang menyerang. Mungkin juga seperti orang gila yang mengamuk. Karena kemarahan telah menghilangkan kesadaran akalnya. Terkadang memaki pintu bila sulit baginya untuk membuka. Mematahkan pena yang digunakan untuk menulis. Melaknat kendaraan yang dinaiki dan memaki angin jika tertiup ke arahnya. Sebagai. mana diriwayatkan, seorang laki-laki diterpa angin hingga serbannya terlepas, kemudian dia melaknatnya. Maka Nabi saw. bersabda: .

 

“Janganlah kamu melaknat angin, karena ia diperintahkan dan tunduk. Sesungguhnya orang yang melaknat sesuatu yang tidak patut dilaknat, maka kembalilah laknat itu menimpa dirinya.”

 

  1. Kebalikan dari itu adalah sifat menahan diri. Sifat tersebut bisa menjadikan kamu musuh sebagai teman. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fush Shilat:34).

 

Orang yang pandai menahan diri akan mendapat pertolongan dari orang lain. Sebagaimana kata Imam Ali karramallahu wajha: “Imbalan pertama bagi orang yang pandai menahan diri, adalah orang-orang akan membelanya terhadap orang yang bodoh.”

 

Maka patutlah orang berakal tidak melakukan permusuhan antara dia dan seseorang menurut kemampuannya. Disebutkan dalam hadits: “Memperlihatkan cinta (kasih sayang) kepada orang lain adalah setengah dari akal.”

 

Apabila dia tidak pandai menahan diri dan suka membalas dendam, maka boleh jadi kemarahan akan menyebabkan dia membunuh musuhnya. Apabila dia tidak mampu, barangkali dia akan membunuh dirinya, karena sangat marah dan kesal. Semua itu termasuk dosa besar.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam. Dia kekal didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuk serta menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa’:93).

 

Dalam hadits disebutkan: “Membunuh orang mukmin itu lebih besar akibatnya di sisi Allah daripada kelenyapa” dunia.” :

 

Sifat menahan diri dan pemaal, termasuk akhlak para Nabi dan Rasul, ulama dan orang-orang shalih. Marah dan balas dendam termasuk akhlak setan yany sombong dan orang-orang yang bodoh serta rendah budinya. Orang yang sangat kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika bangkit kemarahannya.

 

Sebagaimana dijelaskan dalam hadits: “Bukanlah orang yang kuat itu karena pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.”

 

  1. Adapun marah karena Allah, bukan karena menuruti hawa nafsu, adalah sifat terpuji dan diperintahkan melakukannya serta dinamakan keberanian yang bersifat pendidikan. Hal itu disebabkan melihat kemungkaran yang dikerjakan dan kezaliman dilakukan serta kebenaran diingkari. Sifat menahan diri pada waktu itu sangat buruk dan dilarang.

 

Aliah Ta’ala berfirman: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh pada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar: merekalah orang-orang yang beruntung …” (QS. Ali-Imran:104).

 

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani Israel dengan lisan Dawud dan Isa, putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.

 

Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah:78-79).

 

Dalam hadits disebutkan: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan li’sannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Itulah Selemah-lemah iman.”

 

Macam kemarahan yang paling utama, ialah kemarahan ‘ terhadap raja yang zalim, atau penguasa yang berkhianat dan menjual negerinya atau merusak urusan-urusan agama dan negara. Dalam hadits diceritakan, Rasulullah saw. ditanya: “Jihad apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Perkataan yang hak di hadapan raja yang zalim.”

 

  1. Maka, jadilah kamu termasuk kaum yang dicinta. Allah dan mereka mencintai-Nya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersifat keras terhadap orang yang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut pada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui …” (qS. Al-Maidah:54).

 

Janganlah kemarahan dan kecemburanmu menjadi lemah ketika menyaksikan kemungkaran, sehingga kamu menjadi penjilat (mencari muka) dan penakut yang tidak berdaya.

 

 

  1. Diceritakan, Hathith Az-Zayyat dibawa menghadap kepada Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsagafi. Ketika dia masuk kepada Hajjaj, Hajjaj berkata: “Engkau yang bernama Hathith?” Hathith menjawab: “Ya, tanyakanlah apa yang Anda Suka. Karena -aku berjanji kepada Allah ketika berdiri di hadapan Maqam Ibrahim atas tiga perkara: Pertama. jika aku ditanya, aku akan menjawab dengan benar: kedua, jika aku mengalami cobaan, aku akan bersabar: ketiga, jika diberi keselamatan, aku akan bersyukur.”

 

Hajjaj bertanya: “Apa pendapatmu mengenai diriku?”

 

Hathith menjawab: “… Aku katakan, sesungguhnya Anda termasuk musuh Allah di muka bumi. Anda melanggar larangan Allah dan membunuh dengan sangkaan.” Hajjaj bertanya: “Apa pendapatmu tentang Amirul Mukminin Abdul! Malik bin Marwan?”

 

Hathith menjawab: “Dia lebih besar dosanya daripada Anda. Sesungguhnya Anda adalah salah satu dosa-dosanya.” Maka Hajjaj berkata: “Siksalah dia.”

 

Maka, sampailah penyiksaan terhadapnya dengan dibelahkan kayu bambu, kemudian ditusukkan ke daging (tubuh)nya, lalu diikat dengan tali dan dibentangkan diatas kayu-kayu hingga bercerai berai dagingnya. Akan tetapi mereka tidak mendengarnya mengucapkan sesuatu.

 

Kemudian diberitakan kepada Hajjaj, bahwa Hathith dalam keadaan menjelang ajal (sekaratulmaut). Maka Hajjaj berkata: “Keluarkan dia dan lemparkan ke pasar.”

 

Ja’far berkata: “Kemudian aku bersama seorang temanku mendatanginya. Kemudian kami tanyakan kepadanya: ‘Hathith, apakah kamu punya keperluan?’ Hathith menjawab: ‘Seteguk air.’ Kemudian mereka membawa segelas air, lalu dia meninggal. Waktu itu Hathith berusia 18 tahun, semoga Allah merahmatinya.”

 

  1. Ada seorang ulama didatangi oleh seorang temannya. Dia menyajikan makanan kepadanya. Kemudian keluarlah istri orang bijak itu. Perempuan tersebut adalah seorang yang berakhlak buruk. Dia mengangkat hidangan dan memulai memaki orang bijak itu. Lalu temannya keluar sambil marah-marah. Maka orang bijak itu mengikutinya dan berkata kepadanya:

 

“Engkau ingat pada hari ketika kita makan dirumahmu, lalu seekor ayam terjatuh menimpa hidangan sehingga merusakkannya, namun tidak seorangpun yang marah di antara kita?” Temannya menjawab: “la.” Orang bijak itu ber. kata: “Anggaplah perempuan ini seperti ayam itu.” Maka redalah kemarahan orang itu dan ia pun pergi. Temannya berkata: “Benarlah orang bijak itu. Sifat menahan diri adalah penyembuh dari setiap penyakit.”

 

  1. Seorang laki-laki memukul kaki seorang hiiak hingga menyakitkannya. Namun dia tidak marah. Maka dikatakan kepadanya mengenai hal itu. Orang bijak itu berkata: “Aku menganggapnya seperti batu yang membuat aku tersandung, maka aku sembelih kemarahanku.”

 

  1. Seorang laki-laki memaki sahabat Abdullah bin Abbas ra. Setelah selesai, Abdullah berkata: “Hai Ikrimah,: apakah orang itu punya keperluan, agar kita penuhi?” Maka, orang itu pun menundukkan kepalanya dan merasa malu.

 

  1. Diceritakan, seorang ahli ibadah (‘Aabid) mempunyai seekor kambing. Orang itu melihat kambingnya berkaki tiga. Kemudian dia berkata: “Siapa yang melakukan ini terhadapnya?” Seorang sahayanya berkata: “Aku.” Orang itu berkata: “Kenapa?” Sahaya itu menjawab: “Supaya tuan susah.” Orang itu berkata: “Tidak, bahkan aku akan menyusahkan orang yang menyuruhmu. Pergilah! Engkau bebas (merdeka).”

 

  1. Ketahuilah, Allah menciptakan harta bagi kepentingan para hamba-Nya dan menyuruh kita bermurah hati dengannya kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan serta melarang kita menimbunnya di saat orang-orang sangat membutuhkannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mewajibkan zakat kepada kita dan mendorong agar mengeluarkan sedekah.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan dirikanlah shalat serta keluarkan zakat …” (QS. Al-Baqarah: 43).

 

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam. dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 274).

 

“…… Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

 

Pada hari dipanaskan emas-perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggungnya, (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah: 34-35).

 

  1. Manusia itu berwatak senang pada harta dan gemar mengumpulkannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la: 16-17).

 

Akan tetapi, kamu wajib membiasakan diri untuk bersifat pemurah hingga selamat dari penyakit kikir yang merupakan penyakit paling berbahaya (gawat). Sebagaimana dijelaskan dalam hadits: “Penyakit mana yang lebih berbahaya daripada kikir?”

 

Apabila kamu terbiasa bersifat pemurah, maka kamu pun dicintai di sisi Allah, kemudian oleh makhluk-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)

 

Disebutkan dalam hadits: “Sesungguhnya orang orang pemurah itu dekat dari Allah, manusia dan surga serta jauh dari neraka. Sesungguhnya orang yang kikir itu jauh dari Allah, manusia dan surga serta dekat dari neraka.”

 

“Seorang yang bodoh tapi pemurah, lebih dicintai Allah daripada seorang alim yang kikir.”

 

  1. Sifat kikir adalah kejahatan besar dan bencana buruk yang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran, bahkan perkelahian dan pemutusan hubungan rahim serta kerabat.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Ingatlah, kamu ini orangorang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan orang yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah Yang Maha Kaya, sedangkan kamulah orang yang membutuhkan (kepadaNya) ….” (QS. Muhammad: 38).

 

Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa dikaruniai harta oleh Allah, sedangkan dia tidak menunaikan zakatnya, maka diciptakan untuknya seekor ular yang terlepas kulit kepalanya dan mempunyai dua titik hitam di atas matanya, yang dikalungkan padanya di hari Kiamat, kemudian membungkam mulutnya. Lalu ia berkata: Akulah hartamu, akulah harta simpananmu.”

 

Kemudian beliau membaca ayat: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat ….. ” (QS. Ali-Imran: 180).

 

Dalam hadits lain: “Janganlah kamu bersifat kikir, karena sifat itu membinasakan orang-orang sebelum kamu. Mereka disuruh berdusta, lalu mereka berdusta. Mereka disuruh berbuat aniaya, lalu mereka berbuat aniaya. Mereka disuruh memutuskan hubungan, lalu mereka pun memutuskan hubungan silaturrahmi.”

 

  1. Setan sangat berkeinginan untuk mencegah manusia dari mengeluarkan sedekah, karena dia mengetahui kadar keutamaannya yang besar. Maka, dengan dengki dan permusuhannya terhadap manusia, dia ingin menggagalkan manusia dari pahala yang banyak itu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “

 

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir).” (QS. Al-Baqarah: 268).

 

Dalam hadits dijelaskan: “Tidaklah seseorang mengeluarkan suatu sedekah, melainkah terlepaslah dia dari tantangan tujuh puluh setan, yang semuanya melarang dia bersedekah.”

 

Maka, hendaklah kamu berjiwa pemurah dan terbuka kedua tangan dengan menyerahkan sedekah. Waspadalah, jangan sampai kamu tertipu oleh setan dan was-wasnya. Percayalah, bahwa Allah akan mengganti sedekah yang kamu nafkahkan di jalan Allah.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantikan dan Dialah, Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39).

 

Dalam hadits Qudsi dijelaskan. “Hai hamba-ku, nafkahkan (hartamu), niscaya Aku ganti nafkahmu. Kekayaan Allah adalah penuh, tidak berkurang oleh pengeluaran nafkah yang mengalir malam dan siang. Tidaklah kamu lihat, apa yang dinafkahkan’ Allah sejak Allah menciptakan langit dan bumi? Sesungguhnya tidaklah berkurang segala yang ada dalam kekayaan-Nya.”

 

Dalam hadits yang lain: “Setiap hari ketika pagi, turun dua malaikat kepada para hamba. Yang satu berkata: ‘Ya Allah, berilah ganti terhadap orang yang menafkahkan sedekah,’ sedang yang lain mengatakan: ‘Ya Allah, timpakan kebinasaan bagi orang yang kikir’.”

 

  1. Bersikaplah pemurah kepada keluargamu lebih. dahulu, kemudian kepada kerabatmu yang lebih dekat, lalu yang dekat, Nabi saw. bersabda:

 

“Dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, untuk : membebaskan budak dan sedekah kepada orang miskin serta kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.”

 

Nabi saw. juga bersabda: “Sedekah bagi orang miskin adalah satu sedekah, sedangkan sedekah terhadap ke rabat adalah dua sedekah, yaitu sedekah dan hubungan kekeluargaan.”

 

Nabi saw. bersabda di lain hadits: “Hal umat Muham. mad, demi Allah yang mengutus aku dengan kebenaran, tidaklah Allah menerima sedekah dari seorang laki-laki, sedangkan dia mempunyai kerabat yang sangat mem. butuhkan bantuannya, tetapi dia memberikannya kepada orang lain. Demi Allah yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, Allah tidak melihat kepadanya (tidak menghiraukannya) di hari Kiamat.”

 

Hendaklah kamu mengeluarkan sedekah secara diamdiam (dirahasiakan), karena ia bisa memadamkan kemarahan Tuhan. Sebagaimana tersebut dalam hadits. Juga di hadits lain: “Sesungguh-nya pahalanya dilipatgandakan dari pahala sedekah yang terang-terangan sebanyak 70 kali.”

 

  1. Di antara beberapa faedah sedekah, ialah menolak bencana dan penyakit serta memelihara harta. Sebagaimana tersebut dalam hadits: “Perbuatan-perbuatan makruf (kebajikan) itu dapat mencegah mati dalam keadaan buruk. Bentengilah hartamu dengan zakat dan sembuhkan orang-orang sakit di antara kamu dengan sedekah. Tidaklah binasa harta di laut dan darat, melainkan karena menahan zakat.”

 

Di antara pahalanya, ialah dapat menyucikan orang rang bersedekah dari dosa-dosa.. Allah Ta’ala berfirman: ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…” (At-Taubah: 103).

 

Di samping itu, sedekah berarti memasukkan kegembiraan pada orang-orang miskin dan menyebabkan mereka mendoakanmu. Dalam hadits dijelaskan: “Sebaik-baik amal adalah apabila kamu memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman, melunaskan utang atau memberinya makanan (roti).”

 

Sedekah dapat menambah rezeki. Telah dikemukakan hadits mengenai hal itu. Sedekah juga menjadi naungan bagi pelakunya dari terik panas di Padang Mahsyar pada hari Kiamat, menyebabkan keringanan hisab (perhitungan amal), beratnya timbangan amal dan meloloskan penyeberangan di atas Ash-Shirot, menambah derajat di surga.

 

  1. Apabila kamu miskin, maka sedekahlah walaupun sedikit. Hal itu lebih utama di sisi Allah daripada sedekah orang kaya yang banyak. Sebagaimana tersebut dalam hadits: “Satu dirham mengungguli seribu dirham.”

 

Janganlah kamu menolak peminta-peminta pertama yang berdiri di pintumu dan bersedekahlah setiap hari, walaupun sedikit dan segerakanlah pada waktu pagi. Sebagaimana tersebut dalam hadits: “Segerakanlah mengeluarkan sedekah karena bencana itu tidak bisa menimpa kepada orang yang bersedekah.”

 

Waspadalah untuk tidak mengungkit-ungkit sedekahmu terhadap orang miskin, karena mengungkit-ungkit itu haram dan membatalkan pahala sedekah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) …..” (QS. Al-Baqarah: 264)

 

Sedangkan dalam hadits: “Tidaklah masuk surga orang yang suka mengungkit-ungkit sedekahnya.”

 

Hendaklah kamu meminjami orang-orang yang membutuhkan, karena pahala meminjami itu sangat besar.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11).

 

Dalam ayat lain: “…. maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak …… ” (QS. Al-Baqarah: 245).

 

Sedangkan dalam hadits disebutkan: “Pada malam Isra’, kulihat di pintu surga tertulis: “Sedekah itu dibalas Sepuluh kali lipat, sedangkan utang dibalas 18 kali lipat! Maka aku bertanya: ‘Ya Jibril, mengapa utang itu lebih utama daripada sedekah?’ Beliau menjawab: ‘Karena orang yang meminta terkadang hanya meminta, padahal dia mempunyai harta yang mencukupinya, sedangkan orang yang berutang, dia tidak berutang, kecuali karena membutuhkan.”

 

Hendaklah kamu lebih mengutamakan orang lain daripada dirimu, yaitu apabila kamu mempunyai sesuatu yang kamu butuhkan, kemudian ada orang lain yang membutuhkan, lalu kamu berikan dan dahulukan mereka daripada dirimu. Maka, pahala yang demikian itu sangat besar sekali.

 

Allah Ta’ala berfirman: “….. dan mereka (kaum Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan orang yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah o-rang-orang yang beruntung…..” (QS. Al-Hasyr: 9).

 

  1. Rasul saw. adalah orang yang paling pemurah dan dermawan. Beliau mendermakan setiap yang ada dan memberikan pemberian yang tidak mampu dilakukan oleh raja-raja, misalnya, Kisra dan Kaisar. Tidak pernah beliau diminta sesuatu, lalu beliau mengatakan: “Tidak.”

 

Datang kepada beliau seorang perempuan membawa selembar kain burdah yang ditenun. dengan kedua tangannya untuk dipakaikan kepada beliau. Maka Nabi saw. mengambil dan memakainya karena dibutuhkan. Kemudian seorang Sahabat berkata: “Pakaikanlah ia padaku. Alangkah bagusnya!”

 

‘ Maka Nabi saw. bersabda: “Ya.” Setelah Nabi saw. duduk di majlis, kemudian pulang, lalu beliau melipatnya. Setelah itu beliau mengirimkannya kepada sahabat tadi. Maka orang-orang berkata kepadanya: “Kamu tidak berbuat baik. Nabi saw. memakainya karena dibutuhkan. Kemudian kamu memintanya, sedangkan kamu tahu bahwa beliau tidak menolak orang yang meminta.” Sahabat tadi menjawab: “Demi Allah, aku tidak memintanya untuk dipakai. Sesungguhnya aku memintanya agar ia menjadi ‘kain kafanku.” Maka kain burdah itu pun menjadi kafannya.

 

  1. Dibawa kepada Nabi saw. uang sebanyak 90.000 dirham. Kemudian beliau meletakkannya di atas sehelai tikar. Setelah itu beliau berdiri dan membaginya. Maka, tidaklah beliau menolak seorang pun yang meminta hingga selesai membagikannya.

 

Datang seorang laki-laki meminta sesuatu kepadanya (Nabi saw). Maka beliau bersabda: “Aku tidak punya apa apa, tetapi belilah atas namaku. Jika aku punya uang, nanti aku yang membayarnya.”

 

Nabi saw. juga mengembalikan tawanan dari bani Hawazin yang berjumlah 6.000 orang.

 

Kedermawanannya itu semua karena Allah dan demi mendapatkan ridha-Nya. Beliau lebih mengutamakan orang lain daripada diri dan anak-anaknya. Terkadang selama sebulan atau dua bulan tidak dinyalakan api di dalam rumah-nya. Beliau dan keluarganya hanya cukup makan kurma dan air. Sering kali beliau tidur dalam keadaan lapar dan bangun pagi dalam keadaan puasa. Beliau mengikatkan batu di perutnya karena lapar. Dibawakan harta kepadanya, namun beliau tidak menyimpan sedikit pun bagi dirinya, bahkan ketika beliau wafat, baju besinya masih tergadai pada orang Yahudi dengan imbalan 30 sha’ biji gandum. Padahal beliau telah menguasai Jazirah Arab.

 

Masih banyak lagi kemurahan hati Nabi saw. dan sifat mengutamakan orang lain, yang mengherankan pikiran dan dicatat dalam buku sejarah.

 

Keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka (para tabiin) mengikuti jalan dan menempuh perilakunya dalam hal pengorbanan dan kemurahan, kedermawanan dan pemberian.

 

Maka, lihatlah pada kemurahan Sayyidina Abu Bakar ra. hingga beliau menafkahkan seluruh hartanya dalam perang Tabuk. Sayyidina Umar ra. membelanjakan dari setengah hartanya. Sedang Sayyidina Utsman dan Sayyidina Abdurrahman bin Auf ra. menafkahkan harta yang sangat banyak.

 

  1. Dari sahabat Ibnu Abbas ra.: Bahwa Hasan dan Husein ra. (cucu Rasulullah) sakit, lalu Rasulullah saw. menjenguk kedua anak itu bersama beberapa orang. Kemudian mereka berkata: “Wahai Abal Hasan (yang dimaksud Sayyidina bin Abi Thalib, ayah Hasan dan Husein) bagaimana Seandainya engkau bernazar (janji melakukan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah) untuk anakmu?” Lalu Ali dan Fatimah serta si Fidhdhah (nama sahaya perempuan) bernazar, bahwa jika kedua anak itu sembuh dari penyakitnya, maka mereka akan berpuasa tiga hari. Akhirnya kedua anak itu sembuh, sedang mereka tidak punya apa-apa.

 

Kemudian Ali ra. berutang dari Syam’un Al-Khaibari, seorang Yahudi, 3 sha’ gandum. Fatimah ra. menggiling gandum itu sebanyak satu sha’ dan membuat roti sebanyak lima potong, sesuai jumlah mereka. Kemudian mereka meletakkan di hadapannya untuk berbuka puasa. Kemudian datang seorang peminta-minta seraya berkata: “Assalamu’alaikum, wahai keluarga Muhammad, aku seorang muslim yang miskin, berilah aku makanan, semoga Allah memberi kalian makanan dari hidangan surga.” Kemudian mereka memberinya dan tidur tanpa makan sesuatu, selain air.

 

Pada waktu pagi mereka berpuasa. Ketika tiba waktu sore dan mereka menyiapkan makanan di hadapannya, datanglah kepada mereka anak yatim. Mereka pun memberinya makanan itu.

 

Pada hari ketiga, datang kepada mereka seorang tawanan. Maka, mereka pun melakukan seperti itu. Pada waktu pagi, Ali memegang tangan Hasan dan Husein ra. Mereka datang kepada Rasulullah saw., ketika melihat mereka yang gemetar seperti anak burung karena sangat lapar, Rasulullah saw. bersabda: “Betapa menyedihkan keadaanmu, sebagaimana yang aku lihat.” Beliau berdiri, lalu pergi bersama mereka. Dilihatnya Fatimah berada di mihrabnya. Tubuhnya tampak kurus dan kedua matanya tampak cekung. Beliau sedih melihat hal itu. Maka, turunlah Jibril dan berkata: “Ambillah dia, wahai Muhammad! Allah memberimu selamat mengenai keluargamu.” Kemudian Jibril membacakan kepadanya surat Al-Insan sampai akhir. Di antaranya:

 

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air Kafur, (yaitu) mata air (dalari surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.

 

Mereka menunaikan nazar dan takutakan suatu hari, yang azabnya merata di mana-mana.

 

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.

 

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami ti. dak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

 

Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (QS. Al-Insan:5-10).

 

Imam Al-Alusi, Fakhrur Razi dan Az-Zamakhsyari menyebutkan hadits di atas dalam kitab-kitab tafsir mereka dan para ulama lainnya.

 

  1. Diriwayatkan, Sayyidah Fatimah ra. menghadiahkan kepada Rasulullah saw. dua potong roti dan sedikit daging. Kemudian beliau mengirimkannya kembali kepada Fatimah atau mengambil dan mengembalikannya dalam keadaan tertutup, seraya bersabda: “Kemarilah hai anakku.” Maka Fatimah membuka talam itu.

 

Ternyata, ia penuh roti dan daging. Rasulullah bertanya kepadanya: “Dari mana engkau mendapat ini?” Fatimah menjawab: “Ia berasal dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada setiap orang yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan (batas).” Kemudian beliau bersabda: “Segala puji bagi Allah yang menjadikanmu menyerupai pemimpin wanita bani Israel.” (Siti Maryam binti Imran).

 

Kemudian beliau mengumpulkan Ali, Hasan dan Husein serta keluarganya, semoga Allah meridhai mereka semua. Lalu mereka makan sampai kenyang, sedangkan makanan itu tetap seperti semula, maka diberikannya kepada tetangga-tetangga. (Abu Suud menyebutkan kisah ini dalam tafsirnya).

  1. Sesungguhnya sifat rendah hati adalah akhlak yang mulia. Allah telah memerintah Nabi-Nya untuk bersifat rendah hati.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 215)

 

“… Sekiranya kamu bersifat keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu …..” (QS. Ali-Imran:159).

 

Didalam menyifati para wali-Nya, Allah Azza wa Jalla berfirman: “….. yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang yang kafir ….” (QS. Al-Maidah:54)

 

“Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orangOrang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan:63).

 

Dengan bersifat rendah hati, naiklah derajat manusia di dunia dan akhirat. Maka, hendaklah kamu mewajibkan atas dirimu akhlak yang mulia ini. Nabi saw. bersabda: “Apabila hamba bersikap rendah hati, Allah mengangkat (derajatnya) sampai ke langit tujuh.”

 

Selanjutnya beliau bersabda: “Sifat rendah hati itu hanyalah menambah kemuliaan manusia, maka bersikaplah rendah hati, semoga Allah merahmati kamu.”

 

  1. Apabila manusia mengenal dirinya dengan sebenar-benarnya, maka tahulah dia, bahwa dirinya rendah dan hina – serta tidaklah layak baginya, kecuali bersifat rendah hati.

 

Dia pun akan mengenal Tuhannya Yang Maha Tinggi dan Maha Besar serta hanya Allah Ta’ala sajalah yang patut memiliki keagungan dan kebesaran.

 

Dalam hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman: “Kesombongan itu selendang-Ku, sedang keagungan itu sarung-Ku. Maka, barang siapa menentang-Ku mengenai sifat itu atau salah satu dari keduanya, Aku pun melemparkannya ke neraka Jahanam dan Aku tidak peduli,” Yakni, keagungan dan kesombongan itu dua sifat yang khusus dimil.k: Allah Ta’ala dan diserupakan-Nya dengan sarung dan selendang.

 

  1. Waspadalah dari sifat sombong dan membanggakan diri. Allah telah mencela kesombongan di beberapa ayat dari AI-Our’an.

 

Firman-Nya: “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS. AlA’raf:146). l

 

“Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orangorang yang sombong.” (QS. An-Nahl:23)

 

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mukmin:60)

 

Allah Ta’ala berfirman tentang menggambarkan musuh-musuh-Nya: “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), mereka menyombongkan diri.” (AS. Ash-Shaffat:35)

 

“Dan (juga) Karun, Fir’aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong (di muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu),” (QS. Al-Ankabut: 39).

 

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orany yang paling kami cintai di antara kamu dan paling dekat di antara kamu terhadap kami di akhirat aaalah orangorang yang terbaik akhlaknya di antara kamu.

 

Dan sesungguhnya orang yang paling kami benci di antara kamu dan paling jauh di antara kamu terhadap kami adalah orang-orang yang banyak bicara tanpa guna dan suka membual serta Al-Mutafaiqihuun.”

 

Para sahabat berkata: “Wahai Rasululah, telah kami ketahui orang-orang yang banyak bicara tanpa guna dan pembual, lalu apa itu Al-Mutafaigihuun?” Rasulullah saw. menjawab: “Orang-orang yang sombong.” Dilanjutkan: “Orang-orang yang sombong dibangkitkan pada hari Kiamat dalam bentuk seperti semut-semut kecil yang diinjak oleh orang-orang. Kemudian mereka digiring ke penjara di neraka Jahanam yang bernama ‘Bulas’ yang dipenuhi api, sedang mereka diberi minum thiinatul khabaal, yaitu keringat penghuni neraka.”

 

  1. Sebab-sebab kesombongan adalah banyak, di antaranya kesombongan dengan ilmu. Nabi saw. bersabda: “Cacat ilmu adalah kesombongan.” Adalah buruk sekali bila orang alim sombong. Lebih patut baginya bersikap rendah hati, sebagaimana kata penyair:

 

Apabila bertambah ilmu manusia ia semakin merendahkan diri.

Jika manusia semakin bodoh, ia pun semakin tinggi hati.

Begitulah ranting yang memikul buah dapat kamu capai walaupun ia semakin kuat karena memikul buah.

 

Hal itu disebabkan orang alim menyadari kebesaran tanggung jawab ilmu. Sesungguhnya dia tidak dapat menunaikan syukur kepada Allah atas nikmat ilmu dan takut bahaya kesudahan hidupnya. Oleh karena itu, dia pun tetap tunduk kepada Tuhannya. Khawatir atas dirinya dan rendah hati kepada orang lain, karena dia tahu bahwa kesombongan itu tidak patut, kecuali bagi Allah.

 

Apabila dia sombong, Tuhan membencinya: dan apabila dia bersikap rendah hati, maka Tuhan akan mencintal dan memimpinnya. Dalam hadits Qudsi dijelaskan “Sesungguh nya kamu mempunyai derajat di sisi-Ku, selama kamu tidak melihat derajat bagi dirimu. Jika kamu melihat de rajat bagi dirimu, maka tiada derajat bagimu di sisi-Ku,”

 

  1. Di antaranya: Menyombongkan Ibadah dan kesha lihan, harta dan ketampanan, nasab (keturunan) dan kekuatan serta sebab-sebab lainnya. Oleh karena itu, jauhilah silat sombong, walaupun sedikit. Dalam hadits disebutkan: “Tidaklah masuk surga orang yang terdapat sedikit sifat sombong di dalam hatinya.” Hal itu disebabkan sifat sombong mencegah pemiliknya dari memiliki akhlak yang baik, yang merupakan pintu-pintu surga. Maka dia tidak dapat bersikap rendah hati dan tidak mencintai saudaranya, seperti mencintai dirinya sendiri. Dia pun tidak dapat memaafkan dan bersabar.

 

Sebaliknya, kesombongan mendorongnya untuk berakhlak buruk, yang merupakan pintu-pintu neraka, misalnya dendam, dengki, dusta, marah, penghinaan terhadap orang lain dan keengganan menerima nasihat. Orang yang sombong tertutup hatinya dan petunjuk yang diberikan, sedikit pun tidak akan dihiraukan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “….. Demikianlah Allah menutup hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS. Al-Mukmin: 35).

 

Iblis dahulu menyembah Allah bersama para malaikat selama ribuan tahun. Ketika ia sombong, Allah melaknat dan mengusirnya dari surga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. la enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34).

 

Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu, karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (QS. A-A’raf: 13).

 

  1. Termasuk tanda-tanda sombong, ialah meninggikan diri di majlis-majlis dan mendahului teman-teman, memuji dirinya dan mence’a orang lain serta enggan menerima: kebenaran. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Kesom’ bongan adalah menolak kebenaran dan tidak mau menerimanya serta menghina orang lain.”

 

Dia tetap melakukan kesalahannya. Karena tidak ingin dibantah oleh siapa pun. Orang yang sombong menggunakan kekerasan dan kekasarannya apabila menasihati orang lain. Memalingkan pipi dan mencemberutkan wajahnya. Berjalan dengan sombong, menghentakkan kedua kakinya di bumi dan tidak suka orang lain mendahuluinya pada waktu berjalan.

 

Orang yang sombong suka bila orang lain berjalan di belakang dan orang-orang berdiri menyambutnya di dalam majlis, tidak mau mendahului memberi salam kepada orang lain dan apabila orang lain memberi salam kepadanya, dia tidak menjawab salamnya.

 

Termasuk tanda-tanda orang sombong pula, ialah apabila dia memandang kepada orang lain dengan mengejek. Dia ingin dikunjungi dan tidak mau berkunjung kepada orang lain. Dia tidak suka menghadiri majlis-majlis yang terdiri dari o: rang-orang lemah dan miskin. Tidak mau makan bersama mereka dan tidak memenuhi undangannya bila diundang. Juga tidak mau menjenguk orang sakit atau berlaku sopan terhadap mereka.

 

Orang yang sombong tidak mau melakukan pekerjaanpekerjaannya sendiri, tetapi menggunakan orang lain dan enggan membawa barang dengan tangannya.

 

Orang yang sombong tidak memakai pakaian biasa, kecuali yang mewah dengan tujuan menyombongkan dan membanggakan diri. Dan lain-lainnya.

  1. Seorang laki-laki makan di dekat Rasulullah saw dengan tangan kirinya. Kemudian beliau berkata kepadanya: “Makanlah dengan tangan kananmu.” Orang itu berkata: “Aku tidak bisa.”

 

Rasulullah saw. berkata: “Engkau tidak akan dapat melakukannya. Dia menolak karena dia sombong.”

 

Nabi berkata lagi: “Maka orang itu tidak bisa meng. angkat tangan ke mulutnya.”

 

  1. Sayyidina Ali ra. memberi sahayanya beberapa uang dirham untuk membeli dua baju yang berbeda harganya. Ketika membawa kedua baju itu. Sayyidina Ali memberinya baju yang lebih tipis tenunannya dan lebih mahal harganya serta menyimpan yang lain bagi dirinya. Sayyidina Ali berkata kepadanya: “Kamu lebih berhak memakai yang terbaik daripada aku, karena kamu masih muda dan seleramu suka yang bagus. Sedang aku telah tua dan cukuplah ini bagiku.”

 

  1. Tatkala Sayyidina Umar bin Khattab ra. dipanggil ke negeri Syam untuk melaksanakan penandatanganan perdamaian di salah satu wilayahnya, sebagaimana diisyaratkan penduduknya, maka beliau bergiliran menaiki kendaraan antara beliau dan sahayanya. Ketika mendekati kota, tibalah giliran sahaya itu menaikinya. Akhirnya, tibalah Sayyidina Umar di pangkalan pasukannya sambil berjalan, sementara sahayanya menaiki kendaraan.

 

  1. Sayyidina Husein bin Ali ra. melewati tempat orangorang miskin, sementara mereka makan roti di atas selembar kain. Kemudian mereka berkata: “Wahai Abu Abdillah, marilah makan siang.”

 

Maka Sayyidina Husein ra. turun dari kendaraannya dan membacakan ayat: “Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (QS. An-Nahl: 23).

 

Sayyidina Husein ra. makan bersama mereka, kemudian dia berkata: “Aku telah memenuhi undangan kalian, maka penuhilah undanganku.”

 

Maka mereka pergi bersamanya. Ketika tiba dirumahnya, beliau berkata kepada sahaya perempuannya: “Keluarkan makanan yang kamu simpan.”

 

  1. Diriwayatkan, pada suatu malam Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ra. kedatangan seorang tamu, ketika itu beliau sedang menulis, lampunya nyaris padam. Maka tamunya berkata: “Aku akan menghampiri lampu itu untuk memperbaikinya.”

 

Sayyidina Umar berkata: “Bukanlah merupakan kemurahan hati apabila seseorang dilayani oleh tamunya.” Orang itu berkata: “Apakah perlu aku bangunkan pelayan laki-laki itu?” Sayyidina Umar menjawab: “Dia baru tidur.” Kemudian Umar berdiri dan mengambil lampu, lalu mengisinya dengan minyak. Tamu itu berkata: “Engkau berdiri sendiri, wahai Amirul Mukminin!” Sayyidina Umar berkata: “Aku pergi dan namaku Umar. Aku pulang dan namaku Umar. Tidak mengurangi dariku sesuatu pun. Sebaik-baik manusia adalah orang yang rendah hati di sisi Allah.” .

 

  1. Diceritakan, Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhirrahimahullah memandang kepada Muhallab bin Abi Shufrah yang memakai pakaian hingga mengenai tanah dan menyeretnya sambil berjalan dengan sombong. Kemudian Mutharrif berkata: “Hai Abu Abdillah, kenapa kamu berjalan seperti ini, yang dibenci Allah dan Rasul-Nya?” Maka Al-Muhallab berkata: “Tidakkah kamu mengenal. aku?” Mutharrif menjawab: “Ya, aku mengenaimu. Pertama kali kamu adalah setetes air mani yang busuk, akhirnya menjadi bangkai yang kotor, sedangkan isi perutmu di antara itu adalah kencing dan kotoran.” Akhirnya, Muhallab tidak lagi berjalan seperti itu.

 

  1. Dari Umar bin Syabbah, dia berkata: “Pada saat aku di Makkah, berada di antara Shafa dan Marwah. Kemudian aku melihat seorang laki-laki yang menaiki baghal betina (peranakan kuda dan keledai) dan di depannya terdapat beberapa anak. Ternyata, mereka membentak orang-orang.

 

Selang beberapa waktu, aku kembali, kemudian memasuki jembatan. Ternyata, aku melihat seorang laki-laki yang ber. telanjang kaki dan terbuka kepalanya dengan rambut panjang. Lalu aku memandang dan merenungkannya.”

 

Maka dia berkata: “Mengapa kamu memandang kepa. daku?” , Aku jawab: “Aku serupakan kamu dengan seorang laki-laki yang kulihat di Makkah dan aku gambarkan sifatnya.”

 

Kemudian dia berkata: “Akulah orang itu.”

 

Maka aku bertanya: “Apa yang dilakukan Allah terhadapmu?”

 

Dia menjawab: “Aku meninggikan diri di tempat orangorang merendahkannya (di Makkah). Maka Allah merendahkan aku di mana orang-orang meninggikan diri (di bawah jembatan).”

 

  1. Al-Hajjaj bin Yusuf, seorang yang zalim dan sombong serta sering menumpahkan darah. Berita-beritanya yang buruk tersebut di kitab-kitab sejarah. Pada suatu hari, dia melihat seekor kumbang merayap menuju tempat shalatnya, lalu diusirnya, namun ia kembali. Kemudian diusirnya lagi, tetapi kumbang itu tetap kembali. Maka. dia mengambilnya dengan tangan dan dibuang. Akan tetapi kumbang itu menggigitnya hingga bengkak tangannya, lalu dia meninggal akibat gigitan kumbang tadi.

 

Demikian Allah menghinakannya, melalui sebab makhluk-Nya yang terlemah, sebagaimana Raja Namrud bin Kan’an, yang terbunuh oleh seekor nyamuk yang masuk ke ” hidungnya. Nyamuk itulah yang menyebabkan kebinasaannya.. Sering kali dia bertindak sewenang-wenang dan sombong hingga mengaku Tuhan. Dia mengganggu Sayyidina Ibrahim as. dan ingin membakarnya dengan api. Maka Allah menyelamatkannya dari api.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Kami berfirman: ‘Hai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim’.” (QS. Al-Anbiya’: 69).

 

  1. Begitu pula Allah membinasakan Fir’aun dengan menenggelamkannya di Sungai Nil dalam keadaan hina dina setelah dia berbuat sewenang-wenang dan aniaya serta berkata kepada kaumnya: “Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24).

 

Dia mengganggu Sayyidina Musa as., membunuh dan memenjarakan banyak orang serta menyiksa mereka dengan sekeras-kerasnya. Begitu pula Garun ketika menjadi sombong. Allah membenamkannya di bumi. Maka, dia pun masuk ke dalamnya hingga hari Kiamat, dan lain-lain.

 

Demikian pula yang tersebut dalam cerita-cerita kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, Luth dan Syu’aib. Maka Allah menyiksa mereka karena kesombongan dan kerusakan mereka di muka bumi. Sebagian mereka ada yang ditenggelamkan, diterpa angin yang sangat dingin lagi kencang, karena teriakan, karena batu-batu dan api yang menimpa mereka dari langit atau gempa yang keras.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, serta di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40).

  1. Ikhlas, adalah dasar dari amal-amal dan jiwanya Amalan tidak sah dan tidak diterima di sisi Allah bilamana tanpa ikhlas. Allah Ta’ala berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5).

 

“Ingatiah, hanya kepunyaan Allah agama yang ber. sih (dari syirik)…” (QS. Az-Zumar: 3).

 

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kaki tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37).

 

Makna ikhlas, ialah kamu beramal bagi Allah saja, agar Allah meridhai dan memberimu pahala. Hendaklah amalmu bersih dari campuran niat-niat lain, misalnya, mencari ketenaran, harta atau kedudukan.

 

  1. Hendaklah kamu bersikap ikhlas dalam keyakinan dan perkataan, agar menjadi orang mukmin yang benar dan beruntung serta mendapat ridha Tuhan sekalian alam. Waspadalah terhadap riya’ dalam hal itu, agar kamu selamat dari syirik dan dosa, di samping amalmu selamat dari penolakan dan sia-sia (tidak ada faedahnya). Dalam hadits disebutkan: “Serendah-rendah riya’ adalah syirik.”

 

Rasulullah saw. ditanya tentang seorang laki-laki yang berperang dengan landasan keberanian, karena harga diri atau riya’.. Manakah di antara semua itu yang fi sabilillah (di jalan Allah)? Maka Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa berperang (berlandaskan) agar kalimat Allah yang diatas, maka dia (termasuk) di jalan Allah.”

 

Disebutkan dalam hadits pula: “Sesungguhnya amalamal itu bergantung niatnya dan setiap orang itu mendapat hasil sesuai dengan “niatnya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena kesenangan dunia yang ingin dicapai atau perempuan yang ingin dinikahi, maka hijrahnya bergantung pada niatnya pada waktu hijrah.”

 

  1. Ketahuilah, ikhlas itu wajib dan orang yang mukhlis (ikhlas) itu dicintai Allah: sedangkan riya’ adalah haram dan termasuk dosa besar. Orang yang bersikap riya’ dibenci dan dimurkai di sisi Allah.

 

Allah Azza wa Jalla telah mencela orang-orang yang bersifat riya’ melalui firman-Nya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang yang berbuat riya’ dan enggan menolong dengan barang berguna.” (QS. Al-Maa’uun:4-7).

 

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bershalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa’: 142).

 

“Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan hartaharta mereka karena riya’ kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka ia adalah teman yang seburuk-buruknya.” (QS. An-Nisaa’: 38).

 

Allah Ta’ala Memuji orang-orang yang mukhlis melalui firman-Nya: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9).

 

Atas dasar ikhlas, Allah menjanjikan kepada orang-orang yang bertobat dari kaum munafik untuk menerima tobatnya dan memberi pahala yang besar bersama orang-orang mukmin yang beramal, melalui firman Allah Ta’ala:

 

“Kecuali orang-orang yang bertobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus Ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka, mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang yang beriman pahala yang besar.” (An-Nisa’: 146).

 

  1. Ketahuilah, orang-orang yang beramal dan tujuannya hanya sekedar riya’, Ia telah membiarkan dirinya untuk menghadapi kebinasaan dan siksa yang keras. Disebutkan dalam hadits: “Pertama kali yang ditanyakan pada hari Kiamat adalah tiga macam, yaitu: Seorang yang dikaruniai ilmu oleh Allah. Maka Allah bertanya: ‘Apa yang kamu lakukan dengan ilmumu?’ Orang itu menjawab: ‘Ya Tuhanku, aku mengamalkannya sepanjang malam dan siang.’ Maka Allah Ta’ala berfirman: ‘Kamu berdusta.’ Para malaikat pun berkata: “Kamu berdusta. Kamu hanya ingin dikatakan orang, bahwa si Fulan alim. Ingatlah, telah dikatakan begitu.”

 

Seorang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu Allah Ta’ala bertanya: ‘Aku telah memberimu kenikmatan. Apa yang kamu lakukan?’ Orang itu menjawab: ‘Ya Tuhanku, aku bersedekah dengannya sepanjang malam dan siang.’ ‘Maka Allah Ta’ala berfirman: ‘Kamu berdusta.’ Para malaikat pun berkata: “Kamu berdusta. Kamu hanya ingin dikatakan orang, bahwa si Fulan dermawan. Ingatlah, telah dikatakan begitu.”

 

Dan seorang yang terbunuh di jalan Allah Ta’ala. Maka Allah Ta’ala bertanya: ‘Apa yang kamu lakukan?’ Orang itu menjawab: ‘Ya Tuhanku, aku disuruh berjihad. Kemudian aku berperang hingga terbunuh.’ Maka Allah berfirman: ‘Kamu berdusta.’ Para malaikat pun berkata: “Kamu berdusta. Kamu hanya ingin dikatakan orang, bahwa si Fulan pemberani. Ingatlah, telah dikatakan begitu.” Mereka itulah makhluk pertama yang din yalakan api neraka baginya pada hari Kiamat.”

 

Dalam hadits lain disebutkan: “Barangsiapa belajar ilmu yang sebenarnya mengharapkan ridha Allah Azza wa Jalla dengannya, tetapi dia mempelajari untuk mendapat kesenangan duniawi, maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari Kiamat.”

 

  1. Adapun orang yang mempunyai dua niat untuk beramal, yaitu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan mendapat kesenangan nafsu, maka keadaannya dalam bahaya pula.

 

Bilamana kedua niat untuk beramal itu sama, maka lenyaplah pahalanya dan orang yang beramal itu tidak mendapat pahala, juga tidak dihukum. Jika niat keagamaannya lebih kuat, maka pahalanya tidak sia-sia, tetapi berkurang menurut kadar niat duniawinya. Adapun bilamana niat duniawinya lebih kuat sehingga apabila tidak terdapat niat tersebut, dia meninggalkan amalnya, maka sia-sialah pahalanya dan berdosalah orang yang beramal itu. Akan tetapi hukumnya lebih ringan daripada hukuman yang niatnya adalah riya’ semata-mata.

 

  1. Ketahuilah, orang yang riya’ itu mempunyai tiga tanda, sebagaimana Sayyidina Ali Karamalallahu Wajhahu berkata: “Orang yang riya’ itu malas apabila sendiran dan giat bilamana berada di antara orang banyak. Dia menambah amal bila dipuji dan menguranginya bila dicela.” Apabila kamu beramal karena Allah, kemudian orang-orang memujimu atas hal itu tanpa tujuan agar dipuji, maka tidaklah mengapa. Ini merupakan tanda diterima amalmu. Dalam hadits disebutkan:

 

“Ditanyakan kepada Rasulullah saw.: ‘Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang berbuat kebaikan dan dipuji oleh orang-orang?’ Beliau menjawab: ‘Itulah kabar gembira yang segera bagi orang Mukmin’. “Yakni, sebagaimana yang ditunjukkan melalui firman Allah Ta’ala: :

 

“Bagi mereka kabar gembira dalam kehidupan di dunia dan akhirat.” (QS. Yunus: 64).

 

  1. Contoh-contoh riya’ yang bercampur niat mendekatkan diri adalah banyak. Di antaranya: Apabila seseorang belajar ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ilmunya dan mencapai kebenaran serta kedudukan di sisi manusia atau untuk memperoleh harta: menulis Mushhaf (AlOur’an) agar bagus tulisannya: menunaikan shalat untuk mencegah (menghilangkan) rasa kantuk atau melatih badannya dengan gerakan-gerakannya: berpuasa untuk mendapat manfaat dari pantangan dan kesehatan: melakukan ibadah haji untuk menikmati dan menyaksikan negeri-negeri serta kondisi badan menjadi sehat dengan bepergian: atau berwudhu’ agar menjadi bersih atau dingin: mandi sunnah agar menjadi harum baunya: bersedekah agar dikatakan, bahwa dia orang dermawan atau mengurangi pengemis: menjenguk orang sakit agar dia dijenguk bila sakit atau membaca AlOur’an dan menyebut nama Allah agar dikatakan, bahwa dia rajin membaca Al-Our’an dan berdzikir. Maka, dia pun hanya memperoleh jabatan, harta atau kedudukan yang dimaksud.

 

Atau dia melakukan shalat Jumat, berjamaah, Tarawih atau berbakti kepada kedua orangtuanya, bukan karena menghendaki pahala saja, tetapi juga takut kepada manusia.

 

  1. Ketahuilah, tempat keikhlasan dan riya’ adalah dalam hati dan ia merupakan pusat pandangan Allah Azza wa Jalla.

 

Sebagaimana dijelaskan dalam hadits: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada tubuhmu dan tidak pula pada bentuk (rupa)mu, tetapi Dia (Allah) melihat pada hatimu.”

 

Dalam hadits lain: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik, baiklah tubuh seluruhnya. Dan apabila ia rusak, rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah, ia adalah hati.”

 

Oleh kareng itu, berusahalah dengan sungguh-sungguh dalam membersihkan hati dan jadikan keinginanmu terpusat kepada Tuhan agar memberimu pahala atas amal yang kamu perbuat.

 

Adapun manusia, maka mereka tidak dapat memberi manfaat dan menimbulkan bahaya bagi diri mereka. Bagaimana pula mereka dapat melakukan ini terhadap orang lain di dunia! Bagaimana pula di akhirat!

 

Allah Ta’ala berfirman: “… suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan . seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun.” (QS. Lukman: 33).

 

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya. Dari ibu dan bapaknya. Dari istri dan anak-anaknya.

 

Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya…” (QS. ‘Abasa: 34-37).

 

Maka, tidaklah bersikap riya’ dengan amal-amalnya, kecuali orang yang bodoh dan rugi, yang ditipu oleh setan dengan umpan dan perangsang yang dusta.

 

Dalam hadits disebutkan: “Apabila Allah mengumpulkan orang-orang terdahulu dan yang kemudian di hari Kiamat pada hari yang tiada keraguan di dalamnya, berserulah seorang malaikat: ‘Barangsiapa mempersekutukan Allah dengan seseorang dalam amalnya, maka biarlah dia meminta pahalanya dari orang itu. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sekutu!.”

  1. Diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa seorang laki-laki berkata kepadanya: “Aku berpuasa sepanjang tahun, wahai Rasulullah.” Maka beliau berkata kepadanya: “Kamu tidak berpuasa dan tidak berbuka.” Para ulama berkata: “Nabi mengucapkan demikian, karena dia menampakkan amalan puasanya.”

 

  1. Diriwayatkan, Sayyidina Umar bin Khattab ra. melihat Seorang laki-laki menundukkan lehernya. Kemudian dia berkata: “Hai pemilik leher, angkatlah lehermu. Khusyuk itu bukaniah dengan menundukkan leher, tetapi khusyuk itu di da. lam hati.”

 

  1. Dari Ibnu Mas’ud ra., bahwa dia mendengar Seorang laki-laki berkata: “Tadi malam aku membaca surat Al-Baga. rah.” Maka dia berkata: “Itulah bagian: yang didapatkannya dari surat tersebut.” Yakni, dia tidak mendapat pahala, karena bersikap riya’ dengan amalnya.

 

  1. Abu Umamah Al-Bahili ra. melihat seorang laki-laki di masjid sedang menangis dalam sujudnya. Lalu Abu Umamah berkata: “Kamu berbuat benar, seandainya ini terjadi di dalam rumahmu.”

 

  1. Diceritakan, seorang laki-laki menjamu Sufyan Ats. Tsauri dan para sahabatnya. Kemudian dia berkata kepada istrinya: “Berikan baki (talam) selain yang kubawa pada waktu haji pertama, tetapi pada waktu haji kedua.” Maka Sufyan AtsTsauri rahimahullah berkata: “Kasihan dia! Dia merusak kedua hajinya dengan ucapan ini.”

 

  1. Seorang laki-laki melakukan shalat dengan bersikap riya’. Kemudian dikatakan kepadanya: “Alangkah baiknya shalatmu!” Orang itu berkata: “Disamping itu, aku pun berpuasa.”

 

  1. Dikatakan kepada seorang yang bersikap riya’: “Berapa lama kamu tinggal di Irak?” Dia menjawab: “Sejak 20 tahun, dan aku berpuasa sejak 30 tahun.”

 

Mahmud Al-Warraq berkata:

Mereka menampakkan ibadah kepada ” manusia .dan demi uang mereka berbuat.

Mereka shalat dan puasa karena uang dan karena’uang mereka pergi haji dan ziarah.

Andaikata terlihat di atas bintang Tsurayya sedang mereka punya bulu, tentulah mereka terbang.

Ketahuilah, dendam itu akibat marah. Apabila manusia marah kepada seseorang dan tidak dapat membalas dendam kepadanya, kembalilah marah itu ke dalam batin, lalu dia menjadi dendam. Orang yang dendam tetap menunggu kesempatan hingga dia membalas dendam kepada orang yang dibencinya.

 

Sebagaimana penyair berkata:

 

Sesungguhnya musuh itu walaupun menunjukkan perdamaian Jika merasa kuat, pada suatu hari ia akan menyerang.

 

Dendam itu haram dan sangat tercela, seperti dengki. Artinya: Dia mengharapkan kehilangan kenikmatan dari orang yang menjadi sasaran dengki.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia?” yang Allah telah berikan kepada manusia itu?” (QS. An-Ni-sa’:54).

 

“Dan dari kejahatan orang yang mendengki bila dia dengki” (QS. Al-Falaq:5).

 

Nabi saw. bersabda: “Dendam dan dengki itu memakan pahala berbagai kebaikan seperti api memakan kayu.”

 

Beliau bersabda pula: “Orang mukmin itu tidak pendendam.”

 

Sabdanya juga: “Bukan termasuk golonganku orang yang mempunyai rasa dengki, melakukan namimah (mengadu domba) mau pun pergi ke dukun, dan aku pun bukan dari golongannya.”

 

Adapun rasa iri, yaitu mengharapkan keadaan seperti Orang yang menjadi sasaran iri hatinya tanpa mengharapkan kehilangan kenikmatan itu, maka sifat itu terpuji, karena ia menimbulkan persaingan sehat.

 

Rasa iri dalam berbagai urusan kebaikan justru dianjurkan. Allah Ta’ala berfirman: “…. untuk hal yang demikian itu hendaknya orang-orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin:26).

 

Dalam hadits disebutkan: “Orang mukmin itu iri hati, sedang orang munafik mendengki.” Dalam hadits yang lain: “Telah menjalar kepada kamu penyakit umat-umat sebelum kamu, yaitu dengki dan kebencian. Itulah yang akan mencukur. Aku tidak mengatakan: la mencukur rambut, tetapi mencukur agama.

 

Demi Allah’ yang menguasai nyawaku, kamu tidak akan masuk surga hingga beriman dan tidaklah kamu beriman hingga saling mencintai. Maukah aku tunjukkan Sesuatu yang jika kamu lakukan, maka kamu saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kamu.”

 

  1. Dendam dan dengki menyebabkan kepayahan hati dan bahaya tubuh. Sayyidina Ali ra. berkata: “Kesehatan tubuh disebabkan sedikit rasa dengki.”

 

Imam Al-Ashma’i berkata: “Aku berkata kepada seorang dusun yang berusia 120 tahun: “Alangkah panjang umurmu!’Orang itu menjawab: ‘Aku tinggalkan rasa dengki, maka aku berumur panjang’.”

 

Tidaklah lebih menyenangkan bagi manusia dan tidaklah lebih menjauhkan kesusahannya daripada hidup dengan hati bersih, tidak mendengki dan tidak mendendam terhadap seorang pun. Dan seperti inilah keadaan Rasulullah saw. Dalam hadits dijelaskan: “Janganlah salah seorang di antara para sahabatku menyampaikan kabar sesuatu kepadaku tentang seseorang, karena aku ingin keluar menghadap kalian dalam keadaan bersih hati.”

 

Di antara doa Rasulullah saw.: “Ya Allah, setiap nikmat yang aku rasakan pada waktu pagi atau dirasakan oleh seorang makhluk-Mu, maka ia berasal dari-Mu saja, tiada sekutu bagi-Mu. Maka, bagi-Mu-lah segala puji dan syukur.”

 

Dalam hadits disebutkan: Rasulullah saw. ditanya: “Manusia manakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Setiap orang yang bersih hati dan benar lisannya.” Ada yang mengatakan: “Benar lisannya kami ketahui, maka apakah arti bersih hati’?” Rasulullah saw. menjawab: “la adalah orang yang bersih hatinya dan bertakwa, tidak berdosa dan tidak berbuat zalim, tidak mendendam dan tidak mendengki.”

 

Allah telah menggambarkan kaum muslimin yang benar melalui firman-Nya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Al-Hasyr:10).

 

Penyair berkata:

 

Hai pencari kehidupan yang aman dan tentram, semata-mata tanpa kekeruhan, bersih tanpa kotoran

Bersihkan hatimu dari dendam dan dengki

Dendam di dalam hati, seperti belenggu di leher.

 

  1. Ketahuilah, pengaruh-pengaruh buruk dari dendam dan dengki tidak menimpa seorang saja, tetapi meluas kepada masyarakat. Maka hal itu menyebabkan berbagai bahaya yang sangat dan menimbulkan api fitnah serta permusuhan, Sehingga terjadi pemutusan hubungan antar saudara dan angGota keluarga serta suku.

 

Rasulullah saw. mencela pemutusan hubungan: “ya. nganlah kamu saling membenci, mendengki, menjauhi dan memutuskan hubungan. Akan tetapi, jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Diharamkan bagi Seorang muslim menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari.”

 

Dalam hadits lain: “Barangsiapa menjauhi sauda. ranya lebih dari tiga hari, lalu dia mati, maka dia masuk neraka.”

 

Rasulullah saw. bersabda pula: “Dibuka pintu-pintu surga pada hari Senin dan Kamis. Maka, setiap hamba . yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, diampuni dosanya, kecuali orang yang masih berlangsung permusuhan antara dia dan saudaranya. Maka dikatakan: “Tundalah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tundalah kedua orang ini sampai keduanya berdamai.”

 

Rasul saw. pun bersabda: “Allah Azza wa Jalla mengawasi hamba-hamba-Nya di malam pertengahan (Nisfu) Sya’ban, lalu mengampuni orang-orang yang memohon ampun dan merahmati orang-orang yang memohon rahmat serta menunda orang-orang yang menJendam, sebagaimana keadaan mereka.”

 

  1. Sebab-sebab dengki itu banyak, di antaranya:

 

Permusuhan dan kebencian. Orang yang dengki tidak ingin musuhnya memiliki suatu keutamaan. Oleh karena itu, dia mendengki terhadapnya atas kenikmatan itu.

 

Meninggikan diri dan bersikap sombong. Dia tidak rela seseorang menampakkan suatu sifat baik, agar tidak menyombongkan sifat itu kepadanya. Oleh sebab itu, dia mengharapkan tidak ada kebaikan padanya (orang lain).

 

Takut tidak mencapai maksudnya. Ini biasanya terjadi antar kerabat dan teman. Sesama saudara saling mendengki atas timbulnya kedudukan di dalam hati ayah dan ibu. Sesama murid saling mendengki karena mendapat kedudukan di sisi guru. Sesama pedagang saling mendengki karena banyak langganan, dan lain-lain. Sebagaimana dikatakan: Musuh manusia ialah orang yang bekerja seperti pekerjaannya.

 

Jiwa yang jahat dan watak yang rendah. Ini adalah sebab terpenting dan paling buruk. Dia tidak menginginkan kebaikan bagi seseorang dan merasa berat atas terlihatnya kenikmatan Allah atas hamba-hamba-Nya. Dia pun bersedih bila melihat orang-orang dalam keadaan sehat dan afiat, tentram dan aman. la gembira bila mereka ditimpa musibah, sehingga kacau urusannya, harga-harga menjadi mahal dan tersebar di antara mereka penyakit serta permusuhan. Orang ini adalah musuh kenikmatan-kenikmatan Allah dan dengkinya mantap, sedangkan pengobatannya sulit sekali, karena dia tidak senang, kecuali nikmat-nikmat Allah lenyap dari para hamba-Nya.

 

5.Sungguh baik penyair yang berkata:

 

Setiap permusuhan dapat diharapkan menohilangkannya, kecuali permusuhan orang yang memusuhimu karena dengki karena di dalam hati ada ikatan yang membelitnya, tiada seorang pun yang dapat membukanya untuk selamanya

Kecuali Tuhan, jika Dia mengasihani, dilepaskannya.

Jika Dia menolak, maka jangan mengharapkannya dari seorang pun.

 

Di antara mereka ada orang-orang yang memusuhi orang-orang yang memperbaiki negeri dan memberi manfaat bagi umat. Mereka menentang pekerjaan-pekerjaan dan menghambat proyek-proyeknya karena dengki dan berniat jahat. Oleh karena itu, janganlah kamu bergaul dengan mereka dan jauhilah, seperti orang sehat yang menjauhi penderita – Sakit kudis, serta dukunglah orang sehat yang menjauhi penderita sakit kudis, serta dukunglah orang-orang yang mengadakan perbaikan itu dengan kekuatan yang ada padamu.

 

  1. Di antara sifat-sifat yang menyertai dendam, adalah buruk sangka, menyelidiki aib (cela) dan suka menyiarkan perbuatan keji. Allah Ta’ala berfiman: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An. Nuur:19).

 

Dari Ibnu Umar ra., dia berkata: Rasulullah saw. naik mimbar, lalu beliau berseru dengan suara sekeras-kerasnya: “Hai, orang masuk Islam dengan lisannya, namun iman tidak masuk ke hatinya. Janganlah kamu mengganggu kaum muslimin, menjelekkan, dan menyelidiki aib (cela) mereka, karena barangsiapa menyelidiki aib (cela) saudaranya muslim, maka Allah menyelidiki aib (cela)nya. Dan barangsiapa yang diselidiki Allah aibnya, maka Allah akan menyingkapnya (membuka rahasianya) walaupun di dalam rumahya.”

 

Pada suatu hari Ibnu Umar memandang Ka’bah, lalu berkata: “Alangkah agung kamu dan alangkah agung kehormatanmu, sedang orang mukmin lebih besar kehormatannya di sisi Allah daripada kamu (Ka’bah).”

 

Termasuk karunia Allah atas hamba-hamba-Nya ialah Dia (Allah) suka menutupi kejelekan-kejelekan dan menamakan diri-Nya As-Sattar (Yang Maha Menutupi kejelekan).

 

Dalam hadits dijelaskan: “Tidaklah seorang hamba menutupi kejelekan seorang hamba lainnya di dunia, melainkan Allah Ta’ala menutupi kejelekannya di hari Kiamat.”

 

  1. Maka, wajiblah kamu waspada dari dendam dan dengki sekuat tenaga. Apabila kamu terjerumus ke dalamnya, segeralah bertobat dan obatilah hatimu yang sakit dengan . obat-obat yang manjur berikut:

 

Pertama: Hendaklah kamu ketahui, bahwa dengki itu membahayakan dalam agama dan duniamu. Adapun bahaya di dunia, maka dengan sebab dengki itu kamu selalu berada dalam kesusahan dan keresahan, kekeruhan dan kesedihan.

 

Kamu ingin mengganggu orang lain dengan dengkimu, tetapi sebenarnya kamu mengganggu dirimu sendiri. Maka, siksaan yang kamu kehendaki bagi musuhmu, justru menimpamu, sedangkan nikmat-nikmat Allah SWT. tetap tidak hilang dari orang yang menjadi sasaran dengkimu.

 

la berkata sebagaimana kata penyair:

 

Jika mereka dengki kepadaku, maka Sesungguhnya aku tidak menyalahkan mereka.

Sebelum aku, orang-orang yang baik telah menjadi sasaran dengki.

Tetaplah padaku dan mereka apa yang aku dan mereka alami.

Kebanyakan kita mati karena jengkel alas apa yang dirasakan.

 

Adapun bahayanya dalam agama, maka dengan dengki kamu tidak menyukai keputusan Allah dan tidak menyukai kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Dengan itu kamu berbuat kejahatan besar kepada dirimu dan melakukan dosa besar serta patut mendapat siksa yang pedih atas hal itu di akhirat.

 

Penyair berkata:

 

Hai orang yang dengki pada nikmatku, tahukah kamu, kepada siapa kamu berlaku buruk?

Kamu berlaku buruk kepada Allah

Mengenai hukum-Nya karena engkau tidak senang atas karunia-Nya bagiku

Maka, Tuhanku membalasnya dengan menambah nikmatku dan menutupi berbagai permintaanmu.

 

Kedua: Hendaklah kamu memperlakukan orang yang menjadi sasaran dengkimu dengan kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh kedengkian itu. Maka, paksakanlah lisanmu untuk memuji dan menampakkan kegembiraan atas nikmat nikmat Allah padanya.

 

Bersikap rendah hatilah kepadanya dan tersenyum didepannya serta mengajukan alasan kepadanya atas kekurangan dalam menunaikan hak haknya. Mulailah memberi salam jika bertemu dengannya. Ringkasnya, tunjukkanlah kasih sayang kepadanya dengan segenap kemampuanmu. Harus memaksakan diri dengan perlakuan ini dan memerangi dirimu untuk melakukan Itu pada permulaan, sehingga akhu. nya menjadi perilaku dan watak.

 

Dengan demikian, Insya Allah hatimu menjadi sehat dari penyakit dengki dan kamu pun dicintai oleh hati orang yang menjadi sasaran dengki. Di samping itu, hati kalian akan saling menyayang dan berakibat setan menjadi hina.

 

Telah disebutkan dalam hadits, bahwa manusia tidak luput dari dengki, buruk sangka dan firasat buruk (sikap pesimis). Akan tetapi ia tidak boleh berbuat menurut ketiga sifat ini.

 

Rasulullah saw. bersabda: “Ada tiga perkara, yang seorang pun tidak luput darinya, yaitu dengki, sangkaan dan firasat buruk.

 

Maukah kalian kuberitahu tentang jalan keluar dari itu? Apabila kalian mendengki, jangan berbuat zalim. Jika menyangka, jangan memastikan. Dan jika berfirasat buruk, maka teruskanlah.” Yakni jangan mundur sebab firasat buruk dari perkara yang kamu inginkan.

 

Apabila kamu senang pada nikmat seseorang, maka mohonlah dari Allah seperti itu, karena Allah Ta’ala Maha Pemurah dan Maha Pemberi. Berusahalah untuk memperolehnya, karena barangsiapa bersungguh-sungguh, dia pun berhasil.

 

Penyair berkata:

 

Apabila kamu senang dengan sifat-sifat seseorang maka jadilah seperti dia dan kamu mendapat apa yang kamu senangi.

Tidaklah ada hambatan yang menghalangimu bila kamu ingin mencapai kebesaran dan kemuliaan.

  1. Abdullah bin Ubay bin Salul ingin diberi mahkota oleh bani Khazraj dan dijadikan raja mereka. Kemudian Rasulullah saw. hijrah ke Madinah dan gagallah pemahkotaannya. Maka dia pun mendengki kepada Rasulullah saw. dan menyembunyikan permusuhan terhadapnya. Dia masuk Islam pada Iahirnya, padahal sebenarnya dia termasuk tokoh munafikin, bahkan pemimpin mereka.

 

Dia mengganggu Rasulullah saw. dengan gangguan yang keras, hingga ia mati dalam keadaan kafir. Semoga Allah melindungi kita. Allah melarang Nabi-Nya menyalatinya melalui firman-Nya:

 

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyalati (jenazah) seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At-Taubah:84) |

 

Kalau saja dia tidak dengki, tentulah dia masuk Islam dan baik Islamnya, serta menjadi seperti kaum orang Anshar yang membela agama.

 

  1. Begitu pula keadaan iblis. Ketika ia mendengki Adam atas pilihan yang dikhususkan Allah dan menolak sujud kepadanya, maka Allah melaknatnya hingga hari Kiamat dan mengusirnya di antara malaikat yang dekat dengan Allah serta menurunkannya ke bumi. Maka, ia pun menjadi teladan bagi orang-orang yang kafir dan fasik. Begitu pula keadaan kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka mengetahui kebenaran Rasulullah.

 

Sebagaimana Aliah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenainya (Muhammad) seperti mereka mengenali anakanaknya sendiri…” (QS. Al-An’am:20).

 

Akan tetapi, mereka tidak beriman padanya karena dengki. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “….maka se. telah datang kepada mereka apa yang telah mereka ke. tahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah. lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (QS. Al-Baqarah:89).

 

Begitu pula orang-orang kafir Makkah. Sifat dengki mencegah mereka untuk beriman, sebagaimina Allah memberi tahu tentang mereka melalui firman-Nya: “Dan tatkala kebenaran (Al-Gur’an) itu datang kepada mereka, maka mereka berkata: ‘Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya.” (QS. Az-Zukhruf:30)

 

“Orang-orang kafir dari Ahlulkitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan orang yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Baqarah:105).

 

  1. Seperti kedengkian di atas termasuk kedengkian Qabil, putra Sayyidina Adam as., terhadap saudaranya, Habil, lalu membunuhnya secara aniaya. Maka dia adalah manusia pertama yang terbunuh di muka bumi ini.

 

Dalam hadits disebutkan: “Tidak ada jiwa yang terbunuh secara aniaya, kecuali putra Adam yang pertama menanggung dosa dari pembunuhnya, karena dia adalah orang pertama yang mengadakan pembunuhan.”

 

Disebutkan pula: “Barang siapa mengadakan contoh perbuatan yang baik dalam Islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa mengadakan contoh perbuatan buruk dalam Islam, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkan sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”

  1. Ghibah, termasuk cacat lisan terbesar dan dosa besar. la mempunyai berbagai bahaya besar, karena ia membangkitkan api fitnah dan memutuskan ikatan-ikatan kerukunan dan cinta kasih di antara orang-orang.

 

Arti ghibah disebutkan dalam sebuah hadits: “Tahukah kalian, apakah ghibah itu?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu menyebut saudaramu dengan sifat yang tidak disukainya.” Ada yang mengatakan: “Apakah pendapatmu jika pada saudaraku terdapat apa yang aku katakan?”

 

Rasulullah saw. menjawab: “Jika terdapat padanya apa yang kamu katakan, maka kamu telah menggunjingnya. Jika tidak terdapat padanya apa yang kamu katakan, maka kamu telah memfitnahnya (berdusta dengannya).”

 

Ghibah itu dilakukan dengan menyebut aib-aib dalam agama orang yang digunjingkan, badan, nasab (silsilah keturunan) atau akhlaknya, dan dalam setiap sifat yang dinisbatkan (dihubungkan) kepadanya hingga mengenai baju dan rumahnya. Hal itu dilakukan dengan perkataan, tulisan, isyarat atau tiruan, misalnya, berjalan di belakang orang pincang dengan pura-pura pincang.

 

  1. Telah disebutkan mengenai tercelanya ghibah dan peringatan serta ancaman terhadapnya dalam ayat-ayat dan beberapa hadits. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman: “Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al Humazah:1). Yakni, orang yang banyak menggunjingkan orang.

 

Allah menyerupakan pelakunya dengan pemakan daging bangkai. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: “…. dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya…” (QS. Al-Hujurat:12).

 

Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kamu menggunjing orang, karena penggunjingan (ghibah) itu lebih berat daripada zina. Adakalanya orang yang zina kemudian bertobat, lalu Allah menerima tobatnya. Tetapi pelaku ghibah tidak diampuni dosanya hingga orang yang digunjingkan memaafkannya.”

 

  1. Sabdanya pula: “Ketika aku mi’raj, aku melewati suatu kaum yang mempunyai kuku-kuku tembaga dan mencakar muka dan dada mereka. Kemudian aku berkata: ‘Siapakah mereka itu, wahai Jibril?’ Jibril menjawab: ‘Orang-orang yang makan daging orang lain dan mencaci maki kehormatan mereka’.”

 

Dari Aisyah ra., dia berkata: Aku berkata pada Rasulullah saw. “Cukuplah engkau, bahwa shafiyah (salah seorang istri Nabi) mempunyai sifat begini dan begini.” .

 

Seorang perawi berkata: Maksudnya pendek. Maka Rasul saw. bersabda: “Kamu telah mengucapkan perkataan yang seandainya dicampur dengan air laut, niscaya ia menodainya.” Yakni membusukkan dan mengubah baunya.

 

Dari Jabir bin Abdillah ra., dia berkata: “Kami sedang bersama Rasulullah saw. ketika tertiup angin busuk.” Maka Rasulullah saw. bertanya: “Tahukah kalian, apakah angin ini? Ini adalah angin orang-orang yang menggunjingkan orang-orang mukmin.”

 

Dalam hadits pula: “Barang siapa makan daging saudaranya di dunia, maka daging itu dihidangkan kepadanya pada hari Kiamat. Kemudian dikatakan kepadanya: Makanlah ia dalam keadaan mati, sebagaimana kamu memakannya dalam keadaan hidup. Maka ia pun memakannya dan cemberut serta berteriak.”

 

  1. Banyak sebab yang menimbulkan ghibah, di antaranya. A. Apabila marah kepada seseorang dan ingin melampiaskan kejengkelan terhadapnya, sehingga dia menggunjingkannya. Apabila dia tidak mampu melakukan itu, tertahanlah kemarahannya di dalam hatinya dan menjadi dendam. Sebab dendam itu dia selalu menggunjingkan orang lain.

 

  1. Apabila dia menghadiri suatu majlis, lalu penghuninya menggunjingkan seseorang sehingga dia ikut serta dengan mereka dalam bermaksiat, karena berbasa-basi dengan mereka dan takut mereka kecewa padanya serta memusuhinya, seandainya dia menegur atau meninggalkan majlis mereka.

 

  1. Kesombongan. Orang yang sombong biasanya merendahkan dan mengejek orang lain serta menghina mereka, baik secara tegas atau sindiran. Misalnya, dia berkata: Si Fulan bodoh dan bebal. Untuk menyatakan, bahwa dirinya seorang yang pandai dan cerdas.

 

  1. Dengki, karena dia tidak suka orang-orang memuji orang lain. Maka dia pun mencelanya di dekat mereka agar mereka tidak mencintai dan menghormatinya.

 

  1. Menghabiskan waktu untuk tertawa dan omong kosong, sehingga dia bergurau dengan mencela kehormatan orang lain.

 

  1. Ghibah itu mudah diucapkan, karena sering dilakukan dan menjadi kebiasaan. Oleh karena itu, lihatlah, banyak orang tidak menjauhi maksiat yang besar ini. Maka, tidaklah kamu mendapati kebanyakan majlis, kecuali penuh dengan ghibah, terutama pada kaum wanita, karena ghibah itu menyenangkan dan hiburan bagi mereka. Maka, waspadalah terhadap kebiasaan yang tersebar ini, agar kamu selamat di dunia dan akhirat serta hidup senang.

 

Hendaklah kamu menyendiri bila tidak menemukan teman yang shalih, agar kamu selamat dari ghibah.

 

Dalam hadits dijelaskan: “Menyendiri itu lebih baik daripada teman yang buruk, sedang teman yang shalih lebih baik daripada menyendiri.”

 

Hiburlah dirimu dengan menaati Tuhanmu dan membaca kitab-kitabmu, karena di sana terdapat keselamatan dan afiat serta keberuntungan yang besar.

 

Al-Mutanabbi rahimahullah berkata:

 

Tempat termulia di dunia adalah punggung orang yang berenang dan sebaik-baik teman duduk di setiap waktu adalah kitab.

 

  1. Hendaklah kamu menjaga lisan, karena sebagaimana dikatakan orang bijak: “Kecil bentuknya, tetapi besar dosanya.”

 

Penyair berkata:

Hai manusia, jagalah lidahmu,

Jangan sampai ia menyengatmu, karena ia adalah ular.

Banyak orang di dalam kubur terbunuh karena lisannya.

Padahal banyak pemberani takut menghadapinya.

 

Apabila kamu mendengar penggunjingan terhadap seorang muslim, maka belalah dia dan cegahlah penggunjing itu dari meneruskan ghibahnya, dan putuskanlah omongannya serta bicaralah tentang masalah lain.

 

Dalam hadits dijelaskan: “Barangsiapa .membela kehormatan saudaranya, maka Allah menolak api neraka dari wajahnya di hari Kiamat.”

 

Dalam hadits pula: “Barang siapa mendengar seorang mukmin dihina di dekatnya, sedang dia tidak membelanya, padahal dia mampu membelanya, maka Allah menghinakannya di hadapan para makhluk pada hari Kiamat.”

 

Jika kamu: tidak dapat membelanya, maka ingkarilah ghibah itu dengan hatimu atau keluarlah dari majlis itu. Waspadalah agar jangan tetap diam atau menunjukkan persetujuan dengan orang yang mengunjing itu, sehingga menjadi sekutunya: dalam dosa. Sebagaimana dalam hadits: “Pendengar itu termasuk salah seorang penggunjing.”

 

  1. Ghibah di dalam hati, yang disebut buruk sangka (su’udzan)., juga diharamkan. Misalnya, bila seorang berjalan di depanmu dan tidak memberi salam atau temanmu tidak mengunjungimu, sehingga kamu beranggapan bahwa keduanya kurang memenuhi hak-hakmu: berlaku sombong terhadapmu sehingga hatimu menjauh dari keduanya: seSeorang memujimu, tetapi kamu mengartikan pujiannya sebagai ejekan dan olok-olok terhadapmu: atau ada dua orang berbisik-bisik, lalu kamu menyangka kedua orang itu menjelekkan kamu.

 

Terkadang kamu meminta sesuatu dari seorang teman atau tetanggamu, lalu dia mengajukan keberatan untuk memberikannya sehingga kamu menyangkanya kikir, tidak suka menolongmu atau menyembunyikan kebencian kepadamu, dan contoh-contoh lainnya. Semua itu adalah haram.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12).

 

Dalam hadits disebutkan: “Dua sifat yang tidak diungguli oleh suatu kebaikan, yaitu baik sangka kepada Allah dan hamba-hamba-Nya. Dua sifat yang tidak diungguli oleh suatu keburukan, yaitu buruk sangka kepada Allah dan hamba-hamba-Nya.”

 

  1. Terkadang dibenarkan (dibolehkan) ghibah untuk tujuan-tujuan yang benar menurut syariat agama: dan tidak mungkin mencapai tujuan-tujuan ini, kecuali dengannya. Hal itu dilakukan dalam keadaan terpaksa. sebagaimana dibolehkan makan bangkai.

 

Allah Ta’ala berfirman: “…kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya…” (QS. Al-An’am:119).

 

Bukan karena tujuan dengki dan menjelek-jelekkan kehormatan orang lain. Dalam hal ini ada enam sebab:

 

Pertama: Apabila orang teraniaya mengadukan kepada penguasa (hakim), misalnya, agar membela haknya terhadap orang itu, atau murid yang mengadukan temannya yang mengambil bukunya, misalnya, kepada guru, agar dia mengembalikan bukunya. Atau orang yang mengutangkan uangnya mengadukan orang yang diutangi dan menunda-nunda pembayaran kepada orang yang dapat mengambil kembali hak darinya.

 

Dalam hadits dijelaskan: “Sesungguhnya pemilik hak Itu boleh bicara.”

 

Dalam hadits lain: “Penunda-nundaan orang yang mampu atas utangnya, menghalalkan orang menyinggung kehormatan dan menghukumnya.” Yakni, orang yang mengutangkan uangnya boleh berkata: “Orang yang berutang itu menganiaya aku.” Hal itu menyebabkan dia halal dihukum dengan penjara dan takzir (mendera dengan pukulan). Ini dilakukan oleh penguasa.

 

Seorang laki-laki bertamu kepada suatu kaum, namun mereka tidak menerimanya dengan baik. Setelah keluar, dia ‘berbicara tentang keburukan perlakuan mereka secara terang-terangan. Maka turunlah firman Allah Ta’ala: “Allah tidak menyukai ucapan buruk  (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. AnNisa’:148).

 

Kedua: Apabila dia menggunakan ghibah untuk menghilangkan kemungkaran, lalu dia berkata kepada orang yang mampu menolak orang yang bermaksiat dari kemaksiatannya: Si Fulan berbuat begini, maka cegahlah dia dari perbuatan tersebut: dan sebagainya.

 

Ketiga : Apabila dia bertanya kepada mufti (pemberi fatwa atau hakim agama), misalnya, Si Fulan menganiaya aku, apakah dia boleh melakukan hal itu? Bagaimana aku dapat melepaskan diri dari kezalimannya? Penentuan ini boleh. Akan tetapi yang lebih baik ialah tidak menyebutkan namanya.

 

Diriwayatkan dari Hindun binti Utbah, bahwa dia berkata kepada Nabi saw.: “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak memberiku belanja yang cukup bagiku dan anak-anakku, kecuali apa yang kuambil darinya, sedang dia tidak mengetahui.” Kemudian Nabi saw. bersabda: “Ambillah (uang) belanja yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.”

 

Keempat: Apabila seseorang memperingatkan orang muslim terhadap kejahatan: maka bilamana seseorang meminta nasihat tentang persekutuan dagang dengan seseorang, menitipkan amanat padanya, mengenai muamalah (hubungan kerja) dengannya, atau yang lainnya, maka wajiblah atasnya sebagai penasihat mengungkapkan keadaan orang itu bagi orang yang meminta nasihat. Di samping itu, dia harus menyebutkan aib-aibnya menurut kebutuhannya dengan tujuan nasihat semata-mata. Dalam hadits disebutkan: “Penasihat itu dibebani amanat.”

 

Kelima: Apabila seseorang bertujuan mengenalkan seseorang kepadanya, bukan dengan tujuan mengganggu atau merendahkan, dengan mengatakan: Fulan si pincang, si Mata juling atau si Mata kabur (sering mengeluarkan air mata), apabila dia memang dijuluki demikian. Seandainya dapat mengenalkan dengan selain itu, maka hal itu lebih utama dar selamat.

 

Keenam: Apabila seseorang menunjukan kefasikan dan bid’ahnya secara terang-terangan, misalnya, orang yang terang-terangan minum khamar (arak) dan makan riba dan main judi. Maka boleh menyebutkan maksiat-maksiat yang dilakukan, karena yang demikian itu dibolehkan, sebagaimana dalam hadits: “Orang yang meletakkan baju malu pada dirinya, maka dia tidak akan dighibah (digunjing) Dalam hadits lain: “Apakah kalian keberatan menyebut orang fajir? Sebutlah kejelekannya, agar orang-orang mengenalnya, sebutlah sifatnya agar orang-orang mewaspadainya.”

 

Dalam hadits pula: “Bahwa seorang laki-laki minta izin masuk kepada Nabi saw. Maka beliau berkata: Izinkan dia masuk. Dia adalah seburuk-buruk orang di antara keluarganya.’ Ketika orang itu masuk, Nabi saw. berkata lembut kepadanya, kemudian beliau bersabda: “Hai Aisyah, sesungguhnya sejahat-jahat manusia ialah yang dimuliakan karena menghindari kejahatannya!.”

 

  1. Orang yang menggunjing harus menyesal dan bertobat. Ada empat syarat untuk tobat dari ghibah, seperti maksiat-maksiat lainnya, yaitu: Menyesal di dalam hati, berhenti dari dosa, bertekad untuk tidak kembali melakukan dosa itu serta minta dihalalkan dari orang yang digunjingkannya dengan meminta maaf dan bersikap murah hati.

 

Dalam hadits, diterangkan: “Barangsiapa mempunyai tanggungan terhadap kehormatan atau harta saudaranya, hendaklah dia minta dihalalkan darinya sebelum datang suatu hari, di mana tidak terdapat dinar maupun dirham, tetapi diambil dari kebaikan-kebaikannya. Bilamana dia tidak mempunyai kebaikan-kebaikan, diambillah dari dosa-dosa temannya, lalu ditambahkan pada dosa-dosanya.”

 

Jika orang yang digunjingkannya tidak ada atau sudah meninggal, dan tidak mungkin bisa dihalalkan darinya, maka patutlah dia memperbanyak do’a dan istighfar ( memohonkan ampunan) baginya dan menambah perbuatan baik.

  1. Sahabat Anas ra. berkata: Rasulullah saw. memerintah orang-orang agar berpuasa pada suatu hari. Kemudian. beliau bersabda: “Janganlah seseorang berbuka hingga aku mengizinkan baginya.” Maka orang-orang berpuasa, hingga pada waktu sore ada orang datang, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku tetap berpuasa, maka izinkanlah aku berbuka.” Maka, beliau mengizinkan baginya.

 

Kemudian datang seorang laki-laki, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, dua anak perempuan dari keluargaku tetap berpuasa dan keduanya merasa malu untuk datang kepada Anda. Maka izinkanlah bagi keduanya berbuka puasa.” Maka Rasulullah berpaling darinya. Kemudian orang itu datang lagi dan berkata: “Wahai Rasulullah, demi Allah, kedua perempuan itu telah meninggal atau hampir meninggal (sekarat).” Kemudian Rasulullah bersabda: “Bawalah keduanya kepadaku.” Maka kedua anak perempuan itu datang, lalu Rasulullah meminta sebuah gelas, setelah itu bersabda kepada salah seorang di antara mereka: “Muntahkanlah.” Maka dia pun muntah nanah, darah dan bercampur antara nanah dan darah sehingga memenuhi gelas itu. Kemudian Nabi saw. bersabda kepada perempuan yang lain: “Muntahkanlah.” Maka dia pun muntah. Kemudian Nabi berkata:

 

“Sesungguhnya kedua gadis ini berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah bagi mereka dan berbuka dengan apa yang diharamkan Allah atasnya. Yang satu duduk menghadap yang lain dan selalu memakan daging orang orang (menggunjing orang).”

 

2. Diriwayatkan dari Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah, bahwa seorang laki-laki berkata kepadanya: “Si Fulan telah menggunjingkanmu.” Maka dia mengirimkan kurma diatas talam (baki). Imam Hasan berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa kamu menghadiahkan kebaikan-kebaikanmu ‘ kepadaku, maka aku Ingin membalasnya. Maafkan aku, karena aku tidak dapat membalasmu sepenuhnya.”

  1. Namimah, lalah menyampaikan omongan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak dan memfitnah di antara mereka. Namimah termasuk dosa besar karena menimbulkan kerusakan besar dan lebih berat daripada ghibah.

 

Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.” (QS. Al-Qalam:10-11).

 

Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah masuk surga pengadu domba.”

 

Rasulullah saw. juga bersabda: “Yang paling dicintai Allah di antara kamu ialah orang-orang yang terbaik akhlaknya, orang-orang yang merendahkan diri, yang mencintai dan dicintai. Sesungguhnya yang paling dibenci Allah di antara kamu ialah orang-orang yang berjalan mengadu domba, yang memecah belah di antara sesama saudara dan suka mencari kesalahan orang-orang yang tidak bersalah.”

 

Sabdanya pula: “Sesungguhnya namimah dan dendam ada di dalam neraka. Keduanya tidak berkumpul dalam hati seorang muslim.”

 

Rasulullah saw. melewati dua kubur. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya kedua orang itu disiksa dan mereka mengira disiksa itu bukan karena melakukan dosa besar. Sesungguhnya itu adalah dosa besar. Yaitu, yang satu berjalan dengan mengadu domba, sedang yang lain tidak membersihkan (mensucikan) anggota badan dari kencingnya.”

 

  1. Yahya bin Aktsam berkata: Orang yang mengadu domba itu lebih jahat daripada orang yang mendengki. Pengadu domba berbuat dalam sesaat apa yang tidak dilakukan oleh tukang sihir dalam sebulan.

 

Dikatakan: Perbuatan mengadu domba lebih berbahaya daripada perbuatan setan, karena perbuatan setan dilakukan dengan khayalan dan godaan, sedangkan perbuat-an mengadu domba dengan berhadapan dan memandang. Dikatakan: Siksa kubur itu ada tiga bagian: Sepertiga karena ghibah, sepertiga karena tidak suci dari kencing dan sepertiga karena namimah.

 

  1. Jangan pula kamu melakukan si’aayah, yaitu menyampaikan omongan dan berita kepada orang yang ditakuti karena kekerasannya, misalnya, para penguasa dan pemimpin. Hal itu bertujuan untuk membujuk mereka agar meng-ganggu orang yang disebutkan kepadanya, dengan memenjarakan, membunuh atau merampas hartanya. Si’aayah itu lebih keji daripada namimah dan dosanya dilipatgandakan.

 

Dalam hadits dijelaskan: “Barangsiapa mengadukan orang yang tidak bersalah kepada penguasa, maka dia bukan anak halal.”

 

Yang lebih jahat lagi daripada pengadu domba, adalah orang yang mempunyai dua lisan dan dua wajah. Yaitu yang menyampaikan omongan dua orang yang saling bermusuhan. dari yang satu kepada yang lain, sedang namimah adalah menyampaikan omongan salah satu pihak saja.

 

Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mempunyai dua wajah di dunia, maka dia kelak mempunyai dua lisan dari api neraka di hari Kiamat.”

 

Beliau bersabda pula: “Kalian akan mendapati sejahat-jahat orang pada hari Kiamat di sisi Allah, yaitu pemilik dua muka yang mendatangi pihak ini dengan satu muka dan mendatangi pihak itu dengan muka lain.”

 

  1. Apabila kamu diganggu oleh seorang pelaku namimah, maka hendaklah memperhatikan enam perkara berikut:

 

Pertama: Jangan mempercayainya, karena pelaku namimah itu fasik dan ditolak kesaksiannya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat:6).

 

Datang seorang laki-laki kepada Sayyidina Ali bin Husein ra., lalu menyampaikan omongan orang lain terhadapnya. Maka beliau bersabda: “Marilah kita pergi kepadanya.” Kemudian Sayyidina Ali pergi bersamanya, sementara orang itu beranggapan bahwa Sayyidina Ali akan membela dirinya. Ketika tiba kepadanya, Sayyidina Ali berkata: “Hai saudaraku, jika apa yang kamu katakan tentang diriku adalah benar, maka semoga Allah mengampuni dosaku. Jika bohong, semoga Allah mengampuni dosamu.”

 

Kedua: Hendaklah kamu membencinya karena Allah Ta’ala, dan kamu wajib membenci orang yang dibenci Allah. Bagaimana tidak, sedangkan kebiasaan pelaku namimah adalah dusta dan ghibah, curang dan khianat, perilakunya adalah dengki dan merusak antara orang. Pelaku namimah adalah musuh bagimu. la telah mengeruhkan kejernihan dan berupaya memecah belah antara kamu dan para kekasihmu serta berani memakimu.

 

Penyair berkata:

Barangsiapa yang mengabari bahwa seseorang memakimu, maka dialah yang memaki, bukan orang yang memakimu. Itu adalah sesuatu yang tidak dilakukannya terhadapmu yang salah ialah orang yang memberitahu kamu.

 

Mengapa dia tidak membelamu jika dia benar melakukan pembelaan di dekat orang yang menganiayamu.

 

Sebagaimana pelaku namimah, ialah menyampaikan omongan orang lain kepadamu: dia pun menyampaikan omonganmu kepada orang lain.

 

Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengadu domba kepadamu, pastilah dia akan diadu orang lain.”

 

Penyair berkata:

Janganlah kamu terima namimah yang disampaikan kepadamu dan berhati-hatilah dari orang yang menyampaikannya kepadamu. Sesungguhnya orang yang menyampaikan namimah itu kepadamu, akan melakukan seperti itu yang telah dirancangnya.

 

Penyair lain berkata:

Barangsiapa melakukan namimah kepada orang-orang, maka tidaklah aman teman-temannya dari gangguannya dan tidak aman dari kejahatannya.

 

Ketiga: Hendaklah kamu menyuruh meninggalkan namimah dan melarang dari kebiasaan itu. Firman Allah Ta’ala: dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar …” (QS. Luqman:17).

 

Keempat. Janganlah berburuk sangka kepada saudaramu yang tidak ada, karena hal itu haram, dan tidak timbul kecuali dari orang yang perbuatannya buruk.

 

Sebagaimana Mutanabbi rahimahullah berkata: Apabila buruk perbuatan seseorang, buruklah sangkaannya dan dia pun mempercayai kecurigaan yang biasa dilakukannya.

 

Dia memusuhi para pencintanya dengan perkataan musuh-musuhnya dan terjerumus dalam gelapnya keraguan.

 

Kelima: Janganlah kamu memata-matai saudaramu dan jangan menyelidiki kebenaran omongan pelaku namimah, sesuai dengan Firman Allah Ta’ala: “… dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain …” (QS. Al-Hujurat:12).

 

Keenam: Janganlah kamu ceritakan omongan pelaku namimah kepada seseorang, agar kamu tidak menjadi pelaku namimah dan ghibah, sehingga kamu terjerumus dalam sesuatu yang dilarang bagimu.

 

  1. Walaupun omongan pelaku namimah itu benar, tetapi kebenarannya buruk. Seorang bijak berkata: “Kebenaran itu menghiasi setiap orang, kecuali orang-orang yang mengadukan seseorang tidak bersalah kepada penguasa. Orang tersebut paling tercela dan berdosa jika benar.”
  1. Diceritakan, seorang laki-laki kematian saudara perempuannya. Ketika dia dikuburkan, dari kantong orang itu terjatuh sepotong emas yang dibawanya. Kemudian, pada suatu malam dia kembali dan membongkarnya. Ternyata, kuburan itu penuh dengan api. Kemudian dia kembali kepada Ibunya dan berkata: “Ceritakan kepadaku, kemungkaran apa yang dulu pernah dilakukan saudara perempuanku?” Ibunya menjawab: “Aku tidak mengetahui suatu kemungkaran, kecuali dia keluar pada waktu malam, lalu mendengarkan apa yang dilakukan orang-orang di pintu-pintu para tetangga dan menyampaikan namimah dengan omongan itu, sehingga terjadi fitnah di antara mereka sebab itu.” Maka orang itu berkata: “Itulah sebabnya.” Kemudian dia menceritakan keadaan saudara perempuannya kepada ibunya.

 

  1. Hammad bin Salamah-rahimahullah berkata: Seorang laki-laki menjual seorang budak. Dia berkata kepada pembeli: “Dia tidak punya cacat, kecuali namimah.” Pembeli itu berkata: “Aku setuju.” Maka dia pun membelinya dan tinggaliah budak itu beberapa hari.

 

Kemudian budak itu berkata kepada istri tuannya: “Sesungguhnya Tuanku tidak mencintai Nyonya dan dia ingin kawin dengan seorang sahaya perempuan. Maka ambillah pisau cukur dan cukurlah beberapa helai rambut belakangnya pada waktu dia tidur, hingga Nyonya bisa menyihirnya, yang akhirnya dia mencintai Nyonya.

 

Kemudian budak Itu berkata kepada tuannya: . “Sesungguhnya istri Tuan mempunyai tunangan dan dia ingin membunuh Tuan. Maka pura-puralah Tuan tidur, hingga Tuan mengetahui perbuatan itu.” Kemudian tuannya pura-pura tidur. Lalu perempuan itu datang membawa pisau cukur. Maka tuannya menyangka, bahwa sang istri akan membunuhnya, secara langsung dia bangkit dan membunuh istrinya.

 

Setelah kejadian itu, datanglah keluarga si istri dan membunuh suaminya. Maka, timbullah pertumpahan darah di antara kedua suku, dan hal ini akibat dari “namimah”.

 

  1. Seorang laki-laki mengadukan seseorang kepada Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Kemudian Umar berkata kepadanya: “Hai, orang ini, jika kamu mau, kami periksa urusanmu. Oleh karena itu, jika kamu berdusta, maka kamu masuk dalam hukum ayat berikut: ‘Hai, orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti …” (QS. Al-Hujurat:6).

 

Jika kamu berkata benar, maka kamu masuk di bawah hukum ayat berikut: ‘Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.’ (QS. Al-Qalam:11). Maka terdiamlah orang itu dan tidak dapat memberikan jawaban.

 

  1. Bakr bin Abdullah berkata: Ada seorang laki-laki yang suka mendatangi seorang raja. Kemudian dia berdiri dihadapan raja, lalu berkata: “Berbuat baiklah kepada orang yang berbuat baik karena kebaikannya. Sebab, orang yang berbuat buruk akan dicukupi keburukannya.” Maka seorang laki-laki mendengkinya atas kedudukan dan omongan itu, lalu mengadukannya kepada raja. Dia berkata: “Orang yang berdiri di depan Tuan dan mengucapkan perkataan itu beranggapan, bahwa Tuan berbau busuk pada mulutnya.”

 

Kemudian raja itu bertanya kepadanya: “Bagaimana hal itu bisa terbukti olehku?” Orang itu menjawab: “Panggillah dia agar menghadap Tuan. Jika dia mendekat, pasti meletakkan tangan di atas hidungnya, agar tidak mencium bau busuk.” Kemudian raja memerintahkan kepadanya: “Pergilah, hingga aku selidiki.” Lalu dia keluar dari tempat raja, kemudian memanggil orang itu kerumahnya, lalu memberinya makanan yang mengandung bawang putih.

 

Setelah itu, dia keluar dari rumah orang tadi dan berdiri di hadapan raja menurut kebiasaannya. Kemudian orang itu berkata: “Berbuat baiklah kepada pelaku kebaikan karena – kebaikannya, sebab pelaku kejahatan akan dicukupi oleh kejahatannya.”

 

Lalu raja berkata kepadanya: “Mendekatlah kepadaku.” Maka, dia pun mendekat kepadanya sambil meletakkan tangan di mulutnya karena takut raja mencium bau bawang putih. Raja berkata dalam hatinya: “Aku percaya, bahwa Si Fulan berkata benar.”

 

Biasanya, apabila raja menulis surat, selalu menetapkan (memberikan) hadiah atau santunan. Kemudian raja menulis surat kepada seorang petugasnya: “Apabila datang kepadamu pembawa suratku ini, maka sembelihlah dia dan isilah kulitnya dengan tanah, lalu kirimkan ia kepadaku.” Orang itu mengambil surat tersebut dan keluar. Kemudian dia bertemu dengan orang yang mengadukannya. Orang itu bertanya: “Surat apakah itu?” Orang itu menjawab: “Tulisan raja bagiku untuk memberi santunan.” Orang tadi berkata: “Ia untukmu.” Lalu dia pun membawanya kepada petugas. Maka petugas itu berkata: “Dalam suratmu itu, aku diperintahkan menyembelih dan mengulitimu. Surat raja tidak dapat diganggu gugat.”

 

Akhirnya, dia pun menyembelih dan menguliti serta mengisi kulitnya dengan pasir, lalu mengirimkannya kepada raja. Setelah itu orang tadi kembali kepada raja dan mengucapkan perkataannya seperti biasa. Raja merasa heran dan bertanya: “Apa yang terjadi dengan surat itu?” Orang tadi menjawab: “Si Fulan bertemu denganku, lalu meminta surat itu dariku. Maka aku pun memberikannya kepada orang itu.” Raja berkata: “Dia menceritakan kepadaku, bahwa kamu menganggap mulutku berbau busuk.” Orang tadi berkata: “Aku tidak mengatakan begitu.” Raja bertanya: “Mengapa kamu meletakkan tangan pada mulutmu?” Orang tadi menjawab: “Karena dia memberiku makanan yang mengandung bawang putih. Maka aku tidak suka Tuan menciumnya.” Raja berkata: “Pulanglah ke tempatmu. Cukuplah pelaku kejahatan mendapat balasan atas kejahatannya.” Kemudian raja memberinya santunan berupa harta yang banyak.

 

Wahai anak tercinta!

 

  1. Sesungguhnya kamu hidup dalam zaman dimana orang yang menjalankan agamanya seperti orang yang memegang bara api, sebagaimana tersebut dalam hadits. Maka, kamu harus memegang agamamu dalam segala keadaan dan bersabar atas hal itu, seperti kesabaran orang-orang yang kuat. Hendaklah kamu memelihara dengan sangat kenikmatan ini, yang merupakan nikmat paling utama, yaitu nikmat Islam dan iman. Maka, janganlah kamu tinggalkan sedikit pun dari perintah-perintah agamamu, walaupun di masa yang paling sulit.

 

Janganlah kamu takut terhadap seorang pun dari orang. orang yang melakukan penyimpangan dan kesesatan serta para penyeru kekafiran dan atheisme. Hendaklah kamu men. jauhi majlis-majlis mereka dan jangan mendengarkan propaganda-propaganda yang dusta serta membaca buku-bukunya yang menarik, karena itu semua adalah racun pembunuh. Mereka telah mengarangnya untuk merobohkan akidah-akidah kaum muslimin dan merusak akhlak serta kebiasannya.

 

  1. Hendakiah kamu menguatkan iman dan memantapkan keyakinan. Hal itu dapat dilakukan dengan membaca Al-Gur’an, kitab-kitab tafsir dan hadits serta kitab-kitab para ulama penasihat. Hendaklah kamu duduk dengan ahli ilmu dan orang-orang yang shalih serta bertakwa, agar kamu bahagia di dunia dan akhirat.

 

Hendaklah kamu bersungguh-sungguh dalam mendapatkan ilmu-ilmu yang berguna dan mencurahkan segenap kemampuan dalam memperbaiki akhlak serta membersihkan jiwa, selama kesempatan masih terbuka dan muda belia. Apabila kesempatan itu hilang, maka kamu pasti menggigit jari karena menyesal, sedangkan penyesalan itu tidak berguna bagimu, walaupun kamu menangis hingga mengeluarkan darah.

 

Ketahuilah! Bahwa suatu hari kamu akan meninggalkan alam yang fana (tidak kekal) ini menuju alam baka (Kekal). Maka, periksalah apa yang kamu siapkan bagi hari esokmu,

 

Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari Esok (akhirat) …” (QS. Al-Hasyr:18).

 

  1. Laksanakanlah kewajiban-kewajibanmu terhadap Tuhan, Nabi, ayah-ibu, guru-guru, seluruh kerabat dan tetanggamu, serta orang-orang yang sebangsa denganmu dan semua orang. Laksanakan juga kewajibanmu terhadap agama, bahasa, sekolah, pelajaran, perdagangan dan industri serta pekerjaanmu yang lain, apabila kamu menjadi seorang pedagang atau pekerja.

 

Sesungguhnya pelaksanaan kewajiban menenangkan jiwa dan menyebabkan menusia memperoleh kepercayaan penuh di antara orang-orang serta menyebabkan kebahagiaan antar anggota masyarakat. Kebalikannya adalah tidak melaksanakan kewajiban, karena ia menghilangkan kepercayaan manusia, menjatuhkan kedudukannya, dan menimbulkan kekacauan dan kerusakan serta kesengsaraan pada semua lapisan.

 

  1. Pikirkanlah masa depanmu. Ketahuilah, kamu tidak tetap dalam usia kanak-kanak dengan pikiran kosong dan dicukupi belanjamu. Maka, suatu ketika, kamu akan memasuki gelombang kehidupan dan dibebani mengurusi maslahat-maslahat (kepentingan) diri dan keluarga.

 

Pada waktu itu, pilihlah olehmu pekerjaan yang mulia. Jangan tinggalkan pekerjaan sehingga kamu mengandalkan orang lain. Walaupun rezeki itu sudah terbagi, namun harus berusaha mencarinya, karena gerak itu dapat menimbulkan berkah.

 

Dalam hadits Sayyidina Umar ra.: “Sungguh aku tidak suka melihat seseorang di antara kamu sia-sia, baik dalam pekerjaan dunia maupun akhirat.” Beliau berkata pula: “Janganlah seseorang di antara kamu malas mencari rezeki, lalu dia berkata: ‘Ya Allah berilah aku rezeki.’ Padahal dia tahu, bahwa langit tidak menurunkan hujan emas atau perak, dan sesungguhnya Allah Ta’ala memberi rezeki kepada manusia, sebagian mereka dari sebagian yang lainnya.” Kemudian beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka menyebarkan kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah:10).

 

  1. Tanamkanlah di dalam hatimu sifat rahmat dan kasih sayang kepada manusia dan hewan, agar Tuhan menyayangi kamu.

 

Dalam hadits dijelaskan: “Sayangilah makhluk yang dibumi, niscaya kalian disayangi makhluk yang di langit. Barangsiapa yang tidak menyayangi, ia pun tidak disayangi.”

 

“Tidaklah dicabut rahmat, kecuali dari orang yang sengsara.”

 

“Barangsiapa yang menyayangi, walaupun atas burung yang disembelih, niscaya Allah menyayanginya.”

 

Banyak di dunia ini orang-orang yang lemah dan miskin, melarat dan susah, anak-anak yatim dan orang-orang sakit, wanita-wanita dan laki-laki tua, orang-orang bodoh dan bingung. Ulurkan pertolongan kepada mereka dengan segenap kemampuanmu, baik dengan ilmu, harta, pikiran atau kedudukanmu untuk menolong seseorang dalam memenuhi kebutuhannya.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa memberikan syafa’at yang baik,?) niscaya dia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya dia akan memikul bagian (dosa) daripadanya …” (QS. An Nisa’:85)”.

 

“Rasulullah saw. bersabda: “Berilah pertolongan, niscaya kamu mendapat pahala.”

 

Apabila kamu berbuat baik kepada orang lain, maka dia pun akan berbuat baik kepadamu pada waktu kamu membutuhkannya. Dan sesungguhnya, orang yang kuat sekarang, besok dia akan menjadi lemah.

 

Barangsiapa yang mengalami masa muda, dia pun akan mencapai masa tua. Barangsiapa kaya, maka dia pun tidak aman dari kemungkinan menjadi miskin. Sebagaimana kamu memberi utang, maka kamu pun akan diberi utang.

 

Penyair berkata:

Berbuatlah baik kepada orang-orang niscaya kamu perbudak hati mereka. Sering kali manusia diperbudak oleh kebaikan.

Jadilah kamu penolong dalam kesusahan bagi empunya harapan yang mengharap kemurahanmu karena orang merdeka suka menolong.

 

Penyair lain berkata:

Barangsiapa melakukan kebaikan, tidaklah habis balasannya. Tidaklah lenyap kebaikan antara Allah dan manusia.

  1. Waspadalah dari segala sesuatu yang membahayakanmu. Jangan meremehkan sesuatu yang berbahaya, walaupun banyak orang terbiasa melakukannya. Seperti mengisap rokok. Sebagian anak-anak mengira bahwa merokok adalah tanda kejantanan. Maka, mereka pun mengisapnya, karena tidak mengetahui bahayanya yang banyak. Antara lain: Rokok melemahkan jantung, menghambat pertumbuhan badan, menghilangkan nafsu makan, membahayakan paru-paru dan menyebabkan pucat warna muka.

 

Sebenarnya, ia adalah racun yang lambat. Bahayabahayanya tampak setelah beberapa waktu, terutama di masa tua. Oleh karena itu, para dokter sepakat, di setiap waktu dan tempat untuk menyelidiki berbagai bahayanya dan ia merupakan penyebab penyakit kanker. Maka, hindarilah merokok sekuat tenaga untuk memelihara kesehatanmu dari berbagai penyakit dan memelihara hartamu dari kesia-siaan. Janganlah kamu tertipu oleh setan, lalu mulai merokok, walaupun sedikit, karena ia bisa menjadi banyak. Maka, ia pun menjadi kebiasaan yang kokoh dan sulit ditinggalkan, sebagaimana dikatakan mengenai minum khamar (arak). Pada gelas pertama (teringat akan rasa kenikmatannya). .

 

  1. Hendaklah kamu sangat waspada dari mendekati zina, khamar dan judi. Semua itu menjerumuskan para pelakunya ke dalam jurang kecemaran dan kehancuran serta menyebabkan robohnya rumah tangga dan siksa neraka yang keras di akhirat.

 

Allah Ta’ala berfirman: “… dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi …” (QS. Al-An’am:151).

 

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-isra’:32).

 

“Hai, orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

 

Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah:90-91).

 

Betapa banyak yang asalnya sehat menjadi sakit, akal berubah, akhlak menjadi rusak, rumah tangga roboh (cerai), keluarga berantakan dan harta benda melayang sebab perbuatan-perbuatan keji yang membinasakan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu sejauh-jauhnya dan jauhilah para pelakunya lebih keras daripada menjauhi para penderita :

 

penyakit menular. Kemungkaran-kemungkaran yang keji ini telah tersebar di masa yang penuh.fitnah.

 

Semoga Allah menyelamatkan kita dan seluruh kaum muslimin dari perbuatan yang hina, karena hal itu menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat. Semoga Allah melindungi kita darinya. Itulah kerugian yang nyata.

 

  1. Pelajarilah bahasa Arab dan cintailah ia dari hatimu serta berbicaralah dengan bahasa itu. Sebarkan bahasa Arab di antara keluarga dan kaummu serta orang-orang lain. Belalah bahasa Arab, karena ia merupakan bahasa agama. Allah Ta’ala telah memilihnya di atas bahasa-bahasa lainnya dan menurunkan Al-Ouran Al-Karim dengan bahasa tersebut.

 

Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Gur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami (nya).” (QS. Az-Zukhrutf:3).

 

Apabila kamu melihat seorang muslim mengejek bahasa Arab, maka nasihatilah dia dan beritahukan kepadanya bahwa mengejek terhadap bahasa Arab menyebabkan kebencian kepada Rasul saw., sedang kebencian itu (kepada Rasul saw.) menyebabkan kekufuran. Tersebut dalam hadits:

 

“Hai Salman,? jangan membenci aku sehingga kamu meninggalkan agamamu.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana aku membencimu, sedangkan Allah memberi petunjuk kepadaku denganmu?” Nabi saw. bersabda: “Jangan membenci orang Arab, karena hal itu sama dengan kamu membenci aku. Barangsiapa menipu bangsa Arab, maka dia tidak mendapat syafa’atku dan tidak mendapat kecintaanku.”

 

Rasul saw. memerintahkan kita agar mencintai bangsa Arab, sebagaimana beliau bersabda: “Cintailah bangsa Arab karena tiga perkara: Karena aku orang Arab, AlGur’an berbahasa Arab dan percakapan penghuni surga adalah bahasa Arab.”

 

  1. Hendaklah kamu juga mencintai keluarga Nabi saw.| para sahabatnya dan ulama-ulama yang mengamalkan. ajar. annya serta para wali yang shalih?. Merekalah orang-orang yang berjihad membela agama dan menyampaikan Al-Our’an serta hadits-hadits pemimpin para rasul, kepada kita.

 

Kecintaan kepada mereka menguatkan iman dan memeliharanya, sedangkan kebencian terhadap mereka melemahkannya, bahkan dapat menghilangkannya. Dalam hadits dijelaskan: “Kebencian terhadap bani Hasyim dan Anshar menyebabkan kekufuran, sedangkan kebencian terhadap bangsa Arab menunjukkan sifat munafik.”

 

Dalam hadits lain: “Peliharalah aku melalui para sahabatku, jangan jadikan mereka sasaran (caci maki) sesudah aku wafat. Barangsiapa mencintai mereka, maka berarti mencintaiku, dan aku pun mencintai mereka. Dan barangsiapa membenci mereka, maka berarti membenciku, aku pun membenci mereka.”

 

Dalam hadits pula disebutkan: “Demi Allah, iman tidak akan masuk ke hati seseorang hingga dia mencintai aku karena Allah dan mencintai kerabatku.”

 

Disebutkan lagi: “Muliakanlah para ulama, karena mereka adalah pewaris para Nabi. Maka, barangsiapa memuliakan mereka, dia pun telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya.”

 

Apabila kita membenci mereka dan tidak menghormati serta tidak mengikuti jalannya, berarti kita telah menyia nyiakan agama. Inilah yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam, yang telah mencurahkan tenaganya dalam menjauhkan kaum muslimin dari para pendahulu mereka yang telah mendahului.

 

Sering kali mereka menjelekkan citra para imam ini di kalangan kaum muslimin yang belakangan, agar menghina dan membenci mereka sehingga dengan mudah mengeluarkannya dari agama. Semoga Allah melindungi kita dari bencana yang nyata ini.

 

Allah Ta’ala berfirman: “Ya Tuhan kami, berilah ampun bagi kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. AlHasyr:10).

 

  1. Kamu harus pula mencintai semua saudara sesama muslim. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara ….” (QS. Al-Hujurat:10).

 

Rasul saw. bersabda: “Orang mukmin itu seperti bangunan hagi orang mukmin lainnya, yang satu dengan lainnya saling menguatkan.

 

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai dan berkasih sayang adalah seperti tubuh. Apabila salah satu anggotanya mengeluh, maka anggota tubuh lainnya mengeluh, tidak dapat tidur dan demam. Orang muslim itu saudara orang muslim. Dia tidak boleh mengkhianati dan mendustai serta menelantarkannya. Setiap muslim atas muslim itu haram diganggu kehormatan, harta dan darahnya.

 

Ketakwaan itu disini. Cukuplah kejahatan seseorang bila dia menghina saudaranya yang muslim. Tidaklah seseorang di antara kamu beriman hingga dia mencintai saudaranya, seperti mencintai dirinya sendiri.”

 

Sampai di sini, selesailah buku Al-Akhlaq Li Al-Banin (Bimbingan Akhlak bagi Putra-putra Anda). Maka, hendaklah kamu membaca dan memahami isi serta mengamalkannya. Setelah itu, bacalah kitab-kitab yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya, An-Nashaaihid. Diiniyyah, AdDa’watut Taammah, karangan Al-Imam Al-Habib Abdullah Al-Haddad, Adabud Dun-yaa wad Diin, oleh Imam Al-Mawardi, Ihya’Ulumuddiin, oleh Imam Al-Ghazali, Riyadhush Shalihiin, oleh Imam An-Nawawi, dan kitab-kitab yang bermanfaat lainnya.

 

Semoga Allah memberkati dan menolongmu selamanya, dan menjadikan kamu pembela Islam serta memperbaiki seluruh urusanmu. ” Wassalam.

 

Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam atas junjungan kita, Nabi Muhammad saw., keluarga dan para sahabatnya.

 

Segala puji Allah, Tuhan sekalian alam. Tamat