Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.

 

Amma ba’du:

 

Buku ini yang diberi nama “al-Aqidah al-Wasithiyah” ditulis oleh seorang ulama besar umat ini di masanya, Abu al-Abbas Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam Ibnu Taimiyah al-Harrani, yang wafat tahun 728 H.

 

Penulis mempunyai jasa besar yang patut diberi ucapan terima kasih, semoga Allah membalas yang bersangkutan karenanya-, dalam membela kebenaran dan membantah para pendukung kebatilan. Hal itu diketahui oleh siapa pun yang membaca dan mengkaji karya-karya tulisnya. Jelaslah bahwa ini adalah salah satu nikmat besar Allah kepada umat ini karena dengannya Allah menangkis perkara-perkara besar yang membahayakan Akidah Islam.

 

Kitab tersebut adalah buku yang ringkas, diberi nama “al-Aqidah al-Wasithiyah” ditulis oleh Syaikhul Islam dengan permintaan dari salah seorang hakim kota Wasith yang mengadukan keluhan kaum Muslimin kepadanya akibat pemikiran-pemikiran yang menyimpang dalam masalah Nama-nama dan Sifat-sifat Allah (al-Asma’ wa ash-Shifat). Maka Syaikhul Islam menulis akidah ini yang merupakan intisari akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam perkara-perkara yang banyak dibicarakan dan dibahas, di mana tidak sedikit orang menerjuninya dengan modal bid’ah.

 

Sebelum kita mulai mengkaji buku agung ini, kami ingin mengatakan bahwa seluruh risalah yang dibawa oleh para rasul yang diawali dengan Nabi Nuh  dan diakhiri dengan Nabi Muhammad adalah mengajak (menyeru) kepada tauhid.

 

Firman Allah

 

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak, disembah kecuali Aku, maka sembahlah Aku’.” (Al-Anbiya’: 25).

 

Dan Firman Allah

 

“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.” (An. Nahl: 36).

 

Hal itu karena makhluk diciptakan untuk satu Dzat, yaitu Allah Mereka diciptakan untuk beribadah kepadaNya, agar hati mereka hanya bergantung kepadaNya dengan: hanya kepadaNya mengham. bakan diri, mengagungkan, takut, mengharap, bertawakal, kecintaan untuk mencapai keridhaan, dan rasa khawatir (yang mendorong untuk melaksanakan perintah) sehingga mereka berlepas diri dari segala yang ada di dunia yang tidak mendukungnya untuk mentauhidkan Allah dalam perkara-perkara ini. Semua ini karena engkau adalah makhluk, hati dan tindak tandukmu haruslah untuk Penciptamu.

 

Karena inilah maka dakwah para rasul adalah untuk perkara besar lagi penting ini, yakni beribadah hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagiNya.

 

Para rasul yang diutus oleh Allah kepada manusia tidak menyeru kepada Tauhid Rububiyah (dalam persentase yang sangat besar) seperti mereka menyeru kepada Tauhid Uluhiyah. Hal itu karena orang yang mengingkari Tauhid Rububiyah sangatlah sedikit, bahkan orang-orang yang mengingkarinya pun tidak mampu mengingkarinya di dalam jiwa mereka yang terdalam. Kecuali barangkali mereka telah kehilangan akal yang bisa mengetahui sesuatu yang paling ringan, maka mungkin saja mereka mengingkarinya karena kesombongan.

 

Pertama: Tauhid Rububiyah

 

Yaitu mengesakan Allah dalam tiga perkara: mencipta, menguasai dan mengatur.

 

Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Ingatlah, menciptakan dan menetapkan ketentuan hanyalah hak Allah.” (Al-A’raf: 54). Titik pengambilan dalil dari ayat ini adalah didahulukannya khabar yang seharusnya diakhirkan dan kaidah ilmu balaghah menyatakan bahwa, mendahulukan sesuatu yang semestinya diakhirkan menunjukkan embatasan. Kemudian perhatikanlah pembukaan ayat ini dengan  yang berfungsi menarik perhatian dan menegaskan,

 

“Ingatlah, menciptakan dan menetapkan ketentuan hanyalah hak Allah.” (Al-A’raf: 54).

 

Yakni hak Allah semata bukan hak selainNya. Menciptakan ini adalah menciptakan (yang kita kenal), dan memerintah maksudnya adalah mengatur.

 

Adapun menguasai (kerajaan), maka dalilnya adalah Firman Allah

 

“Dan Hanya kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi.” (Al-Jatsiyah: 27).

 

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah sajalah yang menguasai kerajaan. Titik pengambilan dalilnya adalah sama dengan ayat sebelumnya, yaitu, didahulukannya apa yang semestinya diakhirkan. Jika demikian, maka Allah adalah satu-satunya yang mencipta, menguasai, dan mengatur.

 

Jika engkau berkata, Bagaimana menggabungkan antara apa yang telah saya tetapkan ini dengan penetapan penciptaan bagi selain Allah, seperti Firman Allah

 

” Maha banyak berkah Allah, Pencipta Yang paling baik.” (Al-Mu’minun: 14).

 

Dan mirip dengan itu adalah sabda Nabi tentang para pelukis (makhluk bernyawa),

 

“Dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan’ “

 

Dan Firman Allah  dalam hadits qudsi,

 

“Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaanku”?

 

Bagaimana engkau menggabungkan semua ini dengan apa yang engkau katakan bahwa Allah adalah satu-satunya yang mencipta dengan dalil-dalil di atas?

 

Jawaban: Bahwa yang dimaksud dengan menciptakan adalah mengadakan [sesuatu yang benar-benar baru, pent]. Ini hanya khusus bagi Allah. Kalau hanya sekedar mengubah sesuatu dari satu bentuk ke bentuk lain, maka ini bukan menciptakan dalam makna hakiki meskipun terkadang disebut menciptakan, dari segi bahwa itu adalah membentuk (sesuatu), akan tetapi kenyataannya bahwa itu bukanlah penciptaan dalam arti yang sebenarnya. Sebagai contoh seorang tukang kayu mengubah kayu menjadi pintu, maka dikatakan, dia menciptakan sebuah pintu, akan tetapi bahan dasar ciptaannya itu, diciptakan oleh Allah. Tak ada manusia meskipun dengan kemampuan sehebat apa pun yang mampu menciptakan ranting (kecil) kayu arak sekalipun, atau menciptakan seekor lalat.

 

Simaklah Firman Allah,

 

“Wahai manusia, telah dibuat suatu perumpamaan, maka dengarkanlah ia. Sesungguhnya segala yang kalian sembah selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah.” (Al-Hajj: 73).

 

adalah isim maushul (kata sambung) yang mencakup seluruh apa yang diseru selain Allah, baik itu pohon, batu, manusia, malaikat dan lain-lain. Semua yang diseru selain Allah tersebut, “Tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.” Maka lebih tak mampu jika masing-masing menciptakan sendiri-sendiri,

 

“Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.” Bahkan makhluk-makhluk yang diseru selain Allah tersebut, seandainya lalat mengambil sesuatu dari mereka niscaya mereka tidak akan mampu merebutnya kembali dari lalat yang lemah itu. Seandainya ada seekor lalat yang hinggap di tubuh seorang raja terkuat di muka bumi dan ia menghisap wewangian milik raja tersebut, niscaya dia tidak akan mampu mengambil wewangian yang telah dihisap oleh lalat tersebut, demikian pula jika lalat tersebut hinggap di makanannya. Jadi Allah-lah Satu-satunya Pencipta.

 

Jika engkau berkata, Bagaimana menggabungkan antara ucapanmu bahwa Allah adalah satu-satunya yang berkuasa (dan Pemilik kerajaan) dengan ditetapkannya kepemilikan bagi makhluk, seperti Firman Allah,

 

“(Di rumah) yang kamu miliki kuncinya.” (An-Nur: 61). dan Firman Allah

 

“Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki.” (Al-Mu’minun: 6)?

 

Jawaban: Menggabungkan antara keduanya adalah dari dua segi:

 

Pertama, kepemilikan manusia terhadap sesuatu tidak bersifat umum dan menyeluruh, karena aku misalnya, memiliki apa yang ada di tanganku dan aku tidak memiliki apa yang ada di tangan Anda, padahal semua itu (baik yang ada pada saya maupun pada Anda) ada. lah milik Allah, maka dari segi cakupan kepemilikan secara total dap menyeluruh, kepemilikan Allah lebih menyeluruh dan lebih luas, day itu adalah kepemilikan yang sempurna.

 

Kedua, kepemilikanku atas sesuatu ini bukan merupakan kepemilikan yang hakiki di mana aku bisa melakukan apa saja terhadapnya, sesuka hatiku. Aku hanya bisa melakukan apa yang sesuai dengan perintah agama dan sesuai dengan izin pemilik yang sebenarnya, yaitu Allah. Kalau aku menjual satu dirham dengan dua dirham, maka itu tidak halal bagiku karena aku tidak memiliki itu. Jadi kepemilikanku terbatas. Ditambah lagi bahwa dari segi takdir aku pun tidak memiliki hak sedikit pun, karena ia adalah hak Allah. Aku tidak mampu berkata kepada budakku yang sakit, “Sembuhlah kamu,” lalu dia sembuh, Aku pun tidak mampu berkata kepada seseorang yang sehat, “Sakit. lah kamu,” lalu dia sakit; karena pemilik tindakan yang sebenarnya adalah Allah. Seandainya Dia berfirman, “Sembuhlah,” maka dia pasti sembuh. Seandainya Dia berfirman, “Sakitlah,” maka dia pasti sakit. Jadi aku tidak memiliki hak bertindak dari segi syara’ dan Qadar. Kepemilikanku terbatas dari segi hak untuk bertindak dan ia pun terbatas dari segi cakupan dan keumumannya. Dengan itu jelaslah bagaimana monopoli Allah terhadap kerajaan (kepemilikan).

 

Adapun pengaturan, maka manusia juga mengatur, akan tetapi pengaturan manusia juga terbatas dari dua segi, seperti dua sisi yang telah lewat pada “kepemilikan”. Tidak semua perkara aku berhak mengaturnya. Aku hanya bisa mengatur apa yang berada dalam kepemilikan dan kekuasaanku, lagi pula aku tidak bisa mengatur kecuali dengan persetujuan syariat yang membolehkanku mengatur.

 

Jelaslah di sini bahwa perkataan, “Sesungguhnya Allah memonopoli penciptaan, kepemilikan, dan pengaturan,” bersifat umum menyeluruh dan mutlak tanpa ada pengecualian karena pertanyaan yang kami cantumkan di atas bertentangan dengan apa yang menjadi hak tetap Allah.

 

Kedua: Tauhid Uluhiyah

 

Yaitu mengesakan Allah dengan ibadah, di mana engkau tidak menjadi hamba bagi selainNya. Engkau tidak menyembah malaikat, nabi, wali, syaikh, bapak dan ibu; engkau tidak menyembah kecuali Allah semata. Engkau mengesakan Allah dengan penghambaan diri dan menuhankanNya. Oleh karena itu, ia disebut Tauhid Uluhiyyah dan dinamakan pula tauhid ibadah. Jika dilihat dari sisi Allah, maka ia adalah Tauhid Uluhiyah dan jika dari sisi hamba, maka ia adalah tauhid ibadah.

 

Ibadah berpijak kepada dua perkara besar, yaitu cinta dan pengagungan, yang keduanya menghasilkan (sikap yang disebut dalam ayat berikut),

 

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (Al-Anbiya’: 90).

 

Dengan rasa cinta, maka akan muncul keinginan (untuk melaksanakan ibadah), dan karena mengagungkan, maka akan timbul rasa takut dan khawatir (mendapat siksaNya).

 

Oleh karena itu, ibadah berarti (melaksanakan) perintah-perintah dan (menjauhi) larangan-larangan, yaitu melaksanakan perintah yang berpijak kepada keinginan dan mencari cara untuk sampai kepada yang memerintah, dan menjauhi larangan yang berpijak kepada pengagungan dan ketakutan kepada Dzat Yang Mahaagung.

 

Jika engkau mencintai Allah, maka engkau menginginkan apa yang ada di sisiNya, engkau menginginkan agar bisa sampai kepada-Nya. Dan engkau pun mencari jalan yang mengantarkanmu kepadaNya, maka engkau akan menaatiNya dengan sempurna. Jika engkau mengagungkanNya, maka engkau akan takut kepadaNya. Setiap kali engkau hendak bermaksiat, engkau merasakan keagungan Sang Pencipta, maka engkau pun mengurungkan niatmu tersebut,

 

“Sungguh wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya. Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya keburukan dan perbuatan keji.” (Yusuf: 24).

 

Ini adalah nikmat Allah kepadamu, apabila engkau hendak bermaksiat, engkau mendapati Allah di depanmu, maka engkau pun takut dan segan lalu menjauhi kemaksiatan tersebut. Hal itu karena engkau menyembahNya dengan penuh harap dan cemas. Apa arti ibadah?

 

Ibadah digunakan untuk dua perkara: Fi’il (perbuatan) dan maf’ul, (obyek).

 

Ibadah digunakan untuk perbuatan yang merupakan ta’abbud (beribadah). Dikatakan  (laki-laki itu beribadah kepada Rabbnya). Penggunaan ibadah untuk ta’abbud termasuk penggunaan ismul mashdar untuk makna mashdar. Dari segi penggunaan ibadah untuk fi’il (perbuatan); definisinya adalah: ketundukan kepada Allah dengan didasari kecintaan dan pengagungan, dengan melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Siapa pun yang tunduk kepada Allah, dia akan mulia denganNya,

 

“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi RasulNya.” (Al. Munafiqun: 8).

 

Ibadah juga digunakan untuk obyek; maksudnya adalah amalan yang merupakan ibadah. Dari segi ini kita mendefinisikannya sepertj definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah; di mana beliau ws berkata, “Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan ataupun perbuatan yang lahir maupun yang batin.”

 

Sesuatu yang dengannya kita beribadah kepada Allah, haruslah murni untuk Allah, tidak boleh diberikan kepada selainNya. Seperti shalat, puasa, zakat, haji, doa, nadzar, takut, tawakal, dan ibadah-ibadah lainnya.

 

Jika engkau bertanya: Mana dalil yang menunjukkan bahwa uluhiyah itu hanyalah hak Allah semata?

 

Jawaban: Banyak sekali, di antaranya:

 

Firman Allah

 

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah Aku’.” (Al-Anbiya : 25).

 

Firman Allah,

 

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.” (An-Nahl: 36).

 

Juga Firman Allah,

 

“Allah bersaksi (menyatakan) bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia: sebagai Yang menegakkan keadilan, dan para malaikat serta orang-orang yang berilmu (juga bersaksi demikian).” (Ali Imran: 18).

 

Seandainya ilmu tidak memiliki keutamaan kecuali yang satu ini (niscaya hal itu sudah cukup, pent.) di mana Allah memberitakan bahwa tidak ada yang bersaksi terhadap ketuhananNya kecuali orang-orang yang berilmu -semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan mereka”Allah bersaksi (menyatakan) bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia: sebagai Yang menegakkan keadilan, dan para malaikat serta orang-orang yang berilmu (juga bersaksi demikian).” (Ali Imran: 18).

 

Kemudian Allah menetapkan kesaksian ini dengan FirmanNya,

 

“Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 18).

 

Ini adalah dalil yang jelas bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah 35. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan kalian semua juga bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Inilah kesaksian yang benar.

 

Jika ada yang berkata, Bagaimana engkau mengikrarkan hal itu, padahal Allah sendiri menetapkan ketuhanan selainNya. Seperti FirmanNya,

 

“Janganlah kamu menyembah tuhan yang lain di samping juga (menyembah) Allah.” (Al-Qashash: 88).

 

Seperti juga FirmanNya,

 

“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping (juga menyembah) Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu.” (Al. Mu minun: 117).

 

Juga seperti FirmanNya,

 

“Karena sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah tidak bermanfaat sedikit pun bagi mereka ” (Hud: 101). Seperti pula perkataan Ibrahim,

 

“Apakah kalian menghendaki kebohongan dengan sesembahan selain Allah itu?” (Ash-Shaffat: 86),

 

dan banyak lagi ayat-ayat yang lain. Bagaimana engkau menggabungkan antara hal ini dengan kesaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah?

 

Jawaban: Ketuhanan selain Allah adalah ketuhanan yang batil, hanya sekedar penyebutan,

 

“Itu semua tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan nenek moyang kalian ada-adakan, Allah tidak menurunkan suatu bukti (hujjah) apa pun untuk (menyembah)nya.” (An-Najm: 23).

 

Maka ketuhanannya batil, walaupun ia disembah dan dituhankan oleh orang-orang sesat, akan tetapi ia sebenarnya tidak layak untuk disembah. Ia adalah tuhan-tuhan yang disembah, akan tetapi Tuhan Tuhan yang batil.

 

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah (Tuhan) yang sebenarnya dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil.” (Luqman: 30).

 

Tidak seorangpun dari Ahli Kiblat yang menisbatkan diri kepada Islam mengingkari kedua bagian tauhid ini, karena Allah memang Maha Esa dalam rububiyah dan uluhiyah, akan tetapi setelah itu muncul sebagian orang yang mengklaim ketuhanan sebagian manusia. Seperti golongan ekstrem Syi’ah (Rafidhah), mereka menyatakan bahwa Ali adalah tuhan seperti yang dilakukan tokoh mereka Abdullah bin Saba, di mana dia datang kepada Ali bin Abi Thalib  dan berkata kepadanya, “Engkau adalah Allah yang sebenarnya.” Akan tetapi asal usul Abdullah bin Saba’ ini adalah Yahudi yang masuk Islam dengan mengusung dukungan kepada Ahlul Bait demi merusak agama Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Abdullah bin Saba’ melakukan seperti yang dilakukan oleh Paulus ketika dia masuk agama Nasrani demi merusak agama Nasrani.”

 

Abdullah bin Saba’ ini berkata kepada Ali, “Engkau adalah Allah yang sebenarnya.” Dan Ali tidak rela ada orang yang mendudukkannya lebih dari kedudukannya yang sebenarnya, bahkan dengan kearifan, keadilan, ilmu dan pengetahuannya Ali menyatakan di atas mimbar Kufah, “Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar dan Umar.” Ali mengumumkan hal itu di dalam khutbahnya dan dinukil darinya secara mutawatir.

 

Ali mengucapkan ini dan dia mengakui keutamaan bagi pemiliknya, mana mungkin dia rela kalau ada yang berkata kepadanya, “Engkau adalah Allah yang sebenarnya.” Oleh karena itu Ali menta’zir (menghukum) mereka dengan berat. Ali menyuruh menggali parit lalu dipenuhi dengan kayu bakar dan api pun dinyalakan. Selanjutnya orang-orang itu ditangkapi dan dilemparkan ke dalam api, hal itu karena kebohongan mereka sangatlah besar -naudzubillah dan bukan sesuatu yang remeh. Menurut suatu riwayat, Abdullah bin Saba’ lolos dan tidak tertangkap. Yang jelas Ali membakar kelompok Saba iyah karena mereka mengklaimnya sebagai tuhan.

 

Kembali kami katakan bahwa semua orang yang termasuk Ahli Kiblat tidak ada yang mengingkari kedua bentuk tauhid ini, yakni Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah, meskipun ada sebagian ahli bid’ah yang menuhankan manusia.

 

Yang banyak diperdebatkan di kalangan Ahli Kiblat adalah:

 

Ketiga: Tauhid Asma’ wa ash-Shifat

 

Bagian inilah yang banyak diperbincangkan orang, dan orang. orang terbagi menjadi tiga golongan dalam masalah ini: mumatsil (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan makhluk, pent.) mu’aththil (golongan yang menghilangkan makna atau mengingkari sifat Allah, pent.), dan mu’tadil (golongan yang mengambil jalan yang adil, yaitu jalan tengah, pent.) Golongan yang kedua bisa mendusta. kan atau mengubah.

 

Bid’ah pertama yang muncul di tengah umat ini adalah bid’ah Khawarij, karena pelopor mereka Dzul Khuwaishirah dari suku Tamim membangkang kepada Nabi  ketika beliau membagikan harta ghanimah kepada orang-orang. Dzul Khuwaishirah ini berkata kepada Nabi “Berlaku adillah.” Inilah pembangkangan pertama yang dilakukan dalam syariat Islam, seterusnya kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka membesar di akhir masa kekhalifahan Utsman dan pada saat terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, maka orang-orang Khawarij ini mengafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah mereka.

 

Kemudian lahirlah Qadariyah, majusinya umat ini, yang mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan manusia, perbuatan manusia di luar kehendak Allah dan tidak diciptakan Allah, bahkan tokoh-tokoh dan kelompok ekstrem mereka menyatakan bahwa perbuatan manusia tidak diketahui oleh Allah, tidak tertulis di Lauh Mahfuzh, bahwa Allah tidak mengetahui apa yang dilakukan manusia kecuali pada saat perbuatan tersebut terjadi. Kata mereka, “Segala urusan itu bermula begitu saja tanpa takdir.” Mereka ini muncul di masa akhir periode sahabat, mereka mendapati masa Abdullah bin Umar, Ubadah bin ash-Shamit, dan lain-lain, akan tetapi itu di akhir masa sahabat.

 

Lalu lahir bid’ah Murji’ah pada masa mayoritas tabi’in masih hidup, kelompok ini berkata, “Kemaksiatan tidak memudaratkan (mengurangi) iman.” Jika engkau ditanya, “Apakah engkau seorang Mukmin?” Lalu engkau menjawab, “Ya.” Maka Murji’ah ini akan berkata kepadamu, “Kemaksiatan tidak merugikanmu dengan imanmu. Silahkan berzina, mencuri, mabuk, dan membunuh orang Mukmin. Engkau tetap seorang Mukmin dengan iman yang sempurna, meskipun engkau mengerjakan seluruh dosa.”

 

Hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa perkataan Qadariyah dan Murji’ah yang dibantah oleh sahabat yang masih tersisa saat itu, adalah dalam hal ketaatan, kemaksiatan, Mukmin dan fasik. Mereka tidak berbicara tentang Allah dan Sifat-sifatNya.

 

Selanjutnya muncul orang-orang yang katanya pintar, mereka mengklaim bahwa akal harus didahulukan di atas wahyu, maka mereka mengucapkan pendapat di antara pendapat Murji’ah dan Khawarij. Menurut mereka, orang yang melakukan dosa besar bukanlah orang Mukmin sebagaimana pendapat Murji ah, tetapi tidak pula kafir sebagaimana pendapat Khawarij, akan tetapi dia berada di antara dua kedudukan (Manzilah baina Manzilatain), sama dengan seorang laki-laki yang bepergian dari satu kota ke kota lain, dia sampai di tengah jalan, dia tidak berada di kotanya dan tidak pula sampai di kota yang ditujunya, akan tetapi dia berada di antara keduanya. Ini untuk hukum dunia, sedangkan di akhirat dia kekal di neraka. Mereka ini sama dengan Khawarij dalam hal hukum akhirat dan menyelisihinya dalam hukum dunia.

 

Bid’ah ini muncul dan menyebar, kemudian lahirlah bid’ah orang-orang zhalim lagi buruk, ialah bid’ah Jahm bin Shafwan dan para pendukungnya yang dikenal dengan Jahmiyah. Bid’ah ini muncul dan tidak berkait dengan nama dan hukum, yakni tidak terkait dengan predikat Mukmin atau kafir atau fasik, dan mengapa seseorang berada di manzilah baina manzilatain, akan tetapi berkaitan dengan Dzat Allah. Perhatikanlah bagaimana bid’ah menyusup ke dalam tubuh umat Islam setahap demi setahap sampai akhirnya ia menyentuh Sang Pencipta sehingga Dia disetarakan dengan makhluk. Mereka mengatakan apa yang mereka inginkan. Kata mereka, “Ini ditetapkan untuk Allah, ini tidak ditetapkan untuk Allah. Akal menerima kalau Allah memiliki sifat ini, akal menolak kalau Allah memiliki sifat ini.” Maka lahirlah bid’ah Jahnuyah dan Mu’tazilah sehingga orang-orang terbagi menjadi beberapa golongan dalam masalah Asma’ wa ash-Si at:

 

  1. Ada golongan berkata, Kita tidak boleh menyifati Allah dengan wujud (ada) dan ‘adam (ketiadaan), karena jika Allah disifati dengan yang pertama (ada), maka Allah sama dengan apa saja yang ada Jika yang kedua (tidak ada), maka Dia sama dengan sesuatu yang tiada Jadi ada dan ketiadaan harus dibuang dari Allah. Pendapat ini berarti menyamakan Sang Khalig dengan hal-hal yang mustahil dan tidak mungkin terjadi, karena pertemuan antara “ada” dengan “tiada” adalah pertemuan antara dua perkara yang bertentangan dan dua perkara yang bertentangan tidak mungkin bertemu dan tidak mungkin lenyap pada saat yang sama. Akal siapa pun pasti mengingkari dan tidak menerima hal ini. Lihatlah bagaimana mereka lari dari sesuatu lalu terjerumus ke dalam sesuatu yang lebih buruk.

 

  1. Golongan lain berkata, Kita menyifati-Nya dengan penafian dan tidak menyifati-Nya dengan penetapan. Maksudnya, mereka membolehkan menafikan sifat-sifat dari Allah dan tidak boleh menetapkan. Kata mereka, kita tidak mengatakan, “Allah hayyun (Mahahidup).” Akan tetapi kita mengatakan, “Allah tidak mati.” Kita tidak mengatakan, “Allah Maha Mengetahui.” Akan tetapi kita mengatakan, “Allah tidak bodoh.” Dan begitu seterusnya. Menurut golongan ini, jika kamu mene. tapkan sesuatu bagi Allah, maka kamu menyamakanNya dengan yang ada, hal itu karena -menurut golongan ini segala yang ada itu memiliki kesamaan. Oleh karena itu jangan menetapkan sesuatu untukNya. Lain halnya dengan penafian karena penafian itu adalah ketiadaan, Padahal sifat-sifat Allah yang ada di dalam al-Our’an lebih banyak melalui jalan penetapan daripada jalan penafian.

 

Jika dikatakan kepada golongan ini: Allah berfirman tentang DiriNya: Sami’ (Maha Mendengar) dan Bashir (Maha Melihat).

 

Mereka akan menjawab, “Ini hanya sekedar penyandaran, artinya pendengaran disandarkan kepada Allah bukan karena ia adalah Sifat Allah, akan tetapi karena Dia memiliki makhluk yang mendengar, jadi ia hanya penyandaran. Maka sami’ berarti tidak memiliki pendengaran akan tetapi memiliki apa yang didengar.

 

Hadir lagi kelompok kedua yang mengatakan bahwa ini adalah sifat-sifat makhlukNya bukan Sifat-sifatNya. Adapun Allah, maka tidak ada sifat yang ditetapkan untukNya.

 

  1. Golongan lain menyatakan bahwa yang ditetapkan untukNya hanyalah nama bukan sifat. Golongan ini adalah Mu’tazilah, mereka menetapkan Nama-nama Allah, mereka barkata, “Allah Sami’ (Maha Mendengar), Bashir (Maha Melihat), Qadir (Maha Kuasa), Alim (Maha Mengetahui), Hakim (Maha Bijaksana): namun Dia Maha Kuasa tapi tidak kuasa, Maha Mendengar tapi tidak mendengar, Maha Melihat tapi tidak melihat, Maha Mengetahui tapi tidak memiliki ilmu, dan Maha Bijaksana tapi tidak bersifat bijak.

 

  1. Golongan keempat menyatakan, “Kami menetapkan nama-nama bagi Allah secara hakiki dan kami menetapkan sifat-sifat tertentu bagi Allah yang ditunjukkan oleh akal, dan kami mengingkari selainnya (yang tidak diterima oleh akal). Kami hanya menetapkan tujuh sifat saja dan mengingkari selainnya, hanya sekedar mengubah bukan mendustakan.” Mereka mengambil sikap tersebut, karena jika pengingkarannya dengan dasar mendustakan, maka mereka kafir, oleh karenanya, mereka mengingkarinya sekedar mengubah, inilah yang mereka beri nama dengan takwil.

 

Ketujuh sifat tersebut ada dalam perkataan:

 

Dia (Allah) memiliki sifat “hidup”, “berbicara”, dan “melihat”, juga “mendengar”, “berkehendak”, “mengetahui”, dan “kuasa”. (Mereka berkata), “Kami menetapkan ketujuh sifat tersebut karena sesuai dengan akal, sisanya kami buang karena tidak sesuai dengan akal, yang sesuai dengan akal kami tetapkan, yang tidak sesuai dengan akal kami ingkari.” Mereka inilah orang-orang Asy’ariyah, mereka beriman kepada sebagian dan mengingkari yang lain.

 

Inilah golongan-golongan ta’thil (yang mengingkari Nama-nama dan Sifat-sifat Allah), semuanya berasal dari bid’ah Jahmiyah,

 

“Barangsiapa mengawali perbuatan yang buruk dalam Islam, maka dia akan memikul dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya sampai Hari Kiamat.”

 

Alhasil jika engkau -wahai saudaraku menelaah buku-buku mereka yang mengkaji pendapat orang-orang dalam hal ini, niscaya Engkau akan melihat sesuatu yang sangat aneh, di mana engkau akan berkat, “Bagaimana bisa orang yang berakal mengatakan perkataan seperti ini lebih-lebih orang yang beriman?” Akan tetapi siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka dari mana dia mendapatkannya? Orang yan dibutakan bashirahnya oleh Allah, sama dengan orang yang dibutakan penglihatannya. Jika orang buta berdiri di depan matahari yang cahayanya bisa memecahkan penglihatan niscaya dia tidak melihatnya, sama halnya dengan orang yang buta bashirahnya, jika dia berdir, di depan cahaya kebenaran niscaya dia tidak melihatnya, naudzubillah

 

Oleh karena itu hendaknya kita selalu memohon keteguhan ke. pada Allah dalam agama ini, agar Dia tidak membelokkan hati kita se. telah Dia memberi petunjuk kepada kita, karena perkaranya berbahaya sedangkan setan menyerang manusia dari segala arah dan jurusan Setan berusaha membuatnya ragu terhadap akidahnya, agamanya, Kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Inilah sebenarnya bid’ah-bid’ah yang merajalela di tubuh umat Islam.

 

Meskipun demikian -alhamdulillah tidak ada seorang pun yang menghadirkan bid’ah kecuali Allah telah menyiapkan -dengan nikmat dan kemurahanNya orang-orang yang mengungkapnya dan menghadapinya dengan kebenaran. Inilah bukti FirmanNya,

 

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Our’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijjr: 9).

 

Hal ini termasuk penjagaan Allah terhadap al-Our an dan ini termasuk pula konsekuensi hikmah Allah, karena Allah menjadikan Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi, sementara risalah harus tetap berkibar di muka bumi, karena jika tidak, maka manusia akan memiliki hujjah di hadapan Allah. Jika memang risalah tetap harus berkibar di muka bumi, maka Allah pasti telah menyiapkan dengan hikmahNya orang yang akan menjelaskan dan membongkar keburukan bid’ah manakala ia muncul. Inilah yang terjadi. Oleh karena itu aku selalu berkata kepadamu, “Bersungguh-sungguhlah dalam mencari ilmu karena di negeri ini, untuk waktu yang akan datang, jika kita tidak mempersenjatai diri dengan ilmu yang berpijak kepada al-Our’an dan as-Sunnah, maka tidak menutup kemungkinan kita akan ditimpa seperti apa yang menimpa negeri-negeri Islam yang lain. Sekarang ini musuh-musuh Islam sedang memusatkan perhatiannya dan kekuatannya kepada negeri ini demi menyesatkan penduduknya. Oleh karena itu, persenjatai dirimu dengan ilmu sehingga engkau mengerti agamamu dan engkau pun mampu berjihad melawan musuh-musuh Allah dengan pena dan lisanmu.

 

Semua bid’ah di atas menyebar setelah masa para sahabat. Para sahabat sendiri tidak pernah membahas perkara-perkara seperti ini, karena mereka mengambil al-Qur’an dan as-Sunnah secara zahir dan yang sesuai dengan konsekuensi fitrah. Fitrah yang lurus adalah lurus, lalu datanglah para pelaku bid’ah tersebut dan melakukan apa yang mereka lakukan dalam agama Allah, bisa jadi karena minimnya ilmu atau terbatasnya pemahaman atau buruknya niat, maka mereka merusak dunia dengan bid’ah-bid’ah tersebut, akan tetapi seperti yang kami katakan, sesungguhnya Allah dengan hikmah, karunia, nikmat dan anugerahNya akan selalu menghadirkan orang-orang yang membongkar keburukan bid’ah kapan pun ia muncul.

 

Di antara ulama yang membongkar keburukan bid’ah secara sempurna adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Aku memohon kepada Allah semoga Dia mengumpulkan kita semua dengannya di SurgaNya yang penuh dengan kenikmatan.

 

Ulama besar seperti beliau adalah nikmat besar Allah kepada umat ini. Allah menjadikan ilmu yang Dia anugerahkan kepada beliau bermanfaat. Ulama inilah yang menulis al-Aqidah al-Wasithiyyah ini, di mana ia seperti yang telah aku katakan, merupakan jawaban atas permintaan salah seorang hakim kota Wasith yang mengadukan kepada beliau keadaan manusia yang dikungkung bid’ah dan meminta beliau untuk menulis akidah ini, maka beliau pun menulisnya.

 

Penulis berkata,

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”

 

Syarah:

 

Memulai dengan basmalah adalah tradisi ulama dalam menyusun buku. Hal itu demi meneladani Kitabullah di mana Allah menurunkan basmalah di awal setiap surat dan juga bersandar kepada Sunnah Rasulullah .

 

Mengenai i’rab, makna, dan keterkaitan basmalah, telah banyak dibahas para ulama, dan pandangan paling bagus dalam hal ini adalah bahwa ia berkaitan dengan fi’il (kata kerja) yang tak terlihat yang memiliki posisi di belakangnya yang sesuai dengan kondisi. Jika engkau mengucapkannya pada saat makan, maka asumsinya adalah, “Bismillah (dengan Nama Allah) aku makan.” Jika mengucapkannya pada saat membaca, maka asumsinya adalah, “Bismillah (dengan Nama Allah) aku membaca.”

 

Kami menyatakannya berkaitan dengan fi’il (kata kerja), karena pada dasarnya dalam perbuatan itu adalah fi’il bukan isim (kata benda). Oleh karena itu fi’il bekerja tanpa syarat sedangkan isim sebaliknya, tidak bekerja kecuali dengan syarat, karena pekerjaan itu adalah dasar pada fi’il dan cabang pada isim.

 

Kami menyatakan bahwa fi’il ini menempati posisi di belakang demi menjaga dua faidah:

 

Pertama: Pembatasan, karena mendahulukan obyek, berfungsi sebagai pembatasan. Maka ucapan, “Bismillah (dengan Nama Allah) aku membaca” adalah sama dengan, “Aku tidak membaca kecuali dengan Bismillah.”

 

Kedua: Dalam rangka mencari berkah dengan memulai dengan Nama Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi.

 

Dan kami menyatakan bahwa fi’il (kata kerja) ini adalah khusus (sesuai dengan kondisi, pent.) karena ia lebih menunjukkan kepada apa yang maksud ketimbang kata kerja umum. Mungkin saja saya berkata bahwa asumsinya adalah, “Bismillah (dengan Nama Allah) aku memulai”, akan tetapi asumsi “Bismillah (dengan Nama Allah) aku memulai tidak menunjukkan penentuan maksud. Lain halnya dengan “Bismillah (dengan Nama Allah) aku membaca” adalah khusus dan yang khusus lebih menunjukkan kepada yang dimaksud daripada yang umum.

 

( ) adalah Nama untuk Diri Allah  semata, selainNya tidak diberi nama dengan nama tersebut. Maknanya adalah yang dipertuhankan ( ), yakni yang disembah ( ) dengan kecintaan dan pengagungan. Dan menurut pendapat yang rajih bahwa ia adalah kata musytaq (yang memiliki kata dasar dan melahirkan pecahan-pecahan kata lain) berdasarkan Firman Allah ,

 

“Dan Dia-lah Allah (yang disembah) di langit maupun di bumi, Dia mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian tampakkan.” (Al-An’am: 3).

 

FirmanNya,   “Di langit,” berkaitan dengan lafazh Allah, yakni Dia-lah yang dituhankan di langit dan di bumi.

 

“Yang Maha Pengasih” adalah Pemilik rahmat yang luas, karena kata dengan timbangan ( ) dalam bahasa Arab menunjukkan makna luas lagi penuh, sebagaimana dikatakan ( ) yang berarti laki-laki itu dipenuhi oleh amarah.

 

“Yang Maha Penyayang” adalah isim (nama) yang menunjukkan kepada fi’il (pekerjaan) karena ia adalah kata dengan timbangan kata yang semakna dengan (subyek) yang menunjukkan fi’il (perbuatan).

 

“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” menunjukkan bahwa rahmat Allah luas dan bahwa ia diberikan kepada seluruh makhluk. Inilah yang diisyaratkan oleh sebagian ulama dengan mengatakan, ( ) adalah rahmat yang bersifat umum dan ( ) adalah rahmat yang khusus untuk orang-orang Mukmin. Manakala rahmat Allah kepada orang kafir adalah rahmat yang hanya khusus di dunia saja, maka seolah-olah tidak ada rahmat bagi mereka, karena di akhirat kelak, ketika mereka meminta kepada Allah agar mengeluarkan mereka dari neraka dan dia bertawasul di hadapanNya dengan RububiyahNya dan pengakuan mereka akan diri mereka, (dengan mengatakan),

 

“Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami darinya (kembalikanlah kami ke dunia), jika kami masih juga kembali (kepada kekafiran), maka sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang zhalim.” (Al-Mu minun: 107),

 

maka rahmat sama sekali tak akan dapat menyentuh mereka, tetapi keadilanlah yang akan menimpa mereka. Allah berfirman kepada mereka,

 

“Dia (Allah) berfirman, “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dani janganlah kalian berbicara kepadaKu.” (Al-Mu’minun: 108).

 

Penulis berkata,

 

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus RasulNya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas seluruh agama dan cukuplah Allah sebagai saksi.

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,

 

“Segala puji bagi Allah yang telah mengutus RasulNya dengan petunjuk dan agama yang benar.” Allah dipuji atas kesempurnaanNya dan karena segala nikmatNya. Kita memujiNya karena kesempurnaan SifatNya dari segala segi, dan kita juga memujiNya karena kesempurnaanNya dalam memberi nikmat dan kebaikan,

 

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka itu dari Allah, dan bila kalian ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepadaNya-lah kalian meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53).

 

Dan nikmat Allah paling besar yang dilimpahkanNya kepada, manusia adalah mengutus para rasul yang dengannya Dia memberikan petunjuk kepada manusia. Oleh karena itu penulis (Syaikhul Islam) berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengutus RasulNya dengan petunjuk dan agama yang benar.”

 

Yang dimaksud rasul di sini adalah rasul secara umum, karen, seluruh rasul diutus membawa petunjuk dan agama yang benar, akan tetapi rasul yang dengannya Allah menyempurnakan risalah adalah Nabi Muhammad . Dengan beliau Allah menutup para nabi, dengan beliau bangunan agama menjadi sempurna, sebagaimana Nabi sendiri yang menjelaskan posisi beliau di antara para rasul, seperti seorang laki-laki yang membangun istana dengan sempurna kecuali tempat untuk satu batu bata (yang belum sempurna). Orang-orang menghadiri istana itu dan mengaguminya kecuali tempat satu bata tersebut. Lalu Nabi  bersabda,

 

“Akulah bata itu, dan aku adalah penutup para nabi.”

 

Perkataan penulis, “Dengan petunjuk.” Huruf ba’ di sini menunjukkan arti mushahabah (bersama atau menyertai) dan petunjuk itu adalah, ilmu yang bermanfaat. Ada kemungkinan ba di sini menunjukkan arti fa’diyah (kata kerja bantu transitif), maksudnya adalah bahwa yang dibawa oleh seorang rasul saat diutus adalah petunjuk dan agama yang benar.

 

“Agama yang benar,” yaitu amal shalih, karena Din (agama) itu adalah amal perbuatan atau balasan perbuatan. Dan di antara penggunaan kata  “agama” yang bermakna amal adalah Firman Allah,

 

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19).

 

Dan penggunaan kata ( ) untuk makna balasan adalah Firman Allah :

 

“Tahukah kamu apakah Hari Pembalasan itu?” (Al-Infithar: 17).

 

Kebenaran adalah lawan kebatilan. Kebenaran adalah segala sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan dalam hukum-hukum dan kabar-kabar berita.

 

Perkataan penulis,  “Agar Dia memenangkannya di atas seluruh agama.” Huruf Lam di sini berfungsi sebagai ta’lil (menjelaskan alasan) dan makna ( ) adalah untuk Dia tinggikan, karena   “tampak” berarti   “tinggi”. Dikatakan (dalam bahasa Arab)  “punggung binatang yang dikendarai” karena ia terletak di atas,   “punggung bumi,” yakni permukaannya, sebagaimana Firman Allah,

 

“Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka usahakan (perbuat), niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi ini.” (Fathir: 45).

 

Dhamir (kata ganti) ha’  , apakah ia untuk Rasul  ataukah untuk agama? Jika ia kembali kepada agama yang benar, maka siapa pun yang berperang untuk agama yang benar tersebut maka dialah yang tinggi, karena Allah berfirman,   “Agar Dia memenangkannya.” Dia akan memenangkan agama ini atas seluruh agama, lebih-lebih yang tidak beragama, karena yang tidak beragama lebih buruk daripada yang beragama meskipun dengan agama yang batil. Jadi seluruh agama yang oleh pemeluknya diklaim benar akan dikalahkan oleh Islam, lebih-lebih yang tidak beragama.

 

Jika dhamir (kata ganti) ha”  kembali kepada Rasul , maka Allah memenangkan RasulNya, karena beliau membawa agama yang benar.

 

Berdasarkan kepada kedua kemungkinan tersebut, maka siapa yang berpegang kepada agama yang benar, maka dia akan menang dan tinggi dan (sebaliknya) siapa yang mencari kemuliaan pada selainnya maka dia (sebenarnya) mencari kehinaan, karena tiada kemenangan, kemuliaan dan kehormatan kecuali dengan agama yang benar ini. Oleh karena itu saya mengajak kalian, wahai saudaraku, untuk berpegang teguh kepada agama Allah, lahir dan batin: dalam ibadah, akhlak dan tingkah laku serta dalam berdakwah kepadaNya sehingga agama ini menjadi tegak dan umat ini menjadi lurus.

 

Perkataan penulis,   “Cukuplah Allah sebagai Saksi”, Para ahli bahasa berkata, “Huruf ba’ (pada kata  ) di sini adalah tan bahan, fungsinya adalah memperhalus kata-kata dan menunjukkan, arti sangat cukup dan asalnya adalah ( ).”

 

( ) adalah tamyiz hasil gubahan dari fa’il (pelaku) karena asalnya adalah ( ). Penulis menghadirkan ayat ini, jika ada yang bertanya, “Apa keterkaitan antara ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’ dengan ‘agar Dia memenangkannya di atas seluruh agama’?”

 

Jawaban: Keterkaitannya jelas karena Nabi  hadir menyeru kepada manusia,

 

“Barangsiapa menaatiku niscaya dia masuk surga, dan barangsiapa mendurhakai ku niscaya masuk neraka.”

 

Dan dengan bahasa kondisi riil (seakan) beliau mengatakan, “Barangsiapa menaatiku maka aku menjadikannya damai dan selamat dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka aku memeranginya.” Nabi memerangi manusia dengan agama ini, juga menghalalkan darah, harta, wanita dan anak-anak mereka, dan dalam semua itu beliau ditolong, didukung Allah, menang dan tidak kalah. Dikukuhkannya beliau un. tuk berkuasa di muka bumi ini oleh Allah, merupakan kesaksian riil dariNya bahwa beliau benar dan bahwa agama beliau adalah benar, karena siapa pun yang berdusta dan mengada-ada atas Nama Allah, akibatnya adalah kekalahan, kehinaan dan kebinasaan. Perhatikanlah nabi-nabi palsu, bagaimana kesudahan bagi mereka? Dilupakan dan dibinasakan. Musailimah al-Kadzdzab, al-Aswad al-Ansi, dan lain-lain yang mengaku sebagai nabi, semuanya binasa, kedok mereka terbongkar dan dijauhi oleh kebenaran dan taufik. Akan tetapi perhatikanlah Nabi Muhammad  keadaan beliau justru sebaliknya. Dakwah beliau -Alhamdulillah tetap abadi sampai saat ini. Kami memohon kepada Allah agar meneguhkan kita semua di atasnya, bahkan sampai Hari Kiamat. Ia akan tetap kokoh dan berkibar. Dengan dakwah beliau, sampai hari ini darah dan harta orang-orang kafir yang memusuhi beliau dihalalkan, wanita dan anak-anak mereka ditawan.” Inilah kesaksian sejati dari Allah. Allah tidak mengazab beliau, tidak menghinakan beliau, dan tidak pula mendustakan beliau. Oleh karena itulah kesaksian Allah,   “Cukuplah Allah sebagai saksi” hadir setelah,   “agar Dia memenangkannya di atas seluruh agama.”

 

Penulis berkata,

 

Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, sebagai penetapan (ikrar) pernyataan tauhid.

 

Syarah:

 

“Aku bersaksi,” bermakna, aku menetapkan (mengikrarkan) dengan hati dan mengucapkan dengan lisan: karena kesaksian adalah perkataan dan pemberitahuan tentang apa yang ada di hati.

 

Di depan hakim misalnya, engkau bersaksi bahwa hak ini milik fulan atas fulan. Di sini engkau bersaksi dengan lisan yang mengungkapkan apa yang ada di hati. Dipilihnya kesaksian dan bukan pengakuan, adalah karena kesaksian berasal dari menyaksikan sesuatu, berarti menghadiri dan melihatnya. Jadi orang yang mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya tersebut dengan lisannya seolah-olah menyaksikan sendiri hal itu dengan matanya.

 

“Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah,” maksudnya, tidak ada sesembahan yang haq selain Allah. Berdasarkan hal ini, maka khabar ( ) tak terlihat dan lafazh “Allah” adalah pengganti. nya (badal).

 

“Semata, tidak ada sekutu bagiNya.” Dari segi makna, ini adalah penegasan untuk penetapan (itsbat), dan   “tidak ada sekutu bagiNya,” adalah penegasan untuk peniadaan (nafi).

 

Sebagai penetapan ikrar dan pernyataan tauhid, Ini adalah mashdar, bisa engkau katakan bahwa ia adalah maf’ul mu thlaq (obyek umum) karena secara makna ia adalah mashdar bagi ( ). Para ahli nahwu berkata, Jika mashdar mengandung makna fi’il (kata kerja), meski lafazhnya berbeda, maka ia adalah mashdar secara makna atau maf’ul muthlaq. Jika satu makna dan lafazhnya sama. maka ia adalah mashdar lafzhi. Kalau dikatakan, ( ), maka ( ) adalah mashdar lafzhi, kalau dikatakan ( ), maka ( ) adalah mashdar maknawi. Begitu pula jika dikatakan ( ) dan ( ), yang pertama lafzhi dan yang kedua maknawi.”

 

Dan kata,  , “Pernyataan tauhid” ini adalah mashdar penguat untuk ucapan, ( ).

 

Penulis berkata,  Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hambaNya dan utusanNya.

 

Syarah:

 

 “Aku bersaksi,” penjelasannya sama dengan kata ( ) yang pertama (sebelumnya).

 

Muhammad, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib al-Qurasy (dari Quraisy) al-Hasyimi (dari Bani Hasyim), keturunan Nabi Ismail putra Nabi Ibrahim  : manusia yang paling mulia dari segi nasab.

 

Nabi yang mulia ini adalah hamba dan utusan Allah, dia adalah orang nomor satu dalam beribadah kepada Allah dan paling mantap dalam mewujudkan ubudiyah kepadaNya. Beliau melakukan qiyamul lail (shalat sunnah malam hari) sampai kedua telapak kaki beliau bengkak. Beliau pernah ditanya, “Mengapa Anda melakukan hal ini padahal Allah telah mengampuni dosa Anda, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab,

 

“Justru (karena itu) apakah aku tidak (seharusnya) menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”

 

Hal itu, karena Allah telah memuji hamba yang banyak bersyukur ketika Dia berfirman tentang Nabi Nuh  ,

 

“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Isra : 3).

 

Maka Nabi   ingin mencapai target tersebut, dan beliau ingin beribadah kepada Allah dengan ibadah yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu beliau adalah orang yang paling bertakwa, paling takut kepada Allah dan paling ingin meraih apa yang ada di sisiNya. Maka beliau adalah hamba Allah. Konsekuensi beliau sebagai hamba Allah adalah bahwa beliau tidak memiliki kuasa untuk mendatangkan manfaat atau mudarat, baik untuk diri beliau sendiri atau untuk orang lain. Beliau secara mutlak tidak memiliki hak dalam hal rububiyah. Bahkan beliau adalah seorang hamba yang membutuhkan Allah lagi fakir kepadaNya. Beliau memohon, meminta dan berdoa serta takut kepadaNya. Bahkan Allah memerintahkan beliau untuk memproklamirkan dan mendeklarasikan secara khusus bahwa beliau tidak memiliki sedikit pun hak-hak rububiyah. Maka Allah berfirman,

 

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan, kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku akan melakukan hal yang membuatku mendapatkan banyak kebaikan dan aku tidak akan ditimpa keburukan’.” (Al-A’raf: 188).

 

Allah juga memerintahkan beliau untuk menyampaikan,

 

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang ghaib dan aku tidak (pula) mengatakan kepada kalian bahwa aku malaikat. Aku hanya, mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku’.” (Al-An’am: 50).

 

Allah juga memerintahkan beliau untuk menyampaikan,

 

“Katakanlah (wahai Muhammad), “Aku tidak kuasa menolak mudharat maupun mendatangkan kebaikan bagi kalian.” Katakanlah: (wahai Muharnmaa) “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan aku tidak akan memperoleh tempat berlindung selain dariNya. (Aku hanya) menyampaikan (peringatan)’.” (Al Jin: 21-23).

 

Pada ayat di atas, kata   “kecuali” adalah pengecualian yang munqathi’ (terpisah). Maknanya yaitu: Akan tetapi aku hanyalah menyampaikan risalah dari Allah.

 

Kesimpulannya adalah bahwa Nabi Muhammad hanyalah hamba Allah, dan konsekuensi predikat beliau sebagai hamba ini adalah bahwa beliau tidak memiliki hak sedikit pun dari hak-hak rububiyah (ketuhanan).

 

Jika kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah adalah demikian, maka bagaimana menurutmu dengan hamba Allah yang lain? Jelas mereka tidak memiliki kuasa untuk mendatangkan manfaat dan mudarat, tidak untuk diri mereka sendiri dan tidak pula untuk orang lain, selama-lamanya. Dengan ini jelaslah bagi kita kebodohan orang-orang yang berdoa kepada selain Allah, baik para wali maupun lain-lain.

 

Perkataan penulis,  “Dan utusanNya.” Ini juga sifat yang tidak dimiliki seorang pun setelah Rasulullah  , karena beliau adalah penutup para nabi, beliau adalah utusan Allah yang mencapai suatu kedudukan yang tidak dicapai oleh seorang pun, bahkan dari kalangan malaikat sebatas pengetahuan yang kami ketahui, kecuali para malaikat pemikul Arasy. Beliau telah sampai ke langit yang ketujuh, yang beliau sampai di tempat di mana beliau mendengar gesekan pena takdir, yang dengannya Allah menetapkan urusan makhluk-makhluk-Nya, Tak seorang pun sebatas pengetahuan kami yang sampai ke derajat ini. Allah berbicara langsung dengan beliau tanpa perantara, Allah mengutus beliau kepada seluruh makhluk, mendukung beliau dengan mukjizat-mukjizat agung yang tidak diberikan kepada manusia atau seorang rasul pun, yaitu al-Qur’an yang agung ini, di mana tidak satu pun mukjizat para nabi terdahulu yang menandinginya.

 

Oleh karena itu Allah berfirman,

 

“Dan mereka (orang-orang kafir) berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?” Katakanlah (wahai Muhammad), “Mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Aku hanya seorang pemberi peringatan yang jelas. Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) yang dibacakan kepada mereka?” (Al Ankabut: 50-51).

 

Ini mencukupi segala sesuatu, bagi orang yang memiliki hati atau menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan. Adapun orang yang berpaling, maka dia akan mengucapkan apa yang diucapkan oleh para pendahulunya, “Ini adalah dongeng orang-orang terdahulu.”

 

Intinya, adalah bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul Allah dan penutup para nabi. Dengan beliau Allah menutup kenabian dan kerasulan sekaligus, karena jika kenabian yang lebih umum daripada kerasulan telah tiada, maka kerasulan yang lebih khusus daripada kenabian otomatis juga tidak akan ada lagi, karena lenyapnya yang umum berkonsekuensi kepada lenyapnya yang khusus. Maka Rasulullah  adalah penutup para nabi.

 

Penulis berkata,  Semoga shalawat Allah tercurah kepada beliau kepada keluarga beliau dan sahabat beliau dan semoga salamNya yang lebih tercurah kan kepada beliau. .

 

“Semoga shalawat Allah tercurah kepada beliau” Makna terbaik dari shalawat Allah kepada beliau adalah, apa yang dikatakan oleh Abul Aliyah, dia berkata, “Shalawat Allah kepada Rasu-Nya adalah sanjunganNya kepada beliau di hadapan malaikat-malaikat-Nya yang tertinggi.”

 

Adapun orang yang menafsirkan shalawat Allah kepada Nabi adalah rahmat-Nya, maka pendapatnya tersebut lemah, karena rahma, Allah untuk setiap orang. Oleh karena itu, para ulama bersepakat dibolehkannya mengatakan, “Semoga Allah merahmati fulan.” Namun pada saat yang sama, mereka berbeda pendapat tentang dibolehkan, nya mengucapkan, “Semoga shalawat Allah tercurah kepada fulan.” Ia juga menunjukkan bahwa shalawat bukanlah rahmat. Ditambah lagi dengan Firman Allah,

 

“Mereka itulah yang memperoleh pujian dan rahmat dari Tuhan mereka.” (Al-Baqarah: 157).

 

Di ayat ini, kata “rahmat” diathafkan (dirangkai) dengan kata “shalawat” dan athaf menunjukkan perbedaan, jadi shalawat lebih khusus daripada rahmat, maka shalawat Allah kepada RasulNya adalah pujianNya kepada beliau di hadapan malaikat-malaikat yang tinggi.

 

Dan juga perkataan penulis,   “Kepada keluarga beliau.” Kata ( ) di sini maksudnya adalah para pengikut beliau dalam agama beliau. Ini jika kata Ji disebutkan secara sendiri atau digabung dengan   “sahabat beliau”; maka ia bermakna para pengikut beliau dalam agama beliau sejak beliau diutus sampai Hari Kiamat. Dalil yang menunjukkan bahwa “keluarga” di sini berarti para pengikut agama adalah Firman Allah  tentang “pengikut” fir’aun.

 

“Kepada mereka (Fir’aun dan pengikutnya) diperlihatkan neraka (dalam kubur mereka) pada pagi dan petang, dan pada Hari Kiamat (diperintahkan kepada malaikat), “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras!” (Ghafir: 46).

 

Yakni, orang-orang yang mengikuti agamanya.

 

Lain halnya jika “keluarga” dirangkaikan dengan para pengikut sekaligus, sebagaimana dikatakan,   “keluarga beliau dan para pengikut beliau,” maka yang dimaksud dengan   di sini adalah orang-orang beriman dari Ahli Bait, keluarga Rasulullah  .

 

Di sini Syaikhul Islam tidak mencantumkan para pengikut, dia hanya berkata,   “keluarga beliau dan para sahabat beliau.” Maka kami menyatakan bahwa kata  di sini berarti para pengikut beliau dalam agama belau. Adapun sahabat, maka dia adalah setiap orang yang bertemu Nabi  , beriman kepada beliau, serta mati di atas iman.

 

Diathafkannya (dirangkaikannya) kata “sahabat” kepada   “pengikut” di sini termasuk athaf yang khusus kepada yang umum karena sahabat lebih khusus dari sekedar penyikut.

 

Perkataan penulis,   “Dan semoga salamNya yang lebih tercurahkan kepada beliau.” “Salam” mengandung keselamatan dari segala keburukan dan musibah. Shalawat mengandung tercapainya segala kebaikan. Dengan kata-kata ini Syaikhul Islam menggabungkan antara permohonan kepada Allah agar mewujudkan kebaikan-kebaikan untuk NabiNya -terkhusus pujianNya kepada beliau di hadapan malaikat-malaikat yang tertinggi dan melindungi beliau dari segala keburukan dan musibah. Begitu pula untuk para pengikut beliau.

 

Kata “shalawat” dan “salam” dari segi lafazh berbentuk berita, akan tetapi dari segi makna, ia berbentuk permohonan, karena maksudnya adalah doa.

 

Perkataan penulis,   “yang lebih” artinya tambahan atau yang lebih, maksudnya adalah salam yang lebih daripada shalawat. Maka ia adalah doa keselamatan setelah shalawat.

 

Dan rasul menurut ulama adalah orang yang diwahyukan kepadanya dengan syariat dan diperintahkan untuk menyampaikannya,.

 

Beliau diangkat sebagai Nabi dengan ( ) dan sebagai Rasul dengan al-Muddatstsir.

 

Maka dengan Firman Allah

 

“Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu yang menciptakan! Dig telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu-lah Yang paling Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak dia ketahui.” (Al-‘Alaq: 1-5), beliau menjadi seorang nabi.

 

Dan dengan Firman Allah,

 

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah, lalu berilah peringatan!” (Al-Muddatstsir: 1-2),

 

beliau menjadi seorang Rasul

 

Penulis berkata,  Amma ba’du; maka ini adalah keyakinan (i‘tiqad) golongan yang selamat yang mendapat pertolongan sampai Hari Kiamat; Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Syarah:

 

“Amma ba’du.” Kata Ui “adapun” adalah pengganti isim syarat dan fiilnya, asumsinya adalah   “bagaimanapun atau apa pun urusannya”.

 

Kata itu maknanya seperti “bagaimana pun urusannya”, dan huru a Wajib disisipkan pada kata yang terletak setelah kata yang mengiringinya

 

Maka ucapan mereka “amma ba’du” berarti, bagaimanapun atau apa pun urusannya sesudah ini, maka ini adalah begini.

 

Berdasarkan ini, maka fungsi huruf  adalah penghubung bagi kata yang menjadi jawaban bagi ( ). Dan kalimat yang jatuh sesudah fa berada dalam posisi jazm sebagai jawab syarat. Menurutku, ada kemungkinan lain untuk “Amma ba’du, maka ini…” yaitu bahwa ( ) sebagai huruf syarat dan tashil (perincian) atau huruf syarat saja tanpa tashil, maka ucapan selengkapnya adalah “adapun setelah menyebutkan hal ini, maka aku menyebutkan yang berikut ini.” Dalam kemungkinan ini kita tidak perlu memperkirakan adanya fi’il syarat, lalu kita katakan bahwa ( ) adalah huruf yang berdiri menggantikan kalimat.

 

“Maka ini adalah keyakinan” adalah isyarat kepada sesuatu yang ada. Pada waktu saya berkata, “Ini…” berarti aku menunjuk kepada sesuatu yang riil lagi nyata.

 

Di sini penulis mencantumkan khutbah (pengantar) sebelum kitab, ia belum hadir di alam nyata. Bagaimana bisa demikian?

 

Aku katakan, Bahwa para ulama menyatakan, jika penulis telah menulis kitab baru, setelah itu dia menulis mukadimah dan khutbah, maka apa yang dia tunjuk adalah sesuatu yang ada lagi nyata, ini tidak ada persoalan. Jika penulis belum menulis maka dia mengisyaratkan kepada makna-makna yang ada di benaknya yang akan dia tulis di buku bersangkutan. Menurut saya, dalam hal ini ada kemungkinan ketiga, yaitu bahwa penulis mengatakan hal ini dengan melihat kepada keadaan lawan bicaranya, di mana penulis tidak berbicara kepadanya kecuali kitab itu telah muncul dan lahir. Jadi seolah-olah penulis berkata, “Maka yang ada di hadapanku adalah begini dan begini…”

 

Jadi ada tiga kemungkinan.

 

“Keyakinan,” wazan ( ) dari asal kata ( ) yang berarti mengikat dan mengencangkan. Ini dari segi pecahan kata (sharaf). Adapun secara istilah, maka menurut mereka, i’tikad adalah hukum akal yang pasti. Dikatakan ( ) “aku meyakini ini,” yakni aku memastikan ini di dalam hatiku. Jadi ia adalah keputusan hati yang pasti. Jika ia sesuai dengan kenyataan, maka ia benar (shahih), jika menyelisihinya maka ia rusak. Keyakinan kita bahwa Allah Maha Esa adalah benar dan keyakinan orang-orang Nasrani bahwa Allah adalah satu dari tiga oknum adalah batil, karena ia menyelisihi kenyataan. Hubungan makna secara istilah dengan makna secara bahasa adalah jelas, karena orang yang meyakini sesuatu di dalam hatinya seolah-olah dia mengikatnya, dengan kuat sehingga ia tidak lepas darinya.

 

“Golongan,” dengan fa dibaca kasrah, berarti golongan ( ), Firman Allah,

 

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang.” (At-Taubah: 122).

 

Adapun ( ) dengan fa’ dibaca dhammah, maka ia dari   “perpecahan”.

 

“Yang selamat,” adalah Isim fa’il dari kata ( ), yang ber. makna selamat, yaitu di dunia selamat dan bebas dari bid’ah dan dj akhirat selamat dari api neraka.

 

Makna ini adalah bahwa sabda Nabi

 

“Umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka, kecuali satu.” Mereka bertanya, “Siapa golongan itu ya Rasulullah?” Nabi bersabda, ” Mereka adalah orang yang berpijak pada ajaran yang aku dan sahabatku pegang.”

 

Hadits ini menjelaskan makna  “yang selamat”. Barangsiapa yang berpegang pada ajaran yang sama dengan ajaran Nabi dan sahabat-sahabat beliau, maka ia selamat dari bid’ah. Dan sabda beliau, “Semuanya di neraka kecuali satu,” yakni, ia (golongan yang satu itu) selamat dari neraka. Maka keselamatan di sini adalah keselamatan dari bid’ah ; dunia dan keselamatan dari api neraka di akhirat.

 

“Yang mendapat pertolongan sampai Hari kiamat.” Penulis mengungkapkan dengannya karena ia sesuai dengan hadits di mana Nabi  bersabda,

 

“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang tegak di atas kebenaran dalam keadaan menang.”

 

Menang berarti mendapat pertolongan berdasarkan Firman Allah

 

“Maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman dalam menghadapi musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (Ash-Shaf: 14).

 

Yang menolongnya adalah Allah, para malaikat dan orang-orang yang beriman, maka kelompok tersebut selalu diberi kemenangan sampai Hari Kiamat, golongan itu mendapat pertolongan dari Allah, para malaikat dan hamba-hamba Allah yang beriman bahkan seseorang mungkin saja ditolong dengan jin, ia (jin) menolongnya dan menakut-nakuti musuhnya.

 

“Sampai Hari Kiamat,” yakni ia selalu dimenangkan sampai Hari Kiamat tiba.

 

Di sini muncul pertanyaan, yaitu bahwa Rasulullah  telah mengabarkan bahwa Kiamat tiba pada waktu manusia telah menjadi manusia buruk, Kiamat tidak akan terjadi sehingga tidak ada lagi yang mengucapkan, “Allah, Allah,”  maka bagaimana menggabungkan hal ini dengan perkataan syaikhul Islam, “Sampai Hari Kiamat”?

 

Jawaban: Bahwa yang dimaksud dengan “sampai Hari Kiamat” adalah sampai menjelang Hari Kiamat, berdasarkan sabda Nabi ,

 

“Sehingga datanglah keputusan dari Allah,” atau sampai terjadinya kiamat, yaitu, kiamat mereka, dan yang dimaksud dengan kiamat di sini adalah kematian, karena siapa yang mati maka kiamat, nya telah datang. Akan tetapi penafsiran yang pertama lebih dekat Jadi mereka mendapat pertolongan (kemenangan) sampai menjelang Hari Kiamat. Kami memakai takwil ini karena adanya dalil, dan takwil berdasarkan dalil dibolehkan, karena semuanya adalah dari Allah  “Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Mereka dinisbatkan kepada “as-Sunnah”, karena mereka berpegang teguh dengannya dan mereka disebut “jamaah”, karena mereka bersatu padu di atasnya.

 

Jika engkau berkata: Bagaimana bisa dikatakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka adalah jamaah. Bagaimana sesuatu bisa disan. darkan kepada dirinya sendiri?

 

Jawaban: Pada dasarnya arti kata jamaah adalah berkumpul (bersatu). ia adalah isim mashdar, ini pada dasarnya, kemudian dari dasar inj dipindah pemakaiannya menjadi kaum yang berkumpul. Jadi makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Ahlus Sunnah wal ljtima’. Mereka diberi nama Ahlus Sunnah, karena mereka berpegang kepadanya, dan mereka dinamakan jamaah karena mereka bersatu di atasnya.

 

Oleh karena itu, golongan ini tidak terpecah-belah seperti yang terjadi pada ahli bid’ah. Kita lihat ahli bid’ah: seperti Jahmiyah, terpecah belah, Mu’tazilah terpecah belah, Rafidhah terpecah belah, ahli ta’thil pun terpecah belah. Lain halnya dengan golongan ini, ia bersatu di atas kebenaran, meskipun tetap terjadi perbedaan, akan tetapi perbedaan yang tidak menimbulkan mudarat, ia adalah perbedaan di mana sebagian tidak menyatakan sebagian yang lain sesat karenanya. Artinya, dada mereka tetap lapang karenanya. Benar, mereka pun berbeda pendapat dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan akidah seperti apakah Nabi melihat Allah dengan mata beliau atau tidak? Atau apakah siksa kubur itu untuk jasad dan ruh sekaligus atau untuk ruh saja? Dan masalah-masalah yang lain di mana mereka berbeda pendapat padanya, akan tetapi ia adalah masalah-masalah yang bisa dikatakan furu’ (cabang) jika dibandingkan dengan yang ushul (pokok), ia tidak termasuk ushul. Di samping itu, walaupun mereka berbeda pendapat, mereka tidak saling menyatakan bahwa penyelisihnya adalah sesat, lain urusannya dengan ahli bid’ah.

 

Jadi, mereka berkumpul di atas as-Sunnah, maka mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’‘ah.

 

Dari perkataan penulis   diketahui bahwa orang yang menyelisihi jalan mereka tidak termasuk ke dalam golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Asy’ariyah dan Maturidiyah misalnya, mereka tidak dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’‘ah dalam hal ini, karena mereka menyelisihi ajaran Nabi dan para sahabat beliau dalam memahami Sifat-sifat Allah berdasarkan hakikat sebenarnya.

 

Dari sini jelas tidak benar orang mengatakan bahwa Ahlus Sunnah wal Jam‘ah adalah Salafiyun, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Ini salah. Kami katakan, mana mungkin ketiganya adalah Ahlus Sunnah sedangkan mereka berselisih? Bukankah sesudah kebenaran adalah kesesatan? Mana mungkin mereka semua adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sedangkan sebagian membantah sebagian yang lain? Ini jelas tidak mungkin kecuali jika menggabungkan antara dua perkara yang bertentangan adalah mungkin, maka itu benar, karena jika tidak, maka Ahlus Sunnah dari mereka hanyalah satu, siapa dia? Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Salafiyah? Jawabnya, siapa yang sesuai dengan as-Sunnah, maka dialah Ahlus Sunnah dan siapa yang menyelisihinya, maka dia bukan Ahlus Sunnah. Di sini kami katakan bahwa Salafi-lah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, gelar ini tidak bisa diberikan kecuali kepada mereka selama-lamanya. Suatu kata ditimbanyg dengan makna yang dikandungnya. Lihatlah, bagaimana mungkin orang yang menyelisihi as-Sunnah disebut Ahlus Sunnah? Mustahil! Bagaimana mungkin dikatakan tentang tiga golongan yang berselisih bahwa mereka bersatu? Mana persatuannya? Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Salaf itu sendiri dari segi akidah. la mencakup orang-orang yang datang berikutnya asalkan dia berpegang pada ajaran Nabi  dan para sahabat; dia adalah Salafi.

 

Penulis berkata,

 

la (keyakinan Ahlus Sunnah) adalah beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada Qadar yang baik dan yang buruk.

 

Syarah:

 

Pokok akidah ini diletakkan oleh Nabi  untuk kita dalam jawa. ban beliau atas pertanyaan Malaikat Jibril yang bertanya, Apa itu Islam? Apa itu iman? Apa itu ihsan? Dan kapan Kiamat? Nabi  menjawab tentang iman,

 

“Hendaknya kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, Hari Akhir dan takdir baik dan buruknya,”

 

“Beriman kepada Allah.” Iman dari segi bahasa menurut banyak kalangan adalah membenarkan. Aku membenarkan dan aku beriman adalah satu makna. Telah kami jelaskan dalam tafsir bahwa pendapat ini tidak shahih. Akan tetapi yang shahih, iman menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu karena membenarkannya. Buktinya adalah, bahwa engkau berkata, “Aku beriman kepada ini,” atau “aku menetapkan ini” atau “aku membenarkan fulan”, dan engkau tidak mengatakan “Aku beriman kepada fulan.”

 

Jadi iman mengandung arti yang lebih dari sekedar membenarkan. Ia adalah pengakuan yang berkonsekuensi kepada sikap menerima berita dan tunduk kepada hukum. Inilah iman. Kalau sekedar kamu beriman bahwa Allah itu ada, maka ini bukanlah iman, sampai keimanan tersebut berkonsekuensi kepada sikap menerima berita dan tunduk kepada hukum, jika tidak maka ia bukan iman.

 

Beriman kepada Allah mengandung empat perkara:

 

1). Beriman kepada adanya Allah

 

2). Beriman kepada Rububiyah-Nya, yakni Dia-lah satu-satu yang menyandang hak Rububiyah.

 

3). Beriman kepada Uluhiyah-nya, yakni Dia-lah satu-satunya yang berhak diibadahi.

 

4). Beriman kepada Nama-nama dan Sifat-sifatNya.

 

Iman tidak mungkin terwujud kecuali dengan semua itu.

 

Barangsiapa yang tidak beriman kepada adanya Allah, maka dia bukanlah seorang Mukmin. Siapa yang beriman kepada adanya Allah, tetapi tidak beriman bahwa satu-satunya yang menyandang hak Rububiyah adalah Allah, maka dia bukan seorang Mukmin. Barangsiapa beriman bahwa satu-satunya pemilik rububiyah adalah Allah, akan tetapi tidak beriman bahwa satu-satunya yang berhak diibadahi adalah Allah, maka dia bukan seorang Mukmin. Barangsiapa beriman bahwa satu-satunya pemilik rububiyah dan uluhiyah adalah Allah, akan tetapi dia tidak beriman kepada Asma’ dan Sifat Allah, maka dia bukan seorang Mukmin, meskipun yang terakhir ini bisa menghilangkan iman secara total dan bisa pula hanya menghilangkan kesempurnaan iman.

 

Iman kepada Adanya Allah

 

Jika ada yang bertanya: Apa dalil yang menunjukkan adanya Allah? Jawaban: Dalil atas wujud Allah adalah akal, indra, dan syara’.

 

Tiga hal ini semuanya menunjukkan adanya Allah. Kalau engkau mau, maka bisa menambahkan fitrah. Jadi bukti atas wujud Allah ada empat: akal, indra, titrah, dan syara’. Kami menyebut syara’ di bagian akhir, bukan karena ia tidak berhak dikedepankan, akan tetapi karena kita berbicara kepada orang yang tidak beriman kepada syara’.

 

Adapun dalil akal, maka kita katakan, “Apakah keberadaan semua yang ada ini dengan sendirinya atau ia ada secara tiba-tiba?”

 

Kalau engkau menjawab, “Ada dengan sendirinya,” maka itu mustahil secara akal selama ia tidak ada, mana mungkin ia ada sedangkan ia tidak ada? Yang tidak ada bukanlah sesuatu sehingga ia diadakan. Jadi mustahil ia mengadakan dirinya sendiri. Kalau engkau menjawab, “la ada secara tiba-tiba,” maka itu juga mustahil. Wahai orang yang mengingkari, apakah pesawat terbang, rudal, mobil, dan perlengkapan dengan segala macam bentuknya, semua itu ada secara tiba-tiba? Dia pasti menjawab tidak mungkin. Maka sama halnya dengan burung-burung, gunung-gunung, matahari, rembulan, bintang-bintang, pohon, batu pasir, laut dan sebagainya. Tidak mungkin ia ada secara tiba-tiba. ,

 

Dikisahkan ada sekelompok orang dari aliran (sekte) Sumaniyah (yang atheis) yang berasal dari India, datang kepada Imam Abu Hanifah , mereka mendebat Abu Hanifah dalam penetapan adanya pencipta Abu Hanifah sendiri termasuk di antara ulama yang sangat cerdas. Dia menjanjikan agar mereka datang satu atau dua hari mendatang. Pada hari yang disepakati mereka datang. Mereka bertanya kepada Aby Hanifah, “Apa jawabanmu?” Abu Hanifah menjawab, “Aku sedang memikirkan sebuah perahu yang sarat dengan muatan dan makanan. ia membelah air sampai ia merapat di pelabuhan. Ia pulang pergi dengan sarat muatan akan tetapi tidak ada nahkodanya dan tidak ada ABKnya.”

 

Mereka berkata, “Ini yang sedang kamu pikirkan?” Abu Hanifah menjawab, “Ya.” Mereka berkata, “Kalau begitu kamu tidak berakal. Apakah masuk akal bahwa ada perahu yang datang pulang pergi tanpa nahkoda? Ini tidak masuk akal.” Abu Hanifah berkata, “Bagaimana kalian tidak memahami ini, sedangkan kalian memahami bahwa langit, matahari, rembulan, bintang-bintang, gunung-gunung, pohon, binatang, dan semua manusia tanpa pencipta?” Mereka pun tahu bahwa Abu Hanifah berbicara kepada mereka dengan cara berpikir mereka sendiri. Mereka pun tak mampu menjawabnya.

 

Seorang Arab pedalaman ditanya, “Dengan apa kamu mengetahui Tuhanmu?” Dia menjawab, “Jejak kaki adalah bukti adanya orang yang pernah berjalan. Kotoran unta adalah bukti adanya unta. Maka langit dengan bintang-bintangnya, bumi dengan jalan-jalannya, dan laut dengan ombaknya, apakah itu tidak menunjukkan adanya Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat?”

 

Oleh Karena itu Allah berfirman,

 

Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri?” (At-Thur: 35).

 

Jadi secara pasti, akal membuktikan adanya Allah.

 

– Adapun dalil indrawi yang menunjukkan adanya Allah adalah dikabulkannya doa seseorang di mana dia berkata, “Wahai Tuhanku,” dia memohon sesuatu kemudian permohonannya dikabulkan. Ini adalah bukti riil, dia sendiri tidak berdoa kecuali kepada Allah, lalu Allah mengabulkan doanya dan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Kita pun telah mendengar orang-orang yang telah mendahului kita dan orang-orang di zaman ini, bahwa Allah mengabulkan doanya.

 

Ketika Rasulullah  sedang berkhutbah, masuklah seorang Arab badui, dia berkata, “Harta benda telah hancur, jalan-jalan pun telah terutus. Berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kami.” Anas berkata, “Demi Allah, di langit tidak ada awan bahkan secuil pun tidak ada, antara kami dengan Sala’ -gunung Madinah yang dari arahnya awan muncul tidak ada rumah atau tempat tinggal… sejurus setelah doa Rasulullah, muncullah awan tebal seperti perisai. Ia naik ke langit, mengembang lalu terlihat kilat dan terdengar guruh maka hujan pun turun. Belumlah Rasulullah turun (dari mimbar), melainkan air hujan sudah menetes dari jenggot beliau.”

 

Ini adalah perkara riil yang menunjukkan secara nyata tentang adanya pencipta dan itu adalah dalil indrawi.

 

Hal seperti ini di dalam al-Qur’an banyak didapatkan, seperti

 

“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika dia menyeru Tuhannya, “(Wahat Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang. Maka Kami memperkenankan baginya.” (Al-Anbiya’: 83-84).

 

Dan ayat-ayat lain yang banyak.

 

– Adapun dalil fitrah, maka mayoritas manusia di mana fitrah mereka tidak menyimpang, beriman kepada adanya Allah, bahkan ternak yang bisu pun beriman kepada wujud Allah. Kisah semut yang diriwayatkan dari Nabi Sulaiman  menunjukkan hal itu. Suatu kali Nabi Sulaiman keluar untuk memohon hujan. Dia melihat seekor semut terlentang dengan mengangkat kakinya ke langit. Semut ini berdoa, “Ya Allah, aku adalah salah satu makhlukMu, maka janganlah Engkau tahan airMu dari kami.” Maka Nabi Sulaiman berkata (kepada orang-orang), “Pulanglah kalian, karena kalian akan diturunkan hujan dengan doa selain kalian.”

 

Fitrah (manusia) telah difitrahkan untuk mengenal dan mentauhidkan Allah.

 

Allah telah mengisyaratkan hal ini dalam FirmanNya,

 

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian, itu) agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (ang cucu Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah), atau agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka’.” (Al-A’raf: 172-173).

 

Ayat ini menunjukkan bahwa fitrah manusia difitrahkan di atas persaksian adanya Allah dan RububiyahNya. Sama saja, apakah kita katakan bahwa Allah mengeluarkan mereka dari punggung Nabi Adam dan meminta kesaksian mereka atau kita katakan bahwa itu adalah pengakuan yang Allah susun di dalam fitrahNya. Yang jelas, ayat ini menunjukkan bahwa manusia mengenal Tuhannya dengan fitrahnya.

 

– Adapun dalil syara’, maka syariat Allah yang dibawa para rasul yang mengandung segala apa yang baik bagi manusia menunjukkan bahwa yang menurunkannya adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana, lebih-lebih al-Qur’an yang mulia ini, di mana tak seorang pun dari kalangan jin dan manusia yang mampu menghadirkan kitab yang semisalnya.

 

Ini adalah empat dalil yang menunjukkan adanya Allah.

 

“Malaikat-malaikatNya.” ( ) adalah jamak dari ( ) dan asal ( ) adalah ( ) karena ia dari kata ( ) yang dalam bahasa berarti ( ), Firman Allah 

 

“Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk menangani berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap-sayap, masing-masing (ada yang memiliki) dua, tiga, dan empat (sayap).” (Fathir: 1).

 

Malaikat adalah alam ghaib. Allah menciptakan mereka dari cahaya, Allah menjadikan mereka selalu taat dan tunduk kepadaNya. Masing-masing dari mereka memiliki tugas yang Allah khususkan untuknya. Di antara tugas mereka yang kita ketahui adalah:

 

Pertama, Jibril: Ditugaskan mengemban wahyu, ia menyampaikannya dari Allah kepada para rasul.

 

Kedua, Israfil: Peniup sangkakala, di samping itu ia adalah salah satu malaikat pemikul Arasy.

 

Ketiga, Mika’il: Yang ditugaskan mengurusi hujan dan tumbuh-tumbuhan.

 

Ketiga malaikat ini bertugas mengurusi kehidupan. Jibril bertugas menyampaikan wahyu yang mengandung kehidupan hati. Mika’il pembagi hujan dan tumbuh-tumbuhan yang merupakan kehidupan bumi dan Israfil peniup sangkakala yang menghidupkan orang-orang pada

 

Hari Kebangkitan.

 

Oleh karena itu Nabi  bertawasul dengan Rububiyah Allah terhadap mereka, dalam doa istiftah dalam shalat malam, beliau mengucapkan,

 

“Ya Allah, Tuhannya Jibril, Mika‘il, dan Israfil! Wahai Pencipta langit dan bumi! Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata! Engkau-lah yang memutuskan hukum di antara hamba-hambaMu terkait dengan apa yang mereka perselisihkan; (karena itu) tunjukkanlah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.”

 

Inilah doa yang Nabi  ucapkan dalam qiyamul lail dengan bertawasul dengan Rububiyah Allah terhadap mereka.

 

 

Kita juga mengetahui bahwa di antara malaikat ada yang ditugaskan mencabut nyawa manusia atau mencabut nyawa setiap Pemilik nyawa. Mereka adalah Malaikat Maut dan teman-temannya, dan tidak perlu diberi nama Izra‘il, karena tidak ada riwayat yang shahih dari, Nabi  yang menyatakan bahwa namanya adalah Izrail ini. Allah berfirman,

 

” Sehingga apabila kematian datang kepada salah seorang di antara kalian, malaikat-malaikat Kami mencabut nyawanya dan mereka tidak melalaikan tugasnya.” (Al-An’am: 61).

 

Allah  juga berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) kalian akan mematikan kalian’.” (As-Sajdah: 11).

 

Dan Allah berfirman,

 

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (Az-Zumar: 42).

 

Tidak ada pertentangan di antara ketiga ayat di atas, karena para malaikat pencabut nyawa jika Malaikat Maut mencabut nyawa dari jasad, maka di sisinya ada malaikat-malaikat lain. Jika yang bersangkutan adalah termasuk penghuni surga, maka para malaikat tersebut membawa minyak wangi dan kafan dari surga. Mereka mengambil ruh yang baik tersebut dan meletakkannya di kafan tersebut lalu mereka naik membawanya kepada Allah sehingga mereka tiba di hadapan Allah, kemudian Allah berfirman, “Catatlah kitab hambak-Ku ini di Illiyin (tempat tinggi dalam surga) dan kembalikanlah ia ke bumi.” Lalu ruh tersebut kembali ke jasadnya untuk menghadapi ujian; siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Dan siapa Nabimu? Jika mayit tersebut bukan seorang Mukmin —naudzubillah—maka Malaikat Maut turun diiringi para malaikat yang membawa minyak busuk dan kafan dari neraka. Mereka mengambil nyawanya dan meletakkannya di kafan tersebut, kemudian membawanya naik ke langit, akan tetapi pintu langit ditutup di hadapannya dan ia pun dicampakkan ke bumi. Firman Allah  ,

 

“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka seolah-olah ia jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (Al-Hajj: 31).

 

Kemudian Allah berfirman, “Tulislah kitab hambaKu ini di Sijjin.” Semoga Allah memberi kita keselamatan.

 

Para malaikat tersebut bertugas mengambil nyawa dari Malaikat Maut jika dia telah mencabutnya, Malaikat Mautlah yang secara langsung mencabut nyawa, jadi tidak ada pertentangan dan yang memerintahkan adalah Allah. Jadi pada hakikatnya Allah-lah yang mewafatkan.

 

Di antara para malaikat ada juga yang berkeliling di muka bumi mencari halaqah-halaqah dzikir, jika mereka menemukan halaqah dzikir dan ilmu, maka mereka pun ikut duduk.”

 

Ada pula malaikat-malaikat yang mencatat amal manusia,

 

“Dan sesungguhnya terhadap kalian ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (amal perbuatan kalian), yang mulia (disisi Allah) dan yang mencatat (amal perbuatan kalian), mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Infithar: 10-12).

 

“Tidak ada suatu kata pun yang dia ucapkan melainkan ada di sisinya, malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (Qaf: 18).

 

Salah seorang sahabat dan murid Imam Ahmad datang menjenguk, beliau yang sedang sakit, dia melihat beliau merintih karena sakit, dia berkata, “Wahai Abu Abdullah (Imam Ahmad), Anda merintih sedangkan Thawus berkata, ‘Sesungguhnya malaikat menulis sampai rintihan orang sakit (pun ditulis), karena Allah berfirman,   ‘Tidak ada suatu kata pun yang dia ucapkan melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat),! maka Imam Ahmad pup bersabar dan berhenti merintih?’; karena segala sesuatu dicatat.

 

  kata ( ) adalah tambahan yang berfungsi menegaskan keumuman. Artinya, perkataan apa pun yang kamu katakan ia ditulis dan dibalas dengan balasan baik atau buruk tergantung perkataan yang dikatakan.

 

Ada pula malaikat yang bergiliran menjaga anak cucu Nabi Adam   di malam dan siang hari,

 

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Ar-Ra’d: 11).

 

Ada pula para malaikat yang rukuk dan sujud kepada Allah di langit. Nabi   bersabda,

 

“Langit berderit dan ia memang pantas untuk berderit.”

 

Kata ( ) adalah derit pelana. Jika punggung unta sarat dengan muatan yang berat, maka engkau akan mendengar derit akibat beratnya beban. Rasulullah   bersabda,

 

“Langit berderit dan ia memang pantas untuk berderit; tidak ada tempat yang lebarnya empat jari darinya, kecuali padanya terdapat malaikat yang berdiri, atau rukuk, atau sujud kepada Allah.”

 

Langit dengan keluasannya itu penuh dengan para malaikat tersebut.

 

Oleh karena itu Rasulullah menjelaskan tentang Baitul Makmur yang beliau lewati pada waktu Mi’raj. Beliau bersabda tentangnya,

 

“Ia dikelilingi (atau beliau bersabda, ia dimasuki) tujuh puluh ribu malaikat setiap harinya kemudian mereka tidak kembali lagi kepadanya, karena itu adalah kali terakhir bagi mereka.”

 

Maknanya adalah bahwa setiap hari Baitul Makmur dikunjungi oleh tujuh puluh ribu malaikat selain yang mengunjunginya kemarin, mereka tidak kembali kepadanya selama-lamanya, datang malaikat yang lain selain mereka. Ini menunjukkan banyaknya jumlah malaikat. Oleh karena itu Allah berfirman,

 

“Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.” (Al-Muddatstsir: 31).

 

Ada pula malaikat yang menjaga surga dan menjaga neraka. Penjaga neraka bernama Malik. Penduduk neraka berkata,

 

“Wahai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” (Az-Zukhruf: 77).

 

Yakni, hendaknya Dia mematikan dan membinasakan kami Mereka memohon kepada Allah agar mematikan mereka, karena merek, berada dalam azab yang tak tertahankan. Malaikat Malik menjawab,

 

“Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (Az-Zukhruf: 77).

 

Kemudian dikatakan kepada mereka,

 

“Sungguh Kami telah datang membawa kebenaran kepada kalian, tetapi kebanyakan di antara kalian benci pada kebenaran itu.” (Az-Zukhruf: 78),

 

Yang penting, kita wajib beriman kepada para malaikat.

 

Bagaimana beriman kepada para malaikat?

 

Kita beriman bahwa mereka adalah alam ghaib yang tidak terlihat, dan terkadang terlihat, hanya saja pada dasarnya mereka adalah alam ghaib yang diciptakan dari cahaya. Mereka ditugaskan dengan apa yang Allah bebankan kepada mereka, mereka patuh kepada Allah secara total,

 

“Yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6).

 

Begitu pula kita beriman kepada nama-nama malaikat yang kita ketahui namanya, dan beriman kepada tugas-tugas mereka yang kita ketahui. Kita harus mengimani hal itu sesuai dengan ilmu kita.

 

Para malaikat memiliki jasad, dalilnya adalah Firman Allah,

 

“Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk menangani berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap-sayap.” (Fathir: 1).

 

Nabi  telah melihat Jibril dalam bentuk aslinya dengan enam ratus sayap yang memenuhi ufuk. Ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa malaikat hanyalah ruh.

 

Kalau ada yang bertanya apakah malaikat berakal? Maka kami katakan kepada si penanya, apakah kamu berakal? Pertanyaan ini hanya diucapkan oleh orang gila. Allah berfirman,

 

“Yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6).

 

Apakah Allah memuji mereka dengan pujian ini sedang mereka tidak mempunyai akal?

 

“Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Al-Anbiya : 20).

 

Apakah kita akan mengatakan bahwa mereka tidak berakal? Mereka senantiasa tunduk kepada perintah Allah dan mereka melaksanakan apa yang Allah perintahkan, mereka menyampaikan wahyu, lalu kita mengatakan bahwa mereka tidak berakal. Yang lebih berhak dikatakan tidak berakal adalah orang yang mengatakan bahwa malaikat tidak berakal.

 

“Kitab-kitabNya,” yakni, kitab-kitab suci yang Allah turunkan bersama para rasul:

 

Setiap rasul memiliki kitab suci, Firman Allah

 

“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan).” (Al-Hadid: 25).

 

Ini menunjukkan bahwa setiap rasul diberi kitab suci, hanya saja kita tidak mengetahui semua kitab-kitab suci tersebut. Yang kita kenal hanya suhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, Taurat, Injil, Zabur dan al-Quran. Semuanya ada enam, karena tentang suhuf Nabi Musa terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan bahwa ia adalah Taurat, ada juga yang mengatakan bahwa Suhuf Nabi Musa tersebut bukan Taurat. Jika ia adalah Taurat maka ia berjumlah lima, jika bukan maka ia berjumlah enam. Walaupun demikian kita beriman kepada semua kitab yang Allah turunkan kepada para rasul, meski kita tidak mengetahui namanya, kita beriman secara global.

 

“Rasul-rasulNya.” Rasul Allah adalah orang-orang yang diberi wahyu dengan syariat oleh Allah dan mereka diperintahkan, untuk menyampaikannya.

 

Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh dan penutupnya adalah Nabi Muhammad 

 

Dalil bahwa Nabi Nuh  adalah Rasul pertama adalah Firman Allah,

 

” Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (wahai Rasul) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh, dan nabi-nabi setelahnya.” (An, Nisa’: 163).

 

Yakni, wahyu seperti yang Kami wahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya. Ia adalah wahyu risalah,

 

Begitu juga Firman Allah,

 

“Dan sungguh Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kenabian dan (memberikan) kitab (wahyu) kepada keturunan mereka berdua.” (Al-Hadid: 26).

 

“Kepada keturunan mereka berdua,” yakni keturunan Nabi Nuh dan Ibrahim, yang sebelum Nabi Nuh bukan dari keturunan Nabi Nuh.

 

Dan begitu juga Firman Allah,

 

“Dan sebelum itu (telah Kami binasakan pula) kaum Nuh. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (Adz-Dzariyat: 46).

 

Bisa saja kita berkata bahwa FirmanNya, menunjukkan apa yang telah dijelaskan.

 

Jadi dari al-Qur’an terdapat tiga dalil yang berbicara bahwa Nabi Nuh adalah Rasul pertama. Adapun dari as-Sunnah, maka hadits ter tang syafa’at menetapkan hal ini, “Orang-orang di Padang Mahsyar berkata kepada Nuh,  ‘Engkau adalah Rasul pertama yang diutus Allah kepada penduduk bumi’.”

 

Dan ini jelas. Sedangkan Nabi Adam hanya seorang Nabi, bukan Rasul. Adapun Nabi Idris , maka banyak ahli sejarah dan sebagian ahli tafsir yang menyatakan bahwa beliau sebelum Nabi Nuh dan bahwa Nabi Idris termasuk kakek Nabi Nuh. Akan tetapi ini adalah pendapat yang sangat lemah, karena al-Qur’an dan as-Sunnah membantahnya. Dan yang benar adalah apa yang kami jelaskan.

 

Rasul Allah yang terakhir adalah Nabi Muhammad  berdasarkan Firman Allah

 

“Tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi.” (Al-Ahzab: 40).

 

Allah tidak berfirman, “Dan penutup para rasul.” Karena jika kenabian ditutup, maka kerasulan lebih layak untuk ditutup.

 

Jika engkau berkata: Nabi Isa  akan turun di akhir zaman” dan dia seorang rasul, bagaimana jawabannya?

 

Kami jawab: Nabi Isa tidak turun dengan membawa syariat baru, akan tetapi dia berhukum dengan syariat Nabi Muhammad

 

Jika ada yang bertanya: Sudah disepakati bahwa umat terbaik setelah Nabi  adalah Abu Bakar, sedangkan Nabi Isa akan berhakim kepada syariat Muhammad, jadi Nabi Isa adalah pengikut Nabi Muhammag bagaimana bisa dikatakan bahwa umat terbaik setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar?”

 

Jawabannya adalah satu dari tiga jawaban berikut:

 

Pertama: Nabi Isa  adalah seorang Rasul tersendiri. Dia adalah salah seorang Rasul Ulul Azmi. Jadi tidak terbetik di benak untuk, membandingkannya dengan salah seorang dari umat ini, apalagi untuk, mengatakannya lebih utama? Dari sini, maka pertanyaan di atas gugy, dengan sendirinya karena ia merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan dalam berbicara dan berbuat). Orang yang seperti ini binasa, seperti; yang dikatakan oleh Nabi .

 

Kedua: Dia adalah umat terbaik, kecuali Nabi Isa .

 

Ketiga: Nabi Isa bukan termasuk umat ini, tidak sah dinyatakan bahwa Nabi Isa termasuk umat Nabi , karena dia mendahuluinya. Akan tetapi dia termasuk pengikutnya saat dia turun, Karena syariat Nabi Muhammad  tetap tegak sampai Hari Kiamat.

 

Jika ada yang berkata, “Bagaimana Nabi Isa menjadi pengikut, sementara dia membunuh babi, menghancurkan salib dan tidak menerima kecuali Islam, padahal Islam mengakui Ahli Kitab dengan jizyah?”

 

Kami jawab, pemberitahuan Nabi  tentang hal itu berarti sebuah persetujuan (taqrir) untuknya, maka ia termasuk syariat Nabi  dan ia sekaligus menasakh hukum Islam yang sebelumnya.

 

“Kebangkitan setelah kematian.” Kebangkitan berarti mengeluarkan, yaitu dikeluarkannya manusia dari kubur mereka setelah sebelumnya mereka mati.

 

Ini salah satu keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Ini adalah sesuatu yang pasti berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ kaum Muslimin, bahkan kesepakatan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mereka pun mengakui adanya suatu hari di mana manusia dibangkitkan untuk memperoleh balasan.

 

 Dalil dari al-Qur’an adalah Firman Allah,

 

“Orang-orang yang kafir mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan.

 

Katakanlah (wahai Muhammad), “Tidak demikian, demi Tuhanku, kalian pasti akan dibangkitkan.” (At-Taghabun: 7).

 

Dan Firman Allah ,

 

“Kemudian setelah itu, sesungguhnya kalian pasti mati. Kemudian sesungguhnya kalian akan dibangkitkan (dari kubur kalian) pada Hari Kiamat.” (Al-Mu’minun: 15-16).

 

Sedangkan dalil dari as-Sunnah; terdapat hadits-hadits yang mutawatir dari Nabi tentang hal ini.

 

Dan kaum Muslimin secara pasti telah bersepakat, bahwa manusia pada Hari Kiamat akan dibangkitkan, bertemu Tuhan mereka dan dibalas sesuai dengan amal mereka,

 

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az-Zalzalah: 7-8).

 

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah berusaha keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemuiNya.” (Al-Insyiqaq: 6).

 

Ingatlah pertemuan yang pasti terjadi ini, agar engkau beramal sebagai bekal untuk menghadapinya. Jangan sampai engkau berdiri di hadapan Allah pada Hari Kiamat dengan tangan kosong sama sekali dari amal shalih. Lihatlah apa yang telah engkau lakukan untuk Hari Perpindahan? Lihatlah apa yang telah engkau lakukan untuk hari pertemuan tersebut? Karena kebanyakan orang pada hari ini hanya melihat apa yang mereka lakukan untuk dunia, padahal dunia di mana mereka beramal untuknya juga tidak diketahui apakah mereka mendapatkannya atau tidak. Terkadang seseorang merencanakan suatu pekerjaan dunia untuk besok atau lusa, akan tetapi dia tidak sampai pada besok dan lusa. Yang bisa dipastikan adalah bahwa orang-orang berada dalam kelalaian dari perkara ini. Firman Allah,

 

“Tetapi hati mereka (orang-orang kafir) itu dalam kesesatan dari (memahami al-Qur’an) ini. ” (Al-Mu’minun: 63).

 

Dan mengenai pekerjaan dunia, Allah berfirman,

 

“Dan mereka mempunyai perbuatan-perbuatan lain (yang buruk) yang terus mereka kerjakan.” (Al-Mu’minun: 63).

 

Di sini Allah menghadirkan jumlah ismiyah yang menunjukkan ketetapan dan kelangsungan, yaitu 

 

Dan Firman Allah 

 

“Sungguh kamu dahulu berada dalam kelalaian tentang (peristiwa) int.” (Qaf: 22).

 

Yakni, Hari Kiamat.

 

Begitu juga Firman Allah ,

 

“Maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi)mu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” (Qaf: 22).

 

Kebangkitan ini yang telah disepakati oleh seluruh agama langit (samawi) dan diyakini semua pemeluk agama, ini adalah salah satu rukun iman yang enam, sekaligus termasuk akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tak seorang pun yang menisbatkan dirinya kepada agama yang mengingkarinya.

 

“Beriman kepada Qadar Allah, yang baik dan yang buruk.” Ini adalah rukun iman yang keenam. Qadar adalah takdir (ketetapan) Allah terhadap segala sesuatu.

 

Allah telah menulis takdir segala sesuatu lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Sebagaimana Firman Allah,

 

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al-Hajj: 70).

 

Perkataan penulis,   “Yang baik maupun yang buruk”; menyifati takdir dengan “baik” adalah jelas, sedangkan menyifati takdir dengan “buruk”, maka maksudnya adalah keburukan yang ditakdirkan bukan keburukan takdir (qadar) itu sendiri yang merupakan perbuatan Allah, karena apa yang dilakukan Allah tidak ada yang buruk. Semua perbuatanNya adalah kebaikan dan hikmah, akan tetapi kebusukan ada pada apa yang dikerjakan dan ditakdirkan. Jadi keburukan di sini berdasarkan kepada apa yang ditakdirkan dan dilakukan. Adapun dari segi perbuatan (Allah yang menakdirkan), maka tidak demikian. Oleh karena itu Nabi  bersabda,

 

“Dan keburukan tidak disandarkan kepadaMu.”

 

Sebagai contoh, kita mendapati keburukan pada sebagian makhluk yang ditakdirkan. Ada ular, kalajengking, binatang buas, penyakit, kemiskinan, paceklik dan lain-lain. Semua itu adalah buruk bagi manusia, karena ia tidak sesuai dengannya. Ada pula kemaksiatan, dosa, kekafiran, kefasikan, pembunuhan dan sebagainya. Semua itu buruk, akan tetapi dari sisi penisbatannya kepada Allah, maka baik, karena Allah tidak menakdirkannya kecuali berdasarkan hikmah yang agung lagi mendalam, diketahui oleh yang mengetahui dan tidak diketahui oleh yang jahil.

 

Dari sini, maka hendaknya kita mengetahui, bahwa keburukan yang disandangkan kepada takdir (sebagaimana dalam hadits dan pada matan kitab ini tadi) adalah berdasarkan apa yang ditakdirkan dan dilakukan, bukan berdasarkan takdir itu sendiri yang merupakan takdir dan perbuatan Allah.

 

Selanjutnya hendaklah engkau mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan itu bisa jadi dari sisi dirinya adalah buruk, akan tetapi dari sisi yang lain ia adalah baik. Allah  berfirman,

 

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan, tangan manusia; agar Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka sendiri, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar. Rum: 41).

 

Hasilnya bagus (yaitu agar mereka kembali dari perbuatan merusak). Jadi keburukan pada apa yang ditakdirkan itu adalah relatif (nisbi) bukan hakiki, karena akibat baliknya adalah baik.

 

Sebagai contoh adalah hukuman (had) zina, jika pelakunya tidak muhshan, maka dia dicambuk seratus kali dan diasingkan dari kotanya selama setahun. Jelas ini baginya adalah sesuatu yang buruk ka. rena ia tidak seperti yang diharapkannya, akan tetapi dari sisi lain ja adalah baik karena ia adalah pelebur dosa baginya. Ini jelas baik, karena hukuman dunia adalah lebih baik daripada hukuman Akhirat, dan itu lebih baik untuknya. Di antara kebaikannya yang lain adalah bahwa ia merupakan ancaman bagi orang lain sekaligus pelajaran baginya (agar tidak melakukan zina). Jika orang lain berpikir hendak berzina, sementara dia mengetahui bahwa hukumannya adalah hukuman yang diberlakukan kepada orang tadi, maka dia akan menahan diri, bahkan bisa jadi ia juga baik untuknya karena bisa jadi ia menjadi penyebab tidak mengulangi hal yang sama yang menjadi sebab ditimpakannya hukuman tersebut kepadanya.

 

Sedangkan berkaitan dengan masalah-masalah kauniyah (alamiah) yang bersifat qadariyah, ada sesuatu yang merupakan keburukan dari segi ia sebagai sesuatu yang ditakdirkan; penyakit misalnya, jika manusia sakit, maka tanpa ragu ia adalah buruk baginya, akan tetapi gebenarnya ia mengandung kebaikan. Di antara kebaikannya adalah melebur dosa-dosa, bisa jadi ada orang yang memiliki dosa-dosa yang tidak terlebur oleh taubat dan istighfar karena adanya penghalang, migalnya karena niatnya yang tidak benar terhadap Allah, lalu dia diserang penyakit sebagai hukuman, maka dosa-dosa tersebut terleburkan.

 

Di antara kebaikannya juga adalah bahwa manusia tidak mengetahui kadar nikmat sehat yang Allah berikan kepadanya, kecuali pada saat dia sakit. Kita semua sekarang ini sehat dan kita tidak mengetahui harga sehat tersebut, akan tetapi jika sakit datang, kita baru menyadari harga sehat. Kesehatan adalah mahkota di kepala orang-orang yang sehat, dan ia tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang sakit. Jelas ini adalah baik di mana kamu menyadari harga sebuah nikmat.

 

Di antara kebaikan lainnya adalah bahwa bisa jadi penyakit tersebut mengandung sesuatu yang justru membunuh penyakit di dalam tubuh di mana ia tidak bisa dibunuh kecuali dengan sakit. Para dokter menyatakan bahwa penyakit-penyakit tertentu membunuh bakteri-bakteri (bibit-bibit) penyakit tertentu di dalam tubuh dan engkau tidak mengetahui.

 

Kesimpulannya:

 

Pertama, keburukan yang disandangkan kepada Qadar adalah keburukan dengan melihat kepada apa yang ditakdirkan Allah. Adapun takdir Allah (baca: perbuatan Allah yang menakdirkannya) itu sendiri, maka ia adalah baik secara keseluruhan. Dalilnya adalah sabda Nabi,  “Dan keburukan tidak disandangkan kepadaMu.”

 

Kedua, keburukan yang ada pada apa-apa yang ditakdirkan tidaklah bersifat murni (total), akan tetapi ia adalah keburukan yang bisa menghasilkan perkara-perkara yang merupakan kebaikan, jadi keburukannya adalah suatu nisbi.

 

Demikianlah, dan penulis sendiri akan menjelaskan tentang Qadar dengan panjang lebar disertai keterangan tentang tingkatan-tingkatannya menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Penulis berkata,

 

Termasuk iman kepada Allah adalah beriman kepada Sifat-sifat yang dengannya Allah menyifati DiriNya di dalam KitabNya, dan denganSifat-sifat yang dengannya RasulNya Muhammmad menyifatiNya

 

Syarah:

 

“Termasuk iman kepada Allah.” Kata ( ) di Sini menunjukkan arti “bagian dari” (at-Tab’idh), karena seperti yang telah kami jelaskan bahwa iman kepada Allah mengandung empat perkara. iman kepada adanya Allah, iman bahwa Allah satu-satunya yang menyandang rububiyah, iman bahwa Allah satu-satunya yang menyandang uluhiyah, dan iman kepada Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Jadi, maknanya adalah di antara iman kepada Allah adalah iman kepada sifat-sifat yang Allah sandangkan pada DiriNya.

 

“Dengan sifat-sifat yang dengannya Allah menyifati DiriNya.” Di sini hendaknya ada penambahan, “dan nama-nama yang dengannya Allah menamakan DiriNya.” Akan tetapi penulis hanya menyinggung sifat saja. Bisa jadi karena tidak ada nama kecuali ia mengandung sifat, atau bisa jadi karena perselisihan pendapat dalam masalah Nama-nama Allah adalah perselisihan yang lemah, karena ia hanya diingkari oleh kelompok Jahmiyah dan Mu’tazilah yang ekstrem. Mu’tazilah sendiri menetapkan Nama-nama Allah, begitu pula dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah, akan tetapi dalam mayoritas Sifat-sifat Allah, mereka menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Jadi pertanyaannya adalah mengapa penulis hanya membatasi pada, “Sifat-sifat yang dengannya Allah menyifati DiriNya?”

 

Kami jawab: karena satu dari dua perkara: Bisa karena setiap nama mengandung sifat, bisa pula karena perselisihan dalam masalah Nama-nama Allah adalah sedikit dilihat kepada (apa yang terjadi pada) orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam.

 

“Dalam KitabNya.” KitabNya yakni, al-Qur’an. Allah menamakannya kitab karena ia termaktub (tertulis) di Lauh Mahfuzh, termaktub pada suhuf yang ada di tangan para malaikat yang mulia lagi baik dan termaktub di mushaf-mushaf yang ditulis oleh kaum Muslimin, maka ia adalah kitab dengan arti maktub (tertulis). Allah menisbatkannya kepadaNya karena ia adalah KalamNya, maka al Qur’an adalah Kalam Allah (Kata-kata Allah). Dia berfirman (berkata) dengannya secara hakiki, maka setiap huruf adalah dariNya; karena Allah berfirman dengannya.

 

Masalah ini mengandung beberapa pembahasan:

 

Pembahasan Pertama: Bahwa termasuk iman kepada Allah adalah beriman kepada Sifat-sifat yang dengannya Allah menyifati DiriNya

 

Hal itu karena iman kepada Allah -seperti yang telah dijelaskan-mengandung iman kepada Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Dzat Allah menyandang nama-nama dan menyandang sifat-sifat. Dan adanya suatu dzat yang tidak memiliki sifat-sifat adalah suatu yang mustahil. Tidak mungkin ada dzat yang sama sekali tidak memiliki sifat. Bisa saja benak membayangkan adanya dzat yang bebas sama sekali dari sifat, akan tetapi bayangan bukanlah sesuatu yang riil, yakni khayalan tidak sama dengan kenyataan. Dalam dunia nyata tidak ada dzat tanpa sifat.

 

Benak bisa saja membayangkan sesuatu yang memiliki seribu mata dengan seribu warna hitam dan putih, ia memiliki seribu kaki, masing-masing kaki dengan seribu jari, masing-masing jari dengan seribu kuku, ia memiliki jutaan rambut, setiap helai rambut bercabang sebanyak jutaan rambut… Begitulah ia membayangkan, meski tidak ada kenyataannya. Apa pun dalam alam nyata, tidak ada sesuatu yang tak memiliki sifat.

 

Oleh karena itu beriman kepada Sifat Allah termasuk beriman kepada Allah. Meskipun seandainya dari sifat-sifat Allah itu yang ada hanyalah bahwa Dia itu ada dengan keberadaan yang wajib, dan ini adalah kesepakatan manusia; berdasarkan kepada ini saja, Allah pasti memiliki sifat.

 

Pembahasan Kedua: Bahwa Sifat-sifat Allah termasuk perkara ghaib, dan kewajiban manusia terhadap perkara ghaib adalah mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa berpijak kepada apa pun kecuali kepada dalil

 

Imam Ahmad berkata, “Allah tidak disifati kecuali dengan sifat-sifat yang dengannya Dia menyifati DiriNya, atau sifat-sifat yang dengannya RasulNya menyifatiNya; tidak boleh melebihi al-Qur’an dan hadits

 

Yakni kita tidak menyifati Allah kecuali dengan sifat-sifat yan, dengannya Dia menyifati DiriNya dalam KitabNya, atau melalui lisan RasulNya .

 

Hal ini didukung oleh al-Qur’an dan akal.

 

Dalam al-Qur’an Allah berfirman,

 

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan, perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan, dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kalian mempersekutukan sesuatu dengan Allah, yang Allah tidak menurunkan bukti (hujjah) untuk itu, serta mengatakan atas Nama Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui’.” (Al-A’raf: 33).

 

Jika engkau menyifati Allah dengan suatu sifat yang Allah tidak menyifati DiriNya dengan sifat tersebut, maka engkau telah berkata terhadap Allah tanpa ilmu, dan itu haram menurut al-Qur’an.

 

Dan Firman Allah ,

 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’: 36).

 

Jika kita menyandangkan suatu sifat kepada Allah yang Dia tidak sandangkan pada DiriNya, maka kita mengikuti sesuatu yang kita tidak memiliki ilmu tentangnya, kita jatuh ke dalam apa yang dilarang Allah.

 

Adapun dalil aqli, maka karena Sifat Allah termasuk perkara ghaib yang tidak mungkin diketahui oleh akal, dalam kondisi ini kita tidak boleh menyandangkan apa yang tidak Allah sandangkan pada DiriNya, kita juga tidak boleh menentukan cara dan bentuk SifatNya: karena hal itu tidak mungkin.

 

Kita sekarang tidak mengetahui bentuk riil dari sifat surga yang dijelaskan Allah, padahal surga adalah makhluk. Di surga ada buah-buahan, pohon kurma, delima, ranjang-ranjang, gelas-gelas dan bidadari, tetapi kita tidak mengetahui hakikat (bentuk persis) semua itu. Kalau dikatakan kepada kita “jelaskan sifatnya kepada kami”, niscaya kita tidak mampu melakukannya. Firman Allah,

 

“Maka tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (As-Sajdah: 17).

 

Allah juga berfirman dalam sebuah hadits qudsi,

 

“Aku telah menyiapkan untuk hamba-hambaKu yang shalih apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di benak seorang manusia.”

 

Jika keadaannya memang demikian padahal ini pada makhluk yang sifat-sifatnya disebutkan dan maknanya diketahui, tapi hakikatnya (bentuk persisnya) tetap tidak diketahui, maka apalagi Allah?

 

Contoh lain, manusia mempunyai ruh dan dia tidak akan hidup kecuali dengannya. Kalau seandainya tubuhnya kosong darinya, niscaya dia tidak akan hidup dan ruh tidak bisa disifati. Kalau dia ditanya, “Ruh yang ada padamu itu apa?” Apakah ruh itu yang seandainya ia dicabut dari dirimu maka engkau menjadi mayat. Jika ruh masih ada pada dirimu, apakah engkau tetap menjadi manusia yang berakal, mengerti, dan mengetahui? Kalau dia disodori pertanyaan seperti ini, niscaya dia akan termangu dan merenung dan dia tidak akan mampu menyifatinya selama-lamanya, padahal ruh itu sangat dekat darinya, di dalam dirinya, di antara kedua sisinya, namun dia tidak mampu mengetahuinya, padahal ia adalah sesuatu yang hakiki, bahkan bisa dilihat sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah dalam sabda beliau,

 

“Jika ruh dicabut, maka ia diikuti oleh penglihatan.”

 

Manusia dapat melihat nyawanya yang, dicabut, oleh karena itu mata tetap terbuka menyaksikan ruh yang keluar pada saat dia meninggal dunia. Ruh ini diambil dan diletakkan di kafan lalu dibawa Naik kepada Allah. Meskipun begitu, manusia tidak bisa menyifatinya, Padahal ia berada dalam badannya, maka bagaimana dia bisa menyifati Allah dengan sesuatu yang Dia sendiri tidak menyifati DiriNya dengannya. Jika demikian, maka harus dipastikan (berdasarkan dalil) bahwa ia memang benar-benar Sifat Allah.

 

Pembahasan Ketiga: Bahwa kita tidak menyifati Allah  dengan sifat yang tidak Dia sandangkan pada DiriNya

 

Dalilnya adalah naqli dan aqli.

 

Dalil naqli telah kita cantumkan dua ayat.

 

Adapun dalil aqli, maka sebagaimana yang telah kami kemuka. kan bahwa perkara ini adalah perkara ghaib yang tak mungkin dijang. kau (dipahami) oleh akal dan kami telah menjelaskannya dengan dua contoh.

 

Pembahasan Keempat: Kewajiban memberlakukan nash-nash yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara zahir, tidak lebih

 

Contohnya: Manakala Allah menyifati DiriNya bahwa Dia mempunyai Mata, apakah kita akan mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan mata adalah penglihatan, bukan mata sebenarnya? Jika kita mengatakan itu, berarti kita tidak menyifati Allah dengan sifat yang dengannya Dia menyifati DiriNya.

 

Manakala Allah menyifati DiriNya bahwa Dia memiliki dua Tangan,

 

“Justru kedua Tangan Allah terbuka.” (Al-Ma‘idah: 64); kalau kita mengatakan bahwa Allah tidak memiliki tangan yang hakiki, akan tetapi yang dimaksud dengan tangan adalah nikmat-nikmatNya yang Dia limpahkan kepada hamba-hambaNya, maka apakah kita telah menyifati Allah dengan sifat yang dengannya Dia menyifati DiriNya?

 

Jawabannya: Tidak.

 

Pembahasan Kelima: Keumuman perkataan penulis mencakup seluruh sifat yang dengannya Allah menyifati DiriNya, baik Sifat Dzatiyah yang berupa ma’nawiyah dan khabariyah, maupun Sifat Fi’liyah.

 

Sifat-sifat dzatiyah yaitu sifat-sifat yang senantiasa ada (dan tergandang) pada Allah, dan sifat-sifat ini ada dua macam, yaitu ma’nawiyah dan khabariyah.

 

Sifat ma’nawiyah adalah seperti al-Hayat (hidup), al-Ilmu (ilmu), alQudrah (kuasa), al-Hikmah (bijaksana), dan lain-lain. Ini sekedar contoh bukan pembatasan.

 

Dan Sifat khabariyah adalah seperti dua Tangan, Wajah, dua Mata dan sifat-sifat lainnya yang Allah sebutkan, yang bagi kita ia adalah bagian-bagian dari diri kita.

 

Allah senantiasa mempunyai dua Tangan, Wajah, dan dua Mata. itu tidak terjadi setelah sebelumnya tidak ada dan tidak sesuatu pun yang terhilang dariNya, sebagaimana Allah senantiasa hidup dan akan terus hidup dan akan terus hidup. Dia senantiasa berilmu dan akan terus berilmu. Dia senantiasa kuasa dan akan terus kuasa dan begitu seterusnya. Yakni kehidupan Allah bukanlah sesuatu yang baru muncul, kuasaNya bukanlah sesuatu yang baru muncul dan pendengaranNya juga bukanlah sesuatu yang baru muncul, akan tetapi Dia menyandang semua sifat-sifat itu sejak zaman azali dan sampai selama-lamanya. Silih bergantinya apa yang didengar dalam bentuk yang baru tidak menunjukkan bahwa pendengaran adalah sesuatu yang baru muncul. Sebagai contoh, saya mendengar adzan sekarang; ini tidak berarti bahwa pendengaran saya baru muncul sekarang. Pada waktu mendengar adzan justru ia telah ada sejak Allah menciptakannya padaku, hanya saja apa yang didengar muncul dalam bentuk yang baru. Ini tidak berpengaruh pada sifat.

 

Para ulama menetapkan istilah untuk sifat-sifat ini dengan nama Sifat-sifat Dzatiyah. Kata mereka, Karena sifat-sifat ini selalu ada pada dzat, tidak terpisah darinya.

 

Adapun Sifat Fi’liyah, maka ia adalah sifat yang berkaitan dengan kehendakNya, dan ini ada dua macam:

 

Pertama, Sifat-sifat yang memiliki sebab yang diketahui seperti “ridha”. Jika ada penyebab ridha, maka Allah akan ridha; sebagaimana FirmanNya,

 

“Jika kalian kafir, maka (ketahuilah) sesungguhnya Allah tidak membutuhkan kalian dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hamba-Nya. Dan jika kalian bersyukur, Dia meridhainya bagi kalian.” (Az-Zumar: 7).

 

Kedua, Sifat yang tidak memiliki sebab yang diketahui, adalah seperti turun ke langit terdekat (langit dunia), ketika malam tersisa sepertiga yang terakhir.

 

Di antara Sifat-sifat Allah tersebut terdapat Sifat Dzatiyah dan Fi’liyah sekaligus. Kalam (berbicara) adalah Sifat Fi’liyah dari Segi satuan-satuannya dan dari segi asalnya adalah Sifat Dzatiyah karena Allah senantiasa dan terus berbicara, hanya saja Dia berbicara dengan apa yang Dia kehendaki dan kapan Dia berkehendak. Sebagaimana nanti akan dijelaskan pada pembahasan tentang Sifat Kalam, insya Allah,

 

Para ulama meletakkan istilah untuk Sifat-sifat ini dengan Sifat. sifat fi’liyah (perbuatan) karena ia termasuk perbuatan Allah.

 

Banyak dalil dari al-Qur’an yang menetapkannya, seperti Firman Allah ests,

 

“Dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris.” (Al-Fajr: 22).

 

“Tidak ada yang mereka tunggu kecuali kedatangan para malaikat kepada mereka, atau kedatangan Tuhanmu.” (Al-An’am: 158).

 

“Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepadaNya.” (Al-Ma‘idah: 119).

 

“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka.” (At-Taubah: 46).

 

“Yaitu kemurkaan Allah terhadap mereka, dan mereka akan kekal dalam azab.” (Al-Ma‘idah: 80).

 

Penetapan Sifat-sifat ini bagi Allah bukan merupakan kekurangan pagiNya, justru hal itu termasuk kesempurnaanNya, di mana Dia melakukan apa yang Dia inginkan.

 

Orang-orang yang mengubah Kalamulah menyatakan bahwa penetapan sifat-sifat ini mengandung kekurangan bagi Allah. Oleh karena itu, mereka mengingkari seluruh sifat-sifat fi’liyah. Kata mereka, “Allah tidak datang, Allah tidak ridha, tidak murka, tidak benci dan tidak mencintai….” Mereka mengingkari semua itu dengan alasan, bahwa semua sifat-sifat tersebut adalah sesuatu yang baru [maksudnya, sebelumnya belum ada, pent.] dan sesuatu yang baru tidak berdiri kecuali dengan sesuatu yang baru [padahal Allah tidak baru, pent.]. Pendapat ini adalah pendapat yang batil dengan sendirinya karena (dengan logika yang sama) perbuatan yang baru tidak mesti menyebabkan pelaku menjadi sosok lain yang baru.

 

Pembahasan Keenam: Akal tidak berhak ikut-ikutan dalam perkara Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

 

Landasan dalam menetapkan dan menafikan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah adalah dalil naqli, karena akal (nalar) kita sama sekali tidak bisa menghukumi Allah, maka landasan inti atas Nama-nama dan Sifat-sifat adalah naqli. Ini menyelisihi Asy’ariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah dan para pendukung madzhab ta’thil lainnya, yang berdasar kepada akal dalam menetapkan dan menafikan Sifat-sifat Allah. Mereka berkata, apa yang ditetapkan (baca: terima) akal, kami tetapkan, tidak peduli apakah Allah menetapkannya untuk DiriNya atau tidak. Sebaliknya, apa yang ditolak dan mesti dinafikan (berdasar akal), maka kami pun menafikannya (menolaknya), meskipun Allah menetapkannya. Dan apa yang tidak ditetapkan dan tidak dinafikan oleh akal, maka kebanyakan dari mereka menafikannya. Kata mereka, Hasil daya nalar (kesimpulan) akal adalah sesuatu yang positif. Jika ia mengharuskan menetapkan sifat, maka kami menetapkannya dan jika tidak, maka kami menafikannya.

 

Di antara mereka ada yang tidak mengambil sikap, dia tidak menetapkannya karena akal tidak menetapkannya dan dia tidak mengingkarinya karena akal tidak mengingkarinya, kata mereka ini, kami tidak bersikap, karena kesimpulan akal di sini ini adalah negatif.

 

Mereka itu menjadikan akal sebagai hakim dalam masalah yang wajib ditetapkan dan apa yang dinafikan bagi Allah.

 

Sebagai konsekuensi logis dari cara pandang ini adalah bahwa suatu sifat yang layak disandangkan kepada Allah menurut akal, maka Allah disifati dengannya, walaupun ia tidak ada di dalam al-Qur an dan as-Sunnah. Sebaliknya sifat yang menurut akal harus dinafikan (tidak layak) bagi Allah, maka harus dinafikan walaupun ia tercantum di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Oleh karena itu mereka berkata, “Allah tidak memiliki mata, wajah dan tangan, Allah tidak bersemayam di atas Arasy, Allah juga tidak, turun ke langit dunia.” Ini semua sama dengan mengubah Kalamullah, pun demikian, mereka menolak menamakannya dengan mengubah, Kata mereka itu adalah takwil, karena seandainya mereka mengingkari secara total niscaya mereka kafir, karena mereka telah mendustakan, Akan tetapi mereka mengingkarinya dengan pengingkaran yang mereka beri nama takwil yang menurut kita sama saja dengan mengubah,

 

Kesimpulannya:

 

Akal tidak berhak turut campur dalam perkara Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Jika engkau berkata, “Perkataanmu ini bertentangan dengan al-Qur’an, karena Allah berfirman,

 

“Dan siapakah yang lebih baik hukum(nya) daripada Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?’ (Al-Maidah: 50), dan pengunggulan antara satu perkara dengan perkara yang lain berpijak kepada akal. FirmanNya,

 

‘Dan Allah mempunyai Sifat Yang Mahatinggi,’ (An-Nahl: 60), dan Allah juga berfirman,

 

‘Maka apakah (Allah) Yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?’ (An-Nahl: 17),

 

dan ayat-ayat seperti ini di mana Allah menyandarkannya kepada akal mengenai apa yang Dia tetapkan untuk DiriNya dan apa yang Dia nafikan dari tuhan-tuhan palsu?”

 

Kami menjawabnya dengan mengatakan bahwa akal mengetahui apa yang wajib dan apa yang tidak mungkin bagi Allah secara global bukan terperinci. Contohnya adalah bahwa akal mengetahui bahwa Allah harus bersifat sempurna, akan tetapi ini tidak berarti bahwa akal boleh menetapkan sifat tertentu atau menafikannya. Ia hanya bisa menetapkan atau menafikan secara umum bahwa tuhan harus memiliki sifat sempurna dan bebas dari sifat kekurangan.

 

Sebagai contoh: akal mengetahui bahwa Allah haruslah Maha Mendengar dan Melihat. Nabi Ibrahim  berkata kepada Bapaknya.

 

“Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat.” (Maryam: 42).

 

Allah itu haruslah Pencipta, karena Allah berfirman,

 

“Maka apakah (Allah) Yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?” (An-Nahl: 17).

 

“Dan (berhala-berhala) yang mereka seru selain Allah, tidak dapat menciptakan sesuatu apapun, justru berhala-berhala itulah yang diciptakan.” (An-Nahl: 20).

 

Akal mengetahui hal itu, dan akal juga mengetahui bahwa tidak mungkin Allah ada setelah terlebih dahulu tidak ada, karena itu sifat kekurangan. Allah menegakkan hujjah kepada orang-orang yang menyembah berhala,

 

“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apa pun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.” (An-Nahl: 20).

 

Jadi mustahil Sang Pencipta itu ada setelah sebelumnya tidak ada ini berdasarkan kepada akal. ‘

 

Akal juga mengetahui bahwa semua sifat kekurangan tidak Mungkin disandang Allah karena Tuhan haruslah sempurna. Akal juga mengetahui bahwa kelemahan haruslah dihapus dari Allah, karena ia adalah sifat kekurangan. Jika Tuhan itu lemah lalu Dia didurhakai dan Dia ingin menghukum orang yang mendurhakaiNya sementara Dia tidak mampu melakukannya, ini sama sekali tidak mungkin.

 

Jadi akal mengetahui bahwa sifat lemah tidak mungkin disandang. kan kepada Allah, begitu pula kebutaan, ketulian dan kebodohan. begitu seterusnya. Secara umum kita mengetahui itu, akan tetapi secara terperinci tidak mungkin kita mengetahuinya, jadi kita harus bey. pijak kepada dalil naqli.

 

Pertanyaan: Apakah semua kesempurnaan pada kita merupakan kesempurnaan bagi Allah. Apakah semua kekurangan pada kita me. rupakan kekurangan bagi Allah?

 

Jawabannya: Tidak, karena barometer (ukuran) kesempurnaan dan kekurangan tidak dilihat dari apa yang disematkan kepada manu. sia. Hal itu karena ada perbedaan yang jauh antara Khaliq (Pencipta) dengan makhluk, akan tetapi dengan melihat suatu sifat sebagai sifat, maka setiap sifat kesempurnaan ditetapkan bagi Allah 

 

Disematkan Nya makan dan minum kepada Allah adalah suatu kekurangan, karena penyebabnya adalah kebutuhan, padahal Allah tidak membutuhkan selainNya, akan tetapi penyematannya kepada makhluk, hal itu adalah kesempurnaan. Oleh karena itu jika ada orang yang tidak makan, maka dia bisa sakit atau lemah dan ini adalah kekurangan.

 

Disematkannya tidur kepada Sang Khaliq (Allah) adalah kekurangan tetapi disematkannya tidur kepada makhluk adalah kesempurnaan. Jadi terlihatlah perbedaannya.

 

Takabur adalah kesempurnaan bagi Sang Khaliq, tapi kekurangan bagi makhluk, karena keagungan dan kemuliaan tidak akan sempurna kecuali dengan takabur, sehingga kekuasaannya sempurna tanpa ada yang dapat menentangNya. Oleh karena itu, Allah mengancam orang yang menyaingiNya dalam keagungan dan takabur. Dia berfirman,

 

“Siapa yang menyaingiKu pada satu dari keduanya niscaya Aku mengazabnya. 14]

 

Yang jelas, tidak semua kesempurnaan bagi makhluk adalah kesempurnaan bagi Allah, tidak pula semua kekurangan bagi makhluk adalah kekurangan bagi Allah jika kesempurnaan dan kekurangannya tidak bersifat mutlak.

 

Ini adalah enam pembahasan di bawah perkataan penulis, “Sifat yang Allah sandangkan pada DiriNya,” semuanya adalah pembahasan yang penting. Kami menghadirkannya di sini karena apa yang akan hadir berpijak kepadanya, insya Allah.

 

Perkataan penulis, “Dan dengan sifat yang dengannya RasulNya menyifatiNya.” Sifat-sifat yang dengannya Rasul  menyifati Tuhannya terbagi menjadi tiga bagian: boleh jadi dengan perkataan, bisa dengan perbuatan dan bisa dengan persetujuan (taqrir).

 

Pertama, dengan perkataan, seperti sabda beliau,

 

“Wahai Tuhan kami, Allah Yang di atas langit! Maha Suci NamaMu, perintahMu (berlaku) di langit dan dibumi.”

 

Dan sabda beliau dalam sumpah beliau,

 

“Tidak, demi Dzat yang membolak balikkan hati.”

 

Kedua, dengan perbuatan, ini lebih sedikit daripada dengan perkataan; seperti isyarat beliau ke langit ketika memohon kepada Allah  agar bersaksi atas umat beliau bahwa beliau telah menyampaikan risalah. Ini terjadi di Haji Wada’ di Padang Arafah. Beliau berkhutbah, di hadapan manusia dan bersabda,   “Bukankah aku telah menyampaikan ?” Mereka menjawab, “Benar.” Tiga kali. Nabi bersabda   “Ya Allah, saksikanlah,” seraya beliau mengisyaratkan jari ke langit dan membalikkannya kepada manusia. Nabi  mengangkat, jari beliau ke langit. Ini menunjukkan bahwa beliau dengan perbuatan menyifati Allah dengan al-Uluw (berada di atas sana). ,

 

Ketika suatu kali Nabi  berkhutbah pada Hari Jum‘at, Seorang laki-laki datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, harta kami telah, hancur…”, lalu Nabi  mengangkat kedua tangan beliau. Ini adalah penyandangan Sifat al-Uluw dari Nabi  kepada Allah, dalam bentuk, perbuatan beliau, dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan perbuatan Nabi  manakala beliau menyebutkan salah satu Sifat Allah,

 

Terkadang Nabi menyebutkan salah satu Sifat Allah dengan perkataan dan beliau menegaskannya dengan perbuatan. Hal itu seperti ketika beliau membaca Firman Allah ,

 

“Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (An. Nisa’: 58).

 

Ketika itu Nabi meletakkan ibu jari beliau di telinga kanan beliau dan jari telunjuk beliau di mata beliau. Ini adalah penetapan pendengaran dan penglihatan bagi Allah dengan perkataan dan perbuatan sekaligus.

 

Jadi Rasulullah  menetapkan Sifat Allah, bisa dengan perkataan saja, bisa dengan perbuatan saja, bisa pula dengan keduanya secara persamaan.

 

Ketiga, adapun dengan ketetapan, maka ia lebih sedikit daripada yang sebelumnya, seperti ketetapan Nabi  terhadap jawaban seorang hamba sahaya wanita (ketika beliau bertanya kepadanya), “Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di atas langit.” Nabi, menyetujui jawabannya dan bersabda, “Merdekakanlah dia.”

 

Juga seperti ketetapan Nabi  terhadap seorang ulama Yahudi, manakala dia datang dan berkata kepada Rasulullah , “Sesungguhnya kami mendapati bahwa Allah menjadikan langit di satu jari, bumi di satu jari dan tanah di satu jari… dan seterusnya. Maka Nabi  tersenyum sebagai tanda persetujuan beliau. Ini adalah ketetapan beliau.

 

Jika ada yang bertanya, mana dalil yang mewajibkan beriman kepada sifat yang dengannya Rasulullah menyifati Allah?

 

Kami katakan, Dalilnya adalah Firman Allah ols,

 

“Wahai orang-orang yang beriman! (Tetaplah) beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad) dan kepada kitab (al-Qur-an) yang Dia turunkan kepada RasulNya, serta kitab yang Dia turunkan sebelumnya.” (An-Nisa’: 136).

 

Setiap ayat yang menerangkan bahwa Rasul adalah seorang yang menyampaikan (risalah), menunjukkan wajibnya menerima Sifat-sifat Allah yang diberitakan oleh Rasulullah, karena beliau memberitakan dan menyampaikannya kepada manusia. Semua yang dikabarkan oleh beliau adalah dari Allah. Juga karena Rasul adalah orang yang paling mengetahui tentang Allah, orang yang paling tulus memberi nasihat kepada manusia, orang yang paling jujur dalam perkataannya dan orang yang paling fasih dalam menyampaikan kata-kata. Ada empat unsur yang dimiliki Rasul yang membuat sabda beliau mesti diterima: ilmu, ketulusan, kejujuran, dan penjelasan (yang akurat). Maka kita wajib menerima semua yang Nabi  beritakan tentang Rabb beliau. Beliau demi Allah lebih fasih, lebih tulus dan lebih mengetahui daripada, orang-orang yang diikuti oleh ahli mantiq dan filsafat, meskipun dg mikian beliau bersabda,

 

“Maha Suci Engkau, aku tidak mampu menghitung pujian atasMu. Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji DiriMu sendiri.”

 

Penulis berkata,

 

Tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif, dan tanpa tamtsil.

 

Syarah:

 

“Tanpa tahrif.” Kata-kata ini adalah penjelasan ten. tang ciri keimanan Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada Sifat-sifat Allah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman kepada Sifat-sifat Allah dengan iman yang bersih dari empat perkara ini: tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil,

 

(tahrif) berarti mengubah; bisa dari segi lafazh, bisa dari segi makna. Biasanya yang pertama tidak terjadi, kalaupun terjadi maka ia terjadi dari orang bodoh, karena tahrif dari segi lafazh berarti mengubah bentuk, misalnya tidak ada yang membaca   dengan dal dibaca fathah, kecuali jika dia tidak tahu. Ini yang umum.

 

Yang sering dilakukan oleh banyak kalangan adalah tahrif dari segi makna.

 

Iman Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada Sifat-sifat Allah yang Allah sendiri sandangkan pada DiriNya, bebas dari tahrif ini, baik dari segi lafazh maupun dari segi makna.

 

Tindakan mengubah makna ini disebut sebagai takwil oleh para pelakunya, mereka sendiri menamakan diri mereka ahli takwil. Mereka melakukan hal itu agar perkataannya diterima oleh khalayak, karena takwil tidak dibenci dan dijauhi oleh jiwa, akan tetapi hakikat takwil yang mereka lakukan adalah tahrif (penyelewengan makna). Hal itu karena takwil mereka tidak didukung dalil yang shahih. Hanya saja mereka tidak berani mengatakan bahwa yang mereka lakukan itu tahrif (penyelewengan makna), sebab jika mereka melakukan itu niscaya mereka sendiri yang mengiklankan bahwa ucapan mereka tidak layak untuk diterima.

 

Dari sini, maka Syaikhul Islam menggunakan istilah tahrif bukan takwil, meskipun banyak kalangan yang berbicara dalam masalah ini menggunakan istilah takwil. Kata mereka “tanpa takwil”. Apa yang dikatakan penulis lebih utama untuk diterima karena empat alasan,

 

Pertama: Tahrif adalah lafazh yang disebutkan oleh al-Qur’an, Allah berfirman,

 

“Mereka mengubah (menyelewengkan) perkataan dari tempat-tempatnya.” (An-Nisa’: 46).

 

Mengungkapkan dengan bahasa al-Qur an adalah lebih baik daripada selainnya karena ia lebih fokus kepada makna yang dimaksud.

 

Kedua: Ia lebih terarah menunjukkan kepada keadaan (yang sesungguhnya) dan lebih dekat kepada keadilan; karena orang yang melakukan takwil tanpa dalil tidak layak dinamakan ahli takwil, yang adil adalah diberi nama sesuai dengan perbuatannya; yaitu ahli tahrif (pelaku penyelewengan).

 

Ketiga: Bahwa takwil tanpa dalil adalah kebatilan, harus dijauhi dan dihindari. Penggunaan kata tahrif lebih kuat pengaruhnya untuk menghindarkan daripada takwil. Tahrif ditolak oleh siapa pun, sedangkan takwil agak lemah, ia diterima oleh jiwa dan menuntut perincian maknanya. Adapun tahrif maka hanya dengan mengatakan, ini adalah tahrif, maka orang-orang akan menjauhinya. Jika demikian, maka penggunaan istilah tahrif kepada penyelisih manhaj Salaf adalah lebih sesuai daripada penggunaan istilah takwil.

 

Keempat: Tidak semua takwil dicela. Nabi  bersabda,

 

“Ya Allah, jadikanlah dia orang yang faqih dalam agama ini dan ajarilah dia takwil (tafsir).”

 

Dan Allah  berfirman,

 

“Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, kecuali Allah. Day, orang-orang yang iImunya mendalam ilmunya.” (Ali Imran: 7).

 

(Dalam ayat ini) Allah memuji mereka karena mengetahui takzyj

 

Tidak semua takwil dicela, karena ia memiliki beberapa makna ia bisa berarti tafsir, bisa berarti akibat dan akhir dari sesuatu dan bisa pula berarti membelokkan kata-kata dari zahirnya.

 

(a). Takwil yang berarti tafsir, tidak sedikit ahli tafsir yang berkat, pada saat menafsirkan ayat, “Takwil Firman Allah ini adalah begini day begini.” Lalu mereka menyebutkan maknanya dan menamakan tafsi, dengan takwil, karena kita as 5) “menakwilkan perkataan” maksud, nya, mengarahkannya kepada makna yang dimaksud.

 

(b). Takwil berarti akibat dari sesuatu; jika ia tercantum dalam permintaan, maka takwilnya adalah pelaksanaannya jika ia berbentuk perintah, jika ia berbentuk larangan maka takwilnya adalah meninggal. kannya. Jika pada berita, maka takwilnya adalah berita tersebut terjadi,

 

Contoh pada berita, yakni Firman Allah  

 

“Tidaklah mereka menunggu kecuali bukti kebenaran (al-Qur an) itu. Pada hari datangnya bukti kebenaran (al-Qur an) itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu, “Sungguh telah datang rasul-rasul Tuhan kami dengan membawa kebenaran.” (Al-A’raf: 53).

 

Maknanya adalah, mereka tidak menunggu kecuali akibat dan akhir dari apa yang diberitakan kepada mereka, pada hari di mana apa yang diberitakan itu telah tiba, orang-orang yang melalaikannya sebelumnya berkata, “Rasul-rasul Tuhan kami telah datang dengan kebenaran.’

 

Termasuk dalam hal ini adalah ucapan Nabi Yusuf , ketika kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya menyungkur untuk sujud kepadanya,

 

“Inilah takwil mimpiku yang dahulu itu.” (Yusuf: 100).

 

Maksudnya, mimpiku menjadi kenyataan, karena hal itu diucapkan Nabi Yusuf setelah mereka bersujud kepadanya.

 

Contoh pada permintaan adalah ucapan Aisyah  “Setelah Allah menurunkan,

 

‘Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,’ (An-Nashr: 1),

 

kepada Nabi , beliau memperbanyak membaca pada rukuk dan sujud beliau,

 

‘Maha Suci Engkau ya Allah wahai Tuhan kami, dan segala puji hanya untukMu, ya Allah, ampunilah aku.”

 

Nabi  menakwilkan al-Quran, yakni, mengamalkannya dengan hal tersebut.

 

(c). Takwil berarti memalingkan (menyelewengkan) kata-kata dari makna zahirnya. Ini terbagi menjadi dua: yang terpuji dan yang tercela; jika ia didukung dalil, maka ia terpuji, dan ia berarti sama dengan tafsir, tetapi jika ia tidak didukung dalil, maka ia tercela dan ia berarti tahrif (penyelewengan makna), bukan takwil.

 

Bagian yang kedua inilah yang dipegang oleh ahli tahrif dalam masalah Sifat-sifat Allah.

 

Contohnya adalah Firman Allah,

 

“(Yaitu) Yang Maha Pengasih, Yang bersemayam di atas Arasy.” (Thaha: 5).

 

Zahir lafazh ayat ini menunjukkan bahwa Allah beristiwa’ di atas Arasy, yakni bersemayam di atasnya. Jika ada yang berkata, makna adalah istaula (menguasai) Arasy, maka kita katakan, ini menurut takwil, karena kamu membelokkan lafazh dari zahirnya, Padahal, sebenarnya itu adalah tahrif, karena tidak didukung dalil, justru dalj berseberangan dengannya sebagaimana hal ini akan dijelaskan nanti

 

Adapun Firman Allah ,

 

“Ketetapan Allah pasti datang, maka janganlah kalian meminta agar disegerakan (datang)nya.” (An-Nahl: 1).

 

Maka makna   adalah   “Ketetapan Allah pasti akan datang”. la dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), akan tetapi maknanya adalah kata kerja masa datang. Ini memalingkan lafazh dari zahirnya akan tetapi ia didukung dalil, yaitu   “Maka janganlah kalian meminta disegerakan (datang)nya”.

 

Begitu pula Firman Allah ,

 

“Apabila kamu membaca al-Qur’an, maka hendaklah kamu beristi’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (An-Nahl: 98),

 

Kata kerja lampau, akan tetapi artinya adalah jika kamu hendak membaca, bukan jika kamu selesai membaca, maka ucapkanlah isti’adzah, Hal itu karena kita mengetahui dari as-Sunnah bahwa jika Nabi  hendak membaca al-Qur’an beliau beristi’adzah (memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk), dan bukan pada waktu selesai membaca, jadi takwil di sini adalah benar (karena didasari dalil).

 

Begitu pula ucapan Anas bin Malik

 

“Apabila Nabi  masuk ke tempat buang hajat beliau mengucapkan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kejahatan setan-setan laki-laki dan setan-setan perempuan’.”

 

Maka maksud dari   adalah   “apabila beliau hendak masuk,” karena berdzikir kepada Allah di dalam WC tidaklah layak. Oleh Karena itu kita artikan ‘jika masuk’ dengan ‘jika hendak masuk’. Ini adalah takwil yang didukung dalil, maka ia takwil yang shahih. Ia tidak lebih dari makna tafsir.

 

Oleh sebab itu, menggunakan istilah tahrif untuk takwil yang tidak didukung dalil lebih tepat, karena ia adalah bahasa al-Qur’an, lebih tepat bagi metode pelakunya dan lebih kuat pengaruhnya dalam mengindahkan orang dari metode yang menyelisihi metode Salaf ini. Juga karena semua tahrif adalah tercela, lain halnya dengan takwil dimana sebagian darinya ada yang tercela dan sebagian lagi terpuji. Jadi dari empat segi di atas, menggunakan istilah tahrif lebih layak daripada takwil.

 

“Tanpa ta’thil.”

 

( ) maknanya meninggalkan dan membiarkan, sebagaimana Firman Allah  ,

 

“Dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan.” (Al-Hajj: 45). Yakni dibiarkan dan ditinggalkan.

 

Yang dimaksud dengan ta’thul di sini adalah mengingkari Nama-nama dan Sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk DiriNya, baik semuanya atau sebagian, baik dengan tahrif atau pengingkaran, semua itu dinamakan ta’thil.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melakukan ta’thil (baca: tidak melakukan pengingkaran atau anulir) terhadap Nama Allah yang mana pun, mereka juga tidak mengingkari suatu sifat pun dari Sifat-sifatNya, akan tetapi mereka menetapkannya secara sempurna (total).

 

Lalu apa perbedaan antara ta’thil dan tahrif?

 

Kami jawab: Tahrif itu pada teks dalil, sedangkan ta’thil itu pada

 

kandungan teks dalil, misalnya, jika ada yang bilang bahwa yang dimaksud oleh Firman Allah,

 

“Tetapi kedua Tangan Allah terbuka” (Al-Ma‘idah: 64), adalah kedua kekuatanNya, maka ini adalah tahrif (penyimpangan dalil)

 

 

dan ta’thil (mengingkari) makna yang, benar, karena yang dimaksud dengan ‘tangan’ adalah arti sebenarnya. Dia telah menta’thil makna Yang. benar dan menghadirkan makna yang justru salah.

 

Jika ada yang berkata tentang “tetapi kedua TanganNya terbuka” aku tidak mengerti, aku menyerahkannya kepada Allah, aku tidak menetapkan ‘tangan’ secara hakiki dan tidak pula tangan dengan makna yang diselewengkan, maka kami katakan, ini adalah ta’ til, bukan tahrif karena dia tidak mengubah makna lafazh, tidak menafsirkan dengan tafsir yang tidak dimaksud, akan tetapi dia mengingkari makna yan, dimaksud, yaitu menetapkan tangan bagi Allah.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berlepas diri dari kedua metode di atas di mana yang pertama adalah mengubah lafazh; dengan mengingkari makna yang benar lagi shahih dan mengarahkan kepada makna yang salah yang tidak dimaksud, dan yang kedua adalah metode penganut tafwidh. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyerahkan maknanya (kepada Allah) seperti yang dilakukan penganut tafwidh, akan tetapi me. reka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kedua Tangan Allah adalah kedua tangan yang sebenarnya, keduanya bukan kekuatan dan bukan pula nikmat.

 

Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bebas dari unsur tahrif (penyelewengan dalil) dan ta’thil (pengingkaran makna dalil).

 

Dari sini kita mengetahui kedustaan sekaligus kesesatan orang yang mengatakan bahwa metode Salaf dalam Nama-nama dan Sifat-sifat Allah adalah tafwidh. Jika mereka mengatakan itu karena mereka tidak mengetahui metode Salaf, maka mereka tersesat. Jika mereka mengatakan itu dengan sengaja, maka mereka telah berdusta atau kita katakan bahwa mereka telah berdusta pada kedua kemungkinan di atas menurut bahasa penduduk Hijaz, karena dusta menurut orang-orang Hijaz berarti salah dan keliru.

 

Yang jelas, orang-orang yang mengatakan bahwa metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah tafwidh, merupakan kesalahan yang tak ada keraguan, karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan makna dan menyerahkan cara dan bentuk sebenarnya kepada Allah.

 

Hendaknya diketahui bahwa pendapat tafwidh, seperti yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah termasuk pendapat ahli bid’ah dan orang-orang mulhid (menyimpang) yang paling buruk. Manakala seseorang mendengar pendapat tafwidli, dia berkata, “Ini adalah pendapat yang baik, lebih selamat daripada mereka dan mereka. Aku tidak mengikuti pendapat Salaf dan tidak pula pendapat ahli takwil. Aku mengambil jalan tengah dan aku selamat dari semua itu, dan aku katakan bahwa Allah lebih mengetahui dan kita tidak mengetahui maknanya.”

 

Akan tetapi Syaikhul Islam menyatakan bahwa pendapat tafwidh seperti ini termasuk pendapat yang paling buruk dari ahli bid’ah dan orang-orang mulhid.

 

Syaikhul Islam benar, karena jika engkau merenungkan pendapat ahli tafwidh, maka engkau mendapati bahwa itu mendustakan al-Qur’an, menganggap Rasulullah bodoh, dan membuka peluang bagi ilmu filsafat.

 

Mendustakan al-Qur’an, karena Allah berfirman,

 

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur-an) sebagai penjelasan bagi segala sesuatu.” (An-Nahl: 89).

 

Penjelasan apakah yang menggunakan kata-kata yang artinya tidak diketahui? Padahal ia termasuk yang tercantum di dalam alQur’an dan yang paling banyak tercantum di dalamnya adalah Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.

 

Jika kita tidak mengetahui maknanya, maka apakah al-Qur’an adalah penjelas bagi segala sesuatu? Di manakah penjelasan yang dimaksud ?

 

Ahli tafwidh berkata, “Sesungguhnya Rasulullah tidak mengetahui makna-makna al-Qur’an yang terkait dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah”. Jika Rasulullah  tidak mengetahui, maka lebih-lebih yang lain.

 

Lebih aneh dari itu adalah bahwa mereka berkata, “Rasulullah berbicara tentang Sifat-sifat Allah tanpa mengetahui maknanya.” Beliau bersabda,  “Tuhan kami Allah yang ada di atas langit.” Jika beliau ditanya tentangnya, maka beliau menjawab, “Aku tidak tahu.” Begitu pula sabda beliau,.  “Tuhan kita turun ke langit terdekat.” Jika beliau ditanya apa makna, ‘Tuhan kita turun.’ Beliau menjawab, “Tidak tahu.” Dan begitu seterusnya.

 

Adakah pelecehan terhadap Rasulullah  yang lebih berat dari. pada ini? Jelas ini termasuk pelecehan paling besar. Seorang Rasul dari sisi Allah diutus untuk menjelaskan kepada manusia sedangkan dia sendiri tidak mengetahui makna ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat, akankah dia sendiri yang tidak mengetahui makna ayat-ayat dan, hadits-hadits tentang Sifat Allah, akan berbicara dengan ucapan yang dia sendiri tidak mengerti makna semua itu?

 

Inilah dua sisi terburuk tersebut: Mendustakan al-Qur’an dan menganggap bodoh Rasulullah .

 

Sisi ketiga adalah memberi peluang kepada orang-orang zindiq yang menyombongkan diri di hadapan ahli tafwidh. Orang-orang Zindiq tersebut berkata kepada ahli tafwidh, “Kalian tidak mengetahui apa pun, kamilah yang mengetahui.”

 

Lalu mereka mulai menafsirkan al-Qur an dengan apa yang tidak diinginkan Allah. Mereka berkata, “Menetapkan makna-makna dalil adalah lebih baik daripada kita menjadi orang ummi yang tidak mengerti apapun.” Lalu mereka mulai berbicara tentang makna Kalam dan Sifat Allah sesuka hati mereka. Penganut tafwidh sendiri tidak mampu membantah apa pun, karena mereka berkata, “Kami tidak mengetahui apa yang diinginkan Allah, jadi bisa saja apa yang kalian katakan itu adalah makna yang diinginkan oleh Allah.” Dengan itu ahli tafwidh telah membuka pintu keburukan yang besar. Oleh karena itu muncul slogan dusta yang mengatakan, “Metode Salaf lebih selamat, dan metode khalaf lebih ilmiah dan lebih bijak.”

 

Syaikhul Islam berkata, “Slogan ini dilontarkan oleh sebagian orang dungu.” Benar, hanya orang dungulah yang mengucapkannya.

 

Slogan di atas termasuk paling dusta dari segi ucapan dan konsekuensinya. “Metode Salaf lebih selamat dan metode khalaf lebih ilmiah dan lebih bijak.” Bagaimana yang terakhir lebih ilmiah dan lebih bijak sementara yang pertama lebih selamat? Padahal selamanya tidak ada keselamatan tanpa ilmu dan hikmah. Orang yang tidak mengetahui jalan, tidak mungkin dia selamat, karena dia tidak mengetahui, kalau dia memiliki ilmu dan hikmah niscaya dia selamat. Jadi tiada keselamatan kecuali dengan ilmu dan hikmah.

 

Kalau engkau berkata, “Sesungguhnya metode Salaf lebih selamat, “maka seharusnya engkau pun mengatakan, “Sekaligus lebih ilmiah dan lebih bijak,” karena jika tidak, maka ucapanmu kontradiktif.

 

Jadi slogan yang benar adalah, “Metode Salaf lebih selamat, lebih ilmiah dan lebih bijak.”

 

Metode khalaf adalah seperti yang diakui oleh orang berikut ini:

 

Aku bersumpah aku telah berkeliling pada semua perguruan

Badanku bolak-balik di antara bangunan-bangunan (sekolahan) itu .

Namun aku tidak melihat, kecuali orang bingung yang meletakkan

Telapak tangannya di dagunya atau menggigit jari penyesalan

 

Inilah metode yang menurut orang tersebut adalah bahwa dia tidak mendapatkan kecuali orang bingung yang meletakkan tangan di dagunya. Ini artinya dia tidak memiliki ilmu atau orang yang kedua yang menggigit jarinya karena dia tidak meniti jalan keselamatan.

 

Salah seorang pentolan mereka, ar-Razi berkata,

 

Akibat dari kelancangan akal adalah keruwetan

Kebanyakan usaha manusia adalah kesesatan

Ruh kami merasa asing dari jasad kami

Akhir dunia kami adalah siksa (batin) dan pikiran kacau

Kami tidak mendapat manfaat apa-apa dari kajian seumur hidup

Kecuali hanya mengumpulkan “katanya” dan “katanya.”

 

Lanjut ar-Razi, “Aku telah mengkaji metode ahli kalam dan cara pandang filsafat, maka aku melihatnya tidak dapat menyembuhkan orang sakit dan tidak pula melenyapkan dahaga. Aku mendapat, metode terdekat adalah metode al-Qur’an. Aku membaca ayat yang menetapkan Sifat Allah,

 

‘(Yaitu) Yang Maha Pengasih, Yang bersemayam di atas Arasy  (Thaha: 5).

 

‘KepadaNya-lah akan naik perkataan-perkataan yang baik.’ (Fathir: 10)

 

Aku pun membaca ayat yang menafikan,

 

‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura: 11).

 

‘Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya.’ (Thaha: 110),

 

Siapa yang telah mencoba apa yang telah aku coba niscaya dia akan mengetahui apa yang aku ketahui.”

 

Apakah orang-orang seperti mereka ini kita katakan bahwa metode mereka lebih ilmiah dan lebih bijak?

 

Orang yang berkata, “Sesungguhnya aku berharap mati di atas akidah orang-orang lemah kota Naisabur.” Dan orang-orang lemah adalah orang-orang awam. Orang ini berharap kembali kepada golongan orang-orang biasa. Orang seperti inikah yang dikatakan metodenya lebih ilmiah dan lebih bijak?

 

Di mana ilmu yang mereka klaim itu?

 

Jelaslah bahwa metode tafwidh itu salah, karena ia mengandung tiga akibat negatif: pertama, mendustakan al-Qur’an, kedua, menganggap bodoh Rasulullah  dan ketiga, memberi peluang (kritik) bagi ahli filsafat. Dan orang-orang yang mengatakan bahwa metode as-Salaf adalah tafwidh, maka dia telah berdusta atas nama as-Salaf, karena as-Salaf menetapkan lafazh dan makna dan menjelaskannya secara memadai.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mentahrif (menyelewengkan makna lafazh) dan tidak pula menta’thil (mengingkari), mereka memberi arti bagi dalil sesuai dengan yang diinginkan Allah.

 

“Lalu Dia bersemayam di atas Arasy.” (Al-A’raf: 54).

 

( ) yakni Dia Maha Tinggi di atas Arasy bukan ( ) yang berarti menguasai. (dengan TanganNya) adalah tangan secara hakiki bukan kekuatan dan bukan pula nikmat, maka tidak ada tahrif dan ta’thil bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

“tanpa takyif.”

 

( ): kata ini tidak tertera di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut dilarang.

 

Takyif adalah menyebut cara dan bentuk sifat. Engkau berkata, yakni menyebutkan cara dan bentuk sifat.

 

Takyif (cara dan bentuk) biasa ditanyakan dengan ucapan,   “bagaimana”. Jika misalnya ada yang bertanya, “Bagaimana Zaid datang?” Lalu engkau menjawab, “Dengan berkendara,” maka engkau telah menyebutkan cara kedatangannya. “Bagaimana warna mobil itu?” “Putih,” maka engkau telah menyebut warna.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melakukan takyif terhadap Sifat-sifat Allah; dan itu dengan berpijak kepada dalil naqli dan dalil aqli.

 

Dalil naqli, seperti Firman Allah

 

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kalian mempersekutukan sesuatu dengan Allah, yang Allah tidak menurunkan bukti (hujjah) untuk itu, serta mengatakan atas Nama Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui’.” (Al-A’raf: 33).

 

Inti dalil dalam ayat ini (mengenai masalah ini) terdapat pada  “serta (mengharamkan) mengatakan alas Nama Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui.”

 

Jika ada orang berkata, “Sesungguhnya Allah bersemayam di atas Arasy dengan cara begini,” lalu dia menyebutkan cara tertentu maka kami katakan, “Orang ini telah berkata atas Nama Allah tanpa ilmu. Apakah Allah mengabarkan kepadamu bahwa Dia bersemayan, dengan cara tersebut? Tentu tidak. Allah hanya mengabarkan bahwa Dia bersemayam dan tidak mengabarkan bagaimana cara Dia bersemayam.” Kami katakan, “Ini adalah takyif dan berkata atas Nama Allah tanpa ilmu.”

 

Dari sini sebagian ulama Salaf berkata, “Jika orang-orang Jahmiyah berkata kepada Anda, “Sesungguhnya Allah turun ke langit terdekat. bagaimana Allah turun?” Maka jawablah bahwa Allah mengabarkan bahwa Dia turun dan tidak mengabarkan bagaimana cara Dia turun,” Ini adalah kaidah yang sangat berguna.

 

Dalil nagli yang lain adalah, Firman Allah oles,

 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’: 36).

 

Maksudnya, jangan mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’: 36).

 

Adapun dalil aqli, maka kami katakan bahwa cara dan bentuk dari sesuatu, tidak bisa diketahui, kecuali dengan satu dari tiga perkara: Pertama, menyaksikannya secara langsung, kedua, menyaksikan apa yang mirip dengannya atau ketiga, berita dari orang yang jujur tentangnya. Artinya, kamu menyaksikannya sendiri dan mengetahui cara dan bentuknya atau engkau menyaksikan sesuatu yang serupa dengannya, seperti jika ada orang yang berkata, “Fulan membeli mobil (Nissan) Datsun model 88 nomor 2000,” maka engkau pun mengetahui bentuk mobil tersebut, karena engkau memiliki mobil seperti itu atau ada orang jujur yang menjelaskannya kepadamu, di mana dia datang kepadamu dan berkata, “Mobil fulan cirinya begini dan begini…” lalu dia menjelaskannya dengan baik. Dengan demikian engkau mengetahui bentuknya.

 

Dari sini sebagian ulama memberikan jawaban yang teliti dengan mengatakan, “Ucapan kami ‘tanpa takyif’ tidak berarti bahwa kami meyakininya tidak memiliki cara dan bentuk, justru kami tetap meyakininya memiliki cara dan bentuk, hanya saja ilmu tentang cara dan bentuk jnilah yang tidak kita ketahui, karena bersemayamnya Allah di atas Arasy tanpa ragu memiliki cara dan bentuk, akan tetapi ia tidak diketahui. Turunnya Allah ke langit dunia juga memiliki cara dan bentuk, akan tetapi ia tidak diketahui, karena tidak ada sesuatu pun yang ada, kecuali ia memiliki cara dan bentuk, hanya saja ia bisa diketahui dan bisa pula tidak diketahui.

 

Imam Malik pernah ditanya tentang Firman Allah

 

“(Yaitu) Yang Maha Pengasih, Yang bersemayam di atas Arasy.” (Thaha: 9).

 

“Bagaimana Allah bersemayam?”

 

Imam Malik menundukkan kepalanya sampai dia berkeringat, kemudian dia mengangkat kepalanya dan menjawab, “Bersemayam bukanlah sesuatu yang tidak diketahui.” Yakni, dari segi makna ia diketahui, karena bahasanya adalah bahasa Arab, bahasa kita. Di semua tempat yang terdapat padanya kata ( ) yang diikuti dengan ( ) maknanya adalah tinggi (bersemayam di atas sesuatu). Imam Malik menjawab, ( ) bukanlah sesuatu yang tidak diketahui, tapi cara dan bentuknya adalah di luar jangkauan akal.” Karena akal tidak akan mengetahui cara dan bentuknya. Jika tidak ada dalil naqli dan aqli yang menetapkan cara dan bentuk (dari suatu sifat) maka menahan diri adalah wajib. “Beriman kepadanya adalah wajib.” Karena Allah menyampaikan hal itu tentang DiriNya, maka membenarkannya adalah wajib. “Bertanya tentangnya adalah bid’ah.” Yakni bertanya tentang cara dan bentuknya adalah bid’ah, karena orang-orang yang lebih bersungguh-sungguh dalam masalah ilmu daripada kita yakni para sahabat tidak pernah bertanya tentangnya ketika Allah menurunkan,

 

“Dia bersemayam di atas Arasy.” (Al-A’raf: 54).

 

Para sahabat mengetahui kebesaran Allah dan makna  “bersemayam” di atas Arasy, bahwa ia tidak mungkin ditanyakan dengan bagaimana Dia bersemayam? Karena engkau tidak akan mengetahui itu. Maka jika kita ditanya, kami akan menjawab, “Pertanyaan ini adalah bid’ah.”

 

Jawaban Imam Malik  adalah barometer untuk seluruh magalah sifat. Jika ada yang berkata kepadamu, misalnya, “Sesungguhnya Allah turun ke langit terendah, bagaimana Dia turun?” Maka jawablah, Nuzul (turun) bukan sesuatu yang tidak diketahui, cara dan ben. tuknya di luar jangkauan akal, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Orang-orang yang bertanya, bagaimana mungkin Allah turun (pada sepertiga malam) sedangkan sepertiga malam itu sendiri berpindah-pindah? Kami katakan bahwa pertanyaan ini adalah bid’ah. Bagaimana kalian bertanya tentang apa yang tidak dipertanyakan oleh para sahabat, padahal mereka lebih bersungguh-sungguh daripada kalian dalam kebaikan, lebih mengetahui tentang apa yang layak untuk Allah, kita tidak lebih mengetahui daripada Rasulullah, meskipun demikian Nabi  tidak memberitahu mereka tentangnya, maka pertanyaanmu ini bid’ah, seandainya kami tidak berbaik sangka kepadamu, niscaya kami katakan apa yang layak untukmu, yaitu bahwa engkau adalah ahli bid’ah.

 

Imam Malik sendiri berkata, “Tidaklah aku melihatmu melainkan engkau ini ahli bid’ah.” Kemudian beliau meminta agar yang bersangkutan dikeluarkan. Hal itu karena Salaf membenci ahli bid’ah, membenci pandangan penolakan, bantahan, dan sangkalan mereka.”

 

Dalam bab ini, wahai saudaraku, engkau wajib mengambil sikap menerima, karena termasuk kesempurnaan penyerahan diri kepada Allah adalah hendaknya kamu tidak mempersoalkan perkara-perkara seperti ini. Oleh karena itu, aku selalu memperingatkan kamu agar tidak mempersoalkan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah dengan cara mempersulit dan memaksakan diri, di mana hal itu tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, karena jika pintu ini kita buka di hadapan kita, maka pintu-pintu lainnya pun akan terbuka dan pagar-pagar pun ikut roboh. Dalam kondisi tersebut kita akan lepas kontrol. Oleh karena itu, katakanlah, “Kami mendengar dan menaati, kami beriman dan membenarkan. Kami beriman dan membenarkan berita, kami menaati perintah dan kami mendengar Firman Allah.” Lakukan itu agar engkau selamat.

 

Siapa pun yang bertanya tentang sesuatu dalam hal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah yang tidak ditanyakan oleh para sahabat, maka katakan kepadanya seperti yang dikatakan Imam Malik, -dalam perkara ini engkau mempunyai pendahulu,”Bertanya tentangnya adalah bid’ah.” Jika engkau berkata demikian kepadanya maka dia tidak akan ngeyel. Jika dia ngeyel maka katakan, “Wahai ahli bid’ah, bertanya tentangnya adalah bid’ah, bertanyalah tentang hukum-hukum yang memang dibebankan atasmu. Kalau engkau bertanya tentang sesuatu yang, berkaitan dengan Allah, tentang Nama-nama dan Sifat-sifatNya dan itu tidak dilakukan oleh para sahabat, maka hal itu tidak bisa diterima untuk selama-lamanya.”

 

Terdapat perkataan dari Salaf bahwa mereka memahami makna sifat-sifat yang Allah turunkan kepada Rasulullah, seperti yang dinukil dari al-Auza’i dan lainnya. Telah dinukil dari mereka bahwa mereka berkata tentang ayat-ayat dan hadits-hadits sifat Allah,

 

“Berlakukanlah (maknailah) ia seperti apa adanya tanpa menentukan cara dan bentuknya.”

 

Ini menunjukkan bahwa mereka menetapkan maknanya dari dua segi:

 

Pertama, bahwa mereka berkata, “Pahamilah ia seperti apa adanya.” Dan sebagaimana diketahui bahwa ia adalah lafazh-lafazh yang memiliki makna, ia tidak hadir sia-sia begitu saja (tanpa makna). Dan apabila kita pahami sebagaimana apa adanya, itu mengharuskan kita untuk menetapkan bahwa semua itu memang memiliki makna.

 

Kedua, perkataan mereka “tanpa menentukan cara dan bentuk.” Dinafikannya cara dan bentuk menunjukkan adanya dasar makna, karena penafian terhadap sesuatu yang tidak ada adalah sia-sia dan tak ada gunanya.

 

Jadi, perkataan yang masyhur dari as-Salaf menunjukkan bahwa, mereka menetapkan makna bagi dalil-dalil seperti ini. :

 

“Tanpa tamtsil.”

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berlepas diri dari sikap tamtsil (memisalkan) Allah dengan makhlukNya; tidak pada DzatNya, tidak Puls pada SifatNya. Tamtsil (membuat misal) adalah menyebutkan apa yang semisal bagi sesuatu.

 

Antara tamtsil dengan takyif terdapat korelasi keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap pelaku tamtsil adalah pelaku takyig dan tidak semua pelaku takyif adalah pelaku tamtsil karena takyif adalah menyebutkan cara dan bentuk tanpa disertai dengan memisalkan dengan sesuatu. Misalnya engkau berkata, “Aku memiliki pena yang bentuknya begini dan begini,” yakni, jika engkau sertakan dengan menyebut pena lain yang semisal dengannya, maka itu adalah tamtsil. Seperti juga jika engkau berkata, “Aku memiliki pena seperti pena ini,” karena engkau menyebutkan sesuatu yang menyamai yang lain dan engkau mengetahui pena ini dengan menyebutkan persamaannya.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan Sifat-sifat bagi Allah tanpa tamtsil. Mereka berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki Sifat Hayat (hidup), tapi tidak seperti kehidupan kita. Dia memiliki Sifat Ilmu, tapi tidak seperti ilmu kita. Dia memiliki Sifat Bashar (melihat), tapi tidak seperti penglihatan kita. Dia memiliki Wajah, tapi tidak seperti wajah kita. Dia memiliki Tangan, tapi tidak seperti tangan kita… dan begitulah seluruh Sifat-sifat Allah.” Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkata, “Sesungguhnya Allah sama sekali tidak semisal dengan makhlukNya dalam Sifat-sifat yang Dia sandarkan pada DiriNya.”

 

Dalam hal ini, Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki dalil-dalil naqli dan aqli:

 

Dalil Naqli Dalil ini terbagi menjadi dua: Khabar (berita) dan thalab (tuntutan). – Di antara dalil naqli yang bersifat khabar adalah, Firman Allah

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura: 11). Ayat ini secara jelas menafikan tamtsil.

 

Dan FirmanNya,

 

“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang serupa dengan Dia (yang patut disembah) ?” (Maryam: 65).

 

Meskipun ayat ini berbentuk pertanyaan, akan tetapi maknanya adalah khabar (berita), karena ia adalah pertanyaan yang mengandung makna menolak.

 

Begitu pula FirmanNya,

 

“Dan tidak ada sesuatu pun yang setara denganNya.” (Al-Ikhlas: 4).

 

Semua ayat ini menafikan permisalan bagi Allah dan semuanya dalam bentuk khabar (berita).

 

– Sedangkan dalil yang bersifat thalab (tuntutan), di antaranya adalah Firman Allah 

 

“Karena itu, janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah.” (Al-Baqarah: 22).

 

Yakni, tandingan-tandingan dan misal-misal. Dan FirmanNya,

 

“Maka janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahut, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74).

 

Barangsiapa menyamakan Allah dengan makhlukNya, maka dia telah mendustakan berita Allah dan menyelisihi perintah. Oleh karena itu, sebagian as-Salaf melontarkan takfir (vonis kafir) kepada siapa saja yang memisalkan Allah dengan makhlukNya. Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, Syaikhnya al-Bukhari berkata, “Barangsiapa menyerupakan Allah dengan makhlukNya, maka dia telah kafir.” Karena yang bersangkutan mendustakan berita Allah sekaligus menyelisihi perintah

 

Adapun dalil-dalil aqli yang menunjukkan tidak mungkinnya, dimisalkan antara Khaliq (Allah) dengan makhluk, maka ini dari beberapa segi:

 

Pertama, kami katakan dalam keadaan apa pun, memisahkan antara Khaliq dengan makhluk adalah sesuatu yang tidak mungkin. Seandainya di antara keduanya tidak terdapat perbedaan, kecuali hanya, pada dasar wujudnya (adanya), niscaya hal itu sudah cukup. Hal itu karena adanya Khaliq (Pencipta) adalah wajib, karena Dia adalah azali, dan abadi, sedangkan adanya makhluk adalah mungkin, didahului; ketiadaan dan diakhiri dengan kefanaan. Jika masing-masing dari keduanya adalah demikian, maka tidak mungkin dikatakan bahwa keduanya semisal.

 

Kedua, kita menemukan perbedaan besar antara Khaliq dan makhluk pada sifat-sifat dan perbuatan-perbuatannya. Dalam sifat-sifatNya Allah dapat mendengar semua suara, meskipun ia samar dan jauh, dan meskipun di dasar lautan, Allah pasti mendengarnya.

 

Allah menurunkan FirmanNya,

 

“Sungguh Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kalian berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mujadilah: 1).

 

Aisyah berkata, “Segala puji bagi Allah yang pendengaranNya meliputi segala suara. Aku berada di kamar, sebagian dari perkataannya tidak aku ketahui.” Allah mendengarnya sementara Dia bersemayam di atas ArasyNya padahal antara Dia dengan perempuan tersebut terbentang jarak yang jauhnya hanya diketahui oleh Allah. Maka tidak mungkin seseorang berkata, Allah memiliki pendengaran seperti pendengaran kita.

 

Ketiga, kita mengetahui bahwa Allah berbeda dari makhlukNya dengan” DzatNya,

 

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” (Al-Baqarah: 255).  

 

“Padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya.” (Az-Zumar: 67).

 

Tidak seorang makhluk pun yang mampu seperti itu. Jika Allah perbeda dari makhluk dari segi DzatNya, maka Sifat mengikuti Dzat, maka ia pun berbeda dengan sifat makhluk, tidak mungkin ada persamaan antara makhluk dengan Khaliq.

 

Keempat, kita menyaksikan banyak hal pada makhluk yang sama dari segi nama, tapi berbeda secara substansial. Manusia pun berbedapeda pada sifat mereka: Orang yang ini penglihatannya kuat, sedangkan yang itu lemah. Ini pendengarannya kuat, sedangkan yang itu jemah. Ini berbadan kuat sedangkan yang itu berbadan lemah. Ini laki-laki, itu wanita… begitulah, terdapat banyak perbedaan antara makhluk, padahal ia satu jenis, lalu bagaimana antara makhluk-makhluk yang jenis-jenisnya berbeda dan beragam? Tentu perbedaannya akan lebih jelas (lebih jauh).

 

Dari sini, maka tidak mungkin seseorang berkata, “Aku memiliki tangan seperti tangan unta atau seperti tangan semut kecil atau seperti tangan kucing. Ada manusia, unta, semut dan kucing; masing-masing memiliki tangan yang berbeda-beda padahal namanya satu, yaitu tangan. Di sini kami katakan, Jika perbedaan bentuk suatu anggota badan antara makhluk, meski dengan nama yang satu adalah mungkin, maka perbedaan antara Khaliq dengan makhluk tidak sekedar mungkin akan tetapi wajib.

 

Jadi kita memiliki empat segi dalil aqli, semuanya menunjukkan bahwa Khaliq tidak sama dengan makhluk dalam kondisi apa pun.

 

Bisa pula kita katakan, ada dalil lain yaitu, dalil fitrah; hal itu karena manusia dengan fitrahnya tanpa didikte mengetahui perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dengan makhluk dan kalau bukan karena adanya fitrah ini niscaya dia tidak berdoa kepada Khaliq.

 

Jelaslah bahwa tamtsil (permisalan antara Allah dengan makhluk) sama sekali tidak mungkin berdasarkan dalil naqli, aqli, dan fitrah

 

Jika ada yang berkata, “Sesungguhnya Nabi  menyampaikan kepada kita hadits-hadits yang samar (mutasyabih) bagi kita, apakah itu tamtsil atau bukan? Kami meletakkannya di hadapanmu yaitu,

 

Nabi  bersabda,

 

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat rembulan di malam purnama, kalian tidak akan berdesak-desakan untuk dapat melihatNya.”

 

Nabi bersabda,  “sebagaimana” dan kaf berfungsi untuk menyerupakan. Dan yang bersabda ini adalah Rasulullah  dan dalam prin. sip kami adalah beriman kepada sabdanya sebagaimana kami beriman kepada Firman Allah. Apa jawabanmu tentang hadits ini?

 

Kami katakan, Kami menjawab tentang hadits ini dan hadits lain yang semacamnya dengan dua jawaban: yang pertama global dan yang kedua terperinci.

 

Yang pertama, jawaban yang global: Tidak mungkin terjadi pertentangan antara Firman Allah dengan sabda Rasulullah yang shahih darinya, karena keduanya adalah kebenaran dan kebenaran tidak mungkin bertentangan. Keduanya adalah bersumber dari Allah dan apa yang berasal dari Allah tidak akan pernah bertentangan,

 

“Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82).

 

Jika terjadi, yang menurut dugaanmu bertentangan, maka ketahuilah bahwa hal itu bukan dari segi dalil akan tetapi dari segi pemahamanmu sendiri. Jika terjadi -menurut dugaanmu pertentangan antara dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah, maka bisa disebabkan oleh kurangnya ilmu atau minimnya pemahaman atau karena kelalaian dalam mengkaji dan menelaah, seandainya engkau mengkaji dan merenungkan, niscaya pertentangan yang engkau duga tersebut tidak berdasar. Mungkin hal itu karena niat dan tujuannya sudah tidak baik di mana engkau hanya mengambil yang zahirnya bertentangan untuk mempertentangkan, maka akibatnya taufik dari Allah menjauhimu, seperti yang terjadi pada orang-orang yang menyimpang yang hanya mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat.

 

Berdasarkan jawaban yang global ini, maka wajib bagimu pada saat terjadi ketidakjelasan, untuk mengembalikan yang mutasyabih kepada yang muhkam, karena ini adalah jalan orang-orang yang mendalam ilmunya. Firman Allah  ,

 

“Dia-lah yang menurunkan Kitab (al-Qur an) kepadamu (wahai Rasul),. Pi antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (alQuran) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (al-Qur an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang berakal.”(Ali Imran: 7).

 

Mereka menafsirkan yang mutasyabih dengan yang muhkam sehingga semuanya menjadi muhkam,

 

Adapun jawaban yang terperinci, maka kita menjawab masing-masing dalil secara tersendiri.

 

Sabda Nabi,

 

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat rembulan di malam purnama, kalian tidak akan berdesak-desakan untuk dapat melihatNya.”

 

Hadits ini tidak menyerupakan apa yang dilihat dengan apa yang dilihat, akan tetapi ia menyerupakan penglihatan dengan penglihatan. ( ), kaf pada ( ) masuk kepada mashdar mu‘awwal, karena ( ) adalah mashdariyah. Jadi, asumsi ucapannya adalah seperti kalian melihat terhadap rembulan di malam purnama. Maka hadits tersebut, menyerupakan penglihatan dengan penglihatan bukan yang dilihat, dengan yang dilihat. Maksudnya adalah engkau melihatNya dengan jelas, seperti engkau melihat rembulan di malam purnama. Oleh karena itu ia diikuti dengan “Kalian tidak akan berdesak-desakan untuk dapat melihatNya,” atau “Engkau tidak saling menyakiti (karena berdesakan) dalam melihatNya.”

 

Sampai di sini, kesulitan terhadap hadits di atas telah hilang, Pada hadits lain, Nabi  bersabda,   “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentukNya.” Sebuah bentuk adalah semisal dengan yang lain, tidak bisa dibayangkan adanya bentuk kecuali ia menyerupai yang lain. Oleh ka. rena itu, jika aku menulis surat untukmu, lalu aku memfotokopinya lalu hasilnya keluar, maka dikatakan, “Ini adalah kopian dari ini.” Tidak ada perbedaan pada huruf dan kata-katanya, satu bentuk menyerupaj bentuk yang lain. Yang bersabda, “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentukNya,” adalah Rasulullah makhluk paling mengetahui, paling jujur, paling tulus, dan paling fasih.

 

Kami jawab dengan jawaban global dan terperinci.

 

Jawaban yang global: Kami katakan bahwa hadits ini tidak mungkin bertentangan dengan Firman Allah

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya.” (Asy-Syura: 11).

 

Jika Allah memudahkan bagimu untuk menggabungkannya, maka gabungkanlah, jika tidak maka katakan,

 

“Kami beriman kepadanya (al-Qur an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” (Ali Imran: 7).

 

Akidah kita adalah bahwa tidak ada suatu pun yang semisal (serupa) dengan Allah, dengan ini engkau selamat di hadapan Allah.

 

Ini adalah Kalamullah dan itu adalah sabda Rasulullah  keduanya adalah benar, tidak mungkin sebagian mendustakan sebagian yang Jain. Semuanya adalah berita, bukan hukum, sehingga mungkin dikatakan mansukh. Aku katakan, Firman Allah tadi menafikan persamaan dan sabda Nabi  menetapkan bentuk, maka katakanlah, “Sesungguhnya Allah, tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya dan bahwa Allah menciptakan Adam dalam bentukNya.” Yang pertama adalah Firman Allah, yang kedua adalah sabda RasulNya, keduanya benar, kita beriman kepadanya. Kita katakan, “Semua dari Tuhan kami”, lalu kita diam. Inilah yang kita bisa.

 

Adapun jawaban yang terperinci, maka kami katakan, Sesungguhnya yang bersabda, “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentukNya,” adalah utusan dari Dzat Yang berfirman,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya.” (Asy-Syura: 11).

 

Rasulullah  tidak mungkin berbicara dengan sesuatu yang mendustakan (bertentangan dengan) Dzat Yang mengutus beliau. Nabi yang bersabda,

 

“(Dia) menciptakan Adam dalam bentukNya,” adalah yang juga bersabda,

 

“Sesungguhnya rombongan pertama yang masuk surga adalah dalam bentuk rembulan.”

 

Apakah engkau meyakini bahwa orang-orang yang masuk surga itu sama persis dengan bentuk rembulan atau engkau meyakini bahwa mereka tetap dalam bentuk manusia, hanya saja dalam hal keceriaan, keindahan, kebaikan, kebulatan wajah, dan lain-lain seperti rembulan dan tidak dalam segala hal? Jika engkau meyakini yang pertama, maka mereka masuk surga tanpa mata,tanpa hidung dan tanpa mulut. Jika yang kedua, maka persoalannya selesai, karena terbukti bahwa walaupun sesuatu itu dalam bentuk sesuatu yang lain, tidak secara otomatis ia Sama dengannya dari segala segi.

 

Jika dia menolak apa yang engkau pahami dan sama sekali tidak mampu mencerna ini, dan ia tetap berkata kepadamu, “Aku tidak memahami kecuali bahwa itu ada permisalan,” maka kami utarakan ada jawaban yang lain, yaitu bahwa penyandaran di sini termasuk penyandaran makhluk kepada Khaliqnya. Sabda Nabi  “Dalam bentukNya,” adalah seperti Firman Allah tentang Adam,

 

“Dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku.” (Shad: 72).

 

Tidak mungkin Allah memberi Adam sebagian dari ruhNya akan tetapi maksudnya adalah ruh yang Allah ciptakan dan ia disandarkan kepada Allah secara khusus untuk menunjukkan kemuliaannya seperti engkau berkata, “Hamba-hamba Allah”, ia mencakup yang kafir, Muslim, Mukmin, syahid, shiddiq dan Nabi, akan tetapi jika kita berkata Muhammad adalah hamba Allah, maka jelas yang terakhir ini tidaklah sama dengan yang sebelumnya.

 

Sabda Nabi   “Allah menciptakan Adam dalam bentukNya,” yakni bentuk yang dibuat dan diciptakan oleh Allah sebagaimana Dia berfirman,

 

“Dan sungguh Kami telah menciptakan kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, ” Bersujudlah kalian kepada Adam.” (Al-A’raf: 11).

 

Jadi yang dibentuk adalah Adam. Maka Adam dalam bentukan Allah, maksudnya adalah bahwa Allah-lah yang membentuknya dengan bentuk tersebut yang merupakan bentuk makhluk terbaik,

 

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tin: 4).

 

Penyandaran “bentuk” kepada Allah adalah sebagai pemuliaan baginya, seolah-olah Allah benar-benar memerhatikan “bentuk” tersebut. Oleh karena itu janganlah engkau memukul wajah yang bisa mengakibatkan cacat secara nyata (materil), dan jangan pula engkau menjelek-jelekkannya dengan mengatakan, “Semoga Allah memperburuk wajahmu”, yang mana hal itu mengakibatkannya cacat secara moril,

 

Karena ia adalah bentuk yang diciptakan Allah dan Dia pun menyandarkannya kepada DiriNya untuk menunjukkan kemuliaan dan penghormatan, maka janganlah engkau menjelek-jelekkannya secara moril maupun materil.

 

Kemudian apakah jawaban ini dikategorikan sebagai tahrif atau ada hal-hal lain yang sama dengannya?

 

Kami katakan, Ia memiliki contoh lain yang sama dengannya, seperti Baitullah, unta Allah, hamba Allah; karena bentuk ini (yaitu, bentuk Adam) adalah terpisah dan tidak menyatu dengan Allah, dan segala sesuatu yang Allah sandarkan kepada DiriNya yang terpisah dan tidak menyatu denganNya, maka ia adalah makhluk; dengan demikian persoalannya selesai.

 

Akan tetapi, jika ada yang berkata, Mana yang lebih selamat, makna yang pertama atau yang kedua? Kami katakan bahwa makna yang pertama lebih selamat, selama kita menemukan pembolehan bagi zahir lafazh dalam bahasa Arab dan memungkinkan secara akal, maka kita wajib menggiring suatu lafazh kepadanya. Dan kita melihat bahwa satu bentuk tidaklah harus sama dengan bentuk yang lain, maka dalam kondisi tersebut akan lebih selamat kalau kita membawanya kepada zahirnya.

 

Jika engkau berkata: Apa bentuk yang dimiliki Allah yang dalam bentuk tersebut Adam diciptakan?

 

Jawaban: Sesungguhnya Allah memiliki Wajah, Mata, Tangan, dan Kaki, akan tetapi tidak berarti bahwa semua itu semisal dengan apa yang dimiliki oleh manusia. Ada segi kemiripan, akan tetapi tidak berarti sama persis, sebagaimana rombongan penghuni surga pertama memiliki sisi kemiripan dengan rembulan akan tetapi tidak berarti sama persis. Dengan ini, maka ia sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa seluruh Sifat-sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk; tanpa tahrif dan ta’thil tanpa takyif, dan tamtsil.

 

Kita sering melihat kata-kata tasybih di buku-buku yang kita baca. Penulisnya mengatakan tasybih, padahal maksudnya adalah tamtsil. Manakah yang lebih baik, mengungkapkan dengan tamtsil atau tasybih?

 

Kami katakan, tamtsil lebih baik karena:

 

Pertama, tamtsil adalah ungkapan al-Qur an, “Tidak ada sesuatu pun yang semisal (serupa) dengan Dia.” (Asy Syura: 11).

 

“Karena itu janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan (sekutu-sekutu) bagi Allah.” (Al-Baqarah: 22).

 

Dan lain-lain yang diungkapkan oleh al-Qur‘an adalah lebih baik, daripada yang lain, karena tidak ada yang lebih fasih daripada al-Qur ay dan tidak ada yang lebih menunjukkan makna yang dimaksud dari, pada al-Qur‘an dan Allah lebih mengetahui apa yang Dia inginkan day, FirmanNya, jadi berkesesuaian dengan al-Qur‘an adalah yang benar maka kita mengatakan tanpa tamtsil. Begitulah dalam setiap tempat berkesesuaian dengan nash dalam lafazh adalah lebih baik daripada menyebutkan sinonim atau kata lain yang mendekati maknanya.

 

Kedua, bahwa tasybih menurut sebagian orang berarti menetap. kan sifat-sifat. Oleh karena itu mereka menamakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan Musyabbihah. Jika kita katakan tanpa tasybih, lalu orang tersebut hanya memahami bahwa tasybih berarti menetapkan sifat, maka jadilah seolah-olah kita berkata tanpa menetapkan sifat, akhirnya tasybih mengisyaratkan makna yang rusak. Oleh karena itu, meninggalkannya adalah lebih baik.

 

Ketiga, menafikan tasybih secara mutlak tidaklah benar karena tidak ada dua dzat atau sifat kecuali di antara keduanya terdapat kesamaan dalam beberapa segi dan kesamaan itu adalah salah satu bentuk tasybih (kemiripan). Jika engkau menafikan tasybih secara mutlak, maka itu artinya engkau telah menafikan segala sesuatu yang padanya Sang Khaliq dan makhluk memiliki kesamaan dalam hal tertentu.

 

Sebagai contoh: wujud (ada); Allah Sang Khaliq dan makhluk memiliki kesamaan pada dasar wujud (ada). Ini adalah bentuk kesamaan dan kemiripan, hanya saja terdapat perbedaan antara wujud masing-masing; Wujud Allah Yang Maha Pencipta adalah wajib dan wujud makhluk adalah mungkin.

 

Begitu pula mendengar, padanya terdapat titik persamaan; di mana manusia mendengar dan Allah Yang Maha Pencipta juga mer dengar, akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya meskipun dasar keberadaan “mendengar” dimiliki masing-masing.

 

Jika kita berkata tanpa tasybih dan kita menafikan tasybih secara mutlak, maka hal itu mengandung persoalan.

 

Dari ketiga segi diatas jelaslah bagi kita bahwa menggunakan istilah tamtsil adalah lebih baik.

 

Jika engkau bertanya: Apa perbedaan antara takyif dan tamtsil? Jawaban: Perbedaannya dari dua segi:

 

Pertama, bahwa tamtsil adalah menyebutkan sifat dengan memisalkan (menyebutkan misal), seperti engkau berkata, “Tangan fulan seperti tangan fulan.” Sedangkan takyif adalah menyebutkan sifat tanpa memisalkan. Seperti engkau berkata, “Bentuk tangan fulan begini dan begini.”

 

Dari sini kami katakan bahwa setiap pelaku tamtsil adalah pelaku takyif, dan tidak sebaliknya.

 

Kedua, Takyif tidak terjadi kecuali pada sifat dan keadaan, sedangkan tamtsil bisa terjadi pada itu dan pada bilangan, sebagaimana yang ada pada Firman Allah,

 

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (Ath-Thalaq: 12). Yakni, dari segi bilangan.

 

Penulis berkata,

 

Akan tetapi mereka beriman bahwa Allah 38, “Tidak ada sesuatu pun yang semisal (serupa) dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melthat.” (Asy-Syura: 11).

 

Syarah:

 

Perkataan penulis, “Akan tetapi mereka beriman….”

 

Yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui itu dan membenarkan bahwa tidak ada sesuatupun yang semisal dengan Allah, sebagaimana Allah berfirman tentang DiriNya,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (AsySyura: 11).

 

Dalam ayat ini Allah menafikan mumatsalah (DiriNya dimisalkan dengan sesuatu) kemudian menetapkan pendengaran dan penglihatan, Dia menafikan kekurangan lalu menetapkan kesempurnaan, sebab menafikan kekurangan sebelum menetapkan kesempurnaan adalah lebih baik. Oleh karena itu dikatakan dalam pepatah, “Membersihkan diri dahulu sebelum berhias.” Dimulai dulu dengan menafikan kekurangan lalu diikuti dengan menetapkan kesempurnaan.

 

Kata   “Sesuatu” adalah nakirah dalam rangkaian kalimat negatif, maka ia meliputi segala sesuatu, sehingga tidak ada sesuatupun yang semisal dengan Allah selama-lamanya. Makhluk apapun walaupun dia agung, dia tidak semisal dengan Allah. Hal itu karena menyerupai yang kurang berarti kurang, bahkan mencari keunggulan di antara yang kurang dan yang sempurna menjadikan yang sempurna berkurang sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair,

 

Tidakkah kamu melihat baliwa kehebatan pedang itu berkurang

Apabila dikatakan pedang lebih tajam daripada tongkat

 

Seandainya di sini kita katakan bahwa ada sesuatu yang semisal dengan Allah, niscaya hal itu mengurangi kebesaran Allah. Oleh karena itu kami katakan, Allah menafikan dari DiriNya permisalan dengan makhluk, karena hal itu adalah kekurangan dan aib, karena makhluk itu kurang, dan menyerupakan yang sempurna dengan yang kurang menjadikan yang sempurna berkurang, bahkan membandingkan antara keduanya pun adalah suatu kekurangan, kecuali jika dalam posisi menantang, sebagaimana dalam Firman Allah,

 

“Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” (An-NamI: 59).

 

“Katakanlah, ‘Apakah kalian lebih mengetahui ataukah Allah?’.” (Al Baqarah: 140).

 

Firman Allah   “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,” terkandung bantahan yang jelas terhadap golongan mumatstsilah yang menetapkan adanya sesuatu yang semisal (serupa) bagi Allah.

 

Hujjah (dalil) mereka (golongan mumatstsilah) adalah bahwa al Qur’an dengan bahasa Arab, dan apabila ia adalah bahasa Arab, maka Allah berbicara kepada kita dengan apa yang kita pahami, tidak mungkin Dia berbicara kepada kita dengan apa yang tidak kita pahami. Allah telah berbicara kepada kita dan menyatakan bahwa Dia memiliki Wajah, Mata, dua Tangan dan lain-lain, dan kami tidak memahami dari semua itu sesuai dengan bahasa Arab kecuali seperti apa yang kita lihat. Dari sini, maka apa yang ditunjukkan oleh kata-kata tersebut haruslah semisal dengan apa yang ditunjukkan berdasarkan apa yang ada pada makhluk: tanganya tangan, mata ya mata dan wajah ya wajah dan seterusnya. Kami mengatakan hal itu karena kami memiliki dalil.

 

Tidak ada keraguan bahwa ini adalah dalil yang sangat rapuh, kerapuhannya telah dijelaskan sebagaimana pada keterangan sebelumnya di mana tak ada sesuatu pun yang semisal dengan Allah. Kami katakan bahwa Allah berbicara kepada kita dengan sifat-sifat yang Dia sampaikan kepada kita, akan tetapi kita mengetahui dengan keyakinan penuh bahwa sifat itu tergantung pemiliknya. Bukti dari itu adalah realita, unta memiliki tangan dan semut kecil pun memiliki tangan dan tidak seorang pun yang memahami dari tangan yang kita nisbatkan kepada unta adalah sama dengan tangan yang kita nisbatkan kepada semut kecil.

 

Ini pada sesama makhluk, lalu bagaimana jika hal itu termasuk sifat Khaliq? Tentu perbedaannya lebih jelas dan lebih nyata.

 

Dari sini maka pendapat golongan mumatstsilah tersebut ditolak oleh realita sebagaimana ia ditolak oleh dalil naqli.

 

Firman Allah ,

 

“Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syura: 11).

 

Allah menetapkan untuk DiriNya “mendengar” dan “melihat untuk menjelaskan kesempurnaanNya dan kekurangan berhala-berhala yang disembah selain Allah. Berhala-berhala yang disembah selain Allah tidak mendengar, dan kalaupun ia mendengar ia tidak menjawab, serta mereka juga tidak melihat sebagaimana Firman Allah,

 

“Dan (berhala-berhala) yang mereka seru selain Allah, tidak dapat menciptakan sesuatu apa pun, justru berhala-berhala itulah yang diciptakan. (Berhala-berhala itu) adalah benda mati, tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak mengetahui kapankah para penyembahnya akan dibangkitkan.” (An-Nahl. 20-21).

 

Berhala-berhala itu tidak memiliki pendengaran, tidak berakal, dan tidak memiliki penglihatan. Kalaupun misalnya memiliki, ia tidak mampu menjawab doa para penyembahnya,

 

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada selain Allah, yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai Hari Kiamat (sekalipun), dan mereka lalai dari (memerhatikan) doa mereka?” (Al-Ahqaf: 5).

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman kepada tidak adanya permisalan bagi Allah, karena hal tersebut berarti kekurangan, dan mereka menetapkan “mendengar” dan “melihat” bagiNya; berdasarkan Firman Allah,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11).

 

Iman seseorang kepada hal tersebut membuahkan sikap pengagungan tertinggi kepada Allah, karena tidak satu pun makhluk yang semisal denganNya. Maka engkau pun mengagungkan Allah yang tidak tertandingi oleh Siapapun, jika tidak, maka tidak ada guna keimananmu bahwa,  “Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya.”

 

Jika engkau beriman bahwa Allah Maha Mendengar, maka engkau akan menjaga diri dari setiap ucapan yang mengundang murka Allah, karena engkau mengetahui bahwa Dia mendengarmu, dan engkau pun takut kepada azabNya. Semua perkataan yang merupakan kemaksiatan kepada Allah pasti engkau hindari, karena engkau beriman bahwa Dia

 

Maha Mendengar. Jika imanmu tidak memunculkan hal itu, maka ketahuilah sesungguhnya imanmu bahwa Allah Maha Mendengar, adalah iman yang kurang, tanpa ada keraguan.

 

Jika engkau beriman bahwa Dia Maha Mendengar, maka engkau tidak akan berbicara kecuali dengan apa yang Dia ridhai, lebih-lebih jika engkau berbicara tentang syariatNya sebagai mufti atau ustadz; ini jelas lebih berat, karena Allah berfirman,

 

“Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan suatu kebohongan atas Nama Allah untuk menyesatkan orang-orang tanpa ihnu?” Sesunggulinya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang Zhalim.” (Al-An’am: 144).

 

Ini jelas merupakan kezhaliman yang paling zhalim. Oleh karena itu Allah berfirman,

 

“Sesungsuhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Ahqaf: 10).

 

Ini termasuk hukuman bagi orang yang memberi fatwa tanpa ilmu; bahwa dia tidak akan diberi petunjuk, karena dia adalah orang yang zhalim.

 

Berhati-hatilah saudaraku seiman, jangan sampai engkau mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Allah; baik engkau mengatakannya atas Nama Allah atau dalam bentuk lain.

 

Buah iman bahwa Allah Maha Melihat adalah hendaknya engkau tidak melakukan sesuatu yang dimurkai Allah, karena engkau me. mengetahui jika seandainya engkau memandang kepada sesuatu Yang diharamkan sementara orang-orang tidak mengetahui bahwa itu diharamkan, akan tetapi Allah melihat pandangan tersebut dan mengetahui apa yang ada di hatimu,

 

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.” (Al-Mu’min: 19).

 

Jika engkau beriman kepada hal itu, maka tidak mungkin selama, lamanya engkau melakukan sesuatu yang tidak diridhaiNya.

 

Hendaknya engkau merasa malu kepada Allah sebagaimana engkau merasa malu kepada orang yang paling dekat denganmu dan paling engkau hormati.

 

Jika demikian, apabila kita beriman bahwa Allah Maha Melihat, maka kita akan menghindari segala perbuatan yang memicu murka Allah, karena jika tidak, berarti iman kita ini kurang. Kalau ada seseorang berisyarat dengan jarinya, atau bibirnya, atau matanya, atau kepalanya kepada sesuatu yang haram dan orang-orang yang berada di sekitarnya tidak mengetahuinya akan tetapi Allah melihatNya, maka hendaknya orang yang beriman kepadaNya berhati-hati terhadap hal ini. Seandainya kita beriman kepada konsekuensi Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, niscaya kita akan melihat istiqamah yang sempurna pada diri kita. Semoga Allah memberi pertolongan kepada kita semua.

 

Penulis berkata,

 

Mereka tidak menafikan dari Allah Sifat-sifat yang Dia sandangkan pada DiriNya Mereka tidak mengubah (menyelewengkan) perkataan dari tempatnya. Syarah:

 

Perkataan penulis,  “Mereka tidak menafikan dari Allah sifat-sifat yang Dia sandangkan pada diriNya,” yakni Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menafikan dari Allah Sifat-sifat yang Allah sandangkan pada DiriNya, karena dalam hal menetapkan dan menafikan mereka mengikuti dalil. Apa yang Allah sandangkan pada DiriNya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkannya secara hakiki, mereka tidak menafikan dari Allah Sifat-sifat yang Allah sandangkan pada DiriNya; baik Sifat Dzatiyah atau Fi‘liyah (atau Khabariyah).

 

Sifat-sifat Dzatiyah adalah seperti hayat (hidup), kodrat (kuasa), ilmu dan lain-lain. Ia terbagi menjadi Dzatiyah Ma’nawiyah dan Dzatiyah Khabariyah. ia adalah sifat yang bagi kita diberi nama bagian-bagian seperti tangan, wajah dan mata. Sifat-sifat ini diberi nama oleh para ulama dengan Dzatiyah Khabariyah. Dzatiyah, karena ia tidak terpisah dari Dzat Allah, Allah telah dan akan selalu menyandang sifat tersebut. Khabariyah, karena ia diambil dari khabar (dalil naqli), maka akal tidak menunjukkannya. Seandainya Allah tidak menyampaikan kepada kita bahwa Dia memiliki Tangan, niscaya kita tidak mengetahui hal itu, akan tetapi Dia menyampaikannya kepada kita. Lain perkaranya dengan ilmu, pendengaran dan penglihatan, kita bisa mengetahuinya dengan akal kita ditambah petunjuk dalil naqli, Oleh karena itu kita katakan tentang Sifat-sifat seperti ini: tangan, Wajah dan yang sepertinya bahwa la adalah Sifat Dzatiya Khabariyah, dan kita tidak mengatakan bahwa Sifat-sifat itu adalah bagian-bagian dan anggota-anggota tubuh, justru kata-kata seperti inilah harus kita jauhi meskipun apa yang dinamakan dengannya adalah bayian dan anggota badan bagi kita, karena bagian dan anggota adalah apa yang boleh (terjadi secara akal) untuk terpisah dari dzat intinya, dan Allah sama sekali tak dapat diterima akal bahwa salah satu dari Sifat-sifat ini, yang Allah sandangkan pada DiriNya seperti Tangan, bisa hilang (terpisah) dariNya, karena Allah menyandang sifat tersebut sejak zaman azali dan untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, kita tidak katakan bahwa itu adalah bagian dan anggota tubuh.

 

Sedangkan Sifat Fi’liyah adalah Sifat yang berkaitan dengan kehendakNya. Jika Allah berkehendak maka Dia melakukannya. Jika Dia tidak berkehendak, maka Dia tidak melakukannya. Dan telah kami jelaskan bahwa di antara Sifat Fi’liyah terdapat sifat yang memiliki sebab. Ada pula yang tidak memiliki sebab dan ada juga yang merupakan Sifat Dzatiyah Fi’liyah bersamaan.

 

Perkataan penulis,   “Mereka tidak mengubah (menyelewengkan) perkataan dari tempatnya.”

 

Kata ( ) adalah isim, jamak dari ( ), maksudnya adalah Firman Allah dan sabda RasulNya. Mereka (Ahlus Sunnah) tidak mengubah, nya dari tempatnya, yakni dari makna-makna yang ditunjukkannya Misalnya Firman Allah , 

 

“(Tidak demikian), tetapi kedua Tangan Allah terbuka.” (Al-Ma‘idah: 64)

 

Mereka (Ahlus Sunnah) berkata, Ia adalah “Tangan” hakiki yang Allah tetapkan untuk DiriNya; tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Lain halnya dengan para penganut tahrif, di mana mereka berkata, Tangan adalah kekuatanNya atau nikmatNya. Ahlus Sunnah wal Jama’ah memban, tah mereka dengan mengatakan bahwa kekuatan adalah sesuatu dan tangan adalah sesuatu yang lain. Nikmat adalah sesuatu dan tangan adalah sesuatu yang lain. Ahlus Sunnah wal Jama’‘ah tidak mengubah (menyelewengkan) Firman Allah dari tempatnya, karena falirif (menyelewengkan makna Firman Allah) adalah karakter orang-orang, Yahudi,

 

“(Yaitu) di antara orang-orang Yahudi, yang mengubah kata-kata (Firman Allah) dari tempat-tempatnya.”(An-Nisa’: 46).

 

Siapa pun yang mentahrif nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, maka dia memiliki kemiripan dengan orang-orang Yahudi. Jauhilah hal ini, jangan sampai engkau menyamakan dirimu dengan orang-orang yang dimurkai, yang di antara mereka ada yang telah Allah jadikan kera, babi, dan penyembah thaghut. Jangan sekali-kali menyelewengkan Firman Allah dan sabda Nabi   akan tetapi tafsirkanlah sebagaimana yang dikehendaki Allah dan RasulNya.

 

Imam asy-Syafi’i berkata, “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah sesuai dengan yang diinginkan Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan yang diinginkan oleh Rasulullah .”

 

Penulis berkata, 

 

Mereka tidak melakukan penyimpangan (ilhad) pada Nama-nama (Asma’) dan Ayat-ayat Allah.

 

Syarah:

 

Perkataan penulis, “Mereka tidak melakukan penyimpangan (ilhad)…,” yakni (mereka) Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Makana ilhad secara bahasa adalah kecondongan. Liang di lubang kubur dinamakan liang lahad karena ia miring di satu sisi, bukan di tengah. Kalau yang ditengah dinamakan lubang, dan liang lahad lebih baik daripada sekedar lubang.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melakukan ilhad (pengingkaran) pada Nama-nama Allah, dan mereka juga tidak melakukan itu kepada ayat-ayat Allah. Syaikhul Islam memberikan faidah kepada kita bahwa ilhad terjadi pada dua hal: Pada Nama-nama Allah dan pada ayat-ayat Allah.

 

Apa yang dikatakan oleh penulis ini ditopang oleh al-Qur’an. Firman Allah ,

 

“Dan Allah memilikit Asma’ul Husna, maka berdoalah (memohon) kepadaNya dengan (menyebut)nya, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam Nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat alasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180).

 

Di sini Allah menetapkan adanya ilhad (penyimpangan yang dilakukan) terhadap Nama-namaNya.

 

Dan Firman Allah

 

“Sesungguhnya orang-orang yang ilhad (mengingkari) ayat-ayat Kami, eka tidak tersembunyi dari Kami.”(Fushshilat: 40).

 

Allah menetapkan adanya ilhad terhadap ayat-ayatNya.

 

Ilhad pada Nama-nama Allah, maksudnya adalah melakukan Penyimpangan padanya dari apa yang semestinya. Ilhad (penyimpangan) memiliki beberapa bentuk:

 

Bentuk pertama: Memberi nama untuk Allah dengan nama yang tidak Allah sandangkan pada DiriNya, sebagaimana orang-orang filsafat menamakanNya dengan “illat a’ilah (ansur yang aktif)”, Orang. orang Nasrani menamakan Allah dengan “Tuhan bapak” dan ” Nap; Isa adalah anak Allah “, ini adalah bentuk ilhad (penyimpangan) pada Nama-nama Allah. Begitu pula seandainya AHah diberi nama dengan nama apa pun yang tidak Dia sandangkan pada DiriNya. Pelakunya adalah mulhid (orang menyimpang) pada Nama-nama Allah.

 

Dalil dari keterangan ini adalah bahwa Nama-nama Allah bersifat tauqifiyah (hanya didasari al-Qur’an dan as-Sunnah) dalam arti, kita tidak bisa menetapkan nama untukNya, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh dalil. Jika engkau menamakan Allah dengan sesuatu yang tidak Dia sandangkan pada DiriNya, maka engkau telah condong dan menyimpang dari yang wajib.

 

Menamakan Allah dengan nama yang tidak Dia sandangkan pada DiriNya adalah kekurangajaran terhadapNya, kezhaliman dan pelanggaran terhadap hakNya; Karena jika ada orang yang memberimu nama atau memanggilmu bukan dengan namamu tentulah engkau menganggapnya telah berbuat lancang dan zhalim kepadamu. Ini terhadap makhluk, maka bagaimana terhadap Sang Khaliq (Pencipta)?

 

Jadi engkau tidak memiliki otoritas dalam memberi nama kepada Allah dengan nama yang tidak Dia sandangkan pada DiriNya. Jika engkau melakukan itu, berarti engkau mulhid (menyimpang).

 

Bentuk kedua: Mengingkari sesuatu dari Nama-nama Allah. Kebalikan dari yang pertama, di mana ia memberi nama kepada Allah dengan nama yang tidak Allah sandangkan pada DiriNya. Ini mempreteli Nama-nama Allah, yang Allah sandangkan pada DiriNya. Dia mengingkari Nama Allah, baik sebagian atau keseluruhan, jika dia telah mengingkari, berarti dia seorang mulhid.

 

Mengapa sikap ini termasuk ilhad (penyimpangan)? Karena manakala Allah menetapkan Nama-nama tersebut untuk DiriNya, maka kita pun wajib menetapkannya untukNya, jika kita menafikannya, maka itu penyelewengan dan penyimpangan dari apa yang diwajibkan.

 

Ada orang yang mengingkari Nama-nama Allah seperti kelompok ekstrim Jahmiyah. Mereka berkata, “Allah tidak memiliki nama apa pun, karena jika engkau menetapkan nama bagi Allah, berarti engkau menyamakanNya dengan segala macam yang ada.” Jelas ini adalah pendapat yang batil yang tidak dapat diterima.

 

Bentuk ketiga: Mengingkari sifat yang ditunjukkan oleh Nama Allah. Kelompok ini menetapkan nama, akan tetapi dia mengingkari sifat yang dikandung oleh nama tersebut. Misalnya dia berkata, “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar tanpa pendengaran, Maha Mengetahui tanpa ilmu, Pencipta tanpa penciptaan, Maha berkuasa tanpa kekuasaan.” Pendapat ini terkenal dari kalangan Mu’tazilah. Sebuah pendapat yang tidak masuk akal.

 

Kemudian mereka menjadikan nama sekedar simbol yang berbeda-beda. Kata mereka: Yang Maha Mendengar lain dengan yang Maha Mengetahui, tetapi keduanya tidak memiliki makna. Maha mendengar tidak menunjukkan pendengaran, Maha Mengetahui tidak menunjukkan ilmu. Ia hanya simbol.

 

Di antara mereka ada pula yang berkata, Nama-nama tersebut adalah sesuatu yang satu. Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan Maha Melihat adalah satu. Perbedaannya hanyalah susunan hurufnya. Pendapat ini menjadikan Nama-nama Allah yang berbeda-beda adalah satu.

 

Semua itu tidak masuk akal. Oleh karena itu kami (Ahlus Sunnah) berkata, ‘”Tidak mungkin sah iman kepada Nama-nama Allah sebelum engkau menetapkan Sifat-sifat yang dikandungnya.”

 

Dari sini, ada baiknya jika kami menjelaskan tentang dalalah (petunjuk dalil) dari Nama Allah, karena sebuah Nama Allah memiliki tiga bentuk dalalah: dalalah muthabaqah, dalalah tadhammun, dan dalalah iltizam.

 

  1. Dalalah al-Muthabagqah adalah petunjuk lafazh atas seluruh kandungan maknanya. Dari sini, maka setiap nama menunjukkan kepada yang menyandang nama itu, yaitu Allah dan menunjukkan pula kepada sifat yang dikandung oleh nama tersebut.

 

  1. Dalalah at-Tadhammun adalah petunjuk lafazh atas sebagian kandungan maknanya. Berdasarkan ini, maka petunjuk nama untuk dzat saja atau untuk sifat yang dikandungnya saja, termasuk dalalah tadhammun.

 

  1. Dalalah al-Iltizam adalah petunjuk lafazh atas suatu Maka yang dipahami, yang tidak dari lafazh itu sendiri, akan tetapi dari konsekuensinya. Oleh Karena itu ia kami namakan dalalah iltizam.

 

Seperti kata  “Pencipta”, adalah nama yang menunjukkan pada Dzat Allah dan menunjukkan pula sifat “Menciptakan”.

 

Kalau melihat kepada kedua makna sekaligus, maka ia dalatay miuthabagalt karena kata tersebut menunjukkan seluruh maknanya, tanps keraguan. Jika engkau berkata, “Khalig (Pencipta)”, maka engkau akan memahami… Pencipta dan penciptaan.

 

Kalau melihat hanya kepada Khaliq (Pencipta) saja, atau hanya, kepada penciptaan saja, maka ia adalah dalalah tadhammun, karena jg hanya menunjukkan sebagian maknanya, dan kalau melihat kepada, ilmu dan kuasa, maka ia adalah dalalah iltizam karena penciptaan tidak mungkin terjadi tanpa ilmu dan kuasa. Jadi dalalah (petunjuk) Penciptaan kepada ilmu dan Kuasa adalah dalalah iltizam.

 

Jelaslah dengan ini bahwa jika seseorang mengingkari satu dari ketiga dalalah ini, maka dia adalah orang yang menyimpang (mulhia) dalam Nama-nama (Asma’) Allah.

 

Jika dia berkata, Aku beriman bahwa Khaliq menunjukkan Dzat Tapi aku tidak beriman bahwa ia menunjukkan sifat, maka dia mulhid dalam Nama-nama Allah.

 

Jika dia berkata, Aku beriman bahwa Khaliq menunjukkan Dzat Allah dan Sifat mencipta, akan tetapi Khaliq tidak menunjukkan Sifat ilmu dan Kuasa, maka kami katakan bahwa ini juga ilhad. Wajib bagi kita menetapkan segala apa yang ditunjukkan oleh Nama Allah ini. Mengingkari Sifat yang dikandung oleh Nama ini berarti ilhad pada Nama tersebut, baik dalalahnya kepada sifat tersebut dalalah muthabagah atau tadhamun atau iltizam.

 

Agar ketiga bentuk dalalah (petunjuk makna dalil) ini bisa lebih dipahami maka kami menurunkan sebuah contoh konkrit. Kalau engkau berkata, “Aku mempunyai rumah.” Kata ‘rumah’ mengandung ke tiga kandungan makna (dalalah) di atas. Engkau memahami dari kata ‘rumah’ adalah seluruh rumah. Ini adalah dalalah muthabaqah. Jika kata rumah menunjukkan ruang tamu secara tersendiri, menunjukkan kamar mandi secara tersendiri, menunjukkan ruang Keluarga secara tersendiri; maka ini adalah dalalah tadhammun, karena semua itu adalah bagian dari rumah dan pemakaian kata untuk sebagian dari maknanya adalah dalalah tadhammun. Dan kata rumah menunjukkan adanya orang yang membangunnya. Ini adalah dalalah iItizam karena tidak ada satu rumah pun kecuali ada yang membangunnya.

 

Bentuk keempat dari bentuk ilhad (pengingkaran) atas Nama-nama Allah; adalah menetapkan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, akan tetapi diikuti dengan tamtsil, yakni dia mengatakan bahwa Allah memiliki penglihatan seperti penglihatan kita, memiliki ilmu seperti ilmu kita dan ampunan seperti ampunan kita dan sebagainya. Ini juga ilhad, karena telah menyeleweng dari apa yang semestinya, karena yang semestinya adalah menetapkan Nama-nama dan Sifat-sifat tanpa tamtsil (tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk).

 

Bentuk kelima: Mengalihkan Nama-nama Allah untuk makhluk-makhluk yang dipertuhankan selain Allah atau mengambil pecahan kata dari nama-nama tersebut lalu makhluk-makhluk yang dipertuhankan selain Allah diberi nama dengannya. Seperti menamakan sesuatu yang disembah dengan ilah (sesembahan). Ini adalah ilhad, atau ia diberi nama yang bersumber dari Nama Allah seperti lata dari al-Ilah, nama uzza dari al-Aziz dan manat dari al-Manan. Kami katakan, Ini juga termasuk ilhad pada Nama-nama Allah, karena yang wajib bagimu adalah menjadikan Nama-nama Allah hanya khusus untuk Allah, tidak lebih dari itu dengan memberikan Nama-nama Allah kepada sesembahansesembahan lain selain Allah.

 

Ini adalah bentuk-bentuk ilhad (keingkaran) pada Nama-nama Allah.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melakukan ilhad pada Nama-nama Allah selama-lamanya. Mereka memahaminya sesuai dengan apa yang diinginkan Allah. Mereka menetapkan bagi Nama-nama tersebut ketiga bentuk dalalah (petunjuk makna dalil) di atas, karena menurut mereka apa yang menyelisihi hal itu adalah ilhad (penyimpangan).

 

Adapun ilhad pada ayat-ayat Allah, maka yang dimaksud dengan ayat adalah tanda yang membedakan sesuatu dari yang lainnya. Allah mengutus para rasul dengan membawa ayat-ayat, bukan mukjizat. Oleh karena itu mengungkapkan dengan ‘ayat’ adalah lebih baik daripada ‘mukjizat’, karena:

 

Pertama: Al-Qur’an dan as-Sunnah menggunakan kata ‘ayat’.

 

Kedua: Mukjizat bisa terjadi dari penyihir, tukang sulap, dan orang, yang sepertinya karena mukjizat itu dari kata “membuat orang tidak mampu” melakukan hal yang sama.

 

Ketiga: Kata “ayat” lebih pas dari segi makna daripada mukjizat Ayat Allah adalah tanda-tanda yang menunjukkan Allah, jadi ia khusy, untukNya, kalau ia tidak khusus untukNya, maka ia bukan ayatNya

 

Ayat Allah terbagi menjadi dua bagian: Ayat Kauniyah dan Ayat Syar’iyah.

 

Ayat Kauniyah adalah: yang berkaitan dengan penciptaan dan pembentukan. Contohnya adalah Firman Allah, 

 

“Dan di antara ayat-ayatNya adalah malam, siang, matahari dan bulan,. (Fushshilat: 37).

 

“Dan di antara ayat-ayatNya adalah Dia menciptakan kalian dari tanah, kemudian tiba-tiba kalian (menjadi) manusia yang berkembang biak.” (Ar. Rum: 20).

 

“Dan di antara ayat-ayat (kebesaran)Nya adalah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa kalian dan warna kulit kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat ayat-ayat (kebesaran Allah) bag! orang-orang yang mengetahui. Dan di antara ayat-ayat (kebesaran)Nya adalah tidur kalian pada waktu malam dan siang hari dan usaha kalian mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat ayat-ayat (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mendengarkan.

 

Dan di antara ayat-ayat (kebesaran)Nya adalah Dia memperlihatkan kilat kepada kalian untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering)nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat ayat-ayat (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti. Dan di antara ayat-ayat (kebesaran)Nya adalah berdirinya langit dan bumi dengan ketetapan (kehendak)Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kalian dengan sekali panggil dari bumi, seketika itu kalian keluar (dari kubur).” (Ar-Rum: 22-25).

 

Ini adalah ayat-ayat kauniyah, kalau engkau mau maka engkau bisa mengatakan kauniyah qadariyah. Ini adalah ayat-ayat Allah, karena tidak seorang pun makhluk yang mampu melakukannya. Misalnya tidak seorangpun yang mampu menciptakan seperti matahari dan rembulan, ia tidak mampu menghadirkan malam setelah siang atau siang setelah malam. Semua ini adalah ayat-ayat kauniyah.

 

Ilhad (penyimpangan) padanya adalah dengan menyandarkannya kepada selain Allah, baik secara total atau berserikat, atau partisipatif. Seperti seseorang berkata, “Ini karena wali fulan”, atau “karena nabi fulan”, atau “nabi fulan ikut berperan padanya”, atau “wali fulan berserikat dengan Allah dalam hal ini”, atau “dia berpartisipasi bersama Allah dalam hal ini”. Allah berfirman,

 

“Katakanlah (wahai Muhammad) Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai tuhan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah sekalipun di langit maupun di bumi, dan mereka sama sekali tidak mempunyai peran serta dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan (bahkan) tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagiNya.” (Saba’: 22).

 

Allah menafikan segala sesuatu yang dijadikan tempat bergantung oleh orang-orang musyrik, karena sesembahan-sesembahan mereka tidak memiliki apa pun di langit dan di bumi, baik secara murni, berserikat atau partisipasi bersama Allah.

 

Kemudian Allah menghadirkan yang keempat,

 

“Dan syafa’at (pertolongan dengan perantaraan) di sisiNya hanya berguna bagi orang yang telah Dia izinkan (untuk memperoleh syafa’at itu).”(Saba’: 23)

 

Karena tidak menutup kemungkinan mereka akan berkata, Benar, bahwa berhala-berhala ini tidak memiliki, tidak berpartisipasi, dan tidak membantu, akan tetapi mereka adalah pemberi syafa’at, Maka Allah membantah mereka,

 

“Dan syafa’at (pertolongan dengan perantaraan) di sisiNya hanya berguna bagi orang yang telah Dia izinkan (untuk memperoleh syafa’at itu).”

 

Dengan demikian, Allah telah memutus segala sebab yang dijadi. kan pegangan oleh orang-orang musyrik.

 

Bagian kedua dari ayat-ayat Allah adalah ayat-ayat syar’iyah. ia adalah wahyu yang dibawa oleh para rasul  seperti al-Qur’an yang agung, ia adalah ayat berdasarkan Firman Allah ,

 

“Itulah ayat-ayat Allah, Kami membacakannya kepadamu dengan benar dan engkau (wahai Nabi) benar-benar seorang di antara para rasul.” (Al-Baqarah: 252).

 

“Dan mereka (orang-orang kafir) berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dart Tuhannya?’ Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Aku hanya seorang pemberi peringatan yang jelas.’ Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur-an) yang dibacakan kepada mereka?” (Al-Ankabut: 50-51).

 

Di sini Allah menyatakannya sebagai ayat-ayat.

 

Ilhad (penyimpangan) pada ayat-ayat syar’iyah, bisa dengan mendustakannya atau mengubahnya atau menyelisihinya. Mendustakannya; seperti misalnya dia berkata, “Ia bukan dari Allah.” Dia mendustakannya secara total atau dia mendustakan berita yang dikandungnya meski dia tetap membenarkan pokoknya. Misalnya dia mengatakan bahwa kisah Ashhabul Kahfi tidak benar, kisah pasukan gajah tidak benar, Allah tidak mengutus burung ababil kepada mereka.

 

Adapun mengubahnya (talrif); maka ia dengan mengubah lafazhnya atau membelokkan maknanya dari apa yang diinginkan Allah dan RasulNya; seperti dia berkata, ( )   maknanya: Allah menguasai Arasy, dan Allah turun ke langit dunia, maknanya: perintah Allah turun.

 

Adapun menyclisihinya; adalah dengan meninggalkan perintah-perintah atau melakukan larangan-larangan.

 

Allah  berfirman tentang Masjidil Haram,

 

“Dan orang yang bermaksud melakukan penyimpangan dari kebenaran secara Zhalim di dalamnya, niscaya Kami membuatnya merasakan sebagian siksa yang pedih.” (Al-Hajj: 25).

 

Semua kemaksiatan berarti ilhad terhadap ayat-ayat syar’iyah, karena ia sama dengan keluar dari apa yang wajib untuknya, di mana yang wajib bagi kita adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, jika kita tidak melaksanakan, maka itu berarti tlhad.

 

Penulis berkata,

 

Mereka (Ahlus Sunnah) tidak melakukan takyif, mereka tidak melakukan tamtsil terhadap Sifat-sifatNya dengan sifat-sifat makhlukNya, karena Allah Mahasuci tidak ada yang semisal denganNya, tidak ada yang setara denganNya, tidak ada tandingan bagiNya, dan Dia  tidak diqiyaskan dengan makhlukNya.

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,  “Mereka tidak melakukan takyif,”

 

yakni mereka Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan telah dijelaskan bahwa takyif adalah menyebutkan bentuk dan cara suatu sifat, baik engkau menyatakannya dengan lidahmu atau dengan hatimu. Yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berkata, ‘Bentuk Tangan Allah adalah begini dan begini,” tidak pula berkata, “Bentuk Wajahnya adalah begini dan begini.” Mereka tidak menentukan bentuk dan caranya dengan lida dan tidak juga dengan hati. Artinya jiwa seseorang tidak membayangkan cara Allah bersemayam, atau cara Allah turun, atau bentuk Wajah Nya, atau bentuk TanganNya. Mencoba pun tidak boleh, Karena hal itu menggiring kepada satu dari dua perkara: tanitsil (memisalkan Allah, atau ta’thil (mengingkari Sifat Allah).

 

Oleh karena itu, seseorang tidak boleh berusaha untuk mengetahui bagaimana cara bersemayam Allah di atas Arasy, atau mengatakannya dengan lisannya, bahkan dia tidak boleh bertanya tentang Caranya karena Imam Malik  berkata, “Bertanya tentangnya adalah bid’ah: Janganlah engkau mengatakan, “Bagaimana Allah bersemayam? Bagaimana Allah turun? Bagaimana Allah datang? Bagaimana wajahNya Jika engkau melakukan hal itu, maka kami akan mengatakan, “Sesungguhnya kamu adalah ahli bid’ah.” Sebelumnya telah disinggung mengenai dalil haramnya takyif, dan kami telah menyebutkan dalil hal itu dari syariat dan akal.

 

Perkataan penulis,  “Mereka tidak melakukan tamtsil.” Yakni, mereka Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak memisalkan Sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhlukNya. Ini adalah maksud perkataan penulis sebelumnya “tanpa tamitsil”. Dan telah kami jelaskan mustahilnya memisalkan Sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk dengan dalil naqli dan aqli, dan bahwa telah hadir dalil naqli, baik dalam bentuk berita maupun perintah yang menafikan tamtsil. Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melakukan takyif (mereka tidak menentukan bentuk dan cara Sifat-sifat Allah) dan tamtsil (mereka tidak memisalkan Sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk).

 

Perkataan penulis,   “Karena Allah Mahasuci.”

 

Kata ( ) adalah isim mashdar dari kata kerja ( ), mashdarnya adalah ( ); jadi ( ) berarti ( ) bukan dengan lafazhnya, semua kata yang menunjukkan mashdar tidak dengan lafazhnya ia adalah isim mashdar seperti kata ( ) dari ( ), kata ( ) dari ( ) dan kata ( ) dari( ).i’rabnya adalah sebagai maful muthlaq yang manshub, karena ia sebagai maful muthlaq dan amil (pelaku yang menjadikannya manshub) tidak disebutkan secara permanen.

 

Makna ( ), para ulama berkata, Maknanya adalah “menyucikan,” asalnya dari ( ), yakni “jauh,” seolah-olah engkau menjauhkan sifat kekurangan dari Allah, karena Dia tersucikan dari segala kekurangan.

 

Perkataan penulis,   “Tidak ada yang semisal denganNya.” Dalilnya adalah Firman Allah

 

“(Dia-lah) Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam beribadah kepadaNya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang serupa dengan Dia (yang patut disembah) ?” (Maryam: 65).

 

Kata   adalah pertanyaan, akan tetapi ia mengandung makna menafikan. Nafi (peniadaan) yang berbentuk kata tanya mengandung faidah yang besar, yaitu tantangan; karena terdapat perbedaan antara ucapan Allah tidak memiliki saingan dengan  “Apakah kamu mengetahui ada seorang yang serupa dengan Dia (yang patut disembah)?” Karena  mengandung penafian dan tantangan sekaligus, ia mengisyaratkan makna tantangan. Ini adalah kaidah penting:

 

Setiap pertanyaan yang mengandung makna penafian berarti tantangan. Seolah-olah aku berkata, “Kalau kamu benar, maka datangkanlah yang sama (semisal) bagi Allah.”

 

Jadi   lebih mendalam (dan mantap) daripada “tidak ada yang sama denganNya.” adalah (), yaitu yang menyerupai.

 

Perkataan penulis,   “Tidak ada yang setara denganNya.” Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 4).

 

Perkataan penulis,   “Dan tidak ada tandingan (sekutu) bagiNya.” Dalilnya adalah Firman Allah,

 

“Karena itu, janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 22).

 

Maksudnya, engkau mengetahui bahwa Dia tidak memiliki tangan, dan tandingan maknanya adalah yang sebanding.

 

Ketiga hal ini -yang sama, yang setara, tandingan maknanya sangat berdekatan, karena makna kufu’ adalah yang setara dengannya, dan sesuatu tidak setara dengan sesuatu yang lain, kecuali jika ia semisalnya, jika tidak, maka tidak setara. Jadi tidak ada yang setara, yakni tidak ada yang semisal dengan Allah.

 

Maksud dari peniadaan (Nafi) ini adalah kesempurnaan Sifat, sifatNya, karena begitu sempurna SifatNya sehingga tidak ada yang semisal denganNya.

 

Perkataan penulis, “Dan Dia  tidak diqiyaskan dengan makhlukNya.” Qiyas terbagi menjadi tiga bagian: qiyag syumul, qiyas tamtsil dan qiyas aulawiyah. Allah   tidak diqiyaskan dengan makhlukNya dengan dua qiyas yang pertama.

 

  1. Qiyas syumul: la dikenal dengan Am (yang umum) yang mencakup seluruh satuan-satuannya, di mana setiap satuan darinya masuk ke dalam lafazh tersebut dan maknanya, misalnya: jika kita berkata, Hayat (hidup), maka hidupnya Allah tidak diqiyaskan dengan hidup. nya makhluk, hanya karena keduanya sama-sama hidup.

 

  1. Qiyas tamtsil, yaitu mengindukkan sesuatu dengan yang semisal dengannya, apa yang ditetapkan bagi Khaliq ditetapkan pula bag; makhluk.

 

  1. Qiyas aulawiyah, yaitu qiyas di mana cabangnya lebih berhak terhadap hukum tersebut daripada pokoknya. Dari sini para ulama berkata, qiyas yang ketiga ini digunakan terkait dengan hak Allah, ber. dasarkan Firman Allah,

 

“Dan Allah mempunyai Sifat Yang Mahatinggi.” (An-Nahl: 60).

 

Artinya, pada setiap sifat kesempurnaan, maka Allah memiliki yang paling tinggi. Pendengaran, ilmu, kuasa, hidup, bijak, dan lain-lain dimiliki makhluk, akan tetapi yang dimiliki Allah adalah yang paling tinggi dan paling sempurna.

 

Oleh karena itu terkadang kita berdalil dengan dalil agli dari sisi qiyas aulawiyah. Sebagai contoh; kita berkata, “Al-Uluw (ketinggian) adalah sifat kesempurnaan pada makhluk.” Jika ia adalah sifat kesempurnaan bagi makhluk, maka tentu lebih-lebih bagi Allah. Begitulah yang selalu kita dapati dalam ucapan para ulama.

 

Karena itu, perkataan penulis matan (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah), “Allah tidak diqiyaskan dengan mahklukNya,” setelah ucapannya, “Tidak ada yang semisal denganNya, tidak ada yang setara denganNya, dan tidak ada tandingan bagiNya,” maksudnya adalah giyas yang menuntut kesamaan, yaitu qiyas syumul dan qiyas tamtsil.

 

Jadi, qiyas antara Allah dengan makhluk tidaklah mungkin, karena perbedaan yang jauh di antara keduanya. Jika di dalam hukum kita tidak menqiyaskan yang wajib dengan yang mubah atau sebajiknya, maka lebih-lebih dalam perkara sifat antara Allah Yang Maha Mencipta dengan makhluk.

 

Kalau ada yang berkata kepadamu, “Allah ada dan manusia juga ada, keberadaan Allah seperti keberadaan manusia; berdasarkan qiyas ini.”

 

Maka kami katakan, Itu tidak benar, karena keberadaan Allah Yang Maha Mencipta adalah wajib, sedangkan keberadaan makhluk adalah mungkin.

 

Kalau dia berkata, Aku mengqiyaskan pendengaran Allah dengan pendengaran makhluk.

 

Kami katakan: Tidak mungkin, pendengaran Khaliq adalah wajib bagiNya, tidak tersusupi kekurangan, ia meliputi segala sesuatu. Sedangkan pendengaran manusia adalah mungkin, karena bisa saja seseorang dilahirkan dalam keadaan tuli, dan yang dilahirkan dengan pendengaran tetapi disertai kekurangan dalam daya pendengarannya dan pendengarannya terbatas.

 

Jadi tidak mungkin mengqiyaskan Allah dengan makhlukNya. Semua Sifat-sifat Allah tidak mungkin diqiyaskan dengan sifat-sifat makhlukNya karena perbedaan yang besar antara Allah Yang Maha Pencipta dengan makhluk.

 

Penulis berkata

 

Karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui tentang DiriNya, dan (tentang) selainNya, lebih benar perkataanNya dan lebih baik pembicaraanNya ketimbang makhlukNya.

 

Syarah:

 

Di sini penulis berkata demikian sebagai pembuka dan pengantar bagi kewajiban menerima Sifat-sifat Allah dan lainnya yang ditunjukkan oleh FirmanNya. Hal itu karena apa yang ditunjukkan oleh berita wajib diterima jika ia memiliki empat kriteria.

 

Pertama, jika ia didasari dengan ilmu, ini diisyaratkan oleh penulis dengan ucapannya,   “karena Allah lebih mengetahui tentang DiriNya dan selainNya.”

 

Kedua, kejujuran, ini diisyaratkan oleh perkataan penulis,   “paling jujur perkataanNya.”

 

Ketiga, jelas dan fasih, ini diisyaratkan oleh perkataan penulis,   “paling baik pembicaraanNya.”

 

Keempat, selamatnya maksud dan keinginan, di mana pembawa berita ingin memberi petunjuk kepada orang yang disampaikannya berita tersebut.

 

Dalil kriteria yang pertama yaitu ilmu, adalah Firman Allah 

 

“Dan Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang (ada) di langit dan di bumi. Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain).” (Al-Isra’: 55).

 

Maka Allah lebih mengetahui tentang DiriNya dan selainNya daripada selainNya. Dia lebih mengetahui dirimu daripada engkau sendiri, karena Dia mengetahui apa yang akan terjadi padamu di masa datang, sedangkan engkau sendiri tidak mengetahui apa yang engkau dapatkan esok hari.

 

Kata “paling mengetahui” pada dasarnya adalah tsim tafdhil, sebagian ulama menghindarinya dan menafsirkan  dengan   “mengetahui,” maka dia mengatakan tentang Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dia-lah pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125); bahwa yang dimaksud dengan ( ) di sini adalah ( ), yakni Dia mengetahui tentang orang yang sesat dari jalanNya dan Dia mengetahui tentang orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Katanya, karena ( ) yang merupakan isim tafdhil berkonsekuensi kepada kesetaraan -pada level tertentu antara yang diunggulkan dengan yang diungguli. Ini tidak boleh pada hak Allah, akan tetapi ( ) adalah isim fa’il, ia tidak menunjukkan perbandingan dan pengunggulan.

 

Kami katakan kepadanya, Ini keliru, karena Allah sendiri yang mengungkapkan tentang DiriNya dengan  “paling mengetahui” sedangkan engkau mengatakan ( ). Jika kita menafsirkan (  ) dengan ( ), maka kita telah mengurangi derajat ilmu Allah karena ( ) juga dimiliki oleh selain Allah secara sama, akan tetapi ( ) berkonsekuensi kepada tidak adanya seorang pun yang menyamaiNya dalam ilmu tersebut, jadi dia ( ) daripada semua yang mengetahui, dan tanpa ragu ini lebih sempurna dalam mengungkapkan Sifat Allah.

 

Kami tambahkan, bahwa isim fa’il dalam bahasa Arab tidak menghalangi kesamaan dalam sifat, lain halnya dengan isim tafdhil, ia menolak kesamaan dalam makna yang ditunjukkannya.

 

Kami tambahkan lagi, dalam perbandingan, tidak mengapa kita mengatakan “paling mengetahui”, yakni engkau menghadirkan isim tafdhil meskipun yang diungguli sama sekali tidak mengandung makna tersebut; sebagaimana Firman Allah

 

“Penghuni-penghuni surga pada han itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (Al-Furqan: 24). Ayat ini memakai isim tafdhil   “paling baik,” padahal yang diungguli, yaitu penduduk neraka tidak memiliki kebaikan sedikitpun.

 

Dalam konteks membantah dan mendebat musuh, kita bisa meng. hadirkan isim tafdhil walaupun yang diungguli sama sekali tidak memiliki makna yang dibandingkan. Firman Allah

 

“Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” (An-Naml: 59).

 

Dan sudah jelas bahwa apa yang mereka sembah tidak memiliki kebaikan apa pun. Nabi Yusuf  berkata,

 

“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf: 39).

 

Padahal tiada kebaikan pada tuhan-tuhan lain itu.

 

Kesimpulannya, kami katakan bahwa maksud dari ( ) yang tercantum di dalam Kitabullah adalah maknanya yang sebenarnya. Barangsiapa menafsirkannya dengan ( ), maka dia telah keliru dari segi makna dan bahasa Arab.

 

Dalil kriteria kedua, yaitu kejujuran, adalah Firman Allah,

 

“Dan siapakah yang lebih jujur (benar) perkataannya daripada Allah?” (An-Nisa’: 122).

 

Yakni, tidak ada yang lebih jujur (benar) daripada Allah. Kejujuran adalah kesesuaian antara perkataan dengan kenyataan. Tidak ada sesuatu pun dari perkataan yang sesuai dengan kenyataan seperti kesesuaian perkataan Allah dengan kenyataan. Semua yang diberitakan Allah adalah jujur bahkan paling jujur (benar) daripada semua perkataan.

 

Dalil kriteria ketiga, yaitu kejelasan dan kefasihan adalah Firman Allah,

 

“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (An-Nisa’: 87), kebaikan pembicaraan mengandung kebaikan lafazh sekaligus makna.

 

Dalil kriteria keempat, yaitu selamatnya maksud dan keinginan adalah Firman Allah ,

 

“Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat.” (An-Nisa’ : 176).

 

“Allah hendak menerangkan  (syariatNya) kepada kalian, dan menunjukkan jalan-jalan (kehidupan) orang yang sebelum kalian (para nabi dan orang-orang shalih) dan Dia menerima taubat kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa’: 26).

 

Keempat kriteria ini terkumpul pada Firman Allah, yang dengan itu mengharuskan diterimanya berita dariNya.

 

Jika memang demikian, maka kita wajib menerima Kalamullah seperti apa adanya. Hendaknya kita tidak meragukan apa yang ditunjukkan olehnya, karena Allah tidak berbicara dengan ucapanNya untuk menyesatkan manusia, justru untuk menjelaskan dan memberi petunjuk kepada mereka. Firman Allah tentang DiriNya atau tentang selainNya di mana Dia adalah yang paling mengetahui di antara yang berkata-, tidak mungkin disusupi unsur yang menyalahi kejujuran, ia tidak mungkin berbelit-belit dan tidak fasih. Seandainya jin dan manusia bersatu untuk menghadirkan ucapan seperti Firman Allah, niscaya mereka tidak akan mampu. Jika empat kriteria ini terkumpul pada suatu perkataan, maka pendengarnya wajib menerima apa yang ditunjukkannya.

 

Contohnya, Firman Allah   kepada iblis,

 

“Apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua TanganKu?” (Shaad: 75).

 

Seseorang berkata, Ayat ini menetapkan dua Tangan bagi Allah, yang dengan keduanya Dia menciptakan siapa yang Dia kehendaki, maka kita pun menetapkan keduanya, karena Firman Allah berdasar kepada ilmu dan kejujuran (kebenaran), FirmanNya adalah perkataan paling baik, paling fasih, dan paling jelas. Tidak mungkin Dia tidak memiliki dua Tangan, tetapi Dia ingin orang-orang meyakini hal itu padaNya Seandainya memang begitu niscaya ia berkonsekuensi bahwa alQuran adalah suatu kesesatan, yang mana ia menghadirkan Sifat Allah yang justru tidak ada pada Allah, dan ini mustahil. Jika memang demikian maka engkau harus beriman bahwa Allah memiliki dua Tangan yang dengan keduanya Dia menciptakan Adam.

 

Jika engkau berkata: Yang dimaksud dengan dua Tangan Allah adalah nikmat atau kuasa (kodrat).

 

Jawaban: Tidak mungkin itu yang dimaksud, kecuali jika engkau berani bersikap lancang dengan menyifati FirmanNya dengan kriteria yang berlawanan dengan keempat kriteria di atas yang telah kami jelaskan.

 

Kami juga berkata, Apakah ketika Allah berfirman, “Dengan kedua TanganKu,” Allah mengetahui bahwa Dia memiliki dua Tangan? Tentu dia akan menjawab, Allah mengetahui. Kami bertanya, Apakah Allah jujur? Dia akan menjawab, Allah jujur, tanpa ada keraguan. Dia tidak akan berani menjawab, Allah tidak mengetahui atau Allah tidak jujur. Dia juga tidak akan berani berkata, Allah mengungkapkan dengan keduanya sedangkan Allah menginginkan selainnya, karena ketidakmampuan dalam berbicara. Dia juga tidak akan berani berkata, Allah ingin makhlukNya meyakini sifat yang tidak ada padaNya untuk menyesatkan mereka. Maka kami katakan kepadanya, Jadi apa yang menghalangimu menetapkan dua Tangan bagi Allah? Beristighfar dan bertaubatlah engkau kepada Allah dan katakanlah, Aku beriman kepada apa yang Allah beritakan tentang DiriNya, karena Dia lebih mengetahui tentang diriNya dan tentang selainNya, paling jujur perkataanNya, paling baik pembicaraanNya daripada selainNya dan juga paling sempurna iradatNya.

 

Oleh karena itu, penulis menghadirkan ketiga kriteria tersebut dan kami menambahkan yang keempat, yaitu keinginan untuk menjelaskan dan memberi hidayah kepada makhlukNya; berdasarkan FirmanNya,

 

“Allah hendak menerangkan (syariatNya) kepada kalian, dan menunjukkan jalan-jalan (kehidupan) orang yang sebelum kalian (para nabi dan orang-orang shalih).” (An-Nisa’: 26).

 

Ini adalah hukum dari apa yang Allah beritakan tentang DiriNya dengan FirmanNya yang terkumpul padanya empat kriteria kesempurnaan.

 

Adapun apa yang diberitakan oleh para rasul,

 

Penulis berkata,

 

Kemudian para rasulNya adalah orang-orang yang benar (jujur) dan diberi berita yang benar; lain halnya dengan orang-orang yang berkata atas Nama Allah tanpa ilmu.

 

Syarah:

 

Perkataan penulis, “Kemudian para rasulNya adalah orang-orang yang benar (jujur) dan diberi berita yang benar.”

 

Kata   “orang yang benar atau jujur” adalah yang menyampaikan berita sesuai dengan kenyataan. Semua rasul jujur (benar) dalam segala yang mereka beritakan, hanya saja harus dengan sanad yang terbukti shahih kepada mereka. Jika orang Yahudi berkata, Nabi Musa berkata begini dan begini, maka kita tidak menerimanya sehingga kita mengetahui kebenaran sanadnya kepada Nabi Musa. Jika orang Nasrani berkata, Nabi Isa berkata begini dan begini, maka kita juga tidak menerimanya sehingga kita mengetahui kebenaran sanadnya kepada Nabi Isa  . Jika ada yang berkata, Nabi Muhammad Rasulullah  berkata begini dan begini, maka kita juga tidak menerima sehingga kita mengetahui kebenaran pun sanadnya kepada Nabi Muhammad 

 

Rasul-rasul Allah adalah orang-orang yang jujur (benar) dalam apa yang mereka katakan. Apa yang mereka katakan tentang Allah dan selain Allah dari kalangan makhlukNya adalah benar, mereka tidak berdusta sama sekali.

 

Oleh karena itu para ulama telah berijma’ bahwa para rasul terpelihara dari melakukan dusta.

 

Kata ( ) atau ( ) terdapat dua naskah dalam hal inj. Menurut satu naskah ( ) berarti, apa yang diwahyukan ke. pada mereka adalah jujur (benar). ( ) adalah orang yang diberi berita yang jujur (yang benar). ( ) adalah orang yang datang membawa berita yang jujur (kebenaran). Termasuk dalam hal ini adalah sabda Nabi  kepada Abu Hurairah  ketika setan berkata kepadanya, “Jika kamu membaca ayat kursi, maka engkau selalu mendapat penjagaan dari Allah, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi.” Lalu Nabi bersabda kepadanya, 

 

“Dia benar (jujur) kepadamu padahal dia tukang dusta.”

 

Yakni setan memberitakan kebenaran kepadamu. Maka para rasul adalah orang-orang yang diberi berita yang benar, segala apa yang di. wahyukan kepada mereka adalah jujur (benar). Allah Yang mengutus mereka tidak berdusta kepada mereka, dan utusan yang diutus kepada mereka, yaitu Malaikat Jibril, juga tidak berdusta kepada mereka,

 

“Sesungguhnya (al-Qur-an) itu benar-benar Firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang memiliki kekuatan, memiliki kedudukan tinggi di sisi (Allah) Yang memiliki Arasy, yang di sana (di alam malaikat) dia ditaati dan dipercaya.” (At-Takwir: 19-21).

 

Menurut naskah yang lain ( ), maknanya bahwa umat-umat mereka wajib membenarkan mereka. Dari sini, maka arti ( ) adalah dari segi syariat, yakni umat mereka wajib membenarkan mereka secara syara’. Maka barangsiapa mendustakan para rasul atau tidak membenarkan mereka, maka dia kafir.

 

Ada kemungkinan makna lain bagi ( ), yakni bahwa Allah membenarkan mereka. Dan sudah dimaklumi bahwa Allah membenarkan para rasul. Dia membenarkan mereka dengan Firman dan perbuatanNya.

 

Membenarkan dengan FirmanNya, karena Allah berfirman kepada RasulNya, Muhammad ,

 

“(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui al-Qur-an yang diturunkanNya kepadamu.” (An-Nisa’: 166).

 

“Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar RasulNya.” (Al-Munafiqun: 1).

 

Ini adalah bukti bahwa Allah membenarkan mereka dengan FirmanNya.

 

Sedangkan membenarkan dengan perbuatanNya, adalah dengan memberikan kemenangan bagi beliau dan menunjukkan tanda-tanda kebesaranNya. Rasulullah  datang kepada manusia, mengajak mereka kepada Islam. Jika mereka menolak, maka mereka harus membayar jizyah, dan jika mereka menolak, maka beliau menghalalkan darah, harta dan wanita mereka, dan Allah memberikan beliau kemenangan, satu demi satu, sehingga risalah beliau menjangkau ujung timur bumi dan ujung baratnya. Ini adalah bukti bahwa Allah membenarkan beliau dengan perbuatanNya. Begitu pula ayat (mukjizat) yang Allah perlihatkan melalui kedua tangan Rasul, itu juga bukti bahwa Allah membenarkannya, baik itu ayat-ayat syar’tyah ataupun ayat-ayat kauniyah.

 

Ayat syar’iyah terbukti dengan jawaban Allah kepada Nabi ketika beliau ditanya tentang sesuatu, lalu beliau tidak mengetahuinya, lalu Allah menurunkan jawabannya,

 

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku’.” (Al-Isra’: 85).

 

ini adalah bukti bahwa Dia membenarkan beliau sebagai Seorang Rasul, karena jika tidak, niscaya Dia tidak memberi beliau jawaban

 

“Mereka bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan (Haram) itu adalah (dosa) besar Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepadaNya, (menghalang orang masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah.” (Al-Baqarah: 217).

 

Jawabnya adalah, “Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…” dan seterusnya, adalah bukti bahwa Allah  membenarkan beliau.

 

Sedangkan ayat-ayat kauniyah, maka ia sangat jelas. Dan betapa banyak ayat-ayat kauniyah yang dengannya Allah mengokohkan Rasul-Nya, baik ia hadir dengan sebab atau tanpa sebab dan hal itu terkenal dalam sirah.

 

Kita memahami dari kata ‘mereka dibenarkan’ bahwa mereka dibenarkan oleh Allah dengan ayat syar’iyah dan kauniyah, juga dibenarkan oleh makhluk, yakni mereka itu wajib dibenarkan. Hanya saja maksudnya menurut kami adalah membenarkan secara syara’, karena di antara manusia ada yang membenarkan dan ada pula yang mendustakan, akan tetapi yang wajib adalah membenarkan.

 

Perkataan Penulis,  “Lain halnya dengan orang-orang yang berkata atas Nama Allah tanpa ilmu.”

 

Mereka itu sesat atau pendusta, karena mereka berkata tanpa ilmu.

 

Sepertinya penulis (syaikhul Islam) mengisyaratkan kepada golongan tahrif, karena mereka berkata atas Nama Allah tanpa ilmu dan dua segi: Mereka berkata, “Sesungguhnya Dia tidak menginginkan ini dan menginginkan itu.” Mereka berkata dalam menetapkan dan menafikan tanpa ilmu.

 

Misalnya mereka berkata, (ketika Allah menetapkan bahwa Dia memiliki Wajah) Allah tidak memaksudkan Wajah yang sebenarnya. Di sini mereka berkata atas Nama Allah dalam menafikan tanpa ilmu. Kemudian mereka berkata, Yang dimaksud dengan Wajah adalah pahala. Di sini mereka berkata atas Nama Allah dalam menetapkan juga tanpa ilmu.

 

Orang-orang yang berkata atas Nama Allah tanpa ilmu bukanlah orang-orang yang jujur (benar) dan tidak pula diberi berita yang benar dan bukan pula yang dia benarkan, justru dalil-dalil membuktikan bahwa mereka adalah para pendusta dan kaum yang mendustakan, karena apa yang dibisikkan setan kepada mereka.

 

Penulis berkata,

 

Oleh karena itu, Allah  berfirman, “Maha Suci Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Perkasa dari sifat yang mereka katakan itu. Dan selamat sejahtera bagi para rasul. Dan segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” (Ash-Shaffat: 180-182).

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,  “Oleh karena itu.” Yakni karena kesempurnaan Firman Allah dan sabda para rasulNya.

 

Allah berfirman,   “Mahasuci.” Makna tasbih (Mahasuci) telah dijelaskan, yaitu menyucikan Allah dari segala apa yang tidak layak bagi Nya.

 

FirmanNya,   “Tuhanmu.” Allah mengidhafahkan (menyandarkan) kata Tuhan kepada Nabi Muhammad, dan itu adalah idhafah khusus, yaitu penisbatan Khaliq kepada makhluk.

 

FirmanNya,  “Yang mempunyai keperkasaan.” ini termasuk penyandaran pemilik sifat kepada sifat. Dan seperti yang telah diketahui bahwa setiap hamba adalah makhluk. Di sini Allah berfirman,   dan keperkasaan Allah bukanlah makhluk, karena ia termasuk SifatNya. Maka kami katakan, Ini termasuk penyandaran pemilik sifat kepada sifat, jadi ( ) di sini berarti Pemilik keperkasaan, seperti dikatakan ( ) yang berarti pemilik rumah.

 

FirmanNya,   “Dari apa yang mereka katakan,” yakni dari apa yang dikatakan ore orang-orang musyrik sebagaimana yang akan dijelaskan penulis.

 

FirmanNya,   “Dan selamat sejahtera bag; para rasul.” Yakni, para utusan (Allah).

 

Dan FirmanNya,   “Dan segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.” Allah memuji DiriNya setelah menyucikanNya, karena pujian mengandung kesempurnaan sifat dan tasbih mengandung penyucian dari segala kekurangan. Jadi ayat ini menggabungkan penyucian dari kekurangan dengan tasbih dan penetapan kesempur. naan sifat dengan pujian.

 

Allah menyucikan DiriNya dari sifat-sifat yang disandangkan kepadaNya oleh para penentang rasul-rasul, Allah melimpahkan salam kepada para rasul karena selamatnya apa yang mereka katakan dari kekurangan dan aib.

 

Syarah:

 

Makna kata-kata di atas jelas. Tinggal dikatakan, Dia memuji DiriNya, karena kesempurnaan Sifat-sifatNya yang disandangkan kepadaNya oleh DiriNya dan oleh rasul-rasulNya. Allah terpuji karena mengutus para rasul yang membawa rahmat dan kebaikan bagi mereka.

 

Penulis berkata,

 

Allah Yang Maha Suci telah menggabungkan dalam Sifat-sifat dan Nama yang Dia sandangkan pada DiriNya antara menetapkan dan menafikan.

 

Syarah:

 

Dengan kata-katanya ini Syaikhul Islam menjelaskan bahwa Allah menggabungkan dalam Sifat-sifat dan Nama-nama yang Dia sandangkan pada DiriNya antara menetapkan dan menafikan. Hal itu karena puncak kesempurnaan tidak tercapai, kecuali dengan menetapkan sifat-sifat kesempurnaan dan menafikan sifat-sifat kekurangan yang merupakan lawan dari yang sebelumnya. Maka syaikhul Islam menunjukkan faidah kepada kita bahwa Sifat-sifat Allah terbagi menjadi dua,

 

  1. Sifat-sifat Mutsbatah (yang ditetapkan) yang dikenal oleh mereka dengan ash-Shifat ats-Tsubutiyah.

 

  1. Sifat-sifat manfiyah (yang dinafikan) yang dikenal oleh mereka dengan ash-Shifat as-Salbiyah, dari kata ( ) yang berarti sama dengan ( ), maka tidak mengapa kita sebut dengan sifat salbiyah meskipun ada orang yang tidak menyetujui, katanya, kami tidak menamakannya salbiyah akan tetapi manfiyah.

 

Kami katakan, selama ( ) berarti (  ), maka perbedaan ini tidak berpengaruh apa-apa.

 

Jadi Sifat-sifat Allah ada dua: tsubutiyah dan salbiyah, atau boleh juga engkau katakan, mutsbatah dan manfiyah; dan maknanya sama.

 

Sifat mutsbatah adalah semua sifat yang Allah tetapkan untuk DiriNya. Semuanya adalah sifat kesempurnaan, tidak ada kekurangan dari segi mana pun. Dan bukti kesempurnaannya adalah bahwa apa yang Dia tetapkan untuk DiriNya tidak mungkin menunjukkan tamtsil (permisalan), karena jika Allah dimisalkan dengan makhluk, maka itu berarti kekurangan bagiNya. Apabila kita memahami kaidah ini, maka kita mengetahui kesesatan ahli tahrif yang mengklaim bahwa sifat yang ditetapkan bagi Allah berisiko adanya permisalan, lalu mereka menafikannya demi menghindari permisalan (tamtsil).

 

Contohnya; mereka berkata, Seandainya kita menetapkan Wajah bagi Allah, maka hal itu berkonsekuensi semisal dengan wajah makhluk, dalam kondisi tersebut maka maknanya harus dirubah dengan makna lain dan bukan wajah yang sebenarnya.

 

Kami katakan kepada mereka, Semua sifat yang Allah tetapkan untuk DiriNya adalah Sifat-sifat yang sempurna, tidak mungkin Sama sekali bahwa sifat yang Allah tetapkan untuk DiriNya adalah sifat kekurangan.

 

Akan tetapi jika dia berkata: Apakah sifat itu tauqifiyah sepert Nama-nama atau ijtihadiyah, maksudnya bahwa apakah kita boleh menyifati Allah dengan sifat yang tidak Dia sandangkan pada DiriNya?

 

Kami jawab: Sifat-sifat Allah adalah tauqifiyah menurut pendapat yang masyhur di kalangan para ulama, sama dengan Asma’ Nya (Nama. namaNya). Maka janganlah engkau menyifatiNya, kecuali dengan apa yang Dia sandangkan pada DiriNya.

 

Jadi kami katakan, Sifat terbagi menjadi tiga, sifat kesempurnaan secara mutlak, sifat kesempurnaan dengan pembatasan, dan sifat kekurangan secara mutlak.

 

Sifat yang pertama yaitu sifat kesempurnaan secara mutlak, maka ia ditetapkan bagi Allah seperti “Yang berbicara”, “Yang melakukan apa yang, Dia inginkan”, “Yang Mahakuasa” dan lain-lain.

 

Sifat yang kedua yaitu sifat kesempurnaan dengan batasan, maka sifat-sifat ini tidak ditetapkan untuk Allah secara mutlak kecuali dengan batasan. Seperti, “makar”, “tipu daya” dan “mengolok-olok”, dan yang semacamnya. Ini adalah sifat-sifat kesempurnaan dengan pembatasan; yaitu apabila ia dalam rangka menghadapi orang yang melakukan itu maka ia adalah sifat kesempurnaan, dan apabila engkau menyebutkannya secara mutlak maka tidak boleh dinisbatkan kepada Allah. Oleh Karena itu, tidak boleh menyandangkan sifat “Makar”, “menipu”, “mengolok-olok” secara mutlak bagi Allah, akan tetapi wajib dibatasi dengan mengatakan, “Allah melakukan makar terhadap orang-orang yang membuat makar”, “memperolok-olok orang-orang munafik”, “menipu orang-orang munafik” dan “mengelabui orang-orang kafir”. Jadi engkau harus membatasinya, karena sifat-sifat tersebut tidak disebutkan, kecuali dengan pembatasan.

 

Adapun sifat-sifat yang ketiga, maka Allah tidak disifati dengannya dalam kondisi apa pun, seperti “yang lemah”, “yang berkhianat”, “yang buta”, “yang tuli”, karena semua itu adalah sifat-sifat kekurangan secara mutlak, maka Allah tidak disifati dengannya. Lihatlah perbedaan antara “Menipu” dengan “berkhianat”. Firman Allah  ,

 

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (An-Nisa’: 142).

 

Allah menetapkan penipuanNya kepada orang yang menipuNya, akan tetapi Dia berfirman tentang khianat,

 

“Akan tetapi jika mereka (tawanan-tawanan itu) bermaksud hendak berkhianat kepadamu, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini, lalu Allah menjadikan(mu) berkuasa terhadap mereka.” (Al-Anfal: 71).

 

Dia tidak berfirman, “Maka Dia mengkhianati mereka.” Hal itu karena khianat adalah tipuan dalam situasi diberi kepercayaan dan hal itu adalah kekurangan, tidak ada nilai baiknya sama sekali.”

 

Jadi sifat kekurangan harus ditiadakan dari Allah secara mutlak.

 

Sifat yang diambil dari NamaNya adalah kesempurnaan dalam kondisi apa pun dan Allah memang menyandang Sifat yang dikandung oleh Nama tersebut. Sifat a “mendengar” adalah sifat kesempurnaan yang dikandung oleh NamaNya esi “Maha Mendengar,” semua sifat yang ditunjukkan oleh nama adalah sifat kesempurnaan yang ditetapkan secara mutlak bagi Allah. Ini kita kategorikan sebagai bagian tersendiri karena ia tidak menuntut perincian. Adapun selainNya, maka ia terbagi menjadi tiga bagian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu Allah tidak menamakan DiriNya mutakallim (Maha Berbicara) meskipun Dia berbicara, karena pembicaraan bisa baik bisa pula buruk dan bisa pula tidak baik juga tidak buruk. Keburukan tidak dinisbatkan kepada Allah, begitu pula keisengan karena ia adalah kebodohan. Lain halnya dengan kebaikan, ia dinisbatkan kepada Allah. Oleh karena itu, Allah tidak menamakan DiriNya dengan mutakallim karena Nama-nama Allah adalah seperti yang dijelaskan Allah, “Hanya milik Allah Asma-ul Husna.” (Al-A’raf: 180).

 

Tidak terdapat sedikit pun kekurangan padanya, oleh karena itu ia hadir dengan isim tafdhil yang mutlak.

 

Jika ada yang berkata, Kami memahami sifat-sifat dan bagian, bagiannya, lalu bagaimana cara menetapkan suatu sifat, kalau kita mengatakan bahwa sifat-sifat adalah tauqifiyah (harus didasari dalil)?

 

Kami katakan, ada beberapa cara menetapkan sifat:

 

Pertama: petunjuk kandungan nama terhadap sifat tersebut. Ha] itu, karena setiap nama mengandung sifat, oleh karena itu telah kami katakan bahwa setiap Nama Allah menunjukkan kepada DzatNya sekaligus kepada Sifat yang diambil darinya.

 

Kedua: Adanya nash yang menentukannya seperti “wajah”, “kedua tangan”, “kedua mata” dan lain-lain. Ini berasal dari penentuan Allah, dan seperti sifat “intiqam” (pembalasan) yang ada pada FirmanNya,

 

“Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, lagi mempunyai pembalasan.” (Ibrahim: 47).

 

Walaupun begitu, muntaqim (yang membalas) bukanlah termasuk Nama Allah. Hal ini tidak seperti yang ada di sebagian buku yang mencantumkan Nama-nama Allah, hal itu karena intiqam tidak hadir kecuali sebagai sifat atau isim fa’il dengan pembatasan, seperti pada Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang gemar berbuat dosa.” (As-Sajdah: 22).

 

Ketiga: Sifat yang diambil dari fi’il (perbuatan) seperti berbicara (al-Kalam), kami mengambilnya dari,

 

“Dan Allah benar-benar telah berbicara (secara langsung) kepada Musa.”

(An-Nisa’: 164).

 

Ini adalah cara-cara penetapan sifat. Dari sini, maka kami katakan, bahwa sifat lebih umum daripada nama Karena setiap nama mengandung sifat, tapi tidak sebaliknya.

 

Adapun sifat-sifat manfiyah (yang ditiadakan) dari Allah, maka ia berjumlah banyak, akan tetapi yang ditetapkan lebih banyak karena seJuruh sifat tsubutiyah adalah sifat kesempurnaan, semakin ia beragam dan bermacam-macam, semakin pula ia memperlihatkan kesempurnaan pemiliknya secara jelas. Sifat yang dinafikan berjumlah sedikit. Oleh karena itu kita mendapatkan bahwa sifat-sifat yang dinafikan banyak hadir secara umum, tanpa dikhususkan dengan sifat tertentu, dan yang dikhususkan dengan sifat tidak lain kecuali karena suatu sebab, seperti pendustaan orang-orang yang mengklaim bahwa Allah disifati dengan sifat yang Dia sendiri menafikannya dari DiriNya atau menepis salah persepsi terhadap sifat yang dinafikannya.

 

– Bagian pertama yaitu yang umum adalah seperti Firman Allah  “Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar dan Maha Melithat.” (Asy-Syura: 11).

 

“Tidak ada yang semisal denganNya” maksudnya, dalam ilmuNya, kodratNya, pendengaranNya, penglihatanNya, keperkasaanNya, hikmahNya, rahmatNya dan Sifat-sifatNya yang lain. Allah tidak merinci, Dia hanya berfirman,   ” Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” Penafian ini adalah umum lagi global, yang menunjukkan kesempurnaan yang mutlak,  ” Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,” dalam segala kesempurnaan.

 

– Adapun yang terperinci, maka engkau tidak mendapatinya, kecuali karena suatu sebab, seperti FirmanNya,

 

“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak.” (Al-Mu’minun: 91).

 

Sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa Allah memiliki anak. Sama halnya dengan FirmanNya,

 

“Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.” (Al-Ikhlas: 3).

 

Firman Allah

 

“Dan sungguh Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari, dan Kami tidak merasa letih Sedikit pun.” (Qaf: 38).

 

Karena akal yang tidak menghargai Allah dengan sebenar-benar, nya bisa membayangkan bahwa langit dan bumi yang agung ini, jika Allah menciptakannya dalam enam hari berarti Dia akan merasa lelah maka Allah berfirman,

 

“Dan Kami tidak merasa letih sedikit pun.” (Qaf: 38).

 

Yakni, kelelahan dan kepayahan.

 

Dari sini jelaslah bahwa penafian tidak terdapat pada Sifat-sifat Allah kecuali secara umum atau secara khusus karena suatu sebab, karena sifat salbiyah tidak mengandung kesempurnaan kecuali jika ia mengandung penetapan. Oleh karena itu kami katakan, sifat-sifat salbiyah yang dinafikan Allah dari DiriNya mengandung penetapan terhadap kesempurnaan lawannya. Maka Firman Allah,  “Dan Kami tidak merasa letih sedikit pun,” mengandung kesempurnaan kekuasaan dan kekuatan.

 

Begitu juga FirmanNya,

 

“Dan Tuhanmu tidak menzhalimi seorang pun.” (Al-Kahfi: 49).

 

Ini mengandung kesempurnaan keadilan.

 

Dan begitu juga FirmanNya,

 

“Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Al-Baqarah: 85),

 

mengandung kesempurnaan ilmu dan pengetahuan dan begitu seterusnya. Sifat manfiyah harus mengandung penetapan dan penetapan tersebut adalah kesempurnaan, lawan dari sifat yang dinafikan, karena jika tidak maka ia bukan pujian.

 

Tidak terdapat penafian total pada sifat-sifat yang dinafikan dari Allah, karena penafian total berarti ketiadaan, berarti bukanlah sesuatu, maka ia tidak mengandung pujian dan sanjungan, karena bisa jadi hal itu disebabkan ketidakmampuan terhadap sifat tersebut, maka ia pun menjadi tercela, dan bisa pula karena memang ia tidak mungkin menerima Sifat tersebut, maka ia bukanlah pujian dan bukan pula celaan.

 

Contoh dari yang pertama, yaitu “karena ketidakmampuan” adalah perkataan seorang penyair,

 

Sebuah kabilah tidak mengkhianati perjanjian Dan tidak menzhalimi manusia sekecil apa pun

 

Contoh dari yang kedua, yaitu “Tidak mungkin menerima sifat tersebut” adalah seperti engkau mengatakan, “Tembok kami tidak menzhalimi siapa pun.”

 

Kewajiban kita terhadap Sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk DiriNya atau yang, Allah nafikan dari DiriNya adalah hendaknya kita berkata, Kami dengarkan, hami benarkan dan kami imani.

 

Inilah Sifat-sifat Allah, ada yang ditetapkan (mutsbat) dan ada yang, dinafikan (manfiy),. Adapun Nama-nama Allah, maka seluruhnya adalah mutsbat (ditetapkan).

 

Akan tetapi di antara Nama-nama Allah yang ditetapkan terdapat nama yang menunjukkan makna ijabi (kata positif) dan ada pula yang menunjukkan makna salbi (kata negatif) . Inilah titik pembagian dalam penafian dan penetapan terkait dengan Nama-nama Allah.

 

Contoh nama yang menunjukkan makna ijabi berjumlah banyak.

 

Dan contoh nama yang menunjukkan makna salbi adalah as-Salam. Para ulama berkata tentang makna as-Salam, Ia adalah yang bebas dari segala cacat. Jadi apa yang ditunjukkannya adalah salbi artinya ia tidak mengandung kekurangan dan aib. Begitu pula al-Quddus, artinya tidak jauh dari arti as-Salam, karena artinya adalah yang disucikan dari segala kekurangan dan aib.

 

Karena itu, ungkapan penulis adalah benar dan tidak salah. Maksud yang bersangkutan adalah bahwa dalam Nama-nama Allah tidak ada nama yang dinafikan, karena nama yang dinafikan bukan Nama Allah, yang diinginkan oleh penulis adalah menjelaskan bahwa apa yang ditunjukkan oleh Nama Allah ada yang tsubuti (ijabi) dan ada yang salbi.

 

Tidak ada penyimpangan bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari apa yang dibawa oleh para rasul, karena ia adalah jalan yang lurus jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dari kalangan para nabi, shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih.

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,  “Tidak ada penyimpangan bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari apa yang dibawa oleh para rasul.”

 

Kata   “penyimpangan” artinya adalah   “beralih” dan   “menyeleweng”. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mungkin berpaling dari apa yang dibawa oleh para rasul.

 

Penulis menghadirkan peniadaan (an-Nafyu) ini untuk menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mungkin berpaling dari apa yang dibawa para rasul, mereka tidak sedikit pun menyimpang dari ajaran para rasul, justru secara mutlak mereka berpegang kepadanya. Hal itu karena sikap ittiba’ mereka yang sempurna. Metode mereka adalah apa yang mereka katakan, “Kami dengarkan dan kami taati dalam hukum, kami dengarkan dan kami benarkan dalam berita.”

 

Perkataan penulis,   “Dari apa yang dibawa oleh para rasul.” Yakni, apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad  kita tidak menyimpang darinya. Ini jelas karena beliau adalah penutup para Nabi. Seluruh manusia wajib mengikutinya. Persoalannya adalah apakah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpaling dari apa yang dibawa oleh rasul selain Nabi Muhammad ? Jawabnya tidak, mereka tidak berpaling darinya, karena apa yang, dibawa oleh para rasul dalam perkara berita tidaklah berbeda, karena mereka semuanya adalah orang-orang yang benar dan tidak ada nasakh dalam masalah berita, karena ia berita, Semua yang diberitakan oleh para rasul dari Allah adalah benar, ia wajib diterima dan diimani.

 

Misalnya adalah jawaban Nabi Musa   terhadap Fir’aun, ketika Fir’aun berkata Kepada beliau,

 

“Fir’aun berkata, ‘Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?’ Musa menjawab, ‘Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh), Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa’.” (Thaha: 51-52).

 

Nabi Musa  menafikan kebodohan dan kealpaan dari Allah, maka kita wajib mempercayai hal itu, karena ia dibawa seorang Rasul dari sisi Allah,

 

“Dia (Fir’aun) berkata, ‘Maka siapakah Tuhan kalian berdua, wahai Musa?’ Musa berkata, ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) Yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk’.” (Thaha: 49-50).

 

Jika kita ditanya; dari mana engkau mengetahui bahwa Allah telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya? Kita katakan, Dari perkataan Nabi Musa, kita mengimani itu dan kita mengatakan bahwa Allah memberikan tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya yang layak dengannya. Manusia dalam bentuk begini, unta dalam bentuk begini, sapi dalam bentuk begini, domba dalam bentuk begini, kemudian Allah memberi petunjuk tiap-tiap makhluk kepada kebaikan dan kemaslahatannya. Tiap-tiap sesuatu mengetahui kebaikan dan kemaslahatannya. Di musim panas seekor semut menyimpan makanannya di lubangnya, akan tetapi ia tidak menyimpan biji seperti apa adanya.

 

Ia terlebih dahulu memangkas ujungnya agar ia tidak tumbuh, Karena jika ia tumbuh maka ia bukan lagi menjadi makanannya. Jika hujan turun dan biji tersebut basah maka ia tidak membiarkannya lembab dan membusuk akan tetapi ia membawanya keluar dan menjemurnya kemudian memasukkannya kembali jika telah kering.

 

Hanya saja harus diperhatikan terkait dengan apa yang dinisbatkan kepada para nabi terdahulu, ia harus dibuktikan dengan kebenaran penukilan, karena ada kemungkinan ia hanya dusta semata seperti halnya banyak riwayat yang dinisbatkan kepada Rasulullah  bahkan harus lebih ketat daripada itu.

 

Perkataan Syaikhul Islam  “dari apa yang dibawa oleh para rasul”; apakah ini mencakup hukum-hukum ini atau hanya pada Sifat-sifat Allah seperti yang menjadi topik pembicaraan kita sekarang, sehingga ia hanya khusus untuk berita yang dibawanya?

 

Jika kita melihat kepada keumuman lafazh, maka ia mencakup berita dan hukum.

 

Jika kita melihat kepada konteksnya, maka indikasinya menunjukkan bahwa ia hanya pada masalah akidah, yaitu masalah berita.

 

Akan tetapi kami katakan, Jika perkataan Syaikhul Islam khusus berkaitan dengan masalah akidah, maka ia khusus dan kita tidak mempersoalkannya, dan jika ia umum, maka ia juga mencakup hukum-hukum.

 

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum yang berlaku untuk para rasul terdahulu; apakah ia juga berlaku bagi kita jika dalam syariat kita tidak ada yang membatalkannya, ataukah bukan hukum bagi kita?

 

Pendapat yang benar adalah bahwa ia juga hukum bagi kita, dan bahwasanya hukum yang shahih bersumber dari para nabi terdahulu adalah juga hukum bagi kita, kecuali jika dalam syariat kita terdapat apa yang menyelisihinya. Contohnya adalah sujud untuk menghormati, dibolehkan dalam syariat Nabi Yusuf, Ya’qub  dan putra-putra keturunannya; akan tetapi dalam syariat kita ia diharamkan. Seperti juga Unta diharamkan bagi orang-orang yahudi,

 

“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku.” (Al-An’am: 146), tetapi ia halal dalam syariat kita.

 

Jika demikian, mungkin bagi kita menafsirkan perkataan Syaikhul Islam bahwa ia bersifat umum, yang mencakup berita dan sekaligus hukum. Dan kami katakan, Hukum yang ada pada syariat nabi-nabi adalah hukum bagi kita; kecuali jika ada dalil (yang menyelisihinya).

 

Hanya saja persoalannya adalah bagaimana kita mengetahui bahwa ini adalah benar-benar syariat para nabi terdahulu?

 

Kami katakan, Ada dua cara: Pertama, adalah dengan al-Qur’an dan yang kedua adalah dengan as-Sunnah. Apa yang Allah kisahkan dalam KitabNya tentang umat-umat terdahulu maka ia shahih dan apa yang disebutkan oleh Nabi secara shahih dari beliau, juga shahih.

 

Selain dari itu kita tidak membenarkan dan tidak pula mendustakannya, kecuali jika terdapat sesuatu dalam syariat kita yang membenarkan apa yang dinukil oleh Ahli Kitab, maka dalam hal ini kita pun membenarkannya, bukan karena ia dinukil oleh mereka, akan tetapi karena ia dibenarkan oleh syariat kita. Jika di dalam syariat kita terdapat keterangan yang mendustakan Ahli Kitab, maka kita pun mendustakannya, karena syariat kita memang mendustakannya. Orang-orang Nasrani misalnya, mengklaim bahwa Isa al-Masih adalah putra Allah; kita katakan, Ini dusta. Orang-orang Yahudi mengatakan Uzair putra Allah; kita juga katakan, Ini dusta.

 

Perkataan Syaikhul Islam   “Karena ia adalah jalan yang lurus.” Kata ganti pada ( ) kembali kepada apa yang dibawa para rasul, mungkin juga ia kembali kepada jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu ittiba’ dan tidak menyimpang darinya. Apa yang dibawa para rasul dan apa yang dipegang Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah jalan yang lurus.

 

Kata . “jalan” dengan wazan ( ); maknanya adalah   “yang dilalui,” seperti “kasur atau tikar,” yang artinya adalah “yang digelar.”   “tanaman” yang artinya adalah   “yang ditanam,’ bermakna isim maf’ul.

 

Dan kata ( ) hanya digunakan untuk makna jalan yang Iuas lagi lurus. Diambil dari ( ) yang artinya adalah menelan suapan dengan cepat. Karena jika jalan itu luas, berarti ia tidak sempit yang membuat manusia sulit melewatinya. Mereka (para ulama) berkata tentang definisinya ( ) adalah semua jalan yang luas, datar, tidak menanjak, tidak menurun dan tidak berbelok.

 

Jadi jalan yang dibawa para rasul adalah jalan Jurus yang tidak berliku dan tidak terjal, jalan yang lurus tidak berbelok ke kiri dan ke kanan.

 

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah dia.” (Al-An’am: 153).

 

Berdasarkan ini, maka kata   “yang lurus” adalah kriteria yang menegaskan keadaan berdasarkan tafsir kita terhadap kata , “jalan” bahwa ia adalah jalan yang luas yang tidak berliku, Karena jalan seperti inilah yang disebut lurus ( ). Bisa juga dikatakan bahwa ia, adalah kriteria pembatas, karena sebagian jalan ( ) ada yang tidak lurus, seperti Firman Allah,

 

“Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (Ash. Shaffat: 23-24).

 

Inilah jalan yang tidak lurus.

 

Perkataan penulis,  “Jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dari kalangan para nabi, shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih.”

 

Kata  ” yakni, jalan mereka. Jalan tersebut beliau (Syaikhul Islam) sandangkan kepada mereka, Ahlus Sunnah, karena merekalah yang menitinya, merekalah yang berjalan di atasnya, dan terkadang Allah menisbatkannya kepada DiriNya,

 

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah yang milikNya-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumti.” (Asy-Syura: 52-53).

 

Karena Dia-lah yang meletakkannya untuk hamba-hambaNya dan bahwa ia mengantarkan kepadaNya. la adalah jalan Allah dari dua segi dan jalan orang-orang yang beriman dari satu segi. Jalan Allah dari dua segi: pertama, Dia-lah yang meletakkannya untuk hamba-hambaNya, dan kedua, jalan itu mengantarkan kepadaNya. Ia adalah jalan orang-orang yang beriman, karena merekalah orang-orang yang melaluinya.

 

Perkataannya,   “Orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah.” Nikmat adalah semua nikmat, karunia dan kebaikan dari Allah kepada hamba-hambaNya. Ia adalah nikmat. Semua nikmat yang ada pada kita, adalah dari Allah. Nikmat dari Allah ada dua: umum dan khusus. Yang khusus juga terbagi menjadi dua: khusus dan khusus yang lebih umum.

 

Yang umum adalah nikmat Allah untuk orang-orang Mukmin dan non Mukmin. Jika ada yang bertanya: Apakah Allah memberikan nikmat kepada orang kafir?

 

Kami jawab: Ya, hanya saja ia adalah nikmat umum, yaitu nikmat jasmani semata yang tidak membuat agama menjadi baik; seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Nikmat seperti ini dirasakan oleh orang kafir dan orang Mukmin.

 

Nikmat khusus adalah nikmat yang dengannya agama menjadi baik, seperti iman, ilmu, dan amal shalih. Ini khusus untuk orang-orang Mukmin, akan tetapi bagi para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih, ia adalah umum.

 

Ada nikmat yang lebih khusus lagi, yaitu nikmat Allah kepada para nabi dan rasul. Bacalah Firman Allah,

 

“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (al-Quran) dan Hikmah (as-Sunnah) kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Dan karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu adalah besar.” (An-Nisa’: 113).

 

Inilah nikmat yang lebih khusus di mana orang-orang Mukmin tidak bisa menyaingi para nabi dalam hal itu dan mereka di bawah para nabi.

 

Perkataan penulis,   “Jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah,” adalah seperti FirmanNya,

 

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka.” (Al-Fatihah: 6-7).

 

Siapa orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah?

 

Allah menjelaskannya dalam FirmanNya,

 

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu. Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih.” (An-Nisa’: 69).

 

Mereka itu berjumlah empat golongan:

 

Pertama:   “Para nabi,” dan mereka adalah orang-orang yang diberi wahyu dan berita oleh Allah, dia termasuk ke dalam ayat ini. la juga meliputi rasul-rasul, karena setiap rasul adalah nabi dan bukan sebaliknya. Jadi perkataan, “para nabi” meliputi para rasul, baik Ulul Azmi maupun selainnya dan meliputi pula para nabi yang tidak diangkat menjadi rasul. Mereka semua adalah golongan makhluk yang paling tinggi.

 

 Kedua: ( ), “Shiddiqin.” Kata  ) adalah jamak dari ( ), wazannya adalah ( ) bentuk mubalaghah (yang menunjukkan arti yang sangat dan mantap).

 

Siapa itu shiddiq?

 

Tafsir terbaik untuk kata shiddiq adalah Firman Allah

 

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, ” (Az-Zumar: 33).

 

Firman Allah,

 

“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya, mereka itulah orang-orang yang sejati (dalam Iman dan Islam).” (Al-Hadid: 19).

 

Barangsiapa merealisasikan iman dan iman tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran dan membenarkan maka dia adalah shiddiq.

 

Kebenaran (kejujuran) dalam akidah adalah dengan keikhlasan. Ini adalah sesuatu yang paling penting bagi seseorang sehingga sebagian Salaf berkata, “Aku tidak melawan diriku untuk meraih sesuatu, seperti aku melawannya untuk meraih keikhlasan.” Harus ada kebenaran (kejujuran) dalam akidah dan keikhlasan kepada Allah 

 

Kebenaran (kejujuran) dalam perkataan adalah dengan tidak mengatakan kecuali apa yang sesuai dengan kenyataan, baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Dia tegak dengan keadilan, baik atas dirinya maupun atas orang lain, bapaknya, ibunya, saudaranya dan lain-lain.

 

Kebenaran (kejujuran) dalam perbuatan adalah dengan menyesuaikan perbuatan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi  Termasuk kebenaran dalam perbuatan adalah hendaknya ia bersumber dari keikhlasan, jika tidak maka ia tidak benar karena perbuatannya menyelisihi perkataannya.

 

Maka orang yang shiddiq adalah orang yang benar (jujur) dalam akidahnya, keikhlasannya, keinginannya, perkataannya dan perbuatan

 

nya. Manusia yang mendapat predikat Shiddiq terbaik secara mutlak adalah Abu Bakar , karena umat terbaik adalah umat ini dan orang terbaik dalam umat ini setelah Nabinya  adalah Abu Bakar

 

Predikat shiddiq adalah tingkatan yang bisa diraih oleh kaum laki-laki dan wanita. Allah berfirman tentang Nabi Isa

 

“Dan ibunya seorang yang sangat benar.” (Al-Ma‘idah: 75).

 

Aisyah dipanggil ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq. Dan Allah memberi nikmat kepada hamba yang dikehendakiNya.

 

Ketiga:   “Para syuhada.” Syuhada; ada yang berkata, Mereka adalah orang-orang yang gugur di jalan Allah, berdasarkan Firman Allah

 

“Dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan Orang. orang kafir) dan agar menjadikan sebagian di antara kalian sebagai para syuhada.” (Ali Imran: 140).

 

Ada juga yang berkata, Mereka adalah para ulama, berdasarkap Firman Allah,

 

“Allah bersaksi (menyatakan) bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia; sebagai Yang menegakkan keadilan, dan para malaikat serta orang-orang yang berilmu (juga bersaksi demikian). ” (Ali Imran: 18),

 

Allah menjadikan para ulama sebagai saksi-saksi dengan apa yang Allah persaksikan untuk DiriNya dan karena ulama bersaksi untuk para rasul bahwa mereka telah menyampaikan dan para ulama pun bersaksi atas umat bahwa agama telah disampaikan kepadanya. Seandainya ada yang berkata, Ayat ini bersifat umum, ia mencakup orang yang gugur di jalan Allah dan para ulama, karena lafazh syuhada memungkinkan dua makna tersebut tanpa ada pertentangan, maka ia meliputi orang-orang yang gugur di jalan Allah dan para ulama yang bersaksi untuk Allah dengan keesaan dan bersaksi untuk Nabi  bahwa beliau telah menyampaikan (risalah) serta bersaksi atas umat bahwa risalah tersebut telah disampaikan kepada mereka.

 

Keempat:   “Dan orang-orang shalih.” Orang-orang shalih meliputi tiga golongan yang disebutkan sebelumnya dan orang-orang yang derajatnya di bawah mereka. Para nabi adalah orang-orang shalih, para shiddiqin adalah orang-orang shalih, para syuhada adalah orang-orang shalih, jadi penggabungannya di sini adalah penggabungan yang umum kepada yang khusus.

 

Orang-orang shalih adalah orang-orang yang menunaikan hak Allah dan hak hamba-hambaNya, hanya saja tidak sederajat dengan yang sebelumnya —para nabi, shiddiqin, dan syuhada-, para shalihin di bawah mereka.

 

Jalan yang dibawa para rasul ini adalah jalan yang dipilih empat golongan di atas, maka selain mereka tidaklah berjalan di atas ajaran yang dibawa para rasul.

 

Penulis berkata,

 

” Termasuk di dalam kategori sifat tadi adalah sifat-sifat yang Allah sandangkan pada DiriNya di dalam Surat al-Ikhlas yang menyamai sepertiga al-Qur’an, di mana Dia berfirman, “Katakanlah, ‘Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah (sesembahan) yang kepadaNya bergantung segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-ikhlas: 1-4).

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,   “Termasuk di dalam kategori sifat tadi,” boleh jadi yang penulis maksud dengannya adalah perkataannya, “Allah telah menggabungkan dalam Sifat-sifat yang Dia sandangkan pada DiriNya antara menetapkan dan menafikan.” Dan ada kemungkinan bahwa yang dia maksud adalah apa yang telah dikatakan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyandangkan sifat pada Allah, Sifat-sifat yang disandangkan Allah sendiri pada DiriNya dan disandangkan padaNya oleh RasulNya. Apa pun kemungkinannya, surat ini dan setelahnya termasuk ke dalam kandungan apa yang telah dikatakan bahwa Allah menggabungkan pada Sifat-sifat yang Dia sandangkan pada DiriNya antara menafikan dan menetapkan dan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani hal itu.

 

Perkataan penulis,   “Di dalam Surat al-Ikhlash.”

 

Kata   “surat” adalah kumpulan ayat-ayat yang dibatasi dalam Kitabullah, yakni terpisah dari yang sebelum dan sesudahnya, seperti bangunan yang dibatasi oleh   “pagar”.

 

Perkataannya,   “Surat al-Ikhlash.” Kata   “mengikhlaskan sesuatu” maknanya adalah   “memurnikannya”. Artinya, apa yang dimurnikan itu tidak dicampuri oleh sesuatu pun. Surat tersebut dinamakan demikian karena mengandung ajaran keikhlasan kepada Allah, dan bahwa barangsiapa yang beriman kepadaNya, maka dia adalah seorang yang ikhlas; sehingga maknanya adalah kandungan yang murni untuk orang yang membacanya. Maksudnya, bahwa apabila seseorang membacanya didasari oleh keimanan terhadapnya, Maka dia telah bersikap ikhlas kepada Allah. Ini menurut suatu pendapat.

 

Menurut pendapat lain, adalah karena surat tersebut   “dimurnikan”; karena Allah hanya mengkhususkannya untuk DiriNya, dimana Dia sama sekali tidak menyebutkan sesuatu pun dari masalah-masa. lah hukum, atau kabar tentang selainNya. Isinya hanya kabar khusus tentang Allah. Dan kedua pendapat di atas adalah shahih, dan tidak, ada pertentangan di antara keduanya.

 

Perkataan penulis,  “Yang menyamat sepertigg al-Qur an.”

 

Dalilnya adalah sabda Nabi  kepada sahabat-sahabat beliau,

 

“Apakah salah seorang dari kalian tidak mampu membaca sepertiga alQur’an dalam satu malam?” Mereka berkata, “Bagaimana hal itu (bisa dilakukan) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Surat al-Ikhlas menyamai sepertiga al-Qur-an.”

 

Surat ini menyamai sepertiga al-Qur’an dalam balasan pahala, bukan berarti ia bisa menggantikan yang sepertiga itu. Hal ini seperti riwayat yang shahih dari Nabi  “Bahwa barangsiapa yang membaca,

 

‘Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, hanya bagiNya kerajaan, hanya miliknya segala puji, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu,’

 

Sepuluh kali, maka dia seakan telah memerdekakan empat orang anak cucu Nabi Ismail.”

 

Apakah memerdekakan empat orang hamba sahaya yang wajib dia merdekakan bisa digantikan hanya dengan membaca dzikir tersebut sebanyak sepuluh kali? Kami katakan tidak bisa tergantikan, meskipun dalam balasan pahala ia menyamainya seperti yang dinyatakan oleh Nabi. Jadi kesamaan dalam balasan pahala antara dua perkara tidak secara Otomatis salah satunya bisa menggantikan yang lain. Oleh karena itu seandainya dia membaca surat al-Ikhlas dalam shalat tiga kali, maka hal itu tetap tidak mewakili surat al-Fatihah.

 

Para ulama berkata, Alasan al-Ikhlas menandingi sepertiga Al-Qur’an adalah karena pembahasan al-Qur‘an ada tiga: berita tentang Allah, berita tentang makhluk, dan hukum.

 

  1. Berita tentang Allah, para ulama mengatakan bahwa surat mengandung hal itu.

 

  1. Berita tentang makhluk, seperti berita tentang umat-umat terdahulu, berita tentang kejadian-kejadian masa kini dan masa yang akan datang.

 

  1. Hukum-hukum seperti… dirikanlah ini, berikanlah itu, jangan melakukan kesyirikan dan lain-lain.

 

Ini adalah penjelasan terbaik tentang alasan surat al-Ikhlas menandingi sepertiga al-Qur an.

 

Perkataan penulis,   “Di mana Dia berfirman, ‘‘Katakanlah Dia-lah Allah Yang Maha Esa’.”

 

Kata   “Katakanlah.” Alamat perintah ini kepada siapa saja yang sah untuk diperintah.

 

Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Nabi  “Ceritakanlah Sifat-sifat Tuhanmu kepada kami.” Maka Allah menurunkan surat ini.” Ada yang mengatakan bahwa Orang-orang Yahudilah yang telah mengklaim bahwa Allah diciptakan dari ini dan ini -dari bahan-bahan tertentu menurut mereka-, maka Allah menurunkan surat ini.” Benar atau tidak sebab turunnya surat Ini, jika kita ditanya apa saja tentang Allah, maka kita jawab dengan membaca surat ini.

 

  “Dia” adalah kata ganti. Ke mana ia kembali? Ada yap berpendapat, Ia kembali kepada yang ditanyakan. Seolah-olah dia berkata, Yang kamu tanyakan itu, yaitu Allah. Ada juga yang berpendapat, ( ) di sini adalah   (kata ganti dari sesuatu hal), adalah, mubtada kedua, dan   adalah khabar mubtada’ kedua. Menurut, pendapat pertama   adalah mubtada’,   khabar mubtada’, dan   khabar kedua.

 

  adalah Nama untuk Dzat Allah yang khusus bagiNya tidak ada selainNya yang menyandangnya sebagai namanya, dan Nama, nama Allah yang lain yang hadir sesudahnya menginduk kepadanya kecuali dalam kondisi sangat jarang.

 

Makna   adalah al-Ilah (sembahan) yang berarti yang dipertuhankan, yakni yang disembah, lalu huruf hamzahnya dibuang karena seringnya ia dipakai; sebagaimana halnya kata ( ) yang aslinya adalah ( ), juga seperti  “ini lebih baik dari ini”,  asalnya adalah ( ), karena seringnya ia dipakai, maka hamzahnya dilupakan, Maka Allah adalah  “Maha Esa.”

 

“Maha Esa.” Kata ini umumnya tidak hadir kecuali dalam konteks penafian, walaupun ia juga dipakai dalam konteks pene. tapan untuk nama suatu hari dalam seminggu, dikatakan Ahad, Senin, dan seterusnya. Kata ini hadir dalam penetapan sebagai Sifat Allah karena Dia memang Ahad, yakni Maha Esa dalam apa yang menjadi hak khususnya: pada Dzat, Asma’ (Nama-nama), Sifat-sifat dan Perbuatan-perbuatannya. Ahad berarti tiada duanya, tiada tandingan dan tiada sekutu bagiNya.

 

“Allah adalah (sesembahan) yang kepadaNya bergantung segala sesuatu.” Ini adalah kalimat baru, setelah Allah menyebutkan keesaanNya, Dia menyebutkan bahwa Dia adalah tempat bergantung segala sesuatu. Dia menghadirkan kalimat yang terdiri dari dua kata yang sama-sama ma’rifat untuk menunjukkan pembatasan, yakni hanya Allah-lah tempat bergantung segala sesuatu.

 

Lalu apa makna ash-Shamad (tempat bergantung segala sesuatu)?

 

Ada yang berpendapat,   berarti “Yang Mahasempurna” dalam IImuNya, KuasaNya, HikmahNya, KeperkasaanNya, KekuasaanNya, dan dalam seluruh Sifat-sifatNya.

 

Ada juga yang berpendapat, ash-Shamad adalah yang tidak memiliki rongga, yakni tidak ada usus dan ada perut. Oleh karena itu, para malaikat disebut shamad, karena mereka tidak memiliki rongga; tidak makan dan tidak minum. Makna kedua ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas  dan ia tidak bertentangan dengan makna yang pertama, karena hal itu menunjukkan kekayaanNya dengan DiriNya dari seluruh makhlukNya.

 

Ada juga yang berpendapat, ash-Shamad berarti isim maf’ul, yakni   yakni tempat bergantung para makhluk dalam hajat-hajat mereka, artinya; makhluk condong kepadaNya, menuju kepadaNya, dan mengangkat segala hajatnya kepadaNya, jadi artinya adalah Dzat yang dibutuhkan oleh siapa pun.

 

Pendapat-pendapat di atas tidak saling bertentangan dalam apa yang terkait dengan Allah. Oleh karena itu kami katakan, Semua makna ini adalah shahih, karena satu dengan lainnya tidak bertentangan.

 

Kami menafsirkannva dengan tafsir yang menyeluruh. Kami katakan, ash-Shaniad adalah Yang sempurna dalam Sifat-sifatNya Yang dibutuhkan oleh seluruh makhluk. Mereka semua bergantung kepadaNya.

 

Dari sini, jelaslah bagimu makna yang besar dari lafazh ash-Shamad; bahwa Dia tidak membutuhkan selainNya, sempurna dalam segala SifatNya, dan apa saja yang selainNya butuh kepadaNya.

 

Jika ada yang berkata, Allah bersemayam di atas Arasy; apakah ini berarti Dia membutuhkan Arasy, yang jika seandainya Arasy disingkirkan, Dia akan jatuh? Jawabnya, tentu tidak, dan tidak akan, karena Allah adalah ash-Shamad, Dzat Yang Maha sempurna Yang tidak memerlukan Arasy, justru Arasy, langit, kursi dan seluruh makhluklah yang membutuhkanNya. Allah tidak memerlukan itu semua. Ini kita ambil dari kata ash-Shamad.

 

Jika ada yang berkata, Apakah Allah makan dan minum? Kami Jawab, Tidak; karena Allah ash-Shamad.

 

Dengan ini, kita mengetahui bahwa ash-Shamad adalah kata ya, mengumpulkan seluruh Sifat kesempurnaan bagi Allah, sekaligus mengumpulkan seluruh sifat kekurangan bagi seluruh makhluk dan bahwa, mereka memerlukanNya.

 

Kemudian perkataan penulis,   “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak, sesuatu pun yang setara dengan Dia.” Ini adalah penegasan bagi pre. dikat sebagai ash-Shamad (tempat bergantung segala sesuatu) dan juga penegasan bagi keesaan Allah. Kami katakan, ‘Penegasan’, karena kami memahami ini dari keterangan sebelumnya, maka kehadirannya di sini sebagai penegasan dan penetapan bagi yang sebelumnya. Karena predikat sebagai ash-Shamad dan keesaanNya, Dia tidak beranak, ka. rena anak seperti bapaknya dalam bentuknya, dalam sifat, bahkan dalam kemiripan.

 

Ketika Mujazziz al-Mudliji datang kepada Zaid bin Haritsah dan putranya, Usamah ketika tubuh mereka terbalut (tertutup total) dengan selimut, yang terlihat hanyalah kaki mereka berdua, hanya dengan melihat kaki keduanya Mujazziz berkata,  “Kaki-kaki ini sebagian darinya berasal dari sebagian yang lain.” Dia mengetahui hal itu dengan kemiripan.

 

Karena kesempurnaan keesaanNya dan statusNya sebagai ashShamad, maka   “Dia tidak beranak,” karena bapak membutuhkan anak dalam pengabdian dan nafkah. Anak membantunya pada saat bapak telah tua dan anak keturunannya berlanjut.

 

Kata   “Tidak diperanakkan,” karena jika Dia diperanakkan, tentulah didahului oleh seorang bapak, padahal Allah adalah yang pertama, sebelumNya tiada sesuatu. Dia adalah Khaliq dan selainNya adalah makhluk, mana mungkin Dia diperanakkan?

 

Secara akal, pengingkaran bahwa Allah diperanakkan adalah lebih mantap dalam nalar daripada pengingkaran bahwa Allah beranak. Oleh karena itu tidak ada yang berpendapat bahwa Allah memiliki bapak meskipun ada orang yang berdusta yang mengklaim bahwa Allah memiliki anak.

 

Allah menafikan keduanya. Dia memulai dengan penafian terhadap anak, karena pentingnya bantahan terhadap para pengklaimnya, bahkan Dia berfirman,

 

“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak.” (Al-Mu’minun: 91).

 

Meski hanya dengan penamaan Dia tidak beranak dan tidak mengangkat seorang anak. Manusia yang tidak melahirkan bisa saja mengambil anak dan menganggapnya sebagai anak dengan adopsi atau perwalian atau lainnya, meskipun yang pertama tidak disyariatkan. Lain halnya dengan Allah, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Karena benak seseorang bisa saja membayangkan bahwa sesuatu bukan beranak dan bukan diperanakkan, akan tetapi ia berasal-usul, maka Allah menepis bayangan yang mungkin terlintas di dalam benak tersebut. Dia berfirman,

 

“Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 4).

 

Jika tidak ada yang menandingiNya maka secara otomatis Dia tidak berasal-usul.   “Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia,” yakni tak sesuatu pun menandingiNya dalam semua Sifat-sifatNya.

 

Surat al-Ikhlas ini mengandung sifat-sifat tsubutiyah (ditetapkan) dan sifat-sifat salbiyah (yang ditiadakan).

 

Sifat yang tsubutiyah adalah pada kalimat   yang mengandung makna Uluhiyah, juga kata   yang mengandung keesaan, dan kata   yang mengandung ash-Shamadiyah (status sebagai tempat bergantung segala sesuatu).

 

-Sedangkan sifat salbiyah adalah pada kalimat;   “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.”

 

Ada tiga penetapan dan ada tiga penafian.

 

Dan penafian ini mengandung kesempurnaan keesaan dan kesempurnaan sebagai tempat bergantung segala sesuatu.

 

Penulis berkata

 

Dan sifat yang dengannya Dia menyifati DiriNya dalam ayat yang paling agung dalam Kitabullah; di mana Dia berfirman, “Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi, tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah, kecuali dengan izinNya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255).

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,   “Dan sifat yang Allah sandangkan pada DiriNya dalam ayat yang paling agung dalam Kitabullah.” Ayat ini dikenal dengan sebutan ayat kursi, karena didalamnya disebutkan tentang kursi,

 

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” (Al-Baqarah: 255).

 

Ini adalah ayat paling agung di dalam Kitabullah.

 

Dalilnya adalah pertanyaan Nabi  kepada Ubay bin Ka’ab  “Ayat apa yang paling agung yang ada di dalam Kitabullah?” Ubay menjawab,

 

“Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya).” (Al-Baqarah: 255).

 

Maka beliau menepuk dadanya sambil bersabda, “Semoga ilmu dijadikan mudah untukmu wahai Abul Munazir.”

 

Nabi  menyetujui bahwa ayat ini adalah ayat paling agung di dalam Kitabullah. Dan hadits ini sekaligus merupakan dalil yang menunjukkan ilmu Ubay tentang Kitabullah.

 

Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa sebagian al-Qur’an memiliki keunggulan di atas sebagian yang lain, sebagaimana ditunjukkan pula oleh surat al-Ikhlas. Hanya saja masalah ini memerlukan perincian. Karena itu, kami berkata, Kalau dari segi yang berbicara, maka seluruh al-Qur’an adalah sama, karena yang berbicara dengannya adalah satu yaitu Allah. Kalau dari segi kandungan dan topik pembahasan, maka sebagian darinya mengungguli sebagian yang lain. Surat al-Ikhlas yang berisi pujian kepada Allah dengan kandungan Nama-nama dan Sifatsifat Allah, tidak sama dengan Surat al-Masad yang menjelaskan keadaan Abu Lahab. Begitu pula sebagian mengungguli yang lain dari segi pengaruh dan kekuatan gaya bahasa. Ada sebagian ayat yang pendek tetapi ia berisi nasihat yang ampuh lagi kuat bagi hati. Ada pula ayat yang jauh lebih panjang akan tetapi kandungannya tidak sama dengan ayat yang lebih pendek tersebut. Misalnya FirmanNya,

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kalian mencatatnya.” (Al-Baqarah: 282)

 

Tema ayat ini ringan. Kajian tentangnya berkaitan dengan muamalat yang berlaku di antara manusia, ayat ini tidak memiliki pengaruh seperti pengaruh ayat ini,

 

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada Hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasan (amal) kalian. Maka barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh, dia memperoleh kemenangan. Dan tidaklah kehidupan dunia itu kecuali kesenangan yang memperdaya.” (Ali Imran: 185).

 

Ayat yang kedua ini membawa makna-makna yang agung. Ia mengandung hardikan, nasihat, dorongan kepada kebaikan dan larangan terhadap keburukan. Tentu ini tidak sama dengan ayat tentang hutang piutang, meskipun lebih panjang.

 

Perkataan penulis,   “Di mana Dia berfirman, ‘Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia’.”

 

Dalam ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia-lah satu-satunya yang, berhak disembah. Hal itu terdapat pada FirmanNya,   “Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia.” (Al-Baqarah: 255).

 

Kalimat ini menunjukkan pembatasan. Dan Metode penafian yang diikuti dengan penetapan termasuk bentuk kalimat pembatasan yang paling kuat.

 

Perkataan penulis,   “Yang hidup kekal Yang terusmenerus mengurus (makhlukNya).”

 

Pemilik kehidupan yang sempurna yang meliputi seluruh sifat kesempurnaan yang tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak diikuti dengan kefanaan; kehidupan yang tidak disertai oleh kekurangan sedikit pun.

 

Kata  adalah salah satu Nama Allah, dan terkadang ia digunakan untuk selain Allah. Firman Allah

 

“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.” (Al-An’am: 95).

 

Akan tetapi ( ) bagi Allah tidaklah sama dengan ( ) bagi makhluk, kesamaan sebutan tidak mengharuskan adanya kesamaan yang disebutkan.

 

“Yang terus-menerus mengurus (makhlukNya),” dengan timbangan kata ( ) termasuk bentuk kata yang menunjukkan “sangat” dan “mantap”, ia diambil dari (yang secara bahasa bermakna, melaksanakan atau melakukan).

 

Makna  adalah berdiri sendiri (mandiri), dan berdirinya Dia dengan DiriNya sendiri menunjukkan bahwa Dia tidak memerlukan selainNya; tidak memerlukan makan, minum dan lain-lain.

 

Adapun selainNya maka dia tidak berdiri sendiri, dia membutuhkan Allah untuk mengadakan dirinya, menyiapkannya dan memberikan  kebutuhannya. Termasuk makna   adalah yang mengurusi selainnya; berdasarkan Firman Allah

 

“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (Ar-Ra’d: 33).

 

Lawannya (dalam ayat ini) tidak disebut, dan asumsinya adalah “sama dengan yang tidak demikian sifatnya?” Tuhan yang mengurusi setiap diri dengan apa yang diperbuatnya adalah Allah. Oleh karena itu, para ulama berkata,   adalah yang berdiri sendiri dan mengurusi selainnya. Jika Dia mengurusi selainNya, maka secara otomatis selainNya butuh kepadaNya. Firman Allah 

 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya telah berdirinya langit dan bumi dengan iradatNya.” (Ar-Rum: 25).

 

Jadi Dia sempurna Sifat-sifatNya, sempurna kepemilikanNya, dan sempurna perbuatanNya.

 

Kedua Nama Allah ini adalah Nama Allah yang paling agung yang jika Allah diseru (di dalam doa) dengan kedua NamaNya ini niscaya Dia mengabulkannya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang bertawasul dengan dua NamaNya itu dalam doanya dengan berkata,

 

“Wahai Yang Maha Hidup! Wahai Yang Mengurusi makhlukNya!”

 

Kedua Nama ini disebutkan dalam al-Qur an di tiga tempat: ini ayat kursi pada surat al-Baqarah: 255) adalah yang pertama, yang kedua adalah, 

 

“Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. Yang Maha. hidup lagi Maha mengurus (makhlukNya).” (Ali Imran: 2).

 

Dan yang ketiga adalah,

 

“Dan tunduklah semua wajah (dengan berendah diri) kepada Yang Maha Hidup lagi Maha mengurusi (makhlukNya). Dan sungguh telah merugilah orang yang memikul (dosa) kezhaliman (syirik).” (Thaha: 111).

 

Dua Nama ini mengandung kesempurnaan Dzat dan kesempur. naan kekuasaan. Kesempurnaan Dzat yaitu pada FirmanNya   dan kesempurnaan kekuasaan yaitu pada FirmanNya   karena Dia Yang mengurus segala sesuatu dan segala sesuatu itu bergantung kepadaNya.

 

Perkataan penulis,   “Tidak mengantuk dan tidak tidur.”

 

Kata ( ) bermakna   “mengantuk,” ia adalah gejala tidur. Dia tidak berfirman,   “tidak tidur,” akan tetapi Dia berfirman,

 

“tidak dikalahkan oleh kantuk dan tidur,” karena yang pertama dengan kemauan sendiri (sukarela) dan yang kedua dengan paksaan.

 

Tidur termasuk sifat kekurangan. Nabi  bersabda,   “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak patut bagiNya untuk tidur.”

 

Ini adalah salah satu sifat yang dinafikan (ditiadakan) dan telah dijelaskan bahwa sifat yang dinafikan harus mengandung penetapan terhadap sifat kesempurnaan yang merupakan lawan dari sifat yang dinafikan tersebut. Kesempurnaan pada FirmanNya,   adalah kesempurnaan hidup dan berdiri sendiri yang juga mengurusi makhluk-makhlukNya, karena di antara bentuk kesempurnaan hidupNya adalah Dia tidak memerlukan tidur, dan kesempurnaan predikatNya sebagai yang berdiri sendiri dan terus mengurusi makhlukNya adalah Dia tidak tidur. Tidur hanya diperlukan oleh makhluk hidup; karena kekurangannya. la memerlukan tidur untuk beristirahat karena kelelahan yang menimpanya dan mengembalikan kekuatan untuk bekerja kembali. Karena penduduk surga memiliki kehidupan yang sempurna, maka mereka tidak tidur seperti yang disebutkan dalam atsar yang, shahih.

 

Jika ada yang berkata, Tidur pada manusia adalah kesempurnaan. Oleh karena itu jika manusia tidak tidur, maka dia dianggap sakit. Kami katakan, Sama dengan makan, jika manusia tidak makan maka dia dianggap sakit. Akan tetapi ia bukan kesempurnaan mutlak; ia adalah kesempurnaan dari satu segi dan kekurangan dari segi yang lain. Kesempurnaan karena ia adalah indikator sehat dan normalnya badan, dan kekurangan, karena badan memerlukannya dan itu sebenarnya adalah kekurangan.

 

Jadi tidak semua kesempurnaan yang nisbi (relatif) bagi makhluk adalah kesempurnaan bagi Allah Yang Maha Mencipta, sebagaimana tidak semua kesempurnaan pada Khaliq adalah kesempurnaan pada makhluk, takabur adalah kesempurnaan bagi Allah dan kekurangan bagi makhluk. Makan, minum dan tidur adalah kesempurnaan bagi makhluk dan kekurangan bagi Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman tentang DiriNya,

 

“Padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?” (Al-An‘am: 14).

 

Perkataan penulis,   “KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi.”

 

( ) adalah khabar yang didahulukan, ( ) adalah mubtada yang diakhirkan. Ini adalah kalimat pembatasan, yaitu dengan cara mendahulukan yang semestinya diakhirkan yaitu khabar. ( ) Lam menunjukkan kepemilikan, kepemilikan yang sempurna tanpa penentang. “Apa yang ada di langit” yaitu para malaikat, surga dan lain-lain yang tidak kita ketahui. “Dan yang di bumi” yaitu seluruh makhluk yang hidup atau selainnya.

 

FirmanNya,  menunjukkan bahwa langit itu ada beberapa dan memang demikian, ayat lain menyatakan bahwa ia tujuh, “Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arasy yang agung?'” (Al-Mu’minun: 86). Bumi, juga diisyaratkan oleh al-Qur’an berjumlah tujuh, tapi tidak Secara jelas, hanya saja pernyataan yang jelas diberikan oleh as-Sunnah

 

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi,” (Ath-Thalaq: 12).

 

Yakni, sama dengan langit dalam jumlah bilangan, bukan dalam sifat. Dalam as-Sunnah, Nabi  bersabda,

 

“Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zhalim, maka Allah akan memikulkannya di lehernya pada Hari Kiamat dari tujuh bumi.”

 

Perkataan penulis,  “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisiNya kecuali dengan izinNya.”

 

(pada dasarnya) adalah isim istifham (kata tanya) atau bisa kita katakan bahwa   adalah kata tanya dan   tidak difungsikan.   tidak bisa dijadikan sebagai isim maushul (kata sambung) dalam kalimat ini, karena jika demikian, maka maknanya adalah   “Siapa yang yang” dan ini tidak benar.

 

“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisiNya.” Secara bahasa, syafa’at adalah menjadikan sesuatu yang ganjil menjadi genap. Allah   berfirman,

 

“Demi yang genap dan yang ganjil.” (Al-Fajr: 3).

 

Secara terminologi ia adalah menjembatani orang lain untuk menggapai kebaikan atau menepis keburukan.

 

Sebagai contoh, syafa’at Nabi  bagi manusia di Padang Mahsyar agar perkara mereka segera diputuskan, ini syafa’at dalam menepis keburukan, dan syafa’at Nabi  bagi penduduk Surga agar mereka memasukinya adalah syafa’at dalam menggapai kebaikan.

 

“di sisiNya,” yaitu, di sisi Allah.

 

“kecuali dengan izinNya,” yakni izin Allah kepadanya. Ini menetapkan adanya syafa’at, akan tetapi dengan syarat adanya izin, karena jika syafa’at tidak ada sama sekali, maka pengecualian dalam FirmanNya, “kecuali dengan izinNya” adalah sia-sia, tak berguna.

 

Ia disebutkan setelah “KepunyaanNya apa yang di langit,” menunjukkan bahwa kepemilikan ini yang merupakan hak khusus Allah adalah kepemilikan yang berkekuatan sempurna; artinya tiada seorang pun yang mampu bertindak, tidak dengan memberi syafa’at ataupun

 

dengan lainnya, kecuali dengan izinNya. Ini termasuk kesempurnaan rububiyah dan kekuasaan Allah.

 

Kalimat ini menunjukkan bahwa Allah memiliki hak untuk mengizinkan.   (izin) arti asalnya adalah   (pemberitahuan). Firman Allah

 

“Dan (inilah) suatu pemberitahuan (permakluman) dari Allah dan RasulNya.” (At-Taubah: 3).

 

Yakni, pemberitahuan dari Allah dan RasulNya. Jadi makna

 

“dengan izinNya” adalah dengan pemberitahuanNya bahwa Dia membolehkan hal itu.

 

Syafa’at memiliki syarat-syarat yang lain, di antaranya adalah keridhaan Allah kepada pemberi dan penerima syafa’at. Firman Allah

 

“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya’: 28).

 

Dan FirmanNya,

 

“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang diberi izin oleh Yang Maha Pengasih, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Thaha:109).

 

Terdapat ayat yang menyatukan tiga syarat syafa’at, yaitu FirmanNya,

 

“Dan betapa banyak malaikat di langit, syafa’at (pertolongan) mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali apabila Allah telah mengizinkan bagi Siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridhai.” (An-Najm: 26).

 

Yakni, meridhai pemberi dan penerima syafa’at, karena tidak dj. sebutkannya maf’ul (obyek) menunjukkan keumuman.

 

Jika ada yang bertanya: Apa faidah syafa’at jika Allah telah me. ngetahui bahwa penerima syafa’at akan selamat?

 

Jawaban: Bahwa Allah mengizinkan syafa’at bagi pemberi syafa’at untuk memuliakannya dan memberinya Maqam Mahmud (kedudukan yang, terpuji).

 

Perkataan penulis,   “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan dan di belakang mereka.”

 

Ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan kondisinya yang sebenarnya. Allah ‘Mengetahui apa yang di hadapan mereka’ yaitu masa datang. ‘Dan di belakang mereka’ yaitu masa lalu. Kata ( ) menunjukkan keumuman, ia mencakup semua yang telah berlalu dan semua yang akan datang. la juga mencakup apa yang berkaitan dengan perbuatanNya dan apa yang berkaitan dengan perbuatan makhlukNya.

 

Perkataan penulis, “Dan mereka tidak mengetahui apa-apa.”

 

Kata ganti pada   yaitu mereka kembali kepada makhluk sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh FirmanNya,

 

“KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi.”

 

Yakni, siapa pun yang ada di langit dan di bumi tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan dengan apa yang dikehendakiNya.

 

“Dari ilmu Allah.” Ada kemungkinan ilmu tentang Dzat dan Sifat-sifatNya, yakni kita tidak mengetahui apa-apa tentang Allah, Dzat dan Sifat-sifatNya, kecuali apa yang Allah berkehendak untuk memberitakannya kepada kita. Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud “ilmu” di sini adalah “yang diketahui,” yakni mereka tidak mengetahui sesuatu dari apa yang diketahuiNya, yakni dari apa yang Dia ketahui, kecuali apa yang Dia kehendaki. Kedua kemungkinan makna ini adalah shahih, meskipun kami katakan bahwa makna yang kedua lebih umum, karena ilmuNya tentang Dzat, Sifat-sifat dan yang lain, termasuk ke dalam apa yang diketahui.

 

“Melainkan apa yang dikehendakiNya.” Yakni, kecuali apa yang Allah berkehendak untuk mengajarkannya kepada mereka. Allah telah mengajarkan kepada kita banyak hal: Nama-namaNya, Sifat-sifatNya, hukum-hukumNya, baik hukum kauniyah atau hukum syar’iyyah, akan tetapi yang banyak ini adalah sedikit dibandingkan apa yang Dia ketahui, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan kalian tidak diberi ilmu, melainkan sedikit’.” (Al-Isra’: 85).

 

Perkataan penulis,  “Kursi Allah meliputi langit dan bumi,” yakni, mencakup. Maknanya, KursiNya meliputi langit dan bumi dan ia lebih besar darinya, karena kalau bukan karena kursiNya itu lebih besar, niscaya ia tidak akan dapat meliputi langit dan bumi.

 

Tentang Kursi ini, Ibnu Abbas  berkata, “Kursi adalah tempat kedua Kaki Allah “la bukan Arasy, karena Arasy lebih besar darinya.” “Telah diriwayatkan dari Nabi  bahwa perbandingan langit yang tujuh dan bumi yang tujuh dengan Kursi adalah seperti gelang besi di padang pasir dan bahwa keunggulan Arasy di atas kursi adalah seperti keunggulan pasir tersebut atas gelang besi tersebut.”

 

Ini menunjukkan keagungan makhluk-makhluk ini dan keagungan makhluk menunjukkan keagungan Allah Yang Maha Mencipta.

 

Perkataan penulis, “Dan Allah tidak merasa, berat memelihara keduanya.” Yakni, menjaga langit dan bumi sama Sekali tidak memberatkan dan menyusahkan Allah.

 

Ini termasuk sifat manfiyah (yang ditiadakan) yang mengandung penetapan terhadap sifat tsubutiyah, yaitu kesempurnaan kuasa, ilmu kekuatan dan rahmat.

 

Perkataan penulis,   “dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”

 

“Mahatinggi,” dengan timbangan kata ( ), ia adalah   (kata sifat yang disamakan dengan isim fa’il), karena ketinggian Allah adalah sesuatu yang lazim bagi DzatNya. Perbedaan antara sifat musyap, bahan dengan isim fa’il adalah bahwa yang kedua menunjukkan sifat yang insidentil yang mungkin lenyap sedangkan yang pertama menunjukkan sifat yang lazim yang tidak terpisah dari pemiliknya.

 

Al-Uluw (tinggi) bagi Allah terbagi menjadi dua: Uluw (tinggi) DzatNya dan Uluw (tinggi) sifat-sifatNya.

 

Yang pertama berarti bahwa Allah di atas segala sesuatu dengan DzatNya, tidak ada sesuatu pun di atasNya dan tidak ada sesuatu pun yang setara tingginya denganNya.

 

Adapun yang kedua, yaitu yang ditunjukkan oleh Firman Allah,

 

“Dan Allah mempunyai Sifat Yang Mahatinggi.” (An-Nahl: 60).

 

Yakni, seluruh sifat-sifatNya adalah tinggi, tidak ada sedikit pun kekurangan.

 

“Lagi Maha Agung,” adalah sifah musyabbahah, yang berarti Pemilik kebesaran, yaitu kekuatan, kekuasaan dan lain-lain seperti yang ditunjukkan oleh kata ini.

 

Ayat Kursi ini mengandung lima Nama Allah, yaitu: Allah,   “Yang Maha Hidup”,   “Yang senantiasa mengurusi makhlukNya”,   “Yang Mahatinggi”, dan   “Yang Maha Agung”.

 

Dan ayat kursi ini juga mengandung dua puluh enam sifat, lima di antaranya dikandung oleh lima nama di atas. Kemudian, Sifat yang keenam: Keesaan Allah dengan uluhiyahNya (sebagai satu-satunya yang berhak disembah).

 

Sifat yang ketujuh: Dinafikannya ngantuk dan tidur dari Allah, karena kesempurnaan hidupNya dan senantiasa mengurusi makhlukNya.

 

Sifat yang kedelapan: KerajaanNya yang menyeluruh, berdasarkan FirmanNya,

 

“KepunyaanNya apa yang di langit dan apa yang di bumi.”

 

Sifat yang kesembilan: Keesaan Allah dalam kepemilikan, ini kita ambil dari,

 

“KepunyaanNya apa yang di langit dan apa yang di bumi,” dimana khabarnya didahulukan.

 

Sifat yang kesepuluh: Kekuatan dan kekuasaan Allah yang sempurna berdasarkan Firman Allah,

 

“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali dengan izinNya.”

 

Sifat kesebelas: Penetapan tandiyah (di sisi), dan ini menunjukkan bahwa Allah tidak di setiap tempat. Di sini terkandung bantahan terhadap golongan al-Hululiyah.

 

Sifat kedua belas: Penetapan sifat “mengizinkan” bagi Allah, yaitu dari FirmanNya, 

 

Sifat ketiga belas: Keumuman ilmu Allah, berdasarkan FirmanNya,

 

“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”

 

“Kecuali dengan izinNya.”

 

Sifat keempat belas dan kelima belas: Bahwa Allah tidak lupa terhadap masa lalu, berdasarkan FirmanNya,

 

“Dan di belakang mereka.”

 

Allah tidak bodoh terhadap masa yang akan datang, berdasakan FirmanNya,

 

“Apa-apa yang di hadapan mereka.”

 

Sifat keenam belas: Kesempurnaan keagungan Allah, Karena makhluk tidak mampu mencakupinya (secara keseluruhan).

 

Sifat ketujuh belas: Penetapan masyi’ah (kehendak) (bagi Allah) berdasarkan FirmanNya,

 

“Melainkan apa yang dikehendakiNya.”

 

Sifat kedelapan belas: Penetapan kursi (bagi Allah) dan ia adalah tempat kedua kaki.

 

Sifat kesembilan belas, kedua puluh, dan kedua puluh satu. Penetapan keagungan, kekuatan dan kuasa (bagi Allah), berdasarkan Firman Allah,

 

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi,” karena kebesaran makhluk menunjukkan kebesaran Khaliq (yang menciptakannya).

 

Sifat kedua puluh dua, keduapuluh tiga, dan kedua puluh empat: Kesempurnaan ilmuNya, rahmatNya dan penjagaanNya, ini diambil dari FirmanNya,

 

“Dan Allah tidak merasa berat menjaga keduanya.”

 

Sifat kedua puluh lima: Penetapan uluw (ketinggian) bagi Allah berdasarkan FirmanNya,

 

“Dan Allah Mahatinggi.” Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi dengan DzatNya dan bahwa tingginya Allah termasuk sifat dzatiyah azali dan abadi.

 

Dalam hal ini terdapat dua kelompok yang berseberangan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kelompok pertama berkata, “Sesungguhnya Allah berada di setiap tempat dengan DzatNya.” Kelompok kedua perkata, “Sesungguhnya Allah tidak di atas alam, tidak di bawahnya, tidak berada di alam, tidak di sebelah kanan, tidak di sebelah kiri, tidak terpisah dari alam dan tidak menyatu dengan alam.”

 

Kelompok yang menyatakan bahwa Allah berada di setiap tempat berdalil dengan Firman Allah,

 

“Dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan tidak ada (pula pembicaraan rahasia antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya, dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka dimanapun mereka berada.” (Al-Mujadilah: 7).

 

Mereka juga berdalil dengan Firman Allah

 

“Dia-lah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Al-Hadid: 4). 

 

Menurut pendapat ini, Allah bukan Maha Tinggi dengan DzatNya, akan tetapi -menurut mereka ketinggian sifat (karakter).

 

Sedangkan kelompok yang menyatakan bahwa Allah tidak disifati dengan arah (berada pada suatu arah) berkata, “Karena kalau kita menyifatiNya demikian, berarti Dia adalah jasmani; sedangkan jasmani Satu dengan lainnya memiliki kesamaan. Ini berarti tamtsil (memisalkan Allah dengan yang lain), jadi kami mengingkari bahwa Allah berada di satu arah.”

 

Kami membantah kedua kelompok di atas dari dua segi:

 

Pertama: Membatalkan argumen mereka.

 

Kedua: Menetapkan lawan dari pendapat mereka dengan dalil dahil yang qati’i.

 

1 – Pertama, kami katakan kepada orang yang mengklaim bahwa Allah dengan DzatNya berada di setiap tempat. Klaim kalian ini ag, lah batil dan ditolak oleh dalil naqli dan agli.

 

Dari segi dalil naqli; karena Allah menetapkan untuk DiriNya, bahwa Dia Maha Tinggi, sementara ayat yang kalian gunakan sebagai dalil tidak menunjukkan hal itu, sebab kebersamaan Allah dengan sesuatu itu tidak berarti bahwa Dia berada pada sesuatu itu. Lihatlah perkataan orang-orang Arab, “Rembulan itu bersama kita,” padahal ia tetap di langit. Suami berkata, “Istriku bersamaku.” Padahal dia di timur sementara istrinya di barat. Panglima berkata kepada tentara-tentaranya “Berangkatlah ke medan perang, aku bersama kalian.” Padahal dia berada di pusat komando, sementara tentaranya di medan perang. Jadi, “kebersamaan” tidak selalu menuntut keberadaan di sampingnya, karena artinya ditentukan berdasarkan apa yang disandarkan padanya, Terkadang engkau berkata, “Susu ini bersama air.” Artinya adalah dicampuri, kebersamaan ini menuntut percampuran. Seseorang berkata, “Barangku bersamaku,” padahal barangnya ada di rumah, dan tidak bersamanya. Dan dia bisa pula mengatakan, “Barangku bersamaku,” tatkala barangnya tersebut bersama langsung dengan dirinya. Ini adalah satu kata akan tetapi artinya berbeda-beda tergantung penyandarannya. Dari sini kami katakan bahwa kebersamaan Allah dengan makhlukNya adalah kebersamaan yang layak dengan keagunganNya, sama halnya dengan Sifat-sifatNya yang lain. la adalah kebersamaan yang sempurna lagi hakiki, hanya saja Dia tetap di langit.

 

Adapun dalil aqli atas kebatilan pendapat mereka, maka kami katakan, jika engkau berkata, “Sesungguhnya Allah bersamamu di setiap tempat” maka perkataanmu ini berkonsekuensi kepada beberapa hal yang batil.

 

Pertama: Allah berbilang atau Allah terbagi-bagi. Ini adalah kebatilan dan tidak ada keraguan, dan kebatilan konsekuensi suatu pendapat menunjukkan kebatilan pendapat tersebut.

 

Kedua: Jika engkau berkata bahwa Allah bersamamu di setiap tempat, maka secara otomatis Dia bertambah dan berkurang sesuai dengan bertambah dan berkurangnya manusia.

 

Ketiga: Jika engkau berkata bahwa Allah bersamamu, sedangkan engkau berada di WC, maka secara otomatis kita tidak menyucikanNya dari tempat-tempat yang kotor. Ini termasuk pelecehan besar terhadap Allah.

 

Dengan keterangan ini terbuktilah bahwa pendapat ini bertentangan dengan dalil naqli dan dalil aqli, dan bahwa al-Qur’an sama sekali tidak menunjukkan hal itu, tidak dengan dalalah muthabaqah atau dalalah tadhammun atau dalalah iltizam.

 

2 – Kepada kelompok kedua kami katakan,

 

Pertama: Engkau menafikan Allah berada pada suatu arah, itu berkonsekuensi menafikan Allah, karena kita tidak mengetahui sesuatu yang tempatnya tidak di atas alam, tidak di bawahnya, tidak di sebelah kanan, tidak di sebelah kiri, tidak bersambung, tidak terpisah, kecuali sesuatu itu tidak ada. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, Jika dikatakan kepada kita, sifatilah Allah dengan ketiadaan, niscaya kita tidak menemukan sifat paling benar bagi ketiadaan kecuali sifat tersebut.

 

Kedua: Perkataanmu bahwa penetapan arah bagi Allah berkonsekuensi penetapan jasmani, maka akan kita kaji kata jasmani ini.

 

Jasmani apakah yang membuatmu menjauhkan manusia dari penetapan terhadap Sifat-sifat Allah karenanya?

 

Apakah yang engkau inginkan dengan jasmani adalah sesuatu yang terbentuk dari beberapa unsur di mana sebagiannya memerlukan yang lain dan ia tidak berdiri kecuali dengan bergabungnya semua unsur tersebut? Jika ini yang engkau inginkan, maka kami tidak menyetujuinya. Kami katakan bahwa Allah bukan jasmani dengan makna demikian. Dan barangsiapa menyatakan bahwa penetapan Sifat al-Uluw (Allah di atas sana) berkonsekuensi kepada jasmani dengan makna begini, maka perkataannya hanya sekedar klaim, cukup kita katakan, “Tidak dapat diterima.”

 

Kalau yang engkau inginkan dengan jasmani adalah Dzat yang berdiri sendiri yang memiliki sifat yang layak dengannya, maka kami menetapkan hal itu. Kami katakan bahwa Allah memiliki Dzat, Dia berdiri sendiri, memiliki Sifat-sifat kesempurnaan, dan inilah yang diketahui oleh semua manusia.

 

Dengan ini terbuktilah kebatilan pendapat orang-orang yang Menyatakan bahwa Allah berada di setiap tempat dengan DzatNya, atau pendapat yang menyatakan bahwa Allah tidak di atas alam, tidak di bawahnya, tidak bersambung, tidak pula terpisah. Kami katakan, “Yang benar adalah Dia bersemayam di atas ArasyNya.”

 

Adapun dalil-dalil Sifat al-Uluw (Allah di atas sana) yang menetapkan pendapat yang benar yang melawan pendapat kelompok pertama dan kedua yang mendukung pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka ia berjumlah banyak, tak terhitung satu demi satu. Adapun macamnya maka ia berjumlah lima: al-Qur-an, as-Sunnah, ijma’, akal, dan fitrah_

 

– Al-Qur’an: Beragam dalil dalam al-Qur’an yang menetapkan Sifat al-Uluw (tinggi) bagi Allah, di antaranya adalah pernyataan Ulyy (tinggi) secara langsung, fauqiyah (di atas), naiknya perkara-perkara ke. padaNya, turunnya perkara-perkara dariNya dan sebagainya.

 

– As-Sunnah: Sama dengan al-Qur’an, petunjuknya beragam. As. Sunnah dengan ketiga bentuknya sepakat menetapkan sifat al-Uluy bagi Allah dengan DzatNya. Al-Uluw bagi Allah telah ditetapkan as. Sunnah melalui perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi  

 

– Ijma’: Kaum Muslimin telah bersepakat sebelum munculnya kelompok-kelompok ahli bid’ah bahwa Allah bersemayam di atas ArasyNya di atas makhluk-makhlukNya.

 

Syaikhul Islam berkata, “Di dalam Firman Allah, sabda Rasulullah   perkataan sahabat dan para tabi’in, tidak terdapat petunjuk, baik secara nash maupun secara zahir bahwa Allah tidak di atas Arasy dan tidak di langit, justru mereka bersepakat bahwa Allah di atas segala sesuatu.”

 

– Akal: Sedangkan dari segi akal, maka kami katakan, Semua manusia mengetahui bahwa ketinggian adalah sifat kesempurnaan. Jika ia adalah sifat kesempurnaan, maka ia wajib ditetapkan bagi Allah, karena Allah disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu kami katakan, Kalau Allah tidak berada di atas, maka Dia di bawah atau sejajar, sedangkan di bawah dan sejajar tidaklah mungkin, karena di bawah berarti kekurangan, sama halnya dengan sejajar, karena ia berarti kesamaan dan kesetaraan dengan makhluk. Jadi, yang tersisa hanyalah yang pertama, yaitu tinggi (di atas). Ini adalah dalil aqli dari segi yang lain.

 

– Fitrah: Kami katakan, Tidak ada seorang pun yang berkata, wahai Tuhanku” kecuali secara otomatis hatinya menghadap ke atas.

 

Jadi kelima dalil di atas saling mendukung.

 

Sedangkan mengenai tingginya Sifat-sifat Allah, maka ia telah disepakati oleh siapa pun yang beragama Islam.

 

Sifat yang kedua puluh enam: Penetapan keagungan bagi Allah, berdasarkan FirmanNya,   “Maha Agung.”

 

Penulis berkata,

 

Oleh karena itu, barangsiapa membaca ayat ini di suatu malam, maka dia senantiasa mendapatkan perlindungan dari Allah dan tidak didekati setan sampai pagi.

 

Syarah:

 

Ini adalah bagian dari hadits Abu Hurairah . yang diriwayatkan oleh al-Bukhari tentang kisah penjagaan harta zakat oleh Abu Hurairah dengan perintah Rasulullah  , di mana setan mengambil sebagian dari makanan tersebut. Singkat kisah, setan berkata kepada Abu Hurairah,

 

“Jika kamu beranjak ke tempat tidur, maka bacalah ayat Kursi, “

 

“Allah, Yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, Yang Maha Hidup, Yang Maha mengurus (segala sesuatu), tidak mengantuk dan tidak tidur MilikNya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisiNya tanpa izinNya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmuNya, melainkan apa yang Dia kehendaki. KursiNya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255) maka kamu senantiasa memperoleh penjagaan dari Allah, dan Setan tidak mendekatimu sampai pagi. Lalu Abu Hurairah menyampaikannya kepada Nabi  , maka beliau bersabda,

 

“Dia berkata benar kepadamu padahal dia adalah pembohong.”

 

Penulis berkata,  Dan FirmanNya, Dia-lah Yang Maha Awal, Yang Maha Akhir, Yang Maha Zahir dan Yang Mahabatin; dan Dia Maha Mengetahui segala  sesuatu.” (Al-Hadid: 3).

 

Syarah:

 

“Dan FirmanNya   Perkataan penulis ini bersambung (satu rangkaian) dengan ‘surat’ yang terdapat pada perkataan sebelumnya, “Sifat-sifat yang dengannya Allah menyifati DiriNya di dalam Surat al-Ikhlas.”

 

“Dia-lah Yang Maha Awal, Yang Maha Akhir, Yang Maha Zahir dan Yang Maha Batain.”

 

Ini adalah empat Nama, satu sama lain saling berlawanan pada waktu dan tempat, yang menunjukkan pengetahuan Allah yang mencakup segala sesuatu; pertama dan terakhir, begitu pula dalam tempat. Maka ia mengandung pengetahuan sempurna yang terkait dengan waktu dan tempat.

 

“Yang Maha Awal” ditafsirkan oleh Nabi  dalam sabda beliau, “Yang tidak didahului oleh sesuatupun.”

 

Di sini Nabi  menafsirkan penetapan dengan (kalimat) penafian (kebalikannya), beliau menjadikan sifat tsubutiyah menjadi salbiyah, seara telah kami sebutkan sebelumnya bahwa sifat tsubutiyah lebih banyak dan lebih sempurna, lalu mengapa?

 

Kami katakan, Nabi  menafsirkan demikian untuk menegasan Sifat Awal tersebut, yakni awal di sini bersifat mutlak, bukan awal yang nisbi (relatif); yang padanya dikatakan, ini adalah yang awal degan melihat kepada apa yang setelahnya dan telah ada sesuatu sebelumnya. Jadi, tafsir Nabi  dengan sesuatu yang salbi (menafikan jawabannya) lebih menunjukkan keumuman dari segi permulaan waktu.

 

“Yang Maha Akhir,” Nabi  menafsirkannya dengan sabda beliau,  “Yang setelahNya tidak ada sesuatu.” Jangan dipahami bahwa ini menunjukkan akhir dari keMahaakhiranNya, hal itu karena adanya beberapa perkara yang abadi, padahal ia makhluk; seperti surga dan neraka. Jadi makna ( ) adalah bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan sempurna, maka tidak ada akhir bagi kemahaakhiranNya.

 

“Yang Maha Zahir,” dari ( ) yang berarti uluw (tinggi), sebagaimana Allah berfirman,

 

“Dia-lah yang mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar, untuk dimenangkanNya atas segala agama.” (At-Taubah: 33).

 

Yakni, agar Dia meninggikannya, dari sinilah punggung hewan tunggangan disebut ( ), karena ia ada di atas. Termasuk dalam hal ini Firman Allah

 

“Maka mereka tidak bisa mendakinya.” (Al-Kahfi: 97). Yakni, melewatinya dari atasnya.

 

Nabi  bersabda tentang tafsir dari “Yang Mahazahir” “Yang di atasNya tidak ada sesuatu.” Yakni, Dia Mahatinggi di atas segala sesuatu.

 

“Yang Mahabbatun ” Nabi  menafsirkannya dengan sabda beliau,   “Yang tidak ada sesuatu pun yang lebih dekat dari, padaNya.” Ini adalah kinayah (ungkapan tidak langsung) tentang pengetahuanNya yang sempurna terhadap segala sesuatu. Maknanya, bahwa meskipun Dia al-Uluw (Maha Tinggi), akan tetapi Dia Maha Dekat; kemahatinggianNya tidak menafikan kedekatanNya , karena makna batin, adalah tidak jauh atau Dia dekat adanya.

 

Perhatikanlah empat nama ini, engkau akan mendapatinya Saling berhadapan, semuanya adalah khabar dari satu mubtada’ dengan perantara huruf athaf, yaitu wau (dan), menghadirkan khabar dengan bantuan huruf athaf lebih kuat daripada khabar tanpanya. Misalnya,

 

Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, yang memiliki Arasy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al-Buruj: 14-16).

 

“Maha Pengampun…” dan seterusnya adalah khabar-khabar yang bermacam-macam tanpa dihubungkan dengan huruf athaf, hanya saja terkadang Asma’ dan Sifat-sifat Allah hadir dengan digabungkan dengan huruf athaf.

 

Faidahnya adalah:

 

Pertama: Penegasan terhadap vany terdahulu, karena jika engkau menggabungkan yang sesudahnya kepadanya dengan huruf athaf berarti engkau menjadikannya sebagai dasar, dan sesuatu yang menjadi dasar tentulah sesuatu yang kokoh.

 

Kedua: menunjukkan penggabungan, dan hal itu tidak berkonsekuensi kepada berbilangnya pemilik sifat. Lihatlah Firman Allah,

 

“Sucikanlah Nama Tuhanmu Yang paling tinggi, Yang menciptakan lalu menyempurnakan (penciptaanNya), Yang menetapkan takdir (segala sesuatu) dan memberi petunjuk.” (Al-A’la: 1-3).

 

Allah Yang Maha Tinggi, Dia-lah yang menciptakan dan menyempurnakan penciptaanNya, Dia-lah yang menentukan kadar (masing-masing makhluk) dan memberi petunjuk.

 

Jika engkau berkata: Yang dikenal dalam bahasa Arab adalah bahwa athaf itu menuntut adanya perbedaan (antara ma’thuf dan ma’thuf’alaih).

 

Jawabannya: Benar, hanya saja perbedaan bisa terwujud dengan dzat dan bisa pula dengan sifat, dan ini adalah pergantian dengan sifat, perbedaan juga bisa terwujud secara lafzhi (sinonim) meski maknanya tetap satu seperti perkataan seorang penyair,

 

“Maka dia meninggalkan ucapannya yang bohong dan dusta.”

 

“dusta” adalah   “bohong”; meskipun demikian, penyair jni mengathafkan yang kedua kepada yang pertama, karena lafazhnya yang berbeda meskipun maknanya sama. Jadi perbedaan bisa dari segi zat atau makna atau lafazh. Kalau engkau berkata, “Zaid dan Amr dan Khalid dan Bakar telah hadir,” maka perbedaannya adalah dari segi zat. Kalau engkau berkata, “Zaid orang yang dermawan dan pemberani dan alim,” maka perbedaannya adalah dari segi makna. Kalau engkau berkata, “Omongan ini adalah bohong dan dusta,” maka perbedaannya adalah dari segi lafazh saja.

 

Kita menarik faidah dari ayat ini, penetapan empat Nama bagi Allah : al-Awwal, al-Akhir, azh-Zhahir dan al-Bathin.

 

Dan Kami mengambil darinya lima Sifat bagi Allah; “awwaliyah (yang tidak diawali oleh sesuatu pun)”, “akhiryah (yang tidak ada sesuatu pun setelahNya)”, “Zhahiriyah (yang tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi daripadaNva)”, “bathiniyah (yang tidak ada sesuatu pun yang lebih dekat daripadaNya)” dan “keumuman ilmuNya (yang melingkupi segala sesuatu)”.

 

Dari keseluruhan Nama-nama Allah tersebut, kita mengetahui kesempurnaan pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu dari segi waktu dan tempat, karena dari kumpulan sifat-sifat bisa ditarik tambahan sifat.

 

Jika ada yang berkata, Apakah Nama-nama ini saling berkaitan; maksudnya, jika engkau mengucapkan al-Awwal apakah engkau harus mengucapkan al-Akhir? Atau dibolehkan memisahkan yang satu dari yang lainnya?

 

Secara zahir bahwa yang berlawanan darinya saling berkaitan; maka jika engkau berkata, Al-Awwal engkau pun mesti mengatakan, al-Akhir. Jika engkau berkata, Azh-Zhahir engkau pun mesti mengatakan, Al-Bathin. Hal itu supaya engkau tidak menghilangkan sifat lawannya yang menunjukkan makna meliputi.

 

FirmanNya,  “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” Ini adalah kelanjutan dari empat Sifat sebelumnya, yakni, bersama itu semua Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

 

Ini termasuk bentuk kalimat umum yang tidak terkena pengkhy, susan sama sekali. Keumuman ini meliputi perbuatanNya dan perbuatan hamba-hambaNya secara keseluruhan maupun sendiri-sendiri Dia mengetahui yang sedang terjadi dan yang akan terjadi, meliputi yang pasti, yang mungkin dan yang mustahil. Ilmu Allah luas, menyeluruh dan meliputi segala sesuatu tanpa kecuali. IlmuNya tentang — yang pasti adalah seperti ilmuNya tentang DiriNya dan tentang Sifat, sifat kesempurnaan yang dimilikiNya. IlmuNya tentang mustahil adalah seperti FirmanNya,

 

“Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Al-Anbiya’: 22).

 

Juga FirmanNya, “

 

“Sesungguhnya segala yang kalian sembah selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.” (Al-Hajj: 73).

 

Adapun ilmuNya tentang yang mungkin, maka semua yang Allah beritakan tentang makhluk adalah mungkin,

 

“Dan Allah mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian tampakkan.” (An-Nahl: 19).

 

Jadi, ilmu Allah meliputi segala sesuatu.

 

Buah yang dihasilkan dari iman bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu adalah terwujudnya muraqabah (rasa terus diawasi) dan takut kepada Allah, di mana dia merasa Allah senantiasa mengawasi dan melihatnya dalam menjalankan setiap perintahNya dan menjauhi laranganNya.

 

Penulis berkata,

 

FirmanNya “Dan bertawakallah kepada Yang Hidup Kekal Yang tidak mati.” (Al-Furqan: 58).

 

Syarah:

 

“Dan bertawakallah.” Tawakal diambil dari ( ), yakni seseorang menyerahkan sesuatu kepadanya. Tawakal kepada orang lain berarti menyerahkan (urusan) kepadanya.

 

Para ulama mendefinisikan tawakal, bahwa ia adalah bersandar dengan benar (jujur) kepada Allah dalam menggapai manfaat dan menolak  disertai dengan sikap percaya kepada Allah dan melakukan sebab-sebab yang benar.

 

Bersandar dengan benar (jujur) artinya adalah engkau benar-benar bersandar kepadaNya, di mana engkau tidak memohon kecuali kepada Allah, tidak memohon pertolongan kecuali kepada Allah, tidak berharap kecuali kepada Allah, tidak takut kecuali kepada Allah. Engkau bersandar kepada Allah dalam menggapai manfaat dan menolak mudarat. Bersandar ini tidaklah cukup tanpa disertai sikap percaya kepadaNya dan melaksanakan sebab-sebab yang Allah izinkan, di mana engkau percaya sepenuhnya tanpa kebimbangan dengan mengikuti sebab-sebab yang Allah izinkan.

 

Barangsiapa tidak bersandar kepada Allah dan hanya bersandar kepada dirinya, maka dia pasti gagal, dalilnya adalah apa yang terjadi pada para sahabat bersama Nabi dalam Perang Hunain, di mana Allah  berfirman,

 

“Sungguh Allah telah menolong kalian (wahai orang-orang Mukmin) di banyak tempat, dan (ingatlah) pada hari Perang Hunain, yaitu ketika banyaknya Jumlah kalian membuat kalian bangga.” (At-taubah: 25),

 

di mana sebelum perang mereka berkata, “Pada hari ini kami tidak akan kalah oleh tentara musuh yang sedikit.”

 

“Maka jumlah yang banyak itu tidak berguna bagi kalian sedikit pun dan bumi yang luas menjadi (terasa) sempit bagi kalian, kemudian kalian berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang. Kemudian Allah menurunkan ketenangan dariNya kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah telah menurunkan bala tentara yang kalian tidak melihatnya.” (At-Taubah: 25-26).

 

Barangsiapa bertawakal kepada Allah akan tetapi tidak melakukan sebab-sebab yang Dia izinkan, maka dia tidak benar dalam ber. tawakal, justru tidak melakukan sebab adalah kebodohan akal dan kekurangan dalam agama karena itu berarti pelecehan yang nyata ter. hadap hikmah Allah.

 

Bertawakal kepada Allah adalah separuh agama, sebagaimana Firman Allah,

 

“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5).

 

Meminta pertolongan kepada Allah adalah buah tawakal,

 

“Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepadaNya.” (Hud: 123).

 

Oleh karena itu, orang yang bertawakal kepada selain Allah tidak lepas dari tiga kemungkinan:

 

Pertama, Dia bertawakal secara penuh yang didasari dengan penghambaan. Ini adalah syirik besar, seperti dia meyakini bahwa apa yang dijadikan sebagai tempat bertawakal adalah orang yang mendatangkan kebaikan untuknya dan menolak mudarat darinya, lalu dia menyerahkan urusannya kepadanya secara total dalam menggapai kebaikan dan menolak mudarat dan hal itu disertai dengan rasa takut dan harap. Tidak ada bedanya apakah tempat bertawakal tersebut hidup atau mati, karena penyerahan urusan seperti ini tidak sah untuk siapa pun, kecuali Allah.

 

Kedua, bertawakal kepada selain Allah dengan sedikit bersandar, dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab dan segala urusan hanya di Tangan Allah, seperti tawakalnya banyak orang kepada para raja dan pemimpin dalam mendapatkan kehidupan mereka; maka tawakal ini adalah salah satu bentuk syirik kecil.

 

Ketiga, bertawakal kepada seseorang karena dia adalah penggantinya, dia tetap berada di atas penggantinya tersebut, seperti seseorang mengandalkan orang lain dalam perkara jual beli dan perkara-perkara Jain yang mungkin digantikan. Tawakal ini dibolehkan dan tidak berseberangan dengan tawakal kepada Allah. Nabi  sendiri pernah menyerahkan urusan jual beli dan lain-lain kepada para sahabat.

 

FirmanNya,   “Kepada Yang Hidup Kekal Yang Tidak Mati.”

 

Tentang FirmanNya,   mereka (para ulama) berkata, “Jika hukum dikaitkan dengan satu kriteria, maka ia menunjukkan bahwa kriteria tersebut adalah alasan bagi hukum tersebut.”

 

Jika ada yang bertanya: Mengapa bunyi ayatnya bukan, “Dan bertawakallah kepada Allah Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa?” Karena kekuatan dan keperkasaan sepertinya lebih sesuai di sini? “

 

Jawaban: Manakala berhala-berhala yang dijadikan sandaran oleh orang-orang musyrik sama dengan orang-orang yang mati, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, mereka tidak dapat membuat sesuatu apa pun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang. (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan.” (An-Nahl: 20-21),

 

maka (seakan-akan) Allah berfirman, “Bertawakallah kepada Dzat Yan. sifatNya tidak sama dengan sifat berhala-berhala tersebut. Yaitu, Allah Yang Mahahidup yang tidak mati.” Di ayat lain Allah berfirman,

 

“Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha p, nyayang.” (Asy-Syu’ara: 217), karena keperkasaan di sini lebih Sesuaj

 

Alasan lain, bahwa Nama al-Hayy mengandung seluruh Sifat ke Sempurnaan dalam kehidupan dan termasuk kesempurnaan hidup-Nya adalah bahwa Dia layak jadi tempat bertawakal.

 

FirmanNya,   “Yang tidak mati,” yakni, tidak mati kareng kesempurnaan hidupNya, jadi keterkaitannya dengan yang sebelum, nya bertujuan memberikan keterangan bahwa kehidupan ini adalah abadi dan sempurna, tidak disisipi oleh kefanaan.

 

Nama Allah yang dikandung ayat ini adalah al-Hayy, ia mengan, dung SifatNya yaitu al-Hayah. Dan dinafikannya kematian, karena ke, sempurnaan hidup. Jadi, ayat ini menetapkan dua Sifat dan satu Nama (bagi Allah).

 

Penulis berkata,  Dan FirmanNya, “Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (At.Tahrim: 2).

 

Syarah:

 

FirmanNya,  “Dia Maha Mengetahui.”

 

Ilmu secara terminologi telah dijelaskan. Telah dijelaskan juga bahwa ilmu adalah sifat kesempurnaan dan telah dijelaskan juga bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu.

 

Sedangkan   “Lagi Mahabijaksana,” kata ini berasal dari kata dasar ( ) yang menunjukkan makna “hukum” dan   “melakukan sesuatu dengan sangat baik”. Menurut makna pertama ( ) berarti ( ) “yang menentukan atau menetapkan atau memutuskan hukum”.

 

Menurut makna yang kedua ( ) berarti   “yang melakukan sesuatu dengan mantap”. Jadi, Nama yang mulia ini menunjukkan bahwa

 

hukum adalah milik Allah sekaligus menunjukkan bahwa Allah memiliki Sifat hikmah karena ( ) berarti membuat atau melakukan sesuatu dengan baik sekali dan itu berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Jadi ayat ini menetapkan hukum dan hikmah.

 

Hanya Allah semata yang menjadi hakim dan hukum Allah bisa berbentuk kauniyah bisa pula syar’iyah.

 

Hukum Allah yang bersifat syar’iyah adalah syariat yang dibawa oleh para rasul dan dimuat dalam kitab-kitabNya.

 

Hukum Allah yang bersifat kauniyah adalah keputusan Allah kepada makhlukNya dalam bentuk penciptaan, rizki kehidupan, kematian dan perkara-perkara lain yang merupakan makna dan tuntutan Rububiyah Allah.

 

Dalil hukum yang bersifat syar’iyah adalah Firman Allah,

 

“Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kalian.” (AlMumtahanah: 10).

 

Dalil hukum yang bersifat kauntyah adalah Firman Allah tentang salah seorang saudara Nabi Yusuf

 

“Sebab itu, aku tidak akan meninggalkan negeri ini (Mesir), sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah Hakim yang paling baik.” (Yusuf: 80).

 

Adapun FirmanNya,

 

“Bukankah Allah ttu Hakim yang seadil-adilnya?” (At-Tin: 8),

 

maka ia meliputi hukum kauniyah dan syar’iyah. Allah Mahabijaksana dengan hukum kauniyah dan hukum syar’iyah. Dia jugalah yang telah meletakkan keduanya dengan baik. Kedua hukum tersebut sesuai dengan hikmahNya.

 

Hanya saja, di antara hikmah Allah tersebut ada yang kita keta hui dan ada yang, tidak kita ketahui, Karena Allah berfirman,

 

“Dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra : 88)

 

Kemudian hikmah ada dua macam:

 

Pertama, hikmah yang ada pada keberadaan sesuatu pada bentuk sifat dan kondisinya seperti apa adanya; seperti misalnya tata cara Shalat ia adalah ibadah besar yang didahului dengan bersuci dari hadats dan najis, dilaksanakan dengan cara tertentu: berdiri, duduk, rukuk, dan sujud. Begitu pula halnya dengan zakat yang merupakan ibadah kepada Allah dengan membayarkan sebagian dari harta yang biasanya berkembang kepada orang yang membutuhkannya atau kepada Orang-orang di mana kaum muslimin membutuhkannya, seperti para muallaf.

 

Kedua, hikmah dalam bentuk tujuan hukum; di mana seluruh hukum-hukum Allah memiliki tujuan-tujuan yang mulia dan hasil, hasil yang baik.

 

Lihatlah kepada hikmah Allah pada hukumNya yang bersifat kauniyah, di mana Dia menimpakan musibah-musibah besar kepada manu. Sia demi tujuan-tujuan yang mulia, seperti Firman Allah,

 

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; agar Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka sendiri, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).”‘ (Ar-Rumi: 41).

 

Ini membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa hukum Allah bukan untuk suatu hikmah, akan tetapi hanya karena kehendak semata.

 

Ayat ini menetapkan dua Nama Allah, yaitu al-Alim dan al-Hakim dan dua Sifat Allah yaitu al-Alim dan al-Hikmah.

 

Di antara faidah iman kepada ilmu dan hikmah Allah adalah terwujudnya ketenteraman yang sempurna terhadap hukum yang ditetapkan Allah, baik hukum yang bersifat kauniyah maupun hukum syar’iyah, karena hukum tersebut berasal dari ilmu dan hikmah, hingga kecemasan jiwa lenyap dan dada menjadi lapang.

 

Penulis berkata,  

 

Dan FirmanNya, “Dia-lah Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (At-Tahrim: 3).

 

Syarah:

 

telah dijelaskan.

 

“Yang Maha Teliti” adalah yang Maha Mengetahui perkara-perkara batin. Jadi ini adalah Sifat yang lebih khusus setelah Sifat yang lebih umum. Kami katakan ( ) berarti Maha Mengetahui perkara-perkara lahir dan ( ) berarti Maha Mengetahui perkara-perkara batin. Jadi ilmu tentang perkara-perkara batin disinggung dua kali: Pertama melalui keumuman dan kedua melalui kekhususan, agar tidak dikira bahwa ilmuNya hanya untuk perkara-perkara yang lahir saja.

 

Disamping kita mendapati metode bahasa seperti ini pada makna, kita juga mendapatinya pada personal, contohnya adalah Firman Allah

 

“Pada malam itu turun para malaikat dan ar-Ruh (Jibril).” (Al-Qadr: 4).

 

Ar-Ruh adalah Jibril, dia adalah salah satu malaikat. Kami katakan di antara para malaikat adalah Jibril, dan di sini Jibril disebut secara khusus karena kemuliaannya, maka dia disebut dua kali; sekali secara umum dan sekali secara khusus.

 

Ayat ini menetapkan Nama Allah; al-Alim (Yang Maha Mengetahui) dan al-Khabir (Yang Maha Teliti) dan SifatNya yaitu al-Ilmu (mengetahui) dan al-Khibrah (teliti). Di antara faidah iman terhadapnya adalah bahwa ia menambah ketakutan seseorang kepada Allah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

 

Penulis berkata,

 

Dan FirmanNya, “Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi apa yang keluar darinya; apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya.” (Saba’: 2).

 

“Dan kunci-kunci semua yang ghaib ada padaNya; tidak ada yang mengetahuinya selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur, kecuali Dia mengetahuinya, tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuz).” (Al-An’am: 59).

 

“Tidak ada seorang perempuan pun yang mengandung dan melahirkan, melainkan dengan sepengetahuanNya.” (Fathir: 11).

 

Dan FirmanNya, “Agar kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq: 12).

 

Syarah:

 

Ayat-ayat ini adalah tentang perincian Sifat Ilmu (bagi Allah).

 

Ayat yang pertama: Firman Allah

 

“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumti; apa yang keluar darinya; apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya.” (Saba’: 2).

 

Ini adalah perincian tentang ilmu Allah sebagaimana yang telah dijelaskan.

 

Kata  adalah isim maushul menunjukkan keumuman, semua yang masuk ke dalam bumi seperti air hujan, biji-bijian yang ditanam, orang mati, cacing, semut dan lain-lain.   “Dan apa yang keJuar darinya,” seperti air, tanaman, dan lain-lain.   “Apa yang turun dari langit,” seperti hujan, wahyu, para malaikat dan perintah Allah.   “Dan apa yang naik kepadaNya,” seperti amal shajih, para malaikat, ruh-ruh dan doa.

 

Di sini Allah berfirman,   dengan fi’il (kata kerja) yang muta’addi (transitif) dengan kata bantu ( ) dan dalam Surat al-Mai’arij,

 

“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepadaNya dalam sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (Al-Ma’arij: 4),

 

dengan fi’il yang muta’addi dengan kata bantu  dan inilah dasarnya. Lalu apa rahasia dari fi’il (kata kerja) yang muta’addi (transitif) dengan kata bantu  dalam FirmanNya

 

Jawaban: Ulama nahwu kota Bashrah berbeda pendapat dengan ulama nahwu kota Kutah. Ahli nahwu Bashrah berkata, fi’il (kata kerja) mengandung makna yang sesuai dengan kata sambung. Sedangkan ahli nahwu Kufah berkata, Justru sebaliknya, kata bantulah yang mengandung makna yang sesuai dengan fi’il.

 

Menurut pendapat pertama, Firman Allah,  ¢=% mengandung makna   “masuk”, jadi artinya adalah apa yang naik lalu masuk ke dalamnya. Dengan demikian maka ayat ini mengandung dua perkara: naik dan masuk.

 

Menurut pendapat yang kedua, kata ( ) di dalam ayat berarti ( ) dan ini termasuk kategori menggantikan posisi di antara kata.

 

Kalau menurut pendapat kedua ini, maka ayat ini tidak mengandung makna baru, hanya perbedaan kata ( ) dengan kata ( ). Oleh karena itu, pendapat pertama lebih shahih, yaitu bahwa kata kerja mengandung makna yang sesuai dengan huruf.

 

Banyak yang seperti ini dalam bahasa Arab, Firman Allah 

 

“(Yaitu) mata air (dalam surga) yang diminum oleh hamba-hamba Allah dan mereka dapat memancarkannya dengan sebaik-baiknya.” (Al-Insan: 6),

 

Mata air adalah sumber air yang diminum dan apa yang diguna. kan untuk minum adalah bejana (seperti gelas). Menurut pendapat ahli nahwu kota Kufah, FirmanNya,   , huruf ( ) berarti ( ), jadi ( ). Menurut ahli nahwu kota Bashrah, kata kerja ( ) mengandung makna yang sesuai dengan huruf   dan yang sesuai dengannya dj sini adalah menghilangkan haus dan sudah diketahui bahwa haus tida, hilang kecuali setelah minum. Jadi kata kerja ini mengandung makna tujuannya yaitu hilangnya haus.

 

Hal sama kita katakan pada   tidak masuk ke langit, kecuali setelah naik kepadanya, jadi fi’il (kata kerja) mengandung makna tujuannya.

 

Dalam ayat ini Allah menyebutkan ilmuNya yang meliputi segala sesuatu dengan lebih terperinci, kemudian dalam ayat lain Dia merincinya lagi.

 

Ayat yang Kedua: FirmanNya,

 

“Dan kunci-kunci semua yang ghaib ada padaNya; tidak ada yang mengetahuinya selain Dia. Dia mengetahuit apa yang ada di darat dan di laut, Tidak ada sehelai daunpun yang gugur, kecuali Dia mengetahuinya, tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuz).” (Al-An’am: 59).

 

Kata   yakni, di sisi Allah, ia adalah khabar yang didahulukan.   adalah mubtada yang diakhirkan.

 

Susunan bahasa seperti ini menunjukkan pembatasan dan pengkhususan; di sisi Allah, bukan di sisi selainNya, kunci-kunci semua yang ghaib. Pembatasan ini ditegaskan dengan FirmanNya,

 

“Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.”

 

Dalam kalimat ini, pembatasan ilmu tentang perkara-perkara ghaib hanya di sisi Allah terwujud melalui dua cara: Pertama, dengan mendahulukan khabar. Kedua, Penafian yang diikuti dengan penetapan.

 

Kata  ada yang mengatakan bahwa ia adalah bentuk jamak dari ( ) dengan mim dikasrah dan ta’ difathah yang berarti kunci, atau ia adalah jamak dari ( ) dengan ya yang dibuang, asalnya ( ) dan ini jarang. Kita mengetahui bahwa   “kunci” adalah alat pembuka pintu. Ada yang berkata bahwa ia adalah jamak dari ( ) dengan mim difathah dan ta’ dikasrah yang berarti tempat penyimpanan, jadi   adalah tempat-tempat disimpannya. Ada yang berkata, ( ) yakni, dasar-dasarnya, karena kunci segala sesuatu berada di awalnya. Jadi    ada dasar-dasar yang ghaib karena yang disebutkan di sini adalah dasar bagi apa yang disebut sesudahnya.

 

Kata   adalah mashdar dari ( ). Yang dimaksud dengan yang ghaib adalah sesuatu yang tak terlihat. Ghaib adalah suatu yang nishi (relatif), akan tetapi ghaib yang mutlak ilmunya hanya khusus bagi Allah.

 

( ) ini, baik ia berarti dasar-dasar atau berarti tempat-tempat menyimpan atau kunci-kunci, tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah. Malaikat dan rasul tidak ada yang mengetahuinya, bahkan malaikat paling mulia, Jibril bertanya kepada manusia paling mulia, Muhammad , dia berkata, “Katakan kepadaku tentang Kiamat!” Nabi  menjawab, “Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya.” Artinya, sebagaimana engkau tidak mengetahui, maka aku pun tidak mengetahui. Barangsiapa mengklaim mengetahui ilmu tentang Kiamat, maka dia kafir pendusta yang kafir, dan barangsiapa yang memercayainya, maka dia juga kafir, karena dia mendustakan al-Qur an.

 

( ) ini ditafsirkan oleh orang yang paling mengetahui Kalam (Firman) Allah, yaitu Nabi Muhammad  ketika membaca FirmanNya,

 

“Sesungguhnya Allah, hanya di sisiNya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahut (dengan Pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat Mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui  lagi Mahateliti.” (Luqman: 34), maka ia ada lima perkara:

 

Pertama: Ilmu tentang Hari Kiamat. lImu tentang Hari Kiamat inj adalah kunci bagi kehidupan akhirat. Kiamat dinamakan “waktu karena ia adalah saat yang besar yang mengancam semua manusia,

 

Ia disebut pula dengan al-Haqqah dan al-Waqi’ah. Ilmu tentang Kiamat hanya Allah yang mengetahuinya; kapan ia tiba, tak seorang pun tahu kecuali Allah semata.

 

Kedua: Menurunkan hujan. Berdasarkan FirmanNya,   “Dia-lah yang menurunkan hujan.” Hujan di sini disebutkan dengan lafazh  , ia adalah bentuk mashdar yang berarti menghilangkan kesulitan, maksudnya adalah hujan, karena hujan melenyapkan kesulitan kemarau dan kekeringan. Jika Dia menurunkan hujan, maka Dia pula yang mengetahui kapan ia turun.

 

Turunnya hujan adalah kunci kehidupan bumi dengan tumbuh-tumbuhan, muncullah kebaikan di padang gembala dan segala hal yang berkaitan dengan kebaikan bagi manusia.

 

Di sini terdapat satu hal yang layak diperhatikan di mana Dia berfirman,  yang secara harfiah berarti “menurunkan pertolongan” dan bukan   “menurunkan hujan,” karena ( ) terkadang turun tanpa menumbuhkan apa pun. Maka ia bukan ( ), bumi tidak hidup dengannya. Oleh karena itu, terdapat hadits dalam Shahih Muslim yang mengatakan,

 

“Paceklik itu bukan karena kalian tidak diturunkan hujan, paceklik itu adalah kalian diturunkan hujan dan diturunkan hujan, akan tetapi bumi tidak menumbuhkan apapun.”

 

Ketiga: Ilmu tentang apa yang di dalam rahim (kandungan). Yaitu FirmanNya,   “Dan Dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim,” yakni, rahim para wanita.

 

Jadi, Allah mengetahui apa yang ada di dalam rahim, yakni apa yang ada di dalam perut-perut para ibu dari Bani Adam atau selainnya, keterkaitan ilmu bersifat umum meliputi segala sesuatu. Tiada yang mengetahui apa yang di dalam rahim, kecuali penciptaNya, yaitu Allah.

 

Jika engkau berkata, Katanya sekarang ini mereka bisa mengetahui jenis kelamin janin yang ada di dalam rahim, apakah ini benar?

 

Kami jawab, Perkara ini memang benar, tidak mungkin dipungkiri hanya saja mereka baru mengetahui itu setelah janin terbentuk, di mana alat kelaminnya telah muncul. Dan janin itu sendiri memiliki kondisi-kondisi lain yang tidak mereka ketahui, mereka tidak mengetahui kapan ia keluar, mereka tidak mengetahui jika ia turun sampai kapan dia hidup, mereka tidak mengetahui apakah ia berbahagia atau sengsara, mereka tidak mengetahui apakah ia akan kaya atau miskin dan masih banyak lagi keadaan-keadaannya yang tidak diketahui.

 

Jadi mayoritas perkara-perkara yang berkaitan dengan ilmu tentang janin tidak diketahui oleh manusia maka benarlah keumuman FirmanNya,  “Dan Dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim.”

 

Keempat: Ilmu tentang apa yang terjadi besok. Yaitu hari setelah hari ini, yaitu FirmanNya,   “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.”

 

Ini adalah kunci usaha di masa depan, jika manusia tidak mengetahui apa yang dihasilkan oleh dirinya sendiri, maka dia lebih tidak mengetahui apa yang dihasilkan oleh orang lain.

 

Jika ada yang berkata, “Aku mengetahui apa yang terjadi esok, aku akan pergi ke tempat A atau aku akan membaca atau mengunjungi kerabat.” Kami katakan, Bisa jadi dia secara yakin akan melakukannya, akan tetapi kemudian muncul penghalang sehingga dia tidak bisa melakukannya.

 

Kelima: Ilmu tentang tempat kematian. Yaitu Firman Allah,   “Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”

 

Tak seorang pun yang mengetahui apakah dia akan mati di negerinya atau di negeri lain? Di negeri Islam ataukah di negeri dengan penduduk yang kafir? Dia pun tidak mengetahui apakah dia mati di darat atau di laut atau di udara? Dan ini kenyataan. “

 

Dia tidak mengetahui waktu kematiannya, karena jika dia tidak, mengetahui di bumi mana dia mati sementara dia mungkin memilih maka dia pun tidak mengetahui kapan saatnya dia mati.

 

Lima perkara ini adalah kunci-kunci ghaib yang tidak diketahy; kecuali oleh Allah. Dinamakan kunci-kunci ghaib, karena ilmu tentang apa yang ada di dalam rahim adalah kunci kehidupan dunia.  “Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui apa yang diusahakannya besok” adalah kunci pekerjaan masa datang.   “Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mang dia akan mati” adalah kunci kehidupan Akhirat, karena jika manusia mati, maka dia masuk alam Akhirat. Dan telah dijelaskan ilmu tentang Kiamat dan turunnya hujan. Jadi jelaslah bahwa kunci-kunci ini adalah dasar bagi apa yang ada di belakangnya.   “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

 

Kemudian Allah  berfirman,

 

“Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan.” (Al-An’am: 59).

 

Ini adalah global. Siapa yang bisa menghitung jenis yang ada dj daratan? Berapa banyak jumlah penduduknya yang dari jenis hewan, serangga, gunung, pohon atau sungai. Semua itu adalah perkara-perkara yang hanya diketahui oleh Allah. Sama halnya dengan yang ada di lautan, yang mengetahui isinya hanyalah Penciptanya. Mereka berkata, Jenis kehidupan laut berjumlah tiga kali lipat dari jenis kehidupan darat, karena lautan lebih luas daripada daratan.

 

FirmanNya,   “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya.” Ini adalah perincian; daun apa pun yang gugur dari pohon apa pun, besar atau kecil, dekat atau jauh, Allah mengetahuinya. Oleh karena itu, ayat tersebut berbunyi,   ini adalah nafiyah yang berarti tidak.   adalah tambahan (za’idah) yang berfungsi sebagai penegas keumuman. Jika Dia mengetahui daun yang gugur, maka Dia lebih mengetahui daun yang diciptakan, karena yang mengetahui apa yang gugur pasti mengetahui apa yang Dia ciptakan.

 

Lihatlah keluasan ilmu Allah, semua yang terjadi, Allah pasti mengetahuinya, bahkan apa yang belum terjadi dan akan terjadi Allah telah mengetahuinya.

 

FirmanNya,   “Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi.” Biji yang sangat kecil yang tidak diketahui oleh mata dan di kegelapan bumi, Allah juga mengetahuinya.

 

  adalah jamak dari ( ). Anggap saja ada satu biji kecil yang tenggelam di dasar lautan di malam yang gelap lagi hujan. Jadi kegelapan-kegelapan tersebut adalah: Pertama, lumpur lautan; kedua, air laut; ketiga, hujan; keempat, mendung; dan kelima, malam. Ini adalah Jima kegelapan di antara kegelapan bumi. Meskipun demikian Allah mengetahui dan melihat biji tersebut.

 

FirmanNya,   “Dan tidak ada sesuatu pun yang basah dan kering.” Ini adalah umum, karena tidak ada sesuatu, kecuali basah atau kering.

 

  “Melainkan (ia tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” Kata   berarti yang tertulis,   berarti yang jelas dan nyata; karena kata ( ) dipakai sebagai fi’il muta’addi (kata kerja transitif) dan kata kerja lazim (intransitif). Dikatakan ( ) berarti fajar telah terbit, dan dikatakan ( ) berarti menampakkan kebenaran. Dan yang dimaksud dengan kitab di sini adalah Lauhul Mahfuzh.

 

Semua perkara di atas diketahui Allah dan tertulis di sisiNya di Lauhul Mahfuzh, karena Allah berfirman tatkala menciptakan pena, Dia berfirman kepadanya, “Tulislah.” Pena menjawab, “Apa yang aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah apa saja yang akan terjadi sampai Hari Kiamat.”

 

Lalu dalam kesempatan tersebut pena menulis apa yang akan terjadi sampai Hari Kiamat, kemudian Allah memberikan buku-buku catatan di tangan para malaikat agar mereka menulis apa yang diperbuat manusia. Catatan yang ditulis para malaikat inilah yang menjadi dasar balasan bagi perbuatan manusia. Oleh karena itu, Allah   berfirman,

 

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar, Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian” (Muhammad: 31).

 

Adapun ilmu Allah tentang apakah hambaNya, si fulan akan bersabar atau tidak, maka ia telah ada sebelumnya, hanya Saja itu tidak berkaitan dengan pahala atau azab.

 

Ayat yang ketiga: FirmanNya,

 

” Tidak ada seorang perempuan pun yang mengandung dan melahirkan, melainkan dengan sepengetahuanNya.” (Fathir: 11).

 

nafiyah,  dan  adalah fa’il (subyek); i’rabnya adalah dengan dhammah yang diasumsikan di akhirnya, yang terhalang muncul secara zahir karena ia menempati posisi harakah (kasrah) yang disebabkan oleh huruf jarr yang merupakan huruf tambahan.

 

Di sini muncul pertanyaan: Bagaimana engkau berkata tambahan, padahal dalam al-Qur‘an tidak terdapat tambahan?

 

Kami katakan: Dari segi i’rab ia memang tambahan, akan tetapi dari segi makna ia tetap memiliki faidah, karena di dalam al-Qur‘an tidak terdapat sesuatu yang sifatnya tambahan tanpa faidah. Dari sini, maka kami katakan, Ia adalah tambahan, dalam arti, jika ia dibuang, ia tidak merusak i’rab, ia juga tambahan dari segi makna, karena ia meng. hadirkan makna lebih.

 

FirmanNya,  “Seorang perempuan pun,” mencakup perempuan dari jenis apa saja, baik Bani Adam atau hewan (betina). Semuanya termasuk ke dalam ayat ini, seperti sapi, unta, kambing, dan sebagainya. Termasuk pula hewan yang bertelur, karena telur dalam perut burung adalah seperti kehamilan.

 

“Dan tidak pula melahirkan melainkan dengan sepengetahuanNya.” Awal kehamilan dengan sepengetahuan Allah, akhir kehamilan juga dengan sepengetahuan Allah.

 

Ayat keempat, FirmanNya, 

 

“Agar kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq: 12). a

 

“Agar kalian mengetahui”; huruf lam di sini adalah lam ja’lil, karena Allah berfirman,

 

“Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi inga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ath-Thalaq: 12).

 

Allah menciptakan langit yang tujuh dan bumi yang tujuh, dan Dia ; memberitahukan itu kepada kita, agar kita mengetahui,   “Bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

 

Kuasa adalah sifat di mana pemiliknya mampu melakukan perbuatannya tanpa kelemahan. Maka Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu, Dia mampu mengadakan yang tidak ada atau meniadakan yang ada. Langit dan bumi sebelumnya belum ada lalu Allah menciptakannya dengan tatanan yang menakjubkan.

 

“Dan bahwa Allah benar-benar meliputi segala sesuatu dengan IlmuNya.” Segala sesuatu, kecil maupun besar yang berkaitan dengan perbuatanNya atau perbuatan hamba-hambaNya, masa lalu, masa kini, dan masa depan, ilmu Allah meliputi semua itu.

 

Allah menyebutkan ilmu dan kuasa (kodrat) setelah penciptaan, karena penciptaan tidak terwujud tanpa ilmu dan kuasa. “Menciptakan” menunjukkan kepada ilmu dan kuasa, dan ini termasuk ke dalam dalalah iltizam. Dan telah dijelaskan bahwa penunjukan nama terhadap sifat itu ada tiga macam.

 

Perhatian:

 

Disebutkan dalam Tafsir al-Jalalain -semoga Allah memaafkannya dan memaafkan kita semua di akhir Surat al-Ma’idah sebuah ungkapan yang berbunyi, “Dan akal mengkhususkan (baca: mengecualikan) DzatNya, di mana Dia tidak berkuasa atas Dzatnya sendiri.”

 

Kami mengkritik perkataan ini dari dua segi:

 

Pertama, bahwa akal tidak memiliki hak dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan Dzat dan Sifat Allah, bahkan ia tidak berhak untuk menyatakan hukum dalam perkara-perkara ghaib. Tugas aka| dalam perkara-perkara seperti ini adalah menerima sepenuhnya. Hendaknya kita menyadari bahwa perkara-perkara yang disebutkan Oleh Allah bukanlah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu dikatakan, “Nash-nash al-Qur an dan as-Sunnah tidak menghadirkan sesuatu yang mustahil, akan tetapi ia menghadirkan sesuatu yang membuat akal manusia tercengang, karena akal mendengar sesuatu yang ia tidak ketahui dan tidak bisa ia bayangkan.

 

Kedua, perkataannya, “Maka Dia tidak berkuasa atasnya.” Ini adalah kesalahan besar. Bagaimana Dia berkuasa atas selainNya semen, tara atas DiriNya tidak berkuasa? Perkataan ini berkonsekuensi bahwa Dia tidak mampu untuk bersemayam, tidak mampu berbicara, tidak mampu turun ke langit dunia dan tidak mampu melakukan apa pun, Jelas sekali sebuah perkataan yang sangat berbahaya.

 

Kalau ada yang berkata, Mungkin maksud dari perkataan, “Dan akal mengkhususkan DzatNya maka Dia tidak berkuasa atasnya,” ada. lah bahwa Dia tidak berkuasa untuk menimpakan kekurangan kepada DiriNya. Kami katakan, Ini tidak termasuk dalam keumuman sehingga ia harus dikeluarkan dari keumuman dengan pengkhususan, karena kodrat (kekuatan) hanya berkait dengan hal-hal mungkin, sebab sesuatu yang tidak mungkin adalah bukan sesuatu; tidak dalam akal, tidak pula di luar akal, kodrat tidak berkait dengan yang mustahil, lain halnya dengan ilmu.

 

Hendaknya seseorang bersikap sopan terkait dengan hak Rububiyah Allah, karena hal itu adalah perkara besar, yang wajib bagi setiap orang adalah bersikap kepadanya dengan berserah diri dan menerima,

 

Jadi kita menyebutkan secara mutlak apa yang Allah sebutkan secara mutlak, maka kita katakan, “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu tanpa kecuali.”

 

Ayat-ayat ini menetapkan sebagian Sifat-sifat Allah, di antaranya adalah menetapkan keumuman ilmu Allah secara terperinci dan menetapkan kodrat (kuasa) Allah.

 

Manfaat dari segi perilaku dari iman kepada sifat “ilmu” dan “kodrat” adalah terwujudnya sikap muraqabah (merasa terus diawasi) oleh Allah dan rasa takut kepadaNya.

 

Penulis berkata,

 

Dan FirmanNya, “Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Pemberi Rizki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Adz-Dzariyat: 58).

 

Syarah:

 

Dalam ayat ini terkandung penetapan Sifat al-Quwwah (kuat) pagi Allah.

 

Ayat ini hadir setelah FirmanNya,

 

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepadaKu. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepadaKu.” (Adz-Dzariyat: 56-57).

 

Manusia memerlukan rizki Allah sedangkan Allah tidak berharap rizki dan makan dari mereka.

 

“Maha Pemberi rizki,” adalah bentuk kalimat yang menunjukkan makna “sangat” dari asal kata ( ) yang bermakna, pemberian. Firman Allah

 

“Dan apabila sewaktu pembagian (warisan) itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya).” (An-Nisa’: 8), yakni, berikanlah kepada mereka. Dan manusia memohon kepada Allah dalam shalatnya dan berkata,

 

“Ya Allah, berikanlah aku rizki.”

 

Rizki terbagi menjadi dua: umum dan khusus.

 

Rizki yang umum adalah, semua yang bermanfaat bagi badan baik itu halal atau haram, baik yang diberi rizki itu Muslim atau kafi, As-Safarini berkata,

 

Rizki adalah yang bermanfaat dari yang halal

atau sebaliknya. Maka keluarlah dari yang mustahil

Karena Allah adalah Pemberi rizki semua makhluk

tidak ada makhluk tanpa rizki dariNya.

 

Kalau engkau berkata, “Rizki itu pemberian yang halal.” Ini bey, arti bahwa orang-orang yang makan sesuatu yang haram tidak diberi rizki, padahal Allah memberi mereka apa yang bermanfaat bagi jasmap; mereka. Hanya saja rizki itu ada dua macam, baik dan buruk. Oleh ka. rena itu Allah berfirman,

 

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik-baik?'” (Al-A’raf: 32).

 

Dia berfirman, “rizki yang baik-baik,” dan tidak berfirman, “rizki,” saja. Adapun rizki yang buruk, maka ia haram.

 

Adapun rizki yang khusus, maka ia adalah yang bermanfaat bagi Agama dalam bentuk ilmu yang berguna dan amal shalih, rizkj halal yang membantu ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, ayatNya hadir dengan   dan bukan ( ), karena banyaknya Rizki yang Dia berikan dan banyaknya yang diberi rizki. Yang diberi rizki oleh Allah tidak terhitung dari segi jenisnya, lebih-lebih dari macamnya, lebih-lebih lagi dari segi satuannya, karena Allah berfirman,

 

“Dan tidak ada suatu makhluk berjalan (bernyawa) pun di bumi melainkan Allah-lah Yang menanggung rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam makhluk itu dan tempat penyimpanannya.” (Hud: 6).

 

Allah memberi rizki sesuai dengan kondisi.

 

Jika ada yang berkata: Jika Allah Maha Memberi rizki lalu apakah aku harus berusaha mencarinya atau aku cukup duduk di rumah jalu rizki datang kepadaku?

 

Kami katakan: Berusahalah mencari rizki, sebagaimana Allah Maha Pengampun, tidak berarti kamu tidak berusaha mencari sebabgebab ampunanNya.

 

Adapun ucapan seorang penyair, Adalah kegilaan darimu bahwa kamu berusaha mencari rizki, Sementara janin diberikan rizki, meski tertutup (di dalam rahim)

 

Ini adalah ucapan batil, meskipun dia menjadikan janin sebagai ukuran karena janin tidak mungkin disuruh mencari rizki, karena dia tidak mampu, lain halnya dengan orang yang mampu.

 

Oleh karena itu Allah berfirman,

 

“Dia-lah Yang menjadikan bumi untuk kalian yang mudah dijelajahi, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizkiNya.” (Al-Mulk: 15).

 

Haruslah berusaha dan usahanya harus sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.

 

FirmanNya,   “Yang mempunyai kekuatan.” Kekuatan adalah sifat yang dengannya pelaku mampu melakukan perbuatannya tanpa kelemahan. Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Allah-lah Yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan kekuatan setelah keadaan lemah itu.” (Ar-Rum: 54).

 

Al-Quwwah bukan (tidak sama dengan) al-Qudrah berdasarkan FirmanNya,

 

“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah, baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (Fathir: 44),

 

Karena lawan qudrah (kuasa) adalah ketidakmampuan, sedangkan lawan quwwah (kekuatan) adalah kelemahan. Perbedaan di antara keduanya adalah:

 

Pertama, yang, disifati dengan gudrah (kuasa) adalah yang memiliki perasaan, sedang yang disifati dengan quwwah (kuat) adalah yang memiliki perasaan dan selainnya.

 

Kedua, kuat lebih khusus, maka setiap pemilik perasaan yang kuat, pasti mampu dan tidak semua yang mampu pasti kuat.

 

Contohnya adalah engkau berkata, “Angin itu kuat”, dan engkau tidak berkata, “la mampu (kuasa)”, engkau berkata, “Besi itu kuat”, dan tidak berkata, “la mampu.” Akan tetapi, (kepada) yang memiliki perasaan engkau berkata, “Ia kuat dan mampu (Kuasa).”

 

Manakala kaum ‘Ad berkata,   “Siapakah yang lebth besar kekuatannya daripada kami?” Allah menjawab,

 

“Dan apakah mereka itu tidak memerhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatanNya daripada mereka?” (Fushshilat: 15).

 

FirmanNya,   “Sangat Kokoh.”

 

Ibnu Abbas  mengatakan,   adalah ” Yang kokoh,” yakni kokoh dalam kekuatanNya, kokoh dalam keperkasaanNya dan kokoh dalam seluruh Sifat kekuasaanNya, dari segi makna ia adalah penegas bagi   “Mahakuat”.

 

Kita boleh memberitakan tentang Allah bahwa Dia   “kokoh'” tetapi tidak boleh menamakanNya dengan  , akan tetapi dengan  karena Allah menamakan DiriNya dengannya.

 

Ayat ini menetapkan dua dari Nama-nama Allah yaitu   “Yang Maha Memberi rizki” dan  “Yang Maha Kuat”. Dan ayat ini juga menetapkan tiga dari Sifat-sifat Allah, yaitu ar-Rizq (memberi rizki), al-Quwwah (kuat) dan apa yang dikandung oleh Nama al-Matin.

 

Manfaat dari segi perilaku dari beriman kepada Sifat al-Quwwah (kuat) dan ar-Rizq (memberi rizki) adalah hendaknya kita tidak mencari rizki dan kekuatan, kecuali kepada Allah dan hendaknya kita beriman bahwa kekuatan sebesar apapun tidak ada yang bisa menandingi kekuatan Allah.

 

firmanNya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura’: 11).

 

Dan FirmanNya, “Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa’: 58).

 

Syarah:

 

Ayat pertama: FirmanNya

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melithat.” (Asy-Syura:l’: 11).

 

Penulis (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) menurunkan ayat ini untuk menetapkan dua di antara Nama-nama Allah dan Sifat yang dikandung oleh kedua Nama tersebut, yaitu as-Sami’ (Maha Mendengar) dan al-Bashir (Maha Melihat). Di sini terkandung bantahan bagi kelompok Mu’aththilah (yang mengingkari Nama dan Sifat Allah).

 

FirmanNya,  ini adalah bentuk penafian. Ia termasuk sifat salbiyah yang maksudnya adalah menetapkan kesempurnaanNya, yakni tidak seorang pun dari makhlukNya yang menyamaiNya karena kesempurnaanNya. Kalimat ini mengandung bantahan kepada para penganut tamtsil (yang menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk).

 

FirmanNya,   kata   mempunyai dua makna: Pertama, “yang mengabulkan,” dan yang kedua,   “yang mendengar” suara.

 

Adapun makna pertama (mengabulkan), maka mereka (para ulama) mencontohkannya dengan Firman Allah tentang,

 

“Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Ibrahim: 39), yakni, Maha menjawab doa.

 

Adapun makna yang kedua (mendengar suara), maka mereka membaginya menjadi beberapa bagian:

 

Pertama: Pendengaran yang maksudnya adalah penjelasan tentang keumuman pendengaran Allah, bahwa tidak ada suatu suara pun kecuali Allah mendengarnya.

 

Kedua: Pendengaran yang maksudnya adalah pertolongan dan dukungan.

 

Ketiga: Pendengaran yang maksudnya adalah ancaman dan gertakan.

 

Contoh pertama (pendengaran yang maksudnya adalah penjelasan tentang keumuman pendengaran Allah) adalah Firman Allah

 

“Sungguh Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.” (Al-Mujadilah: 1).

 

Ini menjelaskan jangkauan pendengaran Allah terhadap semua yang didengar. Oleh karena itu Aisyah berkata,

 

“Segala puji bagi Allah yang pendengaranNya meliputi segala suara. Demi Allah, sungguh aku berada di kamar itu dan sebagian pembicaraannya samar bagiku.”

 

Contoh kedua (pendengaran yang maksudnya adalah pertolongan dan dukungan), adalah sebagaimana Firman Allah  kepada Nabi Musa dan Harun ,

 

“Sesungguhnya Aku beserta kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46).

 

Contoh ketiga (pendengaran yang maksudnya adalah ancaman dan gertakan) adalah Firman Allah,

 

“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (Az-Zukhruf: 80).

 

Maksudnya adalah mengancam dan menggertak mereka di mana mereka merahasiakan ucapan yang tidak diridhaiNya.

 

Mendengar dalam arti mengetahui apa yang didengar, termasuk Sifat Dzatiyah, meskipun yang didengar adalah sesuatu yang baru.

 

Mendengar dalam arti menolong dan mendukung, termasuk Sifat Fi’liyah, karena ia terkait dengan sebab.

 

Dan pendengaran dalam arti menjawab juga termasuk Sifat Fi’liyah.

 

FirmanNya,   yakni, yang melihat seluruh apa yang dilihat.   juga digunakan dengan arti ” Yang Maha Mengetahui”. Allah adalah Baslur, melihat segala sesuatu, meskipun samar, dan Dia Bashir dalam arti  : (mengetahui) perbuatan hamba-hambaNya. Allah berfirman,

 

  “Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Al-Hujurat: 18).

 

Apa yang kita lakukan, sebagian darinya terlihat dan sebagian lain tidak terlihat. Jadi, penglihatan Allah terbagi menjadi dua bagian yang semuanya termasuk ke dalam al-Bashir.

 

Ayat ini menetapkan dua di antara Nama-nama Allah yaitu as-Sami’ dan al-Bashir dan tiga Sifat: as-Sam’u (mendengar), al-Bashar (melihat) dan kesempurnaan SifatNya sehingga tidak ada yang menyamaiNya.

 

Ayat ini mengandung faidah dari segi perilaku, yaitu menahan diri dari usaha memisalkan (menyamakan) Allah dengan makhluk-Nya, merasakan keagungan dan kesempurnaanNya dan berhati-hati jangan sampai Dia melihatmu bermaksiat atau mendengar darimu Sesuatu yang tidak diridhaiNya.

 

Ketahuilah bahwa ahli nahwu memperbincangkan lafazh  secara panjang lebar. Kata mereka, ( ) masuk kepada ( ) dan Zahir, nya adalah bahwa Allah memiliki misal yang tidak ada sesuatu yang semisal denganNya; karena Dia tidak berfirman,   “tidak seperti Dia,” akan tetapi Dia berfirman,   Ini adalah zahir ayat dari segi lafazh, bukan dari segi makna, karena jika kita berkata dari, segi makna, berarti zahir al-Qur’an adalah kekafiran, ini mustahil. Oleh karena itu, pernyataan para ahli Nahwu berbeda-beda seputar pema, haman tentang ayat ini dari segi ilmu nahwu.

 

Pendapat pertama: huruf kafdi sini adalah tambahan, maka asumg; kalimat itu berbunyi,   “tidak ada sesuatu pun yang semisalNya” Pendapat ini mudah, karena tambahan huruf dalam kalimat negatif banyak terjadi, seperti Firman Allah,

 

“Dan tidak ada seorang perempuan pun yang mengandung.” (Fathir: 11),

 

Mereka berkata, Penambahan huruf dalam bahasa Arab untuk menegaskan adalah perkara yang lumrah.

 

Pendapat kedua, sebaliknya, yang tambahan itu adalah ( ), maka asumsi kalimatnya adalah  “tidak ada sesuatu pun seperti Dia”, Pendapat ini lemah dari segi bahwa tambahan isim dalam bahasa Arab sangatlah sedikit atau jarang sekali, lain halnya dengan huruf. Jika kita memang harus menetapkan tambahan, maka tambahan itu pada huruf bukan pada isim.

 

Pendapat ketiga, bahwa ( ) berarti sifat, maka maknanya adalah tidak ada sesuatu pun seperti SifatNya. Kata mereka, Kata ( ) dengan mim dibaca kasrah dan tsa’ disukun atau mim dan tsa’ sama-sama dibaca fathah dan ( ) dengan syin dibaca kasrah dan ba’ disukun atau syin dan ba’ sama-sama dibaca fathah, ( ) dalam bahasa Arab bermakna sama. Allah berfirman,

 

“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.” (Muhammad: 15)

 

Perumpamaan ( ) di sini adalah sifat surga. Pendapat ini tidak jauh dari kebenaran.

 

Pendapat keempat, tidak terdapat tambahan di dalam ayat, hanya saja jika engkau membaca   maka hal itu mengharuskan penafian terhadap kesamaan. Jika kesamaan tidak memiliki kesamaan maka yang ada hanyalah satu. Dari sini maka kita tidak perlu mengasumsikan sesuatu di balik ayat tersebut. Mereka berkata: Yang seperti ini memang ada dalam bahasa Arab, seperti ucapan seseorang,

 

“Tidak ada pemuda seperti Zuhair”.

 

Sebenarnya jika pendapat-pendapat ini tidak disodorkan kepadamu, niscaya makna ayat tersebut tetap jelas, di mana maknanya adalah bahwa Allah tidak mempunyai tandingan, akan tetapi pembahasan-pembahasan seperti ini termaktub dalam kitab-kitab.

 

Dari keempat pendapat di atas, yang rajih adalah bahwa huruf kaf di sini adalah tambahan, hanya saja pendapat keempat adalah lebih baik bagi yang mampu memahaminya.

 

Ayat kedua: Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa’: 58).

 

Ayat ini adalah kelanjutan dari FirmanNya,

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kalian menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kalian menetapkannya dengan adil.” (An-Nisa’: 58).

 

Allah memerintahkan agar kita menunaikan amanat kepada pemiliknya. Di antaranya adalah bersaksi membela atau melawan seseorang, juga agar kita menetapkan hukum yang adil di antara manusia. Jadi Allah menjelaskan bahwa Dia memerintahkan kita agar kita melakukan kewajiban pada cara penetapan hukum dan pada hukum itu Sendiri. Cara penetapan hukum yaitu kesaksian, termasuk ke dalam keumuman FirmanNya,  “Menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”

 

Masalah menetapkan hukum sendiri dijelaskan pada Firman Nya “Dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil.”

 

Kemudian Allah berfirman,  “Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepada kalian.” Asal   adalah   lalu mim diidghamkan kepada mim. Ini termasuk idgham kabir, (idgham besar), karena idgham tidak terjadi di antara dua huruf yang sama, kecuali jika yang pertama disukunkan dan di sini tetap diidghamkan, walaupun yang pertama dibaca athah.

 

FirmanNya,  “Memberi pengajaran yang sebaik. baiknya kepada kalian.” Allah menjadikan perintah kepada dua perkara ini, yaitu menunaikan amanat dan memutuskan perkara dengan adil, sebagai nasihat, karena dengannya hati menjadi baik, semua yang memperbaiki hati adalah nasihat, dan melaksanakan perintah-perintah ini tanpa ragu adalah memperbaiki hati.

 

Kemudian Allah berfirman,   “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( ) adalah  (kata kerja), akan tetapi di sini ia tidak menunjukkan waktu, jadi maksudnya hanya untuk menunjukkan sifat, yakni Allah disifati dengan as-Sam’u (mendengar) dan al-Bashiar (melihat). Kami katakan,   di sini tidak menunjukkan waktu, karena jika kita menetapkan petunjuk waktu yang dikandungnya berarti sifat tersebut telah selesai. Dulu Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar, sekarang tidak lagi, dan telah diketahui bahwa makna yang begini adalah rusak lagi batil. Jadi maksudnya adalah bahwa Allah disifati dengan kedua Sifat ini, yaitu as-Sam’u (mendengar) dan al-Bashar (melihat) secara permanen dan  dalam konteks kalimat seperti ini berfungsi untuk menunjukkan kebenaran.

 

FirmanNya,   “Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” kami katakan seperti yang telah kami katakan pada ayat sebelumnya, ia menetapkan Sifat mendengar bagi Allah dengan kedua bagiannya dan menetapkan Sifat melihat dengan kedua bagiannya.

 

Abu Hurairah membaca ayat ini dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah  meletakkan ibu jari dan jari telunjuk beliau di mata dan telinga beliau.” Maksud perbuatan Nabi  ini adalah demi menunjukkan kebenaran Sifat mendengar dan melihat (bagi Allah), bukan menetapkan mata dan telinga, karena ditetapkannya mata bagi Allah berdasarkan dalil-dalil yang lain sedangkan telinga, maka menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ditetapkan dan tidak dinafikan karena tidak ada dalil naqli yang menyinggungnya.

 

Jika engkau berkata: Bolehkah aku melakukan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah

 

Jawaban: Di kalangan ulama ada yang berkata, “ya”, lakukanlah apa yang dilakukan Rasulullah , engkau tidak lebih mampu memberi petunjuk kepada manusia daripada Rasulullah  engkau tidak lebih berhati-hati daripada Rasulullah dalam hal penisbatan apa yang tidak layak bagi Allah.

 

Di antara mereka ada yang berkata, Kita tidak perlu melakukan apa yang, Nabi  lakukan tersebut, karena kita telah mengetahui bahwa maksudnya adalah sekedar menunjukkan kebenaran. Jadi isyarat Nabi tersebut pada dasarnya bukanlah yang dimaksud, karena yang menjadi maksud adalah selainnya. Dari sini kita tidak perlu memberi isyarat, Lebih-lebih jika isyarat tersebut bisa dipahami sebagai tamtsil (permisalan bagi Allah), seperti jika engkau di depan banyak orang yang tidak memahami perkara tersebut sebagaimana mestinya. Maka yang ini dihindari saja. Dan setiap kesempatan memiliki perkataan yang sesuai.

 

Begitu pula yang tercantum di dalam hadits [bnu Umar  di mana dia menceritakan Rasulullah yang bersabda,

 

“Allah  mengambil langit dan bumiNya dengan kedua TanganNya, lalu Dia berfirman, ‘Aku adalah Allah,’ sambil beliau menggenggam dan membuka jari-jemari beliau.”

 

Penjelasan tentang hadits ini sama dengan hadits Abu Hurairah .

 

Manfaat iman kepada dua Sifat Allah; “Mendengar” dan “Melihat” bagi perilaku adalah kita akan berhati-hati sehingga tidak menyelisihi Allah dalam perkataan dan perbuatan.

 

Ayat ini menetapkan dua di antara Nama-nama Allah, yaitu as-Sami’ (Yang Maha Mendengar) dan al-Bashir (Yang Maha Melihat Dan ayat ini juga menetapkan Sifat-sifat as-Sam’u (mendengar), al-Bashar (melihat), al-Amr (memerintahkan) dan al-Mau’izhah (memberikan pengajaran)

 

Penulis berkata,

 

Dan FirmanNya, “Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kami memasuki kebunmu, ‘Masya Allah, la quwwata illa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)’.” (Al-Kahfi: 39).

 

Dan FirmanNya, “Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakiNya.”(Al-Baqarah: 253).

 

Dan FirmanNya, ” Hewan ternak dihalalkan bagi kalian, kecuali yang , akan disebutkan kepada kalian, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (Al-Ma‘idah:).

 

FirmanNya, “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (Al-An’am: 125).

 

Syarah:

 

Ini adalah ayat-ayat yang menetapkan dua Sifat Allah yaitu: Masyi ah (kemauan) dan Iradah (kehendak).

 

Ayat pertama: Firman Allah

 

“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu, ‘Masya Allah, la quwwata illa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (Al-Kahfi: 39).

 

Kata   artinya adalah mengapa tidak ( ), ia berfungsi sebagai dorongan, tetapi yang dimaksud di sini adalah untuk mencela, maknanya adalah mencelanya, karena telah meninggalkan ucapan ini.

 

 adalah ketika kamu masuk.

 

 adalah ( ) dengan jim dibaca fathah berarti kebun dengan pohon yang banyak. Dinamakan demikian, karena daun dan rantingnya menutupi orang yang berada di sana, maka orang tersebut berlindung dengan pohon-pohonnya. Akar kata ini (jim dan nun) menunjukkan makna bersembunyi. Termasuk dalam kata ini adalah   dengan ini dibaca dhamumah yang berarti perisai, dimana prajurit bersembunyi dan berlindung di belakangnya, dan   dengan jim dibaca kasrah, yang berarti jin. Dinamakan demikian, karena ia tidak terlihat. 

 

FirmanNya,   ini adalah kata mufrad (tunggal) dan yang diketahui dari banyak ayat bahwa dia mempunyai dua kebun. Bagaimana kita memahami hal ini di mana di sini hanya satu padahal ia adalah dua?

 

Jawaban: Dapat dikatakan begini, (Pertama), jika mufrad (kata tunggal) itu disandarkan, maka ia menunjukkan keumuman, maka ia mencakup dua kebun atau (kedua), orang yang mengucapkan itu ingin meremehkan nilai kedua kebun tersebut, karena konteksnya adalah konteks memberi nasihat dengan tidak membanggakan rizki Allah, seolah-olah dia berkata, ”Dua kebun ini hanyalah satu kebun untuk merendahkan nilai keduanya.” Dan jawaban yang pertama lebih dekat kepada kaidah bahasa Arab.

 

“Kamu berkata.” Ini adalah jawaban dari FirmanNya, “Masya Allah, la quwwat, ila billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” ia di sini ada kemungkinan adalah ( ) maushulah dan kemungkinan adalah ( ) syarthiyah, Jika yang pertama  (maushulah), maka ia adalah khabar dari mubtada yang tidak ditampakkan dalam kalimat, asumsinya,   “Ini adalah apa yang dikehendaki Allah,” yakni, ini bukan dengan keinginanku, daya dan kekuatanku akan tetapi dengan masyi’ah Allah, yakni inilah yang Allah mau. Jika yang kedua ( syarthiyah) maka fi’il syaratnya adalah ( ) dan Jawab dari fi’il syarat tidak terlihat dalam kalimat ( mahdzuf), asumsinya adalah   “Inilah yang dikehendaki Allah”. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi sebagaimana engkau berkata, Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak, maka tidak.

 

Maksudnya, semestinya sewaktu kamu masuk kebunmu, kamu berkata, “Masya Allah,” agar kamu berlepas diri dari daya dan kekuatanmu dan tidak membanggakan kebunmu itu.

 

FirmanNya,   “Tiada kekuatan kecuali dengan per. tolongan Allah.”   adalah nafiyah lil jins (yang meniadakan secara total).   kata nakirah dalam konteks kalimat negatif, maka ia menunjukkan keumuman. Dan kekuatan adalah sifat yang dengannya pelaku mampu melakukan perbuatan tanpa kelemahan.

 

Jika ada yang berkata: Bagaimana menggabungkan antara penafian kekuatan secara umum kecuali dengan pertolongan Allah, dengan FirmanNya,

 

“Allah, Dia-lah yang menciptakan kalian dart keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kalian) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat,” (Ar Rum: 54), dan Firman Allah tentang kaum ‘Ad,

 

“Dan mereka berkata, ‘Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?’ Tidakkah mereka memerhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka, Dia lebih hebat kekuatanNya dari mereka?” (Fushshilat: 15).

 

Allah tidak berfirman bahwa mereka tidak memiliki kekuatan, Allah menetapkan kekuatan untuk mereka, bagaimana menggabungkannya?

 

Jawaban: Menggabungkannya dengan satu dari dua hal: Pertama, kekuatan yang ada pada makhluk berasal dari Allah, seandainya Allah tidak memberinya kekuatan, niscaya dia tidak kuat. Kekuatan yang ada pada manusia adalah makhluk milik Allah, jadi sebenarnya tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

 

Kedua, maksud dari FirmanNya,   yakni, tidak ada kekuatan yang sempurna kecuali dengan pertolongan Allah

 

Yang jelas, laki-laki shalih tadi menyarankan kawannya agar berlepas diri dari daya dan kekuatannya sendiri dan berkata, “Ini adalah karena kehendak dan kekuatan Allah.”

 

Ayat ini menetapkan salah satu Nama Allah, yaitu Allah dan menetapkan tiga Sifat bagi Allah, yaitu al-Uluhiyah (sebagai satu-satunya yang disembah), al-quwwah (kekuatan) dan al-Masyi’ah (kemauan).

 

Masyi’ah (kemauan) Allah adalah iradah kauniyaiNya, ia pasti terjadi pada apa yang Dia cintai dan apa yang tidak Dia cintai. Ia berlaku kepada seluruh manusia tanpa perincian, apa yang Dia kehendaki pasti ada dalam kondisi apa pun. Semua yang dikehendaki Allah pasti terjadi, baik itu dicintai dan diridhaiNya atau tidak.

 

Ayat kedua: FirmanNya,  “Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakiNya.” (Al-Baqarah: 253).

 

Kata   adalah kata penolakan untuk suatu penolakan. Jika (seperti ayat di atas) jawabnya adalah kalimat negatif dengan (tidak), maka bahasa yang lebih fasih adalah tanpa huruf lam, jika jawabnya adalah kalimat positif (niscaya), maka yang lebih banyak digunakan adalah dengan huruf lam, sebagaimana Firman Allah,

 

  “Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering.” (al-Waqi’ah: 65).

 

Kami katakan, Lebih banyak, bukan lebih fasih, karena dengan atau tanpa lam juga tercantum di dalam al-Qur‘an. Misalnya FirmanNya,

 

“Sekiranya Kanu menghendaki, niscaya Kami menjadikannya asin.” (al-Waqi’ah: 70).

 

Perkataan kami bahwa yang lebih fasih adalah tanpa lam dalam kalimat negatif, karena lam berfungsi sebagai penegas dan kalimat negatif tidak seiring dengan penegasan. Dari sini maka perkataan penyair ini

 

Seandainya kita diberi pilihan niscaya kita tidak berpisah

 

Akan tetapi tidak ada pilihan bersama malam-malam, menyelisihi yang lebih fasih. Dan yang lebih fasih adalah,

 

FirmanNya,

 

“Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan,” (Al-Baqarah: 253).

 

Kata ganti “mereka”, kembali kepada orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir, berdasarkan FirmanNya,

 

“Akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan.” (Al-Baqarah: 253).

 

Ini adalah bantahan yang jelas terhadap golongan Qadariyah yang mengingkari keterkaitan perbuatan manusia dengan masyi’ah (kehendak) Allah, karena Allah berfirman,   ” Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan.” Yakni, Allah menghendaki mereka bertikai, maka mereka pun bertikai. Kemudian Allah berfirman,   “Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakiNya.” Yakni, Dia melakukan yang diinginkan, dan iradah (kehendak) di sini adalah tradah kauniyah.

 

FirmanNya,   “Berbuat apa yang dikehendakiNya.” Perbuatan dari segi apa yang dilakukan oleh Allah sendiri yang merupakan perbuatan langsung, dan dari segi apa yang Dia takdirkan bagi manusia yaitu perbuatan tidak langsung, karena sudah dimaklumi bahwa jika seseorang berpuasa, shalat, zakat, haji, dan berjihad maka pelakunya adalah dirinya sendiri dan sudah dimaklumi bahwa perbuatannya tersebut adalah dengan kehendak Allah.

 

Tidak benar menisbatkan perbuatan manusia kepada Allah secara jangsung karena pelakunya secara langsung adalah manusia, akan tetapi ja dinisbatkan kepadaNya dari segi takdir dan penciptaan.

 

Adapun apa yang dilakukan sendiri oleh Allah seperti Dia bersemayam di atas Arasy, Dia berfirman, Dia turun ke langit dunia, Dia tertawa dan lain-lain, maka ini dinisbatkan kepada Allah secara langsung.

 

Ayat ini menetapkan Nama Allah; yaitu Allah, dan juga menetapkan sebagian Sifat Allah yaitu al-Masyi ah (kemauan), al-Fi’lu (berpuat) dan al-Iradah (berkehendak).

 

Ayat ketiga: Firman Allah,

 

“Hewan ternak dihalalkan bagi kalian, kecuali yang akan disebutkan kepada kalian, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (Al-Ma‘idah: 1).

 

“Dihalalkan bagi kalian.” Yang menghalalkan adalah Allah, begitu pula Nabi   beliau menghalalkan dan mengharamkan, akan tetapi dengan izin Allah  . Nabi  bersabda,

 

“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah.” Nabi   juga bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian…,” demikian beliau memberitakan bahwa ia diharamkan. Terkadang Nabi mengharamkan dan menisbatkannya kepada diri beliau akan tetapi dengan izin Allah.

 

“Binatang ternak,” yaitu unta, sapi dan Kambing Dan   adalah jamak dari ( ) seperti kata ( ) jamak dari ( ) FirmanNya,  dinamakan demikian, karena ia tidak berbicara   “Kecuali yang akan dibacakan.” Maksudnya, kecuali apa yang dibacakan kepada kalian di dalam surat ini, yaitu tercantum dalam Firman Allah,

 

“Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan hewan (yang disembelih) yang dinyatakan untuk selain Allah.” (Al-Ma‘idah: 3)

 

Pengecualian di sini ada yang terpisah dan ada yang menyatu (bersambung). Kalau bangkai dari hewan ternak, maka pengecualian, nya bersambung, kalau dari babi, maka ia terpisah, karena babi bukan binatang ternak. 

 

FirmanNya, “(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang berihram (haji atau umrah).”   adalah hal bagi kat yang ada di ( ), yakni dalam kondisi di mana kamu tidak menghalalkan binatang buruan sedangkan kalian dalam kondisi ihram. Pengecualian di sini juga terpisah, karena binatang buruan bukan termasuk binatang ternak.

 

FirmanNya,   “(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu,” yakni membunuhnya pada saat ihram, Karena orang yang melakukan sesuatu menjadi seperti orang yang menghalalkannya. Dan binatang buruan adalah hewan darat liar yang halal dagingnya. Inilah hewan buruan yang diharamkan pada waktu ihram.

 

Firman Allah,  “Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakiNya.” Ini adalah iradah (kehendak) syar’iyah, karena konteksnya adalah peletakan syariat, bisa juga iradah (kehendak) syar’iyah (dan sekaligus) kauniyah dan maksud hukum di sini adalah hukum kauniyah dan syar’iyah. Apa yang Allah inginkan secara kauniyah, maka Dia menetapkan dan melaksanakannya, dan apa yang Dia inginkan secara syariat, maka Dia menetapkan dan mensyariatkannya.

 

Ayat ini menetapkan sebagian Nama Allah yaitu Allah, Sifat-sifatnya yaitu at-Tahlil (menghalalkan), al-Hukm (menghukumi), dan al-Iradah (kehendak-Nya).

 

Ayat keempat: Firman Allah,

 

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (Al-An’am: 125).

 

FirmanNya,   “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” Yang dimaksud dengan iradah di sini adalah iradah kauniyah dan yang dimaksud dengan hidayah adalah hidayah taufik; sehingga kita mendapati orang tersebut berlapang dada terhadap syariat-syariat dan syiar-syiar Islam, serta mengerjakannya dengan bahagia, gembira dan suka cita.

 

Jika engkau melihat itu pada dirimu, maka ketahuilah bahwa Allah menginginkan kebaikan dan hidayah bagimu. Adapun orang yang menjadi sempit dengan syariat Islam -na’udzubillah-, maka hal ini adalah tanda bahwa Allah tidak menginginkan hidayah untuknya, karena kalau bukan, niscaya hatinya akan menjadi lapang.

 

Oleh karena itu, engkau melihat bahwa shalat merupakan ibadah yang paling berat bagi orang-orang munafik, padahal ia adalah ibadah yang menenteramkan bagi orang-orang yang ikhlas. Nabi  bersabda,

 

“Di antara perkara dunia kalian yang dijadikan disukai olehku adalah wanita dan minyak wangi, dan ketenteramanku dijadikan di dalam shalat.”

 

Tidak diragukan bahwa Nabi  adalah manusia paling sempurna imannya, dada beliau menjadi lapang karena shalat dan ia (shalat) menjadi ketenteraman bagi beliau.

 

Jika dikatakan kepada seseorang, Kamu wajib shalat berjamaah di masjid, lalu dadanya menjadi lapang dan dia menjawab, Segala puji bagi Allah yang mensyariatkan hal itu untukku. Seandainya Allah tidak mensyariatkannya, niscaya ia adalah bid’ah. Lalu orang ini menerima, nya dan melaksanakannya. Ini adalah tanda bahwa Allah menginginkan kebaikan dan hidayah untuknya.

 

FirmanNya,   “Niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” Melapangkan artinya meluaskan. Dalam makna ini Nabi Musa  berkata ketika diutus oleh Allah kepada Fir’aun,

 

“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku.” (Thaha: 25), yakni, luaskanlah dadaku dalam mendakwahi dan menyampaikan ke. pada orang ini, karena Fir’aun adalah raja yang lalim lagi keras kepala,

 

FirmanNya,  “Untuk (memeluk agama) Islam,” adalah umum mencakup dasar Islam, cabang-cabangnya dan kewajiban-kewajiban. nya. Sejauh mana kelapangan dada seseorang, kepada Islam dan syariat. syariatnya, sejauh itu pula bukti bahwa Allah menginginkan petunjuk baginya.

 

FirmanNya,  “Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ta sedang mendaki langit.” Yakni, menjadikan dadanya sanyat sempit, kKemudian Allah mencontohkannya dengan FirmanNya,  ” Seolah-olah ta sedang mendaki langit.” Yakni, ketika Islam disodorkan kepadanyaseolah-olah dia memaksakan diri naik ke langit. Oleh karena itu ayatnya berbunyi   dengan shad dan ain yang ditasydid dan bukan   “naik”, seolah-olah dia memaksakan diri naik dengan sangat sulit dan tentunya orang yang memaksakan diri naik, dia pasti kelelahan dan bosan.

 

Bayangkan seorang laki-laki dituntut mendaki gunung yang sulit lagi tinggi. Jika dia mendakinya maka dia akan berusaha sekuat tenaga, nafasnya akan naik turun dan ngos-ngosan karena dia pasti mendapatkan kesulitan karenanya.

 

Berdasarkan hasil penemuan masa kini di mana mereka berkata: Orang yang naik ke langit, semakin dia naik lebih tinggi maka semakin kuat tekanannya (karena oksigennya semakin menipis, pent.) yang membuatnya semakin sulit dan susah. Apa pun itu, baik makna yang pertama atau makna yang kedua, orang yang disodori Islam ini sementara Allah menghendaki untuk menyesatkannya-, maka dia merasa sempit dan tertekan, seperti dia memaksakan diri naik ke langit.

 

Ayat ini menetapkan Sifat Iradah (berkehendak) bagi Allah.

 

Iradah yang disebutkan dalam ayat ini adalah iradah kauniyah bukan yang lain, karena Dia berfirman,

 

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya.”

 

“Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya.”

 

Pembagian seperti ini hanya ada pada perkara-perkara kauniyah, sedangkan iradah syar’iyah, maka Allah menghendaki semua orang tunduk kepada syariat Allah.

 

Dari segi perilaku dan ibadah, ayat ini menetapkan bahwa manusia wajib menerima Islam secara keseluruhan; dasar dan cabangnya; apa yang berkaitan dengan hak Allah dan apa yang berkaitan dengan hak manusia, maka dia wajib berlapang dada dalam hal itu, karena jika tidak, maka dia termasuk kelompok-kelompok kedua yang Allah menghendaki kesesatan baginya.

 

Nabi  bersabda,

 

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, niscaya Dia menjadikannya memahami Agama(Nya).”

 

Memahami agama berarti menerima agama, karena siapa yang mengerti dan memahami agama, maka dia akan menerima dan mencintainya.

 

yang fanatik buta terhadap pendapatnya, dia berusaha memelintir dalil agar sesuai dengan apa yang diinginkannya, meski itu bukan yang diinginkan Allah dan RasulNya. Orang yang demikian ini berada dalam bahaya besar.

 

Iradah (kehendak) Allah terbagi menjadi dua:

 

Pertama, Iradah Kauniyah. Iradah ini adalah sinonim dari Masyi’ah, maka berarti  “menghendaki” atau “menginginkan.” Iradah ini:

 

  1. Berkaitan dengan apa yang dicintai dan apa yang tidak dicintai Allah.

 

Berdasarkan ini, jika ada yang berkata, “Apakah Allah menginginkan kekafiran?” Maka jawablah, “Ya”, jika maksudnya adalah iradah kauniyah, karena jika ia tidak diinginkan, niscaya ia tidak terjadi.

 

  1. Mengharuskan terjadinya apa yang diinginkan Allah, artinya apa yang diinginkan Allah pasti terjadi, tidak mungkin tidak.

 

Kedua, Iradah Syar’iyah. Ini sinonim dengan mahabbah (kecintaan). Jadi “menginginkan” berarti “mencintai”. Maka ini:

 

  1. Ia khusus pada apa yang dicintai Allah; jadi dari segi iradah syar’iyah, Allah tidak menginginkan kekafiran dan kefasikan.

 

  1. Apa yang diinginkan tidak mesti terjadi, artinya Allah menginginkan sesuatu secara syar’i dan ia tidak terjadi. Dia ingin semua manusia menyembahNya tetapi apa yang diinginkanNya ini tidak mesti terwujud, maka ada yang menyembahNya, ada pula yang tidak, lain halnya dengan iradah kauniyah.

 

Jadi perbedaan antara kedua tradah ini dari dua segi,

  1. Iradah kauniyah mesti terjadi dan syar’iyah tidak mesti.

 

  1. Iradah kauniyah bersifat umum pada apa yang dicintai dan tidak dicintai Allah, sedangkan iradah syar’iyah hanya pada apa yang dicintai Allah.

 

Jika ada yang berkata: Bagaimana Allah menginginkan secara kauni apa yang tidak dicintaiNya, artinya bagaimana Dia menginginkan kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan sementara dia tidak mencintaiNya?

 

Jawaban: Hal ini dicintai Allah dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain. Ia dicintai karena ia mengandung kemaslahatan besar dan ia dibenci karena ia adalah kedurhakaan.

 

Tidak mustahil ada sesuatu yang dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lainnya. Ada seorang bapak yang membawa anaknya yang merupakan buah hati dan belahan jantungnya kepada seorang dokter yang membedah kulitnya demi membuang penyakitnya. Seandainya ada orang lain hendak melakukan hal yang sama dengan kukunya Saja dan bukan dengan pisau, niscaya bapak tersebut akan menyerangnya Akan tetapi kepada dokter dia menyerahkan anaknya untuk dibedah dia melihat dengan gembira, dia menyerahkan anaknya kepada dokter lalu dokter memanaskan besi dengan api. Manakala besi itu merah menyala, ia ditempelkan di bagian tubuh anaknya yang sakit; dia Telah Mengapa dia rela padahal itu adalah kesakitan bagi anaknya? Karena bukan itu yang diinginkannya, yang diinginkannya adalah kebaikan besar yang ada di baliknya.

 

Kita mengambil dua manfaat dari segi perilaku dari pengetahuan kita terhadap iradah:

 

Pertama, hendaknya kita menggantungkan harapan, rasa takut, seluruh keadaan dan amal kita kepada Allah, karena segala sesuatu terjadi dengan iradahNya. Ini mewujudkan sikap tawakal bagi kita.

 

Kedua, hendaknya kita melakukan apa yang diinginkan Allah secara syar’i, jika kamu mengetahui bahwa ia dicintai dan diinginkan Allah secara syar’i maka hal itu memperkuat semangat kita untuk melakukannya.

 

Ini adalah faidah mengetahui iradah dari segi perilaku. Yang pertama dari segi iradah kauniyah, yang kedua dari segi iradah syar’iyah,

 

Berikut ini adalah ayat-ayat terkait penetapan “Sifat Cinta (Mahabbah)” bagi Allah:

 

Ayat pertama: Firman Allah

 

“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat batik.” (Al-Baqarah: 195).

 

Kata   ini adalah kata perintah.

 

Berbuat baik itu bisa wajib dan bisa juga mustajab, yakni, yang dianjurkan, perbuatan baik yang dibutuhkan dalam pelaksanaan sesuatu yang wajib, maka ia juga wajib, dan yang lebih dari itu adalah dianjurkan.

 

Jadi FirmanNya,   adalah fi’il amr (kata kerja perintah) yang digunakan untuk yang wajib dan yang dianjurkan.

 

Berbuat baik itu bisa dalam beribadah kepada Allah, dan bisa pula dalam bermuamalah dengan manusia. Berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah ditafsirkan oleh Rasulullah   tatkala Malaikat jibril bertanya tentangnya.” Jibril berkata, “Apa itu ihsan?” Nabi  bersabda,   “Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya.” Ini lebih sempurna daripada yang sesudahnya, karena orang yang beribadah kepada Allah seolah-olah dia melihatNya berarti dia beribadah kepadaNya dengan keinginan dan harapan.   “Jika kamu tidak melihatNya, maka Dia melihatmu.” Yakni, jika kamu tidak mencapai derajat itu, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu. Dan orang yang beribadah kepada Allah dengan derajat ini berarti dia beribadah dengan disertai rasa takut dan khawatir, karena dia takut kepada Dzat Yang senantiasa melihatnya.

 

Sedangkan ihsan dalam bermuamalah dengan manusia maka ada yang berkata, la adalah memberikan yang baik, menahan yang buruk dan menunjukkan wajah yang berseri.

 

Yang pertamia, adalah memberikan yang baik, yang bersifat materi atau jasmani atau kedudukan.

 

Yang kedua, adalah tidak menyakiti manusia dengan perkataan atau perbuatan.

 

Yang ketiga, adalah hendaknya engkau tidak cemberut di depan manusia, hanya saja terkadang seseorang marah dan cemberut tetapi itu karena suatu sebab dan bisa jadi ia merupakan kebaikan jika ia merupakan sebab bagi baiknya keadaan. Oleh karena itu, jika kita mencambuk atau merajam pezina, maka itu adalah berbuat baik kepadanya.

 

Termasuk dalam hal ini adalah bermuamalah dengan baik dalam jual beli, sewa menyewa, nikah dan lain-lain; karena jika engkau bergaul dengan mereka dengan baik dalam perkara-perkara ini, bersabar atas kesulitan, menunaikan hak dengan segera, maka hal itu dikategorikan memberikan kebaikan. Sebaliknya, jika engkau melakukan pelanggaran dengan kecurangan, pemalsuan dan kebohongan, maka engkau tidak menahan diri dari sikap menyakiti, karena semua itu berarti menyakiti. Berbuat baiklah dalam beribadah kepada Allah dan dalam bermuamalah dengan makhluk.

 

FirmanNya,   ” Sesungguhnya Allah mencintai Orang, orang yang berbuat baik.” Ini adalah alasan perintah berbuat baik seka, ligus pahala pelaku kebaikan, bahwa Allah mencintainya. Kecintaan Allah adalah sebuah derajat yang tinggi lagi mulia, demi Allah, kecintaan Allah tidak bisa dibeli dengan dunia seluruhnya, ia lebih tings; daripada engkau mencintai Allah; Allah mencintaimu adalah lebih mulia daripada engkau mencintai Allah. Oleh karena itu Allah berfirman,

 

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian’.” (Ali Imran: 31).

 

Allah tidak berfirman, “Ikutilah aku, niscaya benarlah kecintaanmu kepada Allah,” padahal keadaannya menuntut yang demikian, akan tetapi Dia berfirman,  “Niscaya Allah mencintai kalian,”

 

Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, “Yang penting dan yang paling penting adalah Allah mencintaimu, bukan engkau mencintai Allah.”

 

Siapa pun bisa mengklaim dirinya mencintai Allah, akan tetapi yang penting adalah apakah yang di atas langit mencintaimu atau tidak? Jika Allah mencintaimu dan para malaikat di langit juga mencintaimu, kemudian penerimaan dihamparkan di hadapanmu di muka bumi lalu penduduk bumi mencintaimu dan menerimamu serta menerima apa yang engkau sampaikan, maka ini kabar gembira yang disegerakan bagi seorang Mukmin.

 

Ayat ini menetapkan sebagian Nama-nama Allah, yaitu Allah dan sifat-sifat Allah, yaitu al-Uluhiyal dan al-Mahabbah (mencintai).

 

Ayat yang kedua: FirmanNya,

 

“Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9).

 

Kata   “berlaku adillah” adalah fi’il amr (kata kerja perintah). ( ) bukanlah ( ) karena ia adalah fi’il ruba‘i (kata kerja yang terdiri dari empat huruf), hamzahnya adalah hamzah nafi, jika ia masuk ke dalam fi’il, maka ia menafikan maknanya. Fi’il ( ) berarti, perbuat zhalim, jika   dimasuki hamzah, maka ia menjadi ( ) berarti berbuat adil, yakni melenyapkan kezhaliman, mereka menamakan hamzah seperti ini dengan hamzah salbiyah seperti ( )dan ( )yang pertama berarti melakukan kesalahan dengan sengaja dan yang kedua berarti melakukannya tanpa sengaja.

 

FirmanNya,  , yakni, berbuat adillah. Ini adalah wajib; karena berbuat adil memang wajib pada perkara yang memang menuntut persamaan.

 

Termasuk dalam hal ini berlaku adil dalam bermuamalah kepada Allah, Dia melimpahkan nikmat-nikmatNya kepadamu, termasuk keadilan kalau engkau mensyukurinya. Dia menjelaskan kebenaran kepadamu, termasuk keadilan kalau engkau mengikuti kebenaran tersebut.

 

Termasuk dalam hal ini pula berlaku adil dalam bermuamalah kepada manusia, yaitu engkau bermuamalah kepada mereka dengan apa yang engkau ingin mereka bermuamalah denganmu, oleh karena itu Nabi  bersabda,

 

“Barangsiapa menginginkan dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaknya ajalnya mendatanginya dalam keadaan dia beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan hendaknya dia memperlakukan manusia seperti dia ingin diperlalukan (oleh mereka).”

 

Bermuamalahlah engkau dengan manusia dengan apa yang engkay harapkan mereka bermuamalah denganmu. Contohnya, jika engkau ingin bermuamalah dengan seseorang, maka sodorkanlah muamalah tersebut kepada dirimu. Jika orang lain bermuamalah kepadamu dengannya, apakah engkau rela atau tidak? Jika ya, maka lakukanlah jika tidak, maka jangan.

 

Termasuk dalam hal ini bersikap adil dalam pemberian kepada anak-anak. Nabi bersabda,

 

“Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah di antara anak-anak kalian.”

 

Termasuk dalam hal ini bersikap adil dalam perkara warisan di antara ahli waris, masing-masing dari mereka diberi haknya dan tak seorang pun di antara mereka diberi hak wasiat.

 

Termasuk dalam hal ini bersikap adil di antara istri-istri, yaitu, dengan membagi sama rata antara yang satu dengan yang lain.

 

Termasuk dalam hal ini adalah bersikap adil kepada diri sendiri, maka hendaknya engkau tidak membebani dirimu dengan amal-amal yang engkau tidak mampu menunaikannya, karena Tuhanmu memiliki hak atasmu dan dirimu juga memiliki hak atasmu.

 

Dan begitu seterusnya.

 

Satu hal yang harus tetap diwaspadai: Ada sebagian orang yang mengganti keadilan dengan persamaan. Ini adalah kesalahan, persamaan tidak bisa dikatakan sebagai ganti keadilan, karena persamaan berarti menyamakan dua perkara yang mungkin saja keadilan justru menuntut pembedaan.

 

Demi seruan kepada persamaan, yang sebenarnya adalah ketidakadilan, mereka berteriak, “Apa bedanya antara laki-laki dengan perempuan? Samakan laki-laki dengan perempuan!” Bahkan orang-orang komunis berseru, “Apa bedanya antara pemimpin dengan rakyat, tidak mungkin seseorang memimpin orang lain, begitu pula antara bapak dengan anak. Bapak tidak mempunyai kekuasaan apa pun atas anaknya,” dan begitu seterusnya.

 

Akan tetapi jika kita berpendapat bahwa keadilan berarti memberikan kepada yang berhak apa yang menjadi haknya maka apa yang ditakutkan di atas tidak terjadi. Dan kalimatnya pun menjadi lurus.

 

Dari sini, maka di dalam al-Qur‘an tidak tercantum, “Sesungguhnya Allah memerintahkan persamaan.” Akan tetapi yang tercantum adalah,

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil.” (an-Nahl: 90).

 

“Dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil.” (An-Nisa’: 58).

 

Orang yang berkata, “Islam adalah agama persamaan,” dia telah melakukan kesalahan pada Islam; bukan persamaan tetapi agama keadilan, yang berarti mengumpulkan dua perkara yang sama dan membedakan dua perkara yang berbeda, kecuali jika maksud dari persamaan adalah keadilan, maka ia benar dari segi makna namun salah dari segi kata (istilah).

 

Oleh karena itu, di dalam al-Qur’an tercantum banyak penafian terhadap persamaan,

 

“Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'” (Az-Zumar: 9).

 

“Apakah sama orang buta dan orang yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang ” (ar-Ra’d: 16)

 

“Tidak sama di antara kalian orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang Sudah itu.” (Al-Hadid: 10).

 

“Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di Jalan Allah.” (An-Nisa’: 95).

 

Tidak ada satu huruf pun di dalam al-Qur’an yang memerintahkan persamaan, akan tetapi yang diperintahkan adalah keadilan.

 

Kata keadilan bisa diterima oleh hati manusia.

 

Saya ingin meluruskan hal ini, agar kita tidak hanya ikut-ikutan karena ada sebagian orang yang mencomot perkataan secara asal-asalan tanpa melihat kepada kandungan maknanya dan kepada Siapa yang mengatakannya dan apa yang dimaksud olehnya.

 

Ayat ini menetapkan Nama dan Sifat Allah, sama dengan yang sebelumnya.

 

FirmanNya, “Maka selama mereka berlaku lurus terhadap kalian hendaklah kalian berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 7).

 

( ) di sini adalah Syarthiyah, fi’il syaratnya adalah ( ), dan jawabnya adalah   yakni selama orang-orang yang kalian ambil perjanjiannya di Masjidil haram itu teguh memegang perjanjian tersebut, maka kalian pun harus melakukan hal yang sama.

 

Kalimat bersyarat ini secara tersurat menunjukkan bahwa jika mereka bersikap lurus kepada kita maka kita pun bersikap lurus kepada mereka dan memenuhi perjanjian dengan mereka, dan secara tersirat menunjukkan bahwa jika mereka tidak berlaku lurus, maka kita pun mengambil sikap yang sesuai dengan sikap mereka.

 

Orang-orang yang melakukan perjanjian dengan kaum Muslimin terbagi menjadi tiga kelompok, Kelompok pertama adalah yang bersikap lurus di atas perjanjian mereka dan kita memercayai mereka, maka kita wajib bersikap lurus kepada mereka sesuai dengan Firman Allah,

 

“Maka selama mereka berlaku lurus terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 7).

 

Kelompok kedua adalah pengkhianat dan pelanggar perjanjian. Mereka ini tidak dapat dipegang janjinya sesuai Firman Allah,

 

“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya.” (At-Taubah: 12).

 

Kelompok ketiga adalah yang menampakkan sikap lurus, akan tetapi kita khawatir mereka berkhianat, artinya kita mencium indikasi bahwa mereka hendak berkhianat. Allah berfirman tentang mereka,

 

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukat orang-orang yang berkhianat.” (Al-Anfal: 58).

 

Yakni, kembalikan perjanjian tersebut kepada mereka, dan katakanlah, “Tidak ada perjanjian di antara kita.”

 

Jika ada yang berkata, Bagaimana perjanjian tersebut dikembalikan kepada mereka sementara mereka masih dalam perjanjian?

 

Kami jawab, Karena ditakutkan berkhianat. Kita tidak percaya kepada mereka karena mungkin saja suatu saat nanti mereka menyerang kita secara tiba-tiba, kepada mereka perjanjian tersebut kita kembalikan, hanya saja kita tidak mengkhianati mereka karena perjanjian masih tegak. Jika kaum Muslimin berkata, “Kami takut mereka berkhianat, kami akan mulai menyerang mereka.” Kami katakan, “Tidak, ini haram Jangan memulai memerangi mereka sebelum perjanjian tersebut dikembalikan kepada mereka.”

 

FirmanNya,   “Orang-orang yang bertakwa.” Mereka adalah orang-orang yang mengambil perlindungan dari azab Allah dengan menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya

 

Ini adalah salah satu definisi terbaik dan simpel tentang takwa,

 

Ayat ini menetapkan Nama dan Sifat Allah, sama dengan yang sebelumnya.

 

Ayat keempat:  FirmanNya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222).

 

  (orang yang bertaubat) adalah kata yang mengandung makna “sangat”, yang berarti banyak kembali kepada Allah, taubat adalah kem. bali kepada Allah dari kemaksiatan kepada ketaatan.

 

Dan syaratnya ada lima:

 

Pertama, ikhlas karena Allah   di mana pendorongnya adalah rasa takut kepada Allah dan mengharapkan pahala dariNya.

 

Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan, dan tandanya adalah keinginan dalam hatinya bahwa (andai saja) dosa itu tidak pernah terjadi.

 

Ketiga, meninggalkan dosa; jika yang dilakukan adalah sesuatu yang haram maka dengan meninggalkannya, jika dosanya karena meninggalkan sesuatu yang wajib maka bersegera melakukannya.

 

Keempat, tekad kuat untuk tidak mengulangi dosanya.

 

Kelima, taubat dilakukan pada waktu taubat masih diterima, yaitu sebelum ajal menjemput dan sebelum matahari terbit dari barat, karena jika ia dilakukan pada kedua waktu tersebut, maka ia tidak diterima.

 

Jadi ( ) berarti yang banyak bertaubat.

 

Sudah dimaklumi bahwa banyak bertaubat itu berarti banyak dosa, dari sini kita mengetahui bahwa sebanyak apa pun dosa seseorang, jika setiap dia berdosa dia bertaubat, maka Allah mencintainya, Dan orang yang bertaubat satu kali dari satu dosa akan lebih dicintai oleh Allah, karena siapa yang banyak dosanya dan banyak taubatnya saja dicintai oleh Allah, apalagi yang dosanya sedikit dan taubatnya sedikit, tentunya dia lebih berhak dicintai oleh Allah.

 

FirmanNya,   “Dan Dia mencintai orang-orang yang menyucikan diri.” Yaitu orang-orang yang menyucikan diri dari hadas dan najis pada tubuh dan apa yang wajib disucikan.

 

Di sini Allah mengumpulkan antara bersuci batin dan bersuci lahir, yang pertama dengan  yang kedua dengan .

 

Ayat ini menetapkan Nama dan Sifat Allah, sama dengan sebelumnya.

 

Ayat kelima:

 

FirmanNya, “Katakanlah (wahai Rasul), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian’.” (Ali Imran: 31).

 

Para Ulama Salaf menamakan ayat ini dengan ayat ujian, karena ada suatu kaum yang mengklaim mencintai Allah, maka Allah menyuruh NabiNya agar berkata kepada mereka,

 

“Katakanlah, Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku’.” (Ali Imran: 31).

 

Ini adalah tantangan bagi siapa pun yang mengklaim mencintai Allah. Jika engkau benar dalam mencintai Allah maka ikutilah Rasulullah . Siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam agama Rasulullah yang bukan darinya lalu dia berkata, “Aku mencintai Allah dan RasulNya,” maka kami katakan kepadanya, “Ini dusta. Seandainya cintamu itu benar niscaya engkau mengikuti Rasulullah  dan engkau tidak akan lancang menyusupkan sesuatu ke dalam agamaNya, padahal ia bukan bagian darinya. Siapa yang lebih mengikuti Rasulullah, maka pasti dia lebih mencintai Allah.”

 

Jika dia mencintai Allah dan melaksanakan ibadah kepadaNya, maka Allah mencintainya lebih dari itu, Allah memberinya balasan lebih dari apa yang dia kerjakan. Allah berfirman di dalam hadits qudsi

 

“Barangsiapa mengingatKu pada dirinya, niscaya Aku mengingatnya pada DiriKu.”

 

Dan Diri Allah lebih agung daripada diri kita.

 

“Barangsiapa mengingat (menyebut)Ku di depan khalayak, niscaya Aku mengingat (menyebut)nya di depan khalayak yang lebih baik.” Dalam hadits tercantum, “Barangsiapa mendekat kepadaNya satu jengkal niscaya Allah mendekat kepadanya satu hasta. Barangsiapa mendekat kepadaNya satu hasta niscaya Dia mendekat kepadanya satu depa. Barangsiapa datang kepada Allah dengan berjalan, maka Allah datang kepadanya dengan berjalan cepat.” Jadi, balasan pahala Allah lebih banyak daripada amalmu. Ayat ini menetapkan Nama dan Sifat Allah, sama dengan sebelumnya.

 

Ayat keenam:

 

Dan FirmanNya, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya.” (Al-Ma‘idah: 54).

 

Huruf fa’ terletak pada jawab syarat pada FirmanNya,

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kalian yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum Yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya.” (Al-Ma‘idah: 54).

 

Maksudnya, jika kalian murtad dari agama Allah, maka hal itu tidak merugikan Allah sedikitpun,   “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya.”

 

Ini seperti FirmanNya, 

 

“Dan jika kalian berpaling niscaya dia akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kalian ini.” (Muhammad: 38).

 

Siapa pun yang murtad dari agama Allah, maka Allah tidak peduli padanya, karena Allah tidak memerlukannya, Dia akan melenyapkan dan menghadirkan yang lebih baik daripadanya,  “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum”; sebagai pengganti mereka,  “Yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya.”

 

“Jika mereka mencintai Allah dan Allah mencintai mereka, niscaya mereka akan menaatiNya.

 

Kelanjutan ayat,

 

“Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (Al-Ma‘idah: 54).

 

Mereka berlemah lembut kepada orang-orang Mukmin, bersikap rendah hati, berkasih sayang dan mencintai mereka. Di depan orang-orang kafir mereka bersikap keras dan tegas, tidak menampakkan kerendahan sedikit pun.

 

Rasulullah  telah mengajarkan kepada kita,

 

“Jika kalian bertemu mereka di jalan, maka desaklah mereka ke pinggir (yang sempit).”

 

Jika kalian bertemu orang-orang Yahudi dan Nasrani, meskipun mereka seribu sementara kalian hanya sepuluh, maka hendaklah kita membelah Kumpulan tersebut dan tidak melapangkan jalan bagi mereka, akan tetapi kita paksa mereka ke pinggir yang sempit, kita tunjukkan kepada mereka kemuliaan kita dengan agama kita bukan dengan diri kita, karena kita dengan mereka adalah sama-sama manusia, Supaya terbukti bahwa agama Islamlah yang menang dan Orang yang berpegang padanya adalah orang yang mulia.

 

“Yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (Al-Ma‘idah: 54).

 

Mereka berjihad di jalan Allah melawan siapa pun yang menentang agama Allah: kafir, fasik, mulhid, dan zindiq. Masing-masing di. hadapi dengan senjata yang sesuai dengannya, siapa yang berperang dengan api dan besi maka dia dihadapi dengan api dan besi. Siapa yang berperang dengan dialog dan perdebatan maka dia dilawan dengan hal yang sama. Mereka berjihad di jalan Allah dengan segala macam bentuk jihad   “Yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”

 

Mereka tidak takut terhadap kritik orang kepada mereka, mereka terus menyuarakan kebenaran walaupun terhadap diri mereka sendiri,

 

Hanya saja mereka menggunakan hikmah dalam jihad (jenis) ini, dan berusaha mencapai target sasaran, jika mereka melihat bahwa dakwah menuntut penangguhan dalam sebagian perkara maka mereka menangguhkannya, jika dakwah menuntut sikap lembut di sebagian kondisi, maka mereka memakainya, karena mereka ingin mencapai sasaran tertentu dan sarana yang digunakan menurut tuntutan suatu kondisi.

 

Kemudian Allah berfirman,

 

“Itulah karunia Allah yang diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya, dan Allah Maha Luas (pemberianNya), lagi Maha Mengetahui.” (Al-Ma‘idah: 54).

 

Ayat ini menetapkan Nama dan Sifat Allah, sama dengan yang sebelumnya dan ditambah bahwa Allah dapat dicintai.

 

Ayat ketujuh:

 

FirmanNya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaf: 4).

 

Ayat ini ada dalam Surat ash-Shaf, yang pada hakikatnya adalah surat jihad, karena Allah memulainya dengan pujian kepada orang-orang yang berperang di jalanNya, kemudian mengajak kepadanya di akhir surat, dan di antara itu Allah menyebutkan bahwa Dia akan memenangkan agamaNya di atas seluruh agama meskipun orang-orang musyrik membencinya.

 

“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur.” (Ash-Shaf: 4),

 

di mana tidak ada yang maju dan tidak ada yang tertinggal sampai dalam urusan jihad.

 

Dan shalat adalah jihad kecil, padanya terdapat komandan yang wajib diikuti, jika kamu tidak mengikutinya, maka shalatmu batal. Nabi bersabda,

 

“Apakah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam tidak takut Allah mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau menjadikan wajahnya wajah keledai?”

 

Shaf dalam shalat mirip dengan shaf dalam jihad, Rasulullah  menata barisan mereka dalam jihad sebagaimana beliau menata barisan mereka dalam shalat, seolah-olah mereka adalah bangunan dan bangunan itu adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah ,

 

“Sebagian menguatkan sebagian yang lain.”

 

Sebagian dengan yang lain saling menopang. Oleh karena itu, Allah berfirman,   “Seakan-akan mereka seperti suaty by ngunan yang tersusun kokoh,” tidak terpecah-pecah, dan yang tersusun kokoh pasti lebih kuat.

 

Sifat orang-orang yang dicintai Allah karena amal-amal merek, adalah:

 

Pertama, mereka berperang, mereka tidak bermalas-malasan, tida, ogah-ogahan, tidak tinggal diam, dan tidak bersantai-santai di mang hal itu melemahkan agama dan dunia.

 

Kedua, ikhlas, sesuai dengan FirmanNya,   “Di jalanNya,”

 

Ketiga, saling menopang satu sama lain, sesuai dengan Firman-Nya,   “Dalam barisan yang teratur.”

 

Keempat, bahwa mereka itu seperti bangunan. Dan bangunan itu adalah benteng yang kokoh.

 

Kelima, tidak tersusupi oleh apa yang dapat memecah-belah me. reka, sesuai dengan FirmanNya,   “Yang tersusun kokoh.”

 

Ini lima sifat yang karenanya Allah menambatkan kecintaanNya kepada mereka.

 

Ayat ini menetapkan Nama dan Sifat Allah, sama dengan yang sebelumnya.

 

Ayat kedelapan:

 

FirmanNya, “Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (Al-Buruj: 14).

 

“Yang Maha Pengampun,” adalah Yang menutupi dosa hamba-hambaNya, yang memaafkannya.

 

“Yang Maha Pengasih.” Diambil dari ( ) yang berarti kecintaan yang murni, ia bermakna ( ) yang mencintai dengan murni dan bermakna ( ) yang dicintai dengan murni; karena Allah itu mencintai dan dicintai, sebagaimana FirmanNya,

 

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaitNya.” (Al-Ma‘idah: 54).

 

Allah mencintai dan dicintai; mencintai para kekasihNya dan mereka juga mencintaiNya; cinta untuk bisa sampai kepadaNya, kepada Surga dan ridhaNya.

 

Ayat ini menetapkan dua Nama Allah; yaitu al-Ghafur (Maha Pengampun) dan al-Wadud (Maha Pengasih) dan dua Sifat; yaitu al-Maghfirah (mengampuni) dan al-Wudd (mengasihi).

 

Aku berharap penulis menambahkan ayat kesembilan tentang mahabbah yaitu al-Khullah, berdasarkan firmanNya

 

“Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kesayanganNya ” (An-Nisa: 125).

 

( ) adalah orang yang berada dalam tingkat kecintaan paling tinggi, jadi ( ) adalah bentuk kecintaan tertinggi, karena ( ) adalah orang yang, kecintaan telah meresap ke relung hatinya dan menyusup ke dalam pembuluh darahnya, di atas khullah tidak ada lagi bentuk mahabbah (cinta).

 

Seorang penyair berkata kepada kekasihnya.

Engkau telah menyusup bagai ruh dalam diriku

Dan itulah sebabnya khalil dinamakan khalil

 

Nabi  mencintai seluruh sahabat beliau akan tetapi beliau tidak mengangkat salah seorang dari mereka sebagai khalil, kekasih yang paling disayang, beliau berkhutbah dan berkata,

 

“Seandainya aku mengangkat seorang khalil dari umatku, niscaya orang yang kuangkat itu adalah Abu Bakar.”

 

Abu Bakar adalah orang yang paling beliau cintai, hanya Saja tidak sampai pada tingkatan khullah, karena beliau tidak mengangkat seorang pun menjadi khalil, hanya sebatas persaudaraan dan kecintaan dalam Islam. Adapun khullah (cinta yang paling tinggi), maka ia antara beliau dengan Tuhan beliau. Nabi  bersabda,

 

” Sesungguhnya Allah telah mengangkatku sebagai khalil(Nya) sebagaimana Dia mengangkat Ibrahim sebagai khalil(Nya).”

 

Derajat khullah ini tidak diraih oleh manusia kecuali dua orang. yaitu Nabi Ibrahim  dan Nabi Muhammad berdasarkan hadits di atas.

 

Dan khullah adalah salah satu Sifat Allah, karena ia adalah ben. tuk kecintaan tertinggi, Sifat ini taufiqiyah, artinya kita tidak boleh menetapkannya kepada seseorang kecuali dengan dalil, bahkan para Nabi   sekalipun, kecuali dua orang Rasul yang mulia, keduanya adalah dua khalil Allah.

 

Ayat ini,  “Dan Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai kesayanganNya,” adalah dalil orang (Khalid al-Qasri) yang mem. bunuh al-Ja’ad bin Dirham, pemimpin kelompok Jahmiyah, golongan yang mengingkari Sifat-sifat Allah. Pengingkarannya yang pertama adalah dia berkata, “Sesungguhnya Allah tidak mengangkat Nabi Ibrahim sebagai khalil dan tidak berbicara kepada Nabi Musa,” maka Khalid bin Abdullah al-Qasri membunuhnya; dia membawanya dalam keadaan terikat pada Hari Raya Kurban, dia berkhutbah dan berkata, “Wahai kaum Muslimin, berkurbanlah, semoga Allah menerima kurban kalian. Sesungguhnya aku berkurban dengan al-Ja’ad bin Dirham karena dia mengklaim bahwa Allah tidak mengangkat Nabi Ibrahim sebagai khalil dan tidak berbicara langsung kepada Nabi Musa.” Lalu Khalid turun dan menyembelihnya.

 

Tentang hal ini Ibnul Qayyim berkata tentang itu,

Karena itu Khalid al-Qasri berkurban dengan Ja’ad

pada hart penyembelihan hewan kurban

Karena dia berkata, ‘Ibrahim bukan khalilullah, sama sekali,

dan Musa juga bukan Rasul yang diajak bicara langsung oleh Allah’

Semua pengikut Sunnah berterima kasih atas kurbannya

engkau adalah pelaku kurban yang mengagumkan

 

Jadi ada mahabbah (cinta), wudd (kasih) dan khullah, dua yang pertama berlaku mutlak dan yang terakhir khusus bagi Nabi Ibrahim  dan Nabi Muhammad

 

Sandaran kita dalam perkara-perkara yang ghaib harus kepada dalil-dalil naqli, akan tetapi tidak ada halangan kalau kita pun berdalil dengan dalil aqli untuk memaksa orang yang mengingkari mahabbah agar menerimanya melalui dalil aqli seperti Asy’ariyah. Mereka berkata, “Tidak mungkin terjadi kecintaan antara Allah dengan hamba selama-lamanya, karena akal tidak menunjukkannya dan semua yang tidak ditunjukkan oleh akal wajib dijauhkan dari Allah.”

 

Kami berkata, Kami bisa menetapkan mahabbah (cinta) dengan dalil aqli, sebagaimana ia terbukti dengan dalil naqli, sebagai hujjah atas orang yang mengingkarinya dengan dalil aqli. Dengan memohon taufik dari Allah kami katakan:

 

Balasan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang taat, dengan surga, kemenangan, dukungan dan sebagainya, tanpa diragukan, menunjukkan akan adanya cinta. Kita melihat dengan mata dan mendengar dengan telinga tentang orang yang terdahulu dan yang hidup saat ini bahwa Allah mendukung hamba-hambaNya yang beriman, memberi mereka pahala dan pertolongan. Bukankah tidak lain ini merupakan dalil adanya mahabbah (cinta) dari Allah kepada orang yang didukung, dimenangkan, dan diberi pahala oleh Allah?

 

Di sini ada dua pertanyaan:

 

Pertama: Dengan apa seseorang mendapatkan cinta Allah? Ini lah yang dicari oleh setiap manusia. Cinta adalah perkara yang bersifat, fitrah, ia ada pada diri manusia sementara dia tidak menguasainya, Oleh karena itu Nabi berdoa (mengungkapkan) tentang keadilan terhadap istri-istri beliau,

 

“Ini adalah pembagianku dalam apa yang aku miliki, maka janganlah, Engkau mencelaku dalam apa yang aku tidak memilikinya.”

 

Jawaban: Kecintaan Allah memiliki banyak sebab:

 

Pertama, hendaknya seseorang melihat siapa yang menciptakannya? Siapa yang memberinya kenikmatan-kenikmatan sejak dia di pe. rut ibunya? Siapa yang mengalirkan darah di uratmu sebelum kamu turun ke bumi? Siapakah yang menolak bala darimu meskipun sebab, sebabnya telah terwujud? Engkau sering menyaksikan dengan matamu musibah dan bala yang bisa membinasakanmu, lalu ia disingkirkan darimu. Siapakah yang melakukannya selain Allah?

 

Hal ini tanpa ragu telah mendatangkan kecintaan, oleh karena itu! tercantum di dalam sebuah hadits,

 

“Cintailah Allah karena Dia telah melimpahkan nikmat-nikmatNya kepada kalian.”

 

Aku yakin jika ada orang yang memberimu sebuah pena sebagai hadiah, maka engkau akan menyukai orang tersebut; jika demikian, maka lihatlah nikmat Allah kepadamu, nikmat-nikmat yang besar lagi banyak yang tidak terhitung, niscaya dengan itu engkau mencintai Allah.

 

Oleh karena itu, jika sebuah nikmat datang dalam kondisi engkau sangat membutuhkannya, maka engkau akan sangat berbahagia, engkau menyukai orang yang membawa nikmat tersebut kepadamu. Lain palnya dengan nikmat-nikmat yang terus-menerus, maka engkau mengingat nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadamu, dan engkau mengingat juga bahwa Allah telah melebihkanmu di atas hamba-hambaNya yang beriman. Jika Allah memberimu nikmat ibadah, maka dengan ya Allah melebihkanmu, atau dengan harta maka dia melebihkanmu dengannya atau dengan keluarga, maka Dia telah melebihkanmu dengannya, atau dengan bahan makanan maka Dia telah melebihkanmu dengannya. Tidak ada sebuah nikmat kecuali di bawahnya ada yang jebih rendah darinya, jika engkau melihat nikmat besar ini, niscaya engkau akan bersyukur dan mencintai Allah.

 

Kedua, mencintai amal-amal yang dicintai Allah, baik amal lisan, padan dan hati; engkau mencintai apa yang dicintai Allah. Ini membuatmu mencintai Allah, karena Allah membalasmu karena itu dengan meletakkan kecintaanNya di dalam hatimu, maka engkau mencintai Allah jika engkau melakukan apa yang Dia cintai. Begitu pula engkau mencintai siapa yang dicintai Allah, dan perbedaan antara keduanya sangat jelas, yang pertama untuk perbuatan dan yang kedua untuk pribadi; karena pada yang pertama kami mengatakan ‘apa’ yang digunakan untuk perbuatan, tempat dan waktu; yang tidak berakal. Sedangkan pada yang kedua kami mengatakan ‘siapa’; untuk orang yang berakal. Engkau mencintai Nabi  , mencintai Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan nabi-nabi yang lainnya, engkau mencintai orang-orang yang shiddiq seperti Abu Bakar, para syuhada, dan orang-orang yang dicintai Allah, semua ini mendatangkan kecintaan Allah kepadamu dan sekaligus merupakan buah dari kecintaan kepada Allah. Jadi ia adalah sebab sekaligus buah.

 

Ketiga, adalah dengan memperbanyak mengingat Allah, di mana Allah selalu dalam benakmu, sehingga setiap kali engkau melihat sesuatu maka engkau menjadikannya sebagai dalil atas Allah sehingga hatimu selalu sibuk dengan Allah, berpaling dari selainNya. Ini juga akan mendatangkan kecintaan Allah.

 

Ketiga sebab ini menurut saya adalah sebab-sebab terkuat untuk mendatangkan kecintaan Allah.

 

Pertanyaan kedua: Apa pengaruh dari segi perilaku yang merupakan konsekuensi dari apa yang dijelaskan? 

 

Jawaban: Pertama, FirmanNya,

 

“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah menyukai (mencintai) orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195).

 

Ia menuntut kita berbuat baik dan senantiasa berusaha berbuat baik, karena Allah mencintainya. Apa yang dicintai oleh Allah kita harus berusaha melakukannya.

 

Kedua, FirmanNya,

 

“Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9). Ia menuntut kita berbuat adil dan berusaha keras melakukan keadilan.

 

Ketiga, FirmanNya,  

 

“Sesungguhnya Allah menyukai (mencintai) orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 7).

 

Ia menuntut kita bertakwa (takut) kepada Allah dan tidak takut kepada makhluk, di mana kita meninggalkan dosa dan kemaksiatan karena ada orang yang kita segani, jika orang tersebut tidak ada, maka kita melakukannya. Jadi takwa adalah takut kepada Allah tanpa memedulikan manusia. Perbaikilah antara dirimu denganNya niscaya Dia memperbaiki antara dirimu dengan manusia. Lihatlah wahai saudaraku, kepada sesuatu yang merupakan jalinan antara engkau dengan

 

Tuhanmu, selain itu janganlah dipedulikan,

 

“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (Al-Hajj: 38).

 

Lakukan apa yang dituntut syariat dan akibat yang baik akan menjadi milikmu.

 

Keempat, FirmanNya,

 

“Sesungguhnya Allah menyukai (mencintat) orang-orang yang bertaupat.” (Al-Baqarah: 222).

 

ini mengharuskanmu memperbanyak taubat kepada Allah, memerbanyak kembali kepadaNya dengan hati dan tindakanmu. Hanya perkataan, ‘Aku bertaubat kepada Allah’, mungkin tidak berguna akan tetapi pada saat engkau berkata aku bertaubat kepada Allah, maka engkau pun harus ingat bahwa di depanmu terdapat kemaksiatan di mana engkau harus kembali dan bertaubat kepada Allah darinya, agar dengan itu engkau meraih kecintaan Allah.

 

“Dan menyukai (mencintai) orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222).

 

Jika engkau mencuci pakaianmu dari najis maka engkau merasa Allah mencintaimu, karena Allah mencintai orang-orang yang menyucikan diri. Jika engkau berwudhu, engkau merasa Allah mencintaimu, karena engkau bersuci. Jika engkau mandi, engkau merasa Allah mencintaimu, karena Allah mencintai orang-orang yang menyucikan diri.

 

Demi Allah, kita benar-benar melalaikan makna-makna mulia ini, kita bersuci dari hadats dan najis karena ia hanyalah syarat sahnya shalat. Kita takut shalat kita batal, akan tetapi sering kita lupa merasa bahwa ini adalah kedekatan dan sebab kecintaan Allah kepada kita. Kalau kita mengingat pada saat kita mencuci setitik air kencing yang mengenai pakaian bahwa itu mendatangkan kecintaan Allah kepada kita, niscaya kita akan mendapatkan banyak kebaikan, hanya saja kita selalu dalam kelengahan.

 

Kelima,

 

“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’.” (Ali Imran: 31).

 

Ini mengharuskan kita bersungguh-sungguh berusaha mengikuti ( kepada) Nabi  di mana kita meletakkan jalan tersebut di depan kita lalu kita tidak menyimpang darinya, tidak melalaikannya tidak menambahkan dan tidak menguranginya.

 

Perasaan seperti ini menjaga kita dari bid’ah, menjaga kita day, sikap asal-asalan dan menjaga kita dari sikap berlebih-lebihan. Seandainya kita merasakan semua ini, maka lihatlah bagaimana tindakan adab, akhlak, dan ibadah kita. ‘

 

Keenam, FirmanNya,

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kalian yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya.” (Al Ma‘idah: 54).

 

Dengannya kita berhati-hati dari murtad dari agama Islam yang di antaranya adalah meninggalkan shalat. Jika kita mengetahui bahwa Allah mengancam akan membinasakan kita jika kita murtad darj agamaNya lalu Dia mendatangkan kaum yang Dia cintai dan mereka pun mencintaiNya, mereka menjalankan kewajiban kepada Tuhan mereka, maka kita akan senantiasa teguh dalam ketaatan kepada Allah dan menjauhi segala perkara yang mendekatkan kepada kemurtadan,

 

Ketujuh: FirmanNya,

 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaffat: 4).

 

Jika kita meyakini kecintaan ini, maka kita melakukan lima sebab berikut yang merupakan pemicu dan pemacu kecintaan, yaitu: berperang, tidak bermalas-malasan, ikhlas; dengan dilakukan di jalan Allah, sebagian mendukung sebagian yang lain seolah-olah kita adalah sebuah bangunan, kita mengokohkan ikatan di antara kita dengan sangat kuat seperti sebuah bangunan yang tertata rapi, kita pun berbaris rapi. Ini berarti menuntut kesamaan secara nyata, agar hati tidak berbeda-beda dan ini termasuk yang memperkuat kasih sayang, karena jika seseorang melihat ada kawannya di sebelah kanannya dan kawan lainnya di sebelah kirinya, maka dia akan maju tanpa gentar, lebih dari itu jika kawan-kawannya mengelilinginya dari segala penjuru maka hal itu akan memompa semangatnya.

 

Jadi ada tiga pembahasan dalam tiga ayat tersebut:

  1. Menetapkan mahabbah dengan dalil-dalil naqli.
  2. Sebab-sebabnya.
  3. Pengaruhnya bagi perilaku dari iman kepadanya.

 

Adapun ahli bid’ah yang mengingkarinya (mengingkari Sifat cinta bagi Allah), maka mereka tidak memiliki apapun kecuali dalil yang Jemah. Kata mereka:

 

Pertama, akal tidak menunjukkan hal itu.

 

Kedua, mahabbah hanya terjadi di antara dua hal yang sejenis, ia tidak mungkin antara Khaliq dengan makhluk, dan bisa terjadi di antara makhluk.

 

Kami membantah mereka dengan mengatakan, Kami menjawab alasan mereka yang pertama dengan dua jawaban: Pertama “menerima” dan kedua “menolak”.

 

“Menerima”, yakni kami “menerima” bahwa akal tidak menetapkan mahabbah, akan tetapi dalil naqli menetapkannya dan ia adalah dalil independen. Allah berfirman di dalam al-Qur‘an,

 

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (An-Nahl: 89).

 

Jika al-Qur’an adalah penjelas, maka ia adalah dalil yang berdiri sendiri, “Tidak adanya dalil tertentu tidak mengharuskan tidak adanya apa yang ditunjukkan oleh dalil tersebut.” Karena apa yang ditunjukkan oleh dalil bisa jadi memiliki dalil-dalil yang lain, baik itu riil maupun maknawi.

 

Riil seperti sebuah negeri yang memiliki beberapa jalan yang mengantarkannya kepadanya, jika satu jalan tertutup, maka kita bisa memakai jalan kedua.

 

Yang maknawi, berapa banyak hukum yang memiliki beberapa, dalil? Seperti kewajiban bersuci untuk shalat, ia memiliki beberapa dalil

 

Jadi jika engkau mengatakan bahwa akal tidak menunjukkan adanya Mahabbah antara Khaliq dan makhluk, maka tidak masalah, karen dalil naqli telah menetapkannya dengan nyata dan jelas.

 

“Menolak”, yakni kita “menolak” klaim bahwa akal tidak menunjukkan adanya sifat mahabbah (mencintai), justru akal menetapkan Sifat mencintai antara Allah dengan makhluk seperti yang telah dijelaskan

 

Adapun perkataanmu bahwa cinta tidak terjadi, kecuali di antara dua hal yang sejenis, maka cukuplah kami katakan, Klaimmu tidak di terima karena menolak sudah cukup membatalkan alasanmu, karena pada dasarnya adalah tidak ada. Klaimmu bahwa mahabbah hanya terjadi di antara dua hal yang sejenis tidak bisa diterima, karena telah terbukti ia pun terjadi di antara dua jenis yang berbeda. Ada seseorang yang memiliki jam tua, jam ini tidak merepotkannya dan tidak rusak dia pasti mencintainya. Ada orang lain yang memiliki jam yang mengambil setengah waktunya untuk memperbaikinya, dia pasti merasa kesal dengannya. Kita pun melihat binatang mencintai dan dicintai.

 

Alhamdulillah, kami menetapkan cinta antara Allah dengan hamba. hambaNya.

 

Syarah:

 

Berikut ini adalah sejumlah ayat yang menetapkan Sifat rahmat bagi Allah:

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (An-Naml: 30).

 

Ayat ini dihadirkan penulis untuk menetapkan satu hukum dan bukan pengantar untuk pembahasan yang setelahnya. Dan penjelasan tentang Basmalah telah lewat bagi kita, maka tidak perlu diulang lagi.

 

Di dalam Basmalah terdapat tiga Nama Allah, yaitu Allah, Ar-Rahman, dan ar-Rahim, dan dua SifatNya yaitu Uluhiyyah (yang berhak disembah) dan Rahmah (menyayangi).

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Wahai Tuhan kami, Engkau meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu(Mu).” (Ghafir: 7).

 

Ini diucapkan oleh para malaikat,

 

“(Malaikat-malaikat) yang memikul Arasy dan (para malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan menurut Tuhan mereka dan mereka beriman kepadaNya, serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata), ‘’Wahai Tuhan kami, Engkau meliputi segala sesuatu dengan ralunat dan ilmuMu), maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan (agama)Mu dan peliharalah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala’.” (Ghafir: 7).

 

Betapa agungnya iman dan betapa agung faidahnya.

 

Para malaikat di sekeliling Arasy membawanya, mereka berdoa kepada Allah untuk orang-orang Mukmin.

 

FirmanNya,  “Wahai Tuhan kami, Engkau meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu(Mu),” menunjukkan bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu. Dia menyampaikan rahmatNya kepada segala sesuatu karena Allah menggabungkan keduanya dalam hukum.  “Wahai Tuhan kami, Engkau meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu(Mu).”

 

Inilah rahmat umum yang meliputi seluruh makhluk, bahkan, sampai orang kafir, karena Allah menyertakan rahmat ini dengan ilmu Semua yang, dijangkau oleh ilmu Allah, -dan ilmu Allah menjangkau Segala sesuatu-, berarti dijangkau pula oleh rahmatNya sebagaimana, Dia mengetahui orang kafir, Dia pun memberi rahmat kepadanya,

 

Hanya saja rahmat Allah kepada orang kafir adalah rahmat yang Sifatnya jasadi, jasmani, duniawi, dan sangat terbatas dibandingkan rah, matNya kepada seorang Mukmin. Yang memberi rizki kepada Orang kafir adalah Allah, Dia-lah yang memberinya makan, minum, Pakaian, tempat tinggal, pernikahan, dan lain-lain.

 

Sedangkan rahmat Allah kepada orang-orang Mukmin adalah rahmat yang lebih besar dan lebih khusus, karena ia adalah rahma imani, agamawi, dan duniawi.

 

Oleh karenanya, engkau melihat seorang Mukmin lebih baik dari. pada orang kafir bahkan dalam perkara dunia, karena Allah berfirman

 

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan dia adalah orang Mukmin, maka Kami benar-benar akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97).

 

Kehidupan yang baik inilah yang hilang dari orang kafir. Kehis dupan mereka seperti kehidupan binatang, jika kenyang maka dia buang hajat, jika tidak kenyang maka dia duduk berteriak, begitulah orang-orang kafir itu. Jika mereka kenyang, maka mereka berlaku sombong, jika tidak maka mereka duduk berteriak, dan mereka tidak mengambil manfaat dari dunia mereka. Lain halnya dengan orang Mukmin, jika dia ditimpa kesulitan maka dia bersabar dan berharap pahala kepada Allah, jika diberi kemakmuran maka dia bersyukur, dia selalu dalam kebaikan dalam kedua kondisi tersebut sementara hatinya lapang, tenang dan ikhlas terhadap Qadha dan Qadar Allah, tidak mengeluh pada saat diuji dan tidak menyombongkan diri pada saat diberi nikmat, mereka tetap bersikap lurus, seimbang, dan istiqamah.

 

Jelas beda antara rahmat kepada orang kafir dan rahmat kepada orang Mukmin.

 

Akan tetapi sangat disayangkan, wahai saudara-saudaraku, di antara kita terdapat ribuan orang-orang yang ingin bergabung dengan rombongan orang-orang kafir dalam perkara dunia, sehingga mereka menjadikan dunia sebagai ambisi mereka. Jika mereka diberi, maka mereka rela, jika tidak, maka mereka marah. Orang-orang seperti ini, meskipun mereka mendapatkan kemakmuran dunia, sebenarnya mereka berada di dalam neraka dunia. Mereka sama sekali tidak menemukan kenikmatan dunia yang sebenarnya, karena ia hanya dirasakan oleh orang yang beriman kepada Allah dan beramal shalih. Oleh karena itu, sebagian Salaf berkata, “Demi Allah, seandainya para raja dan para putra raja mengetahui apa yang kami rasakan, niscaya mereka akan mengambilnya dari kami meski dengan pedang.” Hal itu karena meseka terhalangi oleh kefasikan, kemaksiatan, dan kecenderungan kepada dunia dari nikmat hakiki, di mana ia menjadi ilmu tertinggi dan ambisi utama mereka.

 

FirmanNya,   adalah tamyiz yang merupakan bahan dari fa’il, begitu pula  karena asalnya adalah  “Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmuMu meliputi segala sesuatu.”

 

Ayat ini menetapkan sebagian dari Sifat-sifat Allah; rububiyah, rahmat, dan ilmuNya yang menyeluruh.

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Ahzab: 43).

 

FirmanNya,  “Dengan orang-orang Mukmin,” berkaitan dengan ( ), dan didahulukannya obyek berfungsi menunjukkan pembatasan, sehingga makna ayat adalah, ‘Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman saja, bukan kepada selain mereka’.

 

Bagaimana kita menggabungkan antara ayat ini dengan ayat sebelumnya,   “Wahai Tuhan kami, Engkau meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu(Mu).”(Ghafir: 7)?

 

Kami katakan, Rahmat dalam ayat ini (al-Ahzab: 43) bukanlah rahmat pada ayat di atas (Ghafir: 7). Ini adalah rahmat khusus yang berkait dengan rahmat akhirat, yang tidak diperoleh orang kafir, lain dengan yang pertama. Inilah penggabungan di antara keduanya karena jika tidak, maka masing-masing diberi rahmat, akan tetapi tidaklah sama antara rahmat umum dan rahmat khusus.

 

Ayat ini menetapkan Sifat Rahmah Gmenyayangi) bagi Allah. Dari segi perilaku, ayat ini mendorong kepada iman.

 

Ayat keempat: .

 

FirmanNya, “Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu.” (Al-A’raf: 156)

 

Di sini Allah memuji DiriNya Sendiri, “Dan rahmatKu meliputi, segala sesuatu.” Artinya, Allah memuji DiriNya dengan menyatakan bahwa rahmatNya meliputi segala sesuatu; meliputi penduduk bum; dan penduduk langit. Penjelasan ini sama dengan penjelasan pada ayat kedua, silakan merujuk kepadanya.

 

Ayat kelima:

 

FirmanNya, “Tuhan kalian telah menetapkan sifat kasih sayang pada DiriNya.” (Al-An’am: 54).  

 

artinya, mewajibkan atas DiriNya (bersifat) rahmah (menyayangi atau mengasihi). Karena kemurahan, kedermawanan dan karuniaNya, maka Allah mewajibkan Sifat rahmat atas DiriNya, dan menjadikan rahmatNya mendahului murkaNya,

 

“Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka usahakan (perbuat), niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi ini.” (Fathir: 45).

 

Akan tetapi rahmat dan kasih sayangNya menuntut dibiarkannya makhluk sampai waktu tertentu.

 

Di antara rahmatNya adalah apa yang Dia sebutkan dalam FirmanNya,

 

“(Yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kajan lantaran kejahilan, kemudian dia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An’am: 54).

 

Ini adalah salah satu rahmatNya.

 

adalah kata nakirah dalam konteks kalimat syarat yang mencakup seluruh keburukan bahkan syirik.

 

yakni, dengan kebodohan, dan yang dimaksud kebodohan di sini bukan berarti ketidaktahuan. Kebodohan di sini adalah tidak adanya hikmah (sikap bijak); karena semua yang bermaksiat kepada Allah berarti dia bermaksiat kepadaNya dengan kebodohan dan tindakan yang tidak bijak.

 

“Kemudian ta bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” maka Dia mengampuni dosanya dan memberinya rahmat.

 

Dan Dia tidak mengakhiri ayat dengan ini, kecuali orang yang bertaubat akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Ini termasuk rahmatNya yang Dia tulis atas DiriNya, jika tidak demikian, maka menurut tuntutan keadilan, seharusnya dia dihukum atas dosanya dan dibalas atas amal baiknya.

 

Seandainya seorang laki-laki berbuat dosa selama lima puluh hari kemudian dia bertaubat dan memperbaiki dirinya selama lima puluh hari, maka menurut keadilan, dia dihukum karena dosa lima puluh hari dan dibalas atas kebaikannya selama lima puluh hari. Akan tetapi, Allah telah mewajibkan Sifat rahmat atas DiriNya; maka dosa lima puluh hari tersebut dihapus dan dilebur hanya dengan sesaat, bahkan lebih daripada itu,

 

“Maka mereka itu adalah orang-orang yang Allah ganti keburukan-keburukan mereka dengan kebaikan-kebaikan.” (Al-Furqan: 70).

 

Keburukan yang telah berlalu berubah menjadi kebaikan, karena Setiap kebaikan adalah taubat dan setiap taubat mendapatkan Pahala Maka dengan ini jelaslah pengaruh FirmanNya,

 

“Tuhan kalian telah menetapkan sifat kasih sayang pada DiriNya.” Sifat Allah yang dikandung oleh ayat ini adalah Rububiyah (sebagai satu-satunya Dzat yang menciptakan dan mengatur alam ini), (mewajibkan), dan Rahmah (menyayangi).

 

Ayat keenam:

 

FirmanNya, “Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107).

 

Allah   Maha Pengampun lagi Penyayang, Dia menggabungkan kedua Nama ini karena ampunan berarti gugurnya azab akibat dosa, dan rahmat berarti tercapainya harapan, dan manusia memerlukan kedua hal ini. Manusia memerlukan ampunan yang dengannya dia selamat dari dosa-dosanya dan dia memerlukan rahmat yang dengannya dia berbahagia karena apa yang diharapkannya tercapai.

 

adalah bentuk kata yang menunjukkan makna sangat dan mantap yang diambil dari kata ( ) yang berarti menutupi dan melindungi; karena ia diambil dari ( ) yang berarti topi baja pelindung kepala dalam peperangan yang ia berfungsi ganda yaitu menutupi dan melindungi kepala. Jadi ( ) adalah yang menutupi dosa-dosa hambaNya dan melindungi mereka dari akibat buruknya dengan memaafkannya. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang shahih, “Bahwa Allah menyendiri dengan hambaNya pada Hari Kiamat dan Did menetapkan dosa-dosanya, Allah berfirman kepadanya, ‘Kamu telah melakukan ini, kamu telah melakukan ini’. …sampai hamba tersebut pun mengakuinya, lalu Allah berfirman kepadanya, ‘Aku telah menutupinya untukmu di dunia dan Aku mengampuninya untukmu pada hari ini’.”

 

adalah Pemilik rahmat yang menyeluruh. Penjelasan tentangnya telah lewat.

 

Dalam ayat ini terkandung Nama-nama Allah, yaitu al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan ar-Rahim (Yang Maha Penyayang). Dua sifat yang ditetapkan adalah Maghfirah (mengampuni), dan Rahmah (menyayangi).

 

Ayat ketujuh:

 

FirmanNya, “Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf: 64).

 

Perkataan ini dikatakan Nabi Ya’qub  ketika mengutus saudara kandung Nabi Yusuf bersama anaknya, karena Nabi Yusuf berkata kepada mereka, “Tidak ada pemberian untuk kalian jika kalian pulang kecuali jika kalian menghadirkan saudara kalian.” Perkataan Nabi Yusuf ini mereka sampaikan kepada bapak mereka, dan karena terpaksa, Nabi Ya’qub mengizinkan saudara Nabi Yusuf pergi bersama mereka dan pada saat melepasnya, Nabi Ya’qub berkata kepada mereka,

 

“Bagaimana aku akan memercayakannya (Bunyamin) kepada kalian kecuali seperti aku telah memercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kalian, dahulu?” Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf: 64).

 

Yakni, kalian tidak akan menjaganya, akan tetapi Allah-lah yang menjaganya.

 

  Kata ( ), para ulama berkata, Ia adalah tamyiz, seperti perkataan orang-orang Arab,   “dia adalah penunggang kuda yang hebat.” Ada yang berpendapat, ia adalah hal dari fa’il   yang ada pada FirmanNya,   yakni, dalam keadaan Dia sebagai Penjaga.

 

Pokok pembahasan dari ayat ini adalah,  “Dan Dig adalah Maha Penyayang di antara para penyayang,” di mana Allah menetapkan rahmat, bahkan Dia menyatakan bahwa Dia adalah Maha Penya. yang di antara para penyayang. Seandainya rahmat seluruh makhluk bahkan rahmat-rahmat seluruh makhluk dibandingkan dengan rahmat Allah, niscaya rahmat Allah lebih besar dan lebih agung.

 

Makhluk yang paling sayang kepada makhluk adalah ibu kepada anaknya, rahmat ibu kepada anaknya ini tidak tertandingi oleh kasih sayang manusia yang lain bahkan pada umumnya bapak sekalipun, dia tidak menyayangi seperti ibu.

 

Ada seorang wanita dari tawanan perang mencari-cari anaknya, manakala dia melihatnya dia mengambilnya dan memeluknya ke dadanya di depan Rasulullah  dan para sahabat. Lalu Nabi  bersabda,

 

“Apakah menurut kalian bahwa wanita ini (tega) mencampakkan anaknya dalam api?” Mereka menjawab, “Demi Allah, tidak wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, ” Allah lebih menyayangi hamba-hambaNya daripada wanita ini kepada anaknya.”

 

Sungguh agung keagunganNya, sungguh perkasa kerajaan dan kekuasaanNya.

 

Jika engkau mengumpulkan seluruh kasih sayang orang-orang yang mengasihi, maka ia bukanlah apa-apa dibandingkan dengan rahmat Allah.

 

Bukti dari itu adalah bahwa Allah menciptakan seratus rahmat. Dengan satu dari seratus rahmat tersebut para makhluk saling menyayangi di muka bumi.”

 

Semua makhluk saling menyayangi; manusia dan binatang. Oleh karena itu, engkau melihat seekor unta yang kuat dan terkadang menggigit, ia mengangkat kakinya (agar tidak mengenai) anaknya karena ja khawatir menginjaknya saat anaknya menyusui sehingga anaknya pisa menyusu dengan mudah. Engkau juga mendapati binatang buas dan ganas menyayangi anaknya, jika ada yang datang kepadanya sementara ia di sarangnya bersama anaknya maka ia akan pasang badan untuk membela anak-anaknya sehingga mereka terlindungi.

 

Rahmat Allah ditetapkan oleh al-Qur an, as-Sunnah, ijma’, dan akal.

 

Dalam al-Qur an, rahmat ditetapkan dengan cara beragam, terkadang dengan nama; seperti FirmanNya,

 

“Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107).

 

Terkadang dengan sifat, seperti FirmanNya,

 

“Dan Tuhanmulah Yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat.” (Al-Kahfi: 58).

 

Terkadang dengan perbuatan, seperti FirmanNya,

 

“Allah mengazab siapa yang dikehendakiNya, dan memberi rahmat kepada Siapa yang dikehendakiNya.” (Al-Ankabut: 21).

 

Dan terkadang dengan isim tafdhil, seperti FirmanNya,

 

“Dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf. 92).

 

As-Sunnah juga menghadirkannya dengan cara-cara yang sama dengan cara al-Qur’an.

 

Adapun dalil aqli (nalar) yang menetapkan Sifat rahmah bagi Allah, maka di antaranya adalah kebaikan yang melimpah yang kita saksikan dan itu terjadi dengan ketetapan Allah. Juga kesulitan-kesu. litan yang beraneka ragam yang tertolak dengan ketetapan Allah. Semua itu menetapkan rahmat Allah dari segi akal.

 

Orang-orang dalam kekeringan dan paceklik, bumi kering keron. tang, langit tak berhujan, tidak ada air, tidak ada tumbuh-tumbuhan; lalu Allah menurunkan hujan, bumi pun menghijau, hewan-hewan ternak pun makan, dan orang-orang pun minum… bahkan orang awam yang tidak pernah belajar di sekolah pun jika kamu bertanya kepada. nya, “Ini dari apa?” Dia akan menjawab, “Ini dari rahmat Allah.” Tak seorang pun meragukan hal ini.

 

Rahmat Allah ditetapkan oleh dalil naqli dan dalil aqli.

 

Golongan Asy’ariyah dan golongan-golongan Mu’ahthilah (yang mengingkari Nama-nama dan Sifat-sifat Allah), mengingkari bahwa Allah menyandang Sifat rahmat. Mereka berkata, “Hal itu karena akal tidak menetapkannya. Kedua, karena rahmat adalah kelembutan, kelemahan dan kecenderungan kepada yang diberi rahmat. Ini tidak pantas bagi Allah karena Allah lebih agung dari sekedar menyayangi dengan makna yang merupakan rahmat. Tidak mungkin Allah mempunyai Sifat rahmat.” Menurut mereka, yang dimaksud dengan rahmat adalah keinginan memberi kebaikan atau kebaikan itu sendiri, yakni ia adalah nikmat atau keinginan memberi nikmat.

 

Perhatikanlah sekarang bagaimana mereka mencopot (secara zhalim) sifat agung ini dari Allah, sebuah sifat yang diinginkan dan diharapkan oleh setiap Mukmin. Siapa pun jika engkau tanya, “Apa yang kamu inginkan?” Dia akan menjawab, “Aku menginginkan rahmat Allah.”

 

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raf: 56).

 

Tetapi golongan-golongan Mu’aththilah mengingkarinya, mereka berpendapat bahwa Allah tidak mungkin menyandang sifat rahmat.

 

Kami membantah pendapat ini dengan dua cara, “Menerima” dan “menolak”.

 

-“Menerima”: Kami katakan, Anggaplah akal tidak menetapkan sifat rahmat, namun bukankah dalil naqli menetapkannya? Jadi rahmat ditetapkan oleh dalil yang lain dan kaidah umum yang berlaku di kalangan orang-orang berakal adalah bahwa tidak adanya dalil tertentu tidak menunjukkan tidak adanya apa yang ditunjukkan oleh dalil tersebut karena bisa jadi ia ditetapkan oleh dalil yang lain. Anggaplah dalil aqli tidak menetapkan rahmat, tidak masalah, karena dalil naqli menetapkannya. Tidak sedikit perkara yang bisa ditetapkan dengan beberapa dalil.

 

-“Menolak”: Kami katakan, Perkataan kalian bahwa akal tidak menetapkan rahmat adalah perkataan yang batil, justru sebaliknya, akal menetapkan rahmat. Apa yang menjadi sebab adanya nikmat-nikmat Allah yang terlihat dan terdengar? Apa yang menyebabkan musibah musibah tidak menimpa? Tanpa ragu sebabnya adalah rahmat. Seandainya Allah tidak memberi rahmat kepada hamba-hambaNya niscaya Dia tidak memberi mereka nikmat dan tidak menolak bala dari mereka?

 

Ini adalah perkara riil, diakui oleh siapa pun. Orang awam yang berada di kios atau tokonya pun mengetahui bahwa nikmat-nikmat ini adalah bukti akan adanya rahmat.

 

Yang aneh dari mereka adalah bahwa mereka menetapkan sifat iradah (berkehendak) melalui jalan takhshish (pengkhususan). Mereka berkata, “Dalil naqli dan agli menetapkan Sifat Iradah bagi Allah.” Yang pertama jelas. Yang kedua karena pengkhususan menunjukkan adanya iradah. Dan yang dimaksud dengan pengkhususan adalah pengkhususan makhluk dengan kondisinya, ia menunjukkan adanya iradah. Langit adalah langit, bumi adalah bumi, bintang-bintang adalah bintang, matahari adalah matahari, satu dengan yang lainnya adalah berbeda disebabkan adanya iradah. Allah berkehendak menjadikan langit, maka ia pun menjadi langit. Allah berkehendak menjadikan bumi, Maka ia pun menjadi bumi, bintang menjadi bintang, dan begitu seterusnya

 

Kata mereka, Pengkhususan menunjukkan adanya sifat berkehendak, karena jika tanpa kehendak, maka semuanya akan menjadi satu

 

Kami katakan kepada mereka, Maha Suci Allah Yang Maha besar Dalil yang kalian pegang dalam menetapkan iradah adalah lemah dan lebih samar daripada dalil nikmat yang menunjukkan rahmat, kareng petunjuk rahmat melalui nikmat diketahui oleh semua lapisan. Lain halnya dalil pengkhususan terhadap iradah, ia hanya diketahui Oleh orang-orang khusus (terpelajar) dari kalangan penuntut ilmu. Bagaimana bisa kalian mengingkari apa yang lebih jelas dan menetapkan apa yang lebih samar? Bukankah ini adalah kontradiksi dari kalian.

 

Faidah yang dapat dipetik dari ayat-ayat ini dari sisi perilaku;

 

Sisi perilaku, yaitu selama seseorang itu mengetahui bahwa Allah Maha Pengasih, maka dia akan bergantung kepada rahmat Allah, dia akan menanti-nantikannya. Keyakinannya ini akan mendorongnya melakukan semua perbuatan yang mengantarkannya kepada rahmat, seperti berbuat baik. Firman Allah,

 

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raf: 56).

 

Dan takwa, FirmanNya,

 

“Maka akan Aku tetapkan rahmatKu untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 156).

 

Iman termasuk penyebab turunnya rahmat Allah, sebagaimana Dia berfirman,

 

“Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al Ahzab: 43).

 

Semakin kuat iman seseorang, maka semakin dekat rahmat Allah kepadanya.  

 

FirmanNya, “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadapNya.” (Al-Ma‘idah: 119).

 

Syarah:

 

Ini adalah salah satu ayat tentang Sifat ridha. Allah memiliki Sifat ridha, Dia meridhai amal perbuatan dan pelakunya, yakni ridha Allah terkait dengan amal perbuatan dan pelakunya.

 

Allah meridhai amal, seperti FirmanNya,

 

“Dan jika kalian bersyukur, Dia meridhainya bagi kalian.” (Az-Zumar: 7).

 

Yakni, Dia meridhai sikap bersyukur bagi kalian.

 

Juga seperti Firman Allah,

 

“Dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” (Al-Ma’idah: 3).

 

Dan sebagaimana dalam hadits shahih,

 

“Sesungguhnya Allah meridhai untuk kalian tiga perkara dan membenci untuk kalian tiga perkara…”

 

Ridha di sini berkaitan dengan amal perbuatan.

 

Dan ridha Allah terhadap orang yang melakukan amal adalah seperti ayat yang disebutkan Syaikhul Islam di atas, “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha Terhadapnya” (Al-Ma’idah: 119).

 

Ridha adalah Sifat yang tetap bagi Allah, ia ada pada DiriNya dan bukan sesuatu yang terpisah dariNya; sebagaimana yang diklaim Oleh para penganut fa’thil (golongan Mui’aththilah).

 

Jika ada orang yang berkata kepadamu, “Jelaskan apa itu ridha?” Niscaya engkau tidak mungkin menafsirkan, karena ia adalah insting dasar yang ada pada manusia. Seseorang tidak mungkin menjelaskan. nya dengan penjelasan yang lebih jelas dan lebih nyata daripada lafazhnya itu sendiri.

 

Kami katakan, Ridha adalah sifat yang ada pada Allah, ia ada. lah sifat hakiki yang berkaitan dengan KehendakNya. Ia termasuk Sifat-sifat Fi’liyah. Dia meridhai orang-orang Mukmin, orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang berlaku adil dan orang-orang yang bersyukur. Dia tidak meridhai orang-orang kafir, orang-orang fasik dan orang-orang munafik. Allah meridhai sebagian orang dan tidak meridhai sebagian orang, Dia meridhai sebagian amal perbuatan dan tidak meridhai sebagian lain amal perbuatan.

 

Allah memiliki Sifat ridha, ini ditetapkan oleh dalil naqlt, sebagaimana yang telah dijelaskan, dan dalil agli, di mana Dia memberi balasan pahala kepada orang-orang yang taat dan membalas ketaatan dan perbuatan mereka. Ini menunjukkan adanya ridha Allah.

 

Jika engkau berkata, “Tindakanmu menjadikan balasan pahala sebagai dalil adanya Sifat ridha, bisa dipatahkan, karena Allah terkadang memberi nikmat kepada orang fasik melebihi nikmatNya kepada orang yang bersyukur.” Ini adalah sanggahan yang kuat.

 

Untuk menjawabnya kami katakan: Pemberian Allah kepada orang fasik yang berjalan di atas kemaksiatan kepadaNya adalah istidraj (karena benci) dan bukan karena ridha, sebagaimana Firman Allah,

 

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencanaKu amatlah teguh.” (Al-A’raf: 182-183).

 

Nabi  bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah menangguhkan orang yang zhalim sehingga tatkala Dia menghukumnya (membinasakannya), maka Dia tidak meleset darinya.”

 

Dan beliau membaca FirmanNya,

 

“Dan begitulah azab Rabbmu apabila Dia mengazab penduduk negerinegeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya azabNya itu sangat pedth lagi keras.” (Hud: 102).”

 

Dan Firman Allah

 

“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa. Maka orang-orang yang zhalim itu dimusnahkan sampat ke akar-akarnya. Dan segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” (Al-An’am: 44-45).

 

Adapun jika balasan baik tiba, sementara dia berjalan di atas ketaatan kepadaNya, maka kita mengetahui bahwa hal itu berasal dari ridha Allah.

 

Syarah:

 

Penulis menyebutkan lima ayat tentang sifat-sifat ini:

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, ta kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya.” (An-Nisa’: 93).

 

adalah syarthiyah yang menunjukkan keumuman.

 

yaitu orang yang beriman kepada Allah dan Rasul Nya, maka orang kafir dan orang munafik tidak termasuk di dalamnya.

 

Hanya saja barangsiapa yang membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian (dengan pihak kaum Muslimin), atau kafir dzimmi atau orang kafir yang mendapat jaminan keamanan, maka dia berdosa, tetapi dia tidak diancam dengan ancaman yang tercantum dalam ayat ini.

 

Adapun orang munafik, maka secara lahir dia adalah orang yang terjaga darahnya asalkan tidak menampakkan kemunafikannya secara terang-terangan.

 

FirmanNya,   “Dengan sengaja,” menunjukkan bahwa ia tidak mencakup anak kecil dan orang tidak berakal, karena mereka tidak memiliki niat yang benar dan kesengajaan, juga tidak mencakup orang yang tidak sengaja, dan ini telah dijelaskan pada ayat sebelumnya.

 

Balasan orang yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja adalah balasan yang besar ini.

 

“Jahanam,” adalah salah satu nama dari nama-nama neraka.

 

“Kekal di dalamnya,” yakni tinggal selamanya di dalamnya.

 

“Dan Allah murka kepadanya.” “murka” adalah Sifat yang tetap bagi Allah, sesuai dengan keagungannya, ia termasuk Sifat Fi’liyah.

 

“Dan Dia melaknatnya,” laknat adalah mengusir dan menjauhkan seseorang dari rahmat Allah.

 

Ini adalah empat macam hukuman, dan yang kelima adalah Firman

 

Lima hukuman, satu saja sudah cukup sebagai ancaman dan peringatan menakutkan bagi orang yang memiliki hati. Akan tetapi di singgungnya kekekalan di dalam neraka bagi orang Muslim yang membunuh orang Mukmin secara sengaja membawa persoalan bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, padahal pembunuhan itu sendiri bukan kekafiran, dan menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada kekekalan di dalam neraka kecuali dengan sebab kekafiran.

 

Persoalan ini ditanggapi dengan beberapa pandangan:

 

Pertama, hal ini berlaku pada orang kafir yang membunuh orang Mukmin.

 

Pendapat ini bukan apa-apa, Karena orang kafir kekal di neraka walaupun dia tidak membunuh orang Mukmin,

 

“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong.” (Al-Ahzab: 64-65).

 

Kedua, hal ini berlaku bagi orang yang menghalalkan pembunuhan, karena orang yang menghalalkan pembunuhan terhadap orang Mukmin adalah orang kafir.

 

Imam Ahmad merasa aneh dengan jawaban ini. Dia berkata, “Bagaimana bisa begini? Jika dia menghalalkan membunuhnya maka dia kafir meskipun tidak membunuhnya, dan dia kekal di dalam neraka meskipun tidak membunuhnya.”

 

Jawaban (kedua) ini tidak benar.

 

Ketiga, kalimat ini menyimpan kata syarat yang tidak terlihat yakni maka balasannya adalah Jahanam, ia kekal di dalamnya jika Dia membalasnya.

 

Jawaban ini kurang tepat karena apa guna FirmanNya,   “Maka balasannya adalah Jahanam,” kalau maksudnya adalah jika Dia membalasnya? Sekarang kita bertanya, jika Dia membalasnya, apakah ini adalah pembalasannya? Jika ya, maka itu berarti dia kekal di neraka. Jadi persoalannya kembali lagi tanpa terurai, kita tidak keluar darinya.

 

Ketiga jawaban ini tidak lepas dari sanggahan.

 

Keempat, ini adalah sebab, akan tetapi apabila ada penghalang, maka sebab tersebut tidak direalisasikan, sebagaimana biasa kita kata, kan, kekerabatan adalah sebab warisan, akan tetapi jika kerabat tersebut adalah seorang hamba sahaya, maka dia tidak berhak mewarisi karena adanya penghalang, yaitu statusnya sebagai sahaya.

 

Hanya saja jawaban ini memunculkan pertanyaan dari sisi yang lain, yaitu apa faidah ancaman tersebut?

 

Faidahnya adalah, bahwa seseorang yang membunuh orang Mukmin dengan sengaja berarti dia telah melakukan sebab yang dengannya dia kekal di neraka, dalam kondisi ini keberadaan penghalang adalah sesuatu yang bersifat mungkin, bisa jadi ada, bisa pula tidak ada, maka dia dalam bahaya besar, oleh karena itu Nabi  bersabda,

 

“Seorang Mukmin senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah yang haram.”

 

Jika dia menumpahkan darah yang haram -naudzubillah-maka boleh jadi agamanya menyempit dan bahkan bisa keluar darinya.

 

Dari sini, maka ancaman ini adalah dari segi akibat yang mesti dipikul karena pembunuhan tersebut dikhawatirkan menjadi sebab kekafirannya, di mana dia bisa mati di atasnya lalu dia kekal di dalam neraka.

 

Dengan makna ini, maka ayat ini menetapkan sebab dari sebab.

 

pembunuhan dengan sengaja adalah sebab kematian pelakunya di atas kekafiran dan kekafiran adalah sebab kekekalan di dalam neraka.

 

Menurutku, jika jawaban keempat ini diperhatikan maka ia tidak permasalah.

 

Kelima, bahwa yang dimaksud dengan kekekalan adalah tinggal dalam waktu lama dan bukan tinggal untuk selamanya, karena keke~ kalan dalam bahasa Arab terkadang dipakai untuk bertempat tinggal dalam waktu yang lama, seperti dikatakan, fulan kekal dalam tahanan, padahal tahanannya tidak selamanya. Mereka berkata, Fulan kekal layaknya gunung, dan sudah dimaklumi bahwa gunung akan dihancurkan oleh Allah sehancur-hancurnya, maka Dia akan menjadikan bekasnya datar sama sekali.

 

Jawaban ini mudah, tidak harus mengerutkan dahi untuk memahaminya. Kami katakan, Allah tidak menyatakan selama-lamanya, Dia tidak berfirman,   “kekal di dalamnya selama-lamanya,” Dia hanya berfirman,  “kekal di dalamnya.” Yang berarti berdiam di dalamnya dalam waktu yang panjang.

 

Keenam, bisa dikatakan bahwa ini termasuk ancaman, dan ancaman bisa saja tidak dilaksanakan, karena ia perpindahan dari keadilan kepada kemurahan dan hal itu adalah kemuliaan dan pujian. Jawaban keenam ini didukung oleh perkataan seorang penyair:

 

Sesunggulinya jika aku menjanjikan atau mengancam maka aku dapat membatalkan ancamanku dan dapat melaksanakan janjiku

 

Dikatakan, Aku mengancamnya dengan hukuman dan aku menjanjikannya dengan balasan, yang pertama aku batalkan dan yang kedua aku laksanakan.

 

Jika engkau berkata kepada anakmu, “Demi Allah, jika kamu pergi ke pasar niscaya aku akan memukulmu dengan tongkat ini.” Anak itu tetap pergi, ketika dia pulang kamu memukulnya dengan tangan. Hukuman ini lebih ringan bagi anakmu. Jika Allah mengancam pembunuh dengan ancaman tersebut lalu Dia memaafkan, maka ini adalah kemurahan dariNya.

 

Hanya saja jawaban keenam ini masih menyisakan persoalan yaitu jika ancaman tersebut dilaksanakan maka persoalannya tetap ada, jika tidak dilaksanakan maka apa gunanya?

 

Ini adalah enam jawaban terhadap ayat di atas dan yang Paling dekat adalah jawaban kelima, kemudian keempat.

 

Masalah: Jika pembunuh bertaubat, apakah dia berhak mendapatkan ancaman?

 

Jawaban: Dia tidak berhak mendapatkan ancaman berdasarkan dalil nash al-Qur’an; berdasarkan Firman Allah,

 

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain di samping menyembah Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada Hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka mereka itulah yang keburukan-keburukan mereka diganti oleh Allah menjadi kebaikan-kebaikan.” (Al-Furqan: 68-70).

 

Ini jelas bahwa siapa yang bertaubat -bahkan dosa pembunuhan maka Allah menggantikan keburukannya dengan kebaikan.

 

Dalam hadits shahih disebutkan kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh sembilan puluh sembilan orang, lalu Allah menggerakkan hatinya untuk bertaubat, lalu dia mendatangi seorang ahli ibadah. Maka dikatakan kepada ahli ibadah tersebut bahwa laki-laki ini telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah dia masih mungkin bertaubat? Ahli ibadah ini merasa dosa laki-laki tersebut sangatlah besar, maka dia berkata, “Tidak ada taubat bagimu.” Maka laki-laki itu membunuhnya sehingga menjadi genap seratus orang yang dia bunuh. Selanjutnya laki-laki ini dibimbing kepada orang alim, dikatakan kepada alim ini bahwa laki-laki ini telah membunuh seratus orang, apakah masih ada peluang bertaubat untuknya? Dia menjawab, “Ya, siapa yang menghalanginya dari taubat? Akan tetapi penduduk desa(mu) ini adalah orang-orang yang zhalim, pergilah ke desa fulan kagena di sana terdapat orang-orang baik dan mengerjakan shalat.” Maka pembunuh tersebut berhijrah dari negerinya ke negeri yang ditunjuk oleh alim tersebut. Di tengah jalan, ajal menjemputnya, maka para malaikat rahmat dan para malaikat azab berselisih (dalam hal siapa yang berhak membawanya) sehingga Allah menurunkan seorang hakim di antara mereka. Hakim ini berkata, “Ukurlah jarak di antara kedua desa, ke desa mana dia lebih dekat, maka dia termasuk penduduknya.” Ternyata laki-laki tersebut lebih dekat kepada desa yang baik, maka para malaikat rahmatlah yang membawanya.’?

 

Lihatlah perbuatan laki-laki Bani Israil ini, dia bertaubat dan taubatnya diterima, padahal Allah meletakkan kesulitan-kesulitan dan belenggu-belenggu atas mereka, kemudian kesulitan-kesulitan dan belenggu tersebut telah diangkat dari umat ini. Jadi taubat bagi umat ini lebih mudah. Jika hal itu terjadi pada Bani Israil lalu bagaimana pula dengan umat ini? . Jika engkau berkata: Lalu apa pendapatmu tentang riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas bahwa tidak ada taubat bagi pembunuh? Jawabnya melalui satu dari dua sisi:

 

1). Bisa jadi Ibnu Abbas  beranggapan bahwa sulit bagi pembunuh secara sengaja untuk bertaubat, dan menurutnya, bahwa orang yang membunuh dengan sengaja tidak diberi taufik untuk bertaubat dan jika dia tidak diberi taufik untuk bertaubat, maka dosanya tidak gugur darinya, dia tetap disiksa karenanya.

 

2). Bisa jadi maksud Ibnu Abbas adalah bahwa tidak ada taubat untuknya terkait dengan hak korban, karena pembunuh secara sengaja terkait dengan tiga hak-hak Allah, hak korban, dan keluarga korban.

 

  1. Hak Allah terangkat oleh taubat, tanpa ragu, berdasarkan firmanNya,

 

“Katakanlah (wahai Rasul kepada hamba-hambaKu), Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (Az-Zumar: 53).

 

Ini untuk orang-orang yang bertaubat.

 

  1. Hak keluarga korban, ia gugur jika pelaku menyerahkan dirinya kepada mereka, dia datang kepada mereka dan berkata, “Aku telah membunuh anggota keluarga kalian, lakukan apa yang ingin kahan lakukan.” Lalu mereka bisa menuntut qishash atau menuntut diyat atau memaafkan. Hak sepenuhnya ada pada mereka.

 

  1. Hak korban, tidak ada jalan untuk berlepas diri darinya di dunia

 

Dari sini, maka perkataan Ibnu Abbas bahwa tiada taubat bagi pembunuh, ditafsirkan bahwa hal itu terkait dengan hak korban.

 

Hanya saja yang nampak bagi saya adalah bahwa jika pembunuh bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nashuha), maka ia menggugurkan hak korban, bukan untuk menyia-nyiakan haknya, akan tetapi Allah dengan kemurahanNya memaafkan perbuatan pelaku dan memberikan derajat tinggi kepada korban atau ampunan dari kesalahan-kesalahannya, karena taubat yang ikhlas tidak menyisakan dosa apa pun. Hal ini Oleh keumuman ayat

 

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain di samping menyembah Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada Hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka mereka itulah yang keburukan-keburukan mereka diganti oleh Allah menjadi kebaikan-kebaikan.” (Al-Furqan: 70).

 

Sifat Allah yang tercantum dalam ayat ini adalah al-Ghadhab (marah), al-La’nu (melaknat) dan menyediakan azab.

 

Dari segi perilaku, ayat ini memperingatkan akan bahayanya membunuh seorang Mukmin secara sengaja.

 

Ayat kedua:

 

Dan FirmanNya, “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaanNya.” (Muhammad: 28).

 

“Yang demikian itu,” yang diisyaratkan di sini adalah apa yang telah berlalu dan yang mendahuluinya adalah Firman Allah,

 

“Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila para malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaanNya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 27-28). Yakni, bagaimana keadaan mereka dalam kondisi tersebut di mana para malaikat memukul wajah-wajah dan punggung mereka?   ” Yang demikian itu,” yakni, memukul wajah dan punggung.   “Adalah karena sesungguhnya mereka,” yakni, “disebabkan oleh”, jadi huruf ba~ di sini berfungsi menjelaskan sebab.

 

  “Mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah,” yakni, yang dimurkai Allah; mereka melakukan semua yang dimurkai Allah, baik keyakinan, atau perbuatan, ataupun perkataan.

 

Adapun apa yang di dalamnya terdapat ridha Allah, maka keadaan mereka adalah pada FirmanNya,

 

“Dan (karena) mereka membenci (apa yang menin, bulkan) keridhaanNya.” Yakni, mereka membenci apa yang padanya terdapat ridha Allah, akibatnya mereka harus memikul balasan yan buruk, yaitu pada saat mereka mati, para malaikat memukuli Wajah dan punggung mereka.

 

Sifat Allah yang ditetapkan oleh ayat ini adalah as-Sakhath (murka) dan ar-Ridha (meridhai).

 

Sifat ridha telah dijelaskan, adapun murka (as-sakhath), maka maknanya dekat dengan makna marah (al-Ghadhab).

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami meng. hukum mereka.” (Az-Zukhruf: 55).

 

 yakni, membuat Kami marah dan murka.

 

di sini adalah syarthiyah, fi’il (kata kerja) syaratnya adalah   dan jawabnya adalah

 

Ayat ini membantah orang-orang yang menafsirkan as-Sakhath (murka) dan al-Ghadhab (marah) dengan pembalasan; di mana ahli ta’thil dari kalangan Asy’ariyah dan lain-lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan as-Sakhath dan al-Ghadhab (bagi Allah) adalah pembalasan atau keinginan membalas. Mereka tidak menetapkan as-Sakhath dan al-Ghadhab sebagai sifat yang dimiliki oleh Allah. Mereka berkata, “GhadhabNya adalah pembalasanNya atau keinginanNya untuk membalas.” Jadi mereka menafsirkan kemarahan dengan pembalasan yang merupakan obyek yang terpisah dari Allah atau dengan iradah yang mereka mengakuinya, mereka tidak menafsirkannya sebagai sebuah sifat yang tetap bagi Allah secara hakiki sesuai dengan kebesaranNya.

 

Kami katakan kepada mereka, justru as-Sakhath dan al-Ghadhab bukan pembalasan, karena pembalasan adalah akibat dari murka dan marah, sebagaimana kita katakan bahwa pahala adalah hasil dari keridhaan. Allah murka dan marah kepada suatu kaum, kemudian membalas mereka.

 

Jika mereka berkata: Akal menolak

ditetapkannya Sifat murka dan marah bagi Allah.” 

 

Kami jawab dengan jawaban yang sama tentang sifat ridhia sebelumnya, karena persoalannya sama.

 

Kami katakan justru sebaliknya, akal menetapkan Sifat murka dan marah (bagi Allah), karena membalas para pelaku dosa dan mengazab orang-orang kafir adalah bukti dari kedua sifat tersebut, bukan dalil atas keridhaan dan tidak pula menunjukkan tidak adanya sifat murka dan marah.

 

Kami katakan, ayat ini,

 

“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka.” (Az-Zukhruf: 55),

 

membantah pendapat kalian, karena ia menjadikan pembalasan bukan kemarahan, karena sebab bukanlah akibat.

 

Masalah:

 

Firman Allah,   kita mengetahui bahwa ( ) berarti sedih dan menyesal atas apa yang telah berlalu yang tidak mungkin digapai oleh yang bersangkutan. Apakah kita menyifati Allah dengan al-Huzn (kesedihan) dan an-Nadam (penyesalan)?

 

Jawaban: Tidak, karena ( ) dalam bahasa Arab memiliki dua arti:

 

Pertama, berarti kesedihan, seperti Firman Allah tentang Nabi Ya’qub  

 

“Aduhai duka citaku terhadap Yusuf, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan.” (Yusuf: 84).

 

Kedua, berarti kemarahan, dikatakan ( ) yang berarti, marah atasnya.

 

Arti yang pertama tidak mungkin bagi Allah dan yang kedua ditetapkan karena Allah menyifati DiriNya dengannya, Dia berfirman,

 

“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka.”

 

Sifat yang terkandung di dalam ayat ini adalah al-Ghadhab (marah) dan al-Intiqam (membalas).

 

Dari segi perilaku, ayat ini memperingatkan agar menjauhi apa yang mengundang kemarahan Allah

 

Ayat keempat:

 

Dan FirmanNya, “Tetapi Allah membenci keberangkatan mereka, Maka Allah melemahkan keinginan mereka.” (At-Taubah: 46).

 

Maksudnya adalah orang-orang munafik yang tidak berangkat bersama Nabi  dalam berbagai peperangan, karena Allah membenci keberangkatan mereka, karena perbuatan mereka tidak ikhlas untuk Allah. Allah adalah Dzat Yang Mahakaya dari (membutuhkan) sekutu, kalaupun mereka berangkat maka keadaan mereka seperti yang difir. mankan Allah,

 

“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian, niscaya mereka tidak menambah kalian selain kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke depan di celah-celah barisan kalian, untuk mengadakan kekacauan di antara kalian.” (At-Taubah: 47).

 

Jika mereka tidak ikhlas dan mereka adalah para perusuh, maka Allah membenci kerusakan dan kesyirikan maka,  “Allah membenci keberangkatan mereka, maka Allah melerahkan keinginan mereka,” yakni Allah menjadikan semangat mereka loyo untuk berjihad.

 

“Dan dikatakan kepada mereka, ‘Tinggallah kalian bersama orang-orang yang tinggal itu’.” (At-Taubah: 46).

 

Ada kemungkinan Allah berfirman demikian secara kauni dan ada kemungkinan itu adalah perkataan sebagian kepada sebagian yang lain, “Duduklah bersama orang-orang yang duduk, ada fulan dan fulan yang tidak berangkat, karena dia termasuk orang-orang yang diberi keringanan oleh Allah seperti orang sakit, orang buta dan orang pincang, Mereka Lalu berkata, “Jika Nabi pulang maka kita meminta maat Kepada beliau lalu beliau memohonkan ampunan untuk kita dan itu cukup buat kita.”

 

Mungkin bagi kita menggabungkan kedua pendapat tersebut karena jika hal itu dikatakan kepada mereka dan mereka tidak berangkat maka Mereka tidak berangkat kecuali dengan ketetapan Allah.

 

Ayat ini menetapkan bahwa Allah membenci dan ini juga ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah:

 

Firman Allah,

 

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kalian jangan menyempah, kecuali Dia ….” sampai kepada FirmanNya,

 

“Semua itu keburukannya, amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (Al-Isra’: 38).

 

Juga ayat yang disebutkan Syaikhul Islam di atas,

 

“Tetapi Allah membenci keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka.” (At-Taubah: 46).

 

Dan Nabi  bersabda,  

 

“Sesungguhnya Allah membenci kalau kalian sibuk memperbincangkan omongan orang.”

 

Jadi sifat benci ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, yaitu bahwa Allah memiliki sifat benci.

 

Kebencian Allah bisa terhadap perbuatan, sebagaimana di dalam

 

FirmanNya, 

 

“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka.” (At-Taubah: 46).

 

Dan juga FirmanNya,

 

“Semua itu keburukannya, amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (Al-Isra’ : 38)

 

Kebencian Allah juga bisa terhadap pelaku, sebagaimana dalam hadits,

 

“Sesungguhnya jika Allah di membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril, ‘Sesungguhnya Aku membenci fulan, maka bencilah dia.”

 

FirmanNya, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengata. kan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (Ash-Shaf: 3).

 

 artinya besar.

 

adalah tamyiz gubahan dari fa’il dan al-Maqt’ adalah puncak kemarahan yang paling berat. Dan fa’il dari setelah fa’ilnya digubah menjadi tamyiz adalah ( ) dan apa yang masuk kepadanya pada FirmanNya,  

 

Ayat ini menjelaskan alasan dan akibat dari ayat sebelumnya,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3).

 

Seseorang berbicara tentang apa yang dia sendiri tidak melakukannya adalah salah satu masalah (dosa) paling besar.

 

Penjelasannya adalah, jika engkau berkata sesuatu dan tidak mengerjakannya maka engkau di antara dua perkara: Bisa jadi engkau berdusta, tetapi engkau takut kepada manusia lalu engkau mengatakan sesuatu yang tidak benar, atau bisa jadi engkau adalah orang yang menyombongkan diri terhadap apa yang engkau katakan sendiri, di mana engkau memerintahkan manusia dengannya, sedangkan engkau sendiri tidak mengerjakannya atau engkau melarang orang, padahal engkau sendiri mengerjakannya.

 

Sifat yang ditetapkan oleh ayat ini adalah al-Maqt dan bahwa ia perbeda-beda.

 

Dari segi perilaku, ayat ini memperingatkan manusia, agar jangan perbicara dengan apa yang dia sendiri tidak kerjakan.

 

Syarah: Penulis menyebutkan empat ayat yang menetapkan Sifat al-Maji (datang) dan al-Ituan (datang).

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan para malatkat (pada Hari Kiamat) bersama naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya.” (Al-Baqarah: 210).

 

FirmanNya,   adalah pertanyaan yang bermakna nafi (peniadaan), yakni, mereka tidak menantikan. Jika ada   setelah pertanyaan, maka pertanyaan tersebut berarti tidak. Ini adalah kaidah. Nabi bersabda,

 

“Kamu bukan apa-apa, hanya jari yang berdarah.”

 

Yakni, tidaklah engkau (kecuali jari yang berdarah).

 

Makna   di sini adalah menunggu karena setelahnya tidak ada ( ). Jika setelahnya ada ( ), maka biasanya berarti melihat dengan, mata. Jadi tanpa ( ) setelahnya, maknanya adalah menunggu.

 

Yakni, orang-orang yang mendustakan itu tidak menunggu, kecuali kedatangan Allah dalam naungan awan dan hal itu pada Hari Kiamat

 

  di sini berarti  (bersama). Ia berfungsi menunjukkan kebersamaan dan bukan kata keterangan tempat, karena jika ia adalah kata keterangan tempat niscaya awan-awan tersebut mengelilingi Allah dan sudah dimaklumi bahwa Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui, tak satu pun makhlukNya yang meliputiNya.

 

  (bersama awan). Pada saat Allah turun untuk menetapkan keputusan di antara hamba-hambaNya.

 

“Langit diliputi awan,” yang berwarna putih, awan yang besar, karena kedatangan Allah 

 

FirmanNya,  “Bersama naungan awan,” para ulama berpendapat bahwa ia adalah awan putih, sebagaimana Allah berfirman menjelaskan nikmatNya kepada Bani Israil,

 

“Dan Kami naungi kalian dengan awan.” (Al-Baqarah: 57).

 

Awan putih membuat cuaca tetap terang, lain halnya dengan awan hitam dan merah, ia membuat cuaca gelap. Di samping itu awan putih lebih indah dilihat.

 

FirmanNya,  “Dan para malaikat.” Dengan dibaca marfu’ (dengan dhammah), karena ia diindukkan kepada lafzhul jalalah, Allah; yakni “atau malaikat datang kepada mereka”. Telah dijelaskan asal-usul kata malaikat dan siapa malaikat.

 

Pada Hari Kiamat, para malaikat hadir, mereka turun ke bumi, para malaikat langit terdekat turun, kemudian langit kedua, kemudian ketiga, kemudian keempat, dan seterusnya sampai langit ketujuh, mereka mengelilingi manusia.

 

Ini adalah peringatan terhadap hari ini yang hadir dengan kondisi seperti itu. Ini adalah salah satu peristiwa besar Hari Kiamat, dengannya Allah memperingatkan para pendusta.

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan para malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan Rabbmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu.” (Al-An’am: 158).

 

“Yang mereka nanti-nanti,” penjelasannya sama dengan penjelasan pada ayat sebelumnya, yakni mereka tidak menantikan kecuali satu dari keadaan-keadaan berikut:

 

Pertama:   “Tidak lain hanyalah kedatangan para malaikat kepada mereka,”  untuk mencabut nyawa mereka.

 

Allah  berfirman,

 

“Dan sekiranya kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul wajah dan punggung mereka (dan berkata), ‘Rasakanlah oleh kalian siksa neraka yang membakar’.” (Al-Anfal: 50).

 

Kedua:

 

 “Atau kedatangan Tuhanmu,” pada Hari Kiamat untuk menetapkan keputusan di antara mereka.

 

Ketiga:

 

 “Atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu,” yaitu terbitnya matahari dari barat. Nabi  menafsirkannya demikian.’!”

 

Allah menyebutkan ketiga keadaan ini, karena jika para malaikat turun untuk mencabut nyawa mereka maka taubat tidak diterima dari mereka berdasarkan Firman Allah,

 

“Dan taubat itu tidaklah (diterima oleh Allah) bagi orang-orang yang melakukan keburukan hingga apabila datang kematian (ajal) kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, ‘Saya benar-benar bertaubat sekarang’.” (An-Nisa’: 18).

 

Begitu pula jika matahari terbit dari barat, taubat tidaklah diterima. Dalam kondisi tersebut mereka tidak mampu berlepas diri dari keadaan mereka.

 

Allah menyebutkan keadaan ketiga di antara dua keadaan, karena ia adalah waktu pembalasan dan buah dari amal, dalam kondisi tersebut, mereka tidak mampu berlepas diri dari apa yang mereka kerjakan,

 

Target dari ayat ini dan ayat yang sebelumnya adalah member} peringatan kepada orang-orang yang mendustakan agar tidak kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri, sebelum mereka hilang kesempatan kemudian tidak bisa membebaskan diri dari amal perbuatan mereka.

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Sama sekali tidak! Apabila bumi diguncangkan dengan hebat, dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris.” (Al Fajr: 21-22).

 

di sini untuk memberi peringatan, seperti  (ketahuilah),

 

FirmanNya,   “Apabila bumi digoncangkan berturut-turut.” Ini akan terjadi pada Hari Kiamat.

 

Goncangan ini ditegaskan (secara berulang), karena begitu hebatnya, karena ia menggoncang gunung-gunung, jalan-jalan di gunung dan segala sesuatu sehingga bumi seperti kulit. Firman Allah ,

 

“Maka Dia akan menjadikan (bekas) gunung-gunung itu tanah lapang yang datar sama sekali, tidak ada sedikit pun kamu lihat padanya tempat yang rendah dan yang tinggi.” (Thaha: 106-107).

 

Adapun kemudian diulanginya goncangan, bukan untuk penegasan, akan tetapi untuk menjelaskan pengulangan. Jadi artinya adalah goncangan setelah goncangan sebelumnya.

 

FirmanNya,   “Dan datanglah Tuhanmu; sedang para malaikat berbaris-baris.”  “Tuhanmu datang,” yakni pada Hari Kiamat setelah bumi digoncangkan dan diratakan dan manusia dibangkitkan, Allah datang untuk memutuskan perkara di antara hamba-hambaNya.

 

FirmanNya,   Aliflam ( ) di sini menunjukkan keumuman, yakni semua malaikat turun ke bumi.

 

” Berbaris-baris,” yakni berbaris berurutan sebagaimana yang tercantum dalam sebuah atsar. “Para malaikat langit terdekat turun lalu mereka berbaris, di belakang mereka berbaris para malaikat langit kedua dan dibelakang mereka berbaris para malaikat langut ketiga “! Dan begitu seterusnya.

 

Ayat Keempat:

 

FirmanNya, “Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah para malaikat (secara) bergelombang.” (Al-Furqan: 25).

 

Yakni, ingatlah hari ketika langit terbelah mengeluarkan kabut putih.

 

 lebih kuat maknanya daripada ( ) karena zahirnya ia terbelah sedikit demi sedikit lalu kabut tersebut keluar dan menyembur seperti asap sedikit demi sedikit.

 

Langit terbelah mengeluarkan kabut putih; seperti dikataka, bumi terbelah karena tumbuhan, yakni kabut putih itu keluar dan memancar secara terus-menerus, hal itu karena kedatangan Allah untuk memberi keputusan di antara hamba-hambaNya. Ia adalah hari yang mencekam dan agung.

 

“Dan diturunkanlah para malaikat secara bergelom, bang.” Mereka turun dari langit, kelompok demi kelompok, para malaikat langit terdekat turun, kemudian para malaikat langit kedua kemudian ketiga dan seterusnya.

 

Konteks ayat ini tidak menyinggung kedatangan Allah, akan tetapi ia mengandung isyarat tersebut, karena terbelahnya langit dengan kabut putih, terjadi karena kedatangan Allah, dengan berdalil dengan ayat yang sebelumnya.

 

Empat ayat yang disebutkan oleh penulis ini adalah untuk mene. tapkan sifat di antara Sifat-sifat Allah, yaitu al-Maji dan al-Ituan (datang),

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bahwasanya Allah sendiri yang akan datang; karena Allah menyebutkan masalah tersebut tentang DiriNya, dan Dia  lebih mengetahui tentang DiriNya bahkan tentang selain DiriNya. Allah lebih benar perkataanNya daripada selainNya dan perkataanNya lebih baik daripada ucapan selainNya, maka FirmanNya mencakup ilmu yang paling sempurna, kebenaran, keterangan dan kehendak yang juga paling sempurna. Dan Allah hendak menjelaskan kebenaran kepada kita; dan Dia lebih mengetahui, lebih jujur dan lebih baik perkataanNya.

 

Pertanyaan yang tersisa adalah apakah kita mengetahui bagaimana cara (bentuk) kedatangannya Allah?

 

Jawaban: Kita tidak mengetahuinya, karena Allah memberitahukan kepada kita bahwa Dia akan datang dan tidak memberitahukan bagaimana cara (bentuk) kedatanganNya, karena cara dan bentuk tidak diketahui, kecuali dengan menyaksikan atau menyaksikan yang sepertinya atau dengan berita yang benar tentangnya, dan semua itu tidak ada dalam sifat Allah, juga karena jika Dzat tidak diketahui, maka Sifat pun tidak diketahui, yaitu cara dan bentuknya. Dzat ada dan hakiki, kita mengetahui itu, mengetahui apa makna “Dzat”, apa makna “Diri”, kita juga mengetahui makna al-Maji (datang), akan tetapi bagaimana Dzat atau Diri atau bagaimana kedatangan Allah, itu tidak kita ketahui.

 

Maka kita beriman bahwa Allah akan datang secara hakiki dengan cara yang tidak kita ketahui yang sesuai dengan kebesaranNya.

 

Kelompok-kelompok yang Menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Perkara Ini dan Bantahan kepada Mereka

 

Yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah sifat ini adalah penganut ta’thil dan tahrif. Mereka berkata, “Allah tidak datang, karena jika kamu menetapkan bahwa Dia datang, berarti Dia adalah jasmani dan jasmani-jasmani itu memiliki kesamaan.”

 

Kami Katakan, ini adalah klaim dan qiyas yang batil, karena ia bertabrakan dengan dalil, segala sesuatu yang membatalkan dalil adalah batil, Allah berfirman,

 

“Dan sesungguhnya Kami atau kalian (orang-orang musyrik), benar-benar berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (Saba’: 24).

 

Jika engkau berkata, Apa yang membatalkan dalil itu adalah kebenaran; maka dalilnya adalah batil dan itu pasti dan kebatilan dalil adalah mustahil. Jika engkau katakan bahwa yang benar adalah dalil, maka apa yang membatalkan dalil itu adalah batil dan itu pasti.

 

Kemudian kami katakan, Apa yang menghalangi Allah datang dengan DiriNya dengan cara yang Dia inginkan? Mereka menjawab, Yang menghalangiNya adalah bahwa jika engkau menetapkan itu berarti engkau menyerupakan (memisalkan) Allah.

 

Kami katakan, Ini adalah kesalahan, karena kita mengetahui bahwa kedatangan tidaklah sama, bahkan di antara makhluk sendiri. Orang yang bersemangat, dia datang seperti dia turun dari bukit karena semangatnya, hanya Saja dia tidak berjalan dengan santai, atau kalau engkau mau, katakan saja dia berjalan dengan santai. Apakah orang seperti ini seperti seorang yang berjalan dengan meniti tongkat yang tidak memindahkan kakinya dari tempatnya kecuali dengan kelelahan?

 

Dari segi lain, kedatangan juga berbeda-beda, kedatangan seorang pembesar atau pemimpin tidak bisa disamakan dengan kedatangan Orang biasa yang bukan siapa-siapa.

 

Apa yang dikatakan oleh penganut ta’thil tentang Firman Allah, “Dan Tuhanmu datang,” dan ayat-ayat yang semakna?

 

Mereka mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah “Keputusan Tuhanmu datang”, dan “Perintah Tuhanmu datang”, karena Allah telah berfirman,

 

“Telah pasti datangnya ketetapan Allah maka janganlah kalian meminta agar disegerakan (datang)nya.” (An-Nahl: 1).

 

Maka semua kedatangan yang Allah nisbatkan kepada DiriNyag harus ditafsirkan dengan ayat ini. Jadi maksudnya adalah telah datang keputusan Allah.

 

Kami membantah perkataan ini dengan mengatakan, bahwa dali] yang engkau gunakan bukanlah dalil yang membelamu, akan tetapj justru melawanmu. Seandainya yang dikehendaki Allah adalah kedatangan perintahNya di ayat-ayat yang lain, maka Allah akan menga. takan hal itu secara langsung, sebab tidak ada yang menghalangiNya. Seandainya yang Allah inginkan pada ayat-ayat lain tadi yang datang adalah perintahNya (keputusanNya), maka apa yang dapat menghalangiNya untuk berfirman, “PerintahNya”? Tatkala yang Allah kehendaki datang adalah “perintahNya”, maka Allah mengatakan “perintahNya’ dan tatkala bukan perintah yang diinginkanNya, maka Allah tidak menginginkannya.

 

Jadi sebenarnya dalil tersebut bukan membelamu, tetapi justru melawanmu, karena ayat-ayat lain tidak mengandung makna yang mujmal (umum), sehingga ia harus ditafsirkan dengan ayat ini. Ayat-ayat yang lain tersebut sangat jelas dan sebagian di antaranya bahkan menyebut secara tersendiri, sehingga datangnya Allah tidak mungkin dimaknai bahwa yang datang adalah perintahNya. (Perhatikan FirmanNya),

 

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu.” (Al-An’‘am: 158).

 

Apakah sah seseorang mengatakan bahwa maksud   “Tuhanmu datang” adalah perintahnya dalam pembagian seperti ini?

 

Jika ada yang berkata, Apa yang engkau katakan tentang Firman Allah,

 

“Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada RasulNya), atau suatu keputusan dari sisiNya?” (Al-Ma idah: 52)

 

Maka jawabnya: Yang dimaksud dengannya adalah kedatangan kemenangan atau keputusan, akan tetapi Allah menisbatkan kedatangan tersebut kepada DiriNya, karena ia dari sisiNya. Bahasa seperti ini dikenal dalam bahasa Arab. Jika al-Ituan (kedatangan) dibatasi dengan huruf jar, maka yang dimaksud adalah kata yang tersambung dengan huruf jar tersebut. Jika ia disebutkan secara mutlak dan dinisbatkan kepada Allah tanpa pembatasan, maka yang dimaksud dengan al-Ituan adalah kedatangan Allah secara hakiki.

 

Manfaat dari Segi Perilaku Beriman kepada Sifat al-Maji dan al-Ituan (Datang) bagi Allah 

 

Manfaatnya adalah rasa takut terhadap momen dan peristiwa yang agung tersebut, di mana Allah akan datang untuk memberi keputusan di antara hamba-hambaNya dan turunnya para malaikat, dan yang ada di depanmu adalah Allah dan seluruh makhluk; jika engkau melakukan kebaikan maka engkau akan dibalas dengannya, dan jika engkau melakukan selain itu maka engkau pun dibalas dengannya. Nabi  bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah  akan berbicara (langsung) berdua dengan seseorang (hambaNya), lalu hamba tersebut melihat ke kanan, dan tidak melihat kecuali amal perbuatan yang telah dilakukannya, dia melihat ke kiri, dia tidak melihat kecuali amal perbuatan yang telah dilakukannya, lalu dia melihat ke depan, dan tidak melihat kecuali neraka; maka takutlah kalian terhadap neraka walaupun hanya dengan (menyediakan) separuh dari sebutir kurma.”!

 

Beriman kepada perkara-perkara besar seperti ini tanpa ragu melahirkan rasa takut pada diri manusia kepada Allah dan keteguhan di atas agamaNya.

 

Syarah:

 

Syaikhul Islam menyebutkan dua ayat untuk menetapkan Sifat “Wajah (al-wajhu)” bagi Allah.

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27).

 

Ayat ini satu rangkaian dengan FirmanNya yang sebelumnya,

 

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu….” (Ar-Rahman: 26-27).

 

Oleh karena itu, sebagian Salaf berkata, “Jika engkau membaca ayat,  

 

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa,”

 

hendaklah menyambungnya dengan ayat,  

 

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan, “

 

sehingga jelas bagimu kekurangan makhluk dan kesempurnaan Yang Maha Pencipta. Hal itu untuk mewujudkan perbedaan di antara keduanya; makhluk fana dan Allah kekal.”

 

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 26-27).

 

FirmanNya,   “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu.” Yakni, tidak fana.

 

Wajah (al-Wajhu) maknanya sudah diketahui, hanya saja bentuknya tidak diketahui. Kita tidak mengetahui bagaimana bentuk Wajah Allah, sama halnya dengan Sifat-sifatNya yang lain, akan tetapi kita beriman bahwa Allah memiliki Wajah yang disifati dengan keagungan, kemuliaan, keindahan, kebesaran, dan cahaya yang besar, sampai-sampai Nabi  bersabda,

 

“HijabNya adalah cahaya, yang seandainya Dia menyingkapnya, niscaya cahaya keagungan WajahNya akan membakar apa yang terjangkau oleh pandanganNya dari makhlukNya.”

 

 yakni keindahan, kebesaran, keagungan dan cahayaNya.

 

“Apa yang dijangkau oleh pandanganNya dari makhlukNya,” dan pandanganNya menjangkau segala sesuatu. Artinya, seandainya Dia membuka hijab itu -yakni, hijab nur dari WajahNya-, niscaya semua yang ada akan terbakar.

 

Oleh karena itu kami katakan, Wajah Allah tersebut adalah Wajah Yang Maha Agung yang selamanya tidak mungkin menyerupai wajah para makhluk.

 

Dan berdasarkan ini kami juga berkata, Di antara akidah kami adalah bahwa kami menetapkan Sifat Wajah bagi Allah secara hakiki, dan akidah ini kita ambil dari FirmanNya,

 

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

 

Kami katakan bahwa Wajah ini tidak menyerupai wajah makhluk, berdasarkan FirmanNya,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura: 11).

 

Kita tidak mengetahui bagaimana bentuk Wajah Allah ini berdasarkan FirmanNya, –

 

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi Nya.” (Thaha: 110).

 

Jika ada seseorang yang berusaha membayangkan Wajah Allah dengan hatinya atau dia membicarakannya dengan lisannya, maka dia telah berbuat bid’ah yang sesat dan berkata atas Nama Allah tanpa ilmu dan Allah telah mengharamkan kepada kita berbicara atas NamaNya (atau tentangNya) tanpa ilmu. Allah berfirman, 

 

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan. perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kalian mempersekutukan sesuatu dengan Allah, yang Allah tidak menurunkan bukti (hujjah) untuk itu, serta mengatakan atas Nama Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui’.” (Al-A’raf: 33).

 

Dan FirmanNya,

 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” (Al-Isra’: 36).

 

Pada ayat tadi Allah berfirman,   “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu;” Allah menyandarkan kata ( ) kepada Nabi Muhammad   Ini adalah penyandaran yang paling khusus; karena penyandaran kata ( ) terbagi menjadi dua: umum dan khusus dan yang khusus terbagi menjadi dua: khusus yang lebih khusus dan khusus yang lebih daripada itu seperti disandarkannya ( ) kepada para rasulNya, dan tanpa ragu bahwa yang seperti ini adalah lebih khusus dan lebih utama.

 

FirmanNya,  dalam susunan bahasa adalah sifat bagi Wajah, buktinya ia dibaca rafa’ (dengan wawu) kalau ia adalah sifat bagi ( ), maka ia akan dibaca; jarr ( ) sebagaimana yang Allah Firmankan dalam surat yang sama,

 

“Maha banyak berkah Nama Tuhanmu, Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.” (Ar-Rahman: 78)

 

Ketika Dia berkata,  maka kita mengetahui bahwa ia adalah sifat bagi Wajah.

 

  berarti, keagungan dan kekuasaan.

 

  adalah mashdar dari ( ), bisa berarti ( ), dan bisa berarti ( ) Allah   itu   (dimuliakan); dan Allah dimuliakan dengan cara menaatiNya, dan Allah   juga   (Memuliakan); yakni Allah memuliakan hamba-hambaNya yang berhak mendapat kemuliaan dengan menyediakan pahala bagi mereka.

 

Allah, karena kebesaranNya, keagunganNya dan kesempurnaan kekuasaanNya, Dia berhak untuk dimuliakan dan dipuji, pemuliaan masing-masing orang memiliki kadar sendiri-sendiri. Memuliakan Allah adalah dengan menghormatiNya dengan benar, mengagungkanNya dengan benar bukan karena Dia memerlukan pemuliaanmu, akan tetapi agar Dia membalasmu dengan kebaikan.

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali WajahNya (Allah).” (Al-Qashash: 88).

 

FirmanNya,  “tiap-tiap sesuatu pasti binasa,” yakni, fana, dan ini sama dengan FirmanNya,  “Semua yang ada di bumi itu pasti fana (binasa).” (Ar-Rahman: 26).

 

FirmanNya, ” Kecuali WajahNya,” sama dengan FirmanNya,

 

‘Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

 

Maknanya, segala sesuatu akan fana dan lenyap, kecuali Wajah Allah, la kekal, oleh karena itu Dia berfirman,

 

“Hanya miliknya wewenang menetapkan hukum, dan hanya kepada. Nya-lah kalian dikembalikan.” (Al-Qashash: 88).

 

Dia adalah Hakim yang kekal yang menjadi rujukan manusia untuk menetapkan hukum di antara mereka.

 

Ada yang berkata, Makna FirmanNya,  ” Tiap. tiap sesuatu pasti binasa kecuali WajahNya (Allah),” adalah kecuali apa

 

yang dengannya diinginkan Wajah Allah, hal itu karena konteks ayat menunjukkan hal itu.

 

“Janganlah kamu sembah, di samping (menyembah) Allah, Tuhan apa pun yang lain. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali WajahNya (Allah).” (Al-Qashash: 88).

 

Seakan-akan Dia berfirman, Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah di samping berdoa kepada Allah, karena dengan itu kamu telah berbuat syirik; karena amalmu dan kesyirikanmu adalah celaka, yakni lenyap sia-sia kecuali apa yang kamu ikhlaskan untuk Wajah

 

Allah, ia tidak lenyap, karena amal shalih memiliki pahala yang kekal, tidak fana dalam surga kenikmatan.

 

Akan tetapi pendapat dengan makna pertama lebih lurus dan lebih kuat.

 

Dan berdasarkan metodologi yang membolehkan penggunaan kata yang mengandung dua makna untuk kedua makna tersebut, maka kami katakan,

 

Mungkin bagi kita menafsirkan ayat ini dengan kedua makna di atas, karena kedua makna tersebut tidak berseberangan. Ia dapat dimaknai dengan makna pertama dan yang kedua, maka dapat dikatakan; segala sesuatu fana, kecuali Wajah Allah, dan segala amal lenyap sia-sia, kecuali amal yang ikhlas karena semata menginginkan Wajah Allah.

 

Dan menurut kedua penafsiran di atas, dalam ayat ini terdapat dalil yang jelas yang menetapkan Wajah bagi Allah. “Wajah” termasuk Sifat Dzatiyah khabariyah, di mana bagi kita ia adalah bagian dari tubuh kita. Kita tidak mengatakan bahwa ia termasuk sifat dzatiyah ma’nawiyah, karena jika kita mengatakan demikian, niscaya kita menyetujui pendapat yang mentahrif (menyimpangkan)nya dengan istilah takwil. Kita juga tidak mengatakan bahwa ia adalah bagian dari Allah atau anggota Dzat Allah, karena hal itu mengasumsikan kekurangan bagi Allah.

 

Para penganut tahrif telah menafsirkan “Wajah Allah” dengan pahala Allah. Mereka berkata, Yang dimaksud dengan “Wajah” dalam ayat tersebut adalah pahala. Segala sesuatu itu fana, kecuali pahala Allah.

 

Mereka ini menafsirkan wajah yang merupakan sifat kesempurnaan dengan sesuatu yang diciptakan yang terpisah dari Allah; yang mungkin ada dan tidak ada. Pahala adalah sesuatu yang baru setelah sebelumnya tidak ada, ia mungkin saja lenyap, kalau tidak ada janji Allah bahwa ia kekal maka secara akal ia bisa terangkat, yakni pahala.

 

Apakah sekarang ini kalian tetap mengatakan bahwa Wajah Allah yang dengannya Allah menyifati DiriNya termasuk yang mungkin atau wajib?

 

Jika mereka menafsirkannya dengan pahala maka ia termasuk yang mungkin, di mana ia mungkin ada dan mungkin tidak ada.

 

Pendapat mereka ini dibantah dengan hal-hal berikut:

 

Pertama, pendapat ini menyelisihi zahir lafazh, karena secara zahir ia adalah Wajah yang khusus, bukan pahala.

 

Kedua, pendapat ini bertentangan dengan ijma’ as-Salaf. Tidak seorang pun dari mereka yang berkata, yang dimaksud dengan “Wajah” adalah pahala. Kitab-kitab mereka di tangan kita tersimpan dan tertulis rapi, tunjukkanlah kepada kami satu teks dari sahabat atau dari para imam tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik bahwa mereka menafsirkannya demikian. Pasti engkau tidak akan menemukannya.

 

Ketiga, mungkinkah pahala disifatkan dengan sifat yang besar ini,

 

“Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)?

 

Tidak mungkin. Kalau kita berkata, misalnya, balasan orang, orang yang bertakwa adalah yang memiliki kebesaran, maka hal itu tidak boleh, karena Allah meletakkan sifat keagungan dan kemuliaan untuk “Wajah” bukan untuk pahala.

 

Keempat, apa yang kalian katakan tentang sabda Nabi

 

“HijabNya adalah cahaya. Seandainya Dia menyingkapnya, niscaya cahaya keagungan WajahNya akan membakar apa yang terjangkau oleh pandanganNya dari makhlukNya”

 

Apakah pahala mempunyai cahaya seagung ini di mana ia bisa membakar makhluk yang terjangkau oleh pandangannya? Selamanya tidak mungkin.

 

Dengan ini kita mengetahui kebatilan pendapat mereka, bahwa wajib bagi kita menafsirkan lafazh Wajah dengan apa yang diingin. kan Allah, ia adalah Wajah yang dimiliki Allah yang disifati dengan keagungan dan kemuliaan.

 

Jika engkau berkata, Apakah semua kata wajah yang disandang. kan kepada Allah maksudnya adalah Wajah Allah yang merupakan SifatNya?

 

Jawaban: Pada dasarnya memang demikian sebagaimana dalam FirmanNya,

 

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki WajahNya.” (Al-An’am: 52).

 

“Padahal tidak ada seseorang pun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari Wajah Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (Al-Lail: 19-21).

 

Dan masih banyak ayat-ayat yang semakna.

 

Jadi pada dasarnya yang dimaksud dengan “wajah” yang disandangkan kepada Allah, adalah Wajah Allah yang merupakan salah satu SifatNya. Hanya saja ada satu kata yang para ahli tafsir berbeda pendapat tentangnya, yaitu FirmanNya,

 

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah Wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115).

 

Yakni, ke tempat mana pun kamu menghadapkan wajahmu di dalam shalat, ( ) yakni, maka di sana terdapat Wajah Allah.

 

Di antara mereka ada yang berkata, Wajah di sini berarti arah, berdasarkan Firman Allah,

 

  “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.” (Al-Baqarah: 148).

 

Yang dimaksud dengan wajah adalah arah, yakni maka disanalah arah Allah. Yakni, shalatmu yang menghadap ke arah itulah yang Allah terima.

 

Pendapat ini menambahkan, Karena ayat ini turun dalam kondisi safar, jika seseorang shalat sunnah, maka dia boleh menghadap ke arah mana pun yang dia pilih lalu shalat ke arah yang dipilihnya tersebut.

 

Akan tetapi, yang benar adalah bahwa yang dimaksud dengan wajah di sini adalah Wajah Allah yang sebenarnya, yakni ke arah mana pun kamu menghadap, maka di sana terdapat Wajah Allah; karena Allah meliputi segala sesuatu. Dan Nabi  sendiri menyatakan dalam hadits shahih, bahwa jika orang yang shalat itu berdiri shalat, maka Allah di depan wajahnya. Karena itulah Nabi melarang (orang yang sedang shalat) meludah ke arah depannya, karena Allah di depan wajahnya.

 

Apabila engkau shalat di suatu tempat, di mana engkau tidak mengetahui arah kiblat, lalu engkau berusaha mencari dan shalat menghadap ke suatu arah yang sebenarnya arah kiblat berlawanan dengan arah tersebut, maka Allah di depan wajahmu meskipun dalam kondisi Seperti itu.

 

Ini adalah makna yang shahih yang sesuai dengan zahir ayat,

 

Sebenarnya makna yang pertama tidak menyelisihinya dari Segi kenyataannya.

 

Jika kita katakan bahwa di sana terdapat arah Allah dan ada dalil yang mendukungnya, baik dalil tersebut adalah tafsir ayat kedua, menurut pendapat kedua, atau dalil tersebut berasal dari as-Sunnah, mak, jika engkau menghadap kepada Allah dalam shalatmu, maka itulah arah Allah; di mana engkau menghadap ke arah itulah Allah menerima shalatmu, maka di sana juga terdapat Wajah Allah, jadi makna di atay tidak saling bertentangan.

 

Ketahuilah bahwa Wajah Yang Agung ini yang disifati dengan keagungan dan kemuliaan adalah Wajah yang besar yang tidak mungkin diketahui dari segi sifatnya, tidak mungkin diketahui melalui bayangan, Allah di atas semua itu dan lebih agung daripada apa yang engkau perkirakan.

 

Allah ets berfirman,

 

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputiNya.” (Thaha: 110).

 

Jika dikatakan, Apa yang dimaksud dengan wajah pada FirmanNya,

 

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah,” (Al-Qashash: 88)?

 

Jika engkau menjawab bahwa yang dimaksud dengan wajah adalah Dzat, maka ditakutkan engkau melakukan tahrif (penyimpangan makna). Jika engkau menjawab bahwa yang dimaksud dengan wajah adalah wajah itu sendiri, maka engkau terjatuh pada sesuatu yang tidak diharapkan, yakni jatuh kepada pendapat orang yang sama sekali tidak menghargai Allah, di mana mereka berkata, Allah itu fana kecuali WajahNya. Lalu bagaimana engkau bersikap?

 

Jawaban: Jika yang engkau maksud dengan perkataanmu, “kecuali DzatNya” adalah bahwa Allah sendirilah yang akan kekal disertai dengan menetapkan Wajah bagi Allah; maka ini adalah makna yang shahih. Dan di sini diungkapkan dengan “Wajah” untuk Dzat (Allah) yang memiliki Wajah.

 

Tetapi bila yang engkau maksud dengan perkataanmu, “Dzat” adalah bahwa Wajah hanya ungkapan dari Dzat tanpa menetapkan Wajah (bagi Allah); maka ini adalah penyelewengan (falirif) yang tidak dapat diterima.

 

Berdasarkan ini, maka kami katakan bahwa maksud dari, “kecuali WajahNya” adalah kecuali DzatNya yang memiliki sifat Wajah. Ini tidak masalah, karena perbedaannya dengan pendapat para penganut tahrif adalah bahwa mereka berkata, Yang dimaksud dengan Wajah adalah Dzat bukan Wajah Allah, sedangkan kami mengatakan, Yang dimaksud dengan Wajah adalah Dzat, karena Dia memiliki Wajah, maka Dia mengungkapkan dengan Wajah untuk Dzat.

 

Syarah:

 

Penulis menyebutkan dua ayat untuk menetapkan dua Tangan bagi Allah 

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Apakah yang menghalanginya untuk sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu.” (Shad: 75).

 

 “Apakah yang menghalangimu,” perkataan ini ditujukan kepada iblis, ia adalah pertanyaan yang mengandung hardikan. Yakni, apa yang menghalangimu untuk bersujud.

 

FirmanNya,   “Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu,” dan bukan   “kepada orang yang Aku ciptakan…”; karena yang dimaksud di sini adalah Adam, dari segi predikat yang tidak dimiliki oleh seorang pun kecuali dia, yaitu bahwa Allah menciptakannya dengan Tangannya, bukan dari segi orangnya.

 

Oleh karena itu, manakala iblis hendak merendahkan dan meremehkan derajat Adam dia berkata,

 

“Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” (Al-Isra’: 61).

 

Kami telah menetapkan bahwa jika ( ) dipakai untuk yang berakal maka yang menjadi titik perhatian adalah sifat, bukan orang dan pribadinya. Di antara contohnya adalah Firman Allah

 

“… maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (An-Nisa’: 3).

 

Di sini tidak menggunakan ( ), karena yang dimaksud bukan diri wanita tersebut, akan tetapi sifatnya.

 

Di sini Allah berfirman,   yakni, orang yang memiliki sifat besar yang Aku muliakan dengan menciptakannya dengan kedua Ta. nganKu. Dia tidak berfirman, ( ) yakni, bagi diri orang tersebut.

 

FirmanNya,   “Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu.” Ini seperti perkataan seseorang,   (aku menulis dengan pena); di mana pena adalah alat menulis. Dan engkau juga berkata, “Aku membuat ini dengan kedua tanganku,” jadi tangan di sini adalah alat untuk membuat.

 

“Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu,” maksudnya adalah bahwa Allah menciptakan Nabi Adam dengan TanganNya. Di sini Dia berfirman,  “dengan kedua TanganKu.” Ini adalah kata mutsanna (menunjukkan makna dua), nun dari kata mutsanna dibuang karena kata tersebut diidhafahkan, sama halnya dengan tanwin. Manakala kita mengi’rab kata mutsanna dan kata jamak mudzakkar salim, kita katakan bahwa nun adalah pengganti dari tanwin yang ada pada kata mufradnya (tunggalnya) dan pengganti mengambil hukum yang digantikan, sebagaimana tanwin dibuang pada saat idhafah, maka nun mutsanna dan jamak juga sama-sama dihapuskan.

 

Ayat ini adalah hardikan kepada iblis atas penolakannya bersujud kepada yang telah diciptakan Allah dengan TanganNya, yaitu Nabi Adam .

 

Ayat ini menetapkan Sifat al-Khaliq (menciptakan) bagi Allah, yaitu  “Kepada yang Aku ciptakan.”

 

Ayat ini juga menetapkan dua Tangan bagi Allah, yang dengan keduanya Dia melakukan (suatu perbuatan), seperti menciptakan (Adam) di sini. Dan dengan keduanya Dia menggenggam,

 

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada Hari Kiamat.” (Az-Zumar: 67).

 

Dengan keduanya Dia mengambil, karena Allah mengambil sedekah lalu menumbuhkannya seperti seorang manusia mengembangkan (membesarkan) anak kudanya.

 

FirmanNya,   “Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu.” Ini adalah kemuliaan bagi Nabi Adam, yang mana Allah menciptakannya dengan kedua TanganNya.

 

Para ulama berkata, “Allah menulis Taurat dengan TanganNya dan menanam Surga Adn dengan TanganNya.”

 

Ini adalah tiga perkara, semuanya dengan Tangan Allah.

 

Dalam kesempatan ini barangkali kita tidak melupakan sabda Nabi  yang telah berlalu,

 

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentukNya.”

 

Dimana kami telah menyebutkan salah satu dari kedua maknanya yang benar dalam penafsirannya, yaitu bahwa Allah menciptakan Adam di atas bentuk yang Dia pilih dan Dia benar-benar memerhatikannya. Oleh karena itu, Dia menyandangkannya kepada DiriNya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan, seperti penyandaran unta, rumah, dan masjid kepada Allah. Dan makna kedua menyatakan bahwa maksudnya adalah bentukNya yang sebenarnya tanpa harus ada kemiripan dalam hal ini.

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua Tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (Al-Ma‘idah: 64).

 

“Orang-orang Yahudi,” adalah pengikut Nabi Musa  Mereka dinamakan Yahudi karena mereka berkata,

 

 “Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepadaMu.” (Al-A’raf: 156).

 

Dari sini, maka nama tersebut berasal dari bahasa Arab, karena kata ( ) -yang berarti kembali adalah bahasa Arab.

 

Ada yang berkata, “Nama Yahudi berasal dari nama Yahudza, salah seorang anak Nabi Ya’qub  dan orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang dinasabkan kepadanya. Lalu ketika kata yahudza ini diarabkan dzalnya berubah menjadi dal, sehingga menjadi Yahudi.”

 

Mana pun yang benar, apakah yang pertama atau yang kedua, itu tidak penting bagi kita. Akan tetapi kita mengetahui bahwa orang-orang Yahudi adalah sekelompok kaum dari Bani Israil yang mengikuti Nabi Musa  .

 

Orang-orang Yahudi termasuk orang yang keras penentangannya dan kebengalannya, hal itu karena mereka terpengaruh oleh penentangan dan kebengalan Fir’aun sehingga itu meresap di dalam jiwa mereka, sehingga mereka paling congkak kepada manusia bahkan kepada Allah. Mereka menyandangkan kepada Allah sifat-sifat kekurangan, padahal mereka sendirilah pemilik sifat-sifat itu. Semoga Allah memberi mereka balasan yang buruk.

 

Mereka berkata, “Tangan Allah terbelenggu,” yakni, tertahan sehingga tidak bisa berinfak, sebagaimana Firman Allah,

 

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu.” (Al-Isra’: 29).

 

Yakni, tertahan sehingga tidak bisa berinfak.

 

Mereka juga berkata,   “Sesungguhnya Allah itu miskin.” (Ali Imran: 181).

 

Perkataan mereka,   “Tangan Allah terbelenggu,” karena menurut mereka, kalau Tangan Allah tidak terbelenggu, niscaya semua manusia menjadi kaya. Dia memberi Zaid dan tidak memberi Amr, ini berarti TanganNya tertahan dan tidak memberi.

 

Mereka juga berkata,   “Sesungguhnya Allah itu miskin,” karena Allah berfirman,   “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya.” (Al-Baqarah: 245).

 

Mereka pernah berkata kepada Nabi  “Wahai Muhammad, Tuhanmu miskin. Dia meminta hutang kepada kita.” Semoga Allah membinasakan mereka.

 

Mereka juga berkata, “Allah lemah karena sewaktu Dia menciptakan langit dan bumi, Dia beristirahat pada Hari Sabtu, lalu Hari Sabtu itu dijadikanNya hari libur sekaligus hari raya”, jadi hari raya mereka adalah Hari Sabtu. Semoga Allah membinasakan mereka.

 

Di sini Allah berfirman,   “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu’,” (mereka katakan) “tangan”, mereka sebutkan dengan kata tunggal (satu tangan) karena tangan yang satu lebih kecil pemberiannya daripada kedua tangan. Oleh karena itu bantahannya adalah dengan kata mutsanna ditambah dengan mengulurkan, Dia berfirman,  “justru kedua Tangan Allah terbuka”

 

Manakala mereka menyifati Allah dengan aib tersebut, Allah menghukum mereka dengan apa yang mereka katakan. Allah berfirman  “Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu,” yakni, tertahan, dari kedermawanan. Itulah sebabnya kaum Yahudi adalah kaum yang paling tamak menumpuk harta dan paling kikir untuk berinfak. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang paling bakhil, paling pelit dalam, mencari harta, mereka tidak mungkin berinfak sepeser pun, kecuali jika mereka yakin bakal menarik untung berlipat. Sekarang ini merek, memiliki yayasan-yayasan yang besar, akan tetapi di baliknya tersimpan target yang jauh lebih besar, yaitu mereka ingin menguasai dunia

 

Jadi janganlah engkau berkata, bagaimana kita menggabungkan antara Firman Allah,   “Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu,” dengan kenyataan mereka pada hari ini, di mana mereka mengeluarkan uang demi keuntungan yang jauh lebih besar.

 

“Dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu,” yakni, mereka diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, karena cobaan bergantung dengan perkataan. Ketika mereka menyifati Allah dengan kekikiran, maka mereka diusir dari rahmat Allah, Dikatakan kepada mereka, Jika Allah kikir seperti yang kalian katakan, maka Dia menahan rahmatNya dari kalian agar kalian tidak mendapatkan kemurahanNya, maka mereka dihukum dengan dua hukuman.

 

  1. Dibalikkannya sifat buruk yang mereka sandangkan kepada Allah kepada diri mereka sendiri, dengan FirmanNya, “Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu.”

 

  1. Mereka harus memikul risiko perkataan mereka sendiri dengan dijauhkan dari rahmat Allah, sehingga mereka tidak mendapatkan kemurahan, karunia, dan kedermawananNya.

 

di sini berfungsi menjelaskan sebab, dan tanda bahwa ba’ di sini adalah menunjukkan sebab, adalah mungkinnya kehadiran kata ( ) setelahnya.

 

( ) bisa berwujud mashdariyah, dan bisa pula maushulah. Jika engkau memilih yang kedua, maka kaitan tempat kembali dhamir (kata ganti) tidak terlihat, asumsinya adalah     “Karena apa yang mereka ucapkan.” Jika yang pertama, maka fi’il (kata kerja) tersebut digubah menjadi mashdar menjadi ( ). Kemudian Allah membatalkan klaim mereka, maka Dia berfirman,   “Justru kedua Tangan Allah terbuka.”   di sini berfungsi membantah. Lihatlah perbedaan pada ungkapan (bantahan disini),   “Justru kedua Tangan Allah terbuka.” Karena konteksnya adalah konteks memperlihatkan kedudukan yang memiliki segala puji dan kedermawanan, dan memberi dengan kedua tangan lebih sempurna daripada dengan satu tangan.

 

FirmanNya,   adalah lawan perkataan mereka,   maka kedua Tangan Allah terbentang dengan pemberian yang luas. Nabi   bersabda,

 

“Tangan Allah penuh dan banyak memberi di waktu malam dan siang. Tidakkah kalian lihat apa yang Dia berikan sejak Dia menciptakan langit dan bumi, sesungguhnya ta tidak mengurangi apa yang ada di Tangan kananNya.”

 

Siapa yang mampu menghitung apa yang telah Allah infakkan sejak Dia menciptakan langit dan bumi? Tak seorang pun, walaupun begitu, hal itu tidak mengurangi apa yang ada di Tangan KananNya. Ini seperti FirmanNya di dalam hadits qudsi,

 

“Wahai hamba-hambaKu, seandainya orang pertama dan orang terakhir dari kalian, bangsa manusia dan bangsa jin di antara kalian berdiri di satu tanah lapang, lalu mereka meminta kepadaKu, lalu Aku mengabulkan apa yang diminta oleh masing-masing orang, maka hal itu tidak mengurangi apa yang ada padaKu, kecuali seperti air laut yang menempel di jarum yang dicelupkan kepadanya.”

 

Lihatlah jarum yang dicelupkan di laut, jika engkau menariknya, air yang menempel tidak mengurangi air laut sedikit pun. Gaya bahasa seperti ini dipakai untuk menunjukkan makna yang sangat me, hgenai ketidak kurangan tersebut, karena tidak berkurangnya air laut dalam kondisi seperti itu adalah perkara yang maklum. Mustahil air laut berkurang dengan itu, mustahil pula apa yang dimiliki Allah ber, kurang hanya karena Dia memberi apa yang diminta oleh seluruh jin dan manusia; itu tidak mengurangi apa yang dimiliki Allah sedikit pun,

 

Jangan berkata, “Benar kepemilikanNya tidak berkurang sedikitpun karena ia hanya berpindah dari kepemilikanNya kepada kepemilikanNya.” Tidak mungkin itu yang dimaksud, karena jika memang itu yang dimaksud, maka sabda Nabi  hanya sia-sia dan main-main,

 

Akan tetapi makna yang benar adalah, seandainya pemberian, pemberian yang besar ini diberikan dengan asumsi bahwa ia keluar dari kepemilikan Allah, maka hal itu tidak mengurangi apa yang di. milikNya sedikit pun.

 

Seandainya makna yang benar adalah yang pertama, niscaya tidak ada faidahnya. Seandainya engkau memiliki seribu rupiah, lalu engkau keluarkan dari laci kanan ke laci kiri, lalu ada orang yang berkata, Kepemilikanmu tidak berkurang, maka hal itu adalah sama juga bohong.

 

Yang penting, maknanya adalah seandainya apa yang Allah berikan kepada yang meminta, keluar dari milikNya, maka itu tidak berkurang sedikitpun bagi Allah.

 

Pemberian Allah bukan yang kita dapatkan dalam bentuk dirham dan barang-barang, akan tetapi, tidak ada nikmat yang kita dapatkan kecuali ia dari Allah, baik ia termasuk nikmat agama atau nikmat dunia. Tetesan air hujan adalah pemberian Allah dan biji-biji tumbuh-tumbuhan adalah pemberian Allah.

 

Apakah setelah ini tetap dikatakan seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi -semoga Allah melaknat mereka,  “Tangan Allah terbelenggu?”

 

Tidak, demi Allah, akan tetapi dikatakan, kedua Tangan Allah terbentang dengan pemberian dan nikmat yang tidak terhitung dan terhingga.

 

Jika ada yang bertanya: Mengapa Allah memberi sebagian orang dan tidak memberi sebagian yang lain?

 

Kami menjawab: Karena Allah adalah Pemilik kekuasaan mutlak dan hikmah yang mendalam. Oleh karena itu Dia membantah syubhat mereka,   “Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” Ada orang yang diberi Allah dalam kadar yang banyak, yang lain diberi Allah sedikit, ada yang diberi tengah-tengah. Semua itu tetap dengan hikmahNya. Dan yang diberi sedikit bukan berarti dia sama sekali tidak mendapatkan karunia dan nikmat Allah dari segi yang jain, karena Allah memberinya kesehatan, pendengaran, penglihatan, akal, dan nikmat-nikmat yang lain yang tidak terhitung, akan tetapi dengan kekurangajaran dan kebengalan orang-orang Yahudi, mereka tidak menyucikan Allah dari sifat kekurangan; mereka berkata,  “Tangan Allah terbelenggu.”

 

Dua ayat di atas menetapkan Sifat dua Tangan bagi Allah.

 

Mungkin ada yang berkata, Allah memiliki lebih dari dua tangan, dalilnya adalah FirmanNya,

 

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan-tangan Kami sendiri.” (Yasin: 71).

 

  di sini adalah jamak, ini kita ambil karena jika kita mengambil jamak berarti kita mengambil mutsanna (ganda) dan lebih, lalu bagaimana jawabannya?

 

Jawab kami: Tangan disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal), mutsanna (ganda), dan jamak.

 

Mengenai tangan yang datang dalam bentuk mufrad (tunggal), bila diidhafahkan, menunjukkan keumuman; maka ia mencakup semua Tangan yang dimiliki Allah, dalil yang menunjukkan bahwa mufrad yang diidhafahkan menunjukkan keumuman adalah Firman Allah,

 

“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” (Ibrahim: 34).

 

Kata   adalah mufrad (bentuk tunggal) yang diidhafahkan kepada Allah, maka ia mencakup seluruhnya berdasarkan   “niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” Jadi nikmat Allah tidak hanya satu, atau seribu, atau satu juta, atau berjuta-juta.

 

“Tangan Allah,” kami katakan, Mufrad (bentuk tunggal) ini tidak menghalangi jumlah jika ia terbukti tetap, karena kata mufraq yang diidhafahkan menunjukkan keumuman.

 

Adapun mutsanna (bentuk ganda) dan jamak, maka kami katakan, Sesungguhnya Allah hanya memiliki dua Tangan sebagaimana hal itu tercantum di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Di dalam al-Qur an:

 

Dalam Surat Shad,

 

“Kepada apa yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu.” (Shad: 75), dan konteksnya adalah konteks penghormatan. Seandainya Allah menciptakannya dengan lebih dari dua tangan, niscaya Dia menyebutkannya, karena semakin bertambah sifat yang dengannya Allah menciptakan sesuatu, maka semakin bertambah kemuliaan sesuatu itu.

 

Begitu pula di Surat al-Ma‘idah,

 

“Tetapi kedua Tangan Allah terbuka.” (Al-Ma‘idah: 64).

 

Yang ini membantah orang-orang yang berkata, “Tangan Allah,” dengan bentuk mufrad. Konteksnya adalah konteks yang menjelaskan banyaknya nikmat. Semakin banyak sarana pemberian semakin banyak pula pemberiannya. Seandainya Allah mempunyai tangan lebih dari dua niscaya Allah menyebutkannya, karena memberi dengan satu tangan adalah memberi, dengan dua tangan lebih banyak dan lebih sempurna daripada satu tangan, dengan tiga tangan kalau ada maka lebih banyak lagi. Seandainya Allah mempunyai lebih dari dua tangan, niscaya Dia akan menyebutkannya.

 

Dalam as-Sunnah: Nabi  bersabda,

 

“Allah us  melipat langit-langit dengan Tangan KananNya dan bumi dengan TanganNya yang lain.” Nabi  juga bersabda,   “Kedua TanganNya adalah Kanan.” Nabi  tidak menyebutkan lebih dari dua Tangan. Dan para ulama Salaf telah ijma’ bahwa Allah mempunyai dua Tangan saja, tidak lebih.

 

Kami mempunyai dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ bahwa Allah memiliki dua Tangan. Lalu bagaimana kita menggabungkan antara ini dengan Firman Allah,

 

“Yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan-tangan Kami sendiri.” (Yasin: 71)?

 

Menggabungkannya adalah dengan menempuh salah satu dari dua cara:

 

Pertama, kita bisa katakan seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa minimal jamak itu adalah dua. Jadi   tidak menunjukkan lebih dari dua, yakni tidak harus menunjukkan lebih dari dua, maka ia sinkron dengan mutsanna,   “Tetapi kedua Tangan

 

Allah terbuka.” Dan tidak ada kesulitan. Jika engkau berkata: Apa dalil mereka bahwa minimal jamak itu adalah dua? Jawaban: mereka berdalil dengan Firman Allah,

 

“Jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kalian berdua telah condong (untuk menerima kebaikan).” (At-Tahrim: 4).

 

Mereka adalah dua orang, sedangkan ( ) adalah jamak (kata tunggalnya adalah  ), padahal yang dimaksud adalah dua hati saja, berdasarkan Firman Allah,

 

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seorang laki-laki dua buah hati dalam rongganya.” (Al-Ahzab: 4).

 

Dalam hal ini, wanita juga sama saja.

 

Mereka juga berdalil dengan Firman Allah,

 

“Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.” (An-Nisa’: 11).

 

Kata  adalah jamak, padahal yang dimaksud adalah dua orang.

 

Mereka juga berdalil bahwa jamaah dalam shalat sah dilakukan dengan dua orang.

 

Akan tetapi mayoritas ahli bahasa berkata, minimal jamak adalah tiga dan keluarnya jamak kepada dua dalam dalil-dalil di atas adalah karena suatu sebab, karena jika tidak, maka minimal jamak pada dasarnya adalah tiga.

 

Kedua, kita bisa katakan bahwa maksud dari jamak adalah ta’zhim (pengagungan), yakni mengagungkan Tangan tersebut dan tidak berarti bahwa Allah memiliki lebih dari dua Tangan.

 

Kemudian, yang dimaksud dengan tangan di sini adalah Dzat itu sendiri yang memiliki Tangan, Allah  telah berfirman,

 

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (Ar-Rum: 41).

 

Yakni, karena perbuatan mereka, baik itu berasal dari perbuatan tangan, atau kaki, atau lidah, atau anggota tubuh lainnya, akan tetapi pengungkapan seperti ini digunakan untuk pelaku itu sendiri.

 

Oleh karena itu kami katakan bahwa binatang ternak di sini adalah unta, tidak diciptakan Allah dengan TanganNya, dan Allah membedakan antara FirmanNya,  ” Yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan-tangan kami sendiri,” dengan FirmanNya,

 

“Kepada apa yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu.”

 

Maka ayat   seolah-olah Dia berfirman, “Dari apa yang Kami ciptakan.” Karena yang dimaksud dengan   (Tangan) di sini adalah Dzat Allah yang memiliki Tangan sedangkan maksud dari   adalah dua Tangan, bukan Dzat.

 

Dengan penjelasan ini, selesai sudah persoalan tentang Sifat alYad (Tangan) yang tercantum dalam bentuk tunggal, ganda, dan jamak.

 

Maka sekarang menjadi dapat diketahui bahwa menggabungkan antara kata mufrad (tunggal) dengan kata mutsanna (ganda) itu mudah, hal itu karena mufrad tersebut adalah mufrad yang diidhafahkan, maka ja mencakup seluruh tangan yang dimiliki Allah.

 

Adapun menggabungkan antara mutsanna dengan jamak, maka dari dua jalan:

 

Pertama, yang dimaksud dengan jamak bukanlah maknanya yang hakiki; yaitu tiga ke atas, akan tetapi yang dimaksud adalah ta’zhim (pengagungan) sebagaimana Allah berfirman,  “Sesungguhnya Kami,” dan   “Kami,” dan  “Kami berkata,” dan lafazh-lafazh yang sepertinya, padahal Dia Maha Esa, akan tetapi Dia berfirman demikian untuk ta’zhin (pengagungan).

 

Kedua, atau dikatakan bahwa minimal jamak adalah dua, maka tidak terjadi pertentangan.

 

Adapun FirmanNya,

 

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan (Kami).” (Adz-Dzariyat: 47), (yang disangka oleh sebagian orang bahwa makna   adalah “dengan tangan-tangan (Kami) maka yang dimaksud dengan ( ) di sini adalah kekuatan, ia adalah bentuk mashdar ( ) yang berarti kuat, bukan tangan yang merupakan Sifat Allah. Karena itu, Allah tidak menisbatkannya kepada DiriNya, Dia tidak berfirman, ( ); dengan Tangan Kami, Dia hanya berkata,  ; yakni kekuatan.

 

Sama halnya dengan Firman Allah,  “Pada hari betis disingkapkan.” (Al-Qalam: 42).

 

Para ulama Salat mempunyai dua pendapat tentang FirmanNya,

 

Pertama, Maksudnya adalah kesulitan.

 

Aedua, maksudnya adalah Betis Allah.

 

Barangsiapa memerhatikan konteks ayat ini bersama hadits Aby Sa’id  niscaya dia akan mengatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah Betis Allah. Barangsiapa yang melihat ayat secara tersendiri, maka dia akan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kesulitan,

 

Jika ada yang berkata: Engkau menetapkan tangan yang sebenar. nya bagi Allah, sementara yang kita tahu adalah tangan makhluk, maka konsekuensinya adalah engkau menyamakan Allah Yang Maha Mencipta dengan makhluk.

 

Jawaban: Menetapkan Tangan yang hakiki bagi Allah tidak ber. konsekuensi menyamakan Allah dengan makhluk, karena menetapkan (bahwa Allah memiliki) Tangan itu tercantum di dalam al-Qur‘an, as-Sunnah, dan ijma’ Salaf, sedangkan menafikan persamaan antara Allah dengan makhluk ditunjukkan pula oleh syara’, akal, dan realita.

 

– Dari segi syara’, Firman Allah

 

“Tidak ada sesuatu pun yang semisal (serupa) dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha mendengar dan Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11).

 

– Dari segi akal, tidak mungkin Allah Yang Maha Pencipta itu semisal dengan makhluk pada Sifat-sifatNya, karena hal itu berarti kekurangan pada Allah.

 

– Dari segi realita, setiap orang menyaksikan tangan makhluk yang berbeda-beda dan tidak sama, ada yang besar, kecil, gemuk, kurus dan seterusnya, maka adanya perbedaan tangan diantara makhluk-makhluk, menunjukan adanya perbedaan antara tangan mereka dengan Tangan Allah, dan itu lebih patut.

 

Begitulah, dan para penganut ta’thil dari kalangan Mu’tazilah, Jahmiyah, Asy’ariyah dan lain-lain menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menetapkan Tangan bagi Allah. Mereka berkata, Tidak mungkin kita menetapkan tangan yang hakiki bagi Allah, karena yang dimaksud dengan tangan adalah sesuatu yang maknawi, yaitu kekuatan, atau yang dimaksud dengan tangan adalah nikmat, karena tangan dalam bahasa Arab dipakai untuk kekuatan dan nikmat.

 

Dalam hadits shahih, hadits an-Nawas bin Sam‘an yang panjang,

 

“Bahwa Allah mewahyukan kepada Nabi Isa bahwa, ‘Aku telah mengeluarkan hamba-hambaKu yang tidak seorang pun (bisa) menandingi mereka dalam peperangan’.”

 

Yakni, tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan untuk memerangi mereka, yaitu Ya‘juj dan Ma’juj.

 

Adapun 4 (tangan) dengan makna nikmat, maka hal itu banyak ditemukan, di antaranya adalah ucapan utusan Quraisy kepada Abu Bakar -, “Kalau tidak ada tangan darimu kepadaku yang belum aku balas, niscaya aku akan menjawab kata-katamu.”  Makna kata tangan di sini adalah pemberian kebaikan.

 

Al-Mutanabbi berkata,

 

Berapa banyak tangan (kebaikan) dariMu di malam gulita yang bersaksi bahwa al-Ma’nawiyah berdusta

 

Ma’nawiyah adalah satu kelompok dari orang-orang Majusi yang mengatakan bahwa kegelapanlah yang menciptakan keburukan dan cahayalah yang menciptakan kebaikan. Al-Mutanabbi berkata, Di malam hari Engkau banyak memberi, itu membuktikan kedustaan al Ma’nawiyah, karena malamMu mendatangkan kebaikan.

 

Jadi yang dimaksud dengan Tangan Allah adalah nikmat, bukan tangan yang sebenarnya, karena jika engkau menetapkan tangan yang sebenarnya, maka hal itu berkonsekuensi bahwa Allah itu memiliki jasmani, sedangkan antar jasmani itu memiliki kemiripan, dalam kondisi itu kita terjatuh pada larangan Allah pada FirmanNya,

 

“Maka janganlah kalian mengadakan misal-misal (sekutu-sekutu) bagi Allah.” (An-Nahl: 74).

 

Kami lebih berbahagia dengan dalil daripada dirimu, wahai Orang yang menetapkan tangan secara hakiki. Kami katakan, Maha Suci Dzat Yang terbebaskan dari sifat-sifat, bagian-bagian dan tujuan-tujuan Engkau tidak akan menemukan yang seperti ini di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Dan jawaban kami terhadap pendapat di atas dari beberapa segi.

 

Pertama, menafsirkan lafazh tangan dengan kekuatan atau nikmat adalah menyelisihi zahir lafazh, dan makna yang menyelisihi zahi, lafazh adalah tertolak, kecuali dengan dalil.

 

Kedua, bahwa penafsiran tersebut menyelisihi ijma’ as-Salaf, dj mana mereka telah berijma’ bahwa yang dimaksud dengan tangan ada. lah tangan yang sebenarnya.

 

Jika ada yang berkata, Mana ijma’ as-Salaf? Tunjukkan satu kata dari Abu Bakar atau Umar atau Ali, di mana mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Tangan Allah adalah Tangan yang hakiki.

 

Saya katakan kepada orang yang berkata demikian, “Tunjukkan kepadaku satu kata dari Abu Bakar, atau Umar, atau Utsman, atau Ali, atau Sahabat yang lain, atau para imam sesudah mereka, di mana mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan adalah kekuatan atau nikmat.” Dia pasti tidak akan bisa melakukannya.

 

Jadi seandainya mereka mempunyai makna yang menyelisihi zahir lafazh, niscaya mereka pasti mengatakannya dan niscaya ia telah dinukil dari mereka. Manakala mereka tidak mengatakannya, maka jelaslah bahwa mereka berpegang kepada zahir lafazh dan mereka bersepakat diatas itu.

 

Ini adalah faidah besar, yakni apabila tidak dinukil dari para sahabat suatu makna yang menyelisihi zahir lafazh, maka hal itu berarti bahwa mereka tidak berpendapat dengan selainnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan Nabi berbicara kepada mereka dengan bahasa mereka, maka mereka pasti memahami al-Qur’an dan as-Sunnah berdasarkan zahir lafazh, jika tidak dinukil dari mereka selainnya, maka berarti itulah pendapat mereka.

 

Ketiga, bahwa sangat tidak mungkin yang dimaksud dengan tangan adalah nikmat atau kekuatan, seperti pada FirmanNya, “Kepada apa yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu.” (Shad: 75), karena hal itu berarti bahwa nikmatnya hanyalah dua saja, padahal nikmat-nikmat Allah tiada terhingga. Dan bahwa kekuatanNya hanyalah dua saja, padahal kekuatan adalah makna yang satu yang tidak berjumlah. Jadi susunan ini sangat menolak penafsiran lafazh “Tangan” dengan nikmat dan kekuatan.

 

Kalaupun Firman Allah,

 

“Tetapt kedua Tangan Allah terbuka.” (Al-Ma‘idah: 64), mungkin ditafsiri dengan nikmat dan hal itu adalah penafsiran yang dipaksakan, akan tetapi hal yang sama tidak mungkin diterapkan pada Firman Allah,

 

 “Kepada apa yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu.”

 

Adapun kekuatan, maka tidak mungkin yang dimaksud dengan kedua tangan di kedua ayat tersebut adalah kekuatan, yaitu Firman Allah,  “Tetapi kedua Tangan Allah.” Dan  “Kepada apa yang telah Kuciptakan dengan kedua TanganKu,” karena kekuatan hanya satu, tidak berbilang.

 

Keempat, seandainya yang dimaksud dengan tangan adalah kekuatan, maka Nabi Adam tidak mempunyai keunggulan atas iblis, bahkan tidak juga atas keledai dan anjing, karena mereka semua diciptakan dengan Kekuatan Allah. Seandainya yang dimaksud dengan tangan adalah kekuatan, maka tidak sah berhujjah atas iblis, karena dia akan menjawab, “Dan Engkau, wahai Tuhanku, juga menciptakanku dengan kekuatanMu, lalu apa mulianya Adam atasku?”

 

Kelima, bahwa tangan yang ditetapkan Allah ini hadir dalam berbagai bentuk, sehingga tidak mungkin maksudnya adalah nikmat atau kekuatan. Di antaranya adalah jari-jemari, menggenggam, membuka, telapak tangan dan tangan kanan. Semua itu menghalangi penafsiran lafazh tangan dengan makna kekuatan, karena kekuatan tidak diungkapkan dengan sifat-sifat ini.

 

Jelaslah dengan keterangan ini bahwa ucapan para penganut tahrif yang menafsirkan lafazh tangan dengan makna kekuatan adalah batil dari berbagai segi.

 

Dan telah dijelaskan bahwa Sifat-sifat Allah termasuk perkara-perkara berita yang ghaib di mana akal tidak mempunyai peranan padanya Jika memang demikian, maka wajib membiarkan makna lafazh tangan sebagaimana makna zahirnya dan tidak lancang menyimpangkannya

 

Syarah:

 

Penulis   menyebutkan tiga ayat untuk menetapkan dua Mata bagi Allah.

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu berada dalam (pengawasan) Mata Kami.” , (Ath-Thur: 48).

 

Perintah ini ditujukan kepada Nabi   (sabar) berarti menahan. Dikatakan ( ) yakni, dia dibunuh setelah sebelumnya ditahan. Jadi sabar secara bahasa adalah menahan.

 

Secara syar’i, mereka berkata, Sabar terhadap hukum-hukum Allah berarti menahan diri untuk (tunduk kepada) hukum-hukumNya.

 

Hukum-hukum Allah ada dua: Syar’iyah dan kauniyah. Hukum syar’iyah adalah perintah dan larangan. Sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah sabar dalam menjalankan perintahNya, dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepadaNya adalah sabar terhadap laranganNya. Dan kauniyah adalah takdir-takdir Allah, takdir dan ketetapanNya mesti dihadapi dengan sabar.

 

Inilah makna perkataan sebagian ulama, Sabar itu terdiri dari tiga bagian: Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, dan sabar dalam menghadapi takdir yang pahit dari Allah.

 

FirmanNya,  “Dan Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu,” mencakup ketiga bagiannya:

 

1). Sabar dalam ketaatan kepada Allah.

2). Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepadaNya.

3). Sabar dalam menghadapi takdir Allah.

 

Yakni bersabarlah terhadap hukum Tuhanmu, baik yang syar’i maupun yang kauni.

 

Dengan ini, kita mengetahui bahwa pembagian yang disebutkan oleh para ulama bahwa sabar terdiri dari tiga bagian; Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dalam menghindari kemaksiatan kepada Allah dan sabar dalam menghadapi takdir Allah adalah termasuk ke dalam Firman Allah, “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu.”

 

Penjelasannya adalah bahwa hukum Allah terbagi menjadi kauni dan syar’i. Yang syar’i adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah memerintahkan Nabi  dengan perintah-perintah, melarang beliau dengan larangan-larangan dan menetapkan takdir-takdirNya atas beliau.

 

Perintah-perintah adalah seperti Firman Allah

 

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (Al-Ma‘idah: 67). 

 

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu.” (An-Nahl: 125).

 

Ini adalah perintah-perintah yang besar, yakni jika dikatakan kepada seseorang, “Sembahlah Tuhanmu”, maka dia mungkin akan beribadah kepadaNya, akan tetapi dakwah dan tabligh adalah perkara sulit, karena ia menghadapi dan berjihad di depan orang lain, jadi ia sulit.

 

Sedangkan larangan adalah seperti laranganNya terhadap beliau dari berbuat syirik,

 

“Dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.” (Al-An’am: 14).

 

“Jika kamu mempersekutukan (sesuatu dengan Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu.” (Az-Zumar: 65), dan lain-lain.

 

Mengenai hukum-hukum takdir, Nabi  dilecehkan oleh kaum beliau dengan perkataan dan perbuatan (yang sangat menyakitkan) yang tidak akan mampu bersabar atasnya, kecuali orang-orang seperti Rasulullah.

 

Mereka menyakiti dengan perkataan berupa penghinaan, pelecehan, perusakan nama baik, menghasut manusia agar tidak mengikuti beliau.

 

Mereka menyakiti Nabi  dengan perbuatan; yaitu ketika suatu kali Nabi  tengah sujud di samping Ka’bah di belahan bumi yang paling aman, sujud kepada Tuhan beliau, lalu mereka mengambil kotoran dan sisa-sisa sembelihan unta dan menumpahkannya di atas punggung beliau sementara beliau sedang sujud.

 

Tidak ada gangguan yang lebih menyakitkan daripada ini, karena seandainya orang musyrik dan kafir yang masuk ke al-Haram, niscaya dia pasti aman, mereka tidak akan mengganggunya bahkan memuliakannya dan memberinya minum air Zamzam. Sementara Nabi Muhammad  yang sedang sujud kepada Allah, mereka ganggu dengan cara seperti itu.

 

Mereka juga pernah meletakkan kotoran, bangkai, dan sampah di depan pintu rumah beliau.

 

Nabi  pergi ke Thaif, apa yang terjadi? Gangguannya justru lebih besar, anak-anak dan orang-orang bodoh dari mereka berbaris di jalan-jalan, mereka melempari Nabi  dengan batu sampai telapak kaki beliau berdarah, beliau tidak bebas dari gangguan itu, kecuali saat beliau telah sampai di Qarn ats-Tsa’alib.

 

Beliau bersabar atas keputusan Allah, akan tetapi itu adalah kesabaran seorang Mukmin yang yakin bahwa akibat baik akan menjadi miliknya, karena Allah berfirman kepada beliau,

 

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu berada dalam (pengawasan) Mata Kami.”

 

Ini adalah penghormatan dan perhatian yang paling berharga bagi seseorang di mana engkau berkata kepadanya, “kamu di kedua mataku”, “kamu di hatiku” dan sebagainya.

 

“Kamu berada dalam (pengawasan) Mata Kami” berarti Aku memerhatikanmu dengan kedua MataKu. Ini adalah ungkapan yang dikenal di kalangan manusia. Penjagaan, perlindungan, dan perhatian yang sempurna dengan ungkapan seperti ini, “Kamu di kedua mataku.”

 

Jadi FirmanNya,   berarti; kamu sangat terjaga dan sangat terlindungi.

 

Ayat yang mulia ini menetapkan “Mata” bagi Allah, hanya saja ia hadir dalam bentuk jamak, dan kami akan membahasnya, insya Allah,

 

Mata termasuk Sifat Dzatiyah Khabariyah. (Dikatakan) Dzatiyah karena Allah menyandang Sifat ini sejak zaman azali sampai abadi, dan khabariyah karena bagi diri kita, ia adalah bagian-bagian dan anggota, anggota badan.

 

Bagi diri kita, mata adalah bagian dari wajah dan wajah adalah bagian dari badan, akan tetapi bagi Allah, kita tidak boleh mengatakan bahwa ia adalah bagian dari Allah, karena seperti yang telah dijelaskan bahwa lafazh ini tidak disebutkan dalam nash (dalil), dan bahwa ia berarti membagi-bagi Diri Allah dan bahwa bagian adalah sesuatu yang apabila ia hilang tidak menghilangkan seluruh bagian yang lain dan bisa pula menghilangkannya, padahal Sifat Allah tidak akan per. nah hilang selama-lamanya, akan tetapi Dia kekal.

 

Hadits shahih dari Rasulullah  menunjukkan bahwa Allah hanya mempunyai dua Mata saja. Nabi  menyebutkan sifat Dajjal dengan sabda beliau,

 

“Sesungguhnya dia itu buta sebelah dan sesungguhnya Tuhan kalian tidak buta sebelah.”

 

Dalam lafazh lain,

 

“Dia buta mata kanannya.”

 

Sebagian orang berkata, Makna ( ) adalah cacat, bukan picek mata.

 

Jelas ini adalah pembelokan makna, dan pura-pura tidak tahu terhadap lafazh yang shahih yang ada dalam riwayat al-Bukhari dan lainnya,

 

“(Dajjal itu) buta mata kanannya, matanya seperti biji anggur yang menonjol.” Ini jelas.

 

Tidak dikatakan ( ) dalam bahasa Arab, kecuali untuk buta (sebelah) mata. Lain halnya apabila dikatakan ( ) atau ( ), ia mungkin bermakna cacat dalam bentuk apa pun.

 

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah hanya mempunyai dua Mata Saja.

 

Titik pengambilan dalilnya adalah bahwa seandainya Allah mempunyai lebih dari dua Mata, niscaya penjelasan dengannya lebih jelas daripada penjelasan dengan buta sebelah, karena jika Allah mempunyai Lebih dari dua Mata, niscaya Nabi  akan bersabda, “Sesungguhnya Tuhan kalian memiliki beberapa mata.” Karena jika Allah memiliki Lebih dari dua Mata, niscaya kejelasan bahwa Dajjal bukanlah Tuhan menjadi lebih jelas.

 

Bagitu juga kalau seandainya Allah memiliki lebih dari dua Mata, niscaya hal itu termasuk kesempurnaanNya dan tidak disinggungnya hal tersebut berarti meninggalkan pujian kepadaNya, karena jumlah yang banyak menunjukkan kekuatan dan kesempurnaan, seandainya Allah mempunyai lebih dari dua Mata, niscaya Nabi  akan mengatakannya agar kesempurnaan Allah ini tidak lepas dari kita, yaitu yang lebih dari dua mata.

 

Ibnul Qayyim dalam ash-Shawa’iq al-Mursalah menurunkan sebuah hadits, hanya saja ia dhaif karena munqathi,’ yaitu,

 

“Sesungguhnya apabila seorang hamba berdiri di dalam shalat, maka dia berdiri di hadapan kedua Mata ar-Rahman.”

 

( ) artinya kedua mata, hanya saja hadits ini dhaif, sedangkan yang kami pegang dalam akidah hanyalah hadits yang shahih, yaitu hadits tentang Dajjal. Dan ia jelas bagi siapa yang mencermatinya.

 

Hal itu telah disebutkan oleh Utsman bin Sa’id ad-Darimi di dalam bantahannya terhadap Bisyr al-Marisi, juga Ibnu Khuzaimah dalam Kitab at-Tauhid. Ijma’ as-Salaf atas hal tersebut dinyatakan pula oleh Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Bakar al-Baqillani. Jadi, masalah ini jelas.

 

Jadi, akidah yang kami pegang sebagai agama terhadap Allah adalah bahwa Allah mempunyai dua Mata saja, tidak lebih.

 

Jika dikatakan, Di antara as-Salaf ada yang menafsirkan Firman Allah,   dengan mengatakan, “dengan penglihatan dari kami” Ini adalah tafsir para imam as-Salaf yang terkenal, sementara kalian mengatakan bahwa tahrif adalah haram dan dilarang. Bagaimana jawabanmu?

 

Jawaban: Mereka menafsirkannya dengan makna yang menjadi kemestian dengan tetap menetapkan pokoknya yaitu mata, sementar, ahli tahrif mengatakan, “Dengan penglihatan dari Kami”, tanpa menetapkan sifat Mata bagi Allah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan “Dengan penglihatan Kami” dengan menetapkan sifat Mata bagi Allah,

 

Menyebut Mata di sini lebih kuat dan lebih tegas daripada menyebutkan sekedar melihat, oleh karena itu Allah berfirman, “Karena sesungguhnya kamu berada di dalam (pengawasan) Mata Kami”,

 

Al-Mu’aththilah berkata, Kalian menyerang kami habis-habisan dengan mengerahkan semua serangan dalam mengingkari takwil kami, sementara kalian sendiri melakukan hal tersebut, dimana kalian telah mengeluarkan ayat dari zahirnya. Allah   berfirman,   ambillah zahirnya, apabila kalian mengambil makna zahirnya niscaya kalian kafir. Jika kalian tidak mengambil makna zahirnya, maka kalian terjatuh kepada kontradiksi. Sekali waktu kalian berkata, takwil itu boleh, di lain waktu kalian berkata, tidak boleh dan menyatakannya sebagai tahrif. Bukankah ini adalah sikap mengutak atik agama Allah?

 

Kami menjawab: Kami berpegang kepada makna zahir tanpa ada keraguan dan kebimbangan. Itulah jalan kami, kami tidak akan menyelisihinya.

 

Mereka berkata, Yang zahir dari ayat ini adalah bahwa Muhammad di Mata Allah, di tengah-tengahnya seperti kamu katakan  (Zaid di rumah), atau   (Zaid di masjid). Huruf ba’ adalah zharfiyah (keterangan tempat), jadi Zaid di dalam rumah atau di dalam masjid. Dari sini, maka Firman Allah,   yakni, di dalam Mata Kami. Kalau ini pendapat kalian maka kalian kafir, karena kalian menjadikan Allah sebagai tempat bagi makhluk. Jadi kalian adalah hululiyah. Jika kalian menolak, berarti kalian terjatuh kepada kontradiksi.

 

Kami menjawab: Na’udzubillah (kami berlindung kepada Allah) kemudian naudzubillah, kemudian naudzubillah, jika apa yang kalian katakan itu adalah zahir al-Qur‘an, dan jika kalian yakini bahwa ini adalah zahir al-Qur‘an, maka kalian telah kafir, karena barangsiapa yang meyakini bahwa zahir al-Qur an adalah kekafiran dan kesesatan, berarti dia kafir dan sesat.

 

Bertaubatlah kepada Allah dari perkataan kalian; bahwa ini adalah zahir lafazh. Bertanyalah kepada ahli bahasa, penyair, dan orator. Apakah ungkapan seperti ini maksudnya adalah bahwa orang yang dilihat dengan mata itu berada di dalam kelopak mata? Tanyakan kepada siapa pun dari ahli bahasa, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.

 

Jika engkau (wahai pembaca) melihat gaya bahasa Arab, niscaya engkau mengetahui bahwa makna yang mereka katakan dan mereka paksa kami untuk menerimanya tidak terdapat di dalam bahasa Arab, apalagi ia dinisbatkan kepada Allah. Penisbatannya kepada Allah adalah kekafiran dan kemungkaran, di samping ia juga merupakan kemungkaran dari segi bahasa, syariat, dan akal.

 

Jika dikatakan, Dengan apa kalian menafsirkan huruf ba’ pada Firman Allah,  

 

Kami katakan, Kami menafsirkannya dengan penyertaan (al-Mushahabah). Bila engkau berkata, ‘Kamu di mataku”, maka ia berarti mataku menyertai (mengawasi)mu, melihat kepadamu dan tidak terpisah darimu. Jadi maknanya adalah bahwa Allah berfirman kepada NabiNya   “Bersabarlah kepada hukum Allah karena engkau dilingkupi oleh perhatian Kami dan penglihatan Kami kepadamu dengan mata, sehingga tidak seorang pun bisa menimpakan keburukan kepadamu.”

 

Huruf ba’ di sini tidak mungkin menunjukkan makna Zharfiyah (keterangan tempat), karena hal itu berarti bahwa Rasulullah berada di dalam Mata Allah dan ini mustahil. Di samping itu, Allah berfirman kepada Rasulullah  sementara Rasulullah berada di bumi. Bila kalian berkata, “Dia di dalam Mata Allah”, berarti kandungan al-Qur’an adalah dusta. Ini adalah argumentasi lain tentang batalnya anggapan bahwa secara zahir Rasulullah  berada di dalam Mata Allah.

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan, yang berlayar dengan (pengawasan) Mata Kami, sebagai balasan bagi orang yang telah diingkari (kaumnya).” (Al-Qamar: 13-14)

 

“Dan Kami angkut dia,” yaitu Nabi Nuh

 

FirmanNya,  “Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan,” yakni, perahu yang terbuat dari papan dan paku. Perahu ini dibuat sendiri oleh Nabi Nuh  kaumnya, mengejeknya sewaktu mereka melewatinya, lalu Nabi Nuh menjawab

 

“Jika kalian mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek (kami).” (Hud: 38).

 

Nabi Nuh  membuatnya dengan perintah Allah, dengan penaawasan dan perlindunganNya,

 

“Dan buatlah bahtera itu dengan (pengawasan) Mata Kami dan petunjuk wahyu Kami.” (Hud: 37).

 

Allah melihat kepada Nuh sementara Nuh membuatnya dan Dia memberinya petunjuk bagaimana membuatnya.

 

Di sini Allah menyebutkan ciri-ciri perahu tersebut dengan Firman. Nya,   “(kapal) yang terbuat dari papan dan paku.” ( ) berarti pemilik; ( ) berarti kayu, papan; ( ) berarti pengikat kayu seperti tali, paku, dan sepertinya. Mayoritas ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud adalah paku yang menyatukan kayu.

 

inilah titik pengambilan dalil.   yakni, perahu dengan papan dan paku tersebut dalam (pengawasan) Mata Allah dan yang dimaksud dengan ( ) adalah dua Mata saja sebagaimana telah dijelaskan. Makna berlayar dengannya adalah berlayar diiringi dengan pandangan Kami dengan Mata Kami. Jadi huruf ba’ di sini mempunyai makna penyertaan (al-Mushahabah), ia berlayar di atas air yang tumpah dari langit dan memancar dari bumi, karena Nabi Nuh Berdoa kepada Allah, pe

 

“Bahwa aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).” (Al-Qamar: 10).

 

Lalu Allah menjawab,

 

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata-mata air.” (Al-Qamar: 11-12).

 

Maka perahu ini berlayar dengan pandangan Mata Allah.

 

Mungkin ada yang berkata, Mengapa Dia tidak berfirman, “Dan kami angkut Nuh dengan perahu atau dengan bahtera,” tetapi Dia berfirman,   ” Ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan paku.”

 

Kami menjawab, Allah tidak mengungkapkan dengan perahu dan beralih menggunakan kata papan kayu dan paku, untuk tiga faidah:

 

Pertama, menjaga kesamaan huruf terakhir pada ayat. Seandainya Dia berfirman, ( ), maka ia tidak serasi dengan yang sebelum dan sesudahnya, begitu juga jika Dia berfirman, ( ). Demi menjaga huruf terakhir pada ayat, maka Dia berfirman,  

 

Kedua, agar orang-orang belajar bagaimana membuat perahu dan penjelasan bahwa ia (dapat dibuat) dari papan kayu dan paku. Karena itu, Allah berfirman,

 

“Dan sungguh telah Kami biarkan kapal itu sebagai pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (Al-Qamar: 15).

 

Maka Allah mengabadikan bangkai kapal laut tersebut sebagai tanda kekuasaan Allah bagi manusia, di mana mereka membuat perahu seperti petunjuk Allah kepada Nabi Nuh  .

 

Ketiga, isyarat kepada kekuatannya di mana ia terbuat dari papan kayu dan paku. Kata ( ) dan ( ) di sini berbentuk nakirah, fungsinya adalah sebagai ungkapan untuk sesuatu yang besar.

 

Di sini difokuskan kepada bahan pembuatannya, sama dengan ini ketika sifat disebutkan tanpa pemiliknya; yaitu Firman Allah 

 

“(yaitu buatlah baju besi) yang besar-besar.” (Saba’: 11), dan Dia tidak berfirman (baju besi) secara langsung agar faidah, baju besi ini benar-benar diperhatikan, yakni ia harus luas dan sempurna. Ini sama dengan itu.

 

FirmanNya,   penjelasannya sama dengan penjelasan dalam,

 

“Maka sesungguhnya kamu berada dalam (pengawasan) Mata Kami.” (Ath-Thur: 48).

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dariKu dan supaya kamu diasuh di bawah (pengawasan) MataKu.” (Thaha: 39).

 

Ayat ini ditujukan kepada Nabi Musa.

 

FirmanNya,   “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dariKu,” para ahli tafsir berbeda pandangan tentang maknanya.

 

Ada yang berkata,   maknanya adalah sesungguhnya Aku mencintaimu.

 

Ada yang berkata, Aku membuat orang-orang mencintaimu, yakni Aku membuat siapa yang melihatmu mencintaimu dan buktinya adalah ketika istri Fir’aun melihat Nabi Musa (yang masih bayi) dia langsung menyukainya. Dia berkata,

 

“Janganlah kalian membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita ambil dia menjadi anak.” (Al Qashash: 9).

 

Kalau ada yang, berkata: Munpkinkab kita menafsirkan ayat tersebut dengan kedua makna di atas?

 

Kami jawab: Mungkin, berdasarkan kaidah yang menyatakan, apabila suatu ayat mengandung dua makna yang, tidak saling bertentangan, Maka ia bisa ditafsirkan dengan keduanya. Nabi Musa dicintai oleh Allah dan dicintai oleh manusia. Apabila orang-orang melihatnya, maka mereka menyukainya. Sebenarnya kedua makna tersebut saling berkaitan, karena jika Allah mencintai seorang hamba maka Dia akan membuat manusia mencintainya.

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas , bahwa beliau berkata, “Allah mencintai-Nya dan membuatnya dicintai oleh manusia.”

 

Kemudian Allah berfirman,  “Dan supaya kamu diasuh di bawah (pengawasan) MataKu.”   “membuat”, berarti mengubah sesuatu menjadi bentuk tertentu, seperti membuat bejana dari potongan besi; membuat pintu dari kayu, dan membuat sesuatu memiliki makna yang berbeda-beda, membuat rumah adalah membangunnya, dan membuat (keahlian) besi adalah membuat bejana atau alat penggerak dari besi. Dan membuat manusia berarti menumbuhkannya secara jasmani dan akal pikiran, yang pertama dengan makanan, dan yang kedua dengan adab, akhlak, dan lain-lain.

 

Semua itu terjadi pada Nabi Musa , beliau diasuh dengan pengawasan Mata Allah.

 

Manakala keluarga Fir’aun memungutnya, Allah menjaganya sehingga mereka tidak membunuhnya, padahal mereka membunuh anak laki-laki dari kalangan Bani Israil. Allah menetapkan bahwa orang ini (yakni Nabi Musa) di mana orang-orang dibunuh karenanya, justru diasuh di bawah asuhan keluarga Fir’aun. Orang-orang dibunuh karenanya, sedangkan dia diasuh dengan aman di bawah asuhan mereka. Lihatlah kepada kuasa (kodrat) yang besar ini.

 

Di antara bentuk pengasuhan Allah kepada Nabi Musa adalah penolakannya terhadap ibu-ibu susuan yang disodorkan kepadanya untuk menyusuinya,

 

“Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu.” (Al-Qashash: 12).

 

Nabi Musa   tidak menyusu dari seorang wanita pun. Semen, tara itu saudari yang disuruh ibunya untuk mengikuti jejak Nabi Musa melihat keadaan mereka, maka saudari Nabi Musa ini berkata,

 

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian keluarga yang akan (bisa) memeliharanya untuk kalian dan mereka adalah orang-orang yang tulus (berlaku, baik) padanya?” (Al-Qashash: 12).

 

Mereka menjawab, “Ya, itu yang kami cari.” Maka saudari Musa itu berkata, “ikutlah denganku.” Maka mereka pun mengikutinya Allah berfirman,

 

“Maka Kami kembalikan dia (Musa) kepada ibunya agar senang hatinya dan tidak bersedih hati.” (Al-Qashash: 13).

 

Nabi Musa tidak menyusu dari seorang wanita pun padahal dia adalah bayi yang masih kecil yang menyusu. Ini adalah bukti kebesaran Kuasa Allah dan bukti janjinya, karena Allah berfirman kepadanya,

 

“Lalu apabila engkau khawatir terhadapnya, maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, (karena) sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.” (Al-Qashash: 7).

 

Tidak seorangpun yang dapat membayangkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Dikatakan kepada ibunda Nabi Musa, “Letakkan putramu di dalam kotak lalu buanglah ia di laut dan kelak dia akan kembali kepadamu.”

 

Kalau bukan karena iman, niscaya ibu ini tidak akan melakukannya, membuang putranya di laut. Seandainya anaknya terjatuh dengan peti bayinya ke laut niscaya dia akan mengejarnya. Bagaimana kalau dia sendiri yang membuangnya? Akan tetapi kepercayaannya kepada Allah dan janjiNya membuatnya lapang hati melakukan hal itu.

 

FirmanNya,   “Dan supaya kamu diasuh di bawah (pengawasan) MataKu.” Kata (mata) dengan bentuk tunggal (mufrad). Apakah ini bertentangan dengan kata jamak yang disebutkan sebelumnya?

 

Jawaban: Tidak bertentangan, hal itu karena kata tunggal di sini dalam posisi diidhafahkan (MataKu), maka ia menunjukkan keumuman. jadi ta meliputi semua Mata yang ditetapkan untuk Allah.

 

Sekarang tinggal melihat antara mutsanna (ganda) dan jamak, bagaimana menggabungkannya?

 

Jawaban: Kalau minimal jamak adalah dua, maka persoalannya selesai, karena kami katakan bahwa jamak ini menunjukkan dua, jadi tidak ada pertentangan. Kalau minimal jamak adalah tiga, maka jamak di sini tidak mengandung makna tiga, akan tetapi maksudnya adalah ta’zhim (pengagungan) dan keserasian antara kata ganti jamak dengan mudhaf ilaih.

 

Para penganut ta’thil dan tahrif menafsirkan “Mata” dengan melihat, tanpa menetapkan mata. Mereka berkata,  , “dengan penglihatan dari kami”, akan tetapi tanpa mata, karena tidak mungkin selama-lamanya menetapkan Mata bagi Allah, sebab mata adalah bagian dari badan. Apabila kita menetapkannya bagi Allah, berarti kita menetapkan bagian-bagian dan jasmani, dan ini tidak mungkin, maka ia pun tidak boleh. Mata disebutkan di sini hanya sekedar menguatkan (sifat) melihat saja, yakni seolah-olah “Kami melihatmu dan Kami mempunyai mata, padahal sebenarnya tidak demikian.”

 

Kami katakan kepada mereka bahwa ini adalah pendapat yang salah dari beberapa segi:

 

Pertama, ia menyelisihi zahir lafazh ayat.

 

Kedua, ia menyelisihi ijma’’ as-Salaf.

 

Ketiga, tidak ada dalil yang menunjukkannya, yakni yang dimaksud dengan mata hanya sekedar penglihatan. Ini tidak dilandasi dalil.

 

Keempat, apabila kita menetapkan “melihat” bagi Allah sedangkan Allah menetapkan Mata untuk DiriNya, maka hal itu berarti dia melihat dengan Mata tersebut. Dalam kondisi tersebut, ayat ini menunjukkan bahwa ia adalah Mata yang hakiki (sebenarnya).

 

Syarah:

 

Penulis (Syaikhul Islam) menyebutkan tujuh ayat dalam menetapkan Sifat “mendengar” dan “melihat” (bagi Allah).

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya   “Sungguh Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar soal jawab antara kalian berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mujadilah: 1).

 

“Sungguh,” adalah kata untuk menegaskan.

 

Al-Mujadilah adalah wanita yang mengadukan suaminya ketika suaminya itu menziharnya.

 

Zhihar adalah perkataan suami kepada istri, “Bagiku, kamu adalah seperti punggung ibuku”, atau perkataan yang sepertinya.

 

Zhihar pada masa jahiliyah adalah talak ba‘in, maka wanita ini mengadukannya kepada Nabi  jelaslah bagi Nabi bagaimana suami tersebut menalaknya dengan talak bain padahal dia adalah ibu dari anak-anaknya, wanita ini berdialog dengan Nabi  maka Allah memberinya fatwa seperti yang tercantum di dalam ayat ini.

 

Bagian ayat yang terkait dengan topik pembahasan adalah FirmanNya,   “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu.” Ini menetapkan Sifat mendengar bagi Allah, bahwa Allah mendengar suara-suara sejauh dan sesamar apa pun.

 

Aisyah  berkata, “Mahasuci atau dia berkata, segala puji bagi Allah yang pendengaranNya meliputi segala sesuatu. Saat itu aku duduk di salah satu sudut rumah dan sesungguhnya sebagian perkataan perempuan (yang menggugat suaminya) itu samar bagiku.” Ini adalah makna pembicaraannya.

 

Pendengaran yang dinisbatkan kepada Allah terbagi menjadi dua:

 

1). Pendengaran yang berkaitan dengan apa yang didengar, ia berarti menangkap suara.

 

2). Pendengaran yang berarti mengabulkan. Ia berarti, Allah menjawab orang yang berdoa kepadaNya. Karena doa adalah suara yang keluar dari orang yang berdoa dan Allah mendengar doanya; yakni menjawabnya. Pendengaran di sini bukan sekedar mendengar semata, karena ini tidak berguna, adapun yang berguna adalah jawaban Allah terhadap doa tersebut.

 

Pendengaran yang pertama (menangkap suara) ada tiga bagian:

 

Pertama, pendengaran yang berarti dukungan.

 

Kedua, pendengaran yang berarti ancaman.

 

Ketiga, pendengaran yang berarti keterangan bahwa Allah meliputi segala sesuatu.

 

Pendengaran yang berarti ancaman adalah seperti Firman Allah,

 

“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?” (Az-Zukhruf: 80).

 

Dan FirmanNya,

 

“Sungguh Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’.” (Ali Imran: 181).

 

Pendengaran yang berarti dukungan adalah seperti Firman Allah kepada Nabi Musa dan Harun

 

“Allah berfirman, ‘Janganlah kalian berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kalian berdua, Aku mendengar dan melihat’.” (Thaha: 46).

 

Allah ingin mendukung keduanya dengan menyatakan bahwa Dia bersama keduanya dengan mendengar dan melihat, yakni mendengar apa yang mereka berdua katakan, apa yang dikatakan kepada mereka ‘berdua, melihat mereka berdua dan orang yang keduanya diutus kepadanya, apa yang mereka berdua lakukan dan apa yang dilakukan terhadap mereka.

 

Pendengaran yang berarti keterangan bahwa Allah meliputi segala Sesuatu adalah seperti ayat tadi, yaitu,

 

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.” (Al-Mujadilah: 1).

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Sungguh Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’.” (Ali Imran: 181).

 

“Sungguh,” adalah kalimat yang ditegaskan dengan huruf lam dan ( ), sementara sumpahnya tidak disebutkan (dan asumsinya) yaitu demi Allah, jadi kalimat ini ditegaskan dengan tiga penegasan.

 

Orang-orang yang mengucapkan perkataan ini,   “Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya,” adalah orang-orang Yahudi. Mereka menyifati Allah dengan aib, “Sesungguhnya

 

Allah miskin.”

 

Pemicu perkataan mereka ini adalah ketika turun Firman Allah,   “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya.” (Al-Baqarah: 245).

 

Mereka berkata kepada Rasulullah  “Wahai Muhammad, Tuhanmu jatuh miskin, Dia meminta hutang dari kita.”

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (Az-Zukhruf: 80).

 

dalam susunan seperti ini, kata mereka, mengandung makna “tetapi” dan huruf hamzah (apakah), yakni,   “akan tetapi apakah mereka mengira,” mengandung pengalihan perkataan dan pertanyaan. Jadi maknanya: Akan tetapi, apakah mereka mengira kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?

 

“rahasia”, adalah apa yang dirahasiakan oleh seseorang kepada rekannya.

 

“bisikan” lebih tinggi daripada rahasia. la adalah apa yang dibisikkan dan dibicarakan seseorang kepada kawannya.

 

Panggilan adalah mengangkat suara kepada rekannya. Jadi di sini terdapat tiga perkara: rahasia, bisikan, dan panggilan.

 

Apabila dia berada di sampingmu dan kamu mengucapkan kepadanya perkataan rahasia yang hanya dia yang mendengarnya, maka ini disebut dengan pembicaraan secara rahasia.

 

Apabila pembicaraan terjadi di antara kumpulan orang di mana mereka semua mendengarnya dan terlibat di dalamnya, maka ini disebut dengan  “bisikan”.

 

Adapun panggilan, maka ia dari yang jauh untuk yang jauh.

 

Mereka itu merahasiakan dan membisikkan kemaksiatan yang hendak mereka lakukan, maka Allah mengancam mereka,

 

“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar).”

 

adalah kata positif, yakni: tentu, kami mendengar, dan bahkan lebih daripada itu.  “Dan utusan-utusan (para malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” Maksudnya, di sisi mereka, para malaikat menulis apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka bisikkan. Yang dimaksud dengan utusan dalam ayat ini adalah para malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan anak cucu Nabi Adam. Ayat ini menetapkan bahwa Allah mendengar rahasia dan bisikan mereka.

 

Ayat keempat:

 

FirmanNya, “Sesungguhnya Aku beserta kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46).

 

Pesan ayat ini diperuntukkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun  , yakni, Aku mendengar apa yang kalian berdua katakan dan apa yang dikatakan kepada kalian berdua. Aku melihat kalian berdua dan orang-orang yang kepada mereka Aku mengutus kalian berdua. Aku melihat apa yang kalian berdua lakukan dan apa yang dilakukan terhadap kalian berdua.

 

Bisa jadi keduanya diperlakukan dengan buruk melalui ucapan atau perbuatan. Jika dengan perkataan, maka ia didengar oleh Allah, dan jika dengan perbuatan, maka ia terlihat oleh Allah.

 

Ayat kelima:

 

FirmanNya, “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (Al-‘Alaq: 14).

 

Kata ganti pada,  “Apakah dia tidak mengetahui,” kembali kepada orang yang bersikap buruk kepada Nabi  , berdasarkan Firman Allah,

 

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat, bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang (yaitu Rasulullah ) itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (Al-‘Alaq: 9-14). Para ulama tafsir menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah Abu Jahal.’ Ayat ini menetapkan Sifat melihat (ar-Ru’yah) bagi Allah.

 

“Melihat” yang dinisbatkan kepada Allah memiliki dua makna:

 

Pertama, ilmu.

 

Kedua, melihat apa yang dilihat, yakni menjangkau dengan pandangan. Yang pertama sebagaimana Firman Allah tentang kiamat,

 

“Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil), sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” (Al-Ma’arij: 6-7).

 

(melihatnya) di dalam ayat ini adalah melihat dalam arti mengetahui. Jadi makna,   “Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi),” adalah Kami mengetahuinya dekat.

 

Adapun ayat yang dihadirkan oleh penulis  maka ia memungkinkan untuk kedua makna tersebut, yakni ilmu dan penglihatan mata, jika mungkin untuk keduanya tanpa saling bertabrakan, maka wajib ia ditafsirkan dengan keduanya sekaligus. Maka dikatakan, “Sesungguhnya Allah melihat,” yakni mengetahui apa yang dilakukan dan diucapkan oleh orang ini dan juga melihatnya.

 

Ayat keenam: 

 

FirmanNya, “Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Asy-Syu’ara: 218-220).

 

Sebelum ayat ini,

 

“Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Asy-Syu’ara’: 217).

 

Melihat di sini adalah melihat dengan Mata karena FirmanNya,   “Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat), tidak sah ditafsirkan dengan ilmu, karena pada saat dia berdiri Allah mengetahui, sebelum itu pun Allah mengetahuinya, ditambah dengan FirmanNya,  “dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” Ini mendukung bahwa yang dimaksud dengan melihat di sini adalah melihat dengan mata.

 

Makna ayat ini adalah bahwa Allah melihatnya ketika dia berdiri sendiri di dalam shalat dan setiap gerakannya di dalam shalat bersama orang-orang yang sujud dalam shalat berjamaah.

 

“Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dia adalah Allah yang melihatmu ketika kamu berdiri.  “Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

 

Di dalam ayat ini terdapat   dhamir munfashil (kata ganti terpisah), salah satu kegunaannya adalah pembatasan. Apakah pembatasan di sini adalah hakiki, artinya ia adalah pembatasan di mana apa yang dibatasi tidak terdapat sedikit pun pada selain apa yang dibatasi, ataukah hanya nisbi?

 

Jawaban: Hakiki dari satu sisi dan nisbi dari sisi yang lain, karena yang dimaksud dengan  “Maha Mendengar” di sini adalah Pemilik pendengaran yang sempurna yang mendengar segala apa yang didengar. Ini khusus bagi Allah, jadi pembatasan dari sisi ini adalah hakiki. Adapun sekedar mendengar, maka ia dimiliki oleh manusia, sebagaimana Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2).

 

Allah menjadikan manusia mendengar dan melihat. Begitu pula   “Mengetahui,” karena memang manusia mengetahui, sebagaimana Allah  berfirman,

 

“Dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq).” (Adz-Dariyat: 28).

 

Akan tetapi ilmu yang mutlak -yakni yang sempurna hanya khusus bagi Allah, jadi pembatasan dari segi ini adalah hakiki.

 

Ayat ini menggabungkan antara Sifat “mendengar” dan “melihat”.

 

Ayat ketujuh:

 

FirmanNya, “Dan Katakanlah, ‘Bekerjalah kalian, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaan kalian i ife ” (At-Taubah: 105).

 

Sebelum ayat ini adalah Firman Allah,

 

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang?” (At Taubah: 103-104).

 

Dalam ayat ini Allah berfirman,

 

“Maka Allah dan RasulNya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu.”

 

Ibnu Katsir dan lainnya berkata, Mujahid berkata, “Ini adalah ancaman -yakni dari Allah kepada orang-orang yang menyelisihi perintahNya bahwa amal perbuatan mereka akan disodorkan kepada Allah, Rasulullah  dan orang-orang Mukmin. Ini pasti terjadi pada Hari Kiamat dan bisa jadi hal itu nampak bagi manusia di dunia.

 

Melihat di sini meliputi makna ilmu dan mata.

 

Ayat ini menetapkan Sifat “melihat” dengan kedua maknanya melihat dengan arti mengetahui dan melihat dengan arti melihat dengan mata.

 

Kesimpulan dari keterangan tentang dua Sifat yaitu as-Sam’, “mendengar” dan ruqyah “melihat” adalah: Mendengar terbagi menjadi dua:

1). Mendengar yang berarti mengabulkan.

2). Mendengar yang berarti mendengar suara.

 

Dan melihat terbagi menjadi dua:

1). Melihat yang berarti mengetahui.

2). Melihat yang berarti melihat dengan mata. Semua itu adalah tsabit (tetap) bagi Allah.

 

Dan melihat yang bermakna melihat dengan mata juga terbagj menjadi tiga:

1). Melihat yang berarti pertolongan dan dukungan, seperti Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Aku beserta kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46).

2). Melihat yang berarti meliputi dan mengetahui, seperti Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’ (An-Nisa’: 58).

3). Melihat yang berarti ancaman, seperti Firman Allah,

 

“Katakanlah, ‘Janganlah kalian mengemukakan udzur; kami tidak akan percaya lagi kepada kalian, (karena) sungguh Allah telah memberitahukan kepada kami berita (tentang kebohongan) kalian. Dan Allah serta RasulNya akan melihat amal perbuatan kalian’.” (At-Taubah: 94).

 

Faidah iman kepada Sifat “mendengar” dan “melihat” dari segi perilaku adalah:

 

Kita mengambil faidah dari beriman kepada Sifat “melihat” yaitu, rasa takut dan harapan, takut pada waktu bermaksiat, karena Allah melihat kita dan berharap pada waktu taat karena Allah melihat kita dan Dia pasti akan memberikan balasan kepada kita atas itu. Akibatnya kita akan bersemangat untuk taat dan akan malas untuk bermaksiat.

 

Adapun Sifat “mendengar”, maka perkaranya jelas karena apabila seseorang beriman kepada pendengaran Allah, niscaya imannya tersebut membawanya kepada sikap muraqabah yang sempurna kepada Allah dengan rasa takut dan harapan, karena takut, maka dia tidak mengucapkan perkataan buruk karena ia didengar olehNya, dan karena harapan, maka dia tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Allah.

 

 

Syarah:

 

Penulis (Syaikhul Islam) menyebutkan tiga sifat yang bermakna mirip dalam empat ayat di atas: kerasnya hukumanNya, makar, dan tipu daya.

 

Ayat pertama: Tentang kerasnya hukumanNya, yaitu:

 

FirmanNya, “Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Keras siksaNya.” (Ar Ra’d: 13).

 

berarti yang keras dalam menimpakan hukuman,. Ada yang berkata, ( ) berarti makar, yakni yang keras makarnya, Menurut tafsir ini sepertinya ia diambil dari kata ( ) yaitu, tipu daya terhadap musuh sehingga mengalahkannya. Arti ini adalah arti yang zahir dari apa yang dilakukan oleh Syaikhul Islam di sini, karena dia menyebutkannya dalam konteks ayat tentang makar dan tipu muslihat

 

Para ulama menjelaskan tafsir makar, kata mereka, ta adalah menggunakan sarana-sarana yang samar untuk mengalahkan lawan, nya, yakni engkau melakukan sebab-sebab yang samar sehingga dengannya engkau mengalahkan musuhmu sementara dia tidak mengerti dan tidak mengetahui, padahal bagimu ia tertata dan terencana.

 

Di satu kondisi, makar bisa terpuji, dan bisa pula tercela pada  lain. Jika dilakukan untuk menghadapi pelaku makar, maka ini adalah terpuji, karena ini berarti engkau lebih lihai daripadanya. Jika selain ini, maka ia tercela dan ia dikenal dengan khianat.

 

Oleh karena itu Allah tidak menyandangkan sifat makar ini pada DiriNya, kecuali dalam kondisi tertentu dan dalam rangka membalas, sebagaimana Firman Allah,

 

“Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.” (An-Naml: 50).

 

“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu.” (Al-Anfal: 30).

 

Maka Allah tidak disifati dengannya secara mutlak. Jadi tidak dikatakan bahwa Allah pelaku (pembuat) makar; tidak untuk memberitakan dan tidak dalam rangka memberi nama. Tidak pula dikatakan, Allah pelaku tipu daya, tidak untuk memberitakan dan tidak dalam rangka memberi nama. Hal itu karena makna ini bisa berarti pujian dalam kondisi tertentu dan bisa pula berarti celaan dalam kondisi yang Jain. Jadi tidak mungkin kita menyifati Allah dengannya secara mutlak.

 

Adapun Firman Allah,

 

Ayat ketiga: Juga tentang makar, yaitu:

 

FirmanNya, “Dan mereka pun merencanakan makar dengan Sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.” (An-Naml: 50).

 

Ayat ini adalah tentang Kaum Nabi Shaleh, dimana di kota tempat Nabi Shaleh mengajak orang-orang kepada Allah itu terdapat sembilan orang,

 

“Saling bersumpahlah kalian dengan (Nama) Allah, bahwa kita pasti akan menyerangnya bersama keluarganya pada malam hari.” (An-Naml: 49),

 

Yakni, kami pasti membunuhnya di malam hari.

 

“Kemudian kita akan mengatakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak ikut serta membinasakan (membunuh) keluarganya itu, dan kita benar. benar orang yang benar.” (An-Naml: 49).

 

Yakni, bahwa mereka membunuhnya di malam hari, akan tetapi mereka tidak melihatnya. Mereka membuat makar dan Allah membalas makar mereka. Dikatakan bahwa manakala mereka berangkat untuk membunuhnya, mereka masuk ke dalam gua sambil menunggu malam, pada saat itu gua tersebut runtuh dan menimbun mereka di dalam gua, sementara Nabi Shaleh dan keluarganya dalam keadaan selamat, maka Allah berfirman,

 

“Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula).”

 

Dan kata   terulang dua kali dengan bentuk nakirah adalah untuk ta’zhim, yakni makar yang besar dan kami membalasnya lebih besar.

 

Ayat keempat: Tentang tipu daya, yaitu Firman Allah

 

firmanNya, “Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Aku pun membuat rencana . (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Ath-Thariq: 15-16).

 

“Sesungguhnya mereka” yakni, orang-orang kafir Makkah, “merencanakan tipu daya,” terhadap Rasulullah   “dengan tipu daya yang sebenarnya,” yang tak ada bandingnya dalam menjauhkan orang-orang dari dakwah beliau, akan tetapi Allah menangkis tipu daya mereka dengan tipu daya yang lebih besar dan lebih keras.

 

“Dan Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya,” yakni rencana tipu daya yang lebih hebat daripada tipu daya mereka.

 

Di antara makar dan tipu daya mereka adalah apa yang disebutkan oleh Allah di Surat al-Anfal,

 

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu.” (Anfal: 30).

 

Di sini ada tiga pendapat:

 

  1. yakni, untuk menangkapmu dan memenjarakanmu.
  2. yakni, untuk membunuhmu dan menghabisimu.
  3. yakni, untuk mengusirmu dan mengeluarkanmu.

 

Dengan dukungan dari iblis, pendapat kedua adalah pendapat terbaik menurut mereka, karena iblis hadir dalam wujud seorang syaikh dari Najd. Dan dia berkata kepada mereka, “Pilihlah sepuluh orang pemuda dari sepuluh kabilah, berilah masing-masing sebilah pedang kemudian mereka menyerang Muhammad dan membunuhnya secara serempak seolah-olah mereka adalah satu orang. Dengan itu darahnya akan terbagi di antara kabilah-kabilah, maka Bani Hasyim tidak mungkin membunuh satu orang dari para pemuda tersebut, dalam kondisi tersebut mereka akan rela dengan diyat dan kalian tinggal membayarnya.” Mereka menjawab, “Inilah pendapat yang benar.” Dan mereka pun menyepakatinya. Akan tetapi mereka membuat makar dan Allah pun membalas makar mereka dengan yang lebih baik daripada nya, Firman Allah

 

“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Al-Anfal: 30)

 

Mereka gagal total. Rasulullah  keluar dari rumah dan menaburkan pasir di kepala sepuluh pemuda tersebut sambil membaca,

 

“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (Yasin: 9).

 

Mereka menunggu Rasulullah  keluar kepada mereka dan beliay pun keluar tanpa mereka sadari. Jadi, makar Allah mengungguli makar mereka, karena Dia telah menyelamatkan RasulNya dari mereka, sehingga beliau hijrah dengan selamat.

 

Di sini Allah  berfirman,   “(Sesungguhnya orang-orang kafir itu) merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya, dan Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Ath-Thariq: 15-16).

 

Kata  berbentuk nakirah, faidahnya adalah pengagungan, maka tipu daya Allah lebih agung daripada tipu daya mereka.

 

Begitulah Allah melakukan tipu daya demi membela siapa pun yang mendukung agamaNya, Allah melakukannya untuk memperkuat posisinya. FirmanNya,

 

“Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf.” (Yusuf: 76).

 

Yakni, Kami melakukan sesuatu agar tujuannya tercapai tanpa ada seorang pun yang merasakannya.

 

Ini termasuk karunia Allah kepada seseorang, di mana Dia melindunginya dari keburukan lawannya dengan cara dan tipu daya terhadap lawan yang hendak mencelakakannya.

 

Apa definisi makar, tipu daya, dan kerasnya hukuman?

 

Jawaban: Definisinya menurut para ulama adalah merencanakan sebab-sebab yang samar untuk mencelakai lawan, yakni engkau mencelakainya dengan sebab-sebab yang samar yang tidak dia sadari.

 

Ini adalah sifat terpuji jika dilakukan pada tempatnya dan merupakan sifat tercela dan kekurangan jika dilakukan tidak pada tempatnya.

 

Diceritakan bahwa ketika Ali bin Abi Thalib  duel satu lawan satu melawan Amr bin Wud, faidah duel satu lawan satu adalah mematahkan semangat calon lawan dalam perang jika dia berhasil menang atasnya-Ali berkata ketika Amr keluar, “Aku tidak maju untuk melawan dua orang.” Maka Amr pun menengok ke belakang (apakah ada orang selainnya), pada saat itulah Ali menyerangnya dan mematahkan lehernya.

 

Ini adalah tipuan, akan tetapi ia boleh dan dipuji karena dilakukan pada tempatnya, karena Amr ini maju bukan untuk menghormati Ali atau memberi ucapan selamat, akan tetapi untuk membunuhnya, maka Ali menipunya dengan itu.

 

Makar, tipu daya, dan kerasnya hukuman termasuk Sifat fi’liyah bagi Allah, di mana Dia tidak disifati dengannya secara mutlak karena ia terpuji dalam satu kondisi dan tercela dalam kondisi yang lain. Allah disifati dengannya pada kondisi di mana sifat tersebut terpuji dan tidak disifati dengannya dalam kondisi di mana sifat itu tidak terpuji. Dikatakan, Allah adalah sebaik-baik pembuat makar, sebaik-baik pembuat tipu daya, atau dikatakan, Allah membuat makar terhadap para pelaku makar, atau Allah menipu orang yang menipuNya.

 

Termasuk dalam hal ini adalah istihza~ (mengolok-olok), tidak boleh menyatakan bahwa Allah mencemooh secara mutlak karena ia termasuk main-main dan itu harus ditiadakan dari Allah. Allah  berfirman,

 

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya untuk bermain-main.” (Ad-Dukhan: 38).

 

Akan tetapi mengolok-olok adalah kesempurnaan jika untuk membalas orang-orang yang mengolok-olokNya. Sebagaimana Allah berfirman,

 

“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, ‘Kami telah beriman.’ Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan, (para pemimpin) mereka, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami bersama kalian, kami hanya berolok-olok (terhadap mereka)’.” (Al-Baqarah: 14).

 

Maka Allah berfirman,

 

“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka.” (Al-Baqarah: 15).

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan makna-makna ini bagi Allah secara hakiki.

 

Akan tetapi para penganut tahrif berkata, Tidak mungkin Allah disifati dengannya. Disebutkannya makar Allah dan makar mereka hanyalah sekedar untuk keserasian lafazh, namun maknanya berbeda, seperti Firman Allah,

 

“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadapNya.” (Al-Ma‘idah: 119).

 

Kami katakan kepada mereka, Ini menyelisihi zhahir nash (ayat) dan menyelisihi ijma’ as-Salaf.

 

Kami telah katakan sebelumnya, apabila ada yang berkata, Hadirkan kepada kami perkataan Abu Bakar, atau Umar, atau Utsman, atau Ali di mana mereka berkata, Yang dimaksud dengan makar, tipu daya, tipu muslihat dan mencemooh adalah makna yang hakiki.

 

Kami katakan, Ya, mereka membaca al-Qur’an dan beriman kepadanya lalu mereka tidak menggeser makna yang langsung dipahami ini kepada makna lain. Ini menunjukkan bahwa mereka menerimanya dan bahwa itu adalah ijma’. Oleh karena itu cukup-lah bagi kita mengatakan tentang ijma’. Tidak dinukil dari salah seorang dari mereka perkataan-perkataan yang menyelisihi zahir nash, bahwa ridha ditafsirkan dengan pahala dan tipu daya ditafsirkan dengan hukuman… dan lain-lain.

 

Kerancuan ini mungkin disuarakan sebagian orang kepada kita, kata mereka, Kalian mengatakan, Ini adalah ijma’ as-Salaf, mana ijma’ mereka?

 

Kami katakan, Tidak adanya penukilan dari mereka tentang apa yang menyelisihi zahir nash adalah bukti adanya ijma’.

 

Manfaat yang kita dapatkan dari segi perilaku dari penetapan sifat makar, tipu daya dan kerasnya hukuman adalah:

 

Sifat makar: Dari segi perilaku, seseorang mengambil faidah dalam bentuk sikap merasa selalu diawasi oleh Allah dan tidak mencari celah untuk melanggar ketentuan Allah. Dan betapa banyak orang yang mencari celah untuk melanggar ketentuan Allah. Jika orang-orang ini menyadari bahwa makar Allah lebih cepat dan lebih unggul, niscaya mereka akan meninggalkan perbuatan tersebut.

 

Dan mungkin saja seseorang melakukan sesuatu di mata manusia, ja boleh-boleh saja akan tetapi di sisi Allah ia tidak boleh, karena dia memercayai sifat makar bagi Allah, maka ia takut dan tidak melakukannya.

 

Hal seperti ini memiliki banyak contoh dalam perkara jual-beli, pernikahan dan lain-lain.

 

Contoh dalam jual beli: Seorang laki-laki berkata kepada rekannya, “Berilah aku hutang sepuluh ribu dirham.” Kawannya menjawab, “Tidak, kecuali jika kamu membayar dua belas ribu dirham.” Ini adalah riba dan haram, dia akan menjauhinya karena dia tahu bahwa ia jelas-jelas riba. Akan tetapi dia mengambil jalan lain, dia menjual suatu barang secara sempurna kepadanya seharga dua belas ribu dengan pembayaran satu tahun ke depan, jual beli ini dibuktikan dengan hitam di atas putih, seterusnya penjual datang kepada pembeli dan berkata, “Juallah barang tersebut dengan sepuluh ribu kontan.” Dia menjawab, “Ya.” Lalu jual beli ini dibuktikan dengan hitam di atas putih.

 

Secara lahir ini adalah jual beli yang sah, akan tetapi sebenarnya ia adalah tipu muslihat karena dia mengetahui bahwa mengutang sepuluh ribu dengan membayar dua belas ribu tidak boleh, maka dia pun berkata, “Aku jual barang ini kepadamu dengan harga dua belas ribu secara kredit dan aku membelinya kembali darimu dengan harga sepuluh ribu kontan.”

 

Dan tidak menutup kemungkinan dia akan terus menjalankan praktik ribawi ini, karena di mata manusia ia tidak bermasalah, meskipun di Mata Allah ia sama dengan tipu muslihat terhadap ketentuan Allah. Dan Allah mungkin saja membiarkan si zhalim ini Sampai Dia sendiri yang akan menghukumnya sehingga dia tidak mungkin lolos, yakni Allah membiarkan hartanya berkembang dan bertambah dengan riba ini, tetapi begitu Allah mengambilnya, dia tidak akan selamat dan Semua yang dilakukannya adalah kerugian yang balik menimpa dirinya dan akhirnya dia pun pailit. Dan di antara perkataan yang terkena] dari mulut ke mulut, “Siapa yang hidup dalam tipu daya, niscaya dia mati miskin.”

 

Contoh dalam pernikahan: Seorang wanita ditalak tiga oleh suaminya. Dia tidak halal bagi suami, kecuali setelah dia menikah dengan suami baru. Lalu datanglah seorang teman dan menikahi wanita tersebut dengan catatan jika dia telah menghalalkannya —yakni menyetubuhinya dia menalaknya; dia pun melakukannya, yaitu menikahinya dengan akad, saksi, dan mahar, setelah itu dia menjauhinya, kemudian menalaknya. Setelah wanita tersebut ditalak dan menyelesaikan iddahnya, Suami pertama datang dan menikahinya. Istri dalam akad ini secara lahir halal bagi suami yang pertama, akan tetapi secara batin tidak, karena ini adalah tipu daya.

 

Kalau kita mengetahui bahwa Allah lebih cepat makarnya dan bahwa Dia adalah sebaik-baik pembalas makar, maka kita harus benar-benar menjauhi sejauh-jauhnya sikap mencari celah untuk melakukan yang diharamkan Allah.

 

Syarah:

 

Penulis menyebutkan empat ayat tentang Sifat Memaafkan, Kuasa, Mengampuni, Menyayangi, dan Perkasa.

 

Ayat pertama: Tentang sifat memaafkan dan kuasa, yaitu: 

 

firmanNya, “Jika kalian menampakan suatu kebaikan atau menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.” (An-Nisa’: 149).

 

Yakni, jika engkau melakukan kebaikan lalu menampakkannya dan menunjukkannya kepada manusia atau engkau menyembunyikannya dari manusia, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya, tidak ada sesuatu pun yang samar bagiNya.

 

Dan dalam ayat kedua,

 

“Jika kalian menampakan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 54).

 

Ini lebih umum; mencakup yang baik, yang buruk, dan yang tidak baik, tidak pula buruk.

 

Dan masing-masing ayat mempunyai tempatnya dan korelasinya bagi yang memerhatikannya.

 

FirmanNya,   “Atau memaafkan suatu kesalahan.” Memaafkan adalah melupakan (membiarkan) dan tidak menghukum. Apabila ada orang yang berbuat buruk kepadamu, lalu engkau memaafkannya, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

 

Akan tetapi syarat maaf yang pelakunya berhak untuk dipuji adalah hendaknya ia diikuti dengan berbuat baik, berdasarkan Firman Allah,

 

  “Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (Asy-Syura: 40).

 

Hal itu karena maaf bisa menjadi sebab bertambahnya kecongkakan dan permusuhan, ia juga bisa menjadi sebab terhentinya kesalahan, dan ia juga bisa tidak menambah dan menghentikan.

 

  1. Jika memaafkan justru menambah kecongkakan, maka memaafkan di sini adalah tercela dan bisa jadi dilarang, seperti kita memaafkan pelaku kriminal tertentu sementara kita tahu -atau menduga kuat. bahwa dia dengan memberinya maaf, akan melakukan tindakan kriminal yang lebih besar, maka dalam kondisi ini pemaaf tidak terpuji, bahkan tercela.

 

  1. Jika memaafkan menjadi sebab terhentinya sikap permusuhan, di mana pelakunya merasa malu dan berkata dalam dirinya, “Orang ini yang memaafkanku, tidak patut bagiku untuk menjahatinya lagi atau menjahati orang lain.” Dia malu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berperilaku buruk sementara orang tersebut termasuk orang-orang pemaaf. Maka memaafkan di sini terpuji dan dituntut bahkan bisa jadi ia wajib.

 

  1. Jika memaafkan tidak berpengaruh, tidak positif dan tidak pula negatif, maka ia lebih utama. Firman Allah,

 

“Dan pemaafan kalian itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Baqarah: 237),

 

Di sini Allah berfirman,   “Atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.” Yakni, jika kalian memaafkan keburukan, niscaya Allah memaafkan kalian. Hukum ini diambil dari jawaban,   “Maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf Lagi Maha Kuasa.” Yakni, Dia memaafkan kalian meskipun Dia mampu membalas kalian. Di sini Allah menggabungkan antara maaf dengan kuasa, karena kesempurnaan maaf terwujud dalam keadaan mampu untuk membalas. Adapun maaf dalam kondisi lemah, maka pemberinya tidak dipuji, karena dia memang tidak mampu membalas. Adapun maaf yang tidak disertai kemampuan, maka pemberinya mungkin dipuji karenanya, hanya saja ia bukan maaf yang sempurna. Maaf yang sempurna adalah maaf dalam kondisi mampu membalas.

 

Karena itulah Allah menggabungkan antara kedua Nama ini; (al Afuwu) dan (al-Qadir).

 

Al-Afuww adalah memaafkan keburukan hamba-hambaNya, dan biasanya maaf terjadi akibat meninggalkan kewajiban, kalau karena melakukan larangan disebut maghfirah (ampunan).

 

Dan al-Qadir adalah Pemilik kuasa, ia adalah Sifat di mana Pemiliknya mampu bertindak tanpa kelemahan.

 

kedua Nama ini mengandung dua Sifat yaitu al-Afwu (memaafkan) dan al-Qudrah (kuasa).

 

Ayat kedua: Tentang mengampuni dan menyayangi, yaitu:

 

firmanNya, “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22).

 

Ayat ini turun mengenai Abu Bakar -. Hal itu karena Misthah bin Utsatsah anak bibi Abu Bakar, termasuk di antara orang-orang yang ikut berbicara tidak baik terkait tuduhan dusta terhadap Aisyah

 

Kisah dusta tersebut!” adalah bahwa sebagian orang-orang munafik berbicara buruk terkait kehormatan Aisyah. Target mereka bukanlah Aisyah akan tetapi Nabi , mereka hendak mengotori ranjang Rasulullah , mereka ingin menimpakan aib kepada Rasulullah . Na’udzu billah. Akan tetapi alhamdulillah, Allah membongkar kedok mereka. Dia berfirman,

 

“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya azab yang besar.” (An-Nur: 11).

 

Mereka berbicara dusta tentang Aisyah, dan kebanyakan yang berkecimpung di dalamnya adalah orang-orang munafik. Sebagian sahabat yang baik pun ikut terseret ke dalamnya dan salah seorang di antaranya adalah Misthah bin Utsatsah. Ketika Misthah ikut berbicara -perbuatan Misthah ini adalah pemutusan silaturahim paling besar di mana dia membicarakan kerabatnya dengan perkataan yang mencoreng kehormatannya, lebih-lebih hal itu menyangkut Ummul Mukminin  istri Rasulullah Abu Bakar bersumpah untuk tidak membantunya lagi secara materi di mana selama ini hal itu dilakukan oleh Abu Bakar, maka Allah berfirman,

 

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah.”

 

Semua kriteria dalam ayat ini terdapat pada diri Misthah; dia adalah kerabat, miskin, dan seorang yang hijrah (kepada Allah dan RasulNya).

 

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun lag; Maha Penyayang.” (An-Nur: 22).

 

Maka Abu Bakar  berkata, “Demi Allah, tentu, kami ingin Allah mengampuni kami.” Maka Abu Bakar meneruskan pemberian ban. tuannya kepada Misthah.

 

Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa ini.

 

Adapun tafsirnya, maka FirmanNya,  huruf lam inj adalah lam perintah (Lam al-Amir). Ia disukunkan, karena ia hadir setelah wawu. Lam perintah ini di sukun bila ia hadir setelah huruf wawu seperti di sini atau setelah huruf fa’, atau setelah kata   Misalnya Firman Allah,

 

“Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7).

 

Dan Firman Allah

 

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka.” (Al-Hajj: 29).

 

Ini jika huruf lamnya adalah lam perintah. Jika ia lam ta’lil (lam untuk menjelaskan alasan) maka ia tetap dibaca kasrah, tidak disukun, meskipun ia hadir setelah wawu, atau fa’, atau ( ).

 

FirmanNya,   “Hendaknya mereka memaafkan,” artinya tidak membalas kesalahan.

 

FirmanNya, “Hendaknya mereka berlapang dada,” ialah dengan melupakan masalah tersebut dan tidak mengungkit-ungkit tentangnya. Ia diambil dari ( ), yaitu samping leher, karena jika seseorang berpaling (menengok), maka yang terlihat adalah sisi lehernya.

 

Perbedaan antara memaafkan dan berlapang dada adalah bahwa bisa jadi seseorang memaafkan tapi tidak dengan lapang dada, dia tidak melupakan keburukan dan pelanggaran itu tetapi dia tidak membalas, jadi lapang dada lebih mendalam maknanya dari sekedar memaafkan.

 

 FirmanNya,   “Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian?”   “Apakah tidak,” adalah untuk mengajukan tawaran. Jawabnya adalah, Tentu, kita menginginkan itu. Kalau kita menginginkan Allah mengampuni kita, maka hendaknya kita mencari sebab-sebab ampunan.

 

FirmanNya,   “Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”   Kata ‘ini bisa menjadi isim fa’il dengan timbangan kata yang menunjukkan makna sangat dan mantap, bisa pula menjadi sifat musyabbahah. Jika yang kedua, maka ia menunjukkan sifat yang lazim dan tetap. Inilah yang ditunjukkan oleh sifat musyabbahah. Jika yang pertama, maka ia menunjukkan terjadinya ampunan dari Allah dalam jumlah yang melimpah.

 

Kami katakan, Keduanya mungkin, ia adalah sifat musyabbahah, karena mengampuni adalah sifat yang lazim bagi Allah, dan ia juga isim fa’il dengan wazan yang menunjukkan makna sangat; betapa besar dan banyaknya ampunan Allah  .

 

FirmanNya,   ini adalah isim fa’il yang digubah ke dalam bentuk kata yang menunjukkan makna sangat. Asalnya dari ( ), jadi isim fa’ilnya adalah ( ) lalu digubah menjadi ( ), karena banyaknya rahmat dan banyaknya penerima rahmat Allah.

 

Allah menyandingkan kedua Nama ini, karena keduanya menunjukkan makna yang mirip, di mana dalam ampunan terkandung lenyapnya kesempitan dan akibat-akibat dari dosa, dan dalam rahmat berarti tercapainya keinginan; sebagaimana Firman Allah   kepada surga,

 

“Kamu adalah rahmatKu, Aku meralimati denganmu siapa yang Aku kehenadaki.”

 

Ayat ketiga: Tentang keperkasaan (izzah), yaitu:

 

FirmanNya, “Padahal keperkasaan itu hanyalah bagi Allah, bagi RasulNya, dan bagi orang-orang Mukmin.” (Al-Munafiqun: 8).

 

Ayat ini turun membalas perkataan kaum munafik,

 

“Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, orang yang perkasa benar-benar akan mengusir orang-orang yang hina darinya.” (Al-Munafiqun: 8).

 

Maksud mereka, yang perkasa adalah mereka, sementara Rasulullah  dan orang-orang Mukmin itu yang hina, maka Allah menjelaskan bahwa tidak ada keperkasaan bagi mereka apalagi menjadi orang-orang yang paling perkasa, dan bahwa kemuliaan itu adalah milik Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman.

 

Konsekuensi dari perkataan orang-orang munafik adalah bahwa Rasulullah dan orang-orang yang berimanlah yang mengusir orang-orang munafik, karena mereka adalah pemilik keperkasaan (dan kemuliaan), sementara orang-orang munafik adalah pemilik kehinaan. Karena itu, mereka mengira setiap teriakan itu tertuju kepada mereka.

 

Hal itu karena kehinaan dan ketakutan mereka. Apabila mereka bertemu orang-orang Mukmin mereka berkata, “Kami beriman,” tetapi apabila mereka telah berkumpul dengan rekan-rekan mereka, mereka pun berkata, “Kami bersama kalian,” kami hanya mencemooh. Ini adalah benar-benar kehinaan.

 

Adapun orang-orang Mukmin, maka mereka adalah orang-orang mulia dengan Agama mereka. Allah berfirman tentang bantahan kepada Ahli Kitab,

 

‘Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)’.” (Ali Imran 64)

 

Mereka mengumumkan secara terbuka tanpa takut kepada celaan orang Yang mencela. Ayat ini menetapkan sifat izzah (perkasa) bagi Allah.

 

Para ulama menyebutkan bahwa izzah (keperkasaan) terbagi menjadi tiga: izzah qadr, izzah qahr dan izzah imtina’.

 

  1. Izzah al-qadr, artinya Allah memiliki kedudukan perkasa yang tidak ada tandingan bagiNya.

 

  1. Izzah al-qahr, yaitu izzah kemenangan, yakni Dia mengalahkan segala sesuatu dan menundukkan segala sesuatu. Termasuk izzah ini adalah Firman Allah

 

“Maka dia berkata, ‘Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan’.” (Shad: 23).

 

Yakni, mengalahkanku dalam perbicaraan. Allah Maha Perkasa, tidak ada yang dapat mengalahkanNya justru Dia yang mengalahkan segala sesuatu.

 

  1. Izzah al-imtina’, yaitu bahwa Allah tidak mungkin tertimpa keburukan atau kekurangan. Ia diambil dari kekuatan dan kekokohan.

 

‘Termasuk dalam makna ini perkataan mereka ( ), yakni tanah yang kuat lagi keras.

 

Inilah makna-makna izzah yang Allah tetapkan untuk DiriNya, ia menunjukkan kekuatan dan keunggulanNya yang sempurna, menunjukkan Sifat-sifatNya yang sempurna serta kesucianNya yang sempurna dari kekurangan.

 

Izzah al-qahr menunjukkan makna sempurnanya kekuasaanNya dan predikatNya sebagai yang mengalahkan.

 

Izzah al-qadr menunjukkan makna kesempurnaan Sifat-sifatNya dan bahwa Dia tidak tertandingi.

 

Dan Izzah al-imtina’ menunjukkan makna sucinya Allah dari cela dan kekurangan.

 

FirmanNya, “Bagi RasulNya dan bagi orang. orang Mukmin,” yakni, bahwa Rasulullah  juga memiliki kekuatan (dan kemuliaan), begitu juga orang-orang yang beriman.

 

Hanya saja kita harus mengetahui bahwa izzah yang Allah tetapkan untuk RasulNya dan orang-orang yang beriman tidak sama dengan izzah Allah; karena izzah Rasul dan orang-orang yang beriman itu mungkin dicampuri dengan kelemahan, sebagai-mana Firman Allah

 

“Sungguh Allah telah menolong kalian dalam Perang Badar, pada kalian (ketika itu) adalah orang-orang yang lemah.” (Ali Imran: 123).

 

Terkadang mereka kalah untuk suatu hikmah yang dikehendaki oleh Allah. Dalam Perang Uhud misalnya, mereka tidak mendapatkan kemenangan yang sempurna, karena di akhir perang mereka Kalah, dan itu untuk hikmah-hikmah yang agung. Sama halnya dalam Perang Hunain, mereka lari terbirit-birit, di mana dari dua belas ribu orang, yang tersisa bersama Nabi   hanya sekitar seratus orang saja. Ini juga mengurangi kemenangan tetapi sifatnya temporal. Adapun izzah Allah, maka ia tidak mungkin berkurang selama-lamanya.

 

Dengan ini kita mengetahui bahwa izzah yang Allah tetapkan untuk RasulNya dan orang-orang yang beriman tidak seperti izzah yang Dia tetapkan untuk DiriNya.

 

Ini bisa juga diambil dari kaidah umum, yaitu kesamaan nama tidak mengharuskan kesamaan pemiliknya dan kesamaan sifat tidak mengharuskan kesamaan pemiliknya.

 

Ayat keempat: Juga tentang keperkasaan, yaitu:

 

Firman Allah tentang (perkataan) iblis, “Demi keperkasaanMu, aku benar-benar akan menyesatkan mereka semuanya.” (Shad: 82).

 

Huruf ba di sini adalah ba untuk sumpah. Iblis memilih bersumpah dengan izzah (keperkasaan) dan tidak dengan SifatNya yang lain, karena konteksnya adalah konteks mengalahkan, seolah-olah dia berkata, Dengan Izzah (keperkasaan)Mu yang dengannya Engkau mengalahkan selainMu, aku pasti menguasai dan mengalahkan mereka -yakni, anak cucu Adam sehingga mereka keluar dari jalan yang lurus kepada jalan yang menyimpang.

 

Kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas, iblis tidak mampu menyesatkan mereka sebagaimana Firman Allah,

 

“Sesungguhnya hamba-hambakKu, tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka.” (Al-Hijr: 42).

 

Kedua ayat di atas menetapkan izzah bagi Allah.

 

Di ayat ketiga terdapat petunjuk bahwa setan mengakui Sifat-sifat Allah.

 

Lalu bagaimana sebagian manusia mengingkari Sifat-sifat Allah atau sebagian darinya. Apakah setan lebih mengetahui Allah dan lebih logis metodenya daripada orang-orang yang menafikan Sifat-sifat itu?

 

Apa yang kita petik dari segi perilaku.

 

Dari sikap memaafkan dan lapang dada; adalah bahwa apabila kita mengetahui bahwa Allah Maha Pemaaf, bahwa Dia Maha berkuasa, maka hal itu mendorong kita untuk selalu memohon maaf kepadaNya, berharap maaf dariNya dari keteledoran kita dalam melakukan kewajiban.

 

Dari izzali; jika kita mengetahui bahwa Allah Mahaperkasa, maka kita tidak mungkin melakukan perbuatan yang merupakan perang kepada Allah.

 

Contohnya pelaku riba, perbuatannya adalah memerangi Allah,

 

“Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah: 279).

 

Apabila Allah Maha Perkasa, tidak mungkin dikalahkan, maka kita tidak akan berani memerangiNya.

 

Merampok di jalanan merupakan tindakan memerangi Allah,

 

“Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.” (Al-Ma‘idah: 33).

 

Apabila kita mengetahui bahwa merampok merupakan tindakan memerangi Allah dan bahwa keperkasaan hanya milik Allah, maka kita tidak akan melakukan perbuatan tersebut, karena Allah tidak terkalahkan.

 

Kita juga bisa katakan tentang faidah dari segi perilaku darinya, yaitu bahwa hendaknya seorang Mukmin menjadi orang yang kuat dalam agamanya, sehingga dia tidak merendahkan dirinya di depan Siapa pun, kecuali kepada orang-orang Mukmin. Dia kuat di hadapan orang-orang kafir dan lemah lembut di hadapan orang-orang Mukmin.

 

Syarah:

 

Penulis menyebutkan satu ayat yang menetapkan Nama bagi Allah dan ayat-ayat lain yang berjumlah banyak tentang kemahasucian Allah dan menafikan sekutu bagi Allah.

 

Ayat yang menetapkan Nama (bagi Allah), adalah:

 

FirmanNya, “Maha Agung Nama Tuhanmu yang memiliki kebesaran – dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 78).

 

para ulama berkata, Maknanya adalah Maha Tinggi dan Maha Agung Allah jika Dia disifati dengannya; sebagaimana FirmanNya,

 

“Maka Maha banyak berkah Allah, Pencipta Yang paling baik.” (Al-Mu’minun: 14).

 

Jika dengannya Nama Allah disifati, maka maknanya adalah bahwa keberkahan tercapai dengan Nama Allah, yakni jika sesuatu diiringi dengan Nama Allah maka terdapat keberkahan padanya.

 

Oleh karena itu terdapat dalam sebuah hadits,

 

“Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan ‘bismillah’, maka ia terputus.” Yakni, kurang keberkahannya, bahkan basmalah dapat menghalalkan sesuatu yang bila tidak dibaca basmalah padanya, maka sesuatu itu haram. Apabila hewan disembelih dengan basmalah, maka ia halal, jika tidak, maka ia bangkai dan haram. Ini beda antara yang halal dan suci lagi baik dengan bangkai yang najis lagi kotor.

 

Apabila seseorang mengucapkan basmalah pada saat bersuci dari hadats maka bersucinya sah, jika tidak membacanya, maka bersucinya tidak sah, menurut salah satu pendapat.

 

Apabila seseorang makan dengan basmalah maka setan tidak ikut makan bersamanya, jika tidak membacanya, maka setan ikut makan bersamanya.

 

Apabila seseorang mengucapkan basmalah ketika hendak menggauli istrinya dan dia mengucapkan,

 

“Ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami,”

 

kemudian Allah menakdirkan anak, maka setan tidak memudaratkan anak tersebut. Jika tidak membacanya, maka si anak berisiko dimudaratkan oleh setan. Dari sini, maka kami katakan,   di sini bukan berarti Maha Tinggi dan Maha Agung, akan tetapi maknanya adalah terwujudnya keberkahan dengan Nama Allah, yakni jika NamaNya menyertai sesuatu, maka ia menjadi sebab keberkahan.

 

FirmanNya,   “Mempunyai kebesaran dan karunia.” ( ) artinya adalah Pemilik, ia kembali kepada kata ( ) dan bukan kepada ( ), kalau ia kembali kepada ( ), maka akan menjadi ( ).

 

Keagungan.  : Pemuliaan, yakni dari Allah kepada orang yang menaatiNya dan dari orang yang menaatiNya kepadaNya. Maka  adalah keagunganNya pada DiriNya  adalah keagunganNya di hati orang-orang Mukmin, mereka memuliakan. Nya dan Dia pun memuliakan mereka.

 

 

 

Syarah:

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam beribadah kepadaNya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang serupa dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).

 

Penulis (Syaikhul Islam) memulai dengan sifat-sifat salbiyah, yakni sifat al-Manfiyah (yang wajib ditiadakan dari Allah).

 

Telah kami jelaskan bahwa Sifat Allah terbagi menjadi dua: sifat tsubutiyah (yang wajib ditetapkan bagi Allah) dan sifat salbiyah yakni manfiyah (yang wajib ditiadakan dari Allah)-, karena kesempurnaan tidak terwujud kecuali dengan menetapkan dan menafikan; yaitu menetapkan kesempurnaan dan menafikan kekurangan.

 

FirmanNya,   “Maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam beribadah kepadaNya,” huruf fa’ di sini mengaitkan dengan ucapan sebelumnya, yaitu FirmanNya,

 

“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya.” (Maryam: 65).

 

Di sini Allah menyebutkan RububiyahNya,   “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya,” dan mengaitkan dengannya kewajiban beribadah kepadaNya, karena setiap orang yang mengakui Rububiyah Allah, maka dia harus mengakui Ubudiyah dan Uluhiyah, karena jika tidak, maka dia terjatuh ke dalam kontradiksi.

 

FirmanNya,   “Maka sembahlah Dia,” yakni tunduklah kepadaNya dengan kecintaan dan pengagungan. Ibadah bisa bermakna apa yang digunakan untuk beribadah dan bisa bermakna ibadah itu sendiri yang merupakan perbuatan hamba seperti yang dijelaskan di mukadimah.

 

FirmanNya,   asalnya adalah  lalu huruf ta’ diganti menjadi tha’ karena alasan tashrif (perubahan kata). Sabar adalah menahan diri dan ( ) lebih mendalam daripada ( ) karena ia mengandung makna berusaha keras, maknanya adalah sabarlah meskipun ia memberatkanmu, teguhlah seperti seorang mujahid dalam peperangan.

 

FirmanNya,   ada yang mengatakan, Huruf lam di sini bermakna ( ) yakni, bersabarlah di atas beribadah kepadaNya, sebagaimana Firman Allah,

 

“Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132).

 

Ada pula yang berkata, Huruf lam di sini bermakna sesuai asalnya yakni bersabarlah untuk beribadah kepadaNya, yakni hadapilah ia dengan sabar seperti seseorang yang menghadapi karibnya di medan perang.

 

FirmanNya,   “Apakah kamu mengetahui ada seorang yang serupa dengan Dia,” adalah istifham (pertanyaan) berfungsi untuk menafikan (meniadakan). Jika demikian, maka ia mengandung makna tantangan, yakni apabila kamu benar, maka katakanlah kepada kami,   “Apakah kamu mengetahui ada seorang yang serupa dengan Dia.” Dan  maknanya adalah saingan dan tandingan. Yakni, apakah kamu mengetahui saingan atau tandingan bagiNya yang berhak menyandang NamaNya?

 

Jawabannya: Tidak.

 

Jika demikian, maka kamu wajib menyembah Dia semata. Sifat yang dikandung ayat ini yaitu,   “Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia,” yaitu sifat salbiyah.

 

Lalu sifat kesempurnaan apa yang dikandungnya? Apa penetapan yang dikandung oleh penafian di sini? Karena pada keterangan sebelumnya kami telah disebutkan bahwa sifat salbiyah mesti mengandung (kebalikannya, yaitu) penetapan.

 

Jawaban: Kesempurnaan yang mutlak. Jadi maknanya adalah apakah kamu mengetahui saingan dalam kesempurnaanNya yang mutlak, di mana tidak seorang pun menandingiNya dalam kesempur. naan tersebut?

 

Ayat kedua:  

 

FirmanNya, “Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengannya.” (Al Ikhlas: 4).

 

Penjelasannya telah berlalu, yakni Allah tidak ditandingi oleh siapa pun, ia adalah nakirah dalam kalimat negatif, maka ia menunjukkan keumuman.

 

 : mengenainya terdapat tiga bacaan: ( ) dengan fa’ dibaca dhammah dan huruf akhirnya adalah wawu. Juga ( ) dan ( ) dengan fa’ disukun dan didhammah dan huruf terakhirnya adalah hamzah, tidak ada yang lain. Dengan ini kita mengetahui kesalahan orang yang membacanya ( ) dengan fa’ disukun dan huruf terakhirnya adalah wawu.

 

Ayat ini menafikan tandingan bagi Allah; hal itu karena kesempurnaan SifatNya. Tidak ada sesuatu pun yang menandingiNya, tidak ada ilmuNya, pendengaranNya, penglihatanNya, kemampuanNya, dan keperkasaanNya, tidak pada hikmahNya dan tidak pula pada sifat-sifat-Nya yang lain.

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Karena itu janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kalian mengetahui.”(Al-Baqarah: 22).

 

Firman Ini adalah kelanjutan dari FirmanNya,

 

“Wahai manusia! Beribadahlah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rizki untuk kalian.” (Al-Baqarah: 21-22).

 

Semua ini tentang Tauhid Rububiyah, kemudian Allah berfirman,

 

“Karena itu janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah,” yakni, tentang Tauhid Uluhiyah, karena orang-orang yang menjadi alamat pesan ayat ini membuat sekutu-sekutu bagi Allah dalam Uluhiyah. Jadi maknanya, janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam Uluhiyah, sebagaimana kalian telah mengakui bahwa Dia tidak memiliki sekutu-sekutu dalam rububiyah.

 

FirmanNya,   adalah jamak dari   (tandingan). Tandingan bagi sesuatu adalah sesuatu lain yang menyainginya dan menyerupainya. Orang-orang mengatakan, “Ini adalah tandingan ini,” yakni menyainginya dan menyetarainya.

 

FirmanNya,   kalimat ini adalah hal (keterangan keadaan) dan pemiliknya adalah wawu pada FirmanNya,   dan maf’ulnya terbuang, artinya sedangkan kalian mengetahui bahwa tiada sekutu bagiNya.

 

Kalimat yang berposisi sebagai hal (keterangan keadaan) di sini adalah sifat kasyifah yang berfungsi sebagai penjelas alasan hukum seolah-olah Dia berfirman, “Janganlah kalian menjadikan sekutu bagi Allah, karena kalian mengetahui bahwa tidak ada tandingan bagiNya Jika kalian mengetahui itu, maka bagaimana kalian tetap menjadikan yang akibatnya adalah kalian menyelisihi ilmu kalian sendiri?”

 

Ini juga salbiyah, ini dari FirmanNya,

 

 “Karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal, kalian mengetahui.” Karena Allah tidak tertandingi, karena kesempurnaan SifatNya.

 

Ayat keempat:

 

FirmanNya, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (Al-Baqarah: 165).

 

menunjukkan makna sebagian, tolok ukurnya adalah ia mungkin tergantikan oleh kata   “sebagian” yakni, sebagian manusia,   “Ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah,” yakni, menjadikan mereka sebagai tandingan bagi Allah, yaitu dalam kecintaan, sebagaimana Allah menafsirkannya dengan FirmanNya,  “Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” Boleh juga kita katakan, Yang dimaksud dengan tandingan-tandingan di sini lebih umum daripada kecintaan, yakni mereka menyembah tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka menyembah Allah; mereka bernadzar untuknya sebagaimana mereka bernadzar untuk Allah, karena mereka mencintainya seperti kecintaan kepada Allah, artinya mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti mencintai Allah.

 

Ini adalah syirik dalam kecintaan, di mana engkau menjadikan selain Allah sama dengan Allah dalam kecintaan.

 

Hal ini juga berlaku pada orang yang mencintai Rasulullah  seperti mencintai Allah, karena yang wajib adalah engkau mencintai Rasulullah  dengan kecintaan yang tidak seperti kecintaanmu kepada Allah, karena kecintaan kepada Rasul mengikuti kecintaan kepada Allah, bukan karena beliau adalah tandingan bagi Allah. Maka apalagi orang yang mencintai Rasulullah lebih besar daripada mencintai Allah?

 

Di sini kita wajib mengetahui perbedaan antara “mencintai sesuatu bersama mencintai Allah” dengan “mencintai karena Allah”.

 

Mencintai sesuatu bersama mencintai Allah adalah engkau menjadikan selain Allah sama dengan Allah atau lebih dalam kecintaan. Ini adalah syirik.

 

Mencintai karena Allah adalah engkau mencintai sesuatu mengikuti kecintaan kepada Allah.

 

Faidah dari ayat-ayat ini dari segi perilaku:

 

Pertama, Pada FirmanNya,  “Maha Agung Nama Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan,” apabila kita mengetahui bahwa Allah mempunyai sifat keagungan, maka hal itu mewajibkan kita untuk mengagungkanNya dan memuliakanNya. Apabila kita mengetahui bahwa Allah memiliki sifat kemuliaan, maka itu menuntut kita mengharap karunia dan kebaikannya, dan karena itu kita juga memuliakan dan mengagungkanNya sebagaimana yang berhak diterimaNya.

 

Kedua, FirmanNya,  “Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepadaNya,” faidah darinya dari segi perilaku adalah hendaknya seorang hamba beribadah kepada Allah, bersabar dalam beribadah kepadaNya, tanpa jenuh, tanpa bosan dan tanpa mengeluh, akan tetapi bersabar atasnya seperti kesabaran sebuah pasukan ketika menghadapi lawannya di medan perang.

 

Ketiga, FirmanNya,  “Apakah kamu mengetahui ada seseorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Lalu FirmanNya),   “Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia,”dan   “Karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,” ayat-ayat ini berisi kewajiban menyucikan Allah, dan bahwa seseorang merasa dalam hatinya bahwa Allah tersucikan dari segala kekurangan, bahwa Dia tidak tertandingi dan tak ada bandingannya, mengagungkanNya dengan sebagaimana mestinya sesuai dengan kemampuannya.

 

Keempat, FirmanNya,   “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah,” di antara faidah dari segi perilaku adalah bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk mencintai siapa pun seperti dia mencintai Allah ini disebut dengan mencintai sesuatu bersama mencintai Allah,

 

Ayat kelima:

 

FirmanNya, “Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mengambil anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan(Nya) dan tidak membutuhkan penolong (untuk menjagaNya) dari kehinaan, dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya’.” (Al-Isra’: 111).

 

“Dan katakanlah,” pesan (khithab) dari FirmanNya seperti ini bisa khusus untuk Rasulullah dan bisa pula untuk siapa pun, di mana ia mungkin ditujukan kepadanya.

 

Jika ia khusus untuk Rasulullah maka ia pertama kali untuk beliau dan umatnya mengikuti beliau.

 

Jika ia umum, maka ia adalah untuk Rasulullah  dan selainnya,

 

“Segala puji bagi Allah;” tafsir kalimat ini telah dijelaskan, yaitu bahwasanya pujian adalah menyifati yang dipuji dengan kesempurnaan disertai dengan kecintaan dan pengagungan.

 

“Bagi Allah,” huruf lam di sini untuk menetapkan hak dan pengkhususan.

 

– Untuk menetapkan hak, adalah karena Allah terpuji dan Dia layak untuk dipuji.

 

– Dan pengkhususan, adalah karena pujian yang merupakan hak Allah tidak sama dengan pujian yang diberikan kepada selainNya, ia lebih besar, lebih sempurna, lebih umum dan lebih menyeluruh.

 

FirmanNya,   “Yang tidak mempunyai anak,” ini termasuk sifat salbiyah.   “Dia tidak mempunyai anak,” karena kesempurnaan Sifat-sifatNya dan ketidakbutuhanNya kepada selainNya, karena tidak ada yang semisal denganNya. Kalau Dia mempunyai anak, niscaya anakNya akan sepertiNya. Kalau Dia mempunyai anak, niscaya Dia memerlukannya untuk membantu dan menolongNya. Kalau Dia mempunyai anak, niscaya Dia kurang, karena jika ada makhluk yang menyerupaiNya, maka hal itu adalah kekurangan.

 

FirmanNya,   “Anak,” meliputi laki-laki dan perempuan. {ni membantah orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang musyrik.

 

Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair adalah putra Allah”.

 

Orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih Isa adalah putra Allah.”

 

Orang-orang musyrik berkata, “Para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah.”

 

 FirmanNya,   “Dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaanNya,” ini adalah sambungan dari FirmanNya,   “Yang tidak mempunyai anak.” Yakni, yang tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan, tidak dalam penciptaan, tidak dalam kepemilikan dan tidak pula dalam pengaturan.

 

Selain Allah adalah makhluk Allah, dan hamba bagi Allah. Dia mengaturnya sesuai dengan kehendakNya, dan tak seorang pun berserikat denganNya dalam semua itu; sebagaimana FirmanNya,

 

“Katakanlah, ‘Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi’.” (Saba’: 22).   “Dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi.” (Saba’: 22).   “Dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagiNya.” (Saba’: 22).

 

Yakni, Dia tidak dibantu oleh satu makhluk pun di langit dan dibumi,

 

“Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah izinkanNya memperoleh syafa’at itu.” (Saba’: 23).

 

Dengan ini, terputuslah segala sebab yang dipegang oleh orang. orang musyrik pada tuhan-tuhan mereka.

 

Tuhan-tuhan itu tidak memiliki sedikit pun dari langit dan bumi, ig bukan sekutu bagi Allah, bukan penolong, dan bukan pemberi syafa’at, kecuali dengan izinNya,

 

“Dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaanNya.” (Al-Isra’: 111)

 

FirmanNya,   “Tidak membutuhkan penolong (untuk menjagaNya) dari kehinaan.” Dia tidak mempunyai penolong, akan tetapi dibatasi dengan FirmanNya,  “dari kehinaan.”

 

di sini berfungsi menjelaskan alasan, karena Allah memiliki wali-wali,

 

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali (penolong-penolong) Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63).

 

Dalam hadits qudsi, Allah berfirman,

 

“Barangsiapa memusuhi waliKu, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya.”

 

Jadi, wali (penolong) yang ditiadakan adalah wali (penolong) karena kehinaan, karena Allah-lah Pemilik seluruh kemuliaan, Dia tidak akan tertimpa kehinaan sedikitpun karena kemuliaanNya yang sempurna.

 

FirmanNya,   “Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya,” vakni, agungkanlah Allah dengan jisan dan hatimu, yakinlah di dalam hatimu bahwa Allah lebih besar daripada segala sesuatu, milikNya-lah kebesaran di langit dan di bumi. Agungkanlah Dia dengan lisanmu, katakanlah, Allahu Akbar (Allah Maha Besar).

 

Dan salah satu petunjuk Nabi   dan para sahabat beliau adalah bertakbir pada waktu melewati tempat mendaki (naik). Ini dilakukan di perjalanan, karena apabila seseorang mendaki tempat tinggi, bisa jadi dia merasa dirinya lebih tinggi daripada yang lain, maka dia mengucapkan “Allahu Akbar” demi mengurangi ketinggian yang ada di dalam hatinya manakala dia berada di tempat yang tinggi.

 

Apabila mereka turun, mereka berkata, “Subhanallah,” karena turun bermakna ke bawah, maka mengucapkan subhanallah; yakni, Aku menyucikan Allah dari kerendahan di mana aku berada padanya saat ini.

 

FirmanNya,   adalah mashdar penegas, maksudnya adalah pengagungan, yakni agungkanlah seagung-agungnya.

 

Faidah dari segi perilaku yang kita ambil dari ayat ini:

 

Bahwa manusia merasakan ketidakbutuhan Allah yang Maha Sempurna kepada siapa pun, bahwa Dia-lah satu-satunya Pemilik kerajaan, kemuliaan dan kekuasaan yang sempurna. Dalam kondisi tersebut manusia akan mengagungkan Allah  sesuai dengan kebesaranNya sesuai dengan kemampuannya.

 

Dan kita mengambil faidah dari pujian kepada Allah, yakni kesucianNya dari segala aib sebagaimana Dia dipuji atas Sifat-sifat kesempurnaanNya.

 

Ayat keenam:

 

FirmanNya, “Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi senantiasa, bertasbih kepada Allah. MilikNya semua kerajaan dan bagiNya (pula) segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. ” (At-Taghabun: 1),  

 

artinya, menyucikan dari seluruh sifat kekurangan dan aib dan kata ( ) bisa menjadi kata kerja transitif dengan sendirinya bisa pula menjadi kata kerja transitif dengan huruf lam. Yang menjadi kata kerja transitif dengan sendirinya adalah seperti Firman Allah,

 

“Supaya kalian beriman kepada Allah dan RasulNya, dan menguatkan (membela) serta menghormatinya (Rasul) dan bertasbih kepadaNya (Allah) di waktu pagi dan petang.” (Al-Fath: 9).

 

Sedangkan menjadi kata kerja transitif dengan huruf lam berjumlah banyak, semua surat yang dimulai dengannya adalah kata kerja transitif dengan huruf lam.

 

Para ulama berkata, Jika yang dimaksud hanya sekedar perbuatan, maka ia kata kerja transitif dengan sendirinya  yakni, engkau mengucapkan ‘subhanallah’.

 

Jika yang dimaksud adalah tujuan dan keikhlasan, maka ia kata kerja transitif dengan huruf lam;   yakni, bertasbihlah untuk Allah secara ikhlas dan sebagaimana yang berhak Dia terima.

 

Huruf lam menjelaskan kesempurnaan keinginan dari pelaku dan kesempurnaan hak dari yang disucikan, yaitu Allah.

 

FirmanNya, “Apa yang di langit dan apa yang di bumi,” adalah umum, mencakup segala sesuatu.

 

Bertasbih ada dua, bertasbih dengan lisan dan bertasbih dengan perbuatan.

 

Bertasbih dengan perbuatan adalah umum,

 

“Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya.” (Al-Isra’: 44).

 

Bertasbih dengan lisan juga umum, kecuali orang kafir, karena dia tidak bertasbih kepada Allah dengan lisannya. Karena itu Allah berfirman

 

“Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr: 23).

 

“Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.” (Ash-Shaffat: 159).

 

Mereka tidak bertasbih kepada Allah, karena mereka menyekutukan (sesuatu) dengan Allah dan menyifatiNya dengan sifat yang tidak layak.

 

Bertasbih dengan perbuatan, yakni, bahwa keadaan (perbuatan) segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi menunjukkan kesucian Allah dari kekurangan dan kesia-siaan, bahkan jika engkau memerhatikan keadaan orang kafir, niscaya engkau akan mendapatkannya membuktikan kesucian Allah dari cacat dan kekurangan.

 

Bertasbih dengan lisan adalah ucapan “subhanallah”.

 

FirmanNya,   “Hanya Allah-lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

 

Sifat-sifat yang terakhir ini adalah Sifat-sifat tsubutiyah (yang ditetapkan), dan maknanya telah dijelaskan, akan tetapi   “Bertasbih kepada Allah,” adalah sifat salbiyah, karena maknanya adalah menyucikan Allah dari apa yang tidak layak.

 

Ayat ketujuh dan kedelapan:

 

FirmanNya, “Maha banyak berkah Allah yang telah menurunkan al. Furqan (al-Qur an) kepada hambaNya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia). Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak mempunyai anak, tidak ada sekutu bagiNya dalam kerajaan(Nya), dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” (Al-Furqan: 1-2),

 

artinya, Maha Tinggi dan Maha Agung.

 

“Yang telah menurunkan al-Furqan (alQur’an) kepada hambaNya,” yaitu Allah.

 

FirmanNya,   “Al-Furqan” adalah al-Qur’an, karena ia membedakan antara yang haq dengan yang batil, antara Muslim dengan kafir, antara orang baik dan orang jahat, antara yang berbahaya dan yang berguna dan lain-lain; semuanya adalah Furqan (pembeda).

 

“Kepada hambaNya,” yaitu Nabi Muhammad  Allah menyifati beliau sebagai hamba dalam konteks pembicaraan tentang diturunkannya al-Qur an kepada beliau, dan konteks ini termasuk konteks termulia bagi Nabi  

 

Oleh karena itu, Allah menyifatinya sebagai hamba dalam konteks diturunkannya al-Qur’an kepada beliau seperti pada ayat ini dan juga pada FirmanNya,

 

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hambaNya alKitab (al-Qur’an).” (Al-Kahfi: 1).

 

Allah juga menyifatinya sebagai hamba dalam konteks pembelaan untuk beliau dan tantangan,

 

“Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad).” (Al-Baqarah: 23), 

 

Allah menyifati beliau sebagai seorang hamba dalam konteks pemuliaanNya kepada beliau dengan Mi’raj,

 

“Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram …” (Al-Isra’: 1).

 

Dalam surat an-Najm Allah berfirman,

 

“Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang tejah Allah wahyukan.” (An-Najm: 10).

 

Semua itu menunjukkan bahwa sifat penghambaan manusia kepada Allah adalah kesempurnaan, karena kemerdekaan sebenarnya ada pada penghambaan diri kepada Allah. Siapa yang tidak menghambakan diri kepadaNya, maka dia akan menghambakan diri kepada selainNya.

 

Ibnul Qayyim berkata,

 

Mereka lari dari penghambaan yang menjadi tujuan mereka diciptakan Dan mereka justru tertimpa penghambaan kepada nafsu dan setan

 

Penghambaan yang menjadi tujuan mereka diciptakan adalah penghambaan kepada Allah, tetapi mereka justru menjadi hamba-hamba nafsu dan setan. Tidak ada seorang pun yang berlari dari penghambaan kepada Allah, kecuali dia terjerumus ke dalam penghambaan kepada hawa nafsu dan setan. Allah   berfirman,

 

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah menyesatkannya berdasarkan ilmu(Nya).” (Al-Jatsiyah: 23).

 

FirmanNya,   “Agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” Huruf Lam di sini berfungsi menjelaskan alasan, dan kata ganti pada   kembali kepada Nabi   karena beliaulah yang disebut paling dekat dan juga karena Allah berfirman,

 

“Supaya kamu memberi peringatan dengan Kitab itu (kepada orang kafir).” (Al-A’raf: 2).

 

Dan Allah juga berfirman,

 

“Supaya dengannya Aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur an (kepadanya).” (Al-An’am: 19).

 

Pemberi peringatan (dalam ayat di atas) adalah Rasulullah 

 

FirmanNya,   “Seluruh alam,” meliputi seluruh jin dan manusia.

 

 FirmanNya  “Yang kepunyaanNya-lah kerajaan langit dan bumi,” maknanya telah dijelaskan.

 

 FirmanNya,   “Dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya),” maknanya telah dijelaskan, keduanya adalah sifat salbiyah.

 

 FirmanNya,   “Dan Dia menciptakan segala sesuatu lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” Mencipta adalah mengadakan dalam bentuk tertentu. Dan takdir artinya adalah menyempurnakan, atau berarti menetapkannya di zaman azali, yang pertama lebih shahih, hal itu didukung oleh Firman Allah,

 

“Yang menciptakan lalu menyempurnakan (penciptaanNya).” (Al-A’la: 2).

 

Berdasarkan makna ini, maka ayat ini berurutan dari segi lafazh dan makna, dan berdasarkan makna yang kedua, maka ia berurutan secara lafazh.

 

Faidah yang kita petik dari segi perilaku dari ayat-ayat ini:

 

Bahwa kita wajib mengetahui keagungan Allah dan menyucikanNya dari segala kekurangan. Apabila kita mengetahui itu, maka pengagungan dan kecintaan kita akan bertambah.

 

Dari dua ayat di Surat al-Furqan tadi, kita mengetahui penjelasan al-Qur’an yang mulia ini, bahwa ia adalah rujukan bagi manusia, bahwa jika manusia ingin mencari kejelasan dalam segala urusan, maka hendaknya dia kembali kepada al-Qur’an, karena Allah menamakannya

 

“Dia telah menurunkan al-Furqan (al-Qur’an) kepada hambaNya.” (Al-Furqan: 1). Kita juga memetik faidah dari segi perilaku pendidikan, yakni hendaknya kecintaan kita kepada Rasulullah  semakin kuat dan bertambah, di mana beliau adalah hamba Allah yang bertugas menyampaikan risalah dan memberi peringatan kepada manusia.

 

Kita juga mendapat faidah bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir, maka kita tidak percaya kepada klaim kenabian apa pun sesudah beliau. Hal itu berdasarkan FirmanNya,  ” Kepada seluruh alam.” Seandainya ada lagi rasul setelah beliau niscaya risalahnya terhenti padanya dan bukan seluruh alam.

 

Ayat kesembilan dan kesepuluh:

 

FirmanNya, “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) besertaNya, kalau ada tuhan besertaNya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu, Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Mahatinggidah Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Mu’minun: 91-92).

 

Dalam ayat ini Allah menafikan kepemilikan anak dari DiriNya dan sekutu. Penafian ini ditegaskan dengan   pada FirmanNya,

 

 dan FirmanNya,   karena tambahan huruf jarr dalam kalimat negatif dan sepertinya memberi makna penegasan. m

 

FirmanNya,   “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak,” yakni Allah tidak memilih seorang pun untuk Menjaga anakNya, tidak Uzair, tidak al-Masih, tidak para malaikat dan tidak pula selainnya, karena Dia tidak memerlukan selainNya.

 

Jika Allah tidak mungkin mempunyai anak, maka Dia lebih berhak lagi tidak mempunyai bapak.

 

FirmanNya,   artinya adalah yang dituhankan  Seperti  yakni, yang dibangun   yakni, yang dihamparkan   Jadi   berarti   yakni yang disembah dan yang dipatuhi

 

Yakni tidak ada tuhan-tuhan yang berhak disembah bersama, Nya. Kalau tuhan-tuhan palsu, maka ia ada, karena ia palsu, maka ang. gaplah tidak ada. Jadi sah dikatakan, tidak ada tuhan bersama Allah,

 

, yakni kalau ada tuhan bersamaNya.

 

“Masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” Seandainya ada tuhan lain yang setara dengan Allah, niscaya Dia mempunyai kerajaan khusus dan Allah juga mempunyai kerajaan khusus, yakni masing-masing akan membawa makhluk yang diciptakannya. Dia berkata, “Ini ciptaanku,” dan yang lain juga demikian.

 

Dalam kondisi tersebut masing-masing dari keduanya pasti berambisi untuk menguasai yang lain seperti yang telah menjadi kebiasaan, Raja-raja dunia berambisi menguasai yang lain sehingga kekuasaan menjadi miliknya. Dalam kondisi ini ada kemungkinan keduanya sama-sama tidak mau (ngotot), yang satu tidak mampu mengalahkan yang lain begitu pula sebaliknya. Jika demikian, maka keduanya sama-sama tidak layak menjadi tuhan, karena tuhan tidak mungkin tidak mampu.

 

Kemungkinan lain, salah satunya mengalahkan yang lain, maka yang menang itulah yang menjadi tuhan.

 

Persoalannya kembali lagi kepada kenyataan bahwa alam semesta hanya mempunyai satu tuhan, tidak mungkin ada dua tuhan di alam ini, karena persoalannya tidak lepas dari dua kemungkinan yang telah dijelaskan.

 

Apabila kita menyaksikan alam semesta atas dan bawah, maka kita mendapati bahwa ia adalah alam yang ditata oleh Pengatur yang satu, Karena jika tidak, niscaya terjadi benturan, salah satu tuhan misalnya berkata, “Aku mau matahari terbit dari barat.” Sementara yang kedua berkata, “Aku ingin matahari terbit dari timur.” Kesamaan dua keinginan sangat tidak mungkin, lebih-lebih konteksnya adalah konteks kekuasaan, masing-masing ingin menjalankan keinginannya.

 

Telah dimaklumi saat ini bahwa kita tidak menyaksikan matahari terbit satu hari mengikuti keinginan tuhan yang pertama dan di hari jain mengikuti keinginan tuhan yang kedua atau satu hari matahari tertunda, karena tuhan yang kedua menahannya atau suatu hari matahari mendahului waktu terbitnya, karena tuhan yang pertama menyuruh Tuhan yang kedua mengeluarkannya. Ini tidak kita lihat, yang kita lihat adalah alam yang satu, serasi dan rapi, itu menunjukkan secara nyata bahwa penatanya hanyalah satu, yaitu Allah.

 

Allah menjelaskan secara logis bahwa tuhan lebih dari satu adajah mustahil, karena jika itu mungkin, niscaya apa yang kami sebutkan pasti terjadi, masing-masing akan memisahkan diri dari yang lain, masing-masing tuhan akan membawa apa yang diciptakannya. Dalam kondisi ini ada kemungkinan keduanya sama-sama kalah dan ada kemungkinan pula yang menang adalah satu. Jika yang pertama, maka keduanya tidak layak menjadi tuhan dan jika yang kedua, maka yang menang itulah yang menjadi tuhan, jadi tuhan hanyalah satu.

 

Kalau ada yang berkata: Apakah tidak mungkin keduanya berdamai dengan masing-masing menguasai ciptaannya sendiri-sendiri?

 

Jawaban: Kalau itu mungkin, niscaya tatanan alam akan rusak.

 

Kemudian, adanya perdamaian di antara keduanya tidak terjadi kecuali karena salah satunya takut kepada yang lain. Dalam kondisi ini, maka yang takut itu tidak berhak dituhankan karena dia tidak mampu melawan yang lain.

 

Kemudian Allah berfirman,   “Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” Maksudnya, penyucian Allah dari sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah oleh orang-orang musyrik yang anti tuhan; yang berbicara tentang Allah dengan apa yang tidak layak bagiNya.

 

“Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak.” Ghaib adalah yang tidak tampak oleh manusia, dan yang nyata adalah apa yang dilihat oleh mereka.

 

“Maka Maha Tinggi Lah Dia dari apa yang mereka persekutukan.”

 

berarti Maha Tinggi, Maha Suci, dan Maha Mulia.

 

yaitu berhala-berhala yang dituhankan bersama Allah.

 

Sifat-sifat nafi yang ada di kedua ayat ini adalah kesucian Allah dari kepemilikan terhadap anak yang disandangkan kepadaNya oleh orang-orang kafir, dan suci dari sekutu dalam uluhiyah yang dengan. nya Orang-orang musyrik menyekutukanNya.

 

Penafian ini karena kesempurnaan kekayaan, Rububtyah, dan UluhiyahNya.

 

Dari segi perilaku, kita mengambil faidah dari keduanya, yaitu bahwa iman kepada hal ini membawa seseorang untuk ikhlas kepada Allah.

 

Ayat kesebelas:

 

FirmanNya, “Maka janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74).

 

Yakni, janganlah kalian membuat perumpamaan bagi Allah, kalian mengatakan perumpamaan Allah adalah seperti ini dan ini atau kalian mengangkat sekutu bagiNya dalam ibadah.

 

“Sesungguhnya Allah Mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui,” yakni Allah mengetahui bahwa Dia tidak memiliki misal (perumpamaan), Dia telah mengabarkan kepada kalian bahwa Dia tidak memiliki tandingan, yaitu pada FirmanNya,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura: 11).

 

“Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 4).

 

“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah) ?” (Maryam: 65).

 

Dan banyak ayat-ayat lain yang semakna. Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.

 

Mungkin pula dikatakan bahwa kalimat ini mengandung dalil yang jelas bahwa Allah tidak memiliki misal (banding) dan bahwa ia sama dengan membuat perumpamaan pada saat tidak mungkinnya membuat perumpamaan, karena kita tidak mengetahui sementara Allah mengetahui. Jika ilmu tidak kita miliki dan ia dimiliki oleh Allah lalu di mana kesamaannya? Adakah si bodoh menyamai si alim?

 

Bukti terbatasnya ilmu kita adalah bahwa manusia tidak mengetahui apa yang dia kerjakan di hari esok,

 

“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.” (Luqman: 34).

 

Bahkan manusia tidak mengetahui letak ruhnya yang ada di tubuhnya,

 

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku’.” (Al-Isra’: 85).

 

Orang-orang filsafat dan orang-orang yang sok filsafat masih terus mencari hakikat ruh ini dan mereka belum mencapainya padahal ia adalah asal usul kehidupan. Ini adalah bukti kekurangan ilmu manusia. Karena itu, Allah berfirman,

 

“Dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85).

 

Apabila kalian berkata, Bagaimana menggabungkan ayat ini,

 

“Maka janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74) dengan Firman Allah,

 

“Karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 22)?

 

Jawaban: Ayat yang kedua berbicara kepada orang-orang yang menyekutukan Allah pada UluhiyahNya. Dia berfirman, “Karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,” dalam ibadah dan uluhiyah,   “padahal kalian mengetahui” bahwa Dia tidak memiliki tandingan dalam rububiyah; berdasarkan dalil FirmanNya,

 

“Wahai manusia! Beribadahlah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa, Yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rizki untuk kalian. Karena itu, janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22).

 

Sementara ayat pertama adalah tentang sifat,  “Maka janganlah kalian mengadakan misal-misal (sekutu-sekutu) bagi Allah.” Di mana kalian berkata, Sebagai contoh: Tangan Allah seperti tangan ini, Wajah Allah seperti wajah itu dan Dzat Allah seperti zat fulan dan lain-lain, karena Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui dan Dia telah mengabarkan bahwa Dia tidak tertandingi.

 

Bisa dikatakan bahwa penetapan ilmu kepada mereka adalah khusus dalam urusan rububiyah dan penafiannya dari mereka adalah dalam urusan uluhiyah di mana mereka menyekutukan Allah padanya, maka mereka menempati kedudukan orang-orang yang jahil.

 

Kesempurnaan yang dikandung ayat ini adalah kesempurnaan sifat Allah, di mana Dia tidak memiliki misal.

 

Faidah dari segi perilaku yang diambil dari ayat ini adalah kesempurnaan pengagungan kita kepada Allah, karena apabila kita mengetahui bahwa Dia tidak memiliki misal, maka kita akan bergantung kepadaNya dengan harapan dan rasa takut dan kita pun mengagungkannya. Kita mengetahui bahwa Dia tidak mungkin ditandingi oleh sultan, raja, menteri dan pemimpin sebesar apa pun kekuasaan, kerajaan dan kepemimpinannya, karena Allah  tidak memiliki tandingan.

 

Ayat kedua belas:

 

firmanNya, “Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan sesuatu dengan Allah yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) kalian berkata atas Nama Allah apa yang tidak kalian ketahui’.” (Al-A’raf: 33).

 

“Katakanlah,” ini ditujukan kepada Nabi   yakni umumkanlah kepada manusia.

 

adalah perangkat kalimat untuk membatasi, hal ini untuk menghadapi orang yang mengharamkan apa yang Allah halalkan.

 

artinya mencegah. Asal kata   menunjukkan makna mencegah. Dikatakan  yaitu, tanah yang melindungi sumur di sekitarnya, karena ia mencegah pelanggaran orang lain kepadanya.

 

adalah jamak dari  yaitu dosa yang buruk sekali seperti zina dan homoseksual.

 

Allah berfirman tentang zina, “Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang benar.” (Al-Isra’: 32).

 

Allah berfirman tentang homoscksual, mengabadikan perkataan Nabi Luth  kepada kaumnya,

 

“Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji itu?” (Al-A’raf: 80).

 

Termasuk zina adalah seseorang menikahi wanita yang tidak halal untuk dinikahi olehnya, karena sebab kekerabatan atau susuan atau hubungan pernikahan. Firman Allah

 

“Dan janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayah kalian, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dimurkai (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (An-Nisa’: 22).

 

Bahkan ini lebih berat daripada zina, karena Allah menyifatinya dengan tiga sifat: keji, dimurkai, dan jalan yang buruk, sementara Allah hanya menyifati zina dengan dua sifat:

 

” Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji, dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (Al-Isra’: 32).

 

FirmanNya,   “Baik yang nampak atau tersembunyi.” Ada yang berkata, Maknanya adalah apa yang keburukannya jelas dan apa yang samar. Ada yang berkata, Apa yang nampak bagi manusia dan apa yang tidak nampak bagi mereka, dari segi perbuatan pelaku, bukan dari segi perbuatan itu sendiri, yakni apa yang dinampakkan oleh seseorang kepada manusia dan apa yang disimpannya.

 

FirmanNya,   “Perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,” yakni, Dia mengharamkan perbuatan dosa dan pelanggaran terhadap hak orang lain tanpa alasan yang benar.

 

yang dimaksud dengan dosa adalah kemaksiatan yang menjadi sebabnya

 

adalah melanggar hak (melampaui batas) terhadap manusia,

 

“Sesungguhnya jalan (alasan menyalahkan) hanya terhadap orang-orang Yang berbuat zhalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa alasan yang benar.” (Asy-Syura: 42).

 

FirmanNya,   “Pelanggaran tanpa alasan yang benar,” menunjukkan bahwa setiap pelanggaran itu terjadi tanpa alasan yang benar, dan bukan berarti bahwa pelanggaran terbagi menjadi dua: pelanggaran dengan alasan yang benar dan pelanggaran tanpa alasan yang benar; karena semua pelanggaran adalah tanpa alasan yang benar.

 

Berdasarkan hal ini, maka penyifatan di sini dikenal dengan penyifatan kasyifah, yang disebutkan oleh para ulama dengan sifat kasyigh, yaitu sifat yang menjelaskan, karena ia berfungsi sebagai penjelas illat (sebab atau alasan) bagi kata yang disifati.

 

FirmanNya,   “Mempersekutukan sesuatu dengan Allah yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu,” jni satu rangkaian dengan ucapan sebelumnya, yakni Tuhanku mengharamkan tindakan mempersekutukan sesuatu denganNya di mana Dia tidak menurunkan hujjah atasnya. Hujjah disebut dengan sulthan, karena ia adalah sulthan (kekuatan) bagi orang yang berhujjah dengannya.

 

Pembatasan ini,  “Dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuknya,” penjelasannya sama dengan penjelasan yang kami kemukakan tadi pada “pelanggaran tanpa alasan yang benar,” yakni qaid kasyifah (batasan yang menyingkap), karena siapa pun yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti dia tidak mempunyai hujjah yang membela perbuatan syiriknya.

 

FirmanNya,   “Dan kalian berkata atas Nama Allah apa yang tidak kalian ketahui” yakni, Allah mengharamkan berbicara atas Nama Allah tanpa ilmu. Haram bagi kita berbicara atas Nama Allah tanpa ilmu, baik pada Dzatnya, atau Nama-namaNya, atau Sifat-sifatNya, atau Perbuatan-perbuatanNya, atau Hukum-hukumNya.

 

Lima perkara ini Allah haramkan bagi kita.

 

Ayat ini mengandung bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengharamkan apa yang tidak Allah haramkan.

 

Apabila ada yang bertanya, “Mana sifat salbiyah dalam ayat ini?”

 

Kami katakan ia adalah   “Mempersekutukan sesuatu dengan Allah yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (Allah mengharamkan) kalian berbicara atas Nama Allah apa yang tidak kalian ketahui.” Keduanya termasuk sifat-sifat salbiyah,  “Kalian mempersekutukan,” yakni janganlah kalian menjadikan sekutu bagiNya, karena kesempurnaanNya.   “Dan kalian berkata atas Nama Allah apa yang tidak kalian ketahui,” demi. kian pula karena kesempurnaanNya, karena kesempurnaan kekuasaanNya sehingga tidak seorang pun yang boleh berkata atas NamaNya tanpa ilmu.

 

Faidah dari ayat ini dari segi perilaku adalah menjauhi lima perkara yang Allah secara tegas lebih mengharamkannya.

 

Para ulama berkata, Lima perkara yang diharamkan ini termasuk perkara yang disepakati keharamannya oleh seluruh syariat.

 

Termasuk ke dalam berkata atas Nama Allah tanpa ilmu adalah menyelewengkan nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tentang Sifat-sifat Allah dan lainnya. Apabila seseorang mengubah dalil-dalil sifat; seperti dia mengatakan, “Yang dimaksud dengan kedua tangan adalah nikmat,” maka dia telah berkata atas Nama Allah tanpa ilmu dari dua segi: Pertama, menafikan zahir lafazh tanpa ilmu. Kedua, menetapkan lawannya bagi Allah tanpa dalil.

 

Dia berkata, “Maksud Allah bukan ini, akan tetapi itu.” Kami katakan, Datangkanlah dalil bahwa Dia tidak bermaksud ini akan tetapi itu. Apabila engkau tidak mendatangkan dalil, berarti engkau telah berkata atas Nama Allah tanpa ilmu.

 

Syarah:

 

Penulis (Syaikhul Islam) menetapkan istiwa’nya Allah di atas ArasyNya, dan itu terdapat pada tujuh tempat di dalam al-Qur an.

 

Tempat Pertama: Penulis berkata,

 

Dalam Surat al-A’raf, “Sesungguhnya tuhan kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” (Al-A’raf: 54).

 

  adalah khabar

 

“Menciptakan langit dan bumi;” artinya mengadakan keduanya dari ketiadaan dengan mantap dan kokoh sempurna.

 

“Dalam enam hari.” Dan lama hari-hari ini sama dengan hari-hari yang kita kenal, karena Allah menyebutkannya secara nakirah, maka ia dimaknai dengan apa yang diketahui.

 

Hari pertamanya adalah Ahad dan terakhirnya adalah Jum’at.

 

Empat hari untuk bumi dan dua hari untuk langit; sebagaimana Allah merinci hal itu dalam Surat Fushshilat.

 

Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Pantaskah kalian kafir kepada Tuhan Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kalian mengadakan pula sekutu-sekutu bagiNya? Itulah Tuhan seluruh alam. Dan Dia menciptakan padanya gunung-gunung yang kokoh di atasnya, dan Dia memberkahinya, dan Dia tentukan makanan-makanan (bagi penghuni)nya dalam empat hari, memadai untuk (memenuhi kebutuhan) mereka yang memerlukannya’.” (Fushshilat: 9-10) maka ia menjadi empat hari,

 

“Kemudian Dia menuju ke langit, dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kalian berdua (menurut perintahKu) dengan patuh atau terpaksa!’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan patuh.’ Lalu Dia menyelesaikan (penciptaan)nya menjadi tujuh langit dalam dua hari.” (Fushshilat: 11-12).

 

FirmanNya,   “Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.”  menunjukkan urutan.

 

artinya bersemayam.

 

adalah atap yang melingkupi seluruh makhluk. Dan kita tidak tahu dari bahan apa Arasy ini, karena tidak ada hadits shahih dari

 

Nabi  yang menjelaskan dari apa Arasy ini diciptakan, akan tetapi kita mengetahui bahwa ia adalah makhluk terbesar yang kita kenal.

 

– Asal Arasy secara etimologi adalah singgasana raja dan sudah dimaklumi bahwa singgasana raja pastilah besar dan agung, tak tertandingi.

 

Ayat ini mengandung beberapa Sifat Allah, akan tetapi penulis menurunkannya untuk menetapkan satu sifat yaitu bersemayamnya Allah di atas Arasy.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman bahwa Allah bersemayam diatas ArasyNya sesuai dengan keagunganNya dan tidak menyerupai bersemayamnya makhluk.

 

Apabila engkau bertanya, Apa makna istiwa’ menurut mereka?

 

Terdapat empat makna yang hadir dari as-Salaf tentang makna “bersemayam” yaitu,

 

Pertama, “berada di atas”.

 

Kedua, “di ketinggian”.

 

Ketiga, “naik.”

 

Dan keempat,   “menetap.”

 

Tiga yang pertama maknanya sama, sedangkan yang terakhir berbeda.

 

Dalil mereka dalam hal ini adalah bahwa dalam seluruh pemakaian bahasa Arab, kata ini tidak hadir kecuali dengan makna tersebut jika dia muta’addi (transitif) dengan kata bantu .

 

Allah  berfirman,

 

“Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu.” (Al-Mu’minun: 28).

 

Allah  juga berfirman,

 

“Dan menjadikan untuk kalian kapal dan binatang ternak yang kalian tunggangi supaya kalian duduk di atas punggungnya, kemudian kalian ingat nikmat Tuhan kalian apabila kalian telah duduk di atasnya.” (Az-Zukhruf: 42-13).

 

– Para penganut ta’thil menafsirkan (bersemayam) dengan (menguasai). Kata mereka, Makna

 

“Lalu Dia bersemayam di atas Arasy.” (Al-A’raf: 54), adalah   “menguasainya”.

 

Mereka berdalil membela penyelewengan mereka ini dengan dalil aktif dan dalil pasif.

 

Mereka berkata tentang dalil yang pertama, “Kami berdalil dengan ucapan seorang penyair

 

Bisyr menguasai Irak

Tanpa pedang dan pertumpahan darah.”

 

Bisyr di sini adalah Bisyr bin Marwan,  artinya   (menguasai) Irak.

 

Mereka berkata, Ini adalah bait syair dari penyair Arab asli. Tidak mungkin yang dimaksud dengan   adalah berada di atasnya, lebih-lebih pada waktu itu belum ada pesawat terbang yang membuatnya bisa berada di atas Irak.

 

Dalil kedua: mereka berkata, Kalau kita menetapkan bahwa Allah bersemayam   di atas Arasy Nya sebagaimana makna menurut kalian yaitu, ketinggian dan bersemayam, maka itu berarti Allah membutuhkan Arasy. Ini jelas mustahil, dan kemustahilan konsekuensi dari suatu pandangan menunjukkan kemustahilan pandangan tersebut. Juga hal itu berarti Allah adalah jasad karena bersemayamnya sesuatu di atas sesuatu, dalam arti bahwa ia berada di atasnya, berarti ia adalah jasad. Juga hal itu berarti Allah menjadi terbatas, karena yang bersemayam di atas sesuatu adalah dibatasi. Jika kamu berada di atas unta, maka berarti kamu dibatasi dan dilingkupi di tempat tertentu dan berada di atas sesuatu yang terbatas pula.

 

Menurut mereka, ketiga perkara ini merupakan konsekuensi dari penetapan istiwa’ dengan makna ketinggian .

 

Bantahan kepada mereka dari beberapa segi:

 

Pertama, tafsir kalian ini menyelisihi tafsir yang dipakai kaum Salaf. Dalil yang menunjukan ijma’ mereka adalah tidak adanya penukilan dari mereka yang menyelisihi zahir lafazh. Seandainya mereka berpendapat tidak sesuai dengan zahir lafazh, niscaya ia telah dinukil kepada kita. Tidak seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa  (bersemayam) maknanya adalah (menguasai).

 

Kedua, pendapat kalian menyelisihi zahir lafazh, karena kata yang muta’addi (transitif) dengan kata bantu  menunjukkan makna (ketinggian) dan (menetapi). Inilah zahir lafazh. Dan inilah penggunaannya di dalam al-Qur’an dan bahasa Arab.

 

Ketiga, pendapat kalian menyeret kepada konsekuensi-konsekuensi yang batil:

1). Bahwa ketika Allah menciptakan langit dan bumi Dia tidak menguasai Arasy, karena Allah berfirman,

 

“Yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” (Al-A’raf: 54).

 

Kata  menunjukkan urutan. Jadi sebelum penciptaan langit dan bumi, Arasy ini bukan milik Allah.

 

2). Kata  biasanya terjadi setelah saling mengalahkan, padahal tak seorang pun yang dapat mengalahkan Allah.

 

Ke manakah tempat berlari sedangkan Allah Yang mencari sementara al-Asyram yang kala, bukan dta yang menang!

 

3). Termasuk konsekuensi batil bahwa kita boleh mengatakan bahwa Allah bersemayam ( ) di atas tanah, pohon dan gunung; karena Dia menguasainya.

 

Semua ini adalah konsekuensi batil, dan kebatilan konsekuensi adalah bukti kebatilan suatu pandangan.

 

Adapun bantahan atas bait syair yang mereka jadikan sebagai dalil, maka kami katakan,

 

1). Buktikan kepada kami sanad bait tersebut dan bahwa perawinya tsiqah, dan mereka tidak akan mendapatkan jalan untuk itu’.

 

2). Siapa orang yang mengucapkannya itu? Bukankah mungkin pait tersebut diucapkan setelah terjadinya perubahan pada lisan orang-orang? Semua ucapan yang dijadikan dalil dalam bahasa Arab setelah terjadinya perubahan tersebut bukanlah merupakan dalil. Hal itu karena bahasa Arab berubah setelah meluasnya penaklukan negeri-negeri dan orang-orang ajam (non Arab) bersinggungan dengan orang-orang Arab, akibatnya adalah terjadinya pengaruh pada lisan orang-orang arab, dari sini, maka ada kemungkinan bait tersebut diucapkan setelah berubahnya bahasa Arab oleh pengaruh luar.

 

3). Tafsir kalian terhadap ( ) dengan ( ) pada bait tersebut adalah tafsir yang didukung oleh indikator, karena jelas tidak mungkin Bisyr naik ke atas kota Irak lalu bersemayam di atasnya seperti dia bersemayam di atas singgasana atau di atas punggung hewan tunggangan. Oleh karena itu ia ditafsirkan dengan ( ).

 

Kami katakan demikian semata-mata untuk menuruti pendapat kalian, karena jika tidak, maka kami memiliki jawaban yang lain.

 

Kami katakan, Kata ( ) dalam bait syair tersebut berarti   (berada di atas), karena   ada dua macam:

 

1).   secara riil seperti kita berada di atas ranjang.

 

2).  secara maknawi yang berarti menguasai dan menaklukkan,

 

Jadi makna   adalah sama dengan   dalam arti, menguasai dan menaklukkan.

 

Kemudian kalian mengatakan, Menafsirkan   dengan  “berada di atas” mengandung konsekuensi bahwa Allah itu adalah jasmani (fisik).

 

Kami jawab, Segala sesuatu yang merupakan konsekuensi dari Kitab Suci Allah dan Sunnah RasulNya adalah kebenaran, kita harus memegangnya dengan catatan bahwa hal itu benar-benar merupakan konsekuensi dari Kalam Allah dan RasulNya, karena bisa jadi ia bukan merupakan konsekuensi, kalau memang telah terbukti secara shahih bahwa ia adalah konsekuensi, maka begitulah dan tidak masalah bagi kita untuk mengatakannya.

 

Kami katakan, Apa yang kalian maksud dengan jasad yang tidak mungkin?

 

Kalau maksud kalian adalah bahwa Allah tidak memiliki Dzat yang memiliki sifat-sifat yang lazim dan layak bagiNya maka pendapat kalian ini adalah batil karena Allah mempunyai Dzat yang hakiki yang memiliki Sifat-sifat; Dia memiliki Wajah, Tangan, Mata dan Kaki. Selanjutnya katakan apa yang kalian mau dari konsekuensi-konsekuensi yang merupakan konsekuensi kebenaran.

 

Kemudian apa yang kalian maksud dengan fisik (jasmani) yang tidak mungkin bagi Allah?

 

Kalau maksud kalian dengan jasad yang tidak mungkin adalah Allah memiliki jasad yang tersusun dari tulang-tulang, daging, darah dan lain-lain, maka itu memang tidak mungkin bagi Allah dan ini bukan merupakan konsekuensi dari pendapat bahwa makna Istiwa’ Allah di atas Arasy adalah bersemayamnya Dia di atasnya.

 

Ucapan mereka, Konsekuensinya adalah bahwa Allah terbatas.

 

Jawabnya adalah dengan perincian. Apa yang kalian maksud dengan batas?

 

Kalau maksud kalian bahwa Allah terbatas adalah bahwa Dia berbeda dan terpisah dari makhluk, seperti halnya tanah milik Zaid dan tanah lain milik Umar, maka tanahnya tertentu, terbatas, tetap! terpisah. Dari ini, maka ini benar tidak ada kekurangan sedikit pun.

 

Kalau maksud kalian bahwa Allah terbatas adalah bahwa Arasy meliputiNya, maka ini adalah batil dan bukan merupakan konsekuensi. Allah bersemayam di atas ArasyNya, meskipun Allah lebih besar daripada Arasy dan selain Arasy, tidak berarti Arasy meliputiNya bahkan tidak mungkin ia meliputiNya, karena Allah lebih besar dan lebih agung daripada segala sesuatu. Semua bumi berada dalam genggamanNya pada Hari Kiamat dan langit-langit tergulung di Tangan KananNya.

 

Ucapan mereka: Konsekuensi lain adalah Allah membutuhkan Arasy

 

Kami katakan, Tidak harus demikian, karena makna bersemayam di atas Arasy adalah bahwa Dia di atas Arasy, akan tetapi ia adalah “berada di atas” secara khusus, bukan berarti Allah membutuhkan Arasy, tidak demikian, Allah tidak membutuhkan Arasy dan juga tidak membutuhkan langit. Konsekuensi yang kalian klaim ini tidak mungkin, karena bagi Allah ia merupakan kekurangan dan bukan merupakan konsekuensi dari  (bersemayam) yang hakiki, karena kami tidak mengatakan bahwa makna  “bersemayam di atas Arasy” adalah bahwa Allah membutuhkan Arasy dan Arasy memikulNya. Arasy sendiri diusung,

 

“Dan para malaikat berada di berbagai penjurunya (langit). Pada hari itu delapan malaikat menjunjung Arasy (singgasana) Tuhanmu di atas (kepala) mereka.” (Al-Haqqah: 17).

 

Ia sekarang dipikul oleh para malaikat, tetapi Arasy tidak memikul Allah, karena Allah tidak memerlukannya dan tidak membutuhkannya. Dengan ini batallah hujjah pasif mereka.

 

Ringkasan bantahan kami terhadap pendapat mereka adalah dari beberapa segi.

 

Pertama, pendapat mereka menyelisihi zahir dalil.

 

Kedua, pendapat mereka menyelisihi ijma’ para sahabat Nabi dan yyma’ as-Salaf seluruhnya.

 

Ketiga, dalam bahasa Arab tidak ada kata dengan makna  (menguasai). Dan bait syair yang mereka jadikan dalil dalam masalah ini tidak layak untuk dijadikan sebagai dalil.

 

Keempat, pendapat tersebut menyeret kepada konsekuensi-konsekuensi yang batil, di antaranya:

 

  1. Sebelum penciptaan langit dan bumi Arasy bukanlah milik Allah,

 

  1. Kata ( ) mengandung makna perebutan antara Allah dengan selainNya lalu Allah menang dan menguasai.

 

  1. Menurut pendapat kalian, boleh kita katakan bahwa Allah bersemayam di atas tanah, pohon, gunung, manusia, dan unta, karena Dia menguasai semua itu. Jika kata ( ) boleh digunakan untuk sesuatu, maka sama halnya dengan kata ( ), karena kedua kata ini menurut kalian adalah sinonim.

 

Dengan poin-poin ini, terbuktilah bahwa tafsir mereka adalah batil,

 

Manakala Abul Ma‘ali al-Juwaini -semoga Allah memaafkannya menetapkan madzhab Asy’ariyah dan mengingkari bersemayam. nya Allah di atas Arasy, bahkan ia mengingkari keberadaan Allah di atas sana dengan DzatNya, dia berkata, “Adalah Allah telah ada dan tidak ada sesuatu yang ada selainNya dan Dia sekarang tetap dalam keadaanNya semula.” Dia ingin dengan ucapannya ini mengingkari bersemayamnya Allah di atas Arasy, yakni Allah telah ada dan Arasy belum ada dan Dia sekarang tetap berada dalam keadaanNya semula, jadi Allah tidak bersemayam di atas Arasy.

 

Maka Abul A’la al-Hamadzani menyela, “Wahai Ustadz, kita lupakan Arasy dan bersemayamnya Allah di atas Arasy -yakni karena dalilnya adalah naqli, kalau Allah tidak memberitahu tentu kita tidak mengetahui-, sekarang katakan kepada kami tentang apa yang pasti ada dalam jiwa kita, yaitu bahwa tidak ada seorang pun yang mengenal Allah yang mengatakan, ‘Ya Allah’, kecuali di hatinya terdapat sesuatu yang membimbingnya untuk menghadap ke atas.” Maka Abul Mai‘ali terperanjat dan menepuk kepalanya sambil berkata, “Al-Hamadzani membuatku bingung, al-Hamadzani membuatku bingung.” Itu karena hal ini adalah dalil fitrah, tidak seorang pun mengingkarinya.

 

Tempat kedua:

 

Dalam surat Yunus, Allah   berfirman, “Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” (Yunus: 3).

 

Kami berkata terkait dengannya sebagai penjelasan ayat yang pertama.

 

Tempat ketiga:

 

Dalam Surat ar-Ra’d, Allah berfirman, “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kalian lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” (Ar-Ra’d: 2).

 

“Meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kalian lihat.”   yakni, tanpa penyangga. Apakah benar-benar tidak bertiang? Ataukah bertiang tetapi tidak terlihat bagi kita?

 

Terdapat perbedaan di kalangan ahli tafsir, di antara mereka ada yang berpendapat bahwa kalimat   “yang kalian lihat” adalah sifat bagi “tiang.” Jadi maknanya, tanpa tiang yang terlihat olehmu padahal ia bertiang. Ada pula yang berpendapat bahwa kalimat “yang kalian lihat” adalah kalimat baru. Jadi artinya, yang kamu lihat tanpa tiang. Pendapat yang kedua ini lebih dekat; karena langit memang tidak memiliki tiang, baik yang terlihat ataupun yang tidak terlihat. Kalau ia memiliki tiang, biasanya ia terlihat, meskipun terkadang Allah menyembunyikan dari kita sebagian makhlukNya karena hikmah yang diinginkanNya.

 

FirmanNya,   “Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” Inilah inti ayat yang berkait dengan topik pembahasan. Dan penjelasannya sama dengan sebelumnya.

 

Tempat keempat: 

 

Dalam Surat Thaha, Allah  berfirman, “Allah yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.” (Thaha: 5).

 

didahulukan atas   padahal ia adalah obyeknya; fungsinya adalah untuk menunjukkan makna pembatasan dan pengkhususan serta penjelasan bahwa Allah tidak bersemayam kecuali di atas Arasy. Dan disebutkannya  ‘Yang Maha Pemurah” di sini merupakan isyarat bahwa meskipun Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung Dia tetap memiliki Sifat rahmat.

 

Tempat kelima:

 

Dalam Surat al-Furqan, FirmanNya, “Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah.” (Al-Furqan: 59).

 

“Yang Maha Pemurah,” adalah subyek dari 

 

“bersemayam.”

 

Tempat keenam:

 

Dalam Surat Alif Lam Mim as-Sajdah, Allah berfirman, “Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari (masa), kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” (As-Sajdah: 4).

 

Penjelasannya sama dengan penjelasan pada dua ayat sebelumnya, yaitu ayat dalam Surat al-A’raf dan ayat dalam Surat Yunus, dengan tambahan:

 

“Apa yang di antara keduanya” yaitu, di antara langit dan bumi. Yang ada di antara keduanya adalah makhluk-makhluk pare besar yang berhak disejajarkan dengan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang besar ini ada yang kita ketahui seperti matahari, rembulan, bintang-bintang, awan, dan ada pula yang belum kita ketahui sampai Saat ini.

 

Tempat ketujuh:

 

Dalam Surat al-Hadid, Allah   berfirman, “Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa), kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” (Al-Hadid: 4).

 

Ini adalah tujuh tempat dalam al-Qur’an di mana padanya Allah menyebutkan kata  yang muta’addi (transitif) dengan kata bantu

 

Setelah keterangan ini, maka (perlu diketahui bahwa) para ulama berkata, Asal usul materi kata ini  menunjukkan kesempurnaan,

 

“Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaanNya).” (Al-A’la: 2).

 

Yakni, menyempurnakan apa yang Dia ciptakan. Maka asal materi kata dasar ini, yaitu sin, wawu, dan ya’ menunjukkan makna kesempurnaan.

 

Kemudian dalam bahasa Arab ia dipakai dalam empat bentuk kalimat: Pertama, muta’addi (transitif) dengan ( ), kedua, muta’addi (transitif) dengan ( ) dirangkaikan dengan wawu dan berdiri sendiri tanpa kata bantu sesudahnya.

 

Yang muta’addi dengan ( ) adalah seperti, “Dia bersemayam di atas Arasy,” (al-Hadid: 4), maknanya adalah tinggi dan menetap.

 

Yang muta’addi dengan  adalah seperti,

 

“Kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit.” (Al-Baqarah: 29).

 

Apakah maknanya sama dengan sebelumnya yang muta’addi dengan

 

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir.

 

Di antara mereka ada yang berkata, Makna keduanya adalah satu. Ini adalah Zahir tafsir Ibnu Jarir . Jadi, makna  yakni, naik ke langit.

 

Di antara mereka ada yang berkata, Dengan  maknanya menuju ke sana yang sempurna. Jadi   yaitu, menuju kepadanya dengan sempurna. Pemilik pendapat ini mendukung tafsir mereka bahwa ia dijadikan Kata kerja transitif dengan kata bantu yang menunjukkan makna ini, yaitu . Ini adalah pendapat Ibnu Katsir. Jadi, dia menafsirkan Firman Allah,   dengan menuju ke langit, katanya di sini mengandung makna menuju dan datang kepada, karena kata ini dijadikan kata kerja transitif dengan

 

Yang dirangkaikan dengan wawu sesudahnya seperti ucapan mereka   artinya, air dan kayu adalah sama, dan yang tanpa disertai kata bantu adalah seperti Firman Allah,

 

“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya.” (Al-Qashash: 14) dan artinya adalah sempurna.

 

Catatan:

 

Apabila kita katakan bahwa Allah bersemayam di atas Arasy, maka di sini timbul pertanyaan, yaitu bahwa Allah menciptakan langit kemudian bersemayam di atas Arasy; apakah ini berarti bahwa sebelum itu Dia tidak Mahatinggi?

 

Jawaban: Tidak berarti begitu, karena Allah bersemayam di atas Arasy lebih khusus dari sekedar bertempat. la adalah bersemayam yang khusus bagiNya dan keberadaan Allah di atas itu sendiri mencakup di tas seluruh makhluk. Jadi uluw (ketinggian) Allah tetap dimilikiNya secara azali dan abadi. Dia Maha Tinggi di atas segala sesuatu sebelum menciptakan Arasy. Tidak bersemayamnya Allah di atas Arasy tidak berarti bahwa Dia tidak Maha Tinggi , Dia senantiasa Mahatinggi dan kemudian setelah menciptakan langit dan bumi Dia bersemayam secara khusus di atas ArasyNya.

 

Apabila engkau berkata, “Kami memahami dari ayat yang mulia ni bahwa ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Dia tidak bersemayam di atas Arasy. Apakah sebelum Dia menciptakan langit dan bumi Dia bersemayam di atas Arasy atau tidak?”

 

Jawaban: Hanya Allah lebih mengetahui tentang itu.

 

Apabila engkau berkata, “Allah bersemayam di atas Arasy, apakah itu Sifat Fi’liyah atau Dzatiyah?”

 

Jawaban: itu termasuk Sifat Fi’liyah, karena ia berkaitan dengan kehendaknya. Semua sifat yang berkaitan dengan kehendakNya itu berarti Sifat Fi’liyah.

 

Syarah:

 

Penulis (Syaikhul Islam) menyebutkan enam ayat tentang tingginya Allah atas makhluk-makhlukNya.

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Wahai Isa, sesungguhnya Aku mengambilmu dan mengangkat kamu kepadaKu.” (Ali Imran: 55).

 

Ayat ini ditujukan kepada Nabi Isa putra Maryam yang Allah ciptakan melalui seorang ibu tanpa bapak. Oleh karenanya, dia dinasabkan kepada ibunya; Isa putra Maryam.

 

Allah berfirman,   para ulama menyatakan bahwa

 

Pada masalah ini terdapat tiga pendapat: Pertama,   maknanya adalah memegang (mengambil) mu. Mereka berkata,  yakni, memegang (mengambil) haknya, Kedua,   maknanya adalah menidurkanmu, karena tidur adalah satu bentuk wafat.

 

“Dan Dia-lah Yang menidurkan kalian pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kalian pada siang hari untuk disempurnakan umur (kalian) yang telah ditetapkan.” (Al-An‘am: 60).

 

Ketiga,   maknanya adalah mematikanmu. Contohnya adalah firman Allah,

 

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (Az-Zumar: 42).

 

Pendapat ketiga ini jauh dari kebenaran, karena Nabi Isa   belum mati dan beliau nanti akan turun di akhir zaman. Firman Allah,

 

“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.” (An-Nisa’: 159).

 

Yakni, sebelum kematian Nabi Isa, menurut salah satu dari dua pendapat, dan hal itu manakala dia turun di akhir zaman. Ada yang berkata, Sebelum kematian satu orang, maksudnya adalah tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab apabila kematian menghadirinya, kecuali dia beriman kepada Nabi Isa, bahkan orang Yahudi sekalipun. Hanya Saja pendapat terakhir ini lemah.

 

Sekarang tinggal membandingkan antara pendapat pertama dan pendapat kedua. Kami katakan, Keduanya mungkin digabungkan. Allah memegangnya pada waktu dia tidur yakni, Allah menidurkannya, kemudian mengangkatnya. Tidak ada pertentangan antara kedua perkara tersebut.

 

FirmanNya,   “Dan mengangkatmu kepadaKu.” Inilah masalah yang berkaitan dengan tema pembahasan.   “KepadaKu,” Menunjukkan batas akhir, dan FirmanNya,   “dan mengangkat mu kepadaKu,” menunjukkan bahwa Dzat di mana Nabi Isa diangkat kepadaNya adalah Mahatinggi. Ini menunjukkan tingginya Allah .

 

Kalau ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah mengangkatmu dari segi kedudukan, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (Ali Imran: 45).

 

Kami katakan, Ini tidak benar, karena kata (mengangkat) di ini dijadikan kata transitif dengan kata bantu yang mengkhususkan makna fauqiyah (ketinggian), yaitu mengangkat jasad, bukan kedudukan.

 

Ketahuilah bahwa ketinggian Allah terbagi menjadi dua: ketinggian maknawi dan ketinggian Dzat.

 

Tentang ketinggian maknawi, maka dimiliki secara pasti oleh Allah berdasarkan kesepakatan seluruh kaum Muslimin, yakni dengan ijma’ dari ahli bid’ah dan Ahlus Sunnah. Mereka semua meyakini bahwa Allah Maha Tinggi secara maknawi.

 

Dan tentang ketinggian DzatNya ditetapkan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada Allah dan tidak ditetapkan oleh ahli bid’ah, kata mereka: Allah tidak tinggi dari segi DzatNya.

 

Kita mulai terlebih dahulu dengan dalil-dalil Ahlus Sunnah wal Jama’ah atas tingginya Dzat bagi Allah. Kami katakan, Ahlus Sunnah wal Jama‘ah berdalil dengan al-Qur an, as-Sunnah, ijma’, akal, dan fitrah, semuanya menetapkan kemahatinggian Allah secara Dzat.

 

Pertama: Beragam petunjuk dalam al-Qur an tentang tingginya Allah. Terkadang dengan menyebut terkadang dengan menyebut fauqiyah, terkadang dengan menyebutkan turunnya perkara-perkara dariNya, terkadang dengan menyebutkan naiknya perkara-perkara kepadaNya dan terkadang dengan menyatakan bahwa Dia di langit.

 

1). Dengan kata   seperti FirmanNya,

 

“Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.” (Al-Baqarah: 255).

 

“Sucikanlah Nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1).

 

2). Dengan kata fauqiyah, seperti FirmanNya,

 

“Dan Dia-lah Yang Maha berkuasa di atas hamba-hambaNya.” (Al An’am: 18)

 

” Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (An-Nahl: 50).

 

3). Turunnya perkara-perkara dariNya, seperti FirmanNya,

 

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi.” (As-Sajdah: 5).

 

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur-an.” (Al-Hijr: 9). Dan lain-lain.

 

4). Naiknya perkara-perkara kepadaNya, seperti firmanNya

 

“KepadaNya-lah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal shalih Dia akan mengangkatnya.” (Fathir: 10).

 

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepadaNya.” (AI-Ma’arij: 4).

 

5). Dia di atas langit, seperti FirmanNya,

 

“Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian.” (Al-Mulk: 16).

 

Kedua: As-Sunnah telah hadir secara mutawatir dari Nabi dari perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau.

 

1). Dari perkataan Rasulullah  :

 

la hadir menyebutkan uluw dan fauqiyah. Sabda Nabi,

 

“Maha Suci Allah Yang Mahatinggi.”

 

Sabda beliau ketika menyinggung langit.

 

“Allah di atas Arasy”.

 

Perkataan Nabi  hadir dengan menyebutkan bahwa Allah berada di langit, seperti sabda beliau,

 

“Mengapa kalian tidak memercayaiku, padahal aku adalah orang kepercayaan Dzat Yang di atas langit.”

 

2). Dari perbuatan Nabi   adalah seperti beliau mengangkat telunjuknya ke langit pada saat beliau berkhutbah di Hari Arafah di hadapan orang yang sangat banyak pada saat Haji Wada’. Para sahabat tidak pernah berkumpul dalam jumlah yang lebih besar daripada itu, karena peserta haji bersama Nabi  sekitar seratus ribu orang dan Nabi  wafat sementara mereka berjumlah sekitar seratus dua puluh empat ribu orang, ini berarti bahwa mayoritas kaum Muslimin hadir di perkumpulan tersebut. Nabi  bersabda, “Bukankah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya.” (Nabi mengulang), “Bukankah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab “Ya.” (Nabi mengulang), “Bukankah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi  bersabda, “Ya Allah, saksikanlah,” sambil beliau menunjuk dengan jarinya ke langit dan mengarahkannya kepada hadirin 

 

Termasuk dalam hal ini adalah kedua tangan beliau mengarah ke langit pada saat berdoa.

 

Ini adalah penetapan ketinggian bagi Allah dengan perbuatan.

 

3), Dari ketetapan Nabi adalah hadits Mu’awiyah bin al-Hakam bahwa dia datang kepada Nabi  dengan membawa hamba sahaya perempuannya yang ingin dia merdekakan. Nabi  bertanya kepada hamba sahaya tersebut,

 

“Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di atas langit.” Nabi bertanya, “Siapa saya?” Dia menjawab, ” Rasulullah.” Nabi  bersabda (kepada Mu’awiyah), “Merdekakan dia karena dia seorang Mukminah.”

 

Hamba sahaya ini tidak belajar, dan biasanya para hamba sahaya adalah orang-orang yang bodoh, lebih-lebih dia tidak merdeka, tidak memiliki dirinya. Meskipun demikian, dia mengetahui bahwa Tuhannya di atas langit. Pada saat yang sama terdapat manusia-manusia sesat yang mengingkari bahwa Allah di atas langit, kata mereka, “Dia tidak di atas alam, tidak di bawah, tidak di kanan dan tidak di kirinya,” atau “Dia di segala tempat.”

 

Ini semua adalah dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Ketiga: Dari ijma’. As-Salaf telah berijma’ bahwa Allah dengan DzatNya berada di atas langit sejak masa Rasulullah  sampai hari kita ini.

 

Kalau engkau bertanya: Bagaimana mereka berijma’?

 

Kami jawab: Mereka memberlakukan ayat-ayat dan hadits-hadits dengan makna (zahir) seperti ini, padahal uluw, fauqiyah, turunnya perkara-perkara dariNya dan naiknya ia kepadaNya, diulang-ulang di dalamnya tanpa mereka hadirkan makna yang menyelisihi, ini adalah merupakan ijma’ dari mereka atas makna zahir yang dimaksud.

 

Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata, “As-Salaf telah berijma’

 

atas hal itu.” Dia juga mengatakan, “Tidak dinukil dari salah seorang un di antara mereka bahwa Allah tidak di atas langit, atau Allah di bumi, atau Allah tidak di dalam alam, tidak di luar alam, tidak bersambung, tidak terpisah, atau Allah tidak bisa ditunjuk dengan isyarat riil.”

 

Keempat: Adapun dalil akal, maka kami katakan tanpa ragu, bahwa Allah mungkin di atas dan mungkin di bawah, tetapi yang kedua ini mustahil, karena ia adalah kekurangan yang berarti makhluk berada di atasNya, maka Dia tidak memiliki ketinggian yang sempurna, kekuasaan yang sempurna, dan kekuatan yang sempurna pula. Jika Allah mustahil berada di bawah, maka Allah pasti berada di atas.

 

Ada dalil aqli, lain yaitu kita katakan bahwa al-Uluw (ketinggian) adalah sifat kesempurnaan berdasarkan kesepakatan orang-orang berakal. Kalau memang ia adalah sifat kesempurnaan, maka harus ditetapkan bagi Allah, karena setiap sifat kesempurnaan yang mutlak adalah tetap bagi Allah.

 

Kami katakan, “Mutlak”untuk menghindari kesempurnaan yang relatif, yang merupakan kesempurnaan dalam satu kondisi dan kekurangan dalam kondisi yang lain. Tidur misalnya, ia adalah kekurangan, akan tetapi bagi yang memerlukannya untuk memulihkan kekuatannya ia adalah kesempurnaan.

 

Kelima: Adapun dalil fitrah, maka ia adalah perkara yang tidak mungkin diperdebatkan dan diingkari, karena setiap manusia telah difitrahkan bahwa Allah memang di atas langit. Oleh karena itu, ketika kamu dihadapkan kepada suatu persoalan yang tidak mungkin kamu hadapi dan kamu menghadap kepada Allah untuk menghadapinya, maka hatimu mengarah ke langit. Bahkan orang-orang yang mengingkari keberadaan Dzat Allah di atas sana, tidak mampu mencegah kedua tangannya (menghadap ke langit) lalu menghadapkannya ke bumi.

 

Ini adalah fitrah yang tidak mungkin diingkari.

 

Bahkan mereka berkata: Sebagian makhluk yang tidak berbicara mengetahui bahwa Allah di atas langit, sebagaimana di dalam hadits, diriwayatkan, “Bahwa Nabi Sulaiman bin Nabi Dawud  keluar untuk memohon diturunkannya hujan bersama orang-orang. Ketika beliau keluar beliau melihat seekor semut terlentang mengangkat kakinya ke langit semut itu berkata, ‘Ya Allah, kami adalah makhlukMu dan kami selalu membutuhkan airMu.’ Sulaiman berkata, ‘Pulanglah kalian, karena kalian pasti diturunkan hujan dengan doa selain kalian’.”

 

Ini adalah ilham yang fitri.

 

Kesimpulannya adalah bahwa masalah Allah ada di atas langit adalah perkara yang maklum oleh fitrah.

 

Demi Allah, kalau bukan karena rusaknya fitrah para pengingkar tersebut, tanpa membuka kitab pun niscava mereka mengetahuj bahwa Allah di atas langit karena perkaranya yang ditetapkan oleh fitrah, tidak perlu mengkaji kitab-kitab.

 

Orang-orang yang mengingkari tingginva Allah dengan DzatNya berkata, “Kalau Allah berada di atas sana dengan DzatNya, berarti Allah di suatu arah. Jika Dia di suatu arah, berarti Dia terbatas (oleh ruang tempat) dan Dia adalah jasad, dan ini mustahil.”

 

Jawaban atas ucapan mereka bahwa hal itu berarti Allah terbatas dan jasad, adalah:

 

Pertama: Tidak boleh menolak petunjuk dalil-dalil dengan alasan-alasan seperti ini. Kalau ini boleh, niscaya siapapun yang ingin menolak dalil dia bisa melakukan hal yang sama, menolaknya dengan alasan yang dibuat-buat seperti ini.

 

Jika Allah telah menetapkan Sifat ketinggian untuk DiriNya dan Rasulullah juga menetapkannya serta as-Salaf pun menetapkannya juga, maka siapa pun yang datang dan berkata, Tidak mungkin yang dimaksud dengan ketinggian tersebut adalah DzatNya. Kalau begitu, maka maksudnya adalah begini, ini tidak diterima.

 

Kedua: Kalau apa yang kalian katakan itu adalah konsekuensi yang shahih dari penetapan Sifat al-Uluw, maka kami pun tidak menolaknya, karena konsekuensi kalam Allah dan RasulNya adalah kebenaran; karena Allah mengetahui konsekuensi dari kalamNya. Seandainya dalil-dalil uluw menyeret kepada konsekuensi yang batil, niscaya Dia menjelaskannya, ini adalah bukti bahwa ia memang tidak berkonsekuensi batil.

 

Ketiga: Kami bertanya, Apa itu “batas” dan “jasad” yang tentangnya kalian menyerang kami dengan mengerahkan segala kengototan?

 

Apakah yang kalian maksud dengan batas adalah sesuatu dari makhluk yang meliputi Allah? Kalau ini, maka jelas batil dan harus ditiadakan dari Allah, serta bukan merupakan konsekuensi dari penetapan sifat al-Uluw bagi Allah. Atau yang kalian maksud dengan batas adajah bahwa Allah terpisah (terlepas) dari makhlukNya dan tidak berada pada mereka? Kalau ini, maka jelas benar dari segi makna. Hanya saja kita tidak memakai kata ini, baik untuk menetapkan atau menafikan, karena ia tidak tercantum di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Adapun “jasad,” maka kami bertanya, Apa yang kalian maksud dengan jasad? Apakah maksud kalian adalah jasad yang tersusun dari tulang, daging, kulit dan sebagainya? Ini batil dan tidak dinisbatkan kepada Allah, karena tidak ada sesuatu pun yang menyamai Allah dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Ataukah yang kalian maksud dengan jasad adalah Dzat yang berdiri sendiri yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Kalau ini yang kamu maksud maka ia benar dari segi makna, hanya saja kami tidak memakainya, baik untuk menafikan atau menetapkan karena alasan yang sama.

 

Hal yang sama kami katakan tentang arah. Apakah maksud kalian adalah bahwa Allah memiliki arah yang meliputiNya? Ini batil dan bukan merupakan konsekuensi dari penetapan Sifat al-Uluw. Atau yang kalian maksud adalah arah atas yang tidak meliputi Allah? Maka ini benar, dan tidak boleh dinafikan dari Allah.

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Akan tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepadaNya.” (An-Nisa’: 158).

 

“Akan tetapi,” adalah untuk mengalihkan dan membatalkan, yakni membatalkan ucapan mereka,

 

“Dan (Kami menghukum juga) karena ucapan mereka, ‘‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal me. reka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan (dengan Isa) bagi mereka. Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), melainkan mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak membunuhnya secara yakin, tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadiratNya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(An-Nisa’: 157-158).

 

Allah menyatakan mereka berdusta dengan,

 

“Dan mereka tidak membunuhnya secara yakin, tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadiratNya.”

 

Yang berkait dengan topik ini adalah,  “tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadiratNya.” la secara jelas menetapkan bahwa Allah Maha Tinggi dengan DzatNya, karena diangkatnya sesuatu kepadaNya menunjukkan bahwa Dia adalah tinggi.

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Kepadanya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkanNya.” (Fathir: 10).

 

“KepadaNya,” maksudnya, kepada Allah

 

“Naik perkataan-perkataan yang baik.”

 

Kata ” adalah jamak, kata tunggalnya adalah  dan jamak  adalah , dan  meliputi semua kata-kata yang mendekatkan kepada Allah, seperti membaca al-Qur‘an, dzikir, ilmu, amar ma’ruf dan nahi mungkar. Semua kalimat yang mendekatkan kepada Allah adalah kalimat thayyibah, ia naik dan sampai kepada Allah dan Allah juga mengangkat amal shalih kepadaNya.

 

Kalimat naik kepada Allah dan Allah mengangkat amal shalih; ini membuktikan bahwa Allah Mahatinggi dengan DzatNya, karena perkara-perkara itu naik dan terangkat kepadaNya.

 

Ayat keempat:

 

firmanNya, “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhannya Musa dan sesungguhnya aku yakin dia seorang pendusta.” (Al-Mu’min: 36-37).

 

Haman adalah menteri Fir’aun dan Fir’aunlah yang memerintahkannya untuk membuat bangunan.

 

yakni, bangunan yang tinggi.

 

“Supaya aku sampai ke pintu-pintu, yaitu pintu-pintu langit,” yakni agar aku bisa mencapai jalan yang menyampaikanku ke langit.

 

“Supaya aku dapat melihat Tuhannya Musa,” yakni memandang kepadaNya dan sampai kepadaNya secara langsung, karena Nabi Musa = berkata kepada Fir’aun bahwa Allah di ( atas langit. Lalu Fir’aun hendak mendustai kaumnya dengan memerintahkan membangun bangunan yang tinggi lalu dia memanjatnya kemudian berkata, Aku tidak menemukan siapa pun. Ada kemungkinan Fir’aun mengucapkannya secara ngawur, dia berkata: Sesungguhnya Musa berkata bahwa Tuhannya di atas langit, bawalah kami naik agar kami bisa melihatnya. Ini adalah ucapan asal-asalan.

 

Apa pun, yang jelas Fir’aun telah berkata,  “Dan sesungguhnya aku yakin dia seorang pendusta.” Ini dia ucapkan untuk mengelabui kaumnya, karena jika tidak, maka dia sendiri mengetahui bahwa Nabi Musa itu benar. Nabi Musa telah berkata kepadanya, “Sungguh kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata.” (Al-Isra’: 102).

 

Nabi Musa tidak berkata, “Kamu tidak mengetahui,” akan tetapi dia membuatnya mengakui berita ini yang ditegaskan dengan huruf lam, ‘qad’, dan sumpah. Di ayat lain, Allah berfirman,

 

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (An-Naml: 14).

 

Inti masalah yang berkaitan dengan topik ini adalah perintah Fir’aun membangun bangunan yang tinggi yang dengannya dia bisa melihat Tuhannya Nabi Musa; menunjukkan bahwa Nabi Musa telah berkata kepada Fir’aun dan pengikutnya bahwa Allah ada di atas langit, Jadi mengenai Allah berada di atas sana dengan DzatNya telah ditetap. kan pula oleh syariat-syariat terdahulu.

 

Ayat kelima dan keenam:

 

FirmanNya, “Apakah kalian merasa aman terhadap Dia yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau apakah kalian merasa aman terhadap Dia yang di atas langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu? Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatanKu.” (Al-Mulk: 16-17).

 

Yang ada di atas langit (dalam ayat ini) adalah Allah, akan tetapi Dia menyebutkan hal itu dengan kinayah, karena konteksnya adalah konteks menunjukkan keagunganNya dan bahwa Dia berada di atas mereka, menguasai mereka dan berwenang atas mereka karena yang tinggi mempunyai kekuasaan atas yang ada di bawahnya.

 

“Sehingga tiba-tiba bumi itu berguncang,” yakni, bergetar kuat.

 

Jawaban: Demi Allah, kita tidak merasa aman. Kita takut apabila dosa-dosa kita menumpuk, bumi akan menenggelamkan kita.

 

Amblasnya lempengan bumi atau gunung meletus dan sebagainya, itulah yang dengannya Allah mengancam kita di sini, akan tetapi mereka memakai kata-kata lembut demi meringankan bebannya dari orang-orang umum.

 

yakni, akan tetapi apakah kalian merasa aman?  di sini permakna  “tetapi” dan ditambah hamzah sehingga bermakna 

 

“Bahwa Dia akan mengirim badai yang berpatu,” yaitu azab yang turun dari atas seperti yang terjadi pada orang-orang sebelum mereka seperti kaum Luth dan pasukan gajah. Kalau dari bawah disebut  (penenggelaman).

 

Allah mengancam kita dari atas dan dari bawah. Firman Allah,

 

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami azab karena dosa-dosanya,. Di antara mereka ada yang Kami kirimkan kepadanya hujan batu kerikil, ada yang ditimpa suara keras yang menggelegar, ada yang Kanu benamkan ke dalam bumi, dan ada pula yang Kami tenggelamkan.” (Al-Ankabut: 40).

 

Empat macam azab; dan di sini disebutkan dua macam, yaitu azab dari atas, yaitu hujan batu kerikil dan azab dari bawah, yaitu di

 

benamkan ke dalam bumi.

 

Yang berkait dari ayat ini dengan topik adalah Yang di atas langit,” yaitu Allah. Ini adalah dalil yang menunjukkan Maha Tingginya Allah dengan DzatNya.

 

Tetapi di sini terdapat permasalahan, yaitu bahwa  berfungsi sebagai zharaf (keterangan tempat). Jika Allah di langit dan  “di” sebagai zharaf, maka tempat meliputi yang bertempat. Seandainya engkau berkata, “Air di gelas,” maka gelas itu meliputi air dan ia lebih luas daripada air. Jika Allah berfirman,  “Apakah kalian merasa aman terhadap siapa yang di langit,” maka zahirnya adalah bahwa langit meliputi Allah. Dan zahir ini adalah batil, jika zahir ini adalah batil, maka kita mengetahui dengan yakin bahwa itu bukan yang dimakSud oleh Allah, karena tidak mungkin zahir al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sesuatu yang batil. Apakah jawaban dari permasalahan ini?

 

Para ulama berkata, Menjawab ini kita bisa menempuh Salah satu Jalan:

 

1). Kita mengartikan langit dengan al-Uluw (tinggi) dan langit dengan makna ini ada dalam bahasa Arab bahkan di dalam al-Qur’an.

 

Allah  berfirman,

 

“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirkan air di lembah-lembah menurut ukurannya.” (Ar-Ra’d: 17).

 

Yang dimaksud dengan langit di sini adalah di atas, karena hujan turun dari awan, bukan dari langit yang merupakan atap yang dibuat Allah dan awan ini tinggi di antara langit dan bumi. FirmanNya,

 

“Dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi.” (Al-Baqarah: 164).

 

Jadi makna “Siapa yang di langit,” yakni, Allah yang tinggi di atas sana.

 

Tidak ada permasalahan setelah ini. Jadi, Dia di atas sana, tidak didekati oleh sesuatu dan tidak ada sesuatu pun di atasNya.

 

2). Atau kita menjadikan  dengan makna  dan langit adalah langit yang dikenal yaitu atap yang terjaga.  dengan makna  adalah benar di dalam bahasa Arab bahkan di dalam al-Quran. Fir’aun berkata kepada tukang-tukang sihirnya yang beriman,

 

“Dan aku sesungguhnya akan menyalib kalian pada pangkal kurma.” (Thaha: 71), yakni, di atas batang pohon kurma.

 

Jadi makna  “Siapa yang di langit,” adalah Allah yang di atas langit. Setelah ini tidak ada lagi permasalahan.

 

Apabila engkau berkata, “Bagaimana menggabungkan antara ayat ini dengan Firman Allah,

 

“Dan Dia-lah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang digembala) di bumi.” (Az-Zukhruf: 84) dengan FirmanNya,

 

“Dan Dia-lah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi Dia mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian tampakkan.” (Al-An’am: 3)?

 

Jawaban: Ayat pertama Allah berfirman, “Dan Dia-lah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi.” Zharaf (keterangan tempat) ini adalah untuk UluhiyahNya (statusNya sebagai satu-satunya yang disembah), yakni UluhiyahNya berlaku di langit dan bumi, sebagaimana engkau berkata, “Fulan adalah amir di Madinah dan Makkah,” dirinya berada di salah satu dari keduanya dan keamirannya berlaku di keduanya dengan kepemimpinan dan kekuasaannya. Jadi Uluhiyah Allah di langit dan di bumi, adapun Allah sendiri, maka Dia berada di langit.

 

Adapun ayat kedua,  “Dan Dia-lah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi,” maka penjelasan kami sama dengan penjelasan pada ayat pertama,  “Dan Dia-lah Allah,” yakni Dia-lah Tuhan yang UluhiyahNya di langit dan di bumi. Adapun Dia sendiri, maka Dia berada di atas langit, jadi artinya adalah Dia-lah yang dituhankan di langit dan dituhankan di bumi; UluhtyahNya di langit dan di bumi. Jadi tafsir ayat ini sama dengan ayat sebelumnya.

 

Ada yang berkata makna,   “Dia-lah Allah di atas langit,” kemudian engkau waqaf (berhenti), lalu engkau lanjutkan,  “dan di bumi, Dia mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian tampakkan,” yakni, Dia sendiri di langit dan Dia mengetahui rahasia dan yang terang-terangan dari kamu di bumi. KeberadaanNya di langit dengan ketinggianNya tidak menghalangiNya untuk mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan di bumi.

 

Hanya saja, makna ini mengandung kelemahan karena ia mengharuskan memenggal ayat dan menjadikannya tidak berkait. Yang benar adalah yang pertama. Kami katakan, “Dia-lah Allah (yang disembah) di langit dan di bumi.” Yakni, Dia disembah dan dituhankan di langit dan di bumi. Jadi ayat ini tidak bertabrakan dengan yang lain.

 

Di antara faidah dari segi perilaku dalam ayat-ayat ini:

 

Apabila seseorang mengetahui bahwa Allah di atas segala sesuatu maka dia mengetahui kadar kekuasaan dan penguasaanNya atas makhlukNya, dalam kondisi tersebut dia akan mengagungkanNya dan takut kepadaNya. Jika sudah demikian maka dia bertakwa kepadaNya, menjalankan kewajiban dan menjauhi yang diharamkan.

 

Syarah:

 

Penulis mulai menyebutkan dalil-dalil bahwa Allah beserta makhlukNya, dan sangat sesuai beliau letakkan setelah pembahasan tentang Sifat al-Uluw, karena bisa jadi seseorang memahami adanya kontradiksi antara “Allah diatas segala sesuatu” dengan “Allah bersama para hambaNya.” Maka sangat pas sekali apabila penulis menyebutkan ayat-ayat yang menetapkan kebersamaan Allah dengan makhluk setelah ayat-ayat yang menetapkan bahwa Dia di atas sana.

 

Terdapat beberapa poin pembahasan terkait dengan ma’iyah Allah terhadap makhluknya:

 

Pembahasan pertama: Tentang pembagiannya

 

Ma’tyah (kebersamaan) Allah terbagi menjadi dua: Umum dan khusus.

 

Yang khusus juga ada dua bagian: Pertama, yang muqayyad (dibatasi) dengan seseorang, dan kedua, yang muqayyad dengan sifat.

 

Ma’iyah (kebersamaan) Allah yang umum meliputi siapapun: baik orang Mukmin maupun orang kafir, orang baik maupun pendosa. Dalilnya adalah Firman Allah,

 

“Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Al-Hadid: 4)

 

a). Ma’iyah (kebersamaan) Allah yang khusus yang muqayyad dengan sifat tertentu, adalah seperti Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl: 128).

 

b). Sedangkan Ma’iyah (kebersamaan) Allah yang muqayyad dengan pribadi tertentu, adalah seperti Firman Allah,

 

“Di waktu dia berkata kepada sahabatnya, ‘Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita’.” (At-Taubah: 40).

 

Dan juga seperti FirmanNya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun 3,

 

“Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46).

 

Yang kedua ini lebih khusus daripada yang muqayyad dengan sifat.

 

Maka kebersamaan Allah dengan makhlukNya ada beberapa derajat: yang Umum dan mutlak, yang khusus yang muqayyad dengan sifat tertentu dan yang khusus yang muqayyad dengan pribadi tertentu.

 

Ma’iyah (kebersamaan) Allah yang paling khusus adalah yang muqayyad dengan pribadi tertentu, kemudian yang muqayyad dengan sifat tertentu, dan yang bersifat umum.

 

Kebersertaan Allah dengan makhlukNya yang umum menuntut jangkauanNya yang menyeluruh terhadap makhlukNya dari segi ilmu, kodrat (kuasa), pendengaran, penglihatan, kekuasaan dan makna-makna rububiyah yang lain, sedangkan yang khusus dengan kedua macamnya melahirkan adanya dukungan dan kemenangan.

 

Pembahasan kedua: Apakah ma’iyah bersifat hakiki atau sekedar kinayah tentang ilmu Allah, pendengaran, penglihatan, kodrat (kuasa), kekuasaan dan makna-makna rububiyahNya yang lain?

 

Kebanyakan ungkapan as-Salaf menyatakan ma’iyah adalah kinayah dari ilmu, pendengaran, penglihatan, kodrat dan lain-lain, menurut mereka makna,   “Dan Dia bersama kalian.” Yakni, Dia mengetahui kalian, mendengar ucapan kalian, melihat perbuatan kalian, kuasa atas kalian, menetapkan hukum di antara kalian …, dan seterusnya, di mana mereka menafsirkannya dengan konsekuensinya.

 

Sementara Syaikhul Islam di buku ini dan lainnya memilih bahwa ma’iyah Allah adalah hakiki, dan bahwa Dia bersama kita adalah benar, secara hakiki. Hanya saja ma’iyaliNya tidak sama dengan ma’iyah manusia terhadap manusia yang memungkinkan bersamanya di segala tempat, Hal itu karena ma’iyah Allah adalah Sifat yang shahih bagiNya sementara Dia tetap dengan kemahatinggianNya. Dia bersama kita sekaligus Dia Maha tinggi di atas ArasyNya di atas segala sesuatu dan tidak mungkin dalam kondisi apa pun Dia bersama kita di tempat-tempat di mana kita berada.

 

Dari sini, maka ia harus digabungkan dengan Sifat al-Uluw (Maha tinggi).

 

Penulis sendiri telah menurunkan satu pasal khusus tentangnya yang nanti akan hadir penjelasannya insya Allah, di mana dia menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara al-Uluw dengan Ma’iyah karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah dalam seluruh SifatNya, Dia Maha Tinggi dalam kedekatannya, dekat dalam ketinggianNya.

 

Syaikhul Islam memberikan contohnya yaitu rembulan. Dia berkata, “Benar dikatakan, ‘Kami terus berjalan sementara rembulan bersama kami’, padahal rembulan berada di langit dan ia termasuk makhluk Allah yang kecil. Maka bagaimana Sang Pencipta tidak bersama makhluk, di mana jika makhluk dibandingkan denganNya tidak ada apa-apanya sedangkan Dia berada di atas langit?

 

Apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam mengandung bantahan kepada para penganut ta’thil yang berhujjah menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, di mana mereka berkata, Kalian melarang takwil, sedangkan kalian sendiri melakukannya pada Sifat al-Ma’iyah. Kalian berkata, Ma’ tyah berarti ilmu, pendengaran, penglihatan, kodrat, dan kekuasaan dan lain-lain.

 

Kami jawab: Ma’iyah adalah benar secara hakiki, akan tetapi tidak dengan pengertian yang dipahami oleh Jahmiyah dan orang-orang seperti mereka bahwa Allah bersama manusia di segala tempat. Dan tafsir as-Salaf terhadap ma’iyah dengan ilmu dan semisalnya adalah tafsir dengan makna yang lazim.

 

Pembahasan ketiga: Apakah al-Ma’iyah termasuk Sifat Dzatiyah atau Fi’liyah? Terdapat perincian:

 

Al-Ma’iyah yang umum adalah Sifat Dzatiyah; karena Allah telah dan senantiasa meliputi makhlukNya dengan ilmu, kodrat, kekuasaan, dan makna-makna rububiyah yang lain.

 

Al-Ma’iyah yang khusus adalah Sifat Fi’liyah; karena ia bergantung kepada kehendak Allah, dan semua Sifat yang berkait dengan sebab, maka ia termasuk Sifat Fi’liyah. Dan telah dijelaskan bahwa ridha termasuk Sifat Fi’liyah karena ia terkait dengan sebab, jika sebab ridha ada maka ada pula ridha, sama halnya dengan al-Ma’iyah yang khusus. Jika ada takwa atau sebab-sebabnya pada orang tertentu, maka Allah bersamanya.

 

Pembahasan keempat: Apakah Ma’iyah (kebersamaan) Allah dengan MakhlukNya itu hakiki atau tidak?

 

Kami telah jelaskan bahwa di antara as-Salaf ada yang menafsirkannya dengan konsekuensinya, di mana seseorang hampir tidak melihat ada pendapat selainnya. Dan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ia adalah hakiki, hanya saja ia adalah al-Ma’iyah khusus yang layak bagi Allah.

 

Pendapat yang kedua ini adalah ucapan yang jelas dari penulis matan di buku ini dan lainnya, akan tetapi ia harus dilindungi dari dugaan-dugaan dusta, seperti dipahami bahwa Allah bersama kita di bumi dan sebagainya, karena ini adalah mustahil lagi batil.

 

Pembahasan kelima: Apakah antara al-Ma’iyah dengan al-Uluw terdapat pertentangan?

 

Tidak ada pertentangan di antara keduanya, dengan melihat kepada tiga sisi:

 

Pertama, Allah menggabungkan keduanya dalam sifat yang Dia sandangkan pada DiriNya, kalau keduanya bertentangan niscaya tidak sah Allah menyifati DiriNya dengan keduanya.

 

Kedua, antara al-Uluw dengan al-Ma’iyah tidak ada pertentangan Sama sekali, karena mungkin saja sesuatu itu tinggi dan ia bersama Anda. Orang-orang Arab berkata, “Rembulan itu bersama kami semen. tara kami berjalan. Matahari bersama kami sementara kami berjalan Bintang itu bersama kami sementara kami berjalan.” Padahal bulan, matahari, dan bintang semuanya di langit. Jika al-Uluw dan al-Ma’ iyah mungkin berkumpul pada makhluk, maka berkumpulnya keduanya pada Khaliq tentu lebih pantas.

 

Bayangkan seorang laki-laki di atas gunung yang tinggi. Dia ber. kata kepada tentaranya, “Berangkatlah ke tempat perang yang jauh, aku bersama kalian.” Dia sendiri meneropong melihat mereka dari jauh, Dia bersama mereka karena dia sekarang melihat mereka seolah-olah mereka ada di depannya, padahal dia jauh dari mereka. Jadi perkara ini mungkin pada makhluk, bagaimana ia tidak mungkin pada Khaliq?

 

Ketiga, kalaupun seandainya ia tidak mungkin pada diri makhluk, belum tentu ia tidak mungkin pada Diri Khaliq, karena Allah lebih agung dan lebih mulia, Sifat-sifat Khaliq tidak bisa disamakan dengan sifat-sifat makhluk, karena perbedaan yang jelas antara Khaliq dengan makhluk.

 

Rasulullah  bersabda dalam safar beliau,

 

“Ya Allah, Engkau adalah Yang menyertai dalam perjalanan ini dan pengganti (Yang menjaga dan mengurusi) keluarga.”

 

Di sini Nabi  menggabungkan antara Dia sebagai yang menyertai dalam perjalanan dan Pengganti bagi keluarga, padahal hal tersebut tidak mungkin bagi makhluk. Tidak mungkin seseorang menjadi kawan perjalananmu sekaligus penggantimu untuk mengurusi dan menjaga keluargamu.

 

Diriwayatkan dalam hadits shahih,’ “Apabila orang shalat mengucapkan,   maka Allah berfirman,   ‘HambaKu memujiKu’.” Berapa banyak orang yang shalat mengucapkan  Tidak terhitung. Berapa banyak orang shalat, yang satu membaca  yang kedua membaca  Masing-masing bacaannya memiliki jawaban dari Allah, kepada yang membaca  Allah menjawab,  “HambaKu memujiKu.” Kepada yang membaca  Allah menjawab, “Ini antara Aku dan hambaKu; setengah-setengah.”

 

Jadi, mungkin sekali Allah benar-benar bersama kita, sementara Dia benar-benar di atas ArasyNya di atas langit dan tidak seorang pun memahaminya bertabrakan, kecuali orang yang hendak menyamakan Allah dengan makhlukNya dan menjadikan Ma’iyah Allah sama dengan ma’iyah makhluk.

 

Kami telah jelaskan bahwa menggabungkan dalil-dalil al-Uluw dengan dalil-dalil al-Ma’iyah adalah mungkin. Jika memang telah jelas, maka alhamdulillah, itulah yang seharusnya, jika tidak, maka wajib bagi seorang hamba untuk berkata, Aku beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku membenarkan apa yang Allah firmankan tentang DiriNya dan apa yang Rasulnya kabarkan. Jangan berkata, “Mana mungkin,” untuk mengingkarinya.

 

Apabila dia berkata, “Mana mungkin?” Maka kami katakan bahwa pertanyaanmu ini adalah bid’ah. Para sahabat tidak bertanya tentangnya padahal mereka lebih baik daripada engkau, orang yang mereka tanya lebih mengetahui, lebih benar, lebih fasih dan lebih tulus daripada orang yang engkau tanya, maka percayalah dan jangan bertanya, “Bagaimana?” “Mengapa?” akan tetapi terimalah dengan lapang dada.

 

Peringatan penting:

 

Perhatikanlah ayat ini, engkau lihat semua dhamir (kata ganti) kembali kepada Allah,  “Menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa), kemudian Dia bersemayam.”  “Dia mengetahui apa yang masuk ke bumi.” Begitu pula kata ganti,  “Dan Dia bersama kalian.”

 

Kita wajib beriman kepada zahir ayat yang mulia. Kita mengetahui secara yakin bahwa ma’iyah ini tidak berarti bahwa Allah bersama kita di bumi. Dia bersama kita dengan istiwa Nya di atas ArasyNya. Ma’iyah ini, apabila kita beriman kepadanya, maka ia akan membawa kita kepada takwa dan rasa takut kepada Allah. Oleh karena itu, sebuah hadits berkata,

 

“Iman yang paling utama adalah kamu mengetahui bahwa Allah bersamamu dimanapun kamu berada.”

 

Para penganut al-Hululiyah berkata, “Allah bersama kita dengan DzatNya di tempat kita berada. Kalau engkau di masjid, maka Allah bersamamu di masjid, orang-orang yang di pasar, Allah bersama mereka di pasar, orang-orang yang di kamar mandi, Allah bersama mereka di kamar mandi”

 

Mereka tidak menyucikan Allah dari kotoran dan bau busuk. Mereka tidak menyucikan Allah dari tempat-tempat jorok dan tidak layak

 

Pembahasan keenam: Syubhat orang-orang yang mengatakan bahwa Allah bersama kita di tempat kita berada dan bantahannya

 

Syubhat mereka adalah bahwa itulah zahir lafazh, ” Dan Dia bersama kalian.” Karena semua kata ganti kembali kepada Allah.  “Dia-lah yang menciptakan.”

 

“Kemudian bersemayam.” ” Dia mengetahui.”  “Dan Dia bersama kalian.” Apabila Dia bersama kita, maka yang kami pahami dari kebersamaan itu hanyalah berada dan bersama di tempat tersebut.

 

Bantahan terhadap syubhat ini dari beberapa segi:

 

Pertama, zahirnya tidak seperti yang kalian klaim, karena kalau zahirnya adalah seperti yang kalian klaim, niscaya terjadi pertentangan pada ayat, di mana Allah bersemayam di atas Arasy, sekaligus bersama semua manusia di mana pun; dan pertentangan pada Kalam Allah itu mustahil terjadi.

 

Kedua, ucapan kalian, “Yang dipahami dari kebersamaan (kebesertaan) hanya berbaur dan bersama di tempat tersebut.” Ucapan ini salah, karena ma’iyah dalam bahasa Arab adalah kata yang menunjukkan kebersamaan secara mutlak, kandungannya lebih luas dari apa yang kalian klaim, ia bisa berkonsekuensi kebersamaan di tempat dan bisa pula berkonsekuensi sekedar kebersamaan, meskipun dengan perbedaan tempat. Jadi di sini ada tiga:

 

  1. Contoh ma’iyah yang berkonsekuensi berbaur adalah engkau berkata, “Berilah aku minum susu bersama air.” Yakni, susu campur air.

 

  1. Contoh ma’iyah yang berkonsekuensi kebersamaan di tempat adalah engkau berkata, “Aku melihat fulan bersama fulan berjalan bersama dan duduk bersama.”

 

  1. Contoh ma’iyah yang berkonsekuensi sekedar kebersamaan tetapi dengan tempat yang berbeda adalah engkau berkata, “Fulan bergama tentaranya.” Padahal dia berada di ruang komando, hanya saja dia yang mengendalikan mereka. Yang ketiga ini tidak terjadi pembauran dan kebersamaan di tempat.

 

Dikatakan pula, “Istri fulan bersamanya.” Padahal istrinya di timur sedangkan dia sendiri di barat.

 

Apa yang ditunjukkan oleh ma’iyah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam dan sebagaimana ia nampak dari bukti bahasa, adalah sekedar kebersamaan, kemudian ia menurut apa yang ia sandarkan kepadanya.

 

Kalau dikatakan,

 

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (An-Nahl: 128).

 

Maka hal ini tidak berarti adanya pembauran dan kebersamaan di tempat, ia adalah ma’iyah (kebersamaan) yang layak bagi Allah, konsekuensinya adalah pertolongan dan dukungan.

 

Ketiga, kalian menyifati Allah dengan sifat tersebut, ini termasuk kebatilan yang paling batil dan pelecehan besar kepada Allah. Allah menyebutkannya dalam bentuk ini sebagai pujian, bahwa di samping Dia Mahatinggi di atas Arasy, Dia juga menyertai makhlukNya, meskipun mereka lebih rendah dariNya. Apabila engkau menjadikan Allah di bumi, maka ini adalah pelecehan.

 

Apabila engkau menjadikan Allah bersamamu di setiap tempat lalu engkau masuk WC, ini adalah pelecehan besar. Engkau tidak akan bisa mengatakannya, bahkan engkau tidak bisa mengatakan kepada raja dunia, ” Engkau berada di WC.” Kalau begitu mengapa engkau mengatakannya kepada Allah? Bukankah ini adalah pelecehan besar! Na’udzubillah.

 

Keempat, pendapat kalian ini menyeret kepada satu dari dua perkara yang tidak ada tiganya, dan keduanya tidak mungkin. Bisa jadi Allah terbagi dan masing-masing bagian berada di tempat tertentu atau Allah berbilang (banyak) yakni, masing-masing di suatu arah sesuai dengan tempat.

 

Kelima, pendapat kalian ini menyeret kepada konsekuensi bahwa Allah bertempat pada makhluk. Setiap tempat di mana di situ ag, makhluk, maka Allah ada pula di situ. Ini jelas akan menjadi tangga yang mengantarkan kepada pendapat wilidatul wujud.

 

Engkau bisa lihat bahwa pendapat ini batil dan ta menyeret kepada kekafiran.

 

Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa siapa yang mengatakan bahwa Allah bersama kami di bumi, maka dia kafir, dia dituntut, untuk bertaubat, dijelaskan kebenaran kepadanya, jika dia kembali maka itulah yang semestinya, tapi jika tidak, maka dia wajib dibunuh

 

Berikut ini adalah ayat-ayat al-Ma’iyah (yang menjelaskan bahwa Allah bersama hambaNya):

 

Ayat pertama:

 

Firman Allah , “Dia-lah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Al-Hadid: 4).

 

Yang berkait dengan topik pembahasan adalah Firman Allah, “Dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada.” Ini adalah ma’iyah umum, karena ia berkonsekuensi bahwa Allah meliputi makhlukNya dengan ilmu, kodrat, kekuasaan, pendengaran, penglihatan dan makna-makna rububiyah lainnya.

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Tidakkah engkau perhatikan bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan tidak ada (pula pembicaraan rahasia antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya, dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka dimanapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada Hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Mujadilah: 7).

 

FirmanNya,   “Tidak ada.” ( ) yakni, ada secara sempurna. Maknanya, tidaklah ada.

 

FirmanNya,   “Pembicaraan rahasia antara tiga orang.” Ada yang berkata, Ia termasuk idhia alt (penyandaran) sifat kepada pemiliknya dan asalnya adalah  dan makna  adalah  “orang-orang yang berbicara rahasia.”

 

FirmanNya,  “Melainkan Dia-lah Yang keempatnya.” Dia tidak berfirman, “Melainkan Dia-lah Yang ketiganya;” karena Dia bukan dari jenis mereka. Jika bukan dari jenis mereka, maka yang dihadirkan adalah angka berikutnya. Lain halnya jika dari jenisnya, dalam kondisi ini yang dihadirkan adalah angka itu sendiri. Lihatlah Firman Allah tentang orang-orang Nasrani,

 

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga.” (Al-Ma‘idah: 73).

 

Mereka tidak berkata,  “ketiga dari dua,” karena menurut mereka Allah termasuk dalam jenis mereka. Menurut mereka ketiga-tiganya adalah Tuhan, karena Dia termasuk dalam jenis mereka, maka mereka mengatakannya, ‘Ketiga dari tiga.”

 

FirmanNya “Dan tiada pembicaraan antara lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya.” Allah menyebutkan angka ganjil tiga dan lima dan tidak menyebutkan angka genap, akan tetapi ia masuk ke dalam FirmanNya,  “Dan tiada pula pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu.” Yang kurang dari tiga adalah dua  “atau lebih banyak,” dari lima adalah enam dan seterusnya.

 

Tidak ada dua orang atau lebih yang berbincang di tempat mana pun di bumi kecuali Allah bersama mereka.

 

Ma’iyah (kebersamaan) ini adalah umum, karena ia meliputi siapa pun, baik orang Mukmin maupun orang kafir, orang baik maupun jahat. Konsekuensi ma’iyah ini adalah bahwa Allah meliputi mereka dengan ilmu, kodrat, pendengaran, penglihatan, kekuasaan, pengaturan dan lain-lain.

 

FirmanNya “Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada Hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan,” yakni ma’iyah ini menuntut dicatatnya amal-amal mereka. Apabila Hari Kiamat tiba, maka Allah memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan, yakni Dia menyampaikannya kepada mereka dan menghisab mereka atasnya, karena yang dimaksud dengan pemberitaan di sini adalah konsekuensinya, yaitu hisab. Jika mereka adalah orang-orang Mukmin, maka Allah menghitung amal-amal mereka lalu Allah berfirman, “Aku telah menutupinya untukmu di dunia dan Aku mengampuninya untukmu pada hari ini.”

 

FirmanNya,  “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Allah mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada, yang mungkin atau yang wajib ataupun yang mustahil.

 

Sifat ilmu ini telah kita jelaskan, bahwa ilmu Allah berkait dengan segala sesuatu bahkan yang wajib terjadi dan yang mustahil terjadi, yang besar dan yang kecil, yang nampak dan yang samar.

 

Ayat ketiga:

 

“Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. ” (at-Taubah: 40).

 

Perkataan ini dari Nabi  kepada Abu Bakar . Allah berfirman,

 

“Jika kalian tidak menolongnya (Rasul), maka sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengusirnya (dari Makkah) sedang dia adalah salah satu dari dua orang ketika keduanya

perada dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya, ” Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”(At-Taubah: 40).

 

Pertama: Allah menolong beliau pada saat mereka mengusir beliau, “Ketika orang-orang kafir mengusirnya.” Kedua: Pada saat berada di gua,   “Ketika keduanya berada di dalam gua.”

 

Ketiga: Pada saat sulit di mana orang-orang musyrik berdiri di mulut gua tersebut,  “Di waktu dia berkata kepada sahabatnya, ‘”Janganlah kamu bersedih’.”

 

Inilah tiga kondisi di mana Allah menolong NabiNya

 

Dalam kondisi yang ketiga ketika orang-orang musyrik berdiri di pintu gua, Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya salah seorang dari mereka melihat ke kakinya niscaya dia melihat kita.” Yakni, kita dalam bahaya, seperti ucapan pengikut Nabi Musa  manakala mereka sampai di lautan.

 

“Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” (Asy-Syu’ara’: 61).

 

Maka Nabi Musa menjawab,

 

” Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Asy-Syu’ara’: 62).

 

Di sini Nabi  bersabda kepada Abu Bakar,

 

“Janganlah kamu bersedih sesungguhnya Allah bersama kita.”

 

Nabi menenangkannya dan menumbuhkan rasa aman ke dalam hatinya, dan Nabi  menjelaskan alasannya,

 

“Sesungguhnya Allah bersama kita.”

 

FirmanNya,  “Janganlah kamu bersedih.” Ini adalah larangan bersedih yang mencakup apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi; bisa untuk masa lalu dan bisa masa depan.

 

Duka cita adalah kesedihan dan kesusahan jiwa.

 

“Sesungguhnya Allah bersama kita.” Ini adalah Ma’iyah khusus berkaitan dengan Nabi  dan Abu Bakar  yang berarti bahwa Allah menolong dan mendukung, di samping pengetahuanNya yang sempurna yang merupakan ma’iyah umum.

 

Karena itu, manakala orang-orang Quraisy berdiri di pintu gua, mereka tidak melihat Nabi dan Abu Bakar, disebabkan Allah menutup penglihatan mereka.

 

Adapun perkataan orang-orang bahwa laba-laba datang lalu dia menyusun rumahnya di pintu gua ditambah merpati yang mengeram di pintu gua, manakala orang-orang musyrik datang, mereka melihat merpati dan rumah laba-laba, maka mereka berkata, “Tidak seorang pun di dalam gua,” lalu mereka pergi, maka riwayat ini adalah batil.

 

Perlindungan ilahiyah dan bukti kebesaranNya yang mendalam adalah bahwa pintu gua tersebut terbuka dan bersih tidak ada penghalang, tapi meskipun begitu mereka tidak melihat orang yang ada di dalamnya. Inilah tanda kebesaranNya.

 

Cerita adanya merpati dan laba-laba dengan rumahnya, maka hal : ini jauh menyelisihi ucapan Abu Bakar, ‘Seandainya salah seorang dari ‘ mereka melihat ke kakinya, niscaya dia melihat kita.”

 

Yang jelas sebagian ahli sejarah -semoga Allah memaafkan mereka menghadirkan perkara-perkara aneh bin ajaib lagi mungkar, yang ditolak oleh akal dan tidak didukung oleh penukilan yang shahih.

 

Ayat keempat:

 

FirmanNya, “Sesungguhnya Aku beserta kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46).

 

Pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ketika Allah memerintahkan keduanya agar pergi kepada Fir’aun. Allah berfirman,

 

“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya Dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.” Berkatalah mereka berdua, ‘Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa dia akan menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.’ Allah berfirman, ‘Janganlah kalian berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kalian berdua; Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 43-46).

 

FirmanNya,  “Aku mendengar dan melihat.” Ini adalah kalimat yang menjelaskan konsekuensi dari ma’iyah yang khusus ini, yaitu pendengaran dan penglihatan. Ini adalah pendengaran dan penglihatan khusus yang berkonsekuensi kepada pertolongan, dukungan dan perlindungan dari Fir’aun di mana keduanya berkata tentangnya,

 

“Sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” (Thaha: 45).

 

Ayat kelima: .

 

FirmanNya, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl: 128).

 

Ayat ini datang setelah FirmanNya,

 

“Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. Akan tetapi jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (wahai Rasul) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (An-Nahl: 126-127).

 

Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya termasuk ketakwaan, menghukumnya melebihi perbuatannya adalah aniaya dan pelanggaran, dan memaafkan adalah ihsan (berbuat baik), Oleh karena itu Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”

 

Ma’iyah di sini adalah khusus, yang berkait dengan suatu sifat, yaitu siapa pun yang bertakwa dan berbuat baik, maka Allah bersamanya.

 

Dari segi perilaku, hal ini membuahkan kesungguhan meraih ihsan dan takwa karena semua orang ingin agar Allah bersamanya.

 

Ayat keenam:

 

FirmanNya, “Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46).

 

Telah kami jelaskan bahwa sabar adalah menahan diri dalam ketaatan kepada Allah, menahan diri dalam meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dan menahan diri dari kemarahan menghadapi takdir Allah, baik dengan lisan, ucapan, dan anggota badan.

 

Bentuk sabar yang paling utama adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah, kemudian sabar dalam menghindari kemaksiatan kepada Allah, karena pada keduanya terdapat kesempatan memilih. Kalau seseorang mau, dia menjalankan perintah dan kalau dia mau, dia tidak menjalankan. Kalau dia mau, dia melakukan apa yang diharamkan dan kalau dia mau, dia meninggalkannya. Dan di urutan berikutnya adalah sabar dalam takdir Allah, karena takdir Allah pasti terjadi, baik engkau mau ataupun tidak mau. Silakan bersabar seperti orang-orang terhormat, atau silakan marah dan mengamuk seperti hewan.

 

Sabar adalah derajat yang tinggi, ia tidak dapat diraih, kecuali dengan langkah-langkah yang disertai dengan sabar. Adapun orang yang bumi bertabur bunga baginya, lalu orang-orang melihat kepadanya, maka dia pasti akan mendapatkan bagian dari kelelahan jiwa atau kelelahan fisik, dalam atau luar.

 

Oleh karena itu Allah menggabungkan antara syukur dan sabar bagi NabiNya. Nabi melakukan shalat malam sampai kedua kaki beliau bengkak, beliau bersabda,

 

“Apakah aku tidak (ingin) menjadi hamba yang banyak bersyukur?”

 

Beliau bersabar atas gangguan dari kaum beliau dan juga dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik, meskipun begitu beliau tetap bersabar.

 

Ayat Ketujuh:

 

FirmanNya, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 249).

 

adalah Khabariyah; menjelaskan jumlah yang banyak, yakni kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak berkali-kali, atau beberapa kelompok kecil mengalahkan beberapa kelompok besar, akan tetapi bukan dengan daya dan kekuatan mereka, akan tetapi dengan izin Allah, yakni dengan Kehendak dan KuasaNya.

 

Sebagai contoh: Tentara Thalut mengalahkan musuh mereka yang berjumlah lebih besar. Tentara Badar mengalahkan orang-orang Quraisy yang jauh lebih banyak.

 

Tentara Badar berangkat bukan untuk perang, akan tetapi untuk mencegah kafilah dagang yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Lalu Abu Sufyan mengirim utusan ke Makkah. Utusan ini berteriak kepada penduduk Makkah, “Selamatkan kafilah kalian, karena Muhammad dan teman-temannya telah berangkat untuk merebut kafilah.” Kafilah dagang ini berisi harta yang melimpah bagi Quraisy, maka berangkatlah orang-orang Quraisy dengan para pemuka dan pembesarnya dengan keangkuhan dan kesombongannya, mereka memamerkan kekuatan, keperkasaan dan kecongkakan, sampai-sampai Abu Jahal berkata, “Demi Allah, kita tidak akan kembali sebelum kita hadir di Badar, di sana kita tinggal tiga hari, kita menyembelih unta, minum khamar, mendengar nyanyian para penyanyi sehingga orang-orang Arab mendengar kita, lalu mereka akan takut kepada kita selamanya.”

 

Alhamdulillah, dia hanya mendendangkan lagu kematiannya bersama Orang-orang yang bersamanya.

 

Orang-orang Quraisy berjumlah antara sembilan ratus sampai seribu. Setiap hari mereka menyembelih sembilan sampai sepuluh ekor unta, sedangkan Nabi  dan para sahabat beliau berjumlah tiga ratus empat belas orang dengan tujuh puluh ekor unta dan dua ekor kuda. Mereka menungganginya secara bergiliran, meskipun jumlah mereka kecil, mereka berhasil menggulingkan para pembesar Quraisy, sampai mereka menjadi bangkai busuk di bawah terik matahari dan dilemparkan ke dalam lobang sebuah sumur yang menjijikkan di antara sumur-sumur Badar.

 

“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah, Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 249).

 

Karena kelompok yang kecil bersabar, maka  “Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” Bersabar dengan ketiga bentuknya di atas: bersabar dalam ketaatan kepada Allah, bersabar dari kemaksiatan kepadaNya, dan bersabar terhadap kelelahan, kesulitan dan kesengsaraan dalam memikul kewajiban jihad.  “Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

 

Demikian ayat-ayat tentang ma’iyah (kebersamaan Allah dengan makhlukNya), dan akan hadir pasal tersendiri dari penulis (Syaikhul Islam) yang membahasnya secara total.

 

Apa yang kita petik dari ma’iyah Allah terhadap kita?

 

Pertama, mengimani bahwa Allah meliputi segala sesuatu; bahwa di samping Dia Maha Tinggi, tapi Dia juga bersama makhlukNya, keadaan mereka tidak ada yang samar sedikit pun bagiNya.

 

Kedua, apabila kita mengetahui dan meyakininya, maka ia membawa kita kepada sikap muraqabah kepadaNya dengan menaatiNya dan meninggalkan kemaksiatan kepadaNya di mana kita tidak ada pada saat diperintah dan kita justru ada pada saat dilarang. Ini adalah buah besar bagi siapa yang beriman kepada ma’iyah ini.

 

Syarah:

 

Penulis menyebutkan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah berfirman (berkata) dan bahwa al-Qur’an adalah Firman Allah.

 

Ayat pertama dan kedua:

 

FirmanNya, “Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (An-Nisa‘: 87).

 

“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (An-Nisa’: 122).

 

“Dan siapa,” adalah pertanyaan yang bermakna peniadaan, dan meniadakan dengan bentuk kalimat pertanyaan lebih mendalam daripada sekedar meniadakan, karena pertanyaan tersebut mengandung makna tantangan, seolah-olah Dia berfirman, “Tidak ada seorang pun yang lebih benar pembicaraannya daripada Allah, dan apabila kamu mengklaim selain itu, maka siapakah yang lebih benar pembicaraannya daripada Allah?”

 

Kata,  dan  adalah tamyiz untuk kata 

 

Penetapan Sifat berfirman bagi Allah dalam kedua ayat ini diambil dari FirmanNya,  “Yang lebih benar,” karena kebenaran adalah sifat bagi perkataan, dan FirmanNya, 

 

“Perkataan,” karena ia berarti firman. Dari ayat kedua adalah  yakni ucapan, dan ucapan pastilah dengan kata-kata.

 

Kedua ayat tersebut menetapkan Sifat berkata (berfirman) bagi Allah dan bahwa FirmanNya adalah benar dan jujur, tidak ada dusta sedikit pun.

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putra Maryam.” (Al-Ma’idah: 116).

 

Firmannya,  adalah perkataan yang difirmankan Allah, dan itu adalah kalimat-kalimat yang tersusun dari rangkaian huruf-huruf,  “Wahai Isa putra Maryam.”

 

Ini menetapkan bahwa Allah berbicara, dan bahwa pembicaraan (Firman)Nya didengar, maka ia dengan suara dan juga bahwa perkataan (Firman)Nya adalah kata-kata dan kalimat, dan itu adalah dengan huruf-huruf.

 

Karena inilah, maka akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya Allah berbicara dengan perkataan hakiki, kapan Dia berkehendak, sebagaimana Dia berkehendak, dengan apa yang Dia kehendaki; dengan huruf dan suara, tetapi tidak menyerupai suara-suara makhluk.

 

“Kapan Dia berkehendak” dari segi waktu.

 

“Dengan apa yang Dia kehendaki,” dari segi perkataan itu sendiri, yakni topik pembicaraan, baik berupa perintah atau larangan dan lain-lain.

 

“Sebagaimana Dia berkehendak,” yakni, dengan tata cara dan bentuk yang diinginkan oleh Allah.

 

Kami katakan, Allah berfirman dengan huruf dan suara, tapi tidak menyerupai suara makhluk.

 

Dalilnya dari ayat adalah, “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putra Maryam.” Ini adalah rangkaian huruf-huruf dan dengan suara, karena Nabi Isa  mendengar apa yang difirmankan Allah.

 

Tidak menyerupai suara-suara makhluk, karena Allah berfirman,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Asy-Syura: 11).

 

Ayat keempat:

 

FirmanNya, “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur an) sebagai kalimat yang benar dan adil.” (Al-An’am: 115).

 

dengan kata tunggal dalam qira’at lain   dengan jamak makna keduanya adalah sama, karena apabila kata tunggal diidhafahkan, maka ia menunjukkan keumuman.

 

Sempurnanya Kalimat-kalimat Allah ada pada dua kriteria ini: kebenaran dan keadilan. Yang disifati dengan benar adalah berita, dan yang disifati dengan adil adalah hukum. Oleh karena itu, para ahli tafsir berkata, “Benar dalam berita, adil dalam hukum.”

 

Kalimat-kalimat Allah dalam berita adalah benar, tidak tersusupi oleh dusta sedikit pun, dan Kalimat-kalimat Allah dalam hukum adalah adil, tidak tersusupi oleh kezhaliman sedikit pun. Di sini, kalimat disifati dengan kebenaran dan keadilan. Jadi, semua itu adalah perkataan-perkataan, karena yang dikatakan benar atau dusta adalah perkataan.

 

Ayat kelima:

 

FirmanNya, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (An-Nisa’: 164).

 

adalah subyek, jadi Dia-lah yang berbicara.

 

adalah mashdar penegas, fungsinya sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, adalah menafikan kemungkinan majaz. Ini menunjukkan bahwa ia adalah Firman yang hakiki, karena masdar penegas menafikan kemungkinan majaz.

 

Kalau engkau berkata, “Zaid telah datang,” maka dipahami bahwa yang datang adalah diri Zaid, meskipun ada kemungkinan yang datang adalah berita Zaid, meskipun yang terakhir ini menyelisihi zahirnya, akan tetapi apabila kamu menegaskannya dengan mengatakan, “Yang datang adalah Zaid sendiri,” atau “Zaid telah datang, Zaid sendiri,” maka hilanglah kemungkinan majaz.

 

Maka Firman Allah kepada Nabi Musa adalah Firman yang hakiki dengan huruf dan suara yang didengar oleh Nabi Musa. Oleh karena itu, terjadi dialog antara keduanya sebagaimana dalam Surat Thaha dan lain-lain.

 

Ayat keenam:

 

firmanNya, “Di antara mereka ada yang Allah berkata (langsung kepadanya). ” (Al-Baqarah: 253).

 

 “Di antara mereka,” yakni, di antara para rasul.

 

 Nama yang mulia  adalah fa’il (subyek) dari kata kerja , obyeknya tidak terlihat dalam kalimat, dan ia kembali kepada  asumsinya adalah .

 

Ayat ketujuh:

 

FirmanNya, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya.” (Al-A’raf: 143).

 

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah berfirman sesuai dengan kehendakNya. Hal itu karena Allah berfirman tersebut terjadi pada saat kedatangan Nabi Musa dan tidak mendahuluinya. Ini menunjukkan bahwa ia berkaitan dengan kehendakNya.

 

Ayat ini menolak pendapat orang yang berkata bahwa Firman Allah adalah makna yang ada pada DiriNya; ia tidak berkaitan dengan kehendakNya. Ini sebagaimana yang dikatakan oleh golongan Asy’ariyah.

 

Ayat ini juga menolak klaim sebagian orang bahwa yang berbicara adalah Nabi Musa saja, bukan Allah. Orang ini mengubah ayat dengan menjadikan   sebagai obyek,   dibaca fathah bukan dhanimah. Akan tetapi di depan ayat ini dia tidak berkutik, dia tidak akan bisa mengubahnya.

 

Ayat kedelapan:

 

FirmanNya, “Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia bermunajat (kepada Kami).” (Maryam: 52).

 

“Dan Kami telah memanggilnya.” Kata ganti kami adalah sebagai subyek dan kembali kepada Allah, dan “nya” sebagai obyek adalah Nabi Musa, yakni, Allah memanggil Musa.

 

adalah hal (keterangan keadaan), dengan timbangan kata  dengan makna  yakni, yang diajak berbicara.

 

Perbedaan antara  (panggilan) dengan (bermunajat) adalah  untuk orang jauh,  untuk orang dekat, dan keduanya adalah perkataan.

 

Allah berbicara dengan memanggil dan dengan munajat, ini termasuk ke dalam ucapan as-Salaf, ” sebagaimana yang Dia kehendaki.”

 

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah berbicara sebagaimana Dia berkehendak, dengan memanggil (dari jauh) dan dengan bermunajat (dari dekat).

 

Ayat kesembilan:

 

FirmanNya, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan FirmanNya), ‘Datangilah kaum yang zhalim itu’.” (Asy-Syu’ara’: 10).

 

“Dan ketika Tuhanmu menyeru,” yakni, ingatlah ketika Dia memanggil.

 

Yang berkait dengan topik ini adalah,  “Tuhanmu (mecru) Musa.” Seruan ini dijelaskan dengan  “Datangilah kaum yang Zhalini itu.”

 

Memanggil (berseru) adalah dengan suara dan “Datangilah kaum yang zhalim itu,” menunjukkan bahwa ia dengan huruf.

 

Ayat kesepuluh:

 

FirmanNya, “Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon kayu itu’.” (Al-A’raf: 22).

 

“Kemudian (Tuhan mereka) menyeru mereka berdua,” yaitu Adam dan Hawa.

 

“Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon kayu itu.” Allah menyatakan bahwa Dia melarang keduanya dari pohon tersebut. Ini menunjukkan bahwa Allah telah berbicara kepada keduanya sebelum itu, dan bahwa Firman Allah dengan huruf dan suara serta ia berkaitan dengan kehendakNya, berdasarkan FirmanNya, “Bukankah Aku telah melarang kalian berdua.” Ucapan ini setelah adanya larangan. Jadi ia berkaitan dengan kehendakNya.

 

Ayat kesebelas:

 

FirmanNya, “Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata, ‘Apakah jawaban kalian terhadap seruan para rasul?'” (Al-Qashash: 65).

 

Yakni, ingatlah hari di mana Dia memanggil mereka, dan hal itu adalah pada Hari Kiamat. Yang memanggil adalah Allah,  “Seraya berkata .

 

Ayat ini menetapkan berfirman (berkata) bagi Allah dari dua segi: memanggil dan berkata.

 

Ayat-ayat ini semuanya menunjukkan bahwa Allah berbicara;, dengan perkataan yang hakiki kapan Dia ingin, dengan apa yang Diingin, dan sebagaimana Dia ingini dengan huruf dan suara yang terdengar, tapi tidak menyerupai suara makhluk.

 

Inilah akidah Salaf, akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Syarah:

 

Penulis menyebutkan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah Firman (Perkataan) Allah.

 

Telah terjadi perselisihan sengit antara golongan Mu’tazilah de. ngan Ahlus Sunnah dalam masalah ini, bahkan karena masalah ini, kezaliman pernah menimpa Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di antara ulama yang disiksa karenanya di jalan Allah, adalah Imam Ahmad bin Hanbal, imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang sebagian ulama berkata tentangnya, “Sesungguhnya Allah menjaga Islam atau dia berkata, menolongnya melalui Abu Bakar  pada peristiwa kemurtadan dan melalui Imam Ahmad pada hari ujian.”

 

Ujian tersebut adalah bahwa Khalifah al-Ma’mun -semoga Allah memaafkannya dan kita semua memaksa rakyat untuk mengatakan bahwa al-Qur‘an adalah makhluk, sampai-sampai dia menyiksa para ulama dan membunuh mereka apabila mereka tidak setuju. Dan kebanyakan ulama melihat bahwa mereka memiliki kelonggaran terkait masalah tersebut, dan mereka bergeser kepada sikap menakwilkan:

 

– Bisa jadi karena kondisinya adalah kondisi pemaksaan, dan orang’ orang yang dipaksa, apabila dia mengucapkan kata-kata kekafira” sementara hatinya tetap tenang dengan keimanannya, maka dia dimaafkan.

 

-Bisa jadi mereka membelokkan kata-kata kepada selain zahirnya dalam rangka melakukan takwil tersebut, seperti misalnya mereka berkata, “Al-Qur’an, Taurat, Injil dan Zabur, ini adalah makhluk,” dan yang mereka maksud dengan “ini” adalah jari-jarinya (karena dia menghitungnya dengan jari-jarinya).

 

Sedangkan Imam Ahmad dan Muhammad Nuh, dua orang ulama ini menolak, dan keduanya berkata, “Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang Dia turunkan, bukan makhluk.” Keduanya berpendapat bahwa keterpaksaan dalam kondisi ini tetap tidak membolehkan keduanya untuk berbicara menyelisihi kebenaran, karena konteksnya adalah konteks jihad sementara pemaksaan menuntut memaafkan apabila persoalannya adalah persoalan pribadi. Artinya, ia hanya berkait dengan persoalan itu sendiri. Lain halnya apabila persoalannya adalah untuk menjaga syariat Allah, maka sudah sewajibnya kalau seorang Muslim rela mengorbankan lehernya demi menjaga syariat Allah.

 

Seandainya pada waktu itu Imam Ahmad menyatakan bahwa al-Qur an adalah makhluk, meskipun dengan takwil, atau karena terpaksa, niscaya orang-orang akan menyuarakan bahwa al-Qur‘an adalah makhluk. Pada saat itu masyarakat Muslim akan berubah hanya karena menepis pemaksaan. Oleh karena itu, Imam Ahmad teguh dengan pendiriannya, dan akhirnya hasil akhir yang baik menjadi miliknya. Alhamdulillah.

 

Yang penting bahwa pembahasan tentang al-Qur an termasuk pembahasan tentang Kalamullah secara umum, akan tetapi karena telah terjadi perselisihan di antara golongan Mu’tazilah dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terjadi ujian pula yang menimpa Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka para ulama mengkhususkan pembahasan tentang al-Qur’an.

 

Penulis sendiri mulai dari sini menurunkan berbagai ayat-ayat yang menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah Firman (perkataan) Allah.

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Firman Allah.” (At-Taubah: 6).

 

“Seorang,” ini adalah isim, dan  adalah perangkat syarat. Para ulama nahwu berbeda pendapat apabila ada isim yang hadir setelah kata syarat, di mana semestinya yang hadir adalah fi’il (kata kerja).

 

Pendapat pertama, isim tersebut adalah fa’il (subyek) bagi fi’il, (kata kerja) yang tak terlihat dalam kalimat yang dijelaskan oleh fi’il sesudahnya, jadi  adalah fa’il (subyek) bagi fi’il (kata kerja) yang tidak terucap (dalam kalimat), yang asumsi selengkapnya adalah 

 

“dan jika seseorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia.” Yang seperti itu juga adalah Firman Allah,  “Apabila langit terbelah.” Kata  adalah fa’il bagi fi’il yang dibuang, asumsinya adalah

 

Pendapat kedua, ini adalah pendapat ulama Nahwu kota Kufah, di mana mereka biasanya lebih longgar daripada ulama Nahwu kota Bashrah:  adalah fa’il yang didahulukan dan fi’ilnya  diakhirkan, jadi tak perlu diasumsikan.

 

Pendapat ketiga, banyaknya isim yang hadir setelah perangkat syarat di dalam al-Qur an menunjukkan bahwa hal itu tidak bermasalah, menurut pendapat ini isin: yang hadir setelah perangkat syarat jika marfu’, maka ia adalah mubtada’. Jadi   adalah mubtada’ dan  adalah khabar.

 

Kaidahnya menurutku bahwa pendapat ulama Nahwu yang paling mudah adalah yang diikuti, di mana tidak ada penghalang secara syar’ii.

 

FirmanNya,  “Meminta perlindungan kepadamu,” yakni, meminta perlindungan dan suaka darimu.

 

“Supaya ia mendengar.”  berfungsi menjelaskan tujuan, artinya jika ada seseorang memohon perlindungan kepadamu dengan tujuan mendengar Firman Allah, maka berikanlah perlindungan sehingga dia mendengar Firman Allah, yakni al-Qur’an, dan ini berdasarkan kesepakatan.

 

Dia berfirman,  “Maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar Firman Allah,” karena mendengar Kalam Allah pasti berpengaruh, sebagaimana Firman Allah ,

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaf: 37).

 

Berapa banyak orang yang mendengar Firman-firman Allah, lalu dia beriman, akan tetapi dengan syarat dia memahaminya dengan baik.

 

Firman Allah,  “Firman Allah,” Allah menisbatkan

 

firman kepada DiriNya, di mana Dia berfirman  “Firman Allah.” Maka ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah Firman (Perkataan) Allah, dan memang demikian.

 

Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam hal ini adalah bahwa al-Qur’an adalah Firman Allah yang diturunkan, dan (al-Qur’an) bukan makhluk. Al-Qur’an bermula dariNya, dan kepadaNya ia kembali.

 

– Perkataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Al-Qur’an adalah Firman Allah,” dalilnya adalah Firman Allah

 

“Maka lindungilah ia supaya dia mendengar Firman Allah.” (At-Taubah: 6).

 

Dan ayat-ayat lain yang akan datang.

 

Perkataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Yang diturunkan,” dalilnya adalah Firman Allah

 

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur an.” (Al-Baqarah: 185).

 

Juga FirmanNya,

 

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar).” (Al-Qadr: 1).

 

Juga FirmanNya,

 

“Dan al-Qur-an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Al-Isra’: 106).

 

 Perkataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Al-Qur’an bukan makhluk,” dalilnya adalah,

 

“Ingatlah, menciptakan dan menetapkan ketentuan hanyalah hak Allah.” (AI-A’raf: 54).

 

Allah menjadikan tindakan mencipta sebagai sesuatu yang tersendiri dan memerintah sebagai sesuatu yang lain, karena athaf (mengurutkan dua kata dengan ‘dan’ dan sejenisnya) berkonsekuensi memiliki perbedaan, dan al-Qur’an termasuk ke dalam perintah; berdasarkan dalil Firman Allah,

 

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa itu al-Kitab (al-Qur-an) dan tidak pula mengetahui apakah itu iman, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang dengannya Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy-Syura: 52),

 

Apabila al-Qur an adalah perintah dan ia adalah bagian tersendiri bukan termasuk penciptaan, maka ia bukan makhluk, karena kalau ia adalah makhluk, maka pembagiannya tidak benar. Ini adalah dalil naqli.

 

Adapun dalil aqli, maka kami katakan, Al-Qur’an adalah Firman Allah dan Firman bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, sehingga ia terpisah dari Allah. Kalau Firman adalah sesuatu yang berdiri sendiri yang terpisah dari Allah, maka ia adalah makhluk, akan tetapi firman adalah sifat bagi mutakallim (pembicara), jika firman adalah sifat mutakallim dan ia berasal dari Allah, maka ia bukan makhluk, karena seluruh Sifat Allah bukan makhluk.

 

Di samping itu, seandainya ia adalah makhluk, niscaya batallah kandungan perintah, larangan, berita dan pertanyaan, karena seandainya bentuk-bentuk kalimat ini adalah makhluk, niscaya ia hanya sekedar bentuk yang diciptakan sedemikian rupa, tidak ada kandungan maknanya, seperti bentuk bintang, matahari, rembulan dan lain-lain.

 

– Ucapan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “(Al-Qur an) bermula dariNya.” Yakni, Dia-lah yang berbicara dengannya pertama kali.

 

Al-Qur’an kadang disandarkan kepada Allah, kepada Malaikat jibril  dan kepada Nabi Muhammad .

 

Contoh yang pertama adalah Firman Allah,

 

“Maka lindungilah dia supaya dia mendengar Firman Allah.” (At Taubah: 6).

 

Jadi al-Qur’an berawal dariNya, yakni dari Allah, dan () adalah huruf jar dan dhamir (kata ganti) yang didahulukan atas fi’ilnya (kata kerja) untuk menunjukkan makna pembatasan dan pengkhususan.

 

Contoh yang kedua -yang dinisbatkan kepada Malaikat Jibril adalah Firman Allah ,

 

” Sesungguhnya al-Qur an itu benar-benar Firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah, yang mempunyai Arasy.” (At-Takwir: 19-20).

 

Contoh yang ketiga -yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad adalah Firman Allah

 

” Sesungguhnya al-Qur an itu benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al-Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair.” (Al-Haqqah: 40-41).

 

Penisbatan kepada dua yang terakhir, adalah karena keduanya yang menyampaikan, bukan karena ia berawal dari keduanya.

 

– Perkataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Dan kepadaNya ia kembali,” terdapat dua kemungkinan makna:

 

Pertama, sebagaimana yang tercantum di sebagian atsar, bahwa di suatu malam begitu pagi hadir, tiba-tiba manusia tidak memiliki alQur’an, tidak dalam hafalan mereka dan tidak pula di buku mushaf mereka. Allah akan mengangkatnya.

 

Ini wallahu a’lam terjadi ketika manusia telah berpaling secara menyeluruh dari al-Qur’an; mereka tidak membacanya, tidak meng, amalkannya dan tidak berakidah dengan al-Qur an, maka Allah meng, angkatnya, karena al-Qur an tidak layak ada di antara orang-orang yang meninggalkannya dan berpaling darinya serta tidak menghargainya se, dikit pun. Hal ini -wallahu a’lamsama halnya dengan dirobohkannya Ka’bah di akhir zaman, di mana seorang laki-laki dari Habasyah yang berpostur pendek, berkulit hitam, berkaki renggang, akan datang de. ngan bala tentaranya dari laut menuju Masjidil Haram, yang akan men. congkeli Ka’bah satu bata demi satu bata. Setiap kali dia mencongkel satu bata, dia memberikannya kepada orang berikutnya, lalu kepada orang berikutnya, begitu seterusnya sampai orang yang terakhir melemparnya ke laut. Allah membiarkan mereka melakukan itu, padahal Abrahah yang hadir dengan gajahnya lengkap dengan dukungan pasukan berkuda dan berjalan kaki serta pasukan gajah dihancurkan oleh Allah sebelum dia sampai di masjid, karena Allah mengetahui bahwa seorang nabi akan diutus, keagungan dan wibawa Masjidil Haram hendak dikembalikan, hanya saja di akhir zaman tidak ada lagi nabi yang diutus setelah Nabi Muhammad . Apabila orang-orang sudah tidak lagi memuliakan Baitul Haram, niscaya Allah akan menguasaan laki-laki dari Habasyah ini. Hal ini sama dengan diangkatnya al-Qur’an. Wallahu a’lam.

 

Kedua, tentang maksud dari ucapan mereka, “Dan kepadaNya ia kembali,” yakni, bahwa ia kembali kepada Allah sebagai Sifat, yakni tidak disifati dengannya, kecuali Allah. Jadi, yang berbicara dengan Al-Qur’an adalah Allah. Dia-lah yang disifati dengannya.

 

Tapi tidak mengapa kalau kita katakan bahwa kedua makna di atas adalah benar.

 

Ini adalah perkataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang al-Qur’an.

 

Sedangkan golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan bukan Firman Allah.

 

Dalil yang mereka gunakan adalah Firman Allah,

 

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia-lah Yang memelihara segala sesuatu. ” (Az-Zumar: 62).

 

(Menurut Mu’tazilah) al-Qur’an adalah sesuatu, maka ia termasuk ke dalam FirmanNya,  “Segala sesuatu.” Di samping itu yang ada hanyalah Khaliq atau makhluk; Khaliq adalah Allah dan selainNya adalah makhluk.

 

Tanggapan atas pendapat mereka ini adalah dari dua segi:

 

Pertama, al-Qur’an adalah Firman Allah, dan ia adalah salah satu SifatNya dan Sifat Allah bukanlah suatu makhluk.

 

Kedua, ucapan seperti ini,  “Segala sesuatu,” adalah ucapan umum yang maksudnya adalah khusus. Seperti Firman Allah tentang ratu Saba’,

 

“Dan dia dianugerahi segala sesuatu.” (An-Naml: 23).

 

Banyak sekali yang tidak masuk ke dalam kerajaan ratu Saba’, salah satunya adalah kerajaan Nabi Sulaiman, ia tidak dia miliki.

 

Apabila ada yang berkata, Apakah ada perbedaan yang besar antara ucapan, “Al-Qur’an diturunkan,” dengan ucapan, “Al-Qur’an adalah makhluk”?

 

Jawaban: Ya, perbedaannya besar, karenanya terjadi ujian besar di zaman Imam Ahmad.

 

Kalau kita mengatakan, ia diturunkan, inilah yang dihadirkan oleh al-Qur’an, Firman Allah,

 

“Maha banyak berkah Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Quran) kepada hambaNya (Muhammad).” (Al-Furqan: 1).

 

Kalau kita mengatakan bahwa ia adalah makhluk, maka akibatnya adalah:

 

Pertama, mendustakan al-Qur’an, karena Allah berfirman,

 

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami.” (Asy-Syura: 52).

 

Allah mewahyukannya kepada Rasulullah  Kalau ia adalah makhluk, maka ia tidak bisa dikatakan diwahyukan. Kalau al-Qur‘an adalah wahyu, maka itu berarti ia bukan makhluk, karena Allah-lah yang berbicara dengannya.

 

Kedua, kalau kita katakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, maka hal itu berarti membatalkan petunjuk perintah, larangan, berita, dan permohonan berita (pertanyaan). Kalau semua bentuk kalimat ini adalah makhluk, niscaya ia hanya sekedar bentuk yang diciptakan di atas bentuk tersebut; seperti matahari yang diciptakan di atas bentuknya, rembulan di atas bentuknya, bintang di atas bentuknya… dan begitu seterusnya. Akibatnya; perintah bukanlah perintah, larangan bukanlah larangan, berita bukanlah berita, dan pertanyaan bukanlah pertanyaan. Sebagai contoh, kalimat “Katakanlah,” “Jangan berkata,” “fulan berkata,” “apakah fulan berkata,” semuanya hanya bentuk kalimat dengan bentuk tersebut, ia tidak menunjukkan kandungan perintah, larangan, berita dan pertanyaan, ia hanya sekedar susunan huruf dan tidak mengandung makna apa pun.

 

Oleh karena itu, Ibnul Qayyim dalam Nuniyalnya berkata, “Pendapat bahwa al-Qur an adalah makhluk membatalkan perintah dan jarangan, karena perintah hanyalah sesuatu yang diciptakan di atas pentuknya sementara kandungannya tidak berarti sama sekali, larangan hanyalah sesuatu yang diciptakan di atas bentuknya sementara kandungannya tidak berarti sama sekali, begitu pula berita dan pertanyaan.

 

Ketiga, kalau kita katakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan Allah menyandarkannya kepada DiriNya sebagai makhluk, maka bolehlah kita katakan bahwa semua ucapan manusia dan selainnya adalah Firman Allah, karena semua ucapan makhluk adalah makhluk. Inilah yang dipegang oleh golongan al-Hululiyyah dan Wihdatul Wujud di mana salah seorang dari mereka berkata,

 

Semua ucapan di alam ini adalah ucapanNya

 

Sama saja, kita yang merangkai dan menyusunnya

 

Ini adalah konsekuensi yang batil, dan kebatilan konsekuensi berarti kebatilan perkataan (pandangan).

 

Ketiga segi ini membatalkan pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur an adalah makhluk.

 

Segi keempat, kalau kalian membolehkan Firman Allah -sementara ia adalah makna yang tidak terpisahkan dari Pengucapannya adalah makhluk, maka kalian pun harus mengatakan bahwa seluruh Sifat Allah adalah makhluk, karena tak ada beda. Maka kalau begitu, kalian harus mengatakan, pendengaranNya adalah makhluk, penglihatanNya adalah makhluk, dan begitu seterusnya.

 

Kalau kalian menolak kecuali mengatakan bahwa pendengaran adalah makna yang tidak terpisahkan dari pendengar, di mana dia tidak mendengar darinya dan tidak melihat, lain dengan Firman, maka boleh-boleh saja Allah menciptakan suara-suara di udara, lalu ia didengar.

 

Kami katakan kepada kalian, Seandainya Allah menciptakan suara-Suara di udara lalu ia terdengar niscaya apa yang terdengar itu adalah sifat bagi udara. Dan yang ini, kalian sendiri menolak mengatakannya. Bagaimana kalian mengembalikan sifat kepada yang bukan pemiliknya?

 

Ini adalah empat segi yang menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk adalah batil. Kalau pendapat ini hanya membatalkan kandungan perintah, larangan, berita dan pertanyaan saja, niscaya ia saja sudah cukup membuktikan kebatilan pendapat ini.

 

FirmanNya, “Padahal segolongan dari mereka mendengar Firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 75).

 

Ini adalah dalam rangkaian FirmanNya,  “Apakah kalian masih mengharapkan mereka akan percaya kepada kalian.” Yakni, kalian jangan berharap mereka -yaitu orang-orang Yahudi percaya kepada kalian.

 

“Segolongan dari mereka,” yakni sekelompok dari mereka, yaitu para ulama mereka.

 

“Mereka mendengar Firman Allah,” ada kemungkinan yang dimaksud adalah al-Qur an, dan inilah yang tampak dari apa yang dilakukan oleh penulis (Syaikhul Islam). Jadi, ayat ini adalah dalil bahwa al-Qur’an adalah Firman Allah. Ada kemungkinan yang dimaksud adalah Firman Allah kepada Nabi Musa ketika memilih 70 orang untuk bertemu dengan Tuhannya, lalu Allah berbicara kepada Musa, sedangkan mereka mendengar, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya dan mereka mengetahui semua itu. Aku tidak melihat seorang pun dari ahli tafsir yang menyatakan kemungkinan makna yang pertama.

 

Yang mana pun dari kedua kemungkinan makna ini, yang jelas ayat ini menetapkan Firman Allah dengan suara yang terdengar. Berfirman (berkata) adalah sifat bagi yang berfirman, bukan sesuatu yang terpisah dariNya, maka al-Qur an adalah Firman Allah, bukan ucapan selainNya.

 

“Kemudian mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya sedang mereka mengetahui.” “Mereka mengubahnya,” yakni mengganti (dan memutar balikkan) maknanya.

 

“Setelah mereka memahaminya sedang mereka mengetahui.” Ini adalah perbuatan mereka yang paling buruk, dan paling lancang kepada Allah. Mereka mengubah sesuatu setelah ia sampai ke akal mereka dan mereka memahaminya, sedangkan mereka mengetahui bahwa mereka mengubah. Orang yang mengubah makna karena tidak tahu, lebih ringan daripada yang mengubahnya dengan sengaja dan mengetahui.

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Mereka hendak mengubah janji Allah (kepada kalian).

 

Katakanlah, ‘Kalian sekali-kali tidak (boleh) ikut bersama kami. Demikianlah yang telah ditetapkan Allah sejak semula’.” (Al-Fath: 15).

 

Ayat ini menetapkan bahwa al-Qur an adalah Firman Allah.

 

Kata ganti (pada ayat di atas) kembali kepada orang-orang Arab Badui, di mana Allah berfirman tentang mereka,

 

“Apabila kalian (orang-orang Mukmin) berangkat untuk mengambil barang rampasan, orang-orang Badui yang tertinggal (tidak ikut dalam peristiwa) itu akan berkata, ‘Biarkan kami ikut bersama kalian’.” (Al-Fath: 15).

 

Mereka itulah yang ingin mengubah Kalam Allah, lalu mereka berangkat bersama Rasulullah  akan tetapi Allah memberikan hak atas harta rampasan perang hanya kepada orang-orang tertentu, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam Perang Hudaibiyah. Adapun orang-orang yang mengikuti mereka hanya untuk mendapatkan harta rampasan perang, maka mereka tidak berhak mendapatkannya.

 

Ayat ini juga menetapkan bahwa Allah berfirman (berkata), berdasarkan FirmanNya,

 

“Demikian Allah telah berfirman (menetapkan) sebelumnya.” (ALFath: 15)

 

Ayat keempat:

 

FirmanNya, “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (al-Qur an). Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimatNya.” (Al-Kahfi: 27).

 

FirmanNya,  “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu,” yaitu al-Qur an. Dan wahyu tidak berwujud kecuali dengan ucapan, jadi ia bukan makhluk.

 

FirmanNya,  “Dari kitab Tuhanmu (al-Qur‘an).” Allah menisbatkannya kepada DiriNya, karena Dia-lah yang berbicara dengannya, Dia menurunkannya kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril yang terpercaya.

 

“Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah Kalimat-kalimatNya.” Lain halnya dengan Allah, Dia dapat mengganti satu ayat dengan ayat yang lain, sebagaimana firmanNya

 

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkanNya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (An-Nahl: 101).

 

Dan FirmanNya,  “Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimatNya,” mencakup kalimat-kalimat yang bersifat kauniyah dan kalimat-kalimat yang bersifat syar’iyah.

 

“Kami mengisahkan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur-an int kepadamu.” (Yusuf: 3).

 

Jadi al-Qur’an adalah Firman (Perkataan) Allah.

 

Syarah:

 

Penulis menyebutkan ayat-ayat yang menetapkan bahwa al-Quran diturunkan dari Allah.

 

Ayat pertama:

 

 

FirmanNya, “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami yang diberkati.” (Al-An’am: 155).

 

“Dan ini adalah kitab,” yang dimaksud adalah al-Qur‘an.

 

“Kitab,” yakni, yang tertulis, karena ia tertulis di Lauhul Mahfuzh, tertulis di lembaran-lembaran yang ada di tangan para malaikat, dan tertulis di mushaf yang ada di tangan kita.  “Yang diberkati,” yakni, memiliki keberkahan.

 

Al-Qur’an itu penuh berkah karena ia adalah obat hati; yang apabila seseorang membacanya dengan merenungi dan memikirkan (makna serta kandungannya), maka ia akan menyembuhkan penyakit hati. Allah  berfirman,

 

“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra’: 82).

 

Al-Qur’an memiliki berkah dengan mengikutinya, karena dengannya amal kebajikan yang lahir maupun yang batin menjadi baik.

 

Al-Qur an penuh berkah dalam pengaruh-pengaruhnya yang besar. Kaum Muslimin telah berjihad dengannya di negeri-negeri kafir, karena Allah  berfirman,

 

“Dan berjihadlah menghadapi mereka dengan al-Qur an dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan: 52).

 

Kaum Muslimin menaklukkan belahan timur dan barat bumi dengan al-Qur’an sehingga mereka menguasainya. Seandainya kita kembali kepadanya, niscaya kita akan menguasai belahan timur dan barat bumi sebagaimana para pendahulu kita. Semoga Allah memudahkannya.

 

Dan al-Qur’an itu penuh berkah, karena barangsiapa membacanya, maka dia mendapatkan sepuluh kebaikan dengan setiap hurufnya. Kata  misalnya, memberi tiga puluh kebaikan. Ini adalah salah satu keberkahan al-Qur‘an. Kita bisa mendapatkan banyak kebaikan yang tidak terhitung dengan membaca beberapa ayat pendek dari Kalamullah.

 

Alhasil, al-Qur’an adalah kitab penuh berkah; segala bentuk keberkahan diraih dengan al-Qur’an yang agung ini.

 

Yang terkait dengan topik pembahasan ini adalah,  “Kami menurunkannya.”

 

Dan bahwa al-Qur’an itu turun dari Allah merupakan dalil bahwa al-Qur’an adalah Firman (Perkataan)Nya.

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Kalau sekiranya Kami turunkan al-Qur ‘an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah.” (Al-Hasyr: 21).

 

Gunung adalah di antara benda yang paling keras, dan batu yang merupakan material dasar dari gunung dijadikan sebagai perumpamaan dari segi kerasnya. Allah berfirman,

 

“Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.“ (Al-Baqarah: 74).

 

Akan tetapi, seandainya al-Qur‘an ini diturunkan kepada gunung, niscaya engkau akan melihatnya khusyu’ dan terbelah karena takut kepada Allah.

 

“Tunduk (khusyu’) ,” yakni, dengan merendahkan diri.

 

Dan karena saking takutnya ia kepada Allah, maka ia  terpecah dan terbelah.

 

Sementara al-Qur’an diturunkan kepada kita, -kecuali orang yang dirahmati Allah justru hati kita mengeras dan tidak khusyu’; ia tidak terbuka dan tidak menerima.

 

Apabila ayat-ayat Allah turun kepada orang-orang yang beriman, maka iman mereka bertambah sementara orang-orang dengan hati yang berpenyakit, turunnya ayat hanya menambah kerusakan hati di atas kerusakan yang telah ada. Na’udzubillah.

 

Artinya, hati mereka semakin mengeras dan penyakitnya semakin bertambah parah. Na’udzubillah min dzalik.

 

Apabila al-Qur’an ini diturunkan kepada gunung, niscaya ia akan khusyu’ dan terbelah karena keagungan apa yang Allah turunkan kepadanya.

 

Ini menunjukkan bahwa gunung bisa merasa, karena ia bisa khusyu’ dan terbelah dan memang demikian. Nabi  bersabda tentang gunung Uhud,

 

“Ini adalah Uhud, gunung yang mencintai kita dan kita juga mencintainya.”

 

Dengan hadits ini kita mengetahui bantahan terhadap orang-orang yang menetapkan majaz (kiasan) di dalam al-Qur an, orang-orang yang selalu mengibarkan bendera majaz dengan berdalil dengan ayat,

 

“Kemudian keduanya mendapatkan di sana suatu dinding rumah yang hendak roboh.” (Al-Kahfi: 77).

 

Kata mereka, Bagaimana mungkin dinding bisa berkehendak

 

Kami katakan, Subhanallah, Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Teliti telah berfirman, “Hendak roboh,” sementara engkau berkata, “Ia tidak berkehendak.” Apakah itu masuk akal?

 

Bukan hakmu untuk berkata, “Bagaimana ia bekehendak,” setelah ini.

 

Hal ini membuat kita bertanya kepada diri kita. Apakah kita diberi ilmu tentang segala sesuatu?

 

Jawabnya adalah bahwa ilmu yang diberikan kepada kita hanyalah sedikit.

 

Firman Allah Yang Maha mengetahui yang ghaib dan yang nampak, “hendak roboh,” tidak boleh bagi kita untuk menyangkalnya dengan perkata, “Tembok tidak memiliki kehendak, dan ia tidak hendak roboh.”

 

Ini adalah salah satu dampak buruk majaz, ia berakibat membatalkan apa yang ditetapkan al-Qur an. Bukankah Allah berfirman,

 

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan ia bertasbih dengan memujiNya, tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka.” (Al-Isra’: 44).

 

Apakah ia bertasbih tanpa kehendak?

 

Dia berfirman,  “Bertasbih untukNya.” Huruf Lam di sini berfungsi sebagai pengkhususan, jadi ia ikhlas, apakah keikhlasan itu ada tanpa kehendak? Jadi ia berkehendak, segala sesuatu berkehendak, karena Allah berfirman,  “Dan tak ada sesuatu pun melainkan ia bertasbih.” Menurut saya, tidak samar bagi kita semua bahwa

 

ini adalah salah satu bentuk kalimat yang menunjukkan keumuman, karena  adalah nafiyah yang berarti (tidak) dan  adalah nakirah dalam konteks kalimat negatif  “melainkan ia bertasbih dengan memujiNya.” Jadi ia meliputi segala sesuatu.

 

Wahai Muslim saudaraku, apabila hatimu tidak tersentuh oleh al-Qur’an, maka periksalah ia karena Allah telah menyatakan bahwa seandainya al-Qur’an ini diturunkan kepada gunung, niscaya ia akan terbelah, sementara hatimu tidak tersentuh pada saat al-Qur an dibacakan. Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita semua.

 

Ayat ketiga, keempat, dan kelima:

 

FirmanNya, “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkanNya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja.’ Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. Katakanlah, ‘Ruhul Qudus Jibril menurunkan al-Qur an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’ Dan sesungguhnya Kami mengetahut bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammaad).’ Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa Ajam (non Arab), sedang al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (An-Nahl: 101-103).

 

FirmanNya,  “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya.”

 

yakni, Kami menempatkan ayat di tempat ayat yang lain. Ini adalah isyarat nasakh yang tercantum dalam Firman Allah,

 

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) juga kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106).

 

Apabila Allah menasakh ayat, maka Dia menggantinya dengan ayat yang lain; baik Dia menasakh lafazhnya atau maknanya.

 

FirmanNya,  “Dan Allah mengetahui dengan apa yang Dia turunkan.” Ini adalah anak kalimat, peletakannya di tempat ini termasuk yang terbaik dan maknanya adalah bahwa Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, ini bukanlah karena kebodohan dan main-main, akan tetapi ia berdasar kepada ilmu tentang kemaslahatan manusia, maka Kami mengganti satu ayat dengan ayat yang lain karena Kami mengetahui bahwa ia lebih baik dan lebih berguna bagi manusia.

 

Ada faidah lain yaitu, bahwa pergantian tersebut bukan perbuatan Rasul, akan tetapi dari Allah, Dia menurunkannya dengan ilmuNya. Allah mengganti satu ayat dengan ayat yang lain berdasarkan ilmuNya, (dan seakan Allah berfirman), bukan darimu wahai Rasul.

 

Firman Allah,

 

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, ‘Datangkanlah al-Qur-an yang lain dari ini atau gantilah ia’.” (Yunus: 15).

 

Lalu apa jawabannya?

 

Jawabannya adalah dengan menjawab sebagian ucapan mereka dan mendiamkan sebagian yang lain, Allah berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari (karangan) diriku sendiri’.” (Yunus: 15).

 

Dia tidak berkata, Dan aku tidak datang dengan ayat al-Qur’an selainnya. Mengapa? Karena bisa saja Allah menggantinya dengan sesuatu dari DiriNya. Apabila Nabi tidak mungkin menggantinya, maka menghadirkan selainnya tentu lebih tidak mungkin.

 

Yang penting adalah bahwa yang mengganti ayat dengan ayat yang lain, baik lafazh maupun hukumnya adalah Allah.

 

FirmanNya,  “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja,” ini adalah kalimat jawab dari,  “Dan apabila,”

 

FirmanNya,  maksudnya adalah Nabi 

 

 yakni pendusta. Kemarin kamu berkata begini, hari ini kamu berkata begitu. Ini adalah dusta, kamu hanyalah pembual.

 

Akan tetapi perkataan yang mereka katakan sebagai ejekan saat terjadi pergantian ayat dengan ayat yang lain; ini adalah ucapan main-main. Kalau mereka mengkajinya dengan benar, niscaya mereka akan mengetahui dengan yakin bahwa yang menghadirkan ayat untuk mengganti ayat yang lain adalah Allah dan itu membuktikan kejujuran Nabi, karena para pembual selalu menjaga agar ucapannya tidak bertabrakan dengan ucapan sebelumnya, karena dia takut bualannya akan terbongkar. Seandainya dia adalah pendusta seperti yang mereka klaim dan bahwa hal itu termasuk indikasi dusta, niscaya dia tidak akan menghadirkan sesuatu yang bertentangan dengan yang sebelumnya, karena jika demikian menurut klaim mereka, maka terbuktilah kedustaannya, akan tetapi sebaliknya dia menghadirkan sesuatu yang tidak menyelisihi yang sebelumnya, dan ini adalah bukti kejujurannya.

 

Oleh karena itu, Dia berfirman,  “Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui.” Ini adalah penolakan (Allah), maknanya adalah kamu (wahai Rasul) bukanlah seorang pendusta, justru merekalah yang tidak mengetahui. Kalau mereka termasuk orang-orang yang mengetahui, niscaya mereka akan mengetahui bahwa penggantian satu ayat dengan ayat yang lain adalah bukti kebenaran Rasulullah.

 

FirmanNya,  “Katakanlah, ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur ‘an itu dari Tuhanmu dengan benar.” Ruhul Qudus adalah Jibril, ia disifati demikian karena kesuciannya dari sifat khianat. Oleh karena itu, Allah berfirman di ayat yang lain,

 

“Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi disisi Allah yang mempunyai Arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.” (At-Takwir: 19-21).

 

FirmanNya,  “Dari Tuhanmu.” Dia tidak berfirman, “dari Tuhan semesta alam,” sebagai isyarat kepada penyandaran kata  yang khusus, yaitu mengidhafahkan  kepada Nabi , yaitu idhafah yang lebih khusus dari yang khusus.

 

FirmanNya,  “Dengan kebenaran.” Bisa jadi ia adalah sifat pagi yang turun atau ia adalah sifat bagi apa yang diturunkan.

 

Jika yang pertama, maka maknanya adalah bahwa turunnya ia adalah dengan kebenaran, bukan dusta.

 

Jika yang kedua, maka maknanya adalah apa yang ia bawa adalah kebenaran.

 

Keduanya benar, ia adalah benar dari sisi Allah dan ia turun dengan membawa yang benar.

 

Firman Allah 

 

“Dan Kami turunkan (al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan al-Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran.” (Al-Isra’: 105).

 

Al-Qur’an adalah benar, apa yang dibawanya juga benar.

 

FirmanNya,  “Untuk meneguhkan hati orang-orang yang beriman.” Ini adalah penjelasan tentang alasan dan manifestasi(nya) yang besar, yaitu meneguhkan orang-orang yang beriman, mengokohkan mereka di atas kebenaran dan menguatkan mereka di atasnya.

 

FirmanNya, “Dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah),” yaitu petunjuk yang dengannya mereka mengambil petunjuk, pelita yang menerangi mereka dan berita gembira yang dengannya mereka bergembira.

 

Berita gembira; karena barangsiapa mengamalkannya dan berserah diri kepadaNya, maka itu adalah bukti bahwa dia termasuk orang-orang yang berbahagia. Firman Allah,

 

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (kalimat) yang terbaik (La Ilaha Illallah), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al-Lail: 5-7).

 

Oleh karena itu hendaknya seseorang berbahagia apabila melihat kebaikan pada dirinya, teguh dan kokoh di atas kebaikan, berbahagia karena ia adalah berita gembira untuknya. Rasulullah berbicara kepada para sahabat,

 

“Tidak seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempat duduknya di surga dan tempat duduknya di neraka.” Mereka berkata, ” Kalau begitu kita tidak perlu beramal dan pasrah?” Nabi  menjawab, “Tidak, beramallah, karena masing-masing orang dimudahkan kepada tujuan dia diciptakan.” Kemudian Nabi  membaca, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (kalimat) yang terbaik (La Ilaha Illallah), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 5-10).

 

Apabila engkau melihat bahwa Allah telah memberimu nikmat hidayah dan taufik kepada amal shalih, mencintai kebaikan dan orang-orang yang baik, maka berbahagialah karena hal itu membuktikan bahwa engkau termasuk orang-orang yang baik, dan berbahagialah karena hal itu membuktikan bahwa engkau termasuk orang-orang yang dimudahkan kepada kemudahan; yaitu orang-orang yang ditulis kebaikan baginya.

 

Oleh karena itu Allah berfirman,

 

menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”

 

FirmanNya,  “Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya al-Qur-an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)’.” FirmanNya,  “Dan sesungguhnya Kami mengetahui,” dan Dia tidak berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui.” Karena ucapan mereka tidak berhenti pada suatu waktu (tetapi muncul silih berganti dalam bentuk baru). Jadi, ungkapan dengan fi’il mudhari’ lebih pas daripada dengan fi’il madhi, karena jika Dia berkata, “Sesungguhnya Kami telah mengetahui,” niscaya akan langsung dipahami bahwa maknanya adalah Kami telah mengetahui bahwa mereka telah mengatakan itu dahulu dan itu tidak berlangsung terus menerus.

 

Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa orang-orang Quraisy berkata, “Al-Qur’an yang dibawa Muhammad bukan dari Tuhannya, akan tetapi itu hanya dari seseorang yang mengajarkan kepadanya dan mengisahkan kisah orang-orang terdahulu kepadanya. Muhammad datang untuk berkata kepada kami, “Ini adalah dari Allah.” Na’udzubillah.

 

Mereka mengklaim bahwa al-Qur’an adalah perkataan manusia. Yang mengherankan, saat mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah perkataan manusia, begitu mereka ditantang, “Buatlah yang sepertinya,” mereka tidak mampu melakukannya.

 

Allah mendustakan kedustaan mereka ini dengan FirmanNya,

 

“Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa Ajam (non Arab).”

 

Makna  adalah mereka menyimpang, karena ucapan mereka ini menyimpang dari kebenaran dan jauh dari yang shahih.

 

A’jami adalah orang yang tidak fasih berbicara Arab, meskipun dia orang Arab, dan ‘Ajamui tanpa hamzah adalah orang yang dinisbatkan kepada Ajai (non Arab), walaupun dia berbicara bahasa Arab.

 

Lisan orang yang mereka tuduhkan bahwa Nabi Muhammad  belajar kepadanya adalah lisan (bahasa) A’jami, yang tidak fasih berbicara bahasa Arab.

 

Adapun al-Qur’an, maka Allah berfirman tentangnya,  “Sedang al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang,” yakni, jelas pada dirinya dan menjelaskan bagi lainnya.

 

Al-Qur’an itu dengan bahasa Arab, ia adalah ucapan paling fasih, mana mungkin ia hadir dari laki-laki A’jami yang tidak fasih berbicara?

 

Yang berkait dengan topik ini adalah FirmanNya “Allah lebih mengetahui apa yang diturunkanNya.” FirmanNya,  ” Katakanlah, ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an itu dari Tuhanmu’,” dan FirmanNya,  “Sedang al-Quran itu dalam bahasa Arab yang terang.”

 

Bagaimana dinding berkehendak? Kami katakan: Yakinilah bahwa dinding tersebut berkehendak, niscaya akan jelas bagimu bahwa hal ini bukan sesuatu yang aneh.

 

Ini adalah kaidah yang harus menjadi dasar bagimu, yaitu berimanlah engkau, niscaya engkau mendapatkan petunjuk. Orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, mereka tidak mendapat petunjuk dariNya, mereka buta terhadap al-Qur’an naudzubillah-, mereka tidak mampu mengambil petunjuk darinya.

 

Semoga Allah melimpahkan hidayah kepada kita semua. Faidah yang dapat kita petik dari ayat-ayat ini dari segi perilaku: Apabila kita mengetahui bahwa al-Qur‘an ini difirmankan oleh Tuhan semesta alam, maka hal itu mewajibkan kita untuk mengagungkan al-Qur’an, menghormatinya, melaksanakan perintah-perintahnya, menjauhi larangan-larangannya, membenarkan berita-beritanya tentang Allah dan tentang makhluk-makhlukNya yang terdahulu dan yang akan datang. 

 

Syarah:

 

Penulis menyebutkan ayat-ayat yang menetapkan bahwa orang-orang Mukmin akan melihat Allah :

 

Ayat pertama:

 

FirmanNya, “Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya ia melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23).

 

FirmanNya,  “Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu,” yakni Hari Akhir (Hari Kiamat).

 

FirmanNya,  “Berseri-seri,” yakni indah berseri, dari kata dengan dhad; yang berarti indah.

 

Dalilnya adalah Firman Allah,

 

“Maka Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberi. kan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (Al-Insan: 11), Yakni, wajah mereka indah dan hati mereka berbahagia.

 

FirmanNya,  “Kepada Tuhannya ia melihat.”  dengan zha dari kata  Di sini  dimuta’addikan dengan kata bantu  yang menunjukkan tujuan, ia adalah melihat yang bersumber dari wajah, dan melihat yang bersumber dari wajah adalah dengan mata, lain halnya dengan melihat yang berasal dari hati, ia dengan bashirah, tadabur dan tafakur. Melihat di sini adalah dari wajah kepada Allah,  berdasarkan FirmanNya,  “Kepada Tuhannya.”

 

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa wajah-wajah yang indah lagi berseri-seri ini melihat kepada Tuhannya, maka ia semakin indah.

 

Lihatlah bagaimana Allah menjadikan wajah-wajah tersebut siap sedia untuk melihat Wajah Allah, karena ia indah, bagus, dan siap untuk melihat Tuhannya.

 

Ayat ini mengandung dalil bahwa Allah (akan) dilihat dengan mata, dan ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Mereka berdalil dengan ayat-ayat yang dicantumkan oleh penulis (Syaikhul Islam), juga dengan hadits-hadits yang mutawatir dari Nabi yang dinukil oleh para sahabat  dalam jumlah yang besar, kemudian para tabi’in dalam jumlah yang besar, kemudian tabi’ut tabi’in dalam jumlah yang besar, dan begitu seterusnya

 

Dalil-dalil dalam hal ini adalah qath’i; baik dari segi kesahihannya maupun kandungannya, karena dalil-dalil tersebut adalah di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi  yang mutawatir.

 

Ada yang berkata dalam hal ini:

 

Di antara yang mutawatir adalah hadits “barangsiapa berdusta”,

 

“Barangsiapa membangun rumah untuk Allah

 

Dengan berharap pahala dariNya”

 

“Rukyat,” “syafa’at” dan “haudh (telaga)”

 

Dan “mengusap dua khuff (sepatu kulit yang menutupi mata kaki)” dan int hanya sebagian.

 

Yang dimaksud dengan kata “rukyat” adalah orang-orang Mukmin akan melihat Rabb mereka.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa melihat di sini secara hakiki, yaitu dengan mata kepala.

 

Hal itu tidak mengharuskan Allah dicapai secara menyeluruh, karena Allah berfirman,

 

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” (Al-An’am: 103),

 

sebagaimana ilmu dengan hati tidak mengharuskan mengetahui segala sesuatu. Firman Allah,

 

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya.” (Thaha: 110).

 

Kita mengetahui Tuhan kita dengan hati kita, akan tetapi kita tidak mengetahui persis dan hakikatnya. Pada Hari Kiamat kita akan melihatNya dengan mata kita, akan tetapi kita tidak mengetahui segala sesuatu tentangNya dengan pandangan kita.

 

Ayat kedua:

 

FirmanNya, “Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.” (Al-Muthaffifin: 23).

 

 jamak dari , ia adalah tempat tidur yang indah yang ditutupi dengan kain tipis (yang mirip dengan tirai pelindung dari nyamuk).

 

 ” Mereka memandang.” Tidak disebutkan apa yang mereka lihat. Jadi ia berlaku umum, mencakup semua yang nikmat untuk dilihat.

 

Yang paling besar dan paling agung adalah melihat Allah, berdasarkan FirmanNya,

 

“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan.” (Al-Muthaffifin: 24).

 

Konteksnya mirip dengan Firman Allah,

 

“Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah ia melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23).

 

Mereka melihat kepada apa yang nikmat untuk dilihat.

 

Di antaranya adalah melihat kepada teman-teman buruk yang diazab di api neraka yang menyalah sebagaimana Firman Allah,

 

” Berkatalah salah seorang di antara mereka, ‘Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman, yang berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari berbangkit)? Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?’ Berkata pulalah dia, ‘‘’Maukah kalian meninjau (temanku itu)?’ Maka dia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala.” (Ash-Shaffat: 51-55). Semoga Allah melindungi kita.

 

“Berkata pulalah dia, yakni, kepada teman-temannya ini.

 

“Maukah,” untuk mendorong, meninjau apa? Yaitu meninjau temannya ini.

 

Dia melihatnya di tengahnya, yakni di kerak dan dasarnya. Subhanallah. Orang ini di Illiyin (tempat tertinggi di surga) dan temannya di kerak neraka, dia bisa melihat kepadanya meskipun jaraknya sangat jauh.

 

Akan tetapi melihatnya penduduk surga tidak sama dengan melihatnya penduduk dunia. Di surga seseorang melihat miliknya sejauh perjalanan dua ribu tahun, dia dapat melihat ujung paling jauh, seperti dapat melihat yang paling bawah, karena kesempurnaan nikmat. Jika melihatnya seseorang di surga sama dengan melihatnya dia di dunia, maka dia tidak menikmati nikmat surga, karena dia hanya melihat jarak yang dekat, maka banyak hal yang tidak dilihatnya.

 

Dia menengok dari Illiyin di surga ke arah kerak neraka, dia melihatnya di dasar neraka yang bergolak apinya. Dia berkata kepadanya, “Dia berkata, ‘Demi Allah, sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakanku’.” (Ash-Shaffat: 56)

 

Ini menunjukkan bahwa dia selalu berusaha menyesatkannya. Oleh karena itu Dia berfirman,  “Sesungguhnya kamu benar-benar hampir,” yakni mendekati dan  di sini adalah  mukhaffafah (yang singan) bukan tsaqilah (berat).

 

“Jikalau tidaklah karena nikmat Tuhanku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret (ke neraka). Maka apakah kita tidak akan mati?” (Ash Shaffat: 57-58).

 

Dahulu orang-orang berdebat dalam hal ini, bagaimana dia berada di tempat tertinggi bisa berbicara kepada orang yang dilihatnya yang berada di tempat paling rendah?

 

Akan tetapi saat ini telah muncul hasil kreasi seperti satelit, telepon 3G dan lain-lain, melaluinya seseorang bisa melihat kepada lawan bicaranya dari jauh.

 

Padahal tidak mungkin menyamakan apa yang ada di Akhirat dengan apa yang ada di dunia.

 

Jadi  “Mereka melihat,” adalah umum; melihat kepada Allah, melihat nikmat yang mereka rasakan dan melihat azab yang dirasakan oleh penduduk neraka.

 

Apabila ada yang berkata: Ini sulit diterima, bagaimana mereka melihat kepada penghuni neraka, menunjuk hidung mereka, dan menjelek-jelekkan mereka?

 

Kami katakan: Demi Allah, betapa banyak azab, ujian dan kesulitan yang ditimpakan oleh penghuni neraka kepada penduduk surga di dunia,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang gemar berbuat dosa adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman.” (Al-Muthaffifin: 29).

 

Mereka menertawakannya, baik di pertemuan-pertemuan mereka atau saat bersama mereka,

 

“Dan apabila orang-orang yang beriman melintas di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan mata. Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada keluarga mereka, mereka kembali dengan gembira.” (Al-Muthaffifin: 30-31).

 

Mereka pulang dengan rasa nyaman karena ucapan-ucapan mereka yang penuh olok-olok,

 

“Dan apabila mereka melihat orang-orang beriman, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat’.” (Al-Muthaffifin: 32). Firman Allah,

 

“Maka pada hari ini orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.” (AI-Muthaffifin: 34-35).

 

Mereka melihat kepada penghuni neraka -naudzubillah sementara mereka (penghuni neraka berada) di dasar neraka.

 

Ayat ketiga:

 

FirmanNya, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 62).

 

FirmanNya,  “Bagi orang-orang,” ini adalah khabar yang didahulukan.

 

adalah mubtada’ yang diakhirkan, ia adalah surga.

 

“Tambahannya,” yaitu melihat Wajah Allah.

 

Begitulah Nabi menafsirkannya, sebagaimana hal itu tercantum secara shahih di Shahih Muslim dan lain-lain.

 

Ayat ini adalah dalil yang menetapkan bahwa orang-orang Mukmin akan melihat Allah; dari tafsir Rasulullah -dan tanpa ragu beliau adalah orang paling mengetahui makna al-Qur an,beliau menafsirkannya dengan melihat Wajah Allah, ia adalah tambahan atas nikmat surga.

 

Jadi ia adalah kenikmatan yang lain dari kenikmatan surga, karena jenis kenikmatan surga adalah kenikmatan badan berupa sungai, buah-buahan, pasangan-pasangan yang suci yang diikuti dengan kebahagiaan hati, akan tetapi melihat kepada Wajah Allah adalah kenikmatan hati. Penduduk surga tidak mendapatkan nikmat yang lebih baik daripada itu. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang melihatNya.

 

Kenikmatan ini tidak tertandingi selama-lamanya, tidak oleh buah-buahan, tidak oleh sungai-sungai dan tidak pula oleh selainnya. Oleh karena itu Allah berfirman, “Dan tambahan,” yakni tambahan di atas .

 

Ayat keempat:

 

FirmanNya, “Mereka di dalam surga memperoleh apa yang mereka kehendak dan pada sisi Kami ada tambahannya.”(Qaf: 35).

 

FirmanNya,  “Mereka di dalam surga memperoleh apa yang mereka kehendaki.” Yakni, mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.

 

Sungguh telah datang di dalam hadits yang sahih, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi 

 

“Wahai Rasulullah! Apakah di surga ada kuda? Karena aku menyukai kuda.” Nabi menjawab, ” Apabila Allah memasukkanmu ke dalam surga, maka tidaklah kamu menginginkan untuk mengendarai kuda dart batu permata merah yang membawamu terbang di surga sesukamu, melainkan kamu pasti bisa melakukannya.” Seorang Arab Badui berkata, “Wahai Rasulullah, apakah di surga ada unta? Karena aku menyukai unta.” Nabt menjawab, “Wahai orang Badui, kalau Allah memasukkanmu ke dalam surga, niscaya kamu mendapatkan apa yang diinginkan oleh dirimu dan apa yang dinikmati oleh matamu.”

 

Apabila dia menginginkan sesuatu, maka ia terwujud dan terjadi bahkan sebagian ulama berkata, Kalau dia menginginkan anak, maka dia akan memilikinya. Apa pun yang mereka inginkan, akan mereka dapatkan.

 

Firman Allah,

 

“Dan di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh jiwa dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71).

 

FirmanNya,  “Dan pada sisi Kami ada tambahannya.” Yakni, tambahan atas apa yang mereka inginkan.

 

Yakni, apabila penduduk surga menginginkan sesuatu, maka ia diberikan kepadanya dan diberi tambahan sebagaimana dijelaskan oleh hadits shahih tentang orang terakhir yang masuk surga, Allah memberinya kenikmatan demi kenikmatan. Dia berkata, “Aku rela.” Allah berfirman kepadanya,

 

“Yang seperti itu untukmu dan ditambah sepuluh kali yang sepertinya 

 

Kebanyakan ulama menafsirkan tambahan di sini dengan penafsiran Nabi  tadi, yaitu melihat Wajah Allah. Jadi ayat yang disebutkan penulis untuk menetapkan bahwa orang-orang Mukmin akan melihat Allah ada empat. Terdapat ayat kelima yang dijadikan sebagai dalil oleh Imam asy Syafi’i  yaitu Firman Allah tentang para pendosa,  “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (Al-Muthaffifin: 15).

 

Kandungan dalilnya adalah kalau orang-orang kafir terhalangi dari melihat kepada Allah, karena mereka dalam keadaan dimurkai, maka orang-orang yang beriman tidak terhalangi dari melihatNya, karena mereka dalam keadaan diridhai. Jika orang-orang yang dimurkai Allah terhalangi dari melihat Allah, berarti orang-orang yang diridhai

 

Allah akan melihat kepadaNya.

 

Ini adalah pengambilan dalil yang sangat tepat, karena kalau semuanya terhalangi, maka orang-orang Mukmin tidak berbeda dengan orang-orang kafir. Dengan ini, maka kami katakan bahwa ayat yang menjadi dalilNya ada lima. Bisa pula kita tambahkan dengan Firman Allah,

 

“Dia tidak dapat dicapai oleh Penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An’am: 103),

 

sesuai dengan apa yang akan kami tetapkan dalam membantah orang. orang yang mengingkarinya, insya Allah.

 

Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan dalil-dalil mereka tentang orang-orang Mukmin yang akan melihat Allah ada. lah jelas dan gamblang, yang mengingkarinya hanyalah orang dungu atau sombong.

 

Ada beberapa kelompok dari kalangan penganut fa’thil yang terdiri dari Jahmiyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan lain-lain yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam hal ini, mereka berdalil dengan dalil naqli yang mutasyabihat dan dalil-dalil aqli yang dipaksakan.

 

Dalil naqli

 

Dalil pertama: Firman Allah

 

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhannya telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, ‘Wahai Tuhanku, tampakkanlah (DiriMu) kepadaku, agar aku dapat melihatMu.” Allah berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak akan (sanggup) melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya kamu dapat melihatKu.’ Tatkala Tuhannya menampakkan Diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan.” (Al-A’raf: 143).

 

Yang berkaitan dengan topik ini adalah , kata  menunjukkan penafian abadi, penafian adalah berita, berita Allah adalah benar, tidak mungkin dinasakh.

 

Bantahan terhadap mereka dari beberapa segi:

 

Pertama, tertolaknya pendapat yang mengatakan bahwa  berarti penafian abadi, karena itu sekedar klaim kosong.

 

Ibnu Malik dalam al-Kafiyah berkata,

Barangsiapa berpendapat penafian dengan  berlaku abadi

Maka tolaklah pendapatnya

dan dukunglah pendapat yang tidak demikian.

 

Kedua, Nabi Musa  tidak meminta melihat Allah di Akhirat akan tetapi dia meminta saat itu juga, berdasarkan FirmanNya, Tampakkanlah DiriMu agar aku dapat melihat kepadaMu.” Maksudnya, sekarang juga. Lalu Allah menjawab,   “Kamu tidak akan melihatKu.” Maksudnya, kamu tidak akan bisa melihatku sekarang. Kemudian Allah membuat perumpamaan dengan gunung di mana Allah menampakkan DiriNya kepadanya, dan gunung itu pun hancur luluh. Firman Allah, “Tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihatKu.” Manakala Nabi Musa melihat apa yang terjadi pada bukit tersebut, dia mengetahui bahwa tiada daya baginya untuk melihat kepada Allah, dan Nabi Musa pun pingsan karena apa yang dilihatnya.

 

Maka melihat Allah di dunia adalah mustahil, karena keadaan manusia tidak mungkin kuat melihat kepada Allah. Nabi bersabda tentang Allah,

 

“HijabNya adalah cahaya, seandainya Dia menyingkapkannya, niscaya pancaran keagungan WajahNya akan membakar makhlukNya sejauh jangkauan pandanganNya.”

 

Adapun melihat Allah di Akhirat maka itu mungkin, karena pada hari itu orang-orang berada di alam lain, di mana keadaan mereka berbeda dengan keadaan di dunia sebagaimana hal itu diketahui dari dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah tentang apa yang terjadi pada mereka di padang Hari Kiamat dan di tempat akhir mereka, surga atau neraka.

 

Ketiga, Tidak mungkinnya melihat Allah di Akhirat menurut orang-orang yang mengingkarinya didasarkan kepada alasan bahwa menetapkannya berarti menetapkan kekurangan bagi Allah, begitulah alasan pengingkaran mereka. Jadi permintaan Nabi Musa kepada Allah untuk melihatNya berkisar antara kebodohan terhadap apa yang wajib dan apa yang mustahil bagi Allah atau permintaannya termasuk permintaan yang berlebih-lebihan ketika dia meminta sesuatu yang tidak layak bagi Allah, itu jika Nabi Musa mengetahui bahwa hal itu mustahil. Jadi orang-orang yang mengingkari bahwa orang-orang Mukmin akan melihat Allah di Akhirat lebih mengetahui tentang apa yang wajib dan mustahil bagi Allah daripada Nabi Musa . Dan ini adalah puncak kesesatan.

 

Dengan ini, maka diketahui bahwa ayat ini adalah dalil yang melawan mereka, bukan dalil yang membela mereka.

 

Begitulah, semua dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih digunakan sebagai dalil untuk membela kebatilan atau untuk menafikan kebenaran, justru akan berbalik menjadi dalil yang melawan orang yang memakainya, bukan dalil yang membelanya.

 

Dalil kedua: dari orang-orang yang mengingkari bahwa orang-orang Mukmin akan melihat Allah adalah Firman Allah,

 

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu; dan Dia-lah Yang Maha Lembut lagi Maha Teliti.” (Al-An’am: 103).

 

Bantahan terhadap mereka adalah bahwa ayat ini menafikan idrak (mencapai atau mengetahui dari seluruh sisinya), sedangkan melihat tidak mengharuskan idrak. Apakah engkau tidak melihat seseorang yang melihat matahari tapi dia tidak mengetahuinya dari berbagai seginya?

 

Apabila kita menetapkan bahwa Allah akan dilihat, maka itu tidak mengharuskan Dia diketahui dari seluruh segiNya dengan penglihatan tersebut, karena idrak lebih khusus dari sekedar melihat.

 

Oleh karena itu, kami katakan, Dinafikannya idrak menunjukkan bahwa pada dasarnya hanya sekedar melihat itu memang ada, karena penafian terhadap yang lebih khusus menunjukkan adanya yang lebih umum. Seandainya yang lebih umum itu dinafikan, niscaya ia wajib dinafikan. Ada yang berkata, Dia tidak dilihat oleh pandangan, karena penafiannya berkonsekuensi kepada penafian terhadap yang lebih khusus dan bukan sebaliknya, di samping itu seandainya yang lebih umum tidak ada, niscaya penafian terhadap yang lebih khusus merupakan kerancuan yang memicu kesalahpahaman. Hal ini harus dihindarkan dari Firman Allah.

 

Jadi ayat ini adalah dalil yang melawan mereka bukan membela mereka.

 

Sedangkan dalil aqli (nalar) yang digunakan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa Allah tidak akan dilihat, maka mereka berkata, Kalau Allah dilihat, berarti Allah berwujud jasad dan itu mustahil pagi Allah, karena ia menyeret kepada menyamakan dan menyerupakan Allah.

 

Bantahan terhadap dalil ini adalah: Kalau memang menetapkan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah berarti Allah adalah jasad, maka ia tidak perlu diingkari, akan tetapi kita mengetahui dengan yakin bahwa Dia tidak menyerupai jasad makhluk, karena Allah berfirman,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11).

 

Perlu diketahui bahwa pembicaraan tentang jasad (bagi Allah) baik dari segi penafian dan penetapan termasuk perkara yang diada-adakan oleh penganut ilmu kalam, dan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak terdapat penafian dan penetapannya.

 

Mereka yang mengingkari bahwa Allah akan dilihat oleh orang-orang Mukmin membantah dalil-dalil Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menetapkannya dengan bantahan-bantahan yang lemah. Mereka memakai metode talirif dengan sangat kentara, bukan ini tempat perinciannya, ia tercantum dalam kitab rujukan.

 

Faidah yang kita petik dari segi perilaku dari ayat-ayat tersebut:

 

Melihat Allah, pengaruhnya terhadap perilaku sangatlah besar, karena apabila seseorang mengetahui bahwa puncak pahala yang diraihnya adalah melihat Wajah Allah, maka dunia di matanya menjadi tidak berarti, semuanya baginya adalah murah demi dapat melihat Allah, karena ia adalah puncak apa yang dicari dan akhir tujuan.

 

Jika engkau mengetahui bahwa engkau akan melihat Tuhanmu dengan mata kepala, niscaya dunia tidak ada apa-apanya.

 

Seluruh dunia bukan apa-apa, karena melihat kepada Wajah Allah adalah buah di mana orang-orang berlomba-lomba merebutnya dan berusaha meraihnya, ia adalah akhir tujuan dari segala perkara.

 

Apabila engkau mengetahui hal itu, apakah engkau akan berusaha untuk menggapainya atau tidak?

 

Jawabnya: ya, aku pasti berusaha menggapainya tanpa ragu-ragu.

 

Pengingkaran bahwa orang-orang Mukmin akan melihat Allah pada hakikatnya merupakan penolakan besar terhadap kenikmatan yang paling mulia. Sebaliknya, mengimaninya mendorong seseorang dengan kuat untuk mendapatkannya. Ia -alhamdulillah-mudah, karena agama secara keseluruhan adalah mudah, bahkan jika muncul kesulitan, maka akan muncul kemudahan dalam agama, dasarnya juga mudah. Jika muncul kesulitan, maka akan hadir kemudahan kedua kalinya, jika tidak mungkin untuk dilaksanakan maka ia gugur, tidak ada kewajiban dalam kondisi tidak mampu dan tidak ada yang haram dalam kondisi darurat.

 

Penulis (Syaikhul Islam)  berkata,

 

Masalah ini di dalam Kitab Allah berjumlah banyak. Dan barangsiapa merenungi al-Qur an Karena mencari petunjuk (darinya), niscaya akan jelas baginya jalan kebenaran.

 

Perkataan penulis,  “Masalah ini,” maksudnya adalah masalah Asma’ wa Shifat.

 

Perkataan penulis,  “Di dalam Kitab Allah berjumlah banyak.” Oleh karena itu, tidak ada suatu ayat pun di dalam Kitab Allah, kecuali biasanya terdapat padanya Nama Allah atau PerbuatanNya atau HukumNya, bahkan kalau mau, engkau dapat mengatakan, semua ayat di dalam al-Qur’an adalah salah satu SifatNya, karena al-Qur’an adalah Firman Allah, setiap ayat darinya adalah Sifat Allah.

 

Perkataan penulis,  “Dan barangsiapa merenungi al-Qur-an.”  (merenungi sesuatu) yakni,  (memikirkannya), seolah-olah seseorang mengulanginya dalam satu waktu dan menghadapinya di waktu yang lain, dia mengulang-ulang lafazh agar mengerti maknanya.

 

Orang yang menadaburi al-Qur’an adalah orang yang melakukan perbuatan ini. Adapun niatnya, maka hendaknya sigh “demi mencari petunjuk” darinya. Sasaran tadaburnya bukan untuk mendukung pendapatnya atau menjadikannya sebagai sarana berdebat dengan cara yang batil, akan tetapi tujuannya adalah mencari kebenaran. Orang dengan niat ini akan meraih hasil, yaitu ucapan penulis,  “akan jelas baginya jalan kebenaran.”

 

Dan inilah hasil yang benar-benar agung.

 

Hanya saja ia memiliki dua syarat: tadabur dan niat yang baik, yaitu mencari hidayah dari al-Qur’an, dalam kondisi tersebut akan jelas baginya jalan kebenaran.

 

Dalilnya adalah beberapa ayat, di antaranya adalah:

 

1). Firman Allah

 

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44).

 

2). Firman Allah,

 

“(Al-Qur-an) yang Kami turunkan kepadamu ini adalah Kitab yang penuh berkah, agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (Shad: 29).

 

3). Firman Allah,

 

“Maka tidakkah mereka menghayati Firman (Allah), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka terdahulu?” (Al-Mu’minun: 68).

 

4). Firman Allah,

 

“Dan sungguh Kami telah memudahkan al-Qur’an untuk diucapkan (dan diingat), maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (Al. Qamar: 32).

 

Ayat-ayat dalam hal ini berjumlah banyak, semuanya menunjukkan bahwa barangsiapa mentadaburi al-Qur’an dengan niat baik, yaitu mencari kebenaran, pasti dia akan sampai kepada hasil, yaitu kejelasan jalan kebenaran.

 

Adapun orang yang mentadaburi al-Qur’an untuk mempertentangkan sebagian dengan sebagian yang lain, untuk berdebat dengan cara yang batil dan untuk mendukung pendapatnya sebagaimana yang terjadi pada ahli bid’ah dan orang-orang yang menyimpang, maka dia akan dibutakan dari kebenaran. Na’udzubillah.

 

Karena Allah  berfirman,

 

“Dia-lah yang menurunkan Kitab (al-Qur-an) kepadamu (wahai Rasul). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (alQuran) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam.” (Ali Imran: 7).

 

Dengan asumsi kata yang tidak terlihat, yaitu ul “adapun,” yakni adapun orang-orang yang mendalam ilmuNya, maka

 

“Mereka berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya ttu dari sist Rabb kami.” (Ali Imran: 7).

 

Apabila mereka mengucapkan itu niscaya mereka akan dibimbing kepada maksud dari ayat mutasyabihat ini, kemudian Allah berfirman,

 

“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dariya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 7).

 

Dan Firman Allah

 

“Katakanlah, ‘Al-Quran adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (al-Qur‘an) itu merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.” (Fushshilat: 44).

 

Syarah:

 

As-Sunnah dari segi bahasa (etimologi) adalah  (cara hidup): Nabi  bersabda,

 

“Kalian benar-benar akan mengikuti jalan-jalan hidup kaum-kaum sebelum kalian.”

 

Maksudnya adalah, cara hidup mereka

 

As-Sunnah secara terminologi adalah ucapan Nabi  perbuatan dan ketetapan beliau.

 

As-Sunnah dengan definisi ini mencakup yang wajib dan yang dianjurkan.

 

As-Sunnah adalah sumber penetapan syariat yang kedua.

 

Kami katakan sumber yang kedua, yakni dalam hitungan angka bukan dalam urutan, karena kedudukannya sejajar dengan al-Quran jika ia adalah as-Sunnah yang shahih dari Nabi

 

Hanya saja orang yang memperhatikan al-Qur’an cuma memerlukan satu hal, yaitu keshahihan petunjuk kandungan kepada hukum, sementara orang yang memperhatikan as-Sunnah memerlukan dua hal, yaitu keshahihan penisbatannya kepada Rasulullah  dan keshahihan petunjuk kandungannya kepada hukum. Oleh karena itu, orang yang berdalil dengan as-Sunnah merasakan kesulitan lebih besar daripada yang berdalil dengan al-Qur’an, karena al-Qur‘an tidak perlu lagi mengkaji sanadnya, sanadnya mutawatir, tidak ada yang memicu keraguan, lain halnya dengan as-Sunnah yang dinisbatkan kepada Rasulullah  Apabila as-Sunnah telah terbukti shahih dari Rasulullah  maka ia sama persis kedudukannya dengan al-Qur’an dalam hal (wajibnya) membenarkan beritanya dan mengamalkan hukumnya, sebagaimana Allah berfirman,

 

“Dan Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu.” (An, Nisa’: 113).

 

Dan Nabi bersabda,

 

“Janganlah sampai aku mendapatkan salah seorang di antara kalian bersandar di kasurnya, lalu datang kepadanya masalah agama yang merupakan perintahku, lalu dia berkata, ‘Kami tidak tahu; apa yang kami temukan di dalam Kitab Allah, Maka kami mengikutinya’; ketahuilah bahwa sesungguhnya aku telah diberi al-Qur’an dan yang sepertinya bersamanya (yaitu as-Sunnah).”

 

Oleh karena itu pendapat yang benar adalah al-Qur’an mungkin dinasakh dengan as-Sunnah jika ia memang shahih dari Nabi  hal itu boleh secara akal dan syara’, hanya saja tidak ada contoh yang benar.

 

Penulis berkata,

 

As-Sunnah menafsirkan al-Qur‘an, menjelaskannya, menunjukkan , kandungannya, dan mengungkapkan tentangnya.

 

Perkataan penulis,  “Menafsirkan al-Qur‘an,” yakni, menJelaskan makna yang dimaksud darinya sebagaimana tafsir Firman Allah,

 

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 26),

 

dimana Nabi  menafsirkannya dengan melihat kepada Wajah Allah!

 

Sebagaimana Nabi menafsirkan Firman Allah,

 

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggup” (Al-Anfal: 60), dengan sabda beliau,

 

“Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah menembakkan anak panah! Ketahuilah bahwa kekuatan adalah menembakkan anak panah!”

 

“Menjelaskannya,” yakni, as-Sunnah menjelaskan yang global (mujmal). Di dalam al-Qur‘an terdapat ayat-ayat global (mujmal) jalu as-Sunnah hadir menjelaskan dan menerangkannya, seperti Firman Allah,

 

“Dan dirikanlah shalat.” (Al-Baqarah: 43).

 

Allah memerintahkan mendirikan shalat dan as-Sunnah menjelaskan tata caranya. Firman Allah,

 

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.” (Al-Isra’: 78).

 

“Dari sesudah matahari tergelincir,” sampai tengah malam, yaitu pada saat puncak kegelapannya di mana itu terjadi di tengah malam.

 

Zahir ayat ini menunjukkan bahwa ia adalah satu waktu, akan tetapi as-Sunnah merinci yang mujmal ini.

 

Zhuhur: Dimulai dari tergelincirnya matahari sampai bayangan suatu benda sama dengannya.

 

Ashar: Dimulai dari akhir waktu Zhuhur sampai matahari menguning yang merupakan waktu ikhtiyari dan sampai ia terbenam dalam kondisi darurat.

 

Maghrib: Dari terbenamnya matahari sampai hilangnya awan merah,

 

Isya: Dari terbenamnya mega merah sampai tengah malam. ‘Tidak ada waktu darurat bagi Isya’. Oleh karena itu, jika wanita haid suci dari haid setelah melewati tengah malam, maka dia tidak wajib Shalat Isya’ dan Shalat Maghrib karena waktu Shalat Isya’ habis pada waktu tengah malam dan tidak ada dalil dalam as-Sunnah yang menyatakan bahwa Shalat Isya’ berlangsung sampai terbit fajar.

 

Shubuh: Dari terbit fajar sampai terbit matahari.

 

Oleh karena itu, Allah berfirman di ayat yang sama,  “Dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.” Kemudian Dia menjelaskan waktu Shubuh, Dia berfirman,  “Dan dirikanlah pula Shalat Shubuh.” Karena waktu Shubuh dengan waktu sebelum dan sesudahnya terdapat jarak, sebelumnya adalah setengah malam yang kedua dan sesudahnya adalah setengah siang yang pertama. Ini adalah penjelasan tentang waktu-waktu shalat dari as-Sunnah.

 

Begitu pula   “Dan bayarlah zakat.” As-Sunnah menjelaskan harta-harta yang dizakati dan nishab masing-masing.

 

 “Menunjukkan kandungannya.” Ini adalah kalimat yang meliputi tafsir, penjelasan dan pengungkapan; di mana as-Sunnah menafsirkan dan menjelaskan al-Qur an.

 

 “Mengungkapkan tentangnya,” yakni as-Sunnah menghadirkan makna-makna baru atau hukum-hukum baru yang tidak tercantum di dalam al-Qur‘an.

 

Ini banyak terjadi, dan banyak hukum-hukum syar’i yang ditetapkan oleh as-Sunnah secara tersendiri tanpa al-Qur’an.

 

Dan al-Qur’an sendiri telah menyatakan bahwa as-Sunnah memiliki status hukum yang sama dengan apa yang dibawa al-Qur‘an, seperti Firman Allah

 

“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, maka sesungguh dia telah menaati Allah.” (An-Nisa’: 80).

 

Dan Firman Allah

 

Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).

 

Dan juga Firman Allah

 

“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36).

 

As-Sunnah menetapkan banyak hukum secara independen dari Al-Qur’an. Di antaranya adalah hadits pertama yang disebutkan oleh penulis di pasal ini,

 

“Tuhan kita turun ke langit terdekat ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir….”

 

Ini tidak terdapat di dalam al-Qur‘an.

 

Kesimpulannya: Kedudukan as-Sunnah di hadapan al-Qur‘an adalah dalam empat posisi: menafsirkan yang sukar (tidak jelas), menjelaskan yang global (mujmal), menunjukkan kandungannya, dan mengungkapkan tentangnya.

 

Penulis  kemudian berkata,

 

Kaidah penting:

 

Dan apa yang Rasulullah sandangkan sebagai suatu sifat bagi Tuhan beliau  dalam hadits-hadits yang shahih yang diterima oleh para ulama hadits, ia juga wajib diimani. 

 

Perkataan penulis,  “Dan apa,” ini adalah kalimat syarat. Fi’il syaratnya adalah , “menyifati” dan jawab syaratnya adalah “wajib diimani”.

 

Apa yang dengannya Rasulullah  menyifati Tuhan beliau, begitu pula apa yang dengannya Rasulullah menamakan Tuhan beliau, karena memang ada Nama yang dengannya Rasulullah menamakan Tuhan beliau  yang ia tidak tercantum di dalam al-Qur‘an, seperti , Nabi  bersabda,

 

“Sembuhkanlah (Ya Allah), Engkau-lah Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)Mu.”

 

Kata  “Tuhan,” ia hanya hadir di dalam al-Qur‘an dengan disandarkan akan tetapi Rasulullah bersabda,

 

“Adapun rukuk maka agungkanlah Rabb padanya.”

 

Beliau bersabda tentang siwak,

 

“Siwak membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Tuhan.”

 

Zahir ucapan penulis adalah syarat diterimanya hadits ada dua:

 

Pertama, ia adalah hadits shahih.

 

Kedua, ia diterima oleh para ahli hadits. Akan tetapi bukan itu maksudnya, akan tetapi maksud penulis adalah bahwa hadits-hadits yang shahih diterima oleh ahlinya. Jadi ucapan,”Diterima oleh para ahli hadits.” Adalah keterangan penegas bukan pembatas.

 

Perkataan penulis,  “Yang diterima,” adalah keterangan tentang keadaan hadits-hadits shahih; yakni para ahli hadits menerimanya karena tidak mungkin para ahli hadits menolak dan tidak menerima hadits-hadits yang shahih.

 

Benar ada hadits-hadits yang secara lahir ia shahih akan tetapi bisa jadi ia memiliki illat seperti ia terbalik oleh hafalan rawi dan lain-lain, maka ia tidak dianggap sebagai hadits shahih.

 

Perkataan penulis,  “la wajib diimani,” berdasarkan Firman Allah 

 

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya. ” (An-Nisa’: 136).

 

Juga FirmanNya,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya). (An-Nisa’: 59).

 

Dan juga FirmanNya,

 

“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata, ‘Apakah jawaban kalian kepada para rasul?’ Maka gelaplah bagi mereka segala macam alasan pada hari itu, karena itu mereka tidak saling tanya menanya.” (Al-Qashash: 65-66).

 

Dan masih banyak lagi.

 

Ketahuilah bahwa sikap para pengikut hawa nafsu terhadap hadits-hadits yang menyelisihi pendapat mereka adalah satu dari dua sikap: Mendustakan atau menyelewengkan (maknanya).

 

Jika mungkin didustakan, maka mereka mendustakannya, seperti ucapan mereka dalam kaidah yang rusak, “Hadits ahad tidak diterima dalam masalah akidah.”

 

Ibnul Qayyim telah membantah dan menghancurkan kaidah tersebut dengan banyak dalil di akhir kitab Mukhtashar ash-Shawa‘iq.

 

Jika tidak mungkin didustakan, maka mereka menyelewengkan (maknanya) seperti yang mereka lakukan terhadap ayat-ayat al-Qur’an.

 

Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka menerima semua hadits yang shahih dari Nabi  dalam masalah akidah dan hukum, karena dalil-dalil yang mewajibkannya diterima telah tegak.

 

Perkataan penulis,  ” juga” yakni, sebagaimana pula wajib mengimani apa yang ada di dalam al-Qur’an tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil.

 

Dan penulis (Syaikhul Islam) menyebutkan darinya sejumlah hadits. Di antaranya:

 

Hadits pertama:

 

Tentang penetapan turunnya Allah ke langit dunia, yaitu:

 

Sabda Nabi  “Tuhan kita turun ke langit dunia” setiap malam ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir, lalu Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepadaku, niscaya Aku mengabulkan untuknya. Siapa yang meminta kepadaKu, niscaya Aku memberinya, dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya Aku mengampuninya.” Muttafaq ‘alaih.’

 

Syarah:

 

Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini adalah salah satu hadits yang mutawatir, dan mereka sepakat bahwa hadits ini adalah salah satu hadits yang masyhur yang menjadi buah bibir di kalangan para ulama:hadits.

 

Sabda beliau,  “Tuhan kita turun ke langit dunia.” Turunnya Allah adalah hakiki, karena sebagaimana telah dijelaskan bahwa setiap kata ganti yang kembali kepada Allah, maka ia dinisbatkan kepadaNya secara hakiki.

 

Kita wajib beriman dan membenarkan. Kita berkata, “Tuhan kita turun ke langit dunia,” yaitu langit terdekat dengan bumi, dari langit-langit yang berjumlah tujuh. Allah turun di waktu tersebut agar dekat kepada hamba-hambaNya sebagaimana Dia mendekat kepada mereka di separuh siang yang kedua di Hari Arafah, di mana Dia membanggakan orang-orang yang wukuf di hadapan para malaikat.

 

Sabda beliau,  “Setiap malam,” mencakup seluruh malam dalam satu tahun.

 

“Ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir.” Permulaan malam adalah terbenamnya matahari tanpa ada perbedaan. Yang diperdebatkan adalah akhir malam, apakah dengan terbit fajar atau dengan terbit matahari? Yang tampak adalah dengan terbitnya fajar dari segi syariat, tetapi dari segi falak (astronomi) adalah terbitnya matahari.

 

Sabda beliau, “Lalu Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepadaKu’.”  “Siapa” adalah pertanyaan yang mengandung dorongan, seperti Firman Allah,

 

“Sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih?” (Ash-Shaff: 10).

 

“Berdoa kepadaKu,” yakni dengan berkata, “Ya Rabbi (wahai Tuhanku)!”  Sabda beliau,  “Niscaya Aku mengabulkan untuknya,” dengan memanshubkannya, karena ia adalah jawaban dari permintaan.  “Siapa yang meminta kepadaKu,” yakni dengan mengatakan, “Aku memohon surga kepadaMu,” misalnya, atau yang sepertinya.  “Siapa yang memohon ampun kepadaKu” dengan berkata, “Ya Allah ampunilah aku,” atau astaghfirullah.  “Maka Aku mengampuninya.” Ampunan adalah menutupi dosa dan memaafkannya.

 

Dengan ini jelaslah bagi siapa pun yang membaca hadits ini bahwa yang dimaksud dengan “turun” di sini adalah turunnya Allah sendiri, dan kita tidak perlu mengatakan, “dengan DzatNya,” karena selama kata kerja (turun) tersebut disandarkan kepada Allah maka ia adalah milikNya. Akan tetapi sebagian ulama berkata, “Turun dengan DzatNya.” Mereka melakukan itu karena terpaksa demi menepis pendapat para penganut tahrif (yaitu yang menyimpangkan makna zahir nash), di antara mereka ada yang berkata, “Yang turun adalah keputusan Allah.”

 

ada pula yang berkata, “Yang turun adalah rahmat Allah.” Dan bahkan ia pula yang berkata, “Yang turun adalah salah satu malaikat Allah.”

 

Ketiga pendapat ini batil, karena keputusan Allah turun terus jan selama-lamanya, tidak khusus dengan sepertiga malam yang terakhir Allah berfirman,

 

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya. ” (As-Sajdah: 5).

 

Allah juga berfirman,

 

“Dan kepadaNya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya.” (Hud: 123).

 

Pendapat yang berkata, “Yang turun pada waktu itu adalah rahmat Allah,” subhanallah, apakah rahmat Allah hanya turun pada waktu tersebut? Padahal Allah berfirman,

 

“Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)

 

Semua nikmat dari Allah adalah bukti rahmatNya, ia berlangsung terus di setiap waktu.

 

Kami katakan, Apa faidah bagi kita dari turunnya rahmat ke langit dunia?

 

Dan kami katakan kepada orang yang berpendapat bahwa yang turun adalah malaikat Allah, “Masuk akalkah kalau ada malaikat yang berkata, ‘Siapa yang berdoa kepadaku, niscaya Aku kabulkan untuknya…,’ dan seterusnya?”

 

Jelaslah dengan semua itu bahwa pendapat-pendapat tersebut hanyalah tahrif (penyelewengan makna) yang ditolak oleh hadits itu sendiri.

 

Demi Allah, mereka tidak lebih mengetahui tentang Allah daripada Rasulullah, mereka tidak lebih tulus kepada hamba-hamba

 

Allah daripada Rasulullah dan mereka tidak lebih fasih dalam ucapan mereka daripada Rasulullah

 

Mereka berkata, Bagaimana kalian (Ahlus Sunnah) mengatakan Allah turun? Jika Allah turun, maka di mana yang atas itu? Jika Allah turun, maka di mana bersemayam di atas Arasy? Jika turun, turun itu adalah gerakan dan perpindahan. Jika turun itu terjadi, maka turun itu adalah baru dan yang baru tidak terjadi kecuali pada makhluk yang baru,

 

Kami katakan, Ini adalah mendebat dengan kebatilan, tidak mempengaruhi pendapat bahwa turunnya Allah adalah hakiki.

 

Apakah kalian lebih mengetahui tentang apa yang menjadi hak Allah daripada para sahabat Nabi

 

Para sahabat sama sekali tidak menyodorkan sanggahan-sanggahan tersebut, mereka berkata, “Kami dengar, kami terima, kami imani, dan kami membenarkan.”

 

Sementara kalian wahai orang-orang yang menyelisihi lagi menyimpang, kalian datang sekarang dan membantah dengan kebatilan. Kalian berkata, “Bagaimana? Bagaimana?”

 

Kami katakan, “Allah turun tanpa menyinggung bersemayamnya Dia di atas Arasy. Apakah Arasy menjadi kosong dariNya atau tidak?”

 

Mengenai sifat al-Uluw (Allah di atas sana), kami katakan, “Allah turun, walaupun begitu Dia tetap Mahatinggi di atas makhlukNya, karena ‘nuzul’ tidak berarti bahwa langit menopangNya dan langit yang lain menaunginya, karena tidak satu pun dari makhlukNya yang mengelilingiNya.”

 

Kami katakan, “Allah turun secara hakiki dan Dia Mahatinggi secara hakiki, tetapi tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya.”

 

Mengenai bersemayam di atas Arasy, maka ia adalah perbuatan yang bukan termasuk Sifat Dzat. Menurut saya, kita tidak mempunyai hak untuk berbicara apakah jika Allah turun, Arasy menjadi kosong dariNya atau tidak? Kita diam sebagaimana para sahabat diam dalam hal ini.

 

Meskipun para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki tiga pendapat dalam masalah ini: Ada pendapat bahwa Arasy menjadi kosong, ada pendapat bahwa Arasy tidak kosong, dan ada pula yang tidak berpendapat.

 

Syaikhul Islam dalam ar-Risalah al-Arsyiyah berkata, “Arasy tidak Kosong dariNya, karena dalil bersemayamnya Allah di atasnya adalah muhkam dan hadits nuzul (turunnya Allah) juga muhkam dan Sifat-sifat Allah tidak diqiyaskan dengan sifat-sifat makhluk, maka kita harus membiarkan dalil-dalil istiwa’ dalam kondisi muhkam, dan dalil tentang nuzul dalam kondisi muhkam dan kami katakan, Allah bersemayam di atas ArasyNya, Allah turun ke langit dunia dan Allah lebih mengetahui cara dan bentuknya dan akal kita jauh lebih rendah, lebih terbatas dan lebih kurang untuk mengetahui Allah secara menyeluruh.

 

Pendapat kedua adalah yang tidak berpendapat, pendapat ini menahan diri dengan mengatakan, Kami tidak mengatakan kosong dan kami tidak mengatakan tidak kosong.

 

Pendapat ketiga, Arasy kosong dariNya.

 

Orang-orang muta akhirin (generasi belakangan) yang mengetahui bahwa bumi itu bulat dan bahwa matahari mengelilingi bumi, menyodorkan sanggahan. Kata mereka, Bagaimana Allah turun di sepertiga malam, padahal jika ia berlalu dari Saudi misalnya ia akan pindah ke Eropa dan sekitarnya, apakah Allah turun terus-menerus?

 

Kami katakan, Berimanlah terlebih dahulu bahwa Allah turun di waktu tersebut. Jika engkau telah beriman, maka setelah itu tidak ada sesuatu pun yang menjadi tanggung jawabmu. Jangan katakan bagaimana, dan bagaimana? Akan tetapi katakan, Apabila sepertiga malam di Saudi, maka Allah turun, apabila sepertiga malam di Amerika, maka Allah turun juga. Apabila fajar terbit, maka habislah waktu turunnya Allah di semua tempat berdasarkan tempat tersebut.

 

Jadi sikap kita adalah bahwa kita mengimani apa yang sampai kepada kita dari jalan Nabi Muhammad, Rasulullah bahwa Allah turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir dan berfirman,

 

“Siapa yang berdoa kepadaKu, Aku akan mengabulkan untuknya, siapa yang meminta kepadaKu, Aku akan memberinya, dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, Aku akan mengampuninya.”

 

Di antara faidah yang dipetik dari hadits ini:

 

Pertama, menetapkan Sifat al-Uluw (ketinggian) bagi Allah, yaitu dari sabda Nabi, “Turun.”

 

Kedua, menetapkan perbuatan ikhtiariyah yang merupakan sifat fi’liyah, yaitu dari sabda Nabi,  “Tuhan kita turun ke langit dunia”.

 

Ketiga, menetapkan Sifat berfirman (berkata) bagi Allah dari sabda Nabi,  “Dia berfirman.”

 

Keempat, menetapkan Sifat kemurahan bagi Allah, yaitu dari sabda Nabi,

 

“Siapa yang berdoa kepadaKu…., siapa yang memohon kepadaKu …., siapa yang memohon ampun kepadaKu….”

 

Faidah dari sisi perilaku:

 

Hendaknya seseorang memanfaatkan waktu sepertiga malam akhir tersebut sebaik-baiknya, hendaknya dia memohon kepada Allah, berdoa kepadaNya dan memohon ampun kepadaNya, karena Allah telah berfirman,  “Siapa yang berdoa kepadaKu…”  “Siapa memohon ampun kepadaKu….” Kata  disini adalah untuk mendorong, maka kita harus memanfaatkan kesempatan ini, karena umurmu yang sebenarnya adalah apa yang engkau gunakan dalam ketaatan kepada Allah. Hari-harimu akan berjalan, jika tanda kematian menghampirimu, maka seolah-olah engkau baru dilahirkan pada hari itu, sebelumnya bukan apa-apa.

 

Hadits kedua: Tentang penetapan sifat gembira bagi Allah, yaitu: 

 

Sabda Nabi  “Sungguh Allah benar-benar lebih gembira dengan taubat hambaNya daripada salah seorang dari kalian karena hewan tunggangannya…” Al-Hadits. Muttafaq ‘alaih.

 

Syarah:

 

Hadits ini tentang penetapan gembira (al-farah) bagi Allah,  “Sungguh Allah benar-benar lebih gembira dengan taubat hambaNya…

 

 : huruf lam di sini adalah lam ibtida’ dan lafazh  di sini perkedudukan sebagai mubtada’.

 

: Khabar mubtada’.

 

 : Tamyiz.

 

Perkataan penulis,  “Al-Hadits,” yakni lanjutkan haditsnya (baca: dan seterusnya hadits tersebut).

 

Hadits ini mengisahkan tentang seorang laki-laki di padang pasir dengan hewan tunggangannya yang membawa makanan dan minumannya, lalu tunggangannya ini lepas darinya. Dia mencarinya tetapi tidak menemukannya, akhirnya dia merasa tidak ada harapan untuk hidup, dia berbaring di bawah pohon menanti ajal, tiba-tiba tali kekang tunggangannya bergelayut di pohon tersebut. Tidak ada yang bisa menggambarkan kegembiraan ini, kecuali orang yang mengalaminya sendiri. Laki-laki tersebut langsung menangkap tali kekangnya seraya berkata karena saking bahagianya, “Ya Allah, Engkau-lah hambaku dan aku adalah tuhanmu.” Dia salah ucap karena sangat gembira, sehingga dia tidak menguasai ucapannya.

 

Allah lebih gembira dengan taubat hambaNya yang beriman jika dia bertaubat kepadaNya daripada laki-laki yang mendapatkan kembali tunggangannya yang hilang. Allah tidak membutuhkan taubat kita, sebaliknya kitalah yang memerlukanNya dalam seluruh kondisi kita. Karena kemurahanNya, kecintaanNya kepada kedermawanan, karunia dan kebaikan, Dia gembira dengan kegembiraan yang tidak tertandingi apabila ada hambaNya yang bertaubat kepadaNya.

 

Hadits ini menetapkan Sifat gembira (al-Farah) bagi Allah. Kami katakan tentang “gembira” ini, bahwa ia adalah gembira yang hakiki, bahkan kegembiraan yang sangat, hanya saja ia tidak sama dengan kegembiraan makhluk.

 

Kegembiraan bagi manusia adalah kesenangan dan kebebasan dari beban yang dirasakannya pada waktu dia meraih apa yang membuatnya senang. Oleh karena itu, kalau engkau sedang bersuka cita karena sesuatu, maka seolah-olah engkau berjalan di angkasa, akan tetapi bagi Allah tidak demikian, kita tidak menafsirkannya dengan apa yang kita rasakan pada diri kita.

 

Kami katakan, Ia adalah kegembiraan yang layak bagi Allah , sama dengan Sifat-sifatNya yang lain, sebagaimana kami katakan bahwa Allah memiliki Dzat, tetapi ia tidak sama dengan zat kita. Dia memiliki Sifat-sifat yang tidak sama dengan sifat-sifat kita karena pembicaraan tentang Sifat adalah bagian dari pembicaraan tentang Dzat.

 

Maka kita beriman bahwa Allah mempunyai kegembiraan sebagaimana hal itu ditetapkan oleh orang yang paling mengetahui tentangNya, yaitu Nabi Muhammad, orang yang paling tulus bagi manusia dan orang yang paling fasih dalam apa yang dikatakannya.

 

Kita berada dalam bahaya kalau kita berkata, “Yang dimaksud dengan kegembiraan Allah adalah pahala,” karena para pengikut tahrif berkata, Allah tidak gembira. Yang dimaksud dengan Allah bergembira adalah Dia memberi balasan pahala bagi orang yang bertaubat atau keinginan memberi pahala. Merekalah orang-orang yang menetapkan bahwa Allah memiliki makhluk yang terpisah dariNya yaitu pahala, dan mereka menetapkan keinginan. Mereka berkata tentang kegembiraan Allah, maksudnya adalah pahala yang merupakan makhluk atau keinginan memberi pahala.

 

Kami katakan, Yang dimaksud dengan gembira adalah gembira secara hakiki, sebagaimana yang dimaksud dengan Allah adalah DiriNya secara hakiki, akan tetapi kita tidak menyamakan sifat-sifat kita dengan Sifat-sifat Allah.

 

Hadits ini di samping menetapkan sifat gembira, ia juga menetapkan kesempurnaan rahmatNya dan kasih sayangNya kepada hambaNya, di mana Dia sangat menyukai kembalinya hamba kepadaNya dengan taubat. Dia berlari dari Allah lalu berhenti dan kembali kepadaNya, Allah berbahagia dengannya dengan kebahagiaan yang besar ini.

 

Dari segi perilaku, hadits ini mendorong kita agar bersungguh-sungguh bertaubat, setiap kali kita melakukan dosa kita bertaubat kepada Allah.

 

Allah berfirman tentang sifat orang-orang yang bertakwa, dan (juga) orang-orang yang mengerjakan perbuatan keji seperti zina, homoseks, menikahi wanita mahram, dan lain-lain. Allah  berfirman,

 

“Dan janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayah kalian, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dimurkai (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (An-Nisa’: 22).

 

“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32).

 

Dan Nabi Luth  berkata kepada kaumnya,

 

“Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji (homoseksual) itu.” (Al-A’raf: 80).

 

Maka Firman Allah (tentang orang-orang yang bertakwa),

 

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah.”

 

Mereka mengingat Allah dalam diri mereka, mereka ingat kebesaranNya, azabNya, mereka ingat pahalaNya bagi orang yang bertaubat.

 

“Maka mereka memohon ampun atas dosa-dosa mereka.”

 

Mereka melakukan apa yang mereka lakukan, akan tetapi mereka mengingat Allah pada diri mereka dan memohon ampun kepadaNya dari dosa-dosa mereka, lalu Allah mengampuni mereka. Allah berfirman,

 

“Dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?” (Ali Imran: 135).

 

Kalau engkau mengetahui bahwa Allah berbahagia dengan taubatmu dengan kebahagiaan yang tidak tertandingi, niscaya tanpa ragu engkau akan bertaubat dengan sungguh-sungguh.

 

Taubat mempunyai lima syarat:

 

Pertama, ikhlas karena Allah. Taubatmu tidak didorong oleh riya’ atau ambisi mendapatkan kedudukan di mata manusia atau ambisi ambisi dunia lainnya.

 

Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan.

 

Ketiga, meninggalkannya. Termasuk meninggalkannya adalah mengembalikan hak kepada pemiliknya jika taubatnya berkaitan dengan hak sesama.

 

Keempat, niat kuat untuk tidak mengulang dosa di masa datang. Kelima, hendaknya taubat dilakukan di waktu pintu taubat masih terbuka. Bagi seluruh manusia pintu taubat tertutup pada saat matahari terbit dari arah barat. Bagi masing-masing pribadi pintu taubat tertutup dengan hadirnya ajal. Firman Allah,

 

“Dan taubat itu tidaklah (diterima oleh Allah) bagi orang-orang yang melakukan keburukan hingga apabila datang kematian (ajal) kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, ‘Saya benar-benar bertaubat sekarang’.“ (An-Nisa’: 18).

 

Terdapat hadits shahih dari Nabi  bahwa pintu taubat itu ditutup apabila matahari terbit dari barat, dan pada saat itu orang-orang beriman, akan tetapi,

 

“Tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu.” (Al-An’am: 158).

 

Ini adalah lima syarat, jika ia terpenuhi, maka taubatnya sah.

 

– Akan tetapi apakah taubat dari seluruh dosa merupakan syarat sahnya taubat?

 

Terdapat perbedaan pendapat, dan yang shahih adalah tidak, taubat (seseorang) sah dari satu dosa meskipun dia tetap melakukan dosa yang lain, hanya saja dia tidak masuk ke dalam golongan orang-orang yang bertaubat secara mutlak. Untuk orang-orang seperti ini, maka taubatnya terbatas dan tidak mutlak.

 

Seandainya ada orang yang minum khamar dan makan riba lalu dia bertaubat dari yang pertama saja maka taubatnya sah untuk yang pertama saja, dia masih memikul dosa makan riba, dia tidak meraih predikat orang yang bertaubat secara mutlak karena dia tetap bersikeras di atas kemaksiatan.

 

Jika syarat-syarat taubat terkumpul pada diri seseorang, akan tetapi dia kembali melakukan dosa maka taubatnya yang pertama tidak batal karena dia telah bertekad untuk tidak mengulang hanya saja dia terbujuk oleh nafsunya maka dia mengulang, dia wajib taubat kedua kalinya dan begitu seterusnya, setiap melakukan dosa dia bertaubat, dan karunia Allah itu luas.

 

Hadits ketiga: Tentang penetapan sifat tertawa bagi Allah, yaitu:

 

Sabda Nabi  “Allah tertawa kepada dua orang laki-laki yang salah seorang dari keduanya membunuh yang lain, tapi keduanya masuk surga,”

 

Syarah:

 

Di sebagian naskah tercantum dan riwayat itu juga shahih, karena kata  khabarnya; -baik fi’il maupun isimboleh dengan melihat kepada lafazh dan dengan melihat kepada makna. Keduanya terkum. pul dalam ucapan seorang penyair yang menjelaskan dua ekor kuda.

 

Masing-masing dari keduanya, tatkala keduanya berlari dengan kencang Telah tinggal landas dan hidung masing-masing keduanya terangkat

 

Di dalam hadits ini Rasulullah memberitahukan bahwa Allah tertawa kepada dua orang laki-laki yang keduanya bertemu di medan perang, lalu salah seorang dari mereka membunuh yang lain, tetapi ke. duanya masuk surga. Salah seorang dari keduanya tidak membunuh yang lain, kecuali karena kerasnya permusuhan di antara keduanya, Kemudian setelah itu keduanya masuk surga, maka lenyaplah permusuhan tersebut karena salah seorang dari keduanya adalah Muslim sedangkan yang lain adalah kafir, si kafir membunuh si Muslim, si Muslim mati sebagai syahid dan dia masuk surga, lalu Allah memberi petunjuk kepada si kafir, dia masuk Islam dan terbunuh sebagai syahid atau dia mati tanpa terbunuh, dia pun masuk surga. Jadi pembunuh dan yang dibunuh sama-sama masuk surga, Allah tertawa kepada keduanya.

 

Hadits ini menetapkan sifat tertawa bagi Allah, dan ia adalah tertawa hakiki, hanya saja ia tidak sama dengan tertawanya makhluk; ia adalah tertawa yang layak dengan keagungan dan kebesaranNya. Tidak mungkin kita memisalkannya (menyerupakannya) dengan tertawa makhluk, karena kita tidak boleh berkata, Allah memiliki mulut, gigi, dan lain-lain, akan tetapi kita menetapkan sifat tertawa bagi Allah dalam bentuk yang layak bagiNya.

 

Apabila ada yang berkata, “Penetapan sifat tertawa bagi Allah berkonsekuensi bahwa Allah menyamai makhluk.”

 

Kami jawab, Tidak demikian, karena Nabi  yang bersabda, ; “Allah tertawa” adalah Nabi yang menerima FirmanNya ,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11).

 

Dari segi lain dalam hal seperti ini Nabi  tidak berbicara kecuali dengan wahyu, karena ia termasuk perkara ghaib, bukan termasuk perkara ijtihad yang kadang Rasulullah melakukan ijtihad padanya; lalu allah menyetujui atau tidak menyetujui. Perkara ini termasuk perkara ghaib yang diterima oleh Rasulullah dari jalan wahyu.

 

Ada orang mungkin berkata: Yang dimaksud dengan tertawa adalah ridha, karena apabila seseorang ridha terhadap sesuatu dia akan berbahagia dan tertawa, dan yang dimaksud dengan ridha adalah pahala atau keinginan memberi pahala, sebagaimana hal itu dikatakan oleh para penganut ta’thil.

 

Kami jawab: Ini adalah penyelewengan ucapan dari tempatnya; arena dari mana kalian tahu bahwa yang dimaksud dengan ridha adalah pahala?

 

Sekarang kalian berbicara atas Nama Allah tanpa ilmu dari dua segi:

 

Pertama, kalian membelokkan dalil dari zahirnya tanpa ilmu.

 

Kedua, kalian menetapkan makna yang menyelisihi zahir lafazh

 

Kemudian kami katakan kepada mereka, Kalau kalian mengatakan bahwa iradah (kehendak) adalah milik Allah, maka kaidah yang kalian pegang ini hancur, karena manusia juga memiliki kehendak, sebagaimana Firman Allah,

 

“Di antara kalian ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kalian ada orang yang menghendaki Akhirat.” (Ali Imran: 152).

 

Tembok pun memiliki kehendak,

 

“Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hendak roboh.” (Al-Kahfi: 77).

 

Jadi kalian di antara dua kemungkinan; menafikan iradah (kehendak) dari Allah sebagaimana kalian telah menafikan Sifat-sifatNya yang lain, atau menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk DiriNya meskipun makhluk memiliki sifat yang sama dalam nama, bukan dalam hakikat.

 

Faidah dari segi perilaku dari hadits ini:

 

Apabila kita mengetahui bahwa Allah tertawa, maka kita berharap segala kebaikan dariNya.

 

Oleh karena itu seorang laki-laki berkata kepada Nabi

 

“Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita tertawa?” Beliau menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Kita tidak kehilangan kebaikan dari Tuhan Yang tertawa,”

 

Apabila kita mengetahui itu, maka terbukalah segala harapan kepada kebaikan bagi kita; beda antara manusia yang cemberut yang hampir tidak tertawa dengan manusia yang tertawa.

 

Dan Nabi  senantiasa ceria dan murah senyum.

 

Hadits keempat: Tentang penetapan sifat heran dan sejumlah sifat lainnya, yaitu:

 

Sabda Nabi  “Tuhan kita merasa heran terhadap keputusasaan hamba-hambaNya, padahal telah dekat perubahan (keadaan dari kesulitan kepada kemudahan) yang akan dilakukan olehNya. Dia melihat kepada kalian yang dalam keadaan sempit (susah) lagi berputus asa. Maka Dia tertawa, Dia mengetahui bahwa jalan keluar untuk kalian dekat.” Hadits hasan

 

Syarah:

 

Al-Ajab adalah merasa aneh (heran) karena sesuatu, pemicunya ada dua:

 

Pertama, tidak diketahuinya sebab bagi yang bersangkutan yang merasa heran dengan sesuatu yang memicu keheranan, di mana ia hadir tiba-tiba tanpa dibayangkan. Bagian ini bagi Allah adalah suatu yang mustahil, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu; tidak ada sesuatu pun yang samar bagiNya, baik yang di langit maupun di bumi.

 

Kedua, keluarnya (perbedanya) keadaan sesuatu dari keadaan sesuatu yang semisal dengannya dan dari yang semestinya, tanpa adanya ketidaktahuan dari yang bersangkutan, di mana dia melakukan sesuatu yang aneh yang mestinya tidak terjadi dari yang sepertinya.

 

Yang kedua inilah yang ditetapkan bagi Allah karena ia bukan berasal dari kekurangan pada Yang heran, akan tetapi ia adalah keheranan dengan melihat kepada kondisi sesuatu atau perbuatan yang mengundang keheranan.

 

Sabda Nabi  “Tuhan kita merasa heran terhadap keputusasaan hamba-hambaNya.” adalah keputusasaan yang paling parah. Allah merasa heran terhadap merasuknya keputusasaan yang besar ke dalam hati hamba-hambaNya.

 

“Padahal telah dekat perubahan (keadaan dari kesulitan kepada kemudahan) yang akan dilakukan olehNya.” Wawu di sini berarti “bersama,” yakni, padahal begitu dekatnya perubahan.

 

Dan  adalah isim jamak dari  seperti  isim jamak dari, ia adalah kata benda yang berarti perubahan, jadi maknanya adalah dekatnya perubahannya.

 

Allah merasa heran, bagaimana kita berputus asa sementara perubahan dariNya dekat, Dia mengubah satu keadaan kepada keadaan yang lain hanya dengan satu kata yaitu kun (jadilah), maka terjadilah.

 

Sabda beliau,  “Dia melihat kepada kalian.” Allah melihat kepada kita dengan mataNya.

 

“Yang dalam keadaan sempit (susah) dan berputus asa.”  adalah orang yang terjatuh dalam kesusahan dan  jamak dari  yang berarti orang yang berputus asa dari kemudahan dan lenyapnya kesulitan.

 

Nabi  menyebutkan keadaan manusia dan keadaan hatinya, dia terjatuh ke dalam kesulitan sementara hatinya berputus asa dan merasa bahwa kemudahan itu jauh.

 

“Maka Dia tertawa.” Tertawa karena keadaan yang aneh dan unik ini; bagaimana kamu berputus asa dari rahmat Allah, Dzat Yang Maha Penyayang yang berfirman kepada sesuatu, “Kun (jadilah),” maka terjadilah.

 

“Dia mengetahui bahwa jalan keluar untuk kalian dekat,” yakni, kemudahan dari kesulitan adalah dekat adanya,

 

Hadits ini mengandung beberapa sifat bagi Allah:

 

1). Al-Ajab (takjub) berdasarkan sabda Nabi,

 

“Tuhan kita merasa heran (takjub) terhadap keputusasaan hamba-hambaNya.”

 

Sifat ini juga ditetapkan oleh al-Qur‘an. Allah berfirman,

 

“Bahkan engkau (wahai Rasul) merasa heran (terhadap keingkaran mereka) dan mereka menghina(mu).” (Ash-Shaffat: 12).

 

Dengan cara baca (qira’ah)  yakni, huruf ta’ didhammah,; (sehingga maknanya ‘Bahkan Aku menjadi heran…’).

 

2). Penjelasan tentang kuasa Allah berdasarkan sabda Nabi

 

“Padahal telah dekat perubahan dariNya,” bahwa Allah memiliki kuasa yang sempurna. Apabila Dia berkehendak, niscaya Dia mengubah satu keadaan dari keadaan yang lain dalam waktu yang dekat.

 

3). Penetapan Sifat melihat (an-Nazhar), berdasarkan sabda Nabi

 

“Dia melihat kepada kalian.”

 

4). penetapan Sifat tertawa, berdasarkan sabda Nabi  

 

“Maka Dia tertawa.”

 

5). penetapan Sifat ilmu, berdasarkan sabda Nabi

 

“Dia mengetahui bahwa jalan keluar untuk kalian dekat.”

 

6). penetapan Sifat rahmat (kasih sayang), karena jalan keluar dari Allah adalah bukti rahmat Allah kepada hamba-hambaNya.

 

Sifat-sifat yang ditunjukkan oleh hadits ini wajib kita tetapkan bagi Allah dengan benar secara hakiki dan tidak boleh kita takwilkan.

 

Faidah dari segi perilaku dari hal ini:

 

Bahwa apabila seseorang mengetahui hal itu dari Allah, niscaya dia akan berhati-hati terhadap perkara ini, yaitu berputus asa dari rahmat Allah. Oleh karena itu, berputus asa dari rahmat Allah termasuk dosa besar. Allah berfirman,

 

“Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56).

 

Allah  juga berfirman

 

“Dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87).

 

Berputus asa dari rahmat Allah, dan merasa bahwa rahmat Allah jauh, termasuk dosa besar. Manusia wajib berbaik sangka kepada Tuhannya. Apabila dia berdoa kepadaNya, hendaknya dia berbaik sangka kepadaNya bahwa Dia akan mengabulkannya untuknya. Apabila dia beribadah kepadaNya sesuai dengan tuntunan syariatNya, hendaknya dia berbaik sangka bahwa Allah akan menerimanya darinya. Apabila ditimpa kesulitan, hendaknya dia berbaik sangka bahwa Allah akan menghilangkannya. Nabi bersabda,

 

“Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan itu bersama kesulitan dan bersama kesusahan itu ada kemudahan.”

 

Bahkan Allah tls telah berfirman,

 

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Asy-Syarah: 5-6).

 

Kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan sebagaimana hal itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas

 

Hadits kelima: Tentang penetapan Sifat “Kaki” atau “Telapak kaki” (bagi Allah), yaitu:

 

Sabda Nabi, “Neraka Jahanam terus dilemparkan (penghuninya) ke dalamnya sementara ia berkata, ‘‘Apakah masih ada tambahan?’ Sehingga Rabbul Izzah meletakkan KakiNya di dalamnya” (dan dalam satu riwayat, “Telapak KakiNya padanya”), sehingga sebagian darinya merapat kepada sebagian yang lain, maka ia berkata, ‘Cukup, cukup’.” Muttafaq ‘alaih.

 

Syarah:

 

Sabdanya,  “Neraka Jahanam terus dilemparkan ke dalamnya.” Ini terjadi pada Hari Kiamat, ia diisi dengan manusia dan batu karena Allah berfirman,

 

“Peliharalah diri kalian dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Al-Baqarah: 24).

 

Mungkin pula dikatakan, diisi dengan manusia saja dan batunya telah ada di dalamnya. Wallahu a’lam.

 

“Terus dilemparkan ke dalamnya.” Ini menunjukkan bahwa penghuninya -naudzubillahdilemparkan ke dalamnya, mereka tidak masuk dengan hormat akan tetapi mereka diseret ke Neraka Jahanam dengan kasar,

 

“Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, ‘Apakah belum pernah datang kepada kalian (di dunia) seorang pemberi peringatan?'” (Al-Mulk: 8).

 

Sabda Nabi  “Sementara ia (neraka) berkata, ‘Apakah masih ada tambahan?'” “Apakah” di sini adalah untuk meminta, yakni tambahlah. Dan keliru kalau ada orang yang mengatakan bahwa pertanyaan di sini adalah untuk menafikan. Jadi maknanya menurut dia adalah tidak ada lagi tambahan bagiku. Bukti yang membatalkan takwil ini adalah:

 

Sabda Nabi  “Sehingga Rabbul Izzah meletakkan KakiNya di dalamnya,” dan dalam sebuah riwayat,  “Telapak KakiNya padanya.” Ini menunjukkan bahwa ia meminta tambahan seolah-olah ia meminta dengan sangat agar terus diisi sebagai tambahan atas apa yang ada di dalamnya, karena jika tidak, maka untuk apa Allah meletakkan KakiNya di dalamnya, sampai sebagian merapat kepada sebagian yang lain.

 

Sabda beliau,  “Sehingga Rabbul Izzah meletakkan,” diungkapkan dengan Rabbul Izzah (Tuhan Pemilik keperkasaan) karena konteksnya adalah konteks Izzah (keperkasaan), menguasai dan menundukkan.

 

Lafazh Rabb disini berarti Pemilik, bukan berarti Pencipta, karena Izzah adalah salah satu Sifat Allah dan Sifat Allah bukanlah makhluk.

 

Sabda beliau,  “KakiNya di dalamnya;” dalam riwayat lain,  “Telapak KakiNya padanya;”  dan  di sini artinya sama, dan yang zahir,  di sini berarti, seperti Firman Allah,

 

“Dan aku benar-benar akan menyalib kalian pada pangkal pohon kurma.” (Thaha: 71).

 

(kaki) dan  (telapak kaki) adalah sinonim. Kaki manusia disebut, karena ia (mendahului melangkah) jika berjalan, Seseorang tidak bisa berjalan dengan kakinya kecuali jika dia mendahulukannya.

 

Sabda beliau,  “Lalu neraka, sebagiannya merapat kepada sebagian yang lain,” yakni, sebagian merapat kepada sebagian yang lain karena kebesaran Kaki Allah.

 

Sabda beliau,  “Maka ia berkata, ‘Cukup-cukup’,” yakni, aku tidak menginginkan lagi seorang pun.

 

Sifat-sifat yang dikandung oleh hadits ini:

 

Pertama, penetapan ucapan dari benda mati berdasarkan sabda beliau,  “la berkata,” ia juga berkata,  “Cukup-cukup.” Ini adalah bukti kuasa Allah yang mampu membuat segala sesuatu berbicara.

 

Kedua, peringatan dari api neraka berdasarkan sabda beliau, “Neraka Jahanam terus diisi sementara ia berkata, ‘Apakah masih ada tambahan?

 

Ketiga, penetapan karunia Allah. Allah menjamin akan mengisi neraka secara penuh sebagaimana FirmanNya,

 

“Aku benar-benar akan memenuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud: 119).

 

Apabila penghuninya telah masuk ke dalamnya, lalu masih ada sisa dan ia berkata, “Apakah masih ada tambahan?” Maka Allah meletakkan KakiNya di dalamnya, sehingga sebagian merapat kepada sebagian yang lain dan dengan itu neraka pun penuh.

 

Ini adalah karunia Allah, karena jika tidak, maka Allah kuasa menciptakan sekumpulan orang dan dengan mereka Allah mengisi Neraka Jahanam secara penuh, hanya saja Allah tidak menyiksa siapa pun tanpa dosa. Lain halnya dengan surga, di dalamnya masih ada ruang tersisa dari penduduk dunia yang masuk ke dalamnya, maka pada Hari kiamat nanti Allah menciptakan sekelompok orang dan memasukkan mereka ke dalam surga dengan karunia dan rahmatNya.

 

Keempat, Allah memiliki Kaki secara hakiki yang tidak menyerupai kaki makhluk. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menamakan sifat ini dengan Sifat Dzatiyah Khabariyah, karena ia tidak diketahui kecuali dengan berita dari Peletak syariat, dan bagi kita, kaki adalah bagian dari tubuh kita, hanya saja terkait Allah, kita tidak katakan bahwa ia merupakan bagian dari Allah, karena hal tersebut mustahil bagi Allah.

 

– Golongan Asy’ariyah dan para penganut talirif menyelisihi hal ini, mereka berkata, Yang dimaksud dengan  “Allah meletakkan KakiNya padanya” adalah sekelompok hambaNya yang berhak masuk neraka. Jadi kaki di sini, maksudnya adalah sekelompok orang sebagaimana dalam hadits tentang Nabi Ayyub bahwa Allah mengirim kepadanya kaki belalang dari emas, yakni sekelompok belalang.

 

Ini batil, karena sabda Nabi  “padanya” menghalangi takwil seperti itu.

 

Di sampingnya itu, tidak mungkin Allah menyandarkan penduduk neraka kepada DiriNya, karena penyandaran sesuatu kepada Allah merupakan penghormatan dan kemuliaan.

 

Mereka berkata tentang  “telapak kaki,” maksudnya adalah  “yang didahulukan” yakni, Allah meletakkan padanya orang-orang yang didahulukanNya untuk masuk ke dalamnya.

 

Ini juga batil, karena Allah tidak mempersilakan lebih dahulu penduduk neraka untuk masuk ke dalamnya, akan tetapi

 

“Pada hari mereka didorong ke Neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya.” (At-Thur: 13), mereka dilemparkan ke dalamnya.

 

Para penganut tahrif itu menghindari sesuatu tetapi mereka malah terjerumus ke dalam sesuatu yang lebih buruk darinya. Mereka hendak menyucikan Allah dari memiliki kaki, akan tetapi mereka terjatuh ke dalam kebodohan dan menjauhi hikmah dalam perkara perbuatan Allah,

 

Yang jelas, kita wajib beriman bahwa Allah mempunyai Kaki secara hakiki tanpa menyerupakan dan tanpa menentukan bentuknya, karena Nabi memberitakan bahwa Allah memiliki Kaki tanpa memberitakan bentuk kaki tersebut. Allah telah berfirman,

 

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kalian mempersekutukan sesuatu dengan Allah, yang Allah tidak menurunkan bukti (hujjah) untuk itu, serta mengatakan atas Nama Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui’.” (Al-A’raf: 33).

 

Faidah dari segi perilaku dari hadits ini adalah, hendaknya seseorang berhati-hati terhadap perbuatan penduduk neraka, karena seseorang ditakutkan akan dicampakkan ke dalam neraka sebagaimana selainnya dilemparkan ke dalamnya.

 

Hadits keenam: Tentang penetapan Sifat berfirman (berkata) dengan mengeluarkan suara (bagi Allah), yaitu:

 

Sabda Nabi “Allah berfirman, ‘Wahai Adam’! Adam menjawab, ‘Aku memenuhi panggilanMu dan aku memohon kepadamu agar Engkau membuatku bahagia.’ Lalu Dia berseru dengan mengeluarkan suara, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkanmu mengeluarkan rombongan penghuni neraka dari keturunanmu….” Muttafaq ‘alaih.’

 

Syarah:

 

Di sini Nabi memberitakan dari Tuhan beliau bahwa Dia berfirman, all; “Wahai Adam!” Ini pada Hari Kiamat, maka Nabi Adam menjawab, 

 

artinya adalah menjawab panggilan setelah menjawab panggilan, dari segi lafazh ia adalah mutsanna, namun dari segi makna ja adalah jamak. Oleh karena itu, dari segi i’rab ia disamakan kepada mutsanna.

 

artinya, menyenangkan setelah menyenangkan. Maksudnya, aku memenuhi panggilanMu dan aku memohon agar Engkau membantuku dan membuatku bahagia.

 

Sabda beliau,  “lalu Dia berseru;” yang memanggil adalah Allah.

 

Sabda beliau,  “dengan mengeluarkan suara,” ini adalah penegasan, karena berseru tidak terjadi kecuali dengan suara yang tinggi. ini seperti Firman Allah,

 

“Dan tidak ada burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kalian.” (Al-An’am: 38).

 

Burung terbang pasti dengan kedua sayapnya. Ini adalah penegasan.

 

Sabda beliau,  “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu mengeluarkan rombongan penghuni neraka dari keturunanmu.” Allah tidak berfirman, “Sesungguhnya Aku memerintahkanmu.” Karena ini adalah konteks keperkasaan dan keagungan, di mana Allah menggunakan bahasa kiasan untuk DiriNya dengan orang ketiga. Dia berfirman,  “Sesungguhnya Allah menyuruhmu.” Sama halnya dengan raja yang berkata kepada bala tentaranya, ‘Sesungguhnya raja memerintahkan kalian agar begini dan begini.” Dia mengatakan itu untuk menunjukkan kebanggaan dan kebesaranNya. Dan Allah-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

 

Bahasa seperti ini hadir di dalam al-Qur’an, Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa’: 58).

 

Dia tidak berfirman, “Sesungguhnya Aku memerintahkan kalian.”

 

Sabda beliau, “(Agar engkau) mengeluarkan rombongan penghuni neraka dari keturunanmu,” artinya orang-orang yang akan digiring ke neraka.

 

Dalam hadits lain, Nabi Adam  menjawab,

 

“Wahai Tuhanku, (sebanyak) apa itu rombongan penghuni neraka?” Allah berfirman, “Sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang dart setiap seribu orang.”

 

Hadits ketujuh: Juga tentang penetapan Sifat berfirman (berkata) (bagi Allah), yaitu:

 

Sabda Nabi, “Tidak seorang pun dari kalian kecuali Tuhannya akan berbicara kepadanya tanpa penerjemah di antara dirinya denganNya,”

 

Syarah: 

 

di sini adalah nafiyah.

 

Mubtada yang dimasuki oleh  za’idah (tambahan) yang berfungsi mempertegas. Yakni, “Tidak seorang pun dari kalian.”

 

Sabda beliau,  “Kecuali Tuhannya akan berbicara kepadanya,” yakni, demikianlah keadaannya, Allah akan berbicara kepadanya,  “tanpa penerjemah di antara dirinya denganNya.” Ini terjadi pada Hari Kiamat.

 

Penerjemah adalah penengah di antara dua belah pihak yang berbicara dengan bahasa yang berbeda, dia menukil ucapan salah seorang dari mereka kepada yang lain dengan bahasa yang dipahaminya.

 

Seorang penerjemah harus memenuhi empat syarat: Amanah, mengetahui bahasa yang dia menerjemahkan darinya, dan bahasa yang dia menerjemahkan kepadanya, dan topik pembahasan.

 

Sifat Allah yang dikandung hadits ini adalah, berfirman (berbicara), dan bahwa ia dengan suara yang terdengar dan dipahami.

 

Faidah dari segi perilaku dari hadits yang pertama:   Allah berfirman, ‘Wahai Adam!'” Apabila seseorang mengetahui hal tersebut, maka dia khawatir dan takut masuk ke dalam kelompok sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang tersebut.

 

Faidah dari segi perilaku dari hadits kedua: Manusia takut terhadap pembicaraan antara dirinya dengan Allah, dia akan merasa malu di depan Allah jika Allah menyinggung dosa-dosanya, maka dia akan meninggalkan dosa dan takut kepada Allah.

 

Hadits kedelapan: Tentang penetapan Sifat al-Uluw (ketinggian) bagi Allah dan sifat-sifat lainnya, yaitu:

 

Sabda Nabi  dalam meruqyah orang sakit, “Wahai Tuhan kami Allah Yang di atas langit, Maha Suci NamaMu, perintahMu (berlaku) di langit dan di bumi, dan sebagaimana rahmatMu di langit, maka jadikanlah rahmatMu di bumi, ampunilah dosa-dosa besar kami dan kesalahan-kesalahan kami, Engkau adalah Tuhannya orang-orang baik, turunkanlah rahmat dari rahmat-rahmatMu dan salah satu dari kesembuhanMu atas penyakit ini, agar dia sembuh.” Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.

 

Syarah:

 

Sabda beliau,   “dalam meruqyah orang sakit,” ini termasuk idhafah mashdar kepada maf ulnya, yakni, tentang ruqyah bila dibaca kepada orang sakit.

 

Sabda beliau, “Wahai Tuhan kami Allah Yang di atas langit.” Penjelasan tentang “Allah di atas langit” telah hadir pada ayat-ayat sebelumnya.

 

Sabda beliau,  “Maha Suci NamaMu.” Nama di sini berbentuk kata mufrad (tunggal) akan tetapi ia diidhafahkan, jadi inj mencakup seluruh nama, yakni Mahasuci Nama-namaMu dari segala kekurangan.

 

“PerintahMu berlaku di langit dan dibumi,” perintah Allah di langit dan di bumi terlaksana, sebagaimana Firman Allah,

 

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi.” (As-Sajdah: 5).

 

Dan FirmanNya,

 

“Ingatlah, menciptakan dan menetapkan ketentuan hanyalah hak Allah.” (Al-A’raf: 54).

 

Sabda beliau,  “Sebagaimana rahmatMu di langit, maka jadikanlah rahmatMu di bumi.” Huruf Kaf (sebagaimana) di sini adalah penjelas bagi alasan, maksudnya adalah bertawasul. Bertawasul kepada Allah yang menjadikan rahmatNya di langit agar menjadikan rahmatnya di bumi.

 

Apabila engkau bertanya: Bukankah rahmat Allah juga di bumi?

 

Kami jawab: Dia sedang meruqyah orang sakit dan orang sakit ini membutuhkan rahmat khusus yang dengannya penyakitnya lenyap.

 

Sabda beliau,  “Ampunilah dosa-dosa besar kami dan kesalahan-kesalahan kami.” Ampunan adalah menutup dosa dan memaafkannya.  adalah dosa-dosa besar dan  adalah dosa-dosa kecil. Ini apabila keduanya digabung, apabila keduanya terpisah, maka keduanya berarti sama, karena ampunan mengandung hilangnya kesulitan dan tercapainya tujuan karena dosa bisa menghalangi manusia dari taufik, dia tidak diberi taufik dan tidak dikabulkan doanya.

 

Sabdanya,  “Engkau adalah Tuhannya orang-orang paik,” ini adalah idhafah kata  yang khusus.

 

Adapun yang umum, maka Dia adalah Tuhan segala sesuatu. Maka idhafah ada yang umum dan ada yang khusus.

 

Bacalah ucapan para tukang sihir Fir’aun yang telah beriman,

 

“Mereka berkata, ‘Kami beriman kepada Tuhan semesta Alam, (yaitu) Tuhannya Musa dan Harun’.” (Al-A’raf: 121-122).

 

Yang pertama mereka menyebutkan idhafah  yang umum kemudian yang kedua yang khusus.

 

Bacalah Firman Allah,

 

“Sesungguhnya aku (Muhammad) hanya diperintahkan menyembah Tuhan negeri ini (Makkah) yang telah Dia jadikan sebagai negeri haram (tanah suci), dan segala sesuatu adalah milikNya.” (An-NamI: 91).

 

“Tuhan negeri ini,” khusus, dan  “Dan milikNyalah segala sesuatu,” adalah umum.

 

Orang-orang yang baik adalah orang-orang yang beriman. Setiap Mukmin itu baik. Ini termasuk tawasul dengan penyandaran  khusus ini agar Allah mengabulkan doa dan menyembuhkan si sakit.

 

Sabda beliau,  “Turunkanlah rahmat dari rahmatMu dan kesembuhan dari kesembuhanMu atas penyakit ini.” Doa ini dan yang sebelumnya termasuk tawasul.

 

“Turunkanlah rahmat dari rahmat-rahmatMu.” Rahmat ada dua macam:

 

Pertama, rahmat yang merupakan Sifat Allah, ini bukan makhluk dan tidak terpisah dari Allah, seperti FirmanNya,

 

“Dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pengampun lagi memiliki (Sifat) rahmat.” (Al-Kahfi: 58).

 

ini tidak diminta (oleh hamba) untuk diturunkan.

 

Kedua, rahmat yang merupakan makhluk, ia adalah akibat dari Sifat rahmat Allah, maka ia juga disebut rahmat, seperti Firman Allah dalam hadits qudsi tentang surga,

 

“Kamu adalah rahmatKu, denganmu aku merahmati siapa yang Aku kehendaki,”

 

Sama halnya dengan kesembuhan, Allah adalah Maha menyembuhkan, kesembuhan adalah dariNya, SifatNya adalah asy-Syifa (menyembuhkan). Ia adalah salah satu dari perbuatanNya, dengan makna ini ia adalah salah satu SifatNya. Adapun dari segi pengaruhnya bagi si sakit maka ia adalah salah satu makhlukNya, karena kesembuhan itu adalah lenyapnya penyakit.

 

Sabda beliau,  “Agar dia sembuh,” dengan hamzah dibaca fathah, karena ia adalah Jawaban dari doa, yakni turunkanlah rahmat, agar dia sembuh. Jika  dibaca dengan dhammah, maka ia adalah kalimat baru, tidak menginduk kepada hadits, akan tetapi terhenti pada ucapannya, “penyakit.” Jadi  adalah kalimat berita yang menunjukkan bahwa apabila seseorang membacakan ruqyah ini, maka penderita akan sembuh, akan tetapi bacaan yang pertama dengan hamzah yang difathah adalah lebih baik.

 

Hadits kesembilan: Juga tentang penetapan Sifat al-Uluw (ketinggian) bagi Allah, yaitu:

 

Sabda beliau, “Tidakkah kalian mempercayaiku sementara aku adalah orang kepercayaan Dzat (Allah) Yang di atas langit?”

 

Syarah:

 

Sabda beliau,  “Tidakkah kalian mempercayaiku,” terdapat musykil (kesulitan) padanya dari segi nahwu, yaitu dibuangnya nun fi’il tanpa adanya kata yang menashabkan atau menjazmkan.

 

Jawabnya adalah bahwa jika nun wiqayah masuk kepada salah satu dari af’al khamsah maka nun tanda marfu’ boleh dibuang.

 

“Tidakkah kalian memercayaiku,” yakni, mengapa kalian tidak menganggapku orang yang bisa dipercaya.

 

 “Sementara aku adalah orang kepercayaan Dzat (Allah) Yang di atas langit.” Dan yang di atas langit adalah Allah  Nabi  adalah orang kepercayaan Allah dalam urusan wahyuNya, beliau adalah sayyidnya orang-orang tepercaya dan utusan yang menyampaikan wahyu yaitu Malaikat Jibril, dan Malaikat Jibril juga terpercaya,

 

“Sesungguhnya al-Qur-an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy, yang ditaati di sana (dt alam malaikat) lagi dipercaya.” (At-Takwir: 19-21).

 

Hadits ini mempunyai sebab, yaitu, bahwa Nabi  membagikan emas kiriman Ali dari Yaman kepada empat orang, lalu seorang laki-laki berkata, “Kami lebih berhak daripada mereka.” Maka Nabi bersabda,  “Tidakkah kalian mempercayaiku sementara aku adalah orang kepercayaan Dzat (Allah) Yang di atas langit?”

 

 berfungsi menyodorkan, seolah-olah Nabi  bersabda, ” Percayailah aku, karena aku adalah orang kepercayaan Allah Yang di atas langit.”

 

Yang terkait dengan topik pembahasan ini adalah,  “Dzat (Allah) Yang di atas langit.” Keterangannya sama dengan keterangan yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya.

 

Hadits kesepuluh: Juga tentang penetapan Sifat al-Uluw (ketinggian) bagi Allah, yaitu:

 

Sabda beliau, “Arasy itu di atas air, Allah di atas Arasy dan Dia mengetahui keadaan kalian.” Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.

 

Syarah:

 

Manakala Nabi menyebutkan jarak di antara langit-langit, beliau bersabda,

 

“Dan Arasy di atas air.”

 

Hadits ini didukung oleh Firman Allah,

 

“Dan ArasyNya di atas air.” (Hud: 7).

 

Sabda beliau, “Allah di atas Arasy dan Dia mengetahui keadaan kalian.” Allah di atas Arasy, namun meskipun begitu, amal dan keadaan kita sedikit pun tidak ada yang samar bagi Allah, bahkan Allah telah berfirman,

 

“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (Qaf: 16).

 

Yakni, apa yang ada di dalam jiwamu, Allah mengetahuinya padahal tidak seorang pun mengetahuinya.

 

Sabda Nabi  “Dan Dia mengetahui keadaan kalian,” menunjukkan bahwa ilmu Allah meliputi segala keadaan kita.

 

Faidah dari segi perilaku dari hadits ini:

 

Kalau kita beriman kepada hadits ini, maka kita mengambil faidah dari segi perilaku, yakni mengagungkan Allah, bahwa Dia di atas sana (al-Uluw), dan bahwa Dia mengetahui keadaan kita, maka kita pun menaatiNya, jangan sampai kita tidak melaksanakan perintahnya pada saat Dia memerintahkan kita dan justru kita melanggar laranganNya pada saat Dia melarang kita.

 

Hadits kesebelas: Juga tentang penetapan Sifat al-Uluw (ketinggian) bagi Allah, yaitu:

 

Pertanyaan Nabi  kepada seorang hamba sahaya wanita, “Di mana allah?” Dia menjawab, “Di atas langit.” Nabi bertanya, “Siapa aku?” Dia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Nabi bersabda (kepada tuannya), “Merdekakanlah dia karena dia seorang wanita Mukminah.” diriwayatkan oleh Muslim.

 

Syarah:

 

Sabda beliau, “Di mana Allah?” Kata  (di mana) adajah pertanyaan untuk tempat.

 

“Dia menjawab, ‘Di atas langit’,” yakni, di atas langit atau di atas sana seperti yang telah kami jelaskan.

 

“Nabi bertanya, ‘Siapa aku?’ Dia menjawab, ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Nabi bersabda (kepada tuannya), ‘Merdekakanlah dia karena dia seorang wanita Mukminah.”

 

Menurut para penganut ta’thil, jika yang dia inginkan dengan ucapannya, “di atas langit,” adalah bahwa Allah di atas, maka wanita tersebut kafir, karena menurut mereka barangsiapa yang menetapkan bahwa Allah berada pada satu arah, maka dia kafir, mereka berkata, ‘Seluruh arah terbebas dari Allah.”

 

Pertanyaan Nabi dengan  “di mana” menunjukkan bahwa Allah mempunyai tempat.

 

Hanya saja kita wajib mengetahui bahwa Allah tidak dikelilingi (tidak diliputi) oleh tempat, karena Dia lebih besar dari segala sesuatu, dan bahwa apa yang di atas alam adalah ketiadaan, tidak ada sesuatu pun kecuali Allah; Dia di atas segala sesuatu.

 

Sabda Nabi  “Merdekakanlah dia, karena dia seorang wanita Mukminah.” Ini adalah dalil bahwa memerdekakan hamba Sahaya yang kafir tidaklah disyariatkan. Oleh karena itu, tidak sah memerdekakannya dalam urusan kafarat karena keberadaan orang kafir padamu sebagai hamba sahaya mengandung semacam perlindungan, kekuasaan, kepemimpinan dan engkau memiliki peluang mendekatkannya kepada Islam. Apabila engkau memerdekakannya, maka dia akan bebas. Apabila dia bebas dikhawatirkan akan kembali ke negeri kafir, karena dasar perbudakan itu adalah kekafiran dan dia akan menjadi pendukung orang-orang kafir melawan kaum Muslimin.

 

Hadits kedua belas: Tentang penetapan Sifat al-Ma’iyah (kebesertaan Allah dengan makhlukNya), yaitu:

 

Sabda Nabi  “Sebaik-baik iman adalah kamu mengetahui bahwa

 

Allah bersamamu di mana pun kamu berada.” Hadits hasan, diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari hadits Ubadah bin ash-Shamit.’

 

Syarah:

 

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah menyertai (makhlukNya) dan telah dijelaskan pada pembahasan tentang ayat-ayat al-Ma’iyah bahwa kebesertaan Allah (dengan makhluk) tidak mengharuskan keberadaan Allah di bumi, justru sangat tidak mungkin Allah di bumi karena berada diatas sana (al-Uluw) termasuk Sitat Dzatiyah Allah yang tidak pernah terpisah dariNya, dan itu lazim bayi Allah.

 

Dan telah dijelaskan juga bahwa ia terbagi menjadi dua

 

Sabda Rasul,  “Sebaik-baik iman adalah kamu mengetahui…,” menunjukkan bahwa iman memiliki tingkatan, karena jika engkau mengetahui bahwa Allah bersamamu di mana pun engkau berada, maka engkau akan takut kepadaNya dan mengagungkanNya.

 

Seandainya engkau berada di kamar gelap sendirian, maka ketahuilah bahwa Allah bersamamu, bukan berarti Dia di kamarmu, akan tetapi Dia bersamamu, karena Dia meliputimu dari segi ilmu, kodrat, kekuasaan, dan makna-makna RububiyahNya yang lain.

 

Hadits ketiga belas: Tentang penetapan Allah di hadapan wajah orang yang shalat, yaitu:

 

Sabda beliau  “Apabila salah seorang dari kalian berdiri shalat, maka janganlah dia meludah ke arah wajahnya (ke depannya) dan jangan pula ke sebelah kanannya, karena Allah di arah wajahnya; akan tetapi ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya.” Muttafaq ‘alaih.”

 

Syarah:

 

“Ke arah wajahnya” yakni, ke arah depannya.

 

Allah berfirman,

 

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah Wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115).

 

“Kesebelah kanannya.” Dalam sebuah hadits tercantum,  “karena di sebelah kanannya adalah malaikat’?”, juga karena kanan lebih baik daripada kiri, jadi kiri lebih layak untuk diludahi, oleh karena itu Nabi bersabda,  “akan tetapi ke sebelah kirinya atau ke bawah kakinya.”

 

Jika di masjid, maka para ulama berkata, Dia meludah di kain, atau sapu tangan (tisu), atau di bajunya, lalu dia menguceknya sehingga tidak terlihat bekas ludah. Apabila seseorang di masjid di samping dinding yang rendah maka dia bisa meludah ke arah kiri, jika tidak mengganggu orang yang lewat.

 

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah di depan wajah orang yang shalat, hanya saja kita wajib mengetahui bahwa yang berkata bahwa Allah di depan wajah orang yang shalat adalah yang berkata bahwa Allah di atas langit, maka kedua ucapannya tersebut tidak bertentangan, karena mungkin digabungkan dari tiga segi:

 

Pertama, bahwa syara’ menggabungkan keduanya, dan ia tidak mungkin menggabungkan dua perkara yang bertentangan.

 

Kedua, mungkin saja sesuatu itu tinggi dan ia di depanmu. Ada seorang laki-laki menghadap ke matahari di pagi hari, matahari di de. pannya sementara ia tetap di langit, dia menghadap matahari di sore hari, matahari di depannya sementara ia tetap di langit. Apabila hal ini mungkin pada makhluk, maka lebih-lebih pada Sang Khaliq, tanpa ragu.

 

Ketiga, kalaupun ini tidak mungkin pada makhluk, maka ia tetap mungkin bagi Khaliq, karena tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah dalam segala SifatNya.

 

Dari segi perilaku, hadits ini memberi manfaat; yaitu kewajiban beradab kepada Allah, apabila orang yang shalat meyakini hal ini, maka ia akan memunculkan kekhusyu’an dan keseganan kepada Allah.

 

Hadits keempat belas: Juga tentang penetapan Sifat al-Uluw (ketinggian) dan Sifat-sifat lain bagi Allah, yaitu:

 

Sabda Nabi, “Ya Allah, Tuhannya langit yang tujuh dan bumi, Tuhannya Arasy yang agung, Tuhan kami dan Tuhannya segala sesuatu, Yang membelah butir (benih) tanaman dan biji pepohonan, Yang menurunkan kitab Taurat, Injil dan al-Qur-an. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan diriku dan dari kejahatan segala makhluk yang Engkau memegang ubun-ubunnya. Engkau-lah Yang Mahaawal, Yang tidak ada sesuatu sebelumMu; Engkau-lah Yang Maha Akhir, Yang tidak ada sesuatu pun setelahMu; Engkau-lah Yang Mahazahir, Yang tidak ada sesuatu pun di atasMu, dan Engkau-lah Yang Mahabatin, Yang tidak ada sesuatu pun yang lebih batin daripadaMu; Lunasilah hutangku, dan cukupkanlah aku dari kefakiran.” Diriwayatkan oleh Muslim.”

 

Syarah:

 

Ia adalah hadits yang agung, Nabi bertawasul kepada Allah dengan RububiyahNya pada sabda beliau,  “Ya Allah, Tuhannya langit yang tujuh dan bumi, Tuhannya Arasy yang agung, Tuhan kami dan Tuhannya segala sesuatu.” ini termasuk menyinggung yang umum setelah yang khusus, yakni dalam sabda beliau,  “Tuhannya segala sesuatu.” Penyebutan secara umum setelah penyebutan secara khusus agar tidak muncul sajah pengertian bahwa hukumnya hanya khusus bagi apa yang dikhususkan. Bacalah Firman Allah “Sesungguhnya aku (Muhammad) hanya diperintahkan menyembah Tuhan negeri int (Makkah) yang telah Dia jadikan sebagai negeri haram (tanah suci), dan segala sesuatu adalah milikNya.” (An-Naml: 91).

 

Di sini Dia berfirman,  “Dan segala sesuatu adalah milikNya” sehingga tidak dikira bahwa Dia hanyalah Rabb bagi negeri ini saja.

 

“Yang membelah butir (benih) tanaman dan biji pohon.” Pohon yang tumbuh bisa jadi berasal dari butir tanaman, kalau tidak, maka dari biji pepohonan, butir untuk tanaman, dan biji untuk pohon, Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.” (Al-An’am: 95).

 

Benih tanaman dan biji buah yang kering yang tidak tumbuh dan berkembang, Allah membelahnya sehingga tanaman dan pohon-pohon pun tumbuh. Tidak seorang pun mampu melakukan itu setinggi apa pun kemampuannya, mereka tidak mampu membelah sebiji pun selama-lamanya. Ada biji buah yang keras seperti batu, ia tidak tumbuh dan bertambah, Allah membelahnya, ia terbuka lalu muncul cikal bakal tumbuhan, tidak seorang pun mampu melakukan itu kecuali Dzat yang membelahnya.

 

Setelah menyebutkan ayat kauniyah yang agung, Nabi menyebutkan ayat-ayat syar’iyah, yaitu:

 

Sabda beliau,  “Yang menurunkan kitab Taurat, Injil, dan al-Qur‘an.” Ini adalah kitab-kitab teragung yang diturunkan Allah , dan Nabi menyebutkannya sesuai dengan urutan masanya: Taurat kepada Nabi Musa, Injil kepada Nabi Isa  dan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad.

 

Ini adalah dalil yang jelas bahwa Taurat adalah kitab yang diturunkan sebagaimana hal itu dinyatakan di dalam al-Qur’an,

 

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi).” (Al-Ma‘idah: 44).

 

Dan Allah berfirman di awal Surat Ali Imran,

 

“Dia menurunkan Kitab (al-Qur an) kepadamu (wahai Rasul) yang membawa kebenaran, yang membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya, dan juga menurunkan Taurat dan Injil, sebelumnya, sebagai petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al-Furqan.” (Ali Imran: 3-4).

 

Sabda beliau,  “Aku berlindung kepadaMu dari keburukan diriku,” maksudnya, Aku berlindung kepada Allah dari keburukan jiwaku.

 

Artinya, di dalam jiwamu terdapat keburukan.

 

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan.” (Yusuf: 53).

 

Akan tetapi jiwa ada dua macam:

 

  1. Jiwa yang muthma’innah (tenang) lagi baik dan mengajak kepada kebaikan.

 

  1. Jiwa yang buruk yang memerintahkan kepada keburukan.

 

Ada jiwa lawwamah, apakah jiwa ini bentuk ketiga atau ia adalah sifat dari kedua jiwa sebelumnya?

 

Terdapat perbedaan dalam hal ini, sebagian ada yang berkata, “Ia adalah jenis jiwa ketiga.” Yang lain berkata, Ia adalah sifat bagi dua awa sebelumnya. Jiwa muthma’innah menyalahkanmu dan jiwa ammarah bissu’ (yang mengajak kepada keburukan) juga menyalahkanmu. Jadi

 

“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (Al-Qiyamah: 2) mencakup kedua jiwa tersebut.

 

Jiwa muthma‘innah menyalahkanmu atas kelalaian dalam melaksanakan kewajiban, artinya apabila engkau menyia-nyiakan kewajiban, maka ia menyalahkanmu atau apabila engkau melakukan yang haram, maka ia pun menyalahkanmu.

 

Jiwa ammarah adalah sebaliknya, apabila engkau melakukan kebaikan, maka ia menyalahkanmu, ia juga menyalahkanmu apabila melalaikan keburukan yang diperintahkannya.

 

Jadi menurut pendapat yang rajih adalah bahwa jiwa lawwamah merupakan sifat bagi kedua jiwa sebelumnya.

 

Sabda beliau,  “Aku berlindung kepadaMu dari keburukan diriku,” yang dimaksud dengannya adalah jiwa yang mengajak kepada keburukan.

 

Sabda beliau,  “Dan dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau memegang ubun-ubunnya.”  adalah semua yang berjalan di muka bumi bahkan yang merayap pun termasuk ke dalam hadits ini, seperti FirmanNya,

 

“Dan Allah menciptakan semua jenis makhluk yang berjalan (hidup) dari air, di mana sebagian ada yang berjalan dengan perutnya.” (An-Nur: 45).

 

Dan FirmanNya,

 

“Dan tidak ada suatu makhluk berjalan (bernyawa) pun di bumi melainkan Allah-lah Yang menanggung rizkinya.” (Hud: 6).

 

Meskipun kata  dalam kebiasaan dipakai untuk binatan berkaki empat, dan dalam kebiasaan yang lebih khusus dipakai untuk keledai saja, akan tetapi dalam hadits seperti ini maksudnya adalah semua yang berjalan di muka bumi. Apa yang melata di muka bumi ter, dapat kejahatan padanya, sebagian darinya adalah keburukan murnj dari segi dirinya sendiri, sebagian darinya baik dari satu segi dan bu, ruk dari segi lain, bahkan yang padanya terdapat kebaikan tidaklah bebas dari keburukan.

 

Sabda beliau,  “Yang Engkau pegang ubun-ubunnya.” Ubun-ubun adalah bagian depan kepala, di sini yang disebut adalah ubun-ubun karena ia berada di depan, ia adalah yang dipegang untuk mengendalikan hewan tunggangan dan semisalnya. Ada yang berkata; la disinggung secara khusus karena akal dan otak yang merupakan alat untuk memahami dan menerima berada di bagian depan kepala, Wallahu a’lam.

 

Sabda beliau,  “Engkau-lah Yang Maha Awal, Yang tidak ada sesuatu sebelumMu.” Ini adalah tafsir Nabi  terhadap sabda beliau  “Yang Maha Awal” yang merupakan salah satu Nama Allah.

 

Pada tafsir ayat ini kami telah menyatakan bahwa ahli filsafat menamakan Allah dengan al-Qadim (yang dahulu atau yang lama), kami telah sebutkan bahwa al-Qadim bukan salah satu Nama Allah yang Husna, dan bahwa Allah tidak boleh diberi nama dengannya, akan tetapi ia boleh diucapkan untuk Allah sekedar mengabarkan, karena mengabarkan lebih luas daripada pemberian nama; karena qadim bukan termasuk Asmaul Husna, ia mengandung kekurangan karena ia bisa bersifat relatif. Bacalah Firman Allah,

 

“Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.” (Yasin: 39).

 

 adalah sesuatu yang baru terjadi, hanya saja ia lama jika dibandingkan dengan yang setelahnya.

 

Sabda beliau,  “Engkau-lah Yang Mahazahir, Yang tidak ada sesuatu pun di atasMu.”  dari asal kata  yang berarti al-Uluw (yang tinggi), sebagaimana Firman Allah,

 

“Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya (Al-Kahfi: 97).

 

FirmanNya,  yakni, melewati atasnya.

 

Adapun orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan  adalah yang zahir dengan ayat-ayatNya, maka ini adalah penafsiran yang salah, karena tidak seorang pun yang lebih mengetahui tafsir Kalam Allah daripada Nabi  dan Nabi telah bersabda,  “Engkau-lah Yang Maha Zahir, Yang tidak ada sesuatu pun di

atasMu,” karena Dia di atas segala sesuatu.

 

Sabda beliau,  “Engkau-lah Yang Mahapatin, Yang tidak ada sesuatu pun yang lebih batin dariMu” yakni, tidak ada sesuatu yang menghalangi Allah, tidak ada seorang pun yang mengatur selain Allah, tidak ada seorang pun yang independen dengan sesuatu selain Allah, tidak ada seorang pun yang samar bagi Allah, Allah meliputi segala sesuatu. Oleh karena itu, Nabi  bersabda, “Yang tidak ada sesuatu pun yang lebih batin dariMu” yakni, tidak ada sesuatu pun yang menghalangiMu, tidak ada sesuatu pun yang melarangMu dan kehormatan seseorang tidak berguna bagi pemiliknya di sisiMu… dan begitu seterusnya.

 

Sabda beliau,  “Lunasilah hutangku.” Hutang adalah hak orang lain, baik berupa harta atau lainnya. Misalnya, aku mengambil sesuatu darimu dan belum membayarnya, ini adalah hutang meskipun tidak tertunda.

 

Sabda beliau,  “Dan cukupkanlah aku dari kefakiran.” Kefakiran adalah tidak punya penghasilan. Tidak diragukan bahwa kefakiran mengandung kerendahan diri, hutang mengandung kehinaan, orang berhutang adalah orang yang tidak berharga di mata pemberi hutang, dan orang fakir itu lemah dan mungkin saja kefakirannya menyeretnya kepada yang haram.

 

Buktinya adalah kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua, lalu masing-masing bertawasul dengan amal shalihnya, salah seorang dari mereka mempunyai saudari sepupu yang dicintainya, dia menginginkan dirinya, hanya saja saudari sepupunya itu menolaknya. Suatu kali saudari sepupunya ini mengalami kesulitan hidup, maka dia datang kepadanya meminta bantuan, tetapi dia menolak kecuali jika sepupu perempuannya tersebut mengabulkan keinginannya. Karena terpaksa, maka saudarinya tersebut mengiyakan, tetapi ketika laki-laki tersebut telah duduk di depannya seperti suami duduk di depan istrinya, sepupu perempuannya itu berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allah, janganlah kamu membuka cincin kecuali dengan hak. nya.” Karena kalimat ini bersumber dari hati yang mendalam maka ia memberi pengaruh kepada laki-laki tersebut, dia pun bangkit darinya, Dia berkata, “Maka aku tidak melakukannya padahal dia adalah orang yang paling aku cintai.” Nasihat yang mulia tersebut menyadarkannya dan dia pun meninggalkannya.”

 

Lihatlah kepada kefakiran, wanita ini hendak menjual kehormatannya karena kemiskinan.

 

Jadi Nabi bersabda,  “Cukupkanlah aku dari kefakiran.” Nabi memohon ini kepada Allah, karena kefakiran memiliki banyak dampak buruk.

 

Nama dan Sifat Allah yang dikandung dalam hadits ini:

 

Di antara Nama-namaNya adalah al-Awal (Yang Maha Awal), al Akhir (Yang Maha Akhir), azh-Zhahir (Yang Maha Zahir) dan al-Bathin (Yang Maha Batin).

 

Sifat-sifat yang dikandung hadits ini adalah al-Awaliyah (sebagai yang paling awal) dan al-Akhiriyah (sebagai yang paling akhir). Keduanya mengandung makna keluasan dari segi masa, juga azh-Zahuriyah (sebagai yang paling zahir) dan al-Bathiniyah (sebagai yang paling batin). Keduanya mengandung makna keluasan dari segi tempat. Di antara sifat yang dikandung hadits ini adalah al-Uluw, keumuman RububiyahNya dengan menurunkan kitab sebagai sumber hukum di antara manusia dan petunjuk ke jalan Allah.

 

Faidah lain dari hadits ini selain Asma Shifat adalah disyariatkannya bertawasul kepada Allah dengan Sifat-sifatNya, berhati-hati dari keburukan jiwa, permohonan Nabi  agar melunasi hutangnya dan membebaskannya dari kefakiran dan penjelasan tentang lemahnya hadits yang berisi permintaan Nabi agar dihidupkan dalam keadaan miskin.

 

Faidah dari segi perilaku adalah berhati-hati dari keburukan jiwanya urusan hutang, berusaha menghindari hutang sebisa mungkin bersikap tengah dalam mencari dan membelanjakan harta, karena dengan itu dia biasanya selamat dari hutang dan kemiskinan.

 

Hadits kelima belas: Penetapan tentang dekatnya Allah  yaitu:

 

Sabda Nabi  ketika para sahabat berdzikir dengan suara keras, “Wahai manusia! Bersikap lembutlah pada diri kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada tuhan yang tuli, tidak pula kepada tuhan yang jauh (tidak hadir); sesungguhnya Tuhan Yang kajian seru dengan doa adalah Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha melihat, sesungguhnya Tuhan yang kalian seru dengan doa itu lebih  dekat kepada salah seorang dari kalian daripada leher hewan tunggangannya™, ” Muttafaq ‘alaih.

 

Syarah:

 

Para sahabat  pernah bersama Nabi dalam suatu perjalanan, apabila mereka mendaki tempat yang tinggi, mereka bertakbir, dan apabila mereka turun ke lembah, mereka bertasbih, karena apabila seseorang berada di tempat yang tinggi, bisa saja dia merasa sombong, dia melihat dirinya tinggi lagi besar, maka pas sekali kalau dia meng. ucapkan, “Allahu Akbar (Allah Maha Besar)” untuk mengingatkan dirinya akan kebesaran Allah Adapun jika dia turun ke lembah, maka itu berarti rendah dan turun, maka dia mengucapkan subhanallah (Maha. suci Allah) untuk mengingatkan dirinya bahwa Allah Mahasuci dari segala kerendahan. Para sahabat  saat itu berdzikir dengan suara yang sangat keras, maka Nabi  bersabda,

 

“Wahai manusia! Bersikap lembutlah pada diri kalian,” yakni, ringankanlah beban diri kalian.

 

“Karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada tuhan yang tuli, tidak pula kepada tuhan yang jauh (tidak hadir),” yakni, kalian tidak berdoa kepada tuhan tuli yang tidak mendengar dan tuhan yang tidak hadir yang tidak melihat.

 

“Sesungguhnya Tuhan Yang kalian seru dengan doa adalah Tuhan Yang Maha Mendengar,” yakni, mendengar dzikir kalian, “lagi Maha Melihat,” yakni, melihat perbuatan-perbuatan kalian.

 

“Sesungguhnya Tuhan Yang kalian seru dengan doa itu lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada leher hewan tunggangannya.” Leher hewan kendaraan bagi pengendaranya adalah sangat dekat, dan Allah  bagi manusia adalah lebih dekat daripada itu, walaupun begitu Dia tetap di atas langit di atas ArasyNya.

 

Tidak ada pertentangan antara Allah di atas sana dan bahwa Dia dekat, karena bisa saja ada sesuatu yang dekat sekaligus jauh, ini bagi makhluk, bagaimana dengan Khaliq? Allah 3% Maha Dekat sekalipun Dia di atas sana, Dia lebih dekat kepada salah seorang dari kita daripada leher hewan kendaraannya.

 

Faidah-Faidah yang Dikandung Hadits Ini:

 

Hadits ini menetapkan sifat salbiyah, yaitu menafikan bahwa Allah tuli, atau ghaib (tidak hadir), karena kesempurnaan pendengaran, penglihatan, ilmu dan kedekatanNya.

 

Hadits ini memberi pelajaran agar seseorang tidak menyulitkan diri dalam beribadah, karena jika seseorang menyulitkan diri, maka jiwanya akan merasa kelelahan dan kejenuhan dan bisa jadi ia berpengaruh kepada badan. Oleh karena itu, Nabi  bersabda,

 

“Lakukan dari amalan apa yang kalian mampu, karena sesungguhnya allah tidak merasa jenuh sehingga kalian sendiri yang merasa jenuh,”

 

Tidak layak bagi seseorang memberatkan diri sendiri, akan tetapi dia mesti mengatur dirinya. Jika merasa giat dalam beribadah, maka dia beramal dan memanfaatkan semangat tersebut, dan jika merasakan kebosanan dalam perkara-perkara yang bukan wajib atau ia cenderung kepada ibadah yang lain, maka hendaknya dia mengarahkannya kepadanya.

 

Bahkan Rasulullah  menyuruh orang yang mengantuk dalam shalatnya agar tidur dan meninggalkan shalat, beliau bersabda,

 

“Karena sesungguhnya jika salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak menyadari, bisa jadi dia ingin memohon ampun tetapi justru mencaci dirinya.”

 

Oleh karena itu, Nabi  berpuasa sehingga ada yang berkata, “Beliau tidak akan meninggalkan puasa.” Beliau juga tidak berpuasa, sehingga ada yang berkata, “Beliau tidak akan berpuasa.” Begitu pula halnya dengan tidur dan shalat malam.”

 

Hadits ini juga menunjukkan bahwa Allah Maha Dekat. Ini ditunjukkan oleh Firman Allah

 

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Nabi) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila dia berdoa kepadaKu.” (Al-Baqarah: 186).

 

Dari hadits ini, kita dapat mengambil faidah dari segi perilaku:

 

Hendaknya kita tidak mempersulit diri dalam beribadah, hendaknya kita berjalan kepada Allah dengan berimbang, tidak berlebih. lebihan dan tidak meremehkan.

 

Hendaknya kita takut kepada Allah, karena Dia Maha Mendengar, Maha Dekat dan Maha Melihat, maka kita harus menjauhi sikap dur. haka kepadaNya.

 

Terdapat juga faidah dari segi hukum, yaitu dibolehkannya menyamakan yang ghaib dengan yang hadir untuk memberi penjelasan, di mana Nabi  bersabda, “Sesungguhnya Tuhan Yang kalian seru dengan doa itu lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada leher hewan tunggangannya.”

 

Faidah lain, hendaknya seseorang memilih makna yang paling dekat kepada pemahaman, karena para sahabat saat itu dalam perjalanan dan mereka di atas kendaraannya masing-masing. Jika perumpamaan dibuat dengan sesuatu yang dekat, maka tidak ada perumpamaan yang lebih baik daripada perumpamaan yang dibuat oleh Nabi  di sini.

 

Hadits keenam belas: Penetapan bahwa orang-orang Mukmin akan melihat Tuhan mereka (pada Hari Kiamat), yaitu:

 

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat rembulan di malam purnama, kalian tidak akan berdesak-desakan dalam melihatNya; maka jika kalian mampu tidak melewatkan shalat sebelum matahari terbit dan shalat sebelum ia terbenam, maka lakukanlah.” Muttafaq ‘alaih.

 

Syarah:

 

Sabda Nabi “Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian).” Sin (akan) adalah untuk at-Tahqiq (menyatakan bahwa ia benar-benar akan terjadi dan mengkhususkan kata kerja mudhari’ untuk masa depan secara murni setelah sebelumnya ia menunjukkan masa depan dan masa sekarang; sebagaimana  membuatnya murni untuk masa lalu. Pembicaraan ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin.

 

Sabda Nabi  “Sebagaimana kalian melihat rembulan. “Ini adalah penglihatan dengan mata, karena melihat rembulan adalah dengan mata, di sini Nabi  menyamakan penglihatan dengan penglihatan, jadi penglihatan di sini dengan mata.

 

Sabda Nabi,  di sini adalah mashdariyah, sehingga kata kerja setelahnya diubah menjadi mashdar, dan asumsinya adalah  “seperti penglihatan kalian terhadap rembulan,” maka penyamaan di gini adalah penyamaan penglihatan dengan penglihatan, bukan yang dilihat dengan yang dilihat, karena tidak ada sesuatu pun yang menyamai Allah

 

Kadangkala Nabi mendekatkan makna dengan menyebutkan contoh konkret dan nyata, sebagaimana beliau ditanya oleh Abu Razin al-Uqaili, Laqith bin Amir, dia berkata,

 

“Wahai Rasulullah, apakah masing-masing kita akan melihat Rabbnya pada Hari Kiamat, apa buktinya pada makhlukNya?” Nabi  menjawab, “Bukankah masing-masing dari kalian melihat rembulan sendiri-sendiri?” Dia berkata, “Benar.” Nabi  bersabda, “Maka Allah lebih agung.”

 

Sabda beliau,  “Sendiri-sendiri,” yakni, masing-masing orang melihatnya.

 

Sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah

 

“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Aku membagi shalat (Surat al-Fatihah) antara DiriKu dengan hambaKu menjadi dua bagian, apabila hambaKu membaca, ‘‘Al-hamdulillahi Rabbil ‘Alamin,’ Allah berfirman, ‘HambaKu memujiKu…’.”

 

Ini meliputi seluruh orang yang shalat, dan sudah dimaklumi bahwa orang-orang yang shalat bisa membaca ayat tersebut dalam waktu yang sama, maka Allah berfirman kepada masing-masing orang,  “HambaKu memujiKu” dalam satu waktu.

 

Sabda Nabi  “Sebagaimana kalian melihat rembulan di malam purnama,” maksudnya, bundar sempurna, yaitu malam keempat belas dan lima belas, terkadang tiga belas juga dan yang tengah-tengah adalah malam keempat belas, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim “Seperti purnama enam malam setelah malam kedelapan.”

 

Sabda Nabi  “Kalian tidak akan berdesak-desakan dalam melihatNya” dalam sebuah lafazh  (tanpa tasydid mim). Di lafazh yang lain 

 

dengan ta’ didhammah dan mim tanpa tasydid, yakni kalian tidak tertimpa  yaitu kezhaliman, maknanya, sebagian dari kalian tidak menghalangi yang lain dari melihat sehingga dia menzhaliminya karena dia menghalanginya, karena semua orang melihatNya.

 

 dengan ta’ didhammah dan bisa juga difathah dengan mim ditasydid, yakni sebagian tidak bergabung dengan yang lain dalam melihatnya, karena jika sesuatu itu samar, maka seseorang bergabung kepada kawannya untuk menunjukkannya kepadanya.

 

Adapun  atau  yakni, kalian tidak tertimpa mudarat, karena masing-masing orang melihat Allah  sementara dia dalam suasana tentram dan tenang.

 

Sabda Nabi

 

“Jika kalian mampu tidak melewatkan shalat sebelum matahari terbit dan shalat sebelum ia terbenam, maka lakukanlah.” Shalat sebelum matahari terbit adalah Shalat Shubuh, dan shalat sebelum matahari terbenam adalah Shalat Ashar.

 

Shalat Ashar lebih utama daripada Shalat Shubuh, karena Shalat Ashat adalah Shalat al-Wustha, di mana Allah memerintahkan kita secara khusus agar menjaganya setelah Allah menyebut shalat-shalat yang lain secara umum, dan Shalat Shubuh lebih utama daripada Shalat shat dari satu sisi, karena ia adalah shalat yang disaksikan, sebagaimana Firman Allah 

 

“Dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya Shalat Shubuh jtu disaksikan (oleh para malaikat).” (Al-Isra’: 78).

 

Dalam hadits shahih, Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa shalat di dua waktu yang dingin (sejuk), niscaya dia masuk surga, ” dua waktu tersebut adalah Shubuh dan Ashar.

 

Sifat-sifat Allah yang dikandung dalam hadits ini:

 

Penetapan bahwa Allah akan dilihat. Sifat ini telah dijelaskan pada ayat-ayat yang menetapkannya yang berjumlah empat. Hadits-hadits dalam hal ini mutawatir dari Nabi , maka keshahihannya adalah qath’i dan kandungannya juga qath’i (pasti).

 

Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa siapa yang mengingkari bahwa Allah akan dilihat (pada Hari Kiamat), maka dia kafir dan murtad,?” dan bahwa wajib atas setiap Mukmin mengakuinya. Dia dinyatakan kafir karena dalil-dalilnya qath’i, baik dari segi keshahihannya maupun dari segi petunjuknya. Tidak ada peluang bagi seseorang untuk berkata bahwa sabda Nabi, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian,” kandungan dalilnya tidaklah qath’i, karena tidak ada ungkapan yang lebih qath’i daripada ungkapan ini.

 

Kalau haditsnya berbunyi, “Sesungguhnya kalian melihat Rabb kalian,” maka ada kemungkinan takwil, bahwa Nabi  mengungkapkan tentang ilmu yang yakin dengan penglihatan mata, akan tetapi Nabi  secara nyata mengatakan bahwa kita akan melihat Allah seperti melihat rembulan, dan bulan adalah sesuatu yang konkret.

 

Dan telah dijelaskan pula bahwa ahli ta’thil (orang-orang yang menafikan Sifat-sifat Allah) menakwilkan hadits-hadits ini, mereka menafsirkan “melihat” dengan ilmu (mengetahui) dan telah dijelaskan pula kebatilan pendapat mereka.

 

Penulis berkata,

 

Dan hadits-hadits senada di mana di dalamnya Rasulullah memberitakan tentang Rabbnya dengan apa yang diberitakannya, maka Firgah an-Najiyah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka beriman kepada semua itu, sebagaimana mereka beriman kepada apa yang Allah beritakan dalam KitabNya yang mulia tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,  “Dan hadits-hadits seperti ini…” dan seterusnya, yakni, lihatlah hadits-hadits semakna di mana Nabi memberitakan tentang Rabb beliau. Hadits-hadits yang semisal dengannya dari sisi kesahihan dan petunjuknya, maka hukumnya sama dengan hadits-hadits ini.

 

Perkataan penulis,  “Firqah an-Najiyah.”  maknanya adalah  (kelompok).

 

(Yang selamat), yakni, yang selamat dari bid’ah di dunia dan selamat dari neraka di akhirat.

 

Ahlus Sunnah wal Jama‘ah ialah orang-orang yang memegang as-Sunnah dan bersatu di atasnya.

 

“Mereka beriman kepada semua itu,” yaitu apa yang diberitakan oleh Rasulullah

 

“Sebagaimana mereka beriman kepada a yang Allah beritakan dalam KitabNya,” karena apa yang diberitakan oleh Rasulullah  wajib kita imani sebagaimana kita wajib beriman kepada apa yang Allah beritakan di dalam KitabNya, hanya saja dari segi keshahihannya ia berbeda dengan al-Qur‘an, karena itu kita memiliki qua kajian terhadap as-Sunnah:

 

Pertama: Tentang keshahihannya.

 

Kedua: Tentang kandungan dalilnya.

 

Kalau al-Qur’an, maka cukup satu kajian saja, yaitu kajian tentang kandungan dalilnya.

 

Telah kami hadirkan dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban menerima apa yang dikabarkan oleh Rasulullah .

 

Perkataan penulis,  “Tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil,” semua istilah ini telah dijelaskan.

 

Penulis berkata,

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang tengah-tengah di antara kelompok-kelompok umat ini, sebagaimana umat ini adalah umat pertengahan di antara umat-umat yang lain.

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,  “Umat ini adalah pertengahan diantara umat-umat yang lain,” yakni umat-umat terdahulu, dan itu dari beberapa sisi:

 

Pada hak Allah: Orang-orang Yahudi menyifati Allah ole dengan sifat-sifat kekurangan, mereka menurunkanNya kepada derajat makhluk. Orang-orang Nasrani (sebaliknya) menjadikan makhluk yang kurang hingga sederajat dengan Allah yang Maha Sempurna. Adapun umat ini, maka mereka tidak menyifati Rabb dengan kekurangan dan tidak pula menuhankan makhluk.

 

Pada hak-hak para nabi: Orang-orang Yahudi mendustakan Nabi Isa putra Maryam  mereka kafir kepadanya. Sementara orang-orang Nasrani sebaliknya, mereka berlebih-lebihan padanya sehingga mereka menuhankannya. Adapun umat ini, maka mereka beriman kepada Nabi Isa tanpa berlebih-lebihan. Mereka berkata, Dia adalah hamba Allah sekaligus utusanNya.

 

Dalam urusan ibadah: Orang-orang Nasrani beribadah kepada Allah  tanpa bersuci, yakni mereka tidak bersuci dari kotoran. Salah seorang dari mereka kencing, kencingnya mengenai bajunya lalu dia berdiri shalat dengan pakaian tersebut di gereja. Orang-orang Yahudi; sebaliknya, jika baju mereka terkena najis, maka mereka memotong bagian yang terkena najis dari baju tersebut. Air menurut mereka tidak menyucikan bahkan mereka menghindari wanita haid; mereka tidak makan bersamanya dan tidak berkumpul bersamanya. Adapun umat ini, maka mereka adalah umat pertengahan, mereka tidak ke sana dan tidak ke sini. Pakaian yang terkena najis tidak perlu dirobek, mereka juga tidak shalat dengan membawa najis, tetapi pakaian tersebut cukup dicuci sehingga najisnya hilang lalu digunakan untuk shalat, wanita haid juga tidak dijauhi, mereka tetap makan bersamanya, dan suaminya boleh bercumbu dengannya tanpa menggaulinya.

 

Dalam perkara makanan dan minuman yang diharamkan: Orang-orang Nasrani menghalalkan makanan yang buruk dan segala yang haram. Orang-orang Yahudi, diharamkan atas mereka semua binatang yang mempunyai kuku, sebagaimana Firman Allah ,

 

“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kamt haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan dari sapi dan domba Kami haramkan bagi mereka lemak keduanya, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang (melekat) dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena sikap melampaui batas mereka. Dan sesungguhnya Kami Maha Benar.” (Al-An’am: 146).

 

Adapun umat ini, maka mereka adalah umat pertengahan, yang baik-baik dihalalkan bagi mereka, dan yang buruk diharamkan atas mereka.

 

Dalam urusan qishash: Ia diwajibkan atas orang-orang Yahudi, sementara orang-orang Nasrani diwajibkan memaafkan. Adapun umat ini, maka mereka diberi pilihan antara qishash, diyat, atau memaafkan secara Cuma-cuma.

 

Jadi umat Islam adalah umat pertengahan di antara umat-umat lainnya, pertengahan antara sikap berlebih-lebihan (ekstrem) dan sikap meremehkan.

 

Posisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah di antara kelompok-kelompok mat adalah seperti posisi umat ini di antara umat-umat agama lain, yakni mereka adalah golongan pertengahan.

 

Kemudian penulis  menyebutkan lima pokok di mana posisi ahlus Sunnah wal Jama’ah padanya adalah pertengahan di antara kelompok-kelompok umat ini.

 

Pokok Pertama:

 

MASALAH NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH

 

Penulis  berkata,

 

Mereka adalah golongan pertengahan dalam masalah Sifat-sifat Allah di antara ahli ta’thil Jahmiyah dan ahli tamtsil Musyabbihah. ;

 

Syarah:

 

Kedua kelompok ini sama-sama ekstrem, ahli ta’thil Jahmiyah dan ahli tamtsil Musyabbihah.

 

Jahmiyah mengingkari Sifat-sifat Allah, bahkan yang ekstrem dari mereka mengingkari Nama-nama Allah, kata mereka, “Tidak boleh bagi kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, karena jika engkau menetapkan nama bagi Allah, berarti engkau menyamakanNya dengan makhluk-makhluk yang diberi nama, dan jika engkau menetapkan sifat bagi Allah, berarti engkau menyamakanNya dengan makhluk-makhluk yang diberi sifat. Jadi, kami tidak menetapkan nama dan tidak pula sifat. Nama-nama yang Allah nisbatkan kepada DiriNya hanya sekedar majaz, bukan karena Dia menamakan DiriNya dengan Nama-nama tersebut.”

 

Mu’tazilah mengingkari Sifat-sifat Allah dan menetapkan Nama-nama Allah.

 

Asy’ariyah menetapkan Nama-nama Allah, sedangkan sifat, mereka hanya menetapkan tujuh sifat.

 

Semua kelompok di atas termasuk ke dalam kelompok ahli ta’thil (Mu’aththilah), hanya saja dari mereka ada yang merupakan Mu’ath thilah total (artinya mengingkari Sifat-sifat Allah secara total), seperti Jahmiyah, dan terdapat pula kelompok Mu’aththilah nisbi seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

 

Adapun ahli tamtsil Musyabbihah, maka mereka menetapkan sifat. sifat bagi Allah. Kata mereka, “Wajib menetapkan sifat-sifat bagi Allah, karena Allah menetapkannya untuk DiriNya,” hanya saja mereka berkata, “Sifat-sifat Allah sama dengan sifat-sifat makhluk.”

 

Mereka ini berlebih-lebihan dalam menetapkan, sementara ahli ta’thil berlebih-lebihan dalam menyucikan.

 

Mereka berkata, “Kamu harus menetapkan Wajah bagi Allah, dan wajah ini seperti wajah paling tampan dari kalangan bani Adam.” Kata mereka, “Karena Allah berfirman kepada kita dengan apa yang kita pahami dan mengerti. Dia berfirman,

 

‘Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.’ (Ar-Rahman: 27).

 

Yang kita pahami dari wajah adalah yang kita saksikan, dan manusia adalah yang terbaik yang kita saksikan.”

 

Allah itu menurut mereka, -naudzubillah- berwajah seperti wajah pemuda paling tampan dari kalangan manusia. Kata mereka, “Inilah yang masuk di akal.”

 

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka berkata, “Kami mengambil kebenaran dari kedua kelompok tersebut. Dalam hal menyucikan Allah, kami mengambil kebenaran, maka kami tidak menyamakan Allah dengan makhluk, dan dalam hal menetapkan, kami mengambil kebenaran, maka kami tidak mengingkari Sifat-sifat Allah, akan tetapi menetapkan tanpa menyerupakan, tetap menyucikan Allah, tapi tidak mengingkari Sifat-sifatNya. Kami menetapkan, tetapi tanpa menyerupakan, kami mengambil dalil dari sini dan dari sini.”

 

Kesimpulannya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan pertengahan dalam masalah Sifat-sifat Allah antara dua kelompok yang ekstrem kelompok ekstrem dalam meniadakan dan menyucikan, mereka adalah ahli ta’thil dari kelompok Jahmiyah dan lain-lain, dengan kelompok ekstrem dalam menetapkan, mereka adalah ahli tamtsil.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkata, “Jangan berlebih-lebihan dalam menetapkan dan dalam menafikan. Kami menetapkan tanpa at tsil (menyerupakan) berdasarkan Firman Allah 

 

‘Tidak ada sesuatu pun yang semisal (serupa) dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’ (Asy-Syura: 11).”

 

Pekek Kedua:

 

PERBUATAN-PERBUATAN ALLAH Penulis

 

Mereka adalah golongan tengah-tengah antara Jabariyah dan Qadariyah dalam masalah perbuatan-perbuatan Allah.

 

Syarah:

 

Dalam masalah Qadar, manusia ada tiga kelompok:

 

Kelompok pertama: Beriman kepada takdir Allah, tetapi berlebih-lebihan dalam menetapkannya, sampai-sampai mereka menafikan kemampuan dan ikhtiar manusia. Kelompok ini berkata, “Sesungguhnya Allah adalah Pelaku dari segala sesuatu. Hamba tidak mempunyai kemampuan dan ikhtiar. Seorang hamba berbuat dengan keterpaksaan.” Bahkan sebagian dari kelompok ini mengklaim bahwa perbuatan hamba adalah perbuatan Allah. Oleh karena inilah para penganut paham Wihdatul Wujud dan al-Hululiyah bergabung dengan kelompok ini, dan mereka ini adalah golongan Jabariyah.

 

Kelompok kedua: Berpendapat bahwa hamba berdiri sendiri dalam perbuatannya, ia tidak berkaitan dengan kehendak dan takdir Allah, sampai-sampai sebagian dari mereka bersikap berlebih-lebihan dengan mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan hamba, kecuali jika hamba tersebut telah melakukannya, adapun sebelumnya, Allah tidak mengetahui apa pun. Kelompok ini adalah Qadariyah, yang digelari Majusi umat ini.

 

Kelompok pertama berlebih-lebihan dalam menetapkan takdir Allah dan perbuatanNya. Mereka berkata: Allah memaksa manusia untuk berbuat, dan manusia tidak mempunyai pilihan (ikhtiar) apa pun.

 

Kelompok kedua berlebih-lebihan dalam menetapkan kesanggupan manusia. Mereka berkata, Kodrat Ilahi dan kehendakNya tidak berkaitan dengan perbuatan manusia, manusialah pelaku dengan ikhtiar mutlak.

 

Kelompok ketiga: Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka berkata, Kami mengambil kebenaran yang dimiliki oleh kedua kelompok. Kami katakan, Perbuatan hamba terjadi karena dikehendaki dan diciptakan Allah, tidak mungkin terjadi pada kekuasaan Allah apa yang tidak Dia kehendaki, dan (bersama itu) manusia memiliki ikhtiar (pilihan) dan kehendak, dan manusia dapat membedakan antara perbuatan terpaksa dan perbuatan sukarela, maka perbuatan manusia adalah dengan kehendak dan pilihan mereka, meskipun demikian ia terjadi karena diciptakan dan dikehendaki Allah.

 

Hanya saja ia menyisakan pertanyaan: Bagaimana mungkin ia ciptaan Allah padahal itu adalah perbuatan manusia?

 

Jawabnya: Perbuatan manusia terjadi dengan kemampuan dan keinginan, dan yang menciptakan kemampuan dan keinginan pada manusia adalah Allah, seandainya Allah berkehendak, niscaya Dia mengambil kemampuan tersebut, maka ia tidak mampu, kalau ada orang yang mampu berbuat tetapi tidak ingin, maka perbuatan tidak terjadi darinya.

 

Setiap manusia yang mampu melakukan perbuatan, dia melakukan dengan kehendaknya, kecuali orang yang dipaksa.

 

Kita berbuat dengan kehendak dan kemampuan kita, dan yang menciptakan keduanya pada diri kita adalah Allah.

 

Pokok Ketiga

 

ANCAMAN ALLAH (AL-WA’ID)

 

Penulis  berkata,

 

(Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan pertengahan) dalam masalah ancaman Allah antara Murji’ah dengan Wa’idiyah dari kajangan Qadariyah dan lain-lain.

 

Syarah:

 

Murji’ah adalah isim fa’il dari kata kerja  yang berarti mengakhirkan. Di antaranya adalah Firman Allah ,

 

“Pemuka-pemuka itu menjawab, ‘Beri tangguhlah dia dan saudaranya’.” (Al-A’raf: 111).

 

Di sebagian qira’at disebutkan , yakni, akhirkanlah dia dan akhirkanlah urusannya. Mereka dinamakan Murji’ah, bisa diambil dari kata  karena mereka lebih condong kepada dalil-dalil raja” (harapan) daripada dalil-dalil wa’id (ancaman), bisa pula diambil dari kata  yang berarti mengakhirkan, karena mereka mengakhirkan amal perbuatan dari definisi iman.

 

Oleh karena itu, mereka berkata, Amal perbuatan tidak termasuk iman; iman hanyalah pengakuan dalam hati saja.

 

Inilah sebabnya mereka berkata, Pelaku dosa besar seperti pezina, pencuri, peminum khamar, perampok tidak berhak masuk neraka, baik permanen maupun temporal. Kemaksiatan tidak berdampak buruk bagi iman, besar atau kecilnya kemaksiatan tersebut, selama tidak mencapai tingkat kekafiran.

 

Di seberang Murji’ah adalah Wa’idiyah. Mereka cenderung kepada sisi wa’id (ancaman). Mereka berkata, Dosa besar apa pun yang dilakukan oleh manusia sementara dia tidak bertaubat darinya, maka dia kekal di neraka karenanya. Kalau dia mencuri, maka dia masuk neraka dan kekal di dalamnya, kalau dia minum khamar, maka dia masuk neraka dan kekal di dalamnya… dan seterusnya.

 

Wa’idiyah mencakup dua kelompok: Mu’tazilah dan Khawarij. Oleh karena itu, penulis (Syaikhul Islam) berkata, “Dari kalangan Qadariyah dan lain-lain.” Maka ucapannya tersebut mencakup Mu’tazilah, dan Mu’tazilah adalah Qadariyah, karena mereka berpendapat bahwa manusia berdiri sendiri dalam perbuatannya, dan mereka adalah Wai’idiyah, dan juga mencakup Khawarij.

 

Kedua kelompok ini sepakat bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka, tidak keluar darinya selama-lamanya. Peminum khamar satu kali sama dengan penyembah berhala seribu tahun, sama-sama kekal di neraka, hanya saja mereka berbeda dalam memberi nama sebagaimana akan dijelaskan di bab kedua, insya Allah.

 

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka berkata, Kami tidak memenangkan sisi ancaman seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah dan Khawarij, dan tidak pula memenangkan sisi janji seperti yang dilakukan oleh Murji’ah. Kami katakan, Pelaku dosa besar berhak disiksa, dan sekalipun dia disiksa, namun dia tidak kekal di neraka.

 

Pemicu perbedaan antara Wa’idiyah dengan Murji’ah adalah karena masing-masing mereka melihat kepada dalil dengan mata sebelah, melihat hanya dari satu sisi.

 

Murji’ah melihat kepada dalil-dalil janji, maka mereka memasukkan manusia ke dalam harapan saja. Kata mereka, “Dalil-dalil yang begini inilah yang kami pegang. Selainnya kami campakkan.” Dan dalil-dalil ancaman hanya mereka bawakan untuk orang-orang kafir.

 

Wa’idiyah sebaliknya, mereka hanya melihat kepada dalil-dalil ancaman, lalu mereka mengambilnya dan mereka melalaikan dalildalil janji.

 

Oleh karena itu, sikap mereka tidak berimbang karena mereka melihat dari sisi yang satu.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengambil ini dan mengambil itu. Mereka berkata, “Dalil-dalil ancaman adalah muhkam (jelas), maka kita mengambilnya, dalil-dalil janji juga muhkam, maka kita mengambilnya.” Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengambil dari dalil-dalil janji yang dengannya mereka membantah Wa’idiyah, dan mereka mengambil dari dalil-dalil ancaman yang dengannya mereka membantah Murji ah.

 

ahlus Sunnah wal Jama‘ah berkata, “Pelaku dosa besar berhak masuk neraka agar kita tidak mencampakkan dalil-dalil ancaman, tetapi dia tidak kekal di dalamnya agar kita tidak mencampakkan dalil-dalil janji.” Mereka mengambil kedua dalil dan melihat dengan dua mata.

 

Pokek Keempat:

 

NAMA-NAMA IMAN DAN AGAMA

 

Penulis  berkata,

 

dalam masalah nama-nama Iman dan Agama (Ahlus Sunnah wal jama’ah adalah golongan pertengahan) antara Haruriyah dan Mu’tazijah dengan Murji’ah dan Jahmiyah.

 

Syarah:

 

Ini tentang masalah nama-nama dan agama, ia bukan perkara hukum yang merupakan janji dan ancaman; dengan apa kita menamakan pelaku dosa besar? Mukmin atau kafir?

 

Ahlus Sunnah mengambil jalan tengah di antara Haruriyah dan Mu’tazilah di satu pihak, dan di antara Murji’ah dan Jahmiyah di pihak yang lain.

 

– Haruriyah dan Mu’tazilah mengeluarkan pelaku dosa besar dari iman, hanya saja Hurairah berkata, “Dia kafir, darah dan hartanya halal.” Oleh karena itu, mereka memberontak kepada para pemimpin dan mengkafirkan manusia.

 

– Murji’ah dan Jahmiyah berseberangan dengan mereka, kata mereka, “Pelaku dosa besar adalah Mukmin dengan iman yang sempurna, sekalipun mencuri, berzina, minum khamar, membunuh, merampok. Kami katakan kepada pelakunya, “Kamu adalah Mukmin dengan iman yang sempurna sama dengan orang yang menjalankan kewajiban dan yang sunnah dan menjauhi hal-hal yang diharamkan. Kamu dan dia adalah sama dalam masalah iman’.

 

Kedua kelompok ini berseberangan dalam memberi nama dan hukum.

 

Lain lagi dengan Mu’tazilah, mereka berkata, “Pelaku dosa besar keluar dari iman, tetapi tidak masuk ke dalam kekafiran, dia dalam kedudukan di antara dua kedudukan. Kami tidak berani mengatakan bahwa dia kafir, kami juga tidak berhak mengatakan bahwa dia Mukmin sementara dia melakukan dosa besar; berzina, mencuri, dan minum khamar.” Mereka berkata, “Kamilah manusia yang paling berbahagia dengan kebenaran.”

 

Sebenarnya kalau mereka mengatakan bahwa orang ini (yang melakukan dosa besar) tidak sama dengan seorang Mukmin ahli ibadah, maka mereka benar.

 

Akan tetapi mereka mengeluarkannya dari iman, kemudian membuat-buat ajaran bid’ah, yaitu satu kedudukan di antara dua kedudukan, ini adalah bid’ah yang tidak berdasar, tidak dari Kitab Allah dan tidak pula dari Sunnah Rasulullah. Semua dalil-dalil menunjukkan bahwa tidak ada satu kedudukan di antara dua kedudukan, seperti Firman Allah

 

“Dan sesungguhnya kami atau kalian (orang-orang musyrik), benar-benar berada di atas hidayah (kebenaran) atau dalam kesesatan yang nyata.” (Saba’: 24).

 

Dan FirmanNya,

 

“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Yunus: 32).

 

Lalu FirmanNya,

 

“Dia-lah yang menciptakan kalian, maka di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian ada yang Mukmin.” (At-Taghabun: 2).

 

Di dalam hadits, Rasulullah bersabda,

 

“Al-Quran adalah hujjah yang membelamu atau melawanmu”

 

Mana satu kedudukan di antara dua kedudukan?

 

Dalam hal ancaman, mereka menerapkannya terhadap pelaku dosa besar, mereka setuju dengan Khawarij bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka. Adapun di dunia, maka mereka berkata, “Hukumpukum Islam berlaku padanya karena inilah dasarnya.” Jadi menurut mereka, dia di dunia sama dengan orang fasik yang sering melakukan kemaksiatan.

 

Subhanallah, bagaimana bisa kita menshalatkannya dan kita berkata, “Ya Allah, ampunilah dia,” sementara dia kekal di neraka?

 

Semestinya mereka berkata tentang hukum-hukum dunia, “Pelaku dosa besar tidak dihukumi, tidak dikatakan Muslim, juga tidak dikatakan kafir. Kami tidak memberinya hukum Islam dan tidak pula hukum kafir. Apabila dia mati, maka kita tidak menshalatkannya, tidak mengafaninya, tidak memandikannya, tidak menguburkannya bersama kaum Muslimin dan tidak menguburkannya bersama orang-orang kafir, jadi kita mencari kuburan di antara dua kuburan.”

 

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka bersikap pertengahan di antara kelompok-kelompok ini, mereka berkata, “Orang Mukmin pelaku dosa besar kami namakan Mukmin dengan iman yang kurang,” atau kami katakan, “Mukmin dengan imannya dan fasik dengan dosa besarnya.” Inilah keadilan, dia tidak diberi nama iman secara mutlak dan tidak diambil darinya predikat iman secara total.

 

Akibat dari ini adalah kita tidak boleh membenci orang fasik secara mutlak dan mencintainya secara mutlak, akan tetapi kita mencintainya sebatas iman yang dimilikinya dan membencinya sebatas kemaksiatan yang dilakukannya.

 

Pokok Kelima

TENTANG PARA SAHABAT

 

(Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan pertengahan) antara Rafidhah (Syi’ah) dan Khawarij dalam sikap terhadap para sahabat Rasulullah.

 

Syarah:

 

adalah jamak dari  dan  adalah isim jamak dari  yang berarti yang senantiasa menyertai sesuatu.

 

Sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi, beriman kepada beliau, dan mati di atas keimanan.

 

Ini khusus pada para sahabat, dan ia adalah salah satu keistimewaan Nabi, bahwa seseorang termasuk sahabat beliau meski hanya bertemu dengan beliau sesaat saja, akan tetapi dengan syarat beriman kepada beliau.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan pertengahan antara Rafidhah dan Khawarij dalam masalah sikap terhadap para sahabat.

 

– Rafidhah (yang menolak) adalah orang-orang yang sekarang dikenal dengan nama Syi’ah; mereka dinamakan Rafidhah karena mereka menolak Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib , yang golongan Syi’ah az-Zaidiyah pada hari ini menisbatkan diri mereka kepadanya; Rafidhah ini menolak Zaid bin Ali pada saat mereka bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu tentang Abu Bakar dan Umar?” Mereka ingin agar Zaid bin Ali mencela dan mencaci maki keduanya. Akan tetapi dia menjawab, “Sebaik-baik orang dekat, keduanya adalah orang dekat kakekku,” maksudnya adalah Rasulullah, Zaid memuji Abu Bakar dan Umar maka mereka menolaknya, marah kepadanya dan meninggalkannya. Akhirnya mereka dikenal dengan nama Rafidhah.”

 

Rafidhah ini -na’udzubillah memiliki prinsip-prinsip yang terkenal di tengah mereka. Di antara prinsip mereka yang paling buruk adalah imamah yang menetapkan bahwa seorang imam adalah orang, yang ma’shum, dia tidak mungkin salah, kedudukan imamah lebih tinggi daripada kedudukan kenabian, karena imam itu mengambil langsung dari Allah, sementara Nabi dari seorang perantara, yaitu Malaikat Jibril. Menurut mereka, imam tidak pernah salah, bahkan kelompok yang ekstrem dari mereka mengklaim bahwa imam mampu menciptakan, dia berkata kepada sesuatu, “Jadilah,” maka terjadilah sesuatu itu.

 

Mereka berkata, Para sahabat adalah orang-orang kafir, semuanya murtad setelah Nabi  wafat, bahkan Abu Bakar dan Umar, keduanya menurut sebagian mereka adalah orang kafir yang mati di atas kemunafikan -naudzubillah-, mereka tidak mengecualikan siapa pun dari para sahabat kecuali Ahlul Bait dan beberapa gelintir orang yang menurut mereka adalah orang-orang yang loyal kepada Ahlul Bait.

 

Penulis kitab al-Fishal berkata, “Bahkan kelompok ekstrem dari mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, menurut mereka hal itu karena Ali mendiamkan kezhaliman dan kebatilan pada saat membai’at Abu Bakar dan Umar. Semestinya dia mengingkari pembai’atan keduanya. Karena Ali tidak mengikuti kebenaran dan tidak berpihak kepada keadilan serta menyetujui kezhaliman, maka dia adalah orang dhalim lagi kafir.”

 

 Adapun Khawarij, maka mereka berseberangan dengan orang-orang Rafidhah, di mana mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan siapa pun yang tidak berada di jalan mereka, dan mereka menghalalkan darah kaum Muslimin. Mereka adalah orang-orang seperti yang disabdakan oleh Nabi 

 

“Iman mereka tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Agama seperti anak panah keluar menembus hewan buruan yang dipanahnya.”

 

Syi’ah bersikap sangat berlebih-lebihan terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi) dan orang-orang yang loyal kepada mereka, bahkan di antara mereka ada yang mengklaim bahwa Ali adalah tuhan, ada pula yang mengklaim bahwa Ali lebih berhak menjadi Nabi daripada Muhammad , dan Khawarij sebaliknya.

 

– Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka bersikap tengah di antara kedua kelompok tersebut, mereka berkata, “Kami mendudukkan Ahlul Bait pada posisinya, menurut kami mereka memiliki hak atas kami: hak Islam dan iman, dan hak kekerabatan dengan Rasulullah. Mereka berkata, “Kekerabatan Rasulullah memiliki hak atas kami, dan salah satu hak tersebut adalah memposisikan mereka dalam posisi yang benar dengan tidak mengkultuskan mereka.” Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkata tentang sahabat-sahabat Nabi  yang lain, “Mereka memiliki hak atas kami, yaitu memuliakan, menghormati dan mendoakan semoga Allah meridhai mereka. Hendaknya kita bersikap sebagaimana yang telah difirmankan Allah 

 

“Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Belas kasi lagi Maha Penyayang.”(Al Hasyr: 10).

 

Kita tidak memusuhi seorang pun dari mereka, tidak dari kalangan Ahlul Bait dan tidak pula selain mereka, masing-masing dari mereka kita beri haknya.”

 

Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan pertengahan antara kelompok pengkultus dan kelompok yang kurang ajar.

 

Syarah:

 

Telah dijelaskan bahwa termasuk ke dalam iman kepada Allah adalah iman kepada Asma’ dan Sifat-sifatNya, di mana salah satunya adalah iman bahwa Allah tinggi dan bersemayam di atas ArasyNya, serta iman bahwa Allah beserta makhlukNya. Pada pasal ini penulis menjelaskan bagaimana mempertemukan antara Sifat al-Uluw dengan al-Ma’iyah (antara kenyataan bahwa Allah Mahatinggi di atas sana dengan kenyataan bahwa Allah beserta hamba-hambaNya). Beliau berkata,

 

Termasuk ke dalam iman kepada Allah yang telah kami sebutkan adalah iman kepada apa yang Allah beritakan di dalam KitabNya, dan apa yang diriwayatkan secara mutawatir dari RasulNya, serta telah disepakati oleh Salaf umat ini, yaitu bahwa Allah di atas langitNya, di atas ArasyNya dan Mahatinggi di atas makhluk-makhlukNya.

 

Ini adalah tiga dalil yang menunjukkan bahwa Allah di atas sana: al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’.

 

Dan telah kami jelaskan pula dalil keempat dan kelima, yaitu akal dan fitrah.

 

“Bahwa Allah  di atas IangitNya, di atas ArasyNya, dan Mahatinggi di atas makhluk-makhlukNya,” telah kami jelaskan bahwa ketinggian Allah  terbagi menjadi dua: ketinggian Sifat dan ketinggian Dzat, dan bahwa ketinggian Dzat ditetapkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, akal, serta fitrah, demikian juga ketinggian Sifat.

 

– Al-Qur’an penuh dengan dalil-dalil tentang hal itu. Terkadang secara jelas menyatakan faugiyah (di atas), terkadang secara jelas me. nyatakan tinggi, terkadang secara jelas menetapkan bahwa Dia di atas langit, terkadang dengan menyatakan turunnya perkara-perkara dariNya, terkadang dengan naiknya perkara-perkara kepadaNya, dan yang semacam itu.

 

– As-Sunnah datang dengan menetapkannya melalui perkataan, perbuatan, dan penetapan, sebagaimana telah dijelaskan.

 

– Adapun ijma’, maka Salaf telah berijma’ atas hal itu, dan jalan mengetahui ijma’ mereka adalah tidak adanya penukilan dari mereka yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, karena mereka membaca al-Qur’an, meriwayatkan hadits dan mengerti makna-maknanya, dan manakala tidak dinukil dari mereka apa yang menyelisihi zahirnya, maka diketahuilah bahwa mereka tidak meyakini selainnya dan bahwa mereka bersepakat atas hal itu. Ini adalah jalan yang baik untuk menetapkan ijma’ mereka, peganglah ia karena ia berguna sekali dalam banyak hal.

 

– Adapun dalil akal, maka ia dari dua segi:

 

Pertama: Bahwa al-Uluw (tinggi di atas) adalah sifat kesempurnaan, dan Allah  memiliki Sifat-sifat kesempurnaan, maka al-Uluw harus ditetapkan bagi Allah

 

Kedua: Kalau Allah tidak tinggi, maka berarti Dia di bawah atau sejajar, dan keduanya adalah sifat kekurangan, karena hal ini berarti bahwa sesuatu berada di atasNya atau sejajar denganNya. Maka alUluw harus ditetapkan bagi Allah.

 

– Adapun fitrah, maka tidak ada seorang pun yang mengingkarinya kecuali pemilik fitrah yang rusak, siapa pun yang berkata (bermunajat), “Ya Allah,” hatinya pasti menghadap ke arah langit, tidak berpaling ke kanan atau ke kiri, karena Allah memang di atas langit.

 

Penulis berkata,

 

Dan Allah Yang Maha Suci bersama mereka di mana pun mereka berada mengetahui apa yang mereka kerjakan.

 

Hal ini termasuk iman kepada Allah, yaitu iman akan kebesaran Allah dengan makhlukNya.

 

Telah dijelaskan bahwa kebesertaan Allah terbagi menjadi: Umum, khusus, dan khusus yang paling khusus.

 

– Yang umum meliputi siapa pun, baik Mukmin maupun kafir, yang baik maupun orang berdosa. Contohnya adalah Firman Allah,

 

“Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada dan Allah Maha melihat apa yang kalian kerjakan.” (Al-Hadid: 4).

 

– Yang khusus adalah seperti Firman Allah

 

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl: 128).

 

– Dan yang paling khusus adalah seperti Firman Allah ls kepada Nabi Musa dan Nabi Harun

 

“Allah berfirman, ‘Janganlah kalian berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kalian berdua, Aku mendengar dan melihat’.” (Thaha: 46).

 

Dan FirmanNya tentang RasulNya, Muhammad

 

“Sesungguhnya Allah beserta kita.” (At-Taubah: 40).

 

Telah dijelaskan bahwa kebesertaan Allah ini adalah hakiki dan bahwa konsekuensi dari kebesertaan Allah yang umum adalah mengetahui, mendengar, melihat, kuasa, berkuasa, dan lain-lain, dan bahwa konsekuensi dari kebesertaan Allah yang khusus adalah memberi pertolongan dan memperkuat.

 

Penulis berkata,

 

Sebagaimana Allah menggabungkan antara hal itu pada FirmanNya, “Dia-lah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Al-Hadid: 4).

 

Perkataan penulis,  “Antara hal itu,” yakni antara kenyataan bahwa Allah Mahatinggi di atas dengan Allah beserta hamba-hamba-Nya.

 

FirmanNya,  “Kemudian Dia bersemayam diatas Arasy,” menetapkan bahwa Allah Mahatinggi.

 

– Dan FirmanNya,   “Dan Dia bersama kalian di mana pun kalian berada,” menetapkan bahwa Allah beserta makhlukNya. Allah menggabungkan keduanya dalam satu ayat. Tidak ada pertentangan antara keduanya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dan sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

 

Mempertemukan antara keduanya adalah dari tiga segi:

 

Pertama, Allah menyebutkan istiwa’nya di atas Arasy, kemudian Dia berfirman ” Dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada.” Apabila Allah menggabungkan untuk DiriNya antara dua sifat, maka kita mengetahui dengan vakin bahwa kedua sifat tersebut tidak bertentangan, karena kalau keduanya bertentangan, niscaya keduanya tidak berkumpul, karena dua hal yang bertentangan tidak akan berkumpul dan tidak pula terangkat dalam waktu yang sama, harus ada salah satunya dan yang lainnya terangkat, kalau ada pertentangan, niscaya awal ayat mendustakan akhirnya atau sebaliknya.

 

Kedua, uluw dan ma’iyah bisa terjadi pada makhluk, sebagaimana yang akan dikatakan oleh penulis tentang ucapan orang-orang, “Kami terus berjalan sedangkan rembulan bersama kami.”

 

Ketiga, kalaupun seandainya ia tidak mungkin pada makhluk, tidak berarti ia tidak mungkin pada Sang Khaliq, karena tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah.

 

Penulis berkata, 

 

FirmanNya, “Dan Dia bersama kalian,” tidak berarti bahwa Dia berbaur dengan makhluk.

 

Karena makna ini adalah kekurangan, dan telah dijelaskan bahwa seandainya ini adalah makna yang benar, niscaya ia berkonsekuensi satu dari dua perkara: Khaliq berjumlah lebih dari satu ke atas, atau Dia terbagi, ditambah hal itu berarti bahwa Dia dikelilingi oleh segala sesuatu yang ada, padahal yang benar adalah Allah meliputi segala sesuatu.

 

Penulis berkata,

 

Karena hal itu tidak diharuskan oleh bahasa.

 

Artinya, jika bahasa tidak mengharuskan demikian, maka berarti bukan itu yang diinginkan. Ini adalah salah satu segi yang menunjukkan kebatilan pendapat al-Hululiyah dari kalangan Jahmiyah dan lain-lain yang mengatakan bahwa Allah bersama dengan makhlukNya dalam arti berbaur dengannya.

 

Penulis tidak berkata, “Tidak dituntut oleh bahasa,” karena bisa jadi bahasa menuntutnya; beda antara “menuntut hal itu” dengan “mengharuskan hal itu”.

 

Beserta (al-Ma’iyah) secara bahasa bisa berkonsekuensi percampuran, seperti air dengan susu, yakni air bersama susu dicampur.

 

Penulis berkata,

 

Dan ia menyelisihi ijma’ kaum Salaf umat ini, dan bertentangan dengan fitrah yang di atas fitrah itulah Allah menciptakan manusia.

 

Hal itu karena manusia difitrahkan untuk mengakui bahwa Khaliq itu terpisah dari makhluk. Tidak seorang pun berkata, “Ya Allah” kecuali dia meyakini bahwa Allah  terpisah dari makhlukNya, dia tidak meyakini bahwa Allah berada pada makhlukNya. Jadi klaim bahwa Allah berbaur dengan makhluk adalah klaim yang menyelisihi syariat, akal, dan fitrah.

 

Penulis berkata,

 

Bahkan rembulan yang merupakan salah satu tanda kebesaran Allah dan salah satu makhluk Allah terkecil, ia di langit dan pada waktu yang sama juga bersama musafir dan yang tidak musafir di mana pun dia berada.

 

“Bahkan” untuk mengahhkan dan menyangkal.

 

Ini adalah contoh yang dibuat oleh penulis  untuk mendekatkan makna dan merealisasikan kebenaran bahwa mungkin saja sesuatu itu bersama seseorang padahal keduanya berjauhan. Rembulan yang termasuk di antara makhluk yang terkecil, ia di langit, tetapi ia bersama musafir dan lainnya di mana pun ia berada.

 

Apabila kita berkata terhadap rembulan yang termasuk makhluk yang terkecil bahwa ia bersama kita padahal ia di langit dan hal itu tidak dianggap sebagai kontradiksi dan tidak menuntut adanya pembauran, lalu mengapa tidak sah kalau kita memahami ayat ma’iyah sesuai dengan zahirnya? Kita katakan, Allah bersama kita secara hakiki meskipun Dia di atas langit; di atas segala sesuatu.

 

Sebagaimana telah kami katakan, Kalaupun hal ini tidak mungkin bagi makhluk, maka tidak demikian pada Khaliq. Allah  diatas langit secara hakiki dan bersama kita secara hakiki, dan tidak ada pertentangan dalam hal ini meskipun Dia jauh dengan ketinggianNya, Dia tetap dekat dengan ketinggianNya tersebut.

 

Inilah hasil kajian Syaikhul Islam di dalam buku-bukunya, beliau berkata bahwa kita tidak perlu menakwilkan ayat, akan tetapi ayatnya sesuai dengan zahirnya, hanya saja dengan meyakini bahwa Allah ol di atas langit di atas ArasyNya. Dia bersama kita secara hakiki dan Dia juga di atas ArasyNya secara hakiki sebagaimana kita katakan, Dia turun ke langit terdekat secara hakiki dan Dia juga tinggi di atas sana, tidak ada seorang pun dari Ahlus Sunnah yang mengingkari hal ini, seluruh Ahlus Sunnah berkata bahwa Allah turun secara hakiki, dan mereka bersepakat bahwa Dia di atas sana, karena Sifat Khaliq tidak sama dengan sifat makhluk.

 

Aku telah menemukan hasil kajian Syaikh Muhammad bin Ibrahim  di mana beliau menetapkan hal yang sama persis, yakni bahwa alMa’iyah adalah hakiki, tapi tidak berarti Allah berbaur dengan makhluk atau Dia di bumi.

 

Tentang tafsir al-Ma’iyah dari sebagian Salaf, bahwa maknanya adalah, “Bersama mereka dengan ilmuNya,” Syaikh Muhammad bin Ibrahim menjawab, “Kalau kalimat ini hadir, maka ia adalah tafsir al-Ma’iyah dengan makna konsekuensinya, bukan tafsir terhadap hakikat kata ma’iyalt. Yang memicu dan mendorong penafsiran ini adalah adanya penentang dalam hal ini, yaitu, ahli bid’ah yang mengatakan bahwa Dia berbaur dengan mereka. Maka sebagian Salaf menafsirkan maksudnya dari konteks kalimat, yaitu bahwa Dia bersama mereka dengan ilmuNya yang sempurna, tetapi mereka tidak bermaksud menakwilkan sifat ‘bersama’ dengan ‘mengetahui segala sesuatu’, tetapi ia bersatu dengannya dalam ilmu, dan ma’tyah memiliki tambahan makna, yaitu bahwa Dia bersama mereka. Jadi penafsiran ‘bersama’ dengan konsekuensinya tidak menunjukkan bahwa makna tersebut adalah batil karena keduanya adalah benar.”

 

Sampai Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Oleh karena itu Syaikhul Islam menjelaskan di kitab akidah yang lain yang singkat dan penuh berkah bahwa FirmanNya, ‘Bersama mereka’ adalah benar sesuai dengan hakikatnya. Dan kalau ada dari golongan Salaf yang menafsirkannya dengan konsekuensinya, maka hal itu karena ada tuntutan, yaitu membantah kelompok Hululiyah Jahmiyah yang mengingkari Sifat al-Uluw seperti yang telah dijelaskan, dan al-Qur’an boleh ditafsirkan dengan petunjuk muthabaqah (denotasi lengkap), mafhum (makna tersirat), iltizam (denotasi inhern), konsekuensi dan petunjuk. petunjuk yang lain. Para ulama, yang dari merekalah diriwayatkan tafsir tentang Sifat al-Ma’iyah dengan konsekuensinya tidak mengingkari al-Ma’iyah, bagi mereka al-Ma’iyah adalah perkara yang sangat jelas seperti matahari.” Demikianlah ucapan Syaikh Muhammad bin Ibrahim dari al-Fatawa yang menegaskan apa yang ditulis oleh Syaikhul Islam di al-Hamawiyah”.

 

Pertanyaan: Apakah benar kita katakan, “Dia bersama kita dengan DzatNya?”

 

Jawaban: Kata “dengan DzatNya” wajib dihindari karena ia bisa menjerumuskan kepada makna yang rusak yang digunakan sebagai pembenaran oleh Hululiyah. Kata tersebut tidak diperlukan, karena pada dasarnya segala sesuatu yang disandarkan Allah kepada DiriNya adalah untuk DiriNya. Lihatlah FirmanNya,  “Dan Tuhanmu datang.” Apakah harus dikatakan, “Datang dengan DzatNya?” Juga sabda Nabi

 

“Rabb kita turun ke langit dunia.”

 

Apakah perlu dikatakan, “Turun dengan DzatNya.” Tidak perlu, kecuali dalam rangka mendebat orang yang berpendapat bahwa yang datang atau yang turun adalah perintahNya, untuk membantah fahrifnya.

 

Penulis berkata,

 

Allah  di atas ArasyNya, mengawasi makhlukNya, menguasai mereka, melihat mereka, dan makna-makna RububiyahNya yang lain.

 

Perkataan penulis  “Allah  di atas ArasyNya,” meskipun Dia bersama makhluk, Dia tetap di atas ArasyNya.

 

“Mengawasi makhlukNya,” yakni, mengawasi dan menjaga ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya mereka.

 

“Menguasai mereka,” yakni, menghukumi dan meagendalikan hamba-hambaNya, hukum adalah milikNya, segala perkara kembali kepadaNya, dan perintahNya jika Dia menghendaki sesuatu, pia berfirman kepadanya, “Jadilah,” maka terjadilah sesuatu itu.

 

Perkataan penulis,  “Dan makna-makna RububiyahNya yang lain,” yakni, makna yang dikandung oleh Rububiyah Allah: kepemilikan, kekuasaan, pengaturan dan lain-lain, karena rububiyah mengandung banyak makna, karena Rabb adalah Pencipta, pemilik dan Pengatur, dan ini mengandung makna yang banyak sekali.

 

Semua ucapan yang disebutkan oleh Allah ini bahwa Dia di atas Arasy dan bahwa Dia bersama kita adalah benar sesuai dengan hakikatnya, tidak memerlukan tahrif.

 

Kalimat penulis ini adalah penegasan bagi kalimat sebelumnya. Penulis mengulanginya karena topik ini memang penting. Penulis   menjelaskan bahwa apa yang Allah firmankan bahwa Dia di atas Arasy adalah haq (benar) sesuai dengan hakikatnya, dan bahwa Allah bersama kita juga benar sesuai dengan hakikatnya, tidak membutuhkan tahrif, yakni, kita tidak perlu membelokkan makna Allah di atas kepada makna bahwa yang tinggi adalah kedudukanNya, seperti yang diklaim oleh ahli ta’thil dan tahrif, akan tetapi ia adalah ketinggian Dzat dan kedudukan sekaligus, sebagaimana kita tidak perlu memalingkan makna ‘Allah beserta makhluk’ dari zahirnya, akan tetapi kita katakan ia adalah benar sesuai dengan zahirnya. Dan siapa yang menafsirkannya tidak sesuai dengan hakikatnya, maka dia telah menyimpangkan makna (melakukan tahrif). Penafsiran dengan “konsekuensi” dan “tuntutannya” memang diriwayatkan dari sebagian Salaf dan itu karena adanya tuntutan untuk melakukan itu, dan penafsiran tersebut tidak menabrak hakikatnya, karena konsekuensi dari kebenaran adalah kebenaran.

 

Kemudian penulis  menambahkan,

 

Akan tetapi ia harus dijaga dari dugaan-dugaan dusta, seperti diduga bahwa zahir FirmanNya, “Di langit,” bahwa langit menyanggaNya atau memayungiNya. Ini adalah kebatilan berdasarkan kesepakatan ahli ilmu dan iman.

 

“Dugaan-dugaan dusta,” adalah pikiran-pikiran (asumsi-asumsi) yang tidak memiliki dasar kebenaran, maka Firman Allah dig dan sabda RasulNya  wajib dijauhkan darinya.

 

Sebagai contoh, menduga zahir Firman Allah,  “Di langit” bahwa langit menyanggaNya, yakni memikulNya seperti langit-langit rumah menyangga siapa yang ada di atasnya, atau langit memayungiNya, yakni ia di atasNya seperti atap di atas manusia.

 

Apabila ada yang menduga makna ini, maka itu adalah dugaan dusta, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah di langit harus dihindarkan dari dugaan yang demikian.

 

Perkataan penulis,  “Ini adalah kebatilan, berdasarkan kesepakatan ahli ilmu dan iman.”

 

Catatan:

 

Mungkin ada yang berkata, “Semestinya penulis berkata, “Dan juga seperti asumsi bahwa zahir FirmanNya, ‘Dan Dia bersama kalian’ adalah bahwa Dia berbaur dengan makhlukNya, karena asumsi ini juga dusta.”

 

Jawabnya: Penulis telah menjelaskan hal itu sebelumnya, yaitu pada ucapan beliau, “FirmanNya,  ‘Dan Dia bersama kalian,’ tidak berarti bahwa Dia berbaur dengan makhluk.”

 

Penulis berkata,

 

Karena sesungguhnya Allah, sungguh “KursiNya meliputi langit dan bumi.” (Al-Bagarah: 255).

 

Kursi adalah tempat kedua Kaki Allah sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas

 

“KursiNya meliputi langit dan bumi,” maksudnya adalah mencakup langit yang tujuh dan bumi yang tujuh.

 

Maka bagaimana mungkin ada yang berasumsi bahwa langit memayungi atau menyangga Allah? Apabila kursiNya meliputi langit dan pumi, maka janganlah seorang pun berasumsi dengan dugaan dusta ini, yaitu bahwa langit memikulNya atau memayungiNya.

 

Penulis berkata,

 

Dia-lah (Allah) yang “menahan langit dan bumi sehingga keduanya tidak bergeser.” (Fathir: 41).

 

Allah menahan keduanya sehingga keduanya tidak bergeser dari tempatnya. Kalau Allah tidak menahan keduanya, pastilah keduanya akan bergoncang, bergerak-gerak dan bergeser, akan tetapi Allah dengan kuasa dan kekuatanNya menahan langit dan bumi sehingga keduanya tidak jatuh, bahkan Dia ule berfirman,

 

“Dan sungguh jika keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang mampu menahan keduanya selain Allah.” (Fathir: 41).

 

Tidak seorang pun yang mampu menahan keduanya selain Allah untuk selama-lamanya.

 

Kalau ada satu bintang yang jatuh, maka tidak seorang pun mampu menahannya, lalu bagaimana kalau yang jatuh itu adalah langit dan bumi? Tidak ada yang dapat menahan keduanya selain Allah yang menciptakannya, yang hanya berfirman kepada sesuatu, ‘Jadilah’, maka terjadilah. Maha Suci dan Maha Tinggi Allah, di TanganNya-lah kerajaan langit dan bumi.

 

Penulis berkata,

 

FirmanNya, “Allah-lah yang menahan langit sehingga ia ia tidak jatuh ke bumi kecuali dengan izinNya.” (Al-Hajj: 65).

 

Langit di atas bumi, demi Allah, kalau Allah tidak menahannya, niscaya ia telah jatuh ke bumi, karena ia adalah makhluk dengan materi yang super besar sebagaimana Firman Allah

 

“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara.” (Al-Anbiya’: 32).

 

Dan FirmanNya,

 

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (Adz-Dzariyat: 47).

 

Kalau Allah tidak menahannya, maka ia pasti jatuh ke bumi, jika itu terjadi, maka binasalah bumi ini.

 

Allah-lah yang menahan langit dan bumi sehingga keduanya tidak bergeser, Dia-lah yang menahan langit sehingga ia tidak jatuh ke bumi kecuali dengan izinNya. Apakah dengan ini masih ada yang membayangkan bahwa langit menyanggaNya atau memayungiNya? Tidak seorangpun yang bisa menggambarkan itu.

 

Penulis berkata,

 

FirmanNya, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran) Nya adalah berdirinya langit dan bumi dengan perintahNya.” (Ar-Rum: 25).

 

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya,” yakni, tanda-tanda yang menunjukkan kesempurnaan Allah  dari segala segi,

 

“Adalah berdirinya langit dan bumi dengan perintahnya, ” yang bersifat kauniyah dan syar’iyah, karena perintahNya berdasar kepada hikmah, rahmat, keadilan, dan kebaikan. Firman Allah,

 

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya.” (Al-Mu’minun: 71).

 

Hawa nafsu adalah suatu kerusakan bagi langit dan bumi, ia menyelisihi perintah yang bersifat syar’iyah.

 

Jadi, langit dan bumi berdiri dengan perintah kauni dan syar’i dari Allah, kalau kebenaran mengikuti hawa nafsu manusia, niscaya rusaklah langit, bumi dan apa yang ada pada keduanya. Oleh karena itu para ulama berkata tentang FirmanNya

 

“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya.” (Al-A’raf: 56),

 

yakni “Jangan berbuat kerusakan di dalamnya dengan melakukan kemaksiatan.”

 

 

 

Syarah:

 

Penulis berkata,

 

Dan termasuk dalam hal ini.

 

Yakni, pada apa yang Allah menyifati DiriNya dengannya.

 

Beriman bahwa Allah dekat kepada makhlukNya dan menjawab “(doa mereka).

 

Mengimani bahwa Allah Maha Dekat pada DiriNya dan menjawab permohonan hamba-hambaNya.

 

Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Nabi) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila dia berdoa kepadaKu.” (Al-Baqarah: 186).

 

Di dalam ayat ini terdapat enam dhamir (kata ganti) yang semuanya kembali kepada Allah, dari sini, maka kedekatan di sini adalah kedekatan Allah, akan tetapi penjelasan tentang  “dekat” sama dengan penjelasan tentang “bersama,” bahwa hal itu tidak mengharuskan Allah berada di tempat di mana manusia berada.

 

Apabila Rasulullah  bersabda,  “Sesungguhnya Allah lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada leher hewan tunggangannya,” maka ini tidak berarti bahwa Allah  di bumi, di antara orang tersebut dengan leher hewan tunggangannya.

 

Begitu pula sabda Rasulullah   “Sesungguhnya Allah di depan wajah orang yang shalat” tidak berarti bahwa Allah berada di antara orang tersebut dengan tembok jika dia shalat menghadap ke tembok, dan tidak pula di antara orang tersebut dengan tanah jika dia menghadap ke tanah.

 

Begitu pula kedekatanNya (kepada makhluk) tidak berarti Dia di bumi, karena Allah, tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya dalam seluruh SifatNya, dan Dia meliputi segala sesuatu.

 

– Ketahuilah, bahwa di antara para ulama ada yang membagi kedekatan Allah menjadi dua seperti halnya Allah bersama makhlukNya, dia berkata, Kedekatan yang konsekuensinya adalah meliputi segala sesuatu adalah kedekatan umum, dan kedekatan yang konsekuensinya adalah menjawab doa dan memberi balasan adalah kedekatan khusus.

 

Ada pula yang berkata, Kedekatan hanya satu, yaitu kedekatan khusus yang berkonsekuensi kepada menjawab orang yang berdoa dan memberi pahala kepada orang yang beribadah, dan kedekatan ini tidak terbagi.

 

Pendapat kedua ini berdalil dengan Firman Allah

 

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Nabi) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila dia berdoa kepadaKu.” (Al-Baqarah: 186).

 

Dan dengan sabda Nabi

 

“Keadaan di mana seorang hamba paling dekat kepada Rabbnya adalah pada saat dia sujud.”

 

Dan tidak mungkin Allah dekat dengan orang-orang durjana ondosa) lagi kafir. Pendapat ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, lbnul Qayyim

 

Akan tetapi pendapat ini disangkal dengan Firman Allah

 

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada yrat lehernya.” (Qaf: 16).

 

Yang dimaksud dengan  (manusia) adalah semua manusia. Oleh karena itu, Dia berfirman di akhir ayat,

 

“Sungguh kamu dahulu berada dalam kelalaian tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi)mu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam. Dan (malaikat) yang menyertainya berkata, ‘Iniah (catatan perbuatan) yang ada padaku.’ (Allah berfirman), ‘Lemparkanlah gleh kalian berdua ke dalam Neraka Jahanam semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala’.” (Qaf: 22-24).

 

Ini menyeluruh. Juga disangkal dengan FirmanNya

 

“Maka kalau begitu, mengapa (kalian tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai di kerongkongan, dan kalian ketika ttu melihatnya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian, tetapi kalian tidak melihat.” (al-Waqi’ah: 83-85).

 

Kemudian ayat-ayat setelahnya membagi orang-orang yang nyawa mereka telah sampai di tenggorokan menjadi tiga bagian, salah satunya adalah orang kafir. Jawaban atas sangkalan ini adalah bahwa FirmanNya,

 

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaf: 16).

 

Maksudnya adalah malaikat-malaikat Kami. Dalilnya adala} FirmanNya,

 

 

“(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya (Qaf: 17).

 

Karena  “ketika” adalah keterangan waktu yang terkait dengan FirmanNya,  “lebih dekat,” yakni, dan Kami lebih dekat kepadanya tatkala kedua malaikat mencatat amalnya, ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kedekatan Allah  di sini adalah kedekatan para malaikatNya.

 

Begitu pula Firman Allah tentang orang yang menghadapi ajalnya,  “dan Kami lebih dekat kepadanya,” maksudnya adalah para malaikat. Oleh karena itu, sesudahnya Allah berfirman,

 

 “Tetapi kalian tidak melihat.” (Al-Waqi’ah: 85).

 

Ini menunjukkan bahwa yang dekat ini ada di sisi kita, tetapi kita tidak melihatnya. Ini sangat tidak mungkin kalau yang dimaksud dengannya adalah Allah, karena Allah di atas langit.

 

Menurutku apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam lebih dekat.

 

Penulis berkata,

 

Sebagaimana Allah menggabungkan di antara itu dalam FirmanNya, “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Nabi) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila dia berdoa kepadaKu.” (Al-Baqarah: 186).

 

Dan sabda Nabi, “Sesungguhnya Dzat yang kalian berdoa kepadaNya lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada leher hewan tunggangannya.”

 

Perkataan penulis,

 

“Sebagaimana Allah menggapungkan di antara hal itu,” yaitu antara dekatnya Allah dengan Allah mengabulkan doa.

 

Penulis berkata,

 

Apa yang disebutkan di dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah tentang kedekatan dan kebesertaanNya (dengan makhluk) tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan tentang ketinggianNya dan keberadaanNya di atas sana, karena Allah, tidak ada sesuatu pun yang menyamaiNya dalam seluruh Sifat-sifatNya, Dia Tinggi dalam kedekatanNya dan dekat dalam ketinggianNya.

 

 yakni,  “Sifat-sifatNya”. Dia Maha Tinggi sekaligus dekat, Maha Dekat sekaligus Mahatinggi, tidak ada pertentangan di antara keduanya. Penjelasannya telah berlalu belum jauh pada penjelasan tentang Ma’iyah.

 

Syarah:

 

Penulis berkata,

 

pasal: Termasuk iman kepada Allah dan kitab-kitabNya; adalah beriman bahwa al-Qur’an adalah Firman Allah, yang diturunkan, bukan makhluk, dariNya ia berasal dan kepadaNya ia kembali.

 

Perkataan penulis,  “Beriman bahwa al-Qur an adalah Firman Allah.” Alasan mengapa iman kepada al-Qur an dalam bentuk ini termasuk iman kepada Allah, adalah karena al-Qur’an memang Firman Allah dan Firman Allah adalah salah satu SifatNya, di samping itu Allah telah menyatakan bahwa al-Qur’an adalah FirmanNya, dan bahwasanya al-Qur’an itu diturunkan. Jadi membenarkan hal itu termasuk iman kepada Allah.

 

Perkataan penulis,  “Firman Allah.”

 

Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Dan jika seseorang dari orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka berilah perlindungan baginya sehingga dia dapat mendengar Firman Allah.” (At-Taubah: 6).

 

Perkataan penulis,  “Yang diturunkan,” yakni dari sisi Allah  berdasarkan Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Kaniu-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya  Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9).

 

Dan FirmanNya,  “Sesunggulinya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” (Al-Qadr: 1).

 

Perkataan penulis,  “Bukan makhluk,” yakni, ia bukan termasuk di antara makhluk-makhluk Allah yang diciptakanNya. Dalilnya adalah Firman Allah

 

 “Ingatlah, menciptakan dan menetapkan ketentuan hanyalah hak Allah.” (Al-A’raf: 54).

 

Dan al-Qur-an termasuk perintah Allah berdasarkan Firman Allah

 

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur-an) dengan perintah Kami.” (Asy-Syura: 52).

 

Dan karena berfirman (berkata) adalah sifat mutakallim (pembicara), sedangkan makhluk adalah obyek Khaliq yang terpisah dariNya, seperti sesuatu yang dibuat yang terpisah dari pembuatnya.

 

Perkataan penulis,  “DariNya ia berasal,” yakni, asal-usul turunnya dari Allah, bukan dari Malaikat Jibril atau lainnya, Jibril hanya membawanya turun dari sisi Allah  sebagaimana Firman Allah

 

“Dan sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril).” (Asy-Syu’ara’: 192-193).

 

Dan FirmanNya,

 

“Katakanlah, ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Quran itu dari Tuhanmu” (An-Nahl: 102).

 

Dan FirmanNya,

 

“Kitab (al-Qur-an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ” (Az-Zumar: 1).

 

Perkataan penulis,  “Dan kepadaNya ia kembali.” Pembahasan tentang maknanya dan dalilnya telah berlalu pada penjelasan mengenal ayat-ayat tentang Firman Allah. 

 

Penulis berkata,

 

Dan bahwa Allah berbicara dengannya secara hakiki.

 

Ini berdasarkan kepada prinsip pokok bahwa seluruh Sifat Allah adalah hakiki. Jika berfirmanNya Allah adalah hakiki, maka tidak mungkin ia adalah makhluk, karena ia adalah SifatNya, dan Sifat Khaliq bukan makhluk sebagaimana sifat makhluk adalah makhluk.

 

Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa berkata, ‘Lafazhku dengan al-Qur’an adalah makhluk’, maka dia adalah orang Jahmiyah. Dan barangsiapa berkata, ‘Bukan makhluk’, maka dia adalah pelaku bid’ah.”?”

 

Kami katakan “Lafazh (ucapan)” digunakan untuk dua makna: digunakan untuk perbuatan (perbuatan melafazhkan) pelaku, dan digunakan untuk apa yang dilafazhkan. Berdasarkan kepada makna yang pertama, maka perbuatan kita melafazhkan (mengucapkan) al-Qur’an atau selainnya tanpa keraguan adalah makhluk, karena jika kita katakan bahwa lafazh berarti melafazhkan, maka suara yang keluar dari gerakan mulut, lidah, dan kedua bibir, semuanya adalah makhluk. Jadi jika yang dimaksud dengan lafazh adalah perbuatan melafazhkan, maka ia makhluk; baik yang dilafazhkan itu al-Qur’an atau hadits atau ucapan hasil buatanmu sendiri.

 

Jika yang dimaksud dengan lafazh adalah apa yang dilafazhkan, maka yang dilafazhkan (manusia) ada yang makhluk dan ada yang bukan makhluk.

 

Berdasarkan ini, maka jika yang dilafazhkan adalah al-Qur’an, maka ia bukan makhluk.

 

Ini adalah perincian dalam masalah ini.

 

Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa berkata, ‘Lafazhku dengan al. Qur’an adalah makhluk’ maka dia adalah orang Jahmiyah.” Beliau mengatakan demikian, karena ada dua kemungkinan: bisa jadi ucapan inj adalah syiar Jahmiyah. Jadi, seakan-akan Imam Ahmad berkata, “Apabila kamu mendengar seseorang berkata, ‘Lafazhku dengan al-Qur’an adalah makhluk,’ maka ketahuilah bahwa dia adalah orang Jahmiyah.” Atau bisa jadi itu diucapkan oleh Imam Ahmad ketika beliau melihat bahwa maksud lafazh bagi orang yang mengucapkannya adalah yang dilafazhkan itu sendiri. Yang kedua ini lebih dekat, karena Imam Ahmad sendiri telah menjelaskannya dengan ucapannya, “Barangsiapa berkata, ‘Lafazhku dengan al-Qur’an adalah makhluk -maksudnya adalah al-Qur’an-, maka dia adalah orang Jahmiyah.”

 

Jadi, jelaslah sekarang makna ucapan Imam Ahmad diatas, karena maksud pengucapnya adalah yang dilafazhkan, dan tanpa ragu bahwa orang yang menginginkan dengan lafazh di sini adalah yang dilafazhkan, maka dia adalah orang Jahmiyah.

 

Adapun orang yang berkata, “Bukan makhluk” maka Imam Ahmad berkata tentangnya, “Pelaku bid’ah.” Karena hal ini tidak dikenal di kalangan Salaf. Mereka tidak mengatakan ucapan seperti ini, mereka hanya berkata, “Al-Qur’an adalah Firman Allah.”

 

Penulis berkata,

 

Bahwa al-Qur an ini yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah Firman Allah secara hakiki, bukan ucapan selainNya.

 

Penulis mengulang ucapannya ini, karena perkara ini sangatlah penting, karena masalah ini telah memicu terjadinya fitnah besar yang menimpa ulama kaum Muslimin, banyak orang yang telah menjadi tumbalnya, akan tetapi Allah melindungi kebenaran dengan Imam Ahmad dan ulama-ulama seperti beliau yang menolak kecuali mengatakan, “Al-Qur-an adalah Firman Allah, bukan makhluk”.

 

Perkataan penulis,  “Bukan perkataan selainNya.” Ini gebagal penolakan terhadap pendapat yang mengklaim bahwa al-Qur’an adalah ucapan Malaikat Jibril di mana Allah mengilhamkannya kepadaaya, atau ucapan Nabi Muhammad  atau ucapan-ucapan senada.

 

Kalau engkau berkata: Perkataan penulis di sini, “Bukan ucapan selainNya,” menyelisihi Firman Allah

 

 “Sesungguhnya al-Qur an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al-Qur-an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman kepadanya.” (Al-Haqqah: 40-41).

 

Dan FirmanNya,

 

“Sesungguhnya al-Qur-an itu benar-benar Firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy.” (At-Takwir: 19-20).

 

Yang pertama adalah Nabi Muhammad dan yang kedua adalah Malaikat Jibril.

 

Kami jawab: Tidak mungkin kita menafsirkan kedua ayat di atas bahwa kedua rasul tersebut berbicara dengannya secara hakiki dan bahwa ia berasal dari keduanya, karena ucapan yang satu tidak mungkin keluar dari dua pembicara sekaligus.

 

Penulis berkata,

 

Tidak boleh secara mutlak mengatakan bahwa al-Qur an adalah hikayat dari Firman Allah, atau ungkapan (dari Firman Allah).

 

Perkataan penulis,  “Tidak boleh secara mutlak mengatakan,;” dan beliau tidak berkata, “Tidak boleh mengucapkan.”

 

Maksudnya adalah kita tidak boleh mengatakan, al-Qur ‘an ini adalah ungkapan dari Firman Allah secara mutlak, kita juga tidak boleh mengatakan, Al-Qur’an adalah hikayat dari Firman Allah secara mutlak.

 

Yang mengatakan bahwa al-Qur‘an adalah hikayat dari Firman Allah adalah Kullabiyah, dan yang mengatakan bahwa alQuran adalah ungkapan dari Firman Allah adalah Asy’ariyah.

 

Mereka (Kullabiyah dan Asy’ariyah) sepakat bahwa al-Quran yang ada di mushaf bukan kata-kata Allah, akan tetapi ia hanya hikayat atau ungkapan (dari Firman Allah). Perbedaan antara keduanya adalah bahwa hikayat berarti kemiripan; yakni, seolah-olah makna ini yang menurut mereka adalah perkataan dipantulkan dengan cermin, seperti gema menirukan ucapan orang yang berbicara.

 

Sedangkan ungkapan, maka maksudnya adalah bahwa pembicara mengungkapkan ucapan yang ada dalam dirinya dengan huruf dan suara yang diciptakan.

 

Kita tidak boleh mengatakan secara mutlak bahwa ia adalah hikayat atau ungkapan, akan tetapi dalam perincian bisa jadi boleh bagi kita untuk mengatakan, orang yang membaca al-Qur’an mengungkapkan atau menyampaikan Firman Allah, karena berucapnya dia dengan alQuran bukanlah Firman Allah.

 

Mengatakannya demikian dengan batasan tersebut tidak mengapa, akan tetapi tidak boleh mengatakan secara mutlak bahwa al-Qur’an adalah ungkapan atau hikayat dari Firman Allah.

 

Ungkapan penulis begitu cermat dan rinci, dimana beliau berkata, “Tidak boleh mengatakan secara mutlak,” akan tetapi harus dengan batasan dan ketentuan.

 

Penulis berkata,

 

Bahkan apabila orang-orang membaca Al-Qur’an ataupun menulisnya di mushaf-mushaf (lembaran-lembaran buku), itu tidak mengeluarkanya dari hakikatnya bahwa ia adalah Firman Allah yang sebenarnya, karena Firman (perkataan) hanya disandarkan secara hakiki kepada yang mengatakannya pertama kali, bukan kepada yang mengatakannya untuk sekedar menyampaikan dan mengabarkan.

 

Yakni, walaupun al-Qur‘an itu ditulis oleh manusia di lembaran-lembaran mushaf, atau dihafal oleh mereka di dada mereka, atau dibaca Oleh lisan mereka, ia tetap Firman Allah.

 

Kemudian penulis menjelaskan alasannya, beliau berkata,

 

“Karena Firman (perkataan) hanya disandarkan kepada yang mengatakan pertama kali.”

 

Ini adalah alasan yang jelas, Firman (ucapan) disandarkan secara hakiki kepada yang mengucapkannya pertama kali. Adapun penisbatannya kepada yang menyampaikan dan mengabarkan, maka hal itu demi keluasan semata. Kalau misalnya sekarang kita membaca,

 

Hukum cinta itu kokoh dindingnya

 

Tindakan menghalang-halangi tidak memiliki dua tangan untuk meruntuhkannya

 

Maka bait syair ini secara hakiki dinisbatkan kepada Ibnul Qayyim.” Kalau engkau berkata,  menurut kami adalah suatu lafazh yang berfaidah seperti Dan Isim, fi’il, kemudian huruf adalah  Maka ini dinisbatkan secara hakiki kepada Ibnu Malik.

 

Jadi perkataan disandarkan secara hakiki kepada pengucapnya yang pertama.

 

Maka al-Qur’an adalah Firman Dzat yang berbicara dengannya pertama kali, yaitu Allah, bukan perkataan orang yang menyampaikannya kepada selainnya.

 

Penulis berkata,

 

Dan al-Qur‘an adalah Firman Allah: Huruf-huruf dan makna-maknanya.

 

Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka berkata, Allah  berbicara dengan al-Qur’ an dengan huruf-huruf dan makna. maknanya.

 

Penulis berkata,

 

Dan Firman Allah bukan sekedar huruf tanpa makna.

 

Ini adalah pendapat Mu’tazilah dan Jahmiyah, karena mereka berkata, “Firman bukanlah suatu makna yang ada pada Dzat Allah, akan tetapi ia adalah sesuatu dari makhlukNya seperti langit, bumi, unta, rumah dan lain-lain, ia bukan makna yang ada pada Diri Allah, Firman Allah adalah huruf-huruf yang Allah  ciptakan, dan Allah menamakanNya Firman bagiNya, seperti Allah menciptakan unta lalu dikatakan “unta Allah,” seperti Allah menciptakan rumah dan menamakannya “Baitullah (Rumah Allah)”.

 

Dari sini, maka Firman menurut Jahmiyah dan Mu’tazilah adalah huruf-huruf, karena Kalam Allah menurut mereka adalah ungkapan dari huruf-huruf dan suara-suara yang Allah ciptakan lalu Dia menisbatkannya kepada DiriNya sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan.

 

Penulis berkata, 

 

Dan bukan pula makna tanpa huruf.

 

Ini adalah pendapat Kullabiyah dan Asy‘ariyah; menurut mereka, Firman Allah adalah makna pada DiriNya, kemudian Allah menciptakan suara dan huruf yang menunjukkan makna tersebut; baik dalam bentuk ungkapan atau hikayat.

 

Ketahuilah bahwa Ibnul Qayyim . menyebutkan bahwa jika kita mengingkari bahwa Allah berbicara, maka kita telah membatalkan syariat dan takdir. Membatalkan syariat, karena risalah-risalah datang dengan wahyu dan wahyu adalah Firman yang disampaikan kepada penerimanya. Jika kita mengingkari Firman (bagi Allah), berarti tidak ada wahyu. Jika tidak ada wahyu, berarti tidak ada syariat. Pan itu membatalkan takdir, karena penciptaan terjadi dengan perintahNya, dengan ucapanNya ‘kun’ (jadilah), maka terjadilah, sebagaimana Firman Allah

 

“Sesungguhnya urusanNya apabila Dia menghendaki sesuatu, adalah pahwa Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka jadilah sesuatu itu.” (Yasin: 82).

 

Penulis berkata,

 

Pasal: Termasuk ke dalam iman kepada Allah, kitab-kitabNya,

 

malaikat-malaikatNya, dan rasul-rasulNya yang telah kami sebutkan adalah beriman bahwa orang-orang Mukmin akan melihatNya pada Hari Kiamat.

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,   “Beriman bahwa orang-orang Mukmin akan melihatNya pada Hari Kiamat.”

 

Alasan mengapa beriman bahwa orang-orang Mukmin akan melihat Allah pada Hari Kiamat termasuk iman kepada Allah adalah jelas, karena hal ini termasuk perkara yang Allah beritakan, jika kita beriman kepadanya, maka itu adalah bagian dari iman kepada Allah.

 

Alasan ia termasuk iman kepada kitab-kitab Allah adalah karena kitab-kitab Allah mengabarkan bahwa Allah akan dilihat. Jadi memercayainya berarti memercayai kitab-kitab Allah.

 

Alasan ia termasuk iman kepada malaikat-malaikat adalah karena wahyu itu turun melalui malaikat; Jibril turun dengan membawa wahyu dari Allah, jadi seolah-olah iman bahwa Allah akan dilihat termasuk iman kepada malaikat. Begitu pula ia termasuk iman kepada rasul-rasul, karena merekalah yang menyampaikan itu kepada manusia, maka seolah-olah iman kepadanya termasuk iman kepada rasul-rasul.

 

Langsung dengan pandangan mereka.

 

“langsung,” yaitu dengan penglihatan mata.

 

Penulis berkata,

 

Sebagaimana mereka melihat matahari dalam keadaan cerah tanpa terhalang awan. Dalilnya adalah sabda Nabi

 

“Kalian akan melihat Allah sebagaimana kalian melihat matahari yang cerah tanpa terhalang mendung.”

 

Yang dimaksud dengan melihat adalah melihat dengan mata, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh penyamaannya dengan melihat matahari dalam keadaan cerah, tanpa terhalang awan.

 

Penulis berkata,

 

Dan sebagaimana mereka melihat rembulan di malam purnama, mereka tidak berdesak-desakan dalam melihatNya.

 

Penjelasannya telah berlalu.

 

Penulis berkata,

 

Mereka melihatNya, ketika mereka di Arashat Kiamat.

 

adalah jamak dari  yang berarti tempat yang luas lagi lapang yang tidak ada bangunan padanya, karena saat itu bumi dibentang seperti kulit sebagaimana sabda Nabi

 

Orang-orang Mukmin akan melihat Allah di Arashat (Padang Mahsyar) pada Hari Kiamat sebelum mereka masuk surga sebagaimana Allah berfirman tentang orang-orang yang mendustakan hari pembalasan,

 

“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (Al-Muthaffifin: 15).

 

“Pada hari itu” yakni, pada Hari Kiamat.

 

“(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (Al-Muthaffifin: 6).

 

Dan mereka juga melihat Allah setelah mereka masuk surga.

 

Di Arashat Kiamat, manusia terbagi menjadi tiga:

1). Mukmin murni secara lahir dan batin.

2). Kafir murni secara lahir dan batin.

3). Mukmin secara lahir dan kafir secara batin, yaitu orang-orang munafik.

 

Orang-orang Mukmin melihat Allah ols di Arashat Kiamat dan setelah masuk surga.

 

Orang-orang kafir tidak melihat Tuhan mereka secara mutlak. Ada yang berkata, Mereka melihat Allah, akan tetapi Allah melihat mereka dengan pandangan murka dan hukuman, hanya saja zahir ayat menunjukkan bahwa mereka tidak melihat Allah, sebagaimana Firman Allah

 

” Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (Al-Muthaffifin: 15).

 

Orang-orang munafik melihat Allah di Arashat Kiamat, kemudian Dia menutup diri dari mereka dan mereka tidak melihatNya lagi setelah itu.

 

Penulis berkata,

 

Kemudian mereka melihatNya setelah mereka masuk surga, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah

 

Perkataan penulis,  “Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah.” Yakni, mereka melihat Allah sebagaimana yang Allah kehendaki, tentang bagaimana mereka melihat, waktu mereka melihat tersebut, dan dalam seluruh kondisi, yakni dengan cara yang Allah kehendaki pada saat melihat Allah tersebut.

 

Jadi, kita tidak mengetahui tata cara melihat Allah ini, artinya, seseorang tidak mengetahui bagaimana dia melihat Rabbnya, hanya saja makna melihat adalah maklum bahwa mereka melihatNya sebagaimana mereka melihat rembulan, tapi dengan cara apa? Ini yang tidak kita ketahui. Yang jelas dengan cara yang Allah kehendaki. Penjelasan yang rinci tentang pandangan ini telah berlalu.

 

Penulis (Syaikhul Islam)  mulai membahas Hari Akhir dan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentangnya. Beliau berkata,

 

Pasal: Termasuk iman kepada Hari Akhir adalah: beriman kepada seluruh apa yang diberitakan Nabi tentang apa-apa yang akan terjadi setelah kematian.

 

Syarah:

 

Hukum beriman kepada Hari Akhir adalah wajib, kedudukannya dalam agama ini adalah bahwa ia adalah salah satu rukun iman yang enam.

 

Allah sering menyandingkan iman kepada Allah dengan iman kepada Hari Akhir, iman kepada permulaan dan iman kepada tempat kembali, karena siapa yang tidak beriman kepada Hari Akhir tidak mungkin beriman kepada Allah, karena orang yang tidak beriman kepada Hari Akhir tidak akan beramal, karena seseorang tidak beramal, kecuali dengan landasan kemuliaan yang diharapkannya di Hari Akhir dan hukuman serta azab yang ditakutkannya. Jika dia tidak beriman kepadanya, maka keadaannya seperti yang dijelaskan oleh Allah,

 

“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa’.” (Al-Jatsiyah: 24)

 

Dinamakan Hari Akhir karena setelah itu tidak ada lagi hari, ia adalah fase terakhir.

 

Manusia mempunyai lima fase: Fase ketiadaan, alam rahim, dunia, Barzakh, kemudian Akhirat.

 

-Fase Ketiadaan, ditunjukkan oleh Firman Allah

 

“Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari suatu masa, yang ketika itu dia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (Al-Insan: 1),

 

Dan Allah berfirman,

 

“Wahai manusia, jika kalian dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah (yang lengket), kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kalian dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kalian sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampat pada kedewasaan, dan di antara kalian ada yang diwafatkan (sebelum itu) dan (ada pula) di antara kalian yang dikembalikan kepada umur yang paling hina (pikun) supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu, dan suburlah, serta menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Al-Hajj: 5).

 

– Fase rahim, ditunjukkan oleh Firman Allah

 

“Dia menciptakan kalian dalam perut ibu kalian penciptaan demi penciptaan dalam tiga kegelapan.” (Az-Zumar: 6).

 

– Fase dunia, ditunjukkan oleh Firman Allah

 

“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati, agar kalian bersyukur.” (An-Nahl: 78).

 

Di fase-fase inilah tempat berputarnya kebahagiaan dan kesengsaraan, ia adalah rumah ujian dan cobaan, sebagaimana Firman Allah 

 

“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk: 2).

 

– Fase Barzakh, ditunjukkan oleh Firman Allah

 

“Dan di hadapan mereka ada dinding (alam Barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan.” (Al-Mu’minun: 100).

 

– Fase Akhirat, yang merupakan fase terakhir dan final, Allah berfirman setelah menyebutkan fase-fase sebelumnya,

 

“Kemudian setelah itu, sesungguhnya kalian pasti mati. Kemudian sesungguhnya kalian akan dibangkitkan (dari kubur kalian) pada Hari Kiamat.” (Al-Mu’minun: 15-16).

 

Penulis  berkata,

 

Beriman kepada seluruh apa yang dikabarkan Nabi tentang apa-apa yang akan terjadi setelah kematian.

 

Semua ini termasuk ke dalam iman kepada Hari Akhir.

 

Hal itu karena jika manusia mati, maka dia masuk ke Hari Akhir, dari sini, maka dikatakan, siapa yang mati maka telah tiba kiamatnya., Semua yang terjadi setelah kematian termasuk Hari Akhir.

 

Jadi, alangkah dekatnya Hari Akhir bagi kita, antara kita dengannya hanyalah kematian, kemudian masuk kepada Hari Akhir yang padanya hanya ada pembalasan atas perbuatan. Oleh karena itu, kita wajib memerhatikan hal ini.

 

Renungkanlah wahai manusia, bahwa kamu dalam bahaya, karena waktu kematian tidaklah kita ketahui. Bisa jadi seseorang pergi dari rumahnya dan tidak kembali, bisa jadi seseorang duduk di kursi kantornya dan tidak berdiri lagi darinya, bisa jadi seseorang tidur di atas ranjangnya lalu diangkat ke ranjang pemandian mayat. Perkara ini mengharuskan kita memanfaatkan peluang umur dengan taubat kepada Allah. Hendaknya seseorang selalu bertaubat kepada Allah, kembali dan pulang kepadaNya sampai ajal tiba, sementara dia dalam keadaan terbaik yang diharapkan.

 

Penulis berkata,

 

Mereka beriman kepada fitnah, azab, dan nikmat kubur.

 

Fitnah di sini adalah ujian. Yang dimaksud dengan fitnah kubur adalah pertanyaan yang ditujukan kepada mayit setelah dia dikuburkan; tentang Tuhan, agama dan Nabinya.

 

Yang dimaksud penulis dengan ucapannya, “mereka beriman” adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yakni Ahlus Sunnah beriman kepada fitnah kubur. Hal itu berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

– Dari al-Qur’an adalah FirmanNya

 

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan kalimat tauhid dalam kehidupan di dunia dan di Akhirat.” (Ibrahim: 27).

 

Ayat ini tentang fitnah (ujian di alam) kubur, sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih dalam ash-Shahihain dan lain-lain dari hadits al-Bara’ bin Azib, dari Nabi 

 

– Dari as-Sunnah: Banyak hadits yang menetapkan bahwa manusia akan diuji dalam kuburnya, ia adalah fitnah (ujian) yang disabdakan oleh Nabi  

 

“Sesungguhnya telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan diuji di dalam kubur seperti atau mendekati fitnah Dajjal.”

 

Fitnah Dajjal adalah fitnah terbesar sejak Allah menciptakan Nabi Adam sampai Hari Kiamat, sebagaimana dalam Shahih Muslim, dari Imran bin Hushain, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah  bersabda,

 

“Tidak ada perkara (malapetaka) antara diciptakannya Adam sampai Hari Kiamat yang lebih besar daripada Dajjal.”

 

Akan tetapi Nabi  telah bersabda kepada para sahabat beliau, bahkan kepada umat beliau,

 

“Kalau dia keluar sementara aku masih berada di antara kalian, maka akulah yang akan menghadapinya untuk kalian. Jika dia keluar sementara aku tidak berada di antara kalian, maka masing-masing orang membela dirinya dan Allah-lah (yang hidup abadi) setelahku (sebagai pelindung) bagi setiap Muslim.”

 

Sekalipun demikian, Nabi kita, Muhammad  telah mengajarkan kepada kita bagaimana menghadapinya. Beliau telah memberitahukan sifat-sifat dan ciri-cirinya kepada kita sehingga seolah-olah kita melihatnya dengan mata, dan dengan sifat-sifat dan ciri-ciri tersebut kita bisa menghadapinya.

 

Oleh karena itu, kami katakan, Fitnah Dajjal adalah fitnah terbesar, dan Rasul  telah bersabda,

 

“Sesungguhnya kalian akan diuji di dalam kubur kalian seperti atau mendekati fitnah Dajjal.”

 

Benar-benar fitnah besar! Karena pertanyaan yang diarahkan ke. pada manusia tidak mungkin bisa dijawab kecuali dengan dasar akidah yang benar dan amal shalih yang kuat.

 

Penulis berkata,

 

Adapun fitnah, maka sesungguhnya manusia akan diuji di dalam kubur mereka.

 

Ini adalah awal penjelasan bagaimana manusia akan diuji di dalam kuburnya.

 

Kata “manusia” adalah umum, zahir perkataan penulis menunjukkan bahwa itu adalah untuk seluruh manusia, mencakup para nabi, shiddiqin, syuhada, orang-orang yang meninggal dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah, orang-orang yang tidak terkena beban taklif seperti anak kecil dan orang gila, mereka semua akan diuji di dalam kubur mereka. Di sini harus dirinci, kami katakan:

 

Pertama, para nabi tidak masuk ke dalam kelompok yang diuji, mereka tidak ditanya, hal itu karena dua alasan:

 

1). Para nabi lebih utama daripada syuhada, dan Nabi  telah memberitakan bahwa orang yang mati syahid dilindungi dari fitnah kubur, Nabi  bersabda,

 

“Cukuplah kilauan pedang-pedang di atas kepalanya sebagai ujian baginya.” Diriwayatkan oleh an-Nasa‘i.

 

2). Salah satu pertanyaan yang ditujukan kepada penghuni kubur adalah tentang Nabinya, dia ditanya, “Siapa Nabimu?” Jadi, Nabi adalah materi pertanyaan dan tidak ditanya. Oleh karena itu, Nabi  bersabda,

 

“Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan diuji di dalam kubur kalian.”

 

Hadits ini untuk umat di mana Nabi bersangkutan diutus kepada mereka, maka rasul tidak termasuk ke dalam golongan yang akan diuji.

 

Kedua, para shiddiqin juga tidak ditanya, karena derajat mereka lebih tinggi daripada derajat syuhada. Jika para syuhada tidak ditanya, maka lebih-lebih shiddiqin, karena shiddiqin sebagaimana sifatnya adalah orang yang benar dan dibenarkan, kejujurannya telah diketahui, maka tidak perlu lagi diuji, karena ujian hanya untuk yang masih diragukan apakah dia jujur atau dusta. Kalau dia jujur, maka tidak perlu ditanya. Sebagian ulama berkata, Shiddiqin juga ditanya berdasarkan keumuman dalil. Wallahu a’lam.

 

Ketiga, para syuhada yang gugur di jalan Allah, mereka ini tidak ditanya, karena kebenaran iman mereka telah terbukti dengan jihad mereka. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan (harga) bahwa mereka mendapatkan surga; mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.” (At-Taubah: 111).

 

Dan Allah berfirman,

 

“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati; justru mereka itu hidup, mereka dilimpahkan rizki di sist Tuhan mereka.” (Ali Imran: 169).

 

Dan Nabi bersabda,

 

“Cukuplah kilauan pedang-pedang di atas kepalanya sebagai ujian.”

 

Jika orang yang gugur dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah diberi rasa aman dari itnah karena kebenaran imannya telah terbuktj maka orang yang gugur di medan perang yang sebenarnya adalah sama sepertinya, bahkan lebih utama daripadanya, karena dia mengorbankan lehernya di depan musuh Allah demi meninggikan kalimat Allah dan membela agamaNya. Ini termasuk bukti terbesar atas kebenaran Imannya.

 

Keempat, orang-orang yang mati dalam keadaan berjaga-jaga di Jalan Allah, mereka tidak diuji. Di dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda,

 

” Berjaga-jaga satu hari satu malam, lebih baik daripada puasa dan shalat malam selama satu bulan. Jika dia mati, maka amal yang biasa dilakukannya mengalir kepadanya. Begitu pula rizkinya dialirkan baginya dan dia aman dari dua malaikat penguji.”

 

Kelima, anak-anak kecil dan orang-orang gila, apakah mereka di. uji atau tidak?

 

Sebagian ulama berkata, Mereka ditanya (diuji), karena mereka termasuk ke dalam keumuman dalil, dan karena meskipun beban faklif gugur dari mereka di dunia, maka kehidupan setelah kematian berbeda dengan kehidupan dunia.

 

Sebagian lain berkata, Mereka tidak ditanya karena mereka bukan mukallaf, kalau mereka bukan mukallaf, maka mereka tidak dihisab karena hisab hanyalah atas orang yang mukallaf yang dihukum karena berbuat dosa. Jadi mereka tidak dihukum, mereka tidak mendapatkan kecuali pahala. Jika mereka beramal shalih, maka mereka diberi pahala karenanya.

 

Jadi, ada lima golongan yang tidak termasuk ke dalam perkataan penulis,  “maka sesungguhnya manusia” ialah: para nabi, shiddiqin, syuhada, orang-orang yang gugur pada saat bersiap siaga di jalan Allah, dan orang-orang yang tidak berakal seperti orang gila dan anak kecil.

 

Catatan:

 

Manusia ada tiga kategori: Mukmin murni, dan munafik, kedua kelompok ini diuji, dan yang ketiga adalah kafir murni. Apakah yang ketiga ini diuji? Terdapat perbedaan pendapat, dan Ibnul Qayyim dalam kitab ar-Ruli menyatakan bahwa pendapat yang lebih kuat, mereka akan diuji.

 

Apakah umat-umat terdahulu ditanya?

 

Sebagian ulama berpendapat -dan ini yang benar bahwa mereka akan ditanya, karena jika umat ini yang merupakan umat terbaik gitanya, maka yang selainnya lebih pantas untuk ditanya.

 

Perkataan penulis, “Di dalam kubur mereka.”

 

adalah jamak, yaitu tempat ditimbunnya orang-orang mati, dan yang dimaksud dengannya adalah apa yang lebih umum daripadanya, maka ia meliputi alam Barzakh, yaitu alam antara kematian dengan Hari Kiamat, baik mayit tersebut dikubur, atau ditelan binatang buas di daratan, atau dicaplok ikan di laut, atau dihancurkan oleh angin.

 

Dan yang zahir bahwa fitnah tidak terjadi, kecuali jika kehidupannya di dunia telah selesai dan dia masuk alam Akhirat. Jika penguburannya ditunda satu atau dua hari, maka dia tidak ditanya sampai dia dikubur. 

 

Penulis berkata,

 

Maka seorang laki-laki akan ditanya.

 

Yang akan bertanya adalah dua malaikat yang akan mendatangi si mayit di kuburnya, lalu mendudukannya dan bertanya kepadanya, sampai si mayit dapat mendengar bunyi gerakan sandal orang-orang yang pulang setelah menguburkannya, sementara kedua malaikat tersebut menanyainya. Oleh karena itu, salah satu Sunnah Nabi apabila selesai menguburkan mayat, beliau berdiri di sisi kuburnya dan bersabda,

 

“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mintakanlah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.”

 

Di sebagian atsar tercantum bahwa nama dua malaikat itu ada. lah Munkar dan Nakir. ”°

 

Sebagian ulama mengingkari dua nama ini. Katanya, bagaimana dua malaikat itu dinamakan dengan dua nama yang mungkar, pada, hal Allah  telah memberi sifat-sifat mulia bagi mereka? Dan menurut orang yang memiliki pendapat ini haditsnya dhaif.

 

Yang lain berpendapat bahwa hadits ini adalah hujjah, nama ini tidak berarti bahwa keduanya adalah mungkar dari segi diri mereka, akan tetapi keduanya mungkar (diingkari), karena mayit tidak mengetahuinya, dia tidak memiliki pengetahuan tentang keduanya sebelumnya. Nabi Ibrahim sendiri telah berkata kepada tamu-tamunya yang merupakan para malaikat,

 

“(Kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (Adz-Dzariyat: 25),

 

karena dia tidak mengenal mereka. Jadi kedua malaikat tersebut adalah Munkar dan Nakir karena keduanya tidak dikenali oleh si mayit.

 

Apakah kedua malaikat ini adalah malaikat baru yang bertugas mengurusi perkara ahli kubur, ataukah keduanya adalah dua malaikat penulis yang selalu siap di kanan atau di kiri?

 

Ada yang berpendapat bahwa keduanya adalah malaikat yang menyertai manusia, karena setiap manusia memiliki dua malaikat yang menulis amalnya di dunia dan keduanya menanyainya di dalam kubur dengan tiga pertanyaan ini.

 

Ada yang berpendapat: Keduanya adalah dua malaikat yang lain, karena Allah  berfirman,

 

“Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Rabbmu melainkan Dia.” (Al-Muddatstsir: 31).

 

Dan para malaikat itu berjumlah banyak. Nabi  bersabda,

 

“Langit berderit, dan ia berhak untuk berderit, tidak ada tempat sejengkal pun atau beliau bersabda, ‘Tempat seluas empat jari’-, kecuali padanya terdapat sosok malaikat yang berdiri, rukuk, atau sujud kepada Allah,  padahal langit sangatlah luas, sebagaimana Firman Allah 

 

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (Adz-Dzariyat: 47).

 

Yang penting, bukan sesuatu yang aneh kalau Allah menciptakan dan mendatangkan dua malaikat bagi mayit di kuburnya. Dan Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. 

 

Penulis berkata,

 

Siapa tuhanmu?

 

Yakni, siapa Tuhanmu yang menciptakanmu, yang engkau sembah dan engkau ibadahi? Agar kalimat ini mencakup Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah.

 

Penulis berkata,

 

Apa agamamu?

 

Yakni, apa amalmu yang dengannya engkau beragama kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya?

 

Pertanyaan ketiga:

 

Siapa Nabimu? Yakni, siapa Nabi yang engkau imani dan engkau ikuti?

 

Penulis berkata,

 

Maka, “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kalimat tauhid dalam kehidupan di dunia dan di Akhirat.” (Ibrahim: 27),

 

Yakni, Allah menjadikan mereka teguh, tidak ragu dan bimbang dalam menjawab pertanyaan. Ucapan yang teguh adalah tauhid. Se. bagaimana Firman Allah,

 

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit?” (Ibrahim: 24).

 

Dan FirmanNya,

 

“Dalam kehidupan di dunia dan di Akhirat.” Ada kemungkinan ia berkait dengan  “meneguhkan” yakni, Allah meneguhkan orang-orang yang beriman ketika di dunia dan di Akhirat. Ada pula kemungkinan bahwa ia berkaitan dengan  “yang teguh,” jadi ia adalah sifat bagi ucapan, yakni bahwa ucapan ini teguh ketika di dunia dan di Akhirat.

 

Makna yang pertama lebih baik dan lebih dekat, karena Allah  berfirman,

 

“Wahai orang-orang beriman, apabila kalian menghadapi pasukan (musuh) maka berteguh hatilah kalian.” (Al-Anfal: 45).

 

Firman Allah

 

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman ‘.” (Al-Anfal: 12).

 

Mereka diteguhkan di dunia dan di Akhirat dengan ucapan yang teguh.

 

Penulis berkata,

 

Maka seorang Mukmin pasti akan menjawab Tuhanku adalah Allah, islam adalah agamaku, dan Muhammad adalah Nabiku.

 

Seorang Mukmin menjawab, “Tuhanku adalah Allah,” ketika dia ditanya, “Siapa tuhanmu?” Dia menjawab, “Islam adalah agamaku,” ketika ditanya, “Apa agamamu?” Dan ketika dia ditanya, “Siapa Nabimu?” Dia menjawab, “Muhammad  adalah Nabiku.”

 

Inilah jawaban yang benar. Lalu seorang penyeru dari langit berseru, “HambaKu benar, bentangkanlah karpet untuknya dari surga, beri dia pakaian dari surga dan bukakanlah pintu untuknya ke surga.”

 

Penulis berkata,

 

Adapun orang yang ragu-ragu, maka dia menjawab, “Hah.. hah.. aku tidak tahu, aku mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, maka aku pun mengatakannya.”

 

adalah orang yang ragu-ragu, orang munafik, dan yang Sepertinya.

 

Perkataan penulis,

 

“Maka dia menjawab, ‘Hah… hah… aku tidak tahu, aku mendengar, orang-orang mengatakan sesuatu maka aku pun mengatakannya,” yakni, iman tidak masuk ke dalam hatinya, dia hanya mengikuti perkataan orang-orang tanpa ada iman yang masuk ke dalam hatinya.

 

Lihatlah perkataannya, “Hah… hah…” seperti ada sesuatu yang tidak hadir di benaknya yang dia ingin mengingatnya. Ini sangat menimbulkan penyesalan, seolah-olah dia mengetahui jawabnya tetapi ternyata buntu, dia hanya menjawab, “Hah… hah…” kemudian dia ber. kata, “Aku mendengar orang-orang mengatakan sesuatu maka aku pun mengatakannya.”

 

Dia tidak menjawab, “Tuhanku Allah, agamaku Islam, Nabiku Muhammad” karena di dunia dia adalah orang yang bimbang dan ragu-ragu.

 

Orang ini jika dia ditanya di kuburnya di mana dia dalam kondisi sangat membutuhkan jawaban yang benar, dia tidak mampu menjawab dan hanya bisa berkata, “Aku tidak tahu, aku mendengar orang-orang berkata sesuatu, maka aku pun mengatakannya.” Jadi imannya hanya ucapan saja.

 

Penulis berkata,

 

Maka dia dipukul dengan palu dari besi, dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh segala sesuatu, kecuali manusia.

 

“Dia dipukul,” yakni, orang yang tidak menjawab, baik dia kafir atau munafik, dan yang memukulnya adalah dua malaikat yang bertanya kepadanya.

 

Dan  “Dengan palu,” adalah palu dari besi, tercantum di sebagian riwayat bahwa seandainya penduduk Mina berkumpul untuk memikulnya, niscaya mereka tidak mampu.

 

Jika dia dipukul, dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh segala sesuatu, kecuali manusia.

 

Perkataan penulis,   “Dia dipukul, maka dia berteriak,” yakni, teriakan yang didengar oleh segala sesuatu yang ada di sekitaraya yang mendengar suaranya, tidak berarti segala sesuatu di penjuru dunia mendengarnya, dan terkadang yang mendengarnya terpengaruh dengan apa yang didengarnya, sebagaimana ketika Nabi melewati kuburan kaum musyrikin dengan bagal tunggangan beliau, tiba-tiba hewan tersebut berontak sehingga Nabi  hampir jatuh terlempar, karena bagal tersebut mendengar suara mereka yang sedang diazab.

 

Perkataan penulis,  “Kecuali manusia,” yakni, manusia tidak mendengar teriakan ini, hal itu karena hikmah-hikmah agung, di antaranya:

 

Pertama, apa yang diisyaratkan Nabi dalam sabda beliau,

 

“Kalau bukan karena (akan menyebabkan) kalian tidak saling menguburkan, niscaya aku berdoa kepada Allah agar membuat kalian mendengar sebagian azab kubur.”

 

Kedua, menutupi rahasia (aib dan cela) si mayit.

 

Ketiga, agar tidak mengganggu keluarganya, karena jika mereka mendengar bahwa mayit mereka diazab dan berteriak, niscaya mereka tidak bisa tenang.

 

Keempat, tidak mempermalukan keluarga, karena orang-orang akan berkata, Lihat itu anak kalian, itu bapak kalian, itu saudara kalian, dan lain-lain.

 

Kelima, bisa jadi kita mati karenanya, karena ia bukan teriakan ringan, akan tetapi teriakan yang membuat jantung benar-benar copot, yang membuat orang mati atau minimal pingsan.

 

Keenam, kalau manusia mendengar teriakan orang-orang yang diazab itu, niscaya iman kepada azab kubur termasuk iman kepada sesuatu yang nyata, bukan termasuk iman kepada yang ghaib, dalam kondisi tersebut, hilanglah nilai ujiannya karena bisa dipastikan bahwa manusia akan beriman kepada sesuatu yang mereka lihat, akan tetapi jika ia ghaib dan mereka tidak mengetahuinya kecuali melalui dalil, maka itulah iman kepada yang ghaib.

 

Peringatan Penting:

 

Perkataan penulis

 

“Lalu dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh segala sesuatu, kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, niscaya dia pingsan.”

 

Ucapannya “Yang didengar oleh segala sesuatu, kecuali manusia…,” riwayatnya hanya ada pada teriakan jenazah yang dipikul oleh orang-orang di pundak mereka, sebagaimana Nabi bersabda,

 

“Jika jenazah itu orang baik, maka dia berkata, eakanlan aku, dan jika ia tidak baik, maka dia berkata, ‘Celaka! Kemana mereka hendak membawanya?’ Suaranya didengar oleh segala sesuatu, kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, niscaya dia pingsan.”

 

Adapun teriakan di kubur, maka Nabi bersabda,

 

“Maka dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh orang yang di dekatnya selain ats-Tsaqalain.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan lafazh tersebut.

 

Yang dimaksud dengan ats-Tsaqalain adalah manusia dan jin.

 

Penulis berkata,

 

Kemudian setelah fitnah ini bisa jadi (seseorang mendapat) nikmat dan bisa jadi juga (mendapat) azab.

 

“Kemudian.” Ini hanyalah menunjukkan urutan dan bukan menunjukkan tenggang waktu, karena mayit akan langsung mendapatkan nikmat atau azab sebagaimana telah disebutkan bahwa jika dia menjawab, “tidak tahu” maka dia dipukul dengan palu besi, dan bahwa mayit yang menjawab dengan benar langsung dibukakan pintu surga untuknya dan kuburnya akan dilapangkan.

 

Nikmat atau azab ini, apakah untuk badan atau ruh atau keduanya sekaligus?

 

Kami katakan: Yang diketahui di kalangan Ahlus Sunnah wal jama’ah adalah bahwa pada dasarnya nikmat dan azab itu untuk ruh, sedangkan badan mengikutinya, sebagaimana azab di dunia adalah terhadap badan, dan ruh mengikutinya, dan sebagaimana hukum syar’i di dunia berlaku secara zahirnya dan di akhirat adalah sebaliknya. Jadi dialam kubur, azab atau nikmat itu dikenakan terhadap ruh, akan tetapi jasad terpengaruh secara otomatis dan bukan independen. Dan pisa saja azab dikenakan terhadap badan, sementara ruh mengikutinya, hanya saja ini sangat jarang terjadi, karena pada prinsipnya azab itu dikenakan terhadap ruh dan badan mengikutinya, dan nikmat dikenakan terhadap ruh, sementara badan mengikutinya.

 

Perkataan penulis,

 

“Bisa jadi (seseorang mendapat) Nikmat dan bisa jadi juga (mendapat) azab.” Ini menetapkan adanya nikmat dan azab di alam kubur, dan hal itu telah ditunjukkan oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, bahkan kita boleh mengatakan, dan ijma’ kaum Muslimin.

 

Dari Kitab Allah: Tiga kelompok di akhir Surat al-Waqi’ah secara jelas menetapkan azab dan nikmat kubur.

 

Allah berfirman,

 

“Maka kalau begitu, mengapa (kalian tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai di kerongkongan, dan kalian ketika itu melihatnya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian, tetapi kalian tidak melihat, maka mengapa Jika kalian memang tidak dikuasai (oleh Allah), kalian tidak mengembalikannya (nyawa itu), jika kalian orang-orang yang benar? Jika dia (orang yang mati) itu termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh keten-traman, dan rizki, serta surga (yang penuh) kenikmatan, Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka (malaikat menyambutnya), ‘Salam bagimu, (karena kamu termasuk) dari golongan kanan!’ Dan adapun jika dia termasuk golongan orang-orang yang mendustakan dan sesat, maka dia disambut siraman air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka.” (Al-Waqi’ah: 83-94).

 

Ini adalah perkara yang nyata, bahwa orang yang sedang menghadapi ajal terdengar menyambut malaikat yang datang kepadanya, dia berkata, “Selamat datang,” dan terkadang dia berkata, “Selamat datang, silahkan duduk di sini,” sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab ar-Ruh, dan terkadang dirasakan bahwa laki-laki tersebut ditimpa sesuatu yang menakutkan, maka wajahnya berubah pada saat kematian apabila malaikat-malaikat azab turun kepadanya. Na’udzubillah.

 

– Di antara dalilnya dari al-Qur’an adalah Firman Allah ots tentang kaum Fir’aun,

 

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Ghafir: 46),

 

Ini sebelum datangnya Hari Kiamat dengan dalil FirmanNya,

 

“Dan pada hari terjadinya kiamat (dikatakan kepada malaikat), ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaummnya ke dalam azab yang sangat keras’.” (Ghafir: 46).

 

Di antara dalil al-Qur’an yang lain adalah FirmanNya,

 

“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim berada dalam tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangan mereka, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawa kalian’.” (Al An’am: 93).

 

Sementara mereka tidak merelakan nyawa mereka dicabut, mereka tidak ingin nyawa tersebut keluar karena mereka telah diberi kabar bahwa mereka akan mendapatkan hukuman dan azab, maka ruh mereka menolak untuk keluar, oleh karena itu, Dia berfirman,

 

“Keluarkanlah nyawa kalian,” pada hari ini kalian dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan.” (Al-An’am: 93).

 

“Pada hari ini.” Alif dan lam adalah untuk menyatakan sesuatu yang sudah dikenal hadir saat itu seperti FirmanNya

 

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian.” (Al-Ma‘idah: 3), yakni hari yang hadir ini.

 

Begitu pula  “Pada hari ini kamu dibalas.” Alif Lam adalah untuk menunjukkan sesuatu yang sudah dikenal, dan yang hadir saat itu, maksudnya adalah hari kehadiran para malaikat untuk mencabut nyawa mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka diazab sejak nyawa mereka dicabut; inilah azab kubur.

 

Di antara dalil al-Qur’an yang lainnya adalah Firman Allah 

 

“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan batik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), ‘Salamun alaikum (semoga salam sejahtera atas kalian), masuklah kalian ke dalam surga ‘.” (An-Nahl: 32).

 

Dan hal itu pada saat wafat. Oleh karena itu, Nabi  bersabda dalam hadits shahih,

 

“Dikatakan kepada jiwa orang Mukmin, ‘Keluarlah, wahai jiwa yang tenang, kepada ampunan dan keridhaan dari Allah’, maka ia berbahagia dengan berita gembira tersebut, ia keluar dengan menurut dan mudah, meskipun terkadang badan merasakan sakit, akan tetapi ruh menurut dan berbahagia. 

 

– Adapun dalil-dalil dari as-Sunnah tentang azab kubur, maka ia mutawatir, di antaranya adalah hadits shahih dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abbas  bahwa Nabi  melewati dua kuburan, lalu Nabi bersabda,

 

“Sesungguhnya keduanya benar-benar sedang disiksa, dan keduanya tidak disiksa karena perkara besar….”

 

Adapun ijma’, maka semua kaum Muslimin berdoa dalam shalat mereka,

 

“Aku berlindung kepada Allah dari azab Jahanam dan dari azab kubur…”

 

Kalau siksa kubur tidak ada, maka tidak sah berlindung kepada Allah darinya, karena untuk apa berlindung dari sesuatu yang tidak ada. Ini menunjukkan bahwa mereka beriman kepadanya.

 

Kalau ada yang bertanya: Apakah azab atau nikmat di alam kubur berlangsung terus atau terputus?

 

Maka jawabnya adalah: Untuk orang kafir, azabnya terus-menerus, tidak mungkin azab diangkat dari mereka, karena mereka berhak mendapatkannya. Seandainya azab diangkat dari mereka, berarti mereka istirahat, padahal mereka tidak berhak istirahat, jadi mereka terus mendapat azab sampai Hari Kiamat, meskipun masanya panjang. Kaum Nuh yang dahulu ditenggelamkan masih terus diazab di dalam api yang mereka dimasukkan ke dalamnya (kuburan), azab mereka berlangsung terus sampai Hari Kiamat, begitu pula Fir’aun dan kaumnya, api disodorkan kepada mereka di pagi dan sore hari.

 

Sebagian ulama menyebutkan bahwa azab orang kafir diringankan dalam masa di antara dua tiupan sangkakala. Mereka berdalil dengan Firman Allah,

 

“Mereka berkata, ‘Aduhai celakalah kami, siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)’.” (Yasin: 52).

 

Akan tetapi hal itu tidak harus menunjukkan demikian, karena kubur mereka adalah tempat mereka tidur, meskipun mereka tetap di azab di dalamnya.

 

Adapun pelaku maksiat dari kalangan orang-orang beriman, di mana Allah ot menetapkan azab bagi mereka, maka azab bagi mereka pisa terus dan bisa pula terputus, bisa lama dan bisa pula sesaat, sesuai dengan dosa mereka dan ampunan Allah .

 

Azab kubur lebih ringan daripada azab Hari Kiamat, karena azab kubur tidak membuat hina dan malu, lain dengan azab Akhirat yang menghinakan dan memalukan, karena ia disaksikan oleh manusia seluruhnya. Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (Hari Kiamat).” (Al-Mu’min: 51).

 

Kalau ada yang bertanya: Kalau ada orang yang tubuhnya tercecer, dia dimangsa binatang buas, dan dihempas angin, bagaimana azabnya, bagaimana dia akan ditanya oleh malaikat?

 

Jawaban: Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Ini adalah perkara ghaib. Allah mampu mengumpulkan semua itu di alam ghaib, meskipun kita menyaksikannya di dunia tercerai berai, di alam ghaib Allah bisa saja mengumpulkannya kembali.

 

Lihatlah malaikat-malaikat yang turun untuk mencabut nyawa di tempat yang sama sebagaimana Firman Allah

 

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian. Tetapi kalian tidak melihat.” (Al-Waqi’ah: 85), meski begitu, kita tidak melihat mereka. Malaikat maut berbincang dengan ruh dan kita tidak mendengar.

 

Terkadang Jibril hadir kepada Rasulullah  dengan menyerupai bentuk seorang laki-laki, dia menyampaikan wahyu kepada Nabi di tempat itu, sementara para sahabat yang hadir tidak mendengar dan tidak melihat.

 

Alam ghaib tidak mungkin disamakan dengan alam nyata, ini adalah salah satu hikmah Allah, jiwamu yang ada pada tubuhmu, kamu tidak mengetahui bagaimana ia berkait dengan tubuhmu? Bagaimana ia tersebar ke seluruh tubuh? Bagaimana ia keluar darimu pada saat kamu tidur? Apakah kamu merasa bahwa ia kembali pada saat kamu bangun? Dari mana ia masuk ke badanmu?

 

Mengenai alam ghaib, sikap yang ada hanyalah menerima, sama sekali tidak bisa diqiyaskan. Allah  mampu mengumpulkan bagian tubuh yang tercerai berai yang dilumat oleh angin kemudian dia ditanya lalu diazab atau diberi nikmat, karena Allah  Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

 

Kalau ada yang berkata: Seorang mayit dikubur di kuburan yang sempit. Bagaimana ia dilapangkan sejauh mata memandang?

 

Jawaban: Alam ghaib tidak bisa diqiyaskan dengan alam nyata. Seandainya ada orang yang menggali lubang seluas mata memandang dan mengubur mayit di dalamnya lalu menutupnya dengan tanah, maka orang lain yang tidak mengetahui lubang tersebut, apakah dia melihatnya atau tidak? Jelas tidak melihatnya, padahal itu di alam nyata, meskipun begitu dia tidak melihat keluasan tersebut dan tidak mengetahuinya, kecuali orang yang telah menyaksikannya.

 

Kalau ada yang berkata: Kami melihat jenazah orang kafir, setelah satu atau dua hari kami gali Kuburannya, kami lihat tulang-tulang iganya masih seperti sedia kala, ia tidak berantakan karena terhimpit?

 

Jawaban: Sama, ini adalah alam ghaib, sah saja kalau sebenarnya tulang-tulangnya berantakan, namun jika ia dibuka, maka Allah mengembalikannya dan semuanya diletakkan olehNya di tempatnya untuk menguji para hamba, karena jika kita melihat tulang-tulang iganya berantakan, sementara pada waktu kita menguburkannya ia baik-baik Saja, maka itu berarti kita beriman dengan sesuatu yang nyata.

 

Kalau ada yang berkata: Seperti ucapan orang-orang filsafat, kita letakkan air raksa di atas mayit, ia adalah benda yang paling cepat bergerak dan tumpah, esok harinya kita lihat air raksa tersebut masih sama dengan yang kemarin, padahal menurut kalian, malaikat telah datang dan mendudukkan mayit tersebut, jika orang itu duduk, bagaimana mungkin air tersebut tidak tumpah?

 

Jawabannya sama: Ini alam ghaib, kita wajib beriman dan membenarkan, bisa saja Allah mengembalikan air raksa itu ke tempatnya setelah ia berubah akibat duduk.

 

Kami katakan juga: Lihatlah kepada orang yang sedang tidur dan bermimpi, seandainya kejadiannya sebagaimana yang dia lihat dalam mimpinya, niscaya dia tidak akan tetap di atas ranjangnya, dan terkadang ia adalah mimpi yang benar dari Allah, maka ia terjadi seperti yang dilihatnya dalam mimpi, meskipun begitu kita beriman kepada hal tersebut.

 

Apabila seseorang melihat sesuatu yang dia benci dalam mimpi, maka dia bangun dalam keadaan gelisah, apabila mimpinya baik, maka dia berbinar-binar. Semua ini menunjukkan bahwa perkara ruh bukan termasuk perkara nyata, ia perkara ghaib yang tidak bisa diqiyaskan dengan perkara nyata, dan dalil-dalil yang shahih tidak boleh ditolak hanya karena itu sulit dinalar menurut pandangan kaca mata alam nyata.

 

Penulis berkata,

 

Sampai tibalah Hari Kiamat Kubra.

 

Syarah:

 

Kiamat Kubra adalah hari di mana manusia dibangkitkan dari kubur mereka kepada Rabb alam semesta.

 

Perkataan penulis

 

“Kiamat Besar” menunjukkan adanya Kiamat Shughra (Kiamat Kecil), yaitu Kiamat setiap orang, karena setiap orang memiliki kiamatnya masing-masing, siapa yang mati, maka Kiamatnya telah tiba.

 

Penulis wile tidak menyinggung tanda-tanda Hari Kiamat, karena penulis hanya ingin membahas Hari Akhir, tanda-tanda Kiamat hanyalah alamat dan peringatan bahwa ia telah dekat, agar orang-orang bersiap-siap.

 

Sebagian ulama yang menulis buku di bidang akidah menyebutkan tanda Kiamat di sini, padahal sebenarnya ia tidak berkait dengan iman kepada Hari Akhir, meskipun ia termasuk perkara ghaib yang diisyaratkan oleh al-Qur’an dan dirinci oleh Nabi di dalam Sunnah beliau. 

 

Perkara pertama yang terjadi pada Hari Kiamat adalah apa yang dikatakan oleh penulis,

 

Lalu ruh-ruh dikembalikan kepada jasad-jasad.

 

Ini adalah perkara pertama, ia terjadi setelah tiupan sangkakala kedua, yaitu setelah keduanya terpisah oleh kematian. Pengembalian ini bukan pengembalian yang terjadi di alam Barzakh pada saat mayat ditanya tentang Rabbnya, agamanya, dan Nabinya. Allah menyuruh Israfil, maka Israfil meniup sangkakala, lalu siapa pun yang ada di langit dan di bumi mati, kecuali yang dikehendaki oleh Allah, kemudian dia meniupnya kembali, lalu ruh-ruh berhamburan dari sangkakala menuju ke jasad dan tinggal padanya.

 

Perkataan penulis,  “Kepada jasad-jasad,” menunjukkan bahwa ruh tidak keluar dari sangkakala kecuali setelah jasad tercipta dengan sempurna. Jika ia tercipta dengan sempurna, maka sangkakala ditiup, maka ruh dikembalikan kepada jasadnya.

 

Perkataan penulis, “Ruh-ruh dikembalikan kepada jasad-jasad,” adalah dalil bahwa al-Ba’ts (kebangkitan) adalah pengembalian, bukan penciptaan yang baru. Ia adalah pengembalian, untuk sesuatu yang hilang dan berubah, karena jasad berubah menjadi tanah, tulang menjadi lapuk, lalu Allah  mengumpulkannya kembali sehingga terbentuklah jasad, maka ruh-ruh dikembalikan kepada jasadnya. Adapun orang yang mengklaim bahwa jasad diciptakan dalam keadaan baru, maka klaim ini adalah batil dan dibantah oleh al-Qur‘an, as-Sunnah, dan akal.

 

– Adapun dalil dari al-Quran, maka Allah berfirman,

 

“Dan Dia-lah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagiNya.” (Ar-Rum: 27).

 

Yakni mengembalikan penciptaan yang Dia ciptakan pertama kali. Dalam hadits qudsi,  “Allah  berfirman, ‘Penciptaan awal tidak lebih mudah bagiKu daripada pengembaliannya’,” karena semuanya mudah bagi Allah.

 

Allah berfirman,

 

‘Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami mengulanginya.” (Al-Anbiya’: 104).

 

Allah ots berfirman,

 

“Kemudian setelah itu, sesungguhnya kalian pasti mati. Kemudian sesungguhnya kalian akan dibangkitkan (dari kubur kalian) pada Hari Kiamat.” (Al-Mu-minun: 15-16).

 

Allah  berfirman,

 

“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah, “Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya pada kali yang pertama, dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.” (Yasin: 78-79).

 

– Adapun dalil dari as-Sunnah, maka banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan akan hal ini, di mana Nabi menjelaskan,

 

“Bahwa manusia akan dikumpulkan (di Hari Kiamat) dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan belum dikhitan.”

 

Yang dikumpulkan itu adalah manusia, bukan selainnya.

 

Yang jelas bahwa kebangkitan adalah pengembalian jasad yang telah diciptakan sebelumnya.

 

Kalau engkau berkata, Bisa jadi manusia dimangsa binatang buas, tubuhnya menjadi makanan binatang tersebut, ia bercampur dengan darahnya, dagingnya, dan tulangnya, kemudian akan keluar melalui kotoran dan kencingnya. Bagaimana menjawabnya?

 

Jawaban: Sesungguhnya perkara ini sangatlah mudah bagi Allah. Dia hanya cukup berfirman, “Kun (jadilah)”, maka terjadilah. Jasad yang akan dibangkitkan terbebas dari segala yang mencampurinya. Kuasa Allah di atas bayangan kita, karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

Perkataan penulis,

 

Dan tibalah Hari Kiamat di mana Allah telah memberitakannya di dalam KitabNya dan melalui sabda RasulNya serta disepakati oleh kaum Muslimin.

 

Ini adalah tiga macam dalil: Kitab Allah Sunnah RasulNya, dan ijma’ kaum Muslimin.

 

Adapun dari Kitab Allah , maka Allah  telah menegaskan Hari Kiamat di dalam KitabNya, Allah menyebutkannya dengan sifat-sifat agung yang mengharuskan adanya rasa takut dan bersiap diri untuk menghadapinya.

 

Allah berfirman,

 

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian; sesungguhnya kegoncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kalian melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita menyusui dari anak yang disusuinya dan setiap wanita yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sebenarnya tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.” (Al-Hajj: 1-2).

 

Allah  berfirman,

 

“Hari Kiamat, apakah Hari Kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah Hari kiamat itu?” (Al-Haqqah: 1-3).

 

Allah  berfirman,

 

“Hari Kiamat, apakah Hari Kiamat itu? Tahukah kamu apakah Hari Kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (Al-Qari’ah: 1-5).

 

Sifat-sifat Kiamat di dalam al-Qur’an berjumlah banyak, semuanya mengerikan dan menakutkan, karena ia sangatlah agung. Kalau kita tidak beriman kepadanya, maka kita tidak akan beramal untuknya, karena tidak mungkin seseorang beramal untuk hari ini sehingga dia beriman kepadanya dan sehingga Allah menyebutkan sifat-sifatnya yang mendorong untuk beramal demi hari ini.

 

– Adapun as-Sunnah, maka hadits-hadits tentang Kiamat berjumlah sangat banyak, Rasulullah  menjelaskan di dalam hadits-hadits tersebut akan apa yang terjadi padanya sebagaimana akan disebutkan nanti -insya Allah tentang haudh, sirath, buku catatan amal dan lain-lain yang dijelaskan oleh Rasulullah

 

Adapun ijma’ -yaitu dalil ketiga-, maka sungguh kaum Muslimin telah berijma’ secara qath’i atas keimanan kepada Hari Kiamat. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengingkarinya, maka dia kafir, kecuali jika dia jauh dari Islam atau tidak mengerti Islam, maka dia diberi tahu, dan jika setelah itu dia tetap mengingkarinya, maka dia kafir.

 

Ada bentuk dalil yang keempat, yaitu kitab-kitab samawi yang bersepakat menetapkan adanya Hari Akhir. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi dan Nasrani beriman kepadanya, dan sampai sekarang pun mereka tetap beriman kepadanya. Oleh karena itu, engkau mendengar mereka berkata, “Fulan almarhum (yang dirahmati) atau rahimahullah (semoga Allah merahmatinya)” atau yang sepertinya yang menunjukkan bahwa mereka beriman kepada Hari Akhir sampai sekarang.

 

Ada bentuk dalil yang kelima, yaitu akal. Penjelasannya adalah; bahwa seandainya Kiamat tidak ada, niscaya penciptaan manusia hanyalah sia-sia belaka, sedangkan Allah disucikan dari kesia-siaan. Lalu apa hikmah dari suatu kaum yang diciptakan, diperintahkan, dilarang, diwajibkan, dianjurkan, lalu mereka mati tanpa hisab dan tanpa hukuman?

 

Oleh karena itu, Allah berfirman,

 

“Maka apakah kalian mengira, bahwa Kami menciptakan kalian main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya; tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, Tuhan (yang memiliki) Arasy yang mulia.” (Al. Mu’minun: 115-116).

 

Dan Allah  juga berfirman,

 

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (Al-Qashash: 85).

 

Bagaimana Allah menurunkan al-Qur’an dan mewajibkan kita untuk mengamalkannya, namun kemudian tidak ada Kiamat di mana di sana kita dihisab atas pengamalan al-Qur‘an yang diturunkan kepada kita?

 

Jadi, dalil yang menetapkan Hari Akhir ada lima.

 

Perkara kedua yang terjadi pada Hari Kiamat adalah apa yang dikatakan oleh penulis,

 

Lalu manusia bangkit dari kubur mereka kepada Rabb alam semesta dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan belum disunat.

 

Perkataan penulis,  “Dari kubur mereka,” ini berdasarkan kepada yang umum, karena bisa jadi ada mayit yang tidak terkubur.

 

Perkataan penulis,  “Kepada Rabb alam semesta,” yakni, karena Allah  memanggil mereka. Allah  berfirman,

 

“Dan dengarkanlah (seruan) pada hari (ketika) penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang dekat. (Yaitu) pada hari (ketika) mereka mendengar suara dahsyat dengan sebenarnya., Itulah hari keluar (dari kubur).” (Qaf: 41-42),

 

Lalu mereka bangkit karena panggilan agung ini dari kubur mereka kepada Rabb mereka.

 

Allah  berfirman,

 

“Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dipangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) pada hari (ketika) semua orang pangkit menghadap Tuhan seluruh alam.” (Al-Muthaffifin: 4-6).

 

Perkataan penulis,  “Dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan belum dikhitan.” Kata  “tidak beralas kaki,” yakni, tidak bersandal dan tidak bersepatu, yakni kakinya tidak tertutup.

 

“Telanjang,” yakni, tidak ada pakaian pada tubuh mereka.

 

“Belum dikhitan,” maksudnya, tidak ada sesuatu pun yang berkurang dari tubuh mereka.  adalah jamak dari  yaitu yang belum dikhitan. Maksudnya, daging di ujung penis yang dikhitan di dunia kembali ke tempatnya pada Hari Kiamat, karena Allah berfirman,

 

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya.” (Al-Anbiya’: 104), ia dikembalikan sempurna, tidak ada yang kurang sedikit pun, mereka kembali dalam kondisi seperti itu, laki-laki berbaur dengan wanita.

 

Manakala Nabi  menyampaikan itu, Aisyah  berkata,

 

“Wahai Rasulullah, laki-laki dengan perempuan, sebagian mereka akan melihat kepada sebagian yang lain?” Nabi menjawab, “Perkaranya lebih berat untuk sekedar memikirkan hal itu.”

 

Dalam riwayat lain disebutkan,

 

“Untuk sekedar saling melihat antara sebagian mereka kepada sebagian yang lain.”

 

Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri,

 

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” (Abasa: 34-37).

 

Tidaklah laki-laki melihat kepada wanita atau sebaliknya, bahkan bapak atau anaknya berlari darinya karena khawatir dituntut haknya. Kalau keadaannya demikian, maka tidak mungkin laki-laki melihat perempuan atau sebaliknya. Perkaranya lebih besar dan lebih dahsyat daripada itu. Walaupun begitu, setelah itu mereka diberi pakaian, dan orang pertama yang diberi pakaian adalah Nabi Ibrahim sebagaimana disabdakan oleh Nabi 

 

Perkara ketiga yang terjadi pada Hari Kiamat adalah apa yang diisyaratkan oleh penulis,

 

Matahari mendekat kepada mereka.

 

yakni, matahari menjadi dekat kepada mereka seukuran satu mil.

 

Matahari mendekat kepada mereka sekitar satu mil.

 

Kata “Mil” dalam Bahasa Arab bisa berarti ukuran jarak tempuh, dan “Mil” bisa juga berarti botol celak, namun keduanya sama-sama berjarak sangat dekat. Jika panasnya di dunia telah kita rasakan padahal jaraknya dengan kita sangat jauh, lalu bagaimana jika ia hanya satu mil di atas kepala?

 

Mungkin ada yang berkata: Sekarang telah diketahui bahwa seandainya matahari didekatkan ke bumi dari orbitnya sehelai rambut saja, niscaya ia akan membakar bumi. Bagaimana mungkin pada hari itu ia hanya berjarak satu mil tanpa membakar makhluk (bumi beserta isinya)?

 

Jawabnya adalah: Bahwa manusia ketika dikumpulkan pada Hari kiamat kelak tidaklah berkekuatan sebagaimana kekuatan mereka tatkala di dunia, akan tetapi mereka lebih kuat dan lebih bertahan.

 

Seandainya manusia sekarang berdiri selama lima puluh hari di bawah terik matahari tanpa naungan, tanpa makan, dan tanpa minum; niscaya tidak akan mungkin bisa mereka lakukan, bahkan mereka pasti mati. Akan tetapi, di Hari Kiamat kelak, manusia berdiri selama lima puluh ribu tahun tanpa makan, tanpa minum, dan tanpa naungan, kecuali orang-orang yang dinaungi oleh Allah. Dan bersamaan dengan itu, mereka menyaksikan kengerian yang sangat dahsyat; namun mereka tetap tahan menyaksikan itu.

 

Ambillah pelajaran dari penduduk neraka, bagaimana mereka tahan sedemikian rupa,

 

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain.” (An-Nisa’: 56).

 

Demikian pula dengan penghuni surga, seorang dari mereka melihat kerajaannya sejauh perjalanan seribu tahun sampai ke ujungnya sebagaimana dia melihat kepada yang terdekat, sebagaimana hal itu diriwayatkan dari Nabi

 

Kalau ada yang bertanya: Adakah yang selamat dari matahari?

 

Jawaban: Ada, yaitu orang-orang yang dinaungi oleh Allah dalam naunganNya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naunganNya, sebagaimana dikabarkan oleh Nabi , mereka adalah,

 

“Pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya terkait dengan masjid, dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah di atas hal itu, seorang laki-laki yang diajak melakukan perbuatan keji oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu dia menjawab, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah,’ seorang laki-laki yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan kanannya, dan seorang laki-laki yang mengingat Allah dalam keadaan sendiri lalu berlinanglah kedua matanya.”

 

Ada pula kelompok lain yang dilindungi oleh Allah dengan naunganNya pada hari di mana tidak ada naungan selain naunganNya.

 

Sabda Nabi  “Tidak ada naungan, kecuali naunganNya.”

 

Yakni, kecuali naungan yang Allah ciptakan, tidak sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian orang bahwa ia adalah naungan dari bayangan Dzat Allah  Ini batil, karena hal itu berarti matahari berada di atas Allah.

 

Di dunia, kita membangun naungan bagi kita, tetapi di Hari Kiamat tidak ada naungan, kecuali naungan yang Allah ciptakan untuk menaungi hamba-hambaNya yang dikehendakiNya.

 

Perkara keempat yang terjadi pada Hari Kiamat adalah yang disebutkan oleh penulis, 

 

Mereka dikekang oleh keringat mereka.

 

yakni, keringat mereka sampai pada batas tali kekang pada kuda, yaitu mulutnya. Tetapi ini adalah bagi orang dengan keringat paling tinggi, karena di antara mereka ada yang keringatnya mencapai dua mata kakinya, ada yang mencapai kedua lututnya, ada yang mencapai pinggangnya, dan ada yang mencapai mulutnya. Keringat mereka berbeda-beda, dan mereka berkeringat karena panas yang sangat, karena kondisinya adalah kondisi sulit, penuh sesak dan matahari yang dekat, akibatnya manusia berkeringat, tetapi keringat tersebut menurut amal mereka masing-masing.

 

Jika engkau berkata: Bagaimana bisa demikian, padahal mereka berada di satu tempat?

 

Jawaban: Kita telah meletakkan dasar kaidah yang harus dipegang, yaitu bahwa perkara ghaib wajib kita imani dan kita percayai tanpa berkata bagaimana dan mengapa, karena ia adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan akal kita, tidak mungkin kita mengetahui dan mengenalnya.

 

Lihatlah kepada dua orang yang dikubur dalam satu lubang; yang pertama Mukmin dan yang kedua kafir. Yang Mukmin memperoleh nikmat yang menjadi haknya dan yang kafir mendapatkan azab yang menjadi haknya, padahal keduanya berada di satu liang kubur. Hal yang sama kita katakan untuk keringat pada Hari Kiamat.

 

Kalau engkau berkata: Apakah engkau akan mengatakan bahwa Allah mengumpulkan orang-orang yang berkeringat hingga sampai mulutnya di satu tempat, sedangkan orang-orang yang keringatnya sampai di kedua mata kakinya di tempat lain, dan orang-orang yang keringatnya sampai ke lututnya di tempat tersendiri, serta orang-orang yang keringatnya sampai ke pinggangnya di tempat lainnya?

 

Jawaban: Kami tidak memastikan hal itu, wallahu a’lam. Akan tetapi kami katakan, Boleh-boleh saja orang yang keringatnya sampai mata kakinya berada di samping orang yang keringatnya sampai mulutnya, karena Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu. Sama halnya dengan cahaya yang dimiliki oleh orang-orang Mukmin, ia menyala di depan dan di sebelah kanan mereka sementara orang-orang kafir dalam kegelapan. Yang jelas, kita wajib beriman kepada Hari Kiamat dan apa yang terjadi di Hari Kiamat. Adapun bagaimana atau mengapa, maka itu bukan urusan kita.

 

Perkara kelima yang terjadi pada Hari Kiamat adalah apa yang disebutkan oleh penulis,

 

Lalu timbangan-timbangan diletakkan, kemudian dengannya amal para hamba ditimbang.

 

Yang meletakkan timbangan-timbangan adalah Allah , agar dengannya amal-amal para hamba ditimbang.

 

Perkataan penulis,  “Timbangan-timbangan,” dengan bentuk jamak, sementara yang tercantum di dalam dalil adalah dengan bentuk jamak dan juga bentuk mufrad (tunggal).

 

Bentuk jamak; seperti pada Firman Allah

 

“Kami akan memasang timbangan-timbangan yang tepat pada Hari Kiamat. ” (Al-Anbiya’: 47).

 

Dan juga Firman Allah

 

“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri.” (Al-A’raf: 8-9).

 

Adapun dalam bentuk mufrad, maka seperti sabda Nabi

 

“Ada dua kalimat yang dicintai Allah Yang Maha Pengasih, yang ringan diucapkan, (namun) berat di timbangan, yaitu, ‘Mahasuci Allah dan dengan memujiNya, Maha Suci Allah Yang Maha Agung.’

 

Nabi  bersabda,  “di timbangan,” dengan kata tunggal.

 

Bagaimana kita mengolerasikan antara ayat-ayat al-Qur-an dengan hadits ini?

 

Jawabannya adalah: Kita katakan bahwa ia disebut dengan bentuk jamak dengan melihat kepada apa yang ditimbang, di mana ia berjumjah banyak, dan ia disebut mufrad dengan melihat kepada timbangannya atau timbangan setiap umat, atau yang dimaksud dengan sabda Nabi  “Berat di timbangan” adalah berat timbangannya.

 

Akan tetapi yang jelas menurutku —wallahu a’lam bahwa timbangannya adalah satu, dan ia disebut dalam bentuk jamak dengan melihat kepada apa yang ditimbang, dengan dalil Firman Allah

 

“Maka barangsiapa berat timbangan-timbangan kebaikannya.” (Al-A’raf: 8).

 

Akan tetapi seseorang tidak bisa memastikan; apakah timbangan itu satu untuk seluruh umat, ataukah setiap umat dengan satu timbangan, karena dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa setiap umat berbeda-beda dari segi balasannya.

 

Perkataan penulis,  “Timbangan-timbangan diletakkan.” Zahirnya adalah bahwa ia timbangan yang nyata dan bahwa timbangannya seperti yang telah kita kenal dengan berat dan ringan. Hal itu karena pada dasarnya kata-kata yang tercantum di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah diberi makna sesuai dengan yang telah diketahui dan dikenal, kecuali jika ada dalil yang menyelisihi hal itu, dan yang telah diketahui dan dikenal di kalangan orang-orang di mana dalil-dalil tersebut ditujukan kepada mereka sejak turunnya al-Qur an al-Karim sampai hari ini adalah bahwa timbangan itu bersifat nyata yang ada sisi berat dan sisi ringannya.

 

Ada beberapa kalangan yang menyelisihi ini:

 

– Mu’tazilah berkata, “Tidak ada timbangan yang riil dan memang tidak perlu, karena Allah setelah mengetahui dan menghitung amalamal para hamba, dan yang dimaksud dengan mizan (timbangan) adalah timbangan maknawi, yaitu keadilan.”

 

Tidak diragukan lagi bahwa pendapat Mu’tazilah ini batil, karena ia menyelisihi zahir lafazh dalil dan ijma’ Salaf, karena kalau yang dimaksud dengan mizan adalah keadilan, maka tidak perlu kita ibaratkan dengan timbangan, akan tetapi cukup dengan kata ‘keadilan’, karena ia lebih disukai oleh jiwa daripada kata timbangan. Oleh karena itu, Allah  berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 90).

 

– Sebagian ulama berkata, “Timbangan yang berat adalah yang terangkat ke atas, karena itu berarti ketinggian.” Akan tetapi yang benar adalah memahaminya sebagaimana zahirnya, yakni bahwa yang berat adalah yang turun, hal ini ditunjukkan oleh hadits pemilik bithaqah, di mana di dalamnya disebutkan bahwa catatan-catatan terangkat ke atas, karena kalah berat dengan bithaqah tersebut. Ini jelas bahwa yang berat adalah yang turun.

 

Perkataan penulis,  “Kemudian dengannya amal-amal para hamba ditimbang.” Perkataan penulis  ini jelas menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah amal perbuatan.

 

Di sini ada dua pembahasan:

 

Pembahasan Pertama: Bagaimana amal bisa ditimbang, padahal ia adalah sifat yang ada pada diri pelakunya dan ia bukanlah jasad sehingga bisa ditimbang?

 

Jawaban: Kita katakan bahwa sesungguhnya Allah menjadikan amal-amal tersebut sebagai jasad. Ini bukanlah sesuatu yang aneh bagi kuasa Allah. Ada hal lain yang sama dengannya, yaitu kematian.

 

Sesungguhnya ia akan diwujudkan dalam bentuk domba, lalu disembelih di antara surga dan neraka. Padahal kematian adalah suatu makna bukan jasad, dan yang disembelih bukan Malaikat Maut, akan tetapi kematian itu sendiri di mana Allah  menjadikannya jasad yang, pisa dilihat dan disaksikan. Begitu pula amal perbuatan, Allah  menjadikannya jasad yang bisa ditimbang dengan timbangan riil tersebut.

 

Pembahasan kedua: Perkataan penulis secara jelas menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah amal perbuatan, baik maupun buruk. Inilah zahir al-Qur’an sebagaimana Firman Allah

 

“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok,untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua amal perbuatan mereka. Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.” (Az-Zalzalah: 6-8).

 

Ini jelas bahwa yang ditimbang adalah amal, baik amal yang baik maupun amal yang buruk.

 

Nabi  bersabda,

 

“Ada dua kalimat yang dicintai oleh Allah Yang Maha Pengasih, ringan Yang  diucapkan namun berat di timbangan.”

 

Ini jelas juga, bahkan secara tegas menetapkan bahwa yang ditimbang adalah amal, dan masih banyak dalil-dalil dalam hal ini.

 

Akan tetapi terdapat dalil-dalil lain yang zahirnya mungkin menyelisihi hadits ini:

 

– Diantaranya adalah hadits pemilik bithagah, di mana ada seorang laki-laki dihadirkan di hadapan khalayak manusia, amal perbuatannya disodorkan kepadanya dalam buku catatan yang mencapai sembilan puluh sembilan buku, setiap buku mencapai sejauh mata memandang, maka dia mengakuinya. Dia ditanya, “Apakah engkau mempunyai alasan atau kebaikan?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rabbku.” Allah berfirman, “Kamu punya, kamu mempunyai kebaikan di sisi Kami.” Maka dihadirkanlah sebuah bithaqah (kartu) kecil yang di dalamnya tertulis  ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah  Dia berkata, “Wahai Rabbku, apa nilai kartu ini dibandingkan dengan buku-buku catatan itu?” Maka di. katakan kepadanya, “Sesungguhnya kamu tidak dizhalimi.” Lalu buku catatan itu diletakkan di daun timbangan dan kartu itu di daun yang lain, maka buku catatan tersebut terangkat ke atas dan kartu tersebut lebih berat daripadanya…. Al-Hadits.”

 

Zahir hadits ini menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah buku catatan amal perbuatan.

 

– Ada pula dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah pelaku amal tersebut, seperti Firman Allah ols,

 

“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan denganNya, maka terhapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada Hari Kiamat.” (Al-Kahfi: 105).

 

Meskipun pengambilan dalil dari ayat ini bisa disangkal dengan mengatakan bahwa makna  Kata  dalam ayat ini artinya adalah  (penghargaan atau penilaian).

 

Juga seperti hadits shahih dari Ibnu Mas’ud ,

 

“Bahwa dia mengambil ranting siwak dari pohon arak. Dan Ibnu Mas’ud  memiliki kedua betis yang kecil, maka dia digoyang oleh angin, sehingga para sahabat tertawa. Nabi  bertanya, ‘Mengapa kalian tertawa?’ Mereka menjawab, ‘Karena kecilnya kedua betisnya.’ Maka Nabi bersabda, ‘Demi zat yang jiwaku berada di TanganNya, sungguh keduanya lebih berat dalam timbang daripada gunung Uhud’.”

 

Jadi, ada tiga yang ditimbang menurut dalil-dalil yang ada: amal perbuatan, pelaku, dan buku catatan.

 

– Sebagian ulama berkata, Untuk mengorelasikan dalil-dalil di atas, maka kita katakan, Sebagian orang ada yang ditimbang amalnya, sebagian yang lain ditimbang buku catatannya, dan sebagian lain ada yang ditimbang dirinya.

 

– Sebagian ulama lain berpendapat, untuk mengolerasikan antara dalil-dalil tersebut adalah dengan mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan ditimbangnya amal adalah bahwa amal itu berada di dalam catatan-catatan. Sedangkan timbangan bagi pelaku amal, maka itu berlaku untuk sebagian orang saja.

 

Hanya saja kalau kita perhatikan, maka kita dapati bahwa kebanyakan dalil-dalil menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah amal perbuatan. Adapun timbangan buku catatan amal atau pelakunya, maka itu khusus untuk sebagian orang saja.

 

Adapun yang tercantum di hadits Ibnu Mas’ud dan hadits pemilik bithaqah, maka bisa jadi adalah perkara yang Allah khususkan untuk sebagian hamba yang dikehendakiNya.

 

Penulis berkata,

 

“Maka barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Mu’minun: 102).

 

“Barangsiapa,” adalah kata syarat.

 

Jawabannya adalah kalimat,  “Maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

 

Kalimat jawabnya hadir dalam bentuk jumlah ismiyah dengan sifat pembatasan,  “Maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Dan jumlah ismiyah menunjukkan ketetapan dan keberlangsungan.

 

Ia hadir dengan isim isyarat (kata tunjuk) yang menunjukkan makna jauh dan tidak dikatakan,  “Merekalah orang-orang yang beruntung,” untuk menunjukkan ketinggian derajat mereka,

 

la hadir dengan sifat pembatasan pada FirmanNya,  “mereka,” ia adalah kata ganti pemisah yang menunjukkan makna pembatasan dan penegasan serta pemisah antara khabar dengan sifat.

 

Orang yang beruntung adalah orang yang meraih apa yang diinginkannya dan selamat dari apa yang ditakutkannya. Dia terhindar dari apa yang tidak disukainya dan mendapatkan apa yang disukainya.,

 

Yang dimaksud dengan beratnya timbangan adalah lebih beratnya kebaikan dibandingkan keburukan. FirmanNya,  di dalam ayat ini terdapat persoalan dari segi bahasa Arab, yaitu FirmanNya,  dhamirnya adalah mufrad dan  dhamirnya adalah jamak,

 

Jawaban: Bahwa  syarthiyyah bisa untuk mufrad dan jamak, jika dhamir yang kembali kepadanya adalah mufrad, maka hal itu dengan melihat kepada lafazhnya, dan jika dhamir yang kembali kepadanya adalah jamak, maka hal itu dengan melihat kepada maknanya.

 

Setiap kali kata  hadir, maka dhamir yang kembali kepadanya boleh mufrad dan jamak, ini banyak dijumpai di dalam al-Qur‘an. Allah  berfirman,

 

“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang shalih, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rizki yang baik kepadanya.” (Ath-Thalaq: 11).

 

Dalam ayat yang mulia ini terdapat dhamir mufrad dengan melihat kepada lafazhnya , kemudian dhamir jamak dengan melihat kepada maknanya  kemudian dhamir mufrad dengan melihat kepada lafazhnya

 

Penulis berkata,

 

“Barangsiapa yang ringan timbangan (kebaikannya)nya maka mereka itulah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri, mereka kekal di dalam Neraka Jahanam.” (Al-Mu’minun: 103).

 

Isyarat di sini untuk menyatakan kejauhan, karena rendahnya derajat mereka, bukan karena tingginya derajat mereka.

 

Perkataan penulis,

 

“Merugikan diri sendiri,” orang kafir merugikan diri sendiri, keluarga dan hartanya,

 

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada Hari Kiamat.” (Az Zumar: 15).

 

Lain halnya dengan seorang Mukmin yang beramal shalih; dia menguntungkan diri sendiri, keluarga dan hartanya, serta mengambil manfaat dengannya.

 

Orang-orang kafir itu merugikan diri sendiri, karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun dari keberadaan mereka di dunia, bahkan mereka tidak mengambil kecuali kemudaratan. Mereka merugikan harta mereka, karena mereka tidak mengambil manfaat darinya, bahkan apa yang mereka berikan kepada orang lain supaya dimanfaatkan, mereka tidak mengambil manfaat darinya, sebagaimana Allah ots berfirman,

 

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkah nya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya.” (At-Taubah: 54).

 

Mereka kehilangan keluarga mereka karena mereka di neraka, Penghuni neraka tidak berbahagia dengan keluarganya, justru dia terkungkung seperti di dalam peti, dan dia tidak melihat seorang pun yang lebih berat azabnya daripadanya.

 

Sedangkan yang dimaksud dengan timbangan yang ringan adalah lebih beratnya keburukan daripada kebaikan, atau tidak adanya kebaikan sama sekali. Itu kalau kita katakan bahwa amal orang-orang kafir pun ditimbang sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh zahir ayat di atas dan yang senada dengannya, dan ini adalah salah satu dari dua pendapat di kalangan para ulama.

 

Pendapat kedua menyatakan bahwa amal orang-orang kafir tidak ditimbang berdasarkan Firman Allah

 

“Katakanlah, “Apakah perlu Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia int, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan terhadap perjumpaan denganNya, maka gugurlah amalan-amalan mereka, maka Kami tidak memberikan suatu nilai pun bagi (amal-amal) mereka pada Hari Kiamat.” (Al-Kahfi: 103-105).

 

Wallahu a’lam. 

 

Perkara keenam yang terjadi pada Hari Kiamat adalah apa yang disebutkan oleh penulis,

 

Kitab-kitab disebarluaskan.

 

yakni, disebarluaskan dan dibuka untuk pembacanya.

 

Adapun kata  adalah bentuk jamak dari kata  yakni, buku catatan amal perbuatan, maka ada istilah diwan baitul mal, yaitu catatan baitul mal, dan yang sepertinya.

 

Penulis berkata,

 

Yaitu lembaran-lembaran catatan amal perbuatan.

 

Yakni yang ditulis oleh para malaikat yang bertugas mencatat ’ perbuatan manusia. Allah ots berfirman,

 

“Sekali-kali jangan begitu! Bahkan kalian mendustakan hari pembalasan. Dan sesungguhnya terhadap kalian ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (amal perbuatan kalian), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (amal perbuatan kalian), mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Infithar: 9-12).

 

Amal perbuatan tersebut ditulis, ia terus dipikul oleh pelakunya dilehernya, dan pada Hari Kiamat, Allah mengeluarkan buku catatan tersebut. Allah  berfirman,

 

“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami lekatkan amal perbuatannya pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. “Bacalah kitab (catatan amal)mu, cukuplah dirimu pada hari int sebagai yang menghisab dirimu sendiri.” (Al-Isra‘: 13-14).

 

Sebagian Salaf berkata, “Sungguh telah berlaku adil Dzat yang telah menjadikan dirimu sendiri sebagai penghisab terhadap dirimu sendiri.”

 

Tulisan di buku-buku catatan tersebut adalah untuk kebaikan atau keburukan, kebaikan yang ditulis adalah apa yang dilakukan oleh seseorang, apa yang diniatkannya dan apa yang diinginkannya. Jadi ada tiga hal di sini:

 

Adapun amalnya, maka ia jelas ditulis.

 

Adapun apa yang diniatkan, maka ia ditulis untuknya, akan tetapi yang ditulis hanyalah pahala niatnya secara sempurna, sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahih tentang kisah seorang laki-laki yang memiliki harta yang diinfakkan pada jalan kebaikan, lalu ada seorang laki-laki miskin berkata, “Seandainya aku mempunyai harta, niscaya aku akan berbuat dengannya seperti yang dilakukan fulan.” Nabi bersabda,

 

“Dia dengan niatnya, maka pahala keduanya sama.”?

 

Namun segi amal, keduanya tidak sama pahalanya, hal ini ditunjukkan oleh hadits yang menjelaskan,

 

“Bahwa orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin datang kepada Nabi  dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang berharta mendahului kami (dalam hal mendapatkan pahala).’ Lalu Nabi  bersabda kepada mereka, ‘Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir setiap selesai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.’ Ketika orang-orang kaya mendengar itu, mereka pun melakukannya, maka orang-orang miskin kembali mengadu kepada Nabi, maka

 

Nabi bersabda kepada mereka, ‘Itu adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendakiNya’ .

 

Nabi  tidak bersabda, “Dengan niat kalian, kalian bisa menyamai amal mereka.”

 

Inilah keadilan, yang tidak beramal tidak sama dengan yang beramal, akan tetapi dia sama dengannya dalam hal pahala niat saja.

 

Adapun keinginan, maka ia terbagi menjadi dua:

 

Pertama, menginginkan sesuatu (kebaikan) dan melakukan apa yang dia mampu lakukan darinya, kemudian dia terhalangi sehingga tidak bisa menyelesaikannya, maka orang ini ditulis untuknya pahala yang sempurna, berdasarkan Firman Allah

 

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada flak dan RasulNya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke empat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” (AnNisa: 100).

 

Ini adalah berita gembira bagi para penuntut ilmu, yakni jika seseorang menuntut ilmu karena ingin memberi manfaat kepada manusia dengan ilmunya, membela Sunnah Rasulullah, dan menyebarkan agama Allah di muka bumi, kemudian dia tidak mampu, misalnya dia meninggal dunia semasa dia mencarinya, maka ditulis untuknya pahala apa yang diniatkan dan diusahakannya.

 

Bahkan apabila seseorang sudah terbiasa melakukan suatu amalan, jalu dia tidak mampu melakukannya karena suatu sebab, maka pahalanya ditulis untuknya. Nabi  bersabda,

 

“Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, niscaya ditulis untuknya seperti apa yang dilakukannya dalam keadaan mukim lagi sehat.”

 

Kedua, menginginkan melakukan sesuatu (kebaikan) dan dia tidak melakukannya, padahal dia bisa melakukannya, maka ditulis dengannya kebaikan yang sempurna untuknya karena niatnya.

 

Adapun keburukan, maka ditulis atas seseorang untuk apa yang dilakukannya, juga ditulis untuknya apa yang diinginkannya dan dia telah mengusahakannya meski dia gagal mewujudkannya, dan juga ditulis pula atasnya apa yang diniatkan dan diangan-angankannya.

 

Yang pertama, jelas.

 

Yang kedua, ditulis atasnya dengan sempurna, berdasarkan sabda Nabi,

 

“Apabila dua orang Muslim bertemu dengan pedang masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh di neraka.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kalau pembunuh di neraka (kami memahami), lalu mengapa yang terbunuh (juga masuk neraka)?” Nabi menjawab, “Karena dia berkeinginan kuat untuk membunuh saudaranya itu.”?

 

Sama halnya orang yang hendak minum khamar, tetapi dia terhalangi untuk minum, maka ditulis atasnya dosa secara sempurna, karena dia telah berusaha untuk melakukannya.

 

Yang ketiga, apa yang dia niatkan dan dia angan-angankan juga ditulis atasnya, akan tetapi hanya sebatas niat saja, berdasarkan hadits tentang seorang laki-laki yang diberi harta oleh Allah, lalu dia membelanjakannya dengan semena-mena, lalu seorang laki-laki miskin berkata, “Kalau aku mempunyai harta, niscaya aku akan melakukan apa yang dilakukan fulan.” Nabi bersabda,

 

“Dia dengan niatnya, maka dosa keduanya sama.”

 

Seandainya dia meniatkan keburukan, tetapi dia meninggalkannya, maka hal ini memiliki tiga kemungkinan:

 

  1. Apabila meninggalkannya karena tidak mampu, maka dia sama dengan pelaku jika telah berusaha melakukannya.

 

  1. Apabila meninggalkannya karena Allah, maka dia mendapatkan pahala.

 

  1. Apabila meninggalkannya karena dirinya berpaling darinya atau tidak terlintas di benaknya, maka ini tidak ada dosa atasnya dan tidak ada pahala untuknya.

 

Allah  membalas kebaikan lebih banyak daripada amal perbuatan dan membalas keburukan sama dengan perbuatan saja.

 

Allah berfirman,

 

“Barangsiapa berbuat kebaikan, maka dia mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat keburukan, maka dia tidak dibalas kecuali setimpal dengan keburukannya, Dan mereka sedikit pun tidak dizalimi.” (Al-An’am: 160).

 

Ini adalah kemurahan Allah  dan karena rahmatNya mendahului murkaNya.

 

Penulis berkata,

 

Ada yang menerima buku catatannya dengan tangan kanannya.

 

adalah mubtada , dan khabarnya dibuang (mahdzuf), asumsinya adalah  “maka di antara mereka ada yang mengambil).”

 

Dan dibolehkan menjadikannya sebagai mubtada padahal ia adalah nakirah, karena konteksnya adalah memberi perincian, maksudnya adalah bahwa manusia pada hari itu terbagi menjadi beberapa golongan; di antara mereka ada yang menerima buku catatannya dengan tangan kanannya, yakni orang-orang Mukmin, dan ini merupakan isyarat pahwa tangan kanan memiliki kemuliaan. Oleh karena itu, orang yang beriman menerima bukunya dengan tangan kanan, sementara orang kafir menerima buku catatannya dengan tangan kirinya atau dari balik punggungnya, sebagaimana penulis berkata,

 

Dan adapula yang menerima buku catatannya dengan tangan kirinya.

 

Penulis berkata,  Atau dari belakang punggungnya.

 

Kata “atau” di sini untuk menunjukkan keberagaman, bukan menunjukkan keraguan. Maka zahir perkataan penulis menunjukkan bahwa manusia menerima buku catatan amalnya dengan tiga cara: dengan tangan kanan, tangan kiri, dan dari balik punggung.

 

Akan tetapi, nampaknya perbedaan ini hanyalah perbedaan sifat, orang yang menerima buku catatannya dari balik punggungnya adalah orang yang menerimanya dengan tangan kirinya, dia menerimanya dengan tangan kirinya, dan tangannya dijadikan berada di belakang, dia menerimanya dengan tangan kiri karena dia termasuk ashhabus syimal (golongan kiri). Dia menerimanya dari belakang punggungnya, karena di dunia dulu dia memunggungi Kitab Allah dan berpaling darinya, maka termasuk keadilan jika buku catatan amalnya diterimanya dari balik punggungnya, dari sini, maka tangan kirinya diputar sehingga ia berada di belakang. Wallahu a’lam

 

Penulis berkata,

 

Sebagaimana Firman Allah , “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami lekatkan amal perbuatannya pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. Bacalah kitab (catatan amal)mu, cukuplah dirimu pada hari ini sebagai yang menghisab dirimu sendiri.” (Al-Isra’: 13-14).

 

maksudnya; amalnya, karena manusia pesimis dan optimis dengannya, dan karena dengannya pula, manusia dapat mencapai derajat yang tinggi atau justru terperosok ke derajat yang rendah.

 

yaitu di lehernya. Ini adalah keterkaitan yang paling kuat dengan seseorang di mana ia berkait dengan lehernya, karena ia tidak mungkin terpisah kecuali jika dia mati, maka ia harus dilaksanakan.

 

Pada Hari Kiamat, perkaranya sebagaimana yang Allah  Firmankan, “Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka,” yakni, tidak memerlukan tenaga dan kesulitan untuk membukanya.

 

Dikatakan kepadanya,  “Bacalah kitab (catatan amal)” dan lihatlah apa yang ditulis di dalamnya.

 

“Cukuplah dirimu pada hari ini sebagai penghisab dirimu sendiri.” Ini adalah keadilan dan obyektivitas yang sempurna, di mana perhitungannya diserahkan kepada yang bersangkutan. Orang yang berakal harus memikirkan apa yang akan ditulis di buku tersebut yang kelak pada Hari Kiamat dia akan melihatnya dalam keadaan berisi tulisan (tentang amalnya).

 

Akan tetapi, di depan kita terdapat sebuah pintu yang mungkin bisa menghilangkan segala keburukan, yaitu taubat. Apabila seorang hamba bertaubat kepada Allah, sebesar apa pun dosanya, maka Allah akan Mengampuninya, bahkan meskipun dosa tersebut dia lakukan berulang-ulang, kemudian dia bertaubat, maka sesungguhnya Allah tetap akan mengampuninya. Maka selama perkaranya sekarang ini berada di tangan kita, hendaklah kita berusaha dengan sungguh-sungguh agar yang ditulis dalam buku tersebut hanyalah amal shalih.

 

Perkara ketujuh yang terjadi pada Hari Kiamat adalah apa yang disebutkan oleh penulis dalam ucapannya,

 

Dan Allah menghisab para makhluk.

 

Al-Muhasabah (hisab) adalah pemberitahuan kepada para hamba atas amal-amal mereka pada Hari Kiamat. Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan akal.

 

– Adapun al-Qur’an, maka Allah  berfirman,

 

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.” (Al-Insyiqaq: 7-8).

 

“Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: ‘Celakalah aku,’ dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Al-Insyiqaq: 10-12).

 

– Adapun as-Sunnah, maka terdapat beberapa hadits shahih dari Nabi bahwa Allah  akan menghisab para makhluk.

 

– Sedangkan dari ijma’, telah disepakati di kalangan umat bahwa Allah  akan menghisab para makhluk.

 

– Adapun dari akal, maka itu sudah jelas, karena kita dibebani untuk beramal, dengan menjalankan perintahNya, menjauhi laranganNya, dan membenarkan syariatNya. Akal dan hikmah menunjukkan bahwa siapa yang dibebani untuk beramal, maka dia akan dihisab dan dipertanyakan perihal amalan-amalannya.

 

Perkataan penulis,  “Para makhluk,” mencakup seluruh makhluk, hanya saja dikecualikan (dari penghisaban tersebut) orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab, sebagaimana dalam hadits shahih dalam ash-Shahihain bahwa Nabi  melihat umat beliau, dari mereka terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab, mereka adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta agar sakitnya ditempel dengan besi panas, tidak bertathayyur dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.”

 

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad jayyid bahwa satu orang dari mereka diikuti oleh tujuh puluh ribu orang. Jadi, tujuh puluh ribu kali tujuh puluh ribu ditambah tujuh puluh ribu. Mereka semua masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab.

 

Perkataan penulis,  “Para makhluk,” meliputi jin juga, karena mereka juga mukallaf (terbebani perintah dan larangan). Oleh karena itu, jin kafir juga masuk neraka berdasarkan dalil al-Quran dan ijma’, sebagaimana Firman Allah ,

 

“Allah berfirman, “Masuklah kalian bersama umat-umat yang telah berlalu sebelum kalian dari (golongan) jin dan manusia ke dalam neraka. ” (Al-A’raf: 38),

 

dan jin Mukmin masuk surga menurut pendapat jumhur ulama, dan inilah yang shahih sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah ,

 

Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua a (Ar-Rahman: 46),

 

sampai FirmanNya,

 

“Yang tidak pernah disentuh oleh manusia maupun jin sebelumnya.” (Ar-Rahman: 56).

 

Apakah hisab mencakup binatang juga? Kalau qishash, maka ya, karena dalam hadits shahih Nabi  pernah bersabda,

 

“Bahwasanya akan dilakukan qishash untuk kambing tidak bertanduk terhadap kambing bertanduk.”

 

Ini adalah qishash, karena ia tidak dihisab dengan hisab taklif dan kewajiban, karena binatang tidak berkait dengan pahala dan hukuman.

 

Penulis berkata,

 

Dan Allah akan berduaan dengan hambaNya yang beriman, lalu Dia membuatnya mengakui dosa-dosanya.

 

Ini adalah sifat hisab seorang Mukmin, Allah  berdua saja dengannya tanpa diketahui oleh siapa pun dan Dia membuatnya mengakui dosa-dosanya. Yakni, Dia berfirman kepada hamba tersebut, “Kamu telah melakukan ini, kamu telah melakukan ini, …” sehingga hamba tersebut mengakui, kemudian Allah berfirman,

 

“Aku telah menutupi dosa itu bagimu di dunia dan pada hari ini Aku mengampuninya untukmu,”

 

Allah  menutupinya, tidak seorang pun melihatnya dan tidak seorang pun mendengarnya. Ini adalah karunia Allah  kepada orang yang beriman, karena jika ada orang yang menetapkan kejahatanmu di depan umum meskipun dia memaafkanmu, itu adalah aibmu yang terbongkar, akan tetapi jika hanya berdua saja, maka dia telah menutupi aibmu.

 

Penulis berkata,

 

Sebagaimana hal itu dijelaskan di dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah.

 

“Hal itu,” maksudnya hisab, yakni sebagaimana hisab telah dijelaskan di dalam al-Qur an dan as-Sunnah, karena ini termasuk perkara ghaib yang berpijak hanya kepada dalil murni, maka wajib dikembalikan kepada apa yang dijelaskan di dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah.

 

Penulis berkata,

 

Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak dihisab dengan hisab orang yang ditimbang kebaikan dan keburukannya karena mereka tidak mempunyai kebaikan, akan tetapi amal-amal mereka dihitung dan dirinci lalu ditunjukkan kepada mereka dan ditetapkan atasnya dan mereka dijadikan hina dina karenanya.

 

Begitulah, maknanya telah hadir di hadits Ibnu Umar dari Nabi ketika beliau menjelaskan hisab Allah  terhadap hambaNya yang beriman, bahwa Dia akan berduaan dengannya dan menetapkan dosa-dosanya. Nabi bersabda,

 

“Adapun orang-orang kafir dan munafik, maka mereka dipanggil di depan seluruh makhluk, ‘Mereka itulah orang-orang yang telah berdusta terhadap Rabb mereka, ketahuilah bahwa laknat Allah atas orang-orang zhalim’. futtafaq ‘alaih

 

Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah dalam hadits yang yang dari Nabi beliau bersabda,

 

“Maka Dia (yakni Allah) menemut hamba (yakni yang munafik), Allah berfirman, ‘Wahai fulan, bukankah Aku telah memuliakanmu, menjadikanmu dihormati, menikahkanmu, menundukkan kuda dan unta untukmu, dan membiarkanmu berkuasa dan bernikmat ria?’ Dia menjawab, ‘Benar.’ Allah berjanya, ‘Apakah kamu mengira akan bertemu denganKu?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Allah berfirman, ‘Maka Aku melupakanmu sebagaimana kamu telah melupakanKu.’ Kemudian Allah menemui orang kedua lalu Dia bertanya kepadanya dan dia menjawab sama dengan jawaban orang yang pertama, maka Allah berfirman, ‘Aku melupakanmu sebagaimana kamu telah melupakanKu.’ Kemudian Dia menemui orang ketiga. Dia bertanya dengan pertanyaan yang sama, maka dia menjawab, ‘Wahai Rabbku, aku beriman kepadaMu, KitabMu dan rasul-rasulMu, aku shalat, puasa dan bersedekah,’ dia memuji dirinya dengan kebaikan semampunya. Maka Dia berfirman, ‘Kalau begitu (diamlah) di sini.’ Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Sekarang kami ajukan saksi kami atasmu.’ Dia memikirkan dalam hatinya, ‘Siapakah yang akan bersaksi atasku?’ Lalu mulutnya dikunci dan dikatakan kepada pahanya, dagingnya dan tulangnya, ‘Berbicaralah.’ Maka ta berbicara membeberkan amalnya. Hal itu agar dia tidak beralasan untuk membela dirinya. Itulah orang munafik, dan itulah yang dimurkai Allah.”

 

Peringatan:

 

Perkataan penulis “Hisab orang yang ditimbang kebaikan dan keburukannya…” adalah isyarat bahwa hisab yang dinafikan dari mereka adalah hisab perbandingan antara kebaikan dan keburukan. Adapun hisab penetapan dan celaan terhadap keburukan mereka, maka ia diberlakukan atas mereka sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah.

 

Faidah:

 

Amal yang pertama kali dihisab terhadap seorang hamba adalah shalat, dan perkara pertama yang diputuskan di antara manusia adalah perkara darah, karena shalat adalah ibadah badan yang paling utama, dan perkara pelanggaran terbesar kepada manusia adalah pelanggaran dalam hal darah.

 

Perkara kedelapan yang terjadi pada Hari Kiamat adalah apa yang disebutkan oleh penulis,

 

 

Di Arashat Kiamat (Padang Mahsyar) terdapat haudh (telaga) milik Nabi  yang didatangi.

 

adalah jamak dari  yaitu, tempat yang lapang di antara bangunan, yang dimaksud di sini adalah Padang Mahsyar (tempat berdiri para hamba) pada Hari Kiamat.

 

 pada dasarnya adalah tempat berkumpulnya air, dan yang dimaksud di sini adalah telaga Nabi .

 

Pembahasan tentang al-haudh dari beberapa segi:

 

Pertama, al-haudh ini saat ini sudah ada, karena dalam sebuah hadits shahih, Nabi  suatu kali berkhutbah di tengah para sahabat beliau, dan beliau bersabda,

 

 “Sesungguhnya aku, demi Allah, melihat kepada haudhku sekarang.” Dalam hadits shahih yang lain, Nabi bersabda,

 

“Dan mimbarku di atas haudhku.”

 

Ada kemungkinan bahwa haudh itu ada di tempat tersebut, hanya saja kita tidak melihatnya karena ia ghaib dan ada kemungkinan pula bahwa mimbar diletakkan di atas al-haudh pada Hari Kiamat.

 

Kedua, ada dua saluran dari sungai al-Kautsar yang mengalir turun Ke al-haudh ini. Al-Kautsar sendiri adalah sungai yang agung yang diberikan kepada Nabi di surga.

 

Ketiga, periode al-haudh ini terjadi sebelum menyeberangi jembatan, ,arena kondisinya memang menuntut demikian, di mana orang-orang membutuhkan minum di Arashat Kiamat sebelum melewati jembatan.”

 

Keempat, yang datang ke al-haudh ini adalah orang-orang yang periman kepada Allah dan RasulNya , yang mengikuti syariatNya. Adapun orang yang menolak syariat dan menyombongkan diri, maka dia diusir darinya.

 

Kelima, tentang bagaimana airnya, penulis sis berkata,

 

Airnya lebih putih daripada susu.

 

Itu tentang warnanya, adapun rasanya, penulis berkata,

 

lebih manis daripada madu.

 

Dan aromanya lebih harum daripada minyak wangi kesturi, sebagaimana hal itu dijelaskan oleh hadits shahih dari Nabi 

 

Keenam, tentang bejana-bejananya, penulis berkata,

 

Bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang di langit. Begitulah yang tercantum di sebagian lafazh hadits, dan di sebagian yang lain, “Bejana-bejananya seperti bintang-bintang di langit.” Lafazh ini lebih mencakup karena ia seperti bintang-bintang dalam jumlah dan dalam sifat-sifatnya, yaitu berkilau dan bercahaya. Jadi, bejana-bejananya seperti bintang-bintang di langit dalam hal jumlah dan cahayanya.

 

Ketujuh, pengaruh haudh ini, penulis berkata,

 

Barangsiapa yang minum seteguk darinya, niscaya dia tidak akan . merasa haus setelahnya selama-lamanya.

 

Bahkan ketika di atas sirath dan sesudahnya.

 

Ini termasuk hikmah Allah, karena orang yang minum (mengambil dan mengamalkan) syariat di dunia, maka dia tidak akan merugi selama-lamanya.

 

Kedelapan, luas haudli ini, penulis berkata,

 

Panjangnya (sejauh perjalanan) satu bulan, dan lebarnya (sejauh perjalanan) satu bulan.

 

Ini berarti haudh tersebut berbentuk lingkaran karena luas seperti ini tidak lain kecuali berbentuk lingkaran, dan luas ini berdasarkan apa yang diketahui pada zaman Nabi, yaitu dengan perjalanan unta yang biasa.

 

Kesembilan, apakah Nabi-nabi lain mempunyai haudh?

 

Jawaban: Ya, karena disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi -meskipun hadits tersebut masih diperselisihkan kesahihannya  “Sesungguhnya setiap nabi mempunyai haudh.”

 

Akan tetapi, hadits ini didukung oleh makna, yaitu bahwa dewan hikmah dan keadilanNya, Allah menjadikan haudh untuk Nabi Muhammad  yang didatangi orang-orang Mukmin dari umat beliau, begitu pula dengan nabi yang lain sehingga orang-orang Mukmin dari umat masing-masing nabi bisa mendatanginya dan memanfaatkannya, hanya saja haudh yang paling agung adalah haudh Nabi

 

Perkara kesembilan yang terjadi pada Hari Kiamat adalah ash Shirath. Penulis menyebutkannya dalam ucapannya,

 

Ash-Shirath dibentangkan di atas Neraka Jahanam, dan ia adalah jembatan antara surga dan neraka.

 

Para ulama berbeda pendapat tentang sifatnya. Di antara mereka ada yang berkata, ia adalah jalan luas yang dilalui oleh manusia berdasarkan amal perbuatannya, karena petunjuk kata sirath secara bahasa adalah ini. Di samping itu, Rasulullah telah memberitakan bahwa ja adalah jalan licin yang membuat orang terpeleset dan tergelincir,?” di mana hal itu tidak terjadi, kecuali di jalan yang luas, kalau jalannya kecil, maka tidak ada ketergelinciran dan keterpelesetan.

 

Di antara ulama ada yang berkata, Ia adalah jalan yang sangat kecil sekali sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dengan lafazh  “telah sampai kepada kami” dari Abu Sa’id al-Khudri?” bahwa sirath itu lebih kecil daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang.

 

Berdasarkan kepada pendapat kedua maka muncul pertanyaan: Bagaimana mungkin melewati jalan seperti ini?

 

Jawaban: Perkara Akhirat tidak bisa diqiyaskan dengan perkara dunia, Allah  Maha Kuasa atas segala sesuatu, kita tidak mengetahui bagaimana mereka menyeberanginya, apakah secara bersama-sama atau Satu persatu?

 

Seseorang tidak bisa memastikan salah satu dari kedua pendapat tersebut karena masing-masing memiliki pandangan yang kuat.

 

Perkataan penulis,  “Terbentang di atas Neraka Jahanam,” yakni di atas neraka itu sendiri.

 

Penulis berkata,

 

Manusia melewatinya sesuai dengan amal perbuatan mereka, di antara mereka ada yang melaluinya sekejap mata, ada yang melaluinya seperti kilat, ada yang melaluinya seperti angin, ada yang melaluinya seperti kuda kencang, ada yang melaluinya seperti menunggang unta, ada yang melaluinya dengan berlari, ada yang melaluinya dengan berjalan, dan ada yang melaluinya dengan merangkak, di antara mereka ada yang disambar dan dilemparkan ke Jahanam, karena di jembatan itu terdapat besi-besi pengait yang menyambar manusia sesuai dengan amalnya.

 

Perkataan penulis,   “Manusia melewatinya,” yang dimaksud dengan manusia di sini adalah orang-orang yang beriman, karena orang-orang kafir telah digiring ke neraka.

 

Orang-orang melewatinya sesuai dengan amal perbuatannya, di antara mereka ada yang melaluinya sekejap mata, ada yang seperti kilat, dan yang pertama lebih cepat daripada yang kedua ini. Ada yang melaluinya seperti angin, yakni udara, jelas angin itu cepat, lebih-lebih sebelum orang-orang mengenal pesawat terbang, dan angin terkadang kecepatannya mencapai seratus empat puluh mil per jam. Di antara mereka ada yang melewatinya seperti kuda yang bagus, ada yang melewatinya seperti menunggang unta, ia lebih lambat daripada kuda yang bagus, ada yang berlari, ada yang berjalan, dan ada yang merangkak, yakni berjalan di atas pantatnya. Semuanya ingin menyeberanginya.

 

Ini di luar keinginan manusia, kalau dengan keinginannya, niscaya dia ingin melaluinya dengan cepat, akan tetapi dia melaluinya menurut kecepatannya dalam menerima syariat di dunia ini, siapa yang cepat dalam menerima apa yang dibawa oleh para rasul, maka dia akan melalui sirath dengan cepat, dan siapa yang lambat, maka dia pun melaluinya dengan lambat pula, sebagaimana balasan yang adil, dan balasan itu sesuai dengan amal perbuatan.

 

Perkataan penulis,  “Di antara mereka ada yang disambar,” yakni diambil dengan cepat oleh besi-besi pengait yang ada di jembatan yang menyambar manusia sesuai dengan perbuatannya.

 

“Dan dilemparkan ke Jahanam.” Bisa dipahami bahwa neraka yang pelaku dosa dilemparkan ke dalamnya adalah neraka yang orang-orang kafir juga dilemparkan ke dalamnya, hanya saja azabnya tidak sama dengan azab orang-orang kafir, bahkan sebagian ulama berkata, neraka itu dingin dan memberi keselamatan kepada mereka sama dengan api yang dingin dan memberi keselamatan kepada Nabi Ibrahim akan tetapi yang tampak tidaklah demikian, ia tetap panas dan menyakitkan, tetapi panasnya tidak sama dengan panasnya api neraka untuk orang-orang kafir.

 

Kemudian anggota sujud tidak disentuh oleh api neraka, sebagaimana hal itu diriwayatkan secara shahih dari Nabi  di dalam ash-Shahihain, yaitu kening, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung-ujung kedua telapak kaki.

 

Penulis berkata,

 

Siapa yang berhasil melewati ash-Shirath, dia masuk surga.

 

Yakni, karena dia selamat.

 

Penulis berkata,

 

Apabila mereka telah melewatinya, maka mereka diberhentikan di jembatan di antara surga dan neraka.

 

adalah jembatan. Akan tetapi, ia merupakan jembatan kecil. Dan pada dasarnya adalah tempat lewat di atas air, baik sungai ataupun lainnya.

 

Para ulama berbeda pendapat tentang jembatan ini, apakah ia ujung dari jembatan yang terbentang di atas Neraka Jahanam atau jembatan tersendiri? Yang benar dalam hal ini adalah dengan mengatakan, wallahu a’lam. Urusannya tidak penting, yang penting adalah bahwa manusia akan diberhentikan di atasnya.

 

Penulis berkata,

 

Lalu dilakukan qishash dari sebagian untuk yang lain.

 

Qishash ini bukan qishash pertama yang terjadi di Arashat Kiamat, karena qishash ini lebih khusus, yaitu untuk menghilangkan kebencian, kedengkian, dan rasa iri yang ada di hati manusia, ia sebagai pembersih dan pencuci hal itu, karena apa yang ada di hati tidak lenyap hanya dengan qishash semata.

 

Jembatan di antara surga dan neraka ini untuk membersihkan apa yang ada di dalam hati sehingga mereka masuk surga dengan hati tanpa kebencian, sebagaimana Firman Allah ,

 

“Dan Kami lenyapkan segala rasa dengki yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. ” (Al-Hijr: 47).

 

Penulis berkata,

 

Apabila mereka telah disucikan dan dibersihkan, mereka diizinkan masuk surga.

 

Begitulah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari hadits Abu Sa’id al-Khudri

 

Apabila permusuhan dan kebencian yang ada di dalam hati mereka telah dibersihkan dan disucikan, maka mereka diizinkan untuk masuk surga, pada saat itu mereka mendapati pintunya dalam keadaan tertutup, akan tetapi Nabi  memohon kepada Allah agar syafa’at beliau diterima untuk membuka pintu surga bagi mereka, sebagaimana hal ini akan disebutkan pada pembahasan tentang macam-macam syafa’at, insya Allah.

 

Perkara kesepuluh yang terjadi di Hari Kiamat adalah masuk surga. Dan hal ini telah diisyaratkan oleh penulis dengan ucapannya,

 

Orang pertama yang meminta pintu surga dibuka adalah Nabi Muhammad.

 

Dalilnya adalah hadits shahih di dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi bersabda,

 

“Aku adalah pemberi syafa’at pertama di surga.” Dalam lafazh yang lain, “Aku adalah orang pertama yang mengetuk pintu surga.” Dalam lafazh yang lain, “Aku akan mendatangi pintu surga pada Hari Kiamat, laly aku meminta agar ta dibuka, maka penjaganya bertanya, ‘Siapa kamu?’ Aku menjawab, ‘Muhammad.’ Dia berkata, ‘Aku diperintahkan agar aku tidak membukanya untuk siapa pun sebelummu’.

 

Sabda beliau  yakni, aku meminta dibukakan pintu surga,

 

Ini adalah nikmat Allah kepada Nabi Muhammad, karena syafa’at beliau yang pertama di Arashat Kiamat untuk menghilangkan kesedihan, kesulitan dan kesengsaraan, sementara syafa’at kedua untuk meraih kebahagiaan dan kegembiraan. Jadi, Nabi  adalah pemberi syafa’at bagi makhluk dalam menolak apa yang memudaratkan mereka dan meraih apa yang mendatangkan manfaat bagi mereka.

 

Tidak ada yang dapat masuk surga, kecuali sesudah syafa’at Rasulullah  berdasarkan dalil shahih dalam as-Sunnah di atas, dan Allah telah mengisyaratkan hal itu dalam FirmanNya,

 

“Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan.” (Az-Zumar: 73).

 

Allah tidak berfirman,

 

“Sehingga apabila mereka sampai kepadanya, pintu-pintunya dibukakan.”

 

Ini mengandung isyarat bahwa ada sesuatu sebelum dibuka, yaitu syafa’at. Lain halnya dengan penghuni neraka, Allah berfirman tentang mereka,

 

“Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (neraka), pintu-pintunya dibukakan,” (Az-Zumar: 71),

 

karena ketika mereka mendatanginya, neraka dalam keadaan siap dan ia langsung melahap mereka. Kita berlindung kepada Allah dari neraka. 

 

Penulis berkata,

 

Umat pertama yang masuk surga adalah umat Nabi

 

Ini adalah kebenaran yang shahih. Dalilnya adalah hadits di Shahih Muslim: dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Kita adalah umat terakhir, tetapi yang pertama di Hari Kiamat, dan kita adalah umat yang pertama masuk surga.”

 

Nabi  juga bersabda,

 

“Kita adalah umat terakhir yang mendahului pada Hari Kiamat.’

 

Ini meliputi seluruh hal-hal yang terjadi pada Hari Kiamat. Lihat Hadi al-Arwah, karya Ibnul Qayyim.

 

Pelengkap:

 

Penulis tidak menyebutkan pintu-pintu surga, akan tetapi telah diketahui bahwa jumlahnya adalah delapan. Allah  berfirman,

 

“Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan dibukakanlah pintu-pintunya.” (Az-Zumar: 73).

 

Dan Nabi  bersabda tentang orang yang berwudhu dengan baik dan mengucapkan syahadat,

 

“Melainkan dibukakan untuknya pintu surga yang delapan, dia masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki.”

 

Pintu-pintu ini ada delapan, sesuai dengan amal perbuatan, karena masing-masing pintu memiliki pengamal, ahli shalat dipanggil dari pintu shalat, ahli sedekah dari pintu sedekah, ahli jihad dari pintu jihad, dan ahli puasa dari pintu ar-Rayyan.

 

Namun bisa saja Allah memberi taufik kepada sebagian orang sehingga dia bisa melakukan amal-amal shalih yang menyeluruh, maka dia dipanggil dari semua pintu, sebagaimana di dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah  bahwa Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa menginfakkan sepasang (harta) di jalan Allah, niscaya dia dipanggil dari pintu-pintu surga, ‘Wahai hamba Allah, int adalah kebaikan…’,” dan seterusnya sampai Abu Bakar  berkata, “Aku korbankan bapak dan ibuku demi engkau, wahai Rasulullah, tidak ada kebutuhan bagi orang yang dipanggil dari semua pintu-pintu surga tersebut, namun apakah ada orang yang dipanggil dari semua pintu-pintu itu?” Nabi menjawab,

 

“Ya, dan aku berharap kamu termasuk dari mereka.”

 

Apabila engkau berkata, Kalau pintu-pintu itu sesuai dengan amal perbuatan, maka berarti setiap orang dipanggil dari setiap pintu tersebut jika dia melakukan amal-amalnya. Apa jawabannya?

 

Jawaban: Orang yang banyak melakukan amalan tertentu akan dipanggil dari pintu tertentu tersebut, misalnya ada seorang laki-laki yang banyak shalat, maka dia dipanggil dari pintu shalat, yang banyak berpuasa dipanggil dari pintu ar-Rayyan. Tidak semua orang bisa memperbanyak semua amal shalih, karena engkau pun melihat dirimu sendiri lebih giat dan lebih banyak melakukan amal tertentu daripada amalan yang lain, namun terkadang Allah memudahkan sebagian orang, sehingga dia kuat dan giat dalam seluruh amal shalih sebagaimana Abu Bakar Perkara kesebelas yang terjadi di Hari Kiamat adalah syafa‘at.

 

Penulis berkata,

 

pada Hari Kiamat, beliau  memiliki tiga syafa’at.

 

Dhamir pada kata  (miliknya) kembali kepada Nabi.

 

Kata  adalah bentuk jamak dari kata  yang menurut arti bahasa adalah menggenapkan. Sedangkan secara istilah adalah menjembatani (menjadi perantara) orang lain untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudarat. Keterkaitannya dengan makna secara bahasa adalah jelas, karena jika engkau menjadi perantara baginya, maka engkau bersama orang tersebut menjadi genap (dua orang) di mana engkau menggenapi posisinya yang sendirian.

 

Syafa’at terbagi menjadi dua: Batil dan shahih.

 

– Syafa’at yang batil: Syafa’at yang diharapkan orang-orang musyrik dari berhala-berhala mereka, yang mereka menyembahnya dan mengklaim bahwa berhala-berhala tersebut adalah pemberi syafa’at bagi mereka di sisi Allah, sebagaimana Allah cle berfirman,

 

“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah’.” (Yunus: 18).

 

Mereka juga berkata,

 

“Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3).

 

Akan tetapi, syafa’at ini batil dan tidak berguna, sebagaimana Firman Allah

 

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.” (Al-Muddatstsir: 48).

 

– Adapun syafa’at yang shahih adalah syafa’at yang memenuhi tiga syarat:

 

Pertama, Keridhaan Allah kepada pemberi syafa’at.

 

Kedua, Keridhaan Allah kepada orang yang diberi syafa’at, kecuali syafa’at uzhma (agung) di Padang Mahsyar, ia berlaku umum untuk seluruh manusia, baik yang diridhai Allah atau tidak.

 

Ketiga, Izin Allah dalam memberi syafa’at.

 

Dan izin tidak akan terwujud, kecuali setelah Allah ridha kepada pemberi syafa’at dan orang yang diberi syafa’at.

 

Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Dan betapa banyak malaikat di langit, syafa’at (pertolongan) mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali apabila Allah telah mengizinkan bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridhat.” (An-Najm: 26).

 

Dia tidak berfirman, “Kepada pemberi syafa’at,” dan tidak pula, “Kepada penerima syafa’at,” agar lebih menyeluruh.

 

Allah berfirman,

 

“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang diberi izin oleh Yang Maha Pengasih, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Thaha: 109).

 

Dan Allah  juga berfirman,

 

“Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya’: 28).

 

Ayat pertama menetapkan tiga syarat, ayat kedua menetapkan dua syarat, dan ayat ketiga menetapkan satu syarat.

 

Jadi, Nabi  memiliki tiga syafa’at:

 

  1. Syafa’at Uzhima.
  2. Syafa’at kepada penduduk surga untuk memasukinya.
  3. Syafa’at kepada orang yang berhak masuk neraka untuk tidak masuk neraka dan kepada orang yang masuk neraka untuk keluar darinya

 

Penulis berkata untuk menjelaskan ketiga syafa’at ini:

 

Adapun syafa’at yang pertama, maka Nabi  memberi syafa’at kepada seluruh manusia di Padang Mahsyar agar urusan mereka diputuskan setelah sebelumnya para nabi menolak memberi syafa‘at, yaitu: Adam, Nuh, Ibrahim dan Isa putra Maryam, sampai ia berakhir pada beliau.

 

Perkataan penulis,  “Agar urusan mereka diputuskan.” “agar” disini adalah ta’liliyah (menjelaskan alasan) dan bukan gha’iyah (menjelaskan batas akhir), Karena syafa’at Nabi selesai sebeJum perkara manusia diputuskan, karena apabila Nabi telah memberi syafa’at, maka Allah turun untuk memberi keputusan di antara hamba-hambaNya.

 

Perkataan penulis di atas mirip dengan Firman Allah 

 

“Mereka adalah orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar), ‘ Janganlah kalian berinfak kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)’.” (Al-Munafiqun: 7),

 

karena FirmanNya, adalah untuk menjelaskan alasan, yakni agar mereka bubar, bukan menjelaskan batas akhir, karena jika begitu, maka maknanya menjadi rusak.

 

Perkataan penulis, “Diputuskan setelah sebelumnya para nabi menolak memberi syafa’at, yaitu: Adam, Nuh, Ibrahim dan Isa putra Maryam,” maksudnya, bahwa setiap dari mereka menolak dan melimpahkannya kepada yang lain.

 

Penjelasan perkataan penulis ini pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,” dari Abu Hurairah, bahwa Nabi  bersabda,

 

“Aku adalah penghulu manusia pada Hari Kiamat. Apakah kalian mengetahui dalam hal apa? Allah mengumpulkan seluruh manusia yang awal dan yang akhir di padang yang luas lagi terbuka, suara penyeru terdengar oleh mereka, pandangan Allah meliputi mereka semua, matahari didekatkan kepada mereka, kesulitan dan kesengsaraan menimpa manusia sampai pada patas di mana mereka tidak mampu memikul dan menanggungnya. Orang-orang berkata, ‘Apakah kalian tidak melihat apa yang telah menimpa kalian? Mengapa kalian tidak mencari orang yang memberi syafa’at kepada kalian di hadapan Rabb kalian?’ Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, ‘Datanglah kepada Adam.’ Lalu mereka mendatanginya, mereka berkata kepadanya, ‘Engkau adalah bapak manusia, Allah menciptakanmu dengan TanganNya, meniupkan ruhNya kepadamu, Dia memerintahkan para malaikat agar bersujud kepadamu lalu mereka pun sujud, apakah kamu tidak melihat keadaan kami?’ Adam menjawab, ‘Sesungguhnya Rabbku telah marah dengan kemarahan yang belum dilakukan sebelumnya dan tidak akan dilakukan sesudahnya. Dia melarangku mendekati pohon, tetapi aku melanggar laranganNya. Diriku, diriku, diriku (dirikulah yang pantas untuk diberi syafa’at). Pergilah kepada Nuh.’ Lalu mereka mendatangi Nuh, mereka berkata, ‘Wahai Nuh, sesungguhnya engkau adalah Rasul pertama yang diutus kepada penduduk bumi, Allah telah menamakanmu hamba yang selalu bersyukur, berikanlah syafa’at untuk kami di hadapan Rabbmu. Apakah engkau tidak melihat keadaan kami?’ Nuh menjawab seperti Adam menjawab tentang kemarahan Allah. (Nuh berkata), ‘Sesungguhnya aku mempunyai doa yang telah aku gunakan untuk keburukan kaumku, pergilah kepada Ibrahim.’ Lalu mereka mendatangi Ibrahim, mereka berkata, ‘Wahai Ibrahim, engkau adalah Nabi Allah sekaligus khalilNya dari penduduk bumi, berikanlah syafa’at untuk kami di hadapan Rabbmu, apakah engkau tidak melihat keadaan kami?’

 

Ibrahim menjawab sebagaimana Adam menjawab tentang kemarahan Allah, (Ibrahim menambahkan), ‘Aku telah berdusta sebanyak tiga kali, pergilah kepada Musa.’ Lalu mereka mendatangt Musa, mereka berkata, ‘Wahai Musa, engkau adalah Rasul Allah, Allah melebihkanmu atas manusia dengan risalah dan KalamNya, berikanlah syafa’at untuk kami di hadapan Rabbmu. Apakah engkau tidak melihat keadaan kami?’ Musa menjawab sebagaimana Adam menjawab tentang kemarahan Allah. (Musa menambahkan), ‘Aku telah membunuh orang yang aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya, pergilah kepada Isa.’ Maka orang-orang mendatangi Isa, mereka berkata, ‘Wahai Isa, engkau adalah Rasul Allah dan KalimatNya yang Dia kirim kepada Maryam dan ruh (ciptaan)Nya, engkau berbicara kepada manusia ketika engkau masih bayi dalam buaian, berikanlah syafa’at untuk kami di hadapan Rabbmu, apakah kamu tidak melihat keadaan kami?’ Isa menjawab sebagaimana jawaban Adam tentang kemarahan Allah, hanya saja dia tidak menyebutkan dosa. (Isa berkata), ‘Pergilah kepada Muhammad! Semua Nabi-nabi tersebut menjawab sama dengan jawaban Adam ‘Diriku, diriku, diriku, (dirikulah yang pantas untuk diberi syafa’at).’ Lalu mereka mendatangi Muhammad  mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, penutup para nabi, Allah telah mengampuni dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang, berikanlah syafa’at untuk kami di hadapan Rabbmu, apakah engkau tidak melihat keadaan kami?’ Lalu aku berangkat, aku datang ke bawah Arasy, aku bersujud kepada Rabbku  kemudian Allah mengilhamiku sebagian dari pujian-pujian dan kebaikan sanjungan kepadaNya yang belum dibukakan olehNya kepada seorang pun sebelumku, kemudian diserukan, ‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah, niscaya dikabulkan, berikanlah syafa’at, niscaya diizinkan …’.” dan seterusnya.

 

Tiga kali dusta yang disebutkan oleh Nabi Ibrahim  ditafsirkan oleh hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah , dia berkata, “Nabi Ibrahim tidak pernah berdusta, kecuali tiga kali, dua kali berhubungan dengan hak Allah, yaitu ucapannya,  ‘Sesungguhnya aku sakit.’ (Ash-Shaffat: 89). Dan ucapannya,

 ‘Sesungguhnya (patung) besar itu yang melakukannya!’ (Al-Anbiya’: 63).” Dan Abu Hurairah menyatakan (bahwa yang ketiga adalah) ucapan

 

Nabi Ibrahim tentang istrinya, Sarah, “Dia saudara perempuanku.”

 

Namun dalam Shahih Muslim di hadits tentang syafa’at di atas disebutkan bahwa dusta Nabi Ibrahim yang ketiga adalah ucapan beliau tentang bintang,  “Inilah Tuhanku.” (Al-An’am: 76). Dan tidak menyinggung kisah Sarah. 

 

Akan tetapi, Ibnu Hajar di al-Fatir berkata, “Yang jelas, ia adalah kekeliruan dari sebagian rawi.” Lalu Ibnu Hajar memaparkan alasannya.

 

Nabi Ibrahim menamakan semua itu dusta, karena sikap tawadhu dari beliau, karena yang dimaksudkannya adalah kejujuran yang sesuai dengan kenyataan, jadi hal tersebut hanya sekedar tauriyah menyebutkan suatu kata yang memiliki makna yang dekat dan makna yang jauh, dan makna yang jauh itu yang dimaksud). Wallahu a’lam.

 

Perkataan penulis,  “Sampai ia berakhir pada beliau,” maksudnya kepada Rasulullah , dan telah disebutkan dalam hadits akan apa yang terjadi setelah itu.

 

Ini adalah syafa’at Uzhma yang tidak dimiliki seorang pun, kecuali Rasulullah, ia adalah syafa’at teragung, karena ia melepaskan semua manusia dari keadaan yang benar-benar sulit, susah, dan sengsara.

 

Para Rasul yang disebutkan di dalam hadits syafa’at di atas adalah Rasul-rasul Ulul Azmi. Allah menyebut nama-nama mereka di dua tempat di dalam al-Qur‘an, di Surat al-Ahzab dan asy-Syura.

 

Di Surat al-Ahzab, yaitu Firman Allah

 

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan (juga) darimu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam.” (Al-Ahzab: 7).

 

Dan di Surat asy-Syura, yaitu Firman Allah

 

“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kalian agama yang telah Dia wasiatkan kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), serta apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa.” (Asy-Syura: 13).

 

Catatan penting:

 

Perkataan penulis, “Para Nabi; Adam, Nuh…” dan seterusnya. Penulis  memastikan bahwa Adam adalah seorang nabi, dan memang demikian, karena Allah mewahyukan syariat, yaitu perintah dan larangan, kepadanya.

 

Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Shahihnya?” bahwa Abu Dzar bertanya kepada Nabi, “Apakah Adam seorang Nabi?” Rasulullah menjawab, “Ya.”

 

Jadi, Adam adalah Nabi pertama yang diberi wahyu. Adapun Rasul pertama, maka dia adalah Nuh, sebagaimana hal itu secara jelas dinyatakan oleh hadits syafa’at di atas dan zahir dari Firman Allah

 

“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (wahai Rasul) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh, dan nabi-nabi setelahnya.” (An-Nisa’: 163).

 

Dan Firman Allah

 

“Dan sungguh Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kenabian dan (memberikan) kitab (wahyu) kepada keturunan mereka berdua.” (Al-Hadid: 26).

 

Penulis berkata,

 

Adapun syafa’at yang kedua, maka Nabi memberi syafa’at kepada penduduk surga agar masuk surga.

 

Hal itu ketika penduduk surga telah melewati sirath, mereka berhenti di jembatan lalu dilakukan qishash untuk sebagian mereka dari sebagian yang lain. Qishash ini bukan qishash yang terjadi di Arashat Kiamat, akan tetapi ia adalah qishash yang lebih khusus, padanya Allah mensucikan hati, melenyapkan kedengkian dan kebencian yang ada padanya, jika mereka telah disucikan dan dibersihkan, maka mereka diizinkan masuk surga.

 

Akan tetapi ketika mereka mendatangi surga, mereka tidak menepati pintunya dalam keadaan terbuka seperti yang didapati oleh penghuni neraka, pintu-pintu surga belum dibuka sehingga Nabi memberi syafa‘at kepada mereka untuk memasukinya, lalu masing-masing Orang masuk dari pintu amal ibadah yang dia paling rajin melakukannya, dan bisa saja seorang Muslim dipanggil dari semua pintu.

 

Syafa’at ini diisyaratkan oleh al-Qur’an, karena Allah berfirman tentang penduduk surga,

 

“Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan dibukakanlah pintu-pintunya.” (Az-Zumar: 73),

 

ini menunjukkan bahwa antara kedatangan mereka dengan dibukakannya pintu terdapat sesuatu (yaitu syafa’at).

 

Syafa’at ini secara jelas disebutkan dalam hadits riwayat Muslim dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, mereka berkata, Rasulullah bersabda,

 

“Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mengumpulkan manusia, lalu orang-orang Mukmin berdiri sehingga surga didekatkan kepada mereka, mereka mendatangi Adam, mereka berkata, ‘Wahai bapak kami, mohonlah (kepada Allah) agar pintu surga dibuka untuk kami’,” lalu dia menyebutkan haditsnya, dan di dalamnya,

 

“Lalu mereka mendatangi Muhammad, kemudian beliau berdiri dan diizinkan bagi beliau…” Al-Hadits.

 

Penulis berkata,

 

Kedua syafa’at ini adalah khusus untuk beliau.

 

Yaitu syafa’at kepada penduduk Mahsyar agar perkara mereka diputuskan dan syafa’at untuk masuk surga.

 

 “Adalah khusus untuk beliau,” yakni, untuk Nabi, oleh karena itu, Adam dan Rasul-rasul Ulul Azmi tidak mau memberikannya.

 

Ada syafa’at ketiga yang khusus bagi Nabi, bukan untuk selainnya, yaitu syafa’at untuk paman beliau; Abu Thalib yang mati di atas kekafiran, sebagaimana hadits yang tercantum di ash-Shahthain?” dan lain-lain. Paman Rasul berjumlah sepuluh, empat di antaranya mendapatkan Islam, tetapi yang masuk Islam hanya dua dan dua lagi tetap kafir.

 

Yang kafir adalah: Abu Lahab, dia telah berperilaku sangat buruk kepada Nabi, dan Allah ots telah menurunkan satu surat sempurna yang mencela dan mengancamnya dan istrinya, si pemikul kayu bakar.

 

Yang kedua adalah Abu Thalib. Dia telah banyak berbuat baik kepada Nabi dengan kebaikan yang besar dan sangatlah terkenal, akan tetapi merupakan hikmah Allah, dia tetap di atas kekafirannya, sebab kalau bukan karena kekafirannya, niscaya tidak ada pembelaan sedemikian rupa darinya kepada Nabi, bahkan dia juga akan disakiti sebagaimana Rasul  disakiti, akan tetapi dengan kedudukannya yang tinggi di mata Quraisy dan keberadaannya di atas agama mereka, orang-orang Quraisy menghormatinya dan Nabi mendapatkan perlindungan karenanya.

 

Dua paman Nabi yang masuk Islam adalah al-Abbas dan Hamzah, dan Hamzah lebih utama daripada al-Abbas, sehingga Nabi menjulukinya dengan asadullah (singa Allah). Dia gugur sebagai syahid di medan Uhud, semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha, dan Nabi menamakannya dengan sayyid asy-Syuhada (penghulu para syahid).?”

 

Nabi diizinkan untuk memberi syafa’at kepada Abu Thalib walaupun dia kafir, jadi ini dikecualikan dari Firman Allah

 

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.” (Al-Muddatstsir: 48),

 

hanya saja syafa’at Nabi tidak mengeluarkannya dari neraka, ia tetap di neraka tetapi yang paling dangkal di mana api sampai pada mata kakinya, namun kepalanya mendidih karenanya, Rasul  bersabda,

 

“Kalau bukan karena aku, niscaya dia berada di tingkatan neraka paling bawah.”?

 

Hal ini bukanlah karena kepribadian Abu Thalib, akan tetapi karena jasa pembelaannya kepada Nabi  dan sahabat-sahabat beliau.

 

Penulis berkata,

 

Adapun syafa’at ketiga, maka Nabi  memberi syafa’at kepada orang yang berhak untuk masuk neraka, dan syafa‘at ini untuknya dan untuk nabi-nabi lainnya, para shiddiqin dan lain-lain. Nabi memberi syafa’at kepada orang yang berhak masuk neraka agar tidak masuk ke dalamnya, dan memberi syafa’at kepada orang yang telah masuk neraka agar dikeluarkan darinya.

 

Perkataan penulis,

 

“Adapun syafa’at ketiga; maka Nabi memberi syafa’at kepada orang yang berhak untuk masuk neraka,” yakni, orang-orang Mukmin yang bermaksiat.

 

Syafa’at ini memiliki dua bentuk: syafa’at kepada orang yang berhak masuk neraka agar tidak masuk neraka dan kepada orang yang telah masuk neraka agar dikeluarkan darinya.

 

Adapun tentang syafa’at kepada orang yang telah masuk neraka agar dikeluarkan darinya, hal ini telah dijelaskan dalam banyak hadits, bahkan hadits-hadits itu mutawatir. Adapun syafa’at kepada orang yang berhak masuk neraka agar tidak dimasukkan ke dalamnya, maka ini disimpulkan dari doa ampunan dan rahmat dari Nabi kepada jenazah-jenazah kaum Muslimin, sebagaimana sabda Nabi 

 

“Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya di antara orang-orang yang diberi petunjuk….”

 

Akan tetapi syafa’at ini di dunia, sebagaimana sabda Nabi,

 

“Tidak ada seorang Muslim pun yang mati lalu ada empat puluh orang yang tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah berdiri (menshalatkan) jenazahnya, kecuali Allah menerima syafa’at mereka padanya.”

 

Syafa’at ini diingkari oleh dua kelompok ahli bid’ah, yaitu Mu’tazilah dan Khawarij, hal ini berdasarkan pendapat mereka bahwa pelaku dosa besar kekal di Neraka Jahanam, orang yang berzina -menurut mereka sama dengan orang yang menyekutukan Allah, tidak berguna untuknya syafa’at dan tidak akan ada izin dari Allah bagi siapa pun untuk memberi syafa’at kepadanya.

 

Pendapat mereka tertolak oleh hadits-hadits yang mutawatir dalam hal ini.

 

Perkataan penulis, “Dan syafa’at ini untuk beliau dan untuk nabi-nabi lainnya, para shiddiqin, dan lain-lain.” Beliau  memberi syafa’at kepada orang yang berhak masuk neraka agar tidak masuk ke dalamnya dan memberi syafa’at kepada orang yang telah masuk neraka agar dikeluarkan darinya.” Maksudnya bahwa syafa’at ini tidak khusus bagi Nabi  saja, akan tetapi juga untuk nabi-nabi yang lain di mana mereka memberi syafa‘at kepada orang Mukmin yang berbuat dosa dari umat mereka, untuk para shiddiqin, mereka memberi syafa’at kepada kerabat mereka yang berbuat dosa dan orang-orang Mukmin yang lain. Syafa’at ini juga untuk orang-orang Shalih lainnya sehingga seorang laki-laki memberi syafa’at kepada keluarganya, tetangganya dan hal-hal yang serupa dengannya.

 

Penulis berkata,

 

Kemudian Allah mengeluarkan beberapa kaum tanpa syafa’at, tetapi dengan karunia dan rahmatNya.

 

Yakni, Allah  mengeluarkan dari neraka siapa yang dikehendakiNya dari kalangan orang-orang Mukmin pelaku dosa tanpa syafa’at, dan ini adalah nikmatNya yang dikaruniakan kepada para hamba, karena rahmat Allah mendahului murkaNya. Para Nabi, orang-orang shalih, para malaikat, dan selain mereka memberi syafa’at sehingga yang tersisa adalah rahmat Dzat Yang paling pengasih di antara para pengasih, maka Dia mengeluarkan dari neraka orang yang dikeluarkan tanpa syafa’at, sehingga yang ada di neraka hanyalah orang-orang yang merupakan penghuninya. Asy-Syaikhani, yaitu al-Bukhari dan Muslim, meriwayatkan dari hadits Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi,

 

“Bahwa Allah  berfirman, ‘Para malaikat memberi syafa’at, para nabi memberi syafa’at, orang-orang Mukmin memberi syafa’at, dan tidak ada yang tersisa kecuali Dzat Yang paling pengasih di antara para pengasih, maka Dia mengambil segenggam dari neraka lalu Dia mengeluarkan darinya satu kaum yang tidak pernah beramal baik sedikit pun di mana mereka telah menjadi arang…’.” Al-Hadits.

 

Perkara kedua belas yang terjadi pada Hari Kiamat adalah apa yang disebutkan oleh penulis dalam ucapannya,

 

Dan di surga masih tersisa tempat dari penduduk dunia yang memasukinya.

 

Luas surga adalah seluas langit dan bumi, surga yang luasnya demikian dihuni oleh penduduknya, akan tetapi ia tidak penuh, padahal Allah telah menjamin akan memenuhi surga dan neraka.

 

– “Neraka senantiasa menerima apa yang dilemparkan kepadanya sementara ia berkata, ‘Apakah masih ada tambahan?’ Namun ia tidak penuh, maka Allah meletakkan KakiNya di atasnya, sehingga sisi neraka yang satu bertemu dengan sisinya yang lain dan neraka berkata, ‘Cukup cukup’.”

 

– Adapun surga, maka Allah menciptakan untuknya suatu kaum dan memasukkannya ke dalam surga dengan karunia dan rahmatNya. Hal itu diriwayatkan secara shahih di asht-Shahihain dari hadits Anas bin Malik, dari Nabi, dan ini adalah konsekuensi Firman Allah ,

 

“Rabb kalian telah menetapkan Sifat rahmat pada DiriNya.” (Al-An’am: 54).

 

Dan sabda Nabi dalam apa yang beliau riwayatkan dari Rabb beliau,

 

“Sesungguhnya rahmatKu mendahului murkaKu.”

 

Oleh karena itu, penulis berkata,

 

Lalu Allah menciptakan suatu kaum untuknya, lalu Dia masukkan mereka ke surga.

 

Penulis berkata,

 

Dan berbagai macam perkara yang dikandung oleh alam Akhirat mulai dari hisab, pahala, hukuman.

 

artinya  “berbagai macam”. Makna hisab telah dijelaskan.  “pahala” adalah balasan kebaikan, satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipatnya sampai tujuh ratus kali lipatnya sampai berlipat-lipat.

 

“Hukuman” adalah balasan keburukan. Barangsiapa melakukan keburukan, maka dia tidak dibalas kecuali sepertinya dan dia tidak dizhalimi.

 

Penulis berkata,  Surga dan neraka.

 

“Surga” adalah tempat yang Allah  siapkan untuk wali-waliNya, di dalamnya terdapat apa yang disukai oleh jiwa dan dinikmati oleh mata, di dalamnya terdapat apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di benak manusia,

 

“Maka tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan. ” (As-Sajdah: 17),

 

yakni, hakikat dan bagaimana sebenarnya tidaklah diketahui. Surga sudah ada saat ini, berdasarkan Firman Allah

 

“Telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133),

 

dan hadits-hadits yang semakna dalam hal ini berderajat mutawatir.

 

Ia akan terus ada selama-lamanya, berdasarkan Firman Allah

 

“Adapun orang-orang yang diberi kebahagiaan, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (Hud: 108).

 

Dan Firman Allah  “Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya,” dalam banyak ayat.

 

Adapun “neraka,” maka ia adalah tempat yang Allah  sediakan untuk musuh-musuhNya, di dalamnya terdapat berbagai macam azab dan hukuman yang tidak terpikul.

 

Dan ia sudah ada sekarang, berdasarkan Firman Allah

 

“Disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Ali Imran: 131).

 

Dan hadits-hadits dalam hal ini berjumlah banyak dan terkenal.

 

Penghuninya kekal di dalamnya berdasarkan Firman Allah

 

“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (Al-Ahzab: 64-65).

 

Allah telah menyebutkan kekekalan mereka di dalam neraka selama-lamanya di tiga ayat di dalam al-Qur’an, yang pertama adalah ayat di atas, yang kedua adalah di akhir Surat an-Nisa’, dan ketiga di Surat al-Jin, ia zahir bahwa neraka selalu ada untuk selama-lamanya.

 

Penulis berkata,

 

Perincian-perincian itu tercantum di kitab-kitab yang diturunkan dari langit.

 

Yakni, seperti Taurat, Injil, Suhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, dan kitab-kitab yang diturunkan lainnya. Hal itu disebutkan di dalamnya secara jelas dan terperinci karena kebutuhan manusia kepadanya, bahkan mereka sangat memerlukan penjelasan dan keterangannya; karena tidak mungkin istiqamah terwujud tanpa iman kepada dari Akhir yang di sanalah setiap orang akan dibalas sesuai dengan perbuatannya, baik atau buruk.

 

Penulis berkata,

 

Dan ilmu yang ma‘tsur dari para nabi.

 

Ketahuilah bahwa ilmu yang ma‘tsur dari para nabi ada dua:

 

  1. Bagian yang ditetapkan melalui wahyu, ia adalah apa yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Ini wajib diterima tanpa ragu dan meyakini petunjuknya.

 

  1. Bagian yang datang melalui penukilan selain wahyu. Bagian inilah yang disusupi oleh kebohongan, penyelewengan, perubahan dan penggantian.

 

Oleh karena itu, seseorang harus berhati-hati dari apa yang dinukil dengan jalan ini dari nabi-nabi terdahulu, sehingga Rasulullah bersabda,

 

“Apabila Ahli Kitab menyampaikan (suatu riwayat) kepada kalian, maka janganlah kalian membenarkan mereka dan jangan pula mendustakan mereka. Ucapkanlah, ‘Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada kalian,”

 

karena jika engkau membenarkan, mungkin saja engkau membenarkan kebatilan, dan jika engkau mendustakan, mungkin saja engkau mendustakan kebenaran. Jadi, jangan membenarkan dan jangan pula mendustakan. Ucapkan saja, kalau ia berasal dari Allah, maka aku beriman kepadanya.

 

Para ulama membagi atsar orang-orang terdahulu menjadi tiga:

 

Pertama, apa yang dibenarkan oleh syariat kita.

 

Kedua, apa yang didustakan oleh syariat kita.

 

Dan hukum keduanya sudah jelas.

 

Ketiga, apa yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan oleh syariat kita.

 

Yang ketiga ini didiamkan; tidak dibenarkan dan tidak pula didustakan.

 

Penulis berkata,

 

Dan dalam ilmu warisan Nabi Muhammad terdapat kadar yang cukup dan memadai mengenai hal itu.

 

Ilmu warisan Nabi Muhammad, baik di dalam al-Qur’an atau di dalam Sunnah Rasul, di dalamnya terdapat keterangan yang memadai dan cukup tentang hal itu.

 

Oleh karena itu, tidak perlu kita mencari-cari nasihat untuk melunakkan hati di selain al-Qur’an dan as-Sunnah, kita sama sekali tidak butuh itu. IImu warisan dari Nabi Muhammad  telah mencukupi dan memenuhi segala kebutuhan dalam perkara ilmu dan iman.

 

Kemudian apa yang disandarkan kepada Rasulullah  dalam bab nasihat dan fadha‘il (keutamaan-keutamaan), baik targhib (berhubungan dengan anjuran, janji, dan pahala) maupun tarhib (ancaman dan dosa) terbagi menjadi tiga: shahih yang diterima, dhaif, dan maudhu’ (palsu). Jadi, tidak semuanya shahih dan diterima. Dhaif dan maudhu’ tidak kita perlukan.

 

Para ulama  sepakat bahwa yang maudhu’ tidak boleh diseputkan dan disebarkan kepada masyarakat; tidak pada Bab Fadha‘il, targhib dan tarhib, dan tidak pula di selainnya, kecuali untuk sekedar menjelaskan keadaannya.

 

Sedangkan yang dhaif, maka para ulama berbeda pendapat. Mereka Yang berpandangan bolehnya menyebarluaskan dan menukilnya mensyaratkan tiga syarat:?

 

Pertama, Hendaknya dhaifnya tidak parah.

 

Kedua, Hendaknya dasar amal yang berakibat pahala atau hukuman ditetapkan oleh dalil yang shahih.

 

Ketiga, Tidak diyakini bahwa Nabi mengucapkannya, tetapi panya sebatas kemungkinan dan tidak memastikannya, akan tetapi dalam targhib, dia berharap, dan dalam tarhib, dia takut.

 

Adapun kalimat penyampaiannya, maka tidak dikatakan, “Rasulullah bersabda,” akan tetapi “diriwayatkan dari Rasulullah” atau disebutkan dari beliau,” dan yang semisalnya.

 

Apabila engkau berada di tengah-tengah orang-orang awam yang tidak bisa membedakan antara lafazh  “disebutkan”, “dikatakan”, dan  “mengatakan”; maka janganiah sekali-kali engkau menyebutkannya, karena orang awam akan mevakini bahwa Rasulullah mengatakannya. Apa yang dikatakan di mimbar, menurutnya, itulah yang benar.

 

Catatan Penting:

 

Bab ini, yaitu bab tentang Hari Akhir dan tanda-tanda Hari Kiamat, banyak hadits yang disebutkan tentangnya; di antaranya ada yang dhaif, bahkan ada pula yang maudhu’, dan mayoritas hal itu terdapat di dalam buku-buku nasihat dan wejangan, oleh karena itu, diperlukan sikap waspada dan kita harus memperingatkan masyarakat jika buku-buku seperti ini jatuh ke tangan mereka.

 

Penulis berkata,

 

Barangsiapa mencarinya.

 

Maksudnya adalah “mencarinya”.

 

Niscaya dia menemukannya.

 

Ini benar, karena al-Qur’an ada di tangan kita, buku-buku hadits juga ada di depan kita, hanya saja ia memerlukan ketelitian dan penjelasan antara mana yang shahih dan mana yang dhaif, agar masyarakat membangun akidah mereka dalam masalah ini di atas dasar yang benar.

 

Penulis berkata,

 

Golongan yang selamat, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beriman kepada Qadar yang baik dan yang buruk.

 

Syarah:

 

Perkataan penulis,  “Golongan yang selamat, Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Definisi dan penjelasan tentangnya telah disebutkan di awal kitab.

 

Perkataan penulis,  “Kepada Qadar yang baik dan yang buruk.”

 

– Secara bahasa, Qadar adalah penentuan, Allah  berfirman,

 

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49).

 

Allah  berfirman,

 

“Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kamilah sebaik-baik yang menentukan.” (Al-Mursalat: 23).

 

– Adapun Qadha’ secara bahasa adalah hukum.

 

Oleh karena itu, kami katakan bahwa Qadha’ dan Qadar memiliki arti berbeda jika disebutkan bersamaan dan memiliki arti sama jika disebutkan secara terpisah. Hal ini sesuai dengan ucapan para ulama, keduanya adalah kata yang jika berkumpul (disebutkan bersamaan), maka terpisah (berbeda makna), dan jika (disebutkan) terpisah, maka berkumpul (memiliki arti yang sama).

 

Kalau dikatakan, “ini adalah Qadar Allah,” maka ia mencakup Qadha’. Kalau keduanya disebut secara bersamaan, maka masingmasing mempunyai makna sendiri.

 

– Takdir adalah perkara yang Allah vs takdirkan di zaman azali untuk terjadi pada makhlukNya, sedangkan Qadha’ adalah perkara yang Allah tetapkan pada makhlukNya dalam bentuk penciptaan, peniadaan, atau perubahan. Dari sini, maka takdir mendahului Qadha’.

 

Kalau ada yang berkata, Jika kita katakan bahwa Qadha’ adalah apa yang Allah  tetapkan pada makhlukNya dalam bentuk penciptaan, peniadaan atau perubahan, dan bahwa takdir mendahuluinya jika keduanya berkumpul, kalau begitu hal tersebut bertentangan dengan Firman Allah

 

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan ukuranukurannya dengan tepat.” (Al-Furqan: 2).

 

Karena zahir ayat ini menunjukkan bahwa takdir terjadi setelah penciptaan.

 

Jawabnya adalah satu dari dua sisi:

 

– Bisa kita katakan bahwa ini hanya sekedar urutan penyebutan saja, bukan dari segi makna, penciptaan didahulukan atas takdir demi menjaga kesesuaian akhir ayat.

 

Bukankah Nabi Musa lebih utama daripada Nabi Harun? Meskipun demikian, Harun didahulukan penyebutannya daripada Musa di Surat Thaha pada Firman Allah  tentang para penyihir Fir’aun,

 

“Maka tukang-tukang silir itu dibuat menyungkur dengan bersujud (karena kehebatan mukjizat Nabi Musa) seraya berkata, ‘Kami telah beriman kepada Tuhannya Harun dan Musa’.” (Thaha: 70). Hal itu untuk menjaga kesesuaian akhir ayat.

 

Ini tidak berarti bahwa yang diakhirkan dari segi lafazh berarti ia diakhirkan dalam hal urutan.

 

Atau kita katakan bahwa takdir di sini berarti menyempurnakan, menciptakan dengan ukuran tertentu, seperti Firman Allah

 

“Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaanNya).” (Al-A’la: 2).

 

jadi, takdir disini berarti menyempurnakan.

 

Makna yang kedua lebih dekat daripada yang pertama karena ia pas sekali dengan Firman Allah

 

“Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaanNya).” (Al-A’la: 2).

 

Jadi, tidak ada yang musykil.

 

Jman kepada Qadar adalah wajib, kedudukannya dalam agama ,dalah bahwa ia merupakan salah satu rukun iman yang enam, sebagaimana sabda Nabi  kepada Jibril  yang bertanya, “Apa itu iman?” Nabi menjawab,

 

“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malatkatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan Hari Akhir, serta kamu beriman kepada Qadar yang baik dan yang buruk,”

 

Iman kepada Qadar memiliki beberapa faidah, yaitu:

 

Pertama, bahwa ia temasuk kesempurnaan iman, dan iman tidak gempurna kecuali dengannya.

 

Kedua, bahwa ia termasuk kesempurnaan iman kepada RububiyaiNya, karena takdir Allah termasuk perbuatanNya.

 

Ketiga, mengembalikan segala urusan manusia kepada Tuhannya, karena jika seseorang mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi dengan Qadha’ dan takdir Allah, maka dia akan kembali kepada Allah dalam menolak dan menepis mudarat serta menisbatkan kebahagiaan kepadaNya dan dia mengetahui bahwa itu adalah karunia Allah kepadanya.

 

Keempat, Seseorang dapat mengenal batas kesanggupan dirinya, dan tidak bangga ketika beramal baik.

 

Kelima, ringannya musibah bagi hamba, karena jika seseorang mengetahui bahwa musibah itu dari Allah, niscaya ringanlah baginya musibah tersebut, sebagaimana Allah  berfirman,

 

“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan mem, beri petunjuk kepada hatinya.” (At-Taghabun: 11).

 

Al-qamah berkata, “Dia adalah orang yang tertimpa musibah lalu dia mengetahui bahwa musibah itu dari Allah, maka dia pun ridha dan menerima.”

 

Keenam, menisbatkan nikmat kepada pemberinya, karena jika engkau tidak beriman kepada Qadar, niscaya engkau akan menisbatkan nikmat kepada perantara nikmat. Ini banyak terjadi pada orang-orang yang menjilat kepada raja-raja, para gubernur, dan para menteri, jika mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka menisbatkannya kepada orang-orang itu dan melupakan karunia Allah  kepada mereka.

 

Benar, kita wajib berterima kasih kepada manusia, berdasarkan sabda Nabi

 

“Barangsiapa berbuat baik kepada kalian, maka balaslah dia,.”

 

Akan tetapi harus tetap diyakini bahwa asalnya itu adalah karunia Allah  yang dititipkan melalui orang tersebut.

 

Ketujuh, mengetahui hikmah Allah, karena jika seseorang melihat kepada alam ini dan perubahan-perubahan yang mencengangkan yang terjadi padanya, niscaya dia mengetahui hikmah Allah, lain halnya dengan orang yang melalaikan Qadha dan Qadar, dia tidak mengambil faidah ini.

 

Perkataan penulis,  “yang baik dan yang buruk.”

 

– Yang buruk dalam takdir adalah yang, tidak sejalan dengan tabiat  manusia, di mana dengannya dia tertimpa kesulitan atau kesengsaraan.

 

– Sedangkan yang baik adalah yang sejalan dengan tabiat manusia, di Mana dengannya dia menjadi baik, berbahagia dan senang. Semua itu adalah dari Allah .

 

Akan tetapi jika dikatakan: Bagaimana dikatakan bahwa pada takdir Allah terdapat keburukan, padahal Nabi  telah bersabda, 

 

“Keburukan tidak (disandangkan) kepadaNya”

 

Jawaban: Keburukan pada takdir tidak berdasarkan kepada takdir Allah padanya, akan tetapi berdasarkan apa yang ditakdirkan, karena ada Qadar yang merupakan takdir dan apa yang ditakdirkan, sebagaimana ada penciptaan dan apa yang diciptakan (makhluk), ada iradah (keinginan) dan apa yang diinginkan. Jadi, kalau berdasar kepada takdir Allah, maka ia bukan keburukan, justru ia baik, bahkan seandainya itu menyengsarakan dan memudaratkan seseorang serta tidak sesuai dengan tabiatnya. Kalau berdasarkan apa yang ditakdirkan, maka ada yang baik dan ada yang buruk. Jadi, takdir baik dan buruk maksudnya adalah apa yang ditakdirkan, baik dan buruknya.

 

Contohnya adalah Firman Allah

 

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; agar Allah membuat mereka merasakan sebagian dart (akibat) perbuatan mereka sendiri.” (Ar-Rum: 41).

 

Di dalam ayat ini, Allah  menjelaskan kerusakan yang terjadi, pemicunya, dan tujuan darinya. Kerusakan adalah keburukan, pemicunya adalah perbuatan buruk manusia, dan tujuannya adalah,

 

“Agar Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka sendiri, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41).

 

Kerusakan yang terlihat di daratan dan lautan mengandung hikmah, meskipun ia sendiri buruk, akan tetapi karena hikmahnya yang besar, maka penakdirannya menjadi baik.

 

Begitu pula kemaksiatan dan kekafiran, ia adalah keburukan, ia termasuk takdir Allah, akan tetapi karena hikmah yang besar. Kalau bukan karena itu, niscaya batallah syariat, dan kalau bukan karena itu, niscaya penciptaan manusia hanyalah main-main.

 

– Iman kepada Qadar, baik dan buruknya, tidak menuntut iman kepada segala apa yang ditakdirkan, karena apa yang ditakdirkan terbagi menjadi kauni dan syar’i.

 

Apa yang ditakdirkan secara kauni; apabila Allah menakdirkan sesuatu yang tidak engkau sukai atasmu, maka ia pasti terjadi, baik engkau rela ataupun tidak.

 

Apa yang ditakdirkan secara syar’i, mungkin dilaksanakan oleh seseorang dan mungkin tidak, akan tetapi dengan melihat kepada kerelaan kepadanya, maka harus diperinci, jika ia adalah ketaatan kepada Allah, maka wajib rela kepadanya, jika ia adalah kemaksiatan, maka wajib dibenci, dihindari dan dilenyapkan, sebagaimana Firman Allah

 

“Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (Ali Imran: 104).

 

Dari sini, maka kita wajib beriman kepada segala apa yang diputuskan dari sisi di mana ia merupakan Qadha’ dari Allah. Adapun dari sisi ia sebagai apa yang diputuskan, maka kita mungkin rela dan mungkin tidak, jadi seandainya kekafiran terjadi pada seseorang, maka kita tidak rela terhadap kekafiran darinya, akan tetapi kita rela terhadap hal itu sebagai ketetapan dari Allah.

 

Penulis berkata,

 

Iman kepada takdir terdiri dari dua tingkatan, masing-masing tingkatan mengandung dua perkara.

 

Syarah:

 

Penulis membagi demikian karena adanya perbedaan, perbedaan pada takdir tidak mencakup seluruh fase-fasenya. Bab takdir termasuk bab ilmu agama yang paling musykil bagi seseorang, perbedaan pendapat berkenaan dengan masalah ini telah ada pada masa para sahabat, akan tetapi tidak ada yang musykil bagi yang menginginkan kebenaran. 

 

Tingkatan pertama di antara tingkatan-tingkatan Iman kepada Takdir adalah:

 

Tingkatan pertama: Beriman bahwa Allah  mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhluk dengan ilmuNya yang gadim yang Dia disifati dengannya secara azali dan abadi.

 

Syarah:

 

* Perkataan Penulis,  “Tingkatan pertama: Beriman bahwa Allah i mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhluk.” Penulis tidak menyebutkan bahwa Allah mengetahui apa yang akan Dia lakukan sendiri, karena tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Penulis hanya menyebutkan apa yang padanya terdapat perbedaan pendapat, yaitu apakah Allah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhluk atau tidak mengetahuinya kecuali setelah mereka melakukannya?

 

Pendapat Salaf dan para imam menetapkan bahwa Allah mengetahui itu;

 

Perkataan penulis,   “Dengan ilmuNya yang gadim.” Qadim menurut istilah mereka adalah yang tidak ada awal permulaannya, yakni sejak dahulu yang tidak berawal Dia senantiasa mengetahui apa yang dilakukan oleh makhluk, lain halnya dengan qadim dalam arti bahasa, ia bisa berarti sesuatu yang terdahulu secara nisbi, sebagaimana Firman Allah

 

“Sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.” (Yasin: 39).

 

Dan sudah dimaklumi bahwa pelepah kurma bukan sesuatu yang qadim dan azali, akan tetapi ia qadim bila dibandingkan dengan apa yang sesudahnya.

 

Allah  disifati bahwa Dia mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhluk dengan ilmuNya yang qadim dan azali yang tidak memiliki permulaan. Allah 44 mengetahui bahwa orang ini akan melakukan ini pada hari ini dan di tempat ini dengan ilmuNya yang gadim dan azali. Kita wajib mengimani hal ini.

 

Dalilnya adalah dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan akal.

 

– Dari al-Qur an: Banyak sekali ayat-ayat yang berisi keumuman

 

ilmu Allah, seperti,  “Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282).

 

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa’: 32).

 

“Wahai Tuhan kami, Engkau meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu(Mu).” (Ghafir: 7). 

 

“Agar kalian mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq: 12).

 

Dan ayat-ayat yang lain yang tidak terhingga.

 

– Adapun dalil dari as-Sunnah; maka sesungguhnya Rasulullah  telah memberitakan bahwa Allah telah menulis takdir para makhluk gejak lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, pahwa apa yang telah ditakdirkan untuk menimpa seseorang tidak akan meleset, dan apa yang tidak ditakdirkan atasnya tidak akan menimpanya, bahwa pena telah kering dan catatan takdir telah digulung… dan nadits-hadits dalam bab ini berjumlah banyak.

 

– Sedangkan dari akal; sudah diketahui dengan akal bahwa Allah  adalah Pencipta dan bahwa selain Allah adalah makhluk. Secara akal, Sang Khaliq pasti mengetahui makhlukNya. Allah  telah menetapkan hal ini dalam FirmanNya,

 

“Apakah (pantas) Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut lagi Mahateliti?” (Al-Mulk: 14).

 

Al-Qur’an, as-Sunnah, dan akal, semuanya menunjukkan bahwa Allah ois mengetahui apa yang akan dilakukan para makhluk dengan iimuNya yang azali.

 

Perkataan penulis,  “Di mana Dia disifati dengannya secara azali dan abadi.” Allah disifati dengannya secara azali berarti menafikan ketidaktahuan dariNya, dan Allah disifati dengannya secara abadi berarti menafikan kelupaan.

 

Oleh karena itu, ilmu Allah  tidak didahului dengan ketidaktahuan dan tidak tersusupi oleh kelupaan, sebagaimana Nabi Musa berkata kepada Fir’aun,

 

“Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku, di dalam sebuah kitab, Rabbku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” (Thaha: 52).

 

Lain halnya dengan ilmu makhluk yang didahului dengan ketidaktahuan dan disusupi oleh kelupaan.

 

Jadi, kita wajib mengimani bahwa Allah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhluk dengan ilmu yang dahulu yang Dia disifati dengannya secara azali dan abadi.

 

Penulis berkata,

 

Dan Allah juga mengetahui seluruh keadaan mereka berupa ketaatan, kemaksiatan, rizki, dan ajal.

 

Dalilnya adalah hadits shahih di ash-Shahihain dari Abdullah bin Mas’ud , dia berkata, Rasulullah  menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan diberi kabar yang benar (wahyu),

 

“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian ditkumpulkan penciptaannya di perut ibunya…,” lalu Nabi menyebutkan fase-fase janin, dan di dalamnya beliau bersabda,

 

“Kemudian Allah mengutus malaikat, lalu dia diperintahkan untuk menulis empat kalimat, dan dikatakan kepadanya, ‘Tulislah amalnya, rizkinya, ajalnya dan dia sengsara atau berbahagia…’.”Al-Hadits.°”

 

Jadi, Allah mengetahui itu sebelum manusia diciptakan.

 

Ketaatan kita, kemaksiatan kita, rizki kita, dan ajal kita, semuanya diketahui oleh Allah. Apabila ada orang yang mati dengan sebab atau tanpa sebab yang diketahui, maka ia diketahui oleh Allah, tidak samar bagiNya. Lain dengan ilmu seseorang tentang ajalnya, dia tidak mengetahui ajalnya, di mana dia akan mati, kapan, dengan sebab apa, dan dalam keadaan bagaimana dia mati, dia tidak mengetahui semua itu. Semoga Allah esi memberi kita akhir hidup yang baik. Inilah perkara pertama dari tingkatan pertama.

 

Penulis berkata,

 

Kemudian Allah menulis takdir-takdir makhluk di Lauh Mahfuzh.

 

Ini adalah perkara kedua dari tingkatan pertama, yaitu Allah menulis takdir makhluk di Lauh Mahfuzh.

 

Lauh Mahfuzh: Kita tidak mengetahui hakikatnya, dari apa, apakah dari kayu, atau besi, atau emas, atau perak, atau zamrud? Allah lebih mengetahui tentang itu, yang penting bagi kita adalah beriman bahwa ada Lauh yang padanya Allah menulis takdir segala sesuatu dan kita tidak mempunyai wewenang untuk membahas apa yang ada di balik itu, akan tetapi seandainya di dalam al-Qur an dan as-Sunnah terdapat petunjuk tentang sesuatu, maka kita wajib meyakininya.

 

Lauh ini dikatakan Mahfuzh, pertama, karena ia Mahfuzh (terjaga) dari tangan-tangan makhluk, tidak mungkin bagi seorang pun untuk menambah sesuatu atau mengubah sesuatu darinya selama-lamanya. Kedua; karena ia terjaga dari perubahan. Allah  tidak mengubah sesuatu pun di dalamnya karena Dia menulisnya dengan ilmuNya, sebagaimana penulis akan menyebutkannya. Karena inilah Syaikhul Islam  berkata, “Sesungguhnya yang tertulis di Lauh Mahfuzh tidak akan berubah selama-lamanya.” Perubahan hanya terjadi di buku-buku yang ada di tangan para malaikat.

 

Perkataan penulis,  “Takdir makhluk,” yakni, takdirtakdir seluruh makhluk, yang dipahami secara zahir dari dalil-dalil adalah bahwa ia mencakup apa yang dilakukan oleh manusia dan apa yang dilakukan oleh binatang, ia umum dan menyeluruh.

 

Akan tetapi apakah penulisan ini mali (global) atau tafshili (terperinci)?

 

Bisa kita katakan bahwa kita tidak dapat memastikan apakah ia ijmali atau tafshili.

 

Sebagai contoh, al-Qur’an al-Karim, apakah ia tertulis di Lauh Mahfuzh dengan ayat-ayat dan huruf-huruf seperti ini atau yang tertulis di Lauh Mahfuzh adalah penyebutannya, bahwa ia akan turun kepada Nabi Muhammad , bahwa ia akan menjadi cahaya dan petunjuk bagi manusia dan yang seperti itu?

 

Ada kemungkinan, kalau kita melihat kepada zahir dalil-dalil maka kita katakan bahwa zahirnya menunjukkan bahwa seluruh al-Qur’an tertulis di Lauh Mahfuzh secara global dan terperinci. Kalau kita melihat bahwa Allah berfirman dengan al-Qu’ an pada waktu ia turun, maka kita katakan bahwa yang tertulis di Lauh Mahfuzh adalah penyebutan al-Qur’an, dan kalau al-Qur’an disebutkan di Lauh Mahfuzh, maka hal itu tidak mengharuskan ia tertulis di dalamnya, sebagaimana Firman Allah  tentang al-Qur’an,

 

“Dan sesungguhnya (al-Qur’an) itu (ditetapkan) dalam kitab-kitab orang-orang terdahulu.” (Asy-Syu’ara’: 196).

 

Dan sudah diketahui bahwa teks al-Qur’an tidak ada di dalam kitab-kitab orang-orang terdahulu, yang ada hanyalah penyebutannya, hal yang sama mungkin kita katakan tentang Firman Allah

 

“Bahkan yang didustakan mereka itu talah al-Qur’an yang multa, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (Al-Buruj: 21-22). Yakni, penyebutannya di Lauh Mahfuzh.

 

Yang penting adalah kita harus beriman bahwa takdir makhluk telah ditulis di Lauh Mahfuzh, apa yang ditulis di Lauh ini tidak akan berubah, karena Allah telah memerintahkannya agar menulis apa yang terjadi sampai Hari Kiamat.

 

Penulis berkata,

 

Ketika pertama kali Allah menciptakan pena, Allah berfirma kepadanya, “Tulislah!” la menjawab, “Apa yang aku tulis?” Dia berfirman, “Tulislah apa yang terjadi sampai Hari Kiamat.”

 

Perkataan penulis,  “Ketika pertama kali Allah menctptakan pena, Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah!”

 

Allah memerintahkannya menulis, padahal ia benda mati, bagaimana benda mati diajak berbicara?

 

Jawaban: Bagi Allah, benda mati itu berakal yang mungkin diajak berbicara. Allah ols berfirman,

 

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kalian berdua menurut perintahKu dengan patuh atau terpaksa’. Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan patuh’.” (Fushshilat: 11).

 

Allah berfirman kepada langit dan bumi, dan Allah juga menyebutkan jawaban keduanya, dan jawaban keduanya dengan menggunakan kata ganti jamak yang menunjukkan makhluk berakal, yaitu  bukan  Allah  berfirman,

 

“Kamit berfirman, ‘’Wahai api, jadilah dingin dan sebagai keselamatan bagi Ibrahim’.” (Al-Anbiya’: 69).

 

Maka terjadilah hal itu. Allah ole juga berfirman,

 

“Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulangulang bersama Dawud.” (Saba’: 10).

 

Maka gunung-gunung pun bertasbih kepadaNya.

 

Alhasil, Allah memerintahkan pena agar menulis, dan pena pun menjalankan perintah tersebut, hanya saja yang musykil baginya adalah apa yang ditulis, karena perintahnya global, maka pena bertanya,  “Apa yang aku tulis?”

 

“Dia berfirman,” yakni, Allah  “Tulislah apa akan yang terjadi sampai Hari Kiamat,” maka pena menulis apa yang akan terjadi sampai Hari Kiamat dengan perintah Allah. Lihatlah bagaimana pena mengetahui apa yang terjadi sampai Hari Kiamat lalu ia pun menulisnya, karena perintah Allah  tidak tertolak.

 

Perkataan,  “Apa yang akan terjadi sampai Hari Kiamat,” meliputi apa yang dilakukan Allah  dan apa yang dilakukan makhluk.

 

Penulis berkata,

 

Apa yang menimpa seseorang tidak akan meleset darinya dan apa yang meleset darinya tidak akan menimpanya.

 

Apabila engkau beriman kepada kalimat ini, niscaya engkau akan tenang, yaitu bahwa apa yang menimpa seseorang tidak akan meleset darinya.  “Apa yang menimpa” mempunyai dua kemungkinan makna: Pertama, apa yang telah ditakdirkan untuk menimpanya, ia tidak akan meleset darinya. Kedua, apa yang benar-benar telah menimpanya, ia tidak mungkin meleset darinya, bahkan seandainya orang tersebut berandai-andai. Kedua makna ini benar dan tidak saling bertentangan.

 

Dan apa yang meleset darinya tidak akan menimpanya, yakni apa yang telah ditakdirkan tidak menimpanya, ia tidak akan menimpanya, atau maknanya adalah apa yang benar-benar tidak menimpanya karena sudah diketahui bahwa ia tidak menimpanya meskipun dia berandai-andai. Kedua makna ini benar dan tidak bertentangan.

 

Penulis berkata,  Pena-pena telah kering, lembaran-lembaran telah dilipat.

 

“Pena” adalah pena takdir yang dengannya Allah menulis takdir-takdir, ia telah kering dan selesai (menulis semuanya).  “Dan lembaran-lembaran” telah dilipat, ini adalah kiasan bahwa perkaranya telah selesai.

 

Di dalam Shahih Muslim,” dari Jabir, dia berkata,

 

“Suragah bin Malik bin Ju’syum datang, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, jelaskanlah tentang agama kami kepada kami seolah-olah kita diciptakan sekarang, untuk apa beramal hari ini, apakah untuk perkara yang telah ditulis oleh pena dan berlaku padanya takdir? Ataukah untuk yang akan kita hadapi? Nabi  menjawab, ‘Tidak, akan tetapi untuk perkara yang telah ditulis oleh pena dan berlaku padanya takdir.’ Dia bertanya, ‘Lantas untuk apa peramal ?’ Nabi  bersabda, ‘Beramallah, karena masing-masing dimudahkan (untuk sesuatu yang mana dia diciptakan untuknya)’.”

 

Penulis berkata,  sebagaimana Firman Allah , huruf kaf dalam ungkapan semacam ini adalah untuk menjelaskan alasan (li at-Ta’lil). 

 

“Apakah kamu tidak mengetahui.” (Al-Hajj: 70). 

 

“Apakah kamu tidak mengetahui,” wahai orang yang ayat ini tertuju padanya.

 

“Bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?” (Al-Hajj: 70).

 

Ini umum. Dia mengetahui orang-orang, sifat-sifat, amal-amal dan keadaan-keadaan di dalamnya.

 

“Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab.” (Al. Hajj: 70).

 

Kitab di sini adalah Lauh Mahfuzh.

 

“Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al-Hajj: 70).

 

Yakni, menulis hal itu adalah perkara mudah bagi Allah.

 

Penulis berkata,

 

Dan Allah berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada diri kalian, melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amatlah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22).

 

“Di bumi,” seperti kemarau panjang, gempa bumi, banjir, dan lainnya.

 

“Dan tidak pula pada diri kalian,” seperti penyakit, wabah yang mematikan, dan lain-lain.

 

“Melainkan telah tertulis dalam Kitab,” yakni Lauh Mahfuzh.

 

“Kami menciptakannya,” yakni, sebelum Kami menciptakannya. Kata ganti (dhamir) di dalam kalimat  menciptakannya,” bisa kembali kepada musibah, bisa pula kembali kepada diri sendiri, dan bisa pula kembali kepada bumi, semuanya benar. Jadi musibah telah ditulis (ditentukan) sebelum Allah menciptakannya, sebeiuim Allah menciptakan diri yang tertimpa musibah, dan sebelum menciptakan bumi.

 

Di dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Amr , dia berkata, Rasulullah bersabda, ;

 

“Allah telah menulis takdir-takdir makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” Nabi  bersabda, “Dan ArasyNya di atas air.”?

 

Penulis berkata,

 

Takdir yang menginduk kepada ilmu Allah 4% ini ada di beberapa tempat secara global dan terperinci.

 

Perkataan penulis,  “Di tempat-tempat,” yakni, di tempat-tempat selain Lauh Mahfuzh. Kemudian penulis menjelaskan tempat-tempat ini dengan ucapannya,

 

Allah telah menulis apa yang Dia kehendaki di Lauh Mahfuzh. Apabila Allah menciptakan jasad janin sebelum dihembuskan ruh padanya, Dia mengutus kepadanya malaikat yang diperintahkan dengan empat kalimat, dikatakan kepadanya, “Tulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, berbahagia atau sengsara,” dan perkara lain semisalnya Di sini disebutkan dua tempat: Pertama adalah Lauh Mahfuzh. Dalil dan penjelasannya yang terperinci telah dipaparkan.

 

Kedua adalah penulisan umur bagi janin di rahim ibunya. Dalilnya adalah hadits Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan.

 

Adapun tempat ketiga, diisyaratkan oleh penulis dengan ucapannya, “Dan perkara lain semisalnya.” Ini adalah takdir hauli (tahunan) yang terjadi pada Lailatul Qadar. Apa yang terjadi dalam setahun itu ditulis pada Lailatul Qadar, sebagaimana Firman Allah

 

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami-lah yang mengutus rasul-rasul.” (Ad-Dukhan: 4-5).

 

Penulis berkata,

 

Takdir ini dahulu diingkari oleh sekte Qadariyah ekstrem dan pengingkarnya pada hari ini sedikit.

 

“Takdir ini,” yakni, ilmu Allah dan penulisan takdir, hal ini dahulu diingkari oleh sekte Qadariyah ekstrem, mereka berkata, “Sesungguhnya Allah tidak mengetahui perbuatan hamba, kecuali setelah ia dilakukan dan bahwa ia belum ditulis.” Mereka juga berkata, “Hal itu merupakan perkara baru yang tidak ada ilmunya di sisi Allah,” akan tetapi Qadariyah generasi belakang mengakui ilmu Allah dan penulisan takdir, dan mereka mengingkari adanya kehendak dan penciptaan, ini dari segi perbuatan makhluk. Adapun dari segi perbuatan Allah, maka tidak seorang pun mengingkari bahwa Allah mengetahuinya sebelum ia terjadi.

 

Orang-orang yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hamba, dalam syariat hukum mereka adalah kafir, karena mereka mendustakan Firman Allah  “Dan Allah mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282).

 

”Dan ayat-ayat lain, dan karena mereka telah menyelisihi hakikat fundamental dalam agama ini.

 

Tingkatan kedua dari tingkatan-tingkatan beriman kepada Qadar:

 

Penulis berkata,

 

Adapun tingkatan kedua.

 

Yakni dari tingkatan-tingkatan iman kepada takdir.

 

Penulis berkata,

 

Maka ia adalah masyi ah (kehendak) Allah yang pasti terjadi dan kuasaNya yang menyeluruh, yaitu mengimani bahwa apa yang di| kehendaki Allah pasti terjadi, apa yang tidak dikehendakiNya tidak terjadi, dan bahwa tidak ada gerakan dan diam di langit dan bumi, kecuali dengan masyi‘ah Allah

 

Yakni, engkau harus mengimani bahwa kehendak Allah pasti terlaksana dalam segala perkara; baik yang berkaitan dengan perbuatanNya atau perbuatan makhluk, dan bahwa kuasa Allah menyeluruh,

 

“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (Fathir: 44).

 

Tingkatan ini meliputi dua perkara: masyi ah dan penciptaan.

 

Kita wajib beriman bahwa masyi ah Allah pasti terlaksana pada segala sesuatu, dan bahwa kuasaNya meliputi segala sesuatu; baik berkait dengan perbuatanNya maupun perbuatan makhluk.

 

Bahwa ia meliputi perbuatanNya, maka perkaranya telah jelas. Adapun ia meliputi perbuatan-perbuatan makhluk, karena seluruh makhluk adalah milikNya ts dan tidak mungkin terjadi pada kepemilikanNya kecuali apa yang dikehendakiNya.

 

Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Maka kalau Dia menghendaki, niscaya Dia benar-benar memberikan hidayah kepada kalian semua.” (Al-An’am: 149). Dan Firman Allah

 

“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu.” (Hud: 118).

 

Dan juga Firman Allah

 

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih. Di antara mereka ada yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan.” (Al-Baqarah: 253). 

 

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan hamba tergantung kepada masyi ah Allah. Dan Allah berfirman,

 

“Dan kalian tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila Allah menghendaki.” (Al-Insan: 30).

 

Ini menunjukkan bahwa kehendak hamba masuk dan menginduk: ,kepada kehendak Allah.

 

Penulis berkata,

 

Tidak akan terjadi sesuatu yang tidak dikehendakiNya dalam kerajaanNya

 

Ucapan ini perlu dirinci, yakni tidak terjadi dalam kerajaanNya sesuatu yang tidak dikehendakiNya dengan iradah kauntyah (kehendak kauniyah). Adapun dengan iradah syar’iyyah (kehendak syar’iyah), maka pisa saja terjadi dalam kerajaanNya apa yang Dia tidak menghendakinya.

 

Jadi, kita perlu membagi iradah Allah (kehendak Allah) menjadi dua: iradah kauniyah dan iradah syar’iyyah.

 

Yang dimaksud dengan iradah kauniyah adalah masyi ah (kehendak itu sendiri), contohnya adalah perkataan Nabi Nuh kepada kaumnya,

 

“Dan nasthatku tidaklah bermanfaat bagi kalian, jika aku hendak memberi nasihat kepada kalian, sekiranya Allah hendak menyesatkan kalian.” (Hud: 34).

 

Sedangkan yang dimaksud dengan iradah syar’iyyah adalah ma| habbah (kecintaan), contohnya adalah Firman Allah

 

“Dan Allah hendak menerima taubat kalian.” (An-Nisa’: 27).

 

Kedua iradah ini berbeda dalam dua perkara: konsekuensi dan keterkaitan.

 

Dalam hal keterkaitan: Iradah kauniyah berkait dengan apa yang terjadi; baik ia dicintai atau dibenci oleh Allah, sedangkan iradah syar’iyyah terkait dengan apa yang dicintaiNya; baik ia terjadi atau tidak.

 

Dalam hal konsekuensi: Iradah kauniyah berkonsekuensi terjadihya apa yang diinginkan dan iradah syar’iyyah tidak berkonsekuensi demikian.

 

Jadi, perkataan penulis,   “Tidak terjadi dalam kerajaanNya sesuatu yang tidak dikehendakiNya,” maksudnya adalah tradah kauniyah.

 

Jika ada yang bertanya: Apakah kemaksiatan diinginkan oleh Allah?

 

Jawaban: Adapun dengan iradah syar’iyyah, maka hal itu tidak diinginkan oleh Allah karena Dia tidak mencintainya. Adapun jika dinisbatkan kepada iradah kauniyah, maka itu dikehendaki olehNya, karena ia terjadi dengan kehendakNya.

 

Penulis berkata,

 

Bahwa Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu, meliputi yang ada dan yang tiada.

 

“Segala sesuatu.” Jadi Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu yang ada untuk menghilangkan atau mengubahnya, sebagaimana Allah juga Maha berkuasa atas segala sesuatu yang tidak ada untuk diadakan.

 

Kuasa Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang sudah ada adalah dengan tetap mengadakannya, atau meniadakannya, atau mengubahnya. Sedangkan yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak ada adalah dengan tetap meniadakannya atau mengadakannya.

 

Sebagai contoh, semua yang ada, Allah mampu meniadakannya dan mampu mengubahnya dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Semua yang tiada, Allah mampu mengadakannya bagaimanapun juga, sebagaimana Firman Allah

 

“Sesungguhnya Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 20).

 

Sebagian ulama menyebutkan pengecualian dari ini, yaitu: kecuali DzatNya, Dia tidak berkuasa atasnya, karena akal menunjukkan hal itu.

 

Kami katakan: Apa yang engkau maksudkan bahwa Dia tidak berkuasa atas DzatNya?

 

Jika maksudmu adalah bahwa Dia tidak berkuasa untuk meniadakan DiriNya atau menimpakan kekurangan padaNya, maka kami sepakat denganmu bahwa Allah tidak tersentuh kekurangan atau ketiadaan, hanya saja kami tidak sependapat bahwa hal ini termasuk perkara yang berkait dengan kodrat, karena kodrat hanya berkait dengan segala sesuatu yang mungkin. Adapun apa yang wajib atau musrahil (bagi Dzat Allah), maka hal itu sama sekali tidak berkait dengan kodrat, karena yang wajib (bagi Dzat Allah), mustahil tidak ada, dan yang mustahil (bagi Dzat Allah), mustahil ada.

 

Kalau maksudmu dengan “Tidak berkuasa atas DzatNya” adalah pahwa Dia tidak berkuasa untuk melakukan apa yang dikehendakiNya, pia tidak mampu untuk datang atau semisalnya, maka hal ini adalah salah, justru Dia mampu dan melakukan itu. Kalau kita katakan bahwa pia tidak kuasa melakukan perbuatan-perbuatan seperti ini, maka itu perarti kekurangan terbesar yang mustahil bagi Allah.

 

Dengan ini diketahui bahwa pengecualian tersebut dari keumuman kodrat tidak pada tempatnya berdasarkan kemungkinan apa pun.

 

Penulis menyatakan hal itu hanyalah untuk membantah sekte Qadariyah yang mengatakan bahwa Allah tidak berkuasa atas perpuatan hamba, dan bahwa hamba terbebas dari campur tangan Allah dalam amal perbuatannya.

 

Akan tetapi keumuman kodrat Allah yang ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah membantah mereka.

 

Penulis berkata,

 

Tidak ada satu pun makhluk di bumi dan langit, melainkan Allah lah Penciptanya, tiada pencipta selainNya, tiada rabb selainNya.

 

Ini adalah shahih tanpa keraguan, ia didukung oleh dalil atsari (nagli) dan nazhari (aqli).

 

Dalil atsari (naqli), Allah berfirman,

 

“Allah Pencipta segala sesuatu.” (Az-Zumar: 62).

 

Dan Allah berfirman,

 

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (Ath-Thur: 35-36).

 

Maka tidak mungkin ada sesuatu pun di langit dan di bumi melainkan Allah-lah Penciptanya. Allah telah menantang para penyembah berhala dengan tantangan yang kita diminta untuk mendengarkannya. Allah berfirman,

 

“Wahai manusia, telah dibuat suatu perumpamaan, maka dengarkanlah ia. Sesungguhnya segala yang kalian sembah selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.” (Al-Hajj: 73).

 

Sudah dimaklumi bahwa sesuatu yang disembah selain Allah bagi penyembahnya memiliki derajat yang sangat tinggi, karenanyalah mereka menuhankannya. Jika tuhan-tuhan palsu yang menurut mereka memiliki derajat yang sangat tinggi tersebut tidak kuasa menciptakan lalat padahal ia begitu remeh dan hina, maka menciptakan sesuatu yang lebih besar daripada lalat tentu mereka lebih tidak mampu, bahkan Allah  berfirman,

 

“Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.” (Al-Hajj: 73).

 

Mereka tidak mampu membela diri di depan lalat dan mengambil hak mereka dari lalat.

 

Kalau ada yang bertanya: Bagaimana lalat mengambil sesuatu dari berhala-berhala tersebut?

 

Jawaban: Sebagian ulama berkata, “Ini hanya pengandaian; yakni seandainya lalat merampas sesuatu dari berhala-berhala tersebut, niscaya mereka tidak mampu merebutnya kembali.” Sebagian yang lain perkata, “Ia justru sesuai dengan realita. Ketika lalat ini hinggap di berhala-berhala itu dan ia menghisap wewangian yang ada padanya, maka berhala-berhala itu tidak akan mampu mengeluarkan apa yang telah dihisap oleh lalat tersebut.

 

Jika ia tidak mampu membela diri dan mempertahankan haknya, maka ia lebih tidak mampu membela selainnya dan mempertahankan haknya.”

 

Yang penting bahwa Allah lah Pencipta segala sesuatu, dan pahwa tidak ada pencipta selainNya, maka wajib beriman kepada keumuman penciptaan Allah , bahwa Dia pencipta segala sesuatu bahkan amal perbuatan manusia, sebagaimana Firman Allah ,

 

“Allah adalah Pencipta segala sesuatu.” (Ar-Ra’d: 16),

 

dan amal perbuatan manusia termasuk ke dalam “sesuatu”. Allah ole juga berfirman,

 

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuranukurannya dengan tepat.” (Al-Furqan: 2).

 

Dan ayat-ayat dalam hal ini berjumlah banyak.

 

Dalam topik ini terdapat ayat khusus, yaitu penciptaan amal perbuatan hamba. Nabi Ibrahim berkata kepada kaumnya,

 

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” (Ash-Shaffat: 96).

 

Kata  adalah mashdariyah, jadi asumsi ucapannya adalah  “Dia menciptakan kalian dan amal perbuatan kalian.” Ini jelas menunjukkan bahwa amal perbuatan manusia adalah makhluk (yang diciptakan oleh) Allah.

 

Jika ada yang berkata: Apakah tidak mungkin  di sini adalah isim maushul? Kalau demikian, maknanya adalah Dia menciptakan kalian dan menciptakan apa yang kalian buat itu. Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan penciptaan perbuatan hamba jika  dalam ayat tersebut adalah isim maushul?

 

Jawaban: Jika yang dibuat oleh manusia adalah makhluk Allah, maka itu berarti bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, karena yang dibuat terjadi dengan perbuatan manusia, manusialah yang secara langsung melakukan perbuatan pada yang dibuat itu. Jika apa yang dibuat adalah makhluk Allah dan ia adalah perbuatan hamba, maka itu berarti bahwa perbuatan hamba adalah makhluk. Jadi, ayat di atas tetaplah merupakan dalil bahwa perbuatan manusia adalah makhluk; baik dikatakan bahwa  adalah mashdariyah atau isim maushul.

 

– Adapun dalil nazhari (aqli), bahwa perbuatan hamba adalah makhluk Allah, maka penjelasannya adalah; kita katakan bahwa perbuatan hamba itu berdasarkan kepada dua hal: keinginan yang kuat dan kemampuan yang sempurna.

 

Misalnya: “Aku ingin melakukan sesuatu”, maka ia tidak akan terlaksana kecuali jika ia didahului dengan dua perkara:

 

Pertama, keinginan kuat untuk melakukannya, karena kalau engkau tidak memiliki keinginan kuat, niscaya engkau tidak akan melakukannya.

 

Kedua, kemampuan yang sempurna, karena kalau engkau tidak mampu, niscaya engkau tidak akan melakukannya. Yang menciptakan kemampuan ini padamu adalah Allah 3, Dia pulalah yang menitipkan keinginan berbuat padamu, dan pencipta sebab yang sempurna adalah pencipta akibat.

 

Sisi kedua dari dalil nazhari adalah; kita katakan bahwa perbuatan itu merupakan sifat bagi pelaku, dan sifat mengikuti pemiliknya, maka sebagaimana zat manusia adalah makhluk bagi Allah, maka perbuatannya juga makhluk, karena sifat mengikuti yang disifati.

 

Jelaslah melalui dalil bahwa perbuatan manusia adalah makhluk Allah, ia termasuk ke dalam keumuman penciptaan; baik berdasarkan dalil atsari maupun dalil nazhari. Dalil atsari terbagi menjadi dua; Umum dan khusus, dan dalil nazhari juga memiliki dua sisi.

 

Perkataan penulis,  “Tiada pencipta selainNya.”

 

Kalau engkau berkata: Pembatasan ini disanggah bahwa ada pencipta jain selain Allah. Perupa dikategorikan sebagai pencipta, bahkan dalam hadits dinyatakan dia adalah pencipta,

 

“Sesungguhnya para perupa makhluk bernyawa akan diazab, dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkan apa yang telah kalian ciptakan’.”

 

Allah berfirman,

 

“Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (Al-Mukminun: 14).

 

Jadi ada pencipta lain, akan tetapi yang terbaik adalah Allah. Bagaimana menanggapi perkataan penulis?

 

Jawaban: Penciptaan yang kita sandarkan kepada Allah adalah pengadaan (dari yang tidak ada) dan mengganti sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Jadi, maksudnya adalah tidak ada yang dapat mengadakan sesuatu (dari ketiadaan) kecuali Allah , tidak ada yang dapat mengganti sesuatu kepada sesuatu yang lain, kecuali Allah  sedangkan apa yang dikatakan kepada makhluk bahwa ia adalah penciptaan, maka ia hanya sekedar mengubah dari satu sifat ke sifat yang lain. Kayu misalnya, sebelumnya ia berada di pohon, lalu ia diubah oleh tukang kayu menjadi pintu. Perubahan kayu menjadi pintu dinamakan penciptaan, hanya saja ia bukan penciptaan yang merupakan kekhususan Sang Khaliq, yaitu mengadakan sesuatu dari ketiadaan, atau mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain.

 

Perkataan penulis,  “Tiada rabb selainNya,” yakni, hanya Allah sajalah Rabb Yang mengatur segala perkara. Ini adalah pembatasan yang sebenarnya. Hanya saja ia mungkin disanggah dengan penetapan hadits-hadits terhadap rububiyah kepada selain Allah.

 

Nabi  bersabda tentang Iuqathah (barang temuan) berupa unta,

 

“Biarkan ia, ia memiliki kantong minumnya dan sepatunya, ia mendatangi air dan makan (daun-daun) pohon sampai rabbnya menemukannya.’

 

Yang dimaksud dengan rabbnya di sini adalah pemiliknya. Dalam sebagian lafazh hadits Jibril, Nabi  bersabda,

 

“Sehingga hamba sahaya perempuan melahirkan rabbnya (majikannya) “

 

Bagaimana menggabungkan antara ini dengan perkataan penulis,  “Tidak ada rabb selainNya.”

 

Kami katakan: Bahwa Rububiyah Allah bersifat umum dan sempurna, segala sesuatu, Rabbnya adalah Allah, Dia tidak ditanya tentang apa yang dilakukanNya pada makhlukNya, karena seluruh perbuatanNya adalah rahmat dan mengandung hikmah. Oleh karena itu, Allah menakdirkan kekeringan, sakit, kematian, dan luka-luka pada manusia dan binatang. Kita katakan, Ini adalah kesempurnaan dan hikmah yang tertinggi. Adapun rububiyah makhluk atas makhluk lainnya, maka ia adalah rububiyah yang penuh dengan kekurangan lagi terbatas, tidak melebihi statusnya. Itu pun dia tidak mampu bertindak padanya secara leluasa, karena tindakannya terbatasi oleh syariat atau kebiasaan yang berlaku (urf).

 

Penulis berkata,

 

Meskipun demikian, Allah memerintahkan hamba-hambaNya agar menaatiNya dan menaati rasul-rasulNya serta melarang mereka bermaksiat kepadaNya.

 

Yakni, meskipun penciptaan dan RububiyahNya bersifat umum, dia tidak membiarkan hamba-hambaNya begitu saja dan tidak menghilangkan adanya pilihan dari mereka, akan tetapi, Dia memerintahkan mereka agar menaatiNya dan menaati rasul-rasulNya serta melarang mereka bermaksiat kepadaNya.

 

PerintahNya kepada semua itu adalah mungkin, yang diperintahkan adalah makhluk Allah, perbuatannya adalah makhluk Allah, meskipun begitu, ia diperintahkan dan dilarang.

 

Kalau seseorang itu dipaksa dalam berbuat, niscaya perintahNya adalah perintah yang tidak mungkin, sedangkan Allah berfirman,

 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).

 

Dan Dia berfirman,

 

“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.” (Al-An’am: 152).

 

Ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka mampu melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan dan bahwa mereka tidak dipaksa dalam melakukannya.

 

Penulis berkata,

 

Dia Yang Mahasuci mencintai orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang berbuat baik, dan orang-orang yang berlaku adil.

 

Yakni, Allah  mencintai orang-orang yang berbuat baik, berdasarkan Firman Allah

 

“Dan berbuat batklah, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat batk.” (Al-Bagarah: 195).

 

Allah juga mencintai orang-orang yang bertakwa, berdasarkan FirmanNya,

 

“Maka selama mereka berlaku lurus terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 7).

 

Allah juga mencintai orang-orang yang berlaku adil, berdasarkan FirmanNya,

 

“Dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9).

 

Allah mencintai mereka, meskipun begitu Dia-lah yang menakdirkan perbuatan yang dicintaiNya. Jadi, perbuatan mereka dicintai oleh Allah dan dikehendaki olehNya secara iradah kauniyah dan iradah syar’iyyah. Orang yang berbuat baik (al-Muhsin) adalah yang melakukan yang wajib dan yang dianjurkan, orang yang bertakwa (al-Muttaqi) adalah yang melakukan yang wajib, dan orang yang berlaku adil (al-Muqsith) adalah yang menjauhi kezhaliman dalam muamalahnya.

 

Penulis berkata,

 

Dia meridhai orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Allah tidak menyukai orang-orang kafir.

 

“Dia meridhai orang-orang yang beriman dan beramal shalih.”

 

Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (At-Taubah: 100).

 

Allah juga berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka jalah Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepadaNya.” (Al-Bayyinah: 7-8).

 

Penulis berkata,

 

Allah tidak menyukai orang-orang kafir. “ Yakni, Allah  tidak menyukai orang-orang kafir. Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.” (Ali Imran: 32).

 

Meskipun kekafiran terjadi dengan masyi ahNya, akan tetapi hal itu tidak secara otomatis dicintaiNya

 

Penulis berkata, Allah tidak meridhai kaum yang fasik. Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Tetapi jika sekiranya kalian ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 96).

 

Fasik -yaitu orang yang menyimpang dari ketaatan kepada Allahbisa berarti orang kafir dan bisa berarti orang Muslim yang melakukan kemaksiatan.

 

Pada Firman Allah

 

“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka bagi mereka surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala atas apa yang mereka kerjakan. Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir), maka tempat mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka, ‘Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kalian mendustakannya’.” (As-Sajdah: 18-20).

 

Yang dimaksud dengan orang fasik di ayat ini adalah orang kafir. Adapun Firman Allah

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepada kalian membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya.” (Al-Hujurat: 6).

 

Yang dimaksud dengan orang fasik di ayat ini adalah orang Islam yang bermaksiat.

 

Jadi, Allah  tidak meridhai kaum yang fasik; baik fasik yang berarti kafir, maupun fasik yang berarti orang Islam yang bermaksiat, hanya saja fasik yang berarti kafir, Allah tidak meridhainya secara mutlak. Adapun fasik yang berarti pelaku kemaksiatan dari kalangan orang Islam, maka Dia tidak meridhainya dalam hal kemaksiatan yang dilakukannya, dan meridhainya dalam hal ketaatannya.

 

Penulis berkata,

 

Allah tidak memerintahkan (melakukan) perbuatan yang keji.

 

Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji’.” (Al-A’raf: 28).

 

Karena jika mereka melakukan perbuatan keji,

 

“Mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya’.” (Al-A’raf: 28).

 

Mereka berdalih dengan dua perkara tersebut, maka Allah berfirman, 

 

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji’.” (Al-A’raf: 28).

 

Dan Allah mendiamkan ucapan mereka  “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu,” karena itu merupakan kebenaran yang tidak diingkari, akan tetapi ucapan mereka,  “Dan Allah menyuruh kami mengerjakannya”, adalah dusta, oleh karena itu Allah mendustakan mereka dan memerin

 

tahkan NabiNya agar berkata,  “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Dan tidak diteruskan dengan ucapan, “Dan mereka tidak mendapati nenek moyangnya melakukannya,” karena memang benar bahwa mereka telah mendapati nenek moyang mereka melakukan demikian.

 

Penulis berkata,

 

Allah tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hambaNya.

 

Berdasarkan Firman Allah

 

“Jika kalian kafir, maka (ketahuilah) sesungguhnya Allah tidak membutuhkan kalian dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hambaNya.” (Az-Zumar: 7),

 

akan tetapi mereka Kafir dengan takdir Allah, walaupun demikian, kekafiran mereka dengan takdir Allah tidak berarti Dia meridhainya., Dia menakdirkannya dan membenci serta memurkainya.

 

Penulis berkata,

 

Dan Allah tidak menyukai kerusakan.

 

Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Dan apabila dia berpaling (darimu), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.” (Al-Baqarah: 205).

 

Penulis mengulang kalimat-kalimat seperti ini untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang dikehendaki oleh Allah tidak secara otomatis bahwa ia dicintaiNya, dan sesuatu yang dibenci olehNya tidak secara otomatis tidak dikehendakiNya dengan iradah kauniyah, akan tetapi Allah  membenci sesuatu dan menghendakinya dengan iradah kauniyah, dan Dia membuat sesuatu terjadi, padahal Dia tidak meridhainya serta tidak menghendakinya dengan iradah syar’iyyah.

 

Kalau engkau berkata, Bagaimana Allah membuat sesuatu terjadi padahal Dia tidak mencintai dan meridhainya? Adakah seseorang yang memaksaNya untuk melakukan itu?

 

Jawaban: Tidak ada seorang pun yang memaksa Allah untuk membuat sesuatu terjadi padahal Dia tidak mencintai dan tidak meridhainya. Dan sesuatu yang terjadi dari perbuatanNya dan ia dibenci olehNya memiliki dua sisi: dibenci dari satu sisi, namun dicintai dari sisi yang lain, karena adanya kemaslahatan besar yang diakibatkannya.

 

Sebagai contoh: Iman dicintai oleh Allah, dan kekafiran dibenci olehNya. Dia menetapkan kekafiran terjadi, padahal ia dibenci olehNya, karena adanya kemaslahatan yang besar, karena kalau tidak ada kekafiran, niscaya iman tidak dikenal. Kalau tidak ada kekafiran, niscaya seseorang tidak menyetahui kadar nikmat yang diberikan Allah dengan keimanan. Kalau tidak ada kekafiran, niscaya tidak ada amar ma’ruf nahi mungkar, karena semua orang sudah di atas kebaikan. Kalau tidak ada kekatiran, maka tidak ada jihad. Kalau tidak ada kekafiran, niscaya penciptaan neraka hanya sia-sia belaka, karena neraka adalah tempat tinggal orang-orang kafir. Kalau tidak ada kekafiran, niscaya manusia adalah umat yang satu, mereka tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar, ini jelas membuat masyarakat sosial pincang. Kalau tidak ada kekafiran, niscaya wala (loyalitas) kepada Allah tidak diketahui, karena termasuk wala kepada Allah adalah membenci musuh-musuhNya dan mencintai wali-waliNya.

 

Hal yang sama dikatakan tentang kesehatan dan sakit, kesehatan dicintai oleh manusia dan sesuai dengannya. Rahmat Allah padanya terlihat jelas. Tetapi sakit dibenci oleh manusia, ia bisa menjadi hukuman dari Allah baginya, meskipun demikian Allah menetapkannya terjadi karena kemaslahatan besar yang dikandungnya. Betapa banyak orang yang dilimpahi nikmat oleh Allah, nikmat badan, harta, anak, rumah, dan kendaraan, dia menjadi sombong, dan dia melihat bahwa dengan nikmatnya tersebut dia tidak perlu taat kepada Allah, sebagaimana Firman Allah

 

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampauti batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-Alaq: 6-7).

 

Ini adalah kerusakan besar. Kalau Allah ingin mengembalikan orang ini ke tempatnya, maka Allah mengujinya agar dia kembali kepadaNya. Hal ini dinyatakan dalam Firman Allah

 

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41).

 

Apabila engkau wahai manusia berpikir dengan cara positif seperti ini terhadap takdir-takdir Allah, niscaya engkau mengetahui hikmahNya dalam kebaikan dan keburukan yang ditakdirkanNya, dan bahwa Allah menciptakan apa yang dibenciNya dan menakdirkan apa yang dibenciNya karena kemaslahatan-kemaslahatan yang besar, yang terkadang engkau mengetahuinya dan terkadang engkay tidak mengetahuinya, tetapi diketahui oleh orang lain, dan terkadang engkau dan orang lain sama-sama tidak mengetahuinya.

 

Kalau ada yang berkata, Bagaimana sesuatu dibenci oleh Allah, namun dikehendaki olehNya?

 

Jawaban: Ini tidaklah aneh. Obat yang pahit rasanya dan tidak enak baunya diminum oleh orang sakit dengan tenang, karena dia berharap kesembuhan darinya. Seorang ayah memegang anaknya agar dokter menempel sakitnya dengan besi panas, dan bisa jadi dia sendiri yang melakukannya, meskipun dia sangat tidak ingin membakar anaknya dengan api.

 

Penulis berkata,

 

Para hamba adalah para pelaku yang sebenarnya dan Allah adalah Pencipta perbuatan mereka.

 

Ini shahih. Hamba-lah yang secara hakiki dan langsung melakukan perbuatannya dan Allah-lah Pencipta perbuatannya secara hakiki. Ini adalah akidah Ahlus Sunnah, dan dalil-dalil tentang penetapan hal ini telah dipaparkan.

 

Ada dua golongan yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam prinsip ini:

 

Pertama, sekte Qadariyah dari kalangan Mu’tazilah dan lain-lain, mereka menyatakan bahwa hamba-lah pelaku perbuatannya secara hakiki dan Allah tidak menciptakan perbuatannya.

 

Kedua, sekte Jabariyah dari kalangan Jahmiyah dan lain-lain. Mereka menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta perbuatan hamba dan hamba bukanlah pelaku secara hakiki, perbuatannya disandarkan kepada hamba hanya sebagai bentuk majaz, karena jika tidak, maka pelaku sebenarnya adalah Allah.

 

Pendapat ini menyerct kepada pendapat wihdatul wujud dan bahwa makhluk adalah Allah, kemudian ia juga menyeret kepada pendapat yang merupakan kebatilan yang paling batil, karena di antara manusia ada yang berzina, ada yang mencuri, ada yang minum khamar, dan ada pula pelaku kezhaliman, maka tidak mungkin jika perbuatan ini dinisbatkan kepada Allah. Di samping itu, ia memiliki konsekuensi-konsekuensi batil lainnya.

 

Dengan ini jelaslah bahwa perkataan penulis, “Para hamba adaJah pelaku yang sebenarnya dan Allah adalah Pencipta perbuatan mereka,” mengandung bantahan terhadap sekte Jabariyah dan Qadariyah.

 

Penulis berkata,

 

Seorang hamba adalah seorang Mukmin, kafir, yang baik, yang durhaka, orang yang shalat, dan orang yang berpuasa.

 

Yakni sifat-sifat ini: iman, kekafiran, kebaikan, kedurhakaan, shalat, dan puasa adalah sifat-sifat hamba, bukan selainnya, dialah orang yang beriman, kafir, orang baik, orang yang durjana, orang yang shalat, orang yang berpuasa, orang yang berzakat, orang yang berhaji, orang yang berumrah… dan seterusnya, dan seorang hamba tidak mungkin disifati dengan sesuatu yang bukan merupakan perbuatannya secara hakiki.

 

Kalimat ini mengandung bantahan kepada Jabariyah.

 

Yang dimaksud penghambaan (ubudiyah) di sini adalah penghambaan umum, karena penghambaan itu ada dua: penghambaan umum dan penghambaan khusus.

 

– Penghambaan umum adalah ketundukan kepada perintah kauniyah Allah, seperti FirmanNya

 

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Rabb Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba.” (Maryam: 93).

 

– Penghambaan khusus adalah ketundukan kepada perintah syar’iyah Allah, seperti Firman Allah “Dan hamba-hamba Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.” (Al-Furqan: 63).

 

Dan FirmanNya

 

“Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur-an) kepada hambaNya.” (Al-Furqan: 1).

 

Ini lebih khusus daripada yang pertama.

 

Penulis berkata,

 

Dan para hamba mempunyai kemampuan atas perbuatan mereka, dan mereka memiliki keinginan, dan Allah-lah Pencipta mereka dan Pencipta kemampuan dan keinginan mereka.

 

“Para hamba mempunyai kemampuan atas perbuatan mereka, dan mereka memiliki keinginan.” Ucapan ini menyelisihi sekte Jabariyah yang berpendapat bahwa hamba tidak mempunyai kemampuan dan keinginan, akan tetapi mereka hanya dipaksa melakukannya.

 

“Dan Allah adalah Pencipta mereka dan Pencipta kemampuan dan keinginan mereka.” Ucapan ini menyelisihi pendapat sekte Qadariyah yang menyatakan bahwa Allah bukan pencipta perbuatan hamba dan bukan pula pencipta kemampuan dan keinginannya.

 

Dengan kalimatnya ini, penulis menunjukkan alasan mengapa perbuatan hamba adalah makhluk Allah hal itu karena perbuatannya berasal dari kemampuan dan keinginan, dan Pencipta keduanya adalah Allah, dan apa yang berasal dari makhluk adalah makhluk.

 

Dengannya pula penulis mengisyaratkan bahwa perbuatan hamba bersifat pilihan, bukan paksaan, karena ia berasal dari kemampuan dan keinginan, karena jika keduanya tidak ada, niscaya tidak terjadi perbuatan darinya, kalau tidak ada keinginan, niscaya tidak terjadi perbuatan darinya, kalau perbuatannya terpaksa, maka kemampuan dan keinginan bukan termasuk syaratnya.  Kemudian penulis menghadirkan dalil hal itu, beliau berkata,

 

Sebagaimana Allah berfirman, “(Yaitu) bagi siapa di antara kalian yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila Allah Tuhan seluruh alam menghendaki.” (At-Takwir: 28-29).

 

FirmanNya,  “(Yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus,” adalah bantahan kepada sekte Jabariyah.

 

Dan FirmanNya,  “Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah,” bantahan kepada sekte Qadariyah.

 

Penulis berkata,

 

Tingkatan Qadar yang ini.

 

Yang dimaksud dengan tingkatan Qadar di sini adalah tingkatan masy’ah (kehendak) dan penciptaan.

 

Didustakan oleh mayoritas sekte Qadariyah yang dinamakan oleh Nabi  dengan majusinya umat ini.

 

“Mayoritas sekte Qadariyah,” yakni, kebanyakan dari mereka mendustakan tingkatan ini, mereka berkata, Manusia independen dalam perbuatannya. Allah tidak memiliki masyi ah dan hak penciptaan padanya.

 

Nabi  menamakan mereka majusinya umat ini karena orang-orang majusi mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa (yang terjadi dij alam semesta) memiliki dua pencipta: Pencipta kebaikan dan pencipta keburukan. Pencipta kebaikan adalah cahaya, dan pencipta keburukan adalah kegelapan. Sekte Qadariyah mempunyai kemiripan dengan orang-orang majusi dari satu sisi, karena Qadariyah mengatakan bahwa peristiwa ada dua macam: peristiwa dari perbuatan Allah, ini adalah makhluk Allah, dan peristiwa dari perbuatan hamba, dan ini adalah miliknya secara independen, Allah tidak memiliki hak penciptaan padanya.

 

Penulis berkata,

 

Ada pula suatu kaum dari orang-orang yang menetapkannya, di mana mereka bersikap berlebih-lebihan padanya sehingga mereka menafikan kemampuan dan pilihan berbuat dari seorang hamba dan mereka mengeluarkan hikmah-hikmah dan kemaslahatan-kemaslahatan dari perbuatan-perbuatan dan hukum-hukum Allah.

 

“Bersikap berlebih-lebihan padanya,” yakni, dalam tingkatan ini.

 

“Suatu kaum dari orang-orang yang menetapkannya,” yakni, menetapkan takdir.

 

Mereka ini adalah Jabariyah yang menafikan kemampuan dan pilihan dari seorang, hamba. Mereka berkata, Seorang hamba dipaksa untuk berbuat karena ia telah ditulis atasnya.

 

Perkataan penulis,

 

“Dan mereka mengeluarkan hikinah-hikmah dan kemaslahatan-kemaslahatan dari perbuatan-perbuatan dan hukum-hukum Allah.”

 

Kalimat “mereka mengeluarkan” bersambung dengan ucapannya, “Bersikap berlebih-lebihan.”

 

Mereka mengeluarkan (tidak mengakui adanya) hikmah dan kemaslahatan dari perbuatan-perbuatan Allah dan hukum-hukumNya, karena mereka tidak menetapkan hikmah atau maslahat bagi Allah, Dia melakukan dan menetapkan hukum hanya sekedar karena masyi ahNya. Oleh karena itu, Dia memberi pahala kepada orang yang taat walaupun dia dipaksa melakukannya, dan Dia menghukum pelaku dosa walaupun dia dipaksa melakukannya.

 

Dan sudah dimaklumi bahwa orang yang dipaksa, tidak berhak dipuji karena melakukan sesuatu yang terpuji dan tidak berhak dicela karena melakukan sesuatu yang tercela, karena hal itu dilakukan tanpa adanya pilihan darinya.

 

Ada sebuah masalah yang dijadikan sebagai dalih bagi banyak pelaku dosa jika engkau mengingkari perbuatannya. Dia berkata, Inilah yang Allah takdirkan kepadaku, apakah engkau menyangkal Allah? Dia berdalih dengan takdir atas kemaksiatan kepada Allah. Katanya, Aku adalah hamba yang telah ditentukan perjalanan hidupnya. Lalu dia juga berdalih dengan hadits:

 

“Adam dan Musa saling berdebat. Musa berkata kepada Adam, ‘Engkau adalah bapak kami, engkau menggagalkan harapan kami, engkau mengeluarkan kami dari surga.’ Adam menjawab, ‘Engkau adalah Musa, Allah memilihmu dengan KalamNya, Dia menulis Taurat untukmu dengan TanganNya, apakah engkau menyalahkanku atas suatu perkara yang telah Allah takdirkan atasku empat puluh tahun sebelum menciptakanku ?’ Nabi  bersabda, ‘Adam mengalahkan Musa dalam hujjahnya.’ Beliau mengucapkannya tiga kali.”

 

Di dalam riwayat Ahmad disebutkan.  “Adam mengalahkannya dengan hujjah.” Ia jelas sekali bahwa Nabi Adam mengalahkan Nabi Musa dengan argumennya.

 

Dia berkata, Adam membantah Musa dengan takdir ketika Musa menyalahkannya. Adam adalah Nabi, Musa adalah Rasul, lalu Musa diam, lalu mengapa engkau berhujjah melawanku?

 

Jawaban terhadap hadits Adam:

 

Kalau menurut pendapat Qadariyah, hadits Ahad tidak menghasilkan keyakinan. Mereka berkata, Jika ia bertentangan dengan akal, maka ia wajib ditolak. Dari sini mereka berkata, “Ini tidak shahih, kami tidak menerima dan mengambilnya.”

 

Adapun Jabariyah, maka mereka berkata, Inilah dalilnya. Petunjuk dalil ini adalah kebenaran, seorang hamba tidak disalahkan atas apa yang ditakdirkan baginya.

 

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka berkata, Nabi Adam  melakukan dosa, dosanya menjadi sebab dikeluarkannya dia dari surga, akan tetapi Adam telah bertaubat darinya, dan setelah bertaubat, Allah menerimanya, mengangkatnya, dan memberinya petunjuk, dan orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdosa. Mustahil Musa -salah seorang Rasul Ulul Azmimenyalahkan Adam karena sesuatu yang Adam telah bertaubat darinya dan setelah itu Allah menerimanya, mengangkatnya dan memberinya petunjuk. Musa menyalahkan Adam karena musibah yang terjadi akibat perbuatannya, yaitu dikeluarkannya dia dan anak keturunannya dari surga, di mana penyebab hal itu adalah kesalahan Adam. Di samping itu, tanpa ragu, Adam tidak melakukan ini agar dikeluarkan dari surga yang akibatnya dia disalahkan. Bagaimana Musa menyalahkannya?

 

Ini adalah sisi yang sangat jelas bahwa Nabi Musa tidak bermaksud menyalahkan Adam atas kesalahannya, akan tetapi atas musibah yang merupakan takdir dari Allah. Dari sini, diketahui bahwa dalam hadits ini tidak terdapat dalil bagi Jabariyah.

 

Kita mencrima hadits ini dan tidak mengingkarinya sebagaimana ang dilakukan oleh Qadariyah, akan tetapi kita tidak berdalil denganya atas kemaksiatan seperti yang dilakukan oleh Jabariyah.

 

Ada jawaban lain yang diisyaratkan oleh Ibnul Qayyim dia perkata, “Apabila seseorang bermaksiat dan berdalih dengan takdir setelah dia bertaubat darinya, maka itu tidak mengapa.”

 

Artinya: Seandainya seseorang menyalahkanmu karena perbuatan maksiatmu setelah engkau bertaubat darinya, lalu engkau menjawab, “Ini terjadi dengan Qadha’ dan Qadar dari Allah, aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah …” atau engkau menjawab dengan ungkapan lain yang semisalnya, maka hal itu tidak mengapa.

 

Adam berdalil dengan takdir setelah dia bertaubat dari kesalahannya. Ini tanpa ragu adalah penjelasan yang baik, hanya saja kekurangannya adalah, Musa tidak mungkin menyalahkan Adam atas kesalahan yang dia telah bertaubat darinya.

 

Ibnul Qayyim menguatkan pendapatnya ini dengan apa yang terjadi pada Nabi ketika mengunjungi Ali dan Fathimah  di malam hari. Nabi  bersabda, “Tidakkah kalian berdua shalat?” Ali menjawab, “Wahai Rasulullah, jiwa kami di Tangan Allah, jika Dia berkehendak untuk membangunkan kami, maka Dia akan membangunkan kami.” Lalu Nabi #s pulang seraya menepuk-nepuk paha beliau sambil bersabda,

 

“Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (Al-Kahfi: 54).

 

Menurutku pengambilan dalil dengan hadits ini perlu dikaji, karena Ali berhujjah dengan takdir atas tidurnya, dan orang yang tidur boleh berdalil dengan takdir, karena perbuatannya tidak dinisbatkan kepadanya. Oleh karena itu, Allah berfirman tentang ashhabul kahfi,

 

“Dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri.” (Al-Kahfi: 18).

 

Allah menisbatkan pembolak-balikan kepadaNya, padahal yang berbolak-balik adalah mereka, akan tetapi karena itu terjadi tanpa keinginan mereka, maka ia tidak dinisbatkan kepada mereka.

 

Sisi pertama tentang jawaban terhadap hadits Adam dan Musa yang merupakan jawaban Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah yang benar.

 

Jadi, dalam hadits ini tidak terdapat dali] bagi Jabariyah dan tidak pula bagi para pelaku maksiat yang berdalil dengan hadits ini untuk mendukung pengambilan hujjah mereka dengan takdir.

 

Kami katakan, Pengambilan dalilmu atas perbuatan maksiat dengan takdir dibantah oleh dalil naqli, agli, dan realita.

 

– Dalil naqli: Firman Allah

 

“Orang-orang musyrik akan berkata, “Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan(Nya), begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.” Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan azab Kami.” (Al-An’‘am: 148).

 

Mereka berkata demikian untuk menjadikan takdir sebagai alasan berbuat maksiat, maka Allah  berfirman “Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul).” Yakni mereka mendustakan para rasul dan berdalih dengan takdir “sampai mereka merasakan siksaan Kami.” Ini menunjukkan bahwa hujjah mereka batil, karena jika itu adalah hujjah yang diterima, niscaya mereka tidak ditimpa siksa Allah.

 

Dalil naqli yang lain adalah Firman Allah

 

“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (wahai Rasul) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh, dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya,; Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud. Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan Allah benar-benar telah berbicara (secara langsung) kepada Musa. (Mereka Kami utus sebagai) rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan pagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.” (An-Nisa’: 163-165).

 

Titik pengambilan dalil dari ayat ini adalah seandainya takdir itu adalah hujjah untuk berbuat dosa, niscaya ia tidak batal dengan diutusnya para rasul, hal itu karena takdir tidak batal dengan diutusnya para rasul, ia tetap ada.

 

Jika ada yang berkata, Dalil yang pertama mungkin disanggah dengan Firman Allah  dalam Surat al-An’am,

 

“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu (wahai Rasul) dari Tuhanmu; tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia; dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan(Nya). Dan Kami tidak menjadikan engkau penjaga mereka; dan engkau bukan pula yang mengurusi mereka (mendapat hidayah atau tidak).” (Al-An’am: 106-107).

 

Di sini Allah berfirman,

 

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan(Nya).”

 

Kami jawab: Ucapan seseorang tentang orang-orang kafir, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan(Nya)” adalah shahih dan sah, akan tetapi ucapan orang musyrik,  “Jika Allah menghendaki, niscaya Kami tidak mempersekutukanNya.” (Al-An’‘am: 148),

 

dengan maksud berdalih dengan takdir atas perbuatan maksiat adalah ucapan batil. Allah  berfirman kepada RasulNya demikian untuk menghibur dan menjelaskan bahwa apa yang terjadi adalah dengan masyi’ahNya.

 

Adapun dalil aqli atas kebatilan berdalihnya pelaku maksiat dengan takdir atas perbuatan maksiat kepada Allah, maka kami katakan kepadanya, Dari mana engkau mengetahui bahwa Allah telah menakdirkanmu berbuat maksiat sebelum engkau berbuat maksiat? Kita semua tidak mengetahui apa yang Allah takdirkan kecuali setelah ia terjadi. Adapun sebelumnya, maka kita tidak mengetahui apa yang ditakdirkan kepada kita. Kita katakan kepada pelaku dosa, Apakah engkau mempunyai ilmu bahwa Allah telah menakdirkanmu berbuat dosa sebelum engkau melakukannya? Dia akan menjawab, “Tidak,” maka kita katakan, Jadi mengapa engkau tidak memperkirakan Allah menakdirkan ketaatan, lalu engkau pun menaati Allah? Pintu dj depanmu terbuka lebar, mengapa engkau tidak masuk melalui pintu yang membawa kebaikan untukmu karena engkau tidak mengetahui apa yang ditakdirkan untukmu? Berdalih dengan sesuatu atas perkara yang dilakukannya sebelum diketahuinya dalih tersebut sebelumnya adalah batil, karena hujjah adalah sebuah jalan yang dengannya seseorang berjalan karenanya, dalil pasti mendahului madlul (apa yang ditunjuk oleh dalil tersebut).

 

Kita katakan juga padanya, Kalau dikatakan kepadamu bahwa Makkah mempunyai dua jalan: yang pertama bagus lagi aman, yang kedua sulit lagi berbahaya, bukankah engkau akan memilih yang aman? Dia akan menjawab, Ya. Kita katakan, Mengapa dalam beribadah engkau memilih jalan yang berbahaya yang dibalut oleh risiko-risiko berat dan membiarkan jalan aman yang Allah menjamin keamanan bagi yang memilihnya? Allah  berfirman,

 

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan.” (Al-An’am: 82).

 

Ini adalah hujjah yang sangat jelas.

 

Kita katakan kepadanya pula, Kalau pemerintah membuka dua lowongan pekerjaan: pertama jabatan tinggi, yang kedua rendah. Mana yang engkau inginkan? Tanpa ragu engkau pasti memilih yang tinggi. Ini membuktikan bahwa dalam perkara dunia engkau memilih yang terbaik, lalu mengapa dalam perkara agama tidak demikian? Bukankah ini adalah kontradiksi darimu?

 

Dengan ini jelaslah bahwa tidak ada celah sedikit pun bagi pelaku kemaksiatan untuk berdalih dengan takdir atas kemaksiatannya kepada Allah.

 

 

Penulis berkata,

 

pasal: Di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa din dan iman adalah perkataan dan perbuatan.  adalah apa yang dengannya manusia dibalas, atau apa yang diamalkan oleh manusia. Jadi kata ini digunakan untuk menyatakan balasan dan juga amalan. Dalam Firman Allah

 

“Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu adalah milik (wewenang) Allah.” (Al-Infithar: 18-19).

 

Yang dimaksud din di ayat ini adalah balasan.  Firman Allah

 

“Dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” (Al-Ma‘idah: 3).

 

Yakni, amal yang dengannya engkau mendekatkan diri kepada Allah. Dikatakan,  yang berarti: sebagaimana engkau beramal, maka engkau akan dibalas (sesuai dengan amalmu). Yang dimaksud dengan din dalam perkataan penulis adalah amal.

 

Adapun   maka kebanyakan ulama menyatakan bahwa iman secara etimologi adalah   “membenarkan”. Akan tetapi hal itu kurang tepat, karena bila dua kata bermakna sama, maka bila salah satu, nya bekerja pada objek secara langsung (tidak butuh huruf tambahan), maka seharusnya yang satunya juga demikian, dan sudah diketahui bahwa kata   bekerja pada objek secara langsung, sementara kata   tidak demikian. Dikatakan   “aku membenarkannya” dan tidak dikatakan:  , tetapi   “aku beriman dengannya” atau   “aku beriman kepadanya”. Jadi tidak mungkin kita menafsirkan  sebagai fi’il lazim (intransitif) yang tidak bekerja pada maf’ul (obyek) kecuali dengan bantuan huruf jar—dengan  sebagai fi’il yang menashabkan maf’ul dengan sendirinya. Kemudian kata  tidak memberi makna kata , karena kata  menunjukkan kemantapan terhadap beritanya dalam kadar yang lebih besar daripada kata 

 

Oleh karena itu, seandainya iman ditafsirkan dengan iqrar (pengakuan), niscaya itu lebih baik, kita katakan iman adalah iqrar dan tidak ada iqrar kecuali dengan tashdiq. Kita katakan  sebagaimana kita katakan  dan kita katakan  sebagaimana kita katakan  Ini secara etimologi.

 

Adapun definisi iman secara syariat, maka penulis berkata, Iman adalah   “perkataan dan perbuatan.”

 

Ini adalah definisi global yang dirinci sendiri oleh penulis dengan perkataannya,

 

Perkataan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota badan.

 

Penulis menyatakan bahwa hati memiliki perkataan dan perbuatan, dan lisan juga demikian.

 

Perkataan lisan sudah jelas, yaitu pengucapan, adapun perbuatannya adalah gerakannya dan bukan pengucapan, akan tetapi pengucapan berasal darinya jika ia tidak bisu.

 

Adapun perkataan hati, maka ia adalah pengakuan dan pembenarannya. Adapun perbuatannya, maka ia adalah ungkapan untuk gerakan dan keinginannya, seperti keikhlasan dalam beramal; ini adalah perbuatan hati, begitu pula tawakal, harapan, dan rasa takut; jadi perbuatan bukan sekedar ketenangan di dalam hati, akan tetapi ada gerakan di dalam hati. Sedangkan perbuatan anggota badan sudah jelas, yaitu rukuk, sujud, berdiri, dan duduk. Perbuatan anggota badan adalah iman secara syar’i karena pendorongnya adalah iman. Kalau ada yang bertanya: Mana dalil yang menunjukkan bahwa iman meliputi semua ini? Kami menjawab: Nabi  bersabda,

 

“Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, Hari Akhir dan takdir yang baik dan yang buruk.”  Ini adalah ucapan hati. Adapun perbuatan hati, lisan dan anggota  badan; maka dalilnya adalah sabda Nabi

 

 “Iman itu terdiri dari tujuh puluh cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan La ilaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang iman.”

 

Ini adalah penjelasan tentang perkataan lisan dan perbuatannya sekaligus perbuatan anggota badan, sedangkan rasa malu adalah perbuatan hati, yaitu perasaan tidak enak hati yang dialami seseorang pada saat menghadapi sesuatu yang membuatnya malu. Dengan ini, jelaslah bahwa iman menurut syariat mencakup semua itu.

 

Hal ini didukung oleh Firman Allah

 

“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (Al-Baqarah: 143).

 

Para ahli tafsir berkata, Yakni shalat kalian ke Baitul Maqdis, Allah us menamakan shalat dengan iman padahal ia adalah perbuatan anggota badan, perbuatan hati, dan perkataan lisan.

 

Inilah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Cakupan iman terhadap empat perkara ini tidak berarti ia tidak terwujud kecuali dengan itu semua, akan tetapi seseorang tetap bisa menjadi Mukmin meskipun dia tidak melakukan sebagian amal perbuatan, hanya saja imannya berkurang sesuai dengan berkurangnya amalannya.

 

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini ditentang oleh dua kelompok ahli bid’ah yang ekstrem.

 

Pertama: Sekte Murji ah. Mereka berkata, Iman adalah pengakuan dalam hati, selain itu bukan termasuk iman. Oleh karena itu, menurut mereka iman tidak bertambah dan tidak berkurang, karena ia hanyalah pengakuan dalam hati. Iman semua orang adalah sama. Menurut mereka, orang yang beribadah kepada Allah siang malam sama dengan orang yang bermaksiat kepadaNya siang malam, selama kemaksiatannya tidak mengeluarkannya dari Islam.

 

Kalau ada orang yang berzina, mencuri, minum khamar, dan melanggar hak orang lain, sementara ada orang lain yang bertakwa kepada Allah, jauh dari semua itu, maka menurut Murji’ah keduanya adalah sama dalam iman dan harapan, masing-masing dari mereka tidak diazab, karena amal perbuatan tidak termasuk ke dalam kategori iman.

 

Kedua: Sekte Khawarij dan Mu’tazilah, mereka berkata, Amal perbuatan termasuk ke dalam kategori iman, dan bahwa ia adalah syarat keberadaan iman. Siapa yang berbuat kemaksiatan yang termasuk dosa besar, maka dia telah keluar dari iman, akan tetapi Khawarij berkata, Dia telah kafir, sementara Mu’tazilah berkata, Dia berada pada manzilah (tempat) di antara dua manzilah, dia bukan Mukmin dan bukan pula kafir, akan tetapi dia keluar dari iman, namun tidak masuk ke dalam kekafiran, jadi dia berada pada manzilah di antara dua manzilah.

 

Inilah pendapat-pendapat manusia tentang iman.

 

Penulis berkata,

 

bahwasanya iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkusang dengan kemaksiatan.

 

Perkataan penulis ini menginduk kepada ucapan sebelumnya, “Bahwa din …” dan seterusnya. Yakni, di antara prinsip-prinsip Ahlus sunnah wal Jama’ah adalah bahwa iman itu bertambah dan berkurang.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdalil dengan dalil-dalil dari alQur’an dan as-Sunnah.

 

Dari al-Qur’an, Firman Allah

 

“Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah iman mereka, dan mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 124).

 

Dan Firman Allah

 

“Supaya orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya.” (Al-Muddatstsir: 31).

 

Ini jelas menetapkan adanya tambahan keimanan.

 

Adapun tentang berkurangnya iman, maka ia ditetapkan oleh hadits shahih di ash-Shahihain, bahwa Nabi  telah menasihati para wanita, dan beliau bersabda kepada mereka, –

 

“Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamaNya yang lebih mengacaukan akal laki-laki yang memiuliki ketegasan daripada salah seorang . dari kalian.”

 

Nabi menetapkan kekurangan agama.

 

Kalaupun seandainya tidak ada dalil yang menetapkan berkurangnya keimanan, maka adanya penetapan bertambahnya iman berkonsekuensi kepada berkurangnya iman. Kami katakan, Semua dalil yang menunjukkan bertambahnya iman mengandung indikasi berkurangnya iman.

 

Sebab-sebab bertambahnya iman ada empat:

 

Pertama, mengenal Allah dengan Nama-nama dan Sifat-sifatNya, karena semakin bertambah ma’rifat seseorang kepada Allah, Namanama dan Sifat-sifatNya, maka semakin bertambah pula imannya.

 

Kedua, melihat ayat-ayat Allah, baik yang kauniyah maupun yang syar’iyah. Allah  berfirman,

 

“Maka apakah mereka tidak memerhatikan unta, “bagaimana ia liciptakan dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghasyiyah: 17-20).

 

Allah  juga berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda-tanda (Kuasa Allah) dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman’.” (Yunus: 101).

 

Semakin bertambah pengetahuan seseorang terhadap keajaiban makhluk dan hikmah yang mendalam yang Allah ciptakan di alam raya ini, semakin bertambah pula imannya kepada Allah 38, begitu pula melihat kepada ayat-ayat Allah yang syar’iyah akan menambah iman seseorang kepada Allah, karena bila engkau melihat kepada ayat-ayat syar’iyah, yaitu hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para rasul, maka engkau akan menemukan bahwa di dalamnya terdapat hikmah-hikmah yang agung dan rahasia-rahasia mendalam yang mencengangkan akal, yang dengannya diketahui bahwa syariat ini benarbenar datang dari Allah, dan bahwa ia berpijak kepada kasih sayang dan keadilan, sehingga dengan itu imannya menjadi bertambah.

 

Ketiga, memperbanyak ketaatan dan memperbaikinya, karena amal perbuatan termasuk ke dalam kategori iman, jika memang demikian, berarti iman bertambah dengan bertambahnya amal kebaikan.

 

Keempat, meninggalkan kemaksiatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah  karena dengan itu iman seseorang kepada Allah akan bertambah,

 

Sebab-sebab berkurangnya iman ada empat:

 

Pertama, berpaling dari mengenal Allah, Nama-nama dan Sifat-sifatnya.

 

Kedua, tidak mau melihat ayat-ayat Allah, baik yang kauniyah maupun yang syar’iyah, karena hal ini memicu kelalaian dan kerasnya hati.

 

Ketiga, minimnya amal shalih. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi  tentang para wanita,

 

“Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih mengacaukan akal laki-laki yang memiliki ketegasan daripada salah seorang dari kalian.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kekurangan agamanya?” Nabi menjawab, “Bukankah jika dia haid, dia tidak shalat dan tidak berpuasa?”

 

Keempat, melakukan perbuatan maksiat. Hal ini berdasarkan Firman Allah

 

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usaha: kan itu menutupi hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14).

 

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang bertambah dan berkurangnya iman diselisihi oleh dua golongan: Murji’ah di satu pihak, Khawarij dan Mu’tazilah di pihak yang lain.

 

Golongan pertama, yaitu Murji’ah, mereka mengatakan, iman tidak bertambah dan tidak berkurang, karena amal perbuatan bukan termasuk iman sehingga iman bisa bertambah dengan bertambahnya amal dan berkurang dengan berkurangnya amal. Iman hanyalah pengakuan hati, dan pengakuan itu tidak bertambah dan tidak berkurang.

 

Kami membantah pendapat ini dengan mengatakan:

 

Pertama, kalian mengeluarkan amal perbuatan dari kategori iman, ini tidak shahih, karena dalil-dalil yang telah kami paparkan menetapkan bahwa amal perbuatan termasuk kategori iman.

 

Kedua, ucapan kalian, “Pengakuan hati tidak bertambah dan tidak berkurang,” ini tidaklah shahih, justru pengakuan hati memiliki tingkatan, karena tidak mungkin bagi seseorang mengatakan, “Imanku seperti iman Abu Bakar,” atau mungkin lebih berani dengan mengatakan, “Imanku seperti iman Rasulullah.”

 

Kemudian kita katakan, Sesungguhnya pengakuan dengan hati bisa bertingkat-tingkat. Pengakuan hati terhadap berita satu orang tidak sama dengan pengakuan terhadap berita dua orang, dan pengakuan dengan apa yang didengar tidaklah sama dengan pengakuan terhadap apa yang disaksikan. Apakah kalian tidak mendengar ucapan Nabi Ibrahim,

 

“Wahat Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah ber irman, ” Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, ” Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” (Al-Bagarah: 260).

 

Ini adalah dalil bahwa iman yang ada di dalam hati mungkin bertambah dan berkurang.

 

Oleh karena itu, para ulama membagi derajat keyakinan menjadi tiga: Ilmul yaqin (pengetahuan yang yakin), ainul yaqin (hakikat keyakinan), dan haqqul yaqin (keyakinan yang sebenar-benarnya). Allah  berfirman,

 

“Sekali-kali tidak! Sekiranya kalian mengetahui dengan ilmu yang yakin, niscaya kalian benar-benar akan melihat Neraka Jahim, kemudian kalian benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri.” (At-Takatsur: 5-7).

 

.Dan Allah  juga berfirman,

 

“Dan sesungguhnya al-Qur-an itu benar-benar kebenaran yang diyakini.” (Al-Haqqah: 51).

 

– Golongan kedua yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok Wa’idiyah, mereka adalah Khawarij dan Mu’tazilah, mereka dinamakan Wa’idiyah karena mereka mengambil hukumfukum wa’id (ancaman siksa) dan meninggalkan hukum-hukum wa’d (janji pahala), yakni mereka menitik beratkan pada nash-nash yang mengandung wa’id daripada nash-nash yang mengandung wa’d, maka mereka mengeluarkan pelaku dosa besar dari status iman, akan tetapi hawarij berkata, “Dia keluar dari iman dan masuk ke dalam kekafiran,” gementara Mu’tazilah berkata, “Dia keluar dari iman tetapi tidak masuk ke dalam kekafiran, dia berada pada manzilah di antara dua manzilah.”

 

Bantahan terhadap dua kelompok ini, Murjiiah dan Wa’idiyah, rercantum di buku-buku rujukan yang tebal-tebal.

 

Penulis berkata,

 

Meskipun demikian mereka.

 

Yakni, meskipun mereka mengatakan iman adalah perkataan dan perbuatan.

 

Penulis berkata,

 

Mereka tidak mengkafirkan Ahli Kiblat dengan sekedar melakukan kemaksiatan dan dosa besar secara umum.

 

Ahli Kiblat adalah kaum Muslimin, meskipun mereka adalah pelaku maksiat. Mereka disebut Ahli Kiblat karena mereka menghadap ke kiblat yang satu, yaitu Ka’bah.

 

Jadi, menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seorang Muslim tidaklah dikafirkan hanya karena melakukan kemaksiatan atau dosa besar secara umum.

 

Perhatikan perkataan penulis,  “Dengan sekedar melakukan kemaksiatan secara umum.” Dia tidak berkata,  “Dengan melakukan kemaksiatan dan dosa besar,” karena di antara kemaksiatan ada yang mencapai tingkat kekafiran, adapun kemaksiatan secara umum, maka ia bukan kekafiran.

 

Perbedaan antara  “Sesuatu yang mutlak (umum)” dan  “keumuman sesuatu” adalah bahwa  berarti kesempurnaan, sementara  adalah dasar dari sesuatu. Seorang Mukmin pelaku dosa besar memiliki dasar iman. Dasar keimanan tersebut ada pada dirinya, yang tidak ada padanya adalah kesempurnaan keimanan.

 

Perkataan penulis iss sangatlah cermat.

 

Penulis berkata,

 

Sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij.

 

Yaitu orang-orang yang berkata, “Pelaku dosa besar adalah kafir,” karena itu mereka keluar dari barisan kaum Muslimin dan menghalalkan darah dan harta mereka.

 

Penulis berkata,

 

Akan tetapi persaudaraan iman tetap ada meski dengan adanya kemaksiatan.

 

Yakni, persaudaraan iman di antara orang-orang Mukmin tetap terjalin meskipun adanya maksiat. Pezina adalah saudara bagi orang yang baik-baik. Pencuri adalah saudara korban pencurian, pembunuh adalah saudara korban.

 

Kemudian penulis berdalil dengan berkata,

 

Sebagaimana Allah  berfirman tentang ayat gqishash, “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah: 178).

 

Ayat qishash adalah Firman Allah

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian (melaksanakan) Qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhan kalian. Maka barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka dia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (Al-Baqarah: 178).

 

Yang dimaksud dengan  “saudaranya”, adalah korban yang dibunuh.

 

Titik pengambilan dalil dari ayat ini bahwa pelaku dosa besar bukan kafir adalah bahwa Allah menamakan korban pembunuhan sebagai saudara bagi pembunuh, padahal membunuh seorang Mukmin adalah salah satu dosa besar.

 

Dan Dia berfirman,

 

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (Al-Hujurat: 9-10).

 

Ini adalah dalil lain bagi pendapat Ahlus Sunnah, bahwa pelaku dosa besar tidak keluar dari iman.

 

 adalah bentuk jamak,  mutsanna, dan  juga mutsanna. Bagaimana ada mutsanna, jamak dan mutsanna yang lain padahal tempat rujukan dhamir (kata ganti)nya adalah satu?

 

Kami katakan, Firman Allah  tha’ifah (golongan) itu terdiri dari kumpulan manusia, maka sah kalau aku katakan  “mereka berperang.” Pendukung hal ini adalah Firman Allah

 

“Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.” (An-Nisa’: 102).

 

Di sini dikatakan  dan tidak dikatakan  karena tha ifah berarti umat dan jamaah. Oleh karena itu, dhamir yang kembali kepadanya hadir dalam bentuk jamak pada FirmanNya, dengan melihat kepada maknanya. Adapun FirmanNya,  maka dhamirnya melihat kepada lafazh.

 

Dua golongan kaum Mukminin ini saling, berperang dan mengangkat senjata. Seorang Mukmin memerangi Mukmin yang lain adalah kekafiran, walaupun begitu, Allah  berfirman setelah memerintahkan golongan ketiga yang tidak ikut serta dalam peperangan agar mendamaikan kedua golongan itu,

 

“Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembalt kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 9-10).

 

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah menjadikan golongan pendamai sebagai saudara bagi dua golongan yang bertikai.

 

Berdasarkan hal ini, maka ayat ini menetapkan bahwa dosa besar tidak menyebabkan seseorang keluar dari iman.

 

Dan berdasarkan hal ini pula, seandainya aku bertemu dengan pelaku dosa besar, maka aku akan mengucapkan salam kepadanya, karena Nabi menyatakan di antara hak Muslim atas Muslim yang lain adalah,

 

“Jika kamu bertermu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya.”

 

Laki-laki tersebut adalah seorang Muslim, jadi aku mengucapkan salam kepadanya, kecuali jika menghajrnya (tidak bergaul dengannya) mengandung kemaslahatan, maka aku melakukan itu karena kemaslahatan, sebagaimana yang terjadi pada Ka’ab bin Malik dan kedua orang kawannya tatkala mereka tidak berperan serta di Perang Tabuk, maka kaum Muslimin menghajr mereka selama 50 malam, sehingga Allah mengampuni mereka.

 

Apakah kita mencintainya secara mutlak atau membencinya secara mutlak?

 

Kami katakan, Tidak ini dan tidak itu, akan tetapi kita mencintainya sesuai dengan kadar keimanan yang ada padanya, dan membencinya sesuai dengan kadar perbuatan maksiatnya. Inilah sikap yang adil,

 

Penulis berkata,

 

Dan mereka tidak merampas Islam secara : keseluruhan dari orang fasik yang menisbatkan diri kepada agama.

 

“Orang fasik,” yaitu orang yang keluar dari ketaatan.

 

Kefasikan sebagaimana telah kami jelaskanterbagi menjadi dua: kefasikan akbar (besar) yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, seperti Firman Allah

 

“Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat mereka adalah neraka.” (As-Sajdah: 20),

 

dan kefasikan asghar (kecil) yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, seperti Firman Allah

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepada kalian membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kalian tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan).” (al-Hujurat: 6).

 

Fasik yang tidak keluar dari Islam adalah milli, yaitu pelaku dosa besar atau dosa kecil tetapi terus menerus.

 

Oleh karena itu, penulis berkata,  yakni yang menyandarkan diri kepada millah (agama) di mana dia belum keluar darinya.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak merampas Islam secara keseluruhan dari orang fasik milli, maka tidak mungkin mereka berkata, “Dia bukan Muslim,” akan tetapi mereka berkata, “Dia Muslim dengan keislaman yang kurang atau Mukmin dengan keimanan yang kurang.”

 

Penulis berkata,

 

Dan mereka tidak menyatakannya kekal di neraka sebagaimana yang, dikatakan oleh Mu’tazilah.

 

Perkataan ini menginduk kepada ucapannya, “Mereka tidak merampas.” Dari sini, maka ucapannya,  “Sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’tazilah,” kembali kepada kedua perkara tersebut sekaligus, karena Mu’tazilah merampas keislaman orang fasik dari kalangan yang menyandarkan diri kepada Islam dan menyatakan bahwa dia kekal di neraka, meskipun mereka tidak menyebutnya kafir.

 

Penulis berkata,

 

Akan tetapi orang fasik masuk kepada nama iman yang mutlak.

 

Maksud penulis dengan  di sini adalah apabila iman disebut begitu saja, maka kriterianya kembali kepada nama, bukan kepada jman; sebagaimana hal ini akan diketahui dari perkataan penulis ws. Jadi yang dimaksud di sini adalah sekedar iman yang mencakup orang fasik dan orang adil.

 

Penulis berkata,

 

Sebagaimana dalam Firman Allah, “Maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang Mukmin.” (An-Nisa’: 92).

 

“Hiamba sahaya yang beriman” di sini mencakup orang fasik.

 

Seandainya seseorang membeli hamba sahaya yang fasik, lalu dia memerdekakannya untuk membayar kaffarat, maka hal itu sah meskipun Allah berfirman,  “Maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang Mukmin.” Karena kata  di sini meliputi orang fasik dan selainnya.

 

Penulis berkata,

 

Dan bisa jadi dia tidak masuk ke dalam nama iman yang mutlak. Sebagaimana dalam Firman Allah  “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang bila disebut Nama Allah, gemetarlah hati mereka.” (Al-Anfal: 2).

 

Yakni ke dalam kemutlakan (keumuman) nama iman.

 

“Sebagaimana dalam Firman Allah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang bila disebut Nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka bertambahlah iman mereka (karenanya).’ (Al-Anfal: 2).”

 

adalah kata pembatasan. Yakni, bukanlah termasuk orang-orang Mukmin kecuali mereka, dan yang dimaksud dengan orang-orang Mukmin di sini adalah orang-orang Mukmin yang beriman secara mutlak lagi sempurna.

 

Jadi, orang-orang fasik tidak termasuk ke dalam rombongan orang-orang Mukmin di sini, karena seandainya engkau membacakan ayat-ayat Allah kepada orang fasik, niscaya imannya tidak akan bertambah, dan kalau engkau menyebut Nama Allah kepadanya, niscaya hatinya tidak merasa takut.

 

Jadi penulis menjelaskan bahwa iman, terkadang dimaksudkan untuk kemutlakan iman dan terkadang digunakan untuk iman yang mutlak (Sempurna).

 

Kalau kita melihat seorang laki-laki, hatinya tidak takut walaupun Nama Allah disebut kepadanya, imannya tidak bertambah walaupun ayat-ayatNya dibacakan kepadanya, maka kita boleh mengatakan, “Dia Mukmin.” Dan boleh pula kita mengatakan, “Dia bukan Mukmin.” Kita katakan “Dia Mukmin,” maksudnya adalah dia memiliki iman secara umum, yakni dia memiliki dasar iman, dan kita katakan bahwa “Dia bukan Mukmin,” yakni dia tidak memiliki iman yang sempurna.

 

Penulis berkata,

 

Dan sabda Nabi, “Seorang pezina tidaklah berzina yang ketika dia berzina dia adalah seorang Mukmin. Seorang pencuri tidaklah mencuri yang ketika dia mencuri dia adalah seorang Mukmin, seorang peminum tidaklah meminum khamr yang ketika dia meminumnya dia adalah seorang Mukmin, dan seorang perampas tidaklah merampas sesuatu yang berharga di mana orang-orang mengangkat pandangan mereka kepadanya yang ketika dia merampasnya dia adalah seorang Mukmin.”

 

Ini adalah contoh kedua untuk iman, yang maksudnya adalah iman yang sempurna.

 

Sabda Nabi  “Seorang pezina tidaklah berzina yang ketika dia berzina dia adalah seorang Mukmin.” Di sini Nabi  menafikan darinya iman yang sempurna ketika dia berzina, adapun setelah berzina, maka dia bisa beriman, bisa jadi dia menjadi takut kepada Allah setelah berzina dan dia bertaubat, akan tetapi pada saat dia berzina, seandainya imannya pada waktu itu sempurna, niscaya dia tidak berani melakukannya, justru pada waktu itu imannya sangat lemah sehingga dia berani melakukannya.

 

Perhatikanlah ucapan,  “Ketika berzina” berarti keadaannya sebelum dan sesudahnya berbeda karena selama seseorang belum berbuat buruk meskipun ingin melakukannya, dia masih memiliki harapan untuk tidak melakukannya.

 

Sabda beliau,  “Seorang pencuri tidaklah mencuri yang ketika dita mencuri dia adalah seorang Mukmin.” Yang dimaksud di sini adalah iman yang sempurna, karena imannya yang sempurna tersebut dapat mencegahnya dari mencuri.

 

Sabda beliau,  “Seorang peminum tidaklah meminum khamar yang ketika dia meminumnya dia adalah seorang Mukmin.” Yakni, Mukmin dengan iman yang sempurna.

 

“Seseorang tidaklah merampas sesuatu yang berharga di mana orang-orang mengangkat pandangan mereka kepadanya yang ketika dia merampasnya dia adalah seorang Mukmin.  Artinya berharga di mata manusia. Oleh karena itu, mereka mengangkat pandangan mereka kepadanya. Perampas tidak merampasnya pada waktu dia merampas sementara dia seorang Mukmin, yakni Mukmin dengan iman yang sempurna.

 

Ini adalah empat perkara: zina (bersetubuh yang haram), mencuri (mengambil harta yang berharga secara sembunyi-sembunyi dari tempat penjagaannya), minum khamar (mengonsumsi khamr dengan cara makan atau minum, dan khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan yang diikuti dengan kenikmatan dan melayang), dan merampas barang-barang berharga di mata manusia. (Ada yang berkata, merampas di sini maksudnya adalah mengambil harta layaknya harta rampasan perang). Empat perkara ini tidak seorang pun yang melakukannya dalam keadaan memiliki iman yang sempurna pada saat melakukannya. Jadi, yang dimaksud dengan penafian iman di sini adalah penafian kesempurnaan iman.

 

Penulis berkata,

 

Dan kami berkata, “Dia seorang Mukmin yang imannya kurang, atau Mukmin disebabkan imannya, namun fasik disebabkan dosa besarnya, sehingga dia tidak bisa diberi nama (Mukmin) yang mutlak, namun juga tidak bisa dirampas darinya kemutlakan (keumuman) nama (Mukmin).”

 

Ini adalah penjelasan tentang sifat yang layak diberikan kepada orang fasik milli (Yang menyandarkan diri kepada agama Islam) menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Perbedaan antara  “kemutlakan sesuatu” dan  “sesuatu yang mutlak” adalah bahwa  adalah kesempurnaan sesuatu, sementara yang pertama adalah dasarnya, walaupun ia kurang.

 

Orang fasik milli tidak diberi nama iman yang mutlak, yakni iman yang sempurna, dan tidak dirampas darinya kemutlakan nama, kita tidak mengatakan bahwa dia bukan Mukmin, akan tetapi kita katakan bahwa dia adalah Mukmin dengan iman yang kurang, atau dia adalah Mukmin dengan imannya dan fasik dengan dosa besarnya.

 

Ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang merupakan madzhab yang adil dan pertengahan.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam hal ini ditentang oleh tiga golongan:

 

– Murji’ah yang berkata: Dia Mukmin dengan iman yang sempurna.

 

– Khawarij yang berkata: Kafir

 

– Mu’tazilah yang berkata: Dia berada pada manzilah (kedudukan) di antara dua manzilah (yakni antara Mukmin dan kafir).

 

Penulis berkata,

 

Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. . Yakni, di antara dasar-dasar akidah mereka.

 

Penulis berkata,

 

Adalah keselamatan hati dan lisan mereka terhadap para sahabat Rasulullah.

 

Penulis tidak berkata, “Dan perbuatan mereka,” karena perbuatan tidak mungkin dilakukan setelah kematian para sahabat. Kalaupun ada seseorang yang membongkar kubur mereka dan mengeluarkan jasad mereka, hal itu tidak menyakiti dan membahayakan mereka, akan tetapi yang mungkin dilakukan terhadap mereka setelah kematian mereka adalah apa yang ada di dalam hati dan apa yang diucapkan dengan lisan.

 

Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keselamatan hati mereka dan lidah mereka terhadap para sahabat Rasulullah yaitu keselamatan hati dari kebencian, kedengkian dan iri hati dan keselamatan lidah mereka dari segala ucapan yang tidak layak dengan kedudukan mereka.

 

Hati Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersih dari semua itu, ia penuh dengan kecintaan, penghormatan dan penghargaan kepada para sahabat Rasulullah sesuai dengan kedudukan mereka.

 

Mereka mencintai para sahabat Nabi dan mengutamakan mereka atas seluruh manusia, kareena mencintai mereka termasuk mencintai Rasulullah, dan mencintai Rasulullah termasuk mencintai Allah. Lidah mereka juga bersih dari hinaan, celaan, laknat, pemberian gelar fasik, katir, dan lain-lain yang dilontarkan oleh ahli bid’ah. Jika hati mereka bersih dari semua itu, berarti ia sarat dengan pujian, doa ridha dan rahmat bagi mereka, serta memohonkan ampunan bagi mereka, dan lain-lain. Hal itu karena perkara-perkara berikut ini:

 

Pertama, mereka adalah generasi terbaik di seluruh umat, sebagaimana secara jelas dinyatakan oleh Rasulullah

 

“Sebaik-baik manusia adalah ; generasiku, kemudian orang-orang sesudah mereka, keniudian orang-orang sesudah mereka.”

 

Kedua, mereka adalah perantara antara Rasulullah dengan umat beliau, dari merekalah umat menerima syariat.

 

Ketiga, penaklukan yang besar lagi luas yang diraih melalui tangan-tangan mereka.

 

Keempat, mereka menebarkan kemuliaan di kalangan umat ini, seperti kejujuran, ketulusan, akhlak, dan adab yang tidak bisa ditemukan pada selain mereka. Hal ini tidak diketahui oleh orang yang membaca tentang mereka dari balik tembok, bahkan hal ini tidak diketahui – kecuali oleh orang yang hidup dalam sejarah mereka dan mengenal keutamaan-keutamaan, jaSa-jasa, pengorbanan-pengorbanan, dan ketaatan mereka kepada Allah dan RasulNya 

 

Kami menjadikan Allah sebagai saksi atas kecintaan kami kepada mereka dan memuji mereka dengan lisan kami sesuai dengan yang berhak mereka dapatkan. Kami berlepas diri dari dua jalan yang sesat: jalan orang-orang Rafidhah (syi’ah) yang mencaci para sahabat dan berlebih-lebihan terhadap Ahlul Bait dan jalan orang-orang Nawashib yang membenci Ahlul Bait. Menurut kami, Ahlul Bait jika dia termasuk sahabat memiliki tiga hak: hak sahabat, hak iman, dan hak kekerabatan dari Rasulullah .

 

Perkataan penulis,  “Terhadap para sahabat Rasulullah.” Telah dijelaskan bahwa sahabat Rasulullah adalah orang yang bertemu Rasulullah, beriman kepada beliau dan wafat di atas iman. Dinamakan sahabat, karena jika dia bertemu Rasulullah dalam keadaan beriman kepada beliau, maka dia telah berikrar mengikuti bejiau. Ini salah satu keistimewaan persahabatan dengan Rasulullah. Adapun selain Rasulullah, maka seseorang belum dianggap sahapat sebelum dia bergaul dengannya dalam waktu yang panjang yang karenanya dia berhak disebut sahabat.

 

Kemudian penulis berdalil untuk sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan ucapannya,

 

Sebagaimana Allah menyifati mereka dengannya di dalam FirmanNya , “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebth dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Belas kasih lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasr: 10).

 

Ayat ini hadir sesudah dua ayat sebelumnya, yaitu Firman Allah

 

“(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah, yang terusir dari kampung halaman mereka dan harta benda mereka demi mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya), dan (demi) menolong (agama) Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hasyr: 8).

 

Para penghulu orang-orang Muhajirin itu adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib..

 

FirmanNya,   “Mencari karunia dari Allah dan keridhaanNya,” mengandung keikhlasan niat, dan FirmanNya,  ” Mereka menolong Allah dan RasulNya,” merupakan realisasi perbuatan, dan FirmanNya,  “Mereka itulah orang-orang yang benar.” Maksudnya, mereka tidak melakukan itu karena riya dan sum’ah, akan tetapi dari niat yang benar.

 

Kemudian Allah berfirman tentang orang-orang Anshar,

 

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr: 9).

 

Allah menyifati mereka dengan tiga sifat,    “Mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin).”  “Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin).” “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendirt, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”

 

Kemudian Allah  berfirman setelah itu,

 

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.

 

Wahat Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Belas kasih lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10).

 

Mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan baik dan para pengikut mereka sampai Hari Kiamat. Mereka telah memuji para sahabat dengan menganggap mereka sebagai saudara, dan bahwa mereka (para sahabat) mendahului mereka dalam hal iman, mereka memohon kepada Allah agar tidak menjadikan kebencian di hati mereka kepada para sahabat. Siapa pun yang menyelisihi dalam hal ini, mencela mereka dan tidak mengakui hak mereka, maka dia bukan termasuk orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka,  “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami.”

 

Ketika Aisyah ditanya tentang suatu kaum yang mencaci sahabat, dia menjawab, “Janganlah heran, mereka (para sahabat) adalah suatu kaum yang amal mereka terhenti dengan kematian, maka Allah jngin mengalirkan pahala untuk mereka setelah mereka mati.”

 

FirmanNya,  “Dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang periman.” Dan tidak dikatakan, “Terhadap orang-orang yang mendahului kami dalam urusan iman.” Supaya hal tersebut mencakup orang-oran g yang telah mendahului tersebut dan selain mereka sampai Hari Kiamat.

 

 “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Belas kasih lagi Maha Penyayang.” Karena kasih sayang dan kemurahanMu, kami memohon ampun untuk diri kami dan untuk saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan.

 

Penulis berkata,

 

Dan menaati Nabi  dalam sabda beliau, “Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas seperti gunung Uhud, maka ia tetap tidak menandingi satu mud bahkan setengahnya yang diinfakkan oleh salah seorang dari mereka.”

 

“Menaati” diikutkan (ma’ thuf) kepada ucapannya  “keselamatan,” yakni di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah menaati Nabi … dan seterusnya.

 

Sabda Nabi  “Jangan kalian mencela.”  yakni menjelek-jelekkan dan mengungkit aib, jika hal itu dilakukan di belakang orangnya, maka ia adalah ghibah.

 

Sabda Nabi  “Para sahabatku,” yakni orang-orang yang menyertai Nabi. Persahabatan dengan Nabi  jelas berbeda: ada persahabatan lama sebelum Fathu Makkah, dan ada persahabatan baru setelah Fathu Makkah.

 

Rasulullah berbicara kepada Khalid bin al-Walid ketika terjadj perselisihan antara dirinya dengan Abdurrahman bin Auf tentang Bani Jadzimah, maka Nabi  bersabda kepada Khalid,  “Jangan mencela sahabatku.” Dan yang harus diperhatikan adalah keumuman lafazh.

 

Tanpa ragu, Abdurrahman bin Auf dan orang-orang yang seangkatan dengannya lebih utama daripada Khalid bin al-Walid dari segi lebih dahulu masuk Islam daripada dia, oleh karena itu Nabi  bersabda,  “Jangan kalian mencela sahabatku.” Sabda beliau ini tertuju kepada Khalid dan orang-orang sepertinya.

 

Jika ini untuk Khalid dan orang-orang yang semisalnya, lalu bagaimana halnya dengan orang-orang yang datang sesudah mereka?

 

Sabda Nabi  “Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya… ” dan seterusnya. Nabi bersumpah, meski beliau adalah orang yang jujur dan baik walaupun tanpa bersumpah, .

 

“Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas seperti gunung Uhud, maka ia tetap tidak menandingi satu mud bahkan setengahnya yang diinfakkan oleh salah seorang dari mereka.”

 

“Uhud.” Gunung besar yang terkenal di Madinah. 

“Mud.” Seperempat sha’.

“Bahkan setengahnya.” Sebagian ulama berpendapat, maksudnya adalah infak berupa makanan, karena yang diukur dengan mud dan setengah mud adalah makanan, adapun emas, maka ia ditimbang. Sebagian yang lain berpendapat, maksudnya adalah infak emas dengan dalil konteks hadits tersebut, karena Nabi  bersabda,

 

“Seandainya salah seorang dari kalian mengin akkan emas seperti gunung Unud, maka ia tetap tidak menandingi satu mud bahkan setengahnya yang diinfakkan oleh salah seorang dari mereka,” yakni berupa emas.

 

Yang jelas, kalau kita katakan berupa makanan, maka (bisa saja) ja berupa makanan, kalau kita katakan berupa emas, maka (bisa saja) ja berupa emas. Dan emas sebanyak satu mud atau setengahnya dibandingkan dengan emas sebanyak gunung Uhud sama sekali tidak ada apa-apanya.

 

Apabila ada seseorang berinfak emas seperti gunung Uhud, maka nilainya tidak menandingi satu mud atau setengahnya yang diinfakkan oleh para sahabat, padahal infaknya sama, yang diinfakkan sama, dan yang diberi juga sama, mereka sama-sama manusia, akan tetapi manusia tidaklah sama, para sahabat itu memiliki keutamaan, kelebihan, keikhlasan, dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Keikhlasan mereka besar, ketaatan mereka kuat, maka mereka mengungguli siapa pun dari selain mereka dalam perkara infak.

 

Larangan dalam hadits di atas menunjukkan pengharaman. Tidak halal bagi siapa pun mencela para sahabat secara umum, tidak pula mencela salah satu dari mereka secara khusus. Jika ada yang mencela mereka secara umum, maka dia telah kafir, bahkan tidak ada keraguan akan kekafiran orang yang meragukan kekafirannya. Adapun jika ada yang mencela mereka secara khusus, maka pendorongnya diteliti terlebih dahulu; karena bisa jadi dia mencela karena alasan bentuk tubuh atau akhlak atau agama, dan masing-masing memiliki hukumnya.

 

Penulis berkata,

 

Mereka menerima.

 

Yakni, Ahlus Sunnah.

 

Penulis berkata,

 

Keutamaan-keutamaan dan tingkatan-tingkatan mereka yang disebutkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’.

 

“Keutamaan-keutamaan” adalah bentuk jamak dari kata , yaitu apa yang dengannya seseorang mengungguli orang lain dan ia dianggap sebagai kebanggaan baginya.

 

“tingkatan-tingkatan”, karena para sahabat itu bertingkat-tingkat sebagaimana yang akan disebutkan oleh penulis,

 

Keutamaan-keutamaan dan tingkatan-tingkatan para sahabat Nabi diterima oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Sebagai contoh, Ahlus Sunnah menerima (memercayai) banyaknya shalat, sedekah, puasa, haji, jihad, atau keutamaan-keutamaan lain dari mereka.

 

Mereka menerima -misalnya keutamaan Abu Bakar yang hadir kepada Nabi dengan seluruh hartanya pada saat Nabi  menganjurkan para sahabat untuk bersedekah. Ini adalah keutamaan.

 

Mereka menerima keterangan yang ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah bahwa Abu Bakarlah seorang yang menemani Rasulullah dalam hijrah ketika di gua.

 

Mereka menerima sabda Nabi  tentang Abu Bakar

 

“Sesungguhnya orang yang paling banyak jasanya terhadapku dalam harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar.”

 

Begitu pula keterangan-keterangan tentang keutamaan Umar, Utsman, Ali dan sahabat-sahabat yang lain. Semua itu diterima oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Begitu pula dengan tingkatan-tingkatan, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menerima keterangan tentang tingkatan-tingkatan derajat mereka.

 

perajat tertinggi umat ini dirath oleh Khulafa’ Rasyidin, yang tertinggi dari mereka adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali , sebagaimana yang akan disebutkan oleh penulis.

 

Penulis berkata,

 

Mereka mengunggulkan sahabat yang berinfak dan berperang sebelum Fath, yakni perjanjian damai Hudaibiyah, atas sahabat yang berinfak dan berperang sesudahnya.

 

Dalilnya adalah Firman Allah

 

“Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kalian dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebth tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebth baik.” (Al-Hadid: 10).

 

Para sahabat yang berinfak dan berperang sebelum perdamaian Hudaibiyah lebih utama daripada orang-orang yang berinfak dan berperang setelahnya. Perdamaian Hudaibiyah terjadi pada Bulan Dzulqa’dah tahun enam hijriyah. Orang-orang yang masuk Islam, berinfak dan berperang sebelum itu lebih utama daripada orang-orang yang berinfak dan berperang sesudahnya.

 

Kalau ada yang bertanya: Bagaimana kita mengetahui itu?

 

Jawaban: Yang demikian itu dapat diketahui melalui sejarah keislaman mereka, misalnya kita merujuk kepada al-Ishabah fi Tamyiz ashShahabah milik Ibnu Hajar, atau al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab milik Ibnu Abdil Barr, atau buku-buku lainnya tentang sahabat dari sana dapat diketahui sahabat ini masuk Islam sebelum atau sesudahnya.

 

Perkataan penulis:  “la adalah perdamaian

 

Hudaibiyah.” Ini adalah salah satu pendapat dari dua pendapat tentang ayat ini, dan inilah yang benar. Dalilnya adalah kisah antara Abdurrahman bin Auf dengan Khalid, dan ucapan al-Bara’ bin Azib, “Kalian menganggap Fath adalah Fathu Makkah, memang Fathu Makkah adalah sebuah Fath, sementara kami menganggap bahwa Fath adalah Bai’at Ridhwan pada Hari Hudaibiyah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari

 

Ada yang berkata, Yang dimaksud dengan Fath adalah Fathu Makkah, dan ini adalah pendapat banyak ahli tafsir atau mayoritas mereka.

 

Penulis berkata,

 

Mereka mendahulukan orang-orang Muhajirin atas orang-orang Anshar.

 

Muhajirin adalah orang-orang yang hijrah ke Madinah pada zaman Nabi sebelum Fathu Makkah (penaklukan Makkah).

 

Anshar adalah penduduk Madinah di mana Nabi berhijrah kepada mereka.

 

Ahlus Sunnah mendahulukan Muhajirin atas Anshar, karena kaum Muhajirin telah melakukan dua hal besar, yaitu hijrah dan pertolongan (nushrah) terhadap Rasulullah sementara kaum Anshar hanya melakukan nushrah saja.

 

Muhajirin meninggalkan keluarga dan harta mereka serta tanah kelahiran mereka, mereka pindah ke bumi yang asing, semua itu adalah hijrah kepada Allah dan RasulNya, serta menolong agama Allah dan RasulNya.

 

Adapun Anshar, maka Nabi mendatangi mereka di negeri mereka, mereka menolong Nabi, tanpa ragu mereka melindungi Nabi seperti mereka melindungi istri dan anak-anak mereka.

 

Dalil didahulukannya Muhajirin daripada Anshar adalah Firman Allah

 

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (At-Taubah: 100).

 

Ayat ini menyebut Muhajirin sebelum Anshar. Dan FirmanNya

 

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar.” (At-Taubah: 117).

 

Ayat ini mendahulukan Muhajirin.

 

Serta Firman Allah  tentang fa’i

 

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka….” (Al-Hasyr: 8).

 

Kemudian Dia berfirman,

 

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin).” (Al-Hasyr: 9).

 

Penulis berkata,

 

Mereka beriman bahwa Allah telah berfirman kepada orang-orang yang ikut serta dalam Perang Badar yang berjumlah tiga ratus sekian belas orang, “Lakukanlah apa yang kalian inginkan, karena sungguh Aku telah mengampuni kalian.”

 

Derajat orang-orang yang ikut serta dalam Perang Badar termasuk derajat sahabat tertinggi.

 

Badar adalah tempat yang dikenal, terjadi padanya perang yang masyhur yang terjadi di Bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah, harinya diberi nama oleh Allah tts dengan Yaumul Furqan (hari pemisah antara yang haq dan yang batil).

 

Penyebabnya adalah bahwasanya Nabi mendengar Abu Sufyan kembali dari Syam ke Makkah dengan rombongan dagangnya, maka Nabi  mengajak sahabat-sahabat beliau untuk menghadang kafilah dagang tersebut. Ajakan Nabi ini disambut oleh tiga ratus ditambah belasan orang dengan tujuh puluh ekor unta dan dua ekor kuda. Mereka berangkat dari Madinah tanpa maksud berperang, akan tetapi Allah  mempertemukan mereka dengan musuh mereka dengan hikmahNya.

 

Ketika hal itu didengar oleh Abu Sufyan, bahwa Rasul berangkat untuk menghadang kafilah dagangnya, maka Abu Sufyan mengambil jalan menyusuri pantai dan mengirimkan utusan kepada penduduk Makkah untuk memohon bantuan, maka penduduk Makkah bersiapsiap, tidak ketinggalan para pembesar, pemimpin dan orang-orang terhormat, mereka berangkat dalam keadaan seperti yang dijelaskan oleh Allah,

 

“Dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah.” (Al-Anfal: 47).

 

Di tengah perjalanan, mereka mendapatkan berita baru bahwa Abu Sufyan dan kafilah dagangnya telah selamat, maka mereka pun berniat untuk kembali ke Makkah, hanya saja Abu Jahal berkata, “Demi Allah, kita tidak akan pulang sebelum tiba di Badar, di sana kita singgah, menyembelih unta, minum khamar, para penyanyi mendendangkan nyanyian untuk kita, lalu orang-orang Arab mendengar apa yang kita lakukan, sehingga mereka akan selalu merasa takut kepada kita.”

 

Ucapan ini menunjukkan keangkuhan, kesombongan, dan bangga diri, akan tetapi -alhamdulillahperkaranya terjadi sebaliknya dari apa yang dikatakannya, orang-orang Arab mendengar kekalahan mereka yang sangat menyakitkan. Akibatnya harga diri mereka merosot tajam di mata orang-orang Arab.

 

Mereka datang ke Badar, dua pasukan bertemu, dan Allah  mewahyukan kepada para malaikat,

 

“Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.’ Kelak akan Aku taruh rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala-kepala (mereka) dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan RasulNya, dan barangsiapa menentang Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaanNya. Itulah (hukuman dunia yang ditimpakan atas kalian), maka rasakanlah hukuman itu. Dan bahwasanya bagi orang-orang yang kafir itu ada azab neraka.” (Al-Anfal: 12-14).

 

Terjadilah perang antara dua kubu, dan alhamdulillah, kekalahan berpihak kepada orang-orang musyrik dan kemenangan yang nyata berpihak kepada orang-orang Mukmin. Mereka membunuh tujuh puluh orang musyrik dan menawan tujuh puluh dari mereka, di antara yang terbunuh tersebut ada dua puluh empat orang dari pembesar dan tokoh Makkah. Mereka diseret dan dilemparkan ke sumur busuk lagi buruk di Badar.

 

Tiga hari setelah perang, Nabi mengendarai unta beliau, Nabi  berdiri memanggil nama mereka dan nama bapak mereka,

 

“Wahai fulan bin fulan, apakah kalian senang sekiranya kalian menaati Allah dan RasulNya? Sungguh kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Rabb kami kepada kami adalah benar adanya. Apakah kalian telah mendapatkan apa yang dijanjikan tuhan kalian adalah benar adanya?” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara kepada jasad yang tidak bernyawa?” Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, kalian tidak lebih mendengar daripada mereka terhadap apa yang aku katakan.”

 

Nabi berdiri di atas mereka sebagai penghinaan, celaan, dan agar mereka benar-benar menyesal, dan sungguh mereka telah mendapatkan janji Allah adalah benar adanya. Allah  berfirman,

 

“Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atas kalian), maka rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab neraka.” (Al-Anfal: 14).

 

Mereka mendapatkan neraka sejak mereka mati dan mengetahui bahwa Rasulullah adalah benar, akan tetapi bagaimana mungkin mereka dapat mengambil kebenaran itu dari tempat yang tak terjangkau.

 

Orang-orang yang ikut serta dalam Perang Badar di mana Allah mewujudkan kemenangan yang nyata dan furqan (pembeda) melalui tangan-tangan mereka, yang dengannya orang-orang Arab merasa segan kepada Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau, mereka ini memiliki kedudukan khusus di sisi Allah setelah kemenangan tersebut, Allah melihat dan berfirman kepada mereka,

 

“Lakukan apa yang kalian mau lakukan, karena sungguh Aku telah mengampuni kalian.”

 

Dosa apa pun yang mereka lakukan akan diampuni karena kebaikan besar ini yang Allah  karuniakan melalui tangan mereka.

 

Hadits ini menunjukkan bahwa dosa sebesar apa pun yang mereka lakukan akan diampuni. Hadits ini juga mengandung berita gembira bahwa mereka tidak akan mati di atas kekafiran, karena mereka telah diampuni. Hal ini menuntut satu dari dua perkara: Bahwa mereka tidak mungkin kafir setelah itu, atau kalaupun salah satu dari mereka ditakdirkan kafir, maka dia akan diberi taufik untuk taubat dan kembali kepada Islam.

 

Apa pun yang terjadi, ini adalah berita gembira besar bagi mereka, dan kita tidak mengetahui seorang pun dari mereka yang kafir setelah itu.

 

Penulis berkata,

 

Bahwa tidak seorang pun yang masuk neraka dari orang-orang yang berbai’at di bawah pohon sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Nabi  bahkan sungguh Allah telah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepadaNya, dan jumlah mereka lebih dari seribu empat ratus orang.

 

“Orang-orang yang berbai’at di bawah pohon” adalah para sahabat yang mengikuti Bai’at Ridwan.

 

Penyebab bai’at ini adalah Nabi pergi dari Madinah ke Makkah hendak umrah, beliau membawa /iadyu (kurban sembelihan) dan diiringi sahabat-sahabat beliau yang berjumlah sekitar seribu empat ratus orang, mereka hanya ingin umrah. Ketika mereka tiba di Hudaibiyah, sebuah tempat dekat Makkah, -sekarang ia berada di jalan menuju Jeddah, sebagian darahnya masuk ke area tanah halal dan sebagian lain masuk ke area tanah haram-, kaum musyrikin mengetahui hal itu, mereka menghalang-halangi Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau, karena mereka merasa sebagai tuan rumah dan pelindung Ka’bah,

 

“Dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya, orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Anfal: 34),

 

maka terjadilah perundingan antara mereka dengan Nabi.

 

Di perang ini, Allah si menunjukkan kepada NabiNya sebagian tanda-tanda kekuasaanNya yang menjadi indikator bahwa akan lebih baik jika Rasulullah dan para sahabat mengalah karena ia mengandung kebaikan dan kemaslahatan, tanda tersebut adalah menderumnya unta Rasulullah dan menolak untuk berjalan sampai mereka berkata, “Qaswa’ mogok.” Yakni berhenti dan tidak mau jalan. Maka Nabi bersabda untuk membelanya,

 

“Qaswa tidak mogok, itu bukan tabiatnya, akan tetapi ia dihen tikan oleh Yang menghentikan gajah.” Kemudian Nabi bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, tidaklah mereka memintaku suatu urusan (syarat) yang dengannya mereka mengagungkan batasan-batasan Allah, kecuali aku akan berikan kepada mereka.”

 

Terjadilah perundingan, Nabi mengirim Utsman bin Affan, karena dia memiliki kerabat di Makkah yang melindunginya. Nabi  mengutusnya ke penduduk Makkah untuk mengajak mereka masuk Islam dan menyampaikan kepada mereka bahwa Nabi  hanya datang untuk umrah dan mengagungkan Ka’bah. Lalu muncul desas-desus bahwa Utsman dibunuh. Hal itu merupakan kejahatan besar menurut kaum Muslimin, maka Nabi mengundang para sahabat untuk berbai’at. Nabi  membai’at mereka untuk siap berperang melawan penduduk Makkah yang telah membunuh utusan Rasulullah, karena memang utusan itu tidak boleh dibunuh, maka para sahabat berbai’at kepada Nabi untuk berperang dan tidak lari dari kematian.

 

Tatkala itu Nabi berada di bawah sebuah pohon untuk membai’at para sahabat. Beliau  mengulurkan tangan beliau dan kemudian para sahabat menyatakan janji setia kepada beliau dengan bai’at yang penuh dengan keberkahan. Tentang pembai’atan itu Allah berfirman,

 

” Sesungguhnya orang-orang yang membai’at (berjanji setia kepada)mu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya membai’at (berjanji setia kepada) Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (Al-Fath: 10).

 

Karena Utsman  tidak ada, maka Nabi  berbai’at dengan tangan beliau untuk menggantikan tangan Utsman, dan beliau bersabda dengan tangan kanan beliau,  “Ini adalah tangan Utsman.”

 

Kemudian terungkaplah bahwa ternyata Utsman tidak terbunuh. Para utusan datang dan pergi silih berganti antara Rasulullah dan kaum Quraisy, hingga berakhir dengan suatu kesepakatan damai yang kemudian menjadi jalan untuk kemenangan yang nyata bagi Rasulullah .

 

Allah  berfirman tentang para sahabat yang menyatakan janji setia tersebut,

 

“Sungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Fath: 18-19).

 

Di antara para pembai’at tersebut adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

 

Allah ot menyifati mereka dengan iman, ini adalah rekomendasi dari Allah  bahwa semua sahabat yang membai’at Nabi di bawah pohon adalah Mukmin yang diridhai, dan Nabi sendiri telah bersabda,

 

“Tidak akan masuk neraka seorang pun yang berbai’at di bawah pohon.”

 

Keridhaan bagi mereka ditetapkan oleh al-Qur’an dan keselamatan dari neraka tetapkan oleh as-Sunnah.

 

Sabda Nabi   “Tidak akan masuk neraka seorang pun yang berbai’at di bawah pohon.” Mungkin ada yang berkata, Bagaimana kita menggabungkannya dengan Firman Allah

 

“Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatanginya (neraka itu). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan.” (Maryam: 71).

 

Penggabungannya dengan satu dari dua aspek:

 

Pertama, ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud dari wurud (mendatanginya), sebagian dari mereka berkata, la adalah melewati sirath, karena tanpa ragu ini adalah bentuk wurud, sebagaimana Firman Allah

 

“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpati di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya).” (Al-Qashash: 23).

 

Dan sudah dimaklumi bahwa ia tidak mencebur ke dalam air, akan tetapi berada di dekatnya dan di sekitarnya. Berdasarkan hal ini, maka tidak ada masalah dan tidak ada pertentangan sama sekali.

 

Kedua, di antara ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wurud adalah masuk, bahwa tidak ada seorang manuSia pun kecuali dia akan masuk neraka. Berdasarkan kepada pendapat ini, maka maksud dari sabda Nabi di atas adalah tidak masuk neraka untuk diazab dan disiksa, akan tetapi hanya sekedar untuk memenuhi sumpah,  “Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatanginya (neraka itu).” (Maryam: 71).

 

Atau dikatakan: Ini termasuk dalil umum yang dikhususkan dengan orang-orang yang mengikuti Bai’at Ridhwan.

 

Perkataan penulis,  “Pohon,” pohon ini adalah pohon Bidara. Ada yang berkata, Pohon Samur. Ini adalah perbedaan yang tidak bermanfaat. Pohon ini memiliki naungan. Nabi  duduk di bawahnya membai’at para sahabat. Pohon ini ada pada masa Rasul , Abu pakar, dan permulaan khilafah Umar, lalu ketika ada orang yang melapor kepada Umar bahwa orang-orang mendatanginya untuk shalat di gana, maka Umar memerintahkan untuk menebangnya, lalu pohon itu pun ditebang.

 

Ibnu Hajar dalam al-Fati’ berkata, “Saya menemukannya pada siwayat Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih. Akan tetapi di Shahih al-Bukhari dari Ibnu Umar  dia berkata, ‘Kami kembali tahun berikutnya -yakni setelah perdamaian Hudaibiyah-, maka tidak ada seorany pun di antara kami yang memiliki pendapat yang sama tentang pohon di mana kami membai’at Rasulullah di bawahnya. Ini adalah rahmat dari Allah.’ Dan demikian juga yang dikatakan oleh al-Musayyib, bapak Sa’id, ‘Ketika kami pergi di tahun sesudahnya, kami tidak lagi mengingatnya, kami tidak mengetahuinya’.”

 

Ini tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Sa’ad, karena lupanya terhadap pohon tersebut tidak berarti ia tidak ada, dan juga tidak berarti tidak diingat kembali setelahnya. Wallahu a’lam.

 

Ini termasuk jasa baik Umar bin al-Khaththab -, karena jika pohon tersebut tumbuh sampai sekarang, maka tidak menutup kemungkinan ia akan disembah oleh orang-orang di samping mereka juga menyembah Allah.

 

Penulis berkata,

 

Mereka juga bersaksi (memastikan) surga bagi siapa saja yang dijamin oleh Rasulullah seperti sepuluh orang sahabat, Tsabit bin Qais bin Syammas, dan sahabat-sahabat yang lain. 

 

“Mereka juga bersaksi,” yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Persaksian bahwa seseorang akan masuk surga ada dua macam: Persaksian yang berkait dengan sifat dan berkait dengan pribadi.

 

Persaksian yang berkait dengan sifat adalah kita bersaksi bahwa setiap Mukmin itu di surga, dan setiap orang yang bertakwa di surga tanpa menentukan pribadi tertentu.

 

Ini adalah kesaksian umum yang wajib kita lakukan, karena Allah telah menyatakan demikian. Dia  berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, bagi mereka surga-surga yang penuh kenikmatan, mereka kekal di dalamnya; sebagai janji Allah yang benar. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabiaksana.” (Luqman: 8-9).

 

Dan Dia berfirman,

 

“Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Tuhan kalian dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133).

 

Adapun kesaksian yang berkait dengan pribadi tertentu, seperti kita bersaksi bahwa fulan di surga atau kelompok tertentu di surga, maka ini adalah kesaksian khusus, kita bersaksi bagi siapa pun yang Rasulullah bersaksi untuknya, baik itu untuk satu orang atau untuk sekelompok orang tertentu.

 

Contohnya adalah apa yang dikatakan penulis,  “Seperti sepuluh orang sahabat,” yakni sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga, mereka dijuluki demikian karena Nabi menyebutkan nama-nama mereka dalam satu hadits. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’id bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, dan Abu Ubaidah

 

Amir bin al-Jarrah. Biografi mereka bisa dilihat di buku-buku rujukan.

 

Nama-nama selain empat Khulafa Rasyidin dikumpulkan dalam satu bait, hafalkanlah!

 

Sa’id, Sa’ad, Ibnu Auf, dan Thalhah

Amir dari marga Fihr dan az-Zubair yang terpuji

 

Mereka itulah orang-orang yang diberi berita gembira oleh Nabi  dalam satu hadits, beliau bersabda,  “Abu Bakar di surga, Umar di surga…” Oleh karena itu, mereka dikenal dengan sepuluh orang yang dijamin surga, kita wajib bersaksi bahwa mereka di surga berdasarkan kesaksian Nabi 

 

Perkataan penulis,  “Tsabit bin Qais bin Syammas.” Tsabit bin Qais  adalah salah satu khatib Nabi , dia bersuara lantang. Ketika turun Firman Allah

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian meninggikan suara kalian melebithi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, nanti (pahala) amal-amal kalian bisa terhapus sedangkan kalian tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2),

 

dia takut amalnya terhapus sementara dia tidak menyadarinya maka dia bersembunyi di rumah, sehingga Nabi  merasa kehilangan dia, lalu beliau mengutus seseorang untuk menanyakan kepadanya tentang alasannya bersembunyi. Tsabit berkata, “Allah telah menurunkan FirmanNya,

 

‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, nanti (pahala) amal-amal kalian bisa terhapus sedangkan kalian tidak menyadari.’ (Al-Hujurat: 2).

 

Aku adalah orang yang mengangkat suara di atas suara Nabi, amalku terhapus, aku termasuk penghuni neraka.” Laki-laki tersebut kemudian kembali kepada Nabi dan menyampaikan apa yang dikatakan Tsabit. Maka Nabi bersabda,

 

“Pergilah kepadanya, lalu katakan kepadanya, ‘Kamu bukan termasuk penghuni neraka, akan tetapt kamu termasuk penghuni surga’ .”

 

Nabi menyampaikan berita gembira kepadanya bahwa dia akan masuk surga.

 

Perkataan penulis,   “Dan sahabat-sahabat yang lain” seperti Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah  karena mereka akan bersama Rasulullah (di surga), juga di antara mereka adalah Bilal, Abdullah bin Salam, Ukasyah bin Mihshan dan Sa’ad bin Mu’adz 

 

Penulis berkata,

 

Mereka menetapkan riwayat yang mutawatir dari Amirul Mukmin, Ali bin Abi Thalib – dan lainnya, bahwa orang terbaik pada umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar.

 

Mutawatir adalah berita yang menetapkan ilmu yakin, yaitu riwayat yang dinukil oleh sekelompok orang yang mustahil mereka semua sepakat berdusta.

 

Dalam Shahih al-Bukhari dan lainnya dari Abdullah bin Umar, dia berkata, “Kami pernah menyatakan siapa yang terbaik di antara manusia di zaman Nabi, lalu kami menyatakan bahwa yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin al-Khaththab, kemudian Utsman bin Affan”

 

Dalam Shahih al-Bukhari juga, bahwa Muhammad bin al-Hanafiyah*” berkata, “Aku pernah bertanya kepada bapakku, ‘Siapa yang terbaik setelah Rasulullah ‘ Dia (Ali) menjawab, ‘Abu Bakar’. Aku bertanya, ‘Lalu siapa?’ Dia menjawab, ‘Kemudian Umar’. Aku khawatir dia berkata, ‘Kemudian Utsman,’ maka aku berkata, ‘Kemudian engkau?’ Dia menjawab, ‘Aku hanyalah salah seorang dari kaum Muslimin‘.”

 

Jika Ali berkata begitu pada zaman kekhalifahannya, yaitu bahwa sebaik-baik manusia pada umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar, kemudian Umar, maka hancurlah hujjah Rafidhah yang mendahulukan Ali atas keduanya.

 

Perkataan penulis, , “Dan lainnya,” yakni selain Ali dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Ini disepakati oleh para imam. Imam Malik berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang ragu dalam mendahulukan keduanya.” Asy-Syafi’i berkata, “Para sahabat dan tabi’in tidak berbeda pendapat dalam mendahulukan Abu Bakar dan Umar.”

 

Barangsiapa menyimpang dari ijma’ ini, maka dia telah mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin.

 

Penulis berkata,

 

Mereka menomortigakan Utsman, dan menomorempatkan Ali, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh atsar-atsar.

 

“Mereka menomortigakan,” yakni Ahlus Sunnah wal Jama’ah menomortigakan, maksudnya menempatkan Utsman di urutan ketiga.

 

“Dan mereka menomorempatkan Ali,” yakni menempatkan Ali di urutan keempat.

 

Berdasarkan hal ini, maka manusia terbaik dari umat ini (setelah Rasulullah) adalah empat orang ini: Abu Bakar, kemudian Umar, dan ini berdasarkan ijma’, kemudian Utsman, kemudian Ali 

 

Dalam menyusun urutan ini, penulis berdalil dengan kedua dalil:

 

Pertama, ucapannya,

 

Sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh atsar-atsar.

 

Ini telah disebutkan sebelumnya.

 

Kedua, ucapannya,

 

Dan sebagaimana para sahabat telah bersepakat mendahulukan Utsman dalam bai’at.

 

Jadi, dalam hal mendahulukan Utsman atas Ali terdapat dukungan atsar-atsar nagli dan juga dalil agli, yaitu kesepakatan para sahabat untuk mendahulukan Utsman dalam bai’at, karena kesepakatan mereka ini berarti Utsman lebih utama daripada Ali, dan memang demikian; karena hikmah Allah  menolak mengangkat seseorang untuk memimpin generasi terbaik sementara di sana ada yang, lebih baik daripadanya sebagaimana disebutkan di sebuah atsar,   Sebagaimana keadaan kalian, seperti itu pula dijadikan pemimpin atas kalian.” Sebaik-baik generasi hanya layak dipimpin oleh orang terbaik.

 

Penulis berkata,

 

Meskipun sebagian Ahlus Sunnah telah berbeda pendapat tentang Utsman dan Ali, siapa yang lebih utama? Setelah mereka bersepakat mendahulukan Abu Bakar dan Umar. Ada yang mendahulukan Utsman dan diam atau menempatkan Ali di nomor empat. Mereka berkata, “Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman,” lalu diam atau berkata, “Kemudian Ali.”

 

Penulis berkata, .

 

Ada yang mendahulukan Ali.

 

Mereka berkata, “Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Ali, kemudian Utsman.” Ini adalah salah satu pendapat di antara pendapatpendapat kalangan Ahlus Sunnah.

 

Penulis berkata,

 

Dan ada pula yang tidak berpendapat.

 

Mereka berkata, “Abu Bakar, kemudian Umar,” lalu mereka diam am hal siapakah yang lebih utama, Utsman atau Ali? Ini lain dari ndapat yang pertama.

 

Jadi ada empat pendapat:

 

Pendapat yang masyhur: Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali.

 

Pendapat yang kedua: Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian diam.

 

Pendapat yang ketiga: Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Ali, kemudian Utsman.

 

Pendapat yang keempat: Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian tidak berpendapat, mana yang lebih afdhal antara Utsman atau Ali? Pendapat keempat ini berkata, Kami tidak mengatakan, Utsman lebih utama dan tidak pula Ali lebih utama, akan tetapi tidak seorang pun yang mengungguli keduanya dalam keutamaan selain Abu Bakar dan Umar.

 

Penulis berkata,

 

Akan tetapi pendapat akhir Ahlus Sunnah menetapkan untuk mendahulukan Utsman, kemudian Ali.

 

Inilah pendapat akhir Ahlus Sunnah. Mereka berkata, Orang terbaik pada umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali, sesuai urutan mereka dalam memegang khilafah. Inilah pendapat yang benar, sebagaimana telah dijelaskan dalilnya.

 

Penulis berkata,

 

Meskipun masalah ini -masalah Utsman dan Alibukan termasuk perkara pokok di mana penyelisihnya dinyatakan sesat menurut jumhur Ahlus Sunnah.

 

Yakni, perbandingan antara Utsman dengan Ali bukan termasuk prinsip Ahlus Sunnah di mana penyelisihnya dinyatakan sesat. Siapa yang berkata, “Ali lebih utama daripada Utsman,” maka kita tidak katakan bahwa dia sesat, akan tetapi kita katakan bahwa ini adalah salah satu pendapat Ahlus Sunnah, dan kita tidak berkomentar selain itu.

 

Penulis berkata,

 

Akan tetapi masalah yang padanya dinyatakan sesat adalah masalah khilafah.

 

Kita wajib berkata, Khalifah umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali. Barangsiapa mengatakan bahwa Khilafah hanyalah hak Ali seorang tanpa ketiganya, maka dia adalah orang sesat. Barangsiapa mengatakan bahwa ia untuk Ali setelah Abu Bakar dan Umar, maka dia sesat karena telah menyelisihi ijma’ para sahabat.

 

Penulis berkata,

 

Hal itu karena Ahlus Sunnah mengimani bahwa khalifah setelah Rasulullah  adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali.

 

Ini adalah kesepakatan Ahlus Sunnah dalam perkara khilafah.

 

Penulis berkata,

 

Barangsiapa menggugat khilafah salah seorang dari mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai keluarganya sendiri.

 

Orang yang menggugat khilafah salah seorang dari mereka dan berkata, Dia tidak berhak atau dia lebih berhak daripada yang sebelumnya, maka dia lebih sesat daripada keledai keluarganya sendiri.

 

Penulis mengibaratkan dengan ungkapan ini, karena ia adalah ungkapan Imam Ahmad, dan memang tanpa ragu dia lebih sesat daripada keledai keluarganya sendiri. Disinggungnya keledai di sinj karena ia adalah hewan terdungu secara mutlak. Ja adalah hewan yang paling minim pemahamannya. Menggugat khilafah salah seorang darj mereka atau menggugat urutannya berarti menggugat seluruh sahabat.

 

Kita wajib meyakini bahwa khalifah setelah Rasulullah adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali. Hak mereka dalam khilafah sesuai dengan urutan mereka agar kita tidak berkata, “Ada kezhaliman dalam khilafah,” sebagaimana yang diklaim oleh Rafidhah. Menurut mereka, Abu Bakar, Umar, Utsman dan semua sahabat adalah orang-orang zhalim, karena mereka menzhalimi Ali bin Abi Thalib dengan merampas khilafah darinya.

 

Adapun setelah mereka, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa khalifah yang diangkat untuk memimpin adalah orang yang paling berhak daripada orang lain, karena sesudah mereka bukanlah generasi terbaik, justru pada mereka terjadi kezhaliman, kefasikan dan penyimpangan yang karenanya mereka berhak untuk dipimpin oleh orang yang bukan paling berhak menjadi khalifah, sebagaimana Allah ots berfirman,

 

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menguasai sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al-An’am: 129).

 

Ketahuilah bahwa urutan keutamaan seperti tersebut di atas tidak berarti bahwa siapa yang memiliki keutamaan atas orang lain secara otomatis dia mengungguli orang tersebut dalam segala hal, karena bisa jadi yang di bawahnya dalam hal keutamaan itu memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Dan keistimewaan satu dari empat khalifah tersebut atau selain mereka yang dengannya dia mengungguli yang lain tidak menunjukkan keutamaannya secara mutlak. Jadi, harus dibedakan antara kemutlakan dan pembatasan.

 

Penulis berkata,

 

Mereka mencintai Ahlul Bait Rasulullah dan loyal kepada mereka.

 

Yakni di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai keluarga Rasulullah #s karena dua alasan: Iman dan hubungan kekerabatan dengan Rasulullah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membenci Ahlul Bait selama-lamanya.

 

Hanya saja Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak sependapat dengan Rafidhah yang berkata, Siapa pun yang mencintai Abu Bakar dan Umar berarti membenci Ali. Jadi tidak mungkin mencintai Ali tanpa membenci Abu Bakar dan Umar. Seolah-olah Abu Bakar dan Umar adalah musuh Ali, padahal riwayat-riwayat yang mutawatir menetapkan pujian Ali kepada keduanya di atas mimbarnya.

 

Kami katakan, Kami menjadikan Allah sebagai saksi atas kecintaan kami kepada keluarga dan kerabat Rasulullah, kami mencintai mereka karena kecintaan kami kepada Allah dan RasulNya.

 

Termasuk keluarga Nabi adalah istri-istri beliau. Ini berdasarkan nash al-Qur’an. Allah berfirman,

 

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada tstri-istrimu, ‘Jika kalian menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, akan kuberikan kepada kalian mut’ah (dunia yang aku miliki) dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik.’ Dan jika kalian menginginkan Allah dan RasulNya dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian. Wahai tstri-istri Nabi! Barang-siapa di antara kalian yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azab akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demtikian itu arnat mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan RasulNya, serta mengerjakan amal shalih, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rizki yang mulia baginya. Wahat istri-istri Nabi! Kalian tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya bangkit, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan yang keji (yang hina) dari diri kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersithnya.” (Al-Ahzab: 28-33).

 

Ahlul Bait di dalam ayat ini mencakup istri-istri Rasulullah tanpa ragu.

 

Termasuk Ahlul Bait juga adalah kerabat Rasulullah , yaitu Fathimah, Ali, al-Hasan, al-Husain, dan selain mereka seperti alAbbas bin Abdul Muththalib dan anak-anaknya. Kami mencintai mereka karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah dan iman mereka kepada Allah.

 

Kalau mereka Kafir, maka kita tidak mencintai mereka, meskipun dia adalah kerabat Rasulullah; seperti Abu Lahab yang merupakan paman Rasulullah. Kita tidak boleh mencintainya dalam kondisi apa pun, justru kita wajib membencinya Karena kekafirannya dan sikap buruknya kepada Nabi . Sama halnya dengan Abu Thalib, kita wajib membencinya karena kekafirannya, akan tetapi kita mencintai perbuatannya berupa perlindungan dan bantuannya yang diberikan kepada Rasulullah.

 

Perkataan penulis,

 

“Mereka loyal kepada Ahlul Bait,” yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan Ahlul Bait sebagai waliwali mereka. Wali memiliki beberapa arti, bisa berarti kawan, orang dekat, pengurus suatu perkara, dan makna lainnya yang mengandung makna loyalitas dan pembelaan. Di sini ia mencakup pembelaan, perkawanan, dan kecintaan.

 

Penulis berkata,

 

Mereka menjaga wasiat Rasulullah tentang Ahlul Bait, di mana beliau bersabda di hari Ghadir Khum, “Aku mengingatkan kalian kepada Allah terkait Ahlul Baitku.”

 

“Dan mereka menjaga wasiat Rasulullah,” yakni, wasiat yang dipesankan oleh Nabi kepada umat beliau. 

 

“Di hari Ghadir Khum,” yaitu hari kedelapan belas Dzulhijjah. “tempat genangan air” ini dinisbatkan kepada seorang laki-laki bernama Khum, ia berada di jalan antara Makkah dan Madinah, dekat dengan Juhfah. Rasulullah  singgah padanya pada saat pulang dari Haji Wada’. Nabi berkhutbah dan bersabda, “Aku. mengingatkan kalian kepada Allah terkait Ahlul Baitku.” Nabi  mengucapkannya tiga kali, yakni, ingatlah Allah, ingatlah kemarahan dan pembalasanNya apabila kalian menyia-nyiakan hak Ahlul Bait dan ingatlah rahmat dan pahalaNya apabila kalian menunaikan hak mereka.

 

Penulis berkata,

 

Nabi juga bersabda kepada al-Abbas, paman beliau, ketika dia mengadukan kepada Nabi bahwa sebagian orang Quraisy membenci Bani Hasyim. Nabi bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, mereka tidak beriman sebelum mereka mencintai kalian karena Allah dan karena kekerabatan denganku.”

 

* Kata  adalah bentuk mashdar dari yang artinya kembali, ia adalah mashdar bagi fi’il yang terbuang (mahdzhuf), dan maknanya adalah kembali kepada yang sebelumnya.

 

Kata  artinya adalah memandang rendah dan tidak menyukai.

 

Hasyim adalah kakek bagi bapak Rasulullah. Rasulullah bersumpah bahwa mereka tidak beriman, maksudnya adalah iman mereka tidak sempurna sehingga mereka mencintai kalian karena Allah. Kecintaan ini juga berlaku bagi kaum Muslimin secara umum, karena sudah menjadi kewajiban seorang Muslim mencintai setiap orang yang beriman kepada Allah. Hanya saja Nabi menambahkan,  “dan karena kekerabatanku.” Ini adalah kecintaan tambahan di atas kecintaan karena Allah yang khusus dimiliki Ahlul Bait, kerabat Nabi .

 

Ucapan Abbas  “Sesungguhnya sebagian Quraisy membenci Bani Hasyim,” mengandung bukti bahwa kebencian terhadap Ahlul Bait telah ada pada masa hidup Nabi, karena hasad telah menjadi tabiat manusia, kecuali orang yang dijaga oleh Allah. Mereka iri kepada Ahlul Bait Rasulullah karena nikmat kekerabatan kepada Nabi yang Allah berikan kepada mereka, akibatnya mereka membenci Ahlul Bait dan tidak menunaikan hak-hak Ahlul Bait.

 

Penulis berkata,

 

Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memilih anak-anak Isimail, pia memilih Kinanah dari anak-anak Ismail, Dia semilih Quraisy dari Kinanah, Dia memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan Dia memilihku dari Bani Hasyim.”

 

Ini adalah dalil bahwa Bani Ilasyim adalah orang-orang yang terpilih di sisi Allah, orang-orang yang terpilih di antara makhlukNya.

 

Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berhubungan dengan sikap kepada Ahli Bait adalah mencintai mereka, bersikap loyal kepada mereka, Menjaga wasiat Rasulullah agar selalu ingat kepada Allah untuk tidak menyia-nyiakan hak mereka, dan tidak mendudukkan mereka di atas posisi mereka yang sebenarnya, bahkan berlepas diri dari orang-orang yang mengkultuskan mereka sampai ke posisi ketuhanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba kepada Ali ketika dia berkata kepada Ali, “Engkau adalah Allah,” sebagaimana disebutkan dalam kisah yang terkenal.

 

Nabi Ismail adalah putra Nabi Ibrahim al-Khalil  dialah anak yang Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelihnya. Kisahnya tersebut di dalam Surat ash-Shaffat.

 

Kinanah adalah bapak keempat belas bagi Rasulullah

 

Quraisy adalah bapak kesebelas bagi Rasulullah  ia adalah Fihr bin Malik. Ada yang berkata, Bapak ketiga belas, yaitu an-Nadhr bin Kinanah. Hasyim adalah bapak ketiga Rasulullah

 

Penulis berkata,

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersikap loyal kepada istri-istri Rasulullah Ummahatul Mukminin

 

Perkataan penulis,  “Ummahatul Mukminin.” Ini adalah Sifat bagi istri-istri Rasulullah. Istri-istri Nabi adalah ibu kita dalam hal penghormatan, penghargaan, dan hubungan. Allah berfirman,

 

“Nabi itu lebih berhak terhadap orang-orang Mukmin dart diri merekg sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6).

 

Kita loyal kepada mereka dengan menolong dan membela me. reka serta meyakini bahwa mereka adalah wanita-wanita terbaik dari penduduk bumi, karena mereka adalah istri-istri Rasulullah 

 

Ini adalah dalil bahwa Bani Hasyim adalah orang-orang yang terpilih di sisi Allah.

 

Penulis berkata,

 

Mereka mengimani bahwa istri-istri Rasulullah adalah istri-istri beliau di akhirat.

 

Berdasarkan hadits-hadits yang menjelaskan hal itu dan berdasarkan Firman Allah

 

“(Malaikat-malaikat) yang memikul Arasy dan (para malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Tuhan mereka dan mereka beriman kepadaNya, serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata), ‘Wahat Tuhan kami, Engkau meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu(Mu), maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan (agama)Mu dan peliharalah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahat Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga-surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka, dan orang yang shalih di antara nenek moyang mereka, istri-istri, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana’.” (Al-Mu’min: 7-8).

 

FirmanNya,  Istri-istri mereka.” Allah menetapkan hubungan suami istri setelah masuk surga. Ini menunjukkan bahwa istri seseorang, di dunia adalah istrinya di akhirat apabila keduanya masuk surga.

 

Penulis berkata,

 

Khususnya Khadijah, ibu dari mayoritas anak-anak beliau.

 

“Khususnya Khadijah  mashdar bagi fii yang tidak disebutkan, yakni  “aku mengkhususkan secara khusus.”

 

Khadijah binti Khuwailid adalah istri pertama Nabi  Nabi  menikahinya dalam usia dua puluh lima tahun sementara Khadijah berusia empat puluh tahun. Dia adalah wanita cerdas. Nabi  banyak mengambil manfaat darinya, karena dia adalah wanita pintar dan cerdik. Selama Khadijah hidup, Rasulullah tidak berpoligami.

 

Khadijah sebagaimana yang dikatakan oleh penulis,  ps i ai “Ibu dari mayoritas anak-anak beliau,” putra dan putri. Penulis tidak berkata,  “Ibu dari anak-anak beliau,” karena Rasulullah mempunyai anak yang bukan dari Khadijah, yaitu Ibrahim dari Maria al-Qibthiyah.

 

Anak Rasulullah dari Khadijah ada enam orang: dua laki-laki dan empat wanita. Yang laki-laki adalah: al-Qasim, kemudian Abdullah yang dikenal dengan ath-Thayyib dan ath-Thahir. Putri-putri beliau adajah: Zainab, kemudian Ummu Kultsum, kemudian Fathimah, kemudian Ruqayyah. Putra terbesar adalah al-Qasim dan putri terbesar adalah Zainab.

 

Penulis berkata,

 

Orang yang pertama beriman kepada Nabi  dan menotong beliau dalam urusan beliau.

 

Tanpa ragu bahwa dia adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi karena ketika Nabi  pulang dari gua Hira dan menyampaikan apa yang didapatkan di sana, dia berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya.” Khadijah beriman kepada Nabi  lalu dia membawa beliau kepada Waraglqah bin Naufal dan menceritakan berita Nabi  kepadanya. Waraqah berkata kepadanya, “Ini adalah Namus yang turun kepada Musa.” Namus adalah pemilik rahasia (Jibril). Waraqah pun beriman kepada Nabi.

 

Oleh karena itu, kami katakan, Wanita pertama yang beriman kepada Nabi  adalah Khadijah, dan laki-laki pertama yang beriman kepada beliau adalah Waraqah bin Naufal.

 

Perkataan penulis,  “Dan menolong beliau dalam urusan beliau,” yakni, membantunya. Siapa pun yang membaca Sirah Nabi  maka dia pasti mengetahui bahwa dukungan Khadijah kepada Nabi  tidak diungguli oleh seorang pun dari istri-istri Nabi  yang lain.

 

Penulis berkata,

 

Dan dia memiliki kedudukan yang tinggi di hati Rasulullah.

 

Sampai-sampai Nabi tetap mengingatnya setelah dia wafat, beliau mengirim hadiah kepada teman-teman Khadijah, dan beliau bersabda,

 

“Dia itu begini dan begini, dan aku memiliki anak darinya.”

 

Nabi  memujinya. Ini menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah .

 

Penulis berkata,

 

Dan ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq

 

Aisyah disebut ash-Shiddiqah, karena imannya yang sempurna kepada Rasulullah , dan karena kejujurannya dalam bergaul dengan rasulullah, serta kesabarannya dalam menghadapi tekanan berat ketika terjadi kisah “a-Ifk” (tuduhan dusta) yang ditujukan kepadanya. Engkau bisa mengetahui kejujurannya dan kebenaran imannya kepada Allah dari ucapannya ketika Allah  menurunkan kesaksian kebebasannya atas kisah dusta tersebut, dia berkata, “Sesungguhnya aku tidak memuji kecuali Allah.” Ini adalah bukti kejujuran dan kesempurnaan imannya.

 

Dia adalah binti ash-Shiddiq karena hal yang sama, ayahnya (Abu Bakar) adalah ash-Shiddiq di tubuh umat ini, bahkan dia adajah ash-Shiddiq dari seluruh umat; karena umat ini adalah umat terbaik, jika dia adalah ash-Shiddiq umat ini, berarti dia juga ash-Shiddiq umatumat yang lain.

 

Penulis berkata,

 

Yang Nabi bersabda tentangnya, “Keutamaan Aisyah atas wanita-wanita (selainnya) adalah seperti keutamaan tsarid atas makanan yang lain.”

 

Sabda beliau,  “Atas wanita-wanita.” Zahirnya berlaku umum, yakni atas seluruh wanita. Ada yang berpendapat bahwa maksud keutamaan Aisyah atas wanita-wanita; wanita di sini adalah istri-istri beliau yang masih hidup kala itu. Jadi, Khadijah tidak termasuk di dalamnya.

 

Akan tetapi zahir hadits berlaku umum, karena Rasulullah  bersabda,

 

“Laki-laki yang sempurna berjumlah banyak, dan tidak sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiyah istri Fir’aun, Maryam binti Imran, dan Khadijah binti Khuwailid, dan keutamaan Aisyah atas wanita-wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas makanan-makanan yang lain.” Diriwayatkan oleh asy-Syaikhain tanpa menyebutkan Khadijah. Ini menunjukkan bahwa dia adalah wanita terbaik secara mutlak.

 

Hanya Saja dari segi nasab, dia tidak lebih unggul dari Fathimah ws, karena tidak diragukan lagi bahwa Fathimah lebih mulia nasabnya daripada Aisyah.

 

Adapun dari sisi kedudukan, Aisyah memiliki kedudukan besar yang tidak digapai oleh wanita mana pun.

 

Zahir perkataan penulis imenunjukkan bahwa kedua istri Nabi ini berkedudukan sama, karena dia berkata, “Khususnya Khadijah… dan ash-Shiddiqah.” Dan dia tidak berkata, “Kemudian ash-Shiddiqah.”

 

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

 

Sebagian ulama berkata, Khadijah lebih utama, karena dia memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki Aisyah.

 

Yang lain berkata, Aisyah lebih utama berdasarkan hadits ini, dan karena dia memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Khadijah.

 

Sebagian ulama membuat perincian, yaitu bahwa masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Di awal dakwah Nabi, Khadijah memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki dan tidak mungkin disaingi oleh Aisyah, akan tetapi setelah itu dan setelah Rasulullah  wafat, Aisyah berjasa besar dalam menyebarkan as-Sunnah dan ilmu serta hidayah kepada umat, keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Khadijah. Jadi, tidak sah mengunggulkan salah satunya atas yang lain secara mutlak, akan tetapi kita katakan, ini lebih utama dari satu segi dan itu lebih utama dari segi yang lain. Dengan ini kita berjalan di atas keadilan, kita tidak melupakan keistimewaan-keistimewaan ini, kita juga tidak melupakan keistimewaan-keistimewaan itu, sehingga dengan merinci hal tersebut, apa yang ingin kita raih dapat tercapai. Khadijah, Aisyah, dan istri-istri Rasul  yang lain , semuanya akan bersama beliau di surga.

 

Penulis berkata,

 

Mereka berlepas diri dari jalan orang-orang Rafidhah yang membenci dan mencaci para sahabat.

 

Rafidhah adalah kelompok yang bersikap berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait, mereka adalah ahli bid’ah yang paling sesat dan paling membenci para sahabat. Siapa yang ingin mengetahui kesesatan mereka, maka silakan membaca bukubuku mereka dan buku-buku yang membantah mereka.

 

Mereka disebut Rafidhah karena mereka menolak Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib ketika mereka bertanya kepadanya tentang Abu Bakar dan Umar, lalu dia memuji keduanya dan berkata, “Mereka berdua adalah pendukung kakekku (Nabi).”

 

Adapun Nawashib, maka mereka adalah orang-orang yang menegakkan permusuhan kepada Ahlul Bait, serta menghina dan mencaci maki Ahlul Bait. Mereka ini adalah lawan Rafidhah.

 

Rafidhah menyerang para sahabat dengan hati dan lisan.

 

Hati mereka membenci dan memusuhi para sahabat, kecuali orang-orang yang menjadi perantara mereka untuk meraih ambisi mereka dan mereka pun bersikap berlebih-lebihan pada orang-orang tersebut, dan orang-orang tersebut adalah Ahlul Bait.

 

Lisan mereka melaknat dan mencaci para sahabat. Mereka berkata, “Para sahabat adalah orang-orang zhalim.” Mereka berkata, “Mereka murtad setelah Nabi wafat, kecuali sedikit dari mereka,” dan masih banyak lagi. Semua itu bisa dilihat di buku-buku mereka.

 

Sebenarnya, mencaci para sahabat tidak sekedar pelecehan terhadap mereka, lebih daripada itu ia adalah pelecehan terhadap mereka, terhadap Nabi, terhadap syariat Allah, bahkan terhadap Dzat Allah.

 

Adapun cacian terhadap para sahabat adalah pelecehan terhadap mereka, maka hal itu sudah jelas bahwa itu merupakan pelecehan terhadap Rasulullah, karena itu berarti bahwa para sahabat beliau yang merupakan orang-orang kepercayaan beliau dan para penerus beliau dalam memimpin umat termasuk orang-orang yang paling buruk, dari sisi lain ia berarti mendustakan Nabi yang telah mengabarkan tentang keutamaan-keutamaan dan keistimewaan-keistimewaan mereka.

 

Ia adalah pelecehan terhadap syariat Allah, karena merekalah perantara antara kita dengan Rasulullah  dalam mengemban syariat, jika kredibilitas mereka gugur, maka tidak ada lagi kepercayaan dalam syariat yang mereka sampaikan.

 

Sedangkan ia adalah pelecehan terhadap Allah, karena hal itu mengandung pengertian adanya anggapan bahwa Allah mengutus NabiNya dengan dikelilingi oleh manusia-manusia keji, dan Allah memilih mereka untuk menyertai Nabi, memikul syariatNya dan menyampaikannya kepada umat.

 

Lihatlah akibat buruk yang begitu besar dari mencaci para sahabat.

 

Kita berlepas diri dari jalan orang-orang Rafidhah yang memusuhi dan mencaci para sahabat. Kita meyakini bahwa mencintai mereka adalah wajib, dan menahan diri dari membicarakan keburukan mereka adalah wajib, hati kita -alhamdulillah- dipenuhi dengan kecintaan kepada mereka, karena keimanan dan ketakwaan yang mereka miliki serta penyebaran ilmu dan dukungan yang mereka berikan kepada Nabi.

 

Penulis berkata,

 

Dan (mereka melepas diri dari) jalan orang-orang nawashib yang menyakiti Ahlul Bait dengan perkataan dan perbuatan.

 

Yakni, Ahlus Sunnah wal Jama‘ah berlepas diri dari jalan orang-orang Nawashib.

 

Mereka ini adalah kebalikan dari orang-orang Rafidhah yang mengkultuskan Ahlul Bait, sehingga mereka mengangkat Ahlul Bait dari lingkaran kemanusiaan kepada lingkaran kewalian yang tidak mungkin salah.

 

Adapun nawashib, maka mereka menghadapi bid’ah dengan bid’ah, ketika mereka melihat Rafidhah bersikap berlebih-lebihan terhadap Ahlul Bait, maka mereka berkata, “Kalau begitu kita memusuhi dan mencela Ahlul Bait,” sebagai reaksi terhadap Rafidhah yang berlebih-lebihan dalam mencintai dan memuji Ahlul Bait. Sikap pertengahan selalu menjadi yang terbaik, sedangkan merespons bid’ah dengan bid’ah hanya menguatkan bid’ah itu sendiri.

 

Penulis berkata,

 

Mereka menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara para sahabat.

 

Setelah terbunuhnya Umar bin al-Khaththab, di kalangan para sahabat terjadi perselisihan-perselisihan, ia semakin memuncak seteJah Utsman terbunuh, maka terjadilah di antara mereka peristiwa yang menimbulkan peperangan.

 

Ini perkara yang masyhur, yang terjadi -tanpa ragukarena takwil dan ijtihad, yakni bahwa masing-masing pihak mengira berada di atas kebenaran. Tidak mungkin bagi kita untuk menyatakan bahwa Aisyah dan az-Zubair bin al-Awwam memerangi Ali dalam keadaan mereka yakin di atas kebatilan, sedangkan Ali di atas kebenaran.

 

Keyakinan mereka bahwa mereka benar tidak berarti bahwa mereka memang benar, akan tetapi kalau mereka salah dan kita mengetahui bahwa mereka tidak melakukan hal ini kecuali berdasarkan kepada ijtihad, maka Nabi telah menetapkan bahwa,

 

“Jika seorang hakim menetapkan hukum lalu dia berijtihad dan benar, maka dia memperoleh dua pahala. Jika dia menetapkan hukum lalu berijtihad dan salah, maka dia memperoleh satu pahala.”

 

Maka kita katakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berijtihad dan salah, maka mereka memperoleh satu pahala.

 

Inilah yang terjadi, dan sikap kita terhadap permasalahan ini adalah dari dua sisi, pertama: hukum terhadap pelaku, dan kedua: sikap kita terhadap pelaku.

 

Adapun hukum terhadap pelaku, maka telah dijelaskan, yaitu bahwa apa yang kita yakini di hadapan Allah adalah bahwa apa yang terjadi pada mereka berasal dari hasil ijtihad, dan pelaku ijtihad yang salah diampuni dan dimaklumi.

 

Adapun sikap kita kepada pelaku, maka kita wajib menahan diri dari apa yang mereka perselisihkan. Mengapa kita jadikan perbuatan mereka sebagai lahan untuk mencaci, mencela, dan melecehkan mereka dan hal itu memicu kebencian di antara kita, padahal kalau kita melakukannya, maka bisa jadi kita salah atau tidak bersalah dan kedua-duanya tidaklah menguntungkan kita?

 

Yang wajib bagi kita dalam perkara seperti ini adalah menahan diri dari apa yang terjadi di antara para sahabat, tidak usah membaca berita mereka dan sejarah dalam hal ini kecuali jika diperlukan secara mendesak.

 

Penulis berkata,

 

Mereka berkata, Atsar-atsar yang diriwayatkan tentang keburukan mereka, di antaranya ada yang merupakan kedustaan, di antaranya ada yang telah ditambah dan dikurangi serta dirubah dari keadaan yang sebenarnya.

 

Penulis membagi riwayat tentang keburukan mereka menjadi tiga bagian:

 

Pertama, dusta murni, yang tidak pernah terjadi pada mereka. Ini banyak sekali ditemukan dalam riwayat nawashib tentang Ahlul Bait dan riwayat Rafidhah tentang selain Ahlul Bait.

 

Kedua, riwayat yang memiliki asal usul, hanya saja ia telah ditambah atau dikurangi atau dibelokkan dari aslinya. Kedua bagian ini wajib ditolak.

 

Ketiga, riwayat yang shahih. Apa komentar kita padanya?

 

Penulis menjelaskannya dengan ucapannya,

 

Adapun yang shahih dari atsar-atsar tersebut, maka mereka harus dimaklumi, karena bisa jadi mereka adalah orang-orang yang berjihad lalu benar atau orang-orang yang berijtihad lalu salah.

 

Seorang ahli ijtihad meraih dua pahala jika benar dan satu pahala jika salah; berdasarkan sabda Nabi,

 

“Jika seorang hakim menetapkan hukum lalu dia berijtihad dan benar, maka dia memperoleh dua pahala. Jika dia menetapkan hukum lalu berijtihad dan salah, maka dia memperoleh satu pahala.”

 

Apa yang terjadi antara Mu’awiyah dan Ali berawal dari ijtihad dan takwil. Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa Ali lebih dekat kepada kebenaran daripada Mu’awiyah, bahkan kita hampir memastikan bahwa Alilah yang benar, hanya saja Mu’awiyah adalah orang yang berijtihad.

 

Yang menunjukkan bahwa Ali lebih dekat kepada kebenaran adalah sabda Nabi.

 

“Duhai Ammar! Dia akan dibunuh oleh kelompok nembangkang. “

 

Dan ternyata yang membunuh Ammar adalah teman-teman Mu’awiyah. Dengan ini kita tahu bahwa merekalah kelompok pembangkang yang memberontak kepada pemimpin. Hanya saja mereka melakukan itu karena takwil, dan kebenaran berada di pihak Ali dengan yakin atau dengan dugaan kuat.

 

Ada bagian keempat, yaitu kesalahan-kesalahan yang terjadi dari mereka bukan karena ijtihad dan bukan karena takwil. Penulis menjelaskannya dengan mengatakan,

 

Meskipun begitu mereka (Ahlus Sunnah) tidak meyakini bahwa setiap sahabat ma’shum dari dosa besar dan kecil.

 

Mereka tidak meyakini itu karena Nabi bersabda,

 

“Setiap anak Adam itu banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak melakukan kesalahan adalah orang-orang yang selalu bertaubat.”

 

Akan tetapi yang ma’shum adalah dalam perkara ijma’ mereka, maka tidak mungkin mereka bersepakat atas dosa besar atau dosa kecil lalu mereka menghalalkannya atau melakukannya.

 

Secara personal, dosa besar mungkin terjadi dari sebagian mereka, sebagaimana yang terjadi pada Misthah bin Utsathah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy pada kisah tuduhan dusta (al-Ifk) yang ditujukan kepada Aisyah, akan tetapi mereka telah bersih darinya dengan dilaksanakannya had kepada mereka.

 

Penulis berkata,

 

Bahkan bisa jadi mereka melakukan dosa secara umum.

 

Yakni sama dengan manusia yang lain, hanya saja mereka memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain; yaitu seperti yang dikatakan oleh penulis,

 

para sahabat itu memiliki kebaikan-kebaikan di atas selain mereka dan keutamaan-keutamaan yang membuat apa yang mereka lakukan -kalau dilakukan- diampuni.

 

Ini adalah salah satu sebab Allah menghapus dosa-dosa kecil dan dosa besar yang mereka lakukan, yaitu kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan yang tidak ditandingi oleh seorang pun; mereka membela Nabi, berjihad dengan harta dan jiwa mereka, mengorbankan nyawa mereka untuk menjunjung tinggi kalimat Allah, ini menyebabkan diberikannya ampunan untuk apa yang mereka lakukan meskipun ia termasuk dosa yang paling besar, selama tidak sampai pada tingkat kekafiran.

 

Salah satunya adalah kisah Hathib bin Abu Balta’ah ketika dia mengirim surat kepada orang-orang Quraisy untuk menyampaikan kepada mereka keberangkatan Nabi , sampai Allah memberitahu NabiNya tentang itu, sehingga suratnya tidak sampai kepada mereka. Maka Umar meminta izin kepada Nabi  untuk memancung leher Hathib, namun Nabi  bersabda,

 

“Dia mengikuti Perang Badar, tahukah kamu, bisa jadi Allah telah melihat kepada orang-orang yang mengikuti Perang Badar, lalu Dia berfirman, ‘Lakukanlah apa yang kalian suka karena sungguh Aku telah mengampuni kalian?’

 

Penulis berkata,

 

Bahkan diampuni bagi mereka dari keburukan-keburukan apa yang tidak diampuni untuk orang-orang sesudah mereka, karena mereka memiliki kebaikan-kebaikan yang menghapus keburukan-keburukan yang tidak dimiliki oleh orang-orang sesudah mereka. Dan telah ditetapkan dengan sabda Rasulullah, bahwa mereka adalah generasi terbaik, dan bahwa satu mud salah seorang dari mereka, jika disedekahkan, mengungguli emas sebesar Uhud yang disedekahkan oleh siapa pun sesudah mereka. Yakni, dalam sabda beliau,

 

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat).”

 

Dan sabda beliau,

 

“Jangan mencaci sahabat-sahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas seperti gunung Uhud, maka ia tetap tidak menandingi satu mud bahkan (tidak pula) setengahnya yang diinfakkan oleh salah seorang dari mereka.”

 

Penulis berkata,

 

Kalaupun salah seorang dari mereka melakukan dosa, maka dia telah bertaubat darinya. Yakni, apabila sahabat yang melakukan dosa tersebut telah bertaubat darinya, maka dia akan terbebas dari akibat buruknya; berdasarkan Firman Allah,

 

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain di samping juga (menyembah) Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada Hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan meyeka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Furqan: 68-70).

 

Barangsiapa bertaubat dari suatu dosa, maka dia seperti orang yang tidak berdosa. Jadi ia tidak berpengaruh padanya.

 

Penulis berkata,

 

Atau dia melakukan kebaikan-kebaikan yang menghapusnya.

 

Berdasarkan Firman Allah

 

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114).

 

Penulis berkata,

 

Atau dia diampuni karena keutamaan sebagai orang terdahulu dalam keimanan.

 

Berdasarkan Firman Allah di dalam hadits qudsi tentang para peserta Perang Badar,

 

“Lakukanlah apa yang kalian mau, karena Aku telah mengampuni kalian.”

 

Penulis berkata,

 

Atau dengan syafa’atnya Nabi Muhammad di mana mereka adalah orang-orang yang paling berhak mendapatkan syafa’at beliau.

 

Telah dijelaskan bahwa Nabi  memberi syafa’at untuk umat beliau, dan orang-orang yang paling berhak mendapatkannya adalah para sahabat.

 

Penulis berkata,

 

Atau dia diuji di dunia dengan suatu ujian yang dapat melebur kesalahannya.

 

Allah akan melebur dosa dengan ujian yang didapatkan oleh seseorang, sebagaimana Nabi mengabarkan hal itu dalam sabda beliau,

 

“Tidak ada seorang Muslim pun yang ditimpa sesuatu yang menyakitkan, berupa sakit dan selainnya, kecuali Allah meluruhkan kesalahan-kesalahannya seperti pohon menjatuhkan daun-daunnya.’

 

Hadits-hadits dalam bab ini berjumlah banyak dan terkenal.

 

Penulis berkata,

 

Jika dalam dosa yang pasti urusannya adalah demikian lalu bagaimana dengan perkara-perkara yang mereka berijtihad padanya; kalau benar, mereka memperoleh dua pahala, dan kalau salah, maka mereka memperoleh satu pahala, dan kesalahannya diampuni.

 

Dalilnya telah disebutkan, jadi hal ini lebih layak untuk tidak dijadikan sebab mencela dan mencaci para sahabat.

 

Sebab-sebab yang disebutkan oleh penulis melindungi para sahabat dari celaan, dan ia terbagi menjadi dua: Pertama, khusus untuk mereka, yaitu kebaikan dan keutamaan mereka. Kedua, umum, yaitu taubat, kebaikan-kebaikan yang dapat menghapus dosa, syafa’at Nabi as, dan ujian.

 

Penulis berkata,

 

Kemudian kadar yang diingkari dari perbuatan sebagian dari mereka sangatlah sedikit dan jarang, yang tenggelam oleh keutamaan-keutamaan dan kebaikan-kebaikan mereka.

 

Kadar yang layak diingkari dari perbuatan sebagian dari mereka sangatlah sedikit sekali. Oleh karena itu, penulis berkata,  “yang tenggelam oleh keutamaan-keutamaan dan kebaikan-kebaikan mereka.”

 

Memang tidak diragukan lagi bahwa sebagian dari mereka pernah mencuri, minum khamar, qadzaf (menuduh zina terhadap wanita baik-baik), dan berzina; baik muhshan (sudah menikah) maupun bukan muhshan, akan tetapi semua dosa ini tidak ada apa-apanya di depan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan mereka, dan sebagian dosa tersebut telah dilaksanakan hukuman had atasnya, sehingga ia menjadi pelebur untuknya.

 

Kemudian penulis menjelaskan sebagian dari keutamaan-keutamaan dan kebaikan-kebaikan mereka dengan ucapannya,

 

Berupa keimanan kepada Allah dan RasulNya jihad di jalanNya, hijrah, dukungan kepada Nabi, ilmu yang bermanfaat, dan amal shalih.

 

Semua ini adalah kebaikan-kebaikan dan keutamaan-kKeutamaan mereka yang sudah diketahui dan sudah terkenal, ia menutupi keburukan-keburukan mereka yang memany benar-benar terjadi pada mereka, lalu bagaimana dengan Keburukan-keburukan yang belum dipastikan kebenarannya atau keburukan-keburukan yang di dalamnya mereka melakukan ytihad dan takwil?

 

Penulis berkata,

 

Barangsiapa memerhatikan perjalanan hidup mereka dengan landasan ilmu dan bashirah, dan melihat keutamaan-keutamaan yang Allah limpahkan kepada mereka, niscaya dia akan mengetahui dengan yakin bahwa mereka adalah manusia terbaik setelah para nabi.

 

Hal ini berdasarkan kepada hadits shahih dari Nabi

 

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin Umar.

 

Berdasarkan ini, maka keutamaan mereka atas selain mereka dari para pengikut nabi-nabi terbukti dengan dalil dan kajian terhadap kehidupan mereka. Apabila engkau melihat dengan ilmu, bashirah, serta sikap obyektif pada kebaikan mereka dan keutamaan yang Allah berikan kepada mereka, niscaya engkau akan mengetahui dengan yakin bahwa mereka adalah orang-orang terbaik setelah para nabi, mereka lebih baik daripada Hawariyin, para sahabat Nabi Isa, mereka lebih baik daripada orang-orang terpilih daripada sahabat Nabi Musa , dan lebih baik daripada orang-orang yang beriman kepada Nabi Nuh, Hud  dan selain mereka. Tidak ada seorang pun dari pengikut para nabi yang lebih baik daripada para sahabat . Perkara ini adalah perkara yang maklum lagi jelas berdasarkan Firman Allah

 

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Ali Imran: 110).

 

Orang-orang terbaik dari kita adalah para sahabat, dan karena orang, terbaik adalah Nabi , maka para sahabat beliau adalah para sahabat terbaik, tanpa ragu.

 

Ini menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun menurut Rafidhah, para sahabat adalah orang-orang terburuk, kecuali beberapa orang yang mereka kecualikan.

 

Penulis berkata,

 

Tidak ada dan tidak akan pernah ada yang seperti mereka.

 

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah,

 

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku.” Jadi, secara mutlak tidak ada manusia (setelah para nabi) yang semisal para sahabat tidak sebelum dan tidak pula setelah mereka.

 

Penulis berkata,

 

Dan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan dari generasi umat ini yang merupakan umat terbaik dan termulia di sisi Allah.

 

Umat ini adalah umat terbaik, dalilnya adalah Firman Allah

 

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110).

 

Dan juga Firman Allah,

 

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (Al-Baqarah: 143).

 

Karena Nabi  adalah Rasul terbaik, maka tidak heran kalau umat beliau adalah umat terbaik.

 

Para sahabat adalah orang-orang terpilih dari generasi-generasi umat ini, dalilnya adalah sabda Rasulullah,

 

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku.”

 

Di dalam lafazh yang lain disebutkan,  “Sebaik-baik umatku adalah generasiku.”

 

Yang dimaksud dengan generasi beliau adalah para sahabat, orang-orang yang sesudah mereka adalah tabi’in, dan orang-orang yang sesudah mereka adalah tabi’ut tabi’in.

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang dipandang dari tiga generasi tersebut adalah mayoritas penduduknya, yaitu orang-orang yang adil dari mereka. Mayoritas sahabat berakhir dengan selesainya khilafah Khulafa’ Rasyidin yang empat, bahkan dalam masa itu yang tersisa dari para sahabat yang ikut Perang Badar hanya segelintir orang,

 

sedangkan mayoritas tabi’in berakhir di akhir masa sahabat-sahabat junior di masa pemerintahan Ibnu az-Zubair dan Abdul Malik. Adapun mayoritas tabi’ut tabi’in berakhir di masa akhir Daulah Bani Umayah dan awal Daulah Abbasiyah.”

 

Sahabat yang wafat terakhir adalah Abu ath-Thufail Amir bin Watsilah al-Laitsi, dia wafat tahun seratus hijriyah. Ada yang berkata, seratus sepuluh hijriyah.

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar di al-Fath berkata, “Para ulama bersepakat bahwa orang terakhir dari kalangan tabi’ut tabi’in yang diterima ucapannya adalah orang yang hidup sampai sekitar tahun dua ratus dua puluh hijriyah.”

 

Karamah para wali adalah perkara yang sangat penting, kita harus mengetahui yang haq dan yang batil tentangnya. Apakah ia benar-benar pakiki atau hanya khayalan?

 

Penulis  menjelaskan pendapat Ahlus Sunnah dalam hal itu dengan ucapannya, antara prinsip dasar Ahlus Sunnah adalah; memercayai karamah para wali. Siapa itu wali? Jawaban: Allah telah menjelaskan tentang mereka dalam FirmanNya,

 

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63).

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah is berkata, “Setiap Mukmin yang bertakwa adalah wali Allah.”

 

Derajat kewalian tidak diraih dengan klaim dan angan-angan, akan tetapi ia diraih dengan iman dan takwa, kalau ada yang mengatakan bahwa dia adalah wali, tetapi dia tidak bertakwa kepada Allah, maka perkataannya harus ditolak.

 

Kata  adalah bentuk jamak dari kata yang bermakna perkara luar biasa yang Allah jadikan melalui seorang wali sebagai bantuan, dukungan, dan peneguhan baginya atau sebagai pertolongan kepada agama.

 

Shilah bin Asyyam, kudanya telah mati, lalu Allah menghidupkannya kembali, sehingga Shilah bisa pulang dengannya sampai rumah. Begitu sampai di rumah, dia berkata kepada anaknya, “Ambil pelana kuda itu karena kuda itu adalah pinjaman.” Ketika pelananya diambil, kuda tersebut mati lagi. Ini adalah karamah untuk orang tersebut sebagai bantuan untuknya.

 

Adapun karamah untuk menolong Islam: Seperti yang terjadi pada al-Ala bin al-Hadhrami pada saat menyeberangi lautan, begitu pula yang terjadi pada Sa’ad bin Abi Waqqash pada saat menyeberangi sungai Tigris. Kisah keduanya terkenal dalam sejarah.

 

Jadi, karamah adalah perkara luar biasa, kalau yang biasa, bukanlah karamah.

 

Karamah ini hanya Allah berikan kepada waliNya, untuk membedakannya dengan perkara-perkara sihir dan perdukunan, karena ia juga sama-sama luar biasa, tetapi ia tidak terjadi melalui seorang wali, akan tetapi melalui musuh Allah, jadi ia bukanlah karamah.

 

Perkara-perkara luar biasa yang diklaim sebagai karamah ini banyak terjadi pada tukang sihir yang menghalang-halangi jalan Allah, maka kita wajib berhati-hati dari mereka dan dari permainan mereka terhadap akal dan pikiran manusia.

 

Karamah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, ia telah terbukti secara nyata, baik pada zaman dahulu maupun yang akan datang.

 

– Di antara karamah yang ditetapkan oleh al-Qur’an yang terjadi pada umat terdahulu adalah kisah ashhabul kahfi yang hidup di tengah kaum musyrikin, sementara mereka beriman kepada Allah. Mereka khawatir tidak mampu mempertahankan keimanan mereka, maka mereka meninggalkan negeri mereka, berhijrah kepada Allah  Allah menyediakan sebuah gua di gunung, mulut gua ini di utara, maka cahaya matahari tidak masuk kepada mereka sehingga tidak merusak tubuh mereka, dan mereka pun tetap memperolehnya. Apabila matahari terbit, maka ia condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila ia terpenam, maka ia menjauhi mereka ke sebelah kiri sementara mereka di tempat yang luas di gua itu. Mereka tinggal di gua tersebut dalam keadaan tidur selama tiga ratus sembilan tahun. Allah membolak-balikkan badan mereka ke kanan dan ke kiri di musim panas dan dingin. panas tidak mengganggu mereka, dan dingin tidak menyakiti mereka. Mereka tidak lapar, tidak haus, dan tidak bosan tidur.

 

Ini jelas karamah, mereka dalam keadaan demikian sampai Allah membangkitkan mereka, sementara kesyirikan telah lenyap dari negeri mereka, maka mereka pun selamat darinya.

 

– Di antara karamah yang ada di dalam al-Qur‘an adalah kisah Maryam, Allah memberinya karamah di mana Dia membawanya ke pohon kurma pada saat menjelang melahirkan. Allah memerintahkannya agar menggoyang batang pohon kurma tersebut, maka kurmakurma yang ranum pun berjatuhan.

 

– Di antaranya adalah kisah seorang laki-laki yang dimatikan Allah selama seratus tahun, lalu Allah membangkitkannya sebagai karamah untuknya agar dia mengetahui kodrat Allah dan imannya bertambah kuat.

 

Adapun dari as-Sunnah, maka banyak sekali yang ditetapkan, silakan merujuk Shahih al-Bukhari, Kitab al-Anbiya’; Bab Ma Dzukira An Bani Isra il dan Kitab al-Furgan Baina Auliya ar-Rahman wa Auliya’ asySyaithan karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

 

Adapun bukti nyata tentang adanya karamah, maka ia tidak perlu diragukan. Semua orang bisa mengetahui di masanya; bisa melalui penglihatan atau berita-berita yang dipercaya.

 

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah membenarkan karamah para wali.

 

Ada pendapat lain yang menyelisihi pendapat Ahlus Sunnah, yaitu pendapat Mu’tazilah dan para pengikutnya yang mengingkari karamah. Mereka menyatakan bahwa jika engkau menetapkan karamah, maka tidak bisa dibedakan antara tukang sihir dengan wali, dan wali dengan nabi, karena masing-masing bisa mendatangkan perkara luar biasa.

 

Kami katakan, Tidak mungkin rancu, karena karamah terjadi pada wali, dan wali tidak mungkin mengaku menjadi nabi, kalau dia mengaku nabi, maka dia bukan wali. Perkara luar biasa milik nabi terjadi pada nabi, sementara tipu muslihat dan sihir terjadi pada orang yang jauh dari derajat wali Allah, ia melakukannya dengan bantuan setan, maka dia mendapatkannya dengan usahanya, lain halnya dengan karamah yang datang dari Allah, wali tidak mencari karamah dengan usahanya.

 

Para ulama berkata, Setiap karamah milik wali adalah tanda kebenaran nabi yang diikutinya, karena karamah adalah kesaksian dari Allah  bahwa jalan wali tersebut adalah jalan yang benar.

 

Jadi, karamah-karamah yang terjadi pada para wali di kalangan umat ini adalah merupakan tanda kebenaran Rasulullah.

 

Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, Tidak ada tanda yang dimiliki oleh nabi-nabi terdahulu, kecuali Rasulullah memiliki yang semisalnya.

 

Akan tetapi ucapan ini disanggah dengan mengatakan, Rasulullah tidak dilempar di dalam api lalu keluar dalam keadaan selamat seperti Nabi Ibrahim.

 

Sanggahan ini dijawab dengan mengatakan, Hal itu terjadi pada pengikut Rasulullah sebagaimana yang disebutkan oleh para ahli sejarah dari Abu Muslim al-Khaulani.” Apabila pengikut Rasulullah diberi perkara luar biasa yang sejenis dengan itu, maka itu berarti agama Nabi adalah benar, karena ia didukung dengan perkara luar biasa serupa yang terjadi pada Nabi Ibrahim.

 

Ucapan di atas juga disanggah dengan mengatakan bahwa laut tidak pernah dibelah untuk Nabi, sebagaimana yang pernah terjadi untuk Nabi Musa.

 

Sanggahan ini dijawab dengan mengatakan, bahwa telah terjadi pada umat ini peristiwa yang lebih besar daripada yang terjadi pada Musa, yaitu berjalan di atas air sebagaimana yang dialami oleh al-Ala‘ bin al-Hadhrami dan kawan-kawannya di mana mereka berjalan diatas air, ini lebih besar daripada yang terjadi pada Musa, karena Musa berjalan di atas tanah yang kering.

 

Ucapan di atas juga disanggah dengan mengatakan bahwa salah satu mukjizat Nabi Isa  adalah menghidupkan orang mati. Ini tidak terjadi pada Rasulullah.

 

Sanggahan ini dijawab dengan mengatakan, hal itu pernah terjadi pada pengikut Nabi, sebagaimana kisah seorang laki-laki yang keledainya mati di tengah jalan, lalu dia memohon kepada Allah agar menghidupkannya, maka Allah menghidupkannya.

 

Ucapan di atas juga disanggah dengan mengatakan, Isa menyempuhkan -dengan izin Allahorang buta dan penyakit sopak.

 

Sanggahan ini dijawab dengan mengatakan bahwa hal yang sama terjadi pada Nabi  ketika Qatadah bin an-Nu’man terluka di Perang Uhud, matanya turun sampai di pipinya, lalu Nabi mengambilnya dengan tangan beliau dan mengembalikannya ke tempatnya sehingga mata tersebut menjadi lebih indah daripada mata lainnya. Ini termasuk tanda yang paling besar.

 

Perkara-perkara luar biasa yang serupa dengan yang dimiliki oleh nabi-nabi terdahulu juga terjadi pada Nabi dan pada umat beliau. Barangsiapa menginginkan keterangan lebih, maka silakan merujuk kitab sejarah yang bernama al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir.

 

Catatan Penting:

 

Kita telah katakan bahwa karamah bisa sebagai dukungan, peneguhan, atau bantuan kepada seseorang, atau pertolongan kepada kebenaran, dari sini, maka terjadinya karamah pada tabi’in lebih sering daripada sahabat, karena sahabat memiliki semua itu sehingga mereka tidak begitu membutuhkan karamah, di mana Rasulullah berada di tengah-tengah mereka. Kalau tabi’in, karena mereka di bawah sahabat, maka terjadinya karamah pada mereka lebih sering dalam rangka mendukung dan meneguhkan mereka serta menolong kebenaran yang mereka pegang.

 

Penulis berkata,

 

Dan kejadian-kejadian luar biasa yang Allah tunjukkan melalui mereka.

 

Yang dimaksud dengan kejadian-kejadian luar biasa adalah kejadian yang tidak sesuai kebiasaan hukum kauniyah.

 

Karamah itu memiliki empat fungsi:

 

Pertama, menjelaskan kesempurnaan kodrat Allah, di mana ia terjadi karena izin dari Allah.

 

Kedua, membuktikan kedustaan pendapat yang menyatakan bahwa tabiat alamlah yang berbuat, karena jika tabiat yang berbuat, niscaya ia berjalan lurus dan tidak berubah. Jika kebiasaan dan tabiat berubah, maka ia adalah bukti bahwa alam memiliki Rabb yang menciptakan dan mengaturnya.

 

Ketiga, ia adalah tanda kebenaran Nabi yang diikuti, seperti yang telah dijelaskan.

 

Keempat, ia meneguhkan dan memuliakan wali yang bersangkutan.

 

Penulis berkata,

 

Dalam berbagai macam ilmu dan mukasyafah, dalam berbagai macam kodrat dan pengaruh.

 

Yakni, bahwa karamah terbagi menjadi dua bagian: Bagian yang berkaitan dengan ilmu dan mukasyafah, dan bagian lain yang berkaitan dengan kodrat dan pengaruh.

 

Yang berkaitan dengan ilmu adalah seseorang mendapatkan ilmu yang tidak didapatkan oleh orang lain.

 

Yang berkaitan dengan mukasyafah adalah seseorang dibukakan (tabir suatu kejadian) untuknya apa yang tidak dibukakan untuk orang lain.

 

Contoh yang pertama, yakni ilmu, adalah Abu Baka; Allah membuatnya Mengetahui janin yang ada di rahim istrinya, bahwa janinnya adalah perempuan.”

 

Contoh yang kedua, yakni mukasyafah, adalah apa yang terjadi pada Amirul Mukminin; Umar bin al-Khaththab, saat dia berkhutpah pada Hari Jum‘at di atas mimbar. Para hadirin mendengar Umar perkata, “Hai Sariyah, gunung!” Mereka terkejut dengan ucapan Umar, kemudian mereka bertanya tentang hal itu kepadanya, maka Umar menjelaskan bahwa telah diperlihatkan untuknya pasukan yang dipimpin oleh Sariyah bin Zunaim -salah seorang panglima di Irak dikepung musuh, maka Umar mengintruksikannya untuk menuju ke gunung. pia berkata, “Hai Sariyah, gunung!” Sariyah mendengar suara Umar dan dia mundur ke gunung dan berbenteng dengannya.

 

Ini termasuk mukasyafah, karena itu adalah kejadian nyata, hanya saja itu terjadi di tempat yang jauh. Adapun kodrat dan pengaruh, maka contohnya adalah Maryam yang menggoyang batang kurma lalu buahnya berjatuhan, juga seperti seseorang yang memiliki ilmu tentang kitab; yang berkata kepada Nabi Sulaiman , “Aku dapat mendatangkan jstana Ratu Bilgis ke sini sebelum matamu berkedip.”

 

Penulis berkata,

 

Dan yang diriwayatkan dari umat-umat terdahulu di Surat al-Kahfi dan lainnya, dan dari generasi awal umat ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in serta generasi-generasi umat yang lain. Karamah juga terjadi pada umat-umat terdahulu, di antaranya adalah kisah tiga orang yang terkurung oleh sebuah batu besar di gua, ia juga terjadi pada zaman Rasul seperti yang dialami oleh Usaid bin Hudhair, dan makanan yang menjadi banyak pada sebagian sahabat, ia juga terjadi pada zaman tabi’in, seperti yang dialami oleh Shilah bin Asyyam di mana Allah menghidupkan kudanya.

 

Syaikhul Islam berkata di Kitab al-Furqan, “Ini adalah bab yang luas. Pembahasan tentang karamah para wali telah dipaparkan di bukubuku lain. Adapun yang kita lihat dengan mata kepala dan yang kita ketahui di zaman ini berjumlah banyak.”

 

Penulis berkata,

 

Dan ia akan tetap ada pada umat sampai Hari Kiamat.

 

Dalil bahwa karamah akan terus ada sampai Hari Kiamat adalah naqli dan aqli.

 

Dalil naqli: Rasulullah pernah mengabarkan dalam kisah Dajjal bahwa dia memanggil seorang pemuda, pemuda tersebut hadir dan berkata, “Kamu berdusta. Kamu hanyalah al-Masih Dajjal yang Rasulullah telah memberitakan kepada kami tentang dirimu.” Maka Daijjal membelah tubuh pemuda tersebut menjadi dua, setengahnya dilempar ke suatu arah, setengahnya lagi ke arah yang lain dengan jarak yang sangat jauh. Dajjal berjalan di antara keduanya. Kemudian dia memanggilnya, maka pemuda tersebut bangkit dengan wajah berseri-seri, Dajjal memanggilnya agar dia mengakuinya sebagai tuhan. Pemuda tersebut menjawab, “Aku tidak pernah merasa lebih yakin (akan kedustaanmu) daripada hari ini.” Dajjal kembali hendak membunuhnya, tetapi dia tidak mampu melakukannya. Ketidakmampuan Dajjal membunuh pemuda tersebut tanpa ragu adalah termasuk karamah.

 

Dalil aqli: Selama penyebab karamah adalah perwalian (yakni, bahwa yang mendapatkan karamah adalah wali Allah), maka ia akan terus ada sampai Hari Kiamat, karena perwalian akan terus ada hingga Hari Kiamat.

 

 

Penulis berkata,

 

Kemudian di antara cara Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti atsar-atsar Rasulullah batin dan lahir.

 

Setelah penulis memaparkan prinsip-prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau mulai memaparkan cara Ahlus Sunnah wal Jama’ah beramal.

 

Perkataan penulis,  “Mengikuti atsar-atsar Rasulullah.” Tidak bisa mengikuti, kecuali dengan ilmu. Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu untuk mengetahui atsar-atsar Rasulullah lalu mengikutinya. Mereka mengikuti atsar-atsar Rasulullah  dalam akidah, ibadah, akhlak, dan dakwah kepada Allah , mereka mengajak manusia kepada syariat Allah dalam setiap kesempatan. Setiap kali hikmah menuntut berdakwah kepada Allah, maka mereka melakukannya, hanya saja mereka tidak melakukannya secara ngawur, akan tetapi mereka berdakwah dengan hikmah. Mereka mengikuti atsar Rasulullah  dalam hal akhlak yang terpuji, dalam berinteraksi dengan manusia dengan lemah lembut dan cinta kasih, serta memosisikan setiap orang sesuai dengan kedudukannya. Mereka juga mengikuti Rasulullah dalam hal akhlak kepada keluarga, maka mereka berusaha agar menjadi yang terbaik bagi keluarga mereka, karena Nabi  bersabda,

 

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku.”

 

Kita tidak mampu menghitung atsar-atsar Rasulullah, akan tetapi secara global kita dapat katakan dalam akidah, ibadah, akhlak dan dakwah. Dalam hal ibadah, Ahlus Sunnah tidak mempersulit diri, tidak meremehkan, dan mengikuti yang terbaik, dan terkadang meninggalkan ibadah demi berinteraksi kepada manusia jika ada kemaslahatannya, sebagaimana Rasulullah pernah meninggalkan shalat sunnah ketika beliau sibuk menyambut para delegasi, kemudian setelah itu beliau menggadhanya.

 

Perkataan penulis,  “Secara batin dan lahir.” Keduanya adalah perkara yang relatif; lahir adalah apa yang nampak oleh manusia, batin adalah apa yang menjadi rahasia mereka. Lahir adalah perbuatanperbuatan yang nampak dan batin adalah perbuatan-perbuatan hati.

 

Contohnya, tawakal, takut, harapan, cinta, kembali kepada Allah dan hal lain semisalnya, ini semua termasuk perbuatan hati. Mereka melakukannya dengan baik. Shalat yang di dalamnya terdapat gerakan berdiri, duduk, rukuk, dan sujudnya, juga sedekah, haji dan puasa, ini semua termasuk perbuatan lahir.

 

Ketahuilah bahwa atsar-atsar ‘Rasulullah terbagi menjadi tiga bagian atau lebih:

 

Pertama, apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam rangka beribadah. Ini jelas, dan kita diperintahkan untuk mengikutinya, berdasarkan Firman Allah

 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzab: 21).

 

Semua perbuatan Nabi yang tidak nampak padanya bahwa beliau melakukannya karena pengaruh adat atau karena tuntutan tabiat kemanusiaan, atau fitrah, atau terjadi karena kebetulan, maka ia dalam rangka ibadah, dan kita diperintahkan untuk mengikutinya.

 

Kedua, apa yang dilakukan oleh Rasulullah secara kebetulan. Ini tidak disyariatkan untuk diikuti, karena ia bukan sesuatu yang dimaksud, seperti seseorang yang berkata, “Hendaknya kita datang ke Makkah untuk berhaji pada hari keempat Bulan Dzulhijjah, karena Rasul ate hadir di Makkah pada hari itu,” kita katakan, Ini tidak disyariatkan, karena kedatangan beliau pada hari itu hanyalah kebetulan semata.

 

Kalau ada yang berkata, “Apabila kita meninggalkan Arafah dan sampai di sebuah jalan di sebuah bukit di mana padanya Rasulullah a singgah dan buang air kecil, maka hendaknya kita pun singgah di gana, buang air kecil dan berwudhu secara ringan seperti yang dilakukan oleh Nabi Kita katakan, Ini tidak disyariatkan.

 

Begitu pula perkara-perkara lain yang terjadi secara kebetulan, kita tidak disyariatkan untuk meneladani Rasulullah padanya karena Nabi melakukannya bukan dengan maksud ibadah dan meneladani beliau adalah ibadah.

 

Ketiga, apa yang dilakukan oleh Rasulullah karena tuntutan adat (kebiasaan). Apakah disyariatkan bagi kita meneladaninya?

 

Jawaban: Ya, hendaknya kita meneladaninya akan tetapi dengan jenisnya, bukan macamnya.

 

Masalah ini kurang diteliti oleh manusia, mereka mengira bahwa keteladanan padanya dengan macamnya, kemudian mereka menafikannya secara mutlak.

 

Kita katakan, Kita meneladaninya, akan tetapi dari segi jenis; artinya kita melakukan apa yang menjadi tuntutan adat yang diikuti oleh manusia, kecuali jika terdapat penghalang syar’i.

 

Keempat, apa yang dilakukan Nabi karena tuntutan tabiat kemanusiaan, secara pasti ini bukan termasuk ibadah, akan tetapi ia bisa menjadi ibadah dari satu sisi di mana melakukannya dengan cara tertentu adalah ibadah; seperti tidur, ia adalah tuntutan tabiat kemanusiaan, tetapi dianjurkan tidur miring ke kanan. Makan dan minum adalah tuntutan tabiat kemanusiaan, tetapi ia bisa menjadi ibadah dari sisi yang lain bila yang bersangkutan bermaksud melakukan perintah Allah, merasakan nikmatNya, memberi kekuatan beribadah kepadaNya dan menjaga kelangsungan hidup, kemudian caranya pun adalah ibadah; seperti makan dengan tangan kanan, membaca basmalah pada saat mulai makan, dan mengucapkan hamdalah di akhir makan.

 

Di sini ada pertanyaan: Apakah memanjangkan rambut termasuk adat (kebiasaan) atau ibadah?

 

Sebagian ulama berpendapat ia adalah ibadah, disunnahkan bagi seseorang memanjangkan rambut. Ada pula yang berpandangan bahwa hal ini termasuk adat dengan dalil sabda Rasul kepada orang yang mencukur sebagian rambutnya dan membiarkan sebagian yang lain, Nabi melarangnya, dan bersabda,  “Cukurlah semuanya atau biarkan semuanya.” Ini menunjukkan bahwa memanjangkan rambut bukan termasuk ibadah, karena jika tidak, niscaya beliau bersabda, “Biarkan saja, jangan dicukur sedikit pun.”

 

Kita wajib berhati-hati dalam masalah ini, jangan menyatakan sesuatu itu adalah ibadah kecuali dengan dalil, karena pada dasarnya ibadah itu dilarang, kecuali jika ada dalil yang mensyariatkannya.

 

Penulis berkata,

 

Dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu lagi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar.

 

Yakni, di antara jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti… dan seterusnya, ia berinduk kepada  “Mengikuti atsar-atsar Rasulullah .”

 

Perkataan penulis, “Orang-orang terdahulu,” yakni, terdahulu dalam melakukan amal-amal shalih.

 

Perkataan penulis,  “Pertama,” yakni, dari umat ini.

 

“Dari kalangan Muhajirin,” yakni, orang-orang yang pijrah ke Madinah.

 

“Dan Anshar,” yakni, penduduk Madinah di masa Nabi.

 

Mengikuti jalan mereka termasuk manhaj (cara beragama) Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka lebih dekat kepada kebenaran daripada orang-orang sesudah mereka. Semakin jauh manusia dari masa Rasulullah, semakin jauh pula mereka dari kebenaran, semakin dekat mereka kepada masa Rasulullah, semakin dekat pula mereka kepada kebenaran, dan semakin bersungguh-sungguh seseorang dalam mengetahui Sirah Nabi dan Khulafa’ Rasyidin, maka dia semakin dekat kepada kebenaran.

 

Karena itu, kita melihat perbedaan pendapat di masa para sahabat sangatlah sedikit, sedangkan perbedaan umat di masa setelah para sahabat dan tabi’in lebih luas skala dan cakupannya.

 

Di antara jalan hidup Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah melihat kepada jalan para pendahulu yang pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar lalu mengikutinya, karena mengikuti mereka membawa kepada kecintaan kepada mereka, di samping itu mereka lebih dekat kepada kebenaran. Lain halnya dengan orang yang alergi dengan jalan ini dan berkata, “Mereka adalah laki-laki dan kami pun laki-laki.” Dia tidak peduli menyelisihi mereka, seolah-olah ucapan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali sama dengan ucapan fulan dan fulan dari orang-orang zaman ini. Ini adalah kesalahan dan kesesatan, karena para sahabat lebih dekat kepada kebenaran dan pendapat mereka harus didahulukan daripada pendapat siapa pun, karena ilmu, keimanan, pemahaman yang lurus, ketakwaan dan amanah yang mereka miliki, di samping keberadaan mereka sebagai sahabat-sahabat Rasulullah.

 

Penulis berkata,

 

Dan mengikuti wasiat Rasulullah

 

Di mana beliau bersabda, “Berpeganglah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku, berpegang teguhlah kepadanya, gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah perkaraperkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah kesesatan.”

 

“Mengikuti,” menginduk kepada kalimat  “Mengikuti atsar-atsar Rasulullah.”

 

“Wasiat” adalah pesan penting kepada orang lain.

 

Makna..  “Berpeganglah kepada Sunnahku…” dan seterusnya, adalah dorongan berpegang kepadanya. Ini ditegaskan dengan sabda beliau,  “Gigitlah ia dengan gigi geraham,” yaitu gigi geraham yang paling belakang. Nabi memerintahkan agar berpegang teguh kepada Sunnah beliau dengan tangan dan menggigitnya dengan gigi geraham untuk menjelaskan anjuran yang sangat dalam berpegang teguh kepada Sunnah beliau.

 

Sunnah adalah cara; baik lahir maupun batin.

 

Khulafa’ Rasyidin adalah orang-orang yang menggantikan Nabi pada umat beliau dari segi ilmu, amal, dan dakwah. Orang pertama dan paling berhak masuk ke dalam kriteria ini adalah para khalifah yang empat: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.

 

Setelah itu hadir orang di zaman ini yang tidak berilmu. Dia berkata, “Adzan Jum’at pertama adalah bid’ah karena ia tidak dikenal di masa Rasulullah, kita harus berpegang teguh pada adzan kedua saja.”

 

Kami Katakan, Sunnah Utsman adalah Sunnah yang diikuti, jika ia tidak menvelisihi Sunnah Rasulullah, tidak seorang sahabat pun di mana mereka lebih mengetahui daripada dirimu dan lebih bersemangat membela agama Allah yang menentang Utsman dalam perkara ini, Utsman sendiri termasuk Khulafa’ Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, yang Rasulullah memerintahkan kita supaya mengikutinya.

 

Utsman  sendiri dalam hal ini berpegang kepada sebuah dasar, yaitu adzan Bilal sebelum fajar pada zaman Nabi, bukan untuk shalat fajar, akan tetapi untuk mengingatkan orang yang sedang shalat malam (bahwa waktu Shubuh sudah dekat) dan untuk membangunkan orang yang masih tidur, sebagaimana hal itu dikatakan oleh Rasulullah , jalu Utsman memerintahkan adzan pertama (adzan yang dikumandangkan sebelum adzan saat imam naik mimbar) pada Hari Jum’at bukan karena kehadiran imam, akan tetapi untuk kehadiran orang-orang, karena kota Madinah bertambah luas dan padat, maka penduduknya membutuhkan pemberitahuan akan dekatnya waktu Shalat Jum’at sebelum kehadiran imam; agar kehadiran mereka terjadi sebelum kehadiran imam.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mematuhi wasiat Nabi agar berpegang teguh kepada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahnya, yang mana ujung tombaknya adalah para khalifah yang empat; yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, kecuali jika terbukti secara nyata ia menyelisihi sabda Rasulullah maka kita wajib mengambil sabda Rasulullah dan memaklumi sahabat yang bersangkutan, kita katakan, Ini termasuk ijtihad yang dimaklumi.

 

Sabda Nabi “Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan.” Kata  berfungsi memberikan peringatan, yakni, aku memperingatkan kalian.

 

Sabda Nabi  “Perkara-perkara,” maksudnya adalah perkaraperkara agama. Adapun perkara-perkara dunia, maka ia tidak termasuk ke dalam hadits ini; karena perkara-perkara dunia pada asalnya adalah halal, apa yang baru dalam perkara dunia adalah halal, kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Sebaliknya, perkara-perkara agama pada asalnya adalah dilarang, apa yang diada-adakan di dalamnya adalah haram dan merupakan perbuatan bid’ah, kecuali jika ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mensyariatkannya.

 

Nabi bersabda,  “Karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah kesesatan.” Kalimat ini bercabang kepada kalimat peringatan yang sebelumnya. Jadi maksudnya adalah penegasan peringatan dan penjelasan tentang hukum bid’ah.

 

“Setiap bid’ah adalah kesesatan.” Ini adalah kalimat yang umum, ditegaskan dengan lafazh terkuat yang menunjukkan keumuman, yaitu lafazh “setiap.” Ini adalah pengumuman yang kuat dari Rasulullah  yang merupakan orang paling mengetahui syariat Allah, orang paling tulus dalam memberikan nasihat kepada hambahamba Allah, orang yang paling fasih penjelasannya, dan orang yang paling jujur beritanya. Empat sifat yang ada pada diri beliau: ilmu, ketulusan nasihat, kefasihan, dan kejujuran. Beliau bersabda,  “Setiap bid’ah adalah kesesatan.”

 

Berdasarkan hal ini, siapa pun yang beribadah kepada Allah dengan akidah, atau perkataan, atau perbuatan yang bukan dari syariat Allah, maka dia adalah pelaku bid’ah.

 

Jahmiyah beribadah dengan akidah mereka, mereka meyakini bahwa mereka menyucikan Allah, sama halnya dengan Mu!’tazilah, begitu pun Asy‘ariyah yang beribadah dengan akidah batil mereka.

 

Orang-orang yang membuat-buat dzikir-dzikir tertentu di mana mereka beribadah kepada Allah dengannya, mereka meyakini bahwa ia berpahala. Orang yang membuat-buat perbuatan-perbuatan tertentu di mana mereka beribadah kepada Allah dengannya, mereka meyakini bahwa ia berpahala.

 

Ketiga kelompok ini yang membuat bid’ah dalam bidang akidah atau perkataan atau perbuatan, semua bid’ah mereka adalah kesesatan. Nabi menyifatinya dengan kesesatan, karena ia bersifat ganda dan karena ia adalah penyimpangan dari kebenaran.

 

Bid’ah menyeret kepada risiko-risiko buruk:

 

Pertama, mendustakan Firman Allah “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian,” (Al-Ma‘idah: 3),

 

karena jika dia menghadirkan bid’ah yang dia anggap agama, maka perarti agama belum sempurna.

 

Kedua, melecehkan syariat, bahwa ia kurang, lalu pelaku bid’ah tersebut hadir menyempurnakannya.

 

Ketiga, melecehkan kaum Muslimin yang tidak melakukannya, jadi orang-orang yang ada sebelum bid’ah tersebut ada, agama mereka kurang. Ini sangat berbahaya.

 

Keempat, biasanya orang yang sibuk dengan suatu bid’ah, maka dia akan meninggalkan as-Sunnah, sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salaf, “Tidaklah suatu kaum melakukan sebuah bid’ah kecuali mereka menenggelamkan as-Sunnah yang sepertinya.”

 

Kelima, memicu perpecahan di tubuh umat, karena para pelaku bid’ah tersebut meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang benar . dan selain mereka adalah sesat, sementara para pengikut kebenaran berkata, “Kalianlah yang berada di atas kesesatan.” Akibatnya adalah perpecahan hati mereka.

 

Ini adalah kerusakan-kerusakan besar. Semuanya adalah akibat buruk dari bid’ah, ditambah lagi hubungan yang sangat erat dengan kebodohan akal dan ketimpangan agama.

 

Dari sini, kita mengetahui bahwa orang yang membagi bid’ah menjadi tiga, atau lima, atau enam bagian telah melakukan kekeliruan, dan kekeliruannya dari dua segi:

 

1). Bisa jadi sifat bid’ah secara syar’i tidak sesuai dengan apa yang mereka katakan sebagai bid’ah.

 

2). Bisa jadi ia bukan bid’ah hasanah seperti yang diklaim.

 

Nabi telah bersabda,  “Setiap bid’ah adalah kesesatan.” Nabi bersabda, “Setiap,” lalu apa yang membuat kita keluar dari lingkaran besar ini sehingga kita membagi bid’ah menjadi beberapa bagian?

 

Kalau engkau berkata, Apa pendapatmu tentang ucapan Amirul Mukminin, Umar, ketika dia keluar kepada kaum Muslimin sementara mereka menunaikan Shalat Tarawih berjamaah dengan imam mereka, Umar berkata, “Inilah sebaik-baik bid’ah.” Umar memujinya dan menamakannya bid’ah?

 

Jawaban: Kita lihat kepada bid’ah yang dia katakan. Apakah sifat bid’ah secara syar’i bisa diterapkan padanya atau tidak?

 

Apabila kita melihatnya secara cermat, maka kita mendapati bahwa kriteria bid’ah secara syar’i tidak mungkin diberikan kepada ucapan Umar ini, karena telah diriwayatkan secara shahih bahwa Nabi pernah melakukan Shalat Tarawih dengan para sahabat selama tiga malam, lalu beliau meninggalkannya karena khawatir ia akan diwajibkan. Dasar pensyariatannya ada, jadi ia bukan bid’ah dari segi syariat, tidak mungkin kita mengatakan bahwa ia bid’ah padahal Rasulullah melakukannya.

 

Umar menamakannya bid’ah, karena orang-orang telah meninggalkannya dan tidak melakukannya secara berjamaah di belakang satu imam, akan tetapi mereka melakukannya secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri, ada yang dua orang, ada yang tiga orang, dan ada yang lebih daripada itu. Ketika Umar mengumpulkan mereka dengan satu imam, maka berkumpulnya mereka ini adalah bid’ah jika dilihat dari keadaan sebelumnya di mana mereka shalat secara terpisah-pisah.

 

Suatu malam Umar  keluar dan dia berkata, “Seandainya aku mengumpulkan orang-orang dengan seorang imam, niscaya itu akan lebih baik.” Maka Umar memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari agar mengimami orang-orang dengan sebelas rakaat, maka keduanya melakukannya. Suatu malam Umar keluar melihat orang-orang Shalat Tarawih berjamaah dengan seorang imam, dia pun berkata, “Inilah sebaik-baik bid’ah.”

 

Jadi ia adalah bid’ah nisbi, dari sisi ia pernah ditinggalkan lalu dilakukan lagi. Inilah sebabnya mengapa ia dinamakan bid’ah. Kalau ia disebut bid’ah secara syar’i lalu Umar memujinya, maka itu tidak mungkin.

 

Dari sini, kita mengetahui bahwa sabda Rasulullah tidak bertentangan dengan ucapan Umar.

 

Kalau engkau berkata, Bagaimana engkau menggabungkan hal ini dengan sabda Rasul, “Barangsiapa memulai sunnah yang baik dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya sampai Hari Kiamat.”

 

Nabi  menetapkan bahwa seseorang mungkin memulai sunnah yang baik dalam Islam.

 

Kami katakan, Sabda Rasul  tidak bertabrakan, sebagian mempenarkan sebagian yang lain. Yang dimaksud dengan sunnah yang baik adalah sunnah yang disyariatkan, dan yang dimaksud dengan memujainya adalah bersegera dalam melakukannya.

 

Hal ini diketahui melalui sebab diucapkannya hadits ini, yaitu Nabi mengucapkannya ketika seorang Anshar datang membawa sekantong uang dirham dan meletakkannya di depan Nabi pada saat Nabi menganjurkan sahabat-sahabat beliau agar membantu sekelompok orang yang datang dari Mudhar yang merupakan salah satu kabilah Arab yang besar dengan memakai kain dari wol yang bergaris, wajah Nabi berubah begitu melihat keadaan mereka yang menyedihkan, maka Nabi mengajak para sahabat untuk membantu mereka, lalu Jaki-laki Anshar inilah orang pertama yang membantu dengan membawa kantong dirhamnya, maka Rasulullah bersabda,

 

“Barangsiapa memulai sunnah yang baik dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya sampai Hari Kiamat.”

 

Bisa pula dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sunnah yang baik adalah apa yang dilakukan agar ia menjadi sarana kepada apa yang disyariatkan; seperti menulis buku, membangun sekolah, dan sejenisnya.

 

Dari sini, kita mengetahui bahwa sabda Rasul tidak saling bertentangan, bahkan saling bersesuaian, karena beliau tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu.

 

Penulis berkata,

 

Mereka mengetahui bahwa perkataan paling benar adalah Kalam Allah.

 

Inilah ilmu dan akidah kita, tidak ada kedustaan pada Kalam Allah, bahkan ia adalah Kalam paling, benar, Jika Allah mnenyampaikan tentany sesuatu bahwa ia terjadi, maka ia terjadi. Jika Allah menyampaikan tentang sesuatu bahwa ia akan terjadi, maka ia akan terjadi. Jika Allah mengatakan tentang sesuatu bahwa sifatnya begini dan begini, maka sifatnya mMemany begitu, tidak mungkin realitanya menyelisihi apa yang Allah kabarkan. Barangsiapa mengira demikian, maka ia salah karena keterbatasannya atau keteledorannya.

 

Sebagai contoh: Kalau ada yang berkata, Allah menyatakan bahwa bumi dihamparkan,

 

“Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghasyiyah: 20),

 

padahal yang kita saksikan bumi itu bundar. Bagaimana bisa kabar dariNya menyelisihi realita?

 

Jawaban: Ayat ini tidak menyelisihi kenyataan, hanya saja terjadi kesalahpahaman di sini, bisa karena keterbatasan atau karena keteledoran. Bumi dihamparkan sekaligus bulat, ia bundar, akan tetapi karena ukurannya yang besar, maka bulatan bumi tidak terlihat kecuali dari jarak yang sangat jauh yang dengannya ia terhamparkan, jadi kesalahan terletak pada pemahamannya di mana kalau bumi itu terhampar berarti tidak bundar.

 

Jika kita meyakini bahwa ucapan paling benar adalah Kalam Allah, maka hal itu mewajibkan kepada kita membenarkan apa yang Dia beritakan di dalam KitabNya; baik itu tentang DiriNya, atau tentang makhlukNya.

 

Penulis berkata,  Sebaik-baik jalan adalah jalannya Nabi Muhammad.

 

artinya jalan yang dilalui oleh seseorang.

 

Jalan itu berjumlah sangat banyak, akan tetapi yang terbaik adalah jalan Nabi, kita mengetahui hal itu dan meyakininya. Kita mengetahui bahwa sebaik-baik jalan adalah jalannya Nabi Muhammad dalam akidah, ibadah, akhlak dan muamalah, dan bahwa jalan Nabi Muhammad # tidaklah kurang, tidak dalam kebaikannya, kesempurnaannya, keserasiannya, dan kesesuaiannya dengan kemaslahatan manusia serta tidak pula dalam perkara-perkara yang baru yang masih dan senantiasa terjadi sampai Hari Kiamat, karena jalan Nabi Muhammad itu lengkap dan sempurna. Ia adalah sebaik-baik jalan, lebih unggul daripada syariat Taurat, Injil, Zabur, Suhuf Nabi Ibrahim dan seluruh jalan selainnya. Kalau itu yang kita yakini, maka demi Allah, kita tidak akan mencari gantinya.

 

Berpijak kepada keyakinan ini, maka kita tidak menentang sabda Rasulullah dengan ucapan manusia siapa pun dia, bahkan seandainya ada ucapan Abu Bakar sekalipun, orang terbaik umat ini, yang menyelisihi sabda Rasulullah maka kita tetap berpegang kepada sabda Rasulullah

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah membangun keyakinan ini berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah  berfirman,

 

“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (An-Nisa’: 87).

 

Nabi bersabda saat beliau berkhutbah di atas mimbar,  “Sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik jalan adalah jalan Muhammad.”

 

Oleh karena itu, engkau akan mendapati bahwa orang-orang yang memperselisihkan dan menyelisihi petunjuk Nabi adalah orang-orang yang meremehkan syariat Rasul atau berlebih-lebihan padanya, antara ekstrem keras dan terlalu lalai, antara keteledoran dan kekakuan; sedangkan petunjuk Rasul berada di antara keduanya.

 

Penulis berkata,

 

Mereka mengutamakan Kalam Allah atas ucapan selainNya dari kalangan manusia.

 

“Dan mereka mengutamakan,” yakni, mendahulukan.

 

“Kalam Allah atas ucapan selainNya,” yakni, mereka mendahulukan Firman Allah atas ucapan selainNya dari kalangan manusia dalam hal berita dan hukum. Di sisi mereka, berita dari Allah itu didahulukan atas berita selainNya.

 

Bila sampai kepada kita berita-berita tentang umat-umat terdahulu namun al-Qur’an mendustakannya, maka kita harus mendustakannya.

 

Contohnya: Yang terkenal di banyak kalangan ahli sejarah adalah bahwa Nabi Idris itu sebelum Nabi Nuh. Ini salah, karena Al-Qur’an mendustakannya, sebagaimana Allah  berfirman,

 

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu scbagaimana Kami telah membertkan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.” (An-Nisa’: 163).

 

Dan Nabi Idris termasuk para nabi, sebagaimana Firman Allah  .

 

“Dan ceritakanlah (wahat Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang ersebut) di dalam al-Qur-an. Sesungguhnya ta adalah seorang yang sangat embenarkan sekaligus seorang nabi.” (Maryam 70)

 

sampai FirmanNya,

 

“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, u para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh.” (Maryam: 58).

 

Dan juga FirmanNya

 

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan pada keturunan keduanya kenabian dan al-Kitab.” (Al-Hadid: 26).

 

Jadi, tidak ada nabi sebelum Nabi Nuh kecuali hanya Nabi Adam

 

Penulis berkata,

 

Dan mereka mendahulukan n jalan Nabi Muhammad atas jalan “Mereka mendahulukan jalan Nabi Muhammad,” yakni, jalan dan Sunnahnya.

 

 “Atas jalan siapa pun,” dalam akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan kondisi-kondisi lain serta dalam segala hal, perdasarkan Firman Allah 

 

“Dan bahwa a (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalanNya.” (Al-An’am: 153).

 

Dan Firman Allah

 

“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar). mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31).

 

Penulis berkata,

 

(Oleh karena itu, mereka disebut pengikut al-Qur’ an dan as-Sunnah.

 

Perkataan penulis,  “Oleh karena itu, ” ‘ huruf lam dalam kata tersebut menunjukkan keterangan alasan (li at-ta’ lil), yakni, karena mereka mementingkan dan mendahulukan Kalam Allah dan petunjuk Rasulullah

 

Perkataan penulis,

 

“Mereka disebut pengikut al-Qur’an dan as-Sunnah,” karena mereka membenarkan, berpegang dan mengutamakan keduanya atas selainnya. Barangsiapa yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah lalu dia mengklaim bahwa ia adalah pengikut al-Qur an dan as-Sunnah, maka dia adalah pendusta, karena jika seseorang adalah pengikut sesuatu, niscaya dia pasti berpegang teguh kepadanya dan berkomitmen dangannya.

 

Penulis berkata,

 

Mereka dinamakan pula pengikut Jama’ah, karena Jama’ah adalah _ persatuan dan lawannya adalah perpecahan.

 

Perkataan penulis,

 

“Mereka dinamakan pula pengikut jamaah, karena jamaah adalah persatuan dan lawannya adalah perpecahan.”

 

adalah isim mashdar dari kata . Jama’ah adalah  “berkumpul.” Jadi pengikut jama‘ah adalah pengikut ijtima’, karena mereka berkumpul di atas as-Sunnah dan bersatu padu di atasnya, sebagian tidak menyesatkan sebagian yang lain, dan sebagian tidak membid’ahkan sebagian yang lain, lain halnya dengan ahli bid’ah.

 

Penulis berkata,

 

Meskipun kata Jama‘ah bisa digunakan untuk suatu kaum yang berkumpul.

 

Ini adalah pemakaian kedua untuk kata jama’ah, di mana dalam kebiasaan ia digunakan untuk suatu kaum yang berkumpul.

 

Berdasarkan apa yang ditetapkan oleh penulis, maka kata “jama’ah” dalam ucapan “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” berinduk kepada “Sunnah”. Oleh karena itu, penulis mengungkapkannya dengan ucapannya, “Mereka dinamakan pengikut jama’ah”. Dan dia tidak berkata, “Mereka dinamakan jama’ah.” Bagaimana mereka disebut pengikut jama‘ah padahal mereka sendiri adalah jama’ah?

 

Kami katakan: Pada dasarnya Jama’ah adalah ijtima’ (perkumpulan), jadi pengikut jama’ah adalah pengikut ijtima’, akan tetapi kata jama’ah kemudian digunakan dalam kebiasaan untuk suatu kaum yang berkumpul.

 

Penulis berkata,

 

ijma’ adalah dasar ketiga yang menjadi pegangan dalam ilmu dan agama.

 

Yakni, dalil ketiga, karena dalil adalah dasar bagi hukum di mana hukum dibangun di atasnya.

 

Dalil pertama adalah al-Qur’an, kedua adalah as-Sunnah, dan ijjma’ adalah dalil yang ketiga. Oleh karena itu, mereka dinamakan dengan pengikut al-Qur’an, as-Sunnah, dan Jama’ah.

 

Inilah tiga dasar yang dipegang dalam ilmu dan agama: al-OQur’an, as-Sunnah, dan ijma’.

 

AJ-Qur’an dan as-Sunnah adalah dasar dari segi dirinya sendiri, adapun ijma’, ia berpijak kepada selainnya, karena tidak ada ijma’ tanpa al-Qur’an dan as-Sunnah.

 

Mengenai al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai dasar rujukan, maka dalilnya banyak, di antaranya adalah Firman Allah

 

“Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya).” (An-Nisa’: 59).

 

FirmanNya 

 

“Dan taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul(Nya).” (Al-Ma’idah: 92).

 

FirmanNya

 

“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).

 

Dan FirmanNya

 

“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ta telah menaati Allah.” (An-Nisa’: 80)

 

Barangsiapa mengingkari as-Sunnah sebagai dalil, maka berarti dia mengingkari al-Qur’an sebagai dalil.

 

Kami tidak ragu bahwa barangsiapa yang berkata, “As-Sunnah bukanlah rujukan dalam hukum syar’i,” maka dia adalah kafir yang

 

telah murtad dari Islam, karena dia mendustakan dan mengingkari al-Qur’an, di mana al-Qur‘an tidak hanya di satu tempat saja telah menyatakan bahwa as-Sunnah adalah dalil yang wajib dijadikan rujukan.

 

– Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ijma’ merupakan dasar yang harus dijadikan rujukan, maka dikatakan: Apakah ijma’ ada atau tidak ada?

 

Sebagian ulama berpendapat bahwasanya ijma’ itu tidak ada, kecuali dalam perkara yang ada nashnya, dalam kondisi ini, maka cukuplah nash sebagai dalil, sehingga tidak butuh kepada ijma’.

 

Sebagai contoh: Kalau ada yang mengatakan bahwa para ulama berijma’ bahwa shalat fardhu ada lima, maka ini benar, akan tetapi ia

 

ditetapkan oleh nash. Para ulama berijma’ bahwa zina diharamkan, ini benar, tetapi pengharaman zina ditetapkan oleh nash. Para ulama berijma’ diharamkannya nikah dengan wanita mahram. Ini benar, tetapi pengharamannya ditetapkan oleh nash.

 

Oleh karena itu, Imam Ahmad  berkata, “Barangsiapa yang mengklaim adanya ijma’, maka dia berdusta. Siapa tahu mereka berbeda pendapat?”

 

Namun yang terkenal di kalangan mayoritas ulama adalah pendapat bahwa ijma’ itu ada, dan bahwa ia sebagai dalil yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Di antaranya Firman Allah

 

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (An-Nisa*: 59).

 

Perintah mengembalikan apa yang diperselisihkan kepada Allah dan RasulNya menunjukkan bahwa apa yang kita sepakati tidak harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, karena cukup dengan ijma’. Namun pengambilan dalil ini masih mengandung kritik.

 

Di antaranya adalah Firman Allah

 

“Dan barangsiapa menyelisihi Rasul (Muhammad) setelah jelas petunjuk (kebenaran) baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan, akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115).

 

Dalam ayat ini disebutkan,  “Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin.”

 

Mereka juga berdalil dengan hadits,  “Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.”

 

Hadits ini dihasankan oleh sebagian ahli hadits dan didhaifkan oleh sebagian yang lain, akan tetapi bisa saja kita katakan bahwa meskipun ia bersanad dhaif, tetapi matannya didukung oleh nash al-Qur’an yang telah disebutkan di atas.

 

Mayoritas ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah dalil independen, dan kalau kita mendapatkan masalah yang terdapat ijma’ padanya, maka kita menetapkannya dengan ijma’. Sepertinya penulis dengan kalimatnya ini ingin menetapkan bahwa ijma’ Ahlus Sunnah adalah hujjah.

 

Penulis berkata,

 

Dengan ketiga dasar ini mereka menimbang segala perkataan dan perbuatan, baik yang lahir maupun yang batin yang berkaitan dengan agama yang dilakukan oleh manusia. 

 

“Tiga dasar,” yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.

 

Yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menimbang dengan ketiga dasar ini seluruh perkataan dan perbuatan manusia, lahir dan batin. Mereka tidak mengetahuinya bahwa ia benar kecuali jika mereka timbang dengan al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’. Jika ada dalil darinya maka ia benar. Jika sebaliknya, maka ia batil.

 

Penulis berkata,

 

Dan ijma’ yang benar adalah ijma’ as-Salaf ma’shatin karena sesudah mereka terjadi banyak perbedaan dan umat telah bertebaran.

 

Yakni, ijma’ yang bisa dijadikan sebagai dasar dan bisa diketahui adalah ijma’ para ulama as-Salaf ash-Shalih, yakni tiga generasi yang pertama, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

 

Lalu penulis menjelaskan alasannya,   “Karena sesudah mereka terjadi banyak perbedaan dan umat telah bertebaran,” yakni, banyaknya perbedaan seperti munculnya aliranaliran hawa nafsu disebabkan karena manusia telah terpecah menjadi kelompok-kelompok di mana tidak semua kelompok tersebut menginginkan kebenaran, akibatnya adalah lahirnya perbedaan pendapat dan beragam aliran.

 

“Dan umat telah bertebaran,” jadi untuk mengetahui mereka semuanya termasuk perkara yang sangat sulit.

 

Sepertinya Syaikhul Islam ingin mengatakan bahwa barangsiapa mengklaim ijma’ setelah as-Salaf ash-Shalih, yakni tiga generasi pertama, maka klaimnya tidak benar, karena ijma’ yang bisa dijadikan dasar adalah ijma’ as-Salaf ash-Shalih. Mungkinkah terjadi ijma’ setelah adanya perbedaan? Kami katakan, tidak ada ijma’ selama ia telah didahului oleh perbedaan, dan tidak ada artinya bagi perbedaan setelah terjadinya ijma’.

 

Penulis its berkata,

 

Kemudian mereka, dengan dasar-dasar ini, beramar ma’ruf dan nahi mungkar.

 

“Mereka,” yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

“Dengan dasar-dasar ini,” yang telah disebutkan di atas, yaitu mengikuti atsar-atsar Rasulullah , mengikuti Khulafa’ Rasyidin, mengutamakan Kalam Allah dan sabda Rasulullah atas ucapan selainnya, dan mengikuti ijma’ kaum Muslimin; dengan dasardasar ini mereka beramar ma’ruf dan nahi mungkar.

 

“Beramar ma’ruf dan nahi mungkar.”

 

 “Ma’ruf’ adalah semua yang diperintahkan oleh syariat. Ahlus Sunnah memerintahkan manusia untuk berbuat yang ma’ruf.  “Mungkar” adalah semua yang dilarang oleh syariat. Ahlus Sunnah mencegah manusia dari kemungkaran.

 

Karena inilah yang diperintahkan oleh Allah dalam FirmanNya

 

“Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (Ali Imran: 104).

 

Demikian juga sabda Nabi

 

“Kalian harus beramar ma’ruf, nahi mungkar, mencegah orang berbuat zhalim dan mengembalikannya kepada kebenaran dengan sungguh-sungguh,”

 

Jadi, mereka beramar ma’ruf nahi mungkar dan tidak bermalasmalasan dalam hal itu.

 

Akan tetapi disyaratkan untuk beramar ma’ruf dan nahi mungkar agar keduanya dilakukan berdasarkan tuntutan dan konsekuensi syariat.

 

Dan untuk hal itu diperlukan beberapa syarat:

 

Syarat pertama; hendaknya dia mengetahui hukum syariat terkait dengan apa yang diperintahkan dan dilarangnya, sehingga dia tidak memerintahkan kecuali apa yang dia ketahui bahwa syariat memerintahkannya, dia juga tidak melarang, kecuali apa yang dia ketahui bahwa syariat melarangnya, dan dalam hal ini tidak berpijak kepada perasaan dan kebiasaan.

 

Hal ini berdasarkan Firman Allah cls kepada RasulNya 

 

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (A\-Ma ‘idah: 48).

 

Dan FirmanNya

 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyat pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 36).

 

Dan FirmanNya

 

“Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan atas Nama Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas Nama Allah tidaklah beruntung.” (An-Nahl: 116).

 

Seandainya dia melihat seseorang melakukan sesuatu yang pada dasarnya dibolehkan, maka tidak halal baginya untuk melarangnya sampai dia mengetahui bahwa ia haram atau dilarang.

 

Seandainya dia melihat seseorang meninggalkan sesuatu di mana orang yang melihat mengiranya sebagai ibadah, maka tidak halal baginya untuk memerintahkannya beribadah dengannya sehingga dia mengetahui bahwa syariat memerintahkannya.

 

Syarat kedua, hendaknya dia mengetahui keadaan orang yang diperintah, apakah dia termasuk orang yang diperintah atau dilarang atau tidak. Kalau dia melihat seseorang, lalu dia ragu apakah orang tersebut mukallaf atau bukan, maka dia tidak memerintahkannya meJakukan suatu kewajiban sehingga dia memastikan terlebih dahulu.

 

Syarat ketiga, hendaknya dia mengetahui keadaan orang yang diperintah pada saat pembebanannya, apakah dia telah melakukannya atau belum.

 

Kalau dia melihat seseorang masuk masjid kemudian duduk, dia ragu apakah orang tersebut telah Shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat atau belum, maka dia tidak boleh mengingkarinya dan tidak pula memerintahkannya sehingga perkaranya jelas.

 

Dalilnya adalah bahwa Nabi berkhutbah pada Hari Jum’at, lalu seorang laki-laki masuk dan langsung duduk, Nabi bertanya kepadanya,

 

“Apakah kamu sudah shalat?” Dia menjawab, “Belum.” Nabi  bersabda,

 

“Berdirilah, shalatlah dua rakaat dan ringankanlah keduanya.”

 

Aku mendengar sebagian orang berkata, Haram merekam alQur‘an di kaset karena hal itu melecehkan al-Qur‘an -katanya lalu dia melarang orang-orang merekam al-Qur‘an di kaset, karena dia mengira itu sesuatu yang mungkar.

 

Kami katakan kepadanya, Kemungkaran itu adalah engkau melarang sesuatu yang tidak engkau ketahui bahwa ia mungkar. Maka engkau harus mengetahui bahwa yang engkau larang itu adalah kemungkaran dalam agama Allah. Ini di selain ibadah.

 

Adapun dalam urusan ibadah, maka seandainya kita melihat seseorang melakukan ibadah yang tidak diketahui bahwa ibadah tersebut diperintahkan oleh Allah, maka kita melarangnya karena hukum asal ibadah adalah haram.

 

Syarat keempat, hendaknya dia mampu beramar ma’ruf dan nahi mungkar tanpa ada mudarat yang menimpanya. Jika ada mudarat, maka ia tidak wajib atasnya, akan tetapi jika dia bersabar dan melakukannya, maka itu lebih baik; karena seluruh kewajiban disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kesanggupan, berdasarkan Firman Allah

 

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16).

 

Dan juga FirmanNya

 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).

 

Jika dia takut dibunuh kalau dia beramar ma’ruf kepada seseorang, maka dia tidak wajib untuk beramar ma’ruf, karena dia tidak mampu melakukannya, bahkan bisa jadi diharamkan baginya. Sebagian ulama berkata, Justru dia wajib beramar ma’ruf dan bersabar, meskipun dia ditimpa kesulitan karenanya asalkan tidak sampai pada tingkat pembunuhan. Akan tetapi pendapat pertama lebih layak, karena jika pelaku amar ma’ruf ditimpa kesulitan karena ditahan atau sejenisnya, maka orang lain pun akan menolak beramar ma’ruf dan nahi mungkar karena takut ditimpa hal yang sama, bahkan dalam kondisi di mana bahaya tersebut tidak ditakutkan.

 

Hal ini sclama perkaranya tidak sampai pada batas di mana amar ma’ruf termasuk ke dalam jenis jihad, sebagaimana jika dia memerintahkan kepada as-Sunnah dan melarang bid’ah, kalau dia diam niscaya ahli pid’ah akan menancapkan kukunya pada Ahlus Sunnah, maka dalam kondisi ini wajib menampakkan as-Sunnah dan menjelaskan bid’ah, karena ia termasuk jihad di jalan Allah, siapa yang harus melakukannya tidak boleh beralasan takut terjadi apa-apa terhadap dirinya.

 

Syarat kelima, amar ma’ruf nahi mungkar tidak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar daripada meninggalkannya. Jika demikian, maka ia tidak wajib atasnya, bahkan tidak boleh beramar ma’ruf nahi mungkar.

 

Oleh karena itu, para ulama berkata, Hasil nahi mungkar adalah satu dari empat perkara: Hilangnya kemungkaran, atau berubahnya kemungkaran menjadi lebih ringan atau sama dengan sebelumnya, atau justru lebih besar daripada sebelumnya.

 

Dalam kondisi pertama dan kedua, nahi mungkar hukumnya wajib. Pada kondisi ketiga, dipertimbangkan, dan dalam kondisi keempat, tidak boleh, karena maksud dari nahi mungkar adalah menghilangkannya atau meringankannya.

 

Sebagai contoh: Apabila kita ingin memerintah seseorang berbuat baik, akan tetapi perbuatan baik tersebut mengakibatkan dia tidak shalat berjamaah, maka amar ma’ruf yang demikian ini tidak boleh, karena ia berakibat meninggalkan yang wajib demi sesuatu yang hanya dianjurkan.

 

Hal yang sama berlaku pada kemungkaran. Jika dia bernahi mungkar dan akibatnya pelaku kemungkaran justru melakukan kemungkaran yang lebih besar, maka dalam kondisi seperti ini dia tidak boleh melarangnya demi mencegah kerusakan lebih besar dengan membiarkan kerusakan yang lebih kecil.

 

Hal ini ditunjukkan oleh Firman Allah

 

“Dan janganlah kalian memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar ilmu.” (Al-An’am: 108).

 

Mencela tuhan-tuhan kaum musyrikin adalah sesuatu yang dituntut tanpa ragu, akan tetapi karena perbuatan tersebut berakibat buruk yang lebih besar daripada kemaslahatan yang diperoleh dari mencela tuhan-tuhan kaum musyrikin, yaitu mereka akan membalasnya dengan celaan yang lebih besar kepada Allah tanpa ilmu, maka Allah melarang mencela tuhan-tuhan orang-orang musyrik dalam kondisi seperti ini.

 

Kalau kita mendapati seseorang yang sedang minum khamar, -dan tidak diragukan bahwa ini merupakan kemungkaran-, di mana jika kita melarangnya minum justru dia malah mencuri harta manusia dan merampas kehormatan mereka, maka dalam kondisi ini kita tidak melarangnya minum khamar karena akibatnya jauh lebih buruk.

 

Syarat keenam, hendaknya pelaku amar ma’ruf nahi mungkar melakukan apa yang dia perintahkan dan menjauhi apa yang dia larang. Ini menurut pendapat sebagian ulama. Jika dia tidak melakukan hal demikian, maka janganlah dia beramar ma’ruf nahi mungkar, karena Allah berfirman kepada Bani Israil,

 

“Apakah kalian menyuruh orang-orang (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?” (Al-Baqarah: 44).

 

Jika yang bersangkutan tidak shalat, maka dia jangan menyuruh orang lain untuk shalat. Jika dia minum khamar, maka dia jangan melarang orang lain minum khamar. Oleh karena itu, seorang penyair berkata:

 

Janganlah kamu melarang suatu perilaku, lalu kamu melakukannya Hal itu aib yang berat bagimu kalau kamu melakukannya Pendapat ini berdalil dengan atsar dan akal.

 

Hanya saja mayoritas ulama tidak sependapat dengan pendapat di atas. Mereka berkata, Dia wajib beramar ma’ruf walaupun tidak melakukannya. Dia wajib bernahi mungkar walaupun dia melakukannya, karena Allah mencela Bani Israil bukan karena mereka memerintahkan kepada kebaikan, akan tetapi karena mereka memerintahkan yang baik dan melupakan diri mereka sendiri.

 

Pendapat kedua inilah yang benar. Kami katakan, engkau sekarang dituntut dua hal: Pertama, melakukan kebaikan, kedua, memerintahkan kepada kebaikan. Engkau dilarang pula dari dua hal: Pertama, melakukan kemungkaran, kedua, meninggalkan nahi mungkar. Maka Engkau jangan menggabungkan antara meninggalkan dua perkara yang diperintahkan dan melakukan dua perkara yang dilarang, karena ditinggalkannya salah satu dari keduanya tidak mengharuskan gugurnya yang lain.

 

Inilah enam syarat itu. Empat untuk pembolehan, yaitu, pertama, kedua, ketiga dan kelima dengan perincian padanya, dua untuk kewajiban yaitu keempat dan keenam dengan adanya perbedaan pendapat padanya.

 

Bukan termasuk syarat bahwa orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh melakukannya kepada kerabat yang berada di atasnya, seperti bapaknya, ibunya, kakeknya, atau neneknya, akan tetapi mungkin kita katakan. Justru hal ini lebih ditegaskan, karena termasuk sikap berbakti kepada orangtua adalah melarang keduanya meJakukan kemaksiatan dan menyuruh keduanya melakukan ketaatan. Namun mungkin dia akan berkata, “Apabila aku melarang bapakku, maka dia akan marah kepadaku dan menjauhiku. Lalu apa yang harus aku lakukan?”

 

Kita katakan, Bersabarlah terhadap kemarahan dan sikap menjauh yang engkau dapatkan dari bapakmu, karena akibat yang baik adalah milik orang-orang yang bertakwa. Ikutilah jalan leluhurmu, Nabi Ibrahim, yang memperingatkan bapaknya karena kesyirikannya. Dia berkata,

 

“Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku ilmu yang tidak datang kepadamu, maka tkutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kaniu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Yang Maha Pengasih. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa oleh azab dari Yang Maha Pengasih, sehingga kamu menjadi kawan bagi setan.” Dia (bapaknya) berkata, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhan sembahanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya aku benar-benar akan merajammu, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (Maryam: 42-46).

 

Nabi Ibrahim  berkata kepada bapaknya, Azar,

 

“Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan sembahan ? Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (Al-An’am: 74).

 

Penulis berkata,

 

Mereka memandang untuk menegakkan haji, jihad, Shalat Jum’at, dan Shalat Hari Raya bersama para pemimpin yang baik ataupun yang jahat.

 

adalah bentuk jamak dari kata yang berarti orang yang banyak melakukan ketaatan. Sedangkan  adalah bentuk jamak dari kata  yang berarti orang yang banyak melakukan kemaksiatan.

 

Ahlus Sunnah -semoga Allah merahmati mereka benar-benar menyelisihi ahli bid’ah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap berhaji bersama pemimpin walaupun yang bersangkutan termasuk hamba Allah yang paling fasik.

 

Orang-orang dulu mengangkat seorang amir (pemimpin) untuk urusan haji, sebagaimana Nabi menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin haji pada tahun sembilan hijriyah. Hal itu terus berlangsung, mereka mengangkat seorang amir untuk jamaah haji di mana mereka bergerak dan berhenti dengan komandonya. Inilah yang disyariatkan, karena kaum Muslimin memerlukan imam sebagai tcladan, sedangkan kalau Masing-masing melakukannya sendiri-sendiri, maka yang terjadi adalah kesemrawutan dan keruwetan.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat menegakkan haji bergama amir walaupun dia orang fasik, bahkan seandainya amir tersebut minum khamar pada saat haji, mereka tidak berkata, “Ini adalah imam yang ajir. Kita tidak menerima kepemimpinannya.” Hal itu karena Ahlus sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa menaati pemimpin adalah wajib, walaupun dia adalah orang fasik dengan catatan bahwa kefasikannya tidak mengeluarkannya kepada kekafiran yang nyata di mana kita memiliki bukti padanya dari Allah. Fasik seperti ini tidak ada kewajiban taat kepadanya, dia harus dilengserkan agar tidak mengurusi perkara-perkara kaum Muslimin. Akan tetapi kefasikan bagaimanapun selama belum mencapai batas kekafiran tidak menyebabkan dicabutnya kepemimpinan darinya. Ia tetap miliknya, dan menaati pemimpin adalah wajib selama bukan pada perkara kemaksiatan.

 

Lain halnya dengan Khawarij yang berpendapat bahwa tidak ada ketaatan bagi imam atau amir kalau dia melakukan dosa, karena prinsip mereka adalah bahwa dosa besar mengeluarkan pelakunya dari Islam.

 

Lain lagi dengan Rafidhah yang berkata, Tidak ada imam kecuali orang yang ma’shum, bahwa umat Islam tidak memiliki imam dan tidak mengikuti imam sejak imam yang mereka klaim adalah imam yang dinanti-nantikan menghilang. Jadi umat sejak saat itu sampai hari ini mati dalam keadaan jahiliyah. Kata mereka, Tidak ada imam kecuali imam yang ma’shum, tidak ada haji dan tidak ada jihad bersama amir mana pun, karena imam belum hadir.

 

Akan tetapi Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkata, Menurut kami, haji tetap ditegakkan bersama para pemimpin; baik mereka itu orang-orang yang baik atau orang-orang yang jahat. Begitu pula penegakan jihad, ia dilaksanakan bersama amir (pemimpin), meskipun dia orang fasik, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap menegakkan jihad bersama amir walaupun dia tidak shalat berjamaah, akan tetapi dia shalat sendiri di markasnya.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah melihat jauh ke depan, karena menyelisihi perkara-perkara ini berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya dan menyeret kepada malapetaka yang besar. Bukankah yang membuka pintu malapetaka dan peperangan di antara kaum Muslimin serta perselisihan pendapat adalah pembangkangan terhadap pemimpin?

 

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap menegakkan haji dan jihad bersama para pemimpin, walaupun para pemimpin itu adalah orang-orang yang fajir.

 

Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang perbuatan amir tersebut bukanlah kemungkaran. Mereka tetap memandangnya sebagai kemungkaran, bahwa perbuatan mungkar dari seorang amir bisa lebih berat daripada orang biasa, karena hal itu menyeret kepada dua hal buruk di samping dosa yang dipikulnya:

 

Pertama, orang-orang akan meneladaninya dan meremehkan kemungkaran tersebut.

 

Kedua, apabila seorang pemimpin melakukan suatu kemungkaran, maka kewibawaannya akan berkurang dalam mengubah kemungkaran tersebut yang dilakukan oleh rakyat atau dalam mengubah kemungkaran yang semisalnya.

 

Akan tetapi Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkata, Bahkan dengan adanya perkara yang berkonsekuensi kepada dua akibat buruk tersebut atau mungkin lebih, menaati pemimpin tetap wajib meskipun yang bersangkutan adalah seorang pendosa. Kita menegakkan jihad dan haji bersama mereka, begitu pula Shalat Jum‘at, kita melaksanakannya bersama mereka walaupun mereka adalah orang-orang jahat.

 

Walaupun pemimpin itu minum khamar atau menzhalimi harta rakyat misalnya, kita tetap menunaikan Shalat Jum’at di belakangnya, dan shalatnya sah. Lebih dari itu, Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa Shalat Jum’at di belakang imam pelaku bid’ah adalah sah selama bid’ahnya tidak mencapai tingkat kekafiran, karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa menyelisihi para pemimpin dalam perkara seperti ini adalah keburukan, hanya saja bagi pemimpin yang menjadi imam Shalat Jum‘at itu sendiri tidak layak untuk melakukan kemungkaran tersebut. Hal yang sama berlaku untuk Shalat Id, mereka shalat bersama para pemimpin, baik mereka adalah orang-orang yang baik maupun orang-orang fasik.

 

Dengan cara yang kalem ini, jelaslah bahwa agama Islam adalah agama pertengahan antara yang berlebih-lebihan dan yang terlalu meremehkan.

 

Mungkin ada yang berkata: Bagaimana kita shalat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam haji, jihad, Shalat Id dan Shalat Jum’at?

 

Kami jawab: Karena mereka adalah imam-imam kita, kita mendengar dan menaati mereka, karena kita menaati perintah Allah dalam FirmanNya,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (An-Nisa’: 59).

 

Dan perintah Nabi  dalam sabda beliau,

 

“Sesungguhnya kalian akan melihat egoisme dan perkara-perkara yang kalian ingkari sepeninggalku.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Tunaikan hak mereka kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.” Diriwayatkan oleh Muslim.

 

Hak mereka adalah kita menaati mereka selain dalam kemaksiatan kepada Allah.

 

Dari Wa‘il bin Hujr , dia berkata, Salamah bin Yazid al-Ju’fi bertanya kepada Rasulullah. Dia berkata,

 

“Wahai Nabi Allah, bagaimana menurutmu apabila kami dipimpin oleh para pemimpin yang menuntut hak mereka dan menahan hak kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Dengarkanlah dan taatilah, karena atas mereka apa yang mereka pikul dan atas kalian apa yang kalian pikul.” Diriwayatkan oleh Muslim.

 

Di hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin ash-Shamit, dia berkata, “Kami membai’at Rasulullah agar kami menaati dan mendengar, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, giat maupun malas, dan agar kami tidak merampas perkara ini dari yang berhak mendapatkannya. Nabi bersabda,

 

‘Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata di mana kalian memiliki bukti dari Allah padanya’

 

Karena jika kita menolak mengikuti mereka, niscaya kita telah membelah tongkat ketaatan yang mendatangkan akibat buruk dan musibah yang sangat besar.

 

Apabila para pemimpin melakukan perkara-perkara yang padanya terdapat takwil dan perbedaan di antara para ulama, maka tidak halal bagi kita membangkang dan menyelisihi mereka, akan tetapi kita wajib menasihati mereka semampu kita terkait dengan penyimpangan mereka dalam perkara di mana pintu ijtihad tidak layak dibuka. Adapun dalam perkara di mana ijtihad memungkinkan, maka kita boleh berdialog dengan mereka dengan tetap menghargai dan menghormati mereka; untuk menjelaskan kebenaran, bukan untuk menyalahkan mereka dan meraih kemenangan diri. Adapun membangkang dan tidak menaati mereka, maka hal itu bukan termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Penulis berkata,

 

Dan mereka memelihara jamaah.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memelihara jamaah, yakni menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah, mereka menjaganya dengan baik, di mana jika mereka mendengar adzan, maka mereka menjawabnya dan shalat bersama kaum Muslimin. Barangsiapa tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah, maka dia kehilangan sebagian sifat Ahlus Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan sejauh mana dia meninggalkan shalat berjamaah.

 

Bisa pula termasuk jamaah adalah berkumpul di atas satu pendapat dan tidak berselisih padanya, karena ini adalah salah satu wasiat Nabi kepada Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutus keduanya ke Yaman, beliau bersabda,

 

“Permudahlah dan jangan mempersulit, sampaikan berita gembira dan jangan membuat orang menjauh, kompaklah dan jangan berselisih.”

 

Penulis berkata,  Dan mereka (Ahlus Sunnah) beragama dengan berlaku tulus kepada umat.

 

“Mereka beragama,” yakni beribadah kepada Allah dengan berlaku tulus kepada umat, dan mereka meyakini itu sebagai agama.

 

Bisa jadi pendorong berlaku tulus kepada umat bukanlah demi ibadah kepada Allah, bisa jadi pemicunya adalah rasa cemburu, atau rasa takut dari hukuman, atau ingin memiliki akhlak yang mulia yang dengannya dia ingin memberi manfaat kepada kaum Muslimin, dan pendorong-pendorong lain.

 

Akan tetapi mereka berlaku tulus kepada umat demi menaati Allah dan beribadah kepadaNya, berdasarkan hadits Rasulullah dari Tamim bin Aus ad-Dari ,

 

“Agama adalah ketulusan, agama adalah ketulusan.” Mereka bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Untuk Allah, KitabNya, RasulNya, para imam kaum Muslimin, dan kaum Muslimin secara umum,”

 

Ketulusan untuk Allah adalah kejujuran beribadah kepada Allah dan ketulusan dalam mencapai keridhaanNya.

 

Ketulusan untuk Rasulullah  adalah kejujuran dalam mengikuti beliau, hal itu berkonsekuensi membela agama Allah yang dibawa oleh Rasulullah. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda,  “Dan untuk KitabNya.”

 

Ketulusan untuk al-Qur’an adalah dengan menjelaskan bahwa ia adalah Kalam Allah, bukan makhluk, ia diturunkan dari Allah, beritanya wajib dibenarkan dan hukumnya wajib dijalankan, dan dia juga meyakini hal itu dalam hatinya.

 

“Dan para imam kaum Muslimin.” Semua orang yang diserahi kepercayaan oleh Allah untuk menangani urusan kaum Muslimin, maka dia adalah imam dalam urusan tersebut. Ada imam umum seperti pemimpin negara. Ada imam khusus seperti gubernur, menteri, direktur, pimpinan, imam-imam masjid dan lain-lain.

 

yakni, kaum Muslimin secara umum, yaitu para pengikut imam.

 

Di antara imam kaum Muslimin yang paling besar adalah para ulama. Ketulusan untuk para ulama kaum Muslimin adalah dengan menyebarkan kebaikan mereka dan menahan diri dari aib mereka, bersungguh-sungguh agar mereka selalu di jalan yang benar di mana jika mereka salah, maka mereka dibimbing, kesalahannya dijelaskan tanpa merendahkan kehormatan mereka dan melecehkan kedudukan mereka, karena menyalahkan ulama dengan cara menjatuhkan martabat mereka adalah kerugian bagi Islam secara umum, karena jika orang-orang awam melihat para ulama saling menyesatkan, maka para ulama itu tidak lagi berharga di mata mereka, mereka akan berkata, “Mereka saling berbantah-bantahan, kita tidak tahu siapa yang berada di pihak yang benar.” Sehingga mereka tidak mengambil pendapat siapa pun dari para ulama. Akan tetapi jika para ulama saling menghargai dan masing-masing menasihati saudaranya yang salah secara rahasia dan menyuarakan pendapat yang benar kepada khalayak, maka ini termasuk ketulusan terbesar bagi ulama kaum Muslimin.

 

Perkataan penulis,  “Untuk umat,” mencakup pemimpin dan rakyat. Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa salah satu ibadah kepada Allah adalah berlaku tulus kepada umat; pemimpin dan rakyat.

 

Salah satu kandungan bai’at Rasulullah kepada sahabat-sahapat beliau adalah, “Berlaku tulus kepada setiap Muslim.”

 

Kalau ada yang berkata, Apa tolok ukur ketulusan kepada umat?

 

Jawaban: Tolok ukurnya adalah apa yang diisyaratkan oleh Nabi dalam sabda beliau,

 

“Tidak beriman salah seorang dari kalian (dengan iman yang sempurna) sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya.”

 

Jika engkau bergaul dengan manusia dengan tolok ukur tersebut, maka itulah ketulusan yang sempurna.

 

Pikirkanlah terlebih dahulu sebelum engkau bergaul dengan rekanmu dengan suatu cara, apakah engkau rela jika cara itu digunakan untukmu? Jika tidak, maka jangan.

 

Penulis berkata,

 

Mereka meyakini makna sabda Nabi, “Seorang Mukmin bagi Mukmin yang lain adalah seperti bangunan yang kokoh; sebagian menguatkan sebagian yang lain.” Dan Nabi merekatkan jari-jemari beliau.

 

Nabi memerumpamakan seorang Mukmin bagi saudaranya dengan suatu bangunan yang saling menguatkan sehingga bangunan. tersebut kokoh dan kuat. Kemudian beliau menggambarkan dan menegaskannya dengan menjalin jari-jari beliau.

 

Jari jemari yang terpisah-pisah tentunya akan lemah, namun apabila disatukan, maka sebagiannya akan memperkuat sebagian yang lain. Orang mukmin itu bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Bangunan itu saling menguatkan antara yang satu dengan lainnya dan sebagian menopang sebagian yang lain. Demikian juga seorang Mukmin dengan saudaranya. Jika ada yang kurang pada sau. daranya, maka dia menyempurnakannya, karena dia adalah cermin untuk saudaranya. Jika saudaranya memerlukan, maka dia membantunya. Jika saudaranya sakit, maka dia menjenguknya, begitu seterusnya dalam segala kondisi. Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini hal inj dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.

 

Penulis berkata,

 

Dan sabda beliau, “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam ‘ saling cinta, saling kasih dan saling sayang adalah seperti jasad. Jika ada salah satu anggota yang sakit, maka anggota-anggota yang lain ikut merasakannya dengan demam dan tidak bisa tidur.”

 

 “Sabda beliau” di sini menginduk kepada  di hadits sebelumnya.

 

 “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam saling cinta,” yakni, kecintaan sebagian kepada sebagian yang lain.

 

 “Saling kasih,” yakni, kasih sebagian kepada sebagian yang lain.

 

 “Saling sayang,” yakni, rasa sayang sebagian kepada sebagian yang lain.

 

“Mereka bagaikan satu tubuh,” yakni, mereka sama-sama merasakan sakit dan memiliki harapan yang sama. Oleh karena itu, mereka saling mengasihi. Jika dia memerlukan, maka saudaranya akan mewujudkan keperluannya. Sebagian menyayangi dan melindungi yang lain dengan kelembutan, kasih sayang, dan lainnya, sampai-sampai jika salah seorang dari mereka mendapatkan kebencian di dalam hatinya kepada salah satu saudaranya yang beriman, maka dia berusaha untuk menyingkirkannya dan mengingat kebaikannya sehingga kebencian tersebut terkikis.

 

Badan yang satu, jika ada sebagian yang sakit meskipun ia adalah pagian terkecil, maka seluruh tubuh ikut merasakan. Jika jari kelingkingmu yang merupakan anggota terkecil sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakit tersebut. Jika telingamu sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakit tersebut. Jika matamu sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakit tersebut. Demikianlah seterusnya.

 

Perumpamaan yang dibuat Nabi ini adalah perumpamaan yang menggambarkan makna dan sangat mendekatkannya kepada kita.

 

Penulis berkata,

 

Dan mereka memerintahkan agar bersikap sabar dalam musibah, bersyukur pada saat makmur, dan ridha terhadap pahitnya Qadha.

 

“Dan mereka memerintahkan.” Bisa dikatakan bahwa kalimat ini meliputi diri mereka sendiri, berdasarkan Firman Allah

 

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan.” (Yusuf: 53).

 

Mereka memerintahkan sampai kepada diri mereka sendiri.

 

 “Bersikap sabar dalam musibah.” Sabar adalah bertahan dalam memikul ujian, menahan diri dari ketidakrelaan; dengan hati atau lisan atau anggota badan.

 

adalah musibah. Allah  berfirman,

 

“Dan Kami benar-benar akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkaia, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNya-lah kami kembali)’.” (Al-Baqarah: 155-156).

 

Sabar dilakukan pada saat musibah, sabar terbaik dan tertinggi adalah pada saat musibah tersebut turun pertama kali, inilah tanda sabar hakiki, sebagaimana sabda Nabi kepada wanita yang menangis di kuburan dan Nabi menghampirinya,

 

“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata, “Menjauhlah dariku! Kamu tidak merasakan musibah yang aku rasakan.” Dia tidak mengenal Nabi. Lalu dia diberitahu bahwa itu adalah Nabi. Maka dia mendatangi Nabi. Dia tidak melihat Nabi memiliki penjaga. Dia berkata, “Aku belum mengenalmu.” Nabi  bersabda, “Sesungguhnya kesabaran itu hanyalah pada saat pertama kali musibah menimpa.”

 

Adapun setelah itu, maka mudah untuk bersabar, dan kesempurnaan sabar tidak diraih dengannya.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memerintahkan bersabar pada saat ujian tiba, dan tidak ada seorang manusia pun, kecuali dia akan diuji, bisa pada dirinya, bisa pada keluarganya, bisa pada hartanya, bisa pada kawannya, bisa pada negerinya, dan bisa pada kaum Muslimin umumnya, bisa pula pada perkara dunia atau agama. Musibah agama jauh lebih besar daripada musibah dunia.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memerintahkan bersabar pada saat ujian dalam dua perkara:

 

Pertama, sabar terhadap ujian dunia dengan cara bertahan dalam memikul ujian seperti yang telah dijelaskan.

 

Kedua, sabar terhadap ujian agama dengan cara bersikap teguh dan tidak tergoyahkan dalam agama, tidak seperti orang yang disinggung oleh Allah dalam FirmanNya,

 

“Dan di antara manusia ada orang yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah’, terbagi apabila ta disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap cobaan (dari) manusia itu sebagai azab Allah.” (Al-Ankabut: 10).

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga memerintahkan, “bersyukur pada saat makmur.” Makmur adalah kehidupan yang lapang dan aman di dalam negerinya. Dalam kondisi ini Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajak untuk bersyukur.

 

Mana yang lebih berat, sabar pada saat ujian atau bersyukur pada saat makmur?

 

Para ulama berbeda pandangan. Ada yang berkata, Sabar pada saat ujian lebih berat. Ada yang berkata, Bersyukur pada saat makmur lebih berat.

 

Yang benar adalah bahwa masing-masing memiliki kesulitan dan tantangannya, karena Allah berfirman,

 

“Dan jika Kami membuat manusia merasakan suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian Kami mencabutnya dari dirinya, pastilah dia menjadi putus asa lagi kafir (nikmat). Dan jika Kami membuatnya merasakan kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, ‘Telah hilang keburukan-keburukan itu dariku’; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga.” (Hud: 9-10).

 

Akan tetapi masing-masing mungkin diringankan oleh perenungan. Jika orang yang ditimpa musibah merenung dan berkata, “Kesedihanku tidak akan dapat menolak dan menghapus musibah. Sekarang aku harus memilih antara bersabar layaknya orang-orang terhormat atau mencari hiburan layaknya binatang,” niscaya kesabaran menjadi mudah baginya, hal sama dilakukan oleh orang yang berada dalam kemakmuran dan kenikmatan, akan tetapi Ahlus Sunnah wal Jama’ah memerintahkan keduanya, yakni memerintahkan untuk bersabar ketika musibah dan bersyukur ketika makmur.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga memerintahkan,  “ridha terhadap pahitnya Qadha.” Ridha lebih tinggi daripada sabar. Pahitnya Qadha’ adalah apa yang tidak seiring dengan tabiat manusia. Oleh karena itu penulis mengungkapkannya dengan kata “pahit”.

 

Apabila Allah menetapkan sebuah keputusan yang tidak seiring dengan tabiat manusia dan dia merasa sakit karenanya, maka itulah Qadha’ yang pahit. Ia tidak enak dan tidak manis, akan tetapi pahit. Ahlus Sunnah wal Jama’ah memerintahkan untuk rela terhadap pahitnya Qadha’.

 

Ketahuilah bahwa kita mempunyai dua pandangan kepada pahitnya Qadha’:

 

Pertama, dari segi bahwa ia adalah perbuatan yang terjadi dari Allah.

 

Kedua, dari segi bahwa ia adalah apa yang diperbuat oleh Allah.

 

Dari segi bahwa ia adalah perbuatan yang terjadi dari Allah, maka kita wajib ridha terhadapnya, dan tidak boleh menyangkal Tuhan kita karenanya, sebab ini termasuk kesempurnaan keridhaan bahwa Allah adalah Rabb kita.

 

Dari segi bahwa ia adalah apa yang diperbuat oleh Allah, maka kita dianjurkan ridha dan diwajibkan untuk bersabar.

 

Penyakit, dari segi bahwa Allah menakdirkannya, kita wajib ridha kepadanya, dan dari segi penyakit itu sendiri, kita dianjurkan ridha. Adapun sabar atasnya, maka ia wajib, dan bersyukur atasnya itu dianjurkan.

 

Oleh karena itu, orang yang ditimpa musibah mempunyai empat derajat dalam menghadapinya: Pertama murka, kedua sabar, ketiga ridha, dan keempat syukur.

 

Pertama, murka, hukumnya haram, bahkan ia termasuk dosa besar; seperti menampar pipi, mencabut rambut, merobek baju, atau berkata, ‘Wah sialan,’ atau mendoakan dirinya agar celaka dan lain-lainnya yang menunjukkan kemurkaan. Nabi bersabda,

 

“Bukan termasuk golongan kami orang yang merobek kerah baju, menampar-nampar pipi dan menyeru dengan seruan jahiliyah (ketika ditimpa musibah).”

 

Kedua, sabar, dengan menahan diri pada hati, lisan, dan perbuatan dari kemurkaan, ini wajib.

 

Ketiga, ridha, bedanya dengan sabar adalah bahwa orang yang sabar merasakan kegetiran tetapi dia tidak murka, hanya saja itu adalah sesuatu yang sulit dan pahit dalam dirinya, seperti ucapan seorang penyair: Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya

 

Akan tetapi akibatnya lebih manis daripada madu

 

Akan tetapi orang yang ridha tidak merasakan pahit, dia tetap tenang seolah-olah apa yang menimpanya bukanlah apa-apa.

 

Mayoritas ulama berpendapat bahwa ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah dianjurkan. Ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan inilah yang benar.

 

Keempat, syukur, yaitu dia mengungkapkan alhamdulillah dengan lisan dan kondisinya, dan dia melihat bahwa musibah adalah nikmat. Tetapi untuk derajat ini mungkin ada yang berkata, Bagaimana mungkin?

 

Kami katakan, Mungkin saja bagi yang diberi taufik oleh Allah

 

Pertama, karena apabila seseorang mengetahui bahwa musibah adalah pelebur dosa, dan bahwa hukuman atas dosa di dunia adalah lebih ringan daripada ditundanya ia di akhirat, maka musibah tersebut menjadi nikmat baginya yang patut disyukuri.

 

Kedua, apabila seseorang bersabar atas musibah yang dialaminya, maka dia akan dibalas dengan pahala, berdasarkan Firman Allah

 

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10).

 

Sehingga dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya karena mendatangkan pahala.

 

Ketiga, sabar termasuk derajat yang tinggi di kalangan orang-orang yang memiliki perhatian terhadap etika pergaulan, yang tidak diraih kecuali dengan adanya sebab-sebab, maka dia bersyukur kepada Allah, karena meraih derajat tersebut.

 

Dikisahkan bahwa sebagian wanita ahli ibadah mendapatkan penyakit pada jarinya, namun dia bersyukur kepada Allah, ketika dia ditanya tentang hal tersebut, dia menjawab, “Pahalanya yang manis membuatku Iupa pahitnya bersabar darinya.”

 

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah -semoga Allah meramati merekamemerintahkan bersabar atas musibah, bersyukur pada saat makmur, dan ridha terhadap pahitnya Qadha‘.

 

Tambahan: Qadha’ digunakan untuk dua makna:

 

Makna pertama, hukum Allah yang merupakan keputusan dan SifatNya. Ini wajib diterima dalam kondisi apa pun; baik itu Qadha* Dini (yang berhubungan dengan agama) ataupun Kauni (yang berhubungan dengan penciptaan), karena ia adalah hukum Allah dan termasuk kesempurnaan keridhaan terhadap RububiyahNya.

 

Contoh Qadha’ Dini adalah keputusanNya untuk mewajibkan, mengharamkan, dan menghalalkan. Salah satunya adalah Firman Allah

 

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya ka selain Dia.” (Al-Isra’: 23)

 

Contoh Qadha’ kauni; keputusan Allah untuk memberi kemakmuran, kesulitan, kekayaan, kemiskinan, kebaikan, kerusakan, kehidupan, dan kematian. Salah satunya adalah Firman Allah

 

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman.” (Saba’: 14).

 

Dan Firman Allah

 

“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu, ‘Sesungguhnya kalian akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kalian akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar’.” (Al-Isra’: 4).

 

Makna yang kedua adalah apa yang diputuskan (al-Magdhi), ia ada dua macam: 

 

Pertama, yang diputuskan secara syar’i. Dalam hal ini seseorang harus ridha dan menerimanya. Dia melaksanakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan menikmati apa yang halal.

 

Kedua, yang diputuskan secara kauni.

 

Jika dari perbuatan Allah; seperti kemiskinan, penyakit, kekeringan, kematian, dan sebagainya, maka telah dijelaskan bahwa ridha terhadapnya hukumnya sunnah, bukan wajib; menurut pendapat yang lebih kuat.

 

Jika itu dari perbuatan hamba, maka berlaku padanya hukum yang lima. Ridha terhadap yang wajib adalah wajib, terhadap yang dianjurkan adalah dianjurkan, terhadap yang mubah adalah mubah, terhadap yang makruh adalah makruh, dan terhadap yang haram adalah haram.

 

Penulis berkata, 

 

Mereka mengajak kepada kemuliaan akhlak dan kebaikan amal perbuatan.

 

“Kemuliaan akhlak,” yakni akhlak terbaik. Yang mulia dari sesuatu adalah yang terbaik darinya menurut kondisi sesuatu itu. Di antaranya adalah sabda Nabi  kepada Mu’adz ketika Nabi 88 menugaskannya mengambil zakat dari penduduk Yaman,

 

“Hindarilah harta mereka yang terbaik.”

 

adalah jamak dari kata  Ia adalah gambaran batin manusia, yakni watak dan tabiat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajak manusia agar berwatak mulia, mencintai kedermawanan, keberanian, kesabaran dan keuletan, bertemu orang dengan wajah berseri, dada yang lapang, dan jiwa yang tenang. Semua ini termasuk kemuliaan akhlak.

 

Adapun  “Kebaikan amal perbuatan,” ini berkaitan dengan anggota badan, mencakup perbuatan yang sifatnya ibadah dan non ibadah; seperti jual-beli, sewa-menyewa, di mana Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajak orang untuk jujur dan tulus dalam segala perbuatan, menghindari dusta dan khianat. Apabila mereka mengajak orang berbuat demikian, maka tentulah mereka yang lebih layak untuk melakukannya.

 

Penulis berkata,

 

 

Mereka meyakini makna sabda Nabi, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.“

 

Hadits ini hendaknya selalu di depan mata seorang Mukmin, orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya kepada Allah dan kepada hamba-hambaNya.

 

Kebaikan akhlak kepada Allah adalah menyambut perintah-perintahNya dengan penuh penerimaan dan ketundukan, berlapang dada, tidak bosan dan tidak jemu, serta menerima hukum-hukum kauniyahNya dengan sabar, ridha, dan yang semisal itu.

 

Adapun kebaikan akhlak kepada manusia adalah kedermawanan, tidak menyakiti, dan wajah yang berseri-seri.

 

Kedermawanan tidak khusus dengan harta, tetapi juga dengan kedudukan dan jiwa. Semua itu termasuk bentuk kedermawanan.

 

Wajah yang berseri-seri adalah lawan cemberut. Tidak menyakiti adalah tidak menyakiti siapa pun; baik dengan ucapan dan perbuatan.

 

Penulis berkata,

 

Mereka menganjurkan agar kamu menyambung orang yang memutuskanmu, memberi orang yang tidak memberimu, dan memaafkan orang yang menzhalimimu.

 

“Mereka menganjurkan,” yakni mengajak.

 

“Menyambung orang yang memutuskanmu,” dari kalangan kerabat, yang mana menyambung kekerabatan dengan mereka adalah kewajibanmu. Kalau mereka memutuskanmu, maka sambunglah. Jangan berkata, “Siapa yang menyambungku, maka aku menyambungnya,” karena ini bukan yang dimaksud menyambung silaturahim, sebagaimana Nabi  bersabda,

 

“Orang yang menyambung silaturahim bukanlah orang yang membalas kebaikan dengan semisalnya, akan tetapi orang yang menyambung silaturahim itu adalah orang yang jika hubungan silaturahimnya diputus, dia tetap menyambungnya.”

 

Jadi, orang yang menyambung silaturahim adalah orang yang jika hubungan silaturahimnya diputus, maka dia menyambungnya.

 

Ada Seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi, dia berkata,

 

“Wahai Rasulullah! Aku mempunyai kerabat; aku menyambung mereka, sementara mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, sementara mereka berbuat jahat kepadaku. Aku bermurah hati terhadap mereka, sementara mereka berperilaku jahil kepadaku.” Nabi bersabda, “Kalau apa yang kamu katakan itu benar, maka seolah-olah kamu menjejalkan abu yang panas ke mulut mereka, dan Allah akan senantiasa menjadi penolongmu atas mereka selama kamu demikian.”

 

Ahlus Sunnah mendorongmu agar menyambung hubungan dengan orang yang memutuskanmu, lebih-lebih -tentu saja orang yang menyambungmu, karena orang yang menyambungmu sementara dia adalah kerabat, maka dia mempunyai dua hak, yaitu hak kekerabatan dan hak untuk dibalas kebaikannya, berdasarkan sabda Nabi

 

“Barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian, maka balaslah ia dengan kebaikan.”

 

“Memberi orang yang tidak memberimu.” Janganlah berkata, “Karena dia tidak memberiku, maka aku pun tidak akan memberinya.”

 

 “Dan memaafkan orang yang menzhalimimu,” yakni, orang yang mengurangi hakmu, baik dengan pelanggaran atau dengan tidak menunaikan kewajiban.

 

Kezhaliman berkisar di antara dua perkara: Pelanggaran dan pengingkaran. Yang pertama bisa dengan memukulmu, mengambil hartamu, atau melecehkan kehormatanmu. Dan yang kedua adalah dengan tidak memberikan hakmu.

 

Kesempurnaan seseorang terletak pada sikapnya yang mampu memaafkan orang yang menzhaliminya.

 

Akan tetapi yang dimaksud dengan maaf di sini hanya pada waktu mampu untuk membalas, jadi engkau memaafkan dalam kondisi engkau mampu untuk membalas.

 

Pertama, karena mengharap ampunan dari Allah dan rahmatNya, sebab barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya dijamin oleh Allah.

 

Kedua, untuk memperbaiki hubungan baik antara dirimu dengan kawanmu, karena jika engkau membalas perlakuan buruknya dengan perlakuan burukmu, maka hal tersebut akan terus terjalin di antara engkau dengan dia, akan tetapi jika engkau membalas perilaku buruknya dengan kebaikanmu, maka dia akan malu dan kembali berbuat baik kepadamu.

 

Allah  berfirman,

 

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kalian dengannya ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34).

 

Memaafkan dalam kondisi mampu membalas adalah salah satu sifat Ahlus Sunnah wal Jama’ah, akan tetapi dengan catatan bahwa maaf tersebut membawa kebaikan. Jika maaf itu menyebabkan perijaku buruk, maka mereka tidak menganjurkannya, karena Allah telah meletakkan syarat,

 

“Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik.” (Asy-Syura’: 40).

 

Yakni maafnya mengandung kebaikan, adapun jika maafnya mengandung keburukan atau memicu keburukan, maka dalam kondisi tersebut tidak boleh memaafkan. Misalnya dia memaafkan pelaku kriminal dan maafnya itu memicunya untuk terus berbuat kriminal, maka tidak memaafkan di sini adalah lebih utama, bahkan bisa jadi wajib.

 

Penulis berkata,

 

Mereka memerintahkan berbuat baik kepada kedua orangtua.

 

Itu karena besarnya hak mereka berdua.

 

Allah tidak menjadikan sebuah hak setelah hak DiriNya dan hak RasulNya, kecuali kepada kedua orangtua, Allah berfirman,

 

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan sesuatu pun denganNya. Dan berbuat batklah kepada ibu bapak.” (An-Nisa‘: 36).

 

Hak Rasulullah termasuk ke dalam perintah beribadah kepada Allah, karena ibadah kepada Allah tidak terwujud kecuali dengan menunaikan hak Rasulullah dengan mencintai beliau dan mengikuti jalan beliau. Oleh karena itu ia termasuk ke dalam Firman Allah,

 

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan sesuatu pun denganNya.” (An-Nisa’: 36).

 

Bagaimana dia dapat beribadah kepada Allah tanpa melalui jalan Rasulullah  Jika dia beribadah kepada Allah sesuai dengan syariat Rasulullah, maka dia telah menunaikan hak Rasulullah.

 

Kemudian setelah itu adalah hak kedua orangtua yang telah bersusah payah demi anak, lebih-lebih ibu. Allah berfirman,

 

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (Al-Ahqaf: 15).

 

Dalam ayat lain,

 

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.” (Luqman: 14).

 

Seorang ibu telah bersusah payah ketika mengandung, ketika melahirkan, dan sesudah melahirkan. Dia menyayangi anaknya lebih daripada kasih sayang seorang bapak. Oleh karena itu, ibu adalah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik, bahkan daripada bapak sekali pun.

 

“Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baikku?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya, ‘Lalu siapa?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya, ‘Lalu siapa?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Kemudian beliau bersabda, pada kali keempat, ‘Kemudian bapakmu’ .”

 

Bapak juga bersusah payah karena anaknya, dia bersedih dengan kesedihan mereka, berbahagia dengan kebahagiaan mereka, dia berusaha mewujudkan segala sebab ketenangan, ketenteraman, dan kehidupan yang baik bagi mereka, dia menerjang panas dan kesulitan demi meraih kehidupannya dan kehidupan anak-anaknya.

 

Masing-masing dari ibu dan bapak mempunyai hak. Apa pun yang engkau lakukan tetap tidak akan mampu membayar hak keduanya.

 

Oleh karena itu, Allah berfirman,

 

“Dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil’.” (Al-Isra’: 24).

 

Hak mereka telah ada sejak awal di mana mereka mengasuhmu sewaktu engkau kecil ketika engkau tidak mampu meraih manfaat untuk dirimu dan menolak mudarat dari dirimu. Jadi hak keduanya adalah perlakuan dengan baik.

 

Berbuat baik kepada kedua orangtua adalah fardhu ‘ain atas setiap orang menurut ijma’. Oleh karena itu, Nabi mendahulukannya atas jihad di jalan Allah, sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud, dia berkata, Aku pernah bertanya,

 

“Wahai Rasulullah, amal perbuatan apa yang paling dicintai oleh Allah?”

 

Nabi menjawab, “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya, “Lalu apa?” Nabi menjawab, “Berbakti kepada kedua orangtua.” Aku bertanya, “Lalu apa?” Nabi menjawab, “Jihad di jalan Allah.”

 

Dua orangtua yang dimaksud adalah bapak dan ibu. Adapun kakek dan nenek, maka keduanya mempunyai hak diperlakukan dengan baik, akan tetapi tidak sama dengan berbuat baik kepada bapak dan ibu, karena kakek dan nenek tidak mengalami kelelahan, tidak melakukan penjagaan dan pengasuhan seperti bapak dan ibu, maka berbuat baik kepada kakek dan nenek termasuk bentuk silaturahim dan keduanya memang yang paling berhak mendapatkannya di antara para kerabat. Adapun berbuat baik yang disebutkan dalam hadits ini, maka ia untuk ibu dan bapak.

 

Tetapi apa makna dari

 

Makna  adalah memberikan kebaikan dan menolak keburukan sebatas kemampuan.

 

Memberi kebaikan bisa dengan harta, bisa dengan pelayanan, bisa pula dengan sesuatu yang membahagiakan, misalnya wajah berseri-seri, ucapan dan perilaku yang baik dan segala apa yang membuat keduanya senang.

 

Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah, bahwa seorang anak wajib melayani bapak dan ibunya, jika hal itu tidak menyebabkan dampak negatif kepada anak. Jika menyebabkan dampak negatif bagi anak, maka anak tidak wajib melayani kedua orangtuanya kecuali dalam kondisi darurat.

 

Dari sini, kami katakan bahwa menaati keduanya adalah wajib dalam perkara yang berguna bagi keduanya dan tidak ada dampak buruk bagi anak. Adapun dalam kondisi yang membawa dampak buruk kepada sang anak dari segi agama, seperti halnya jika keduanya memintanya meninggalkan kewajiban atau melakukan sesuatu yang diharamkan, dalam kondisi ini tidak ada ketaatan kepada keduanya, atau dampak buruknya adalah dari segi jasmani, maka dalam kondisi ini pula tidak wajib menaati keduanya. Adapun yang berkaitan dengan harta, maka anak wajib berbuat baik kepada kedua orangtuanya dengan memberikannya sebesar apa pun, jika hal itu tidak merugikannya dan tidak berkaitan dengan kebutuhannya. Khusus untuk bapak, dia boleh mengambil harta anaknya sesukanya selama tidak merugikannya.

 

Kalau kita memerhatikan keadaan orang-orang saat ini, niscaya kita dapati bahwa kebanyakan dari mereka tidak berbakti kepada kedua orangtuanya, yang ada adalah kedurhakaan. Kita lihat dia bersikap baik kepada teman-temannya, berlama-lama ngobrol dengan mereka tanpa merasa bosan, akan tetapi begitu dia duduk bersama bapaknya atau ibunya sesaat saja, niscaya engkau melihatnya merasa cepat bosan seperti duduk di atas bara api. Orang yang seperti ini bukan orang yang berbakti kepada orang tua, karena orang yang berbakti adalah orang yang berlapang dada kepada ibu dan bapaknya, melayani keduanya di depan matanya, dan berusaha dengan sungguh-sungguh mendapatkan keridhaan keduanya dengan segenap kemampuannya.

 

Orang-orang awam berkata, “Berbakti itu hutang.” Anak yang berbakti, di samping dia akan mendapatkan pahala besar di akhirat, dia juga akan diberi balasan di dunia. Berbakti atau durhaka -seperti kata orang awamadalah hutang. Engkau memberi hutang, maka engkau akan dibayar. Kalau engkau memberikan kebaikan kepada orangtuamu, niscaya anakmu akan berbuat baik kepadamu. Jika engkau memberikan kedurhakaan kepada orangtuamu, niscaya anakmu akan durhaka kepadamu.

 

Banyak sekali kisah tentang orang-orang yang berbakti kepada orangtuanya, lalu anak-anaknya pun berbakti kepadanya. Begitu pula kedurhakaan, banyak kisah orang-orang yang didurhakai oleh anaknya karena dia dahulu durhaka kepada orangtuanya.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memerintahkan (manusia) untuk berpakti kepada kedua orangtua.

 

Penulis berkata,

 

Silaturahim.

 

Mereka juga memerintahkan silaturahim. Kedua orangtua dengan kerabat yang lain tidaklah sama, kedua orangtua mempunyai hak berbakti dan kerabat memiliki hak silaturahim. Berbakti lebih tinggi daripada silaturahim, karena berbakti berarti melimpahkan kebaktian dan kebaikan, sedangkan silaturahim adalah tidak memutuskan hubungan kekerabatan. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan berbakti disebut pendurhaka, dan orang yang meninggalkan silaturahim disebut pemutus hubungan kekerabatan. Silaturahim adalah wajib, memutuskannya adalah penyebab laknat dan penutup pintu surga. Allah  berfirman,

 

“Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23).

 

Nabi bersabda, “Tidak masuk surga seorang pemutus,” yakni pemutus silaturahim.

 

Silaturahim di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah disebutkan secara umum.

 

Segala hal apa pun yang datang dan tidak diberi ketentuan

 

Oleh syariat, seperti penyimpanan harta seseorang, maka tentukanlah dengan kebiasaan

 

Dari sini, maka silaturahim merujuk kepada kebiasaan (urf). Apa yang dikatakan oleh orang-orang sebagai silaturahim, maka ia adalah silaturahim. Apa yang mereka katakan sebagai pemutusan, maka ia adalah pemutusan, dan ia mungkin berbeda menurut kondisi, waktu, tempat, dan umat.

 

Jika orang-orang dalam kondisi miskin sementara engkau adalah orang kaya dan kerabatmu adalah orang-orang miskin, maka bentuk silaturahimnya adalah dengan membantu mereka sesuai dengan keadaanmu.

 

Jika orang-orang dalam kondisi berkecukupan, semuanya baik, maka mengunjungi mereka di pagi atau sore hari adalah silaturahim.

 

Di zaman kita ini silaturahim di antara manusia melemah. Hal itu karena mereka sibuk memenuhi kebutuhan mereka dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Silaturahim yang sempurna adalah engkau menanyakan tentang keadaan mereka, bagaimana anak-anak mereka, engkau melihat problem mereka, akan tetapi sangat disayangkan ia telah hilang sebagaimana berbakti yang sempurna juga telah lenyap dari banyak manusia.

 

Penulis berkata,

 

Bertetangga dengan baik.

 

Yakni Ahlus Sunnah wal Jama’ah memerintahkan berperilaku baik kepada tetangga. Tetangga adalah orang-orang yang rumahnya dekat, dan yang paling berhak diperlakukan dengan baik dan dimuliakan adalah yang paling dekat di antara mereka.

 

Allah berfirman,

 

“Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kalian miliki.” (An-Nisa’: 36).

 

Jadi, Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan jauh.

 

Nabi bersabda,

 

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya.”

 

Nabi bersabda,  “Kalau kamu memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya dan bagikanlah kepada tetangga-tetanggamu,” Nabi bersabda,

 

“jibril senantiasa berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga sampai-sampai aku mengira dia akan memberinya bagian warisan.”

 

Nabi bersabda,

 

“Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Beliau ditanya, “Siapa itu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.”

 

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang mengajak untuk memerhatikan, berbuat baik, dan memuliakan tetangga.

 

Jika tetangga adalah seorang Muslim sekaligus kerabat, maka dia mempunyai tiga hak, yaitu hak Islam, hak kerabat, dan hak tetangga.

 

Jika dia kerabat, maka dia memiliki dua hak, yaitu hak kerabat dan hak tetangga.

 

Jika dia Muslim bukan kerabat, maka dia memiliki dua hak, yaitu hak Islam dan hak tetangga.

 

Jika dia kafir bukan kerabat, maka dia memiliki satu hak, yaitu hak tetangga saja.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajak untuk berbuat baik kepada tetangga secara mutlak, siapa pun tetangga itu, dan yang paling dekat adalah yang paling berhak. Sangat disayangkan bahwa sebagian orang saat ini berperilaku buruk kepada tetangganya dalam skala yang lebih berat daripada kepada selainnya, dia melanggar tetangganya dengan merampas hak miliknya atau mengganggunya.

 

Para ulama fikih telah menyebutkan di akhir bab perdamaian (ash-Shulh) dalam kitab fikih beberapa hukum bertetangga. Silakan merujuknya.

 

Penulis berkata,

 

Berbuat baik kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil

 

Demikian juga Ahlus Sunnah wal Jama’ah memerintahkan berbuat baik kepada ketiga orang yang disebutkan di atas.

 

adalah jamak dari kata, yaitu anak yang bapaknya meninggal sebelum dia baligh.

 

Allah memerintahkan berbuat baik kepada anak-anak yatim. Nabi juga mendorongnya dalam banyak hadits.

 

Hanya saja sebagian ulama berkata, “Tidak wajib memuliakannya sebagai tamu kecuali di pedesaan, bukan perkotaan.”

 

Kami katakan, Ia wajib di pedesaan dan perkotaan, kecuali jika ada penyebab; misalnya sempitnya rumah atau sebab-sebab lain yang membuatmu tidak bisa menerimanya sebagai tamu. Yang jelas, jika engkau tidak bisa menerima, maka tolaklah dengan sebaik-baiknya.

 

Penulis berkata,

 

Serta (mengajak) mengasihi (budak atau hewan) yang dimiliki.

 

Yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah memerintahkan bersikap baik kepada apa yang dimiliki. Ini mencakup manusia dan hewan yang dimiliki. Berbuat baik kepada manusia yang dimiliki adalah dengan memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan membebaninya di luar batas kemampuannya.

 

Menyayangi binatang yang dimiliki, baik yang dikendarai atau diambil air susunya atau hanya dimiliki semata; berbeda-beda tergantung apa yang ia perlukan. Di musim dingin jika ia tidak kuat menahan dingin, maka engkau meletakkannya di tempat yang hangat. Sementara di musim panas jika ia tidak kuat menahan panas, maka engkau menempatkannya di tempat yang dingin. Jika ia tidak dilepas di padang rumput, maka engkau harus memberinya makan dan minum. Jika ia termasuk hewan pembawa beban, maka janganlah dibebani kecuali sebatas kemampuannya.

 

Ini menunjukkan kesempurnaan syariat, bahwa ia tidak melupakan hewan sekalipun, dan menunjukkan menyeluruhnya jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Penulis berkata,

 

Mereka melarang berperilaku bangga diri, angkuh, lalim dan merasa jebih tinggi di atas orang lain, baik dia benar ataupun tidak.

 

Bangga diri dalam perkataan, angkuh dalam perbuatan, lalim adalah perbuatan aniaya, dan merasa lebih tinggi adalah kecongkakan dan merasa berkuasa.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang bangga diri, yakni melarang seseorang bangga diri di depan orang lain dengan mengatakan, “AkuJah orang yang berilmu”, “Akulah si kaya”, dan “Akulah si pemberani”.

 

Jika ditambah dengan perasaan lebih tinggi daripada orang lain, dia berkata, “Kamu bukan apa-apa bagiku.” Maka ia mengandung keJaliman dan merasa lebih tinggi daripada orang lain.

 

Keangkuhan itu berhubungan dengan perbuatan. Angkuh dalam cara berjalan, dalam wajahnya, dan angkuh dengan mengangkat kepala dan lehernya jika dia berjalan seolah-olah dia telah menggapai langit. Allah 36 mencela orang yang perbuatannya demikian. Allah tue berfirman,

 

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesunggulinya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekalikali kamu tidak akan sampai setinggt gunung.” (Al-Isra’: 37).

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang hal ini, mereka berkata, Jadilah orang yang bertawadhu dalam perkataan dan perbuatan. Dalam perkataan, janganlah engkau memuji diri dengan sifat-sifatmu yang terpuji, kecuali jika ada tuntutan atau kebutuhan, seperti ucapan Ibnu Mas’ud “Seandainya aku mengetahui seseorang yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripada diriku dan bisa dijangkau oleh unta, niscaya aku akan mendatanginya.”

 

Maksud Ibnu Mas’ud adalah dua hal:

 

Pertama, mendorong orang-orang belajar Kitab Allah

 

Kedua, mengajak mereka agar mengambil ilmu darinya.

 

Pemilik sifat-sifat terpuji jangan mengira bahwa orang-orang tidak mengetahui sifat-sifatnya sama sekali, baik dia menyebutkannya atau tidak, bahkan kalau ada orang yang menghitung sifat-sifatnya yang terpuji di depan manusia, maka dia tidak berarti di mata mereka, maka jauhilah perkara ini.

 

“Kelaliman” adalah berbuat aniaya kepada orang lain, tempatnya ada tiga, dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau,

 

“Sesungguhnya harta, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian.”

 

Jadi berbuat aniaya kepada sesama adalah pada harta, darah, dan kehormatan.

 

– Dalam urusan harta, seperti mengklaim apa yang bukan haknya, atau mengingkari apa yang menjadi kewajibannya, atau mengambil apa yang bukan miliknya, semua itu adalah kelaliman terhadap harta.

 

– Dalam urusan darah, yaitu dengan membunuh dan apa yang di bawah membunuh, yakni seseorang melakukan kelaliman kepada manusia dengan melukai dan membunuh.

 

– Dalam urusan kehormatan, ada kemungkinan maksudnya adalah nama baik, bentuk kelalimannya adalah dengan ghibah yang mencoreng nama baiknya. Ada kemungkinan juga maksudnya adalah zina

 

dan perbuatan dosa yang masih di bawah zina, semuanya adalah haram. Yang jelas, Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang melakukan kelaliman terhadap harta, darah, dan kehormatan.

 

Begitu pula, “Merasa lebih tinggi daripada orang lain”; baik karena kebenaran atau bukan. Perbuatan ini dilarang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik dengan alasan kebenaran atau bukan. Merasa lebih tinggi berarti merasa berkuasa atas manusia.

 

Hakikat perkaranya adalah bahwa jika Allah melimpahkan suatu kelebihan kepadamu atas orang lain, baik dalam urusan harta, kedudukan, kekuasaan, ilmu, atau lainnya, maka termasuk wujud dari syukur kepada Allah adalah hendaknya semua itu menambahmu bersikap tawadhu sehingga engkau menghiasi kebaikan dengan kebaikan, karena orang yang bertawadhu pada saat dia berada di atas adalah orang yang bertawadhu secara hakiki.

 

Makna perkataan penulis, “Baik dia benar” yakni, meskipun dia dalam kondisi yang benar. Ini menunjukkan bahwa dia berada di atas angin, meskipun demikian Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap melarang sikap merasa lebih tinggi dan berkuasa.

 

Atau dikatakan, makna ucapan  “Merasa lebih tinggi dengan kebenaran,” adalah bahwa dasar dari sikapnya tersebut adalah benar, seperti ada orang yang melakukan kelaliman kepadanya, lalu dia membalasnya lebih.

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah  melarang sikap merasa lebih tinggi dan berkuasa atas orang lain, baik itu dengan kebenaran atau tidak.

 

Penulis berkata,

 

 Mereka memerintahkan kepada ketinggian akhlak.

 

Yakni, akhlak yang tinggi; seperti kejujuran, iffah (menjaga diri dari yang haram dan yang makruh), amanah, dan semisalnya.

 

Dan melarang kerendahannya.

 

Yakni, akhlak yang buruk; seperti kedustaan, khianat, perbuatan keji, dan semisalnya.

 

Penulis berkata,

 

Semua yang mereka katakan dan lakukan dari ini dan selainnya, semata karena mereka mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah. Jalan mereka adalah agama Islam yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad.

 

“Semua yang mereka katakan,” yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

“Dan mereka lakukan,” dari ini semua dan selainnya.

 

“Semata karena mereka mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah.” Ini adalah keadaan yang harus diperhatikan, yaitu bahwa dalam kondisi kita berbicara dan berbuat, hendaknya kita merasa bahwa kita mengikuti Rasulullah diiringi dengan keikhlasan kepada Allah, agar perkataan dan perbuatan kita menjadi ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, dikatakan bahwa ibadah orang-orang yang lalai adalah kebiasaan, dan kebiasaan orang-orang yang cerdik adalah ibadah. Manusia yang diberi taufik, kebiasaannya berubah menjadi ibadah, sebaliknya orang yang lalai ibadahnya, ia bisa berubah menjadi kebiasaan.

 

Hendaknya seorang Mukmin berusaha menjadikan perkataan dan perbuatannya menginduk kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, agar dengan itu dia meraih pahala dan mendapatkan kesempurnaan iman serta sikap kembali kepada Allah .

 

Penulis berkata,

 

Akan tetapi manakala Nabi mengabarkan bahwa umat beliau akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu jama’ah.

 

“Bahwa umat beliau,” yakni umat yang menjawab dakwah beliau (umat Islam), bukan umat objek dakwah, karena yang kedua ini termasuk di dalamnya Yahudi dan Nasrani, dan mereka telah terpecah pelah. Umat Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, umat Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umat ini terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya menyandarkan diri kepada Islam dan mengikuti Rasulullah.

 

Perkataan penulis “Semuanya di neraka kecuali satu,” tidak mengharuskan mereka kekal di dalam neraka, tetapi maksudnya adalah bahwa perbuatannya termasuk penyebab masuk neraka.

 

Ketujuh puluh tiga golongan ini, apakah saat ini telah ada dan sempurna tujuh puluh tiga, ataukah masih ditunggu?

 

Mayoritas pengkaji hadits ini berkata, Ia telah ada dan selesai. Mereka yang berkata demikian membagi ahli bid’ah menjadi lima dasar utama kemudian dari kelima dasar tersebut lahir cabang-cabang sampai berjumlah tujuh puluh dua golongan dengan menyisakan satu golongan, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

Sebagian ulama berkata, Rasulullah  tidak secara terbuka menyebutkan golongan-golongan ini, kita tidak perlu berbicara tentang pembagian bid’ah-bid’ah yang ada saat ini menjadi lima dasar lalu dasar-dasar ini terbagi menjadi cabang-cabang agar hitungannya lengkap, bahkan terkadang kita menjadikan satu cabang sebagai kelompok tersendiri hanya karena ia menyelisihi dalam satu cabang masalah, karena ia tidak layak dianggap sebagai golongan tersendiri.

 

Yang lebih baik adalah mengatakan bahwa kelompok-kelompok ini tidak kita ketahui, akan tetapi kami katakan tanpa ragu bahwa golongan-golongan tersebut menyimpang dari jalan yang lurus, ada yang menyimpang jauh, ada yang menyimpang agak jauh, dan ada pula yang menyimpang tidak jauh, kita tidak dituntut membatasinya, karena mungkin saja muncul golongan-golongan yang menyandarkan dirinya kepada umat Islam selain yang dihitung para ulama sebagaimana yang terjadi, di mana telah muncul golongan-golongan yang menyandarkan dirinya kepada Islam selain golongan-golongan yang dihitung para ulama terdahulu.

 

Yang jelas, Rasulullah  mengabarkan bahwa umat beliau, yaitu umat yang menjawab dakwah beliau (umat Islam), akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya sesat dan di neraka, kecuali satu:

 

Perkataan penulis,  “Yaitu Jama’ah,” yakni, jamaah yang bersatu di atas kebenaran dan tidak terpecah belah.

 

Penulis berkata,

 

Dan dalam sebuah hadits Nabi, beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas ajaranku pada hari ini dan sahabat-sahabatku,” maka orang-orang yang berpegang teguh dengan Islam yang murni lagi bersih dari kotoran, mereka itulah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah.

 

Perkataan penulis, : “Dan dalam sebuah hadits dari Nabi ; bahwa beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas ajaranku pada hari ini dan para sahabatku’,” dan orang-orang yang berjalan di atas apa yang dipijak oleh Rasul  dan para sahabat beliau adalah jama’ah yang bersatu di atas syariat Allah, mereka adalah orang-orang yang melaksanakan pesan Allah,

 

“Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah belah di dalamnya.” (Asy-Syura’: 13).

 

Jadi, mereka tidak terpecah belah, akan tetapi mereka adalah jamaah yang satu.

 

Perkataan penulis, Maka Orang-orang yang berpegang teguh kepada Islam yang murni lagi bersih dari kotoran, mereka itulah Ahlus Sunnah wal jama’ah.” (adalah jawab syarat dari kalimat,  “Hanya saja manakala.” Kalau kita ditanya: Siapa Ahlus Sunnah wal Jama’ah?

 

Maka kita katakan: Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Islam yang murni lagi bersih dari kotoran. Definisi dari syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini berarti bahwa Asy’ariyah, Maturidiyah, dan golongan lain semisal mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena berpegangnya mereka dikotori dengan bid’ah yang mereka susupkan.

 

Ini memang benar, Asy’ariyah dan Maturidiyah tidak dikategorikan Ahlus Sunnah wal Jama’ah terkait dengan pendapat mereka dalam masalah Nama-nama dan Sifat-sifat Allah  Bagaimana mereka dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam hal itu sementara mereka menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah?

 

Dikatakan, Bisa jadi kebenaran terletak pada pendapat Asy’ariyah dan Maturidiyah, atau terletak pada pendapat Salaf. Dan sudah dimaklumi bahwa kebenaran terletak pada pendapat Salaf, karena Salaf di sini adalah para sahabat, tabi’in, dan para imam yang memegang bendera hidayah sesudah mereka. Kalau kebenaran terletak pada pendapat Salaf, sementara Asy’ariyah dan Maturidiyah menyelisihi mereka, maka mereka tidak dikelompokkan ke dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam hal itu.

 

Penulis berkata,

 

Di kalangan mereka terdapat shiddiqin.

 

Yakni, di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdapat  “Shiddiqin” yang merupakan jamak dari  yang berasal dari kata  Kata adalah bentuk kata yang mengandung arti sangat (al-Mubalaghah), dia adalah orang yang hadir membawa kebenaran dan membenarkannya, sebagaimana Firman Allah

 

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zumar: 33).

 

Dia benar dalam niatnya, benar dalam ucapannya, dan benar dalam perbuatannya.

 

Kebenaran niatnya adalah kesempurnaan keikhlasannya kepada Allah dan sikapnya yang mengikuti Rasulullah  (mutaba’ah), dia memurnikan keikhlasan dan mutaba’ah, dia tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan Allah  dalam perbuatannya dan tidak mengikuti kecuali Sunnah Rasulullah dalam perbuatannya; tidak ada syirik dan tidak ada bid’ah padanya.

 

Ucapannya benar, dia tidak mengatakan kecuali kebenaran, dan diriwayatkan secara shahih dari Nabi, bahwa beliau bersabda,

 

“Pegang teguhlah kejujuran, karena sesungguhnya kejujuran membimbing kepada kebaikan, dan kebaikan membimbing kepada surga. Seorang laki-laki senantiasa jujur dan bersungguh-sungguh untuk jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai shiddiq.”

 

Perbuatannya benar, artinya apa yang dikatakannya tidak didustakan oleh perbuatannya. Jika dia berkata tentang sesuatu, maka dia akan melakukannya. Dengan ini dia bebas dari penyerupaan dengan orang-orang munafik yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan.

 

Dia juga bersikap benar dalam hal di mana bukti-bukti menunjukkan kebenarannya, dia tidak menolak kebenaran dan tidak melecehkan manusia.

 

Oleh karena ini, Abu Bakar adalah orang pertama dari umat ini yang dijuluki sebagai ash-Shiddiq, karena ketika Nabi melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj, beliau menceritakan bahwa beliau di isra kan ke Baitul Maqdis lalu dimi’rajkan ke langit. Orang-orang kafir tertawa mencibir dan mendustakannya. Mereka berkata, “Bagaimana, wahai Muhammad, Kamu pergi dalam satu malam dan sampai dalam satu malam ke Langit, sementara kalau kami berangkat ke Syam, kami membutuhkan satu bulan untuk pergi dan satu bulan untuk pulang?” Mereka menjadikan itu sebagai alat untuk mendustakan Rasulullah, Manakala mereka bertemu Abu Bakar mereka berkata, “Kawanmu bercerita kepada kami begini dan begini.” Abu Bakar berkata, “Kalau memang dia berkata begitu, maka dia benar.” Sejak hari itu, Abu Bakar dipanggil dengan ash-Shiddiq. Dia adalah shiddiq terbaik dari umat ini dan selainnya.

 

Penulis berkata,

 

Dan di antara mereka terdapat para syuhada.

 

 adalah jamak dari kata yang berarti saksi. Siapa itu syuhada?

 

Ada yang berkata, Mereka adalah para ulama, karena ulama adalah saksi bagi syariat Allah dan saksi atas hamba-hamba Allah akan tegaknya hujjah terhadap mereka. Oleh karena itu, ulama dikategorikan sebagai muballigh (penyampai) dari Allah  dan RasulNya, yang menyampaikan syariatNya yang dibawa oleh RasulNya, Muhammad. Jadi dia adalah saksi atas manusia dengan kebenaran.

 

Ada yang berkata, Mereka adalah orang-orang yang gugur di jalan Allah (di medan perang). Dan yang benar adalah bahwa ayat tersebut mencakup keduanya.

 

Penulis berkata,

 

Dan di antara mereka terdapat orang-orang shalih.

 

Shalih adalah antonim dari fasid (rusak). Orang shalih adalah orang yang menegakkan hak Allah dan hak hamba-hambaNya. Namun dia bukanlah mushlih (orang yang memperbaiki), karena ishlah (memperbaiki) itu lebih dari sekedar shalah (melakukan kebaikan). Jadi, tidak semua orang shalih itu adalah mushlih, karena di antara orang-orang shalih terdapat orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak memikirkan orang lain. Keshalihan yang sempurna adalah dengan adanya ishlah.

 

Penulis berkata,

 

Di antara mereka ada panji-panji hidayah, lampu-lampu di tengah kegelapan.

 

 adalah jamak dari  yang asal maknanya adalah gunung.

 

Allah  berfirman,

 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah kapal-kapal di (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung.” (Asy-Syura: 32).

 

Gunung dinamakan demikian, karena ia bisa dijadikan dalil dan petunjuk.

 

“Panji-panji hidayah,” yaitu, orang-orang yang dijadikan sebagai teladan dan petunjuk. Mereka adalah para ulama Rabbani, merekalah para pemberi petunjuk dan merekalah lampu-lampu kegelapan.

 

 adalah jamak dari  “lampu”, yaitu sesuatu yang dijadikan sebagai penerang.

 

 adalah jamak dari yang artinya kegelapan. Yakni, mereka adalah lampu-lampu di tengah kegelapan yang digunakan oleh manusia sebagai cahaya penerang dalam menjalani kehidupan.

 

Penulis berkata,

 

Para pemilik kemuliaan yang ma’tsur dan keutamaan yang diakui.

 

adalah jamak dari  yang artinya kedudukan, yaitu kemuliaan dan kehormatan yang, dicapai oleh manusia.

 

adalah jamak dari yang artinya sifat-sifat utama yang dimiliki oleh seseorang berupa ilmu, ibadah, kezuhudan, kedermawanan dan lain-lain semisalnya. Keutamaan adalah tangga menuju kemuliaan.

 

Penulis berkata,

 

Di kalangan mereka terdapat orang-orang terhormat.

 

 adalah jamak dari  Mereka adalah orang-orang yang istimewa dengan ilmu dan ibadahnya, mereka dinamakan demikian bisa jadi karena jika di antara mereka ada yang mati lalu penggantinya meneruskannya, atau karena mereka mengganti keburukan mereka dengan kebaikan, atau karena mereka adalah teladan yang baik, sehingga mereka mengganti perbuatan buruk manusia menjadi baik, atau karena semua itu, atau karena yang lain.

 

Penulis berkata,

 

Terdapat pula para imam agama yang kaum Muslimin telah bersepakat bahwa mereka berada di atas petunjuk.

 

Imam adalah teladan. Di barisan Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdapat para imam agama di mana kaum Muslimin telah menyepakati bahwa mereka berada di atas petunjuk, seperti imam Ahmad, asy Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan ast-Tsauri, al-Auza’i, dan imam-imam yang terkenal lainnya, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab.

 

Perkataan penulis,  “Para imam agama,” menunjukkan bahwa imam kesesatan dari kalangan ahli bid’ah tidak termasuk ke dalamnya. Mereka itu bukan dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, justru mereka itu menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, walaupun mereka itu dipanggil imam, karena para penyeru ke neraka pun dipanggil imam, sebagaimana Firman Allah tentang tentara-tentara Fir’aun,

 

“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada Hari Kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41),

 

Penulis berkata,

 

Mereka adalah golongan yang ditolong.

 

Yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang dimenangkan oleh Allah, karena mereka termasuk ke dalam Firman Allah,

 

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (Hari Kiamat).” (Al-Mu’min: 51).

 

Jadi, mereka akan ditolong dan kesudahan yang baik adalah milik mereka.

 

Hanya saja sebelum kemenangan harus ada usaha, kelelahan, dan jihad, karena kemenangan berarti ada yang menang dan ada yang kalah. Jadi harus ada perlawanan, dan harus ada ujian, akan tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim

 

Kebenaran akan menang dan diuji maka jangan heran

 

Karena inilah Sunnah Allah Yang Maha Rahman, maka jangan sampai engkau dihinggapi kemalasan dan kelemahan apabila perkaranya tidak seperti yang engkau harapkan pertama kali, akan tetapi bersabarlah dan ulangilah terus, bersabarlah menghadapi ejekan dan cemoohan yang ditujukan kepadamu karena musuh-musuh agama memang banyak.

 

Jangan berbalik langkah hanya karena engkau satu-satunya orang yang ada di lapangan. Engkaulah jama’ah meskipun sendiri, selama engkau merasa di atas kebenaran. Oleh karena itu, percayalah bahwa engkau akan dimenangkan, bisa di dunia dan bisa pula di akhirat.

 

Kemudian, hakikat kemenangan bukanlah kemenangan secara personal, akan tetapi kemenangan hakiki adalah Allah memenangkan kebenaran yang engkau dakwahkan. Apabila di dunia seseorang ditimpa kehinaan, maka hal itu tidak menafikan kemenangan selama-lamanya. Nabi telah benar-benar disakiti, akan tetapi akhirnya beliau menang atas orang-orang yang menyakiti beliau, beliau masuk Makkah dengan kemenangan dan kemuliaan, padahal sebelumnya beliau meninggalkannya dalam keadaan takut.

 

Penulis berkata,

 

Yang Nabi bersabda tentang  “Akan selalu ada segolongan dari umatku yang berada di atas kebenaran dalam keadaan mendapat pertolongan (dari Allah), mereka tidak termudaratkan oleh orang-orang yang menyelisihi dan menghinakan mereka sampai Hari Kiamat tiba.”

 

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dengan redaksi senada dari yang dipaparkan penulis yang diriwayatkan dari beberapa orang sahabat, dari Nabi

 

Sabda Nabi  “Akan selalu ada,” adalah kata kerja yang menunjukkan makna terus menerus (senantiasa). Kata kerja dengan makna ini ada empat, yaitu;  jika sebelumnya didahului oleh huruf nafi (untuk menyatakan peniadaan) atau yang sejenis dengannya. Jadi, sabda Nabi,

 

“Akan selalu ada segolongan dari umatku yang berada di atas kebenaran,”

 

yakni terus menerus di atas kebenaran.

 

Golongan ini tidak dibatasi oleh jumlah, tempat dan waktu, ia mungkin berada di suatu tempat, di sana ia ditolong dalam bidang tertentu dari agama, sementara di tempat lain yang ditolong adalah golongan lain. Dengan kedua golongan tersebut, agama akan terus ada, tegak, dan menang.

 

Sabda Nabi  “Mereka tidak termudaratkan.” Nabi tidak bersabda, “Mereka tidak disakiti.” Karena yang kedua ini mungkin saja terjadi, hanya saja itu tidak memudaratkan mereka. Ada beda antara termudaratkan dan disakiti. Oleh karena itu, Allah  berfirman dalam hadits qudsi,

 

“Wahai hamba-hambaKu, kalian tidak akan bisa memudaratkanKu sehingga kalian memudaratkanKu.”

 

Allah  berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya, Allah akan melaknatinya di dunia dan di Akhirat.” (Al-Ahzab: 57).

 

Dalam hadits qudsi, Allah berfirman,

 

“Anak Adam menyakiti Aku, dia mencaci maki masa, padahal Aku-lah (Pemilik dan Pengatur) masa.”

 

Allah menetapkan sikap menyakiti dan menafikan mudarat. Ini mungkin. Lihatlah orang yang terganggu oleh aroma bawang dan sejenisnya akan tetapi ia tidak memudaratkannya.

 

Dan dalam sabda Nabi “Sampai Hari Kiamat tiba,” terdapat sesuatu yang musykil, karena dalam hadits yang shahih, Nabi bersabda,

 

“Kiamat tidak akan terjadi sehingga di bumi tidak ada yang mengucapkan, ‘Allah, Allah’  yakni, Allah menghapus Islam seluruhnya, tidak tersisa orang yang menyembah Allah satupun. Bagaimana di sini dikatakan, “Sampai Hari Kiamat tiba”?

 

Para ulama menjawab dengan satu dari dua jawaban:

 

Pertama, bisa jadi maksudnya adalah sampai mendekati tibanya Hari Kiamat. Terkadang sesuatu itu diungkapkan dengan apa yang mendekatinya jika ia sangat dekat. Jika orang-orang yang dimenangkan oleh Allah tersebut telah mati, maka Kiamat sudah sangat dekat.

 

Atau jawaban yang kedua, bahwa yang dimaksud dengan kiamat adalah meninggalnya mereka.

 

Akan tetapi yang pertama lebih shahih, karena bila Nabi  bersabda,  “Sampai Hari Kiamat tiba,” maka meninggalnya mereka (orang-orang yang menegakkan kebenaran dan mendapatkan pertolongan dari Allah) terjadi jauh sebelum kiamat umum, sementara zahir hadits menunjukkan bahwa kemenangan ini akan berlanjut sampai akhir dunia. Jadi yang benar adalah bahwa maksud hadits di atas adalah sampai mendekati tibanya kiamat. Wallahu a’lam.

 

Penulis berkata,

 

Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk ke dalam golongan mereka, tidak menjadikan hati kita condong kepada kesesatan setelah Dia memberi petunjuk kepada kita, dan mengaruniakan kepada kita rahmat dari sisiNya; sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pemberi (karunia).

 

Hanya Allah-lah yang paling mengetahui, shalawat dan salam yang banyak semoga Allah limpahkan ke haribaan Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.

 

Dengan doa yang mulia ini penulis menutup risalah singkat tetapi bermakna luas ini, ia adalah ringkasan dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berisi faidah-faidah agung, sudah selayaknya jika penuntut ilmu menghafalnya.

 

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam atas nikmat penyelesaian syarah ini. Kami memohon kepada Allah agar Dia menyempurnakannya dengan menerimanya dan memberi pahala atasnya. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita, Muhammad , keluarga dan seluruh sahabat beliau.

 

Saya selesai membaca ulang kitab ini dan menambahkan apa yang diperlukan dan membuang apa yang tidak diperlukan pada Hari Jum’at, 17 Sya’ban 1414 H.

 

Muraja’ah ulang sekaligus tambahannya aku selesaikan pada sore Hari Kamis, 27 Shafar 1415 H.