(مختصر من الجامع من كتابي لعان جديد وقديم وما دخل فيهما من الطلاق من أحكام القرآن ومن اختلاف الحديث)

Ringkasan dari al-Jāmi‘ dari dua kitab tentang li‘ān baru dan lama, serta apa yang termasuk di dalamnya dari talak menurut hukum-hukum al-Qur’an dan perbedaan hadis.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا اللِّعَانُ فَمَأْخُوذٌ مِنَ اللَّعْنِ: وَهُوَ الْإِبْعَادُ وَالطَّرْدُ، يُقَالُ: لَعَنَ اللَّهُ فُلَانًا، أي أبعده الله وطرده.

Al-Māwardī berkata: Adapun li‘ān diambil dari kata la‘n: yaitu menjauhkan dan mengusir. Dikatakan: “Allah melaknat si fulan,” artinya Allah menjauhkannya dan mengusirnya.

قال الشَّمَّاخُ:

Asy-Syammākh berkata:

(ذَعَرْتُ بِهِ الْقَطَا وَنَفَيْتُ عَنْهُ … مَقَامَ الذِّئْبِ كَالرَّجُلِ اللَّعِينِ)

(Aku membuat burung qathā’ ketakutan karenanya dan aku menjauhkan darinya … tempat tinggal serigala seperti seorang laki-laki yang terlaknat)

أَيِ الطَّرِيدَ الْبَعِيدَ: فَسُمِّيَ اللِّعَانُ لِعَانًا؛ لِأَنَّهُ مُوجِبٌ لِبُعْدِ أَحَدِ الْمُتَلَاعِنَيْنِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى لِلْقَطْعِ بِكَذِبِ أَحَدِهِمَا وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ.

Artinya orang yang terusir dan dijauhkan. Maka li‘ān dinamakan demikian karena menyebabkan salah satu dari dua orang yang saling melakukan li‘ān dijauhkan dari Allah Ta‘ālā, karena adanya kepastian bahwa salah satu dari keduanya berdusta, meskipun tidak dapat ditentukan siapa.

وَقِيلَ بَلْ سُمِّيَ لِعَانًا لِمَا فِيهِ مِنْ لَعْنِ الزَّوْجِ لِنَفْسِهِ، وَيُقَالُ الْتَعَنَ الرَّجُلُ، إِذَا لَعَنَ نَفْسَهُ، وَلَاعَنَ، إِذَا لَاعَنَ زَوْجَتَهُ، وَيُقَالُ: رَجُلٌ لَعَنَةٌ – بِتَحْرِيكِ الْعَيْنِ – إِذَا كَانَ كَثِيرَ اللَّعْنِ، وَرَجُلٌ لَعْنَه – بِتَسْكِينِ الْعَيْنِ – إِذَا لَعَنَهُ النَّاسُ كَثِيرًا وَمِنْ ذَلِكَ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ “، وَمَعْنَاهُ احْذَرُوا الْبَوْلَ وَالْغَائِطَ عَلَى الطُّرُقَاتِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُؤَدِّي إِلَى لعن الناس له.

Ada pula yang mengatakan, li‘ān dinamakan demikian karena di dalamnya terdapat laknat suami terhadap dirinya sendiri. Dikatakan: “ta‘anna ar-rajul” jika ia melaknat dirinya sendiri, dan “lā‘ana” jika ia melaknat istrinya. Dikatakan: “rajulun la‘anah” (dengan ‘ain difathahkan) jika ia banyak melaknat, dan “rajulun la‘nah” (dengan ‘ain disukun) jika ia banyak dilaknat orang. Di antara hal itu adalah riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jauhilah tempat-tempat yang dilaknat.” Maksudnya: waspadalah dari buang air kecil dan besar di jalan-jalan, karena hal itu menyebabkan orang-orang melaknat pelakunya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَاللِّعَانُ حُكْمٌ وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ فِي الْأَزْوَاجِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ حَدِّ الزِّنَا وَالْقَذْفِ عَلَى الْعُمُومِ.

Li‘ān adalah hukum yang ditetapkan oleh syariat bagi pasangan suami istri setelah ditetapkannya hukum zina dan qadzaf secara umum.

وَالْأَصْلُ فِيهِ الْكِتَابُ، وَالسُّنَّةُ، وَالْإِجْمَاعُ.

Dasar hukumnya adalah al-Kitab, as-Sunnah, dan ijmā‘.

فَأَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصادقين، والخامسة أن لعنة اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ} [النور: 6، 7]] فَبَيَّنَ بِهَذِهِ الْآيَةِ لِعَانَ الزَّوْجِ، ثُمَّ بَيَّنَ بعدها لعان الزَّوْجَةِ قَالَ: {وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أربع شهادات بالله إنه لمن الكاذبين وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ من الصادقين} .

Adapun dalil dari al-Kitab adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian salah seorang dari mereka adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar, dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta} (an-Nūr: 6-7). Dengan ayat ini dijelaskan li‘ān suami, kemudian setelahnya dijelaskan li‘ān istri, Allah berfirman: {Dan akan terhindar dari hukuman itu (istri) jika ia bersaksi empat kali dengan nama Allah bahwa suaminya benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta, dan yang kelima bahwa kemurkaan Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar}.

فقوله: {والذين يرمون أزواجهم} يَعْنِي بِالزِّنَا، فَكَانَ ذَلِكَ مُضْمَرًا دَلَّ عَلَيْهِ الْمُظْهَرُ.

Firman-Nya: {Dan orang-orang yang menuduh istrinya} maksudnya menuduh zina, sehingga hal itu tersirat dan ditunjukkan oleh yang tersurat.

وَقَوْلُهُ {وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أنفسهم} أَيْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ يَشْهَدُونَ لَهُمْ، لِأَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَكُونُ شَاهِدًا لِنَفْسِهِ.

Firman-Nya: {padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri} maksudnya mereka tidak memiliki saksi yang dapat bersaksi untuk mereka, karena seseorang tidak dapat menjadi saksi untuk dirinya sendiri.

وَقَوْلُهُ {فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصادقين} أَيْ فَيَمِينُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ أَيْمَانٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَاهَا بِهِ مِنَ الزِّنَا. فَعَبَّرَ عَنِ الْيَمِينِ بِالشَّهَادَةِ.

Firman-Nya: {maka kesaksian salah seorang dari mereka adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar} maksudnya sumpah salah seorang dari mereka adalah empat kali sumpah dengan nama Allah bahwa dia benar dalam tuduhannya terhadap istrinya atas perbuatan zina. Maka sumpah diungkapkan dengan istilah kesaksian.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: هِيَ شَهَادَةٌ مَحْضَةٌ اعْتِبَارًا بِحَقِيقَةِ اللَّفْظِ، وَلِأَنَّ الْعَدَدَ فِيهَا مُوَافِقٌ لِعَدَدِ الشُّهُودِ فِي الزِّنَا، وَلِذَلِكَ مَنَعَ أَبُو حَنِيفَةَ مِنْ لِعَانِ الْكَافِرِ وَالْمَمْلُوكِ، لِرَدِّ شَهَادَتِهِمَا، وَهَذَا تَأْوِيلٌ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ شَهَادَةَ الْإِنْسَانِ لِنَفْسِهِ مَرْدُودَةٌ وَيَمِينَهُ لِنَفْسِهِ مَقْبُولَةٌ، وَالْعَرَبُ قَدْ تُعَبِّرُ عَنِ الْيَمِينِ بِالشَّهَادَةِ. قَالَ قَيْسُ بْنُ الْمُلَوَّحِ:

Abu Hanifah berkata: Itu adalah kesaksian murni, berdasarkan hakikat lafaznya, dan karena jumlahnya sesuai dengan jumlah saksi dalam perkara zina. Oleh karena itu, Abu Hanifah melarang li‘ān bagi orang kafir dan budak, karena kesaksian mereka tidak diterima. Ini adalah penafsiran yang keliru, karena kesaksian seseorang untuk dirinya sendiri tidak diterima, sedangkan sumpahnya untuk dirinya sendiri diterima. Orang Arab kadang-kadang mengungkapkan sumpah dengan istilah kesaksian. Qais bin al-Mullawwah berkata:

(فَأَشْهَدُ عِنْدَ اللَّهِ أَنِّي أُحِبُّهَا … فَهَذَا لَهَا عِنْدِي فَمَا عِنْدَهَا لِيَا)

(Aku bersaksi di hadapan Allah bahwa aku mencintainya … Maka inilah yang aku miliki untuknya, lalu apa yang ia miliki untukku?)

أَيْ أَحَلِفُ بِاللَّهِ، وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ يَأْتِي الْكَلَامُ فِيهَا مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ.

Maksudnya: aku bersumpah demi Allah. Masalah ini akan dibahas lebih lanjut bersama pendapat Abu Hanifah.

وَأَمَّا السُّنَّةُ فَقَدْ كَانَ فِي قِصَّتَيْنِ، إِحْدَاهُمَا فِي عُوَيْمِرٍ الْعَجْلَانِيِّ، وَالثَّانِيَةُ فِي هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ، فَأَمَّا قِصَّةُ عُوَيْمِرٍ الْعَجْلَانِيِّ فَقَدْ رَوَاهَا الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ الزَّهْرِيِّ. وَرَوَاهَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنِ الزَّهْرِيِّ عَنْ سهل بن سعد: ” أن عويمر أتى رسول الله فقال: يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجُلٌ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا أَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُونَهُ أَمْ كَيْفَ يَصْنَعُ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةِ، فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ فِيكَ وَفِي صَاحِبَتِكَ قُرْآنًا، فَأَمَرَهُمَا بِالْمُلَاعَنَةِ فَلَاعَنَهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: انْظُرُوا، فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَدْعَجَ الْعَيْنَيْنِ، عَظِيمَ الإليتين خدلج الساقين، فلا أحسب عويمر إِلَّا قَدْ صَدَقَ عَلَيْهَا، وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أحيمر كأنه وحرة، فلا أحسب عويمر إِلَّا قَدْ كَذَبَ عَلَيْهَا. فَجَاءَتْ بِهِ عَلَى النَّعْتِ الَّذِي نَعَتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ تَصْدِيقِ عُوَيْمِرٍ، وَكَانَ بَعْدُ يُنْسَبُ إِلَى أمه “.

Adapun sunnah, maka terdapat dalam dua kisah: salah satunya tentang ‘Uwaimir al-‘Ajlānī, dan yang kedua tentang Hilāl bin Umayyah. Adapun kisah ‘Uwaimir al-‘Ajlānī, telah diriwayatkan oleh asy-Syāfi‘ī dari Mālik dari az-Zuhrī. Dan juga diriwayatkan oleh al-Auzā‘ī dari az-Zuhrī dari Sahl bin Sa‘d: “Bahwa ‘Uwaimir datang kepada Rasulullah lalu berkata: Wahai Rasulullah ﷺ, seorang laki-laki mendapati istrinya bersama laki-laki lain, apakah ia membunuhnya lalu kalian membunuhnya (sebagai qishāsh), atau bagaimana yang harus ia lakukan? Maka Allah Ta‘ālā menurunkan ayat ini. Rasulullah ﷺ bersabda: Sungguh Allah telah menurunkan al-Qur’an tentang dirimu dan istrimu. Maka beliau memerintahkan keduanya untuk melakukan li‘ān, lalu keduanya saling melaknat. Rasulullah ﷺ bersabda: Perhatikanlah, jika ia (istrinya) melahirkan anak yang matanya sangat hitam, pantatnya besar, dan betisnya gemuk, maka aku tidak mengira ‘Uwaimir kecuali telah berkata benar tentang istrinya. Namun jika ia melahirkan anak yang berkulit kemerah-merahan seperti wahrah, maka aku tidak mengira ‘Uwaimir kecuali telah berdusta atas istrinya. Ternyata ia melahirkan anak sesuai dengan ciri yang disebutkan Rasulullah ﷺ sebagai tanda kebenaran ‘Uwaimir, dan setelah itu anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.”

وَقَوْلُهُ: وَحَرَةٌ: هِيَ دُوَيْبَّةٌ.

Adapun kata beliau: wahrah, itu adalah sejenis binatang kecil.

وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جبير: ولقد صار أمير بِمِصْرَ وَإِنَّهُ يُنْسَبُ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.

Sa‘īd bin Jubair berkata: Sungguh ia (anak itu) pernah menjadi amir di Mesir, dan ia dinasabkan bukan kepada ayahnya.

وَأَمَّا قِصَّةُ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ: فَقَدْ رَوَاهَا هِشَامٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ هِلَالَ ابن أُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ بِشَرِيكِ بْنِ سَحْمَاءَ، فَقَالَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْبَيِّنَةُ أَوْ حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا رَأَى أَحَدُنَا الرَّجُلَ عَلَى امْرَأَتِهِ يَنْطَلِقُ يَلْتَمِسُ الْبَيِّنَةَ؟ قَالَ فَجَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: الْبَيِّنَةُ وَإِلَّا فَحَدٌّ فِي ظَهْرِكَ قَالَ: فَقَالَ هِلَالٌ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لِيُنْزِلَنَّ اللَّهُ فِي أَمْرِي مَا يُبَرِّئُ بِهِ ظَهْرِيَ مِنَ الحد قال فنزل جبرائيل فأنزل عليه: {والذين يرمون أزواجهم} حَتَّى بَلَغَ: {وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إن كان من الصادقين} فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إليهما فجاءا فقام هلال من أُمَيَّةَ فَشَهِدَ وَالنَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: اللَّهُ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ؟ فَقَامَتْ فَشَهِدَتْ. فَلَمَّا كَانَتْ عِنْدَ الْخَامِسَةِ، قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَوْقِفُوهَا فَإِنَّهَا مُوجِبَةٌ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَتَلَكَّأَتْ وَنَكَصَتْ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهَا سَتَرْجِعُ، ثُمَّ قَالَتْ: لَا أَفْضَحُ قَوْمِي سَائِرَ الْيَوْمِ، فَمَضَتْ، فَفُرِّقَ بَيْنَهُمَا. قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَبْصِرُوهَا، فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ الْعَيْنَيْنِ سَابِغَ الْإِلْيَتَيْنِ خَدَلَّجَ السَّاقِينَ فَهُوَ لِشَرِيكِ بْنِ سَحْمَاءَ، فَجَاءَتْ بِهِ كَذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: لَوْلَا مَا مَضَى مِنْ كِتَابِ اللَّهِ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ.

Adapun kisah Hilāl bin Umayyah, telah diriwayatkan oleh Hisyām dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbās: Bahwa Hilāl bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarīk bin Sahmā’, maka Nabi ﷺ bersabda: “(Datangkanlah) bukti, atau (jika tidak) maka had (cambuk) di punggungmu.” Hilāl berkata: “Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kami melihat laki-laki di atas istrinya, apakah ia harus pergi mencari bukti?” Maka Nabi ﷺ terus mengulang: “Bukti, atau jika tidak maka had di punggungmu.” Hilāl berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, pasti Allah akan menurunkan tentang urusanku sesuatu yang membebaskan punggungku dari had.” Maka turunlah Jibril dan menurunkan ayat: {Dan orang-orang yang menuduh istrinya} hingga {dan yang kelima bahwa kemurkaan Allah atasnya jika suaminya termasuk orang yang benar}. Maka Rasulullah ﷺ memanggil keduanya, lalu keduanya datang. Hilāl bin Umayyah berdiri dan bersaksi, sementara Nabi ﷺ bersabda: “Allah mengetahui bahwa salah satu dari kalian berdua adalah pendusta, adakah di antara kalian yang mau bertobat?” Lalu istrinya berdiri dan bersaksi. Ketika sampai pada sumpah kelima, Nabi ﷺ bersabda: “Tahanlah dia, karena yang kelima ini menentukan.” Ibnu ‘Abbās berkata: “Ia pun ragu dan mundur hingga kami mengira ia akan kembali (mengaku), lalu ia berkata: ‘Aku tidak akan membuat kaumku tercela sepanjang hari ini,’ lalu ia tetap melanjutkan sumpahnya, maka dipisahkanlah keduanya. Nabi ﷺ bersabda: “Perhatikanlah, jika ia melahirkan anak yang matanya bercelak, pantatnya besar, dan betisnya gemuk, maka anak itu adalah milik Syarīk bin Sahmā’. Ternyata ia melahirkan anak dengan ciri-ciri tersebut. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seandainya bukan karena telah berlalu ketetapan Allah, niscaya aku akan mengambil tindakan terhadapnya.’”

فَهَاتَانِ الْقِصَّتَانِ وَرَدَتَا فِي اللِّعَانِ، فَذَهَبَ الْأَكْثَرُونَ إِلَى أَنَّ قِصَّةَ الْعَجْلَانِيِّ أَسْبَقُ مِنْ قِصَّةِ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ.

Dua kisah ini disebutkan dalam masalah li‘ān, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa kisah al-‘Ajlānī lebih dahulu daripada kisah Hilāl bin Umayyah.

وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: إِنَّ قِصَّةَ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ أَسْبَقُ من قصة العجلاني، والنقل فيهما مشتبه مختلف، والله أعلم بصواب ذلك.

Namun sekelompok ulama berkata: Sesungguhnya kisah Hilāl bin Umayyah lebih dahulu daripada kisah al-‘Ajlānī, dan riwayat tentang keduanya memang terdapat perbedaan dan keraguan. Allah-lah yang lebih mengetahui kebenarannya.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يكن لهم شهداء إلا أنفسهم} إِلَى قَوْلِهِ {أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كان من الصادقين} .

Asy-Syāfi‘ī rahimahullāh Ta‘ālā berkata: “Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan orang-orang yang menuduh istrinya, padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri} hingga firman-Nya: {bahwa kemurkaan Allah atasnya jika suaminya termasuk orang yang benar}.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ الْقَذْفِ أَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ مِنْ زَوْجٍ، أَوْ مِنْ غَيْرِ زَوْجٍ، فَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ زَوْجٍ فَتَعَلَّقَ بِقَذْفِهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ، وُجُوبُ الْحَدِّ عَلَيْهِ، وَهُوَ ثَمَانُونَ جَلْدَةً إِنْ كَانَ حُرًّا، وَرَدُّ شَهَادَتِهِ، وَثُبُوتُ فِسْقِهِ، وَلَا تَنْتِفِي عَنْهُ أَحْكَامُ الْقَذْفِ إِلَّا بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا بِتَصْدِيقِهَا، وَإِمَّا بِإِقَامَةِ البينة على زناها بأربعة شهود يعفون مُشَاهِدَةَ زِنَاهَا فَيَسْقُطُ عَنْهُ الْحَدُّ وَيَزُولُ فِسْقُهُ.

Al-Mawardi berkata: Secara umum, kasus qazaf (tuduhan zina) tidak lepas dari dua kemungkinan: dilakukan oleh seorang suami, atau oleh selain suami. Jika dilakukan oleh selain suami, maka terkait dengan qazaf-nya terdapat tiga hukum: wajib dikenakan had, yaitu delapan puluh cambukan jika ia seorang merdeka; kesaksiannya ditolak; dan status fasiq (pelaku dosa besar) ditetapkan atas dirinya. Hukum-hukum qazaf ini tidak gugur darinya kecuali dengan salah satu dari dua hal: pertama, jika perempuan yang dituduh membenarkannya; atau kedua, dengan mendatangkan bukti berupa empat orang saksi yang menyaksikan secara jelas perbuatan zinanya, sehingga had gugur darinya dan status fasiq-nya hilang.

وَأَصْلُ ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ، إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ) [النور: 4] .

Dasar dari hal tersebut adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga kehormatannya (berzina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasiq, kecuali mereka yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} (an-Nur: 4).

وَإِنْ كَانَ الْقَاذِفُ زَوْجًا تَعَلَّقَ بِقَذْفِهِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ، الْحَدُّ، وَرَدُّ الشَّهَادَةِ وَالتَّفْسِيقُ فَيَصِيرُ مُشَارِكًا لِلْأَجْنَبِيِّ فِيمَا يَجِبُ عَلَيْهِ بِقَذْفِهَا، وَلَهُ إِسْقَاطُ ذَلِكَ عَنْ نَفْسِهِ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءٍ يُشَارِكُ الْأَجْنَبِيَّ فِي اثْنَيْنِ مِنْهَا، وَيَخْتَصُّ بِالثَّالِثِ، فَأَمَّا الِاثْنَانِ الْمُسَاوِي لِلْأَجْنَبِيِّ فِيهِمَا:

Jika yang melakukan qazaf adalah seorang suami, maka terkait dengan qazaf-nya berlaku pula tiga hukum yang telah kami sebutkan: had, penolakan kesaksian, dan penetapan status fasiq. Dengan demikian, ia sama dengan orang lain (selain suami) dalam hal yang wajib atasnya karena qazaf tersebut. Namun, suami dapat menggugurkan hukum-hukum tersebut dari dirinya dengan tiga hal, dua di antaranya sama dengan orang lain, dan yang ketiga khusus baginya. Adapun dua hal yang sama dengan orang lain adalah:

أَحَدُهُمَا: تَصْدِيقُهَا لَهُ.

Pertama: Istrinya membenarkan tuduhannya.

وَالثَّانِي: إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَى زِنَاهَا، فَيَسْقُطُ عَنْهُ بِكُلٍّ مِنْ هَذَيْنِ الْحُكْمَيْنِ الْأَحْكَامُ الثَّلَاثَةُ فَأَمَّا الثَّالِثُ الَّذِي يَخْتَصُّ بِهِ لِأَجْلِ الزَّوْجِيَّةِ فَهُوَ اللِّعَانُ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْقُرْآنِ الْوَارِدِ فِيهِ مِمَّا يَسْقُطُ بِهِ وُجُوبُ الْحَدِّ، فَأَمَّا ارْتِفَاعُ الْفِسْقِ فَمُعْتَبَرٌ بِحَالِهَا فَإِنْ لَمْ تلق من بَعْدُ وَحُدَّتِ ارْتَفَعَ عَنْهُ الْفِسْقُ، لِأَنَّ لِعَانَهُ قَدْ صَارَ كَالْبَيِّنَةِ عَلَيْهَا فِي وُجُوبِ الْحَدِّ. وَإِنْ لَاعَنَتْ وَلَمْ تُحَدَّ احْتَمَلَ ارْتِفَاعُ فِسْقِهِ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Mendatangkan bukti atas perzinaan istrinya, sehingga dengan masing-masing dari dua hal ini, gugurlah tiga hukum tersebut darinya. Adapun yang ketiga, yang khusus bagi suami karena status pernikahan, adalah li‘an, sebagaimana telah kami jelaskan dari al-Qur’an yang berkaitan dengannya, yang dengannya gugur kewajiban had. Adapun hilangnya status fasiq, maka hal itu tergantung pada keadaan istrinya; jika ia tidak membantah dan telah dijatuhi had, maka status fasiq suami hilang, karena li‘an-nya telah menjadi seperti bukti atas istrinya dalam kewajiban had. Namun jika istrinya melakukan li‘an dan tidak dijatuhi had, maka ada dua kemungkinan mengenai hilangnya status fasiq suami:

أَحَدُهُمَا: قَدِ ارْتَفَعَ فِسْقُهُ، لِأَنَّهُ كَالْبَيِّنَةِ فِي حَقِّهِ لِسُقُوطِ حَدِّهِ.

Pertama: Status fasiq-nya hilang, karena li‘an itu seperti bukti dalam haknya sehingga had gugur darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَرْتَفِعُ فِسْقُهُ لِأَنَّ لِعَانَهَا مُعَارِضٌ لِلِعَانِهِ، وَهُوَ مَانِعٌ مِنْ وُجُوبِ حَدِّهَا بِهِ، فَإِنْ قِيلَ: لما اخْتَصَّ الزَّوْجُ بِالْقَذْفِ دُونَ الْأَجْنَبِيِّ؟ قِيلَ: لِأَنَّ الزَّوْجَ مُضْطَرٌّ إِلَى إِزَالَةِ الْمَعَرَّةِ عَنْ فِرَاشِهِ وَنَفْيِ النَّسَبِ الَّذِي لَيْسَ مِنْهُ فَصَارَ مَعْذُورًا فِي الْقَذْفِ فَجَازَ أَنْ يُجْعَلَ لَهُ مِنْ نَفْيِهِ سَبِيلٌ إِلَى سُقُوطِ الْحَدِّ وَرَفْعِ الْمَعَرَّةِ وَنَفْيِ النَّسَبِ وَلَيْسَ الْأَجْنَبِيُّ مُضْطَرًّا، فَلَمْ يَكُنْ في القذف معذوراً فصار أغلظ حكماً.

Kedua: Status fasiq-nya tidak hilang, karena li‘an istrinya menjadi penentang bagi li‘an suami, dan hal itu menjadi penghalang dari kewajiban had atas istrinya. Jika ditanyakan: Mengapa suami memiliki kekhususan dalam qazaf yang tidak dimiliki oleh orang lain? Maka dijawab: Karena suami berada dalam keadaan terpaksa untuk menghilangkan aib dari tempat tidurnya dan menafikan nasab yang bukan darinya, sehingga ia diberi keringanan dalam qazaf dan dibolehkan baginya untuk menempuh jalan penafian nasab dan penghilangan aib, serta gugurnya had. Sedangkan orang lain tidak dalam keadaan terpaksa, sehingga tidak ada alasan baginya dalam melakukan qazaf, dan hukumannya menjadi lebih berat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فكان بينا والله أعلم في كتابه أَنَّهُ أَخْرَجَ الزَّوْجَ مِنْ قَذْفِ الْمَرْأَةِ بِالْتِعَانِهِ كَمَا أَخْرَجَ قَاذِفَ الْمُحْصَنَةِ غَيْرِ الزَّوْجَةِ بِأَرْبَعَةِ شُهُودٍ مِمَا قَذَفَهَا بِهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Maka telah jelas, wallahu a‘lam, dalam Kitab-Nya bahwa Allah mengecualikan suami dari hukuman qazaf terhadap istrinya dengan li‘an, sebagaimana Allah mengecualikan pelaku qazaf terhadap wanita muhsan selain istri dengan empat orang saksi atas tuduhan yang ia lontarkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الْقَاذِفِ لِزَوْجَتِهِ مِنْ ثلاثة أحوال:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa keadaan suami yang menuduh istrinya (qazaf) tidak lepas dari tiga keadaan:

أحدهما: أَنْ تُصَدِّقَهُ عَلَى الْقَذْفِ، وَتَصْدِيقُهَا أَنْ تُقِرَّ بِالزِّنَا الَّذِي رَمَاهَا بِهِ فَيَسْقُطُ عَنْهُ حُكْمُ الْقَذْفِ وَيَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ لِرَفْعِ الْفِرَاشِ وَنَفْيِ النَّسَبِ.

Pertama: Istri membenarkan tuduhan suami, dan pembenaran itu adalah dengan mengakui perbuatan zina yang dituduhkan kepadanya, sehingga gugurlah hukum qazaf dari suami dan boleh baginya melakukan li‘an untuk menghilangkan hubungan suami-istri dan menafikan nasab.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ إِذَا صَدَّقَتْ، لِأَنَّ اللِّعَانَ عِنْدَهُ شَهَادَةٌ وَالشَّهَادَةُ لَا تُقَامُ عَلَى مُقِرٍّ وَالْكَلَامُ مَعَهُ يأتي.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh melakukan li‘an jika istri membenarkan tuduhan, karena menurutnya li‘an adalah kesaksian, dan kesaksian tidak ditegakkan atas orang yang mengakui (perbuatan), dan penjelasan tentang hal ini akan datang.

والحالة الثانية: أن تكون منكر لِلزِّنَا لَكِنَّهُ يُقِيمُ الْبَيِّنَةَ عَلَيْهَا بِالزِّنَا. فَيَسْقُطُ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ قَبْلَ إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ وَبَعْدَهَا لِرَفْعِ الْفِرَاشِ وَنَفْيِ النَّسَبِ، وَقَالَ بَعْضُ التَّابِعِينَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مَعَ وُجُودِ الْبَيِّنَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ} [النور: 6] .

Keadaan kedua: yaitu ketika ia mengingkari perbuatan zina, namun ia mendatangkan bukti (bayyinah) atasnya mengenai zina tersebut. Maka gugurlah dari dirinya had qazaf (hukuman atas tuduhan zina), dan ia boleh melakukan li‘ān sebelum atau sesudah mendatangkan bayyinah, untuk mengangkat status anak di atas ranjang (nasab) dan menafikan nasab. Sebagian tabi‘in berpendapat tidak boleh melakukan li‘ān jika telah ada bayyinah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri…} [an-Nūr: 6].

وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِهِ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ إنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَاعَنَ بَيْنَ الْعَجْلَانِيِّ وَامْرَأَتِهِ وَبَيْنَ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ وَزَوْجَتِهِ وَلَمْ يَسْأَلْهُمَا أَلَكُمَا بَيِّنَةٌ أَمْ لَا؟ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِهِ فِي الْحَالَيْنِ، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ يُفِيدُ مَا لَا تُفِيدُهُ الشَّهَادَةُ مِنْ رَفْعِ الْفِرَاشِ وَنَفْيِ النَّسَبِ فَصَارَتِ الشَّهَادَةُ مَقْصُورَةً عَلَى إِسْقَاطِ حَقِّهَا وَفِي اللِّعَانِ إِثْبَاتُ حَقِّهِ وَإِسْقَاطُ حَقِّهَا فَجَازَ مَعَ وُجُودِهَا لِعُمُومِ حُكْمِهِ، فأما الآية فخارجة مخرج الشرط لا مخرج الخبر.

Dalil atas kebolehannya—dan ini adalah pendapat jumhur—bahwa Nabi ﷺ telah melakukan li‘ān antara al-‘Ajlānī dan istrinya, serta antara Hilāl bin Umayyah dan istrinya, dan beliau tidak menanyakan kepada keduanya: “Apakah kalian memiliki bayyinah atau tidak?” Maka hal ini menunjukkan kebolehannya dalam kedua keadaan tersebut. Karena li‘ān memberikan konsekuensi yang tidak diberikan oleh kesaksian, yaitu pengangkatan status anak di atas ranjang dan penafian nasab. Maka kesaksian terbatas hanya pada menggugurkan haknya, sedangkan dalam li‘ān terdapat penetapan haknya dan pengguguran hak istri. Oleh karena itu, li‘ān boleh dilakukan meskipun sudah ada bayyinah karena keumuman hukumnya. Adapun ayat tersebut datang dalam bentuk syarat, bukan sebagai berita.

والحالة الثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ غَيْرَ مُصَدِّقَةٍ لَهُ وَلَيْسَ لَهُ بَيِّنَةٌ عَلَيْهَا بِالزِّنَا فَيَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ بِإِجْمَاعٍ، وَهِيَ الْحَالُ الَّتِي لَاعَنَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ الْعَجْلَانِيِّ وَامْرَأَتِهِ وَبَيْنَ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ وَزَوْجَتِهِ وَلَيْسَ اللِّعَانُ بِوَاجِبٍ عَلَيْهِ وَإِنْ جَازَ لَهُ وَلَا إِذَا لَاعَنَ وَجَبَ اللِّعَانُ عَلَيْهَا وَإِنْ جَازَ أَنْ تُلَاعِنَ بَلِ الزَّوْجُ بِالْخِيَارِ فِي لِعَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يُلَاعِنْ حُدَّ لِلْقَذْفِ، وَلَا حَدَّ عَلَيْهَا وَلَا لِعَانَ، وَإِنْ لَاعَنَ الزَّوْجُ سَقَطَ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ وَوَجَبَ حَدُّ الزِّنَا عَلَيْهَا، فَإِنْ لَاعَنَه سَقَطَ عَنْهَا حَدُّ الزِّنَا، وَلَا يُجْبَرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَلَى اللِّعَانِ.

Keadaan ketiga: yaitu ketika istri tidak membenarkannya dan suami tidak memiliki bayyinah atasnya mengenai zina, maka boleh melakukan li‘ān berdasarkan ijmā‘. Inilah keadaan di mana Rasulullah ﷺ melakukan li‘ān antara al-‘Ajlānī dan istrinya, serta antara Hilāl bin Umayyah dan istrinya. Li‘ān tidaklah wajib atas suami meskipun ia dibolehkan melakukannya, dan jika ia telah melakukan li‘ān, tidak wajib pula atas istri untuk melakukan li‘ān, meskipun ia dibolehkan melakukannya. Suami memiliki pilihan dalam melakukan li‘ān; jika ia tidak melakukan li‘ān, maka ia dikenai had qazaf, dan tidak ada had atas istri maupun li‘ān. Jika suami melakukan li‘ān, maka gugurlah had qazaf darinya dan wajib had zina atas istri. Jika istri melakukan li‘ān, maka gugurlah had zina darinya. Tidak ada satu pun dari keduanya yang dipaksa untuk melakukan li‘ān.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: اللِّعَانُ وَاجِبٌ عَلَيْهَا، فَإِنِ امْتَنَعَ الزَّوْجُ مِنَ اللِّعَانِ يُحْبَسُ حَتَّى يُلَاعِنَ فَإِذَا لَاعَنَ وَجَبَ اللِّعَانُ عَلَى الزَّوْجَةِ، فَإِنْ لَاعَنَتْ وَإِلَّا حُبِسَتْ حَتَّى تُقِرَّ وَلَا يَجِبُ الْحَدُّ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Abu Hanifah berkata: Li‘ān itu wajib atas istri. Jika suami menolak melakukan li‘ān, maka ia dipenjara hingga ia melakukan li‘ān. Jika ia telah melakukan li‘ān, maka wajib li‘ān atas istri. Jika istri melakukan li‘ān, maka selesai; jika tidak, maka ia dipenjara hingga ia mengakui (perbuatan zina). Tidak ada had yang wajib atas salah satu dari keduanya.

وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى وُجُوبِ اللِّعَانِ عَلَيْهِمَا وَسُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهُمَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ} [النور: 6] الْآيَةَ وَفِيهَا دَلِيلَانِ:

Abu Hanifah berdalil atas wajibnya li‘ān atas keduanya dan gugurnya had dari keduanya dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang dari mereka adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah…} [an-Nūr: 6]. Dalam ayat ini terdapat dua dalil:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَابَلَ الْقَذْفَ بِاللِّعَانِ فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِهِ.

Pertama: Allah menggantikan qazaf dengan li‘ān, maka ini menunjukkan wajibnya li‘ān.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمْ يُورِدْ لِلْحَدِّ ذِكْرًا فَدَلَّ عَلَى سُقُوطِهِ، قَالَ: وَلِأَنَّ وُجُوبَ الْحَدِّ زِيَادَةٌ عَلَى النَّصِّ، وَالزِّيَادَةُ عَلَى النَّصِّ تَكُونُ نَسْخًا، وَالنَّسْخُ لَا يَثْبُتُ بِقِيَاسٍ وَلَا اسْتِدْلَالٍ، قَالَ: وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَصَّ عَلَى اللِّعَانِ فِي قَذْفِ الْأَزْوَاجِ وَعَلَى الْحَدِّ فِي قَذْفِ الْأَجَانِبِ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ نَقْلُ اللِّعَانِ إِلَى الْأَجَانِبِ لَمْ يَجُزْ نَقْلُ الْحَدِّ إِلَى الْأَزْوَاجِ، قَالَ: وَلِأَنَّ قَذْفَ الزَّوْجِ لَوْ أَوْجَبَ عَلَيْهِ الْحَدَّ لَمَا جَازَ لَهُ إِسْقَاطُهُ بِنَفْسِهِ، وَلَوْ وَجَبَ حَدُّ الزِّنَا عَلَيْهَا كَالْبَيِّنَةِ لَمَا كَانَ لَهَا سَبِيلٌ إِلَى إِسْقَاطِهِ عَنْهَا، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ الْحَدَّ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمَا، قَالَ: وَلِأَنَّ اللِّعَانَ الْقَذْفُ فَلَوْ كَانَ الْحَدُّ قَدْ وَجَبَ بِالْقَذْفِ لَمَا سَقَطَ بِتَكْرَارِ الْقَذْفِ.

Kedua: Allah tidak menyebutkan had dalam ayat tersebut, maka ini menunjukkan gugurnya had. Ia berkata: Karena kewajiban had adalah tambahan atas nash, dan tambahan atas nash itu merupakan nasakh, sedangkan nasakh tidak dapat ditetapkan dengan qiyās maupun istidlāl. Ia juga berkata: Karena Allah Ta‘ala telah menegaskan li‘ān dalam kasus qazaf terhadap istri, dan menegaskan had dalam kasus qazaf terhadap selain istri (ajnabi), maka ketika tidak boleh memindahkan li‘ān kepada selain istri, tidak boleh pula memindahkan had kepada istri. Ia berkata: Karena jika qazaf suami mewajibkan had atasnya, maka tidak boleh baginya menggugurkannya sendiri. Dan jika had zina wajib atas istri seperti halnya bayyinah, maka tidak ada jalan baginya untuk menggugurkan had itu dari dirinya. Maka hal ini menunjukkan bahwa had tidak wajib atas keduanya. Ia juga berkata: Karena li‘ān adalah qazaf, maka jika had telah wajib karena qazaf, tidaklah gugur dengan pengulangan qazaf.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً} [النور: 4] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْأَجَانِبِ وَالْأَزْوَاجِ، فَإِنْ قِيلَ: هَذَا مَنْسُوخٌ فِي الْأَزْوَاجِ بِآيَةِ اللِّعَانِ، قِيلَ آيَةُ اللِّعَانِ تَقْتَضِي زِيَادَةَ حُكْمٍ فِي قَذْفِ الْأَزْوَاجِ وَوُرُودُ الزِّيَادَةِ لَا تُوجِبُ سُقُوطَ الْأَصْلِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِهِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ حِينَ قَذَفَ زَوْجَتَهُ ” الْبَيِّنَةُ أَوْ حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ ” يُكَرِّرُهَا عَلَيْهِ مِرَارًا فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْحَدِّ فِي قَذْفِهِ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang terjaga (dari zina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera} (an-Nūr: 4). Maka ayat ini berlaku umum baik untuk orang lain maupun untuk pasangan suami istri. Jika dikatakan: “Ayat ini telah di-naskh untuk pasangan suami istri dengan ayat li‘ān,” maka dijawab: Ayat li‘ān mengandung tambahan hukum dalam kasus qadzaf (tuduhan zina) terhadap pasangan suami istri, dan adanya tambahan hukum tidaklah menghapus hukum asal. Hal ini juga didukung oleh sabda Nabi ﷺ kepada Hilāl bin Umayyah ketika ia menuduh istrinya: “(Datangkanlah) bukti, atau had (hukuman) akan dijatuhkan di punggungmu,” beliau mengulanginya berkali-kali kepadanya. Ini menunjukkan wajibnya had dalam kasus qadzaf yang ia lakukan.

فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا مَنْسُوخٌ بِآيَةِ اللِّعَانِ، لِأَنَّ نُزُولَهَا أَسْقَطَ عَنْهُ الْمُطَالَبَةَ بِالْحَدِّ كَمَا أَسْقَطَ عَنْهُ الْمُطَالَبَةَ بِالْبَيِّنَةِ فَاقْتَضَى أَنَّ يَكُونَ نُزُولُهَا مُوجِبًا لِسُقُوطِ الْحَدِّ كَمَا كَانَ مُوجِبًا لِسُقُوطِ الْبَيِّنَةِ، قِيلَ هَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan: “Ini telah di-naskh dengan ayat li‘ān, karena turunnya ayat tersebut menggugurkan tuntutan had darinya sebagaimana menggugurkan tuntutan bukti darinya, sehingga turunnya ayat itu menuntut gugurnya had sebagaimana menuntut gugurnya bukti,” maka dijawab: Ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللِّعَانَ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ يَمِينًا عَلَى قَوْلِنَا أَوْ شَهَادَةً عَلَى قَوْلِهِمْ وَكِلَاهُمَا لَا يَقَعَانِ إلا عن مطالبة بحق تقدممها، وَلَا يُجْبَرُ أَحَدٌ عَلَيْهِمَا.

Pertama: Bahwa li‘ān, baik dianggap sebagai sumpah menurut pendapat kami atau sebagai kesaksian menurut pendapat mereka, keduanya tidak terjadi kecuali atas dasar tuntutan hak yang telah mendahuluinya, dan tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk melakukannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ سُقُوطَ الْحَدِّ بِاللِّعَانِ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِهِ عِنْدَ عَدَمِ اللِّعَانِ كَالْبَيِّنَةِ.

Kedua: Bahwa gugurnya had dengan li‘ān tidak menghalangi kewajiban had ketika tidak ada li‘ān, sebagaimana halnya bukti.

وَلِأَنَّ مَا دَلَّ عَلَى تَحْقِيقِ الْقَذْفِ لَمْ يَمْنَعْ عَدَمُهُ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ كَالْبَيِّنَةِ فَيَصِيرُ هَذَا الِانْفِصَالُ قِيَاسًا مُجَوِّزًا؛ وَلِأَنَّ الزَّوْجَ لَوْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ بَعْدَ الْقَذْفِ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ بِوِفَاقِ أَبِي حَنِيفَةَ، فَلَوْلَا وُجُوبُهُ قَبْلَ الْإِكْذَابِ لَمَا جَازَ أَنْ يَجِبَ عَلَيْهِ بِالْإِكْذَابِ، لِأَنَّ تَكْذِيبَ نَفْسِهِ تَنْزِيهٌ لَهَا مِنَ الْقَذْفِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجِبَ بِهِ حَدُّ الْقَذْفِ.

Dan karena apa yang menunjukkan terjadinya qadzaf tidak menghalangi kewajiban had ketika tidak ada, sebagaimana bukti. Maka pemisahan ini menjadi qiyās yang memperbolehkan; dan karena jika seorang suami mendustakan dirinya sendiri setelah melakukan qadzaf, maka wajib atasnya had menurut kesepakatan Abū Hanīfah. Maka seandainya had tidak wajib sebelum ia mendustakan dirinya, tidaklah mungkin had itu menjadi wajib atasnya karena pendustaan dirinya, karena mendustakan diri sendiri adalah membersihkan dirinya dari qadzaf, sehingga tidak boleh had qadzaf menjadi wajib karenanya.

وَتَحْرِيرُ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسًا أَنَّ كُلَّ قَاذِفٍ وَجَبَ الْحَدُّ عَلَيْهِ بِإِكْذَابِ نَفْسِهِ وَجَبَ الْحَدُّ عَلَيْهِ بِابْتِدَاءِ قَذْفِهِ كَالْأَجْنَبِيِّ، وَلِأَنَّ كُلَّ قَذْفٍ وَجَبَ بِهِ الْحَدُّ عَلَى غَيْرِ الزَّوْجِ وَجَبَ بِهِ الْحَدُّ عَلَى الزَّوْجِ كَالْعَبْدِ وَالْمَكَاتَبِ.

Penjelasan istidlāl ini secara qiyās adalah bahwa setiap orang yang melakukan qadzaf, jika had wajib atasnya karena ia mendustakan dirinya sendiri, maka had juga wajib atasnya sejak awal qadzaf, sebagaimana orang lain (bukan suami). Dan setiap qadzaf yang mewajibkan had atas selain suami, maka mewajibkan had pula atas suami, sebagaimana budak dan mukatab.

فَإِنْ قِيلَ الْعَبْدُ وَالْمَكَاتَبُ مِمَّنْ لَا يَصِحُّ اللِّعَانُ مِنْهُمَا قِيلَ: عِنْدَنَا يَصِحُّ اللِّعَانُ منهما فلم تسلم هذه الممانعة ثم تَفْسُدُ عَلَيْهِمْ بِالْحُرِّ إِذَا كَانَ تَحْتَهُ أَمَةٌ وهو من أضل اللِّعَانِ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْقَذْفِ.

Jika dikatakan: “Budak dan mukatab termasuk orang yang tidak sah melakukan li‘ān,” maka dijawab: Menurut kami, li‘ān sah dari keduanya, sehingga bantahan ini tidak diterima. Kemudian, pendapat mereka menjadi rusak dengan (kasus) orang merdeka yang memiliki istri seorang budak perempuan, padahal ia termasuk orang yang paling layak melakukan li‘ān, namun tidak ada had atasnya dalam qadzaf ini.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ وَجْهَيِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى {والذين يرمون أزواجهم} فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dua sisi istidlāl mereka dengan firman Allah Ta‘ala {dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka}, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ ذُكِرَ فِي آيَةِ اللِّعَانِ مَا لَهُ مِنَ الْحَقِّ فِي قَذْفِهِ، وَذُكِرَ فِي آيَةِ الْقَذْفِ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْحَقِّ فِي قَذْفِهِ، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَجْتَمِعَ فِي قَذْفِهِ حَقٌّ لَهُ وَحَقٌّ عَلَيْهِ فَلَمْ يَتَنَافَيَا.

Pertama: Bahwa dalam ayat li‘ān disebutkan hak suami dalam qadzaf-nya, dan dalam ayat qadzaf disebutkan kewajiban yang harus ia tanggung dalam qadzaf-nya. Tidak mustahil dalam qadzaf-nya terkumpul hak untuknya dan kewajiban atasnya, sehingga keduanya tidak saling bertentangan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ دَاخِلٌ فِي عُمُومِ آيَةِ الْقَذْفِ وَمَخْصُوصٌ بِزِيَادَةِ حُكْمٍ فِي اللِّعَانِ فَلَمْ يتعارضا.

Kedua: Bahwa ia termasuk dalam keumuman ayat qadzaf dan dikhususkan dengan tambahan hukum dalam li‘ān, sehingga keduanya tidak saling bertentangan.

أَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: إِنَّهَا زِيَادَةٌ عَلَى النَّصِّ فَتُعْتَبَرُ نَسْخًا فَمِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ كِلَيْهِمَا نَصٌّ فَلَمْ يَكُنْ نَاسِخًا.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka: “Itu adalah tambahan atas nash sehingga dianggap sebagai nasakh,” maka dari dua sisi: Pertama, bahwa keduanya adalah nash, sehingga tidak ada yang menjadi nasikh (penghapus).

وَالثَّانِي أَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى النَّصِّ لَا تَكُونُ عِنْدَنَا نَسْخًا، لِأَنَّ النَّسْخَ يَكُونُ فِيمَا لَا يُمْكِنُ الْجَمْعُ بينهما والجمع هاهنا مُمْكِنٌ فَلَمْ تُعْتَبَرْ نَسْخًا.

Kedua, bahwa tambahan atas nash menurut kami tidak dianggap sebagai nasakh, karena nasakh terjadi pada hal yang tidak mungkin dikompromikan di antara keduanya, sedangkan kompromi di sini memungkinkan, maka tidak dianggap sebagai nasakh.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: لَمَّا لَمْ يَجُزْ نَقْلُ اللِّعَانِ إِلَى الْأَجَانِبِ لَمْ يَجُزْ نَقْلُ الْحَدِّ إِلَى الْأَزْوَاجِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas pernyataan mereka: “Karena tidak boleh memindahkan li‘ān kepada selain pasangan, maka tidak boleh pula memindahkan had kepada pasangan,” maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ آيَةَ الْقَذْفِ عَامَّةٌ فَدَخَلَ فِيهَا الْأَزْوَاجُ، وَآيَةُ اللِّعَانِ خَاصَّةٌ فَخَرَجَ مِنْهَا الْأَجَانِبُ فَلَمْ يَجُزِ اعْتِبَارُ إِحْدَى الْآيَتَيْنِ بِالْأُخْرَى.

Pertama: Bahwa ayat qadzaf bersifat umum sehingga mencakup pasangan, dan ayat li‘ān bersifat khusus sehingga mengecualikan selain pasangan, maka tidak boleh membandingkan salah satu ayat dengan ayat yang lain.

وَالثَّانِي: أَنَّ عِلَّةَ الْحَدِّ الْقَذْفُ وَهُوَ مَوْجُودٌ فِي الْأَزْوَاجِ فَسَاوَى فِيهِ الْأَجَانِبَ وَعِلَّةَ اللِّعَانِ الزَّوْجِيَّةُ وَهُوَ مَعْدُومٌ فِي الْأَجْنَبِيِّ فَخَالَفَ فِيهِ الْأَزْوَاجَ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّهُ لَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ مَا كَانَ لَهُ إِسْقَاطُهُ بِنَفْسِهِ، فَهُوَ أَنَّ اللِّعَانَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ يَمِينًا عَلَى قَوْلِنَا أَوْ شَهَادَةً عَلَى قَوْلِهِمْ، وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَدْخَلٌ فِي الْإِبْرَاءِ مِنَ الْحُقُوقِ فَلَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَسْقُطَ بِهِ الْحَدُّ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّ اللِّعَانَ تَكْرِيرُ الْقَذْفِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِهِ حَدُّ الْقَذْفِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Bahwa ‘illat (alasan hukum) dari had (hukuman) qadzaf adalah tuduhan zina, dan hal ini terdapat pada pasangan suami istri sebagaimana juga pada orang lain (bukan pasangan), sehingga dalam hal ini kedudukannya sama. Adapun ‘illat dari li‘ān adalah status pernikahan, dan ini tidak terdapat pada orang lain (bukan pasangan), sehingga dalam hal ini pasangan berbeda dengan selainnya. Adapun jawaban atas pernyataan mereka: “Jika memang wajib atasnya had, maka tidaklah ia boleh menggugurkannya sendiri,” maka jawabannya adalah bahwa li‘ān itu, menurut pendapat kami, adalah sumpah, dan menurut pendapat mereka adalah kesaksian. Keduanya memiliki peran dalam pembebasan dari hak-hak, sehingga tidak mustahil had itu gugur karenanya. Adapun jawaban atas pernyataan mereka: “Sesungguhnya li‘ān adalah pengulangan qadzaf, maka tidaklah gugur had qadzaf karenanya,” maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَمِينٌ أَوْ شَهَادَةٌ ولا يكون واحداً مِنْهُمَا قَذْفًا.

Pertama: Bahwa li‘ān itu adalah sumpah atau kesaksian, dan tidak satupun dari keduanya merupakan qadzaf.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَأْمُورٌ بِاللِّعَانِ عِنْدَنَا عَلَى طَرِيقِ الْجَوَازِ وَعِنْدَهُمْ عَلَى وَجْهِ الْوُجُوبِ، والقذف مَنْهِيٌّ عَنْهُ وَغَيْرُ دَاخِلٍ فِي الْحُكْمَيْنِ فَبَطَلَ بهذين أن يكون قذفاً. . والله أعلم.

Kedua: Bahwa menurut kami, li‘ān itu diperintahkan dalam rangka kebolehan, sedangkan menurut mereka dalam rangka kewajiban. Sementara qadzaf itu dilarang dan tidak termasuk dalam kedua hukum tersebut, maka dengan dua alasan ini batal anggapan bahwa li‘ān itu adalah qadzaf. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ أَنْ لَيْسَ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَلْتَعِنَ حَتَى تَطْلُبَ الْمَقْذُوفَةُ كَمَا لَيْسَ عَلَى قَاذِفِ الْأَجْنَبِيَّةِ حَدٌّ حَتَّى تَطْلُبَ حَدَّهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa tidak wajib atas suami untuk melakukan li‘ān hingga istri yang dituduh itu menuntut, sebagaimana tidak ada had atas penuduh wanita ajnabiyah (bukan istri) hingga ia menuntut had-nya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي حَدِّ الْقَذْفِ على خمسة مذاهب:

Al-Māwardi berkata: Para ulama berbeda pendapat mengenai had qadzaf menjadi lima mazhab:

أحدهما: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: إنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، لَا يَجِبُ إِلَّا بِالْمُطَالَبَةِ وَيَسْقُطُ بِالْعَفْوِ وَيَنْتَقِلُ إِلَى الْوَرَثَةِ بِالْمَوْتِ.

Pertama, yaitu mazhab Syafi‘i: Bahwa had qadzaf termasuk hak-hak manusia (‘adamiyyīn), tidak wajib kecuali dengan tuntutan, gugur dengan pemaafan, dan berpindah kepada ahli waris dengan kematian.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ: إنَّهُ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الْمُحَصَّنَةِ يَجِبُ بِغَيْرِ مُطَالَبَةٍ وَلَا يَسْقُطُ بِالْعَفْوِ.

Kedua, yaitu mazhab Hasan al-Bashri: Bahwa had qadzaf termasuk hak Allah Ta‘ālā atas wanita muḥṣanah, wajib tanpa tuntutan, dan tidak gugur dengan pemaafan.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ: إنَّهُ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ الْمُحَصَّنَةِ، لِأَنَّهُ لَا يَجِبُ إِلَّا بِالْمُطَالَبَةِ وَلَا يَسْقُطُ بِالْعَفْوِ وَلَا يَنْتَقِلُ إِلَى الْوَرَثَةِ بالموت.

Ketiga, yaitu mazhab Abū Ḥanīfah: Bahwa had qadzaf termasuk hak Allah atas wanita muḥṣanah, karena tidak wajib kecuali dengan tuntutan, tidak gugur dengan pemaafan, dan tidak berpindah kepada ahli waris dengan kematian.

وَالرَّابِعُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي يُوسُفَ: إنَّهُ حَقٌّ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَحَقِّ الْآدَمِيِّ لَا يَجِبُ إِلَّا بِالْمُطَالَبَةِ وَيَسْقُطُ بِالْعَفْوِ.

Keempat, yaitu mazhab Abū Yūsuf: Bahwa had qadzaf adalah hak bersama antara hak Allah Ta‘ālā dan hak manusia, tidak wajib kecuali dengan tuntutan, dan gugur dengan pemaafan.

وَالْخَامِسُ: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ: إنَّهُ مِنَ الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ بَيْنَ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَحَقِّ الْآدَمِيِّ فَإِنْ سَمِعَهُ الْإِمَامُ وَشَاهِدَانِ وَجَبَ بِغَيْرِ مُطَالَبَةٍ، وَإِنْ سَمِعَهُ الْإِمَامُ وَحْدَهُ لَمْ يَجِبْ إِلَّا بِالْمُطَالَبَةِ، وَيَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ قَبْلَ التَّرَافُعِ إِلَى الْإِمَامِ، وَلَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ بَعْدَ التَّرَافُعِ إِلَيْهِ.

Kelima, yaitu mazhab Mālik: Bahwa had qadzaf termasuk hak-hak bersama antara hak Allah Ta‘ālā dan hak manusia; jika imam dan dua saksi mendengarnya, maka wajib tanpa tuntutan; jika hanya imam yang mendengarnya, maka tidak wajib kecuali dengan tuntutan; boleh dimaafkan sebelum perkara diajukan kepada imam, dan tidak boleh dimaafkan setelah diajukan kepadanya.

وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى بِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً} [النور: 4] وَهَذَا خِطَابٌ مُتَوَجَّهٌ إِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنَ الْأَئِمَّةِ وَالْحُكَّامِ، وَكُلُّ خِطَابٍ تُوُجِّهَ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى إِلَيْهِمْ فِي حَقٍّ كَانَ ذَلِكَ الْحَقُّ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى لَا مِنْ حُقُوقِ الآدميين كقوله: {الزاني والزانية فاجلدوا} [النور: 2] ، و {السارق وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا} [المائدة: 38] وَلِأَنَّهُ حَقٌّ لَا يَنْتَقِلُ إِلَى مَالٍ فَوَجَبَ أَلَّا يَكُونَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ كَالزِّنَا.

Abū Ḥanīfah dan mereka yang berpendapat bahwa had qadzaf termasuk hak Allah Ta‘ālā berdalil dengan firman-Nya: {Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga (dari zina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera} (an-Nūr: 4). Ini adalah seruan yang ditujukan kepada para pemimpin dari kalangan imam dan hakim. Setiap seruan dari Allah Ta‘ālā yang ditujukan kepada mereka dalam suatu hak, maka hak tersebut adalah hak Allah Ta‘ālā, bukan hak manusia, sebagaimana firman-Nya: {Pezina laki-laki dan pezina perempuan, deralah keduanya} (an-Nūr: 2), dan {Laki-laki pencuri dan perempuan pencuri, potonglah tangan keduanya} (al-Mā’idah: 38). Karena had qadzaf adalah hak yang tidak berpindah menjadi harta, maka wajib tidak termasuk hak manusia, sebagaimana zina.

وَلِأَنَّهُ حَدٌّ يُفَرَّقُ عَلَى جَمِيعِ الْبَدَنِ فَأَشْبَهَ حَدَّ الْخَمْرِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ لَوَجَبَ إِذَا قَذَفَ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ فَقَالَ: زَنَيْتُ أَنْ لَا يُحَدَّ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَثْبُتَ لَهُ عَلَى نَفْسِهِ حَقٌّ فَلَمَّا وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ فِي قَذْفِهِ ثَبَتَ أَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى، وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ ” أَلَا إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا “.

Karena hukuman ini adalah had yang dijatuhkan pada seluruh tubuh, maka ia serupa dengan had khamr. Selain itu, jika hukuman ini termasuk hak-hak manusia, maka ketika seseorang menuduh dirinya sendiri dengan berkata, “Saya telah berzina,” seharusnya ia tidak dijatuhi had, karena tidak sah seseorang menetapkan hak atas dirinya sendiri. Namun, ketika had tetap wajib atasnya karena menuduh dirinya sendiri, hal ini menunjukkan bahwa hukuman tersebut termasuk hak-hak Allah Ta‘ala. Dalil kami adalah sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dalam Haji Wada’: “Ketahuilah, sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini.”

وَوَجْهُ الدَّلِيلِ مِنْهُ أَنَّهُ أَضَافَ أَعْرَاضَنَا إِلَيْنَا كَإِضَافَةِ دِمَائِنَا وَأَمْوَالِنَا، ثُمَّ كَانَ مَا وَجَبَ فِي الدِّمَاءِ وَالْأَمْوَالِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَكَذَلِكَ مَا وَجَبَ فِي الْأَعْرَاضِ.

Adapun sisi pendalilannya adalah bahwa Nabi mengaitkan kehormatan kita kepada kita sebagaimana mengaitkan darah dan harta kita kepada kita. Kemudian, apa yang diwajibkan dalam perkara darah dan harta termasuk hak-hak manusia, maka demikian pula apa yang diwajibkan dalam perkara kehormatan.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ كَأَبِي ضَمْضَمٍ كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنْ مَنْزِلِهِ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِعِرْضِي عَلَى عِبَادِكَ “. فَدَلَّ هَذَا الْخَبَرُ عَلَى أَنَّ مَا وَجَبَ عَنْ عَرْضِهِ مِنْ حَقِّهِ، وَدَلَّ عَلَى صِحَّةِ عَفْوِهِ.

Diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu menjadi seperti Abu Dhamdham, yang apabila keluar dari rumahnya berkata: ‘Ya Allah, aku telah bersedekah dengan kehormatanku kepada hamba-hamba-Mu’.” Maka hadis ini menunjukkan bahwa apa yang diwajibkan terkait kehormatan seseorang adalah haknya, dan menunjukkan sahnya pemaafan darinya.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ حَقٌّ عَلَى بَدَنٍ إِذَا ثَبَتَ بِالِاعْتِرَافِ لَمْ يَسْقُطْ بِالرُّجُوعِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ كَالْقِصَاصِ.

Dan dari qiyās, bahwa ia adalah hak atas badan yang jika telah ditetapkan dengan pengakuan, tidak gugur dengan penarikan kembali, maka wajib ia termasuk hak-hak manusia seperti qishāsh.

وَقِيَاسٌ ثَانٍ أَنَّهُ حَقٌّ لَا يَسْتَوْفِيهِ الْإِمَامُ إِلَّا بَعْدَ الْمُطَالَبَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ حُقُوقِ الآدميين كالديون، فإن قالوا: ينتقص بِالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ وَلَا يُسْتَوْفَى إِلَّا بِالْمُطَالَبَةِ ثُمَّ هُوَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى: قِيلَ فِيهِ وَجْهَانِ:

Qiyās kedua, bahwa ia adalah hak yang tidak dapat ditegakkan oleh imam kecuali setelah ada tuntutan, maka wajib ia termasuk hak-hak manusia seperti utang. Jika mereka berkata: “Hukuman potong tangan dalam pencurian juga tidak ditegakkan kecuali dengan tuntutan, namun ia termasuk hak-hak Allah Ta‘ala,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنَّهُ يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَن يَقْطَعَ السَّارِقَ مِنْ غَيْرِ مُطَالَبَةٍ إِذَا ثَبَتَ عِنْدَهُ سَرِقَتُهُ، فَعَلَى هَذَا سَقَطَ السُّؤَالُ.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa boleh bagi imam memotong tangan pencuri tanpa adanya tuntutan jika telah terbukti pencuriannya, sehingga dengan demikian pertanyaan tersebut gugur.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إنَّهُ لَا يُقْطَعُ إِلَّا بِالْمُطَالَبَةِ بِالْمَالِ لَا بِالْقَطْعِ، وَالتَّعْلِيلُ مَوْضُوعٌ عَلَى أَنَّ مَا لَا يُسْتَوْفَى إِلَّا بِالْمُطَالَبَةِ فَهُوَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ.

Kedua, yaitu mazhab asy-Syafi‘i, bahwa tidak dipotong kecuali dengan tuntutan terhadap harta, bukan tuntutan terhadap hukuman potong tangan. Dan alasan yang dikemukakan adalah bahwa apa yang tidak ditegakkan kecuali dengan tuntutan, maka ia termasuk hak-hak manusia.

فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِ الْقَطْعُ فِي السَّرِقَةِ.

Maka hukuman potong tangan dalam pencurian tidak termasuk di dalamnya.

وَقِيَاسٌ ثَالِثٌ: وَهُوَ أَنَّهُ مَعْنًى وُضِعَ لِرَفْعِ الْمَعَرَّةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ كَطَلَبِ الْكَفَّارَةِ فِي الْمَنَاكِحِ، وَلِأَنَّ الدَّعْوَى فِيهِ مَسْمُوعَةٌ وَالْيَمِينَ فِيهِ مُسْتَحَقَّةٌ، وَحُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى لَا تُسْمَعُ فِيهَا الدَّعْوَى وَلَا تُسْتَحَقُّ فِيهَا الْأَيْمَانُ.

Qiyās ketiga, yaitu bahwa ia adalah makna yang ditetapkan untuk menghilangkan aib, maka wajib ia termasuk hak-hak manusia seperti tuntutan kafārah dalam pernikahan. Selain itu, gugatan dalam perkara ini dapat didengar dan sumpah dapat dituntut, sedangkan hak-hak Allah Ta‘ala tidak dapat diajukan gugatan dan tidak dapat dituntut sumpah di dalamnya.

أَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ الْخِطَابَ فِي اسْتِيفَائِهِ مُتَوَجَّهٌ إِلَى الْوُلَاةِ مِنَ الْأَئِمَّةِ وَالْحُكَّامِ، فَهُوَ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِخِطَابِهِمْ، أَنْ يَقُومُوا بِاسْتِيفَائِهَا لِمُسْتَحِقِّيهَا لِأَنَّهُمْ إِمَّا أَنْ يَعْجِزُوا عَنْهَا إِنْ ضَعُفُوا، أَوْ يَتَعَدُّوا فِيهَا إِنْ قَوَوْا فَكَانَ اسْتِيفَاءُ الْوُلَاةِ لَهَا أَعْدَلَ.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa perintah pelaksanaan hukuman ini ditujukan kepada para penguasa dari kalangan imam dan hakim, maka maksud dari perintah tersebut adalah agar mereka melaksanakan hukuman itu untuk orang-orang yang berhak menerimanya, karena mereka (para penguasa) bisa saja tidak mampu melaksanakannya jika lemah, atau melampaui batas jika kuat, sehingga pelaksanaan oleh para penguasa lebih adil.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى حَدِّ الزِّنَا وَالْخَمْرِ فَهُوَ الْمُعَارَضَةُ فِي مَعْنَى الْأَصْلِ، إِمَّا بِأَنَّهُ يَسْقُطُ بِالرُّجُوعِ بَعْدَ الِاعْتِرَافِ، وَإِمَّا بِأَنَّهُ يُسْتَوْفَى مِنْ غَيْرِ طَلَبٍ، فَخَالَفَهُ حَدُّ الْقَذْفِ الَّذِي لَا يَسْقُطُ بِالرُّجُوعِ بَعْدَ الِاعْتِرَافِ وَلَا يُسْتَوْفَى إِلَّا بِالْمُطَالَبَةِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap had zina dan khamr adalah adanya perbedaan pada makna asalnya, yaitu: bisa jadi had tersebut gugur dengan penarikan kembali setelah pengakuan, atau bisa jadi had tersebut ditegakkan tanpa adanya tuntutan. Maka berbeda dengan had qazaf, yang tidak gugur dengan penarikan kembali setelah pengakuan dan tidak ditegakkan kecuali dengan adanya tuntutan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّهُ لَمَّا وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ فِي قَذْفِ نَفْسِهِ كَانَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى، فَهُوَ أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ فِي قَذْفِ نَفْسِهِ، وَإِنَّمَا يَصِيرُ بِقَذْفِ نَفْسِهِ مُقِرًّا بِالزِّنَا فَلَزِمَهُ حَدُّهُ دُونَ الْقَذْفِ، وَحَدُّ الزِّنَا لِلَّهِ تَعَالَى فَكَانَ مَأْخُوذًا بِهِ. وَحَدُّ الْقَذْفِ لِنَفْسِهِ فَكَانَ سَاقِطًا عَنْهُ.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka: “Sesungguhnya ketika wajib atasnya had karena menuduh dirinya sendiri, maka itu termasuk hak-hak Allah Ta‘ala,” maka jawabannya adalah bahwa had qadzaf tidak wajib atas seseorang karena menuduh dirinya sendiri, melainkan dengan menuduh dirinya sendiri ia menjadi pengaku atas perbuatan zina, sehingga yang wajib baginya adalah had zina, bukan had qadzaf. Had zina adalah hak Allah Ta‘ala sehingga ia diambil darinya, sedangkan had qadzaf terhadap dirinya sendiri maka gugur darinya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ حَدَّ القذف من حقوق الآدميين المحصنة يجب بالطلب وَيَسْقُطُ بِالْعَفْوِ، وَقَذْفُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ بِالزِّنَا فَلَهُمَا ثلاثة أحوال:

Jika telah dipastikan bahwa had qadzaf termasuk hak-hak manusia yang terjaga kehormatannya, maka had itu wajib dengan adanya tuntutan dan gugur dengan pemaafan. Adapun seorang suami yang menuduh istrinya berzina, maka keduanya memiliki tiga keadaan:

أحدهما: أَنْ تُمْسِكَ الزَّوْجَةُ عَنِ الْمُطَالَبَةِ، وَيُمْسِكَ الزَّوْجُ عَنِ اللِّعَانِ، فَلَا اعْتِرَاضَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ وَالِاسْتِبَاحَةِ، وَحُكْمُ الْقَذْفِ مَوْقُوفٌ لَا يَسْقُطُ بِالتَّأْخِيرِ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ الْإِمْسَاكُ.

Pertama: Istri menahan diri dari menuntut, dan suami menahan diri dari melakukan li‘ān, maka tidak ada keberatan atas keduanya, dan keduanya tetap dalam status pernikahan dan kebolehan hubungan, serta hukum qadzaf tertunda, tidak gugur karena penundaan dan tidak terpengaruh oleh sikap menahan diri.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَطْلُبَ الزَّوْجَةُ بِالْحَدِّ مَعَ إِمْسَاكِ الزَّوْجِ عَنِ اللِّعَانِ، فَيُقَالُ لِلزَّوْجِ أَنْتَ مُخَيَّرٌ فِي الالتعَانِ فَإِنِ الْتَعَنْتَ وَإِلَّا حُدِدْتَ.

Keadaan kedua: Istri menuntut had sementara suami menahan diri dari li‘ān, maka dikatakan kepada suami: “Engkau diberi pilihan untuk melakukan li‘ān; jika engkau melakukan li‘ān maka selesai, jika tidak maka engkau dijatuhi had.”

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَدْعُوَ الزَّوْجُ إِلَى اللِّعَانِ مَعَ إِمْسَاكِ الزَّوْجَةِ عَنْ طَلَبِ الْحَدِّ، فَلَا يَخْلُو إِمْسَاكُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ لِعَفْوٍ أَوْ لِتَوَقُّفٍ.

Keadaan ketiga: Suami mengajak untuk melakukan li‘ān sementara istri menahan diri dari menuntut had, maka sikap menahan diri istri tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi karena pemaafan atau karena menunda.

فَإِنْ كَانَ إِمْسَاكُهَا لِتَوَقُّفٍ عَنِ الْمُطَالَبَةِ مِنْ غَيْرِ عَفْوٍ عَنْهُ، جَازَ لِلزَّوْجِ أَنْ يُلَاعِنَ لِيُسْقِطَ بِهِ الْحَدَّ عَنْ نَفْسِهِ، وَلِيَرْفَعَ بِهِ الْفِرَاشَ، وَيَنْفِيَ بِهِ النَّسَبَ، وَإِنْ كَانَ إِمْسَاكُهَا لِعَفْوٍ عَنِ الْحَدِّ، نُظِرَ فَإِنْ كَانَ هُنَاكَ وَلَدٌ يُرِيدُ الزَّوْجُ نفيه باللعان فعليه أن يلتعن لنفيه، لأنه لا ينتفى عنه إلا بلعان، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ وَلَدٌ يُنْفَى، فَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ وَجْهَانِ:

Jika sikap menahan diri istri karena menunda tuntutan tanpa memaafkan, maka suami boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkan had dari dirinya, untuk mengangkat status pernikahan, dan untuk menafikan nasab. Namun jika sikap menahan diri istri karena pemaafan terhadap had, maka dilihat: jika ada anak yang ingin suami nafikan nasabnya melalui li‘ān, maka suami harus melakukan li‘ān untuk menafikan nasab, karena nasab tidak bisa dinafikan kecuali dengan li‘ān. Jika tidak ada anak yang ingin dinafikan, maka dalam kebolehan li‘ān bagi suami terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ لِرَفْعِ الْفِرَاشِ بِالتَّحْرِيمِ الْمُؤَبَّدِ.

Pertama: Boleh bagi suami melakukan li‘ān untuk mengangkat status pernikahan dengan pengharaman selamanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ، لِأَنَّهُ لَا يَسْتَفِيدُ بِلِعَانِهِ فائدة، وتحريمها يقدر عليه بطلاقه، والله أعلم.

Pendapat kedua: Tidak boleh baginya melakukan li‘ān, karena ia tidak mendapatkan manfaat dari li‘ān tersebut, dan pengharaman istrinya dapat dilakukan dengan talak, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَمَّا لَمْ يَخُصَّ اللَّهُ أَحَدًا مِنَ الْأَزْوَاجِ دُونَ غَيْرِهِ وَلَمْ يَدُلَّ عَلَى ذَلِكَ سُنَّةٌ وَلَا إِجْمَاعٌ كَانَ عَلَى كُلِّ زَوْجٍ جَازَ طَلَاقُهُ وَلَزِمَهُ الْفَرْضُ وَكَذَلِكَ كُلُّ زَوْجَةٍ لَزِمَهَا الْفَرْضُ وَلِعَانُهُمْ كُلُّهُمْ سَوَاءٌ لَا يَخْتَلِفُ الْقَوْلُ فِيهِ وَالْفُرْقَةُ وَنَفْيُ الْوَلَدِ وَتَخْتَلِفُ الْحُدُودُ لِمَنْ وَقَعَتْ لَهُ وَعَلَيْهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan ketika Allah tidak mengkhususkan satu pun dari para suami dari yang lain, dan tidak ada dalil dari sunnah maupun ijmā‘ tentang hal itu, maka setiap suami yang sah talaknya dan wajib baginya kewajiban, demikian pula setiap istri yang wajib baginya kewajiban, maka li‘ān mereka semuanya sama, tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, demikian pula perpisahan dan penafian anak, sedangkan had-had berbeda sesuai siapa yang terkena dan atas siapa dijatuhkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ اللِّعَانُ يَمِينٌ تَصِحُّ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ صح طَلَاقه وَظِهَاره وَمَعَ كُلِّ زَوْجَةٍ صَحَّ مِنْهَا فِعْلُ الزِّنَا، سَوَاءٌ كَانَا مُسْلِمَيْنِ أَوْ كَافِرَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا مُسْلِمًا وَالْآخِرُ كَافِرًا، وَسَوَاءٌ كَانَا حُرَّيْنِ أَوْ مَمْلُوكَيْنِ، أَوْ أَحَدُهُمَا حُرًّا وَالْآخَرُ مَمْلُوكًا، وَسَوَاءٌ كَانَا عَفِيفَيْنِ أَوْ مَحْدُودَيْنِ فِي قَذْفٍ أَوْ أَحَدُهُمَا عَفِيفًا وَالْآخَرُ مَحْدُودًا، وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: رَبِيعَةُ، وَمَالِكٌ، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَابْنُ شُبْرُمَةَ، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini sebagaimana yang dikatakan, li‘ān adalah sumpah yang sah dari setiap suami yang sah talak dan zihar darinya, dan dari setiap istri yang sah perbuatan zina darinya, baik keduanya muslim ataupun kafir, atau salah satunya muslim dan yang lain kafir, baik keduanya merdeka atau budak, atau salah satunya merdeka dan yang lain budak, baik keduanya terjaga kehormatannya atau telah dijatuhi had qadzaf, atau salah satunya terjaga kehormatannya dan yang lain telah dijatuhi had. Pendapat ini juga dikatakan oleh para tabi‘in: Hasan al-Bashri, Sa‘id bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, dan dari para fuqaha: Rabi‘ah, Malik, al-Laits bin Sa‘d, Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Syubrumah, Ahmad, dan Ishaq.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَصَاحِبَاهُ: اللِّعَانُ شَهَادَةٌ لَا تَصِحُّ إِلَّا مِنْ مُسْلِمَيْنِ حُرَّيْنِ، عَفِيفَيْنِ، فَإِنْ كَانَا كَافِرَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا، أَوْ مَمْلُوكَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا، أَوْ مَحْدُودَيْنِ فِي قَذْفٍ أَوْ أَحَدُهُمَا، لَمْ يَصِحَّ لِعَانُهُ.

Abu Hanifah dan kedua sahabatnya berkata: “Li‘ān adalah kesaksian yang tidak sah kecuali dari dua orang muslim yang merdeka dan terjaga kehormatannya. Jika keduanya kafir atau salah satunya, atau keduanya budak atau salah satunya, atau keduanya telah dijatuhi had qadzaf atau salah satunya, maka li‘ān mereka tidak sah.”

وَبِهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ اللِّعَانَ شَهَادَةٌ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ} [النور: 6] فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى أَنَّ اللِّعَانَ شَهَادَةٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat ini juga dikemukakan oleh az-Zuhri dan al-Auza‘i. Mereka berdalil bahwa li‘ān adalah sebuah kesaksian berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian salah seorang dari mereka adalah bersumpah empat kali dengan nama Allah} [an-Nur: 6]. Ayat ini menunjukkan bahwa li‘ān adalah kesaksian dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ {وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أنفسهم} . فاستثنائهم مِنَ الشُّهَدَاءِ بِأَنْ جَعَلَهُمْ شُهَدَاءَ لِأَنْفُسِهِمْ، وَالِاسْتِثْنَاءُ مِنَ الْجُمْلَةِ دَاخِلٌ فِي جِنْسِهَا.

Pertama: Firman-Nya {dan mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri}. Pengecualian mereka dari para saksi dengan menjadikan mereka sebagai saksi bagi diri mereka sendiri, dan pengecualian dari suatu kelompok berarti termasuk dalam jenis kelompok itu.

وَالثَّانِي: قَوْلُهُ: {فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ) فَعَبَّرَ عَنْهُ بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ وَعَلَّقَ عَلَيْهِ عَدَدَ الشَّهَادَةِ فِي الزِّنَا فَدَلَّ اللَّفْظُ وَالْعَدَدُ عَلَى أَنَّهُ شَهَادَةٌ. وَقَالَ: وَلِأَنَّ مَا لَا يَصِحُّ إِلَّا بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ لَمْ يَكُنْ يَمِينًا وَكَانَ شَهَادَةً اعْتِبَارًا بِسَائِرِ الشَّهَادَاتِ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ رَفْعُ حُكْمِ الْقَذْفِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ شَهَادَةً كَالْبَيِّنَةِ، وَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَصِحُّ مِنْهُمَا إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا كَافِرًا أَوْ مَمْلُوكًا أَوْ مَحْدُودًا. بِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَرْبَعٌ مِنَ النِّسَاءِ لَا لِعَانَ بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ أَزْوَاجِهِنَّ، النَّصْرَانِيَّةُ وَالْيَهُودِيَّةُ تَحْتَ مُسْلِمَيْنِ وَالْحُرَّةُ تَحْتَ مَمْلُوكٍ وَالْمَمْلُوكَةُ تَحْتَ حُرٍّ ” قَالُوا: هَذَا نَصٌّ قَالُوا: وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يَكْمُلِ الحد يقذفها لَمْ يَصِحَّ اللِّعَانُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ زَوْجِهَا كَالصَّغِيرَةِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ اللِّعَانَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ كَالْحَدِّ فِي حَقِّ الْأَجَانِبِ فَلَمَّا لَمْ يَجِبِ الْحَدُّ إِلَّا بِقَذْفِ حُرَّةٍ مُسْلِمَةٍ لَمْ يَصْحَّ اللِّعَانُ إِلَّا مِنْ حُرَّةٍ مُسْلِمَةٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ اللِّعَانَ يَمِينٌ وَلَيْسَ شَهَادَةً. مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي زَوْجَةِ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ حِينَ جَاءَتْ بِوَلَدِهَا عَلَى النَّعْتِ الْمَكْرُوهِ: ” لَوْلَا مَا مَضَى مِنَ الْأَيْمَانِ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ ” فَسمي اللِّعَان يَمِينًا، وَلِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَشْهَدَ الْإِنْسَانُ لِنَفْسِهِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَحْلِفَ لَهَا، وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ يُلَاعِنُ عَنْ حَقٍّ لِنَفْسِهِ فَثَبَتَ أَنَّهُ يَمِينٌ وَلَيْسَ بِشَهَادَةٍ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ شَهَادَةً لَمَا لَزِمَ تَكْرَارُهُ أَرْبَعًا، لَأَنَّ الشَّهَادَةَ لَا تُكَرَّرُ وَالْأَيْمَانَ قَدْ تُكَرَّرُ، وَلِأَنَّ الشَّهَادَةَ لَا يَتَضَمَّنُهَا لَعْنٌ وَلَا غَضَبٌ وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تُسَاوِي الرَّجُلَ فِي الشَّهَادَةِ وَتُسَاوِيهِ فِي الْأَيْمَانِ، وَهِيَ فِي اللِّعَانِ مُسَاوِيَةٌ لِلرَّجُلِ فَثَبَتَ أَنَّهُ يَمِينٌ، وَلِأَنَّ لَفْظَ اللِّعَانِ أَنْ يَقُولَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ، وَلَا خِلَافَ أَنَّ قَوْلَ الْإِنْسَانِ فِي غَيْرِ اللِّعَانِ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ، أَنَّهُ يَمِينٌ فَكَذَلِكَ فِي اللِّعَانِ وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ شَهَادَةً لَمَا صَحَّ لِعَانُ الْفَاسِقَيْنِ، وَلَا مِنَ الْأَعْمَيَيْنِ التَّحَصُّنُ وَقَدْ وَافَقَ عَلَى صحة لعان هذين فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ يَمِينٌ وَلَيْسَ بِشَهَادَةٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ يَصِحُّ مِنَ الْكَافِرَيْنِ وَالْمَمْلُوكَيْنِ، عُمُومُ عَلَى أَنَّهُ يَمِينٌ وَلَيْسَ بِشَهَادَةٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ يَصِحُّ مِنَ الْكَافِرَيْنِ وَالْمَمْلُوكَيْنِ، عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} [النور: 6] وَلَمْ يُفَرِّقْ، وَلِأَنَّ كُلَّ زَوْجٍ صَحَّ طَلَاقُهُ صَحَّ لِعَانُهُ كَالْحُرِّ الْمُسْلِمِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا خَرَجَ بِهِ الزَّوْجُ مِنْ قَذْفِهِ إِذَا كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّهَادَةِ خَرَجَ بِهِ مِنَ الْقَذْفِ إِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ أَهْلُ الشَّهَادَةِ كَالْبَيِّنَةِ، وَلِأَنَّهُ مَا وَقَعَتْ بِهِ الْفُرْقَةُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ الْمُسْلِمَيْنِ وَقَعَتْ بِهِ الْفُرْقَةُ بَيْنَ الْكَافِرَيْنِ وَالْمَمْلُوكَيْنِ كَالطَّلَاقِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ فِي أَنَّهُ شَهَادَةٌ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ) ، فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Firman Allah: {Maka kesaksian salah seorang dari mereka adalah empat kali bersaksi dengan nama Allah}—Allah mengekspresikannya dengan lafaz kesaksian dan mengaitkan jumlah kesaksian dalam perkara zina, maka lafaz dan jumlah tersebut menunjukkan bahwa itu adalah kesaksian. Mereka berkata: Sesuatu yang tidak sah kecuali dengan lafaz kesaksian, maka itu bukanlah sumpah, melainkan kesaksian, sebagaimana pada seluruh bentuk kesaksian lainnya. Mereka juga berkata: Karena li‘ān menghapuskan hukum qazaf, maka wajib hukumnya dianggap sebagai kesaksian seperti halnya bayyinah. Mereka berdalil bahwa li‘ān tidak sah jika salah satu dari keduanya adalah kafir, budak, atau orang yang telah dijatuhi had (hukuman). Berdasarkan riwayat ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Ada empat wanita yang tidak berlaku li‘ān antara mereka dan suaminya: wanita Nasrani dan Yahudi yang berada di bawah dua laki-laki Muslim, wanita merdeka di bawah budak, dan budak perempuan di bawah laki-laki merdeka.” Mereka berkata: Ini adalah nash. Mereka juga berkata: Setiap orang yang belum sempurna had-nya, jika ia dilempari tuduhan zina, maka tidak sah li‘ān antara dia dan suaminya, seperti anak kecil. Mereka juga berkata: Li‘ān antara suami istri seperti had bagi orang lain, maka ketika had tidak wajib kecuali karena menuduh wanita merdeka yang Muslimah, maka li‘ān pun tidak sah kecuali dari wanita merdeka yang Muslimah.

Adapun dalil bahwa li‘ān adalah sumpah dan bukan kesaksian adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ, beliau bersabda tentang istri Hilāl bin Umayyah ketika ia melahirkan anak dengan ciri yang tidak diinginkan: “Kalau bukan karena sumpah-sumpah yang telah berlalu, niscaya aku dan dia akan punya urusan.” Maka li‘ān disebut sebagai sumpah. Juga karena tidak boleh seseorang bersaksi untuk dirinya sendiri, meskipun boleh bersumpah untuk dirinya sendiri, dan masing-masing dari suami istri melakukan li‘ān demi hak dirinya sendiri, maka tetaplah bahwa itu adalah sumpah dan bukan kesaksian. Juga, jika li‘ān adalah kesaksian, tidak perlu diulang empat kali, karena kesaksian tidak diulang-ulang, sedangkan sumpah boleh diulang-ulang. Juga, kesaksian tidak mengandung laknat atau kemurkaan, sedangkan perempuan tidak setara dengan laki-laki dalam kesaksian, tetapi setara dalam sumpah, dan dalam li‘ān, perempuan setara dengan laki-laki, maka tetaplah bahwa itu adalah sumpah. Lafaz li‘ān adalah dengan mengatakan: “Aku bersaksi demi Allah,” dan tidak ada perbedaan bahwa ucapan seseorang di luar li‘ān: “Aku bersaksi demi Allah,” adalah sumpah, demikian pula dalam li‘ān. Juga, jika itu adalah kesaksian, tidak sah li‘ān dari dua orang fāsiq, atau dari dua orang buta yang telah terjaga kehormatannya, padahal telah disepakati sahnya li‘ān dari keduanya, maka itu menunjukkan bahwa li‘ān adalah sumpah dan bukan kesaksian.

Adapun dalil bahwa li‘ān sah dari dua orang kafir dan dua orang budak adalah keumuman firman Allah Ta‘ālā: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka} [an-Nūr: 6], tanpa membedakan. Juga, setiap suami yang sah talaknya, maka sah pula li‘ānnya, seperti laki-laki merdeka Muslim. Juga, setiap perkara yang dengannya suami keluar dari hukuman qazaf jika ia termasuk ahli kesaksian, maka ia juga keluar dari hukuman qazaf jika tidak bersama ahli kesaksian, seperti bayyinah. Juga, setiap perkara yang menyebabkan perpisahan antara suami istri Muslim, juga menyebabkan perpisahan antara dua orang kafir dan dua orang budak, seperti talak.

Adapun jawaban atas dalil mereka yang mengatakan bahwa li‘ān adalah kesaksian berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan tidak ada bagi mereka saksi-saksi kecuali diri mereka sendiri}, maka jawabannya ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا أَضَافَ الشَّهَادَةَ إِلَى نَفْسِهِ خَرَجَتْ مِنْ حُكْمِ الشَّهَادَاتِ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَشْهَدَ لِنَفْسِهِ.

Salah satunya: Ketika ia menisbatkan kesaksian kepada dirinya sendiri, maka hal itu keluar dari hukum kesaksian, karena tidak sah seseorang bersaksi untuk dirinya sendiri.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ وَإِنْ كَانَ بِلَفْظِ الِاسْتِثْنَاءِ فَمِنْ حُكْمِ الِاسْتِثْنَاءِ أَنْ يَكُونَ مُخَالِفًا لِحُكْمِ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ.

Dan yang kedua: Meskipun menggunakan lafaz istisna’ (pengecualian), salah satu hukum istisna’ adalah bahwa yang dikecualikan harus berbeda dengan hukum yang dikecualikan darinya.

أَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ مِنْهُمَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فشهادة أحدهم أربع شهادات بالله} فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil mereka dari firman Allah Ta‘ala: {Maka kesaksian salah satu dari mereka empat kali bersaksi dengan nama Allah} adalah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ يُعَبَّرُ عَنِ الْيَمِينِ بِالشَّهَادَةِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ} [المنافقون: 1، 2] إلى قوله: {اتخذوا أيمانهم جنة} فَعَبَّرَ عَنْ أَيْمَانِهِمْ بِالشَّهَادَةِ.

Salah satunya: Sumpah kadang-kadang diungkapkan dengan istilah syahadah (kesaksian), sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasul Allah} [Al-Munafiqun: 1, 2] hingga firman-Nya: {Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai}, maka Allah mengekspresikan sumpah mereka dengan istilah syahadah.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا سُلِبَ لَفْظُ الشَّهَادَةِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ حُكْمَ الشَّهَادَاتِ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكِمُ الْأَيْمَانِ مِنْ أَرْبَعَةِ أوجه:

Dan yang kedua: Ketika lafaz syahadah pada konteks ini telah dicabut dari hukum-hukum kesaksian dan diberlakukan atasnya hukum-hukum sumpah dari empat sisi:

أحدهما: أَنَّهُ أَثْبَتَ قَوْلَهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ.

Salah satunya: Ia menetapkan ucapannya atas dirinya sendiri.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَوْجَبَ عَلَيْهِ تَكْرَارَ لَفْظِهِ.

Dan yang kedua: Ia mewajibkan pengulangan lafaznya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ قَرَنَهُ بِاللِّعَانِ وَالْغَضَبِ.

Dan yang ketiga: Ia mengaitkannya dengan li‘an dan kemarahan.

وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ وَصَلَهُ بِذِكْرِ اللَّهِ، فِي قَوْلِهِ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ، دَلَّ عَلَى أَنَّهُ يَمِينٌ بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قولهم: إن ما لم يصح إلا بلفظة الشَّهَادَة كَانَ شَهَادَةً، فَهُوَ أَنَّ أَصْحَابَنَا قَدِ اخْتَلَفُوا فِي جَوَازِ اللِّعَانِ بِغَيْرِ لَفْظِ الشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan yang keempat: Ia menghubungkannya dengan penyebutan nama Allah, dalam ucapannya: “Aku bersaksi dengan nama Allah”, yang menunjukkan bahwa itu adalah sumpah dengan lafaz syahadah. Adapun jawaban atas pernyataan mereka: Bahwa sesuatu yang tidak sah kecuali dengan lafaz syahadah maka itu adalah syahadah, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang bolehnya li‘an tanpa lafaz syahadah menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يَقُولَ: أَحْلِفُ بِاللَّهِ، وَأُقْسِمُ بِاللَّهِ، وَأُولِي بِاللَّهِ. كَمَا يَقُولُ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ – لِأَنَّ هَذَا صَرِيحٌ فِي الْيَمِينِ فَكَانَ أَوْلَى بِالْجَوَازِ، فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ.

Salah satunya: Boleh mengucapkan: “Aku bersumpah demi Allah, aku berikrar demi Allah, aku berjanji demi Allah”, sebagaimana ia mengucapkan: “Aku bersaksi demi Allah” — karena ini jelas merupakan sumpah, maka lebih utama untuk dibolehkan. Dengan demikian, dalil tersebut gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ إِلَّا بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ عَلَى مَا جَاءَ بِهِ النَّصُّ لِأَنَّ حُكْمَهُ مَأْخُوذٌ مِنْهُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْجَوَابُ مُتَوَجِّهًا، وَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا قَرَنَ لَفْظَ الشَّهَادَةِ بِذِكْرِ اللَّهِ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ الشَّهَادَاتِ الْمُجَرَّدَةِ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ، وَأُلْحِقَ بِالْأَيْمَانِ الْمُضَافَةِ إِلَى اسْمِ اللَّهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّهُ قَدْ يَرْفَعُ حُكْمَ الْقَذْفِ كَالْبَيِّنَةِ، فَهُوَ أَنَّ الْإِقْرَارَ قَدْ يَرْفَعُ حُكْمَ الْقَذْفِ وَلَا يَكُونُ بَيِّنَةً، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ فِي الْفَصْلِ الثَّانِي بِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dan pendapat kedua: Tidak boleh kecuali dengan lafaz syahadah sebagaimana yang disebutkan dalam nash, karena hukumnya diambil darinya. Maka berdasarkan ini, jawabannya menjadi tepat, yaitu bahwa ketika lafaz syahadah digandengkan dengan penyebutan nama Allah, maka ia keluar dari hukum-hukum kesaksian yang murni tanpa penyebutan nama Allah, dan disamakan dengan sumpah yang disandarkan kepada nama Allah. Adapun jawaban atas pernyataan mereka: Bahwa hal itu dapat menggugurkan hukum qazaf seperti halnya bayyinah, maka pengakuan juga dapat menggugurkan hukum qazaf namun tidak disebut sebagai bayyinah. Adapun jawaban atas dalil mereka pada bagian kedua dengan hadis ‘Amr bin Syu‘aib, maka ada tiga sisi:

أحدهما: أَنَّ أَبَا يَحْيَى السَّاجِيَّ قَالَ: هَذَا حَدِيثٌ لَا يُثْبِتُهُ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ، وَإِذَا قَالَ إِمَامٌ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ هَذَا، سَقَطَ الِاحْتِجَاجُ بِهِ.

Salah satunya: Abu Yahya As-Saji berkata: Hadis ini tidak ditegaskan oleh para ahli hadis, dan apabila seorang imam dari kalangan ahli hadis mengatakan demikian, maka gugurlah hujjah dengannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مُرْسَلٌ، وَلَيْسَتِ الْمَرَاسِيلُ عِنْدَنَا حُجَّةً، وذلك أن عمرو بن شعيب ابن مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، وجده الأدنى ليس له صحبه وراوية فَإِذَا رَوَى عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ كَانَ الظَّاهِرُ أَنَّهُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ لِأَنَّهُ جَدُّهُ الْأَدْنَى فَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ صَارَ مُرْسَلًا لَا يَلْزَمُ الِاحْتِجَاجُ به.

Dan yang kedua: Hadis tersebut mursal, dan mursal menurut kami bukanlah hujjah. Hal ini karena ‘Amr bin Syu‘aib adalah putra Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, dan kakeknya yang terdekat tidak memiliki sahabat dan periwayatan. Maka jika ‘Amr bin Syu‘aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya, yang tampak adalah dari Muhammad bin ‘Abdullah karena dia adalah kakek terdekatnya. Dari sisi inilah hadis tersebut menjadi mursal dan tidak wajib dijadikan hujjah.

وَالثَّالِثُ: أَنَّنَا نُسَلِّمُ الْحَدِيثَ، وَنَحْمِلُ قَوْلَهُ: ” لَا لِعَانَ بَيْنَ أَرْبَعٍ “، إِلَّا عِنْدَ حَاكِمٍ، فَإِنْ قِيلَ: فَغَيْرُهُمْ لَا يَجُوزُ لِعَانُهُ إِلَّا عِنْدَ الْحَاكِمِ فَمَا فَائِدَةُ التَّخَصُّصِ؟ .

Dan yang ketiga: Kami menerima hadis tersebut, dan kami memahami ucapannya: “Tidak ada li‘an antara empat orang” kecuali di hadapan hakim. Jika dikatakan: Selain mereka pun tidak boleh melakukan li‘an kecuali di hadapan hakim, lalu apa faedah pengkhususan ini?

قِيلَ: فَائِدَتُهُ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُتَوَهَّمَ فِيهِمْ لِنَقْصِهِمْ بِالْكُفْرِ وَالرِّقِّ جَوَازُ لِعَانِ الْعَبْدِ عِنْدَ سَيِّدِهِ، وَلِعَانِ الْكَافِرِ فِي أَهْلِ دِينِهِ، فَنَفَى النَّصُّ هَذَا التَّوَهُّمَ، عَلَى أَنَّ أَبَا إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيَّ قَالَ: لَوْ صَحَّ الْحَدِيثُ وَجَبَ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ وَالْقَوْلُ بِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَمْ يَصِحَّ.

Dijawab: Faedahnya adalah bahwa mungkin saja timbul dugaan pada mereka, karena kekurangan mereka akibat kekufuran dan status budak, bahwa boleh li‘an budak di hadapan tuannya, dan li‘an orang kafir di kalangan pemeluk agamanya. Maka nash menafikan dugaan ini. Selain itu, Abu Ishaq Al-Marwazi berkata: Seandainya hadis itu sahih, wajib untuk berpegang dan berpendapat dengannya, hanya saja hadis itu tidak sahih.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الصَّغِيرَةِ: فَهُوَ أَنَّ لِلصَّغِيرَةِ حَالَتَيْنِ: حَالَةٌ يُمْكِنُ وَطْؤُهَا فَاللِّعَانُ فِيهَا يَصِحُّ وَيَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى بُلُوغِهَا، لِأَنَّ قَذْفَهَا بِالزِّنَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ صِدْقًا، وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ كَذِبًا.

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan (kasus) anak kecil adalah bahwa anak kecil itu memiliki dua keadaan: keadaan di mana ia memungkinkan untuk digauli, maka li‘ān dalam hal ini sah dan ditangguhkan hingga ia baligh, karena tuduhan zina terhadapnya bisa jadi benar dan bisa jadi dusta.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ صَغِيرَةً لَا يُمْكِنُ وطء مثلها، فالقذف هنا مستحيل للعلم يكذبه، فَخَرَجَ عَنِ الْقَذْفِ الْمُحْتَمِلِ لِلصِّدْقِ وَالْكَذِبِ، فَإِذَا اسْتَحَالَ صِدْقُهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقُولَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنِّي لَمِنَ الصَّادِقِينَ كَمَنْ يَجُوزُ صِدْقُهُ، فَلَمْ يَجُزِ الْجَمْعُ بَيْنَ مُتَنَافِيَيْنِ. أَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ اللِّعَانَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ كَالْحَدِّ فِي حَقِّ الْأَجَانِبِ، فَهُوَ أَنَّهُ غَيْرُ مُسَلَّمٍ بَلْ لِعَانُ الزَّوْجِ يَمِينٌ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فِي سُقُوطِ حَدِّ الْقَذْفِ عَنْهُ، وَكَالشَّهَادَةِ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ لِوُجُوبِ حَدِّ الزِّنَا عَلَيْهَا، وَالشَّهَادَةُ تسمع على الكافرة والمملوكة، فكذا اللِّعَانُ.

Keadaan kedua: yaitu jika ia masih kecil sehingga tidak mungkin untuk digauli, maka tuduhan zina di sini mustahil karena pengetahuan membantahnya, sehingga keluar dari kategori tuduhan yang masih mungkin benar atau dusta. Jika kebenarannya mustahil, maka tidak boleh seseorang berkata: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar-benar termasuk orang-orang yang benar,” sebagaimana pada kasus yang masih mungkin benar. Maka tidak boleh menggabungkan dua hal yang saling bertentangan. Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa li‘ān antara suami istri seperti had (hukuman) bagi orang lain (ajnabi), maka itu tidak diterima, bahkan li‘ān suami adalah sumpah untuk dirinya sendiri dalam menggugurkan had qazaf darinya, dan seperti kesaksian terhadap istri untuk mewajibkan had zina atasnya. Kesaksian diterima atas perempuan kafir dan budak, demikian pula li‘ān.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ كَوْنِ اللِّعَانِ يَمِينًا يَصِحُّ مِنَ الْكَافِرَيْنِ وَالْمَمْلُوكَيْنِ كَمَا يَصِحُّ مِنَ الْحُرَّيْنِ وَالْمُسْلِمَيْنِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: كَانَ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ جَازَ طَلَاقُهُ وَلَزِمَهُ الْفَرْضُ، وَكَذَلِكَ عَلَى كُلِّ زَوْجَةٍ لَزِمَهَا الْفَرْضُ، وَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: جَازَ طَلَاقُهُ أَيْ كَانَ مُكَلَّفًا؛ لِأَنَّ غَيْرَ الْمُكَلَّفِ بِالصِّغَرِ وَالْجُنُونِ لَا يَصِحُّ طَلَاقُهُ فَكَذَلِكَ لَا يَصِحُّ لِعَانُهُ، وقوله: ولزمه الغرض، أَرَادَ بِهِ التَّكْلِيفَ، فَعَبَّرَ عَنْهُ بِعِبَارَتَيْنِ فَسَّرَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، وَكَذَلِكَ لِعَانُهَا لَا يَصِحُّ مِنْهَا إِذَا كَانَتْ غَيْرَ مُكَلَّفَةٍ بِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ، وَإِنْ صَحَّ أَنْ يُلَاعِنَ الزَّوْجُ مِنْهَا فِي هَذِهِ الْحَالَةِ لِرَفْعِ الْفِرَاشِ وَنَفْيِ النَّسَبِ، ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلِعَانُهُمْ كُلُّهُمْ سَوَاءٌ، لَا يَخْتَلِفُ القول فيه الفرقة ونفي الولد وهذا صحيح، ليس يختلفان اللِّعَانُ بِالْكُفْرِ وَالْإِسْلَامِ كَمَا تَخْتَلِفُ حُدُودُ الْقَذْفِ، وَلَا بِالْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ كَمَا تَخْتَلِفُ الْحُدُودُ وَالطَّلَاقُ. وَجَمِيعُهُمْ فِي صِفَةِ اللِّعَانِ وَأَحْكَامِهِ سَوَاءٌ، ثُمَّ قَالَ: وَتَخْتَلِفُ الْحُدُودُ لِمَنْ وَقَعَتْ لَهُ وَعَلَيْهِ وَهَذَا صَحِيحٌ، إِنَّمَا يَخْتَلِفُ حَدُّ الْقَذْفِ فِي الْمَقْذُوفِ بِالْإِيجَابِ وَالْإِسْقَاطِ، فَإِذَا كَانَ الْمَقْذُوفُ كَامِلًا بِالْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ وَجَبَ عَلَى قَاذِفِهِ الْحَدُّ، وَإِنْ كَانَ نَاقِصًا بِالرِّقِّ، أَوِ الْكُفْرِ يَسْقُطُ الْحَدُّ، وَيَلْزَمُ التَّعْزِيرُ، وَيَخْتَلِفُ حَدُّ الْقَذْفِ فِي الْقَاذِفِ بِالزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ، فَإِنْ كَانَ حُرًّا وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ الْكَامِلُ ثَمَانُونَ جَلْدَةً سَوَاءٌ كَانَ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا، وَإِنْ كَانَ مَمْلُوكًا وَجَبَ عَلَيْهِ نصف الحد أربعون جلدة والله أعلم.

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan bahwa li‘ān adalah sumpah yang sah dari dua orang kafir dan dua orang budak sebagaimana sah dari dua orang merdeka dan dua orang muslim, maka asy-Syafi‘i berkata: “Hal itu berlaku bagi setiap suami yang sah talaknya dan wajib baginya kewajiban (taklif), demikian pula bagi setiap istri yang wajib baginya kewajiban.” Yang dimaksud dengan ucapannya: “sah talaknya” yaitu ia adalah mukallaf; karena orang yang bukan mukallaf karena kecil atau gila tidak sah talaknya, demikian pula tidak sah li‘ān-nya. Dan ucapannya: “dan wajib baginya kewajiban”, yang dimaksud adalah taklif, sehingga ia mengungkapkannya dengan dua ungkapan yang satu menafsirkan yang lain. Demikian pula li‘ān istri tidak sah darinya jika ia bukan mukallaf karena kecil atau gila, meskipun sah bagi suaminya untuk melakukan li‘ān dalam keadaan ini untuk mengangkat tempat tidur (hak suami istri) dan menafikan nasab. Kemudian asy-Syafi‘i berkata: “Li‘ān mereka semuanya sama, tidak berbeda hukumnya dalam hal perpisahan dan penafian anak, dan ini benar. Tidak ada perbedaan antara li‘ān karena kufur dan Islam sebagaimana berbeda had qazaf, dan tidak pula karena merdeka dan budak sebagaimana berbeda had dan talak. Semuanya dalam sifat dan hukum li‘ān adalah sama.” Kemudian ia berkata: “Had berbeda bagi siapa yang dikenakan dan atas siapa dikenakan, dan ini benar. Hanya saja had qazaf berbeda pada yang dituduh dengan wajib dan gugurnya (had), maka jika yang dituduh sempurna dalam kemerdekaan dan Islam, wajib atas penuduhnya had, dan jika kurang karena budak atau kafir, maka had gugur dan wajib ta‘zīr. Had qazaf juga berbeda pada penuduh dengan tambahan dan pengurangan, maka jika ia merdeka, wajib atasnya had penuh delapan puluh cambukan, baik ia muslim maupun kafir, dan jika ia budak, wajib atasnya setengah had, yaitu empat puluh cambukan. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وسواء قال زنت أو رأيتها تزني أو يَا زَانِيَة كَمَا يَكُونُ ذَلِكَ سَوَاءٌ إِذَا قَذَفَ أَجْنَبِيَّةً “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Sama saja apakah ia berkata: ‘Ia berzina’ atau ‘Aku melihatnya berzina’ atau ‘Wahai pezina’, sebagaimana hal itu sama jika ia menuduh perempuan lain (ajnabiyyah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ: كُلُّ قَذْفٍ أَوْجَبَ الْحَدَّ مِنَ الْأَجْنَبِيَّةِ كَانَ قَذْفًا يَجُوزُ بِهِ اللِّعَانُ مِنَ الزَّوْجَةِ، سَوَاءٌ كَانَ بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ كَقَوْلِهِ: رَأَيْتُهَا تَزْنِي، أو كان بغير لفظ الشهاد كَقَوْلِهِ: قَدْ زَنَتْ، أَوْ يَا زَانِيَةُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ.

Al-Mawardi berkata: Dan memang demikianlah sebagaimana yang dikatakan: Setiap tuduhan yang mewajibkan had dari perempuan lain (ajnabiyyah), maka tuduhan itu membolehkan li‘ān dari istri, baik dengan lafaz kesaksian seperti ucapannya: “Aku melihatnya berzina”, atau dengan selain lafaz kesaksian seperti ucapannya: “Ia telah berzina” atau “Wahai pezina”, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ إِلَّا أَنْ يَقْذِفَهَا بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ إِنْ كَانَتْ حَائِلًا، وَيَجُوزُ بِغَيْرِ لَفْظِ الشَّهَادَةِ إِنْ كَانَتْ حَامِلًا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ هِلَالَ بْنَ أُمَيَّةَ وَالْعَجْلَانِيَّ قَذَفَا بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ، وَقَالَ هِلَالٌ: رَأَتْ عَيْنِي وَسَمِعَتْ أُذُنِي. فَنَزَلَتْ آيَةُ اللِّعَانِ، فَكَانَتْ مَقْصُورَةً عَلَى سَبَبِهَا، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ كَالشَّهَادَةِ فِي سُقُوطِ حَدِّ الْقَذْفِ عَنْهُ وَوُجُوبِ حَدِّ الزنا عليه، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْقَذْفُ فِيهَا بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ كَالشَّهَادَةِ.

Malik berkata: Tidak boleh melakukan li‘ān kecuali jika ia menuduh istrinya dengan lafaz syahadat apabila istrinya tidak sedang hamil, dan boleh dengan selain lafaz syahadat apabila istrinya sedang hamil, dengan dalil bahwa Hilal bin Umayyah dan al-‘Ajlānī menuduh dengan lafaz syahadat, dan Hilal berkata: “Mataku melihat dan telingaku mendengar.” Maka turunlah ayat li‘ān, sehingga hukumnya terbatas pada sebab tersebut. Karena li‘ān itu seperti syahadat dalam menggugurkan had qazaf darinya dan mewajibkan had zina atasnya, maka wajib pula tuduhan itu dengan lafaz syahadat sebagaimana syahadat.

وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أزواجهم} الْآيَةَ، فَاقْتَضَى حُكْمُ الْعُمُومِ أَنْ يَصِحَّ اللِّعَانُ مِنْ كُلِّ رَامٍ لِزَوْجَتِهِ، فَإِنْ قَالُوا: اللَّفْظُ الْعَامُّ وَارِدٌ عَلَى سَبَبٍ خَاصٍّ. وَالِاعْتِبَارُ بِخُصُوصِ السَّبَبِ، قِيلَ هَذَا غَيْرُ مُسَلَّمٍ، بَلْ عِنْدَنَا أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ لِأَمْرَيْنِ:

Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka…} (ayat), maka hukum keumuman menuntut bahwa li‘ān sah dari setiap orang yang menuduh istrinya. Jika mereka berkata: “Lafaz umum itu turun karena sebab khusus, dan yang menjadi pertimbangan adalah kekhususan sebab,” maka dikatakan: Ini tidak diterima, bahkan menurut kami yang menjadi pertimbangan adalah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا أَنَّ السَّبَبَ قَدْ كَانَ مَوْجُودًا وَلَا حُكْمَ ثُمَّ وَرَدَ اللَّفْظُ فَتَعَلَّقَ بِهِ الْحُكْمُ، فَكَانَ اعْتِبَارُ مَا وُجِدَ الْحُكْمُ بِوُجُودِهِ أَوْلَى مِنَ اعْتِبَارِ مَا لَمْ يُوجَدِ الْحُكْمُ بِوُجُودِهِ.

Pertama, sebab itu telah ada namun belum ada hukum, kemudian turunlah lafaz (ayat) sehingga hukum dikaitkan dengannya. Maka mempertimbangkan apa yang keberadaan hukumnya bergantung pada keberadaannya lebih utama daripada mempertimbangkan apa yang tidak ada hukumnya dengan keberadaannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ تَخْصِيصَ الْعُمُومِ إِنَّمَا يَقَعُ بِمَا يُنَافِي اللَّفْظَ وَلَا يَقَعُ بِمَا يُوَافِقُهُ، وَالسَّبَبُ مُوَافِقٌ لَهُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُخَصَّصًا، وَلِأَنَّ كُلَّ قَذْفٍ صَحَّ بِهِ اللِّعَانُ إِذَا كَانَ بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ، صَحَّ بِهِ اللِّعَانُ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ لَفْظِ الشَّهَادَةِ كَالْحَامِلِ، وَلِأَنَّ كُلَّ قَذْفٍ صَحَّ بِهِ لِعَانُ الْحَامِلِ صَحَّ بِهِ الْحَائِلُ قِيَاسًا عَلَى لَفْظِ الشَّهَادَةِ. وَلِأَنَّ لِعَانَ الْأَعْمَى صَحِيحٌ وَإِنِ اسْتَحَالَ مِنْهُ الشَّهَادَةُ، وَفِي هَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ.

Kedua, pengkhususan keumuman hanya terjadi dengan sesuatu yang bertentangan dengan lafaz, bukan dengan sesuatu yang sesuai dengannya. Sedangkan sebab itu sesuai dengannya, maka tidak boleh dijadikan sebagai pengkhusus. Dan karena setiap tuduhan yang sah li‘ān dengannya jika menggunakan lafaz syahadat, maka sah pula li‘ān meskipun tidak dengan lafaz syahadat seperti pada wanita hamil. Dan karena setiap tuduhan yang sah li‘ān pada wanita hamil, maka sah pula pada wanita yang tidak hamil dengan qiyās pada lafaz syahadat. Dan karena li‘ān orang buta itu sah meskipun mustahil baginya melakukan syahadat, dan dalam hal ini terdapat dalil dan penjelasan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ اللِّعَانِ بِكُلِّ قَذْفٍ وَجَبَ بِمِثْلِهِ الْحَدُّ فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّوْجَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ حَائِلًا أَوْ حَامِلًا، فَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ فَيَنْقَسِمُ حَالُهَا ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Apabila telah tetap bolehnya li‘ān pada setiap tuduhan yang mewajibkan had serupa, maka keadaan istri tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia tidak hamil atau sedang hamil. Jika ia tidak hamil (hā’il), maka keadaannya terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: يَجُوزُ أَنْ يَقْذِفَهَا وَيُلَاعِنَ منها وذلك في أربعة أَحْوَالٍ:

Pertama: Boleh menuduh dan melakukan li‘ān terhadapnya, dan itu dalam empat keadaan:

إِمَّا أَنْ يَرَاهَا تَزْنِي، وَإِمَّا أَنْ تُقِرَّ عِنْدَهُ بِالزِّنَا، وَإِمَّا أَنْ يُخْبِرَهُ بِزِنَاهَا ثِقَةٌ يَقَعُ فِي نَفْسِهِ صِدْقُهُ. وَإِمَّا أَنْ يَسْتَفِيضَ فِي النَّاسِ أَنَّهَا تَزْنِي وَيَرَى مَعَ هَذِهِ الِاسْتِفَاضَةِ رَجُلًا قَدْ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا فِي أَوْقَاتِ الرِّيَبِ فَيَتَحَقَّقُ بِهِ صِدْقُ الِاسْتِفَاضَةِ فَيَجُوزُ لَهُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الْأَرْبَعِ أَنْ يَقْذِفَهَا بِالزِّنَا وَيُلَاعِنَ مِنْهَا، فَإِنْ أَمْسَكَ عَنْ قَذْفِهَا وَلِعَانِهَا جَازَ، وَكَانَا عَلَى الزَّوْجِيَّةِ وَحَالِ الْإِبَاحَةِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: إِنَّ امْرَأَتِي لَا تَرُدُّ يَدَ لَامِسٍ فقال له – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” طلقها “، قال: إني أحبها، قال: ” فأمسكها ” فأباح إِمْسَاكَهَا مَعَ مَا كني عَنْهُ مِنْ زِنَاهَا.

Yaitu: apabila ia melihat istrinya berzina; atau istrinya mengakui perzinaan di hadapannya; atau ada orang terpercaya yang memberitahunya tentang perzinaan istrinya dan ia meyakini kebenarannya; atau telah tersebar di masyarakat bahwa istrinya berzina dan ia melihat, bersamaan dengan tersebarnya kabar itu, ada seorang laki-laki keluar dari rumah istrinya pada waktu-waktu yang mencurigakan sehingga ia meyakini kebenaran kabar tersebut. Dalam empat keadaan ini, boleh baginya menuduh istrinya berzina dan melakukan li‘ān terhadapnya. Jika ia menahan diri dari menuduh dan melakukan li‘ān, itu pun boleh, dan keduanya tetap dalam status suami-istri dan dalam keadaan halal, sebagaimana riwayat bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Sesungguhnya istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya.” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Ceraikan dia.” Ia berkata: “Aku mencintainya.” Nabi ﷺ bersabda: “Tahanlah dia.” Maka Nabi ﷺ membolehkan ia tetap mempertahankan istrinya meskipun telah diisyaratkan adanya perzinaan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنَّ الَّتِي لَا يَجُوزُ أَنْ يَقْذِفَهَا وَلَا أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا وَهِيَ الْعَفِيفَةُ، وَهِيَ الَّتِي لَمْ يَرَهَا تَزْنِي وَلَا أَقَرَّتْ بِالزِّنَا، وَلَا اسْتَفَاضَ فِي النَّاسِ زِنَاهَا وَلَا أَخْبَرَهُ ثِقَةٌ بِزِنًا، فَلَا يَحِلُّ لَهُ قَذْفُهَا، وَلَا أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {إن الذين جاؤوا بِالإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ، لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ، لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإِثْمِ، وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ} [النور: 11] .

Bagian kedua: Yaitu istri yang tidak boleh dituduh dan tidak boleh dilakukan li‘ān terhadapnya, yaitu istri yang ‘afīfah (terjaga kehormatannya), yaitu yang tidak dilihat berzina, tidak mengakui perzinaan, tidak tersebar di masyarakat kabar perzinaannya, dan tidak ada orang terpercaya yang memberitahukan perzinaannya. Maka tidak halal baginya menuduh istrinya, dan tidak boleh melakukan li‘ān terhadapnya. Allah Ta‘ala berfirman: {Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya, dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyebaran berita bohong itu, baginya azab yang besar} (an-Nūr: 11).

نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي الْإِفْكِ عَلَى عَائِشَةَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهَا، وَحُكْمُهَا عَامٌّ. وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مُخْتَلَفٌ فِي جَوَازِ قَذْفِهَا وَلِعَانِهَا، وَهُوَ أَنْ يَسْتَفِيضَ فِي النَّاسِ زِنَاهَا، وَلَا يَرَى مَعَ الِاسْتِفَاضَةِ رَجُلًا يَدْخُلُ عَلَيْهَا وَلَا يَخْرُجُ مِنْ عِنْدِهَا، فَفِي جَوَازِ قَذْفِهَا، وَلِعَانِهَا وَجْهَانِ:

Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa ifk (tuduhan palsu) terhadap ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, namun hukumnya bersifat umum. Bagian ketiga: diperselisihkan tentang kebolehan menuduhnya (qadzaf) dan melakukan li‘ān terhadapnya, yaitu apabila telah tersebar luas di tengah masyarakat tentang perzinaannya, namun tidak ada seorang pun yang melihat secara langsung seorang laki-laki masuk ke rumahnya atau keluar dari sisinya. Maka, dalam hal kebolehan menuduhnya dan melakukan li‘ān terhadapnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الِاسْتِفَاضَةَ أَقْوَى مِنْ خَبَرِ الْوَاحِدِ وَإِنْ كَانَ ثِقَةً.

Salah satunya: Boleh, karena tersebarnya kabar (istifāḍah) itu lebih kuat daripada kabar dari satu orang (khabar al-wāḥid) meskipun ia terpercaya.

وَإِنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ تَكُونَ الِاسْتِفَاضَةُ لَوْثًا فِي الْقَسَامَةِ يُحْلَفُ بِهَا عَلَى الْقَتْلِ جَازَ أَنْ تَكُونَ مِنْ شَوَاهِدِ الْقَذْفِ.

Dan karena ketika istifāḍah (kabar yang tersebar luas) dapat dijadikan sebagai indikasi (lawth) dalam kasus qasāmah sehingga dengannya boleh bersumpah atas kasus pembunuhan, maka boleh pula dijadikan sebagai salah satu bukti dalam kasus qadzaf (tuduhan zina).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ إنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقْذِفَهَا بِهِ لِأَنَّ هَذِهِ الِاسْتِفَاضَةَ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تَشْتَهِرَ عَنْ قَوْلٍ وَاحِدٍ يَتَخَرَّصُ عَلَيْهَا بِالْكَذِبِ وَالْأَوَّلُ مِنْهُمَا أَظْهَرُ عِنْدِي، فَأَمَّا إِنْ رَأَى رَجُلًا يَخْرُجُ مِنْ عِنْدِهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْذِفَهَا، لِأَنَّهُ رُبَّمَا خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا لِحَاجَةٍ أَوْ رُبَّمَا وَلَجَ عَلَيْهَا فَلَمْ تُطِعْهُ، فَهَذَا حُكْمُ الْحَائِلِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abū Ḥāmid al-Isfarā’īnī, bahwa tidak boleh menuduhnya (qadzaf) dengan dasar itu, karena istifāḍah ini bisa jadi hanya tersebar dari ucapan satu orang yang mengada-ada dengan kebohongan. Namun, pendapat pertama menurutku lebih kuat. Adapun jika seseorang melihat seorang laki-laki keluar dari rumahnya, maka tidak boleh menuduhnya (qadzaf), karena bisa jadi laki-laki itu keluar karena suatu keperluan, atau mungkin ia masuk namun tidak dituruti (tidak terjadi zina), maka ini adalah hukum bagi wanita yang tidak hamil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

أَمَّا الْحَامِلُ فَيَنْقَسِمُ حَالُهَا خَمْسَةَ أَقْسَامٍ:

Adapun wanita hamil, keadaannya terbagi menjadi lima bagian:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهَا بِغَيْرِ قَذْفٍ وَهُوَ أَنْ تَأْتِيَ بِوَلَدٍ وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا، فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا لِيَنْفِيَ وَلَدًا يَعْلَمُ قَطْعًا أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ حَتَّى لا يحلقه بِالْفِرَاشِ فَيَخْتَلِطَ بِنَسَبِهِ مَنْ لَا يُنَاسِبُهُ، وَيَجْعَلَهُ مَحْرَمًا لِبَنَاتِهِ وَهُنَّ أَجْنَبِيَّاتٌ عَنْهُ، وَإِنَّمَا جَازَ أَنْ يُلَاعِنَ وَإِنْ لَمْ يَقْذِفْ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ زَوْجٍ قَبْلَهُ أَوْ أُكْرِهَتْ عَلَى نَفْسِهَا فَلَا تَكُونُ زَانِيَةً.

Pertama: Wajib baginya melakukan li‘ān tanpa menuduh zina, yaitu apabila ia melahirkan anak padahal suaminya belum pernah berhubungan dengannya. Maka wajib baginya melakukan li‘ān untuk menafikan anak yang ia yakini secara pasti bukan dari dirinya, agar anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya sehingga bercampur dalam nasabnya orang yang tidak berhak, dan agar anak itu tidak menjadi maḥram bagi putri-putrinya padahal mereka adalah orang asing baginya. Diperbolehkan melakukan li‘ān meskipun tanpa menuduh zina, karena bisa jadi anak itu berasal dari suami sebelumnya atau ia dipaksa (diperkosa), sehingga ia tidak dianggap berzina.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ مُلَاعَنَتُهَا لَكِنْ بَعْدَ الْقَذْفِ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَصَابَهَا وَاسْتَبْرَأَهَا وَوَجَدَ مَعَهَا رَجُلًا يَزْنِي بِهَا ثُمَّ أَتَتْ بِحَمْلٍ بَعْدَهُ فَيَجِبُ عَلَيْهِ بِالتَّعْلِيلِ الَّذِي ذَكَرْنَا أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا لِئَلَّا يَدْخُلَ نَسَبَهُ مَنْ لَا يُنَاسِبُهُ، لَكِنْ لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ إِلَّا أن يَقْذِفَ، فَيَصِيرُ الْقَذْفُ لِوُجُوبِ اللِّعَانِ الَّذِي لَا يَصِحُّ إِلَّا بِهِ وَاجِبًا عَلَيْهِ، وَلَوْلَا الْحَمْلُ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ.

Bagian kedua: Wajib baginya melakukan li‘ān, tetapi setelah menuduh zina (qadzaf), yaitu apabila ia telah berhubungan dengannya, telah memastikan rahimnya bersih, lalu mendapati seorang laki-laki berzina dengannya, kemudian ia hamil setelah itu. Maka wajib baginya, dengan alasan yang telah disebutkan, melakukan li‘ān agar tidak masuk ke dalam nasabnya orang yang tidak berhak. Namun, tidak boleh melakukan li‘ān kecuali setelah menuduh zina (qadzaf), sehingga qadzaf menjadi wajib baginya demi menegakkan li‘ān yang tidak sah kecuali dengannya, dan kalau bukan karena kehamilan, maka tidak wajib atasnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَنْ يُلَاعِنَهَا أَوْ يُمْسِكَ، وَهُوَ أن يطأها ولا يستبريها، وَيَرَى رَجُلًا يَزْنِي بِهَا، فَيَكُونُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ اللِّعَانِ بَعْدَ الْقَذْفِ أَوِ الْإِمْسَاكِ، فَأَمَّا نَفْيُ الْوَلَدِ فَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ جَازَ أَنْ يَنْفِيَهُ وَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ مِنْهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفِيَهُ، وَإِنْ لَمْ يَغْلِبْ عَلَى ظَنِّهِ أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ جَازَ أَنْ يُغَلِّبَ فِي نَفْيِهِ حُكْمَ الشَّبَهِ لِأَجْلِ مَا شَاهَدَ مِنَ الزِّنَا لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جعل للشبه في زوجة هلال من أُمَيَّةَ حِينَ وَضَعَتْ وَلَدَهَا تَأْثِيرًا وَقَالَ ” لَوْلَا الْأَيْمَانُ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ “.

Bagian ketiga: Ia diberi pilihan antara melakukan li‘ān atau tetap mempertahankan (istrinya), yaitu apabila ia telah menggaulinya namun belum memastikan rahimnya bersih, lalu melihat seorang laki-laki berzina dengannya. Maka ia diberi pilihan antara melakukan li‘ān setelah menuduh zina (qadzaf) atau tetap mempertahankan istrinya. Adapun penafian anak, jika ia lebih yakin bahwa anak itu bukan dari dirinya, maka boleh menafikannya; namun jika ia lebih yakin anak itu dari dirinya, maka tidak boleh menafikannya. Jika ia tidak lebih condong pada salah satu dari dua kemungkinan, maka boleh baginya menguatkan penafian anak berdasarkan kemiripan (syabah), karena apa yang ia saksikan dari perzinaan. Sebab, Nabi ﷺ memberikan pengaruh pada kemiripan dalam kasus istri Hilāl bin Umayyah ketika ia melahirkan anaknya, dan beliau bersabda, “Kalau bukan karena sumpah, niscaya aku dan dia akan punya urusan tersendiri.”

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ لَا يَجُوزَ لَهُ مُلَاعَنَتُهَا وَلَا نَفْيُ وَلَدِهَا وَهُوَ أَنْ يَكُونَ عَلَى إِصَابَتِهَا وَلَا يَرَاهَا تَزْنِي، وَلَا يُخْبَرُ عَنْهَا بِالزِّنَا، وَلَا يَرَى فِي وَلَدِهَا شَبَهًا مُنْكَرًا فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ لِعَانُهَا وَنَفْيُ وَلَدِهَا لِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ وَلَنْ يُدْخِلَهَا اللَّهُ الْجَنَّةَ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ هُوَ يَرَاهُ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ، وَفَضَحَهُ عَلَى رُؤوسِ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ “.

Bagian keempat: Tidak boleh baginya melakukan li‘ān terhadap istrinya dan tidak pula menafikan anaknya, yaitu apabila ia telah menggaulinya namun tidak melihat istrinya berzina, tidak pula ada kabar tentang perzinaan istrinya, dan tidak pula melihat pada anaknya kemiripan yang mencurigakan. Maka haram baginya melakukan li‘ān terhadap istrinya dan menafikan anaknya, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum anak yang bukan dari mereka, maka ia tidak mendapatkan bagian dari Allah sedikit pun, dan Allah tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya padahal ia melihatnya (sebagai anaknya), maka Allah akan menutup diri darinya dan akan mempermalukannya di hadapan seluruh manusia terdahulu dan yang terakhir.”

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: مَا اخْتُلِفَ فِي جَوَازِ مُلَاعَنَتِهَا: أَنْ تَأْتِيَ بِوَلَدٍ أَسْوَدَ مِنْ بَيْنِ أَبْيَضَيْنِ، أَوْ أَبْيَضَ مِنْ بين أسودين ولا يراها تزني، ولا يخير بِزِنَاهَا، فَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ مِنْهَا وَنَفْيِ وَلَدِهَا بِهَذَا الشَّبَهِ وَجْهَانِ:

Bagian kelima: Hal yang diperselisihkan tentang kebolehan melakukan li‘ān terhadap istrinya, yaitu apabila istrinya melahirkan anak berkulit hitam dari kedua orang tua yang berkulit putih, atau anak berkulit putih dari kedua orang tua yang berkulit hitam, namun ia tidak melihat istrinya berzina dan tidak pula ada kabar tentang perzinaan istrinya. Maka dalam kebolehan melakukan li‘ān terhadap istrinya dan menafikan anaknya karena kemiripan ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِعَانُهَا وَنَفْيُ وَلَدِهَا، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنْ جَاءَتْ بِهِ عَلَى نَعْتِ كَذَا فَلَا أَرَاهُ إِلَّا وَقَدْ صَدَقَ عَلَيْهَا “، فَجَعَلَ لِلشَّبَهِ تَأْثِيرًا.

Salah satunya: Boleh melakukan li‘ān terhadap istrinya dan menafikan anaknya, karena Nabi ﷺ bersabda: “Jika ia melahirkan anak dengan ciri demikian, maka aku tidak melihat kecuali ia benar dalam tuduhannya,” sehingga kemiripan dijadikan sebagai faktor yang berpengaruh.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ، أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا، وَلَا أَنْ يَنْفِيَ وَلَدَهَا، لِرِوَايَةِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ” أَنَّ رجلاً من بني فزار آتِي رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتِي وَلَدَتْ غُلَامًا أَسْوَدَ فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ: مَا أَلْوَانُهَا؟ قَالَ: حُمْرٌ، قَالَ فَهَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَنَّى تَرَاهُ؟ قَالَ: عَنْ أَنْ يَكُونَ عِرْقًا نَزَعَهُ، فَقَالَ: كَذَلِكَ هَذَا عَسَى أَنْ يَكُونَ عِرْقًا نَزَعَهُ “. أَيْ عَسَى أَنْ يَكُونَ فِي آبَائِهِ مَنْ رَجَعَ بِهَذَا الشَّبَهِ إِلَيْهِ والله أعلم.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa tidak boleh melakukan li‘ān terhadap istrinya dan tidak boleh menafikan anaknya, berdasarkan riwayat Sa‘id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah: “Bahwa seorang laki-laki dari Bani Fazarah datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: Wahai Rasulullah, istriku melahirkan seorang anak laki-laki berkulit hitam. Rasulullah bertanya: Apakah kamu memiliki unta? Ia menjawab: Ya. Rasulullah bertanya: Apa warnanya? Ia menjawab: Merah. Rasulullah bertanya: Apakah ada di antara unta-unta itu yang berwarna abu-abu? Ia menjawab: Ada. Rasulullah bertanya: Dari mana menurutmu warna itu berasal? Ia menjawab: Mungkin dari garis keturunan. Rasulullah bersabda: Begitu pula dengan anak ini, mungkin ia berasal dari garis keturunan.” Maksudnya, mungkin di antara nenek moyangnya ada yang memiliki kemiripan tersebut. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ إِمْلَاءً عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ وَلَوْ جَاءَتْ بِحَمْلٍ وَزَوْجُهَا صَبِيٌّ دُونَ الْعَشْرِ لَمْ يَلْزَمْهُ لِأَنَّ الْعِلْمَ يُحِيطُ أَنَّهُ لَا يُولَدُ لِمِثْلِهِ وَإِنْ كَانَ ابْنَ عَشْرِ سِنِينَ وَأَكْثَرَ وَكَانَ يُمْكِنُ أَنْ يُولَدَ لَهُ كَانَ لَهُ حَتَّى يَبْلُغَ فَيَنْفِيَهُ بِلِعَانٍ أَوْ يَمُوتَ قَبْلَ الْبُلُوغِ فَيَكُونَ وَلَدَهُ “.

Al-Muzani raḥimahullāh berkata: “Dan beliau (Imam Syafi‘i) berkata dalam Kitab Nikah dan Talak, sebagai penjelasan atas masalah-masalah Malik: Jika seorang perempuan melahirkan anak sementara suaminya masih anak-anak di bawah usia sepuluh tahun, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya, karena secara ilmu diketahui bahwa anak seusia itu belum bisa mempunyai anak. Namun jika suaminya sudah berusia sepuluh tahun atau lebih dan memungkinkan baginya untuk mempunyai anak, maka ia tetap dianggap sebagai ayahnya sampai ia baligh, sehingga ia dapat menafikan anak itu dengan li‘ān, atau ia meninggal sebelum baligh maka anak itu tetap menjadi anaknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَمُقَدِّمَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بَيَانُ أَقَلِّ الزَّمَانِ الذي يحتلم فيه الغلمان وهو عثر سِنِينَ.

Al-Mawardi berkata: Dan pendahuluan dari masalah ini adalah penjelasan tentang usia minimal anak laki-laki mengalami mimpi basah, yaitu sepuluh tahun.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: اثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً اعْتِبَارًا بِالْوُجُودِ، وَأَنَّهُ لَمْ يَرَ غُلَامًا احْتَلَمَ لأقل منها بدليلنا عَلَيْهِ وُرُودُ السُّنَّةِ بِاعْتِبَارِ الْعَشْرِ فِي أَحْكَامِ الْبُلُوغِ. وَهُوَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: قَالَ ” مُرُوهُمْ بِالطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجح ” ولأن أقل زمان الاحتلام معتبراً بِالْوُجُودِ، وَقَدْ وُجِدَ مَنِ احْتَلَمَ لِعَشْرٍ وَإِنْ نَدَرَ، فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ حَدًّا لِأَقَلِّهِ كَالْحَيْضِ لِتِسْعٍ، وَقَدْ حُكِيَ أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ وُلِدَ لَهُ ابْنُهُ عَبْدُ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ عَشْرِ سِنِينَ وَلَوْ وُجِدَ مَنِ احْتَلَمَ لِأَقَلَّ مِنْهَا فَجَعَلْنَاهُ حَدًّا، لَكِنْ لَمْ يُوجَدْ، كَمَا لَمْ تُوجَدْ مَنْ تَحِيضُ لِأَقَلَّ مِنْ تِسْعٍ ولو وجدت لصارت حداً، فإن قيل: لما صَارَ أَقَلُّ زَمَانِ الْحَيْضِ تِسْعًا وَأَقَلُّ زَمَانِ الِاحْتِلَامِ عَشْرًا.

Abu Hanifah berkata: Dua belas tahun, berdasarkan kenyataan yang ada, karena ia belum pernah melihat anak laki-laki mengalami mimpi basah sebelum usia itu. Namun, dalil kami adalah adanya sunnah yang menetapkan usia sepuluh tahun dalam hukum-hukum baligh. Yaitu, Nabi ﷺ bersabda: “Perintahkanlah mereka untuk bersuci dan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” Karena usia minimal mimpi basah itu ditetapkan berdasarkan kenyataan, dan telah ditemukan anak yang mengalami mimpi basah pada usia sepuluh tahun meskipun jarang, maka usia itu dijadikan sebagai batas minimal, sebagaimana haid pada usia sembilan tahun. Diriwayatkan bahwa ‘Amr bin al-‘Ash memiliki anak bernama Abdullah ketika ia berusia sepuluh tahun. Jika ditemukan anak yang mengalami mimpi basah di bawah usia itu, maka usia tersebut dijadikan sebagai batas, namun hingga kini belum ditemukan, sebagaimana belum ditemukan perempuan yang haid di bawah usia sembilan tahun. Jika ditemukan, maka itu akan menjadi batasnya. Jika ditanyakan: Mengapa usia minimal haid adalah sembilan tahun dan usia minimal mimpi basah adalah sepuluh tahun?

قِيلَ: قَدْ كَانَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، وَيَجْعَلُ أَقَلَّ زَمَانِهِمَا تِسْعَ سِنِينَ، وَيَحْمِلُ كَلَامَ الشَّافِعِيِّ فِي الْعَشْرِ عَلَى أَنَّهَا حَدُّ لُحُوقِ الْوَلَدِ تَقْرِيبًا لِأَقَلِّ زَمَانِهِ وَإِنْ قَلَّ الِاحْتِلَامُ عَلَى التَّحْقِيقِ لِتِسْعِ سِنِينَ كَالْحَيْضِ، لِأَنَّهُمَا لَمَّا اسْتَوَيَا فِي الْبُلُوغِ بِالسِّنِينَ بِخَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْبُلُوغِ بِالْحَيْضِ وَالِاحْتِلَامِ لِتِسْعِ سِنِينَ، فَعَلَى هَذَا لو جاءت امرأته الْغُلَامِ بِوَلَدٍ لِتِسْعِ سِنِينَ وَسِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ التِّسْعِ هِيَ مُدَّةُ أَقَلِّ الْحَمْلِ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ لِإِمْكَانِ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ، وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا مُتَقَدِّمُوهُمْ وَمُتَأَخِّرُوهُمْ إِلَى أَنَّ أَقَلَّ زَمَانِ الِاحْتِلَامِ عَشْرُ سِنِينَ، وَإِنْ كَانَ أَقَلُّ زَمَانِ الْحَيْضِ تِسْعًا لِأَنَّ أَقَلَّهَا مُعْتَبَرٌ بِالْوُجُودِ، وَقَدْ وُجِدَ الْحَيْضُ لِتِسْعٍ وَلَمْ يُوجَدِ الِاحْتِلَامُ لِأَقَلَّ مِنْ عَشْرٍ، وَلَيْسَ يَلْزَمُ اعْتِبَارُ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي الْوُجُودِ، ثُمَّ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي الْمَعْنَى وهو أن دم الحيض يرخيه الرحم بعد اجتماعه لِضَعْفِ الْجَسَدِ عَنْ إِمْسَاكِهِ، وَمَنِيُّ الِاحْتِلَامِ يَخْرُجُ لِقُوَّةِ الْجِسْمِ عَنْ دَفْعِهِ فَصَارَ بَيْنَهُمَا شَبَهٌ لِزِيَادَةِ الْقُوَّةِ بِهِمَا.

Dikatakan: Abu Hamid al-Isfara’ini menggabungkan keduanya, dan menetapkan bahwa usia minimal keduanya adalah sembilan tahun. Ia menafsirkan perkataan asy-Syafi‘i tentang sepuluh tahun sebagai batas keterkaitan anak secara pendekatan dengan usia minimalnya, meskipun ihtilam secara pasti terjadi pada usia sembilan tahun seperti halnya haid. Karena keduanya (laki-laki dan perempuan) telah disamakan dalam baligh berdasarkan usia, yaitu lima belas tahun, maka wajib pula disamakan dalam baligh melalui haid dan ihtilam pada usia sembilan tahun. Maka, berdasarkan hal ini, jika istri seorang anak laki-laki melahirkan anak pada usia sembilan tahun dan enam bulan setelah sembilan tahun—yang merupakan masa minimal kehamilan—maka anak itu dinisbatkan kepadanya karena memungkinkan anak itu berasal darinya. Namun, mayoritas ulama kami, baik yang terdahulu maupun yang belakangan, berpendapat bahwa usia minimal ihtilam adalah sepuluh tahun, meskipun usia minimal haid adalah sembilan tahun, karena minimalnya ditetapkan berdasarkan adanya kejadian. Haid telah ditemukan pada usia sembilan tahun, sedangkan ihtilam belum ditemukan pada usia kurang dari sepuluh tahun. Tidak wajib menyamakan salah satunya dengan yang lain karena perbedaan dalam keberadaannya, juga karena perbedaan maknanya; yaitu bahwa darah haid keluar karena rahim melemah setelah berkumpulnya darah akibat lemahnya tubuh untuk menahannya, sedangkan mani ihtilam keluar karena kekuatan tubuh untuk mendorongnya keluar. Maka, terdapat kemiripan di antara keduanya dalam hal bertambahnya kekuatan pada keduanya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَنَّ أَقَلَّ زَمَانِ الِاحْتِلَامِ عَشْرُ سِنِينَ فَمَتَى وَضَعَتْ زَوْجَةُ الْغُلَامِ وَلَدًا نَظَرْنَا فَإِنْ كَانَ لَهُ عِنْدَ وِلَادَتِهَا أَقَلُّ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ لَمْ يُلْحَقْ بِهِ الْوَلَدُ وَكَانَ مُنْتَفِيًا عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ لِاسْتِحَالَةِ أَنْ يَكُونَ مَخْلُوقًا مِنْ مَائِهِ، وَإِذَا اسْتَحَالَ لُحُوقُ النَّسَبِ بِالْفِرَاشِ انْتَفَى عَنْهُ، كَمَنْ وَضَعَتْ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ وَإِنْ وَلَدَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا أُلْحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، لِأَنَّ الْعَشْرَ سِنِينَ أَقَلُّ زَمَانِ الِاحْتِلَامِ، وَالسِّتَّةَ أَشْهُرٍ أَقَلُّ مُدَّةِ الْحَمْلِ، فَصَارَ لُحُوقُهُ مُمْكِنًا، وَالْأَنْسَابُ تُلْحَقُ بِالْإِمْكَانِ، وَإِنْ وَلَدَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ. وَأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَهَا لَمْ يُلْحَقْ بِهِ، لِأَنَّ الْعُلُوقَ يَصِيرُ لِأَقَلَّ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ فَلِذَلِكَ انْتَفَى عَنْهُ، كَمَنْ وَلَدَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ، وَهَذَا وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ بِهِ الشَّافِعِيُّ فَهُوَ مَعْلُومٌ مِنْ أُصُولِ مَذْهَبِهِ فَلِذَلِكَ أَطْلَقَهُ فَلَوْ مَاتَ الزَّوْجُ لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا بِوَضْعِهِ لنفيه عنه، واعتدت بأربعة أشهر وعشراً. وَإِذَا لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ لِعَشْرِ سِنِينَ وَسِتَّةِ أَشْهُرٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِهِ حَتَّى يَبْلُغَ، فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ جَعَلْتُمُوهُ فِي حُكْمِ الْبُلُوغِ فِي لُحُوقِ الْوَلَدِ بِهِ، وَلَمْ تَجْعَلُوهُ فِي حُكْمِ الْبُلُوغِ فِي اللِّعَانِ؟ . وَمِنَ الْمُمْتَنِعِ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْبُلُوغِ فِي شيء دون شيء. قيل: الفرق بين لوحق الولد ولنفيه مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jika telah dipastikan sebagaimana yang kami jelaskan bahwa usia minimal ihtilam adalah sepuluh tahun, maka kapan pun istri seorang anak laki-laki melahirkan anak, kita perhatikan: jika pada saat kelahiran anak itu usia suaminya kurang dari sepuluh tahun, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya dan dianggap bukan anaknya tanpa perlu li‘an, karena mustahil anak itu berasal dari air maninya. Jika mustahil nasab itu terkait dengan hubungan pernikahan, maka nasab itu terputus, seperti halnya jika seorang wanita melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak akad nikah. Namun, jika ia melahirkan anak lebih dari sepuluh tahun enam bulan, maka anak itu dinisbatkan kepadanya, karena sepuluh tahun adalah usia minimal ihtilam dan enam bulan adalah masa minimal kehamilan, sehingga keterkaitan nasab menjadi mungkin, dan nasab itu ditetapkan berdasarkan kemungkinan. Jika ia melahirkan anak lebih dari sepuluh tahun, tetapi kurang dari enam bulan setelahnya, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya, karena kehamilan terjadi pada usia kurang dari sepuluh tahun, sehingga nasab itu terputus, sebagaimana jika ia melahirkan anak pada usia kurang dari sepuluh tahun. Hal ini meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit oleh asy-Syafi‘i, namun telah diketahui dari ushul mazhabnya, sehingga ia membiarkannya secara mutlak. Jika suami meninggal, maka masa iddahnya tidak selesai dengan kelahiran anak tersebut karena anak itu tidak dinisbatkan kepadanya, dan ia tetap menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari. Jika anak itu dinisbatkan kepadanya karena lahir pada usia sepuluh tahun enam bulan, maka ia tidak boleh melakukan li‘an untuk menafikan anak itu sampai ia baligh. Jika ada yang bertanya: Mengapa kalian menetapkan hukum baligh dalam keterkaitan nasab anak kepadanya, tetapi tidak menetapkannya dalam hukum baligh untuk li‘an? Padahal tidak mungkin hukum baligh berlaku pada satu hal tetapi tidak pada hal lain. Maka dijawab: Perbedaan antara keterkaitan nasab dan penafian nasab dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ لُحُوقَ الْوَلَدِ مُعْتَبَرٌ بِالْإِمْكَانِ، وَقَدْ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ بَالِغًا فَأَلْحَقْنَاهُ، وَنَفْيَ الْوَلَدِ مُعْتَبَرٌ بِالْيَقِينِ، وَلَسْنَا عَلَى يَقِينٍ مِنْ بُلُوغِهِ فَمَنَعْنَاهُ مِنْ نَفْيِهِ.

Pertama: Keterkaitan nasab anak ditetapkan berdasarkan kemungkinan, dan bisa jadi ia telah baligh sehingga kami nisbatkan anak itu kepadanya. Sedangkan penafian nasab anak ditetapkan berdasarkan keyakinan, dan kami tidak yakin bahwa ia telah baligh, maka kami tidak membolehkannya menafikan anak itu.

وَالثَّانِي: أَنَّ لُحُوقَ الْوَلَدِ بِهِ حَقٌّ عَلَيْهِ فَأَلْحَقْنَاهُ بِهِ مَعَ الْإِمْكَانِ، وَنَفْيَ النَّسَبِ حَقٌّ لَهُ. فَلَمْ يُسْتَبَحْ نَفْيُهُ بِالْإِمْكَانِ.

Kedua: Keterkaitan nasab anak kepadanya adalah hak yang wajib baginya, sehingga kami nisbatkan anak itu kepadanya selama masih mungkin. Sedangkan penafian nasab adalah hak baginya, maka tidak dibolehkan menafikan nasab hanya berdasarkan kemungkinan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا مُنِعَ مِنْ نَفْيِهِ بَعْدَ لُحُوقِهِ كَانَ نَفْيُهُ مُعْتَبَرًا بِبُلُوغِهِ، وَذَلِكَ يَكُونُ بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: إِمَّا بِاسْتِكْمَالِ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً يَصِيرُ بِهَا بَالِغًا. وَإِمَّا بِأَنْ يَرَى احْتِلَامَهُ بِإِنْزَالِ الْمَنِيِّ فَيَصِيرُ بَالِغًا.

Maka apabila ia dicegah untuk menafikannya setelah anak itu mencapai usia baligh, maka penafian itu dianggap sah dengan tercapainya usia baligh. Hal itu dapat terjadi dengan salah satu dari tiga hal: Pertama, dengan sempurnanya usia lima belas tahun sehingga ia menjadi baligh. Kedua, dengan melihat adanya mimpi basah yang diikuti keluarnya mani, sehingga ia menjadi baligh.

وَإِمَّا بِأَنْ يَدَّعِيَ الِاحْتِلَامَ فَيُحْكَمُ بِبُلُوغِهِ وَيُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيهِ كَمَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْمَرْأَةِ فِي حَيْضِهَا. فَإِذَا نَفَاهُ بِاللِّعَانِ بَعْدَ بُلُوغِهِ انْتَفَى عَنْهُ، وَلَوْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ ثَبَتَ نَسَبُهُ وَلَمْ يَكُنْ لِوَرَثَتِهِ أَنْ يُلَاعِنُوا عَنْهُ لِأَنَّ اللِّعَانَ لَا يَصِحُّ إِلَّا مِنْ زَوْجٍ يَمْلِكُ الطَّلَاقَ، وَلَوْ وَضَعَتِ الْوَلَدَ بَعْدَ مَوْتِهِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوَضْعِهِ، كَذَلِكَ لَوْ وَضَعَتْهُ بَعْدَ لِعَانِهِ؛ لِأَنَّهُ لَوِ اسْتَلْحَقَهُ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بَعْدَ اللِّعَانِ لَحِقَ بِهِ، وَلَوِ اسْتَلْحَقَ الْمَوْلُودَ لَأَقَلَّ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ فَافْتَرَقَا فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ.

Atau dengan mengaku telah mengalami mimpi basah, maka diputuskan ia telah baligh dan ucapannya diterima dalam hal ini, sebagaimana ucapan perempuan diterima dalam hal haidnya. Maka apabila ia menafikan anak itu dengan li‘ān setelah anak itu baligh, maka anak itu ternafikan darinya. Namun jika ia meninggal sebelum melakukan li‘ān, maka nasab anak itu tetap dinisbatkan kepadanya, dan ahli warisnya tidak berhak melakukan li‘ān atas namanya, karena li‘ān tidak sah kecuali dari suami yang masih memiliki hak talak. Jika istrinya melahirkan anak setelah kematiannya, maka masa ‘iddahnya selesai dengan kelahiran anak tersebut. Demikian pula jika ia melahirkan setelah li‘ān, karena jika suami mengakui anak itu dalam masa berakhirnya ‘iddah setelah li‘ān, maka anak itu dinisbatkan kepadanya. Namun jika ia mengakui anak yang lahir kurang dari sepuluh tahun, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya. Maka terdapat perbedaan dalam hal berakhirnya masa ‘iddah.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ، وَحَكَاهُ ابْنُ الْقَطَّانِ عَنْهُ أَنَّهُ إِذَا مَاتَ قَامَ وَرَثَتُهُ مَقَامَهُ، وَلَمْ يُرِدْ بِهِ فِي اللِّعَانِ، وَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ مَسْأَلَةً مَخْصُوصَةً وَهُوَ أَنْ يُنْكِرَ الزَّوْجُ وِلَادَتَهَا لَهُ، وَيَقُولَ الْتَقَطْيهِ وَلَمْ تَلِدِيهِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ حَتَّى تُقِيمَ الْبَيِّنَةَ عَلَى ولادته، فلو مات الزوج قبل أن يخلق قَامَ وَرَثَتُهُ مَقَامَهُ فِي أَنْ يَحْلِفُوا أَنَّهَا لَمْ تَلِدْهُ، فَإِنْ نَكَلُوا حَلَفَتْ عَلَى وِلَادَتِهِ وَلَحِقَ بِالزَّوْجِ، فَإِنْ نَكَلَتْ فَفِي وُقُوفِ الْيَمِينِ عَلَى بُلُوغِ الْوَلَدِ وَجْهَانِ مَضَيَا فِي مَوَاضِعَ تقدمت.

Imam Syafi‘i berkata dalam sebagian kitabnya, dan hal ini juga dinukil oleh Ibn al-Qattān darinya, bahwa jika suami meninggal, maka ahli warisnya menggantikan posisinya. Namun, yang dimaksud bukan dalam perkara li‘ān, melainkan dalam masalah khusus, yaitu apabila suami mengingkari kelahiran anak itu darinya dan berkata, “Aku hanya memungutnya, bukan engkau yang melahirkannya.” Maka ucapan suami diterima dengan sumpahnya, sampai istri mendatangkan bukti atas kelahirannya. Jika suami meninggal sebelum bersumpah, maka ahli warisnya menggantikan posisinya untuk bersumpah bahwa istri tidak melahirkan anak itu. Jika mereka enggan bersumpah, maka istri bersumpah atas kelahirannya dan anak itu dinisbatkan kepada suami. Jika istri enggan bersumpah, maka dalam hal penundaan sumpah hingga anak baligh terdapat dua pendapat yang telah dijelaskan pada tempat-tempat sebelumnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ بَالِغًا مَجْبُوبًا كَانَ لَهُ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِلِعَانٍ لِأَنَّ الْعِلْمَ لَا يُحِيطُ أَنَّهُ لَا يُحْمَلُ لَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang laki-laki baligh dalam keadaan majbūb (terputus kemaluannya), maka tetap baginya hak untuk menafikan anak itu dengan li‘ān, karena ilmu tidak dapat memastikan bahwa ia tidak mungkin memiliki keturunan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمَجْبُوبُ: فَهُوَ الْمَقْطُوعُ الذَّكَرِ، وَأَمَّا الْخَصْيُّ: فَهُوَ الْمَقْطُوعُ الْخِصْيَتَيْنِ، فَإِنْ كَانَ الْخَصْيُ بَاقِيَ الذَّكَرِ فَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِهِ، وَلَا يَنْتَفِي عَنْهُ إِلَّا بِاللِّعَانِ؛ لِأَنَّ إِيلَاجَ الذَّكَرِ يَحْتَلِبُ الْمَنِيَّ مِنَ الظَّهْرِ، وَإِنْ كَانَ مَجْبُوبَ الذَّكَرِ فَالَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّ الْوَلَدَ لَهُ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِلِعَانٍ، وَعَلَّلَ بِأَنَّ الْعِلْمَ لَا يُحِيطُ أَنَّهُ لَا يُحْمَلُ لَهُ يَعْنِي أَنَّنَا لَا نَتَيَقَّنُ عَدَمَ إِنْزَالِهِ، وَنَقَلَ الرَّبِيعُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ “. وَعَلَّلَ فَقَالَ: ” لِأَنَّ الْعِلْمَ لَا يُحِيطُ أَنَّهُ لَا يُحْمَلُ لَهُ ” وَهَذَا التَّعْلِيلُ يَدُلُّ عَلَى نَفْيِ الْوَلَدِ عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ.

Al-Māwardī berkata: Adapun majbūb adalah laki-laki yang terputus kemaluannya, sedangkan khashī adalah yang terputus kedua testisnya. Jika seorang khashī masih memiliki kemaluan, maka anak itu tetap dinisbatkan kepadanya dan tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘ān, karena penetrasi kemaluan dapat mengeluarkan mani dari punggung. Jika yang terputus adalah kemaluannya, maka menurut riwayat al-Muzanī, anak itu tetap dinisbatkan kepadanya kecuali jika ia menafikannya dengan li‘ān. Alasannya adalah karena ilmu tidak dapat memastikan bahwa ia tidak mungkin memiliki keturunan, maksudnya kita tidak dapat memastikan ia tidak mengeluarkan mani. Al-Rabī‘ juga meriwayatkan masalah ini dari Imam Syafi‘i dalam kitab “al-Umm”, dan beliau beralasan: “Karena ilmu tidak dapat memastikan bahwa ia tidak mungkin memiliki keturunan.” Alasan ini menunjukkan kemungkinan dinafikannya anak darinya tanpa li‘ān.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِاخْتِلَافِ هَذَا التَّعْلِيلِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Para ulama kami berbeda pendapat karena perbedaan alasan ini menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْهُمْ إنَّ تَعْلِيلَ الْمُزَنِيِّ هُوَ الصَّحِيحُ، وَأَنَّ الْوَلَدَ لَاحِقٌ بِهِ لَا يَنْتَفِي عَنْهُ إِلَّا بلعان، لأننا لسنا نقطع يقيناً بعد الْإِنْزَالِ، وَإِنَّمَا الْأَغْلَبُ مِنْ حَالِهِ أَنَّهُ لَا يُنْزِلُ، وَقَدْ يَجُوزُ فِي الْمُمْكِنِ إِذَا سَاحَقَ فَرْجَ الْمَرْأَةِ أَنْ يُنْزِلَ ثُمَّ يَجْتَذِبُ الْفَرَجُ الْمَاءَ إِذَا أَنْزَلَ، ثُمَّ يَجُوزُ أَنْ تَحْبَلَ الْبِكْرُ بِأَنْ يَجْتَذِبَ فَرْجُهَا مَنِيَّ الرَّجُلِ إِذَا أنزل خارج الفرج ويلحق بِهِ وَلَدَهَا، كَذَلِكَ وَلَدُ الْمَجْبُوبِ يَجُوزُ أَنْ يُوجَدَ ذَلِكَ فِيهِ فَيَلْحَقَ بِهِ الْوَلَدُ؛ لِأَنَّ الولد يلحق من طريق الإمكان وإن كن بَعِيدًا فِي الْوُجُودِ.

Pertama, dan ini adalah pendapat mayoritas mereka, bahwa alasan al-Muzanī adalah yang benar, dan anak itu tetap dinisbatkan kepadanya dan tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘ān, karena kita tidak dapat memastikan secara yakin tentang keluarnya mani, meskipun pada umumnya ia tidak mengeluarkan mani. Namun, secara kemungkinan, jika ia menggesekkan kemaluannya ke kemaluan perempuan, bisa saja ia mengeluarkan mani, lalu kemaluan perempuan menarik mani itu jika keluar, dan bisa saja seorang perawan hamil karena kemaluannya menarik mani laki-laki jika keluar di luar kemaluan, sehingga anaknya dinisbatkan kepadanya. Demikian pula anak dari majbūb, bisa saja terjadi hal itu padanya sehingga anak itu dinisbatkan kepadanya, karena anak bisa dinisbatkan melalui kemungkinan meskipun sangat jarang terjadi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنَّهُ إِنْ كَانَ الْمَجْبُوبُ خَصِيًّا مَمْسُوحَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ الْوَلَدُ؛ لِأَنَّ الْأُنْثَيَيْنِ مَحَلُّ الْمَنِيِّ الَّذِي يَتَدَفَّقُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ مِنَ الظَّهْرِ فَإِذَا عَدِمَ الْمَمْسُوحُ الذَّكَرِ الَّذِي يَجْتَذِبُ بِهِ مِنَ الظَّهْرِ وَعَدِمَ الْأُنْثَيَيْنِ الَّذَيْنِ يَجْتَمِعُ فِيهِمَا مَاءُ الظَّهْرِ، اسْتَحَالَ الْإِنْزَالُ فَلَمْ يَلْحَقْ بِهِ الْوَلَدُ وَإِنْ كَانَ بَاقِيَ الْأُنْثَيَيْنِ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ لِإِمْكَانِ إِنْزَالِ الْمَنِيِّ لِقُرْبِ مَخْرَجِهِ فَاسْتَغْنَى عَنِ اجْتِذَابِ الذَّكَرِ لَهُ مِنَ الظَّهْرِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa jika seorang yang terputus alat kelaminnya (majbūb) adalah seorang kasim (khasī) yang terhapus penis dan kedua testisnya, maka anak tidak dinasabkan kepadanya; karena kedua testis adalah tempat air mani yang mengalir setelah terpisah dari tulang punggung. Maka apabila orang yang terhapus penisnya tidak memiliki penis yang dapat menarik air mani dari tulang punggung, dan tidak memiliki kedua testis yang menjadi tempat berkumpulnya air mani dari tulang punggung, maka mustahil terjadi ejakulasi, sehingga anak tidak dinasabkan kepadanya. Namun jika masih tersisa salah satu testis, maka anak tetap dinasabkan kepadanya karena masih mungkin terjadi ejakulasi karena dekatnya saluran keluarnya, sehingga tidak membutuhkan penis untuk menarik air mani dari tulang punggung.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَرُوذِيّ إنَّ فِي أَصْلِ الذَّكَرِ إِذَا جُبَّ ثُقْبَيْنِ،

Pendapat ketiga: yaitu pendapat Abu Hamid al-Marwurudzi, bahwa pada pangkal penis jika terputus terdapat dua lubang,

أَحَدُهُمَا: مَخْرَجُ الْبَوْلِ، وَالْآخَرُ مَخْرَجُ الْمَنِيِّ، فَإِذَا كَانَ مَخْرَجُ الْمَنِيِّ قَدِ انْسَدَّ وَالْتَحَمَ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ الْوَلَدُ لِاسْتِحَالَةِ إِنْزَالِهِ، وَإِنْ كَانَ مَخْرَجُ الْمَنِيِّ بَاقِيًا كَمَخْرَجِ الْبَوْلِ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، لِجَوَازِ إِنْزَالِهِ وَاللَّهُ أعلم بالصواب.

Salah satunya adalah saluran kencing, dan yang lainnya adalah saluran air mani. Jika saluran air mani telah tertutup dan menyatu, maka anak tidak dinasabkan kepadanya karena mustahil terjadi ejakulasi. Namun jika saluran air mani masih ada seperti saluran kencing, maka anak tetap dinasabkan kepadanya karena masih mungkin terjadi ejakulasi. Dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ قَذَفْتُكِ وَعَقْلِي ذَاهِبٌ فَهُوَ قَاذِفٌ إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ ذَلِكَ يُصِيبُهُ فَيُصَدَّقُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Aku menuduhmu berzina saat akalku hilang,’ maka ia tetap dianggap sebagai penuduh kecuali diketahui bahwa ia memang mengalami kondisi tersebut, maka ia dibenarkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُهُ إِذَا قَالَ: قَذَفْتُكِ وَعَقْلِي ذَاهِبٌ، مِنْ أَنْ يُعْلَمَ ذَهَابُ عَقْلِهِ فِيمَا تَقَدَّمَ أَوْ لَا يُعْلَمَ، فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ لَهُ حَالٌ يَذْهَبُ فِيهَا عَقْلُهُ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي ذَهَابِ عَقْلِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa keadaannya, jika ia berkata: “Aku menuduhmu berzina saat akalku hilang,” tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah diketahui sebelumnya bahwa ia pernah kehilangan akal atau tidak diketahui. Jika tidak diketahui bahwa ia pernah mengalami hilang akal, maka pengakuannya tentang hilangnya akal tidak diterima karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَصْلَ فِي النَّاسِ الصِّحَّةُ حَتَّى يُعْلَمَ مَا عَدَاهَا.

Pertama: Hukum asal pada manusia adalah sehat sampai diketahui selainnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الظَّاهِرَ فِيهِ كَوْنُهُ عَلَى الْحَالِ الَّتِي هُوَ الْآنَ عَلَيْهَا، فَإِنْ أَرَادَ إِحْلَافَ الْمَقْذُوفِ عَلَى صِحَّةِ عَقْلِهِ عِنْدَ قَذْفِهِ كَانَ إِحْلَافُ الْمَقْذُوفِ مُعْتَبَرًا بِحَالِ الْقَاذِفِ، فَإِنْ عُلِمَ صِحَّةُ عَقْلِه لَمْ يَكُنْ لَهُ إِحْلَافُ الْمَقْذُوفِ، وَجَازَ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ لِوُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَقْطَعْ بِصِحَّةِ عَقْلِهِ مِنْ قَبْلُ كَانَ لَهُ إِحْلَافُ الْمَقْذُوفِ بِأَنَّ الْقَاذِفَ كَانَ صَحِيحَ الْعَقْلِ عِنْدَ قَذْفِهِ، وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَحْلِفَ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ صَحِيحَ الْعَقْلِ؛ لِأَنَّ الْمُرَاعَى فِي حَقِّهِ صِحَّةُ الْعَقْلِ عِنْدَ قَذْفِهِ، وَإِنْ نَكِلَ الْمَقْذُوفُ عَنِ الْيَمِينِ، حَلَفَ الْقَاذِفُ أَنَّهُ كَانَ ذَاهِبَ الْعَقْلِ عِنْدَ قَذْفِهِ وَسَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ بَعْدَ سُقُوطِهِ.

Kedua: Yang tampak pada dirinya adalah ia berada pada keadaan sebagaimana ia sekarang. Jika pihak yang dituduh ingin meminta sumpah atas kesehatan akal penuduh saat menuduh, maka sumpah pihak yang dituduh dianggap sesuai dengan keadaan penuduh. Jika diketahui bahwa penuduh sehat akalnya, maka pihak yang dituduh tidak berhak meminta sumpah, dan penuduh boleh melakukan li‘ān karena wajibnya hukuman had atasnya. Namun jika tidak dipastikan sebelumnya bahwa penuduh sehat akalnya, maka pihak yang dituduh berhak meminta sumpah bahwa penuduh sehat akalnya saat menuduh, dan tidak wajib baginya bersumpah bahwa penuduh selalu sehat akalnya; karena yang diperhatikan dalam haknya adalah kesehatan akal penuduh saat menuduh. Jika pihak yang dituduh enggan bersumpah, maka penuduh bersumpah bahwa ia kehilangan akal saat menuduh, sehingga gugurlah hukuman had darinya dan ia tidak boleh melakukan li‘ān setelah gugurnya had.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِنْ عُلِمَ ذَهَابُ عَقْلِهِ فِي حَالٍ مِنْ أَحْوَالِهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْقَذْفِ مِنْ أَمْرَيْنِ:

Jika diketahui bahwa ia pernah kehilangan akal dalam salah satu keadaannya, maka keadaan penuduhan tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ تَقُومَ بِهِ بَيِّنَةٌ أَوْ لَا تَقُومَ، فَإِنْ لَمْ تَقُمْ بِهِ بَيِّنَةٌ لِمَنِ ادَّعَى الْقَذْفَ، فَقَالَ كَانَ هَذَا الْقَذْفُ مني وأنا ذاهب العقل، أن قَالَ: قَذَفْتُكِ هَذَا الْقَذْفَ وَأَنَا ذَاهِبُ الْعَقْلِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، لَا يَخْتَلِفُ، وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ جَنْبَهُ حِمًى، وَلَمْ يَثْبُتْ عَلَيْهِ قَذْفٌ يُوجِبُ الْحَدَّ، وَإِنْ قَامَتْ عَلَيْهِ بِالْقَذْفِ بَيِّنَةٌ، فَقَالَ عِنْدَ ثُبُوتِهَا عَلَيْهِ: كُنْتُ عِنْدَ قَذْفِي هَذَا ذَاهِبَ الْعَقْلِ، فَلَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Bisa jadi ada bukti (bayyinah) atau tidak ada. Jika tidak ada bukti bagi yang mengaku telah menuduh, lalu ia berkata: “Penuduhan ini aku lakukan saat akalku hilang,” atau ia berkata: “Aku menuduhmu dengan tuduhan ini saat akalku hilang,” maka ucapannya diterima dengan sumpahnya, tidak ada perbedaan, dan tidak dikenakan hukuman had atasnya menurut satu pendapat, karena dirinya terlindungi, dan tidak terbukti adanya penuduhan yang mewajibkan hukuman had. Namun jika ada bukti atas penuduhan tersebut, lalu setelah terbukti ia berkata: “Saat aku menuduh ini, akalku hilang,” maka ada tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا أَنْ تَشْهَدَ الْبَيِّنَةُ بِالْقَذْفِ، أَنَّهُ كَانَ صَحِيحَ الْعَقْلِ عِنْدَ قَذْفِهِ، فَالْحَدُّ وَاجِبٌ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لِدَعْوَاهُ تَأْثِيرٌ فِي سُقُوطِهِ.

Pertama, jika bukti (bayyinah) atas penuduhan menyatakan bahwa ia sehat akalnya saat menuduh, maka hukuman had wajib atasnya, dan pengakuannya tidak berpengaruh dalam menggugurkan hukuman tersebut.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُقِيمَ الْقَاذِفُ بَيِّنَةً أَنَّهُ كَانَ ذَاهِبَ الْعَقْلِ عِنْدَ قَذْفِهِ، فَيُحْكَمُ بِهَا إِذَا شَهِدَتْ بِذَهَابِ عَقْلِهِ فِي قَذْفٍ قَذَفَهَا بِهِ وَلَمْ يَسْقُطِ الْحَدُّ عَنْهُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَا قَذْفَيْنِ:

Keadaan kedua: Yaitu apabila si penuduh mendatangkan bukti bahwa ia sedang tidak berakal ketika melakukan tuduhan, maka bukti tersebut diterima jika bersaksi bahwa akalnya hilang pada saat ia menuduh, dan hukuman had tetap tidak gugur darinya karena dimungkinkan keduanya adalah dua tuduhan yang berbeda:

أَحَدُهُمَا: فِي صِحَّةٍ، وَالْآخَرُ فِي مَرَضٍ.

Salah satunya: dilakukan dalam keadaan sehat, dan yang lainnya dalam keadaan sakit.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ لَا يُقِيمَ الْمَقْذُوفُ بَيِّنَةً عَلَى صِحَّةِ عَقْلِهِ عِنْدَ الْقَذْفِ، وَلَا يُقِيمَ الْقَاذِفُ بَيِّنَةً عَلَى ذَهَابِ عَقْلِهِ عِنْدَ الْقَذْفِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Keadaan ketiga: Yaitu apabila pihak yang dituduh tidak mendatangkan bukti atas kesehatan akalnya saat penuduhan, dan si penuduh juga tidak mendatangkan bukti atas hilangnya akal saat penuduhan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْقَاذِفِ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ، وَهُوَ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ:

Salah satunya: Bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat si penuduh dan tidak dikenakan had atasnya, dan inilah yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i:

لِأَنَّ وُجُوبَ الْحَدِّ مَشْرُوطٌ بِصِحَّةِ الْعَقْلِ وَذَلِكَ مُحْتَمَلٌ، فَصَارَتْ شُبْهَةً فِي إِدْرَائِهِ.

Karena kewajiban had disyaratkan dengan kesehatan akal, dan hal itu masih mungkin (tidak pasti), sehingga menjadi syubhat dalam penerapan had.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَقْذُوفِ مَعَ يَمِينِهِ اعْتِبَارًا بِالْأَصْلِ فِي الصِّحَّةِ، وَيُحَدُّ الْقَاذِفُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ زَوْجًا فَيُلَاعِنُ، وَهَذَا قَوْلٌ مُخَرَّجٌ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِهِ.

Pendapat kedua: Bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang dituduh dengan sumpahnya, berdasarkan asal hukum pada kesehatan (akal), dan si penuduh dikenakan had kecuali jika ia adalah suami, maka dilakukan li‘ān, dan ini adalah pendapat yang diistinbathkan dan para ulama kami berbeda pendapat dalam mengistinbathkannya.

فَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ هو مخرج اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي قَطْعِ الْمَلْفُوفِ فِي ثَوْبٍ إِذَا ادَّعَى قَاطِعُهُ أَنَّهُ كَانَ مَيِّتًا، وَادَّعَى وَلِيُّهُ أَنَّهُ كَانَ حَيًّا.

Abu Hamid al-Isfarayini berkata: Ini diistinbathkan dari perbedaan dua pendapat dalam kasus memotong kain yang membungkus mayat, apabila orang yang memotong mengaku bahwa yang dipotong itu sudah mati, sedangkan walinya mengaku bahwa ia masih hidup.

وَقَالَ ابْنُ سُرَاقَةَ: هُوَ مُخَرَّجٌ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي اللَّفْظِ إذا قذف وادعى أنه عبد.

Ibn Surāqah berkata: Ini diistinbathkan dari perbedaan dua pendapat dalam lafaz apabila seseorang menuduh dan mengaku bahwa yang dituduh adalah seorang budak.

والفرق بين أن يقر بالقذف من غير بينة ويدعي فيه ذهاب العقل فيقبل قولاً واحداً، وبين أن يدعيه بعد قيام البينة عليه فلا يقبل في أحد القولين، أن البينة قد تقررت بشهادة توجب الحد والإقرار له بتجرد عن دعوى تسقط الحد والحدود تدرأ بالشبهات بخلاف الحقوق والله أعلم.

Perbedaan antara mengakui perbuatan menuduh tanpa bukti dan mengaku hilang akal sehingga diterima menurut satu pendapat, dan antara mengaku setelah adanya bukti sehingga tidak diterima menurut salah satu pendapat, adalah bahwa bukti telah ditetapkan dengan kesaksian yang mewajibkan had, sedangkan pengakuan tanpa disertai klaim yang menggugurkan had, dan had-had digugurkan dengan adanya syubhat, berbeda dengan hak-hak (perdata). Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُلَاعِنُ الْأَخْرَسُ إِذَا كَانَ يَعْقِلُ الْإِشَارَةَ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ لَا يُلَاعِنُ وَإِنْ طَلَّقَ وَبَاعَ بِإِيمَاءٍ أَوْ بِكِتَابٍ يُفْهَمُ جَازَ قَالَ وَأُصْمِتَتْ أُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ فَقِيلَ لَهَا لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا فَأَشَارَتْ أَنْ نَعَمْ فَرُفِعَ ذلك فرأيت أنه وَصِيَّةٌ “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Orang bisu dapat melakukan li‘ān jika ia memahami isyarat, dan sebagian ulama berkata: Tidak boleh melakukan li‘ān, namun jika ia menjatuhkan talak atau menjual dengan isyarat atau dengan tulisan yang dapat dipahami, maka itu sah. Ia berkata: Ummamah binti Abi al-‘Ash menjadi bisu, lalu dikatakan kepadanya: ‘Untuk si fulan ini, untuk si fulan itu,’ lalu ia memberi isyarat ‘ya’, maka hal itu disampaikan (kepada hakim), dan aku memandangnya sebagai wasiat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْخَرَسُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bisu itu ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ.

Pertama: Bisu sejak asal penciptaan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِعِلَّةٍ، فَإِنْ كَانَ مَنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ مَوْجُودًا مَعَ الْوِلَادَةِ، فَهَذَا مُسْتَقِرٌّ لَا يُرْجَى زَوَالُهُ فَيَكُونُ هَذَا الْأَخْرَسُ فِي الْأَحْكَامِ الْمُتَعَلِّقَةِ بأقواله معتبرا بها حال الإشارة، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَفْهُومِ الْإِشَارَةِ، وَلَا مَقْرُوءِ الْكِتَابَةِ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ عَقْدٌ وَلَا قَذْفٌ وَلَا لِعَانٌ، وَإِنْ كَانَ مَفْهُومَ الْإِشَارَةِ، مَقْرُوءَ الْكِتَابَةِ صَحَّتْ عُقُودُهُ اتِّفَاقًا.

Kedua: Karena suatu sebab. Jika bisu sejak asal penciptaan dan sudah ada sejak lahir, maka ini menetap dan tidak diharapkan sembuh, sehingga orang bisu seperti ini dalam hukum-hukum yang terkait dengan ucapannya, dipertimbangkan dengan keadaan isyaratnya. Jika tidak dapat dipahami isyaratnya dan tidak dapat dibaca tulisannya, maka tidak sah darinya akad, tuduhan, maupun li‘ān. Namun jika dapat dipahami isyaratnya dan dapat dibaca tulisannya, maka akad-akadnya sah menurut kesepakatan.

وَاخْتُلِفَ فِي صِحَّةِ قَذْفِهِ وَلِعَانِهِ، فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى صِحَّةِ قَذْفِهِ بِالْإِشَارَةِ وَلِعَانِهِ بِهَا.

Terdapat perbedaan pendapat tentang keabsahan tuduhan dan li‘ān-nya. Asy-Syafi‘i berpendapat sah tuduhan dan li‘ān-nya dengan isyarat.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَصِحُّ مِنْهُ قَذَفٌ وَلَا لِعَانٌ، وَاسْتَدَلَّ عَلَى بُطْلَانِ قَذْفِهِ بِأَنَّ الْإِشَارَةَ كِنَايَةٌ. وَالْقَذْفُ لَا يَثْبُتُ بِالْكِنَايَاتِ وَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِعَانَهُ لَا يَصِحُّ بِأَنَّ اللِّعَانَ عِنْدَهُ شَهَادَةٌ، وَالشَّهَادَةُ لَا تصح من الأخرس.

Abu Hanifah berkata: Tidak sah tuduhan maupun li‘ān darinya, dan ia berdalil atas batalnya tuduhan dengan alasan bahwa isyarat adalah kinayah (sindiran), sedangkan tuduhan tidak dapat ditetapkan dengan kinayah. Ia juga berdalil bahwa li‘ān-nya tidak sah karena menurutnya li‘ān adalah kesaksian, dan kesaksian tidak sah dari orang bisu.

وتحريره قياساً: أن تورع بأن قال ما افتقر إلى لفظ الشهادة لم يصح من الأخرس كالشهادة.

Penjelasannya secara qiyās: Bahwa segala sesuatu yang membutuhkan lafaz kesaksian tidak sah dari orang bisu, seperti kesaksian.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ مَنْ صَحَّ طَلَاقُهُ، وَظِهَارُهُ، صَحَّ قَذْفُهُ، وَلِعَانُهُ كَالنَّاطِقِ، وَلِأَنَّ مَا اخْتَصَّ بِهِ مِنَ الْحُقُوقِ تَقُومُ إِشَارَتُهُ فِيهِ مَقَامَ نُطْقِهِ كَالْعُقُودِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ مِنْهُ النِّكَاحُ مَعَ تَأْكِيدِهِ بِالْوَلِيِّ وَالشَّاهِدَيْنِ، فَأَوْلَى أَنْ يَصِحَّ مِنْهُ مَا هُوَ أَخَفُّ مِنَ الْقَذْفِ وَاللِّعَانِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ مِنْهُ الطَّلَاقُ مَعَ جَوَازِ نيابة وكيله فيه أولى أَنْ يَصِحَّ مِنْهُ مَا لَا تَجُوزُ النِّيَابَةُ فِيهِ مِنْ قَذْفٍ وَلِعَانٍ، وَلِأَنَّ الْخَرَسَ أَنْ لَا تَمْنَعَ مِنَ الْيَمِينِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَمْنَعَ مِنَ اللِّعَانِ كَالطَّرَشِ.

Dalil kami: Bahwa siapa yang sah talaknya dan zhihār-nya, maka sah pula tuduhan dan li‘ān-nya seperti orang yang dapat berbicara. Karena hak-hak yang khusus baginya, isyaratnya dapat menggantikan ucapannya seperti dalam akad. Dan karena jika sah darinya akad nikah dengan penguatan wali dan dua saksi, maka lebih utama sah darinya perkara yang lebih ringan dari tuduhan dan li‘ān. Dan karena jika sah darinya talak dengan boleh diwakilkan, maka lebih utama sah darinya perkara yang tidak boleh diwakilkan seperti tuduhan dan li‘ān. Dan karena bisu tidak menghalangi dari sumpah, maka wajib tidak menghalangi dari li‘ān seperti halnya tuli.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ استدلالهم بأنالإشارة بالقدف كتاية وَلَا يَثْبُتُ بِهَا، فَهُوَ أَنَّهَا كِنَايَةٌ مِنَ النَّاطِقِ، وَصَرِيحٌ مِنَ الْأَخْرَسِ، كَمَا يَصِحُّ النِّكَاحُ بِإِشَارَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ بِالْكِنَايَةِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالشَّهَادَةِ. فَاللِّعَانُ عِنْدَنَا يَمِينٌ، وَيَمِينُ الْأَخْرَسِ تَصِحُّ بِالْإِشَارَةِ، وَالشَّهَادَةُ فَقَدْ جَوَّزَهَا أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ بِإِشَارَتِهِ، فَيَكُونُ الْأَصْلُ عَلَى قَوْلِهِ غَيْرَ مُسَلَّمٍ، وَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ لَا تَصِحُّ شَهَادَتُهُ وَإِنْ صَحَّ قَذْفُهُ وَلِعَانُهُ لِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa isyarat dalam menuduh zina (qadzaf) seperti tulisan dan tidak dapat dijadikan dasar, maka jawabannya adalah bahwa isyarat merupakan kinayah (ungkapan tidak langsung) bagi orang yang dapat berbicara, namun merupakan sharih (ungkapan tegas) bagi orang bisu, sebagaimana sahnya akad nikah dengan isyaratnya meskipun tidak sah dengan kinayah. Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan kesaksian, maka li‘ān menurut kami adalah sumpah, dan sumpah orang bisu sah dengan isyarat. Adapun kesaksian, Abu al-‘Abbas bin Surayj membolehkannya dengan isyarat, sehingga asal pendapat menurut beliau tidak dapat diterima. Adapun pendapat jumhur (mayoritas) ulama mazhab kami: bahwa kesaksiannya tidak sah meskipun qadzaf dan li‘ān-nya sah, karena terdapat perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا أَنَّ غَيْرَهُ يَقُومُ مَقَامَهُ فِي الشَّهَادَةِ، وَلَا يَقُومُ مَقَامَهُ فِي الْقَذْفِ.

Pertama, dalam kesaksian, orang lain dapat menggantikannya, sedangkan dalam qadzaf tidak bisa digantikan oleh orang lain.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَذْفَ وَاللِّعَانَ يَخْتَصَّانِ بِهِ فَدَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى إِمْضَائِهِ بِإِشَارَتِهِ كَالنِّكَاحِ، وَالطَّلَاقِ، وَالشَّهَادَةُ لَا تَخْتَصُّ بِهِ فَلَمْ تَدْعُ الضَّرُورَةُ إِلَى إِمْضَائِهَا بِإِشَارَتِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua, qadzaf dan li‘ān adalah perkara yang khusus baginya, sehingga kebutuhan mendesak menuntut untuk membolehkannya dengan isyarat, sebagaimana dalam nikah dan talak. Sedangkan kesaksian tidak khusus baginya, sehingga tidak ada kebutuhan mendesak untuk membolehkannya dengan isyarat. Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْخَرَسُ الْحَادِثُ لِعِلَّةٍ طَرَأَتْ فَيُرْجَعُ فِيهِ إِلَى عُلَمَاءِ الطِّبِّ فَإِنْ شَهِدَ عُدُولُهُمْ بِدَوَامِهِ وَعَدَمِ بُرْئِهِ جَرَى عَلَيْهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ حُكْمِ الْخَرَسِ فِي أَصْلِ الْخِلْقَةِ فِي اعْتِبَارِ الْمَفْهُومِ مِنْ إِشَارَتِهِ وَالْمَقْرُوءِ مِنْ كِتَابَتِهِ، وَقَدْ أُصْمِتَتْ أُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي مَرَضِ مَوْتِهَا، فَأَشَارَتْ بِوَصَايَا أَمْضَتْهَا الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.

Adapun bisu yang terjadi karena suatu penyakit yang menimpa, maka dikembalikan kepada para ahli medis. Jika para dokter yang adil bersaksi bahwa bisunya menetap dan tidak ada harapan sembuh, maka berlaku atasnya hukum bisu sejak lahir, yaitu mempertimbangkan makna dari isyaratnya dan apa yang terbaca dari tulisannya. Ummamah binti Abi al-‘Ash ra. pernah bisu pada saat sakit menjelang wafatnya, lalu ia berisyarat dalam wasiatnya dan para sahabat ra. melaksanakan wasiat tersebut.

وَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْأَنْصَارِيَّةِ الَّتِي شَدَخَ الْيَهُودِيُّ رَأْسَهَا فَأُصِمَّتْ بِإِشَارَتِهَا إِلَى قَاتِلِهَا، وَإِنْ شَهِدَ عُلَمَاءُ الطِّبِّ بِزَوَالِهِ وَحُدُوثِ بُرْئِهِ لَمْ يَجْرِ عَلَى إِشَارَتِهِ حُكْمٌ وَكَانَ كَالنَّاطِقِ الْمُشِيرِ، وَإِنْ أَشْكَلَ عَلَى الطِّبِّ، وَجَبَ التَّوَقُّفُ عَنْهُ وَتَرْكُ الْحُكْمِ بِإِشَارَتِهِ حَتَّى يَنْتَهِيَ بِتَطَاوُلِ الْمُدَّةِ إِلَى زَمَانٍ تَيْأَسُ فِيهِ مِنْ بُرْئِهِ فَيُحْكَمُ حِينَئِذٍ بِخَرَسِهِ وَاعْتِبَارِ إِشَارَتِهِ.

Rasulullah ﷺ juga memutuskan perkara pada seorang wanita Anshar yang kepalanya dipukul oleh seorang Yahudi hingga ia menjadi bisu, lalu ia berisyarat kepada pembunuhnya. Jika para dokter bersaksi bahwa bisunya telah hilang dan ia telah sembuh, maka tidak berlaku hukum atas isyaratnya dan ia diperlakukan seperti orang yang berbicara dan memberi isyarat. Jika para dokter ragu, maka wajib menunda dan tidak memutuskan hukum berdasarkan isyaratnya hingga waktu yang cukup lama berlalu sehingga tidak ada lagi harapan sembuh, barulah saat itu dihukumi sebagai bisu dan isyaratnya dipertimbangkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا حُكِمَ بِخَرَسِهِ وَاعْتِبَارِ إِشَارَتِهِ فِي قَذْفِهِ وَلِعَانِهِ، تَعَلَّقَ بِلِعَانِهِ مِنَ الْأَحْكَامِ مَا يَتَعَلَّقُ بِلِعَانِ النَّاطِقِ مِنَ الْأَحْكَامِ الْأَرْبَعَةِ، وَهِيَ وُقُوعُ الْفُرْقَةِ، وَتَحْرِيمُ التَّأْبِيدِ، وَإِسْقَاطُ الْحَدِّ، وَنَفْيُ النَّسَبِ، فَلَوْ نَطَقَ بَعْدَ خَرَسِهِ وَعَادَ إِلَى حَالِ الصِّحَّةِ، سُئِلَ عَنْ إِشَارَتِهِ بِالْقَذْفِ وَاللِّعَانِ فِي حَالِ خَرَسِهِ وَفِي سُؤَالِهِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ:

Jika telah diputuskan bahwa ia bisu dan isyaratnya dipertimbangkan dalam qadzaf dan li‘ān-nya, maka hukum-hukum yang berkaitan dengan li‘ān-nya sama dengan hukum-hukum li‘ān orang yang dapat berbicara, yaitu empat perkara: terjadinya perpisahan (antara suami istri), haramnya menikah selamanya, gugurnya had (hukuman), dan ternafikan nasab. Jika setelah itu ia dapat berbicara kembali dan sehat, maka ia ditanya tentang isyaratnya dalam qadzaf dan li‘ān ketika ia bisu. Dalam hal menanyakannya terdapat dua pendapat yang mungkin:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ سُؤَالَهُ اسْتِظْهَارٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ لِنُفُوذِ الْحُكْمِ بِإِشَارَتِهِ عَلَى ظَاهِرِ الصِّحَّةِ.

Pertama: Menanyakannya hanya untuk memperkuat (keputusan) dan tidak wajib, karena hukum dengan isyaratnya telah sah secara lahiriah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ سُؤَالَهُ وَاجِبٌ، لِأَنَّ فِي الْإِشَارَةِ احْتِمَالًا يَلْزَمُ الْكَشْفُ عَنْ حَقِيقَتِهِ، فإذا سئل كان له في الجواب ثلاثة أحوال: أحدهما: أَنْ يَعْتَرِفَ بِالْقَذْفِ وَاللِّعَانِ فَيَسْتَقِرُّ مَا تَعَلَّقَ بِهِ مِنَ الْأَحْكَامِ الْأَرْبَعَةِ وَيَكُونُ جَوَابُهُ مُوَافِقًا لِحَالِ إِشَارَتِهِ.

Kedua: Menanyakannya adalah wajib, karena dalam isyarat terdapat kemungkinan makna yang harus dijelaskan hakikatnya. Jika ia ditanya, maka ada tiga kemungkinan dalam jawabannya: Pertama, ia mengakui qadzaf dan li‘ān, maka tetap berlaku hukum-hukum yang berkaitan dengannya, dan jawabannya sesuai dengan isyaratnya ketika bisu.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُنْكِرَ الْقَذْفَ وَاللِّعَانَ، فَقَدْ جَرَى عَلَيْهِ بِالْإِشَارَةِ مِنَ الْأَحْكَامِ مَا رَجَعَ عَنْهُ بِالْإِنْكَارِ، فَصَارَ كَالنَّاطِقِ إِذَا لَاعَنَ ثُمَّ رَجَعَ يُقْبَلُ رُجُوعُهُ فِيمَا لَهُ مِنَ التَّخْفِيفِ، وَلَا يُقْبَلُ رُجُوعُهُ فِيمَا عَلَيْهِ مِنَ التَّغْلِيظِ وَالَّذِي لَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ الْأَرْبَعَةِ شَيْئَانِ: وُقُوعُ الْفُرْقَةِ، وَتَحْرِيمُ التَّأْبِيدِ، فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيهِمَا بِإِنْكَارِ اللِّعَانِ لِتُوَجُّهِ التُّهْمَةِ إِلَيْهِ فِيهِمَا، وَالَّذِي عَلَيْهِ مِنَ الْأَحْكَامِ الْأَرْبَعَةِ شَيْئَانِ، وُجُوبُ الْحَدِّ، وَلُحُوقُ النَّسَبِ فَيُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيهِمَا بِإِنْكَارِ اللِّعَانِ لِانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ، عَنْهُ، فَإِنْ قَالَ عِنْدَ وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ وَلُحُوقِ الْوَلَدِ بِهِ: أَنَا أُلَاعِنُ الْآنَ جَازَ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ نُطْقًا، وَيَنْتَفِيَ عَنْهُ الْوَلَدُ، وَيَسْقُطَ عَنْهُ الْحَدُّ.

Keadaan kedua: Jika ia mengingkari tuduhan zina (qadzaf) dan li‘ān, maka hukum-hukum yang telah berlaku atasnya dengan isyarat menjadi gugur dengan pengingkarannya, sehingga ia seperti orang yang berbicara (mengakui) lalu melakukan li‘ān kemudian menarik kembali pengakuannya; penarikannya diterima dalam hal-hal yang meringankan baginya, dan tidak diterima dalam hal-hal yang memberatkan atasnya. Dari empat hukum yang menguntungkan baginya ada dua: terjadinya perpisahan (antara suami-istri) dan keharaman menikah selamanya (tahrīm ta’bīd). Dalam dua hal ini, pengakuannya dengan mengingkari li‘ān tidak diterima karena adanya tuduhan yang diarahkan kepadanya dalam dua hal tersebut. Adapun dari empat hukum yang memberatkannya juga ada dua: wajibnya hukuman had dan penetapan nasab, maka dalam dua hal ini pengakuannya dengan mengingkari li‘ān diterima karena tidak adanya tuduhan terhadapnya. Jika ia berkata ketika wajib had atasnya dan penetapan anak kepadanya: “Sekarang aku akan melakukan li‘ān,” maka boleh baginya melakukan li‘ān secara lisan, dan anak itu tidak dinisbatkan kepadanya, serta had gugur darinya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُقِرَّ بِالْقَذْفِ وَيُنْكِرَ اللِّعَانَ، فَقَدْ جَرَى عَلَيْهِ الْقَذْفُ وَإِنْ كَانَ مُقِرًّا بِهِ، وَأَحْكَامُ اللِّعَانِ وَإِنْ كَانَ مُنْكِرًا لَهُ، فَيُعْرَضُ عَلَيْهِ اللِّعَانُ، فَإِنْ أَجَابَ إِلَيْهِ كَانَ لِعَانًا ثَانِيًا بَعْدَ أَوَّلٍ تَتَأَكَّدُ بِهِ أَحْكَامُ اللعان الأول وإن لم يجب إليه، صَارَ كَالْمُنْكِرِ لِلْقَذْفِ وَاللِّعَانِ، يَعُودُ عَلَيْهِ مِنْ أحكامه ماله مِنَ الْحَدِّ وَلُحُوقِ الْوَلَدِ تَغْلِيظًا بَعْدَ التَّخْفِيفِ، وَلَا يُعُودُ عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِهِ مَا عَلَيْهِ من وقوع الفرقة، وتحريم التأييد، لِأَنَّهُ تَخْفِيفٌ بَعْدَ التَّغْلِيظِ، وَالْحُكْمُ فِي خَرَسِ الزَّوْجَةِ كَالْحُكْمِ فِي خَرَسِ الزَّوْجِ.

Keadaan ketiga: Jika ia mengakui tuduhan zina (qadzaf) dan mengingkari li‘ān, maka tuduhan zina tetap berlaku atasnya meskipun ia mengakuinya, dan hukum-hukum li‘ān tetap berlaku meskipun ia mengingkarinya. Maka li‘ān ditawarkan kepadanya; jika ia menerima, maka itu menjadi li‘ān kedua setelah yang pertama, yang memperkuat hukum-hukum li‘ān pertama. Jika ia tidak menerima, maka ia seperti orang yang mengingkari qadzaf dan li‘ān, dan kembali kepadanya hukum-hukum yang memberatkannya berupa had dan penetapan anak, sebagai pemberatan setelah keringanan, dan tidak kembali kepadanya hukum-hukum yang memberatkannya berupa terjadinya perpisahan dan keharaman menikah selamanya, karena itu merupakan keringanan setelah pemberatan. Hukum bagi istri yang bisu sama dengan hukum bagi suami yang bisu.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ مَغْلُوبَةً عَلَى عَقْلِهَا فَالْتَعَنَ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ وَنُفِيَ الْوَلَدُ إِنِ انْتَفَى مِنْهُ وَلَا تُحَدُّ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِمَنْ عَلَيْهِ الْحُدُودُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang perempuan tidak berakal (hilang akal) lalu suaminya melakukan li‘ān, maka terjadi perpisahan dan anak itu dinafikan darinya jika memang ia menafikannya, dan ia (perempuan) tidak dikenai had karena ia bukan termasuk orang yang dikenai hukuman had.”

قَالَ الماوردي: إِذَا قَذَفَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ بِالزِّنَا وَهِيَ عَاقِلَةٌ فَجُنَّتْ قَبْلَ لِعَانِهِ، أَوْ قَذَفَهَا وَهِيَ مَجْنُونَةٌ، فَحُكْمُ لِعَانِهِ مِنْهَا فِي الْحَالَيْنِ سَوَاءٌ، وَإِنَّمَا يَخْتَلِفَانِ فِي حُكْمِ الْقَذْفِ، فَإِنْ قَذَفَهَا عَاقِلَةً ثُمَّ جُنَّتْ، وَجَبَ الْحَدُّ، وَإِنْ قَذَفَهَا بَعْدَ جُنُونِهَا وَجَبَ عَلَيْهِ التَّعْزِيرُ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْ قَذْفِهِ هَذَا نَظَرْنَا فَإِنْ كَانَ لَهَا وَلَدٌ أَرَادَ أَنْ يَنْفِيَهُ، فَلَهُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا فِي حَالَةِ جُنُونِهَا، وَيَتَعَلَّقُ بِلِعَانِهِ الْأَحْكَامُ الْأَرْبَعَةُ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِلِعَانِهِ مِنَ الْعَاقِلَةِ، مِنْ سُقُوطِ الْحَدِّ، وَنَفْيِ الْوَلَدِ، وَوُقُوعِ الْفُرْقَةِ، وَتَحْرِيمِ التَّأْبِيدِ، لِتَعَلُّقِ هَذِهِ الْأَحْكَامِ كُلِّهَا بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ، وَإِنَّمَا يَخْتَصُّ لِعَانُهَا بِسُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهَا، فَلِذَلِكَ لَمْ يَمْنَعْ جُنُونُهَا مِنْ لِعَانِهِ مِنْهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ يُرِيدُ نَفْيَهُ، فَهُوَ غَيْرُ مُطَالَبٍ بحد القذف، أو تغريره مَا كَانَتْ فِي جُنُونِهَا، وَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ مِنْهَا قَبْلَ إِفَاقَتِهَا وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Jika seorang laki-laki menuduh istrinya berzina saat ia berakal, lalu istrinya menjadi gila sebelum li‘ān, atau ia menuduhnya saat istrinya sudah gila, maka hukum li‘ān darinya dalam kedua keadaan itu sama. Perbedaannya hanya pada hukum qadzaf. Jika ia menuduh istrinya saat berakal lalu istrinya menjadi gila, maka wajib had. Jika ia menuduhnya setelah istrinya gila, maka wajib atasnya ta‘zīr. Jika ia ingin melakukan li‘ān atas tuduhannya itu, maka kita lihat: jika istrinya memiliki anak yang ingin ia nafikan, maka boleh baginya melakukan li‘ān terhadap istrinya dalam keadaan istrinya gila, dan dengan li‘ān itu berlaku empat hukum yang berkaitan dengan li‘ān dari istri yang berakal, yaitu gugurnya had, dinafikannya anak, terjadinya perpisahan, dan keharaman menikah selamanya, karena semua hukum ini berkaitan dengan li‘ān suami saja. Adapun li‘ān istri hanya khusus untuk menggugurkan had darinya, oleh karena itu kegilaan istri tidak menghalangi suami untuk melakukan li‘ān terhadapnya. Jika istrinya tidak memiliki anak yang ingin ia nafikan, maka ia tidak dituntut had qadzaf atau ta‘zīr selama istrinya dalam keadaan gila. Dalam kebolehan melakukan li‘ān terhadap istrinya sebelum istrinya sadar terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ – إنَّهُ يلاعن ليتعجل به سقوط الحد اوالتغرير وَلِيَسْتَفِيدَ بِهِ وُقُوعَ الْفُرْقَةِ وَتَحْرِيمَ التَّأْبِيدِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.

Pertama: Dan ini yang tampak dari perkataan Imam Syafi‘i dalam masalah ini—bahwa ia boleh melakukan li‘ān untuk segera menggugurkan had atau ta‘zīr dan untuk mendapatkan terjadinya perpisahan dan keharaman menikah selamanya. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ فِي أَوَّلِ هَذَا الْكِتَابِ إنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مَا لم تطالب بالحد أو التغرير، وَلَا سَبِيلَ إِلَى الْمُطَالَبَةِ بِهِ مَا كَانَتِ الزَّوْجَةُ عَلَى جُنُونِهَا، وَلَا مَعْنَى لِاسْتِفَادَةِ الْفُرْقَةِ به لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَيْهَا بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ فَاسْتُغْنِيَ بِهِ من اللعان.

Pendapat kedua: Dan ini yang tampak dari perkataan Imam Syafi‘i di awal kitab ini—bahwa tidak boleh melakukan li‘ān selama belum ada tuntutan had atau ta‘zīr, dan tidak mungkin ada tuntutan selama istri dalam keadaan gila, serta tidak ada manfaat dari terjadinya perpisahan dengan li‘ān karena ia bisa melakukannya dengan talak tiga, sehingga cukup dengan talak tanpa perlu li‘ān.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ طَلَبَهُ وَلِيُّهَا أَوْ كَانَتِ امْرَأَتُهُ أَمَةً فَطَلَبَهُ سَيِّدُهَا لَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika walinya menuntut (hukuman) atau jika istrinya adalah seorang budak perempuan lalu tuannya menuntutnya, maka tidak ada hak bagi salah satu dari keduanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَتِ الْمَقْذُوفَةُ مَجْنُونَةً، فَطَلَبَ وَلَيُّهَا حَدَّ الْقَاذِفِ، أَوْ كَانَتْ أَمَةً فَطَالَبَهُ سَيِّدُهَا فَلَا حَقَّ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْمُطَالَبَةِ بِحَدٍّ وَلَا لِعَانٍ، وَيَكُونُ ذَلِكَ مَوْقُوفًا عَلَى طَلَبِهَا بَعْدَ الْإِفَاقَةِ، لِأَمْرَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar apabila perempuan yang dituduh (qadzaf) itu gila, lalu walinya menuntut hukuman atas orang yang menuduhnya, atau jika ia adalah seorang budak perempuan lalu tuannya menuntut hukuman tersebut, maka tidak ada hak bagi salah satu dari keduanya untuk menuntut had maupun li‘ān, dan perkara itu bergantung pada permintaan perempuan tersebut setelah ia sadar, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ مَوْضُوعٌ لِلتَّشَفِّي فَكَانَ مَوْقُوفًا عَلَى مُطَالَبَتِهَا دُونَ الْوَلِيِّ كَالْقِصَاصِ.

Pertama: Bahwa had qadzaf itu ditetapkan untuk pelampiasan (balas dendam secara syar‘i), maka ia bergantung pada tuntutan perempuan itu sendiri, bukan walinya, sebagaimana dalam kasus qiṣāṣ.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْأَبْدَانِ دُونَ الْأَمْوَالِ فَلَمْ يَكُنْ لِلْوَلِيِّ الْمُطَالَبَةُ بِهِ، كَمَا لَيْسَ لَهُ الْمُطَالَبَةُ بِالْقَسَمِ وَلَا يَحِقُّ الْإِيلَاءُ وَمِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ فَارَقَ المطالبة بحقوق الأموال.

Kedua: Bahwa had tersebut termasuk hak-hak badan, bukan hak-hak harta, sehingga wali tidak berhak menuntutnya, sebagaimana wali tidak berhak menuntut pembagian giliran (dalam pernikahan) dan tidak berhak melakukan iilā’, dan dari dua sisi inilah tuntutan hak-hak badan berbeda dengan tuntutan hak-hak harta.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَعْفُوَ عَنْهُ فَطَلَبَهُ وَلِيُّهَا كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَلْتَعِنَ أَوْ يُحَدَّ لِلْحُرَّةِ الْبَالِغَةِ وَيُعَزَّرَ لِغَيْرِهَا “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ia (perempuan yang dituduh) meninggal sebelum memaafkan penuduhnya, lalu walinya menuntut (hukuman), maka penuduh wajib melakukan li‘ān atau dijatuhi had jika yang dituduh adalah perempuan merdeka yang baligh, dan dijatuhi ta‘zīr untuk selainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا حَدُّ الْقَذْفِ فَهُوَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الْمَوْرُوثَةِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: هُوَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ الَّتِي تَسْقُطُ بِالْمَوْتِ وَلَا تُوَرَّثُ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Adapun had qadzaf, maka ia termasuk hak-hak manusia (ḥuqūq al-ādāmiyyīn) yang diwariskan. Abu Ḥanīfah berkata: Ia termasuk hak-hak Allah yang gugur dengan kematian dan tidak diwariskan, dengan dua alasan:

أحدهما: أنه حد لا يرجع إلى مال فَأَشْبَهَ حَدَّ الزِّنَا: وَلِأَنَّ حَدَّ الزِّنَا وَالْقَذْفِ مُتَقَابِلَانِ لِتَنَافِي اجْتِمَاعِهِمَا فِي الْقَاذِفِ وَالْمَقْذُوفِ، ثُمَّ كَانَ حَدُّ الزِّنَا مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي لَا تُوَرَّثُ فَكَذَلِكَ حَدُّ الْقَذْفِ.

Pertama: Bahwa had tersebut bukan berkaitan dengan harta, sehingga serupa dengan had zinā; dan karena had zinā dan qadzaf saling berlawanan karena tidak mungkin keduanya berkumpul pada penuduh dan yang dituduh, kemudian had zinā termasuk hak Allah Ta‘ālā yang tidak diwariskan, maka demikian pula had qadzaf.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّهُ حَقٌّ عَلَى الْبَدَنِ إِذَا ثَبَتَ بِاعْتِرَافِهِ لَمْ يَسْقُطْ بِرُجُوعِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الْمَوْرُوثَةِ كَالْقِصَاصِ؛ وَلِأَنَّهُ حَقٌّ لَا يَسْتَوْفِيهِ الْإِمَامُ إِلَّا بِالْمُطَالَبَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَوْرُوثًا كَالْأَمْوَالِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ قُذِفَتْ أَمَةٌ بَعْدَ مَوْتِهَا وَجَبَ لَهُ الْحَدُّ عَلَى قَاذِفِهَا، وَقَذْفُهَا فِي الْحَيَاةِ أَغْلَظُ فَكَانَ بِأَنْ يَسْتَحِقَّ بَعْدَ الْمَوْتِ أَجْدَرَ.

Adapun dalil kami: Bahwa had tersebut merupakan hak atas badan, jika telah tetap dengan pengakuan, tidak gugur dengan pencabutan pengakuan, maka wajib termasuk hak-hak manusia yang diwariskan sebagaimana qiṣāṣ; dan karena ia adalah hak yang tidak dapat ditegakkan oleh imam kecuali dengan tuntutan, maka wajib ia diwariskan sebagaimana harta; dan karena jika seorang budak perempuan dituduh setelah kematiannya, maka had tetap wajib atas penuduhnya, dan tuduhan saat hidup lebih berat, maka lebih layak untuk tetap berhak setelah kematian.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّهُ لَا يَرْجِعُ إِلَى مَالٍ، فَهُوَ أَنَّ الْحُقُوقَ تَتَنَوَّعُ فَتَكُونُ تَارَةً فِي مَالٍ، وَتَارَةً عَلَى بَدَنٍ، وَلَوِ اخْتَصَّ الْآدَمِيِّينَ بِالْمَالِ دُونَ الْبَدَنِ لَاخْتَصَّ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى بِالْبَدَنِ دُونَ الْمَالِ، وَحُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى تَجْمَعُ الْأَمْوَالَ وَالْأَبْدَانَ، فَكَذَلِكَ حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ، وَإِنْ كَانَ الْكَلَامُ مَعَهُ فِي أَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ قَدْ مَضَى.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa had tersebut tidak berkaitan dengan harta, maka hak-hak itu bermacam-macam: kadang berkaitan dengan harta, kadang berkaitan dengan badan. Jika hak manusia hanya khusus pada harta tanpa badan, niscaya hak Allah Ta‘ālā hanya khusus pada badan tanpa harta, padahal hak-hak Allah Ta‘ālā mencakup harta dan badan, maka demikian pula hak-hak manusia. Dan jika pembicaraan dengannya adalah tentang bahwa had tersebut termasuk hak-hak manusia, maka telah dijelaskan sebelumnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: إِنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ الزِّنَا لِتَنَافِي اجْتِمَاعِهِمَا، فَهُوَ أَنَّ تَنَافِيَ اجْتِمَاعِهِمَا يُوجِبُ تَنَافِيَ حُكْمِهِمَا وَلَا يُوجِبُ تَسَاوِيَهِ، وعلى أن أبا حنيفة قد ناقض فِي الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا حَيْثُ أَسْقَطَ حَدَّ الزِّنَا بِمَوْتِ الزَّانِي، وَأَسْقَطَ الْقَذْفَ بِمَوْتِ الْمَقْذُوفِ، وَحُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى تَسْقُطُ بِمَوْتِ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَلَا تَسْقُطُ بِمَوْتِ غَيْرِهِ.

Adapun jawaban atas ucapannya bahwa had qadzaf berlawanan dengan zinā karena tidak mungkin keduanya berkumpul, maka ketidakmungkinan berkumpulnya hanya mengharuskan perbedaan hukum, tidak mengharuskan kesamaan hukum. Lagi pula, Abu Ḥanīfah telah bertentangan dalam menggabungkan keduanya, di mana ia menggugurkan had zinā dengan kematian pezina, dan menggugurkan had qadzaf dengan kematian yang dituduh, padahal hak-hak Allah Ta‘ālā gugur dengan kematian orang yang wajib menunaikannya dan tidak gugur dengan kematian selainnya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الْمَوْرُوثَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُسْتَحِقِّ مِيرَاثِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dan apabila telah dipastikan bahwa had qadzaf termasuk hak-hak manusia yang diwariskan, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang siapa yang berhak mewarisinya menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ جَمِيعُ الْوَرَثَةِ بِالْأَنْسَابِ وَالْأَسْبَابِ مِنَ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ كَالْأَمْوَالِ.

Pertama: Bahwa semua ahli waris karena nasab dan sebab, baik laki-laki maupun perempuan, berhak atasnya sebagaimana harta.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَسْتَحِقُّهُ الْوَرَثَةُ بِالْأَنْسَابِ مِنَ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ دُونَ الْوَرَثَةِ بِالْأَسْبَابِ كَالزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ، لِارْتِفَاعِ سَبَبِ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ بَعْدَ الْمَوْتِ فَصَارَا بِانْقِطَاعِ السَّبَبِ كَالْأَجَانِبِ.

Pendapat kedua: Bahwa yang berhak hanyalah ahli waris karena nasab, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa ahli waris karena sebab seperti suami dan istri, karena sebab pernikahan terputus setelah kematian sehingga keduanya menjadi seperti orang asing.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ يَسْتَحِقُّهُ ذُكُورُ الْعَصِبَاتِ دُونَ إِنَاثِهِمْ، لِأَنَّهُمْ أَخَصُّ بِدُخُولِ الْعَارِ عَلَيْهِمْ، كَمَا يَخْتَصُّونَ لأجل ذلك بالولاية على النكاح.

Pendapat yang ketiga: yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, bahwa yang berhak atasnya adalah laki-laki dari kalangan ‘ashabah saja, tidak termasuk perempuan mereka, karena mereka lebih khusus dalam menanggung aib, sebagaimana mereka juga secara khusus mendapatkan hak perwalian dalam pernikahan karena alasan tersebut.

(فصل)

(Fasal)

فإذا وَرِثَهُ مَنْ ذَكَرْنَا: اسْتَحَقُّوهُ عَلَى الِاجْتِمَاعِ وَالِانْفِرَادِ، بِخِلَافِ الْقِصَاصِ الْمُسْتَحَقِّ بَيْنَ الْوَرَثَةِ عَلَى الِاجْتِمَاعِ دُونَ الِانْفِرَادِ وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِحَاضِرٍ مُطَالِبٍ أَنْ يَقْبِضَ وَلَهُ شَرِيكٌ غَائِبٌ أَوْ قَدْ عَفي وَيَجُوزُ لِوَارِثِ حَدِّ الْقَذْفِ إِذَا كَانَ لَهُ شَرِيكٌ غَائِبٌ أَوْ قَدْ عَفي أَنْ يَنْفَرِدَ بِاسْتِيفَاءِ الْحَدِّ كُلِّهِ لِنَفْيِ الْمَعَرَّةِ عَنْ نَفْسِهِ وَلَا يَتَبَعَّضُ الْحَدُّ بِقَدْرِ مِيرَاثِهِ.

Apabila yang mewarisinya adalah orang-orang yang telah kami sebutkan, maka mereka berhak atasnya baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Hal ini berbeda dengan qishāsh yang hanya dapat diperoleh oleh para ahli waris secara bersama-sama, tidak secara sendiri-sendiri, dan tidak boleh bagi ahli waris yang hadir dan menuntut untuk mengambilnya sementara ia memiliki sekutu yang sedang tidak hadir atau telah memaafkan. Namun, bagi ahli waris had qazaf, jika ia memiliki sekutu yang tidak hadir atau telah memaafkan, maka ia boleh secara sendiri-sendiri menuntut pelaksanaan had seluruhnya untuk menghilangkan aib dari dirinya, dan had tersebut tidak terbagi sesuai bagian warisannya.

وَقَالَ أبو الحسن بْنُ الْقَطَّانِ: حَدُّ الْقَذْفِ يَتَبَعَّضُ فَيستوفى مِنْهُ بِقَدْرِ مِيرَاثِهِ وَلَا يسْتَوْفي جَمِيعُهُ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ نَفْيَ الْمَعَرَّةِ إِنَّمَا يَكُونُ بِحَدٍّ مُقَدَّرٍ فَامْتَنَعَ تَبْعِيضُهُ.

Abu al-Hasan bin al-Qattan berkata: Had qazaf itu terbagi, sehingga diambil darinya sesuai bagian warisannya dan tidak diambil seluruhnya. Ini adalah kekeliruan, karena penghilangan aib hanya dapat dilakukan dengan had yang telah ditetapkan ukurannya, sehingga tidak boleh dibagi-bagi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْأَمَةُ الْمَقْذُوفَةُ إِذَا مَاتَتْ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun budak perempuan yang terkena qazaf, jika ia meninggal dunia, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَوْتَهَا مُسْقِطٌ لِلتَّعْزِيرِ عَنْ قَاذِفِهَا، لِأَنَّ الْأَمَةَ لَا تُوَرَّثُ، وَإِنَّمَا يَنْتَقِلُ مَالُهَا إِلَى سَيِّدِهَا بِالْمِلْكِ دُونَ الْإِرْثِ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُهُ فِي الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَوْتِ، وَلَيْسَ التَّعْزِيرُ مَا لا يَمْلِكُهُ فِي حَالَةِ الْحَيَاةِ وَلَا بَعْدَ الْمَوْتِ.

Pertama: Kematian budak perempuan tersebut menggugurkan ta‘zīr dari orang yang menuduhnya, karena budak perempuan tidak diwariskan, dan hartanya hanya berpindah kepada tuannya melalui kepemilikan, bukan melalui warisan, sebab tuannya memilikinya baik saat hidup maupun setelah mati, dan ta‘zīr bukanlah sesuatu yang dapat dimiliki baik saat hidup maupun setelah mati.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِالْمَوْتِ كَالْحَدِّ فِي حَقِّ الْحُرَّةِ، فَعَلَى هَذَا فِي مُسْتَحَقِّهِ بَعْدَ مَوْتِهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Ta‘zīr itu tetap menjadi hak setelah kematiannya, seperti halnya had bagi perempuan merdeka. Berdasarkan pendapat ini, dalam hal siapa yang berhak atasnya setelah kematiannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: سَيِّدُهَا، لِأَنَّهُ أَحَقُّ بِمَالِهَا.

Pertama: Tuannya, karena ia lebih berhak atas hartanya.

وَالثَّانِي: الْأَحْرَارُ مِنْ عَصَبَتِهَا، لِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ لِنَفْيِ الْعَارِ الْمُخْتَصِّ بِهِمْ دُونَ السَّيِّدِ وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: Orang-orang merdeka dari kalangan ‘ashabah-nya, karena ta‘zīr itu ditetapkan untuk menghilangkan aib yang khusus menimpa mereka, bukan tuannya. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة:

Masalah:

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ الْتَعَنَ وَأَبَيْنَ اللِّعَانَ فَعَلَى الْحُرَّةِ الْبَالِغَةِ الْحَدُّ وَالْمَمْلُوكَةِ نِصْفُ الْحَدِّ وَنَفْيُ نِصْفِ سَنَةٍ وَلَا لِعَانَ عَلَى الصِّبْيَةِ لِأَنَهُ لَا حَدَّ عليها “.

Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika terjadi li‘ān dan perempuan menolak li‘ān, maka atas perempuan merdeka yang baligh dikenakan had, atas budak perempuan setengah had dan masa pembuangan setengah tahun, dan tidak ada li‘ān atas anak perempuan kecil karena tidak ada had atasnya.”

قال الماوردي: كَمَا قَالَ: إِذَا تَزَوَّجَ الْحُرُّ أَرْبَعَ زَوْجَاتٍ، إِحْدَاهُنَّ حُرَّةٌ مُسْلِمَةٌ، وَالثَّانِيَةُ حُرَّةٌ كِتَابِيَّةٌ، وَالثَّالِثَةُ أَمَةٌ مُسْلِمَةٌ وَالرَّابِعَةُ صَغِيرَةٌ بَالِغَةٌ، وَقَذَفَهُنَّ بِالزِّنَا، فَالْكَلَامُ فِي ذَلِكَ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:

Al-Mawardi berkata: Sebagaimana yang telah dikatakan: Jika seorang laki-laki merdeka menikahi empat istri, salah satunya perempuan merdeka muslimah, yang kedua perempuan merdeka ahli kitab, yang ketiga budak perempuan muslimah, dan yang keempat anak perempuan kecil yang sudah baligh, lalu ia menuduh mereka berzina, maka pembahasan dalam hal ini mencakup tiga fasal:

أَحَدُهَا: فِي حُكْمِ قَذْفِهِ لَهُنَّ.

Pertama: Tentang hukum menuduh mereka berzina.

وَالثَّانِي: فِي حُكْمِ لِعَانِهِ مِنْهُنَّ.

Kedua: Tentang hukum li‘ān yang dilakukan oleh suami terhadap mereka.

وَالثَّالِثُ: فِي حُكْمِهِنَّ إِذَا لَاعَنَ مِنْهُنَّ.

Ketiga: Tentang hukum mereka jika mereka melakukan li‘ān terhadap suami.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي حِكَمِ القذف لهن فعليه الحد بقذف الحرة المسلمة لِكَمَالِهَا وَعَلَيْهِ التَّعْزِيرُ فِي قَذْفِ الْكِتَابِيَّةِ، وَالْأَمَةِ وَالصَّغِيرَةِ لِنَقْصِهِنَّ، وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي اللِّعَانِ مِنْهُنَّ، فَلَهُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنَ الْحُرَّةِ الْمُسْلِمَةِ إِجْمَاعًا، لِيُسْقِطَ الْحَدَّ عَنْ نَفْسِهِ بِالْتِعَانِهِ، وَلَهُ عِنْدَنَا أَنْ يَلْتَعِنَ مِنَ الْكِتَابِيَّةِ وَالْأَمَةِ لِيُسْقِطَ التَّعْزِيرَ عَنْ نَفْسِهِ بِالْتِعَانِهِ.

Adapun fasal pertama, dalam hukum menuduh mereka berzina, maka atasnya dikenakan had karena menuduh perempuan merdeka muslimah, karena kesempurnaannya. Atasnya dikenakan ta‘zīr karena menuduh perempuan ahli kitab, budak perempuan, dan anak perempuan kecil, karena kekurangan mereka. Adapun fasal kedua, dalam li‘ān terhadap mereka, maka suami boleh melakukan li‘ān terhadap perempuan merdeka muslimah secara ijmā‘, agar had gugur dari dirinya dengan li‘ān tersebut. Menurut kami, ia juga boleh melakukan li‘ān terhadap perempuan ahli kitab dan budak perempuan agar ta‘zīr gugur dari dirinya dengan li‘ān tersebut.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَيْسَ لَهُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُمَا إِذَا لَمْ يَكُونَا مِنْ أَهْلِ الشَّهَادَةِ وَلَمْ يَكْمُلِ الْحَدُّ فِي قَذْفِهِمَا وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh melakukan li‘ān terhadap keduanya (perempuan ahli kitab dan budak perempuan) jika keduanya bukan termasuk ahli syahadah dan tidak sempurna had dalam menuduh mereka, dan telah dijelaskan pembahasan dengannya.

وَأَمَّا الصَّغِيرَةُ: فَلَهَا حَالَتَانِ:

Adapun anak perempuan kecil, maka ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ لَا يُجَامَعُ مِثْلُهَا لِصِغَرِهَا، كَالَّتِي لَهَا سَنَةٌ، فَلَا يَكُونُ رَمْيُهَا بِالزِّنَا قَذْفًا، لِأَنَّ الْقَذْفَ مَا احْتَمَلَ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ، وَقَذْفُ هَذِهِ كَذِبٌ مَحْضٌ لَا يَحْتَمِلُ الصِّدْقَ فَكَانَ سَبًّا وَلَمْ يَكُنْ قَذْفًا، فَكَانَ التَّعْزِيرُ الْمُسْتَحَقُّ فِيهِ تَعْزِيرَ سَبٍّ وَلَمْ يَكُنْ تَعْزِيرَ قَذْفٍ، وَلَيْسَ لِلزَّوْجِ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ، لِأَنَّ السَّبَّ لَا لِعَانَ فِيهِ، وَإِنَّمَا اللِّعَانُ فِي الْقَذْفِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَفِي تَعْزِيرِهِ عَلَيْهِ قَبْلَ بُلُوغِهَا وَجْهَانِ:

Pertama: Jika ia termasuk orang yang tidak mungkin digauli karena masih sangat kecil, seperti anak yang baru berusia satu tahun, maka menuduhnya berzina tidak dianggap sebagai qazaf (tuduhan zina), karena qazaf adalah tuduhan yang masih mungkin benar atau salah. Sedangkan menuduh anak seperti ini adalah kebohongan murni yang tidak mungkin benar, sehingga dianggap sebagai penghinaan (sabb) dan bukan qazaf. Maka hukuman ta‘zīr yang dijatuhkan atasnya adalah ta‘zīr karena penghinaan, bukan ta‘zīr karena qazaf. Suami pun tidak berhak melakukan li‘ān (sumpah laknat) dalam kasus ini, karena penghinaan tidak ada li‘ān di dalamnya; li‘ān hanya ada pada kasus qazaf. Jika demikian, maka dalam pelaksanaan ta‘zīr atasnya sebelum anak itu baligh terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُعَزَّرُ حَتَّى تَبْلُغَ فَتُطَالِبَ.

Pertama: Tidak dijatuhi ta‘zīr hingga anak itu baligh dan menuntut sendiri.

وَالثَّانِي: يُعَزَّرُ قَبْلَ بُلُوغِهَا لِأَنَّ تَعْزِيرَ الْقَذْفِ حَدٌّ مَوْقُوفٌ عَلَى بُلُوغِهَا وَتَعْزِيرَ السَّبِّ أَدَبٌ يَجُوزُ اسْتِيفَاؤُهُ قَبْلَ بُلُوغِهَا فَعَلَى هَذَا فِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Dijatuhi ta‘zīr sebelum anak itu baligh, karena ta‘zīr atas qazaf adalah hudud yang bergantung pada balighnya anak, sedangkan ta‘zīr atas penghinaan adalah bentuk pendidikan yang boleh dilaksanakan sebelum anak itu baligh. Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَوْقُوفُ الِاسْتِيفَاءِ عَلَى الْمُطَالَبَةِ مِنَ الْوَلِيِّ لِقِيَامِهِ بِحُقُوقِهَا.

Pertama: Pelaksanaan hukuman itu bergantung pada tuntutan wali karena wali mewakili hak-haknya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَوْكُولٌ إِلَى الْإِمَامِ فِي اسْتِيفَائِهِ لِقِيَامِهِ بِالْمَصَالِحِ.

Kedua: Pelaksanaannya diserahkan kepada imam (penguasa) karena ia bertanggung jawab atas kemaslahatan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مِثْلُهَا مِمَّنْ تُجَامَعُ، لِأَنَّهَا ابْنَةُ سَبْعٍ أَوْ ثَمَانٍ، فَيَكُونُ رَمْيُهَا بِالزِّنَا قَذْفًا لِاحْتِمَالِهِ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ وَيَكُونُ التَّعْزِيرُ فِيهِ بَدَلًا مِنْ حَدِّ الْكَبِيرَةِ، وَيَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى بُلُوغِهَا لِتَكُونَ هِيَ الْمُطَالِبَةَ بِهِ فَيُعَزَّرُ لَهَا إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهَا، فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهَا قَبْلَ بُلُوغِهَا فَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ وَجْهَانِ مَضَيَا.

Keadaan kedua: Jika anak tersebut termasuk yang mungkin digauli, seperti anak perempuan berusia tujuh atau delapan tahun, maka menuduhnya berzina dianggap sebagai qazaf karena masih mungkin benar atau salah. Hukuman ta‘zīr dalam hal ini sebagai pengganti dari hudud bagi orang dewasa, dan pelaksanaannya bergantung pada balighnya anak agar ia sendiri yang menuntutnya, sehingga ta‘zīr dijatuhkan untuknya kecuali jika suami melakukan li‘ān terhadapnya. Jika suami ingin melakukan li‘ān sebelum anak itu baligh, maka dalam kebolehan li‘ān tersebut terdapat dua pendapat yang telah lalu.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ: فِي حُكْمِهِنَّ بَعْدَ لِعَانِهِ مِنْهُنَّ، فَعَلَى الْحُرَّةِ الْمُسْلِمَةِ وَالْكِتَابِيَّةِ حَدُّ الزِّنَا إِنْ لَمْ تُلَاعِنْ، فَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَجَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَإِنْ كَانَتْ مُحْصَنَةً فَالرَّجْمُ فَأَمَّا الْأَمَةُ فَلَا رَجْمَ عَلَيْهَا، وَعَلَيْهَا نِصْفُ الْحَدِّ خَمْسُونَ جَلْدَةً، وَفِي تَغْرِيبِهَا قَوْلَانِ:

Adapun fasal ketiga: tentang hukum mereka setelah suami melakukan li‘ān terhadap mereka. Maka atas wanita merdeka muslimah dan ahli kitab (kitābiyah) dikenakan hudud zina jika ia tidak melakukan li‘ān. Jika ia masih gadis, maka hukumannya adalah seratus cambukan dan diasingkan selama satu tahun. Jika ia sudah muḥṣanah (pernah menikah), maka hukumannya adalah rajam. Adapun budak perempuan, maka tidak ada rajam atasnya, dan ia dikenai setengah dari hudud, yaitu lima puluh cambukan. Dalam hal pengasingannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَغْرِيبَ عَلَيْهَا لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِضْرَارِ بِسَيِّدِهَا.

Pertama: Tidak diasingkan karena hal itu akan merugikan tuannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تُغَرَّبُ، وَفِي قَدْرِ تَغْرِيبِهَا قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Ia tetap diasingkan, dan dalam hal lamanya pengasingan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عَامٌ كَامِلٌ كَالْحُرَّةِ.

Pertama: Satu tahun penuh seperti wanita merdeka.

وَالثَّانِي: نِصْفُ عَامٍ. كَمَا عَلَيْهَا نِصْفُ الْجَلْدِ، وَفِي نَفَقَتِهَا مُدَّةَ تَغْرِيبِهَا وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا فِي بَيْتِ الْمَالِ لِمَنْعِ سَيِّدِهَا مِنْهَا. وَالثَّانِي: عَلَى سَيِّدِهَا لِأَنَّهُ يَمْلِكُ اسْتِخْدَامَهَا بَعْدَ تَغْرِيبِهَا.

Kedua: Setengah tahun, sebagaimana cambukannya juga setengah, dan dalam hal nafkahnya selama masa pengasingan terdapat dua pendapat: Pertama, dari baitul mal karena tuannya terhalang darinya. Kedua, atas tanggungan tuannya karena ia tetap berhak mempekerjakannya setelah masa pengasingan.

وَأَمَّا الصَّغِيرَةُ فَلَا حَدَّ عَلَيْهَا لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهَا، وَهَلْ لَهَا إِذَا بَلَغَتْ أَنْ تُلَاعِنَ بَعْدَ لِعَانِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun anak perempuan yang masih kecil, maka tidak dikenakan hudud atasnya karena belum terkena beban hukum (belum mukallaf). Apakah ia boleh melakukan li‘ān setelah baligh atas li‘ān suaminya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهَا أَنْ تُلَاعِنَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا بِلِعَانِ الزَّوْجِ حَدٌّ فَيَسْقُطُ بِلِعَانِهَا.

Pertama: Ia tidak boleh melakukan li‘ān, karena tidak ada hudud yang wajib atasnya akibat li‘ān suami, sehingga li‘ān darinya pun gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهَا أَنْ تُلَاعِنَ لِتَنْفِيَ بِلِعَانِهَا الْمَعَرَّةَ عَنْ نَفْسِهَا، وَهَذَا شَرْحُ مَذْهَبِنَا فِي وُجُوبِ حَدِّ الزِّنَا عَلَى الزَّوْجَةِ بِلِعَانِ الزَّوْجِ مَا لَمْ تُلَاعِنْ.

Pendapat kedua: Ia boleh melakukan li‘ān untuk menghilangkan aib dari dirinya dengan li‘ān tersebut. Inilah penjelasan mazhab kami tentang wajibnya hudud zina atas istri karena li‘ān suami selama ia belum melakukan li‘ān.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ الْوَاجِبُ عَلَيْهَا اللِّعَانُ دُونَ الْحَدِّ، فَإِنِ امْتَنَعَتْ عَنِ اللِّعَانِ حُبِسَتْ حَتَّى تُلَاعِنَ، وَلَمْ تُحَدَّ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثلاث خصال، كفره بعد إيمانه، أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ، أَوْ قَتْلٌ بِغَيْرِ نَفْسٍ ” فَمَنَعَ هَذَا الْخَبَرُ مِنْ قَتْلِهَا بِغَيْرِ هَذِهِ الثَّلَاثِ خِصَالٍ.

Abu Hanifah berpendapat bahwa yang wajib atasnya adalah li‘ān, bukan hudud. Jika ia menolak melakukan li‘ān, maka ia dipenjara hingga ia mau melakukan li‘ān, dan tidak dijatuhi hudud, dengan dalil riwayat dari Utsman bin Affan ra. bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga perkara: kufur setelah beriman, zina setelah muḥṣan, atau membunuh tanpa hak.” Maka hadis ini melarang membunuhnya kecuali karena salah satu dari tiga perkara tersebut.

وَوُجُوبُ الْحَدِّ عَلَيْهَا بِلِعَانِ الزوج مفضي إِلَى قَتْلِهَا إِنْ كَانَتْ مُحَصْنَةً، وَفِيهِ إِثْبَاتُ مَا نَفَاهُ الْخَبَرُ، وَلِأَنَّهُ قَوْلٌ لَا يَجِبُ بِهِ الْحَدُّ عَلَى غَيْرِ الزَّوْجَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ بِهِ حَدٌّ عَلَى الزَّوْجَةِ كَالْأَيْمَانِ طَرْدًا وَالشَّهَادَةِ عَكْسًا، قَالُوا وَلِأَنَّ اللِّعَانَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ يَمِينٌ، وَهُوَ لَا يَحْكُمُ بِالنُّكُولِ عَلَيْهَا، وَفِي حَدِّهَا إِنِ امْتَنَعَتْ مِنَ اللِّعَانِ حَكَمَ عَلَيْهَا بِالنُّكُولِ، وَهَذَا تَنَاقُضٌ فِي الْقَوْلِ.

Dan kewajiban hudud atas istri karena li‘ān suami akan berujung pada pembunuhan dirinya jika ia muḥṣanah, dan di dalamnya terdapat penetapan sesuatu yang telah dinafikan oleh khabar (hadis). Selain itu, karena ucapan tersebut tidak mewajibkan hudud atas selain istri, maka seharusnya tidak pula mewajibkan hudud atas istri, sebagaimana sumpah (al-yamīn) secara konsisten dan kesaksian (asy-syahādah) secara kebalikan. Mereka berkata: karena li‘ān menurut asy-Syāfi‘ī adalah sumpah, dan beliau tidak memutuskan dengan penolakan (nukūl) atas istri, sedangkan dalam hal hudud atas istri jika ia menolak li‘ān, beliau memutuskan atasnya dengan penolakan. Ini adalah kontradiksi dalam pendapat.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ} [النور: 8] وَذِكْرُ الْعَذَابِ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ يُوجِبُ حَمْلَهُ عَلَى جِنْسٍ، أَوْ مَعْهُودٍ فَلَمْ يَجُزْ حَمْلُهُ عَلَى جِنْسِ الْعَذَابِ، لِأَنَّهُ لَا يَجِبُ، فَوَجَبَ حَمْلُهُ على المعهود وهو الحد لقوله تعالى: {أو ليشهد عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ} [النور: 2] .

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan akan terhindar dari azab itu apabila ia (istri) bersaksi empat kali dengan nama Allah bahwa sesungguhnya suaminya benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta} [an-Nūr: 8]. Penyebutan kata “al-‘adzāb” dengan alif dan lām mengharuskan untuk memaknainya pada jenis tertentu atau sesuatu yang sudah dikenal. Maka tidak boleh memaknainya pada jenis azab secara umum, karena itu tidak wajib, sehingga harus dimaknakan pada sesuatu yang sudah dikenal, yaitu hudud, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {atau hendaklah menyaksikan azab mereka berdua sekelompok dari kaum mukminin} [an-Nūr: 2].

فَإِنْ قِيلَ فَالْجنْسُ مَعْهُودٌ فِي عَذَابِ مَنِ امْتَنَعَ مِنَ الْحُقُوقِ.

Jika dikatakan: Jenis (azab) itu sudah dikenal dalam azab bagi orang yang menolak hak-hak.

قُلْنَا: لَا يَصِحُّ حَمْلُهُ عَلَى الْجنْسِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kami katakan: Tidak sah memaknainya pada jenis (azab) dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْجنسَ لَمْ يُسَمَّ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ عَذَابًا وَقَدْ سُمِّيَ الْحَدُّ عَذَابًا، قَالَ تَعَالَى: {فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ} [النساء: 25] يَعْنِي الْحَدَّ، فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى عُرْفِ الشَّرْعِ أَوْلَى.

Pertama: Bahwa jenis (azab) itu tidak dinamakan dalam kebiasaan syariat sebagai ‘adzāb, sedangkan hudud telah dinamakan ‘adzāb. Allah Ta‘ālā berfirman: {Apabila mereka telah dipelihara (dinikahi), kemudian mereka melakukan perbuatan keji, maka atas mereka setengah dari hukuman (adzab) yang berlaku atas perempuan-perempuan yang merdeka} [an-Nisā’: 25], maksudnya adalah hudud. Maka memaknainya sesuai kebiasaan syariat lebih utama.

وَالثَّانِي: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لِعَانَهَا يَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ الْوَاجِبَ بِلِعَانِ الزَّوْجِ، وَالْجنسُ لَمْ يَجِبْ بِلِعَانِ الزَّوْجِ، وَإِنَّمَا وَجَبَ بِامْتِنَاعِهَا، فَلَمْ يَجُزْ حَمْلُهُ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ مَا خَرَجَ بِهِ الزَّوْجُ مِنْ قَذْفِهِ جَازَ أَنْ يَجِبَ بِهِ الْحَدُّ عَلَى زَوْجَتِهِ كَالْبَيِّنَةِ، وَلِأَنَّ مَا ثَبَتَ بِبَيِّنَةِ الزَّوْجِ ثَبَتَ بِلِعَانِهِ كَالْجنسِ، وَلِأَنَّهَا أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ يُدْرَأَ بِلِعَانِهَا الْحَدُّ كَالزَّوْجِ، وَلِأَنَّ مَنْ حَلَفَ عَلَى شَيْءٍ اسْتُفِيدَ صِدْقُهُ فِيهِ كَالْمُتَلَاعِنَيْنَ، وَلِأَنَّ لِعَانَ الزَّوْجِ يَتَضَمَّنُ إِثْبَاتَ الزِّنَا وَنَفْيَ الْوَلَدِ، فَلَمَّا تَعَلَّقَ بِلِعَانِهِ نَفْيُ الْوَلَدِ وَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ به ثبوت الزنا. لأنه أَحَدُ مَقْصُودَيِ اللِّعَانِ، وَثُبُوتُ الزِّنَا مِنْهَا يُوجِبُ الحد عليها.

Kedua: Bahwa Allah Ta‘ālā menjadikan li‘ān istri dapat menggugurkan azab yang wajib karena li‘ān suami, sedangkan jenis (azab) tidak wajib karena li‘ān suami, melainkan wajib karena penolakannya (istri). Maka tidak boleh memaknainya demikian. Dan karena apa yang dengannya suami keluar dari tuduhan qadzaf, maka boleh juga dengannya hudud wajib atas istrinya, seperti halnya dengan bukti (bayyinah). Dan apa yang ditetapkan dengan bayyinah suami, juga ditetapkan dengan li‘ānnya, sebagaimana jenis (azab). Dan karena ia adalah salah satu dari dua pasangan, maka wajib dengan li‘ānnya gugur hudud sebagaimana suami. Dan siapa yang bersumpah atas sesuatu, maka diambil manfaat kebenarannya dalam hal itu, seperti dua orang yang saling melakukan li‘ān. Dan karena li‘ān suami mengandung penetapan zina dan penafian anak, maka ketika li‘ān suami berkaitan dengan penafian anak, wajib juga berkaitan dengannya penetapan zina. Karena itu adalah salah satu dari dua tujuan li‘ān, dan penetapan zina atas istri mewajibkan hudud atasnya.

وأما الجواب عن استدلاله بالخير فَنَحْنُ نَقُولُ بِمُوجَبِهِ، لِأَنَّهُ تَضَمَّنَ قَتْلَهَا بِزِنَاهَا بَعْدَ إِحْصَانِهَا وَبِذَلِكَ تُقْتَلُ لَا بِغَيْرِهِ. وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّ مَا لَا يَجِبُ بِهِ الْحَدُّ عَلَى غَيْرِ الزَّوْجَةِ لَا يَجِبُ بِهِ الْحَدُّ عَلَى الزَّوْجَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَبَرَ فِي اللِّعَانِ حُكْمُ الزَّوْجَةِ بِغَيْرِهَا لِاخْتِصَاصِ اللِّعَانِ بِالْأَزْوَاجِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَيْمَانِ مُبَايَنَتُهَا لِلِعَانٍ فِي نَفْيِ النَّسَبِ فَتُبَايِنُهَا فِي وُجُوبِ الْحَدِّ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan hadis, maka kami mengatakan sesuai dengan maknanya, karena hadis itu mengandung pembunuhan atas istri karena perzinaan setelah ia muḥṣanah, dan dengan itulah ia dibunuh, bukan karena selainnya. Adapun pernyataan mereka bahwa apa yang tidak mewajibkan hudud atas selain istri, tidak pula mewajibkan hudud atas istri, maka tidak boleh menjadikan hukum li‘ān pada istri diukur dengan selainnya, karena li‘ān khusus bagi pasangan suami istri. Kemudian, makna pada sumpah berbeda dengan li‘ān dalam hal penafian nasab, maka berbeda pula dalam kewajiban hudud.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ حَدَّهَا حُكْمٌ عَلَيْهَا بِالنُّكُولِ الَّذِي لَا يَرَاهُ الشَّافِعِيُّ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّنَا نَحُدُّهَا بِلِعَانِ الزَّوْجِ لَا بِنُكُولِهَا عَنِ اللِّعَانِ، لِأَنَّ لِعَانَهَا يُسْقِطُ عَنْهَا الْحَدَّ بَعْدَ وُجُوبِهِ.

Adapun pernyataan mereka bahwa hudud atas istri adalah keputusan atasnya karena penolakan (nukūl) yang tidak dipandang oleh asy-Syāfi‘ī, maka itu tidak benar; karena kami menetapkan hudud atas istri dengan li‘ān suami, bukan karena penolakannya dari li‘ān, sebab li‘ān istri menggugurkan hudud atasnya setelah sebelumnya wajib.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ وُقُوعَ الْفُرْقَةِ بَيْنَهُمَا بِلِعَانِ الزَّوْجِ فَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ سَوَاءٌ لَاعَنَتْ أَوْ حُدَّتْ إِذَا كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا، وَلَهَا السُّكْنَى زَمَانَ عِدَّتِهَا، وَلَا نَفَقَةَ لَهَا إِنْ كَانَتْ حَائِلًا، فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ حَامِلًا نُظِرَ، فَإِنْ نفي حَمْلهَا بِلِعَانٍ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا، وَإِنْ لَمْ يَنْفِهِ فَلَهَا النَّفَقَةُ كَحَمْلِ المبتوتة والله أعلم.

Apabila telah tetap bahwa terjadinya perpisahan antara keduanya karena li‘ān suami, maka istri wajib menjalani masa ‘iddah, baik ia melakukan li‘ān maupun dijatuhi hudud, jika ia telah digauli. Ia juga berhak mendapatkan tempat tinggal selama masa ‘iddahnya, dan tidak berhak mendapatkan nafkah jika ia tidak hamil. Namun jika ia hamil, maka dilihat lagi: jika kehamilannya dinafikan dengan li‘ān, maka tidak ada nafkah baginya; dan jika tidak dinafikan, maka ia berhak mendapatkan nafkah sebagaimana wanita yang ditalak ba’in. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا أُجْبِرُ الذِّمِّيَّةَ عَلَى اللِّعَانِ إِلًا أَنْ ترغب في حكمنا فتلتعن فإن لم يفعل حَدَدْنَاهَا إِنْ ثَبَتَتْ عَلَى الرِّضَا بِحُكْمِنَا (قَالَ المزني) رحمه الله تعالى أولى به أن يحدها لأنها رضيت ولزمها حكمنا ولو كان الحكم إذا بت عليها فأبت الرضا به سقط عنها لم يجر عليها حكمنا أبدا لأنها تقدر إذا لزمها بالحكم ما تكره أن لا تقيم على الرضا ولو قدر اللذان حكم النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عليهما بالرجم من اليهود على أن لا يرجمهما بترك الرضا لفعلا إن شاء الله تعالى (وقال) في الإملاء في النكاح والطلاق على مسائل مالك إن أبت أن تلاعن حددناها “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Aku tidak memaksa perempuan dzimmi untuk melakukan li‘ān kecuali jika ia menginginkan hukum kita, maka ia melakukan li‘ān. Jika ia tidak melakukannya, maka kami menjatuhkan had kepadanya jika ia tetap ridha dengan hukum kita. (Al-Muzani) raḥimahullāh berkata: Lebih utama baginya untuk dijatuhi had karena ia telah ridha dan hukum kita telah menjadi wajib baginya. Seandainya hukum itu bisa gugur darinya hanya karena ia menolak ridha setelah diputuskan atasnya, maka hukum kita tidak akan pernah berlaku atasnya, sebab ia bisa saja, ketika hukum itu memberatkannya, memilih untuk tidak ridha. Seandainya dua orang Yahudi yang Nabi ﷺ putuskan hukum rajam atas mereka, bisa memilih untuk tidak dirajam hanya dengan menolak ridha, niscaya mereka akan melakukannya, insya Allah Ta‘ala. (Dan beliau) berkata dalam al-Imlā’ tentang masalah nikah dan talak menurut pendapat Mālik: Jika ia menolak untuk melakukan li‘ān, maka kami jatuhkan had kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا قَذَفَ الذِّمِّيُّ زَوْجَتَهُ ثُمَّ تَرَافَعَا إِلَى حَاكِمِنَا فَفِي وُجُوبِ حُكْمِهِ بَيْنَهُمَا جبراً قَوْلَانِ:

Al-Māwardi berkata: Jika seorang dzimmi menuduh istrinya (berzina), lalu keduanya mengadukan perkara kepada hakim kita, maka dalam kewajiban hakim kita memutuskan perkara di antara mereka secara paksa terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمَا وَعَلَيْهِمَا إِذَا حَكَمَ أَنْ يَلْتَزِمَا حُكْمَهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ} [المائدة: 49] .

Salah satunya: Wajib bagi hakim untuk memutuskan perkara di antara mereka, dan keduanya wajib menerima putusannya jika hakim telah memutuskan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan} [al-Mā’idah: 49].

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَهُمْ فِي الْحُكْمِ، وَهُمْ إِذَا حَكَمَ بَيْنَهُمْ مُخَيَّرُونَ فِي الالتزام لقوله تعالى {فإن جاؤك فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ} [المائدة: 44] فَإِنْ أَوْجَبْنَا عَلَيْهِ أَنْ يَحْكُمَ، أَوْ قُلْنَا إِنَّهُ مُخَيَّرٌ فَحَكَمَ، كَانَ عَلَيْهِ التَّعْزِيرُ إِنِ اعْتَرَفَ بِالْقَذْفِ، وَكَانَ تَعْزِيرَ قَذْفٍ لِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ، وَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْحَدُّ لِنَقْصِهَا بِالْكُفْرِ وَإِنْ سَاوَاهَا فِيهِ وَلَهُ إِسْقَاطُهُ بِاللِّعَانِ، فَإِذَا الْتَعَنَ سَقَطَ تَعْزِيرُ الْقَذْفِ وَوَجَبَ عَلَيْهَا حَدُّ الزِّنَا إِنْ لَمْ تَلْتَعن وَهُوَ الْحَدُّ الْكَامِلُ، جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ إِنْ كَانَتْ بِكْرًا. والرجم إن كانت ثيباً.

Pendapat kedua: Hakim diberi pilihan untuk memutuskan perkara di antara mereka, dan mereka pun jika hakim memutuskan, diberi pilihan untuk menerima atau tidak, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka datang kepadamu, maka putuskanlah perkara di antara mereka atau berpalinglah dari mereka} [al-Mā’idah: 44]. Jika kami mewajibkan hakim untuk memutuskan, atau kami katakan bahwa ia diberi pilihan lalu ia memutuskan, maka wajib dijatuhkan ta‘zīr jika ia (suami) mengakui tuduhan zina, dan ta‘zīr itu adalah ta‘zīr karena qadzaf (tuduhan zina), karena tuduhan itu masih mengandung kemungkinan benar dan dusta. Tidak wajib atasnya hukuman had karena kekurangan (status) istri yang kafir, meskipun ia (suami) setara dengannya dalam hal itu, dan ia (suami) boleh menggugurkan hukuman itu dengan li‘ān. Jika ia melakukan li‘ān, maka gugurlah ta‘zīr qadzaf, dan wajib atas istrinya had zina jika ia tidak melakukan li‘ān, yaitu had yang sempurna: dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun jika ia masih gadis, dan dirajam jika ia sudah menikah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو كانت امرأة محدودة في زنا فقذفها بذلك لزنا أَوْ بِزِنًا كَانَ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ عُزِّرَ إِنْ طَلَبَتْ ذَلِكَ وَلَمْ يَلْتَعِنْ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seorang perempuan telah dijatuhi had karena zina, lalu ia dituduh berzina oleh suaminya atau dengan zina yang terjadi di luar pernikahan, maka suaminya dijatuhi ta‘zīr jika ia (istri) menuntut hal itu dan suaminya tidak melakukan li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمَحْدُودَةَ فِي الزِّنَا لَا حَدَّ عَلَى قَاذِفِهَا سَوَاءٌ كَانَ زَوْجًا أَوْ أَجْنَبِيًّا وَسَوَاءٌ حُدَّتْ بِإِقْرَارِهَا أَوْ بِبَيِّنَةٍ شَهِدَتْ عَلَيْهَا لِثُبُوتِ مَا قُذِفَتْ بِهِ مِنَ الزِّنَا فَصَارَ الْقَذْفُ صِدْقًا وَخَرَجَ عَنْ أَنْ يَحْتَمِلَ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ، وَلِأَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ لِدُخُولِ الْمَعَرَّةِ وَهَتْكِ الْحَصَانَةِ، وَالْمَحْدُودَةُ قَدْ دَخَلَتِ الْمَعَرَّةُ عَلَيْهَا بِالزِّنَا دُونَ الْقَذْفِ، وَارْتَفَعَتْ بِهِ حَصَانَتُهَا فَسَقَطَ الْحَدُّ فِي قَذْفِهَا وَهَكَذَا لَوْ تَقَدَّمَ الْقَذْفُ ثُمَّ قَامَتْ عَلَيْهَا بَيِّنَةٌ بِالزِّنَا، لَمْ يُحَدَّ قَاذِفُهَا، لِثُبُوتِ زِنَاهَا بِالْبَيِّنَةِ، سَوَاءٌ حُدَّتْ بِهَا أَوْ لَمْ تُحَدَّ وَسَوَاءٌ أَقَامَهَا الْقَاذِفُ أَوْ غَيْرُهُ، وَإِذَا لَمْ يَجِبْ عَلَى قَاذِفِهَا حَدٌّ عُزِّرَ، وَكَانَ تَعْزِيرَ سَبٍّ وَأَذًى لَا تَعْزِيرَ قَذْفٍ لِتَحَقُّقِ الْقَذْفِ بِالْبَيِّنَةِ، فَإِنْ كَانَ الْقَاذِفُ زَوْجًا وأراد أن يلتعن فالذي رواه المزني هاهنا: عُزِّرَ إِنْ طَلَبَتْ ذَلِكَ وَلَمْ يَلْتَعِنْ، وَرَوَى الرَّبِيعُ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” عُزِّرَ إِنْ طَلَبَتْ ذَلِكَ أَوْ يَلْتَعِنُ فَرِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ تَمْنَعُ مِنَ اللِّعَانِ، وَرِوَايَةُ الرَّبِيعِ تُجَوِّزُهُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا على ثلاثة طرق:

Al-Māwardi berkata: Ketahuilah bahwa perempuan yang telah dijatuhi had karena zina, tidak dikenakan had atas orang yang menuduhnya, baik ia adalah suaminya atau orang lain, baik ia dijatuhi had karena pengakuannya sendiri atau karena adanya bukti yang menyatakan ia berzina, karena telah tetap apa yang dituduhkan kepadanya berupa zina, sehingga tuduhan itu menjadi benar dan tidak lagi mengandung kemungkinan benar atau dusta. Had qadzaf itu sendiri bertujuan untuk menjaga kehormatan dan mencegah aib, sedangkan perempuan yang telah dijatuhi had zina, aib telah menimpanya karena zina, bukan karena tuduhan, dan kehormatannya telah hilang karenanya, sehingga had atas penuduhnya gugur. Demikian pula jika tuduhan lebih dahulu, lalu kemudian ada bukti atas perzinaan, maka penuduhnya tidak dijatuhi had, karena perzinaan telah terbukti dengan bukti tersebut, baik ia dijatuhi had karenanya atau tidak, baik bukti itu diajukan oleh penuduh atau orang lain. Jika penuduhnya tidak dijatuhi had, maka ia dijatuhi ta‘zīr, dan ta‘zīr itu adalah ta‘zīr atas penghinaan dan gangguan, bukan ta‘zīr qadzaf, karena tuduhan telah terbukti dengan bukti. Jika penuduhnya adalah suami dan ingin melakukan li‘ān, maka menurut riwayat al-Muzani di sini: dijatuhi ta‘zīr jika istri menuntut dan suami tidak melakukan li‘ān. Sedangkan menurut riwayat ar-Rabi‘ dalam kitab “al-Umm”: dijatuhi ta‘zīr jika istri menuntut atau suami melakukan li‘ān. Maka riwayat al-Muzani melarang li‘ān, sedangkan riwayat ar-Rabi‘ membolehkannya. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat:

أحدها: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَأَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الرَّبِيعَ وَهِمَ فِي رِوَايَتِهِ، وَرِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ هِيَ الصَّحِيحَةُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ لِأَمْرَيْنِ:

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu Hamid al-Marwazi, bahwa ar-Rabi‘ keliru dalam riwayatnya, dan riwayat al-Muzani adalah yang shahih, sehingga tidak boleh dilakukan li‘ān karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللِّعَانَ يُرَادُ لِتَصْدِيقِ الْقَذْفِ وَقَدْ ثَبَتَ صِدْقُهُ بِالْبَيِّنَةِ فَسَقَطَ حُكْمُ اللِّعَانِ.

Pertama: Li‘ān dimaksudkan untuk membenarkan tuduhan zina, sedangkan kebenarannya telah terbukti dengan bukti, sehingga hukum li‘ān gugur.

وَالثَّانِي: أَنَّ اللِّعَانَ مَوْضُوعٌ لِرَفْعِ مَا أَوْجَبَهُ القذف وهي تَعْزِيرُ سَبٍّ لَا تَعْزِيرَ قَذْفٍ.

Kedua: Li‘ān itu ditetapkan untuk menghilangkan akibat hukum dari tuduhan zina, sedangkan dalam kasus ini hanya berlaku ta‘zīr penghinaan, bukan ta‘zīr qadzaf.

وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: طَرِيقَةُ أَبِي الْقَاسِمِ الدَّارِكِيِّ، وَأَبِي الْحَسَنِ بْنِ الْقَطَّانِ تَصْحِيحُ الرِّوَايَتَيْنِ وَتَخْرِيجُهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Cara kedua: yaitu cara Abū al-Qāsim al-Dārikī dan Abū al-Ḥasan ibn al-Qaṭṭān, yaitu mensahihkan kedua riwayat dan mengeluarkan hukum keduanya berdasarkan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَلْتَعِنُ عَلَى مَا رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ وَوَجْهِ ما ذكرناه.

Salah satunya: tidak boleh melakukan li‘ān sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Muzanī, dan alasan sebagaimana yang telah kami sebutkan.

والقول الثاني: يلتعن عَلَى مَا رَوَاهُ الرَّبِيعُ، لِأَنَّهُ أَجَازَ تَحْقِيقَ قَذْفِهِ بِالِالْتِعَانِ إِذَا لَمْ تَكُنْ بَيِّنَةٌ، فَأَوْلَى أَنْ يُحَقِّقَهُ بِالِالْتِعَانِ مَعَ مُوَافَقَةِ الْبَيِّنَةِ لِأَنَّهُ أَثْبَتُ لِصِدْقِهِ وَأَنْفَى لِكَذِبِهِ.

Pendapat kedua: boleh melakukan li‘ān sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Rabī‘, karena ia membolehkan penetapan tuduhan zina dengan li‘ān jika tidak ada bukti, maka lebih utama lagi boleh menetapkannya dengan li‘ān jika disertai bukti, karena itu lebih kuat dalam membuktikan kebenarannya dan menafikan kebohongannya.

وَالطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ: أَنَّ اخْتِلَافَ الرِّوَايَتَيْنِ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ: فَرِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ فِي مَنْعِهِ مِنَ الِالْتِعَانِ مَحْمُولَةٌ عَلَى أَنَّهُ قَذَفَهَا بِزِنًا كَانَ قَبْلَ زَوْجِيَّتِهِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَمْلِكْ إِسْقَاطَ حَدِّهِ بِاللِّعَانِ، فَكَذَلِكَ التَّعْزِيرُ وَرِوَايَةُ الرَّبِيعِ فِي أَنَّهُ يُلَاعِنُ أَرَادَ بِهِ إِذَا قَذَفَ بِزِنًا أَضَافَهُ إِلَى الزَّوْجِيَّةِ وَأَقَامَ عَلَى ذَلِكَ بَيِّنَةً ثُمَّ أَعَادَ الْقَذْفَ بِذَلِكَ الزِّنَا فَعَلَيْهِ التَّعْزِيرُ وَلَهُ إِسْقَاطُهُ بِاللِّعَانِ وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ مِنْ غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ. وَأَنَّ رِوَايَةَ الْمُزَنِيِّ تُحْمَلُ فِي مَنْعِهِ مِنَ اللِّعَانِ إِذَا لَمْ يَنْفِ بِهِ وَلَدًا، وَرِوَايَةُ الرَّبِيعِ فِي جَوَازِ الِالْتِعَانِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْفِيَ بِهِ وَلَدًا، وَلِأَنَّ الْوَلَدَ لَا يَنْتَفِي إِلَّا بِاللِّعَانِ وَلَا سَبِيلَ إِلَيْهِ بِهَذَا الْقَذْفِ وَإِنْ سَقَطَ حَدُّهُ بِالْبَيِّنَةِ فَلِذَلِكَ جُوِّزَ لَهُ.

Cara ketiga: bahwa perbedaan dua riwayat itu ditafsirkan berdasarkan perbedaan dua keadaan: riwayat al-Muzanī tentang larangan melakukan li‘ān ditafsirkan jika ia menuduh istrinya berzina dengan zina yang terjadi sebelum pernikahan, karena ia tidak memiliki hak untuk menggugurkan had dengan li‘ān, demikian pula ta‘zīr. Sedangkan riwayat al-Rabī‘ tentang bolehnya melakukan li‘ān dimaksudkan jika ia menuduh istrinya berzina yang dikaitkan dengan masa pernikahan dan ia mendatangkan bukti atas tuduhan itu, kemudian ia mengulangi tuduhan zina tersebut, maka atasnya dikenakan ta‘zīr dan ia boleh menggugurkannya dengan li‘ān. Menurut pendapat yang saya lihat, hal ini ditafsirkan berdasarkan perbedaan dua keadaan yang bukan dari sisi tersebut. Bahwa riwayat al-Muzanī dimaknai larangan li‘ān jika tidak bermaksud menafikan anak, dan riwayat al-Rabī‘ tentang bolehnya li‘ān jika ia bermaksud menafikan anak, karena anak tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘ān dan tidak ada jalan untuk itu dengan tuduhan zina ini, meskipun had-nya gugur dengan bukti, maka karena itu dibolehkan baginya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا قَذَفَهَا وَالْتَعَنَ مِنْهَا وَامْتَنَعَتْ بَعْدَهُ مِنَ اللِّعَانِ فَحُدَّتْ ثُمَّ قَذَفَهَا الزَّوْجُ بِالزِّنَا ثَانِيَةً لَمْ يُحَدَّ لَهَا، لِأَنَّ لِعَانَهُ مِنْهَا كَالْبَيِّنَةِ فِي حَدِّهَا وَثُبُوتِ صِدْقِهِ، وَيُعَزَّرُ تَعْزِيرَ السَّبِّ وَالْأَذَى، وَلَيْسَ لَهُ إِسْقَاطُهُ بِاللِّعَانِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَلَوْ قَذَفَهَا أَجْنَبِيٌّ بِالزِّنَا حُدَّ لَهَا وَإِنْ لَمْ يُحَدَّ الزَّوْجُ وَكَانَ لِعَانُهُ مِنْهَا كَالْبَيِّنَةِ الْمُسْقِطَةِ لِحَصَانَتِهَا فِي حَقِّهِ لَا فِي حُقُوقِ الْأَجَانِبِ.

Adapun jika ia menuduh istrinya berzina lalu melakukan li‘ān, kemudian istrinya menolak melakukan li‘ān setelahnya, maka ia dijatuhi had. Lalu jika suami menuduh istrinya berzina untuk kedua kalinya, maka tidak dijatuhi had atasnya, karena li‘ān suami terhadap istrinya seperti bukti dalam menetapkan had dan membuktikan kebenarannya. Namun, ia tetap dikenakan ta‘zīr atas penghinaan dan gangguan, dan ia tidak boleh menggugurkan ta‘zīr itu dengan li‘ān menurut satu pendapat. Jika ada orang lain (bukan suami) yang menuduh istrinya berzina, maka dijatuhi had atasnya meskipun suami tidak dijatuhi had, dan li‘ān suami terhadap istrinya seperti bukti yang menggugurkan kehormatan istrinya di hadapan suami, bukan di hadapan orang lain.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ لَمْ يَنْفِ زَوْجُهَا بِاللِّعَانِ وَلَدًا أَوْ نَفَاهُ وَقَدْ مَاتَ فَلَا حَدَّ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ فِي قَذْفِهَا، وَإِنْ نَفَى بِهِ وَلَدًا بَاقِيًا فَعَلَيْهِ الْحَدُّ، فَوَافَقَ فِي حَدِّهِ مَعَ بَقَاءِ الْوَلَدِ الْمَنْفِيِّ، وَخَالَفَ فِيهِ مَعَ عَدَمِهِ، وَجَعَلَ لِعَانَ الزَّوْجِ مُسْقِطًا لِحَصَانَتِهَا فِي حَقِّهِ وَحُقُوقِ الْأَجَانِبِ كَالْبَيِّنَةِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِرِوَايَةِ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَّقَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ وَقَضَى بِأَنْ لَا يُدْعَى وَلَدُهَا لِأَبٍ، وَلَا تُرْمَى وَلَا وَلَدُهَا، فَمَنْ رَمَاهَا أَوْ رَمَى وَلَدَهَا فَعَلَيْهِ الْحَدُّ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ، لِأَنَّهَا حُدَّتْ لِامْتِنَاعِهَا عَنِ اللِّعَانِ فَلَمْ تَسْقُطْ حَصَانَتُهَا مَعَ الْأَجَانِبِ كَمَا لَوْ كَانَ ولدها المنفي باقياً، والفصل بين الزوج والأجنبي في اللعان والتسوية بينهما في البينة، أن الْبَيِّنَةِ حُجَّةٌ عَامَّةٌ فَسَقَطَتْ مَعَ عُمُومِ النَّاسِ واللعان حجة خاصة فَسَقَطَتْ بِهِ حَصَانَتُهَا مَعَ الْأَزْوَاجِ لَا مِنْ جميع الناس.

Abū Ḥanīfah berkata: Jika suaminya tidak menafikan anak dengan li‘ān, atau menafikannya namun anak itu telah meninggal, maka tidak ada had atas orang lain (bukan suami) yang menuduh istrinya berzina. Namun jika ia menafikan anak yang masih hidup dengan li‘ān, maka atasnya dikenakan had. Maka ia sependapat dalam penetapan had jika anak yang dinafikan masih ada, dan berbeda pendapat jika anak tersebut tidak ada. Ia menjadikan li‘ān suami sebagai penggugur kehormatan istrinya baik di hadapan suami maupun orang lain seperti halnya bukti. Ini tidak benar, berdasarkan riwayat ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: Rasulullah ﷺ memisahkan antara dua orang yang saling melakukan li‘ān dan memutuskan bahwa anaknya tidak dinasabkan kepada ayahnya, dan tidak boleh dituduh (berzina) baik terhadap istri maupun anaknya. Maka siapa yang menuduh istri atau anaknya, atasnya dikenakan had. Maka hukum ini berlaku umum, karena ia dijatuhi had akibat menolak li‘ān, sehingga kehormatannya tidak gugur di hadapan orang lain sebagaimana jika anak yang dinafikan masih hidup. Perbedaan antara suami dan orang lain dalam li‘ān dan penyamaan keduanya dalam hal bukti adalah bahwa bukti merupakan hujjah umum sehingga kehormatan gugur di hadapan semua orang, sedangkan li‘ān adalah hujjah khusus sehingga kehormatan istrinya gugur hanya di hadapan suami, tidak di hadapan semua orang.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ قَذَفَهَا فَجَاءَتْ بِشَاهِدَيْنِ لَاعَنَ وَلَيْسَ جُحُودُهُ الْقَذْف إِكْذَابًا لِنَفْسِهِ “.

Imam al-Syāfi‘ī ra. berkata: “Jika suami mengingkari telah menuduh istrinya berzina, lalu istrinya mendatangkan dua orang saksi, maka dilakukan li‘ān, dan pengingkaran suami terhadap tuduhan zina itu tidak dianggap sebagai pendustaan terhadap dirinya sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا قَامَتْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ بِالْقَذْفِ بَعْدَ إِنْكَارِهِ، لَمْ يَكُنْ إِنْكَارُهُ إِكْذَابًا لِنَفْسِهِ فِي لِعَانِهِ، لِأَنَّهُ بِالْإِنْكَارِ يَقُولُ: لَمْ أَقْذِفْهَا بِالزِّنَا وَقَدْ تَكُونُ زَانِيَةً وَإِنْ لَمْ يَقْذِفْهَا، فَلِذَلِكَ لَاعَنَ، وَلَوْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ فِي إِنْكَارِهِ فَقَالَ: مَا زَنَتْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ بِالْقَذْفِ.

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang telah dikatakan, apabila telah tegak bukti (bayyinah) atasnya mengenai tuduhan qadzaf setelah ia mengingkarinya, maka pengingkarannya itu tidak dianggap sebagai pendustaan terhadap dirinya sendiri dalam li‘an, karena dengan pengingkaran itu ia mengatakan: “Aku tidak menuduhnya berzina, dan bisa jadi ia memang berzina meskipun aku tidak menuduhnya.” Oleh karena itu, ia tetap melakukan li‘an. Namun, jika ia mendustakan dirinya sendiri dalam pengingkarannya, misalnya ia berkata: “Ia tidak berzina,” maka ia tidak boleh melakukan li‘an setelah adanya bukti atasnya mengenai qadzaf.

مِثَالُ ذَلِكَ مِنَ الْوَدِيعَةِ إِذَا ادَّعَيْتَ عَلَيْهِ، فَإِنْ قَالَ: لَيْسَ لَكَ فِي يَدِي وَدِيعَةٌ، أَوْ لَا تَسْتَحِقُّ مَعِي وَدِيعَةً، فَقَامَتْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ بِأَنَّهُ قَدْ أَوْدَعَهُ فَادَّعَى تَلَفَهَا قَبْلَ قَوْلِهِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُكَذِّبْ نَفْسَهُ فِي الْأَوَّلِ، وَلَوْ قَالَ: لَمْ تُودِعْنِي ثُمَّ قَالَ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ بِالْوَدِيعَةِ قَدْ أَوْدَعْتِنِي وَتَلِفَتْ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ؛ لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ لِنَفْسِهِ فِي الْأَوَّلِ. كَذَلِكَ حُكْمُ اللِّعَانِ بَعْدَ إِنْكَارِ الْقَذْفِ لَا يَكُونُ مُكَذِّبًا لِنَفْسِهِ بِإِنْكَارِ الْقَذْفِ فَلِذَلِكَ لَاعَنَ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، هَلْ يَكُونُ إِنْكَارُهُ إِكْذَابًا لِلْبَيِّنَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Contoh hal tersebut dalam perkara titipan (wadi‘ah): jika engkau menuntutnya, lalu ia berkata: “Tidak ada titipanmu di tanganku,” atau “Engkau tidak berhak atas titipan bersamaku,” kemudian tegak bukti atasnya bahwa ia memang menerima titipan itu, lalu ia mengaku bahwa titipan itu telah rusak sebelum ia mengucapkan pernyataan tersebut, maka pengakuannya diterima karena pada awalnya ia tidak mendustakan dirinya sendiri. Namun, jika ia berkata: “Engkau tidak menitipkannya kepadaku,” lalu setelah tegak bukti atasnya mengenai titipan itu ia berkata: “Engkau memang menitipkannya kepadaku dan titipan itu telah rusak,” maka ucapannya tidak diterima karena ia telah mendustakan dirinya sendiri pada awalnya. Demikian pula hukum li‘an setelah mengingkari qadzaf; ia tidak dianggap mendustakan dirinya sendiri dengan pengingkaran qadzaf, sehingga ia tetap boleh melakukan li‘an. Para sahabat kami berbeda pendapat, apakah pengingkarannya itu merupakan pendustaan terhadap bayyinah atau tidak? Ada dua pendapat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hurairah.

أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ إِكْذَابًا لَهَا كَمَا لَا يَكُونُ إِكْذَابًا لِنَفْسِهِ، لِأَنَّهُ يَقُولُ إِنَّ الْقَذْفَ مَا احْتَمَلَ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ، وَأَنَا صَادِقٌ فِي أَنَّهَا زَنَتْ، فَلَمْ أَكُنْ قَاذِفًا، وَالشُّهُودُ قَدْ صَدَقُوا فِيمَا شَهِدُوا بِهِ عَلَيَّ مِنْ قَوْلِي إنَّهَا زَنَتْ، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَهَا بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ قَذْفٍ يَسْتَجِدُّهُ.

Salah satunya: Tidak dianggap sebagai pendustaan terhadap bayyinah, sebagaimana tidak dianggap sebagai pendustaan terhadap dirinya sendiri, karena ia mengatakan bahwa qadzaf itu masih mungkin benar atau dusta, dan aku benar dalam mengatakan bahwa ia berzina, maka aku bukanlah penuduh (qadzif), dan para saksi benar dalam kesaksian mereka atas ucapanku bahwa ia berzina. Berdasarkan pendapat ini, boleh baginya melakukan li‘an setelah tegaknya bayyinah atasnya tanpa perlu ada qadzaf baru.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُكَذِّبًا لِلْبَيِّنَةِ بِإِنْكَارِ الْقَذْفِ لِأَنَّهَا شَهِدَتْ عَلَيْهِ بِقَوْلٍ قَدْ نَفَاهُ عَنْ نَفْسِهِ بِإِنْكَارِهِ، وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ مَعْنَى الْقَذْفِ تَأْوِيلٌ لَا يُقْبَلُ فِي حَقِّ غَيْرِهِ، فَلِذَلِكَ كَانَ إِكْذَابًا لِلْبَيِّنَةِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ إِكْذَابًا لِنَفْسِهِ فَعَلَى هَذَا لَيْسَ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ إِلَّا بِقَذْفٍ يستجده، وهذا هو فائدة هذين الوجهين.

Pendapat kedua: Bahwa ia dianggap mendustakan bayyinah dengan pengingkaran qadzaf, karena bayyinah telah bersaksi atasnya dengan suatu ucapan yang telah ia sangkal dari dirinya dengan pengingkarannya, dan penjelasan yang ia sebutkan tentang makna qadzaf adalah takwil yang tidak diterima dalam hak orang lain. Oleh karena itu, hal itu dianggap sebagai pendustaan terhadap bayyinah, meskipun bukan pendustaan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan pendapat ini, ia tidak boleh melakukan li‘an setelah tegaknya bayyinah kecuali dengan qadzaf baru, dan inilah faedah dari dua pendapat tersebut.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَذَفَهَا ثُمَّ بَلَغَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَدٌّ وَلَا لِعَانٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menuduh istrinya (qadzaf) lalu ia baligh, maka tidak ada had dan tidak ada li‘an atasnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، قَذْفُ الصَّبِيِّ لَا يُوجِبُ حَدًّا وَلَا يُبِيحُ لِعَانًا، لِأَنَّهُ وَبِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُ لَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمٌ، وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ حَدٌّ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ بِالزِّنَا وَالسَّرِقَةِ حَدٌّ وَلَا قَطْعٌ، فَكَذَلِكَ فِي الْقَذْفِ، ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ مُرَاهِقًا يُؤْذِي قَذْفُ مِثْلِهِ عُزِّرَ أَدَبًا، كَمَا يُؤَدَّبُ فِي مَصَالِحِهِ، وَإِنْ كَانَ طِفْلًا لَا يُؤْذِي قَذْفُهُ لَمْ يُعَزَّرْ، فَلَوْ جَاءَتْ زَوْجَتُهُ بِوَلَدٍ، وَهُوَ ابْنُ عَشْرٍ يَجُوزُ أَنْ يُولَدَ لِمِثْلِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيهِ بِالْقَذْفِ الْمُتَقَدِّمِ قَبْلَ بُلُوغِهِ حَتَّى يَسْتَأْنِفَ قَذْفًا بَعْدَ الْبُلُوغِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَجْرِ عَلَى الْقَذْفِ الْأَوَّلِ حُكْمٌ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, qadzaf yang dilakukan oleh anak kecil tidak mewajibkan had dan tidak membolehkan li‘an, karena dengan terangkatnya pena (taklif) darinya maka tidak berlaku hukum atasnya, dan tidak wajib had atasnya. Tidakkah engkau lihat bahwa atasnya tidak wajib had karena zina dan tidak wajib potong tangan karena mencuri? Maka demikian pula dalam qadzaf. Kemudian, jika ia sudah mendekati baligh dan tuduhan qadzaf seperti itu menyakitkan, maka ia diberi ta‘zir sebagai pendidikan, sebagaimana ia dididik dalam urusan-urusan lainnya. Namun, jika ia masih anak-anak dan tuduhan qadzafnya tidak menyakitkan, maka tidak diberi ta‘zir. Jika istrinya melahirkan anak, sedangkan ia berumur sepuluh tahun—umur yang memungkinkan ia punya anak—maka ia tidak boleh melakukan li‘an untuk menafikan anak itu dengan qadzaf yang telah ia lakukan sebelum baligh, sampai ia mengulangi qadzaf setelah baligh, karena qadzaf yang pertama tidak berlaku hukum atasnya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَذَفَهَا فِي عِدَّةٍ يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا فِيهَا فَعَلَيْهِ اللِّعَانُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menuduh istrinya (qadzaf) saat masa iddah yang masih boleh ia rujuk, maka wajib atasnya li‘an.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا قَذَفَ الرَّجْعِيَّةَ فِي الْعِدَّةِ فَلَهُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا، لِأَنَّ الطَّلَاقَ الرَّجْعِيَّ لَمْ يَسْلُبْ مِنْ أَحْكَامِ الزَّوْجِيَّةِ إِلَّا شَيْئَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: jika ia menuduh istri yang dalam masa iddah raj‘iyyah, maka ia boleh melakukan li‘an terhadapnya, karena talak raj‘i tidak menghapuskan hukum-hukum pernikahan kecuali dua hal:

أَحَدُهُمَا: تَحْرِيمُ الْوَطْءِ مَا لَمْ يُرَاجِعْ.

Pertama: Diharamkannya hubungan suami-istri selama belum rujuk.

وَالثَّانِي: جَرَيَانُهَا فِي الْفَسْخِ إِنْ لَمْ يُرَاجِعْ حَتَّى تَبَيَّنَ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ ثُمَّ هِيَ فِيمَا عَدَاهُمَا جَارِيَةٌ فِي أَحْكَامِ الزَّوْجَاتِ مِنْ وُقُوعِ الطَّلَاقِ، وَالْإِيلَاءِ، وَالظِّهَارِ وَالتَّوَارُثِ، وَلُحُوقِ النَّسَبِ، وَكَذَلِكَ فِي اللِّعَانِ، وَبِهَذَا خَالَفَتِ الْمَبْتُوتَةُ الْمَسْلُوبَةُ لِأَحْكَامِ الزَّوْجَاتِ، ثُمَّ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ قَبْلَ الرَّجْعَةِ وَبَعْدَهَا وَمِنْ غَيْرِ رَجْعَةٍ، سَوَاءٌ كَانَتْ فِي الْعِدَّةِ، أَوْ قَدِ انْقَضَتْ، فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا وَقَفَ حُكْمُ اللِّعَانِ قَبل رَجْعَتِهِ كَمَا وَقَفَتْ كَفَّارَةُ الظِّهَارِ فَلَمْ تَجِبْ قَبْلَ الرَّجْعَةِ؟ وَلَمْ يَحْتَسِبْ فِي مُدَّةِ الْإِيلَاءِ مَا قَبْلَ الرَّجْعَةِ.

Kedua: Berlaku hukum fasakh (pembatalan nikah) jika suami tidak merujuk hingga jelas berakhirnya masa ‘iddah. Setelah itu, dalam hal-hal selain dua perkara tersebut, ia (istri yang ditalak raj‘i dalam masa ‘iddah) tetap berlaku hukum-hukum istri, seperti jatuhnya talak, ila’, zihar, saling mewarisi, dan penetapan nasab, demikian pula dalam kasus li‘an. Dengan ini, ia berbeda dengan istri yang telah ditalak bain (mabtutah) yang telah hilang hukum-hukum sebagai istri. Selanjutnya, suami boleh melakukan li‘an sebelum rujuk, sesudah rujuk, atau tanpa rujuk, baik masih dalam masa ‘iddah maupun setelah habis masa ‘iddah. Jika ada yang bertanya: Mengapa hukum li‘an tidak ditangguhkan sebelum rujuk sebagaimana kafarat zihar yang tidak wajib sebelum rujuk? Dan mengapa masa sebelum rujuk tidak dihitung dalam masa ila’?

قِيلَ: لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْمَعْنَى فِيهِمَا يُوجِبُ وُقُوعَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا، وَهُوَ أَنَّ اللِّعَانَ مَوْضُوعٌ لِرَفْعِ الْمَعَرَّةِ وَنَفْيِ النَّسَبِ، وَذَلِكَ مَوْجُودٌ قَبْلَ الرَّجْعَةِ كَوُجُودِهِ بَعْدَهَا، وَكَفَّارَةُ الظِّهَارِ تَجِبُ بِالْعَوْدِ الَّذِي هُوَ اسْتِبَاحَةُ الْوَطْءِ، وَمُدَّةُ الْإِيلَاءِ يُعْتَدُّ بِهَا إِذَا أَمْكَنَ الْوَطْءُ فِيهَا، وَذَلِكَ لَا يَكُونُ قَبْلَ الرَّجْعَةِ وَإِنَّمَا يَكُونُ بَعْدَهَا، فَلِذَلِكَ افْتَرَقَا.

Dijawab: Karena perbedaan makna di antara keduanya menyebabkan adanya perbedaan hukum. Li‘an ditetapkan untuk menghilangkan aib dan menafikan nasab, dan hal itu ada baik sebelum maupun sesudah rujuk. Sedangkan kafarat zihar wajib dilakukan ketika kembali (berhubungan suami istri), yaitu saat diperbolehkan melakukan hubungan, dan masa ila’ dihitung jika memungkinkan terjadi hubungan dalam masa itu, dan hal itu tidak terjadi sebelum rujuk, melainkan setelahnya. Oleh karena itu, keduanya berbeda.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَانَتْ فَقَذَفَهَا بِزِنًا نَسَبَهُ إِلَى أَنَّهُ كَانَ وَهِيَ زَوْجَتُهُ حُدَّ وَلَا لِعَانَ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَ بِهِ وَلَدًا أَوْ حَمْلًا فَيَلْتَعِنَ فإن قيل فلم لاعنت بينهما وهي بائن إذا ظهر بها حمل؟ قيل كما ألحقت الولد لأنها كانت زوجته فكذلك لاعنت بينهما لأنها كانت زوجته ألا ترى أنها إن ولدت بعد بينونتها كهي وهي تحته وإذا نفى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الولد وهي زوجة فإذا زال الفراش كان الولد بعد ما تبين أولى أن ينفى أو في مثل حاله قبل أن تبين “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang istri telah menjadi bain (berpisah secara hukum) lalu suami menuduhnya berzina yang dinisbatkan pada masa ketika ia masih menjadi istrinya, maka suami dikenai had (hukuman) dan tidak berlaku li‘an, kecuali jika ia menafikan anak atau kehamilan, maka boleh melakukan li‘an. Jika ada yang bertanya: Mengapa boleh dilakukan li‘an antara keduanya padahal ia sudah menjadi bain jika ternyata ada kehamilan? Dijawab: Sebagaimana anak itu dinisbatkan kepadanya karena ia pernah menjadi istrinya, demikian pula li‘an boleh dilakukan antara keduanya karena ia pernah menjadi istrinya. Bukankah engkau melihat bahwa jika ia melahirkan setelah berpisah, keadaannya sama seperti ketika masih menjadi istrinya? Dan ketika Rasulullah SAW menafikan anak saat istrinya masih menjadi istri, maka jika tempat tidur (pernikahan) telah hilang, maka anak yang lahir setelah jelas perpisahan lebih utama untuk dinafikan, atau setidaknya keadaannya sama seperti sebelum perpisahan.”

قال الماوردي: وهذا كَمَا قَالَ: إِذَا بَانَتْ مِنْهُ زَوْجَتُهُ إِمَّا بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، وَإِمَّا بِالْخُلْعِ، وَإِمَّا بِالْفَسْخِ، وَإِمَّا بِطَلَاقٍ رَجْعِيٍّ لَمْ يُرَاجِعْ فِيهِ حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ فَصَارَتْ بِهَذِهِ الْأُمُورِ بَائِنًا، ثُمَّ قَذَفَهَا بِزِنًا نِسْبَةً إِلَى أَنَّهُ كَانَ مِنْهَا وَهِيَ زَوْجَتُهُ فَالْحَدُّ عَلَيْهِ وَاجِبٌ، وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي جواز لعانه منها على ثلاثة مذاهب:

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu jika seorang istri telah berpisah dari suaminya, baik dengan talak tiga, khulu‘, fasakh, atau talak raj‘i yang tidak dirujuk hingga habis masa ‘iddah, sehingga dengan sebab-sebab ini ia menjadi bain. Kemudian suami menuduhnya berzina yang dinisbatkan pada masa ketika ia masih menjadi istrinya, maka wajib atas suami dikenai had. Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya li‘an darinya dalam tiga mazhab:

أحدهما: وَهُوَ قَوْلُ عُثْمَانَ الْبَتِّيِّ: لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ سَوَاءٌ أَرَادَ أَنْ يَنْفِيَ بِهِ نَسَبًا أَوْ لَمْ يُرِدْ.

Pertama: Pendapat ‘Utsman al-Batti, yaitu suami boleh melakukan li‘an baik ia bermaksud menafikan nasab atau tidak.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ، سَوَاءٌ أَرَادَ أَنْ يَنْفِيَ بِهِ نَسَبًا أَوْ لَمْ يُرِدْ. وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ،

Mazhab kedua: Pendapat Abu Hanifah, yaitu suami tidak boleh melakukan li‘an, baik ia bermaksud menafikan nasab atau tidak. Pendapat ini juga dipegang oleh al-Auza‘i dan Ahmad bin Hanbal.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ إِنْ أَرَادَ أَنْ يَنْفِيَ بِهِ نَسَبًا كَانَ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ، إن لَمْ يُرِدْ أَنْ يَنْفِيَ بِهِ نَسَبًا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ، فَأَمَّا عُثْمَانُ الْبَتِّيُّ، فَاسْتَدَلَّ عَلَى جَوَازِ اللِّعَانِ فِي الْحَالَيْنِ بِأَنَّهُ قَذْفٌ مُضَافٌ إِلَى الزَّوْجِيَّةِ فَجَازَ اللِّعَانُ مِنْهُ قِيَاسًا عَلَى نَفْيِ النَّسَبِ، وَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَاسْتَدَلَّ عَلَى مَنْعِهِ مِنَ اللِّعَانِ فِي الْحَالَيْنِ: بِأَنَّهُ قَذْفٌ صَادَفَ أَجْنَبِيَّةً فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ كَالْحَائِلِ.

Mazhab ketiga: Pendapat Imam Syafi‘i, yaitu jika suami bermaksud menafikan nasab, maka ia boleh melakukan li‘an; jika tidak bermaksud menafikan nasab, maka ia tidak boleh melakukan li‘an. Adapun ‘Utsman al-Batti berdalil atas bolehnya li‘an dalam kedua keadaan karena itu adalah tuduhan yang dikaitkan dengan status sebagai istri, sehingga boleh dilakukan li‘an sebagaimana dalam kasus penafian nasab. Sedangkan Abu Hanifah berdalil atas larangan li‘an dalam kedua keadaan karena itu adalah tuduhan yang mengenai perempuan ajnabiyah (bukan istri), sehingga tidak boleh dilakukan li‘an sebagaimana pada perempuan yang tidak hamil.

وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ جَوَازِهِ لِنَفْيِ النَّسَبِ وَالْمَنْعِ مِنْهُ فِي عَدَمِهِ، أَنَّ اللِّعَانَ مَوْضُوعٌ لِلضَّرُورَةِ الدَّاعِيَةِ إِلَيْهِ فِي إِحْدَى حَالَتَيْنِ، إِمَّا لِمَعَرَّةٍ بِزِنَاهَا فِي نِكَاحِهِ، وَإِمَّا لِنَفْيِ نَسَبِ مَنْ لَا يَلْحَقُ بِهِ.

Dalil atas pendapat Imam Syafi‘i tentang bolehnya li‘an untuk menafikan nasab dan tidak bolehnya jika tidak ada penafian nasab adalah bahwa li‘an ditetapkan karena adanya kebutuhan mendesak dalam dua keadaan: pertama, untuk menghilangkan aib akibat tuduhan zina saat masih dalam pernikahan; kedua, untuk menafikan nasab anak yang tidak dapat dinisbatkan kepadanya.

وَالثَّانِي: قَدْ زَالَ عَارُهَا عَنْهُ، وَلَمْ يُنْفَ وَلَدُهَا عَنْهُ، فَلِذَلِكَ جَازَ أَنْ يُلَاعِنَ مَعَ وُجُودِ النَّسَبِ لِلضَّرُورَةِ الدَّاعِيَةِ إِلَى نَفْيِهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُلَاعِنَ مَعَ عَدَمِ النسب لزوال مَعَرَّتِهَا عَنْهُ بِالْفُرْقَةِ، وَهَذَا دَلِيلٌ عَلَيْهِمَا وَانْفِصَالٌ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمَا، ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى الْبَتِّيِّ خَاصَّةً فِي عَدَمِ النَّسَبِ أَنَّهُ قَذْفٌ لَمْ يَحْتَجْ إِلَيْهِ فَلَا تُلَاعَنُ مِنْهُ كَالْأَجْنَبِيَّةِ، وَيَدُلُّ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ خَاصَّةً مَعَ وُجُودِ النَّسَبِ أَنَّهُ قَذْفٌ اضْطُرَّ إِلَيْهِ فَجَازَ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ كَمَا لَوْ كَانَتْ زَوْجَهُ لَأَنَّ وَلَدَهَا يَلْحَقُ بِهِ بَعْدَ الْفُرْقَةِ كَمَا يَلْحَقُ بِهِ قَبْلَهَا. فَإِنْ قِيلَ يَفْسُدُ بِأُمِّ الْوَلَدِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا وَإِنِ اضْطُرَّ إِلَى نَفْيِ نَسَبِ وَلَدِهَا قِيلَ يَقْدِرُ عَلَى نَفْيِ نَسَبِهِ بِغَيْرِ اللِّعَانِ وَهُوَ دَعْوَى الِاسْتِبْرَاءِ فَلَمْ يُضْطَرَّ إِلَى اللِّعَانِ بِخِلَافِ الزَّوْجِ.

Kedua: Aibnya telah hilang darinya, dan nasab anaknya tidak dinafikan darinya. Oleh karena itu, diperbolehkan baginya melakukan li‘ān meskipun nasab tetap ada, karena adanya kebutuhan mendesak untuk menafikannya. Namun, tidak diperbolehkan melakukan li‘ān ketika tidak ada nasab, karena aibnya telah hilang darinya akibat perpisahan. Ini merupakan dalil bagi keduanya dan pemisahan dari argumentasi keduanya. Kemudian, yang menunjukkan pendapat al-Battī secara khusus dalam kasus tidak adanya nasab adalah bahwa itu merupakan tuduhan zina yang tidak diperlukan, sehingga tidak dilakukan li‘ān sebagaimana terhadap perempuan asing. Sedangkan yang menunjukkan pendapat Abū Ḥanīfah secara khusus dalam kasus adanya nasab adalah bahwa itu merupakan tuduhan zina yang terpaksa dilakukan, sehingga diperbolehkan melakukan li‘ān sebagaimana jika ia masih menjadi istrinya, karena anaknya tetap dinisbatkan kepadanya setelah perpisahan sebagaimana sebelum perpisahan. Jika dikatakan: “Kasus dengan umm al-walad rusak, tidak boleh melakukan li‘ān terhadapnya meskipun terpaksa menafikan nasab anaknya.” Maka dijawab: “Ia mampu menafikan nasabnya tanpa li‘ān, yaitu dengan mengklaim istibrā’ (pembuktian kosongnya rahim), sehingga tidak terpaksa melakukan li‘ān, berbeda dengan suami.”

(فَصْلٌ)

(Fashal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ جَوَازُ لِعَانِهِ مِنْ ذَاتِ الْوَلَدِ الْمُنَاسِبِ خَاصَّةً لَمْ يَخْلُ حَالُ النَّسَبِ اللَّاحِقِ مِنْ أَنْ يَكُونَ وَلَدًا مُنْفَصِلًا أَوْ حَمْلًا مُتَّصِلًا، فَإِنْ كَانَ وَلَدًا قَدْ وَضَعَتْهُ جَازَ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِهِ وَسَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ بِلِعَانِهِ، وَإِنْ كَانَ حَمْلًا مُتَّصِلًا لَمْ تَضَعْهُ فَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ مِنْهَا قَبْلَ وَضْعِهِ قَوْلَانِ:

Jika telah dipastikan bolehnya li‘ān terhadap perempuan yang memiliki anak yang nasabnya tetap, maka keadaan nasab yang tetap itu tidak lepas dari dua kemungkinan: anak yang telah lahir atau janin yang masih dalam kandungan. Jika anak itu telah lahir, maka boleh melakukan li‘ān untuk menafikannya dan gugurlah hukuman had darinya karena li‘ān tersebut. Namun jika masih berupa janin yang belum dilahirkan, maka dalam kebolehan melakukan li‘ān sebelum kelahirannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَاخْتَارَهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ أَنَّ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْ حَمْلِهَا كَمَا يُلَاعِنُ مِنْ وَلَدِهَا، لِأَنَّ مَنْ لَاعَنَ مِنْ ذَاتِ الْوَلَدِ لَاعَنَ مِنْ ذَاتِ الْحَمْلِ كَالزَّوْجِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا مَاتَ قَبْلَ وَضْعِهَا فَلَمْ يَقْدِرِ الْوَرَثَةُ عَلَى لِعَانِهَا.

Salah satunya, yaitu yang dinukil oleh al-Muzanī dalam bagian ini dan dipilih oleh Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa boleh melakukan li‘ān terhadap janinnya sebagaimana boleh melakukan li‘ān terhadap anaknya. Karena siapa yang boleh melakukan li‘ān terhadap perempuan yang telah melahirkan, maka boleh pula terhadap yang masih mengandung, sebagaimana suami. Selain itu, bisa jadi ia meninggal sebelum melahirkan sehingga ahli waris tidak dapat melakukan li‘ān terhadapnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فِي ” جَامِعِهِ الْكَبِيرِ ” أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْ حَمْلِهَا حَتَّى تَضَعَ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ غِلَظًا أَوْ رِيحًا، فَإِنْ وَضَعَتْهُ لَاعَنَ مِنْهُ، وَسَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ، وَإِنِ انفشي حدّ وَلَمْ يُلَاعِنْ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي بِنَاءِ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua, dinukil oleh al-Muzanī dalam “Jāmi‘ al-Kabīr”-nya, bahwa tidak boleh melakukan li‘ān terhadap janinnya hingga ia dilahirkan, karena bisa jadi yang dikandung itu hanyalah gumpalan darah atau angin. Jika telah dilahirkan, maka boleh dilakukan li‘ān terhadapnya dan gugurlah hukuman had darinya. Namun jika telah dijatuhkan hukuman had dan belum dilakukan li‘ān, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam membangun dua pendapat ini atas dua wajah:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنَّهُ مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي الْحَمْلِ هَلْ يَكُونُ مُتَحَقِّقًا تَسْتَحِقُّ بِهِ تَعْجِيلَ النَّفَقَةِ قَبْلَ وَضْعِهِ، أَوْ يَكُونُ مَظْنُونًا لَا تَسْتَحِقُّ النَّفَقَةَ إِلَّا بَعْدَ وَضْعِهِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa perbedaan ini dibangun atas perbedaan dua pendapat Imam al-Syāfi‘ī tentang janin: apakah ia dianggap pasti sehingga berhak dipercepat nafkahnya sebelum dilahirkan, ataukah hanya dugaan sehingga nafkah baru diberikan setelah dilahirkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي الْحَمْلِ هَلْ يَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ أَوْ يَكُونُ تَبَعًا.

Wajah kedua, bahwa perbedaan ini dibangun atas perbedaan dua pendapat Imam al-Syāfi‘ī tentang janin: apakah ia mendapat bagian dari harga (jual beli budak) ataukah hanya mengikuti (induknya) saja.

(فَصْلٌ)

(Fashal)

فَإِذَا لَاعَنَ مِنَ الْمَبْتُوتَةِ لِنَفْيِ النَّسَبِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، هَلْ يَثْبُتُ بِلِعَانِهِ التَّحْرِيمُ الْمُؤَبَّدُ لِأَنَّهُ لَا نَصَّ فِيهِ لِلشَّافِعِيِّ – عَلَى وَجْهَيْنِ: حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَكَذَلِكَ الْمَوْطُوءَةُ بِشُبْهَةٍ إِذَا لَاعَنَ مِنْ وَلَدِهَا.

Jika seseorang melakukan li‘ān terhadap perempuan yang telah ditalak ba’in untuk menafikan nasab, maka para sahabat kami berbeda pendapat: apakah dengan li‘ān tersebut berlaku keharaman menikah selamanya, karena tidak ada nash dari Imam al-Syāfi‘ī dalam hal ini, atas dua wajah. Keduanya diriwayatkan oleh Abū Isḥāq al-Marwazī. Demikian pula terhadap perempuan yang digauli karena syubhat jika dilakukan li‘ān terhadap anaknya.

أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّهَا تَحْرُمُ بِهِ عَلَى التَّأْبِيدِ كَالْمَنْكُوحَةِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي نَفْيِ النَّسَبِ وَسُقُوطِ الْحَدِّ.

Salah satu wajah: ia menjadi haram dinikahi selamanya sebagaimana istri yang dinikahi secara sah, karena keduanya sama-sama dalam menafikan nasab dan gugurnya hukuman had.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَحْرُمُ عَلَى التَّأْبِيدِ، لِأَنَّ تَحْرِيمَ التَّأْبِيدِ تَابِعٌ لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ، وَهَذَا اللِّعَانُ لَمْ تَقَعْ بِهِ الْفُرْقَةُ فَلَمْ يَثْبُتْ بِهِ تَحْرِيمُ الْأَبَدِ، فَعَلَى هَذَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ حَتَّى لَا تَحِلَّ لَهُ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Wajah kedua: ia tidak menjadi haram dinikahi selamanya, karena keharaman abadi itu mengikuti terjadinya perpisahan, sedangkan li‘ān ini tidak menyebabkan perpisahan, maka tidak tetap keharaman abadi karenanya. Berdasarkan ini, berlaku atasnya hukum talak tiga, sehingga ia tidak halal baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا لَا تَحِلُّ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ لِيُكْمِلَ بِهِ عَدَدَ الطَّلَاقِ الْمُتَقَدِّمَ لِأَنَّهُ أَضْعَفُ أَحْوَالِ اللِّعَانِ أَنْ يَكُونَ كَالطَّلَاقِ.

Salah satu pendapat: bahwa ia (perempuan yang ditalak) tidak menjadi halal (untuk dinikahi kembali oleh mantan suaminya) kecuali setelah menikah dengan suami lain yang menyempurnakan jumlah talak sebelumnya, karena keadaan li‘ān yang paling ringan adalah disamakan dengan talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَحِلُّ لَهُ قَبْلَ زَوْجٍ إِذَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الثَّلَاثَ بِطَلَاقِهِ الْمُتَقَدِّمِ لِأَنَّ هَذَا اللِّعَانَ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي الْفُرْقَةِ، فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِي التَّحْرِيمِ، وَلَوْ أَثَّرَ لَكَانَ تَأْثِيرٌ فِي تَحْرِيمِ التَّأْبِيدِ أَوْلَى.

Pendapat kedua: bahwa ia menjadi halal baginya sebelum menikah dengan suami lain jika talak sebelumnya belum mencapai tiga kali, karena li‘ān ini tidak berpengaruh pada terjadinya perpisahan, sehingga tidak berpengaruh pula pada keharaman (menikah kembali). Jika pun berpengaruh, maka pengaruhnya dalam keharaman menikah selamanya (taḥrīm ta’bīd) tentu lebih utama.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَأَمَّا إِذَا قَذَفَ زَوْجَتَهُ في حال نكاحها بزنا نسبة إلى أنه كان منها قبل نكاحها، فَقَالَ: زَنَيْتِ قَبْلَ أَنْ أَتَزَوَّجَكِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي جَوَازِ لِعَانِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ: بِنَاءً على خلافهم في جواز لعانه بَعْدَ الْفُرْقَةِ، فَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِلَى جَوَازِ لِعَانِهِ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْقَذْفِ؛ لِأَنَّهُ قَذَفَهَا وَهِيَ زَوْجَةٌ لِذَلِكَ مَنَعَ مِنْ جَوَازِ اللِّعَانِ بَعْدَ الْفُرْقَةِ، وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ اعْتِبَارًا بِحَالِ الزِّنَا، وَأَنَّهَا كَانَتْ غَيْرَ زَوْجَتِهِ وَلِذَلِكَ جَوَّزَ اللِّعَانَ بَعْدَ الْفُرْقَةِ فَاعْتَبَرَ الشَّافِعِيُّ بِاللِّعَانِ حَالَ الزِّنَا دُونَ الْقَذْفِ، وَاعْتَبَرَ أَبُو حَنِيفَةَ حَالَ الْقَذْفِ دُونَ الزِّنَا اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} [النور: 6] فَجَازَ أَنْ يَلْتَعِنَ كُلُّ قَاذِفٍ لِزَوْجَتِهِ، وَلِأَنَّهُ قَاذِفٌ لِزَوْجَتِهِ فَجَازَ لِعَانُهُ كَالزِّنَا فِي الزَّوْجِيَّةِ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُلَاعِنَ مِنَ الزِّنَا الْحَادِثِ فِي نِكَاحِهِ لِئَلَّا يَلْتَحِقَ بِهِ وَلَدُ الزِّنَا جَازَ فِي الزِّنَا الْمُتَقَدِّمِ أَنْ يُلَاعِنَ لِهَذَا الْمَعْنَى.

Adapun jika seorang suami menuduh istrinya berzina pada masa pernikahan mereka, dengan menisbatkan zina itu terjadi sebelum pernikahan, misalnya ia berkata: “Engkau telah berzina sebelum aku menikahimu,” maka para fuqahā’ berbeda pendapat tentang kebolehan li‘ān dalam kasus ini menjadi dua pendapat, berdasarkan perbedaan mereka tentang kebolehan li‘ān setelah perpisahan. Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa li‘ān boleh dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan saat tuduhan (qażf), karena ia menuduh istrinya saat masih menjadi istrinya; oleh karena itu, ia melarang li‘ān setelah perpisahan. Sedangkan asy-Syāfi‘ī berpendapat bahwa tidak boleh melakukan li‘ān dengan mempertimbangkan keadaan zina, yaitu saat itu ia belum menjadi istrinya, dan karena itu asy-Syāfi‘ī membolehkan li‘ān setelah perpisahan. Maka asy-Syāfi‘ī mempertimbangkan li‘ān pada keadaan zina, bukan pada keadaan qażf, sedangkan Abū Ḥanīfah mempertimbangkan keadaan qażf, bukan keadaan zina, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka} [an-Nūr: 6], sehingga setiap orang yang menuduh istrinya boleh melakukan li‘ān. Karena ia menuduh istrinya, maka li‘ān boleh dilakukan sebagaimana zina yang terjadi dalam pernikahan. Ia berkata: “Karena ketika boleh melakukan li‘ān atas zina yang terjadi dalam pernikahan agar anak hasil zina tidak dinisbatkan kepadanya, maka boleh pula melakukan li‘ān atas zina yang terjadi sebelum pernikahan dengan alasan yang sama.”

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ} [النور: 4] الْآيَةَ، وَهَذَا فِي الزِّنَا الَّذِي رُمِيَتْ بِهِ أَجْنَبِيَّةٌ فَحُدَّ وَلَمْ يَلْتَعِنْ، وَلِأَنَّهُ قَذْفٌ بِزِنًا هِيَ فِيهِ أَجْنَبِيَّةٌ مِنْهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُلَاعِنَ بِهِ كَمَا لَوْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا، وَلِأَنَّ أُصُولَ الشَّرْعِ مُسْتَقِرَّةٌ عَلَى أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الزِّنَا لَا بِحَالِ الْقَذْفِ. أَلَا تَرَى لَوْ قَالَ لِمُعْتَقٍ: زَنَيْتَ قَبْلَ عِتْقِكَ، وَلِبَالِغٍ: زَنَيْتَ قَبْلَ بُلُوغِكَ، وَلِمُسْلِمٍ: زَنَيْتَ قَبْلَ إِسْلَامِكَ، لَمْ يُحَدَّ الْقَاذِفُ اعْتِبَارًا بِحَالِ الزِّنَا دُونَ حَالِ الْقَذْفِ، وَكَذَلِكَ فِي اللِّعَانِ بِالْقَذْفِ فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْآيَةِ فَفِيمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الِاعْتِبَارِ بِحَالِ الزِّنَا دُونَ الْقَذْفِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ قَاذِفٌ بِالزِّنَا لِغَيْرِ زَوْجَتِهِ فَلَمْ يَكُنْ فِيهَا دَلِيلٌ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang terjaga kehormatannya} [an-Nūr: 4], dan ini berkaitan dengan zina yang dituduhkan kepada perempuan asing (bukan istri), sehingga pelaku tuduhan dikenai had dan tidak boleh melakukan li‘ān. Karena ini adalah tuduhan zina terhadap perempuan yang pada saat itu bukan istrinya, maka tidak boleh melakukan li‘ān atasnya, sebagaimana jika ia tidak menikahinya. Dan karena prinsip-prinsip syariat telah menetapkan bahwa had atas tuduhan zina (qażf) dipertimbangkan berdasarkan keadaan zina, bukan keadaan qażf. Tidakkah engkau lihat, jika seseorang berkata kepada seorang mantan budak: “Engkau telah berzina sebelum dimerdekakan,” atau kepada seorang yang telah baligh: “Engkau telah berzina sebelum baligh,” atau kepada seorang Muslim: “Engkau telah berzina sebelum masuk Islam,” maka penuduh tidak dikenai had, dengan pertimbangan keadaan zina, bukan keadaan qażf. Demikian pula dalam li‘ān atas tuduhan zina. Adapun dalil dari ayat, maka sebagaimana yang telah kami sebutkan, pertimbangan adalah pada keadaan zina, bukan qażf, yang menunjukkan bahwa tuduhan zina terhadap selain istrinya tidak dapat dijadikan dasar (li‘ān), sehingga tidak ada dalil di dalamnya.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الزَّوْجِيَّةِ، فَالْمَعْنَى فِي الزَّوْجَةِ ضَرُورَتُهُ إِلَى قَذْفِهَا لِرَفْعِ الْمَعَرَّةِ، وَنَفْيِ النَّسَبِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ هَذِهِ، لِأَنَّهُ لَا مَعَرَّةَ عَلَيْهِ، وَلَا ضَرَرَ يَلْحَقُهُ فِيمَا لَمْ يَكُنْ فِي نِكَاحِهِ. وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّهُ قَدْ يَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا مِنَ الزِّنَا الْمُتَقَدِّمِ إِذَا وَضَعَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ عَقْدِهِ فَاضْطُرَّ إِلَى قَذْفِهَا وَالْتِعَانِهِ مِنْهَا، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ الْتِعَانِهِ مِنْهَا إِنْ كَانَتْ ذَاتَ وَلَدٍ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun qiyās mereka terhadap kasus istri, maka alasan pada istri adalah karena adanya kebutuhan mendesak untuk menuduhnya demi menghilangkan aib dan menafikan nasab, sedangkan dalam kasus ini (perempuan yang dituduh berzina sebelum menikah) tidak demikian, karena tidak ada aib yang menimpanya dan tidak ada bahaya yang menimpanya dalam perkara yang tidak terjadi pada masa pernikahannya. Adapun argumen mereka bahwa bisa jadi anak hasil zina sebelum pernikahan dinisbatkan kepadanya jika anak itu lahir enam bulan setelah akad nikah, sehingga ia terpaksa menuduh dan melakukan li‘ān terhadapnya, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang kebolehan li‘ān dalam kasus ini jika perempuan tersebut memiliki anak, menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَجُوزُ حِينَئِذٍ لِلضَّرُورَةِ أَنْ يُلَاعِنَ لِأَنَّهُ إذا جاز أن ينفي نسب بِزِنًا كَانَ عَلَى فِرَاشِهِ فَأَوْلَى أَنْ يَنْفِيَهُ بِزِنًا كَانَ قَبْلَ نِكَاحِهِ. وَلَا سَبِيلَ إِلَى نَفْيِهِ إِلَّا بِقَذْفِهَا.

Salah satunya, yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, membolehkan li‘ān dalam keadaan darurat, karena jika boleh menafikan nasab dari zina yang terjadi di atas ranjangnya, maka lebih utama lagi menafikan nasab dari zina yang terjadi sebelum pernikahan. Dan tidak ada cara untuk menafikannya kecuali dengan menuduhnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنه لا يجوز أن يُلَاعِنَ مِنْهَا إِنْ كَانَتْ ذَاتَ وَلَدٍ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا وَإِنْ خَلَتْ مِنْ وَلَدٍ، لِأَنَّهُ زِنًا مِنْ أَجْنَبِيَّةٍ، وَلَا ضَرُورَةَ بِهِ إِلَيْهِ، وَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ وَلَدٍ، لِأَنَّهُ قَدْ يُمْكِنُ أَنْ يَقْذِفَهَا بِزِنًا مُطْلَقٍ فَيُلَاعِنَ مِنْهُ وَلَا يَنْسِبُهُ إِلَى مَا قَبْلَ الزوجية فيمنعه من اللعان والله اعلم.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa tidak boleh melakukan li‘ān terhadapnya jika ia memiliki anak, sebagaimana tidak boleh pula melakukan li‘ān terhadapnya jika ia tidak memiliki anak, karena itu adalah zina dengan perempuan asing, dan tidak ada kebutuhan mendesak untuk itu, meskipun ia memiliki anak. Sebab, bisa saja ia menuduhnya berzina secara mutlak lalu melakukan li‘ān atas tuduhan itu, dan tidak menisbatkannya kepada masa sebelum pernikahan sehingga mencegah li‘ān. Allahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ أَصَابَكِ رَجُلٌ فِي دُبُرِكِ حُدَّ أو لاعن “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia berkata: ‘Seorang laki-laki telah menyetubuhimu dari duburmu,’ maka ia dikenai had atau li‘ān.”

قال الماوردي: قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا حَدَّ عَلَيْهِ وَلَا لِعَانَ، وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّهُ الْإِتْيَانُ فِي الدُّبُرِ لَا يُوجِبُ الْحَدَّ عِنْدَهُ، فَلَمْ يُوجِبْهُ فِي الْقَذْفِ بِهِ.

Al-Mawardi berkata: Abu Hanifah berpendapat: Tidak ada had atasnya dan tidak pula li‘ān, dan ia mendasarkan hal ini pada prinsipnya bahwa perbuatan pada dubur tidak mewajibkan had menurutnya, maka tidak diwajibkan pula had dalam tuduhan zina dengan perbuatan itu.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: يَجِبُ فِي فِعْلِهِ وَفِي الْقَذْفِ بِهِ الْحَدُّ وَلَا يَجُوزُ فِيهِ اللِّعَانُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُحَبِّلُهَا بِمَائِهِ وَلَا يَقْدَحُ فِي نَسَبِهِ، فَصَارَ كَالْوَاطِئِ دُونَ الْفَرْجِ، وَهَذَا خَطَأٌ.

Al-Muzani berkata: Wajib had atas pelakunya dan atas tuduhan zina dengan perbuatan itu, tetapi tidak boleh dilakukan li‘ān, karena perbuatan itu tidak menyebabkan kehamilan dengan air maninya dan tidak merusak nasabnya, sehingga hukumnya seperti orang yang melakukan hubungan di luar farji, dan ini adalah pendapat yang keliru.

وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى فَاعِلِهِ رِوَايَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، قَالَ: ” مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوهُ ” وَلِأَنَّهُ أَحَدُ الْفَرْجَيْنِ فَجَازَ أَنْ يَجِبَ بِالْإِيلَاجِ فِيهِ الْحَدُّ كَالْقُبُلِ.

Dalil wajibnya had atas pelakunya adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah ia.” Dan karena itu adalah salah satu dari dua kemaluan, maka boleh jadi wajib had karena penetrasi padanya sebagaimana pada qubul (kemaluan depan).

وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوب حَدِّ الْقَذْفِ فِي الرَّمْيِ بِهِ، أَنَّهُ إِيلَاجٌ يُوجِبُ الْحَدَّ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِالْقَذْفِ بِهِ وُجُوبُ الْحَدِّ كَالْقُبُلِ، وَلِأَنَّ فِعْلَهُ أَقْبَحُ وَالْمَعَرَّةَ بِهِ أَفْضَحُ، وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ اللِّعَانِ فِيهِ عُمُومُ قوله تعالى: {والذين يرمون أزواجهم} وَلِأَنَّهُ قَذْفٌ يَجِبُ بِهِ الْحَدُّ، فَجَازَ فِيهِ اللِّعَانُ كَالْقُبُلِ، فَإِذَا لَاعَنَ بِهِ سَقَطَ الْحَدُّ عَنْهُ وَثَبَتَ التَّحْرِيمُ بِهِ، وَفِي جَوَازِ نَفْيِ الْوَلَدِ، بِهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَاقَةَ:

Dalil wajibnya had qadzaf (tuduhan zina) dalam menuduh dengan perbuatan itu adalah bahwa itu merupakan penetrasi yang mewajibkan had, maka wajib pula had atas tuduhan zina dengannya sebagaimana pada qubul. Dan karena perbuatannya lebih buruk dan aibnya lebih nyata. Dalil bolehnya li‘ān dalam hal ini adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka…} dan karena itu adalah tuduhan zina yang mewajibkan had, maka boleh dilakukan li‘ān sebagaimana pada qubul. Jika ia melakukan li‘ān atas tuduhan itu, maka had gugur darinya dan tetap berlaku keharaman karena perbuatan itu. Adapun dalam hal menafikan anak karena tuduhan itu, terdapat dua pendapat yang dinukil oleh Ibnu Suraqah:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفِيَهُ لِاسْتِحَالَةِ الْعُلُوقِ مِنْهُ.

Pertama: Tidak boleh menafikan anak karena mustahil terjadi kehamilan dari perbuatan itu.

وَالثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَنْفِيَهُ لِأَنَّهُ قَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَسْبِقَ الْإِنْزَالَ فَيَسْتَدْخِلَهُ الْفَرَجُ فَيَعْلَقَ بِهِ.

Kedua: Boleh menafikan anak karena mungkin saja terjadi ejakulasi lebih dahulu lalu air mani masuk ke dalam farji sehingga menyebabkan kehamilan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا قَذَفَهَا بِسِحَاقِ النِّسَاءِ فَلَا حد فيه ولا لعان منه، لِأَنَّ فِعْلَهُ يُوجِبُ التَّعْزِيرَ دُونَ الْحَدِّ، فَكَذَلِكَ الْقَذْفُ بِهِ يُوجِبُ التَّعْزِيرَ دُونَ الْحَدِّ، وَلَوْ قَالَ لَهَا: وَطِئَكِ رَجُلَانِ فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ عُزِّرَ وَلَمْ يُحَدَّ لِاسْتِحَالَتِهِ فَصَارَ كَذِبًا صَرِيحًا، وَخَرَجَ عَنِ الْقَذْفِ الْمُحْتَمِلِ لِلصِّدْقِ وَالْكَذِبِ، وَاخْتُصَّ التَّعْزِيرُ لِلْأَذَى وَلَمْ يَجر فِيهِ اللِّعَانُ.

Adapun jika ia menuduhnya melakukan sihaq (lesbianisme) di antara perempuan, maka tidak ada had dan tidak pula li‘ān atasnya, karena perbuatan itu hanya mewajibkan ta‘zīr, bukan had. Maka demikian pula tuduhan zina dengan perbuatan itu hanya mewajibkan ta‘zīr, bukan had. Jika ia berkata kepadanya: “Dua laki-laki telah menyetubuhimu dalam satu waktu,” maka ia dikenai ta‘zīr dan tidak dikenai had karena hal itu mustahil terjadi, sehingga menjadi kebohongan yang nyata dan keluar dari kategori qadzaf yang masih mungkin benar atau salah. Maka khususkan ta‘zīr karena menyakiti, dan tidak berlaku li‘ān dalam hal ini.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ لَهَا يَا زَانِيَةُ بِنْتَ الزَّانِيَةِ وأمها حُرَّةٌ مُسْلِمَةٌ فَطَلَبَتْ حَدَّ أُمِّهَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهَا وَحُدَّ لِأَنَّهَا إِذَا طَلَبَتْهُ أَوْ وَكِيلُهَا وَالْتَعَنَ لِامْرَأَتِهِ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ حُبِسَ حَتَّى يَبْرَأَ جِلْدُهُ فَإِذَا بَرَأَ حُدَّ إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia berkata kepadanya: ‘Wahai pezina, putri pezina,’ padahal ibunya adalah perempuan merdeka yang muslimah, lalu ia menuntut had untuk ibunya, maka itu tidak menjadi haknya, dan had dijatuhkan untuk dirinya. Karena jika ia menuntutnya atau wakilnya, dan ia melakukan li‘ān terhadap istrinya, maka jika tidak melakukannya, ia dipenjara sampai sembuh dari lukanya, lalu jika telah sembuh, dijatuhkan had kecuali jika ia melakukan li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لِأَنَّهُ يَصِيرُ بِقَوْلِهِ: يَا زَانِيَةُ بِنْتَ الزَّانِيَةِ قَاذِفًا لَهَا وَلِأُمِّهَا بِلَفْظَيْنِ فَقَوْلُهُ: يَا زَانِيَةُ، هُوَ قَذْفٌ لِزَوْجَتِهِ وَلَيْسَ فِيهِ قَذْفٌ لِأُمِّهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, karena dengan ucapannya: “Wahai pezina, putri pezina,” ia telah menuduh dirinya dan ibunya dengan dua lafaz. Ucapan “wahai pezina” adalah tuduhan zina kepada istrinya dan tidak termasuk tuduhan kepada ibunya.

وَقَوْلُهُ: بَنَتَ الزَّانِيَةِ هُوَ قَذْفٌ لِأُمِّهَا وَلَيْسَ فِيهِ قَذْفٌ لَهَا، فَوَجَبَ عَلَيْهِ لَهَا حَدَّانِ لَا تَعَلُّقَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْآخَرِ وَجَعَلَهُ أَهْلُ الْعِرَاقِ قَذْفًا وَاحِدًا وَأَوْجَبُوا فِيهِ حَدًّا وَاحِدًا، وأجري مجرى قوله لهما يا زانيتين، فَجَمَعُوا بَيْنَ قَذْفِهِمَا بِلَفْظِةٍ وَاحِدَةٍ، وَبَيْنَ قَذْفِهِمَا بِلَفْظَتَيْنِ فِي الِاقْتِصَارِ عَلَى حَدٍّ وَاحِدٍ، وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ مَتَى قَذَفَهُمَا بِلَفْظَيْنِ وَجَبَ عَلَيْهِ حَدَّانِ، وَإِنْ قَذْفَهُمَا بِلَفْظَةٍ وَاحِدَةٍ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Dan ucapannya: “Anak perempuan pezina” adalah tuduhan zina terhadap ibunya dan bukan terhadap anak perempuannya, sehingga wajib atasnya dua had (hukuman cambuk) yang masing-masing tidak berkaitan satu sama lain. Para ulama Irak menganggapnya sebagai satu tuduhan zina dan mewajibkan satu had saja, serta memperlakukannya seperti ucapan kepada keduanya: “Wahai dua pezina,” sehingga mereka menggabungkan tuduhan terhadap keduanya dengan satu lafaz, dan juga menggabungkan tuduhan terhadap keduanya dengan dua lafaz dalam mencukupkan satu had saja. Menurut mazhab Syafi‘i: jika ia menuduh keduanya dengan dua lafaz, maka wajib atasnya dua had; dan jika ia menuduh keduanya dengan satu lafaz, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ -: يَجِبُ عَلَيْهِ حَدٌّ وَاحِدٌ كَقَوْلِ أَهْلِ الْعِرَاقِ، لِأَنَّ لَفْظَةَ الْقَذْفِ وَاحِدَةٌ.

Salah satunya, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim: wajib atasnya satu had sebagaimana pendapat ulama Irak, karena lafaz tuduhannya hanya satu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ -: يَجِبُ عَلَيْهِ حَدَّانِ، لِأَنَّ الْمَقْذُوفَ اثْنَتَانِ وفيما ذكرناه في تَعْلِيلِ هَذَا الشَّرْحِ إِبْطَالٌ لِقَوْلِ أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَإِذَا تَقَرَّرَ عَلَيْهِ بِهَذَيْنِ الْقَذْفَيْنِ حَدَّانِ أَحَدُهُمَا لِزَوْجَتِهِ، وَالْآخِرُ لِأُمِّهَا فَحَدُّ الْأُمِّ يَسْقُطُ عَنْهُ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا بِإِقْرَارِهَا بِالزِّنَا، وَإِمَّا بِأَنْ يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ عَلَيْهَا بِالزِّنَا، وَحَدُّ الزَّوْجَةِ يَسْقُطُ عَنْهُ بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ: إِمَّا بِإِقْرَارِهَا، وَإِمَّا بِالْبَيِّنَةِ، وَإِمَّا بِاللِّعَانِ، فَإِنْ سَقَطَ الْحَدَّانِ عَنْهُ بِإِقْرَارٍ أَوْ بِبَيِّنَةٍ بَرِئَ مِنْ حَقِّهِمَا، وَإِنْ سَقَطَ أَحَدُهُمَا ثَبَتَ حَقُّ الْآخَرِ، وَإِنْ لَمْ يَسْقُطْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِإِقْرَارٍ وَلَا بِبَيِّنَةٍ وَاجْتَمَعَ الْحَدَّانِ عَلَيْهِ فَلَهُمَا إِذَا كَانَ الْقَاذِفُ مُطَالَبًا ثلاثة أحوال:

Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid: wajib atasnya dua had, karena yang dituduh ada dua orang. Dalam penjelasan yang telah kami sebutkan terdapat pembatalan terhadap pendapat ulama Irak. Jika telah tetap atasnya dua had karena dua tuduhan tersebut, salah satunya untuk istrinya dan yang lain untuk ibunya, maka had untuk ibu gugur darinya dengan salah satu dari dua hal: yaitu dengan pengakuan ibunya berzina, atau dengan ia mendatangkan bukti atas zina ibunya. Sedangkan had untuk istri gugur darinya dengan salah satu dari tiga hal: yaitu dengan pengakuan istrinya, atau dengan bukti, atau dengan li‘an. Jika kedua had gugur darinya dengan pengakuan atau bukti, maka ia terbebas dari hak keduanya. Jika salah satunya gugur, maka hak yang lain tetap. Jika tidak ada satu pun yang gugur dengan pengakuan atau bukti, dan kedua had itu berkumpul atasnya, maka bagi keduanya, jika penuduh dituntut, ada tiga keadaan:

أحدها: أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ حَاضِرَةً وَأُمُّهَا غَائِبَةً فَيُحَدُّ لِلْبِنْتِ إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ، وَلَا يَقِفُ عَلَى حُضُورِ الْأُمِّ، فَإِذَا حَضَرَتِ الْأُمُّ حُدَّ لَهَا، وَعَلَى قَوْلِ أَهْلِ الْعِرَاقِ إِنْ حُدَّ لِلُزُوجَةِ لَمْ يُحَدَّ لِلْأُمِّ، لِأَنَّهُمْ يُوجِبُونَ حَدًّا وَاحِدًا، وَإِنِ الْتَعَنَ مِنَ الزَّوْجَةِ حُدَّ لِلْأُمِّ.

Salah satunya: jika istri hadir dan ibunya tidak hadir, maka ia dihukum had untuk anak perempuan kecuali jika ia melakukan li‘an, dan tidak tergantung pada kehadiran ibu. Jika ibu kemudian hadir, maka ia juga dihukum had untuknya. Menurut pendapat ulama Irak, jika telah dihukum had untuk istri, maka tidak dihukum had untuk ibu, karena mereka hanya mewajibkan satu had. Jika ia melakukan li‘an dari istri, maka ia dihukum had untuk ibu.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ الْأُمُّ حَاضِرَةً، وَالزَّوْجَةُ غَائِبَةً، فَيُحَدُّ لِلْأُمِّ، وَلَا يَقِفُ حَدُّهَا عَلَى حُضُورِ الزَّوْجَةِ فَإِذَا حَضَرَتْ حُدَّ لَهَا إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهَا، وَعَلَى قَوْلِ أَهْلِ الْعِرَاقِ لَا يُحَدُّ لَهَا وَلَا يَلْتَعِنُ مِنْهَا، لِأَنَّ الْحَدَّ عِنْدَهُمْ وَاحِدٌ فَلَمْ يُوجِبُوا ثَانِيًا وَقَدْ صَارَ مَجْلُودًا فِي حَدٍّ فَلَمْ يَجُزْ عِنْدَهُمْ أَنْ يُلَاعِنَ.

Keadaan kedua: jika ibu hadir dan istri tidak hadir, maka ia dihukum had untuk ibu, dan had untuk ibu tidak tergantung pada kehadiran istri. Jika istri kemudian hadir, maka ia juga dihukum had untuknya kecuali jika ia melakukan li‘an dari istri. Menurut pendapat ulama Irak, tidak dihukum had untuk ibu dan tidak melakukan li‘an dari istri, karena menurut mereka had hanya satu, sehingga mereka tidak mewajibkan had kedua, dan jika sudah dicambuk dalam satu had, maka menurut mereka tidak boleh melakukan li‘an.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَا حَاضِرَتَيْنِ مُطَالِبَتَيْنِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْأُمَّ تُقَدَّمُ فِي الْمُطَالَبَةِ بِحَقِّهَا عَلَى الْبِنْتِ لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: لَقُوَّةِ حَقِّهَا، لِأَنَّ وُجُوبَ الْحَدِّ بِقَذْفِهَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَوُجُوبَهُ لِبِنْتِهَا وَهِيَ زَوْجَتُهُ مُخْتَلَفٌ فِيهِ.

Keadaan ketiga: jika keduanya hadir dan menuntut, maka menurut mazhab Syafi‘i, ibu didahulukan dalam menuntut haknya atas anak perempuan karena dua hal: pertama, karena kuatnya hak ibu, sebab kewajiban had atas tuduhan terhadap ibu telah disepakati, sedangkan kewajiban had atas anak perempuannya yang merupakan istrinya masih diperselisihkan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْحَدِّ لَهَا مَخْرَجٌ، وَلَهُ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ لِزَوْجَتِهِ مَخْرَجٌ بِاللِّعَانِ فَصَارَتْ بِهَذَيْنِ أَحَقَّ بِالتَّقَدُّمِ، وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ: تُقَدَّمُ مُطَالَبَةُ الزَّوْجَةِ عَلَى مُطَالَبَةِ أُمِّهَا، وَلِهَذَا الْقَوْلِ عِنْدِي وَجْهٌ، لِأَنَّهُ قَدَّمَ قَذْفَ الزَّوْجَةِ عَلَى قَذْفِ أُمِّهَا فِي قَوْلِهِ يَا زَانِيَةُ بِنْتَ الزَّانِيَةِ فَصَارَتْ لِتَقَدُّمِ قَذْفِهَا أَحَقَّ بِالتَّقَدُّمِ، فَإِنْ قُدِّمَتِ الْأُمُّ فِي الْمُطَالَبَةِ فَحُدَّ لَهَا ثُمَّ طَالَبَتْهُ الْبِنْتُ، فَإِنْ أَجَابَ فِي مُطَالَبَتِهَا إِلَى اللِّعَانِ الْتَعَنَ مِنْهَا لِوَقْتِهِ، وَإِنْ لَمْ يُجِبْ إِلَى اللِّعَانِ حُبِسَ وَلَمْ يُجْلَدْ لِوَقْتِهِ حَتَّى يَبْرَأَ جِلْدُهُ ثُمَّ يُحَدُّ لَهَا وَلَا يُوَالَى عَلَيْهِ بَيْنَ حَدَّيْنِ فَيُفْضِي إِلَى التَّلَفِ، وَهَكَذَا لَوْ قُدِّمَتِ الزَّوْجَةُ فِي الْمُطَالَبَةِ فَإِنِ الْتَعَنَ مِنْهَا حُدَّ لِلْأُمِّ لِوَقْتِهِ، وَإِنْ حُدَّ لِلزَّوْجَةِ وَلَمْ يَلْتَعِنَ مِنْهَا لَمْ يُحَدَّ فِي وَقْتِهِ لِلْأُمِّ، وَحُبِسَ لَهَا حَتَّى يَبْرَأَ جِلْدُهُ ثُمَّ يُحَدُّ لِئَلَّا يُوَالَى عَلَيْهِ بَيْنَ حَدَّيْنِ فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ لَوْ قُطِعَ يَمِينُ يَدٍ مِنْ رَجُلٍ، وَيُسْرَى يَدٍ مِنْ آخَرَ، اقْتَصَصْنَا مِنْ يُمْنَاهُ وَيُسْرَاهُ لِوَقْتِهِ، وَجَمَعْنَا عَلَيْهِ بَيْنَ قِصَاصَيْنِ وَإِنْ أَفْضَى إِلَى تَلَفِهِ، فَهَلَّا كَانَ فِي الْحَدِّ كَذَلِكَ؟ قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Bahwa tidak ada jalan keluar dari penerapan ḥadd untuk ibu, sedangkan untuk istri ada jalan keluar dari kewajiban ḥadd dengan li‘ān. Maka dengan dua alasan ini, istri lebih berhak untuk didahulukan. Abu ‘Ali bin Khairān berkata: Tuntutan istri didahulukan atas tuntutan ibunya. Menurut saya, pendapat ini memiliki dasar, karena ia mendahulukan qazaf terhadap istri atas qazaf terhadap ibunya dalam ucapannya: “Wahai pezina, putri pezina”, sehingga karena qazaf terhadap istri didahulukan, maka ia lebih berhak untuk didahulukan. Jika ibu didahulukan dalam tuntutan, lalu dijatuhkan ḥadd untuknya, kemudian putrinya menuntut, jika ia (suami) memenuhi tuntutannya dengan li‘ān, maka ia melakukan li‘ān dengannya saat itu juga. Namun jika ia tidak memenuhi dengan li‘ān, maka ia dipenjara dan tidak langsung dicambuk hingga kulitnya sembuh, lalu dijatuhkan ḥadd untuknya, dan tidak dijatuhkan dua ḥadd secara berurutan yang dapat menyebabkan kebinasaan. Demikian pula jika istri didahulukan dalam tuntutan, jika ia melakukan li‘ān dengannya, maka dijatuhkan ḥadd untuk ibu saat itu juga. Jika dijatuhkan ḥadd untuk istri dan tidak dilakukan li‘ān dengannya, maka tidak dijatuhkan ḥadd untuk ibu saat itu juga, dan ia dipenjara hingga kulitnya sembuh, lalu dijatuhkan ḥadd, agar tidak dijatuhkan dua ḥadd secara berurutan. Jika dikatakan: Bukankah jika tangan kanan seseorang dipotong, dan tangan kiri orang lain juga dipotong, kita melakukan qiṣāṣ pada tangan kanan dan kiri secara bersamaan, dan menggabungkan dua qiṣāṣ meskipun itu menyebabkan kebinasaan? Mengapa dalam ḥadd tidak demikian? Maka dijawab: Perbedaannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْحَدَّ مُقَدَّرٌ بِالشَّرْعِ، فَوَجَبَ الْوُقُوفُ عَلَيْهِ لِئَلَّا يَخْتَلِطَ بِزِيَادَةٍ، وَالْقِصَاصَ مُقَدَّرٌ بِالْجِنَايَةِ فَجَازَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهُ لَا يَخْتَلِطُ بِزِيَادَةٍ.

Pertama: Bahwa ḥadd ditetapkan oleh syariat, sehingga harus berhenti padanya agar tidak tercampur dengan tambahan, sedangkan qiṣāṣ ditetapkan berdasarkan tindak pidana, sehingga boleh menggabungkan keduanya karena tidak akan tercampur dengan tambahan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَمْعٌ بَيْنَ الْقِصَاصَيْنِ لِأَنَّهُمَا قَدْ يَجْتَمِعَانِ فِي حَقِّ شَخْصٍ واحد، ولم يجمع بين الحدين، لأنهما لا يَجْتَمِعَانِ فِي حَقِّ شَخْصٍ وَاحِدٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Bahwa penggabungan dua qiṣāṣ mungkin terjadi pada hak satu orang, sedangkan dua ḥadd tidak mungkin digabungkan pada hak satu orang. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَتَى أَبَى اللِّعَانَ فَحَدَدْتُهُ إِلَّا سَوْطًا ثَمَّ قَالَ أَنَا ألْتَعِنُ قَبِلْتُ رُجُوعَهُ وَلَا شَيْءَ لَهُ فِيمَا مَضَى مِنَ الضَّرْبِ كَمَا يَقْذِفُ الْأَجْنَبِيَّةَ وَيَقُولُ لَا آتِي بِشُهُودٍ فَيُضْرَبُ بَعْضَ الْحَدِّ ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا آتِي بِهِمْ فَيَكُونُ ذَلِكَ لَهُ وَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ إِذَا لَمْ تَلْتَعِنْ فَضُرِبَتْ بَعْضَ الْحَدِّ ثَمَّ تَقُولُ أَنَا أَلْتَعِنُ قَبِلْنَا “.

Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menolak li‘ān lalu aku menegakkan ḥadd atasnya kecuali satu cambukan, kemudian ia berkata, ‘Aku mau melakukan li‘ān,’ maka aku menerima rujuknya dan tidak ada apa-apa baginya atas cambukan yang telah dijalankan, sebagaimana seseorang yang menuduh perempuan ajnabiyah lalu berkata, ‘Aku tidak akan mendatangkan saksi,’ lalu sebagian ḥadd dijalankan atasnya, kemudian ia berkata, ‘Aku akan mendatangkan mereka (saksi),’ maka itu diterima darinya. Demikian pula perempuan, jika ia tidak mau melakukan li‘ān lalu sebagian ḥadd dijalankan atasnya, kemudian ia berkata, ‘Aku mau melakukan li‘ān,’ maka kami terima.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا امْتَنَعَ الزَّوْجُ بَعْدَ قَذْفِهِ مِنَ اللِّعَانِ فَحُدَّ بَعْضَ الْحَدِّ أَوْ أَكْثَرَهُ إِلَّا سَوْطًا ثُمَّ أَجَابَ إِلَى اللِّعَانِ كَانَ لَهُ أَنْ يَلْتَعِنَ وَهَكَذَا الزَّوْجَةُ إِذَا لَاعَنَهَا وَامْتَنَعَتْ مِنَ اللِّعَانِ بَعْدَهُ فحدث بَعْضَ الْحَدِّ ثُمَّ أَجَابَتْ إِلَى اللِّعَانِ جَازَ لَهَا أَنْ تَلْتَعِنَ، وَحَكَى بَعْضُ أَصْحَابِ الْخِلَافِ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ مَتَى أَجَابَ الزَّوْجُ إِلَى اللِّعَانِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِي حَدِّهِ لَمْ يجب إِلَيْهِ، وَاسْتوفى، وَكَذَلِكَ الزَّوْجَةُ، وَهَذَا مُخَالِفٌ لِأَصْلِهِ لِأَنَّهُ لَا يُوجِبُ بِقَذْفِ الزَّوْجِ حَدًّا عَلَيْهِ، وَيَحْبِسُهُ حَتَّى يُلَاعِنَ، وَلَا يُوجِبُ بِلِعَانِهِ حَدًّا عَلَيْهَا وَيَحْبِسُهَا حَتَّى تُلَاعِنَ فَإِنْ كَانَ هَذَا الْمَحْكِيُّ عَنْهُ مَذْهَبًا لَهُ نَاقَضَ أَصْلَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَذْهَبًا لَهُ فَنَسْتَدِلُّ عَلَى فَسَادِهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مَذْهَبًا لِغَيْرِهِ.

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, jika suami setelah melakukan qazaf menolak li‘ān lalu dijatuhkan sebagian atau sebagian besar ḥadd atasnya kecuali satu cambukan, kemudian ia menerima untuk melakukan li‘ān, maka ia boleh melakukan li‘ān. Demikian pula istri, jika ia telah dila‘an lalu menolak melakukan li‘ān setelahnya, lalu dijatuhkan sebagian ḥadd atasnya, kemudian ia menerima untuk melakukan li‘ān, maka ia boleh melakukannya. Sebagian ulama khilāf meriwayatkan dari Abū Ḥanīfah bahwa jika suami menerima untuk melakukan li‘ān setelah dimulainya pelaksanaan ḥadd, maka tidak diterima dan ḥadd tetap dilaksanakan, demikian pula istri. Ini bertentangan dengan prinsip dasarnya, karena ia tidak mewajibkan ḥadd atas suami karena qazaf terhadap istri, melainkan menahannya hingga melakukan li‘ān, dan tidak mewajibkan ḥadd atas istri karena li‘ān suami, melainkan menahannya hingga ia melakukan li‘ān. Jika pendapat yang dinukil ini memang merupakan mazhabnya, maka itu bertentangan dengan prinsip dasarnya. Jika bukan merupakan mazhabnya, maka kami menunjukkan kerusakannya karena mungkin saja menjadi mazhab orang lain.

وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ اللِّعَانِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِي الْحَدِّ، شيئان:

Dalil atas bolehnya li‘ān setelah dimulainya pelaksanaan ḥadd ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللِّعَانَ فِي إِدْرَاءِ الْحَدِّ كَالْبَيِّنَةِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ بَيِّنَتَهُ تُقْبَلُ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِي حَدِّهِ، فَكَذَلِكَ الْتِعَانُهُ يُقْبَلُ.

Pertama: Bahwa li‘ān dalam menggugurkan ḥadd seperti halnya bayyinah, dan telah tetap bahwa bayyinah diterima setelah dimulainya pelaksanaan ḥadd, maka demikian pula li‘ān diterima.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُسْقِطَ بِاللِّعَانِ جَمِيعَ الْحَدِّ، كَانَ إِسْقَاطُهُ بَعْضَ الْحَدِّ بِهِ أَوْلَى فَإِنْ قِيلَ: فَاللِّعَانُ عِنْدَكُمْ يَمِينٌ وَالْيَمِينُ إِذَا نَكَلَ عَنْهَا الْمُدَّعَى عَلَيْهِ ثُمَّ أَجَابَ إِلَيْهَا بَعْدَ ردها على المدعي لم يجيز أَنْ تُعَادَ إِلَيْهِ فَهَلَّا كَانَ اللِّعَانُ بَعْدَ النُّكُولِ عَنْهُ كَذَلِكَ؟

Kedua: Karena ketika diperbolehkan untuk menggugurkan seluruh had dengan li‘ān, maka menggugurkan sebagian had dengannya tentu lebih utama. Jika dikatakan: Menurut kalian, li‘ān itu adalah sumpah, dan apabila terdakwa menolak bersumpah lalu kemudian bersedia bersumpah setelah sumpah itu dikembalikan kepada penggugat, maka tidak diperbolehkan sumpah itu dikembalikan kepadanya. Bukankah seharusnya li‘ān setelah penolakan juga demikian?

قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْيَمِينَ حُجَّةٌ لِلْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَإِذَا نَكَلَ عَنْهَا المدعى عليه صارت حجة للمدعي، فلم يجيز أن تعاد إِلَيْهِ، وَاللِّعَانُ حَقٌّ لَهُ لَا يَنْتَقِلُ عَنْهُ فَإِذَا أَجَابَ إِلَيْهِ بَعْدَ امْتِنَاعِهِ أُجِيبَ إِلَيْهِ.

Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa sumpah merupakan hujjah bagi terdakwa, sehingga jika terdakwa menolak bersumpah, maka sumpah itu menjadi hujjah bagi penggugat, sehingga tidak diperbolehkan untuk dikembalikan kepadanya. Sedangkan li‘ān adalah hak baginya yang tidak berpindah darinya, sehingga jika ia bersedia melakukan li‘ān setelah sebelumnya menolak, maka li‘ān itu tetap diterima darinya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وقال قَائِلٌ كَيْفَ لَاعَنْتَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْكُوحَةٍ نِكَاحًا فَاسِدًا بِوَلَدٍ وَاللَّهُ يَقُولُ {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} فقلت لَهُ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الولد للفراش وللعاهر الحجر ” فلم يختلف المسلمون أنه مالك الإصابة بالنكاح الصحيح أو ملك اليمين قال نعم هذا الفراش قلت والزنا لا يلحق به النسب ولا يكون به مهر، ولا يدرأ فيه حد؟ قال نعم قلت: فإذا حدثت نازلة ليست بالفراش الصحيح ولا الزنا الصريح وهو النكاح الفاسد أليس سبيلها أن نقيسها بأقرب الأشياء بها شبهاً؟ قال نعم قلت فقد أشبه الولد عن وطء بشبهة الولد عن نكاح صحيح في إثبات الولد وإلزام المهر وإيجاب العدة فكذلك يشتبهان في النفي باللعان وقال بعض الناس لا يلاعن إلا حران مسلمان ليس واحد منهما محدوداً في قذف وترك ظاهر القرآن واعتل بأن اللعان شهادة وإنما هو يمين ولو كان شهادة ما جاز أن يشهد أحد لنفسه ولكانت المرأة على النصف من شهادة الرجل ولا كان على شاهد يمين ولما جاز التعان الفاسقين لأن شهادتهما لا تجوز فإن قيل قد يتوبان فيجوزان قيل فكذلك العبدان الصالحان قد يعتقان فيجوزان مكانهما والفاسقان لو تابا لم يقبلا إلا بعد طول مدة يختبران فيها فلزمهم أن يجيزوا لعان الأعميين النحيفين لأن شهادتهما عندهم لا تجوز أبداً كما لا تجوز شهادة المحدودين “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Ada yang bertanya, bagaimana engkau melakukan li‘ān antara seorang laki-laki dan wanita yang dinikahi dengan nikah fasid karena seorang anak, padahal Allah berfirman: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka…}? Aku menjawab kepadanya: Nabi ﷺ bersabda, ‘Anak itu milik firāsy dan bagi pezina hanya kerugian.’ Tidak ada perbedaan di antara kaum muslimin bahwa firāsy itu adalah melalui nikah yang sah atau milik budak perempuan. Ia berkata: Ya, itulah firāsy. Aku berkata: Sedangkan zina tidak menyebabkan nasab, tidak ada mahar karenanya, dan tidak menggugurkan had? Ia berkata: Ya. Aku berkata: Jika terjadi kasus yang bukan firāsy yang sah dan bukan pula zina yang jelas, yaitu nikah fasid, bukankah seharusnya kita melakukan qiyās dengan hal yang paling mirip dengannya? Ia berkata: Ya. Aku berkata: Maka anak hasil hubungan syubhat lebih mirip dengan anak dari nikah sah dalam hal penetapan nasab, kewajiban mahar, dan wajibnya ‘iddah, maka demikian pula keduanya mirip dalam penafian nasab melalui li‘ān. Sebagian orang berkata: Tidak boleh li‘ān kecuali antara dua orang merdeka, muslim, dan tidak ada di antara keduanya yang pernah dikenai had qazaf, serta meninggalkan zahir Al-Qur’an dan beralasan bahwa li‘ān adalah syahadah, padahal sebenarnya ia adalah sumpah. Jika ia adalah syahadah, tidak boleh seseorang bersaksi untuk dirinya sendiri, dan wanita hanya setengah dari kesaksian laki-laki, dan tidak ada syahadah dengan sumpah, serta tidak boleh li‘ān antara dua orang fasik karena kesaksian mereka tidak diterima. Jika dikatakan: Bisa jadi mereka bertobat lalu diterima, maka dijawab: Demikian pula dua budak yang saleh bisa saja dimerdekakan lalu diterima li‘ān mereka, dan dua orang fasik jika bertobat tidak langsung diterima kecuali setelah waktu lama untuk diuji, maka mereka harus membolehkan li‘ān antara dua orang buta dan lemah karena kesaksian mereka menurut mereka tidak pernah diterima, sebagaimana kesaksian orang yang pernah dikenai had.”

قال الماوردي: وهذا كما قاله، يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنَ الْمَنْكُوحَةِ نِكَاحًا فَاسِدًا وَالْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْفِيَ بِلِعَانِهِ نَسَبًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعَنَ بَيْنَهُمَا إِنْ لم ينفى نسباً.

Al-Mawardi berkata: Dan memang sebagaimana yang dikatakan, boleh melakukan li‘ān terhadap wanita yang dinikahi dengan nikah fasid dan wanita yang digauli karena syubhat jika ingin menafikan nasab dengan li‘ān, dan tidak boleh melakukan li‘ān antara keduanya jika tidak ada penafian nasab.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ إِلَّا فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ يَقَعُ فِيهِ طَلَاقُهُ وَيَصِحُّ فِيهِ ظِهَارُهُ، وَلَا يُلَاعِنُ فِي نِكَاحٍ فَاسِدٍ، وَلَا فِي مَوْطُوءَةٍ بِشُبْهَةٍ وَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ نَسَبٍ يَلْحَقُهُ، اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يرمون أزواجهم} وَلَيْسَتْ هَذِهِ زَوْجَتَهُ، وَلِأَنَّهُ قَذْفٌ مِنْ غَيْرِ زَوْجٍ فَلَمْ يَجُزْ فِيهِ اللِّعَانُ كَالْأَجْنَبِيِّ، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ مَوْضُوعٌ لِلْفُرْقَةِ فَلَمْ يَصِحَّ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ كَالطَّلَاقِ وَلِأَنَّ مَنِ انْتَفَى عَنْهَا أَحْكَامُ النِّكَاحِ مِنَ الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ، وَالْإِيلَاءِ انْتَفَى عَنْهَا أَحْكَامُ اللِّعَانِ كَالْأَجْنَبِيَّةِ، وَكَغَيْرِ ذَاتِ الْوَلَدِ.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh melakukan li‘ān kecuali dalam nikah yang sah yang di dalamnya berlaku talak dan sah zhihar, dan tidak boleh li‘ān dalam nikah fasid, juga tidak pada wanita yang digauli karena syubhat meskipun ia memiliki nasab yang bisa dinisbatkan kepadanya, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka…} sedangkan wanita itu bukan istrinya, dan karena itu merupakan tuduhan dari selain suami sehingga tidak boleh li‘ān sebagaimana orang asing, dan karena li‘ān ditetapkan untuk perpisahan sehingga tidak sah dalam nikah fasid sebagaimana talak, dan karena siapa pun yang telah gugur darinya hukum-hukum nikah seperti talak, zhihar, dan ila’, maka gugur pula hukum-hukum li‘ān darinya sebagaimana wanita asing dan sebagaimana wanita yang tidak memiliki anak.

وَدَلِيلُنَا قوله تعالى: {والذين يرمون أزواجهم} ، وَهَذِهِ فِي حُكْمِ الْأَزْوَاجِ فِي دَرْءِ الْحَدِّ، وَوُجُوبِ الْمَهْرِ وَلُحُوقِ النَّسَبِ، فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ مِثْلَهُنَّ فِي جَوَازِ اللِّعَانِ، وَلِأَنَّهَا ذَاتُ فِرَاشٍ لَا يَقْدِرُ عَلَى نَفْيِ نَسَبِهِ بِغَيْرِ اللِّعَانِ، فَجَازَ لَهُ نَفْيُهُ بِاللِّعَانِ كَالزَّوْجَةِ، وَخَالَفَتِ الْأَمَةُ الَّتِي يَقْدِرُ عَلَى نَفْيِ وَلَدِهَا بِالِاسْتِبْرَاءِ، وَلِأَنَّ لُحُوقَ النَّسَبِ فِي النِّكَاحِ الصَّحِيحِ أَقْوَى، لِأَنَّهُ يَلْحَقُ بِالْعَقْدِ، وَلُحُوقُهُ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ أَضْعَفُ، لِأَنَّهُ لَا يَلْحَقُ إِلَّا بِالْإِصَابَةِ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَنْفِيَ بِاللِّعَانِ أَقْوَى السَّبَبَيْنِ كَانَ أَنْ يَنْفِيَ أَضْعَفَهُمَا أَوْلَى وَلِأَنَّ الْمُسْتَفَادَ بِاللِّعَانِ شَيْئَانِ، رَفْعُ الْفِرَاشِ وَنَفْيُ النَّسَبِ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِرَفْعِ الْفِرَاشِ جَازَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِنَفْيِ النَّسَبِ؛ لِأَنَّ مَا قَدَرَ عَلَى رَفْعِ شَيْئَيْنِ قَدَرَ عَلَى رَفْعِ أَحَدِهِمَا، وَلِأَنَّ أُصُولَ الشَّرْعِ مُسْتَقِرَّةٌ عَلَى أَنَّ أَحْكَامَ الْعُقُودِ الْفَاسِدَةِ مُعْتَبَرَةٌ بِأَحْكَامِهَا فِي الصِّحَّةِ، فَلَمَّا جَازَ نَفْيُ النَّسَبِ فِي صَحِيحِ الْمَنَاكِحِ كَانَ نَفْيُهُ فِي فَاسِدِهَا أولى. فأما الجواب عن الآية فهو اسْتَدْلَلْنَا بِهِ مِنْهَا.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istrinya…}, dan ayat ini berlaku pada hukum para istri dalam hal menggugurkan had, kewajiban mahar, dan penetapan nasab. Maka, hal ini menuntut agar mereka disamakan dalam kebolehan melakukan li‘ān. Selain itu, karena ia adalah perempuan yang memiliki hubungan ranjang, sehingga tidak mungkin menafikan nasabnya kecuali dengan li‘ān, maka diperbolehkan baginya menafikan nasab dengan li‘ān sebagaimana istri. Berbeda dengan budak perempuan, yang nasab anaknya dapat dinafikan dengan istibrā’, dan juga karena penetapan nasab dalam pernikahan yang sah lebih kuat, sebab nasab ditetapkan dengan akad, sedangkan dalam pernikahan fasid (rusak) penetapan nasab lebih lemah, karena tidak ditetapkan kecuali dengan hubungan badan. Maka, jika dalam sebab yang lebih kuat boleh menafikan nasab dengan li‘ān, maka dalam sebab yang lebih lemah tentu lebih utama. Selain itu, manfaat dari li‘ān ada dua: mengangkat status ranjang dan menafikan nasab. Jika boleh mengangkat status ranjang saja, maka boleh pula menafikan nasab saja, karena siapa yang mampu mengangkat dua hal, tentu mampu mengangkat salah satunya. Selain itu, prinsip-prinsip syariat telah menetapkan bahwa hukum-hukum akad yang fasid diukur dengan hukum-hukum akad yang sah. Maka, jika penafian nasab boleh dalam pernikahan yang sah, maka dalam pernikahan yang fasid lebih utama. Adapun jawaban atas ayat tersebut, kami telah berdalil dengannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ بِأَنَّهُ قُذْفٌ مِنْ غَيْرِ زَوْجٍ فهو أن فِي حُكْمِ الْأَزْوَاجِ فِي لُحُوقِ النَّسَبِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ زَوْجًا. فَلِذَلِكَ خَالَفَ فِيهِ الْأَجْنَبِيَّ لِاخْتِصَاصِهِ بِنَسَبٍ يُضْطَرُّ فِيهِ إِلَى نَفْيِهِ بِلِعَانٍ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الطَّلَاقِ، لِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ لِلْفُرْقَةِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas qiyās mereka yang menyamakan dengan orang asing, bahwa itu adalah tuduhan zina dari selain suami, maka sesungguhnya dalam hal penetapan nasab, ia berada dalam hukum para istri, meskipun bukan seorang istri. Oleh karena itu, ia berbeda dengan orang asing, karena khususnya ia memiliki nasab yang mengharuskannya menafikan dengan li‘ān. Adapun qiyās mereka dengan talak, karena talak memang ditetapkan untuk perpisahan, maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الطَّلَاقَ يُمْلَكُ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يَثْبُتْ إِلَّا فِي صَحِيحِهِ دُونَ فَاسِدِهِ، وَاللِّعَانَ يُمْلَكُ بِحُدُوثِ الزِّنَا، فَجَازَ أَنْ يُمْلَكَ بِهِ فِي صَحِيحِ الْعَقْدِ وَفَاسِدِهِ.

Pertama: Talak dimiliki dengan akad, sehingga tidak berlaku kecuali pada akad yang sah, tidak pada yang fasid. Sedangkan li‘ān dimiliki dengan terjadinya zina, sehingga boleh dilakukan baik pada akad yang sah maupun yang fasid.

وَالثَّانِي: أَنَّ الطَّلَاقَ مُخْتَصٌّ بِالْفُرْقَةِ، وَالنِّكَاحَ الْفَاسِدَ لَا يُحْتَاجُ فِيهِ إِلَى وُقُوعِ الْفُرْقَةِ وَاللِّعَانَ مَوْضُوعٌ لِنَفْيِ الْمَعَرَّةِ، وَوُقُوعِ الْفُرْقَةِ، وَنَفْيِ لِحَوْقِ النَّسَبِ، فَصَحَّ فِيهِ اللِّعَانُ لِبَقَاءِ سَبَبِهِ، وَلِهَذَا الْمَعْنَى مَنَعْنَاهُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْ غَيْرِ ذَاتِ وَلَدِ النَّسَبِ لِزَوَالِ أَسْبَابِهِ كُلِّهَا.

Kedua: Talak khusus untuk perpisahan, sedangkan pada nikah fasid tidak diperlukan terjadinya perpisahan. Li‘ān ditetapkan untuk menafikan aib, terjadinya perpisahan, dan menafikan penetapan nasab. Maka, li‘ān sah dilakukan karena sebabnya masih ada. Oleh karena itu, kami melarang li‘ān dilakukan terhadap selain perempuan yang melahirkan anak nasab, karena seluruh sebabnya telah hilang.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ اللِّعَانِ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ وَوَطْءِ الشُّبْهَةِ، تَعَلَّقَ بِالْتِعَانِهِ فِيهِمَا مِنْ أَحْكَامِ اللِّعَانِ الأربعة حكمان:

Jika telah tetap kebolehan li‘ān dalam nikah fasid dan hubungan syubhat, maka dari empat hukum li‘ān, yang berkaitan dengan li‘ān pada keduanya ada dua hukum:

أَحَدُهُمَا: دَرْءُ الْحَدِّ.

Pertama: Menggugurkan had.

وَالثَّانِي: نَفْيُ النَّسَبِ، وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ وُقُوعُ الْفُرْقَةِ لِعَدَمِ النِّكَاحِ، وَهَلْ يَتَعَلَّقُ بِهِ تَحْرِيمُ التَّأْبِيدِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Menafikan nasab. Tidak berkaitan dengannya terjadinya perpisahan karena tidak ada pernikahan. Apakah dengannya berlaku keharaman selamanya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَتَأَبَّدُ تَحْرِيمُهَا، لِأَنَّ التَّحْرِيمَ تَابِعٌ لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ.

Pertama: Tidak berlaku keharaman selamanya, karena keharaman itu mengikuti terjadinya perpisahan.

وَالثَّانِي: يَتَأَبَّدُ تَحْرِيمُهَا، لِأَنَّ سقوط بعض أحكام اللعان لا توجد سقوط باقيها، وَقَدْ مَضَى ذِكْرُ الْوَجْهَيْنِ وَمَا يَتَفَرَّعُ عَلَيْهَا وبالله التوفيق.

Kedua: Berlaku keharaman selamanya, karena gugurnya sebagian hukum li‘ān tidak berarti gugur seluruhnya. Kedua pendapat dan cabang-cabangnya telah disebutkan sebelumnya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

باب أين يكون اللعان

(Bab Tempat Dilakukannya Li‘ān)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ لَاعَنَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ فَإِذَا لَاعَنَ الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا فِي مَكَّةَ فَبَيْنَ الْمَقَامِ وَالْبَيْتِ أَوْ بِالْمَدِينَةِ فَعَلَى الْمِنْبَرِ أَوْ ببيت ففي مسجده وَكَذَا كُلُّ بَلَدٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau melakukan li‘ān antara suami-istri di atas mimbar. Maka, jika hakim melakukan li‘ān antara keduanya di Mekah, maka dilakukan di antara Maqam dan Ka‘bah, atau di Madinah di atas mimbar atau di rumahnya di masjid beliau, demikian pula di setiap negeri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا اللِّعَانُ فَلَا يَصِحُّ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَاعَنَ بَيْنَ عُوَيْمِرٍ الْعَجْلَانِيِّ وَامْرَأَتِه وَبَيْنَ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ، وَلَمْ يَكُنْ فِي أَيَّامِهِ لِعَانٌ. غَيْرُ هَذَيْنِ – فَتَوَلَّاهُ بَيْنَهُمَا، وَلَمْ يَرُدَّهُ إِلَيْهِمَا وَلِأَنَّ اللِّعَانَ يَمِينٌ عِنْدَنَا – وَشَهَادَةٌ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ، وَأَيُّهُمَا كَانَ فَلَا يَثْبُتُ بِهِ حَقٌّ إِلَّا بِحُكْمٍ، فَإِذَا ثَبَتَ اخْتِصَاصُهُ بِحُكْمِ الْحَاكِمِ، فَاللِّعَانُ مَوْضُوعٌ لِلزَّجْرِ حَتَّى لَا يُقْدِمَ الْمُتَلَاعِنَانِ عَلَى دَعْوَى كَذِبٍ وَارْتِكَابِ مَحْظُورٍ، فَوَجَبَ تَغْلِيظُهُ بِمَا يَزْجُرُ عَنْهُ وَيَمْنَعُ مِنْهُ، وَتَغْلِيظُهُ يَكُونُ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: بِالتَّكْرَارِ، وَبِالْمَكَانِ، وَبِالزَّمَانِ، وَبِالْجَمَاعَةِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun li‘ān tidak sah kecuali dengan keputusan hakim, karena Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- melakukan li‘ān antara ‘Uwaimir al-‘Ajlānī dan istrinya, serta antara Hilāl bin Umayyah dan istrinya, dan tidak ada li‘ān pada masa beliau selain kedua kasus tersebut—beliau sendiri yang menanganinya di antara mereka, dan tidak mengembalikannya kepada mereka. Karena li‘ān menurut kami adalah sumpah, sedangkan menurut Abū Hanīfah adalah kesaksian, dan baik sebagai sumpah maupun kesaksian, tidak dapat menetapkan suatu hak kecuali dengan keputusan (hakim). Maka, jika telah tetap bahwa li‘ān khusus dengan keputusan hakim, li‘ān itu sendiri ditetapkan sebagai bentuk pencegahan agar kedua pihak yang berli‘ān tidak mudah melakukan tuduhan dusta dan perbuatan terlarang. Oleh karena itu, li‘ān harus diperberat dengan hal-hal yang dapat mencegah dan menghalanginya. Pemberatan itu dilakukan dengan empat hal: pengulangan, tempat, waktu, dan di hadapan jamaah.

فَأَمَّا التَّكْرَارُ فَهُوَ إِعَادَةُ لَفْظِهِ بِالشَّهَادَةِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ يَقُولُ فِيهَا: أَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنِّي لمن الصادقين فيما رميتها به من الزنا، وَيَلْعَنُ نَفْسَهُ فِي الْخَامِسَةِ إِنْ كَانَ مِنَ الكاذبين، وتكرر الزوجة شهادتها بالله أنه مِنَ الْكَاذِبِينَ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ، وَتَأْتِي فِي الْخَامِسَةِ بِغَضَبِ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ، وَهَذَا مَأْخُوذٌ مِنْ نَصِّ الْقُرْآنِ فِي قَوْلِهِ: {فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ) [النور: 6] .

Adapun pengulangan adalah mengulang lafaz kesaksiannya sebanyak empat kali, di mana suami mengatakan: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar-benar termasuk orang yang jujur dalam tuduhan zina yang aku lontarkan kepadanya,” dan pada sumpah kelima ia melaknat dirinya sendiri jika ia termasuk orang yang berdusta. Istri pun mengulangi kesaksiannya demi Allah bahwa suaminya termasuk orang yang berdusta sebanyak empat kali, dan pada sumpah kelima ia memohon kemurkaan Allah atas dirinya jika suaminya termasuk orang yang jujur. Hal ini diambil dari nash al-Qur’an dalam firman-Nya: {Maka kesaksian salah seorang dari mereka (suami-istri) adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang-orang yang benar} (an-Nūr: 6).

وَتَكْرَارُ هَذَا الْعَدَدِ مُسْتَحَقٌّ وَشَرْطٌ فِي صِحَّةِ اللِّعَانِ، فَإِنْ تُرِكَ بَعْضُهُ وَإِنْ قال لَمْ يَصِحَّ اللِّعَانُ وَلَمْ يَتِمَّ، وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ حُكْمٌ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ تُرِكَ أَقَلُّهُ جَازَ، وَإِنْ تُرِكَ أَكْثَرُهُ لَمْ يَجُزْ وَالْكَلَامُ عَلَيْهِ يَأْتِي، وَأَمَّا تَغْلِيظُهُ بِالْمَكَانِ وَالزَّمَانِ وَالْجَمَاعَةِ فَهُوَ مَشْرُوعٌ يُؤْمَرُ بِهِ الْمُتَلَاعِنَانِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَيْسَ بِمَشْرُوعٍ، وَلَا يُسْتَحَبُّ وَنَحْنُ نَدُلُّ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مَشْرُوعٌ فَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى تَغْلِيظِهِ بِالْمَكَانِ وَاخْتِصَاصِهِ بِأَشْرَفِ الْبِقَاعِ الَّتِي يُتَوَقَّى فِيهَا الْإِقْدَامُ عَلَى الْفُجُورِ، فَرِوَايَةُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَاعَنَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَلَى الْمِنْبَرِ فَدَلَّ اخْتِصَاصُهُ بِالْمِنْبَرِ عَلَى تَغْلِيظِهِ بِهِ لِشَرَفِهِ، وَلِعَظَمِ الْعُقُوبَةِ فِي الْإِقْدَامِ عَلَى الْمَعَاصِي فِيهِ.

Pengulangan jumlah ini adalah sesuatu yang wajib dan merupakan syarat sahnya li‘ān. Jika ada sebagian yang ditinggalkan, meskipun hanya satu, maka li‘ān tidak sah dan tidak sempurna, serta tidak berakibat hukum apa pun. Abū Hanīfah berpendapat: Jika yang ditinggalkan hanya sedikit, maka boleh; tetapi jika yang ditinggalkan lebih banyak, maka tidak boleh—dan pembahasan tentang hal ini akan dijelaskan. Adapun pemberatan li‘ān dengan tempat, waktu, dan jamaah, maka itu disyariatkan dan kedua pihak yang berli‘ān diperintahkan untuk melakukannya. Abū Hanīfah berpendapat: Itu tidak disyariatkan dan tidak dianjurkan. Kami akan menunjukkan dalil untuk masing-masing pendapat tersebut. Adapun dalil tentang pemberatan li‘ān dengan tempat, yaitu khusus di tempat yang paling mulia yang di sana orang akan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan kefasikan, adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- melakukan li‘ān antara suami-istri di atas mimbar. Maka, kekhususan di atas mimbar menunjukkan pemberatan li‘ān karena kemuliaannya, dan karena besarnya hukuman bagi yang berani melakukan maksiat di tempat itu.

وَرَوَى جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ حَلَفَ يَمِينًا فَاجِرَةً عَلَى مِنْبَرِي هَذَا، وَلَوْ عَلَى سِوَاكٍ مَنْ أَرَاكٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ” وَمَرَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ بِقَوْمٍ يُحَلِّفُونَ رَجُلًا بَيْنَ الْبَيْتِ وَالْمَقَامِ فَقَالَ: أَفِي دَمٍ؟ قِيلَ: لَا قَالَ: أَفَعَلَى عَظِيمٍ مِنَ الْمَالِ؟ قِيلَ: لَا، قَالَ: لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَتَهَاوَنَ النَّاسُ بِهَذَا الْمَكَانِ وَإِذَا تَغَلَّظَتْ بِهِ الْأَيْمَانُ، فَأَوْلَى أَنْ تُغَلَّظَ بِهِ فِي اللِّعَانِ.

Jabir bin ‘Abdillah meriwayatkan bahwa Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barang siapa bersumpah dusta di atas mimbarku ini, meskipun hanya dengan sebatang siwak dari pohon arak, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah melewati sekelompok orang yang menyuruh seseorang bersumpah antara Ka‘bah dan Maqām (Ibrahim), lalu ia bertanya: “Apakah ini tentang darah (pembunuhan)?” Mereka menjawab: “Bukan.” Ia bertanya lagi: “Apakah tentang harta yang sangat besar?” Mereka menjawab: “Bukan.” Ia berkata: “Sungguh aku khawatir manusia akan meremehkan tempat ini, padahal jika sumpah diperberat di tempat ini, maka lebih utama lagi li‘ān diperberat di tempat tersebut.”

أَمَّا تَغْلِيظُهُ بِالزَّمَانِ فَهُوَ بَعْدَ الْعَصْرِ، وَقِيلَ: إِنَّهُ الْوَقْتُ الَّذِي تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ} [المائدة 106] قِيلَ: إِنَّهُ أَرَادَ بِهَا صَلَاةَ الْعَصْرِ وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُكَلِّمُهُمْ رَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا ثُمَّ خَانَهُ وَرَجُلٌ حَلَفَ بَعْدَ الْعَصْرِ يَمِينًا فَاجِرَةً لِيَقْتَطِعَ بِهَا مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، وَرَجُلٌ فَضُلَ عَنْهُ مَاءٌ بِالْفَلَاةِ فَلَمْ يَدْفَعْهُ إِلَى أَخِيهِ “.

Adapun penegasan sumpah dengan waktu, yaitu setelah Ashar. Ada juga yang berpendapat bahwa waktu tersebut adalah saat diangkatnya amal-amal, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Tahanlah mereka berdua setelah salat, lalu keduanya bersumpah dengan (nama) Allah} [al-Mā’idah: 106]. Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah salat Ashar. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka dan tidak akan berbicara kepada mereka: (1) seorang laki-laki yang berbaiat kepada imam lalu mengkhianatinya, (2) seorang laki-laki yang bersumpah dusta setelah Ashar untuk mengambil harta seorang Muslim, dan (3) seorang laki-laki yang memiliki kelebihan air di padang pasir namun tidak memberikannya kepada saudaranya.”

وَأَمَّا تَغْلِيظُهُ بِالْجَمَاعَةِ، فَهُوَ أَنْ يَشْهَدَ جَمَاعَةٌ أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ} [النور: 2] وَالْعَذَابُ هُوَ الْحَدُّ، فَكَذَلِكَ اللِّعَانُ لِتَعَلُّقِهِ بِهِ، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ رَوَاهُ أَحْدَاثُ الصَّحَابَةِ، كابن عَبَّاسٍ، وَابْنِ عُمَرَ وَسَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ، وَلَا يَحْضُرُ مِنَ الْأَحْدَاثِ فِي مَجْلِسِ الْحُكْمِ وَالْقَضَاءِ إِلَّا مَعَ أَضْعَافِهِمْ مِنْ ذَوِي الْأَسْنَانِ، وَلِيَكُونَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ فِيهِ أَزْجَرَ وَأَرْدَعَ وَلِيَكُونُوا حجة إن تناكر المتلاعنان.

Adapun penegasan sumpah dengan kehadiran jamaah, yaitu disaksikan oleh sekelompok orang yang paling sedikit berjumlah empat orang, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan hendaklah menyaksikan azab keduanya sekelompok orang Mukmin} [an-Nūr: 2]. Azab di sini adalah hudud, maka demikian pula li‘ān karena berkaitan dengannya. Selain itu, li‘ān diriwayatkan oleh para sahabat muda seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan Sahl bin Sa‘d as-Sa‘idi, dan tidaklah para sahabat muda hadir di majelis hukum dan pengadilan kecuali bersama kelompok yang lebih tua dari mereka, agar berkumpulnya orang-orang dalam perkara ini lebih dapat mencegah dan menahan, serta agar mereka menjadi hujjah jika kedua pelaku li‘ān saling mengingkari.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” قَالَ وَيَبْدَأُ فَيُقِيمُ الرَّجُلَ قَائِمًا وَالْمَرْأَة جَالِسَةً فَيَلْتَعِنُ ثُمَّ يُقِيمُ الْمَرْأَة قَائِمَةً فَتَلْتَعِنُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا فَعَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dikatakan, hendaknya memulai dengan menegakkan laki-laki dalam keadaan berdiri dan perempuan dalam keadaan duduk, lalu laki-laki melakukan li‘ān, kemudian menegakkan perempuan dalam keadaan berdiri untuk melakukan li‘ān, kecuali jika ia sedang haid maka dilakukan di depan pintu masjid.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. الِابْتِدَاءُ بِلِعَانِ الزَّوْجِ قَبْلَ الزَّوْجَةِ مُسْتَحَقٌّ بِالشَّرْعِ وَهُوَ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهِ، فَإِنْ تَقَدَّمَتِ الزَّوْجَةُ بِلِعَانِهَا لَمْ يُعْتَدَّ بِهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Memulai li‘ān dari suami sebelum istri adalah ketentuan syariat dan merupakan syarat sahnya. Jika istri mendahului melakukan li‘ān, maka tidak dianggap.

وقال مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ تَقْدِيمُ الزَّوْجِ مَشْرُوعٌ وَلَيْسَ بِمَشْرُوطٍ، فَإِنْ تَقَدَّمَتِ الزَّوْجَةُ جَازَ، وَكَانَ مُعْتَدًّا بِهِ. وَهَذَا فَاسِدٌ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ} [النور: 8] فَجَعَلَ لِعَانَهَا إِدْرَاءً لِلْعَذَابِ عَنْهَا وَهُوَ الْحَدُّ عِنْدَنَا وَالْحَبْسُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالْإِدْرَاءُ عَنْهَا يَكُونُ لِمَا وَجَبَ عَلَيْهَا. وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا فِي النَّصِّ الْمُخَالِفِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa mendahulukan suami adalah disyariatkan tetapi bukan syarat. Jika istri mendahului, maka boleh dan tetap dianggap. Pendapat ini tidak benar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan akan terhindar dari azab itu jika ia (istri) bersaksi empat kali dengan (nama) Allah bahwa sesungguhnya suaminya benar-benar termasuk orang-orang yang dusta} [an-Nūr: 8]. Maka Allah menjadikan li‘ān istri sebagai penghalang azab baginya, yang menurut kami adalah hudud, dan menurut Abu Hanifah adalah penahanan. Penghalangan azab itu terjadi atas apa yang telah wajib baginya. Para ulama yang berpendapat demikian berbeda pendapat dalam menanggapi nash yang bertentangan menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: نَصُّ التَّنْزِيلِ لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنَ التَّعْلِيلِ فِي إِدْرَاءِ الْعَذَابِ عَنْهَا بَعْدَ وجوبه عليها.

Pertama: Nash al-Qur’an, karena mengandung alasan dalam penghalangan azab darinya setelah wajib baginya.

وَالثَّانِي: نَصُّ السُّنَّةِ فِي قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حين ابتدأ في السعي بالصفا، وقال: ” ابدأوا بما بدأ الله به “.

Kedua: Nash as-Sunnah, yaitu sabda Nabi ﷺ ketika memulai sa‘i di Shafa: “Mulailah dengan apa yang Allah mulai.”

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ تَغْلِيظُهُ بِهَذِهِ الْأَرْبَعَةِ، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى شَرْحِ كُلِّ فَصْلٍ مِنْهَا، أَمَّا تَغْلِيظُهُ بِتَكْرَارِ الْعَدَدِ فَسَنَذْكُرُ شَرْحَهُ مِنْ بَعْدُ، وَأَمَّا تَغْلِيظُهُ بِالْمَكَانِ فَفِي أَشْرَفِ مَكَانٍ فِي الْبَلَدِ الَّذِي يَتَلَاعَنَانِ فِيهِ، فَإِنْ كَانَ بِمَكَّةَ فَبَيْنَ الْمَقَامِ وَالْبَيْتِ، وَيُسَمَّى هَذَا الْمَوْضِعُ: الْحَطِيمَ، قِيلَ: لِأَنَّهُ يُحَطِّمُ الْعُصَاةَ، وَإِنْ كَانَ بِالْمَدِينَةِ فَفِي مَسْجِدِهَا.

Jika telah tetap penegasan sumpah dengan empat hal ini, maka pembahasan berlanjut pada penjelasan masing-masing bagian. Adapun penegasan sumpah dengan pengulangan jumlah, penjelasannya akan disebutkan kemudian. Sedangkan penegasan sumpah dengan tempat, yaitu di tempat paling mulia di negeri tempat keduanya melakukan li‘ān. Jika di Makkah, maka di antara Maqam Ibrahim dan Ka‘bah, tempat ini disebut al-Hathim, dikatakan karena tempat itu menghancurkan para pelaku maksiat. Jika di Madinah, maka di masjidnya.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: هَا هُنَا عَلَى الْمِنْبَرِ.

Imam Syafi‘i berkata: Di sini, di atas mimbar.

وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: عِنْدَ الْمِنْبَرِ فاختلف أصحابنا على ثلاثة أوجه:

Dan beliau berkata di tempat lain: Di dekat mimbar. Maka para ulama kami berbeda pendapat menjadi tiga pendapat:

أحدهما: إنَّ الْحَاكِمَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يُلَاعِنَ بَيْنَهُمَا عَلَى الْمِنْبَرِ أَوْ عِنْدَهُ.

Pertama: Hakim boleh memilih antara melakukan li‘ān di atas mimbar atau di dekatnya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أنه لايلاعن بَيْنَهُمَا عَلَى الْمِنْبَرِ، لِأَنَّهُ مَقَامُ عُلُوٍّ وَشَرَفٍ، وَاللِّعَانُ نَكَالٌ وَخِزْيٌ فَاخْتَلَفَ مَقَامُهُمَا لِتَنَافِيهِمَا، وَحُمِلَ قول الشافعي على المنبر، أي عنده، ولأنها حُرُوفُ صِفَاتٍ يُخْلِفُ بَعْضُهَا بَعْضًا.

Kedua: Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa tidak boleh melakukan li‘ān di atas mimbar, karena mimbar adalah tempat kemuliaan dan kehormatan, sedangkan li‘ān adalah hukuman dan aib, sehingga keduanya bertentangan. Pendapat Imam Syafi‘i tentang mimbar ditafsirkan sebagai di dekat mimbar, karena li‘ān adalah lafaz sifat yang sebagian berbeda dengan sebagian lainnya.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَيُلَاعِنُ بَيْنَهُمَا عَلَى الْمِنْبَرِ إِنْ كَثُرَ النَّاسُ، وَعِنْدَ الْمِنْبَرِ إِنْ قَلُّوا، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مُشَاهَدَةُ الْحَاضِرِينَ لَهُمَا، وَسَمَاعُ لِعَانِهِمَا، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ وَإِنْ كَانَ نَكَالًا أَنْ يَكُونَ فِي مَقَامِ شَرَفٍ كَمَا لَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ فِي الْبِقَاعِ الشَّرِيفَةِ لِيَكُونَ أَبْلَغَ فِي النَّكَالِ.

Ketiga: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa hal itu tergantung pada dua keadaan; maka dilakukan mu‘ānah di atas mimbar jika orang yang hadir banyak, dan di dekat mimbar jika sedikit, karena yang dimaksud adalah agar orang-orang yang hadir dapat menyaksikan keduanya dan mendengar sumpah mu‘ānah mereka. Tidak terlarang, meskipun mu‘ānah itu merupakan hukuman, dilakukan di tempat yang mulia, sebagaimana tidak terlarang pula dilakukan di tempat-tempat suci, agar hukuman tersebut lebih berdampak.

وَإِنْ كَانَ هَذَا اللِّعَانُ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ. كَانَ فِي مَسْجِدِهَا الْأَقْصَى، وَفِي مَوْضِعِ الِاخْتِيَارِ مِنْهُ وَجْهَانِ:

Dan jika mu‘ānah ini dilakukan di Baitul Maqdis, maka dilakukan di Masjidil Aqsha, dan dalam memilih tempat di dalamnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيِّ، وَأَبِي الْحَسَنِ بْنِ الْقَطَّانِ، عِنْدَ الصَّخْرَةِ، لِأَنَّهَا أَشْرَفُ بِقَاعِهِ.

Salah satunya: yaitu pendapat Abu al-Qasim al-Saimari dan Abu al-Hasan bin al-Qattan, yaitu di dekat batu (shakhrah), karena itu adalah tempat paling mulia di masjid tersebut.

وَالْوَجْهِ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ وَطَائِفَةٍ: إنَّهُ يَكُونُ عَلَى الْمِنْبَرِ أَوْ عِنْدَهُ، لِأَنَّهُ أَخَصُّ بِالشُّهْرَةِ، وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْبِلَادِ فَفِي جَوَامِعِهَا، لِأَنَّهَا أَشْرَفُ بِقَاعِ الْعِبَادَاتِ، وَيَكُونُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ أَوْ عَلَيْهِ عَلَى مَا مَضَى، وَأَمَّا تَغْلِيظُهُ بِالزَّمَانِ فَمِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ، وَإِقَامَةِ جَمَاعَتِهَا، ولا يلتعنان بعد دخول وقتها وقبل إقامتهما لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ} [المائدة: 106] وَلِأَنَّ مَا بَعْدَ الصَّلَاةِ وَقْتٌ لِلدُّعَاءِ، وَلِارْتِفَاعِ الْأَعْمَالِ، وَأَمَّا تَغْلِيظُهُ بِالْجَمَاعَةِ، فَقَدْ ذَكَرْنَا أنهم فَمَا زَادَ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ الْبَيِّنَةِ فِي الزِّنَا ويكونوا عُدُولًا مِنْ أَهْلِ الشَّهَادَةِ لِيَجْتَمِعَ الْأَشْهَادُ بِحُضُورِهِمْ، وَالْبَيِّنَةُ الثَّانِيَةُ عِنْدَ الْحَاكِمِ بِشَهَادَتِهِمْ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini dan sekelompok ulama, bahwa mu‘ānah dilakukan di atas mimbar atau di dekatnya, karena itu lebih khusus untuk kemasyhuran. Dan jika dilakukan di selain tempat itu dari negeri-negeri lain, maka dilakukan di masjid jami‘nya, karena itu adalah tempat paling mulia untuk ibadah, dan dilakukan di dekat mimbar atau di atasnya sebagaimana telah dijelaskan. Adapun penegasan mu‘ānah dengan waktu, maka dilakukan setelah shalat ‘Ashar dan setelah jamaah shalat didirikan, dan tidak boleh dilakukan setelah masuk waktunya dan sebelum didirikannya shalat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Tahanlah keduanya setelah shalat} [al-Ma’idah: 106], dan karena setelah shalat adalah waktu untuk berdoa dan naiknya amal-amal. Adapun penegasan mu‘ānah dengan jamaah, telah kami sebutkan bahwa mereka (yang hadir) hendaknya lebih banyak, mengikuti jumlah saksi dalam kasus zina, dan hendaknya mereka adalah orang-orang adil dari kalangan ahli syahadah, agar para saksi berkumpul dengan kehadiran mereka, dan bukti kedua di hadapan hakim dengan kesaksian mereka.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ تَغْلِيظِ اللِّعَانِ شَرْعًا بِهَذِهِ الْأَرْبَعَةِ فَهِيَ فِي اللُّزُومِ والاختيار منقسمة أقسام:

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan tentang penegasan mu‘ānah secara syar‘i dengan empat hal ini, maka dalam hal kewajiban dan pilihan, mu‘ānah terbagi menjadi beberapa bagian:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ شَرْطًا مُسْتَحَقًا فِيهِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِهِ، وَهُوَ تَكْرَارُ شَهَادَتِهِمَا أَرْبَعًا، وَفِي الْخَامِسَةِ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الزَّوْجِ وَغَضَبُ اللَّهِ عَلَى الزَّوْجَةِ.

Salah satunya: yaitu yang menjadi syarat yang harus dipenuhi dan tidak sah kecuali dengannya, yaitu pengulangan sumpah keduanya sebanyak empat kali, dan pada sumpah kelima: laknat Allah atas suami dan murka Allah atas istri.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا كَانَ مُسْتَحَبًّا وَلَمْ يَكُنْ شَرْطًا مُسْتَحَقًا وَهُوَ شَيْئَانِ

Bagian kedua: yaitu yang disunnahkan namun bukan syarat yang harus dipenuhi, dan itu ada dua hal:

أحدهما: تغليظه بالزمان، وتغليظه بِالْجَمَاعَةِ،

Salah satunya: penegasan mu‘ānah dengan waktu, dan penegasan dengan jamaah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهِ، وَهُوَ تَغْلِيظُهُ بِالْمَكَانِ، وَلِلشَّافِعِيِّ فِيهِ قَوْلَانِ، نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” عَلَى مَا حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ.

Bagian ketiga: terdapat perbedaan pendapat di dalamnya, yaitu penegasan mu‘ānah dengan tempat. Dalam hal ini, Imam al-Syafi‘i memiliki dua pendapat, yang dinyatakan dalam kitab “al-Umm” sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ شَرْطٌ مُسْتَحَقٌّ لَا يَتِمُّ اللِّعَانُ إِلَّا بِهِ إِلْحَاقًا بِتَكْرَارِ اللَّفْظِ.

Salah satunya: bahwa itu adalah syarat yang harus dipenuhi, dan mu‘ānah tidak sah kecuali dengannya, dianalogikan dengan pengulangan lafaz sumpah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وَلَيْسَ بِشَرْطٍ وَلَا يُؤَثِّرُ تَرْكُهُ فِي صِحَّةِ اللِّعَانِ وَجَوَازِهِ إِلْحَاقًا بالزمان والجماعة.

Pendapat kedua: bahwa itu disunnahkan, bukan syarat, dan tidak memengaruhi keabsahan dan kebolehan mu‘ānah jika ditinggalkan, dianalogikan dengan waktu dan jamaah.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَإِذَا تَقَرَّرَ وُجُوبُ الِابْتِدَاءِ بِلِعَانِ الزَّوْجِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ بَعْدَ حُضُورِ الزَّوْجَيْنِ، لِأَنَّهُ لِعَانٌ بَيْنَهُمَا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ بَعْدَ اجْتِمَاعِهِمَا، وَأَقَلُّ مَا فِي اجْتِمَاعِهِمَا أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحَيْثُ يَسْمَعُ كَلَامَ صَاحِبِهِ، وَالْأَوْلَى أَنْ يَرَاهُ مَعَ سَمَاع لِعَانِهِ لِيَسْتَطِيعَ الْإِشَارَةَ إِلَيْهِ فَإِنْ تَبَاعَدَا عَنْ هَذَا الْمَوْقِفِ فَلَمْ يرد أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ وَلَا سَمِعَ كَلَامَهُ فَأَوْلَى الْأُمُورِ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحَيْثُ يَجْمَعُ أَرْبَعَةً مِنْ شُهُودِ اللِّعَانِ بَيْنَ رُؤْيَتِهِمَا وَسَمَاعِ كَلَامِهِمَا، فَإِنْ تَبَاعَدَا عَنْ هَذَا الْمَوْقِفِ الثُّنَائِيِّ، وَتَبَاعَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ رُؤْيَةِ صَاحِبِهِ وَعَنْ جَمْعِ الشُّهُودِ بَيْنَ رُؤْيَتِهِمَا وَسَمَاعِ كَلَامِهِمَا جَازَ، لِأَنَّ لِعَانَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَعْدَ مَوْتِ صَاحِبِهِ جَائِزٌ وَالْمَوْتُ قَاطِعٌ لِلِاجْتِمَاعِ، لَكِنْ إِنْ بَعُدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ صَاحِبِهِ بِغَيْرِ عُذْرٍ كَانَ مَكْرُوهًا، وَإِنْ كَانَ بِعُذْرٍ لَمْ يُكْرَهْ، وَمِنَ الْأَعْذَارِ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ حَائِضًا، فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَدْخُلَ الْمَسْجِدَ لَكِنْ تَقِفُ فِي أَقْرَبِ بَوَّابَةٍ مِنَ الْمِنْبَرِ الَّذِي يُلَاعِنُ فِيهِ الزَّوْجُ.

Jika telah dipastikan kewajiban memulai dengan li‘ān dari suami, maka seharusnya itu dilakukan setelah kehadiran kedua suami istri, karena li‘ān itu terjadi antara keduanya, sehingga menuntut agar dilakukan setelah keduanya berkumpul. Minimal dari berkumpulnya mereka adalah masing-masing dari keduanya berada pada posisi sehingga dapat mendengar ucapan pasangannya. Yang lebih utama adalah agar dapat melihatnya sekaligus mendengar li‘ān-nya, sehingga memungkinkan untuk memberi isyarat kepadanya. Jika keduanya menjauh dari posisi ini sehingga salah satu tidak dapat melihat pasangannya dan tidak mendengar ucapannya, maka yang paling utama setelah itu adalah masing-masing dari keduanya berada pada posisi yang memungkinkan empat saksi li‘ān dapat menyaksikan keduanya dan mendengar ucapan mereka. Jika keduanya menjauh dari posisi berdua ini, dan masing-masing dari mereka tidak dapat melihat pasangannya serta para saksi tidak dapat mengumpulkan antara melihat keduanya dan mendengar ucapan mereka, maka hal itu tetap diperbolehkan, karena li‘ān masing-masing dari keduanya setelah pasangannya meninggal tetap sah, sedangkan kematian memutuskan pertemuan. Namun, jika masing-masing dari mereka menjauh dari pasangannya tanpa uzur, maka hal itu makruh, dan jika ada uzur maka tidak makruh. Di antara uzur tersebut adalah jika perempuan sedang haid, maka tidak boleh baginya masuk ke masjid, namun ia berdiri di gerbang terdekat dari mimbar tempat suami melakukan li‘ān.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا اسْتَقَرَّ هَذَا الشَّرْحُ اخْتِيَارًا وَجَوَازًا ابْتَدَأَ الْحَاكِمُ بِالزَّوْجِ فَأَقَامَهُ عَلَى الْمِنْبَرِ أَوْ عِنْدَهُ وَالزَّوْجَةُ جَالِسَةٌ، لِيَكُونَ قِيَامُ الزَّوْجِ أَشْهَرَ لَهُ فِي النَّاسِ لِيُشَاهِدَهُ جَمِيعُهُمْ فَيَنْزَجِرَ وَلِيَرَاهُ وَيَسْمَعَهُ جَمِيعُهُمْ فَيَشْهَدُوا، فَإِذَا الْتَعَنَ عَلَى مَا سَنَصِفُهُ نَزَلَ عَنْ مَقَامِهِ وَجَلَسَ وَقَامَتِ الزَّوْجَةُ فِي مِثْلِ مَقَامِهِ وَلَاعَنَتْ مِثْلَ لِعَانِهِ عَلَى مَا سَنَصِفُهُ مِنَ اخْتِلَافِ اللَّفْظِ فِيهِمَا، فَإِنِ الْتَعَنَا جَالِسَيْنِ كُرِهَ وَأَجْزَأَهُ إِنْ كَانَ لِغَيْرِ عُذْرٍ، وَلَمْ يُكْرَهْ إن كان لعذر.

Jika penjelasan ini telah dipahami baik dari sisi pilihan maupun kebolehan, maka hakim memulai dengan suami, lalu menegakkannya di atas mimbar atau di dekatnya, sementara istri duduk, agar berdirinya suami lebih dikenal oleh orang banyak sehingga semua dapat menyaksikannya, lalu mereka pun jera, dan agar semua dapat melihat dan mendengarnya sehingga dapat menjadi saksi. Setelah suami melakukan li‘ān sebagaimana akan kami jelaskan, ia turun dari tempatnya dan duduk, lalu istri berdiri di tempat yang sama dan melakukan li‘ān seperti li‘ān suami dengan perbedaan lafaz yang akan kami jelaskan. Jika keduanya melakukan li‘ān dalam keadaan duduk, maka hal itu makruh, namun tetap sah jika tanpa uzur, dan tidak makruh jika ada uzur.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” أو كَانَتْ مُشْرِكَةً الْتَعَنَتْ فِي الْكَنِيسَةِ وَحَيْثُ تُعَظِّمُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Atau jika ia (istri) seorang musyrikah, maka ia melakukan li‘ān di gereja atau di tempat yang mereka agungkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا تَرَافَعَ إِلَى حُكَّامِنَا زَوْجَانِ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ فِي لِعَانٍ لَاعَنَ بَيْنَهُمَا فِي الْمَوَاضِعِ الْمُعَظَّمَةِ عِنْدَهُمَا، وَلَمْ يُلَاعِنْ فِي مَسَاجِدِنَا وَإِنْ كَانَتْ أَعْظَمَ حُرْمَةً، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِمَوَاضِعِ اللِّعَانِ مَا يَعْتَقِدُهُ الْمُتَلَاعِنَانِ مِنْ تَعْظِيمِهِمَا وَعِظَمِ الْمَآثِمِ فِي هَتْكِ حُرْمَتِهَا، وَأَهْلُ الذِّمَّةِ لَا يَرَوْنَ لِتَعْظِيمِ مَسَاجِدِنَا مَا يَرَوْنَهُ مِنْ تَعْظِيمِ بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ فَلِذَلِكَ خَصَّهُمْ بِالِالْتِعَانِ فِيهَا فَإِنْ كَانَا يَهُودِيَّيْنِ لَاعَنَ بَيْنَهُمَا فِي الْكَنِيسَةِ لِأَنَّهَا أَشْرَفُ مَوَاضِعِهِمْ وَإِنْ كَانَا نَصْرَانِيَّيْنِ لَاعَنَ بَيْنَهُمَا فِي بِيَعِهِمْ لِأَنَّهَا أَشْرَفُ مَوَاضِعِهِمْ، وَإِنْ كَانَا مَجُوسِيَّيْنِ لَاعَنَ بَيْنَهُمَا فِي بَيْتِ نِيرَانِهِمْ، وَجَازَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَحْضُرَهَا فِي لِعَانِهِمْ، لِأَنَّ حُضُورَهَا لَيْسَ بِمَحْظُورٍ، وَإِنَّمَا إِظْهَارُ الْمَعَاصِي فِيهَا مَحْظُورٌ، فَإِذَا لَمْ يُشَاهِدْهَا فِي بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ جَازَ الدُّخُولُ إِلَيْهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, apabila dua orang suami istri dari kalangan ahludz-dzimmah mengadukan perkara li‘ān kepada hakim-hakim kita, maka li‘ān dilakukan di tempat-tempat yang mereka agungkan menurut keyakinan mereka, dan tidak dilakukan di masjid-masjid kita meskipun masjid lebih agung kehormatannya. Sebab, yang dimaksud dari tempat li‘ān adalah apa yang diyakini oleh kedua pihak yang berli‘ān sebagai tempat yang diagungkan dan besarnya dosa dalam melanggar kehormatannya. Sedangkan ahludz-dzimmah tidak memandang keagungan masjid kita sebagaimana mereka memandang keagungan gereja dan rumah ibadah mereka. Oleh karena itu, mereka dikhususkan untuk melakukan li‘ān di tempat-tempat tersebut. Jika keduanya Yahudi, maka li‘ān dilakukan di sinagoga karena itu tempat paling mulia bagi mereka. Jika keduanya Nasrani, maka li‘ān dilakukan di gereja mereka karena itu tempat paling mulia bagi mereka. Jika keduanya Majusi, maka li‘ān dilakukan di rumah api mereka. Dan boleh bagi hakim untuk hadir di tempat tersebut dalam pelaksanaan li‘ān mereka, karena kehadirannya tidak terlarang, yang terlarang hanyalah menampakkan maksiat di tempat itu. Maka jika tidak menyaksikan maksiat di gereja dan rumah ibadah mereka, boleh masuk ke dalamnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِذَا غلظ لعان الذميين بما يعظمون مِنَ الْأَمْكِنَةِ كَانَ تَغْلِيظُهُ بِمَا يُعَظِّمُونَ مِنَ الْأَيْمَانِ مُعْتَبَرًا بِخُلُوِّهِ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَمَا خَلي مِنْ مَعْصِيَةٍ جَازَ تَغْلِيظُ أَيْمَانِهِمْ بِهِ كَقَوْلِهِ فِي لِعَانِ الْيَهُودِيَّيْنِ: – أَشْهَدُ بِاللَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى، وَفِي لِعَانِ النَّصْرَانِيَّيْنِ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ الْإِنْجِيلَ عَلَى عِيسَى، فَقَدْ رَوَى جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لما أراد إحلاف اليهود عن إِنْكَارِهِمْ آيَةَ الرَّجْمِ قَالَ لَهُمْ: ” بِاللَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى ” فَأَمَّا مَا فِيهِ مِنْ أَيْمَانِهِمْ مَعْصِيَةٌ فَلَا يَجُوزُ تَغْلِيظُ لِعَانِهِمْ بِهِ كَقَوْلِ الْيَهُودِ: فِي عُزَيْرٍ إِنَّهُ ابْنُ اللَّهِ، وَقَوْلِ النَّصَارَى فِي الْمَسِيحِ، أَوْ كَيَمِينِ غَيْرِهِمْ بِأَصْنَامِهِمْ وَأَوْثَانِهِمْ، وَهَكَذَا لَا يَجُوزُ إِحْلَافُ الْيَهُودِ بِمُوسَى، وَلَا إِحْلَافُ النَّصَارَى بِعِيسَى، كَمَا لَا يَجُوزُ إِحْلَافُ الْمُسْلِمِينَ بِمُحَمَّدٍ، لِأَنَّ الْأَيْمَانَ بِالْمَخْلُوقِينَ مَحْظُورٌ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ ” ز

Dan apabila sumpah li‘ān dua orang dzimmi diperberat dengan sesuatu yang mereka agungkan dari tempat-tempat tertentu, maka memperberat sumpah mereka dengan apa yang mereka agungkan dari sumpah-sumpah dianggap sah selama tidak mengandung unsur maksiat. Maka, apa yang bebas dari maksiat, boleh digunakan untuk memperberat sumpah mereka, seperti dalam li‘ān dua orang Yahudi: “Aku bersaksi demi Allah yang menurunkan Taurat kepada Musa,” dan dalam li‘ān dua orang Nasrani: “Aku bersaksi demi Allah yang menurunkan Injil kepada Isa.” Telah diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah ﷺ ketika ingin meminta sumpah kepada orang-orang Yahudi atas pengingkaran mereka terhadap ayat rajam, beliau bersabda kepada mereka: “Demi Allah yang menurunkan Taurat kepada Musa.” Adapun sumpah mereka yang mengandung unsur maksiat, maka tidak boleh memperberat li‘ān mereka dengannya, seperti ucapan orang Yahudi tentang Uzair bahwa dia adalah anak Allah, dan ucapan orang Nasrani tentang Al-Masih, atau seperti sumpah selain mereka dengan berhala-berhala dan patung-patung mereka. Demikian pula, tidak boleh meminta sumpah orang Yahudi dengan menyebut Musa, atau orang Nasrani dengan menyebut Isa, sebagaimana tidak boleh meminta sumpah kaum Muslimin dengan menyebut Muhammad, karena sumpah dengan makhluk adalah terlarang. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang hendak bersumpah, maka hendaklah ia bersumpah dengan (nama) Allah atau diam.”

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وإن شاءت المشركة أن تحصره في المساجد كلها حضرته إلا أنها لا تدخل المسجد الحرام لقول الله تَعَالَى {فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا} .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika wanita musyrikah ingin membatasi sumpahnya di seluruh masjid, maka ia boleh menghadirinya, kecuali ia tidak boleh memasuki Masjidil Haram, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka janganlah mereka (kaum musyrikin) mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini}.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا يَكُونُ فِي لِعَانِ الْكِتَابِيَّةِ إِذَا كَانَتْ تَحْتَ مُسْلِمٍ فَيُلَاعِنُ الزَّوْجُ فِي الْمَسْجِدِ. فَأَمَّا الْكِتَابِيَّةُ فَلِعَانُهَا فِيمَا تُعَظِّمُهُ مِنْ بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ أَوْلَى مِنْ لِعَانِهَا فِي مَسَاجِدِنَا، فَإِنْ وَافَقَهَا الزَّوْجُ عَلَى الْتِعَانِهِمَا فِي مَسَاجِدِنَا لَمْ يُمْنَعْ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ يُجَوِّزُ إِدْخَالَ أَهْلِ الذِّمَّةِ إِلَى جَمِيعِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، وَأَبُو حَنِيفَةَ يُجَوِّزُ إِدْخَالَهُمْ إِلَى جَمِيعِهَا وَإِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَالِكٌ يَمْنَعُ مِنْ إِدْخَالِهِمْ إِلَى جَمِيعِ الْمَسَاجِدِ كَمَا يُمْنَعُونَ مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini berlaku dalam li‘ān wanita ahli kitab jika ia menjadi istri seorang Muslim, maka suaminya melakukan li‘ān di masjid. Adapun wanita ahli kitab, maka li‘ānnya lebih utama dilakukan di tempat yang mereka agungkan seperti gereja dan rumah ibadah mereka, daripada di masjid-masjid kita. Jika suaminya setuju untuk melakukan li‘ān di masjid-masjid kita, maka tidak dilarang kecuali di Masjidil Haram. Sebab, Imam Syafi‘i membolehkan orang dzimmi masuk ke seluruh masjid kecuali Masjidil Haram, sedangkan Abu Hanifah membolehkan mereka masuk ke seluruh masjid termasuk Masjidil Haram, dan Malik melarang mereka masuk ke seluruh masjid sebagaimana mereka dilarang masuk ke Masjidil Haram.

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الحرام بعد عامهم هذا} [التوبة: 28] . فنصه على أبي حنيفة.

Dalil bagi keduanya adalah firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini} (QS. At-Taubah: 28). Maka nash ini menjadi dalil bagi pendapat Abu Hanifah.

وَدَلِيلُنَا عَلَى مَالِكٍ: قَدْ رَبَطَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جُبَيْرَ بْنَ مُطْعِمٍ إِلَى سَارِيَةٍ فِي مَسْجِدِهِ إِلَى أَنْ سَمِعَ سُورَةَ طه فَأَسْلَمَ وَقَالَ: كَانَ قَلْبِي يَتَصَدَّعُ وَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى مَالِكٍ.

Adapun dalil kami atas pendapat Malik: Rasulullah ﷺ pernah mengikat Jubair bin Muth‘im pada salah satu tiang di masjid beliau hingga ia mendengar surah Thaha lalu masuk Islam, dan ia berkata: “Hatiku terasa terbelah.” Ini adalah dalil bagi pendapat Malik.

(فصل)

(Fasal)

قال المزني رَحِمَهُ اللَّهُ: ” إِذَا جُعِلَ لِلْمُشْرِكَةِ أَنْ تَحْضُرَهُ في المسجد وعسى بها من شِرْكِهَا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا كَانَتِ الْمُسْلِمَةُ بِذَلِكَ أَوْلَى “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Jika wanita musyrikah dibolehkan menghadiri (li‘ān) di masjid, padahal bisa jadi ia dalam keadaan haid karena kemusyrikannya, maka wanita Muslimah tentu lebih utama (boleh masuk masjid dalam keadaan haid).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْكَلَامُ مِنَ الْمُزَنِيِّ بَيَانٌ عَمَّا يَذْهَبُ إِلَيْهِ مِنْ جَوَازِ دُخُولِ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَى الْمَسَاجِدِ كَمَا يَجُوزُ دُخُولُ أَهْلِ الذِّمَّةِ إِلَيْهَا وَإِنْ كَانَ مِنْهُمْ جُنُبٌ وَحَائِضٌ.

Al-Mawardi berkata: Ucapan Al-Muzani ini merupakan penjelasan tentang pendapatnya yang membolehkan masuknya orang junub dan haid dari kalangan Muslimin ke masjid, sebagaimana dibolehkan masuknya ahli dzimmah ke dalamnya, meskipun di antara mereka ada yang junub dan haid.

وَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّنَا إِذَا لَمْ نَعْلَمْ أَنَّ الدَّاخِلَ جُنُبٌ وَلَا حَائِضٌ لَمْ تُمْنَعْ، وَلِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهُ لَيْسَ بِجُنُبٍ وَلَا حَائِضٍ، وَإِنْ عَلِمْنَا أَنَّهُ جُنُبٌ أَوْ حَائِضٌ قَدْ أُمِنَ تَنْجِيسُ الْمَسْجِدِ بِدَمِهَا فَفِي جَوَازِ تَمْكِينِهِمْ مِنْ دُخُولِ الْمَسَاجِدِ وَجْهَانِ:

Jawaban atas pendapat ini: Jika kita tidak mengetahui bahwa orang yang masuk itu dalam keadaan junub atau haid, maka tidak dilarang, karena secara lahiriah dianggap tidak junub dan tidak haid. Namun jika diketahui bahwa ia junub atau haid dan telah dipastikan tidak akan menajisi masjid dengan darahnya, maka dalam hal kebolehan membiarkan mereka masuk masjid terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُمْنَعُونَ مِنْهَا وَلَا يُمَكَّنُونَ كَمَا يُمْنَعُ الْمُسْلِمُ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ اسْتِدْلَالُهُ.

Pertama: Mereka dilarang masuk dan tidak dibolehkan, sebagaimana Muslim juga dilarang. Dengan demikian, istidlal (pengambilan dalil) Al-Muzani gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ يُمَكَّنُونَ وَلَا يُمْنَعُونَ مِنَ الدُّخُولِ مَعَ الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ إِلَّا أَنْ لَا يُؤْمَنَ بِتَنْجِيسِ الْمَسْجِدِ بِدَمِ الْحَيْضِ فَيُمْنَعُوا وَإِنْ خَالَفُوا فِيهِ الْمُسْلِمِينَ.

Pendapat kedua: Mereka (non-Muslim) dibolehkan dan tidak dilarang masuk (masjid) dalam keadaan junub atau haid, kecuali jika dikhawatirkan darah haid akan menajiskan masjid, maka mereka dilarang, meskipun dalam hal ini mereka berbeda pendapat dengan kaum Muslimin.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُسْلِمَ مُلْتَزِمٌ لِحُرْمَةِ الْمَسْجِدِ وَتَعْظِيمِهِ فَلَزِمَهُ اجْتِنَابُهُ مَعَ تَغْلِيظِ حَدَثِهِ، وَلَيْسَ الْمُشْرِكُ مُلْتَزِمًا لِهَذِهِ الْحُرْمَةِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ اجْتِنَابُهُ مَعَ حَدَثِهِ، فَإِنِ اخْتَلَفَ الزَّوْجُ الْمُسْلِمُ وَالزَّوْجَةُ الذِّمِّيَّةُ فِي مَوْضِعِ لِعَانِهِمَا مِنْ مَسْجِدٍ أَوْ كَنِيسَةٍ فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجِ دُونَهَا لِأَنَّ التَّغْلِيظَ عَلَيْهَا فِي اللِّعَانِ حَقٌّ لَهُ عَلَيْهَا فَإِنْ دَعَتْ إِلَى لِعَانِهَا فِي الْمَسْجِدِ، وَقَالَ الزوج في الكنسية كَانَ الْقَوْلُ قَوْل الزَّوْجِ أَوْلَى لِيَسْتَوْفِيَ حَقَّهُ فِي التَّغْلِيظِ عَلَيْهَا وَإِنْ دَعَتِ الزَّوْجَةُ إِلَى لِعَانِهَا فِي الْكَنِيسَةِ وَدَعَى الزَّوْجُ إِلَى لِعَانِهَا فِي الْمَسْجِدِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَسْقَطَ حقه من التغليظ عليها.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa seorang Muslim berkomitmen terhadap kehormatan dan pengagungan masjid, sehingga ia wajib menghindarinya ketika dalam keadaan hadats besar. Sedangkan orang musyrik tidak berkomitmen terhadap kehormatan ini, sehingga ia tidak diwajibkan menghindarinya meskipun dalam keadaan hadats. Jika terjadi perselisihan antara suami Muslim dan istri dzimmi mengenai tempat li‘an mereka, apakah di masjid atau di gereja, maka pendapat yang diambil adalah pendapat suami, karena penegasan (penguatan sumpah) dalam li‘an adalah hak suami atas istrinya. Jika istri meminta li‘an di masjid dan suami meminta di gereja, maka pendapat suami lebih diutamakan agar ia dapat menunaikan haknya dalam penegasan sumpah terhadap istrinya. Jika istri meminta li‘an di gereja dan suami meminta di masjid, maka pendapat suami juga yang diambil, karena ia telah menggugurkan haknya dalam penegasan sumpah terhadap istrinya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وإن كان مُشْرِكَيْنِ وَلَا دِينَ لَهُمَا تَحَاكَمَا إِلَيْنَا لَاعَنَ بَيْنَهُمَا فِي مَجْلِسِ الْحُكْمِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika keduanya adalah dua orang musyrik dan tidak memiliki agama, lalu mereka mengadukan perkara kepada kami, maka dilakukan li‘an di majelis pengadilan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا كَانَ الزَّوْجَانِ الْمُشْرِكَانِ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَيْسَ لَهُمَا دِينٌ مَعْرُوفٌ كَالزَّنَادِقَةِ وَالدَّهْرِيَّةِ لَاعَنَ الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا فِي مَجْلِسِهِ إِذَا تَرَافَعَا إِلَيْهِ وَسَقَطَ تَغْلِيظُ لِعَانِهِمَا بِالْمَكَانِ لِاسْتِوَاءِ الْأَمَاكِنِ كُلِّهَا عِنْدَهُمْ وَأَنَّهُمْ لَا يُمَيَّزُونَ بِتَعْظِيمِ مَكَانٍ مِنْهَا، فَإِنْ قِيلَ: كَيْفَ يُحَلِّفُهُمَا بِاللَّهِ وَهُمَا لَا يَعْتَقِدَانِ تَوْحِيدَهُ وَلَا يُثْبِتَانِ قُدْرَتَهُ وَلَا عِقَابَهُ، وَالْيَمِينُ تُوضَعُ زَجْرًا لِمَنِ اعْتَرَفَ بِاللَّهِ وَخَافَ عَذَابَهُ لِيَتَوَقَّاهُمَا فِي الْإِقْدَامِ بِهَا عَلَى الْمَعَاصِي، فَهَلَّا عَدَلَ عَنْ إِحْلَافِهِمْ بِاللَّهِ تَعَالَى إِلَى مَا يَكُونُ تَوَقِّيهِمْ لَهُ أَكْثَرَ وَحَذَرُهُمْ مِنْهُ أَعْظَمَ، قِيلَ: الْحَلِفُ بِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى مَعْصِيَةٌ قَدْ مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْهَا، وَلَيْسَ إِذَا كَانَ تَوَقِّيهِمْ لِغَيْرِهِ أَكْثَرَ مِمَّا يَقْتَضِي تَسْوِيغَ إِحْلَافِهِمْ بِهِ وَأَنَّ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَتَوَقَّى الْحَلِفَ بِسُلْطَانِهِ أَكْثَرَ مِنْ تَوَقِّي الْحَلِفِ بِاللَّهِ، وَيَجِبُ إِحْلَافُهُمْ بِاللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ لَمْ يَتَوَقَّوْهُ وَلَا يَجُوزُ إِحْلَافُهُمْ بِسُلْطَانِهِمْ وَإِنْ تَوَقَّوْهُ، كَذَلِكَ حَالُ مَنْ لَا دِينَ لَهُ مِنَ الْكَفَّارِ يَحْلِفُونَ فِي أَيْمَانِهِمْ بِاللَّهِ وَإِنْ لَمْ يَتَوَقَّوْهُ وَيُسْتَفَادُ بِهَا فِي اللِّعَانِ وَغَيْرِهِ ثُبُوتُ مَا يَتَعَلَّقُ بها من الأحكام في وقوع الفرقة وتأييد التَّحْرِيمِ وَنَفْيِ النَّسَبِ لِتَجْرِيَ عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْأَحْكَامُ إِكْرَاهًا وَإِنْ لَمْ يَعْتَقِدُوهَا دِينًا، وَيَكُونُوا مُؤَاخَذِينَ بِعِقَابِ اجْتِرَائِهِمْ مَعَ عِقَابِ كُفْرِهِمْ. فَإِنْ قِيلَ: فإن أغلظ عَلَيْهِمْ بِمَا يُعَظِّمُونَهُ مِنْ بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَإِنْ كَانَتْ مُوَاطِنَ كَفْرِهِمْ. هَلَّا غَلَّظَ عَلَيْهِمْ بِمَا يُعَظِّمُونَهُ مِنْ أَيْمَانِهِمْ وَإِنْ كَانَتْ مِنْ مَعَاصِيهِمْ.

Al-Mawardi berkata: Jika kedua pasangan suami istri musyrik bukan dari Ahlul Kitab dan tidak memiliki agama yang dikenal, seperti zindiq dan dahriyyah, maka hakim melakukan li‘an di majelisnya jika mereka berdua mengadukan perkara kepadanya. Penegasan sumpah li‘an berdasarkan tempat menjadi gugur, karena semua tempat sama saja menurut mereka dan mereka tidak membedakan dalam mengagungkan suatu tempat. Jika ada yang bertanya: Bagaimana mungkin mereka disumpah dengan nama Allah, padahal mereka tidak meyakini tauhid-Nya, tidak menetapkan kekuasaan dan siksa-Nya, sedangkan sumpah itu diletakkan untuk menakut-nakuti orang yang mengakui Allah dan takut akan siksa-Nya agar mereka menjauhi maksiat dengan sumpah itu? Mengapa tidak dialihkan sumpahnya dari nama Allah kepada sesuatu yang lebih mereka takuti dan lebih mereka waspadai? Maka dijawab: Bersumpah dengan selain Allah adalah maksiat yang dilarang oleh syariat, dan meskipun mereka lebih takut kepada selain Allah, hal itu tidak membolehkan mereka disumpah dengan selain-Nya. Di antara kaum Muslimin pun ada yang lebih takut bersumpah atas nama penguasanya daripada bersumpah atas nama Allah, namun tetap wajib bersumpah dengan nama Allah meskipun mereka tidak takut kepada-Nya, dan tidak boleh bersumpah dengan nama penguasa mereka meskipun mereka lebih takut kepadanya. Demikian pula keadaan orang kafir yang tidak memiliki agama, mereka tetap disumpah dengan nama Allah dalam sumpah-sumpah mereka meskipun mereka tidak takut kepada-Nya. Dari sumpah itu dapat diambil manfaat dalam li‘an dan selainnya, yaitu berlakunya hukum-hukum yang terkait dengannya, seperti terjadinya perpisahan, penguatan keharaman, dan penafian nasab, sehingga hukum-hukum ini berlaku atas mereka secara paksa meskipun mereka tidak meyakininya sebagai agama, dan mereka tetap akan dimintai pertanggungjawaban atas keberanian mereka (melanggar sumpah) di samping siksa atas kekafiran mereka. Jika ada yang bertanya: Mengapa tidak ditegaskan kepada mereka dengan sesuatu yang mereka agungkan, seperti gereja dan tempat ibadah mereka, meskipun itu adalah tempat kekafiran mereka? Mengapa tidak ditegaskan kepada mereka dengan sumpah yang mereka agungkan, meskipun itu termasuk maksiat mereka?

قِيلَ: لَيْسَتْ بِيَعُهُمْ وَكَنَائِسُهُمْ مَعْصِيَةً، إِنَّمَا الْمَعْصِيَةُ مَا يُبْدُونَهُ فِيهَا مِنْ كُفْرِهِمْ وَيَتَظَاهَرُونَ بِهِ من شكرهم فَجَازَ الدُّخُولُ إِلَيْهَا إِذَا لَمْ يُجَاهِرُونَا فِيهَا بِكُفْرِهِمْ وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُ أَيْمَانِهِمْ بِمَا يُعَظِّمُونَهُ مِنْ أَوْثَانِهِمْ وَأَصْنَامِهِمْ لِكَوْنِهَا مَعَاصِيَ يُسْتَحَقُّ الْعِقَابُ عليها فافترقا – والله أعلم بالصواب -.

Dijawab: Gereja dan tempat ibadah mereka bukanlah maksiat, yang menjadi maksiat adalah kekafiran yang mereka tampakkan di dalamnya dan mereka perlihatkan berupa rasa syukur mereka (kepada selain Allah), sehingga boleh masuk ke dalamnya selama mereka tidak menampakkan kekafiran di dalamnya kepada kita. Tidak demikian halnya dengan sumpah mereka atas sesuatu yang mereka agungkan dari berhala dan patung mereka, karena itu adalah maksiat yang layak mendapatkan hukuman. Maka keduanya berbeda – dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(بَابُ سُنَّةِ اللِّعَانِ وَنَفْيِ الْوَلَدِ وَإِلْحَاقِهِ بِالْأُمِّ وغير ذلك (من كتابي لعان جديد وقديم ومن اختلاف الحديث)

(Bab Sunah Li‘ān, Penafian Anak, Penetapan Anak kepada Ibu, dan Lain-lain (dari dua kitab Li‘ān baru dan lama serta dari perbedaan hadis))

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا لَاعَنَ امْرَأَتَهُ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وانتفى من ولدها ففرق – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَهُمَا وَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالْمَرْأَةِ وَقَالَ سَهْلٌ وَابْنُ شِهَابٍ فَكَانَتْ تِلْكَ سُنَّةَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Malik telah memberitakan kepada kami dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ada seorang laki-laki melakukan li‘ān terhadap istrinya pada masa Nabi ﷺ dan menafikan anak dari istrinya itu, maka Nabi ﷺ memisahkan keduanya dan menetapkan anak tersebut kepada perempuan itu. Sahl dan Ibnu Syihab berkata: Maka itulah sunah bagi pasangan yang melakukan li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ اللِّعَانَ يَتَعَلَّقُ بِهِ أَرْبَعَةُ أَحْكَامٍ، وَخَامِسٌ مُخْتَصٌّ بِالزَّوْجَةِ وَحْدَهَا، فَأَحَدُ الْأَرْبَعَةِ: دَرْءُ الْحَدِّ عَنِ الزَّوْجِ، وَالثَّانِي: نَفْيُ النَّسَبِ عَنْهُ، الثَّالِثُ: وُقُوعُ الْفُرْقَةِ، وَالرَّابِعُ: تَحْرِيمُ التَّأْبِيدِ، وَالْخَامِسُ الْمُخْتَصُّ بِالزَّوْجَةِ وُجُودُ حَدِّ الزِّنَا عَلَيْهَا إِلَّا أَنْ تُلَاعِنَ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa li‘ān berkaitan dengan empat hukum, dan satu hukum khusus bagi istri saja. Salah satu dari empat itu: gugurnya had dari suami, kedua: penafian nasab dari suami, ketiga: terjadinya perpisahan, keempat: haramnya menikah selamanya, dan yang kelima yang khusus bagi istri adalah dikenakannya had zina atasnya kecuali jika ia melakukan li‘ān.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: الَّذِي يَخْتَصُّ بِاللِّعَانِ حُكْمَانِ، وُقُوعُ الْفُرْقَةِ، وَنَفْيُ النَّسَبِ، وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ سُقُوطُ الْحَدِّ عَنِ الزَّوْجِ، وَلَا وُجُوبُ الْحَدِّ عَنِ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّهُ يُوجِبُ اللعان عليهما، بحسبها عَلَيْهِ عِنْدَ امْتِنَاعِهِمَا، وَلَا يُوقِعُ عِنْدَهُ تَحْرِيمَ التَّأْبِيدِ، لِأَنَّهُ يَحِلُّهَا لَهُ إِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي وُجُوبِ الْحَدَّيْنِ، وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَهُ فِي تَأْبِيدِ التَّحْرِيمِ، وَقَدْ رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جبير عن ابن ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْمُتَلَاعِنَانِ إِذَا تَفَرَّقَا لَمْ يَجْتَمِعَا أَبَدًا “، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَعُثْمَانُ الْبَتِّيُّ: اللِّعَانُ مُخْتَصٌّ بِنَفْيِ النَّسَبِ وَحْدَهُ وَلَا يُوقِعُ الْفُرْقَةَ إِلَّا بِطَلَاقِ الزَّوْجِ فَتَقَعُ الْفُرْقَةُ بِالطَّلَاقِ لِأَنَّ الْعَجْلَانِيَّ طَلَّقَ حِينَ لَاعَنَ فَفَرَّقَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَهُمَا بِالطَّلَاقِ وَقَدْ رَوَى أَبُو مَالِكٍ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّهُمَا قَالَا: ” مَضَتِ السُّنَّةُ أَنْ لَا يَجْتَمِعَ الْمُتَلَاعِنَانِ أَبَدًا ” وَذَلِكَ إِشَارَةً إِلَى سُنَّةِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَكَأَنَّهُمَا رَوَيَاهُ نُطْقًا، وَسَيَأْتِي مِنَ الدَّلِيلِ عَلَيْهِمَا مَا يَدْفَعُ قَوْلَهُمَا.

Abu Hanifah berkata: Hukum yang khusus pada li‘ān ada dua, yaitu terjadinya perpisahan dan penafian nasab, dan tidak berkaitan dengannya gugurnya had dari suami, dan tidak pula wajibnya had atas istri, karena li‘ān mewajibkan had atas keduanya, sesuai dengan keadaannya jika keduanya menolak, dan menurutnya li‘ān tidak menyebabkan keharaman menikah selamanya, karena istri tetap halal baginya jika ia (suami) mengakui kebohongan dirinya sendiri. Telah berlalu pembahasan dengannya tentang wajibnya dua had, dan akan datang pembahasan dengannya tentang keharaman menikah selamanya. Muhammad bin Zaid meriwayatkan dari Sa‘id bin Jubair dari Ibnu ‘Umar dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pasangan yang melakukan li‘ān, jika telah berpisah maka tidak akan pernah bersatu lagi.” Al-Hasan al-Bashri dan ‘Utsman al-Batti berkata: Li‘ān hanya khusus untuk penafian nasab saja dan tidak menyebabkan perpisahan kecuali dengan talak suami, maka perpisahan terjadi dengan talak, karena al-‘Ajlani menceraikan istrinya ketika melakukan li‘ān, maka Rasulullah ﷺ memisahkan keduanya dengan talak. Abu Malik meriwayatkan dari ‘Ashim dari Zir dari ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhuma bahwa keduanya berkata: “Telah berlaku sunah bahwa pasangan yang melakukan li‘ān tidak akan pernah bersatu lagi,” dan itu merupakan isyarat kepada sunah Nabi ﷺ, seakan-akan keduanya meriwayatkannya secara lafaz, dan akan datang dalil yang membantah pendapat keduanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا اسْتَقَرَّ ثُبُوتُ الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ بِاللِّعَانِ فَنَفْيُ النَّسَبِ مُخْتَصٌّ بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ وَاخْتَلَفُوا فِي الْفُرْقَةِ بِمَاذَا تَقَعُ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Jika telah tetap lima hukum li‘ān, maka penafian nasab khusus dengan li‘ān suami saja, dan mereka berbeda pendapat tentang dengan apa perpisahan itu terjadi? Ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تَقَعُ بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ وَكَذَلِكَ الْأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ، وَإِنَّمَا يَخْتَصُّ لِعَانُ الزَّوْجَةِ بِإِسْقَاطِ الْحَدِّ عَنْهَا لَا غَيْرَ وَإنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ بِالْفُرْقَةِ يَكُونُ تَنْفِيذًا وَلَا يَكُونُ إِيقَاعًا.

Salah satunya, yaitu mazhab Syafi‘i, bahwa perpisahan terjadi dengan li‘ān suami saja, demikian pula kelima hukum tersebut, dan li‘ān istri hanya khusus untuk menggugurkan had dari dirinya saja, tidak lebih. Dan keputusan hakim tentang perpisahan itu hanyalah sebagai pelaksanaan, bukan sebagai pelaksanaan (sebab terjadinya) perpisahan.

وَقَالَ مَالِكٌ وَرَبِيعَةُ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَدَاوُدُ: إِنَّ الْفُرْقَةَ تَقَعُ بِلِعَانِ الزَّوْجَيْنِ وَلَا تَقَعُ بِلِعَانِ أَحَدِهِمَا، وَيَكُونُ حُكْمُ الْحَاكِمِ بِالْفُرْقَةِ تَنْفِيذًا لَا إِيقَاعًا، فَخَالَفُوا الشَّافِعِيَّ فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِلِعَانِهِمَا وَوَافَقُوهُ فِي أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ بها تنفيذاً وَلَيْسَ بِإِيقَاعٍ.

Malik, Rabi‘ah, al-Laits bin Sa‘d, Ahmad bin Hanbal, dan Dawud berkata: Sesungguhnya perpisahan terjadi dengan li‘ān kedua pasangan, dan tidak terjadi dengan li‘ān salah satu dari keduanya, dan keputusan hakim tentang perpisahan itu hanyalah sebagai pelaksanaan, bukan sebagai sebab terjadinya perpisahan. Maka mereka berbeda dengan Syafi‘i dalam hal terjadinya perpisahan dengan li‘ān keduanya, dan mereka sepakat dengannya bahwa keputusan hakim tentang perpisahan itu hanyalah pelaksanaan, bukan sebab terjadinya perpisahan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: الْفُرْقَةُ لَا تَقَعُ إِلَّا بِلِعَانِهِمَا وَتَفْرِيقِ الْحَاكِمِ بَيْنَهُمَا فَيَكُونُ حُكْمُ الْحَاكِمِ بِهَا إِيقَاعًا لَهَا لَا تَنْفِيذًا وَيَكُونُ إِيقَاعُهُ الْفُرْقَةَ بَيْنَهُمَا وَاجِبًا عَلَيْهِ، وَاسْتَدَلُّوا جَمِيعًا عَلَى أَنَّ الْفُرْقَةَ لَا تَقَعُ بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَاعَنَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا فَرَّقَ بَيْنَهُمَا بَعْدَ لِعَانِهِمَا دَلَّ عَلَى أَنَّهَا لَا تَقَعُ بِلِعَانِ أَحَدِهِمَا، وَجَعَلَ مَالِكٌ حُكْمَهُ بِالْفُرْقَةِ بَعْدَ لِعَانِهِمَا تَنْفِيذًا وَجَعَلَهُ أَبُو حَنِيفَةَ إِيقَاعًا، وَلِأَنَّ الْعَجْلَانِيَّ قَالَ: إِنْ أَمْسَكْتُهَا فَقَدْ كَذَبْتُ عَلَيْهَا وَهِيَ طَالِقٌ ثَلَاثًا، وَلَوْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِلِعَانِهِ لَأَنْكَرَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا قَالَهُ مِنْ إِمْسَاكِهَا، وَمَا أَوْقَعَهُ مِنْ طَلَاقِهَا، وَفِي إِقْرَارِهِ عَلَى ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْفُرْقَةَ لَمْ تَقَعْ بَيْنَهُمَا، وَاسْتَدَلَّ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ بِأَنَّهَا فُرْقَةٌ لَا يَثْبُتُ سَبَبُهَا إِلَّا عِنْدَ الْحَاكِمِ، فَلَمْ تَقَعْ بَيْنَهُمَا إِلَّا بِحُكْمِ الْحَاكِمِ كَالْعُنَّةِ الَّتِي لَمْ يَثْبُتُ سَبَبُهَا فِي ضَرْبِ الْمُدَّةِ إِلَّا بِحُكْمِ الْحَاكِمِ، وَلَمْ تَقَعِ الْفُرْقَةُ فِيهَا إِلَّا بِحُكْمٍ، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ سَبَبٌ يَخْرُجُ بِهِ الْقَاذِفُ مِنْ قَذْفِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَقَعَ الْفُرْقَةُ إِلَّا بِحُكْمٍ كَالْبَيِّنَةِ.

Abu Hanifah berkata: perpisahan (al-furqah) tidak terjadi kecuali dengan li‘an keduanya dan pemisahan oleh hakim di antara mereka, sehingga keputusan hakim dalam hal ini merupakan pelaksanaan perpisahan, bukan sekadar pengesahan, dan pelaksanaan perpisahan oleh hakim di antara mereka adalah kewajiban baginya. Mereka semua berdalil bahwa perpisahan tidak terjadi hanya dengan li‘an suami saja, dengan dalil bahwa Rasulullah ﷺ melakukan li‘an antara suami istri dan memisahkan keduanya. Maka, ketika beliau memisahkan keduanya setelah keduanya melakukan li‘an, hal itu menunjukkan bahwa perpisahan tidak terjadi hanya dengan li‘an salah satu dari mereka. Malik menganggap keputusan hakim tentang perpisahan setelah li‘an keduanya sebagai pelaksanaan, sedangkan Abu Hanifah menganggapnya sebagai pengadaan (pelaksanaan langsung). Karena al-‘Ajlani berkata: “Jika aku tetap bersamanya, maka aku telah berdusta atasnya dan dia tertalak tiga.” Seandainya perpisahan terjadi dengan li‘an-nya saja, niscaya Rasulullah ﷺ akan mengingkari ucapannya tentang tetap bersamanya dan talak yang ia jatuhkan. Dengan persetujuan beliau atas hal itu, menunjukkan bahwa perpisahan belum terjadi di antara mereka. Para pengikut Abu Hanifah berdalil bahwa perpisahan ini adalah perpisahan yang sebabnya tidak dapat ditetapkan kecuali di hadapan hakim, maka tidak terjadi di antara mereka kecuali dengan keputusan hakim, seperti kasus ‘innah (impotensi) yang sebabnya tidak dapat ditetapkan dalam penentuan masa kecuali dengan keputusan hakim, dan perpisahan di dalamnya pun tidak terjadi kecuali dengan keputusan hakim. Karena li‘an adalah sebab yang dengannya si penuduh zina terbebas dari tuduhannya, maka wajib agar perpisahan tidak terjadi kecuali dengan keputusan hakim, sebagaimana halnya dengan bukti (al-bayyinah).

وَلِأَنَّ الْفُرْقَةَ لَا تَقَعُ إِلَّا بِمَا يَخْتَصُّ بِأَلْفَاظِهَا مِنْ صَرِيحٍ أَوْ كِنَايَةٍ، وَلَيْسَ فِي اللِّعَانِ صَرِيحٌ وَلَا كِنَايَةٌ وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِلْعَجْلَانِيِّ حِينَ عَرَضَ عَلَيْهِ اللَّعْنَةَ الْخَامِسَةَ بَعْدَ الشَّهَادَاتِ الْأَرْبَعِ: ” إِنَّهَا الْمُوجِبَةُ ” إِبَانَةً عَنْهَا فِي وُقُوعِ أَحْكَامِ اللِّعَانِ بِهَا، فَدَلَّ ثُبُوتُهَا بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ، وَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ.

Karena perpisahan tidak terjadi kecuali dengan lafaz khusus yang menunjukkan perpisahan, baik secara tegas (sharih) maupun sindiran (kinayah), sedangkan dalam li‘an tidak terdapat lafaz tegas maupun sindiran. Dalil kami adalah riwayat bahwa Nabi ﷺ berkata kepada al-‘Ajlani ketika beliau mengajukan sumpah laknat kelima setelah empat kali persaksian: “Itulah yang mewajibkan (perpisahan),” sebagai penjelasan bahwa hukum-hukum li‘an berlaku karenanya. Maka, hal itu menunjukkan bahwa perpisahan dapat terjadi dengan li‘an suami saja, dan ini menjadi dalil bagi seluruh mereka.

وروى سعيد بن جبير عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْمُتَلَاعِنَانِ إِذَا تَفَرَّقَا لَا يَجْتَمِعَانِ أَبَدًا “.

Said bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Dua orang yang saling melakukan li‘an, apabila telah berpisah, maka mereka tidak akan pernah bersatu kembali.”

وقد روى أبو بمالك عَنْ عَاصِمٍ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَلِيٍّ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُمَا قَالَا: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنْ لَا يَجْتَمِعَ الْمُتَلَاعِنَانِ أَبَدًا. وَذَلِكَ إِشَارَةً إِلَى سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمْ يَجْعَلْ لِغَيْرِهِمَا تَأْثِيرًا فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بَيْنَهُمَا. وَهَذَا يَدْفَعُ قَوْلَ أَبِي حَنِيفَةَ، وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِلْمُتَلَاعِنَيْنِ: ” حِسَابُكُمَا عَلَى اللَّهِ، لَا سَبِيلَ لَكَ عَلَيْهَا ” قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَالِي، قَالَ: ” لَا مَالَ لَكَ، إِنْ كُنْتَ صَادِقًا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا وَإِنْ كُنْتَ كَاذِبًا فَهُوَ أَبْعَدُ لَكَ “. فَكَانَ قَوْلُهُ: لَا سَبِيلَ لَكَ عَلَيْهَا إِخْبَارًا عَنْ وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بَيْنَهُمَا، وَلَيْسَ بِإِيقَاعٍ لِلْفِرْقَةِ، لِأَنَّ إِيقَاعَ الْفُرْقَةِ أَنْ يَقُولَ: ” قَدْ فَرَّقْتُ بَيْنَكُمَا ” فَدَلَّ مَا أَخْبَرَ بِهِ مِنْ وُقُوعِ الْفُرْقَةِ عَلَى تَقَدُّمِهَا قَبْلَ خَبَرِهِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى أَنَّهَا فُرْقَةٌ تَجَرَّدَتْ عَنْ عِوَضٍ، فَإِذَا لَمْ يَجُزْ تَفَرُّدُ الزَّوْجَةِ بِهَا جَازَ أَنْ يَنْفَرِدَ الزَّوْجُ بِهَا كَالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّهُ قَوْلٌ يَمْنَعُ إِقْرَارَ الزَّوْجَيْنِ عَلَى الزَّوْجِيَّةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْحَاكِمِ فِيهِ تَنْفِيذًا لَا إِيقَاعًا كَالْبَيِّنَةِ عَلَى الطَّلَاقِ وَالْإِقْرَارِ بِهِ، وَلِأَنَّ الْأَقْوَالَ الْمُؤَثِّرَةَ فِي الْفُرْقَةِ، لَا يُفْتَقَرُ إِلَى وُجُودِهَا مِنْ جِهَتِهَا كَالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ يَمِينٌ عِنْدِنَا وَشَهَادَةٌ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالْحُكْمُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُ بِتَنْفِيذٍ وَلَيْسَ بِإِيقَاعٍ، وَلِأَنَّ حُكْمَ التَّنْفِيذِ يَجُوزُ مِنْ غَيْرِ طَلَبٍ كَالْحَاكِمِ بِشَهَادَةٍ أَوْ يَمِينٍ، وَحُكْمَ الْإِيقَاعِ لَا يَجُوزُ إِلَّا بَعْدَ الطَّلَبِ كَالْفَسْخِ فِي الْعُنَّةِ وَالْإِعْسَارِ بِالنَّفَقَةِ، وَفُرْقَةُ اللِّعَانِ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى طَلَبٍ فَدَلَّ عَلَى اخْتِصَاصِهَا بِالتَّنْفِيذِ دُونَ الْإِيقَاعِ، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ تَقَعُ بِهِ الْفُرْقَةُ، وَيَنْتَفِي بِهِ النَّسَبُ، فَلَمَّا اخْتَصَّ نَفْيُ النَّسَبِ بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ وُقُوعُ الْفُرْقَةِ بِمَثَابَتِهِ، لِأَنَّهُ أَحَدُ حُكْمَيِ اللِّعَانِ.

Abu Malik meriwayatkan dari ‘Ashim, dari Zir, dari ‘Ali dan ‘Abdullah bin Mas‘ud bahwa keduanya berkata: “Sunnah telah berlaku bahwa kedua orang yang melakukan li‘ān tidak boleh berkumpul selamanya.” Hal ini merupakan isyarat kepada sunnah Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, sehingga tidak menjadikan selain keduanya berpengaruh dalam terjadinya perpisahan di antara mereka. Ini menolak pendapat Abu Hanifah. Sa‘id bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada pasangan yang melakukan li‘ān: “Perhitungan kalian berdua ada pada Allah, tidak ada jalan bagimu atasnya.” Ia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan hartaku?” Beliau bersabda: “Tidak ada harta bagimu. Jika engkau benar, maka itu (mahar) adalah sebagai imbalan atas apa yang telah engkau halalkan dari kemaluannya. Jika engkau dusta, maka itu (mahar) lebih jauh lagi darimu.” Maka sabda beliau: “Tidak ada jalan bagimu atasnya,” adalah pemberitahuan tentang terjadinya perpisahan di antara mereka, dan bukan merupakan pelaksanaan perpisahan, karena pelaksanaan perpisahan adalah dengan mengatakan: “Aku telah memisahkan kalian berdua.” Maka apa yang beliau kabarkan tentang terjadinya perpisahan menunjukkan bahwa perpisahan itu telah terjadi sebelum beliau memberitahukannya. Secara makna, hal ini menunjukkan bahwa perpisahan tersebut adalah perpisahan yang tidak disertai kompensasi (iwad), sehingga jika tidak boleh istri melakukannya sendiri, maka boleh suami melakukannya sendiri sebagaimana talak. Dan karena ucapan tersebut mencegah kedua suami istri untuk tetap dalam pernikahan, maka keputusan hakim dalam hal ini adalah sebagai pelaksanaan (tanfiż), bukan pelaksanaan perpisahan (iqā‘), seperti halnya bukti pada talak dan pengakuan terhadapnya. Dan karena ucapan-ucapan yang berpengaruh dalam perpisahan tidak disyaratkan harus berasal dari kedua belah pihak, sebagaimana talak. Dan karena li‘ān menurut kami adalah sumpah, sedangkan menurut Abu Hanifah adalah kesaksian, dan hukum pada masing-masingnya adalah pelaksanaan (tanfiż), bukan pelaksanaan perpisahan (iqā‘). Dan karena hukum pelaksanaan (tanfiż) boleh dilakukan tanpa permintaan, seperti hakim memutuskan berdasarkan kesaksian atau sumpah, sedangkan hukum pelaksanaan perpisahan (iqā‘) tidak boleh kecuali setelah ada permintaan, seperti fasakh pada kasus impoten (‘innah) dan ketidakmampuan memberi nafkah. Dan perpisahan karena li‘ān tidak memerlukan permintaan, maka hal itu menunjukkan kekhususannya sebagai pelaksanaan (tanfiż) dan bukan pelaksanaan perpisahan (iqā‘). Dan karena dengan li‘ān terjadi perpisahan dan terputusnya nasab, maka ketika penafian nasab dikhususkan pada li‘ān suami, maka wajib pula terjadinya perpisahan dengan sebab yang sama, karena itu adalah salah satu dari dua hukum li‘ān.

فَإِنْ مَنَعُوا مِنْ نَفْيِ اللِّعَانِ النَّسَبَ، بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ، وَادَّعَوْا أَنَّهُ لَا يَنْتَفِي إِلَّا بِالْحُكْمِ بَعْدَ لِعَانِهِمَا. كَانَ فَاسِدًا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jika mereka melarang penafian nasab melalui li‘ān hanya dengan li‘ān suami saja, dan mengklaim bahwa nasab tidak terputus kecuali dengan keputusan setelah li‘ān keduanya, maka itu rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ لِعَانَ الزَّوْجِ يَتَضَمَّنُ نَفْيَ النَّسَبِ، وَلِعَانَ الزَّوْجَةِ يَتَضَمَّنُ إِثْبَاتَ النَّسَبِ، وَإِذَا اخْتَلَفَا فِي النَّفْيِ وَالْإِثْبَاتِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَعَلَّقَ نَفْيُهُ إِلَّا بِقَوْلِ النَّافِي دُونَ الْمُثْبِتِ اعْتِبَارًا بِالْمُوَافَقَةِ.

Pertama: Bahwa li‘ān suami mengandung penafian nasab, sedangkan li‘ān istri mengandung penetapan nasab. Jika keduanya berbeda dalam penafian dan penetapan, maka tidak boleh penafian itu dikaitkan kecuali dengan ucapan pihak yang menafikan, bukan yang menetapkan, berdasarkan kesepakatan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الِاعْتِبَارَ فِي ثُبُوتِ النَّسَبِ وَنَفْيِهِ بِالزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّهُ لَوْ أَقَرَّ بِهِ وَنَفَتْهُ، لَمْ يُؤَثِّرْ نَفْيُهَا، وَلَوْ نَفَاهُ وَأَقَرَّتْ بِهِ لم يؤثر إقرارها، ولو استلتحقه بعد نفيه بلعانهما ألحق به وإن أَقَامَتْ عَلَى نَفْيِهِ عَنْهُ، فَاقْتَضَى بِهَذَيْنِ أَنْ يَكُونَ نَفْيُ النَّسَبِ مُخْتَصًّا بِلِعَانِ الزَّوْجِ، وَإِذَا اخْتَصَّ بِهِ كَانَتِ الْفُرْقَةُ بِمَثَابَتِهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عن استدلالهم بأن رسول الله

Kedua: Bahwa yang menjadi acuan dalam penetapan dan penafian nasab adalah suami, bukan istri. Karena jika suami mengakui dan istri menafikan, maka penafian istri tidak berpengaruh. Jika suami menafikan dan istri mengakui, maka pengakuan istri tidak berpengaruh. Jika suami kemudian mengakui anak itu setelah menafikannya melalui li‘ān keduanya, maka anak itu dinisbatkan kepadanya meskipun istri tetap menafikan. Maka dari dua hal ini, dapat disimpulkan bahwa penafian nasab khusus dengan li‘ān suami. Jika sudah khusus dengannya, maka perpisahan juga demikian. Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa Rasulullah…

فرق بيت الزَّوْجَيْنِ بَعْدَ لِعَانِهِمَا، فَهُوَ أَنَّهَا قَضِيَّةٌ فِي عَيْنٍ لَا يُدَّعَى فِيهَا الْعُمُومُ فَاحْتَمَلَ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَهُمَا فِي الْمَكَانِ، وَاحْتَمَلَ أَنْ يُفَرِّقَ بينهما في النكاح ويتحمل وهو الأشبه أن يكن أَخْبَرَهُمَا بِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّهُ قَدْ رُوِيَ فِيهِ ” وَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِأُمِّهِ، وَقَدْ كَانَ لَاحِقًا بِهَا “، وَإِنَّمَا أَخْبَرَ بِلُحُوقِهِ بِهَا دُونَ الزَّوْجِ وَأَمَّا حَدِيثُ الْعَجْلَانِيِّ وَأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ وُقُوعَ الطَّلَاقِ مِنْهُ، فَقَدْ أَنْكَرَهُ بِقَوْلِهِ: ” لَا سَبِيلَ لَكَ عَلَيْهَا أَبَدًا ” وَلَوْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِالطَّلَاقِ لَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا سَبِيلٌ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْعُنَّةِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ، الْمُعَارَضَةُ فِي مَعْنَى الْأَصْلِ مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ.

Perbedaan antara pemisahan suami istri setelah keduanya melakukan li‘ān adalah bahwa hal itu merupakan kasus khusus yang tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum. Maka, ada kemungkinan pemisahan itu dilakukan dalam hal tempat tinggal, dan ada kemungkinan pula pemisahan itu dalam pernikahan, dan yang lebih mendekati adalah bahwa keduanya diberitahu tentang terjadinya pemisahan di antara mereka. Karena telah diriwayatkan dalam hal ini: “Dan anak itu dinisbatkan kepada ibunya, dan memang sebelumnya telah dinisbatkan kepadanya.” Hanya saja, yang diberitakan adalah penisbatan anak itu kepada ibunya, bukan kepada suami. Adapun hadis tentang al-‘Ajlānī dan bahwa Nabi ﷺ tidak mengingkari terjadinya talak darinya, maka Nabi telah mengingkarinya dengan sabdanya: “Tidak ada jalan bagimu atasnya selamanya.” Seandainya pemisahan itu terjadi karena talak, tentu masih ada jalan baginya terhadap istrinya. Adapun qiyās mereka dengan kasus ‘innah (impotensi), jawabannya adalah adanya perbedaan dalam makna asal dari dua sisi.

إِمَّا لِأَنَّ الْفُرْقَةَ فِي الْعُنَّةِ لَا تَمْضِي إِلَّا بَعْدَ الطَّلَبِ وَفِي اللِّعَانِ تَمْضِي بِغَيْرِ طَلَبٍ فَصَارَتْ تِلْكَ الْفُرْقَةُ إِيقَاعًا، وَهَذِهِ تَنْفِيذًا.

Pertama, karena pemisahan dalam kasus ‘innah tidak terjadi kecuali setelah ada permintaan, sedangkan dalam li‘ān terjadi tanpa permintaan, sehingga pemisahan yang pertama merupakan pelaksanaan (iqā‘), sedangkan yang kedua adalah eksekusi (tanfīż).

وَإِمَّا لِأَنَّ الْعُنَّةَ يَجُوزُ إِقْرَارُهُمَا عَلَيْهَا، وَلَا يَجُوزُ إِقْرَارُهُمَا بَعْدَ اللِّعَانِ فَصَارَتْ تِلْكَ الْفُرْقَةُ إِيقَاعًا وَهَذِهِ تَنْفِيذًا، وَهُوَ جَوَابٌ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْبَيِّنَةِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّهُ لَيْسَ بِصَرِيحٍ، وَلَا كِنَايَةٍ فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Atau karena dalam kasus ‘innah, keduanya boleh tetap hidup bersama, sedangkan setelah li‘ān keduanya tidak boleh tetap bersama, sehingga pemisahan yang pertama merupakan pelaksanaan (iqā‘), sedangkan yang kedua adalah eksekusi (tanfīż). Ini juga merupakan jawaban atas qiyās mereka dengan kasus bayyinah (bukti). Adapun pernyataan mereka bahwa hal itu bukan lafaz sharih (eksplisit) maupun kināyah (implisit), maka ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ مُرَاعَى فِي الطَّلَاقِ دُونَ غَيْرِهِ مِنَ الْفُسُوخِ.

Pertama: Hal itu hanya diperhatikan dalam talak, bukan dalam bentuk-bentuk pembatalan (fasakh) lainnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ اللِّعَانَ صَرِيحٌ في أحكامه المختصة به.

Kedua: Bahwa li‘ān adalah lafaz sharih dalam hukum-hukum khusus yang berkaitan dengannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَمَعْنَى قَوْلِهِمَا فُرْقَةٌ بِلَا طَلَاقِ الزَّوْجِ (قَالَ) وتفريق النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غَيْرُ فُرْقَةِ الزَّوْجِ إِنَّمَا هُوَ تَفْرِيقُ حُكْمٍ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Maksud dari ucapan mereka ‘pemisahan tanpa talak suami’ (beliau berkata): dan pemisahan yang dilakukan Nabi ﷺ bukanlah pemisahan oleh suami, melainkan pemisahan secara hukum.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَصَدَ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا الْكَلَامِ الرَّدَّ عَلَى أَهْلِ الْعِرَاقِ فِي مَسْأَلَتَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dengan ucapan ini, Imam Syafi‘i bermaksud membantah pendapat ulama Irak dalam dua permasalahan:

إِحْدَاهُمَا: مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أَبُو حَنِيفَةَ بِأَنَّ تَفْرِيقَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بين المتلاعنين كان إيقاعاً بحكم، فَلِذَلِكَ لَمْ يُوقِعِ الْفُرْقَةَ بَيْنَهُمَا بِمُجَرَّدِ اللِّعَانِ حَتَّى يُوقِعَهَا الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهَا مَعَهُ.

Pertama: Pendapat Abu Hanifah bahwa pemisahan yang dilakukan Nabi ﷺ antara pasangan yang saling melaknat (mutalā‘inain) adalah pelaksanaan hukum, sehingga pemisahan itu tidak terjadi hanya dengan li‘ān sampai hakim yang memutuskan di antara mereka. Dan telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang hal ini bersamanya.

وَقُلْنَا إِنَّ حُكْمَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ تَنْفِيذًا وَإِخْبَارًا بِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ.

Dan kami katakan bahwa hukum Nabi ﷺ adalah eksekusi dan pemberitahuan tentang terjadinya pemisahan.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: بيان حكم الفرقة الواقعة بَيْنَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ. وَهِيَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ فَسْخٌ وَلَيْسَتْ بِطَلَاقٍ وَلِذَلِكَ تَعَلَّقَ بِهَا تَحْرِيمُ التَّأْبِيدِ.

Permasalahan kedua: Penjelasan hukum pemisahan yang terjadi antara pasangan yang saling melaknat. Menurut Imam Syafi‘i, pemisahan itu adalah fasakh (pembatalan nikah) dan bukan talak, sehingga berakibat pada keharaman menikah kembali untuk selamanya.

وَبِهِ قَالَ أَبُو يُوسُفَ وَزُفَرُ وَالْحَسَنُ بْنُ زِيَادٍ وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ مَالِكٍ.

Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Yusuf, Zufar, dan al-Hasan bin Ziyad, serta merupakan salah satu riwayat dari Malik.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٌ: هِيَ فُرْقَةُ طَلَاقٍ بَائِنٍ، وَلِذَلِكَ لَمْ يَتَأَبَّدْ تَحْرِيمُهَا عِنْدَهُ، وَأَحَلَّهَا لَهُ إِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ.

Sedangkan Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa pemisahan itu adalah talak bā’in (talak yang tidak bisa dirujuk), sehingga menurut mereka keharaman menikah kembali tidak berlaku selamanya, dan suami boleh menikahi istrinya kembali jika ia mencabut tuduhannya.

وَفِي هَذَا الْقَوْلِ تَنَاقُضٌ، لِأَنَّ الْفُرْقَةَ لَا تَقَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِالْحَاكِمِ، دُونَ الزَّوْجِ، وَالطَّلَاقُ يَمْلِكُهُ الزَّوْجُ دُونَ الْحَاكِمِ، قَالَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إنما الطلاق لمن أخذ بالساق “.

Dalam pendapat ini terdapat kontradiksi, karena menurut mereka pemisahan tidak terjadi kecuali oleh hakim, bukan oleh suami, sedangkan talak adalah hak suami, bukan hakim. Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya talak itu hak orang yang memegang kendali (suami).”

فتناقص فِي قَوْلِهِ فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ فَعَلْتُمْ مِثْلَ هَذِهِ الْمُنَاقَضَةِ لِأَنَّكُمْ جَعَلْتُمُ الْفُرْقَةَ وَاقِعَةً بِالزَّوْجِ دُونَ الْحَاكِمِ وَالزَّوْجُ لَا يَقَعُ مِنْهُ إِلَّا الطَّلَاقُ، قِيلَ: قَدْ يَصِحُّ مِنَ الزَّوْجِ الطَّلَاقُ بِغَيْرِ سَبَبٍ، وَالْفَسْخُ إِذَا كَانَ عَنْ سَبَبٍ، كَالْفَسْخِ بِالْعُيُوبِ، وَهَذِهِ الْفُرْقَةُ لِسَبَبٍ فَكَانَتْ فَسْخًا وَلَمْ تَكُنْ طَلَاقًا، فَلَمْ يَكُنْ فِي هَذَا الْقَوْلِ تَنَاقُضٌ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِمَا يَخْتَصُّ مِنْ أَلْفَاظِهِ مِنْ صَرِيحٍ وَكِنَايَةٍ، وَهَذِهِ الْفُرْقَةُ لَا تَقَعُ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ وَلَا كِنَايَتِهِ، وَلَا يَكُونُ اللِّعَانُ مِنْ غَيْرِ الْمُلْتَعِنِ صَرِيحًا فِي الطَّلَاقِ وَلَا كِنَايَةً، وَلِأَنَّ لِفُرَقَةِ الطَّلَاقَ عَدَدًا لَيْسَ فِي فُرْقَةِ اللِّعَانِ وَحُكْمًا يُخَالِفُ حُكْمَ اللِّعَانِ، لِأَنَّهَا لَا تَحِلُّ فِي الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ آخَرَ وَتَحِلُّ فِيمَا دون مِنْ غَيْرِ زَوْجٍ، وَهُوَ يَقُولُ فِي فُرْقَةِ اللِّعَانِ: إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لَهُ إِلَّا أَنْ يُكَذِّبَ نَفْسَهُ، فَسَلَبَهُ حُكْمَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الطَّلَاقَيْنِ وَاعْتَبَرَ فِيهِ مِنَ التَّكْذِيبِ مَا لَا يَعْتَبِرُ فِي وَاحِدٍ مِنَ الطَّلَاقَيْنِ فَامْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ اللِّعَانُ طَلَاقًا كَمَا امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ الطلاق لعاناً.

Jika dikatakan: “Kalian pun telah melakukan kontradiksi serupa, karena kalian menjadikan perpisahan (antara suami-istri) terjadi oleh suami, bukan oleh hakim, padahal suami tidak dapat menjatuhkan kecuali talak.” Maka dijawab: “Talak dari suami dapat sah meskipun tanpa sebab, sedangkan fasakh (pembatalan nikah) terjadi jika ada sebab, seperti fasakh karena cacat. Perpisahan ini terjadi karena sebab, maka ia adalah fasakh dan bukan talak. Dengan demikian, dalam pendapat ini tidak ada kontradiksi, karena talak terjadi dengan lafaz khusus, baik secara eksplisit maupun sindiran, sedangkan perpisahan ini tidak terjadi dengan lafaz talak secara eksplisit maupun sindiran. Li‘ān (saling melaknat) pun tidak terjadi dari selain orang yang melaknat (suami) secara eksplisit maupun sindiran dalam talak. Selain itu, perpisahan karena talak memiliki jumlah tertentu yang tidak ada pada perpisahan karena li‘ān, dan memiliki hukum yang berbeda dengan hukum li‘ān. Sebab, dalam talak tiga, istri tidak halal bagi suami kecuali setelah menikah dengan suami lain, sedangkan dalam talak kurang dari tiga, istri halal kembali tanpa harus menikah dengan suami lain. Adapun dalam perpisahan karena li‘ān, menurutnya, istri tidak halal bagi suami kecuali jika ia (suami) mendustakan dirinya sendiri. Maka, ia telah menafikan hukum masing-masing dari dua jenis talak tersebut, dan mensyaratkan adanya pendustaan diri yang tidak disyaratkan dalam salah satu dari dua talak itu. Maka, tidak mungkin li‘ān dianggap sebagai talak, sebagaimana tidak mungkin talak dianggap sebagai li‘ān.”

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” (قَالَ) وَإِذَا قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” اللَّهُ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ؟ ” فَحَكَمَ عَلَى الصَّادِقِ وَالْكَاذِبِ حُكْمًا وَاحِدًا وَأَخْرَجَهُمَا مِنَ الْحَدِّ “.

Imam Syafi‘i berkata: “(Beliau berkata) Dan ketika Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Allah mengetahui bahwa salah satu dari kalian berdua berdusta, maka adakah di antara kalian yang mau bertobat?’ Maka beliau menetapkan hukum yang sama atas yang jujur dan yang dusta, dan mengeluarkan keduanya dari had (hukuman).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْحَدِيثُ رَوَاهُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا فَرَّقَ بَيْنَ الْعَجْلَانِيِّ وَامْرَأَتِهِ قَالَ: ” اللَّهُ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ ” قَالَهَا ثَلَاثًا. وَمُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِذِكْرِهِ بَيَانُ مَا دل عليه من ثلاثة أحكام:

Al-Mawardi berkata: Hadis ini diriwayatkan oleh Sa‘id bin Jubair dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi ﷺ ketika memisahkan antara al-‘Ajlānī dan istrinya, beliau bersabda: “Allah mengetahui bahwa salah satu dari kalian berdua berdusta, maka adakah di antara kalian yang mau bertobat?” Beliau mengucapkannya tiga kali. Maksud Imam Syafi‘i menyebutkan hadis ini adalah untuk menjelaskan tiga hukum yang terkandung di dalamnya:

أحدهما: أَنَّ الْحُكْمَ يَكُونُ بِالظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ وَإِنْ عَلِمَ أَنَّ الْبَاطِنَ مُخَالِفٌ لِلظَّاهِرِ، لِأَنَّهُ قَدْ عَلِمَ قَطْعًا أَنَّ أَحَدَهُمَا كَاذِبٌ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ بِعَيْنِهِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ حَالُ عِلْمِهِ وَحَكَمَ بِالظَّاهِرِ مِنْ أَحْوَالِهِمَا.

Pertama: Hukum ditetapkan berdasarkan yang tampak (zhahir), bukan yang tersembunyi (batin), meskipun diketahui bahwa batin bertentangan dengan zhahir. Karena telah diketahui secara pasti bahwa salah satu dari keduanya berdusta, meskipun tidak diketahui siapa di antara mereka, maka keadaan pengetahuan itu tidak dipertimbangkan dan hukum tetap ditetapkan berdasarkan yang tampak dari keadaan mereka.

وَالْحُكْمُ الثَّانِي: أَنَّهُ سَوَّى فِي الْحُكْمِ بَيْنَهُمَا وَإِنْ عَلِمَ كَذِبَ أَحَدِهِمَا وَصِدْقَ الْآخَرِ وَلَمْ يَجْعَلْ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي ذَلِكَ تَأْثِيرًا فِي اخْتِلَافِ الْحُكْمِ عَلَيْهِمَا لِأَنَّ اشْتِبَاهَ أَحْوَالِهِمَا مَنَعَ مِنْ تَمْيِيزِهِمَا فِيهِ، وَصَارَ حُكْمُ الصَّادِقِ مِنْهُمَا وَالْكَاذِبِ سَوَاءً فِي الظَّاهِرِ وَإِنْ كَانَ مُخْتَلِفًا عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْبَاطِنِ.

Hukum kedua: Beliau menyamakan hukum antara keduanya, meskipun diketahui salah satunya berdusta dan yang lain jujur, dan tidak menjadikan perbedaan di antara mereka dalam hal itu sebagai pengaruh dalam perbedaan hukum atas mereka. Karena kesamaran keadaan mereka menghalangi pembedaan di antara mereka dalam hal ini, sehingga hukum bagi yang jujur dan yang dusta di antara mereka sama dalam zhahir, meskipun berbeda di sisi Allah Ta‘ala dalam batin.

وَالْحُكْمُ الثَّالِثُ: مَا أَمَرَهُمَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ التَّوْبَةِ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَمْرَيْنِ:

Hukum ketiga: Apa yang diperintahkan Rasulullah ﷺ kepada keduanya berupa tobat, maka hal itu menunjukkan dua perkara:

أَحَدُهُمَا: تَمْحِيصُ الْمَآثِمِ يَكُونُ بِالتَّوْبَةِ لَا بِالْحُكْمِ.

Pertama: Penghapusan dosa dilakukan dengan tobat, bukan dengan hukum.

وَالثَّانِي: قَبُولُ التَّوْبَةِ مِمَّنْ عُلِمَ أَنَّ بَاطِنَهُ مُخَالِفٌ لِظَاهِرِهِ فَكَانَ فِيهِ حُجَّةٌ عَلَى مَالِكٍ فِي قَبُولِ تَوْبَةِ الزِّنْدِيقِ، وَإِنْ عُلِمَ أَنَّ بَاطِنَ معتقده مخالفه لظاهر توبته.

Kedua: Diterimanya tobat dari orang yang diketahui bahwa batinnya bertentangan dengan zhahirnya. Maka, di dalamnya terdapat hujjah atas Malik dalam hal diterimanya tobat orang zindiq, meskipun diketahui bahwa keyakinan batinnya bertentangan dengan tobat zhahirnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أُدَيْعَجَ فَلَا أَرَاهُ إِلَّا قد صدق عَلَيْهَا ” فَجَاءَتْ بِهِ عَلَى النَّعْتِ الْمَكْرُوهِ فَقَالَ عليه السلام ” إِنَّ أَمْرَهُ لَبَيِّنٌ لَوْلَا مَا حَكَمَ اللَّهُ ” فأخبر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه لم يستعمل دلالة صدقه عليها وحكم بالظاهر بينه وبينها فمن بعده من الولاة ذكره أنه لما نزلت آية المتلاعنين قال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ وَلَنْ يدخلها الله جنته وأيما رجل جحد ولده وهو ينظر إليه احتجب الله منه وفضحه على رؤوس الأولين والآخرين “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia melahirkan anak yang berkulit hitam pekat, maka aku tidak melihat kecuali ia telah jujur terhadap istrinya.” Lalu istrinya benar-benar melahirkan anak dengan sifat yang tidak diinginkan itu, maka Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya perkara anak itu sudah jelas, kalau saja bukan karena hukum Allah.” Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– memberitahukan bahwa beliau tidak menggunakan indikasi kebenaran suami terhadap istrinya dan memutuskan perkara berdasarkan apa yang tampak antara keduanya. Setelah itu, para penguasa setelah beliau menyebutkan bahwa ketika turun ayat tentang li‘ān (saling melaknat), Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Siapa saja perempuan yang memasukkan anak yang bukan dari kaum itu kepada suatu kaum, maka ia tidak ada hubungannya dengan Allah sedikit pun dan Allah tidak akan memasukkannya ke dalam surga-Nya. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya padahal ia melihatnya, maka Allah akan menutup diri darinya dan mempermalukannya di hadapan seluruh manusia terdahulu dan yang kemudian.”

قال الماوردي: قَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حديثين:

Al-Mawardi berkata: Telah diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dua hadis:

أَحَدُهُمَا: فِي لِعَانِ الْعَجْلَانِيِّ.

Pertama: tentang li‘ān al-‘Ajlānī.

وَالثَّانِي: فِي لِعَانِ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ نَحْنُ نَذْكُرُهُمَا وَتَفْسِيرَهُمَا وَمُرَادَ الشَّافِعِيِّ بِالِاسْتِدْلَالِ بِهِمَا، وَأَمَّا الْمَرْوِيُّ فِي لِعَانِ الْعَجْلَانِيِّ، فَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَ الْتِعَانِهِمَا: ” أَبْصِرُوهَا، فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَسْحَمَ، أَدْعَجَ، عَظِيمَ الْإِلْيَتَيْنِ فَلَا أَرَاهُ إِلَّا قَدْ صَدَقَ، وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أُحَيْمِرَ كَأَنَّهُ وَحَرَةٌ فَلَا أَرَاهُ إِلَّا كَاذِبًا ” قَالَ: فَجَاءَتْ بِهِ عَلَى النَّعْتِ الْمَكْرُوهِ.

Kedua: tentang li‘ān Hilāl bin Umayyah. Kami akan menyebutkan keduanya, penjelasannya, dan maksud Imam Syafi‘i dalam berdalil dengan keduanya. Adapun riwayat tentang li‘ān al-‘Ajlānī, maka sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– setelah keduanya saling melaknat: “Perhatikanlah istrinya, jika ia melahirkan anak yang berkulit hitam pekat, bermata sangat hitam, dan besar pantatnya, maka aku tidak melihat kecuali ia telah jujur. Namun jika ia melahirkan anak yang kemerah-merahan seperti burung wahrah, maka aku tidak melihat kecuali ia berdusta.” Dikatakan: Lalu istrinya benar-benar melahirkan anak dengan sifat yang tidak diinginkan itu.

الْأَسْحَمُ: الْأَسْوَدُ، وَالْأَدْعَجُ: شَدِيدُ سَوَادٍ الْحَدَقَةِ، وَالْأُحَيْمِرُ: تَصْغِيرُ أَحْمَرَ، وَالْوَحَرَةُ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: دُوَيْبَّةٌ كَالْوَزَعَةِ، وَقَالَ غَيْرُهُ: هِيَ الْقَطَاةُ، أما المروي في لعان هلال ابن أمية، فقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَ الْتِعَانِهِمَا إِنْ أَتَتْ بِهِ أُصَيْهَبَ، أُثَيْبَجَ أحمش الساقين فهو لهلال ابن أُمَيَّةَ. . وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَوْرَقَ جَعْدًا جَمَالِيًّا خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ سَابِعَ الْإِلْيَتَيْنِ فَهُوَ لِشَرِيكِ بْنِ سحماء فجاءت به أورق جعداً جمالياً خلدج السَّاقَيْنِ سَابِعَ الْإِلْيَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَوْلَا الْأَيْمَانُ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ ” قَالَ عِكْرِمَةُ: فَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَ وَمَا يُدْعَى لِأَبٍ.

As-ham artinya hitam, ad‘aj artinya sangat hitam bagian matanya, uhaymir adalah bentuk kecil dari ahmar (merah), dan wahrah, menurut Imam Syafi‘i, adalah binatang kecil seperti waza‘ah, sedangkan menurut selain beliau adalah burung qathā’. Adapun riwayat tentang li‘ān Hilāl bin Umayyah, maka sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– setelah keduanya saling melaknat: “Jika ia melahirkan anak yang berambut kemerahan, memiliki benjolan daging di antara kedua pundaknya, dan betisnya kecil, maka itu adalah anak Hilāl bin Umayyah. Namun jika ia melahirkan anak yang berkulit coklat, berambut keriting, bertubuh besar, betisnya besar, dan pantatnya penuh, maka itu adalah anak Syarīk bin Sahmā’. Ternyata istrinya benar-benar melahirkan anak yang berkulit coklat, berambut keriting, bertubuh besar, betisnya besar, dan pantatnya penuh. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Kalau bukan karena sumpah, tentu aku dan dia akan punya urusan.” ‘Ikrimah berkata: Setelah itu, anak tersebut menjadi gubernur di Mesir dan tidak pernah dinasabkan kepada seorang ayah pun.

قَوْلُهُ: أُصَيْهِبُ تَصْغِيرُ أَصْهَبَ وَهُوَ الْأَشْقَرُ.

Kata “ushayhib” adalah bentuk kecil dari “ashhab” yang berarti berambut kemerahan.

وَأُثَيْبَجُ: هُوَ الَّذِي لَهُ ثَبْجَةٌ، وَهِيَ لَحْمَةٌ نَاتِئَةٌ بَيْنَ الْكَتِفَيْنِ، وَالْكَاهِلِ وَفَوْقَ الظَّهْرِ.

Dan “uthaybij” adalah yang memiliki benjolan daging, yaitu daging yang menonjol di antara kedua pundak, di bagian atas punggung.

وَأَحْمَشُ السَّاقَيْنِ دَقِيقُهُمَا.

Dan “ahmash as-sāqayn” berarti betisnya kecil.

وَالْأَوْرَقُ: الْأَسْمَرُ يُقَالُ فِي الْبَهَائِمِ أَوْرَقُ، وَفِي الْآدَمِيِّينَ أَسْمَرُ.

Sedangkan “awraq” berarti berkulit coklat; istilah ini digunakan untuk hewan, sedangkan untuk manusia disebut “asmar”.

وَالْجَعْدُ يَعْنِي جَعْدَ شَعْرِ الرَّأْسِ، وَالْجَمَالِيُّ مِنَ النَّاسِ مَنْ رَوَاهُ بِفَتْحِ الْجِيمِ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ مِنَ الْجَمَالِ، وَرَوَاهُ أَبُو عُبَيْدَةَ بِضَمِّ الْجِيمِ وَهُوَ الْعَظِيمُ الْخَلْقِ مُشْتَقًّا مِنَ الْجَمَلِ.

“Al-ja‘d” maksudnya adalah rambut kepala yang keriting, dan “al-jamālī” dari manusia, ada yang meriwayatkan dengan membaca fathah pada huruf jim, bermakna dari kata “jamāl” (keindahan), dan Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dengan dhammah pada huruf jim, yang berarti bertubuh besar, diambil dari kata “jamal” (unta).

وَسَابِعُ الْإِلْيَتَيْنِ: تَامُّهُمَا.

“Sabī‘ al-ilyatayn” artinya kedua pantatnya penuh.

وَخَدَلَّجُ السَّاقَيْنِ: عَظِيمُهُمَا فَهَذَا تَفْسِيرُ الْحَدِيثَيْنِ، وَالْمَقْصُودُ فِي الْمُسْتَفَادِ مِنْهُمَا ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:

“Khadal-laj as-sāqayn” artinya kedua betisnya besar. Inilah penjelasan kedua hadis tersebut, dan maksud yang diambil darinya adalah tiga hukum:

أحدهما: حُكْمُ الْحَاكِمِ فِي الظَّاهِرِ لَا يُغَيِّرُ الْأَمْرَ عَمَّا هُوَ عَلَيْهِ فِي الْبَاطِنِ بِخِلَافِ مَا قَالَهُ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنَّ الْحُكْمَ بِالظَّاهِرِ يُحِيلُ الْأَمْرَ عَمَّا هُوَ عَلَيْهِ فِي الْبَاطِنِ، وَدَلِيلُ الْخَبَرِ يَدْفَعُ قَوْلَهُ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ حُكْمَ الشَّبَهِ يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِأَشْبَهِهِمَا بِهِ ثُمَّ لَمْ يُلْحِقْهُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا مَعَ وُجُودِ الشَّبَهِ، لِأَنَّ الْحُكْمَ فِي الظَّاهِرِ مَانِعٌ مِنْ لُحُوقِهِ.

Pertama: Putusan hakim berdasarkan apa yang tampak (zhahir) tidak mengubah keadaan yang sebenarnya (batin), berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa putusan berdasarkan zhahir dapat mengubah keadaan batin. Dalil hadis ini membantah pendapatnya, karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menjadikan hukum kemiripan (syabah) sebagai dasar penetapan nasab kepada yang paling mirip, namun beliau tidak menetapkan nasab kepada salah satu dari keduanya meskipun ada kemiripan, karena putusan zhahir menjadi penghalang penetapan nasab.

وَالْحُكْمُ الثَّانِي الْمُسْتَفَادُ مِنَ الْحَدِيثَيْنِ: أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ لِلشَّبَهِ تَأْثِيرًا فِي لُحُوقِ الْأَنْسَابِ يُوجِبُ الْحُكْمَ بِالْقِيَافَةِ عِنْدَ إِشْكَالِهَا، لِأَنَّهُ جَعَلَهُ مِنْ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ إِنْ كَانَ عَلَى شَبَهِهِ، وَمِنْ شَرِيكِ بْنِ السَّحْمَاءِ إِنْ كَانَ عَلَى شَبَهِهِ.

Hukum kedua yang dapat diambil dari kedua hadis tersebut adalah bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadikan kemiripan (syubhat) berpengaruh dalam penetapan nasab, sehingga mewajibkan penetapan hukum dengan qiyāfah (ilmu mengenali nasab melalui kemiripan fisik) ketika terjadi kesamaran, karena beliau menetapkannya dari Hilal bin Umayyah jika anak itu memiliki kemiripan dengannya, dan dari Syarik bin Sahma’ jika anak itu memiliki kemiripan dengannya.

فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يَكُونُ دَلِيلًا وَمَا أَلْحَقَهُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا مَعَ وُجُودِ الشَّبَهِ؟ .

Jika ada yang bertanya: Bagaimana hal itu bisa menjadi dalil, padahal beliau tidak menetapkan anak itu kepada salah satu dari keduanya meskipun terdapat kemiripan?

قِيلَ: لِأَنَّ نَفْيَهُ بِاللِّعَانِ نَص، وَإِلْحَاقَهُ بِالشُّبْهَةِ اسْتِدْلَالٌ، وَالِاسْتِدْلَالُ لَا يُسْتَعْمَلُ مَعَ وُجُودِ النَّصِّ، وَيُسْتَعْمَلُ إِذَا انْفَرَدَ.

Dijawab: Karena penafian dengan li‘ān adalah nash (teks yang tegas), sedangkan penetapan dengan syubhat (kemiripan) adalah istidlāl (pendalilan), dan istidlāl tidak digunakan jika ada nash, tetapi digunakan jika berdiri sendiri.

وَالْحُكْمُ الثَّالِثُ الْمُسْتَفَادُ مِنْهَا: أَنَّ وَلَدَ الزِّنَا لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي مع وجود الشبه، لأنه قد أشبه الولد شريكاً، وأخبر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه منه بالشبه وَلَمْ يُلْحِقْهُ بِهِ فِي الْحُكْمِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب -.

Hukum ketiga yang dapat diambil darinya adalah bahwa anak hasil zina tidak dinisbatkan kepada pezina meskipun terdapat kemiripan, karena anak itu telah mirip dengan Syarik, dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberitakan bahwa anak itu darinya karena kemiripan, namun tidak menetapkan nasabnya secara hukum kepadanya – dan Allah lebih mengetahui kebenaran yang tepat –.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَاللِّعَانُ أَنْ يَقُولَ الْإِمَامُ لِلزَّوْجِ قُلْ أَشْهَدُ بالله إني لمن الصادقين فيما رميت به زَوْجَتِي فُلَانَةَ بِنْتَ فُلَانٍ مِنَ الزِّنَا وَيُشِيرُ إِلَيْهَا إِنْ كَانَتْ حَاضِرَةً ثُمَّ يَعُودُ فَيَقُولُهَا حَتَّى يُكْمِلَ ذَلِكَ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ ثُمَّ يَقِفُهُ الإمام ويذكره الله تعالى ويقول إني أخف إِنْ لَمْ تَكُنْ صَدَقْتَ أَنْ تَبُوءَ بِلَعْنَةِ اللِّهِ فَإِنْ رَآهُ يُرِيدُ أَنْ يُمْضِيَ أَمْرَ مَنْ يَضَعُ يَدَهُ عَلَى فِيهِ وَيَقُولُ إِن قَوْلَكَ وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللَّهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الْكَاذِبِينَ مُوجِبَةٌ فَإِنْ أَبِي تَرَكَهُ وَقَالَ قُلْ وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللَّهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الْكَاذِبِينَ فِيمَا رَمَيْتُ بِهِ فُلَانَةَ مِنَ الزَّنَا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Li‘ān adalah ketika imam berkata kepada suami: Katakanlah, ‘Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar-benar termasuk orang-orang yang jujur atas tuduhan yang aku lontarkan kepada istriku, fulanah binti fulan, atas perbuatan zina,’ dan ia menunjuk kepadanya jika istrinya hadir, kemudian ia mengulanginya hingga genap empat kali. Lalu imam menghentikannya, mengingatkannya kepada Allah Ta‘ala, dan berkata, ‘Aku khawatir jika engkau tidak jujur, engkau akan terkena laknat Allah.’ Jika imam melihat suami ingin melanjutkan, imam meletakkan tangannya di mulut suami dan berkata, ‘Ucapanmu, “dan atas diriku laknat Allah jika aku termasuk orang-orang yang berdusta,” adalah sesuatu yang besar.’ Jika suami enggan, imam membiarkannya dan berkata, ‘Katakanlah, “dan atas diriku laknat Allah jika aku termasuk orang-orang yang berdusta atas tuduhan zina yang aku lontarkan kepada fulanah.”’”

قَالَ الماوردي: وهذه صِفَةُ اللِّعَانِ، وَهُوَ أَنْ يَبْدَأَ بِلِعَانِ الزَّوْجِ قَبْلَ لِعَانِ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّ كِتَابَ اللَّهِ تَعَالَى، وَسُنَّةَ رَسُولِهِ وَرَدَا بِهِ، فَإِنْ قَدَّمَ لِعَانَ الزَّوْجَةِ لَمْ يُعْتَدَّ بِهِ وَاعْتَدَّ بِهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ لِعَانَ الزَّوْجِ إِثْبَاتٌ لِقَذْفِهِ، وَلِعَانَ الزَّوْجَةِ نَفْيٌ لِمَا أَثْبَتَهُ الزَّوْجُ فَلَمْ يَجُزْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ إِثْبَاتِهِ، فيبدأ الإمام بالزوج، أو من يستنيبه الْإِمَامُ مِنَ الْحُكَّامِ فَيَقُولُ لَهُ: قُلْ أَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنَّنِي لِمِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتَيْ فُلَانَةَ بِنْتَ فُلَانٍ مِنَ الزِّنَا فَإِنْ كَانَتْ غَائِبَةً عَنْ مَقَامِهِ، إِمَّا بِمَوْتٍ، أَوْ بِحَيْضٍ أَوْ كُفْرٍ، وَقَفَتْ لِأَجْلِهِمَا عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ سَقَطَ حُكْمُ الْإِشَارَةِ إِلَيْهَا لِلْغَيْبَةِ، وَرَفَعَ فِي نَسَبِهَا بَعْدَ ذِكْرِ الزَّوْجِيَّةِ لِمَا تَتَمَيَّزُ بِهِ عَنْ غَيْرِهَا وَلَا يُشَارِكُهَا فِيهِ أَحَدٌ سِوَاهَا لِيَنْتَفِيَ الِاحْتِمَالُ فِي تَوْجِيهِ اللِّعَانِ إِلَيْهَا.

Al-Mawardi berkata: Inilah tata cara li‘ān, yaitu dimulai dengan li‘ān suami sebelum li‘ān istri, karena Kitab Allah Ta‘ala dan Sunnah Rasul-Nya telah menetapkan demikian. Jika li‘ān istri didahulukan, maka tidak dianggap, namun Abu Hanifah menganggapnya sah, dan ini adalah kekeliruan, karena li‘ān suami adalah penetapan atas tuduhan qazaf (menuduh zina), sedangkan li‘ān istri adalah penafian atas apa yang ditetapkan suami, sehingga tidak boleh kecuali setelah penetapan suami. Maka imam memulai dengan suami, atau hakim yang ditunjuk oleh imam, lalu berkata kepadanya: Katakanlah, ‘Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar-benar termasuk orang-orang yang jujur atas tuduhan yang aku lontarkan kepada istriku, fulanah binti fulan, atas perbuatan zina.’ Jika istri tidak hadir di majelis, baik karena wafat, haid, atau kafir, maka ia berdiri di depan pintu masjid untuk keduanya, maka gugurlah hukum menunjuk kepadanya karena ketidakhadiran, dan disebutkan nasabnya setelah penyebutan status istri agar dapat dibedakan dari selainnya dan tidak ada yang menyamainya, sehingga hilang kemungkinan salah dalam mengarahkan li‘ān kepadanya.

باب كيف اللعان من كتاب اللعان والطلاق وأحكام القرآن

(Bab: Tata Cara Li‘ān) dari Kitab Li‘ān dan Talak serta Ahkam al-Qur’an

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَمَّا حَكَى سَهْل شهود المتلاعنين مع حداثته وحكاه ابن عمر رضي الله عنهما اسْتَدْلَلْنَا عَلَى أَنَّ اللِّعَانَ لَا يَكُونُ إِلَّا بمحضر من طائفة من المؤمنين لأنه لا يحضر أمراً يريد النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ستره ولا يحضره إلا وغيره حاضر له وكذلك جميع حدود الزنا يشهدها طائفة من المؤمنين أقلهم أربعة لأنه لا يجوز في شهادة الزنا أقل منهم وهذا يشبه قول الله تعالى في الزانيين {وليشهد عذابهما طائفة من المؤمنين} وفي حكاية من حكى اللعان عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جملة بلا تفسير دليل على أن الله تعالى لما نصب اللعان حكاية في كتابه فإنما لاعن – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بين المتلاعنين بما حكى الله تعالى في القرآن “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ketika Sahl meriwayatkan tentang kehadiran para saksi dalam li‘ān meski ia masih muda, dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga meriwayatkannya, maka kami mengambil dalil bahwa li‘ān tidak dilakukan kecuali di hadapan sekelompok orang mukmin, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menghadiri perkara yang ingin beliau tutupi, dan tidak menghadirinya kecuali ada orang lain yang juga hadir. Demikian pula semua hukuman zina disaksikan oleh sekelompok orang mukmin, minimal empat orang, karena tidak sah persaksian zina kurang dari itu. Hal ini serupa dengan firman Allah Ta‘ala tentang pezina: {Dan hendaklah azab keduanya disaksikan oleh sekelompok orang mukmin}. Dan dalam riwayat orang yang meriwayatkan li‘ān dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- secara umum tanpa penjelasan, terdapat dalil bahwa ketika Allah Ta‘ala menetapkan kisah li‘ān dalam Kitab-Nya, maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan li‘ān antara dua orang yang saling melaknat sebagaimana yang Allah Ta‘ala kisahkan dalam al-Qur’an.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي تَغْلِيظِ اللِّعَانِ بِحُضُورِ الَّذِينَ أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ بِمَا قَدَّمْنَاهُ فِي الدَّلِيلِ. وَكَذَلِكَ سَائِرُ الْحُدُودِ الَّتِي يَخْفَى أَثَرُهَا بَعْدَ الِاسْتِيفَاءِ كَحَدِّ الزِّنَا، وَالْقَذْفِ فَلَمَّا لَمْ يَثْبُتْ إِلَّا بِأَرْبَعَةٍ كَالزِّنَا، كَانَ أَقَلَّ مَنْ شَهِدَ حَدَّهُ أَرْبَعَةٌ، وَمَا يَثْبُتُ بِشَاهِدَيْنِ كَالْقَذْفِ، فَالشَّاهِدَانِ أَقَلُّ مَنْ يَحْضُرُ اسْتِيفَاؤهُ، فَأَمَّا مَا يَظْهَرُ أَثَرُهُ بَعْدَ الِاسْتِيفَاءِ كَالْقَطْعِ فِي السرقة، فليس يؤمر في استيفاؤه بحضور الشهود، لأن شواهد استيفاؤه تُغْنِي عَنِ الشَّهَادَةِ. وَإِنْ كَانَتْ حَاضِرَةً أَشَارَ إِلَيْهَا، وَهَلْ يَحْتَاجُ مَعَ الْإِشَارَةِ إِلَى ذِكْرِ الِاسْمِ وَالنَّسَبِ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang penegasan li‘ān dengan kehadiran para saksi yang jumlah minimalnya adalah empat orang, sebagaimana telah kami paparkan dalam dalil. Demikian pula seluruh hudūd (hukuman pidana) yang bekasnya tersembunyi setelah pelaksanaan, seperti hudūd zina dan qazaf (tuduhan zina), maka karena tidak dapat dibuktikan kecuali dengan empat saksi seperti zina, maka minimal saksi yang menyaksikan pelaksanaannya adalah empat orang. Adapun yang dapat dibuktikan dengan dua saksi seperti qazaf, maka dua saksi adalah minimal yang hadir saat pelaksanaannya. Adapun hudūd yang bekasnya tampak setelah pelaksanaan seperti pemotongan tangan dalam kasus pencurian, maka tidak disyaratkan kehadiran saksi dalam pelaksanaannya, karena bukti pelaksanaannya sudah cukup tanpa perlu kesaksian. Jika saksi hadir, maka cukup dengan menunjuk kepada mereka. Apakah selain menunjuk juga perlu menyebutkan nama dan nasab atau tidak? Ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى الْإِشَارَةِ مَعَ ذِكْرِ الزَّوْجِيَّةِ، وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى ذِكْرِ الِاسْمِ وَالنَّسَبِ كَالشَّهَادَةِ، فَيَقُولُ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنِّي لِمِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِي هَذِهِ مِنَ الزِّنَا، فَيَكُونُ مُقْتَصِرًا عَلَى شَرْطَيْنِ الزَّوْجِيَّةِ وَالْإِشَارَةِ.

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj: Boleh cukup dengan menunjuk disertai penyebutan status sebagai istri, dan tidak perlu menyebutkan nama dan nasab sebagaimana dalam kesaksian. Maka ia berkata: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan zina yang aku tuduhkan kepada istriku ini,” sehingga cukup dengan dua syarat: status sebagai istri dan penunjukan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَحْتَاجُ مَعَ ذِكْرِ الزَّوْجِيَّةِ وَالْإِشَارَةِ إِلَى شَرْطٍ ثَالِثٍ هُوَ الِاسْمُ دُونَ النَّسَبِ فَيَقُولُ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنِّي لِمِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتَيْ فُلَانَةً هَذِهِ مِنَ الزِّنَا لِيَتَوَجَّهَ اللِّعَانُ إِلَى حَاضِرٍ مُسَمًّى، لِأَنَّهُ لا يحضر معها من يجوز أن تنصرف الإشارة إليه.

Pendapat kedua: Disyaratkan selain penyebutan status sebagai istri dan penunjukan, juga syarat ketiga yaitu nama tanpa nasab. Maka ia berkata: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan zina yang aku tuduhkan kepada istriku Fulanah ini,” agar li‘ān diarahkan kepada orang yang hadir dan disebutkan namanya, karena tidak ada orang lain yang mungkin menjadi sasaran penunjukan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ، وَحَكَاهُ فِي جَامِعِهِ الَّذِي نَقَلَ فِيهِ مَنْصُوصَاتِ الشَّافِعِيِّ إنَّهُ يَحْتَاجُ مَعَ ذِكْرِ الزَّوْجِيَّةِ وَالِاسْمِ وَالْإِشَارَةِ إِلَى شَرْطٍ رَابِعٍ وَهُوَ النَّسَبُ فَيَقُولُ: زَوْجَتَيْ فُلَانَةُ بِنْتُ فُلَانٍ هَذِهِ لِأَنَّ اللِّعَانَ مَوْضُوعٌ عَلَى التَّأْكِيدِ وَنَفْيِ الِاحْتِمَالِ فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا يَذْكُرُهُ الزَّوْجُ فِي الشَّهَادَةِ الْأُولَى مِنْ لِعَانِهِ، أَمَرَهُ الْحَاكِمُ أَنْ يُكَرِّرَ ذَلِكَ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ مُتَوَالِيَاتٍ يُعِيدُ فِي كُلِّ مَرَّةٍ مِنْهَا مِثْلَ مَا قَالَهُ فِي الْأُولَى، فَإِذَا أَكْمَلَ أربعاً يقيت الْخَامِسَةُ وَهِيَ اللَّعْنَةُ، فَوَقَفَهُ قَبْلَهَا وَوَعَظَهُ، وَذَكَّرَهُ اللَّهَ تَعَالَى، وَخَوَّفَهُ مِنْ عِقَابِهِ، وَأَعْلَمَهُ أَنَّ الْخَامِسَةَ هِيَ اللَّعْنَةُ الْمُوجِبَةُ، وَإِنِّي أَخَافُ إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا أَنْ تَبُوءَ بِلَعْنَةِ اللَّهِ وَأَلِيمِ عِقَابِهِ، وَأَمَرَ رَجُلًا أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فِيهِ حَتَّى لَا يُسْرِعَ إِلَيْهَا، فَإِنْ رَآهُ يُرِيدُ أَنْ يَمْضِيَ فِي لِعَانِهِ لَا يَرْجِعُ عَنْهُ، قَالَ لَهُ: قُلْ وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللَّهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الْكَاذِبِينَ فِيمَا رَمَيْتُهَا بِهِ مِنَ الزِّنَا، فَإِذَا قَالَهَا فَقَدْ أَكْمَلَ بِهَا جَمِيعَ لِعَانِهِ مَا لَمْ يَكُنْ نَسَبًا يُرِيدُ نَفْيَهُ.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu Hamid al-Marwazi, dan dinukil dalam kitabnya yang memuat nash-nash Imam al-Syafi‘i, bahwa disyaratkan selain penyebutan status sebagai istri, nama, dan penunjukan, juga syarat keempat yaitu nasab. Maka ia berkata: “Istriku Fulanah binti Fulan ini,” karena li‘ān bertujuan untuk penegasan dan meniadakan kemungkinan keraguan. Setelah jelas apa yang disebutkan suami dalam kesaksian pertama dari li‘ān-nya, hakim memerintahkannya untuk mengulanginya sebanyak empat kali berturut-turut, pada setiap kali mengucapkan seperti yang diucapkan pada yang pertama. Jika telah sempurna empat kali, maka tinggal yang kelima yaitu laknat. Hakim menahannya sebelum yang kelima, menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah Ta‘ala, menakut-nakutinya dengan siksa-Nya, dan memberitahunya bahwa yang kelima adalah laknat yang menentukan, dan aku khawatir jika engkau berdusta, engkau akan terkena laknat Allah dan siksa-Nya yang pedih. Hakim memerintahkan seseorang untuk meletakkan tangan di mulutnya agar tidak tergesa-gesa mengucapkannya. Jika dilihatnya ia tetap ingin melanjutkan li‘ān dan tidak menarik ucapannya, hakim berkata: “Ucapkanlah: ‘Dan atas diriku laknat Allah jika aku termasuk orang-orang yang berdusta dalam tuduhan zina yang aku tuduhkan kepadanya.’” Jika ia telah mengucapkannya, maka sempurnalah seluruh li‘ān-nya, kecuali jika yang dimaksud adalah penafian nasab.

فَإِنْ كَانَ نَسَبًا يُرِيدُ نَفْيَهُ قَالَ: فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الشَّهَادَاتِ الْأَرْبَعِ وَاللَّعْنَةِ الْخَامِسَةِ: وَأَنَّ هَذَا الْوَلَدَ وَأَشَارَ إِلَيْهِ إِنْ كَانَ حَاضِرًا مِنْ زِنًا وَمَا هُوَ مِنِّي.

Jika yang dimaksud adalah penafian nasab, maka pada setiap dari empat kesaksian dan laknat kelima ia berkata: “Dan bahwa anak ini—seraya menunjuk kepadanya jika hadir—adalah hasil zina dan bukan anakku.”

وَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ حَمْلٍ قَالَ: وَأَنَّ حَمْلَهَا لَحَمْلٌ مِنْ زِنًا مَا هُوَ مِنِّي فَتَضَمَّنَ نَفْيُ النَّسَبِ فِي لِعَانِهِ شَرْطَيْنِ:

Jika istrinya sedang hamil, ia berkata: “Dan bahwa kandungannya adalah hasil zina dan bukan dariku.” Maka penafian nasab dalam li‘ān mengandung dua syarat:

أَحَدُهُمَا: إِضَافَتُهُ إِلَى الزِّنَا.

Pertama: Menisbatkannya kepada zina.

وَالثَّانِي: نَفْيُهُ عَنْهُ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُضِيفَهُ إِلَى الزَّانِي إِنْ كَانَ قَدْ سَمَّاهُ فِي لِعَانِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فِيمَنْ يُسَمَّى فِي الْقَذْفِ؛ لِأَنَّ وَلَدَ الزِّنَا لَا يلحق بالزان فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُضَافَ إِلَيْهِ.

Kedua: Menafikannya dari dirinya, dan tidak boleh menisbatkannya kepada pezina jika ia telah menyebutkannya dalam li‘ān-nya, sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan orang yang disebutkan dalam qazaf; karena anak zina tidak dinisbatkan kepada pezina, maka tidak boleh dinisbatkan kepadanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا فرغ من لعان الزوج على ما وصفناه أَجْلَسَهُ وَأَقَامَ الزَّوْجَةَ فِي مَقَامِهِ وَقَالَ لَهَا: قَوْلِي أَشْهَدُ بِاللَّهِ إنَّ زَوْجِي هَذَا لَمِنَ الْكَاذِبِينَ فِيمَا رَمَانِي بِهِ مِنَ الزِّنَا، وَهَلْ يُحْتَاجُ مَعَ ذِكْرِ الزَّوْجِيَّةِ وَالْإِشَارَةِ إِلَى ذِكْرِ الِاسْمِ وَالنَّسَبِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ.

Apabila suami telah selesai melakukan li‘ān sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka ia didudukkan dan istri didirikan di tempatnya, lalu dikatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Aku bersaksi demi Allah bahwa suamiku ini benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta dalam tuduhannya kepadaku atas perbuatan zina.” Apakah perlu, selain menyebutkan status sebagai istri dan menunjuk kepadanya, juga menyebutkan nama dan nasab (garis keturunan) atau tidak? Hal ini kembali kepada tiga pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

إِلَّا أَنْ يَكُونَ غَائِبًا فَلَا بُدَّ مِنْ ذِكْرِ اسْمِهِ وَنَسَبِهِ بِمَا يَتَمَيَّزُ بِهِ عَنْ غَيْرِهِ وَلَا يُشَارِكُهُ فِيهِ أَحَدٌ، فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ نَفَى بِلِعَانِهِ نَسَبًا فَهَلْ تُؤْمَرُ بِذِكْرِهِ فِي لِعَانِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kecuali jika suaminya tidak hadir, maka wajib menyebutkan nama dan nasabnya dengan cara yang membedakannya dari orang lain dan tidak ada yang menyamainya. Jika suami dalam li‘ān-nya menafikan nasab, apakah istri juga diperintahkan untuk menyebutkan nasab tersebut dalam li‘ān-nya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ إنَّهَا لَا تَذْكُرُهُ فِي لِعَانِهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِذِكْرِهِ فِي لِعَانِهَا حُكْمٌ.

Pertama, menurut pendapat ulama Baghdad, istri tidak perlu menyebutkan nasab tersebut dalam li‘ān-nya; karena tidak ada hukum yang terkait dengan penyebutan nasab itu dalam li‘ān-nya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ تَذْكُرُهُ فِي لِعَانِهَا لِتُقَابِلَ الزَّوْجَ عَلَى مَثَلِ لِعَانِهِ فِي نَفْيِ مَا أَثْبَتَ مِنَ الزِّنَا وَإِثْبَاتِ مَا نَفَى مِنَ النَّسَبِ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ يَقُولُ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ أَنِّي لمن الصادقين فيما رميتها به من الزنا، وَأَنَّ هَذَا الْوَلَدَ مِنْ زِنًا مَا هُوَ مني، فأثبت الزنا ونفي النسب، وهو تَقُولُ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ أَنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ فِيمَا رَمَانِي بِهِ مِنْ هَذَا الزِّنَا، وَأَنَّ هَذَا الْوَلَدَ مِنْهُ مَا هُوَ مِنْ زِنًا، فَنَفَتِ الزنا وأثبت الْوَلَدَ، فَإِذَا قَالَتْ ذَلِكَ فِي الشَّهَادَةِ الْأُولَى، أَمَرَهَا أَنْ تُعِيدَ ذَلِكَ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ، فَإِذَا أَكْمَلَتِ الرَّابِعَةَ وَقَفَهَا، وَوَعَظَهَا بِمِثْلِ مَا وَعَظَ بِهِ الزَّوْجَ، وَأَمَرَ رَجُلًا مِنْ ذَوِي مَحَارِمِهَا أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَمِهَا فِي الْخَامِسَةِ لِتَرْجِعَ عَنْهَا وَلَا تُسْرِعَ إِلَيْهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا ذُو مَحْرَمٍ أَمَرَ امْرَأَةً بِذَلِكَ، فَإِنْ رَآهَا تُرِيدُ إِتْمَامَهُ، قَالَ لَهَا فِي الْخَامِسَةِ: قَوْلِي وَعَلَيَّ غَضَبُ اللَّهِ إِنْ كَانَ زَوْجِي هَذَا مِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَانِي بِهِ مِنَ الزِّنَا وَأَنَّ هَذَا الْوَلَدَ لَيْسَ منْ زِنًا فَإِذَا قَالَتِ الْخَامِسَةَ فَقَدْ أَكْمَلَتْ لِعَانَهَا وَأَسْقَطَتْ بِهِ مَا وَجَبَ عَلَيْهَا مِنْ حَدِّ الزِّنَا بِلِعَانِ الزَّوْجِ، وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ سِوَى سُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهَا عِنْدَنَا، وَإِنْ جَعَلَهُ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ شَرْطًا فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ عَلَى مَا قَدَّمْنَا مِنَ الْخِلَافِ مَعَهُمَا.

Pendapat kedua, menurut ulama Basrah, istri menyebutkan nasab tersebut dalam li‘ān-nya agar dapat menandingi suami dalam li‘ān-nya, baik dalam menafikan tuduhan zina maupun dalam menetapkan nasab yang telah dinafikan; sebab suami berkata: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar-benar termasuk orang-orang yang jujur dalam tuduhanku kepadanya atas perbuatan zina, dan bahwa anak ini adalah hasil zina, bukan dari aku.” Maka suami menetapkan zina dan menafikan nasab, sedangkan istri berkata: “Aku bersaksi demi Allah bahwa dia benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta dalam tuduhannya kepadaku atas zina ini, dan bahwa anak ini adalah darinya, bukan dari zina.” Maka istri menafikan zina dan menetapkan anak tersebut. Jika istri mengucapkan hal itu pada sumpah pertama, maka diperintahkan untuk mengulanginya sebanyak empat kali. Setelah menyelesaikan yang keempat, ia dihentikan dan dinasihati sebagaimana suami dinasihati, lalu diperintahkan kepada seorang laki-laki dari mahramnya untuk meletakkan tangannya di mulut istri pada sumpah kelima agar ia mengurungkan niatnya dan tidak tergesa-gesa mengucapkannya. Jika tidak ada mahram, maka diperintahkan kepada seorang perempuan untuk melakukannya. Jika tampak istri hendak menyelesaikan sumpahnya, maka pada sumpah kelima dikatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Dan atas diriku kemurkaan Allah jika suamiku ini benar-benar termasuk orang-orang yang jujur dalam tuduhannya kepadaku atas perbuatan zina dan bahwa anak ini bukan hasil zina.” Jika istri telah mengucapkan sumpah kelima, maka ia telah menyempurnakan li‘ān-nya dan gugurlah kewajiban had zina atas dirinya karena li‘ān suami, dan tidak ada konsekuensi lain selain gugurnya had atas dirinya menurut kami, meskipun Malik dan Abu Hanifah mensyaratkan hal itu sebagai syarat terjadinya perpisahan, sebagaimana telah kami sebutkan perbedaan pendapat dengan keduanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ خَالَفَ الْحَاكِمُ فِي لِعَانِهِمَا مَا وَصَفْنَا، اشْتَمَلَ خِلَافُهُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Jika hakim menyelisihi tata cara li‘ān yang telah kami jelaskan, maka penyelisihannya terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُخَالِفَ فِي لَفْظِ الشَّهَادَةِ فَيَأْمُرَهُمَا بَدَلًا مِنْ أَشْهَدُ بِاللَّهِ، أَنْ يَقُولَا: أُقْسِمُ بِاللَّهِ أَوْ أَحْلِفُ بِاللَّهِ، أَوْ أُولِي بِاللَّهِ، فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ:

Pertama, menyelisihi dalam lafaz sumpah, yaitu memerintahkan keduanya untuk mengucapkan selain “Aku bersaksi demi Allah”, seperti “Aku bersumpah demi Allah”, atau “Aku berjanji demi Allah”, atau “Aku berikrar demi Allah”. Dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُ لِأَمْرَيْنِ:

Pertama, tidak sah karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: مُخَالَفَةُ النَّصِّ وَتَغْلِيظُ الشَّهَادَةِ.

Pertama, menyelisihi nash (teks syariat) dan mengurangi penekanan sumpah.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يُجْزِئُ لِأَمْرَيْنِ:

Kedua, sah karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللِّعَانَ يَمِينٌ فَكَانَ أَلْفَاظُ الْأَيْمَانِ بِهِ أَخَصَّ.

Pertama, karena li‘ān adalah sumpah, sehingga lafaz-lafaz sumpah lebih khusus untuknya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الشَّهَادَةَ كِنَايَةٌ وَالْيَمِينَ صَرِيحٌ.

Kedua, karena lafaz “bersaksi” adalah kinayah (kiasan), sedangkan sumpah adalah lafaz yang jelas.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُخَالِفَ بَيْنَهُمَا فِي لَفْظِ اللَّعْنِ وَالْغَضَبِ فِي الْخَامِسَةِ، وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kedua: menyelisihi antara keduanya dalam lafaz laknat dan kemurkaan pada sumpah kelima, dan ini terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْدِلَ عَنْ لَفْظِهِمَا إِلَى غَيْرِهِمَا، فَيَقُولُ بَدَلًا مِنَ اللَّعْنَةِ فِي الزَّوْجِ الْإِبْعَادَ، ومن الغضب في الزوجة، السخط، فلا يجزيه لِأَمْرَيْنِ:

Pertama, mengganti lafaz tersebut dengan lafaz lain, seperti mengganti “laknat” pada suami dengan “pengusiran”, dan mengganti “kemurkaan” pada istri dengan “kebencian”; maka hal itu tidak sah karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: لِتَغْيِيرِ النَّصِّ.

Pertama, karena mengubah nash (teks syariat).

وَالثَّانِي: لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالنَّصِّ صَرِيحًا فَصَارَ مَا سِوَاهُ كِنَايَةً وَإِنْ وَافَقَ مَعْنَاهُ.

Kedua, karena lafaz tersebut telah menjadi jelas berdasarkan nash, sehingga selainnya dianggap kinayah meskipun maknanya sama.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَنْقُلَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ جِهَتِهِ إِلَى الْجِهَةِ الْأُخْرَى، فَيَنْظُرَ فِيهِ، فَإِنْ نَقَلَ اللَّعْنَ مِنَ الزَّوْجِ إِلَى الزَّوْجَةِ حَتَّى قَالَتْ: وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللَّهِ بَدَلًا مِنْ قَوْلِهَا وعَلَيَّ غَضَبُ اللَّهِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ الْغَضَبَ أَغْلَظُ مِنَ اللَّعْنِ؛ لِأَنَّ الْغَضَبَ انْتِقَامٌ وَاللَّعْنَ إِبْعَادٌ، وَكُلُّ مُنْتَقَمٍ مِنْهُ مُبْعَدٌ، وَلَيْسَ كُلُّ مُبْعَدٍ مُنْتَقَمًا مِنْهُ، فَصَارَ الْغَضَبُ أَغْلَظَ، وَلِذَلِكَ غَلُظَ بِهِ لِعَانُ الزَّوْجَةِ لِأَنَّ الزِّنَا مِنْهَا أَقْبَحُ وَالْمَعَرَّةَ مِنْهَا أَفْضَحُ.

Jenis kedua: yaitu masing-masing dari keduanya memindahkan lafaz dari posisinya ke posisi yang lain, lalu memperhatikannya. Jika melaknat dipindahkan dari suami kepada istri, sehingga istri berkata: “Dan atas diriku laknat Allah” sebagai ganti dari ucapannya “dan atas diriku murka Allah”, maka itu tidak boleh; karena murka itu lebih berat daripada laknat; sebab murka adalah pembalasan, sedangkan laknat adalah pengusiran. Setiap yang dibalas pasti dijauhkan, namun tidak setiap yang dijauhkan pasti dibalas, sehingga murka menjadi lebih berat. Oleh karena itu, lafaz li‘ān pada istri dibuat lebih berat, karena zina darinya lebih buruk dan aib darinya lebih jelas.

وَإِنْ نَقَلَ الْغَضَبَ إِلَى الزَّوْجِ حَتَّى قَالَ: وَعَلَيَّ غَضَبُ اللَّهِ، بَدَلًا مِنْ قَوْلِهِ؛ وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللَّهِ فَفِي إِجْزَائِهِ وَجْهَانِ:

Dan jika murka dipindahkan kepada suami, sehingga ia berkata: “Dan atas diriku murka Allah” sebagai ganti dari ucapannya “dan atas diriku laknat Allah”, maka dalam keabsahannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُ لِمُخَالَفَةِ النَّصِّ.

Pertama: Tidak sah, karena menyelisihi nash.

وَالثَّانِي: يُجْزِئُ، لِأَنَّهُ أَغْلَظُ مِنَ النَّصِّ مَعَ دُخُولِهِ فِيهِ.

Kedua: Sah, karena lafaz itu lebih berat daripada nash dan termasuk di dalamnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُخَالِفَ بَيْنَهُمَا فِي تَرْتِيبِ اللَّفْظِ فَيَجْعَلَ مَا فِي الْخَامِسَةِ مِنَ اللَّعْنِ وَالْغَضَبِ قَبْلَ الشَّهَادَاتِ أَوْ فِي تَضَاعِيفِهَا فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: yaitu menyelisihi antara keduanya dalam urutan lafaz, sehingga lafaz laknat dan murka pada sumpah kelima diletakkan sebelum sumpah-sumpah (syahadat) atau di sela-selanya. Dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُهُ لِمُخَالَفَةِ التَّرْتِيبِ فِيهِ.

Pertama: Tidak sah karena menyelisihi urutan.

وَالثَّانِي: يُجْزِئُهُ لِوُجُودِ التَّغْلِيظِ.

Kedua: Sah karena terdapat unsur penegasan (penguatan).

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يُخَالِفَ بَيْنَهُمَا فِي الْعَدَدِ، فَإِنْ كَانَ خِلَافُهُ فِي الزِّيَادَةِ فَزَادَ عَلَى الشَّهَادَاتِ الْأَرْبَعِ خَامِسَةً، أَوْ عَلَى اللَّعْنَةِ وَالْغَضَبِ في الخامسة سادسة، فقد أساء وأجزاء، وَإِنْ كَانَ خِلَافُهُ فِي النُّقْصَانِ فَتَرَكَ بَعْضَ الشَّهَادَاتِ الْأَرْبَعِ، أَوْ تَرَكَ الْخَامِسَةَ فِي اللَّعْنِ وَالْغَضَبِ لَمْ يَجُزْ وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِمَا اقْتَصَرَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ اللِّعَانِ، سَوَاءٌ تَرَكَ أَكْثَرَهُ أَوْ أَقَلَّهُ، وَيُنْقَضُ حُكْمُهُ فِيهِ.

Bagian keempat: yaitu menyelisihi antara keduanya dalam jumlah (bilangan). Jika perbedaannya berupa penambahan, yakni menambah atas empat sumpah menjadi lima, atau menambah atas laknat dan murka pada sumpah kelima menjadi enam, maka ia telah berbuat buruk namun tetap sah. Jika perbedaannya berupa pengurangan, yaitu meninggalkan sebagian dari empat sumpah, atau meninggalkan sumpah kelima pada laknat dan murka, maka tidak sah dan tidak berlaku satu pun hukum li‘ān atas apa yang ia batasi, baik yang ditinggalkan itu sebagian besar maupun sebagian kecil, dan hukumnya dibatalkan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ تَرَكَ أَقَلَّهُ أَجْزَأَهُ وَإِنْ أساء، ولا ينقض حُكْمُهُ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Jika yang ditinggalkan itu sebagian kecil, maka tetap sah meskipun ia berbuat buruk, dan hukumnya tidak dibatalkan, dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللِّعَانَ مِمَّا اخْتُلِفَ فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِهِ، وَمَا اسْتَقَرَّ فيه الخلاف ساع فِيهِ الِاجْتِهَادُ، وَالْحُكْمُ إِذَا نَفَذَ بِاجْتِهَادٍ مُسَوَّغٍ لَمْ يُنْقَضْ.

Pertama: Bahwa li‘ān termasuk perkara yang diperselisihkan tentang terjadinya perpisahan dengannya, dan perkara yang telah tetap adanya perbedaan pendapat di dalamnya, maka ijtihad tetap berlaku padanya, dan jika suatu hukum telah dijalankan berdasarkan ijtihad yang dibenarkan, maka tidak dibatalkan.

وَالثَّانِي: أَنَّ إِدْرَاكَ مُعْظَمِ الشَّيْءِ يَقُومُ مَقَامَ إِدْرَاكِ جَمِيعِهِ، كَمَنْ أَدْرَكَ الْإِمَامَ رَاكِعًا كَانَ فِي الِاعْتِدَادِ بِالرَّكْعَةِ كَالْمُدْرِكٍ لَهُ مُحْرِمًا، كَذَلِكَ أَكْثَرُ اللِّعَانِ يَجُوزُ أَنْ يَقُومَ مَقَامَ جَمِيعِهِ وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لمن الكاذبين وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ} [النور: 8، 9] فَعَلَّقَ الْحُكْمَ فِيهِ بِخَمْسٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَلَّقَ بِأَقَلَّ مِنْهَا، لِأَنَّهُ يَصِيرُ نَسْخًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُنْسَخَ الْقُرْآنُ بِالِاجْتِهَادِ، وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَاعَنَ بَيْنَ الْعَجْلَانِيِّ وَامْرَأَتِهِ وَبَيْنَ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ وَامْرَأَتِهِ بِخَمْسٍ ثُمَّ فَرَّقَ، وَالْحُكْمُ إِذَا عُلِّقَ بِسَبَبٍ اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى سَبَبِهِ، وَلِأَنَّ الِاقْتِصَارَ مِنَ اللِّعَانِ عَلَى بَعْضِهِ يَمْنَعُ مِنْ ثُبُوتِ حُكْمِهِ كَالِاقْتِصَارِ عَلَى أَقَلِّهِ، وَلِأَنَّ الْحُكْمَ إِذَا تَعَلَّقَ بِعَدَدٍ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِبَعْضِهِ كَأَعْدَادِ الرَّكَعَاتِ فَكَذَلِكَ أَعْدَادُ اللِّعَانِ، وَلِأَنَّ مَا شُرِعَ عَدَدُهُ فِي دَرْءِ الْحَدِّ لَمْ يَجُزِ الِاقْتِصَارُ مِنْهُ عَلَى بَعْضِهِ كَالشَّهَادَةِ؛ وَلِأَنَّ اللِّعَانَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ يَمِينًا، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى بَعْضِ مَا شُرِعَ فِيهَا مِنَ الْعَدَدِ كَالْقَسَامَةِ، أَوْ يَكُونَ شَهَادَةً فَلَا يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِ عَدَدِهَا كَسَائِرِ الشَّهَادَاتِ.

Kedua: Bahwa memperoleh sebagian besar sesuatu dapat menggantikan memperoleh seluruhnya, seperti orang yang mendapatkan imam dalam keadaan rukuk, maka dalam perhitungan rakaat sama dengan yang mendapatkannya sejak awal, demikian pula kebanyakan li‘ān boleh menggantikan seluruhnya. Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan akan terhindar dari hukuman itu jika ia (istri) bersaksi empat kali dengan nama Allah bahwa sesungguhnya suaminya benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan yang kelima bahwa murka Allah atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar} (an-Nur: 8-9). Maka Allah menggantungkan hukum pada lima sumpah, sehingga tidak boleh digantungkan pada kurang dari itu, karena itu berarti menasakh dan tidak boleh al-Qur’an dinasakh dengan ijtihad. Dan karena Rasulullah ﷺ telah melakukan li‘ān antara al-‘Ajlānī dan istrinya, serta antara Hilāl bin Umayyah dan istrinya dengan lima sumpah, lalu beliau memisahkan keduanya. Jika hukum digantungkan pada suatu sebab, maka harus mengikuti sebabnya. Dan membatasi li‘ān hanya pada sebagian sumpah menghalangi terwujudnya hukum li‘ān, sebagaimana membatasi pada jumlah yang lebih sedikit. Dan jika hukum dikaitkan dengan jumlah tertentu, maka tidak berlaku pada sebagian jumlah itu, seperti jumlah rakaat, demikian pula jumlah pada li‘ān. Dan apa yang telah disyariatkan jumlahnya dalam menolak had (hukuman) tidak boleh dibatasi hanya pada sebagian, seperti syahadat. Dan li‘ān itu, jika dianggap sebagai sumpah, maka tidak boleh dibatasi pada sebagian jumlah yang disyariatkan di dalamnya, seperti qasāmah; atau jika dianggap sebagai syahadat, maka tidak boleh dibatasi pada sebagian jumlahnya, seperti syahadat-syahadat yang lain.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا ذَكَرُوهُ مِنْ أَنَّ حُصُولَ الِاخْتِلَافِ مُسَوِّغٌ لِلِاجْتِهَادِ، فَهُوَ أَنَّ الْإِجْمَاعَ مُنْعَقِدٌ عَلَى الْخَمْسِ وَإِنَّمَا الِاخْتِلَافُ فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِهَا أَوْ بِمَا بَعْدَهَا وَمَا انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَيْهِ لَمْ يَسُغِ الِاجْتِهَادُ فِيهِ.

Adapun jawaban terhadap apa yang mereka sebutkan bahwa terjadinya perbedaan pendapat membolehkan ijtihad, maka jawabannya adalah bahwa ijmā‘ telah terwujud pada lima perkara, dan perbedaan pendapat itu hanya terjadi pada apakah perpecahan itu terjadi karena lima perkara tersebut atau karena perkara setelahnya. Dan apa yang telah menjadi ijmā‘, tidak boleh dilakukan ijtihad di dalamnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ أَنَّ إِدْرَاكَ مُعْظَمِ الشَّيْءِ يَقُومُ مَقَامَ إِدْرَاكِ جَمِيعِهِ فَهُوَ أَنَّهُ فَاسِدٌ بِإِدْرَاكِ ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَرْبَعٍ لَا يَقُومُ مَقَامَ إِدْرَاكِ الْأَرْبَعِ إِنَّمَا أَدْرَكَ الْإِمَامَ الرَّكْعَةَ الْأَوْلَى بِإِدْرَاكِ أَكْثَرِهَا؛ لِأَنَّهُ تَحَمَّلَ عَنْهُ مَا فَاتَهُ مِنْهَا وَقَامَ مَقَامَهُ فِيهَا، وَلِذَلِكَ لَوِ انْفَرَدَ بِهَا مِنْ غَيْرِ إِمَامٍ لم يدركها والله أعلم.

Adapun jawaban atas anggapan bahwa memahami sebagian besar sesuatu dapat menggantikan pemahaman seluruhnya, maka itu tidak benar. Memahami tiga rakaat dari empat rakaat tidak dapat menggantikan pemahaman terhadap keempat rakaat. Seseorang hanya dianggap mendapatkan rakaat pertama bersama imam jika ia mendapatkan sebagian besarnya, karena imam telah menanggung apa yang terlewat darinya dan menggantikannya dalam rakaat itu. Oleh karena itu, jika ia melakukannya sendirian tanpa imam, maka ia tidak dianggap mendapatkan rakaat tersebut. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ قَذَفَهَا بِأَحَدٍ يُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ وَاحِدًا أَوِ اثْنَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ قَالَ مَعَ كُلِّ شَهَادَةٍ إني لمن الصادقين فيما رميتها به من الزنا بفلان أو فلان وقال عند اللعان وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللَّهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الْكَاذِبِينَ فِيمَا رَمَيْتُهَا بِهِ مِنَ الزِّنَا بِفُلَانٍ أَوْ بِفُلَانٍ وَفُلَانٍ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia menuduh istrinya berzina dengan seseorang yang ia sebutkan namanya, satu orang, dua orang, atau lebih, maka pada setiap kesaksian ia berkata: ‘Sesungguhnya aku benar dalam menuduhmu berzina dengan si fulan atau si fulan.’ Dan ketika melaksanakan li‘ān ia berkata: ‘Atas diriku laknat Allah jika aku termasuk orang-orang yang berdusta dalam menuduhmu berzina dengan si fulan atau si fulan dan fulan.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا سَمَّى فِي قَذْفِ زَوْجَتِهِ الزَّانِيَ بِهَا، فقال: زنا بِكِ فُلَانٌ سَقَطَ حَدُّ الْقَذْفِ عَنْهُ إِذَا ذَكَرَهُ فِي لِعَانِهِ عَلَى مَا وَصَفَهُ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan, jika dalam menuduh istrinya ia menyebutkan nama laki-laki yang berzina dengannya, lalu ia berkata: “Si fulan telah berzina denganmu,” maka gugurlah had qazaf darinya jika ia menyebutkannya dalam li‘ān sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi‘i rahimahullah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَسْقُطُ حَدُّ قَذْفِهِ بِذِكْرِهِ فِي لِعَانِهِ، فَإِنْ قَدَّمَتِ الزوجة المطالبة فلاعن مها حُدَّ بَعْدَهُ لِلْأَجْنَبِيِّ، وَإِنْ قَدَّمَ الْأَجْنَبِيُّ الْمُطَالَبَةَ فَحُدَّ لَهُ لَمْ يُلَاعِنْ مِنْ زَوْجَتِهِ، وَبَنَاهُ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْمَحْدُودَ فِي قَذْفٍ لا يلاعن، واستدل على أن حد يقذفه لِلْأَجْنَبِيِّ لَا يَسْقُطُ بِلِعَانِهِ، بِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تعالى: {والذين يرمون المحصنات} لِأَنَّ قَذْفَ الْأَجْنَبِيِّ لَا يَسْقُطُ حَدُّهُ بِاللِّعَانِ كَمَا لَوْ أَفْرَدَهُ بِالْقَذْفِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ قَالَ لِزَوْجَتِهِ وَأَجْنَبِيٍّ: زَنَيْتُمَا لَمْ يَسْقُطْ قَذْفُ الْأَجْنَبِيِّ بِاللِّعَانِ، كَذَلِكَ لَوْ قَالَ: زَنَيْتِ بِهِ.

Abu Hanifah berkata: Had qazaf tidak gugur hanya dengan menyebutkannya dalam li‘ān. Jika istri lebih dahulu menuntut, lalu ia melakukan li‘ān, maka setelah itu ia tetap dijatuhi had untuk orang lain (ajnabi). Jika orang lain (ajnabi) yang lebih dahulu menuntut, maka dijatuhi had untuknya dan tidak melakukan li‘ān terhadap istrinya. Ia mendasarkan pendapatnya pada prinsip bahwa orang yang telah dijatuhi had dalam qazaf tidak boleh melakukan li‘ān. Ia juga berdalil bahwa had qazaf terhadap orang lain (ajnabi) tidak gugur dengan li‘ān, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga kehormatannya…} karena tuduhan terhadap ajnabi tidak gugur had-nya dengan li‘ān, sebagaimana jika ia menuduhnya secara terpisah. Dan jika ia berkata kepada istrinya dan seorang ajnabi: “Kalian berdua telah berzina,” maka tuduhan terhadap ajnabi tidak gugur dengan li‘ān, demikian pula jika ia berkata: “Engkau berzina dengannya.”

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ شهداء إلا أنفسهم فشهادة أحدهم أربعة شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ} [النور: 6] وَفِي الْآيَةِ ثَلَاثَةُ أَدِلَّةٍ:

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka, padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian salah seorang dari mereka adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang-orang yang benar} [an-Nur: 6]. Dalam ayat ini terdapat tiga dalil:

أَحَدُهَا: تَخْلِيصُهُ مِنْ قَذْفِهِ بِلِعَانِهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ عَلَى عُمُومِهِ فِيمَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُمْ.

Pertama: Pembebasan dari had qazaf dengan li‘ān, sehingga hal itu berlaku secara umum bagi siapa saja yang dilakukan li‘ān terhadapnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَ اللِّعَانَ كَالشَّهَادَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أنفسهم} وَالشَّهَادَةُ تَسْقُطُ حَدُّهَا عَنْهُ، فَكَذَلِكَ اللِّعَانُ.

Kedua: Allah menjadikan li‘ān seperti kesaksian, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: {dan mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri}, dan kesaksian menggugurkan had darinya, demikian pula li‘ān.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ أَثْبَتَ صِدْقَهُ بِاللِّعَانِ، وَصِدْقُهُ يَمْنَعُ مِنْ حَدِّهِ.

Ketiga: Allah menetapkan kebenarannya dengan li‘ān, dan kebenarannya mencegah dijatuhkannya had atasnya.

وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَاعَنَ بَيْنَ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ وَزَوْجَتِهِ؛ وَقَدْ قَذَفَهَا بِشَرِيكِ بْنِ السَّحْمَاءِ فَلَمْ يَحُدَّهُ لَهُ بَعْدَ لِعَانِهِ فَدَلَّ عَلَى سُقُوطِ الْحَدِّ بِلِعَانِهِ؛ وَلِأَنَّ قَذْفَ زَوْجَتِهِ بِزَانٍ يَمْنَعُ مِنْ حَدِّهِ بَعْدَ اللِّعَانِ كَغَيْرِ الْمُسَمَّى؛ وَلِأَنَّ مَا سَقَطَ بِهِ حَدُّ الزَّوْجَةِ مَعَ غَيْرِ الْمُسَمَّى سَقَطَ بِهِ حَدُّهَا وَحَدُّ الْمُسَمَّى كَالْبَيِّنَةِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ حَدٍّ اسْتَفَادَ إِسْقَاطَهُ بِالْبَيِّنَةِ اسْتَفَادَ إِسْقَاطَهُ بِاللِّعَانِ كَحَدِّ الْقَذْفِ، وَلِأَنَّهُ قَدْ يُضْطَرُّ إِلَى تَسْمِيَةِ الزَّانِي كَمَا يُضْطَرُّ إِلَى قَذْفِ زَوْجَتِهِ وَضَرُورَتُهُ إِلَى تَسْمِيَتِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Dan karena Nabi ﷺ telah melakukan li‘ān antara Hilal bin Umayyah dan istrinya, padahal ia menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma’, namun Nabi tidak menjatuhkan had kepadanya setelah li‘ān, maka hal ini menunjukkan gugurnya had dengan li‘ān. Dan karena menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki menghalangi dijatuhkannya had setelah li‘ān, sebagaimana halnya jika tidak menyebutkan nama, dan karena apa yang menyebabkan gugurnya had terhadap istri tanpa menyebut nama juga menyebabkan gugurnya had terhadap istri dan laki-laki yang disebut namanya, sebagaimana halnya bukti (bayyinah). Dan setiap had yang gugur dengan bayyinah juga gugur dengan li‘ān, seperti had qazaf. Dan kadang seseorang terpaksa menyebutkan nama pezina sebagaimana ia terpaksa menuduh istrinya, dan kebutuhan untuk menyebutkan namanya ada dari tiga sisi:

أَحَدُهَا: لِيَكُونَ أَدَلَّ عَلَى التَّحْقِيقِ، وَأَنْفَى لِلظَّنِّ.

Pertama: Agar lebih jelas dalam pembuktian dan menghilangkan keraguan.

وَالثَّانِي: لِيَكُونَ فِي شَبَهِ الْوَلَدِ بِهِ مَا يَدُلُّ عَلَى الصِّدْقِ فِي قَذْفِهِ كَمَا اسْتَدَلَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى صِدْقِ الْعَجْلَانِيِّ وَهِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ.

Dan yang kedua: Agar kemiripan anak dengannya menjadi petunjuk atas kebenaran dalam tuduhannya, sebagaimana Rasulullah ﷺ menjadikannya sebagai bukti atas kebenaran (tuduhan) Al-‘Ajlānī dan Hilāl bin Umayyah.

وَالثَّالِثُ: لِيَكُونَ تَعْيِينُهُ فِي الْقَذْفِ وَاللِّعَانِ أَزْجَرَ لِلنَّاسِ عَنِ الزِّنَا بِذَوَاتِ الْأَزْوَاجِ حَذَرًا مِنْ فَضِيحَةِ التَّسْمِيَةِ فِي الْقَذْفِ وَاللِّعَانِ.

Dan yang ketiga: Agar penunjukan (anak) dalam kasus qadzaf dan li‘ān menjadi peringatan yang lebih keras bagi masyarakat untuk menjauhi zina dengan perempuan bersuami, karena takut akan aibnya penyebutan nama dalam qadzaf dan li‘ān.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِعُمُومِ الْآيَةِ، فَالْمُلَاعِنُ مَخْصُوصٌ مِنْهَا بِدَلِيلِ الزَّوْجِيَّةِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى انْفِرَادِ الْأَجْنَبِيِّ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ قَذْفٌ لَا مَدْخَلَ لِلِعَانٍ فِيهِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِقَوْلِهِ لَهُمَا: زَنَيْتُمَا، فَنَحْنُ نَرْجِعُ إِلَى بَيَانِ هَذَا الْقَذْفِ، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ أَنَّ أَحَدَهُمَا زنا بِصَاحِبِهِ فَهِيَ مَسْأَلَتُنَا الَّتِي اخْتَلَفْنَا فِيهَا وَنَحْنُ نُجَوِّزُ فِيهِ اللِّعَانَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ كُلَّ واحد منهما زنا بِغَيْرِ الْآخَرِ، مَنَعْنَا مِنَ اللِّعَانِ فِي قَذْفِ الْأَجْنَبِيِّ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِقَذْفِهِ زَوْجَتَهُ فَلَمْ يكن في ذلك دليل.

Adapun dalil mereka dengan keumuman ayat, maka pelaku li‘ān dikecualikan darinya berdasarkan dalil adanya hubungan suami-istri. Adapun qiyās mereka terhadap kasus orang asing (bukan suami), maka maksudnya adalah bahwa itu merupakan qadzaf yang tidak ada kaitannya dengan li‘ān. Adapun dalil mereka dengan ucapan kepada keduanya: “Kalian berzina,” maka kami kembali kepada penjelasan tentang qadzaf ini. Jika yang dimaksud adalah bahwa salah satu dari keduanya berzina dengan pasangannya, maka inilah masalah yang kita perselisihkan, dan kami membolehkan li‘ān dalam hal ini. Namun jika yang dimaksud adalah bahwa masing-masing dari keduanya berzina dengan selain yang lain, maka kami melarang li‘ān dalam qadzaf terhadap orang asing, karena qadzaf tersebut tidak terkait dengan istrinya, sehingga tidak terdapat dalil dalam hal itu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَ مَعَهَا وَلَدٌ فَنَفَاهُ أَوْ بِهَا حَمْلٌ فَانْتَفَى مِنْهُ قَالَ مَعَ كُلِّ شَهَادَةٍ أشهد بالله إني لمن الصادقين فيما رميتها بِهِ مِنَ الزِّنَا وَإِنَّ هَذَا الْوَلَدَ وَلَدُ زِنًا مَا هُوَ مِنِّي “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang istri memiliki anak lalu suami menafikannya, atau ia sedang hamil lalu suami menafikan kehamilan itu, maka pada setiap kali bersaksi ia berkata: ‘Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar-benar termasuk orang-orang yang jujur dalam menuduhnya berzina, dan bahwa anak ini adalah anak zina, bukan anakku.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ نَسَبَ الْوَلَدِ لَا يَنْتَفِي عَنْهُ بِلِعَانِهِ مِنَ الزَّوْجَةِ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ فِي لِعَانِهِ فِي الشَّهَادَاتِ الْأَرْبَعِ، وَفِي اللَّعْنَةِ الْخَامِسَةِ، فَإِنْ أَخَلَّ بِذِكْرِهِ فِي أَحَدِ الْخَمْسَةِ لَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ، وَصِفَةُ نَفْيِهِ فِي لِعَانِهِ أَنْ يَقُولَ فِي كُلِّ مَرَّةٍ: وَأَنَّ هَذَا الْوَلَدَ مِنْ زِنًا مَا هُوَ مِنِّي، فَيَجْمَعُ فِي نفيه بين شرطين أحدهما، إِضَافَتُهُ إِلَى الزِّنَا وَأَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ، فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى أَحَدِ الشَّرْطَيْنِ اعْتُبِرَ حَالُ الشَّرْطِ الَّذِي اقْتَصَرَ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ الثَّانِي، وَهُوَ أَنْ قَالَ: وَإِنَّ هَذَا الْوَلَدَ لَيْسَ مِنِّي، وَلَمْ يَقُلْ إِنَّهُ وُلِدَ مِنْ زِنًا، لَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ، لِمَا فِيهِ مِنَ الِاحْتِمَالِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُرِيدُ بِذَلِكَ أَنَّهُ لَيْسَ يُشْبِهُنِي فِي خَلْقِي أَوْ خُلُقِي أَوْ فِعْلِي وَلِذَلِكَ لَمْ يُجْعَلْ قَوْلُهُ لِابْنِهِ، لَسْتَ بِابْنِي قَذْفًا لِأُمِّهِ لِمَا فِيهِ مِنْ هَذَا الِاحْتِمَالِ، وَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى الشَّرْطِ الْأَوَّلِ وَهُوَ أَنْ قَالَ: وَأَنَّ هَذَا الْوَلَدَ لَوُلِدَ مِنْ زِنًا، وَلَمْ يَقُلْ: مَا هُوَ مِنِّي، فَفِي انْتِفَائِهِ عَنْهُ بِذَلِكَ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa nasab anak tidak terputus darinya (suami) hanya dengan li‘ān terhadap istrinya, kecuali jika ia menafikan anak itu dalam li‘ān-nya pada keempat kali persaksian dan pada laknat kelima. Jika ia lalai menyebutkan (penafian) pada salah satu dari lima kali itu, maka anak tersebut tidak ternafikan darinya. Adapun tata cara penafian anak dalam li‘ān-nya adalah dengan mengatakan pada setiap kali: “Dan bahwa anak ini adalah hasil zina, bukan anakku.” Maka ia menggabungkan dalam penafian itu dua syarat: pertama, menisbatkan anak itu kepada zina, dan kedua, menegaskan bahwa anak itu bukan darinya. Jika ia hanya menyebut salah satu syarat, maka dilihat keadaan syarat yang ia sebutkan. Jika yang disebut adalah syarat kedua, yaitu ia berkata: “Dan bahwa anak ini bukan anakku,” namun tidak mengatakan bahwa anak itu lahir dari zina, maka anak itu tidak ternafikan darinya, karena masih ada kemungkinan (makna lain), sebab bisa jadi yang ia maksud adalah anak itu tidak mirip dengannya dalam fisik, akhlak, atau perbuatan. Oleh karena itu, ucapan seorang ayah kepada anaknya, “Kamu bukan anakku,” tidak dianggap sebagai qadzaf terhadap ibunya karena adanya kemungkinan makna tersebut. Jika ia hanya menyebut syarat pertama, yaitu berkata: “Dan bahwa anak ini adalah anak zina,” tanpa mengatakan “bukan anakku,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ: قَدِ انْتَفَى عَنْهُ، لِأَنَّ وَلَدَ الزِّنَا لَا يلحق بِهِ، فَكَانَ قَوْلُهُ مَا هُوَ مِنِّي تَأْكِيدًا، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ قَالَ لِوَلَدِهِ: أَنْتَ وَلَدُ زِنًا، كَانَ قَاذِفًا لِأُمِّهِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Hamid al-Marwazi: Anak itu telah ternafikan darinya, karena anak zina tidak dinasabkan kepadanya, sehingga ucapannya “bukan anakku” hanyalah penegasan saja. Bukankah jika ia berkata kepada anaknya, “Kamu adalah anak zina,” maka itu dianggap sebagai qadzaf terhadap ibunya?

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ لَا يَنْتَفِي عَنْهُ بِذَلِكَ حَتَّى يَقُولَ: مَا هُوَ مِنِّي؛ لِأَنَّ الْأَيْمَانَ مَوْضُوعَةٌ عَلَى نَفْيِ الِاحْتِمَالِ، وَقَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّهُ مِنْ زِنًا وَيَكُونُ مِنْهُ، بِأَنْ يَكُونَ قَدْ زَنَى قَبْلَ تَزَوُّجِهِ بِهَا وَجَاءَتْ بِوَلَدٍ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ عَقْدِهِ فَيَكُونُ لَاحِقًا بِهِ؛ وَلِأَنَّ مِنْ أَصْحَابِنَا وَهُوَ أَبُو بَكْرٍ الصَّيْرَفِيُّ يَرَى أَنَّ النِّكَاحَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ زِنًا وَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ فِيهِ لاحقاً، ولا يؤمن من الملاعن اعْتِقَادُ مَذْهَبِهِ، فَلِذَلِكَ وَجَبَ لِإِزَالَةِ الِاحْتِمَالِ أَنْ يُضِيفَ إِلَى قَوْلِهِ: إنَّهُ وَلَدُ زِنًا، مَا هُوَ مِنِّي وَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ الْوَلَدَ حَتَّى اسْتَكْمَلَ لِعَانَهُ وَلِعَانَ الزَّوْجَةِ قِيلَ: قَدْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ وَلَمْ يَنْتِفِ الْوَلَدُ، فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْفِيَهُ اسْتَأْنَفَ لِوَقْتِهِ لِعَانه خَاصًّا لِنَفْيِ الْوَلَدِ كَامِلًا بِالشَّهَادَاتِ وَاللَّعْنَةِ الْخَامِسَةِ. وَلَمْ تُلَاعِنْ مَعَهُ الزَّوْجَةُ؛ لِأَنَّهُ لَا مَدْخَلَ لِلِعَانِهَا فِي نَفْيِ الْوَلَدِ وَلَا فِي إِثْبَاتِهِ، وَإِنَّمَا يَخْتَصُّ بِإِسْقَاطِ الزِّنَا عَنْهَا وَقَدْ سَقَطَ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ لِعَانِهَا، وَهَذَا مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَفِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” وَقَالَ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” تُعِيدُ الزَّوْجَةُ لِعَانَهَا بَعْدَ إِعَادَةِ الزَّوْجِ، وَلَيْسَ هَذَا الْقَوْلُ مِنْهُ عَلَى الْوُجُوبِ، وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اختيار حَتَّى لَا يَنْفَرِدَ الزَّوْجُ بِلِعَانٍ لَا تُسَاوِيهِ فيه الزوجة.

Pendapat kedua: Inilah yang dikatakan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini, bahwa dengan hal itu (ucapan “anak zina”) saja tidak cukup untuk menafikan anak tersebut darinya, sampai ia mengatakan: “bukan anakku”, karena sumpah (li‘ān) itu ditetapkan untuk meniadakan kemungkinan (anak itu darinya). Bisa saja ia meyakini bahwa anak itu hasil zina, padahal anak itu memang darinya, misalnya ia telah berzina sebelum menikah dengan perempuan itu, lalu perempuan itu melahirkan anak setelah enam bulan dari akad nikah, sehingga anak itu tetap dinasabkan kepadanya. Selain itu, di antara ulama mazhab kami, yaitu Abu Bakar ash-Shairafi, berpendapat bahwa pernikahan tanpa wali adalah zina, meskipun anak yang lahir dari pernikahan itu tetap dinasabkan kepada ayahnya. Tidak aman dari kemungkinan bahwa orang yang melakukan li‘ān meyakini pendapat tersebut. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kemungkinan tersebut, wajib baginya menambahkan pada ucapannya: “bahwa anak itu adalah anak zina, bukan anakku”. Jika ia tidak menyebutkan anak tersebut sampai menyelesaikan li‘ān-nya dan li‘ān istrinya, maka dikatakan: telah terjadi perpisahan (fasakh), tetapi anak itu tidak ternafikan darinya. Jika ia ingin menafikan anak tersebut, maka ia memulai kembali li‘ān khusus untuk menafikan anak itu secara sempurna dengan sumpah-sumpah dan laknat kelima. Dalam hal ini, istri tidak ikut melakukan li‘ān bersamanya, karena li‘ān istri tidak berpengaruh dalam penafian atau penetapan anak, melainkan hanya khusus untuk menggugurkan tuduhan zina terhadapnya, dan tuduhan itu telah gugur dengan li‘ān yang telah dilakukan sebelumnya. Inilah pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam masalah ini dan dalam kitab “al-Umm”. Dalam kitab “al-Imla’”, beliau berkata: “Istri mengulangi li‘ān setelah suami mengulanginya.” Namun, pendapat ini bukanlah kewajiban, melainkan pilihan, agar suami tidak sendirian dalam li‘ān yang tidak diikuti oleh istrinya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَ حَمْلًا قَالَ وَإِنَّ هَذَا الْحَمْلَ إِنْ كَانَ بِهَا حَمْلٌ لَحَمْلٌ مِنْ زِنًا مَا هُوَ مِنِّي “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika yang dinafikan adalah janin, maka ia berkata: ‘Dan sesungguhnya janin ini, jika pada dirinya ada janin, maka janin itu adalah hasil zina, bukan dariku.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي جَوَازِ اللِّعَانِ مِنَ الْحَمْلِ إِذَا كَانَ النِّكَاحُ ثَابِتًا وَحَدُّ الْقَذْفِ وَاجِبًا وَسَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ الْحَمْلَ مُتَحَقَّقٌ أَوْ مَظْنُونٌ، وَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ مِنَ الْحَمْلِ بَعْدَ طَلَاقِهِ وَقَبْلَ وَضْعِهِ قَوْلَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيهِ هَلِ الْحَمْلُ مُتَحَقَّقٌ أَوْ مَظْنُونٌ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang bolehnya li‘ān terhadap janin jika pernikahan masih sah dan hukuman qazaf (tuduhan zina) wajib dijatuhkan, baik dikatakan bahwa kehamilan itu pasti maupun diduga. Begitu pula tentang bolehnya li‘ān terhadap janin setelah talak dan sebelum melahirkan, terdapat dua pendapat yang berbeda, tergantung pada apakah kehamilan itu pasti atau hanya dugaan.

فَإِنْ أَرَادَ نَفْيَهُ فِي لِعَانِهِ مَعَ بَقَاءِ النِّكَاحِ قَالَ فِي كُلِّ مَرَّةٍ: وَإِنَّ هَذَا الْحَمْلَ إِنْ كَانَ بِهَا حَمْلٌ لَحَمْلٌ مِنْ زِنًا مَا هُوَ مِنِّي مِثْلَ مَا قَالَ فِي نَفْيِ الْوَلَدِ بَعْدَ وَضْعِهِ فَإِنْ أَغْفَلَ ذِكْرَهُ فِي لِعَانِهِ كَانَ كَإِغْفَالِ الْوَلَدِ فِيهِ، فَلَا يَنْتَفِي عَنْهُ، فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُعِيدَ اللِّعَانَ لِنَفْيِهِ جَازَ أَنْ يُعِيدَهُ وَإِنْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِاللِّعَانِ الْأَوَّلِ قَوْلًا وَاحِدًا لِيَسْتَدْرِكَ بِهِ مَا كَانَ مُجَوَّزًا في لعانه الأول.

Jika ia ingin menafikan janin dalam li‘ān-nya saat pernikahan masih berlangsung, maka setiap kali bersumpah ia berkata: “Dan sesungguhnya janin ini, jika pada dirinya ada janin, maka janin itu adalah hasil zina, bukan dariku,” sebagaimana yang ia katakan dalam penafian anak setelah dilahirkan. Jika ia lalai menyebutkan janin dalam li‘ān-nya, maka hukumnya sama seperti lalai menyebutkan anak, yaitu anak tidak ternafikan darinya. Jika ia ingin mengulangi li‘ān untuk menafikan janin, maka boleh baginya mengulanginya, meskipun perpisahan telah terjadi dengan li‘ān pertama, menurut satu pendapat, agar ia dapat menyempurnakan apa yang sebelumnya belum sempurna dalam li‘ān pertamanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” فَإِنْ قَالَ هَذَا فَقَدْ فَرَغَ مِنَ الالتعَانِ فإن أخطأ الإمام فلم يذكر نفي الولد أو الحمل في اللعان قال للزوج إن أردت نفيه أعدت اللعان ولا تعيد المرأة بعد إعادة الزوج اللعان إن كانت فرغت منه بعد التعان الزوج “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia telah mengucapkan hal itu, maka ia telah selesai dari li‘ān. Jika imam keliru dan tidak menyebutkan penafian anak atau janin dalam li‘ān, maka imam berkata kepada suami: ‘Jika engkau ingin menafikan anak atau janin, ulangi li‘ān-mu.’ Dan istri tidak mengulangi li‘ān setelah suami mengulanginya, jika ia telah selesai dari li‘ān setelah li‘ān suami.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لَيْسَ عَلَى الزَّوْجَيْنِ بَعْدَ الْتِعَانِهِمَا حَدٌّ وَلَا تَعْزِيرٌ لِقَذْفٍ وَلَا زنا.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, tidak ada hukuman had atau ta‘zir bagi kedua suami istri setelah mereka melakukan li‘ān, baik karena tuduhan zina maupun karena zina itu sendiri.

وقال أبو حنيفة: يعذران بَعْدَ الِالْتِعَانٍ لِتَحَقُّقِ الْكَذِبِ فِي اجْتِمَاعِهِمَا عَلَيْهِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْكَذِبَ لَا يَتَعَيَّنُ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صَادِقًا، وَمَنْ لَمْ يَتَحَقَّقْ كَذِبُهُ لَمْ يُعَزَّرْ كَالشَّهَادَتَيْنِ الْمُخْتَلِفَتَيْنِ الْمُتَدَاعِيَتَيْنِ، وَكَالْيَمِينِ فِي اخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعَيْنِ لَا تَعْزِيرَ فِيهَا عَلَى الْبَيِّنَتَيْنِ وَإِنِ اخْتَلَفَا وَلَا عَلَى الْحَالِفَيْنَ وَإِنْ تَكَاذَبَا. كَذَلِكَ فِي الْتِعَانِهِمَا، لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ كَأَحَدِهِمَا، وَلِأَنَّ التَّعْزِيرَ مَوْضُوعٌ لِلزَّجْرِ وَالنَّكَالِ، وَمَا فِي اللِّعَانِ من الزجر والنكال أعظم.

Abu Hanifah berkata: Keduanya tetap dikenai ta‘zir setelah li‘ān karena telah terbukti adanya kebohongan dalam kesepakatan mereka berdua. Ini adalah pendapat yang keliru, karena kebohongan tidak dapat dipastikan pada salah satu dari keduanya; bisa jadi salah satunya benar. Siapa yang belum terbukti dustanya, tidak dikenai ta‘zir, sebagaimana dua saksi yang berselisih dalam persaksian, atau seperti sumpah dalam perselisihan antara dua pihak yang berjual beli, tidak ada ta‘zir atas kedua pihak yang bersaksi, meskipun mereka berbeda, dan tidak pula atas kedua pihak yang bersumpah, meskipun saling mendustakan. Demikian pula dalam li‘ān keduanya, karena tidak lepas dari kemungkinan salah satunya benar. Selain itu, ta‘zir ditetapkan untuk mencegah dan memberi efek jera, sedangkan dalam li‘ān sudah terdapat pencegahan dan efek jera yang lebih besar.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ أَخْطَأَ وَقَدْ قَذَفَهَا بِرَجُلٍ وَلَمْ يَلْتَعِنْ بِقَذْفِهِ فَأَرَادَ الرَّجُلُ حَدَّهُ أَعَادَ عَلَيْهِ اللِّعَانَ وقال في كتاب الطلاق من أحكام القرآن: وإلا حد له إن لم يلتعن وفي الإملاء على مسائل مالك: ولما حكم الله تعالى على الزوج يرمي المرأة بالقذف ولم يستثن أن يسمي من يرميها به أو لم يسمه “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia keliru dan telah menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki, namun tidak melakukan li‘ān atas tuduhannya itu, lalu laki-laki yang dituduh ingin menuntut had (hukuman) atasnya, maka ia harus mengulangi li‘ān. Dan beliau berkata dalam Kitab at-Talāq dari Ahkām al-Qur’ān: Jika tidak melakukan li‘ān, maka ia dikenai had. Dan dalam al-Imlā’ ‘ala Masā’il Mālik: Ketika Allah Ta‘ala menetapkan hukum atas suami yang menuduh istrinya dengan tuduhan zina, Allah tidak mengecualikan apakah ia menyebutkan nama orang yang dituduhkan atau tidak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجَمُلَتُهُ أَنَّهُ إِذَا قَذَفَ زَوْجَتَهُ بِرَجُلٍ سَمَّاهُ فَلَا يَخْلُو فِيهِ مِنْ ثَلَاثة أحوال: أحدهما: أَنْ يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ.

Al-Māwardī berkata: Kesimpulannya, jika seorang suami menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki yang disebutkan namanya, maka terdapat tiga keadaan: Pertama, ia mendatangkan bukti.

وَالثَّانِي: أَنْ يَلْتَعِنَ.

Kedua, ia melakukan li‘ān.

وَالثَّالِث: أَنْ لَا يَفْعَلَ وَاحِدًا مِنْهُمَا. فَأَمَّا الْحَالُ الْأَوْلَى وَهُوَ أَنْ يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ عَلَيْهِمَا بِالزِّنَا فَقَدْ سَقَطَ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ لَهُمَا وَوَجَبَ حَدُّ الزِّنَا عَلَيْهِمَا، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُلَاعِنَ بَعْدَ إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَى الزِّنَا جَازَ لِيَرْفَعَ بِهِ الْفِرَاشَ، وَيَنْفِيَ بِهِ النَّسَبَ، لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ اللِّعَانُ فِيمَا لَمْ يَثْبُتْ مِنَ الزِّنَا كَانَ فِيمَا ثَبَتَ أَجَوْزَ.

Ketiga, ia tidak melakukan salah satu dari keduanya. Adapun keadaan pertama, yaitu ia mendatangkan bukti atas keduanya dalam perkara zina, maka gugurlah had qazaf (hukuman atas tuduhan zina) darinya terhadap keduanya, dan wajib atas keduanya had zina. Hal ini telah menjadi kesepakatan. Jika ia ingin melakukan li‘ān setelah mendatangkan bukti atas zina, maka hal itu boleh, agar ia dapat menafikan tempat tidur (hubungan suami-istri) dan menafikan nasab, karena jika li‘ān dibolehkan dalam perkara zina yang belum terbukti, maka dalam perkara yang telah terbukti tentu lebih boleh lagi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

أَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ: وَهُوَ أَنْ يَلْتَعِنَ، فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِي لِعَانِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَذْكُرَ فِيهِ مَنْ رَمَاهُ بِهَا أَوْ لَا يَذْكُرُ، فَإِنْ ذَكَرَهُ فِي لِعَانِهِ سَقَطَ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ لَهُمَا، وَوَجَبَ بِهِ حَدُّ الزِّنَا عَلَى الزَّوْجَةِ، وَلَمْ يَجِبْ بِهِ حَدُّ الزِّنَا عَلَى الْمُسَمَّى مَعَهَا، فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ لَا يَتَسَاوَيَانِ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِمَا بِاللِّعَانِ كَمَا اسْتَوَيَا فِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِمَا بِالْبَيِّنَةِ؟ قِيلَ: لِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun keadaan kedua, yaitu ia melakukan li‘ān, maka ini adalah masalah yang dibahas dalam kitab. Dalam li‘ān, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia menyebutkan nama orang yang dituduhkan bersama istrinya atau tidak. Jika ia menyebutkannya dalam li‘ān, maka gugurlah had qazaf darinya terhadap keduanya, dan wajib atas istrinya had zina, namun tidak wajib atas laki-laki yang disebutkan namanya bersama istrinya. Jika ditanyakan: Mengapa keduanya tidak disamakan dalam kewajiban had atas mereka melalui li‘ān sebagaimana keduanya disamakan dalam kewajiban had melalui bukti? Maka dijawab: Karena terdapat perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَيِّنَةَ عَامَّةٌ فِي حُقُوقِ الْأَزْوَاجِ وَالْأَجَانِبِ وَاللِّعَانَ خَاصٌّ فِي حُقُوقِ الْأَزْوَاجِ دُونَ الْأَجَانِبِ.

Pertama: Bahwa bukti (bayyinah) berlaku umum baik untuk hak suami-istri maupun orang lain (ajnabi), sedangkan li‘ān khusus untuk hak suami-istri saja, tidak berlaku bagi orang lain.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ لِلزَّوْجَةِ إِسْقَاطُهُ بِلِعَانِهَا جَازَ أَنْ يَجِبَ عَلَيْهَا، وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْأَجْنَبِيِّ إِسْقَاطُهُ بِلِعَانِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَجِبَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ الْأَجْنَبِيَّ الْمُسَمَّى فِي لِعَانِهِ حِينَ طَالَبَ بِحَدِّ قَذْفِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Kedua: Karena istri dapat menggugurkan had dengan li‘ān-nya, maka boleh had itu diwajibkan atasnya. Sedangkan orang lain (ajnabi) tidak dapat menggugurkan had dengan li‘ān-nya, maka tidak boleh had itu diwajibkan atasnya. Jika suami tidak menyebutkan nama orang lain (ajnabi) yang dituduhkan dalam li‘ān ketika menuntut had qazaf, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أحدهما: قوله في ” الإملاء “، ” وأحكام الْقُرْآنِ “: وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِأَمْرَيْنِ:

Pertama: Pendapat beliau dalam “al-Imlā’” dan “Ahkām al-Qur’ān”: Tidak ada had atasnya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَجْنَبِيَّ فِي اللِّعَانِ تَبَعٌ لِلزَّوْجَةِ، لِأَنَّ اللِّعَانَ لَا يَصِحُّ مَعَهُ لَوْ أُفْرِدَ بِالْقَذْفِ، فَإِذَا سَقَطَ حَدُّ الزَّوْجَةِ بِاللِّعَانِ سَقَطَ حَدُّ مَنْ تَبِعَهَا فِيهِ.

Pertama: Bahwa orang lain (ajnabi) dalam li‘ān itu mengikuti istri, karena li‘ān tidak sah jika hanya ditujukan kepadanya saja. Maka ketika had atas istri gugur dengan li‘ān, had atas orang yang mengikutinya pun gugur.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَذْفٌ بِفِعْلٍ وَاحِدٍ فَإِذَا تَحَقَّقَ بِاللِّعَانِ فِعْلُهُ مِنْ أَحَدِهِمَا تَحَقَّقَ مِنَ الْآخَرِ، لِأَنَّ الزِّنَا لَا يَكُونُ إِلَّا مِنْ زَانِيَيْنِ.

Kedua: Bahwa tuduhan itu dilakukan dengan satu perbuatan, maka jika perbuatan tersebut telah terbukti dengan li‘ān atas salah satunya, maka terbukti pula atas yang lain, karena zina tidak terjadi kecuali dari dua orang pezina.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ، يُحَدُّ لِلْأَجْنَبِيِّ إِذَا لَمْ يُسَمِّهِ فِي لِعَانِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim dan jadid, bahwa had dikenakan atas orang lain (ajnabi) jika tidak disebutkan namanya dalam li‘ān, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَنْ لَمْ يُسَمَّ فِي اللِّعَانِ لَمْ يَسْقُطْ حَقُّهُ بِاللِّعَانِ كَالزَّوْجَةِ وَالْوَلَدِ.

Pertama: Bahwa siapa yang tidak disebutkan namanya dalam li‘ān, maka haknya tidak gugur dengan li‘ān, sebagaimana istri dan anak.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَسْقُطْ قَذْفُ الْأَجْنَبِيِّ بِعَفْوِ الزَّوْجَةِ لَمْ يَسْقُطِ اللِّعَانُ مِنْهَا، وَخَرَجَ عَنْ أَنْ يَكُونَ فِيهِ تَبَعًا لَهَا، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ ذِكْرُ الْأَجْنَبِيِّ فِي اللِّعَانِ شَرْطًا فِي سُقُوطِ قَذْفِهِ.

Kedua: Karena tuduhan terhadap orang lain (ajnabi) tidak gugur dengan pemaafan dari istri, maka li‘ān dari istri pun tidak menggugurkannya, sehingga ia keluar dari status sebagai pengikut istri dalam hal ini. Oleh karena itu, penyebutan nama orang lain (ajnabi) dalam li‘ān menjadi syarat untuk gugurnya tuduhan terhadapnya.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذِكْرُهُ فِيهِ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ شَرْطًا، فَإِذَا أَخَلَّ بِذِكْرِهِ قِيلَ لَهُ: عَلَيْكَ لَهُ حَدُّ الْقَذْفِ إِلَّا أَنْ تَلْتَعِنَ ثَانِيَةً مِنْ قَذْفِهِ، فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يُفْرِدَ اللِّعَانَ بِقَذْفِهِ وَهُوَ لَوِ انْفَرَدَ بِالْقَذْفِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُفْرَدَ بِاللِّعَانِ؟

Dan jika penyebutan namanya dalam li‘ān menurut pendapat pertama bukanlah syarat, maka jika ia tidak menyebutkannya, dikatakan kepadanya: Atasmu had qazaf terhadapnya, kecuali jika engkau melakukan li‘ān kedua kali atas tuduhan terhadapnya. Jika ditanyakan: Bagaimana mungkin li‘ān dapat dilakukan secara terpisah atas tuduhan terhadapnya, padahal jika tuduhan itu berdiri sendiri, tidak boleh dilakukan li‘ān secara terpisah?

قِيلَ: لِأَنَّ الْقَذْفَ إِذَا شَارَكَ فِيهِ الزَّوْجَةَ جَازَ أَنْ يَكُونَ فِي الِالْتِعَانِ مِنْهُ مُشَارِكًا لِلزَّوْجَةِ وَلِأَجْلِ ذَلِكَ يُؤَثِّرُ فِي إِعَادَةِ اللِّعَانِ مِنْ قَذْفِهِ بِإِعَادَةِ ذِكْرِ الزَّوْجَةِ فِيهِ وَلَا يُفْرَدُ بِالذِّكْرِ دُونَهَا كَمَا لَوْ ذَكَرَهُ فِي اللِّعَانِ الْأَوَّلِ، وَلَيْسَ عَلَى الزَّوْجَةِ إِعَادَةُ اللِّعَانِ لِسُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهَا بِاللِّعَانِ الْأَوَّلِ، وَلَيْسَ لِلْأَجْنَبِيِّ أَنْ يُلَاعِنَ بَعْدَ لِعَانِ الزَّوْجِ بِخِلَافِ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّ الزَّوْجَةَ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهَا حَدُّ الزِّنَا بِلِعَانِ الزَّوْجِ فَجَازَ أَنْ يَتَلَاعَنَ بَعْدَ لِعَانِهِ وَلَمْ يَجِبْ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ بِهِ حَدٌّ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُلَاعِنَ بعد لعانه.

Dikatakan: Karena jika tuduhan zina itu dilakukan bersama oleh istri, maka boleh baginya untuk turut serta dalam li‘ān bersama istri, dan oleh sebab itu, hal tersebut berpengaruh dalam pengulangan li‘ān dari tuduhan zinanya dengan mengulangi penyebutan istri di dalamnya, dan tidak boleh menyebutkan (li‘ān) itu sendiri tanpa menyertakan istri, sebagaimana jika ia menyebutkannya dalam li‘ān yang pertama. Dan istri tidak wajib mengulangi li‘ān karena hukuman had telah gugur darinya dengan li‘ān yang pertama. Orang lain (selain suami) tidak boleh melakukan li‘ān setelah li‘ān suami, berbeda dengan istri, karena istri telah wajib atasnya hukuman had zina dengan li‘ān suami, sehingga boleh baginya melakukan li‘ān setelah li‘ān suami, sedangkan terhadap orang lain tidak wajib had dengan li‘ān tersebut, maka tidak boleh baginya melakukan li‘ān setelah li‘ān suami.

(فصل)

(Bagian)

وأما الحالة الثَّالِثَةُ: فَهُوَ أَنْ لَا يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ وَلَا يُلَاعِنَ، فَقَدْ صَارَ قَاذِفًا لِاثْنَيْنِ وَقَذْفُ الِاثْنَيْنِ ينقسم ثلاثة أقسام:

Adapun keadaan yang ketiga: yaitu tidak mendatangkan bukti dan tidak melakukan li‘ān, maka ia telah menjadi penuduh zina terhadap dua orang, dan tuduhan zina terhadap dua orang terbagi menjadi tiga bagian:

أحدها: أن يقذفهما بِزِنَائَيْنِ بِلَفْظَيْنِ فَيَقُولُ: زَنَيْتَ يَا زَيْدُ، وَزَنَيْتَ يَا عَمْرُو، أَوْ يَقُولُ لِرَجُلٍ وَامْرَأَةٍ: زَنَيْتَ يَا رَجُلُ بِغَيْرِ هَذِهِ الْمَرْأَةِ، وَزَنَيْتِ يَا امْرَأَةُ بِغَيْرِ هَذَا الرَّجُلِ، فَعَلَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَدُّ الْقَذْفِ وَلَا يَدْخُلُ أَحَدُ الْحَدَّيْنِ في الآخر.

Pertama: Menuduh keduanya dengan dua perzinaan dalam dua ucapan, misalnya ia berkata: “Engkau telah berzina, wahai Zaid,” dan “Engkau telah berzina, wahai ‘Amr,” atau ia berkata kepada seorang laki-laki dan seorang perempuan: “Engkau telah berzina, wahai laki-laki, bukan dengan perempuan ini,” dan “Engkau telah berzina, wahai perempuan, bukan dengan laki-laki ini.” Maka atas masing-masing dari keduanya dikenakan hukuman had qadzaf, dan salah satu hukuman had tidak masuk ke dalam yang lain.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَقْذِفَهُمَا بِزِنَائَيْنِ بِلَفْظٍ وَاحِدٍ فَيَقُولُ لِرَجُلَيْنِ أَوِ امْرَأَتَيْنِ زَنَيْتُمَا، فَفِي الْحَدِّ لَهَا قَوْلَانِ:

Bagian kedua: Menuduh keduanya dengan dua perzinaan dalam satu ucapan, misalnya ia berkata kepada dua laki-laki atau dua perempuan: “Kalian berdua telah berzina.” Dalam hal ini, ada dua pendapat mengenai hukuman had:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، يحد لهما حد واحد؛ لأن اللفظ بقذفهما واحداً.

Salah satunya, yaitu pendapat dalam qaul qadim, dikenakan satu hukuman had untuk keduanya, karena ucapan tuduhan zina kepada keduanya hanya satu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ يُحَدُّ لَهُمَا حَدَّيْنِ؛ لِأَنَّهُ قَاذِفٌ لِاثْنَيْنِ بِزِنَائَيْنِ فَصَارَ كَقَذْفِهِ لَهُمَا بِلَفْظَيْنِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat dalam qaul jadid, dikenakan dua hukuman had untuk keduanya, karena ia menuduh dua orang dengan dua perzinaan, sehingga seperti menuduh keduanya dengan dua ucapan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقْذِفَهُمَا بِزِنَاءٍ وَاحِدٍ فَيَقُولَ لِامْرَأَةٍ: زَنَيْتِ بِهَذَا الرَّجُلِ، أَوْ يَقُولَ لِرَجُلٍ: زَنَيْتَ بِهَذِهِ الْمَرْأَةِ، فَالصَّحِيحُ ومما عليه جمهور أصحابنا أنه لا يجب فيه حداً واحداً، لِأَنَّهُ قَذْفٌ بِزِنًا وَاحِدٍ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالزِّنَائَيْنِ بِلَفْظٍ وَاحِدٍ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ قَذْفَ الِاثْنَيْنِ بِالزِّنَا الْوَاحِدِ قَذْفٌ وَاحِدٌ وَقَذْفَ الِاثْنَيْنِ بِزِنَائَيْنِ قَذْفَانِ فَجَازَ أَنْ يجب في القذف الواحد حد واحداً، وَفِي الْقَذْفَيْنِ حَدَّانِ، وَإِذَا وَجَبَ فِي الْقَذْفِ بِالزِّنَا الْوَاحِدِ حَدٌّ وَاحِدٌ فَهُوَ مُشْتَرِكٌ فِي حَقِّ الْمَقْذُوفَيْنِ بِهِ، فَأَيُّهُمَا طَالَبَ بِالْحَدِّ فَلَهُ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ كَامِلًا، لَا يَسْقُطُ بِعَفْوِ أَحَدِهِمَا حتى يعفو عَنْهُ مَعًا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الزَّوْجَةِ وَالْأَجْنَبِيِّ فِي قَذْفِ الزَّوْجِ لَهُمَا من أربعة أحوال:

Bagian ketiga: Menuduh keduanya dengan satu perzinaan, misalnya ia berkata kepada seorang perempuan: “Engkau telah berzina dengan laki-laki ini,” atau ia berkata kepada seorang laki-laki: “Engkau telah berzina dengan perempuan ini.” Maka pendapat yang sahih dan yang dianut mayoritas ulama kami adalah tidak wajib dikenakan kecuali satu hukuman had, karena itu adalah tuduhan zina dengan satu perzinaan. Sebagian ulama kami mengqiyaskan hal ini kepada dua pendapat seperti pada dua perzinaan dengan satu ucapan, namun itu tidak sahih, karena menuduh dua orang dengan satu perzinaan adalah satu tuduhan, sedangkan menuduh dua orang dengan dua perzinaan adalah dua tuduhan, sehingga boleh saja dalam satu tuduhan dikenakan satu hukuman had, dan dalam dua tuduhan dikenakan dua hukuman had. Jika dalam tuduhan zina dengan satu perzinaan wajib satu hukuman had, maka hukuman itu berlaku bagi kedua orang yang dituduh, sehingga siapa pun di antara keduanya yang menuntut hukuman had, maka ia berhak menuntutnya secara penuh, dan tidak gugur dengan pemaafan salah satu dari keduanya hingga keduanya sama-sama memaafkan. Jika demikian, maka keadaan istri dan orang lain (selain istri) dalam tuduhan zina oleh suami terhadap keduanya tidak lepas dari empat keadaan:

أحدهما: أَنْ يُصَدِّقَاهُ عَلَى الزِّنَا فَيَسْقُطُ حَدُّ الْقَذْفِ عَنِ الزَّوْجِ وَيَجِبُ حَدُّ الزِّنَا عَلَيْهِمَا، وَلِلزَّوْجِ أَنْ يُلَاعِنَ إِنْ شَاءَ لِرَفْعِ الْفِرَاشِ وَنَفْيِ النَّسَبِ.

Pertama: Keduanya membenarkan suami atas tuduhan zina, maka gugurlah hukuman had qadzaf dari suami dan wajib atas keduanya hukuman had zina, dan suami boleh melakukan li‘ān jika ia menghendaki untuk meniadakan hubungan suami istri dan menafikan nasab.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُكَذِّبَاهُ وَيُطَالِبَاهُ بِحَدِّهِمَا فَيُحَدُّ لَهُمَا حَدًّا وَاحِدًّا عَلَى الْأَصَحِّ مِنَ الْمَذْهَبِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ، وَلَوْ طَالَبَهُ أَحَدُهُمَا وَعَفَا عَنْهُ الْآخَرُ حُدَّ لِلطَّالِبِ حَدًّا كَامِلًا وَلَهُ إِسْقَاطُهُ بِاللِّعَانِ سَوَاءٌ طَالَبَتْهُ بِهِ الزَّوْجَةُ أَوِ الْأَجْنَبِيُّ لِاخْتِصَاصِهِ بِالزَّوْجَةِ.

Keadaan kedua: Keduanya mendustakan suami dan menuntut hukuman had atasnya, maka dikenakan satu hukuman had untuk keduanya menurut pendapat yang paling sahih dalam mazhab, dan sebagian ulama kami mengqiyaskan hal ini kepada dua pendapat yang telah disebutkan. Jika salah satu dari keduanya menuntut dan yang lain memaafkan, maka dikenakan hukuman had secara penuh untuk yang menuntut, dan ia boleh menggugurkannya dengan li‘ān, baik yang menuntut itu istri maupun orang lain, karena kekhususan li‘ān pada istri.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تُصَدِّقَهُ الزَّوْجَةُ وَيُكَذِّبَهُ الْأَجْنَبِيُّ. فَقَدْ سَقَطَ حَدُّ الْقَذْفِ عَنِ الزَّوْجِ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ لِتَصْدِيقِهَا، وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ فِي حَقِّ الْأَجْنَبِيِّ لِتَكْذِيبِهِ، وَلَهُ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ كَامِلًا، وَيَجُوزُ لِلزَّوْجِ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ فِي حَقِّ الْأَجْنَبِيِّ لِاخْتِصَاصِهِ بِالزَّوْجِيَّةِ وَوَجَبَ عَلَى الزَّوْجَةِ حَدُّ الزِّنَا بِإِقْرَارِهَا وَحَدُّ الْقَذْفِ لِلْأَجْنَبِيِّ لِأَنَّهَا صَارَتْ بِالْإِقْرَارِ قَاذِفَةً لَهُ.

Keadaan ketiga: Istri membenarkannya, sementara orang lain (ajnabi) mendustakannya. Maka gugurlah hukuman qazaf dari suami terhadap istrinya karena ia membenarkannya, namun tidak gugur terhadap orang lain karena ia mendustakannya, dan orang lain berhak menuntut hukuman itu secara penuh. Suami boleh melakukan li‘ān terhadap orang lain dalam kaitannya dengan hak orang lain tersebut karena kekhususan status pernikahan. Wajib atas istri dikenakan hukuman zina karena pengakuannya, dan hukuman qazaf terhadap orang lain karena dengan pengakuannya itu ia menjadi pelaku qazaf terhadapnya.

وَالْحَالُ الرابعة: أن يصدقه وتكذبه الزوجة فيسقط الزَّوْجِ حَدُّ الْقَذْفِ فِي حَقِّ الْأَجْنَبِيِّ لِتَصْدِيقِهِ، وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ لِتَكْذِيبِهَا وَوَجَبَ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ حَدُّ الزِّنَا بِإِقْرَارِهِ وَحَدُّ الْقَذْفِ لِلزَّوْجَةِ؛ لِأَنَّهُ صَارَ بِالْإِقْرَارِ قَاذِفًا لَهَا، وَلَا يَسْقُطُ حَقُّ الْقَذْفِ بِالْتِعَانِ الزَّوْجِ مِنْهَا، لِأَنَّ اللِّعَانَ لَا يُسْقِطُ حَدَّ الْقَذْفِ إِلَّا فِي حَقِّ الزَّوْجِ دُونَ الْأَجَانِبِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Keadaan keempat: Orang lain membenarkannya dan istri mendustakannya, maka gugurlah dari suami hukuman qazaf terhadap orang lain karena orang lain membenarkannya, dan tidak gugur terhadap istrinya karena istrinya mendustakannya. Wajib atas orang lain dikenakan hukuman zina karena pengakuannya, dan hukuman qazaf terhadap istri karena dengan pengakuannya itu ia menjadi pelaku qazaf terhadap istri. Hak qazaf tidak gugur dengan li‘ān suami terhadap istri, karena li‘ān tidak menggugurkan hukuman qazaf kecuali dalam hak suami, bukan terhadap orang lain – dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: وَرَمَى الْعَجْلَانِيُّ امْرَأَتَهُ بِابْنِ عَمِّهِ أَوْ بِابْنِ عمها شريك بن السحماء وذكر للنبي أَنَّهُ رَآهُ عَلَيْهَا وَقَالَ فِي الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ فَالْتَعَنَ وَلَمْ يُحْضِرْ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمَرْمِيَّ بِالْمَرْأَةِ فَاسْتَدْلَلْنَا عَلَى أَنَّ الزَّوْجَ إِذَا الْتَعَنَ لَمْ يَكُنْ عَلَى الزَّوْجِ لَلَذِيَ قَذَفَهُ بِامْرَأَتِهِ حَدٌّ وَلَوْ كَانَ لَهُ لَأَخَذَهُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَبَعَثَ إِلَى الْمَرْمِيِّ فَسَأَلَهُ فَإِنْ أَقَرَّ حُدَّ وَإِنْ أَنْكَرَ حُدَّ لَهُ الزَّوْجُ وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ وَسَأَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَرِيكًا فَأَنْكَرَ فَلَمْ يُحَلِّفْهُ وَلَمْ يَحُدَّهُ بِالْتِعَانِ غَيْرِهِ وَلَمْ يَحُدَّ الْعَجْلَانِيَّ الْقَاذِفَ لَهُ بِاسْمِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: Al-‘Ajlānī menuduh istrinya berzina dengan sepupunya atau dengan sepupu istrinya, yaitu Syarīk bin Sahmā’, dan ia menyampaikan kepada Nabi bahwa ia melihatnya di atas istrinya. Dalam pembahasan talak dari Ahkām al-Qur’ān, maka dilakukanlah li‘ān dan Nabi ﷺ tidak menghadirkan orang yang dituduh berzina dengan istrinya. Dari sini kami mengambil dalil bahwa apabila suami melakukan li‘ān, maka tidak ada hukuman bagi suami atas orang yang ia tuduh berzina dengan istrinya. Seandainya ada, tentu Rasulullah ﷺ akan menegakkannya untuknya dan akan memanggil orang yang dituduh, lalu menanyakannya; jika ia mengaku, maka ia dihukum, dan jika ia mengingkari, maka suami berhak menuntut hukuman baginya. Dalam al-Imlā’ ‘alā Masā’il Mālik disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bertanya kepada Syarīk, lalu ia mengingkari, maka Nabi tidak meminta sumpah darinya dan tidak menjatuhkan hukuman atasnya karena li‘ān orang lain, dan tidak menjatuhkan hukuman atas al-‘Ajlānī yang menuduhnya secara langsung.

قال الماوردي: أما رواية المزني هاهنا عَنِ الشَّافِعِيِّ: قَالَ: رَمَى الْعَجْلَانِيُّ امْرَأَتَهُ بِشَرِيكِ بْنِ السَّحْمَاءِ، فَقَدْ قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: إِنَّ الْمُزَنِيَّ غَلَطَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا النَّقْلِ وَأنَّ هِلَالَ بْنَ أُمَيَّةَ هُوَ الَّذِي قَذَفَ زَوْجَتَهُ بِشَرِيكِ بْنِ السَّحْمَاءِ دُونَ الْعَجْلَانِيِّ وَقَدْ حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي ” أَحْكَامِ الْقُرْآنِ ” عَنْ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ، وَالْمَقْصُودُ بِهَذِهِ الْجُمْلَةِ شَيْئَانِ:

Al-Māwardī berkata: Adapun riwayat al-Muzanī di sini dari asy-Syafi‘i: Ia berkata, “Al-‘Ajlānī menuduh istrinya berzina dengan Syarīk bin Sahmā’,” maka Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī berkata: Al-Muzanī keliru dalam menukil dari asy-Syafi‘i dalam hal ini, dan sesungguhnya Hilāl bin Umayyah-lah yang menuduh istrinya berzina dengan Syarīk bin Sahmā’, bukan al-‘Ajlānī. Hal ini juga dinukil oleh asy-Syafi‘i dalam “Ahkām al-Qur’ān” dari Hilāl bin Umayyah. Maksud dari penjelasan ini ada dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الزَّوْجَ إِذَا لَاعَنَ سَقَطَ عَنْهُ حَدُّ الْمَقْذُوفِ بِزَوْجَتِهِ سَوَاءٌ سَمَّاهُ فِي لِعَانِهِ أَوْ لَمْ يُسَمِّهِ، لِأَنَّ هِلَالَ بْنَ أُمَيَّةَ قَذَفَ زَوْجَتَهُ بِشَرِيكِ بْنِ السَّحْمَاءِ، وَلَمْ يُسَمِّهِ فِي لِعَانِهِ فَلَمْ يَحُدَّهُ لَهُ وَلَوْ وَجَبَ الْحَدُّ عَلَيْهِ لِأَعْلَمَ شَرِيكًا بِهِ لِيَسْتَوْفِيَهُ إِنْ شَاءَ، وَهَذَا أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ إِذَا لَمْ يَذْكُرْهُ فِي الْتِعَانِهِ.

Pertama: Jika suami melakukan li‘ān, maka gugur darinya hukuman bagi orang yang ia tuduh berzina dengan istrinya, baik ia menyebutkan namanya dalam li‘ān atau tidak, karena Hilāl bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarīk bin Sahmā’, namun tidak menyebutkan namanya dalam li‘ān, dan tidak dijatuhkan hukuman atas Syarīk. Seandainya hukuman itu wajib, tentu Syarīk akan diberitahu agar ia dapat menuntutnya jika ia menghendaki. Ini adalah salah satu dari dua pendapat jika namanya tidak disebutkan dalam li‘ān.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُحَدُّ، وَوَجْهُهُ مَا قَدَّمْنَاهُ وَلَيْسَ فِي تَرْكُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِعْلَامَ شَرِيكٍ دَلِيلٌ عَلَى سُقُوطِ الْحَدِّ، لِأَنَّ شَرِيكًا قَدْ عَلِمَ بِالْحَالِ فَأَمْسَكَ وَلَمْ يُطَالِبْ، وَلِأَنَّ الْمَدِينَةَ مَعَ صِغَرِهَا وَقِلَّةِ أَهْلِهَا، وَاشْتِهَارِ لِعَانِ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ فِي قَذْفِهِ بِمَحْضَرٍ مِنْ جُمْهُورِ الصَّحَابَةِ، وَلَا يَخْفَى عَلَى شَرِيكٍ وَهُوَ حَاضِرٌ بِالْمَدِينَةِ أَنَّهُ مَقْصُودٌ بِالْقَذْفِ فَإِذَا عَلِمَ وَأَمْسَكَ لَمْ يَلْزَمْهُ إِعْلَامُهُ، وَلَا اسْتِيفَاءُ الْحَدِّ لَهُ.

Pendapat kedua: Dikenakan hukuman, dan alasannya telah kami sebutkan sebelumnya. Tidak adanya pemberitahuan dari Rasulullah ﷺ kepada Syarīk bukanlah dalil gugurnya hukuman, karena Syarīk telah mengetahui keadaannya lalu ia diam dan tidak menuntut. Selain itu, kota Madinah yang kecil dan penduduknya sedikit, serta li‘ān Hilāl bin Umayyah dalam menuduh istrinya dilakukan di hadapan mayoritas sahabat, sehingga tidak mungkin tersembunyi dari Syarīk yang hadir di Madinah bahwa ia adalah pihak yang dimaksud dalam tuduhan tersebut. Maka jika ia sudah tahu dan diam, tidak wajib memberitahunya, dan tidak wajib pula menegakkan hukuman baginya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

أَمَّا الْمَقْصُودُ الثَّانِي بِهَذِهِ الْجُمْلَةِ، فَهُوَ مَا ظَهَرَ مِنَ اخْتِلَافِ النَّقْلِ فِيهَا، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ فِي كِتَابِ الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ، وَلَمْ يُحْضِرْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمَرْمِيَّ بِالْمَرْأَةِ.

Adapun maksud kedua dari kalimat ini adalah apa yang tampak dari perbedaan riwayat tentangnya, karena asy-Syafi‘i berkata dalam Kitab ath-Thalaq dari Ahkam al-Qur’an, “Rasulullah ﷺ tidak menghadirkan Syariq terhadap perempuan itu.”

وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ: وَسَأَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَرِيكًا فَأَنْكَرَ، فَصَارَ ظَاهِرُ هَذَا النَّقْلِ مُخْتَلِفًا، لِأَنَّهُ حَكَى أَنَّ شَرِيكًا لَمْ يَحْضُرْ ثُمَّ أنَّهُ حَضَرَ وَسُئِلَ، وَإِثْبَاتُ الشَّيْءِ وَنَفْيُهُ مُتَنَافٍ مُسْتَحِيلٌ.

Dan beliau berkata dalam al-Imla’ ‘ala Masa’il Malik: “Nabi ﷺ bertanya kepada Syariq, lalu Syariq mengingkarinya.” Maka, tampaklah bahwa riwayat ini berbeda, karena beliau meriwayatkan bahwa Syariq tidak hadir, kemudian bahwa ia hadir dan ditanya, dan menetapkan serta meniadakan sesuatu adalah dua hal yang saling bertentangan dan mustahil terjadi bersamaan.

وَعَنْ هَذَا جَوَابَانِ:

Mengenai hal ini ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَيْسَ فِي هَذَا النَّقْلِ خِلَافٌ مُسْتَحِيلٌ، لِأَنَّ قَوْلَهُ: لَمْ يُحْضِرْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَرِيكًا – يَعْنِي وَقْتَ اللِّعَانِ.

Pertama: Bahwa dalam riwayat ini tidak terdapat perbedaan yang mustahil, karena ucapannya: “Rasulullah ﷺ tidak menghadirkan Syariq” maksudnya adalah pada waktu li‘an.

وَقَوْلُهُ: وَسَأَلَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَرِيكًا يَعْنِي وَقْتَ وَضْعِ الْوَلَدِ عَلَى شَبَهِهِ لِقُوَّةِ الشُّبْهَةِ فِي صِحَّةِ قَذْفِهِ فَلَمْ يُمْتَنَعْ ذَلِكَ وَلَمْ يُسْتَحَلَّ.

Dan ucapannya: “Rasulullah ﷺ bertanya kepada Syariq” maksudnya adalah pada waktu anak itu dilahirkan yang menyerupai Syariq, karena kuatnya dugaan dalam kebenaran tuduhan qazaf-nya, maka hal itu tidaklah mustahil dan tidak pula diharamkan.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ الشَّافِعِيَّ أَخَذَ عَنِ الْوَاقِدِيِّ أَوْ مِنْ كِتَابِهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يُحْضِرْ شَرِيكًا وَلَا سَأَلَهُ. فَذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي ” أَحْكَامِ الْقُرْآنِ ” وَفَرَّعَ عَلَيْهِ، ثُمَّ سَمِعَ مِنْ غَيْرِ الْوَاقِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَحْضَرَ شَرِيكًا، أَوْ حَضَرَ فَسَأَلَهُ فَأَنْكَرَ فَذَكَرَهُ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ وَفَرَّعَ عَلَيْهِ. وَلَمْ يَرْجِعْ عَمَّا أَخَذَهُ عَنِ الْوَاقِدِيِّ إِمَّا لِأَنَّهُ لَمْ يَقْطَعْ بِصِحَّةِ أَحَدِ النَّقْلَيْنِ، وَإِمَّا لِأَنْ يُبَيِّنَ حُكْمَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ النَّقْلَيْنِ، وَإِمَّا لِسَهْوِهِ عَنِ الْأَوَّلِ لِتَشَاغُلِهِ بِالْمُسْتَقْبَلِ فَكَانَ هَذَا سَبَبَ مَا اخْتَلَفَ فِيهِ نَقْلُهُ وَاللَّهُ أعلم.

Jawaban kedua: Bahwa asy-Syafi‘i mengambil dari al-Waqidi atau dari kitabnya bahwa Nabi ﷺ tidak menghadirkan Syariq dan tidak pula menanyakannya. Maka asy-Syafi‘i menyebutkannya dalam “Ahkam al-Qur’an” dan membangun pendapat di atasnya. Kemudian beliau mendengar dari selain al-Waqidi bahwa Rasulullah ﷺ menghadirkan Syariq, atau Syariq hadir lalu beliau menanyakannya dan Syariq mengingkarinya, maka beliau menyebutkannya dalam al-Imla’ ‘ala Masa’il Malik dan membangun pendapat di atasnya. Dan beliau tidak menarik kembali apa yang diambil dari al-Waqidi, mungkin karena beliau tidak memastikan kebenaran salah satu dari dua riwayat, atau untuk menjelaskan hukum dari masing-masing riwayat, atau karena beliau lupa terhadap yang pertama karena sibuk dengan yang akan datang. Maka inilah sebab perbedaan riwayat beliau, dan Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” (وقال) في اللعان لَيْسَ لِلْإِمَامِ إِذَا رُمِيَ رَجُلٌ بِزِنًا أَنْ يبعث إليه عَنْ ذَلِكَ لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ {وَلا تَجَسَّسُوا} فَإِنْ شُبِّهَ عَلَى أَحَدٍ أَنَّ النَّبِيَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ أُنَيْسًا إِلَى امْرَأَةِ رَجُلٍ فَقَالَ: ” إِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا ” فَتِلْكَ امْرَأَةٌ ذَكَرَ أَبُو الزَّانِي بِهَا أَنَّهَا زَنَتْ فَكَانَ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْأَلَ فإن أقرت حدت وسقط الحد عمن قدفها وإن أنكرت حد قاذفها وكذلك لو كان قاذفها زوجها (قال) ولما كان القاذف لامرأته إذا التعن لو جاء المقذوف بعينه لم يؤخذ له الحد لم يكن لمسألة المقذوف معنى إلا أن يسأل ليحد ولم يسأله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وإنما سأل المقذوفة والله عز وجل أعلم للحد الذي يقع لها إن لم تقر بالزنا ولم يلتعن الزوج “.

Asy-Syafi‘i berkata: “(Dan beliau berkata) dalam masalah li‘an, tidak boleh bagi imam, jika seorang laki-laki dituduh berzina, untuk mengutus seseorang kepadanya karena hal itu, karena Allah berfirman: {Dan janganlah kamu saling memata-matai}. Jika ada yang menyangka bahwa Nabi ﷺ mengutus Unais kepada istri seorang laki-laki lalu beliau bersabda: ‘Jika ia mengaku, maka rajamlah dia,’ maka itu adalah seorang perempuan yang pelaku zina menyebutkan bahwa ia telah berzina, sehingga wajib bagi beliau untuk menanyakannya. Jika ia mengaku, maka ia dikenai had, dan gugurlah had dari orang yang menuduhnya. Jika ia mengingkari, maka yang menuduhnya dikenai had, demikian pula jika yang menuduhnya adalah suaminya. (Beliau berkata) Dan ketika seorang suami yang menuduh istrinya, jika ia melakukan li‘an, lalu orang yang dituduh datang sendiri, maka tidak dijatuhkan had baginya, maka tidak ada makna menanyakan kepada orang yang dituduh kecuali untuk menegakkan had, dan Nabi ﷺ tidak menanyakannya, melainkan beliau menanyakan kepada perempuan yang dituduh, dan Allah Azza wa Jalla lebih mengetahui, untuk menetapkan had baginya jika ia tidak mengaku berzina dan suaminya tidak melakukan li‘an.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الْإِمَامَ إِذَا سَمِعَ قَذْفًا بِالزِّنَا فَإِنَّهُ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: “Keseluruhan masalah ini adalah bahwa jika imam mendengar tuduhan zina, maka hal itu terbagi menjadi tiga bagian:

أحدهما: أَنْ يَتَعَيَّنَ فِيهِ الْقَاذِفُ وَلَا يَتَعَيَّنَ الْمَقْذُوفُ كأن سمع رجلاً يقول زنا رَجُلٌ مِنْ جِيرَانِي، أَوْ زَنَتِ امْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ بَغْدَادَ، فَالْقَاذِفُ مُتَعَيَّنٌ وَالْمَقْذُوفُ غَيْرُ مُتَعَيَّنٍ، فَلَا حَدَّ عَلَى الْقَاذِفِ لِلْجَهْلِ بِمُسْتَحَقِّ الْحَدِّ، وَلَا يَسْأَلُ عَنْ تَعْيِينِ الْمَقْذُوفِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تسؤكم} [المائدة: 101] .

Pertama: Penuduhnya jelas, tetapi yang dituduh tidak jelas, seperti jika ia mendengar seseorang berkata, ‘Seorang laki-laki dari tetanggaku telah berzina,’ atau ‘Seorang perempuan dari penduduk Baghdad telah berzina.’ Maka penuduhnya jelas, sedangkan yang dituduh tidak jelas, sehingga tidak dijatuhkan had kepada penuduh karena tidak diketahui siapa yang berhak menerima had, dan tidak ditanyakan tentang siapa yang dituduh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Janganlah kamu menanyakan sesuatu yang jika dijelaskan kepadamu akan menyusahkanmu} (al-Ma’idah: 101).

وَمِثَالُهُ: أَنْ يَقُولَ رَجُلٌ سَمِعْتُ مَنْ يَقُولُ: أن فلانا زنا، أو سمعت الناس

Contohnya adalah jika seseorang berkata, ‘Aku mendengar seseorang berkata bahwa si Fulan telah berzina,’ atau ‘Aku mendengar orang-orang berkata…’

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَعَيَّنَ فِيهِ الْمَقْذُوفُ وَلَا يتعين القاذف.

Bagian kedua: Yang dituduh jelas, tetapi penuduhnya tidak jelas.

يقولون: زنا فَلَانٌ، فَلَا حَدَّ عَلَى حَاكِي الْقَذْفِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِقَاذِفٍ، وَلَا يَسْأَلُهُ عَنِ الْقَاذِفِ، لِأَنَّ حَقَّ الْمُطَالَبَةِ لَمْ يَتَوَجَّهْ عَلَيْهِ بِحَدٍّ وَلَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ أَوِ الْإِمَامِ أَنْ يَسْأَلَ عَنِ المقذوف هل زنا أَمْ لَا؟ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تَجَسَّسُوا} [الحجرات: 12] . وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِهَزَّالٍ: ” هَلَّا سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ يَا هَزَّالُ “.

Mereka berkata: “Si Fulan telah berzina,” maka tidak ada had atas orang yang hanya mengisahkan tuduhan (qadzaf), karena ia bukanlah orang yang menuduh secara langsung, dan tidak ditanyakan kepadanya tentang siapa penuduhnya, sebab hak untuk menuntut had tidak tertuju kepadanya. Tidak boleh pula bagi hakim atau imam untuk bertanya kepada orang yang dituduh, “Apakah engkau telah berzina atau tidak?” Allah Ta‘ala berfirman: {Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain} [al-Hujurat: 12]. Dan Nabi ﷺ bersabda kepada Hazzal: “Tidakkah engkau tutupi dia dengan pakaianmu, wahai Hazzal?”

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَعَيَّنَ فِيهِ الْقَاذِفُ وَالْمَقْذُوفُ، كَقَوْلِ رجل للإمام: زنا فُلَانٌ أَوْ فُلَانَةٌ، فَيَكُونُ الْقَاذِفُ وَالْمَقْذُوفُ مُعَيَّنَيْنِ، فلا يجوز للإمام أن يسأل المقذوف هل زنا أَمْ لَا؟ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ أَتَى مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ حَدَّ اللَّهِ عَلَيْهِ “.

Bagian ketiga: Apabila penuduh dan yang dituduh telah ditentukan secara jelas, seperti ucapan seseorang kepada imam: “Si Fulan atau si Fulana telah berzina,” maka penuduh dan yang dituduh telah ditetapkan secara spesifik. Maka tidak boleh bagi imam untuk bertanya kepada yang dituduh, “Apakah engkau telah berzina atau tidak?” Karena Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa melakukan salah satu dari perbuatan keji ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan perlindungan Allah, sebab siapa yang menampakkan dirinya kepada kami, niscaya kami akan menegakkan had Allah atasnya.”

وَهَلْ يَلْزِمُ الْإِمَامَ إِعْلَامُ الْمَقْذُوفِ بِحَالِ قَذْفِهِ لِيُطَالِبَ قَاذِفَهُ بِحَدِّهِ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Apakah imam wajib memberitahukan kepada orang yang dituduh tentang keadaan tuduhan terhadap dirinya agar ia dapat menuntut penuduhnya untuk ditegakkan had, atau tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: يَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ إِعْلَامُهُ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ قَدْ وَجَبَ لَهُ بِالْقَذْفِ حَقٌّ لَمْ يَعْلَمْ بِهِ فَلَزِمَ الْإِمَامَ حِفْظُهُ عَلَيْهِ بِإِعْلَامِهِ لِيَسْتَوْفِيَهُ إِنْ شَاءَ كَمَا يَلْزَمُهُ إِعْلَامُهُ بِمَا ثَبَتَ عِنْدَهُ مِنْ أَمْوَالِهِ، لِجَمْعِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَعْرَاضِ فِي قَوْلِهِ: ” أَلَا إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ ” وَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُنَيْسًا حِينَ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا لِهَذَا، وَأَنَّهُ زنا بِامْرَأَتِهِ، فَقَالَ: ” يَا أُنَيْسُ اغْدُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا ” فَكَانَ إِيفَادُ أُنَيْسٍ إليها لا ليسألها عن الزنى هَلْ زَنَتْ أَمْ لَا؟ وَلَكِنْ لِيُخْبِرَهَا بِحَالِ قَاذِفِهَا، فَإِنْ أَكْذَبَتْهُ وَطَلَبَتْ حَدَّهُ حُدَّ لَهَا، وَإِنْ صَدَّقَتْهُ وَاعْتَرَفَتْ بِالزِّنَا حُدَّتْ.

Pertama: Wajib bagi imam untuk memberitahukannya, karena dengan adanya tuduhan qadzaf, telah tetap baginya suatu hak yang ia sendiri tidak mengetahuinya, maka wajib bagi imam untuk menjaga hak tersebut dengan memberitahukannya, agar ia dapat menuntutnya jika ia menghendaki, sebagaimana imam juga wajib memberitahukan tentang harta miliknya yang telah tetap di sisi imam. Hal ini karena Rasulullah ﷺ menggabungkan antara harta dan kehormatan dalam sabdanya: “Ketahuilah, sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian.” Berdasarkan pendapat ini, Rasulullah ﷺ memerintahkan Unais ketika datang seorang laki-laki kepadanya dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku adalah pelayan bagi orang ini, dan ia telah berzina dengan istrinya.” Maka beliau bersabda: “Wahai Unais, pergilah engkau kepada istri orang ini, jika ia mengaku, maka rajamlah dia.” Maka pengutusan Unais kepadanya bukanlah untuk menanyakan tentang zina, apakah ia telah berzina atau tidak, melainkan untuk memberitahukan kepadanya tentang keadaan penuduhnya. Jika ia mendustakan penuduh dan menuntut ditegakkannya had, maka had ditegakkan untuknya; dan jika ia membenarkan penuduh dan mengakui perzinaan, maka had ditegakkan atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ عَلَى الْإِمَامِ إِعْلَامُهُ، لِأَنَّهَا حُدُودٌ تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” جَنْبُ الْمُؤْمِنِ حِمًى “.

Pendapat kedua: Tidak wajib bagi imam untuk memberitahukannya, karena ini adalah hudud yang dapat digugurkan dengan adanya syubhat, dan Nabi ﷺ bersabda: “Sisi (kehormatan) seorang mukmin adalah wilayah terlarang.”

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ أن يعدي قَذْفَ الْغَائِبِ إِلَى قَذْفِ حَاضِرٍ مُطَالِبٍ كَرَجُلٍ قَذَفَ امْرَأَتَهُ بِرَجُلٍ سَمَّاهُ فَلَاعَنَ الزَّوْجُ مِنْهَا لَمْ يَلْزَمِ الْإِمَامَ إِعْلَامُهُ، لِأَنَّ لِعَانَ الزَّوْجِ يُسْقِطُ مِنَ الْقَذْفِ فِي حَقِّ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلِذَلِكَ لَمْ يُعْلِمْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَرِيكًا حِينَ قَذَفَهُ هِلَالُ بْنُ أُمَيَّةَ بِامْرَأَتِهِ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْقَذْفُ مِنْ أَجْنَبِيٍّ لِرَجُلٍ وَامْرَأَةٍ بِزِنَاهَا بِهِ فَحَضَرَ أَحَدُهُمَا مُطَالِبًا بِالْحَدِّ لَمْ يَلْزَمِ الْإِمَامَ إِعْلَامُ الْآخَرِ، لِأَنَّ الْحَاضِرَ إِذَا اسْتَوْفَى الْحَدَّ فَهُوَ فِي حَقِّهِ وَحَقِّ الْغَائِبِ، لِأَنَّ فِي زَوَالِ الْمَعَرَّةِ عَنْ أَحَدِهِمَا بِالْحَدِّ فِي قَذْفِهِمَا زَوَالًا لِلْمَعَرَّةِ عَنْهُمَا، لِأَنَّ الزِّنَا وَاحِدٌ، فَإِذَا لَمْ يَتَّصِلْ قَذْفُ الْغَائِبِ بِحَاضِرٍ فَيُطَالِبُ وَجَبَ عَلَى الْإِمَامِ إِعْلَامُ الْغَائِبِ لِيَسْتَوْفِيَ بِالْمُطَالَبَةِ حَقَّهُ إِنْ شَاءَ كَمَا أَوْفَدَ أُنَيْسًا إِلَى الْمَرْأَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat ketiga: Yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, bahwa tuduhan qadzaf terhadap orang yang tidak hadir dapat dialihkan kepada qadzaf terhadap orang yang hadir yang menuntut, seperti seorang laki-laki menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki yang disebutkan namanya, lalu suami melakukan li‘an terhadap istrinya, maka tidak wajib bagi imam untuk memberitahukan kepada laki-laki tersebut, karena li‘an suami menggugurkan qadzaf terhadap masing-masing dari keduanya. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ tidak memberitahukan Syarik ketika Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengannya. Demikian pula jika qadzaf dilakukan oleh orang asing terhadap seorang laki-laki dan perempuan dengan menuduh perempuan itu berzina dengannya, lalu salah satu dari keduanya hadir dan menuntut ditegakkannya had, maka tidak wajib bagi imam untuk memberitahukan kepada yang lain, karena jika yang hadir telah menuntut ditegakkannya had, maka itu berlaku untuk dirinya dan juga untuk yang tidak hadir. Sebab, hilangnya aib dari salah satu dari keduanya dengan ditegakkannya had atas qadzaf terhadap mereka berdua, maka aib itu juga hilang dari keduanya, karena perzinaan itu satu. Namun, jika qadzaf terhadap yang tidak hadir tidak berkaitan dengan yang hadir yang menuntut, maka wajib bagi imam untuk memberitahukan kepada yang tidak hadir agar ia dapat menuntut haknya jika ia menghendaki, sebagaimana Rasulullah ﷺ mengutus Unais kepada perempuan tersebut. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَأْيُّ الزَّوْجَيْنِ كَانَ أَعْجَمِيًّا الْتَعَنَ بِلِسَانِهِ بِشَهَادَةِ عَدْلَيْنِ يَعْرِفَانِ لِسَانَهُ وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ لَوْ كَانُوا أَرْبَعَةً “.

Imam Syafi‘i berkata: “Siapa pun dari kedua suami-istri yang merupakan orang non-Arab, maka li‘an dilakukan dengan bahasanya sendiri dengan persaksian dua orang adil yang memahami bahasanya, dan lebih aku sukai jika mereka berjumlah empat orang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْقَذْفُ بِالْأَعْجَمِيَّةِ لِمَنْ يَعْرِفُهَا فَكَالْقَذْفِ بِالْعَرَبِيَّةِ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ فِيهِ سَوَاءٌ كَانَ عَرَبِيًّا أَوْ أَعْجَمِيًّا، فَأَمَّا اللعان بالأعجمية فإن كان ممن يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ جَازَ لِعَانُهُ بِالْأَعْجَمِيَّةِ، لِأَنَّ اللِّعَانَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ يَمِينًا أَوْ شَهَادَةً وَكِلَاهُمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِالْأَعْجَمِيَّةِ، وَإِنْ كَانَ يُحْسِنُ بالعربية نُظِرَ فِي أَصْلِ لِسَانِهِ وَعُمُومِ كَلَامِهِ فَإِنْ كَانَ عَرَبِيَّ اللِّسَانِ وَالْكَلَامِ وَهُوَ يَعْرِفُ الْأَعْجَمِيَّةَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُلَاعِنَ إِلَّا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun tuduhan zina (qadzaf) dengan bahasa non-Arab kepada orang yang memahaminya, maka hukumnya sama dengan tuduhan zina dengan bahasa Arab dalam hal kewajiban had, baik pelakunya orang Arab maupun non-Arab. Adapun li‘ān dengan bahasa non-Arab, jika pelakunya mampu berbahasa Arab, maka li‘ān dengan bahasa non-Arab tetap sah, karena li‘ān itu pada dasarnya adalah sumpah atau kesaksian, dan keduanya boleh dilakukan dengan bahasa non-Arab. Namun, jika ia mampu berbahasa Arab, maka dilihat dari asal bahasanya dan kebiasaan bicaranya. Jika ia adalah orang yang berbahasa dan berbicara Arab, meskipun ia memahami bahasa non-Arab, maka tidak sah baginya melakukan li‘ān kecuali dengan bahasa Arab karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللِّعَانَ مَحْمُولُ الْأَلْفَاظِ عَلَى مَا يَقْتَضِيهِ الْقُرْآنُ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ بِلِسَانِهِ الْعَرَبِيِّ مِنَ الْعَرَبِ.

Pertama: Lafaz li‘ān itu mengikuti apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an, sehingga harus dengan bahasa Arab bagi orang Arab.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي عُدُولِ الْعَرَبِيِّ عَنْ لِسَانِهِ اسْتِرَابَةً تَضْمَنُ احْتِمَالًا يَمْنَعُ مِنْ تَغْلِيظِ اللِّعَانِ، فَإِنْ كَانَ أَصْلُ لِسَانِهِ أَعْجَمِيًّا، وَهُوَ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ فَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ بِالْأَعْجَمِيَّةِ وَجْهَانِ:

Kedua: Berpindahnya orang Arab dari bahasanya menimbulkan keraguan yang memungkinkan adanya kemungkinan yang menghalangi penguatan li‘ān. Jika asal bahasanya adalah non-Arab, namun ia mampu berbahasa Arab, maka dalam kebolehan li‘ān dengan bahasa non-Arab terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ – لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ إِلَّا بِالْعَرَبِيَّةِ اعْتِبَارًا بِلَفْظِ الْقُرْآنِ الْمُعَوَّلِ عَلَيْهِ فِي اللِّعَانِ.

Pertama, menurut pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini: Tidak boleh melakukan li‘ān kecuali dengan bahasa Arab, berdasarkan lafaz al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam li‘ān.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ بِالْأَعْجَمِيَّةِ اعْتِبَارًا بِزَوَالِ الِاسْتِرَابَةِ مِنْ مِثْلِهِ فِي جَرْيِهِ عَلَى عَادَةِ لِسَانِهِ.

Pendapat kedua: Boleh melakukan li‘ān dengan bahasa non-Arab, dengan pertimbangan hilangnya keraguan pada orang seperti itu karena ia menggunakan kebiasaan bahasanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ أَرَادَ الْحَاكِمُ أَنْ يُلَاعِنَ بَيْنَ الْأَعْجَمِيَّيْنِ بِالْأَعْجَمِيَّةِ لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ عَارِفًا بِلِسَانِهِمَا أَوْ غَيْرَ عَارِفٍ، فَإِنْ كَانَ عَارِفًا بِلِسَانِهِمَا لَمْ يَحْتَجْ إِلَى تُرْجُمَانٍ وَجَعَلَ الحاضرين للعانهما من يعرفون الأعجمية، أن يَكُونُ فِيهِمْ مِمَّنْ يَعْرِفُهَا الْعَدَدُ الْمَأْمُورُ بِهِ وَهُمْ أَرْبَعَةٌ، وَإِنْ كَانَ الْحَاكِمُ لَا يَعْرِفُ لِسَانَهُمَا احْتَاجَ إِلَى تُرْجُمَانٍ، وَاخْتُلِفَ فِي التَّرْجَمَةِ هَلْ تَكُونُ خَبَرًا أَوْ شَهَادَةً.

Jika hakim ingin melakukan li‘ān antara dua orang non-Arab dengan bahasa non-Arab, maka tidak lepas dari dua keadaan: ia memahami bahasa mereka atau tidak. Jika ia memahami bahasa mereka, maka tidak membutuhkan penerjemah, dan orang-orang yang hadir untuk li‘ān mereka adalah yang memahami bahasa non-Arab, dan di antara mereka harus ada jumlah yang disyaratkan, yaitu empat orang. Jika hakim tidak memahami bahasa mereka, maka ia membutuhkan penerjemah. Dalam hal penerjemahan, terdapat perbedaan pendapat: apakah penerjemahan itu dianggap sebagai berita (kabar) atau sebagai kesaksian.

فَجَعَلَهُمَا أَبُو حَنِيفَةَ خَبَرًا وَاعْتَمَدَ فِيهَا عَلَى تَرْجَمَةِ الْوَاحِدِ كَالْأَخْبَارِ، وَهِيَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ شَهَادَةٌ، لِأَنَّ الْحَاكِمَ يَحْكُمُ بِهَا عَلَى غَيْرِ الْمُتَرْجِمِ فِيمَا لَمْ يَعْلَمْهُ إِلَّا مِنَ الْمُتَرْجِمِ فَصَارَتْ عِنْدَهُ شَهَادَةً بِإِقْرَارٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهَا حُكْمُ الشَّهَادَاتِ، وَسَنَسْتَوْفِي الْكَلَامَ فِي مَوْضِعِهِ مِنْ كِتَابِ ” الشَّهَادَاتِ “.

Abu Hanifah menganggapnya sebagai berita dan membolehkan penerjemahan dilakukan oleh satu orang sebagaimana dalam berita. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i, penerjemahan itu adalah kesaksian, karena hakim memutuskan perkara terhadap selain penerjemah dalam hal yang tidak ia ketahui kecuali dari penerjemah, sehingga menurutnya penerjemahan itu menjadi kesaksian atas pengakuan, dan karenanya berlaku hukum-hukum kesaksian atasnya. Pembahasan lebih lanjut akan dijelaskan pada tempatnya dalam Kitab “Kesaksian”.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّرْجَمَةَ شَهَادَةٌ فَهِيَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ فِي لِعَانٍ قَدْ يَجْرِي عَلَيْهِ بَعْضُ أَحْكَامِ الزِّنَا وَالشَّهَادَةُ فِي الزِّنَا مُعْتَبَرَةٌ بِمَا تَضَمَّنَهَا فَإِنْ كَانَتْ عَلَى فِعْلِ الزِّنَا لَمْ تَثْبُتْ بِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةٍ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika telah ditetapkan bahwa penerjemahan adalah kesaksian, maka dalam konteks li‘ān ini, sebagian hukum zina dapat berlaku padanya. Kesaksian dalam perkara zina dipertimbangkan sesuai dengan kandungannya. Jika kesaksian itu atas perbuatan zina, maka tidak sah kecuali dengan empat orang saksi. Jika kesaksian itu atas pengakuan zina, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّهَادَةَ لَا تَكُونُ بِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةٍ لِأَنَّهَا تُوجِبُ حَدَّ الزِّنَا كَمَا تُوجِبُهُ الشَّهَادَةُ عَلَى فِعْلِ الزِّنَا.

Pertama: Kesaksian tidak sah kecuali dengan empat orang, karena hal itu mewajibkan had zina sebagaimana kesaksian atas perbuatan zina.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَثْبُتُ بِشَاهِدَيْنِ، لِأَنَّ الشَّهَادَةَ عَلَى فِعْلِ الزِّنَا أَغْلَظُ مِنَ الشَّهَادَةِ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا، لِأَنَّ الشَّهَادَةَ عَلَى فِعْلِهِ إِذَا لَمْ تَكْمُلْ أَوْجَبَتْ حَدَّ الْقَذْفِ وَعَلَى الْإِقْرَارِ بِهِ لَا تُوجِبُهُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالتَّرْجَمَةُ لَا يُعْتَبَرُ فِيهَا عَدَدُ الشُّهُودِ عَلَى فِعْلِ الزِّنَا، وَهَلْ يُعْتَبَرُ فِيهَا عَدَدُ الشُّهُودِ عَلَى الْإِقْرَارِ بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ لِأَصْحَابِنَا:

Pendapat kedua: Kesaksian cukup dengan dua orang saksi, karena kesaksian atas perbuatan zina lebih berat daripada kesaksian atas pengakuan zina. Sebab, jika kesaksian atas perbuatan zina tidak lengkap, maka mewajibkan had qadzaf, sedangkan pada pengakuan tidak mewajibkannya. Dengan demikian, dalam penerjemahan tidak dipertimbangkan jumlah saksi sebagaimana pada perbuatan zina. Adapun apakah dipertimbangkan jumlah saksi sebagaimana pada pengakuan zina atau tidak, terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami:

أَحَدُهُمَا: يُعْتَبَرُ فِيهِمْ عَدَدُ الْإِقْرَارِ بِهِ، لِأَنَّهُ رُبَّمَا تَضَمَّنَ اللِّعَانُ إِقْرَارًا بِهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ أَرْبَعَةً وَفِي الثَّانِي شَاهِدَيْنِ.

Pertama: Dipertimbangkan jumlah saksi sebagaimana pada pengakuan zina, karena terkadang li‘ān mengandung pengakuan zina. Dengan demikian, menurut salah satu pendapat, jumlahnya empat orang, dan menurut pendapat kedua, dua orang saksi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّهُمَا أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِيهِمْ عَدَدُ الْإِقْرَارِ بِغَيْرِ الزِّنَا فِي جَوَازِ الِاقْتِصَارِ عَلَى شَاهِدَيْنِ لأنه ليس في المتلاعنين أقر بالزنا، فإن أقر به أَحَدُهُمَا اعْتُبِرَ حِينَئِذٍ فِي إِقْرَارِهِ شَهَادَةُ الْمُقِرِّ فَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَرْبَعَةً عَلَى الِاخْتِيَارِ دُونَ الْوُجُوبِ، أَوْ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْحُضُورِ دون المترجمين.

Pendapat kedua, dan ini yang paling sahih di antara keduanya, adalah bahwa dalam hal ini dipertimbangkan jumlah pengakuan selain zina dalam kebolehan mencukupkan dengan dua orang saksi, karena tidak ada di antara kedua orang yang saling melaknat (mutalā‘in) yang mengakui perbuatan zina. Jika salah satu dari mereka mengakuinya, maka pada saat itu dalam pengakuannya dipersyaratkan adanya kesaksian dari yang mengaku. Berdasarkan hal ini, perkataan asy-Syāfi‘ī tentang “empat” dibawa pada makna pilihan, bukan kewajiban, atau pada makna jamaah yang hadir, bukan para penerjemah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَ أَخْرَسَ يَفْهَمُ الْإِشَارَةَ الْتَعَنَ بِالْإِشَارَةِ وَإِنِ انْطَلَقَ لِسَانُهُ بَعْدَ الْخَرَسِ لَمْ يُعِدْ “.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Jika seseorang bisu yang memahami isyarat, maka ia melaknat dengan isyarat. Jika setelah bisu lisannya dapat berbicara, maka ia tidak mengulangi (li‘ān).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي لِعَانِ الْأَخْرَسِ وَذَكَرْنَا خِلَافَ أَبِي حَنِيفَةَ فِيهَا وَمَنْعَهُ مِنْ لِعَانِ الْأَخْرَسِ وَإِنْ جَوَّزْنَاهُ، بِمَا أَغْنَى عَنِ الْإِعَادَةِ، فَلَوْ لَاعَنَ الْأَخْرَسُ بِالْإِشَارَةِ ثُمَّ انْطَلَقَ لِسَانُهُ لَمْ يُعِدِ اللِّعَانَ وَأَجْزَأَ ما تقدم منه بالإشارة.

Al-Māwardī berkata: Masalah ini telah kami bahas sebelumnya dalam li‘ān orang bisu, dan kami telah menyebutkan perbedaan pendapat Abū Ḥanīfah di dalamnya serta larangannya terhadap li‘ān orang bisu, meskipun kami membolehkannya, sehingga tidak perlu diulang. Maka jika orang bisu melakukan li‘ān dengan isyarat kemudian lisannya dapat berbicara, ia tidak perlu mengulangi li‘ān dan apa yang telah dilakukan sebelumnya dengan isyarat sudah mencukupi.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” ثُمَّ تُقَامُ الْمَرْأَةُ فَتَقُولُ أَشْهَدُ بِاللَّهِ أَنَّ زَوْجِيَ فُلَانًا وَتُشِيرُ إِلَيْهِ إِنْ كَانَ حَاضِرًا لَمِنَ الْكَاذِبِينَ فِيمَا رَمَانِي بِهِ مِنَ الزِّنَا ثم تعود حتى تقول ذلك أربع مرات فإذا فرغت وقفها الإمام وذكرها الله تعالى وقال احذري أن تبوئي بغضب من الله إن لم تكوني صادقة في أيمانك فإن رآها تمضي وحضرتها امرأة أمرها أن تضع يدها على فيها وإن لم تحضرها ورآها تمضي قال لها قولي وعلي غضب الله إن كان مِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَانِي بِهِ مِنَ الزِّنَا فإذا قالت ذلك فقد فرغت قال وإنما أمرت بوقفهما وتذكيرهما الله لأن ابن عباس رضي الله عنهما حكى أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر رجلاً حين لاعن بين المتلاعنين أن يضع يده على فيه في الخامسة وقال إنها موجبة “.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Kemudian didirikanlah perempuan itu, lalu ia berkata: ‘Aku bersaksi demi Allah bahwa suamiku, si fulan’—dan ia menunjuk kepadanya jika ia hadir—‘termasuk orang-orang yang berdusta atas tuduhan zina yang ia lemparkan kepadaku.’ Kemudian ia mengulangi hingga mengucapkan hal itu sebanyak empat kali. Setelah selesai, imam menahannya dan mengingatkannya kepada Allah Ta‘ālā, serta berkata: ‘Waspadalah, jangan sampai engkau menanggung kemurkaan dari Allah jika engkau tidak jujur dalam sumpahmu.’ Jika imam melihat ia tetap melanjutkan dan ada perempuan lain yang hadir, maka imam memerintahkan perempuan itu untuk meletakkan tangannya di mulutnya. Jika tidak ada perempuan lain yang hadir dan imam melihat ia tetap melanjutkan, maka imam berkata kepadanya: ‘Ucapkanlah: Dan atas diriku kemurkaan Allah jika ia termasuk orang-orang yang benar atas tuduhan zina yang ia lemparkan kepadaku.’ Jika ia telah mengucapkan hal itu, maka ia telah selesai. Dikatakan, ‘Keduanya diperintahkan untuk berdiri dan diingatkan kepada Allah karena Ibnu ‘Abbās ra. meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memerintahkan seorang laki-laki ketika melakukan li‘ān antara dua orang yang saling melaknat untuk meletakkan tangannya di mulutnya pada sumpah kelima, dan beliau bersabda: Sumpah kelima itu bersifat mewajibkan (hukuman).’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا قَدَّمْنَا ذِكْرَهُ مِنْ صفة العان فِي الْمَرْأَةِ بَعْدَ لِعَانِ الرَّجُلِ وَاسْتَوْفَيْنَا حُكْمَهُ بما أغنى.

Al-Māwardī berkata: Hal ini telah kami sebutkan sebelumnya tentang tata cara li‘ān pada perempuan setelah li‘ān laki-laki, dan kami telah menjelaskan hukumnya secara lengkap.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الشَّهَادَاتِ أَرْبَعًا ثَمَّ فَصَلَ بَيْنَهُنَّ بِاللَّعْنَةِ فِي الرَّجُلِ وَالْغَضَبِ فِي الْمَرْأَةِ دَلَّ عَلَى حَالِ افْتِرَاقِ اللِّعَانِ وَالشَّهَادَاتِ وأن اللعنة والغضب بعد الشهادة موجبان على من أوجبا عليه بأن يجترئ على القول أو الفعل ثم على الشهادة بالله باطلاً ثم يزيد فيجترئ على أن يلتعن وعلى أن يدعو بلعنة الله فينبغي للإمام إذا عرف من ذلك ما جهلا أن يقفهما نظراً لهما بدلالة الكتاب والسنة “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا أَرَادَ بِهِ الشَّافِعِيُّ أَبَا حَنِيفَةَ فِي إِثْبَاتِ اللِّعَانِ يَمِينًا حِينَ جَعَلَهُ أَبُو حَنِيفَةَ شَهَادَةً، وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ وَعَلَيْهِ بِمَا أَقْنَعَ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Ketika Allah Ta‘ālā menyebutkan sumpah sebanyak empat kali, kemudian memisahkan antara keduanya dengan laknat pada laki-laki dan kemurkaan pada perempuan, hal itu menunjukkan keadaan perbedaan antara li‘ān dan kesaksian, dan bahwa laknat dan kemurkaan setelah sumpah merupakan sesuatu yang wajib bagi siapa yang dikenai, karena ia berani mengucapkan atau melakukan sesuatu, kemudian bersumpah atas nama Allah secara dusta, lalu menambah keberaniannya dengan melaknat dan mendoakan laknat Allah. Maka hendaknya imam, jika mengetahui adanya hal yang tidak diketahui dari keduanya, menahan keduanya sebagai bentuk perhatian kepada mereka berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan sunnah.” Al-Māwardī berkata: Inilah yang dimaksud oleh asy-Syāfi‘ī terhadap Abū Ḥanīfah dalam menetapkan li‘ān sebagai sumpah, ketika Abū Ḥanīfah menjadikannya sebagai kesaksian. Telah dijelaskan pembahasan dengannya dan atasnya dengan penjelasan yang memadai—dan Allah Maha Mengetahui.

(بَابُ مَا يَكُونُ بَعْدَ الْتِعَانِ الزَّوْجِ مِنَ الفرقة ونفي الولد وحد المرأة من كتابين قديم وجديد)

(Bab tentang apa yang terjadi setelah li‘ān suami, berupa perpisahan, penafian anak, dan hukuman bagi perempuan, dari dua kitab: yang lama dan yang baru)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِذَا أَكْمَلَ الزَّوْجُ الشَّهَادَةَ وَالِالْتِعَانَ فَقَدْ زَالَ فِرَاشُ امْرَأَتِهِ وَلَا تَحِلُّ لَهُ أَبَدًا بِحَالٍ وَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ الْتَعَنَتْ أَوْ لَمْ تَلْتَعْنَ وإنما قلت هذا لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” لا سبيل لك عليها ” ولم يقل حتى تكذب نفسك وقال في المطلقة ثلاثاً ” حتى تنكح زوجاً غيره ” ولما قال عليه الصلاة والسلام ” الولد للفراش ” وكانت فراشاً لم يجز أن ينفي الولد عن الفراش إلا بأن يزول الفراش وكان معقولاً في حُكْمَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إذ ألحق الولد بأنه أمه نفاه عن أبيه وإن نفيه عنه بيمينه بالتعانه لا بيمين المرأة على تكذيبه بنفيه ومعقول في إجماع المسلمين أن الزوج إذا أكذب نفسه لحق به الولد وجلد الحد إذ لا معنى للمرأة في نفسه وأن المعنى للزوج فيما وصفت من نفيه وكيف يكون لها معنى في يمين الزوج ونفي الولد وإلحاقه والدليل على ذلك ما لا يختلف فيه أهل العلم من أن الأم لو قالت ليس هو منك إنما استعرته لم يكن قولها شيئا إذا عرف أنها ولدته على فراشه إلا بلعان لأن ذلك حق للولد دون الأم وكذلك لو قال هو ابني وقالت بل زنيت فهو من زنا كان ابنه ألا ترى أن حكم الولد في النفي والإثبات إليه دون أمه فكذلك نفيه بالتعانه دون أمه “.

Asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Jika suami telah menyempurnakan kesaksian dan li‘ān, maka tempat tidur istrinya telah hilang (perkawinan berakhir) dan ia tidak halal baginya selamanya dalam keadaan apa pun, meskipun ia kemudian mendustakan dirinya sendiri dalam li‘ān atau istrinya tidak melakukan li‘ān. Aku mengatakan demikian karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Tidak ada jalan bagimu atasnya,’ dan beliau tidak mengatakan ‘hingga engkau mendustakan dirimu sendiri.’ Dan beliau berkata tentang perempuan yang ditalak tiga: ‘Hingga ia menikah dengan suami selainnya.’ Dan ketika beliau ﷺ bersabda: ‘Anak itu milik tempat tidur (firas),’ dan perempuan itu masih menjadi tempat tidur (istri) maka tidak boleh menafikan anak dari tempat tidur kecuali dengan hilangnya tempat tidur itu. Hal ini dapat dipahami dari hukum Rasulullah ﷺ, ketika beliau menetapkan anak itu kepada ibunya, beliau menafikannya dari ayahnya, meskipun penafian itu dilakukan oleh ayahnya dengan sumpah li‘ān, bukan dengan sumpah perempuan untuk mendustakan penafian ayahnya. Dan dapat dipahami pula dari ijmā‘ kaum muslimin bahwa jika suami mendustakan dirinya sendiri, maka anak itu dinisbatkan kepadanya dan ia dikenai hukuman had, karena tidak ada makna bagi perempuan dalam hal ini, dan makna itu ada pada suami dalam penafian yang telah aku jelaskan. Bagaimana mungkin perempuan memiliki makna dalam sumpah suami, penafian anak, dan penetapannya? Dalil atas hal ini adalah kesepakatan para ulama bahwa jika ibu berkata: ‘Ia bukan anakmu, aku hanya meminjamnya,’ maka perkataannya tidak dianggap jika diketahui bahwa ia melahirkan anak itu di atas tempat tidur suaminya, kecuali dengan li‘ān, karena hal itu adalah hak anak, bukan hak ibu. Demikian pula jika ayah berkata: ‘Ia anakku,’ dan ibu berkata: ‘Engkau berzina, maka ia anak zina,’ maka anak itu tetap anaknya. Tidakkah engkau melihat bahwa hukum anak dalam penafian dan penetapan kembali kepada ayah, bukan kepada ibunya? Maka demikian pula penafian dengan li‘ān kembali kepada ayah, bukan kepada ibunya.”

قال الماوردي: وقصد الشَّافِعِيُّ بِهَذِهِ الْجُمْلَةِ الْكَلَامَ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Dengan kalimat ini, asy-Syāfi‘ī bermaksud membahas dua bagian:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَحْكَامَ اللِّعَانِ مُخْتَصَّةٌ بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ.

Salah satunya: bahwa hukum-hukum li‘ān itu khusus untuk li‘ān yang dilakukan oleh suami saja.

وَالثَّانِي: أَنَّ تَحْرِيمَ اللِّعَانِ مُؤَبَّدٌ لَا يَزُولُ وَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ.

Dan yang kedua: bahwa keharaman akibat li‘ān itu bersifat abadi dan tidak hilang meskipun suami mencabut tuduhannya sendiri.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ مِنْ أَحْكَامِ اللِّعَانِ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ أَحْكَامَ اللِّعَانِ أَرْبَعَةٌ وَخَامِسٌ يَخْتَصُّ بِالزَّوْجَةِ، فَأَمَّا الْأَرْبَعَةُ، فَارْتِفَاعُ الفراش، وتأييد التَّحْرِيمِ وَنَفْيُ النَّسَبِ، وَسُقُوطُ حَدِّ الْقَذْفِ، وَأَمَّا الْخَامِسُ الْمُخْتَصُّ بِالزَّوْجَةِ فَهُوَ وُجُوبُ حَدِّ الزِّنَا عَلَيْهَا إِلَّا أَنْ تَلْتَعِنَ، وَهَذِهِ الْأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ ثَبَتَتْ بِالْتِعَانِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ وَلِعَانُ الزَّوْجَةِ مَقْصُورٌ عَلَى سُقُوطِ الزِّنَا عَنْهَا.

Adapun bagian pertama dari hukum-hukum li‘ān, telah kami sebutkan bahwa hukum-hukum li‘ān itu ada empat, dan yang kelima khusus bagi istri. Adapun yang empat itu adalah: terangkatnya status suami istri (firaash), penguatan keharaman, penafian nasab, dan gugurnya had qazaf. Sedangkan yang kelima yang khusus bagi istri adalah wajibnya had zina atasnya kecuali jika ia juga melakukan li‘ān. Kelima hukum ini tetap berlaku dengan li‘ān dari suami saja, sedangkan li‘ān dari istri hanya berfungsi untuk menggugurkan hukuman zina atasnya.

وَعَلَّقَ مَالِكٌ جَمِيعَ هَذِهِ الْأَحْكَامِ بِلِعَانِهِمَا مَعًا، وَعَلَّقَهَا أَبُو حَنِيفَةَ بِلِعَانِهِمَا وَحُكْمِ الْحَاكِمِ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُمَا.

Imam Malik menggantungkan seluruh hukum-hukum ini pada li‘ān yang dilakukan oleh keduanya (suami dan istri), sedangkan Abu Hanifah menggantungkan pada li‘ān keduanya dan keputusan hakim, dan pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي تأييد التَّحْرِيمِ، فَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّ تَحْرِيمَ اللِّعَانِ مُؤَبَّدٌ لَا يَزُولُ أَبَدًا، فَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ بَعْدَ الْتِعَانِهِ لَزِمَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ الْأَرْبَعَةِ مَا كَانَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ شَيْئَانِ – وُجُودُ الْحَدِّ، وَلُحُوقُ النَّسَبِ، وَبَقِيَ مَا كَانَ لَهُ مِنْ رَفْعِ الْفِرَاشِ وتأييد التَّحْرِيمِ بِحَالِهِ، فَلَا تَحِلُّ لَهُ وَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ.

Adapun bagian kedua tentang penguatan keharaman, menurut Imam Syafi‘i, keharaman akibat li‘ān itu bersifat abadi dan tidak pernah hilang. Jika suami mencabut tuduhannya setelah melakukan li‘ān, maka dari empat hukum yang berlaku atasnya, dua di antaranya tetap berlaku, yaitu: tetapnya had (qazaf) dan kembalinya nasab, sedangkan yang lainnya, yaitu terangkatnya status suami istri (firaash) dan penguatan keharaman, tetap sebagaimana adanya, sehingga istri tidak halal baginya meskipun ia mencabut tuduhannya.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ، وَعَلِيٌّ، وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: Umar, Ali, Ibnu Mas‘ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum.

وَمِنَ التَّابِعِينَ: الزُّهْرِيُّ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ، مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَبُو يُوسُفَ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٌ: إِذَا أَكْذَبَ نَفْسَهُ حَلَّتْ لَهُ وَكَذَلِكَ لَوْ وُجِدَ فِي لِعَانِهِ حَدٌّ فِي قَذْفٍ فَلَمْ يَجْعَلْ تَحْرِيمَ اللِّعَانِ مُؤَبَّدًا.

Dan dari kalangan tabi‘in: Az-Zuhri, dan dari para fuqaha: Malik, Al-Auza‘i, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Ahmad, dan Ishaq. Sedangkan Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat: jika suami mencabut tuduhannya, maka istrinya menjadi halal baginya. Demikian pula jika dalam li‘ān itu terdapat had karena qazaf, maka keharaman li‘ān tidak bersifat abadi.

وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: إِنْ أَكْذَبَ نفسه وهي في العدة حَلَّتْ لَهُ بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ مِنْ غَيْرِ نِكَاحٍ مُسْتَجَدٍّ. وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: إِنْ أَكْذَبَ نفسه هي فِي الْعِدَّةِ حَلَّتْ لَهُ، وَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَدَّتِهَا لَمْ تَحِلَّ لَهُ أَبَدًا.

Said bin Al-Musayyab berkata: Jika suami mencabut tuduhannya sementara istri masih dalam masa iddah, maka ia halal baginya dengan akad yang pertama tanpa perlu akad nikah baru. Said bin Jubair berkata: Jika suami mencabut tuduhannya sementara istri masih dalam iddah, maka ia halal baginya, namun jika ia mencabut tuduhannya setelah iddah selesai, maka istrinya tidak halal baginya selamanya.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِذَا أَكْذَبَ نَفْسَهُ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ النَّسَبُ كَمَا لَا يَرْتَفِعُ بِهِ التَّحْرِيمُ.

Al-Hasan Al-Bashri berkata: Jika suami mencabut tuduhannya, maka nasab anak tidak kembali kepadanya, sebagaimana keharaman juga tidak terangkat karenanya.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ نَصَرَ قَوْلَ أَبِي حَنِيفَةَ بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ} [النساء: 24] . وَهَذِهِ مِنْ وَرَاءِ ذَلِكَ فَحَلَّتْ لَهُ، وَلِأَنَّهُ تَحْرِيمٌ يَخْتَصُّ بِالزَّوْجِيَّةِ فَلَمْ يَتَأَبَّدْ كَالطَّلَاقِ وَخَالَفَ تَحْرِيمَ الرِّضَاعِ لِأَنَّهُ لَا يَخْتَصُّ بالزوجية، ولأنه بتحريم إذا عري عن الحرمة لم يتأيد ثُبُوتُهُ كَالرِّدَّةِ طَرْدًا وَالرِّضَاعِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ مَا اسْتُفِيدَ حُكْمُهُ بِاللِّعَانِ جَازَ أَنْ لَا يَتَأَبَّدَ ثُبُوتُهُ كَالنَّسَبِ.

Orang-orang yang membela pendapat Abu Hanifah berdalil dengan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan dihalalkan bagi kalian selain dari itu} (an-Nisa: 24). Dan wanita ini termasuk selain dari itu, maka ia halal baginya. Karena keharaman ini khusus terkait pernikahan, maka tidak bersifat abadi seperti talak, dan berbeda dengan keharaman karena persusuan karena tidak khusus pada pernikahan. Dan karena keharaman ini, jika tidak disertai unsur keharaman yang lain, maka tidak tetap keabadiannya, seperti dalam kasus riddah (murtad) secara analogi, dan persusuan sebaliknya. Dan karena hukum yang didapat dari li‘ān boleh jadi tidak bersifat abadi, seperti halnya nasab.

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْمُتَلَاعِنَانِ إِذَا تَفَرَّقَا لَا يَجْتَمِعَانِ أَبَدًا “.

Dalil kami adalah riwayat Muhammad bin Zaid dari Said bin Jubair dari Ibnu Umar dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pasangan yang saling melakukan li‘ān, jika telah berpisah maka tidak akan pernah bersatu lagi selamanya.”

وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ: أَنْ عُوَيْمِرَ الْعَجْلَانِيَّ لَاعَنَ امْرَأَتَهُ فَفَرَّقَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَهُمَا وَقَالَ: ” لَا يَجْتَمِعَانِ أَبَدًا ” فَدَلَّ هَذَا الخبران على تأييد التَّحْرِيمِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Az-Zuhri meriwayatkan dari Sahl bin Sa‘d: bahwa ‘Uwaimir Al-‘Ajlani melakukan li‘ān terhadap istrinya, lalu Rasulullah ﷺ memisahkan keduanya dan bersabda: “Keduanya tidak akan pernah bersatu lagi selamanya.” Maka dua hadis ini menunjukkan penguatan keharaman dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ.

Salah satunya: disebutkan secara tegas.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ تَحِلَّ لَوَجَبَ أَنْ يَذْكُرَ شَرْطَ الْإِحْلَالِ كَمَا قَالَ فِي الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ {فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] .

Dan yang kedua: bahwa jika memang boleh menjadi halal kembali, tentu harus disebutkan syarat kehalalannya, sebagaimana disebutkan dalam kasus talak tiga: {Maka ia tidak halal baginya setelah itu hingga ia menikah dengan suami yang lain} (al-Baqarah: 230).

وَمِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ تَحْرِيمُ عَقْدٍ لَا يَرْتَفِعُ بِغَيْرِ تَكْذِيبٍ وَحَدٍّ فَوَجَبَ أَنَّ لَا يَرْتَفِع بِالتَّكْذِيبِ وَالْحَدِّ كَالْمُصَاهَرَةِ، وَلِأَنَّهُ لَفْظٌ مَوْضُوعٌ لِلْفُرْقَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَرْتَفِعَ تَحْرِيمُهُ بِالتَّكْذِيبِ كَالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الزَّوْجَةِ يَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ: مِنْهَا تَحْرِيمٌ يَرْتَفِعُ بِغَيْرِ عَقْدٍ كَالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ مَعَ بَقَاءِ الْعِدَّةِ.

Dan di antara bentuk qiyās: bahwa itu adalah pengharaman akad yang tidak hilang kecuali dengan pengingkaran dan hukuman, maka wajib bahwa ia tidak hilang hanya dengan pengingkaran dan hukuman, seperti (pengharaman karena) muṣāharah (hubungan mahram karena pernikahan). Dan karena ia adalah lafaz yang ditetapkan untuk perpisahan, maka wajib bahwa pengharamannya tidak hilang hanya dengan pengingkaran, seperti talak. Dan karena pengharaman terhadap istri terbagi menjadi empat bagian: di antaranya adalah pengharaman yang hilang tanpa akad, seperti talak raj‘i selama masih dalam masa ‘iddah.

وَمِنْهَا تَحْرِيمٌ يَرْتَفِعُ بِعَقْدٍ كَالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ بَعْدَ الْعِدَّةِ.

Dan di antaranya adalah pengharaman yang hilang dengan akad, seperti talak raj‘i setelah habis masa ‘iddah.

وَمِنْهَا تَحْرِيمٌ بِعَقْدٍ وَإِصَابَةِ زَوْجٍ كَالطَّلَاقِ الثلاث.

Dan di antaranya adalah pengharaman dengan akad dan persetubuhan suami lain, seperti talak tiga.

ومنها تحريم مؤيد كَتَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ وَالرِّضَاعِ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ تَحْرِيمُ اللِّعَانِ مُلْحَقًا بِالْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ فِي شُرُوطِ الْإِبَاحَةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُلْحَقًا بِالرَّابِعِ فِي تَأْبِيدِ التَّحْرِيمِ فَأَمَّا عُمُومُ الْآيَةِ فَمَخْصُوصٌ بِنَصِّ السُّنَّةِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى تَحْرِيمِ الطَّلَاقِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ مَعَ تَسْلِيمِ الْوَصْفِ الْمُتَنَازَعِ فِيهِ هُوَ أَنَّ الطَّلَاقَ لَمَّا كَانَ مِنْهُ مَا لَا يَرْتَفِعُ الْعَقْدُ ضَعُفَ عَنْ تَحْرِيمِ الْأَبَدِ، وَخَالَفَ تَحْرِيمَ مَا لَا يَصِحُّ أَنْ يَثْبُتَ مَعَهُ الْعَقْدُ لِقُوَّتِهِ أَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرِّدَّةِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الرِّدَّةَ قَدْ لَا تَقَعُ بِهَا الْفُرْقَةُ إِذَا عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ فِي الْعِدَّةِ لَمْ يَتَأَبَّدْ تَحْرِيمُهَا إِذَا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِخِلَافِ اللِّعَانِ.

Dan di antaranya adalah pengharaman yang bersifat permanen seperti pengharaman karena muṣāharah dan raḍā‘ (persusuan). Maka ketika pengharaman karena li‘ān tidak termasuk dalam tiga bagian pertama dalam syarat kebolehan, wajib ia dimasukkan ke bagian keempat dalam hal keabadian pengharaman. Adapun keumuman ayat, telah dikhususkan dengan nash sunnah. Adapun qiyās mereka terhadap pengharaman talak, jawabannya—meskipun sifat yang diperselisihkan itu diterima—adalah bahwa talak, karena di antaranya ada yang tidak menghilangkan akad, maka ia lebih lemah dari pengharaman abadi, dan berbeda dengan pengharaman yang tidak sah tetap bersamanya akad karena kekuatannya. Adapun qiyās mereka terhadap riddah, jawabannya adalah bahwa riddah terkadang tidak menyebabkan perpisahan jika kembali kepada Islam dalam masa ‘iddah, maka tidak menjadi pengharaman abadi jika terjadi perpisahan, berbeda dengan li‘ān.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى النَّسَبِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ حَقٌّ عَلَيْهِ فَجَازَ أَنْ يُلْحِقَهُ بِالتَّكْذِيبِ، وَارْتِفَاعُ التَّحْرِيمِ حَقٌّ لَهُ فَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فَصَارَ فِي النَّسَبِ مُقِرًّا وَفِي ارْتِفَاعِ التَّحْرِيمِ مُدَّعِيًا وَالْإِقْرَارُ مُلْزِمٌ وَالدَّعْوَى غَيْرُ مُلْزِمَةٍ، وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ.

Adapun qiyās mereka terhadap nasab, maknanya adalah bahwa itu adalah hak atas dirinya, maka boleh baginya menisbatkannya dengan pengingkaran, dan hilangnya pengharaman adalah hak baginya, maka tidak diterima darinya. Maka dalam nasab ia menjadi orang yang mengakui, dan dalam hilangnya pengharaman ia menjadi orang yang mengklaim, dan pengakuan itu mengikat, sedangkan klaim tidak mengikat, dan ini adalah dalil bagi al-Ḥasan al-Baṣrī.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا لَاعَنَ زَوْجَتَهُ وَهِيَ أَمَةٌ ثُمَّ ابْتَاعَهَا حَرُمَ عَلَيْهِ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا لِتَأْبِيدِ تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ بِاللِّعَانِ، وَلَوْ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ الْأَمَةَ ثَلَاثًا حَرُمَتْ عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنِ ابْتَاعَهَا فَفِي إِحْلَالِهَا لَهُ قَبْلَ زَوْجٍ وَجْهَانِ:

Dan jika seorang suami melakukan li‘ān terhadap istrinya yang merupakan budak perempuan, kemudian ia membelinya, maka haram baginya menikmati (berhubungan) dengannya karena keabadian pengharamannya atasnya melalui li‘ān. Dan jika ia menalak istrinya yang budak perempuan sebanyak tiga kali, maka ia menjadi haram baginya sampai menikah dengan suami lain. Jika ia membelinya, maka dalam hal kebolehannya baginya sebelum menikah dengan suami lain terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا عَلَى تَحْرِيمِهَا كَالْمُلَاعَنَةِ إِذَا اشْتَرَاهَا – فَلَا تَحِلُّ لَهُ بَعْدَ الْمِلْكِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ.

Salah satunya, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i, bahwa ia tetap haram baginya seperti wanita yang dila‘an jika ia membelinya—maka tidak halal baginya setelah menjadi miliknya sampai ia menikah dengan suami lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَحِلُّ لَهُ بِالْمِلْكِ قَبْلَ زَوْجٍ، لِأَنَّ تَحْرِيمَ الطَّلَاقِ مُخْتَصٌّ بِالنِّكَاحِ وَلِذَلِكَ لَمْ يَقَعْ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ، وَتَحْرِيمَ اللِّعَانِ غَيْرُ مُخْتَصٍّ بِالنِّكَاحِ لِوُقُوعِهِ فِي النِّكَاحِ الفاسد ووطء الشبهة.

Pendapat kedua: ia halal baginya dengan kepemilikan sebelum menikah dengan suami lain, karena pengharaman talak khusus untuk pernikahan, dan karena itu tidak terjadi dalam pernikahan yang fasid, sedangkan pengharaman li‘ān tidak khusus untuk pernikahan karena ia terjadi dalam pernikahan fasid dan hubungan syubhat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ إِذَا الْتَعَنَ ثُمَّ قَالَتْ صَدَقَ إِنِّي زَنَيْتُ فَالْوَلَدُ لَاحِقٌ وَلَا حَدَّ عليها وكذلك إن كانت محدودة فدخل عليه أن لو كان فاسقاً قذف عفيفة مسلمة والتعنا نفي الولد وهي عند المسلمين أصدق منه وإن كانت فاسقة فصدقته لم ينف الولد فجعل ولد العفيفة لا أب له وألزمها عارة وولد الفاسقة له أب لا ينفى عنه “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Dan sebagian orang berkata: Jika telah terjadi li‘ān kemudian istri berkata, ‘Benar, aku telah berzina,’ maka anak itu dinisbatkan kepadanya dan tidak ada hukuman had atasnya. Demikian pula jika ia telah dijatuhi hukuman had, maka masuk kemungkinan bahwa jika suaminya fasik menuduh seorang wanita muslimah yang terjaga kehormatannya dan mereka berdua melakukan li‘ān untuk menafikan anak, maka menurut kaum muslimin, wanita itu lebih dipercaya daripada suaminya. Jika ia fasik lalu ia membenarkannya, maka anak itu tidak dinafikan, sehingga anak dari wanita yang terjaga kehormatannya tidak memiliki ayah dan ia dibebani aib, sedangkan anak dari wanita fasik memiliki ayah yang tidak dinafikan darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَرَادَ الشَّافِعِيُّ أَبَا حَنِيفَةَ فِي الرَّجُلِ إِذَا قَذَفَ زَوْجَتَهُ بِالزِّنَا فَصَدَّقَتْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهَا، وَلَا يَنْتَفِيَ من ولدها، ولا يوجب حد الزنا، وبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلَيْنِ لَهُ:

Al-Māwardī berkata: Asy-Syafi‘i yang dimaksud adalah Abū Ḥanīfah, yaitu dalam kasus seorang laki-laki yang menuduh istrinya berzina, lalu istrinya membenarkannya, maka ia tidak boleh melakukan li‘ān terhadapnya, dan tidak dapat menafikan anaknya, dan tidak menetapkan hukuman had zina, dan ia membangun hal itu atas dua dasar:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللِّعَانَ شَهَادَةٌ وَالشَّهَادَةُ لَا تُقَامُ عَلَى مُعْتَرِفٍ.

Salah satunya: bahwa li‘ān adalah kesaksian, dan kesaksian tidak ditegakkan atas orang yang mengakui.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِقْرَارَ بِالزِّنَا لَا يُوجِبُ الْحَدَّ عِنْدَهُ حَتَّى يَتَكَرَّرَ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فِي أَرْبَعَةِ مَجَالِسَ فَجَوَّزَ لَهُ نَفْيَ وَلَدِ الْعَفِيفَةِ وَأَلْحَقَ بِهِ وَلَدَ الزَّانِيَةِ، وَفِي هَذَا الْقَوْلِ مِنَ الشَّنَاعَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى وَهَاءِ أُصُولِهِ فِيهِ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي اللِّعَانِ أَنَّهُ يَمِينٌ، وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَهُ فِي الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا مِنْ أَنَّهُ يُوجِبُ الْحَدَّ، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْمُصَدِّقَةِ عَلَى الزِّنَا الْمُعْتَرِفَةِ بِهِ أَنَّهُ لَا يَخْلُو أَنْ تُصَدِّقَ الزَّوْجَ قَبْلَ لِعَانِهِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنَّ صَدَّقَتْهُ بَعْدَ لِعَانِهِ ثَبَتَتْ أَحْكَامُ اللِّعَانِ بِهِ مِنْ وُقُوعِ الْفُرْقَةِ وَتَحْرِيمِ التَّأْبِيدِ وَنَفْيِ النَّسَبِ، وَلَيْسَ لِإِقْرَارِهَا بِالزِّنَا بَعْدَ لِعَانِ الزَّوْجِ تَأْثِيرٌ إِلَّا فِي مَنْعِهَا مِنَ الِالْتِعَانِ بَعْدَهُ، لِأَنَّ لِعَانَهَا لِإِسْقَاطِ حَدِّ الزِّنَا عَنْهَا بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَالْمُقِرَّةُ بِالزِّنَا يُوجِبُ الْحَدَّ عَلَيْهَا بِالْإِقْرَارِ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهَا بِاللِّعَانِ، فَإِنْ رَجَعَتْ عَنِ الْإِقْرَارِ صَارَ الْحَدُّ وَاجِبًا عَلَيْهَا بِاللِّعَانِ دُونَ الْإِقْرَارِ، لِأَنَّ الرُّجُوعَ فِي الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا مَقْبُولٌ فِي سُقُوطِ الْحَدِّ وَجَازَ لَهَا أَنْ تُلَاعِنَ لِإِسْقَاطِ الْحَدِّ الْوَاجِبِ عَلَيْهَا بِلِعَانِ الزَّوْجِ، فَأَمَّا إِنْ صَدَّقَتْهُ عَلَى الزِّنَا قَبْلَ لِعَانِهِ أو في تضاعيفه فقط سَقَطَ حَدُّ الْقَذْفِ عَنِ الزَّوْجِ بِتَصْدِيقِهِ، فَإِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ يُرِيدُ نَفْيَهُ فَلَهُ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِهِ لِأَنَّهُ لمَا جَازَ لَهُ أَنْ يَنْفِيَ وَلَدَ الْمُكَذِّبَةِ الظَّاهِرَةِ الْعِفَّةِ فَلِأَنْ يَنْفِيَ وَلَدَ الْمُصَدِّقَةِ الظَّاهِرَةِ الْفُجُورِ أَوْلَى، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Pengakuan atas zina menurutnya tidak mewajibkan hukuman had kecuali diulang sebanyak empat kali dalam empat majelis yang berbeda. Dengan demikian, ia membolehkan bagi suami untuk menafikan anak dari perempuan yang terjaga kehormatannya, dan menyamakan hukumnya dengan anak dari perempuan pezina. Dalam pendapat ini terdapat kejanggalan yang menunjukkan lemahnya dasar-dasarnya dalam masalah ini. Telah dijelaskan sebelumnya dalam pembahasan tentang li‘ān bahwa li‘ān adalah sumpah, dan akan datang pembahasan dengannya mengenai pengakuan zina bahwa pengakuan tersebut mewajibkan hukuman had. Madzhab asy-Syafi‘i dalam kasus perempuan yang membenarkan tuduhan zina dan mengakuinya, tidak lepas dari dua kemungkinan: ia membenarkan suaminya sebelum li‘ān atau sesudahnya. Jika ia membenarkan setelah li‘ān, maka hukum-hukum li‘ān berlaku atasnya, yaitu terjadinya perpisahan, pengharaman menikah selamanya, dan penafian nasab. Pengakuannya atas zina setelah li‘ān suami tidak berpengaruh kecuali dalam mencegahnya melakukan li‘ān setelah itu, karena li‘ānnya bertujuan untuk menggugurkan hukuman had zina dari dirinya melalui li‘ān suami, sedangkan perempuan yang mengaku berzina wajib dikenai hukuman had atas pengakuannya dan tidak gugur darinya dengan li‘ān. Jika ia menarik kembali pengakuannya, maka hukuman had menjadi wajib atasnya melalui li‘ān, bukan melalui pengakuan, karena penarikan kembali pengakuan zina diterima dalam menggugurkan hukuman had, dan ia boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkan hukuman had yang wajib atasnya melalui li‘ān suami. Adapun jika ia membenarkan suaminya atas tuduhan zina sebelum li‘ān atau hanya di sela-sela li‘ān, maka gugurlah hukuman qazaf dari suami karena pembenarannya. Jika suami memiliki anak yang ingin ia nafikan, maka ia boleh melakukan li‘ān untuk menafikan anak tersebut, karena jika ia boleh menafikan anak dari perempuan yang mendustakan dan tampak terjaga kehormatannya, maka lebih utama lagi ia boleh menafikan anak dari perempuan yang membenarkan dan tampak fasik. Jika perempuan itu tidak memiliki anak, maka dalam kebolehan li‘ān suami terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ، لِأَنَّ اللِّعَانَ مَوْضُوعٌ لِسُقُوطِ الْحَدِّ وَنَفْيِ النَّسَبِ وَقَدْ سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ بِتَصْدِيقِهَا وَعَدَمِ الْوَلَدِ الَّذِي يَحْتَاجُ إِلَى نَفْيِهِ.

Pertama: Tidak boleh melakukan li‘ān, karena li‘ān ditetapkan untuk menggugurkan hukuman had dan menafikan nasab, sedangkan hukuman had telah gugur darinya karena pembenaran istri dan tidak adanya anak yang perlu dinafikan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ وَتَأْبِيدِ التَّحْرِيمِ وَلَيْسَ لِلزَّوْجَةِ أَنْ تُلَاعِنَ بَعْدَ لِعَانِهِ مَا أَقَامَتْ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا فَإِنْ رَجَعَتْ عَنْهُ لَاعَنَتْ.

Pendapat kedua: Boleh melakukan li‘ān demi terjadinya perpisahan dan pengharaman menikah selamanya. Istri tidak boleh melakukan li‘ān setelah suami melakukan li‘ān selama ia tetap pada pengakuan zinanya. Jika ia menarik kembali pengakuannya, maka ia boleh melakukan li‘ān.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَأَيُّهُمَا مَاتَ قَبْلُ يُكْمِلُ الزَّوْجُ اللِّعَانَ وَرِثَ صَاحِبَهُ وَالْوَلَدُ غَيْرُ مَنْفِيٍّ حَتَّى يَكْمُلَ ذَلِكَ كُلُّهُ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Siapa pun dari keduanya yang meninggal sebelum suami menyempurnakan li‘ān, maka ia mewarisi pasangannya, dan anak tersebut tidak dinafikan hingga semua itu sempurna.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا مَاتَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ عِنْدَ الشُّرُوعِ فِي اللِّعَانِ وَقَبْلَ كَمَالِهِ تَوَارَثَا، وَنُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ مِنْهُمَا هِيَ الزَّوْجَةَ فَقَدْ بَانَتْ بِالْمَوْتِ وَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ وَلَدٍ أَوْ لَا وَلَدَ لَهَا، فَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ وَلَدٍ فَلَهُ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِهِ وَيَبْنِي عَلَى مَا مَضَى مِنْ لِعَانِهِ قَبْلَ مَوْتِهَا، فَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ قَدْ مَاتَ جَازَ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَلَا يَرِثُ الولد وإن ورث الزَّوْجَةَ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika salah satu dari suami istri meninggal ketika memulai li‘ān dan sebelum sempurna, maka keduanya saling mewarisi. Jika yang meninggal adalah istri, maka ia telah berpisah dengan kematian, dan keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: memiliki anak atau tidak. Jika ia memiliki anak, maka suami boleh melakukan li‘ān untuk menafikan anak tersebut dan melanjutkan li‘ān yang telah dilakukan sebelum kematiannya. Jika anak tersebut telah meninggal, maka suami boleh melakukan li‘ān untuk menafikan anak itu setelah kematiannya, dan anak tersebut tidak mewarisi meskipun ia mewarisi ibunya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ وُقُوعَ الْفُرْقَةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الزَّوْجِيَّةِ قَبْلَ الْفُرْقَةِ، وَنَفْيَ الْوَلَدِ يَمْنَعُ مِنْ نِسْبَتِهِ قَبْلَ النَّفْيِ، فَلِذَلِكَ وَرِثَ الزَّوْجَةَ إِذَا مَاتَتْ قَبْلَ لِعَانِهِ، وَلَمْ يَرِثِ الْوَلَدَ إِذَا مَاتَ قَبْلَ لِعَانِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجَةِ وَلَدٌ زَالَ حُكْمُ نَفْيِهِ بِاللِّعَانِ وَبَقِيَ حَدُّ الْقَذْفِ وَهُوَ عِنْدَنَا مَوْرُوثٌ فَإِنْ طَالَبَهُ بِهِ الْوَرَثَةُ كَانَ لِلزَّوْجِ أَنْ يُلَاعِنَ لِإِسْقَاطِهِ وَلَا يَمْنَعَهُ اللِّعَانُ لِإِسْقَاطِهِ وَلِنَفْيِ الْوَلَدِ مِنْ مِيرَاثِهَا لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِالْمَوْتِ لَا باللعان، فإن قيل: أفليس إذا ورثها حَقَّهُ مِنْ حَدِّ قَذْفِهَا؟ فَهَلَّا سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ كَمَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْقِصَاصِ إِذَا وَرِثَ بَعْضَهُ؟ .

Perbedaan antara keduanya adalah: terjadinya perpisahan (antara suami istri) tidak menghalangi keabsahan status pernikahan sebelum perpisahan itu terjadi, sedangkan penafian anak menghalangi penisbatannya sebelum penafian itu dilakukan. Oleh karena itu, seorang suami mewarisi istrinya jika ia meninggal sebelum terjadinya li‘ān, sedangkan anak tidak mewarisi jika ia meninggal sebelum li‘ān. Jika istri tidak memiliki anak, maka hukum penafian dengan li‘ān menjadi gugur dan yang tersisa hanyalah had qazaf, dan menurut kami had tersebut dapat diwariskan. Jika para ahli waris menuntut pelaksanaan had tersebut, maka suami boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkannya, dan li‘ān tidak menghalanginya untuk menggugurkan had tersebut serta untuk menafikan anak dari warisan istrinya, karena perpisahan terjadi karena kematian, bukan karena li‘ān. Jika dikatakan: Bukankah ketika ia mewarisinya, ia juga mewarisi haknya atas had qazaf? Lalu mengapa had tersebut tidak gugur darinya sebagaimana gugur dengan qishāsh jika ia mewarisi sebagian haknya?

قِيلَ: لِأَنَّ مِيرَاثَ الْقِصَاصِ مُشْتَرَكٌ عَلَى الْفَرَائِضِ فَإِذَا وَرِثَ بَعْضَهُ سَقَطَ عَنْهُ لِأَنَّهُ لَا يَتَبَعَّضُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَدُّ الْقَذْفِ، لِأَنَّ كُلَّهُ مِيرَاثٌ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْوَرَثَةِ فَكَانَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ كُلَّهُ، فَإِنْ عفى الْوَارِثُ عَنِ الْحَدِّ لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجِ أَنْ يُلَاعِنَ لِأَنَّ الْفِرَاشَ قَدِ ارْتَفَعَ بِالْمَوْتِ، وَالْحَدُّ قَدْ سَقَطَ بِالْعَفْوِ وَلَيْسَ هُنَاكَ وَلَدٌ يُنْفَى فَلَمْ يَبْقَ مَا يَحْتَاجُ فِيهِ إِلَى اللِّعَانِ فَلِذَلِكَ سَقَطَ، فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَارِثٌ فَفِي قِيَامِ الْإِمَامِ فِي اسْتِيفَاءِ الْحَدِّ لَهَا وَجْهَانِ:

Dijawab: Karena warisan qishāsh dibagi berdasarkan faraidh, sehingga jika ia mewarisi sebagian, maka gugur darinya karena qishāsh tidak dapat dibagi-bagi. Tidak demikian halnya dengan had qazaf, karena seluruh had tersebut menjadi warisan bagi masing-masing ahli waris, sehingga setiap ahli waris berhak menuntut pelaksanaan had tersebut secara penuh. Jika ahli waris memaafkan had tersebut, maka suami tidak boleh melakukan li‘ān karena hubungan pernikahan telah terputus dengan kematian, dan had telah gugur karena dimaafkan, serta tidak ada anak yang perlu dinafikan, sehingga tidak ada lagi kebutuhan untuk li‘ān, maka li‘ān pun gugur. Adapun jika ia tidak memiliki ahli waris, maka dalam hal imam menunaikan had untuknya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ، لِأَنَّ الْإِمَامَ مَقَامَ الْوَرَثَةِ فِي الْمَالِ فَقَامَ مَقَامَهُمْ فِي اسْتِيفَاءِ الْحَدِّ. فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ لِلزَّوْجِ أَنْ يُلَاعِنَ لِإِسْقَاطِهِ.

Salah satunya: Imam boleh menunaikan had tersebut, karena imam menempati posisi ahli waris dalam hal harta, maka ia juga menempati posisi mereka dalam pelaksanaan had. Dengan demikian, suami boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkan had tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ وَإِنِ اسْتَوْفَى مِيرَاثَهَا لِبَيْتِ الْمَالِ، لِأَنَّ لِبَيْتِ الْمَالِ حُقُوقًا مُسْتَفَادَةً تُخَالِفَ حَدَّ الْقَذْفِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ لِلزَّوْجِ أَنْ يُلَاعِنَ.

Pendapat kedua: Imam tidak boleh menunaikan had tersebut meskipun ia menerima warisan untuk Baitul Māl, karena hak-hak Baitul Māl berbeda dengan had qazaf. Berdasarkan pendapat ini, suami tidak boleh melakukan li‘ān.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ قَبْلَ إِكْمَالِ اللِّعَانِ هُوَ الزَّوْجَ فَلِلزَّوْجَةِ مِيرَاثُهَا مِنْهُ لِبَقَاءِ الزَّوْجِيَّةِ إِلَى الْمَوْتِ وَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِهِ، وَلَا يَجُوزُ لِلْوَرَثَةِ نَفْيُهُ وَهُوَ وَارِثٌ مَعَهُمْ، لِأَنَّ اللِّعَانَ لَا يَتَوَلَّاهُ إِلَّا زَوْجٌ. وَحَدُّ الْقَذْفِ قَدْ بَطَلَ اسْتِيفَاؤُهُ بِمَوْتِ مَنْ لَزِمَهُ وَلَيْسَ لَهُ تَعَلُّقٌ بِالْمَالِ كَالْقِصَاصِ فَلِذَلِكَ بَطَلَ حكمه.

Jika yang meninggal sebelum sempurnanya li‘ān adalah suami, maka istri tetap berhak mewarisi dari suaminya karena status pernikahan masih ada hingga kematian, dan anak tetap dinisbatkan kepadanya. Para ahli waris tidak boleh menafikan anak tersebut, dan anak itu tetap menjadi ahli waris bersama mereka, karena li‘ān hanya dapat dilakukan oleh suami. Had qazaf tidak dapat lagi dilaksanakan karena orang yang wajib menjalani had telah meninggal, dan had tersebut tidak berkaitan dengan harta seperti qishāsh, sehingga hukumnya menjadi gugur.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” فَإِنِ امْتَنَعَ أَنْ يُكْمِلَ اللِّعَانَ حُدَّ لَهَا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia enggan menyempurnakan li‘ān, maka dijatuhkan had untuk istri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا شَرَعَ فِي اللعان إما في حياتها أبو بَعْدَ مَوْتِهَا، ثُمَّ امْتَنَعَ أَنْ يُكْمِلَهُ حُدَّ لَهَا حَدَّ الْقَذْفِ سَوَاءٌ بَقِيَ مِنْ لِعَانِهِ أَقَلُّهُ أَوْ أَكْثَرُهُ، وَحَتَّى لَوْ أَتَى بِالشَّهَادَاتِ الْأَرْبَعِ وَبَقِيَتِ اللَّعْنَةُ الْخَامِسَةُ حُدَّ لَهَا كَمَا لَوْ لَمْ يَأْتِ بِشَيْءٍ مِنْ لِعَانِهِ وَلَا يتسقط الْحَدُّ عَلَى أَعْدَادِ اللِّعَانِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Māwardi berkata: Ini benar, jika ia telah memulai li‘ān, baik saat istrinya masih hidup atau setelah wafatnya, kemudian ia enggan menyempurnakannya, maka dijatuhkan had qazaf untuk istri, baik yang tersisa dari li‘ān itu sedikit maupun banyak. Bahkan jika ia telah mengucapkan empat sumpah dan hanya tersisa laknat kelima, tetap dijatuhkan had untuk istri sebagaimana jika ia belum memulai li‘ān sama sekali. Had tidak gugur karena jumlah sumpah li‘ān, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللِّعَانَ فِي سُقُوطِ حَدِّ الْقَذْفِ عَنْهُ وَوُجُوبِ حَدِّ الزِّنَا عَلَيْهَا كَالْبَيِّنَةِ يُقِيمُهَا وَلَوْ أَقَامَ عَلَيْهَا بِالزِّنَا أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ شُهُودٍ حُدَّ وَلَمْ يَكُنْ لِمَنْ شَهِدَ عَلَيْهَا تَأْثِيرٌ كَذَلِكَ اللِّعَانُ.

Pertama: Li‘ān dalam menggugurkan had qazaf dari suami dan mewajibkan had zina atas istri seperti halnya bayyinah (bukti) yang ditegakkan; jika seseorang menuduh zina dengan kurang dari empat saksi, maka ia dijatuhi had, dan kesaksian mereka tidak berpengaruh. Begitu pula halnya dengan li‘ān.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْحُكْمَ إِذَا تَعَلَّقَ بِعَدَدٍ مِنَ الْأَيْمَانِ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِبَعْضِهَا كَالْقَسَامَةِ، وَكَذَلِكَ فِي اللِّعَانِ، وَهَكَذَا لَوْ شَرَعَتِ الزَّوْجَةُ فِي اللِّعَانِ بَعْدَ الْتِعَانِ الزَّوْجِ ثُمَّ امْتَنَعَتْ مِنْ إِتْمَامِهِ حُدَّتْ حَدَّ الزِّنَا وَكَانَ مَا مَضَى مِنْ لِعَانِهَا مُلْغَى.

Kedua: Jika suatu hukum terkait dengan jumlah sumpah, maka tidak bisa hanya sebagian sumpah saja, seperti pada kasus qasāmah. Demikian pula dalam li‘ān. Begitu juga jika istri memulai li‘ān setelah suami melakukan li‘ān, lalu ia enggan menyempurnakannya, maka ia dijatuhi had zina dan apa yang telah dilakukan dari li‘ān sebelumnya menjadi batal.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَإِنْ طَلَبَ الْحَدَّ الَّذِي قَذَفَهَا بِهِ لَمْ يُحَدَّ لِأَنَهُ قَذْفٌ وَاحِدٌ حُدَّ فِيهِ مَرَةً والولد للفراش فلا ينفى إلا على ما نفى بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وذلك أن العجلاني قذف امرأته ونفى حملها لما استبانه فنفاه عنه باللعان “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia (suami) menuntut pelaksanaan had atas tuduhan yang ia lontarkan kepada istrinya, maka ia tidak dikenai had, karena itu adalah satu kali tuduhan (qadzaf) yang sudah dijatuhi had sekali, dan anak itu tetap dinisbatkan kepada suami (firas), sehingga tidak dapat dinafikan kecuali dengan cara yang digunakan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu bahwa Al-‘Ajlānī menuduh istrinya dan menafikan kehamilannya setelah jelas baginya, maka beliau menafikannya dengan li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَذَكَرْنَا أَنَّهُ إِذَا قَذَفَ زَوْجَتَهُ بِرَجُلٍ سَمَّاهُ فَإِنِ الْتَعَنَ الزَّوْجُ وَسَمَّاهُ فِي لِعَانِهِ سَقَطَ حَدُّ قَذْفِهَا وَإِنْ لَمْ يُسَمِّهِ فَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ لِقَذْفِهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah kami bahas sebelumnya, dan kami telah sebutkan bahwa jika seorang suami menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki yang ia sebutkan namanya, lalu suami itu melakukan li‘ān dan menyebutkan nama laki-laki itu dalam li‘ān-nya, maka gugurlah had qadzaf terhadap istrinya. Namun jika ia tidak menyebutkan namanya, maka dalam kewajiban had atasnya karena tuduhannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا لَا يُحَدُّ وَلَا يَجُوزُ لَهُ إِعَادَةُ اللِّعَانِ مِنْ أَجْلِهِ.

Pertama, ia tidak dikenai had dan tidak boleh mengulangi li‘ān karena hal itu.

وَالثَّانِي: يُحَدُّ وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْقُطَ بِلِعَانِهِ، فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَلْتَعِنْ مِنْ زَوْجَتِهِ وَحُدَّ لَهَا ثُمَّ جَاءَ الْمُسَمَّى بِهَا مُطَالِبًا فَالْمَذْهَبُ أَنَّهُ لَا يُحَدُّ لَهُ وَعَلَّلَ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّهُ قَذْفٌ وَاحِدٌ قَدْ حُدَّ فِيهِ مَرَّةً يَعْنِي أَنَّ الزِّنَا الَّذِي قَذَفَهُمَا بِهِ وَاحِدٌ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ وَقَدِ اسْتَوْفَى مِنْهُ فَلَمْ يَعُدْ عَلَيْهِ، وَقَدْ وَهِمَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَخَرَّجَ قَوْلًا آخَرَ إِنَّهُ يُحَدُّ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِيمَنْ قَذَفَ جَمَاعَةً بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ، وَقَدْ ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ هَذَا التَّخْرِيجِ، فَإِنْ قِيلَ بِتَخْرِيجِهِ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ فَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ مِنْهُ وَجْهَانِ:

Kedua, ia dikenai had dan boleh gugur dengan li‘ān-nya. Adapun jika ia tidak melakukan li‘ān terhadap istrinya dan telah dijatuhi had untuk istrinya, kemudian laki-laki yang disebutkan itu datang menuntut, maka menurut mazhab, ia tidak dikenai had untuk laki-laki tersebut. Imam Syafi‘i beralasan bahwa itu adalah satu tuduhan (qadzaf) yang telah dijatuhi had sekali, maksudnya zina yang ia tuduhkan kepada keduanya adalah satu, sehingga hanya wajib satu had saja dan telah dilaksanakan, maka tidak diulangi lagi. Namun sebagian ulama kami keliru lalu mengeluarkan pendapat lain bahwa ia dikenai had, berdasarkan perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang orang yang menuduh sekelompok orang dengan satu kalimat. Kami telah sebutkan perbedaan antara keduanya yang mencegah kebenaran pendapat tersebut. Jika pendapat itu diikuti sehingga ia wajib dikenai had, maka dalam kebolehan li‘ān darinya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ، لِأَنَّهُ قذف قد كان مُجَوَّزًا فِي حَقِّ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِحَدِّ الزَّوْجَةِ فِي اللِّعَانِ فَلَمْ يَجُزْ مَعَ سُقُوطِ اللِّعَانِ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ أَنْ يُفْرَدَ بِاللِّعَانِ.

Pertama: Boleh melakukan li‘ān darinya, karena tuduhan itu bisa berlaku untuk masing-masing dari mereka. Kedua: Tidak boleh, karena li‘ān itu mengikuti had istri, sehingga ketika li‘ān terhadap istri telah gugur, tidak boleh dilakukan li‘ān secara terpisah.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” ولو أَكْمَلَ اللِّعَانَ وَامْتِنَعَتْ مِنَ اللِّعَانِ وَهِيَ مَرِيضَةٌ أَوْ فِي بَرْدٍ أَوْ حَرٍّ وَكَانَتْ ثَيِّبًا رجمت وإن كانت بكرا لم تحد حتى تصح وينقضي الحر والبرد لقول الله تعالى: {ويدرأ عنها العذاب} الآية والعذاب الحد فلا يدرأ عنها إلا باللعان “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami telah menyempurnakan li‘ān dan istri menolak melakukan li‘ān karena sakit, atau karena cuaca dingin atau panas, dan ia adalah seorang muhsan (pernah menikah), maka ia dirajam. Jika ia masih gadis, maka tidak dijatuhi had sampai ia sembuh dan cuaca panas atau dingin berlalu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan akan menggugurkan azab darinya} (ayat), dan yang dimaksud azab adalah had, sehingga tidak gugur darinya kecuali dengan li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ لِعَانَ الزَّوْجِ مُسْقِطٌ لِحَدِّ الْقَذْفِ عَنْهُ، وَلِعَانَ الزَّوْجَةِ بَعْدَهُ مُسْقِطٌ لِحَدِّ الزِّنَا عَنْهَا.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa li‘ān suami menggugurkan had qadzaf darinya, dan li‘ān istri setelahnya menggugurkan had zina darinya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا حَدَّ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَعَلَيْهِمَا اللِّعَانُ فَأَيُّهُمَا امْتَنَعَ مِنْهُ حُبِسَ حَتَّى يَلْعَنَ.

Abu Hanifah berkata: Tidak ada had atas salah satu dari keduanya, dan keduanya wajib melakukan li‘ān. Siapa pun dari keduanya yang menolak, maka ia dipenjara sampai ia melakukannya.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: يُحَدُّ الزَّوْجُ وَلَا يُحْبَسُ، وَلَا تُحَدُّ الزَّوْجَةُ وَتُحْبَسُ حَتَّى تُلَاعِنَ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ بِمَا أَقْنَعَ، فَإِذَا امْتَنَعَتِ الزَّوْجَةُ مِنَ اللِّعَانِ وَجَبَ حَدُّ الزِّنَا عَلَيْهَا، وَكَانَ مُعْتَبَرًا بِحَالِهَا فَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَعَلَيْهَا جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَالرَّجْمُ.

Abu Yusuf berkata: Suami dikenai had dan tidak dipenjara, sedangkan istri tidak dikenai had, tetapi dipenjara sampai ia melakukan li‘ān. Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya secara memadai. Jika istri menolak melakukan li‘ān, maka wajib atasnya had zina, dan hal itu disesuaikan dengan keadaannya. Jika ia masih gadis, maka ia dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Jika ia muhsan, maka dirajam.

فَإِنْ كَانَتْ صَحِيحَةً وَالزَّمَانُ معتدلاً أقيم عليها كان وَاحِدٍ مِنَ الْحَدَّيْنِ إِذَا كَانَتْ مِنْ أَهْلِهِ سَوَاءٌ كَانَ جَلْدًا أَوْ رَجْمًا، وَإِنْ كَانَ الزَّمَانُ خَارِجًا عَنِ الِاعْتِدَالِ بِشِدَّةِ حَرٍّ أَوْ شِدَّةِ بِرْدٍ أُخِّرَ جَلْدُهَا إِلَى زَمَانِ الِاعْتِدَالِ لِئَلَّا يُفْضِيَ بِحَدِّهِ الزَّمَانَ إِلَى تَلَفِهَا، وَلَا يُؤَخَّرُ رَجْمُهَا لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالرَّجْمِ تَلَفُهَا، وَإِنْ كَانَتْ مَرِيضَةً فَإِنْ كَانَ حَدُّهَا الرَّجْمَ رُجِمَتْ فِي الْمَرَضِ، وَإِنْ كَانَ حَدُّهَا الْجَلْدَ رُوعِيَ مَرَضُهَا، فَإِنْ كَانَ مَرْجُوَّ الزَّوَالِ أُنْظِرَتْ إِلَى وَقْتِ الصِّحَّةِ ثُمَّ جُلِدَتْ، وَإِنْ لَمْ يُرْجَ زَوَالُهُ جُلِدَتْ بِمَا يُؤْمَنُ بِهِ تَلَفُهَا مِنْ أَثْكَالِ النَّخْلِ وَأَطْرَافِ النِّعَالِ، وَخَالَفَ الرَّجْمَ الْمَقْصُودَ بِهِ التَّلَفُ.

Jika ia dalam keadaan sehat dan waktu itu cuacanya sedang, maka salah satu dari dua had itu dilaksanakan atasnya jika ia termasuk orang yang berhak menerimanya, baik itu jilid maupun rajam. Jika cuaca tidak sedang, karena sangat panas atau sangat dingin, maka pelaksanaan jilidnya ditunda sampai waktu cuaca sedang agar pelaksanaan had tidak menyebabkan kematiannya. Namun rajam tidak ditunda, karena tujuan rajam memang untuk membinasakannya. Jika ia sakit, maka jika had-nya adalah rajam, maka ia dirajam dalam keadaan sakit. Jika had-nya adalah jilid, maka diperhatikan kondisi sakitnya. Jika sakitnya diperkirakan akan sembuh, maka ditunda sampai sembuh lalu dijilid. Jika tidak diharapkan sembuh, maka dijilid dengan sesuatu yang tidak membahayakan nyawanya, seperti dengan pelepah kurma atau ujung sandal. Adapun rajam, tujuannya memang untuk membinasakan.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يُؤَخَّرُ رَجْمُهَا فِي الْمَرَضِ إِذَا وَجَبَ الْحَدُّ عَلَيْهَا بِإِقْرَارٍ ولعان حتى برأ، وَلَا يُؤَخَّرُ إِذَا وَجَبَ بِبَيِّنَةٍ لِأَنَّ الْحَدَّ لَا يَسْقُطُ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ وَيَسْقُطُ إِذَا وَجَبَ بِاللِّعَانِ بِالْإِجَابَةِ إِلَيْهِ.

Sebagian ulama kami berkata: Pelaksanaan rajam terhadap perempuan itu ditunda ketika sakit, jika hadd telah wajib atasnya karena pengakuan atau li‘ān, hingga ia sembuh. Namun, tidak ditunda jika hadd itu wajib karena adanya bukti (bayyinah), karena hadd tidak gugur setelah adanya bayyinah, dan hadd dapat gugur jika wajib karena li‘ān dengan diterimanya li‘ān tersebut.

وَقَالَ آخَرُونَ مِنْهُمْ بِالْإِقْرَارِ بِعَكْسِ هَذَا أَنَّهُ يُؤَخَّرُ إِذَا وَجَبَ بِالْبَيِّنَةِ لِجَوَازِ رُجُوعِهَا وَلَا يُؤَخَّرُ إِذَا وَجَبَ بِالْإِقْرَارِ وَاللِّعَانِ لِأَنَّهُ قَدْ أَسْقَطَ بِذَلِكَ حُرْمَةَ نَفْسِهِ، وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ تسقط بالبينة كسقوطها بالإقرار. ويمكن رجوع الْبَيِّنَةِ كَمَا يُمْكِنُ الرُّجُوعُ فِي الإِقْرَارٍ، فَلَمْ يكن للفرق بينهما وجه.

Sebagian lain dari mereka berpendapat sebaliknya dalam kasus pengakuan, yaitu hadd ditunda jika wajib karena bayyinah karena dimungkinkan bayyinah itu menarik kembali kesaksiannya, dan tidak ditunda jika wajib karena pengakuan atau li‘ān, karena dengan itu ia telah menggugurkan kehormatan dirinya sendiri. Namun, kedua pendapat ini rusak, karena kehormatan jiwa juga gugur dengan bayyinah sebagaimana gugur dengan pengakuan. Dan bayyinah bisa saja menarik kembali kesaksiannya sebagaimana pengakuan juga bisa ditarik kembali, maka tidak ada alasan untuk membedakan antara keduanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَزَعَمَ بَعْضُ النَّاسِ لَا يُلَاعِنُ بِحَمْلٍ لَعَلَّهُ رِيحٌ فَقِيلَ لَهُ أَرَأَيْتَ لَوْ أَحَاطَ الْعِلْمَ بِأَنْ لَيْسَ حَمْلٌ أَمَا تُلَاعِنُ بِالْقَذْفِ؟ قَالَ بَلَى قِيلَ فَلِمَ لَا يُلَاعِنُ مَكَانَهُ؟ “)) .

Imam Syafi‘i berkata: “Sebagian orang berpendapat bahwa li‘ān tidak dilakukan karena kehamilan, barangkali itu hanya angin saja. Maka dikatakan kepadanya: Bagaimana jika sudah diketahui dengan pasti bahwa itu bukan kehamilan, apakah tidak dilakukan li‘ān karena tuduhan zina? Ia menjawab: Tentu saja. Maka dikatakan: Lalu mengapa tidak dilakukan li‘ān pada saat itu juga?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنَ الْحَامِلِ، وَيَنْفِيَ حَمْلَهَا قَبْلَ الْوِلَادَةِ.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa boleh melakukan li‘ān terhadap perempuan hamil, dan menafikan kehamilannya sebelum melahirkan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْ حَامِلٍ حَتَّى تَضَعَ. وَإِنْ خَالَفَ وَلَاعَنَ فِي حَمْلِهَا سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ بِلِعَانِهِ وَلَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ الْحَمْلُ بِلِعَانٍ، وَصَارَ لَاحِقًا بِهِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، وَلَا سَبِيلَ إِلَى نَفْيِهِ، وَهَذَا قَوْلٌ خَالَفَ فِيهِ السُّنَّةَ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَاعَنَ بَيْنَ الْعَجْلَانِي وَامْرَأَتِهِ وَهِيَ حَامِلٌ وَلَاعَنَ بَيْنَ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ وَامْرَأَتِهِ وَهِيَ حَامِلٌ، وَلِأَنَّ الْحَمْلَ إِنْ كَانَ غِلَظًا أَوْ رِيحًا فَهِيَ حَائِلٌ وَيَجُوزُ أَنْ يلاعن عنها، وإن كان صحيحاً فهي كذات وَلَدٍ، فَهَلَّا لَاعَنَ مِنْهَا، وَقَدْ مَضَى مِنَ الكلام معه فِي ذَلِكَ بِمَا أَغْنَى.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh melakukan li‘ān terhadap perempuan hamil hingga ia melahirkan. Jika ia tetap melakukan li‘ān saat istrinya hamil, maka hadd gugur darinya karena li‘ān, tetapi kehamilan itu tidak ternafikan dengan li‘ān, dan anak itu tetap dinisbatkan kepadanya setelah kelahiran, serta tidak ada jalan untuk menafikannya. Pendapat ini bertentangan dengan sunnah, karena Rasulullah ﷺ telah melakukan li‘ān antara ‘Ajlānī dan istrinya saat istrinya hamil, dan juga antara Hilāl bin Umayyah dan istrinya saat istrinya hamil. Selain itu, jika kehamilan itu hanyalah gumpalan atau angin, maka ia bukan hamil dan boleh dilakukan li‘ān atasnya; dan jika kehamilan itu benar, maka ia seperti perempuan yang telah melahirkan, maka mengapa tidak dilakukan li‘ān darinya? Dan telah cukup penjelasan sebelumnya mengenai hal ini.

وَإِنْ كَانَ لِعَانُهُ مِنَ الْحَامِلِ جَائِزًا فَهُوَ مُخَيَّرٌ فِيهِ بَيْنَ أَنْ يُعَجِّلَ نَفْيَهُ قَبْلَ وَضْعِهِ فَيَنْتَفِيَ عَنْهُ وَاحِدًا كَانَ أَوْ جَمَاعَةً، أَوْ يُؤَخِّرَ نَفْيَهُ حَتَّى تَضَعَ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَبَيَّنٍ قَبْلَ الْوِلَادَةِ فَإِنْ عَجَّلَ بِاللِّعَانِ قَبْلَ الْوِلَادَةِ لِإِسْقَاطِ الْحَدِّ عَنْهُ وَلَمْ يَنْتَفِ بِهِ الْحَمْلُ كَانَ لَهُ إِذَا وَلَدَتْ وَأَرَادَ نَفْيَهُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ لِنَفْيِهِ لِعَانًا يَنْفَرِدُ بِهِ الزَّوْجُ دُونَ الزَّوْجَةِ، وَلَمْ يَكُنْ تَأْخِيرُهُ فِي وَقْتِ الْحَمْلِ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ نَفْيِهِ بَعْدَ الْوَضْعِ؛ لِأَنَّهُ كَانَ مَظْنُونًا غير متيقن.

Jika li‘ān terhadap perempuan hamil itu dibolehkan, maka suami diberi pilihan antara segera menafikan kehamilan sebelum melahirkan sehingga anak itu ternafikan darinya, baik satu maupun lebih, atau menunda penafian hingga istrinya melahirkan, karena sebelum kelahiran belum jelas. Jika ia mempercepat li‘ān sebelum kelahiran untuk menggugurkan hadd darinya namun kehamilan belum ternafikan dengan li‘ān itu, maka ketika istrinya melahirkan dan ia ingin menafikan anak tersebut, ia boleh memulai li‘ān baru khusus untuk penafian anak, yang dilakukan hanya oleh suami tanpa istri. Penundaan li‘ān pada masa kehamilan tidak menghalangi bolehnya penafian setelah kelahiran, karena sebelumnya masih bersifat dugaan dan belum pasti.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وزعم لو جامعها وَهُوَ يَعْلَمُ بِحَمْلِهَا فَلَمَّا وَضَعَتْ تَرَكَهَا تِسْعًا وَثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَهِيَ فِي الدَّمِ مَعَهُ فِي مَنْزِلِهِ ثَمَّ نَفَى الْوَلَدَ مَعَهُ كَانَ ذَلِكَ له فيترك ما حكم به – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – للعجلاني وامرأته وهي حامل من اللعان ونفى الولد عنه كما قلنا ولو لم يكن ما قلنا سنة كان يجعل السكات في معرفة الشيء في معنى الإقرار فزعم في الشفعة إذا علم فسكت فهو إقرار بالتسليم وفي العبد يشتريه إذا استخدمه رضي بالعيب ولم يتكلم فحيث شاء جعله رضا ثم جاء إلى الأشبه بالرضا والإقرار فلم يجعله رضا وجعل صمته عن إنكاره أربعين ليلة كالإقرار وأباه في تسع وثلاثين فما الفرق بين الصمتين “.

Imam Syafi‘i berkata: “Ada yang berpendapat, jika seorang suami berhubungan dengan istrinya dalam keadaan ia tahu istrinya hamil, lalu setelah istrinya melahirkan ia membiarkannya selama tiga puluh sembilan malam dalam keadaan nifas bersamanya di rumah, kemudian ia menafikan anak itu, maka hal itu boleh baginya, dan ia meninggalkan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah ﷺ untuk ‘Ajlānī dan istrinya yang hamil, yaitu li‘ān dan penafian anak sebagaimana telah kami sebutkan. Seandainya apa yang kami sebutkan bukan sunnah, tentu diam dalam mengetahui sesuatu dianggap sebagai pengakuan. Ia berpendapat dalam masalah syuf‘ah, jika seseorang tahu lalu diam, itu dianggap sebagai pengakuan menerima. Dalam kasus budak yang dibeli, jika ia memperkerjakannya dan diam, itu dianggap ridha terhadap cacatnya. Namun, ketika sampai pada kasus yang lebih mirip dengan ridha dan pengakuan, ia tidak menganggapnya sebagai ridha, dan menganggap diamnya dari penolakan selama empat puluh malam sebagai pengakuan, tetapi tidak pada tiga puluh sembilan malam. Maka apa bedanya antara dua diam tersebut?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يُؤَخِّرَ الزَّوْجُ نَفْيَ الْحَمْلِ حَتَّى تَضَعَ، فَلَهُ أَنْ يُعَجِّلَ نَفْيَ الْوَلَدِ بَعْدَ الْوَضْعِ وَعَلَى الْفَوْرِ فَإِنْ أَخَّرَ نَفْيَهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْتِعَانِهِ لَعَنَ بِهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ نَفْيُهُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمُحَمَّدٌ: الْقِيَاسُ أَنْ يَكُونَ نَفْيُهُ عَلَى الْفَوْرِ وَلَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ نَفْيَهُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ اسْتِحْسَانًا.

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah suami menunda penafian kehamilan hingga istrinya melahirkan, maka ia boleh segera menafikan anak itu setelah kelahiran dan harus dilakukan segera. Jika ia menunda penafian padahal mampu melakukan li‘ān, maka ia tetap terkena li‘ān dan tidak boleh lagi menafikan anak itu. Abu Hanifah dan Muhammad berkata: Menurut qiyās, penafian harus dilakukan segera, namun boleh menunda penafian satu atau dua hari sebagai bentuk istihsān.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: لَهُ نَفْيُهُ فِي مُدَّةِ النِّفَاسِ إِلَى أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَلَيْسَ لَهُ نَفْيُهُ بَعْدَهَا.

Abu Yusuf berkata: Suami berhak menafikan (anak) selama masa nifas hingga empat puluh hari, dan tidak berhak menafikannya setelah itu.

وَقَالَ مُجَاهِدٌ، وَعَطَاءٌ: لَهُ نَفْيُهُ عَلَى التَّرَاخِي مَتَى شَاءَ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ خِيَارَ نَفْيِهِ لِعَيْبٍ دَخَلَ عَلَى فِرَاشِهِ فَجَرَى مَجْرَى خِيَارِ الْعُيُوبِ الْمُسْتَحَقَّةِ عَلَى الْفَوْرِ، لِأَنَّهُ لَوْ قُدِّرَ بِمُدَّةٍ لَوَجَبَ أَنْ يُقَدَّرَ بِالشَّرْعِ دُونَ الِاسْتِحْسَانِ، وَلِأَنَّ الثَّلَاثَ فِي الْخِيَارِ حَدٌّ مَشْرُوعٌ وَلَيْسَ بِمُعْتَبَرٍ فِي خِيَارِ نَفْيِهِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يُعْتَبَرَ مَا سِوَاهُ، لِأَنَّ مُدَّةَ النِّفَاسِ بَعْضُ أَحْوَالِ الْوِلَادَةِ فَلَمْ يَكُنِ اعْتِبَارُهَا فِي خِيَارِ نَفْيِهِ بِأَوْلَى مِنْ مُدَّةِ الْحَمْلِ فِي أَقَلِّهِ أَوْ أَكْثَرِهِ أَوْ بِمُدَّةِ رَضَاعِهِ، فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ كَانَ نَفْيُهُ فِي الْحَمْلِ عَلَى التَّرَاخِي وَبَعْدَ الْوِلَادَةِ عَلَى الْفَوْرِ؟ قِيلَ: لأنه قبل الولادة مظنون وبعدها متقين.

Mujahid dan ‘Atha’ berkata: Suami berhak menafikan (anak) secara longgar kapan saja ia mau. Pendapat ini keliru, karena hak memilih untuk menafikan (anak) disebabkan oleh cacat yang masuk ke dalam pernikahannya, sehingga hukumnya sama dengan hak memilih karena cacat-cacat lain yang harus dilakukan segera. Sebab, jika hak itu ditentukan dengan jangka waktu tertentu, maka harus ditentukan oleh syariat, bukan berdasarkan istihsan. Selain itu, tiga hari dalam hak khiyar adalah batas yang disyariatkan dan tidak dianggap dalam hak menafikan (anak), maka lebih utama untuk tidak mempertimbangkan selainnya. Karena masa nifas hanyalah sebagian dari kondisi kelahiran, maka tidak layak menjadikannya sebagai pertimbangan dalam hak menafikan (anak), sebagaimana masa kehamilan dalam durasi terpendek atau terpanjang, atau masa menyusui. Jika dikatakan: Mengapa penafian (anak) saat hamil boleh ditunda, sedangkan setelah melahirkan harus segera? Dijawab: Karena sebelum melahirkan masih bersifat dugaan, sedangkan setelahnya sudah pasti.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَزَعَمَ بِأَنَّهُ اسْتَدَلَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا أَوْجَبَ عَلَى الزَّوْجِ الشَّهَادَةَ لِيَخْرُجَ بِهَا مِنَ الحد فإذا لم يخرج من معنى القذف لَزِمَهُ الْحَدُّ قِيلَ لَهُ وَكَذَلِكَ كل من أحلفته ليخرج من شيء وكذلك قلت إن نكل عن اليمين في مال أو غصب أو جرح عمد حكمت عليه بذلك كله قال نعم قلت فلم لا تقول في المرأة إنك تحلفها لتخرج من الحد وقد ذكر الله تعالى أنها تدرأ بذلك عن نفسها العذاب فإذا لم تخرج من ذلك فلم لم توجب عليها الحد كما قلت في الزوج وفيمن نكل عن اليمين وليس في التنزيل أن الزوج يدرأ بالشهادة حدا وفي التنزيل أن للمرأة أن تدرأ بالشهادة العذاب وهو الحد عندنا وعندك وهو المعقول والقياس وقلت له لو قالت لك لم حبستني وأنت لا تحبس إلا بحق؟ قال أقول حبستك لتحلفي فتخرجي به من الحد فقالت فإذا لم أفعل فأقم الحد علي قال لا قالت فالحبس حد قال لا فقال قالت فالحبس ظلم لا أنت أقمت علي الحد ولا منعت عني حبساً ولن تجد حبسي في كتاب ولا سنة ولا إجماع ولا قياس على أحدها قال فإن قلت فالعذاب الحبس فهذا خطأ فكم ذلك مائة يوم أو حتى تموت وقد قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ المؤمنين} أفتراه عني الحد أم الحبس؟ قال بل الحد وما السجن بحد والعذاب في الزنا الحدود ولكن السجن قد يلزمه اسم عذاب قلت والسفر والدهق والتعليق كل ذلك يلزمه اسم عذاب قال والذين يخالفوننا في أن لا يجتمعا أبدا وروي فيه عن عمر وعلي وابن مسعود رضوان الله عليهم لا يجتمع المتلاعنان أبدا رجع بعضهم إلى ما قلنا وأبى بعضهم “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Ia mengklaim bahwa ia berdalil bahwa Allah Ta‘ala mewajibkan suami bersumpah agar ia terbebas dari had, maka jika ia tidak keluar dari makna qadzaf, wajib atasnya had. Dikatakan kepadanya: Demikian pula setiap orang yang engkau suruh bersumpah agar terbebas dari sesuatu, dan engkau juga berkata bahwa jika ia enggan bersumpah dalam perkara harta, ghasab, atau luka sengaja, maka engkau memutuskan perkara itu atasnya seluruhnya.” Ia menjawab: “Benar.” Aku berkata: “Mengapa engkau tidak mengatakan pada perempuan bahwa engkau menyuruhnya bersumpah agar terbebas dari had, padahal Allah Ta‘ala menyebutkan bahwa dengan sumpah itu ia menolak azab dari dirinya? Jika ia tidak terbebas dari itu, mengapa engkau tidak mewajibkan had atasnya sebagaimana engkau katakan pada suami dan pada orang yang enggan bersumpah? Tidak ada dalam al-Qur’an bahwa suami menolak had dengan sumpah, tetapi dalam al-Qur’an disebutkan bahwa istri dapat menolak azab dengan sumpah, dan itu adalah had menurut kami dan menurutmu, serta itu adalah yang masuk akal dan sesuai qiyās. Aku berkata kepadanya: ‘Jika perempuan berkata kepadamu: Mengapa engkau menahanku, padahal engkau tidak menahan kecuali dengan hak?’ Ia menjawab: ‘Aku menahanmu agar engkau bersumpah sehingga engkau terbebas dari had.’ Ia berkata: ‘Jika aku tidak melakukannya, maka tegakkanlah had atasku.’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Ia berkata: ‘Apakah penahanan itu had?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Ia berkata: ‘Maka penahanan itu zalim. Engkau tidak menegakkan had atasku dan tidak pula mencegahku dari penahanan. Engkau tidak akan menemukan penahananku dalam al-Qur’an, sunnah, ijmā‘, maupun qiyās atas salah satunya.’ Ia berkata: ‘Jika engkau berkata bahwa azab itu adalah penahanan, maka itu keliru. Berapa lama? Seratus hari atau sampai mati? Padahal Allah Ta‘ala berfirman: {Dan hendaklah menyaksikan azab mereka sekelompok orang-orang mukmin} (an-Nur: 2). Apakah menurutmu itu had atau penahanan?’ Ia menjawab: ‘Bahkan had. Penjara bukanlah had, dan azab dalam zina adalah hudūd. Namun penjara kadang disebut azab.’ Aku berkata: ‘Perjalanan, tekanan, dan penggantungan, semua itu kadang disebut azab.’ Ia berkata: ‘Orang-orang yang berbeda pendapat dengan kami bahwa keduanya tidak boleh berkumpul selamanya, dan diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhum bahwa pasangan yang saling melaknat tidak boleh berkumpul selamanya. Sebagian mereka kembali kepada pendapat kami dan sebagian menolaknya.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا أَرَادَ بِهِ أَبَا يُوسُفَ، فَإِنَّ أَبَا يُوسُفَ يُوجِبُ الْحَدَّ عَلَى الزَّوْجِ إِذَا امْتَنَعَ مِنَ اللِّعَانِ، وَلَا يُوجِبُ الْحَدَّ على الزوجة إذا امتنعت منه ويحسبها حَتَّى تُلَاعِنَ.

Al-Mawardi berkata: Yang dimaksud di sini adalah Abu Yusuf, karena Abu Yusuf mewajibkan had atas suami jika ia menolak li‘ān, dan tidak mewajibkan had atas istri jika ia menolak li‘ān, melainkan menahannya sampai ia melakukan li‘ān.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يُحَدَّانِ مَعًا وَيُحْبَسَانِ حَتَّى يُلَاعِنَانِ، وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُمَا يُحَدَّانِ وَلَا يُحْبَسَانِ، فَصَارَ أَبُو يُوسُفَ مُوَافِقًا لِأَبِي حَنِيفَةَ فِي حَبْسِ الزَّوْجَةِ، وَمُوَافِقًا لِلشَّافِعِيِّ فِي حَدِّ الزَّوْجِ، وَحَبْسُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ} [النور: 48] . فَدَلَّ عَلَى أَنَّ تَرْكَهَا لِلشَّهَادَةِ مُوجِبٌ لِتَوَجُّهِ الْعَذَابِ عَلَيْهَا.

Abu Hanifah berkata: Keduanya tidak dijatuhi had bersama-sama, tetapi ditahan sampai keduanya melakukan li‘ān. Menurut mazhab asy-Syafi‘i: Keduanya dijatuhi had dan tidak ditahan. Maka Abu Yusuf sejalan dengan Abu Hanifah dalam hal menahan istri, dan sejalan dengan asy-Syafi‘i dalam hal menjatuhkan had atas suami. Menahan masing-masing dari keduanya adalah keliru, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan akan terhindar dari azab itu istri itu jika ia bersaksi empat kali dengan nama Allah} (an-Nur: 8). Ini menunjukkan bahwa jika ia tidak bersaksi, maka wajib dikenakan azab atasnya.

فَإِنْ قَالَ: فَالْحَبْسُ عَذَابٌ، قِيلَ: فَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ} [النور: 2] أَفَيُحْبَسُ الشُّهُودُ مَعَهُمَا؟ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: جَعَلْتَ الْحَبْسَ عَذَابًا لَهُمَا؛ لِأَنَّهُ الْعَذَابُ الْمَخْصُوصُ بِالزِّنَا وَالْقَذْفِ، أَوْ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ أَنْوَاعِ الْعَذَابِ فَإِنْ قَالَ: لِأَنَّهُ الْعَذَابُ الْمَخْصُوصُ بِالزِّنَا قِيلَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَذَّبَ الزَّانِيَ بِالْحَدِّ لَا بِالْحَبْسِ. وَإِنْ أَوْجَبَ الْحَبْسَ؛ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنَ الْعَذَابِ، قِيلَ: لَهُ: لِمَ خَصَّصْتَ الْحَبْسَ مِنْ بَيْنِ أَنْوَاعِهِ؟ هَلَّا عَدَلْتَ إِلَى الدَّهْقِ، وَالتَّعْلِيقِ وَالْإِعْزَارِ وَالتَّجْوِيعِ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: أَحَبَسْتَهُمَا عَلَى حَقٍّ أَوْ غَيْرِ حَقٍّ؟ .

Jika ada yang berkata: “Penahanan itu adalah siksaan,” maka dijawab: Allah Ta‘ala telah berfirman: {Dan hendaklah sekelompok orang mukmin menyaksikan siksaan terhadap keduanya} [an-Nūr: 2]. Apakah para saksi itu juga harus ditahan bersama keduanya? Kemudian dikatakan kepadanya: Apakah engkau menjadikan penahanan sebagai siksaan bagi keduanya karena itu adalah siksaan yang khusus untuk zina dan qadzaf, atau karena itu merupakan salah satu jenis siksaan? Jika ia berkata: “Karena itu adalah siksaan yang khusus untuk zina,” maka dikatakan: Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah menyiksa pezina dengan had, bukan dengan penahanan. Dan jika ia mewajibkan penahanan karena itu adalah salah satu jenis siksaan, maka dikatakan kepadanya: Mengapa engkau mengkhususkan penahanan di antara berbagai jenis siksaan? Mengapa tidak beralih kepada pemukulan, penggantungan, pengusiran, atau pengurungan lapar? Kemudian dikatakan kepadanya: Apakah engkau menahan keduanya atas suatu hak atau tanpa hak?

فَإِنْ قَالَ: لِحَقٍّ، قِيلَ هَلَّا اسْتَوْفَيْتَ ذَلِكَ الْحَقَّ وَمَنَعْتَ مِنَ الْحَبْسِ؟ فَإِنْ قَالَ: إِنَّهُ لَا يُسْتَوْفَى إِلَّا مِنْهَا فَلِذَلِكَ حُبِسَتْ عَلَيْهِ، قِيلَ لَهُ: فَمَا ذَلِكَ الْحَقُّ؟ فَإِنْ ذَكَرَهُ لَمْ يَجِبِ الْحَبْسُ، وَإِنْ لَمْ يُذْكُرْهُ عُلِمَ أَنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهَا عِنْدَهُ حَقٌّ، ثُمَّ يُقَالُ لِأَبِي يُوسُفَ: حَدَدْتَ الزَّوْجَ وَلَمْ يَدْرَأِ اللَّهُ عَنْهُ الْعَذَابَ بِلِعَانِهِ، وَلَمْ تَحُدَّ الزَّوْجَةَ وَقَدْ دَرَأَ اللَّهُ تَعَالَى بِلِعَانِهَا الْحَدَّ عَنْهَا فَكَانَ عَكْسُ مَقَالَتِكَ أَوْلَى لَوْ كَانَ بَيْنَهُمَا فَرْقٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika ia berkata: “Atas suatu hak,” maka dikatakan: Mengapa tidak engkau tunaikan hak itu dan mencegah dari penahanan? Jika ia berkata: “Sesungguhnya hak itu tidak dapat ditunaikan kecuali dari dirinya, maka karena itulah ia ditahan karenanya,” maka dikatakan kepadanya: Apakah hak itu? Jika ia menyebutkannya, maka tidak wajib penahanan; dan jika ia tidak menyebutkannya, maka diketahui bahwa menurutnya tidak ada hak atasnya. Kemudian dikatakan kepada Abu Yusuf: Engkau menetapkan had bagi suami, padahal Allah tidak menolak siksaan darinya dengan li‘ān-nya, dan engkau tidak menetapkan had bagi istri, padahal Allah Ta‘ala telah menolak had darinya dengan li‘ān-nya. Maka kebalikan dari pendapatmu itu lebih utama, jika memang ada perbedaan di antara keduanya. Dan Allah lebih mengetahui.

باب ما يكون قذفا ولا يكون ونفي الولد بلا قذف وقذف ابن الملاعنة وغير ذلك

(Bab tentang apa yang termasuk qadzaf dan apa yang tidak, serta penafian anak tanpa qadzaf, qadzaf terhadap anak hasil li‘ān, dan lain sebagainya)

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوْ وَلَدَتِ امْرَأَتُهُ ولداً فقال ليس مني فَلَا حَدَّ وَلَا لِعَانَ حَتَى يَقِفَهُ فَإِنْ قَالَ لَمْ أَقْذِفْهَا وَلَمْ تَلِدْهُ أَوْ وَلَدَتْهُ مِنْ زَوْجٍ قَبْلِي وَقَدْ عُرِفَ نِكَاحُهَا قَبْلَهُ فَلَا يَلْحَقُهُ إِلَّا بِأَرْبَعِ نِسْوَةٍ تَشْهَدُ أَنَّهَا وَلَدَتْهُ وَهِيَ زَوْجَةٌ لَهُ لِوَقْتٍ يُمْكِنُ أَنْ تَلِدَ مِنْهُ فِيهِ لِأَقَلِّ الْحَمْلِ وَإِنْ سَأَلَتْ يَمِينَهُ أَحْلَفْنَاهُ وَبَرِئَ وَإِنْ نَكَلَ أَحْلَفْنَاهَا وَلَحِقَهُ فَإِنْ لَمْ تَحْلِفْ لَمْ يَلْحَقُهُ “.

Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Jika istrinya melahirkan seorang anak lalu ia berkata, ‘Anak ini bukan dariku,’ maka tidak ada had dan tidak ada li‘ān sampai ia menuduhnya secara jelas. Jika ia berkata, ‘Aku tidak menuduhnya dan ia tidak melahirkannya,’ atau ‘Ia melahirkannya dari suami sebelumku, dan telah diketahui pernikahannya sebelumku,’ maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya kecuali dengan kesaksian empat orang perempuan bahwa ia melahirkan anak itu dan ia adalah istrinya pada waktu yang memungkinkan ia melahirkan darinya menurut masa kehamilan terpendek. Jika ia (istri) meminta sumpahnya, maka kami suruh ia bersumpah dan ia terbebas. Jika ia enggan bersumpah, maka kami suruh istrinya bersumpah dan anak itu dinisbatkan kepadanya. Jika istrinya tidak bersumpah, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا أَتَتِ امْرَأَتُهُ بِوَلَدٍ فَقَالَ: هَذَا الْوَلَدُ لَيْسَ مِنِّي لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ قَذْفًا صَرِيحًا لِاحْتِمَالِهِ فَيُؤْخَذُ بِبَيَانِ مُرَادِهِ، وله في البيان أربعة أحوال: أَنْ يُبَيِّنَهُ بِمَا يَكُونُ قَذْفًا وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: أَرَدْتُ بِذَلِكَ أَنَّهَا زَنَتْ فَجَاءَتْ بِهِ مِنَ الزِّنَا فَيَصِيرُ قَاذِفًا وَعَلَيْهِ الْحَدُّ إِلَّا أَنْ يُلَاعِنَ.

Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu jika istrinya melahirkan seorang anak lalu ia berkata, “Anak ini bukan dariku,” maka itu bukanlah qadzaf secara terang-terangan karena masih mengandung kemungkinan, sehingga diambil penjelasan maksudnya. Dalam penjelasan itu ada empat keadaan: Pertama, ia menjelaskannya dengan sesuatu yang merupakan qadzaf, yaitu ia berkata, “Maksudku adalah ia berzina sehingga melahirkan anak itu dari zina,” maka ia menjadi pelaku qadzaf dan wajib atasnya had kecuali jika ia melakukan li‘ān.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُبَيِّنَ فَيَقُولُ: أَرَدْتُ أَنَّهُ لَيْسَ مِنِّي شَبَهًا فَلَا يُشْبِهُنِي خَلْقًا وَخُلُقًا، وَلَمْ يَكُنْ قَاذِفًا وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ فَإِنِ ادَّعَتْ أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ الْقَذْفَ حَلَفَ وَبَرِئَ، وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينِ عَلَيْهَا فَإِنْ حَلَفَتْ صَارَ قَاذِفًا وَحُدَّ إِلَّا أَنْ يُلَاعِنَ وَلَيْسَ لَهُ نَفْيُ الْوَلَدِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَجْحَدْ نَسَبَهُ.

Keadaan kedua: Ia menjelaskan dengan berkata, “Maksudku adalah anak itu tidak menyerupaiku, baik secara fisik maupun akhlak,” maka ia tidak menjadi pelaku qadzaf dan tidak ada had atasnya. Jika istrinya mengklaim bahwa ia bermaksud melakukan qadzaf, maka ia disuruh bersumpah dan ia terbebas. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada istrinya. Jika istrinya bersumpah, maka ia menjadi pelaku qadzaf dan dikenakan had kecuali jika ia melakukan li‘ān, dan ia tidak berhak menafikan anak itu, karena ia tidak mengingkari nasabnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَبِيِّنَ ذَلِكَ أَنَّهَا لَمْ تَلِدْهُ وَإِنَّمَا الْتَقَطَتْهُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ إِلَّا أَنْ تُقِيمَ بَيِّنَةً عَلَى وِلَادَتِهَا؛ لِأَنَّ إِقَامَةَ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْوِلَادَةِ مُمْكِنَةٌ، لِأَنَّ الْوِلَادَةَ لَا تَخْلُو فِي الْأَغْلَبِ مِنْ حُضُورِ النِّسَاءِ لَهَا، وَالْبَيِّنَةُ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ يَشْهَدْنَ بِوِلَادَتِهَا كَالرِّضَاعِ وَالِاسْتِهْلَالِ، فَإِنْ شَهِدَ بِهَا شَاهِدَانِ، أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ ذَكَرَا مُشَاهَدَةَ الْوِلَادَةِ بِالِاتِّفَاقِ مِنْ غَيْرِ تَعَمُّدِ النَّظَرِ سُمِعَتْ شَهَادَتُهُمَا؛ لِأَنَّ شَهَادَةَ الرَّجُلِ أَغْلَظُ، فَإِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ بِوِلَادَتِهَا ثَبَتَ نَسَبُهُ وَلَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ إِلَّا بِاللِّعَانِ، فَإِنْ عُدِمَتِ الْبَيِّنَةُ فَهَلْ تَرْجِعُ إِلَى الْقَافَةِ فِي إِلْحَاقِهِ بِهَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Keadaan ketiga: Jika ia menjelaskan bahwa perempuan itu tidak melahirkannya, melainkan hanya memungutnya, maka perkataan adalah perkataannya kecuali jika perempuan itu mendatangkan bukti atas kelahirannya; karena mendatangkan bukti atas kelahiran itu memungkinkan, sebab pada umumnya kelahiran tidak lepas dari kehadiran para perempuan yang menyaksikannya. Bukti tersebut adalah empat orang perempuan yang bersaksi atas kelahirannya, sebagaimana dalam kasus persusuan dan tangisan bayi saat lahir. Jika yang bersaksi adalah dua orang laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan yang menyatakan telah menyaksikan kelahiran secara sepakat tanpa sengaja melihat aurat, maka kesaksian mereka diterima; karena kesaksian laki-laki lebih kuat. Jika telah tegak bukti atas kelahirannya, maka nasabnya ditetapkan dan tidak bisa dinafikan kecuali dengan li‘ān. Jika tidak ada bukti, apakah kembali kepada al-qāfah dalam penetapan nasabnya kepada perempuan itu? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُرْجَعُ إِلَى الْقَافَةِ كَمَا يُرْجَعُ إِلَيْهِمْ فِي إِلْحَاقِهِ بِالرَّجُلِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَلْحَقُوهُ بِهَا صَارَ كَالْبَيِّنَةِ عَلَى وِلَادَتِهَا فَيَلْحَقُ بِهَا وَبِزَوْجِهَا إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ.

Pertama: Dikembalikan kepada al-qāfah sebagaimana dalam penetapan nasab kepada laki-laki. Maka, jika al-qāfah menetapkan nasabnya kepada perempuan itu, hal itu seperti bukti atas kelahirannya, sehingga ia dinasabkan kepada perempuan itu dan suaminya, kecuali jika suaminya menafikannya dengan li‘ān.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الْقَافَةِ فِي إِلْحَاقِ الْوَلَدِ بِالْأُمِّ ويجوز أن يُرْجَعَ إِلَيْهِمْ فِي إِلْحَاقِهِ بِالْأَبِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْأُمَّ يُمْكِنُ أَنْ يَلْحَقَ بِهَا وَلَدُهَا قَطْعًا بِالْمُشَاهَدَةِ، فَلَمْ يَكُنْ لِاجْتِهَادِ الْقَافَةِ فِي إِلْحَاقِهِ مَدْخَلٌ وَلَا يَلْحَقُ الْأَبَ إِلَّا مِنْ طَرِيقِ الِاسْتِدْلَالِ وَغَلَبَةِ الظَّنِّ فَجَازَ اجْتِهَادُ الْقَافَةِ فِي إِلْحَاقِهِ بِهِ، فَعَلَى هَذَا يَحْلِفُ الزَّوْجُ بِاللَّهِ تَعَالَى أَنَّهَا مَا وَلَدَتْهُ، فَإِذَا حَلَفَ انْتَفَى عَنْهُ، وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهَا فَحَلَفَتْ بِاللَّهِ أَنَّهَا وَلَدَتْهُ، فَإِذَا حَلَفَتْ لَحِقَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ، فَإِنْ نَكَلَتْ فَهَلْ تُوقِفُ الْيَمِينَ عَلَى بُلُوغِ الْوَلَدِ لِيَحْلِفَ أَنَّهَا وَلَدَتْهُ عَلَى فِرَاشِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Tidak boleh dikembalikan kepada al-qāfah dalam penetapan nasab anak kepada ibu, namun boleh dikembalikan kepada mereka dalam penetapan nasab kepada ayah. Perbedaannya adalah: anak dapat dinasabkan secara pasti kepada ibunya melalui penglihatan langsung, sehingga ijtihad al-qāfah tidak diperlukan dalam penetapan nasab tersebut, sedangkan ayah hanya dapat dinasabkan melalui istidlāl (penalaran) dan dugaan kuat, sehingga ijtihad al-qāfah dibolehkan dalam penetapan nasab kepadanya. Maka, dalam hal ini, suami bersumpah dengan nama Allah Ta‘ālā bahwa perempuan itu tidak melahirkannya. Jika ia bersumpah, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya. Jika ia enggan bersumpah, sumpah dikembalikan kepada perempuan itu, lalu ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia telah melahirkannya. Jika ia bersumpah, maka anak itu dinasabkan kepadanya kecuali jika suaminya menafikannya dengan li‘ān. Jika perempuan itu enggan bersumpah, apakah sumpah ditangguhkan hingga anak itu baligh agar ia dapat bersumpah bahwa perempuan itu melahirkannya di atas ranjang suaminya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تُوقَفُ الْيَمِينَ وَقَدِ انْقَطَعَ حكمها، لأن حقها في اليمين في بَطَل بِنُكُولِهَا وَيَكُونُ مَنْفِيًّا عَنِ الزَّوْجِ بِإِنْكَارِهَا وَنُكُولِهَا. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُوقِفُ الْيَمِينَ عَلَى بُلُوغِهِ؛ لِأَنَّ إِنْكَارَ الزَّوْجِ قَدْ تَعَلَّقَ بِهِ حَقَّانِ، حَقٌّ لَهَا فِي الْوِلَادَةِ، وَحَقُّ الْوَلَدِ فِي ثُبُوتِ النَّسَبِ، فَإِذَا بَطَلَ حَقُّهَا بِنُكُولِهَا لَمْ يَبْطُلْ حَقُّ الْوَلَدِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ حَلَفَ الْوَلَدُ بَعْدَ بُلُوغِهِ لَحِقَ بِالزَّوْجِ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ، وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ وَكَانَ مَنْفِيًّا عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ، وَهَلْ يَلْحَقُ بِهَا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat pertama: Sumpah tidak ditangguhkan dan hukumnya telah terputus, karena hak perempuan atas sumpah telah gugur dengan keengganannya, dan anak itu tidak dinasabkan kepada suami karena penolakan dan keengganan perempuan tersebut. Pendapat kedua: Sumpah ditangguhkan hingga anak itu baligh; karena penolakan suami terkait dengan dua hak, yaitu hak perempuan dalam kelahiran dan hak anak dalam penetapan nasab. Jika hak perempuan gugur karena keengganannya, hak anak tidak gugur. Maka, jika anak bersumpah setelah baligh, ia dinasabkan kepada suami kecuali jika suami menafikannya dengan li‘ān. Jika anak enggan bersumpah, maka ia tidak dinasabkan kepada suami dan dianggap tidak dinasabkan kepadanya tanpa li‘ān. Apakah ia dinasabkan kepada ibunya atau tidak, dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَلْحَقُ بِهَا إِلَّا بِبَيِّنَةٍ وَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْتِقَاطِ الْمَنْبُوذِ: أَنَّهُ لَا يُسْمَعُ فِيهِ دَعْوَى الْمَرْأَةِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ لِمَا فِي لُحُوقِهِ بِهَا مِنْ إِلْحَاقِهِ بِزَوْجِهَا.

Pendapat pertama: Tidak dinasabkan kepada ibunya kecuali dengan bukti, dan Imam asy-Syāfi‘ī menyebutkan dalam Kitāb al-Liqāṭ al-Mambūdz bahwa tidak diterima pengakuan perempuan dalam hal ini kecuali dengan bukti, karena penetapan nasab kepada ibu mengandung konsekuensi penetapan nasab kepada suaminya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَلْحَقُ بِإِقْرَارِهَا وَلَا يَلْحَقُ بِزَوْجِهَا مَعَ إِنْكَارِهِ.

Pendapat kedua: Anak dinasabkan dengan pengakuan ibunya, namun tidak dinasabkan kepada suaminya jika suaminya mengingkarinya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُبَيِّنَ أَنَّهَا وَلَدَتْهُ مِنْ زَوْجٍ كَانَ لَهَا قَبْلَهُ فَلَا يَخْلُو أَنْ يُعْرَفَ لَهَا زَوْجٌ قَبْلَهُ أَوْ لَا يُعْرَفَ فَإِنْ لَمْ يُعَرَفْ لَهَا زَوْجٌ قَبْلَهُ قِيلَ هَذَا الْبَيَانُ غَيْرُ مَقْبُولٍ مِنْكَ فَبَيِّنْهُ بِمَا يُمْكِنُ لِيُقْبَلَ، وَإِنْ عُرِفَ لَهَا زَوْجٌ قَبْلَهُ، فَلَا يَخْلُو أَنْ يُعْرَفَ وَقْتُ طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَعَقْدِ الثَّانِي وَوَقْتُ الْوِلَادَةِ أَوْ لَا يُعْرَفَ ذَلِكَ كُلُّهُ.

Keadaan keempat: Jika dijelaskan bahwa perempuan itu melahirkan anak tersebut dari suami yang pernah menjadi suaminya sebelum suami yang sekarang, maka ada dua kemungkinan: apakah diketahui bahwa ia pernah memiliki suami sebelumnya atau tidak. Jika tidak diketahui bahwa ia pernah memiliki suami sebelumnya, maka dikatakan bahwa penjelasan ini tidak diterima darimu, maka jelaskanlah dengan sesuatu yang memungkinkan agar dapat diterima. Jika diketahui bahwa ia pernah memiliki suami sebelumnya, maka ada dua kemungkinan: apakah diketahui waktu talak dari suami pertama, waktu akad dengan suami kedua, dan waktu kelahiran, atau tidak diketahui semuanya.

فَإِنْ عُرِفَ وَقْتُ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ وَوَقْتُ عَقْدِ الثَّانِي وَوَقْتُ الولادة، فللولد أربعة أحوال:

Jika diketahui waktu talak dari suami pertama, waktu akad dengan suami kedua, dan waktu kelahiran, maka anak tersebut memiliki empat keadaan:

أحدها: أَنْ يَكُونَ لَاحِقًا بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي، وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَمَا دُونَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ، وَلَا أَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ عَقْدِ الثَّانِي فَيَنْتَفِي عَنِ الثَّانِي لِلُحُوقِهِ بِالْأَوَّلِ.

Yang pertama: Anak itu dinisbatkan kepada suami pertama saja, bukan kepada suami kedua, yaitu apabila ia melahirkan dalam waktu empat tahun atau kurang sejak talak dari suami pertama, dan tidak kurang dari enam bulan sejak akad dengan suami kedua, maka anak itu tidak dinisbatkan kepada suami kedua karena ia dinisbatkan kepada suami pertama.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مُلْحَقًا بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ، وَلِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ عَقْدِهِ الثَّانِي. فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَا يَنْتَفِي عَنْهُ إِلَّا أَنْ يُلَاعِنَ.

Keadaan kedua: Anak itu dinisbatkan kepada suami kedua saja, bukan kepada suami pertama, yaitu apabila ia melahirkan lebih dari empat tahun sejak talak dari suami pertama, dan enam bulan atau lebih sejak akad dengan suami kedua. Maka anak itu dinisbatkan kepada suami kedua dan tidak dapat dinafikan darinya kecuali dengan li‘ān.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أن لا يحلق بِالْأَوَّلِ وَلَا بِالثَّانِي، وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طلاق الأول ولأقل مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ عَقْدِ الثَّانِي فَيَنْتَفِي عَنْهُمَا وَهُوَ بَعْدَ يَمِينِهِ

Keadaan ketiga: Anak itu tidak dinisbatkan kepada suami pertama maupun suami kedua, yaitu apabila ia melahirkan lebih dari empat tahun sejak talak dari suami pertama dan kurang dari enam bulan sejak akad dengan suami kedua, maka anak itu tidak dinisbatkan kepada keduanya setelah sumpahnya.

مَنْفِيٌّ عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الْفِرَاشِ الْمُوجِبِ لِلُحُوقِ الْوَلَدِ وَلِإِمْكَانِ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ عَلَى وَقْتِ الْوِلَادَةِ، فَإِنْ نَكَلَ الزَّوْجُ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الزَّوْجَةِ يَمِينُهَا أَنْ تَحْلِفَ بِاللَّهِ أَنَّ هَذَا الْوَلَدَ مِنْهُ مَا هُوَ مِنْ غَيْرِهِ وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّهَا فِي ذَلِكَ عَلَى يَقِينٍ بِخِلَافِ غَيْرِهَا، فَإِذَا حَلَفَتْ لَحِقَ بِالزَّوْجِ وَلَهُ نَفْيُهُ بِاللِّعَانِ وَإِنْ نَكَلَتْ عَنِ الْيَمِينِ فَهَلْ تُوقَفُ عَلَى بُلُوغِ الْوَلَدِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Anak itu dinafikan darinya tanpa li‘ān, karena pada dasarnya tidak ada hubungan suami-istri yang menyebabkan anak itu dinisbatkan, dan karena memungkinkan adanya bukti yang jelas tentang waktu kelahiran. Jika suami enggan bersumpah, maka sumpah itu dikembalikan kepada istri, yaitu ia bersumpah atas nama Allah bahwa anak itu benar-benar dari suaminya dan bukan dari selainnya, karena ia yakin dalam hal ini, berbeda dengan selainnya. Jika ia bersumpah, maka anak itu dinisbatkan kepada suami, dan suami tetap berhak menafikan anak itu dengan li‘ān. Jika istri enggan bersumpah, apakah ia ditangguhkan sampai anak itu baligh atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الْمُزَنِيُّ: ” (قَالَ) فِي كِتَابِ الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ لَوْ قَالَ لَهَا مَا هَذَا الْحَمْلُ مِنِّي وَلَيْسَتْ بِزَانِيَةٍ وَلَمْ أُصِبْهَا قَدْ تُخْطِئُ فَلَا يكون حملاً فيكون صادقاً وهي غير غَيْرُ زَانِيَةٍ فَلَا حَدَّ وَلَا لِعَانَ فَمَتَى اسْتَيْقَنَّا أَنَّهُ حَمْلٌ قُلْنَا قَدْ يَحْتَمِلُ أَنْ تَأْخُذَ نُطْفَتَكَ فَتُدْخِلَهَا فَتَحْمَلَ مِنْكَ فَتَكُونَ صَادِقًا بِأَنَّكَ لَمْ تُصِبْهَا وَهِيَ صَادِقَةٌ بِأَنَّهُ وَلَدُكَ فَإِنْ قَذَفْتَ لَاعَنَتْ “.

Al-Muzani berkata: “(Imam Syafi‘i) berkata dalam Kitab at-Talāq dari Ahkām al-Qur’ān: Jika seorang suami berkata kepada istrinya, ‘Dari siapakah kandungan ini? Bukan dari saya, dan engkau bukan pezina, dan saya tidak menggaulimu.’ Bisa jadi ia keliru, sehingga itu bukanlah kehamilan, maka ia benar dan istrinya bukan pezina, sehingga tidak ada had dan tidak pula li‘ān. Namun, jika telah diyakini bahwa itu adalah kehamilan, bisa jadi ia mengambil nutfahmu lalu memasukkannya sehingga ia hamil darimu, maka engkau benar bahwa engkau tidak menggaulinya dan ia juga benar bahwa itu adalah anakmu. Jika engkau menuduhnya berzina, maka ia melakukan li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يَظْهَرَ بِالزَّوْجَةِ حَمْلٌ فَيَقُولُ: مَا هَذَا الْحَمْلُ مِنِّي وَلَيْسَتْ بِزَانِيَةٍ وَلَمْ أُصِبْهَا، قِيلَ: قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْحَمْلُ غِلَظًا أَوْ رِيحًا فَلَا يَعْجَلُ، فَإِنْ تَيَقَّنَاهُ حَمْلًا صَحِيحًا قِيلَ: قَدْ يَجُوزُ أَنْ تُدْخِلَ نَطْفَتَكَ فَتَعْلَقَ مِنْهَا فَيَكُونُ الْحَمْلُ مِنْكَ وَهِيَ عَفِيفَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah apabila tampak pada istri suatu kehamilan, lalu suami berkata: ‘Dari siapakah kandungan ini? Bukan dari saya, dan engkau bukan pezina, dan saya tidak menggaulimu.’ Maka dikatakan: Mungkin saja itu bukan kehamilan, melainkan sesuatu yang tebal atau angin, sehingga tidak perlu tergesa-gesa. Jika telah diyakini itu benar-benar kehamilan, maka dikatakan: Mungkin saja ia memasukkan nutfahmu lalu ia hamil darinya, sehingga kehamilan itu darimu dan ia tetap terjaga kehormatannya.

وَأَنْتَ صَادِقٌ فَلَا يَنْتَفِي عَنْكَ بِهَذَا الْقَوْلِ، وَلَا اعْتِبَارَ فِي الشَّرْعِ بِمَا يَقُولُهُ أَهْلُ الطِّبِّ: إِنَّ النُّطْفَةَ إِذَا لَمْ تَسْتَقِرَّ فِي الرَّحِمِ مِنْ مَخْرَجِ الذَّكَرِ وَأَصَابَهَا الْهَوَاءُ فَبَرُدَتْ لَمْ يكون مِنْهَا عُلُوقٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ” وَهُوَ يَلْحَقُ بِالْإِمْكَانِ وَلَا يَنْتَفِي بِالْإِمْكَانِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: أَنَا عَقِيمٌ وَهِيَ عَفِيفَةٌ وَلَيْسَ الْوَلَدُ مِنِّي قِيلَ: هَذَا ظَنٌّ فَاسِدٌ وَهَكَذَا لَوْ قَالَ: هِيَ عَاقِرٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تَلِدَ الْعَاقِرُ وَيُولَدَ لِلْعَقِيمِ. هَذَا نَبِيُّ اللَّهِ زَكَرِيَّا يَقُولُ: {رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وقد بلغت من الكبر عتيا} [آل عمران: 4] فَأَجَابَهُ اللَّهُ تَعَالَى: {كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا} [مريم: 9] فَجَاءَهُمَا الْوَلَدُ بَعْدَ الْإِيَاسِ مِنْهُ.

Dan engkau benar, sehingga anak itu tidak dinafikan darimu dengan ucapan ini. Tidak dianggap dalam syariat apa yang dikatakan oleh para dokter: bahwa nutfah jika tidak menetap di rahim dari jalan kemaluan laki-laki dan terkena udara lalu menjadi dingin, maka tidak akan terjadi kehamilan darinya; karena Nabi ﷺ bersabda: “Anak itu milik pemilik ranjang (al-walad lil-firāsh)”, dan anak itu dinisbatkan dengan kemungkinan, tidak dinafikan dengan kemungkinan. Demikian pula jika ia berkata: ‘Saya mandul, dan ia terjaga kehormatannya, dan anak itu bukan dari saya,’ maka dikatakan: Itu adalah dugaan yang rusak. Demikian pula jika ia berkata: ‘Ia mandul,’ karena bisa saja wanita mandul melahirkan dan orang mandul memiliki anak. Inilah Nabi Allah Zakariya berkata: {Ya Tuhanku, bagaimana aku akan mendapat seorang anak padahal istriku seorang yang mandul dan aku sendiri sudah mencapai usia yang sangat tua?} (Ali Imran: 40). Maka Allah Ta‘ala menjawabnya: {Demikianlah, Tuhanmu berfirman: itu mudah bagi-Ku, dan sungguh Aku telah menciptakanmu sebelum itu, padahal kamu belum ada sama sekali} (Maryam: 9). Maka keduanya pun mendapatkan anak setelah putus asa darinya.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ بِهَذَا الْقَوْلِ إِذَا صَدَّقَهَا عَلَى الْوِلَادَةِ إِلَّا أَنْ يَنْسِبَهُ إِلَى وَطْءِ غَيْرِهِ دَخَلَ عَلَى فِرَاشِهِ مِمَّا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ عَلَيْهِ فَيَنْتَفِي عَنْهُ بِلِعَانِهِ بَعْدَ إِضَافَتِهِ إِلَى وَطْءِ غَيْرِهِ على ما سنشرحه.

Jika demikian, maka anak itu tidak dinafikan darinya dengan ucapan ini jika ia membenarkan istrinya dalam kelahiran, kecuali jika ia menisbatkannya kepada hubungan suami-istri dengan selainnya yang masuk ke dalam rumah tangganya, yang memungkinkan untuk dilakukan li‘ān atasnya, maka anak itu dinafikan darinya dengan li‘ān setelah ia menisbatkannya kepada hubungan dengan selainnya, sebagaimana akan dijelaskan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” فَإِنْ نَفَى وَلَدَهَا وَقَالَ لَا أُلَاعِنُهَا وَلَا أَقْذِفُهَا لَمْ يُلَاعِنْهَا وَلَزِمَهُ الْوَلَدُ وَإِنْ قَذَفَهَا لاعنها لأنه إذا لاعنها بغير قذف فإنما يدعي أنها لم تلده وقد حكت أنها ولدته وإنما أوجب الله اللعان بالقذف فلا يجب بغيره “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَلَدُ الْمَرْأَةِ لَاحِقٌ زَوْجَهَا إِذَا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ، وَذَلِكَ بِأَنْ تَلِدَهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ وَقْتِ عَقْدِهِ إِذَا أَمْكَنَ اجْتِمَاعُهُمَا، وَلَا يَقِفُ لُحُوقُهُ عَلَى اعْتِرَافِ الزَّوْجِ بِهِ، فَإِنْ أَنْكَرَهُ لَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ إِلَّا بِأَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، إِمَّا بِأَنْ يَقُولَ لَمْ تَلِدْهُ وَإِنَّهَا الْتَقَطَتْهُ أَوِ اسْتَعَارَتْهُ فَيَحْلِفُ إِنْ عُدِمَتِ الْبَيِّنَةُ وَيَنْتَفِي عَنْهُ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ، وَإِمَّا أَنْ يَقْذِفَهَا إِذَا اعْتَرَفَتْ بِوِلَادَتِهَا وَيُلَاعِنَ مِنْهَا فَيَنْتَفِي عَنْهُ بِقَذْفِهِ وَلَا يَنْتَفِي بِغَيْرِهِمَا وَإِنْ كَانَ مُنْكِرًا لَهُ.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang suami menafikan anak istrinya dan berkata, ‘Aku tidak akan melakukan li‘ān terhadapnya dan tidak menuduhnya berzina,’ maka ia tidak melakukan li‘ān dan anak itu tetap menjadi tanggungannya. Namun jika ia menuduh istrinya berzina, maka ia harus melakukan li‘ān terhadapnya. Sebab, jika ia melakukan li‘ān tanpa menuduh zina, berarti ia hanya mengklaim bahwa anak itu bukan anaknya, padahal istrinya mengaku telah melahirkan anak itu. Sementara Allah hanya mewajibkan li‘ān karena tuduhan zina, sehingga tidak wajib li‘ān kecuali karena tuduhan tersebut.” Al-Mawardi berkata: “Ini benar. Anak perempuan itu tetap dinisbatkan kepada suaminya selama memungkinkan anak itu berasal darinya, yaitu jika anak itu lahir setelah enam bulan atau lebih sejak akad nikah, selama memungkinkan keduanya telah berhubungan. Penetapan nasab anak tidak bergantung pada pengakuan suami. Jika suami mengingkarinya, maka anak itu tidak terlepas darinya kecuali dengan salah satu dari dua cara: Pertama, suami berkata, ‘Ia tidak melahirkannya, ia hanya memungut atau meminjam anak itu,’ lalu ia bersumpah jika tidak ada bukti, maka anak itu terlepas darinya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, suami menuduh istrinya berzina jika istri mengakui telah melahirkan anak itu, lalu melakukan li‘ān, maka anak itu terlepas darinya karena tuduhan zina, dan tidak terlepas dengan cara selain keduanya, meskipun ia mengingkari anak itu.”

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي ” وَلَوْ قَالَ لَمْ تَزْنِ بِهِ وَلَكِنَّهَا عَصَتْ لَمْ يُنْفَ عَنْهُ إِلَّا بِلِعَانٍ وَوَقَعَتِ الْفُرْقَةُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami berkata, ‘Ia tidak berzina dengan anak itu, tetapi ia telah berbuat maksiat,’ maka anak itu tidak terlepas darinya kecuali dengan li‘ān, dan perceraian pun terjadi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ اخْتَلَطَ فِيهَا كَلَامُ أَصْحَابِنَا وَلَمْ يَتَحَرَّرْ، وَنَحْنُ نَذْكُرُ مَا اشْتَمَلَ عَلَى فُصُولِهَا مِنَ الْأَقْسَامِ وَنَجْتَهِدُ بِتَوْفِيقِ اللَّهِ فِي تَحْرِيرِ الْأَجْوِبَةِ.

Al-Mawardi berkata: “Masalah ini mencakup dua bagian yang dalam pembahasannya terjadi percampuran pendapat di kalangan ulama kami dan belum terurai dengan jelas. Kami akan menyebutkan rincian bagian-bagiannya dan berusaha, dengan taufik Allah, untuk menjelaskan jawabannya.”

فَإِنْ نَسَبَ وَلَدَ امْرَأَتِهِ إِلَى وَطْءِ غَيْرِهِ لَمْ يخل من أربعة أقسام:

Jika seorang suami menisbatkan anak istrinya kepada hasil hubungan dengan laki-laki lain, maka kasusnya tidak lepas dari empat bagian:

أحدها: أن يقذفهما بِالزِّنَا.

Pertama: Suami menuduh keduanya (istri dan laki-laki lain) berzina.

وَالثَّانِي: أَنْ يَقْذِفَ الرَّجُلَ دُونَ الْمَرْأَةِ.

Kedua: Suami menuduh laki-laki itu saja, tidak istrinya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَقْذِفَ الْمَرْأَةَ دُونَ الرَّجُلِ.

Ketiga: Suami menuduh istrinya saja, tidak laki-laki itu.

وَالرَّابِعُ: أَلَّا يَقْذِفَ وَاحِدًا مِنْهُمَا.

Keempat: Suami tidak menuduh salah satu dari keduanya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَقْذِفَهُمَا مَعًا بِالزِّنَا فَيَقُولُ: زَنَيْتِ بفلان، أو زنا بِكِ رَجُلٌ، فَيَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَهَا وَيَنْفِيَ بِهِ وَلَدَهَا سَوَاءٌ سَمَّى الزَّانِيَ أَوْ لَمْ يُسَمِّهِ، فَإِنَّ هِلَالَ بْنَ أُمَيَّةَ سَمَّى الزَّانِيَ وَالْعَجْلَانِيَّ لَمْ يُسَمِّهِ، وَهَذَا الْقِسْمُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Adapun bagian pertama, yaitu suami menuduh keduanya berzina, misalnya ia berkata: “Engkau berzina dengan si Fulan,” atau “Seorang laki-laki telah berzina denganmu,” maka boleh baginya melakukan li‘ān dan menafikan anak itu, baik ia menyebutkan nama pezina maupun tidak. Sebab Hilal bin Umayyah menyebutkan nama pezina, sedangkan Al-‘Ajlani tidak menyebutkannya. Bagian ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

أَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَقْذِفَ بِالزِّنَا الرَّجُلَ دُونَ الْمَرْأَةِ، فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ: اغْتُصِبْتِ فَاسْتُكْرِهْتِ عَلَى نَفْسِكِ فَيَكُونُ قَذْفًا لِلْمُغْتَصِبِ دُونَهَا، وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، فَيَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ بِهَذَا الْقَذْفِ وَيَنْفِيَ وَلَدَهَا سَوَاءٌ سَمَّى الْمُغْتَصِبَ أَوْ لم يسمه، وحكي، عن الزني فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ: إِنَّهُ إِنْ سَمَّى الْمُغْتَصِبَ لَاعَنَ وَإِنْ لَمْ يُسَمِّهِ لَمْ يُلَاعِنْ، لِأَنَّ الْحَدَّ يَجِبُ عَلَيْهِ إِذَا سَمَّاهُ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ يُسَمِّهِ، وَاللِّعَانُ عِنْدَهُ لَا يَجُوزُ إِلَّا فِي قَذْفٍ يُوجِبُ الْحَدَّ وَنَظَرْتُ فِي جَامِعِهِ فَلَمْ أَرَهُ مُصَرِّحًا بِذَلِكَ وَإِنْ كَانَ كَلَامُهُ مُحْتَمِلًا وَلَيْسَ لِهَذَا الْقَوْلِ وَجْهٌ إِنْ صَحَّ عَنْهُ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun bagian kedua, yaitu suami menuduh laki-laki itu saja berzina, tidak istrinya. Contohnya, suami berkata: “Engkau diperkosa, engkau dipaksa terhadap dirimu sendiri,” maka ini merupakan tuduhan zina kepada pemerkosa, bukan kepada istrinya. Inilah masalah yang dibahas dalam kitab ini. Maka boleh baginya melakukan li‘ān dengan tuduhan ini dan menafikan anak itu, baik ia menyebutkan nama pemerkosa maupun tidak. Diriwayatkan dari Al-Muzani dalam Al-Jāmi‘ Al-Kabīr: “Jika ia menyebutkan nama pemerkosa, maka boleh melakukan li‘ān. Jika tidak menyebutkan namanya, maka tidak boleh melakukan li‘ān, karena had (hukuman) wajib dijatuhkan jika ia menyebutkan nama, dan tidak wajib jika tidak menyebutkan nama. Menurutnya, li‘ān hanya boleh dilakukan pada tuduhan yang mewajibkan had. Aku telah meneliti Al-Jāmi‘ Al-Kabīr dan tidak menemukan pernyataan tegas tentang hal itu, meskipun ucapannya memungkinkan untuk dipahami demikian. Namun, pendapat ini tidak memiliki dasar jika benar dinisbatkan kepadanya, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَسْمِيَةَ الْمَقْذُوفِ مِنْ شُرُوطِ اللِّعَانِ كَالْمَقْذُوفِينَ، وَلَا سُقُوطُ الْحَدِّ بِمَانِعٍ مِنْ لِعَانِهِ فِي نَفْيِ النَّسَبِ كَالْمَجْنُونِينَ.

Pertama: Menyebutkan nama yang dituduh merupakan syarat li‘ān sebagaimana pada orang-orang yang dituduh, dan tidak gugurnya had karena adanya penghalang bukanlah penghalang untuk li‘ān dalam penafian nasab, seperti pada orang gila.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ هَذَا الْوَطْءُ فِي إِفْسَادِ الْفِرَاشِ كَغَيْرِهِ وَجَبَ أَنْ يُسَاوِيَهُ فِي نَفْيِ النَّسَبِ بِلِعَانِهِ.

Kedua: Karena hubungan seksual yang merusak kehormatan pernikahan, baik dengan cara ini maupun cara lain, harus disamakan dalam hal penafian nasab melalui li‘ān.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

أَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَقْذِفَ الْمَرْأَةَ دُونَ الرَّجُلِ، فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ: تَشَبَّهْتِ لَهُ بِزَوْجَتِهِ فَأَصَابَكِ يَظُنُّكِ زَوْجَتَهُ فَأَنْتِ زَانِيَةٌ لِعِلْمِكِ بِهِ وَهُوَ غَيْرُ زَانٍ لِجَهْلِهِ بِكِ، فيحوز عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَالْمُزَنِيِّ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِ النَّسَبِ وَسُقُوطِ الْحَدِّ.

Adapun bagian ketiga, yaitu suami menuduh istrinya saja berzina, tidak laki-laki itu. Contohnya, suami berkata: “Engkau menyamar sebagai istrinya, lalu ia menyetubuhimu karena mengira engkau adalah istrinya. Maka engkau adalah pezina karena engkau tahu, sedangkan ia tidak berzina karena tidak tahu.” Maka menurut mazhab Syafi‘i dan Al-Muzani, boleh melakukan li‘ān untuk menafikan nasab dan menggugurkan had.

وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: لَا يُلَاعِنُ لِنَفْيِ النَّسَبِ بِهَذَا الْقَذْفِ، لِأَنَّهُ وَطْءُ شُبْهَةٍ فِي حَقِّ الرَّجُلِ يُوجِبُ لُحُوقَ الْوَلَدِ بِهِ إِنْ أَلْحَقَتْهُ الْقَافَةُ فَيَنْتَفِي عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ، وَإِذَا أَمْكَنَ نَفْيُ النَّسَبِ بِغَيْرِ لِعَانٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِهِ كَوَلَدِ الْأَمَةِ لَمَّا جَازَ أَنْ يَنْفِيَ عَنْهُ بِادِّعَاءِ الِاسْتِبْرَاءِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِهِ. وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْوَاطِئُ غَيْرَ مُسَمَّى فَلَا يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ، وَلَوْ كَانَ مُسَمًّى لَجَازَ أَنْ يُنْكِرَ الْوَاطِئُ فَلَا يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ، وَلَوِ اعْتَرَفَ بِالْوَطْءِ لَجَازَ أَنْ لَا تُلْحِقَهُ الْقَافَةُ بِهِ، وَلَوْ أَلْحَقَتْهُ الْقَافَةُ بِهِ احْتَاجَ الزَّوْجُ إِلَى إِسْقَاطِ الْحَدِّ بِلِعَانِهِ فَصَارَ اللِّعَانُ مُسْتَحَقًّا فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا، فَجَازَ أَنْ يَتَضَمَّنَهُ نَفْيُ النَّسَبِ الَّذِي قَدْ أَوْجَبَ عَلَيْهِ الْقَذْفُ نَفْيَهُ وَإِنْ لَحِقَ بِهِ.

Abu Hamid al-Isfara’ini berkata: Tidak boleh melakukan li‘ān untuk menafikan nasab dengan tuduhan zina seperti ini, karena ini adalah hubungan suami istri yang terjadi karena syubhat bagi laki-laki, yang menyebabkan anak tersebut dinisbatkan kepadanya jika qāfah menetapkannya, sehingga nasab itu bisa dinafikan tanpa li‘ān. Jika memungkinkan menafikan nasab tanpa li‘ān, maka tidak boleh melakukan li‘ān untuk menafikannya, seperti anak dari seorang budak perempuan; ketika boleh menafikan nasab darinya dengan klaim istibrā’, maka tidak boleh melakukan li‘ān untuk menafikannya. Pendapat ini tidak benar, karena bisa saja orang yang berhubungan itu tidak diketahui namanya, sehingga anak tidak dinisbatkan kepadanya. Jika diketahui namanya, bisa saja orang yang berhubungan itu mengingkari, sehingga anak tidak dinisbatkan kepadanya. Jika ia mengakui hubungan tersebut, bisa saja qāfah tidak menetapkan anak itu kepadanya. Jika qāfah menetapkan anak itu kepadanya, maka suami membutuhkan li‘ān untuk menggugurkan had, sehingga li‘ān menjadi hak dalam semua keadaan. Maka boleh li‘ān itu mencakup penafian nasab yang telah diwajibkan atasnya oleh tuduhan zina, meskipun anak itu dinisbatkan kepadanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ لَا يَقْذِفَ وَاحِدًا مِنْهُمَا بِالزِّنَا فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ: وَجَدَكِ عَلَى فِرَاشِهِ فَظَنَّكِ زَوْجَتَهُ وَظَنَنْتِيهِ زَوْجَكِ. فَلَا يَكُونُ قَاذِفًا لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِمَا زَانٍ، فَلَا يَجِبُ بِهَذَا الرَّمْيِ حَدٌّ، وَيَكُونُ مَقْصُورًا عَلَى نَفْيِ النَّسَبِ، فَإِنْ كَانَ حَمْلًا فَلَا لِعَانَ بِهِ، وَلَا تَنَازُعَ فِيهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ غِلَظًا أَوْ رِيحًا، فَإِذَا وَضَعَتْ رُوعِيَ حَالُ الْمَرْمِيِّ بِوَطْئِهَا فَإِنْ كَانَ مُسَمًّى مُعْتَرِفًا بِوَطْئِهَا فَلَا لِعَانَ، وَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالزَّوْجِ اضْطُرَّ إِلَى نَفْيِهِ بِاللِّعَانِ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْمَرْمِيُّ بِهَا مُنْكِرًا لِوَطْئِهَا أَوْ كَانَ مَجْهُولًا غَيْرَ مُسَمًّى اضْطُرَّ إِلَى نَفْيِهِ بِاللِّعَانِ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الثَّلَاثِ، وَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ مِنْهُ بِغَيْرِ قَذْفٍ قَوْلَانِ:

Adapun bagian keempat, yaitu tidak menuduh salah satu dari keduanya berzina. Contohnya adalah jika ia berkata: “Aku mendapati kamu di atas ranjangnya, lalu ia mengira kamu adalah istrinya dan kamu pun mengira dia adalah suamimu.” Maka ia tidak dianggap menuduh salah satu dari keduanya, karena tidak ada di antara mereka yang berzina, sehingga tidak wajib had atas tuduhan ini, dan tuduhan ini hanya terbatas pada penafian nasab. Jika yang dimaksud adalah kehamilan, maka tidak ada li‘ān karenanya, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini karena bisa jadi itu hanya kegemukan atau angin. Jika perempuan itu melahirkan, maka dilihat keadaan orang yang dituduh telah menggaulinya; jika ia diketahui namanya dan mengakui telah menggaulinya, maka tidak ada li‘ān. Jika anak itu dinisbatkan kepada suami, maka suami terpaksa menafikannya dengan li‘ān. Begitu juga jika orang yang dituduh menggauli perempuan itu mengingkari atau tidak diketahui namanya, maka suami terpaksa menafikannya dengan li‘ān dalam tiga keadaan ini. Dalam hal kebolehan li‘ān tanpa tuduhan zina, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَصَحُّ.

Salah satunya: dan ini adalah pendapat yang paling sahih.

وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: إِنَّهُ يَصِحُّ لِعَانُهُ مِنْهُ بِغَيْرِ قَذْفٍ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa li‘ān tanpa tuduhan zina itu sah karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذَا الْوَطْءَ مُفْسِدٌ لِفِرَاشِهِ كَالزِّنَا فَاسْتَوَيَا فِي نَفْيِ نَسَبِهِ بِاللِّعَانِ.

Pertama: Hubungan ini merusak ranjangnya seperti zina, sehingga keduanya sama dalam hal penafian nasab dengan li‘ān.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدِ اعْتَرَفَ بِأَنَّهُمَا لَمْ يَزْنِيَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكْذِبَ عَلَيْهِمَا فِي رَمْيِهِمَا بِالزِّنَا، فَعَلَى هَذَا يَقُولُ فِي لِعَانِهِ: أشهد بالله أنني لمن الصادقين فيما رميتها بِهِ مِنْ إِصَابَةِ غَيْرِي لَهَا عَلَى فِرَاشِي وَأَنَّ هَذَا الْوَلَدَ مِنْ تِلْكَ الْإِصَابَةِ مَا هُوَ مِنِّي.

Kedua: Ia telah mengakui bahwa keduanya tidak berzina, sehingga tidak boleh ia berdusta atas keduanya dengan menuduh zina. Oleh karena itu, dalam li‘ān ia mengucapkan: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar dalam apa yang aku tuduhkan kepadanya, yaitu telah terjadi hubungan dengan orang lain di atas ranjangku, dan anak ini berasal dari hubungan tersebut, bukan dari diriku.”

فَإِذَا أَكْمَلَ لِعَانَهُ انْتَفَى عَنْهُ النَّسَبُ وَلَمَ تُلَاعِنِ الْمَرْأَةُ بَعْدَهُ، لِأَنَّ هَذَا اللِّعَانَ لَا يُوجِبُ عَلَيْهَا الْحَدَّ، لِأَنَّهُ قَدْ أَثْبَتَ وَطْءَ شُبْهَةٍ وَلَمْ يُثْبِتِ الزِّنَا وَوَطْءُ الشُّبْهَةِ لَا يُوجِبُ الْحَدَّ، فَلِذَلِكَ لَمْ تَلْتَعِنْ لِأَنَّ لِعَانَهَا مَقْصُورٌ عَلَى إِسْقَاطِ الْحَدِّ.

Jika ia telah menyempurnakan li‘ān-nya, maka nasab anak itu terputus darinya dan perempuan tidak melakukan li‘ān setelahnya, karena li‘ān ini tidak mewajibkan had atasnya. Sebab, yang dibuktikan adalah hubungan karena syubhat, bukan zina, dan hubungan karena syubhat tidak mewajibkan had. Oleh karena itu, perempuan tidak melakukan li‘ān karena li‘ān-nya hanya untuk menggugurkan had.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ وَهُوَ مُخَرَّجٌ مِنْ كَلَامٍ لِلشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ حَتَّى يَتَضَمَّنَ قَذْفًا يُوجِبُ الْحَدَّ، لِأَنَّ اللِّعَانَ مَقَامُ خِزْيٍ فَلَمْ يَجُزْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ إِلَّا فِي مِثْلِهِ، وَلِأَنَّ فَحْوَى الْكِتَابِ وَنَصَّ السُّنَّةِ جَاءَتْ بِمِثْلِهِ، فَعَلَى هَذَا فِي كَيْفِيَّةِ قَذْفِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua, yang dikemukakan oleh al-Muzani dan merupakan hasil dari pendapat Imam al-Syafi‘i, adalah tidak boleh melakukan li‘ān kecuali mengandung tuduhan zina yang mewajibkan had, karena li‘ān adalah posisi kehinaan, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam perkara yang serupa. Selain itu, makna al-Qur’an dan nash sunnah juga menunjukkan demikian. Berdasarkan hal ini, dalam cara menuduhnya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بِصَرِيحِ الزِّنَا وَلَوْ كَانَ فِيهِ إِكْذَابٌ لِنَفْسِهِ، حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ.

Salah satunya: dengan menuduh zina secara jelas, meskipun berarti ia mendustakan dirinya sendiri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: بِمَعَارِيضِ الزِّنَا، كَقَوْلِهِ: فَجَرَتْ بِوَطْءِ غَيْرِي، أَوْ وُطِئَتْ وَطْأً حَرَامًا، لِئَلَّا يُصَرِّحَ بِتَكْذِيبِ نَفْسِهِ، وَهَذَا أَشْبَهُ، فَإِنْ وَقَعَ الِاقْتِصَارُ مِنْهُ عَلَى مَعَارِيضِ الْقَذْفِ، بَنَى لَفْظَ لِعَانِهِ عَلَيْهِ فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنِّي لَمِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَيْتُهَا بِهِ مِنْ وَطْءِ الْفُجُورِ أَوِ الْوَطْءِ الْحَرَامِ، وَأَنَّ هَذَا الْوَلَدَ مَا هُوَ مِنِّي، وَلَا يَلْزَمُهَا أَنْ تُلَاعِنَ بَعْدَهُ سَوَاءٌ أَضَافَ الْفُجُورَ إِلَيْهَا أَوْ إِلَى الْوَاطِئِ، لِأَنَّهُ كِنَايَةٌ، وَإِنْ لَمْ يُقْتَنَعْ مِنْهُ إِلَّا بِالْقَذْفِ الصَّرِيحِ، فَإِنْ قَذَفَهَا لَاعَنَ، وَلَاعَنَتْ بَعْدَهُ، وَإِنْ قَذَفَهُ دُونَهَا لَاعَنَ وَلَمْ تُلَاعِنْ بَعْدَهُ، وَإِنْ قَذَفَهَا دُونَهُ لَاعَنَ وَلَاعَنَتْ بَعْدَهُ، لِأَنَّ لِعَانَهُ مِنْ قَذْفِهَا مُوجِبٌ لِلْحَدِّ عَلَيْهَا. فَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهَا إِلَّا بِلِعَانِهَا، وَلِعَانِهِ وَقَذْفُ الْوَاطِئِ وَحْدَهُ، غَيْرُ مُوجِبٍ لِحَدِّهَا فَلَمْ يَحْتَجْ إلى لعانها، والله أعلم.

Pendapat kedua: dengan sindiran-sindiran tentang zina, seperti ucapannya: “Ia telah berbuat keji dengan berhubungan badan dengan selainku,” atau “ia telah digauli dengan hubungan yang haram,” agar tidak secara terang-terangan mendustakan dirinya sendiri. Pendapat ini lebih mendekati kebenaran. Jika ia hanya membatasi diri pada sindiran-sindiran tuduhan zina, maka lafaz li‘ān-nya dibangun di atas itu, lalu ia berkata: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar-benar termasuk orang-orang yang jujur dalam apa yang aku tuduhkan kepadanya berupa hubungan badan yang keji atau hubungan badan yang haram, dan bahwa anak ini bukan dariku.” Maka istrinya tidak wajib melakukan li‘ān setelahnya, baik ia menisbatkan perbuatan keji itu kepadanya (istri) atau kepada laki-laki yang menzinainya, karena itu hanyalah kiasan. Namun, jika tidak dapat dipahami darinya kecuali tuduhan zina secara terang-terangan, maka jika ia menuduh istrinya, ia melakukan li‘ān, dan istrinya juga melakukan li‘ān setelahnya. Jika ia menuduh laki-laki yang menzinai tanpa menuduh istrinya, maka ia melakukan li‘ān dan istrinya tidak melakukan li‘ān setelahnya. Jika ia menuduh istrinya tanpa menuduh laki-laki yang menzinai, maka ia melakukan li‘ān dan istrinya juga melakukan li‘ān setelahnya, karena li‘ān-nya atas tuduhan kepada istrinya mewajibkan hukuman had atasnya (istri), sehingga tidak gugur darinya kecuali dengan li‘ān istrinya. Adapun li‘ān-nya dan tuduhan hanya kepada laki-laki yang menzinai saja, tidak mewajibkan hukuman had atas istrinya, sehingga tidak membutuhkan li‘ān dari istrinya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” ولو قال لابن ملاعنة لست ابن فُلَانٍ أُحْلِفَ مَا أَرَادَ قَذْفَ أُمِّهِ وَلَا حَدَّ فَإِنْ أَرَادَ قَذْفَ أُمِّهِ حَدَدْنَاهُ وَلَوْ قَالَ ذَلِكَ بَعْدَ أَنْ يُقِرَّ بِهِ الَّذِي نَفَاهُ حُدَّ إِنْ كَانَتْ أُمُّهُ حُرَّةً إِنْ طَلَبَتِ الْحَدَّ وَالتَّعْزِيرَ إِنْ كَانَتْ نَصْرَانِيَّةً أَوْ أَمَةً (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ قَدْ قَالَ فِي الرَّجُلِ يَقُولُ لِابْنِهِ لَسْتَ بِابْنِي إِنَّهُ لَيْسَ بِقَاذِفٍ لِأُمِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يُعَزّيَهُ إِلَى حَلَالٍ وَهَذَا بِقَوْلِهِ أَشْبَهُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada anak hasil li‘ān, ‘Engkau bukan anak Fulan,’ maka ia diminta bersumpah bahwa ia tidak bermaksud menuduh ibunya berzina, dan tidak dijatuhi hukuman had. Namun, jika ia bermaksud menuduh ibunya berzina, maka ia dijatuhi hukuman had. Jika ia mengucapkan hal itu setelah orang yang dinafikan itu mengakuinya, maka ia dijatuhi hukuman had jika ibunya adalah wanita merdeka dan ia menuntut hukuman had, dan dijatuhi hukuman ta‘zīr jika ibunya adalah wanita Nasrani atau budak. (Al-Muzani rahimahullah berkata): Ia juga berkata tentang seorang laki-laki yang berkata kepada anaknya, ‘Engkau bukan anakku,’ bahwa ia tidak dianggap menuduh ibunya berzina sampai ditanya maksudnya, karena bisa jadi ia menisbatkannya kepada hubungan yang halal. Dan ini lebih sesuai dengan pendapatnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنْ يُقَالَ لِوَلَدِ الرَّجُلِ لَسْتَ ابْنَ فُلَانٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَلَدِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, jika dikatakan kepada anak seorang laki-laki, “Engkau bukan anak Fulan,” maka keadaan anak itu tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ ابْنَ مُلَاعَنَةٍ قَدْ نَفَاهُ أَبُوهُ بِلِعَانِهِ.

Pertama: Ia adalah anak hasil li‘ān yang telah dinafikan oleh ayahnya melalui li‘ān.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ابْنَ مُلَاعَنَةٍ قَدِ اسْتَلْحَقَهُ أَبُوهُ بَعْدَ نَفْيِهِ.

Kedua: Ia adalah anak hasil li‘ān yang kemudian diakui kembali oleh ayahnya setelah penafian.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ ابْنَ غَيْرِ مُلَاعِنَةٍ.

Ketiga: Ia adalah anak yang bukan hasil li‘ān.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ ابْنَ مُلَاعَنَةٍ قَدْ نَفَاهُ أَبُوهُ بِلِعَانِهِ، فَيَقُولُ لَهُ أَجْنَبِيٌّ: لَسْتَ بِابْنِ فُلَانٍ، فَهَذَا الْقَوْلُ مِنْهُ يَحْتَمِلُ أَمْرَيْنِ مُتَسَاوِيَيْنِ، يُحْتَمَلُ أَنْ يُرِيدَ لَسْتَ بِابْنِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ نَفَاهُ بِلِعَانِهِ فَلَا يَكُونُ قَاذِفًا لِأُمِّهِ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُرِيدَ بِهِ أَنَّ أُمَّهُ زَنَتْ بِهِ فَيَصِيرُ قَاذِفًا لِأُمِّهِ: فَصَارَ مِنْ مَعَارِضِ الْقَذْفِ وَكِنَايَاتِهِ فَوَجَبَ مَعَ الْمُطَالَبَةِ أَنْ يَرْجِعَ فِيهِ إِلَى بَيَانٍ فِي إِرَادَتِهِ، وَلَهُ فِي بَيَانِهِ ثَلَاثة أَحْوَالٍ:

Adapun bagian pertama, yaitu anak hasil li‘ān yang telah dinafikan oleh ayahnya melalui li‘ān, lalu ada orang lain yang berkata kepadanya, “Engkau bukan anak Fulan,” maka ucapan ini mengandung dua kemungkinan yang sama kuat: bisa jadi ia bermaksud, “Engkau bukan anaknya karena ayahmu telah menafikanmu melalui li‘ān,” sehingga ia tidak dianggap menuduh ibunya berzina; atau bisa jadi ia bermaksud bahwa ibunya telah berzina sehingga ia menjadi penuduh ibunya berzina. Maka, ucapan ini termasuk dalam kategori sindiran dan kiasan tuduhan zina, sehingga jika ada tuntutan, harus dikembalikan kepada penjelasan maksudnya. Dalam penjelasan maksudnya, terdapat tiga kemungkinan:

أحدها: أَنْ يُرِيدَ بِهِ قَذْفَ أُمِّهِ.

Pertama: Ia bermaksud menuduh ibunya berzina.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُرِيدَ بِهِ قَذْفَهَا.

Kedua: Ia tidak bermaksud menuduh ibunya berzina.

وَالثَّالِث: أَنْ لَا تَكُونَ لَهُ إِرَادَةٌ، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ قَذْفَ أُمِّهِ حُدَّ لَهَا، وَإِنْ لَاعَنَ الزَّوْجُ مِنْهَا، لِأَنَّ لِعَانَهُ بَيِّنَةٌ فِي حَقِّهِ وَلَيْسَتْ بَيِّنَةً فِي حَقِّ غَيْرِهِ، فَصَارَتْ عَلَى عِفَّتِهَا مَعَ الْأَجَانِبِ وَإِنِ ارْتَفَعَتْ عِفَّتُهَا مَعَ الزَّوْجِ، فَيُحَدُّ لَهَا إِنْ كَانَتْ حُرَّةً مُسْلِمَةً، وَيُعَزَّرُ لَهَا إِنْ كَانَتْ ذِمِّيَّةً أَوْ أَمَةً، وَقَدْ رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ وَنَفَى النَّسَبَ، وَقَضَى أَلَّا تَرْمِيَ وَلَا يُرْمَى وَلَدُهَا، فَمَنْ رَمَاهَا فَعَلَيْهِ الْحَدُّ.

Ketiga: Ia tidak memiliki maksud tertentu. Jika ia bermaksud menuduh ibunya berzina, maka dijatuhi hukuman had untuk ibunya, meskipun suaminya telah melakukan li‘ān terhadapnya, karena li‘ān suaminya hanya menjadi bukti untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Maka, kehormatan istrinya tetap terjaga di hadapan orang lain, meskipun kehormatannya telah hilang di hadapan suaminya. Maka, dijatuhi hukuman had untuk ibunya jika ia adalah wanita merdeka Muslimah, dan dijatuhi hukuman ta‘zīr jika ia adalah wanita dzimmi atau budak. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ memisahkan antara dua orang yang melakukan li‘ān, menafikan nasab, dan memutuskan agar wanita itu dan anaknya tidak boleh dituduh berzina. Maka, siapa pun yang menuduhnya, wajib dijatuhi hukuman had.

وَهَذَا نَصُّ الشَّافِعِيِّ، وَمُطْلَقُ جَوَابِهِ فِي قَذْفِهَا وَتَفْصِيلُ هَذَا الْإِطْلَاقِ أَشْبَهُ بِالْحَقِّ عِنْدِي، وَهُوَ أَنْ يُعْتَبَرَ حَالُ الْمُلَاعَنَةِ، فَإِنْ لَاعَنَتْ بَعْدَ لِعَانِ الزَّوْجِ كَانَتْ عَلَى عِفَّتِهَا مَعَ الْأَجَانِبِ فَيُحَدُّ قَاذِفُهَا، وَإِنْ لَمْ تُلَاعِنْ وَحُدَّتْ فِي الزِّنَا، ذَهَبَتْ عِفَّتُهَا، وَلَمْ يُحَدَّ قَاذِفُهَا، لِأَنَّهُ يَتَنَافَى ثُبُوتُ الْعِفَّةِ وَوُجُوبُ الْحَدِّ كَمَا يَتَنَافَى إِذَا وَجَبَ بِالْبَيِّنَةِ، وَإِنْ لَمْ يَرِدْ بِهِ قَذْفَ أُمِّهِ وَأَرَادَ بِهِ نَفْيَهُ عَنِ الْأَبِ بِلِعَانِهِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ فِي الْحُكْمِ كَذَلِكَ، فَإِنِ ادَّعَتِ الْأُمُّ أَنَّهُ أَرَادَ قَذْفَهَا أَوِ ادَّعَى ذَلِكَ الِابْنُ بَعْدَ مَوْتِهَا أُحْلِفَ بِاللَّهِ مَا أَرَادَ قَذْفَهَا وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ حَلَفَتْ بِاللَّهِ لَقَدْ أَرَادَ قَذْفَهَا أَوْ حَلَفَ وَلَدُهَا بَعْدَ مَوْتِهَا فَإِذَا حَلَفَتْ حُدَّ لَهَا حَدُّ الْقَذْفِ، وَإِنْ نَكَلَتْ أَوْ نَكَلَ وَلَدُهَا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةُ قَذْفٍ فلا حد عليه لأن الكناية إذا تجردت عَنْ نِيَّتِهِ سَقَطَ حُكْمُهَا كَالْكِنَايَةِ فِي الطَّلَاقِ، فَإِذَا ادَّعَتْ عَلَيْهِ إِرَادَةَ الْقَذْفِ أُحْلِفَ عَلَى مَا مَضَى.

Dan inilah teks (pendapat) asy-Syafi‘i, dan jawaban beliau secara mutlak dalam kasus menuduh (qadzaf) terhadap perempuan tersebut. Perincian dari kemutlakan ini menurut saya lebih mendekati kebenaran, yaitu bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah keadaan saat terjadi li‘ān. Jika ia (istri) melakukan li‘ān setelah suaminya melakukan li‘ān, maka ia tetap dianggap terjaga kehormatannya (iffah) terhadap laki-laki lain, sehingga siapa pun yang menuduhnya (berzina) dikenai had qadzaf. Namun jika ia tidak melakukan li‘ān dan telah dikenai had zina, maka iffah-nya telah hilang, sehingga penuduhnya tidak dikenai had, karena tidak mungkin iffah tetap ada sementara had wajib dijatuhkan, sebagaimana tidak mungkin jika had dijatuhkan berdasarkan bukti (bayyinah). Jika tuduhan tersebut tidak dimaksudkan untuk menuduh ibunya, melainkan untuk menafikan nasab dari ayahnya melalui li‘ān, maka tidak ada had atasnya, karena hukumnya memang demikian. Jika ibu tersebut mengklaim bahwa ia dimaksudkan untuk dituduh, atau anaknya mengklaim demikian setelah ibunya wafat, maka penuduhnya disuruh bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak bermaksud menuduhnya, dan tidak ada had atasnya. Namun jika ia enggan bersumpah, maka ibu tersebut bersumpah dengan nama Allah bahwa benar ia bermaksud menuduhnya, atau anaknya bersumpah setelah ibunya wafat. Jika ibu tersebut bersumpah, maka penuduh dikenai had qadzaf untuknya. Jika ibu atau anaknya enggan bersumpah, maka tidak ada had atas penuduh. Jika memang tidak ada niat untuk menuduh, maka tidak ada had atasnya, karena kinayah (ungkapan sindiran) jika terlepas dari niat, maka hukumnya gugur, sebagaimana kinayah dalam talak. Maka jika ia dituduh telah berniat menuduh, ia disuruh bersumpah sebagaimana telah dijelaskan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ ابْنَ مُلَاعَنَةٍ اسْتَحْلَفَهُ أَبُوهُ وَأَقَرَّ أَنَّهُ وَلَدُهُ، فَيَقُولُ لَهُ أَجْنَبِيٌّ: لَسْتَ بِابْنِ فُلَانٍ، فَظَاهِرُهُ الْقَذْفُ، لِأَنَ الِاحْتِمَالَ فِيهِ بَعْدَ الِاسْتِلْحَاقِ أَقَلُّ، فَصَارَ أَغْلَبُ أَحْوَالِهِ الْقَذْفَ، فَيُؤْخَذُ بِالْحَدِّ مِنْ غَيْرِ سُؤَالٍ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ بِخِلَافِ مَا قَدَّمْنَاهُ فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ الَّذِي تَسَاوَى فِيهِ الِاحْتِمَالُ فِيهِ هَذَا مَا لَمْ يَدَّعِ احْتِمَالًا مُمْكِنًا، فَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ: أَرَدْتُ أَنَّكَ لَمْ تَكُنِ ابْنَ فُلَانٍ حِينَ نَفَاكَ بِلِعَانِهِ وَإِنْ صِرْتَ ابْنًا لَهُ بَعْدَ اسْتِلْحَاقِهِ، فَقَوْلُهُ مُحْتَمَلٌ فَيُقْبَلُ مِنْهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْحَدُّ لِاحْتِمَالِ مَا قَالَ، وَإِمْكَانِهِ، فَإِنْ قِيلَ: فَلَوْ قَالَ: يَا زَانِيَةُ، وَقَالَ: أَرَدْتُ زِنَا الْعَيْنِ أَوِ الْيَدِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ مُحْتَمَلًا وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ. فَهَلَّا كَانَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ هَكَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْحَدُّ مَعَ احْتِمَالِهِ؟

Adapun bagian kedua: yaitu jika anak tersebut adalah anak hasil li‘ān, lalu ayahnya mengakuinya sebagai anaknya, kemudian seorang asing berkata kepadanya: “Engkau bukan anak Fulan.” Secara lahiriah, ini adalah qadzaf, karena kemungkinan (tidak qadzaf) setelah adanya pengakuan nasab sangat kecil, sehingga dalam kebanyakan kasus ini adalah qadzaf. Maka dijatuhkan had atas penuduh tanpa perlu ditanya lagi, berdasarkan kebanyakan kasus, berbeda dengan bagian pertama yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana kemungkinan (qadzaf dan bukan qadzaf) seimbang. Ini berlaku selama tidak ada klaim kemungkinan lain yang masuk akal. Jika ia mengklaim kemungkinan lain dan berkata: “Maksudku, engkau bukan anak Fulan ketika ia menafikanmu dengan li‘ān, meskipun setelah pengakuan nasab engkau menjadi anaknya,” maka ucapannya masih mungkin diterima, sehingga diterima darinya dengan syarat ia bersumpah, dan tidak wajib atasnya had, karena adanya kemungkinan dan kemungkinannya itu masuk akal. Jika ada yang bertanya: “Bagaimana jika ia berkata: ‘Wahai pezina!’ lalu ia berkata: ‘Maksudku zina mata atau tangan,’ maka tidak diterima darinya, meskipun itu mungkin, dan wajib atasnya had. Mengapa dalam kasus ini tidak wajib had atasnya meskipun ada kemungkinan?”

قِيلَ: لِأَنَّهُ إِذَا رَمَاهَا بِالزِّنَا كَانَ قَذْفًا صَرِيحًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ فَأُخِذَ بِالْحَدِّ وَلَمْ يَنْوِ، وَفِي هَذَا الْمَوْضِعِ يَكُونُ تَعْرِيضًا بِقَذْفٍ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ فَلِذَلِكَ جَازَ مَعَ الِاحْتِمَالِ أَنْ يَنْوِيَ.

Dijawab: Karena jika ia menuduhnya berzina, maka itu adalah qadzaf yang jelas baik secara lahir maupun batin, sehingga dijatuhkan had atasnya meskipun ia tidak berniat. Sedangkan dalam kasus ini, ucapannya merupakan sindiran qadzaf secara lahir, namun tidak secara batin, sehingga dibolehkan adanya niat lain selama masih ada kemungkinan.

وَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا الْقِسْمِ وَبَيْنَ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ: أَنَّهُ فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ لَا يُحَدُّ حَتَّى يُسْأَلَ، لِأَنَّ لَفْظَهُ كِنَايَةٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ إِلَّا مَعَ النِّيَّةِ.

Perbedaan antara bagian ini dan bagian pertama adalah: pada bagian pertama, tidak dijatuhkan had kecuali setelah ditanya, karena ucapannya merupakan kinayah yang tidak memiliki konsekuensi hukum kecuali dengan niat.

وَفِي هَذَا الْقِسْمِ ظَاهِرُ لَفْظِهِ الْقَذْفُ فَحُدَّ بِالظَّاهِرِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ بَيِّنَةٌ.

Sedangkan pada bagian ini, secara lahir ucapannya adalah qadzaf, sehingga dijatuhkan had berdasarkan lahirnya, kecuali jika ia memiliki bukti.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الِابْنُ ثَابِتَ النَّسَبِ لَمْ يَجُزْ عَلَيْهِ وَلَا عَلَى أُمِّهِ لِعَانٌ قَطُّ، فَيَقُولُ لَهُ أَجْنَبِيٌّ: لَسْتَ بِابْنِ فُلَانٍ، فَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَكُونُ قَذْفًا لِأُمِّهِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، لِأَنَّ فِي الْمُسْتَلْحِقِ بَعْدَ الِالْتِعَانِ مِنَ الِاحْتِمَالِ مَا لَيْسَ فِي هَذَا، فَلِذَلِكَ كَانَ قَذْفًا فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ.

Adapun bagian ketiga: yaitu jika anak tersebut nasabnya telah tetap dan tidak pernah terjadi li‘ān terhadapnya maupun terhadap ibunya, lalu seorang asing berkata kepadanya: “Engkau bukan anak Fulan.” Maka menurut pendapat yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, ini merupakan qadzaf terhadap ibunya baik secara lahir maupun batin, karena pada anak yang diakui nasabnya setelah li‘ān masih ada kemungkinan yang tidak terdapat pada kasus ini. Oleh karena itu, pada kasus ini merupakan qadzaf secara lahir dan batin.

وَفِي هَذَا الْمَوْضِعِ قَذْفًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، وَهَذَا ظَاهِرُ مَا يَقْتَضِيهِ كَلَامُ الشَّافِعِيِّ فِي الْأَجْنَبِيِّ وَحَكَى الْمُزَنِيُّ عَنْهُ في الأب إذا قال لابنه: ليست بِابْنِي، أَنَّهُ لَا يَكُونُ قَاذِفًا لِأُمِّهِ حَتَّى يُرِيدَ بِهِ الْقَذْفَ، فَخَالَفَ بَيْنَ الْأَبِ وَالْأَجْنَبِيِّ فَلَمْ يَجْعَلْ ذَلِكَ مِنَ الْأَبِ قَذْفًا، وَجَعَلَهُ مِنَ الْأَجْنَبِيِّ قَذْفًا، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ طُرُقٍ:

Pada permasalahan ini terdapat unsur qadzaf (tuduhan zina) secara lahir dan batin. Inilah yang tampak dari apa yang ditunjukkan oleh pendapat asy-Syafi‘i mengenai orang asing (al-ajnabī). Al-Muzani meriwayatkan darinya tentang seorang ayah yang berkata kepada anaknya: “Engkau bukan anakku,” bahwa ia tidak dianggap menuduh (qadzaf) ibu anak tersebut kecuali jika ia memang bermaksud menuduh. Maka, asy-Syafi‘i membedakan antara ayah dan orang asing: ia tidak menganggap ucapan itu dari ayah sebagai qadzaf, tetapi menganggapnya sebagai qadzaf jika diucapkan oleh orang asing. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat:

أحدها: وَقَدْ أَوْمَأَ الْمُزَنِيُّ إِلَيْهَا: التَّسْوِيَةُ بَيْنَ الْأَبِ وَالْأَجْنَبِيِّ وَتَخْرِيجُ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ جَمْعًا بَيْنَ مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ:

Salah satunya—dan ini yang diisyaratkan oleh al-Muzani—adalah menyamakan antara ayah dan orang asing, serta mengembalikan permasalahan ini kepada dua pendapat, sebagai upaya menggabungkan apa yang dinyatakan dalam kedua kasus tersebut:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ قَذْفًا صَرِيحًا مِنَ الْأَبِ وَالْأَجْنَبِيِّ جَمِيعًا عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأَجْنَبِيِّ فَيُحَدَّانِ مَعًا إِلَّا أَنْ يُلَاعِنَ الْأَبُ فَيَسْقُطُ عَنْهُ الْحَدُّ وَلَا يَسْقُطُ عَنِ الْأَجْنَبِيِّ.

Salah satunya: Ucapan itu dianggap sebagai qadzaf yang jelas baik dari ayah maupun orang asing, sebagaimana yang dinyatakan dalam kasus orang asing. Maka keduanya dikenai had (hukuman) kecuali jika ayah melakukan li‘ān (sumpah laknat), maka had gugur darinya, tetapi tidak gugur dari orang asing.

وَوَجْهُهُ: أَنَّ نَفْيَ الْوَلَدِ عَنْ أَبِيهِ مَوْضُوعٌ فِي الْعُرْفِ لِقَذْفِ أُمِّهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الْعُرْفُ مُعْتَبَرًا وَالْحُكْمُ بِهِ مُتَعَلِّقًا.

Alasannya adalah bahwa penafian anak oleh ayahnya secara ‘urf (kebiasaan masyarakat) bermakna menuduh ibu anak tersebut (berzina), sehingga ‘urf dapat dijadikan pertimbangan dan hukum dapat dikaitkan dengannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَكُونُ قَذْفًا صَرِيحًا مِنَ الْأَبِ وَلَا مِنَ الْأَجْنَبِيِّ لِظُهُورِ الِاحْتِمَالِ فِيهِ، وَأَنْ يُرَادَ بِهِ لَيْسَ بِابْنِهِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْأَفْعَالِ وَالْأَخْلَاقِ مَعَ اتِّفَاقِهِمَا فِي الْأَنْسَابِ، فَخَرَجَ بِهَذَا الِاحْتِمَالِ عَنْ حُكْمِ الصَّرِيحِ، وَمَا الَّذِي يَكُونُ حُكْمُهُ حِينَئِذٍ؟ فِيهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa ucapan itu tidak dianggap sebagai qadzaf yang jelas baik dari ayah maupun dari orang asing, karena adanya kemungkinan makna lain. Bisa saja maksudnya adalah “bukan anaknya” karena perbedaan dalam perbuatan dan akhlak, meskipun nasabnya sama. Dengan adanya kemungkinan ini, ucapan tersebut keluar dari hukum qadzaf yang jelas. Lalu, apa hukumnya dalam kondisi seperti ini? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَقْذُوفًا فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ مِنْ حَالَيْهِ. وَإِنْ لَمْ يَتَغَلَّظْ عَلَى الْمُسْتَلْحِقِ بَعْدَ النَّفْيِ لَمْ يَكُنْ أَضْعَفَ مِنْهُ فَعَلَى هَذَا يُؤْخَذُ بِالْحَدِّ إِلَّا أَنْ يَقُولَ لَمْ أُرِدْ بِهِ الْقَذْفَ، فَيَحْلِفُ عَلَيْهِ وَلَا يُحَدُّ.

Salah satunya: Bahwa ia dianggap sebagai orang yang terkena qadzaf secara lahiriah, namun tidak secara batiniah, dengan mempertimbangkan keadaan yang paling dominan. Jika setelah penafian, ia tidak memperberat tuduhan kepada yang berhak, maka tidak lebih lemah dari itu. Maka, dalam hal ini, ia dikenai had kecuali jika ia berkata, “Saya tidak bermaksud menuduh (qadzaf),” lalu ia bersumpah atas hal itu, maka ia tidak dikenai had.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ كِنَايَةٌ يَنْوِي فِيهِ وَلَا يُحَدُّ إِلَّا أَنْ يُرِيدَ بِهِ الْقَذْفَ، بِخِلَافِ الْمُسْتَلْحِقِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْمُسْتَلْحِقَ لَمَّا اعْتَلَّ نَسَبُهُ بِاللِّعَانِ صَارَ الظَّاهِرُ مِنْ نَفْيِهِ قَذْفَ أُمِّهِ، وَغَيْرُ الْمُسْتَلْحِقِ لَمَّا لَمْ يَعْتَلَّ نَسَبُهُ صَارَ الظَّاهِرُ مَنْ نَفْيِهِ مُخَالَفَةَ أَبِيهِ فِي أَفْعَالِهِ وَأَخْلَاقِهِ، فَهَذِهِ الطَّرِيقَةُ الْأُولَى لِأَصْحَابِنَا وَيُشْبِهُ أَنْ تَكُونَ طَرِيقَةَ أَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ.

Pendapat kedua: Bahwa ucapan tersebut adalah kinayah (sindiran) yang tergantung pada niat, dan tidak dikenai had kecuali jika memang bermaksud menuduh (qadzaf), berbeda dengan kasus mustalhaq (anak yang diakui melalui li‘ān). Perbedaannya adalah: pada mustalhaq, karena nasabnya menjadi cacat akibat li‘ān, maka yang tampak dari penafian itu adalah menuduh ibunya. Sedangkan selain mustalhaq, karena nasabnya tidak cacat, maka yang tampak dari penafian itu adalah perbedaan dengan ayahnya dalam perbuatan dan akhlak. Inilah pendapat pertama dari ulama kami, dan tampaknya juga merupakan pendapat Abu Thayyib bin Salamah.

وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ الْجَوَابَ عَلَى ظَاهِرِ النَّصِّ فِيهِمَا فَيَكُونُ قَذْفًا مِنَ الْأَجْنَبِيِّ وَلَا يَكُونُ قَذْفًا مِنَ الْأَبِ.

Pendapat kedua—yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah—adalah bahwa jawaban didasarkan pada zahir nash dalam kedua kasus tersebut: maka ucapan itu dianggap qadzaf dari orang asing, tetapi tidak dianggap qadzaf dari ayah.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ لِلْأَبِ مِنْ تَأْدِيبِ وَلَدِهِ بِالضَّرْبِ وَالْإِغْلَاظِ فِي الْقَوْلِ مَا لَيْسَ لِلْأَجْنَبِيِّ فَصَارَ ذَلِكَ مِنَ الْأَبِ إِغْلَاظًا فِي الْقَوْلِ الْمَحْمُولِ عَلَى التَّأْدِيبِ، وَمِنَ الْأَجْنَبِيِّ إِغْلَاظَ قَذْفٍ لَا مَدْخَلَ لَهُ فِي التَّأْدِيبِ.

Perbedaannya adalah: ayah memiliki hak untuk mendidik anaknya dengan memukul dan mengucapkan kata-kata keras, yang tidak dimiliki oleh orang asing. Maka, ucapan itu dari ayah dianggap sebagai kekerasan dalam perkataan yang dimaksudkan untuk mendidik, sedangkan dari orang asing dianggap sebagai kekerasan berupa qadzaf yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan.

وَالطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ – أَنَّ اخْتِلَافَ الْجَوَابِ فِيهِمَا مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ يَسْتَوِيَانِ فِيهِمَا، فَالَّذِي قَالَهُ فِي الْأَبِ: أَنَّهُ لَا يَكُونُ قَذْفًا إِذَا قَالَهُ عِنْدَ وِلَادَتِهِ وَقَبْلَ اسْتِقْرَارِ نَسَبِهِ فِي الْحَالِ الَّتِي لَوْ أَرَادَ نَفْيَهُ فِيهَا بِاللِّعَانِ لِأَمْكَنَهُ، وَالَّذِي قَالَهُ فِي الْأَجْنَبِيِّ: أَنَّهُ يَكُونُ قَذْفًا إِذَا قَالَهُ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ نَسَبِهِ فِي حَالٍ لَا يَجُوزُ لِأَبِيهِ نَفْيُهُ فِيهَا بِاللِّعَانِ، فَيَكُونُ ذَلِكَ قَذْفًا مِنَ الْأَبِ وَالْأَجْنَبِيِّ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ النَّسَبِ وَلَا يَكُونُ قَذْفًا مِنْهُمَا قَبْلَ اسْتِقْرَارِهِ لِضَعْفِ النَّسَبِ قَبْلَ اسْتِقْرَارِهِ، وَقُوَّتِهِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Cara ketiga, yaitu cara Abū Isḥāq al-Marwazī: bahwa perbedaan jawaban dalam dua kasus tersebut didasarkan pada perbedaan dua keadaan yang setara di dalamnya. Apa yang beliau katakan mengenai ayah: bahwa itu tidak dianggap sebagai qazaf jika diucapkan saat kelahiran anak dan sebelum nasabnya ditetapkan, yaitu dalam keadaan yang jika sang ayah ingin menafikan nasab dengan li‘ān maka hal itu masih memungkinkan. Sedangkan yang beliau katakan mengenai orang lain (ajnabī): bahwa itu dianggap sebagai qazaf jika diucapkan setelah nasab anak tersebut telah ditetapkan, dalam keadaan di mana ayahnya tidak lagi boleh menafikan nasab dengan li‘ān. Maka, hal itu menjadi qazaf baik dari ayah maupun dari orang lain setelah nasab telah ditetapkan, dan tidak dianggap qazaf dari keduanya sebelum nasab itu ditetapkan, karena lemahnya nasab sebelum penetapannya dan kuatnya nasab setelah penetapannya. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِذَا نَفَيْنَا عَنْهُ وَلَدَهَا بِاللِّعَانِ ثُمَّ جَاءَتْ بعده بولده لَأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ أَوْ أَكْثَرَ مَا يَلْزَمُهُ لَهُ نَسَبُ وَلَدِ الْمَبْتُوتَةِ فَهُوَ وَلَدُهُ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِلِعَانٍ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan apabila kita telah menafikan anaknya dengan li‘ān, kemudian setelah itu ia melahirkan anak darinya dalam waktu kurang dari enam bulan atau lebih, maka tidak wajib baginya nasab anak dari istri yang telah ditalak ba‘in itu, kecuali jika ia menafikannya lagi dengan li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ نَفْيَ النَّسَبِ بِاللِّعَانِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa penafian nasab dengan li‘ān terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَنْفِيَ بِهِ حَمْلًا.

Pertama: menafikan kehamilan dengan li‘ān.

وَالثَّانِي: أَنْ يَنْفِيَ بِهِ وَلَدًا.

Kedua: menafikan anak dengan li‘ān.

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَنْفِيَ بِهِ حَمْلًا فَإِذَا وَضَعَتْ وَاحِدًا أَوْ عَدَدًا انْتَفَى عَنْهُ جَمِيعُهُمْ، لِأَنَّ الْحَمْلَ مَا اشْتَمَلَ الْبَطْنُ عَلَيْهِ، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْأَخِيرِ مِنْهُمْ فَلَوْ وَضَعَتْ وَلَدًا فَانْتَفَى عَنْهُ وَانْقَضَتْ بِهِ عَدَّتُهَا فِي الظَّاهِرِ، ثُمَّ وَضَعَتْ بِهِ وَلَدًا آَخَرَ، نَظَرَ فِي زَمَانِ وَضْعِهِ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمَا أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ أَوْ أَكْثَرَ، فَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وِلَادَةِ الْأَوَّلِ فَهُمَا مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ بَيْنَ الْحَمْلَيْنِ أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، وَهِيَ أَقَلُّ مُدَّةِ الْحَمْلِ، فَإِذَا كَانَ بَيْنَ الْوَلَدَيْنِ أَقَلُّ مِنْهُمَا كَانَا حَمْلًا وَاحِدًا اشْتَمَلَ الْبَطْنُ عَلَيْهِمَا، فَانْتَفَيَا عَنْهُ بِاللِّعَانِ الْأَوَّلِ، وَعَلِمْنَا أَنَّهَا كَانَتْ بَاقِيَةً فِي عِدَّتِهَا إِلَى وَضْعِ الثَّانِي.

Adapun jenis pertama, yaitu menafikan kehamilan dengan li‘ān, maka apabila ia (istri) melahirkan satu atau beberapa anak, maka semuanya ternafikan darinya, karena kehamilan adalah apa yang dikandung oleh rahim, dan masa iddahnya selesai dengan kelahiran anak terakhir dari mereka. Jika ia melahirkan seorang anak, lalu anak itu dinafikan darinya dan masa iddahnya pun selesai secara lahiriah, kemudian ia melahirkan lagi seorang anak, maka dilihat waktu kelahirannya: tidak lepas dari dua kemungkinan, apakah jarak antara keduanya kurang dari enam bulan atau lebih. Jika ia melahirkan anak kedua dalam waktu kurang dari enam bulan dari kelahiran anak pertama, maka keduanya berasal dari satu kehamilan, karena tidak mungkin antara dua kehamilan terdapat jarak kurang dari enam bulan, yaitu masa kehamilan terpendek. Maka jika antara dua anak itu kurang dari enam bulan, keduanya adalah hasil satu kehamilan yang dikandung oleh rahim, sehingga keduanya ternafikan darinya dengan li‘ān yang pertama, dan kita mengetahui bahwa ia masih berada dalam masa iddah hingga melahirkan anak kedua.

وَكَذَلِكَ لَوْ وَضَعَتْ وَلَدًا ثَالِثًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأَوَّلِ أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ انْتَفَى الثَّالِثُ مَعَ الثَّانِي وَالْأَوَّلِ بِاللِّعَانِ الْمُتَقَدِّمِ لِاشْتِمَالِ الْبَطْنِ عَلَى الثَّلَاثَةِ فِي وَقْتِ نَفْيِ الْحَمْلِ بِاللِّعَانِ، وَعِدَّتُهَا مُنْقَضِيَةٌ بِوَضْعِ الثَّالِثِ، فَأَمَّا إِنْ وَضَعَتِ الْوَلَدَ الثَّانِيَ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ وِلَادَةِ الْأَوَّلِ فَهُوَ مِنْ حَمْلٍ ثَانٍ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ الْوَلَدَيْنِ مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ سِتَّةُ أَشْهُرٍ، وَإِذَا كَانَ الْوَلَدُ الثَّانِي مِنْ حَمْلٍ ثَانٍ فَهِيَ مثبوته بِاللِّعَانِ وَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْأَوَّلِ انْقِضَاءً تيقناً به استبراء رحمها فلم يحلق بِهِ الثَّانِي لِاسْتِحَالَةِ أَنْ يَكُونَ مِنْ إِصَابَتِهِ قَبْلَ اللِّعَانِ لِأَنَّهُ انْتَفَى عَنْهُ بِاللِّعَانِ، وَيَخْتَلِفُ حُكْمُ الْوَلَدَيْنِ فِي الِاسْتِلْحَاقِ، فَإِنِ اسْتَلْحَقَ الْأَوَّلَ لَحِقَ بِهِ، لِأَنَّهُ انْتَفَى عَنْهُ بِاللِّعَانِ وَإِنِ اسْتَلْحَقَ الثَّانِيَ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ لِأَنَّهُ مَنْفِيٌّ عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ.

Demikian pula jika ia melahirkan anak ketiga yang jaraknya dengan anak pertama kurang dari enam bulan, maka anak ketiga itu juga ternafikan bersama anak kedua dan pertama dengan li‘ān yang telah dilakukan sebelumnya, karena rahim telah mengandung ketiganya pada saat penafian kehamilan dengan li‘ān, dan masa iddahnya selesai dengan kelahiran anak ketiga. Adapun jika ia melahirkan anak kedua dengan jarak enam bulan atau lebih dari kelahiran anak pertama, maka anak kedua itu berasal dari kehamilan yang lain, karena tidak mungkin antara dua anak dari satu kehamilan terdapat jarak enam bulan. Jika anak kedua berasal dari kehamilan kedua, maka ia tetap dinisbatkan dengan li‘ān, dan masa iddahnya telah selesai dengan kelahiran anak pertama secara pasti karena rahimnya telah bersih, sehingga anak kedua tidak dinisbatkan kepadanya karena mustahil berasal dari hubungan sebelum li‘ān, sebab ia telah dinafikan dengan li‘ān. Hukum kedua anak tersebut berbeda dalam hal istilhāq (penisbatan nasab): jika ia mengakui anak pertama, maka anak itu dinisbatkan kepadanya karena ia telah dinafikan dengan li‘ān, dan jika ia mengakui anak kedua, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya karena ia telah dinafikan tanpa li‘ān.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَنْفِيَ بِلِعَانِهِ وَلَدًا، فَإِذَا اعْتَدَّتْ مِنْ فُرْقَةِ اللِّعَانِ بِالْأَقْرَاءِ ثُمَّ وَضَعَتْ بَعْدَهُ وَلَدًا ثَانِيًا لَمْ يَخْلُ وَضْعُهُ مِنْ ثَلَاثة أَحْوَالٍ:

Adapun jenis kedua, yaitu menafikan anak dengan li‘ān, maka apabila ia (istri) menjalani masa iddah karena perpisahan akibat li‘ān dengan masa haid, kemudian setelah itu ia melahirkan anak kedua, maka kelahiran anak tersebut tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَضَعَهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ.

Pertama: ia melahirkan anak itu dalam waktu kurang dari enam bulan.

وَالثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا إِلَى أَرْبَعِ سِنِينَ.

Kedua: Jika ia melahirkan anak kedua setelah enam bulan atau lebih hingga empat tahun.

وَالثَّالِث: أَنْ تَضَعَهُ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَأَكْثَرَ.

Ketiga: Jika ia melahirkan anak kedua setelah empat tahun atau lebih.

فَأَمَّا الْحَالُ الْأُولَى: وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ حَتَّى يَنْفِيَهُ بِلِعَانٍ ثَانٍ، بِخِلَافِ الْتِعَانِهِ مِنَ الْحَمْلِ، لِأَنَّ الْتِعَانَهُ مِنَ الْحَمْلِ مُتَوَجَّهٌ إِلَى مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ الْبَطْنُ مِنْ وَاحِدٍ أَوْ جَمَاعَةٍ فَانْتَفَى جَمِيعُهُمْ بِاللِّعَانِ الْوَاحِدِ، وَإِذَا كَانَ اللِّعَانُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، كَانَ النَّفْيُ مَقْصُورًا عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ اللِّعَانُ، وَلَمْ يَتَضَمَّنْ إِلَّا الْأَوَّلَ فَانْتَفَى عَنْهُ دُونَ الثَّانِي، فَإِنِ اعْتَرَفَ بِالثَّانِي أَوْ لَمْ يَعْتَرِفْ بِهِ لَكِنَّهُ لَمْ يُلَاعِنْ مِنْهُ لَحِقَ بِهِ الثَّانِي وَالْأَوَّلُ جَمِيعًا لِأَنَّهُمَا مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ حَيْثُ كَانَ بَيْنَهُمَا أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، وَالْحَمْلُ الْوَاحِدُ لَا يَتَبَعَّضُ فِي اللُّحُوقِ بِاثْنَيْنِ كَمَا لَا يَلْحَقُ الْوَلَدُ الْوَاحِدُ بِاثْنَيْنِ فَجَعَلْنَا الْأَوَّلَ تَبَعًا لِلثَّانِي فِي الِاسْتِلْحَاقِ وَلَمْ نَجْعَلِ الثَّانِيَ تَبَعًا لِلْأَوَّلِ فِي النَّفْيِ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun keadaan pertama, yaitu jika ia melahirkan anak kedua kurang dari enam bulan, maka ia dapat menafikannya dengan li‘ān yang kedua, berbeda dengan li‘ān terhadap kehamilan. Sebab, li‘ān terhadap kehamilan ditujukan kepada apa yang dikandung dalam rahim, baik satu maupun lebih, sehingga semuanya dinafikan dengan satu li‘ān. Namun, jika li‘ān dilakukan setelah kelahiran, maka penafian terbatas pada apa yang tercakup dalam li‘ān tersebut, dan tidak mencakup kecuali anak pertama saja, sehingga hanya anak pertama yang dinafikan, tidak anak kedua. Jika ia mengakui anak kedua, atau tidak mengakuinya tetapi tidak melakukan li‘ān terhadapnya, maka anak kedua dan anak pertama sama-sama dihubungkan nasabnya kepadanya, karena keduanya berasal dari satu kehamilan selama jarak antara keduanya kurang dari enam bulan. Satu kehamilan tidak dapat terbagi dalam hal nasab kepada dua orang, sebagaimana satu anak tidak bisa dinasabkan kepada dua orang. Maka kami menjadikan anak pertama mengikuti anak kedua dalam hal penetapan nasab, dan tidak menjadikan anak kedua mengikuti anak pertama dalam hal penafian, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حُكْمَ الِاسْتِلْحَاقِ [بَعْدَ النَّفْيِ جَائِزٌ، وَالنَّفْيُ بَعْدَ الِاسْتِلْحَاقِ غَيْرُ جَائِزٍ.

Pertama: Hukum penetapan nasab setelah penafian itu diperbolehkan, sedangkan penafian setelah penetapan nasab tidak diperbolehkan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَلَدَ يَلْحَقُ بِالْإِمْكَانِ وَلَا يَنْتَفِي بِالْإِمْكَانِ، فَيَغْلُظُ بِهَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ حُكْمُ الِاسْتِلْحَاقِ] وَعَلَى حُكْمِ النَّفْيِ فَصَارَ الْأَغْلَظُ مَتْبُوعًا وَالْأَخَفُّ تَابِعًا فَإِذَا لَحِقَهُ لم

Kedua: Anak dapat dinasabkan karena kemungkinan (imkān), namun tidak dapat dinafikan hanya karena kemungkinan. Dengan dua hal ini, hukum penetapan nasab menjadi lebih kuat dibandingkan dengan hukum penafian, sehingga yang lebih kuat dijadikan sebagai yang diikuti, dan yang lebih ringan sebagai pengikut. Maka jika anak itu dinasabkan kepadanya, maka

يحد لقذف الأم لِأَنَّ لُحُوقَ الْوَلَدِ لَا يَقْتَضِي تَكْذِيبَهُ فِي الْقَذْفِ، كَمَا لَوْ لَاعَنَ مِنْهَا وَلَمْ يَنْفِ وَلَدَهَا.

ia tidak dikenai had karena menuduh ibunya berzina, karena penetapan nasab anak tidak meniscayakan pendustaannya dalam tuduhan zina, sebagaimana jika ia melakukan li‘ān terhadap istrinya namun tidak menafikan anaknya.

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ: فَهُوَ أَنْ تَضَعَ الثَّانِيَ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ وِلَادَةِ الْأَوَّلِ وَلِدُونِ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ وَقْتِ اللِّعَانِ فَيَكُونُ الْوَلَدُ الثَّانِي مِنْ حَمْلٍ ثَانٍ، وَلَا يَكُونُ مِنْ حَمْلِ الْوَلَدِ الْأَوَّلِ فَيَصِيرُ الْوَلَدُ الثَّانِي لَاحِقًا بِهِ دُونَ الْأَوَّلِ مَا لَمْ تَصِرْ ذَاتَ زَوْجٍ يَلْحَقُهُ وَلَدُهَا، لِأَنَّ وَلَدَ الْمَبْتُوتَةِ يَلْحَقُ بِزَوْجِهَا إِلَى أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ فِرَاقِهِ مَا لَمْ تَتَزَوَّجْ، فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ قَدْ نَفَيْتُمْ عَنْهُ إِذَا الْتَعَنَ مِنَ الْحَمْلِ مَنْ وَلَدَتْهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ؟ .

Adapun keadaan kedua, yaitu jika ia melahirkan anak kedua setelah enam bulan atau lebih dari kelahiran anak pertama, dan kurang dari empat tahun sejak terjadinya li‘ān, maka anak kedua itu berasal dari kehamilan yang kedua, dan bukan dari kehamilan anak pertama. Maka anak kedua dinasabkan kepadanya, tidak dengan anak pertama, selama ia belum menikah dengan suami lain yang anaknya dapat dinasabkan kepadanya. Sebab, anak dari perempuan yang dicerai talak ba’in tetap dinasabkan kepada suaminya hingga empat tahun sejak perpisahan, selama ia belum menikah lagi. Jika ada yang bertanya: Bukankah kalian telah menafikan nasabnya jika ia melakukan li‘ān terhadap kehamilan, terhadap anak yang dilahirkan setelah enam bulan?

(11/93)

(11/93)

قُلْنَا: إِنَّمَا فَرَّقْنَا بَيْنَهُمَا فِي اللُّحُوقِ لِافْتِرَاقِهِمَا في معنى الاستبراء واختلافما فِي إِمْكَانِ اللُّحُوقِ فَصَارَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kami katakan: Kami membedakan antara keduanya dalam hal penetapan nasab karena perbedaan makna istibrā’ dan perbedaan kemungkinan penetapan nasab, sehingga perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْحَامِلَ إِذَا لَاعَنَ مِنْهَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ، وَوَضْعُ الْحَمْلِ يَقِينٌ فِي اسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبْقَى بَعْدَهُ لِلزَّوْجِ مَا فِي الرَّحِمِ، وَذَاتُ الْوَلَدِ إِذَا لَاعَنَ مِنْهَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ وَالِاسْتِبْرَاءُ بِالْأَقْرَاءِ غَلَبَةُ ظَنٍّ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تَحِيضَ عَلَى الْحَمْلِ وَيُرَى دَمُ فَسَادٍ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الرَّحِمُ مُشْتَمِلًا عَلَى مَاءِ الزَّوْجِ وانعقاد الولد منه.

Pertama: Jika seorang perempuan hamil dilakukan li‘ān terhadapnya, maka masa iddahnya selesai dengan melahirkan, dan melahirkan adalah sesuatu yang pasti dalam istibrā’ rahim, sehingga tidak boleh ada lagi hak suami atas apa yang ada dalam rahim setelahnya. Sedangkan perempuan yang telah melahirkan, jika dilakukan li‘ān terhadapnya, maka masa iddahnya selesai dengan tiga kali haid, dan istibrā’ dengan haid adalah dugaan kuat, karena bisa saja ia mengalami haid saat hamil atau darah yang keluar adalah darah fasad, sehingga masih mungkin rahimnya mengandung benih suami dan terjadinya pembuahan anak darinya.

والثاني: أنه يمنع مِنْ ذَاتِ الْحَمْلِ إِذَا الْتَعَنَ مِنْهَا أَنْ يَطَأَهَا فِي الزَّوْجِيَّةِ بَعْدَ وَضْعِ الْحَمْلِ فَامْتَنَعَ أن يكون الحمل الثاني منه [وَلَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَاتِ الْوَلَدِ إِذَا الْتَعَنَ مِنْهَا أَنْ يَكُونَ قَدْ وَطِئَهَا فِي الزَّوْجِيَّةِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ فَلَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَكُونَ الْحَمْلُ الثَّانِي مِنْهُ] .

Kedua: Tidak boleh bagi suami untuk menggauli perempuan hamil yang telah dilakukan li‘ān terhadapnya dalam masa pernikahan setelah melahirkan, sehingga tidak mungkin kehamilan kedua berasal darinya. Namun, tidak tertutup kemungkinan bagi perempuan yang telah melahirkan dan telah dilakukan li‘ān terhadapnya, untuk digauli kembali dalam masa pernikahan setelah melahirkan, sehingga tidak mustahil kehamilan kedua berasal darinya.

فَلِهَذَيْنِ مَا فَرَّقْنَا فِي الثَّانِي بَيْنَ الْحَمْلَيْنِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَلَحِقَهُ الْوَلَدُ الثَّانِي وَلَمْ يَنْتَفِع مِنْهُ إِلَّا بِلِعَانٍ فَإِنِ الْتَعَنَ مِنْهُ احْتَاجَ فِيهِ إِلَى قَذْفٍ ثَانٍ، لِأَنَّ الْقَذْفَ بِالزِّنَا الْأَوَّلِ قَدِ انْقَطَعَ مَاؤُهُ بِوِلَادَةِ الْأَوَّلِ فَصَارَ الْوَلَدُ الثَّانِي مِنْ مَاءٍ ثَانٍ فَاقْتَضَى أَنْ يُضَافَ فِي اللِّعَانِ إِلَى زِنًا ثَانٍ، فَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ مِنَ الثَّانِي لَحِقَ بِهِ دُونَ الْأَوَّلِ لِأَنَّهُمَا مِنْ حَمْلَيْنِ وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ فِي الْحَمْلَيْنِ أَنْ يَكُونَا مِنَ اثْنَيْنِ.

Karena dua alasan inilah kami membedakan dalam kasus kedua antara dua kehamilan. Jika demikian keadaannya, lalu anak kedua dinisbatkan kepadanya dan ia tidak dapat menolaknya kecuali dengan li‘ān, maka jika ia melakukan li‘ān terhadap anak kedua, ia membutuhkan tuduhan zina yang kedua, karena tuduhan zina yang pertama telah terputus dengan kelahiran anak pertama, sehingga anak kedua berasal dari air mani yang kedua, maka konsekuensinya dalam li‘ān harus dinisbatkan pada zina yang kedua. Jika ia tidak melakukan li‘ān terhadap anak kedua, maka anak itu dinisbatkan kepadanya tanpa anak pertama, karena keduanya berasal dari dua kehamilan yang berbeda, dan tidak mustahil dalam dua kehamilan itu masing-masing berasal dari dua orang yang berbeda.

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّالِثَةُ: وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَصَاعِدًا مِنْ وَقْتِ لِعَانِهِ، فَهُوَ مَنْفِيٌّ عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ لِاسْتِحَالَةِ أَنْ يَكُونَ مِنْ إِصَابَتِهِ فِي الزَّوْجِيَّةِ قَبْلَ لِعَانِهِ لِتَجَاوُزِهِ مدة أكثر الحمل.

Adapun keadaan yang ketiga: yaitu jika ia melahirkan anak itu setelah empat tahun atau lebih sejak waktu li‘ān, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya tanpa perlu li‘ān, karena mustahil anak itu berasal dari hubungan suami istri sebelum li‘ān, sebab telah melewati masa maksimal kehamilan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وإذا وَلَدَتْ وَلَدَيْنِ فِي بَطْنٍ فَأَقَرَّ بِأَحَدِهِمَا وَنَفَى الْآخَرَ فَهُمَا ابْنَاهُ وَلَا يَكُونُ حَمْلٌ وَاحِدٌ بولدين إلا من واحد (قال الشافعي) رحمه الله وَإِنْ كَانَ نَفْيُهُ بِقَذْفٍ لِأُمِّهِ فَعَلَيْهِ لَهَا الْحَدُّ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang perempuan melahirkan dua anak dalam satu kandungan, lalu sang suami mengakui salah satunya dan menolak yang lain, maka keduanya adalah anaknya. Tidak mungkin satu kehamilan menghasilkan dua anak kecuali dari satu ayah (Imam Syafi‘i rahimahullah berkata), dan jika penolakannya disertai tuduhan zina kepada ibunya, maka ia wajib dikenai had untuk istrinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا وَلَدَتْ تَوْأَمَيْنِ فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ، أَوْ وَلَدَتْ وَلَدَيْنِ مُتَفَرِّقَيْنِ بَيْنَهُمَا أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَذَلِكَ سَوَاءٌ وَهُمَا مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ لِاشْتِمَالِ الْبَطْنِ عَلَيْهِمَا، فَإِنْ نَفَى أَحَدَهُمَا بِاللِّعَانِ وَاعْتَرَفَ بِالْآخَرِ، أَوْ نَفَى أَحَدَهُمَا وَأَمْسَكَ عَنْ نَفْيِ الْآخَرِ فَذَلِكَ سَوَاءٌ وَهُمَا لَاحِقَانِ بِهِ، لِأَنَّ الَّذِي اعْتَرَفَ بِهِ وَأَمْسَكَ عَنْ نَفْيِهِ لَاحِقٌ بِهِ، وَهُوَ مِنْ حَمْلِ الْأَوَّلِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَتْبَعَهُ الْأَوَّلُ فِي اللُّحُوقِ وَإِنْ نَفي لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْحَمْلَ الْوَاحِدُ لَا يَكُونُ إِلَّا مِنْ أَبٍ وَاحِدٍ، فَصَارَ الْأَوَّلُ تَابِعًا لِلثَّانِي فِي الْإِقْرَارِ، وَلَمْ يَصِرِ الثَّانِي تَابِعًا لِلْأَوَّلِ فِي الْإِنْكَارِ، لِأَنَّ الشَّرِيكَ يَتَعَدَّى إِلَيْهِ الْإِقْرَارُ وَلَا يَتَعَدَّى إِلَيْهِ الْإِنْكَارُ؟ أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ أَخَوَيْنِ ادَّعَيَا دَارًا وَرِثَاهَا عَنْ أَبِيهِمَا فَصَدَّقَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَحَدَهُمَا وَأَنْكَرَ الْآخَرَ، فَكَانَ النِّصْفُ الْمُقَرُّ شِرْكَةً بَيْنَهُمَا فَتَعَدَّى الْإِقْرَارُ إِلَى الْمُكَذَّبِ وَلَمْ يَتَعَدَّ الْإِنْكَارُ إِلَى الْمُصَدَّقِ وَقَدْ ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَجْهَيْنِ مَضَيَا.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu jika seorang perempuan melahirkan anak kembar dalam satu waktu, atau melahirkan dua anak secara terpisah dengan jarak kurang dari enam bulan di antara keduanya, maka hukumnya sama, keduanya berasal dari satu kehamilan karena rahim mengandung keduanya. Jika ia menolak salah satunya dengan li‘ān dan mengakui yang lain, atau menolak salah satunya dan diam dari penolakan yang lain, maka hukumnya sama, keduanya tetap dinisbatkan kepadanya. Karena anak yang diakui dan yang tidak ditolak tetap dinisbatkan kepadanya, dan keduanya berasal dari satu kehamilan, sehingga yang pertama mengikuti yang kedua dalam hal nasab, meskipun ia menolaknya, karena sebagaimana telah kami jelaskan bahwa satu kehamilan tidak mungkin berasal kecuali dari satu ayah, sehingga yang pertama menjadi pengikut yang kedua dalam pengakuan, dan yang kedua tidak menjadi pengikut yang pertama dalam penolakan, karena pengakuan dapat berlaku pada sekutu, sedangkan penolakan tidak berlaku padanya. Tidakkah engkau melihat, jika dua bersaudara mengklaim sebuah rumah yang mereka warisi dari ayah mereka, lalu pihak tergugat membenarkan salah satunya dan menolak yang lain, maka setengah bagian yang diakui menjadi milik bersama keduanya, sehingga pengakuan berlaku juga pada yang didustakan, sedangkan penolakan tidak berlaku pada yang dibenarkan. Kami telah menyebutkan dua sisi perbedaan antara keduanya yang telah lalu.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الثَّانِيَ يَلْحَقُ بِهِ مَعَ الْأَوَّلِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ وَذَلِكَ مُعْتَبَرٌ بِحَال اللُّحُوقِ، فَإِنْ كَانَ لُحُوقُ الثَّانِي لِإِمْسَاكِهِ عَنْ نَفْيِهِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ فِي لُحُوقِهِمَا بِهِ حَدُّ الْقَذْفِ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي إِمْسَاكِهِ تَكْذِيبُ الْقَذْفِ، وَإِذَا كَانَ لُحُوقُ الثَّانِي لِاعْتِرَافٍ بِهِ وَقَدْ كَانَ قَالَ فِي لِعَانِهِ فِي نَفْيِ الْأَوَّلِ إِنَّهُ منْ زنَا وَجَبَ عَلَيْهِ إِذَا أَلْحَقْنَاهُمَا بِالِاعْتِرَافِ حَدُّ الْقَذْفِ لِمَا فِي الِاعْتِرَافِ بِأَحَدِهِمَا مِنْ تَكْذِيبِ نَفْسِهِ فِي قَذْفِهِمَا بِالَآخَرِ.

Jika telah tetap bahwa anak kedua dinisbatkan kepadanya bersama anak pertama, maka pembahasan berpindah pada kewajiban had atasnya, dan hal itu tergantung pada keadaan nasab. Jika penetapan nasab anak kedua karena ia diam dari penolakannya, maka tidak wajib atasnya had qazaf dalam penetapan nasab keduanya, karena dalam diamnya itu tidak terdapat pendustaan terhadap tuduhan zina. Namun jika penetapan nasab anak kedua karena pengakuannya, padahal sebelumnya ia telah berkata dalam li‘ān untuk menolak anak pertama bahwa anak itu hasil zina, maka jika kita nisbatkan keduanya kepadanya karena pengakuan, wajib atasnya had qazaf, karena dalam pengakuan terhadap salah satunya terdapat pendustaan terhadap dirinya sendiri dalam tuduhan zina terhadap keduanya yang lain.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا نَفَى بِاللِّعَانِ وَلَدَيْنِ تَوْأَمَيْنِ انْتَفَى الْوَلَدُ عَنْهُ وَلَمْ يَنْتَفِيَا عَنْهُ فِي الْأُمِّ وَكَانَا مُلْحَقَيْنِ بِهَا دُونَهُ وَهَكَذَا تَوْأَمُ الزِّنَا يحلقان بِالزَّانِيَةِ دُونَ الزَّانِي، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ الْوَلَدَ مِنْ أُمِّهِ يَقِينًا وَمِنْ أَبِيهِ ظَنًّا، فَرَفَعَ الشَّرْعُ حُكْمَ الظَّنِّ فِي الزَّانِي وَلَمْ يَرْفَعْ حُكْمَ الْيَقِينِ فِي الزَّانِيَةِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَرِثَا الْأُمَّ وَوَرِثَتْهُمَا وَلَمْ يَرِثَا الزَّانِيَ وَلَا الْمُلَاعِنَ وَلَمْ يَرِثَاهُمَا، وَفِيمَا يَتَوَارَثُ بِهِ هَذَانِ التَّوْأَمَانِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Jika seorang suami menafikan dua anak kembar melalui li‘ān, maka anak tersebut ternafikan darinya (ayah), namun tidak ternafikan dari ibunya, sehingga keduanya tetap dinisbatkan kepada ibu tanpa ayah. Demikian pula, anak kembar hasil zina dinisbatkan kepada pezina perempuan (ibu) tanpa pezina laki-laki (ayah). Hal ini karena anak itu secara yakin berasal dari ibunya, sedangkan dari ayahnya hanya berdasarkan dugaan. Maka syariat menghapus hukum dugaan pada pezina laki-laki, namun tidak menghapus hukum keyakinan pada pezina perempuan. Dengan demikian, keduanya mewarisi dari ibu dan ibu mewarisi dari keduanya, namun keduanya tidak mewarisi dari pezina laki-laki maupun dari suami yang melakukan li‘ān, dan keduanya pun tidak diwarisi oleh mereka. Adapun dalam hal waris-mewarisi antara kedua anak kembar ini, terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: مِيرَاثُ أَخٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ لِعِلْمِنَا قَطْعًا أَنَّهُمَا مِنْ أَبٍ وَأُمٍّ.

Pertama: Warisan sebagai saudara seayah dan seibu, karena kita mengetahui secara pasti bahwa keduanya berasal dari ayah dan ibu yang sama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا يَتَوَارَثَانِ مِيرَاثَ أَخٍ لِأُمٍّ، لِأَنَّهُ لَمَّا انْتَفَى أَنْ يَكُونَ لَهُمَا أَبٌ امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَا أَخَوَيْنِ مِنْ أَبٍ وصار أَخَوَيْنِ مِنْ أُمٍّ لِأَنَّ لَهُمَا أُمًّا فَوَرِثَا بِالْأُمِّ لَمَّا وَرِثَاهَا، وَلَمْ يَرِثَا بِالْأَبِ لَمَّا لَمْ يَرِثَاهُ.

Pendapat kedua: Keduanya saling mewarisi sebagai saudara seibu, karena ketika telah dinafikan bahwa keduanya memiliki ayah, maka tidak mungkin keduanya menjadi saudara seayah, sehingga keduanya menjadi saudara seibu karena keduanya memiliki ibu. Maka keduanya mewarisi melalui ibu karena mewarisi darinya, dan tidak mewarisi melalui ayah karena tidak mewarisi darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ تَوْأَمَ الْمُلَاعَنَةِ يَتَوَارَثَانِ مِيرَاثَ أَخٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَتَوْأَمَ الزِّنَا يَتَوَارَثَانِ مِيرَاثَ أَخٍ لِأُمٍّ، لِأَنَّ تَوْأَمَ الْمُلَاعَنَةِ لو استلحقا صار أَخَوَيْنِ لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَتَوْأَمَ الزِّنَا لَا يَصِيرَانِ بِالِاسْتِلْحَاقِ أَخَوَيْنِ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَافْتَرَقَا.

Pendapat ketiga: Anak kembar hasil li‘ān saling mewarisi sebagai saudara seayah dan seibu, sedangkan anak kembar hasil zina saling mewarisi sebagai saudara seibu. Karena anak kembar hasil li‘ān jika diakui (dinasabkan) maka menjadi saudara seayah dan seibu, sedangkan anak kembar hasil zina tidak bisa menjadi saudara seayah dan seibu melalui pengakuan, sehingga keduanya berbeda.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَلَوْ مَاتَ أَحَدُهُمَا ثُمَّ الْتَعَنَ نُفِيَ عَنْهُ الحي والميت ولو نفى ولدها بلعان ثم ولدت آخر بعده بيوم فأقر به لزماه جميعاً لأنه حمل واحد وحد لها إن كان قذفها ولو لم ينفه وقف فإن نفاه وقال التعاني الأول يكفيني لأنه حمل واحد لم يكن ذلك له حتى يلتعن من الآخر (وقال) بعض الناس لو مات أحدهما قبل اللعان لاعن ولزمه الولدان وهما عندنا وعنده حمل واحد فكيف يلاعن ويلزمه الولد؟ قال من قبل أنه ورث الميت قلت له ومن زعم أنه يرثه)) .

Imam Syafi‘i berkata: “Jika salah satu dari keduanya meninggal lalu dilakukan li‘ān, maka yang hidup maupun yang telah meninggal tetap dinafikan darinya. Jika ia menafikan anaknya dengan li‘ān lalu istrinya melahirkan anak lain sehari setelahnya dan ia mengakuinya, maka keduanya tetap menjadi anaknya karena itu adalah satu kehamilan, dan ia dikenai had jika menuduh istrinya berzina. Jika ia tidak menafikan anak tersebut, maka statusnya ditangguhkan. Jika ia menafikan dan berkata, ‘li‘ān yang pertama sudah cukup bagiku karena ini satu kehamilan’, maka itu tidak dibenarkan sampai ia melakukan li‘ān untuk anak yang lain. (Beliau juga berkata) sebagian orang berpendapat, jika salah satu dari keduanya meninggal sebelum li‘ān, maka ia melakukan li‘ān dan kedua anak itu tetap menjadi anaknya. Padahal menurut kami dan menurutnya, itu adalah satu kehamilan, lalu bagaimana mungkin ia melakukan li‘ān dan kedua anak itu tetap menjadi anaknya? Ia berkata, karena ia telah mewarisi dari yang meninggal. Aku katakan kepadanya, ‘Siapa yang berpendapat bahwa ia mewarisinya?'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا مَاتَ الْوَلَدُ قَبْلَ الِالْتِعَانِ جَازَ أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ بَعْدَ موته.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika anak meninggal sebelum li‘ān, maka boleh menafikannya dengan li‘ān setelah kematiannya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا مَاتَ قَبْلَ اللِّعَانِ وَرِثَهُ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَاسْتُدِلَّ عَلَى ذَلِكَ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:

Abu Hanifah berkata: Jika anak meninggal sebelum li‘ān, maka ia mewarisinya dan tidak boleh menafikannya dengan li‘ān setelah kematiannya. Hal ini didasarkan pada tiga alasan:

أَحَدُهَا: أن من مات على حكم استقر الْحُكْمُ بِمَوْتِهِ، كَمَنْ مَاتَ عَبْدًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْتِقَ بَعْدَ مَوْتِهِ، أَوْ مَاتَ كَافِرًا لَمْ يَصِرْ مُسْلِمًا بَعْدَ مَوْتِهِ، كَذَلِكَ هَذَا الْوَلَدُ مَاتَ ابْنًا فَلَمْ تَرْتَفِعْ بُنُوَّتُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.

Pertama: Barang siapa meninggal dalam suatu status hukum, maka hukum itu tetap berlaku setelah kematiannya. Seperti seseorang yang meninggal dalam status budak, maka tidak boleh dimerdekakan setelah kematiannya. Atau seseorang yang meninggal dalam keadaan kafir, maka tidak bisa menjadi muslim setelah kematiannya. Demikian pula, anak ini meninggal dalam status sebagai anak, maka status anak itu tidak hilang setelah kematiannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ بِالْمَوْتِ قَدْ صَارَ وَارِثًا لَهُ وَمِيرَاثُهُ اعْتِرَافٌ بِهِ وَالْمُعْتَرِفُ بِالْوَلَدِ لَا يَجُوزُ لَهُ نَفْيُهُ. وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْتَفِعَ بِاللِّعَانِ فِرَاشُ زَوْجَتِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفِيَ بِهِ نَسَبَ وَلَدِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ.

Kedua: Dengan kematian, ia telah menjadi ahli warisnya, dan warisan itu merupakan pengakuan terhadapnya. Seseorang yang mengakui anak tidak boleh menafikannya. Ketiga: Karena tidak boleh menghapus status pernikahan istri dengan li‘ān setelah kematian, maka tidak boleh pula menafikan nasab anaknya dengan li‘ān setelah kematian.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ نَسَبَ الْحَيِّ أَقْوَى مِنْ نَسَبِ الْمَيِّتِ. فَلَمَّا جَازَ أن ينفي باللعان أقوى النسبين كما أَنْ يَنْفِيَ أَضْعَفَهُمَا أَوْلَى.

Dalil kami: Nasab orang yang masih hidup lebih kuat daripada nasab orang yang telah meninggal. Maka jika boleh menafikan dengan li‘ān terhadap nasab yang lebih kuat, maka menafikan terhadap yang lebih lemah tentu lebih utama.

لِأَنَّ الدَّاعِيَ إِلَى نَفْيِهِ فِي الْحَيَاةِ أَمْرَانِ: أَنْ لَا يَنْتَسِبَ إليه، وأن لا يلزمه مونته وَهَذَانِ مَوْجُودَانِ بَعْدَ الْمَوْتِ كَوُجُودِهِمَا قَبْلَهُ، فَاقْتَضَى أَنْ يَسْتَوِيَ الْحَالَانِ فِي نَفْيِهِ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَلْحَقَ بِهِ النَّسَبُ [يَوْمَ] الْمَوْتِ جَازَ أَنْ يُنْفَى عَنْهُ بَعْدَ الْمَوْتِ لِيَسْتَوِيَ حُكْمُ اللُّحُوقِ وَالنَّفْيِ بَعْدَ الْمَوْتِ كَمَا اسْتَوَيَا قَبْلَهُ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِأَنَّ ثُبُوتَ الْحُكْمِ إِلَى الْمَوْتِ يَمْنَعُ مِنَ ارْتِفَاعِهِ بَعْدَهُ كَالْكُفْرِ وَالرِّقِّ فِيمَا تَقَدَّمَهُمَا، فَذَلِكَ مَا اسْتَقَرَّ بِالْمَوْتِ وَلَمْ يَتَغَيَّرْ بَعْدَهُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ نَفْيُ النَّسَبِ لِأَنَّهُ يُوجِبُ ارْتِفَاعَهُ مِنْ أَصْلِهِ وَلَا يَثْبُتُ لَهُ فِيمَا بَعْدُ عَنِ النَّسَبِ فَجَازَ أَنْ يَنْفِيَهُ لِيَرْتَفِعَ قَبْلَ الْمَوْتِ وَبَعْدَهُ، وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ رَفْعِ الْفِرَاشِ بِاللِّعَانِ، أَنَّهُ رَافِعٌ فِي الْحَالِ مَعَ ثُبُوتِهِ مِنْ قَبْلُ وَقَدِ ارْتَفَعَ بِالْمَوْتِ فَلَمْ يَبْقَ لِرَفْعِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ تَأْثِيرٌ بِخِلَافِ النِّسَبِ.

Karena alasan yang mendorong untuk menafikan (nasab) pada masa hidup ada dua: yaitu agar tidak dinisbatkan kepadanya, dan agar tidak mewarisi darinya. Kedua alasan ini tetap ada setelah kematian sebagaimana adanya sebelum kematian. Maka, hal ini menuntut agar kedua keadaan itu sama dalam penafian, karena ketika dimungkinkan untuk menetapkan nasab kepadanya pada hari kematian, maka dimungkinkan pula untuk menafikannya setelah kematian, sehingga hukum penetapan dan penafian nasab setelah kematian menjadi sama sebagaimana keduanya sama sebelum kematian. Adapun jawaban atas dalil bahwa tetapnya hukum sampai kematian mencegah terangkatnya hukum itu setelah kematian, seperti kekufuran dan perbudakan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka itu adalah perkara yang telah tetap dengan kematian dan tidak berubah setelahnya. Tidak demikian halnya dengan penafian nasab, karena penafian itu menyebabkan terangkatnya nasab dari asalnya dan tidak tetap baginya setelahnya, sehingga boleh menafikannya agar terangkat sebelum dan sesudah kematian. Demikian pula jawaban atas penghapusan hak ranjang (al-firāsy) dengan li‘ān, bahwa li‘ān itu menghapuskan pada saat itu juga meskipun sebelumnya telah tetap, dan telah terhapus dengan kematian sehingga tidak ada lagi pengaruh penghapusan setelah kematian, berbeda dengan nasab.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْمِيرَاثِ فَهُوَ عِنْدَنَا غَيْرُ وَارِثٍ إِذَا الْتَعَنَ مِنْهُ، فَلَمْ يَسْلَمْ لَهُمُ الِاسْتِدْلَالُ.

Adapun jawaban mengenai warisan, menurut kami ia tidak menjadi ahli waris jika telah dilakukan li‘ān darinya, maka dalil mereka tidak dapat diterima.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا فَكَانَا وَلَدَيْنِ الْتَعَنَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَنَفَاهُ وَمَاتَ الْآخَرُ قَبْلَ نَفْيِهِ فَإِنَّ الْتِعَانَهُ مِنَ الْحَيِّ لَا يَقْتَضِي نَفْيَ الْمَيِّتِ عَنْهُ حَتَّى يُلَاعِنَ مِنْهُ، فَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ مِنْهُ لَحِقَ بِهِ الْمَيِّتُ وَالْحَيُّ جَمِيعًا، لِأَنَّهُمَا مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ، وَإِنِ الْتَعَنَ مِنْهُ انْتَفَيَا عَنْهُ بِلِعَانَيْنِ، وَلَا يَحْتَاجُ فِي اللِّعَانِ الثَّانِي إِلَى قَذْفٍ يَتَقَدَّمُهُ لِأَنَّهُمَا مِنْ حَمْلٍ قَدْ تَقَدَّمَ الْقَذْفُ لَهُ وَمَاؤُهُ وَاحِدٌ فَافْتَقَرَ إِلَى قَذْفٍ وَاحِدٍ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ لَا يُلَاعِنُ مِنَ الْمَيِّتِ وَيَلْحَقُ بِهِ الْحَيُّ وَالْمَيِّتُ لِأَنَّهُمَا من حمل واحد.

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan, yaitu ada dua anak, lalu dilakukan li‘ān terhadap salah satunya dan ia dinyatakan tidak diakui (nasabnya), kemudian yang satunya meninggal sebelum penafian, maka li‘ān dari yang masih hidup tidak menyebabkan penafian terhadap yang telah meninggal sampai dilakukan li‘ān juga terhadapnya. Jika tidak dilakukan li‘ān terhadapnya, maka yang meninggal dan yang hidup sama-sama dinisbatkan kepadanya, karena keduanya berasal dari satu kandungan. Jika dilakukan li‘ān terhadapnya, maka keduanya ternafikan darinya dengan dua li‘ān. Dan pada li‘ān yang kedua tidak diperlukan tuduhan zina yang mendahuluinya, karena keduanya berasal dari satu kandungan yang tuduhan zinanya telah didahulukan, dan air mani keduanya satu, sehingga hanya membutuhkan satu tuduhan zina. Menurut pendapat Abū Ḥanīfah, tidak dilakukan li‘ān terhadap yang telah meninggal dan yang hidup maupun yang meninggal tetap dinisbatkan kepadanya karena keduanya berasal dari satu kandungan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَقَالَ أَيْضًا – يَعْنِي أَبَا حَنِيفَةَ – لَوْ نَفَاهُ بلعان وَمَاتَ الْوَلَدُ فَادَّعَاهُ الْأَبُ ضُرِبَ الْحَدّ وَلَمْ يثبت النسب فإن كان الابن المنفي ترك ولداً حد أبوه وثبت نسبه منه وورثه (قال الشافعي) رحمه الله ولا فرق بينه ترك ولداً أو لم يتركه لأن هذا الولد المنفي إذا مات منفي النسب ثم أقر به لم يعد إلى النسب لأنه فارق الحياة بحال فلا ينتقل عنها وكذلك ابن المنفي في معنى المنفي وهو لا يكون ابنا بنفسه فكيف يكون ابنه بالولد المنفي الذي قد انقطع نسب الحي منه والذي ينقطع به نسب الحي ينقطع به نسب الميت لأن حكمهما واحد (قال الشافعي) رحمه الله ولو قتل وقسمت ديته ثم اقر به لحقه وأخذ حصته من دينه ومن ماله لأن أصل أمره أن نسبه ثابت وإنما هو منفي ما كان أبوه ملاعنا مقيماً على نفيه “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan ia juga berkata – maksudnya Abū Ḥanīfah – jika ia menafikannya dengan li‘ān lalu anak itu meninggal, kemudian ayahnya mengakuinya, maka ayahnya dikenai hukuman had dan nasabnya tidak ditetapkan. Jika anak yang dinafikan itu meninggalkan anak, maka ayahnya dikenai hukuman had, nasabnya ditetapkan darinya, dan ia mewarisinya.” (Imam Syafi‘i berkata) rahimahullah: “Tidak ada perbedaan apakah ia meninggalkan anak atau tidak, karena anak yang dinafikan ini jika meninggal dalam keadaan nasabnya dinafikan, lalu diakui setelah itu, maka nasabnya tidak kembali, karena ia telah meninggal dalam keadaan demikian, sehingga tidak bisa berpindah dari keadaan itu. Demikian pula anak dari yang dinafikan, hukumnya sama dengan yang dinafikan, dan ia tidak menjadi anak dengan sendirinya, maka bagaimana bisa menjadi anak dari anak yang dinafikan yang nasabnya telah terputus dari yang hidup? Apa yang memutus nasab dari yang hidup, juga memutus nasab dari yang telah meninggal, karena hukumnya sama.” (Imam Syafi‘i berkata) rahimahullah: “Jika ia terbunuh dan diyatnya telah dibagikan, kemudian diakui, maka ia dinisbatkan kepadanya dan mengambil bagiannya dari diyat dan hartanya, karena pada dasarnya nasabnya tetap, hanya saja ia dinafikan selama ayahnya melakukan li‘ān dan tetap pada penafian itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِيمَنْ نَفَى وَلَدَهُ بِاللِّعَانِ ثُمَّ مَاتَ الْوَلَدُ فَاعْتَرَفَ بِهِ وَاسْتَلْحَقَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ – هَلْ يَلْحَقُ بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Al-Māwardī berkata: “Kejadiannya adalah pada seseorang yang menafikan anaknya dengan li‘ān, kemudian anak itu meninggal, lalu ia mengakuinya dan menisbatkannya setelah kematiannya. Para fuqahā’ berbeda pendapat, apakah ia dinisbatkan kepadanya atau tidak, menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ – أَنَّهُ يَلْحَقُ بِهِ إِذَا اسْتَلْحَقَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ سَوَاءٌ تَرَكَ وَلَدًا أَوْ لَمْ يَتْرُكْ غَنِيًّا مَاتَ أَوْ فَقِيرًا.

Pertama, yaitu mazhab Syafi‘i, bahwa ia dinisbatkan kepadanya jika diakui setelah kematiannya, baik ia meninggalkan anak atau tidak, baik ia meninggal dalam keadaan kaya atau miskin.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ تَرَكَ الْمَنْفِيُّ وَلَدًا أُلْحِقَ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَتْرُكْ وَلَدًا لَمْ يُلْحَقْ بِهِ.

Abū Ḥanīfah berkata: Jika yang dinafikan meninggalkan anak, maka ia dinisbatkan kepadanya, dan jika tidak meninggalkan anak, maka tidak dinisbatkan kepadanya.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ مَاتَ غَنِيًّا ذَا مَالٍ لَحِقَ بِهِ، وَإِنْ مَاتَ فَقِيرًا لَمْ يُلْحَقْ بِهِ، وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ بِأَنَّهُ لَا يَلْحَقُهُ إِذَا لَمْ يَتْرُكْ وَلَدًا بِثَلَاثَةِ أُمُورٍ:

Mālik berkata: Jika ia meninggal dalam keadaan kaya dan memiliki harta, maka ia dinisbatkan kepadanya, dan jika ia meninggal dalam keadaan miskin, maka tidak dinisbatkan kepadanya. Abū Ḥanīfah berdalil bahwa jika ia tidak meninggalkan anak, maka tidak dinisbatkan kepadanya dengan tiga alasan:

أَحَدُهَا: بِأَنَّهُ قَدِ انْقَطَعَتْ بِالْمَوْتِ أَسْبَابُهُ فَصَارَ قَطْعًا لِاسْتِلْحَاقِهِ، وَهُوَ بَاقِي الْأَسْبَابِ بِالْوَلَدِ فَبَقِيَ حُكْمُ استلحاقه.

Pertama, bahwa dengan kematian telah terputus sebab-sebabnya, sehingga menjadi penghalang mutlak untuk penisbatan, sedangkan sebab-sebab itu masih ada melalui anak, sehingga hukum penisbatannya tetap.

والثاني: أنه بعدم الولد متهم الاستلحاق فِي إِجَازَةِ الْمِيرَاثِ فَرَدَّ إِقْرَارَهُ بِالتُّهْمَةِ وَمَعَ وجود الولد غير [متهم] فلزم إقراره.

Kedua: Bahwa jika tidak ada anak, orang yang mengaku melakukan istilhaq (penetapan nasab) dicurigai dalam membolehkan warisan, sehingga pengakuannya ditolak karena adanya tuduhan. Namun jika ada anak, maka ia tidak dicurigai sehingga pengakuannya diterima.

والثالث: أنه فِي اسْتِلْحَاقِ النَّسَبِ حَقَّينِ:

Ketiga: Dalam istilhaq nasab terdapat dua hak:

أَحَدُهُمَا: لَهُ وَالْآخَرُ عَلَيْهِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَتَّصِلَ بِحَيٍّ يَثْبُتُ لَهُ مِنْ حَقِّ الِاسْتِلْحَاقِ مِثْلُ مَا يَثْبُتُ عَلَيْهِ. وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ بِأَنَّ مَوْتَ الْغَنِيِّ بَاقِي الْعَلَقِ فَكَانَ لِاسْتِلْحَاقِهِ تَأْثِيرٌ فَثَبَتَ، وَمَوْتَ الْفَقِيرِ مُنْقَطِعُ الْعَلَقِ فَلَمْ يَبْقَ لِاسْتِلْحَاقِهِ تَأْثِيرٌ فَلَمْ يَثْبُتْ.

Salah satunya: hak untuk dirinya, dan yang lainnya atas dirinya. Maka hal itu menuntut agar istilhaq terhubung dengan orang yang masih hidup, sehingga hak istilhaq yang dimiliki sama seperti hak yang dibebankan kepadanya. Malik berdalil bahwa kematian orang kaya masih menyisakan keterikatan, sehingga istilhaqnya masih berpengaruh dan tetap berlaku. Sedangkan kematian orang miskin memutuskan keterikatan, sehingga istilhaqnya tidak lagi berpengaruh dan tidak berlaku.

وَدَلِيلُنَا: أَنَّهُ مَأْمُورٌ بِاسْتِلْحَاقِ نَسَبِهِ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَحَقِّ الْوَلَدِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مقبول الاعتراف في الحياة وبعد الموت، لأن لا يَكُونَ عَلَى الْجُحُودِ مُصِرًّا وَلِلْوَعِيدِ مُسْتَحِقًّا، وَقَدْ يَتَحَرَّرُ مِنْ مَعْنَى هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسَانِ:

Dalil kami: Bahwa ia diperintahkan untuk menetapkan nasabnya dalam hak Allah Ta‘ala dan hak anak, sehingga menuntut agar pengakuannya diterima baik saat hidup maupun setelah mati, agar ia tidak terus-menerus dalam penolakan dan tidak menjadi berhak atas ancaman. Dari makna istidlal (penalaran) ini dapat diambil dua qiyās:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ اسْتِلْحَاقٌ يَثْبُتُ بِهِ نَسَبُ الْحَيِّ فَوَجَبَ أَنْ يَثْبُتَ بِهِ نَسَبُ الْمَيِّتِ كَالَّذِي تَرَكَ وَلَدًا مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ وَكَالْغَنِيِّ مَعَ مَالِكٍ.

Salah satunya: Bahwa istilhaq itu menetapkan nasab orang yang hidup, maka wajib juga menetapkan nasab orang yang telah meninggal, seperti orang yang meninggalkan anak menurut Abu Hanifah dan seperti orang kaya menurut Malik.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ اسْتِلْحَاقٌ يَثْبُتُ بِهِ نَسَبُ ذِي الْوَلَدِ فَوَجَبَ أَنْ يَثْبُتَ نَسَبُ الْأَبِ مَنْ نسب غير ذي الْوَلَدِ الْحَيِّ، وَلِأَنَّ نَسَبَ الْوَلَدِ مَأْخُوذٌ مَنْ نَسَبَ الْأَبِ فَلَا يُؤْخَذُ مَنْ نَسَبَ الْوَلَد، لِأَنَّ الْفُرُوعَ تُرَدُّ إِلَى أُصُولِهَا، وَلَا تُرَدُّ الْأُصُولُ إِلَى فُرُوعِهَا، وَأَبُو حَنِيفَةَ عَكَسَ فِيهِمَا أُصُولَ الشَّرْعِ فَجَعَلَ نَسَبَ الْأَبِ مَأْخُوذًا مِنْ نَسَبِ الْوَلَدِ. وَلَمْ يَجْعَلْ نَسَبَ الْوَلَدِ مَأْخُوذًا مِنْ نَسَبِ الْأَبِ، وَمَا انْعَكَسَتْ بِهِ أُصُولُ الشَّرْعِ كَانَ مَدْفُوعًا، وَبِمْثِلِهِ يَنْدَفِعُ قَوْلُ مَالِكٍ فِي اعْتِبَارِ الْمَالِ، وَلِأَنَّ الْمَنْعَ مِنَ اسْتِلْحَاقِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ لِأَجْلِ الْمَوْتِ، أَوْ لِأَجْلِ التُّهْمَةِ، فَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ لِأَجْلِ الْمَوْتِ لِجَوَازِ اسْتِلْحَاقِهِ مَعَ الْوَلَدِ وَالْمَوْتُ مَوْجُودٌ وَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ لِأَجْلِ التُّهْمَةِ فِي الْمِيرَاثِ، لِأَنَّهُ لَوْ مَاتَ فَقِيرًا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَتْهُومٍ وَتَرَكَ وَلَدًا لَا يَرْثُ لِرِقٍّ أَوْ كُفْرٍ أَلْحَقُوهُ بِهِ وَإِنْ كَانَ مَتْهُومًا، وَإِذَا بَطَلَ تَعْلِيقُ الْمَنْعِ بِوَاحِدٍ مِنْ هَذَيْنِ ثَبَتَ تَسَاوِي حُكْمِهِ فِي الْحَيَاةِ، وَبَعْدَ الْمَوْتِ. فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَطْعِ الْأَسْبَابِ مَعَ عَدَمِ الْوَلَدِ، وَبَقَائِهَا مَعَ وُجُودِهِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Bahwa istilhaq itu menetapkan nasab orang yang memiliki anak, maka wajib juga menetapkan nasab ayah dari orang yang tidak memiliki anak yang masih hidup. Karena nasab anak diambil dari nasab ayah, bukan sebaliknya, sebab cabang dikembalikan kepada asalnya, bukan asal dikembalikan kepada cabangnya. Abu Hanifah justru membalik kaidah syariat dalam hal ini, sehingga menjadikan nasab ayah diambil dari nasab anak, dan tidak menjadikan nasab anak diambil dari nasab ayah. Apa yang bertentangan dengan kaidah syariat harus ditolak. Dengan alasan yang sama, pendapat Malik dalam mempertimbangkan harta juga tertolak. Adapun larangan istilhaq setelah kematian, tidak lepas dari dua sebab: karena kematian atau karena tuduhan. Maka batal jika karena kematian, sebab istilhaq tetap boleh dilakukan meski ada anak dan kematian telah terjadi. Batal pula jika karena tuduhan dalam warisan, sebab jika ia mati dalam keadaan miskin, maka tidak di-istilhaq-kan kepadanya meski tidak dicurigai, dan jika ia meninggalkan anak yang tidak mewarisi karena status budak atau kafir, maka tetap di-istilhaq-kan kepadanya meski dicurigai. Jika penolakan dikaitkan dengan salah satu dari dua sebab ini telah batal, maka tetaplah hukum istilhaq sama baik saat hidup maupun setelah mati. Adapun jawaban atas dalil mereka tentang terputusnya sebab-sebab dengan tidak adanya anak, dan tetapnya sebab-sebab dengan adanya anak, maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَسْبَابَ بَاقِيَةٌ مَعَ عَدَمِ الْوَلَدِ كَبَقَائِهَا مَعَ وُجُودِهِ، لِأَنَّهُ قد تعلق بالأسباب مع الْحُقُوقِ لَهَا وَعَلَيْهَا مِنْ تَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ وَغَيْرِهِ مَا لَا يَنْقَطِعُ بِالْمَوْتِ.

Salah satunya: Bahwa sebab-sebab itu tetap ada meski tidak ada anak, sebagaimana tetapnya sebab-sebab itu dengan adanya anak. Karena telah terkait dengan sebab-sebab tersebut hak-hak baik yang menguntungkan maupun yang membebani, seperti pengharaman mushaharah (pernikahan karena hubungan mahram) dan lainnya yang tidak terputus dengan kematian.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ وَإِنِ انْقَطَعَ بِهَا الْحُقُوقُ الْمُسْتَقْبَلَةُ لَمْ تُقْطَعْ بِهَا الْحُقُوقُ الْمَاضِيَةُ، وَإِنِ انْقَطَعَ بِهَا حَقُّ الْآدَمِيِّ. لَمْ يَنْقَطِعْ بِهَا حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى.

Kedua: Bahwa meskipun hak-hak masa depan terputus karenanya, hak-hak masa lalu tidak terputus. Dan meskipun hak manusia terputus karenanya, hak Allah Ta‘ala tidak terputus.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالتُّهْمَةِ فَقَدْ أَبْطَلْنَا أَنْ تَكُونَ عَلَيْهِ وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِأَنَّ وُجُودَ الْوَلَدِ يَجْمَعُ حَقَّيِ النَّسَبِ وَيُعْدَمَانِ بِفَقْدِهِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun dalil mereka dengan tuduhan, telah kami batalkan bahwa tuduhan itu berlaku atasnya. Adapun dalil bahwa adanya anak mengumpulkan dua hak nasab dan keduanya hilang dengan tidak adanya anak, maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ يَتَعَلَّقُ بِالنَّسَبِ أَحْكَامٌ سِوَى أَحْكَامِ الْوَلَدِ فَلَمْ تَسْقُطْ بِعَدَمِ الْوَلَدِ.

Salah satunya: Bahwa terkadang pada nasab terdapat hukum-hukum selain hukum-hukum yang berkaitan dengan anak, sehingga tidak gugur dengan tidak adanya anak.

وَالثَّانِي: أَنَّ حُكْمَ النَّسَبِ مَعَ وُجُودِ الْوَلَدِ أَغْلَظُ وَمَعَ عَدَمِهِ أَخَفُّ. فَلَمَّا ثَبَتَ النَّسَبُ فِي أَغْلَظِ حَالَيْهِ كَانَ ثُبُوتُهُ فِي أَخَفِّهِمَا أَوْلَى.

Kedua: Bahwa hukum nasab dengan adanya anak lebih berat, dan dengan tidak adanya anak lebih ringan. Maka ketika nasab telah tetap dalam keadaan yang lebih berat, maka penetapannya dalam keadaan yang lebih ringan tentu lebih utama.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ ثُبُوتِ نَسَبِهِ مَعَ وُجُودِ الْوَلَدِ وَعَدَمِهِ فَلَهُ مِيرَاثُهُ بِالْأُبُوَّةِ سَوَاءٌ حَجَبَ الْوَارِثَ أَوْ شَارَكَهُ بَاقِيَهُ كَانَتِ التَّرِكَةُ أَوْ مَقْسُومُهُ، وَلَوْ كَانَ الِابْنُ قَدْ مَاتَ قَتِيلًا، وَرِثَ الْأَبُ مَالَهُ وَدِيَتَهُ، وَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ مَنْ لَمْ يَزَلْ ثَابِتَ النسب من وقت الولادة.

Apabila telah dipastikan apa yang telah kami sebutkan mengenai penetapan nasabnya, baik ada anak maupun tidak ada anak, maka ia berhak mendapatkan warisan sebagai ayah, baik mewarisi seluruh harta atau berbagi dengan ahli waris lainnya, baik harta warisan itu seluruhnya atau hanya sebagian. Jika anak tersebut meninggal karena terbunuh, maka ayah mewarisi hartanya dan diyatnya, dan berlaku atasnya hukum sebagaimana orang yang nasabnya tetap sejak lahir.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ يَا زَانِيَةُ فَقَالَتْ زَنَيْتُ بِكَ وَطَلَبَا جَمِيعًا مَا لَهُمَا سَأَلْنَا فَإِنْ قَالَتْ عَنَيْتُ أَنَّهُ أَصَابَنِي وَهُوَ زَوْجِي أُحُلِفَتْ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا وَيَلْتَعِنُ أَوْ يُحَدُّ وَإِنْ قَالَتْ زَنَيْتُ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَنْكِحَنِي فَهِيَ قَاذِفَةٌ لَهُ وَعَلَيْهَا الْحَدُّ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا مُقِرَّةٌ لَهُ بِالزِّنَا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang suami berkata kepada istrinya, ‘Wahai pezina!’ lalu istrinya menjawab, ‘Aku berzina denganmu,’ dan keduanya menuntut hak masing-masing, maka kami tanyakan maksudnya. Jika sang istri berkata, ‘Maksudku adalah ia telah berhubungan denganku dan ia adalah suamiku,’ maka ia diminta bersumpah dan tidak ada apa-apa atasnya, sedangkan suaminya harus melakukan li‘ān atau dikenai had. Namun jika ia berkata, ‘Aku berzina dengannya sebelum ia menikahiku,’ maka ia telah menuduh suaminya berzina dan atasnya dikenakan had, dan tidak ada apa-apa atas suaminya karena ia telah mengakui zina terhadap dirinya sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا قَوْلُهُ لَهَا مُبْتَدِئًا: يَا زَانِيَةُ فَهُوَ قَذْفٌ لَهَا صَرِيحٌ لَا يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهِ وَأَمَّا قَوْلُهَا لَهُ فِي جَوَابِ قَذْفِهَا لَهُ: زَنَيْتُ بِكَ، فَهُوَ مُحْتَمِلٌ إِذَا كَانَ جَوَابًا، فَلَمْ يَكُنْ قَذْفًا صَرِيحًا إِلَّا أَنْ تُرِيدَ بِهِ الْقَذْفَ وَالَّذِي يَحْتَمِلُهُ هَذَا الْجَوَابُ أَحَدُ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ ذَكَرَ مِنْهَا الشَّافِعِيُّ اثْنَيْنِ، وَأَغْفَلَ الثَّالِثَ:

Al-Mawardi berkata: Adapun ucapan suami kepada istrinya secara langsung, ‘Wahai pezina!’ maka itu adalah tuduhan zina yang jelas dan tidak kembali kepada niatnya. Adapun ucapan istri kepada suaminya sebagai jawaban atas tuduhan suami, ‘Aku berzina denganmu,’ maka itu masih mengandung kemungkinan jika berupa jawaban, sehingga tidak dianggap sebagai tuduhan zina yang jelas kecuali jika ia memang bermaksud menuduh. Jawaban ini mengandung salah satu dari empat kemungkinan, dua di antaranya disebutkan oleh Imam Syafi‘i, dan yang ketiga tidak disebutkan:

أَحَدُهَا: أَنْ تُرِيدَ إِقْرَارَهَا بِالزِّنَا وَقَذْفَهَا لَهُ.

Pertama: Ia bermaksud mengakui perbuatan zina dan menuduh suaminya berzina.

وَالثَّانِي: أَنْ تُرِيدَ إِقْرَارَهَا بِالزِّنَا وَلَا تُرِيدَ قَذْفَهُ بِهِ.

Kedua: Ia bermaksud mengakui perbuatan zina tanpa bermaksud menuduh suaminya berzina.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تُرِيدَ قَذْفَهُ بِالزِّنَا وَلَا تُرِيدَ إِقْرَارَهَا بِهِ.

Ketiga: Ia bermaksud menuduh suaminya berzina tanpa bermaksud mengakui perbuatan zina pada dirinya.

وَالرَّابِعُ: أَنْ لَا تُرِيدَ قَذْفَهُ وَلَا إِقْرَارَهَا بِهِ، فَأَمَّا الأول وهو أن تريد إقرارها بالزنا وقدفه بِهِ فَهُوَ أَنْ تَقُولَ: أَرَدْتُ بِهِ أَنَّهُ زنا بِي قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَنِي، فَكُنْتُ زَانِيَةً بِهِ وَكَانَ زَانِيًا بِي، فَهَذَا الْبَيَانُ هُوَ أَغْلَظُ أَحْوَالِهِمَا فِي حَقِّهَا وَحَقِّ الزَّوْجِ، فَعَلَيْهَا حَدَّانِ:

Keempat: Ia tidak bermaksud menuduh suaminya maupun mengakui perbuatan zina pada dirinya. Adapun kemungkinan pertama, yaitu ia bermaksud mengakui perbuatan zina dan menuduh suaminya berzina, misalnya ia berkata: “Maksudku adalah ia telah berzina denganku sebelum menikahiku, sehingga aku berzina dengannya dan ia berzina denganku.” Penjelasan ini adalah keadaan yang paling berat bagi keduanya, baik bagi istri maupun suami, sehingga atas istri dikenakan dua had:

أَحَدُهُمَا: حَدُّ الزِّنَا لِإِقْرَارِهَا بِهِ وَهُوَ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى لَا تُرَاعَى فِيهِ الْمُطَالَبَةُ.

Pertama: Had zina karena ia mengakui perbuatan zina, dan ini adalah hak Allah Ta‘ala yang tidak memerlukan adanya tuntutan.

وَالثَّانِي: حَدُّ الْقَذْفِ لِلزَّوْجِ، لِأَنَّهَا قَاذِفَةٌ لَهُ. وَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِطَلَبِهِ وَقَدْ سَقَطَ عَنِ الزَّوْجِ حَدُّ الْقَذْفِ بِتَصْدِيقِهَا لَهُ، وَإِذَا وَجَبَ الْحَدَّانِ عَلَيْهَا لَمْ يَتَدَاخَلَا، لِأَنَّهُمَا مِنْ جِنْسَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ الْمُوجِبُ وَالْحُكْمُ، وَمَنَعَ أَبُو حَنِيفَةَ مِنَ اجْتِمَاعِهِمَا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنْ لَا يُجْمَعَ فِي السَّرِقَةِ بَيْنَ الْقَطْعِ وَالْغُرْمِ، وَنَحْنُ نُجْرِيهِ عَلَى أَصْلِنَا فِي الْجَمْعِ بَيْنَ الْقَطْعِ وَالْغُرْمِ وَإِنْ كَانَ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ حَدِّ الزِّنَا وَالْقَذْفِ نَصٌّ، وَهُوَ مَا رُوِيَ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ قَائِمًا يَخْطُبُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ بَنِي كِنَانَةَ فَقَالَ: إِنِّي أَصَبْتُ حَدًّا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اقْعُدْ، حَتَّى قَالَ ذَلِكَ ثَلَاثًا، فَقَالَ لَهُ: ماذا فعلت؟ فقالت: زَنَيْتُ بِبِنْتِ امْرَأَتِي، فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عُمَرَ وَعَلِيًّا وَزَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ أَنْ يُقِيمُوا عَلَيْهِ حَدَّ الزِّنَا، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَى بِنْتِ امْرَأَتِهِ وَسَأَلَهَا فَقَالَتْ: مَا زَنَيْتُ، فَأَمَرَ أَنْ يُقَامَ عَلَيْهِ حَدُّ الْقَذْفِ، فَجَمَعَ عَلَيْهِ الْحَدَّيْنِ.

Kedua: Had qadzaf (tuduhan zina) untuk suami, karena ia telah menuduh suaminya berzina. Had ini bergantung pada tuntutan suami, dan gugur dari suami had qadzaf karena istri telah membenarkan tuduhan suami. Jika wajib atas istri dua had, maka keduanya tidak saling menggugurkan karena berasal dari dua jenis sebab dan hukum yang berbeda. Abu Hanifah melarang penggabungan keduanya berdasarkan pendapatnya bahwa dalam kasus pencurian tidak boleh digabungkan antara potong tangan dan ganti rugi. Sedangkan kami menjalankan sesuai pendapat kami, yaitu boleh menggabungkan antara potong tangan dan ganti rugi, meskipun dalam penggabungan antara had zina dan qadzaf terdapat nash, yaitu sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ sedang berkhutbah, lalu seorang laki-laki dari Bani Kinanah berdiri dan berkata: “Aku telah melakukan suatu had.” Nabi ﷺ bersabda: “Duduklah,” hingga ia mengulanginya tiga kali. Lalu Nabi bertanya: “Apa yang telah kamu lakukan?” Ia menjawab: “Aku telah berzina dengan putri istri saya.” Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan Umar, Ali, dan Zaid bin Haritsah untuk menegakkan had zina atasnya. Kemudian beliau memanggil putri istrinya dan menanyainya, lalu ia berkata: “Aku tidak berzina.” Maka Nabi memerintahkan untuk menegakkan had qadzaf atas laki-laki tersebut, sehingga digabungkan atasnya dua had.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تُرِيدَ إِقْرَارَهَا بِالزِّنَا وَلَا تُرِيدَ قَذْفَهُ بِالزِّنَا، فَهُوَ أَنْ تَقُولَ: أَرَدْتُ أَنِّي زَنَيْتُ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَزَوَّجَنِي وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، إِمَّا بِأَنْ تَقُولَ: اسْتَدْخَلْتُ ذَكَرَهُ وَهُوَ نَائِمٌ، أَوْ نِمْتُ عَلَى فِرَاشِهِ فَوَطِئَنِي وَهُوَ لَا يَعْلَمُ بِي، فَكُنْتُ زَانِيَةً بِهِ وَلَمْ يَكُنْ زَانِيًا بِي، فَهَذَا الْبَيَانُ أَغْلَظُ الْأَحْوَالِ فِي حَقِّهَا وَأَخَفُّهَا فِي حَقِّ الزَّوْجِ فَعَلَيْهَا حَدُّ الزِّنَا، وَلَيْسَ عَلَيْهَا حَدُّ الْقَذْفِ، وَقَدْ سَقَطَ بِهِ عَنِ الزَّوْجِ حَدُّ الْقَذْفِ فَإِنِ ادَّعَى الزَّوْجُ أَنَّهَا أَرَادَتْ قَذْفَهُ أَحْلَفَهَا أَنَّهَا مَا أَرَادَتْهُ.

Adapun bentuk yang kedua: yaitu ketika ia bermaksud mengakui dirinya berzina, namun tidak bermaksud menuduh suaminya berzina, maka maksudnya adalah ia berkata: “Aku bermaksud bahwa aku telah berzina dengannya sebelum ia menikahiku dan ia tidak mengetahuinya,” baik dengan mengatakan: “Aku memasukkan kemaluannya saat ia sedang tidur,” atau “Aku tidur di ranjangnya lalu ia menyetubuhiku tanpa ia sadari,” sehingga aku adalah perempuan pezina dengannya, sedangkan ia tidak berzina denganku. Penjelasan ini adalah keadaan yang paling berat bagi dirinya dan paling ringan bagi suaminya; maka ia dikenai had zina, dan tidak dikenai had qadzaf, dan dengan itu gugurlah dari suami had qadzaf. Jika suami mengklaim bahwa ia bermaksud menuduhnya (suami) berzina, maka ia harus bersumpah bahwa ia tidak bermaksud demikian.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ تُرِيدَ قَذْفَهُ بِالزِّنَا وَلَا تُرِيدَ إِقْرَارَهَا به، فهو أن تقول: زنا بِي قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَنِي وَأَنَا نَائِمَةٌ أَوْ مُسْتَكْرَهَةٌ، فَهُوَ زَانٍ بِي وَأَنَا غَيْرُ زَانِيَةٍ بِهِ، فَهَذَا الْبَيَانُ أَخَفُّ الْأَحْوَالِ فِي حَقِّهَا وأغلظها فِي حَقِّ الزَّوْجِ، فَعَلَيْهَا حَدُّ قَذْفِهِ، وَعَلَيْهِ حَدُّ قَذْفِهَا، وَلَا قِصَاصَ فِي 7 الْحَدَّيْنِ، وَلَهُ إِسْقَاطُ حَدِّ الْقَذْفِ عَنْ نَفْسِهِ بِاللِّعَانِ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهَا حَدُّ الْقَذْفِ بِلِعَانِهَا، فَإِنْ أَكْذَبَهَا عَلَى أَنَّهَا لَمْ تُرِدِ الْإِقْرَارَ بِالزِّنَا أَحْلَفَهَا أَنَّهَا لَمْ تُرِدْهُ، لِمَا يَتَعَلَّقُ مِنْ سُقُوطِ حَدِّ قَذْفِهَا عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ.

Adapun bentuk yang ketiga: yaitu ketika ia bermaksud menuduh suaminya berzina namun tidak bermaksud mengakui dirinya berzina, maka maksudnya adalah ia berkata: “Ia telah berzina denganku sebelum menikahiku, saat aku sedang tidur atau dalam keadaan dipaksa, sehingga ia adalah pezina denganku dan aku tidak berzina dengannya.” Penjelasan ini adalah keadaan yang paling ringan bagi dirinya dan paling berat bagi suaminya; maka ia dikenai had qadzaf terhadap suaminya, dan suaminya dikenai had qadzaf terhadap dirinya, dan tidak ada qishash dalam dua had tersebut. Suami dapat menggugurkan had qadzaf dari dirinya dengan li‘ān, namun had qadzaf tidak gugur dari dirinya (istri) dengan li‘ān yang ia lakukan. Jika suami mendustakannya bahwa ia tidak bermaksud mengakui zina, maka ia harus bersumpah bahwa ia tidak bermaksud demikian, karena terkait dengan gugurnya had qadzaf terhadap suaminya tanpa li‘ān.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الْوَجْهُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ تُرِيدَ لَا إِقْرَارًا بِالزِّنَا وَلَا قَذْفَهُ، فَهُوَ أَنْ تَقُولَ: أَرَدْتُ أَنَّهُ أَصَابَنِي بَعْدَ أَنْ تَزَوَّجَنِي فَإِنْ كُنْتُ زَانِيَةً فِيهِ زَنَيْتُ، فَهَذَا أَخَفُّ أَحْوَالِهَا فِي حقها وحق الزوج، فيكون قولها من الْأَمْرَيْنِ مَقْبُولًا، فَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا حَدُّ الزِّنَا وَلَا حَدُّ الْقَذْفِ، لِأَنَّ الْجَوَابَ قَدْ يَخْرُجُ فِي مُقَابَلَةِ اللَّفْظِ بِمِثْلِهِ وَيُخَالِفُهُ فِي حُكْمِهِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا} [الشورى: 40] . وَالِابْتِدَاءُ سَيِّئَةٌ وَالْجَزَاءُ لَيْسَ بِسَيِّئَةٍ، وَكَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ} [آل عمران: 54] . فَالِابْتِدَاءُ مَكْرٌ وَالْجَزَاءُ لَيْسَ بِمَكْرٍ، وَلِأَنَّ خُرُوجَ الْجَوَابِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ قَدْ يَكُونُ نَفْيًا لِمَا تَضَمَّنَهُ الِابْتِدَاءُ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ صَاحِبِهِ، وَيَكُونُ تَقْدِيرُهُ: مَا زَنَيْتُ إِلَّا بِكَ، فَلَمَّا لَمْ تَكُنْ زَانِيًا لَمْ أَكُنْ زَانِيَةً، كَقَوْلِ الرَّجُلِ لِصَاحِبِهِ: دَخَلْتَ الدَّارَ فَيَقُولُ: مَا دَخَلْتُهَا إِلَّا مَعَكَ: يُرِيدُ أَنَّكَ لَمَّا لَمْ تَدْخُلِ الدَّارَ، لَمْ أَدْخُلْهَا، فَثَبَتَ بِهَذَيْنِ الْمَعْنَيَيْنِ فَرْقُ مَا بَيْنَ الِابْتِدَاءِ وَالْجَوَابِ، وَلِأَجْلِهِمَا جَعَلْنَا الِابْتِدَاءَ صَرِيحًا، وَالْجَوَابَ كِنَايَةً، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، كَانَ قَوْلُهُمَا فِي الْأَمْرَيْنِ مَقْبُولًا، وَإِنْ كَانَ أَخَفَّ أَحْوَالِهَا، ثُمَّ يَنْظُرُ فِي حَالِ الزَّوْجِ فَلَهُ فِيمَا بَيْنَهُ مِنْ هَذَا الوجه أربعة أحوال:

Adapun bentuk yang keempat: yaitu ketika ia tidak bermaksud mengakui zina dan tidak pula menuduh suaminya, maka maksudnya adalah ia berkata: “Aku bermaksud bahwa ia telah menggauliku setelah menikahiku, maka jika aku berzina dengannya, aku telah berzina.” Ini adalah keadaan yang paling ringan baginya dan bagi suaminya; sehingga ucapannya dalam dua hal tersebut diterima, maka tidak wajib atasnya had zina dan tidak pula had qadzaf, karena jawaban bisa keluar sebagai balasan lafaz yang serupa namun berbeda hukumnya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan balasan kejahatan adalah kejahatan yang serupa dengannya} [Asy-Syura: 40], sedangkan permulaan adalah kejahatan dan balasan bukanlah kejahatan. Dan sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Mereka melakukan tipu daya, dan Allah membalas tipu daya, dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya} [Ali ‘Imran: 54], maka permulaan adalah tipu daya dan balasan bukanlah tipu daya. Karena keluarnya jawaban dalam bentuk ini bisa menjadi penafian terhadap apa yang terkandung dalam permulaan, baik terhadap dirinya maupun terhadap lawannya, dan maknanya adalah: “Aku tidak berzina kecuali denganmu, maka ketika engkau tidak berzina, aku pun tidak berzina,” seperti ucapan seseorang kepada temannya: “Engkau masuk ke rumah,” lalu ia menjawab: “Aku tidak masuk kecuali bersamamu,” maksudnya adalah ketika engkau tidak masuk ke rumah, aku pun tidak masuk. Dengan dua makna ini, terbuktilah perbedaan antara permulaan dan jawaban, dan karena keduanya kami jadikan permulaan sebagai pernyataan tegas, dan jawaban sebagai kiasan. Jika demikian, maka ucapan keduanya dalam dua hal tersebut diterima, meskipun itu adalah keadaan yang paling ringan baginya. Kemudian dilihat keadaan suami, maka dalam hal ini suami memiliki empat keadaan:

أحدها: أَنْ يُصَدِّقَهَا فِي الْأَمْرَيْنِ، أَنَّهَا مَا أَرَادَتْ إِقْرَارًا بِالزِّنَا وَلَا قَذْفَهُ بِهِ، فَلَا يَمِينَ لَهُ عَلَيْهَا، وَلَا يَلْزَمُهَا حَدُّ قَذْفٍ وَلَا زِنًا، وَعَلَيْهِ حَدُّ الْقَذْفِ لَهَا إِمَّا أَنْ يُلَاعِنَ [فَإِنْ لَاعَنَ سَقَطَ حَدُّ الْقَذْفِ عَنْهُ وَوَجَبَ حَدُّ الزِّنَا عَلَيْهَا إِلَّا أَنْ تُلَاعِنَ] ، فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يَلْتَعِنُ مِنْهَا وَقَدْ صَدَّقَهَا، قِيلَ: إِنَّمَا صَدَّقَهَا عَلَى أَنْ لَمْ تُقِرَّ بِالزِّنَا، وَلَمْ يُصَدِّقْهَا عَلَى أَنَّهَا لَمْ تَزْنِ فَلِذَلِكَ الْتَعَنَ.

Pertama: Suami membenarkannya dalam dua hal, bahwa ia tidak bermaksud mengakui zina dan tidak pula menuduh suaminya berzina, maka tidak ada sumpah baginya atas istrinya, dan tidak wajib atasnya had qadzaf maupun had zina, dan atas suami had qadzaf terhadap istrinya, kecuali jika ia melakukan li‘ān [jika ia melakukan li‘ān maka gugur had qadzaf dari dirinya dan wajib had zina atas istrinya kecuali jika istrinya juga melakukan li‘ān]. Jika dikatakan: Bagaimana ia melakukan li‘ān terhadap istrinya padahal ia telah membenarkannya? Maka dijawab: Ia hanya membenarkannya bahwa ia tidak mengakui zina, namun ia tidak membenarkannya bahwa ia tidak berzina, oleh karena itu ia melakukan li‘ān.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُكَذِّبَهَا فِي الْأَمْرَيْنِ وَيَقُولَ: بَلْ أَرَدْتِ إِقْرَارًا بِالزِّنَا وَقَذْفِي بِهِ. فَلَهُ إِحْلَافُهَا عَلَى الْأَمْرَيْنِ. أَمَّا الزِّنَا فَيَحْلِفُ أَنَّهَا مَا أَرَادَتِ الْإِقْرَارَ بِالزِّنَا، وَلَا تحلف أَنَّهَا مَا زَنَتْ، وَتَكُونُ يَمِينَهَا فِي حَقِّ الزَّوْجِ لِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ سُقُوطِ حَدِّ الْقَذْفِ عَنْهُ لَا فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى، لأن منكر الزنا لا تجب [عليه اليمين] .

Keadaan kedua: Yaitu jika suami mendustakannya dalam kedua perkara tersebut dan berkata, “Bahkan, engkau bermaksud mengakui perzinaan dan menuduhku berzina.” Maka suami berhak meminta sumpah darinya atas kedua perkara tersebut. Adapun terkait zina, ia bersumpah bahwa ia tidak bermaksud mengakui zina, dan ia tidak bersumpah bahwa ia tidak berzina. Sumpahnya itu berlaku dalam hak suami karena berkaitan dengan gugurnya had qazaf (hukuman tuduhan zina) darinya, bukan dalam hak Allah Ta‘ala, karena orang yang mengingkari zina tidak wajib bersumpah.

وَأَمَّا الْقَذْفُ فَتَحْلِفُ بِاللَّهِ أَنَّهَا مَا أَرَادَتْ قَذْفَهُ، وَلَا تَحْلِفُ أَنَّهَا قَذَفَتْهُ، وَهَلْ يَلْزَمُهَا فِي الْأَمْرَيْنِ يَمِينٌ وَاحِدَةٌ أَوْ يَمِينَانِ؟ يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ:

Adapun terkait qazaf (tuduhan zina), ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak bermaksud menuduh suaminya, dan ia tidak bersumpah bahwa ia telah menuduhnya. Apakah cukup satu sumpah untuk kedua perkara tersebut ataukah dua sumpah? Ada dua kemungkinan pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَمِينٌ وَاحِدَةٌ لِتَعَلُّقِ الْحَقِّ فِيهَا بِشَخْصٍ وَاحِدٍ.

Pertama: Satu sumpah saja, karena hak dalam kedua perkara itu berkaitan dengan satu orang.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَمِينَانِ، لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمًا يُخَالِفُ حُكْمَ الْآخَرِ، فَإِنْ حَلَفَتْ عَلَى الْأَمْرَيْنِ سَقَطَ عَنْهَا حَدُّ الزِّنَا وَحَدُّ الْقَذْفِ كَمَا لَوْ صَدَّقَهَا وَوَجَبَ عَلَيْهِ حَدُّ الْقَذْفِ لَهَا إِلَّا أَنْ يُلَاعِنَهَا، وَإِنْ نَكَلَتْ عَنِ الْيَمِينِ فِي الْأَمْرَيْنِ أُحْلِفَ الزَّوْجُ عليها أنها أرادت الإقرار بالزناه وَأَرَادَتْ قَذْفَهُ بِالزِّنَا وَهَلْ يَحْلِفُ يَمِينًا أَوْ يَمِينَيْنِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ احْتِمَالِ الْوَجْهَيْنِ، فَإِذَا حَلَفَ وَسَقَطَ عَنْهُ حَدُّ قَذْفِهَا وَوَجَبَ عَلَيْهَا حَدُّ قَذْفِهِ وَلَمْ تُحَدَّ لِلزِّنَا لِأَنَّهَا لَا تُحَدُّ فِي الزِّنَا بِيَمِينِ غَيْرِهَا.

Pendapat kedua: Dua sumpah, karena masing-masing dari keduanya memiliki hukum yang berbeda dengan yang lain. Jika ia bersumpah atas kedua perkara tersebut, maka gugur darinya had zina dan had qazaf, sebagaimana jika suami membenarkannya, dan wajib atas suami had qazaf untuknya kecuali jika ia melakukan li‘an. Jika ia enggan bersumpah dalam kedua perkara tersebut, maka suami diminta bersumpah atasnya bahwa ia bermaksud mengakui zina dan bermaksud menuduh suaminya berzina. Apakah suami bersumpah satu kali atau dua kali? Hal ini mengikuti dua kemungkinan pendapat yang telah lalu. Jika suami bersumpah, maka gugur darinya had qazaf terhadap istrinya dan wajib atas istri had qazaf terhadap suaminya, dan ia tidak dijatuhi had zina karena ia tidak dijatuhi had zina dengan sumpah orang lain.

وَإِنَّمَا كَانَتْ يَمِينُ الزَّوْجِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ لَا فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى.

Adapun sumpah suami hanya berlaku untuk hak dirinya sendiri, bukan untuk hak Allah Ta‘ala.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ مِنْ أَحْوَالِ الزَّوْجِ: أَنْ يُصَدِّقَهَا عَلَى أَنَّهَا لَمْ تُرِدِ الْإِقْرَارَ بِالزِّنَا، وَيُكَذِّبَهَا فِي أَنَّهَا لَمْ تُرِدْ قَذْفَهُ بِالزِّنَا، فَيُحَلِّفُهَا أَنَّهَا لَمْ تُرِدْ قَذْفَهُ فَإِذَا حَلَفَتْ فَلَا حَدَّ عَلَيْهَا لِقَذْفٍ وَلَا زِنًا وَعَلَيْهِ حَدُّ الْقَذْفِ لَهَا إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ، وَإِنْ نَكَلَتْ حَلَفَ وَحُدَّتْ لَهُ حَدَّ الْقَذْفِ، وَكَانَ لَهَا عَلَيْهِ حَدُّ الْقَذْفِ إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ.

Keadaan ketiga dari keadaan suami: Yaitu jika suami membenarkannya bahwa ia tidak bermaksud mengakui zina, dan mendustakannya bahwa ia tidak bermaksud menuduh suaminya berzina. Maka suami meminta sumpah darinya bahwa ia tidak bermaksud menuduh suaminya. Jika ia bersumpah, maka tidak ada had atasnya baik untuk qazaf maupun zina, dan atas suami wajib had qazaf untuknya kecuali jika ia melakukan li‘an. Jika ia enggan bersumpah, maka suami bersumpah dan dijatuhkan had qazaf untuk suami, dan istri berhak atas suami had qazaf kecuali jika suami melakukan li‘an.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُكَذِّبَهَا عَلَى أَنَّهَا لَمْ تُرِدِ الْإِقْرَارَ بِالزِّنَا وَيُصَدِّقَهَا عَلَى أَنَّهَا لَمْ تُرِدْ قَذْفَهُ بِالزِّنَا، فَلَهُ إِحْلَافُهَا أَنَّهَا لَمْ تُرِدِ الْإِقْرَارَ بِالزِّنَا، فَإِذَا حَلَفَتْ وَجَبَ عَلَيْهِ حَدُّ قَذْفِهَا إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ، وَإِنْ نَكَلَتْ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَنْ يَحْلِفَ فَيَسْقُطَ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا حَدُّ الزِّنَا، وَبَيْنَ أَنْ يَلْتَعِنَ فَيَسْقُطَ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ وَيَجِبَ عَلَيْهَا حَدُّ الزِّنَا إلا أن يلتعن.

Keadaan keempat: Yaitu jika suami mendustakannya bahwa ia tidak bermaksud mengakui zina dan membenarkannya bahwa ia tidak bermaksud menuduh suaminya berzina. Maka suami berhak meminta sumpah darinya bahwa ia tidak bermaksud mengakui zina. Jika ia bersumpah, maka wajib atas suami had qazaf terhadap istrinya kecuali jika ia melakukan li‘an. Jika ia enggan bersumpah, maka suami diberi pilihan antara bersumpah sehingga gugur darinya had qazaf dan tidak wajib atas istri had zina, atau melakukan li‘an sehingga gugur darinya had qazaf dan wajib atas istri had zina kecuali jika suami melakukan li‘an.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَالَتْ لَهُ: بَلْ أَنْتَ أَزْنَى مِنِّي كَانتْ قَالَتْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا لِأَنَّهُ لَيْسَ بِالْقَذْفِ إِذَا لَمْ تُرِدْ بِهِ قَذْفًا وَعَلَيْهِ الْحَدُّ أَوِ اللِّعَانُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika istri berkata kepada suaminya, ‘Bahkan engkaulah yang lebih berzina dariku,’ maka tidak ada apa-apa atasnya, karena itu bukanlah qazaf jika ia tidak bermaksud menuduh, dan atas suami berlaku had atau li‘an.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يَقُولَ يَا زَانِيَةُ، فَتَقُولُ لَهُ أَنْتَ أَزْنَى مِنِّي، فَمَا ابْتَدَأَهَا بِهِ قَذْفٌ صَرِيحٌ يَجِبُ بِهِ الْحَدُّ إِلَّا أَنْ يُلَاعِنَ، وَمَا أَجَابَتْهُ بِهِ كِنَايَةٌ يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهَا كَالَّذِي تَقَدَّمَ.

Al-Mawardi berkata: Kejadiannya adalah suami berkata, “Wahai pezina,” lalu istri menjawab, “Engkaulah yang lebih berzina dariku.” Maka apa yang diucapkan suami adalah qazaf yang jelas yang mewajibkan had kecuali jika ia melakukan li‘an, sedangkan jawaban istri adalah kinayah (sindiran) yang dikembalikan pada niatnya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

وَقَالَ مَالِكٌ: هُوَ قَذْفٌ صَرِيحٌ يُوجِبُ الْحَدَّ، وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ مَعَارِيضَ الْقَذْفِ قَذْفٌ كَالصَّرِيحِ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Imam Malik berkata: Itu adalah qazaf yang jelas yang mewajibkan had, dan ia membangun pendapat ini di atas prinsipnya bahwa sindiran dalam qazaf sama dengan lafaz yang jelas, dan ini batil dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ سَوَّى بَيْنَ صَرِيحِ اللَّفْظِ وَكِنَايَتِهِ وَقَدْ فَرَّقَ الشَّرْعُ بَيْنَهُمَا.

Pertama: Ia menyamakan antara lafaz yang jelas dan sindiran, padahal syariat telah membedakan antara keduanya.

وَالثَّانِي: أَنْ مَعَارِيضَ الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا لَا تَكُونُ كَصَرِيحِ الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا، فَكَذَلِكَ مَعَارِيضُ الْقَذْفِ بِهِ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْجَوَابُ قَذْفًا بِالزِّنَا لَكَانَ إِقْرَارًا بِالزِّنَا، لِأَنَّ قَوْلَهَا: أَزْنَى مِنِّي يُوجِبُ اشْتِرَاكَهُمَا فِي الزِّنَا وَأَنْ يَكُونَ هَذَا أَبْلَغَ فِي الزِّنَا عَمَلًا، وَهَكَذَا يَكُونُ حَالُ الزَّانِي وَالزَّانِيَةِ، لِأَنَّ الزَّانِيَ فَاعِلٌ وَالزَّانِيَةَ مُمَكِّنَةٌ، وَمَالِكٌ لَا يَجْعَلُهَا مُقِرَّةً فَلَزِمَهُ أَنْ لَا يَجْعَلَهَا قَاذِفَةً.

Kedua: Bahwa sindiran pengakuan zina tidaklah sama dengan pengakuan zina secara terang-terangan, demikian pula sindiran tuduhan zina. Seandainya jawaban ini boleh dianggap sebagai tuduhan zina, maka itu berarti pengakuan zina, karena ucapannya: “lebih berzina dariku” mengharuskan keduanya sama-sama melakukan zina dan bahwa yang satu lebih parah dalam perbuatan zina. Demikian pula keadaan pezina laki-laki dan perempuan, karena laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai yang memberi kesempatan. Imam Mālik tidak menganggapnya sebagai pengakuan, maka semestinya ia juga tidak menganggapnya sebagai tuduhan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ قَوْلَهَا: أَنْتَ أَزْنَى مِنِّي كِنَايَةٌ إِذَا كَانَ جَوَابًا، لِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنَّهُ مَا وَطِئَنِي غَيْرُكَ فَإِنْ كُنْتُ زَانِيَةً فَأَنْتَ أَزْنَى مِنِّي لِأَنَّكَ فَاعِلٌ وَأَنَا مُمَكِّنَةٌ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الِابْتِدَاءِ بِهَذَا الْقَوْلِ: هَلْ يَكُونُ كِنَايَةً كَالْجَوَابِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa ucapannya: “Engkau lebih berzina dariku” adalah kināyah (sindiran) jika sebagai jawaban, karena masih dimungkinkan bahwa tidak ada yang menyetubuhiku selain engkau, maka jika aku pezina, engkau lebih berzina dariku karena engkau pelaku dan aku yang memberi kesempatan. Maka para ulama kami berbeda pendapat tentang memulai ucapan ini: apakah dianggap kināyah seperti dalam jawaban atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ كِنَايَةً كَالْجَوَابِ، لِأَنَّ أَزْنَى صِفَة فَاسْتَوَى فِي الِابْتِدَاءِ وَالْجَوَابِ.

Salah satunya: Dianggap kināyah seperti dalam jawaban, karena “lebih berzina” adalah sifat, sehingga sama saja dalam permulaan maupun jawaban.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْقَاسِمِ الدَّارَكِيِّ أَنَّهُ يَكُونُ قَذْفًا صَرِيحًا فِي الِابْتِدَاءِ وَكِنَايَةً فِي الْجَوَابِ، لِأَنَّهُ يَكُونُ فِي الْجَوَابِ رَدًّا، وَفِي الِابْتِدَاءِ جَرْحًا، كَمَا يَكُونُ قَوْلُهَا: زَنَيْتُ بِكَ فِي الْجَوَابِ كِنَايَةً، وَفِي الِابْتِدَاءِ صريح، وكذلك هذا.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abū al-Qāsim al-Dārakī, bahwa itu merupakan tuduhan zina secara terang-terangan jika diucapkan sebagai permulaan, dan kināyah jika sebagai jawaban, karena dalam jawaban itu sebagai bantahan, sedangkan dalam permulaan sebagai celaan. Sebagaimana ucapan: “Aku berzina denganmu” dalam jawaban adalah kināyah, namun dalam permulaan adalah terang-terangan, demikian pula hal ini.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَالَ أَنْتِ أَزْنَى مِنْ فُلَانَة أَوْ أَزْنَى النَّاسِ لَمْ يَكُنْ هَذَا قَذْفًا إِلَّا أَنْ يُرِيدَ بِهِ قَذْفًا “.

Imam Syāfi‘ī berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Engkau lebih berzina daripada Fulanah’ atau ‘paling berzina di antara manusia’, maka itu tidak dianggap sebagai tuduhan zina kecuali jika ia memang bermaksud menuduh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَاتَانِ مَسْأَلَتَانِ:

Al-Māwardī berkata: Ada dua permasalahan di sini:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَقُولَ: أَنْتِ أَزْنَى مِنْ فُلَانَة. قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَمْ يَكُنْ قَذْفًا إِلَّا أَنْ يُرِيدَ بِهِ قَذْفًا فَجَعَلَهُ مِنْ أَلْفَاظِ الْكِنَايَاتِ فِي زَوْجَتِهِ وَفِي فُلَانَةٍ الْمُشَبّهِ بِهَا، وَتَابَعَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى هَذَا الْجَوَابِ.

Pertama: Jika seseorang berkata: “Engkau lebih berzina daripada Fulanah.” Imam Syāfi‘ī berkata: “Itu tidak dianggap sebagai tuduhan zina kecuali jika memang bermaksud menuduh.” Maka beliau menganggapnya sebagai lafaz kināyah baik untuk istrinya maupun untuk Fulanah yang diserupakan dengannya, dan para ulama kami mengikuti beliau dalam jawaban ini.

وَقَالُوا: يُسْأَلُ الزَّوْجُ وَيَنْوِي فَإِنْ قَالَ: أَرَدْتُ أَنَّكِ أَزْنَى من فلانة الزانية كان قافذاً لَهَا وَلِفُلَانَةَ وَعَلَيْهِ لَهُمَا حَدَّانِ، وَإِنْ قَالَ: أَرَدْتُ أَنَّكِ أَزْنَى مِنْ فُلَانَةَ، وَلَيْسَتْ فُلَانَةُ زَانِيَةً، لَمْ يَكُنْ قَذْفًا لَهُمَا جَمِيعًا، لِأَنَّ التَّشَبُّهَ تَقْتَضِي تَسَاوِيَهُمَا فِي الصِّفَةِ وَقَدْ نَفَى الزِّنَا عَنْ فُلَانَةَ فَصَارَ مَنْفِيًّا عَنِ الزَّوْجَةِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ لَمْ يَكُنْ قَذْفًا، لِأَنَّ لَفْظَ الْكِنَايَةِ الْمَنَوِيَّ فِيهِ يَسْقُطُ حُكْمُهُ مَعَ عَدَمِ النِّيَّةِ فَهَذَا مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ وَتَابَعَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى شَرْحِهِ وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنَّهُ يَكُونُ قَذْفًا صَرِيحًا فِي زَوْجَتِهِ، وَكِنَايَةً فِي قَذْفِ فُلَانَةَ، أَمَّا كَوْنُهُ قَذْفًا صَرِيحًا لِزَوْجَتِهِ فلانة قَدْ صَرَّحَ فِيهَا بِلَفْظِ الزِّنَا وَأَدْخَلَ أَلِفَ الْمُبَالَغَةِ زِيَادَةً فِي تَأْكِيدِ الْقَذْفِ كَمَا دَخَلَتْ أَلِفُ الْمُبَالَغَةِ فِي أَكْثَرِ مُبَالَغَةٍ فِي التَّعْظِيمِ، فَكَانَتْ إِنْ لَمْ تَزِدْهُ فِي هَذَا الْقَذْفِ شَرًّا لَمْ تُفِدْهُ خَيْرًا.

Mereka berkata: Suami ditanya tentang niatnya. Jika ia berkata: “Aku maksudkan engkau lebih berzina daripada Fulanah yang pezina,” maka ia telah menuduh istrinya dan Fulanah, dan wajib atasnya dua had (hukuman). Jika ia berkata: “Aku maksudkan engkau lebih berzina daripada Fulanah, dan Fulanah bukan pezina,” maka itu bukan tuduhan bagi keduanya, karena penyerupaan mengharuskan kesamaan sifat, dan ia telah menafikan zina dari Fulanah, maka tertolak pula dari istrinya. Jika ia tidak punya niat tertentu, maka itu bukan tuduhan, karena lafaz kināyah yang tidak diniatkan, hukumnya gugur. Inilah yang dikatakan Imam Syāfi‘ī dan diikuti oleh para ulama kami dalam penjelasannya. Namun menurut pendapat yang benar menurutku, itu adalah tuduhan zina secara terang-terangan terhadap istrinya, dan kināyah terhadap Fulanah. Adapun dianggap sebagai tuduhan terang-terangan kepada istrinya, karena ia telah menyebutkan lafaz zina secara jelas dan menambahkan alif mubālaghah (kata penegasan) untuk memperkuat tuduhan, sebagaimana alif mubālaghah digunakan dalam bentuk superlatif untuk memperbesar makna. Maka jika tidak menambah keburukan dalam tuduhan ini, setidaknya tidak memberi kebaikan.

وقد قال الشاعر:

Penyair berkata:

(هو أزناهما بظنون أفا … ليس مِمَّنْ يُقَادُ بِالتَّقْلِيدِ)

(Dia adalah yang paling berzina di antara keduanya menurut dugaan … bukan termasuk orang yang mengikuti secara membabi buta)

فَرَأَى النَّاسُ ذَلِكَ قَذْفًا لِلْأُمِّ، وَلِهَذَا الشِّعْرِ حَدِيثٌ فِي هِجَاءِ بَعْضِ الْأُمَرَاءِ قُتِلَ بِهِ الشَّاعِرُ فَوَضَحَ بِمَا ذَكَرْتُهُ أَنَّهُ صَرِيحٌ فِي قَذْفِ زَوْجَتِهِ يُحَدُّ فِيهِ وَلَا يَنْوِي، وَأَمَّا فُلَانَةُ الَّتِي جَعَلَ زَوْجَتَهُ أَزْنَى مِنْهَا، فَيُحْتَمَلُ مِنْ لَفْظِهِ فِيهَا أَحَدُ أَمْرَيْنِ، إِمَّا الِاشْتِرَاكُ وَإِمَّا السَّلْبُ، فَالِاشْتِرَاكُ كَقَوْلِهِمْ: زِيدٌ أَعْلَمُ مِنْ عَمْرٍو فَيَكُونُ شَرِيكًا بَيْنَهُمَا فِي الْعِلْمِ وَتَفْضِيلًا لِزَيْدٍ عَلَى عَمْرٍو فِيهِ، وَأَمَّا السَّلْبُ فَكَقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يومئذ خيرا مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلا} [الفرقان: 24] . فَكَانَ ذَلِكَ سَلْبًا لِلْخَيْرِ عَنْ أَهْلِ النَّارِ، لِأَنَّهُ لَا خَيْرَ لَهُمْ فِيهَا، وَإِذَا احْتَمَلَ لَفْظُهُ فِي فُلَانَةَ الِاشْتِرَاكَ وَالسَّلْبَ صَارَ كِنَايَةً يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهِ، فَإِنْ أَرَادَ الْجَمْعَ وَالتَّشْرِيكَ كَانَ قَذْفًا، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ السَّلْبَ وَالنَّفْيَ لَمْ يَكُنْ قَذْفًا، وَكَذَلِكَ لَوْ لَمْ تَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ.

Maka orang-orang memandang hal itu sebagai tuduhan zina terhadap ibu, dan tentang syair ini terdapat riwayat mengenai satir terhadap sebagian penguasa, di mana penyairnya dibunuh karenanya. Dengan penjelasan yang telah kusebutkan, jelaslah bahwa itu adalah tuduhan zina secara terang-terangan terhadap istrinya, sehingga ia dikenai had karena hal itu, meskipun ia tidak meniatkannya. Adapun mengenai perempuan tertentu yang dijadikan oleh seseorang bahwa istrinya lebih pezina darinya, maka dari ucapannya itu mungkin mengandung dua makna: bisa bermakna penyertaan (musyarakah) atau penafian (salb). Penyertaan seperti ucapan mereka: “Zaid lebih alim daripada Amr,” maka berarti keduanya sama-sama memiliki ilmu, namun Zaid lebih unggul dari Amr dalam hal itu. Sedangkan penafian seperti firman Allah Ta‘ala: {Para penghuni surga pada hari itu adalah sebaik-baik tempat tinggal dan sebaik-baik tempat istirahat} [al-Furqan: 24]. Maka itu adalah penafian kebaikan dari penghuni neraka, karena mereka tidak memiliki kebaikan di dalamnya. Jika ucapan seseorang tentang perempuan tertentu itu mengandung kemungkinan penyertaan dan penafian, maka menjadi kinayah (sindiran) yang kembali pada maksud pembicara. Jika ia bermaksud penyertaan dan penggabungan, maka itu adalah tuduhan zina (qadzaf); namun jika ia bermaksud penafian dan penolakan, maka itu bukanlah qadzaf. Demikian pula jika ia tidak memiliki maksud tertentu.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

أَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: فَهُوَ أَنْ يَقُولَ لَهَا: أَنْتِ أَزْنَى النَّاسِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: فِي الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا لَمْ يَكُنْ قَذْفًا إِلَّا أَنْ يُرِيدَ بِهِ قَذْفًا، فَجَعَلَهُ كِنَايَةً فِي الْقَذْفِ [فَعَلَّلَ] أَصْحَابُنَا هَذَا الْجَوَابَ حِينَ تَابَعُوهُ عَلَيْهِ، بِأَنَّهُ شَبَّهَهَا بِجَمِيعِ النَّاسِ فِي الْمُبَالَغَةِ، وَنَعْلَمُ يَقِينًا أَنَّ جَمِيعَ النَّاسِ لَيْسُوا زُنَاةً، فَيُعْلَمُ كَذِبُهُ يَقِينًا فَلَمْ يَكُنْ قَذْفًا صَرِيحًا، وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنَّهُ يَكُونُ قَذْفًا صَرِيحًا لِأَمْرَيْنِ:

Adapun masalah kedua: yaitu jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau adalah perempuan paling pezina di antara manusia.” Imam Syafi‘i berkata: Dalam hal mengumpamakan istrinya dengan seluruh manusia, itu tidak dianggap sebagai qadzaf kecuali jika ia memang bermaksud menuduh zina, sehingga ucapan itu menjadi kinayah dalam qadzaf. Para sahabat kami menjelaskan jawaban ini ketika mengikuti pendapat beliau, bahwa ia menyerupakan istrinya dengan seluruh manusia dalam bentuk hiperbola (melebih-lebihkan), dan kita mengetahui secara pasti bahwa tidak semua manusia adalah pezina, sehingga jelaslah kebohongan ucapannya, maka tidak dianggap sebagai qadzaf secara terang-terangan. Namun, menurut pendapat yang benar menurutku, itu adalah qadzaf secara terang-terangan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ لَفْظَ الْمُبَالِغَةِ فِي الصِّفَةِ إِذَا أُضِيفَتْ إِلَى الْجَمَاعَةِ فِيهِمْ مُشَارِكٌ فِيهَا مُخَالِفٌ حُمِلَتْ عَلَى الْمُشَارِكِ فِي إِثْبَاتِ الصِّفَةِ، وَلَمْ تُحْمَلْ عَلَى الْمُخَالِفِ فِي نَفْيِهَا، كَمَا لَوْ قَالَ: زِيدٌ أَعْلَمُ أَهْلِ الْبَصْرَةِ، – وَمَعْلُومٌ أَنَّ بِالْبَصْرَةِ عُلَمَاءَ وَغَيْرَ عُلَمَاءَ – كَانَ مَحْمُولًا عَلَى إِثْبَاتِ عِلْمِهِ فِي التَّشْرِيكِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ جُهَّالِهَا، وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ: أَنْتِ أَزْنَى النَّاسِ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ فِي النَّاسِ زُنَاةً وَغَيْرَ زُنَاةٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى مُبَالَغَةِ إِضَافَتِهِ إِلَى الزُّنَاةِ، وَلَيْسَ فِي الْقَذْفِ أَبْلَغُ مِنْ هَذَا، لِأَنَّهُ جَعَلَهَا أَزْنَى مِنْ كُلِّ زَانٍ.

Pertama: Bahwa lafaz hiperbola dalam sifat, apabila disandarkan kepada sekelompok orang yang di antara mereka ada yang memiliki sifat itu dan ada yang tidak, maka ucapan itu dibawa kepada yang memiliki sifat tersebut, bukan kepada yang tidak memilikinya. Sebagaimana jika seseorang berkata: “Zaid adalah orang paling alim di Basrah,”—padahal di Basrah ada yang alim dan ada yang tidak—maka ucapan itu bermakna penetapan ilmu pada Zaid dalam perbandingan dengan orang-orang bodoh di sana. Demikian pula ucapannya: “Engkau adalah perempuan paling pezina di antara manusia,” padahal di antara manusia ada yang pezina dan ada yang bukan, maka harus dipahami bahwa itu adalah hiperbola dalam penyandaran kepada para pezina. Tidak ada qadzaf yang lebih besar daripada ini, karena ia menjadikan istrinya lebih pezina daripada setiap pezina.

وَالثَّانِي: أَنَّنَا لَوْ أَخْرَجْنَا هَذَا اللَّفْظَ مِنْ صَرِيحِ الْقَذْفِ لِلتَّعْلِيلِ الَّذِي ذَكَرُوهُ مِنْ تَيَقُّنِ كَذِبِهِ لَخَرَجَ بِهَذَا التَّعْلِيلِ مِنْ كِنَايَةِ الْقَذْفِ، وَلَا يَصِيرُ قَاذِفًا وَإِنْ أَرَادَهُ، لِأَنَّ الْقَذْفَ مَا احْتَمَلَ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ، فَأَمَّا مَا قُطِعَ فِيهِ بِالصِّدْقِ أَوْ قُطِعَ فِيهِ بِالْكَذِبِ فَلَيْسَ بِقَذْفٍ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ لِبِنْتِ شَهْرٍ: زَنَيْتِ، لَمْ يَكُنْ قَذْفًا لِاسْتِحَالَتِهِ، وَلَوْ قَذَفَ مَنْ ثَبَتَ زِنَاهَا لَمْ يَكُنْ قَذْفًا لِاسْتِحَالَتِهِ.

Kedua: Jika kita mengeluarkan lafaz ini dari kategori qadzaf secara terang-terangan dengan alasan yang mereka sebutkan, yaitu karena jelas kebohongannya, maka dengan alasan itu pula ia keluar dari kategori kinayah dalam qadzaf, sehingga tidak menjadi qadzaf meskipun ia meniatkannya. Sebab, qadzaf adalah ucapan yang masih mungkin benar atau salah. Adapun ucapan yang sudah pasti benar atau pasti salah, maka itu bukanlah qadzaf. Bukankah engkau melihat, jika seseorang berkata kepada bayi perempuan yang baru lahir: “Engkau telah berzina,” maka itu bukanlah qadzaf karena mustahil terjadi. Demikian pula jika menuduh orang yang sudah pasti berzina, maka itu juga bukan qadzaf karena mustahil.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ حُكِيَ عَنِ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْهُ قَذْفًا وَإِنْ أَرَادَهُ فَأَخْرَجَهُ عَنْ صَرِيحِ الْقَذْفِ وَكِنَايَتِهِ تَصْحِيحًا لِهَذَا التَّعْلِيلِ.

Jika dikatakan: Telah dinukil dari al-Muzani bahwa ia tidak menganggap ucapan itu sebagai qadzaf meskipun dimaksudkan demikian, sehingga ia mengeluarkannya dari kategori qadzaf secara terang-terangan maupun kinayah, sebagai bentuk pembenaran atas alasan tersebut.

قِيلَ: قَدْ خَالَفْتُمُ الْمُزَنِيَّ فِي هَذَا الْجَوَابِ لِأَنَّكُمْ جَعَلْتُمُوهُ كِنَايَةً فِي الْقَذْفِ فَبَطَلَ بِخِلَافِكُمْ لَهُ صِحَّةُ هَذَا التَّعْلِيلِ، عَلَى أَنَّنِي لَمْ أرد لِلْمُزَنِيِّ فِي مُخْتَصَرِهِ وَلَا فِي جَامِعِهِ مَا حَكَيْتُمُوهُ عَنْهُ مِنْ هَذَا الْجَوَابِ، وَمَا حُكِيَ عَنْهُ فِي غَيْرِهَا مَدْخُولٌ عَلَيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dijawab: Kalian telah menyelisihi al-Muzani dalam jawaban ini, karena kalian menganggapnya sebagai kinayah dalam qadzaf, sehingga batal kebenaran alasan tersebut karena perbedaan pendapat kalian dengannya. Selain itu, aku tidak menemukan dalam Mukhtashar maupun Jami‘ karya al-Muzani apa yang kalian nukilkan darinya terkait jawaban ini, dan apa yang dinukilkan dari selainnya masih perlu diteliti kebenarannya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَالَ لَهَا يَا زَانِ كَانَ قَذْفًا وَهَذَا تَرْخِيمٌ كَمَا يُقَالُ لِمَالِكٍ يَا مَالِ وَلِحَارِثٍ يَا حَارِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada perempuan itu, ‘Wahai pezina (ya zānī),’ maka itu termasuk qazaf (tuduhan zina), dan ini adalah bentuk takhfīf (pemendekan kata), sebagaimana dikatakan kepada Mālik: ‘Wahai Mālī,’ dan kepada Ḥārits: ‘Wahai Ḥārī.'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَذَفَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَقَالَ لَهَا: يَا زَانِ كَانَ قَذْفًا، وَعَلَّلَ لَهُ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّهُ تَرْخِيمٌ حُذِفَ بِهِ الْيَاءُ وَالْهَاءُ، وَكَمَا يُقَالُ لِمَالِكٍ: يَا مَالِ، وَلِحَارِثٍ: يَا حَارِ، كَمَا حَكَاهُ عَنْهُ الْمُزَنِيُّ فِي هَذَا الْمُخْتَصَرِ وَفِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ.

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, jika seorang laki-laki menuduh seorang perempuan lalu berkata kepadanya: “Wahai pezina (ya zānī),” maka itu adalah qazaf. Imam Syafi‘i menjelaskan alasannya bahwa itu adalah bentuk takhfīf dengan menghilangkan huruf yā’ dan hā’, sebagaimana dikatakan kepada Mālik: “Wahai Mālī,” dan kepada Ḥārits: “Wahai Ḥārī,” sebagaimana diriwayatkan dari beliau oleh al-Muzanī dalam ringkasan ini dan dalam kitab al-Jāmi‘ al-Kabīr.

وَحَكَى عَنْهُ حَرْمَلَةُ: أَنَّهُ لَوْ قَالَ لَهَا: يَا زَانِي كَانَ قَذْفًا، بِحَذْفِ الْهَاءِ، وَحْدَهَا وَإِثْبَاتِ الْيَاءِ.

Dan dari beliau (Syafi‘i), Harmalah meriwayatkan: bahwa jika seseorang berkata kepada perempuan itu: “Wahai zānī,” maka itu adalah qazaf, dengan menghilangkan huruf hā’ saja dan tetap mempertahankan huruf yā’.

وَجُمْلَتُهُ: أَنَّهُ لَوْ قَالَ لَهَا: يَا زَانِ، أَوْ يَا زَانِي، أو يا زانية، كانت هذا الْأَلْفَاظُ الثَّلَاثَةُ سَوَاءً فِي الْقَذْفِ وَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ، وَمَنْ يُعْتَدُّ بِمَذْهَبِهِ مِنَ الْفُقَهَاءِ. وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ: إِذَا قَالَ لَهَا: يَا زَانِ لَمْ يَكُنْ قَذْفًا لَهَا، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ تَرْخِيمًا، فَاعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي الْحُكْمِ وَالتَّعْلِيلِ مَعًا، وَاحْتَجَّ لِإِبْطَالِ الْحُكْمِ بِالْقَذْفِ، بِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ فِي مَوْضِعِ اللُّغَةِ أَنْ يَتَوَجَّهَ اللَّفْظُ الْمُذَكَّرُ إِلَى الْإِنَاثِ كَمَا لَا يَتَوَجَّهُ اللَّفْظُ الْمُؤَنَّثُ إِلَى الذُّكُورِ لِيَتَمَيَّزَ بِاللَّفْظِ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ، حَتَّى يَزُولَ الِاشْتِبَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {حَرِّضِ المؤمنين على القتال} [الأنعام: 65] . فخرج منه المؤمنات، والشافعي جعل هاهنا لَفْظَ الْمُذَكَّرِ مَصْرُوفًا إِلَى الْأُنْثَى وَهَذَا فَاسِدٌ.

Kesimpulannya: jika seseorang berkata kepada perempuan itu: “Wahai zānī,” atau “wahai zānī,” atau “wahai zāniyah,” maka ketiga lafaz ini sama saja dalam hal qazaf dan dalam kewajiban hukuman had. Ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah, Mālik, dan para fuqahā’ yang pendapatnya dianggap. Muhammad bin Dāwud berkata: Jika seseorang berkata kepadanya: “Wahai zānī,” itu bukanlah qazaf baginya, dan tidak sah dianggap sebagai takhfīf, sehingga ia menolak pendapat Syafi‘i baik dalam hukum maupun alasannya. Ia berargumen untuk membatalkan hukum qazaf tersebut, bahwa dalam bahasa tidak boleh lafaz mudzakkar (maskulin) diarahkan kepada perempuan, sebagaimana lafaz muannats (feminin) tidak diarahkan kepada laki-laki, agar kedua kelompok dapat dibedakan dengan lafaz, sehingga tidak terjadi kerancuan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Berilah semangat orang-orang mukmin untuk berperang} [al-An‘ām: 65], maka dari ayat itu dikecualikan kaum perempuan mukmin. Sedangkan Syafi‘i di sini mengarahkan lafaz mudzakkar kepada perempuan, dan ini tidak benar.

وَاحْتَجَّ عَلَى إِبْطَالِ مَا عَلَّلَ بِهِ الشَّافِعِيُّ فِي التَّرْخِيمِ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:

Ia juga berargumen untuk membatalkan alasan Syafi‘i tentang takhfīf dengan tiga hal:

أَحَدُهَا: أَنَّ التَّرْخِيمَ إِنَّمَا يُسْتَعْمَلُ فِي أَسْمَاءِ الْأَعْلَامِ مِثْلِ مَالِكٍ، وَحَارِثٍ، وَلَا يُسْتَعْمَلُ فِي الْأَفْعَالِ وَلَا فِيمَا يُشْتَقُّ مِنْهَا، مِثْلِ: زَنَى، وَدَخَلَ، وَخَرَجَ، فَلَا يَقَعُ فِيهَا تَرْخِيمٌ، وَلَا يُقَالُ لِدَاخِلٍ: يَا دَاخِ، وَلَا لِخَارِجِ: يَا خَارِ، كَذَلِكَ فِي الزِّنَا.

Pertama: Bahwa takhfīf (pemendekan kata) hanya digunakan pada nama-nama orang seperti Mālik dan Ḥārits, dan tidak digunakan pada fi‘il (kata kerja) atau kata yang berasal darinya, seperti zanā (berzina), dakhala (masuk), dan kharaja (keluar), sehingga pada kata-kata tersebut tidak berlaku takhfīf, dan tidak dikatakan kepada dākhil (orang yang masuk): “Wahai dākhī,” atau kepada khārij (orang yang keluar): “Wahai khārī,” demikian pula pada kata zinā.

وَالثَّانِي: أَنَّ التَّرْخِيمَ إِسْقَاطُ حَرْفٍ وَاحِدٍ كَمَا حَذَفُوا فِي تَرْخِيمِ مَالِكٍ، وَحَارِثٍ، حَرْفًا وَاحِدًا، وَالشَّافِعِيُّ أَسْقَطَ فِي تَرْخِيمِ الزَّانِيَةِ حَرْفَيْنِ: الْيَاءُ، وَالْهَاءُ.

Kedua: Bahwa takhfīf itu adalah menghilangkan satu huruf saja, sebagaimana pada takhfīf Mālik dan Ḥārits, hanya satu huruf yang dihilangkan. Sedangkan Syafi‘i dalam takhfīf zāniyah menghilangkan dua huruf: yā’ dan hā’.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْهَاءَ إِذَا تَطَرَّفَتِ الْكَلِمَةُ لَمْ تُحْذَفْ إِلَّا أَنْ تُوصَلَ بِمَا بَعْدَهَا كَمَا قَالَ امْرُؤُ الْقَيْسِ.

Ketiga: Bahwa huruf hā’ jika berada di akhir kata tidak dihilangkan kecuali jika disambungkan dengan kata setelahnya, sebagaimana dikatakan oleh Imru’ al-Qais.

(أَفَاطِمُ مَهْلًا بَعْضَ هَذَا التَّدَلُّلِ … … … … … … … … … )

(Wahai Fāṭimah, perlahanlah dengan sebagian sikap manja ini …)

وَالشَّافِعِيُّ قَدْ حَذَفَهَا فِي تَرْخِيمِ زَانِيَةٍ مِنْ غَيْرِ صِلَةٍ.

Sedangkan Syafi‘i menghilangkannya dalam takhfīf zāniyah tanpa adanya penyambungan.

وَهَذَا الِاعْتِرَاضُ مِنَ ابْنِ دَاوُدَ فِي الْحُكْمِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ وَالتَّرْخِيمِ الْمُعَلَّلِ بِهِ مِنْ أَوْضَحِ خَطَأٍ وَأَقْبَحِ ذَلَلٍ، أَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى الْحُكْمِ فِي أَنْ يَكُونَ قَذْفًا إِذَا قَالَ لَهَا يَا زَانِ مَعَ مَا عَلَّلَ بِهِ الشَّافِعِيُّ مِنَ التَّرْخِيمِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Keberatan dari Ibn Dāwud terhadap hukum yang telah disepakati dan terhadap alasan takhfīf yang dikemukakan adalah kesalahan yang sangat jelas dan kekeliruan yang buruk. Adapun dalil atas hukum bahwa itu adalah qazaf jika seseorang berkata kepada perempuan itu “wahai zānī”, beserta alasan takhfīf yang dikemukakan Syafi‘i, maka ada tiga sisi:

أحدها: أن القذف بالزنى هُوَ دُخُولُ الْمَعَرَّةِ بِالْفَاحِشَةِ، وَقَدْ أَدْخَلَ الْمَعَرَّةَ عليها بالزنى فِي قَوْلِهِ لَهَا: يَا زَانِ كَمَا أَدْخَلَهَا فِي قَوْلِهِ: يَا زَانِيَةُ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي حُكْمِ الْقَذْفِ كَمَا اسْتَوَى فِيهِ حُكْمُ اللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ وَالْأَعْجَمِيِّ.

Pertama: Bahwa qazaf dengan menuduh zina adalah memasukkan aib perbuatan keji kepada seseorang, dan ia telah memasukkan aib itu kepada perempuan tersebut dengan menuduh zina dalam ucapannya: “wahai zānī,” sebagaimana ia memasukkannya dalam ucapannya: “wahai zāniyah,” maka keduanya harus disamakan dalam hukum qazaf, sebagaimana hukum lafaz Arab dan non-Arab disamakan dalam hal ini.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا فُهِمَ مِنْهُ مَعْنَى الْقَذْفِ كَانَ قَذْفًا صَوَابًا كَانَ أَوْ خَطَأً، كَمَا لَوْ قَالَ لِرَجُلٍ: زَنَيْتِ بِكَسْرِ التَّاءِ، وَلِامْرَأَةٍ زَنَيْتَ بِفَتْحِ التَّاءِ، كَانَ قَذْفًا وَإِنْ لَحَنَ فِيهِ، لِأَنَّ الْقَذْفَ مَفْهُومٌ مِنْهُ، كَذَلِكَ فِي قَوْلِهِ لَهَا: يَا زَانِ، وَإِنْ كَانَ لَحْنًا عِنْدَهُ.

Kedua: Bahwa apa yang dipahami darinya makna qazaf, maka itu adalah qazaf, baik benar maupun salah, sebagaimana jika seseorang berkata kepada laki-laki: “zanayti” (dengan kasrah pada ta’), dan kepada perempuan: “zanayta” (dengan fathah pada ta’), maka itu tetap dianggap qazaf meskipun ia salah dalam pengucapannya, karena makna qazaf tetap dipahami darinya. Demikian pula dalam ucapannya kepada perempuan itu: “wahai zānī,” meskipun menurutnya itu adalah kesalahan dalam bahasa.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ هَاءَ التَّأْنِيثِ مُسْتَعْمَلَةٌ فِي تَوْجِيهِ الْخِطَابِ إِلَى مُؤَنَّثٍ لِيَزُولَ بِهَا الْإِشْكَالُ وَالْإِشَارَةُ بِالنِّدَاءِ أَبْلَغُ مِنْهَا فِي إِرَادَةِ الْمُخَاطَبِ فَإِذَا أَشَارَ إِلَيْهَا فِي النِّدَاءِ بِقَوْلِهِ: يَا زَانٍ أَغْنَتِ الْإِشَارَةُ إِلَيْهَا عَنِ الْهَاءِ الْمَوْضُوعَةِ لِتَوْجِيهِ الْخِطَابِ إِلَيْهَا فَلَمْ يُؤَثِّرْ حَذْفُهَا مَعَ وُجُودِ الْإِشَارَةِ وَإِنْ أَثَّرَ حَذْفُهَا مَعَ عَدَمِ الْإِشَارَةِ.

Ketiga: Bahwa huruf hā’ ta’nīts digunakan dalam mengarahkan khithāb kepada perempuan agar hilang kesamaran, sedangkan isyarat dengan panggilan (nida’) lebih kuat dalam menunjukkan maksud kepada yang diajak bicara. Maka, jika ia telah diarahkan kepadanya dalam panggilan dengan ucapan: “Yā zānin,” maka isyarat tersebut sudah cukup sehingga tidak diperlukan lagi hā’ yang memang diletakkan untuk mengarahkan khithāb kepadanya. Maka, penghapusan hā’ tidak berpengaruh selama sudah ada isyarat, meskipun penghapusan itu berpengaruh jika tidak ada isyarat.

وَفِي هَذَا انْفِصَالٌ عَمَّا احْتَجَّ بِهِ.

Dengan ini, terjawablah apa yang dijadikan dalil olehnya.

وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ التَّعْلِيلِ بِالتَّرْخِيمِ فَإِنَّ التَّرْخِيمَ مُسْتَعْمَلٌ فِي اللُّغَةِ وَالشَّرْعِ مَعًا، قَرَأَ ابْنُ مَسْعُودٍ: {وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ} [الزخرف: 77] . وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: كَفَى بِالسَّيْفِ شَا، يَعْنِي شَاهِدًا. وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعَرَبِيَّةِ فِي حَدِّ التَّرْخِيمِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: يَدْخُلُ فِي الِاسْمِ الْمُفْرَدِ إِذَا زَادَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ.

Adapun dalil atas sahnya ta’līl dengan tarkhīm, maka tarkhīm digunakan baik dalam bahasa maupun syariat. Ibnu Mas‘ūd membaca: {وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ} [az-Zukhruf: 77]. Dan Nabi ﷺ bersabda: “Cukuplah dengan pedang, syā,” maksudnya syāhid (saksi). Para ahli bahasa Arab berbeda pendapat tentang batasan tarkhīm. Sebagian mereka berkata: tarkhīm berlaku pada isim mufrad jika lebih dari tiga huruf.

وَقَالَ ثَعْلَبٌ: يَدْخُلُ فِي الْأَسْمَاءِ وَالْأَفْعَالِ إِذَا كَانَ الْبَاقِي مَفْهُومَ الْمُرَادِ، لِأَنَّهُ لَا يَدْخُلُ فِي أَسْمَاءِ الْأَعْلَامِ كُلِّهَا إِذَا لَمْ يُعْلَمْ بَاقِيهَا مِثْلُ طَالُوتَ وَجَالُوتَ، وَلَا يُمْنَعُ فِي أَسْمَاءِ الْأَفْعَالِ كُلِّهَا إِذَا فُهِمَ بَاقِيهَا مِثْلُ مَالِكٍ مُشْتَقٍّ منْ مَلَكَ، وَحَارِثٍ مِنْ حَرَثَ وَصَاحِبٍ مِنْ صَحِبَ.

Ts‘alab berkata: Tarkhīm berlaku pada isim dan fi‘l jika bagian yang tersisa masih dapat dipahami maksudnya. Karena itu, tidak berlaku pada seluruh isim ‘alam jika sisanya tidak diketahui, seperti Ṭālūt dan Jālūt. Dan tidak terlarang pada seluruh isim fi‘l jika sisanya dipahami, seperti Mālik yang berasal dari malaka, Ḥārits dari ḥaratsa, dan Ṣāḥib dari ṣaḥiba.

فَبَطَلَ بِذَلِكَ مَا قَالَهُ ابْنُ دَاوُدَ مِنَ اخْتِصَاصِهِ بِالْأَسْمَاءِ دُونَ الْأَفْعَالِ، وَلَيْسَ لَهَا لَمَّا اسْتُشْهِدَ بِهِ مِنَ امْتِنَاعِهِ فِي بَعْضِ الْأَفْعَالِ تَأْثِيرٌ، لِأَنَّ بَاقِيَهَا غَيْرُ مَفْهُومٍ.

Dengan demikian, batal apa yang dikatakan Ibnu Dāwud tentang kekhususan tarkhīm hanya pada isim dan tidak pada fi‘l. Tidak ada pengaruh dari dalil yang ia gunakan tentang tidak bolehnya tarkhīm pada sebagian fi‘l, karena sisanya tidak dapat dipahami.

أَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّهُ لَا يُحْذَفُ بِالتَّرْخِيمِ إِلَّا حَرْفٌ وَاحِدٌ فَهُوَ جَهْلٌ مِنْهُ بِالْعَرَبِيَّةِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُحْذَفُ بِالتَّرْخِيمِ حَرْفَانِ وَأَكْثَرُ مَا بَعْدَ الْحَرْفِ الثَّالِثِ مِنَ الِاسْمِ مِعْتَلًّا. وَالْحُرُوفُ الْمُعْتَلَّةُ: الْأَلِفُ وَالْيَاءُ وَالْوَاوُ، فَيَقُولُ فِي عُثْمَانَ يَا عُثْمَ، وَفِي مَنْصُورٍ: يَا مَنْصُ، وَفِي مَرْوَانَ: يَا مَرْوَ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: كَفَى بِالسَّيْفِ شَا، يَعْنِي شَاهِدًا، فَحَذَفَ ثَلَاثَةَ أَحْرُفٍ، وَنَادَى أَبَا هُرَيْرَةَ فَقَالَ: ” يَا أَبَا هِرٍّ، فَحَذَفَ مِنْ كُنْيَتِهِ ثَلَاثَةَ أَحْرُفٍ، أَمَّا قوله: إن الْهَاءَ إِذَا تَطَرَّفَتِ الْكَلِمَةُ لَمْ تُحْذَفْ فِي التَّرْخِيمِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ مَوْصُولَةً بِمَا بَعْدَهَا، فَخَطَأٌ، لِأَنَّ مَا فُهِمَ الْمُرَادُ بِهِ جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهِ فِي التَّرْخِيمِ وَغَيْرِهِ، وَإِنْ تَطَرَّفَتِ الهاء.

Adapun ucapannya bahwa dalam tarkhīm hanya boleh menghapus satu huruf saja, maka itu menunjukkan ketidaktahuannya tentang bahasa Arab. Karena dalam tarkhīm bisa saja dihapus dua huruf atau lebih setelah huruf ketiga dari isim yang berharakat ‘illat. Huruf-huruf ‘illat itu adalah alif, yā’, dan wāw. Maka dikatakan pada ‘Utsmān: “Yā ‘Uthm,” pada Manṣūr: “Yā Manṣ,” pada Marwān: “Yā Marw.” Nabi ﷺ pernah bersabda: “Cukuplah dengan pedang, syā,” maksudnya syāhid, maka beliau menghapus tiga huruf. Beliau juga memanggil Abū Hurairah dengan berkata: “Yā Abā Hirrin,” maka beliau menghapus tiga huruf dari kunyah-nya. Adapun ucapannya bahwa hā’ jika berada di akhir kata tidak dihapus dalam tarkhīm kecuali jika bersambung dengan huruf setelahnya, maka itu keliru. Karena apa yang telah dipahami maksudnya boleh disingkat dalam tarkhīm maupun selainnya, meskipun hā’ itu berada di akhir.

قال الشاعر:

Penyair berkata:

(ففي قَبْلَ التَّفَرُّقِ يَا ضُبَاعَا … … … … … … … … … )

(Sebelum berpisah, wahai Ḍubā‘ā…)

يَعْنِي ضُبَاعَةَ. وَقَوْلُهُ لَهَا يَا زَانِ، كَلِمَةٌ مَفْهُومَةُ الْمُرَادِ فَجَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهَا فِي تَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِهَا.

Maksudnya adalah Ḍubā‘ah. Dan ucapannya kepadanya “Yā zānin” adalah kata yang sudah jelas maksudnya, maka boleh disingkat dalam kaitannya dengan hukum.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” ولو قالت يَا زَانِيَةُ أَكْمَلَتِ الْقَذْفَ وَزَادَتْهُ حَرْفًا أَوِ اثْنَيْنِ (وَقَالَ) بَعْضُ النَّاسِ إِذَا قَالَ لَهَا يَا زَانِ لَاعَنَ أَوْ حُدَّ لِأَنَّ اللَّهَ تعالى يقول {وقال نسوة} وَقَالَ وَلَوْ قَالَتْ لَهُ يَا زَانِيَةُ لَمْ تحد (قال الشافعي) رحمه الله تعالى وهذا جهل بلسان العرب إذا تقدم فعل الجماعة من النساء كان الفعل مذكراً مثل قال نسوة وخرج النسوة وإذا كانت واحدة فالفعل مؤنث مثل قالت وجلست “.

Imam Syāfi‘ī berkata: “Jika ia berkata, ‘Yā zāniyah,’ maka ia telah menyempurnakan qazaf dan menambah satu atau dua huruf. (Dan) sebagian orang berkata: Jika ia berkata kepadanya, ‘Yā zānin,’ maka ia harus melakukan li‘ān atau dikenai had, karena Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan berkata sekelompok wanita} dan ia berkata: Jika ia berkata kepadanya, ‘Yā zāniyah,’ maka tidak dikenai had. (Imam Syāfi‘ī) rahimahullāh berkata: Ini adalah kebodohan terhadap bahasa Arab. Jika fi‘l jama‘ perempuan didahulukan, maka fi‘lnya berbentuk mudzakkar, seperti ‘qāla niswa’ dan ‘kharaja niswa’. Jika satu orang perempuan, maka fi‘lnya berbentuk mu’annats, seperti ‘qālat’ dan ‘jalasat’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا عَنَى الشَّافِعِيُّ بِبَعْضِ النَّاسِ أَبَا حَنِيفَةَ، فَإِنَّهُ مُوَافِقٌ فِي الرَّجُلِ إِذَا قَالَ لَهَا: يَا زَانِ، أَنَّهُ يَكُونُ قَذْفًا، وَخَالَفَ فِي الْمَرْأَةِ إِذَا قَالَتْ: لَهُ: يَا زَانِيَةُ، فَقَالَ لَا يَكُونُ قَذْفًا، وَتَابَعَهُ عَلَيْهِ أَبُو يُوسُفَ، وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يَكُونُ قَذْفًا وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مِنْ زوجتين أو أجنبيتين، ووافقه عليه أبو مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، وَاسْتَدَلَّ مَنْ نَصَرَ قَوْلَ أَبِي حَنِيفَةَ بِأَنْ الْعَرَبَ تُذَكِّرُ الْمُؤَنَّثَ وَلَا تُؤَنِّثُ الْمُذَكَّرَ اسْتِشْهَادًا بِآيَتَيْنِ حَكَى الشَّافِعِيُّ عَنْهُمَا إِحْدَاهُمَا وَهِيَ قَوْله تَعَالَى: {وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ} [يوسف: 30] . وَلَمْ يَقُلْ وَقَالَتْ وَحَكَى أَصْحَابُهُ عَنْهُ الْأُخْرَى وَهِيَ قَوْله تَعَالَى: {فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي} [الأنعام: 78] . وَلَمْ يَقُلْ هَذِهِ، فَلِذَلِكَ جَعَلَ قَوْلَ الرَّجُلِ لَهَا يَا زَانِ قَذْفًا، لِأَنَّهُ تَذْكِيرُ مُؤَنَّثٍ وَذَلِكَ جَائِزٌ، وَلَمْ يَجْعَلْ قَوْلَ الْمَرْأَةِ لَهُ يَا زانية قَذْفًا لِأَنَّهُ تَأْنِيثُ مُذَكَّرٍ وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ، وَقَالُوا؛ وَلِأَنَّ الزِّيَادَةَ بِإِدْخَالِ الْهَاءِ تُغَيِّرُ مَعْنَى الْكَلِمَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Yang dimaksud oleh al-Syafi‘i dengan “sebagian orang” adalah Abu Hanifah, karena beliau sependapat dalam kasus seorang laki-laki yang berkata kepada seorang perempuan: “Wahai pezina,” bahwa itu merupakan qazaf (tuduhan zina), namun beliau berbeda pendapat dalam kasus seorang perempuan yang berkata kepada seorang laki-laki: “Wahai pezina (dengan bentuk feminin),” di mana beliau berpendapat bahwa itu bukanlah qazaf. Pendapat ini diikuti oleh Abu Yusuf. Menurut mazhab al-Syafi‘i, hal itu tetap dianggap sebagai qazaf dan tidak ada perbedaan apakah itu berasal dari dua orang yang saling menikah atau orang asing, dan pendapat ini juga diikuti oleh Abu Muhammad bin al-Hasan. Adapun yang membela pendapat Abu Hanifah berdalil bahwa orang Arab biasa menggunakan bentuk maskulin untuk perempuan, namun tidak menggunakan bentuk feminin untuk laki-laki, dengan mengutip dua ayat yang diriwayatkan al-Syafi‘i dari mereka, salah satunya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan berkatalah perempuan-perempuan di kota} [Yusuf: 30], dan tidak menggunakan bentuk feminin “berkatalah (perempuan-perempuan)”. Para pengikutnya meriwayatkan ayat lain darinya, yaitu firman Allah Ta‘ala: {Tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku”} [Al-An‘am: 78], dan tidak menggunakan “inilah (feminin)”. Oleh karena itu, ucapan seorang laki-laki kepada perempuan “wahai pezina (maskulin)” dianggap sebagai qazaf, karena itu adalah penggunaan bentuk maskulin untuk perempuan dan hal itu dibolehkan. Sedangkan ucapan perempuan kepada laki-laki “wahai pezina (feminin)” tidak dianggap sebagai qazaf karena itu adalah penggunaan bentuk feminin untuk laki-laki dan hal itu tidak dibolehkan. Mereka juga berkata: Penambahan huruf “hā’” (akhiran feminin) mengubah makna kata dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَصِيرُ كِنَايَةً لِخُرُوجِهَا عَنِ الْمَعْهُودِ إِلَى غَيْرِ مَعْهُودٍ وَالْكِنَايَةُ لَا تَكُونُ قَذْفًا.

Pertama: Kata tersebut menjadi kinayah (sindiran) karena keluar dari bentuk yang lazim ke bentuk yang tidak lazim, sedangkan kinayah tidak dianggap sebagai qazaf.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَبَّرَ عَنْ زِنَا الرَّجُلِ بِزِنَا الْمَرْأَةِ، وَزِنَا الْمَرْأَةِ تَمْكِينٌ وَزِنَا الرَّجُلِ فِعْلٌ، فَإِذَا نُسِبَ الرَّجُلُ إِلَى التَّمْكِينِ وَسُلِبَ الْفِعْلَ لَمْ يَكُنْ زَانِيًا فَلَمْ يَصِرْ ذَلِكَ قَذْفًا.

Kedua: Ia mengekspresikan zina laki-laki dengan zina perempuan, padahal zina perempuan adalah berupa penyerahan diri (pasif), sedangkan zina laki-laki adalah berupa perbuatan (aktif). Maka jika seorang laki-laki disandarkan pada penyerahan diri dan dihilangkan unsur perbuatannya, ia tidak disebut pezina, sehingga hal itu tidak menjadi qazaf.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ قَذْفٌ: هُوَ أَنَّ اللَّفْظَ إِذَا كَانَ مَفْهُومَ الْمَعْنَى مَعْقُولَ الْمُرَادِ ثَبَتَ حُكْمُهُ صَوَابًا كَانَ أَوْ لَحْنًا كَالَّذِي قَدَّمْنَاهُ، وَمَفْهُومٌ مِنْ قَوْلِهَا: يَا زَانِيَةُ، إِرَادَةُ الْقَذْفِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَذْفًا، كَمَا لَوْ قَالَ لَهَا: يَا زَانِ، وَتَحْرِيرُ هَذَا الْمَعْنَى قِيَاسًا أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ صَرِيحًا فِي مَقْذُوفٍ كَانَ صَرِيحًا فِي كُلِّ مَقْذُوفٍ كَاللَّفْظِ الْمُذَكَّرِ فِي النِّسَاءِ، وَلِأَنَّ الْعَلَامَةَ الْفَاصِلَةَ بَيْنَ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ تَسْقُطُ مَعَ الْإِشَارَةِ إِلَى الْغَيْرِ كَقَوْلِهِ لِعَبْدِهِ أَنْتَ حُرٌّ، وَلِأَنَّ كُلَّ لَفْظٍ اسْتَوَى الذُّكُورُ وَالْإِنَاثُ فِي حُكْمِ تَذْكِيرِهِ اسْتَوَيَا فِي حُكْمِ تَأْنِيثِهِ كَالْعِتْقِ وَلِأَنَّ دُخُولَ الْهَاءِ عَلَى اللَّفْظِ الْمُذَكِّرِ مَوْضُوعٌ لِلْمُبَالَغَةِ دُونَ السَّلْبِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {بَلِ الإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ} [القيامة: 14] . كقولهم: علامة ونساية، فَلَمْ يَجُزْ مَعَ دُخُولِهَا لِلْمُبَالِغَةِ أَنْ تَسْلُبَ لَفْظَ الْقَذْفِ حُكْمَهُ، وَلِأَنَّ زِيَادَةَ الْهَاءِ الَّتِي لَا يَفْتَقِرُ اللَّفْظُ إِلَيْهَا إِنْ لَمْ تُوجِبْ زِيَادَةَ الْحُكْمِ لَمْ تَقْتَضِ نُقْصَانًا مِنْهُ لِأَنَّ أَسْوَأَ أَحْوَالِهَا أَنْ تَكُونَ لَغْوًا.

Adapun dalil bahwa itu adalah qazaf: Jika suatu lafaz dapat dipahami maknanya dan maksudnya jelas, maka hukumnya tetap berlaku, baik itu benar maupun keliru, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Dari ucapan perempuan “wahai pezina (feminin)” dapat dipahami maksud qazaf, maka wajib dihukumi sebagai qazaf, sebagaimana jika ia berkata kepada perempuan: “wahai pezina (maskulin)”. Penjelasan makna ini secara qiyās adalah bahwa setiap lafaz yang jelas menunjuk pada orang yang dituduh, maka ia juga jelas pada setiap orang yang dituduh, seperti penggunaan lafaz maskulin untuk perempuan. Dan karena tanda pembeda antara laki-laki dan perempuan gugur ketika menunjuk pada selainnya, seperti ucapan kepada budaknya: “Engkau merdeka.” Dan setiap lafaz yang hukum maskulinnya sama antara laki-laki dan perempuan, maka hukumnya juga sama dalam bentuk feminin, seperti dalam masalah pembebasan budak. Dan karena penambahan huruf “hā’” pada lafaz maskulin digunakan untuk penegasan makna, bukan untuk meniadakan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri} [Al-Qiyamah: 14], seperti ucapan mereka: ‘allāmah (sangat berilmu), nissāyah (sangat pelupa). Maka tidak boleh dengan penambahan huruf tersebut untuk penegasan makna, menghilangkan hukum qazaf dari lafaz tersebut. Dan karena penambahan huruf “hā’” yang tidak diperlukan oleh lafaz, jika tidak menambah hukum, maka tidak menuntut pengurangan hukum, karena paling buruk keadaannya hanyalah menjadi tambahan yang sia-sia.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عن استدلالهم بأن المؤنث يذكر والمؤنث لَا يُؤَنَّثُ، فَهُوَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَذْكِيرُ الْمُؤَنَّثِ وَلَا تَأْنِيثُ الْمُذَكَّرِ لِمَا فِيهِ مِنَ اشْتِبَاهِ اللَّفْظِ وَإِشْكَالِ الْخِطَابِ، وَإِنَّمَا الْهَاءُ الْمَوْضُوعَةُ لِلتَّأْنِيثِ رُبَّمَا حُذِفَتْ مِنَ الْمُؤَنَّثِ كَقَوْلِهِمْ ” عَيْنٌ كَحِيلٌ “، وَ ” كَفٌّ خَصِيبٌ “، وَأُدْخِلَتْ عَلَى الْمُذَكَّرِ كَقَوْلِهِمْ: ” رَجُلٌ دَاهِيَةٌ وَرَاوِيَةٌ “، فَصَارَ حَذْفُهَا مِنَ الْمُؤَنَّثِ كَدُخُولِهَا عَلَى الْمُذَكَّرِ إِذَا زَالَ الْإِشْكَالُ عَنْهُمَا فَلَمْ يَكُنْ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَجْهٌ – فَأَمَّا قوله تعالى: {وقال نسوة فى المدينة} فَلِأَنَّ فِعْلَ الْمُؤَنَّثِ إِذَا تَقَدَّمَ ذُكِّرَ جَمْعُهُ وَأُنِّثَ وَاحِدُهُ – كَمَا قَالَ تَعَالَى فِي الْجَمْعِ: ” وقال نسوة ” وقال في الواحدة: {قالت امرأة الْعَزِيزِ} [يوسف: 51] فَأَمَّا إِذَا تَأَخَّرَ الْفِعْلُ عَنْهُنَّ كَانَ مُؤَنَّثًا فِي الْجَمْعِ وَالِانْفِرَادِ تَقُولُ: النِّسَاءُ قُلْنَ وَالْمَرْأَةُ قَالَتْ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa kata benda feminin bisa dimudahkan (disebut dalam bentuk maskulin) dan kata benda maskulin tidak difemininisasi, maka sesungguhnya tidak boleh memaskulinkan kata benda feminin dan tidak pula memfemininisasi kata benda maskulin, karena hal itu akan menimbulkan kerancuan lafaz dan kesulitan dalam pemahaman pembicaraan. Hanya saja huruf “hā’” yang digunakan untuk penanda feminin terkadang dihilangkan dari kata benda feminin, seperti dalam ungkapan mereka: “‘aynun kahīlun” (mata yang bercelak), dan “kaffun khasībun” (telapak tangan yang subur), serta kadang dimasukkan pada kata benda maskulin seperti dalam ungkapan: “rajulun dāhiyah wa rāwiyah” (seorang laki-laki yang cerdik dan perawi). Maka penghilangan huruf tersebut dari kata benda feminin sama seperti memasukkannya pada kata benda maskulin, apabila tidak menimbulkan kerancuan pada keduanya, sehingga tidak ada alasan untuk membedakan antara keduanya. Adapun firman Allah Ta‘ala: {Dan berkata beberapa wanita di kota} maka karena fi‘l (kata kerja) untuk feminin jika didahulukan, maka bentuk jamaknya dimaskulinkan dan bentuk tunggalnya difemininisasi. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam bentuk jamak: “wa qāla niswatun” (dan berkata beberapa wanita), dan dalam bentuk tunggal: {qālat imra’atu al-‘azīz} [Yusuf: 51]. Adapun jika fi‘l (kata kerja) datang setelah subjeknya, maka ia tetap dalam bentuk feminin baik dalam jamak maupun tunggal, seperti engkau katakan: “an-nisā’u qulna” (para wanita berkata) dan “al-mar’atu qālat” (seorang wanita berkata).

أَمَّا قَوْله تَعَالَى: {فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي} [الأنعام: 78] فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Adapun firman-Nya Ta‘ala: {Maka ketika ia melihat matahari terbit, ia berkata: “Inilah Tuhanku”} [al-An‘ām: 78], maka ada dua jawaban atasnya:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَشَارَ بِذَلِكَ إِلَى الرَّبِّ بِأَنَّهُ الشَّمْسُ وَلَمْ يُشِرْ بِهِ إِلَى الشَّمْسِ بِأَنَّهَا الرَّبُّ.

Pertama: Bahwa ia (Ibrahim) menunjuk dengan itu kepada Tuhan dengan maksud bahwa Tuhan adalah matahari, dan bukan menunjuk kepada matahari bahwa ia adalah Tuhan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَشَارَ بِذَلِكَ إِلَى شُعَاعِ الشَّمْسِ وَشُعَاعُهَا مُذَكَّرٌ.

Kedua: Bahwa ia menunjuk dengan itu kepada cahaya matahari, dan cahayanya adalah maskulin.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الْكَلِمَةِ تُغَيِّرُ معناها فَهُوَ: وَإِنْ غَيَّرَتْ لِلْمُبَالَغَةِ دُونَ السَّلْبِ إِثْبَاتًا لِلزِّيَادَةِ دُونَ النُّقْصَانِ، وَقَوْلُهُمْ: تَصِيرُ كِنَايَةً لِخُرُوجِهَا عَنِ الْمَعْهُودِ فَتَعْلِيلٌ يَنْتَقِضُ عَلَيْهِمْ بِقَوْلِهِ لَهَا: يَا زَانِ، وَقَوْلُهُمْ: إِنَّهُ أَضَافَ إِلَى الرَّجُلِ زِنَا الْمَرْأَةِ فَسَلَبَهُ فِعْلَ الزِّنَا فَهُوَ خَطَأٌ لِأَنَّ زِنَا كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُضَافٌ إِلَى فِعْلِهِ لَا إِلَى فِعْلِ صَاحِبِهِ، فَإِذَا عَبَّرَ عَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِلَفْظِ صَاحِبِهِ لَمْ يَسْلُبْهُ حُكْمَ فِعْلِهِ وَإِنْ سلبه صفة لفظه.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa penambahan pada kata dapat mengubah maknanya adalah: meskipun penambahan itu mengubah makna untuk tujuan penegasan (mubalaghah), bukan untuk meniadakan, maka penambahan itu hanya menetapkan adanya tambahan, bukan pengurangan. Adapun ucapan mereka: “menjadi kinayah (kiasan) karena keluar dari makna yang sudah dikenal”, maka alasan ini dapat dibantah dengan ucapan kepada wanita: “wahai pezina”, dan ucapan mereka: “sesungguhnya ia menisbatkan zina wanita kepada laki-laki sehingga meniadakan perbuatan zina darinya”, maka ini adalah kesalahan, karena zina masing-masing dari keduanya dinisbatkan kepada perbuatannya sendiri, bukan kepada perbuatan pasangannya. Maka jika seseorang mengekspresikan masing-masing dari keduanya dengan lafaz pasangannya, hal itu tidak meniadakan hukum perbuatannya, meskipun meniadakan sifat lafaznya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وقائل هذا القول لو قال رجل زنات في الجبل حد له وإن كان معروفاً عند العرب أنه صعدت في الجبل (قال الشافعي) رحمه الله تعالى يحلف ما أراد إلا الرقي فِي الْجَبَلِ وَلَا حَدَّ فَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ حُدَّ إِذَا حَلَفَ الْمَقْذُوفُ لَقَدْ أَرَادَ الْقَذْفَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Orang yang berpendapat demikian, jika ada seseorang berkata: ‘Zanāti fi al-jabal’ (aku berzina di gunung), maka ia harus dikenai had, meskipun dalam bahasa Arab yang dikenal artinya ‘aku naik ke gunung’. (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Ia harus bersumpah bahwa yang ia maksud hanyalah naik ke gunung, dan tidak dikenai had. Namun jika ia tidak bersumpah, maka ia dikenai had jika orang yang dituduh bersumpah bahwa ia memang bermaksud menuduh zina.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا خَالَفَ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ فَقَالَ: إِذَا قَالَ لَهَا زَنَأْتِ فِي الجبل كان قذفاً صريحاً يوجب حد.

Al-Mawardi berkata: Dalam hal ini Abu Hanifah berbeda pendapat, beliau berkata: Jika seseorang berkata kepada wanita, “Zana’ti fi al-jabal” (engkau berzina di gunung), maka itu adalah tuduhan zina yang jelas dan mewajibkan had.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: زَنَأْتِ فِي الْجَبَلِ هُوَ التَّرَقِّي فِيهِ فَلَا يَكُونُ قَذْفًا إِنْ لَمْ يُرِدْهُ.

Dan Imam Syafi‘i berkata: “Zana’ti fi al-jabal” artinya adalah naik ke gunung, maka itu bukanlah tuduhan zina jika tidak dimaksudkan demikian.

وَهُوَ قَوْلُ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ.

Dan ini juga merupakan pendapat Abu Yusuf dan Muhammad.

وَقَالَ أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ: إِنْ كَانَ قَائِلُ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يَكُنْ قَذْفًا وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَعْرِفْهَا كَانَ قَذْفًا، فَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ قَذْفٌ: بِأَنَّ لَفْظَ الزِّنَا يَقْصُرُ تَارَةً وَيُمَدُّ أُخْرَى، فَيُقَالُ: زَنَأْتِ. وَزَنَيْتِ، قَالَ الشَّاعِرُ.

Abu Thayyib bin Abi Salamah berkata: Jika orang yang mengucapkan itu adalah orang yang memahami bahasa Arab, maka itu bukanlah tuduhan zina. Namun jika ia tidak mengetahuinya, maka itu adalah tuduhan zina. Adapun Abu Hanifah berdalil bahwa itu adalah tuduhan zina dengan alasan bahwa kata “zina” kadang dibaca pendek dan kadang dibaca panjang, sehingga dikatakan: “zana’ti” dan “zanayti”. Sebagaimana dikatakan oleh penyair:

(كَانَتْ فَرِيضَةً مَا تَقُولُ كَمَا … كَانَ الزِّنَا فَرِيضَةَ الرَّجْمِ)

(Itu adalah kewajiban, sebagaimana engkau katakan … sebagaimana zina adalah kewajiban rajam)

وَإِذَا اسْتَوَى فِي الْقَذْفِ زَنَأْتِ وَزَنَيْتِ لَمْ تَكُنْ إِضَافَتُهُ إِلَى الْجَبَلِ مُخْرِجًا لَهُ مِنَ الْقَذْفِ، كَمَا لَوْ قَالَ لَهُ: زَنَيْتَ فِي الْجَبَلِ، كَانَ قَذْفًا فَلَمْ تُخْرِجْهُ الْإِضَافَةُ إِلَى الْجَبَلِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَذْفًا، أَمَّا أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ فَإِنَّهُ فَرَّقَ بَيْنَ النَّحْوِيِّ وَالْعَامِّيِّ، فَإِنَّ النَّحْوِيَّ لِوُقُوفِهِ عَلَى مَعَانِي الْأَلْفَاظِ يُفَرِّقُ بَيْنَ قَوْلِهِ: زَنَأْتِ فِي الْجَبَلِ فَيَعْلَمُ أَنَّهُ التَّرَقِّي فِيهِ، وَبَيْنَ قَوْلِهِ: زَنَيْتِ فِي الْجَبَلِ فَيَعْلَمُ أَنَّهُ إِتْيَانُ الْفَاحِشَةِ فِيهِ، وَالْعَامِّيُّ لَا يُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا، فَكَانَ مِنَ الْعَامِّيِّ قَذْفًا لِجَهْلِهِ بِالْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يَكُنْ مِنَ النَّحْوِيِّ قَذْفًا لِعِلْمِهِ بِالْفَرْقِ بَيْنَهُمَا.

Apabila dalam tuduhan zina, antara “zana’ta” dan “zanaita” sama saja, maka penyandaran kepada gunung tidak mengeluarkannya dari kategori qadzaf (tuduhan zina), sebagaimana jika seseorang berkata kepadanya: “Engkau berzina di gunung,” maka itu tetap merupakan qadzaf, dan penyandaran kepada gunung tidak mengeluarkannya dari status qadzaf. Adapun Abu Thayyib bin Abi Salamah membedakan antara orang yang ahli nahwu (gramatika Arab) dan orang awam; karena ahli nahwu, dengan pengetahuannya terhadap makna-makna lafaz, dapat membedakan antara ucapannya: “zana’ta fi al-jabal” (engkau naik ke gunung) sehingga ia mengetahui bahwa maksudnya adalah menaiki gunung, dan ucapannya: “zanaita fi al-jabal” (engkau berzina di gunung) sehingga ia mengetahui bahwa maksudnya adalah melakukan perbuatan keji di gunung. Sedangkan orang awam tidak membedakan antara keduanya, sehingga dari orang awam itu dianggap qadzaf karena ketidaktahuannya terhadap perbedaan antara keduanya, dan tidak dianggap qadzaf dari ahli nahwu karena pengetahuannya terhadap perbedaan tersebut.

كَمَا إِذَا قَالَ لِزَوْجَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ، يُفَرَّقُ فِي حَقِّ النَّحْوِيِّ بَيْنَ كَسْرٍ إِن وَفَتْحِهَا، فَإِنْ فَتَحَهَا فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَنْ دَخَلْتِ الدَّارَ كَانَ خَبَرًا، وَالطَّلَاقُ وَاقِعٌ؛ لِأَنَّ تَقْدِيرَهُ: أَنْتِ طَالِقٌ لِأَنَّكِ دَخَلْتِ الدَّارَ، وَإِنْ كَسَرَهَا فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ دَخَلَتِ الدَّارَ، كَانَتْ شَرْطًا، لَا تُطَلَّقُ حَتَّى تَدْخُلَ الدَّارَ؛ لِأَنَّ تَقْدِيرَهُ: أَنْتِ طَالِقٌ إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ.

Sebagaimana jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak jika engkau masuk ke rumah,” maka dalam hal ini dibedakan bagi ahli nahwu antara kasrah pada “in” dan fathah-nya. Jika ia membacanya dengan fathah lalu berkata: “Engkau tertalak an dakhalt al-dar” (dengan “an” yang difathahkan), maka itu adalah kalimat berita, sehingga talak jatuh, karena maknanya: “Engkau tertalak karena engkau telah masuk ke rumah.” Namun jika ia membacanya dengan kasrah lalu berkata: “Engkau tertalak in dakhalt al-dar” (dengan “in” yang dikasrahkan), maka itu adalah syarat, sehingga talak tidak jatuh kecuali setelah ia masuk ke rumah, karena maknanya: “Engkau tertalak jika engkau masuk ke rumah.”

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَكُونُ قَذْفًا إِذَا لَمْ تَرَ أَنَّ الْأَحْكَامَ تُعْتَبَرُ بِحَقِيقَةِ اللَّفْظِ دون مجازه في الْعَالِمِ وَالْجَاهِلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنْ نِيَّةٍ وَإِرَادَةٍ، كَصَرِيحِ الطَّلَاقِ وَكِنَايَتِهِ وَحَقِيقَةُ قَوْلِهِ: زَنَأْتِ فِي الْجَبَلِ، هُوَ الصُّعُودُ إِلَيْهِ وَالتَّرَقِّي فِيهِ، يُقَالُ زَنَأَ يَزْنَأُ وَزَنْوًا إِذْ صَعَدَ فِيهِ، وَزَنَى يَزْنِي زِنًا، إِذ فَجَرَ، يُمَدُّ وَيُقْصَرُ، وَالْقَصْرُ أَكْثَرُ.

Dalil bahwa itu tidak dianggap qadzaf jika tidak melihat bahwa hukum-hukum itu ditetapkan berdasarkan hakikat lafaz, bukan majaznya, baik pada orang alim maupun orang jahil, jika tidak disertai niat dan kehendak tertentu, sebagaimana dalam lafaz talak yang jelas dan kinayah-nya. Hakikat ucapan: “zana’ta fi al-jabal” adalah naik ke gunung dan mendakinya. Dikatakan: “zana’a yazna’u wa zanwan” artinya naik ke gunung, dan “zana yazni zinan” artinya berzina, bisa dibaca panjang dan pendek, namun yang pendek lebih banyak digunakan.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي حَقِيقَةِ اللِّسَانِ وَعُرْفِ الِاسْتِعْمَالِ مَشْهُوره، حُكِيَ أَنَّ امْرَأَةً مِنَ الْعَرَبِ كَانَتْ تُرَقِّصُ ابْنًا وَهِيَ تَقُولُ:

Perbedaan antara keduanya dalam hakikat bahasa dan kebiasaan penggunaan sudah masyhur. Diceritakan bahwa seorang wanita Arab sedang menimang anaknya sambil berkata:

(أَشْبِهْ أَبَا أُمِّكَ أَوْ أَشْبِهْ جَمَلْ … وَلَا تَكُونَنَّ كَهِلَّوْفٍ وَكَلْ)

“Serupailah kakek dari pihak ibumu, atau serupailah unta… dan janganlah engkau menjadi seperti hilluf dan wakl.”

(يُصْبِحُ فِي مَضْجَعِهِ قَدِ انْجَدَلْ … وَارْقَ إِلَى الْخَيْرَاتِ زَنَأْ فِي الْجَبَل)

“Pagi-pagi di tempat tidurnya ia telah tergeletak… dan naiklah menuju kebaikan, zana’lah di gunung.”

قَوْلُهَا: ” أَشْبِهْ أَبَا أُمِّكَ ” يَعْنِي أَبَاهَا الَّذِي هُوَ جَدُّهُ لِأُمِّهِ.

Ucapannya: “Serupailah kakek dari pihak ibumu” maksudnya adalah ayah ibunya, yaitu kakeknya dari pihak ibu.

وَأَشْبِهْ جَمَلْ هُوَ نَجِيبٌ مِنْ قَوْمِهِ، وَلَعَلَّهُ أَبُوهُ، وَمَعْنَاهُ أَشْبِهْ هَذَا أَوْ هَذَا، وَلَا تَكُونُنَّ كَهِلَّوْفٍ.

Dan “serupailah unta” maksudnya adalah seekor unta yang mulia dari kaumnya, dan mungkin itu adalah ayahnya. Maksudnya: serupailah yang ini atau yang itu, dan janganlah engkau menjadi seperti hilluf.

الْهِلَّوْفُ: الرَّجُلُ الْجَافِي الْعَظِيمُ.

Hilluf adalah laki-laki yang kasar dan bertubuh besar.

والوكل: الضعيف، معناه لَا تَكُونُنَّ رَجُلًا ثَقِيلَ الْجِسْمِ مُسْتَرْخِيًا.

Sedangkan wakl adalah orang yang lemah, maksudnya: janganlah engkau menjadi laki-laki bertubuh berat yang malas.

يُصْبِحُ فِي مَضْجَعِهِ قَدِ انْجَدَلَ، يَعْنِي وَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ، لِأَنَّ الْأَرْضَ تُسَمَّى الْجِدَالَةَ.

“Pagi-pagi di tempat tidurnya ia telah tergeletak,” maksudnya adalah jatuh ke tanah, karena tanah disebut juga al-jidalah.

وَارْقَ إِلَى الْخَيْرَاتِ مَعْنَاهُ وَاصْعَدْ إِلَيْهَا. زَنَّأْ فِي الْجَبَلِ: أَيْ كَصُعُودِكَ فِيهِ وَمَعْنَاهُ إنَّكَ تَعْلُو بِصُعُودِكَ إِلَى الْخَيْرَاتِ كَمَا تَعْلُو بِصُعُودِكَ فِي الْجَبَلِ. وَهَذَا لِسَانُ مَنْ قَدْ فُطِرَ عَلَى الْعَرَبِيَّةِ وَلَمْ يَتَكَلَّفْهَا فَكَانَتْ أَلْفَاظُهُ حَقِيقَةً فِي مَعَانِيهَا. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْدِلَ بِزَنَأَ فِي الْجَبَلِ عَنْ حَقِيقَتِهِ وَلَا أَنْ يُعَلِّقَ الْحُكْمَ فِيهِ بِمَجَازِهِ، وَلِأَنَّ زَنَأْتِ فِي الْجَبَلِ لَوْ كَانَ حَقِيقَةً فِي الصُّعُودِ وَحَقِيقَةً فِي الْفَاحِشَةِ لَكَانَ مَا قُرِنَ بِهِ مِنْ ذِكْرِ الْجَبَلِ يَصْرِفُهُ عَنْ حَقِيقَةِ الْفُجُورِ الصُّعُودِ؛ لِأَنَّ الْقَرَائِنَ تَصْرِفُ حَقَائِقَ الْأَلْفَاظِ الْمُطْلَقَةِ إِلَى حَقَائِقِ قَرَائِنِهَا.

“Naiklah menuju kebaikan” maksudnya adalah naiklah ke sana. “Zana’lah di gunung” artinya seperti engkau mendaki gunung, maksudnya engkau akan naik dengan pendakianmu menuju kebaikan sebagaimana engkau naik dengan pendakianmu di gunung. Ini adalah bahasa orang yang memang asli berbahasa Arab dan tidak dibuat-buat, sehingga lafaz-lafaznya benar-benar bermakna hakiki. Maka tidak boleh memalingkan makna “zana’a fi al-jabal” dari makna hakikinya, dan tidak boleh pula menggantungkan hukum padanya dengan makna majaz. Karena jika “zana’ta fi al-jabal” itu bermakna hakiki pada pendakian dan juga bermakna hakiki pada perbuatan keji, maka penyebutan gunung yang menyertainya akan memalingkannya dari makna hakiki perbuatan keji menuju makna hakiki pendakian; karena adanya konteks akan memalingkan makna hakiki lafaz yang mutlak kepada makna hakiki sesuai konteksnya.

أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ مِنْ وِثَاقٍ لَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ، وَإِنْ كَانَ يَقَعُ بِمُجَرَّدِ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، لِأَنَّ الْقَرِينَةَ بِقَوْلِهِ: مِنْ وِثَاقٍ قَدْ صَرَفَتْهُ عَنْ حَقِيقَتِهِ إِلَى مَجَازِهِ، وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ زَنَأْتِ فِي الْجَبَلِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: زَنَأْتِ وَلَمْ يُقِلْ فِي الْجَبَلِ لَمْ يَكُنْ عَلَى الِاسْتِدْلَالِ الْأَوَّلِ قَذْفًا، وَكَانَ عَلَى الِاسْتِدْلَالِ الثَّانِي قَذْفًا، فَصَارَ عَلَى وَجْهَيْنِ وَفِيمَا أَوْضَحْنَاهُ مِنْ هَذَيْنِ الِاسْتِدْلَالَيْنِ انْفِصَالٌ عَمَّا تَقَدَّمَ الِاحْتِجَاجُ بِهِ إِذَا استوضح.

Tidakkah engkau melihat, jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak dari ikatan,” maka talak tidak terjadi karenanya, meskipun talak bisa terjadi hanya dengan ucapan: “Engkau tertalak,” karena adanya indikasi pada ucapannya: “dari ikatan” telah memalingkannya dari makna hakiki kepada makna majazi. Demikian pula ucapannya: “Engkau berzina di gunung.” Berdasarkan hal ini, jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau berzina,” tanpa menyebutkan “di gunung,” maka menurut pendalilan pertama itu bukanlah qadzaf, sedangkan menurut pendalilan kedua itu adalah qadzaf. Maka, hal ini menjadi dua kemungkinan. Dan dalam penjelasan kami tentang kedua pendalilan ini terdapat pemisahan dari apa yang telah dijadikan hujjah sebelumnya, jika diperjelas.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ زَنَيْتِ وَأَنْتِ صَغِيرَةٌ أَوْ قَالَ وَأَنْتِ نَصْرَانِيَّةٌ أَوْ أَمَةٌ وَقَدْ كَانَتْ نَصْرَانِيَّةً أَوْ أَمَةً وَقَالَ مُسْتَكْرَهَةً أَوْ زَني بِكِ صَبِيٌّ لَا يُجَامِعُ مِثْلُهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَدٌّ وَيُعَزَّرُ لِلْأَذَى إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau berzina saat masih kecil,’ atau berkata: ‘Engkau berzina saat masih Nasrani atau budak,’ padahal ia memang pernah menjadi Nasrani atau budak, atau berkata: ‘Dalam keadaan terpaksa,’ atau ‘yang berzina denganmu adalah anak kecil yang tidak mungkin melakukan jima‘ seperti itu,’ maka tidak dikenakan had atasnya, namun ia tetap diberi ta‘zīr karena menyakiti, kecuali jika ia melakukan li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: جَمَعَ الشَّافِعِيُّ هَا هُنَا بَيْنَ خَمْسِ مَسَائِلَ لِاتِّفَاقِ أَحْكَامِهَا مَعَ اخْتِلَافِ أَقْسَامِهَا، وَنَحْنُ نُفْرِدُ كُلَّ مَسْأَلَةٍ مِنْهَا لِتَوْضِيحِ أَقْسَامِهَا وَأَحْكَامِهَا:

Al-Mawardi berkata: Imam Syafi‘i di sini mengumpulkan lima permasalahan karena kesamaan hukum-hukumnya meskipun jenisnya berbeda-beda. Kami akan memisahkan setiap permasalahan untuk memperjelas jenis dan hukumnya:

فَالْمَسْأَلَةُ الْأُولَى: إِذَا قَالَ لَهَا: زَنَيْتِ وَأَنْتِ صَغِيرَةٌ، فَيُسْأَلُ عَمَّا أَرَادَ مِنْ حَالِ صِغَرِهَا فَإِنَّهُ لَا يخلو من أحد حالين:

Permasalahan pertama: Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau berzina saat masih kecil,” maka ditanyakan maksudnya tentang keadaan kecilnya itu, karena tidak lepas dari dua kemungkinan:

أحدهما: أَنْ تَكُونَ طِفْلَةً لَا يُجَامَعُ مِثْلُهَا كَابْنَةِ سَنَةٍ أَوْ سَنَتَيْنِ فَهَذَا يَسْتَحِيلُ صِدْقُهُ وَيَتَحَقَّقُ كَذِبُهُ فَلَا يَكُونُ قَذْفًا لِأَنَّ الْقَذْفَ مَا احْتَمَلَ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ، وَيُعَزَّرُ لِلْفُحْشِ وَالْخَنَا تَعْزِيرَ الْأَذَى لَا تَعْزِيرَ الْقَذْفِ، وَلَا يُلَاعِنُ مِنْ هذا التعزير لخروجه عن حكم القذف.

Pertama: Ia masih anak-anak yang tidak mungkin dijima‘ seperti anak usia satu atau dua tahun. Maka, hal ini mustahil kebenarannya dan jelas kebohongannya, sehingga tidak dianggap sebagai qadzaf, karena qadzaf adalah tuduhan yang masih mungkin benar atau salah. Namun, ia tetap diberi ta‘zīr karena ucapan keji dan kotor, yaitu ta‘zīr karena menyakiti, bukan ta‘zīr karena qadzaf, dan tidak berlaku li‘ān dalam ta‘zīr ini karena keluar dari hukum qadzaf.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ مُشْتَدَّةً يُجَامَعُ مِثْلُهَا كَابْنَةِ سَبْعٍ أَوْ ثَمَانٍ، فَهَذَا قَذْفٌ لِاحْتِمَالِهِ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ لَكِنْ لَا حَدَّ عَلَيْهِ لِعَدَمِ كَمَالِهَا، وَإِنَّهَا لَوْ زَنَتْ لَمْ تُحَدَّ فَلَمْ يَجِبِ الْحَدُّ عَلَى قَاذِفِهَا وَلَكِنْ يُعَزَّرُ تَعْزِيرَ الْقَذْفِ لِكَوْنِهِ قَاذِفًا وَلَهُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ فَيَسْقُطُ عَنْهُ.

Kedua: Ia sudah cukup besar sehingga mungkin dijima‘ seperti anak usia tujuh atau delapan tahun. Maka, ini adalah qadzaf karena masih mungkin benar atau salah, namun tidak dikenakan had karena ia belum sempurna (baligh), dan jika ia benar-benar berzina pun tidak dikenakan had, sehingga tidak wajib had atas orang yang menuduhnya, tetapi tetap diberi ta‘zīr seperti ta‘zīr qadzaf karena ia telah menuduh, dan boleh melakukan li‘ān darinya sehingga gugur hukumannya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ تَعْزِيرِ الْأَذَى وَتَعْزِيرِ الْقَذْفِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Perbedaan antara ta‘zīr karena menyakiti dan ta‘zīr karena qadzaf ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَعْزِيرَ الْأَذَى مَوْقُوفٌ عَلَى مُطَالَبَةِ الْإِمَامِ دُونَهَا وَتَعْزِيرَ الْقَذْفِ مَوْقُوفٌ عَلَى مُطَالَبَتِهَا دُونَ الْإِمَامِ.

Pertama: Ta‘zīr karena menyakiti bergantung pada tuntutan imam, bukan tuntutan korban, sedangkan ta‘zīr karena qadzaf bergantung pada tuntutan korban, bukan imam.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يُلَاعِنُ فِي تَعْزِيرِ الْقَذْفِ وَلَا يُلَاعِنُ فِي تَعْزِيرِ الْأَذَى.

Kedua: Boleh melakukan li‘ān dalam ta‘zīr karena qadzaf, sedangkan tidak boleh li‘ān dalam ta‘zīr karena menyakiti.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَقُولَ لَهَا: زنيت وأنت نصرانية أو يهودية فلها ثلاثة أحوال:

Permasalahan kedua: Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau berzina saat masih Nasrani atau Yahudi,” maka ada tiga keadaan:

أحدها: أن يعلم أنها كانت نصرانية.

Pertama: Ia mengetahui bahwa istrinya memang pernah menjadi Nasrani.

والثاني: أن يعلم أنها لم تزل مسلمة. والثالث: أَنْ يَجْهَلَ حَالَهَا.

Kedua: Ia mengetahui bahwa istrinya sejak dulu adalah Muslimah. Ketiga: Ia tidak mengetahui keadaannya.

فَأَمَّا الْحَالُ الْأُولَى وَهُوَ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا كَانَتْ نَصْرَانِيَّةً فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ بِقَذْفِهَا فِي حَالِ النَّصْرَانِيَّةِ لِعَدَمِ كَمَالِهَا وَيُعَزَّرُ تَعْزِيرَ الْقَذْفِ؛ لِأَنَّهُ قَاذِفٌ وَلَهُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ، فَلَوِ اخْتَلَفَا فَقَالَتْ: أَرَدْتَ قَذْفِي بَعْدَ إِسْلَامِي فَعَلَيْكَ الْحَدُّ، وَقَالَ: بَلْ أَرَدْتُ قَذْفَكِ قَبْلَ إِسْلَامِكِ فَلَا حَدَّ عَلَيَّ، فَالَّذِي قَالَهُ أَبُو الْقَاسِمِ الدَّارَكِيُّ، وَأَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، وَعَلَيْهِ الْحَدُّ إِلَّا أَنْ يُلَاعِنَ.

Adapun keadaan pertama, yaitu ia mengetahui bahwa istrinya pernah menjadi Nasrani, maka tidak dikenakan had atasnya karena menuduh saat istrinya masih Nasrani, karena belum sempurna (baligh), namun tetap diberi ta‘zīr seperti ta‘zīr qadzaf karena ia telah menuduh, dan boleh melakukan li‘ān darinya. Jika keduanya berselisih, istri berkata: “Engkau menuduhku setelah aku masuk Islam, maka wajib had atasmu,” sedangkan suami berkata: “Aku menuduhmu sebelum engkau masuk Islam, maka tidak wajib had atasku,” maka menurut pendapat Abu al-Qasim al-Daraqi dan Abu Hamid al-Isfara’ini: yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri dengan sumpahnya, dan wajib had atas suami kecuali jika ia melakukan li‘ān.

لِأَنَّ قَوْلَهُ: زَنَيْتِ يَقْتَضِي الْقَذْفَ فِي الْحَالِ، وَقَوْلَهُ: وَأَنْتِ نَصْرَانِيَّةٌ يَقْتَضِي الْإِخْبَارَ عَنْ تَقَدُّمِ حَالِهَا، فَصَارَ الظَّاهِرُ مَعَهَا، وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمَّا وَصَلَ قَوْلَهُ: زَنَيْتِ، بِقَوْلِهِ وَأَنْتِ نَصْرَانِيَّةٌ كَانَ أَظْهَرُ احْتِمَالَيْهِ إِضَافَةَ الزِّنَا إِلَى النَّصْرَانِيَّةِ لِيَكُونَ أَحَدُهُمَا تَعَلَّقَ بِالَآخَرِ، وَلَوِ اسْتَوَى الِاحْتِمَالَانِ لَوَجَبَ أَنْ تُدْرَأَ الْحُدُودُ بِالشُّبُهَاتِ.

Karena ucapannya: “Engkau berzina” mengandung unsur qadzaf (tuduhan zina) secara langsung, sedangkan ucapannya: “dan engkau seorang Nasrani” mengandung pemberitahuan tentang keadaan masa lalunya. Maka yang tampak (zahir) adalah berpihak kepadanya (perempuan). Namun menurut pendapat yang aku anggap benar, perkataan (yang dipegang) adalah perkataannya (laki-laki) dengan sumpahnya, dan tidak dikenakan had atasnya, karena ketika ia menyambungkan ucapannya: “Engkau berzina” dengan “dan engkau seorang Nasrani”, maka kemungkinan yang lebih kuat adalah ia menisbatkan zina itu pada masa ketika ia masih Nasrani, sehingga salah satu dari keduanya berkaitan dengan yang lain. Seandainya kedua kemungkinan itu sama kuatnya, maka wajiblah hukuman had digugurkan karena adanya syubhat.

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ: وَهُوَ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ مُسْلِمَةً فَقَدْ صَارَ قَاذِفًا لَهَا بِالزِّنَا، وَرَامِيًا لَهَا بِالْكُفْرِ، فَعَلَيْهِ الْحَدُّ فِي قَذْفِهَا إِلَّا أَنْ يُلَاعِنَ وَعَلَيْهِ التَّعْزِيرُ فِي رَمْيِهَا بِالنَّصْرَانِيَّةِ لِأَجْلِ الْأَذَى.

Adapun keadaan kedua: yaitu diketahui bahwa ia (perempuan) senantiasa Muslimah, maka ia (laki-laki) telah menjadi pelaku qadzaf terhadapnya dengan tuduhan zina, dan menuduhnya dengan kekufuran. Maka wajib atasnya had karena menuduh zina, kecuali jika ia melakukan li’an, dan wajib atasnya ta’zir karena menuduhnya sebagai Nasrani, karena telah menyakitinya.

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّالِثَةُ: وَهُوَ أَنْ يَجْهَلَ حَالَهَا، فَلَمْ يَعْلَمْ هَلْ كَانَتْ نَصْرَانِيَّةً أَمْ لَا؟ فَإِنَّهَا تُسْأَلُ فَإِنِ اعْتَرَفَتْ بِتَقَدُّمِ النَّصْرَانِيَّةِ كَانَ عَلَى مَا مَضَى إِذَا عُلِمَ نَصْرَانِيَّتُهَا وَإِنْ لَمْ تَعْتَرِفْ بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَأَنْكَرَتْهَا، فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Adapun keadaan ketiga: yaitu ia (laki-laki) tidak mengetahui keadaan perempuan itu, sehingga tidak diketahui apakah ia pernah menjadi Nasrani atau tidak. Maka perempuan itu ditanya; jika ia mengakui pernah menjadi Nasrani sebelumnya, maka hukumnya seperti yang telah lalu jika diketahui ia pernah menjadi Nasrani. Namun jika ia tidak mengakui pernah menjadi Nasrani dan ia mengingkarinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَيُعَزَّرُ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ دَارَ الإسلام تجمع الفريقين، وجنب المؤمن حمى، والحدود تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ، وَلَهُ أَنْ يُلَاعِنَ فِي هَذَا التَّعْزِيرِ لِأَنَّهُ تَعْزِيرُ قَذْفٍ.

Salah satunya: bahwa perkataan (yang dipegang) adalah perkataannya (laki-laki) dengan sumpahnya, dan ia dikenakan ta’zir, tidak dikenakan had; karena Dar al-Islam (wilayah Islam) menaungi kedua kelompok (Muslim dan non-Muslim), dan kehormatan seorang mukmin itu terjaga, serta hukuman had digugurkan karena adanya syubhat. Ia juga boleh melakukan li’an dalam perkara ta’zir ini, karena ini adalah ta’zir atas qadzaf.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ مُسْلِمَةً وَيُحَدُّ لَهَا إِلَّا أَنْ يَلْتَعْنَ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ دَارِ الْإِسْلَامِ إِسْلَامُ أَهْلِهَا، فَجَرَى حُكْمُ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِمْ كَمَا يَجْرِي حُكْمُ الْإِسْلَامِ عَلَى اللَّقِيطِ إِذَا جُهِلَتْ حَالُهُ.

Pendapat kedua: bahwa perkataan (yang dipegang) adalah perkataannya (perempuan) dengan sumpahnya bahwa ia senantiasa Muslimah, dan dikenakan had untuknya kecuali jika dilakukan li’an; karena yang tampak dari Dar al-Islam adalah keislaman penduduknya, sehingga hukum Islam berlaku atas mereka sebagaimana hukum Islam berlaku atas anak temuan (lakiṭ) jika tidak diketahui keadaannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: إِذَا قَالَ لَهَا: زَنَيْتِ وَأَنْتِ أَمَةٌ، فلها أربعة أحوال:

Masalah ketiga: Jika ia berkata kepada perempuan itu: “Engkau berzina dan engkau seorang budak”, maka ada empat keadaan:

أحدها: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا أَمَةٌ فِي الْحَالِ فَيُعَزَّرُ لِقَذْفِهَا وَلَا يُحَدُّ لِنَقْصِهَا عَنْ حَالِ الْكَمَالِ وَيُلَاعِنُ مِنْ هَذَا التَّعْزِيرِ؛ لِأَنَّهُ تَعْزِيرُ قَذْفٍ.

Pertama: Ia mengetahui bahwa perempuan itu adalah budak pada saat itu, maka ia dikenakan ta’zir karena menuduhnya (qadzaf), dan tidak dikenakan had karena statusnya yang kurang dari keadaan sempurna (merdeka), dan ia boleh melakukan li’an dalam perkara ta’zir ini, karena ini adalah ta’zir atas qadzaf.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا حُرَّةٌ فِي الْحَالِ وَأَمَةٌ مِنْ قَبْلُ فَيُعَزَّرُ تَعْزِيرَ قَذْفٍ وَلَا يُحَدُّ، فَإِنِ اخْتُلِفَ فِي الْقَذْفِ فَقَالَتْ: أَرَدْتَ بِهِ قَذْفِي بَعْدَ الْحُرِّيَّةِ وَقَالَ: أَرَدْتُ بِهِ قَذْفَكِ قَبْلَهَا، فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْقَاسِمِ الدَّارَكِيِّ، وَأَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ: الْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا وَيُحَدُّ لَهَا وَعَلَى مَا أَرَاهُ وَأَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَيُعَزَّرُ ولا يحد.

Keadaan kedua: Ia mengetahui bahwa perempuan itu merdeka pada saat itu dan sebelumnya adalah budak, maka ia dikenakan ta’zir atas qadzaf dan tidak dikenakan had. Jika terjadi perselisihan dalam qadzaf, di mana perempuan berkata: “Engkau menuduhku setelah aku merdeka”, dan laki-laki berkata: “Aku menuduhmu sebelum engkau merdeka”, maka menurut pendapat Abu al-Qasim al-Daraki dan Abu Hamid al-Isfarayini: perkataan (yang dipegang) adalah perkataannya (perempuan) dengan sumpahnya dan dikenakan had untuknya. Sedangkan menurut pendapat yang aku anggap benar dan yang paling sahih: perkataan (yang dipegang) adalah perkataannya (laki-laki) dengan sumpahnya, dan ia dikenakan ta’zir, tidak dikenakan had.

والحال الثالثة: أن علم أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ حُرَّةً، فَيُحَدُّ لِقَذْفِهَا وَلَا يُعَزَّرُ لِرَمْيِهَا بِالرِّقِّ، وَإِنْ عُزِّرَ لِرَمْيِهَا بِالْكُفْرِ؛ لِأَنَّ الْكُفْرَ اعْتِقَادٌ يُمْكِنُ حُدُوثُهُ بَعْدَ الْإِسْلَامِ.

Keadaan ketiga: Diketahui bahwa perempuan itu senantiasa merdeka, maka ia dikenakan had karena menuduhnya (qadzaf) dan tidak dikenakan ta’zir karena menuduhnya sebagai budak. Namun, jika ia menuduhnya sebagai kafir, maka ia dikenakan ta’zir; karena kekufuran adalah keyakinan yang mungkin terjadi setelah keislaman.

فَصَارَ فِي الرَّمْيِ بِهِ مَعَرَّةٌ، وَالرِّقُّ لَا يُمْكِنُ حُدُوثُهُ بَعْدَ الْحُرِّيَّةِ فِي مُسْلِمٍ، فَلَمْ يَكُنْ فِي الرَّمْيِ بِهِ مَعَرَّةٌ فَافْتَرَقَا فِي التَّعْزِيرِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي الْمَعَرَّةِ.

Maka menuduh dengan kekufuran mengandung celaan, sedangkan perbudakan tidak mungkin terjadi setelah kemerdekaan pada seorang Muslim, sehingga menuduh dengan perbudakan tidak mengandung celaan. Maka keduanya berbeda dalam hal ta’zir karena perbedaan dalam hal celaan.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَجْهَلَ حَالَهَا فِي تَقَدُّمِ الرِّقِّ مَعَ تَحَقُّقِ حُرِّيَّتِهَا فِي الْوَقْتِ فَفِيهِ عِنْدَ اخْتِلَافِهِمَا قَوْلَانِ:

Keadaan keempat: Ia tidak mengetahui keadaan perempuan itu terkait pernah menjadi budak, sementara kemerdekaannya pada saat itu sudah pasti. Maka dalam hal ini, jika terjadi perselisihan antara keduanya, terdapat dua pendapat:

5

5

– أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهَا كَانَتْ أَمَةً وَيُعَزَّرُ لَهَا تَعْزِيرَ الْقَذْفِ وَلَا يُحَدُّ، لِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ تَجْمَعُ الْأَحْرَارَ وَالْمَمَالِيكَ. وَالْحُدُودُ تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ.

Salah satunya: bahwa perkataan (yang dipegang) adalah perkataannya (laki-laki) dengan sumpahnya bahwa perempuan itu pernah menjadi budak, dan ia dikenakan ta’zir atas qadzaf dan tidak dikenakan had, karena Dar al-Islam menaungi orang-orang merdeka dan para budak. Dan hukuman had digugurkan karena adanya syubhat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ حُرَّةً، وَيُحَدُّ لَهَا إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ، لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي النَّاسِ الْحُرِّيَّةُ، وَالرِّقُّ طَارِئٌ، فَكَانَ الظَّاهِرُ مَعَهَا، وَلَوْ كَانَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةٌ عُمِلَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا.

Pendapat kedua: Sesungguhnya yang dipegang adalah pengakuannya (perempuan itu) disertai sumpahnya bahwa ia senantiasa merdeka, dan dijatuhi had untuknya kecuali jika ia melakukan li‘ān, karena asal dalam manusia adalah kemerdekaan, sedangkan perbudakan adalah sesuatu yang datang kemudian, maka yang tampak (kuat) adalah bersamanya (perempuan itu). Jika salah satu dari keduanya memiliki bukti, maka diputuskan berdasarkan kedua pendapat tersebut sekaligus.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْمَسْأَلَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَقُولَ لَهَا: زَنَيْتِ وَأَنْتِ مُسْتَكْرَهَةٌ عَلَى الزِّنَا، فَهَذَا لَيْسَ بِقَاذِفٍ لِأَنَّهُ مَا نَسَبَهَا إِلَى مَا يُعِرُّهَا. فَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ حَدُّ الْقَذْفِ وَلَا تَعْزِيرُهُ، وَفِي تَعْزِيرِهِ لِلْأَذَى وَجْهَانِ:

Masalah keempat: Jika ia berkata kepadanya, “Engkau berzina dalam keadaan dipaksa,” maka ini tidak termasuk qazaf (tuduhan zina) karena ia tidak menisbatkan kepadanya sesuatu yang mencemarkan kehormatannya. Maka tidak wajib atasnya had qazaf dan tidak pula ta‘zīr, dan dalam hal ta‘zīr karena menyakiti ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُعَزَّرُ لِانْتِفَاءِ مَعَرَّةِ الزِّنَا.

Salah satunya: Tidak dijatuhi ta‘zīr karena tidak adanya aib dari perbuatan zina.

وَالثَّانِي: يُعَزَّرُ لِلْأَذَى، لِأَنَّ فِيهِ أَذًى بِمَا أَضَافَ إِلَيْهَا مِنَ اخْتِلَاطِ النَّسَبِ، وَهَكَذَا لَوْ قَالَ لَهَا: وُطِئْتِ بِشُبْهَةٍ لَمْ يَكُنْ قَاذِفًا، وَفِي تَعْزِيرِهِ لِلْأَذَى وَجْهَانِ.

Yang kedua: Dijatuhi ta‘zīr karena menyakiti, karena di dalamnya terdapat unsur menyakiti dengan menisbatkan kepadanya percampuran nasab. Demikian pula jika ia berkata kepadanya, “Engkau digauli karena syubhat,” maka itu bukanlah qazaf, dan dalam hal ta‘zīr karena menyakiti ada dua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالْمَسْأَلَةُ الْخَامِسَةُ: إِذَا قَالَ لها زنا بِكِ صَبِيٌّ لَا يُجَامِعُ مِثْلُهُ فَهَذَا لَيْسَ بِقَاذِفٍ لِاسْتِحَالَتِهِ وَيُعَزَّرُ لِلْأَذَى وَلَا يَلْتَعِنُ فَهَذَا تَفْصِيلُ مَا جَمَعَهُ الشَّافِعِيُّ مِنَ الْمَسَائِلِ الْخَمْسِ، وَقَوْلُهُ فِيهَا وَيُعَزَّرُ لِلْأَذَى إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ إِشَارَةٌ إِلَى أَذَى الْقَذْفِ دُونَ أَذَى الْفُحْشِ وَالْخَنَا، وَعَبَّرَ عَنْ تَعْزِيرِ الْقَذْفِ بِتَعْزِيرِ الْأَذَى؛ لِأَنَّ الْقَذْفَ أَذًى، وَفِيمَا شَرَحْنَاهُ مِنَ التَّفْصِيلِ زَوَالُ مَا أُشْكِلَ مِنْ إِطْلَاقِهِ.

Masalah kelima: Jika ia berkata kepadanya, “Seorang anak kecil yang tidak mungkin melakukan jima‘ telah berzina denganmu,” maka ini bukanlah qazaf karena mustahil terjadi, namun dijatuhi ta‘zīr karena menyakiti dan tidak dilakukan li‘ān. Inilah rincian dari lima masalah yang dikumpulkan oleh asy-Syāfi‘ī, dan ucapannya di dalamnya, “dan dijatuhi ta‘zīr karena menyakiti kecuali jika melakukan li‘ān,” adalah isyarat kepada menyakiti karena qazaf, bukan karena perbuatan keji dan cabul. Ia mengekspresikan ta‘zīr atas qazaf dengan ta‘zīr karena menyakiti, karena qazaf itu sendiri adalah menyakiti. Dalam penjelasan rinci yang telah kami paparkan, hilanglah apa yang sebelumnya sulit dipahami dari pernyataannya yang bersifat umum.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَلَوْ قَالَ زَنَيْتِ قَبْلَ أَنْ أَتَزَوَّجَكِ حُدَّ وَلَا لِعَانَ لِأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى يَوْمِ تَكَلَّمَ بِهِ وَيَوْمِ تَوَقُّعِهِ “.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Jika ia berkata, ‘Engkau telah berzina sebelum aku menikahimu,’ maka dijatuhi had dan tidak dilakukan li‘ān, karena aku melihat pada hari ia mengucapkannya dan hari terjadinya (zina) itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَنْ قَذَفَ زَوْجَتَهُ بِزِنًا كَانَ مِنْهَا قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا أَنَّهُ يُحَدُّ وَلَا يُلَاعِنُ اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الزِّنَا.

Al-Māwardī berkata: Dan telah kami sebutkan bahwa siapa yang menuduh istrinya berzina yang terjadi sebelum ia menikahinya, maka ia dijatuhi had dan tidak dilakukan li‘ān, dengan mempertimbangkan waktu terjadinya zina.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُلَاعِنُ اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الْقَذْفِ وَتَقَدَّمَ مِنَ الْحِجَاجِ عَلَيْهِ مَا أَغْنَى، فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا لَاعَنَ مِنَ الْقَذْفِ بِالزِّنَا الْمُتَقَدِّمِ قَبْلَ نِكَاحِهِ؟ لِأَنَّهَا قَدْ تَحْبَلُ مِنْهُ فَيَلْحَقُهُ الْوَلَدُ فَصَارَتِ الضَّرُورَةُ دَاعِيَةً إِلَى قَذْفِهَا وَلِعَانِهِ لِيَنْتَفِيَ عَنْهُ نَسَبُ الزِّنَا، قِيلَ: قَدْ كَانَ يُمْكِنُ إِطْلَاقُ الْقَذْفِ مِنْ غَيْرِ إِضَافَةٍ إِلَى زَمَانٍ مُعَيَّنٍ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ وَعَلَى أَنَّهُ لَوْ لَاعَنَ مِنْ هذا القذف ليست حَامِلًا لَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ نَسَبُ وَلَدٍ تَضَعُهُ بَعْدَ لِعَانِهِ، فَإِنْ وَلَدَتْ، بَعْدَ هَذَا الْقَذْفِ وَلَدًا نَظَرَ زَمَانَ وِلَادَتِهِ، فَإِنْ كَانَ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ نِكَاحِهِ فَهُوَ مَنْفِيٌّ عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ لِعِلْمِنَا بِتَقَدُّمِ عُلُوقِهِ عَلَى نِكَاحِهِ، وَإِنْ وَلَدَتْهُ بَعْدَ نِكَاحِهِ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا فَهُوَ لَاحِقٌ بِهِ بِحُكْمِ الْفِرَاشِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا حِينَئِذٍ، هَلْ لَهُ أَنْ يَلْتَعِنَ لِنَفْيِهِ بِذَاكَ الْقَذْفِ الْمُتَقَدِّمِ الَّذِي نُسِبَ الزِّنَا فِيهِ إِلَى مَا قَبْلَ نِكَاحِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Abū Ḥanīfah berkata: Dilakukan li‘ān dengan mempertimbangkan waktu tuduhan (qazaf), dan telah disebutkan sebelumnya argumentasi yang cukup atasnya. Jika dikatakan: Mengapa tidak dilakukan li‘ān atas tuduhan zina yang terjadi sebelum pernikahan? Karena bisa jadi ia hamil darinya sehingga anak itu dinisbatkan kepadanya, maka menjadi suatu kebutuhan untuk menuduhnya dan melakukan li‘ān agar nasab anak zina itu tidak dinisbatkan kepadanya. Dijawab: Sebenarnya memungkinkan untuk melontarkan tuduhan tanpa mengaitkannya dengan waktu tertentu, sehingga boleh baginya melakukan li‘ān. Dan jika ia melakukan li‘ān dari tuduhan ini saat istrinya tidak hamil, maka tidak ternafikan nasab anak yang dilahirkan setelah li‘ān tersebut. Jika ia melahirkan setelah tuduhan ini seorang anak, maka dilihat waktu kelahirannya; jika kurang dari enam bulan dari waktu pernikahannya, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya tanpa li‘ān, karena kita mengetahui bahwa kehamilannya terjadi sebelum pernikahan. Namun jika ia melahirkan setelah pernikahan selama enam bulan atau lebih, maka anak itu dinisbatkan kepadanya berdasarkan hukum firāsy. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini, apakah ia boleh melakukan li‘ān untuk menafikan nasab anak tersebut dengan tuduhan zina yang dinisbatkan pada masa sebelum pernikahan atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَ قَذْفًا مُطْلَقًا، لِأَنَّهُ كَانَ فِي الْقَذْفِ الْأَوَّلِ فِي حُكْمِ الْأَجَانِبِ بِمَنْعِهِ مِنَ الِالْتِعَانِ فِيهِ، فَصَارَ كَمَا لَوْ قَذَفَهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ سَوَاءٌ وَضَعَتِ الْوَلَدَ أَوْ لَمْ تَضَعْ، فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يُحَدِّدْ قَذْفًا مُطْلَقًا، حُدَّ لِلْقَذْفِ، الْأَوَّلِ وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْفِيَهُ وَإِنْ جَدَّدَ قَذْفًا مُطْلَقًا، حُدَّ لِلْقَذْفِ الْأَوَّلِ وَلَاعَنَ بِالْقَذْفِ الثَّانِي لِنَفْيِ الْوَلَدِ وَلَمْ يَسْقُطْ حَدُّ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ بِاللِّعَانِ فِي الْقَذْفِ الثَّانِي لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْحُكْمِ.

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa tidak boleh melakukan li‘ān kecuali jika ia memulai tuduhan zina yang baru secara mutlak. Sebab, pada tuduhan zina yang pertama, ia diperlakukan seperti orang asing dengan larangan melakukan li‘ān dalam kasus tersebut. Maka, keadaannya seperti seseorang yang menuduh wanita itu berzina, lalu menikahinya; ia tidak berhak melakukan li‘ān atas tuduhan tersebut, baik wanita itu telah melahirkan anak maupun belum. Berdasarkan pendapat ini, jika ia tidak memperbarui tuduhan zina secara mutlak, maka ia dikenai had karena tuduhan zina yang pertama, anak tersebut dinisbatkan kepadanya, dan ia tidak berhak menafikan anak itu. Namun, jika ia memperbarui tuduhan zina secara mutlak, maka ia dikenai had atas tuduhan zina yang pertama dan melakukan li‘ān atas tuduhan zina yang kedua untuk menafikan anak, dan had atas tuduhan zina yang pertama tidak gugur dengan li‘ān pada tuduhan zina yang kedua karena keduanya berbeda dalam hukum.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة يَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ إِذَا وَلَدَتْ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْتَعِنَ لَوْ لَمْ تَلِدْ لَأَنَّ الضَّرُورَةَ تَدْعُوهُ إِلَى الِالْتِعَانِ مَعَ الْوِلَادَةِ وَلَا تَدْعُوهُ مِعِ عَدَمِهَا؛ وَلِأَنْ يَصْدُقَ فِي إِضَافَةِ الْقَذْفِ إِلَى مَا قَبْلَ نِكَاحِهِ أَوْلَى مِنْ أَنْ يَسْتَأْنِفَ قَذْفًا مُطْلَقًا يَتَجَوَّزُ فِي إِرْسَالِهِ فَعَلَى هَذَا إِذَا الْتَعَنَ مُقْتَصِرًا عَلَى الْقَذْفِ الْأَوَّلِ أَجْزَاهُ وَانْتَفَى بِهِ الْوَلَدُ، وَسَقَطَ بِهِ الحد، ولو جد بَعْدَ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ قَذْفًا ثَانِيًا نُظِرَ فِيهِ، فَإِنْ أَضَافَهُ إِلَى زَمَانِ نِكَاحِهِ فَهُوَ غَيْرُ الزِّنَا الْأَوَّلِ فَعَلَى هَذَا يُلَاعِنُ مِنَ الْقَذْفِ الثَّانِي وَيَنْفِي بِهِ الْوَلَدَ وَلَا يَسْقُطُ بِهِ حَدُّ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ لِتَمَيُّزِهِ عَنْ نَفْيِ الْوَلَدِ فَصَارَ كَوُجُوبِهِ مَعَ عَدَمِ الْوَلَدِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, membolehkan melakukan li‘ān atas tuduhan tersebut jika wanita itu telah melahirkan anak, dan tidak membolehkan li‘ān jika wanita itu belum melahirkan. Sebab, kebutuhan mendesak mendorongnya untuk melakukan li‘ān ketika ada kelahiran, dan tidak ada kebutuhan tersebut jika tidak ada kelahiran. Selain itu, membenarkan penisbatan tuduhan zina kepada masa sebelum pernikahan lebih utama daripada memulai tuduhan zina baru yang bisa saja dilakukan secara sembarangan. Berdasarkan pendapat ini, jika ia melakukan li‘ān hanya atas tuduhan zina yang pertama, maka itu sudah cukup dan anak tersebut dinisbatkan kepadanya, serta had atas tuduhan zina gugur karenanya. Namun, jika setelah tuduhan zina yang pertama ia mengulang tuduhan zina kedua, maka perlu dilihat: jika ia menisbatkannya pada masa pernikahan, maka itu adalah tuduhan zina yang berbeda dari yang pertama. Dalam hal ini, ia melakukan li‘ān atas tuduhan zina yang kedua dan menafikan anak dengannya, dan had atas tuduhan zina yang pertama tidak gugur karena perbedaannya dengan penafian anak. Maka, hukumnya seperti kewajiban had ketika tidak ada anak. Wallāhu a‘lam.

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَذَفَهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا ثُمَّ قَذَفَهَا وَلَاعَنَهَا وَطَلَبَتْهُ بِحَدِّ الْقَذْفِ قَبْلَ النِّكَاحِ حُدَّ لَهَا وَلَوْ لَمْ يَلْتَعِنْ حَتَّى حَدَّهُ الْإِمَامُ بِالْقَذْفِ الْأَوَّلِ ثَمَّ طَلَبَتْهُ بِالْقَذْفِ بَعْدَ النِّكَاحِ لَاعَنَ لِأَنَّ حُكْمَهُ قَاذِفًا غَيْرَ زَوْجَتِهِ وَحُكْمَهُ قَاذِفًا زَوْجَتَهُ الْحَدُّ أَوِ اللِّعَانُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menuduh wanita itu berzina, lalu menikahinya, kemudian menuduhnya lagi dan melakukan li‘ān, lalu wanita itu menuntut had atas tuduhan zina sebelum pernikahan, maka ia dijatuhi had untuknya. Jika ia tidak melakukan li‘ān hingga imam menjatuhkan had atas tuduhan zina yang pertama, kemudian wanita itu menuntut had atas tuduhan zina setelah pernikahan, maka ia melakukan li‘ān. Sebab, hukumnya sebagai penuduh terhadap wanita yang bukan istrinya berbeda dengan hukumnya sebagai penuduh terhadap istrinya, yaitu antara had atau li‘ān.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةُ قَسَّمَ الشَّافِعِيُّ أَحْوَالَهَا ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ وَلَهَا مُقَدِّمَةٌ يَجِبُ أَنْ يَبْدَأَ بِهَا لِيَكُونَ جَوَابُ هَذِهِ الْأَقْسَامِ مَحْمُولًا عَلَيْهَا، وَمُقَدِّمَتُهَا مُصَوَّرَةٌ فِي رَجُلٍ قَذَفَ أَجْنَبِيَّةً ثُمَّ قَذَفَهَا ثَانِيَةً وَهِيَ أَجْنَبِيَّةٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْقَذْفِ الثَّانِي مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ حَدِّ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ الْقَذْفُ الثَّانِي بَعْدَ أَنْ حُدَّ مِنَ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: “Ini adalah masalah yang dibagi oleh Imam Syafi‘i menjadi tiga bagian, dan ada muqaddimah yang harus didahulukan agar jawaban atas bagian-bagian ini dapat dipahami berdasarkan muqaddimah tersebut. Muqaddimahnya digambarkan pada seorang laki-laki yang menuduh wanita asing berzina, lalu menuduhnya lagi untuk kedua kalinya saat wanita itu masih asing. Maka, keadaan tuduhan zina yang kedua tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah terjadi sebelum dijatuhkannya had atas tuduhan zina yang pertama atau sesudahnya. Jika tuduhan zina yang kedua terjadi setelah dijatuhkannya had atas tuduhan zina yang pertama, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْذِفَهَا ثَانِيَةً بِالزِّنَا الْأَوَّلِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ فِي الْقَذْفِ الثَّانِي حَدٌّ؛ لِأَنَّهُمَا قَذْفٌ بِزِنًا وَاحِدٍ، وَقَدْ حُدَّ فِيهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَادَ الْحَدُّ فِيهِ؛ لأن لا يَجْتَمِعَ فِي الْقَذْفِ بِالزِّنَا الْوَاحِدِ حَدَّانِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَمِعَ فِي فِعْلِ الزِّنَا الْوَاحِدِ حَدَّانِ، وَلَكِنْ يُعَزَّرُ فِي إِعَادَةِ الْقَذْفِ الثَّانِي لِأَجْلِ الْأَذَى.

Pertama: Ia menuduh wanita itu lagi dengan tuduhan zina yang sama seperti yang pertama, maka tidak ada had atas tuduhan zina yang kedua; karena keduanya merupakan tuduhan atas satu perbuatan zina, dan had telah dijatuhkan atasnya, sehingga tidak boleh dijatuhkan had lagi atas tuduhan yang sama. Hal ini agar tidak terkumpul dua had atas satu tuduhan zina, sebagaimana tidak boleh dijatuhkan dua had atas satu perbuatan zina. Namun, ia tetap dikenai ta‘zīr karena mengulangi tuduhan kedua tersebut sebagai bentuk pencegahan atas gangguan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَقْذِفَهَا ثَانِيَةً بِزِنًا ثَانٍ غَيْرِ الزِّنَا الْأَوَّلِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ حَدٌّ ثَانٍ بَعْدِ الْحَدِّ الْأَوَّلِ لِأَنَّهُ قَذْفٌ بِزِنَائَيْنِ، فَإِذَا حُدَّ لِأَحَدِهِمَا وَجَبَ أَنْ يحد للآخر كما لو زنا 5 – فحد، ثم زنا ثَانِيَةً يُحَدُّ حَدًّا ثَانِيًا، فَهَذَا حُكْمُ الْقَذْفِ الثَّانِي إِذَا كَانَ بَعْدَ حَدِّ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ، وَأَمَّا إِنْ كَانَ قَبْلَ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ، فَهُوَ أَيْضًا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Ia menuduh wanita itu lagi dengan tuduhan zina yang berbeda dari yang pertama, maka wajib atasnya had kedua setelah had yang pertama, karena itu merupakan dua tuduhan zina yang berbeda. Jika ia telah dijatuhi had atas salah satunya, maka wajib dijatuhi had atas yang lainnya, sebagaimana jika seseorang berzina lalu dijatuhi had, kemudian berzina lagi maka ia dijatuhi had kedua. Inilah hukum tuduhan zina kedua jika terjadi setelah dijatuhkannya had atas tuduhan zina yang pertama. Adapun jika tuduhan zina kedua terjadi sebelum tuduhan zina yang pertama, maka juga terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْقَذْفُ الثَّانِي بِالزِّنَا الْأَوَّلِ، فَلَا يَلْزَمُهُ فِي الْقَذْفَيْنِ إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ لِأَنَّهُمَا بِزِنَاءٍ وَاحِدٍ؛ كَمَا لَوْ كَرَّرَ لَفْظَ الْقَذْفِ لِوَقْتِهِ فَقَالَ: زَنَيْتِ، زَنَيْتِ، لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ.

Salah satunya: jika tuduhan zina yang kedua adalah atas zina yang pertama, maka tidak wajib atasnya kecuali satu had untuk kedua tuduhan tersebut, karena keduanya atas satu perbuatan zina; sebagaimana jika ia mengulangi ucapan tuduhan dalam satu waktu, lalu berkata: “Engkau berzina, engkau berzina,” maka tidak dikenakan atasnya kecuali satu had saja.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْقَذْفُ الثَّانِي بِزِنَاءٍ ثَانٍ غَيْرِ الزِّنَا الْأَوَّلِ كَأَنَّهُ قَالَ فِي القذف الأول زنا بِكِ زَيْدٌ، ثُمَّ قَالَ فِي الْقَذْفِ الثَّانِي: زنا بِكِ عَمْرٌو فَفِيهِمَا قَوْلَانِ:

Jenis kedua: jika tuduhan zina yang kedua adalah atas perbuatan zina yang lain, bukan zina yang pertama, seperti ia berkata dalam tuduhan pertama: “Zaid berzina denganmu,” kemudian pada tuduhan kedua ia berkata: “Amr berzina denganmu,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ، وَنَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ، أَنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهِ فِيهِمَا إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ وَيَدْخُلُ أَحَدُ الْقَذْفَيْنِ فِي الْآخَرِ لِأَنَّ فِعْلَ الزِّنَا أَغْلَظُ مِنَ الْقَذْفِ بِهِ، وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ زَنَى فَلَمْ يُحَدَّ حَتَّى زَنَى حُدَّ لَهُمَا حَدًّا وَاحِدًا.

Salah satunya: yaitu pendapatnya dalam kitab al-jadid, dan juga dinyatakan dalam al-qadim, bahwa tidak wajib atasnya kecuali satu had saja, dan salah satu dari dua tuduhan itu masuk dalam yang lain, karena perbuatan zina lebih berat daripada tuduhan zina, dan telah tetap bahwa jika seseorang berzina lalu belum ditegakkan had atasnya hingga ia berzina lagi, maka ditegakkan atasnya satu had saja untuk keduanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ مُخْرَّجٌ مِنْ دَلِيلِ كَلَامِهِ فِي الْقَدِيمِ لِأَنَّهُ قَالَ: عَلَيْهِ لَهُمَا حَدٌّ وَاحِدٌ، وَلَوْ قِيلَ عَلَيْهِ حَدَّانِ كَانَ مَذْهَبًا فَخَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا قَوْلًا ثَانِيًا في القديم ثم إن لهذين القذفين حدان، بِخِلَافِ الزِّنَائَيْنِ، لِأَنَّ حَدَّ الزِّنَى مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الْمَحْضَةِ، فَجَازَ أَنْ يَتَدَاخَلَ وَحَدَّ الْقَذْفِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يتداخل.

Pendapat kedua: yang diambil dari dalil perkataannya dalam al-qadim, karena ia berkata: “Atasnya satu had untuk keduanya, dan jika dikatakan atasnya dua had, maka itu adalah suatu mazhab,” sehingga para sahabat kami mengeluarkan pendapat kedua dalam al-qadim, yaitu bahwa untuk dua tuduhan itu ada dua had, berbeda dengan dua perbuatan zina, karena had zina adalah hak Allah Ta‘ala yang murni, sehingga boleh saling masuk, sedangkan had tuduhan zina adalah hak manusia, maka tidak boleh saling masuk.

(مسألة)

(Masalah)

فَإِذَا ثَبَتَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ: فَصُورَةُ مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ فِي رَجُلٍ قَذَفَ أَجْنَبِيَّةً ثُمَّ تَزَوَّجَهَا ثُمَّ قَذَفَهَا ثَانِيَةً بَعْدَ التَّزْوِيجِ، وَفِي الْمُقَدِّمَةِ كَانَ الْقَذْفَانِ مِنْ غَيْرِ تَزْوِيجٍ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ حُدَّ لَهُ قَبْلَ الْقَذْفِ الثَّانِي، أَوْ لَمْ يُحَدَّ، فَإِنْ كَانَ قَدْ حُدَّ لَهُ، وَقَدْ قَذَفَهَا ثَانِيَةً فِي التَّزْوِيجِ بَعْدَ أَنْ حُدَّ لِلْأَوَّلِ قَبْلَ التَّزْوِيجِ، فَالْقَذْفُ الثَّانِي عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika telah tetap muqaddimah ini: maka bentuk masalah dalam kitab ini adalah tentang seorang laki-laki yang menuduh seorang perempuan ajnabiyah (bukan istrinya) berzina, kemudian ia menikahinya, lalu menuduhnya lagi setelah pernikahan. Dalam muqaddimah, kedua tuduhan itu terjadi tanpa pernikahan. Jika demikian, maka keadaan tuduhan pertama tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah sudah ditegakkan had atasnya sebelum tuduhan kedua, atau belum. Jika sudah ditegakkan had atasnya, lalu ia menuduhnya lagi dalam pernikahan setelah ditegakkan had untuk yang pertama sebelum pernikahan, maka tuduhan kedua terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِالزِّنَى الْأَوَّلِ، فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ فِي الْقَذْفِ الثَّانِي، لِأَنَّهُ حُدَّ لَهُ فِي الْأَوَّلِ لَكِنْ يُعَزَّرُ لِلْأَذَى وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ بِالْقَذْفِ الثَّانِي؛ لِأَنَّهُ بِزِنَاءٍ قَبْلَ نِكَاحِهِ.

Salah satunya: jika tuduhan itu atas zina yang pertama, maka tidak ada had atasnya dalam tuduhan kedua, karena sudah ditegakkan had atasnya dalam tuduhan pertama. Namun ia tetap dikenai ta‘zir karena menyakiti, dan tidak boleh melakukan li‘an atas tuduhan kedua, karena tuduhan itu atas zina sebelum pernikahan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْقَذْفُ بِزِنَاءٍ ثَانٍ بَعْدِ الزَّوْجِيَّةِ فَعَلَيْهِ حَدٌّ ثَانٍ. وَيَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ لِأَنَّ الْقَذْفَ الْأَوَّلَ تَقَضَّى حُكْمُهُ قَبْلَ الزَّوْجِيَّةِ، وَقَدْ قَذَفَ مُبْتَدِأً بَعْدَ الزَّوْجِيَّةِ فَانْفَرَدَ بِحُكْمِهِ فَإِنْ كَانَ الْقَذْفُ الثَّانِي قَبْلَ حَدِّهِ مِنَ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ، فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: jika tuduhan itu atas perbuatan zina yang lain setelah pernikahan, maka wajib atasnya had yang kedua. Dan boleh melakukan li‘an darinya, karena hukum tuduhan pertama telah selesai sebelum pernikahan, dan ia menuduhnya lagi setelah pernikahan sehingga berdiri sendiri hukumnya. Jika tuduhan kedua terjadi sebelum ditegakkan had atas tuduhan pertama, maka hal itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِالزِّنَا الأول، فليس عليه فيها إلا حداً واحداً، لِأَنَّهُ قَذْفٌ بِزِنَاءٍ وَاحِدٍ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ عَنْ زِنًا قَبْلَ الزَّوْجِيَّةِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ وَلَدٌ، فَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ وَجْهَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ:

Salah satunya: jika tuduhan itu atas zina yang pertama, maka tidak wajib atasnya kecuali satu had saja, karena itu adalah tuduhan atas satu perbuatan zina, dan tidak boleh melakukan li‘an darinya, karena itu atas zina sebelum pernikahan, kecuali jika ada anak, maka dalam kebolehan li‘an terdapat dua pendapat sebagaimana telah kami sebutkan:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ لَا يَلْتَعِنُ مِنْهُ مَعَ الْوَلَدِ كَمَا لَا يَلْتَعِنُ مِنْهُ مَعَ عَدَمِهِ، فَعَلَى هَذَا يُحَدُّ لِلْقَذْفَيْنِ حَدًّا وَاحِدًا.

Salah satunya: yaitu pendapat Abu Ishaq, tidak boleh melakukan li‘an darinya meskipun ada anak, sebagaimana tidak boleh melakukan li‘an darinya jika tidak ada anak. Maka berdasarkan pendapat ini, ditegakkan satu had saja untuk kedua tuduhan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ مَعَ وُجُودِ الْوَلَدِ، وَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ مَعَ عَدَمِهِ لِلضَّرُورَةِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَسْقُطُ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ وَيُجْمَعُ عَلَيْهِ بَيْنَ الْحَدِّ وَاللِّعَانِ لِأَنَّ اللِّعَانَ لَا يُسْقِطُ حَدَّ قَذْفٍ قَبْلَ الزَّوْجِيَّةِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa boleh melakukan li‘an darinya jika ada anak, meskipun tidak boleh melakukan li‘an darinya jika tidak ada anak karena darurat. Maka berdasarkan pendapat ini, had atas tuduhan pertama tidak gugur darinya, dan dikumpulkan atasnya antara had dan li‘an, karena li‘an tidak menggugurkan had tuduhan yang terjadi sebelum pernikahan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْقَذْفُ الثَّانِي بِزِنَاءٍ ثَانٍ بَعْدَ الزَّوْجِيَّةِ، فَيَصِيرُ قَاذِفًا لَهَا بِزِنَائَيْنِ:

Jenis kedua: jika tuduhan kedua atas perbuatan zina yang lain setelah pernikahan, maka ia menjadi penuduh atas dua perbuatan zina:

أَحَدُهُمَا: قَبْلَ الزَّوْجِيَّةِ يُوجِبُ الْحَدَّ وَلَا يُسْقِطُ اللِّعَانَ.

Salah satunya: sebelum pernikahan yang mewajibkan had dan tidak menggugurkan li‘an.

وَالثَّانِي: فِي الزَّوْجِيَّةِ يُوجِبُ الْحَدَّ وَيُسْقِطُ اللِّعَانَ، فَلَمَّا اخْتَلَفَ حُكْمُ الْقَذْفَيْنِ وَجَبَ أَنْ يُجْمَعَ عَلَيْهِ بَيْنَ الْحَدَّيْنِ، وَخَالَفَ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ قَذْفَيِ الْأَجْنَبِيِّ، حَيْثُ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ فِيهِمَا إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ؛ لِأَنَّ قَذْفَيِ الْأَجْنَبِيَّةِ مُتَّفِقَا الْحُكْمِ فَتَدَاخَلَا، وَقَذْفَا الزَّوْجِيَّةِ مُخْتَلِفَا الْحُكْمِ فَلَمْ يَتَدَاخَلَا.

Kedua: Dalam kasus suami-istri, perbuatan tersebut mewajibkan hukuman had dan menggugurkan li‘ān. Maka, ketika hukum dua tuduhan zina tersebut berbeda, wajib dijatuhkan dua had atasnya. Ini berbeda dengan dua tuduhan zina terhadap perempuan asing (bukan istri), di mana hanya wajib satu had menurut salah satu pendapat, karena kedua tuduhan terhadap perempuan asing itu sama hukumnya sehingga saling masuk (menyatu), sedangkan dua tuduhan terhadap istri berbeda hukumnya sehingga tidak saling masuk.

وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: وَإِذَا جُمِعَ بَيْنَ هَذَيْنِ الْحَدَّيْنِ لِاخْتِلَافِ حُكْمِهِمَا وَإِنْ تَجَانَسَا وَجَبَ إِذَا زَنَى وَهُوَ بِكْرٌ فَلَمْ يحد حتى زنى بعد إحصائه أَنْ يُحَدَّ حَدَّيْنِ لِاخْتِلَافِ حُكْمِهِمَا وَإِنْ تَجَانَسَا؛ لِأَنَّ الْحَدَّ الْأَوَّلَ جَلْدٌ، وَالثَّانِيَ رَجْمٌ، فَيُجْلَدُ ويرجم، وهذا غلط لأن حد الزنى مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَجَازَ أَنْ يَدْخُلَ أَخَفُّهُمَا فِي أَغْلَظِهِمَا عِنْدَ التَّجَانُسِ كَمَا يَدْخُلُ الْحَدَثُ فِي الْجَنَابَةِ، وَلَمْ يَجُزْ مِثْلُ ذَلِكَ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ.

Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Jika dua had tersebut dijatuhkan karena perbedaan hukumnya meskipun jenisnya sama, maka seharusnya jika seseorang berzina saat masih bujang lalu belum dijatuhi had hingga ia berzina lagi setelah menikah (muhshan), maka ia dijatuhi dua had karena perbedaan hukumnya meskipun jenisnya sama; karena had yang pertama adalah cambuk, dan yang kedua adalah rajam, sehingga ia dicambuk dan dirajam. Ini adalah kekeliruan, karena had zina termasuk hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga boleh yang lebih ringan masuk ke dalam yang lebih berat jika jenisnya sama, sebagaimana hadas masuk ke dalam janabah, dan tidak boleh seperti itu dalam hak-hak manusia.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ فِي هَذَيْنِ الْقَذْفَيْنِ حَدَّيْنِ يُلَاعِنُ فِي الثَّانِي مِنْهُمَا وَلَا يُلَاعِنُ فِي الْأَوَّلِ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا عِنْدَ الْمُطَالَبَةِ [مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ ذَكَرَهَا الشَّافِعِيُّ:

Jika telah tetap bahwa atasnya dalam dua tuduhan zina tersebut wajib dua had, maka ia melakukan li‘ān pada tuduhan kedua dan tidak melakukan li‘ān pada tuduhan pertama. Maka, ketika ia dituntut, keadaannya tidak lepas dari tiga keadaan yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i:

أَحَدُهَا: أَنْ تُقَدِّمَ الْمُطَالَبَةَ بِالْقَذْفِ الْأَوَّلِ، فَيُحَدُّ لَهَا فِي وَقْتِهِ، فَإِذَا طالبته] بعده بالقذف الثاني نظر فإن قدمت المطالبة بالقذف الأول فإن لاعن منه الْتَعَنَ لِوَقْتِهِ وَإِنْ لَمْ يُلَاعِنْ حُدَّ لِلثَّانِي بَعْدَ أَنْ يَبْرَأَ جِلْدُهُ مِنَ الْأَوَّلِ، لِئَلَّا يُوَالَى عَلَيْهِ بَيْنَ حَدَّيْنِ.

Pertama: Jika istri mendahulukan tuntutan atas tuduhan pertama, maka dijatuhi had atasnya pada saat itu. Jika setelah itu ia menuntut atas tuduhan kedua, maka dilihat: jika ia mendahulukan tuntutan atas tuduhan pertama, maka jika suami melakukan li‘ān, maka li‘ān dilakukan pada saat itu, dan jika tidak melakukan li‘ān, maka dijatuhi had untuk tuduhan kedua setelah sembuh kulitnya dari had pertama, agar tidak dijatuhi dua had secara berurutan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تُقَدِّمَ الْمُطَالَبَةَ بِالْقَذْفِ الثَّانِي، فَإِنِ الْتَعَنَ مِنْهُ حُدَّ بَعْدَهُ لِلْقَذْفِ الْأَوَّلِ إِذَا طَالَبَتْهُ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ حُدَّ لَهُ، وَوَقَفَ حَدُّهُ لِلْأَوَّلِ حَتَّى يَبْرَأَ جِلْدُهُ وَلَا يَكُونُ لِعَانُهُ كَالْبَيِّنَةِ فِي سُقُوطِ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ.

Keadaan kedua: Jika istri mendahulukan tuntutan atas tuduhan kedua, maka jika suami melakukan li‘ān, maka setelah itu dijatuhi had untuk tuduhan pertama jika istri menuntutnya. Jika tidak melakukan li‘ān, maka dijatuhi had atasnya, dan pelaksanaan had untuk tuduhan pertama ditunda hingga kulitnya sembuh, dan li‘ān tidak seperti bukti dalam menggugurkan tuduhan pertama.

وَإِنْ كَانَ كَالْبَيِّنَةِ فِي سُقُوطِ قَذْفٍ مِنْ بَعْدِهِ؛ لِأَنَّ مَا قَبْلَ اللِّعَانِ مُسْتَقِرٌّ وَمَا بَعْدَهُ غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ.

Dan jika li‘ān itu seperti bukti dalam menggugurkan tuduhan setelahnya; karena apa yang terjadi sebelum li‘ān sudah tetap, sedangkan yang setelahnya belum tetap.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَطْلُبَهُمَا وَلَا تُقَدِّمَ أَحَدَهُمَا، فَيُقَالُ لَهَا: الْحَقُّ فِي الْقَذْفِ الثَّانِي مُشْتَرَكٌ بَيْنَكُمَا لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ، وَهُوَ فِي الْأَوَّلِ خَالِصٌ، وَلَا بُدَّ مِنْ تعيينه عند الاستيفاء، وحقك فيهما أقوى، ولا بد مِنْ تَقْدِيمِ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ وَالرُّجُوعِ فِيهِمَا إِلَى خِيَارِكِ لِقُوَّةِ حَقِّكِ فِيهِمَا عَلَى حَقِّ الزَّوْجِ، فَأَيُّهُمَا قُدِّمَ فِي الِاسْتِيفَاءِ كَانَ عَلَى مَا مَضَى، فَإِنِ اخْتَلَفَا أَوْ طَالَبَ الزَّوْجُ تَقْدِيمَ الثَّانِي لِيَلْتَعِنَ مِنْهُ، وَطَلَبَتِ الزَّوْجَةُ تَقْدِيمَ الْأَوَّلِ لِيُحَدَّ فِيهِ فَيُعْمَلُ فِيهِ عَلَى قَوْلِ الزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ، لِأَنَّهَا طَالِبَةٌ، وَالزَّوْجَ مَطْلُوبٌ، فَلَوِ اسْتَوْفَى مِنْهُ أَحَدَ الْحَدَّيْنِ ثُمَّ اخْتَلَفَا فِيهِ فَقَالَ الزَّوْجُ: هُوَ الْحَدُّ الْأَوَّلُ وَلِي أَنْ أَلْتَعِنَ مِنَ الثَّانِي، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: بَلْ هُوَ الْحَدُّ الثَّانِي وَلَيْسَ لَكَ أَنْ تَلْتَعِنَ مِنَ الْحَدِّ الْأَوَّلِ، فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ عَلَى حَقِّهِ مِنَ اللِّعَانِ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُ الزَّوْجَةِ فِي إِسْقَاطِهِ.

Keadaan ketiga: Jika istri menuntut keduanya tanpa mendahulukan salah satunya, maka dikatakan kepadanya: hak dalam tuduhan kedua adalah hak bersama antara kalian berdua karena suami berhak melakukan li‘ān darinya, sedangkan dalam tuduhan pertama adalah hak murni untukmu, dan harus ditentukan saat pelaksanaan. Hakmu dalam keduanya lebih kuat, dan harus mendahulukan salah satunya atas yang lain dan kembali pada pilihanmu karena kuatnya hakmu atas hak suami. Maka, mana saja yang didahulukan dalam pelaksanaan, berlaku seperti yang telah dijelaskan. Jika keduanya berbeda pendapat atau suami meminta mendahulukan tuduhan kedua agar ia bisa melakukan li‘ān darinya, dan istri meminta mendahulukan tuduhan pertama agar dijatuhi had atasnya, maka yang diikuti adalah pendapat istri, bukan suami, karena istri adalah penuntut dan suami adalah yang dituntut. Jika telah dilaksanakan salah satu had atasnya lalu keduanya berselisih, suami berkata: itu adalah had pertama dan aku berhak melakukan li‘ān dari yang kedua, sedangkan istri berkata: bahkan itu adalah had kedua dan engkau tidak berhak melakukan li‘ān dari had pertama, maka yang dipegang adalah ucapan suami dengan sumpahnya karena itu berkaitan dengan haknya untuk li‘ān, sehingga tidak diterima ucapan istri dalam menggugurkannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا قَذَفَ زَوْجَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، ثُمَّ قَذَفَهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ بِزِنَاءٍ آخَرَ فَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ هِيَ عَكْسُ مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ لِأَنَّ الْقَذْفَ الأول ها هنا فِي حُكْمِ الْقَذْفِ الثَّانِي هُنَاكَ لِأَنَّهُمَا فِي الزوجية، والقذف الثاني ها هنا فِي حُكْمِ الْقَذْفِ الْأَوَّلِ هُنَاكَ لِأَنَّهُمَا فِي أَجْنَبِيَّةٍ فَيَكُونُ الْقَذْفُ فِيهِمَا وَاحِدًا، فَتَعَلَّقَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَذْفَيْنِ حُكْمُهُ عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ مِنْ تَقْسِيمٍ وَجَوَابٍ.

Adapun jika seorang suami menuduh istrinya berzina, kemudian menceraikannya dengan talak tiga, lalu menuduhnya lagi setelah talak dengan tuduhan zina yang lain, maka permasalahan ini adalah kebalikan dari permasalahan dalam kitab, karena tuduhan pertama di sini berkedudukan seperti tuduhan kedua di sana, sebab keduanya terjadi dalam masa pernikahan, dan tuduhan kedua di sini berkedudukan seperti tuduhan pertama di sana, karena keduanya terjadi dalam keadaan bukan suami istri. Maka tuduhan dalam kedua keadaan itu dianggap satu, sehingga pada masing-masing tuduhan berlaku hukumnya sebagaimana telah kami jelaskan pembagiannya dan jawabannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا قَذَفَ زَوْجَهُ وَالْتَعَنَ مِنْهَا ثُمَّ قَذَفَهَا بَعْدَ اللِّعَانِ بِزِنَاءٍ آخَرَ فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun jika seorang suami menuduh istrinya berzina dan melakukan li‘ān dengannya, kemudian menuduhnya lagi setelah li‘ān dengan tuduhan zina yang lain, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَنْسِبَهُ إِلَى مَا بَعْدَ لِعَانِهِ، فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ فِيهِ، لِأَنَّ حَصَانَتَهَا مَعَهُ قَدِ ارْتَفَعَتْ بِلِعَانِهِ، فَإِنْ كَانَتْ حَصَانَتُهَا بَاقِيَةً مَعَ غَيْرِهِ، وَجَرَى لِعَانُهُ فِي حَقِّهِ مَجْرَى الْبَيِّنَةِ فِي حَقِّهِ وَحَقِّ غَيْرِهِ، فَإِذَا سَقَطَ الْحَدُّ عَنْهُ عُزِّرَ لِلْأَذَى.

Pertama: Menuduhnya atas perbuatan zina yang terjadi setelah li‘ān, maka tidak dikenakan had atasnya, karena kehormatan (ḥiṣānāh) istrinya telah hilang darinya akibat li‘ān. Jika kehormatan istrinya masih ada terhadap orang lain, maka li‘ān yang dilakukan suami terhadap istrinya itu kedudukannya seperti bayyinah (bukti) terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Maka jika had gugur darinya, ia tetap dikenai ta‘zīr karena menyakiti.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ ينسبه إلى ما قبل لعانه وقبل زوجتيه فَيُحَدُّ فِيهِ؛ لِأَنَّهَا كَانَتْ أَجْنَبِيَّةً مِنْهُ، وَلَا يَسْقُطُ ذَلِكَ الْحَدُّ بِمَا تَجَدَّدَ مِنْ لِعَانِهِ.

Bagian kedua: Menuduhnya atas perbuatan zina yang terjadi sebelum li‘ān dan sebelum menjadi istrinya, maka ia dikenai had atas tuduhan itu; karena pada saat itu istrinya adalah orang lain (ajnabiyyah) baginya, dan had tersebut tidak gugur dengan adanya li‘ān yang terjadi kemudian.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَنْسِبَهُ إِلَى مَا بَعْدَ نِكَاحِهَا وَقَبْلَ لِعَانِهَا، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Menuduhnya atas perbuatan zina yang terjadi setelah akad nikah dan sebelum li‘ān, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحَدُّ لَهَا؛ لِأَنَّهَا قَبْلَ الْتِعَانِهِ مِنْهَا بَاقِيَةٌ عَلَى حَصَانَتِهَا.

Pertama: Ia dikenai had, karena sebelum li‘ān, istrinya masih berada dalam kehormatan (ḥiṣānāh)-nya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا حَدَّ عَلَيْهِ لَكِنْ يُعَزَّرُ تَعْزِيرَ الْقَذْفِ؛ لِأَنَّ اللِّعَانَ إِذَا نَفَى مَا تَقَدَّمَ مِنَ النَّسَبِ رَفَعَ مَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الْحَصَانَةِ وَلَا يَجُوزُ عَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ أَنْ يُعِيدَ اللِّعَانَ لِإِسْقَاطِ الْحَدِّ وَلَا التَّعْزِيرِ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَ بِهِ نَسَبًا لَمْ يَنْفِهِ بِلِعَانِهِ فَيَجُوزُ لِلضَّرُورَةِ إِلَى نَفْيِهِ أَنْ يَلْتَعِنَ ثَانِيَةً لِنَفْيِهِ فَيَتْبَعُهُ سُقُوطُ الْحَدِّ وَالتَّعْزِيرِ.

Pendapat kedua: Ia tidak dikenai had, tetapi dikenai ta‘zīr seperti ta‘zīr atas tuduhan zina; karena li‘ān jika menafikan nasab yang terdahulu, maka ia juga menghilangkan kehormatan yang telah lalu. Dan menurut kedua pendapat ini, tidak boleh mengulangi li‘ān untuk menggugurkan had atau ta‘zīr, kecuali jika ingin menafikan nasab yang belum dinafikan dengan li‘ān sebelumnya, maka diperbolehkan karena kebutuhan untuk menafikannya, sehingga ia boleh melakukan li‘ān kedua untuk menafikan nasab tersebut, dan bersamaan dengan itu gugur pula had dan ta‘zīr.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا قَذَفَ زَوْجَتَهُ بِالزِّنَا وَلَمْ يَلْتَعِنَ حَتَّى قَذَفَهَا بِزِنَاءٍ آخَرَ فَفِيهِمَا قَوْلَانِ:

Jika seorang suami menuduh istrinya berzina dan belum melakukan li‘ān hingga ia menuduhnya lagi dengan tuduhan zina yang lain, maka dalam kedua tuduhan itu terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ فِيهِمَا حَدٌّ وَاحِدٌ.

Pertama: Ia hanya dikenai satu had atas keduanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: حَدَّانِ، وَقَدْ ذَكَرْنَا تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ وَتَخْرِيجَهُمَا فَإِنْ لَاعَنَ مِنْهُمَا الْتَعَنَ لِعَانًا وَاحِدًا يَسْقُطُ بِهِ الْحَدَّانِ مَعًا؛ لأنه اللِّعَانَ يَمِينٌ فَجَازَ أَنْ يَسْقُطَ بِهِ الْحَدَّانِ إِذَا كَانَا لِشَخْصٍ وَاحِدٍ كَالْيَمِينِ عَلَى حَقَّيْنِ مِنْ مَالٍ.

Pendapat kedua: Ia dikenai dua had. Kami telah menyebutkan penjelasan dan rincian kedua pendapat tersebut. Jika ia melakukan li‘ān atas keduanya dengan satu kali li‘ān, maka gugurlah kedua had sekaligus; karena li‘ān adalah sumpah, sehingga boleh menggugurkan dua had jika keduanya ditujukan kepada satu orang, sebagaimana sumpah atas dua hak harta.

وَلَوْ قَذَفَ زَوْجَتَيْنِ فَوَجَبَ عَلَيْهِ حَدَّانِ الْتَعَنَ مِنْهُمَا لِعَانَيْنِ وَلَمْ يَجْمَعْ بَيْنَهُمَا فِي لِعَانٍ وَاحِدٍ لِأَنَّهُمَا حَقَّانِ فَوَجَبَ لِشَخْصٍ فَاخْتُصَّ إِسْقَاطُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْحَقَّيْنِ بِيَمِينٍ كَإِسْقَاطِ حَقَّيْ مَالٍ لِشَخْصَيْنِ لَا يَكُونُ إِلَّا بِيَمِينَيْنِ، وَإِذَا صَحَّ أَنَّهُ فِي الْقَذْفَيْنِ مِنَ الزَّوْجَةِ الْوَاحِدَةِ يَلْتَعِنُ فِيهِمَا لِعَانًا وَاحِدًا لَزِمَهُ أَنْ يَذْكُرَ الْقَذْفَيْنِ؛ لِأَنَّ صِدْقَهُ فِي أَحَدِهِمَا لَا يُوجِبُ صِدْقَهُ فِي الْآخَرِ فَلَمْ يُؤْمَنْ إِذَا ذَكَرَ أَحَدَهُمَا فِي لِعَانِهِ أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِيهِ كَاذِبًا فِي الْآخَرِ فَكَذَلِكَ لَزِمَهُ أَنْ يَذْكُرَهُمَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ سَمَّى فِيهِمَا زَانِيًا قَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنَّنِي لَمِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا [قَذَفْتُهَا بِهِ مِنَ الزِّنَا الْأَوَّلِ وَمِنَ الزِّنَا الثَّانِي وَإِنْ سَمَّاهُمَا قَالَ: أَشْهَدُ بالله إني لمن الصادقين فيما] رميتها به مِنَ الزِّنَا بِفُلَانٍ وَفُلَانٍ، وَإِنْ سَمَّى أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُسَمِّ الْآخَرَ، بَدَأَ بِذِكْرِ مَنْ سَمَّاهُ ثُمَّ بِالْآخَرِ، سَوَاءٌ إِنْ تَقَدَّمَ أَوْ تَأَخَّرَ فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنَّنِي لِمِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَيْتُهَا بِهِ مِنَ الزِّنَا بِفُلَانٍ، وَفِيمَا رَمَيْتُهَا به من الزنا الآخر.

Jika seseorang menuduh dua istrinya berzina, maka wajib atasnya dua had (hukuman) dan ia harus melakukan li‘ān terhadap keduanya secara terpisah, tidak boleh digabung dalam satu li‘ān, karena keduanya adalah dua hak yang wajib untuk dua orang yang berbeda. Maka, pengguguran masing-masing dari dua hak itu harus dengan satu sumpah, sebagaimana pengguguran dua hak harta untuk dua orang hanya bisa dengan dua sumpah. Jika telah sah bahwa dalam dua tuduhan terhadap satu istri, ia cukup melakukan satu li‘ān untuk keduanya, maka ia wajib menyebutkan kedua tuduhan tersebut; karena kebenarannya dalam salah satu tuduhan tidak mengharuskan kebenarannya dalam tuduhan yang lain. Maka, jika ia hanya menyebut salah satu tuduhan dalam li‘ān-nya, dikhawatirkan ia benar dalam satu dan dusta dalam yang lain. Oleh karena itu, ia wajib menyebutkan keduanya. Jika ia tidak menyebutkan nama laki-laki yang dituduhkan dalam kedua tuduhan itu, maka ia mengucapkan: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar dalam apa yang aku tuduhkan kepadanya berupa zina yang pertama dan zina yang kedua.” Jika ia menyebutkan nama laki-laki yang dituduhkan, maka ia mengucapkan: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar dalam apa yang aku tuduhkan kepadanya berupa zina dengan Fulan dan Fulan.” Jika ia hanya menyebut salah satunya dan tidak menyebut yang lain, maka ia mulai dengan menyebut yang ia sebutkan namanya, lalu yang lainnya, baik yang disebutkan lebih dahulu atau belakangan. Ia berkata: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar dalam apa yang aku tuduhkan kepadanya berupa zina dengan Fulan, dan dalam apa yang aku tuduhkan kepadanya berupa zina yang lain.”

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ لَهَا يَا زَانِيَةُ فَقَالَتْ لَهُ بل أنت زان لاعنها وجدت لَهُ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ لَا حَدَّ وَلَا لِعَانَ فَأَبْطَلَ الْحُكْمَيْنِ جَمِيعًا وَكَانَتْ حُجَّتُهُ أَنْ قَالَ أَسْتَقْبِحُ أَنْ أُلَاعِنَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ أَحُدَّهَا وَمَا قَبُحَ فَأَقْبَحُ مِنْهُ تَعْطِيلُ حُكْمِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِمَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang suami berkata kepada istrinya, ‘Hai pezina!’ lalu istrinya menjawab, ‘Bahkan engkaulah pezina!’ maka ia melakukan li‘ān terhadap istrinya dan hukuman had tetap berlaku baginya. Sebagian ulama berpendapat tidak ada had dan tidak ada li‘ān, sehingga kedua hukum itu sama-sama gugur. Dalil mereka adalah: ‘Aku memandang tidak pantas melakukan li‘ān di antara keduanya lalu menjatuhkan had kepada salah satunya. Namun, yang lebih buruk dari itu adalah menonaktifkan hukum Allah Ta‘ala atas keduanya.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا قَذَفَهَا وَقَذَفَتْهُ فَقَالَ لَهَا: يَا زَانِيَةُ، فَقَالَتْ: بَلْ أَنْتَ زَانٍ، وَجَبَ عَلَى كُلٍّ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ حَدُّ الْقَذْفِ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْحَدُّ لَهَا بِقَوْلِهِ: يَا زَانِيَةُ، وَيَجِبُ عَلَيْهَا الْحَدُّ لَهُ بِقَوْلِهَا: بَلْ أَنْتَ، فَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ حُدَّ لَهَا وَحُدَّتْ لَهُ، وَإِنِ الْتَعَنَ وَالْتَعَنَتْ سَقَطَ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ بِلِعَانِهِ، وَسَقَطَ عَنْهَا حَدُّ الزِّنَا دُونَ حَدِّ الْقَذْفِ.

Al-Mawardi berkata: “Demikianlah, jika seorang suami menuduh istrinya berzina dan istrinya menuduhnya berzina, misalnya suami berkata: ‘Hai pezina!’ lalu istrinya menjawab: ‘Bahkan engkaulah pezina!’ maka wajib atas masing-masing dari keduanya had qadzaf (hukuman atas tuduhan zina) untuk pasangannya. Maka, suami wajib dijatuhi had karena ucapannya: ‘Hai pezina!’ dan istri juga wajib dijatuhi had karena ucapannya: ‘Bahkan engkaulah pezina!’ Jika keduanya tidak melakukan li‘ān, maka suami dijatuhi had untuk istrinya dan istri dijatuhi had untuk suaminya. Jika keduanya melakukan li‘ān, maka gugur dari suami had qadzaf karena li‘ān-nya, dan gugur dari istri had zina, namun tidak gugur had qadzaf dari istri.”

فَإِنِ الْتَعَنَ وَلَمْ تَلْتَعِنْ هِيَ سَقَطَ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ بِلِعَانِهِ وَوَجَبَ عَلَيْهَا حَدَّانِ، حَدُّ الزِّنَا وَحَدُّ القذف ويقدم حد القدف عَلَى حَدِّ الزِّنَا لِتَقَدُّمِ وُجُوبِهِ، وَلِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، فَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا حَدَّهَا الْجَلْدَ لَا يُوَالِي عَلَيْهَا بَيْنَ الْحَدَّيْنِ وَأُمْهِلَتْ بَيْنَهُمَا لِيَبْرَأَ جِلْدُهَا، وَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا حَدَّهَا الرَّجْمَ رُجِمَتْ لِوَقْتِهَا، وَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنِ الزَّوْجُ مِنْهَا، حد لها حد القذف، وحدت لها حَدَّ الْقَذْفِ، وَلَمْ يَتَقَاصَّا الْحَدَّيْنِ لِأَنَّ الْقَذْفَ لَا يَدْخُلُهُ الْقِصَاصُ، أَلَا تَرَى أَنَّ رَجُلًا لَوْ قَذَفَ رَجُلًا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الْقَاذِفِ بِأَنْ يَقْذِفَهُ مِثْلَ قَذْفِهِ، فَإِذَا لَمْ يَتَقَاصَّا الْقَذْفَ، لَمْ يَتَقَاصَّا حَدَّ الْقَذْفِ، وَلَكِنْ لَوْ تَبَارَآ وَعَفَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ صَاحِبِهِ جَازَ فَسَقَطَ الْحَدَّانِ بِعَفْوِهِمَا لَا بِقِصَاصِهِمَا، فَهَذَا شَرْحُ مَذْهَبِنَا فِي قَذْفِهِ لَهَا وَقَذْفِهَا لَهُ.

Jika suami melakukan li‘ān dan istri tidak, maka gugur dari suami had qadzaf karena li‘ān-nya, dan wajib atas istri dua had, yaitu had zina dan had qadzaf. Had qadzaf didahulukan atas had zina karena lebih dahulu wajibnya dan karena ia termasuk hak manusia. Jika istri masih perawan, maka had-nya adalah cambuk, dan tidak boleh dilakukan dua had sekaligus, melainkan diberi jeda di antara keduanya agar kulitnya pulih. Jika ia sudah menikah (muhshan), maka had-nya adalah rajam, dan ia dirajam saat itu juga. Jika suami tidak melakukan li‘ān terhadap istrinya, maka dijatuhkan had qadzaf untuk istri, dan istri juga dijatuhi had qadzaf. Kedua had tersebut tidak saling menghapus, karena qadzaf tidak termasuk dalam qishāsh. Tidakkah engkau melihat, jika seorang laki-laki menuduh laki-laki lain berzina, maka tidak boleh membalas dengan menuduhnya pula. Maka, jika qadzaf tidak saling menghapus, demikian pula had qadzaf tidak saling menghapus. Namun, jika keduanya saling memaafkan, maka gugur kedua had tersebut karena saling memaafkan, bukan karena qishāsh. Inilah penjelasan mazhab kami dalam kasus suami menuduh istri dan istri menuduh suami.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا قَذَفَهَا فَقَذَفَتْهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْتَعِنَا، وَحُدَّتْ لِقَذْفِهِ وَلَمْ يُحَدَّ لِقَذْفِهَا، اسْتِدْلَالًا بِاسْتِقْبَاحِ الْجَمْعِ بَيْنَ الْحَدِّ وَاللِّعَانِ، لِأَنَّ مَنْ حُدَّ لَمْ يَلْتَعِنْ، وَمَنِ الْتَعَنَ لَمْ يُحَدَّ، قَالُوا: وَلِأَنَّ اللِّعَانَ حَدٌّ فَلَا يُوَالَى بَيْنَ حَدَّيْنِ.

Abu Hanifah ra. berkata: “Jika suami menuduh istrinya berzina lalu istri menuduh suami berzina, maka tidak boleh dilakukan li‘ān di antara keduanya. Istri dijatuhi had karena menuduh suami, dan suami tidak dijatuhi had karena tuduhan istrinya. Dalilnya adalah tidak pantas menggabungkan antara had dan li‘ān, karena siapa yang dijatuhi had tidak melakukan li‘ān, dan siapa yang melakukan li‘ān tidak dijatuhi had. Mereka juga berkata: Karena li‘ān adalah had, maka tidak boleh menggabungkan dua had sekaligus.”

قَالُوا: وَلِأَنَّ مِنْ أَصْلِنَا أَنَّ الْمَحْدُودَ لَا يَلْتَعِنُ، وَهَذِهِ فِي لُزُومِ الْحَدِّ لَهَا كَالْمَحْدُودَةِ، فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ بِهِ الحدود.

Mereka berkata: Karena menurut pendapat kami, orang yang dikenai had tidak melakukan li‘ān, dan dalam hal kewajiban had baginya, perempuan ini sama seperti orang yang dikenai had, maka wajiblah had-had itu gugur karenanya.

ودليلنا قوله عز وجل {والذي يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} [النور: 6] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي جَوَازِ اللِّعَانِ لِقَذْفِهِ لِأَنَّهُمَا قَذْفَانِ فَلَا يَسْقُطُ حُكْمُ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ، كَتَقَاذُفِ الْأَجْنَبِيَّيْنِ، وَلِأَنَّ اخْتِلَافَ حُكْمِ الْقَذْفَيْنِ عِنْدَ انْفِرَادِهِمَا لَا يُوجِبُ سُقُوطَ أَحَدِهِمَا بِالَآخَرِ عِنْدَ اجْتِمَاعِهِمَا كَتَقَاذُفِ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَلِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ صَارَ قَاذِفًا وَمَقْذُوفًا فَصَارَتْ حَالُهُمَا سَوَاءً وَكَانَا بِتَغْلِيظِ الِالْتِعَانِ أَوْلَى؛ وَلِأَنَّ اللِّعَانَ حَقُّ الزَّوْجِ مَوْضُوعٌ لِنَفْيِ النسب الذي لا ينفي بِغَيْرِهِ فَلَوْ سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ اللِّعَانِ بِقَذْفِهَا له لما أمكن زوج أَنْ يَنْفِيَ نَسَبًا إِذَا قَذَفَ، وَلَتَوَصَّلَتْ كُلُّ زَوْجَةٍ إِلَى إِبْطَالِ حَقِّ الزَّوْجِ مِنَ اللِّعَانِ وَنَفْيِ النَّسَبِ بِقَذْفِهِ وَأَلْحَقَتْ بِهِ كُلَّ وَلَدٍ مِنْ زِنًا، وَمَا أَدَّى إِلَى هَذَا فَالشَّرْعُ مَانِعٌ مِنْهُ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِقْبَاحِهِ الْجَمْعَ بَيْنَ اللِّعَانِ وَالْحَدِّ فَهُوَ مَا أَجَابَ بِهِ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ أَقْبَحَ مِنْهُ تَعْطِيلُ حُكْمِ اللَّهِ تَعَالَى عَنْهُمَا، ثُمَّ هَلَّا إِذَا اسْتَقْبَحَ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا أَثَبَتَ حُكْمَ أَغْلَظِهِمَا وَهُوَ اللِّعَانُ، وَأَسْقَطَ حُكْمَ أَخَفِّهِمَا وَهُوَ الْحَدُّ فَكَانَ أَشْبَهَ بِالصَّوَابِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَوَابٌ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي اسْتِبْقَاءِ الْحَقَّيْنِ أَوْلَى مِنْ إِسْقَاطِ أَحَدِهِمَا.

Dalil kami adalah firman Allah Azza wa Jalla: {Dan orang-orang yang menuduh istrinya} [an-Nūr: 6], maka ayat ini berlaku umum dalam membolehkan li‘ān atas tuduhan zina, karena keduanya sama-sama merupakan tuduhan zina, sehingga hukum salah satunya tidak gugur dengan yang lain, sebagaimana saling menuduh antara dua orang asing. Dan karena perbedaan hukum dua tuduhan zina ketika masing-masing berdiri sendiri tidak menyebabkan gugurnya salah satu dengan yang lain ketika keduanya berkumpul, seperti saling menuduh antara orang merdeka dan budak. Dan karena masing-masing dari keduanya telah menjadi penuduh dan tertuduh, sehingga kedudukan mereka menjadi sama, dan keduanya lebih utama untuk dikenai li‘ān yang lebih berat. Dan karena li‘ān adalah hak suami yang ditetapkan untuk menafikan nasab yang tidak dapat dinafikan dengan selainnya. Maka jika haknya gugur dari li‘ān karena tuduhan istrinya kepadanya, niscaya tidak mungkin ada suami yang dapat menafikan nasab jika ia menuduh, dan setiap istri akan dapat membatalkan hak suami dari li‘ān dan penafian nasab dengan menuduhnya, serta mengaitkan setiap anak dari zina kepadanya. Dan apa yang mengarah pada hal ini, maka syariat melarangnya. Adapun jawaban atas anggapan buruk tentang penggabungan antara li‘ān dan had, maka jawabannya adalah sebagaimana yang dijawab oleh asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh, bahwa yang lebih buruk dari itu adalah menonaktifkan hukum Allah Ta‘ālā atas keduanya. Kemudian, jika dianggap buruk penggabungan antara keduanya, hendaknya menetapkan hukum yang lebih berat, yaitu li‘ān, dan menggugurkan hukum yang lebih ringan, yaitu had, maka itu lebih mendekati kebenaran, meskipun tidak ada kebenaran pada salah satunya. Dan menggabungkan keduanya dalam menjaga kedua hak lebih utama daripada menggugurkan salah satunya.

وَقَوْلُهُمْ: إِنَّ اللِّعَانَ حَدٌّ فَلَا يُوالَى بَيْنَ حَدَّيْنِ فَالْجَوَابُ عنه من وجهين:

Dan pernyataan mereka: “Sesungguhnya li‘ān adalah had, maka tidak boleh digabungkan antara dua had,” jawabannya ada dua sisi:

أحدهما: وهو قوله في القديم يجب بقذفها حد واحد؛ لأن كلمة القذف واحدة.

Pertama: Yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa dengan tuduhan zinanya hanya wajib satu had, karena kata-kata tuduhan zina hanya satu.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يُوَالِيَ عَلَيْهِ حدود مُتَجَانِسَةً كَالْقَاذِفِ لِجَمَاعَةٍ، مُخْتَلِفَةٍ كَالْقَذْفِ وَالزِّنَا، وَأَمَّا بِنَاؤُهُمْ ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِمْ فَهُمْ مُخَالِفُونَ عَنْهُ أَصْلًا وَفَرْعًا فَلَمْ يَسْلَمْ لَهُمْ دَلِيلٌ.

Kedua: Bahwa tidak mustahil untuk menggabungkan had-had yang sejenis, seperti orang yang menuduh sekelompok orang, atau had-had yang berbeda seperti tuduhan zina dan zina itu sendiri. Adapun mereka membangun hal itu di atas prinsip mereka, maka mereka telah menyelisihinya baik secara pokok maupun cabang, sehingga tidak sah dalil bagi mereka.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَذَفَهَا وَأَجْنَبِيَّةً بِكَلِمَةٍ لَاعَنَ وَحُدَّ لِلْأَجْنَبِيَّةِ “.

Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika ia menuduh istrinya dan seorang perempuan asing dengan satu ucapan, maka ia melakukan li‘ān dan dikenai had untuk perempuan asing.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَأَصِلُ ذَلِكَ قَذْفُ الْأَجْنَبِيَّتَيْنِ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ، وَفِيهِ قَوْلَانِ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Dasarnya adalah jika seseorang menuduh dua perempuan asing dengan satu ucapan, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يجب بقذفها حَدٌّ وَاحِدٌ؛ لِأَنَّ كَلِمَةَ الْقَذْفِ وَاحِدَةٌ.

Salah satunya: Yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa dengan tuduhan kepada keduanya hanya wajib satu had, karena kata-kata tuduhan zina hanya satu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: يَجِبُ بِقَذْفِهِمَا حَدَّانِ لِأَنَّهُمَا مَقْذُوفَانِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَقَذَفَ زَوْجَتَهُ وَأَجْنَبِيَّةً بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ فَحُكْمُ قَذْفِهِمَا مُخْتَلِفٌ لِأَنَّ قَذْفَ زَوْجَتِهِ يَسْقُطُ بِاللِّعَانِ وَلَا يَسْقُطُ بِهِ قَذْفُ الْأَجْنَبِيَّةِ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فله حالتان:

Pendapat kedua: Yaitu pendapatnya dalam qaul jadīd, bahwa dengan tuduhan kepada keduanya wajib dua had, karena keduanya adalah orang yang dituduh. Jika demikian, apabila seseorang menuduh istrinya dan seorang perempuan asing dengan satu ucapan, maka hukum tuduhan kepada keduanya berbeda, karena tuduhan kepada istrinya gugur dengan li‘ān, sedangkan tuduhan kepada perempuan asing tidak gugur dengannya. Jika demikian, maka ada dua keadaan:

أحدهما: أَنْ يَلْتَعِنَ وَلَا يَسْقُطُ بِهِ قَذْفُ الْأَجْنَبِيَّةِ، فإذا كان كذلك فله حالتان: أحدهما: أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْ زَوْجَتِهِ فَيَسْقُطُ بِهِ حَدُّ قَذْفِهَا وَيُحَدُّ لِلْأَجْنَبِيَّةِ، لِأَنَّ اللِّعَانَ كَالْبَيِّنَةِ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ دُونَ الْأَجْنَبِيَّةِ.

Pertama: Ia melakukan li‘ān dan tuduhan kepada perempuan asing tidak gugur dengannya. Jika demikian, maka ada dua keadaan: Pertama, ia melakukan li‘ān terhadap istrinya, sehingga gugur had tuduhan kepadanya dan ia dikenai had untuk perempuan asing, karena li‘ān seperti halnya bukti dalam hak istri, tidak berlaku untuk perempuan asing.

فَإِنْ قِيلَ: فَالْأَجْنَبِيَّةُ تَبَعٌ لِزَوْجَتِهِ فِي الْقَذْفِ، فَهَلَّا سَقَطَ بِاللِّعَانِ حَقُّهَا فِي الْقَذْفِ كَمَا لَوْ قَذَفَ زَوْجَتَهُ بِرَجُلٍ سَمَّاهُ فَسَقَطَ حَدُّهُمَا بِلِعَانِهِ وَلَوْ كَانَ أَجْنَبِيًّا لِكَوْنِهِ تَبَعًا.

Jika dikatakan: “Perempuan asing itu mengikuti istrinya dalam tuduhan zina, maka mengapa haknya dalam tuduhan zina tidak gugur dengan li‘ān, sebagaimana jika ia menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki yang disebutkan namanya, maka gugur had salah satunya dengan li‘ān, meskipun laki-laki itu orang asing, karena ia menjadi pengikut.”

قِيلَ: لِأَنَّ قَذْفَهُ لِلرَّجُلِ بِزَوْجَتِهِ هُوَ زِنَاءٌ وَاحِدٌ، فَإِذَا أَثْبَتَهُ بِاللِّعَانِ فِي حَقِّ زَوْجَتِهِ ثَبَتَ فِي حَقِّ الْأَجْنَبِيِّ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ قَذْفُ زَوْجَتِهِ مَعَ الْأَجْنَبِيَّةِ؛ لِأَنَّهُ قَذْفٌ بِزِنَائَيْنِ فَلَمْ يُوجِبْ إِثْبَاتُ أَحَدِهِمَا ثُبُوتَ الْآخَرِ فَافْتَرَقَا.

Dikatakan: Karena tuduhan zina seorang laki-laki terhadap istrinya adalah satu perbuatan zina, maka jika ia membuktikannya melalui li‘ān terhadap istrinya, hal itu juga berlaku terhadap perempuan lain (ajnabiyyah). Namun, tidak demikian halnya jika ia menuduh istrinya bersama perempuan lain, karena itu merupakan tuduhan atas dua perbuatan zina, sehingga pembuktian salah satunya tidak menyebabkan terbuktinya yang lain, maka keduanya pun berbeda.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَلْتَعِنَ مَنْ زَوْجَتِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قَدْرِ مَا يُحَدُّ لَهُمَا، فَمِنْهُمْ مَنْ خَرَّجَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا لَوْ جَمَعَ فِي الْقَذْفِ بَيْنَ أَجْنَبِيَّيْنِ أَحَدُهُمَا حَدٌّ وَاحِدٌ وَالثَّانِي حَدَّانِ.

Adapun keadaan kedua: yaitu jika suami tidak melakukan li‘ān, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai berapa jumlah had yang harus dijatuhkan kepada keduanya. Sebagian dari mereka mengeluarkan dua pendapat, sebagaimana jika seseorang menuduh dua orang asing (ajnabiyyain) sekaligus, maka menurut salah satu pendapat hanya satu had, dan menurut pendapat lain dua had.

وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ يُحَدُّ بِهِ لَهُمَا حَدَّيْنِ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ الْأَجْنَبِيَّيْنِ؛ لِأَنَّ قَذْفَهُمَا مُتَسَاوِي الْأَحْكَامِ وَقَذْفَ زَوْجَتِهِ مَعَ الْأَجْنَبِيَّةِ مُخْتَلِفُ الْأَحْكَامِ.

Sebagian ulama lain berkata: Bahkan dijatuhkan kepada keduanya dua had secara pasti, berbeda dengan dua orang asing; karena tuduhan terhadap keduanya (istri dan perempuan lain) memiliki hukum yang berbeda, sedangkan tuduhan terhadap dua orang asing hukumnya sama.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَذَفَ أَرْبَعَ نِسْوَةٍ لَهُ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ لَاعَنَ كُلَّ وَاحِدَةٍ وَإِنْ تَشَاحَحْنَ أَيَّتُهُنَّ تَبْدَأُ أَقْرَعَ بَيْنَهُنَ وَأَيَّتُهُنَ بَدَأَ الْإِمَامُ بِهَا رَجَوْتُ أَنْ لَا يَأْثَمَ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ إِلَّا واحداً واحداً (قال المزني) رحمه الله قال في الحدود ولو قذف جماعة كان لكل واحد حد فكذلك لو لم يلتعن كان لكل امرأة حد في قياس قوله “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menuduh empat istrinya sekaligus dengan satu kalimat, maka ia harus melakukan li‘ān terhadap masing-masing istri. Jika mereka berselisih mengenai siapa yang didahulukan, maka dilakukan undian di antara mereka, dan siapa pun yang didahulukan oleh imam, aku berharap ia tidak berdosa, karena tidak mungkin dilakukan kecuali satu per satu.” (Al-Muzani rahimahullah berkata dalam bab hudud: Jika seseorang menuduh sekelompok orang, maka masing-masing berhak mendapat had. Maka demikian pula jika tidak dilakukan li‘ān, maka setiap istri berhak mendapat had menurut qiyās pendapatnya.)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ قَذْفَ الْوَاحِدِ لِجَمَاعَةٍ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa tuduhan zina oleh satu orang terhadap sekelompok orang terbagi menjadi dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُفْرِدَ قَذْفَهُمْ.

Pertama: Menuduh mereka satu per satu.

وَالثَّانِي: أَنْ يُشْرِكَ بَيْنَهُمْ فَإِنْ أَفْرَدَ قَذْفَهُمْ وَقَذَفَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِكَلِمَةٍ مُفْرَدَةٍ فَقَالَ: قَدْ زَنَيْتَ يَا زَيْدُ وَزَنَيْتَ يَا عَمْرُو، وَزَنَيْتَ يَا بَكْرُ، فَلَا يَخْتَلِفُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ عَلَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حَدًّا.

Kedua: Menuduh mereka secara bersamaan. Jika ia menuduh mereka satu per satu dan menuduh masing-masing dengan kalimat tersendiri, misalnya berkata: “Engkau telah berzina, wahai Zaid; engkau telah berzina, wahai Amr; engkau telah berzina, wahai Bakr,” maka tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi‘i dan mayoritas fuqaha bahwa atasnya wajib dijatuhkan had untuk masing-masing dari mereka.

وَقَالَ مالك يحد لجميعهم حداً واحداً؛ لأن الزنما أَغْلَظُ مِنَ الْقَذْفِ فَلَمَّا تَدَاخَلَتْ حُدُودُ الزِّنَا فَأَوْلَى أَنْ تَتَدَاخَلَ حُدُودُ الْقَذْفِ، وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، وَحُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ إِذَا اجْتَمَعَتْ لَمْ تَتَدَاخَلْ كَالْقِصَاصِ وَالدُّيُونِ لما في تَدَاخُلِهَا مِنْ إِسْقَاطِ حَقِّ بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ، وَخَالَفَتْ حَدَّ الزِّنَا، وَقَطْعَ السَّرِقَةِ لِأَنَّهَا مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى وَحْدَهُ فَجَازَ أَنْ يَتَدَاخَلَ بَعْضُهَا فِي بَعْضٍ إِذَا تَجَانَسَا، لِأَنَّ تَدَاخُلَهَا غَيْرُ مُسْقِطٍ لِحَقِّهِ مِنْ جَمِيعِهَا.

Sedangkan Malik berpendapat bahwa cukup dijatuhkan satu had untuk seluruhnya; karena hukuman zina lebih berat daripada hukuman qadzaf, sehingga ketika hukuman zina dapat digabungkan, maka lebih utama hukuman qadzaf juga dapat digabungkan. Namun, pendapat ini tidak benar, karena had qadzaf termasuk hak-hak manusia (huqūq al-ādāmiyyīn), dan hak-hak manusia jika terkumpul tidak dapat digabungkan, seperti dalam kasus qishāsh dan utang, karena penggabungan hak-hak tersebut dapat menyebabkan gugurnya hak sebagian pihak oleh pihak lain. Ini berbeda dengan had zina dan potong tangan pencuri, karena keduanya termasuk hak Allah semata, sehingga boleh digabungkan jika sejenis, sebab penggabungan tersebut tidak menggugurkan hak Allah dari seluruhnya.

وَأَمَّا إِنْ شَرَكَ بَيْنَهُمْ فِي الْقَذْفِ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالَ لِجَمَاعَتِهِمْ: زَنَيْتُمْ، أَوْ قَالَ لَهُمْ يَا زُنَاةُ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Adapun jika ia menuduh mereka secara bersamaan dengan satu kalimat, misalnya berkata kepada mereka: “Kalian telah berzina,” atau berkata: “Wahai para pezina,” maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَهُمْ حَدٌّ وَاحِدٌ لِأَمْرَيْنِ:

Pertama, yaitu pendapat lama Imam Syafi‘i dan juga pendapat Abu Hanifah, bahwa dijatuhkan satu had untuk seluruhnya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: لِأَنَّ كَلِمَةَ الْقَذْفِ وَاحِدَةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْحَدُّ عَلَيْهَا وَاحِدًا.

Pertama: Karena kalimat tuduhan hanya satu, maka had yang dijatuhkan juga satu.

وَالثَّانِي: لِأَنَّ الْمَعَرَّةَ بِهَا قَدِ ارْتَفَعَتْ بِتَكْذِيبِهِ عَلَيْهَا بِالْحَدِّ فَوَجَبَ أَنْ يَرْتَفِعَ حُكْمُ جَمِيعِهَا.

Kedua: Karena aib yang timbul dari tuduhan itu telah terangkat dengan didustakannya tuduhan tersebut melalui had, maka hukum seluruhnya pun terangkat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ عَلَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَدًّا كَامِلًا لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:

Pendapat kedua, yaitu pendapat baru Imam Syafi‘i, bahwa wajib dijatuhkan had yang sempurna untuk masing-masing dari mereka karena tiga alasan:

أَحَدُهَا: أَنْ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَقْذُوفٌ، فَوَجَبَ أَنْ يُحَدَّ لِقَذْفِهِ كَمَا لَوْ أَفْرَدَهُ.

Pertama: Karena masing-masing dari mereka adalah orang yang dituduh, maka wajib dijatuhkan had atas tuduhan kepadanya sebagaimana jika ia dituduh secara terpisah.

وَالثَّانِي: لِأَنَّ الْحُقُوقَ إِذَا لَمْ تَتَدَاخَلْ إِذَا انْفَرَدَتْ لَمْ تَتَدَاخَلْ إِذَا اجْتَمَعَتْ، كَالْقِصَاصِ وَالدُّيُونِ، وَإِذَا تَدَاخَلَتْ إِذَا اجتمعت تداخلت إذا انفردت كالزنى وَالسَّرِقَةِ.

Kedua: Karena hak-hak jika tidak dapat digabungkan ketika terpisah, maka tidak dapat pula digabungkan ketika berkumpul, seperti dalam kasus qishāsh dan utang. Dan jika dapat digabungkan ketika berkumpul, maka dapat pula digabungkan ketika terpisah, seperti dalam kasus zina dan pencurian.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ كَمَا كَانَ لَوْ أَقَامَ البينة عليهم بالزنا حداً لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حَدًّا وَجَبَ إِذْ عَدِمَهَا أَنْ يُحَدَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ؛ لِأَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ فِي جِهَتِهِ فِي مُقَابَلَةِ حَدِّ الزِّنَا فِي جِهَتِهِمْ.

Ketiga: Sebagaimana jika ia mendatangkan bukti atas zina mereka, maka masing-masing dari mereka dikenai had, maka ketika bukti tidak ada, wajib dijatuhkan had kepada masing-masing dari mereka; karena had qadzaf pada pihak penuduh berhadapan dengan had zina pada pihak yang dituduh.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا وَقَذَفَ أَرْبَعَ زَوْجَاتٍ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ، فَلَا يَخْلُو فِي قَذْفِهِنَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Jika telah dipahami apa yang telah kami jelaskan, lalu seseorang menuduh empat istrinya sekaligus dengan satu ucapan, maka dalam penuduhannya terhadap mereka terdapat tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ مُلَاعَنَتِهِمْ، فَفِيمَا يُحَدُّ لَهُنَّ قَوْلَانِ:

Pertama: Ia menolak untuk melakukan li‘ān terhadap mereka, maka dalam hal apakah ia dikenai had untuk mereka, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ يُحَدُّ لِجَمَاعَتِهِنَّ حَدًّا وَاحِدًا إِذَا اجْتَمَعْنَ عَلَى الطَّلَبِ، فَإِذَا طَلَبَتْ وَاحِدَةٌ فَحُدَّ لَهَا وَالْبَاقِيَاتُ مُتَأَخِّرَاتٌ لِغَيْبَةٍ ثُمَّ حَضَرْنَ فَطَالَبْنَ لَمْ يُحَدَّ ثَانِيَةً لِئَلَّا يُضَاعَفَ عَلَيْهِ الْحَدُّ بِغَيْبَتِهِنَّ، وَيَكُونُ الْحَدُّ مُسْتَوْفِيَ حَقِّ مَنْ حَضَرَ وَغَابَ، وَلَوْ حَضَرْنَ فَعَفَوْنَ إِلَّا وَاحِدَةً حُدَّ لَهَا حَدًّا كَامِلًا وَلَمْ يَتَبَعَّضِ الْحَدُّ فِي حُقُوقِهِنَّ.

Salah satunya, yaitu pendapat lama, ia dikenai satu had untuk seluruh mereka jika mereka bersama-sama menuntutnya. Jika salah satu menuntut, maka ia dikenai had untuknya, dan sisanya menunggu karena tidak hadir, kemudian jika mereka hadir dan menuntut, tidak dikenai had kedua kalinya agar had tidak menjadi berlipat karena ketidakhadiran mereka. Had tersebut sudah mencakup hak bagi yang hadir maupun yang tidak hadir. Jika mereka hadir lalu memaafkan kecuali satu orang, maka ia dikenai had secara penuh dan had tidak terbagi-bagi dalam hak mereka.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ يُحَدُّ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ حَدًّا كَامِلًا إِذَا طَلَبَتْ، فَإِنِ اجْتَمَعْنَ عَلَى الطَّلَبِ وَتَنَازَعْنَ فِي التَّقْدِيمِ أُقْرِعَ بَيْنَهُنَّ وَقُدِّمَ حَقُّ مَنْ قُرِعَ مِنْهُنَّ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat baru, ia dikenai had secara penuh untuk masing-masing istri jika mereka menuntut. Jika mereka bersama-sama menuntut dan berselisih dalam urutan pelaksanaan, maka dilakukan undian di antara mereka dan didahulukan hak siapa yang keluar undiannya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُجِيبَ إِلَى مُلَاعَنَتِهِنَّ، فَعَلَيْهِ أَنْ يُفْرِدَ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِلِعَانٍ مُفْرَدٍ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهُ يُحَدُّ لَهُنَّ حَدًّا وَاحِدًا أَوْ حُدُودًا وَلَا يَجْمَعَ بَيْنَهُنَّ فِي لِعَانٍ وَاحِدٍ لأمرين:

Keadaan kedua: Ia bersedia melakukan li‘ān terhadap mereka, maka ia harus melakukan li‘ān secara terpisah untuk masing-masing istri, baik dikatakan ia dikenai satu had untuk mereka atau beberapa had, dan tidak boleh menggabungkan mereka dalam satu li‘ān karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ لِلِعَانِ كُلِّ وَاحِدَةٍ حُكْمًا فَلَمْ يَشْتَرِكْنَ فِيهِ.

Pertama: Setiap li‘ān memiliki hukum tersendiri, sehingga mereka tidak dapat digabungkan dalam satu li‘ān.

وَالثَّانِي: أَنَّ اللِّعَانَ يَمِينٌ وَالْأَيْمَانُ لَا تَتَدَاخَلُ فِي حُقُوقِ الْجَمَاعَةِ.

Kedua: Li‘ān adalah sumpah, dan sumpah-sumpah tidak dapat digabungkan dalam hak-hak bersama.

وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: اسْتَحْلَفَ إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ الْقَاضِي رَجُلًا فِي حَقٍّ لِرَجُلَيْنِ يَمِينًا وَاحِدَةً فَاجْتَمَعَ فُقَهَاءُ زَمَانِنَا عَلَى أَنَّهُ خَطَأٌ.

Abu Sa‘id al-Istakhri berkata: Isma‘il bin Ishaq al-Qadhi pernah meminta seorang laki-laki bersumpah dalam perkara hak dua orang dengan satu sumpah, maka para fuqaha di zaman kami sepakat bahwa itu adalah kesalahan.

قَالَ الدَّارَكِيُّ: فَسَأَلْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيَّ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنْ كَانَا ادَّعَيَا ذَلِكَ الْحَقَّ مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ، مِثْلَ أَنْ تَدَاعَيَا دَارًا وَرِثَاهَا عَنْ أَبِيهِمَا، أَوْ مَالًا شَرِكَةً بَيْنَهُمَا، حَلَّفَ لَهُمَا يَمِينًا وَاحِدَةً وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ مِنْ جِهَتَيْنِ حَلَّفَ لِكُلِّ وَاحِدٍ عَلَى الِانْفِرَادِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الْيَمِينِ وَكَانَ لِأَحَدِهِمَا حَقٌّ لم يحنث، والمقصود باليمين ما تم إِذَا جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الْيَمِينِ وَكَانَ لِأَحَدِهِمَا حَقٌّ لَمْ يَحْنَثْ، وَالْمَقْصُودُ بِالْيَمِينِ مَا تَمَّ الْحِنْثُ إِنْ كَذَبَ. وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ أَبُو إسحاق صحيح وحقوق الزوجات ها هنا مِنْ جِهَاتٍ مُشْتَرَكَةٍ مُخْتَلِفَةٍ، لِأَنَّهُنَّ لَا يَشْتَرِكْنَ فِي زِنَاءٍ وَاحِدٍ، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَلْتَعِنَ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ لِعَانًا مُفْرَدًا وَتَنَازَعْنَ فِي التقديم أقرع بينهن وقدم من قرعت من مِنْهُنَّ لِاسْتِوَائِهِنَّ فِي الِاسْتِحْقَاقِ، فَإِنْ قَدَّمَ الْحَاكِمُ بِغَيْرِ قُرْعَةٍ مِنْ رَأَى جَازَ، وَإِنْ تَرَكَ مِنَ الْقَرْعَةِ مَا هُوَ أَوْلَى لِأَنَّهُنَّ قَدْ وَصَلْنَ إِلَى حُقُوقِهِنَّ.

Al-Daraki berkata: Aku bertanya kepada Abu Ishaq al-Marwazi tentang hal itu, ia menjawab: Jika keduanya menuntut hak itu dari satu sisi, seperti keduanya menuntut sebuah rumah yang diwarisi dari ayah mereka, atau harta yang menjadi milik bersama, maka boleh bersumpah untuk keduanya dengan satu sumpah. Namun jika hak tersebut berasal dari dua sisi yang berbeda, maka harus bersumpah secara terpisah untuk masing-masing; karena jika digabungkan dalam satu sumpah dan salah satunya memang berhak, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Maksud dari sumpah adalah pelanggaran terjadi jika ia berdusta. Apa yang dikatakan Abu Ishaq ini benar, dan hak-hak para istri di sini berasal dari sisi-sisi yang berbeda-beda, karena mereka tidak berkongsi dalam satu perzinaan. Jika telah tetap bahwa ia harus melakukan li‘ān secara terpisah untuk masing-masing istri, dan mereka berselisih dalam urutan pelaksanaan, maka dilakukan undian di antara mereka dan didahulukan siapa yang keluar undiannya, karena mereka sama dalam hak untuk didahulukan. Jika hakim mendahulukan tanpa undian siapa yang ia kehendaki, itu boleh. Jika meninggalkan undian padahal itu lebih utama, karena mereka telah sampai pada hak mereka.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْ بَعْضِهِنَّ دُونَ بَعْضٍ لَاعَنَ لِمَنْ شَاءَ مِنْهُنَّ وَحُدَّ لِمَنْ بَقِيَ. فَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً حُدَّ لَهَا حَدًّا كَامِلًا، وَإِنْ بَقِيَ اثْنَتَانِ حُدَّ لَهُمَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ حَدًّا وَاحِدًا، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ حَدَّيْنِ، فَإِنْ وَقَعَ التَّنَازُعُ فِي تَقْدِيمِ اللِّعَانِ وَالْحَدِّ قُدِّمَ اللِّعَانُ عَلَى الْحَدِّ لِخِفَّتِهِ؛ وَلِأَنَّ الْحَقَّ فِيهِ مشترك.

Keadaan ketiga: Ia melakukan li‘ān terhadap sebagian istri dan tidak terhadap sebagian lainnya, maka ia melakukan li‘ān untuk siapa yang ia kehendaki di antara mereka dan dikenai had untuk sisanya. Jika hanya satu yang tersisa, maka ia dikenai had secara penuh untuknya. Jika dua yang tersisa, maka menurut pendapat lama ia dikenai satu had untuk keduanya, dan menurut pendapat baru dua had. Jika terjadi perselisihan dalam urutan pelaksanaan li‘ān dan had, maka didahulukan li‘ān atas had karena lebih ringan, dan karena hak di dalamnya bersifat bersama.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ أَقَرَّ أَنَّهُ أَصَابَهَا فِي الطُّهْرِ الَّذِي رَمَاهَا فِيهِ فَلَهُ أَنْ يُلَاعِنَ وَالْوَلَدُ لَهَا وَذُكِرَ أَنَّهُ قَوْلُ عَطَاءٍ قَالَ وَذَهَبَ بَعْضُ مَنْ يُنْسَبُ إِلَى الْعِلْمِ إِنَّمَا يَنْفِي الْوَلَدَ إذا قال استبرأتها كأنه ذهب إلى نفي ولد العجلاني إذا قال لم أقر بها منذ كذا وكذا قيل فالعجلاني سمى الذي رأى بعينه يزنى وذكر أنه لم يصبها فيه أشهرا ورأى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – علامة تثبت صدق الزوج في الولد فلا يلاعن وينفي عنه الولد إذاً إلا باجتماع هذه الوجوه فإن قيل فما حجتك في أنه يلاعن وينفي الولد وإن لم يدع الاسبتراء؟ (قال الشافعي) رحمه الله: قلت قال الله تعالى {والذين يرمون المحصنات} الآية فكانت الآية على كل رام لمحصنة قال الرامي لها رأيتها تزني أو لم يقل رايتها تزني لأنه يلزمه اسم الرامي وقال {والذين يرمون أزواجهم} فكان الزوج راميا قال رأيت أو علمت بغير رؤية وقد يكون الاستبراء وتلد منه فلا معنى له ما كان الفراش قائماً “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang suami mengakui bahwa ia telah menggauli istrinya pada masa suci yang ia menuduhnya berzina di masa itu, maka ia tetap boleh melakukan li‘ān dan anak itu dinisbatkan kepada istrinya. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat ‘Aṭā’. Ia berkata, dan sebagian orang yang dianggap berilmu berpendapat bahwa anak hanya bisa dinafikan jika suami berkata: ‘Aku telah melakukan istibrā’ terhadapnya’, seolah-olah ia mengacu pada penafian anak oleh al-‘Ajlānī jika ia berkata: ‘Aku tidak menggaulinya sejak sekian waktu’. Dikatakan bahwa al-‘Ajlānī adalah orang yang melihat dengan matanya sendiri perzinaan itu dan menyatakan bahwa ia tidak menggauli istrinya selama beberapa bulan, dan Nabi ﷺ melihat tanda yang membenarkan suami dalam masalah anak tersebut, sehingga ia tidak melakukan li‘ān dan menafikan anak kecuali jika semua syarat ini terpenuhi. Jika ditanyakan, ‘Apa dalilmu bahwa ia boleh melakukan li‘ān dan menafikan anak meskipun tidak mengaku telah melakukan istibrā’?’ (Imam Syafi‘i) rahimahullah menjawab: Aku katakan, Allah Ta‘ala berfirman: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka…} (QS. an-Nur: 6), maka ayat ini berlaku untuk setiap orang yang menuduh istrinya, baik ia berkata ‘Aku melihatnya berzina’ atau tidak, karena ia tetap disebut sebagai penuduh. Dan Allah berfirman: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka…}, maka suami tetap disebut sebagai penuduh, baik ia berkata ‘Aku melihat’ atau ‘Aku mengetahui tanpa melihat’. Bisa jadi telah terjadi istibrā’ dan istrinya tetap melahirkan anak darinya, maka tidak ada maknanya selama status pernikahan masih ada.”

(فصل)

(Fasal)

إِذَا قَذَفَ زَوْجَتَهُ فِي طُهْرٍ قَدْ جَامَعَهَا فِيهِ جَازَ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهَا وَيَنْفِيَ وَلَدَهَا، وَكَذَلِكَ إِذَا أَصَابَهَا بَعْدَ الْقَذْفِ.

Jika seorang suami menuduh istrinya berzina pada masa suci yang telah ia gauli, maka boleh baginya melakukan li‘ān terhadap istrinya dan menafikan anaknya. Begitu pula jika ia menggaulinya setelah menuduhnya.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ قَذَفَهَا فِي طُهْرٍ قَدْ وَطِئَهَا فِيهِ لَاعَنَ لِإِسْقَاطِ الْحَدِّ، وَلَمْ يَلْتَعِنْ لِنَفْيِ النَّسَبِ، وَإِنْ وَطِئَهَا بَعْدَ الْقَذْفِ حُدَّ وَلَمْ يَلْتَعِنْ، وَيُجْعَلُ الْوَطْءُ تَكْذِيبًا لِنَفْسِهِ وَاسْتَدَلَّ بِأَنَّ آيَةَ اللِّعَانِ وَرَدَتْ فِي الْعَجْلَانِيِّ عَلَى سَبَبٍ خَاصٍّ، وَهُوَ أَنَّهُ قَالَ: ” رَأَيْتُ بِعَيْنِي وَسَمِعْتُ بِأُذُنِي، وَمَا قَرَبْتُهَا مُنْذُ عِفَارِ النَّخْلِ “، وَفِي عِفَارِهَا قَوْلَانِ:

Imam Mālik berkata: Jika suami menuduh istrinya berzina pada masa suci yang telah ia gauli, maka ia melakukan li‘ān untuk menggugurkan had (hukuman), namun tidak untuk menafikan nasab. Jika ia menggaulinya setelah menuduh, maka ia dikenai had dan tidak boleh melakukan li‘ān, dan perbuatan menggauli itu dianggap sebagai pendustaan terhadap dirinya sendiri. Ia berdalil bahwa ayat li‘ān turun berkenaan dengan al-‘Ajlānī karena sebab khusus, yaitu ketika ia berkata: “Aku melihat dengan mataku sendiri dan mendengar dengan telingaku sendiri, dan aku tidak menggaulinya sejak masa ‘ifār an-nakhl’.” Dalam istilah ‘ifār’ ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَلْقِيحُهَا.

Pertama: artinya penyerbukan (pohon kurma).

وَالثَّانِي: تَرْكُ سقيها، لأنهم يتركون سقيها إذا ذهت، وذلك الحد شهرين فَقَصَدَ الْعَجْلَانِيُّ بِذَلِكَ أَنَّهُ تَرَكَ إِصَابَتَهَا مُدَّةً طَوِيلَةً، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ تَرْكُ إِصَابَتِهَا شَرْطًا فِي جَوَازِ لِعَانِهَا، لِأَنَّ خُصُوصَ السَّبَبِ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِعْمَالِ الْعُمُومِ عِنْدَهُ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ إِذَا شَارَكَ الزَّانِيَ فِي وَطْئِهَا لَمْ يَعْلَمْ أَنَّ الْوَلَدَ مِنْ زِنًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْطَعَ فِي لِعَانِهِ بِأَنَّهُ مِنْهُ، وَقَالَ: وَلِأَنَّ وَلَدَ الْحُرَّةِ الَّذِي يَلْحَقُ بِالْعَقْدِ أَثْبَتُ نَسَبًا مِنْ وَلَدِ الْأَمَةِ الَّذِي لَا يَلْحَقُ إِلَّا بِالْوَطْءِ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفِيَ وَلَدَ الْأَمَةِ إِلَّا بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَنْفِيَ وَلَدَ الْحُرَّةِ إِلَّا بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ.

Kedua: artinya tidak disiram, karena mereka membiarkan pohon itu tanpa disiram ketika telah berbunga, dan masa itu adalah dua bulan. Maka maksud al-‘Ajlānī dengan ucapannya itu adalah bahwa ia telah meninggalkan menggauli istrinya dalam waktu yang lama, sehingga dipahami bahwa meninggalkan menggauli istri menjadi syarat bolehnya li‘ān, karena kekhususan sebab menurutnya mencegah penggunaan keumuman lafaz. Ia berkata: Dan karena jika suami telah menggauli istrinya sebagaimana pezina, maka tidak dapat dipastikan bahwa anak itu hasil zina, sehingga tidak boleh dipastikan dalam li‘ān bahwa anak itu dari hasil zina. Ia juga berkata: Dan karena anak dari wanita merdeka yang dinisbatkan melalui akad lebih kuat nasabnya daripada anak dari budak perempuan yang hanya dinisbatkan melalui hubungan biologis, maka jika tidak boleh menafikan anak budak perempuan kecuali setelah istibrā’, maka lebih utama lagi tidak boleh menafikan anak wanita merdeka kecuali setelah istibrā’.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تعالى: {والذين يرمون أزواجهم} فَكَانَ عُمُومُهُ فِيمَنْ أَصَابَ زَوْجَتَهُ أَوْ لَمْ يُصِبْهَا فَإِنْ حَمَلُوهُ عَلَى خُصُوصِ السَّبَبِ فِي قِصَّةِ الْعَجْلَانِي، فَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka…} Maka keumuman ayat ini mencakup siapa saja yang telah menggauli istrinya atau belum. Jika mereka membatasi pada sebab khusus dalam kisah al-‘Ajlānī, maka ada tiga jawaban:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ دُونَ الْعَجْلَانِيِّ، وَهِلَالٌ لَمْ يَقُلْ: إِنِّي لَمْ أُصِبْهَا فَكَانَ السَّبَبُ عَامًّا.

Pertama: Bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Hilāl bin Umayyah, bukan al-‘Ajlānī, dan Hilāl tidak berkata: “Aku tidak menggaulinya”, sehingga sebab turunnya ayat ini bersifat umum.

وَالثَّانِي: لَوْ كَانَ مَحْمُولًا عَلَى قِصَّةِ الْعَجْلَانِيِّ فِي أَنَّهُ لَمْ يُصِبْهَا ليكون الِاسْتِبْرَاءِ يَخُصُّ عُمُومَ اللَّفْظِ لَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَرْكُ إِصَابَتِهَا مِنْ عِفَارِ النَّخْلِ مُدَّةَ شَهْرَيْنِ شَرْطًا، وَأَنْ يَكُونَ قَوْلُ الْعَجْلَانِيِّ: رَأَيْتُ بِعَيْنِي وَسَمِعْتُ بِأُذُنِي شَرْطًا، وَقَوْلُهُ هِيَ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِنْ كَذَبْتُ عَلَيْهَا شَرْطًا، وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنْ جَاءَتْ بِهِ عَلَى نَعْتِ كَذَا فَلَا أَرَاهُ إِلَّا وَقَدْ صَدَقَ عَلَيْهَا شَرْطًا “، وَمِنْ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّ هَذَا لَيْسَ بِشَرْطٍ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ تَرْكَ الْإِصَابَةِ لَيْسَ بِشَرْطٍ، وَهَذَا جَوَابُ الشَّافِعِيِّ.

Kedua: Jika ayat ini dibatasi pada kisah al-‘Ajlānī bahwa ia tidak menggauli istrinya, sehingga istibrā’ menjadi syarat khusus yang membatasi keumuman lafaz, maka seharusnya meninggalkan menggauli istri sejak masa ‘ifār an-nakhl’ selama dua bulan menjadi syarat, dan ucapan al-‘Ajlānī: “Aku melihat dengan mataku sendiri dan mendengar dengan telingaku sendiri” menjadi syarat, dan ucapannya: “Ia tertalak tiga jika aku berdusta atasnya” menjadi syarat, dan sabda Nabi ﷺ: “Jika anak itu lahir dengan ciri-ciri tertentu, maka aku tidak melihat kecuali ia benar dalam tuduhannya” menjadi syarat. Dan dari ijmā‘ mereka bahwa semua itu bukan syarat, menjadi dalil bahwa meninggalkan menggauli istri bukanlah syarat. Inilah jawaban Imam Syafi‘i.

وَالثَّانِي: أَنَّ عُمُومَ اللَّفْظِ لَا يَقْتَضِي حَمْلَهُ عَلَى خُصُوصِ السَّبَبِ لِأَمْرَيْنِ:

Kedua: Bahwa keumuman lafaz tidak mengharuskan untuk dibatasi pada sebab khusus karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ انْفِرَادَ الْعُمُومِ وَالسَّبَبِ يُوجِبُ الْحُكْمَ بِالْعُمُومِ دُونَ السَّبَبِ فَكَذَلِكَ إِذَا اجْتَمَعَا غَلَبَ حُكْمُ الْعُمُومِ عَلَى السَّبَبِ.

Salah satu di antaranya: Bahwa jika hanya ada keumuman (‘umūm) dan sebab (sabab) saja, maka keumumanlah yang menentukan hukum, bukan sebab. Maka demikian pula jika keduanya berkumpul, hukum keumuman lebih diutamakan daripada sebab.

وَالثَّانِي: أَنَّ السَّبَبَ بَعْضُ مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ الْعُمُومُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُخَصَّ بِهِ الْعُمُومُ لِدُخُولِهِ فِيهِ، وَخُصَّ بِمَا نَافَاهُ لِخُرُوجِهِ مِنْهُ، كَمَا خُصَّ عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا) [المائدة: 38] . يقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا قَطْعَ فِي أَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِينَارٍ ” وَلِمُنَافَاةِ الْعُمُومِ، وَلَمْ يُخَصَّ بِقَطْعِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي ” الْمِجَنِّ ” لِمُوَافَقَتِهِ الْعُمُومَ.

Yang kedua: Bahwa sebab adalah sebagian dari apa yang tercakup dalam keumuman, maka tidak boleh keumuman itu dikhususkan dengan sebab karena sebab itu sudah termasuk di dalamnya, dan keumuman hanya dikhususkan dengan sesuatu yang bertentangan dengannya karena keluar darinya. Sebagaimana keumuman firman Allah Ta‘ala: {Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya} [al-Mā’idah: 38], dikhususkan oleh sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada potong tangan pada (pencurian) kurang dari seperempat dinar,” karena bertentangan dengan keumuman. Dan tidak dikhususkan dengan kasus Nabi ﷺ memotong tangan pada pencurian perisai, karena itu sesuai dengan keumuman.

وَمِنَ الدَّلِيلِ أَيْضًا أَنَّهُ قَذْفٌ يَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ لِإِسْقَاطِ الْحَدِّ فَجَازَ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ لِنَفْيِ الْوَلَدِ كَالَّذِي لَمْ يَطَأْ، لِأَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ لَا تَأْثِيرَ لَهُ مَعَ بَقَاءِ الزَّوْجِيَّةِ بِلُحُوقِ الْوَلَدِ فِي الْحَالَتَيْنِ، فَجَازَ أَنْ يَنْفِيَهُ فِي الْحَالَتَيْنِ بِاللِّعَانِ، وَلِأَنَّ وَلَدَ الْحُرَّةِ يَلْحَقُ بِالِاسْتِدْلَالِ لِإِمْكَانِ الْإِصَابَةِ، فَجَازَ أَنْ يُنْفَى بِالِاسْتِدْلَالِ لِإِمْكَانِ الزِّنَا، وَخَالَفَ وَلَدُ الْأَمَةِ حِينَ لَمْ يَلْحَقْ إِلَّا بِالْإِصَابَةِ فَلَمْ يَنْتَفِ إِلَّا بِالِاسْتِبْرَاءِ مِنَ الْإِصَابَةِ، فَأَمَّا قَوْلُ مَالِكٍ: إِنَّهُ لَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّهُ مِنَ الزِّنَا إِذَا لَمْ يَطَأْ وَلَا يَعْلَمُ إِذَا وَطِئَ لَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِأَنَّهُ قَدْ يَمْتَنِعُ مِنَ الْوَطْءِ وَهِيَ حَائِلٌ، وَقَدْ يَطَأُ وَهِيَ حَامِلٌ، فَكَانَ الْعِلْمُ فِي الْحَالَيْنِ مُمْتَنِعًا، وَإِنَّمَا يُعْتَمَدُ فِيهِ عَلَى الْأَمَارَاتِ، فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا اجْتَمَعَ فِي الرَّحِمِ مَاؤُهُ وَمَاءُ الزِّنَا مِنْ أَيْنَ تُرَجِّحُ لَهُ فِي نَفْيِ الْوَلَدِ أَنَّهُ مِنْ مَاءِ الزِّنَا.

Termasuk dalil juga bahwa itu adalah tuduhan zina (qadzf) yang boleh dilakukan li‘ān untuk menggugurkan had, maka boleh juga dilakukan li‘ān untuk menafikan anak, sebagaimana pada orang yang belum berhubungan badan, karena istibra’ tidak berpengaruh selama masih ada hubungan pernikahan dengan tetapnya nasab anak pada kedua keadaan. Maka boleh menafikan anak pada kedua keadaan dengan li‘ān. Dan karena anak dari wanita merdeka dinasabkan dengan istidlāl karena kemungkinan terjadi hubungan, maka boleh juga dinafikan dengan istidlāl karena kemungkinan terjadi zina. Berbeda dengan anak budak perempuan, yang tidak dinasabkan kecuali dengan hubungan, maka tidak bisa dinafikan kecuali dengan istibra’ dari hubungan. Adapun pendapat Malik: Bahwa tidak diketahui anak itu dari zina jika belum berhubungan, dan tidak diketahui juga jika sudah berhubungan, itu tidak benar. Karena bisa saja suami tidak berhubungan padahal istrinya hamil, dan bisa saja berhubungan padahal istrinya tidak hamil. Maka pengetahuan dalam kedua keadaan itu tidak mungkin, dan yang dijadikan pegangan hanyalah tanda-tanda (amarāt). Jika dikatakan: Jika dalam rahim bercampur air mani suami dan air mani zina, dari mana bisa lebih menguatkan dalam menafikan anak bahwa ia dari air mani zina?

قِيلَ: قَدْ كَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يَذْهَبُ إِلَى أَنَّهُ لَا يَنْفِيهِ مَعَ اخْتِلَاطِ الْمَائَيْنِ.

Dijawab: Abu al-‘Abbas Ibn Surayj berpendapat bahwa anak itu tidak bisa dinafikan jika kedua air mani itu bercampur.

وَهُوَ خَاصُّ نَصِّ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ وَالصَّحِيحُ أَنْ يَنْفِيَهُ لِتَرَجُّحِهِ مِنْ وُجُوهٍ مِنْهَا: أَنَّ الذَّكِيَّ الْفَطِنَ مِنَ الرِّجَالِ يُحِسُّ بِالْعُلُوقِ عِنْدَ الْإِنْزَالِ إِنْ كَانَ أَوْ لَمْ يَكُنْ، وَكَذَلِكَ مِنَ النِّسَاءِ.

Ini adalah pendapat khusus al-Syafi‘i dan mayoritas pengikutnya, dan yang benar adalah anak itu tetap bisa dinafikan karena adanya penguatan dari beberapa sisi, di antaranya: Laki-laki yang cerdas dan peka bisa merasakan kehamilan saat terjadi ejakulasi, baik benar-benar terjadi atau tidak, demikian pula pada perempuan.

وَمِنْهَا أَنَّهُ قَدْ يُعْلَمُ مِنْ نَفْيِهِ أَنَّهُ عَقِيمٌ لَا يُولَدُ بِهِ وَمِنْهُ أَنْ يَرَى مَنْ بِهِ الْوَلَدُ بِالزَّانِي مَا يَسْتَدِلُّ بِهِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْإِمَارَاتِ الدَّالَّةِ فَجَازَ أَنْ يَقَعَ التَّرْجِيحُ وَالْعَمَلُ عَلَيْهَا إِذَا تَحَقَّقَ الزِّنَا، وَأَمَّا اسْتِشْهَادُهُ بِاسْتِبْرَاءِ الْأَمَةِ فِي نَفْيِ وَلَدِهَا، فَإِنَّهُ لَا يُنْفَى مِنْهَا إِلَّا بِالِاسْتِبْرَاءِ فَلِذَلِكَ كَانَ شَرْطًا، وَوَلَدُ الْحُرَّةِ يَنْتَفِي بِاللِّعَانِ دُونَ الِاسْتِبْرَاءِ فَلَمْ يَكُنْ فِي نفيه شرطاً.

Di antaranya juga, kadang diketahui dari penafian bahwa suami itu mandul dan tidak bisa punya anak, dan juga bisa diketahui dari tanda-tanda bahwa anak itu dari pezina, dan tanda-tanda lain yang menunjukkan hal itu. Maka boleh dilakukan penguatan dan beramal dengannya jika zina itu benar-benar terjadi. Adapun istidlal dengan istibra’ pada budak perempuan dalam menafikan anaknya, maka anak itu tidak bisa dinafikan kecuali dengan istibra’, sehingga itu menjadi syarat. Sedangkan anak dari wanita merdeka bisa dinafikan dengan li‘ān tanpa istibra’, maka dalam penafian anak itu tidak menjadi syarat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ زَنَتْ بَعْدَ الْقَذْفِ أَوْ وَطِئَتْ وَطْئًا حَرَامًا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَلَا لِعَانَ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَ وَلَدًا فَيَلْتَعِنَ لِأَنَّ ذَلِكَ دَلِيلٌ على صدقه (قال المزني) رحمه الله كَيْفَ يَكُونُ دَلِيلًا عَلَى صِدْقِهِ وَالْوَقْتُ الَّذِي رَمَاهَا فِيهِ كَانَتْ فِي الْحُكْمِ غَيْرَ زَانِيَةٍ؟ وأصل قوله إنما ينظر في حال من تكلم بالرمي وهو في ذلك في حكم من لم يزن قط)) .

Al-Syafi‘i berkata: “Jika seorang perempuan berzina setelah dituduh (qadzf) atau melakukan hubungan haram, maka tidak ada had atas penuduh dan tidak ada li‘ān kecuali jika ia menafikan anak, maka ia boleh melakukan li‘ān, karena itu adalah dalil atas kebenarannya.” (Al-Muzani rahimahullah berkata): Bagaimana hal itu menjadi dalil atas kebenarannya, sedangkan pada waktu ia menuduh, perempuan itu secara hukum belum berzina? Dan asal pendapatnya adalah hanya melihat pada keadaan orang yang menuduh saat ia mengucapkan tuduhan, dan pada saat itu ia dianggap belum pernah berzina sama sekali.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي قَاذِفِ الزِّنَا وَجَبَ الحد عليه فلم يحد حتى زنا الْمَقْذُوفُ، فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ الْحَدَّ يَسْقُطُ عَنِ الْقَاذِفِ بِمَا حَدَثَ مِنْ زِنَا الْمَقْذُوفِ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada penuduh zina yang wajib dikenai had, tetapi belum ditegakkan had hingga yang dituduh berzina. Maka al-Syafi‘i berpendapat bahwa had gugur dari penuduh karena terjadinya zina pada yang dituduh.

وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ.

Demikian pula pendapat Malik dan Abu Hanifah.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ، وَأَبُو ثَوْرٍ: لَا يَسْقُطُ الْحَدُّ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Sedangkan al-Muzani dan Abu Tsaur berpendapat: Had tidak gugur, dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْوُجُوبِ لَا بِمَا يَحْدُثُ بَعْدَهُ، بِدَلِيلِ أَنَّ مَنْ قَذَفَ عَبْدًا فَأُعْتِقَ لَمْ يُحَدَّ، وَلَوْ قَذَفَ مُسَلِمًا فَارْتَدَّ لَمْ يَسْقُطِ الْحَدُّ اعْتِبَارًا بِحَالِ الوجوب.

Salah satu di antaranya: bahwa penetapan had qazaf (hukuman bagi penuduh zina) didasarkan pada keadaan saat kewajiban (had) itu muncul, bukan pada apa yang terjadi setelahnya. Sebagai buktinya, jika seseorang menuduh seorang budak lalu budak itu dimerdekakan, maka tidak dikenakan had; dan jika seseorang menuduh seorang Muslim lalu orang itu murtad, had tidak gugur karena yang menjadi acuan adalah keadaan saat kewajiban (had) itu muncul.

وَالثَّانِي: أَنَّ شَوَاهِدَ الْأُصُولِ فِي جَمِيعِ الْحُدُودِ مُسْتَقِرَّةٌ عَلَى اعْتِبَارِهَا بِوَقْتِ الْوُجُوبِ، كَالزَّانِي إِذَا زَنَى بِكْرًا فَلَمْ يُحَدَّ حَتَّى أُحْصِنَ لَمْ يُرْجَمْ. وَكَالسَّارِقِ لِمَا قِيمَتُهُ رُبْعُ دِينَارٍ فَصَاعِدًا إذا انقصت قِيمَتُهُ قَبْلَ الْقَطْعِ لَمْ يَسْقُطِ الْقَطْعُ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ حَدُّ الْقَذْفِ بِمَثَابَتِهَا فِي اعْتِبَارِهِ بِوَقْتِ الْوُجُوبِ.

Yang kedua: bahwa dalil-dalil pokok dalam seluruh hukum had telah mapan pada pertimbangan keadaan saat kewajiban (had) itu muncul. Seperti pezina yang berzina dengan seorang gadis (belum menikah), lalu belum ditegakkan had atasnya hingga ia menikah, maka ia tidak dirajam. Dan seperti pencuri yang mencuri barang senilai seperempat dinar atau lebih, jika nilai barang itu berkurang sebelum pemotongan tangan, maka hukuman potong tangan tidak gugur. Maka, sudah seharusnya had qazaf juga diperlakukan sama, yakni berdasarkan keadaan saat kewajiban (had) itu muncul.

وَدَلِيلُنَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ:

Dalil kami ada empat hal:

أَحَدُهَا: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْحَدَّ عَلَى قَاذِفِ الْمُحْصَنِ إِثْبَاتًا لِعِفَّتِهِ، وَالزَّانِي لَا يَثْبُتُ لَهُ عِفَّةٌ فَلَمْ يَجِبْ فِي قَذْفِهِ حَدٌّ.

Pertama: bahwa Allah Ta‘ala mewajibkan had atas orang yang menuduh zina kepada orang yang muhsan (terjaga kehormatannya) sebagai penegasan atas kehormatannya. Sedangkan pezina tidak lagi memiliki kehormatan, maka tidak wajib had atas orang yang menuduhnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ مَوْضُوعٌ لِإِسْقَاطِ الْمَعَرَّةِ عَنِ الْمَقْذُوفِ، وَالْمَعَرَّةُ تَسْقُطُ عَنْهُ إِذَا زَنَى فَلَمْ يَجِبْ فِي قَذْفِهِ حَدٌّ.

Kedua: bahwa had qazaf ditetapkan untuk menghapus aib dari orang yang dituduh, dan aib itu hilang darinya jika ia berzina, sehingga tidak wajib had atas orang yang menuduhnya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ مِنْ عَادَةِ مَنْ لَا يُبَالِي بِاجْتِنَابِ الْمَعَاصِي أَنْ يَسْتَتِرَ بِإِخْفَائِهَا وَأَنَّ ظُهُورَهَا مِنْهُ لَا يَكُونُ إِلَّا بَعْدَ كَثْرَتِهَا وَتَكْرَارِهَا، حُمِلَ إِلَى عُمَرَ – رَضِيَ الله عنه – رجل زنا، فَقَالَ وَاللَّهِ مَا زَنَيْتُ قَبْلَ هَذَا، فَقَالَ عُمَرُ: كَذَبْتَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَفْضَحُ عَبْدَهُ بِأَوَّلِ مَعْصِيَةٍ فَكَانَ فِيمَا ظَهَرَ زِنَاهُ دَلِيلٌ عَلَى تَقَدُّمِهِ مِنْهُ فَلَمْ يُحَدَّ قَاذِفُهُ.

Ketiga: bahwa kebiasaan orang yang tidak peduli untuk menjauhi maksiat adalah menyembunyikan maksiatnya, dan kemaksiatan itu tidak akan tampak kecuali setelah sering dilakukan dan diulang-ulang. Pernah dibawa kepada Umar —raḍiyallāhu ‘anhu— seorang laki-laki yang berzina, lalu ia berkata, “Demi Allah, aku belum pernah berzina sebelum ini.” Maka Umar berkata, “Engkau dusta! Sesungguhnya Allah tidak akan membongkar aib hamba-Nya pada maksiat yang pertama.” Maka, tampaknya perbuatan zina itu menjadi bukti bahwa sebelumnya ia telah melakukannya, sehingga orang yang menuduhnya tidak dikenakan had.

وَالرَّابِعُ وَهُوَ الْعُمْدَةُ: أَنَّ الْعِفَّةَ تَكُونُ اسْتِدْلَالًا بِالظَّاهِرِ دُونَ الْيَقِينِ كَالْعَدَالَةِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُخْفِيَ غَيْرَ مَا يُظْهِرُ، فَإِذَا ظَهَرَ مَا كَانَ يُخْفِيهِ مِنَ الزِّنَا قُدِحَ فِي الِاسْتِدْلَالِ بِظَاهِرِ الْعِفَّةِ فَسَقَطَ ثُبُوتُهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحَدَّ قَاذِفُهُ كَالشَّاهِدِ إِذَا شَهِدَ وَهُوَ عَلَى ظَاهِرِ الْعَدَالَةِ فَلَمْ يُحْكَمْ بِهَا حَتَّى ظَهَرَ فسقه سقط الِاسْتِدْلَالُ بِظَاهِرِ عَدَالَتِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمُ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ شَهَادَتِهِ، فَإِنْ قِيلَ: لَا يَصِحُّ الْجَمْعُ بَيْنَ الْعِفَّةِ وَالْعَدَالَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Keempat, dan ini yang menjadi sandaran utama: bahwa kehormatan (iffah) itu hanya dapat dijadikan dalil berdasarkan penampakan lahiriah, bukan dengan keyakinan pasti, sebagaimana keadilan (‘adālah). Karena bisa jadi seseorang menyembunyikan sesuatu yang berbeda dari apa yang ia tampakkan. Maka jika tampak apa yang sebelumnya ia sembunyikan berupa zina, maka batal-lah istidlal (pengambilan dalil) dengan penampakan iffah-nya, sehingga tidak lagi tetap kehormatannya dan tidak boleh ditegakkan had atas orang yang menuduhnya. Hal ini seperti saksi yang bersaksi padahal secara lahiriah tampak adil, namun belum diputuskan berdasarkan kesaksiannya hingga tampak kefasikannya, maka batal-lah istidlal dengan penampakan keadilannya dan tidak boleh diputuskan berdasarkan kesaksian sebelumnya. Jika dikatakan: tidak sah mengqiyaskan antara iffah dan ‘adālah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرِّدَّةَ تُسْقِطُ مَا تَقَدَّمَهَا مِنَ الشَّهَادَةِ، وَلَا تُسْقِطُ مَا تَقَدَّمَهَا مِنَ الْعِفَّةِ.

Pertama: bahwa riddah (kemurtadan) membatalkan kesaksian yang telah lalu, namun tidak membatalkan iffah yang telah lalu.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَحْثَ عَنِ الْعَدَالَةِ لَازِمٌ، وَالْبَحْثَ عَنِ الْعِفَّةِ غَيْرُ لَازِمٍ فَجَازَ أَنْ تَثْبُتَ الْعِفَّةُ بِالظَّاهِرِ الَّذِي لَا تَثْبُتُ الْعَدَالَةُ فَافْتَرَقَا، قِيلَ هَذَانِ الْوَجْهَانِ لَا يُقْدَحُ فِيهِمَا بِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ وَلَا يُمْنَعُ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَ الْعِفَّةِ وَالْعَدَالَةِ.

Kedua: bahwa penelitian tentang ‘adālah itu wajib, sedangkan penelitian tentang iffah tidak wajib. Maka boleh jadi iffah ditetapkan dengan penampakan lahiriah yang tidak dapat menetapkan ‘adālah, sehingga keduanya berbeda. Dijawab: kedua alasan ini tidak dapat membatalkan dalil yang telah disebutkan sebelumnya dan tidak mencegah untuk mengqiyaskan antara iffah dan ‘adālah.

أَمَّا أَوَّلُ الْوَجْهَيْنِ: فِي الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا بِالرِّدَّةِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ مَوْضُوعٌ لِحِرَاسَةِ الْعِفَّةِ مِنَ الْقَذْفِ بِالزِّنَا دُونَ الرِّدَّةِ فَجَازَ أَنْ تَسْقُطَ بِحُدُوثِ الزِّنَا وَإِنْ لَمْ تَسْقُطْ بِحُدُوثِ الرِّدَّةِ وَالْعَدَالَةُ مَحْرُوسَةٌ مِنْ جَمِيعِ الْكَبَائِرِ فَاسْتَوَتْ فِيهِ الرِّدَّةُ وَغَيْرُهَا وَإِنْ خَالَفَتْ فِي الْعِفَّةِ غَيْرَهَا.

Adapun alasan pertama, yaitu perbedaan antara keduanya karena riddah, maka jawabannya: bahwa had qazaf ditetapkan untuk menjaga kehormatan (iffah) dari tuduhan zina, bukan dari riddah. Maka boleh saja had itu gugur karena terjadinya zina, meskipun tidak gugur karena terjadinya riddah. Sedangkan ‘adālah dijaga dari seluruh dosa besar, sehingga riddah dan selainnya sama dalam hal ini, meskipun berbeda dalam hal iffah.

وَأَمَّا الثَّانِي مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْعِفَّةِ وَالْعَدَالَةِ بِوُجُوبِ الْبَحْثِ عَنِ الْعَدَالَةِ دُونَ الْعِفَّةِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّ أَصْحَابَنَا قَدِ اخْتَلَفُوا فِي وُجُوبِ الْبَحْثِ عَنِ الْعِفَّةِ مَعَ إِجْمَاعِهِمْ فِي وُجُوبِ الْبَحْثِ عَنِ الْعَدَالَةِ، فَلَهُمْ فِي ذَلِكَ وَجْهَانِ:

Adapun alasan kedua, yaitu perbedaan antara iffah dan ‘adālah karena wajibnya penelitian tentang ‘adālah dan tidak wajibnya penelitian tentang iffah, maka jawabannya: bahwa para ulama kami berbeda pendapat tentang wajibnya penelitian tentang iffah, meskipun mereka sepakat tentang wajibnya penelitian tentang ‘adālah. Dalam hal ini, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَجِبُ الْبَحْثُ عَنِ الْعِفَّةِ فِي حَقِّ الْقَاذِفِ لِأَنَّ جَنْبَهُ حِمَى فَلَا يُسْتَبَاحُ عِرْضُهُ بِالِاحْتِمَالِ، فَعَلَى هَذَا لَا فَرْقَ بَيْنَ الْعِفَّةِ وَالْعَدَالَةِ.

Salah satunya: bahwa wajib melakukan penelitian tentang iffah dalam kasus qazaf, karena kehormatan seseorang adalah sesuatu yang harus dijaga, maka tidak boleh kehormatannya dilanggar hanya karena dugaan. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara iffah dan ‘adālah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجِبُ الْبَحْثُ عَنِ الْعِفَّةِ، وَإِنْ وَجَبَ الْبَحْثُ عَنِ الْعَدَالَةِ.

Pendapat kedua: Tidak wajib melakukan penelitian tentang ‘iffah (kehormatan diri), meskipun wajib melakukan penelitian tentang ‘adālah (keadilan).

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْبَحْثَ عَنِ الْعَدَالَةِ إِنَّمَا يَجِبُ فِي حَقِّ الْمَشْهُودِ عَلَيْهِ وَلَمْ تَظْهَرْ مِنْهُ مَعْصِيَةٌ فَجَازَ الِاسْتِظْهَارُ لَهُ بِالْبَحْثِ عَنْ عَدَالَةِ مَنْ شَهِدَ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْعِفَّةِ، لِأَنَّ الْبَحْثَ عَنْهَا فِي حَقِّ الْقَاذِفِ وَالْقَاذِفُ عَاصٍ بِقَذْفِهِ وَإِنْ كَانَ صَادِقًا لِمَا نُدِبَ إِلَيْهِ مِنَ السَّتْرِ عَلَى أَخِيهِ، وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” هَلَّا سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ يَا هَزَّالُ ” فَكَانَ بِأَنْ يَسْتَظْهِرَ عَلَيْهِ الْمَقْذُوفُ بِتَرْكِ الْبَحْثِ أَوْلَى مِنْ يَسْتَظْهِرَ لَهُ، ثُمَّ افْتِرَاقُ الْعِفَّةِ وَالْعَدَالَةِ فِي الْبَحْثِ لَا يَمْنَعُ مِنْ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْعِلْمِ بِهِمَا مِنْ طَرِيقِ الِاسْتِدْلَالِ.

Perbedaan antara keduanya: Penelitian tentang ‘adālah hanya wajib terhadap orang yang menjadi objek kesaksian dan darinya tidak tampak maksiat, sehingga boleh melakukan verifikasi dengan meneliti keadilan orang yang bersaksi atasnya. Tidak demikian halnya dengan ‘iffah, karena penelitian tentangnya berkaitan dengan pihak yang menuduh (qādzif), sedangkan qādzif adalah pelaku maksiat dengan tuduhannya, meskipun ia benar, karena ia dianjurkan untuk menutupi aib saudaranya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Mengapa engkau tidak menutupinya dengan bajumu, wahai Hazzāl?” Maka, lebih layak bagi yang dituduh (maqdzūf) untuk memperkuat posisinya dengan tidak dilakukan penelitian, daripada memperkuat posisi penuduh. Namun, perbedaan antara ‘iffah dan ‘adālah dalam hal penelitian tidak menghalangi keduanya untuk setara dalam hal pengetahuan tentang keduanya melalui metode istidlāl (penalaran).

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ دَلِيلِ الْمُزَنِيِّ فَهُوَ أَنَّ الْعِلْمَ بِتَقَدُّمِ الرِّقِّ، وَالْبَكَارَةِ، وَقِيمَةِ النِّصَابِ فِي السَّرِقَةِ، مَعْلُومٌ قَطْعًا فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ مَا حَدَثَ بَعْدَهُ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْعِفَّةُ، لِأَنَّهَا مَعْلُومَةٌ اسْتِدْلَالًا فَأَثَّرَ فِيهَا مَا حَدَثَ بَعْدَهَا كَالْعَدَالَةِ.

Adapun jawaban atas dalil al-Muzanī adalah bahwa pengetahuan tentang status budak sebelumnya, keperawanan, dan nilai nisab dalam pencurian, semuanya diketahui secara pasti sehingga tidak terpengaruh oleh kejadian setelahnya. Tidak demikian halnya dengan ‘iffah, karena ia diketahui melalui istidlāl (penalaran), sehingga kejadian setelahnya berpengaruh terhadapnya, sebagaimana halnya dengan ‘adālah.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ زِنَا الْمَقْذُوفَةِ يُسْقِطُ الْحَدَّ عَنْ قَاذِفِهَا فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – ” أوطئت وَطْئًا حَرَامًا ” فَجَمَعَ فِي سُقُوطِ الْحَدِّ عَنِ الْقَاذِفِ بَيْنَ زِنَاهَا وَبَيْنَ وَطْئِهَا حَرَامًا، وَهَذَا الْجَمْعُ عَلَى تَفْصِيلٍ لَا يُمْكِنُ حَمْلُهُ عَلَى الظَّاهِرِ. وَالْوَطْءُ الْحَرَامُ يَنْقَسِمُ خَمْسَةَ أَقْسَامٍ:

Jika telah tetap bahwa zina yang dilakukan oleh perempuan yang dituduh (maqdzūfah) menggugurkan had dari penuduhnya (qādzif), maka asy-Syāfi‘ī – raḥimahullāh – berkata: “Digauli dengan cara yang haram,” maka beliau menggabungkan antara zina dan hubungan seksual haram lainnya dalam hal gugurnya had dari qādzif. Penggabungan ini memerlukan rincian yang tidak dapat dipahami secara lahiriah. Hubungan seksual haram terbagi menjadi lima bagian:

أَحَدُهَا: مَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَيُسْقِطُ الْعِفَّةَ وَهُوَ أَنْ يَطَأَ ذَاتَ مَحْرَمٍ لَهُ بِعَقْدِ نِكَاحٍ، أَوْ يَطَأَ جَارِيَةَ أَبِيهِ أَوْ جَارِيَةَ زَوْجَتِهِ الَّتِي دَفَعَهَا صَدَاقًا فَيَجِبُ فِي ذَلِكَ الْحَدُّ إِذَا عَلِمَ. وَتَسْقُطُ بِهِ عِفَّتُهُ، وَيَكُونُ كَالزِّنَا فِي سُقُوطِ الْحَدِّ عَلَى الْقَاذِفِ.

Pertama: Hubungan seksual yang mewajibkan had dan menggugurkan ‘iffah, yaitu seseorang menggauli perempuan mahramnya dengan akad nikah, atau menggauli budak ayahnya, atau budak istrinya yang dijadikan mahar, maka dalam hal ini wajib had jika diketahui, dan ‘iffah-nya gugur, serta hukumnya seperti zina dalam hal gugurnya had atas qādzif.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا تَسْقُطُ بِهِ عِفَّتُهُ وَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ قَوْلَانِ: وَهُوَ أَنْ يَطَأَ ذَاتَ مَحْرَمٍ بِمِلْكِ يَمِينٍ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ، كَمَنْ مَلَكَ أُمَّهُ مِنَ الرَّضَاعِ، أَوْ أُخْتَهُ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ، فَوَطِئَهَا بِمِلْكِهِ فَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ قَوْلَانِ مَضَيَا فِي كِتَابِ النِّكَاحِ:

Bagian kedua: Hubungan seksual yang menggugurkan ‘iffah, dan dalam kewajiban had atas pelakunya terdapat dua pendapat: yaitu seseorang menggauli perempuan mahramnya yang dimiliki dengan hak milik, baik karena nasab maupun karena persusuan, seperti seseorang yang memiliki ibunya karena persusuan, atau saudarinya karena nasab atau persusuan, lalu ia menggaulinya dengan hak miliknya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat tentang kewajiban had atasnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam Kitab Nikah:

أَحَدُهُمَا: يُحَدُّ.

Salah satunya: Wajib dijatuhi had.

وَالثَّانِي: لَا يُحَدُّ، وَعِفَّتُهُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا سَاقِطَةٌ وَيَسْقُطُ بِهَا الْحَدُّ عَنْ قَاذِفِهِ.

Yang kedua: Tidak wajib dijatuhi had, dan ‘iffah-nya menurut kedua pendapat tersebut tetap gugur, sehingga had atas qādzif-nya juga gugur.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا لَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَلَكِنْ يَسْقُطُ بِالْعِفَّةِ وَهُوَ أَنْ يَطَأَ جَارِيَةَ ابْنِهِ، أو أَمَةً بَيْنَ شَرِيكَيْنِ وَطِئَهَا أَحَدُهُمَا، أَوْ كَوَطْءِ الزَّوْجَةِ وَالْأَمَةِ فِي الدُّبُرِ، فَلَا حَدَّ فِي ذَلِكَ، وَالْعِفَّةُ بِهِ سَاقِطَةٌ، يَسْقُطُ عَنْهَا الْحَدُّ عَنْ قَاذِفِهِ.

Bagian ketiga: Hubungan seksual yang tidak mewajibkan had, tetapi menggugurkan ‘iffah, yaitu seseorang menggauli budak anaknya, atau budak yang dimiliki bersama oleh dua orang lalu salah satunya menggaulinya, atau seperti menggauli istri atau budak di dubur, maka tidak ada had dalam hal ini, namun ‘iffah-nya gugur, sehingga had atas qādzif-nya juga gugur.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: مَا لَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَفِي سُقُوطِ الْعِفَّةِ وَجْهَانِ: وَهُوَ الْوَطْءُ، فِي النِّكَاحِ بِلَا وَلِيٍّ، أَوْ نِكَاحُ مُتْعَةٍ، أَوْ شِغَارٌ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي سُقُوطِ الْعِفَّةِ بِهِ مَعَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى سُقُوطِ الْحَدِّ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Bagian keempat: Hubungan seksual yang tidak mewajibkan had, dan dalam hal gugurnya ‘iffah terdapat dua pendapat: yaitu hubungan seksual dalam pernikahan tanpa wali, atau nikah mut‘ah, atau nikah syighār. Para ulama kami berbeda pendapat tentang gugurnya ‘iffah dalam hal ini, meskipun mereka sepakat bahwa had atas pelakunya gugur, dengan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعِفَّةَ بَاقِيَةٌ لِسُقُوطِ الْحَدِّ فِيهِ، فَعَلَى هَذَا يَجِبُ الْحَدُّ عَلَى الْقَاذِفِ.

Salah satunya: ‘Iffah tetap ada karena had tidak diterapkan padanya, maka dalam hal ini had wajib atas qādzif.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْعِفَّةَ سَاقِطَةٌ بِهَذَا لِمَا فِيهِ مِنْ قِلَّةِ التَّحَرُّجِ مَعَ ظُهُورِ الْخِلَافِ، فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الْحَدُّ عَنْ قَاذِفِهِ

Pendapat kedua: ‘Iffah gugur karena perbuatan tersebut menunjukkan kurangnya kehati-hatian meskipun terdapat perbedaan pendapat yang jelas, maka dalam hal ini had atas qādzif-nya gugur.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: مَا لَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَلَا يُسْقِطُ الْعِفَّةَ وَهُوَ وَطْءُ الْأَمَةِ أَوِ الزَّوْجَةِ فِي الْحَيْضِ، أَوِ الْإِحْرَامِ، أَوِ الصِّيَامِ، وَكُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ لَكِنْ لَا حَدَّ فِيهِ، وَلَا تَسْقُطُ بِهِ الْعِفَّةُ، وَالْحَدُّ عَلَى قَاذِفِهِ وَاجِبٌ، لِأَنَّهُ وَطْءٌ صَادَفَ مَحِلًّا مُبَاحًا طَرَأَ التَّحْرِيمُ عَلَيْهِ لِعَارِضٍ.

Bagian kelima: yaitu apa yang tidak mewajibkan hukuman had dan tidak menggugurkan ‘iffah, yaitu berhubungan dengan budak perempuan atau istri saat haid, atau dalam keadaan ihram, atau saat berpuasa. Semua itu hukumnya haram, tetapi tidak ada hukuman had di dalamnya dan tidak menggugurkan ‘iffah. Hukuman had wajib atas orang yang menuduhnya, karena itu adalah hubungan yang terjadi pada tempat yang asalnya mubah, lalu muncul keharaman karena sebab tertentu.

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ سُقُوطِ الْحَدِّ عَنِ الْقَاذِفِ بِمَا ذَكَرْنَا مِنْ حُدُوثِ الزِّنَا وَالْوَطْءِ الْحَرَامِ عَلَى التَّفْصِيلِ الْمُتَقَدِّمِ فَلَا حَاجَةَ إِلَى اللِّعَانِ، فَأَمَّا إِذَا جَازَ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِهِ، لِأَنَّهُ لَا يُنْفَى عَنْهُ مَعَ سُقُوطِ الْحَدِّ إِلَّا بِاللِّعَانِ، فَأَمَّا إِنْ أَرَادَ مَعَ عَدَمِ الْوَلَدِ أَنْ يَرْفَعَ بِاللِّعَانِ الفراش ليثبت به التحريم المؤيد، فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Apabila telah jelas apa yang kami uraikan tentang gugurnya hukuman had dari penuduh dengan sebab-sebab yang telah disebutkan, baik terjadinya zina maupun hubungan haram sebagaimana perincian yang telah lalu, maka tidak diperlukan li‘ān. Namun, jika boleh melakukan li‘ān untuk menafikannya, karena tidak dapat dinafikan darinya dengan gugurnya had kecuali dengan li‘ān, maka jika ia ingin, meskipun tidak ada anak, untuk mengangkat status pernikahan dengan li‘ān agar terbukti keharaman yang kuat, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat. Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَلَوْ لَاعَنَهَا ثُمَّ قَذَفَهَا فَلَا حَدَّ لَهَا كَمَا لَوْ حُدَّ لَهَا ثُمَّ قَذَفَهَا لَمْ يُحَدَّ ثَانِيَةً وَيُنْهَى فَإِنْ عَادَ عُزِّرَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia telah melakukan li‘ān terhadap istrinya, kemudian menuduhnya lagi, maka tidak ada hukuman had baginya, sebagaimana jika telah ditegakkan had atasnya lalu ia menuduhnya lagi, maka tidak ditegakkan had kedua kali, dan ia diperingatkan. Jika ia mengulangi, maka ia dihukum ta‘zīr.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ لِعَانَهُ مِنْهَا قَدْ أَسْقَطَ عِفَّتَهَا فِي حَقِّهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى عِفَّتِهَا مَعَ الْأَجَانِبِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: هِيَ عَلَى عِفَّتِهَا مَعَ الزَّوْجِ كَمَا هِيَ مَعَ الْأَجَانِبِ، وَلَا يُؤَثِّرُ اللِّعَانُ فِي الْعِفَّةِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena li‘ān darinya telah menggugurkan ‘iffah istrinya terhadap dirinya, meskipun ia tetap memiliki ‘iffah terhadap orang lain (ajnabi). Abu Hanifah berkata: Ia tetap memiliki ‘iffah terhadap suaminya sebagaimana terhadap ajnabi, dan li‘ān tidak berpengaruh pada ‘iffah. Ini adalah kesalahan karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ اللِّعَانُ فِي تَصْدِيقِ الزَّوْجِ دُونَ الْأَجَانِبِ كَالْبَيِّنَةِ وَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ بِهِ الْعِفَّةُ، فِي حَقِّ الزَّوْجِ، وَإِنْ لَمْ تَسْقُطْ بِهِ الْعِفَّةُ فِي حَقِّ الْأَجَانِبِ.

Pertama: Karena li‘ān dalam rangka membenarkan suami, bukan ajnabi, seperti halnya bukti (bayyinah), maka wajiblah ‘iffah itu gugur terhadap suami, meskipun tidak gugur terhadap ajnabi.

وَالثَّانِي: أَنَّ لِعَانَهُ لَمَّا سَقَطَتْ بِهِ الْعِفَّةُ إِنْ نَفَى وَلَدًا أَسْقَطَهُ وَإِنْ لَمْ يَنْفِهِ، لِأَنَّهُ كَالْبَيِّنَةِ لَهُ فِي الْحَالَيْنِ بِلِعَانِهِ وَلَدًا سَقَطَتْ عِفَّتُهَا مَعَ الْأَجَانِبِ فِي الْحَالَتَيْنِ.

Kedua: Karena li‘ān darinya, jika ia menafikan anak, maka ‘iffahnya gugur, dan jika tidak menafikan pun, karena li‘ān itu seperti bukti baginya dalam kedua keadaan. Dengan li‘ān terhadap anak, maka ‘iffahnya gugur terhadap ajnabi dalam kedua keadaan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا نَفَى بِلِعَانِهِ وَلَدًا سَقَطَتْ عِفَّتُهَا مَعَ الْأَجَانِبِ كَسُقُوطِهَا مَعَ الزَّوْجِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِاخْتِصَاصِ الزَّوْجِ بِاللِّعَانِ دُونَ الْأَجَانِبِ، وَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ وَعَادَ الزَّوْجُ فَقَذَفَهَا بَعْدَ لِعَانِهِ لَمْ يَخْلُ قَذْفُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ بِالزِّنَا الَّذِي لَاعَنَهَا عَلَيْهِ أَوْ بِغَيْرِهِ فَإِنْ قَذَفَهَا بِذَلِكَ الزِّنَا الَّذِي لَاعَنَهَا عَلَيْهِ لَمْ يُحَدَّ، لِأَنَّ لِعَانَهُ كَالْبَيِّنَةِ لَهُ فِي الْقَضَاءِ بتصديقه فِيهِ لَكِنْ يُعَزَّرُ لِلْأَذَى، وَإِنْ قَذَفَهَا بِغَيْرِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Abu Hanifah berkata: Jika dengan li‘ānnya ia menafikan anak, maka ‘iffah istrinya gugur terhadap ajnabi sebagaimana gugurnya terhadap suami. Ini adalah kesalahan, karena kekhususan suami dengan li‘ān tidak berlaku bagi ajnabi. Jika demikian, dan suami kembali menuduh istrinya setelah li‘ān, maka tuduhannya tidak lepas dari dua kemungkinan: menuduh dengan zina yang telah ia lakukan li‘ān atasnya, atau dengan selain itu. Jika ia menuduh dengan zina yang telah ia lakukan li‘ān atasnya, maka tidak dikenakan had, karena li‘ānnya seperti bukti baginya dalam hukum pengadilan dengan membenarkannya. Namun, ia tetap dihukum ta‘zīr karena menyakiti. Jika ia menuduh dengan selain itu, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحَدُّ لِأَنَّهُ لَيْسَ إِذَا حُكِمَ بِتَصْدِيقٍ فِي قَذْفٍ اقْتَضَى أَنْ يُحْكَمَ بِهِ فِي كُلِّ قَذْفٍ.

Pertama: Dikenakan had, karena tidak setiap keputusan membenarkan dalam satu tuduhan berarti berlaku untuk semua tuduhan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهِ لِأَنَّ عِفَّتَهَا قَدْ سَقَطَتْ فِي حَقِّهِ بِلِعَانِهِ لِأَنَّهُ كَالْبَيِّنَةِ لَهُ، وَمَعَ سُقُوطِ الْعِفَّةِ لَا يَجِبُ الْحَدُّ، فَأَمَّا إِذَا قَذَفَهَا غَيْرُهُ مِنَ الْأَجَانِبِ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا من أن تكون قد لاعنت أن نَكَلَتْ، فَإِنْ لَاعَنَتْ كَانَتْ عَلَى عِفَّتِهَا مَعَ الْأَجَانِبِ وَإِنْ سَقَطَتْ مَعَ الزَّوْجِ، فَعَلَى هَذَا يُحَدُّ قَاذِفُهَا لِبَقَائِهَا عَلَى الْعِفَّةِ مَعَهُ. وَإِنْ نَكَلَتْ عَنِ اللِّعَانِ وَحُدَّتْ لِلزِّنَا فَفِي سُقُوطِ عِفَّتِهَا مَعَ الْأَجَانِبِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Tidak dikenakan had, karena ‘iffahnya telah gugur terhadap suaminya dengan li‘ān, sebab li‘ān itu seperti bukti baginya. Dengan gugurnya ‘iffah, maka tidak wajib had. Adapun jika yang menuduhnya adalah selain suaminya dari kalangan ajnabi, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah melakukan li‘ān atau menolak li‘ān. Jika ia melakukan li‘ān, maka ia tetap memiliki ‘iffah terhadap ajnabi meskipun telah gugur terhadap suami. Dalam hal ini, penuduhnya dikenakan had karena ia tetap memiliki ‘iffah terhadap ajnabi. Jika ia menolak li‘ān dan telah ditegakkan had atasnya karena zina, maka dalam gugurnya ‘iffah terhadap ajnabi terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّهَا عَلَى عِفَّتِهَا مَعَ الْأَجَانِبِ وَأَنَّ مَنْ قَذَفَهَا فِيهِمْ حُدَّ لِاخْتِصَاصِ اللِّعَانِ بِالزَّوْجِ.

Pertama, yaitu pendapat Ibn Surayj: Ia tetap memiliki ‘iffah terhadap ajnabi, dan siapa pun yang menuduhnya di antara mereka dikenakan had, karena li‘ān hanya khusus untuk suami.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّ الْحَدَّ قَدْ أَسْقَطَ عِفَّتَهَا مَعَ الأجانب كما لو حدث بِالْبَيِّنَةِ، لِتَنَافِي اجْتِمَاعِ الْحَدِّ وَالْعِفَّةِ فَلَا يَجِبُ الْحَدُّ عَلَى قَاذِفِهَا أَجْنَبِيًّا كَانَ أَوْ زَوْجًا لكن يعزر للأذى.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Bahwa had telah menggugurkan ‘iffahnya terhadap ajnabi sebagaimana jika terjadi dengan bukti (bayyinah), karena tidak mungkin berkumpul antara had dan ‘iffah. Maka tidak wajib had atas penuduhnya, baik ia ajnabi maupun suami, tetapi tetap dihukum ta‘zīr karena menyakiti.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَذَفَهَا بِرَجُلٍ بِعَيْنِهِ وَطَلَبَا الْحَدَّ فَإِنِ الْتَعَنَ فَلَا حَدَّ لَهُ إِذَا بَطَلَ الْحَدُّ لِهَا بَطَلَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ حُدَّ لَهُمَا أَوْ لِأَيِّهِمَا طَلَبَ لِأَنَّهُ قَذْفٌ وَاحِدٌ فحكمه حكم الحد الواحد إذا كان لعان واحد أو حد واحد وقد رمى العجلاني امرأته برجل سماه وهو ابن السحماء رجل مسلم فلاعن بينهما ولم يحده له ولو قذفها غير الزوج حد لأنها لو كانت حين لزمها الحكم بالفرقة ونفي الولد زانية حدت ولزمها اسم الزنا ولكن حكم الله تعالى ثم حكم رسوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فيهما هكذا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki tertentu dan keduanya menuntut ditegakkannya had, maka jika ia melakukan li‘ān, tidak ada had baginya; jika had untuk istri gugur, maka had untuk laki-laki itu juga gugur. Namun jika tidak melakukan li‘ān, maka ditegakkan had untuk keduanya atau untuk siapa saja di antara keduanya yang menuntut, karena ini merupakan satu tuduhan zina, maka hukumnya seperti satu had jika li‘ān-nya satu atau had-nya satu. Dahulu Al-‘Ajlānī menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki yang ia sebut namanya, yaitu Ibnu Sahmā’, seorang Muslim, lalu dilakukan li‘ān di antara keduanya dan tidak ditegakkan had untuk laki-laki itu. Jika yang menuduh bukan suami, maka ditegakkan had, karena jika pada saat itu istri harus menerima hukum perpisahan dan penafian anak, maka ia dianggap pezina dan dikenai had serta disematkan padanya nama pezina. Namun, hukum Allah Ta‘ala dan kemudian hukum Rasul-Nya –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– dalam kasus ini adalah demikian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا ذَكَرَ فِي قَذْفِ زَوْجَتِهِ اسْمَ الزَّانِي بِهَا وَصَارَ قَاذِفًا لَهُ وَلَهَا فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُلَاعِنَ، أَوْ يَمْتَنِعَ، فَإِنِ امْتَنَعَ وَجَبَ أَنْ يُحَدَّ لِقَذْفِهِمَا، فَإِنْ قيل يقوله فِي الْقَدِيمِ: إِنَّهُ إِذَا قَذَفَ اثْنَيْنِ بِلَفْظَةٍ وَاحِدَةٍ وَجَبَ عَلَيْهِ حَدٌّ وَاحِدٌ كَانَ هَذَا الْقَذْفُ أَوْلَى أَنْ يَجِبَ بِهِ حَدٌّ وَاحِدٌ.

Al-Māwardī berkata: “Dan memang demikianlah, jika dalam tuduhan zina terhadap istrinya ia menyebut nama laki-laki yang dituduh berzina dengannya, maka ia menjadi penuduh bagi keduanya (istri dan laki-laki itu), sehingga keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia melakukan li‘ān atau menolak. Jika ia menolak, maka wajib ditegakkan had atasnya karena menuduh keduanya. Jika ada yang berkata, menurut pendapat lama: jika seseorang menuduh dua orang dengan satu lafaz, maka hanya wajib satu had, maka tuduhan seperti ini lebih utama untuk hanya dikenai satu had.”

وَإِنْ قِيلَ بِقَوْلِهِ الْجَدِيدِ: إِنَّ عَلَيْهِ فِي قَذْفِ الِاثْنَيْنِ حَدَّيْنِ فَقَدْ عَلَّلَهُ أَصْحَابُنَا بِعِلَّتَيْنِ:

Dan jika dikatakan menurut pendapat barunya: bahwa atas tuduhan terhadap dua orang wajib dua had, maka para sahabat kami memberikan dua alasan:

إِحْدَاهُمَا: أَنَّهُ قَدْ أَدْخَلَ بِقَذْفِهِ الْمَعَرَّةَ عَلَى اثْنَيْنِ، فَعَلَى هَذَا التَّعْلِيلِ وَجَبَ عَلَيْهِ بِقَذْفِ زَوْجَتِهِ بِالْمُسَمَّى حَدَّيْنِ لِإِدْخَالِ الْمَعَرَّةِ بِهِ عَلَى اثنين.

Pertama: Karena dengan tuduhannya, ia telah menimpakan aib kepada dua orang. Maka menurut alasan ini, jika ia menuduh istrinya dengan menyebut nama laki-laki tertentu, wajib atasnya dua had karena menimpakan aib kepada dua orang.

وَالْعِلَّةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُ قَذْفٌ بِزِنَاءٍ فَعَلَى هَذَا لَا يَجِبُ عَلَيْهِ بِهَذَا الْقَذْفِ إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ لِأَنَّهُ زِنًا وَاحِدٌ.

Alasan kedua: Karena ini adalah tuduhan zina yang satu, maka menurut alasan ini, tidak wajib atasnya kecuali satu had, karena itu adalah satu perbuatan zina.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ لَاعَنَ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِيهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَذْكُرَ الْمُسَمَّى فِي لِعَانِهِ أَوْ لَا يَذْكُرَهُ، فَإِنْ ذَكَرَهُ فِي لِعَانِهِ سَقَطَ حَدُّ الْقَذْفِ لَهُمَا.

Dan jika ia melakukan li‘ān, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia menyebut nama laki-laki itu dalam li‘ān-nya atau tidak. Jika ia menyebutnya dalam li‘ān-nya, maka had qadzaf untuk keduanya gugur.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يُحَدُّ لِلْمُسَمَّى، وَلَا يَسْقُطُ بِلِعَانِهِ وَإِنْ ذَكَرَهُ فِيهِ لِاخْتِصَاصِ اللِّعَانِ بِالزَّوْجَاتِ دُونَ الْأَجَانِبِ، فَصَارَ كَمَنْ قَذَفَ زَوْجَتَهُ وَأَجْنَبِيَّةً وَلَمْ يَسْقُطْ حَدُّ الْأَجْنَبِيَّةِ بِلِعَانِهِ مِنَ الزَّوْجَةِ، وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ الْعَجْلَانِيَّ سَمَّى شَرِيكَ بْنَ السَّحْمَاءِ فَلَمْ يَحُدَّهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَهُ بَعْدَ لِعَانِهِ فَدَلَّ عَلَى سُقُوطِ الْحَدِّ بِهِ، وَلِأَنَّ لِعَانَهُ قَدْ أَوْجَبَ تَصْدِيقَهُ فِي حَدِّ الْأَجْنَبِيِّ، لِأَنَّهُ زِنًا وَاحِدٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ فِيهِ مُصَدَّقًا وَمُكَذَّبًا وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْهُ فِي لِعَانِهِ وَطَالَبَ بِحَدِّهِ، فَإِنْ أَعَادَ اللِّعَانَ فَذَكَرَهُ فِيهِ فَلَا حَدَّ فَيَكُونُ هَذَا اللِّعَانُ لِاسْتِدْرَاكِ مَا أَخَلَّ بِهِ فِي اللِّعَانِ الْأَوَّلِ.

Abu Hanifah –raḍiyallāhu ‘anhu– berkata: Ditegakkan had untuk laki-laki yang disebut namanya, dan tidak gugur dengan li‘ān, meskipun ia menyebutnya dalam li‘ān, karena li‘ān itu khusus untuk para istri, bukan untuk orang lain (ajnabi). Maka keadaannya seperti orang yang menuduh istrinya dan seorang perempuan lain (ajnabiyah), di mana had untuk perempuan lain tidak gugur dengan li‘ān terhadap istri. Dalil kami: Sesungguhnya Al-‘Ajlānī menyebut nama Syarīk bin Sahmā’, namun Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– tidak menegakkan had untuk laki-laki itu setelah li‘ān, sehingga menunjukkan gugurnya had dengan li‘ān. Dan karena li‘ān-nya telah mewajibkan diterimanya pengakuannya dalam had untuk laki-laki lain, karena itu adalah satu perbuatan zina, maka tidak boleh dalam satu perkara ia dianggap benar dan dianggap dusta sekaligus. Jika ia tidak menyebutnya dalam li‘ān-nya dan menuntut ditegakkannya had, lalu ia mengulangi li‘ān dan menyebutnya di dalamnya, maka tidak ada had; sehingga li‘ān yang kedua ini untuk menutupi kekurangan pada li‘ān yang pertama.

وَإِنْ لَمْ يُعِدْهُ فَفِي وُجُوبِ حَدِّهِ قولان:

Jika ia tidak mengulanginya, maka dalam kewajiban ditegakkannya had terdapat dua pendapat:

أحدهما: لِأَنَّهُ لَا يَسْقُطُ بِاللِّعَانِ حَدُّ مَنْ لَمْ يُسَمِّ.

Pertama: Karena had bagi orang yang tidak disebut namanya tidak gugur dengan li‘ān.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا حَدَّ لِأَنَّهُ زِنًى وَاحِدٌ وَقَدْ حُكِمَ بِتَصْدِيقِهِ فِيهِ بِلِعَانِهِ مِنْ زَوْجَتِهِ فَسَقَطَ الْحَدُّ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ.

Pendapat kedua: Tidak ada had, karena itu adalah satu perbuatan zina dan telah diputuskan kebenaran pengakuannya melalui li‘ān terhadap istrinya, sehingga had yang terkait dengannya gugur.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَلَوْ شَهِدَ عَلَيْهِ أَنَّهُ قَذَفَهَا حُبِسَ حَتَّى يَعْدِلُوا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ada yang bersaksi bahwa ia telah menuduh istrinya berzina, maka ia ditahan sampai para saksi tersebut dinyatakan adil.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا ادَّعَتِ الْمَرْأَةُ عَلَى زَوْجِهَا أَنَّهُ قَذَفَهَا فَأَنْكَرَ. فَأَقَامَتْ عَلَيْهِ شَاهِدَيْنِ، أَوْ كَانَتْ دَعْوَى الْقَذْفِ بَيْنَ أَجْنَبِيَّيْنِ، نُظِرَتْ عَدَالَةُ الشَّاهِدَيْنِ، فَإِنْ عُلِمَتْ عَدَالَتُهُمَا حُكِمَ بِهِمَا، وَإِنَ عُلِمَ جَرْحُهُمَا أُسْقِطَتْ شَهَادَتُهُمَا، وَإِنْ جُهِلَ حَالُهُمَا حُبِسَ الْقَاذِفُ حَتَّى يُسْتَكْشَفَ عَنْهُمَا لِأَمْرَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: “Dan memang demikianlah, jika seorang wanita menuduh suaminya telah menuduhnya berzina, lalu suaminya mengingkari, kemudian ia menghadirkan dua orang saksi atas tuduhan tersebut, atau jika tuduhan qadzaf terjadi antara dua orang asing (bukan suami-istri), maka keadilan kedua saksi itu harus diperiksa. Jika diketahui keduanya adil, maka keputusan diambil berdasarkan kesaksian mereka. Jika diketahui keduanya cacat, maka kesaksian mereka gugur. Jika keadaan keduanya tidak diketahui, maka penuduh ditahan sampai keadilan mereka dapat dipastikan, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الظَّاهِرَ عَدَالَةُ الشَّاهِدَيْنِ وَإِنَّمَا يُتَوَقَّفُ لِلْكَشْفِ عَنْ جَرْحِهِمَا. وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُدَّعِيَ قَدْ فَعَلَ مَا عَلَيْهِ مِنْ إِحْضَارِ الْبَيِّنَةِ وَبَقِيَ مَا عَلَى الْحَاكِمِ مِنْ مَعْرِفَةِ الْعَدَالَةِ، فَأَمَّا إِنْ شَهِدَ بِالْقَذْفِ شَاهِدٌ وَاحِدٌ فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ عَدَالَتُهُ لَمْ يُحْبَسِ الْقَاذِفُ وَإِنْ عُرِفَتْ عَدَالَتُهُ فَهَلْ يُحْبَسُ عَلَى حُضُورِ الشَّاهِدِ الْآخَرِ؟ فِيهِ قَوْلَانِ:

Pertama: Bahwa yang tampak adalah keadilan kedua saksi, dan penundaan hanya dilakukan untuk meneliti adanya cela pada keduanya. Kedua: Bahwa penggugat telah melakukan kewajibannya dengan menghadirkan bukti, dan yang tersisa adalah tugas hakim untuk mengetahui keadilan (saksi). Adapun jika yang bersaksi atas tuduhan qadzaf hanya satu orang saksi, maka jika keadilannya tidak diketahui, si penuduh tidak ditahan. Namun jika keadilannya diketahui, apakah ia ditahan hingga hadir saksi yang lain? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحْبَسُ، لِأَنَّهُ كَمَا حُبِسَ مَعَ كَمَالِ الْعَدَدِ وَنُقْصَانِ الْعَدَالَةِ جَازَ أَنْ يُحْبَسَ مَعَ كَمَالِ الْعَدَالَةِ وَنُقْصَانِ الْعَدَدِ.

Pertama: Ia ditahan, karena sebagaimana ia ditahan ketika jumlah saksi telah lengkap namun keadilannya kurang, maka boleh juga ia ditahan ketika keadilan telah sempurna namun jumlah saksi kurang.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ حَبْسُهُ لِأَنَّ الْبَيِّنَةَ بِكَمَالِ الْعَدَدِ مَوْجُودَةٌ وَبِنُقْصَانِهِ مَفْقُودَةٌ.

Pendapat kedua: Tidak boleh menahannya, karena bukti dengan jumlah saksi yang lengkap itu ada, dan jika kurang maka bukti itu tidak ada.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَكْفُلُ رَجُلٌ فِي حَدٍّ وَلَا لِعَانٍ ولا يُحْبَسُ بِوَاحِدٍ. (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ هَذَا دَلِيلٌ عَلَى إِثْبَاتِهِ كَفَالَةَ الْوَجْهِ فِي غَيْرِ الْحَدِّ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tidak boleh seseorang menjadi penjamin dalam perkara had maupun li‘an, dan tidak boleh pula ditahan hanya dengan satu saksi.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Ini adalah dalil bahwa beliau menetapkan bolehnya penjaminan kehadiran (kafālah al-wajh) dalam perkara selain had.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَلِلْكَفَالَةِ بِالنَّفْسِ حَالَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Penjaminan dengan jiwa (kafālah bi al-nafs) memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: في حقوق الله عز وجل.

Pertama: Dalam hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla.

والثاني: فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، فَأَمَّا فِي حُقُوقِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَلَا يَصِحُّ، لِأَنَّهَا إِنْ كَانَتْ فِي حُدُودٍ فَهِيَ مَوْضُوعَةٌ عَلَى الْإِدْرَاءِ وَالتَّسْهِيلِ وَإِنْ كَانَتْ فِي أَمْوَالٍ فَهِيَ مَوْكُولَةٌ إِلَى أَمَانَتِهِ إِنْ تَعَلَّقَتْ بِذِمَّتِهِ أَوْ زَكَاةٍ تُؤْخَذُ مِنْ عَيْنِ مَا بِيَدِهِ، أَمَّا حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ فَضَرْبَانِ: أَمْوَالٌ، وَحُدُودٌ.

Kedua: Dalam hak-hak manusia. Adapun dalam hak-hak Allah Subhanahu wa Ta‘ala, maka tidak sah, karena jika berkaitan dengan hudud maka itu ditetapkan untuk mencegah dan memudahkan, dan jika berkaitan dengan harta maka itu diserahkan pada amanahnya jika terkait dengan tanggungannya, atau zakat yang diambil dari harta yang ada di tangannya. Adapun hak-hak manusia terbagi dua: harta dan hudud.

فَأَمَّا الْأَمْوَالُ فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي أَكْثَرِ كُتُبِهِ أَنَّ الْكَفَالَةَ بِالنَّفْسِ فِيهَا جَائِزَةٌ وَقَالَ فِي كِتَابِ الدَّعَاوَى وَالْبَيِّنَاتِ: غَيْرَ أَنَّ كَفَالَةَ الْأَبْدَانِ عِنْدِي ضَعِيفَةٌ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِ الشَّافِعِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بِتَضْعِيفِهَا، فَمِنْهُمْ مَنْ حَمَلَهُ عَلَى إِبْطَالِهَا وَخَرَّجَ كَفَالَةَ النَّفْسِ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَمِنْهُمْ مَنْ حَمَلَهُ عَلَى ضَعْفِهَا فِي الْقِيَاسِ، لِأَنَّهُ ضَمَانٌ عُيِّنَ بِعَقْدٍ لَكِنْ جَازَ لِلضَّرُورَةِ الدَّاعِيَةِ إِلَيْهِ وَكَمَا خَالَفَ ضَمَانَ الدَّرْكِ مَعَ مُخَالَفَةِ الْأُصُولِ، وَأَمَّا الْحُدُودُ كَالْقِصَاصِ وَحَدِّ الْقَذْفِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun harta, pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i ra. dalam kebanyakan kitabnya adalah bahwa penjaminan dengan jiwa di dalamnya diperbolehkan. Namun beliau berkata dalam Kitab al-Da‘āwā wa al-Bayyinat: “Hanya saja menurutku penjaminan badan (kafālah al-abdān) itu lemah.” Para sahabat kami berbeda pendapat tentang maksud Imam Syafi‘i ra. menyatakan kelemahannya: sebagian menafsirkannya sebagai pembatalan, sehingga penjaminan jiwa menjadi dua pendapat; sebagian lagi menafsirkannya sebagai kelemahan dalam qiyās, karena itu adalah jaminan yang ditetapkan dengan akad, namun dibolehkan karena kebutuhan yang mendesak, sebagaimana berbeda dengan jaminan kerugian (ḍamān al-darak) yang juga berbeda dengan kaidah asal. Adapun hudud seperti qishāsh dan had qadzaf, para sahabat kami berbeda pendapat dalam dua wajah:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَحُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي لَا تَجُوزُ الْكَفَالَةُ فِيهَا، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ فِيهَا ضَمَانُ مَا فِي الذِّمَّةِ لَمْ تَجُزْ فِيهِ الْكَفَالَةُ بِذِي الذِّمَّةِ، وَبِهَذَا الْمَعْنَى فَارَقَ الْكَفَالَةَ فِي الْمَالِ.

Pertama: Bahwa ia seperti hudud Allah Ta‘ala yang tidak boleh ada penjaminan di dalamnya, karena ketika tidak boleh ada jaminan atas apa yang menjadi tanggungan, maka tidak boleh pula ada penjaminan atas orang yang menanggung, dan dengan makna ini penjaminan dalam harta berbeda.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مِنْ مَذَاهِبِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهَا كَالْأَمْوَالِ فِي جَوَازِ الْكَفَالَةِ فِيهَا بِالنَّفْسِ عَلَى مَا قَدَّمْنَا مِنَ الشَّرْحِ، لِأَنَّ جَمِيعَهَا مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الَّتِي يُبَاشِرُ فِيهَا مَنْ هِيَ عَلَيْهِ وَيَسْتَوْثِقُ فِيهَا لِمَنْ هِيَ لَهُ وَلَيْسَ عَلَى الْكَفِيلِ بِالنَّفْسِ الْمُطَالَبَةُ بِالْحَقِّ الَّذِي فِي الذِّمَّةِ، فَاسْتَوَى فِيهَا مَا يَجُوزُ ضمانه وما لا يجوز.

Wajah kedua, menurut sebagian mazhab sahabat kami: Bahwa ia seperti harta dalam bolehnya penjaminan dengan jiwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, karena semuanya termasuk hak-hak manusia yang pelaksanaannya dilakukan oleh yang bersangkutan dan penegakannya untuk yang berhak, dan penjamin dengan jiwa tidak dituntut untuk membayar hak yang ada dalam tanggungan, sehingga sama saja antara yang boleh dijamin dan yang tidak boleh.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ زَنَى فَرْجُكِ أَوْ يَدُكِ أَوْ رِجْلُكِ فَهُوَ قَذْفٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang berkata: ‘Kemaluanmu, atau tanganmu, atau kakimu berzina’, maka itu adalah qadzaf (tuduhan zina).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ: ذَكَرَهَا الْمُزَنِيُّ فِي مُخْتَصَرِهِ وَلَمْ يَذْكُرْهَا فِي جامعه، فجعل قوله لها زنا فَرْجُكِ أَوْ يَدُكِ، أَوْ رِجْلُكِ، قَذْفًا وَلَمْ يَذْكُرِ الشَّافِعِيُّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ إِلَّا فِي الْقَدِيمِ فقال: ولو قال: زنا فَرْجُكِ فَهُوَ قَاذِفٌ، وَإِنْ قَالَ: يَدُكِ أَوْ رِجْلُكِ، فَقَدْ قَالَ بَعْضُ النَّاسِ – يَعْنِي أَبَا حَنِيفَةَ: فِي الْبَدَنِ وَهُوَ قَاذِفٌ وَفِي الْيَدِ وَالرِّجْلِ لَا يَكُونُ قَاذِفًا، وَلَا فِي الْعَيْنِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: هَذَا كُلُّهُ مَا عَدَا الْفَرْجَ واحداً وَلَمْ يُصَرِّحْ أَنَّهُ وَاحِدٌ فِي الْقَذْفِ، فَلَمْ يختلف أصحابنا أنه إذا قال: زنا فَرْجُكِ، أَنَّهُ قَاذِفٌ، وَإِذَا قَالَ: زَنَتْ عَيْنُكِ، لَمْ يَكُنْ قَاذِفًا، وَاخْتَلَفُوا فِيمَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْأَعْضَاءِ هَلْ يَكُونُ قَاذِفًا بِإِضَافَةِ الزِّنَا إِلَيْهَا أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini disebutkan oleh al-Muzani dalam Mukhtasharnya dan tidak disebutkan dalam al-Jami‘-nya. Ia menjadikan ucapan seseorang “farj-mu (kemaluanmu) berzina atau tanganmu, atau kakimu berzina” sebagai qazaf (tuduhan zina), dan asy-Syafi‘i tidak menyebutkan masalah ini kecuali dalam al-Qadim. Ia berkata: “Jika seseorang berkata: ‘farj-mu berzina’, maka ia adalah qazif (penuduh zina). Namun jika ia berkata: ‘tanganmu atau kakimu berzina’, sebagian ulama—yakni Abu Hanifah—berpendapat: jika pada anggota badan (selain farj) maka ia adalah qazif, namun pada tangan dan kaki tidak dianggap qazif, demikian pula pada mata.” Asy-Syafi‘i berkata: “Semua itu selain farj adalah satu (makna), namun ia tidak menegaskan bahwa itu satu dalam hal qazaf.” Maka, para sahabat kami tidak berbeda pendapat bahwa jika seseorang berkata: “farj-mu berzina”, maka ia adalah qazif. Namun jika ia berkata: “matamu berzina”, maka ia bukan qazif. Mereka berbeda pendapat mengenai selain itu dari anggota tubuh, apakah menjadi qazif jika menisbatkan zina kepadanya atau tidak? Ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، لَا يَكُونُ قَاذِفًا إِذَا قَالَ: زَنَتْ يَدُكِ، أَوْ رِجْلُكِ أَوْ رَأْسُكِ، أَوْ يَدُكِ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي الْقَدِيمِ، وَنَسَبُوا الْمُزَنِيَّ إِلَى الْخَطَأِ فِي نَقْلِهِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا اللَّمْسُ، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ أَوْ يُكَذِّبُهُ الْفَرْجُ، وَلِأَنَّ بِالْفَرْجِ يَكُونُ الزِّنَا بِخِلَافِ سَائِرِ الْأَعْضَاءِ.

Pertama: Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa tidak dianggap sebagai qazif jika seseorang berkata: “tanganmu berzina”, atau “kakimu”, atau “kepalamu”, atau “tanganmu”. Ini adalah zahir (makna lahiriah) dari ucapan asy-Syafi‘i—semoga Allah meridhainya—dalam al-Qadim, dan mereka menisbatkan kekeliruan kepada al-Muzani dalam riwayatnya. Karena Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda: “Dua mata berzina dan zinanya adalah melihat, dua tangan berzina dan zinanya adalah menyentuh, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah farj.” Dan karena zina itu terjadi dengan farj, berbeda dengan anggota tubuh lainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونُ بِجَمِيعِ ذَلِكَ قَاذِفًا كَالْفَرْجِ عَلَى مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ كَمَا يَسْتَوِي جَمِيعُهُ فِي الطَّلَاقِ.

Pendapat kedua: Bahwa dengan semua itu (menuduh zina pada anggota tubuh selain farj) juga dianggap sebagai qazif seperti halnya farj, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muzani, sebagaimana semua itu sama dalam masalah talak.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدِي، وَبِهِ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سريج إنه إذا قال: زنا بَدَنُكِ كَانَ قَاذِفًا، وَلَوْ قَالَ زَنَتْ يَدُكِ أَوْ رِجْلُكِ أَوْ رَأْسُكِ لَمْ يَكُنْ قَاذِفًا، لِأَنَّ الْبَدَنَ هُوَ الْجُمْلَةُ الَّتِي فِيهَا الْفَرَجُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ بِالْفَرْجِ قَاذِفًا وَبِالْبَدَنِ الَّذِي مِنْهُ الْفَرَجُ لَيْسَ بِقَاذِفٍ فَأَمَّا سَائِرُ الْأَعْضَاءِ مِنَ الرَّأْسِ وَالْبَدَنِ، وَالْيَدِ وَالرِّجْلِ، فَلَا تَخْتَصُّ بِالزِّنَا فَلَا يَكُونُ بِهَا قَاذِفًا كَالْعَيْنِ، فَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فَإِنَّهُ فَرَّقَ فِيهَا بَيْنَ الْأَعْضَاءِ الَّتِي لَا تَبْقَى الحياة بانفصالها وبين ما تبقى الحياة بفصالها فجعله قاذفاً بقوله: زنا رَأْسُكِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُ قَاذِفًا بِقَوْلِهِ: زَنَتْ يَدُكِ أَوْ رِجْلُكِ، وَبَنَاهُ عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الطَّلَاقِ الَّذِي تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى اسْتِوَاءِ حُكْمِ مَا يَحْفَظُ الْحَيَاةَ وَمَا لَا يَحْفَظُهَا، أَنَّ كُلَّ مَا لَوْ نَسَبَهُ مِنْهَا إِلَى نَفْسِهِ لَمْ يَكُنْ مُقِرًّا بِالزِّنَا لَمْ يَكُنْ إِذَا نَسَبَهُ إِلَى غَيْرِهِ قَاذِفًا بِالزِّنَا، كَالْعَيْنِ طَرْدًا وَالْفَرْجِ عَكْسًا لِاسْتِوَاءِ الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا وَالْقَذْفِ به في الصريح والكناية.

Pendapat ketiga: Dan ini yang menurutku paling benar, dan juga dikatakan oleh Abu al-‘Abbas bin Suraij, yaitu jika seseorang berkata: “badanmu berzina”, maka ia adalah qazif. Namun jika ia berkata: “tanganmu berzina” atau “kakimu” atau “kepalamu”, maka ia bukan qazif. Karena badan adalah keseluruhan yang di dalamnya terdapat farj, maka tidak mungkin ia menjadi qazif dengan menyebut farj, namun tidak menjadi qazif dengan menyebut badan yang di dalamnya terdapat farj. Adapun anggota tubuh lainnya seperti kepala, badan, tangan, dan kaki, tidak khusus untuk zina, maka tidak menjadi qazif dengan menisbatkan zina kepadanya, sebagaimana pada mata. Adapun Abu Hanifah—semoga Allah meridhainya—ia membedakan antara anggota tubuh yang jika terpisah kehidupan tidak bertahan, dan yang jika terpisah kehidupan tetap bertahan. Ia menjadikan qazif jika berkata: “kepalamu berzina”, dan tidak menjadikannya qazif jika berkata: “tanganmu atau kakimu berzina”, dan ia membangun pendapat ini di atas mazhabnya dalam masalah talak yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalil bahwa hukum antara anggota yang menjaga kehidupan dan yang tidak menjaga kehidupan itu sama, adalah bahwa setiap apa yang jika dinisbatkan kepada dirinya sendiri tidak dianggap sebagai pengakuan zina, maka jika dinisbatkan kepada orang lain juga tidak dianggap sebagai qazif, seperti mata secara mutlak, dan farj sebaliknya, karena kesamaan pengakuan zina dan qazaf baik secara eksplisit maupun kinayah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَكُلُّ مَا قَالَهُ وَكَانَ يُشْبِهُ الْقَذْفَ إِذَا احْتَمَلَ غَيْرَهُ لَمْ يَكُنْ قَذْفًا وَقَدْ أَتَى رَجُلٌ مِنْ فَزَارَةَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال إن امرأتي ولدت غلاماً أسود فلم يجعله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قذفا وقال اللَّهُ تَعَالَى {وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ به من خطبة النساء} فكان خلافاً للتصريح “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Setiap ucapan yang menyerupai qazaf, jika masih mengandung kemungkinan makna lain, maka tidak dianggap sebagai qazaf. Pernah ada seorang laki-laki dari Fazarah datang kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan berkata: ‘Istriku melahirkan seorang anak laki-laki yang berkulit hitam’, maka Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak menganggapnya sebagai qazaf. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian sindirkan tentang lamaran kepada wanita} (al-Baqarah: 235), maka itu berbeda dengan ucapan yang jelas (sharih).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ كِنَايَاتُ الْقَذْفِ وَمَعَارِيضُهُ لَا تَكُونُ قَذْفًا إِلَّا بِالْإِرَادَةِ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى جَمِيعًا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa kinayah dan sindiran dalam qazaf tidak dianggap sebagai qazaf kecuali dengan adanya niat, baik dalam keadaan marah maupun ridha.

وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ مَالِكٌ، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ: أَكْثَرُ الْمَعَارِيضِ قَذْفٌ فِي الْغَضَبِ دُونَ الرِّضَى كَقَوْلِهِ: أَنَا مَا زَنَيْتُ، أَوْ يَا حَلَالُ ابْنَ الْحَلَالِ.

Pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha. Malik, Ahmad, dan Ishaq berkata: Kebanyakan bentuk sindiran (ma‘ārīḍ) adalah tuduhan zina (qadzaf) jika diucapkan dalam keadaan marah, bukan dalam keadaan rela, seperti ucapannya: “Aku tidak berzina,” atau “Wahai orang halal, anak orang halal.”

حُكِيَ أَنَّ رَجُلًا أَتَى مَالِكًا فَقَالَ: مَا تَقُولُ فِي رَجُلٍ قَالَ لِرَجُلٍ: يَا زَانِ ابْنَ الزَّانِيَةِ، قَالَ: هُوَ قَاذِفٌ، قَالَ: فَإِنْ قَالَ: يَا حَلَالُ ابْنَ الْحَلَالِ، قَالَ هُوَ قَاذِفٌ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَكُونُ قَاذِفًا إِذَا قَالَ: يَا حَلَالُ ابْنَ الْحَلَالِ وَإِذَا قَالَ: يَا زَانِي ابْنَ الزَّانِيَةِ، فَقَالَ مَالِكٌ: قَدْ يَأْتِيهِ [الْبَاطِلُ] بِلَفْظِ الْحَقِّ وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ بقوله تعالى: {وإنا وإياكم لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ} [سبأ: 24] . فَكَانَ صَرِيحَ الْآيَةِ أَنَّ أَحَدَهُمَا عَلَى هُدًى وَالَآخَرَ عَلَى ضَلَالٍ، وَدَلِيلُهَا فِي مَوْضِعِ الْخِطَابِ وَالتَّعْرِيضِ بِالذَّمِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأُمَّتَهُ عَلَى هُدًى، وَأَنَّ الْمُشْرِكِينَ عَلَى ضَلَالٍ مُبِينٍ، فَكَذَلِكَ حُكْمُ الْمَعَارِيضِ كُلِّهَا.

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Malik dan bertanya: “Apa pendapatmu tentang seseorang yang berkata kepada orang lain: ‘Wahai pezina, anak pezina’?” Malik menjawab: “Ia adalah penuduh (qādzif).” Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana jika ia berkata: ‘Wahai orang halal, anak orang halal’?” Malik menjawab: “Ia juga penuduh.” Laki-laki itu berkata: “Apakah ia menjadi penuduh jika berkata: ‘Wahai orang halal, anak orang halal’ dan juga jika berkata: ‘Wahai pezina, anak pezina’?” Malik menjawab: “Terkadang kebatilan datang dengan lafaz yang tampak benar.” Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan sesungguhnya kami atau kalian benar-benar berada di atas petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata} [Saba’: 24]. Lafaz ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa salah satu di antara mereka berada di atas petunjuk dan yang lain dalam kesesatan, dan dalilnya dalam konteks pembicaraan dan sindiran celaan adalah bahwa Nabi ﷺ dan umatnya berada di atas petunjuk, sedangkan orang-orang musyrik berada dalam kesesatan yang nyata. Maka demikian pula hukum semua bentuk sindiran (ma‘ārīḍ).

وَرَوَى سَالِمٌ عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – حَدَّ فِي التَّعْرِيضِ بِالزِّنَا، وَلَيْسَ لَهُ مُخَالِفٌ، فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ احْتِمَالَ التَّعْرِيضِ يَصْرِفُهُ الْغَضَبُ إِلَى الصَّرِيحِ، لِأَنَّ شَاهِدَ الْحَالِ أَظْهَرُ مِنَ الِاعْتِقَادِ.

Sālim meriwayatkan dari ayahnya, bahwa Umar bin Khattab ra. pernah menjatuhkan hukuman had atas sindiran tuduhan zina, dan tidak ada yang berbeda pendapat dengannya, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Karena kemungkinan makna sindiran dapat berubah menjadi makna jelas (ṣarīḥ) ketika diucapkan dalam keadaan marah, sebab keadaan nyata lebih menunjukkan maksud daripada sekadar keyakinan.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَجُلًا مِنْ فَزَارَةَ آتِي رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتِي وَلَدَتْ غُلَامًا أَسْوَدَ. فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَلَكَ إِبِلٌ، قَالَ نَعَمْ: قَالَ مَا أَلْوَانُهَا، قَالَ: حُمْرٌ كُلُّهَا، قَالَ: هَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَنَّى تَرَى ذَلِكَ؟ قَالَ: لَعَلَّ عِرْقًا نَزَعَ، قَالَ: كَذَلِكَ هَذَا لَعَلَّ عِرْقًا نَزَعَ)) .

Dalil kami adalah riwayat yang dibawakan oleh asy-Syafi‘i dari Malik, dari az-Zuhri, dari Sa‘id bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah: Bahwa seorang laki-laki dari (kabilah) Fazarah datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, istriku melahirkan seorang anak laki-laki berkulit hitam.” Nabi ﷺ bertanya: “Apakah engkau memiliki unta?” Ia menjawab: “Ya.” Nabi bertanya: “Apa warna-warnanya?” Ia menjawab: “Semuanya merah.” Nabi bertanya: “Apakah ada di antaranya yang berwarna abu-abu?” Ia menjawab: “Ada.” Nabi bertanya: “Dari mana menurutmu itu berasal?” Ia menjawab: “Mungkin karena ada garis keturunan yang menurun.” Nabi bersabda: “Begitu pula hal ini, mungkin ada garis keturunan yang menurun.”

فَلَمْ يَجْعَلِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هَذَا التَّعْرِيضَ بِالْقَذْفِ صَرِيحًا فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا يَكُونُ صَرِيحًا فِي الْغَضَبِ وَلَمْ يَظْهَرْ مِنْهُ غَضَبٌ، قِيلَ حَالُهُ يَشْهَدُ بِغَضَبِهِ لِأَنَّهُ أَنْكَرَ مِنْ زَوْجَتِهِ وَهُمَا أَبْيَضَانِ أَنْ تَلِدَ غُلَامًا أَسْوَدَ يُخَالِفُهُمَا فِي الشَّبَهِ. وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا آتِي رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فقال: يا رسول الله إني امْرَأَتِي لَا تَرُدُّ يَدَ لَامِسٍ، فَقَالَ طَلِّقْهَا، فقال: إن أُحِبُّهَا، قَالَ: أَمْسِكْهَا وَهَذَا تَعْرِيضٌ بِالْقَذْفِ وَلَمْ يَجْعَلْهُ قَاذِفًا.

Maka Nabi ﷺ tidak menganggap sindiran tuduhan (qadzaf) ini sebagai tuduhan yang jelas. Jika dikatakan: “Itu menjadi jelas jika diucapkan dalam keadaan marah, padahal tidak tampak kemarahan darinya,” maka dijawab: “Keadaannya menunjukkan kemarahannya, karena ia mengingkari istrinya yang berkulit putih melahirkan anak laki-laki berkulit hitam yang berbeda dengan keduanya.” Hal ini juga didukung oleh riwayat bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya.” Nabi bersabda: “Ceraikan dia.” Laki-laki itu berkata: “Aku mencintainya.” Nabi bersabda: “Pertahankan dia.” Ini adalah sindiran tuduhan (qadzaf), namun Nabi tidak menganggapnya sebagai penuduh.

فَإِنْ قِيلَ: الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: ” يَدَ لَامِسٍ “، أُرِيدَ بِهِ مُلْتَمِسٍ، أَيْ طَالِبٍ لِمَا لَهُ لِتَبْذِيرِهَا لَهُ فِي كُلِّ سَائِلٍ وَطَالِبٍ، وَلَمْ يُرِدِ الْتِمَاسَ الْفَاحِشَةِ فَيَكُونُ تَعْرِيضًا، قِيلَ: لَا يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى هَذَا التَّأْوِيلِ الْمُخَالِفِ لأمرين:

Jika dikatakan: “Yang dimaksud dengan ucapannya: ‘tangan orang yang menyentuh’ adalah tangan orang yang meminta, yaitu orang yang meminta harta karena istrinya suka menghambur-hamburkan harta kepada setiap peminta dan pencari, dan bukan bermaksud permintaan perbuatan keji, sehingga itu menjadi sindiran,” maka dijawab: “Tidak boleh menafsirkan demikian yang bertentangan dengan dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ أَرَادَ هَذَا الْقَوْلَ لَقَالَ: لَا تَرُدُّ يَدَ مُلْتَمِسٍ، وَلَمْ يَقُلْ: يَدَ لَامِسٍ.

Pertama: Jika ia bermaksud demikian, tentu ia akan berkata: ‘tidak menolak tangan orang yang meminta’, dan bukan berkata: ‘tangan orang yang menyentuh’.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ قَصَدَ هَذَا لَمْ يُؤْمَرْ بِطَلَاقِهَا، وَلَأُمِرَ بِحَبْسِ مَالِهِ عَنْهَا.

Kedua: Jika ia bermaksud demikian, tentu ia tidak akan diperintahkan untuk menceraikannya, melainkan diperintahkan untuk menahan hartanya darinya.

وَرُوِيَ أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ تَقُولُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُذَمَّمًا عَصَيْنَا، وَأَمْرَهُ أَبَيْنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أن تَرَوْنَ كَيْفَ عَصَمَنِي اللَّهُ مِنْهُمْ، إِنَّهُمْ يَسُبُّونَ مُذَمَّمًا وَأَنَا مُحَمَّدٌ، فَلَمْ يَجْعَلْ تَعْرِيضَهُمْ بِهِ صَرِيحًا، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَحَلَّ التَّعْرِيضَ بِالْخُطْبَةِ وَقَدْ حَرَّمَ صَرِيحَهَا، فَدَلَّ عَلَى اخْتِلَافِ حُكْمِ التَّعْرِيضِ وَالتَّصْرِيحِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ عَنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى: أن كل ما كان كناية في الرضى كَانَ كِنَايَةً فِي الْغَضَبِ كَالْكِنَايَاتِ فِي الطَّلَاقِ وَأَنَّ كُلَّ مَا لَوْ نَسَبَهُ إِلَى نَفْسِهِ لَمْ يَكُنْ إِقْرَارًا بِالزِّنَا وَجَبَ إِذَا نَسَبَهُ إِلَى غَيْرِهِ أَنْ لَا يَكُونَ قَذْفًا بِالزِّنَا قياساً على حال الرضى، لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ لِنَفْسِهِ: أَنَا مَا زَنَيْتُ لَمْ يَكُنْ إِقْرَارًا، كَذَلِكَ إِذَا قَالَ لِغَيْرِهِ: أَنَا مَا زَنَيْتُ لَمْ يَكُنْ قَذْفًا.

Diriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi biasa berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Kami durhaka kepada Muzammam, dan kami menolak perintahnya.” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Tidakkah kalian melihat bagaimana Allah melindungiku dari mereka? Sesungguhnya mereka mencela Muzammam, sedangkan aku adalah Muhammad.” Maka celaan mereka itu tidak diarahkan secara jelas kepada beliau. Dan karena Allah Ta‘ala membolehkan sindiran dalam khutbah, padahal melarang ucapan yang jelas, maka ini menunjukkan adanya perbedaan hukum antara sindiran (ta‘rīḍ) dan ucapan yang jelas (taṣrīḥ). Hal ini juga dapat dipahami secara makna: bahwa segala sesuatu yang berupa kinayah (sindiran) dalam kerelaan, maka ia juga kinayah dalam kemarahan, seperti kinayah dalam talak. Dan bahwa setiap ucapan yang jika dinisbatkan kepada diri sendiri tidak dianggap sebagai pengakuan zina, maka jika dinisbatkan kepada orang lain juga tidak dianggap sebagai qadhf (tuduhan zina), berdasarkan qiyās pada keadaan ridha. Karena jika seseorang berkata kepada dirinya sendiri: “Aku tidak berzina,” itu bukanlah pengakuan, demikian pula jika ia berkata kepada orang lain: “Aku tidak berzina,” itu bukanlah qadhf.

فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْآيَةِ، فَهِيَ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ التَّعْرِيضِ وَالتَّصْرِيحُ أَدَلُّ، لِأَنَّهُ عَدَلَ عَنْ قَوْلِهِ: نَحْنُ عَلَى هُدًى، وَأَنْتُمْ عَلَى ضَلَالٍ مُبِينٍ، لِمَا فِيهِ مِنَ التَّنْفِيرِ، [إِلَى مَا هُوَ أَلْطَفُ] فِي الْقَوْلِ تَأْلِيفًا لَهُمْ وَإِنْ كَانَ فِي معناه، فقال: {إنا وإياكم لعلى هدى أو في ضلال مبين} فَلَوْ كَانَ التَّعْرِيضُ كَالتَّصْرِيحِ لَعَدَلَ عَنِ اللَّفْظِ الْمُحْتَمَلِ إِلَى مَا هُوَ أَوْضَحُ مِنْهُ وَأَبْيَنُ.

Adapun dalil dengan ayat, maka itu lebih menunjukkan adanya perbedaan antara sindiran dan ucapan yang jelas. Karena (Allah) berpaling dari ucapan: “Kami di atas petunjuk dan kalian di atas kesesatan yang nyata,” karena di dalamnya terdapat unsur penolakan, [beralih kepada ucapan yang lebih lembut] dalam rangka menarik hati mereka, meskipun maknanya sama, yaitu firman-Nya: {Sesungguhnya kami atau kalian benar-benar berada di atas petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata}. Maka jika sindiran itu sama dengan ucapan yang jelas, tentu akan berpaling dari lafaz yang masih mengandung kemungkinan kepada lafaz yang lebih jelas dan terang.

أَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْإِجْمَاعِ بِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّ فِي التَّعْرِيضِ، فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Adapun dalil mereka dengan ijmā‘ bahwa ‘Umar ra. menetapkan had dalam kasus sindiran, maka jawabannya ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ خُولِفَ فِيهِ فَقَدْ رَوَتْ عَمْرَةُ أَنَّ شَابًّا خَاصَمَ غَيْرَهُ فِي زَمَانِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فَقَالَ: مَا زَنَى أَبِي، وَلَا أُمِّي، فَرُفِعَ إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَاسْتَشَارَ الصَّحَابَةَ، فقالوا: مدح أباه وأمه، فحده عمر – رضي الله عنه – فَثَبَتَ اخْتِلَافُهُمْ فِيهِ.

Pertama: Bahwa ‘Umar ra. telah diselisihi dalam hal ini. Diriwayatkan dari ‘Amrah bahwa seorang pemuda berselisih dengan orang lain pada masa ‘Umar ra., lalu ia berkata: “Ayahku dan ibuku tidak berzina.” Maka perkara itu dibawa kepada ‘Umar ra., lalu ia meminta pendapat para sahabat, mereka berkata: “Ia memuji ayah dan ibunya.” Namun ‘Umar ra. tetap menjatuhkan had kepadanya. Maka terbukti adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal ini.

وَالثَّانِي: مَا رَوَى عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ فِي الْمَعَارِيضِ لِمَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ.

Kedua: Diriwayatkan dari ‘Umar ra. bahwa beliau berkata: “Sesungguhnya dalam sindiran itu terdapat jalan keluar dari dusta.”

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ شَاهِدَ الْحَالِ يَنْفِي احْتِمَالَ الْمَعَارِيضِ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِأَنَّ صَرِيحَ الْقَذْفِ فِي حَالَةِ الرِّضَا والبر لا يزوال عَنْ حُكْمَهِ، وَكَذَلِكَ التَّعْرِيضُ فِي حَالِ الْغَضَبِ والعقوق.

Adapun dalil mereka bahwa keadaan (syahid al-ḥāl) menafikan kemungkinan makna sindiran, maka itu tidak benar. Karena ucapan qadhf yang jelas dalam keadaan ridha dan kebaikan tidak menghilangkan hukumnya, demikian pula sindiran dalam keadaan marah dan durhaka.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَكُونُ اللِّعَانُ إِلَّا عِنْدَ سُلْطَانٍ أَوْ عُدُولٍ يَبْعَثُهُمُ السُّلْطَانُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tidaklah li‘ān itu dilakukan kecuali di hadapan penguasa atau orang-orang adil yang diutus oleh penguasa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ مِنْ شُرُوطِ صِحَّةِ اللِّعَانِ وَثُبُوتِ حُكْمِهِ أَنْ يَكُونَ بِحُكْمِ الْحَاكِمِ وَمَشْهَدِهِ، وَلَا يَصِحُّ لِعَانُ الزَّوْجَيْنِ بِأَنْفُسِهِمَا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَاعَنَ بَيْنَ الْعَجْلَانِيِّ وَامْرَأَتِهِ، وَبَيْنَ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ وَامْرَأَتِهِ وَلَمْ يَكُنْ يَسْتَنِيبُهُ عَنْهُ شَرْطًا فِيهِ، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ يَمِينٌ عِنْدِنَا، وَشَهَادَةٌ عِنْدَ غَيْرِنَا، وَلَا يَثْبُتُ حُكْمٌ وَاحِدٌ مِنْهُمَا فِي الْحُقُوقِ إِلَّا عِنْدَ الْحَاكِمِ، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ قَدْ تَتَعَلَّقُ بِهِ حُدُودٌ لَا يَسْتَوْفِيهَا وَيُقِيمُهَا إِلَّا الْحَاكِمُ كَسَائِرِ الْحُدُودِ، وَلِأَنَّهُ فِيمَنْ صَحَّ لِعَانُهُ خِلَافٌ وَلَا يَتَقَرَّرُ إِلَّا بِالْحُكْمِ، وَلِأَنَّ اللِّعَانَ قَدْ يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقٌّ لِغَيْرِ الزَّوْجَيْنِ فِي نَفْيِ حَمْلٍ أَوْ وَلَدٍ أَوْ مُسَمًّى فِي قَذْفٍ، فَلَمْ يَتَوَلَّاهُ إِلَّا الْحَاكِمُ لِيَنُوبَ عَمَّنْ غَابَ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, termasuk syarat sahnya li‘ān dan tetapnya hukumnya adalah harus dengan keputusan hakim dan di hadapan hakim. Tidak sah li‘ān antara suami istri hanya dengan keduanya sendiri. Hal itu karena Nabi ﷺ melakukan li‘ān antara al-‘Ajlānī dan istrinya, dan antara Hilāl bin Umayyah dan istrinya, dan beliau tidak mewakilkan kepada selainnya sebagai syarat dalam hal itu. Dan karena li‘ān menurut kami adalah sumpah, sedangkan menurut selain kami adalah kesaksian, dan tidak tetap satu pun dari keduanya dalam hak-hak kecuali di hadapan hakim. Dan karena li‘ān terkadang berkaitan dengan hudud yang tidak dapat ditegakkan dan dilaksanakan kecuali oleh hakim, sebagaimana hudud lainnya. Dan karena dalam siapa yang sah li‘ān-nya terdapat perbedaan pendapat, dan itu tidak dapat dipastikan kecuali dengan keputusan hakim. Dan karena li‘ān terkadang berkaitan dengan hak selain suami istri dalam penafian kehamilan, anak, atau nama tertentu dalam qadhf, maka tidak boleh dilakukan kecuali oleh hakim agar dapat mewakili yang tidak hadir.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ اللِّعَانَ مَوْضُوعٌ لِلْفُرْقَةِ، فَكَانَ مُلْحَقًا إِمَّا بِالطَّلَاقِ أَوْ بِالْفَسْخِ وَلَيْسَ الْحَاكِمُ شَرْطًا فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Jika dikatakan: Sesungguhnya li‘ān itu ditetapkan untuk perpisahan, maka ia disamakan dengan talak atau fasakh, padahal hakim bukanlah syarat pada keduanya.

قِيلَ: قَدْ يَتَعَلَّقُ بِاللِّعَانِ مِنَ الْأَحْكَامِ فِي الْحُدُودِ وَنَفْيِ النَّسَبِ مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِطَلَاقٍ وَلَا فَسْخٍ، عَلَى أَنَّهُ مِنَ الْفُسُوخِ مَا لَا يَصِحُّ إِلَّا عِنْدَ الْحَاكِمِ، فَكَانَ اللِّعَانُ أَوْلَى.

Dikatakan: Terkadang terdapat hukum-hukum yang berkaitan dengan li‘ān dalam hal hudūd dan penafian nasab yang tidak berkaitan dengan talak maupun fasakh, padahal li‘ān termasuk jenis fasakh yang tidak sah kecuali di hadapan hakim, maka li‘ān lebih utama (untuk disyaratkan kehadiran hakim).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْإِمَامَ أَوِ الْحَاكِمَ أَوْ مَنْ يَسْتَنِيبُهُ أَحَدُهُمَا شَرَطَا فِي صِحَّةِ اللِّعَانِ فتفرد الزوجان بِهِ فِي جَمَاعَةٍ، أَوْ عَلَى خَلْوَةٍ، لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ اللِّعَانِ لَا فِي وُقُوعِ فُرْقَةٍ وَلَا فِي سُقُوطِ حَدٍّ، وَفِي نَفْيِ نَسَبٍ حَتَّى يَسْتَأْنِفَ الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا، وَهَكَذَا لَوْ حَضَرَا عِنْدَ الْحَاكِمِ فَسَبَقَا بِاللِّعَانِ قَبْلَ أَنْ يَأْمُرَهُمَا لَمْ يَصِحَّ حَتَّى يَسْتَأْنِفَاهُ [عَنْ أَمْرِهِ لِأَنَّهُ يَمِينٌ عِنْدِنَا، وَشَهَادَةٌ عِنْدَ غَيْرِنَا، وَلَا يَجُوزُ الْيَمِينُ قَبْلَ الِاسْتِحْلَافِ، وَالشَّهَادَةُ] قَبْلَ الِاسْتِشْهَادِ.

Jika telah tetap bahwa imam atau hakim atau orang yang didelegasikan oleh salah satu dari keduanya adalah syarat sahnya li‘ān, maka jika suami istri melakukannya sendiri di tengah-tengah jamaah atau secara tersembunyi, maka tidak berlaku sedikit pun dari hukum-hukum li‘ān, baik dalam terjadinya perpisahan, gugurnya hudūd, maupun penafian nasab, hingga hakim memulai proses li‘ān di antara keduanya. Demikian pula jika keduanya hadir di hadapan hakim lalu mendahului melakukan li‘ān sebelum diperintah oleh hakim, maka li‘ān itu tidak sah hingga mereka memulainya atas perintah hakim, karena menurut kami li‘ān adalah sumpah, sedangkan menurut selain kami adalah kesaksian, dan tidak sah sumpah sebelum diminta bersumpah, dan tidak sah kesaksian sebelum diminta menjadi saksi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوْ حَكَّمَا رَجُلًا رَضِيَاهُ لِيُلَاعِنَ بَيْنَهُمَا كَانَ التَّحْكِيمُ فِي سَائِرِ الْحُقُوقِ ما عدا الحدود واللعان جائز، فَقَدِ اتَّفَقَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَلَى تَحْكِيمِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ فِي مُنَازَعَةٍ بَيْنَهُمَا فَحَكَمَ عَلَيْهِمَا.

Jika keduanya menunjuk seorang laki-laki yang mereka ridai untuk melakukan li‘ān di antara mereka, maka tahkim (arbitrase) dalam seluruh hak selain hudūd dan li‘ān adalah boleh. Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu dan Ubay bin Ka‘b radhiyallāhu ‘anhu pernah sepakat menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai arbitrator dalam suatu perselisihan di antara mereka, lalu Zaid memutuskan perkara di antara mereka.

وَرُوِيَ أَنَّ وَفْدًا قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وفيهم رجل يكنى أبا الحكم، فقال: لما كُنِّيتَ أَبَا الْحَكَمِ، فَقَالَ: لِأَنَّ قَوْمِي يُحَكِّمُونِي بَيْنَهُمْ فَأَحْكُمُ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ، وَلَا نَهَاهُ عَنْهُ مِنْ بَعْدُ.

Diriwayatkan bahwa suatu delegasi datang kepada Rasulullah ﷺ, di antara mereka ada seorang laki-laki yang dipanggil Abu al-Hakam. Nabi bertanya: “Mengapa engkau dipanggil Abu al-Hakam?” Ia menjawab: “Karena kaumku menjadikanku sebagai hakim di antara mereka, lalu aku memutuskan perkara.” Nabi tidak menolak dan tidak pula melarangnya setelah itu.

وَإِذَا صَحَّ التَّحْكِيمُ فَالْخَصْمَانِ قَبْلَ الْحُكْمِ مُخَيَّرَانِ فِي الْمُقَامِ عَلَى التَّحْكِيمِ أَوِ الرُّجُوعِ عَنْهُ، فَإِذَا حَكَمَ فَفِي لُزُومِ حُكْمِهِ قَوْلَانِ:

Jika tahkim telah sah, maka kedua pihak sebelum adanya keputusan bebas memilih untuk tetap pada tahkim atau menarik diri darinya. Namun jika arbitrator telah memutuskan, maka dalam kewajiban melaksanakan keputusannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حُكْمَهُ نَافِذٌ عَلَيْهِمَا وَلَازِمٌ لَهُمَا، وَغَيْرُ مَوْقُوفٍ عَلَى رِضَاهُمَا.

Salah satunya: Keputusannya berlaku dan mengikat bagi keduanya, serta tidak tergantung pada kerelaan mereka.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ لازم لهما إلا بعد الرضى بِالْتِزَامِهِ، وَالْأَوَّلُ أَشْبَهُ، لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَلْزَمْ لَكَانَ وَسِيطًا وَلَمْ يَكُنْ حُكْمًا.

Pendapat kedua: Keputusannya tidak mengikat kecuali setelah keduanya rela untuk melaksanakannya. Pendapat pertama lebih kuat, karena jika tidak mengikat maka arbitrator hanya menjadi perantara, bukan sebagai hakim.

فَأَمَّا التَّحْكِيمُ فِي اللِّعَانِ فَفِي جَوَازِهِ قَوْلَانِ، بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي لُزُومِ حُكْمِهِ فِي غَيْرِ اللِّعَانِ:

Adapun tahkim dalam li‘ān, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam kewajiban melaksanakan keputusannya pada selain li‘ān:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ إِذَا قِيلَ إِنَّ حُكْمَهُ فِي غَيْرِ اللِّعَانِ لَازِمٌ.

Salah satunya: Boleh, jika dikatakan bahwa keputusannya pada selain li‘ān adalah mengikat.

وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ إِذَا قِيلَ إِنَّ حُكْمَهُ لَا يَلْزَمُ إِلَّا بالرضى لأن حكم اللعان لا يقع بالرضى وَلَا يَقِفُ عَلَى التَّرَاضِي وَلَا يَصِحُّ فِيهِ الْعَفْوُ. وَالْإِبْرَاءُ كَالْحُدُودِ، وَكَانَ أَبُو الْقَاسِمِ الدَّارَكِيُّ يَقُولُ: يَجُوزُ التَّحْكِيمُ فِيهِ عِنْدَ عَدَمِ الْحَاكِمِ، وَلَا يَجُوزُ مَعَ وُجُودِهِ اعْتِبَارًا بِالضَّرُورَةِ فِيهِ، فَأَمَّا السَّيِّدُ إِذَا زَوَّجَ عَبْدَهُ بِأَمَتِهِ جَازَ لَهُ أَنْ يُلَاعِنَ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ إِقَامَةُ الْحَدِّ عَلَيْهِمَا، فَصَارَ كَالْحَاكِمِ مَعَ غَيْرِهِمَا.

Yang kedua: Tidak boleh, jika dikatakan bahwa keputusannya tidak mengikat kecuali dengan kerelaan, karena hukum li‘ān tidak terjadi dengan kerelaan, tidak tergantung pada persetujuan, dan tidak sah di dalamnya adanya pemaafan atau pembebasan, sebagaimana hudūd. Abu al-Qasim ad-Dārakī berpendapat: Tahkim dalam li‘ān boleh jika tidak ada hakim, dan tidak boleh jika hakim ada, dengan pertimbangan darurat. Adapun seorang tuan jika menikahkan budaknya dengan budak perempuannya, maka boleh baginya melakukan li‘ān di antara keduanya, karena ia boleh menegakkan hudūd atas keduanya, sehingga kedudukannya seperti hakim terhadap selain mereka.

باب في الشهادة في اللعان

(Bab tentang kesaksian dalam li‘ān)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِذَا جَاءَ الزَّوْجُ وَثَلَاثَةٌ يَشْهَدُونَ عَلَى امْرَأَتِهِ مَعًا بِالزِّنَا لَاعَنَ الزَّوْجُ فَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ حُدَّ لِأَنَّ حُكْمَ الزَّوْجِ غَيْرُ حُكْمِ الشُّهُودِ لأن الشهود لا يلتعنون ويكونون عند أكثر العلماء قذفه يحدون إذا لم يتموا أربعة وإذا زعم بأنها قد وترثه في نفسه بأعظم من أن تأخذ كثير ماله أو تشتم عرضه أو تناله بشديد من الضرب بما يبقى عليه من العار في نفسه بزناها تحته وعلى ولده فلا عداوة تصير إليهما فيما بينها وبينه تكاد تبلغ هذا ونحن لا نجيز شهادة عدو على عدوه “.

Imam Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Jika seorang suami datang bersama tiga orang saksi yang bersaksi atas istrinya secara bersama-sama dalam kasus zina, maka suami melakukan li‘ān. Jika ia tidak melakukan li‘ān, maka ia dikenai had, karena hukum suami berbeda dengan hukum para saksi. Para saksi tidak melakukan li‘ān dan menurut mayoritas ulama, mereka dianggap melakukan qazaf (tuduhan zina) sehingga dikenai had jika tidak genap empat orang. Jika suami mengklaim bahwa istrinya telah menyakitinya lebih dari sekadar mengambil banyak hartanya, atau mencemarkan kehormatannya, atau menyakitinya dengan pukulan berat yang menyebabkan aib besar baginya karena perzinaan istrinya di bawah naungannya dan terhadap anaknya, maka tidak ada permusuhan yang sampai pada tingkat seperti ini antara keduanya. Kami tidak membolehkan kesaksian musuh atas musuhnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا شَهِدَ الزَّوْجُ مَعَ ثَلَاثَةٍ عُدُولٍ عَلَى امْرَأَتِهِ بِالزِّنَا لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُ مَعَهُمْ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: تُقْبَلُ استدلالا بقوله عز وجل {واللائي يأتين الفاحشة من نسائكم فاسشهدوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ} [النساء: 15] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الزَّوْجِ وَغَيْرِهِ، وَلِأَنَّهُ حَدٌّ فَجَازَ أَنْ تُقْبَلَ فِيهِ شَهَادَةُ الزَّوْجِ كَسَائِرِ الْحُدُودِ، وَلِأَنَّهُ مَنْ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ فِي حَدٍّ غَيْرِ الزِّنَا قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ فِي حَدِّ الزِّنَى كَالْأَجْنَبِيِّ.

Al-Mawardi berkata: Jika seorang suami bersaksi bersama tiga orang saksi laki-laki yang adil atas istrinya mengenai perzinaan, maka kesaksiannya bersama mereka tidak diterima. Abu Hanifah ra. berpendapat: Diterima, dengan berdalil pada firman Allah Azza wa Jalla: {Dan terhadap para perempuan di antara kalian yang melakukan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian terhadap mereka. Jika mereka telah memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka dalam rumah-rumah} (an-Nisa: 15), sehingga ayat ini berlaku umum, baik bagi suami maupun selainnya. Dan karena ini adalah hudud, maka boleh diterima kesaksian suami di dalamnya sebagaimana pada hudud lainnya. Dan karena siapa saja yang diterima kesaksiannya pada hudud selain zina, maka diterima pula kesaksiannya pada hudud zina seperti orang asing (bukan suami).

وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ} [النور: 6] فَلَمْ يَجْعَلْ لِشَهَادَتِهِ عَلَيْهَا حُكْمًا وَلَا جَعَلَ قَوْلَهُ عَلَيْهَا مَقْبُولًا.

Dalil kami: Firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian salah seorang dari mereka adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar} (an-Nur: 6). Maka Allah tidak menetapkan hukum apapun atas kesaksiannya terhadap istrinya, dan tidak pula menjadikan ucapannya diterima atas istrinya.

رُوِيَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي أَرْبَعَةٍ شَهِدُوا عَلَى امْرَأَةٍ أَنَّهَا زَنَتْ وَأَحَدُهُمْ زَوْجُهَا فَقَالَ: يُلَاعِنُ الزَّوْجُ وَيُحَدُّ الثَّلَاثَةُ، وَهَذَا قَوْلُ وَاحِدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ لَمْ يَظْهَرْ لَهُ مُخَالِفٌ، فَإِنْ كَانَ مُنْتَشِرًا فَهُوَ إِجْمَاعٌ لَا يَجُوزُ خِلَافُهُ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُنْتَشِرٍ فَهُوَ عَلَى قَوْلِ الْمُخَالِفِ حُجَّةٌ يُتْرَكُ بِهِ الْقِيَاسُ، وَكَذَلِكَ عَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الْقَدِيمِ؛ وَلِأَنَّهُ مَنِ انْتَصَبَ خَصْمًا فِي حَادِثَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ شَاهِدًا فِيهَا، أَصْلُهُ أَوْلِيَاءُ الْمَقْتُولِ؛ وَلِأَنَّهُ لَوْ شَهِدَ عَلَى خِيَانَتِهَا لَهُ لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُ عَلَيْهَا، أَصْلُهُ إِذَا شَهِدَ عَلَيْهَا بِإِتْلَافِ وَدِيعَةٍ لَهُ فِي يَدِهَا؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ لَهُ تَصْدِيقُ نَفْسِهِ بِاللِّعَانِ لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُ فِيمَا يَصِحُّ فِيهِ لِعَانُهُ، أَصْلُهُ نَفْيُ النَّسَبِ؛ وَلِأَنَّهُ قَدْ صَارَ عَدُوًّا بِمَا وَتَرَهُ فِي نَفْسِهِ وَخَانَتْهُ فِي حَقِّهِ، وَأَدْخَلَتِ الْعَارَ عَلَيْهِ وَعَلَى وَلَدِهِ، وَهَذَا أَبْلَغُ فِي الْعَدَاوَةِ مِنْ مُؤْلِمِ الضَّرْبِ وَفَاحِشِ السَّبِّ وَشَهَادَةُ الْعَدُوِّ عَلَى عَدُوِّهِ مَرْدُودَةٌ لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ خَائِنٍ وَلَا خَائِنَةٍ، وَلَا ذِي غَمْرٍ عَلَى أَخِيهِ ” أَيْ ذِي جور.

Diriwayatkan dari Qatadah, dari Jabir bin Zaid, dari Ibnu Abbas ra. bahwa ia berkata tentang empat orang yang bersaksi atas seorang wanita bahwa ia berzina, dan salah satu dari mereka adalah suaminya, maka ia berkata: Suami melakukan li‘an dan tiga orang lainnya dikenai had (dihukum had). Dan ini adalah pendapat salah seorang sahabat yang tidak diketahui ada yang menyelisihinya. Jika pendapat ini tersebar, maka itu adalah ijmā‘ yang tidak boleh diselisihi. Jika tidak tersebar, maka menurut pendapat yang berbeda, itu adalah hujjah yang karenanya qiyās ditinggalkan, demikian pula menurut pendapat Imam Syafi‘i ra. dalam pendapat lamanya. Dan karena siapa yang menjadi pihak lawan dalam suatu perkara, tidak boleh menjadi saksi di dalamnya; contohnya adalah wali-wali korban pembunuhan. Dan karena jika ia bersaksi atas pengkhianatan istrinya kepadanya, maka kesaksiannya tidak diterima; contohnya jika ia bersaksi atas kerusakan titipan miliknya yang ada di tangan istrinya. Dan karena siapa saja yang dapat membenarkan dirinya sendiri dengan li‘an, maka kesaksiannya tidak diterima dalam perkara yang memungkinkan li‘an, contohnya penafian nasab. Dan karena ia telah menjadi musuh karena permusuhan yang ada dalam dirinya dan karena istrinya telah mengkhianatinya dalam haknya, serta telah membawa aib kepadanya dan anak-anaknya, dan ini lebih besar dalam permusuhan daripada sakitnya pukulan dan buruknya cacian. Kesaksian musuh atas musuhnya tertolak berdasarkan riwayat dari Amru bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak diterima kesaksian orang yang berkhianat, tidak pula perempuan yang berkhianat, dan tidak pula orang yang memiliki dendam terhadap saudaranya,” maksudnya orang yang zalim.

وأما الجواب عن قوله: {فاسشهدوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ} [النساء: 15] ، فَهُوَ أَنَّ ذَلِكَ خطاب للأزواج؛ لأنه تعالى قال: {واللائي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ} [النساء: 15] فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الشُّهُودُ غَيْرَهُمْ.

Adapun jawaban atas firman Allah: {Maka hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian terhadap mereka} (an-Nisa: 15), maka itu adalah seruan kepada para suami; karena Allah Ta‘ala berfirman: {Dan terhadap para perempuan di antara kalian yang melakukan perbuatan keji} (an-Nisa: 15), maka hal itu mengharuskan bahwa para saksi adalah selain para suami.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى سَائِرِ الْحُدُودِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَّهَمٍ فِيهَا لَا يَسْتَفِيدُ بِهِ نَفْعًا وَلَا يَسْتَدْفِعُ بِهِ ضَرَرًا وَهُوَ فِي الزِّنَا مَتْهُومٌ؛ لِأَنَّهُ يَسْتَدْفِعُ بِهِ ضَرَرًا وَيَسْتَفِيدُ بِهِ نَفْعًا.

Adapun qiyās mereka dengan hudud yang lain, maka maknanya adalah bahwa pada hudud lain, suami tidak dicurigai, ia tidak mendapatkan manfaat dan tidak menolak bahaya dengan kesaksiannya itu, sedangkan dalam perkara zina, ia dicurigai; karena ia dapat menolak bahaya dan memperoleh manfaat dengan kesaksiannya.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ فَالْمَعْنَى فِيهِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ عَدَمِ التُّهْمَةِ فِي الْأَجْنَبِيِّ وَوُجُودِهَا فِي الزَّوْجِ.

Adapun qiyās mereka dengan orang asing (bukan suami), maka maknanya adalah sebagaimana telah kami sebutkan, bahwa tidak ada tuduhan pada orang asing, sedangkan pada suami terdapat tuduhan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الزَّوْجَ مَرْدُودُ الشَّهَادَةِ، فَالشُّهُودُ مَعَهُ ثَلَاثَةٌ لَا تَكْتَمِلُ بِهِمُ الْبَيِّنَةُ فِي الزِّنَا لِنُقْصَانِ عَدَدِهِمْ فَهَلْ يَصِيرُونَ قَذَفَةً يُحَدُّونَ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa kesaksian suami tertolak, maka para saksi yang bersamanya berjumlah tiga orang, sehingga tidak terpenuhi jumlah saksi yang cukup untuk menetapkan zina karena kurangnya jumlah mereka. Apakah mereka menjadi para penuduh (qadzaf) sehingga dikenai had atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُحَدُّونَ لِأَنَّهُمْ أَتَوْا بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ دُونَ الْقَذْفِ، لَوْ كَانُوا قَذَفَةً لَمَا جَازَ قَبُولُ شَهَادَتِهِمْ مَعَ كَمَالِ عَدَدِهِمْ.

Salah satunya: Mereka tidak dikenai had, karena mereka mengucapkan lafaz kesaksian, bukan tuduhan (qadzaf). Jika mereka dianggap sebagai para penuduh, maka tidak boleh diterima kesaksian mereka meskipun jumlah mereka telah sempurna.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا بِخُرُوجِهِمْ مِنْ كَمَالِ الشَّهَادَةِ قَذَفَةً، لِإِدْخَالِهِمُ الْمَعَرَّةَ بِالزِّنَا كَالْقَذْفِ الصَّرِيحِ، وَلِأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا شَهِدَ عِنْدَهُ بِالزِّنَا عَلَى الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَبُو بَكْرَةَ وَنَافِعٌ وَشِبْلُ بْنُ مَعْبَدٍ وَتَوَقَّفَ زِيَادٌ عَنِ الْإِفْصَاحِ بِالشَّهَادَةِ أَمَرَ عُمَرُ بِجَلْدِ الثَّلَاثَةِ وَجَعَلَهُمْ قَذَفَةً فَعَلَى هَذَا لَوْ كَمُلَ عَدَدُهُمْ أَرْبَعَةً وَكَانَ فِيهِمْ مَنْ رُدَّتْ شَهَادَتُهُ لِرِقٍّ أَوْ فِسْقٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْبَاقِينَ، فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَقُولُ: لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تُرَدَّ شَهَادَتُهُمْ بِنُقْصَانِ الْعَدَدِ مَعَ كَمَالِ الصِّفَةِ وَبَيْنَ أَنْ تَرُدَّ مَعَ كَمَالِ الْعَدَدِ وَنُقْصَانِ الصِّفَةِ فِي أَنَّ وُجُوبَ حَدِّهِمْ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Pendapat kedua: Bahwa mereka, dengan keluarnya mereka dari kesempurnaan syahadah, telah menjadi para penuduh zina (qadzafah), karena mereka telah memasukkan aib zina sebagaimana penuduhan zina secara terang-terangan, dan karena Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ketika Abu Bakrah, Nafi’, dan Syibl bin Ma’bad bersaksi di hadapannya atas perbuatan zina yang dilakukan oleh al-Mughirah bin Syu’bah, sementara Ziyad enggan mengungkapkan kesaksiannya secara jelas, maka Umar memerintahkan untuk mencambuk ketiganya dan menjadikan mereka sebagai para penuduh zina. Berdasarkan hal ini, jika jumlah mereka telah sempurna menjadi empat orang, namun di antara mereka ada yang kesaksiannya ditolak karena status budak atau kefasikan, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai sisanya. Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat: Tidak ada perbedaan antara ditolaknya kesaksian mereka karena kurangnya jumlah dengan kesempurnaan sifat, dan ditolaknya karena kesempurnaan jumlah namun kurangnya sifat, dalam hal kewajiban had atas mereka, terdapat dua pendapat.

وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: إِذَا كَمُلَ عددهم ونقصت صفتهم لم يجدوا قَوْلًا وَاحَدًا وَفَرَّقَ بَيْنَ نُقْصَانِ الصِّفَةِ وَنُقْصَانِ الْعَدَدِ بِأَنَّ نُقْصَانَ الْعَدَدِ رَاجِعٌ إِلَى الشُّهُودِ وَنُقْصَانَ الصِّفَةِ رَاجِعٌ إِلَى الْحَاكِمِ، وَهَذَا قَوْلٌ ضَعِيفٌ.

Abu Sa’id al-Istakhri berkata: Jika jumlah mereka sempurna namun sifatnya kurang, mereka tidak mendapatkan satu pendapat yang sama. Ia membedakan antara kurangnya sifat dan kurangnya jumlah, bahwa kurangnya jumlah kembali kepada para saksi, sedangkan kurangnya sifat kembali kepada hakim. Ini adalah pendapat yang lemah.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قِيلَ: يُوجَبُ الْحَدُّ عَلَى الشُّهُودِ فَعَلَى الزَّوْجِ أَيْضًا الْحَدُّ، لِأَنَّ أَحْسَنَ أَحْوَالِهِ أَنْ يَكُونَ كأحدهم، لكن الزوج أَنْ يُلَاعِنَ لِإِسْقَاطِ الْحَدِّ وَنَفْيِ النَّسَبِ، وَيَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ بِالْقَذْفِ الَّذِي تَضَمَّنَهُ لَفْظُ الشَّهَادَةِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِهِ قَاذِفًا وَلَا يَسْقُطُ بِلِعَانِهِ حَدُّ الْقَذْفِ عَنِ الشُّهُودِ.

Setelah penjelasan tentang dua pendapat tersebut, jika dikatakan: Jika had wajib dijatuhkan kepada para saksi, maka kepada suami juga wajib dijatuhkan had, karena keadaan terbaiknya adalah ia seperti salah satu dari mereka. Namun, suami boleh melakukan li‘an untuk menggugurkan had dan menafikan nasab, dan boleh baginya melakukan li‘an atas tuduhan zina yang terkandung dalam lafaz kesaksian, karena dengan itu ia telah menjadi penuduh zina. Namun, dengan li‘an-nya tidak gugur had qadzaf dari para saksi.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يُحَدَّ الشُّهُودُ قَبْلَ لِعَانِ الزَّوْجِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي الزَّوْجِ إِذَا لَاعَنَ وَامْتَنَعَتِ الزَّوْجَةُ عَنِ اللِّعَانِ فَحُدَّتْ هَلْ تَسْقُطُ حَصَانَتُهَا مَعَ الْأَجَانِبِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para ulama kami berbeda pendapat, apakah boleh dijatuhkan had kepada para saksi sebelum li‘an suami atau tidak? Ada dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan pendapat ulama kami tentang suami yang melakukan li‘an dan istri menolak melakukan li‘an lalu dijatuhi had, apakah gugur kehormatannya (ḥaṣānah) di hadapan orang lain (ajnabi) atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ؛ أَنَّ حَصَانَتَهَا لَا تَسْقُطُ مَعَ الْأَجَانِبِ وَإِنْ حُدَّتْ؛ لِأَنَّهُ عَنْ لِعَانٍ يَخْتَصُّ بِالزَّوْجِيَّةِ دُونَ الْأَجَانِبِ فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يُحَدَّ الشُّهُودُ قَبْلَ لِعَانِهِمَا.

Pertama, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj: Bahwa kehormatannya tidak gugur di hadapan orang lain meskipun ia dijatuhi had, karena hal itu berasal dari li‘an yang khusus dalam pernikahan, tidak berlaku bagi orang lain. Berdasarkan ini, boleh dijatuhkan had kepada para saksi sebelum li‘an keduanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ حَصَانَتَهَا قَدْ سَقَطَتْ مَعَ الْأَجَانِبِ كَسُقُوطِهَا مَعَ الزَّوْجِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ حُدَّتْ بِاللِّعَانِ كَمَا تُحَدُّ بِالْبَيِّنَةِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُحَدَّ الشُّهُودُ إِلَّا بَعْدَ لِعَانِ الزَّوْجِ لِجَوَازِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنَ اللِّعَانِ فَيُحَدُّ فَتَسْقُطُ حَصَانَتُهَا مَعَهُمْ، وَإِذَا قِيلَ إِنَّ الشُّهُودَ لَا حَدَّ عَلَيْهِمْ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الزَّوْجِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الشُّهُودِ فِي سُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Bahwa kehormatannya telah gugur di hadapan orang lain sebagaimana gugur di hadapan suami, karena ia telah dijatuhi had dengan li‘an sebagaimana dijatuhi had dengan bukti (bayyinah). Berdasarkan ini, tidak boleh dijatuhkan had kepada para saksi kecuali setelah li‘an suami, karena mungkin saja suami menolak melakukan li‘an lalu dijatuhi had sehingga kehormatannya gugur di hadapan mereka. Jika dikatakan bahwa para saksi tidak dijatuhi had, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang suami, apakah ia diperlakukan seperti para saksi dalam hal gugurnya had darinya? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهِ كَالشُّهُودِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لِأَنَّهُ جَاءَ بِلَفْظِ الشَّهَادَةِ لَا بِلَفْظِ الْقَذْفِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُلَاعِنَ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ قَذْفٍ.

Pertama, bahwa tidak ada had atasnya sebagaimana para saksi, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, karena ia mengucapkan lafaz kesaksian, bukan lafaz penuduhan zina. Berdasarkan ini, jika ia ingin melakukan li‘an, maka ia tidak boleh melakukannya kecuali dengan memulai penuduhan baru.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُحَدُّ بِخِلَافِ الشُّهُودِ، وَهُوَ الْمَحْكِيُّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، لِأَنَّهُ لَمَّا امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ شَاهِدًا امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ لَفْظُهُ لَفْظَ شَهَادَةٍ وَصَارَ قَاذِفًا مَحْضًا فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ بِالْقَذْفِ فِي الشَّهَادَةِ وَلَا يَسْتَأْنِفَ قَذْفًا وَاللَّهُ أعلم.

Pendapat kedua: Ia dijatuhi had, berbeda dengan para saksi, dan ini adalah pendapat yang dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, karena ketika ia tidak lagi menjadi saksi, maka ucapannya tidak lagi dianggap sebagai lafaz kesaksian, melainkan menjadi penuduhan zina murni. Berdasarkan ini, boleh baginya melakukan li‘an atas penuduhan zina dalam kesaksian tersebut tanpa harus memulai penuduhan baru. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَذَفَهَا وَانْتَفَى مِنْ حَمْلِهَا فَجَاءَ بِأَرْبَعَةٍ فَشَهِدُوا أَنَّهَا زَنَتْ لَمْ يُلَاعِنْ حَتَّى تَلِدَ فَيَلْتَعِنُ إِذَا أَرَادَ نَفْيَ الْوَلَدِ فَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ لَحِقَهُ الْوَلَدُ وَلَمْ تُحَدَّ حَتَّى تَضَعَ ثَمَّ تُحِدُّ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seorang suami menuduh istrinya berzina dan menolak anak yang dikandungnya, lalu ia mendatangkan empat orang saksi yang bersaksi bahwa istrinya telah berzina, maka ia tidak melakukan li‘ān hingga istrinya melahirkan. Setelah itu, ia boleh melakukan li‘ān jika ingin menafikan anak tersebut. Jika ia tidak melakukan li‘ān, maka anak itu dinasabkan kepadanya, dan istrinya tidak dijatuhi hukuman had hingga ia melahirkan, setelah itu barulah dijatuhi hukuman had.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا شَهِدَ أَرْبَعَةٌ عُدُولٌ عَلَى امْرَأَةِ رَجُلٍ بِالزِّنَاءِ تَعَلَّقَ بِشَهَادَتِهِمْ حُكْمَانِ لَا يُؤَثِّرَانِ فِي الزَّوْجِيَّةِ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, apabila empat orang saksi yang adil bersaksi atas seorang istri telah berzina, maka dari kesaksian mereka timbul dua hukum yang tidak berpengaruh pada status pernikahan:

أَحَدُهُمَا: ارْتِفَاعُ حَصَانَتِهَا عَلَى الْعُمُومِ مَعَ الزَّوْجِ وَمَعَ غَيْرِهِ فَلَا يُحَدُّ قَاذِفُهَا بِحَالٍ.

Pertama: Gugurnya kehormatan (ḥiṣān) istri secara umum, baik terhadap suaminya maupun terhadap orang lain, sehingga siapa pun yang menuduhnya (berzina) tidak dikenai hukuman had dalam keadaan apa pun.

وَالثَّانِي: وُجُوبُ الْحَدِّ عَلَيْهَا، إِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَجَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَرَجْمٌ، وَلَا يَنْتَفِي الْوَلَدُ بِالْبَيِّنَةِ وَلَا يَرْتَفِعُ بِهَا الفراش إلا أن يلتعن، فإن أردا الزَّوْجُ أَنْ يَلْتَعِنَ لَمْ يَخْلُ حَالُ لِعَانِهِ مَعَ سُقُوطِ حَدِّ الْقَذْفِ عَنْهُ بِالْبَيِّنَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Kedua: Kewajiban dijatuhkannya hukuman had atasnya; jika ia masih gadis maka dihukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, dan jika ia sudah menikah (muhṣan) maka dirajam. Anak yang dikandung tidak bisa dinafikan dengan bukti (bayyinah), dan status “firas” (nasab anak pada suami) tidak gugur kecuali dengan li‘ān. Jika suami ingin melakukan li‘ān, maka keadaan li‘ān-nya, bersamaan dengan gugurnya hukuman had qazaf atasnya karena adanya bukti, terbagi menjadi tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَلْتَعِنَ لِنَفْيِ الْوَلَدِ.

Pertama: Ia melakukan li‘ān untuk menafikan anak.

وَالثَّانِي: لِنَفْيِ الْحَمْلِ.

Kedua: Untuk menafikan kehamilan.

وَالثَّالِثُ: لِرَفْعِ الْفِرَاشِ.

Ketiga: Untuk menggugurkan status “firas” (nasab anak pada suami).

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَلْتَعِنَ لِنَفْيِ الْوَلَدِ، فَيَجُوزُ لَهُ نَفْيُهُ بِاللِّعَانِ؛ لِأَنَّ الْوَلَدَ لَا يَنْتَفِي إِلَّا بِهِ، فَكَانَتْ ضَرُورَتُهُ إِلَيْهِ دَاعِيَةً، ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ قَذَفَهَا قَبْلَ الشَّهَادَةِ، جَازَ أَنْ يُلَاعِنَهَا بِذَاكَ الْقَذْفِ وَإِنْ سَقَطَ عَنْهُ حَدُّهُ بِالشَّهَادَةِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَذَفَهَا قَبْلَ الشَّهَادَةِ فَهَلْ يَسْتَغْنِي بِالشَّهَادَةِ عَنِ التَّلَفُّظِ بِقَذْفِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُحْتَمَلَيْنِ:

Adapun keadaan pertama, yaitu melakukan li‘ān untuk menafikan anak, maka ia boleh menafikan anak itu dengan li‘ān, karena anak tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘ān, sehingga kebutuhannya terhadap li‘ān menjadi mendesak. Kemudian, jika suami telah menuduh istrinya sebelum adanya kesaksian, maka boleh baginya melakukan li‘ān atas tuduhan tersebut meskipun hukuman had qazaf telah gugur darinya karena adanya kesaksian. Namun, jika ia belum menuduh istrinya sebelum adanya kesaksian, apakah cukup dengan kesaksian tanpa harus mengucapkan tuduhan zina? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَسْتَغْنِي بِهَا عَنِ الْقَذْفِ لِثُبُوتِ الزِّنَا عَلَيْهَا، فَعَلَى هَذَا يَقُولُ فِي لِعَانِهِ أَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنِّي لَمِنَ الصَّادِقِينَ فِي زِنَاهَا، وَلَا يَقُولُ: فِيمَا رَمَيْتُهَا بِهِ مِنَ الزِّنَا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرْمِهَا.

Pertama: Cukup dengan kesaksian tanpa harus menuduh, karena zina telah terbukti atas dirinya. Maka dalam li‘ān-nya ia mengucapkan: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku termasuk orang-orang yang benar atas perzinaan istriku,” dan tidak mengucapkan: “atas apa yang aku tuduhkan kepadanya dari zina,” karena ia memang belum menuduhnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَسْتَغْنِي بِالشَّهَادَةِ عَنِ الْقَذْفِ، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يرمون أزواجهم} فَجَعَلَ رَمْيَهُ شَرْطًا فِي لِعَانِهِ، فَعَلَى هَذَا يَسْتَأْنِفُ الْقَذْفَ، وَيَأْتِي بِاللِّعَانِ عَلَى صِفَتِهِ. فَصْلٌ: أما القسم الثاني: وهو أن تلتعن لنفي الحمل قبل وضعه، ففي قَوْلَانِ:

Pendapat kedua: Tidak cukup dengan kesaksian tanpa tuduhan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka…} (QS. an-Nūr: 6), sehingga Allah menjadikan tuduhan sebagai syarat dalam li‘ān. Maka dalam hal ini, ia harus memulai dengan menuduh, lalu melakukan li‘ān sesuai ketentuannya. Fasal: Adapun keadaan kedua, yaitu melakukan li‘ān untuk menafikan kehamilan sebelum melahirkan, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وَاخْتَارَهُ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ لَا يَلْتَعِنُ منه قبل وضعه؛ لأن لعانه مقصوراً عَلَى نَفْيِهِ وَهُوَ غَيْرُ مُنْتَفٍ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ رِيحًا فَيَنْفُشُ وَإِنَّمَا يُلَاعِنُ لِنَفْيِهِ إِذَا كَانَ حَدُّ الْقَذْفِ وَاجِبًا عَلَى الزَّوْجِ لِيُسْقِطَ بِلِعَانِهِ حَدَّ الْقَذْفِ عَنْ نَفْسِهِ، وَيَكُونُ نَفْيُ الحمل تبعاً وليس على الزوج ها هنا حَدٌّ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْتَعِنَ فِيمَا تَرَدَّدَ بَيْنَ احْتِمَالَيْنِ إِلَّا بَعْدَ تَيَقُّنِهِ بِالْوِلَادَةِ.

Pertama: Ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam masalah ini dan dipilih oleh mayoritas ulama kami, yaitu tidak boleh melakukan li‘ān sebelum melahirkan, karena li‘ān hanya untuk menafikan anak, sedangkan kehamilan belum pasti anak, bisa jadi hanya angin (hamil angin), sehingga baru boleh melakukan li‘ān untuk menafikan anak setelah kelahiran. Li‘ān juga dilakukan untuk menggugurkan hukuman had qazaf dari suami, dan penafian kehamilan hanya mengikuti, sedangkan dalam kasus ini tidak ada hukuman had atas suami, maka tidak boleh melakukan li‘ān dalam perkara yang masih mengandung dua kemungkinan kecuali setelah pasti dengan kelahiran.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْمَبْتُوتَةِ الْحَامِلِ وَيَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ لِنَفْيِ الْحَمْلِ؛ لِأَنَّ لَهُ حُكْمًا معتبراً وظاهراً مغلباً.

Pendapat kedua: Dinyatakan dalam kasus wanita yang ditalak ba‘in (mubtattah) yang sedang hamil, bahwa boleh melakukan li‘ān untuk menafikan kehamilan, karena kehamilan memiliki hukum yang nyata dan kuat.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَلْتَعِنَ لِرَفْعِ الْفِرَاشِ لَا غَيْرَ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَعَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَلْتَعِنَ لِرَفْعِهِ؛ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى رَفْعِهِ بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، فَلَمْ يَكُنْ بِهِ إِلَى اللِّعَانِ ضَرُورَةٌ، وَاللِّعَانُ لَا يُسْتَبَاحُ إِلَّا بِالضَّرُورَاتِ.

Adapun keadaan ketiga, yaitu melakukan li‘ān hanya untuk menggugurkan status “firas” (nasab anak pada suami), maka menurut mazhab asy-Syafi‘i dan mayoritas ulama kami: tidak boleh melakukan li‘ān untuk tujuan ini, karena ia dapat menggugurkannya dengan talak tiga, sehingga tidak ada kebutuhan mendesak untuk li‘ān, sedangkan li‘ān hanya dibolehkan dalam keadaan darurat.

وَقَالَ أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ لِرَفْعِ الْفِرَاشِ لِيَسْتَفِيدَ تَأْبِيدَ تَحْرِيمِهَا فَيَنْحَسِمُ عَنْهُ الطَّمَعُ فِي مراجعتها وليكون أدخل فِي وُجُوبِ الْمَعَرَّةِ عَلَيْهَا.

Abu Ṭayyib bin Abī Salamah berpendapat: Boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkan status “firas” agar memperoleh keharaman selamanya (tidak boleh rujuk), sehingga hilang harapan untuk kembali kepadanya, dan agar lebih menegaskan kewajiban aib atasnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا لَاعَنَ الزَّوْجُ مِنْهَا عَلَى مَا وَصَفْنَا لَمْ تَلْتَعِنِ الزَّوْجَةُ بَعْدَهُ لِوُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهَا بِالشَّهَادَةِ فَإِذَا أُرِيدَ حَدُّهَا وَهِيَ حَامِلٌ لَمْ تُحَدَّ حَتَّى تَضَعَ لِأَنَّ الْغَامِدِيَّةَ حِينَ أَقَرَّتْ عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالزِّنَا وَكَانَتْ حَامِلًا قَالَ: اذْهَبِي حَتَّى تَضَعِي حَمْلَكِ، فَلَمَّا وَضَعَتْهُ وَعَادَتْ إِلَيْهِ فَقَالَتْ: طَهِّرْنِي قَالَ: اذْهَبِي حَتَّى تُرْضِعِي وَلَدَكِ حَوْلَيْنِ فَأَرْضَعَتْهُ حَوْلَيْنِ. ثُمَّ عَادَتْ وَمَعَهَا وَلَدُهَا فِي يَدِهِ طَعَامٌ يَأْكُلُهُ، وَقَالَتْ: طَهِّرْنِي، فَرَجَمَهَا حِينَئِذٍ.

Apabila suami telah melakukan li‘ān terhadap istrinya sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka istri tidak dapat melakukan li‘ān setelahnya karena wajibnya hukuman had atasnya berdasarkan kesaksian. Jika hendak ditegakkan had atasnya sementara ia sedang hamil, maka ia tidak dijatuhi had hingga ia melahirkan. Hal ini karena seorang wanita dari suku Ghamidiyah, ketika ia mengakui perzinaan di hadapan Nabi ﷺ dan ia sedang hamil, beliau bersabda: “Pergilah hingga engkau melahirkan kandunganmu.” Setelah ia melahirkan dan kembali kepada beliau seraya berkata, “Sucikanlah aku,” beliau bersabda: “Pergilah hingga engkau menyusui anakmu selama dua tahun.” Maka ia pun menyusui anaknya selama dua tahun. Kemudian ia kembali lagi dengan membawa anaknya yang sudah bisa makan sendiri, lalu berkata, “Sucikanlah aku,” maka saat itulah beliau merajamnya.

قَالَ عَلِيٌّ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَقَدْ أَمَرَ بِرَجْمِ حَامِلٍ: إِنَّهُ لَا سَبِيلَ لَكَ عَلَى مَا فِي بَطْنِهَا فَإِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا مَكَّنْتَ من سقيه لباها الَّذِي لَا تُحْفَظُ حَيَاةُ الْمَوْلُودِ إِلَّا بِهِ، ثُمَّ رُوعِيَ حَالُ مَنْ تُرْضِعُهُ، فَإِنْ كَانَ بِمَكَانٍ لَا يُوجَدُ بِهِ مُرْضِعٌ غَيْرُهَا أُخِّرَ حَدُّهَا إِنْ كَانَ رَجْمًا حَتَّى تُرْضِعَهُ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ، وَإِنْ كَانَ جَلْدًا قُدِّمَ جَلْدُهَا إِذَا انْقَطَعَ عَنْهَا ضَعْفُ الْوِلَادَةِ، وَإِنْ وُجِدَ لِوَلَدِهَا مُرْضِعٌ قُدِّمَ رَجْمُهَا قَبْلَ رَضَاعِهِ، وَهَلْ تُرْجَمُ قَبْلَ تَعْيِينِ الْمُرْضِعَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فِي غير موضع.

Ali berkata kepada Umar radhiyallāhu ‘anhumā, ketika Umar memerintahkan untuk merajam seorang wanita hamil: “Engkau tidak memiliki jalan terhadap apa yang ada di dalam kandungannya. Jika ia telah melahirkan, engkau harus memungkinkannya untuk menyusui anaknya dengan air susunya, yang mana kehidupan bayi tidak akan terjaga kecuali dengannya. Kemudian diperhatikan keadaan siapa yang menyusuinya. Jika berada di tempat yang tidak ada wanita lain yang dapat menyusuinya selain dia, maka pelaksanaan had atasnya (jika berupa rajam) ditunda hingga ia menyusui anaknya selama dua tahun penuh. Jika had-nya berupa cambuk, maka pelaksanaan cambuk didahulukan setelah hilangnya kelemahan akibat melahirkan. Jika ada wanita lain yang dapat menyusui anaknya, maka rajam didahulukan sebelum masa menyusui. Adapun apakah boleh dirajam sebelum ditetapkan siapa yang akan menyusui, terdapat dua pendapat yang telah dijelaskan di tempat lain.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ جَاءَ بِشَاهِدَيْنِ عَلَى إِقْرَارِهَا بِالزِّنَا لَمْ يُلَاعِنْ وَلَمْ يُحَدَّ وَلَا حَدَّ عَلَيْهَا “.

Imam Syafi‘i radhiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika suami mendatangkan dua orang saksi atas pengakuan istrinya berzina, maka tidak dilakukan li‘ān, tidak ditegakkan had, dan tidak ada had atas istri.”

قَالَ الماوردي: أما الشهادة على الإقرار بالزناء فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun kesaksian atas pengakuan zina, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ كَمَا لَا يُقْبَلُ عَلَى فِعْلِ الزِّنَا أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ لِيَكُونَ الْفَرْعُ مُعْتَبَرًا بِأَصْلِهِ قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ الزِّنَى مِنَ الْحُقُوقِ الَّتِي لَا يُقْبَلُ فِي الْإِقْرَارِ بِهَا إِلَّا مَا يُقْبَلُ فِي أَصْلِهَا.

Salah satunya, sebagaimana disebutkan dalam pendapat lama (qaul qadīm): Tidak diterima kurang dari empat orang saksi, sebagaimana tidak diterima pada perbuatan zina itu sendiri kurang dari empat orang saksi, agar cabang hukum disesuaikan dengan asalnya, dengan melakukan qiyās terhadap hak-hak selain zina yang dalam pengakuannya tidak diterima kecuali jumlah saksi yang diterima pada asal hukumnya.

كَالْقَتْلِ يُقْبَلُ فِيهِ وَفِي الْإِقْرَارِ بِهِ شَاهِدَانِ، وَكَالدَّيْنِ يُقْبَلُ فِيهِ وَفِي الْإِقْرَارِ بِهِ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ فَعَلَى هَذَا إِنْ أَقَامَ الزَّوْجُ عَلَى إِقْرَارِهَا بِالزِّنَا شَاهِدَيْنِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ، وَكَانَ مَأْخُوذًا بِهِ إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ لِأَنَّ بَيِّنَةَ الْإِقْرَارِ لَمْ تَكْتَمِلْ.

Seperti dalam kasus pembunuhan, diterima dua orang saksi baik pada perbuatan maupun pengakuannya; dan seperti dalam kasus utang, diterima satu orang saksi dan dua orang perempuan baik pada perbuatan maupun pengakuannya. Berdasarkan hal ini, jika suami mendatangkan dua orang saksi atas pengakuan istrinya berzina, maka had qazaf (tuduhan zina) tidak gugur darinya, dan ia tetap dikenai hukuman kecuali jika ia melakukan li‘ān, karena bukti pengakuan belum sempurna.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قال في الجديد: يقبل الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا شَاهِدَانِ، وَإِنْ لَمْ يُقْبَلْ فِي فِعْلِ الزِّنَا إِلَّا أَرْبَعَةٌ، لِأَنَّ اخْتِلَافَ حُكْمِهِمَا يَقْتَضِي اخْتِلَافَ حُكْمِ الشَّهَادَةِ فِيهِمَا لِأَنَّ الْمُقِرَّ لَهُ بِالزِّنَا لَا يَتَحَتَّمُ حَدُّهُ، لِأَنَّ لَهُ إسقاط بالرجوع في إقراره، والمشهود عليه بفعل الزناء مَحْتُومُ الْحَدِّ لَا سَبِيلَ إِلَى إِسْقَاطِهِ عَنْهُ فَتَغَلَّظَتِ الْبَيِّنَةُ فِي الْحَدِّ وَتَحَقَّقَتْ فِي الْإِقْرَارِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ سَائِرُ الْحُقُوقِ لِاسْتِوَاءِ الْحُكْمِ فِيهَا وَفِي الْإِقْرَارِ بِهَا؛ لِأَنَّ الْمُقِرَّ بِالْقَتْلِ مَأْخُوذٌ بِالْقَوْلِ كَالْمَشْهُودِ عَلَيْهِ بِالْقَتْلِ، فَاسْتَوَتِ الْبَيِّنَةُ فِي الْقَتْلِ وَفِي الْإِقْرَارِ بِهِ لِاسْتِوَاءِ حُكْمِهَا؛ لِأَنَّ مَنْ قَالَ: أَقْرَرْتُ بِالزِّنَا لَمْ يُحَدَّ، وَمَنْ قَالَ: أَقْرَرْتُ بِالْقَتْلِ: أُقْيِدَ فَعَلَى هَذَا إِذَا أَقَامَ الزَّوْجُ بَعْدَ قَذْفِهَا شَاهِدَيْنِ عَلَى إِقْرَارِهَا بِالزِّنَا سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ ولم يجب عليها الحد لأن بإنكارها رجوع فِي الْإِقْرَارِ، فَلَوْ أَرَادَ الزَّوْجُ أَنْ يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ عَلَى زِنَاهَا فَفِي جَوَازِ ذَلِكَ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua, sebagaimana disebutkan dalam pendapat baru (qaul jadīd): Diterima dua orang saksi atas pengakuan zina, meskipun pada perbuatan zina hanya diterima empat orang saksi. Karena perbedaan hukum antara keduanya menuntut perbedaan hukum kesaksian pada keduanya. Sebab, orang yang diakui berzina tidak mesti dijatuhi had, karena ia bisa membatalkan pengakuannya; sedangkan orang yang disaksikan melakukan zina, had atasnya pasti dan tidak bisa digugurkan, sehingga bukti dalam had diperberat dan dalam pengakuan dipermudah. Tidak demikian halnya dengan hak-hak lain, karena hukumnya sama antara perbuatan dan pengakuannya; sebab orang yang mengaku membunuh tetap dikenai hukuman sebagaimana orang yang disaksikan membunuh, sehingga bukti dalam pembunuhan sama antara perbuatan dan pengakuan karena kesamaan hukumnya. Karena orang yang berkata, “Saya mengaku berzina,” tidak dijatuhi had, sedangkan orang yang berkata, “Saya mengaku membunuh,” maka ia dikenai qishāsh. Berdasarkan hal ini, jika suami setelah menuduh istrinya mendatangkan dua orang saksi atas pengakuan istrinya berzina, maka had (qazaf) gugur darinya dan tidak wajib atas istri had, karena dengan pengingkarannya berarti ia menarik kembali pengakuannya. Jika suami ingin mendatangkan bukti atas perzinaan istrinya, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطِّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ تَصْدِيقًا لِقَذْفِهَا وَتَكْذِيبًا لِإِنْكَارِهَا.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Thayyib bin Salamah, bahwa hal itu boleh dilakukan untuk membenarkan tuduhannya dan mendustakan pengingkaran istrinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ لَا يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ، وَيُمْنَعُ مِنَ التَّعَرُّضِ لَهُ، لِأَنَّهُ لَا يَسْتَفِيدُ بِهِ حَقًّا؛ لِأَنَّ حَدَّهُ قَدْ سَقَطَ بِإِقْرَارِهَا.

Pendapat kedua, dan inilah yang lebih sahih: tidak boleh baginya melakukan hal itu, dan ia dilarang untuk melakukannya, karena ia tidak memperoleh hak apa pun darinya; sebab hukum had telah gugur dengan pengakuannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا ادَّعَتْ عَلَى زَوْجِهَا الْقَذْفَ فَأَنْكَرَ فَشَهِدَ عَلَيْهِ ابْنَاهُ بِقَذْفِهَا، فَإِنْ كَانَا مِنْ غَيْرِهَا سُمِعَتْ شَهَادَتُهُمَا عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَا مِنْهَا لَمْ تُسْمَعْ شَهَادَتُهُمَا؛ لِأَنَّهَا شَهَادَةٌ لِأُمِّهِمَا، وَإِذَا قَذَفَهَا وَشَهِدَ ابْنَاهَا عَلَى إِقْرَارِهَا بِالزِّنَا فَإِنْ كَانَا مِنْ غَيْرِهِ سُمِعَتْ شَهَادَتُهُمَا؛ لِأَنَّهَا عَلَى أُمِّهِمَا، وَإِنْ كَانَا مِنْهُ لَمْ تُسْمَعْ شَهَادَتُهُمَا لِأَنَّهَا شَهَادَةٌ لِأَبِيهِمَا، وَإِذَا قَذَفَهَا وَشَهِدَ عَلَيْهَا أَرْبَعَةٌ بِالزِّنَى مِنْ بَنِيهَا لَمْ يَسْقُطْ بِهَا الْحَدُّ عَنِ الْأَبِ لِأَنَّهَا شَهَادَةٌ لَهُ وَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى الْأُمِّ قَوْلَانِ، مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الشَّهَادَةِ، إِذَا رُدَّ بَعْضُهَا هَلْ يُوجِبُ رَدَّ جَمِيعِهَا؟ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Apabila seorang istri menuduh suaminya melakukan qazaf (menuduh zina), lalu suaminya mengingkari, kemudian dua anak laki-lakinya bersaksi bahwa ayah mereka telah menuduh ibunya berzina, maka jika kedua anak itu bukan berasal dari istri tersebut, kesaksian mereka diterima terhadap ayahnya. Namun jika keduanya adalah anak dari istri tersebut, maka kesaksian mereka tidak diterima karena itu merupakan kesaksian untuk ibu mereka. Dan jika suami menuduh istrinya berzina, lalu kedua anaknya bersaksi bahwa ibunya mengakui perbuatan zina, maka jika kedua anak itu bukan dari suami tersebut, kesaksian mereka diterima karena itu adalah kesaksian terhadap ibu mereka. Namun jika keduanya adalah anak dari suami tersebut, maka kesaksian mereka tidak diterima karena itu merupakan kesaksian untuk ayah mereka. Jika suami menuduh istrinya berzina, lalu empat orang anak laki-laki mereka bersaksi bahwa ibunya berzina, maka had tidak gugur dari ayah karena itu merupakan kesaksian untuk ayah. Adapun mengenai kewajiban had atas ibu, terdapat dua pendapat yang dibangun atas perbedaan pendapat dalam masalah kesaksian: jika sebagian kesaksian ditolak, apakah itu menyebabkan seluruh kesaksian ditolak atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تُحَدُّ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ رَدَّ الشَّهَادَةِ فِي الْبَعْضِ يُوجِبُ رَدَّ جَمِيعِهَا لِأَنَّهَا شَهَادَةٌ لِأَبِيهِمْ عَلَى أُمِّهِمْ فَرُدَّتْ شَهَادَتُهُمْ لِلْأَبِ.

Salah satunya: Ibu tidak dijatuhi had, jika dikatakan bahwa penolakan sebagian kesaksian menyebabkan penolakan seluruhnya, karena itu merupakan kesaksian untuk ayah mereka terhadap ibu mereka, sehingga kesaksian mereka untuk ayah ditolak.

وَالثَّانِي: تُحَدُّ إِذَا قُلْنَا إِنَّ رَدَّ بَعْضِهَا لَا يُوجِبُ رَدَّ جَمِيعِهَا إِذَا رُدَّتْ فِي حَقِّ الْأَبِ وَأَمْضِيَتْ عَلَى الْأُمِّ، وَلَوْ شَهِدَ ابْنَاهَا عَلَى أَنَّ أَبَاهُمَا قَذَفَ زَوْجَةً لَهُ أُخْرَى غَيْرَ أُمِّهِمَا فَفِي قَبُولِ شهادتهما قولان ذكرهما في القديم ونقلها الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ:

Pendapat kedua: Ibu dijatuhi had, jika dikatakan bahwa penolakan sebagian kesaksian tidak menyebabkan penolakan seluruhnya; jika kesaksian ditolak dalam hal ayah, maka tetap diberlakukan atas ibu. Jika kedua anaknya bersaksi bahwa ayah mereka menuduh istri lain (selain ibu mereka) berzina, maka dalam hal diterimanya kesaksian mereka terdapat dua pendapat yang disebutkan dalam pendapat lama dan dinukil oleh al-Muzani dalam al-Jami‘ al-Kabir:

أَحَدُهُمَا: تُرَدُّ شَهَادَتُهُمَا وَلَا تُقْبَلُ وَإِنْ كَانَ عَلَى أَبِيهِمَا لِغَيْرِ أُمِّهِمَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُلَاعِنُ مِنْهَا إِذَا ثَبَتَ قَذْفُهُ فَتَنْتَفِعُ الْأُمُّ بِعَدَمِ الضَّرَّةِ وَخُلُوعِهَا بِالزَّوْجَ.

Salah satunya: Kesaksian mereka ditolak dan tidak diterima, meskipun terhadap ayah mereka untuk selain ibu mereka; karena bisa jadi ayah mereka melakukan li‘an terhadap istri tersebut jika tuduhan qazaf terbukti, sehingga ibu mereka mendapat manfaat dari tiadanya madunya dan perpisahan dengan suaminya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ إِنَّ شَهَادَتَهُمَا مَقْبُولَةٌ؛ لِأَنَّهُ لَا مَنْفَعَةَ لِأُمِّهِمَا فِيهَا إِلَّا أَنْ تُسَرَّ بِفِرَاقِ ضَرَّتِهَا، وَهَذَا غَيْرُ مُؤَثِّرٍ، لِأَنَّهُ لِلْأَبِ أَنْ يَتَزَوَّجَ مَكَانَهَا وَهَكَذَا لَوْ شَهِدَ ابْنَاهُمَا عَلَى الزَّوْجِ بِطَلَاقِ غَيْرِ أُمِّهِمَا كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ، ذَكَرَهُمَا فِي القديم:

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih serta dipilih oleh al-Muzani: Kesaksian mereka diterima, karena tidak ada manfaat bagi ibu mereka kecuali sekadar merasa senang dengan perpisahan madunya, dan hal ini tidak berpengaruh, sebab ayah mereka tetap bisa menikah lagi setelah itu. Begitu pula jika kedua anak tersebut bersaksi terhadap suami atas talak terhadap istri lain (selain ibu mereka), maka berlaku dua pendapat ini, sebagaimana disebutkan dalam pendapat lama:

أحدهما: لا يقبل.

Salah satunya: Tidak diterima.

والثاني: يقبل وتوجيهما ما قدمناه والله أعلم.

Pendapat kedua: Diterima, dan alasan kedua pendapat tersebut telah kami jelaskan sebelumnya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَذَفَهَا وَقَالَ كَانَتْ أَمَةً أَوْ مُشْرِكَةً فَعَلَيْهَا الْبَيِّنَةُ أَنَّهَا يَوْمَ قَذَفَهَا حُرَّةٌ مُسْلِمَةٌ لِأَنَّهَا مُدَّعِيَةُ الْحَدِّ وَعَلَيْهِ الْيَمِينُ وَيُعَزَّرُ إِلَّا أن يلتعن “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika suami menuduh istrinya berzina dan berkata: ‘Dulu engkau seorang budak atau musyrikah’, maka istri wajib mendatangkan bukti bahwa pada hari ia dituduh, ia adalah wanita merdeka dan muslimah, karena ia yang menuntut had. Adapun suami wajib bersumpah, dan ia dijatuhi ta‘zir kecuali jika melakukan li‘an.”

قال الماوردي: جملته أَنَّهُمَا إِذَا اخْتَلَفَا بَعْدَ الْقَذْفِ، فَقَالَ قَذَفْتُكِ وَأَنْتِ أَمَةٌ أَوْ مُشْرِكَةٌ، وَقَالَتْ بَلْ كُنْتُ حُرَّةً أَوْ مُسْلِمَةً، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مَعَ الِاحْتِمَالِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, jika keduanya berselisih setelah terjadi qazaf, lalu suami berkata: “Aku menuduhmu ketika engkau masih budak atau musyrikah,” dan istri berkata: “Bahkan aku saat itu sudah merdeka atau muslimah,” maka keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا كَانَتْ أَمَةً أَوْ مُشْرِكَةً مِنْ قَبْلُ، ويجعل أَمْرَهَا فِي الْحَالِ.

Pertama: Diketahui bahwa sebelumnya ia adalah budak atau musyrikah, lalu statusnya saat ini dipertimbangkan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا حُرَّةٌ فِي الْحَالِ أَوْ مُسْلِمَةٌ وَيَجْهَلُ أَمْرَهَا مِنْ قَبْلُ.

Kedua: Diketahui bahwa saat ini ia adalah wanita merdeka atau muslimah, namun statusnya sebelumnya tidak diketahui.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَجْهَلَ أَمْرَهَا مِنْ قَبْلُ وَفِي الْحَالِ فَلَا يَعْلَمُ لَهَا حُرِّيَّةً ولا رق، ولا إسلام ولا شرك.

Ketiga: Statusnya tidak diketahui baik sebelumnya maupun saat ini, sehingga tidak diketahui apakah ia merdeka atau budak, muslimah atau musyrikah.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا كَانَتْ أَمَةً أَوْ مُشْرِكَةً مِنْ قَبْلُ وَيَجْهَلُ أَمْرَهَا فِي الْحَالِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاذِفِ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهَا أَمَةٌ أَوْ مُشْرِكَةٌ، وَعَلَيْهِ التَّعْزِيرُ، إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ قَذَفَهَا وَهِيَ حُرَّةٌ أَوْ مُسْلِمَةٌ فَيُحَدُّ.

Adapun bagian pertama, yaitu diketahui bahwa sebelumnya ia adalah budak atau musyrikah, namun statusnya saat ini tidak diketahui, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat si penuduh (qazif) dengan sumpahnya bahwa ia adalah budak atau musyrikah, dan ia dijatuhi ta‘zir, kecuali jika istri mendatangkan bukti bahwa ia dituduh saat sudah menjadi wanita merdeka atau muslimah, maka suami dijatuhi had.

لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ مَا كَانَتْ عَلَيْهِ مِنْ رِقٍّ أَوْ شِرْكٍ.

Karena hukum asalnya adalah tetap pada status sebelumnya, yaitu sebagai budak atau musyrikah.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا فِي الْحَالِ حُرَّةٌ أَوْ مُسْلِمَةٌ، وَيَجْهَلُ أَمْرَهَا مِنْ قَبْلُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ حُرَّةً مُسْلِمَةً مِنْ قَبْلُ، وَيُحَدُّ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ أَنَّهَا كَانَتْ أَمَةً أَوْ مُشْرِكَةً مِنْ قَبْلُ فَيُعَزَّرُ لِأَنَّ الظَّاهِرَ تَقَدُّمُ مَا هِيَ عَلَيْهِ الْآنَ مِنْ حُرِّيَّةٍ أَوْ إِسْلَامٍ.

Adapun bagian kedua: yaitu jika diketahui bahwa pada saat ini ia adalah seorang perempuan merdeka atau muslimah, namun statusnya di masa lalu tidak diketahui, maka yang dijadikan pegangan adalah pengakuannya dengan sumpahnya bahwa ia senantiasa merdeka dan muslimah sejak dahulu, dan pelaku dihukum had kecuali jika ia dapat mendatangkan bukti bahwa sebelumnya ia adalah seorang budak atau musyrik, maka ia dikenai ta‘zīr. Sebab yang tampak adalah keadaan kebebasan atau keislaman yang ada padanya sekarang telah ada sejak sebelumnya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَجْهَلَ أَمْرَهَا فِي الْحَالِ وَمِنْ قَبْلُ، فَلَا يعرف لها حرية ولا رق ولا إسلام ولا شرك، فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عِنْدَ اخْتِلَافِهِمَا فِي الْقَذْفِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْقَاذِفِ دُونَ المقذوف الذي نَصَّ عَلَيْهِ عِنْدَ اخْتِلَافِهِمَا فِي الْقَتْلِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُولِ دُونَ الْقَاتِلِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun bagian ketiga: yaitu jika statusnya tidak diketahui baik pada saat ini maupun sebelumnya, sehingga tidak diketahui apakah ia merdeka atau budak, muslimah atau musyrik, maka menurut pendapat yang ditegaskan oleh asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh dalam kasus perselisihan keduanya dalam perkara qazaf, yang dijadikan pegangan adalah pengakuan pelaku qazaf, bukan yang dituduh, sedangkan dalam kasus perselisihan keduanya dalam perkara pembunuhan, yang dijadikan pegangan adalah pengakuan wali korban, bukan pelaku pembunuhan. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ نَقَلُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْجَوَابَيْنَ إِلَى الْآخَرِ وَخَرَّجُوا الْقَذْفَ وَالْقَتْلَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya: mereka memindahkan masing-masing jawaban ke kasus yang lain, sehingga perkara qazaf dan pembunuhan diposisikan pada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْقَاتِلِ وَالْقَاذِفِ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ تَجْمَعُهُمْ، وَالْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ.

Salah satunya: bahwa yang dijadikan pegangan adalah pengakuan pelaku pembunuhan dan pelaku qazaf dengan sumpahnya; karena mereka semua berada di Dār al-Islām, dan asalnya adalah bebasnya tanggungan (dari tuduhan).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَقْذُوفِ وَوَلِيِّ الْمَقْتُولِ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ دَارِ الْإِسْلَامِ إِسْلَامُ أَهْلِهَا وَحُرِّيَّتُهُمْ فَأُجْرِيَ حُكْمُ ذَلِكَ عَلَى مَنْ فِيهَا، كَمَا يَجْرِي عَلَى اللَّقِيطِ حُكْمُ الْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ، وَهَذَا حَدُّ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا.

Pendapat kedua: bahwa yang dijadikan pegangan adalah pengakuan yang dituduh dan wali korban dengan sumpahnya; karena yang tampak dari Dār al-Islām adalah keislaman dan kemerdekaan penduduknya, sehingga hukum itu diberlakukan atas siapa saja yang ada di dalamnya, sebagaimana hukum kemerdekaan dan keislaman diberlakukan atas anak temuan (laqīṭ), dan inilah batas dua pendapat di kalangan sahabat kami.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ حَمَلُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْجَوَابَيْنَ عَلَى ظَاهِرِهِ فَجَعَلُوا فِي الْقَذْفِ الْقَوْلَ قَوْلَ الْقَاذِفِ دُونَ الْمَقْذُوفِ، وَجَعَلُوا فِي الْقَتْلِ الْقَوْلَ قَوْلَ أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُولِ دُونَ الْقَاتِلِ وفرقوا بينهما بفرقين:

Pendapat kedua: mereka memahami masing-masing jawaban sesuai zhahirnya, sehingga dalam perkara qazaf, yang dijadikan pegangan adalah pengakuan pelaku qazaf, bukan yang dituduh; dan dalam perkara pembunuhan, yang dijadikan pegangan adalah pengakuan wali korban, bukan pelaku pembunuhan. Mereka membedakan antara keduanya dengan dua perbedaan:

أحدهما: أن القود في القتل موضوع لمعنى الْمُمَاثَلَةِ وَذَلِكَ غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي الِانْتِقَالِ عَنْهُ إِلَى التَّعْزِيرِ.

Salah satunya: bahwa qishāṣ dalam pembunuhan ditetapkan karena adanya makna kesetaraan, dan hal itu tidak terdapat dalam pemindahan hukuman dari qishāṣ ke ta‘zīr.

وَالْفَرْقُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَتْلَ إِذَا انْتُقِلَ عَنْهُ إِلَى الدِّيَةِ انْتُقِلَ مِنْ مَشْكُوكٍ فِيهِ إِلَى مَشْكُوكٍ فِيهِ، فَلَمْ يَكُنْ لِنَقْلِهِ تَأْثِيرٌ، وَالْقَذْفُ إِذَا انْتُقِلَ عَنِ الْحَدِّ فِيهِ إِلَى التَّعْزِيرِ انْتُقِلَ مِنْ مَشْكُوكٍ فِيهِ إِلَى يَقِينٍ، فَكَانَ لِانْتِقَالِهِ تَأْثِيرٌ، وَكِلَا الْفَرْقَيْنِ مَعْلُولٌ.

Perbedaan kedua: bahwa jika hukuman pembunuhan dipindahkan ke diyat, maka berpindah dari sesuatu yang masih diragukan ke sesuatu yang juga masih diragukan, sehingga perpindahan itu tidak berpengaruh. Sedangkan dalam perkara qazaf, jika hukuman had dipindahkan ke ta‘zīr, maka berpindah dari sesuatu yang diragukan ke sesuatu yang pasti, sehingga perpindahan itu berpengaruh. Namun kedua perbedaan ini memiliki alasan (‘illat).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ حُرَّةً مُسْلِمَةً وَادَّعَى أَنَّهَا مُرْتَدَّةٌ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ “.

Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika ia adalah perempuan merdeka dan muslimah, lalu ada yang menuduhnya murtad, maka yang menuduh wajib mendatangkan bukti.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَلَهَا فِيمَا ادَّعَاهُ مَنْ رِدَّتِهَا وَقْتَ قَذْفِهِ حَالَتَانِ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Dalam hal tuduhan murtad yang dilontarkan terhadapnya pada saat ia dituduh, terdapat dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَعْلَمَ لَهَا رِدَّةً تَقَدَّمَتْ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا. أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ مُسْلِمَةً وَعَلَيْهِ الْحَدُّ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ حَالِهَا اسْتِدَامَةُ الْإِسْلَامِ، وَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَى تُخَالِفُهُ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْقَاذِفُ بَيِّنَةً عَلَى رِدَّتِهَا فَيُحْكَمُ بِهَا وَلَا يُحَدُّ وَفِي كَيْفِيَّةِ الْبَيِّنَةِ قَوْلَانِ:

Pertama: tidak diketahui adanya kemurtadan sebelumnya, maka yang dijadikan pegangan adalah pengakuannya dengan sumpahnya bahwa ia senantiasa muslimah, dan pelaku dikenai hukuman had karena yang tampak dari keadaannya adalah tetapnya keislaman, dan tidak diterima tuduhan yang bertentangan kecuali jika pelaku qazaf dapat mendatangkan bukti atas kemurtadannya, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut dan pelaku tidak dikenai had. Dalam tata cara pembuktian terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَشَهَدَ بِرِدَّتِهَا ثُمَّ يَكُونُ الْقَوْلُ حِينَئِذٍ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ.

Pertama: bahwa cukup ada saksi atas kemurtadannya, kemudian pada saat itu yang dijadikan pegangan adalah pengakuan pelaku dengan sumpahnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَلَا يَكْتَفِيَ بِالْبَيِّنَةِ عَلَى الرِّدَّةِ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنَّهُ قَذَفَهَا فِي حَالِ الرِّدَّةِ حَتَّى يَكُونَ الْحُكْمُ مَقْصُورًا عَلَى الْبَيِّنَةِ، وَلَا تُقْبَلُ يَمِينُهُ إِنْ لَمْ تَشْهَدِ الْبَيِّنَةُ بِذَلِكَ.

Pendapat kedua: tidak cukup hanya dengan bukti atas kemurtadannya, hingga para saksi juga menyatakan bahwa pelaku menuduhnya saat ia dalam keadaan murtad, sehingga keputusan hanya didasarkan pada bukti tersebut, dan sumpah pelaku tidak diterima jika bukti tidak menyatakan demikian.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَعْلَمَ تَقَدُّمَ رَدَّتِهَا وَيَخْتَلِفَانِ، فَيَقُولُ الْقَاذِفُ: قَذَفْتُكِ وَأَنْتِ مُرْتَدَّةٌ وَتَقُولُ الْمَقْذُوفَةُ: قَذَفْتَنِي وَأَنَا مُسْلِمَةٌ. فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Keadaan kedua: diketahui adanya kemurtadan sebelumnya dan terjadi perselisihan antara keduanya, pelaku qazaf berkata: “Aku menuduhmu saat engkau murtad,” sedangkan yang dituduh berkata: “Engkau menuduhku saat aku muslimah.” Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْقَاذِفِ مع يمينه؛ لأن الحدود قدراً بِالشُّبُهَاتِ.

Pertama: bahwa yang dijadikan pegangan adalah pengakuan pelaku qazaf dengan sumpahnya; karena hukuman had gugur dengan adanya syubhat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَقْذُوفَةِ مَعَ يَمِينِهَا؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ الْإِحْصَانُ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ الْقَوْلِ فِي الْبَيِّنَةِ عَلَى الرِّدَّةِ.

Pendapat kedua: Bahwa pernyataan diterima dari pihak yang dituduh (al-maqdzufah) disertai sumpahnya; karena asalnya adalah status terjaga (al-ihsan). Kedua pendapat ini merupakan bagian dari perbedaan pendapat dalam masalah bukti (al-bayyinah) atas tuduhan riddah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوِ ادَّعَى أَنَّ لَهُ الْبَيِّنَةَ عَلَى إِقْرَارِهَا بِالزِّنَا فَسَأَلَ الْأَجَلَ لَمْ أُؤَجِّلْهُ إِلَّا يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ فَإِنْ جَاءَ بِهَا وَإِلَّا حُدَّ أَوْ لَاعَنَ “.

Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia mengaku memiliki bukti atas pengakuannya (perempuan) melakukan zina lalu meminta penundaan, maka aku tidak menundanya kecuali satu atau dua hari. Jika ia mendatangkan bukti, maka (hukuman) dijatuhkan, atau dilakukan li‘an.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ لأنا لَوْ لَمْ نُؤَجِّلْهُ لِإِحْضَارِ الْبَيِّنَةِ لَتَعَذَّرَتْ عَلَيْهِ لِوَقْتِهِ، لَأَنَّ الشُّهُودَ فِي الْأَغْلَبِ غَيْرُ حُضُورٍ، ولو عُوجِلَ بِالْحَدِّ مَعَ إِمْكَانِ الْبَيِّنَةِ لَصَارَ مظلوماً، ولو مُدَّ لَهُ فِي الْإِمْهَالِ، وَلَمْ يُقَدَّرْ لَهُ الِانْتِظَارُ لَصَارَ الْمَقْذُوفُ فِي تَأْخِيرِ حَدٍّ وَجَبَ لَهُ مَظْلُومًا وَكَانَ لِكُلِّ قَاذِفٍ أَنْ يُسْقِطَ الْحَدَّ عَنْ نَفْسِهِ بِادِّعَاءِ الْبَيِّنَةِ؛ فَلَمَّا امْتَنَعَ الطَّرَفَانِ لِئَلَّا يَتَوَجَّهَ ظُلْمٌ فِي أَحَدِهِمَا، وَجَبَ الفصل بينهما يتوسط الطَّرَفَيْنِ فِي حِفْظِ الْحُقُوقِ فَكَانَ الْإِنْظَارُ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ هِيَ أَكْثَرُ الْقَلِيلِ وَأَقَلُّ الْكَثِيرِ عَدْلًا بَيْنَهُمَا فِي وُصُولِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَى حَقِّهِ لِمَا ذَكَرْنَا فِي قَوْله تَعَالَى: {تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ} [هود: 65] ، وَلِخَبَرِ ” الْمُصَرَّاةِ ” وَخَبَرِ حَبَّانَ بْنِ مُنْقِذٍ فِي بَيْعِ خِيَارٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ. فَلِأَجْلِ ذَلِكَ أُنْظِرَ الْقَاذِفُ بِالْبَيِّنَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنْ جَاءَ بِهَا وَإِلَّا حُدَّ أَوْ لَاعَنَ وَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ أُؤَجِّلْهُ إِلَّا يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ غَيْرُ مَانِعٍ مِنْ تَأْجِيلِهِ فِي الثَّالِثِ؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الثَّانِي وَالْأَوَّلِ، وَإِنَّمَا قَالَهُ فِي وَجْهِ التَّقْرِيبِ فِي الْحَدِّ، فَإِنْ سَأَلَتِ الْمَقْذُوفَةُ حَبْسَهُ فِي الثَّلَاثِ حُبِسَ، فَإِنْ قَالَ: لَسْتُ أَقْدِرُ عَلَى إِحْضَارِ الْبَيِّنَةِ إِنْ حُبِسْتُ، أُخْرِجَ مِنَ الحبس ملازماً ليحفظ بالملازمة، ويمكنه إحضار البينة بالإفراج.

Al-Mawardi berkata: Dan memang demikianlah sebagaimana yang dikatakan, karena jika kita tidak memberinya waktu untuk menghadirkan bukti, maka akan sulit baginya untuk menghadirkannya saat itu juga, sebab para saksi pada umumnya tidak hadir. Jika langsung ditegakkan had padahal masih memungkinkan untuk menghadirkan bukti, maka ia akan menjadi orang yang dizalimi. Namun jika diberi waktu penundaan tanpa batasan, maka pihak yang dituduh akan menjadi orang yang dizalimi karena penundaan pelaksanaan had yang sudah menjadi haknya, dan setiap penuduh dapat menggugurkan had atas dirinya sendiri dengan mengaku memiliki bukti. Maka, ketika kedua sisi ini ditolak agar tidak terjadi kezaliman pada salah satunya, wajiblah mengambil jalan tengah di antara keduanya dalam menjaga hak-hak, sehingga penundaan selama tiga hari menjadi batas maksimal dari yang sedikit dan minimal dari yang banyak, sebagai keadilan di antara keduanya agar masing-masing dapat memperoleh haknya, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam firman Allah Ta‘ala: {Bersenang-senanglah kalian di rumah kalian selama tiga hari} (Hud: 65), juga berdasarkan hadis tentang “al-musharrat” dan hadis tentang Hibban bin Munqidz dalam jual beli dengan hak khiyar selama tiga hari. Oleh karena itu, penuduh diberi waktu tiga hari untuk menghadirkan bukti. Jika ia mendatangkan bukti, maka (hukuman) dijatuhkan, atau dilakukan li‘an. Dan ucapan asy-Syafi‘i ra., “Aku tidak menundanya kecuali satu atau dua hari,” tidaklah menafikan penundaan pada hari ketiga, karena hari ketiga itu dalam hukum yang sama dengan hari kedua dan pertama. Ia hanya mengatakannya sebagai pendekatan dalam penetapan had. Jika pihak yang dituduh meminta agar penuduh ditahan selama tiga hari, maka ia ditahan. Jika penuduh berkata, “Aku tidak mampu menghadirkan bukti jika aku ditahan,” maka ia dikeluarkan dari tahanan dengan tetap diawasi agar hak-hak tetap terjaga, dan ia tetap dapat menghadirkan bukti dengan adanya pembebasan tersebut.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَقَامَتِ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ قَذَفَهَا كَبِيرَةً وَأَقَامَ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ قَذَفَهَا صَغِيرَةً فَهَذَانِ قَذْفَانِ مُفْتَرِقَانِ وَلَوِ اجْتَمَعَ شُهُودُهُمَا عَلَى وَقْتٍ وَاحِدٍ فَهِيَ مُتَصَادِمَةٌ وَلَا حَدَّ وَلَا لِعَانَ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika didatangkan bukti bahwa ia menuduhnya (berzina) saat sudah dewasa, dan didatangkan bukti bahwa ia menuduhnya saat masih kecil, maka itu adalah dua tuduhan yang berbeda. Jika para saksi keduanya hadir pada waktu yang sama, maka keduanya saling bertentangan, sehingga tidak ada had dan tidak ada li‘an.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِذَا اخْتَلَفَ فِي الْقَذْفِ فَادَّعَتِ الزَّوْجَةُ أَنَّهُ قَذَفَهَا كَبِيرَةً، وَأَقَرَّ الزَّوْجُ أَنَّهَا كَانَتْ وَقْتَ قَذْفِهِ لَهَا صَغِيرَةً، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهَا بينة فالقول قول مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهَا كَانَتْ حِينَ قَذَفَهَا صَغِيرَةً وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِأَنَّ الصِّغَرَ يَقِينٌ وَجَنْبُ الْمُؤْمِنِ حِمًى، وَعَلَيْهِ التَّعْزِيرُ؛ لِأَنَّ قَذْفَ الصَّغِيرَةِ يُوجِبُهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِي الصِّغَرِ زَوْجَتَهُ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْ تَعْزِيرٍ وَجَبَ فِي غَيْرِ الزَّوْجِيَّةِ، كَمَا لَمْ يَلْتَعِنْ مِنْ حَدٍّ وَجَبَ فِي غَيْرِهَا، وَإِنْ كَانَتْ فِي الصِّغَرِ زَوْجَتَهُ نُظِرَ، فَإِنْ نَسَبَ ذَلِكَ إِلَى حَالٍ يُجَامَعُ مِثْلُهَا فَهُوَ تَعْزِيرُ قَذْفٍ يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ مِنْهُ.

Al-Mawardi berkata: Jika terjadi perbedaan dalam tuduhan (qadzaf), lalu istri mengaku bahwa ia dituduh saat sudah dewasa, dan suami mengakui bahwa saat ia menuduhnya, istrinya masih kecil, maka jika istri tidak memiliki bukti, maka pernyataan diterima dari suami disertai sumpahnya bahwa saat ia menuduh, istrinya masih kecil, dan tidak ada had atasnya, karena status kecil itu pasti, dan kehormatan seorang mukmin harus dijaga. Namun, ia tetap dikenai ta‘zīr, karena menuduh anak kecil tetap mewajibkan ta‘zīr. Jika saat kecil ia bukan istrinya, maka suami tidak berhak melakukan li‘an untuk menggugurkan ta‘zīr yang wajib pada selain istri, sebagaimana ia tidak berhak melakukan li‘an untuk menggugurkan had yang wajib pada selain istri. Jika saat kecil ia adalah istrinya, maka dilihat lagi: jika tuduhan itu diarahkan pada usia yang sudah layak digauli, maka itu adalah ta‘zīr qadzaf yang boleh dilakukan li‘an darinya.

وَإِنْ قَامَتِ الْبَيِّنَةُ عَلَى مَا ادَّعَتْ مِنْ قَذْفِهِ لَهَا فِي الْكِبَرِ حُكِمَ بِهَا وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ وَلَهُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ وَإِنْ عَارَضَ بَيِّنَتَهَا بِبَيِّنَةٍ شَهِدَتْ لَهُ أَنَّهُ قَذَفَهَا فِي الصِّغَرِ فَلِلْبَيِّنَتَيْنِ حَالَتَانِ: اتِّفَاقٌ وَمُضَادَّةٌ.

Jika didatangkan bukti atas apa yang diklaim, yaitu bahwa ia menuduhnya saat sudah dewasa, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut dan wajib atasnya had, dan suami boleh melakukan li‘an untuk menggugurkan had. Jika bukti dari istri dihadapkan dengan bukti dari suami yang menyatakan bahwa ia menuduhnya saat masih kecil, maka ada dua kemungkinan pada kedua bukti tersebut: kesesuaian atau pertentangan.

فَأَمَّا الْحَالَةُ الْأُولَى: وَهِيَ الِاتِّفَاقُ الْمُمْكِنُ فَقَدْ تَكُونُ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ: إِمَّا أَنْ تُطْلِقَ الْبَيِّنَتَانِ الشَّهَادَةَ مِنْ غَيْرِ تَارِيخٍ، وَإِمَّا أَنْ تُؤَرِّخَا تَارِيخَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ فَيُعْمَلُ بِشَهَادَتِهِمَا، وَيَصِيرُ قَاذِفًا لَهَا قَذْفَيْنِ:

Adapun keadaan pertama, yaitu kesepakatan yang mungkin terjadi, maka hal itu dapat terjadi dalam dua bentuk: Pertama, kedua belah pihak menghadirkan bayyinah (alat bukti) berupa kesaksian tanpa menyebutkan tanggal, atau kedua-duanya menyebutkan dua tanggal yang berbeda, maka kesaksian keduanya diterima, dan ia (suami) menjadi pelaku qazaf (tuduhan zina) terhadapnya (istri) sebanyak dua kali:

أَحَدُهُمَا: فِي الصِّغَرِ ببينته.

Salah satunya: ketika masih kecil, berdasarkan bayyinah-nya.

وَالثَّانِي: فِي الْكِبَرِ بِبَيِّنَتِهَا، فَوَجَبَ عَلَيْهِ بِقَذْفِ الصِّغَرِ التَّعْزِيرُ، وَبِقَذْفِ الْكِبَرِ الْحَدُّ. وَلَهُ حَالَتَانِ:

Dan yang kedua: ketika sudah dewasa, berdasarkan bayyinah-nya (istri), maka wajib atasnya (suami) karena qazaf saat kecil dikenakan ta‘zīr, dan karena qazaf saat dewasa dikenakan had. Dan dalam hal ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَلْتَعِنَ فَيُسْقِطُ بِلِعَانِهِ الْحَدَّ، وَالتَّعْزِيرُ إِنْ كَانَ تَعْزِيرَ قَذْفٍ وَلَا يَسْقُطُ بِلِعَانِهِ إِنْ كَانَ تَعْزِيرَ أَذًى وَيُسْتَوْفَى مِنْهُ بَعْدَ اللِّعَانِ.

Salah satunya: ia melakukan li‘ān, maka dengan li‘ān-nya gugurlah hukuman had, dan ta‘zīr jika ta‘zīr tersebut adalah ta‘zīr karena qazaf, dan tidak gugur dengan li‘ān jika ta‘zīr tersebut adalah ta‘zīr karena menyakiti, dan ta‘zīr itu tetap diambil darinya setelah li‘ān.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَلْتَعِنَ فَيُقَامُ حَدُّ الْقَذْفِ فِي الْكِبَرِ، وَأَمَّا التَّعْزِيرُ لِلْقَذْفِ فِي الصِّغَرِ فَإِنْ كَانَ تَعْزِيرَ أَذًى لِكَوْنِهَا فِي صِغَرٍ لَا يُجَامَعُ مِثْلُهَا فِيهِ لَمْ يَدْخُلْ هَذَا التَّعْزِيرُ فِي حَدِّ الْقَذْفِ لِاخْتِلَافِ مُسْتَحِقِّهَا؛ لِأَنَّ التَّعْزِيرَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالْحَدَّ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَإِنْ كَانَ تَعْزِيرَ قَذْفٍ لِكَوْنِهَا فِي صِغَرٍ يُجَامَعُ مِثْلُهَا فِيهِ فَهُمَا جَمِيعًا مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، وَفِي دُخُولِ التَّعْزِيرِ فِي الْحَدِّ وَجْهَانِ:

Adapun keadaan kedua: ia tidak melakukan li‘ān, maka ditegakkan had qazaf atasnya karena qazaf saat dewasa. Adapun ta‘zīr karena qazaf saat kecil, jika ta‘zīr tersebut adalah ta‘zīr karena menyakiti, karena pada usia kecil tersebut belum layak untuk digauli, maka ta‘zīr ini tidak termasuk dalam had qazaf karena perbedaan pihak yang berhak menerimanya; sebab ta‘zīr merupakan hak Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan had merupakan hak manusia. Namun jika ta‘zīr tersebut adalah ta‘zīr karena qazaf pada usia kecil yang sudah layak untuk digauli, maka keduanya (ta‘zīr dan had) termasuk hak manusia. Dalam hal masuknya ta‘zīr ke dalam had terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَدْخُلُ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ جِنْسِهِ وَمُسْتَحَقِّهِ كَدُخُولِ الْحَدَثِ فِي الْجَنَابَةِ وَيُقْتَصَرُ فِيهِ عَلَى الْحَدِّ وَحْدَهُ.

Salah satunya: ta‘zīr masuk ke dalam had, karena ia sejenis dan pihak yang berhak menerimanya sama, seperti masuknya hadath ke dalam janabah, sehingga cukup ditegakkan had saja.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَدْخُلُ فِيهِ، لِأَنَّ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ لَا تَتَدَاخَلُ، فَيُقَامُ عَلَيْهِ التَّعْزِيرُ ثُمَّ الْحَدُّ.

Pendapat kedua: ta‘zīr tidak masuk ke dalam had, karena hak-hak manusia tidak saling bercampur, sehingga ditegakkan atasnya ta‘zīr terlebih dahulu, kemudian had.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: وَهِيَ مُضَادَّةُ الشَّهَادَتَيْنِ، فَهُوَ أَنْ يَخْتَلِفَا فِي التَّارِيخِ وَيَخْتَلِفَا فِي السِّنِّ، فَتَشْهَدُ بَيِّنَتُهَا أَنَّهُ قَذَفَهَا مُسْتَهَلَّ الْمُحَرَّمِ وَهِيَ كَبِيرَةٌ وَتَشْهَدُ بَيِّنَتُهُ أَنَّهُ قَذَفَهَا مُسْتَهَلَّ الْمُحَرَّمِ وَهِيَ صَغِيرَةٌ فَيَسْتَحِيلُ أَنْ تَكُونَ صَغِيرَةً كَبِيرَةً فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ، فَصَارَ فِي الشَّهَادَتَيْنِ تَكَاذُبٌ تَعَارَضَتَا فِيهِ، وَفِي تَعَارُضِ الشَّهَادَتَيْنِ قَوْلَانِ:

Adapun keadaan kedua, yaitu pertentangan antara dua kesaksian, yaitu apabila keduanya berbeda dalam tanggal dan berbeda dalam usia, sehingga bayyinah dari pihak istri bersaksi bahwa ia (suami) menuduhnya pada awal Muharram saat ia sudah dewasa, sedangkan bayyinah dari pihak suami bersaksi bahwa ia menuduhnya pada awal Muharram saat ia masih kecil. Maka mustahil seseorang dalam waktu yang sama berstatus kecil dan dewasa sekaligus, sehingga kedua kesaksian tersebut saling bertentangan. Dalam pertentangan dua kesaksian ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَسْقُطَانِ، فَعَلَى هَذَا يَصِيرُ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ قَذَفَهَا فِي الصِّغَرِ وَلَهُ أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهَا إِنْ كَانَ تَعْزِيرَ قَذْفٍ، وَلَا يَلْتَعِنُ إِنْ كَانَ تَعْزِيرَ أَذًى وَلَهُ أَرَادَ الشَّافِعِيُّ بِقَوْلِهِ: لَا حَدَّ، وَلَا لِعَانَ.

Salah satunya: kedua kesaksian gugur, sehingga dalam hal ini yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami dengan sumpahnya bahwa ia menuduhnya saat kecil, dan ia boleh melakukan li‘ān jika ta‘zīr tersebut adalah ta‘zīr karena qazaf, dan tidak boleh melakukan li‘ān jika ta‘zīr tersebut adalah ta‘zīr karena menyakiti. Inilah yang dimaksud oleh Imam asy-Syafi‘i dengan ucapannya: tidak ada had dan tidak ada li‘ān.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي تَعَارُضِ الشَّهَادَتَيْنِ أَنَّهُمَا تُسْتَعْمَلَانِ، وَفِي اسْتِعْمَالِهِمَا ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ:

Pendapat kedua: dalam pertentangan dua kesaksian, keduanya tetap digunakan, dan dalam penggunaannya terdapat tiga pendapat:

أحدها: يوقفان حتى يقع البيان، والوقف ها هنا لَا وَجْهَ لَهُ لِفَوَاتِ الْبَيَانِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يعمل بهما في قسمة الدعوى، والقسمة ها هنا لَا تَعُمُّ، لِأَنَّ الْقَذْفَ لَا يَتَبَعَّضُ.

Salah satunya: keduanya ditangguhkan hingga ada penjelasan, dan penangguhan di sini tidak ada gunanya karena penjelasan telah terlewatkan. Pendapat kedua: keduanya digunakan dalam pembagian gugatan, namun pembagian di sini tidak berlaku, karena qazaf tidak dapat dibagi-bagi.

وَالْقَوْلُ الثالث: يقرع بينهما، والقرعة مرجحة ها هنا، فَأَيُّ الْبَيِّنَتَيْنِ قُرِعَتْ حُكِمَ بِهَا، وَهَلْ يَحْلِفُ مَنْ قُرِعَتْ بَيِّنَتُهُ أَمْ لَا؟ فِيهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْقُرْعَةِ، هَلْ دَخَلَتْ مُرَجِّحَةً لِلدَّعْوَى أَوِ الْبَيِّنَةِ؟ . فَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا مُرَجِّحَةٌ لِلدَّعْوَى حَلَفَ صَاحِبُهَا وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا مُرَجِّحَةٌ لِلْبَيِّنَةِ لَمْ يَحْلِفْ وَاللَّهُ تَعَالَى أعلم.

Pendapat ketiga: dilakukan undian di antara keduanya, dan undian di sini menjadi penentu. Maka bayyinah mana yang keluar dalam undian, itulah yang diputuskan. Apakah orang yang bayyinah-nya keluar dalam undian harus bersumpah atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan pendapat tentang undian: apakah undian itu menjadi penentu bagi gugatan atau bagi bayyinah? Jika dikatakan bahwa undian menjadi penentu bagi gugatan, maka pemilik gugatan harus bersumpah. Jika dikatakan bahwa undian menjadi penentu bagi bayyinah, maka ia tidak perlu bersumpah. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ شَهِدَ عَلَيْهِ شَاهِدَانِ أَنَّهُ قَذَفَهُمَا وَقَذَفَ امْرَأَتَهُ لَمْ تَجُزْ شهادتها إلا أن يعفوا قبل أن يشهدوا وَيُرَى مَا بَيْنَهُمَا وَبَيْنَهُ حَسَنٌ فَيَجُوزَا “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ تَدَّعِيَ زَوْجَتُهُ عَلَيْهِ الْقَذْفَ فَيُنْكِرُهَا، فَيَشْهَدُ عَلَيْهِ شَاهِدَانِ أَنَّهُ قَذَفَهُمَا وَقَذَفَ امْرَأَتَهُ، أَوْ يَشْهَدَانِ أَنَّهُ قَذَفَ امْرَأَتَهُ وَقَذَفَهُمَا، لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يُقَدِّمَا الشَّهَادَةَ لِلْمَرْأَةِ عَلَى أَنْفُسِهِمَا أَوْ يُؤَخِّرَاهَا فَقَدْ صَارَا شَاهِدَيْنِ لِأَنْفُسِهِمَا وَلِغَيْرِهِمَا، وَشَهَادَةُ الْإِنْسَانِ لِنَفْسِهِ مَرْدُودَةٌ وَصَارَا بِهَا خَصْمَيْنِ وَعَدُوَّيْنِ؛ لِأَنَّ الْمَقْذُوفَ عَدُوٌّ لِلْقَاذِفِ، وَشَهَادَةُ الْعَدُوِّ عَلَى عَدُوِّهِ مَرْدُودَةٌ فَرُدَّتْ لِلزَّوْجَةِ كَمَا رُدَّتْ لِأَنْفُسِهِمَا وَلَمْ تُقْبَلْ فِي وَاحِدٍ مِنَ الْحَقَّيْنِ فَإِنْ شَهِدَا أَنَّهُ قَذَفَ أَمَّهُمَا وَقَذَفَ أَجْنَبِيًّا رُدَّتْ شَهَادَتُهُمَا لِأُمِّهِمَا لِلتُّهْمَةِ وَهَلْ تُرَدُّ شَهَادَتُهُمَا لِلْأَجْنَبِيِّ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ada dua orang saksi yang bersaksi bahwa seseorang telah menuduh mereka berdua dan juga menuduh istri orang tersebut, maka kesaksian mereka tidak sah kecuali jika mereka memaafkan sebelum bersaksi dan hubungan antara mereka dan orang tersebut baik, maka kesaksian itu boleh diterima.” Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah apabila istri menuduh suaminya melakukan qazaf (tuduhan zina), lalu suaminya mengingkarinya, kemudian dua orang saksi bersaksi bahwa suami tersebut telah menuduh mereka berdua dan juga menuduh istrinya, atau mereka bersaksi bahwa suami tersebut menuduh istrinya dan juga menuduh mereka berdua. Tidak ada perbedaan apakah mereka mendahulukan kesaksian untuk istri atas diri mereka sendiri atau mengakhirkan, karena mereka telah menjadi saksi untuk diri mereka sendiri dan untuk orang lain, sedangkan kesaksian seseorang untuk dirinya sendiri adalah tertolak, dan dengan itu mereka menjadi dua pihak yang bersengketa dan bermusuhan; karena orang yang dituduh adalah musuh bagi penuduh, dan kesaksian musuh atas musuhnya adalah tertolak. Maka kesaksian mereka untuk istri juga tertolak sebagaimana tertolak untuk diri mereka sendiri dan tidak diterima dalam kedua hak tersebut. Jika mereka bersaksi bahwa suami tersebut menuduh ibu mereka dan juga menuduh orang lain yang bukan kerabat, maka kesaksian mereka untuk ibu mereka tertolak karena ada tuduhan (subjektivitas), dan apakah kesaksian mereka untuk orang lain yang bukan kerabat juga tertolak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُرَدُّ وَلَا تَتَبَعَّضُ كَمَا لَوْ شَهِدَ أَنَّهُ قَذَفَهَا وَقَذَفَ زَوْجَتَهُ.

Salah satunya: Kesaksian itu tertolak seluruhnya dan tidak bisa dipilah-pilah, sebagaimana jika seseorang bersaksi bahwa ia telah menuduh dirinya dan menuduh istrinya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمَا لِلْأَجْنَبِيِّ وَإِنْ رُدَّتْ لِأُمِّهِمَا.

Pendapat kedua: Kesaksian mereka diterima untuk orang lain yang bukan kerabat, meskipun tertolak untuk ibu mereka.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ أَنَّ الشَّهَادَةَ لِأُمِّهِمَا رُدَّتْ لِأَجْلِ التُّهْمَةِ وَمَنِ اتُّهِمَ فِي شَهَادَةٍ جَازَ أَنْ يُقْبَلَ فِي غَيْرِهَا إِذَا انْفَرَدَتْ فَكَذَلِكَ إِذَا اجْتَمَعَتْ، وَمَنْ رُدَّتْ شَهَادَتُهُ بِالْعَدَاوَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْبَلَ فِيهَا وَلَا فِي غَيْرِهَا سَوَاءٌ اجْتَمَعَتْ أَوِ افْتَرَقَتْ، لِأَنَّهُ يَكُونُ عَدُوًّا فِي الْجَمِيعِ وَلَا يَكُونُ مَفْهُومًا فِي الْجَمِيعِ فَافْتَرَقَا، وَإِنْ كَانَ ابْنُ سُرَيْجٍ قَدْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا جَمْعًا يُبْطِلُهُ الْفَرْقُ الذي ذكرناه.

Perbedaan antara kedua permasalahan tersebut adalah bahwa kesaksian untuk ibu mereka tertolak karena adanya tuduhan (subjektivitas), dan siapa yang dituduh dalam suatu kesaksian boleh diterima kesaksiannya dalam perkara lain jika berdiri sendiri, demikian pula jika bersamaan. Sedangkan siapa yang kesaksiannya tertolak karena permusuhan, maka tidak boleh diterima baik dalam perkara itu maupun perkara lain, baik bersamaan maupun terpisah, karena ia tetap menjadi musuh dalam semua perkara dan tidak bisa dianggap objektif dalam semua perkara, maka keduanya berbeda. Meskipun Ibnu Surayj telah menggabungkan keduanya dalam satu hukum, namun perbedaan yang telah kami sebutkan membatalkan penggabungan tersebut.

(فصل)

(Pasal)

فأما إن عفى الشاهدان عن حقهما وحسن ما بينه وبينها، لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ قَبْلَ الشَّهَادَةِ أَوْ بَعْدَهَا، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الشَّهَادَةِ، وَذَكَرَا أَنْفُسَهُمَا بَعْدَ الْعَفْوِ إِخْبَارًا عَنِ الْحَالِ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُمَا لِلزَّوْجَةِ لِأَنَّهُمَا قَدْ خَرَجَا بِالْعَفْوِ مِنْ أَنْ يَكُونَا خَصْمَيْنِ وَخَرَجَا بِحُسْنِ مَا بَيْنَهُمَا مِنْ أَنْ يَكُونَا عَدُوَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ عَفْوُهُمَا بَعْدَ الشَّهَادَةِ لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُمَا بِالْعَفْوِ الْحَادِثِ بَعْدَهَا، لِاقْتِرَانِهِمَا بِمَا مَنَعَ مِنْ قَبُولِهَا فَلَوْ أَعَادَ الشَّهَادَةَ بَعْدَ الْعَفْوِ لَمْ تُقْبَلْ، لِأَنَّهَا رُدَّتْ بَعْدَ سَمَاعِهَا فَصَارَ كَرَدِّهَا بِالْفِسْقِ، فَلَا تُقْبَلُ إِذَا أُعِيدَتْ بَعْدَ الْعَدَالَةِ، وَيَجْرِي عَفْوُهُمَا قَبْلَ الشَّهَادَةِ مَجْرَى الْعَدَالَةِ قَبْلَ الشَّهَادَةِ. فَلَا يَمْنَعُ تَقَدُّمُ الْفِسْقِ مِنْ قَبُولِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jika kedua saksi memaafkan hak mereka dan hubungan antara mereka dengan terdakwa menjadi baik, maka hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi sebelum kesaksian atau setelahnya. Jika sebelum kesaksian, dan mereka menyebutkan diri mereka setelah memaafkan hanya sebagai pemberitahuan keadaan, maka kesaksian mereka untuk istri diterima, karena dengan memaafkan mereka telah keluar dari status sebagai pihak yang bersengketa, dan dengan membaiknya hubungan mereka telah keluar dari status sebagai musuh. Namun jika pemaafan itu terjadi setelah kesaksian, maka kesaksian mereka tidak diterima karena pemaafan yang terjadi setelahnya, karena telah bersamaan dengan sebab yang menghalangi diterimanya kesaksian. Jika mereka mengulangi kesaksian setelah pemaafan, maka tidak diterima, karena telah tertolak setelah didengar, sehingga seperti tertolaknya karena kefasikan, maka tidak diterima jika diulangi setelah keadilan (dikembalikan). Pemaafan sebelum kesaksian berlaku seperti keadilan sebelum kesaksian. Maka kefasikan yang terjadi sebelumnya tidak menghalangi diterimanya kesaksian. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَذَفَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ وَالْآخَرُ أَنَّهُ قَذَفَهَا بِالْفَارِسِيَّةِ لَمْ يَجُوزَا لَأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْكَلَامَيْنِ غَيْرُ الْآخَرِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika salah satu dari mereka bersaksi bahwa ia menuduhnya dengan bahasa Arab dan yang lain bersaksi bahwa ia menuduhnya dengan bahasa Persia, maka kesaksian itu tidak sah, karena masing-masing dari dua ucapan itu berbeda.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتِلَافُ الشَّاهِدَيْنِ فِي الْأَدَاءِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Perbedaan dua saksi dalam penyampaian kesaksian terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْمَشْهُودِ بِهِ.

Pertama: Perbedaan mereka dalam hal yang disaksikan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْإِخْبَارِ عَنْهُ.

Kedua: Perbedaan mereka dalam cara mengabarkan tentang hal tersebut.

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْمَشْهُودِ بِهِ.

Adapun jenis pertama, yaitu perbedaan mereka dalam hal yang disaksikan.

فَصُورَتُهُ: أَنْ يَشْهَدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَذَفَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ وَشَهِدَ الْآخَرُ أَنَّهُ قَذَفَهَا بِالْفَارِسِيَّةِ، فَهَذَا اخْتِلَافٌ فِي الْمَشْهُودِ بِهِ مِنَ الْقَذْفِ، وَلِأَنَّ قَذْفَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ غَيْرُ قَذْفِهَا بِالْفَارِسِيَّةِ، وَلَمْ يَشْهَدْ بِأَحَدِهِمَا شَاهِدَانِ، فَلَا يَثْبُتُ عَلَيْهِ وَاحِدٌ مِنَ الْقَذْفَيْنِ، وَهَكَذَا لَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَذَفَهَا [يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَشَهِدَ الْآخَرُ أَنَّهُ قَذَفَهَا يَوْمَ السَّبْتِ، أَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَذَفَهَا بِزَيْدٍ، وَشَهِدَ الْآخَرُ أَنَّهُ قَذَفَهَا بِعَمْرٍو أَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَذَفَهَا] وَشَهِدَ الْآخَرُ أَنَّهُ أَقَرَّ بِقَذْفِهَا، أَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَالَ لَهَا زَنَيْتِ وَشَهِدَ الْآخَرُ أَنَّهُ قَالَ لَهَا يَا زَانِيَةُ، فَهَذَا كُلُّهُ شَهَادَةٌ بِقَذْفَيْنِ لَمْ يَجْتَمِعَا عَلَى أَحَدِهِمَا فَلَمْ يَجِبْ بِشَهَادَتِهِمَا حَدٌّ.

Bentuk kasusnya adalah: salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ia menuduhnya (berzina) dalam bahasa Arab, dan yang lain bersaksi bahwa ia menuduhnya dalam bahasa Persia. Ini merupakan perbedaan dalam objek kesaksian atas tuduhan zina, karena menuduhnya dalam bahasa Arab berbeda dengan menuduhnya dalam bahasa Persia, dan tidak ada dua saksi yang bersaksi atas salah satunya, maka tidak dapat ditetapkan salah satu dari dua tuduhan tersebut. Demikian pula, jika salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ia menuduhnya pada hari Jumat, dan yang lain bersaksi bahwa ia menuduhnya pada hari Sabtu, atau salah satu bersaksi bahwa ia menuduhnya dengan (menyebut nama) Zaid, dan yang lain bersaksi bahwa ia menuduhnya dengan (menyebut nama) ‘Amr, atau salah satu bersaksi bahwa ia menuduhnya, dan yang lain bersaksi bahwa ia mengakui telah menuduhnya, atau salah satu bersaksi bahwa ia berkata kepadanya, “Engkau telah berzina,” dan yang lain bersaksi bahwa ia berkata kepadanya, “Wahai pezina,” maka semua ini adalah kesaksian atas dua tuduhan yang berbeda dan tidak ada kesepakatan atas salah satunya, sehingga dengan kesaksian mereka berdua tidak wajib dijatuhkan had.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَجْمَعُ بَيْنَ شَهَادَتِهِمَا عَلَى قَذْفِهِ وَأُوجِبُ عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَحَكَى مُحَمَّدُ بْنُ شُجَاعٍ عَنْ أَبِي يُوسُفَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ أَضُمُّ الشَّهَادَةَ إِلَى الشَّهَادَةِ فِي الْعُقُودِ وَالْأَقْوَالِ، وَلَا أَضُمُّ الشَّهَادَةَ فِي الْأَفْعَالِ إِذَا شَهِدَ عَلَيْهِ بِبَيْعِ دَارِهِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، وَشَهِدَ الْآخَرُ عَلَيْهِ بِبَيْعِهَا فِي يَوْمِ السَّبْتِ، حُكِمَ عَلَيْهِ بِالْبَيْعِ، وَإِذَا شَهِدَ عَلَيْهِ أَحَدُهُمَا بِقَذْفِهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَشَهِدَ الْآخَرُ عَلَيْهِ بِقَذْفِهَا فِي يَوْمِ السَّبْتِ، حُكِمَ عَلَيْهِ بِالْقَذْفِ وَلَوْ شَهِدَ عَلَيْهِ أَحَدُهُمَا بِالْقَتْلِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، وَشَهِدَ الْآخَرُ عَلَيْهِ بِالْقَتْلِ فِي يَوْمِ السَّبْتِ لَمْ يُحْكَمْ عَلَيْهِ بِالْقَتْلِ.

Abu Hanifah – raḥimahullāh – berkata: Aku menggabungkan kesaksian mereka berdua atas tuduhan tersebut dan mewajibkan had atasnya. Muhammad bin Syujā‘ meriwayatkan dari Abu Yusuf dari Abu Hanifah – raḥimahullāh – bahwa beliau berkata: Aku menggabungkan kesaksian dengan kesaksian dalam akad dan ucapan, namun aku tidak menggabungkan kesaksian dalam perbuatan. Jika salah satu bersaksi bahwa ia menjual rumahnya pada hari Jumat, dan yang lain bersaksi bahwa ia menjualnya pada hari Sabtu, maka diputuskan sah penjualannya. Dan jika salah satu bersaksi bahwa ia menuduhnya pada hari Jumat, dan yang lain bersaksi bahwa ia menuduhnya pada hari Sabtu, maka diputuskan ia telah melakukan tuduhan (qadzaf). Namun, jika salah satu bersaksi bahwa ia membunuh pada hari Jumat, dan yang lain bersaksi bahwa ia membunuh pada hari Sabtu, maka tidak diputuskan ia telah melakukan pembunuhan.

وَلَا يَجُوزُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنْ تُضَمَّ الشَّهَادَةُ إِلَى الشَّهَادَةِ فِي الْعُقُودِ وَالْأَقْوَالِ، كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ تُضَمَّ فِي الْأَفْعَالِ، لِأَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا مَفْقُودٌ، وَلِأَنَّ الْمَشْهُودَ بِهِ فِي الْجَمِيعِ مُخْتَلِفٌ.

Menurut mazhab asy-Syafi‘i – raḥimahullāh – tidak boleh menggabungkan kesaksian dengan kesaksian dalam akad dan ucapan, sebagaimana tidak boleh digabungkan dalam perbuatan, karena tidak ada perbedaan di antara keduanya, dan karena objek kesaksian dalam semua kasus tersebut berbeda.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْإِخْبَارِ عَنْهُ فَصُورَتُهُ أَنْ يَشْهَدَ أَحَدُهُمَا عَلَى إِقْرَارِهِ بِالْعَرَبِيَّةِ أَنَّهُ قَذَفَهَا، وَيَشْهَدُ الْآخَرُ عَلَى إِقْرَارِهِ بِالْفَارِسِيَّةِ أَنَّهُ قَذَفَهَا فَهَذَا قَذْفٌ وَاحِدٌ، قَدِ اخْتُلِفَ فِي الْإِخْبَارِ عَنْهُ فَكَمُلَتْ بِهِ الشَّهَادَةُ وَوَجَبَ بِهِ الْحَدُّ، وَهَكَذَا لَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا عَلَى إِقْرَارِهِ بِقَذْفِهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَشَهِدَ الْآخَرُ عَلَى إِقْرَارِهِ فِي يَوْمِ السَّبْتِ بِقَذْفِهَا، لِأَنَّهُ فِي كِلَا الْيَوْمَيْنِ مُقِرٌّ بِقَذْفٍ وَاحِدٍ، فَكَمُلَتْ فِيهِ الشَّهَادَةُ وَيَجِبُ فِيهِ الْحَدُّ، وَلَكِنْ لَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا عَلَى إِقْرَارِهِ فِي يَوْمِ السَّبْتِ أَنَّهُ قَذَفَهَا فِيهِ، وَشَهِدَ الْآخَرُ عَلَى إِقْرَارِهِ فِي يَوْمِ الْأَحَدِ أَنَّهُ قَذَفَهَا فِيهِ فَهُمَا قَذْفَانِ لَمْ تَكْتَمِلِ الشَّهَادَةُ فِي أَحَدِهِمَا فَلَمْ يَجِبْ عليه الحد.

Adapun jenis kedua, yaitu perbedaan mereka berdua dalam mengabarkan tentangnya, bentuk kasusnya adalah: salah satu dari keduanya bersaksi atas pengakuannya dalam bahasa Arab bahwa ia telah menuduhnya, dan yang lain bersaksi atas pengakuannya dalam bahasa Persia bahwa ia telah menuduhnya. Ini adalah satu tuduhan, hanya saja terjadi perbedaan dalam cara mengabarkannya, sehingga kesaksian menjadi sempurna dan had wajib dijatuhkan. Demikian pula, jika salah satu dari keduanya bersaksi atas pengakuannya menuduhnya pada hari Jumat, dan yang lain bersaksi atas pengakuannya pada hari Sabtu, karena pada kedua hari tersebut ia mengakui satu tuduhan, maka kesaksian menjadi sempurna dan had wajib dijatuhkan. Namun, jika salah satu dari keduanya bersaksi atas pengakuannya pada hari Sabtu bahwa ia menuduhnya pada hari itu, dan yang lain bersaksi atas pengakuannya pada hari Ahad bahwa ia menuduhnya pada hari itu, maka itu adalah dua tuduhan yang berbeda dan kesaksian tidak sempurna pada salah satunya, sehingga had tidak wajib dijatuhkan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَيُقْبَلُ كِتَابُ الْقَاضِي بِقَذْفِهَا “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Diterima surat hakim tentang tuduhan qadzaf.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ، يُقْبَلُ فِي الْقَذْفِ وَالْقِصَاصِ كِتَابُ الْقَاضِي إِلَى الْقَاضِي، وَتَجُوزُ فِيهِمَا الشَّهَادَةُ عَلَى الشَّهَادَةِ، لِأَنَّهُمَا مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الَّتِي يَجِبُ النَّظَرُ وَالِاسْتِظْهَارُ لِحِفْظِهَا، وَفِي جَوَازِهَا فِي حُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan memang demikian, diterima dalam kasus qadzaf dan qishāsh surat hakim kepada hakim lain, dan dalam kedua kasus tersebut boleh kesaksian atas kesaksian, karena keduanya termasuk hak-hak manusia yang wajib diperhatikan dan dijaga. Adapun kebolehan hal tersebut dalam hudūd Allah Ta‘ala, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ فِيهِمَا كِتَابُ قَاضٍ إِلَى قَاضٍ وَالشَّهَادَةُ عَلَى الشَّهَادَةِ، قِيَاسًا عَلَى حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ.

Salah satunya: Boleh dalam keduanya surat hakim kepada hakim lain dan kesaksian atas kesaksian, dengan qiyās kepada hak-hak manusia.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا تَجُوزُ فِيهِ الشَّهَادَةُ عَلَى الشَّهَادَةِ، وَلَا يُقْبَلُ فِيهَا كِتَابُ قَاضٍ إِلَى قَاضٍ، لِأَنَّ حُدُودَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ، ثُمَّ لِفَرْقٍ ثَانٍ بَيْنَهُمَا، وَهُوَ أَنَّ مَنْ أَتَى، مَا يُوجِبُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ حَدًّا فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتُرَهُ، وَمَنْ لزمه حق الآدميين فعليه أن يظهره، فذلك وَجَبَ الِاسْتِظْهَارُ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ دُونَ حُقُوقِ الله تعالى، والله أعلم.

Pendapat kedua: Tidak boleh melakukan kesaksian atas kesaksian dalam perkara ini, dan tidak diterima surat dari seorang qāḍī kepada qāḍī lain, karena ḥudūd Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā digugurkan dengan adanya syubhat. Kemudian ada perbedaan kedua antara keduanya, yaitu bahwa siapa yang melakukan sesuatu yang mewajibkan ḥadd dari Allah Subḥānahu, maka ia harus menutupinya, sedangkan siapa yang memiliki hak manusia atasnya, maka ia harus menampakkannya. Oleh karena itu, penampakan (hak) diwajibkan dalam hak-hak manusia, tidak pada hak-hak Allah Ta‘ālā. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَتُقْبَلُ الْوَكَالَةُ فِي تَثْبِيتِ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْحُدُودِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ الْحَدَّ أَوْ يَأْخُذَ اللِّعَانَ أُحْضِرَ الْمَأْخُوذُ لَهُ الْحَدَّ وَاللِّعَانَ وَأَمَّا حُدُودُ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَتُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ “.

Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Diterima perwakilan (wakālah) dalam penetapan bayyinah atas ḥudūd. Maka jika ingin menegakkan ḥadd atau mengambil li‘ān, dihadirkanlah orang yang diambilkan untuknya ḥadd dan li‘ān. Adapun ḥudūd Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā, maka digugurkan dengan adanya syubhat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْوَكَالَةُ فِي تَثْبِيتِ الْحَدِّ وَالْقَصَاصِ، فَجَائِزَةٌ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Adapun wakālah dalam penetapan ḥadd dan qiṣāṣ, maka diperbolehkan karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا صَحَّ أَنْ يُبَاشِرَ تَثْبِيتَهُ صَحَّ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ كَسَائِرِ الْحُقُوقِ.

Pertama: Sesuatu yang sah untuk langsung dilakukan penetapannya, maka sah pula untuk diwakilkan, sebagaimana hak-hak lainnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ رُبَّمَا عَجَزَ مُسْتَحِقُّهَا عَنْ تَثْبِيتِ الْحُجَّةِ فِيهَا وَتَجَوَّزَ عَنْهَا فَجَازَ التَّوْكِيلُ فِي الْحَالَيْنِ كَمَا يَجُوزُ فِي سَائِرِ الْحُقُوقِ، فَإِذَا صَحَّتِ الْوَكَالَةُ فِي تَثْبِيتِ الْحَدِّ وَالْقَصَاصِ لَمْ يَكُنْ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُمَا مَا لَمْ يُوَكَّلْ فِي الِاسْتِيفَاءِ، لِأَنَّ فِعْلَ الْوَكِيلِ مَقْصُورٌ عَلَى مَا أُذِنَ لَهُ فِيهِ فَلَمْ يَتَجَاوَزْ بِالتَّثْبِيتِ الِاسْتِيفَاءَ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَأْذُونٍ فِيهِ فَإِنْ وَكَّلَهُ فِي الِاسْتِيفَاءِ فَظَاهِرُ مَا قَالَهُ هَاهُنَا، وَفِي كِتَابِ الْوَكَالَةِ، أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَظَاهِرُ مَا قَالَهُ فِي الْجِنَايَاتِ جَوَازُهُ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Terkadang orang yang berhak atasnya tidak mampu menetapkan hujjah di dalamnya dan ia dapat menggugurkan haknya, maka boleh melakukan perwakilan dalam kedua keadaan tersebut sebagaimana diperbolehkan dalam hak-hak lainnya. Maka apabila sah wakālah dalam penetapan ḥadd dan qiṣāṣ, tidak boleh bagi wakil untuk menunaikannya kecuali jika diwakilkan pula dalam pelaksanaan, karena tindakan wakil terbatas pada apa yang diizinkan kepadanya, sehingga penetapan tidak melampaui pelaksanaan, karena itu tidak diizinkan baginya. Jika ia diwakilkan dalam pelaksanaan, maka yang tampak dari apa yang dikatakan di sini dan dalam Kitāb al-Wakālah adalah tidak boleh, dan yang tampak dari apa yang dikatakan dalam (Bab) Jināyāt adalah boleh. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua wajah:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:

Pertama: Bahwa hal ini berdasarkan perbedaan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِي اسْتِيفَاءِ الْحُدُودِ وَالْقِصَاصِ إِلَّا بِمَشْهَدٍ مِنَ الْوَكِيلِ، فَإِنْ غَابَ لَمْ يَجُزْ لِأَمْرَيْنِ:

Pertama: Tidak boleh melakukan perwakilan dalam pelaksanaan ḥudūd dan qiṣāṣ kecuali dengan kehadiran wakil, maka jika ia tidak hadir tidak boleh, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الدِّمَاءَ وَالْأَعْرَاضَ لَا تُسْتَبَاحُ إِلَّا بِيَقِينٍ، وَيَجُوزُ أَنْ يَعْفُوَ الْمُوَكِّلُ إِذَا غَابَ وَلَا يَعْلَمُ الْوَكِيلُ.

Pertama: Bahwa darah dan kehormatan tidak boleh dilanggar kecuali dengan keyakinan, dan boleh jadi muwakkil memaafkan ketika ia tidak hadir dan wakil tidak mengetahuinya.

وَالثَّانِي: أَنَّ مُسْتَحِقَّ ذَلِكَ مَنْدُوبٌ إِلَى الْعَفْوِ، وَقَدْ يُرْجَى بِحُضُورِهِ أَنْ يَرِقَّ قَلْبُهُ فَيَعْفُوَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَغِيبَ عَنْهُ.

Kedua: Bahwa orang yang berhak atas hal tersebut dianjurkan untuk memaafkan, dan diharapkan dengan kehadirannya hatinya menjadi lembut lalu ia memaafkan, maka tidak boleh ia absen darinya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِي اسْتِيفَائِهِ مَعَ غَيْبَةِ الْمُوَكِّلِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْمَعْنَيَيْنِ فِي جَوَازِ التَّوْكِيلِ، فَهَذَا أَحَدُ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِهِمْ.

Pendapat kedua: Boleh melakukan perwakilan dalam pelaksanaannya meskipun muwakkil tidak hadir, karena dua alasan yang telah kami sebutkan dalam kebolehan perwakilan. Ini adalah salah satu dari dua wajah sahabat kami dan merupakan pendapat mayoritas mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ، إِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَالْمَوْضِعُ الَّذِي جوزه فيه إذا استأنف التوكيل اسْتِيفَائِهِ بَعْدَ ثُبُوتِهِ.

Wajah kedua: Bahwa hal ini bukan berdasarkan perbedaan dua pendapat, melainkan berdasarkan perbedaan dua keadaan. Tempat yang dibolehkan adalah jika perwakilan dalam pelaksanaan dilakukan setelah penetapan.

وَالْمَوْضِعُ الَّذِي مَنَعَ مِنْ جَوَازِهِ فِيهِ إِذَا جَمَعَ فِي التَّوْكِيلِ بَيْنَ تَثْبِيتِهِ وَاسْتِيفَائِهِ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا ظُهُورُ الْقُدْرَةِ لِيَعْفُوَ عَنْ قَدْرِهِ، فَلَمْ يَجُزِ الِاسْتِيفَاءُ إِلَّا بِحُضُورِهِ، وَإِذَا وَكَّلَ بَعْدَ ثُبُوتِهِ فَقَدْ عُرِفَتْ قُدْرَتُهُ وَلَيْسَ مِنْ عَفْوِهِ وَلَمْ يَبْقَ لَهُ قَصْدٌ غَيْرُ الِاسْتِيفَاءِ فَصَحَّ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ وَكَيْلُهُ وَقَدْ لَوَّحَ بِهَذَا الْفَرْقِ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَأَمَّا اللِّعَانُ فَلَا يَصِحُّ فِيهِ التَّوْكِيلُ وَالِاسْتِنَابَةُ، لِأَنَّهُ يَمِينٌ أَوْ شَهَادَةٌ، وَالنِّيَابَةُ لَا تَصِحُّ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَأَمَّا حَدُّ الزِّنَا فَيَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَسْتَنِيبَ فِي تَثْبِيتِهِ وَاسْتِيفَائِهِ لِأَنَّ عَفْوَهُ عَنْهُ بَعْدَ ثُبُوتِهِ لَا يَصِحُّ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” يَا أُنَيْسُ اغْدُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا ” وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Adapun tempat yang dilarang adalah jika dalam perwakilan digabungkan antara penetapan dan pelaksanaan, karena yang tampak dari penggabungan keduanya adalah adanya kemampuan untuk memaafkan ketika ia mampu, maka tidak boleh pelaksanaan kecuali dengan kehadirannya. Jika ia mewakilkan setelah penetapan, maka telah diketahui kemampuannya dan tidak ada lagi unsur pemaafan, serta tidak ada lagi tujuan selain pelaksanaan, maka sah bagi wakil untuk melakukannya sendiri. Hal ini telah disinggung oleh Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah. Adapun li‘ān, maka tidak sah di dalamnya perwakilan dan penggantian, karena ia adalah sumpah atau kesaksian, dan perwakilan tidak sah dalam keduanya. Adapun ḥadd zinā, maka boleh bagi imam untuk mewakilkan dalam penetapan dan pelaksanaannya, karena pemaafan setelah penetapan tidak sah. Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Wahai Unais, pergilah kepada istri orang ini, jika ia mengaku, maka rajamlah dia.” Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

(بَابُ الْوَقْتِ فِي نَفْيِ الْوَلَدِ وَمَنْ لَيْسَ له أن ينفيه ونفي ولد الأمة من (كتابي لعان قديم وجديد)

(Bab Waktu dalam Penafian Anak, Siapa Saja yang Tidak Berhak Menafikannya, dan Penafian Anak dari Budak Perempuan menurut (kitab li‘ān lama dan baru))

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَإِذَا عَلِمَ الزَّوْجُ بِالْوَلَدِ فَأَمْكَنَهُ الْحَاكِمُ أَوْ مَنْ يَلْقَاهُ لَهُ إِمْكَانًا بَيِّنًا فَتَرَكَ اللِّعَانَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْفِيَهُ كَمَا يَكُونُ بَيْعُ الشِّقْصِ فِيهِ الشُّفْعَةُ وَإِنْ تَرَكَ الشَّفِيعُ فِي تِلْكَ الْمُدَّةِ لَمْ تَكُنِ الشُّفْعَةُ لَهُ وَلَوْ جَازَ أَنْ يَعْلَمَ بِالْوَلَدِ فَيَكُونُ لَهُ نَفْيُهُ حَتَى يُقِرَّ بِهِ جَازَ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ شَيْخًا وَهُوَ مُخْتَلِفٌ مَعَهُ اخْتِلَافَ الْوَلَدِ وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ يَكُونَ لَهُ نَفْيُهُ ثَلَاثًا وَإِنْ كَانَ حاضراً كان مذهبا وقد منع الله من قضى بعذابه ثلاثا وأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أذن للمهاجر بعد قضاء نسكه في مقام ثلاث بمكة وقال في القديم إن لم يشهد من حضره بذلك في يوم أو يومين لم يكن له نفيه (قال المزني) لو جاز في يومين جاز في ثلاثة واربعة في معنى ثلاثة وقد قال لمن جعل له نفيه في تسع وثلاثين وأباه في أربعين ما الفرق بين الصمتين فقوله في أول الثانية أشبه عندي بمعناه وبالله التوفيق “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika suami telah mengetahui adanya anak, lalu hakim atau siapa pun yang menemuinya memberinya kesempatan yang jelas untuk melakukan li‘ān, namun ia meninggalkannya, maka ia tidak lagi berhak menafikan anak tersebut. Hal ini seperti dalam jual beli bagian (syu‘fah), jika orang yang berhak syuf‘ah tidak mengambil haknya dalam waktu yang ditentukan, maka syuf‘ah tidak lagi menjadi haknya. Jika dibolehkan seseorang mengetahui adanya anak lalu ia tetap boleh menafikannya sampai ia mengakuinya, maka boleh saja penafian dilakukan setelah anak itu dewasa dan berbeda pendapat dengannya sebagaimana perbedaan antara anak dan ayah. Jika ada yang berpendapat bahwa ia boleh menafikan anak selama tiga hari meskipun ia hadir, maka itu adalah suatu pendapat, padahal Allah telah melarang orang yang menetapkan hukuman azab selama tiga hari, dan Nabi ﷺ mengizinkan orang yang berhijrah untuk tinggal di Mekah selama tiga hari setelah menyelesaikan manasiknya. Dalam pendapat lama, jika orang yang hadir tidak menyaksikan penafian itu dalam satu atau dua hari, maka ia tidak lagi berhak menafikannya. (Al-Muzani berkata) Jika dibolehkan dalam dua hari, maka boleh juga dalam tiga atau empat hari, karena maknanya sama. Dan telah dikatakan kepada orang yang membolehkan penafian dalam tiga puluh sembilan hari dan melarangnya dalam empat puluh hari: apa bedanya antara dua masa diam itu? Maka menurutku, pendapat yang menyatakan penafian pada awal hari kedua lebih mendekati maknanya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَ أَبِي حنيفة – رحمه الله – فِي الْمُدَّةِ الَّتِي يَجُوزُ نَفْيُ الْوَلَدِ فِيهَا، وحكي عن شريح والشعبي أنهما جوزاً له نفيه مَا لَمْ يُقِرَّ بِهِ وَإِنْ صَارَ شَيْخًا فَجَعَلَ الْإِقْرَارَ بِهِ شَرْطًا فِي لُحُوقِ نَسَبِهِ. وَفِي هَذَا إِبْطَالٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الولد للفراش وللعاهر الحجر ” لأنهما يجعلا الْوَلَدَ لِلْإِقْرَارِ دُونَ الْفِرَاشِ.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan bersama Abu Hanifah – rahimahullah – tentang masa yang diperbolehkan untuk menafikan anak. Diriwayatkan dari Syuraih dan Sya‘bi bahwa keduanya membolehkan penafian selama belum ada pengakuan, meskipun anak itu telah dewasa, sehingga pengakuan dijadikan syarat dalam penetapan nasabnya. Dalam hal ini terdapat pembatalan terhadap sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik pemilik ranjang, dan bagi pezina adalah batu (hukuman).” Karena keduanya menjadikan anak itu berdasarkan pengakuan, bukan berdasarkan ranjang (perkawinan yang sah).

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ بِنَفْيِهِ إِلَى سِتَّةِ أَشْهُرٍ وَهِيَ مُدَّةُ أَقَلِّ الْحَمْلِ.

Abu Yusuf berpendapat bahwa penafian boleh dilakukan sampai enam bulan, yaitu masa paling singkat kehamilan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يَنْفِيهِ إِلَى أَرْبَعِينَ يَوْمًا هِيَ أَكْثَرُ مُدَّةِ النفاس عنده وفيه على مذهب الشافعي – رضي الله عنه – قَوْلَانِ:

Abu Hanifah – semoga Allah meridhainya – berpendapat bahwa penafian boleh dilakukan sampai empat puluh hari, yaitu masa terlama nifas menurutnya. Dalam mazhab Syafi‘i – semoga Allah meridhainya – terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهُ نَفْيُهُ إِلَى مُدَّةِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ بَعْدَ عِلْمِهِ، وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أبي حنيفة – رحمه الله – لِأَنَّهُ لَا يَسْتَغْنِي عَنِ الِارْتِيَاءِ وَالتَّفْكِيرِ، وَلِقَاءِ حاكم وفقيه حتى لا يستحلق وَلَدًا لَيْسَ مِنْهُ، وَلَا يَنْفِيَ وَلَدًا هُوَ مِنْهُ، فَأُجِّلَ قَلِيلَ الزَّمَانِ الْمُعْتَبَرِ فِي اسْتِحْقَاقِ الْخِيَارِ، وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ.

Pertama: Penafian boleh dilakukan selama tiga hari setelah mengetahui (adanya anak), dan ini adalah salah satu riwayat dari Abu Hanifah – rahimahullah – karena seseorang membutuhkan waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan, serta bertemu hakim dan ahli fiqh agar tidak menafikan anak yang bukan darinya, dan tidak pula menafikan anak yang memang darinya. Maka diberikan waktu sebentar yang dianggap cukup dalam memperoleh hak memilih, yaitu tiga hari.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ نَفْيَهُ بَعْدَ الْعِلْمِ بِهِ مُعْتَبَرٌ بِالْإِمْكَانِ عَلَى الْفَوْرِ مِنْ غَيْرِ تَأْخِيرٍ، لِأَنَّ كُلَّ مَا لَزِمَ بِالسُّكُوتِ فَمُدَّةُ لُزُومِهِ معتبةر بِالْإِمْكَانِ بَعْدَ عِلْمِهِ كَالرَّدِّ بِالْعَيْبِ وَالْأَخْذِ بِالشُّفْعَةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ خِيَارٍ تَعَلَّقَ بِالنِّكَاحِ كَانَ مُعْتَبَرًا بالفور كالخيار بالعيوب.

Pendapat kedua: Penafian setelah mengetahui adanya anak harus dilakukan segera tanpa penundaan, karena setiap hak yang gugur karena diam, maka masa gugurnya dihitung sejak adanya kesempatan setelah mengetahui, seperti pengembalian barang cacat dan pengambilan hak syuf‘ah. Dan setiap hak pilihan yang berkaitan dengan pernikahan harus dilakukan segera, seperti hak pilihan karena cacat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَيُّ مُدَّةٍ؟ قُلْتُ لَهُ نَفْيُهُ فِيهَا فَأَشْهَدَ على نفيه وهو مشغول بما يخالف فَوْتَهُ أَوْ بِمَرَضٍ لَمْ يَنْقَطِعْ نَفْيُهُ)) .

Imam Syafi‘i – semoga Allah meridhainya – berkata: “Dalam masa berapa lama? Aku katakan, selama ia menafikan dalam masa itu lalu ia bersaksi atas penafiannya, namun ia sedang sibuk dengan sesuatu yang menghalanginya atau karena sakit, maka penafiannya tidak terputus.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: إِذَا قِيلَ: إِنَّ نَفْيَهُ عَلَى الْفَوْرِ، أَوْ قِيلَ إِنَّهُ مُؤَجَّلٌ فِي نَفْيِهِ ثَلَاثًا فَمَضَتْ صَارَ الْخِيَارُ عِنْدَ انْقِضَائِهَا عَلَى الْفَوْرِ، وَالْحُكْمُ فِي الْحَالَيْنِ حِينَئِذٍ وَاحِدٌ، وإذا كان كذلك فالفور في نفيه معتبراً بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar; jika dikatakan bahwa penafian harus segera, atau dikatakan bahwa penafian diberi tenggang waktu tiga hari, maka setelah masa itu berlalu, hak memilih menjadi segera. Hukum dalam kedua keadaan itu sama saja. Jika demikian, maka ke-segeraan dalam penafian anak dipertimbangkan dengan tiga syarat.

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: الْعِلْمُ بِوِلَادَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِهِ حَتَّى تَطَاوَلَ بِهِ الزَّمَانُ كَانَ عَلَى نَفْيِهِ فَإِنْ نُوزِعَ فِي الْعِلْمِ. لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَكُونَ غَائِبًا أَوْ حَاضِرًا فَإِنْ كَانَ غَائِبًا قُبِلَ قَوْلُهُ إِنَّهُ لَمْ يَعْلَمْ، وَإِنْ كَانَ حَاضِرًا لَمْ يَخْلُ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهَا فِي دَارٍ وَاحِدٍ أَوْ فِي دَارَيْنِ، فَإِنْ كَانَا فِي دَارٍ صَغِيرَةٍ لَا يَخْفَى وِلَادَتُهَا عَلَى مَنْ فِيهَا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ إِنَّهُ لَمْ يَعْلَمْ، وَإِنْ كان في دار تلتها، نُظِرَ فَإِنْ شَاعَ خَبَرُ وِلَادَتِهَا فِي الْجِيرَانِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ إِنَّهُ لَمْ يَعْلَمْ لِاسْتِحَالَتِهِ وَإِنْ لَمْ يُشَعِ الْخَبَرُ فِي جِيرَانِهِ قُبِلَ قَوْلُهُ فِي عَدَمِ الْعِلْمِ لِإِمْكَانِهِ.

Syarat pertama: Mengetahui kelahirannya. Jika tidak mengetahui hingga waktu berlalu lama, maka ia tetap berhak menafikan (anak tersebut). Jika terjadi perbedaan pendapat tentang pengetahuan itu, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia sedang tidak ada (ghā’ib) atau hadir. Jika ia tidak ada, diterima pengakuannya bahwa ia tidak tahu. Jika ia hadir, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia bersama istrinya di satu rumah atau di dua rumah yang berbeda. Jika mereka berada di rumah kecil yang kelahirannya tidak mungkin tersembunyi dari orang-orang di dalamnya, maka tidak diterima pengakuannya bahwa ia tidak tahu. Jika di rumah yang berdekatan, maka dilihat: jika berita kelahirannya telah tersebar di kalangan tetangga, tidak diterima pengakuannya bahwa ia tidak tahu karena hal itu mustahil. Namun jika berita itu tidak tersebar di kalangan tetangganya, maka diterima pengakuannya tidak tahu karena hal itu masih mungkin.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ عُذْرٌ قَاطِعٌ عَنْ نَفْيِهِ، وَالْأَعْذَارُ الْقَاطِعَةُ: أَنْ يَكُونَ مَحْبُوسًا، أَوْ مَرِيضًا، أَوْ مُقِيمًا عَلَى مَرِيضٍ لَا يَقْدِرُ عَلَى تَرْكِهِ أَوْ مُقِيمًا عَلَى حِفْظِ مَالٍ يخاف من تلفه، أو مستتراً في ذِي سَطْوَةٍ يَخَافُ ظُلْمَهُ أَوْ طَالِبًا لِضَالَّةٍ يخاف موتها أَوْ مُقِيمًا عَلَى إِطْفَاءِ حَرِيقٍ، أَوِ اسْتِنْقَاذِ غَرِيقٍ، إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْذَارِ الَّتِي يجوز معها ترك الجمعة. فلا يزمه الْحُضُورُ مَعَهَا ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ قَدَرَ مَعَهَا عَلَى مُرَاسَلَةِ الْحَاكِمِ بِحَالِهِ فَعَلَ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْإِشْهَادِ عَلَى نَفْسِهِ فَعَلَ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهِمَا أَوْ عَلَى أَحَدِهِمَا فَلَمْ يَفْعَلْ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْهُمَا لَزِمَهُ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَمْ يَلْزَمْهُ، وَكَانَ لَهُ نَفْيُهُ.

Syarat kedua: Tidak ada uzur yang benar-benar menghalanginya untuk menafikan (anak tersebut). Uzur-uzur yang benar-benar menghalangi antara lain: ia sedang dipenjara, sakit, merawat orang sakit yang tidak bisa ia tinggalkan, menjaga harta yang ia khawatirkan akan rusak, bersembunyi dari orang yang berkuasa yang ia takut akan menzaliminya, mencari barang hilang yang ia khawatirkan akan mati, memadamkan kebakaran, atau menolong orang yang tenggelam, dan uzur-uzur lain yang membolehkan meninggalkan shalat Jumat. Maka ia tidak wajib hadir bersama istrinya. Kemudian dilihat: jika ia mampu mengirim surat kepada hakim tentang keadaannya, maka ia harus melakukannya. Jika ia mampu menghadirkan saksi atas dirinya, maka ia harus melakukannya. Jika ia mampu melakukan keduanya atau salah satunya namun tidak melakukannya padahal ia mampu, maka anak itu menjadi tanggungannya. Jika ia tidak mampu melakukan salah satunya, maka ia tidak wajib (menanggung anak itu) dan ia tetap berhak menafikan.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: الْإِمْكَانُ مِنْ غَيْرِ إِرْهَاقٍ يَخْرُجُ عَنِ الْعُرْفِ، فَإِنْ كَانَ لَيْلًا فَحَتَّى يُصْبِحَ. وَإِنْ كَانَ فِي وَقْتِ صَلَاةٍ فَحَتَّى يُصَلِّيَ، وَإِنَّ حَضَرَ طَعَامٌ فَحَتَّى يَأْكُلَ وَإِنْ كَانَ يَلْبَسُ ثِيَابًا بِذْلَةً لَا يَلْقَى الْحَاكِمَ بِهَا فَحَتَّى يَلْبَسَ ثِيَابَ مِثْلِهِ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَرْكَبُ فَحَتَّى يُسْرِجَ مَرْكُوبَهُ، وَإِنْ كان له مال بارز فحتى يتحرز مَالَهُ، فَهَذَا كُلُّهُ وَمَا شَاكَلَهُ مُعْتَبَرٌ فِي مُكْنَتِهِ وَلَا يَمْتَنِعُ مِنْ نَفْيِهِ، فَإِذَا تَكَامَلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ فَقَدْ تَعَيَّنَ الْفَوْرُ وَلَزِمَ تَعْجِيلُ النَّفْيِ، فَإِنْ لَمْ يُبَادِرْ إِلَيْهِ لَزِمَهُ الْوَلَدُ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ نَفْيُهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Syarat ketiga: Kemampuan tanpa adanya kesulitan yang melampaui kebiasaan. Jika malam hari, maka sampai pagi. Jika pada waktu shalat, maka sampai selesai shalat. Jika sedang ada makanan, maka sampai selesai makan. Jika ia sedang mengenakan pakaian lusuh yang tidak pantas untuk menghadap hakim, maka sampai ia mengenakan pakaian yang layak. Jika ia termasuk orang yang berkendara, maka sampai ia menyiapkan kendaraannya. Jika ia memiliki harta yang tampak, maka sampai ia mengamankan hartanya. Semua hal ini dan yang serupa dengannya diperhitungkan dalam kemampuannya dan tidak menghalanginya untuk menafikan (anak tersebut). Jika semua syarat ini telah terpenuhi, maka wajib segera (menafikan) dan harus menyegerakan penafian. Jika tidak segera melakukannya, maka anak itu menjadi tanggungannya dan ia tidak lagi berhak menafikan. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ غَائِبًا فَبَلَغَهُ فَأَقَامَ لَمْ يَكُنْ لَهُ نَفْيُهُ إِلَّا بِأَنْ يُشْهِدَ عَلَى نَفْيِهِ ثُمَّ يَقْدُمَ “.

Imam Syāfi‘ī ra. berkata: “Jika ia sedang tidak ada (ghā’ib), lalu sampai kepadanya (kabar kelahiran) dan ia tetap tinggal (tidak segera bertindak), maka ia tidak berhak menafikan kecuali dengan menghadirkan saksi atas penafian itu, kemudian ia datang (ke pengadilan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا عَرَفَ وِلَادَتَهُ وَكَانَ غَائِبًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Jika ia mengetahui kelahiran (anak itu) dan ia sedang tidak ada (ghā’ib), maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الْمَسِيرِ فَيُؤْخَذُ بِهِ إِنْ أَرَادَ نَفْيًا مُتَأَنِّيًا مِنْ غَيْرِ إِرْهَاقٍ لِتَلَمُّسِ صُحْبَةٍ، أَوْ يُعِدُّ مَرْكَبًا كَمَا لَمْ يَرْهَقْ فِي الْحَضَرِ بِالْخُرُوجِ عَنِ الْعُرْفِ فَإِنْ لَمْ يَأْخُذْ فِي الْمَسِيرِ عِنْدَ إِمْكَانِهِ لَزِمَهُ الْوَلَدُ.

Pertama: Ia mampu untuk melakukan perjalanan, maka ia wajib melakukannya jika ingin menafikan, dengan tenang tanpa tergesa-gesa untuk mencari teman perjalanan, atau menyiapkan kendaraan selama tidak memberatkannya secara tidak wajar sebagaimana tidak memberatkan orang yang tinggal di kota untuk keluar dari kebiasaan. Jika ia tidak segera melakukan perjalanan saat mampu, maka anak itu menjadi tanggungannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى الْمَسِيرِ إِمَّا بِشُغْلٍ لَهُ أَوْ بِعُذْرٍ فِي الطَّرِيقِ. أَوْ لِعَدَمِ صُحْبَةٍ لَمْ يَلْزَمِ الْمَسِيرُ وَلَمْ يَسْقُطْ حَقُّهُ بِالتَّوَقُّفِ.

Kedua: Ia tidak mampu melakukan perjalanan, baik karena ada kesibukan atau uzur di jalan, atau karena tidak ada teman perjalanan, maka ia tidak wajib melakukan perjalanan dan haknya tidak gugur hanya karena menunda.

ثُمَّ نُظِرَ فَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِيفَادِ رَسُولٍ فَعَلَ لِيَكُونَ مُخَيَّرًا بِإِنْكَارِ الْوَلَدِ وَلَا يفوته حَقُّهُ فِي نَفْيِهِ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْإِشْهَادِ وَفَعَلَ، [فَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهِمَا فَلَمْ يَفْعَلْهُمَا، أَوْ فَعَلَ أَحَدَهُمَا لَزِمَهُ الْوَلَدُ، فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِمَا أَوْ قَدَرَ عَلَى أَحَدِهِمَا فَفَعَلَ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْهُمَا لَمْ يَلْزَمْهُ الْوَلَدُ وَكَانَ فِي حَقِّهِ مِنْ نَفْيِهِ مَا كَانَ عَلَى حَالِهِ إِلَّا أَنْ يَقْدِرَ عَلَى مَا يَفْعَلُهُ مِنْ مَسِيرٍ أَوْ رَسُولٍ أَوْ شَهَادَةٍ فَيُؤْخَذُ بِمَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ لِيَكُونَ حَقُّهُ في نفيه باقياً] .

Kemudian diperhatikan, jika ia mampu mengutus seorang utusan maka hendaknya ia melakukannya, agar ia tetap memiliki pilihan untuk mengingkari anak tersebut dan tidak hilang haknya dalam menafikannya. Jika ia mampu menghadirkan saksi dan melakukannya, [maka jika ia mampu melakukan keduanya namun tidak melakukannya, atau hanya melakukan salah satunya, maka anak itu tetap menjadi tanggungannya. Namun jika ia tidak mampu melakukan keduanya, atau hanya mampu melakukan salah satunya lalu ia lakukan apa yang ia mampu darinya, maka anak itu tidak menjadi tanggungannya dan haknya dalam menafikan anak tersebut tetap seperti semula, kecuali jika ia mampu melakukan apa yang dapat ia lakukan berupa perjalanan, mengutus utusan, atau menghadirkan saksi, maka ia dibebani dengan apa yang mampu ia lakukan dari hal tersebut agar haknya dalam menafikan anak itu tetap terjaga].

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ قَالَ لَمْ أُصَدِّقْ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia berkata, ‘Aku tidak membenarkan,’ maka perkataannya diterima.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يُخْبَرَ بِوِلَادَتِهِ فَيُمْسِكُ عَنْ نَفْيِهِ، وَيَقُولُ لَمْ أُصَدِّقِ الْمُخْبِرَ فِي خَبَرِهِ، فَيُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ الْخَبَرُ عَنْ طَرِيقِ الْآحَادِ كَالْوَاحِدِ وَالِاثْنَيْنِ قُبِلَ قَوْلُهُ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ عَدْلًا أَوْ فَاسِقًا، لِأَنَّهُ قَدْ يُسْتَرَابُ بِالْعَدْلِ، وَيُسْتَوْثَقُ بِالْفَاسِقِ، وَإِنْ كَانَ الْخَبَرُ مُتَوَاتِرًا مُسْتَفِيضًا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي تَكْذِيبِ الْخَبَرِ لِوُقُوعِ الْعِلْمِ بِهِ، وَإِذَا قَبِلْنَا قَوْلَهُ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ فَفِي الْحُكْمِ عَلَيْهِ بِنُكُولِهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya adalah seseorang diberitahu tentang kelahiran anaknya lalu ia diam tidak menafikannya, dan ia berkata, “Aku tidak membenarkan orang yang memberitakan itu dalam beritanya.” Maka dilihat, jika berita itu datang dari satu atau dua orang (khabar āḥād), maka perkataannya diterima, baik yang memberitakan itu orang adil maupun fasik, karena bisa saja terhadap orang adil pun masih diragukan, dan terhadap orang fasik pun bisa diambil kehati-hatian. Namun jika berita itu mutawātir dan masyhur, maka perkataannya dalam mendustakan berita itu tidak diterima karena sudah pasti ilmunya. Jika kita menerima perkataannya dalam keadaan-keadaan ini dengan sumpahnya, maka jika ia enggan bersumpah, dalam hukum atas keengganannya itu ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِنُكُولِهِ فِي إِبْطَالِ دَعْوَاهُ وَيَلْحَقُهُ الْوَلَدُ بِالْفِرَاشِ دُونَ النُّكُولِ. وَلَا تُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى الْأُمِّ وَلَا عَلَى الْوَلَدِ، لِأَنَّهُ لَا يُرَاعَى فِيهِ تَصْدِيقُهَا، وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ تَكْذِيبُهَا.

Pertama: Dihukumi atasnya dengan keengganannya itu sehingga gugur klaimnya dan anak itu dinisbatkan kepadanya berdasarkan firāsy tanpa memperhatikan keengganannya. Sumpah tidak dikembalikan kepada ibu atau anak, karena dalam hal ini tidak dipertimbangkan pembenaran ibu, dan pendustaan ibu pun tidak berpengaruh.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ تُرَدُّ عَلَى الْأُمِّ فَإِنْ حَلَفَتْ لَزِمَهُ الْوَلَدُ وَإِنْ نَكَلَتْ وَقَفَتْ عَلَى بُلُوغِ الْوَلَدِ، فَإِنْ حَلَفَ ثَبَتَ نَسَبُهُ، وَإِنْ نَكَلَ انْتَفَى عَنْهُ لِأَنَّ لُحُوقَ النَّسَبِ لِلْوَلَدِ، وَفِيهِ مِنْ حُقُوقِ الْأُمِّ نَفْيُ الْمَعَرَّةِ عَنْهَا فَوَجَبَ رَدُّ الْيَمِينِ عَلَيْهَا فَعَلَى هَذَا إِنْ وقفت على بُلُوغِ الْوَلَدِ لَمْ يُؤْخَذِ الزَّوْجُ بِنَفَقَتِهِ، لِأَنَّ نَسَبَهُ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ غَيْرُ لَاحِقٍ إِلَّا بيمينه.

Pendapat kedua: Sumpah dikembalikan kepada ibu, jika ibu bersumpah maka anak itu tetap menjadi tanggungannya, dan jika ibu enggan maka ditangguhkan sampai anak itu baligh. Jika anak bersumpah maka nasabnya tetap, dan jika ia enggan maka nasab itu terputus darinya, karena penetapan nasab itu untuk anak, dan dalam hal ini hak ibu adalah menafikan aib darinya, maka wajib sumpah dikembalikan kepadanya. Dengan demikian, jika penetapan nasab ditangguhkan sampai anak baligh, maka suami tidak dibebani nafkah anak itu, karena nasabnya dalam keadaan ini belum tetap kecuali dengan sumpahnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فَقَالَ لَمْ أَعْلَمْ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia hadir lalu berkata, ‘Aku tidak tahu,’ maka perkataannya diterima.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ إِنْكَارَ الْعِلْمِ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pengingkaran terhadap pengetahuan itu ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقُولَ: لَمْ أَعْلَمْ بِوِلَادَتِهِ، مَعَ كَوْنِهِ حَاضِرًا فِي الْبَلَدِ، فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ إِنْ كَانَ مَعَهَا فِي دَارٍ وَاحِدَةٍ وَالدَّارُ صَغِيرَةٌ لَا يَخْفَى طَلْقُهَا وَوِلَادَتُهَا عَلَى مَنْ فِيهَا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دَارٍ أُخْرَى وَقَدْ شَاعَ الْخَبَرُ فِي الْجِيرَانِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ، وَإِنْ لَمْ يُشَعِ الْخَبَرُ قُبِلَ.

Pertama: Ia berkata, “Aku tidak tahu tentang kelahirannya,” padahal ia hadir di negeri itu. Telah kami sebutkan bahwa jika ia bersama istrinya dalam satu rumah dan rumah itu kecil sehingga tidak mungkin tersembunyi tanda-tanda melahirkan dan kelahiran dari orang yang ada di dalamnya, maka perkataannya tidak diterima. Jika ia berada di rumah lain dan berita itu telah tersebar di kalangan tetangga, maka perkataannya juga tidak diterima. Namun jika berita itu tidak tersebar, maka perkataannya diterima.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَعْتَرِفَ بِوِلَادَتِهَا، وَيَقُولَ لَمْ أَعْلَمْ أَنَّ لِي نَفْيَهُ أَوْ يَقُولَ عَلِمْتُ ذَاكَ وَلَمْ أَعْلَمْ أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Macam kedua: Ia mengakui kelahiran anak itu, namun berkata, “Aku tidak tahu bahwa aku berhak menafikannya,” atau ia berkata, “Aku tahu itu, tapi aku tidak tahu bahwa harus segera (menafikan).” Maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ مِثْلُ ذَلِكَ لِمُخَالَطَةِ الْفُقَهَاءِ، وَإِشْرَافِهِ عَلَى الْأَحْكَامِ، فَقَوْلُهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ، لِأَنَّهُ يُخَالِفُ ظَاهِرَ حَالِهِ.

Pertama: Ia termasuk orang yang tidak mungkin tidak mengetahui hal seperti itu karena sering bergaul dengan para fuqahā’ dan memahami hukum-hukum, maka perkataannya tidak diterima karena bertentangan dengan keadaan lahiriahnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَخْفَى عَلَيْهِ مِثْلُ ذَلِكَ وَيَجْهَلُهُ، لِقُرْبِ إِسْلَامِهِ أَوْ مَجِيئِهِ مِنْ بَادِيَةٍ نَائِيَةٍ، فَقَوْلُهُ مَقْبُولٌ لِأَنَّهُ يُوَافِقُ ظَاهِرَ حَالِهِ.

Bagian kedua: Ia termasuk orang yang mungkin tidak mengetahui hal seperti itu dan memang tidak mengetahuinya, karena baru masuk Islam atau datang dari pedalaman yang jauh, maka perkataannya diterima karena sesuai dengan keadaan lahiriahnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَمْرُهُ فِيهِ مُحْتَمَلًا لِأَنَّهُ مُتَقَدِّمُ الْإِسْلَامِ فِي حَضَرٍ لَكِنَّهُ مِمَّنْ يَخْفَى عَلَيْهِ لِكَوْنِهِ مِنْ أَهْلِ الْأَسْوَاقِ وَأَرْبَابِ الصَّنَائِعِ الَّذِينَ لَا يُخَالِطُونَ الْفُقَهَاءَ، وَلَا يَعْرِفُونَ الْأَحْكَامَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: yaitu apabila urusannya masih mungkin (tidak jelas), karena ia termasuk orang yang lebih dahulu masuk Islam di daerah perkotaan, namun ia termasuk golongan yang awam, seperti para pedagang pasar dan para pekerja yang tidak bergaul dengan para fuqahā’ dan tidak mengetahui hukum-hukum. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْبَلُ قَوْلُهُ، لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الْعِلْمِ.

Salah satunya: Diterima pengakuannya, karena pada dasarnya seseorang dianggap tidak mengetahui.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ لِأَنَّ الْأَصْلَ ثُبُوتُ النَّسَبِ.

Pendapat kedua: Tidak diterima pengakuannya, karena pada dasarnya nasab itu tetap (tidak gugur).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَآهَا حُبْلَى فَلَمَّا وَلَدَتْ نَفَاهُ فَإِنْ قَالَ لَمْ أَدْرِ لَعَلَّهُ لَيْسَ بِحَمْلٍ لَاعَنَ وَإِنْ قَالَ قُلْتُ لَعَلَّهُ يَمُوتُ فَأَسْتُرَ عَلَيَّ وَعَلَيْهَا لَزِمَهُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ نَفْيُهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia melihat istrinya hamil, lalu setelah melahirkan ia menafikan (anak itu), maka jika ia berkata: ‘Saya tidak tahu, barangkali itu bukan kehamilan,’ maka ia harus melakukan li‘ān. Dan jika ia berkata: ‘Saya berkata demikian barangkali anak itu mati sehingga saya bisa menutupi aib saya dan aibnya,’ maka ia wajib mengakui anak itu dan tidak boleh menafikannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ إِذَا ظَنَّ رِيحًا أَوْ غِلَظًا لَمْ يَكُنْ مِنْهُ اعْتِرَافٌ بِمَا يَقْتَضِي لُحُوقَ النَّسَبِ سَوَاءٌ جُعِلَ لِلْحَمْلِ حُكْمٌ أَوْ لَمْ يُجْعَلْ، وَإِنْ تَحَقَّقَهُ حَمْلًا صَحِيحًا وَرَجَا مَوْتَهُ أَوْ مَوْتَ الْأُمِّ فَسَتَرَ عَلَيْهَا وَعَلَى نَفْسِهِ فَقَدْ صَارَ مُعْتَرِفًا بِهِ مُمْتَنِعًا مِنْ نَفْيِهِ فَلَزِمَهُ الْوَلَدُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ نَفْيُهُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْحَامِلُ مَبْتُوتَةً فَفِي جَوَازِ نَفْيِهِ بَعْدَ وِلَادَتِهِ وَجْهَانِ، مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي نَفْيِ حَمْلِ الْمَبْتُوتَةِ. فَإِنْ قِيلَ: يَلْتَعِنُ لِنَفْيِهِ قَبْلَ الْوِلَادَةِ، لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْفِيَهُ وَلَزِمَهُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، وَإِنْ قِيلَ لَا يَلْتَعِنُ مِنْ حَمْلِ الْمَبْتُوتَةِ إِلَّا بَعْدَ وِلَادَتِهَا جَازَ لَهُ نَفْيُهُ بَعْدَ وِلَادَتِهَا.

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, karena jika ia menduga itu hanya angin atau perut yang membesar, maka itu bukanlah pengakuan yang menyebabkan nasab menjadi tetap, baik kehamilan itu diberi hukum atau tidak. Namun jika ia meyakini itu adalah kehamilan yang sah dan berharap anak itu atau ibunya meninggal sehingga ia menutupi aibnya dan aib istrinya, maka ia telah menjadi orang yang mengakui (anak itu) dan menolak untuk menafikannya, sehingga anak itu menjadi wajib baginya dan ia tidak boleh menafikannya, kecuali jika wanita yang hamil itu adalah istri yang telah dicerai bain (mubtūnah). Dalam hal kebolehan menafikan anak setelah kelahirannya, terdapat dua pendapat, yang dibangun di atas perbedaan dua pendapat dalam menafikan kehamilan istri yang telah dicerai bain. Jika dikatakan: ia boleh melakukan li‘ān untuk menafikan anak sebelum kelahiran, maka setelah kelahiran ia tidak boleh menafikannya dan anak itu menjadi wajib baginya. Namun jika dikatakan: tidak boleh melakukan li‘ān dari kehamilan istri yang telah dicerai bain kecuali setelah kelahirannya, maka ia boleh menafikan anak itu setelah kelahirannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ هُنِّئَ بِهِ فَرَدَّ خَيْرًا وَلَمْ يُقِرَّ بِهِ لَمْ يَكُنْ هَذَا إِقْرَارًا لِأَنَّهُ يُكَافِئُ الدُّعَاءَ بِالدُّعَاءِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang diberi ucapan selamat atas kelahiran anak itu, lalu ia membalas dengan kebaikan tetapi tidak mengakui anak itu, maka itu bukanlah pengakuan, karena ia hanya membalas doa dengan doa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: وَالتَّهْنِئَةُ بِهِ أَنْ يُقَالَ لَهُ: جَعَلَهُ اللَّهُ لَكَ خَلَفًا صَالَحَا وَأَرَاكَ فِيهِ السُّرُورَ، فَإِذَا أَجَابَ عَنْ هَذِهِ التَّهْنِئَةِ لَمْ يَخْلُ جَوَابُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Ucapan selamat atas kelahiran anak adalah seperti dikatakan kepadanya: ‘Semoga Allah menjadikannya sebagai pengganti yang saleh bagimu dan memperlihatkan kebahagiaan padamu melalui anak itu.’ Jika ia menjawab ucapan selamat tersebut, maka jawabannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَدُلَّ عَلَى إِقْرَارِهِ، كَقَوْلِهِ: أَجَابَ اللَّهُ دُعَاءَكَ وَرَزَقَكَ اللَّهُ مِثْلَهُ، أَوْ يَقْتَصِرُ عَلَى قَوْلِ: آمِينَ، فَيَكُونُ بِهَذَا الْجَوَابِ وَأَمْثَالِهِ مُقِرًّا بِهِ لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنَ الرضى وَالِاعْتِرَافِ.

Pertama: Jawabannya menunjukkan pengakuan, seperti ucapannya: ‘Semoga Allah mengabulkan doamu dan semoga Allah memberimu yang serupa,’ atau cukup dengan berkata: ‘Āmīn.’ Maka dengan jawaban seperti ini dan yang semisalnya, ia dianggap mengakui anak itu karena mengandung keridhaan dan pengakuan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَدُلَّ عَلَى إِنْكَارِهِ كَقَوْلِهِ: أَعُوذُ بِاللَّهِ، أَوْ يَكْفِي اللَّهُ، فَيَكُونُ بِهَذَا الْجَوَابِ، وَأَمْثَالِهِ مُنْكِرًا لَهُ.

Bagian kedua: Jawabannya menunjukkan penolakan, seperti ucapannya: ‘Aku berlindung kepada Allah,’ atau ‘Cukuplah Allah bagiku.’ Maka dengan jawaban seperti ini dan yang semisalnya, ia dianggap menolak (tidak mengakui) anak itu.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ دُعَاءً لَا يَتَضَمَّنُ اعْتِرَافًا وَلَا إِنْكَارًا، كَقَوْلِهِ: أَحْسَنَ اللَّهُ جَزَاكَ وَبَارَكَ اللَّهُ فِيكَ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: لَا يَكُونُ ذَلِكَ إِقْرَارًا وَلَهُ نَفْيُهُ.

Bagian ketiga: Jawabannya berupa doa yang tidak mengandung pengakuan maupun penolakan, seperti ucapannya: ‘Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan memberkahimu.’ Maka menurut mazhab Syafi‘i, itu bukanlah pengakuan dan ia tetap boleh menafikan anak itu.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: الْإِجَابَةُ بِالدُّعَاءِ رضى والرضى إِقْرَارٌ بِمَنْعِهِ مِنَ النَّفْيِ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِأَنَّ مُقَابَلَةَ الدُّعَاءِ بِالدُّعَاءِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ فِي التحية.

Abu Hanifah berkata: Menjawab dengan doa adalah tanda ridha, dan ridha adalah pengakuan yang mencegah penafian. Namun ini tidak benar, karena membalas doa dengan doa adalah sesuatu yang dianjurkan dalam memberi salam.

قال سبحانه: {إذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو رودها} [النساء: 86] . فصار ظاهر جواب التحية دون الرضى وَالِاعْتِرَافِ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى ظَاهِرِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Allah Ta‘ala berfirman: {Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya atau balaslah (dengan yang serupa)} (an-Nisā’: 86). Maka yang tampak dari jawaban salam adalah sekadar membalas, bukan keridhaan dan pengakuan, sehingga wajib dipahami sesuai zahirnya. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَأَمَّا وَلَدُ الْأَمَةِ فَإِنَّ سَعْدًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ قَدْ كَانَ عَهِدَ إِلَيَّ فِيهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أبي ولد على فراشه فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ للفراش وللعاهر الحجر ” فأعلم أن الأمة تكون فراشاً مع أنه رَوَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قال لا تأتيني وليدة تعترف لسيدها أنه أَلَمَّ بِهَا إِلَّا أَلْحَقْتُ بِهِ وَلَدَهَا فَأَرْسِلُوهُنَّ بعد أو أمسكوهن وإنما أنكر عمر حمل جارية له فسألها فأخبرته أنه من غيره وأنكر زيد حمل جارية له وهذا إن حملت وكان على إحاطة من أنها من تحمل منه فواسع له فيما بينه وبين الله تعالى في امرأته الحرة أو الأمة إن ينفى ولدها “.

Imam Syafi‘i berkata: “Adapun anak dari seorang budak perempuan, Sa‘d berkata, ‘Wahai Rasulullah, anak saudara laki-lakiku, ‘Utbah, telah berwasiat kepadaku tentangnya.’ Dan ‘Abd bin Zam‘ah berkata, ‘Dia adalah saudaraku dan anak dari budak perempuan ayahku, yang dilahirkan di atas ranjangnya.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Dia adalah milikmu, wahai ‘Abd bin Zam‘ah. Anak itu milik ranjang, dan bagi pezina adalah batu (hukuman).’ Maka dapat diketahui bahwa budak perempuan bisa menjadi ‘ranjang’ (tempat nasab anak disandarkan), meskipun diriwayatkan dari ‘Umar r.a. bahwa beliau berkata, ‘Janganlah ada budak perempuan yang datang kepadaku mengakui kepada tuannya bahwa ia telah digauli, kecuali aku akan menetapkan anaknya sebagai anak tuannya. Maka kirimkanlah mereka setelah itu atau tahanlah mereka.’ Sebenarnya, ‘Umar hanya mengingkari kehamilan budak perempuannya, lalu ia menanyakannya dan budak itu memberitahu bahwa kehamilannya dari orang lain. Begitu pula Zaid mengingkari kehamilan budak perempuannya. Ini jika budak itu hamil dan diketahui dengan pasti bahwa yang menghamilinya adalah tuannya, maka baginya kelapangan antara dia dan Allah Ta‘ala, baik pada istri merdeka maupun budak perempuan, untuk menafikan anaknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْأَمَةُ لَا تَصِيرُ فِرَاشًا حَتَّى يُعْلَمَ الْوَطْءُ، فَتَصِيرَ فِرَاشًا بِالْوَطْءِ، وَالْحُرَّةُ تَصِيرُ فِرَاشًا إِذَا أَمْكَنَ الْوَطْءُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مَعَ الِاتِّفَاقِ عَلَيْهِ هُوَ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَمْلِكَ مَنْ لَا يَحِلُّ لَهُ وطئها، ولم يجز أن ينكح من لا يحمل له وطئها امْتَنَعَ أَنْ تَصِيرَ الْأَمَةُ بِالْمِلْكِ فِرَاشًا، وَلَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ تَصِيرَ الْحُرَّةُ بِالْعَقْدِ فِرَاشًا، فَإِذَا ثبت هَذَا وَوَطِئَ الْأَمَةَ صَارَتْ حِينَئِذٍ فِرَاشًا فَأَيُّ وَلَدٍ وَضَعَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ وَطْئِهِ لَحِقَ بِهِ مَا لَمْ يَسْتَبْرِئْهَا، وَلَا يُرَاعَى فِيهِ إِقْرَارُهُ لَهُ.

Al-Mawardi berkata: “Dan ini sebagaimana dikatakan, budak perempuan tidak menjadi ‘ranjang’ (tempat nasab anak disandarkan) sampai diketahui adanya hubungan suami-istri, maka ia menjadi ‘ranjang’ dengan adanya hubungan tersebut. Sedangkan perempuan merdeka menjadi ‘ranjang’ jika dimungkinkan terjadinya hubungan suami-istri. Perbedaan antara keduanya, meskipun telah disepakati, adalah bahwa boleh jadi seseorang memiliki budak perempuan yang tidak halal digaulinya, sedangkan tidak boleh menikahi perempuan yang tidak halal digauli. Maka tidaklah budak perempuan menjadi ‘ranjang’ hanya dengan kepemilikan, sedangkan perempuan merdeka bisa menjadi ‘ranjang’ dengan akad nikah. Jika demikian, dan budak perempuan telah digauli, maka saat itulah ia menjadi ‘ranjang’. Maka anak mana pun yang ia lahirkan setelah enam bulan atau lebih dari hubungan itu, anak tersebut dinisbatkan kepada tuannya, selama belum dilakukan istibra’ (masa penantian untuk memastikan kosongnya rahim), dan pengakuan tuan terhadap anak itu tidak menjadi syarat.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: الْأَمَةُ لَا تَصِيرُ فِرَاشًا بِالْوَطْءِ، وَلَا يَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا حَتَّى يُقِرَّ بِهِ فَيَصِيرَ بِإِقْرَارِهِ وَلَدًا، فَإِنْ وَضَعَتْ بَعْدَهُ وَلَدًا صَارَتْ بِالْأَوَّلِ فِرَاشًا وَلَحِقَ بِهِ الثَّانِي، وَمَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ إِقْرَارٍ.

Abu Hanifah r.a. berkata: “Budak perempuan tidak menjadi ‘ranjang’ hanya dengan hubungan suami-istri, dan anaknya tidak dinisbatkan kepada tuannya kecuali jika ia mengakuinya, maka dengan pengakuan itu anak tersebut menjadi anaknya. Jika setelah itu budak perempuan melahirkan anak, maka dengan anak pertama ia menjadi ‘ranjang’ dan anak kedua serta anak-anak berikutnya dinisbatkan kepadanya tanpa perlu pengakuan lagi.”

اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ وَلَدَ الْأَمَةِ مُخَالِفٌ لِوَلَدِ الْحُرَّةِ فِي الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ، لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يُقِرَّ بِوَطْئِهَا لَمْ يَلْحَقْهُ وَلَحِقَهُ وَلَدُ الْحُرَّةِ وَلَوِ اسْتَبْرَأَهَا لَمْ يَلْحَقْهُ وَلَحِقَهُ وَلَدُ الْحُرَّةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْإِقْرَارُ بِهِ مُعْتَبَرًا وَإِنْ لَمْ يُعْتَبَرْ فِي وَلَدِ الْحُرَّةِ لِفِرْقِ مَا بَيْنَهُمَا مِنَ الضَّعْفِ وَالْقُوَّةِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ لَحِقَ بِهِ وَلَدُ الْأَمَةِ مِنْ غَيْرِ إِقْرَارٍ لَمَا انْتَفَى عَنْهُ إِلَّا بِلِعَانِهِ، وَفِي نَفْيِهِ عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يَلْحَقُهُ إِلَّا بِالْإِقْرَارِ بِهِ، وَلِأَنَّهَا لَوْ صَارَتْ فِرَاشًا بِالْوَطْءِ كَالْحُرَّةِ لَاعْتُبِرَ فِي رَفْعِهِ الطَّلَاقُ وَالْعِدَّةُ، وَلَمْ يَرْتَفِعْ بِالِاسْتِبْرَاءِ مَعَ بَقَاءِ الِاسْتِبَاحَةِ، كَمَا لَا يَرْتَفِعُ بِالِاسْتِبْرَاءِ فِرَاشُ الْحُرَّةِ.

Hal ini didasarkan pada bahwa anak budak perempuan berbeda dengan anak perempuan merdeka dalam permulaan dan pengakhiran. Karena jika tuannya tidak mengakui telah menggaulinya, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya, sedangkan anak perempuan merdeka tetap dinisbatkan kepadanya. Jika tuan telah melakukan istibra’ (masa penantian), maka anak budak perempuan tidak dinisbatkan kepadanya, sedangkan anak perempuan merdeka tetap dinisbatkan kepadanya. Maka wajiblah pengakuan menjadi syarat bagi anak budak perempuan, meskipun tidak menjadi syarat bagi anak perempuan merdeka, karena perbedaan antara keduanya dari sisi kelemahan dan kekuatan. Dan jika anak budak perempuan dinisbatkan kepadanya tanpa pengakuan, maka anak itu tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘an (sumpah laknat), sedangkan dinafikannya anak itu tanpa li‘an menunjukkan bahwa anak itu tidak dinisbatkan kepadanya kecuali dengan pengakuan. Dan jika budak perempuan menjadi ‘ranjang’ dengan hubungan suami-istri seperti perempuan merdeka, maka dalam menafikan anaknya harus dipertimbangkan talak dan masa ‘iddah, dan tidak cukup dengan istibra’ selama masih boleh digauli, sebagaimana istibra’ tidak menghilangkan status ‘ranjang’ pada perempuan merdeka.”

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَدَلِيلُنَا السُّنَّةُ، وَالْإِجْمَاعُ، وَالْعِبْرَةُ.

Dalil kami adalah sunnah, ijmā‘, dan pertimbangan (‘ibrah).

فَأَمَّا السُّنَّةُ: فَرَوَى الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنْ مالك – رضي الله عنه – عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: أَنَّ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ اخْتَصَمَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي ابْنِ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ فَقَالَ سَعْدٌ: إِنَّ أَخِي عُتْبَةَ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ كَانَ أَلَمَّ بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَأَنْ أَطْلُبَهُ إِنْ دَخَلَتْ مَكَّةَ، فَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ: أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ، الْوَلَدُ للفراش، وللعاهر الحجر:

Adapun sunnah: Imam Syafi‘i r.a. meriwayatkan dari Malik r.a., dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah r.a., bahwa Sa‘d bin Abi Waqqash dan ‘Abd bin Zam‘ah berselisih di hadapan Rasulullah ﷺ tentang anak dari budak perempuan Zam‘ah. Sa‘d berkata, “Saudaraku ‘Utbah telah berwasiat kepadaku bahwa ia telah menggaulinya pada masa jahiliah dan agar aku mencarinya jika ia masuk ke Makkah.” ‘Abd bin Zam‘ah berkata, “Dia adalah saudaraku dan anak dari budak perempuan ayahku, yang dilahirkan di atas ranjangnya.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Dia adalah milikmu, wahai ‘Abd bin Zam‘ah. Anak itu milik ranjang, dan bagi pezina adalah batu (hukuman).”

وفيه ثلاثة أدلة:

Di dalamnya terdapat tiga dalil:

أحدهما: قَوْلُ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ: أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ فَجَعَلَهَا فِرَاشًا لِأَبِيهِ، وَجَعَلَ وَلَدَهَا أَخًا لَهُ بِالْفِرَاشِ، فَإِنَّ إِقْرَارَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَهُ عَلَى هَذَا دَلِيلٌ عَلَى ثُبُوتِهِ وَصِحَّتِهِ.

Pertama: Perkataan ‘Abd bin Zam‘ah: “Saudaraku dan anak dari budak perempuan ayahku, ia dilahirkan di atas ranjangnya.” Maka ia menjadikan budak perempuan itu sebagai istri ayahnya, dan menjadikan anaknya sebagai saudara baginya karena status “ranjang”. Maka pengakuan Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- atas hal ini merupakan dalil atas ketetapan dan kebenarannya.

وَالثَّانِي: جَوَابُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيمَا حَكَمَ بِهِ مِنْ قَوْلِهِ: ” هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ للفراش وللعاهر الْحَجَرُ ” فَجَعَلَهَا فِرَاشًا وَحَكَمَ بِهِ لِعَبْدِ بْنِ زَمْعَةَ أَخًا وَجَعَلَ الْفِرَاشَ مُثْبِتًا لِنَسَبِهِ.

Kedua: Jawaban Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- dalam putusan beliau dari sabdanya: “Dia milikmu, wahai ‘Abd bin Zam‘ah. Anak itu (berhak) bagi pemilik ranjang, dan bagi pezina adalah batu.” Maka beliau menjadikan budak perempuan itu sebagai istri (pemilik ranjang) dan memutuskan anak itu sebagai saudara bagi ‘Abd bin Zam‘ah, serta menjadikan status “ranjang” sebagai penetap nasabnya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَمَّا صَارَتِ الْحُرَّةُ فِرَاشًا بِهَذَا الْخَبَرِ وَهُوَ فِي الْأَمَةِ دُونَهَا فَلِأَنْ تَصِيرَ بِهِ الْأَمَةُ فِرَاشًا أَوْلَى، لِأَنَّ نَقْلَ السَّبَبِ مَعَ الْحُكْمِ يَمْنَعُ مِنْ خُرُوجِ الْحُكْمِ عَنْ ذَلِكَ السَّبَبِ إِجْمَاعًا إِنَّمَا الْخِلَافُ هَلْ يَكُونُ مَقْصُورًا عَلَيْهِ أَوْ مُتَجَاوِزًا لَهُ؟ .

Ketiga: Ketika perempuan merdeka menjadi istri (pemilik ranjang) berdasarkan hadis ini, padahal konteksnya pada budak perempuan, maka lebih utama lagi jika budak perempuan juga menjadi istri (pemilik ranjang) karenanya. Karena memindahkan sebab beserta hukum secara ijmā‘ mencegah keluarnya hukum dari sebab tersebut. Perselisihan hanya pada apakah hukum itu terbatas pada sebab tersebut atau melampauinya?

اعْتَرَضُوا عَلَى الِاسْتِدْلَالِ بِهَذَا الْخَبَرِ مِنْ خَمْسَةِ أَوْجُهٍ:

Mereka mengkritik pengambilan dalil dari hadis ini dari lima sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ حَكَمَ بِهِ لِعَبْدِ بْنِ زَمْعَةَ عَبْدًا لَا وَلَدًا لِأَمْرَيْنِ:

Pertama: Bahwa Nabi memutuskan untuk ‘Abd bin Zam‘ah sebagai budak, bukan sebagai anak, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ لِعَبْدِ بْنِ زَمْعَةَ، هُوَ لَكَ فَهَذِهِ الْإِضَافَةُ تَقْتَضِي الْمِلْكَ دُونَ النَّسَبِ.

Pertama dari keduanya: Sabda Nabi kepada ‘Abd bin Zam‘ah, “Dia milikmu.” Penyandaran ini menunjukkan kepemilikan, bukan nasab.

وَالثَّانِي: مَا رُوِيَ أَنَّهُ قَالَ: ” هُوَ لَكَ عَبْدٌ ” وَالْجَوَابُ عَنْ ذَلِكَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Kedua: Diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Dia milikmu sebagai budak.” Jawaban atas hal ini ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ التَّنَازُعَ كَانَ فِي نَسَبِهِ دُونَ رِقِّهِ فَكَانَ الْحُكْمُ مَصْرُوفًا إِلَى مَا تَنَازَعَا فِيهِ.

Pertama: Perselisihan terjadi pada nasabnya, bukan pada status budaknya, maka putusan diarahkan pada apa yang diperselisihkan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَلَّلَ بِالْفِرَاشِ وَالْفِرَاشُ عِلَّةٌ فِي ثُبُوتِ النَّسَبِ دُونَ الرِّقِّ.

Kedua: Nabi memberikan alasan dengan “ranjang”, dan “ranjang” adalah ‘illat dalam penetapan nasab, bukan perbudakan.

وَالثَّالِثُ: أَنَّنَا رُوِّينَا أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ أَخًا ” وَمَا رَوَوْهُ مِنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” هُوَ لَكَ عَبْدٌ ” مَحْمُولٌ عَلَى النِّدَاءِ، كَأَنَّهُ قَالَ يَا عَبْدُ فَحَذَفَ حَرْفَ النِّدَاءِ إِيجَازًا كَمَا قَالَ تَعَالَى: {يُوسُفُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا} [يوسف: 29] يَعْنِي يَا يُوسُفُ.

Ketiga: Kami meriwayatkan bahwa Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Dia milikmu, wahai ‘Abd bin Zam‘ah, sebagai saudara.” Adapun riwayat mereka dari sabda beliau -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Dia milikmu sebagai budak,” itu ditafsirkan sebagai panggilan, seakan-akan beliau berkata, “Wahai ‘Abd,” lalu membuang huruf panggilan sebagai bentuk ringkasan, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {Yūsuf, berpalinglah dari ini} [Yūsuf: 29], maksudnya “Wahai Yūsuf.”

وَالِاعْتِرَاضُ الثَّانِي: أَنْ قَالُوا: دَعْوَى النَّسَبِ تَصِحُّ مِنْ جَمِيعِ الْوَرَثَةِ، وَدَعْوَى الْمِلْكِ تَصِحُّ مِنْ بَعْضِهِمْ.

Kritik kedua: Mereka berkata, klaim nasab sah dilakukan oleh semua ahli waris, sedangkan klaim kepemilikan sah dilakukan oleh sebagian dari mereka.

وَقَدْ كَانَ لِزِمْعَةَ ابْنٌ هُوَ عَبْدٌ الْمُدَّعِي، وَبِنْتٌ هِيَ سَوْدَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَمْ تَدَّعِ، فَدَلَّ عَلَى قُصُورِ الدَّعْوَى عَلَى الْمِلْكِ دُونَ النَّسَبِ.

Zam‘ah memiliki seorang anak laki-laki, yaitu ‘Abd, sang pengklaim, dan seorang anak perempuan, yaitu Saudah, istri Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-, namun Saudah tidak mengklaim. Maka hal ini menunjukkan bahwa klaim tersebut terbatas pada kepemilikan, bukan pada nasab.

وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jawaban atas hal ini dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ صَرَّحَ فِي الدَّعْوَى بِالنَّسَبِ دُونَ الْمِلْكِ. فَقَالَ: أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى غَيْرِهِ.

Pertama: Ia telah secara tegas menyatakan dalam klaimnya tentang nasab, bukan kepemilikan. Ia berkata: “Saudaraku dan anak dari budak perempuan ayahku,” maka tidak boleh ditafsirkan selain itu.

وَالثَّانِي: أَنَّ تَفَرُّدَهُ بِالدَّعْوَى مَعَ إِمْسَاكِ سَوْدَةَ مُحْتَمِلٌ لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا لِاسْتِنَابَتِهَا لَهُ لِأَنَّهُ أُلْحِقَ بِحُجَّتِهِ، وَإِمَّا لِأَنَّهُ كَانَ وَارِثَ أَبِيهِ دُونَهَا؛ لِأَنَّ زِمْعَةَ مَاتَ كَافِرًا وَقَدْ أَسْلَمَتْ سَوْدَةُ قَبْلَهُ وَأَسْلَمَ عَبْدٌ بَعْدَهُ، فَوَرِثَهُ عَبْدٌ دُونَهَا، فَلِذَلِكَ تَفَرَّدَ بِالدَّعْوَى.

Kedua: Klaim yang dilakukan sendiri oleh ‘Abd, sementara Saudah diam, mungkin karena dua hal: bisa jadi karena ia mewakilkan kepada ‘Abd karena ia telah cukup dengan dalilnya, atau karena ‘Abd adalah ahli waris ayahnya, bukan Saudah; sebab Zam‘ah wafat dalam keadaan kafir, sedangkan Saudah telah masuk Islam sebelumnya dan ‘Abd masuk Islam setelahnya, sehingga yang mewarisinya adalah ‘Abd, bukan Saudah. Karena itu, ‘Abd sendirilah yang mengajukan klaim.

الِاعْتِرَاضُ الثَّالِثُ: أَنْ قَالُوا: قَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَوْدَةَ أَنْ تَحْتَجِبَ مِنْهُ وَلَوْ كَانَ أَخًا لَهَا لَمَا حَجَبَهَا عَنْهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ نَفَى نَسَبَهُ وَلَمْ يُلْحِقْهُ.

Kritik ketiga: Mereka berkata, Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan Saudah untuk berhijab dari anak itu. Seandainya ia benar-benar saudaranya, niscaya beliau tidak akan memerintahkannya berhijab darinya. Maka ini menunjukkan bahwa beliau menafikan nasabnya dan tidak menetapkannya.

وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jawaban atas hal ini dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ حَكَمَ لِعَبْدٍ بِمَا ادَّعَاهُ مِنْ نَسَبِهِ، وَالْحُكْمُ بِالدَّعْوَى مَحْمُولٌ عَلَى إِثْبَاتِهَا دُونَ إِبْطَالِهَا.

Pertama: Nabi telah memutuskan untuk ‘Abd sesuai dengan klaim nasabnya, dan putusan berdasarkan klaim diarahkan pada penetapannya, bukan pada pembatalannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ نَفَاهُ لَأَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَ الرِّقِّ، وَلَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ وَأَمْرُهُ سَوْدَةَ بِالِاحْتِجَابِ عَنْهُ مَحْمُولٌ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا لِأَنْ يُبَيِّنَ بِذَلِكَ أَنَّ لِلزَّوْجِ أَنْ يَحْجُبَ زَوْجَتَهُ عَنْ أَقَارِبِهَا فَيَصِيرُ ذَلِكَ مِنْهُ ابْتِدَاءً لِبَيَانِ الْحُكْمِ، وَإِمَّا لِأَنَّهُ رَأَى فِيهِ شَبَهًا قَوِيًّا مِنْ عُتْبَةَ، وَقَدْ نَفَاهُ الشَّرْعُ عَنْهُ بِالْفِرَاشِ الثَّابِتِ لِغَيْرِهِ فَفَعَلَ ذَلِكَ إِمَّا بِطْرِيقِ الِاسْتِظْهَارِ، وَإِمَّا لِأَنْ تَرَى سَوْدَةُ مَا فِيهِ مِنَ الشَّبَهِ بِعُتْبَةَ فَتَرْتَابَ فِي نسبه.

Kedua: Seandainya beliau menafikannya, tentu beliau akan memberlakukan hukum perbudakan atasnya, namun beliau tidak melakukan hal itu. Adapun perintah beliau kepada Saudah untuk berhijab darinya dapat dimaknai dengan dua kemungkinan: Pertama, untuk menjelaskan bahwa seorang suami boleh menghalangi istrinya dari kerabat-kerabatnya, sehingga hal itu menjadi penjelasan hukum darinya sejak awal; atau kedua, karena beliau melihat adanya kemiripan yang kuat dengan ‘Utbah, sementara syariat telah menafikannya darinya karena tempat tidur yang tetap bagi selainnya, maka beliau melakukan hal itu baik sebagai bentuk kehati-hatian, atau agar Saudah melihat adanya kemiripan dengan ‘Utbah sehingga ia ragu terhadap nasabnya.

وَالِاعْتِرَاضُ الرَّابِعُ: أَنْ قَالُوا: قَدْ أَضْمَرْتُمْ فِي ثُبُوتِ نَسَبِهِ الْإِقْرَارَ بِالْوَطْءِ وَلَيْسَ بِمَذْكُورٍ، وَنَحْنُ شَرَطْنَا الْإِقْرَارَ بِنَسَبِهِ وَهُوَ مَذْكُورٌ، فَصَارَ بِأَنْ يَكُونَ دَلِيلًا عَلَى ثُبُوتِ نَسَبِهِ بِالْإِقْرَارِ الْمَذْكُورِ أَوْلَى مِنَ الْوَطْءِ، الَّذِي لَيْسَ بِمَذْكُورٍ وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Keberatan keempat: Mereka berkata, “Kalian telah mengandaikan adanya pengakuan hubungan suami-istri dalam penetapan nasabnya, padahal itu tidak disebutkan. Kami mensyaratkan adanya pengakuan terhadap nasabnya, dan itu disebutkan. Maka, menjadikan pengakuan yang disebutkan sebagai dalil penetapan nasabnya lebih utama daripada hubungan suami-istri yang tidak disebutkan.” Jawaban atas hal ini ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَبْدًا ادَّعَى أُخُوَّتَهُ لِأَنَّهُ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِيهِ فَصَارَ الْفِرَاشُ مُوجِبًا لِثُبُوتِ النَّسَبِ دُونَ الْإِقْرَارِ وَالْفِرَاشُ لَا يَكُونُ إِلَّا بَعْدَ الْوَطْءِ فَصَارَ ثُبُوتُ الْفِرَاشِ إِقْرَارًا بِالْوَطْءِ.

Pertama: Seorang budak mengaku sebagai saudara karena ia lahir di atas tempat tidur ayahnya, sehingga tempat tidur menjadi sebab penetapan nasab tanpa perlu pengakuan, dan tempat tidur tidak terjadi kecuali setelah adanya hubungan suami-istri, maka penetapan tempat tidur berarti pengakuan terhadap hubungan suami-istri.

وَالثَّانِي: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ سَبَبَ لُحُوقِ نَسَبِهِ الْفِرَاشَ دُونَ الْإِقْرَارِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى غَيْرِ السَّبَبِ الَّذِي وَقَعَ بِهِ التَّعْلِيلُ.

Kedua: Nabi ﷺ menjadikan sebab penetapan nasabnya adalah tempat tidur, bukan pengakuan. Maka tidak boleh dialihkan kepada sebab lain yang tidak dijadikan alasan dalam penetapan hukum tersebut.

وَالِاعْتِرَاضُ الْخَامِسُ: أَنْ قَالُوا: إِنَّمَا أَثْبَتَ نَسَبَ الْوَلَدِ، لِأَنَّ أُمَّهُ كَانَتْ أُمَّ وَلَدٍ تَصِيرُ فِرَاشًا بِالْوَلَدِ الْأَوَّلِ وَلَا يُرَاعَى إِقْرَارُهُ بِالْوَلَدِ الثَّانِي.

Keberatan kelima: Mereka berkata, “Sesungguhnya nasab anak itu ditetapkan karena ibunya adalah umm walad yang menjadi tempat tidur dengan kelahiran anak pertama, dan tidak diperhatikan pengakuannya terhadap anak kedua.”

وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jawaban atas hal ini ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِطْلَاقَ حُكْمِهِ دَلِيلٌ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ.

Pertama: Pernyataan hukum beliau secara mutlak menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara kedua perkara tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمْ يُعْرَفْ لِزَمْعَةَ وَلَدٌ غَيْرُ عَبْدٍ وَسَوْدَةَ، وَلَوْ كَانَ لَعُرِفَ فَبَطَلَ هَذَا التَّأْوِيلُ.

Kedua: Tidak diketahui bahwa Zam‘ah memiliki anak selain ‘Abd dan Saudah. Jika ada, tentu akan diketahui, sehingga penafsiran ini batal.

وَأَمَّا الدَّلِيلُ مِنْ طَرِيقِ الْإِجْمَاعِ: فَهُوَ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُ قَالَ مَا بَالُ رِجَالٍ يَطَئُونَ وَلَائِدَهُمْ، ثُمَّ يُرْسِلُونَهُنَّ، لَا تَأْتِينِي وَلِيدَةٌ يَعْتَرِفُ سَيِّدُهَا أَنَّهُ قَدْ أَلَمَّ بِهَا إِلَّا أَلْحَقْتُ بِهِ وَلَدَهَا فَأَرْسِلُوهُنَّ بَعْدُ أَوْ أَمْسِكُوهُنَّ.

Adapun dalil dari jalur ijmā‘ adalah apa yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i ra. dari Malik, dari Nafi‘, dari Shafiyyah binti Abi ‘Ubaid, dari ‘Umar ra., bahwa ia berkata, “Mengapa ada laki-laki yang menggauli budak-budak mereka, lalu mereka membebaskan mereka? Tidaklah datang kepadaku seorang budak perempuan yang diakui oleh tuannya bahwa ia telah menggaulinya, kecuali aku menetapkan anaknya sebagai anaknya. Maka, bebaskanlah mereka setelah itu atau pertahankanlah mereka.”

فَنَادَى بِهِ فِي النَّاسِ فَلَمْ يُنْكِرْهُ، مَعَ انْتِشَارِهِ فِيهِمْ أَحَدٌ؛ فَصَارَ إِجْمَاعًا، فَإِنْ قِيلَ: خَالَفَهُ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ لِأَنَّهُ نَفَى حَمْلَ جَارِيَةٍ لَهُ قِيلَ: إِنَّمَا نَفَاهُ لِأَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَعْزِلُ عَنْهَا، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ مُجْمَعٌ مَعَهُمْ إِذْ لَوْ لَمْ يَعْزِلْ كَانَ لَاحِقًا بِهِ، وَأَمَّا الدَّلِيلُ مِنْ طَرِيقِ الِاعْتِبَارِ: فَهُوَ أَنَّهُ وَطْءٌ ثَبَتَ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَثْبُتَ بِهِ لُحُوقُ النَّسَبِ كَوَطْءِ الْحُرَّةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا يَثْبُتُ بِوَطْءِ الْحُرَّةِ ثَبَتَ بِوَطْءِ الْأَمَةِ كَتَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ، وَلِأَنَّ الْإِقْرَارَ بِالْوَطْءِ إِقْرَارٌ بِالسَّبَبِ وَالْإِقْرَارُ بِالسَّبَبِ إِقْرَارٌ بِالْمُسَبَّبِ: كَالْمُقِرِّ بِالشِّرَاءِ يَكُونُ مُقِرًّا بِالْتِزَامِ الثَّمَنِ؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ سَبَبٌ بِالْمُسَبَّبِ لِاسْتِبَاحَةِ الْوَطْءِ فَإِذَا أُلْحِقَ بِالسَّبَبِ وَهُوَ الْعَقْدُ فَأَوْلَى أَنْ يَلْحَقَ بِالْمُسَبَّبِ مِنَ الْوَطْءِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَحِقَ بِوَطْءِ الشُّبْهَةِ وَهُوَ حَلَالٌ فِي الظَّاهِرِ حَرَامٌ فِي الْبَاطِنِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَلْحَقَ بِوَطْءِ الْأَمَةِ الَّذِي هُوَ حَلَالٌ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ؛ وَلِأَنَّهُمْ قد ألحقو بِهِ وَلَدَ الْحُرَّةِ مَعَ عَدَمِ الْوَطْءِ وَنَفَوْا عَنْهُ وَلَدَ الْأَمَةِ مَعَ وُجُودِ الْوَطْءِ.

Lalu ia mengumumkannya kepada masyarakat dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya, padahal perkara itu telah tersebar di tengah mereka; maka hal itu menjadi ijmā‘. Jika dikatakan: Zaid bin Tsabit menyelisihinya karena ia menafikan kehamilan budak perempuannya, maka dijawab: Ia menafikannya karena ia berkata, “Aku melakukan ‘azl (coitus interruptus) terhadapnya,” sehingga hal itu menunjukkan bahwa ia sepakat dengan mereka, sebab jika ia tidak melakukan ‘azl, maka anak itu akan dinisbatkan kepadanya. Adapun dalil dari sisi pertimbangan (‘itibar): bahwa hubungan suami-istri itu menetapkan keharaman mushāharah (pernikahan karena hubungan keluarga), maka wajib juga menetapkan nasab karenanya sebagaimana pada hubungan dengan perempuan merdeka. Dan karena segala sesuatu yang ditetapkan melalui hubungan dengan perempuan merdeka juga berlaku pada hubungan dengan budak perempuan, seperti keharaman mushāharah. Dan karena pengakuan atas terjadinya hubungan adalah pengakuan atas sebab, dan pengakuan atas sebab berarti pengakuan atas akibat; sebagaimana orang yang mengakui pembelian berarti mengakui kewajiban membayar harga, karena akad adalah sebab yang melahirkan akibat berupa bolehnya hubungan suami-istri. Maka jika anak dinisbatkan karena sebab, yaitu akad, maka lebih utama lagi dinisbatkan karena akibat, yaitu hubungan suami-istri. Dan karena ketika anak dinisbatkan pada hubungan syubhat, yang secara lahiriah halal namun secara batin haram, maka lebih utama lagi dinisbatkan pada hubungan dengan budak perempuan yang halal secara lahir dan batin. Dan karena mereka telah menisbatkan anak perempuan merdeka meskipun tanpa hubungan, dan menafikan anak budak perempuan meskipun ada hubungan.

وَفِيهِ قال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ” وَهَذَا عَكْسُ الْمَعْقُولِ وقلب للسنة.

Dalam hal ini Nabi ﷺ bersabda: “Anak itu milik firāsy (tempat tidur/suami) dan bagi pezina adalah batu (hukuman).” Ini bertentangan dengan akal dan membalikkan sunnah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِفَرْقِ مَا بَيْنَ وَلَدِ الْأَمَةِ وَالْحُرَّةِ مِنَ الضَّعْفِ وَالْقُوَّةِ، فهو أن هذا الفرق يقتضي اختلافها فِي سَبَبِ اللُّحُوقِ، وَقَدِ اخْتَلَفَا فِيهِ لِأَنَّ وَلَدَ الْحُرَّةِ يَلْحَقُ بِالْعَقْدِ مَعَ إِمْكَانِ الْوَطْءِ وَوَلَدُ الْأَمَةِ لَا يَلْحَقُ إِلَّا بَعْدَ ثُبُوتِ الْوَطْءِ فَأَغْنَى هَذَا الْفَرْقُ عَنِ افْتِرَاقِهِمَا فِي الْإِقْرَارِ بِهِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka tentang perbedaan antara anak budak perempuan dan anak perempuan merdeka dari sisi kelemahan dan kekuatan, maka perbedaan ini menunjukkan adanya perbedaan pada sebab penetapan nasab, dan memang keduanya berbeda dalam hal itu. Karena anak perempuan merdeka dinisbatkan melalui akad dengan kemungkinan terjadinya hubungan, sedangkan anak budak perempuan tidak dinisbatkan kecuali setelah terbukti adanya hubungan. Maka perbedaan ini sudah cukup untuk membedakan keduanya dalam hal pengakuan atasnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ لَوْ لَحِقَ بِهِ مِنْ غَيْرِ إِقْرَارٍ لَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ إِلَّا بِاللِّعَانِ فَهُوَ أَنَّ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ قَدْ رَوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ لَاعَنَ مِنْ وَلَدِ الْأَمَةِ، وَقَالَ: أَلَا تَعْجَبُونَ مِنْ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: إِنَّ الرَّجُلَ يُلَاعِنُ مِنَ الْأَمَةِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَأَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ، وَلَهُ عِنْدِي وَجْهٌ إِنْ لَمْ يَدْفَعْهُ نَصٌّ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِهِ قَوْلًا ثَانِيًا لِلشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَمِنْهُمْ مَنْ خَرَّجَهُ قَوْلًا لِلشَّافِعِيِّ أَنَّ وَلَدَ الْأَمَةِ لَا يَنْتَفِي إِلَّا بِاللِّعَانِ كَوَلَدِ الْحُرَّةِ فَعَلَى هَذَا قَدِ اسْتَوَيَا وَسَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ وَهَلْ يَسْتَغْنِي بِإِنْكَارِهِ عَنِ الْقَذْفِ فِي لِعَانِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa jika anak itu dinisbatkan tanpa pengakuan, maka tidak bisa dinafikan kecuali dengan li‘ān, adalah bahwa Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan dari asy-Syāfi‘ī ra. bahwa beliau melakukan li‘ān terhadap anak budak perempuan. Ia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan pendapat asy-Syāfi‘ī bahwa seorang laki-laki dapat melakukan li‘ān terhadap budak perempuan?” Pendapat ini juga dipegang oleh Abu al-‘Abbās bin Surayj dan Abu ‘Alī ath-Thabarī. Menurutku, pendapat ini ada dasarnya jika tidak ada nash yang menolaknya. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam menisbatkan pendapat kedua ini kepada asy-Syāfi‘ī ra. Di antara mereka ada yang menisbatkannya sebagai pendapat asy-Syāfi‘ī bahwa anak budak perempuan tidak bisa dinafikan kecuali dengan li‘ān, seperti anak perempuan merdeka. Maka dengan demikian keduanya sama, dan dalil tersebut gugur. Apakah cukup dengan pengingkaran tanpa tuduhan zina dalam li‘ān? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُغْنِيهِ إِنْكَارُهُ عن القذف، ويكون لعانه أن يوقل: أَشْهَدُ بِاللَّهِ أَنَّ هَذَا الْوَلَدَ لَيْسَ مِنِّي لا تَحْتَاجُ الْأَمَةُ بَعْدَهُ إِلَى أَنْ تَلْتَعِنَ، لِأَنَّ ما ثبت عليها الزنا، ولك يَجِبْ عَلَيْهَا بِلِعَانِهِ حَدٌّ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُغْنِيهِ إِنْكَارُهُ عَنِ الْقَذْفِ فَيَلْتَعِنُ كَمَا يَلْتَعِنُ مِنَ الْحُرَّةِ، وَعَلَيْهَا الْحَدُّ بِلِعَانِهِ إِلَّا أَنْ تَلْتَعِنَ فَهَذَا إِذَا قِيلَ بِتَخْرِيجِهِ قَوْلًا ثَانِيًا، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَنْكَرَهُ وَامْتَنَعَ مِنْ تَخْرِيجِهِ قَوْلًا لِلشَّافِعِيِّ وَتَأَوَّلَهُ: أَنْ يَلْتَعِنَ مِنَ الْأَمَةِ إِذَا كَانَتْ زَوْجَةً. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ وَلَدِ الْأَمَةِ وَوَلَدِ الْحُرَّةِ فِي اللِّعَانِ أَنَّ وَلَدَ الْأَمَةِ لَمَّا انْتَفَى بِالِاسْتِبْرَاءِ لَمْ يُحْتَجْ إِلَى نَفْيِهِ بِاللِّعَانِ وَوَلَدَ الْحُرَّةِ لَمْ يَنْتَفِ بِالِاسْتِبْرَاءِ احْتَاجَ إِلَى نَفْيِهِ بِاللِّعَانِ.

Salah satu pendapat: Penyangkalannya sudah cukup untuk menggugurkan tuduhan zina, dan la‘an-nya adalah dengan mengatakan: “Aku bersaksi demi Allah bahwa anak ini bukan dariku.” Setelah itu, budak perempuan tidak perlu melakukan la‘an, karena zina tidak terbukti atas dirinya, dan dengan la‘an dari pihak laki-laki tidak wajib atasnya hukuman had. Pendapat kedua: Penyangkalannya tidak cukup untuk menggugurkan tuduhan zina, sehingga ia harus melakukan la‘an sebagaimana la‘an terhadap perempuan merdeka, dan atas budak perempuan berlaku hukuman had karena la‘an dari pihak laki-laki kecuali jika ia juga melakukan la‘an. Ini jika dikatakan bahwa pendapat kedua dapat ditetapkan sebagai pendapat lain. Di antara ulama kami ada yang menolaknya dan enggan menetapkannya sebagai pendapat Imam Syafi‘i, serta menakwilkannya: bahwa la‘an terhadap budak perempuan hanya dilakukan jika ia berstatus sebagai istri. Dengan demikian, perbedaan antara anak budak perempuan dan anak perempuan merdeka dalam masalah la‘an adalah: anak budak perempuan, ketika telah dinyatakan bukan anaknya melalui istibra’, tidak perlu dinafikan dengan la‘an; sedangkan anak perempuan merdeka, karena tidak dapat dinafikan dengan istibra’, maka perlu dinafikan dengan la‘an.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهَا لَوْ صَارَتْ بِالْوَطْءِ فِرَاشًا كَالْحُرَّةِ لَارْتَفَعَ بِالطَّلَاقِ زَوَالُ الْمِلْكِ، وَلَمْ يَرْتَفِعْ بِالِاسْتِبْرَاءِ كَمَا لَا يَرْتَفِعُ بِالِاسْتِبْرَاءِ فِرَاشُ الْحُرَّةِ، فَهُوَ أَنَّهُمَا مُسْتَوِيَانِ فِي أَنَّ فِرَاشَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا يَرْتَفِعُ بِارْتِفَاعِ مَا ثَبَتَ بِهِ فِرَاشُهَا، فَإِنَّ فِرَاشَ الْحُرَّةِ ثَبَتَ بِالْعَقْدِ فَارْتَفَعَ بِارْتِفَاعِ الْعَقْدِ وَفِرَاشَ الْأَمَةِ ثَبَتَ بِالْوَطْءِ فَارْتَفَعَ بِارْتِفَاعِ الْوَطْءِ وَلَمْ يُحْتَجْ إِلَى رَفْعِهِ بِالطَّلَاقِ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَكُونُ إِلَّا فِي النِّكَاحِ وَلَمْ يُحْتَجْ فِيهِ إِلَى زَوَالِ الْمِلْكِ؛ لِأَنَّ وُجُودَ الْمِلْكِ لَا يَمْنَعُ مِنْ عُدُومِ الْفِرَاشِ فِي الِابْتِدَاءِ وَكَذَلِكَ لَا يَمْنَعُ بَقَاءُ الْمِلْكِ فِي ارْتِفَاعِ الْفِرَاشِ فِي الِانْتِهَاءِ وَبِعَكْسِهَا تَكُونُ الْحُرَّةُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالِاسْتِبْرَاءُ وَاجِبٌ فِي ارْتِفَاعِ فِرَاشِ الْأَمَةِ وَنَفْيِ وَلَدِهَا عَنِ السَّيِّدِ، وَحَكَى ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ فِيهِ وَجْهًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ اسْتِظْهَارٌ مُسْتَحَبٌّ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَيَكْفِي فِي نَفْيِ الْوَلَدِ أَنْ يَدَّعِيَ الِاسْتِبْرَاءَ، وَهَذَا وَجْهٌ لَا يَتَحَصَّلُ؛ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَتْ دَعْوَى الِاسْتِبْرَاءِ شَرْطًا فِي نَفْيِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ كَاذِبًا فِي دَعْوَاهُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الِاسْتِبْرَاءُ شَرْطًا وَاجِبًا فِي رَفْعِ الْفِرَاشِ وَنَفْيِ الْوَلَدِ، فَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَهُوَ لَاحِقٌ بِهِ لِلْعَامِ بِتَقَدُّمِهِ عَلَى اسْتِبْرَائِهِ سَوَاءٌ اسْتَبْرَأَهَا بِالْأَقْرَاءِ أَوْ بِالْوِلَادَةِ وَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ وَقْتِ اسْتِبْرَائِهَا نُظِرَ فِي الِاسْتِبْرَاءِ، فَإِنْ كَانَ بِوَلَدٍ وضعته لم يحلق بِهِ الثَّانِي بِاتِّفَاقِ أَصْحَابِنَا، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ بَيْنَ الْوَلَدَيْنِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا كَانَا مِنْ حَمْلَيْنِ فَصَارَ الثَّانِي حَادِثًا مِنْ وَطْءٍ بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ يَقِينًا فَلِذَلِكَ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ، وَإِنْ كَانَ قَدِ اسْتَبْرَأَهَا بِالْأَقْرَاءِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَلْحَقُ بِهِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa jika budak perempuan, karena digauli, menjadi “tempat tidur” (firaash) seperti perempuan merdeka, maka dengan talak akan hilang kepemilikan, dan tidak hilang dengan istibra’ sebagaimana firaash perempuan merdeka juga tidak hilang dengan istibra’, maka jawabannya adalah: keduanya sama dalam hal bahwa firaash masing-masing hilang dengan hilangnya sebab yang menetapkan firaash tersebut. Firaash perempuan merdeka ditetapkan dengan akad, maka hilang dengan hilangnya akad; firaash budak perempuan ditetapkan dengan hubungan badan, maka hilang dengan berakhirnya hubungan badan, dan tidak perlu dihilangkan dengan talak, karena talak hanya berlaku dalam pernikahan dan tidak disyaratkan hilangnya kepemilikan; sebab adanya kepemilikan tidak menghalangi tidak adanya firaash pada awalnya, demikian pula keberlangsungan kepemilikan tidak menghalangi hilangnya firaash pada akhirnya, dan sebaliknya berlaku pada perempuan merdeka. Jika demikian, maka istibra’ wajib dilakukan ketika firaash budak perempuan berakhir dan untuk menafikan anaknya dari tuannya. Ibn Abi Hurairah meriwayatkan satu pendapat dari sebagian ulama kami: bahwa istibra’ itu hanya anjuran (mustahabb) dan tidak wajib, dan cukup untuk menafikan anak dengan mengaku telah melakukan istibra’. Namun pendapat ini tidak kuat, karena jika pengakuan istibra’ menjadi syarat dalam penafian, maka tidak boleh ia berdusta dalam pengakuannya, sehingga istibra’ menjadi syarat wajib dalam menghilangkan firaash dan menafikan anak. Jika budak perempuan melahirkan anak setelah istibra’ dalam waktu kurang dari enam bulan, maka anak itu tetap dinisbatkan kepadanya, karena hubungan sebelumnya mendahului istibra’, baik istibra’ dilakukan dengan haid maupun dengan kelahiran. Jika ia melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih sejak istibra’, maka dilihat pada istibra’-nya: jika istibra’ dilakukan dengan kelahiran, maka anak kedua tidak dinisbatkan kepadanya menurut kesepakatan ulama kami, karena jika antara kedua anak itu terdapat jarak enam bulan atau lebih, berarti keduanya berasal dari dua kehamilan, sehingga anak kedua pasti berasal dari hubungan setelah istibra’, maka tidak dinisbatkan kepadanya. Jika istibra’ dilakukan dengan haid, maka menurut mazhab Syafi‘i, anak itu tidak dinisbatkan kepadanya.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: إِنْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ لَحِقَ بِهِ كَالْحُرَّةِ وَالْمُطَلَّقَةِ يَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا بَعْدَ الْعِدَّةِ إِذَا وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ وَهَذَا هُوَ الْقِيَاسُ عِنْدِي، وَإِنْ كَانَ نَصُّ الشَّافِعِيِّ عَلَى خِلَافِهِ فِي وَلَدِ الْأَمَةِ، وَقَالَ: إِنَّهَا إِذَا وَضَعَتْهُ بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ بِخِلَافِ وَلَدِ الْحُرَّةِ وَفَرَّقَ أَصْحَابُنَا بَيْنَهُمَا بِأَنَّ وَلَدَ الْحُرَّةِ يَلْحَقُهُ بِالْإِمْكَانِ، وَالْإِمْكَانُ مَوْجُودٌ فِيمَا دُونَ أَرْبَعِ سِنِينَ فَلِذَلِكَ لَحِقَ بِهِ، وَوَلَدُ الْأَمَةِ يَلْحَقُ بِالْعِلْمِ بِالْوَطْءِ وَالْعِلْمُ غَيْرُ مَوْجُودٍ فِيمَا زَادَ عَلَى سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَلِذَلِكَ لَمْ يَلْحَقُ بِهِ وَفِي هَذَا الْفَرْقِ وَهَاءٌ إِذَا اسْتَبْرَأَ فَعَلَى هَذَا لَوِ ادَّعَى السَّيِّدُ الِاسْتِبْرَاءَ لِنَفْيِ الْوَلَدِ، وَأَنْكَرَتْهُ الْأَمَةُ فَفِي وُجُوبِ إِحْلَافِهِ وَجْهَانِ:

Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata: Jika seorang perempuan melahirkan anaknya kurang dari empat tahun (setelah pernikahan), maka anak itu dinasabkan kepadanya sebagaimana pada perempuan merdeka dan perempuan yang ditalak; anaknya tetap dinasabkan kepadanya setelah masa ‘iddah jika ia melahirkan kurang dari empat tahun. Inilah qiyās menurutku, meskipun nash Imam al-Syafi‘i berbeda dalam kasus anak budak perempuan. Beliau berkata: Jika budak perempuan melahirkan setelah masa istibra’ selama enam bulan atau lebih, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya, berbeda dengan anak perempuan merdeka. Para sahabat kami membedakan antara keduanya dengan alasan bahwa anak perempuan merdeka dinasabkan kepadanya berdasarkan kemungkinan (terjadinya hubungan), dan kemungkinan itu masih ada selama kurang dari empat tahun, sehingga anak itu dinasabkan kepadanya. Sedangkan anak budak perempuan dinasabkan kepadanya berdasarkan pengetahuan tentang terjadinya hubungan, dan pengetahuan itu tidak ada pada masa lebih dari enam bulan, sehingga anak itu tidak dinasabkan kepadanya. Dalam perbedaan ini terdapat kelemahan jika telah dilakukan istibra’. Berdasarkan hal ini, jika tuan mengklaim telah melakukan istibra’ untuk menafikan anak, sementara budak perempuan mengingkarinya, maka dalam kewajiban sumpah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَمِينَ عَلَيْهِ وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي حَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ نَفْيَهُ مُعْتَبَرٌ بِدَعْوَى الِاسْتِبْرَاءِ لَا بِفِعْلِهِ.

Pertama: Tidak ada sumpah atasnya. Ini menurut pendapat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hurairah bahwa penafian anak dianggap sah dengan klaim istibra’, bukan dengan perbuatannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ: أَنَّ الْيَمِينَ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ نَفْيَهُ مُعْتَبَرٌ بِفِعْلِ الِاسْتِبْرَاءِ لَا بِدَعْوَاهُ فَعَلَى هَذَا فِي كَيْفِيَّةِ يَمِينِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat jumhur: Sumpah wajib atasnya jika dikatakan bahwa penafian anak dianggap sah dengan perbuatan istibra’, bukan dengan klaimnya. Berdasarkan hal ini, dalam tata cara sumpahnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْلِفُ بِاللَّهِ لَقَدِ اسْتَبْرَأَهَا قَبْلَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وِلَادَتِهِ.

Pertama: Ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia benar-benar telah melakukan istibra’ sebelum enam bulan dari kelahiran anak tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَحْلِفُ بِاللَّهِ لَقَدْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ اسْتِبْرَائِهِ فَإِنْ حَلَفَ انْتَفَى عَنْهُ، وَإِنْ نَكَلَ فَعَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا:

Pendapat kedua: Ia bersumpah dengan nama Allah bahwa anak itu lahir enam bulan setelah istibra’nya. Jika ia bersumpah, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya. Jika ia enggan bersumpah, maka ada dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ لَاحِقًا بِهِ لَهُ.

Pertama: Anak itu tetap dinasabkan kepadanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ تُرَدُّ عَلَى الْأَمَةِ، فَإِنْ حَلَفَتْ لَحِقَ بِهِ وَكَانَتْ صِفَةُ يَمِينِهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي يَمِينِ السَّيِّدِ وَإِنْ نَكَلَتْ عَنِ الْيَمِينِ كَانَتْ مَوْقُوفَةً عَلَى بُلُوغِ الْوَلَدِ فَيَحْلِفُ بِاللَّهِ أَنَّهُ وَلَدُهُ وَجْهًا واحداً، فإن حلف لحق به، وإن نَكَلَ انْتَفَى عَنْهُ وَقَدْ مَضَى فِي هَذَا الاتصال من شرح المذهب ما لم تجديداً منه فلذلك أطنبت وَإِنْ كُنْتُ لِلْإِطَالَةِ كَارِهًا وَبِتَوْفِيقِ اللَّهِ مُسْتَعِينًا.

Pendapat kedua: Sumpah dikembalikan kepada budak perempuan. Jika ia bersumpah, maka anak itu dinasabkan kepadanya, dan tata cara sumpahnya sebagaimana yang telah kami sebutkan dari dua pendapat dalam sumpah tuan. Jika ia enggan bersumpah, maka status anak itu ditangguhkan hingga ia baligh, lalu ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia adalah anaknya—menurut satu pendapat. Jika ia bersumpah, maka anak itu dinasabkan kepadanya. Jika ia enggan bersumpah, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya. Telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya dari syarah madzhab tentang hal ini, sehingga saya memperpanjang penjelasan, meskipun saya tidak suka berpanjang lebar, dan hanya dengan taufik Allah saya memohon pertolongan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ قَالَ كُنْتُ أَعْزِلُ عَنْهَا أَلْحَقَتِ الْوَلَدَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَدَّعِيَ استبراء بعد الوطء فيكون دليلا له وقال بعض الناس لو ولدت جارية يطؤها فليس هو ولده إلا أن يقر به فإن اقر بواحد ثم جاءت بعده بآخر فله نفيه لأن إقراره بالأول ليس بإقرار بالثاني وله عنده أن يقر بواحد وينفي ثانياً وبثالث وينفي رابعاً ثم قالوا لو أقر بواحد ثم جاءت بعده بولد فلم ينفه حتى مات فهو ابنه ولم يدعه قط ثم قالوا لو أن قاضياً زوج امرأة رجلاً في مجلس القضاء ففارقها ساعة ملك عقدة نكاحها ثلاثا ثم جاءت بولد لستة أشهر لزم الزوج قالوا هذا فراش قيل وهل كان فراشاً قط يمكن فيه الجماع “.

Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Aku melakukan ‘azl (mengeluarkan mani di luar rahim) darinya,’ maka anak itu tetap dinasabkan kepadanya, kecuali jika ia mengklaim telah melakukan istibra’ setelah berhubungan, maka itu menjadi dalil baginya. Sebagian ulama berkata: Jika seorang budak perempuan melahirkan anak, maka anak itu bukan anaknya kecuali ia mengakuinya. Jika ia mengakui satu anak, lalu setelah itu lahir anak lain, maka ia boleh menafikannya, karena pengakuan terhadap anak pertama bukanlah pengakuan terhadap anak kedua. Menurut mereka, ia boleh mengakui satu anak dan menafikan yang kedua, lalu mengakui yang ketiga dan menafikan yang keempat. Kemudian mereka berkata: Jika ia mengakui satu anak, lalu setelah itu lahir anak lain dan ia tidak menafikannya hingga ia wafat, maka anak itu adalah anaknya, dan ia tidak pernah menafikannya sama sekali. Kemudian mereka berkata: Jika seorang qadhi menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki di majelis pengadilan, lalu laki-laki itu menceraikannya sesaat setelah akad nikah, kemudian perempuan itu melahirkan anak setelah enam bulan, maka anak itu tetap dinasabkan kepada suami. Mereka berkata: Ini adalah kasus firāsy (hak suami atas anak yang lahir di atas ranjang pernikahan). Ada yang bertanya: Apakah ini benar-benar firāsy yang memungkinkan terjadinya hubungan suami istri?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْعَزْلُ فَضَرْبَانِ: عَزْلٌ عَنِ الْإِنْزَالِ، وَعَزْلٌ عَنِ الْإِيلَاجِ وَكِلَاهُمَا مُبَاحٌ فِي الْأَمَةِ وَالزَّوْجَةِ، وَلَكِنْ يَلْزَمُ اسْتِطَابَةُ نَفْسِ الزَّوْجَةِ عَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِطَابَةُ نَفْسِ الْأَمَةِ، لِأَنَّ لِلْحُرَّةِ حَقًّا فِي الْوَلَدِ دُونَ الْأَمَةِ: فَأَمَّا الْعَزْلُ عَنِ الْإِنْزَالِ فَهُوَ أَنْ يُولِجَ فِي الْفَرْجِ، فَإِذَا أَحَسَّ بِالْإِنْزَالِ أَقْلَعَ فَأَنْزَلَ خَارِجَ الْفَرْجِ، وَهَذَا الْعَزْلُ لَا يَمْنَعُ مِنْ لُحُوقِ الْوَلَدِ، رُوِيَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نُصِيبُ السَّبَايَا وَنُحِبُّ الْأَثْمَانَ، أَفَنَعْزِلُ عَنْهُنَّ؟ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ إِذَا قَضَى خَلْقَ نَسَمَةٍ خَلَقَهَا وَلِأَنَّهُ قَدْ يَسْبِقُ مِنْ إِنْزَالِهِ مَا لَا يُحِسُّ بِهِ فَتَعَلَّقَ مِنْهُ، وَرُبَّمَا اسْتَدْخَلَ الْفَرْجُ مِنَ الْمَنِيِّ الْخَارِجِ مَا يَكُونُ مِنْهُ الْعُلُوقُ.

Al-Mawardi berkata: Adapun ‘azl (penarikan), maka ada dua macam: ‘azl dari inzal (ejakulasi), dan ‘azl dari ilaj (penetrasi). Keduanya dibolehkan baik pada budak perempuan maupun istri, namun wajib mendapatkan kerelaan dari istri, sedangkan tidak wajib mendapatkan kerelaan dari budak perempuan. Sebab, perempuan merdeka memiliki hak atas anak, sedangkan budak perempuan tidak. Adapun ‘azl dari inzal adalah seseorang memasukkan (penis) ke dalam farji (vagina), lalu ketika merasa akan ejakulasi, ia menarik keluar dan mengeluarkan mani di luar farji. ‘Azl semacam ini tidak mencegah kemungkinan terjadinya anak. Diriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah ﷺ, kami mendapatkan tawanan wanita dan kami menyukai harta (hasil penjualan mereka), bolehkah kami melakukan ‘azl terhadap mereka?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah, apabila telah menetapkan penciptaan suatu jiwa, maka Dia akan menciptakannya.” Karena bisa saja ada mani yang keluar tanpa terasa lalu menyebabkan kehamilan, dan terkadang mani yang keluar di luar farji bisa masuk ke dalam farji karena daya serapnya sehingga menyebabkan kehamilan.

فَأَمَّا الْعَزْلُ عَنِ الْإِيلَاجِ: فَهُوَ أَنْ يَطَأَ دُونَ الْفَرْجِ وَيُنْزِلَ فَفِي لُحُوقِ وَلَدِ الْأَمَةِ مِنْهُ وَجْهَانِ:

Adapun ‘azl dari ilaj adalah seseorang melakukan hubungan tanpa penetrasi ke dalam farji dan mengeluarkan mani. Dalam hal ini, ada dua pendapat mengenai status anak budak perempuan yang lahir dari perbuatan tersebut:

أَحَدُهُمَا: لَا يَلْحَقُهُ لِخُرُوجِ الْمَنِيِّ عَنِ الْفَرْجِ.

Pertama: Anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya karena mani keluar di luar farji.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَلْحَقُهُ لِجَوَازِ أَنْ يَسْتَدْخِلَهُ الْفَرْجُ بِحَرَارَتِهِ، وَهَكَذَا وَلَدُ الْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ يَلْحَقُ بِهِ فِي الْعَزْلِ عَنِ الْإِنْزَالِ، وَفِي لُحُوقِهِ بِهِ فِي الْعَزْلِ عَنِ الْإِيلَاجِ وَجْهَانِ.

Pendapat kedua: Anak tersebut dinisbatkan kepadanya karena dimungkinkan mani masuk ke dalam farji karena panasnya, dan demikian pula anak dari perempuan yang digauli karena syubhat (keraguan status) dinisbatkan kepadanya dalam kasus ‘azl dari inzal. Sedangkan dalam kasus ‘azl dari ilaj, ada dua pendapat mengenai status anak tersebut.

فَأَمَّا وَلَدُ الزَّوْجِ فَيَلْحَقُ بِهِ فِي الْحَالَيْنِ لثبوت الفراش بالعقد والإمكان.

Adapun anak dari istri, maka dinisbatkan kepadanya dalam kedua keadaan tersebut karena adanya status firasy (hubungan pernikahan) melalui akad dan adanya kemungkinan (kehamilan).

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” إِذَا أَحَاطَ الْعِلْمُ أَنَّ الْوَلَدَ لَيْسَ مِنَ الزَّوْجِ فَالْوَلَدُ مَنْفِيٌ عَنْهُ بِلَا لِعَانٍ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika telah diketahui secara pasti bahwa anak itu bukan dari suami, maka anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya tanpa perlu li‘an (sumpah tuduhan zina).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَلَدُ الْحُرَّةِ يَلْحَقُ الزَّوْجَ بِشَرْطَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Anak dari perempuan merdeka dinisbatkan kepada suami dengan dua syarat:

أَحَدُهُمَا: الْعَقْدُ.

Pertama: Adanya akad (nikah).

وَالثَّانِي: الْإِمْكَانُ، وَالْإِمْكَانُ يَكُونُ بِاجْتِمَاعِ شَرْطَيْنِ:

Kedua: Adanya kemungkinan (kehamilan), dan kemungkinan itu terpenuhi dengan dua syarat:

أَحَدُهُمَا: إِمْكَانُ الْوَطْءِ.

Pertama: Kemungkinan terjadinya hubungan suami istri.

وَالثَّانِي: إِمْكَانُ الْعُلُوقِ، فَأَمَّا إِمْكَانُ الْوَطْءِ، فَهُوَ أَنْ يَكُونَ اجْتِمَاعُهُمَا عَلَيْهِ مُجَوَّزًا، سَوَاءٌ عُلِمَ أَوْ لَمْ يُعْلَمْ، فَإِنْ لَمْ يَكُنِ اجْتِمَاعُهُمَا وَأَحَاطَ الْعِلْمُ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا وَطْءٌ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ الْوَلَدُ، وَأَمَّا إِمْكَانُ الْعُلُوقِ فَيَكُونُ بِاجْتِمَاعِ شَرْطَيْنِ:

Kedua: Kemungkinan terjadinya kehamilan. Adapun kemungkinan terjadinya hubungan suami istri adalah bahwa kebersamaan keduanya memungkinkan untuk melakukan hubungan, baik diketahui secara pasti maupun tidak. Jika tidak ada kebersamaan atau diketahui secara pasti bahwa tidak terjadi hubungan, maka anak tidak dinisbatkan kepadanya. Adapun kemungkinan terjadinya kehamilan, maka terpenuhi dengan dua syarat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ مِمَّنْ يُولَدُ لِمَثَلِهِ، فَإِنْ كَانَ طِفْلًا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ الْوَلَدُ.

Pertama: Suami termasuk orang yang secara biologis memungkinkan memiliki anak. Jika ia masih anak-anak, maka anak tidak dinisbatkan kepadanya.

وَالثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُ بَعْدَ الْعَقْدِ لِمُدَّةٍ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ حَادِثًا فِيهَا بَعْدَ الْعَقْدِ وَهِيَ سِتَّةُ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا، فَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ لِلْعِلْمِ بِتَقَدُّمِهِ عَلَى الْعَقْدِ، فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ لُحُوقِهِ بِالْعَقْدِ وَالْإِمْكَانِ لَمْ يَلْحَقْهُ إِذَا اسْتَحَالَ الْإِمْكَانُ.

Kedua: Anak dilahirkan setelah akad dalam rentang waktu yang memungkinkan terjadinya kehamilan setelah akad, yaitu enam bulan atau lebih. Jika anak dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad, maka anak tidak dinisbatkan kepadanya karena diketahui bahwa kehamilan terjadi sebelum akad. Maka, jika telah tetap apa yang kami sebutkan tentang dinisbatkannya anak karena akad dan kemungkinan, maka anak tidak dinisbatkan kepadanya jika kemungkinan itu mustahil.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِمْكَانُ الْوَطْءِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ وَإِنَّمَا يُعْتَبَرُ مَعَ الْعَقْدِ إِمْكَانُ الْعُلُوقِ، فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ صَغِيرًا أَوْ وَلَدَتْ بَعْدَ الْعَقْدِ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ لَمْ يَلْحَقْهُ وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ كَبِيرًا وَالْوِلَادَةُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنَّ عُلِمَ أَنَّهُمَا لَمْ يَجْتَمِعَا حَتَّى قَالَ فِي ثَلَاثَةِ مَسَائِلَ حَكَاهَا الشَّافِعِيُّ عَنْهُ فِي الْقَدِيمِ مَا يَدْفَعُهُ الْمَعْقُولُ مِنْهَا فِيمَنْ تَزَوَّجَ فِي مَجْلِسِ الْحَاكِمِ وَطَلَّقَ فِيهِ لِوَقْتِهِ ثُمَّ وَلَدَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ لَا يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ أَنَّ الْوَلَدَ لَاحِقٌ بِهِ وَيَجِيءُ عَلَى أَصْلِهِ مَا هُوَ أَضْيَقُ مِنْ هَذَا وَأَشْنَعُ، وَهُوَ إِذَا قَالَ لِأَجْنَبِيَّةٍ: إِذَا تَزَوَّجْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا فَإِذَا تَزَوَّجَهَا طُلِّقَتْ عَقِبَ نِكَاحِهَا فَإِنْ وَلَدَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ لَحِقَ بِهِ وَلَدُهَا وَمِنْهَا قَوْلُهُ فِيمَنْ تَزَوَّجَ بِكْرًا وَغَابَ عَنْهَا قَبْلَ الْإِصَابَةِ ثُمَّ بَلَغَهَا خَبَرُ مَوْتِهِ فَاعْتَدَّتْ وَتَزَوَّجَتْ وَدَخَلَ بِهَا الثَّانِي سِنِينَ وَجَاءَتْ مِنْهُ بِأَوْلَادٍ ثُمَّ قَدِمَ الْأَوَّلُ لَحِقَ بِهِ جَمِيعُ أَوْلَادِهَا دُونَ الثَّانِي؟ وَالْأَوَّلُ مُنْكِرٌ لَمْ يَطَأْ، وَالثَّانِي مُقِرٌّ قَدْ وَطِئَ.

Abu Hanifah berkata: Kemungkinan terjadinya hubungan suami istri tidaklah dianggap, yang dianggap dalam akad hanyalah kemungkinan terjadinya kehamilan. Jika suami masih kecil atau istri melahirkan setelah akad kurang dari enam bulan, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya. Namun, jika suami sudah dewasa dan kelahiran terjadi setelah enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepadanya, meskipun diketahui bahwa keduanya belum pernah berkumpul. Dalam tiga masalah yang dinukil oleh asy-Syafi‘i dari pendapat lama Abu Hanifah, terdapat hal-hal yang secara akal tidak dapat diterima, di antaranya: seseorang menikah di majelis hakim lalu langsung menceraikan istrinya saat itu juga, kemudian istrinya melahirkan setelah enam bulan, tidak lebih dan tidak kurang, maka anak itu tetap dinasabkan kepadanya. Bahkan, dalam prinsip dasarnya, ada yang lebih sempit dan lebih aneh dari ini, yaitu: jika seorang laki-laki berkata kepada perempuan asing, “Jika aku menikahimu, maka engkau tertalak tiga,” lalu ketika menikahinya, ia langsung menceraikannya setelah akad, kemudian jika perempuan itu melahirkan setelah enam bulan, maka anak itu tetap dinasabkan kepadanya. Termasuk juga pendapatnya tentang seseorang yang menikahi seorang gadis, lalu pergi sebelum berhubungan dengannya, kemudian si gadis mendengar kabar kematian suaminya, lalu ia menjalani masa iddah, menikah lagi, dan suami kedua telah menggaulinya selama bertahun-tahun hingga ia melahirkan beberapa anak darinya, lalu suami pertama datang kembali, maka semua anaknya dinasabkan kepada suami pertama, bukan kepada suami kedua, padahal suami pertama mengingkari pernah menggaulinya, sedangkan suami kedua mengakui telah menggaulinya.

وَمِنْهَا قَوْلُهُ فِي رجل بالمشرق وتزوج امْرَأَةً بِالْمَغْرِبِ ثُمَّ وَلَدَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ عَقْدِهِ أَنَّ الْوَلَدَ لَاحِقٌ بِهِ وَإِنْ كَانَ لَوْ أَرَادَ الْمَسِيرَ إِلَيْهَا لَمْ يَصِلْ إِلَّا فِي سِنِينَ، وَاسْتَدَلَّ لِصِحَّةِ ذَلِكَ مَعَ اسْتِحَالَتِهِ بقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ” قَالَ: وَالْفِرَاشُ هُوَ الزَّوْجُ، وَقَالَ ذَلِكَ ابْنُ الْأَعْرَابِيِّ، وَأَبُو عُمَرَ الزَّاهِدُ وَأَنْشَدَ قَوْلَ الشَّاعِرِ.

Termasuk juga pendapatnya tentang seorang laki-laki yang berada di timur dan menikahi seorang perempuan di barat, lalu perempuan itu melahirkan setelah enam bulan dari akad, bahwa anak itu tetap dinasabkan kepadanya, meskipun jika ia ingin bepergian ke sana, ia tidak akan sampai kecuali dalam beberapa tahun. Ia berdalil atas sahnya hal itu, meskipun mustahil, dengan sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik pemilik ranjang, dan bagi pezina adalah batu.” Ia berkata: yang dimaksud dengan “ranjang” adalah suami, demikian pula pendapat Ibnu al-A‘rabi dan Abu ‘Umar az-Zahid, serta mereka mengutip syair:

(بَاتَتْ تُعَانِقُنِي وَبَاتَ فِرَاشُهَا … خَلْفَ الْعَبَاءَةِ بِالدِّمَاءِ غَرِيقًا)

(Dia bermalam memelukku, sementara ranjangnya … di balik selimut, basah oleh darah)

يَعْنِي بِقَوْلِهِ بَاتَ فِرَاشُهَا أَيْ زَوْجُهَا، قَالَ: فَجَعَلَ الْوَلَدَ لِلزَّوْجِ مِنْ غَيْرِ إِمْكَانِ الْوَطْءِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ لَهُ عَلَى عُمُومِ الْأَحْوَالِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ إِمْكَانَ الْفِعْلِ لَا يَقُومُ مَقَامَ الْفِعْلِ لِأَنَّ إِمْكَانَ الزِّنَا لَا يَقُومُ مَقَامَ الزِّنَا وَإِمْكَانَ الْقَتْلِ لَا يَقُومُ مَقَامَ الْقَتْلِ، كَذَلِكَ إِمْكَانُ الْوَطْءِ لَا يَقُومُ مَقَامَ الْوَطْءِ فَبَطَلَ أن يكون معتبراً ولم يبق الاعتبار الْعَقْدِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ مُعْتَبَرًا بِهِ.

Yang dimaksud dengan “ranjangnya” adalah suaminya. Ia berkata: Maka anak itu dinasabkan kepada suami meskipun tanpa kemungkinan terjadinya hubungan suami istri, sehingga hal itu berlaku dalam segala keadaan. Mereka berkata: Karena kemungkinan melakukan suatu perbuatan tidaklah sama dengan perbuatan itu sendiri; sebagaimana kemungkinan zina tidak sama dengan zina, dan kemungkinan membunuh tidak sama dengan membunuh, demikian pula kemungkinan terjadinya hubungan suami istri tidak sama dengan terjadinya hubungan itu sendiri. Maka, tidak sah untuk dianggap, dan yang tersisa hanyalah pertimbangan akad, sehingga anak itu harus dinasabkan berdasarkan akad tersebut.

قَالُوا: وَلِأَنَّ فَرْجَ الزَّوْجَةِ مَحَلٌّ لِمَاءِ الزَّوْجِ وَمُسْتَحَقًّا لَهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَحَقَّ بِمَا يَنْبُتُ فِيهِ كَالْأَرْضِ الَّتِي يَسْتَحِقُّ مَالِكُهَا مَا ثَبَتَ فِيهَا، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَاءَ زَوْجَتِهِ كَمَا يَمْلِكُ مَاءَ أَمَتِهِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ مَاءَ الْأَمَةِ لَوِ انْعَقَدَ وَلَدًا كَانَ لِلسَّيِّدِ فَوَجَبَ إِذَا انْعَقَدَ مَاءُ الزَّوْجَةِ وَلَدًا أَنْ يَكُونَ لِلزَّوْجِ.

Mereka berkata: Karena kemaluan istri adalah tempat bagi air mani suami dan merupakan hak suami, maka ia lebih berhak terhadap apa yang tumbuh di dalamnya, sebagaimana pemilik tanah lebih berhak atas apa yang tumbuh di tanahnya. Mereka juga berkata: Karena suami memiliki hak atas air mani istrinya sebagaimana ia memiliki hak atas air mani budaknya. Telah tetap bahwa jika air mani budak perempuan menghasilkan anak, maka anak itu menjadi milik tuannya, maka jika air mani istri menghasilkan anak, sudah seharusnya anak itu menjadi milik suami.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ كُلَّ مَا اسْتَحَالَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ لَاحِقًا بِهِ كَزَوْجَةِ الصَّغِيرِ، وَكَالْمَوْلُودِ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَإِنْ قِيلَ فَالصَّغِيرُ مِنَ الْأَزْوَاجِ لَا يُسَمَّى فِرَاشًا وَالْمَوْلُودُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ حَادِثٌ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ، فَلِذَلِكَ انْتَفَى الْوَلَدُ عَنْهُمَا وَخَالَفَهُمَا مَا عَدَاهُمَا، قِيلَ أَمَّا الصَّغِيرُ فَإِنْ كَانَ الْفِرَاشُ اسْمًا لِلزَّوْجِ فَهُوَ زَوْجٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِرَاشًا وَإِنِ امْتَنَعَ مِنْ تَسْمِيَتِهِ فِرَاشًا لِاسْتِحَالَتِهِ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ مِنْهُ فَمِثْلُ اسْتِحَالَتِهِ مَوْجُودٌ فِي وَلَدِ الْمَغْرِبِيَّةِ مِنَ الْمَشْرِقِيِّ، وَأَمَّا الْمَوْلُودُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَإِنِ انْتَفَى عَنْهُ لِاسْتِحَالَةِ وُجُودِ مَائِهِ فِي مِلْكِهِ فَكَذَلِكَ وَلَدُ الْمَغْرِبِيَّةَ وَإِنْ كَانَ لِوُجُودِ الْمَاءِ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ بَطَلَ طَرْدُهُ بِالصَّبِيِّ لِوُجُودِ الْمَاءِ فِي مِلْكِهِ وَلَا يَلْحَقُ بِهِ، وَبِطَلَ عَكْسُهُ بِالْوَطْءِ لِشُبْهَةٍ أَوْ فِي نِكَاحٍ فَاسِدٍ يَلْحَقُ بِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ.

Dalil kami adalah: Sesungguhnya segala sesuatu yang mustahil berasal darinya, maka mustahil pula untuk dinisbatkan kepadanya, seperti istri anak kecil, dan seperti anak yang lahir kurang dari enam bulan (setelah akad), maka jika dikatakan: “Anak kecil dari para suami tidak disebut sebagai firāsy dan anak yang lahir kurang dari enam bulan adalah peristiwa yang terjadi di luar kepemilikannya, oleh karena itu anak tidak dinisbatkan kepada keduanya, dan berbeda dengan selain keduanya,” maka dijawab: Adapun anak kecil, jika firāsy adalah nama bagi suami, maka ia adalah suami, sehingga wajib disebut firāsy, dan jika tidak dinamai firāsy karena mustahil anak berasal darinya, maka kemustahilan yang sama juga terdapat pada anak perempuan Maghribi dari laki-laki Mashriqi. Adapun anak yang lahir kurang dari enam bulan, jika tidak dinisbatkan kepadanya karena mustahil air (mani)nya ada dalam kepemilikannya, maka demikian pula anak perempuan Maghribi. Dan jika karena adanya air (mani) di luar kepemilikannya, maka qiyas dengan anak kecil batal, karena air (mani) itu ada dalam kepemilikannya dan tidak dinisbatkan kepadanya, dan qiyas sebaliknya dengan hubungan suami istri karena syubhat atau dalam nikah fasid juga batal, karena anak tetap dinisbatkan kepadanya meskipun di luar kepemilikannya.

وَإِذَا بَطَلَ طَرْدُهُ وَعَكْسُهُ لَمْ يبق إلا أن يكون لاستحالة وجوده في مَائِهِ، كَذَلِكَ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ الْمُسْتَحِيلَةِ، وَلِأَنَّ اسْتِحَالَةَ الِاسْتِلْحَاقِ يَمْنَعُ مِنْ ثُبُوتِ النَّسَبِ كَالشَّابِّ إذا ادعى شيخاً ولداً ولأنه لما انتف عَنْهُ وَلَدُ الْمُلَاعَنَةِ تَغْلِيبًا لِصِدْقِهِ، وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ كَاذِبًا فَلِأَنْ يَنْتَفِيَ عَنْهُ الْوَلَدُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ مَعَ اسْتِحَالَةِ كَذِبِهِ وَالْقَطْعِ بِصِدْقِهِ أَوْلَى.

Jika qiyas dan kebalikannya telah batal, maka tidak tersisa kecuali karena mustahil adanya (anak) dari air (mani)nya, demikian pula dalam masalah-masalah yang mustahil ini. Karena kemustahilan istihlāq (penisbatan anak) mencegah penetapan nasab, seperti seorang pemuda yang mengaku seorang syekh sebagai anaknya. Dan karena ketika anak dari muḷā‘anah (saling melaknat) tidak dinisbatkan kepadanya demi menguatkan kejujurannya, meskipun mungkin ia berdusta, maka lebih utama lagi anak tidak dinisbatkan kepadanya dalam keadaan-keadaan ini, ketika mustahil ia berdusta dan sudah pasti ia jujur.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ الْفِرَاشَ اسْمٌ لِلزَّوْجِ، فَهُوَ أَنَّ الْفِرَاشَ بِالزَّوْجَةِ أَخَصُّ، لِأَنَّ الْفِرَاشَ مُشْتَقٌّ مِنَ الِافْتِرَاشِ فَكَانَتِ الزَّوْجَةُ أَشْبَهَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ مِنَ الزَّوْجِ أَلَا تَرَى أَنَّ عَبْدَ بْنَ زَمْعَةَ قَالَ: أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa firāsy adalah nama bagi suami, maka firāsy itu lebih khusus pada istri, karena firāsy diambil dari kata iftirāsy (berbaring), sehingga istri lebih sesuai dengan sifat ini daripada suami. Tidakkah engkau melihat bahwa ‘Abd bin Zam‘ah berkata: “Saudaraku dan anak budak perempuan ayahku lahir di atas firāsy-nya.”

فَأُقِرَّ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يُنْكَرْ عَلَيْهِ، وَمَا قَالَ الشَّاعِرُ فَإِنَّهُ مَجَازٌ وَاتِّسَاعٌ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ إِمْكَانَ الْفِعْلِ لَا يَقُومُ مَقَامَ الْفِعْلِ فَهُوَ أَنَّ إِمْكَانَ الْفِعْلِ وَإِنْ لَمِ يَقُمْ مَقَامَ الْفِعْلِ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ عِنْدَنَا وَعِنْدَهُمْ، لِأَنَّنَا اعْتَبَرْنَا إِمْكَانَ الْوَطْءِ وَاعْتَبَرُوا زَوْجًا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ الْوَطْءُ فَكَانَ اعْتِبَارُنَا أَوْلَى مِنْ وَجْهَيْنِ:

Maka ia dibenarkan atas hal itu dan tidak diingkari, dan apa yang dikatakan penyair itu hanyalah majaz (kiasan) dan perluasan makna. Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa kemungkinan melakukan perbuatan tidak sama dengan perbuatan itu sendiri, maka kemungkinan melakukan perbuatan, meskipun tidak sama dengan perbuatan itu sendiri, tetap diperhitungkan menurut kami dan menurut mereka, karena kami mempertimbangkan kemungkinan terjadinya hubungan suami istri, dan mereka mempertimbangkan seorang suami yang mungkin melakukan hubungan, maka pertimbangan kami lebih utama dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَعَمُّ مِنَ اعْتِبَارِهِمْ.

Pertama: Karena pertimbangan kami lebih umum daripada pertimbangan mereka.

وَالثَّانِي: أَنَّ لُحُوقَ الْوَلَدِ فِي اعْتِبَارِنَا مُمْكِنٌ وَفِي اعْتِبَارِهِمْ مُسْتَحِيلٌ

Kedua: Karena penetapan anak menurut pertimbangan kami adalah mungkin, sedangkan menurut pertimbangan mereka adalah mustahil.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ فَرْجَ الْمَرْأَةِ مِلْكٌ لِلزَّوْجِ كَالْأَرْضِ فَمِنْ وجهين:

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa kemaluan perempuan adalah milik suami seperti tanah, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَيْسَ بِمِلْكٍ لَهُ، وَإِنَّمَا يَسْتَبِيحُ الِاسْتِمْتَاعَ بِهِ، لِأَنَّهَا لَوْ وَطِئَتْ بِشُبْهَةٍ كَانَ الْمَهْرُ لَهَا دُونَهُ.

Pertama: Bahwa itu bukan miliknya, melainkan ia hanya berhak menikmati, karena jika ia digauli karena syubhat, maka mahar tetap menjadi hak istri, bukan suami.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَالِكَ الْأَرْضِ لَا يَمْلِكُ مَا زَرَعَهُ غَيْرُهُ فِيهَا فَكَذَلِكَ حُكْمُ الْفُرُوجِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهُ لَمَّا مَلَكَ مَا انْعَقَدَ مِنْ مَاءِ أَمَتِهِ مالك مَا انْعَقَدَ مِنْ مَاءِ زَوْجَتِهِ، فَهُوَ أَنَّهُمْ إِنِ انْقَادُوا إِلَى هَذَا الِاسْتِدْلَالِ كَانَ عَلَيْهِمْ لَا لَهُمْ؛ لِأَنَّ الِاخْتِلَافَ فِي ثُبُوتِ النَّسَبِ لَا فِي مِلْكِ الرَّقَبَةِ، وَوَلَدُ الْأَمَةِ لَا يَلْحَقُ بِهِ فَكَذَلِكَ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ وَلَدَ الْحُرَّةِ، وَإِنَّمَا يُمَلَكُ وَلَدُ الْأَمَةِ اسْتِرْقَاقًا يَنْتَفِي عَنْ وَلَدِ الْحُرَّةِ، فَافْتَرَقَا فِي مِلْكِ الْوَلَدِ، وانفقا فِي نَفْيِ النَّسَبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ آخَرُ كتاب اللعان.

Kedua: Bahwa pemilik tanah tidak memiliki apa yang ditanam orang lain di atasnya, demikian pula hukum kemaluan. Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa ketika ia memiliki air (mani) budaknya, maka ia juga memiliki air (mani) istrinya, maka jika mereka menerima istidlāl ini, itu justru menjadi hujjah atas mereka, bukan untuk mereka; karena perbedaan itu dalam penetapan nasab, bukan dalam kepemilikan budak, dan anak budak perempuan tidak dinisbatkan kepadanya, demikian pula seharusnya anak perempuan merdeka. Adapun anak budak perempuan dimiliki sebagai budak, sedangkan hal itu tidak berlaku pada anak perempuan merdeka, maka keduanya berbeda dalam kepemilikan anak, namun sepakat dalam penafian nasab. Allah lebih mengetahui kebenaran. Tamat Kitab al-Li‘ān.

(Kitab ‘Iddah)

عدة المدخول بها من الجامع من كتاب العدد ومن كتاب الرجعة والرسالة

(Iddah bagi perempuan yang telah digauli Dari al-Jāmi‘ dari Kitab ‘Iddah dan dari Kitab Rujuk dan Risalah)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْعِدَّةُ بِالْكَسْرِ مَصْدَرُ الْإِحْصَاءِ لِلْعَدَدِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ) [الطلاق: 4] وَالْعُدَّةُ: بِالضَّمِّ الشَّيْءُ الْمُسْتَعَدُّ لِشَيْءٍ قَالَ اللَّهُ تعالى: {أعدوا لَهُ عُدَّةً} [التوبة: 46] وَالْعَدُّ بِالْفَتْحِ الْجُمْلَةُ الْمَعْدُودَةُ، قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِنْ شَاءَ مَوَالِيكَ عَدَدْتُ لَهُمْ ثَمَنَكَ عَدَّةً وَاحِدَةً.

Al-Mawardi berkata: Al-‘iddah dengan kasrah (i) adalah mashdar dari penghitungan jumlah. Allah Ta‘ala berfirman: {Maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan} [ath-Thalaq: 4]. Sedangkan al-‘uddah dengan dhammah (u) adalah sesuatu yang dipersiapkan untuk sesuatu. Allah Ta‘ala berfirman: {Persiapkanlah untuk mereka persiapan} [at-Taubah: 46]. Dan al-‘add dengan fathah (a) adalah jumlah yang dihitung. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Jika para mawalamu menghendaki, aku akan menghitungkan harga dirimu untuk mereka dengan satu hitungan.”

وَعِدَّةُ النِّسَاءِ تَرَبُّصُهُنَّ عَنِ الْأَزْوَاجِ بَعْدَ فُرْقَةِ أَزْوَاجِهِنَّ.

Dan ‘iddah bagi perempuan adalah masa menunggu mereka dari para suami setelah berpisah dengan suami-suami mereka.

وَرَوَى أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ أَنَّ أَوَّلَ مَا نَزَلْ مِنَ الْعِدَدِ فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ قَوْلُ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] فَارْتَابَ نَاسٌ بِالْمَدِينَةِ فِي عِدَّةِ الصِّغَارِ وَالْمُؤْيِسَاتِ وَذَوَاتِ الْحَمْلِ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فأخبرته بذلك فأنزل الله تعالى: {واللاتي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فعدتهن ثلاثة أشهر واللاتي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] فَزَالَتِ الِاسْتِرَابَةُ عَنْهُمْ وَعَلِمُوا كُلَّ الْعِدَدِ، وَنَزَلَتْ عِدَّةُ الْوَفَاةِ مُخَالِفَةً لِعِدَّةِ الطَّلَاقِ فِي قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا) [البقرة: 234] فَصَارَتِ الْعِدَدُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ وُضِعَتْ تَعَبُّدًا واستبراء:

Ubay bin Ka‘b meriwayatkan bahwa ayat pertama yang turun tentang ‘iddah dalam surah al-Baqarah adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga quru’} [al-Baqarah: 228]. Maka sebagian orang di Madinah ragu tentang ‘iddah anak-anak kecil, perempuan yang sudah putus haid, dan perempuan hamil. Maka aku mendatangi Rasulullah ﷺ dan memberitahukan hal itu kepadanya, lalu Allah Ta‘ala menurunkan: {Dan perempuan-perempuan di antara kalian yang telah putus haidnya, jika kalian ragu, maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan perempuan-perempuan yang tidak haid; dan perempuan-perempuan yang hamil, maka waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalaq: 4]. Maka hilanglah keraguan dari mereka dan mereka mengetahui seluruh ‘iddah. Dan turunlah ‘iddah wafat yang berbeda dengan ‘iddah talak dalam firman-Nya Ta‘ala: {Dan orang-orang di antara kalian yang wafat dan meninggalkan istri-istri, hendaklah istri-istri itu menunggu sendiri selama empat bulan sepuluh hari} [al-Baqarah: 234]. Maka ‘iddah menjadi tiga macam yang ditetapkan sebagai bentuk penghambaan (‘ibadah) dan istibra’ (pengecekan rahim).

أحدها: وهو أقواهما الْحَمْلُ وَالِاسْتِبْرَاءُ فِيهِ أَقْوَى مِنَ التَّعَبُّدِ. وَالثَّانِي: وَهُوَ أَوْسَطُهَا: الْأَقْرَاءُ وَيُسْتَوْفَى فِيهِ التَّعَبُّدُ وَالِاسْتِبْرَاءُ.

Pertama, dan ini yang paling kuat: kehamilan, di mana istibra’ di dalamnya lebih kuat daripada penghambaan (‘ibadah). Kedua, yang pertengahan: quru’, di mana penghambaan dan istibra’ sama-sama terpenuhi.

والثالث: وهو اضعفهما الشُّهُورُ فَإِنْ كَانَتْ بِمَدْخُولٍ بِهَا مِمَّنْ يَجُوزُ حَبَلُهَا كَانَتْ تَعَبُّدًا وَاسْتِبْرَاءً وَإِنْ كَانَتْ فِي غَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا مِنْ وَفَاةٍ كَانَتْ تَعَبُّدًا محضاً.

Ketiga, yang paling lemah: bulan-bulan. Jika terjadi pada perempuan yang telah digauli dan masih mungkin hamil, maka itu adalah bentuk penghambaan dan istibra’. Namun jika terjadi pada perempuan yang belum digauli karena wafat, maka itu murni sebagai bentuk penghambaan (‘ibadah).

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء} قَالَ وَالْأَقْرَاءُ عِنْدَهُ الْأَطْهَارُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِدَلَالَتَيْنِ أَُولَاهُمَا: الْكِتَابُ الَّذِي دَلَّتْ عَلَيْهِ السُّنَّةُ وَالْأُخْرَى اللسان (قال) قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لعدتهن} وقال عليه الصلاة والسلام في غير حديث لما طلق ابن عمر امرأته وهي حائض ” يرتجعها فإذا طهرت فليطق أو ليمسك ” وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إذا طلقتم النساء فطلقوهن لقبل عدتهن أو في قبل عدتهن ” الشافعي شك فأخبر – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن الله تعالى أن العدة الأطهار دون الحيض وقرأ ” فطلقوهن لقبل عدتهن ” وهو أن يطلقها طاهراً لأنها حينئذ تستقبل عدتها، ولو طلقت حائضاً لم تكن مستقبلة عدتها إلا من بعد الحيض والقرء اسم وضع لمعنى فلما كان الحيض دماً يرخيه الرحم فيخرج والطهر دماً يحتبس فلا يخرج كان معروفاً من لسان العرب أن القرء الحبس تقول العرب هو يقري الماء في حوضه وفي سقائه وتقول هو يقري الطعام في شدقه وقالت عائشة رضي الله عنها ” هل تدرون ما الأقراء الأقراء الأطهار ” وقالت ” إذا طعنت المطلقة في الدم من الحيضة الثالثة فقد برئت منه والنساء بهذا أعلم ” وقال زيد بن ثابت وابن عمر إذا دخلت في الدم من الحيضة الثالثة فقد برئت منه وبرئ منها ولا ترثه ولا يرثها (قال الشافعي) والاقراء والأطهار والله أعلم ولا يمكن أن يطلقها طاهراً إلا وقد مضى بعض الطهر وقال الله تعالى {الحج أشهر معلومات) وكان شوال وذو القعدة كاملين وبعض ذي الحجة كذلك الأقراء طهران كاملان وبعض طهر.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: Allah Ta‘ala berfirman: {Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga quru’}. Ia berkata: Quru’ menurut beliau adalah masa suci, wallahu a‘lam, berdasarkan dua dalil: pertama, al-Kitab yang ditunjukkan oleh as-Sunnah, dan kedua, bahasa. (Ia berkata:) Allah Ta‘ala berfirman: {Apabila kalian menceraikan perempuan, maka ceraikanlah mereka pada waktu ‘iddah mereka}. Dan Nabi ﷺ bersabda dalam beberapa hadis, ketika Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya saat haid: “Rujuklah dia, lalu jika ia telah suci, maka ceraikanlah atau pertahankanlah.” Dan beliau ﷺ bersabda: “Jika kalian menceraikan perempuan, maka ceraikanlah mereka pada awal ‘iddah mereka atau pada awal ‘iddah mereka.” Asy-Syafi‘i ragu, lalu Nabi ﷺ mengabarkan dari Allah Ta‘ala bahwa ‘iddah adalah masa suci, bukan masa haid. Dan beliau membaca: “Maka ceraikanlah mereka pada awal ‘iddah mereka,” yaitu menceraikan saat suci, karena saat itu ia memulai ‘iddahnya. Jika dicerai saat haid, maka ia tidak memulai ‘iddahnya kecuali setelah haid selesai. Quru’ adalah nama yang digunakan untuk makna tertentu. Karena haid adalah darah yang dikeluarkan rahim, sedangkan suci adalah darah yang tertahan sehingga tidak keluar, maka dalam bahasa Arab diketahui bahwa quru’ adalah penahanan. Orang Arab berkata: “Ia menahan air di kolamnya dan di wadahnya,” dan mereka berkata: “Ia menahan makanan di mulutnya.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Tahukah kalian apa itu quru’? Quru’ adalah masa suci.” Ia juga berkata: “Jika perempuan yang ditalak telah mengalami darah haid ketiga, maka ia telah bebas darinya, dan para perempuan lebih mengetahui hal ini.” Zaid bin Tsabit dan Ibnu ‘Umar berkata: “Jika ia telah mengalami darah haid ketiga, maka ia telah bebas darinya dan ia tidak lagi mewarisi dan tidak diwarisi.” (Asy-Syafi‘i berkata:) Quru’ adalah masa suci, wallahu a‘lam. Tidak mungkin menceraikan perempuan saat suci kecuali sebagian masa suci telah berlalu. Allah Ta‘ala berfirman: {Haji itu (dilaksanakan) pada bulan-bulan yang telah diketahui}, yaitu Syawwal dan Dzulqa‘dah secara penuh, dan sebagian Dzulhijjah. Demikian pula quru’: dua masa suci penuh dan sebagian masa suci.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ أَهْلُ اللُّغَةِ فِيمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الْقُرْءِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقَاوِيلَ:

Al-Mawardi berkata: Para ahli bahasa berbeda pendapat tentang makna kata quru’ menjadi empat pendapat:

أَحَدُهَا: يَنْطَلِقُ عَلَى الْحَيْضِ حَقِيقَةً، وَيُسْتَعْمَلُ فِي الطُّهْرِ مَجَازًا؛ لِأَنَّهُ لَا تُسَمَّى الْمَرْأَةُ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ إِلَّا إِذَا حَاضَتْ وَاسْتِشْهَادًا بِقَوْلِ الرَّاجِزِ:

Pertama: quru’ secara hakiki bermakna haid, dan digunakan secara majazi untuk masa suci; karena seorang perempuan tidak disebut sebagai perempuan yang memiliki quru’ kecuali jika ia telah mengalami haid, sebagaimana dalam syair rajaz:

(يَا رُبَّ ذِي ضِغْنٍ عَلَيَّ فَارِضِ … لَهُ قُرُوءٌ كَقُرُوءِ الْحَائِضِ)

(Wahai orang yang memiliki dendam padaku, relakanlah … Ia memiliki quru’ seperti quru’-nya perempuan haid)

يَعْنِي أَنَّ نُفُوذَ حِقْدِهِ كَنُفُوذِ دَمِ الْحَيْضِ.

Artinya, menembusnya kebencian itu seperti menembusnya darah haid.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ اسْمٌ يَنْطَلِقُ عَلَى الطُّهْرِ حَقِيقَةً، وَيُسْتَعْمَلُ فِي الْحَيْضِ مَجَازًا لِمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ أَنَّ الْقُرْءَ الْجَشْمُ وَاسْتِشْهَادًا بِقَوْلِ الشَّاعِرِ:

Pendapat kedua: bahwa itu adalah nama yang secara hakiki digunakan untuk suci, dan digunakan untuk haid secara majazi, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i bahwa al-qur’ adalah al-jashm, dan sebagai penguat dengan syair:

(أَفِي كُلِّ عَامٍ أَنْتَ جَاشِمُ غَزْوَةٍ … تَشُدُّ لِأَقْصَاهَا غَرِيمَ عَزَائِكَا)

(Setiap tahun engkau adalah penakluk suatu peperangan… engkau mengikat lawan kesedihanmu hingga ke ujungnya)

(مُوَرَّثَةٍ مَالَا وَفِي الْحَيِّ رَفْعَةٌ … لِمَا ضَاعَ فِيهَا مِنْ قُرُوءِ نِسَائِكَا)

(Warisannya adalah harta, dan di dalam kabilah itu ada kemuliaan… karena hilangnya masa-masa suci para wanitamu di dalamnya)

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِهِمْ أَنَّهُ اسْمٌ مُشْتَرَكٌ يَنْطَلِقُ عَلَى الطُّهْرِ حَقِيقَةً وَعَلَى الْحَيْضِ حَقِيقَةً كَالْأَسْمَاءِ الْمُشْتَرَكَةِ الَّتِي تَقَعُ عَلَى مُتَضَادَّيْنِ مُتَعَاقِبَيْنِ كَالصَّرِيمِ: اسْمُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالنَّاهِلِ: اسْمٌ لِلْعَطْشَانِ وَالرَّيَّانِ، وَالْمَسْحُورِ: اسْمٌ لِلْفَارِغِ وَالْمَلْآنِ، وَالْحُورِ اسْمٌ لِجَمِيعِ الْأَلْوَانِ، وَالشَّفَقِ اسْمٌ لِلْحُمْرَةِ، وَالْبَيَاضِ، وَالدُّلُوكِ: اسْمٌ لِلزَّوَالِ والغروب.

Pendapat ketiga: dan ini adalah pendapat mayoritas, bahwa itu adalah nama musytarak (homonim) yang secara hakiki digunakan untuk suci dan secara hakiki juga digunakan untuk haid, seperti nama-nama musytarak yang digunakan untuk dua hal yang berlawanan dan silih berganti, seperti “ash-sharīm”: nama untuk malam dan siang, “an-nāhil”: nama untuk yang haus dan yang kenyang, “al-mashūr”: nama untuk yang kosong dan yang penuh, “al-hūr”: nama untuk semua warna, “asy-syafaq”: nama untuk merah dan putih, dan “ad-dulūk”: nama untuk tergelincir dan terbenam (matahari).

والقول الرابع: إن اسْمٌ يَنْطَلِقُ عَلَى الِانْتِقَالِ مِنْ مُعْتَادٍ إِلَى مُعْتَادٍ فَيَتَنَاوَلُ الِانْتِقَالَ مِنَ الْحَيْضِ إِلَى الطُّهْرِ، وَالِانْتِقَالَ مِنَ الطُّهْرِ إِلَى الْحَيْضِ، كَمَا يُقَالُ: أَقْرَأَ النَّجْمُ إِذَا طَلَعَ وَأَقْرَأَ إِذَا غَابَ قَالَ الشَّاعِرُ:

Pendapat keempat: bahwa itu adalah nama yang digunakan untuk perpindahan dari satu keadaan kebiasaan ke keadaan kebiasaan lain, sehingga mencakup perpindahan dari haid ke suci, dan perpindahan dari suci ke haid, sebagaimana dikatakan: “aqra’a an-najmu” (bintang itu terbit) dan “aqra’a” (bintang itu tenggelam). Seorang penyair berkata:

(إِذَا مَا الثُّرَيَّا وَقَدْ أَقْرَأَتْ … أَحَسَّ السِّمَا كَانَ مِنْهَا أُفُولَا)

(Jika bintang Tsurayya telah terbit… langit pun merasakan bahwa darinya akan terjadi tenggelam)

وَيُقَالُ قَرَأَتْ إِذَا انْتَقَلَتْ مِنْ شَمَالٍ إِلَى جَنُوبٍ أَوْ مِنْ جَنُوبٍ إِلَى شَمَالٍ، قَالَ الشَّاعِرُ:

Dan dikatakan “qara’at” jika berpindah dari utara ke selatan atau dari selatan ke utara. Seorang penyair berkata:

(كَرِهْتُ الْعَقْرَ عَقْرَ بَنِي شَلِيلِ … إِذَا هَبَّتْ لِقَارِئِهَا الرِّيَاحُ)

(Aku membenci penebangan pohon Bani Shalil… jika angin bertiup untuk pembacanya)

وَأَمَّا الْفُقَهَاءُ فَقَدِ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ أَقْرَاءَ الْعِدَّةِ أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ مِنَ الْحَيْضِ أَوِ الطُّهْرِ وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي مُرَادِ اللَّهِ تَعَالَى مِنْهَا، فَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: الْمُرَادُ بِالْأَقْرَاءِ الْحَيْضُ دُونَ الطُّهْرِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُمَرُ وَعَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَحَكَاهُ الشَّعْبِيُّ عَنْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَمِنَ التَّابِعَيْنِ: الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَالشَّعْبِيُّ.

Adapun para fuqaha, mereka sepakat bahwa “aqra’” dalam masa iddah adalah salah satu dari dua keadaan, yaitu haid atau suci. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai maksud Allah Ta‘ala dari kata tersebut. Abu Hanifah berkata: yang dimaksud dengan “aqra’” adalah haid, bukan suci. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: Umar, Ali, Ibnu Mas‘ud, dan Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhum, dan diriwayatkan oleh asy-Sya‘bi dari tiga belas sahabat. Dari kalangan tabi‘in: al-Hasan al-Bashri dan asy-Sya‘bi.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: الْأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَأَهْلُ الْعِرَاقَيْنِ الْبَصْرَةِ وَالْكُوفَةِ.

Dan dari kalangan fuqaha: al-Awza‘i, ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, dan para ulama dari dua Irak, yaitu Bashrah dan Kufah.

وَقَالَ الشَّعْبِيُّ: الْأَقْرَاءُ الْأَطْهَارُ: وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَابْنُ عُمَرَ، وَعَائِشَةُ وَالْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ؛ الزَّهْرِيُّ وَابْنُ أَبِي ذُؤَيْبٍ، وَمَالِكٌ وَرَبِيعَةُ وَأَبُو ثَوْرٍ، وَحَكَى الزُّهْرِيُّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنُ عُمَرَ وَابْنُ حَزْمٍ: أَنَّهُ قَالَ: مَا أَجِدُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فِي الْأَقْرَاءِ خِلَافًا لِمَا قَالَتْهُ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا.

Asy-Sya‘bi berkata: “aqra’” adalah masa suci. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, Aisyah, dan al-Qasim bin Muhammad. Dari kalangan fuqaha: az-Zuhri, Ibnu Abi Dzu’aib, Malik, Rabi‘ah, dan Abu Tsaur. Az-Zuhri meriwayatkan dari Abu Bakar bin Umar dan Ibnu Hazm bahwa ia berkata: “Aku tidak mendapati seorang pun dari penduduk Madinah yang berbeda pendapat tentang ‘aqra’ selain apa yang dikatakan oleh Aisyah radhiyallahu ta‘ala ‘anha.”

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: أَنَا أَعْلَمُ فِيهَا بِقَوْلِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، ثُمَّ قَالَ: أَنَا لَا أُحْسِنُ أَنْ أُفْتِيَ فِيهَا بِشَيْءٍ فَتَوَقَّفَ.

Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku lebih mengetahui dalam masalah ini dengan pendapat Zaid bin Tsabit.” Kemudian ia berkata: “Aku tidak mampu memberikan fatwa dalam masalah ini, lalu ia pun berhenti (tidak berpendapat).”

وَتَأْثِيرُ هَذَا الِاخْتِلَافِ فِي حُكْمِ الْمُعْتَدَّةِ أَنَّ مَنْ جَعَلَ الْأَقْرَاءَ الْأَطْهَارَ قَالَ: إِنْ طُلِّقَتْ فِي طُهْرٍ كَانَ الْبَاقِي مِنْهُ، وَإِنْ قَلَّ قُرْءًا فَإِذَا حَاضَتْ وَطَهُرَتِ الطُّهْرَ الثَّانِيَ كَانَ قُرْءًا ثَانِيًا فَإِذَا حَاضَتْ وَطَهُرَتِ الطُّهْرَ الثَّالِثَ حَتَّى بَرَزَ دَمُ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ كَانَ قُرْءًا ثَالِثًا، وَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا.

Dampak dari perbedaan pendapat ini dalam hukum wanita yang menjalani iddah adalah: barang siapa yang menganggap “aqra’” adalah masa suci, ia berkata: jika seorang wanita ditalak dalam keadaan suci, maka sisa masa suci itu dihitung, meskipun sedikit, sebagai satu qur’. Jika ia haid lalu suci lagi, maka masa suci kedua itu menjadi qur’ kedua. Jika ia haid lalu suci lagi untuk ketiga kalinya hingga keluar darah haid ketiga, maka itu menjadi qur’ ketiga, dan iddahnya telah selesai.

وَإِنْ طُلِّقَتْ فِي الْحَيْضِ فَإِذَا بَرَزَ دَمُ الْحَيْضَةِ الرَّابِعَةِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا.

Dan jika ia ditalak dalam keadaan haid, maka ketika keluar darah haid keempat, iddahnya telah selesai.

وَمَنْ قَالَ الْأَقْرَاءُ الْحَيْضُ قَالَ إِنْ طُلِّقَتْ فِي طُهْرٍ أَوْ حَيْضٍ لَمْ تُعَدَّ بِمَا طُلِّقَتْ فِيهِ مِنَ الطُّهْرِ وَالْحَيْضِ وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِدُخُولِهَا فِي الطُّهْرِ الرَّابِعِ، وَاسْتَدَلَّ مَنْ جَعَلَ الْأَقْرَاءَ الْحَيْضَ بِقَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] فَاقْتَضَتِ الْآيَةُ اسْتِيفَاءَ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، وَمَنْ جَعَلَهَا الْأَطْهَارَ، لَمْ يَسْتَوْفِهَا إِذَا طُلِّقَتْ فِي طُهْرٍ وَجَعَلَ عِدَّتَهَا مُنْقَضِيَةً بِقُرْأَيْنِ وَبَعْضِ ثَالِثٍ، وَمَنْ جَعَلَ الْحَيْضَ اسْتَوْفَاهَا كَامِلَةً فَصَارَ بِالْأَطْهَارِ أَخَصَّ لِأَنَّهُ لَمَّا تَنْقَضِ الْأَقْرَاءُ الثَّلَاثَةُ كَمَا لَمْ تَنْقَضِ الشُّهُورُ الثَّلَاثَةُ.

Dan barang siapa yang berpendapat bahwa al-aqrā’ adalah haid, ia mengatakan: Jika seorang wanita ditalak dalam keadaan suci atau haid, maka masa yang ia ditalak di dalamnya, baik suci maupun haid, tidak dihitung dalam masa iddahnya, dan iddahnya berakhir dengan masuknya ia ke masa suci yang keempat. Orang yang menjadikan al-aqrā’ sebagai haid berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga quru’} [al-Baqarah: 228], maka ayat ini menuntut penyempurnaan tiga aqra’. Sementara orang yang memaknainya sebagai masa suci, tidak menyempurnakannya jika ditalak dalam keadaan suci, dan menjadikan iddahnya berakhir dengan dua quru’ dan sebagian dari yang ketiga. Sedangkan yang memaknainya sebagai haid, menyempurnakannya secara penuh. Maka, dengan makna masa suci menjadi lebih khusus, karena tiga aqra’ belum selesai sebagaimana tiga bulan juga belum selesai.

ثُمَّ قَالَ عُقَيْبَهُ: {وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ} [البقرة: 228] يَعْنِي مَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ مِنْ حَمْلٍ وَحَيْضٍ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْأَقْرَاءَ الْمُعْتَدَّ بِهَا هِيَ الْحَيْضُ وقَوْله تَعَالَى: {فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق: 1] وَلَمْ يَقُلْ فِي عِدَّتِهِنَّ، وَالطَّلَاقُ لَهَا غَيْرُ الطَّلَاقِ فِيهَا، وَمَنْ جَعَلَ الْأَقْرَاءَ الْأَطْهَارَ قَدْ جَعَلَ الطَّلَاقَ فِي الْعِدَّةِ إِذَا طُلِّقَتْ فِي طُهْرٍ، وَمَنْ جَعَلَهَا الْحَيْضَ اسْتَقْبَلَ بِهَا الْعِدَّةَ فَكَانَ بِالظَّاهِرِ أَحَقَّ، وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ} [الطلاق: 4] فَنَقَلَهَا عَمَّا يَئِسَتْ مِنْهُ إِلَى بَدَلِهِ، وَالْبَدَلُ غَيْرُ الْمُبْدَلِ فَلَمَّا كَانَ الْإِيَاسُ مِنَ الْحَيْضِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْأَقْرَاءَ هِيَ الْحِيَضُ، وَاسْتَدَلُّوا مِنَ السُّنَّةِ بِرِوَايَةِ مُظَاهِرِ بْنِ أَسْلَمَ عن الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” طَلَاقُ الْأَمَةِ طَلْقَتَانِ وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ ” وَهَذَا نَصٌّ فِي الِاعْتِدَادِ بِالْحَيْضِ دُونَ الطُّهْرِ، وَلِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ: ” اقْعُدِي عَنِ الصَّلَاةِ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ ” يَعْنِي: أَيَّامَ حَيْضَتِكِ فَكَانَ ذَلِكَ أَيْضًا قَضَاءً عَلَى الْحَيْضِ فِي الْأَقْرَاءِ، وَاسْتَدَلُّوا مِنَ الِاعْتِبَارِ بِأَنَّ الْإِجْمَاعَ مُنْعَقِدٌ عَلَى أَنَّ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ يَكُونُ بِالْحَيْضِ؛ لِأَنَّ مَنْ يَجْعَلُهَا الْأَطْهَارَ جَعَلَ عِدَّتَهَا مُتَقَضِّيَةً بِدُخُولِهَا فِي الْحَيْضِ، وَمَنْ جَعَلَهَا الْحَيْضَ جَعَلَ عِدَّتَهَا مُتَقَضِّيَةً بِخُرُوجِهَا مِنَ الْحَيْضِ، فَقَاسُوا الطَّرَفَ الْأَوَّلَ عَلَى الطَّرَفِ الثَّانِي فَقَالُوا: أَحَدُ طَرَفَيِ الْعِدَّةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَيْضُهَا الثَّانِي.

Kemudian setelah itu Allah berfirman: {Dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka} [al-Baqarah: 228], maksudnya adalah apa yang menyebabkan iddah berakhir, baik berupa kehamilan maupun haid. Maka ini menunjukkan bahwa al-aqrā’ yang dijadikan patokan dalam iddah adalah haid. Dan firman-Nya Ta‘ala: {Maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya} [ath-Thalaq: 1], dan tidak dikatakan “dalam iddah mereka”, dan talak untuknya berbeda dengan talak di dalamnya. Barang siapa yang menjadikan al-aqrā’ sebagai masa suci, maka ia menjadikan talak dalam iddah jika ditalak dalam keadaan suci. Sedangkan yang memaknainya sebagai haid, maka ia memulai iddah dengan haid, sehingga makna lahiriah lebih kuat. Dan firman-Nya Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang telah putus haid dari kalangan istri-istrimu, jika kamu ragu, maka iddah mereka adalah tiga bulan} [ath-Thalaq: 4], maka Allah memindahkan dari apa yang telah terputus (haid) kepada penggantinya, dan pengganti tidak sama dengan yang digantikan. Maka ketika yang dimaksud adalah putus dari haid, ini menunjukkan bahwa al-aqrā’ adalah haid. Mereka juga berdalil dari sunnah dengan riwayat Muzāhir bin Aslam dari al-Qāsim bin Muhammad dari ‘Aisyah ra. bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Talak bagi budak perempuan adalah dua kali dan iddahnya dua kali haid.” Ini adalah nash tentang iddah dengan haid, bukan dengan masa suci. Dan juga berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda kepada Fathimah binti Abi Hubaisy: “Tinggalkanlah shalat pada hari-hari aqra’mu,” maksudnya: hari-hari haidmu. Maka ini juga merupakan penetapan bahwa yang dimaksud aqra’ adalah haid. Mereka juga berdalil secara pertimbangan (‘itibar) bahwa ijmā‘ telah sepakat bahwa berakhirnya iddah adalah dengan haid; karena orang yang memaknainya sebagai masa suci menjadikan iddahnya berakhir dengan masuknya ke masa haid, sedangkan yang memaknainya sebagai haid menjadikan iddahnya berakhir dengan keluarnya dari haid. Maka mereka melakukan qiyās antara satu sisi iddah dengan sisi yang lain, lalu mereka berkata: Salah satu ujung iddah, maka wajib bahwa haid yang kedua menjadi patokan.

قَالُوا: وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ إِذَا انْقَضَتْ بِخُرُوجِ كَامِلِ وَقْتِ انْقِضَائِهَا عَلَى انْفِصَالِ جَمِيعِهَا كَالْحَمْلِ لَا يَنْقَضِي بِخُرُوجِ بعضه كذلك بالحيض الأخير لا ينقضي الْعِدَّةُ بِخُرُوجِ بَعْضِهِ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ.

Mereka berkata: Karena iddah, jika berakhir dengan keluarnya seluruh waktu berakhirnya secara sempurna, seperti halnya kehamilan tidak berakhir dengan keluarnya sebagian janin, demikian pula dengan haid terakhir, iddah tidak berakhir dengan keluarnya sebagian haid sampai sempurna.

قَالُوا: وَلِأَنَّ مَقْصُودَ الْعِدَّةِ يُرَادُ بَرَاءَةُ الرَّحِمِ عَنِ الْحَمْلِ، وَذَلِكَ يَكُونُ بِالْحَيْضِ دُونَ الطُّهْرِ فَكَانَ اعْتِبَارُ الْأَقْرَاءِ بِمَا يُرَى أَوْلَى مِنَ اعْتِبَارِهَا بِمَا لَا يُرَى وَلِأَنَّ مَوْضُوعَ الْعِدَّةِ الِاسْتِبْرَاءُ فِي الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ اسْتِبْرَاءَ الْأَمَةِ بِالْحَيْضِ دُونَ الطُّهْرِ، فَكَذَلِكَ الْحُرَّةُ؛ لِأَنَّ الِاعْتِدَادَ بِالْأَقْرَاءِ عِنْدَ فَقْدِ الْحَمْلِ فَكَانَتْ بَدَلًا مِنْهُ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الِاعْتِدَادَ لِلْحَامِلِ بِخُرُوجِ مَا فِي الْبَطْنِ فَاعْتِدَادُ ذَاتِ الْأَقْرَاءِ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ بِخُرُوجِ مَا فِي الْبَطْنِ وَهُوَ الْحَيْضُ دُونَ الطُّهْرِ.

Mereka berkata: Karena maksud dari iddah adalah untuk memastikan rahim bersih dari kehamilan, dan hal itu dapat diketahui dengan haid, bukan dengan masa suci. Maka mempertimbangkan al-aqrā’ dengan sesuatu yang dapat dilihat lebih utama daripada mempertimbangkannya dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat. Dan karena tujuan iddah adalah istibra’ (memastikan rahim bersih) baik pada wanita merdeka maupun budak, dan telah tetap bahwa istibra’ budak adalah dengan haid, bukan dengan masa suci, maka demikian pula wanita merdeka; karena iddah dengan al-aqrā’ berlaku ketika tidak ada kehamilan, maka ia menjadi pengganti dari kehamilan. Kemudian telah tetap bahwa iddah bagi wanita hamil adalah dengan keluarnya apa yang ada di dalam perut, maka iddah bagi wanita yang mengalami al-aqrā’ haruslah dengan keluarnya apa yang ada di dalam perut, yaitu haid, bukan masa suci.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَدَلِيلُنَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالِاعْتِبَارُ.

Dalil kami adalah al-Kitab, as-Sunnah, dan al-i‘tibār (analogi/pertimbangan rasional).

فَأَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] وَمِنْهُ دَلِيلَانِ.

Adapun dalil dari al-Kitab adalah firman Allah Ta‘ala: {Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri mereka (menunggu) selama tiga quru’} [al-Baqarah: 228], dan dari ayat ini terdapat dua dalil.

أَحَدُهُمَا: مَا أَوْجَبَهُ مِنَ التَّرَبُّصِ بِالْأَقْرَاءِ عَقِيبَ الطَّلَاقِ الْمُبَاحِ، وَهُوَ الطَّلَاقُ فِي الطُّهْرِ فَاقْتَضَى أَنْ تَصِيرَ مُعْتَدَّةً بِالطُّهْرِ لِيَتَّصِلَ اعْتِدَادُهَا بِمُبَاحِ طَلَاقِهَا وَمَنِ اعْتَدَّ بِالْحَيْضِ لَمْ يَصِلِ الْعِدَّةَ بِالطَّلَاقِ سَوَاءً كَانَ مُبَاحًا فِي طُهْرٍ أَوْ مَحْظُورًا فِي حَيْضٍ فَكَانَ قَوْلُنَا بِالظَّاهِرِ أَحَقَّ.

Pertama: Kewajiban menunggu dengan tiga quru’ setelah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dilakukan pada masa suci, menuntut agar masa iddahnya dihitung dengan masa suci, sehingga masa iddahnya tersambung dengan talak yang dibolehkan. Adapun yang menghitung dengan masa haid, maka ia tidak menyambungkan masa iddah dengan talak, baik talak itu dilakukan pada masa suci yang dibolehkan maupun pada masa haid yang terlarang. Maka pendapat kami yang berpegang pada makna zahir lebih kuat.

وَالثَّانِي: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {ثَلاثَةَ قروء} فَأَثْبَتَ التَّاءَ فِي الْعَدَدِ وَإِثْبَاتُهَا يَكُونُ فِي مَعْدُودٍ مُذَكَّرٍ، فَإِنْ أُرِيدَ مُؤَنَّثًا حُذِفَتْ كَمَا يُقَالُ: ثَلَاثَةُ رِجَالٍ، وَثَلَاثُ نِسْوَةٍ وَالطُّهْرُ مُذَكَّرٌ وَالْحَيْضُ مُؤَنَّثٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ جَمْعُ الْمُذَكَّرِ مُتَنَاوِلًا لِلطُّهْرِ الْمُذَكَّرِ دُونَ الْحَيْضِ الْمُؤَنَّثِ.

Kedua: Allah Ta‘ala berfirman: {tiga quru’}, di mana huruf ta’ pada kata bilangan tetap ada, dan keberadaan ta’ pada bilangan digunakan untuk benda yang berjenis laki-laki (mudzakkar). Jika yang dimaksud adalah benda berjenis perempuan (muannats), maka ta’ dihilangkan, sebagaimana dikatakan: “tiga laki-laki” (tsalātsatu rijāl), dan “tiga perempuan” (tsalāthu niswa). Suci (ṭuhr) adalah mudzakkar, sedangkan haid adalah muannats, maka seharusnya jamak mudzakkar (quru’) itu mencakup ṭuhr (suci) yang mudzakkar, bukan haid yang muannats.

وَقَالَ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق: 1] وَمِنْهُ دَلِيلَانِ.

Allah Ta‘ala juga berfirman: {Wahai Nabi, apabila kalian menceraikan perempuan-perempuan, maka ceraikanlah mereka pada waktu iddah mereka} [ath-Thalaq: 1], dan dari ayat ini juga terdapat dua dalil.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ قوله {لعدتهن) أَيْ لِوَقْتِ عِدَّتِهِنَّ ثُمَّ كَانَ هَذَا الطَّلَاقُ مَأْمُورًا بِهِ فِي الطُّهْرِ فَوَجَبَ أَنْ يُكُونَ الطُّهْرُ هُوَ الْعِدَّةَ دُونَ الْحَيْضِ.

Pertama: Firman-Nya {pada waktu iddah mereka} maksudnya adalah pada waktu masuknya masa iddah mereka. Kemudian talak yang diperintahkan ini dilakukan pada masa suci, maka wajiblah bahwa masa suci itulah yang menjadi masa iddah, bukan masa haid.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا جَعَلَ الطُّهْرَ عِدَّةَ الطَّلَاقِ دُونَ الِاحْتِسَابِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ.

Jika dikatakan: Sesungguhnya Allah menjadikan masa suci sebagai masa iddah talak, bukan masa perhitungan iddah, maka ada dua jawaban atas hal ini.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ دُخُولَ لَامِ الْإِضَافَةِ يَقْتَضِي أَنْ تَكُونَ الْعِدَّةُ لَهَا لَا عَلَيْهَا، وَعِدَّةُ الِاحْتِسَابِ الَّذِي هُوَ لَهَا أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ الَّذِي هُوَ عَلَيْهَا مَعَ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ} [الطلاق: 1] وَالْإِحْصَاءُ لِعِدَّةِ الِاحْتِسَابِ دُونَ الطَّلَاقِ وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْأَمْرَيْنِ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ وَالِاحْتِسَابِ مَعًا فَيَكُونُ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى أَحَدِهِمْ.

Pertama: Masuknya huruf lām pada kata iddah menunjukkan bahwa iddah itu untuk mereka, bukan atas mereka. Maka iddah perhitungan yang memang untuk mereka lebih utama daripada membawanya pada iddah talak yang merupakan beban atas mereka, apalagi dengan firman-Nya ‘Azza wa Jalla: {Dan hitunglah masa iddah} [ath-Thalaq: 1], dan perintah menghitung itu untuk iddah perhitungan, bukan untuk talak. Kedua: Ayat tersebut mencakup kedua makna, yaitu iddah talak dan iddah perhitungan sekaligus, sehingga lebih utama daripada membawanya pada salah satunya saja.

وَالدَّلِيلُ الثَّانِي: مِنَ الْآيَةِ أَنَّ قَوْله تَعَالَى: {لعدتهن} يَقْتَضِي اسْتِقْبَالَ الْعِدَّةِ وَاتِّصَالَهَا بِالطَّلَاقِ لِأَمْرَيْنِ.

Dalil kedua dari ayat tersebut adalah bahwa firman Allah Ta‘ala: {pada waktu iddah mereka} menuntut agar masa iddah itu dimulai dan tersambung dengan talak karena dua hal.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَرَأَ فَطَلَّقُوهُنَّ لِقُبُلِ عِدَّتِهِنَّ وَقُبُلُ الشَّيْءِ مَا اتَّصَلَ بِأَوَّلِهِ فَكَانَ الْقُبُلُ وَالِاسْتِقْبَالُ سَوَاءً.

Pertama: Nabi ﷺ membaca ayat tersebut dengan: “maka ceraikanlah mereka pada awal masa iddah mereka”, dan awal sesuatu adalah yang tersambung dengan permulaannya, sehingga awal dan permulaan itu sama.

وَالثَّانِي: أَنَّ دُخُولَ اللَّامِ عَلَى الشَّرْطِ يَقْتَضِي اتِّصَالَهُ بِالْمَشْرُوطِ كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ أَطْعِمْ زَيْدًا لِيَشْبَعَ وَأَعْطِ زَيْدًا لِيَعْمَلَ، يَقْتَضِي التَّعْقِيبَ دُونَ التَّأْخِيرِ.

Kedua: Masuknya huruf lām pada syarat menuntut adanya keterkaitan antara syarat dan yang disyaratkan, sebagaimana dikatakan: “Berilah makan Zaid agar ia kenyang” dan “Berilah Zaid agar ia bekerja”, yang menuntut adanya keterkaitan langsung, bukan penundaan.

وَمَنْ جَعَلَ الْأَقْرَاءَ الْأَطْهَارَ اعْتَدَّ بِبَقِيَّةِ الطُّهْرِ الَّذِي وَقَعَ فِيهِ هَذَا الطَّلَاقُ الْمَأْمُورُ بِهِ فَوَصَلَ بِهِ الْعِدَّةَ.

Barang siapa yang menjadikan quru’ itu sebagai masa suci (ṭuhr), maka ia menghitung sisa masa suci di mana talak yang diperintahkan itu terjadi, sehingga masa iddahnya tersambung dengannya.

وَمَنْ جَعَلَهَا الْحَيْضَ لَمْ يَعْتَدَّ بِبَقِيَّتِهِ فَفَصَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْعِدَّةِ.

Sedangkan barang siapa yang menjadikannya sebagai haid, maka ia tidak menghitung sisa masa suci tersebut, sehingga terpisahlah antara talak dan masa iddah.

فَإِنْ قِيلَ: فَنَحْنُ يُمْكِنُنَا أَنْ نَصِلَ الْعِدَّةَ بِهَذَا الطَّلَاقِ إِذَا كَانَ فِي آخِرِ الطُّهْرِ لِاتِّصَالِ الْحَيْضِ بِهِ وَهُوَ مُعْتَدٌّ بِهِ عِنْدَنَا وَغَيْرُ مُعْتَدٍّ بِهِ عِنْدَكُمْ فَسَاوَيْنَاكُمْ فِي هَذَا الظَّاهِرِ حَيْثُ وَصَلْنَا بَيْنَهُمَا فِي هَذَا الْوَضْعِ دُونَكُمْ وَوَصَلْتُمْ بَيْنَهُمَا فِي ذَلِكَ الْمَوْضِعِ دُونَنَا.

Jika dikatakan: Kami juga bisa menyambungkan masa iddah dengan talak ini apabila talak itu terjadi di akhir masa suci, karena haid langsung menyambung setelahnya, dan itu dihitung menurut kami, sedangkan menurut kalian tidak dihitung. Maka kami sama dengan kalian dalam hal ini, yaitu sama-sama menyambung antara keduanya dalam kondisi ini, sedangkan kalian menyambungnya dalam kondisi itu, bukan kami.

قِيلَ: قَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الِاعْتِدَادِ بِزَمَانِ الطَّلَاقِ إِذَا كَانَ آخِرَ أَجْزَاءِ الطهر على وجهين حكاهما ابن سري.

Dijawab: Para ulama kami berbeda pendapat tentang menghitung waktu talak apabila terjadi pada akhir bagian masa suci, dan ada dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibn Suraij.

أَحَدُهُمَا: يُعْتَدُّ بِهِ قُرْءًا، وَيَكُونُ الْعِدَّةَ وَالطَّلَاقَ مَعًا كَمَا لَوْ قَالَ: أَعْتِقْ عَبْدَكَ عَنِّي بِأَلْفٍ فَأَعْتَقَهُ، كَانَ وَقْتُ عِتْقِهِ وَقْتًا لِلتَّمْلِيكِ وَالْعِتْقِ جَمِيعًا، فَعَلَى هَذَا لَمْ يَسْلَمْ لَهُمُ التَّسَاوِي فِي الظَّاهِرِ، لِأَنَّنَا نُسَاوِيهِمْ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي اسْتَعْمَلْنَاهُ.

Pertama: Dihitung sebagai satu quru’, dan masa iddah serta talak terjadi bersamaan, sebagaimana jika dikatakan: “Bebaskanlah budakmu dariku dengan seribu (dirham),” lalu ia membebaskannya, maka waktu pembebasan itu adalah waktu terjadinya kepemilikan dan pembebasan sekaligus. Dengan demikian, mereka tidak dapat menyamakan dalam hal zahir, karena kami menyamakan mereka dalam kondisi yang kami gunakan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَحَكَاهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ نَصًّا فِي الْجَامِعِ الْكَبِيرِ أَنَّهُ لَا يَقَعُ الِاعْتِدَادُ بِزَمَانِ الطَّلَاقِ حَتَّى يَتَعَقَّبَهُ زَمَانُ الْعِدَّةِ لتمييز فَتَكُونُ الْعِدَّةُ بَعْدَ الطَّلَاقِ وَلَوْ وَقَعَ الِاعْتِدَادُ بِزَمَانِ الطَّلَاقِ لَصَارَتِ الْعِدَّةُ مُتَقَدِّمَةً عَلَى الطَّلَاقِ، وَهَذَا مُسْتَحِيلٌ فَعَلَى هَذَا هُمْ يَسْتَعْمِلُونَ الظَّاهِرَ فِي نَادِرٍ غَيْرِ مُعْتَادٍ وَنَحْنُ نَسْتَعْمِلُهُ فِي غَالِبٍ مُعْتَادٍ، فَكَانَ حَمْلُ الظَّاهِرِ عَلَى اسْتِعْمَالٍ مُعْتَادٍ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى تَكَلُّفِ اسْتِعْمَالٍ نَادِرٍ.

Pendapat kedua: Dan ini dinukil dari asy-Syafi‘i secara tekstual dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr, bahwa masa iddah tidak dihitung dengan waktu talak sampai setelahnya diikuti oleh masa iddah, untuk membedakan. Maka iddah itu terjadi setelah talak. Jika masa iddah dihitung sejak waktu talak, maka iddah akan menjadi lebih dahulu daripada talak, dan ini adalah hal yang mustahil. Berdasarkan hal ini, mereka menggunakan makna lahiriah (zāhir) pada kasus yang langka dan tidak biasa, sedangkan kami menggunakannya pada kebanyakan kasus yang biasa terjadi. Maka, membawa makna lahiriah pada penggunaan yang biasa lebih utama daripada memaksakannya pada penggunaan yang langka.

وَأَمَّا السُّنَّةُ: فَمَا رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعُمَرَ ” مُرْهُ فَلَيُرَاجِعْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تطهر إِنْ شَاءَ طَلَّقَ وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَ ” فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يُطْلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ. فَجَعَلَ الطُّهْرَ زَمَانَ الْعِدَّةِ وَالطَّلَاقِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْأَقْرَاءَ الْأَطْهَارُ.

Adapun dalil dari sunnah: Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar menceraikan istrinya saat sedang haid, lalu Nabi ﷺ berkata kepada Umar, “Perintahkan dia agar merujuk istrinya sampai ia suci, kemudian haid lagi, lalu suci lagi. Jika ia mau, boleh menceraikannya, dan jika mau, boleh mempertahankannya.” Maka itulah iddah yang Allah Ta‘ala perintahkan agar wanita ditalak pada masa itu. Maka, Nabi menjadikan masa suci sebagai waktu iddah dan talak, sehingga menunjukkan bahwa “al-qurū’” adalah masa suci.

فَإِنْ قِيلَ فَقَوْلُهُ فَتِلْكَ إِشَارَةٌ مِنْهُ إِلَى مُؤَنَّثٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعُودَ إِلَى الطُّهْرِ؛ لِأَنَّهُ مُذَكَّرٌ وَعَادَ إِلَى الْحَيْضِ لِأَنَّهُ مُؤَنَّثٌ.

Jika dikatakan: Ucapan beliau “maka itulah” adalah isyarat kepada bentuk feminin, sehingga tidak boleh kembali kepada “suci” (ṭuhr), karena ia maskulin, dan kembali kepada “haid” karena ia feminin.

قِيلَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَوَجَّهَ الْإِشَارَةُ إِلَى الْحَيْضِ، لِأَنَّ زَمَانَ الطَّلَاقِ الْمَأْمُورَ بِهِ الطُّهْرُ دُونَ الْحَيْضِ وَتَكُونُ إِشَارَةُ التَّأْنِيثِ مَحْمُولَةً عَلَى الْعِدَّةِ أَوْ عَلَى حَالِ الطُّهْرِ وَالْحَالُ مُؤَنَّثَةٌ، وَأَمَّا الِاعْتِبَارُ فَقِيَاسٌ وَاسْتِدْلَالٌ وَاشْتِقَاقٌ.

Dijawab: Tidak boleh isyarat itu diarahkan kepada “haid”, karena waktu talak yang diperintahkan adalah masa suci, bukan masa haid. Isyarat feminin itu diarahkan kepada “iddah” atau kepada keadaan suci, dan “keadaan” (ḥāl) itu feminin. Adapun pertimbangan (al-i‘tibār) adalah berupa qiyās, istidlāl, dan isytiqāq.

فَأَمَّا الْقِيَاسُ فَقِيَاسَانِ.

Adapun qiyās, maka ada dua macam.

أَحَدُهُمَا: مَا أَثْبَتَ الطُّهْرَ.

Pertama: Qiyās yang menetapkan masa suci.

وَالثَّانِي: مَا نَفَى الْحَيْضَ. فَأَمَّا مَا أَثْبَتَ الطُّهْرَ فَقِيَاسَانِ.

Kedua: Qiyās yang menafikan haid. Adapun qiyās yang menetapkan masa suci, maka ada dua macam.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ وُجُوبَ الْعِدَّةِ إِذَا تَعَقَّبَهُ طُهْرٌ أَوْجَبَ الِاعْتِدَادَ بِذَلِكَ الطُّهْرِ كَالصَّغِيرَةِ وَالْمُؤَيَّسَةِ.

Pertama: Bahwa kewajiban iddah jika diikuti oleh masa suci, maka iddah dihitung dengan masa suci tersebut, seperti pada anak kecil dan wanita yang sudah menopause.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْعِدَّةَ إِذَا اشْتَمَلَتْ عَلَى خَارِجٍ مِنَ الرَّحِمِ كَانَ الِاعْتِدَادُ بِحَالِ كُمُونِهِ دُونَ ظُهُورِهِ كَالْحَمْلِ.

Kedua: Bahwa iddah jika mencakup sesuatu yang keluar dari rahim, maka perhitungannya dengan keadaan tersembunyinya, bukan dengan kemunculannya, seperti pada kehamilan.

وَأَمَّا مَا نَفَى الْحَيْضَ فَقِيَاسَانِ.

Adapun qiyās yang menafikan haid, maka ada dua macam.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ وُجُوبَ الْعِدَّةِ إِذَا تَعَقَّبَهُ حَيْضٌ لَمْ يَقَعِ الِاعْتِدَادُ بِهِ كَالْمُطَلَّقَةِ فِي الْحَيْضِ.

Pertama: Bahwa kewajiban iddah jika diikuti oleh haid, maka tidak dihitung dengan haid tersebut, seperti wanita yang ditalak saat haid.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ دَمٌ لَا يَقَعُ الِاعْتِدَادُ بِبَعْضِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعْتَدَّ بِجَمِيعِهِ كَدَمِ النِّفَاسِ وَأَمَّا الِاشْتِقَاقُ فَهُوَ أَنَّ الْقُرْءَ مِنْ قرأ يقرى أي جميع وَمِنْهُ قَوْلُهُمْ قَرَا الطَّعَامَ فِي فَمِهِ، وَقَرَا الْمَاءَ فِي جَوْفِهِ، وَلِذَلِكَ سُمِّيَ مَقْرَاةً لِاجْتِمَاعِ الْمَاءِ فِيهِ كَمَا قَالَ امْرُؤُ الْقَيْسِ:

Kedua: Bahwa darah (haid) adalah sesuatu yang tidak dihitung sebagian darinya, maka tidak boleh dihitung seluruhnya, seperti darah nifas. Adapun isytiqāq (etimologi), maka “al-qur’” berasal dari kata “qara’a-yaqra’u” yang berarti “mengumpulkan”. Di antaranya adalah ucapan mereka: “qara’a ath-tha‘ām fī famihi” (ia mengumpulkan makanan di mulutnya), “qara’a al-mā’a fī jawfihi” (ia mengumpulkan air di perutnya). Oleh karena itu, tempat penampungan air disebut “maqrāh” karena air berkumpul di dalamnya, sebagaimana dikatakan oleh Imru’ al-Qais:

(فَتُوضِحَ فَالْمَقْرَاةُ لَمْ يَعْفُ رَسْمُهَا … … … … … … … … … … … …)

(Fa-tūdiha fa-l-maqrātu lam ya‘fu rasmuhā … … … … … … … … … … … …)

وَمِنْ ذَلِكَ سُمِّيَتِ الْقَرْيَةُ قَرْيَةً لِاجْتِمَاعِ النَّاسِ فِيهَا، وَسُمِّيَ الْقُرْآنُ قُرْآنًا لِاجْتِمَاعِهِ قَالَ اللَّهُ: {فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ} [القيامة: 18] يَعْنِي إِذَا جَمَعْنَاهُ فَاتَّبِعِ اجْتِمَاعَهُ وقيل: ما قرأت الناقة ساقط أَيْ مَا ضَمَّتْ رَحِمًا عَلَى وَلَدٍ، قَالَ الشَّاعِرُ فِي صِفَةِ نَاقَةٍ لَهُ.

Dan dari itu pula, desa (al-qaryah) dinamakan demikian karena manusia berkumpul di dalamnya, dan al-Qur’ān dinamakan demikian karena ia merupakan kumpulan (ayat-ayat). Allah berfirman: {Fa idzā qara’nāhu fattabi‘ qur’ānahu} [al-Qiyāmah: 18], artinya: “Jika Kami telah mengumpulkannya, maka ikutilah kumpulannya.” Ada pula yang mengatakan: “mā qara’at an-nāqah sāqit” artinya unta itu tidak mengandung janin, yakni rahimnya tidak mengumpulkan anak. Seorang penyair berkata dalam menggambarkan untanya:

(تُرِيكَ إِذَا دَخَلْتَ عَلَى خَلَاءٍ … وَقَدْ أَمِنَتْ عُيُونُ الْكَاشِحِينَا)

(Turikā idzā dakhaltu ‘alā khalā’in … wa qad aminat ‘uyūnu al-kāshihīnā)

(ذِرَاعَيْ عَيْطَلٍ أَدْمَاءَ بِكْرٍ … هِجَانِ اللَّوْنِ لَمْ تَقْرَأْ جَنِينَا)

(Dzirā‘ay ‘ayṭalin admā’a bikrin … hijāni al-lawn lam taqra’ janīnā)

أَيْ لَمْ يَجْمَعْ بَطْنُهَا وَلَدًا وَإِذَا كَانَ الْقُرْءُ هُوَ الْجَمْعَ كَانَ بِالطُّهْرِ أَحَقَّ مِنَ الْحَيْضِ، لِأَنَّ الطُّهْرَ اجْتِمَاعُ الدَّمِ فِي الرَّحِمِ وَالْحَيْضَ خُرُوجُ الدَّمِ مِنَ الرَّحِمِ، وَمَا وَافَقَ الِاشْتِقَاقَ كَانَ أَوْلَى بِالْمُرَادِ مِمَّا خَالَفَهُ.

Artinya: Perutnya tidak mengandung anak. Jika “al-qur’” bermakna “kumpulan”, maka ia lebih layak dimaknai dengan masa suci daripada haid, karena masa suci adalah berkumpulnya darah di rahim, sedangkan haid adalah keluarnya darah dari rahim. Dan apa yang sesuai dengan asal-usul kata (ishtiqāq) lebih utama dijadikan maksud daripada yang bertentangan dengannya.

وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun istidlāl (pengambilan dalil), maka ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْعِدَّةَ مِنْ حُقُوقِ الزَّوْجِ عَلَى الزَّوْجَةِ وَزَمَانُ الطُّهْرِ أَخَصُّ بِحُقُوقِهِ مِنْ زَمَانِ الْحَيْضِ لِاخْتِصَاصِهِ بِمَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الْوَطْءِ وَيَمْلِكُ إِيقَاعَهُ مِنَ الطَّلَاقِ الْمُبَاحِ فَكَذَلِكَ الْعِدَّةُ يَجِبُ أَنْ تَكُونَ بِالطُّهْرِ أَخَصَّ مِنَ الْحَيْضِ.

Salah satunya: bahwa masa ‘iddah merupakan hak suami atas istri, dan masa suci (ṭuhr) lebih khusus berkaitan dengan hak-haknya dibandingkan masa haid, karena masa suci itu dikhususkan bagi hak suami untuk melakukan hubungan (jima‘) dan ia berhak menjatuhkan talak yang diperbolehkan pada masa itu. Maka demikian pula, masa ‘iddah seharusnya lebih khusus dengan masa suci daripada masa haid.

وَلَكَ تَحْرِيرُهُ قِيَاسًا فَنَقُولُ: حَقُّ الزَّوْجِ إِذَا تَفَرَّدَ بِأَحَدِ الزَّمَانَيْنِ كَانَ بِالطُّهْرِ أَخَصَّ مِنْهُ بِالْحَيْضِ كَالْوَطْءِ وَالطَّلَاقِ.

Dan engkau dapat merumuskannya secara qiyās, maka kami katakan: Hak suami, jika harus memilih salah satu dari dua masa, maka masa suci lebih khusus baginya daripada masa haid, sebagaimana dalam hal hubungan (jima‘) dan talak.

وَالِاسْتِدْلَالُ الثَّانِي: أَنَّ الْعِدَّةَ بِالْأَقْرَاءِ تَجْمَعُ حَيْضًا وَطُهْرًا؛ لِأَنَّهَا عِنْدَنَا ثَلَاثَةُ أطهار تتخللها حيضتان وعندهم ثلاث حيض تتخللها طُهْرَانِ، وَأَكْثَرُهُمَا مَتْبُوعٌ وَأَقَلُّهَا تَابِعٌ فَكَانَ الطُّهْرُ بِأَنْ يَكُونَ مَتْبُوعًا أَوْلَى مِنْ أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لِأَمْرَيْنِ:

Dalil kedua: bahwa ‘iddah dengan al-aqrā’ (masa-masa suci/haid) mencakup haid dan suci; karena menurut kami, ‘iddah itu adalah tiga masa suci yang di sela-selanya terdapat dua haid, sedangkan menurut mereka adalah tiga haid yang di sela-selanya terdapat dua masa suci. Dan yang lebih banyak di antara keduanya adalah yang menjadi pokok, sedangkan yang lebih sedikit menjadi pengikut. Maka, masa suci lebih utama untuk dijadikan pokok daripada menjadi pengikut karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: لِطَرْءِ الْحَيْضِ عَلَى الطُّهْرِ فِي الصِّغَرِ وَارْتِفَاعِهِ مِنْ بَقَاءِ الطُّهْرِ فِي الْكِبَرِ.

Salah satunya: karena haid datang setelah masa suci pada masa kecil, dan hilangnya haid pada masa tua menyebabkan tetapnya masa suci.

وَالثَّانِي: لِغَلَبَةِ الطُّهْرِ بِكَثْرَتِهِ عَلَى الْحَيْضِ لِقِلَّتِهِ. وَالِاسْتِدْلَالُ الثَّالِثُ: أَنَّ الطَّلَاقَ إِنَّمَا أُبِيحَ فِي الطُّهْرِ وَحُظِرَ فِي الْحَيْضِ لِيَكُونَ تَسْرِيحًا بِإِحْسَانٍ يَتَعَجَّلُ بِهِ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ وَتُخَفُّفُ بِهِ أَحْكَامُ الْفُرْقَةِ وَانْقِضَاءُ الْعِدَّةِ بِالطُّهْرِ أَعْجَلُ مِنَ انْقِضَائِهَا بِالْحَيْضِ لِأَمْرَيْنِ:

Dan yang kedua: karena masa suci lebih dominan karena lebih banyak dibandingkan haid yang lebih sedikit. Dalil ketiga: bahwa talak hanya diperbolehkan pada masa suci dan dilarang pada masa haid agar perceraian dilakukan dengan cara yang baik, sehingga mempercepat berakhirnya masa ‘iddah dan meringankan hukum-hukum perpisahan. Dan berakhirnya masa ‘iddah dengan masa suci lebih cepat daripada dengan masa haid karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: فِي الِابْتِدَاءِ؛ لِأَنَّهَا تَعْتَدُّ عِنْدَنَا بِالطُّهْرِ الَّذِي طُلِّقَتْ فِيهِ وَلَا تَعْتَدُّ عِنْدَهُمْ بِالْحَيْضِ الَّذِي طُلِّقَتْ فِيهِ.

Salah satunya: pada permulaan; karena menurut kami, ia ber‘iddah dengan masa suci di mana ia ditalak, sedangkan menurut mereka, ia tidak ber‘iddah dengan masa haid di mana ia ditalak.

وَالثَّانِي: في الانتهاء؛ لأنها تقضي عِنْدَنَا بِدُخُولِ الْحَيْضَةِ الْأَخِيرَةِ وَتَنْقَضِي عِنْدَهُمْ بِاسْتِكْمَالِ الْحَيْضَةِ الْأَخِيرَةِ وَمَا وَافَقَ مَقْصُودَ الْإِبَاحَةِ كَانَ أَوْلَى بِالْمُرَادِ مِمَّا وَافَقَ مَقْصُودَ الْحَظْرِ.

Dan yang kedua: pada akhir; karena menurut kami, ia menyelesaikan ‘iddah dengan masuknya haid terakhir, sedangkan menurut mereka, ‘iddah selesai dengan sempurnanya haid terakhir. Dan apa yang sesuai dengan tujuan kebolehan lebih utama untuk dimaksudkan daripada yang sesuai dengan tujuan pelarangan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] يَقْتَضِي اسْتِكْمَالَهَا وَالِاعْتِدَادُ بِالْأَطْهَارِ مُفْضٍ إِلَى الِاقْتِصَارِ عَلَى اثْنَيْنِ وَبَعْضِ الثَّالِثِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ala: {tiga quru’} [al-Baqarah: 228] yang mengharuskan penyempurnaannya, dan ber‘iddah dengan masa-masa suci menyebabkan hanya dua masa suci dan sebagian yang ketiga, maka jawabannya ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْقُرْءَ مَا وَقَعَ الِاعْتِدَادُ بِهِ مِنْ قَلِيلِ الزَّمَانِ وَكَثِيرِهِ، لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ قَلِيلِ الطُّهْرِ وَكَثِيرِهِ عِنْدَنَا، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ قَلِيلِ الْحَيْضِ وَكَثِيرِهِ عِنْدَهُمْ فَصَارَ الطُّهْرُ الَّذِي طُلِّقَتْ فِيهِ قُرْءًا كَامِلًا وَإِنْ كَانَ زَمَانُهُ قَلِيلًا.

Salah satunya: bahwa al-qur’ adalah apa yang dijadikan dasar perhitungan, baik sedikit maupun banyak waktunya, karena tidak ada perbedaan antara sedikit dan banyaknya masa suci menurut kami, dan tidak ada perbedaan antara sedikit dan banyaknya haid menurut mereka. Maka, masa suci di mana ia ditalak menjadi satu qur’ yang sempurna, meskipun waktunya sedikit.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ يَنْطَلِقُ اسْمُ الثَّلَاثِ عَلَى الِاثْنَيْنِ وَبَعْضِ الثَّالِثِ كَمَا قَالَ: {الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ} [البقرة: 197] وَهُوَ شَهْرَانِ وَبَعْضُ الثَّالِثِ، وَكَقَوْلِهِمْ لِثَلَاثٍ خَلَوْنَ وَهُوَ يَوْمَانِ وَبَعْضُ الثَّالِثِ كَذَلِكَ فِي الْأَقْرَاءِ.

Jawaban kedua: bahwa kadang-kadang istilah “tiga” digunakan untuk dua dan sebagian yang ketiga, sebagaimana firman Allah: {Haji itu (pada) bulan-bulan yang telah diketahui} [al-Baqarah: 197], padahal itu adalah dua bulan dan sebagian dari bulan ketiga. Dan sebagaimana ucapan mereka “telah berlalu tiga hari”, padahal itu dua hari dan sebagian dari hari ketiga. Begitu pula dalam hal al-aqrā’.

وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ الطُّهْرَ وَإِنْ أَفْضَى إِلَى نُقْصَانِ الثَّالِثِ إِذَا طُلِّقَتْ فِيهِ فَالْحَيْضُ مُفْضٍ إِلَى الزِّيَادَةِ عَلَى الثَّالِثِ إِذَا طُلِّقَتْ فِيهِ فَصَارَ النُّقْصَانُ عِنْدَنَا مُسَاوِيًا لِلزِّيَادَةِ عِنْدَهُمْ فِي مُخَالَفَةِ الظَّاهِرِ ثُمَّ عِنْدَهُمْ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ النُّقْصَانِ، لِأَنَّ الزِّيَادَةَ عِنْدَهُمْ نَسْخٌ.

Jawaban ketiga: bahwa masa suci, meskipun menyebabkan kurangnya masa ketiga jika ditalak pada masa itu, maka haid menyebabkan kelebihan atas masa ketiga jika ditalak pada masa itu. Maka, kekurangan menurut kami sama dengan kelebihan menurut mereka dalam hal menyelisihi zhahir (teks). Kemudian, menurut mereka, kelebihan itu lebih buruk daripada kekurangan, karena kelebihan menurut mereka adalah nasakh (penghapusan hukum).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: {وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ} [البقرة: 228] فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas firman-Nya: {Dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka} [al-Baqarah: 228], maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنْ قَوْلَهُ: {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] كَلَامٌ تَامٌّ مُخْتَصٌّ بِالْعِدَّةِ وَقَوْلُهُ {وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ الله في أرحامهن} اسْتِئْنَافُ خِطَابٍ مُبْتَدَأٍ وَلَيْسَ بِتَفْسِيرٍ؛ لِمَا تَقَدَّمَ نُهِيَتْ فِيهِ عَنْ كَتْمِ حَمْلِهَا أَوْ حَيْضِهَا فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ.

Salah satunya: bahwa firman-Nya: {Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga quru’} [al-Baqarah: 228] adalah kalimat sempurna yang khusus tentang ‘iddah, dan firman-Nya {Dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka} adalah permulaan kalimat baru dan bukan penjelasan dari sebelumnya. Di dalamnya terdapat larangan untuk menyembunyikan kehamilan atau haidnya, sehingga tidak terdapat dalil di dalamnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ وَإِنْ كَانَ تَفْسِيرًا عَائِدًا لِمَا تَقَدَّمَ فَلَا دَلِيلَ فِيهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Meskipun itu merupakan tafsir yang kembali kepada apa yang telah disebutkan sebelumnya, tidak terdapat dalil di dalamnya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: لَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ الطُّهْرَ وَالْحَيْضَ جَمِيعًا فَاسْتَوَيَا. وَالثَّانِي: لَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ الْحَيْضَ؛ لِأَنَّ بِهِ يُنْقَضُ الطُّهْرُ.

Pertama: Tidak halal bagi mereka (para wanita) untuk menyembunyikan baik keadaan suci maupun haid secara bersamaan, sehingga keduanya sama saja. Kedua: Tidak halal bagi mereka untuk menyembunyikan haid, karena dengan haid tersebut keadaan suci menjadi batal.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: {فطلقوهن لعدتهن} وَلَمْ يَقُلْ فِيهَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas ucapannya: {Maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat menghadapi masa iddahnya} dan tidak disebutkan “di dalamnya”, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الطَّلَاقَ فِي الطُّهْرِ الْمُعْتَدِّ بِهِ لَا يَكُونُ طَلَاقًا فِي الْعِدَّةِ؛ لِأَنَّ الْعِدَّةَ مَا بَعْدَ زَمَانِ الطَّلَاقِ.

Pertama: Bahwa talak pada masa suci yang dijadikan dasar perhitungan iddah tidaklah termasuk talak dalam masa iddah, karena iddah adalah masa setelah terjadinya talak.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يكون قوله {لعدتهن} أَيْ فِي عِدَّتِهِنَّ كَمَا قَالَ: {وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ} [الأنبياء: 47] أَيْ فِي يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Kedua: Tidak mustahil bahwa maksud dari firman-Nya {pada waktu mereka dapat menghadapi masa iddahnya} adalah “dalam masa iddah mereka”, sebagaimana firman-Nya: {Dan Kami akan meletakkan timbangan yang adil untuk hari kiamat} [al-Anbiya: 47], maksudnya “pada hari kiamat”.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: {فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ} [الطلاق: 4] وَأَنَّ الِانْتِقَالَ إِلَى الْبَدَلِ مُخَالِفٌ لِلْمُبْدَلِ فَهُوَ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لَهُ؛ لِأَنَّهَا كَانَتْ تَعْتَدُّ بِطُهْرٍ مُقَدَّرٍ بِحَيْضٍ فَصَارَتْ بِالْإِيَاسِ مُعْتَدَّةً بِطُهْرٍ مُقَدَّرٍ بِالشُّهُورِ.

Adapun jawaban atas ucapannya: {Maka iddah mereka adalah tiga bulan} [ath-Thalaq: 4] dan bahwa perpindahan kepada pengganti itu berbeda dengan yang digantikan, maka memang demikian adanya; karena sebelumnya ia menjalani iddah dengan masa suci yang diukur dengan haid, lalu dengan menopause ia menjalani iddah dengan masa suci yang diukur dengan bulan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” طَلَاقُ الْأَمَةِ طَلْقَتَانِ وَعَدَّتُهَا حَيْضَتَانِ ” فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ: “Talak bagi budak perempuan adalah dua kali dan masa iddahnya dua kali haid” adalah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ ضَعِيفٌ، وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ: مَدَارُهُ عَلَى مُظَاهِرِ بْنِ أَسْلَمَ وَهُوَ ضَعِيفٌ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا يَكُونُ بِحَيْضَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقَعَ الِاعْتِدَادُ بِالْحَيْضِ، لِأَنَّ الْعِدَّةَ مُقَدَّرَةٌ بِالْحَيْضِ وَالطُّهْرِ عِنْدَنَا وَعِنْدَهُمْ وَإِنْ كَانَ الْمُرَادُ بِهَا أَحَدَهُمَا.

Pertama: Hadis tersebut lemah, dan Abu Dawud berkata: sanadnya berputar pada Muzahir bin Aslam dan ia adalah perawi yang lemah. Kedua: Hadis itu dapat dipahami bahwa berakhirnya masa iddahnya adalah dengan dua kali haid tanpa harus menjalani iddah dengan haid, karena iddah itu diukur dengan haid dan suci menurut kami dan menurut mereka, meskipun yang dimaksud adalah salah satunya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ ” اقْعُدِي عَنِ الصَّلَاةِ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ ” فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ kepada Fathimah binti Abi Hubaisy: “Tinggalkanlah shalat pada hari-hari haidmu”, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذِهِ زِيَادَةٌ فِي الْخَبَرِ لَيْسَتْ بِثَابِتَةٍ.

Pertama: Tambahan dalam hadis ini tidaklah sahih.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْقُرْءَ قَدْ يَنْطَلِقُ عَلَى الْحَيْضِ إِمَّا حَقِيقَةً أَوْ مَجَازًا إِذَا انْضَمَّ إِلَى قَرِينِةٍ وَإِنَّمَا الْخِلَافُ فِيهِ إِذَا أُطْلِقَ.

Kedua: Kata “qur’” bisa bermakna haid, baik secara hakiki maupun majazi jika disertai dengan indikasi, dan perbedaan pendapat hanya terjadi jika kata itu digunakan secara mutlak.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الطَّرَفِ الثَّانِي فَهُوَ أَنَّهُ لَا يَسْلَمُ لَهُمُ الطَّرَفَانِ لِأَنَّ الطَّرَفَ الْأَوَّلَ لَا تَنْقَضِي عِدَّتُهَا عِنْدَهُمْ إِلَّا بِالدُّخُولِ فِي الطُّهْرِ وَالطَّرَفَ الْأَوَّلَ لَا يُعْتَدُّ فِيهِ بِالْحَيْضِ إِذَا طُلِّقَتْ فِيهِ فَبَطَلَ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka pada kasus sisi kedua adalah bahwa kedua sisi tersebut tidak dapat diterima, karena pada sisi pertama, menurut mereka, iddah tidak berakhir kecuali dengan masuknya masa suci, dan pada sisi pertama pula tidak diperhitungkan haid jika ditalak pada masa itu, maka batal lah qiyās tersebut.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْحَمْلِ فَهُوَ دَلِيلُنَا؛ لِأَنَّ عِدَّةَ الْحَامِلِ لِزَمَانِ كُمُونِهِ وَالْخُرُوجَ مِنْهَا بطهوره فقياسه أن تكون عدة الحائض زمانه كُمُونِهِ، وَالْخُرُوجُ مِنْهَا بِظُهُورِهِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan kehamilan, maka itu justru menjadi dalil bagi kami; karena iddah wanita hamil adalah selama masa tersembunyinya janin dan berakhirnya dengan keluarnya janin, maka qiyās-nya adalah bahwa iddah wanita haid adalah selama masa tersembunyinya haid dan berakhirnya dengan tampaknya haid.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ فِي الْحَيْضِ بَرَاءَةَ الرَّحِمِ مِنَ الْحَمْلِ فَهُوَ أَنَّ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ تَكُونُ بِالْحَيْضِ وهو مبرئ، وإن كان الاعتداء بِغَيْرِهِ كَالْوِلَادَةِ تَنْقَضِي بِهَا الْعِدَّةُ وَبَرِئَ بِهَا الرحم، وإن كان الاعتداء بِمَا تَقَدَّمَهَا.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa dalam haid terdapat tanda bersihnya rahim dari kehamilan, maka berakhirnya iddah memang dengan haid dan itu merupakan tanda bersihnya rahim. Namun jika iddah dijalani dengan sebab lain seperti melahirkan, maka iddah berakhir dengannya dan rahim pun bersih karenanya, meskipun iddahnya dengan sesuatu yang mendahuluinya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْحَيْضِ فِي اسْتِبْرَاءِ الْأَمَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas dalil mereka tentang haid dalam istibra’ budak perempuan, maka dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: إِنِ اسْتَبْرَأَهَا عَلَى قَوْلِ بَعْضِ أَصْحَابِنَا يَكُونُ بِالطُّهْرِ كَالْحُرَّةِ فَاسْتَوَيَا.

Pertama: Jika istibra’ dilakukan menurut pendapat sebagian ulama kami, maka dengan masa suci seperti halnya wanita merdeka, sehingga keduanya sama.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونُ بِالْحَيْضِ وَالْحُرَّةُ بِالطُّهْرِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Bisa juga dengan haid, sedangkan wanita merdeka dengan masa suci, dan perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اسْتِبْرَاءَ الْأَمَةِ لِثُبُوتِ الْمِلْكِ وَاسْتِبْرَاءَ الْحُرَّةِ لِزَوَالِ الْمِلْكِ فَكَانَ اخْتِلَافُ الْمُوجِبَيْنِ دَلِيلًا عَلَى اخْتِلَافِ الْحُكْمَيْنِ.

Pertama: Istibra’ budak perempuan bertujuan untuk menetapkan kepemilikan, sedangkan istibra’ wanita merdeka untuk menghilangkan kepemilikan, sehingga perbedaan sebab menandakan perbedaan hukum.

وَالثَّانِي: أَنَّ اسْتِبْرَاءَ الْأَمَةِ مَوْضِعٌ لِاسْتِبَاحَةِ وَطْئِهَا فَكَانَ بِالْحَيْضِ لِيَتَعَقَّبَهُ الطُّهْرُ الْمُبِيحُ، وَاسْتِبْرَاءَ الْحُرَّةِ مَوْضُوعٌ لِاسْتِبَاحَةِ النِّكَاحِ وَعَقْدُ النِّكَاحِ يَجُوزُ فِي الْحَيْضِ كَمَا يَجُوزُ فِي الطُّهْرِ فَاخْتَلَفَا لِاخْتِلَافِ الْمَقْصُودِ بِهِمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Bahwa masa istibra’ bagi budak perempuan adalah untuk membolehkan hubungan suami istri dengannya, sehingga ditetapkan dengan haid agar setelahnya datang masa suci yang membolehkan (hubungan tersebut). Sedangkan masa istibra’ bagi perempuan merdeka adalah untuk membolehkan akad nikah, dan akad nikah boleh dilakukan saat haid sebagaimana boleh dilakukan saat suci. Maka keduanya berbeda karena perbedaan tujuan dari masing-masing, dan Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَلَيْسَ فِي الْكِتَابِ وَلَا فِي السُّنَّةِ لِلْغُسْلِ بَعْدَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ مَعْنًى تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Tidak ada dalam al-Kitab maupun as-Sunnah makna bahwa mandi setelah haid ketiga menjadi sebab berakhirnya masa ‘iddah.”

قال الماوردي: والذي أراد الشافعي بِهَذَا الْفَصْلِ الرَّدُّ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ وَالْعِرَاقِيِّينَ فِي مُخَالَفَةِ الظَّاهِرِ فِي الثَّلَاثَةِ الْأَقْرَاءِ الَّتِي أمر الله تعالى بها، ويناقض أَقَاوِيلِهِمْ فِيهَا؛ لِأَنَّ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ قَدْ دَلَّا عَلَى وُجُوبِ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، وَزَادَ عَلَيْهَا أَبُو حَنِيفَةَ مَعَ كَوْنِ الزِّيَادَةِ عِنْدَهُ نَسْخًا، فَقَالَ: إِذَا اسْتَكْمَلَتِ الْحَيْضَةَ الثَّالِثَةَ الَّتِي تَنْقَضِي بِهَا عِنْدَهُ الْعِدَّةُ قَالَ: اعْتَبَرَ الْحَيْضَةَ الثَّالِثَةَ، فَإِنْ كَانَتْ عَشْرَةَ أَيَّامٍ كَامِلَةً انْقَضَتْ بِهَا الْعِدَّةُ إِذَا تَعَقَّبَهَا الطُّهْرُ سَوَاءٌ اغْتَسَلَتْ أَوْ لَمْ تَغْتَسِلْ، وَإِنْ كَانَتِ الْحَيْضَةُ الثَّالِثَةُ نَاقِصَةً لِنُقْصَانِهَا عَنْ عَشْرَةِ أَيَّامٍ لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا حَتَّى تَغْتَسِلَ أَوْ يَمُرَّ عَلَيْهَا وَقْتُ الصَّلَاةِ وَيَفُوتَ وَهِيَ قَبْلَ ذَلِكَ فِي الْعِدَّةِ وَلِلزَّوْجِ الرَّجْعَةُ، وَكَذَلِكَ يَقُولُ فِي اسْتِبْرَاءِ الْأَمَةِ بِالْحَيْضَةِ إِنَّهَا كَالْحُرَّةِ فِي الِاسْتِبْرَاءِ قَبْلَ الْغُسْلِ فَإِنِ اغْتَسَلَتْ إِلَّا مِقْدَارَ كَفٍّ مِنْ جسدها فكلا غُسْلَ، وَالْعِدَّةُ بَاقِيَةٌ وَإِنِ اغْتَسَلَتْ إِلَّا مِقْدَارَ أُصْبُعٍ فَقَدِ انْقَضَتِ الْعِدَّةُ، وَبَطَلَتِ الرَّجْعَةُ وَحَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ وَإِنْ لَمْ تَسْتَبِحِ الصَّلَاةَ حَتَّى يَعُمَّ الغسل جسدها وإن تممت فَهِيَ فِي الْعِدَّةِ حَتَّى تَدْخُلَ فِي الصَّلَاةِ، وَإِنِ اغْتَسَلَتْ بِسُؤْرِ الْحِمَارِ فَهِيَ فِي العدة حتى تتمم فَتَنْقَضِيَ الْعِدَّةُ وَإِنْ لَمْ تَدْخُلْ فِي الصَّلَاةِ وَلَا يَحِلُّ لَهَا التَّصَرُّفُ فِي نَفْسِهَا حَتَّى تَدْخُلَ فِي الصَّلَاةِ، وَقَالَ فِي الذِّمِّيَّةِ تَنْقَضِي عِدَّتُهَا، وَإِنْ لَمْ تَغْتَسِلْ وَلَمْ يَمُرَّ عَلَيْهَا وَقْتُ الصَّلَاةِ.

Al-Mawardi berkata: Apa yang dimaksud Imam Syafi‘i dalam bab ini adalah membantah Abu Hanifah dan para ulama Irak dalam menyelisihi makna zahir pada tiga quru’ yang Allah Ta‘ala perintahkan, dan pendapat-pendapat mereka dalam hal itu saling bertentangan; karena al-Kitab dan as-Sunnah telah menunjukkan wajibnya tiga quru’ tanpa tambahan, sedangkan Abu Hanifah menambahkannya, padahal menurutnya penambahan itu adalah nasakh. Ia berkata: Jika telah sempurna haid ketiga yang menurutnya dengan itu berakhir masa ‘iddah, ia berkata: Haid ketiga itu dianggap, jika sempurna sepuluh hari maka berakhirlah masa ‘iddah setelah datang masa suci, baik ia mandi atau tidak. Namun jika haid ketiga kurang dari sepuluh hari, maka masa ‘iddahnya tidak berakhir hingga ia mandi atau telah lewat waktu shalat dan ia belum mandi, maka sebelum itu ia masih dalam masa ‘iddah dan suami berhak rujuk. Demikian pula ia berkata dalam istibra’ budak perempuan dengan satu kali haid, bahwa ia seperti perempuan merdeka dalam istibra’ sebelum mandi; jika ia mandi kecuali hanya sebesar telapak tangan dari tubuhnya, maka itu belum dianggap mandi dan masa ‘iddah masih berlangsung. Jika ia mandi kecuali hanya sebesar satu jari, maka masa ‘iddah telah selesai, hak rujuk suami gugur, dan ia halal bagi para suami, meskipun ia belum boleh shalat hingga mandi membasahi seluruh tubuhnya. Jika ia menyempurnakan mandinya, maka ia masih dalam masa ‘iddah hingga masuk waktu shalat. Jika ia mandi dengan air sisa keledai, maka ia masih dalam masa ‘iddah hingga menyempurnakan mandinya, lalu masa ‘iddah berakhir meskipun belum masuk waktu shalat, dan ia tidak boleh bertindak atas dirinya hingga masuk waktu shalat. Ia juga berkata, untuk perempuan dzimmi (non-Muslim), masa ‘iddahnya berakhir meskipun ia belum mandi dan belum lewat waktu shalat.

وَهَذِهِ كُلُّهَا أَقَاوِيلُ مُخْتَلِفَةٌ يَنْقُضُ بَعْضُهَا بَعْضًا، وَجَمِيعُهَا زِيَادَةٌ عَلَى النَّصِّ الْمُقَدَّرِ، وَقَالَ شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ لَا تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ إِلَّا بِالْغُسْلِ وَحْدَهُ مَعَ كَمَالِ الْحَيْضِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ بَقَاءَ الْغُسْلِ مِنْ بَقَايَا أَحْكَامِ الْحَيْضِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ بِانْقِضَائِهِ مَعَ بَقَاءِ حُكْمِهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ قَوْلُ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] فَفِي الظَّاهِرِ وُجُوبُ غَيْرِهَا فَصَارَتِ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ مُخَالِفَةً الظاهر كالنقصان منها، وقال: {وإذا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بالمعروف} فَأَبَاحَهُنَّ بَعْدَ انْقِضَاءِ أَجَلِهِنَّ التَّصَرُّفَ فِي أَنْفُسِهِنَّ، وَلَمْ يَشْتَرِطْ فِيهِ غُسْلًا وَلَا صَلَاةً؛ وَلِأَنَّهَا عِدَّةٌ مَنَعَتْ مِنَ الْأَزْوَاجِ فَوَجَبَ أَنْ تَرْتَفِعَ قَبْلَ الِاغْتِسَالِ كَالْحَيْضِ الْكَامِلِ، وَلِأَنَّ مَا انْقَضَتِ الْعِدَّةُ بِكَمَالِ مُدَّتِهِ انْقَضَتْ بِنُقْصَانِ مُدَّتِهِ كَالْحَمْلِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنِ الْغُسْلُ مَشْرُوطًا فِي ابْتِدَائِهَا فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ مَشْرُوطًا فِي انْتِهَائِهَا لِقُوَّةِ الِابْتِدَاءِ وَضَعْفِ الِانْتِهَاءِ.

Semua ini adalah pendapat-pendapat yang saling bertentangan satu sama lain, dan semuanya merupakan tambahan atas nash yang telah ditetapkan. Syarik bin ‘Abdullah berkata: Masa ‘iddahnya tidak berakhir setelah selesai haid ketiga kecuali dengan mandi saja, dengan syarat haidnya sempurna, dengan alasan bahwa kewajiban mandi adalah bagian dari sisa-sisa hukum haid, sehingga tidak boleh dihukumi berakhirnya haid selama hukumnya masih ada. Dalil rusaknya pendapat-pendapat ini adalah firman Allah Ta‘ala: {Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’} (al-Baqarah: 228), maka secara zahir wajib tiga kali quru’ saja, sehingga penambahan atasnya bertentangan dengan zahir sebagaimana pengurangan darinya. Allah juga berfirman: {Apabila mereka telah mencapai akhir masa ‘iddahnya, maka tidak ada dosa bagi kalian membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut} (al-Baqarah: 234), maka Allah membolehkan mereka bertindak atas diri mereka setelah berakhir masa ‘iddahnya, dan tidak mensyaratkan mandi ataupun shalat. Karena masa ‘iddah adalah masa yang menghalangi dari para suami, maka wajib berakhir sebelum mandi sebagaimana haid yang sempurna. Dan karena masa ‘iddah yang berakhir dengan sempurnanya masa, juga berakhir dengan kurangnya masa, seperti halnya kehamilan. Dan karena mandi tidak disyaratkan di awal masa ‘iddah, maka lebih utama tidak disyaratkan di akhirnya, karena kuatnya permulaan dan lemahnya akhir.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ بَقَاءَ الْغُسْلِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ دَلِيلٌ عَلَى بَقَاءِ الْحَيْضِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa kewajiban mandi (ghusl) yang masih berlaku sebagai salah satu hukum haid adalah bukti bahwa haid masih ada, maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: فَسَادُ اعْتِبَارٍ بِالْحَيْضِ الْكَامِلِ وَمُرُورِ وَقْتِ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ بَقَاءَ الْغُسْلِ فِيهِمَا لَا يُوجِبُ بَقَاءَ الصَّلَاةِ.

Pertama: rusaknya pertimbangan dengan haid yang sempurna dan lewatnya waktu shalat, karena tetapnya kewajiban mandi pada keduanya tidak mewajibkan tetapnya kewajiban shalat.

وَالثَّانِي: أَنَّ وُجُوبَ الْغُسْلِ مُسْتَحَقٌّ لِلصَّلَاةِ وَوَطْءِ الزَّوْجِ، وَلَيْسَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا مَشْرُوطًا فِي الْعِدَّةِ فَلَمْ يَكُنْ مَا يُوجَبُ لَهُمَا مُسْتَحَقًّا فِيهِمَا ثُمَّ يُقَالُ لَهُمْ شَرْطُهُمُ الْغُسْلُ لِلْعِدَّةِ فِي بَعْضِ الْحِيَضِ وَهُوَ وَاجِبٌ فِي كُلِّ الْحِيَضِ، وَأَوْجَبْتُمُوهُ عَلَى بَعْضِ الْمُعْتَدَّاتِ مِنَ الْمُسَلِّمَاتِ وَلَمْ تُوجِبُوهُ عَلَى الذِّمِّيَّاتِ وَجَمِيعُهُنَّ فِي الْعِدَّةِ سَوَاءٌ وَفَرَّقْتُمْ بَيْنَ مَنِ اغْتَسَلَتْ إِلَّا قدر الكف وبين ما اغْتَسَلَتْ إِلَّا قَدْرَ الْأُصْبُعِ وَكِلَاهُمَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ وَلَا يُبِيحُ الصَّلَاةَ، وَأَقَمْتُمُ التَّيَمُّمَ مَقَامَ الْغُسْلِ فِي اسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ وَلَمْ تُقِيمُوهُ مَقَامَهُ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مَعَ ارْتِفَاعِ الْحَدَثِ عِنْدَكُمْ بِالتَّيَمُّمِ وَأَقَمْتُمُ الْغُسْلَ بِسُؤْرِ الْحِمَارِ مَعَ التَّيَمُّمِ مَقَامَ الْغُسْلِ بِمَاءِ الْقِرَاحِ وَمَنَعْتُمُوهَا مِنَ التَّصَرُّفِ فِي نَفْسِهَا مَعَ انْقِضَاءِ عَدَّتِهَا وَإِبْطَالِ رَجْعَتِهَا وَلَمْ تَحْكُمُوا بِذَلِكَ فِي غُسْلِهَا فَجَعَلْتُمُوهَا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ مُعْتَدَّةً وَغَيْرَ مُعْتَدَّةٍ وَهَذَا مُسْتَحِيلٌ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُمْ: هَدَمْتُمْ بِذَلِكَ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَصْلًا فِي أَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى النَّصِّ نَسْخٌ وَقَدْ مَنَعْتُمْ بِهِ مِنَ الشَّاهِدِ وَالْيَمِينِ، وَمِنَ النَّفْيِ مَعَ الْجَلْدِ وَلَمْ تَمْنَعُوا مِنْ وُجُوبِ الْغُسْلِ مع الأقراء.

Kedua: bahwa kewajiban mandi itu ditetapkan untuk shalat dan hubungan suami istri, dan tidak satu pun dari keduanya yang menjadi syarat dalam masa ‘iddah, maka apa yang diwajibkan untuk keduanya tidaklah menjadi kewajiban dalam masa ‘iddah. Kemudian dikatakan kepada mereka: kalian mensyaratkan mandi untuk ‘iddah pada sebagian haid, padahal ia wajib pada seluruh haid, dan kalian mewajibkannya atas sebagian wanita yang menjalani ‘iddah dari kalangan muslimah dan tidak mewajibkannya atas wanita ahli dzimmah, padahal semuanya sama-sama dalam masa ‘iddah. Kalian juga membedakan antara wanita yang mandi kecuali sebatas telapak tangan dan yang mandi kecuali sebatas jari, padahal keduanya sama-sama menghilangkan hadats dan tidak membolehkan shalat. Kalian menjadikan tayammum sebagai pengganti mandi dalam membolehkan shalat, namun tidak menjadikannya pengganti dalam berakhirnya masa ‘iddah, padahal menurut kalian hadats telah hilang dengan tayammum. Kalian juga membolehkan mandi dengan sisa air keledai bersama tayammum sebagai pengganti mandi dengan air murni, dan kalian melarang wanita tersebut untuk bertindak atas dirinya sendiri setelah berakhirnya masa ‘iddah dan batalnya hak rujuk, namun kalian tidak memutuskan demikian dalam masalah mandinya. Maka kalian menjadikannya dalam satu keadaan sebagai wanita yang masih dalam masa ‘iddah dan sekaligus bukan dalam masa ‘iddah, dan ini adalah hal yang mustahil. Kemudian dikatakan kepada mereka: dengan itu kalian telah meruntuhkan prinsip kalian sendiri bahwa penambahan atas nash adalah nasakh, dan kalian telah melarang hal itu dalam masalah kesaksian dan sumpah, serta dalam masalah penafian dengan cambuk, namun kalian tidak melarang kewajiban mandi bersama masa quru’.

فَإِنْ قَالُوا: رُوِّينَاهُ عَنِ الصَّحَابَةِ.

Jika mereka berkata: Kami meriwayatkannya dari para sahabat.

قِيلَ: فَقَدْ نَسَخْتُمْ عَلَى قَوْلِكُمُ الْقُرْآنَ بِقَوْلِ الصَّحَابَةِ، وَهُوَ اسْتِوَاءٌ لِلْحَالِ وَحَسْبُكَ بِهَذَا التَّنَاقُضِ فَسَادًا، وَبِهَذَا الاعتذار تقصيراً

Dikatakan: Maka kalian telah menasakh Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat menurut pendapat kalian, dan ini adalah penyamaan antara dua keadaan, dan cukuplah kontradiksi ini sebagai kerusakan, dan alasan seperti ini adalah kekurangan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ طَلَّقَهَا طَاهِرًا قَبْلَ جِمَاعٍ أَوْ بَعْدَهُ ثَمَّ حَاضَتْ بَعْدَهُ بِطَرْفَةٍ فَذَلِكَ قُرْءٌ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia menceraikannya dalam keadaan suci sebelum atau sesudah berhubungan, kemudian ia haid setelahnya meskipun hanya sekejap, maka itu dihitung satu quru’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ الطَّلَاقَ فِي الطُّهْرِ هُوَ الْمَأْمُورُ بِهِ وَلِلْبَاقِي مِنْهُ قُرُوءٌ مُعْتَدٌّ بِهِ سَوَاءٌ جَامَعَهَا فِي ذَلِكَ الطُّهْرِ أَوْ لَمْ يُجَامِعْهَا فِيهِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena talak pada masa suci adalah yang diperintahkan, dan sisa masa sucinya dihitung sebagai satu quru’ yang sah, baik ia telah berhubungan dalam masa suci itu atau tidak.

وَقَالَ أَبُو عَبِيدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَّامٍ: إِنْ جَامَعَهَا فِيهِ لَمْ يُعْتَدَّ بِبَاقِيهِ؛ لِأَنَّهُ طَلَاقُ بِدْعَةٍ كَالْحَيْضِ.

Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam berkata: Jika ia telah berhubungan dalam masa suci itu, maka sisa masa suci tersebut tidak dihitung, karena itu adalah talak bid‘ah seperti halnya talak saat haid.

وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ فَلَوْ لَمْ يُحْتَسَبْ بِطُهْرِ الطَّلَاقِ صَارَتْ أَرْبَعًا، وَلِأَنَّهُ مُنِعَ مِنَ الطَّلَاقِ فِي الْحَيْضِ لِئَلَّا تَطُولَ عِدَّتُهَا لِفَوَاتِ الِاعْتِدَادِ بِحَيْضِهَا وَتَرْكُهُ الِاعْتِدَادَ بِطُهْرِ الْجِمَاعِ أَبْعَدُ لِعِدَّتِهَا وَأَسْوَأُ حَالًا مِنَ الطَّلَاقِ فِي حَيْضِهَا، فَإِذَا ثَبَتَ الِاعْتِدَادُ بِهِ كَالطُّهْرِ الَّذِي لَمْ يُجَامِعُ فِيهِ اشْتَمَلَتْ فِيهِ الْمَسْأَلَةُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Dan ini tidak benar, karena Allah Ta‘ala memerintahkannya untuk ber‘iddah dengan tiga quru’, maka jika masa suci talak tidak dihitung, jadinya menjadi empat. Dan karena ia dilarang mentalak saat haid agar masa ‘iddahnya tidak menjadi panjang karena kehilangan perhitungan haidnya, dan tidak dihitungnya masa suci setelah berhubungan lebih jauh dari masa ‘iddahnya dan lebih buruk keadaannya daripada talak saat haid. Maka jika telah tetap dihitungnya masa suci itu sebagaimana masa suci yang tidak ada hubungan di dalamnya, maka masalah ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: فِي أَوَّلِ الْعِدَّةِ.

Pertama: pada awal masa ‘iddah.

وَالثَّانِي: فِي آخِرِهَا.

Kedua: pada akhirnya.

فَأَمَّا أَوَّلُ الْعِدَّةِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الطَّلَاقِ مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي حَيْضٍ أَوْ طُهْرٍ.

Adapun awal masa ‘iddah, maka keadaan talak tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi pada masa haid atau pada masa suci.

فَإِنْ كَانَ فِي حَيْضٍ فَهُوَ طَلَاقُ بِدْعَةٍ وَلَا يُعْتَدُّ بِبَقِيَّةِ الْحَيْضِ عِنْدَنَا وَعِنْدَ مُخَالِفِنَا فَإِذَا دَخَلَتْ فِي الطُّهْرِ الْمُقْبِلِ فَهُوَ أَوَّلُ عِدَّتِهَا عِنْدَنَا، وَيَكُونُ اعْتِدَادُهَا بِثَلَاثَةِ أَطْهَارٍ كَوَامِلَ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ فِي طُهْرٍ فَهُوَ طَلَاقُ سُنَّةٍ وَلَهُ حَالَتَانِ:

Jika terjadi pada masa haid, maka itu adalah talak bid‘ah dan sisa masa haidnya tidak dihitung menurut kami dan menurut pihak yang berbeda pendapat dengan kami. Maka jika ia masuk ke masa suci berikutnya, itulah awal masa ‘iddahnya menurut kami, dan perhitungannya adalah dengan tiga masa suci yang sempurna. Jika talak terjadi pada masa suci, maka itu adalah talak sunnah dan memiliki dua keadaan:

أحدهما: أَنْ يَبْقَى مِنْهُ بَعْدَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ فِيهِ زَمَانٌ يَقَعُ الِاعْتِدَادُ بِهِ فَيَكُونُ الْبَاقِي مِنْهُ قُرْءًا وَإِنْ قَلَّ وَحَدَّهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ بِثَلَاثَةِ أَزْمِنَةٍ زَمَانٍ لِلَفْظِ الطَّلَاقِ، وَزَمَانٍ لِوُقُوعِهِ، وَزَمَانٍ لِلِاعْتِدَادِ بِهِ، وَهَذَا الَّذِي اعْتَبَرَهُ مِنْ زَمَانِ وُقُوعِ الطَّلَاقِ بَعْدَ زَمَانِ التَّلَفُّظِ بِهِ وَلَا يَتَمَيَّزُ فِي التَّصَوُّرِ، لِأَنَّهُ وَاقِعٌ بِاسْتِيفَاءِ لَفْظِهِ فَلَمْ يَحْتَجْ بَعْدَهُ إِلَى زَمَانٍ يَخْتَصُّ بِهِ، وَصَارَ مَحْدُودًا بِزَمَانَيْنِ، زَمَانِ التَّلَفُّظِ بِالطَّلَاقِ وَزَمَانِ الِاعْتِدَادِ.

Pertama: Jika setelah terjadinya talak masih tersisa dari masa suci tersebut waktu yang dapat dijadikan masa ‘iddah, maka sisa masa tersebut dihitung sebagai satu quru’ (masa suci), meskipun sedikit. Abu Hamid al-Isfara’ini membatasinya dengan tiga waktu: waktu untuk pengucapan talak, waktu terjadinya talak, dan waktu untuk ber‘iddah dengan masa itu. Apa yang ia anggap sebagai waktu terjadinya talak setelah waktu pengucapan talak sebenarnya tidak dapat dibedakan secara konseptual, karena talak terjadi dengan sempurnanya pengucapan, sehingga tidak membutuhkan waktu khusus setelahnya. Maka, batasannya menjadi dua waktu: waktu pengucapan talak dan waktu ber‘iddah.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ فِي آخِرِ الطُّهْرِ حَتَّى لَمْ يَبْقَ مِنْهُ شَيْءٌ بَعْدَ التَّلَفُّظِ بِهِ إِمَّا بِأَنْ وَقَعَ ذَلِكَ اتِّفَاقًا، وَإِمَّا بِأَنْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ فِي آخِرِ أَجْزَاءِ طُهْرِكِ فَاسْتَوْعَبَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ آخِرَ الطُّهْرِ فَقَدْ حَكَى أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ فِيهِ وَجْهَيْنِ ذَكَرْنَاهُمَا:

Keadaan kedua: Jika talak dijatuhkan pada akhir masa suci sehingga tidak tersisa sedikit pun dari masa suci itu setelah pengucapan talak, baik karena hal itu terjadi secara kebetulan, maupun karena suami berkata kepada istrinya, “Engkau ditalak pada akhir bagian masa sucimu,” sehingga terjadinya talak mencakup akhir masa suci tersebut, maka Abu al-‘Abbas bin Suraij meriwayatkan dua pendapat yang telah kami sebutkan:

أَحَدُهُمَا: تَعْتَدُّ بِذَلِكَ الطُّهْرِ قُرْءًا وَيَكُونُ زَمَانُ الطَّلَاقِ زَمَانًا لِوُقُوعِهِ وَلِلْعِدَّةِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الطَّلَاقُ طَلَاقَ سُنَّةٍ.

Pertama: Istri ber‘iddah dengan masa suci tersebut sebagai satu quru’, dan waktu terjadinya talak menjadi waktu terjadinya talak sekaligus waktu ‘iddah. Dengan demikian, talak tersebut adalah talak sunnah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، أَنَّ زَمَانَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ لَا يَقَعُ بَعْدَ الِاعْتِدَادِ فَإِنْ لَمْ يَبْقَ بَعْدَهُ حَرُورُ الطُّهْرِ اعْتَدَّتْ بِمَا تَسْتَقْبِلُهُ مِنَ الطُّهْرِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ طَلَاقَ بِدْعَةٍ؛ لِأَنَّهُ قَدْ طَوَّلَ الْعِدَّةَ عَلَيْهَا، وَنَحْنُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، إِذَا طَلَّقَهَا فِي آخِرِ أَجْزَاءِ حَيْضِهَا.

Pendapat kedua, yang merupakan mazhab al-Syafi‘i: Waktu terjadinya talak tidak termasuk dalam masa ‘iddah. Jika setelahnya tidak tersisa masa suci, maka istri ber‘iddah dengan masa suci berikutnya yang akan datang. Dengan demikian, talak tersebut adalah talak bid‘ah, karena memperpanjang masa ‘iddah bagi istri. Demikian pula menurut dua pendapat ini jika suami mentalaknya pada akhir bagian masa haidnya.

فَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ: إِنَّ الطَّلَاقَ فِي آخِرِ الطُّهْرِ طَلَاقُ سُنَّةٍ كَانَ هَذَا طَلَاقَ بِدْعَةٍ.

Jika menurut pendapat pertama, bahwa talak pada akhir masa suci adalah talak sunnah, maka talak pada akhir masa haid ini adalah talak bid‘ah.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ ذَاكَ طَلَاقُ بِدْعَةٍ لِمَا فِيهِ مِنْ تَطْوِيلِ الْعِدَّةِ كَانَ هَذَا طَلَاقَ سُنَّةٍ لِاتِّصَالِهِ بِالْعِدَّةِ.

Dan jika dikatakan bahwa talak pada akhir masa suci adalah talak bid‘ah karena memperpanjang masa ‘iddah, maka talak pada akhir masa haid ini adalah talak sunnah karena berhubungan langsung dengan masa ‘iddah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا آخِرُ الْعِدَّةِ فَقَدْ رَوَى الْمُزَنِيُّ وَالرَّبِيعُ أَنَّهَا إِذَا رَأَتْ دَمَ الْحَيْضِ بَعْدَ الطُّهْرِ الثَّالِثِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِرُؤْيَةِ الدَّمِ وَرَوَى الْبُوَيْطِيُّ وَحَرْمَلَةُ: أَنَّهُ لَا تَنْقَضِي عِدَّتُهَا حَتَّى يَمْضِيَ مِنْ دَمِ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ هَذَا النَّقْلِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun akhir masa ‘iddah, al-Muzani dan al-Rabi‘ meriwayatkan bahwa jika seorang wanita melihat darah haid setelah masa suci yang ketiga, maka ‘iddahnya selesai dengan melihat darah tersebut. Al-Buwaiti dan Harmalah meriwayatkan bahwa ‘iddahnya tidak selesai sampai berlalu satu hari satu malam dari darah haid tersebut. Maka, para ulama kami berbeda pendapat dalam menanggapi perbedaan riwayat ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:

Pertama: Bahwa perbedaan ini didasarkan pada perbedaan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عِدَّتَهَا تَنْقَضِي بِرُؤْيَةِ الدَّمِ عَلَى مَا رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ وَالرَّبِيعُ؛ لِأَنَّ تَحْدِيدَ عَدَّتِهَا ثَلَاثَةَ أَقَرَاءٍ يَمْنَعُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهَا.

Pendapat pertama: ‘Iddahnya selesai dengan melihat darah haid, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Muzani dan al-Rabi‘, karena penetapan masa ‘iddah sebanyak tiga quru’ mencegah adanya tambahan atasnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ عِدَّتَهَا لَا تَنْقَضِي إِلَّا بِمُضِيِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ عَلَى مَا رَوَاهُ الْبُوَيْطِيُّ وَحَرْمَلَةُ لِيُعْلَمَ أَنَّهُ حَيْضٌ بيقين.

Pendapat kedua: ‘Iddahnya tidak selesai kecuali setelah berlalu satu hari satu malam dari haid ketiga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Buwaiti dan Harmalah, agar dapat dipastikan bahwa itu benar-benar haid.

الوجه الثَّانِي: أَنَّ اخْتِلَافَ الرِّوَايَةِ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَرِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ وَالرَّبِيعِ أَنَّ عِدَّتَهَا تَنْقَضِي بِرُؤْيَةِ الدَّمِ إِذَا كَانَتْ مُعْتَادَةً وَرَأَتِ الدَّمَ فِي وَقْتِ الْعَادَةِ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْهُ أَنَّهُ حَيْضٌ؛ وَرِوَايَةُ الْبُوَيْطِيِّ وَحَرْمَلَةَ أَنَّ الْعِدَّةَ لَا تَنْقَضِي إِلَّا بِمُضِيِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِذَا كَانَتْ مُبْتَدِأَةً أَوْ مُعْتَادَةً وَرَأَتِ الدَّمَ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنَ ابْتِدَائِهِ أَنَّهُ لَيْسَ بِحَيْضٍ حَتَّى تَسْتَدِيمَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنَ اعْتِبَارِ الدَّمِ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِيهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي زَمَانِهِ، هَلْ يَكُونُ مِنَ الْعِدَّةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Bahwa perbedaan riwayat tersebut didasarkan pada perbedaan dua keadaan. Riwayat al-Muzani dan al-Rabi‘ bahwa ‘iddahnya selesai dengan melihat darah haid berlaku jika wanita tersebut adalah wanita yang memiliki kebiasaan haid dan melihat darah pada waktu kebiasaannya, karena umumnya darah tersebut adalah darah haid. Sedangkan riwayat al-Buwaiti dan Harmalah bahwa ‘iddahnya tidak selesai kecuali setelah berlalu satu hari satu malam berlaku jika wanita tersebut baru mulai haid atau memiliki kebiasaan haid namun melihat darah di luar waktu kebiasaannya, karena umumnya darah yang baru keluar bukanlah darah haid sampai berlangsung satu hari satu malam. Setelah jelas apa yang kami jelaskan mengenai pertimbangan darah dalam berakhirnya masa ‘iddah sesuai perbedaan pendapat para ulama kami, maka para ulama kami juga berbeda pendapat mengenai waktunya, apakah termasuk dalam masa ‘iddah atau tidak, menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مِنَ الْعِدَّةِ لِاعْتِبَارِهِ فِيهَا، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ رَجْعَتُهَا فِيهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَتَزَوَّجَ فِيهِ.

Salah satu pendapat: Bahwa itu termasuk bagian dari ‘iddah karena diperhitungkan di dalamnya. Berdasarkan pendapat ini, suami boleh merujuk istrinya selama masa itu dan istri tidak boleh menikah lagi di dalamnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُعْتَبَرٌ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَلَيْسَ مِنْهَا كَغَسْلِ الرَّأْسِ فِي تَجَاوُزِهِ إِلَى مَا لَيْسَ مِنَ الْوَجْهِ لِيَسْتَوْفِيَ بِهِ جَمِيعَ الوجه كالصائم يستزيد بإمساك جزئين مِنْ طَرَفَيِ اللَّيْلِ لِيَسْتَوْفِيَ بِهِ إِمْسَاكَ جَمِيعِ النَّهَارِ فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ رَجْعَتُهَا فِيهِ وَيَجُوزُ أَنْ تَتَزَوَّجَ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Bahwa masa itu hanya diperhitungkan dalam berakhirnya ‘iddah dan bukan bagian darinya, seperti membasuh kepala yang melewati batas wajah dalam wudhu agar seluruh wajah benar-benar tercuci, atau seperti orang yang berpuasa menambah waktu menahan diri pada dua ujung malam agar seluruh siang hari benar-benar terjaga puasanya. Berdasarkan pendapat ini, suami tidak boleh merujuk istrinya selama masa itu dan istri boleh menikah lagi di dalamnya. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَتُصَدَّقُ عَلَى ثَلَاثَةِ قُرُوءٍ فِي أَقَلِّ مَا يُمْكِنُ “.

Imam Syāfi‘ī berkata: “Dan diterima pengakuannya atas tiga quru’ dalam waktu paling singkat yang mungkin.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَا أَقَلُّ الزَّمَانِ الَّذِي يُمْكِنُ أَنْ تَعْتَدَّ فِيهِ بِثَلَاثَةِ أَقَرَاءٍ فَمُخْتَلَفٌ فِيهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَقَلُّهُ اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ يَوْمًا وَسَاعَتَانِ، وَبَيَانُهُ أَنْ يُطَلِّقَ مِنْ آخِرِ الطُّهْرِ فَتَكُونُ السَّاعَةُ الْبَاقِيَةُ مِنْهُ قُرْءًا ثُمَّ يَمْضِي أَقَلُّ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، ثُمَّ أَقَلُّ الطُّهْرِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَهُوَ الْقُرْءُ الثَّانِي، ثُمَّ أَقَلُّ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، ثُمَّ أَقَلُّ الطُّهْرِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَهُوَ الْقُرْءُ الثَّالِثُ فَإِذَا طَعَنَتْ فِي أَوَّلِ سَاعَةٍ مِنْ حَيْضَتِهَا الثَّالِثَةِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ فِي أَقَلِّ الطُّهْرَيْنِ، وَذَلِكَ ثَلَاثُونَ يَوْمًا، وَأَقَلِّ حَيْضَتَيْنِ وَذَلِكَ يَوْمَانِ وَلَيْلَتَانِ وَسَاعَةٌ فِي الِابْتِدَاءِ مِنْ طُهْرٍ هِيَ قُرْءٌ، وَسَاعَةٌ فِي الِانْتِهَاءِ مِنْ حَيْضٍ يُعْلَمُ بِهَا انْقِضَاءُ الطُّهْرِ.

Al-Māwardī berkata: Adapun waktu paling singkat yang memungkinkan seorang wanita menjalani ‘iddah dengan tiga quru’, terdapat perbedaan pendapat di dalamnya. Menurut mazhab Syāfi‘ī: paling singkat adalah dua puluh dua hari dan dua jam. Penjelasannya: suami mentalak di akhir masa suci, maka sisa jam dari masa suci itu dihitung sebagai satu quru’, lalu berlalu masa haid paling singkat satu hari satu malam, kemudian masa suci paling singkat lima belas hari, itu adalah quru’ kedua, lalu masa haid paling singkat satu hari satu malam, kemudian masa suci paling singkat lima belas hari, itu adalah quru’ ketiga. Jika wanita itu telah masuk pada jam pertama dari haid ketiganya, maka berakhirlah ‘iddahnya, dengan pertimbangan keyakinan pada dua masa suci yang paling singkat, yaitu tiga puluh hari, dan dua masa haid yang paling singkat, yaitu dua hari dua malam, serta satu jam di awal dari masa suci yang merupakan satu quru’, dan satu jam di akhir dari masa haid yang diketahui dengannya berakhirnya masa suci.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ: أَقَلُّ مَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ تِسْعَةٌ وَثَلَاثُونَ يَوْمًا وَسَاعَةٌ وَاحِدَةٌ اعْتِبَارًا بِالْأَقَلِّ مِنْ ثَلَاثِ حيضات وطهرين؛ لأن أقل الحيض عندهما ثلاث أَيَّامٍ وَبَيَانُهُ أَنْ يُطَلِّقَ فِي آخِرِ الطُّهْرِ الْمُتَّصِلِ بِالْحَيْضِ ثُمَّ يَمْضِي ثَلَاثُ حَيْضَاتٍ أَقَلُّهَا تِسْعَةُ أَيَّامٍ يَتَخَلَّلُهَا طُهْرَانِ أَقَلُّهَا ثَلَاثُونَ يَوْمًا، ثُمَّ تَدْخُلُ فِي أَوَّلِ سَاعَةٍ مِنْ طُهْرِهَا فَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا.

Abū Yūsuf dan Muhammad berkata: Waktu paling singkat yang menyebabkan berakhirnya ‘iddah adalah tiga puluh tiga hari dan satu jam, dengan pertimbangan paling sedikit dari tiga kali haid dan dua kali suci; karena menurut mereka, paling sedikit haid adalah tiga hari. Penjelasannya: suami mentalak di akhir masa suci yang bersambung dengan haid, lalu berlalu tiga kali haid yang paling sedikit sembilan hari, di sela-selanya terdapat dua kali suci yang paling sedikit tiga puluh hari, kemudian wanita itu masuk pada jam pertama dari masa sucinya, maka berakhirlah ‘iddahnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: أَقَلُّ مَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ سِتُّونَ يَوْمًا وَسَاعَةٌ مِنْ طُهْرِهَا اعْتِبَارًا بِالْأَكْثَرِ مِنْ ثَلَاثِ حَيْضَاتٍ، وَذَلِكَ ثَلَاثُونَ يَوْمًا؛ لِأَنَّ أَكْثَرَهُ عَشَرَةُ أَيَّامٍ عِنْدَهُ وَالْأَقَلُّ مِنْ طُهْرَيْنِ، وَذَلِكَ ثَلَاثُونَ يَوْمًا وَسَاعَةٌ يَدْخُلُ بِهَا فِي الطُّهْرِ الثَّالِثِ فَوَافَقَ فِي اعْتِبَارِ أَقَلِّ الطُّهْرِ، وَخَالَفَنَا وَخَالَفَ صَاحِبَهُ فِي اعْتِبَارِهِ لِأَكْثَرِ الْحَيْضِ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ اعْتِبَارُ أَقَلِّ الطُّهْرِ وَجَبَ اعْتِبَارُ أَقَلِّ الْحَيْضِ.

Abū Hanīfah berkata: Waktu paling singkat yang menyebabkan berakhirnya ‘iddah adalah enam puluh hari dan satu jam dari masa sucinya, dengan pertimbangan paling banyak dari tiga kali haid, yaitu tiga puluh hari; karena menurut beliau, paling banyak haid adalah sepuluh hari, dan paling sedikit dari dua kali suci adalah tiga puluh hari dan satu jam yang dengannya masuk pada masa suci ketiga. Maka beliau sepakat dalam mempertimbangkan paling sedikit masa suci, namun berbeda dengan kami dan dengan sahabatnya dalam mempertimbangkan paling banyak masa haid. Ini tidak tepat dari dua sisi: Pertama, ketika wajib mempertimbangkan paling sedikit masa suci, maka wajib pula mempertimbangkan paling sedikit masa haid.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا أَوْجَبَ اعْتِبَارَ الْيَقِينِ وَجَبَ اعْتِبَارُ الْأَقَلِّ.

Kedua, ketika wajib mempertimbangkan keyakinan, maka wajib pula mempertimbangkan yang paling sedikit.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُ طلاقها من ثلاثة أقسام:

Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka keadaan talaknya tidak lepas dari tiga bagian:

أحدهما: أَنَّهُ يَعْلَمُ أَنَّهُ فِي طُهْرٍ.

Pertama: Ia mengetahui bahwa talak itu terjadi pada masa suci.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَعْلَمُ أَنَّهُ فِي حَيْضٍ.

Kedua: Ia mengetahui bahwa talak itu terjadi pada masa haid.

وَالثَّالِثُ: أَنْ لَا يعلم واحداً منهما. فإذا عَلِمَ أَنَّهُ فِي طُهْرٍ رَجَعَ إِلَى قَوْلِهَا فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ {وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ} [البقرة: 228] . يَعْنِي مِنْ حَمْلٍ وَحَيْضٍ فَوَجْهُ الْوَعِيدِ النَّهْيُ لِقَبُولِ قَوْلِهِنَّ فِيهَا ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ مَا ادَّعَتْهُ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مِنْ ثلاثة أقسام:

Ketiga: Ia tidak mengetahui keduanya. Jika ia mengetahui bahwa talak itu terjadi pada masa suci, maka kembali kepada pernyataan istrinya dalam berakhirnya ‘iddah, karena Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka} [al-Baqarah: 228], yaitu berupa kehamilan dan haid. Maka maksud ancaman itu adalah larangan, untuk menerima pernyataan mereka dalam hal itu. Kemudian, keadaan apa yang ia klaim dalam berakhirnya ‘iddah tidak lepas dari tiga bagian:

أحدهما: أَنْ يَكُونَ مُوَافِقًا لِأَقَلِّ مَا يُمْكِنُ، وَذَلِكَ اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ يَوْمًا وَسَاعَتَانِ فَقَوْلُهَا فِيهِ مَقْبُولٌ، فَإِنْ أَكْذَبَهَا الزَّوْجُ أَحْلَفَهَا.

Pertama: Pernyataannya sesuai dengan waktu paling singkat yang mungkin, yaitu dua puluh dua hari dan dua jam, maka pernyataannya diterima. Jika suami mendustakannya, maka ia harus bersumpah.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ أَزْيَدَ مِنْ أَقَلِّ الْمُمْكِنِ فَأَوْلَى أَنْ تقبل قَوْلُهَا فِيهِ. وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنَ الْمُمْكِنِ كَادِّعَائِهَا انْقِضَاءَ ثَلَاثَةِ أَقَرَاءٍ فِي ثَلَاثِينَ يَوْمًا فَقَوْلُهَا مَرْدُودٌ لِاسْتِحَالَتِهِ ثُمَّ فِيهِ وجهان:

Bagian kedua: Jika (masa yang diakui) lebih dari batas minimal yang mungkin, maka lebih utama untuk menerima pengakuannya dalam hal ini. Bagian ketiga: Jika (masa yang diakui) kurang dari batas minimal yang mungkin, seperti pengakuannya bahwa tiga quru’ telah selesai dalam tiga puluh hari, maka pengakuannya ditolak karena hal itu mustahil. Kemudian dalam hal ini ada dua pendapat:

أحدهما: أنها إذ اسْتَكْمَلَتْ أَقَلَّ الْمُمْكِنِ وَهُوَ اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ يَوْمًا وَسَاعَتَانِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، وَإِنْ لَمْ تَسْتَأْنِفِ الدَّعْوَى لِدُخُولِ ذَلِكَ فِي دَعْوَى الْأَوَّلِ.

Pendapat pertama: Jika ia telah menyempurnakan batas minimal yang mungkin, yaitu tiga puluh dua hari dan dua jam, maka iddahnya telah selesai, meskipun ia tidak mengajukan pengakuan baru, karena hal itu sudah termasuk dalam pengakuan yang pertama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَنْقَضِي الْعِدَّةُ مَا لَمْ تَسْتَأْنِفِ الدَّعْوَى، لِأَنَّ الْأَدِلَّةَ مَرْدُودَةٌ بِالِاسْتِحَالَةِ فَإِنِ اسْتَأْنَفَتِ الدَّعْوَى فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ قَبْلَ قَوْلِهَا مَعَ يَمِينِهَا إِنْ أَكْذَبَتْ نَفْسَهَا وَإِلَّا فَهِيَ بَاقِيَةٌ فِي الْعِدَّةِ وَإِنْ عُلِمَ أَنَّهَا طُلِّقَتْ فِي حَيْضٍ فأقل ما تنقضي بِهِ عَدَّتُهَا سَبْعَةٌ وَأَرْبَعُونَ يَوْمًا وَسَاعَةٌ وَاحِدَةٌ وَبَيَانُهُ أَنْ يُطَلِّقَ فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ حَيْضِهَا فَتَسْتَقْبِلُ بَعْدَهَا ثَلَاثَةَ أَطْهَارٍ أَقَلُّهُمَا خَمْسَةٌ وَأَرْبَعُونَ يَوْمًا يَتَخَلَّلُهَا حَيْضَتَانِ أَقَلُّهَا يَوْمَانِ وَلَيْلَتَانِ ثُمَّ تَطْعَنُ فِي أَوَّلِ سَاعَةٍ مِنَ الْحَيْضِ فَتَقْضِي عِدَّتَهَا، فَإِنِ ادَّعَتِ انْقِضَاءَهَا فِي هَذَا الْقَدْرِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْهُ قُبِلَ قَوْلُهَا، وَإِنِ ادَّعَتِ انْقِضَاءَهَا فِي أَقَلَّ مِنْهُ لَمْ يُقْبَلْ، وَكَانَ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ وُقُوعُ الطَّلَاقِ قِيلَ: كَانَ فِي حيض أو طهر رجع إلىقولها فيه كما يرجع إلى قولها يفي الطَّلَاقِ إِذَا عَلَّقَهُ بِحَيْضِهَا أَوْ طُهْرِهَا، فَإِنِ ادَّعَتْ وُقُوعَ الطَّلَاقِ فِي حَيْضِهَا فَهُوَ أَغْلَظُ أَمْرَيْهَا فَيُقْبَلُ قَوْلُهَا فِيهِ وَلَا يَمِينَ عَلَيْهَا لِلزَّوْجِ إِنْ أَكْذَبَهَا مَا لَمْ تُرِدْ بِهِ إِسْقَاطَ نَفَقَتِهَا، وَكَانَ أَقَلُّ مَا تَنْقَضِي بِهِ عَدَّتُهَا مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ سَبْعَةٍ وَأَرْبَعِينَ يَوْمًا وَسَاعَةٍ، وَإِنِ ادَّعَتْ وُقُوعَ الطَّلَاقِ فِي الطُّهْرِ فَقَوْلُهَا فِيهِ مَقْبُولٌ وَلِلزَّوْجِ إِحْلَافُهَا إِنْ أَكْذَبَهَا لِأَنَّهُ أَمْرٌ لَا يُوقَفُ عَلَيْهِ إِلَّا مِنْ جِهَتِهَا، وَيَكُونُ أَقَلُّ مَا يَقْتَضِي بِهِ الْعِدَّةُ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ اثْنَيْنِ وَثَلَاثِينَ يَوْمًا وَسَاعَتَيْنِ.

Pendapat kedua: Iddah tidak selesai selama ia belum mengajukan pengakuan baru, karena dalil-dalil sebelumnya tertolak sebab kemustahilannya. Jika ia mengajukan pengakuan baru tentang berakhirnya iddah sebelum pengakuan sebelumnya, maka diterima dengan sumpahnya jika ia mendustakan dirinya sendiri, jika tidak maka ia tetap dalam masa iddah. Jika diketahui bahwa ia ditalak saat haid, maka masa minimal iddahnya adalah empat puluh tujuh hari dan satu jam. Penjelasannya: suami mentalaknya pada akhir jam haidnya, lalu setelah itu ia mengalami tiga masa suci, yang paling sedikit adalah empat puluh lima hari, di sela-selanya terdapat dua kali haid yang paling sedikit adalah dua hari dua malam, kemudian ia mengalami haid pada awal jam haid berikutnya, maka iddahnya selesai. Jika ia mengaku iddahnya selesai dalam waktu tersebut atau lebih, maka pengakuannya diterima. Jika ia mengaku iddahnya selesai dalam waktu kurang dari itu, maka tidak diterima, dan berlaku dua pendapat yang telah disebutkan. Jika tidak diketahui kapan terjadinya talak, dikatakan: apakah terjadi saat haid atau suci, maka kembali kepada pengakuannya, sebagaimana dalam talak yang digantungkan pada haid atau sucinya. Jika ia mengaku talak terjadi saat haid, maka itu adalah kondisi yang lebih berat baginya, sehingga pengakuannya diterima dan tidak ada sumpah atasnya untuk suami jika suami mendustakannya, selama ia tidak bermaksud menggugurkan nafkahnya. Masa minimal iddahnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu empat puluh tujuh hari dan satu jam. Jika ia mengaku talak terjadi saat suci, maka pengakuannya diterima dan suami boleh menyuruhnya bersumpah jika ia mendustakannya, karena hal itu hanya dapat diketahui dari pihaknya. Masa minimal iddahnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu tiga puluh dua hari dan dua jam.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا كَانَ عَادَةُ الْمُطَلَّقَةِ أَنْ تَحِيضَ خَمْسَةَ أَيَّامٍ وَتَطْهُرَ عِشْرِينَ يَوْمًا فَلَا يَخْلُو حَالُهَا إِذَا طُلِّقَتْ مِنْ أَنْ تَدَّعِيَ انْتِقَالَ العادة أو لا تدعيها، فإن لم تدعي انْقِضَاءَ الْعَادَةِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ طَلَاقُهَا فِي طُهْرٍ فَأَقَلُّ مَا تَنْقَضِي بِهِ عِدَّتُهَا خَمْسُونَ يَوْمًا وَسَاعَتَانِ وَبَيَانُهُ أَنْ تُطَلَّقَ فِي آخِرِ طهرها فيكون قرءاً ثم طهرين أربعون يوماً وحيضتين عَشَرَةُ أَيَّامٍ ثُمَّ سَاعَةٌ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ وَإِنْ طُلِّقَتْ فِي الْحَيْضِ فَأَقَلُّ مَا تَنْقَضِي بِهِ عَدَّتُهَا سَبْعُونَ يَوْمًا وَسَاعَةٌ وَاحِدَةٌ وَذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَطْهَارٍ كَوَامِلُ هِيَ سِتُّونَ يَوْمًا يَتَخَلَّلُهَا حَيْضَتَانِ هِيَ عَشَرَةُ أَيَّامٍ وَسَاعَةٌ مِنَ الْحَيْضَةِ الَّتِي يَنْقَضِي بِهَا الطُّهْرُ الثَّالِثُ فَإِنِ ادَّعَتْ فِي أَحَدِ الطَّلَاقَيْنَ أَقَلَّ مِنْ هَذَا الْقَدْرِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهَا إِذَا كَانَتْ بَاقِيَةً عَلَى عَادَتِهَا فَإِنِ ادَّعَتِ انْتِقَالَ عَادَتِهَا فِي الْحَيْضِ إِلَى أَقَلِّهِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وفي الطهر إلى أقله خمسة عشرة يَوْمًا فَفِي قَبُولِ قَوْلِهَا وَجْهَانِ:

Jika kebiasaan wanita yang ditalak adalah haid selama lima hari dan suci selama dua puluh hari, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan ketika ditalak: mengaku adanya perubahan kebiasaan atau tidak mengakuinya. Jika ia tidak mengaku berakhirnya kebiasaan, maka diperhatikan: jika talaknya terjadi pada masa suci, maka masa minimal iddahnya adalah lima puluh hari dan dua jam. Penjelasannya: ia ditalak pada akhir masa sucinya, sehingga itu dihitung satu quru’, kemudian dua kali suci selama empat puluh hari, dan dua kali haid selama sepuluh hari, lalu satu jam dari haid ketiga. Jika ia ditalak saat haid, maka masa minimal iddahnya adalah tujuh puluh hari dan satu jam, yaitu tiga kali suci penuh selama enam puluh hari, di sela-selanya dua kali haid selama sepuluh hari, dan satu jam dari haid yang dengannya berakhir masa suci ketiga. Jika ia mengaku dalam kedua talak tersebut kurang dari waktu tersebut, maka tidak diterima selama ia masih dalam kebiasaannya. Jika ia mengaku perubahan kebiasaan haidnya menjadi yang paling sedikit, yaitu satu hari satu malam, dan masa sucinya menjadi yang paling sedikit, yaitu lima belas hari, maka dalam penerimaan pengakuannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ مَقْبُولًا لِإِمْكَانِهِ كَمَا قِيلَ فِي ابْتِدَائِهِ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا.

Pendapat pertama: Pengakuannya diterima karena hal itu mungkin terjadi, sebagaimana dikatakan dalam permulaan haid, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama kami.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ إِنَّهُ لَا يُقْبَلُ قَوْلُهَا فِي الِانْتِقَالِ عَنِ الْعَادَةِ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ أصلاً متيقناً.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri, adalah bahwa perkataan perempuan tidak diterima dalam hal berpindah dari kebiasaan (haid) karena kebiasaan tersebut telah menjadi dasar yang diyakini.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَأَقَلُّ مَا عَلِمْنَاهُ مِنَ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَقَالَ في موضع آخر يوم وليلة (قال المزني) رحمه الله وهذا أولى لأنه زيادة في الخبر والعلم وقد يحتمل قوله يوماً بليلة فيكون المفسر من قوله يقضي على المجمل وهكذا أصله في العلم “.

Imam Syafi‘i berkata: “Waktu paling sedikit haid yang kami ketahui adalah satu hari.” Dan beliau berkata di tempat lain: “Satu hari satu malam.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: “Yang ini lebih utama karena merupakan tambahan dalam riwayat dan pengetahuan, dan mungkin saja maksud beliau dengan ‘satu hari’ adalah beserta malamnya, sehingga penjelasan dari perkataannya mengalahkan yang masih global, dan demikianlah kaidah dalam ilmu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى فِي كِتَابِ الْحَيْضِ أَقَلُّ الْحَيْضِ وَإِعَادَتُهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ لِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنَ الْعِدَّةِ بِالْأَقْرَاءِ فَذَكَرَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: أَقَلُّهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ هَذَيْنِ النَّصَّيْنِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan dalam Kitab al-Haid tentang minimal haid, dan pengulangannya di tempat ini karena berkaitan dengan masalah ‘iddah berdasarkan quru’. Maka disebutkan di sini bahwa minimalnya adalah satu hari, dan di tempat lain disebutkan: minimalnya satu hari satu malam. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam perbedaan dua nash ini menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:

Pertama: Bahwa itu adalah perbedaan dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: أَقَلُّهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ.

Salah satunya: Minimalnya adalah satu hari satu malam.

وَالثَّانِي: أَقَلُّهُ يَوْمٌ وَهَذِهِ طَرِيقَةٌ فَاسِدَةٌ، لِأَنَّ الْقَوْلَيْنِ فِيمَا احْتَمَلَهُ الِاجْتِهَادُ مِنْ تَعَارُضِ ظَاهِرَيْنِ أَوْ تَرْجِيحِ قِيَاسَيْنِ وَأَقَلُّ الْحَيْضَتَيْنِ مُعْتَبَرٌ بِالْوُجُودِ الْمُعْتَادِ فَإِنْ وُجِدَ الْأَقَلُّ بَطَلَ الْأَكْثَرُ، وَإِنْ لَمْ يُوجَدْ بَطَلَ الْأَقَلُّ.

Dan yang kedua: Minimalnya adalah satu hari. Ini adalah metode yang rusak, karena dua pendapat itu hanya dalam hal yang memungkinkan adanya ijtihad dari pertentangan dua dalil zhahir atau pertimbangan dua qiyās, sedangkan minimal dua haid itu diukur dengan kebiasaan yang ada. Jika ditemukan yang minimal maka yang lebih banyak gugur, dan jika tidak ditemukan yang minimal maka yang minimal pun gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لِأَصْحَابِنَا أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ بِغَيْرِ لَيْلَةٍ، لِأَنَّهُ كَانَ يَرَى أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ إِلَى أَنْ صَحَّ عِنْدَهُ مَا قَالَهُ الْأَوْزَاعِيُّ أَنَّهُ كَانَ عِنْدَهُمُ امْرَأَةٌ تَحِيضُ بِالْغَدَاةِ وَتَطْهُرُ بِالْعَشِيِّ، وَكَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ بِمِثْلِ ذَلِكَ فَصَارَ إِلَيْهِ وَرَجَعَ عَنِ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ.

Pendapat kedua dari sahabat-sahabat kami adalah bahwa minimalnya satu hari tanpa malam, karena sebelumnya beliau berpendapat minimalnya satu hari satu malam hingga sampai kepadanya riwayat dari al-Auza‘i bahwa di kalangan mereka ada seorang wanita yang haid di pagi hari dan suci di sore hari, dan Abdul Rahman bin Mahdi juga menulis kepadanya hal yang serupa, maka beliau pun berpegang pada itu dan meninggalkan pendapat satu hari satu malam.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَصَحُّ الطُّرُقِ الثَّلَاثَةِ أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَقَوْلُهُ فِي هَذَا الموضع ” أقله يوم ” يريد يه لَيْلَتَهُ، لِأَنَّ الْعَرَبَ تَذْكُرُ الْأَيَّامَ، وَتُرِيدُ بِهَا مع الليالي ويذكر اللَّيَالِيَ وَتُرِيدُ بِهَا مَعَ الْأَيَّامِ وَيُجْمَعُ بَيْنَهَا للتأكيد قال الله تعالى: {أن لا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا} [مريم: 10] . وَأَرَادَ بِأَيَّامِهَا وَقَالَ تَعَالَى: {ثَلاثَةَ أَيَّامٍ إِلا رَمْزًا} [آل عمران: 41] . وَأَرَادَ بِلَيَالِيهَا، فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ وَافَقَ عَلَى هَذَا، فِي أَنَّ أَقَلَّ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَخَالَفَ فِي الْعِلَّةِ قَالَ: لِأَنَّهُ زِيَادَةٌ فِي الْخَبَرِ وَالْعِلْمِ، وَهَذَا تَعْلِيلٌ فَاسِدٌ، لِأَنَّ زِيَادَةَ الْعِلْمِ وُجُودُ الْأَقَلِّ لَا وُجُودُ الْأَكْثَرِ وَلَوْ كَانَ هَذَا التَّعْلِيلُ صَحِيحًا لَكَانَ مَا قَالَهُ أَبُو حَنِيفَةَ مِنْ تَحْدِيدِ أَقَلِّهِ بِالثَّلَاثِ أَصَحُّ، لِأَنَّهُ أَزْيَدُ عِلْمًا وَأَحْسَبُ الْمُزَنِيَّ لَمْ يَزِدْ مَا تَوَهَّمَهُ أَصْحَابُنَا مِنْ زِيَادَةِ الْعِلْمِ بِالْوُجُودِ، وَإِنَّمَا أَرَادَ زِيَادَةَ الْعِلْمِ بِالنَّقْلِ عَنِ الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّهُ مِمَّنْ لَا يَخِيلُ عَلَيْهِ مِثْلُ هَذَا فَيُنْسَبَ إِلَيْهِ والله أعلم.

Pendapat ketiga, dan inilah yang paling shahih dari tiga metode tersebut, bahwa minimalnya adalah satu hari satu malam, dan maksud perkataannya di sini “minimalnya satu hari” adalah beserta malamnya, karena orang Arab menyebut hari dan maksudnya beserta malam, dan menyebut malam dan maksudnya beserta hari, dan keduanya digabungkan untuk penegasan. Allah Ta‘ala berfirman: {bahwa kamu tidak berbicara dengan manusia selama tiga malam, padahal sehat} [Maryam: 10], dan yang dimaksud adalah beserta siangnya. Dan Allah Ta‘ala berfirman: {tiga hari kecuali dengan isyarat} [Ali ‘Imran: 41], dan yang dimaksud adalah beserta malamnya. Adapun al-Muzani, ia setuju dalam hal bahwa minimal haid adalah satu hari satu malam, namun berbeda dalam alasan. Ia berkata: karena itu tambahan dalam riwayat dan pengetahuan. Ini adalah alasan yang rusak, karena tambahan pengetahuan adalah dengan adanya yang minimal, bukan dengan adanya yang lebih banyak. Seandainya alasan ini benar, maka apa yang dikatakan Abu Hanifah tentang penetapan minimalnya tiga hari lebih benar, karena itu lebih banyak pengetahuan. Saya kira al-Muzani tidak menambah apa yang disangka oleh sahabat-sahabat kami dari tambahan pengetahuan dengan adanya, namun yang ia maksud adalah tambahan pengetahuan dengan riwayat dari asy-Syafi‘i, karena ia termasuk orang yang tidak mudah tertipu dengan hal seperti ini sehingga dinisbatkan kepadanya. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَإِنْ عَلِمْنَا أَنَّ طُهْرَ امْرَأَةٍ أَقَلُّ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ جَعَلْنَا الْقَوْلَ فِيهِ قَوْلَهَا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika kami mengetahui bahwa masa suci seorang wanita kurang dari lima belas hari, maka kami menerima perkataannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ أَقَلَّ الطُّهْرَيْنِ الْحَيْضَتَيْنِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا اعْتِبَارًا بِأَقَلِّ الْوُجُودِ الْمُعْتَادِ، لِأَنَّ مَا لَمْ يَتَقَدَّرْ بِالشَّرْعِ وَاللُّغَةِ تَقَدَّرَ بِالْعُرْفِ وَالْعَادَةِ كَالْقَبْضِ وَالتَّفَرُّقِ، فَلَوْ وَجَدْنَا طُهْرًا مُعْتَادًا كَانَ أَقَلَّ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا انْتَقَلْنَا إِلَيْهِ وَعُمِلَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ يَكُونُ بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena minimal masa suci antara dua haid adalah lima belas hari, berdasarkan kebiasaan yang paling sedikit, sebab sesuatu yang tidak ditentukan oleh syariat dan bahasa maka ditentukan oleh ‘urf (kebiasaan) dan adat, seperti dalam masalah qabdh (penguasaan) dan tafarruq (perpisahan). Maka jika kami mendapati masa suci yang biasa terjadi kurang dari lima belas hari, kami berpindah kepadanya dan mengamalkannya. Hal itu bisa terjadi dengan dua cara:

إِمَّا أَنْ يَتَكَرَّرَ طُهْرُ الْمَرْأَةِ الْوَاحِدَةِ مِرَارًا مُتَوَالِيَةً أَقَلُّهَا ثلاث مرارا مِنْ غَيْرِ مَرَضٍ وَلَا عَارِضٍ، فَإِنْ تَفَرَّقَ وَلَمْ يَصِرْ عَادَةً.

Yaitu jika masa suci seorang wanita berulang beberapa kali secara berturut-turut, minimal tiga kali, tanpa sebab sakit atau halangan. Jika terpisah-pisah dan tidak menjadi kebiasaan.

وَإِمَّا بِأَنْ يُوجَدَ مَرَّةً وَاحِدَةً مِنْ جَمَاعَةِ نِسَاءٍ أَقَلُّهُنَّ ثَلَاثُ نِسْوَةٍ، وهل يراعى أن تكون ذَلِكَ فِي فَصْلٍ وَاحِدٍ مِنْ عَامٍ وَاحِدٍ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Atau dengan ditemukannya sekali saja dari sekelompok perempuan, paling sedikit tiga orang perempuan. Apakah harus diperhatikan bahwa hal itu terjadi dalam satu musim pada tahun yang sama atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُرَاعَى وُجُودُ ذَلِكَ مِنْهُنَّ فِي فَصْلٍ وَاحِدٍ مِنْ عَامٍ وَاحِدٍ، فَإِنِ اتُّفِقَ عَلَيْهِ فِي فَصْلَيْنِ مَنْ عَامٍ وَاحِدٍ أَوْ فَصْلٍ وَاحِدٍ مِنْ عَامَيْنِ لَمْ يَصِرْ عَادَةً مُعْتَبَرَةً لِيَكُونَ اخْتِلَافُ طِبَاعِهِنَّ مع اتفاق زمانهن شاهد عَلَى صِحَّةِ الْعَادَةِ احْتِيَاطًا لَهَا.

Salah satunya: Harus diperhatikan bahwa hal itu terjadi pada mereka dalam satu musim pada tahun yang sama. Jika terjadi pada dua musim dalam satu tahun, atau satu musim dalam dua tahun, maka tidak dianggap sebagai ‘adat (kebiasaan) yang diakui, agar perbedaan tabiat mereka dengan kesamaan waktu mereka menjadi bukti atas kebenaran ‘adat tersebut sebagai bentuk kehati-hatian baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ ذَلِكَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ، وَإِنِ اخْتَلَفَ فِي الْفُصُولِ وَالْأَعْوَامِ جَازَ وَصَارَ عَادَةً لِيَكُونَ أَنْفَى لِلتَّوَاطُؤِ وَأَبْعَدَ مِنَ التُّهْمَةِ وَلَا يُقْبَلُ ذَلِكَ إِلَّا مِنْ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ تَجُوزُ شَهَادَتُهُنَّ لِمَا فِيهِ مِنْ إِثْبَاتِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ، وَلَا يُقْبَلُ خبر المعتدة معهن في حق نفسها لتوحه التُّهْمَةِ إِلَيْهَا وَفِي قَبُولِهَا فِي حَقِّ غَيْرِهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Hal itu tidak dianggap, sehingga meskipun berbeda musim dan tahun, tetap diperbolehkan dan menjadi ‘adat, agar lebih menafikan adanya rekayasa dan lebih jauh dari tuduhan. Hal itu hanya diterima dari perempuan-perempuan yang terpercaya, yang kesaksiannya sah, karena di dalamnya terdapat penetapan hukum syar‘i. Tidak diterima berita dari perempuan yang sedang menjalani masa iddah bersama mereka untuk dirinya sendiri karena adanya tuduhan terhadapnya. Adapun penerimaannya untuk hak orang lain, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ لِرَدِّهِ بِالتُّهْمَةِ.

Salah satunya: Tidak diterima karena ditolak dengan alasan tuduhan.

وَالثَّانِي: لَا تُقْبَلُ، لِأَنَّهَا ثِقَةٌ فَإِذَا انْتَقَلْنَا فِي أَقَلِّ الطُّهْرِ عَنِ الْخَمْسَةَ عَشَرَ إِلَى مَا هو أقل في أحد الوجهين المذكورين واعدت الْمُعْتَدَّةُ انْقِضَاءَ عَدَّتِهَا بِالطُّهْرِ الْأَقَلِّ قُبِلَ قَوْلُهَا فيما نقض عَنْهَا وَإِلَى وَقْتِنَا مِنْ هَذَا الزَّمَانِ لَمْ يستمر طهر نقضي عنها فلا تقبل فِيهِ قَوْلٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَقِلْ عَنِ الْخَمْسَةَ عَشَرَ بِأَحَدِ الْوَجْهَيْنِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا مُعْتَدَّةً – والله أعلم -. مسألة: قال الشافعي: ” وَكَذَلِكَ تُصَدَّقُ عَلَى الصِّدْقِ “.

Yang kedua: Diterima, karena ia adalah orang yang terpercaya. Jika kita berpindah dalam masalah minimal masa suci dari lima belas hari ke yang lebih sedikit menurut salah satu dari dua pendapat yang disebutkan, lalu perempuan yang menjalani iddah mengabarkan berakhirnya masa iddahnya dengan masa suci yang lebih sedikit, maka ucapannya diterima dalam hal yang telah berlalu darinya. Sampai saat ini, belum pernah terjadi masa suci yang lebih singkat darinya, maka tidak diterima ucapannya dalam hal itu. Jika tidak berpindah dari lima belas hari menurut salah satu dari dua pendapat, maka ucapannya sebagai perempuan yang menjalani iddah tidak diterima—wallāhu a‘lam. Masalah: Imam Syafi‘i berkata, “Demikian pula ia dibenarkan atas kejujurannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ: إِذَا ادَّعَتِ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ بِالسَّقْطِ كَانَ قَوْلُهَا مَقْبُولًا إِذَا أَمْكَنَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ}

Al-Māwardī berkata: Dan memang sebagaimana yang beliau katakan: Jika ia mengaku telah selesai masa iddahnya karena keguguran, maka ucapannya diterima jika memungkinkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka}

[البقرة: 228] . وَإِمْكَانُهُ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ ثَمَانِينَ يَوْمًا مِنْ وَطْئِهِ وَإِنَّمَا اعْتُبِرَ بِالثَّمَانِينَ، لِأَنَّ أَقَلَّ حَمْلٍ يَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ أَنْ يَكُونَ مُضْغَةً مُخَلَّقَةً.

[Al-Baqarah: 228]. Kemungkinannya adalah setelah delapan puluh hari dari hubungan suami istri. Yang dijadikan patokan adalah delapan puluh hari, karena masa kehamilan paling singkat yang dapat mengakhiri masa iddah adalah ketika janin telah berbentuk mudhghah (segumpal daging) yang telah terbentuk.

وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُخْلَقُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ نُطْفَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا، فَلَا يَقَعُ الِاعْتِدَادُ بِإِسْقَاطِهِ قَبْلَ الثَّمَانِينَ، وَقُبِلَ قَوْلُهَا بَعْدَهَا، وَلَا يَلْزَمُهَا إِحْضَارُ السَّقْطِ لِأَنَّهَا لَوْ أَحْضَرَتْهُ لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ مِنْهَا إِلَّا بِقَوْلِهَا.

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya salah seorang dari kalian diciptakan dalam perut ibunya sebagai nutfah selama empat puluh hari, kemudian menjadi ‘alaqah selama empat puluh hari, kemudian menjadi mudhghah selama empat puluh hari.” Maka tidak dianggap masa iddah dengan keguguran sebelum delapan puluh hari, dan ucapannya diterima setelah itu. Ia tidak diwajibkan menghadirkan janin yang gugur, karena seandainya ia membawanya pun, tidak dapat dipastikan bahwa itu darinya kecuali dengan pengakuannya.

فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ فَادَّعَتِ انْقِضَاءَ عَدَّتِهَا، وَأَكْذَبَهَا الزَّوْجُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ دُونَهَا، لِأَنَّ الشُّهُورَ مُقَدَّرَةٌ بِالشَّرْعِ وَالْحَلِفُ فِيهَا إِنَّمَا هُوَ حَلِفٌ فِي زَمَانِ الطَّلَاقِ وَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي زَمَانِ طَلَاقِهِ كَمَا كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ فِي أَصْلِ الطَّلَاقِ.

Adapun jika ia termasuk perempuan yang masa iddahnya dengan bulan, lalu ia mengaku masa iddahnya telah selesai, dan suaminya mendustakannya, maka yang dipegang adalah ucapan suaminya, bukan ucapannya. Karena bulan-bulan telah ditetapkan secara syar‘i, dan sumpah dalam hal ini hanya terkait dengan waktu talak, dan yang dipegang adalah ucapan suami mengenai waktu talaknya, sebagaimana ucapan suami yang dipegang dalam asal terjadinya talak.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَلَوْ رَأَتِ الدَّمَ فِي الثَّالِثَةِ دَفْعَةً ثُمَّ ارْتَفَعَ يَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً أَوْ أَكْثَرَ فَإِنْ كَانَ الْوَقْتُ الَّذِي رَأَتْ فِيهِ الدَّفْعَةَ فِي أَيَّامِ حَيْضِهَا وَرَأَتْ صُفْرَةً أَوْ كُدْرَةً أَوْ لَمْ تَرَ طُهْرًا حَتَّى يُكْمِلَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَهُوَ حَيْضٌ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْحَيْضِ فَكَذَلِكَ إِذَا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ رؤيتها الدم والحيض قبله قدر طهر وإن رأت الدم أقل من يوم وليلة لم يكن حيضاً “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia melihat darah pada hari ketiga sekali, lalu berhenti selama dua atau tiga hari atau lebih, maka jika waktu ia melihat darah itu masih dalam hari-hari haidnya, dan ia melihat cairan kekuningan atau keruh, atau belum melihat tanda suci hingga genap sehari semalam, maka itu adalah haid. Jika di luar hari-hari haid, maka demikian pula jika memungkinkan antara ia melihat darah dan haid sebelumnya terdapat jarak masa suci. Jika ia melihat darah kurang dari sehari semalam, maka itu bukan haid.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عِدَّةَ الْمُطَلَّقَةِ فِي الطُّهْرِ تَنْقَضِي بِدُخُولِهَا فِي الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ، وَالْمُطَلَّقَةُ فِي الْحَيْضِ تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِدُخُولِهَا فِي الْحَيْضَةِ الرَّابِعَةِ فَوَصَفَ الشَّافِعِيُّ حَالَ الْحَيْضَةِ الْأَخِيرَةِ لتعلق انقضاء المدة بها، فإذا رأت يوم الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ بَعْدَ الطُّهْرِ الثَّالِثِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa masa ‘iddah perempuan yang ditalak pada masa suci berakhir dengan masuknya ia ke dalam haid ketiga, dan perempuan yang ditalak pada masa haid, masa ‘iddahnya berakhir dengan masuknya ia ke dalam haid keempat. Maka asy-Syafi‘i menjelaskan keadaan haid terakhir karena berhubungan dengan berakhirnya masa ‘iddah. Jika ia melihat darah pada hari haid ketiga setelah suci ketiga, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي أَيَّامِ الْعَادَةِ، أَوْ يَكُونَ فِي غَيْرِهَا، فَإِنْ كَانَ فِي أَيَّامِ الْعَادَةِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Yaitu, apakah itu terjadi pada hari-hari kebiasaannya, atau di luar hari-hari kebiasaannya. Jika terjadi pada hari-hari kebiasaannya, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَّصِلَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَيَكُونُ حَيْضًا سَوَاءٌ بَلَغَ قَدْرَ عَادَتِهَا مِنَ الْحَيْضِ أَوْ نَقَصَ عَنْهَا، لِأَنَّ الْحَيْضَ قَدْ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ وَسَوَاءٌ كَانَ الدَّمُ أَسْوَدَ أَوْ كَانَ صُفْرَةً أَوْ كُدْرَةً لِأَنَّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ فِي أَيَّامِ الْعَادَةِ حَيْضٌ بِإِجْمَاعِ أَصْحَابِنَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِدُخُولِهَا فِي هَذَا الْحَيْضِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ شَرْحِ الْمَذْهَبِ فِيهِ.

Pertama: Darah itu bersambung selama sehari semalam, maka itu dihukumi sebagai haid, baik jumlahnya sesuai dengan kebiasaan haidnya atau kurang dari itu, karena haid bisa bertambah dan berkurang. Baik darah itu berwarna hitam, kuning, atau keruh, karena cairan kuning dan keruh pada hari-hari kebiasaan adalah haid menurut ijmā‘ para ulama kami. Jika demikian, maka masa ‘iddahnya berakhir dengan masuknya ia ke dalam haid ini, sebagaimana telah kami jelaskan dalam penjelasan mazhab tentang hal ini.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَنْقَطِعَ لِأَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bentuk kedua: Darah itu terputus kurang dari sehari semalam, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَّصِلَ الطُّهْرُ الَّذِي بَعْدَهُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَلَا يَكُونُ ذَلِكَ الدَّمُ النَّاقِصُ عَنِ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ حَيْضًا لِنُقْصَانِهِ عَنْ أَقَلِّ الْحَيْضِ وَيَكُونُ دَمَ فَسَادٍ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الطُّهْرِ فِي بَقَاءِ الْعِدَّةِ، وَيَكُونُ مَا بَعْدَهُ مِنَ الطُّهْرِ مُضَافًا إِلَى الطُّهْرِ الْأَوَّلِ وَجَمِيعُهُمَا طُهْرٌ وَاحِدٌ وَيَكُونُ مَا بَعْدَهُ مِنَ الدَّمِ الْمُسْتَقْبَلِ هُوَ الْحَيْضَ الَّذِي تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ إِذَا اتَصَلَ يَوْمًا وَلَيْلَةً.

Pertama: Suci setelahnya berlangsung selama lima belas hari, maka darah yang kurang dari sehari semalam itu tidak dihukumi sebagai haid karena kurang dari batas minimal haid, dan itu dianggap darah fasad yang berlaku padanya hukum suci dalam hal tetapnya masa ‘iddah. Masa suci setelahnya digabungkan dengan masa suci sebelumnya, dan keduanya dihitung sebagai satu masa suci. Darah yang keluar setelahnya adalah haid yang dengan masuknya masa ‘iddah berakhir, jika darah itu bersambung selama sehari semalam.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن لا يتصل الطهر الذي يعده خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا حَتَّى يُرَى الدَّمُ فَيُلَفَّقُ بَيْنَ الدَّمَيْنِ إِذَا كَانَ بَيْنَهُمَا أَقَلُّ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، فَإِنِ اسْتَكْمَلَ يَوْمًا وَلَيْلَةً كَانَ الْأَوَّلُ حَيْضًا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ، وَإِنْ لَمْ تَسْتَكْمِلْ بِالتَّلْفِيقِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَلَيْسَ بِحَيْضٍ، وَهِيَ بَاقِيَةٌ فِي الْعِدَّةِ.

Bentuk kedua: Masa suci setelahnya tidak mencapai lima belas hari hingga ia melihat darah lagi, maka dua darah itu digabungkan jika jarak antara keduanya kurang dari lima belas hari. Jika dengan penggabungan itu mencapai sehari semalam, maka darah yang pertama dihukumi sebagai haid yang dengannya masa ‘iddah berakhir. Jika dengan penggabungan itu tidak mencapai sehari semalam, maka itu bukan haid, dan ia tetap dalam masa ‘iddah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ رَأَتِ الدَّمَ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika ia melihat darah di luar hari-hari kebiasaannya, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَرَاهُ قَبْلَ اسْتِكْمَالِ الطُّهْرِ الْأَخِيرِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَلَا يَكُونُ حَيْضًا لِوُجُودِهِ قَبْلَ اسْتِكْمَالِ الطُّهْرِ وَسَوَاءٌ اتَّصَلَ يَوْمًا وليلة أن انْقَطَعَ لِأَقَلَّ مِنْهَا، وَيَكُونُ دَمَ فَسَادٍ وَهِيَ بَاقِيَةٌ فِي الْعِدَّةِ.

Pertama: Ia melihatnya sebelum menyempurnakan masa suci terakhir selama lima belas hari, maka itu tidak dihukumi sebagai haid karena terjadi sebelum sempurnanya masa suci. Baik darah itu bersambung sehari semalam atau terputus kurang dari itu, maka itu dianggap darah fasad dan ia tetap dalam masa ‘iddah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَرَاهُ بَعْدَ اسْتِكْمَالِ الطُّهْرِ الْأَخِيرِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bentuk kedua: Ia melihatnya setelah menyempurnakan masa suci terakhir selama lima belas hari, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَّصِلَ الدَّمُ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَيُنْظَرُ فِي صِفَةِ الدَّمِ فَإِنْ كَانَ أَسْوَدَ فَهُوَ حَتَّى يَنْقَضِيَ بِهِ الْعِدَّةُ، وَإِنْ كَانَ صُفْرَةً أَوْ كُدْرَةً فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَمَا عَلَيْهِ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا أَنْ يَكُونَ حَيْضًا، لِأَنَّهُ قَالَ: وَالصُّفْرَةُ وَالْكُدْرَةُ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ حَيْضٌ فَحَمَلَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا عَلَى أَيَّامِ الْإِمْكَانِ.

Pertama: Darah itu bersambung selama sehari semalam, maka dilihat sifat darahnya. Jika berwarna hitam, maka itu adalah haid yang dengannya masa ‘iddah berakhir. Jika berwarna kuning atau keruh, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i dan mayoritas ulama kami, itu juga dihukumi sebagai haid, karena beliau berkata: “Cairan kuning dan keruh pada hari-hari haid adalah haid.” Maka mayoritas ulama kami menganggapnya berlaku pada hari-hari kemungkinan haid.

وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: لَا يَكُونُ الصُّفْرَةُ وَالْكُدْرَةُ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ حَيْضًا، وَحَمَلَ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ: وَالصُّفْرَةُ وَالْكُدْرَةُ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ حَيْضٌ عَلَى أَيَّامِ الْعَادَةِ، لِأَنَّهُ إِذَا تَجَرَّدَ عَنْ صِفَةِ الْحَيْضِ وَخَرَجَ عَنْ زَمَانِهِ كَانَ قَاصِرًا وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – وَقَدْ كُنْتُ أَذْهَبُ إِلَى هَذَا حَتَّى رأيت للشافعي نصاً يسوي كُنَّا نُعِدُّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ فِي أَيَّامِ ألْحَيْضِ حيضاً، وإن كان هذا القول يتحمل الْأَمْرَيْنِ غَيْرَ أَنَّ نَصَّ الشَّافِعِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – يَمْنَعُ مِنْ تَأْوِيلِ مَذْهَبِهِ عَلَى غَيْرِ مَا نَصَّ عَلَيْهِ وَيَصِيرُ ذَلِكَ مَذْهَبًا لِقَائِلِهِ.

Abu Sa‘id al-Ishthakhri berkata: “Cairan kekuningan (ṣufrah) dan keruh (kudrah) di luar hari-hari kebiasaan (haid) bukanlah haid.” Ia menafsirkan perkataan asy-Syafi‘i: “Cairan kekuningan dan keruh pada hari-hari haid adalah haid” sebagai merujuk pada hari-hari kebiasaan, karena jika terlepas dari sifat haid dan keluar di luar waktunya, maka itu tidak dianggap haid. Abu Ishaq al-Marwazi – rahimahullah ta‘ala – berkata: “Dulu aku berpendapat seperti itu, hingga aku melihat nash asy-Syafi‘i yang menyamakan: ‘Kami menganggap cairan kekuningan dan keruh pada hari-hari haid sebagai haid.’ Meskipun perkataan ini dapat mengandung dua kemungkinan, namun nash asy-Syafi‘i – raḍiyallāhu ta‘ala ‘anhu – melarang menakwilkan mazhabnya selain pada apa yang telah dinyatakan, sehingga itu menjadi mazhab bagi yang mengatakannya.”

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَنْقَطِعَ دَمُهَا لِأَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَيُعْتَبَرُ مَا بَعْدَهُ مِنَ الطُّهْرِ فَإِنِ اتَّصَلَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَهَذَا الدَّمُ لِنُقْصَانِهِ عَنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ دَمُ فساد وما بعده من الطهر متصلاً بِالَّذِي قَبْلَهُ وَهِيَ فِي عِدَّتِهَا حَتَّى تَرَى دَمَ الْحَيْضِ بَعْدَ اسْتِكْمَالِ طُهْرِهَا، وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلِ الطُّهْرُ الَّذِي بَعْدَ هَذَا الدَّمِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا حَتَّى رَأَتْ دَمًا آخَرَ رُوعِيَ حَالُ الدَّمِ الْأَوَّلِ، وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلِ الطُّهْرُ الَّذِي بَعْدَهُ هَذَا الدَّمُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا حَتَّى رَأَتْ دَمًا آخَرَ رُوعِيَ حَالُ الدَّمِ الْأَوَّلِ، فَإِنْ كَانَ أَسْوَدَ لُفِّقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الدَّمِ الثَّانِي، فَإِذَا اسْتَكْمَلَا يَوْمًا وَلَيْلَةً بِالتَّلْفِيقِ صَارَ الدَّمُ الْأَوَّلُ مَعَ الثَّانِي حَيْضًا، وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِرُؤْيَةِ الدَّمِ الْأَوَّلِ، فَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ صُفْرَةً أَوْ كُدْرَةً فَعَلَى قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ لَيْسَ بِحَيْضٍ لِوُجُودِهِ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ، وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِرُؤْيَةِ الدَّمِ الثَّانِي إِذَا اتَّصَلَ يَوْمًا وَلَيْلَةً، وَعَلَى قَوْلِ سَائِرِ أَصْحَابِنَا فِي الصُّفْرَةِ وَالْكُدْرَةِ أَنَّهَا حَيْضٌ فِي أَيَّامِ الْعَادَةِ وَغَيْرِهَا يَعْتَبِرُونَ حَالَ الثَّانِي، فَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ صُفْرَةً أَوْ كُدْرَةً كَانَ الْأَوَّلُ مَعَ الثَّانِي حَيْضًا إِذَا تَلَفَّقَا يَوْمًا وَلَيْلَةً وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِرُؤْيَةِ الْأَوَّلِ، وَإِنْ كَانَ الثَّانِي أَسْوَدَ فَفِي الْأَوَّلِ مِنَ الصُّفْرَةِ وَالْكُدْرَةِ لَهُمْ وَجْهَانِ:

Jenis kedua: Darahnya terputus kurang dari sehari semalam, maka yang setelahnya dianggap sebagai masa suci. Jika masa suci itu bersambung selama lima belas hari, maka darah tersebut, karena kurang dari sehari semalam, adalah darah fasad (darah rusak), dan masa suci setelahnya dianggap bersambung dengan masa suci sebelumnya, dan ia tetap dalam masa ‘iddahnya hingga melihat darah haid setelah menyempurnakan masa sucinya. Jika masa suci setelah darah tersebut tidak bersambung selama lima belas hari hingga ia melihat darah lain, maka keadaan darah pertama diperhatikan. Jika masa suci setelah darah tersebut tidak bersambung selama lima belas hari hingga ia melihat darah lain, maka keadaan darah pertama diperhatikan. Jika darah pertama berwarna hitam, maka digabungkan antara darah pertama dan kedua; jika keduanya mencapai sehari semalam dengan penggabungan itu, maka darah pertama bersama darah kedua dihukumi sebagai haid, dan ‘iddahnya selesai dengan melihat darah pertama. Jika darah pertama berupa ṣufrah atau kudrah, maka menurut pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri, itu bukan haid karena terjadi di luar hari-hari kebiasaan, dan ‘iddahnya selesai dengan melihat darah kedua jika bersambung sehari semalam. Sedangkan menurut pendapat mayoritas ulama kami, ṣufrah dan kudrah adalah haid baik di hari kebiasaan maupun di luar kebiasaan; mereka memperhatikan keadaan darah kedua. Jika darah pertama berupa ṣufrah atau kudrah, maka darah pertama bersama darah kedua dihukumi sebagai haid jika keduanya digabungkan sehari semalam, dan ‘iddahnya selesai dengan melihat darah pertama. Jika darah kedua berwarna hitam, maka pada kasus pertama berupa ṣufrah dan kudrah, menurut mereka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ – يَكُونُ حَيْضًا، وَيُسَوِّي بَيْنَ حُكْمِ الصُّفْرَةِ وَالْكُدْرَةِ فِي تَقَدُّمِهَا عَلَى الدَّمِ وَتَأَخُّرِهَا عَنْهُ لِوُجُودِهَا فِي زَمَانِ الْإِمْكَانِ، وَيَجْعَلُ عِدَّتَهَا مُنْقَضِيَةً بِرُؤْيَةِ الصُّفْرَةِ وَالْكُدْرَةِ.

Salah satunya – yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi – dihukumi sebagai haid, dan menyamakan hukum ṣufrah dan kudrah baik mendahului darah maupun setelahnya, selama terjadi pada waktu yang memungkinkan, dan ‘iddahnya dianggap selesai dengan melihat ṣufrah dan kudrah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ – أَنَّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ إِذَا تَقَدَّمَتْ عَلَى الدَّمِ لَمْ يَكُنْ حَيْضًا، وَإِنَّمَا يَكُونُ حَيْضًا إِذَا تَأَخَّرَتْ عَنْهُ، لِأَنَّ الدَّمَ الْأَسْوَدَ أَقْوَى وَالصُّفْرَةَ أَضْعَفُ وَأَوَّلَ الْحَيْضِ أَقْوَى، وَآخِرَهُ أَضْعَفُ، فَإِذَا صَادَفَتِ الصُّفْرَةُ بِالتَّأْخِيرِ زَمَانَ الضَّعْفِ وَافَقَهُ فَكَانَ حَيْضًا، فَإِذَا صَادَفَ بِالتَّقَدُّمِ زَمَانَ الْقُوَّةِ خَالَفَهُ فَلَمْ يَكُنْ حَيْضًا، وَيَكُونُ انْقِضَاءُ عِدَّتِهَا بِالدَّمِ الثَّانِي دُونَ الصُّفْرَةِ الْأُولَى.

Pendapat kedua – yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj – bahwa ṣufrah dan kudrah jika mendahului darah, maka tidak dihukumi sebagai haid, dan hanya dihukumi haid jika datang setelahnya. Sebab, darah hitam lebih kuat dan ṣufrah lebih lemah; permulaan haid lebih kuat dan akhirnya lebih lemah. Maka jika ṣufrah datang belakangan, ia bertepatan dengan masa lemahnya haid, sehingga dihukumi haid. Namun jika datang lebih dahulu, ia bertepatan dengan masa kuatnya haid, sehingga tidak dihukumi haid. Maka selesainya ‘iddahnya adalah dengan darah kedua, bukan dengan ṣufrah yang pertama.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله تعالى عنه: ” ولو طبق عليها فإن كان دمها ينفصل فيكون فِي أَيَّامٍ أَحْمَرَ قَانِئًا مُحْتَدِمًا كَثِيرًا وَفِي أَيَّامٍ بَعْدَهُ رَقِيقًا إِلَى الصُّفْرَةِ فَحَيْضُهَا أَيَّامَ المحتدم الكثير وطهرها أيام الرقيق القليل إلى الصفرة وإن كان مشتبها كان حيضها بقدر أيام حيضها فيما مضى قبل الاستحاضة “.

Asy-Syafi‘i raḍiyallāhu ta‘ala ‘anhu berkata: “Jika darahnya terus-menerus keluar, maka jika darahnya terpisah-pisah, pada hari-hari tertentu berwarna merah pekat, panas, dan banyak, lalu pada hari-hari setelahnya menjadi tipis hingga berwarna kekuningan, maka masa haidnya adalah pada hari-hari darah yang pekat dan banyak, dan masa sucinya adalah pada hari-hari darah yang tipis dan sedikit hingga kekuningan. Jika darahnya samar, maka masa haidnya dihitung sesuai jumlah hari haidnya yang lalu sebelum mengalami istihāḍah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا طَبَقَ فَاتَّصَلَ دَمُ الْحَيْضِ بِدَمِ الِاسْتِحَاضَةِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُعْتَدَّةِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: Jika darah haid bersambung dengan darah istihāḍah, maka keadaan perempuan yang menjalani masa ‘iddah tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ لَهَا تَمْيِيزٌ وَلَيْسَ لَهَا عَادَةٌ، فَهَذِهِ تُرَدُّ إِلَى تَمْيِيزِهَا لِدَمِهَا فَمَا كَانَ مِنْهُ مُحْتَدِمًا ثَخِينًا فَهُوَ حَيْضٌ إِذَا بَلَغَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَلَمْ يَزِدْ عَلَى خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، فَإِنْ طُلِّقَتْ فِيهِ كَانَ طَلَاقَ بِدْعَةٍ وَإِنْ رَأَتْهُ بَعْدَ الطُّهْرِ الثَّالِثِ انْقَضَتْ بِهِ الْعِدَّةُ، وَمَا كَانَ مِنْهُ أَصْفَرَ رَقِيقًا فَهُوَ اسْتِحَاضَةٌ تَجْرِي عَلَيْهِ فِي الْعِدَّةِ حُكْمُ الطُّهْرِ، فَإِنْ طُلِّقَتْ فِيهِ كَانَ طَلَاقَ سُنَّةٍ وَاعْتَدَّتْ بِهِ قُرْءًا، وَإِذَا رَأَتْهُ بَعْدَ الطُّهْرِ الثَّالِثِ لَمْ تَنْقَضِ بِهِ الْعِدَّةُ.

Pertama: Jika ia memiliki kemampuan membedakan (tamyīz) namun tidak memiliki kebiasaan (‘ādah), maka ia dikembalikan kepada kemampuan membedakannya terhadap darahnya. Maka darah yang berwarna merah pekat dan kental adalah haid, jika mencapai satu hari satu malam dan tidak lebih dari lima belas hari. Jika ia ditalak dalam masa tersebut, maka talaknya adalah talak bid‘ah. Jika ia melihat darah itu setelah suci ketiga, maka ‘iddahnya selesai dengan darah tersebut. Adapun darah yang berwarna kuning dan encer adalah istihāḍah, yang dalam masa ‘iddah dihukumi sebagai suci. Jika ia ditalak dalam masa tersebut, maka talaknya adalah talak sunnah dan ia menjalani ‘iddah dengan masa suci tersebut sebagai satu quru’. Jika ia melihat darah itu setelah suci ketiga, maka ‘iddahnya tidak selesai dengan darah tersebut.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لَهَا عَادَةٌ وَلَيْسَ لَهَا تَمْيِيزٌ، لِأَنَّ دَمَهَا كَاللَّوْنِ الْوَاحِدِ إِمَّا عَلَى صِفَةِ الْحَيْضِ ثَخِينٌ مُحْتَدِمٌ وَإِمَّا عَلَى صِفَةِ الِاسْتِحَاضَةِ أَصْفَرُ رَقِيقٌ، فَهَذِهِ تُرَدُّ إِلَى عَادَتِهَا فِيمَا تَقَدَّمَ مِنْ حَيْضِهَا فَإِنْ كَانَتْ عَشَرَةَ أَيَّامٍ حِيضَتْ عَشْرًا، وَكَانَ مَا سِوَاهَا طُهْرًا، وَإِنْ طُلِّقَتْ فِي الْعَشْرِ كَانَ طَلَاقَ بِدْعَةٍ وَلَمْ يُعْتَدَّ بِهَا قُرْءًا وَانْقَضَتْ بِدُخُولِهَا فِي الْعَشْرِ الثَّالِثِ الْعِدَّةُ، وَإِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الْعَشْرِ كَانَ طَلَاقَ سُنَّةٍ وَاعْتَدَّتْ بِهِ قُرْءًا، وَلَمْ يَنْقَضِ بِهِ فِي الْعَشْرِ الثَّالِثِ الْعِدَّةُ.

Bagian kedua: Jika ia memiliki kebiasaan (‘ādah) namun tidak memiliki kemampuan membedakan (tamyīz), karena darahnya satu warna, baik dengan sifat haid (kental dan merah pekat) atau dengan sifat istihāḍah (kuning dan encer), maka ia dikembalikan kepada kebiasaan haidnya yang terdahulu. Jika kebiasaannya sepuluh hari, maka ia haid sepuluh hari dan sisanya adalah suci. Jika ia ditalak dalam sepuluh hari tersebut, maka talaknya adalah talak bid‘ah dan masa itu tidak dihitung sebagai satu quru’, dan ‘iddahnya selesai dengan masuknya ia pada sepuluh hari ketiga. Jika ia ditalak setelah sepuluh hari, maka talaknya adalah talak sunnah dan ia menjalani ‘iddah dengan masa suci tersebut sebagai satu quru’, dan ‘iddahnya tidak selesai pada sepuluh hari ketiga.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُجْمَعَ لَهَا تَمْيِيزٌ وَعَادَةٌ فَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا مَعَ اخْتِلَافِ حُكْمِهِمَا غَيْرُ مُمْكِنٍ، وَفِيهَا وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Jika ia memiliki kemampuan membedakan (tamyīz) dan juga memiliki kebiasaan (‘ādah), maka menggabungkan keduanya dengan perbedaan hukum masing-masing tidaklah mungkin. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ، وَأَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ – يَغْلِبُ حُكْمُ التَّمْيِيزِ عَلَى الْعَادَةِ، لِأَنَّ التَّمْيِيزَ دَلَالَةٌ فِي الْحَيْضِ الْمُشْكِلِ، وَالْعَادَةُ لَا دَلَالَةَ فِي غَيْرِ الْمُشْكِلِ فَيَكُونُ حُكْمُ الْمُمَيِّزَةِ عَلَى مَا مَضَى.

Pertama: — dan ini adalah pendapat yang tampak dalam mazhab, serta dikatakan oleh Abu al-‘Abbas bin Suraij dan Abu Ishaq al-Marwazi — hukum tamyīz lebih diutamakan daripada ‘ādah, karena tamyīz adalah petunjuk dalam haid yang bermasalah, sedangkan ‘ādah tidak menjadi petunjuk kecuali dalam keadaan yang tidak bermasalah. Maka hukum perempuan yang mampu membedakan (mumayyizah) mengikuti penjelasan yang telah lalu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ – يَغْلِبُ حُكْمُ الْعَادَةِ عَلَى التَّمْيِيزِ لِتَكَرُّرِهَا فَيَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الْمُعْتَادَةِ عَلَى مَا مَضَى.

Pendapat kedua: — dan ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri dan Abu ‘Ali bin Khairan — hukum ‘ādah lebih diutamakan daripada tamyīz karena berulangnya kebiasaan tersebut, sehingga ia mengikuti hukum perempuan yang memiliki kebiasaan (‘ādah) sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا تَمْيِيزٌ وَلَا عَادَةٌ وَهِيَ إِمَّا مُبْتَدَأَةٌ أَوْ نَاسِيَةٌ.

Bagian keempat: Jika ia tidak memiliki kemampuan membedakan (tamyīz) dan tidak pula memiliki kebiasaan (‘ādah), yaitu perempuan yang baru pertama kali haid (mubtada’ah) atau yang lupa kebiasaannya (nasiyah).

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله تعالى عنه: ” وَإِنِ ابْتَدَأَتْ مُسْتَحَاضَةً أَوْ نَسِيَتْ أَيَّامَ حَيْضِهَا تَرَكَتِ الصَّلَاةَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَاسْتَقْبَلْنَا بِهَا الْحَيْضَ مِنْ أَوَّلِ هِلَالٍ يَأْتِي عَلَيْهَا بَعْدَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ فَإِذَا أَهَلَّ الْهِلَالُ الرَّابِعُ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا “.

Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Jika seorang perempuan mengalami istihāḍah sejak awal atau lupa hari-hari haidnya, maka ia meninggalkan shalat selama satu hari satu malam, kemudian kami memulai perhitungan haidnya dari awal hilal yang datang setelah terjadinya talak. Maka apabila hilal keempat telah tiba, selesai sudah masa ‘iddahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى الْقِسْمِ الرَّابِعِ مِنْ أَقْسَامِ الْحَيْضِ الَّتِي لَا تَمْيِيزَ لَهُ وَلَا عَادَةَ وَهِيَ امْرَأَتَانِ مُبْتَدَأَةٌ، وَنَاسِيَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Masalah ini mencakup bagian keempat dari pembagian haid, yaitu yang tidak memiliki kemampuan membedakan (tamyīz) dan tidak pula memiliki kebiasaan (‘ādah), yaitu dua perempuan: yang baru pertama kali haid (mubtada’ah) dan yang lupa kebiasaannya (nasiyah).

فَأَمَّا الْمُبْتَدَأَةُ إِذَا طَبَقَ عَلَيْهَا الدَّمُ وَلَمْ تُمَيِّزْ فَفِي مَا تُرَدُّ إِلَيْهِ مِنْ قَدْرِ الْحَيْضِ قَوْلَانِ:

Adapun perempuan yang baru pertama kali haid (mubtada’ah), jika darah terus-menerus keluar dan ia tidak mampu membedakan, maka dalam menentukan jumlah hari haidnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَوْمًا وَلَيْلَةً، لِأَنَّهُ الْيَقِينُ.

Pertama: satu hari satu malam, karena itu adalah yang paling yakin.

وَالثَّانِي: سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ، لِأَنَّهُ أَغْلَبُ، فَأَمَّا الْعِدَّةُ فَلَا يَخْلُو حَالُ طَلَاقِهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي الدَّمِ أَوْ قَبْلَهُ، وَإِنْ كَانَ فِي الدَّمِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: enam atau tujuh hari, karena itu yang paling umum. Adapun mengenai masa ‘iddah, maka keadaan talaknya tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi saat darah keluar atau sebelumnya. Jika terjadi saat darah keluar, maka ada dua rincian:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ فَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ كَامِلَةٍ لِأَنَّ الْأَغْلَبَ مِنْ عَادَةِ النِّسَاءِ أَنْ يَحِضْنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً فَيَكُونُ كُلُّ شَهْرَيْنِ مِنْ شُهُورِهَا يَجْمَعُ حَيْضًا وَطُهْرًا، فَإِذَا حَاضَتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ مَضَى لَهَا ثَلَاثَةُ أَطْهَارٍ وَثَلَاثُ حِيَضٍ لِتَنْقَضِيَ الْعِدَّةُ، وَإِنَّمَا كَانَ الْأَغْلَبُ مُعْتَبَرًا لأمرين:

Salah satu di antaranya: jika talak terjadi pada awal bulan, maka masa iddahnya selesai dengan tiga bulan penuh, karena kebanyakan kebiasaan wanita adalah mengalami haid satu kali dalam setiap bulan, sehingga setiap dua bulan dari bulannya mengumpulkan satu kali haid dan satu kali suci. Maka jika ia mengalami haid selama tiga bulan, diketahui bahwa telah berlalu baginya tiga kali suci dan tiga kali haid sehingga iddahnya selesai. Adapun kebiasaan yang paling umum dijadikan pertimbangan karena dua hal:

أحدهما: أن الأغلب محصور.

Pertama: karena yang paling umum itu terbatas.

والثاني: غَيْرُ مَحْصُورٍ.

Kedua: tidak terbatas.

وَالثَّانِي: أَنَّ التَّأْكِيدَ يَتَقَابَلُ فِيهِ الْأَقَلُّ وَالْأَكْثَرُ فَغَلَبَ فِيهِ حُكْمُ الْأَغْلَبِ، فَإِذَا صَحَّ انْقِضَاءُ عَدَّتِهَا بِاسْتِكْمَالِ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ طلاقها فقد حكى المزني ها هنا وَفِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ ” فَإِذَا أَهَلَّ الْهِلَالُ الرَّابِعُ فَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا ” وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا وَهِمَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، وَإِنَّمَا الْمُزَنِيُّ عَدَّ الهلال الذي طلقت فيه مع رويته لِاتِّصَالِهِ بِالْعِدَّةِ فَجَعَلَ الْعِدَّةَ مُنْقَضِيَةً إِذَا أَهَلَّ الْهِلَالُ الرَّابِعُ، وَالرَّبِيعُ لَمْ يَعُدَّ الْهِلَالَ الْأَوَّلَ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ بَعْدَهُ فَصَارَ الْهِلَالُ الَّذِي انْقَضَتْ بِهِ الْعِدَّةُ ثَالِثًا.

Kedua: bahwa dalam penegasan ini, yang lebih sedikit dan yang lebih banyak saling berhadapan, maka yang lebih umumlah yang diutamakan hukumnya. Jika telah sah selesainya iddahnya dengan sempurnanya tiga bulan setelah talak, maka al-Muzani meriwayatkan di sini dan dalam kitab al-Jami‘ al-Kabir: “Jika telah muncul hilal keempat, maka iddahnya telah selesai.” Dan hal ini bukanlah berdasarkan dua pendapat sebagaimana disangka sebagian sahabat kami, melainkan al-Muzani menghitung hilal yang terjadi saat ia ditalak bersamaan dengan terlihatnya hilal karena berhubungan dengan iddah, sehingga ia menjadikan iddah selesai ketika muncul hilal keempat. Sedangkan ar-Rabi‘ tidak menghitung hilal pertama karena talak terjadi setelahnya, sehingga hilal yang dengannya iddah selesai adalah hilal yang ketiga.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُطَلِّقَ بَعْدَ أَنْ مَضَى بَعْضُ الشَّهْرِ، وَبَقِيَ بَعْضُهُ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْبَاقِي مِنْ شَهْرِهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ هَلْ يُعْتَدُّ بِهِ قُرْءًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jenis kedua: jika talak dijatuhkan setelah berlalu sebagian bulan dan masih tersisa sebagian lainnya, maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai sisa bulan setelah talak, apakah dihitung sebagai satu quru’ atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُعْتَدُّ بِبَاقِيهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ حَيْضًا حَتَّى يُسْتَكْمَلَ بَعْدَهُ بِالشَّهْرِ فَتَصِيرُ عِدَّتُهَا مُنْقَضِيَةً بِالْهِلَالِ الرَّابِعِ، وَحَمَلُوا نَقْلَ الْمُزَنِيِّ عَلَى هَذَا وَنَسَبُوا إِلَيْهِ قَوْلَ هَذَا الْوَجْهِ.

Pertama: sisa bulan tersebut tidak dihitung, karena mungkin saja itu adalah masa haid, sehingga harus disempurnakan setelahnya dengan satu bulan penuh, sehingga iddahnya selesai dengan munculnya hilal keempat. Mereka menafsirkan riwayat al-Muzani dengan pendapat ini dan menisbatkan pendapat ini kepadanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَاخْتَارَهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ – أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِبَقِيَّةِ الشَّهْرِ قُرْءًا، لِأَنَّ اعْتِبَارَ الْأَغْلَبِ فِي الشَّهْرِ أَنَّهُ يَجْمَعُ حَيْضًا وَطُهْرًا يَقْتَضِي تَغْلِيبَ الْحَيْضِ فِي أَوَّلِهِ وَالطُّهْرَ فِي آخِرِهِ فَيَصِيرُ الطَّلَاقُ الْأَخِيرُ طَلَاقًا فِي الطُّهْرِ فَاعْتَدَّتْ بِهِ قُرْءًا وَتَصِيرُ عِدَّتُهَا مُنْقَضِيَةً بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ الثَّالِثِ، وَحَمَلُوا نَقْلَ الرَّبِيعِ عَلَى هَذَا وَنَسَبُوا إِلَيْهِ هَذَا الْوَجْهَ.

Pendapat kedua: — dan ini dipilih oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah — bahwa ia menghitung sisa bulan tersebut sebagai satu quru’, karena pertimbangan yang paling umum dalam satu bulan adalah mengumpulkan haid dan suci, yang mengharuskan mengutamakan haid di awal bulan dan suci di akhirnya. Maka talak terakhir terjadi pada masa suci, sehingga ia menghitungnya sebagai satu quru’ dan iddahnya selesai dengan terlihatnya hilal ketiga. Mereka menafsirkan riwayat ar-Rabi‘ dengan pendapat ini dan menisbatkan pendapat ini kepadanya.

وَأَمَّا إِذَا طُلِّقَتِ الْمُبْتَدَأَةُ فِي الطُّهْرِ قَبْلَ رُؤْيَةِ الدَّمِ ثُمَّ رَأَتِ الدَّمَ فِي شَهْرِهَا فَفِي اعْتِدَادِهَا بِمَا مَضَى مِنْ طُهْرِهَا قُرْءًا وَجْهَانِ:

Adapun jika wanita yang baru mulai haid ditalak pada masa suci sebelum melihat darah, kemudian ia melihat darah pada bulan itu, maka dalam menghitung masa suci yang telah berlalu sebagai satu quru’ ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يُعْتَدُّ بِهِ قُرْءًا لِكَوْنِهِ طُهْرًا فَإِنَّمَا اسْتُكْمِلَ شَهْرَيْنِ بَعْدَهُ مَعَ اتِّصَالِ الدَّمِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا مَعَ انْقِضَائِهَا بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ الثَّالِثِ.

Pertama: dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij, dihitung sebagai satu quru’ karena itu adalah masa suci. Maka jika telah disempurnakan dua bulan setelahnya dengan bersambungnya darah, maka iddahnya selesai dengan terlihatnya hilal ketiga.

وَالْوَجْهُ الثاني: وهي مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْءًا لِأَنَّ الْقُرْءَ هُوَ الطُّهْرُ مِنَ الْحَيْضَتَيْنِ يَتَقَدَّمُهُ أَحَدُهُمَا وَيَتَعَقَّبُهُ الْآخَرُ فَعَلَى هَذَا يُعْتَدُّ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ مِنْ بَعْدِ رُؤْيَةِ الدَّمِ وَلَا يُحْتَسَبُ بِمَا بَقِيَ مِنَ الطُّهْرِ وَسَوَاءٌ كَانَ الدَّمُ فِي أَوَّلِ شَهْرٍ أَوْ فِي تَضَاعِيفِهِ، لِأَنَّ أَوَّلَ الدَّمِ هُوَ الْحَيْضُ يَقِينًا، فَلِذَلِكَ احْتُسِبَ بِأَوَّلِ شُهُورِ الْإِقْرَاءِ مِنْ وَقْتِ رؤيته.

Pendapat kedua: dan ini diriwayatkan dari Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa itu tidak dihitung sebagai satu quru’, karena quru’ adalah masa suci di antara dua haid, yang didahului oleh salah satunya dan diikuti oleh yang lain. Maka berdasarkan pendapat ini, dihitung tiga bulan setelah melihat darah dan tidak dihitung sisa masa suci sebelumnya, baik darah itu keluar di awal bulan maupun di pertengahannya, karena awal darah adalah haid secara yakin. Oleh karena itu, perhitungan awal bulan quru’ dimulai dari saat melihat darah.

(فصل)

(Fasal)

وما النَّاسِيَةُ فَعَلَى ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Adapun wanita yang lupa (nasiyah), maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ نَاسِيَةً لِقَدْرِ حَيْضَتِهَا ذَاكِرَةً لِوَقْتِهِ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ أَعْلَمُ أَنَّ لِي فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً، إِمَّا نَاسِيَةٌ لِقَدْرِهَا فَفِي مَا تَرُدُّ إِلَيْهِ مِنْ قَدْرِ الْحَيْضِ قَوْلَانِ:

Pertama: ia lupa jumlah hari haidnya namun ingat waktunya, yaitu ia berkata: “Aku tahu bahwa setiap bulan aku mengalami satu kali haid.” Jika ia lupa jumlah harinya, maka dalam mengembalikan kepada jumlah hari haidnya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَوْمًا وَلَيْلَةٌ.

Pertama: satu hari satu malam.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: سِتَّةُ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةُ أَيَّامٍ، فَإِنْ طُلِّقَتْ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ اعْتَدَّتْ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ كَامِلَةٍ، وَكَانَ طَلَاقُهَا فِي أَوَّلِهِ طلاق بدعة، وإن طلقت في تضاعيفه اعتدت بثلاثة أشهر كوامل، وَكَانَ طَلَاقُهَا فِي أَوَّلِهِ طَلَاقَ بِدَعَةٍ، فَإِنْ طُلِّقَتْ فِي تَضَاعِيفِهِ اعْتَدَّتْ بِبَاقِيهِ قُرْءًا وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّهَا قَدْ تَيَقَّنَتْ وُجُودَ حَيْضِهَا فِي أَوَّلِهِ فَصَارَ بَاقِيهِ طُهْرًا يَقِينًا فَلِذَلِكَ اعْتَدَّتْ بِهِ قُرْءًا، فَإِذَا مَضَى بَعْدَهُ شَهْرَانِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ الثَّالِثِ.

Pendapat kedua: enam hari atau tujuh hari. Jika ia ditalak pada awal bulan, maka ia menjalani masa ‘iddah selama tiga bulan penuh, dan talaknya di awal bulan tersebut merupakan talak bid‘ah. Jika ia ditalak di pertengahan bulan, maka ia menjalani masa ‘iddah selama tiga bulan sempurna, dan talaknya di awal bulan tersebut juga merupakan talak bid‘ah. Jika ia ditalak di pertengahan bulan, maka ia menjalani masa ‘iddah dengan sisa bulan itu sebagai satu quru’ menurut satu pendapat, karena ia telah yakin bahwa haidnya terjadi di awal bulan, sehingga sisa bulan itu menjadi masa suci yang pasti, maka ia menjalani masa ‘iddah dengan sisa bulan itu sebagai satu quru’. Setelah itu, jika telah berlalu dua bulan dan ia melihat hilal ketiga, maka selesai masa ‘iddahnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ نَاسِيَةً لِوَقْتِ حَيْضِهَا ذَاكِرَةً لِقَدْرِهِ، وَهِيَ أَنْ تَقُولَ: أَعْلَمُ أَنَّ حِيضَتِي فِي كُلِّ شهر عشر أَيَّامٍ، وَنَسِيتُ وَقْتَهَا مِنَ الشَّهْرِ هَلْ كَانَتْ فِي أَوَّلِهِ أَوْ وَسَطِهِ أَوْ آخِرِهِ؟ فَهَذِهِ ينظر في الباقي في شَهْرِهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ أَيَّامٍ احْتُسِبَ بِبَقِيَّةِ الشَّهْرِ قُرْءًا لِوُجُودِ الطُّهْرِ فِي بَقِيَّتِهِ، فَإِذَا مَضَى عَلَيْهَا بَعْدَ بَقِيَّةِ شَهْرِهَا وَرَأَتِ الْهِلَالَ الثَّالِثَ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، وَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْ شَهْرِهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ عَشَرَةَ أَيَّامٍ فَمَا دُونَ لَمْ تَعْتَدَّ بِبَقِيَّةِ الشَّهْرِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ حَيْضًا وَاسْتَقْبَلَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ شَهْرِهَا ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ كَامِلَةً، فَإِذَا أَهَلَّ الْهِلَالُ الرَّابِعُ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا.

Bagian kedua: Yaitu perempuan yang lupa waktu haidnya namun ingat jumlah hari haidnya, misalnya ia berkata: “Aku tahu bahwa haidku setiap bulan sepuluh hari, tetapi aku lupa waktunya, apakah di awal, pertengahan, atau akhir bulan?” Maka dalam hal ini, dilihat sisa bulan setelah talak. Jika sisa bulan setelah talak lebih dari sepuluh hari, maka sisa bulan itu dihitung sebagai satu quru’ karena adanya masa suci pada sisa bulan tersebut. Setelah berlalu sisa bulan itu dan ia melihat hilal ketiga, maka selesai masa ‘iddahnya. Namun jika sisa bulan setelah talak sepuluh hari atau kurang, maka ia tidak menjalani masa ‘iddah dengan sisa bulan tersebut karena mungkin saja itu adalah masa haid, dan setelah berakhirnya bulan itu, ia memulai tiga bulan penuh. Ketika hilal keempat muncul, maka selesai masa ‘iddahnya.

وَلَوْ قَالَتْ: أَعْلَمُ أَنِّي أَحِيضُ فِي كُلِّ شَهْرَيْنِ حَيْضَةً انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ وَلَوْ قَالَتْ: أَحِيضُ فِي كل أربعة أَشْهُرٍ حَيْضَةً انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِتِسْعَةِ أَشْهُرٍ وَلَوْ قَالَتْ: أَحِيضُ فِي كُلِّ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ حَيْضَةً انقضت عدتها ستة تَجْمَعُ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا بِالْأَهِلَّةِ، ثُمَّ عَلَى قياس ما قدمناه ما اعْتِدَادِهَا بِبَقِيَّةِ شَهْرِ الطَّلَاقِ، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ قَدْرِ الْحَيْضِ وَإِنْ كَانَ مِثْلَهُ أَوْ أَقَلَّ لَمْ تَعْتَدَّ بِبَقِيَّتِهِ.

Jika ia berkata: “Aku tahu bahwa aku haid sekali dalam dua bulan,” maka masa ‘iddahnya selesai dalam enam bulan. Jika ia berkata: “Aku haid sekali dalam setiap empat bulan,” maka masa ‘iddahnya selesai dalam sembilan bulan. Jika ia berkata: “Aku haid sekali dalam setiap empat bulan,” maka masa ‘iddahnya selesai dalam enam bulan, sehingga genap dua belas bulan dengan perhitungan hilal. Kemudian, menurut qiyās yang telah kami sebutkan tentang perhitungan masa ‘iddah dengan sisa bulan talak, jika sisa bulan itu lebih banyak dari masa haid, maka ia menjalani masa ‘iddah dengan sisa bulan tersebut. Namun jika sisa bulan itu sama atau kurang dari masa haid, maka ia tidak menjalani masa ‘iddah dengan sisa bulan tersebut.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ نَاسِيَةً لِقَدْرِ حَيْضَتِهَا وَوَقْتِهِ فَلَا تَعْلَمُ هَلْ كَانَ حَيْضُهَا يَوْمًا أَوْ عَشْرًا وَهَلْ كَانَ فِي كُلِّ شَهْرٍ، أَوْ شُهُورٍ، أَوْ فِي كُلِّ سَنَةٍ، أَوْ سَنَتَيْنِ؟ فَهَذِهِ هِيَ الْمُتَحَيِّرَةُ وَحُكْمُهَا فِي الْعِبَادَاتِ قَدْ مَضَى.

Bagian ketiga: Yaitu perempuan yang lupa jumlah dan waktu haidnya, sehingga ia tidak tahu apakah haidnya satu hari atau sepuluh hari, apakah setiap bulan, beberapa bulan, setiap tahun, atau dua tahun sekali? Inilah yang disebut al-mutaḥayyirah, dan hukum terkait ibadahnya telah dijelaskan sebelumnya.

فَأَمَّا حُكْمُهَا فِي الْعِدَّةِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Adapun hukum masa ‘iddahnya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا كَالْمُبْتَدَأَةِ تَحِيضُ فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَعَلَى هَذَا تَحِيضُ فِي كُلِّ شَهْرٍ وَفِيهِ قَوْلَانِ:

Salah satunya: Ia diperlakukan seperti perempuan yang baru pertama kali haid, yaitu haid sekali setiap bulan, karena Imam al-Syafi‘i menggabungkan keduanya. Berdasarkan pendapat ini, ia haid sekali setiap bulan, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ فَإِنْ طُلِّقَتْ فِي شَهْرٍ قَدْ بَقِيَ مِنْهُ أَكْثَرُ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ اعْتَدَّتْ بِبَقِيَّتِهِ قُرْءًا ثُمَّ شَهْرَيْنِ، وَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهُ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَمَا دُونَ لَمْ يُعْتَدَّ بِبَقِيَّتِهِ يَجُوزُ ان يَكُونُ حَيْضًا، وَاسْتَقْبَلَتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ كَامِلَةً.

Salah satunya: Satu hari satu malam. Jika ia ditalak pada bulan yang tersisa lebih dari satu hari satu malam, maka ia menjalani masa ‘iddah dengan sisa bulan itu sebagai satu quru’, lalu dua bulan berikutnya. Namun jika sisa bulan itu satu hari satu malam atau kurang, maka sisa bulan itu tidak dihitung karena mungkin saja itu adalah masa haid, dan ia memulai tiga bulan penuh setelahnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَحِيضُ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ، فَإِنْ طُلِّقَتْ فِي شَهْرٍ قَدْ بَقِيَ مِنْهُ أَكْثَرُ مِنْ سِتَّةِ أَوْ سَبْعَةِ أَيَّامٍ اعْتَدَّتْ بِبَقِيَّتِهِ قُرْءًا، وَإِنْ بَقِيَ مِنْهُ هَذَا الْقَدْرُ فَمَا دُونَ لَمْ تَعْتَدَّ بِبَقِيَّتِهِ فَهَذَا حُكْمُ قَوْلِهِ: أَنْ يُجْعَلَ لَهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةٌ.

Pendapat kedua: Haid selama enam atau tujuh hari. Jika ia ditalak pada bulan yang tersisa lebih dari enam atau tujuh hari, maka ia menjalani masa ‘iddah dengan sisa bulan itu sebagai satu quru’. Namun jika sisa bulan itu enam atau tujuh hari atau kurang, maka ia tidak menjalani masa ‘iddah dengan sisa bulan itu. Inilah hukum dari pendapat yang menyatakan bahwa ia dianggap haid sekali dalam setiap bulan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ أَمْرَهَا مُشْكِلٌ وَكُلَّ زَمَانِهَا شَكٌّ وَلَا يُحْكَمُ لَهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ بِحَيْضٍ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ فِي أَكْثَرَ مِنْهُ فَعَلَى هَذَا تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ كَامِلَةٍ مِنْ وَقْتِ طَلَاقِهَا سَوَاءٌ كَانَ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ تَضَاعِيفِهِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِقَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى: {وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ} [الطلاق: 4] . وَهَذِهِ مُرْتَابَةٌ فَتَكُونُ عِدَّتُهَا ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ غَيْرَ أَنَّهَا تَكُونُ شُهُورَ إِقْرَاءٍ لَا شُهُورَ إِيَاسٍ، وَفِي هَذَا الْحُكْمِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ دَخَلَتْ لَوْلَا الضَّرُورَةُ الدَّاعِيَةُ إِلَى إِمْضَائِهِ وَالْعَمَلِ بِهِ، وَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهَا تَعْتَدُّ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ تَارَةً بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ، وَتَارَةً بِأَكْثَرَ مِنْهَا، وَتَعْتَدُّ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ لَا تَزِيدُ عَلَيْهَا وَلَا تنقص – والله أعلم -.

Pendapat kedua: Bahwa perkaranya sulit dan seluruh masa iddahnya berada dalam keraguan, sehingga tidak dapat diputuskan bahwa setiap bulannya adalah masa haid, karena dimungkinkan haidnya terjadi lebih dari itu. Berdasarkan pendapat ini, iddahnya berakhir dengan tiga bulan penuh sejak waktu talaknya, baik talak itu terjadi di awal bulan maupun di pertengahannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang telah putus haid dari kalangan istri-istrimu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan} [ath-Thalaq: 4]. Perempuan ini termasuk yang diragukan (keadaannya), maka iddahnya adalah tiga bulan, hanya saja bulan-bulan tersebut adalah bulan-bulan qira’ (masa menunggu), bukan bulan-bulan ya’s (putus haid). Hukum ini diterapkan pada pendapat ini hanya karena adanya kebutuhan mendesak yang mengharuskan untuk dijalankan dan diamalkan. Perbedaan antara dua pendapat tersebut adalah: menurut pendapat pertama, kadang iddahnya kurang dari tiga bulan, kadang lebih dari itu; sedangkan menurut pendapat kedua, iddahnya adalah tiga bulan, tidak lebih dan tidak kurang – wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله تعالى عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ تَحِيضُ يَوْمًا وَتَطْهُرُ يَوْمًا وَنَحْوُ ذَلِكَ جُعِلَتْ عِدَّتُهَا تَنْقَضِي بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ وَذَلِكَ الْمَعْرُوفُ مِنْ أَمْرِ النِّسَاءِ أَنَّهُنَّ يَحِضْنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً فَلَا أَجِدُ مَعْنًى أَوْلَى بِعِدَّتِهَا مِنَ الشُّهُورِ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Seandainya seorang wanita mengalami haid sehari dan suci sehari, dan seterusnya seperti itu, maka iddahnya dianggap selesai dengan tiga bulan. Hal ini karena yang dikenal dari keadaan para wanita adalah mereka mengalami satu kali haid dalam setiap bulan, maka aku tidak menemukan makna yang lebih utama untuk iddahnya selain bulan-bulan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا رَأَتِ الْمَرْأَةُ يَوْمًا دَمًا وَيَوْمًا نَقَاءً، وَاسْتَدَامَ ذَلِكَ بِهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مُسْتَحَاضَةٌ فِي أَيَّامِ الدَّمِ وَأَيَّامِ النَّقَاءِ، وَيَكُونُ حُكْمُهَا كَالَّتِي طَبَقَ بِهَا الدَّمُ وَاسْتَمَرَّ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika seorang wanita melihat darah sehari dan bersih sehari, dan itu terus-menerus terjadi padanya, maka ada dua pendapat mengenai dirinya: salah satunya, bahwa ia dianggap mustahadah baik pada hari-hari keluar darah maupun hari-hari suci, dan hukumnya sama seperti wanita yang darahnya terus-menerus keluar, sebagaimana telah kami sebutkan dalam dua pendapat sebelumnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُلَفِّقُ أَيَّامَ الدَّمِ بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ، وَأَيَّامَ النَّقَاءِ بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ فَتُلَفِّقُ لَهَا مِنَ الشَّهْرِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا دَمًا وَهِيَ أَكْثَرُ الحيض، وخمسة عشر يوماً أَيَّامِ الدَّمِ كَانَ طَلَاقَ بِدْعَةٍ، وَإِنْ طُلِّقَتْ فِي أَيَّامِ النَّقَاءِ كَانَ طَلَاقَ سُنَّةٍ، وَهَذَا إِنْ عَدِمَتِ التَّمْيِيزَ وَالْعَادَةَ وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ، لِأَنَّ الْأَغْلَبَ مِنْ أَحْوَالِ النِّسَاءِ أَنْ تَحِيضَ فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً فَأُجْرِيَ عَلَيْهَا حُكْمُ الْأَغْلَبِ مِنْ أَحْوَالِهِنَّ، وَيَكُونُ اخْتِلَافُ الْقَوْلَيْنِ فِي التَّلْفِيقِ مُؤَثِّرًا فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:

Pendapat kedua: Ia menggabungkan hari-hari keluar darah sebagian dengan sebagian yang lain, dan hari-hari suci sebagian dengan sebagian yang lain. Maka, dari satu bulan, ia menggabungkan lima belas hari sebagai masa haid—dan itu adalah batas maksimal haid—dan lima belas hari sebagai hari-hari suci. Jika talak dijatuhkan pada hari-hari darah, maka itu adalah talak bid‘ah; dan jika talak dijatuhkan pada hari-hari suci, maka itu adalah talak sunnah. Ini berlaku jika ia tidak dapat membedakan (antara darah haid dan istihadhah) dan tidak memiliki kebiasaan (haid yang tetap), dan iddahnya selesai dengan tiga bulan, karena kebanyakan keadaan wanita adalah mengalami satu kali haid dalam setiap bulan, maka diberlakukan atasnya hukum yang berlaku pada kebanyakan wanita. Perbedaan antara dua pendapat dalam masalah penggabungan ini berpengaruh pada tiga hal:

أَحَدُهَا: أَنَّهَا بِالتَّلْفِيقِ، يَكُونُ لَهَا حَيْضٌ وَطُهْرٌ وَلَا تَكُونُ مُسْتَحَاضَةً، وَإِذَا لَمْ تُلَفِّقْ كَانَتْ مُسْتَحَاضَةً.

Pertama: Dengan penggabungan, ia memiliki masa haid dan masa suci, sehingga tidak dianggap mustahadah. Jika tidak digabungkan, maka ia dianggap mustahadah.

وَالثَّانِي: أَنَّ قَدْرَ حَيْضِهَا يَكُونُ مُخْتَلِفًا فَيَكُونُ حَيْضُهَا بِالتَّلْفِيقِ فِي كُلِّ شَهْرٍ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَإِذَا لَمْ تُلَفِّقْ فَفِي قَدْرِ مَا تَرُدُّ إِلَيْهِ مِنَ الْحَيْضِ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَوْلَانِ:

Kedua: Jumlah hari haidnya menjadi berbeda; dengan penggabungan, haidnya dalam setiap bulan adalah lima belas hari. Jika tidak digabungkan, maka dalam hal jumlah hari haid yang dikembalikan kepadanya dalam setiap bulan terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ.

Salah satunya: Sehari semalam.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: سِتَّةُ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةُ أَيَّامٍ فَإِنْ رَدَّتْ إِلَى السِّتَّةِ أَيَّامٍ كَانَ حَيْضُهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ، لِأَنَّهَا فِي السَّادِسِ فِي طُهْرٍ لَمْ يَتَّصِلْ بِدَمِ الْحَيْضِ، وَإِنْ رَدَّتْ إِلَى سَبْعَةِ أَيَّامٍ كَانَ جَمِيعُهَا حَيْضًا.

Pendapat kedua: Enam atau tujuh hari. Jika dikembalikan kepada enam hari, maka haidnya lima hari, karena pada hari keenam ia berada dalam masa suci yang tidak bersambung dengan darah haid. Jika dikembalikan kepada tujuh hari, maka semuanya dianggap haid.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ حَيْضَهَا فِي التَّلْفِيقِ يَكُونُ مُتَفَرِّقًا وَكَذَلِكَ طُهْرُهَا، وَإِنْ لَمْ تُلَفِّقْ كَانَ مُجْمَعًا، وَأَمَّا الْعِدَّةُ فَتَقَارَبَ الْقَوْلَانِ فِيهِمَا وإن كان بينهما فرق تقدم ذكره يكون انْقِضَاؤُهَا بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ، وَقَدْ مَضَى مِنَ التَّلْفِيقِ فِي كِتَابِ الْحَيْضِ مَا أَغْنَى مِنْ إِعَادَتِهِ.

Ketiga: Haidnya dengan penggabungan menjadi terpisah-pisah, demikian pula masa sucinya; sedangkan jika tidak digabungkan, maka masa haid dan sucinya menjadi terkumpul. Adapun mengenai iddah, kedua pendapat tersebut hampir sama, meskipun terdapat perbedaan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu iddahnya selesai dengan tiga bulan. Penjelasan tentang penggabungan ini telah disebutkan dalam Kitab Haid sehingga tidak perlu diulang kembali.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ تَبَاعَدَ حَيْضُهَا فَهِيَ مِنْ أَهْلِ الْحَيْضِ حَتَّى تَبْلُغَ السِّنَ الَّتِي مَنْ بَلَغَهَا لَمْ تَحِضْ بَعْدَهَا مِنَ الْمُؤَيَّسَاتِ اللَّاتِي جَعَلَ اللَّهُ عدتهن ثلاثة أشهر فاستقبلت ثلاثة أشهر. وقد روي عن ابن مسعود وغيره مثل هذا وهو يشبه ظاهر القرآن وقال عثمان لعلي وزيد في امرأة حبان بن منقذ طلقها وهو صحيح وهي ترضع فأقامت تسعة عشرة شهراً لا تحيض ثم مرض: ما تريان؟ قالا نرى أنها ترثه إن مات وَيَرِثُهَا إِنْ مَاتَتْ فَإِنَّهَا لَيْسَتْ مِنَ الْقَوَاعِدِ اللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ وَلَيْسَتْ مِنَ الْأَبْكَارِ اللَّاتِي لَمْ يَبْلُغْنَ الْمَحِيضَ ثُمَّ هِيَ عَلَى عدة حَيْضِهَا مَا كَانَ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ فَرَجَعَ حبان إلى أهله فاخذ ابنته فلما فقدت الرَّضَاعَ حَاضَتْ حَيْضَتَيْنِ ثُمَّ تُوُفِّيَ حِبَّانُ قَبْلَ الثالثة فاعتدت عدة المتوفى عنها وورثته. وقال عطاء كما قال الله تعالى إذا يئست اعتدت ثلاثة اشهر (قال الشافعي) رحمه الله: في قول عمر رضي الله عنه في التي رفعتها حيضتها تنتظر تسعة أشهر فإن بان بها حمل فذلك وإلا اعتدت بعد التسعة ثلاثة أشهر ثم حلت يحتمل قوله قد بلغت السن التي من بلغها من نسائها يئسن فلا يكون مخالفا لقول ابن مسعود رضي الله عنه وذلك وجه عندنا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika haidnya seorang perempuan tertunda, maka ia tetap termasuk golongan wanita yang mengalami haid sampai ia mencapai usia yang apabila seorang wanita telah mencapainya maka ia tidak lagi mengalami haid, yaitu dari kalangan wanita yang telah putus haidnya (al-mu’ayyisāt) yang Allah tetapkan masa ‘iddahnya tiga bulan, maka ia memulai hitungan tiga bulan. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud dan yang lainnya hal serupa, dan ini sesuai dengan makna lahiriah Al-Qur’an. Utsman pernah bertanya kepada Ali dan Zaid tentang istri Hibban bin Munqidz yang ditalak dalam keadaan sehat dan sedang menyusui, lalu ia tidak haid selama sembilan belas bulan, kemudian Hibban jatuh sakit: ‘Bagaimana pendapat kalian?’ Keduanya menjawab: ‘Kami berpendapat bahwa ia mewarisi (harta) suaminya jika suaminya meninggal, dan suaminya juga mewarisinya jika ia yang meninggal. Sebab, ia bukan termasuk wanita yang telah putus haidnya (al-qawā‘id allāti ya’isna min al-mahīdh), dan bukan pula dari kalangan gadis yang belum pernah haid (al-abkār allāti lam yablughna al-mahīdh). Maka ia tetap menjalani masa ‘iddah dengan haidnya, baik sedikit maupun banyak.’ Hibban pun kembali kepada keluarganya dan mengambil putrinya. Ketika anak itu berhenti menyusu, istrinya mengalami dua kali haid, lalu Hibban wafat sebelum haid yang ketiga. Maka istrinya menjalani masa ‘iddah wafat dan mewarisi harta Hibban. ‘Aṭā’ berkata sebagaimana firman Allah Ta‘ala: ‘Jika telah putus haidnya, maka masa ‘iddahnya tiga bulan.’ (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Dalam perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu tentang wanita yang haidnya terhenti, ia menunggu sembilan bulan; jika ternyata hamil, maka itu yang berlaku, dan jika tidak, maka ia menjalani masa ‘iddah tiga bulan setelah sembilan bulan, lalu ia halal (boleh menikah lagi). Perkataan Umar ini bisa jadi bermakna bahwa ia telah mencapai usia yang jika seorang wanita telah mencapainya maka ia telah putus haidnya, sehingga tidak bertentangan dengan pendapat Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu. Inilah pendapat yang kami pegang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِلْمُعْتَدَّةِ إِذَا تَأَخَّرَ حَيْضُهَا قَبْلَ وَقْتِ الْإِيَاسِ حَالَتَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa bagi wanita yang menjalani masa ‘iddah, jika haidnya tertunda sebelum mencapai usia putus haid (iyās), terdapat dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِسَبَبٍ مَعْرُوفٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ رَضَاعٍ فَتَكُونَ بَاقِيَةً فِي عِدَّتِهَا، وَإِنْ تَطَاوَلَتْ مُدَّتُهَا حتى يعاودها الحيض فتعد بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ رُوِيَ أَنَّ حِبَّانَ بْنَ مُنْقِذٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ تُرْضِعُ فَأَقَامَتْ تِسْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا لَا تَحِيضُ ثُمَّ مَرِضَ حِبَّانُ فَقَالَ عُثْمَانُ لِعَلِيٍّ وَزَيْدٍ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ – مَا تَرَيَانِ فِي امْرَأَةِ حِبَّانَ فَقَالَا: نَرَى أَنَّهَا تَرِثُهُ وَيَرِثُهَا إِنْ مَاتَتْ، فَإِنَّهَا لَيْسَتْ مِنَ الْقَوَاعِدِ اللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ وَلَيْسَتْ مِنَ الْأَبْكَارِ اللَّاتِي لَمْ يَبْلُغْنَ الْمَحِيضَ ثُمَّ هِيَ عَلَى حَيْضِهَا مَا كَانَ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ فَرَجَعَ حِبَّانُ إِلَى أَهْلِهِ وَأَخَذَ بِنْتَهُ فَلَمَّا فَصَلَتِ الرَّضَاعَ حَاضَتْ حيضتين ثم توفي حبان قبل الثلاثة فَاعْتَدَّتْ عِدَّةَ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا وَوَرِثَتْهُ.

Pertama: Tertundanya haid itu disebabkan oleh sebab yang diketahui, seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap menjalani masa ‘iddahnya, meskipun masa itu berlangsung lama, hingga haid kembali dan ia menghitung tiga kali suci (tiga quru’). Diriwayatkan bahwa Hibban bin Munqidz menceraikan istrinya saat sedang menyusui, lalu ia tidak haid selama sembilan belas bulan. Kemudian Hibban jatuh sakit, lalu Utsman bertanya kepada Ali dan Zaid – semoga Allah meridhai mereka –: “Bagaimana pendapat kalian tentang istri Hibban?” Keduanya menjawab: “Kami berpendapat bahwa ia mewarisi suaminya dan suaminya juga mewarisinya jika ia yang meninggal, karena ia bukan termasuk wanita yang telah putus haidnya (al-qawā‘id allāti ya’isna min al-mahīdh), dan bukan pula dari kalangan gadis yang belum pernah haid (al-abkār allāti lam yablughna al-mahīdh). Maka ia tetap menjalani masa ‘iddah dengan haidnya, baik sedikit maupun banyak.” Hibban pun kembali kepada keluarganya dan mengambil putrinya. Ketika anak itu berhenti menyusu, istrinya mengalami dua kali haid, lalu Hibban wafat sebelum haid yang ketiga. Maka istrinya menjalani masa ‘iddah wafat dan mewarisi harta Hibban.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ تَأَخُّرُ حَيْضِهَا بِغَيْرِ سَبَبٍ يُعْرَفُ فَفِيمَا تَعْتَدُّ بِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Keadaan kedua: Tertundanya haid itu tanpa sebab yang diketahui, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – ومذهب مالك – رحمه الله – أَنَّهَا تَمْكُثُ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ تَتَرَبَّصُ بِنَفْسِهَا مُدَّةَ غَالِبِ الْحَمْلِ، فَإِذَا انْقَضَتْ تِسْعَةُ أَشْهُرٍ وَهِيَ غَيْرُ مُسْتَرِيبَةٍ اعْتَدَّتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ عِدَّةَ الطَّلَاقِ، وَإِنْ لَمْ يُحْكَمْ بِإِيَاسِهَا لِأَنَّ الْعِدَّةَ مَوْضُوعَةٌ لِاسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ بِالظَّاهِرِ دُونَ الْإِحَاطَةِ، وَذَلِكَ مَوْجُودٌ بِمُضِيِّ عِدَّةِ الْمُدَّةِ، وَفِي الزِّيَادَةِ عَلَيْهَا إِدْخَالُ ضَرَرٍ عَلَيْهَا فَلَمْ يُكَلَّفْ مَا يَضُرُّهَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَأَخَّرَتْ حَيْضَتُهَا بَعْدَ أَنْ يَمْضِيَ لَهَا قُرْءٌ مِنَ الْأَقْرَاءِ الثَّلَاثَةِ لَمْ تَعْتَدَّ بِهِ مِنْ شَهْرِهَا لِأَنَّهُ لَا تُبْنَى أَحَدُ الْعِدَّتَيْنِ عَلَى الْأُخْرَى وَاسْتَأْنَفَتْ بَعْدَ الْحُكْمِ بِتَأَخُّرِ حَيْضَتِهَا سَنَةً مِنْهَا تِسْعَةُ أَشْهُرٍ لَيْسَتْ بِعِدَّةٍ، وَإِنَّمَا هِيَ لِلِاسْتِظْهَارِ بِهَا فِي اسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ، وَثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ بَعْدَهَا هِيَ الْعِدَّةُ.

Pertama: Ini adalah pendapat Umar – semoga Allah meridhainya – dan mazhab Malik – rahimahullah –, yaitu: Wanita tersebut menunggu selama sembilan bulan, yaitu masa yang umumnya cukup untuk kehamilan. Jika telah berlalu sembilan bulan dan ia tidak merasa ragu (tidak ada tanda-tanda hamil), maka ia menjalani masa ‘iddah tiga bulan sebagai masa ‘iddah talak, meskipun belum diputuskan bahwa ia telah putus haidnya, karena masa ‘iddah ditetapkan untuk memastikan kosongnya rahim secara lahiriah, bukan secara pasti, dan hal itu telah tercapai dengan berlalunya masa tersebut. Menambah waktu di luar itu akan menimbulkan kesulitan baginya, sehingga tidak dibebani sesuatu yang memberatkannya. Berdasarkan pendapat ini, jika haidnya tertunda setelah berlalu satu kali suci dari tiga kali suci, maka ia tidak menghitungnya dari bulannya, karena tidak boleh menggabungkan dua masa ‘iddah. Setelah diputuskan bahwa haidnya telah tertunda, maka ia memulai hitungan baru: sembilan bulan (bukan masa ‘iddah, melainkan masa penantian untuk memastikan kosongnya rahim), lalu tiga bulan setelahnya adalah masa ‘iddahnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَمْكُثُ مُتَرَبِّصَةً بِنَفْسِهَا مُدَّةَ أَكْثَرِ الْحَمْلِ وَهِيَ أَرْبَعُ سِنِينَ، لِأَنَّهُ أَحْوَطُ لَهَا وَلِلزَّوْجِ فِي اسْتِبْرَاءِ رَحِمِهَا، فَإِذَا انْقَضَتْ أَرْبَعُ سِنِينَ اسْتَأْنَفَتِ الْعِدَّةَ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ، فَإِنْ حَاضَتْ قَبْلَ اسْتِكْمَالِ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ عَاوَدَتِ الْأَقْرَاءَ وَسَقَطَ حُكْمُ مَا مَضَى، وَإِنَّ تَأَخَّرَ بَعْدَ الْحَيْضَةِ اسْتَأْنَفَتْ تَرَبُّصَ أَرْبَعِ سِنِينَ ثُمَّ اعْتَدَّتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ، وَكَذَلِكَ حُكْمُهَا إِنْ عَاوَدَهَا مِنْ بَعْدُ.

Pendapat kedua: Ia menunggu dalam masa iddah dengan dirinya sendiri selama masa kehamilan terlama, yaitu empat tahun, karena hal itu lebih hati-hati baginya dan bagi suami dalam memastikan rahimnya bersih. Jika telah berlalu empat tahun, ia memulai iddah tiga bulan. Jika ia haid sebelum menyelesaikan tiga bulan, maka ia kembali menjalani iddah dengan hitungan haid dan gugur hukum yang telah berlalu. Jika haid datang setelah masa haid tersebut, ia kembali menunggu empat tahun, lalu menjalani iddah tiga bulan. Demikian pula hukumnya jika haid kembali datang setelah itu.

فَأَمَّا إِنْ حَاضَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الشُّهُورِ الثَّلَاثَةِ رُوعِي حَالُهَا، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بَعْدَ أَنْ تَزَوَّجَتْ فَقَدِ انْتَهَتْ عِدَّةُ الْأَوَّلِ وَهِيَ عَلَى نِكَاحِ الثَّانِي وَإِنْ حَاضَتْ قَبْلَ أَنْ تَزَوَّجَتْ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun jika ia haid setelah selesai tiga bulan, maka keadaannya diperhatikan: jika itu terjadi setelah ia menikah lagi, maka iddah dari suami pertama telah selesai dan ia berada dalam pernikahan suami kedua. Namun jika ia haid sebelum menikah lagi, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُعَاوِدُ الِاعْتِدَادَ بِالْأَقْرَاءِ لِمَا يُحْذَرُ مِنْ مُخَالَفَةِ الظَّاهِرِ كَمَا لَوْ عَاوَدَهَا الْحَيْضُ قَبْلَ انْقِضَاءِ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ.

Salah satunya: Ia kembali menjalani iddah dengan hitungan haid karena dikhawatirkan bertentangan dengan yang tampak, sebagaimana jika haid kembali datang sebelum selesai tiga bulan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ عِدَّتَهَا قَدِ انْقَضَتْ لِلْحُكْمِ بِانْقِضَائِهَا كَمَا لَوْ تَزَوَّجَتْ، وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ ذَكَرَهُمَا الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ.

Pendapat kedua: Iddahnya telah selesai karena telah diputuskan selesai, sebagaimana jika ia telah menikah lagi. Kedua pendapat ini disebutkan oleh asy-Syafi‘i dalam pendapat lama.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ، وَهُوَ الْأَصَحُّ.

Pendapat ketiga: Ditegaskan dalam pendapat baru, dan inilah yang paling sahih.

وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: أَنَّهَا تَمْكُثُ مُتَرَبِّصَةً بِنَفْسِهَا مُدَّةَ الْإِيَاسِ، لِأَنَّ مَوْضُوعَ الْعِدَدِ عَلَى الِاحْتِيَاطِ فِي اسْتِبْرَاءِ الْأَرْحَامِ وَحِفْظِ الْأَنْسَابِ، فَوَجَبَ الِاسْتِظْهَارُ لَهَا لَا عَلَيْهَا، وَلَيْسَ لِتَطَاوُلِهَا بِالْبَلْوَى مِنْ وَجْهٍ فِي تَغْيِيرِ الْحُكْمِ كَامْرَأَةِ الْمَفْقُودِ، فَعَلَى هَذَا فِيمَا يُعْتَبَرُ مِنْ مُدَّةِ إِيَاسِهَا؟ قَوْلَانِ:

Dan inilah pendapat Abu Hanifah: Bahwa ia menunggu dalam masa iddah dengan dirinya sendiri selama masa putus haid (menopause), karena tujuan penetapan iddah adalah kehati-hatian dalam memastikan rahim bersih dan menjaga nasab, maka kehati-hatian itu wajib untuknya, bukan atasnya. Lamanya masa iddah yang panjang karena ujian tidak menjadi alasan untuk mengubah hukum, sebagaimana wanita yang suaminya hilang (mafqud). Berdasarkan hal ini, berapa lama masa putus haid yang diperhitungkan? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُعْتَبَرُ نِسَاءُ عَشِيرَتِهَا فِي زَمَانِ إِيَاسِهِنَّ، فَإِذَا انْتَهَتْ إِلَى ذَلِكَ السِّنِّ حُكِمَ بِإِيَاسِهَا، فَقَدْ قِيلَ: إِنَّهُ لَمْ تَحِضِ امْرَأَةٌ لِخَمْسِينَ سَنَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ عَرَبِيَّةً، وَلَمْ تَحِضْ لِسِتِّينَ سَنَةً إِلَّا أَنْ تَكُونَ قُرَشِيَّةً، وَهُوَ قَوْلٌ لَمْ يَتَحَقَّقْ، وَحَضَرَتْنِي وَأَنَا بِجَامِعِ الْبَصْرَةِ امْرَأَةٌ ذَاتُ خَفَرٍ وَخُشُوعٍ، فَقَالَتْ: قَدْ عَاوَدَنِي الدَّمُ بَعْدَ الْإِيَاسِ فَهَلْ يَكُونُ حَيْضًا فَقُلْتُ كَيْفَ عَاوَدَكِ قَالَتْ: أَرَاهُ كُلَّ شَهْرٍ كَمَا يَعْتَادُنِي فِي زَمَانِ الشَّبَابِ، فَقُلْتُ: وَمُذْ كَمْ رَأَيْتِيهِ فَقَالَتْ: مُذْ نَحْوٍ مِنْ سَنَةٍ قُلْتُ: كَمْ سِنُّكِ؟ قَالَتْ: سَبْعِينَ سَنَةً، قُلْتُ: مِنْ أَيِّ النَّاسِ أَنْتِ؟ قَالَتْ: مِنْ بَنِي تَمِيمٍ، قُلْتُ: أَيْنَ مَنْزِلُكِ؟ قَالَتْ: فِي بَنِي حَصِينٍ، فَأَفْتَيْتُهَا أَنَّهُ حَيْضٌ يَلْزَمُهَا أَحْكَامُهُ.

Salah satunya: Yang diperhitungkan adalah wanita-wanita dari kabilahnya pada masa putus haid mereka. Jika ia telah mencapai usia tersebut, maka diputuskan ia telah menopause. Telah dikatakan: Tidak ada wanita yang haid setelah usia lima puluh tahun kecuali ia wanita Arab, dan tidak ada yang haid setelah enam puluh tahun kecuali ia wanita Quraisy, namun ini adalah pendapat yang belum pasti. Pernah datang kepadaku, saat aku di Masjid Basrah, seorang wanita yang menjaga kehormatan dan khusyuk, ia berkata: “Darah kembali keluar setelah menopause, apakah itu haid?” Aku bertanya: “Bagaimana darah itu kembali?” Ia menjawab: “Aku melihatnya setiap bulan seperti biasanya saat masa muda.” Aku bertanya: “Sudah berapa lama engkau melihatnya?” Ia menjawab: “Sekitar satu tahun.” Aku bertanya: “Berapa usiamu?” Ia menjawab: “Tujuh puluh tahun.” Aku bertanya: “Dari kaum mana engkau?” Ia menjawab: “Dari Bani Tamim.” Aku bertanya: “Di mana tempat tinggalmu?” Ia menjawab: “Di Bani Hushain.” Maka aku berfatwa bahwa itu adalah haid dan berlaku hukum-hukum haid atasnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُعْتَبَرُ بِإِيَاسِهَا أَبْعَدُ زَمَانِ الْإِيَاسِ فِي نِسَاءِ الْعَالَمِ كُلِّهِنَّ كَمَا يُعْتَبَرُ فِي أَقَلِّ الْحَيْضِ وَأَكْثَرِ الْأَقَلِّ وَالْأَكْثَرُ مِنْ عَادَةِ نِسَاءِ الْعَالَمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ تَحِيضَ بِأَهْلِهَا وَعَشِيرَتِهَا، فَإِذَا حُكِمَ بِإِيَاسِهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ اعْتَدَّتْ حِينَئِذٍ بِثَلَاثَةِ اشهر عدة المؤيسة.

Pendapat kedua: Yang diperhitungkan adalah masa menopause terjauh pada wanita di seluruh dunia, sebagaimana diperhitungkan dalam haid terpendek dan terpanjang, dan yang paling sedikit serta paling banyak dari kebiasaan wanita di dunia, tanpa memperhatikan apakah ia haid seperti wanita di keluarganya dan kabilahnya. Jika telah diputuskan menopause baginya menurut salah satu dari dua pendapat yang telah disebutkan, maka ia menjalani iddah tiga bulan sebagai iddah wanita menopause.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وإن مَاتَ صَبِيٌّ لَا يُجَامِعُ مِثْلُهُ فَوَضَعَتِ امْرَأَتُهُ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ أَتَمَّتْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا لِأَنَّ الْوَلَدَ لَيْسَ مِنْهُ فَإِنْ مَضَتْ قَبْلَ أَنْ تَضَعَ حَلَّتْ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ بَقِيَ لَهُ شَيْءٌ يَغِيبُ فِي الْفَرْجِ أَوْ لَمْ يَبْقَ لَهُ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seorang anak laki-laki yang belum mampu melakukan jima‘ meninggal dunia, lalu istrinya melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka ia tetap menyempurnakan empat bulan sepuluh hari, karena anak itu bukan darinya. Jika masa itu berlalu sebelum ia melahirkan, maka ia halal menikah lagi darinya, baik masih ada sesuatu darinya yang dapat masuk ke farji atau tidak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا مَاتَ صَبِيٌّ لَا يُولَدُ لِمِثْلِهِ عَنْ زَوْجَةٍ حَامِلٍ لَمْ تَعْتَدَّ مِنْهُ بِوَضْعٍ وَاعْتَدَّتْ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ سَوَاءٌ انْقَضَتْ قَبْلَ وَضْعِ الحمل أو بعده.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika seorang anak laki-laki yang tidak mungkin memiliki anak meninggal dunia dan meninggalkan istri yang hamil, maka istrinya tidak beriddah dengan kelahiran, tetapi beriddah dengan empat bulan sepuluh hari, baik masa itu selesai sebelum melahirkan atau sesudahnya.

به قَالَ مَالِكٌ، وَأَبُو يُوسُفَ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ مَاتَ وَهِيَ حَامِلٌ اعْتَدَّتْ بِوَضْعِ الْحَمْلِ سَوَاءٌ وَضَعَتْهُ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ أَوْ بَعْدَهَا، وَإِنْ حَدَثَ الْحَمْلُ بَعْدَ مَوْتِهِ اعْتَدَّتْ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ سَوَاءٌ انْقَضَتْ قَبْلَ وَضْعِ الْحَمْلِ أَوْ بَعْدَهُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأُولاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] . وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ أَجَلُ كُلِّ ذَاتِ حَمْلٍ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا فَكَانَ عُمُومُ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ يُوجِبُ انْقِضَاءَ عَدَّتِهَا قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ مَنِ اعْتَدَّتْ زوجته عنه بالشهر جاز، وإن تَعْتَدَّ عَنْهُ بِالْحَمْلِ كَالْبَالِغِ، وَلِأَنَّ كُلَّ حَمْلٍ وَقَعَ الِاعْتِدَادُ بِهِ إِذَا كَانَ لَاحِقًا بِالزَّوْجِ جَازَ أَنْ يَقَعَ الِاعْتِدَادُ بِهِ، وَإِنِ انْتَفَى عَنِ الزَّوْجِ كَوَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ.

Mengenai hal ini, Mālik dan Abū Yūsuf berpendapat, dan Abū Ḥanīfah berkata: Jika suami meninggal dunia sementara istrinya sedang hamil, maka masa ‘iddahnya selesai dengan melahirkan, baik ia melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari atau sesudahnya. Namun jika kehamilan terjadi setelah kematian suami, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik masa itu berakhir sebelum melahirkan atau sesudahnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ālā: {Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalāq: 4], serta berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Masa ‘iddah setiap wanita hamil adalah sampai ia melahirkan kandungannya.” Maka keumuman al-Kitāb dan as-Sunnah mewajibkan berakhirnya masa ‘iddahnya. Ia berkata: Dan karena setiap wanita yang masa ‘iddahnya dengan bulan-bulan diperbolehkan, maka boleh pula masa ‘iddah dengan kehamilan sebagaimana wanita yang sudah baligh. Dan karena setiap kehamilan yang masa ‘iddahnya didasarkan padanya, jika kehamilan itu dinisbatkan kepada suami, maka boleh dijadikan dasar masa ‘iddah, dan jika tidak dinisbatkan kepada suami seperti anak hasil li‘ān, maka tidak.

وَدَلِيلُنَا: قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثلاثة أَشْهُرٍ وَعَشْرًا} [البقرة: 234] . فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّهُ وَلَدٌ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ فَلَمْ يَقَعِ الِاعْتِدَادُ بِهِ كَمَا لَوْ ظَهَرَ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَلِأَنَّهُ حَمْلٌ لَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ لَوْ ظَهَرَ بَعْدَ وُجُوبِهَا فَوَجَبَ أَنْ لَا تَنْقَضِيَ بِهِ الْعِدَّةُ إِذَا ظَهَرَ قَبْلَ وُجُوبِهَا قِيَاسًا عَلَى زَوْجَةِ الْحَيِّ إِذَا وَضَعَتْهُ بَعْدَ طَلَاقِهِ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ عَقْدِهِ، وَلِأَنَّ هَذِهِ الْعِدَّةَ مَوْضُوعَةٌ لِلتَّعَبُّدِ لَا لِاسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ فَكَانَتْ مَقْصُورَةً عَلَى مَا وَرَدَ بِهِ التَّعَبُّدُ مِنَ الشُّهُورِ دُونَ مَا يَقَعُ بِهِ الِاسْتِبْرَاءُ مِنَ الْوِلَادَةِ.

Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan orang-orang di antara kalian yang meninggal dunia dan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka (para istri) menunggu sendiri selama empat bulan sepuluh hari} [al-Baqarah: 234]. Maka ayat ini berlaku secara umum. Dan karena itu adalah anak yang tidak mungkin berasal darinya (suami yang wafat), maka tidak dijadikan dasar masa ‘iddah, sebagaimana jika kehamilan itu tampak setelah kematiannya. Dan karena kehamilan seperti itu tidak dapat mengakhiri masa ‘iddah jika muncul setelah kewajiban masa ‘iddah, maka wajib pula tidak mengakhiri masa ‘iddah jika muncul sebelum kewajiban masa ‘iddah, dengan qiyās kepada istri orang yang masih hidup, jika ia melahirkan setelah ditalak kurang dari enam bulan sejak akad nikah. Dan karena masa ‘iddah ini ditetapkan sebagai bentuk ibadah, bukan untuk memastikan kekosongan rahim, maka masa ‘iddah ini terbatas pada bulan-bulan yang telah ditetapkan sebagai ibadah, bukan pada apa yang dapat memastikan kekosongan rahim melalui kelahiran.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {وَأُولاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] . فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ālā: {Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalāq: 4], maka ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا فِي الْمُطَلَّقَةِ لِاتِّصَالِهَا بِالطَّلَاقِ، وَعِدَّةُ الْوَفَاةِ مَنْصُوصٌ فِيهَا عَلَى الشُّهُورِ، وَإِنَّمَا اعْتَدَّتْ بِالْحَمْلِ إِذَا كَانَ لَاحِقًا بِالسُّنَّةِ فِي حَدِيثِ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةِ.

Pertama: Ayat tersebut berkaitan dengan wanita yang dicerai, karena terkait dengan perceraian, sedangkan masa ‘iddah karena wafat telah dinyatakan secara tegas dengan bulan-bulan. Dan masa ‘iddah dengan kehamilan hanya berlaku jika kehamilan itu dinisbatkan kepada suami, sebagaimana dalam hadits Subai‘ah al-Aslamiyyah.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى حَمْلٍ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ لِإِجْمَاعِنَا أَنَّهُ لَوْ ظَهَرَ بِهَا بَعْدَ مَوْتِهِ لَمْ تَعْتَدَّ بِهِ.

Kedua: Ayat tersebut dimaknai untuk kehamilan yang mungkin berasal dari suami, karena telah menjadi ijmā‘ kita bahwa jika kehamilan itu tampak setelah kematian suami, maka tidak dijadikan dasar masa ‘iddah.

فَإِنْ قِيلَ: فَعِدَّةُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا بِالشُّهُورِ فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ، وَهِيَ مُتَقَدِّمَةٌ وَعَدَّتُهَا بِالْحَمْلِ فِي سُورَةِ الطَّلَاقِ، وَهِيَ مُتَأَخِّرَةٌ وَالْمُتَأَخِّرَةُ نَاسِخَةٌ لِلْمُتَقَدِّمَةِ وَبِهَذَا احْتَجَّ ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ حِينَ قَالَا: إِنَّ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا إِذَا كَانَتْ حَامِلًا اعْتَدَّتْ بِأَقْصَى الْأَجَلَيْنِ.

Jika dikatakan: Masa ‘iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya dengan bulan-bulan terdapat dalam surat al-Baqarah, dan itu lebih dahulu, sedangkan masa ‘iddah dengan kehamilan terdapat dalam surat ath-Thalāq, dan itu lebih akhir, dan yang lebih akhir menghapus yang lebih dahulu. Dengan inilah Ibnu Mas‘ūd berdalil kepada ‘Alī dan Ibnu ‘Abbās ketika mereka berdua berkata: Sesungguhnya wanita yang ditinggal wafat suaminya jika sedang hamil, maka masa ‘iddahnya adalah yang terlama di antara dua masa.

وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: بَلْ يوضع الْحَمْلِ وَإِنْ كَانَ أَقَصَرَ، وَاحْتَجَّ عَلَيْهِمْ بِآيَةِ الْحَمْلِ لِتَأَخُّرِهَا، وَقَالَ: مَنْ شَاءَ بَاهَلْتُهُ، أَنَّ السُّورَةَ الصُّغْرَى نَزَلَتْ بَعْدَ الطُّولَى يَعْنِي نَزَلَتْ سُورَةُ الطَّلَاقِ بَعْدَ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، فَعَنْ ذَلِكَ جَوَابَانِ:

Ibnu Mas‘ūd berkata: Bahkan masa ‘iddahnya selesai dengan melahirkan, meskipun lebih singkat, dan ia berdalil kepada mereka dengan ayat tentang kehamilan karena ayat itu turun belakangan. Ia berkata: Siapa yang mau, aku akan bermubahalah dengannya, bahwa surat yang lebih pendek turun setelah yang lebih panjang, maksudnya surat ath-Thalāq turun setelah surat al-Baqarah. Maka terhadap hal itu ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلِيًّا وَابْنَ عَبَّاسٍ قَدْ خَالَفَا فَلَمْ يَكُنْ حُجَّةً.

Pertama: Bahwa ‘Alī dan Ibnu ‘Abbās telah berbeda pendapat, sehingga tidak menjadi hujjah.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا نَسْخٌ فَيُقْضَى بِالْمُتَأَخِّرِ عَلَى الْمُتَقَدِّمِ، وَإِنَّمَا تُخَصُّ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى وَالتَّخْصِيصُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِمُتَقَدِّمٍ وَمُتَأَخِّرٍ، وَقَدْ أَجْمَعْنَا أَنَّ آيَةَ الْحَمْلِ مَخْصُوصٌ بِالشُّهُورِ إِذَا كَانَ ظَاهِرُ الْعَقْدِ مَوْتَ الصَّبِيِّ فَكَذَلِكَ إِذَا ظَهَرَ قَبْلَ مَوْتِهِ، لأنه في الحالين غير لاحق به.

Kedua: Bahwa di antara keduanya tidak ada nasakh (penghapusan hukum), sehingga tidak diputuskan dengan yang lebih akhir atas yang lebih dahulu. Akan tetapi, salah satunya dikhususkan dengan yang lainnya, dan takhṣīṣ (pengkhususan) boleh saja terjadi dengan yang lebih dahulu atau yang lebih akhir. Dan kita telah berijmā‘ bahwa ayat tentang kehamilan dikhususkan dengan bulan-bulan jika akad nikahnya tampak setelah kematian anak kecil, demikian pula jika kehamilan itu tampak sebelum kematiannya, karena dalam kedua keadaan itu kehamilan tersebut tidak dinisbatkan kepadanya.

وأم الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَكَالْجَوَابِ عَنِ الْآيَةِ.

Adapun jawaban terhadap hadits, maka sama seperti jawaban terhadap ayat.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْبَالِغِ فَالْمَعْنَى فِيهِ إِمْكَانُ لُحُوقِهِ بِهِ فَلِذَلِكَ اعْتَدَّتْ بِوَضْعِهِ، وَحَمْلُ الصَّبِيِّ لَا يَلْحَقُ بِهِ فَلِذَلِكَ لَمْ تَعْتَدَّ بِوَضْعِهِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap orang yang sudah baligh adalah bahwa maknanya di sana adalah kemungkinan anak itu dinisbatkan kepadanya, sehingga karena itu ia ber‘iddah dengan melahirkan. Sedangkan kehamilan dari anak kecil tidak dapat dinisbatkan kepadanya, maka karena itu ia tidak ber‘iddah dengan melahirkan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ فَهُوَ جَوَازُ كَوْنِهِ مِنْهُ، وَيَلْحَقُ بِهِ لو اعْتَرَفَ بِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْحَمْلُ مِنَ الصَّبِيِّ لعلمنا قطعيا أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ وَلَا يَلْحَقُهُ لَوِ اعْتَرَفَ بِهِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap anak hasil mula‘anah adalah bahwa masih ada kemungkinan anak itu berasal darinya, dan anak itu akan dinisbatkan kepadanya jika ia mengakuinya. Tidak demikian halnya dengan kehamilan dari anak kecil, karena kita secara pasti mengetahui bahwa anak itu bukan berasal darinya dan tidak akan dinisbatkan kepadanya meskipun ia mengakuinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا لَا تَعْتَدُّ بِوَضْعِ الْحَمْلِ فِي وَفَاةِ الصَّبِيِّ فَلِلْحَمْلِ حَالَتَانِ:

Jika telah tetap bahwa ia tidak ber‘iddah dengan melahirkan karena wafatnya anak kecil, maka kehamilan itu memiliki dua keadaan:

أحدهما: أنه لا يكون لاحقاً بوطء شبهة.

Pertama: bahwa kehamilan itu tidak dinisbatkan akibat hubungan syubhat.

والثاني: أَنْ يَكُونَ مِنْ زِنًا لَا يَلْحَقُ بِأَحَدٍ، فَإِنْ كَانَ لَاحِقًا بِوَطْءِ شُبْهَةٍ اعْتَدَّتْ بِوَضْعِهِ مِنْ وَاطِئِ الشُّبْهَةِ وَلَا تَحْتَسِبُ أَشْهُرَ الْحَمْلِ مِنْ عِدَّةِ الْوَفَاةِ، لِأَنَّهُ لَا تَتَدَاخَلُ عِدَّتَانِ مِنْ شَخْصَيْنِ ثُمَّ تَسْتَأْنِفُ بَعْدَ الْوَضْعِ عِدَّةَ الْوَفَاةِ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ، وَإِنْ كَانَ الْحَمْلُ من زنا لا يلحق بأحد اعتدت بِشُهُورِ حَمْلِهَا مِنْ عِدَّةِ الْوَفَاةِ لِاسْتِحْقَاقِهَا فِي عِدَّةٍ وَاحِدَةٍ، فَإِنِ انْقَضَتْ شُهُورُهَا قَبْلَ وَضْعِ الْحَمْلِ حَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ، وَإِنْ بَقِيَتْ بَعْدَ وَضْعِ الْحَمْلِ اسْتَكْمَلَتْهَا ثُمَّ حَلَّتْ بَعْدَهَا.

Kedua: bahwa kehamilan itu berasal dari zina yang tidak dinisbatkan kepada siapa pun. Jika kehamilan itu dinisbatkan akibat hubungan syubhat, maka ia ber‘iddah dengan melahirkan dari pelaku syubhat tersebut dan tidak menghitung bulan-bulan kehamilan sebagai bagian dari ‘iddah wafat, karena tidak boleh ada dua ‘iddah dari dua orang yang berbeda secara bersamaan. Kemudian setelah melahirkan, ia memulai ‘iddah wafat selama empat bulan sepuluh hari. Namun jika kehamilan itu berasal dari zina yang tidak dinisbatkan kepada siapa pun, maka ia menghitung bulan-bulan kehamilannya sebagai bagian dari ‘iddah wafat, karena ia berhak atas satu ‘iddah saja. Jika bulan-bulan kehamilannya telah habis sebelum melahirkan, maka ia halal untuk menikah lagi; dan jika masih tersisa setelah melahirkan, maka ia menyempurnakannya terlebih dahulu, lalu setelah itu ia halal menikah lagi.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله تعالى عنه: ” وَكَانَ وَالْخَصِيُّ يُنْزِلَانِ لَحِقَهُمَا الْوَلَدُ وَاعْتَدَّتْ زَوْجَتَاهُمَا كَمَا تَعْتَدُّ زَوْجَةُ الْفَحْلِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Baik orang yang subur maupun yang dikebiri, jika keduanya mengeluarkan mani, maka anak itu dinisbatkan kepada mereka berdua dan istri-istri mereka ber‘iddah sebagaimana istri dari laki-laki yang subur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مُرَادَ الشَّافِعِيِّ بِالْخَصِيِّ فِي أَوَّلِ كَلَامِهِ الْمَجْبُوبُ، لِأَنَّهُ قَالَ مِنْ بَعْدُ ” وَكَانَ وَالْخَصِيُّ يُنْزِلَانِ ” فَعُلِمَ أَنَّ الْأَوَّلَ غَيْرُ خَصِيٍّ وَمَجْبُوبٍ وَمَسْمُوحٍ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa maksud Imam Syafi‘i dengan “orang yang dikebiri” pada awal ucapannya adalah yang terpotong kemaluannya, karena beliau berkata setelah itu: “Baik orang yang subur maupun yang dikebiri, jika keduanya mengeluarkan mani…” Maka diketahui bahwa yang pertama bukanlah orang yang dikebiri, terpotong, ataupun yang telah dihilangkan.

فَأَمَّا الْخَصِيُّ فَهُوَ الْمَسْلُولُ الْأُنْثَيَيْنِ بَاقِي الذَّكَرِ، فَهَذَا يَصِحُّ مِنْهُ الْوَطْءُ لِبَقَاءِ ذَكَرِهِ، وَيَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ لِإِحْدَاثِهِ الْمَاءَ مِنْ ظَهْرِهِ بِقُوَّةِ إِيلَاجِهِ، وَيَكُونُ كَالْفَحْلِ فِي لُحُوقِ الْوَلَدِ بِهِ وَوُجُوبِ الْعِدَّةِ مِنْهُ، سَوَاءٌ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِمَوْتٍ أَوْ طَلَاقٍ.

Adapun orang yang dikebiri adalah yang kedua testisnya diangkat namun kemaluannya masih ada. Maka ia masih bisa melakukan hubungan karena kemaluannya masih ada, dan anak bisa dinisbatkan kepadanya karena ia masih bisa mengeluarkan mani dari tulang punggungnya dengan kekuatan penetrasinya. Ia diperlakukan seperti laki-laki subur dalam hal nasab anak dan kewajiban ‘iddah darinya, baik perpisahan terjadi karena kematian maupun talak.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمَجْبُوبُ فَهُوَ الْمَقْطُوعُ الذَّكَرِ بَاقِي الْأُنْثَيَيْنِ، وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun orang yang terpotong kemaluannya adalah yang kemaluannya terputus namun kedua testisnya masih ada, dan ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبْقَى مِنْ ذَكَرِهِ بِقَدْرِ حَشَفَةِ الْفَحْلِ فَيَصِحُّ مِنْهُ الْإِيلَاجُ وَالْإِنْزَالُ فَيَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ وَتَجِبُ مِنْهُ الْعِدَّةُ فِي فُرْقَةِ الْمَوْتِ وَالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ الْفَحْلَ لَوْ أَوْلَجَ مِنْ ذَكَرِهِ قَدْرَ الْحَشَفَةِ اسْتَقَرَّ بِهِ الدُّخُولُ وَوَجَبَتْ بِهِ الْعِدَّةُ وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ.

Pertama: jika masih tersisa dari kemaluannya sebesar kepala zakar laki-laki subur, maka masih sah baginya melakukan penetrasi dan ejakulasi, sehingga anak bisa dinisbatkan kepadanya dan wajib ‘iddah darinya baik karena perpisahan akibat kematian maupun talak. Karena jika laki-laki subur melakukan penetrasi dengan sisa kemaluannya sebesar kepala zakar, maka telah dianggap terjadi hubungan dan wajib ‘iddah serta anak dinisbatkan kepadanya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَبْقَى مِنْ ذَكَرِهِ قَدْرُ الْحَشَفَةِ إِمَّا باستئصال الذكر أو باستبفاء أَقَلَّ مِنَ الْحَشَفَةِ فَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ فَيَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ لِأَنَّهُ قَدْ سَاحَقَ فَرْجَ الْمَرْأَةِ فَيُنْزِلُ مَاءً يَسْتَدْخِلُهُ الْفَرْجَ فَتَحْبَلُ مِنْهُ، وَكَذَلِكَ قُلْنَا إِنَّ حَبَلَ الْبِكْرِ بِاسْتِدْخَالِ الْمَنِيِّ عِنْدَ الْإِنْزَالِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَتْ مِنْهُ عِدَّةُ الْوَفَاةِ، لِأَنَّ الدُّخُولَ لَا يُعْتَبَرُ فِيهَا فَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا انْقَضَتْ بِوَضْعِ الْحَمْلِ، وَإِنْ كَانَتْ حائلاً فبأربعة أشهر وعشر.

Kedua: jika tidak tersisa dari kemaluannya sebesar kepala zakar, baik karena seluruh kemaluannya diangkat atau yang tersisa kurang dari kepala zakar, maka hukumnya sama saja; anak tetap bisa dinisbatkan kepadanya karena ia telah menggesekkan kemaluannya ke vagina wanita sehingga mengeluarkan mani yang masuk ke dalam vagina dan menyebabkan kehamilan. Demikian pula kami katakan bahwa kehamilan seorang perawan bisa terjadi dengan memasukkan mani saat ejakulasi. Jika demikian, maka wajib ‘iddah wafat darinya, karena dalam ‘iddah wafat tidak disyaratkan adanya penetrasi. Jika ia hamil, maka ‘iddahnya selesai dengan melahirkan, dan jika tidak hamil maka ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari.

فأما عِدَّةُ الطَّلَاقِ فَلَا تَجِبُ مِنْهُ، لِأَنَّ الدُّخُولَ فِيهَا مُعْتَبَرٌ وَهُوَ مُسْتَحِيلٌ مِنْهُ، فَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا فَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ أَوِ الشُّهُورِ، وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَهِيَ مَمْنُوعَةٌ مِنَ الْأَزْوَاجِ مُدَّةَ حَمْلِهَا حَفِظًا لِمَائِهِ، وَجَرَى عَلَيْهَا حُكْمُ الْعِدَّةِ لِامْتِنَاعِهَا مِنَ الْأَزْوَاجِ فِي حَقِّهِ.

Adapun ‘iddah talak, maka tidak wajib darinya, karena dalam ‘iddah talak disyaratkan adanya penetrasi, dan itu mustahil baginya. Jika ia tidak hamil, maka tidak ada ‘iddah atasnya, baik ia termasuk wanita yang mengalami haid maupun yang menggunakan hitungan bulan. Namun jika ia hamil, maka ia dilarang menikah selama masa kehamilannya untuk menjaga nasab anaknya, dan berlaku atasnya hukum ‘iddah karena ia tidak boleh menikah selama masa itu.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْمَمْسُوحُ فَهُوَ الْمَقْطُوعُ الذَّكَرِ الْمَسْلُوبُ الْأُنْثَيَيْنِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun al-mamsūḥ adalah orang yang terputus zakarnya dan tidak memiliki kedua buah zakar. Dalam hal ini terdapat dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَخْرَجُ الْمَنِيِّ مُلْتَحِمًا فَهَذَا غَيْرُ قَادِرٍ عَلَى الْإِيلَاجِ لِجَبِّ ذَكَرِهِ وَغَيْرُ قَادِرٍ عَلَى الْإِنْزَالِ لِالْتِحَامِ مَخْرَجِهِ فَلَا يَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ لِعَدَمِ مَائِهِ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا} [الفرقان: 54] . فَإِذَا عُدِمَ الْمَاءُ اسْتَحَالَ الْوَلَدُ، فَإِنْ طَلَّقَ لَمْ تَعْتَدَّ مِنْهُ لِعَدَمِ دُخُولِهِ وَإِنْ مَاتَ اعْتَدَّتْ مِنْهُ بِالشُّهُورِ دُونَ الْحَمْلِ كَالصَّبِيِّ.

Pertama: Jika saluran mani telah tertutup rapat, maka ia tidak mampu melakukan penetrasi karena zakarnya telah terputus, dan tidak mampu mengeluarkan mani karena salurannya tertutup. Maka tidak dinisbatkan anak kepadanya karena tidak adanya air mani. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan Dialah yang menciptakan manusia dari air, lalu menjadikannya (punya) keturunan dan hubungan pernikahan} [al-Furqan: 54]. Maka jika air mani tidak ada, mustahil ada anak. Jika ia menceraikan istrinya, maka istrinya tidak perlu menjalani masa iddah karena tidak terjadi hubungan suami istri. Namun jika ia meninggal, maka istrinya menjalani masa iddah dengan hitungan bulan, bukan karena kehamilan, seperti halnya anak kecil.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَخْرَجُ الْمَنِيِّ مَفْتُوحًا، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي لُحُوقِ الْوَلَدِ بِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Keadaan kedua: Jika saluran mani masih terbuka, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai penetapan nasab anak kepadanya menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَلْحَقُ بِهِ، لأن المني بسل الأنثيين قد بعد ولده بجب الذكر وقد قعد.

Pertama: Ini adalah pendapat mayoritas ulama kami, bahwa anak tidak dinisbatkan kepadanya, karena mani tanpa kedua buah zakar telah jauh kemungkinan menghasilkan anak, dan karena zakarnya telah terputus dan tidak berfungsi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، وَأَبِي بَكْرٍ الصَّيْرَفِيِّ، وَأَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ حَرْبَوَيْهِ أَنَّهُ يَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ، لِأَنَّ إِنْزَالَهُ مِنَ الظهور مجوز، وَإِنْ كَانَ مُسْتَبْعَدًا وَالْوَلَدُ يَلْحَقُ بِالْإِمْكَانِ وَالْجَوَازِ، وَقَدْ حُكِيَ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ حَرْبَوَيْهِ مِنْ أَصْحَابِنَا قُلِّدَ قَضَاءَ مِصْرَ فَقَضَى فِي مِثْلِ هَذَا بِلُحُوقِ الْوَلَدِ فَحَمَلَهُ الْخَصِيُّ عَلَى كَتِفِهِ، وَطَافَ بِهِ فِي الْأَسْوَاقِ وَقَالَ: انْظُرُوا هَذَا الْقَاضِي يُلْحِقُ أَوْلَادَ الزِّنَا بِالْخَدَمِ، فَأَمَّا إِنْ بَقِيَ إِحْدَى أُنْثَيَيِ الْمَجْبُوبِ لَحِقَ بِهِ الولد وجهاً واحداً سواء كان يُمْنَى أَوْ يُسْرَى.

Pendapat kedua: Ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Iṣṭakhrī, Abu Bakr aṣ-Ṣayrafī, dan Abu ‘Ubaidah bin Harbawaih, bahwa anak tetap dinisbatkan kepadanya, karena keluarnya mani dari punggung masih mungkin terjadi, meskipun sangat kecil kemungkinannya, dan penetapan nasab anak didasarkan pada kemungkinan dan kebolehan. Diriwayatkan bahwa Abu ‘Ubaidah bin Harbawaih, salah satu ulama kami, pernah diangkat menjadi qadi di Mesir, lalu memutuskan dalam kasus seperti ini bahwa anak dinisbatkan kepadanya. Lalu seorang kasim (laki-laki yang dikebiri) menggendong anak itu di pundaknya, berkeliling di pasar, dan berkata: “Lihatlah, qadi ini menisbatkan anak-anak zina kepada para pelayan!” Adapun jika masih tersisa salah satu dari kedua buah zakar orang yang terputus zakarnya, maka anak tetap dinisbatkan kepadanya menurut satu pendapat, baik yang tersisa itu yang kanan maupun yang kiri.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إِنْ بَقِيَتِ الْيُسْرَى لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَإِنْ بَقِيَتِ الْيُمْنَى لَمْ يَلْحَقْ بِهِ، لِأَنَّ الْيُسْرَى لِلْمَنِيِّ، وَالْيُمْنَى لِشَعْرِ اللِّحْيَةِ وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهُ مِنْ قَوْلِ الطِّبِّ وَلَا يُعَوَّلُ عَلَيْهِمْ فِي أَحْكَامِ الشَّرْعِ، وَقَدْ وُجِدَ فِي إِنْسَانٍ ذُو خِصْيَةٍ وَاحِدَةٍ وَكَانَ ذَا لِحْيَةٍ وَأَوْلَادٍ، فَإِنْ كَانَتْ يُمْنَى فَقَدْ وُلِدَ لَهُ وَإِنْ كَانَتْ يُسْرَى فَقَدْ نَبَتَتْ لَهُ لِحْيَةٌ فَعُلِمَ فَسَادُ هَذَا الْقَوْلِ.

Sebagian ulama kami berpendapat: Jika yang tersisa adalah yang kiri, maka anak dinisbatkan kepadanya, dan jika yang tersisa adalah yang kanan, maka tidak dinisbatkan, karena yang kiri untuk mani dan yang kanan untuk rambut janggut. Namun ini adalah pendapat yang salah, karena itu merupakan perkataan ahli medis dan tidak dijadikan sandaran dalam hukum syariat. Telah ditemukan seseorang yang hanya memiliki satu buah zakar, namun ia memiliki janggut dan anak. Jika yang tersisa adalah yang kanan, ia tetap memiliki anak, dan jika yang tersisa adalah yang kiri, ia tetap tumbuh janggutnya. Maka jelaslah rusaknya pendapat tersebut.

فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِهِ لَمْ تَنْقَضِ بِهِ الْعِدَّةُ وَلَمْ يَلْزَمْ إِلَّا فِي الْوَفَاةِ دُونَ الطَّلَاقِ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ.

Jika kita berpendapat bahwa anak tidak dinisbatkan kepadanya, maka masa iddah tidak selesai dengannya dan tidak diwajibkan kecuali dalam kasus kematian, bukan talak, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.

وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ يَلْحَقُ بِهِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا فِي الْوَفَاةِ بِوَضْعِهِ وَلَمْ يَلْزَمْهَا فِي الطَّلَاقِ عِدَّةٌ إِلَّا أَنْ تَكُونَ حَامِلًا فَيَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الْعِدَّةِ فِي الْمَنْعِ مِنَ الْأَزْوَاجِ حتى تضع – والله أعلم -.

Dan jika kita berpendapat bahwa anak dinisbatkan kepadanya, maka masa iddahnya selesai karena kelahiran anak dalam kasus kematian, dan tidak diwajibkan masa iddah dalam kasus talak kecuali jika ia hamil, maka berlaku hukum iddah berupa larangan menikah hingga melahirkan—wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله تعالى عنه: ” وَإِنْ أَرَادَتِ الْخُرُوجَ كَانَ لَهُ مَنْعُهَا حَيًّا وَلِوَرَثَتِهِ مَيِّتًا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا “.

Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika istri ingin keluar (dari rumah), maka suami berhak melarangnya selama masih hidup, dan ahli warisnya berhak melarangnya setelah wafatnya hingga masa iddahnya selesai.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مُعْتَبَرٌ بِلُحُوقِ الْوَلَدِ بِهِ.

Al-Māwardī berkata: Hal ini bergantung pada penetapan nasab anak kepadanya.

فَإِنَّا قُلْنَا: إِنَّهُ لَا يَلْحَقُ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهَا مِنَ الْخُرُوجِ فِي فُرْقَةِ الطَّلَاقِ، لِأَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا.

Jika kita berpendapat bahwa anak tidak dinisbatkan kepadanya, maka suami tidak berhak melarang istrinya keluar rumah dalam kasus perpisahan karena talak, karena tidak ada masa iddah atasnya.

فَأَمَّا فُرْقَةُ الْمَوْتِ فَتَعْتَدُّ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ فَتُمْنَعُ مِنَ الْخُرُوجِ فِيهَا وَلَا تُمْنَعُ بَعْدَ انْقِضَائِهَا مِنَ الْخُرُوجِ، وَإِنْ كَانَتْ فِي حَمْلِهَا فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْوَلَدَ لَاحِقٌ بِهِ فَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا فِي حَيَاتِهِ مِنَ الْخُرُوجِ فِي فُرْقَةِ الطَّلَاقِ، وَيَحْكُمُ بِهَا بِالسُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ وَلِوَرَثَتِهِ فِي فُرْقَةِ الْمَوْتِ مَنْعُهَا مِنَ الْخُرُوجِ حَتَّى تَضَعَ وَلَا يُحْكَمُ لَهَا بِالنَّفَقَةِ وَفِي السُّكْنَى قَوْلَانِ:

Adapun dalam kasus perpisahan karena kematian, maka istri menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dan dilarang keluar rumah selama masa itu, dan setelah selesai masa iddah ia boleh keluar. Jika ia sedang hamil, dan jika dikatakan bahwa anak dinisbatkan kepadanya, maka suami berhak melarangnya keluar rumah selama hidupnya dalam kasus perpisahan karena talak, dan wajib memberinya tempat tinggal dan nafkah. Sedangkan ahli warisnya dalam kasus perpisahan karena kematian berhak melarangnya keluar rumah hingga melahirkan, namun tidak wajib memberinya nafkah, dan dalam hal tempat tinggal ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهَا السُّكْنَى وَلَهُمْ إِجْبَارُهَا عَلَى الْمُقَامِ فِي الْمَسْكَنِ الَّذِي مَاتَ زَوْجُهَا وَهِيَ فِيهِ.

Pertama: Ia berhak mendapatkan tempat tinggal dan ahli waris berhak memaksanya untuk tetap tinggal di rumah tempat suaminya meninggal dunia dan ia berada di dalamnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا سُكْنَى لَهَا، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لَهَا الْخُرُوجُ إِلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ الْوَرَثَةُ لَهَا بِالسُّكْنَى فتمنع من الخروج.

Pendapat kedua: Tidak ada hak tinggal (suknā) baginya. Maka berdasarkan pendapat ini, ia boleh keluar kecuali jika para ahli waris memberikan hak tinggal (suknā) kepadanya secara sukarela, maka ia dilarang keluar.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ طَلَّقَ مَنْ لَا تَحِيضُ مِنْ صِغَرٍ أَوْ كِبَرٍ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ آخِرِهِ اعْتَدَّتْ شَهْرَيِنِ بِالْأَهِلَّةِ وَإِنْ كَانَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ وَشَهْرًا ثَلَاثِينَ لَيْلَةً حَتَّى يَأْتِيَ عَلَيْهَا تِلْكَ السَّاعَةُ الَّتِي طَلَّقَهَا فِيهَا مِنَ الشَّهْرِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menceraikan perempuan yang tidak haid karena masih kecil atau sudah tua, baik di awal bulan atau di akhirnya, maka masa ‘iddahnya adalah dua bulan berdasarkan hilal, meskipun satu bulan terdiri dari dua puluh sembilan hari dan bulan lainnya tiga puluh malam, hingga tiba waktu yang sama dengan saat ia dicerai pada bulan tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، لِأَنَّ عِدَّةَ مَنْ لَا تَحِيضُ بِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ} [الطلاق: 4] . وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ طَلَاقُهَا عَنْ أَنْ يَكُونَ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ فِي تَضَاعِيفِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ مَعَ اسْتِهْلَالِهِ وَقَبْلَ مُضِيِّ شَيْءٍ مِنْ أَجْزَائِهِ، إِمَّا بِأَنْ يُرَاعِي وُقُوعَ الطَّلَاقِ فِيهِ أَوْ عَلَّقَهُ فِيهِ فَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ بِالْأَهِلَّةِ سَوَاءٌ كَانَتْ كَامِلَةً فَكَانَتْ تِسْعِينَ يَوْمًا أَوْ كَانَتْ نَاقِصَةً فَكَانَتْ سَبْعَةً وَثَمَانِينَ يَوْمًا أَوْ كَانَ بَعْضُهَا كَامِلًا وَبَعْضُهَا نَاقِصًا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {ويسئلونك عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ} [البقرة: 189] . فَكَانَتِ الشُّهُورُ مُعْتَبَرَةً بِالْأَهِلَّةِ فِي الشَّرْعِ، وَقَدْ تَرَدَّدَ شَهْرُ الْهِلَالِ بَيْنَ كَمَالٍ وَنُقْصَانٍ قال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا مُشِيرًا بِأَصَابِعِهِ الْعَشْرِ يَعْنِي ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ قَالَ: وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَحَبَسَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِي تِسْعَةً وَعِشْرِينَ يَوْمًا، وَإِنْ طَلَّقَهَا فِي تَضَاعِيفِ الشَّهْرِ كَأَنَّهُ طَلَّقَهَا، وَقَدْ مَضَى مِنَ الشَّهْرِ عَشَرَةُ أَيَّامٍ اعْتَدَّتْ بِبَقِيَّتِهِ مِنْ سَاعَةِ طَلَاقِهَا وَبِشَهْرَيْنِ بَعْدَهَا بِالْأَهِلَّةِ وَسَوَاءٌ كَانَا كَامِلَيْنِ أَوْ نَاقِصَيْنِ ثُمَّ اسْتَكْمَلَتْ بَعْدَهُ الْعِدَّةَ مِنَ الشَّهْرِ الرَّابِعِ، فَإِنْ كَانَ شَهْرُ الطَّلَاقِ كَامِلًا وَكَانَ الْبَاقِي مِنْهُ عِشْرِينَ يَوْمًا اعْتَدَّتْ مِنَ الرَّابِعِ عَشَرَةَ أَيَّامٍ، وَإِنْ كَانَ الشَّهْرُ نَاقِصًا اسْتَكْمَلَتْ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، وَاعْتَدَّتْ مِنَ الرَّابِعِ أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam Syafi‘i), karena masa ‘iddah bagi perempuan yang tidak haid karena kecil atau menopause adalah tiga bulan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan di antara kalian yang telah putus haidnya, jika kalian ragu, maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan demikian pula bagi perempuan-perempuan yang belum haid} [ath-Thalaq: 4]. Jika demikian, maka perceraian itu tidak lepas dari kemungkinan terjadi di awal bulan atau di pertengahannya. Jika terjadi di awal bulan atau bersamaan dengan munculnya hilal dan sebelum berlalu bagian apa pun dari bulan itu, baik dengan memperhatikan terjadinya talak di dalamnya atau menggantungkan talak padanya, maka ia wajib menjalani masa ‘iddah tiga bulan berdasarkan hilal, baik bulan-bulan itu sempurna sehingga menjadi sembilan puluh hari, atau kurang sehingga menjadi delapan puluh tujuh hari, atau sebagian sempurna dan sebagian kurang, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: Hilal itu adalah penanda waktu bagi manusia dan (ibadah) haji} [al-Baqarah: 189]. Maka bulan-bulan dalam syariat dihitung berdasarkan hilal, dan bulan hilal itu bisa sempurna atau kurang. Nabi ﷺ bersabda: “Bulan itu begini, begini, dan begini,” beliau menunjuk dengan sepuluh jarinya, maksudnya tiga puluh hari. Kemudian beliau bersabda: “Dan bulan itu begini, begini, dan begini,” dan pada hitungan ketiga beliau menahan ibu jarinya, maksudnya dua puluh sembilan hari. Jika ia dicerai di pertengahan bulan, misalnya ia dicerai setelah sepuluh hari berlalu dari bulan itu, maka ia menjalani masa ‘iddah dengan sisa bulan itu sejak saat talaknya, lalu dengan dua bulan berikutnya berdasarkan hilal, baik keduanya sempurna atau kurang, kemudian ia menyempurnakan sisa masa ‘iddah dari bulan keempat. Jika bulan talak itu sempurna dan sisa harinya dua puluh hari, maka ia menjalani masa ‘iddah dari bulan keempat selama empat belas hari. Jika bulan itu kurang, ia menyempurnakan tiga puluh hari, dan menjalani masa ‘iddah dari bulan keempat selama sebelas hari.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: تَعْتَدُّ مِنَ الرَّابِعِ عِدَّةَ مَا مَضَى مِنْ شَهْرِ الطَّلَاقِ، وَهُوَ عَشَرَةُ أَيَّامٍ فِي زِيَادَتِهِ وَنُقْصَانِهِ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ مَا فَاتَ مِنْهُ كَمَا يُعْتَبَرُ فِي قَضَاءِ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَدَدِ مَا فَاتَ مِنْهُ فِي زِيَادَتِهِ وَنُقْصَانِهِ.

Abu Hanifah berkata: Ia menjalani masa ‘iddah dari bulan keempat sebanyak hari yang telah berlalu dari bulan talak, yaitu sepuluh hari, baik lebih maupun kurang, dengan memperhitungkan jumlah hari yang telah terlewat, sebagaimana dalam qadha’ puasa Ramadan, dihitung jumlah hari yang terlewat baik lebih maupun kurang.

وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنُ بِنْتِ الشَّافِعِيِّ: الطَّلَاقُ فِي تَضَاعِيفِ الشَّهْرِ يَرْفَعُ حُكْمَ الْأَهِلَّةِ، لِأَنَّ كُلَّ شَهْرٍ يَتَّصِلُ فَلَا تَبْتَدِئُهُ إِلَّا فِي غَيْرِ هِلَالٍ فَوَجَبَ أَنْ تَسْتَوْفِيَ تعيين يوماً كاملاً لِفَوَاتِ هِلَالِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَمَا يُسْتَوْفَى الشَّهْرُ الْأَوَّلُ كَامِلًا لِفَوَاتِ هِلَالِهِ.

Abdurrahman bin Binti asy-Syafi‘i berkata: Talak yang terjadi di pertengahan bulan menghapus ketentuan hilal, karena setiap bulan itu bersambung sehingga tidak dimulai kecuali bukan pada hilal. Maka wajib menyempurnakan satu hari penuh untuk mengganti hilal yang terlewat dari masing-masing bulan, sebagaimana bulan pertama disempurnakan penuh karena hilalnya telah terlewat.

وَقَالَ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ: إِذَا طُلِّقَتْ فِي تَضَاعِيفِ يَوْمٍ لَمْ تَحْتَسِبْ بِبَقِيَّتِهِ، وَإِنْ طُلِّقَتْ نَهَارًا كَانَ أَوَّلَ عِدَّتِهَا دُخُولُ اللَّيْلِ وَإِنْ طُلِّقَتْ لَيْلًا كَانَ أَوَّلَ عِدَّتِهَا طُلُوعُ الْفَجْرِ فَصَارَ الْخِلَافُ مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي يَوْمِ نَقْصِهِ وَزِيَادَتِهِ وَمَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ بِنْتِ الشَّافِعِيِّ فِي يَوْمَيْ زِيَادَتِهَا وَنُقْصَانِهَا، وَمَعَ مَالِكٍ فِي بَقِيَّةِ الْيَوْمِ أَسْقَطَهَا وَاحْتَسَبْنَاهَا.

Malik dan al-Auza‘i berkata: Jika seorang perempuan dicerai di pertengahan hari, maka sisa hari itu tidak dihitung. Jika ia dicerai pada siang hari, maka awal masa ‘iddahnya adalah masuknya malam. Jika ia dicerai pada malam hari, maka awal masa ‘iddahnya adalah terbit fajar. Maka perbedaan pendapat dengan Abu Hanifah adalah pada hari kelebihan dan kekurangannya, dengan Abdurrahman bin Binti asy-Syafi‘i pada dua hari kelebihan dan kekurangannya, dan dengan Malik pada sisa hari yang ia gugurkan dan kami hitung.

وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ: أَنَّ الشَّهْرَ إِذَا أُدْرِكَ هِلَالُهُ تَعْتَدُّ بِهِ مَا بَيْنَ الْهِلَالَيْنِ مِنْ زِيَادَةٍ وَنُقْصَانٍ، فَإِذَا فَاتَ هِلَالُهُ اسْتُكْمِلَ عِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ قَالَ: لَهُ عَلَيَّ أَنْ أَصُومَ شَهْرًا فَابْتَدَأَ الصِّيَامَ فِي أَوَّلِ شَهْرٍ اعْتُبِرَ بِمَا بَيْنَ هِلَالَيْهِ، وَإِنْ كَانَ نَاقِصًا، وَلَوِ ابْتَدَأَ بِالصِّيَامِ فِي تَضَاعِيفِ الشَّهْرِ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا لِيَكُونَ بِفَوَاتِ الْهِلَالِ كَامِلًا فَاقْتَضَى أَنْ تَسْتَكْمِلَ الْمُعْتَدَّةُ الشَّهْرَ الْأَوَّلَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا لِفَوَاتِ هِلَالِهِ بِخِلَافِ مَا قَالَهُ أَبُو حَنِيفَةَ: وَتَعْتَدُّ بِمَا بَيْنَ الْهِلَالَيْنِ فِي الشَّهْرِ مِنَ الْمُسْتَقْبَلَيْنِ وَإِنْ كَانَا نَاقِصَيْنِ لِإِدْرَاكِ هِلَالِهِمَا بِخِلَافِ مَا قَالَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنُ بِنْتِ الشَّافِعِيِّ.

Dan dalil atas kebenaran pendapat yang kami pegangi adalah: bahwa apabila hilal suatu bulan telah terlihat, maka yang diperhitungkan adalah jumlah hari antara dua hilal, baik ada kelebihan maupun kekurangan. Jika hilal bulan itu terlewatkan, maka disempurnakan hitungan menjadi tiga puluh hari. Hal ini ditunjukkan oleh contoh: jika seseorang berkata, “Saya wajib berpuasa satu bulan,” lalu ia mulai berpuasa pada awal bulan, maka yang diperhitungkan adalah hari-hari antara dua hilal, meskipun kurang dari tiga puluh. Namun jika ia mulai berpuasa di pertengahan bulan, maka ia harus menyempurnakan puasa selama tiga puluh hari agar dengan terlewatnya hilal, puasanya menjadi sempurna. Maka, sudah sepatutnya wanita yang menjalani masa ‘iddah juga menyempurnakan bulan pertama menjadi tiga puluh hari karena hilalnya telah terlewat, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang mengatakan: “Yang diperhitungkan adalah hari-hari antara dua hilal pada bulan-bulan berikutnya, meskipun keduanya kurang dari tiga puluh, karena hilal keduanya telah terlihat.” Ini juga berbeda dengan pendapat ‘Abdurrahman bin Binti asy-Syafi‘i.

فَأَمَّا مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ فَقَدْ زَادَا فِي الْعِدَّةِ بِمَا اسْتَنْقَصَاهُ مِنْ بَقِيَّةِ يَوْمِ الطَّلَاقِ وَلَيْلَتِهِ عَلَى مَا قَدَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهَا كَالنُّقْصَانِ مِنْهَا فِي مُخَالَفَةِ التَّقْدِيرِ وَمُجَاوَزَةِ النَّصِّ، وَلَوْ لَمْ تَعْتَدَّ بِبَقِيَّةِ الْيَوْمِ اعْتِبَارًا بِالْكَمَالِ لَلَزِمَ أَنْ لَا تَعْتَدَّ بِبَقِيَّةِ الشَّهْرِ اعْتِبَارًا بِالْكَمَالِ وَفِي فَسَادِ هَذَا فِي بَقِيَّةِ الشَّهْرِ دَلِيلٌ عَلَى فساده في بقية اليوم.

Adapun Malik dan al-Auza‘i, keduanya menambah masa ‘iddah dengan sisa hari dan malam dari hari talak, melebihi apa yang telah ditetapkan Allah Ta‘ala dalam Kitab-Nya. Penambahan terhadap ketentuan itu sama saja dengan pengurangan darinya, yakni menyelisihi ketetapan dan melampaui nash. Jika tidak diperhitungkan sisa hari demi kesempurnaan, maka seharusnya juga tidak diperhitungkan sisa bulan demi kesempurnaan. Kerusakan dalam memperhitungkan sisa bulan menjadi dalil atas rusaknya memperhitungkan sisa hari.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ حَاضَتِ الصَّغِيرَةُ بَعْدَ انْقِضَاءِ الثَّلَاثَةِ الْأَشْهُرِ فَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا وَلَوْ حَاضَتْ قَبْلَ انْقِضَائِهَا بِطَرْفَةٍ خَرَجَتْ مِنَ اللَّاتِي لَمْ يَحِضْنَ وَاسْتَقْبَلَتِ الْأَقْرَاءَ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang anak kecil mengalami haid setelah selesai tiga bulan (masa ‘iddah), maka telah selesai masa ‘iddahnya. Namun jika ia haid sebelum selesai tiga bulan, meskipun hanya sekejap, maka ia keluar dari golongan yang belum haid dan mulai menjalani masa ‘iddah dengan hitungan quru’ (masa haid).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ مَنْ لَمْ تَحِضْ لِصِغَرٍ عِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ، فَإِنِ اعْتَدَّتْ بِالشُّهُورِ ثُمَّ حَاضَتْ لَمْ يَخْلُ حَيْضُهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الشُّهُورِ أَوْ قَبْلَهَا، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الشُّهُورِ أَجْزَأَتْهَا الْعِدَّةُ بِالشُّهُورِ، وَإِنْ صَارَتْ بَعْدَهَا مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ لِلْحُكْمِ بِانْقِضَائِهَا وَلَمْ يُؤَثِّرْ حُدُوثُ الْحَيْضِ كَمَا لَوِ اعْتَدَّتْ بِالْأَقْرَاءِ ثُمَّ صَارَتْ مُؤَيَّسَةً أَجْزَأَتْهَا الْأَقْرَاءُ، وَإِنْ صَارَتْ بَعْدَهَا مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ.

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, karena perempuan yang belum haid karena masih kecil, masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Jika ia telah menjalani masa ‘iddah dengan bulan-bulan, lalu mengalami haid, maka haidnya itu tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi setelah selesai bulan-bulan atau sebelumnya. Jika haid terjadi setelah selesai bulan-bulan, maka masa ‘iddah dengan bulan-bulan sudah mencukupi baginya, meskipun setelah itu ia menjadi perempuan yang mengalami haid, karena hukum telah menetapkan selesainya masa ‘iddah dan terjadinya haid tidak berpengaruh, sebagaimana jika ia menjalani masa ‘iddah dengan quru’ lalu menjadi perempuan yang tidak lagi haid (menopause), maka masa ‘iddah dengan quru’ sudah mencukupi baginya, meskipun setelah itu ia menjadi perempuan yang masa ‘iddahnya dengan bulan-bulan.”

فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْأَقْرَاءِ ثُمَّ ظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ انْتَقَلَتْ إِلَيْهِ بَطَلَ الْأَقْرَاءُ، فَهَلَّا كَانَتِ الصَّغِيرَةُ فِي حُدُوثِ الحيض كذلك؟ قيل؛ – لأن الحمل متقدما على الأقراء ما انْتَقَلَتْ إِلَى الِاعْتِدَادِ بِالشُّهُورِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَلْفِيقُ الْعِدَّةِ مِنْ جِنْسَيْنِ شُهُورٍ وَأَقْرَاءٍ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ أَحَدَ الْجِنْسَيْنِ مِنْ أَقَرَاءٍ وَشُهُورٍ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” اسْتَقْبَلَتِ الْأَقْرَاءَ ” فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِأَجْلِ هَذَا الِاحْتِمَالِ فِيمَا مَضَى مِنْ طُهْرِهَا هَلْ تَعْتَدُّ بِهِ قُرْءًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan: “Bukankah jika masa ‘iddahnya selesai dengan quru’ lalu ternyata ia hamil, maka masa ‘iddahnya berpindah kepada masa kehamilan dan quru’nya batal? Mengapa anak kecil yang mengalami haid tidak demikian juga?” Maka dijawab: karena kehamilan itu lebih dahulu daripada quru’, sehingga masa ‘iddahnya berpindah ke masa kehamilan. Tidak boleh mencampur masa ‘iddah dari dua jenis, yaitu bulan dan quru’, sampai salah satu jenis itu sempurna, baik quru’ maupun bulan. Jika demikian, maka asy-Syafi‘i berkata: “Ia mulai menjalani masa quru’.” Para ulama kami berbeda pendapat karena kemungkinan ini, yaitu tentang masa suci yang telah dijalani sebelumnya, apakah dihitung sebagai satu quru’ atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِهِ قُرْءًا؛ لِأَنَّ الْقُرْءَ هُوَ طُهْرٌ بَعْدَهُ حَيْضٌ، فَإِنْ لَمْ يَتَقَدَّمْ حَيْضٌ كَمَا لَوْ طُلِّقَتْ فِي طهرها اعتدت به؛ لأن بعده حيض وَإِنْ لَمْ يَتَقَدَّمْ حَيْضٌ؛ لِأَنَّ مَا مَضَى مِنَ الْحَيْضِ قَبْلَ الطَّلَاقِ لَا يُحْتَسَبُ فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, bahwa masa suci itu dihitung sebagai satu quru’, karena quru’ adalah masa suci yang setelahnya terjadi haid. Jika sebelumnya tidak ada haid, seperti jika ia ditalak dalam keadaan suci, maka masa suci itu dihitung sebagai satu quru’ karena setelahnya ada haid, meskipun sebelumnya belum pernah haid. Sebab, haid yang terjadi sebelum talak tidak dihitung dalam masa ‘iddah talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنَّهَا لَا تَعْتَدُّ بِمَا مَضَى مِنَ الطُّهْرِ قُرْءًا وَلْتَسْتَقْبِلْ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ؛ لِأَنَّ القرء هو طهرين حيضتين فَلَمَّا كَانَ فَقْدُ الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ فِي الِانْتِهَاءِ تَمْنَعُ مِنْ أَنْ تَكُونَ قُرْءًا، كَانَ فَقْدُ الْحَيْضَةِ الْأَوْلَى فِي الِابْتِدَاءِ أَوْلَى بِالْمَنْعِ مِنْ أَنْ تَكُونَ قُرْءًا؛ وَلِأَنَّهَا لَوِ اعْتَدَّتْ بِقُرْءٍ ثُمَّ طَرَأَ عَلَيْهَا الْإِيَاسُ لَمْ تَحْتَسِبْ بِزَمَانِ الْقُرْءِ وَشَهْرٍ وَلْتَسْتَقْبِلَنَّ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ لِئَلَّا تُلَفَّقَ عِدَّةٌ مِنْ جِنْسَيْنِ كَذَلِكَ حَيْضُ الصَّغِيرَةِ لَا يُوجِبُ احْتِسَابَ مَا مَضَى مِنَ الشُّهُورِ قُرْءًا لِئَلَّا يَجْمَعَ فِي عِدَّتَيْنِ جِنْسَيْنِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri bahwa perempuan tersebut tidak menghitung masa suci yang telah berlalu sebagai satu quru’, dan hendaknya ia memulai tiga quru’ yang baru; karena quru’ adalah dua masa suci dan dua masa haid. Maka, ketika ketiadaan haid kedua di akhir masa menghalangi untuk dianggap sebagai satu quru’, maka ketiadaan haid pertama di awal masa lebih utama untuk menghalangi agar tidak dianggap sebagai satu quru’. Dan karena jika ia telah menghitung satu quru’, lalu tiba-tiba mengalami putus haid (menopause), maka ia tidak menghitung masa quru’ dan satu bulan tersebut, dan hendaknya ia memulai tiga bulan baru, agar tidak menggabungkan masa iddah dari dua jenis (yaitu quru’ dan bulan). Demikian pula, haid pada anak perempuan yang masih kecil tidak menyebabkan dihitungnya bulan-bulan yang telah berlalu sebagai quru’, agar tidak menggabungkan dua jenis dalam dua masa iddah.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَأَعْجَبُ مَنْ سَمِعْتُ بِهِ مِنَ النِّسَاءِ يَحِضْنَ نساء تهامة لِتِسْعِ سِنِينَ فَتَعْتَدُّ إِذَا حَاضَتْ مِنْ هَذِهِ السِّنِّ بِالْأَقْرَاءِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Yang paling mengherankan dari yang pernah aku dengar adalah para perempuan di Tihamah yang mengalami haid pada usia sembilan tahun, sehingga jika mereka haid pada usia ini, mereka beriddah dengan quru’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فَقَدْ مَضَى فِي كِتَابِ الْحَيْضِ أَنَّ أَقَلَّ الزَّمَانِ الَّذِي تَحِيضُ فِيهِ النِّسَاءُ تِسْعُ سِنِينَ اعْتِبَارًا بِالْوُجُودِ، وَأَنَّهُ لَمْ يَجُزْ بِذَلِكَ عَادَةٌ مُسْتَمِرَّةٌ فَإِنْ وُجِدَتْ عَادَةٌ فِي الْحَيْضِ لِأَقَلَّ مِنْ تِسْعِ سِنِينَ من السَّلَامَةِ مِنَ الْعَوَارِضِ، إِمَّا فِي ثَلَاثِ نِسَاءٍ حِضْنَ لِأَقَلَّ مِنْ تِسْعٍ، وَإِمَّا فِي امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ حَاضَتْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ لِأَقَلَّ مِنْ تِسْعِ سِنِينَ انْتَقَلْنَا عَنِ التِّسْعِ فِي أَقَلِّهِ إِلَى مَا وَجَدْنَاهُ غَيْرَ أَنَّنَا لَمْ نَجِدْ ذَلِكَ فَوَقَفْنَا فِي الْأَقَلِّ عَلَى مَا اسْتَقَرَّ وُجُودُهُ وَهُوَ تِسْعُ سِنِينَ، فَلَوْ أَنَّ مُعْتَدَّةً رَأَتِ الدَّمَ لِأَقَلَّ مِنْ تِسْعِ سِنِينَ كَانَ دَمَ فساد ولم يَكُنْ حَيْضًا فَتَعْتَدُّ بِالشُّهُورِ لِأَنَّهَا مِمَّنْ لَمْ تَحِضْ وَلَوْ رَأَتْهُ لِتِسْعِ سِنِينَ، وَكَانَ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ اعْتَدَّتْ بِالشُّهُورِ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تحض.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan dalam Kitab al-Haid bahwa usia paling minimal perempuan mengalami haid adalah sembilan tahun, berdasarkan kenyataan yang ada. Dan bahwa tidak diperbolehkan menetapkan kebiasaan yang terus-menerus di bawah usia tersebut. Jika ditemukan kebiasaan haid pada usia kurang dari sembilan tahun dalam keadaan normal, baik pada tiga perempuan yang mengalami haid di bawah sembilan tahun, atau pada satu perempuan yang mengalami haid tiga kali di bawah sembilan tahun, maka kita berpindah dari batas minimal sembilan tahun kepada apa yang ditemukan. Namun, kita tidak menemukan hal tersebut, sehingga kita tetap pada batas minimal yang telah tetap keberadaannya, yaitu sembilan tahun. Maka, jika seorang perempuan yang sedang menjalani iddah melihat darah haid pada usia kurang dari sembilan tahun, maka darah itu adalah darah fasad (bukan haid), dan tidak dianggap sebagai haid, sehingga ia beriddah dengan bulan, karena ia termasuk perempuan yang belum haid. Jika ia melihat darah pada usia sembilan tahun, namun kurang dari sehari semalam, maka ia tetap beriddah dengan bulan, karena ia belum dianggap haid.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: فَإِنْ بَلَغَتْ عِشْرِينَ سَنَةً أَوْ أَكْثَرَ لَمْ تَحِضْ قَطُّ اعْتَدَتْ بِالْشُهُورِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang perempuan telah mencapai usia dua puluh tahun atau lebih dan belum pernah haid sama sekali, maka ia beriddah dengan bulan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ أَكْثَرَ الزَّمَانِ الَّذِي تَحِيضُ فِيهِ النِّسَاءُ غَيْرُ مُحَدَّدٍ، فَإِذَا تَأَخَّرَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَيْضُ حَتَّى طَعَنَتْ فِي السِّنِّ اعْتَدَّتْ بِالشُّهُورِ؛ لِأَنَّهَا مِمَّنْ لَمْ تَحِضْ؛ لِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ صِفَةُ الْمُعْتَدَّةِ وَإِنْ خَرَجَتْ عَنْ غَالِبِ الْعَادَةِ كَالْحَمْلِ الَّذِي يُعْتَبَرُ فِيهِ حَالُ الْحَامِلِ فِي بَقَائِهِ أَرْبَعَ سِنِينَ، وَإِنْ خَالَفَ غَالِبَ الْعَادَةِ فِي تِسْعَةِ أَشْهُرٍ فَأَمَّا إِذَا وَلَدَتْ وَلَمْ تَرَ حَيْضَهَا قَبْلَهُ وَلَا نِفَاسًا بَعْدَهُ ثُمَّ طُلِّقَتْ فَفِي عِدَّتِهَا وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena usia maksimal perempuan mengalami haid tidak ditentukan batasnya. Maka, jika seorang perempuan tidak mengalami haid hingga usianya lanjut, ia beriddah dengan bulan, karena ia termasuk perempuan yang belum haid. Yang menjadi pertimbangan adalah sifat perempuan yang menjalani iddah, meskipun keluar dari kebiasaan umum, seperti halnya kehamilan yang dipertimbangkan keadaan perempuan hamil dalam masa maksimalnya selama empat tahun, meskipun berbeda dengan kebiasaan umum yang sembilan bulan. Adapun jika ia melahirkan tanpa pernah mengalami haid sebelumnya, dan tidak mengalami nifas setelahnya, lalu dicerai, maka dalam masalah iddahnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِالشُّهُورِ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَحِضْ وَوِلَادَتُهَا قَبْلَ الْحَيْضِ كَالْبُلُوغِ الَّذِي تَعْتَدُّ بَعْدَهُ بِالشُّهُورِ إِذَا لَمْ تَحِضْ كَذَلِكَ بَعْدَ الْحَمْلِ.

Pertama: yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfarayini, bahwa ia beriddah dengan bulan, karena ia belum pernah haid, dan kelahirannya sebelum haid seperti halnya baligh yang setelahnya ia beriddah dengan bulan jika belum haid, demikian pula setelah kehamilan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَكُونُ كَالَّتِي ارْتَفَعَ حَيْضُهَا قَبْلَ الْإِيَاسِ لِغَيْرِ عِلَّةٍ فَيَكُونُ فِيمَا يُعْتَدُّ بِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ ذَكَرْنَاهَا:

Pendapat kedua: bahwa ia seperti perempuan yang terputus haidnya sebelum masa menopause tanpa sebab, sehingga dalam hal yang dihitung sebagai iddah terdapat tiga pendapat yang telah kami sebutkan:

أَحَدُهَا: تَمْكُثُ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ مُدَّةَ أَوْسَطِ الْحَمْلِ ثُمَّ تَعْتَدُّ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ وَالثَّانِي: تَمْكُثُ مُدَّةَ أَكْثَرِ الْحَمْلِ لِأَرْبَعِ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ.

Pertama: ia menunggu selama sembilan bulan, yaitu masa rata-rata kehamilan, kemudian beriddah dengan tiga bulan. Kedua: ia menunggu selama masa maksimal kehamilan, yaitu empat tahun, kemudian beriddah dengan tiga bulan.

وَالثَّالِثُ: تَمْكُثُ إِلَى مُدَّةِ الْإِيَاسِ ثُمَّ تَعْتَدُّ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ لِأَنَّ مَنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْحَمْلِ يَمْتَنِعُ أَنْ تَكُونَ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ لِقُوَّةِ الحمل على الأقراء.

Ketiga: ia menunggu hingga masa menopause, kemudian beriddah dengan tiga bulan, karena perempuan yang termasuk kelompok hamil tidak mungkin termasuk kelompok yang beriddah dengan quru’, karena kuatnya pengaruh kehamilan terhadap masa quru’.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله تعالى عنه: ” وَلَوْ طَرَحَتْ مَا تَعْلَمُ أَنَّهُ وَلَدٌ مُضْغَةً أَوْ غَيْرَهَا حَلَّتْ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابَيْنِ لَا تَكُونُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ حَتَّى يَبِينَ فِيهِ مِنْ خَلْقِ الْإِنْسَانِ شَيْءٌ وَهَذَا أَقْيَسُ “.

Imam asy-Syafi‘i raḍiyallāhu ta‘ālā ‘anhu berkata: “Jika ia menggugurkan sesuatu yang ia ketahui sebagai anak, baik berupa mudhghah maupun selainnya, maka ia menjadi halal (dari status tertentu). (Al-Muzani raḥimahullāh ta‘ālā berkata:) Dalam dua kitab, beliau menyatakan bahwa seorang perempuan tidak menjadi umm walad hanya dengan itu, sampai tampak pada janin tersebut sesuatu dari bentuk penciptaan manusia, dan ini lebih sesuai dengan qiyās.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ إِسْقَاطَ الْوَلَدِ يَتَعَلَّقُ بِهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa keguguran anak berkaitan dengan tiga hukum:

أَحَدُهَا: انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ.

Pertama: Berakhirnya masa ‘iddah.

وَالثَّانِي: كَوْنُهَا أُمَّ وَلَدٍ.

Kedua: Statusnya sebagai umm walad.

وَالثَّالِثُ: وُجُوبُ الْعِدَّةِ.

Ketiga: Kewajiban menjalani ‘iddah.

وَلَهُ فِي هَذِهِ الْأَحْكَامِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Terkait hukum-hukum ini, ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مُضْغَةً.

Pertama: Jika yang gugur berupa mudhghah (segumpal daging).

وَالثَّانِي: أَنْ تكون دونها.

Kedua: Jika kurang dari itu.

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ فَوْقَهَا، وَإِنْ كَانَ دُونَ الْمُضْغَةِ نُطْفَةً أَوْ عَلَقَةً لَمْ يَتَعَلَّقْ بِإِلْقَائِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ فَلَا تَنْقَضِي الْعِدَّةُ وَلَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَلَا يَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ لِأَنَّهُ دَمٌ فَصَارَ كَدَمِ الْحَيْضِ وَلَا يَتِمُّ بِهِ الْقُرُوءُ بِخِلَافِ الْحَيْضِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَدُمْ دَوَامَ الْحَيْضِ فَإِنِ اتَّصَلَ بِهِ الدَّمُ حَتَّى صَارَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَهُوَ دَمُ حَيْضٍ يَتِمُّ بِهِ الطُّهْرُ وَلَا يَكُونُ نِفَاسًا لِأَنَّ النِّفَاسَ مَا اتَّصَلَ بِوَضْعِ الْوَلَدِ، فَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْمُضْغَةِ فَهُوَ مَا اسْتَكْمَلَ خَلْقُهُ وَتَشَكَّلَتْ أَعْضَاؤُهُ وَلَمْ يَبْقَ عَلَيْهِ إِلَّا التَّمَامُ وَالِاشْتِدَادُ فَهَذَا تَتَعَلَّقُ الْأَحْكَامُ الثَّلَاثَةُ بِهِ فَتَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ وَتَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَتَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ وَيَكُونُ مَا اتَّصَلَ بِهِ مِنَ الدَّمِ نِفَاسًا، وَإِنْ كَانَتْ مُضْغَةً فَلَهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Ketiga: Jika lebih dari itu. Jika yang gugur masih berupa nutfah (air mani) atau ‘alaqah (segumpal darah), maka tidak ada satu pun dari tiga hukum ini yang berlaku atasnya; maka tidak berakhir masa ‘iddah, tidak menjadi umm walad, dan tidak wajib membayar ghurrah (denda), karena itu hanyalah darah, sehingga hukumnya seperti darah haid dan tidak menyempurnakan masa suci (‘quroo’) berbeda dengan haid; karena darah tersebut tidak berlangsung sebagaimana haid. Jika darah itu berlanjut hingga sehari semalam, maka itu adalah darah haid yang dengannya sempurna masa suci, dan tidak dianggap sebagai nifas, karena nifas adalah darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran anak. Jika janin tersebut sudah kuat seperti mudhghah, yaitu telah sempurna penciptaannya dan terbentuk anggota-anggotanya, tinggal menunggu penyempurnaan dan penguatan saja, maka tiga hukum tersebut berlaku atasnya: masa ‘iddah berakhir, status umm walad berlaku, dan wajib membayar ghurrah, serta darah yang keluar bersamanya dihukumi sebagai nifas. Jika yang gugur berupa mudhghah, maka ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَظْهَرَ فِيهِ بَعْضُ الْأَعْضَاءِ مَنْ عَيْنٍ، أَوْ أُصْبُعٍ، أَوْ تَبِينُ فِيهِ أَوَائِلُ التَّخْطِيطِ وَأَوَائِلُ الصُّورَةِ فَتَتَعَلَّقُ فِيهِ الْأَحْكَامُ الثَّلَاثَةُ، وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ ظَاهِرًا مُشَاهَدًا أَوْ كَانَ خَفِيًّا تُفَرِّقُهُ الْقَوَابِلُ عِنْدَ إِلْقَائِهِ في الماء الجار فَتَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ، وَتَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَتَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ.

Pertama: Jika tampak sebagian anggota tubuhnya, seperti mata, jari, atau mulai tampak garis-garis dan bentuk awal, maka tiga hukum tersebut berlaku atasnya, baik hal itu tampak jelas secara kasat mata maupun samar yang dapat dibedakan oleh para bidan ketika diletakkan di air yang mengalir; maka dengan itu berakhirlah masa ‘iddah, status umm walad berlaku, dan wajib membayar ghurrah.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا تبلغ هذا الْحَدَّ وَتَضْعُفَ عَنْ قُوَّةِ الْحَمْلِ الْمُتَمَاسِكِ فَيَكُونُ بِالْعَلَقَةِ أَشْبَهَ؛ لِأَنَّهُ أَوَّلُ أَحْوَالِ انْتِقَالِهِ عَنْهَا فَلَا يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنَ الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ.

Kedua: Jika belum mencapai batas tersebut dan masih lemah dari kekuatan janin yang kokoh, sehingga lebih mirip dengan ‘alaqah, karena itu adalah tahap awal peralihannya dari ‘alaqah, maka tidak berlaku atasnya satu pun dari tiga hukum tersebut.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ لَحْمًا مُتَمَاسِكًا قَدْ تَهَيَّأَ لِلِانْتِقَالِ إِلَى التَّصَوُّرِ وَالتَّخْطِيطِ وَلَمْ يَبْدُ فِيهِ تَصَوُّرٌ وَلَا تُخَطُّطٌ لَا ظَاهِرَ وَلَا خفي، فظاهر ما قاله الشافعي ها هنا فِي الْقَدِيمِ أَنَّ الْعِدَّةَ تَنْقَضِي بِهِ، وَظَاهِرُ مَا قَالَهُ فِي أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ: أَنَّهَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Ketiga: Jika berupa daging yang kokoh dan telah siap untuk beralih ke bentuk dan garis-garis, namun belum tampak bentuk atau garis-garis, baik secara nyata maupun samar, maka menurut zahir pendapat asy-Syafi‘i di kitab al-Qadim, masa ‘iddah berakhir dengannya, dan menurut zahir pendapat beliau dalam masalah umm walad, status umm walad berlaku dengannya. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ جَمَعُوا بَيْنَ الْحَالَتَيْنِ وَخَرَّجُوهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: Menggabungkan kedua keadaan tersebut dan membaginya menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ وَتَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَتَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ؛ لِأَنَّهُ فِي مَبَادِئِ الْخِلْقَةِ فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُهَا.

Pertama: Masa ‘iddah berakhir dengannya, status umm walad berlaku, dan wajib membayar ghurrah, karena ia berada pada permulaan penciptaan sehingga berlaku hukum-hukumnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ وَلَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَلَا تَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَقِرَّ بِهِ خَلْقُهُ.

Pendapat kedua: Masa ‘iddah tidak berakhir dengannya, status umm walad tidak berlaku, dan tidak wajib membayar ghurrah, karena penciptaannya belum sempurna.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْجَوَابَ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ فَتَنْقَضِي بهد الْعِدَّةُ وَلَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَلَا تجب في الْغُرَّةُ.

Pendapat kedua: Jawaban diberikan sesuai zahir pada kedua tempat tersebut, yaitu masa ‘iddah berakhir dengannya, namun tidak berlaku status umm walad dan tidak wajib membayar ghurrah.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْعِدَّةَ مَوْضُوعَةٌ لِاسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ وَإِلْقَاؤُهُ وَإِنْ لَمْ يُتَصَوَّرْ مُسْتَبْرِئٌ لِرَحِمِهَا كَمَا لَوْ تُصُوِّرَ فَلِذَلِكَ انْقَضَتِ الْعِدَّةُ بِهِ، وَهِيَ إِنَّمَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ إِذَا انْطَلَقَ اسْمُ الْوَلَدِ عَلَيْهِ وَثَبَتَتْ حُرْمَتُهُ فَتَعَدَّتْ إِلَيْهَا، وَهُوَ قَبْلَ التَّصَوُّرِ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الْوَلَدِ اسْتَقَرَّتْ لَهُ حُرْمَةٌ تَعَدَّتْ إِلَيْهَا، فَلِذَلِكَ لَمْ تَصِرْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَلَمْ تَجِبْ فيه الغرة.

Perbedaan antara keduanya adalah: bahwa masa ‘iddah ditetapkan untuk memastikan kekosongan rahim dan keluarnya (janin), meskipun tidak mungkin ada yang perlu dipastikan kekosongan rahimnya, sebagaimana jika dapat dibayangkan demikian, maka karena itu masa ‘iddah selesai dengannya. Sedangkan seorang wanita baru menjadi umm walad jika nama anak telah melekat padanya dan kemuliaannya telah tetap sehingga berpindah kepadanya. Adapun sebelum dapat dibayangkan (keberadaan anak), maka nama anak belum melekat padanya dan kemuliaan belum berpindah kepadanya, sehingga ia belum menjadi umm walad karenanya dan tidak wajib membayar ghurrah (denda).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ كَانَتْ تَحِيضُ عَلَى الْحَمْلِ تَرَكَتِ الصَّلَاةَ وَاجْتَنَبَهَا زَوْجُهَا وَلَمْ تَنْقَضِ بِالْحَيْضِ عِدَّتُهَا لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مُعْتَدَّةً بِهِ وَعِدَّتُهَا أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang wanita mengalami haid saat hamil, maka ia meninggalkan shalat dan suaminya menjauhinya, namun masa ‘iddahnya tidak selesai dengan haid tersebut karena ia bukanlah wanita yang masa ‘iddahnya dihitung dengan haid, dan masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ أَجْرَى اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْعَادَةَ فِي أَغْلَبِ أَحْوَالِ النِّسَاءِ أَنْ يَنْقَطِعَ عَنْهُنَّ الْحَيْضُ فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ لِمَا ذُكِرَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَجْعَلُهُ غِذَاءً لِلْجَنِينِ وَرُبَّمَا بَرَزَ الدَّمُ فِي حَالِ الْحَمْلِ إِمَّا لِأَنَّهُ أَكْثَرُ مِنْ غِذَاءِ الْجَنِينِ، وَإِمَّا لِضَعْفِ الْجَنِينِ عَنِ الاعتداء بِجَمِيعِهِ فَيَخْرُجُ فَاضِلُ الدَّمِ، وَيَكُونُ عَلَى صِفَةِ الْحَيْضِ وَقَدْرِهِ، وَلَا خِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّهَا لَا تَعْتَدُّ بِهِ وَاخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ، هَلْ يَكُونُ حَيْضًا تَجْتَنِبُ فِيهِ مَا تَجْتَنِبُ النِّسَاءُ فِي الْحَيْضِ أَوْ يَكُونُ دَمَ فَسَادٍ لَا حُكْمَ لَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah menetapkan kebiasaan pada mayoritas keadaan wanita bahwa haid terputus dari mereka selama masa kehamilan, karena disebutkan bahwa Allah Ta‘ala menjadikannya sebagai makanan bagi janin. Namun, terkadang darah keluar saat hamil, baik karena jumlahnya lebih banyak dari kebutuhan janin, atau karena janin lemah sehingga tidak mampu mengambil semuanya, maka darah yang tersisa keluar, dan darah itu memiliki sifat dan kadar seperti haid. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha bahwa wanita tidak menghitung masa ‘iddah dengan darah tersebut. Namun, pendapat Imam Syafi‘i berbeda dalam hal ini, apakah darah itu dianggap haid sehingga wanita harus menjauhi apa yang dijauhi wanita haid, ataukah darah itu dianggap darah fasad (darah penyakit) yang tidak memiliki hukum, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَكُونُ حَيْضًا وَيَكُونُ دَمَ فَسَادٍ لَا تُمْنَعُ فِيهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَإِتْيَانِ الزَّوْجِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ: {اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنْثَى وما تحيض الأَرْحَامُ} [الرعد: 8] فَأَخْبَرَ أَنَّ الْحَيْضَ يَفِيضُ مَعَ الْحَمْلِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَا ظَهَرَ مِنَ الدَّمِ لَيْسَ بِحَيْضٍ، وَلِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ فَجَعَلَ بَرَاءَةَ الرَّحِمِ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَدَلَّ عَلَى تَنَافِي اجْتِمَاعِهِمَا، وَلِأَنَّهُ دَمٌ لَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ حَيْضًا كَدَمِ الِاسْتِحَاضَةِ عَلَى الْحَمْلِ، وَلِأَنَّ الْحَيْضَ عَلَى الْحَمْلِ فِي ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ لَيْسَ بِدَالٍّ عَلَى بَرَاءَةِ الرَّحِمِ فلو حاضت لما دل عَلَى بَرَاءَةِ الرَّحِمِ مِنْهُ وَلَكَانَتِ الْعِدَّةُ غَيْرَ مُقْتَضِيَةٍ.

Pertama, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim, dan ini juga pendapat Abu Hanifah: bahwa darah tersebut bukan haid, melainkan darah fasad yang tidak menghalangi wanita dari shalat dan hubungan suami istri, berdasarkan firman Allah: {Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan dan apa yang gugur dari rahim-rahim} [ar-Ra‘d: 8], maka Allah mengabarkan bahwa haid berhenti saat hamil, sehingga menunjukkan bahwa darah yang keluar itu bukan haid. Juga berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Ketahuilah, wanita hamil tidak boleh digauli hingga ia melahirkan, dan wanita yang tidak hamil tidak boleh digauli hingga ia haid,” maka beliau menjadikan tanda bersihnya rahim dengan masing-masing dari keduanya, sehingga menunjukkan tidak mungkin keduanya berkumpul. Dan karena darah itu tidak mengakhiri masa ‘iddah, maka wajib tidak dianggap sebagai haid, seperti darah istihadhah pada masa hamil. Dan karena haid pada masa hamil bagi wanita yang biasa haid tidak menunjukkan bersihnya rahim, maka jika ia haid, itu tidak menunjukkan rahimnya telah bersih, sehingga masa ‘iddah tidak terpenuhi.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ أَنَّهُ يَكُونُ حَيْضًا فِي تَحْرِيمِ الصَّلَاةِ، وَالصِّيَامِ وَاجْتِنَابِ الزَّوْجِ، وَإِنْ لَمْ تَنْقَضِ بِهِ الْعِدَّةُ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ إِنَّ لِدَمِ الْحَيْضِ عَلَامَاتٍ وَأَمَارَاتٍ إِنَّهُ الْأَسْوَدُ الثَّخِينُ الْمُحْتَدِمُ فَأَمَّا إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، فَوَجَبَ اعْتِبَارُ هَذِهِ الصِّفَةِ فِي جَمِيعِ الْأَحْوَالِ وَتَعْلِيقُ الْحُكْمِ عَلَيْهَا إِذَا وُجِدَتْ، وَلِأَنَّ الْحَيْضَ وَالْحَمْلَ لَا يُنَافِي اجْتِمَاعُهُمَا سُنَّةً وَإِجْمَاعًا، وَاسْتِدْلَالًا.

Pendapat kedua, yaitu pendapat baru dan ini juga pendapat Malik, bahwa darah tersebut dianggap haid dalam hal pengharaman shalat, puasa, dan hubungan suami istri, meskipun masa ‘iddah tidak selesai dengannya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Fathimah binti Abi Hubaisy: “Darah haid itu memiliki tanda-tanda dan ciri-ciri, yaitu berwarna hitam pekat dan kental. Jika haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat.” Maka wajib mempertimbangkan sifat ini dalam seluruh keadaan dan menggantungkan hukum padanya jika ditemukan. Dan karena haid dan hamil tidak saling menafikan menurut sunnah dan ijmā‘, serta berdasarkan dalil.

وَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ تَبْرُقُ أَسَارِيرُ وَجْهِهِ فَلَمَّا رَأَتْ بَرِيقَ أَسَارِيرِهِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَنْتَ أَحَقُّ بِمَا قَالَهُ أَبُو كَبِيرٍ الْهُذَلِيُّ.

Adapun dalil dari sunnah adalah riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau masuk menemui ‘Aisyah dengan wajah berseri-seri, maka ketika ‘Aisyah melihat kilauan wajah beliau, ia berkata: “Wahai Rasulullah, engkau lebih berhak atas apa yang dikatakan oleh Abu Kabir al-Hudzali.”

(وَمُبَرَّأٍ مِنْ كُلِّ غُبَّرِ حَيْضَةٍ … وَفَسَادِ مُرْضِعَةٍ وَدَاءٍ مُغْيِلِ)

(Dan seseorang yang terbebas dari segala kotoran haid, … dan kerusakan wanita menyusui, serta penyakit yang membinasakan)

(وَإِذَا نَظَرْتَ إِلَى أَسِرَّةِ وجهه … برقت كبرق العارض المتهلل)

(Dan jika engkau melihat kilauan wajahnya … maka ia bersinar seperti kilat awan yang cerah)

يَعْنِي أَنَّهُ قَدْ بَرِئَ أَنْ تَكُونَ أُمُّهُ حَمَلَتْ بِهِ وَهِيَ حَائِضٌ لِأَنَّ مَا تَحْمِلُهُ في الحيض يكون غير اللَّوْنِ كَمِدَاءٍ وَمَا يَحْمِلُهُ فِي الطُّهْرِ وَضِيءَ الْأَسَارِيرِ صَافِيَ اللَّوْنِ، وَكَانَتْ هَذِهِ صِفَتَهُ.

Artinya, ia telah terbebas dari anggapan bahwa ibunya mengandungnya saat sedang haid, karena apa yang dikandung dalam keadaan haid biasanya berbeda warna, seperti daging yang busuk, sedangkan apa yang dikandung dalam keadaan suci berwajah cerah dan berwarna jernih, dan demikianlah sifat beliau.

وَقَوْلُهُ: وَدَاءٍ مُغْيِلٍ: الْوَطْءُ عَلَى الْحَمْلِ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرَدْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ يَعْنِي وَطْءَ الْحَامِلِ حَتَّى قِيلَ لِي إِنَّ نِسَاءَ الرُّومِ يَفْعَلْنَ ذَلِكَ وَلَا يَضُرُّهُنَّ فَمَوْضِعُ السُّنَّةِ الْمُسْتَدَلِّ بِهَا مِنْ هَذَا الْخَبَرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا نَزَّهَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن الحمل به في الحيض أُمِّهِ وَعَنْ غِيلَتِهَا بِصِفَتِهِ الَّتِي يُخَالِفُ حَالَ مَنْ حَمَلَتْ بِهِ فِي حَيْضَتِهَا فَأَقَرَّهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى هَذَا الْقَوْلِ وَمَا أَنْكَرَهُ مِنْهَا، وَلَوْ خَالَفَ الشَّرْعَ لِأَنْكَرَهُ وَنَهَى عَنْهُ مَعَ قَوْلِهِ فِي الْغِيلَةِ: ” أَرَدْتُ أَنْ أَنْهَى عَنْهَا ثُمَّ عَرَفْتُ أَنَّ الرُّومَ لَا يَضُرُّهُمْ ” يُرِيدُ فِي الْحَمْلِ الْحَادِثِ مِنْهُ فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِ وَمِنْ إِقْرَارِهِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَتَنَافَى فِي اجْتِمَاعِ الْحَيْضِ وَالْحَمْلِ وَأَمَّا الِاجْتِمَاعُ فَمَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلَيْنِ تَدَاعِيًا وَلَدًا وَتَنَازَعَا فِيهِ إِلَى عمر رضي الله تعالى عنه فدعي لَهُ الْقَافَةُ فَأَلْحَقُوهُ بِهِمَا، فَدَعَا لَهُ عَجَائِزَ قُرَيْشٍ وَسَأَلَهُنَّ عَنْهُ فَقُلْنَ: إِنَّهَا حَمَلَتْ بِهِ مِنَ الْأَوَّلِ وَحَاضَتْ عَلَى الْحَمْلِ فَاسْتَخْشَفَ الْوَلَدُ، فَلَمَّا تَزَوَّجَ بِهَا الثَّانِي انْتَعَشَ بِمَائِهِ فَأَخَذَ الشَّبَهَ مِنْهُ، فَقَالَ عُمَرُ: اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالْأَوَّلِ، وَكَانَتْ هَذِهِ الْقِصَّةُ شَهِدَهَا الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ، وَسَمِعُوا مَا جَرَى فَأَقَرُّوا عَلَيْهِ وَلَمْ يُنْكِرُوهُ، فَدَلَّ عَلَى إِجْمَاعِهِمْ عَلَيْهِ. وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ فَهُوَ مَا انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَيْهِ فِيمَنْ وَطِئَ فِي حَيْضٍ أَوْ عَقَدَ نِكَاحًا عَلَى حَائِضٍ فَجَاءَتْ بِوَلَدٍ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْئِهِ وَعَقْدِهِ فِي الْحَيْضِ أَنَّ الْوَلَدَ لَاحِقٌ بِهِ لِوُجُودِ زَمَانِ حَمْلِهِ مِنْ وَقْتِ وَطْئِهِ وَعَقْدِهِ، فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى جَوَازِ حَمْلِهَا فِي الْحَيْضِ، وَلَوْلَا ذَلِكَ لَاعْتَبَرُوا سِتَّةَ أَشْهُرٍ مِنْ بَعْدِ انْقِضَاءِ حَيْضَتِهَا فَإِنْ فَرَّقُوا بَيْنَ عُلُوقِ الْوَلَدِ وَبَيْنَ الْحَمْلِ جَوَّزْنَاهُ قِيَاسًا، فَقُلْنَا: إِنَّ كُلَّ حَالَةٍ لَا تُنَافِي عُلُوقَ الْوَلَدِ لَا تنافي الحمل كالظهر لِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ حُدُوثُ الْحَمْلِ عَلَى الْحَيْضِ صَحَّ حُدُوثُ الْحَيْضِ عَلَى الْحَمْلِ؛ لِأَنَّهُمَا لَا يَتَنَافَيَانِ؛ وَلِأَنَّ مَا تَأَخَّرَ بِهِ الْحَيْضُ فِي الْغَالِبِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ ثُبُوتِ حُكْمِهِ إِذَا حَدَثَ نَادِرًا كَالرَّضَاعِ، لِأَنَّ الْحَيْضَ يَتَأَخَّرُ بِهِ الحمل، ولأن الأقراء بالعدة أَقْوَى مِنَ الشُّهُورِ وَالْحَمْلَ فِيهَا أَقْوَى مِنَ الْأَقْرَاءِ فَلَمَّا انْتَقَلَتْ إِلَى الْحَمْلِ مَعَ وُجُودِ الشُّهُورِ جَازَ أَنْ تَنْتَقِلَ إِلَى الْحَمْلِ مَعَ وُجُودِ الْأَقْرَاءِ، وَهَذَا اسْتِدْلَالُ الْمُزَنِيِّ وَفِيهِ انْفِصَالٌ.

Dan ucapannya: “dan penyakit mughil”, maksudnya adalah berhubungan badan dengan wanita hamil. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Aku ingin melarang ghīlah, yaitu berhubungan dengan wanita hamil, hingga dikatakan kepadaku bahwa wanita-wanita Romawi melakukan itu dan tidak membahayakan mereka.” Maka, letak sunnah yang dijadikan dalil dari hadis ini adalah bahwa ‘Aisyah ra. telah menyucikan Rasulullah ﷺ dari kemungkinan beliau dikandung oleh ibunya dalam keadaan haid dan dari kemungkinan ghīlah atasnya, dengan sifat yang berbeda dengan keadaan orang yang dikandung saat haid. Nabi ﷺ pun membenarkan ucapan ‘Aisyah tersebut dan tidak mengingkarinya. Seandainya hal itu bertentangan dengan syariat, tentu beliau akan mengingkarinya dan melarangnya, sebagaimana sabdanya tentang ghīlah: “Aku ingin melarangnya, lalu aku mengetahui bahwa bangsa Romawi tidak terkena mudarat karenanya,” maksudnya pada kehamilan yang terjadi dari hubungan itu. Maka, dari ucapan beliau dan persetujuannya, menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara haid dan kehamilan. Adapun tentang terjadinya keduanya bersamaan, telah diriwayatkan bahwa ada dua orang laki-laki yang saling mengklaim seorang anak dan berselisih tentangnya di hadapan ‘Umar ra., lalu dipanggillah para ahli qāfah (ilmu menelusuri nasab) dan mereka menisbatkan anak itu kepada keduanya. Kemudian ‘Umar memanggil para wanita tua Quraisy dan menanyakan hal itu kepada mereka, lalu mereka berkata: “Wanita itu mengandung dari suami pertama dan mengalami haid saat hamil, sehingga anak itu menjadi lemah. Ketika ia menikah dengan suami kedua, anak itu menjadi kuat dengan air mani suami kedua, sehingga menyerupai suami kedua.” Maka ‘Umar berkata: “Allāhu Akbar!” dan menisbatkan anak itu kepada suami pertama. Kisah ini disaksikan oleh kaum Muhajirin dan Anshar, dan mereka mendengar apa yang terjadi lalu menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, sehingga menunjukkan adanya ijmā‘ atas hal itu. Adapun istidlāl (pengambilan dalil) adalah apa yang telah menjadi ijmā‘ bahwa jika seseorang berhubungan badan saat haid atau menikahi wanita haid, lalu wanita itu melahirkan anak enam bulan setelah hubungan atau akad nikah saat haid, maka anak itu dinisbatkan kepadanya karena masa kehamilannya dihitung sejak waktu hubungan atau akad nikah. Hal ini menunjukkan adanya ijmā‘ mereka atas bolehnya wanita hamil saat haid. Jika tidak demikian, tentu mereka akan menghitung enam bulan setelah selesai haidnya. Jika mereka membedakan antara awal menempelnya janin dan kehamilan, maka kami membolehkannya secara qiyās. Kami katakan: Setiap keadaan yang tidak menafikan menempelnya janin, tidak pula menafikan kehamilan, seperti masa suci. Karena jika sah terjadinya kehamilan saat haid, maka sah pula terjadinya haid saat hamil, sebab keduanya tidak saling menafikan. Dan karena sesuatu yang biasanya menyebabkan haid tertunda, tidak menghalangi tetapnya hukum jika terjadi secara jarang, seperti menyusui, karena haid bisa tertunda oleh kehamilan. Dan karena masa iddah dengan hitungan quru‘ (masa suci) lebih kuat daripada bulan, dan kehamilan di dalamnya lebih kuat daripada quru‘. Maka ketika berpindah ke kehamilan dengan adanya bulan, boleh juga berpindah ke kehamilan dengan adanya quru‘. Inilah istidlāl al-Muzani, dan di dalamnya ada rincian.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ تَوْجِيهِ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ قُلْنَا بِالْقَدِيمِ مِنْهُمَا أَنَّهُ لَيْسَ بِحَيْضٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي أَوَّلِ زَمَانِهِ الَّذِي يَرْتَفِعُ عَنْهُ حُكْمُ الْحَيْضِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika telah jelas apa yang kami uraikan tentang penjelasan dua pendapat, maka jika kita mengambil pendapat lama dari keduanya bahwa itu bukan haid, para sahabat kami berbeda pendapat tentang awal waktu yang gugur darinya hukum haid, menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مِنْ وَقْتِ الْعُلُوقِ وَإِنْ تَرَكَتِ الصَّلَاةَ عِنْدَ رُؤْيَةِ الدَّمِ بِخَفَاءِ أَمَارَاتِ الْحَمْلِ قَضَتْ.

Salah satunya: sejak waktu menempelnya janin, dan jika ia meninggalkan shalat ketika melihat darah karena tanda-tanda kehamilan belum tampak, maka ia wajib mengqadha.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مِنْ وَقْتِ حَرَكَةِ الْحَمْلِ الَّتِي تَحْتَاجُ إِلَى الِاعْتِدَادِ بِهِ مِنَ الْحَيْضِ؛ فَإِنْ صَامَتْ بَعْدَ الْعُلُوقِ وَقَبْلَ حَرَكَتِهِ أَعَادَتْ، وَإِنْ قُلْنَا: هُوَ لَهُ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الْأَصَحُّ نظر في الدم فإن كان ثخيناً محترماً فَهُوَ حَيْضٌ، وَإِنْ كَانَ رَقِيقًا أَصْفَرَ فَفِي كَوْنِهِ حَيْضًا وَجْهَانِ؛ لِأَنَّ الْحَيْضَ فِي الْحَمْلِ غَيْرُ مُعْتَادٍ وَفِي وُجُودِ الصُّفْرَةِ وَالْكُدْرَةِ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ وَجْهَانِ كَذَلِكَ هَذَا.

Pendapat kedua: terhitung sejak waktu gerakan janin yang membutuhkan penghitungan masa iddah dari haid; maka jika ia berpuasa setelah terjadinya pembuahan dan sebelum janin bergerak, ia harus mengulang puasanya. Jika kita mengatakan, sebagaimana dalam pendapat baru yang lebih sahih, maka dilihat pada darahnya: jika darah itu kental dan dihormati, maka itu adalah haid; namun jika cair dan kekuningan, maka dalam hal ini ada dua pendapat mengenai statusnya sebagai haid; karena haid pada masa kehamilan adalah sesuatu yang tidak lazim, dan dalam keberadaan cairan kekuningan dan keruh di luar hari-hari kebiasaan juga terdapat dua pendapat, demikian pula dalam masalah ini.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَا تُنْكَحُ الْمُرْتَابَةُ وَإِنْ أَوْفَتْ عِدَّتَهَا لِأَنَّهَا لَا تَدْرِي مَا عِدَّتُهَا فَإِنْ نُكِحَتْ لَمْ يُفْسَخْ وَوَقَّفْنَاهُ فَإِنْ بَرِئَتْ مِنَ الْحَمْلِ فَهُوَ ثَابِتٌ وَقَدْ أَسَاءَتْ وَإِنْ وَضَعَتْ بَطَلَ النِّكَاحُ (قال المزني) رحمه الله جعل الحامل تحيض ولم يجعل لحيضها معنى يعتد به كما تكون التي لم تحض تعتد بالشهور فإذا حدث الحيض كانت العدة بالحيض والشهور كما كانت تمر عليها وليست بعدة وكذلك الحيض يمر عليها وليس كل حيض عدة كما ليس كل شهور عدة “.

Imam Syafi‘i berkata: “Perempuan yang diragukan (hamil atau tidak) tidak boleh dinikahi meskipun telah menyelesaikan masa iddahnya, karena ia tidak mengetahui berapa lama masa iddahnya. Jika ia dinikahi, maka pernikahannya tidak dibatalkan, namun ditangguhkan. Jika ia terbukti bebas dari kehamilan, maka pernikahan itu tetap sah, namun ia telah berbuat salah. Jika ia melahirkan, maka pernikahan itu batal.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah, beliau menganggap perempuan hamil bisa mengalami haid, namun haidnya tidak dianggap sebagai masa iddah yang sah, sebagaimana perempuan yang belum pernah haid menjalani iddah dengan bulan-bulan. Jika terjadi haid, maka iddahnya dengan haid dan bulan-bulan sebagaimana yang telah dilaluinya, dan itu bukanlah masa iddah. Demikian pula haid yang dialaminya bukanlah setiap haid menjadi masa iddah, sebagaimana tidak setiap bulan menjadi masa iddah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمُرْتَابَةُ فَهِيَ الَّتِي تَمْضِي فِي أَقْرَائِهَا وَهِيَ مُرْتَابَةٌ بِحَمْلِهَا لِمَا تَجِدُهُ مِنْ غِلَظٍ وَتَحُسُّ بِهِ مِنْ نَقْلٍ وَهِيَ مَمْنُوعَةٌ مِنَ النِّكَاحِ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا حَتَّى تزول ريبتها، فإن نكحت قال الشافعي ها هنا لَمْ يُفْسَخِ النِّكَاحُ وَوَقَّفْنَاهُ فَإِنْ بَرِئَتْ مِنَ الْحَمْلِ فَهُوَ ثَابِتٌ وَقَدْ أَسَاءَتْ وَإِنْ وَضَعَتْ بَطَلَ النِّكَاحُ.

Al-Mawardi berkata: Adapun perempuan yang diragukan (hamil atau tidak) adalah perempuan yang menjalani masa haidnya namun ia ragu terhadap kehamilannya karena merasakan kekentalan (perut) dan merasakan adanya gerakan. Ia dilarang menikah setelah selesai masa iddahnya hingga hilang keraguannya. Jika ia menikah, Imam Syafi‘i berkata di sini: pernikahannya tidak dibatalkan, namun ditangguhkan. Jika ia terbukti bebas dari kehamilan, maka pernikahan itu tetap sah, namun ia telah berbuat salah. Jika ia melahirkan, maka pernikahan itu batal.

وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إِنْ نَكَحَتِ الْمُرْتَابَةُ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا وَهِمَ فِيهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ حَالَتِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan beliau berkata di tempat lain: Jika perempuan yang diragukan (hamil atau tidak) menikah, maka pernikahannya batal, dan hal itu bukanlah dua pendapat sebagaimana disangka sebagian sahabat kami, melainkan berdasarkan perbedaan dua keadaan. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai perbedaan keadaannya dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ الْمَوْضِعُ الَّذِي أَبْطَلَ فِيهِ نِكَاحَهَا إِذَا كَانَتِ الرِّيبَةُ مَوْجُودَةً قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا وَالْمَوْضِعُ الَّذِي وَقَّفَ فِيهِ نِكَاحَهَا إِذَا أُحْدِثَتِ الرِّيبَةُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَدَّتِهَا؛ لِأَنَّ الْعِدَّةَ مَوْضُوعَةٌ لِاسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ وَوُجُودُ الرِّيبَةِ فِيهَا تَمْنَعُ مِنَ اسْتِبْرَائِهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ بِانْقِضَائِهَا فَلِذَلِكَ بَطَلَ نِكَاحُهَا؛ لِأَنَّهَا فِي حُكْمِ الْبَاقِيَةِ فِي عِدَّتِهَا وَإِنِ انْقَضَتْ أَقَرَاؤُهَا وَإِذَا صَدَقَتِ الرِّيبَةُ بَعْدَ الْعِدَّةِ فَقَدْ تَقَدَّمَهَا الْحُكْمُ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَلَمْ تَنْقَضِ لِمَظْنُونٍ مُجَوِّزٍ، وَإِنْ كَانَ النِّكَاحُ مَوْقُوفًا عَلَى مَا تَحَقَّقَ مِنْ حَالِ الْحَمْلِ كَالْحَاكِمِ إِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ بَانَ لَهُ مَا هُوَ أَوْلَى مِنِ اجْتِهَادِهِ الْأَوَّلِ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ نُفُوذِ الْحُكْمِ بِهِ رَجَعَ عَنِ الْأَوَّلِ وَحَكَّمَ الثَّانِي، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ نُفُوذِ الْحُكْمِ بِهِ أَمْضَى الْحُكْمَ بِالِاجْتِهَادِ الْأَوَّلِ وَلَمْ يُبَعِّضْهُ فَإِنْ بَانَ لَهُ مُخَالَفَةُ النَّصِّ نَقَضَهُ.

Pertama: Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Sa‘id al-Istakhri, dan Abu ‘Ali bin Khairan, yaitu bahwa pernikahannya batal jika keraguan itu muncul sebelum selesai masa iddahnya, dan pernikahannya ditangguhkan jika keraguan itu muncul setelah selesai masa iddahnya; karena masa iddah ditetapkan untuk memastikan kekosongan rahim, dan adanya keraguan dalam masa iddah menghalangi kepastian tersebut, sehingga tidak boleh diputuskan bahwa masa iddah telah selesai, maka pernikahannya batal karena ia dianggap masih dalam masa iddah meskipun masa haidnya telah selesai. Jika keraguan itu muncul setelah masa iddah, maka telah didahului oleh keputusan bahwa masa iddah telah selesai, sehingga tidak dibatalkan hanya karena dugaan yang membolehkan. Jika pernikahan itu ditangguhkan, maka statusnya tergantung pada kepastian keadaan kehamilan, seperti seorang hakim yang berijtihad lalu tampak baginya sesuatu yang lebih kuat dari ijtihad sebelumnya; jika sebelum keputusan hukum dijalankan, ia kembali pada pendapat pertama dan memutuskan dengan pendapat kedua, namun jika setelah keputusan hukum dijalankan, maka ia tetap menjalankan keputusan dengan ijtihad pertama dan tidak membatalkannya, kecuali jika tampak bertentangan dengan nash, maka ia membatalkannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ اخْتِلَافَ حَالَتِهِمَا مَحْمُولٌ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ، وَهُوَ أَنَّ الْمَوْضِعَ الَّذِي يَبْطُلُ فِيهِ نِكَاحُهَا إِذَا كَانَتِ الرِّيبَةُ مَوْجُودَةً قَبْلَ عَقْدِ النِّكَاحِ، وَالْمَوْضِعَ الَّذِي وُقِفَ فِيهِ نِكَاحُهَا إِذَا حَدَثَتِ الرِّيبَةُ بَعْدَ عَقْدِ النِّكَاحِ؛ لِأَنَّ اسْتِبْرَاءَهَا قَبْلَ النِّكَاحِ مِنْ حُقُوقِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّ وَلَدَهَا يُلْحَقُ بِهِ إِلَى مُدَّةِ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طَلَاقِهِ فَاسْتَوَى فِي حَقِّهِ وُجُودُ الرِّيبَةِ قَبْلَ الْعِدَّةِ وَبَعْدَهَا فَلِذَلِكَ بَطَلَ نِكَاحُهَا وَاسْتِبْرَاؤُهَا بَعْدَ النِّكَاحِ فِي حَقِّ الثَّانِي، لِأَنَّهُ يُلْحَقُ بِهِ ولدها إذا وضعته لستة أشهر فلذلك وقت نِكَاحُهَا.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa perbedaan keadaan keduanya ditafsirkan bukan pada hal tersebut, melainkan bahwa tempat di mana nikahnya batal adalah apabila terdapat keraguan (rībah) sebelum akad nikah, sedangkan tempat di mana nikahnya ditangguhkan adalah apabila keraguan itu muncul setelah akad nikah; karena masa istibra’ sebelum nikah merupakan hak suami pertama, sebab anaknya masih bisa dinasabkan kepadanya hingga empat tahun setelah talaknya, sehingga sama saja bagi hak suami pertama apakah keraguan itu muncul sebelum atau sesudah masa ‘iddah, maka sebab itu nikahnya batal. Adapun istibra’ setelah nikah adalah hak suami kedua, karena anaknya akan dinasabkan kepadanya jika dilahirkan setelah enam bulan, maka sebab itu nikahnya ditangguhkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ يَنْزِلُ لَهَا مِنْهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Apabila telah dijelaskan apa yang kami sebutkan tentang perbedaan dua pendapat tersebut, maka dari situ muncul tiga keadaan:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ نِكَاحُهَا فِيهِ بَاطِلًا، وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الرِّيبَةُ مَوْجُودَةً قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَلَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِي بُطْلَانِ نِكَاحِهَا سَوَاءٌ زالت الريبة أو تحققت بالولادة.

Pertama: Nikahnya batal, yaitu apabila keraguan (rībah) sudah ada sebelum berakhirnya masa ‘iddah, maka para ulama kami tidak berbeda pendapat tentang batalnya nikahnya, baik keraguan itu hilang atau terbukti dengan kelahiran.

والحال الثاني: مَا كَانَ نِكَاحُهَا فِيهِ مَوْقُوفًا، وَهُوَ أَنْ تَحْدُثَ الرِّيبَةُ بَعْدَ النِّكَاحِ فَلَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا أَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ لَا يَبْطُلُ؛ لِأَنَّهُ عُقِدَ عَلَى الصِّحَّةِ فِي الظَّاهِرِ فَلَمْ يَبْطُلْ بِالْوَهْمِ لكن يكره له وطئها حَتَّى يُنْظَرَ مَا يَكُونُ مِنْ حَالِ رِيبَتِهَا، فَإِنِ انْفَشَّ الْحَمْلُ كَانَ النِّكَاحُ عَلَى صِحَّتِهِ وَإِنْ وَضَعَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ فَالْوَلَدُ لِلثَّانِي، وَالنِّكَاحُ عَلَى صِحَّتِهِ، وَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَهُوَ لِلْأَوَّلِ، وَالنِّكَاحُ حِينَئِذٍ بَاطِلٌ.

Keadaan kedua: Nikahnya ditangguhkan, yaitu apabila keraguan (rībah) muncul setelah akad nikah, maka para ulama kami sepakat bahwa akad nikah tidak batal; karena akad tersebut dilakukan secara sah secara lahiriah, sehingga tidak batal hanya karena dugaan. Namun, makruh baginya untuk menggaulinya hingga jelas bagaimana keadaan keraguannya. Jika ternyata tidak hamil, maka nikahnya tetap sah. Jika ia melahirkan setelah enam bulan dari waktu akad, maka anak itu menjadi nasab suami kedua dan nikahnya tetap sah. Namun jika ia melahirkan kurang dari enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada suami pertama dan nikahnya saat itu batal.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: مَا كَانَ نِكَاحُهَا مُخْتَلَفًا فِيهِ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الرِّيبَةُ حَادِثَةً بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَقَبْلَ نِكَاحِ الثَّانِي فَفِي النِّكَاحِ وَجْهَانِ:

Keadaan ketiga: Nikahnya diperselisihkan, yaitu apabila keraguan (rībah) muncul setelah berakhirnya masa ‘iddah dan sebelum akad nikah dengan suami kedua, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ، وَهُوَ قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ الرِّيبَةَ قَبْلَ النِّكَاحِ.

Pertama: Batal, yaitu pendapat yang mempertimbangkan keraguan (rībah) sebelum nikah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مَوْقُوفٌ، وَهُوَ قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ الرِّيبَةَ قَبْلَ الْعِدَّةِ.

Pendapat kedua: Ditangguhkan, yaitu pendapat yang mempertimbangkan keraguan (rībah) sebelum masa ‘iddah.

فَإِنْ قِيلَ: كَيْفَ يَكُونُ النِّكَاحُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ مَوْقُوفًا وَعَقْدُ النِّكَاحِ عِنْدَهُ لَا يَقِفُ عَلَى الْإِجَازَةِ وَلَا يَنْعَقِدُ إِلَّا عَلَى فَسَادٍ أَوْ صِحَّةٍ قِيلَ: إِنَّمَا جُعِلَ مَوْقُوفًا عَلَى الْفَسْخِ لَا عَلَى الْإِجَازَةِ وَالْإِمْضَاءِ كَمَا يُوقَفُ نِكَاحُ الْوَثَنِيَّيْنِ إِذَا أَسْلَمَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْفَسْخِ دون الإمضاء.

Jika dikatakan: Bagaimana mungkin nikah menurut mazhab al-Syafi‘i bisa ditangguhkan, padahal menurut beliau akad nikah tidak bergantung pada izin, dan tidak sah kecuali dalam keadaan batal atau sah? Maka dijawab: Yang dimaksud dengan ditangguhkan di sini adalah menunggu keputusan fasakh (pembatalan), bukan menunggu izin atau pengesahan, sebagaimana nikah dua orang musyrik yang salah satunya masuk Islam, maka nikahnya ditangguhkan untuk menunggu fasakh, bukan untuk pengesahan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضوان الله عليه: ” وَلَوْ كَانَتْ حَامِلًا بِوَلَدَيْنِ فَوَضَعَتِ الْأَوَّلَ فَلَهُ الرَّجْعَةُ وَلَوِ ارْتَجَعَهَا وَخَرَجَ بَعْضُ وَلَدِهَا وَبَقِيَ بَعْضُهُ كَانَتْ رَجْعَةً وَلَا تَخْلُو حَتَّى يُفَارِقَهَا كُلُّهُ “.

Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang perempuan hamil dengan dua anak, lalu ia melahirkan yang pertama, maka suaminya boleh rujuk. Jika ia rujuk dan sebagian anaknya telah lahir sementara sebagian lagi masih dalam kandungan, maka rujuknya sah, dan ia tidak dianggap suci (‘iddah belum selesai) hingga seluruh anaknya lahir.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَحُكِيَ عَنْ عِكْرِمَةَ: أَنَّهَا إِذَا وَضَعَتْ أَحَدَ الْوَلَدَيْنِ، أَوْ خَرَجَ بَعْضُ أَحَدِهِمَا انْتَقَضَتْ عِدَّتُهَا، وَبَطَلَتْ رَجْعَةُ الزَّوْجِ كَمَا تَنْقَضِي عِدَّةُ ذَاتِ الْأَقْرَاءِ بِأَوَّلِ الْحَيْضِ كَذَلِكَ الْحَامِلُ تَقْضِي عِدَّتَهَا بِأَوَّلِ الْحَمْلِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِقَوْلِهِ: {وَأُولاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] وَوَضْعُ الْحَمْلِ يَكُونُ بَعْدَ انْفِصَالِ جَمِيعِهِ، وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ مَوْضُوعَةٌ لِاسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ وَخُلُوِّهِ مِنْ وَلَدٍ مَظْنُونٍ فَكَيْفَ يَصِحُّ أَنْ تَنْقَضِيَ مَعَ بَقَاءِ وَلَدٍ مَوْجُودٍ، فَأَمَّا ذَاتُ الْأَقْرَاءِ فَعِدَّتُهَا بِالْأَطْهَارِ، وَإِنَّمَا يُرَاعَى أَوَّلُ الْحَيْضِ لِاسْتِكْمَالِهَا وَالْحَامِلُ تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ فَاقْتَضَى أَنْ يُرَاعَى اسْتِكْمَالُهُ، فَعَلَى هَذَا لَوِ ارْتَجَعَهَا بَعْدَ خُرُوجِ بَعْضِ الْوَلَدِ وَبَقَاءِ بَعْضِهِ صَحَّتْ رَجْعَتُهُ، وَلَوْ نَكَحَتْ غَيْرَهُ بَطَلَ نِكَاحُهَا وَلَوِ انْفَصَلَ جَمِيعُ حَمْلِهَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا وَلَمْ يَصِحَّ لَهُ الرَّجْعَةُ وَلَا يَمْنَعُهَا بَقَاءُ النَّاسِ مِنْ نكاح غيره.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa jika seorang perempuan melahirkan salah satu dari dua anak kembar, atau sebagian dari salah satu dari keduanya telah keluar, maka iddahnya batal dan hak rujuk suami pun gugur, sebagaimana iddah perempuan yang mengalami haid selesai dengan datangnya haid pertama, demikian pula perempuan hamil menyelesaikan iddahnya dengan awal kehamilan. Namun, ini adalah kekeliruan, berdasarkan firman Allah: {Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalaq: 4], dan melahirkan kandungan itu terjadi setelah seluruh kandungan terpisah (keluar). Selain itu, iddah ditetapkan untuk memastikan rahim bersih dan kosong dari kemungkinan adanya anak, maka bagaimana mungkin iddah selesai sementara masih ada anak yang tersisa di dalam rahim? Adapun perempuan yang mengalami haid, iddahnya dihitung dengan masa suci, dan yang diperhatikan adalah awal haid untuk menyempurnakannya. Sedangkan perempuan hamil, iddahnya selesai dengan seluruh kandungannya lahir, sehingga yang diperhatikan adalah penyempurnaannya. Berdasarkan hal ini, jika suami merujuk istrinya setelah sebagian anak keluar dan sebagian lainnya masih di dalam, maka rujuknya sah. Namun, jika ia menikah dengan laki-laki lain, maka pernikahannya batal. Jika seluruh kandungannya telah keluar, maka iddahnya selesai dan suami tidak lagi berhak merujuknya, serta keberadaan manusia lain (anak) tidak menghalanginya untuk menikah dengan laki-laki lain.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله تعالى عنه: ” وَلَوْ أَوْقَعَ الطَّلَاقَ فَلَمْ يَدْرِ أَقَبْلَ وِلَادِهَا أَمْ بَعْدَهُ فَقَالَ وَقَعَ بَعْدَ مَا وَلَدَتْ فَلِيَ الرَّجْعَةُ وَكَذَّبَتْهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ حَقٌّ لَهُ وَالْخُلُوَّ مِنَ الْعِدَّةِ حَقٌّ لَهَا وَلَمْ يَدْرِ وَاحِدٌّ مِنْهُمَا كَانِتِ الْعِدَّةُ عَلَيْهَا لِأَنَّهَا وَجَبَتْ وَلَا نُزِيلُهَا إِلَّا بِيَقِينٍ وَالْوَرَعُ أَنْ لَا يَرْتَجِعَهَا “.

Imam asy-Syafi‘i ra berkata: “Jika talak dijatuhkan, lalu tidak diketahui apakah itu sebelum atau sesudah ia melahirkan, kemudian suami berkata, ‘Talak terjadi setelah ia melahirkan, maka aku masih berhak rujuk,’ namun istri mendustakannya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami, karena hak rujuk adalah miliknya, sedangkan bebas dari iddah adalah hak istri. Keduanya tidak mengetahui apakah iddah masih berlaku atasnya, karena iddah telah wajib dan tidak bisa dihapus kecuali dengan keyakinan. Namun, sikap wara‘ (kehati-hatian) adalah tidak merujuknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ دُونَ الثَّلَاثِ فَوَلَدَتْ ثُمَّ اخْتَلَفَا هَلْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الْوِلَادَةِ أَوْ بَعْدَهَا فَادَّعَى الزَّوْجُ أَنَّهُ طَلَّقَهَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ وَأَنْ عِدَّتَهَا بِالْأَقْرَاءِ وَلَهُ الرَّجْعَةُ، وَقَالَتْ: بَلْ طَلَّقَنِي قَبْلَ الْوِلَادَةِ فَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتِي بِهَا وَلَا رَجْعَةَ لَكَ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا فِي هَذَا الِاخْتِلَافِ مِنْ ثَمَانِيَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang laki-laki menalak istrinya kurang dari tiga kali, lalu istrinya melahirkan, kemudian mereka berselisih apakah talak terjadi sebelum atau sesudah kelahiran. Suami mengklaim bahwa ia menalaknya setelah kelahiran, sehingga iddahnya dengan masa haid dan ia masih berhak rujuk. Sedangkan istri berkata, “Justru engkau menalakku sebelum kelahiran, sehingga iddahku telah selesai dengannya dan engkau tidak lagi berhak rujuk.” Dalam perselisihan ini, keadaan mereka tidak lepas dari delapan bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى وَقْتِ الْوِلَادَةِ أَنَّهُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَيَخْتَلِفَا فِي وَقْتِ الطَّلَاقِ فَيَقُولُ الزَّوْجُ: هُوَ يَوْمُ السَّبْتَ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ، هُوَ فِي يَوْمِ الْخَمِيسَ، فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ وَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِالْأَقْرَاءِ وَلَهُ الرَّجْعَةُ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ مِنْ فِعْلِهِ فَرُجِعَ فِيهِ إِلَى قَوْلِهِ كَمَا يُرْجَعُ إِلَيْهِ فِي أَصْلِ وُقُوعِهِ.

Pertama: Keduanya sepakat tentang waktu kelahiran, misalnya pada hari Jumat, namun berselisih tentang waktu talak. Suami berkata, “Talak pada hari Sabtu,” sedangkan istri berkata, “Talak pada hari Kamis.” Dalam hal ini, yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami dengan sumpahnya, dan istri harus menjalani iddah dengan masa haid, serta suami masih berhak rujuk. Sebab, talak adalah perbuatan suami, maka kembali kepada ucapannya sebagaimana dalam penetapan terjadinya talak itu sendiri.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى وَقْتِ الطَّلَاقِ أَنَّهُ كَانَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَيَخْتَلِفَا فِي وَقْتِ الْوِلَادَةِ فَيَقُولُ الزَّوْجُ وَلَدَتْ فِي يَوْمِ الْخَمِيسِ وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ، بَلْ وَلَدْتُ فِي يَوْمِ السَّبْتِ، وَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا، وَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالْوِلَادَةِ لِتَأَخُّرِهَا وَلَا رَجْعَةَ لِلزَّوْجِ؛ لِأَنَّ الْوِلَادَةَ مِنْ فِعْلِهَا وَمَعْلُومٌ مِنْ جهتها.

Kedua: Keduanya sepakat tentang waktu talak, misalnya pada hari Jumat, namun berselisih tentang waktu kelahiran. Suami berkata, “Ia melahirkan pada hari Kamis,” sedangkan istri berkata, “Aku melahirkan pada hari Sabtu.” Dalam hal ini, yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri dengan sumpahnya, dan iddahnya telah selesai dengan kelahiran karena kelahiran terjadi setelah talak, sehingga suami tidak lagi berhak rujuk. Sebab, kelahiran adalah perbuatan istri dan diketahui dari pihaknya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي وَقْتِ الطَّلَاقِ، وَفِي وَقْتِ الْوِلَادَةِ فَيَقُولُ الزَّوْجُ، وَلَدَتْ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، وَطَلَّقْتُ فِي يَوْمِ السَّبْتِ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ بَلْ طُلِّقْتُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَوَلَدْتُ فِي يَوْمِ السَّبْتِ، فَإِنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ وَالْبَادِي بِالْيَمِينِ أَسْبَقُهُمَا بِالدَّعْوَى، وَفِي كَيْفِيَّةِ الْيَمِينِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Keduanya berselisih tentang waktu talak dan waktu kelahiran. Suami berkata, “Ia melahirkan pada hari Jumat dan aku menalaknya pada hari Sabtu.” Sedangkan istri berkata, “Aku ditalak pada hari Jumat dan melahirkan pada hari Sabtu.” Maka keduanya saling bersumpah, dan yang pertama bersumpah adalah yang lebih dahulu mengajukan klaim. Dalam tata cara sumpah, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْلِفُ الزَّوْجُ بِاللَّهِ مَا طَلَّقْتُهَا إِلَّا بَعْدَ وِلَادَتِهَا، وَتَحْلِفُ الزَّوْجَةُ بِاللَّهِ مَا وَلَدْتُ إِلَّا بَعْدَ طَلَاقِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ أَوْجَزَ وَأَخْصَرَ.

Pertama: Suami bersumpah dengan nama Allah, “Aku tidak menalaknya kecuali setelah ia melahirkan,” dan istri bersumpah dengan nama Allah, “Aku tidak melahirkan kecuali setelah ditalak olehnya,” karena itu lebih ringkas dan singkat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا يَحْلِفَانِ عَلَى صِفَةِ الدَّعْوَى فَتَضْمَنُ يَمِينُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِثْبَاتَ مَا ادَّعَاهُ وَنَفْيَ مَا ادُّعِيَ عَلَيْهِ، فَيَقُولُ الزَّوْجُ: وَاللَّهِ لَقَدْ وَلَدَتْ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَمَا طَلَّقْتُهَا إِلَّا فِي يَوْمِ السَّبْتِ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: وَاللَّهِ لَقَدْ طَلَّقَنِي فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَقَدْ وَلَدْتُ فِي يَوْمِ السَّبْتِ، وَلَا تَحْتَاجُ أَنْ تَقُولَ مَا وَلَدْتُ إِلَّا فِي يَوْمِ السَّبْتِ وَإِنِ احْتِيجَ إِلَى ذَلِكَ فِي الطَّلَاقِ؛ لِأَنَّ الْوِلَادَةَ لَا تَتَكَرَّرُ وَالطَّلَاقَ قَدْ يَتَكَرَّرُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا فِي التَّحَالُفِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Pendapat kedua: Keduanya bersumpah sesuai dengan sifat gugatan, sehingga sumpah masing-masing dari mereka mencakup penetapan apa yang ia klaim dan penafian apa yang didakwakan kepadanya. Maka suami berkata: “Demi Allah, sungguh ia melahirkan pada hari Jumat dan aku tidak menceraikannya kecuali pada hari Sabtu.” Dan istri berkata: “Demi Allah, sungguh ia menceraikanku pada hari Jumat dan aku melahirkan pada hari Sabtu.” Istri tidak perlu mengatakan, “Aku tidak melahirkan kecuali pada hari Sabtu,” meskipun hal itu diperlukan dalam kasus talak; karena kelahiran tidak berulang, sedangkan talak bisa berulang. Jika demikian, maka keadaan keduanya dalam bersumpah tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَنْكُلَا فَيُحْكَمُ عِنْدَ نُكُولِهَا بِقَوْلِ أَسْبَقِهِمَا بِالدَّعْوَى، فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ حُكِمَ لَهُ بِالرَّجْعَةِ، وَعَلَيْهَا بِالْعِدَّةِ وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ حُكِمَ لَهَا بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَإِسْقَاطِ الرَّجْعَةِ.

Pertama: Keduanya enggan bersumpah, maka diputuskan berdasarkan pernyataan siapa yang lebih dahulu mengajukan gugatan. Jika suami, maka diputuskan baginya hak rujuk dan atas istri berlaku masa iddah. Jika istri, maka diputuskan baginya berakhirnya masa iddah dan gugurnya hak rujuk.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَحْلِفَ أَحَدُهُمَا وَيَنْكُلَ الْآخَرُ فَيُحْكَمُ لِلْحَالِفِ مِنْهُمَا دُونَ النَّاكِلِ سَوَاءٌ كَانَ سَابِقًا بِالدَّعْوَى أَوْ مَسْبُوقًا.

Keadaan kedua: Salah satu dari mereka bersumpah dan yang lain enggan, maka diputuskan untuk yang bersumpah di antara mereka, baik ia yang lebih dahulu mengajukan gugatan maupun yang belakangan.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَحْلِفَا مَعًا فَالتَّحَالُفُ مِنْهُمَا وَقَعَ عَلَى حُكْمَيِ الرَّجْعَةِ وَالْعِدَّةِ فَأَثْبَتَهُمَا الزَّوْجُ لِنَفْسِهِ بِيَمِينِهِ وَنَفَتْهُمَا الزَّوْجَةُ عَنْهَا بِيَمِينِهَا فَوَجَبَ أَنْ يُلْزَمَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَغْلَظَ الْأَمْرَيْنِ فِي حَقِّهِ يَقِينًا لِلتُّهْمَةِ عَنْهُمَا فَتَسْقُطُ رَجْعَةُ الزَّوْجِ بِيَمِينِ الزَّوْجَةِ لِأَنَّهُ أَغْلَظُ الْأَمْرَيْنِ عَلَيْهَا وَأَنْفَى لِلتُّهْمَةِ عَنْهَا.

Keadaan ketiga: Keduanya bersumpah bersama-sama, maka sumpah dari keduanya terjadi atas hukum rujuk dan iddah. Suami menetapkan keduanya untuk dirinya dengan sumpahnya, dan istri menafikan keduanya dari dirinya dengan sumpahnya. Maka wajib bagi masing-masing dari mereka untuk dikenakan konsekuensi yang paling berat di antara dua perkara tersebut secara pasti, karena adanya tuduhan terhadap keduanya. Maka gugurlah hak rujuk suami dengan sumpah istri, karena itu adalah konsekuensi yang paling berat baginya dan paling menafikan tuduhan terhadapnya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى وَقْتِ الْوِلَادَةِ وَيَشُكَّا فِي الطَّلَاقِ هَلْ تَقَدَّمَهَا أَوْ تَأَخَّرَ عَنْهَا فَيُحْكُمُ عَلَيْهَا بِالْعِدَّةِ وَلِلزَّوْجِ الرَّجْعَةُ لِأَنَّا عَلَى يَقِينٍ مِنْ حُدُوثِ الطَّلَاقِ وَفِي شَكٍّ مِنْ تَقَدُّمِهِ وَالْوَرَعُ لِلزَّوْجِ أَنْ يَرْتَجِعَ لِجَوَازِ تَقَدُّمِهِ.

Bagian keempat: Keduanya sepakat tentang waktu kelahiran dan ragu tentang talak, apakah talak itu mendahului atau sesudahnya. Maka diputuskan atas istri untuk menjalani iddah dan suami berhak rujuk, karena kita yakin telah terjadi talak dan ragu tentang urutannya. Sikap wara‘ (kehati-hatian) bagi suami adalah tidak merujuk, karena mungkin saja talak mendahului kelahiran.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى وَقْتِ الطَّلَاقِ وَيَشُكَّا فِي الْوِلَادَةِ هَلْ تَقَدَّمَتْ عَلَيْهِ أو تأخرت عنه فَيُحْكَمُ لَهَا بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَسُقُوطِ الرَّجْعَةِ لِأَنَّا عَلَى يَقِينٍ مِنْ حُدُوثِ الْوِلَادَةِ وَفِي شَكٍّ مِنْ تَقَدُّمِهَا وَالْوَرَعُ لَهَا أَنْ تَعْتَدَّ لِجَوَازِ تَقَدُّمِهَا.

Bagian kelima: Keduanya sepakat tentang waktu talak dan ragu tentang kelahiran, apakah kelahiran itu mendahului atau sesudah talak. Maka diputuskan bagi istri berakhirnya masa iddah dan gugurnya hak rujuk, karena kita yakin telah terjadi kelahiran dan ragu tentang urutannya. Sikap wara‘ bagi istri adalah tetap menjalani iddah, karena mungkin saja kelahiran mendahului talak.

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ يَقُولَ الزَّوْجُ: قَدْ عَلِمْتِ أَنَّنِي طَلَّقْتُكِ بَعْدَ وِلَادَتِكَ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: لَسْتُ أَعْلَمُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ لِعِلْمِهِ بِمَا جَهِلَتْهُ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَهُ الرَّجْعَةُ، وَلَهَا إِحْلَافُهُ عَلَى الرَّجْعَةِ دُونَ الْعِدَّةِ، فَإِنْ لَمْ يَرْتَجِعْهَا فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْعِدَّةَ تَلْزَمُهَا مَعَ الجهل بأدائها.

Bagian keenam: Suami berkata, “Engkau tahu bahwa aku menceraikanmu setelah engkau melahirkan,” dan istri berkata, “Aku tidak tahu.” Maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami, karena ia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh istri. Maka atas istri berlaku iddah dan suami berhak rujuk. Istri berhak meminta suami bersumpah atas hak rujuk, bukan atas iddah. Jika suami tidak merujuk, maka tidak ada sumpah atasnya; karena iddah tetap wajib atas istri meskipun ia tidak mengetahui telah menjalankannya.

وَالْقِسْمُ السَّابِعُ: أَنْ تَقُولَ الزَّوْجَةُ قَدْ عَلِمْتَ أَنَّنِي وَلَدْتُ بَعْدَ طَلَاقِكَ وَيَقُولَ الزَّوْجُ: لَسْتُ أَعْلَمُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا وَلَا رَجْعَةَ لَهُ وَلَهُ إِحْلَافُهَا فِي سُقُوطِ الْعِدَّةِ دُونَ الرَّجْعَةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَبِيحُ الرَّجْعَةَ مَعَ الْجَهْلِ بِاسْتِحْقَاقِهَا.

Bagian ketujuh: Istri berkata, “Engkau tahu bahwa aku melahirkan setelah engkau menceraikanku,” dan suami berkata, “Aku tidak tahu.” Maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan istri, dan tidak ada iddah atasnya serta suami tidak berhak rujuk. Suami berhak meminta istri bersumpah dalam hal gugurnya iddah, bukan dalam hal rujuk; karena suami tidak boleh melakukan rujuk jika tidak yakin berhak melakukannya.

وَالْقِسْمُ الثَّامِنُ: أَنْ يَجْهَلَا جَمِيعًا وَقْتَ الْوِلَادَةِ وَالطَّلَاقِ وَلَا يَعْلَمُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا، هَلْ تَقَدَّمَ الطَّلَاقُ عَلَى الْوِلَادَةِ أَوْ تَقَدَّمَتِ الْوِلَادَةُ عَلَى الطَّلَاقِ فَعَلَيْهِمَا الْعِدَّةُ وَلَهُ الرَّجْعَةُ، لِأَنَّ الْأَصْلَ وُجُوبُ الْعِدَّةِ فَلَا تَنْقَضِي بِالشَّكِّ وَأَنَّ الرَّجْعَةَ مُسْتَحَقَّةٌ فَلَا تَبْطُلُ بِالشَّكِّ وَيُخْتَارُ لَهُ فِي الْوَرَعِ أَنْ لَا يَرْتَجِعَهَا احتياطاً.

Bagian kedelapan: Keduanya sama-sama tidak mengetahui waktu kelahiran dan talak, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu apakah talak mendahului kelahiran atau kelahiran mendahului talak. Maka atas istri berlaku iddah dan suami berhak rujuk, karena pada asalnya iddah itu wajib sehingga tidak gugur karena keraguan, dan hak rujuk itu tetap sehingga tidak batal karena keraguan. Namun, sikap wara‘ yang dianjurkan bagi suami adalah tidak merujuknya sebagai bentuk kehati-hatian.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ طَلَّقَهَا فَلَمْ يُحْدِثْ لَهَا رَجْعَةً وَلَا نِكَاحًا حَتَّى وَلَدَتْ لَأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ فَأَنْكَرَهُ الزَّوْجُ فَهُوَ مَنْفِيٌّ بِاللِّعَانِ لِأَنَّهَا وَلَدَتْهُ بَعْدَ الطَّلَاقِ لِمَا لَا يَلِدُ لَهُ النِّسَاءُ (قال المزني) رحمه الله فَإِذَا كَانَ الْوَلَدُ عِنْدَهُ لَا يُمْكِنُ أَنْ تَلِدَهُ مِنْهُ فَلَا مَعْنَى لِلِّعَانِ بِهِ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ هَذَا غَلَطًا مِنْ غَيْرِ الشَّافِعِيِّ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang suami menceraikan istrinya, lalu ia tidak merujuk atau menikahinya kembali hingga istrinya melahirkan anak setelah lebih dari empat tahun, kemudian suami mengingkari anak itu, maka anak tersebut dinafikan dengan li‘ān, karena ia dilahirkan setelah perceraian dalam waktu yang tidak mungkin wanita melahirkan anak dari suami tersebut.” (Al-Muzani berkata, rahimahullah:) “Jika anak itu menurut suami tidak mungkin dilahirkan darinya, maka tidak ada makna li‘ān atasnya, dan tampaknya ini adalah kekeliruan dari selain Imam Syafi‘i.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَمُقَدِّمَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بَيَانُ أَقَلِّ الْحَمْلِ وَأَكْثَرِهِ، فَأَمَّا مُدَّةُ أَقَلِّ الْحَمْلِ الَّذِي يَعِيشُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ فَسِتَّةُ أَشْهُرٍ اسْتِنْبَاطًا مِنْ نَصٍّ وَانْعِقَادًا مِنْ إِجْمَاعٍ وَاعْتِبَارًا بِوُجُودٍ.

Al-Mawardi berkata: “Pendahuluan masalah ini adalah penjelasan tentang minimal dan maksimal masa kehamilan. Adapun masa minimal kehamilan yang memungkinkan anak hidup setelah lahir adalah enam bulan, berdasarkan istinbāṭ dari nash, ijmā‘, dan pertimbangan adanya kenyataan.”

أَمَّا اسْتِنْبَاطُ النَّصِّ فَقَوْلُ اللَّهِ: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف 15] فَجَعَلَهَا مُدَّةً لِلْحَمْلِ وَلِفِصَالِ الرَّضَاعِ وَلَا تَخْلُو هَذِهِ الْمُدَّةُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ.

Adapun istinbāṭ dari nash adalah firman Allah: {Dan masa mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan} [Al-Ahqaf: 15]. Maka Allah menjadikannya sebagai masa kehamilan dan masa menyusui. Masa ini tidak lepas dari empat kemungkinan.

إِمَّا أَنْ تَكُونَ جَامِعَةً لِأَقَلِّهِمَا أَوْ لِأَكْثَرِهِمَا أَوْ لِأَكْثَرِ الْحَمْلِ وَأَقَلِّ الرَّضَاعِ أَوْ لِأَقَلِّ الْحَمْلِ وَأَكْثَرِ الرَّضَاعِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ جَامِعَةً لِأَقَلَّيْهِمَا لِأَنَّ أَقَلَّ الرَّضَاعِ غَيْرُ مُحَدَّدٍ، ولم يجز أن تكون جامعة لأكثرهما لزيادها عَلَى هَذِهِ الْمُدَّةِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ جَامِعَةً لِأَكْثَرِ الْحَمْلِ وَأَقَلِّ الرَّضَاعِ؛ لِأَنَّ أَقَلَّهُ غير محدد فلم يبق إلا أن جَامِعَةً لِأَقَلِّ الْحَمْلِ وَأَكْثَرِ الرَّضَاعِ ثُمَّ ثَبَتَ أن أكثر الرضاع حولين لِقَوْلِ اللَّهِ: {حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} [البقرة: 233] عُلِمَ أَنَّ الْبَاقِيَ وَهُوَ سِتَّةُ أَشْهُرٍ مُدَّةُ أَقَلِّ الْحَمْلِ.

Yaitu: bisa jadi masa itu mencakup minimal keduanya, atau maksimal keduanya, atau maksimal kehamilan dan minimal menyusui, atau minimal kehamilan dan maksimal menyusui. Tidak mungkin masa itu mencakup minimal keduanya, karena minimal masa menyusui tidak ditentukan; dan tidak mungkin pula mencakup maksimal keduanya karena melebihi masa tersebut; dan tidak boleh juga mencakup maksimal kehamilan dan minimal menyusui, karena minimalnya tidak ditentukan. Maka yang tersisa adalah masa itu mencakup minimal kehamilan dan maksimal menyusui. Telah tetap bahwa maksimal masa menyusui adalah dua tahun, berdasarkan firman Allah: {dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan} [Al-Baqarah: 233]. Maka diketahui bahwa sisanya, yaitu enam bulan, adalah masa minimal kehamilan.

وَأَمَّا انْعِقَادُ الإجماع فما رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى عَهْدِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ فَوَلَدَتْ فَرَافَعَهَا إِلَيْهِ فَهَمَّ عُثْمَانُ بِرَجْمِهِمَا، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنْ خَاصَمْتُكَ الْمَرْأَةُ خَاصَمْتُكَ بِالْقُرْآنِ، فَقَالَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ وَمِنْ أَيْنَ ذَلِكَ فَقَالَ: قَالَ اللَّهُ: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف: 15] وَقَالَ: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} [البقرة: 233] فَإِذَا ذَهَبَ الْحَوْلَانِ مِنْ ثَلَاثِينَ شَهْرًا كَانَ الْبَاقِي لِحَمْلِهِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَعَجِبَ النَّاسُ مِنِ اسْتِخْرَاجِهِ وَرَجَعَ عُثْمَانُ، وَمَنْ حَضَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ إِلَى قَوْلِهِ فَصَارَ إِجْمَاعًا.

Adapun ijmā‘, sebagaimana diriwayatkan bahwa seorang laki-laki menikahi seorang wanita pada masa ‘Utsman radhiyallāhu ‘anhu, lalu wanita itu melahirkan anak dan perkara itu dibawa kepada ‘Utsman. ‘Utsman pun berniat merajam keduanya, lalu Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya: “Jika wanita itu membantahmu, aku akan membantahmu dengan Al-Qur’an.” ‘Utsman bertanya: “Dari mana itu?” Ibnu ‘Abbas menjawab: “Allah berfirman: {Dan masa mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan} [Al-Ahqaf: 15] dan {Para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan} [Al-Baqarah: 233]. Jika dua tahun diambil dari tiga puluh bulan, maka sisanya untuk masa kehamilan adalah enam bulan.” Orang-orang pun kagum dengan istinbāṭ tersebut, dan ‘Utsman serta orang-orang yang hadir pun kembali kepada pendapat itu, sehingga menjadi ijmā‘.

وَأَمَّا اعْتِبَارُ الْوُجُودِ فَمَا حُكِيَ أَنَّ الْحُسَيْنَ بْنَ عَلِيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وُلِدَ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وِلَادَةِ أَخِيهِ الْحَسَنِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا.

Adapun pertimbangan adanya kenyataan adalah sebagaimana dikisahkan bahwa Al-Husain bin ‘Ali ‘alaihimā as-salām dilahirkan enam bulan setelah kelahiran saudaranya, Al-Hasan, raḍiyallāhu ‘anhumā.

وَأَمَّا مُدَّةُ أَكْثَرِ الْحَمْلِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ أَكْثَرَ مُدَّتِهِ أَرْبَعُ سِنِينَ.

Adapun masa maksimal kehamilan, para fuqahā’ berbeda pendapat. Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa masa maksimalnya adalah empat tahun.

وَقَالَ الزُّهْرِيُّ، وَرَبِيعَةُ، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، أَكْثَرُ مُدَّتِهِ سَبْعُ سِنِينَ وَعَنْ مَالِكٍ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ: رُوِيَ عَنْهُ أَرْبَعُ سِنِينَ، وَرُوِيَ خَمْسُ سِنِينَ، وَرُوِيَ سَبْعُ سِنِينَ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: أَكْثَرُ مُدَّتِهِ سَنَتَانِ.

Az-Zuhri, Rabi‘ah, dan Al-Laits bin Sa‘d berpendapat masa maksimalnya tujuh tahun. Dari Malik terdapat tiga riwayat: diriwayatkan darinya empat tahun, diriwayatkan lima tahun, dan diriwayatkan tujuh tahun. Abu Hanifah berpendapat masa maksimalnya dua tahun.

وبه قال المزني استدلالا بقول اللَّهِ: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف: 15] فَجَعَلَهَا مَقْصُورَةً عَلَى الْمُدَّتَيْنِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا أَكْثَرَ مِنْهُمَا وَلِأَنَّ هَاتَيْنِ الْمُدَّتَيْنِ مُجْمَعٌ عَلَيْهِمَا فَلَمْ يَجُزِ الِانْتِقَالُ عَنْهُمَا إِلَّا بِإِجْمَاعٍ أَوْ دَلِيلٍ.

Pendapat ini juga dipegang oleh Al-Muzani, dengan berdalil pada firman Allah: {Dan masa mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan} [Al-Ahqaf: 15], sehingga Allah membatasi pada dua masa itu, sehingga tidak boleh salah satunya melebihi yang lain. Karena kedua masa itu telah menjadi ijmā‘, maka tidak boleh berpindah darinya kecuali dengan ijmā‘ atau dalil.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ كُلَّ مَا احْتَاجَ إِلَى حَدٍّ وَتَقْدِيرٍ إِذَا لَمْ يَتَقَدَّرْ بِشَرْعٍ وَلَا لُغَةٍ كَانَ مِقْدَارُهُ بِالْعُرْفِ وَالْوُجُودِ كَالْحَيْضِ، وَالنِّفَاسِ، وَقَدْ وُجِدَ مِرَارًا حَمْلٌ وُضِعَ لِأَرْبَعِ سِنِينَ رَوَى دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ مُسْلِمٍ، قَالَ: قُلْتُ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ إِنِّي حُدِّثْتُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: لَا تَزِيدُ الْمَرْأَةُ فِي حَمْلِهَا عَلَى سَنَتَيْنِ قَدْرَ ظِلِّ الْمِغْزَلِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مَنْ يَقُولُ هَذَا؟ هَذِهِ جَارَتُنَا امْرَأَةُ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ امْرَأَةُ صِدْقٍ وَزَوْجُهَا رَجُلُ صِدْقٍ وَحَمَلَتْ ثَلَاثَةَ أَبْطُنٍ فِي اثْنَيْ عشر سَنَةً تَحْمِلُ كُلَّ بَطْنٍ أَرْبَعَ سِنِينَ.

Dalil kami adalah bahwa segala sesuatu yang membutuhkan batasan dan takaran, apabila tidak ditentukan oleh syariat maupun bahasa, maka ukurannya dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan) dan kenyataan, seperti haid dan nifas. Telah beberapa kali ditemukan adanya kehamilan yang berlangsung hingga empat tahun. Dawud bin Rusyd meriwayatkan dari al-Walid bin Muslim, ia berkata: Aku berkata kepada Malik bin Anas, “Aku diberitahu dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata: ‘Seorang wanita tidak mungkin mengandung lebih dari dua tahun, sekadar bayangan gelendong.’” Maka Malik berkata, “Subhanallah, siapa yang mengatakan ini? Ini tetangga kami, istri Muhammad bin ‘Ajlan, seorang wanita yang jujur dan suaminya pun laki-laki yang jujur. Ia mengandung tiga kali dalam dua belas tahun, setiap kandungan berlangsung empat tahun.”

وَرَوَى الْمُبَارَكُ بْنُ مُجَاهِدٍ قَالَ: مَشْهُورٌ عِنْدَنَا كَانَتِ امْرَأَةُ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ تَحُولُ وَتَضَعُ فِي أَرْبَعِ سِنِينَ فَكَانَتْ تُسَمَّى حَامِلَةَ الْفِيلِ.

Al-Mubarak bin Mujahid meriwayatkan, ia berkata: Sudah masyhur di kalangan kami bahwa istri Muhammad bin ‘Ajlan hamil dan melahirkan dalam waktu empat tahun, sehingga ia dijuluki ‘hamil seperti gajah’.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ الْقُرَشِيِّ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ رَأَى رَجُلًا فَقَالَ: إِنَّ أَبَا هَذَا غَابَ عَنْ أُمِّهِ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ قَدِمَ فَوَضَعَتْ هَذَا، وَلَهُ ثَنَايَا.

Asy-Syafi‘i meriwayatkan dari Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zaid al-Qurasyi bahwa Sa‘id bin al-Musayyib melihat seorang laki-laki lalu berkata: “Ayah orang ini pernah pergi meninggalkan ibunya selama empat tahun, kemudian ia kembali dan ibunya melahirkan anak ini, dan anak itu sudah tumbuh gigi serinya.”

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ يَحْيَى الْمُجَاشِعِيُّ قَالَ: بَيْنَمَا مَالِكُ بْنُ دِينَارٍ يَوْمًا جَالِسٌ إِذْ قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا يَحْيَى ادْعُ لِامْرَأَتِي حُبْلَى مُنْذُ أَرْبَعِ سِنِينَ قَدْ أَصْبَحَتْ فِي كَرْبٍ شَدِيدٍ فَغَضِبَ مَالِكٌ وَأَطْبَقَ الْمُصْحَفَ، وَقَالَ: مَا يَرَى هَؤُلَاءِ الْقَوْمُ إِلَّا أَنَّا أَنْبِيَاءُ ثُمَّ دَعَا ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَذِهِ الْمَرْأَةُ إِنْ كَانَ فِي بَطْنِهَا رِيحٌ فَأَخْرِجْهَا عَنْهَا السَّاعَةَ وَإِنْ كَانَ فِي بَطْنِهَا جَارِيَةً فَأَبْدِلْهَا بِهَا غُلَامًا فَإِنَّكَ تَمْحُو مَا تَشَاءُ وَتُثْبِتُ وَعِنْدَكَ أُمُّ الْكِتَابِ ثُمَّ رَفَعَ مَالِكٌ يَدَهُ وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ وَجَاءَ الرَّسُولُ إِلَى الرَّجُلِ فَقَالَ: أَدْرِكِ امْرَأَتَكَ: فَذَهَبَ الرَّجُلُ فَمَا حَطَّ مَالِكٌ يَدَهُ حَتَّى طَلَعَ الرَّجُلُ مِنْ بَابِ الْمَسْجِدِ عَلَى غُلَامٍ جَعْدٍ قَطَطٍ ابْنِ أَرْبَعِ سِنِينَ، قَدِ اسْتَوَتْ أَسْنَانُهُ مَا قُطِعَتْ أَسْرَارُهُ وَإِذَا كَانَ هَذَا النَّقْلُ صَحِيحًا مِنْ طُرُقٍ مُخْتَلِفَةٍ ثَبَتَ وُجُودُهُ وَاسْتَقَرَّ حُكْمُهُ.

Hisyam bin Yahya al-Mujasyi‘i meriwayatkan, ia berkata: Suatu hari Malik bin Dinar sedang duduk, lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai Yahya, doakanlah untuk istriku yang telah hamil selama empat tahun, kini ia dalam kesulitan yang berat.” Malik pun marah dan menutup mushaf, lalu berkata, “Orang-orang ini mengira kami para nabi!” Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, jika dalam perut wanita ini hanya ada angin, maka keluarkanlah sekarang juga. Jika dalam perutnya ada bayi perempuan, maka gantilah dengan bayi laki-laki, karena Engkau menghapus dan menetapkan apa yang Engkau kehendaki, dan di sisi-Mu Ummul Kitab.” Lalu Malik mengangkat tangannya, dan orang-orang pun mengangkat tangan mereka. Kemudian datanglah utusan kepada laki-laki itu dan berkata, “Segeralah temui istrimu!” Maka laki-laki itu pergi, dan Malik belum menurunkan tangannya hingga laki-laki itu kembali dari pintu masjid dengan membawa seorang anak laki-laki berambut keriting, berusia empat tahun, giginya sudah tumbuh rata, belum dipotong tali pusarnya. Jika riwayat ini benar dari berbagai jalur, maka keberadaannya telah tetap dan hukumnya pun berlaku.

فَأَمَّا الْآيَةُ فَقَدْ ذَكَرْنَا مَا اقْتَضَتْهُ وَفِيهِ جواباً.

Adapun ayat (al-Qur’an), telah kami sebutkan makna yang dikandungnya dan di dalamnya terdapat jawaban.

وَأَمَّا الْإِجْمَاعُ فَقَدِ انْتَقَلْنَا عَنْهُ بِالْوُجُودِ.

Adapun ijmā‘, maka kami telah keluar darinya dengan adanya kenyataan (kejadian yang ada).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ فَصُورَةُ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا فِي الظَّاهِرِ بِالشُّهُورِ أَوْ بِالْأَقْرَاءِ ثُمَّ وَضَعَتْ قَبْلَ أَنْ تَتَزَوَّجَ بِغَيْرِهِ وَلَدًا فَإِنْ رَضَّعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ فَهُوَ لَاحِقٌ بِالزَّوْجِ الْمُطَلِّقِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَتَجَاوَزْ مُدَّةَ أَكْثَرِ الْحَمْلِ وَهِيَ أَرْبَعُ سِنِينَ أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ نَادِرًا فَوَجَبَ أَنْ يَلْحَقَ بِهِ وَإِنْ خَالَفَ الْغَالِبَ كَمَا يَلْحَقُ بِهِ إِذَا وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ عَقْدِهِ وَإِنْ نَدَرَ وَخَالَفَ الْغَالِبَ لِوُجُودِ الْإِمْكَانِ فِي الْحَالَيْنِ مَعَ كَوْنِهِمَا نَادِرَيْنِ وَتَنْقَضِي عِدَّتُهُمَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ دُونَ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الشُّهُورِ وَالْأَقْرَاءِ، لِأَنَّ لُحُوقَ الْوَلَدِ بِهِ يَمْنَعُ مِنِ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِغَيْرِهِ وَسَوَاءٌ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا أَوْ رَجْعِيًّا.

Jika pendahuluan ini telah tetap, maka gambaran masalahnya adalah: Seorang laki-laki menceraikan istrinya dan masa ‘iddahnya telah selesai secara lahiriah, baik dengan bulan-bulan maupun dengan quru’ (masa suci/haid), kemudian sebelum ia menikah dengan laki-laki lain, ia melahirkan seorang anak. Jika ia menyusuinya kurang dari empat tahun, maka anak itu dinisbatkan kepada suami yang menceraikannya; karena selama tidak melebihi masa maksimal kehamilan, yaitu empat tahun, masih mungkin anak itu berasal darinya, meskipun jarang terjadi, sehingga wajib dinisbatkan kepadanya, walaupun bertentangan dengan kebiasaan umum, sebagaimana anak yang lahir enam bulan setelah akad nikah tetap dinisbatkan kepadanya meskipun jarang dan bertentangan dengan kebiasaan umum, karena adanya kemungkinan pada kedua keadaan tersebut, meskipun keduanya jarang terjadi. Masa ‘iddah keduanya berakhir dengan kelahiran anak, bukan dengan bulan-bulan atau quru’ yang telah lalu, karena penetapan nasab anak kepadanya mencegah berakhirnya masa ‘iddah dengan selain kelahiran. Sama saja apakah talaknya ba’in (tidak bisa rujuk) atau raj‘i (bisa rujuk).

وَإِنْ وَضَعَتِ الْوَلَدَ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ فَوْتِ الطَّلَاقِ لَمْ يَخْلُ الطَّلَاقُ مِنْ أَنْ يَكُونَ بَائِنًا أَوْ رَجْعِيًّا فَإِنْ كَانَ بَائِنًا وَالْبَائِنُ وَاحِدٌ مِنْ ثَلَاثِ فِرَقٍ. إِمَّا الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ، أَوِ الْخُلْعُ فِيمَا دُونَ الثَّلَاثِ، أَوِ الْفَسْخُ بِمَا اسْتَحَقَّ بِهِ الْفَسْخَ، فَإِنَّ الْوَلَدَ لَا يُلْحَقُ بِهِ، لِأَنَّ الْعُلُوقَ مَعَ حَادِثٍ بَعْدَ تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ بِالطَّلَاقِ فِي حَالٍ لَوْ وَطِئَهَا حُدَّ فَصَارَ مَنْفِيًّا عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ.

Jika seorang perempuan melahirkan anak lebih dari empat tahun setelah terjadinya talak, maka talak itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa berupa talak bā’in atau raj‘ī. Jika talaknya bā’in—dan talak bā’in itu ada tiga macam: talak tiga kali, khulu‘ pada selain talak tiga, atau fasakh dengan sebab yang membolehkan fasakh—maka anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya. Sebab, kehamilan itu terjadi setelah perempuan itu menjadi haram baginya karena talak, dalam kondisi yang jika ia menggaulinya maka ia akan dikenai had, sehingga anak itu menjadi tidak dinisbatkan kepadanya tanpa perlu li‘ān.

فَأَمَّا الْعِدَّةُ فَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ: أَنَّهَا تَنْقَضِي بِالْوِلَادَةِ فَإِنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الشُّهُورِ أَوِ الْأَقْرَاءِ، لِأَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ بِالْوِلَادَةِ أَقْوَى وَالْعِدَّةُ تُعْتَبَرُ فِي الِاسْتِبْرَاءِ بِمَا هُوَ الْأَقْوَى؛ لِأَنَّهَا تُعْتَدُّ بِالشُّهُورِ، فَإِنْ وُجِدَتِ الْأَقْرَاءُ انْتَقَلَتْ إِلَيْهَا لِقُوَّتِهَا فَإِنْ وُجِدَتِ الْوِلَادَةُ انْتَقَلَتْ عَنِ الْأَقْرَاءِ إِلَيْهَا لِقُوَّتِهَا.

Adapun mengenai masa ‘iddah, pendapat yang tampak dari mazhab asy-Syāfi‘ī dan yang dipegang oleh mayoritas ulama pengikutnya adalah bahwa ‘iddah berakhir dengan kelahiran. Maka, apa yang telah berlalu dari bulan-bulan atau masa haid sebelumnya, karena istibrā’ (penegasan bebasnya rahim) dengan kelahiran itu lebih kuat, dan ‘iddah itu diperhitungkan dalam istibrā’ dengan yang paling kuat; sebab, perempuan menjalani ‘iddah dengan bulan-bulan, lalu jika ditemukan masa haid, berpindah ke masa haid karena lebih kuat, dan jika ditemukan kelahiran, maka berpindah dari masa haid ke kelahiran karena lebih kuat.

قَالُوا: وَلَيْسَ بِتَكْرَارٍ تَعْتَدُّ بِوَضْعِ الْوَلَدِ لَا يُلْحَقُ بِهِ كَوَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ، وَالَّذِي عِنْدِي: أَنَّ عِدَّتَهَا قَدِ انْقَضَتْ بِالشُّهُورِ أَوْ بِالْأَقْرَاءِ الَّتِي كَانَتْ قَدِ اعْتَدَّتْ بِهَا دُونَ مَا حَدَثَ بَعْدَهَا مِنْ حَمْلٍ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ؛ لِأَنَّ مَا انْتَفَى عَنْهُ لِعَدَمِ الْإِمْكَانِ امْتَنَعَ أَنْ تَنْقَضِيَ بِهِ الْعِدَّةُ كَزَوْجَةِ الصَّغِيرِ إِذَا وَلَدَتْ بَعْدَ مَوْتِهِ عَنْهَا تَعْتَدُّ بِالشُّهُورِ دُونَ الْحَمْلِ.

Mereka berkata: Tidak dianggap pengulangan jika perempuan menjalani ‘iddah dengan kelahiran anak yang tidak dinisbatkan kepadanya, seperti anak hasil mulā‘anah. Adapun menurutku: ‘iddahnya telah selesai dengan bulan-bulan atau masa haid yang telah dijalaninya, bukan dengan kehamilan yang terjadi setelahnya yang tidak dinisbatkan kepadanya; sebab, sesuatu yang telah dinafikan darinya karena tidak mungkin, maka tidak sah ‘iddah berakhir dengannya, seperti istri anak kecil yang jika melahirkan setelah suaminya meninggal, maka ia menjalani ‘iddah dengan bulan-bulan, bukan dengan kehamilan.

فَإِنْ قَالُوا: وَلَدُ الصَّغِيرِ لَا يُلْحَقُ بِهِ إِذَا ادَّعَاهُ قِيلَ: كَذَلِكَ هُوَ الْوَلَدُ لَا يُلْحَقُ به لو ادعاه كما لا يحلق بِالزَّانِي مَا لَمْ يَدَّعِ نِكَاحًا أَوْ شُبْهَةً، وَلَوْ جَازَ هَذَا لَوَجَبَ أَنْ لَا يُحْكَمَ لِمُطَلَّقَتِهِ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مَا لَمْ يَتَزَوَّجْ حَتَّى تَجَاوَزَ أَرْبَعَ سِنِينَ لِجَوَازِ أَنْ تَضَعَ وَلَدًا وَهَذَا مَدْفُوعٌ.

Jika mereka berkata: Anak dari suami yang masih kecil tidak dinisbatkan kepadanya jika ia mengakuinya, maka dijawab: Demikian pula anak ini tidak dinisbatkan kepadanya jika ia mengakuinya, sebagaimana anak dari pezina tidak dinisbatkan kepadanya selama tidak mengaku adanya pernikahan atau syubhat. Jika hal ini dibolehkan, maka seharusnya tidak boleh diputuskan bahwa ‘iddah mantan istrinya telah selesai sampai ia menikah lagi setelah lebih dari empat tahun, karena masih mungkin ia melahirkan anak, dan ini tertolak.

فَأَمَّا وَلَدُ الْمُلَاعَنَةِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun anak hasil mulā‘anah, maka perbedaannya dengan kasus ini ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمْ يُحْكَمْ بِانْقِضَاءِ عَدَّتِهَا بِغَيْرِهِ فَجَازَ أَنْ تَقْضِيَ عِدَّتَهَا بِهِ، وَهَذِهِ قَدْ حُكِمَ بِانْقِضَاءِ عِدَّتِهَا بِغَيْرِهِ فَلِذَلِكَ لَمْ تَسْتَدِمِ الْعِدَّةُ إِلَى حِينِ وَضْعِهِ.

Pertama: Bahwa pada kasus mulā‘anah, belum diputuskan bahwa ‘iddahnya selesai dengan selain kelahiran, sehingga boleh ‘iddahnya selesai dengan kelahiran. Sedangkan pada kasus ini, telah diputuskan bahwa ‘iddahnya selesai dengan selain kelahiran, maka karena itu ‘iddahnya tidak berlanjut sampai waktu kelahiran.

وَالثَّانِي: أَنَّ وَلَدَ الْمُلَاعَنَةِ قَدْ نَفَاهُ بِاللِّعَّانِ مَعَ إِمْكَانِهِ، وَهَذَا نَفَاهُ الشَّرْعُ بِاسْتِحَالَتِهِ فَافْتَرَقَا.

Kedua: Anak hasil mulā‘anah dinafikan dengan li‘ān padahal secara kemungkinan masih bisa dinisbatkan, sedangkan pada kasus ini, syariat menafikannya karena mustahil, maka keduanya berbeda.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ وَقَدْ وَضَعَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Jika talaknya raj‘ī, dan ini adalah masalah yang dibahas dalam kitab, lalu perempuan itu melahirkan anak lebih dari empat tahun setelah talak, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يُلْحَقُ بِهِ وَيَنْتَفِي عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ؛ لِأَنَّهَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ قَبْلَ الرَّجْعَةِ تَحْرِيمَ الْمَبْتُوتَةِ فَانْتَفَى عَنْهُ وَلَدُهَا لِحُدُوثِهِ بَعْدَ التَّحْرِيمِ كَمَا يَنْتَفِي عَنْهُ وَلَدُ الْمَبْتُوتَةِ وَتَكُونُ عِدَّتُهَا تَنْقَضِي عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ، وَعِنْدِي بِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الشُّهُورِ وَالْأَقْرَاءِ.

Pertama, dan ini yang paling sahih: Anak itu tidak dinisbatkan kepadanya dan dinafikan darinya tanpa li‘ān; karena perempuan itu telah menjadi haram baginya sebelum rujuk, seperti halnya perempuan yang telah ditalak ba’in, sehingga anak yang lahir setelah masa pengharaman itu tidak dinisbatkan kepadanya, sebagaimana anak dari perempuan yang telah ditalak ba’in. Masa ‘iddahnya menurut mazhab asy-Syāfi‘ī dan mayoritas pengikutnya berakhir dengan kelahiran, sedangkan menurutku berakhir dengan bulan-bulan atau masa haid yang telah berlalu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُلْحَقُ وَلَدُ الرَّجْعَةِ وَإِنْ لَمْ يُلْحَقْ بِهِ وَلَدُ الْمَبْتُوتَةِ؛ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ بَعْدَ الْفُرْقَةِ فِي حُكْمِ الزَّوْجَاتِ لِوُجُوبِ نَفَقَتِهَا، وَمِيرَاثِهَا، وَسُقُوطِ الْحَدِّ فِي وَطْئِهَا فَكَانَ مُخَالَفَتُهَا لِلْمَبْتُوتَةِ فِي هَذِهِ الْأَحْكَامِ مُوجِبًا لِمُخَالَفَتِهَا فِي لُحُوقِ الْوَلَدِ؛ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ زَوْجَةٌ وَالْمَبْتُوتَةُ أَجْنَبِيَّةٌ، فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْمُدَّةِ الَّتِي يُلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ بعد أربع سنين، هل تقدم أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Anak dari perempuan yang dalam masa raj‘at tetap dinisbatkan kepadanya, meskipun anak dari perempuan yang telah ditalak ba’in tidak dinisbatkan; karena perempuan yang dalam masa raj‘at setelah perpisahan masih berstatus sebagai istri, karena ia masih berhak mendapat nafkah, warisan, dan tidak dikenai had jika digauli, sehingga perbedaannya dengan perempuan yang telah ditalak ba’in dalam hukum-hukum ini menyebabkan perbedaan pula dalam penetapan nasab anak; sebab perempuan dalam masa raj‘at masih berstatus istri, sedangkan yang telah ditalak ba’in adalah orang asing. Berdasarkan hal ini, para ulama kami berbeda pendapat tentang berapa lama masa setelah empat tahun anak itu masih bisa dinisbatkan kepadanya, apakah lebih lama atau tidak? Ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهَا غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ وَأَنَّهَا مَتَى وَلَدَتْهُ وَلَوْ إِلَى عَشْرِ سِنِينَ لَحِقَ الْوَلَدُ مَا لَمْ تَتَزَوَّجْ، وَهَذَا بِعِيدٌ.

Salah satu pendapat: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu Ali bin Abi Hurairah, bahwa masa tersebut tidak ditentukan, dan kapan pun ia melahirkan anaknya, meskipun sampai sepuluh tahun, anak itu tetap dihubungkan kepadanya selama ia belum menikah lagi. Namun, pendapat ini jauh (dari kebenaran).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أشبه أنه مُقَدَّرَةٌ بَعْدَ أَرْبَعِ سِنِينَ بِمُدَّةِ الْعِدَّةِ، لِأَنَّ الرَّجْعِيَّةَ وَإِنْ خَالَفَتِ الْمَبْتُوتَةَ فِي زَمَانِ الْعِدَّةِ فَهِيَ مُسَاوِيَةٌ لَهَا بَعْدَ الْعِدَّةِ فِي التَّحْرِيمِ، وَوُجُوبِ الْحَدِّ فِي الْوَطْءِ فَصَارَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ كَالْمَبْتُوتَةِ بَعْدَ الْفُرْقَةِ فَاقْتَضَى أَنْ يُعْتَبَرَ فِي لُحُوقِ وَلَدِهَا أَرْبَعُ سِنِينَ بَعْدَ تَسَاوِيهِمَا، فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ إِنْ وَلَدَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ وَمُدَّةِ الْعِدَّةِ لَحِقَ بِهِ وَانْقَضَتْ به العدة.

Pendapat kedua, yang lebih mendekati, adalah bahwa masa tersebut ditentukan setelah empat tahun dengan tambahan masa ‘iddah. Karena perempuan yang dicerai raj‘i, meskipun berbeda dengan yang dicerai ba’in dalam masa ‘iddah, namun setelah selesai ‘iddah, keduanya sama dalam hal keharaman (menikah kembali dengan mantan suami) dan kewajiban had jika terjadi hubungan suami istri. Maka, setelah habis masa ‘iddah, statusnya seperti perempuan yang dicerai ba’in setelah perpisahan, sehingga dalam hal penetapan nasab anaknya, dipertimbangkan masa empat tahun setelah keduanya sama statusnya. Berdasarkan pendapat ini, jika ia melahirkan anak dalam waktu kurang dari empat tahun ditambah masa ‘iddah, maka anak itu dihubungkan kepadanya dan masa ‘iddah pun selesai dengan kelahiran anak tersebut.

وَإِنْ وَلَدَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ وَمُدَّةِ الْعِدَّةِ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ وَانْقَضَتْ بِهِ الْعِدَّةُ عَلَى ظَاهِرِ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَانْقَضَتْ عِنْدِي بِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْعِدَّةِ.

Dan jika ia melahirkan anak dalam waktu lebih dari empat tahun ditambah masa ‘iddah, maka anak itu tidak dihubungkan kepadanya dan masa ‘iddah pun selesai dengan kelahiran anak tersebut menurut zahir mazhab Syafi‘i, dan menurutku masa ‘iddah selesai dengan masa yang telah disebutkan sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ نَقَلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّهُ يَنْتَفِي عَنْهُ بِاللِّعَانِ ثُمَّ نَسَبَ ذَلِكَ إِلَى الْغَلَطِ فِي النَّقْلِ عَنْهُ وَأَنَّهُ يَجِبُ أَنْ يكون منفياً عنه لا بل اللعان فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ مِنَ الْغَلَطِ فِي النَّقْلِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun al-Muzani, ia meriwayatkan dari asy-Syafi‘i dalam masalah ini bahwa nasab anak itu terputus darinya melalui li‘ān, kemudian ia menisbatkan hal itu sebagai kekeliruan dalam periwayatan dari asy-Syafi‘i, dan bahwa seharusnya anak itu dinyatakan tidak bernasab kepadanya tanpa li‘ān. Maka, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai apa yang disebutkan al-Muzani tentang kekeliruan dalam periwayatan ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الْأَمْرَ عَلَى مَا قَالَهُ الْمُزَنِيُّ مِنَ الْغَلَطِ فِي النَّقْلِ وَأَنَّ الرَّبِيعَ نَقَلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ أَنَّهُ مَنْفِيٌّ عَنْهُ لَا بِاللِّعَانِ وَتَعْلِيلُ الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ دَلِيلٌ عَلَيْهِ كَمَا ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ: لِأَنَّهَا وَلَدَتْهُ بَعْدَ الطَّلَاقِ لِمَا لَا يَلِدُ لَهُ النِّسَاءُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa perkara ini sebagaimana yang dikatakan al-Muzani, yaitu terjadi kekeliruan dalam periwayatan, dan bahwa ar-Rabi‘ meriwayatkan dari asy-Syafi‘i dalam kitab al-Umm bahwa anak itu tidak bernasab kepadanya tanpa li‘ān. Dan alasan asy-Syafi‘i dalam masalah ini menjadi dalil atas hal itu sebagaimana disebutkan al-Muzani: karena ia melahirkan anak itu setelah talak dalam waktu yang tidak mungkin wanita melahirkan anak baginya.

قَالُوا: وَإِنَّمَا الْتَصَقَتِ اللَّامُ مِنْ لَا بِأَلِفٍ مِنَ اللِّعَانِ فَقُرِئَ بِاللِّعَانِ.

Mereka berkata: Hanya saja huruf lām dari kata “lā” menempel dengan alif dari kata “li‘ān”, sehingga dibaca “bi al-li‘ān”.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ النَّقْلَ صَحِيحٌ أَنَّهُ مَنْفِيٌّ باللعان ولا حق بِهِ إِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ، وَهَذَا الْقَوْلُ الثَّانِي لِلشَّافِعِيِّ أَنَّ وَلَدَ الرَّجْعِيَّةِ لَاحِقٌ بَعْدَ أَرْبَعِ سِنِينَ فَلَا يَنْتَفِي عَنْهُ إِلَّا بِاللِّعَانِ، وَيَكُونُ تَعْلِيلُهُ بِأَنَّهَا وَلَدَتْهُ بَعْدَ الطَّلَاقِ لِمَا لَا يَلِدُ لَهُ النِّسَاءُ يَعْنِي فِي الْأَغْلَبِ يُجْعَلُ لِلزَّوْجِ عُذْرًا فِي نَفْيِهِ بِاللِّعَانِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Pendapat kedua: bahwa periwayatan tersebut benar, yaitu anak itu tidak bernasab kepadanya kecuali dengan li‘ān, dan jika tidak melakukan li‘ān maka anak itu tetap bernasab kepadanya. Ini adalah pendapat kedua dari asy-Syafi‘i, bahwa anak dari perempuan yang dicerai raj‘i tetap bernasab kepadanya setelah empat tahun, sehingga tidak bisa dinafikan kecuali dengan li‘ān. Dan alasan bahwa ia melahirkan anak itu setelah talak dalam waktu yang tidak mungkin wanita melahirkan anak baginya, maksudnya dalam kebanyakan kasus, dijadikan sebagai alasan bagi suami untuk menafikan nasab dengan li‘ān. Ini adalah pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

قَالَ المزني: ” وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ لَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ كُلَّمَا وَلَدْتِ وَلَدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَوَلَدَتْ وَلَدَيْنِ بَيْنَهُمَا سَنَةٌ طُلِّقَتْ بِالْأَوَّلِ وَحَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ بِالْآخَرِ ولم نلحق به الآخر لأن طلاقه وقع بولادتها ثم لم يحدث لها نكاحاً ولا رجعة ولم يقربه فيلزمه إقراره فكان الولد منتفياً عنه بلا لعان وغير ممكن أن يكون في الظاهر منه (قال المزني) رحمه الله فوضعها لما لا يلد له النساء من ذلك أبعد وبأن لا يحتاج إلى لعان به أحق “.

Al-Muzani berkata: “Dan ia (asy-Syafi‘i) berkata di tempat lain: Jika seseorang berkata kepada istrinya, ‘Setiap kali engkau melahirkan anak, maka engkau tertalak,’ lalu ia melahirkan dua anak dengan jarak satu tahun di antara keduanya, maka ia tertalak dengan kelahiran anak pertama dan halal menikah dengan laki-laki lain setelah kelahiran anak kedua. Kami tidak menghubungkan nasab anak kedua kepadanya karena talaknya jatuh dengan kelahiran anak tersebut, kemudian tidak terjadi akad nikah atau rujuk, dan ia tidak mendekatinya, sehingga ia harus mengakui hal itu. Maka, anak itu tidak bernasab kepadanya tanpa li‘ān dan tidak mungkin secara lahiriah anak itu darinya.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: “Maka, kelahiran anak dalam waktu yang tidak mungkin wanita melahirkan anak baginya lebih jauh (dari kemungkinan nasab), dan tidak membutuhkan li‘ān lebih layak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ أَوْرَدَهَا الْمُزَنِيُّ احْتِجَاجًا بِمَا ذَكَرَهُ مِنَ الْغَلَطِ فِي النَّقْلِ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَنَحْنُ نَذْكُرُ فِيهِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ الْجَوَابُ عَنِ الْغَلَطِ فِي النَّقْلِ، فَنَقُولُ: إِذَا قَالَ لِامْرَأَتِهِ: كُلَّمَا وَلَدْتِ وَلَدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَوَلَدَتْ وَلَدَيْنِ، فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَهُمَا مِنْ حَمْلٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّ أَقَلَّ الْحَمْلِ إِذَا كَانَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَ الْمَوْلُودُ قَبْلَهَا مُتَقَدِّمَ الْعُلُوقِ عَلَى وِلَادَةِ الْأَوَّلِ فَصَارَا حَمْلًا وَاحِدًا، وَإِذَا كَانَا حَمْلًا وَاحِدًا لَحِقَ بِهِ جَمِيعًا وَطُلِّقَتْ بِالْأَوَّلِ وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالثَّانِي وَلَمْ تُطَلَّقْ بِهِ، لِأَنَّ الْوِلَادَةَ بَعْدَ الطَّلَاقِ تَنْقَضِي بِهَا الْعِدَّةُ فَلَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ بِمَا انْقَضَتْ بِهِ الْعِدَّةُ لِأَنَّهُ يَكُونُ طَلَاقًا بَعْدَ الْعِدَّةِ، وَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا سِتَّةُ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرُ فَالطَّلَاقُ الْوَاقِعُ بِالْأَوَّلِ فِي هَذِهِ المسألة رجعي، وَلَوْ كَانَ بَائِنًا لَمْ يُلْحَقْ بِهِ الثَّانِي؛ لِأَنَّهُ مِنْ حَمْلٍ حَادِثٍ بَعْدَ وَضْعِ الْأَوَّلِ الَّذِي صَارَتْ بِهِ مَبْتُوتَةً، وَكَانَتْ بِمَنْزِلَةِ الْمُعْتَدَّةِ بِالْأَقْرَاءِ إِذَا وَلَدَتْ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ، فَإِذَا كَانَ الطَّلَاقُ الْوَاقِعُ بِوِلَادَةِ الْأَوَّلِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ رَجْعِيًّا، وَوَلَدَتِ الثَّانِيَ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا فَفِي لُحُوقٍ الثَّانِي بِهِ قَوْلَانِ كَالْمُعْتَدَّةِ بِالْأَقْرَاءِ إِذَا كَانَتْ رَجْعِيَّةً وَوَلَدَتْ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini dikemukakan oleh al-Muzani sebagai argumentasi atas apa yang ia sebutkan terkait kesalahan dalam periwayatan dari asy-Syafi‘i. Kami akan menyebutkan dalam masalah ini, dan jawaban atas kesalahan dalam periwayatan telah dijelaskan sebelumnya. Maka kami katakan: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Setiap kali engkau melahirkan anak, maka engkau tertalak,” lalu istrinya melahirkan dua anak, maka jika jarak antara keduanya kurang dari enam bulan, keduanya berasal dari satu kehamilan. Sebab, masa kehamilan paling singkat adalah enam bulan; jika anak kedua lahir sebelum enam bulan dari yang pertama, maka pembuahan anak kedua terjadi sebelum kelahiran anak pertama, sehingga keduanya merupakan satu kehamilan. Jika demikian, maka hukum talak berlaku pada keduanya sekaligus: ia tertalak dengan kelahiran anak pertama, dan masa iddahnya selesai dengan kelahiran anak kedua, sehingga ia tidak tertalak lagi dengan kelahiran anak kedua. Sebab, kelahiran setelah talak menyebabkan iddah selesai, sehingga talak tidak terjadi dengan sesuatu yang menyebabkan iddah selesai, karena itu berarti talak setelah iddah. Namun, jika jarak antara keduanya enam bulan atau lebih, maka talak yang terjadi dengan kelahiran anak pertama dalam masalah ini adalah talak raj‘i. Jika talaknya adalah talak bain, maka anak kedua tidak diikutkan, karena ia berasal dari kehamilan baru setelah kelahiran anak pertama yang menyebabkan istri menjadi mubaianah (terputus hubungan pernikahan). Ia dalam posisi seperti wanita yang menjalani iddah dengan quru‘ (masa haid), jika ia melahirkan setelah lebih dari empat tahun. Maka, jika talak yang terjadi dengan kelahiran anak pertama dalam masalah ini adalah talak raj‘i, dan ia melahirkan anak kedua setelah enam bulan atau lebih, maka dalam hal apakah anak kedua diikutkan atau tidak, terdapat dua pendapat, sebagaimana pada wanita yang menjalani iddah dengan quru‘ jika ia raj‘i dan melahirkan setelah lebih dari empat tahun.

أَحَدُهُمَا: لَا يُلْحَقُ بِهِ كَالْمَبْتُوتَةِ.

Salah satunya: Tidak diikutkan, seperti pada kasus mubaianah.

وَالثَّانِي: يُلْحَقُ بِهِ، وَفِي تَقْدِيرِ مُدَّتِهِ وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى:

Yang kedua: Diikutkan, dan dalam penentuan durasinya terdapat dua pendapat sebagaimana telah lalu:

أَحَدُهُمَا: لَا تَتَقَدَّرُ وَاعْتِبَارُهُ بِأَنْ لَا يَتَزَوَّجَ.

Salah satunya: Tidak ditentukan batas waktunya, dan ukurannya adalah selama ia belum menikah lagi.

وَالثَّانِي: أَنْ تَتَقَدَّرُ بِمُدَّةِ الْعِدَّةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ وِلَادَةِ ذَاتِ الأقراء والله أعلم.

Yang kedua: Ditentukan dengan masa iddah, sebagaimana telah kami sebutkan pada kelahiran wanita yang menjalani iddah dengan quru‘. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوِ ادَعَتِ الْمَرْأَةُ أَنَهُ رَاجَعَهَا فِي الْعِدَّةِ أَوْ نَكَحَهَا إِنْ كَانَتْ بَائِنًا أَوْ أَصَابَهَا وَهِيَ تَرَى أَنَّ لَهُ عَلَيْهَا الرَّجْعَةَ لَمْ يَلْزَمْهُ الْوَلَدُ وَكَانَتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ حَيًّا وَعَلَى وَرَثَتِهِ عَلَى عِلْمِهِمْ إِنْ كَانَ مَيِّتًا “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seorang wanita mengaku bahwa suaminya telah merujuknya dalam masa iddah, atau menikahinya jika talaknya bain, atau menggaulinya sementara ia mengira suaminya masih berhak merujuknya, maka anak yang lahir tidak wajib dinasabkan kepada suami, dan sumpah dibebankan kepada suami jika ia masih hidup, atau kepada ahli warisnya menurut pengetahuan mereka jika ia telah wafat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: أَنْ تَأْتِيَ الْمُطَلَّقَةُ بِوَلَدٍ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ وَيُحْكَمُ بِنَفْيِهِ عَنْهُ فَتَدَّعِي عَلَى الزَّوْجِ أَنَّهُ رَاجَعَهَا فِي الْعِدَّةِ إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا، أَوْ نَكَحَهَا إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا أَوْ أَصَابَهَا فِي عِدَّةِ الرَّجْعَةِ فَإِنَّ النِّكَاحَ بَيْنَهُمَا ثَابِتٌ، وَإِنَّ الْوَلَدَ بِهِ لَاحِقٌ فَهَذِهِ دَعْوَى مَسْمُوعَةٌ، وَلِلزَّوْجِ حَالَتَانِ: حَيٌّ، وَمَيِّتٌ، فَإِنْ كَانَ حَيًّا سُئِلَ عَنْهَا فَإِنْ صَدَّقَهَا ثَبَتَ نِكَاحُهَا وَاسْتَحَقَّتْ فِي الْعَقْدِ الْمَهْرَ وَالنَّفَقَةَ بِالرَّجْعَةِ وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ إِنْ صَدَّقَهَا عَلَى وِلَادَتِهِ، وَإِنْ أَنْكَرَ أَنَّهَا وَلَدَتْهُ وَأَنَّهَا الْتَقَطَتْهُ كُلِّفَتِ الْبَيِّنَةَ عَلَى وِلَادَتِهِ شاهدين، أو شاهد وامرأتين، أو أربع نسوة يشهدت لَهَا عَلَى وِلَادَتِهِ فَإِنْ أَقَامَتْهَا ثَبَتَ نَسَبُ الْوَلَدِ، وَلَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ إِلَّا بِاللِّعَانِ، وَإِنْ عَدِمَتْهَا حَلَفَ الزَّوْجُ أَنَّهَا لَمْ تَلِدْهُ وَانْتَفَى عَنْهُ نَسَبُهُ، فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَيْهَا، فَإِنْ حَلَفَتْ ثَبَتَ نَسَبُ الْوَلَدِ وَلَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ إِلَّا بِاللِّعَانِ، وَإِنْ نَكَلَتْ فَهَلْ تُوقَفُ الْيَمِينُ عَلَى بُلُوغِ الْوَلَدِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فِي الرَّهْنِ وَاللِّعَانِ.

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: Seorang wanita yang telah ditalak melahirkan anak setelah lebih dari empat tahun, dan diputuskan bahwa anak itu tidak dinasabkan kepadanya. Lalu ia mengaku bahwa suaminya telah merujuknya dalam masa iddah jika talaknya raj‘i, atau menikahinya jika talaknya bain, atau menggaulinya dalam masa iddah raj‘i. Maka, pernikahan antara keduanya tetap sah, dan anak itu dinasabkan kepadanya. Maka, pengakuan ini dapat diterima. Suami dalam hal ini ada dua keadaan: masih hidup atau sudah wafat. Jika masih hidup, maka ia ditanya tentang hal itu. Jika ia membenarkannya, maka pernikahan mereka tetap sah, dan ia berhak mendapatkan mahar dalam akad dan nafkah karena rujuk, serta anak itu dinasabkan kepadanya jika ia membenarkan kelahirannya. Jika ia mengingkari bahwa anak itu lahir darinya dan menuduh istrinya mengambil anak itu dari orang lain, maka istri diminta menghadirkan bukti atas kelahiran anak itu, berupa dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan, atau empat perempuan yang bersaksi atas kelahiran anak itu. Jika ia dapat menghadirkannya, maka nasab anak itu tetap, dan tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘an. Jika tidak dapat menghadirkannya, maka suami bersumpah bahwa anak itu bukan anaknya, dan nasab anak itu terputus darinya. Jika suami enggan bersumpah, maka hak sumpah beralih kepada istri. Jika istri bersumpah, maka nasab anak itu tetap dan tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘an. Jika istri juga enggan bersumpah, maka apakah sumpah itu ditangguhkan sampai anak itu baligh atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan dalam masalah rahn dan li‘an.

وَإِنْ أَنْكَرَ الزَّوْجُ مَا ادَّعَتْهُ مِنَ النِّكَاحِ، أَوِ الرَّجْعَةِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَإِنْ عَدِمَتِ الزَّوْجَةُ الْبَيِّنَةَ، وَالْبَيِّنَةُ شَاهِدَانِ عَدْلَانِ، فَإِنْ عَدِمَتِ الْبَيِّنَةَ وَحَلَفَ الزَّوْجُ فَلَا نِكَاحَ وَلَا رَجْعَةَ وَالْوَلَدُ مَنْفِيٌّ عَنْهُ نَفْيَ لِعَانٍ، وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهَا فَإِذَا حَلَفَتْ حُكِمَ لَهَا بِالْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ فِي النِّكَاحِ، وَالنَّفَقَةِ وَحْدَهَا فِي الرَّجْعَةِ وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَإِنْ نَكَلَتْ فَلَا مَهْرَ لَهَا وَلَا نَفَقَةَ، وَفِي وُقُوفِ نِسَبِ الْوَلَدِ عَلَى يَمِينِهِ بَعْدَ بُلُوغِهِ وَجْهَانِ.

Jika suami mengingkari apa yang didakwakan istri berupa pernikahan atau rujuk, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami disertai sumpahnya, apabila istri tidak memiliki bukti. Bukti yang dimaksud adalah dua orang saksi yang adil. Jika tidak ada bukti dan suami telah bersumpah, maka tidak ada pernikahan dan tidak ada rujuk, serta anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya, seperti penafian melalui li‘ān. Jika suami enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada istri. Jika istri bersumpah, maka diputuskan haknya atas mahar dan nafkah dalam pernikahan, serta nafkah saja dalam rujuk, dan anak tersebut dinasabkan kepadanya. Jika istri enggan bersumpah, maka ia tidak berhak atas mahar maupun nafkah. Adapun mengenai penetapan nasab anak yang bergantung pada sumpahnya setelah anak baligh, terdapat dua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ مَيِّتًا سُمِّعَتِ الدَّعْوَى عَلَى وَارِثِهِ، وَإِنْ كَانَ وَاحِدًا أَوْ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ إِنْ كَانُوا عَدَدًا، فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا وَصَدَّقَهَا كَانَ كَتَصْدِيقِ الزَّوْجِ فِي ثُبُوتِ مَا ادَّعَتْهُ مِنَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، وَلُحُوقِ نَسَبِ الْوَلَدِ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ.

Jika suami telah meninggal dunia, maka gugatan didengarkan terhadap ahli warisnya, baik satu orang maupun sekelompok mereka jika jumlahnya lebih dari satu. Jika hanya satu orang dan ia membenarkan klaim istri, maka itu seperti pembenaran suami dalam menetapkan apa yang didakwakan berupa mahar, nafkah, penetapan nasab anak, dan istri berhak atas warisan.

فَأَمَّا مِيرَاثُ الْوَلَدِ فَيُنْظَرُ فِي الْوَارِثِ الْمُصَدِّقِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يُحْجَبُ بِالْوَلَدِ كَالِابْنِ وَرِثَ الْوَلَدُ الْمُسْتَحَقَّ، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُحْجَبُ بِهِ كَالْأَخِ ثَبَتَ فِيهِ نَسَبُ الْوَلَدِ، وَلَمْ يَرْثِ لِمَا فِي تَوْرِيثِهِ مِنْ حَجْبِ الْمُقِرِّ وَإِبْطَالِ إِقْرَارِهِ بِحَجْبِهِ، وَإِنْ أَنْكَرَ الْوَارِثُ مَا ادَّعَتْهُ حَلَفَ عَلَى الْعِلْمِ، وَإِنْ كَانَتْ يَمِينُ الزَّوْجِ عَلَى الْبَتِّ لِأَنَّ الزَّوْجَ يَنْفِي بِيَمِينِهِ فِعْلَ نَفْسِهِ فَحَلَفَ عَلَى الْبَتِّ وَالْوَارِثَ يَنْفِي يَمِينُهُ فِعْلَ غَيْرِهِ فَحَلَفَ عَلَى الْعِلْمِ، فَإِنْ حَلَفَ أَوْ نَكَلَ كَانَ كَالزَّوْجِ إن حلف أن نَكَلَ وَقَامَ فِيهَا مَقَامَ الزَّوْجِ إِلَّا فِي شَيْئَيْنِ:

Adapun warisan anak, maka dilihat pada ahli waris yang membenarkan. Jika ia termasuk yang tidak terhalang oleh keberadaan anak seperti anak laki-laki, maka anak yang berhak akan mewarisi. Jika ia termasuk yang terhalang oleh keberadaan anak seperti saudara laki-laki, maka nasab anak tetap ditetapkan, namun ia tidak mewarisi, karena jika ia mewarisi akan menghalangi yang mengakui dan membatalkan pengakuannya dengan terhalangnya tersebut. Jika ahli waris mengingkari apa yang didakwakan, maka ia bersumpah atas dasar pengetahuan, sedangkan sumpah suami atas dasar kepastian, karena suami menafikan perbuatannya sendiri dengan sumpahnya sehingga ia bersumpah atas kepastian, sedangkan ahli waris menafikan perbuatan orang lain sehingga ia bersumpah atas dasar pengetahuan. Jika ia bersumpah atau enggan bersumpah, maka hukumnya seperti suami jika ia bersumpah atau enggan bersumpah, dan ia menempati posisi suami kecuali dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: فِي صِفَةِ الْيَمِينِ فَإِنَّهَا مِنَ الزَّوْجِ عَلَى الْبَتِّ وَمِنَ الْوَارِثِ عَلَى الْعِلْمِ.

Pertama: Dalam sifat sumpah, maka sumpah dari suami atas dasar kepastian, sedangkan dari ahli waris atas dasar pengetahuan.

وَالثَّانِي: فِي نَفْيِ الْوَلَدِ بِاللِّعَانِ إِنْ ثَبَتَ نَسَبُهُ فَإِنَّ لِلزَّوْجِ نَفْيَهُ وَلَيْسَ لِلْوَارِثِ نَفْيُهُ وَإِنْ كَانَ الْوَرَثَةُ جَمَاعَةُ سَمِّعَتِ الدَّعْوَى عَلَى جَمِيعِهِمْ وَلَهُمْ فِيهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Kedua: Dalam penafian anak melalui li‘ān jika nasabnya telah ditetapkan, maka suami berhak menafikan, sedangkan ahli waris tidak berhak menafikan. Jika para ahli waris adalah sekelompok orang, maka gugatan didengarkan terhadap semuanya, dan mereka memiliki tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُصَدِّقُوهَا جَمِيعًا عَلَيْهَا فَيَكُونُ كَتَصْدِيقِ الْوَاحِدِ لَهَا فِي لُحُوقِ النَّسَبِ وَاسْتِحْقَاقِ الْمِيرَاثِ مَعَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ.

Pertama: Mereka semua membenarkan klaim istri, maka itu seperti pembenaran satu orang dalam penetapan nasab dan hak waris, beserta mahar dan nafkah.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُكَذِّبُوهَا جَمِيعًا فَعَلَيْهِمُ الْيَمِينُ فَإِنْ حَلَفُوا أَوْ نَكَلُوا كَانُوا كَالْوَاحِدِ إِذَا حَلَفَ أَوْ نَكَلَ..

Kedua: Mereka semua mendustakan klaim istri, maka mereka semua wajib bersumpah. Jika mereka bersumpah atau enggan bersumpah, maka hukumnya seperti satu orang jika ia bersumpah atau enggan bersumpah.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يصدقها بعضهم ويكذبها بعضهم فاللمكذب حالتان:

Ketiga: Sebagian dari mereka membenarkan dan sebagian lagi mendustakan klaim istri. Maka bagi yang mendustakan ada dua keadaan:

أحدهما: أَنْ يَحْلِفَ.

Pertama: Ia bersumpah.

وَالثَّانِيَةُ: أَنْ يَنْكُلَ.

Kedua: Ia enggan bersumpah.

فَإِنْ حَلَفَ انْتَفَى نَسَبُ الْوَلَدِ، لِأَنَّهُ لَا يَثْبُتُ بِتَصْدِيقِ بَعْضِ الْوَرَثَةِ وَلَمْ يُلْزَمِ الْمُكَذِّبُ مَهْرًا، وَلَا نَفَقَةً، وَلَا مِيرَاثًا، فَأَمَّا الْمُصَدِّقُ فَيَلْزَمُهُ الْمَهْرُ، وَالنَّفَقَةُ بِقَدْرِ حَقِّهِ وَلَا يَلْزَمُهُ مِنْ مِيرَاثِ الِابْنِ شَيْءٌ وَفِي الْتِزَامِهِ مِنْ مِيرَاثِ الزَّوْجَةِ بِقِسْطِهِ وَجْهَانِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي كِتَابِ الْإِقْرَارِ وَإِنْ نَكَلَ الْمُكَذِّبُ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الزَّوْجَةِ، فَإِنْ حَلَفَتْ ثَبَتَ مَا ادَّعَتْ وَصَارَ كَمَا لَوْ صَدَّقَهَا جَمِيعُهُمْ فِي ثُبُوتِ النَّسَبِ وَاسْتِحْقَاقِ الْمِيرَاثِ مَعَ الْمَهْرِ، وَالنَّفَقَةِ، وَإِنْ نَكَلَتْ كَانَ نُكُولُهَا فِي حَقِّهَا كَمَا لَوْ حَلَفَّتِ الْمُكَذِّبَ فَلَا تَسْتَحِقُّ فِي حِصَّتِهِ شَيْئًا وَتَسْتَحِقُّ عَلَى الْمُصَدِّقِ مِنَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ بِقَدْرِ حَقِّهِ وَفِي مِيرَاثِهِ بِقَدْرِ حَقِّهِ وَجْهَانِ.

Jika ia bersumpah, maka nasab anak ternafikan, karena nasab tidak dapat ditetapkan hanya dengan pembenaran sebagian ahli waris. Dan si pendusta tidak wajib membayar mahar, nafkah, maupun warisan. Adapun yang membenarkan, maka ia wajib membayar mahar dan nafkah sesuai bagiannya, dan tidak wajib membayar bagian warisan anak sedikit pun. Adapun kewajibannya terhadap warisan istri sesuai bagiannya, terdapat dua pendapat yang telah disebutkan dalam Kitab al-Iqrār. Jika si pendusta enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada istri. Jika istri bersumpah, maka apa yang didakwakannya ditetapkan, dan keadaannya seperti jika semua ahli waris membenarkan dalam penetapan nasab dan hak waris beserta mahar dan nafkah. Jika istri enggan bersumpah, maka keengganannya itu berlaku atas haknya seperti jika si pendusta bersumpah, sehingga ia tidak berhak atas bagian apa pun dari si pendusta, dan ia berhak atas mahar dan nafkah dari yang membenarkan sesuai bagiannya, serta atas warisannya sesuai bagiannya, dengan dua pendapat.

فَأَمَّا فِي حَقِّ الْوَلَدِ، فَهَلْ يُوجِبُ نُكُولُهَا عَنِ الْيَمِينِ وُقُوفَهَا عَلَى بُلُوغِ الْوَلَدِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Adapun terkait hak anak, apakah keengganan istri untuk bersumpah menyebabkan penetapan nasab anak bergantung sampai anak baligh atau tidak, maka hal ini sesuai dengan dua pendapat yang telah disebutkan.

أَحَدُهُمَا: لَا يُوقَفُ فَعَلَى هَذَا يَثْبُتُ نَسَبُهُ، وَلَا يَرِثُ، وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ تَصْدِيقُ مَنْ صَدَّقَ مَعَ تَكْذِيبِ مَنْ كَذَّبَ.

Salah satunya: tidak dihentikan. Maka berdasarkan pendapat ini, nasabnya tetap, namun ia tidak mewarisi, dan pengakuan orang yang membenarkan tidak berpengaruh padanya jika ada yang mendustakan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُوقَفُ عَلَيْهِ، فَإِنْ حَلَفَ ثَبَتَ نَسَبُهُ، وَوَرِثَ مَنْ صَدَّقَ وَكَذَّبَ، وَإِنْ نَكَلَ لَمْ يَثْبُتْ نَسَبُهُ وَلَمْ يَرِثْ مِنْ حَقِّ مَنْ صَدَّقَ وَكَذَّبَ، فَهَذَا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ إِنْ كَانَتْ دَعْوَاهُمَا لِرَجْعَةٍ أَوْ نِكَاحٍ.

Pendapat kedua: dihentikan atasnya, maka jika ia bersumpah, nasabnya tetap dan ia mewarisi dari yang membenarkan maupun yang mendustakan. Namun jika ia enggan bersumpah, maka nasabnya tidak tetap dan ia tidak mewarisi dari hak orang yang membenarkan maupun yang mendustakan. Inilah hukum masalah ini jika klaim mereka berdua berkaitan dengan rujuk atau akad nikah.

فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ لِوَاطِئِ شُبْهَةٍ فَإِنَّهَا تَقْصُرُ عَنْ دَعْوَى الرَّجْعَةِ وَالْعَقْدِ فِي حَقَّيْنِ:

Adapun jika berkaitan dengan pelaku wathī syubhat, maka kedudukannya lebih rendah daripada klaim rujuk dan akad nikah dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: مِيرَاثُهَا فَإِنَّ الْمَوْطُوءَةَ بِشُبْهَةٍ لَا مِيرَاثَ لَهَا.

Pertama: warisannya, karena perempuan yang digauli dengan syubhat tidak mendapatkan warisan.

وَالثَّانِي: فِي النَّفَقَةِ فَإِنَّ الْمَوْطُوءَةَ بِشُبْهَةٍ لَا نَفَقَةَ لَهَا إِنْ كَانَتْ حائلاً، وَفِي نَفَقَتِهَا إِنْ كَانَتْ حَامِلًا قَوْلَانِ، وَهِيَ فِيمَا سِوَى هَذَيْنِ مِنْ لُحُوقِ النَّسَبِ وَاسْتِحْقَاقِ مَهْرِ الْمِثْلِ عَلَى مَا مَضَى تَقْسِيمًا وَحُكْمًا.

Kedua: dalam nafkah, karena perempuan yang digauli dengan syubhat tidak berhak atas nafkah jika ia tidak hamil. Adapun jika ia hamil, terdapat dua pendapat mengenai nafkahnya. Dalam hal-hal selain dua perkara ini, seperti penetapan nasab dan hak mahar mitsil, hukumnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam pembagian dan ketetapannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ نَكَحَ فِي الْعِدَّةِ وَأُصِيبَتْ فَوَضَعَتْ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ نِكَاحِ الْآخَرِ وَتَمَامِ أَرْبَعِ سَنِينَ مِنْ فِرَاقِ الْأَوَّلِ فَهُوَ لِلْأَوَّلِ وَلَوْ كَانَ لَأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ فِرَاقِ الْأَوَّلِ لَمْ يَكُنِ ابْنَ وَاحِدٍ لِأَنَّهُ لم يمكن من واحد منهما (قال المزني) رحمه الله فهذا قد نفاه بلا لعان فهذا والذي قبله سواء “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menikahi perempuan dalam masa ‘iddah dan menggaulinya, lalu ia melahirkan anak kurang dari enam bulan dari akad nikah yang kedua dan genap empat tahun dari perpisahan dengan suami pertama, maka anak itu dinisbatkan kepada suami pertama. Namun jika lebih dari empat tahun dari perpisahan dengan suami pertama, maka anak itu tidak dinisbatkan kepada siapa pun, karena tidak mungkin berasal dari salah satu dari keduanya.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: “Ini berarti beliau menafikannya tanpa li‘ān, maka ini sama dengan kasus sebelumnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي مُعْتَدَّةٍ مِنْ طَلَاقٍ نَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا زَوْجًا، فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ لِتَحْرِيمِهَا عَلَى الْأَزْوَاجِ مَعَ بَقَاءِ الْعَدَّةِ وَلَهَا حَالَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun bentuk kasusnya adalah: seorang perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah karena talak menikah dengan seorang laki-laki lain dalam masa ‘iddahnya. Maka akad nikah tersebut batal karena ia masih haram dinikahi oleh laki-laki lain selama masa ‘iddah, dan dalam hal ini ada dua keadaan:

أحدهما: أَنْ لَا يَدْخُلَ بِهَا الزَّوْجُ فَتَكُونُ سَارِيَةً فِي عِدَّتِهَا غَيْرَ أَنَّ مَا أَقْدَمَتْ عَلَيْهِ فِي الْعَقْدِ قَدْ أَسْقَطَ نَفَقَتَهَا إِنْ كَانَتْ رَجْعِيَّةً وَسُكْنَاهَا إِنْ كَانَتْ بَائِنَةً، لِأَنَّهَا قَصَدَتْ بِذَلِكَ إِسْقَاطَ حَقِّ الْمُطَلِّقِ فَسَقَطَ حَقُّهَا عَنِ الْمُطَلِّقِ.

Pertama: suami kedua belum menggaulinya, sehingga ia tetap menjalani masa ‘iddahnya. Namun, tindakan yang ia lakukan dalam akad tersebut telah menggugurkan hak nafkahnya jika ‘iddahnya raj‘iyyah, dan hak tempat tinggalnya jika ‘iddahnya ba’in, karena ia bermaksud menggugurkan hak suami yang menalaknya, maka haknya pun gugur dari suami yang menalaknya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الزَّوْجُ الثاني، فلها حالتان:

Keadaan kedua: suami kedua telah menggaulinya, maka ada dua keadaan:

أحدهما: أَنْ يَعْلَمَا التَّحْرِيمَ فَيَكُونَ الْحَدُّ عَلَيْهَا وَاجِبًا لِارْتِفَاعِ الشُّبْهَةِ بِعِلْمِهَا بِالتَّحْرِيمِ وَتَسْرِي فِي عِدَّتِهَا وَلَا تَنْقَطِعُ بِهَذَا الْوَطْءِ لِأَنَّهَا لَمْ تَصِرْ بِهِ فِرَاشًا وَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لَمْ يُلْحَقْ بِالثَّانِي وَلَحِقَ بِالْأَوَّلِ إِنْ أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ.

Pertama: keduanya mengetahui keharaman (menikah dalam masa ‘iddah), maka hukuman had wajib dijatuhkan kepadanya karena hilangnya syubhat dengan pengetahuan mereka tentang keharaman, dan ia tetap menjalani masa ‘iddahnya, tidak terputus karena hubungan tersebut, karena ia tidak menjadi istri yang sah baginya. Jika ia melahirkan anak, maka anak itu tidak dinisbatkan kepada suami kedua, tetapi dinisbatkan kepada suami pertama jika masih memungkinkan berasal darinya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَجْهَلَا التَّحْرِيمَ فَلَا حَدَّ عَلَيْهَا لِلشُّبْهَةِ، وَقَدْ صَارَتْ فِرَاشًا لِلثَّانِي بِالْإِصَابَةِ وَخَرَجَتْ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ فِرَاشًا لِوَاحِدٍ وَمُعْتَدَّةً مِنْ آخر ووجبت أن يفرق بينهما وَبَيْنَ الثَّانِي، فَإِذَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا فَعَلَيْهَا أَنْ تُتِمَّ عِدَّةَ الْأَوَّلِ ثُمَّ تَعْتَدَّ مِنْ إِصَابَةِ الثَّانِي فَيَجْتَمِعَ عَلَيْهَا عِدَّتَانِ، وَلَهَا حَالَتَانِ حَائِلٌ، وَحَامِلٌ.

Keadaan kedua: keduanya tidak mengetahui keharaman tersebut, maka tidak ada hukuman had atasnya karena adanya syubhat, dan ia menjadi istri (firas) bagi suami kedua karena telah digauli, serta keluar dari masa ‘iddah suami pertama, karena tidak boleh seorang perempuan menjadi istri bagi satu laki-laki sementara masih dalam masa ‘iddah dari laki-laki lain. Maka wajib dipisahkan antara keduanya, dan setelah dipisahkan, ia harus menyempurnakan masa ‘iddah dari suami pertama, kemudian menjalani masa ‘iddah dari suami kedua, sehingga ia menjalani dua masa ‘iddah. Dalam hal ini, ada dua keadaan: tidak hamil dan hamil.

فَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا فَالْعِدَّتَانِ بِالْأَقْرَاءِ فَتُقَدَّمُ عِدَّةُ الْأَوَّلِ عَلَى عِدَّةِ الثَّانِي لِتَقَدُّمِ وُجُوبِهَا وَلِاسْتِحْقَاقِهَا عَنْ عَقْدٍ صَحِيحٍ وَتَبْنِي عِدَّةً عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا، فَإِنْ كَانَ الْمَاضِي مِنْهَا قَبْلَ إِصَابَةِ الثَّانِي قُرْءًا اعْتَدَّتْ بِقُرْأَيْنِ، وَإِنْ كَانَ الْمَاضِي مِنْهَا قُرْأَيْنِ اعْتَدَّتْ بِقُرْءٍ لِتَسْتَكْمِلَ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْهَا اعْتَدَّتْ مِنَ الثَّانِي ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ وَيَجُوزُ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَرْتَجِعَهَا فِي زَمَانِ عِدَّتِهَا مِنْهُ إِنْ كَانَ طَلَاقُهَا رَجْعِيًّا وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ بَعْدَ الرَّجْعَةِ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّةُ الثَّانِي وَلَيْسَ عَلَيْهِ فِيهَا نَفَقَةٌ لِتَحْرِيمِهَا عليه ولا على الثاني لفساد عقده فإنه لَمْ يَرْتَجِعْهَا الْأَوَّلُ فِي زَمَانِ عِدَّتِهِ كَانَ الثَّانِي أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِي زَمَانِ عِدَّتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَجُزْ لِغَيْرِهِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَسْقُطُ عَنْهَا بَقِيَّةُ عِدَّتِهِ إِنْ تَزَوَّجَهَا. وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْحَمْلِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Jika ia (perempuan) dalam keadaan tidak hamil, maka kedua masa ‘iddah dihitung dengan quru’ (masa suci haid), dan masa ‘iddah dari suami pertama didahulukan atas masa ‘iddah dari suami kedua karena kewajiban ‘iddah itu lebih dahulu dan karena ia berhak atasnya berdasarkan akad yang sah. Ia melanjutkan ‘iddah berdasarkan apa yang telah berlalu darinya. Jika yang telah berlalu sebelum digauli suami kedua adalah satu quru’, maka ia ber‘iddah dengan dua quru’ lagi. Jika yang telah berlalu adalah dua quru’, maka ia ber‘iddah dengan satu quru’ agar genap tiga quru’. Setelah ia menyempurnakan ‘iddah tersebut, ia ber‘iddah dari suami kedua dengan tiga quru’. Suami pertama boleh merujuknya selama masa ‘iddahnya dari suami pertama jika talaknya adalah talak raj‘i, namun ia haram bagi suami pertama setelah rujuk hingga selesai masa ‘iddah dari suami kedua. Tidak ada kewajiban nafkah atas suami pertama karena ia haram baginya, dan tidak pula atas suami kedua karena akadnya fasid (rusak). Jika suami pertama tidak merujuknya selama masa ‘iddahnya, maka suami kedua boleh menikahinya selama masa ‘iddahnya dari suami kedua, meskipun tidak boleh bagi selainnya untuk menikahinya. Sisa masa ‘iddah dari suami kedua gugur jika ia menikahinya. Jika ia hamil, maka keadaan kehamilan tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي.

Pertama: Anak tersebut dinisbatkan kepada suami pertama saja, tidak kepada suami kedua.

وَالثَّانِي: أَنْ تُلْحَقَ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ.

Kedua: Anak tersebut dinisbatkan kepada suami kedua saja, tidak kepada suami pertama.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا تُلْحَقَ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Ketiga: Anak tersebut tidak dinisbatkan kepada keduanya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يُمْكِنَ لُحُوقُهُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Keempat: Anak tersebut mungkin dinisbatkan kepada masing-masing dari keduanya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ فَهُوَ أَنْ يُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَمَا دُونَهَا مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَلِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ دُخُولِ الثَّانِي فَهُوَ لَاحِقٌ بِالْأَوَّلِ، وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا مِنْهُ بِوَضْعِهِ وَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بَعْدَهُ مِنْ إِصَابَةِ الثَّانِي بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ.

Adapun bagian pertama, yaitu anak dinisbatkan kepada suami pertama saja, maka itu adalah jika ia melahirkan dalam waktu empat tahun atau kurang dari talak suami pertama, dan kurang dari enam bulan dari hubungan dengan suami kedua. Maka anak itu dinisbatkan kepada suami pertama, dan masa ‘iddahnya dari suami pertama selesai dengan kelahiran tersebut. Setelah itu, ia wajib ber‘iddah dari suami kedua dengan tiga quru’.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ لَاحِقًا بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَلِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ دُخُولِ الثَّانِي، فَإِنْ كَانَ طَلَاقُ الْأَوَّلِ بَائِنًا فَهُوَ لَاحِقٌ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ، وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا فِي الثَّانِي بِوَضْعِهِ وَتَأْتِي بَعْدَهُ بِمَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ وَبَعْدَ تَقْدِمَةِ عِدَّةِ الثَّانِي عَلَى عِدَّةِ الْأَوَّلِ لِأَجْلِ لُحُوقِ الْحَمْلِ بِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَلْحَقَ الْحَمْلُ بِشَخْصٍ تَنْقَضِي بِهِ عِدَّةُ غَيْرِهِ فَلِأَجْلِ ذلك قدمت عدة الثاني على عدة لأول وَإِنْ كَانَ طَلَاقُ الْأَوَّلِ رَجْعِيًّا فَعَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي وَلَدِ الرَّجْعِيَّةِ بَعْدَ أَرْبَعِ سِنِينَ هَلْ يَلْحَقُ بِالْمَطَلِّقِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun bagian kedua, yaitu anak dinisbatkan kepada suami kedua saja, maka itu adalah jika ia melahirkan setelah lebih dari empat tahun dari talak suami pertama, dan enam bulan atau lebih dari hubungan dengan suami kedua. Jika talak suami pertama adalah talak bain, maka anak itu dinisbatkan kepada suami kedua saja, dan masa ‘iddahnya dari suami kedua selesai dengan kelahiran tersebut. Setelah itu, ia menjalani sisa masa ‘iddah dari suami pertama, namun masa ‘iddah dari suami kedua didahulukan atas masa ‘iddah dari suami pertama karena anak dinisbatkan kepadanya. Sebab, tidak boleh anak dinisbatkan kepada seseorang yang masa ‘iddahnya selesai dengan kelahiran anak dari orang lain. Oleh karena itu, masa ‘iddah suami kedua didahulukan atas masa ‘iddah suami pertama. Jika talak suami pertama adalah talak raj‘i, maka berlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari dua pendapat tentang anak dari perempuan yang ditalak raj‘i setelah empat tahun, apakah dinisbatkan kepada suami yang menalaknya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَلْحَقُ بِهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لَاحِقًا بِالثَّانِي وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا مِنْهُ بِوَضْعِهِ وَتَأْتِي بَعْدَهُ بِمَا بَقِيَ فِي عِدَّةِ الْأَوَّلِ، وَلِلْأَوَّلِ أَنْ يُرَاجِعَهَا بَعْدُ مِنَ الْبَقِيَّةِ مِنْ عِدَّتِهِ، وَهَلْ لَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama: Anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya. Dalam hal ini, anak dinisbatkan kepada suami kedua, dan masa ‘iddahnya dari suami kedua selesai dengan kelahiran tersebut. Setelah itu, ia menjalani sisa masa ‘iddah dari suami pertama, dan suami pertama boleh merujuknya selama sisa masa ‘iddahnya. Apakah suami pertama boleh merujuknya sebelum ia melahirkan atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، لِأَنَّهَا فِي عِدَّةٍ مِنْ غَيْرِهِ.

Pertama: Tidak boleh merujuknya, karena ia sedang dalam masa ‘iddah dari selainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا لما بقي عليها من عِدَّتِهِ.

Pendapat kedua: Boleh baginya untuk merujuknya atas sisa masa ‘iddahnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ وَلَدَ الرَّجْعِيَّةِ بَعْدَ أَرْبَعِ سِنِينَ لَاحِقٌ بِالْمُطَلَّقَةِ، فَعَلَى هَذَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ لَاحِقًا بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَيَكُونَ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فِي الْقِسْمِ الرَّابِعِ مِنِ ادعاء الْقَافَةِ لَهُ، وَيَجُوزُ هُنَا لِلْأَوَّلِ أَنْ يُرَاجِعَهَا فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ؛ لِأَنَّنَا لَمْ نَحْكُمْ بِهِ لِغَيْرِهِ.

Pendapat kedua: Anak dari perempuan yang ditalak raj‘i setelah empat tahun tetap dinisbatkan kepada perempuan yang ditalak, sehingga dalam hal ini mungkin anak itu dinisbatkan kepada masing-masing dari keduanya. Maka, hal itu sebagaimana akan kami sebutkan pada bagian keempat terkait klaim qāfah (ahli nasab) terhadap anak tersebut. Dalam kasus ini, suami pertama boleh merujuknya selama masa kehamilan, karena kita belum menetapkan anak itu untuk selainnya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ لَا يُلْحَقَ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طلاق الأول ولأقل مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ دُخُولِ الثَّانِي، فَإِنْ كَانَ طَلَاقُ الْأَوَّلِ بَائِنًا لَمْ يُلْحَقْ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَمْ تَنْقَضِ بِهِ عِدَّةُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِوِفَاقِ أَصْحَابِنَا؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ لَاحِقٍ بِأَحَدِهِمَا، وَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى صِحَّةِ مَا قُلْتُهُ مِنْ قَبْلُ: إِنَّهُ إِذَا لَمْ يُلْحَقُ بِالْمُطَلِّقِ لَمْ تَنْقَضِ بِهِ عِدَّتُهُ، وَقَدْ ذَكَرَ أَصْحَابُنَا أَنَّهَا تَنْقَضِي وَإِنْ كَانَ طَلَاقُ الْأَوَّلِ رَجْعِيًّا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila anak tersebut tidak dapat dihubungkan kepada salah satu dari keduanya, yakni apabila ia melahirkan anak itu setelah lebih dari empat tahun sejak talak dari suami pertama dan kurang dari enam bulan sejak digauli oleh suami kedua. Jika talak dari suami pertama adalah talak bain, maka anak itu tidak dihubungkan kepada salah satu dari keduanya dan tidak dianggap sebagai akhir masa ‘iddah salah satu dari mereka menurut kesepakatan para ulama kami; karena anak itu tidak dihubungkan kepada salah satu dari keduanya. Ini merupakan dalil atas kebenaran apa yang telah saya sebutkan sebelumnya: bahwa jika anak itu tidak dihubungkan kepada suami yang menalaknya, maka tidak berakhir masa ‘iddahnya karena kelahiran anak itu. Para ulama kami telah menyebutkan bahwa masa ‘iddahnya berakhir, dan jika talak dari suami pertama adalah talak raj‘i, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حُكْمَهُ كَذَلِكَ لَا يُلْحَقُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَا يُعْتَدُّ بِهِ مِنْ أَحَدِهِمَا، وَعَلَيْهَا أَنْ تُتِمَّ عِدَّةَ الْأَوَّلِ وَلَهُ مُرَاجَعَتُهَا فِيهَا ثُمَّ تَسْتَأْنِفُ عِدَّةَ الثَّانِي وَلَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِيهَا وَيَكُونُ الْوَلَدُ وَلَدَ زِنًى.

Salah satunya: hukumnya tetap demikian, yaitu anak itu tidak dihubungkan kepada salah satu dari keduanya, dan tidak dihitung sebagai anak dari salah satu dari mereka. Maka perempuan itu harus menyempurnakan masa ‘iddah dari suami pertama dan suami pertama berhak merujuknya selama masa ‘iddah tersebut, kemudian ia memulai masa ‘iddah dari suami kedua dan suami kedua berhak menikahinya selama masa itu, dan anak tersebut dianggap sebagai anak zina.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْوَلَدَ يُلْحَقُ بِالْأَوَّلِ وَتَنْقَضِي بِهِ عِدَّتُهَا ثُمَّ تَسْتَأْنِفُ بَعْدَ وِلَادَتِهِ عِدَّةَ الثَّانِي بِالْأَقْرَاءِ وَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ.

Pendapat kedua: anak itu dihubungkan kepada suami pertama dan dengan kelahirannya berakhirlah masa ‘iddahnya, kemudian setelah melahirkan ia memulai masa ‘iddah dari suami kedua dengan tiga kali suci, dan hukumnya seperti yang telah dijelaskan pada bagian pertama.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يُمْكِنَ لُحُوقُهُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا؛ فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَمَا دُونَهَا مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَلِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ دُخُولِ الثَّانِي فَنَدَّعِي لَهُ الْقَافَةَ فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالْأَوَّلِ كَانَ كَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ، وَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالثَّانِي كَانَ كَالْقِسْمِ الثَّانِي وَإِنْ أَشْكَلَ عَلَى الْقَافَةِ أَوْ عَدِمُوا وُقِفَ إِلَى زَمَانِ الِانْتِسَابِ حَتَّى يَنْتَسِبَ بِطَبْعِهِ إِلَى أَبِيهِ مِنْهُمَا، وَتَنْقَضِي إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ بِوَضْعِهِ وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ لِوَقْتِهِ فَتَأْتِي بِالْعِدَّةِ الثَّانِيَةِ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ اسْتِظْهَارًا؛ لِأَنَّهُ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ كَانَ عَلَيْهَا ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ لِلثَّانِي وَإِنْ لَحِقَ بِالثَّانِي كَانَ عَلَيْهَا بَقِيَّةُ عِدَّةِ الْأَوَّلِ فَصَارَتِ الثَّلَاثَةُ الْأَقْرَاءِ احْتِيَاطًا.

Adapun bagian keempat: yaitu apabila memungkinkan anak itu dihubungkan kepada masing-masing dari keduanya; yaitu apabila ia melahirkan anak itu dalam rentang waktu empat tahun atau kurang sejak talak dari suami pertama dan enam bulan atau lebih sejak digauli oleh suami kedua. Maka dalam hal ini, kita meminta pendapat ahli qāfah (ilmu kecocokan fisik). Jika ahli qāfah menghubungkannya kepada suami pertama, maka hukumnya seperti bagian pertama; jika mereka menghubungkannya kepada suami kedua, maka hukumnya seperti bagian kedua. Jika ahli qāfah ragu atau tidak ada, maka ditangguhkan hingga waktu anak itu dapat menisbatkan dirinya secara alami kepada salah satu ayahnya, dan salah satu dari dua masa ‘iddah berakhir dengan kelahirannya, meskipun belum dapat dipastikan waktu kelahirannya, maka ia menjalani masa ‘iddah kedua dengan tiga kali suci sebagai tindakan kehati-hatian; karena jika anak itu dihubungkan kepada suami pertama, maka ia wajib menjalani tiga kali suci untuk suami kedua, dan jika anak itu dihubungkan kepada suami kedua, maka ia wajib menjalani sisa masa ‘iddah dari suami pertama, sehingga tiga kali suci itu menjadi bentuk kehati-hatian.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” فإن قيل فكيف لم ينف الْوَلَدُ إِذَا أَقَرَّتْ أُمُّهُ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ ثُمَّ وَلَدَتْ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ إِقْرَارِهَا؟ قِيلَ لَمَّا أَمْكَنَ أَنْ تَحِيضَ وَهِيَ حَامِلٌ فَتُقِرَّ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَلَى الظَّاهِرِ وَالْحَمْلُ قَائِمٌ لَمْ يَنْقَطِعْ حَقُّ الْوَلَدِ بِإِقْرَارِهَا بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَأَلْزَمْنَاهُ الْأَبَ مَا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ حَمْلًا مِنْهُ وَكَانَ الَّذِي يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ وَلَا يَمْلِكُهَا فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ لِأَنَّ كِلْتَيْهِمَا تَحِلَّانِ بِانْقِضَاءٍ للأزواج وقال في باب اجتماع العدتين والقافة إن جاءت بولد لأكثر من أربع سنين من يوم طلقها الأول إن كان يملك الرجعة دعا له القافة وإن كان لا يملك الرجعة فهو للثاني (قال المزني) رحمه الله فجمع بين من له الرجعة عليها ومن لا رجعة له عليها في باب المدخول بها وفرق بينهما بأن تحل في باب اجتماع العدتين والله أعلم “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ada yang bertanya, mengapa anak itu tidak dinafikan (dari nasab suami) apabila ibunya mengakui bahwa masa ‘iddahnya telah selesai, kemudian ia melahirkan anak setelah lebih dari enam bulan dari pengakuannya? Jawabannya, karena memungkinkan seorang perempuan mengalami haid saat hamil, sehingga ia mengakui berakhirnya masa ‘iddah secara lahiriah padahal kehamilan masih berlangsung, maka hak anak tidak gugur hanya karena pengakuannya tentang berakhirnya masa ‘iddah, dan kami tetap mewajibkan nasab anak itu kepada ayah selama masih mungkin anak itu adalah hasil dari suami tersebut. Baik suami itu masih memiliki hak rujuk atau tidak dalam hal ini adalah sama, karena keduanya sama-sama menjadi halal dengan berakhirnya masa ‘iddah bagi para suami. Dan beliau berkata dalam bab berkumpulnya dua masa ‘iddah dan ahli qāfah: Jika ia melahirkan anak setelah lebih dari empat tahun sejak hari ia ditalak oleh suami pertama, jika suami pertama masih memiliki hak rujuk, maka dipanggil ahli qāfah untuk menentukan nasabnya; dan jika suami pertama tidak memiliki hak rujuk, maka anak itu menjadi milik suami kedua.” (Al-Muzani rahimahullah berkata: Imam Syafi‘i menggabungkan antara yang masih memiliki hak rujuk dan yang tidak dalam bab perempuan yang telah digauli, dan membedakan antara keduanya dalam hal kehalalan dalam bab berkumpulnya dua masa ‘iddah. Wallāhu a‘lam).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي مُطَلَّقَةٍ أَقَرَّتْ بِانْقِضَاءِ عِدَّتِهَا بِالشُّهُورِ، أَوِ الْأَقْرَاءِ فِي طَلَاقٍ بَائِنٍ أَوْ رَجْعِيٍّ ثُمَّ وَضَعَتْ وَلَدًا، فَإِنْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وقت الطلاق كان لاحقاً بِالزَّوْجِ إِجْمَاعًا، وَإِنْ وَضَعَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا أَوْ إِلَى أَرْبَعِ سِنِينَ، وَهِيَ خَلِيَّةٌ مِنْ زَوْجٍ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَاحِقٌ بِالْمُطَلِّقِ وَلَا يَكُونُ إِقْرَارُهَا بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مُبْطِلًا لِنَسَبِهِ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang perempuan yang ditalak dan mengakui bahwa masa ‘iddahnya telah selesai baik dengan bulan-bulan maupun dengan tiga kali suci, baik pada talak bain maupun raj‘i, kemudian ia melahirkan seorang anak. Jika ia melahirkan anak itu kurang dari enam bulan sejak waktu talak, maka anak itu dihubungkan kepada suami secara ijmā‘. Jika ia melahirkan anak itu setelah enam bulan atau hingga empat tahun, dan ia tidak bersuami, maka menurut mazhab Syafi‘i, anak itu tetap dihubungkan kepada suami yang menalaknya dan pengakuannya tentang berakhirnya masa ‘iddah tidak membatalkan nasab anak tersebut.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يُلْحَقُ بِهِ وَتَابَعَهُ ابْنُ سُرَيْجٍ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْحُكْمَ بِانْقِضَاءِ، عِدَّتِهَا قَدْ أَبَاحَهَا لِلْأَزْوَاجِ فَانْقَطَعَتْ بِهِ أَسْبَابُ الْأَوَّلِ فَلَوْ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ لَمَا كَانَتْ أَسْبَابُهُ مُنْقَطِعَةً وَلَمَا كَانَتْ مُبَاحَةً لِلْأَزْوَاجِ وَلَنَقَضْنَا حُكْمًا قَدْ نَفَذَ عَلَى الصِّحَّةِ بِأَمْرٍ مُحْتَمَلٍ وَمُجَوَّزٍ وَهَذَا كُلُّهُ غَيْرُ جَائِزٍ فَامْتَنَعَ بِهِ لُحُوقُ الْوَلَدِ.

Abu Hanifah berkata: Anak itu tidak dinisbatkan kepadanya. Ibnu Surayj mengikuti pendapat ini dengan alasan bahwa hukum berakhirnya masa ‘iddah telah membolehkan perempuan itu bagi para suami, sehingga terputuslah segala sebab yang menghubungkannya dengan suami pertama. Maka, jika anak itu tetap dinisbatkan kepadanya, berarti sebab-sebab tersebut belum terputus dan perempuan itu belum halal bagi para suami. Selain itu, kita akan membatalkan suatu hukum yang telah diputuskan secara sah hanya karena suatu kemungkinan yang masih diperdebatkan dan dibolehkan, dan semua ini tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, tidak dinisbatkannya anak tersebut adalah hal yang wajib.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّهَا أَتَتْ بِوَلَدٍ بَعْدَ ارْتِفَاعِ الْفِرَاشِ وَانْقِطَاعِ أَحْكَامِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُلْحَقَ بِهِ كَمَا لَوْ وَضَعَتْهُ لَأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ، وَلِأَنَّهَا مُؤْتَمَنَةٌ عَلَى عِدَّتِهَا وَمُصَدَّقَةٌ فِي انقضائها فوجب أن يُحْكَمَ بِإِبْطَالِهَا مَنْ لَمْ يَتَحَقَّقْ كَذِبُهَا اعْتِبَارًا بِسَائِرِ الْأُمَنَاءِ وَفِي لُحُوقِ الْوَلَدِ بِهِ تَكْذِيبٌ لَهَا فِي انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا؛ وَلِأَنَّهَا أَتَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَدَّتِهَا بِحَمْلٍ لِتَمَامٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُلْحَقَ بِهِ كَمَا لَوْ تَزَوَّجَتْ ثُمَّ وَضَعَتْهُ لِتَمَامٍ.

Penjelasannya secara qiyās: Jika seorang perempuan melahirkan anak setelah berakhirnya hubungan suami istri dan terputusnya hukum-hukumnya, maka anak itu tidak boleh dinisbatkan kepadanya, sebagaimana jika ia melahirkan anak setelah lebih dari empat tahun. Karena perempuan itu dipercaya atas masa ‘iddahnya dan dibenarkan dalam pengakuannya tentang berakhirnya ‘iddah, maka wajib diputuskan batalnya pengakuan siapa pun yang tidak terbukti dustanya, sebagaimana berlaku pada seluruh orang yang dipercaya. Menisbatkan anak kepadanya berarti mendustakan perempuan itu dalam pengakuannya tentang berakhirnya ‘iddah. Selain itu, jika ia melahirkan setelah berakhirnya ‘iddah dengan kehamilan yang sempurna, maka anak itu tidak boleh dinisbatkan kepadanya, sebagaimana jika ia menikah lagi lalu melahirkan anak dengan kehamilan yang sempurna.

قَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: وَلِأَنَّهُ لَمَّا انْتَفَى عَنْهُ وَلَدُ أَمَتِهِ إِذَا وَضَعَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ اسْتِبْرَائِهَا وَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنْهُ حَمْلُ زَوْجَتِهِ إِذَا وَضَعَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ عِدَّتِهَا.

Ibnu Surayj berkata: Karena ketika anak dari budaknya tidak dinisbatkan kepadanya jika dilahirkan enam bulan setelah masa istibra’ (masa bebas dari kemungkinan hamil), maka demikian pula wajib tidak dinisbatkan kepadanya anak dari istrinya jika dilahirkan enam bulan setelah berakhirnya masa ‘iddah.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الولد للفراش وللعاهر الحجر ” ومعلوم أَنَّهُ لَيْسَ الْخَبَرُ مَقْصُورًا عَلَى أَنْ تَلِدَهُ عَلَى فِرَاشِهِ، لِأَنَّهَا لَوْ وَلَدَتْهُ بَعْدَ ارْتِفَاعِ الْفِرَاشِ لَأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ لَحِقَ بِهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ أَنْ يَكُونَ قَدْ حَمَلَتْ بِهِ عَلَى فِرَاشِهِ، وَهَذَا الْوَلَدُ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ قَدْ حَمَلَتْ بِهِ عَلَى فِرَاشِهِ، فَوَجَبَ بِظَاهِرِ الْخَبَرِ أَنْ يَكُونَ لَاحِقًا بِهِ، وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ تَنْقَضِي بِالشُّهُورِ تَارَةً وَبِالْأَقْرَاءِ تَارَةً أُخْرَى ثُمَّ وَافَقُونَا أَنَّ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا بِالشُّهُورِ لَا تَمْنَعُ مِنْ لُحُوقِ الْوَلَدِ فَكَذَلِكَ إِذَا انْقَضَتْ بِالْأَقْرَاءِ.

Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik pemilik ranjang, dan bagi pezina adalah batu (hukuman).” Jelas bahwa hadis ini tidak terbatas pada kelahiran anak di atas ranjangnya, karena jika ia melahirkan setelah berakhirnya hubungan suami istri kurang dari enam bulan, anak itu tetap dinisbatkan kepadanya. Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kehamilan terjadi saat masih dalam hubungan suami istri. Anak ini mungkin saja dikandung saat masih dalam hubungan suami istri, maka berdasarkan zahir hadis, anak itu harus dinisbatkan kepadanya. Selain itu, masa ‘iddah kadang berakhir dengan hitungan bulan dan kadang dengan quru’ (masa suci atau haid). Mereka pun sepakat bahwa berakhirnya ‘iddah dengan bulan tidak menghalangi dinisbatkannya anak, maka demikian pula jika berakhir dengan quru’.

وَيَتَحَرَّرُ مِنْ ذَلِكَ قِيَاسَانِ:

Dari sini dapat disimpulkan dua qiyās:

أَحَدُهُمَا أَنَّ كُلَّ وَلَدٍ لَحِقَ بِالْإِمْكَانِ إِذَا انْقَضَتِ الْعِدَّةُ بِالشُّهُورِ لَحِقَ بِالْإِمْكَانِ إِذَا انْقَضَتِ الْعِدَّةُ بِالْأَقْرَاءِ كَالْمَوْلُودِ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ.

Pertama, setiap anak yang dinisbatkan karena kemungkinan (kehamilan) jika ‘iddah berakhir dengan bulan, maka ia juga dinisbatkan karena kemungkinan jika ‘iddah berakhir dengan quru’, seperti anak yang lahir kurang dari enam bulan.

وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ وَلَدٍ لَحِقَ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ الْعِدَّةِ جَازَ أَنْ يَلْحَقَ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ الْعِدَّةِ كَالْمُعْتَدَّةِ بِالشُّهُورِ، وَلِأَنَّ الْوَلَدَ فِي الِابْتِدَاءِ يُلْحَقُ بِالْإِمْكَانِ إِذَا وَضَعَتْهُ لِأَقَلِّ الْحَمْلِ فَوَجَبَ أَنْ يُلْحَقَ فِي الِانْتِهَاءِ لِإِمْكَانِ إِذَا وَضَعَتْهُ لِأَكْثَرِ الْحَمْلِ وَلِأَنَّهَا قَدْ تَحِيضُ عَلَى الْحَمْلِ فَإِذَا أَقَرَّتْ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ حَيْضِهَا لَمْ يُوجِبْ إِقْرَارُهَا انْتِفَاءَ النَّسَبِ فِي حَقِّ وَلَدِهَا وَهُوَ اسْتِدْلَالُ الشَّافِعِيِّ. وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّهُ إِلْحَاقُ وَلَدٍ بِحُكْمِ الْفِرَاشِ فَلَمْ يَخْتَلِفْ حُكْمُهُ بِإِقْرَارِ الْمُفْتَرَشَةِ.

Kedua, setiap anak yang dinisbatkan jika lahir kurang dari enam bulan setelah ‘iddah, maka boleh juga dinisbatkan jika lahir lebih dari enam bulan setelah ‘iddah, seperti perempuan yang menjalani ‘iddah dengan bulan. Karena pada awalnya anak dinisbatkan karena kemungkinan jika dilahirkan pada masa minimal kehamilan, maka wajib juga dinisbatkan pada akhirnya karena kemungkinan jika dilahirkan pada masa maksimal kehamilan. Selain itu, perempuan bisa saja mengalami haid saat hamil, sehingga jika ia mengaku ‘iddahnya telah selesai berdasarkan zahir haidnya, pengakuan itu tidak menyebabkan terputusnya nasab bagi anaknya. Inilah istidlāl Imam Syafi‘i. Penjelasannya secara qiyās: Menisbatkan anak berdasarkan hukum ranjang, maka hukumnya tidak berubah dengan pengakuan perempuan yang pernah menjadi istri.

أَصْلُهُ: إِذَا أَقَرَّتْ بِمَا يَتَضَمَّنُ نَفْيَ النَّسَبِ مَعَ بَقَاءِ الْفِرَاشِ.

Dasarnya: Jika perempuan mengaku sesuatu yang mengandung penafian nasab sementara hubungan suami istri masih ada.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِمَا حُكِمَ بِهِ مِنِ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، وَإِبَاحَتِهَا لِلْأَزْوَاجِ فَلَمْ تَنْقَضِ بِالْجَوَازِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas istidlāl mereka dengan hukum berakhirnya ‘iddah dan kebolehan menikah lagi, maka tidak otomatis berakhir hanya dengan kebolehan tersebut, dan jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّنَا حَكَمْنَا بِانْقِضَائِهَا فِي الظَّاهِرِ ثُمَّ حَدَثَ مِنْ حَمْلِهَا مَا خَالَفَ الظَّاهِرَ فَجَازَ أَنْ يَنْقَضِيَ كَمَا لَوْ وَلَدَتْهُ لَأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ.

Pertama: Kami memutuskan berakhirnya ‘iddah secara zahir, kemudian ternyata dari kehamilannya ada sesuatu yang bertentangan dengan zahir tersebut, maka boleh saja ‘iddah itu dianggap belum berakhir, sebagaimana jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ مِنْ نَقْضِهَا إِذَا انْقَضَتْ بِالشُّهُورِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ نَقْضِهَا إِذَا انْقَضَتْ بِالْأَقْرَاءِ، وَبِمِثْلِهِ يُجَابُ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِقَوْلِهِمْ إِنَّهَا مُؤْتَمَنَةٌ.

Dan yang kedua: Bahwa ketika hal itu tidak menghalangi pembatalan masa iddah jika telah selesai dengan hitungan bulan, maka tidak pula menghalangi pembatalannya jika telah selesai dengan hitungan quru’ (masa haid), dan dengan alasan yang serupa pula dijawab argumen mereka yang mengatakan bahwa ia (perempuan) adalah orang yang dipercaya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ: إِذَا تَزَوَّجَتْ فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا تَقَابَلَ بَعْدَ تَزْوِيجِهَا حُكْمُ فِرَاشٍ ثَابِتٍ وَحُكْمُ فِرَاشٍ زَائِلٍ غَلَبَ أَقْوَاهُمَا، وَهُوَ الْفِرَاشُ الثَّابِتُ فَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَإِذَا لَمْ تَتَزَوَّجِ انْفَرَدَ حُكْمُ الْفِرَاشِ الزَّائِلِ فَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ.

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka: jika ia menikah, maka ketika setelah pernikahannya bertemu antara hukum ranjang yang tetap dan hukum ranjang yang telah hilang, maka yang lebih kuat di antara keduanya yang menang, yaitu ranjang yang tetap, sehingga anak itu dinisbatkan kepadanya. Dan jika ia tidak menikah, maka hanya berlaku hukum ranjang yang telah hilang, sehingga anak itu dinisbatkan kepadanya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِوَلَدِ الْأَمَةِ فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَ، وَالْمَذْهَبُ فِيهِ أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ فِيهِ: إِنَّهُ لَا يُلْحَقُ بِهِ إِذَا وَلَدَتْهُ بعد ستة أشهر من استبرائها.

Adapun jawaban terhadap istidlāl dengan anak dari budak perempuan adalah bahwa ia menikah, dan dalam masalah ini mazhabnya adalah bahwa asy-Syāfi‘ī berkata: Anak itu tidak dinisbatkan kepadanya jika dilahirkan setelah enam bulan dari masa istibrā’nya.

وقال فِي وَلَدِ الْحُرَّةِ: إِنَّهُ يُلْحَقُ بِهِ إِذَا وَلَدَتْهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنِ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ ابْنُ سُرَيْجٍ يَجْمَعُ بَيْنَ الْجَوَابَيْنِ وَيُخْرِجُهَا عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:

Dan beliau berkata tentang anak dari perempuan merdeka: Anak itu dinisbatkan kepadanya jika dilahirkan setelah enam bulan dari berakhirnya masa iddahnya. Maka para sahabat kami berbeda pendapat, di mana Ibnu Surayj menggabungkan kedua jawaban tersebut dan mengembalikannya kepada perbedaan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُلْحَقُ بِهِ وَلَدُ الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ عَلَى مَا نُصَّ عَلَيْهِ فِي وَلَدِ الْحُرَّةِ.

Salah satunya: Anak dari perempuan merdeka dan budak perempuan dinisbatkan kepadanya sebagaimana yang ditegaskan dalam kasus anak dari perempuan merdeka.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُلْحَقُ بِهِ وَلَدُ الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ عَلَى مَا نُصَّ عَلَيْهِ فِي وَلَدِ الْأَمَةِ، فَعَلَى هَذِهِ التَّسْوِيَةِ بَطَلَ الِاسْتِدْلَالُ.

Dan pendapat kedua: Anak dari perempuan merdeka dan budak perempuan tidak dinisbatkan kepadanya sebagaimana yang ditegaskan dalam kasus anak dari budak perempuan. Maka dengan penyamaan ini, batalah istidlāl tersebut.

وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا: إِنَّ الْجَوَابَ مَحْمُولٌ عَلَى ظَاهِرِ نَصِّهِ فِيهِ فَيُلْحَقُ بِهِ وَلَدُ الْحُرَّةِ بَعْدَ عِدَّتِهَا وَلَا يُلْحَقُ به ولد الأمة بعد استبرائها والفراق بَيْنَهُمَا أَنَّ وَلَدَ الْحُرَّةِ لَحِقَ فِي الِابْتِدَاءِ بِالْإِمْكَانِ فَلَحِقَ فِي الِانْتِهَاءِ بِالْإِمْكَانِ وَوَلَدَ الْأَمَةِ لَمَّا لَمْ يُلْحَقْ فِي الِابْتِدَاءِ بِالْإِمْكَانِ حَتَّى يَعْتَرِفَ بِالْوَطْءِ لَمْ يُلْحَقْ فِي الِانْتِهَاءِ بِالْإِمْكَانِ إِذَا ارْتَفَعَ حُكْمُ الْوَطْءِ، ثُمَّ، يُقَالُ لِأَبِي حَنِيفَةَ أَنْتَ تُلْحِقُ الْوَلَدَ مَعَ عَدَمِ الْإِمْكَانِ، وَتَنْفِيهِ مَعَ وُجُودِ الْإِمْكَانِ فَنَقُولُ: فِيمَنْ نَكَحَ فِي مَجْلِسِ الْحَاكِمِ وَطَلَّقَ فِيهِ أَنَّ الْوَلَدَ لَاحِقٌ بِهِ إِذَا وُلِدَ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ وَالْعِلْمُ محيط أنه ليس منه، وتقول فِي الْمُطَلَّقَةِ بَعْدَ الْعِدَّةِ: إِنَّ الْوَلَدَ لَا يُلْحَقُ بِهِ إِذَا وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ وَفِي هَذَا مِنَ الِاسْتِحَالَةِ وَعَكْسِ الْمَعْقُولِ مَا يَمْنَعُ مِنَ الْقَوْلِ بِهِ.

Dan para sahabat kami yang lain berkata: Jawaban itu dibawa pada makna zahir nash-nya, sehingga anak dari perempuan merdeka dinisbatkan kepadanya setelah masa iddahnya, dan anak dari budak perempuan tidak dinisbatkan kepadanya setelah istibrā’nya. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa anak dari perempuan merdeka pada awalnya dinisbatkan kepadanya karena kemungkinan (hubungan), maka pada akhirnya pun dinisbatkan karena kemungkinan. Sedangkan anak dari budak perempuan, karena pada awalnya tidak dinisbatkan kepadanya karena kemungkinan kecuali dengan pengakuan adanya hubungan, maka pada akhirnya pun tidak dinisbatkan karena kemungkinan jika telah hilang hukum hubungan tersebut. Kemudian, dikatakan kepada Abū Ḥanīfah: Engkau menisbatkan anak meskipun tidak mungkin (dari suami), dan menafikannya meskipun ada kemungkinan. Maka kami katakan: Dalam kasus seseorang menikah di majelis hakim lalu menceraikan di majelis itu juga, maka anak itu dinisbatkan kepadanya jika lahir setelah enam bulan, padahal secara ilmu pasti anak itu bukan darinya. Dan engkau berkata tentang perempuan yang dicerai setelah iddah: Anak itu tidak dinisbatkan kepadanya jika dilahirkan setelah enam bulan, meskipun mungkin saja anak itu darinya. Dalam hal ini terdapat kemustahilan dan kebalikan dari akal sehat yang mencegah untuk berpendapat demikian.

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: وَكَانَ الَّذِي يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ وَلَا يَمْلِكُهَا فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ يَعْنِي فِي وَضْعِ الْوَلَدِ فِي نَفْيِهِ عَنْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun perkataan asy-Syāfi‘ī: “Orang yang masih memiliki hak rujuk dan yang tidak memilikinya dalam hal ini sama saja,” maksudnya dalam penafian anak darinya jika lebih dari empat tahun atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِهِ هَاهُنَا أَنَّهُمَا يَسْتَوِيَانِ فِي نَفْيِ الْوَلَدِ عَنْهُ.

Salah satunya, dan ini adalah zahir perkataannya di sini, bahwa keduanya sama dalam penafian anak darinya.

وَالثَّانِي: يَفْتَرِقَانِ فَيُنْفَى عَنْهُ فِي الْبَائِنِ وَيُلْحَقُ بِهِ فِي الرَّجْعِيِّ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الفرق بينهما، والله أعلم بالصواب.

Dan yang kedua: Keduanya berbeda, maka anak itu dinafikan darinya pada kasus talak bain, dan dinisbatkan kepadanya pada kasus talak raj‘i, karena perbedaan yang telah kami sebutkan antara keduanya. Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.

(بَابُ لَا عِدَّةَ عَلَى الَّتِي لَمْ يَدْخُلْ بها زوجها)

(Bab: Tidak Ada Iddah atas Perempuan yang Belum Digauli Suaminya)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه لله قال اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ} الْآيَةَ قَالَ وَالْمَسِيسُ الْإِصَابَةُ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَشُرَيْحٌ وَغَيْرُهُمَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا إِلَّا بَالْإِصَابَةِ بِعَيْنِهَا لَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ هَكَذَا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَهَذَا ظَاهِرُ الْقُرْآنِ “.

Asy-Syāfi‘ī rahimahullah berkata: Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka…} (ayat). Ia berkata: Yang dimaksud dengan “menyentuh” adalah berhubungan (jima’), dan Ibnu ‘Abbās, Syuraih, dan selain keduanya berkata: Tidak ada iddah atasnya kecuali dengan hubungan secara nyata, karena Allah Ta‘ālā berfirman demikian. (Asy-Syāfi‘ī berkata): Dan ini adalah zahir dari al-Qur’an.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُطَلَّقَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, dan keadaan perempuan yang dicerai tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تُطَلَّقَ قَبْلَ الدُّخُولِ وَالْخَلْوَةِ فَلَا خِلَافَ أَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا لِقَوْلِ اللَّهِ: {ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} [الأحزاب: 49] وَلَيْسَ لَهَا مِنَ الْمَهْرِ إِلَّا نِصْفَهُ لِقَوْلِ الله: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} [البقرة: 237] .

Pertama: Jika ia ditalak sebelum terjadi hubungan suami istri dan sebelum khalwat, maka tidak ada khilaf bahwa ia tidak wajib menjalani masa ‘iddah, berdasarkan firman Allah: {Kemudian jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, maka tidak ada bagi kamu masa ‘iddah yang perlu kamu perhitungkan terhadap mereka} (al-Ahzab: 49). Dan ia tidak berhak atas mahar kecuali setengahnya, berdasarkan firman Allah: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu} (al-Baqarah: 237).

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: يُطَلِّقُهَا بَعْدَ الدُّخُولِ بِهَا فَلَا خِلَافَ أَنَّ عَلَيْهَا الْعِدَّةَ، وَلَهَا جَمِيعُ الْمَهْرِ كَامِلًا لِدَلِيلِ الْخِطَابِ فِي الْآيَتَيْنِ.

Bagian kedua: Jika ia ditalak setelah terjadi hubungan suami istri, maka tidak ada khilaf bahwa ia wajib menjalani masa ‘iddah, dan ia berhak atas seluruh mahar secara penuh, berdasarkan dalil dari kedua ayat tersebut.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ الْخَلْوَةِ وَقَبْلَ الدُّخُولِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي وُجُوبِ الْعِدَّةِ، وَكَمَالِ الْمَهْرِ، عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ: أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حتيفة – أن الخلوة فِي وُجُوبِ الْعِدَّةِ وَكَمَالِ الْمَهْرِ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي بَعْضِ الْقَدِيمِ.

Bagian ketiga: Jika ia ditalak setelah terjadi khalwat namun sebelum hubungan suami istri, para fuqaha berbeda pendapat mengenai kewajiban ‘iddah dan kesempurnaan mahar, menjadi tiga mazhab: Pertama, yaitu mazhab Abu Hanifah, bahwa khalwat mewajibkan ‘iddah dan menyempurnakan mahar, dan ini juga pendapat Syafi‘i dalam sebagian pendapat lama.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهَا لَا تُوجِبُ الْعِدَّةَ وَلَا يَكْمُلُ بِهَا الْمَهْرُ لَكِنْ يَكُونُ لِمُدَّعِي الْإِصَابَةِ مِنْهُمَا، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي بَعْضِ الْقَدِيمِ.

Kedua, yaitu mazhab Malik, bahwa khalwat tidak mewajibkan ‘iddah dan tidak menyempurnakan mahar, tetapi hak diberikan kepada pihak yang mengklaim terjadinya hubungan dari keduanya, dan ini juga pendapat Syafi‘i dalam sebagian pendapat lama.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَالْمَعْمُولُ عَلَيْهِ مِنْ قَوْلِهِ أَنَّ الْخَلْوَةَ لَا تُوجِبُ الْعِدَّةَ وَلَا يَكْمُلُ بِهَا الْمَهْرُ بِخِلَافِ مَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَلَا تَكُونُ لِمُدَّعِي الْإِصَابَةِ بِخِلَافِ مَا قَالَ مَالِكٌ وَيَكُونُ وَجُودُهَا فِي الْعِدَّةِ وَالْمِهْرِ كَعَدَمِهَا، وَقَدْ مَضَى فِي كِتَابِ الصَّدَاقِ مِنْ تَوْجِيهِ الْأَقَاوِيلِ وَحِجَاجِ الْمُخَالِفِ مَا أَغْنَى عن الإعادة.

Ketiga, yaitu mazhab Syafi‘i dalam pendapat baru dan yang diamalkan dari ucapannya, bahwa khalwat tidak mewajibkan ‘iddah dan tidak menyempurnakan mahar, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah, dan tidak diberikan hak kepada pihak yang mengklaim terjadinya hubungan, berbeda dengan pendapat Malik, dan keberadaan khalwat dalam hal ‘iddah dan mahar sama saja seperti tidak adanya. Penjelasan mengenai pendapat-pendapat dan argumentasi para penentang telah dibahas dalam Kitab Shadaq sehingga tidak perlu diulang kembali.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” فَإِنْ وَلَدَتِ الَّتِي قَالَ زَوْجُهَا لَمْ أَدْخُلْ بِهَا لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ أَوْ لَأَكْثَرِ مَا يَلِدُ لَهُ النِّسَاءُ مِنْ يَوْمِ عَقْدِ نِكَاحِهَا لَحِقَ نَسَبُهُ وَعَلَيْهِ الْمَهْرُ إِذَا أَلْزَمْنَاهُ الْوَلَدَ حَكَمْنَا عَلَيْهِ بِأَنَّهُ مُصِيبٌ مَا لَمْ تَنْكِحْ زَوْجًا غَيْرَهُ وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ “.

Syafi‘i berkata: “Jika seorang istri yang suaminya berkata, ‘Aku belum berhubungan dengannya,’ melahirkan setelah enam bulan atau lebih lama dari masa yang biasa dialami wanita sejak hari akad nikahnya, maka nasab anak itu tetap dinisbatkan kepadanya dan ia wajib membayar mahar jika kami mewajibkan anak itu kepadanya. Kami memutuskan bahwa ia telah melakukan hubungan selama istrinya belum menikah dengan laki-laki lain dan masih mungkin anak itu berasal darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي الْمُطَلِّقِ إِذَا أَنْكَرَ الْإِصَابَةَ فَجَعَلْنَا الْقَوْلَ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَمْ يُحْكَمْ لَهَا إِلَّا بِنِصْفِ الْمَهْرِ، إِمَّا مَعَ عَدَمِ الْخَلْوَةِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِمَّا مَعَ وُجُودِهَا عَلَى أَصَحِّ الْأَقَاوِيلِ ثُمَّ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ يَوْمِ الْعَقْدِ وَلِأَرْبَعِ سِنِينَ فَمَا دُونَهَا مِنْ يَوْمِ الطَّلَاقِ فَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِهِ إِنْ صَدَّقَهَا عَلَى وِلَادَتِهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ” وَلَا يَنْتَفِي عَنْهُ بِاللِّعَّانِ وَإِنْ أَكْذَبَهَا وَادَّعَى أَنَّهَا الْتَقَطَتْهُ حَلَفَ وَهُوَ مَنْفِيٌّ عَنْهُ بِغَيْرِ لِعَانٍ إِلَّا أَنْ تُقِيمَ الْبَيِّنَةَ عَلَى وِلَادَتِهِ فَيَصِيرُ لَاحِقًا بِهِ إِلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِاللِّعَانِ فَأَمَّا اسْتِكْمَالُ الْمَهْرِ فَمُعْتَبَرٌ بِمَا تَدَّعِيهِ الزَّوْجَةُ مِنْ عُلُوقِ الْوَلَدِ فَإِنْ وَافَقَتْهُ عَلَى عَدَمِ الْإِصَابَةِ، وَادَّعَتْ أَنَّهَا عَلِقَتْ بِاسْتِدْخَالِ مَائِهِ قُبِلَ قَوْلُهَا وَلَمْ يُكْمِلْ مَهْرَهَا مَعَ عَدَمِ الْإِصَابَةِ وَإِنْ أَكْذَبَتْهُ وَادَّعَتِ الْإِصَابَةَ، فَهَلْ تَكُونُ وِلَادَتُهَا دَلِيلًا عَلَى صِدْقِهَا فِي الدُّخُولِ وَاسْتِكْمَالِ الْمَهْرِ بِالْإِصَابَةِ أَمْ لَا؟ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْوَلَدِ اللَّاحِقِ لِلنَّسَبِ، فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya pada suami yang menalak istrinya lalu mengingkari telah terjadi hubungan, maka kami jadikan ucapannya diterima dengan sumpahnya, dan tidak diputuskan untuk istri kecuali setengah mahar, baik tanpa adanya khalwat menurut satu pendapat, maupun dengan adanya khalwat menurut pendapat yang paling sahih. Kemudian jika ia melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih sejak hari akad, dan kurang dari empat tahun sejak hari talak, maka anak itu tetap dinisbatkan kepadanya jika ia membenarkan istrinya atas kelahiran anak tersebut, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik pemilik ranjang.” Dan anak itu tidak bisa dinafikan darinya dengan li‘an. Jika ia mendustakan istrinya dan mengklaim bahwa anak itu hasil pungutan, maka ia bersumpah dan anak itu tidak dinisbatkan kepadanya tanpa li‘an, kecuali jika istri mendatangkan bukti atas kelahiran anak itu, maka anak itu dinisbatkan kepadanya kecuali jika ia menafikannya dengan li‘an. Adapun penyempurnaan mahar tergantung pada klaim istri tentang kehamilan anak tersebut. Jika ia sepakat dengan suaminya bahwa tidak terjadi hubungan, dan mengaku hamil karena memasukkan mani suami, maka ucapannya diterima dan maharnya tidak sempurna karena tidak terjadi hubungan. Jika ia mendustakan suaminya dan mengaku telah terjadi hubungan, apakah kelahirannya menjadi bukti atas kebenarannya dalam hal hubungan dan penyempurnaan mahar karena hubungan, atau tidak? Hal ini tergantung pada keadaan anak yang dinisbatkan nasabnya, karena tidak lepas dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ يُقِرَّ عَلَى نَسَبِهِ، أَوْ يَنْفِيَ نَسَبَهُ بِاللِّعَانِ.

Yaitu apakah suami mengakui nasab anak itu, atau menafikan nasabnya dengan li‘an.

فَإِنْ أَقَرَّ عَلَى نَسَبِهِ فَالَّذِي نَقَلَ الْمُزَنِيُّ وَالرَّبِيعُ أَنَّهُ يُحْكَمُ لها بالإصابة وكمال المهر؛ لأنه لُحُوقَ الْوَلَدِ بِهِ شَاهِدٌ لَهَا عَلَى إِصَابَتِهِ قَالَ الرَّبِيعُ: وَفِيهَا قَوْلٌ آخَرُ: أَنَّهُ لَا يُحْكَمُ لَهَا بِالْإِصَابَةِ وَلَا تَسْتَحِقُّ مِنَ الْمَهْرِ إِلَّا نِصْفَهُ. لِأَنَّهُ قَدْ تَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عُلُوقُهَا بِهِ مِنِ اسْتِدْخَالِ مَائِهِ فَلَمْ يُحْكَمْ بِاسْتِكْمَالِ الْمَهْرِ مَعَ الشَّكِّ فِي اسْتِحْقَاقِهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الْقَوْلِ الَّذِي تَفَرَّدَ بِهِ الرَّبِيعُ هَلْ قَالَهُ تَخْرِيجًا لِنَفْسِهِ أَوْ نَقْلًا عَنِ الشَّافِعِيِّ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika ia mengakui nasab anak tersebut, maka menurut riwayat al-Muzani dan ar-Rabi‘, diputuskan bahwa istri berhak atas persetubuhan dan mahar penuh; karena keterkaitan anak dengannya menjadi bukti bagi istri atas terjadinya persetubuhan. Ar-Rabi‘ berkata: Dalam masalah ini ada pendapat lain, yaitu tidak diputuskan istri berhak atas persetubuhan dan ia hanya berhak atas setengah mahar saja. Sebab, dimungkinkan kehamilannya terjadi melalui pemasukan mani (tanpa persetubuhan), sehingga tidak diputuskan mahar penuh karena masih ada keraguan dalam haknya. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai pendapat yang dipegang sendiri oleh ar-Rabi‘ ini, apakah ia mengeluarkannya sebagai hasil ijtihad pribadinya atau menukil dari asy-Syafi‘i, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَالَهُ تَخْرِيجًا لِنَفْسِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَجِدْ لِلشَّافِعِيِّ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِهِ وَلَا وَجْهَ لِتَخْرِيجِهِ؛ وَأَنَّ ظاهر الحكم محمول عل غَالِبِ الْحَالِ دُونَ نَادِرِهَا، وَالْغَالِبُ مِنْ عُلُوقِ الْوَلَدِ أَنَّهُ يَكُونُ مِنَ الْوَطْءِ دُونَ الِاسْتِدْخَالِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَيْهِ وَشَاهِدًا فِيهِ.

Pertama: Ia mengeluarkannya sebagai hasil ijtihad pribadinya, karena tidak ditemukan dalam kitab-kitab asy-Syafi‘i dan tidak ada alasan untuk mengeluarkannya; dan bahwa hukum yang tampak didasarkan pada kebiasaan yang umum, bukan yang jarang, dan kebanyakan kehamilan anak itu terjadi karena persetubuhan, bukan karena pemasukan mani, maka seharusnya hukum didasarkan pada hal itu dan menjadi bukti dalam masalah ini.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَالَ نَقْلًا عَنِ الشَّافِعِيِّ؛ لِأَنَّهُ رَاوِي أَقَاوِيلِهِ، وَحَاكِي مَذَاهِبِهِ، فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، هَلْ يُحْمَلُ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قولين أو على اختلاف حالين؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Ia menukilnya dari asy-Syafi‘i; karena ia adalah perawi pendapat-pendapatnya dan penyampai mazhabnya. Berdasarkan hal ini, para sahabat kami berbeda pendapat, apakah hal itu dianggap sebagai perbedaan dua pendapat atau perbedaan dua keadaan? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:

Pertama: Yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa hal itu dianggap sebagai perbedaan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُكَمَّلُ بِهِ الْمَهْرُ عَلَى مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ.

Pertama: Mahar menjadi sempurna sebagaimana yang dinukil oleh al-Muzani.

وَالثَّانِي: لَا يُكَمَّلُ بِهِ الْمَهْرُ عَلَى مَا حَكَاهُ الرَّبِيعُ.

Kedua: Mahar tidak menjadi sempurna sebagaimana yang dinukil oleh ar-Rabi‘.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَحَكَاهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ لَا عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ فَرِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ يُكَمَّلُ بِهِ الْمَهْرُ إِذَا كَانَتِ الْوِلَادَةُ بَعْدَ إِنْكَارِ الزَّوْجِ لِلْإِصَابَةِ وَقَبْلَ اخْتِلَافِهِ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ الْحُكْمَ فِيهَا لَمْ يَنْبَرِمْ وَرِوَايَةُ الرَّبِيعِ أَنَّ الْمَهْرَ لَا يُكَمَّلُ إذا كانت الولادة بعد إحلافه عليها انبرام الْحُكْمِ فِيهَا فَلَمْ يَتَعَقَّبْ بِنَقْضٍ، وَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ قَدْ نَفَاهُ بِاللِّعَانِ، فَقَدْ قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ إِنَّ نَفْيَهُ بِاللِّعَانِ كَجُحُودِهِ لِوِلَادَتِهِ وَيَصِيرُ كَاخْتِلَافِهِمَا لَوْ لَمْ تَأْتِ بِوَلَدٍ فَلَا يَكُونُ لَهَا مِنَ الْمَهْرِ إِلَّا نِصْفَهُ وَسَوَّى بين جحوده وولادته وبين فيه، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ عِنْدِي بَلْ حُكْمُ نَسَبِهِ قَدْ ثَبَتَ فَتَثْبُتُ بِهِ الْوِلَادَةُ، وَإِنَّمَا اسْتَأْنَفَ نَفْيَهُ بَعْدَ لُحُوقِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُسَاوِيًا لِمَنْ لَمْ يُلْحِقْ نَسَبَهُ فَاقْتَضَى أَنْ يُسْتَكْمَلَ بِهِ مَهْرُهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا.

Pendapat kedua: Sebagaimana yang dinukil oleh Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa hal itu dianggap sebagai perbedaan dua keadaan, bukan perbedaan dua pendapat. Maka riwayat al-Muzani bahwa mahar menjadi sempurna jika kelahiran terjadi setelah suami mengingkari persetubuhan dan sebelum adanya perselisihan di antara keduanya; karena hukumnya belum diputuskan. Sedangkan riwayat ar-Rabi‘ bahwa mahar tidak menjadi sempurna jika kelahiran terjadi setelah suami disumpah atasnya dan hukum telah diputuskan, sehingga tidak bisa dibatalkan. Jika anak tersebut dinafikan dengan li‘ān, maka Abu Hamid al-Isfara’ini berkata: Penafian dengan li‘ān seperti pengingkaran atas kelahirannya, dan itu sama seperti jika keduanya berselisih tanpa adanya anak, maka istri hanya berhak atas setengah mahar, dan ia menyamakan antara pengingkaran dan kelahiran serta menjelaskannya. Namun, menurut saya ini tidak benar, bahkan hukum nasabnya telah tetap, maka kelahiran pun tetap karenanya. Adapun penafian yang dilakukan setelah nasab telah ditetapkan, maka tidak bisa disamakan dengan orang yang tidak menetapkan nasabnya, sehingga istri berhak atas mahar penuh sebagaimana telah dijelaskan.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ خَلَا بِهَا فَقَالَ لَمْ أُصِبْهَا وَقَالَتْ قَدْ أَصَابَنِي وَلَا وَلَدَ فَهِيَ مُدَّعِيَةٌ وَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika suami berduaan dengan istri, lalu suami berkata: ‘Aku tidak menyetubuhinya,’ dan istri berkata: ‘Ia telah menyetubuhiku,’ dan tidak ada anak, maka istri berstatus sebagai pengklaim dan perkataan suami yang diterima dengan sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَاخْتِلَافُ الزَّوْجَيْنِ فِي الْإِصَابَةِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan perbedaan antara suami istri dalam masalah persetubuhan ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الْخَلْوَةِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ مَنْ أَنْكَرَ الْإِصَابَةَ مِنْهُمَا مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ كَانَ هُوَ الزَّوْجَ فَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ وَلَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْمَهْرِ إِلَّا نَصْفُهُ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِإِقْرَارِهَا، وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ فَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا وَلَا نَفَقَةَ لَهَا.

Pertama: Terjadi sebelum khalwat, maka yang dipegang adalah perkataan siapa yang mengingkari persetubuhan di antara keduanya dengan sumpahnya. Jika yang mengingkari adalah suami, maka tidak ada nafkah baginya dan ia hanya wajib membayar setengah mahar, dan istri wajib menjalani ‘iddah karena pengakuannya. Jika yang mengingkari adalah istri, maka tidak ada ‘iddah baginya dan tidak ada nafkah untuknya.

فَأَمَّا الْمَهْرُ فَإِنْ كَانَ فِي يَدِهَا لَمْ يَسْتَرْجِعِ الزَّوْجُ مِنْهُ شَيْئًا؛ لِأَنَّهُ لَا يَدَّعِيهِ وَإِنْ كَانَ فِي يَدِهِ لَمْ يَأْخُذْ إِلَّا نِصْفَهُ لِأَنَّهَا لَا تَدَّعِي أَكْثَرَ مِنْهُ.

Adapun mahar, jika masih di tangan istri, maka suami tidak boleh mengambil kembali sedikit pun darinya; karena ia tidak menuntutnya. Jika masih di tangan suami, maka ia hanya mengambil setengahnya, karena istri tidak menuntut lebih dari itu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْإِصَابَةِ بَعْدَ الْخَلْوَةِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Bentuk kedua: Terjadi perbedaan keduanya dalam masalah persetubuhan setelah khalwat, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ مُنْكِرِهَا مَعَ يَمِينِهِ.

Salah satu dari keduanya: yaitu menurut pendapat beliau dalam qaul jadīd, bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengingkarinya dengan disertai sumpahnya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ مُدَّعِيهَا وَفِي وُجُوبِهَا الْيَمِينَ عَلَيْهِ قَوْلَانِ:

Dan yang kedua: yaitu menurut pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengklaimnya, dan dalam kewajiban sumpah atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَمِينَ عَلَيْهِ إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْخَلْوَةَ كَالْإِصَابَةِ.

Salah satunya: tidak ada sumpah atasnya jika dikatakan bahwa khalwah (berduaan) itu seperti jima‘ (hubungan suami istri).

وَالثَّانِي: أَنَّ عَلَيْهِ الْيَمِينَ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْخَلْوَةَ يَدٌ لِمُدَّعِي الْإِصَابَةِ، فَإِذَا قِيلَ: إِنِ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُنْكِرِ فَالْجَوَابُ عَلَى مَا مَضَى عِنْدَ عَدَمِ الْخَلْوَةِ فِي اعْتِبَارِ حَالِ مَنْ أَنْكَرَ مِنَ الزَّوْجِ أَوِ الزَّوْجَةِ.

Dan yang kedua: bahwa atasnya wajib sumpah jika dikatakan bahwa khalwah adalah seperti tangan bagi orang yang mengklaim terjadinya jima‘. Maka jika dikatakan bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengingkari, maka jawabannya sama seperti yang telah lalu pada kasus tidak adanya khalwah, yaitu dengan mempertimbangkan keadaan siapa yang mengingkari, apakah dari pihak suami atau istri.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُدَّعِي لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ أَوِ الزَّوْجَةُ، فَإِنْ كَانَ هُوَ الزَّوْجُ فَعَلَيْهَا إِذَا حَلَفَ الْعِدَّةُ، وَلَهُ عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ وَلَهَا عَلَيْهِ النَّفَقَةُ، لِأَنَّهَا وَإِنْ أَنْكَرَتِ الْإِصَابَةَ الْمُوجِبَةَ لِلنَّفَقَةِ فَقَدْ مُنِعَتْ بِالْعِدَّةِ مِنَ الزَّوْجِ فَاسْتَحَقَّتْ بِالْمَنْعِ النَّفَقَةَ.

Dan jika dikatakan bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengklaim, maka tidak lepas dari kemungkinan bahwa yang mengklaim itu adalah suami atau istri. Jika yang mengklaim adalah suami, maka atas istri, jika ia bersumpah, berlaku masa ‘iddah, dan suami berhak rujuk kepadanya, serta istri berhak mendapatkan nafkah darinya. Karena meskipun ia mengingkari terjadinya jima‘ yang mewajibkan nafkah, namun ia telah dicegah dari suaminya dengan adanya masa ‘iddah, sehingga ia berhak mendapatkan nafkah karena pencegahan tersebut.

فَأَمَّا الْمَهْرُ فَإِنْ كَانَ فِي يَدِهَا لَمْ يَسْتَرْجِعِ الزَّوْجُ شَيْئًا مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ فِي يَدِهِ لَمْ تَأْخُذْ إِلَّا نِصْفَهُ، وَإِنْ كَانَ الْمُدَّعِي هِيَ الزَّوْجَةَ فَلَهَا إِذَا حَلَفَتْ جَمِيعُ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَا رَجْعَةَ لِلزَّوْجِ؛ لِأَنَّهُ يُنْكِرُهَا.

Adapun mengenai mahar, jika mahar itu masih di tangan istri, maka suami tidak dapat mengambil kembali sedikit pun darinya. Jika mahar itu masih di tangan suami, maka istri hanya berhak mengambil setengahnya. Dan jika yang mengklaim adalah istri, maka jika ia bersumpah, ia berhak mendapatkan seluruh mahar dan nafkah, serta atasnya berlaku masa ‘iddah, dan suami tidak berhak rujuk kepadanya, karena suami mengingkarinya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ جَاءَتْ بِشَاهِدٍ بِإِقْرَارِهِ أَحْلَفْتُهَا مَعَ شَاهِدِهَا وَأَعْطَيْتُهَا الصَّدَاقَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika istri mendatangkan seorang saksi atas pengakuan suaminya, maka aku akan menyuruhnya bersumpah bersama saksi tersebut dan aku berikan kepadanya mahar.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا جُعِلَ الْقَوْلُ فِي الْإِصَابَةِ قَوْلَ مُنْكِرِهَا إِمَّا مَعَ عَدَمِ الْخَلْوَةِ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِمَّا مَعَ وُجُودِهَا عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ أَرَادَ مُدَّعِي الْإِصَابَةِ أَنْ يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ عَلَى مُنْكِرِهَا لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَكُونَ هُوَ الزَّوْجَ أَوِ الزَّوْجَةَ، وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ هِيَ الْمُدَّعِيَةَ حُكِمَ لَهَا فِي الْإِصَابَةِ بِإِقْرَارِهِ بِشَاهِدٍ وَيَمِينٍ، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْمُدَّعِي لَمْ يُحْكَمْ لَهُ فِي الْإِصَابَةِ بِإِقْرَارِهَا إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika pendapat yang dipegang dalam masalah jima‘ adalah pendapat orang yang mengingkarinya, baik tanpa adanya khalwah menurut satu pendapat, maupun dengan adanya khalwah menurut salah satu dari dua pendapat. Maka jika orang yang mengklaim terjadinya jima‘ ingin mendatangkan bukti atas orang yang mengingkarinya, maka tidak lepas dari kemungkinan bahwa yang mengklaim itu adalah suami atau istri. Jika istri yang mengklaim, maka diputuskan untuknya dalam masalah jima‘ dengan pengakuan suami disertai satu saksi dan sumpah. Namun jika suami yang mengklaim, maka tidak diputuskan untuknya dalam masalah jima‘ dengan pengakuan istri kecuali dengan dua orang saksi.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ دَعْوَى الزَّوْجَةِ لِلْإِصَابَةِ مَقْصُورَةٌ عَلَى الْمَالِ فِي اسْتِكْمَالِ الصَّدَاقِ وَاسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ، وَالْمَالُ يُحْكَمُ فِيهِ بِشَاهِدٍ وَيَمِينٍ وَدَعْوَى الزَّوْجِ فِي الْإِصَابَةِ مَقْصُورَةٌ عَلَى وُجُوبِ الْعِدَّةِ وَاسْتِحْقَاقِ الرَّجْعَةِ، وَذَلِكَ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Perbedaan antara keduanya: bahwa klaim istri atas terjadinya jima‘ terbatas pada hak harta, yaitu untuk menyempurnakan mahar dan berhak atas nafkah, dan perkara harta dapat diputuskan dengan satu saksi dan sumpah. Sedangkan klaim suami dalam masalah jima‘ terbatas pada kewajiban masa ‘iddah dan hak rujuk, dan hal itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dua orang saksi. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(بَابُ الْعِدَّةِ مِنَ الْمَوْتِ وَالطَّلَاقِ وَزَوْجٍ غَائِبٍ)

(Bab Masa ‘Iddah karena Kematian, Talak, dan Suami yang Ghaib)

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَإِذَا عَلِمَتِ الْمَرْأَةُ يَقِينَ مَوْتِ زَوْجِهَا أَوْ طَلَاقِهِ بِبَيِّنَةٍ أَوْ أَيِّ عِلْمٍ اعْتَدَّتْ مِنْ يَوْمِ كَانَتْ فِيهِ الْوَفَاةُ وَالطَّلَاقُ وَإِنْ لَمْ تَعْتَدَّ حَتَّى تَمْضِيَ الْعِدَّةُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا غَيْرُهَا لِأَنَّهَا مُدَّةٌ وقت مَرَّتْ عَلَيْهَا وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” تَعْتَدُّ مِنْ يَوْمِ تَكُونُ الْوَفَاةُ أَوِ الطَّلَاقُ ” وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ وَابْنِ الْمُسَيِّبِ وَالزُّهْرِيِّ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang wanita telah yakin akan kematian suaminya atau talaknya dengan bukti atau pengetahuan apa pun, maka ia menjalani masa ‘iddah sejak hari terjadinya wafat atau talak tersebut. Jika ia tidak menjalani masa ‘iddah hingga masa ‘iddah itu berlalu, maka tidak ada kewajiban lain atasnya, karena masa itu adalah waktu yang telah berlalu atasnya. Dan telah diriwayatkan dari lebih dari satu sahabat Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: ‘Ia menjalani masa ‘iddah sejak hari terjadinya wafat atau talak.’ Dan ini adalah pendapat ‘Aṭā’, Ibn al-Musayyib, dan az-Zuhri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا غَابَ الزَّوْجُ عَنِ امْرَأَتِهِ ثُمَّ طَلَّقَ، أَوْ مَاتَ فِي غَيْبَتِهِ فَعِدَّتُهَا إِذَا عَلِمَتْ بِطَلَاقِهَا أو موته في حِينِ الطَّلَاقِ أَوِ الْمَوْتِ لَا مِنْ وَقْتِ الْعِلْمِ بِذَلِكَ، وَسَوَاءٌ عَلِمَتْ ذَلِكَ بِبَيِّنَةٍ أَوْ خَبَرٍ.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika suami pergi meninggalkan istrinya, kemudian menceraikannya, atau meninggal dunia dalam keadaan ghaib, maka masa ‘iddahnya, jika ia telah mengetahui talak atau kematiannya, dimulai sejak waktu terjadinya talak atau kematian, bukan sejak waktu ia mengetahui hal itu, baik ia mengetahuinya dengan bukti maupun dengan kabar.

وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ، وَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ أَوَّلَ عِدَّتِهَا مِنْ وَقْتِ عِلْمِهَا بِطَلَاقِهِ أَوْ مَوْتِهِ، وَلَا تَعْتَدُّ بِمَا مَضَى سَوَاءٌ عَلِمَتْ بِبَيِّنَةٍ أَوْ خَبَرٍ.

Dan pendapat ini dipegang oleh mayoritas sahabat, tabi’in, dan para fuqaha. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam bahwa awal masa ‘iddahnya dihitung sejak saat ia mengetahui tentang talak atau wafat suaminya, dan ia tidak menghitung masa yang telah berlalu, baik ia mengetahuinya melalui bukti yang jelas maupun melalui kabar.

وَبِهِ قَالَ دَاوُدُ. وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِنْ عَلِمَتْ ذَلِكَ بِبَيِّنَةٍ اعْتَدَّتْ بِمَا مَضَى، وَإِنْ عَلِمَتْهُ بِخَبَرٍ اعْتَدَّتْ مِنْ وَقْتِهَا اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] وَالتَّرَبُّصُ فِعْلٌ مِنْهَا مَقْصُودٌ فَخَرَجَ مَا تَقَدَّمَ مِنْهُ، وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ فُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكٍ قُتِلَ زَوْجُهَا فِي سَفَرٍ بِالْقَدُومِ فَلَمَّا عَلِمَتْ بِقَتْلِهِ أَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَخْبَرَتْهُ فَقَالَ لَهَا: امْكُثِي فِي بَيْتِكَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَأَمَرَهَا بِاسْتِئْنَافِ الْعِدَّةِ لِوَقْتِهَا وَلَمْ يَعْتَبِرْ بِهَا مَا مَضَى، وَلِأَنَّهَا مَأْمُورَةٌ فِي الْعِدَّةِ بِالْإِحْدَادِ، وَاجْتِنَابِ الطِّيبِ وَأَنْ لَا تَخْرُجَ عَنْ مَسْكَنِهَا، وَهِيَ قَبْلَ عِلْمِهَا غَيْرُ قَاصِدَةٍ لِأَحْكَامِ الْعِدَّةِ فَلِذَلِكَ لَمْ تَكُنْ فِي عِدَّةٍ.

Pendapat ini juga dikatakan oleh Dawud. Sementara Umar bin Abdul Aziz berpendapat, jika ia mengetahuinya dengan bukti yang jelas maka ia menghitung masa yang telah berlalu, namun jika ia mengetahuinya melalui kabar maka ia menghitung ‘iddah dari saat ia mengetahui, dengan berdalil pada firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’} (QS. Al-Baqarah: 228), dan penantian (‘tarrabush’) adalah perbuatan yang disengaja dari pihak perempuan, sehingga masa yang telah berlalu tidak termasuk di dalamnya. Juga berdasarkan riwayat bahwa Furaikah binti Malik, suaminya terbunuh dalam perjalanan dengan kapak, maka ketika ia mengetahui kematian suaminya, ia mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan memberitahukan hal itu, lalu beliau bersabda kepadanya: “Tinggallah di rumahmu selama empat bulan sepuluh hari.” Maka beliau memerintahkannya untuk memulai masa ‘iddah dari saat ia mengetahui dan tidak memperhitungkan masa yang telah berlalu. Karena ia diperintahkan dalam masa ‘iddah untuk melakukan ihdad, menjauhi wewangian, dan tidak keluar dari rumahnya, sedangkan sebelum ia mengetahui, ia tidak bermaksud menjalankan hukum-hukum ‘iddah, sehingga ia belum dianggap dalam masa ‘iddah.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ: {فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} [الطلاق: 1] أَيْ فِي الْوَقْتِ الَّذِي تَعْتَدُّنَّ فِيهِ فَدَلَّ عَلَى اتِّصَالِ الْعِدَّةِ بِالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّهَا لَوْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا انْقَضَتْ بِهِ عِدَّتُهَا، وَإِنْ لَمْ تَعْلَمْ بِطَلَاقِهَا كَذَلِكَ إِذَا أَمْضَتْ أَقَرَاءَهَا وَشُهُورَهَا، وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُهَا قَبْلَ عِلْمِهَا بِطَلَاقِهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ زَوْجَةً أَوْ مُطَلَّقَةً فَبَطَلَ أَنْ تَكُونَ زَوْجَةً لِأَنَّهُ لَوْ مَاتَ لَمْ تَرِثْهُ فَثَبَتَ أَنَّهَا مُطَلَّقَةٌ، وَالْمُطَلَّقَةُ لَا يَخْلُو أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهَا حُكْمُ الْعِدَّةِ أَوْ لَا يَجْرِي عَلَيْهَا فَبَطَلَ أَنْ لَا يَجْرِيَ عَلَيْهَا، لِأَنَّهَا لَوْ تَزَوَّجَتْ غَيْرَهُ بَطَلَ نِكَاحُهَا، وَإِذَا جَرَى عَلَيْهَا حُكْمُ الْعِدَّةِ وَجَبَ أَنْ تُجْرِيَهَا عَلَيْهَا كَالْعَالِمَةِ وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ هِيَ التَّرَبُّصُ بِنَفْسِهَا عَنِ الْأَزْوَاجِ فِي الْمُدَّةِ الْمُقَدَّرَةِ لَهَا وَذَلِكَ مَوْجُودٌ وَإِنْ لَمْ تَعْلَمْ فَلَمْ يَكُنْ فَقْدُ الْعِلْمِ مُؤَثِّرًا كَالصَّغِيرَةِ وَالْمَجْنُونَةِ؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ فيها غير معتبرة، ولأنها لو علمت فتوت أَنَّهَا غَيْرُ مُعْتَدَّةٍ وَتَرَكَتِ الْإِحْدَادَ، وَاسْتَعْمَلَتِ الطِّيبَ وَخَرَجَتْ مِنْ مَنْزِلِهَا، وَلَمْ تَتَزَوَّجْ حَتَّى مَضَتْ مدة العدة أجزائها، وَإِنْ كَانَتْ عَاصِيَةً فِيمَا فَعَلَتْ وَاعْتَقَدَتْ، وَالَّتِي لم تعلم غير عاصية فكان بأن يجزها أَوْلَى.

Dalil kami adalah firman Allah: {Maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) masa ‘iddahnya} (QS. Ath-Thalaq: 1), yaitu pada waktu mereka menjalani masa ‘iddah, sehingga menunjukkan adanya keterkaitan antara masa ‘iddah dengan talak. Karena jika ia melahirkan kandungannya, maka selesai pula masa ‘iddahnya, meskipun ia belum mengetahui talaknya; demikian pula jika ia telah menjalani masa quru’ dan bulannya. Dan karena sebelum ia mengetahui talaknya, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: masih sebagai istri atau sudah menjadi perempuan yang ditalak. Tidak mungkin ia masih sebagai istri, sebab jika suaminya wafat, ia tidak mewarisinya. Maka tetaplah bahwa ia adalah perempuan yang ditalak, dan perempuan yang ditalak tidak lepas dari dua keadaan: apakah hukum ‘iddah berlaku atasnya atau tidak. Tidak mungkin tidak berlaku, sebab jika ia menikah dengan laki-laki lain, maka pernikahannya batal. Jika hukum ‘iddah berlaku atasnya, maka wajib ia menjalani masa ‘iddah sebagaimana perempuan yang mengetahui talaknya. Karena ‘iddah adalah masa penantian dari para suami dalam waktu yang telah ditentukan baginya, dan hal itu tetap ada meskipun ia tidak mengetahui, sehingga ketiadaan pengetahuan tidak berpengaruh, seperti halnya pada anak kecil dan orang gila; karena niat di dalamnya tidak dianggap. Dan jika ia mengetahui fatwa bahwa ia tidak sedang menjalani ‘iddah lalu ia meninggalkan ihdad, memakai wewangian, keluar dari rumahnya, dan tidak menikah hingga masa ‘iddah berlalu, maka itu sudah mencukupi, meskipun ia berdosa atas apa yang ia lakukan dan yakini, sedangkan yang tidak mengetahui tidak berdosa, maka lebih utama jika itu dianggap sah baginya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ وُجُودُ التَّرَبُّصِ الْمَأْمُورِ بِهِ فِيهَا مَعَ الْعِلْمِ وَالْجَهْلِ فَاقْتَضَى إِجْزَاءَهُ فِي الْحَالَيْنِ.

Adapun jawaban atas ayat tersebut adalah bahwa adanya penantian (‘tarrabush’) yang diperintahkan di dalamnya berlaku baik dalam keadaan mengetahui maupun tidak mengetahui, sehingga hal itu menunjukkan keabsahannya dalam kedua keadaan tersebut.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ فُرَيْعَةَ فَهُوَ أَنَّ أَمْرَهَا بِالْمُكْثِ يَحْتَمِلُ الِابْتِدَاءَ، وَيَحْتَمِلُ الِاسْتِدَامَةَ، فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ مَعَ الِاحْتِمَالِ دَلِيلٌ.

Adapun jawaban atas hadits Furaikah adalah bahwa perintah beliau untuk tinggal (di rumah) bisa bermakna memulai masa ‘iddah, dan bisa juga bermakna melanjutkan masa ‘iddah, sehingga dengan adanya kemungkinan tersebut, tidak terdapat dalil yang pasti di dalamnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ فَإِنَّهَا غير قاصد لِلْعِدَّةِ فَهُوَ أَنَّ الْقَصْدَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ بِمَا ذَكَرْنَا وَالْإِحْدَادَ لَيْسَ بِشَرْطٍ فِيهَا عَلَى مَا وَصَفْنَا وَلَيْسَ لِلْجَهْلِ بِحَالِهَا تَأْثِيرٌ إِلَّا فِي الْعَقْدِ الَّذِي لَا يُعْتَبَرُ وَتَرْكُ الْإِحْدَادِ الَّذِي لَا يُشْتَرَطُ فِصَحَّ الْإِجْزَاءُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa ia tidak bermaksud menjalani masa ‘iddah adalah bahwa maksud (niat) tidak dianggap sebagaimana telah kami sebutkan, dan ihdad bukanlah syarat dalam ‘iddah sebagaimana telah kami jelaskan, dan ketidaktahuan terhadap keadaannya tidak berpengaruh kecuali dalam akad yang tidak dianggap, dan meninggalkan ihdad yang tidak disyaratkan, sehingga keabsahan tetap berlaku. Allah Maha Mengetahui.

باب في عدة الأمة

(Bab tentang ‘iddah budak perempuan)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَ الْأَحْرَارِ وَالْعَبِيدِ فِي حَدِّ الزِّنَا فَقَالَ فِي الإماء {فإذا أحصن فإن أتين بفاحشة} الْآيَةَ وَقَالَ تَعَالَى {وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} وَذَكَرَ الْمَوَارِيثَ فَلَمْ يَخْتَلِفْ أَحَدٌ لَقِيتُهُ أَنَّ ذَلِكَ فِي الْأَحْرَارِ دُونَ الْعَبِيدِ وَفَرَضَ اللَّهُ الْعِدَّةَ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ وَفِي الْمَوْتِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وعشراً وسن – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ تُسْتَبْرَأَ الْأَمَةُ بِحَيْضَةٍ وَكَانَتِ الْعِدَّةُ فِي الْحَرَائِرِ اسْتِبْرَاءً وَتَعَبُّدًا وَلَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا مِمَّنْ حَفِظْتُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي أَنَّ عدة الأمة نصف عدة الحرة فيما له نِصْفٌ مَعْدُودٌ فَلَمْ يَجُزْ إِذَا وَجَدْنَا مَا وَصَفْنَا مِنَ الدَّلَائِلَ عَلَى الْفَرْقِ فِيمَا ذَكَرْنَا وَغَيْرِهِ إِلَّا أَنْ نَجْعَلَ عِدَّةَ الْأَمَةِ نِصْفَ عِدَّةِ الْحُرَّةِ فِيمَا لَهُ نِصْفٌ فَأَمَّا الْحَيْضَةُ فَلَا يُعْرَفُ لَهَا نِصْفٌ فَتَكُونَ عِدَّتُهَا فِيهِ أَقْرَبَ الْأَشْيَاءِ مِنَ النِّصْفِ إِذَا لَمْ يَسْقُطْ مِنَ النِّصْفِ شَيْءٌ وَذَلِكَ حَيْضَتَانِ. وَأَمَّا الْحَمْلُ فَلَا نِصْفَ لَهُ كَمَا لَمْ يَكُنْ لِلْقَطْعِ نِصْفٌ فَقُطِعَ الْعَبْدُ وَالْحُرُّ قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُطَلِّقُ الْعَبْدُ تَطْلِيقَتَيْنِ وَتَعْتَدُّ الْأَمَةُ حَيْضَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ تَحِضْ فَشَهْرَيْنِ أَوْ شَهْرًا وَنِصْفًا “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Allah telah membedakan antara orang merdeka dan budak dalam hukum had zina. Allah berfirman tentang budak perempuan: {Maka apabila mereka telah menjaga diri, kemudian mereka melakukan perbuatan keji…} (ayat), dan Allah Ta‘ala berfirman: {Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kalian}, serta menyebutkan tentang warisan. Tidak ada seorang pun yang aku temui berbeda pendapat bahwa hal itu berlaku bagi orang merdeka, bukan budak. Allah mewajibkan masa iddah tiga bulan, dan untuk kematian (suami) empat bulan sepuluh hari. Nabi ﷺ menetapkan bahwa budak perempuan cukup dengan satu kali haid untuk istibra’, sedangkan iddah bagi wanita merdeka adalah sebagai bentuk istibra’ dan ibadah. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari para ahli ilmu yang aku hafal darinya bahwa iddah budak perempuan adalah setengah dari iddah wanita merdeka dalam perkara yang memiliki hitungan setengah. Maka, tidak boleh jika telah kita dapati dalil-dalil yang menunjukkan adanya perbedaan dalam hal yang telah kami sebutkan dan selainnya, kecuali kita menetapkan iddah budak perempuan adalah setengah dari iddah wanita merdeka dalam perkara yang memiliki hitungan setengah. Adapun haid, tidak dikenal adanya setengahnya, maka iddahnya dalam hal ini adalah yang paling mendekati setengah jika tidak ada bagian dari setengah yang gugur, yaitu dua kali haid. Adapun kehamilan, tidak ada setengahnya, sebagaimana dalam hukum potong tangan juga tidak ada setengahnya, sehingga baik budak maupun orang merdeka dipotong (tangannya). Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: Budak laki-laki mentalak dua kali, dan budak perempuan beriddah dua kali haid. Jika ia tidak haid, maka dua bulan atau satu bulan setengah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا طُلِّقَتِ الْأَمَةُ فَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَالْعِدَّةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: عِدَّةٌ بِالْحَمْلِ، وَعِدَّةٌ بِالْأَقْرَاءِ وَعِدَّةٌ بِالشُّهُورِ.

Al-Mawardi berkata: Jika budak perempuan ditalak, maka ia wajib menjalani iddah. Iddah itu terbagi menjadi tiga jenis: iddah karena kehamilan, iddah karena masa suci (qur’), dan iddah karena hitungan bulan.

فَأَمَّا الْعِدَّةُ بِالْحَمْلِ فَتَسْتَوِي فِيهِ الْحُرَّةُ وَالْأَمَةُ فَلَا تَنْقَضِي عِدَّتُهَا إلا بوضع الحمل لِقَوْلِ اللَّهِ: {وَأُولاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” عِدَّةُ كُلِّ ذَاتِ حَمْلٍ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا ” وَلِأَنَّ مَوْضِعَ الْعِدَّةِ لِاسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ، وَلَا يَبْرَأُ رَحِمُ الْحَامِلِ إِلَّا بِالْوِلَادَةِ فَاسْتَوَتْ فِيهِ الْحُرَّةُ والأمة وأما العدة بالأقراء، فعدة الأمة قرءان بِخِلَافِ الْحُرَّةِ.

Adapun iddah karena kehamilan, maka wanita merdeka dan budak perempuan sama dalam hal ini; iddahnya tidak berakhir kecuali setelah melahirkan, berdasarkan firman Allah: {Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalaq: 4], dan sabda Nabi ﷺ: “Iddah setiap wanita hamil adalah sampai ia melahirkan kandungannya.” Karena tujuan iddah adalah untuk memastikan rahim bersih, dan rahim wanita hamil tidak dianggap bersih kecuali dengan kelahiran, maka wanita merdeka dan budak perempuan sama dalam hal ini. Adapun iddah dengan masa suci (qur’), maka iddah budak perempuan adalah dua masa suci, berbeda dengan wanita merdeka.

وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَأَبُو حَنِيفَةَ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ:

Demikian pula pendapat Malik, Abu Hanifah, dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat dan tabi‘in.

وَقَالَ دَاوُدُ وَأَهْلُ الظَّاهِرِ: عِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ كَالْحُرَّةِ اسْتِدْلَالًا بقول الله تعالى: {والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاث قُرُوءٍ} [البقرة: 228] وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ، كَمَا لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ مُسْلِمَةٍ وَذِمِّيَّةٍ، وَلِأَنَّ الْأَمَةَ لِمَّا سَاوَتِ الْحُرَّةَ فِي الْعِدَّةِ بِالْحَمْلِ وجب أَنْ تُسَاوِيَهَا فِي الْعِدَّةِ بِالْأَقْرَاءِ، لِأَنَّهَا عِنْدَنَا فُرْقَةٌ وَاحِدَةٌ؛ وَلِأَنَّ الْأَمَةَ مُسَاوِيَةٌ لِلْحُرَّةِ فِي أَحْكَامِ النِّكَاحِ مِنَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، وَالْكِسْوَةِ، وَالسُّكْنَى فَوَجَبَ أَنْ تُسَاوِيَهَا فِي عِدَّةِ النِّكَاحِ.

Sedangkan Dawud dan para pengikut madzhab Zhahiri berpendapat: Iddah budak perempuan adalah tiga masa suci seperti wanita merdeka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga masa suci} [al-Baqarah: 228], dan Allah tidak membedakan antara wanita merdeka dan budak, sebagaimana tidak membedakan antara wanita muslimah dan dzimmiyah. Karena budak perempuan disamakan dengan wanita merdeka dalam iddah kehamilan, maka wajib pula disamakan dalam iddah masa suci, karena menurut mereka itu adalah satu jenis perpisahan. Selain itu, budak perempuan juga disamakan dengan wanita merdeka dalam hukum-hukum pernikahan seperti mahar, nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, maka wajib pula disamakan dalam iddah pernikahan.

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” يُطَلِّقُ الْعَبْدُ تَطْلِيقتَيْنِ وَتَعْتَدُّ الْأَمَةُ حَيْضَتَيْنِ “.

Dalil kami adalah riwayat dari Nafi‘ dari Ibnu Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Budak laki-laki mentalak dua kali, dan budak perempuan beriddah dua kali haid.”

وَرَوَى مُظَاهِرُ بْنَ أَسْلَمَ عَنِ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” طَلَاقُ الْأَمَةِ طَلْقَتَانِ، وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ ” وَحَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ أَثْبَتُ؛ لِأَنَّ فِي حَدِيثِ مُظَاهِرِ بْنِ أَسْلَمَ الْتِوَاءً، وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ.

Diriwayatkan pula oleh Muzahir bin Aslam dari al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Talak budak perempuan dua kali, dan iddahnya dua kali haid.” Namun hadis Ibnu Umar lebih kuat, karena dalam hadis Muzahir bin Aslam terdapat kejanggalan, dan karena hal itu merupakan ijmā‘ para sahabat.

وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ قَالَ: يُطَلِّقُ الْعَبْدُ تَطْلِيقتَيْنِ وَتَعْتَدُّ الْأَمَةُ حَيْضَتَيْنِ، وَوَافَقَهُ عَلِيٌّ، وَابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ مَوْضُوعٌ عَلَى التَّفَاضُلِ فِيمَا عَدَا بِحَسَبِ التَّفَاضُلِ فِي الْمُسْتَبْرَأِ؛ لِأَنَّ اسْتِبْرَاءَ الْأَمَةِ فِي الْمِلْكِ بِحَيْضَةٍ وَاحِدَةٍ لِنَقْصِهَا بِالرِّقِّ وَعَدَمِ الْعَقْدِ وَاسْتِبْرَاءَ الْحُرَّةِ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ لِكَمَالِهَا بِالْحُرِّيَّةِ وَالْعَقْدِ وَنِكَاحُ الْأَمَةِ مُنَزَّلٌ مِنْهَا؛ لِأَنَّهَا قَدْ سَاوَتِ الْحُرَّةَ فِي الْعَقْدِ، وَشَارَكَتِ الْأَمَةَ فِي الرِّقِّ فَصَارَتْ مُقْتَصِرَةً عَنِ الْحُرَّةِ بِالرِّقِّ وَمُتَقَدِّمَةً عَلَى الْأَمَةِ بِالْعَقْدِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ مَنْزِلَتَيْهِمَا فِي الْحُرْمَةِ فَتَزِيدُ عَلَى الْأَمَةِ قُرْءًا بِالْعَقْدِ، وَتَنْقُصُ عَنِ الْحُرَّةِ قرءاً بالرق فيكون عليها قرءان.

Diriwayatkan dari ‘Umar, ia berkata: “Seorang budak laki-laki menjatuhkan talak dua kali, dan masa iddah budak perempuan adalah dua kali haid.” Ali dan Ibnu ‘Umar ra. juga sependapat dengannya, dan tidak ada sahabat lain yang berbeda pendapat dengan mereka, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Karena istibra’ (pengecekan rahim) ditetapkan berdasarkan perbedaan derajat pada selainnya, sesuai dengan perbedaan derajat pada yang diperiksa. Sebab, istibra’ budak perempuan dalam kepemilikan cukup dengan satu kali haid karena kekurangannya akibat status budak dan tidak adanya akad, sedangkan istibra’ perempuan merdeka adalah tiga kali quru’ karena kesempurnaannya dengan kemerdekaan dan akad. Nikah budak perempuan berada di antara keduanya, karena ia telah menyamai perempuan merdeka dalam akad, dan tetap bersama budak perempuan dalam status budak. Maka, ia lebih rendah dari perempuan merdeka karena status budak, dan lebih tinggi dari budak perempuan karena adanya akad. Maka, wajib hukumnya berada di antara kedua kedudukan tersebut dalam hal kehormatan, sehingga ia lebih banyak satu quru’ dari budak perempuan karena akad, dan kurang satu quru’ dari perempuan merdeka karena status budak, sehingga masa iddahnya adalah dua quru’.

فأما الآية فمخصوصة العموم بما ذكرنا.

Adapun ayat tersebut, keumumannya telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.

أما الْحَمْلُ فَإِنَّمَا سَاوَتِ الْأَمَةُ فِيهِ الْحُرَّةَ لِأَنَّهُ لَا يَتَجَزَّأُ

Adapun dalam hal kehamilan, budak perempuan disamakan dengan perempuan merdeka karena kehamilan tidak dapat dibagi-bagi.

وَأَمَّا أَحْكَامُ النِّكَاحِ فَهِيَ فِي أَكْثَرِهَا مُخَالِفَةٌ لِلْحُرَّةِ، وَكَذَلِكَ فِي أَكْثَرِ الْعِدَّةِ.

Adapun hukum-hukum nikah, maka dalam kebanyakan hal berbeda dengan perempuan merdeka, begitu pula dalam kebanyakan masa iddah.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا عِدَّةُ الْأَمَةِ بِالشُّهُورِ فَعِدَّةُ وَفَاةٍ، وَعِدَّةُ طَلَاقٍ.

Adapun masa iddah budak perempuan dengan bulan, maka ada masa iddah karena wafat dan masa iddah karena talak.

فَأَمَّا عِدَّةُ الْوَفَاةِ فَعَلَيْهَا نِصْفُ مَا عَلَى الْحُرَّةِ شَهْرَانِ وَخَمْسُ لَيَالٍ، لِأَنَّ عِدَّةَ الْحُرَّةِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ، وَهَذَا مِمَّا لَمْ يَخْتَلِفْ فِيهِ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ.

Adapun masa iddah karena wafat, maka atasnya setengah dari masa iddah perempuan merdeka, yaitu dua bulan dan lima malam, karena masa iddah perempuan merdeka adalah empat bulan sepuluh hari. Dan hal ini merupakan pendapat yang tidak diperselisihkan oleh asy-Syafi‘i.

وَأَمَّا عِدَّةُ الطَّلَاقِ عِنْدَ عَدَمِ الْأَقْرَاءِ لِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ فَهِيَ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ عَلَى الْحُرَّةِ؛ وَفِيمَا تَعْتَدُّ بِهِ الْأَمَةُ مِنْهَا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Adapun masa iddah talak ketika tidak ada quru’ karena masih kecil atau sudah menopause, maka bagi perempuan merdeka adalah tiga bulan. Adapun masa iddah budak perempuan dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ أَقَيْسُ أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِنِصْفِهَا، شَهْرًا وَنِصْفًا لِيُجْزِئَهَا عَلَى الصِّحَّةِ كَالْعِدَّةِ مِنَ الْمَوْتِ.

Pertama, dan ini yang paling sesuai dengan qiyās, bahwa ia beriddah setengahnya, yaitu satu bulan setengah, agar cukup baginya secara sah sebagaimana masa iddah karena kematian.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَعْتَدُّ شَهْرَيْنِ بَدَلًا مِنْ قُرْأَيْنِ، لِأَنَّ كُلَّ شَهْرٍ فِي مُقَابِلِهِ قُرْءٌ.

Pendapat kedua: ia beriddah dua bulan sebagai pengganti dua quru’, karena setiap bulan menggantikan satu quru’.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَحْوَطُ أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ الزَّمَانِ الَّذِي يُطَهِّرُ فِيهِ اسْتِبْرَاءُ الرَّحِمِ.

Pendapat ketiga, dan ini yang paling hati-hati, bahwa ia beriddah tiga bulan, karena itu adalah waktu paling sedikit yang dapat membersihkan rahim.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” يَكُونُ خَلْقُ أَحَدِكُمْ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا عَلَقَةً، ثُمَّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مُضْغَةً ” وَهُوَ فِي حَالِ الْمُضْغَةِ يَتَخَلَّقُ وَيَتَصَوَّرُ وَتَظْهَرُ أَمَارَاتُهُ مِنَ الْحَرَكَةِ وَمِنْ غِلَطِ الْجَوْفِ، وَذَلِكَ عِنْدَ انْقِضَاءِ الشهر الثالث.

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Penciptaan salah seorang dari kalian dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, kemudian empat puluh hari berupa ‘alaqah, kemudian empat puluh hari berupa mudhghah.” Dalam keadaan mudhghah, janin mulai terbentuk, memiliki rupa, dan tanda-tandanya mulai tampak seperti gerakan dan perubahan dalam perut, dan itu terjadi pada akhir bulan ketiga.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ أُعْتِقَتِ الْأَمَةُ قَبْلَ مُضِيِّ الْعِدَّةِ أَكْمَلَتْ عِدَّةَ حُرَّةٍ لِأَنَّ الْعِتْقَ وَقَعَ وَهِيَ فِي مَعَانِي الْأَزْوَاجِ فِي عَامَّةِ أَمْرِهَا وَيَتَوَارَثَانِ فِي عِدَّتِهَا بِالْحَرِيَّةِ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika budak perempuan dimerdekakan sebelum masa iddahnya habis, maka ia menyempurnakan masa iddah perempuan merdeka, karena kemerdekaan terjadi saat ia masih dalam status istri dalam kebanyakan urusannya, dan keduanya saling mewarisi dalam masa iddahnya dengan status merdeka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي أَمَةٍ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا، وَأَعْتَقَهَا سَيِّدُهَا فَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ مِنْ طَلَاقِ الزَّوْجِ وَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا مِنْ عِتْقِ السَّيِّدِ، وَلَا يَخْلُو حَالُ الْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: “Contohnya adalah pada budak perempuan yang ditalak oleh suaminya, lalu dimerdekakan oleh tuannya, maka ia menjalani masa iddah karena talak suaminya dan tidak ada istibra’ atasnya karena dimerdekakan oleh tuannya. Keadaan merdeka dan talak tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَقَدَّمَ الْعِتْقُ عَلَى الطَّلَاقِ فَعَلَيْهَا عِدَّةُ حُرَّةٍ لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ عَلَيْهَا، وَهِيَ حُرَّةٌ.

Pertama: Jika kemerdekaan terjadi sebelum talak, maka ia menjalani masa iddah perempuan merdeka karena talak terjadi atasnya saat ia sudah merdeka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَقَعَ الطَّلَاقُ وَالْعِتْقُ مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ لَا يَتَقَدَّمُ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ وَذَلِكَ مِنْ أَحَدِ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ.

Bagian kedua: Jika talak dan kemerdekaan terjadi bersamaan dalam satu waktu, tidak ada yang mendahului yang lain, dan itu terjadi dalam tiga bentuk:

إِمَّا بِأَنْ يَقُولَ الزَّوْجُ لَهَا: إِذَا أُعْتِقْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ.

Yaitu jika suami berkata kepadanya: “Jika engkau dimerdekakan, maka engkau tertalak.”

وَإِمَّا بِأَنْ يَقُولَ السَّيِّدُ لَهَا: إِذَا طُلِّقْتِ فَأَنْتِ حُرَّةٌ فَيَلْزَمُهَا فِي اجْتِمَاعِ الْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ أَحَدُ هَذِهِ الْوُجُوهِ أَنْ تَعْتَدَّ عِدَّةَ حُرَّةٍ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَعْتَدَّ بِالْعِدَّةِ إِلَّا وَهِيَ حُرَّةٌ.

Atau dengan cara tuannya berkata kepadanya: “Jika kamu dicerai, maka kamu merdeka.” Maka dalam keadaan berkumpulnya pembebasan dan talak, wajib baginya dalam salah satu dari situasi ini untuk menjalani masa iddah seorang wanita merdeka; karena ia tidak menjalani iddah kecuali dalam keadaan ia sudah merdeka.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَقَدَّمَ الطَّلَاقُ عَلَى الْعِتْقِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga: Yaitu jika talak didahulukan atas pembebasan, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقَعَ الْعِتْقُ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَلَى حُكْمِ الرِّقِّ فَلَا يُؤَثِّرُ فِيهَا مَا حَدَثَ مِنَ الْعِتْقِ؛ لِأَنَّ مَا يَقْتَضِي زَمَانَهُ يَقْتَضِي حُكْمَهُ كَمَا لَوْ حَاضَتِ الصَّغِيرَةُ بَعْدَ شُهُورِهَا وَأَيِسَتِ الْكَبِيرَةُ بَعْدَ أَقْرَائِهَا.

Salah satunya: Jika pembebasan terjadi setelah selesai masa iddah dengan status budak, maka apa yang terjadi berupa pembebasan itu tidak berpengaruh padanya; karena apa yang dituntut pada masanya, maka hukumnya juga mengikuti masanya, sebagaimana jika anak kecil mengalami haid setelah selesai bulannya, dan wanita tua mengalami putus haid setelah selesai masa quru’-nya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تُعْتَقَ فِي تَضَاعِيفِ عِدَّتِهَا وَقَبْلَ انْقِضَائِهَا فَتَبْنِي عِدَّتَهَا بَعْدَ الْعِتْقِ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا قَبْلَ الْعِتْقِ، وَاخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ تَقْضِي عِدَّةَ أَمَةٍ اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ أَوْ عِدَّةَ حُرَّةٍ اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ، فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا فَمَذْهَبُهُ في الجديد كله، وأحد قوليه في القديم أَنَّهَا تَعْتَدُّ عِدَّةَ حُرَّةٍ، وَلَهُ فِي الْجَدِيدِ قَوْلٌ ثَانٍ: أَنَّهَا تَعْتَدُّ عِدَّةَ حُرَّةٍ فَتَرَتَّبَ له في اعتدادها من الطلاقين ثلاث أَقَاوِيلَ:

Dan keadaan kedua: Jika ia dimerdekakan di tengah-tengah masa iddahnya dan sebelum selesai masa iddah, maka ia melanjutkan masa iddahnya setelah merdeka berdasarkan apa yang telah dijalani sebelumnya sebelum merdeka. Pendapat Imam Syafi‘i berbeda, apakah ia menjalani iddah sebagai budak dengan pertimbangan permulaan, atau iddah sebagai wanita merdeka dengan pertimbangan akhir. Jika talaknya adalah talak raj‘i, maka dalam pendapat baru beliau seluruhnya, dan salah satu pendapat lama beliau, ia menjalani iddah sebagai wanita merdeka. Dalam pendapat baru beliau juga ada pendapat kedua: bahwa ia menjalani iddah sebagai wanita merdeka. Maka terkait iddahnya dari dua talak tersebut, terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهَا تَعْتَدُّ فِيهَا عِدَّةَ أَمَةٍ اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ لِأَمْرَيْنِ:

Salah satunya: Bahwa ia menjalani iddah sebagai budak dengan pertimbangan permulaan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ فِي الرِّقِّ لَا يُعْتَبَرُ بِحُدُوثِ الْعِتْقِ كَأُمِّ الْوَلَدِ.

Salah satunya: Bahwa istibra’ (pengecekan rahim) dalam status budak tidak dipertimbangkan dengan terjadinya pembebasan, seperti umm al-walad.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا تَبَعَّضَ كَانَ مُعْتَبَرًا بِحَالِ الْوُجُوبِ كَالْحُدُودِ.

Dan yang kedua: Bahwa sesuatu yang bercampur (statusnya) dipertimbangkan sesuai keadaan wajibnya, seperti dalam masalah hudud.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَالْمُزَنِيُّ أَنَّهَا تَعْتَدُّ فِيهَا عِدَّةَ حُرَّةٍ اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah dan al-Muzani, bahwa ia menjalani iddah sebagai wanita merdeka dengan pertimbangan akhir karena salah satu dari dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا اخْتَلَفَ بِهِ الْعِدَّةُ كَانَ مُعْتَبَرًا بِالِانْتِهَاءِ دُونَ الِابْتِدَاءِ كَالشُّهُورِ وَالْأَقْرَاءِ.

Salah satunya: Bahwa sesuatu yang perbedaannya terdapat pada masa iddah, maka dipertimbangkan akhirnya, bukan permulaannya, seperti bulan-bulan dan masa quru’.

وَالثَّانِي: أَنَّ الِاحْتِيَاطَ لِلْعِدَّةِ أَوْلَى مِنَ الِاحْتِيَاطِ لِلْمُعْتَدَّةِ كَالْمُسْتَرِيبَةِ.

Dan yang kedua: Bahwa kehati-hatian dalam masa iddah lebih utama daripada kehati-hatian untuk wanita yang menjalani iddah, seperti dalam kasus wanita yang diragukan (kehamilannya).

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا تَعْتَدُّ فِي الطَّلَاقِ الْبَائِنِ عِدَّةَ أَمَةٍ وَفِي الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ عِدَّةَ حُرَّةٍ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat ketiga: Bahwa ia menjalani iddah talak bain sebagai budak, dan dalam talak raj‘i sebagai wanita merdeka, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَائِنَ كَالْأَجْنَبِيَّةِ يَقْطَعُ التَّوَارُثَ وَسُقُوطَ النَّفَقَةِ، وَالرَّجْعِيَّةَ كَالزَّوْجَةِ لِاسْتِحْقَاقِ التَّوَارُثِ، وَوُجُوبِ النَّفَقَةِ فَافْتَرَقَا فِي الْعِدَّةِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي حُكْمِ الزَّوْجِيَّةِ.

Salah satunya: Bahwa talak bain seperti orang asing, memutuskan hak waris dan gugurnya nafkah, sedangkan talak raj‘i seperti istri karena berhak mendapat warisan dan wajibnya nafkah. Maka keduanya berbeda dalam masa iddah karena perbedaan keduanya dalam hukum pernikahan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا انْتَقَلَتِ الرَّجْعِيَّةُ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ إِلَى عِدَّةِ الْوَفَاةِ وَلَمْ تَنْتَقِلْ إِلَيْهَا الْبَائِنُ وَجَبَ أَنْ تَنْتَقِلَ مِنْ عِدَّةِ الرِّقِّ إِلَى عِدَّةِ الْحُرَّةِ وَلَا تَنْتَقِلُ إِلَيْهَا الْبَائِنُ.

Dan yang kedua: Bahwa ketika wanita yang ditalak raj‘i berpindah dari masa iddah talak ke masa iddah wafat, dan talak bain tidak berpindah ke sana, maka wajib baginya berpindah dari masa iddah budak ke masa iddah wanita merdeka, dan talak bain tidak berpindah ke sana.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ كَانَتْ تَحْتَ عَبْدٍ فَاخْتَارَتْ فِرَاقَهُ كَانَ ذَلِكَ فَسْخًا بِغَيْرِ طَلَاقٍ وَتُكْمِلُ مِنْهُ الْعِدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang wanita berada di bawah pernikahan seorang budak, lalu ia memilih berpisah darinya, maka itu adalah fasakh (pembatalan nikah) tanpa talak, dan ia menyempurnakan masa iddahnya dari talak yang pertama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي عَبْدٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ، وَهِيَ أَمَةٌ فَتُعْتَقُ بَعْدَ طَلَاقِهِ، وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ فَلَا يَخْلُو طَلَاقُهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ بَائِنًا أَوْ رَجْعِيًّا فَإِنْ كَانَ بَائِنًا، فَقَدْ وَقَعَتْ بِهِ الْفُرْقَةُ الْبَائِنَةُ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى فَسْخِ النِّكَاحِ بِالْعِتْقِ لِارْتِفَاعِهِ بِالطَّلَاقِ، فَإِنْ فَسَخَتْ لَمْ يَكُنْ لِفَسْخِهَا تَأْثِيرٌ وَقَدْ كَانَتْ فِي ابْتِدَاءِ عِدَّتِهَا أَمَةً، وَصَارَتْ فِي انْتِهَائِهَا حُرَّةً، فَهَلْ تُبْنَى عَلَى عِدَّةِ أَمَةٍ أَمْ عَلَى عِدَّةِ حُرَّةٍ؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ، وَإِنْ كَانَ طَلَاقُهَا رَجْعِيًّا فَلَهَا بِالْعِتْقِ خِيَارُ الْفَسْخِ؛ لِأَنَّهَا تَحْتَهُ وَحُكْمُ الزَّوْجِيَّةِ جَارٍ عَلَيْهَا بِالرَّجْعَةِ فَلِذَلِكَ جَازَ لَهَا الْفَسْخُ بِخِلَافِ الْبَائِنِ، وَهِيَ فِيهِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ تَعْجِيلِهِ وَبَيْنَ تَأْخِيرِهِ فَإِنْ أَرَادَتْ تَعْجِيلَهُ كَانَ لَهَا لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Gambarannya adalah sebagai berikut: Seorang budak laki-laki menceraikan istrinya, dan istrinya itu adalah seorang budak perempuan, lalu ia dimerdekakan setelah dicerai, sementara ia masih dalam masa ‘iddah. Maka, talaknya tidak lepas dari dua kemungkinan: talak bain atau talak raj‘i. Jika talaknya bain, maka perpisahan yang bersifat bain telah terjadi dengannya, sehingga tidak perlu lagi pembatalan nikah karena kemerdekaan, sebab pernikahan telah berakhir dengan talak. Jika ia tetap membatalkan (fasakh), maka pembatalannya tidak berpengaruh apa-apa. Ia pada awal masa ‘iddahnya adalah budak, lalu pada akhirnya menjadi merdeka. Maka, apakah ‘iddahnya didasarkan pada ‘iddah budak atau ‘iddah perempuan merdeka? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu. Jika talaknya raj‘i, maka dengan kemerdekaan ia memiliki hak memilih untuk membatalkan (fasakh), karena ia masih berada dalam kekuasaan suaminya dan hukum pernikahan masih berlaku padanya karena masih bisa dirujuk. Oleh karena itu, ia boleh melakukan fasakh, berbeda dengan talak bain. Dalam hal ini, ia memiliki pilihan antara mempercepat atau menunda fasakh. Jika ia ingin mempercepatnya, maka ia memiliki dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا بِالطَّلَاقِ جَارِيَةٌ فِي فَسْخٍ فَلَمْ يُنَافِ الْفَسْخَ.

Pertama: Karena dengan talak, ia masih dalam proses fasakh, sehingga fasakh tidak bertentangan dengannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا تَسْتَفِيدُ بِهِ قُصُورَ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ، فَإِذَا فَسَخَتْ، فَهَلْ يَكُونُ فَسْخُهَا قَاطِعًا لِرَجْعَةِ الزَّوْجِ عَلَيْهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Ia mendapatkan manfaat berupa berkurangnya salah satu dari dua masa ‘iddah. Jika ia melakukan fasakh, apakah fasakh tersebut memutuskan hak rujuk suami kepadanya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَقْطَعُ رَجْعَةَ الزَّوْجِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ أَحْكَامِ طَلَاقِهِ، فَعَلَى هَذَا إن راجع الزوج وقعت الفرقة بالفسخ فدون الطَّلَاقِ فَيَكُونُ ابْتِدَاءُ عِدَّتِهَا مِنْ وَقْتِ الْفَسْخِ وَتَعْتَدُّ عِدَّةَ حُرَّةٍ؛ لِأَنَّهَا بَدَأَتْ بِالْعِدَّةِ وَهِيَ حُرَّةٌ، وَإِنْ لَمْ يُرَاجِعِ الزَّوْجُ فَالْفُرْقَةُ وَقَعَتْ بِالطَّلَاقِ دُونَ الْفَسْخِ فَيَكُونُ أَوَّلُ عِدَّتِهَا مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ، وَقَدْ بَدَأَتْ بِهَا وَهِيَ أَمَةٌ ثُمَّ صَارَتْ فِي تَضَاعِيفِهَا حُرَّةً فَهَلْ تَعْتَدُّ عِدَّةَ أَمَةٍ أَوْ عدة حرة؟ على ما مضى من القولين.

Pertama: Fasakh tidak memutuskan hak rujuk suami, karena itu termasuk hukum talak. Dalam hal ini, jika suami merujuknya, maka perpisahan terjadi karena fasakh, bukan karena talak. Maka awal masa ‘iddahnya dihitung sejak fasakh dan ia menjalani ‘iddah perempuan merdeka, karena ia memulai masa ‘iddah dalam keadaan merdeka. Jika suami tidak merujuknya, maka perpisahan terjadi karena talak, bukan karena fasakh. Maka awal masa ‘iddahnya dihitung sejak talak, dan ia memulai masa ‘iddah dalam keadaan budak, lalu di tengah-tengahnya menjadi merdeka. Maka apakah ia menjalani ‘iddah budak atau ‘iddah perempuan merdeka? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْفَسْخَ قَدْ قَطَعَ رَجْعَةَ الزَّوْجِ عَنْهَا؛ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُؤَثِّرَةٍ فِي الْإِبَاحَةِ فَمَنَعَ مِنْهَا كَمَا يَمْنَعُ مِنْ رَجْعَةِ مَنِ ارْتَدَّتْ، فَعَلَى هَذَا يُغَلَّبُ فِي الْفُرْقَةِ حُكْمُ الطَّلَاقِ أَوْ حُكْمُ الْفَسْخِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Fasakh telah memutuskan hak rujuk suami kepadanya, karena fasakh tidak berpengaruh pada kehalalan (hubungan), sehingga dilarang sebagaimana dilarang rujuk terhadap perempuan yang murtad. Dalam hal ini, dalam perpisahan, apakah yang lebih diutamakan adalah hukum talak atau hukum fasakh? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُغَلَّبُ حُكْمُ الطَّلَاقِ لِتَقَدُّمِهِ، فَعَلَى هَذَا هَلْ تَعْتَدُّ عِدَّةَ أَمَةٍ أَوْ عِدَّةَ حُرَّةٍ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ:

Pertama: Yang diutamakan adalah hukum talak karena lebih dahulu terjadi. Dalam hal ini, apakah ia menjalani ‘iddah budak atau ‘iddah perempuan merdeka? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُغَلَّبُ حُكْمُ الْفَسْخِ لِقُوَّتِهِ فَعَلَى هَذَا تَعْتَدُّ عِدَّةَ حُرَّةٍ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ الْفَسْخَ مَا وَقَعَ إِلَّا بَعْدَ الْحُرِّيَّةِ لَكِنَّهَا تَبْنِي عَلَى مَا مضى من وقت الطلاق ولا تبدئها م وَقْتِ الْفَسْخِ؛ لِأَنَّ الْفَسْخَ قَدْ أَبْطَلَ الرَّجْعَةَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُطَوَّلَ بِهِ الْعِدَّةُ.

Pendapat kedua: Yang diutamakan adalah hukum fasakh karena lebih kuat. Dalam hal ini, ia menjalani ‘iddah perempuan merdeka menurut satu pendapat, karena fasakh tidak terjadi kecuali setelah kemerdekaan. Namun, ia tetap melanjutkan dari waktu talak dan tidak memulainya dari waktu fasakh, karena fasakh telah membatalkan hak rujuk sehingga tidak boleh memperpanjang masa ‘iddah karenanya.

(فَصْلُ)

(Pasal)

وَإِنْ أَخَّرَتِ الْفَسْخَ وَلَمْ تُعَجِّلْهُ كَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنْهُ مَا لَمْ يُرَاجِعْهَا الزَّوْجُ وَلَا يَكُونُ، إِمْسَاكُهَا عَنْهُ اخْتِيَارًا لِلزَّوْجِ وَرِضًا بِالْمُقَامِ مَعَهُ بِخِلَافِ مَنْ لَمْ تُطَلَّقْ؛ لِأَنَّ مَنْ لَمْ تُطَلَّقْ يُؤَثِّرُ رِضَاهَا فِي الِاسْتِبَاحَةِ فَأَثَّرَ سُقُوطُ الْخِيَارِ، وَالْمُطَلَّقَةُ لَا يُؤَثِّرُ رِضَاهَا فِي الِاسْتِبَاحَةِ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِي سُقُوطِ الْخِيَارِ فَعَلَى هَذَا الزَّوْجِ حَالَتَانِ:

Jika ia menunda fasakh dan tidak segera melakukannya, maka ia tetap memiliki hak tersebut selama suami belum merujuknya. Penahanannya dari fasakh bukanlah pilihan untuk tetap bersama suami dan bukan pula kerelaan untuk tinggal bersamanya, berbeda dengan perempuan yang belum ditalak; karena perempuan yang belum ditalak, kerelaannya berpengaruh pada kehalalan (hubungan), sehingga jika hak memilihnya gugur. Sedangkan perempuan yang ditalak, kerelaannya tidak berpengaruh pada kehalalan (hubungan), sehingga tidak berpengaruh pada gugurnya hak memilih. Dalam hal ini, suami memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يُرَاجِعَهَا حَتَّى تَمْضِيَ الْعِدَّةُ فَتَكُونَ الْفُرْقَةُ وَاقِعَةً بِالطَّلَاقِ، وَلَيْسَ لَهَا الْفَسْخُ؛ لِأَنَّ لَا تَأْثِيرَ لَهُ مَعَ زَوَالِ الْعَقْدِ، وَهِيَ تُبْنَى عَلَى عِدَّةِ أَمَةٍ أَوْ عَلَى عِدَّةِ حُرَّةٍ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ.

Pertama: Suami merujuknya hingga masa ‘iddah habis, maka perpisahan terjadi karena talak, dan ia tidak lagi memiliki hak fasakh, karena fasakh tidak berpengaruh setelah akad nikah hilang. Dalam hal ini, apakah ia menjalani ‘iddah budak atau ‘iddah perempuan merdeka? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُرَاجِعَهَا الزَّوْجُ فَتَسْتَحِقَّ الْفَسْخَ حِينَئِذٍ؛ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ قَدْ رَفَعَتْ تَحْرِيمَ الطَّلَاقِ فَصَارَتْ كَزَوْجَةٍ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهَا طَلَاقٌ، فَإِنْ فَسَخَتِ اسْتَأْنَفَتْ عِدَّةَ حُرَّةٍ مِنْ وَقْتِ الْفَسْخِ لَا يَخْتَلِفُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Keadaan kedua: Jika suami merujuk istrinya, maka saat itu ia berhak atas fasakh; karena rujuk telah menghapus keharaman talak, sehingga ia menjadi seperti istri yang belum pernah dijatuhi talak. Jika ia melakukan fasakh, maka ia memulai masa ‘iddah wanita merdeka sejak waktu fasakh, tanpa perbedaan pendapat. Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ أَحْدَثَ لَهَا رَجْعَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا وَلَمْ يُصِبْهَا بَنَتْ عَلَى الْعِدَّةِ الْأُولَى لِأَنَّهَا مُطَلَّقَةٌ لم تمسس (قال المزني) رحمه الله هذا عندي غلط بل عدتها من الطلاق الثاني لأنه لما راجعها بطلت عدتها وصارت في معناها المتقدم بالعقد الأول لا بنكاح مستقبل فهو في معنى من ابتدأ طلاقها مدخولاً بها “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami melakukan rujuk terhadap istrinya, kemudian menalaknya lagi dan belum menggaulinya, maka masa ‘iddahnya tetap berdasarkan ‘iddah yang pertama, karena ia adalah wanita yang ditalak sebelum digauli.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah, “Menurutku ini keliru, bahkan masa ‘iddahnya dihitung dari talak kedua, karena ketika suami merujuknya, maka masa ‘iddah sebelumnya batal dan ia kembali pada statusnya semula melalui akad pertama, bukan dengan akad baru, sehingga statusnya seperti wanita yang ditalak setelah digauli.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي مُطَلِّقٍ رَاجَعَ زَوْجَتَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا بَعْدَ رَجْعَتِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ بَعْدَ الرَّجْعَةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَصَابَ أَوْ لَمْ يُصِبْ، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَصَابَهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ ثُمَّ طَلَّقَ بَعْدَ الْإِصَابَةِ فَعَلَيْهَا أَنْ تَسْتَأْنِفَ الْعِدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الْثَانِي وَقَدِ انْهَدَمَ مَا مَضَى مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ بِالْإِصَابَةِ وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ حَتَّى طَلَّقَهَا لَمْ يَسْقُطْ بِالثَّانِي مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun bentuk kasusnya adalah: Seorang suami menalak istrinya, lalu merujuknya, kemudian menalaknya lagi setelah rujuk. Maka, setelah rujuk, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah menggaulinya atau belum. Jika ia telah menggaulinya setelah rujuk, lalu menalaknya setelah itu, maka ia wajib memulai masa ‘iddah dari talak kedua, dan masa ‘iddah dari talak pertama yang telah berlalu menjadi batal karena adanya hubungan suami istri, dan ini adalah kesepakatan para ulama. Namun, jika ia belum menggaulinya setelah rujuk hingga menalaknya lagi, maka talak kedua tidak membatalkan sisa masa ‘iddah dari talak pertama, dan ini adalah pendapat jumhur fuqaha.

وَقَالَ دَاوُدُ: قَدْ سَقَطَتِ الْعِدَّةُ عَنْهَا وَحَلَّتْ للأزواح؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ الْأَوَّلَ قَدِ ارْتَفَعَ بِالرَّجْعَةِ فَسَقَطَتْ بَقِيَّةُ الْعِدَّةِ ثُمَّ طَلَّقَهَا بَعْدَ رَجْعَةٍ حَلَّتْ مِنْ إِصَابَتِهِ فَصَارَ كَطَلَاقٍ فِي نِكَاحٍ خَلَا مِنْ إِصَابَةٍ فَلَا يَجِبُ فِيهِ عِدَّةٌ، وَهَذَا قَوْلٌ فَاسِدٌ خَرَقَ بِهِ الْإِجْمَاعَ؛ لِأَنَّهُ يُفْضِي إِلَى اخْتِلَاطِ الْمِيَاهِ وَفَسَادِ الْأَنْسَابِ وَأَنْ يَنْكِحَ الْمَرْأَةَ فِي يَوْمٍ عِشْرُونَ زَوْجًا يَدْخُلُ بِهَا كل واحد منهم ولم تَعْتَدُّ لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ؛ لِأَنَّهُ يَتَزَوَّجُهَا وَيَدْخُلُ بِهَا ثُمَّ يُطَلِّقُهَا ثُمَّ يَرْتَجِعُهَا ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَسْقُطُ الْعِدَّةُ وَتَنْكِحُ آخَرَ فَتَفْعَلُ مِثْلَ هَذَا إِلَى عِشْرِينَ زَوْجًا، وَمَا أَفْضَى إِلَى هَذَا فَالشَّرْعُ مَانِعٌ مِنْهُ؛ وَلِذَلِكَ مَنَعَ الشَّرْعُ أَنْ تَنْكِحَ الْمَرْأَةُ زَوْجَيْنِ لِمَا فِيهِ مِنِ اخْتِلَاطِ الْمِيَاهِ وَفَسَادِ الْأَنْسَابِ، وَقَوْلُ دَاوُدَ: يُؤَدِّي إِلَى أَنْ تَجْمَعَ بَيْنَ مَنْ شَاءَتْ مِنَ الْأَزْوَاجِ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ.

Dawud berkata: Masa ‘iddah telah gugur darinya dan ia halal bagi para suami; karena talak pertama telah terangkat dengan rujuk, sehingga sisa masa ‘iddah pun gugur. Kemudian jika suami menalaknya lagi setelah rujuk, ia menjadi halal dari hubungan suami istri, sehingga statusnya seperti talak dalam pernikahan yang belum terjadi hubungan suami istri, maka tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat yang rusak dan menyelisihi ijmā‘; karena hal itu akan menyebabkan tercampurnya nasab dan rusaknya keturunan, serta memungkinkan seorang wanita menikah dengan dua puluh suami dalam satu hari, masing-masing dari mereka menggaulinya tanpa ia menjalani ‘iddah untuk salah satu dari mereka; karena ia menikah, digauli, lalu ditalak, kemudian dirujuk, lalu ditalak lagi, sehingga masa ‘iddah gugur dan ia menikah dengan laki-laki lain, lalu melakukan hal yang sama hingga dua puluh suami. Apa yang mengarah pada hal ini, maka syariat melarangnya; oleh karena itu, syariat melarang seorang wanita menikahi dua suami sekaligus karena akan menyebabkan tercampurnya nasab dan rusaknya keturunan. Pendapat Dawud ini akan menyebabkan seorang wanita bisa mengumpulkan suami sebanyak yang ia mau dalam satu hari.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعِدَّةَ لَا تَسْقُطُ عَنْهَا فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ أَنَّ مَا بَيْنَ الرَّجْعَةِ وَالطَّلَاقِ الثَّانِي غَيْرُ مُحْتَسَبٍ بِهِ مِنَ الْعِلَّةِ، لِأَنَّهُ زَمَانٌ قَدْ كَانَتْ فِرَاشًا فِيهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَعْتَدَّ بِهِ، لأن الفراش إِبَاحَةٌ وَالْعِدَّةَ تَحْرِيمٌ فَصَارَا ضِدَّيْنِ فَامْتَنَعَ أَنْ يَجْتَمِعَا، فَأَمَّا مَا مَضَى مِنَ الْعِدَّةِ بَعْدَ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ وَقَبْلَ الرَّجْعَةِ، فَهَلْ تَعْتَدُّ بِهِ وَتَبْنِي عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika telah tetap bahwa masa ‘iddah tidak gugur darinya, maka tidak ada perbedaan dalam mazhab bahwa masa antara rujuk dan talak kedua tidak dihitung dalam masa ‘iddah, karena pada waktu itu ia kembali menjadi istri yang halal digauli, sehingga tidak boleh dihitung sebagai masa ‘iddah; sebab hubungan suami istri adalah kebolehan, sedangkan ‘iddah adalah larangan, keduanya adalah dua hal yang bertentangan sehingga tidak mungkin digabungkan. Adapun masa ‘iddah yang telah berlalu setelah talak pertama dan sebelum rujuk, apakah dihitung dan dilanjutkan atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِهِ وَتَبْنِي عِدَّةَ الطَّلَاقِ الثَّانِي عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ وَيَكُونُ الطَّلَاقُ الثَّانِي قَدْ تَقَدَّمَ الرَّجْعَةَ إِذَا لَمْ يَتَعَقَّبْهَا دُخُولٌ.

Pendapat pertama, dan ini adalah pendapat Malik, bahwa masa tersebut dihitung dan masa ‘iddah talak kedua dibangun di atas masa ‘iddah talak pertama, dan talak kedua dianggap mendahului rujuk jika tidak ada hubungan suami istri setelah rujuk.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّهَا لَا تَعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَ الرَّجْعَةِ وَتَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّانِي، وَتَكُونُ الرَّجْعَةُ قَدْ هَدَمَتْ عِدَّةَ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ كَمَا لَوْ تَعَقَّبَهَا دُخُولٌ، فَإِذَا قِيلَ بِالْأَوَّلِ أَنَّهَا تُبْنَى عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ، لَا تَسْتَأْنِفُ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ فَدَلِيلُهُ ثلاثة أشياء:

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah serta dipilih oleh Al-Muzani, bahwa masa sebelum rujuk tidak dihitung dan ia memulai masa ‘iddah dari talak kedua, dan rujuk telah membatalkan masa ‘iddah dari talak pertama sebagaimana jika setelah rujuk terjadi hubungan suami istri. Jika dipilih pendapat pertama, yaitu bahwa masa ‘iddah dibangun di atas masa ‘iddah talak pertama, maka ia tidak memulai masa ‘iddah baru, dan ini adalah mazhab Malik. Dalilnya ada tiga hal:

أحدها: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا} [البقرة: 231] فَلَوْ أَوْجَبَتِ اسْتِئْنَافَ الْعِدَّةِ لَصَارَ مُمْسِكًا لَهَا إِضْرَارًا بِهَا، وَذَلِكَ مَنْهِيٌّ عَنْهُ.

Pertama: Firman Allah Ta‘ala, “Dan janganlah kamu pertahankan mereka (para istri) untuk memberi mudarat, supaya kamu dapat berbuat aniaya.” (QS. Al-Baqarah: 231). Maka, jika diwajibkan memulai kembali masa ‘iddah, berarti ia menahan istrinya dengan maksud menyakiti, dan hal itu dilarang.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَقْصُودَ الرَّجْعَةِ هُوَ الْإِصَابَةُ وَهِيَ أَضْعَفُ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ وَلَيْسَتْ بِأَقْوَى مِنْهُ فَلَمَّا كَانَ الطَّلَاقُ يَرْفَعُ عَقْدَ النِّكَاحِ إِذَا خَلَا مِنْ إِصَابَةٍ فَأَوْلَى أَنْ يَرْفَعَ الرَّجْعَةَ إِذَا خَلَتْ مِنْ إِصَابَةٍ فَإِذَا رَفَعَهَا صَارَ كَطَلَاقٍ بَعْدَ طَلَاقٍ لَمْ يَتَخَلَّلْهَا رَجْعَةٌ وَذَلِكَ يُوجِبُ لِبِنَاءِ الْعِدَّةِ دُونَ الِاسْتِئْنَافِ.

Kedua: Tujuan dari rujuk adalah untuk kembali berhubungan (suami istri), dan hal ini lebih lemah daripada akad nikah, serta tidak lebih kuat darinya. Maka, ketika talak dapat membatalkan akad nikah jika tidak terjadi hubungan (suami istri), maka lebih utama lagi jika rujuk dapat dibatalkan jika tidak terjadi hubungan. Jika rujuk itu batal, maka keadaannya seperti talak setelah talak yang tidak diselingi rujuk, dan hal itu mewajibkan melanjutkan masa ‘iddah, bukan memulai yang baru.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ اسْتِئْنَافَ العدة من الطلاق الثاني مفضي إِلَى سُقُوطِ الْعِدَّةِ بِالطَّلَاقِ الثَّانِي لِأَنَّهُ طَلَاقٌ خَلَا مِنْ إِصَابَةٍ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ هَذَا، حُمِلَ الطَّلَاقُ الثَّانِي عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ.

Ketiga: Memulai masa ‘iddah dari talak kedua akan menyebabkan gugurnya masa ‘iddah karena talak kedua, karena talak itu terjadi tanpa adanya hubungan (suami istri). Maka, ketika hal itu tidak diperbolehkan, talak kedua dihitung berdasarkan masa ‘iddah dari talak pertama.

وَإِذَا قِيلَ بِالثَّانِي إِنَّهَا تَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّانِي وَلَا تَبْنِي عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَاخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ فَدَلِيلُهُ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:

Dan jika dikatakan dengan pendapat kedua, yaitu bahwa ia harus memulai masa ‘iddah dari talak kedua dan tidak melanjutkan dari masa ‘iddah talak pertama—dan ini adalah mazhab Abu Hanifah dan pilihan al-Muzani—maka dalilnya ada tiga hal:

أَحَدُهَا: قَوْلُ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] وَهَذِهِ مُطَلَّقَةٌ.

Pertama: Firman Allah Ta‘ala, “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa suci atau haid).” (QS. Al-Baqarah: 228), dan wanita ini adalah wanita yang ditalak.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّجْعَةَ قَدْ رَفَعَتْ تَحْرِيمَ الطَّلَاقِ فَارْتَفَعَ بِهَا حُكْمُ الطَّلَاقِ فَصَارَ الطَّلَاقُ الثَّانِي هُوَ الْمُخْتَصُّ بِالتَّحْرِيمِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُخْتَصًّا بِوُجُوبِ الْعِدَّةِ بَعْدَ التَّحْرِيمِ.

Kedua: Bahwa rujuk telah mengangkat keharaman talak, sehingga dengan rujuk itu hukum talak pun terangkat. Maka, talak kedua menjadi talak yang khusus menyebabkan keharaman, sehingga wajib pula khusus baginya kewajiban masa ‘iddah setelah keharaman itu.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا قَدْ تَسْرِي فِي الْعِدَّةِ بِطَلَاقِهِ كَمَا تَسْرِي فِيهَا بِرِدَّتِهِ وَالْعِدَّةُ تَرْتَفِعُ بِرَجْعَتِهِ كَمَا تَرْتَفِعُ بِإِسْلَامِهِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ طَلَّقَهَا بَعْدَ إِسْلَامِهِ اسْتَأْنَفَ الْعِدَّةَ وَلَمْ يَبْنِ كَذَلِكَ إِذَا طَلَّقَهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ اسْتَأْنَفَ الْعَدَّةَ وَلَمْ تَبْنِ.

Ketiga: Bahwa ia dapat menjalani masa ‘iddah karena talaknya, sebagaimana ia menjalani masa ‘iddah karena murtadnya suami. Dan masa ‘iddah itu terangkat dengan rujuknya, sebagaimana terangkat dengan keislamannya. Kemudian telah tetap bahwa jika suaminya menalaknya setelah masuk Islam, ia harus memulai masa ‘iddah dan tidak melanjutkan dari sebelumnya. Demikian pula, jika ia menalaknya setelah rujuk, ia harus memulai masa ‘iddah dan tidak melanjutkan dari sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَوْجِيهِ القولين بعد ما قَدَّمْنَا مِنْ إِبْطَالِ قَوْلِ دَاوُدَ فِي إِسْقَاطِهِ الْعِدَّةِ بِالطَّلَاقِ بَعْدَ الرَّجْعَةِ، فَإِنْ قُلْنَا بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ إِنَّهَا تَبْنِي عَلَى مَا مَضَى مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ نُظِرَ فِيمَا مَضَى مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ قَبْلَ الرَّجْعَةِ، فَإِنْ كَانَ قُرْءًا وَاحِدًا اعْتَدَّتْ بَعْدَ الطَّلَاقِ الثَّانِي بِقُرْأَيْنِ فَلَوْ كَانَ قَدْ مَضَى لَهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ، وقبل الطلاق الثاني قرءان لَمْ تَعْتَدَّ بِهِمَا لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بَعْدَ الرَّجْعَةِ فِرَاشًا وَزَمَانُ الِافْتِرَاشِ غَيْرُ مُحْتَسَبٍ فِي الْعِدَّةِ وَإِنْ كَانَ الْمَاضِي في العدة قبل الرجعة قرءان اعْتَدَّتْ بَعْدَ الطَّلَاقِ الثَّانِي بِقُرْءٍ وَاحِدٍ وَحَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ، فَإِنْ كَانَ الْمَاضِي لَهَا قَبْلَ الرَّجْعَةِ قرء واحد وَبَعْضَ الثَّانِي لَمْ تَحْتَسِبْ بِبَعْضِ الثَّانِي؛ لِأَنَّ الْقُرْءَ لَا يَتَبَعَّضُ وَاحْتُسِبَ قُرْءٌ وَاحِدٌ، وَإِنْ قُلْنَا بِالْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّهَا تَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ كَامِلَةٍ عَلَى الْأَحْوَالِ كُلِّهَا حَتَّى لَوْ رَاجَعَهَا فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنِ اسْتِكْمَالِ الْعِدَّةِ هَدَمَتِ الرَّجْعَةُ جَمِيعَ مَا مَضَى وَلَزِمَهَا اسْتِئْنَافُ عدة كاملة.

Setelah jelas apa yang telah kami sebutkan tentang argumentasi kedua pendapat, setelah sebelumnya kami membatalkan pendapat Dawud yang menggugurkan masa ‘iddah karena talak setelah rujuk, maka jika kita mengambil pendapat pertama, yaitu bahwa ia melanjutkan masa ‘iddah dari talak pertama, maka yang diperhitungkan adalah masa ‘iddah yang telah dijalani sebelum rujuk. Jika yang telah dijalani adalah satu quru’, maka setelah talak kedua ia harus menjalani dua quru’ lagi. Jika setelah rujuk dan sebelum talak kedua ia telah menjalani dua quru’, maka keduanya tidak dihitung, karena sebagaimana telah dijelaskan, setelah rujuk ia telah menjadi istri kembali dan masa setelah kembali menjadi istri tidak diperhitungkan dalam masa ‘iddah. Jika yang telah dijalani dalam masa ‘iddah sebelum rujuk adalah dua quru’, maka setelah talak kedua ia hanya menjalani satu quru’ lagi dan setelah itu halal bagi para suami. Jika yang telah dijalani sebelum rujuk adalah satu quru’ dan sebagian dari quru’ kedua, maka bagian dari quru’ kedua itu tidak dihitung, karena quru’ tidak dapat dibagi-bagi, sehingga yang dihitung hanya satu quru’. Dan jika kita mengambil pendapat kedua, yaitu bahwa ia harus memulai masa ‘iddah dengan tiga quru’ penuh dalam semua keadaan, maka meskipun suaminya merujuknya pada detik terakhir dari penyempurnaan masa ‘iddah, rujuk itu membatalkan seluruh masa yang telah berlalu dan ia wajib memulai masa ‘iddah yang baru secara penuh.

(فصل)

(Fasal)

ثم يتفرع ما ذكرنا فرعين:

Kemudian dari apa yang telah kami sebutkan, terdapat dua cabang permasalahan:

أَحَدُهُمَا: فِيمَنْ خَالَعَ زَوْجَتَهُ بَعْدَ الدُّخُولِ بِهَا وَجَرَتْ فِي عِدَّتِهَا ثُمَّ اسْتَأْنَفَ نِكَاحَهَا فِي الْعِدَّةِ جَازَ.

Pertama: Jika seorang suami melakukan khulu‘ terhadap istrinya setelah berhubungan dengannya, lalu istrinya menjalani masa ‘iddah, kemudian ia menikahinya kembali dalam masa ‘iddah, maka hal itu diperbolehkan.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْكِحَهَا فِي عِدَّتِهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ كَمَا لَا يَجُوزُ ذَلِكَ لِغَيْرِهِ وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الْعِدَّةَ منه حفظاً لِمَائِهِ فَلَمْ يَمْنَعِ اسْتِئْنَافَ عَقْدِهِ كَمَا لَوِ اعْتَدَّتْ مِنْهُ عَنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ جَازَ أَنْ يَنْكِحَهَا فِي عِدَّتِهَا وَلَمْ يَجُزْ لِغَيْرِهِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا لِئَلَّا يَخْتَلِطَ مَاؤُهُمَا؛ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ ” فإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ نِكَاحِهِ لَهَا فِي الْعِدَّةِ فَطَلَّقَهَا بَعْدَ النِّكَاحِ مِنْ غَيْرِ إِصَابَةٍ بَنَتْ عَلَى مَا مَضَى مِنْ عِدَّةِ الْخُلْعِ وَلَمْ تَسْتَأْنِفِ الْعَدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّانِي قَوْلًا وَاحِدًا.

Al-Muzani berkata: Tidak boleh menikahinya dalam masa ‘iddahnya sampai masa itu selesai, sebagaimana hal itu juga tidak boleh bagi selainnya. Pendapat ini tidak benar; karena ‘iddah itu bertujuan menjaga air maninya, sehingga tidak menghalangi dimulainya akad nikah kembali, sebagaimana jika ia menjalani ‘iddah dari hubungan syubhat dengannya, maka boleh baginya menikahinya dalam masa ‘iddahnya, dan tidak boleh bagi selainnya menikahinya agar air mani keduanya tidak bercampur. Dan karena Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah engkau menyirami tanaman orang lain dengan air manimu.” Maka jika telah tetap bolehnya menikahi wanita itu dalam masa ‘iddah, lalu ia menceraikannya setelah menikah tanpa melakukan hubungan, maka wanita itu melanjutkan sisa masa ‘iddah khulu‘ yang telah dijalani, dan tidak memulai ‘iddah baru dari talak kedua, menurut satu pendapat.

وَبِهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ.

Dan pendapat ini juga dikatakan oleh Muhammad bin al-Hasan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَأَبُو يُوسُفَ: تَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّانِي وَلَا تَبْنِي عَلَى مَا مَضَى مِنْ عِدَّةِ الْخُلْعِ كَمَا لَا تَبْنِي عَلَى مَا مَضَى مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْمُخْتَلِعَةَ اسْتَأْنَفَ نِكَاحَهَا بِعَقْدٍ ثَانٍ خَلَا مِنْ دُخُولٍ فَلَمْ يَجِبْ بِالطَّلَاقِ فِيهِ عِدَّةٌ وَلَزِمَهَا أَنْ تَأْتِيَ بِالْبَاقِي مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ وَلَيْسَتِ الْمُطَلَّقَةُ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ رَاجَعَهَا فَصَارَتْ مَعَهُ بَعْدَ الرَّجْعَةِ بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ وَقَدِ اسْتَقَرَّ فِي حُكْمِ الدُّخُولِ فَجَرَى عَلَى مَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ حُكْمُ الدُّخُولِ فَجَازَ أَنْ تَسْتَأْنِفَ الْعِدَّةَ بَعْدَ الطَّلَاقِ الثَّانِي، وَهَذَا فَرْقٌ، وَدَلِيلٌ، وَلَكِنْ نُحَرِّرُهُ قِيَاسًا، فَنَقُولُ: كُلُّ عَقْدٍ لَمْ يُوجِبِ الْعِدَّةَ بِانْفِرَادِهِ لَمْ يُوجِبْهَا بِانْضِمَامِهِ إِلَى غَيْرِهِ كَالْعَقْدِ الْفَاسِدِ.

Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata: Ia harus memulai ‘iddah baru dari talak kedua dan tidak melanjutkan dari sisa ‘iddah khulu‘, sebagaimana tidak melanjutkan dari sisa ‘iddah talak raj‘i. Pendapat ini tidak benar, karena wanita yang dikhulu‘ telah memulai akad nikah kedua tanpa terjadi hubungan, sehingga talak dalam keadaan ini tidak mewajibkan ‘iddah, dan ia wajib menyelesaikan sisa ‘iddah dari talak pertama. Adapun wanita yang ditalak tidak demikian; karena ia dirujuk sehingga kembali bersama suaminya dengan akad pertama, dan telah tetap dalam hukum telah terjadi hubungan, sehingga setelah rujuk berlaku hukum telah terjadi hubungan, maka boleh memulai ‘iddah baru setelah talak kedua. Ini adalah perbedaan dan dalil, namun kami akan memperjelasnya dengan qiyās, yaitu: Setiap akad yang tidak mewajibkan ‘iddah dengan sendirinya, maka tidak mewajibkannya pula jika digabungkan dengan akad lain, seperti akad yang fasid.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْفَرْعُ الثَّانِي فَهُوَ أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ الدُّخُولِ ثُمَّ يُرَاجِعَهَا ثُمَّ يُخَالِعَهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ مِنْ غَيْرِ إِصَابَةٍ.

Adapun cabang kedua adalah jika suami menceraikannya setelah terjadi hubungan, kemudian merujuknya, lalu melakukan khulu‘ setelah rujuk tanpa melakukan hubungan lagi.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْخُلْعَ طَلَاقٌ صَارَ كَمَا لَوْ طَلَّقَ ثُمَّ رَاجَعَ ثُمَّ طَلَّقَ فَهَلْ تَبْنِي على العدة أن تَسْتَأْنِفُهَا عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ.

Jika dikatakan: Sesungguhnya khulu‘ itu adalah talak, maka keadaannya seperti jika suami menceraikan, lalu merujuk, lalu menceraikan lagi. Maka apakah ia melanjutkan masa ‘iddah atau memulai ‘iddah baru? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْخُلْعَ فَسْخٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan jika dikatakan: Sesungguhnya khulu‘ itu adalah fasakh, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua wajah:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَالطَّلَاقِ أَيْضًا فَتَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Pertama: Bahwa khulu‘ itu juga seperti talak, sehingga terdapat dua pendapat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْفَسْخَ جِنْسٌ يُخَالِفُ جِنْسَ الطَّلَاقِ فَاقْتَضَى اخْتِلَافُهُمَا فِي الْجِنْسِ أَنْ لَا يَبْنِيَ عِدَّةَ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، وَتَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ بَعْدَ الْخُلْعِ وَلَا تَبْنِيهَا عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأُولَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Wajah kedua: Bahwa fasakh adalah jenis yang berbeda dengan jenis talak, sehingga perbedaan jenis antara keduanya mengharuskan agar masa ‘iddah salah satunya tidak dibangun di atas masa ‘iddah yang lain, dan ia harus memulai ‘iddah baru setelah khulu‘ dan tidak melanjutkannya dari ‘iddah talak pertama. Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ كَانَ طَلَاقًا لَا يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ ثَمَّ عُتِقَتْ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ تَبْنِيَ عَلَى الْعِدَّةِ الْأُولَى وَلَا خِيَارَ لَهَا وَلَا تَسْتَأْنِفُ عِدَةً لِأَنَّهَا لَيْسَتْ فِي مَعَانِي الْأَزْوَاجِ والثاني: أن تكمل عدة حرة (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ ومما يدلك على ذلك قوله في المرأة تعتد بالشهور ثم تحيض إنها تستقبل الحيض ولا يجوز أن تكون في بعض عدتها حرة وهي تعتد عدة أمة وكذلك قال لا يجوز أن يكون في بعض صلاته مقيما ويصلي صلاة مسافر وقال هذا أشبه القولين بالقياس (قال المزني) رحمه الله وما احتج به من هذا يقضي على أن لا يجوز لمن دخل في صوم ظهار ثم وجد رقبة أن يصوم وهو ممن يجد رقبة ويكفر بالصيام ولا لمن دخل في الصلاة بالتيمم أن يكون ممن يجد الماء ويصلي بالتيمم كما قال لا يجوز أن تكون في عدتها ممن تحيض وتعتد بالشهور في نحو ذلك من أقاويله وقد سوى الشافعي رحمه الله في ذلك بين ما يدخل فيه المرء وما بين ما لم يدخل فيه فجعل المستقبل فيه كالمستدبر “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika talak itu talak yang tidak dapat dirujuk, kemudian wanita itu dimerdekakan, maka ada dua pendapat: salah satunya, ia melanjutkan masa ‘iddah pertama dan tidak ada hak memilih baginya, serta tidak memulai masa ‘iddah baru, karena ia tidak termasuk dalam makna para istri; pendapat kedua, ia menyempurnakan masa ‘iddah sebagai wanita merdeka.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Pendapat ini lebih utama menurut pendapatnya. Dan di antara yang menunjukkan hal itu adalah ucapannya tentang wanita yang menjalani ‘iddah dengan bulan-bulan, kemudian ia haid, maka ia memulai masa haid, dan tidak boleh dalam sebagian masa ‘iddahnya ia berstatus merdeka sementara ia menjalani ‘iddah sebagai budak. Demikian pula ia berkata: Tidak boleh dalam sebagian shalatnya ia berstatus mukim dan shalat sebagai musafir. Ia berkata: Pendapat ini lebih sesuai dengan qiyās. (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Apa yang dijadikan dalil dari hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh bagi orang yang telah memulai puasa kafarat zhihar lalu menemukan budak, ia tetap berpuasa padahal ia mampu membebaskan budak dan menunaikan kafarat dengan puasa; dan tidak boleh pula bagi orang yang memulai shalat dengan tayammum, lalu menemukan air, ia tetap shalat dengan tayammum, sebagaimana ia berkata: Tidak boleh dalam masa ‘iddahnya ia termasuk wanita yang haid lalu menjalani ‘iddah dengan bulan-bulan, dan semisalnya dari perkataannya. Asy-Syafi‘i rahimahullah telah menyamakan dalam hal ini antara apa yang telah dimasuki seseorang dan apa yang belum dimasuki, sehingga ia menjadikan masa yang akan datang seperti masa yang telah berlalu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ قَدْ مَضَتْ وَذَكَرْنَا حُكْمَ عِتْقِهَا فِي الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ وَالْبَائِنِ بِمَا أغنى عن إعادته.

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah berlalu, dan kami telah menyebutkan hukum memerdekakannya dalam talak raj‘i dan bain, sehingga tidak perlu diulangi lagi.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَالطَّلَاقُ إِلَى الرَّجَالِ وَالْعِدَّةُ بِالنِّسَاءِ وَهُوَ أَشْبَهُ بِمَعْنَى الْقُرْآنِ مَعَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْأَثَرِ وَمَا عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ فِيمَا سِوَى هَذَا مِنْ أَنَّ الْأَحْكَامَ تُقَامُ عَلَيْهِمَا أَلَا تَرَى أَنَّ الْحُرَّ الْمُحْصَنَ يَزْنِي بِالْأَمَةِ فَيُرْجَمَ وَتُجْلَدَ الْأَمَةُ خَمْسِينَ وَالزِّنَا مَعْنًى وَاحِدٌ فَاخْتَلَفَ حُكْمُهُ لِاخْتِلَافِ حَالِ فَاعِلِيهِ فَكَذَلِكَ يُحْكَمُ لِلْحُرِّ حُكْمَ نَفْسِهِ فِي الطَّلَاقِ ثَلَاثًا وَإِنْ كَانَتِ امْرَأَتُهُ أَمَةً على الْأَمَةِ عِدَّةُ أَمَةٍ وَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا حُرًّا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Talak berada di tangan laki-laki dan masa ‘iddah adalah urusan perempuan. Ini lebih sesuai dengan makna al-Qur’an, sebagaimana telah kami sebutkan dari atsar dan apa yang menjadi praktik kaum Muslimin selain dari hal ini, yaitu bahwa hukum-hukum ditegakkan atas keduanya. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang laki-laki merdeka yang sudah menikah berzina dengan seorang budak perempuan, maka ia dirajam sedangkan budak perempuan itu dicambuk lima puluh kali, padahal zina itu satu makna, namun hukumannya berbeda karena perbedaan keadaan pelakunya. Maka demikian pula, seorang laki-laki merdeka diberlakukan hukum dirinya sendiri dalam talak tiga, meskipun istrinya adalah seorang budak; sedangkan untuk budak perempuan, masa ‘iddahnya adalah masa ‘iddah budak, meskipun suaminya seorang merdeka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ قَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِمَا:

Al-Mawardi berkata: Terdapat dua bagian yang telah dibahas sebelumnya:

أَحَدُهُمَا: فِي الْعِدَّةِ أَنَّهَا تُعْتَبَرُ فيه حَالُ الزَّوْجَةِ فِي الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَالثَّانِي: فِي الطَّلَاقِ هَلْ يُعْتَبَرُ فِيهِ حال الزَّوْجِ فِي حُرِّيَّتِهِ وَرِقِّهِ أَوْ حَالُ الزَّوْجَةِ فاعتبره أبو حنيفة بحال الزوجة، واعتبر الشَّافِعِيُّ بِحَالِ الزَّوْجِ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي حَالِ الْفَصْلَيْنِ بِمَا أَغْنَى عَنِ الْإِعَادَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Pertama: Dalam hal ‘iddah, yang menjadi pertimbangan adalah keadaan istri, apakah ia merdeka atau budak, dan hal ini telah menjadi kesepakatan. Kedua: Dalam hal talak, apakah yang menjadi pertimbangan adalah keadaan suami, apakah ia merdeka atau budak, atau keadaan istri. Abu Hanifah mempertimbangkan keadaan istri, sedangkan Syafi‘i mempertimbangkan keadaan suami. Pembahasan mengenai kedua bagian ini telah dijelaskan sehingga tidak perlu diulang. Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.

باب عدة الوفاة

(Bab Masa ‘Iddah karena Kematian Suami)

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ} الْآيَةَ فَدَلَّتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهَا عَلَى الْحُرَّةِ غَيْرِ ذَاتِ الْحَمْلِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِسُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةِ وَقَدْ وَضَعَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِنِصْفِ شَهْرٍ ” قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِي مَنْ شِئْتِ ” قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَوْ وَضَعَتْ وَزَوْجُهَا عَلَى سَرِيرِهِ لَمْ يُدْفَنْ لَحَلَّتْ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا وَضَعَتْ حَلَّتْ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Allah Ta‘ala berfirman, “Dan orang-orang di antara kamu yang meninggal dunia dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu (ber‘iddah) dengan dirinya sendiri…” (QS. al-Baqarah: 234). Sunnah Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa masa ‘iddah tersebut berlaku bagi perempuan merdeka yang tidak hamil, berdasarkan sabda beliau ﷺ kepada Subai‘ah al-Aslamiyyah yang telah melahirkan setengah bulan setelah wafat suaminya: “Engkau telah halal (boleh menikah), maka menikahlah dengan siapa yang engkau kehendaki.” Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya ia melahirkan sementara suaminya masih di atas ranjangnya dan belum dikuburkan, maka ia telah halal (boleh menikah).” Ibnu Umar berkata, “Jika ia telah melahirkan, maka ia telah halal (boleh menikah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْأَصْلُ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ أَنَّهَا كَانَتْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَفِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ بِحَوْلٍ كامل قال الله: {والذي يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ ” [البقرة: 240] فَكَانَتِ الْعِدَّةُ سَنَةً وَلَهَا فِي الْعِدَّةِ النَّفَقَةُ فَنُسِخَتِ النَّفَقَةُ بِالْمِيرَاثِ، وَنُسِخَتِ السَّنَةُ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ وَقَالَ اللَّهُ: {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا} [البقرة: 234] فَصَارَ الْحَوْلُ بِهَا مَنْسُوخًا فَإِنْ قِيلَ: فَنَسْخُ الشُّهُورِ بِالْحَوْلِ أَوْلَى مِنْ نَسْخِ الْحَوْلِ بِالشُّهُورِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Hukum asal masa ‘iddah karena kematian suami adalah, pada masa jahiliah dan awal Islam, berlangsung selama satu tahun penuh. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu serta meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka membuat wasiat untuk istri-istri mereka, yaitu diberi nafkah sampai setahun tanpa dikeluarkan (dari rumahnya)” (QS. al-Baqarah: 240). Maka masa ‘iddah saat itu adalah satu tahun dan selama masa ‘iddah itu istri berhak mendapat nafkah. Kemudian, kewajiban nafkah dihapuskan dengan adanya warisan, dan masa satu tahun dihapuskan dengan ketentuan empat bulan sepuluh hari. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu (ber‘iddah) selama empat bulan sepuluh hari” (QS. al-Baqarah: 234). Maka ketentuan satu tahun pun menjadi mansukh (dihapuskan) dengan ayat ini. Jika ada yang berkata: “Penghapusan bulan-bulan dengan satu tahun lebih utama daripada penghapusan satu tahun dengan bulan-bulan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ آيَةَ الْحَوْلِ مُتَأَخِّرَةٌ فِي التِّلَاوَةِ عَنْ آيَةِ الشُّهُورِ وَالْمُتَأَخِّرُ هُوَ النَّاسِخُ لِمَا تَقَدَّمَهُ.

Pertama: Ayat tentang satu tahun (al-hawl) secara urutan bacaan datang setelah ayat tentang bulan-bulan, dan yang datang belakangan adalah yang menghapus ketentuan sebelumnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَوْلَ أَعَمُّ مِنَ الشُّهُورِ وَأَزْيَدُ، وَالْأَخْذُ بِالزِّيَادَةِ أَوْلَى مِنَ الْأَخْذِ بِالنُّقْصَانِ قِيلَ: هَذَا لَا يَصِحُّ مَعَ انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ عَلَى خِلَافِهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Satu tahun (al-hawl) lebih umum dan lebih banyak dari bulan-bulan, dan mengambil yang lebih banyak lebih utama daripada mengambil yang lebih sedikit.” Maka dijawab: Hal ini tidak sah dengan adanya ijmā‘ yang telah bulat atas kebalikannya, dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ آيَةَ الشُّهُورِ مُتَأَخِّرَةٌ فِي التَّنْزِيلِ عَنْ آيَةِ الْحَوْلِ، وَإِنْ كَانَتْ مُتَقَدِّمَةً عَلَيْهَا فِي التِّلَاوَةِ وَالنَّسْخِ وَإِنَّمَا يَكُونُ بِالْمُتَأَخِّرَةِ فِي التَّنْزِيلِ لَا بِالْمُتَأَخِّرَةِ فِي التِّلَاوَةِ وَقَدْ تَقَدَّمَ تِلَاوَةً مَا تَأَخَّرَ تَنْزِيلُهُ وَتَتأَخَّرَ تِلَاوَةً مَا تَقَدَّمَ تَنْزِيلُهُ مِثْلُ قَوْلِهِ: {سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاهُمْ عَنْ قبلتهم التي كانوا عليها} [البقرة: 142] نزل بَعْدَ قَوْلِهِ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ} [البقرة: 144] وَهُوَ مُتَقَدِّمٌ عَلَيْهِ فِي التِّلَاوَةِ وَكَقَوْلِهِ {لا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ} [الأحزاب: 52] مُتَقَدِّمٌ فِي التَّنْزِيلِ عَلَى قَوْلِهِ {إن أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ} [الأحزاب: 50] وَهُوَ مُتَأَخِّرٌ عَنْهُ في التلاوة.

Salah satu di antaranya: bahwa ayat tentang bulan-bulan (iddah) turun belakangan dalam urutan wahyu dibandingkan ayat tentang satu tahun, meskipun dalam urutan tilawah dan naskh (penghapusan hukum) ia lebih dahulu. Yang menjadi patokan adalah yang belakangan dalam urutan wahyu, bukan yang belakangan dalam urutan tilawah. Sering kali ada ayat yang lebih dahulu dibaca namun turun belakangan, dan ada pula ayat yang dibaca belakangan namun turun lebih dahulu. Seperti firman Allah: {Orang-orang bodoh di antara manusia akan berkata: “Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblat yang dahulu mereka hadapi?”} [Al-Baqarah: 142] turun setelah firman-Nya: {Sungguh Kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram} [Al-Baqarah: 144], padahal dalam urutan tilawah ia lebih dahulu. Demikian pula firman-Nya: {Tidak halal bagimu menikahi perempuan-perempuan setelah ini} [Al-Ahzab: 52] lebih dahulu turun daripada firman-Nya: {Sungguh Kami telah halalkan bagimu istri-istrimu} [Al-Ahzab: 50], padahal dalam urutan tilawah ia dibaca setelahnya.

فَإِنْ قِيلَ: فَمِنْ أَيْنَ لَكُمْ أَنَّ آيَةَ الشُّهُورِ مُتَقَدِّمَةٌ فِي التَّنْزِيلِ عَلَى آيَةِ الْحَوْلِ.

Jika ada yang bertanya: Dari mana kalian mengetahui bahwa ayat tentang bulan-bulan (iddah) lebih dahulu turun daripada ayat tentang satu tahun?

قُلْنَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Kami menjawab dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: نَقْلٌ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ، وَرَوَاهُ عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَهُوَ تُرْجُمَانُ الْقُرْآنِ.

Pertama: Riwayat yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, dan diriwayatkan oleh ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, sang penafsir Al-Qur’an.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَوْلَ تَقَدَّمَ فِعْلُهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَثَبَتَ حُكْمُهُ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ فَكَانَ مَا خَالَفَهُ طَارِئًا عَلَيْهِ قَالَ لَبِيدٌ.

Kedua: Bahwa masa satu tahun telah menjadi kebiasaan pada masa jahiliah dan tetap berlaku hukumnya pada permulaan Islam, sehingga ketentuan yang berbeda dengannya merupakan hal yang baru. Labid berkata:

(إِلَى الْحَوْلِ ثُمَّ اسْمُ السَّلَامِ عَلَيْكُمَا … وَمَنْ يَبْكِ حَوْلًا كَامِلًا فَقَدِ اعْتَذَرَ)

(Sampai setahun, kemudian ucapan salam untuk kalian berdua… Dan barang siapa menangis selama setahun penuh, maka ia telah menunaikan kewajibannya.)

فَثَبَتَ بِذَلِكَ تَقَدُّمُ الْحَوْلِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَصَدْرِ الْإِسْلَامِ فَلِذَلِكَ صَارَتْ آيَةُ الشُّهُورِ بَعْدَهَا فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ قُدِّمَتْ تِلَاوَةُ مَا تَأَخَّرَ تَنْزِيلُهُ، وَهَلَّا كَانَتِ التِّلَاوَةُ مُتَرَتِّبَةً عَلَى التَّنْزِيلِ؟

Dengan demikian, terbukti bahwa masa satu tahun telah lebih dahulu berlaku pada masa jahiliah dan permulaan Islam. Oleh karena itu, ayat tentang bulan-bulan (iddah) datang setelahnya. Jika ada yang bertanya: Mengapa urutan tilawah mendahulukan ayat yang turun belakangan, dan mengapa urutan tilawah tidak disesuaikan dengan urutan turunnya wahyu?

قِيلَ: قَدْ فَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا تَارَةً وَأَمَرَ بِهَذَا تَارَةً بِحَسَبِ مَا يَرَاهُ مِنَ الْمَصْلَحَةِ؛ فَإِنَّ تَرْتِيبَ التِّلَاوَةِ عَلَى التَّنْزِيلِ فُقُدِّمَتْ تِلَاوَةُ مَا تَقَدَّمَ تَنْزِيلُهُ وَأُخِّرَتْ تِلَاوَةُ مَا تَأَخَّرَ تَنْزِيلُهُ فَقَدِ انْقَضَى وَإِنْ قُدِّمَتْ تِلَاوَةُ مَا تَأَخَّرَ تَنْزِيلُهُ فَلِسَبْقِ الْقَارِئِ إِلَى تِلَاوَتِهِ وَمَعْرِفَةِ الثَّابِتِ مِنْ حُكْمِهِ حَتَّى إِنْ لَمْ يُقِرَّ مَا بَعْدَهُ مِنْ مَنْسُوخِ الْحُكْمِ أَجْزَأَهُ.

Dijawab: Allah Ta‘ala terkadang melakukan hal ini dan terkadang memerintahkannya, sesuai dengan apa yang Dia pandang maslahat. Jika urutan tilawah mengikuti urutan turunnya wahyu, maka ayat yang turun lebih dahulu akan dibaca lebih dahulu, dan ayat yang turun belakangan akan dibaca belakangan. Namun, jika ayat yang turun belakangan dibaca lebih dahulu, itu karena pembaca lebih dahulu membacanya dan mengetahui hukum yang tetap berlaku darinya. Sehingga, jika ia tidak menetapkan hukum yang telah di-naskh setelahnya, maka itu sudah mencukupi baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ السُّنَّةَ الْوَارِدَةَ تَدُلُّ عَلَى نَسْخِ الْحَوْلِ بِأَرْبَعَةِ أشهر وعشر بخبرين:

Alasan kedua: Sunnah yang datang menunjukkan adanya naskh (penghapusan hukum) masa satu tahun dengan empat bulan sepuluh hari melalui dua hadis:

أحدهما: مارواه الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخر أن تحد على ميت فوق ثلاث إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “.

Pertama: Hadis yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas orang yang meninggal lebih dari tiga hari, kecuali atas suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.”

وَالثَّانِي: مَا رَوَتْهُ زَيْنَبُ بِنْتُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أُمِّهَا أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قالت جاءت امرأة على النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقالت: يا رسول الله إن بنتي توفي زَوْجُهَا وَقَدْ رَمِدَتْ عَيْنُهَا أَفَأَكْحُلُهَا فَقَالَ: لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ تَمْكُثُ حَوْلًا ثُمَّ تَرْمِي بالبعرة، وإما هي أربعة اشهر وعشراً.

Kedua: Hadis yang diriwayatkan oleh Zainab binti Abi Salamah dari ibunya, Ummu Salamah ra., ia berkata: Seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, putriku ditinggal wafat suaminya dan matanya sedang sakit, bolehkah aku memakaikan celak padanya?” Beliau menjawab: “Tidak,” sebanyak dua atau tiga kali. “Dahulu salah seorang dari kalian tinggal (beriddah) selama setahun, lalu melemparkan kotoran unta (sebagai tanda selesai masa iddah), sedangkan sekarang masa iddah adalah empat bulan sepuluh hari.”

وَاخْتُلِفَ فِي مَعْنَى إِلْقَائِهَا لِلْبَعْرَةِ عَلَى قَبْرِهِ فَقِيلَ: مَعْنَاهَا أَنَّنِي قَدْ أَدَّيْتُ حَقَّكَ وَأَلْقَيْتُهُ عَنِّي كَإِلْقَاءِ هَذِهِ الْبَعْرَةِ وَقِيلَ مَعْنَاهُ: أَنَّ مَا لَقِيتُهُ فِي الْحَوْلِ مِنَ الشِّدَّةِ هِيَ فِي عِظَمِ حَقِّكَ عَلَيَّ كَهَوَانِ هَذِهِ الْبَعْرَةِ فَأَتَتِ السُّنَّةُ بِهَذَيْنِ الْخَبِرَيْنِ، وَإِنَّ آيَةَ الشُّهُورِ نَاسِخَةٌ لَآيَةِ الْحَوْلِ، ثُمَّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِفَةِ النَّسْخِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Terdapat perbedaan pendapat tentang makna melemparkan kotoran unta ke kuburannya. Ada yang mengatakan: maksudnya adalah “Aku telah menunaikan hakmu dan melepaskannya dariku sebagaimana aku melemparkan kotoran ini.” Ada pula yang mengatakan: maksudnya adalah “Apa yang aku alami selama setahun dalam masa iddah, meskipun berat karena besarnya hakmu atasku, kini menjadi ringan bagiku seperti ringannya kotoran ini.” Maka, sunnah datang dengan dua hadis ini, dan ayat tentang bulan-bulan (iddah) menjadi nasikh (penghapus hukum) bagi ayat tentang satu tahun. Kemudian, para ulama kami berbeda pendapat tentang bentuk naskh ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا نَسَخَتْ جَمِيعَ الْحَوْلِ ثُمَّ ثَبَتَ بِهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ، وَهَذَا مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ.

Salah satu pendapat: bahwa ayat tersebut telah menasakh (menghapus) seluruh masa satu tahun, kemudian dengan ayat itu ditetapkan masa empat bulan sepuluh hari. Pendapat ini dinukil dari Abu Sa‘id al-Ishthakhri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ آيَةَ الشُّهُورِ نَسَخَتْ مِنْ آيَةِ الْحَوْلِ مَا زَادَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ وَبَقِيَ الْحَوْلُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَيَكُونُ وُجُوبُهَا بِآيَةِ الْحَوْلِ وَآيَةُ الشُّهُورِ مَقْصُورَةٌ عَلَى نَسْخِ الزِّيَادَةِ وَمُؤَكِّدَةٌ لِوُجُوبِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ وَلَيْسَ فِي هَذَا الِاخْتِلَافِ تَأْثِيرٌ فِي حُكْمٍ.

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i, adalah bahwa ayat tentang bulan-bulan menasakh dari ayat tentang satu tahun hanya bagian yang melebihi empat bulan sepuluh hari, dan sisa dari masa satu tahun adalah empat bulan sepuluh hari. Maka kewajiban masa ‘iddah itu berdasarkan ayat tentang satu tahun, dan ayat tentang bulan-bulan hanya terbatas pada menasakh tambahan waktu serta menegaskan kewajiban empat bulan sepuluh hari. Perbedaan pendapat ini tidak berpengaruh pada hukum yang berlaku.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَعِدَّةُ الْوَفَاةِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ زَوْجَةٍ مِنْ صَغِيرَةٍ، أَوْ كَبِيرَةٍ، عَاقِلَةٍ أَوْ مَجْنُونَةٍ، مَدْخُولٍ بِهَا وَغَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهَا لَا تَجِبُ عَلَى غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا كَالطَّلَاقِ وَهَذَا قَوْلٌ تَفَرَّدَ بِهِ، وَقَدْ خَالَفَهُ فِيهِ سَائِرُ الصَّحَابَةِ.

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan, maka masa ‘iddah karena wafat wajib atas setiap istri, baik yang masih kecil maupun dewasa, berakal maupun tidak, yang telah digauli maupun yang belum digauli. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ‘iddah tidak wajib atas istri yang belum digauli sebagaimana dalam kasus talak, dan ini adalah pendapat yang hanya beliau sendiri yang mengemukakannya, sedangkan seluruh sahabat lainnya menyelisihinya.

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ مَا تَقْتَضِيهِ عُمُومُ الْآيَةِ أَنَّهَا لَمَّا اسْتَكْمَلَتِ الْمَهْرَ بِالْمَوْتِ كَالدُّخُولِ اقْتَضَى أَنْ تَجِبَ بِهِ الْعِدَّةُ كَالدُّخُولِ، وَلِأَنَّ غَايَةَ النِّكَاحِ اسْتِيعَابُ زَمَانِهِ بِالْمَوْتِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْلَبَ حُكْمُ كَمَالِهِ بِسُقُوطِ الْعِدَّةِ كَمَا لَمْ يُسْلَبِ اسْتِحْقَاقُ الْمِيرَاثِ.

Dalil atas hal tersebut adalah apa yang ditunjukkan oleh keumuman ayat, yaitu bahwa ketika seorang istri telah berhak mendapatkan mahar secara sempurna karena kematian suami sebagaimana halnya setelah digauli, maka hal itu menuntut agar ‘iddah juga wajib karena kematian sebagaimana setelah digauli. Selain itu, tujuan dari pernikahan adalah berlangsungnya masa pernikahan hingga kematian, sehingga tidak boleh hukum kesempurnaan pernikahan itu hilang dengan gugurnya kewajiban ‘iddah, sebagaimana tidak gugur pula hak waris.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَوْتِ وَالطَّلَاقِ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Perbedaan antara kematian dan talak ada pada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: تَمَسُّكُ الْمَيِّتِ بِعِصْمَتِهَا وَقَطْعُ الْمُطَلِّقِ لَهَا فَلَزِمَ مِنْ حَقِّهِ بَعْدَ الْمَوْتِ مَا لَمْ يَلْزَمْ مِنْ حَقِّهِ بَعْدَ الطَّلَاقِ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُطَلِّقَ حَيٌّ يَسْتَظْهِرُ لِنَفْسِهِ أَنْ أُلْحِقَ به تسب أَوْ نُفِيَ عَنْهُ فَكَانَتِ الْعِدَّةُ فِي حَقِّهِ مَقْصُورَةً عَلَى الِاسْتِبْرَاءِ، وَلَيْسَ مَعَ عَدَمِ الدُّخُولِ اسْتِبْرَاءٌ، وَذَلِكَ مَعْدُومٌ مِنْ جِهَةِ الْمَيِّتِ فَاسْتَظْهَرَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِوُجُوبِ الْعِدَّةِ فِي حَقِّهِ تَعَبُّدًا فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ الدُّخُولُ

Pertama: Suami yang wafat masih mempertahankan ikatan pernikahan dengan istrinya, sedangkan suami yang menalak telah memutuskan ikatan tersebut, sehingga setelah kematian suami, masih ada hak yang tersisa yang tidak ada setelah talak. Kedua: Suami yang menalak masih hidup dan dapat memastikan bagi dirinya apakah istrinya hamil atau tidak, sehingga masa ‘iddah baginya hanya terbatas pada istibra’ (memastikan rahim kosong), dan jika belum pernah digauli maka tidak ada istibra’. Hal ini tidak berlaku pada suami yang telah wafat, sehingga Allah Ta‘ala mewajibkan ‘iddah bagi istri yang ditinggal wafat suaminya sebagai bentuk pengabdian, maka dalam hal ini tidak disyaratkan adanya hubungan suami-istri (dukhul).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْعِدَّةِ بِالْوَفَاةِ عَلَى الْمَدْخُولِ بِهَا وَغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ حَائِلًا، أَوْ حَامِلًا، فَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا فَعِدَّتُهَا بِالشَّهْرِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ ذَاتِ الْأَقْرَاءِ أَوْ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ لِلْآيَةِ، وَلِأَنَّ الْأَقْرَاءَ فِي حَقِّ حَيٍّ يَقْدِرُ عَلَى اسْتِيفَائِهَا لِنَفْسِهِ فَقَدَّرَ اللَّهُ تَعَالَى عِدَّةَ الْمَيِّتِ بِالشُّهُورِ لِتَكُونَ مُسْتَوْفَاةً بِزَمَانٍ فِيهِ اسْتِظْهَارٌ، وَلِهَذَا الْمَعْنَى زَادَ عَلَى شُهُورِ الطَّلَاقِ، وَإِذَا كَانَتْ بِالشُّهُورِ فِي الْحَالَيْنِ فَإِنَّهَا تَعْتَدُّ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرَةِ أَيَّامٍ.

Jika telah tetap kewajiban ‘iddah karena wafat baik bagi istri yang telah digauli maupun yang belum, maka keadaan perempuan yang ditinggal wafat suaminya tidak lepas dari dua kemungkinan: hamil atau tidak hamil. Jika ia tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah dengan bulan, baik ia termasuk perempuan yang mengalami haid maupun yang tidak, berdasarkan ayat. Karena masa haid berlaku bagi suami yang masih hidup yang dapat memastikan masa ‘iddahnya, maka Allah Ta‘ala menetapkan masa ‘iddah bagi istri yang ditinggal wafat suaminya dengan bulan agar dapat dipastikan dalam waktu yang jelas, dan karena alasan ini pula masa ‘iddahnya lebih panjang daripada masa ‘iddah talak. Jika masa ‘iddahnya dengan bulan dalam kedua keadaan tersebut, maka ia menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari.

وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشَرَةُ لَيَالٍ فَأَسْقَطَ الْيَوْمَ الْعَاشِرَ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ عَدَدًا يَنْطَلِقُ عَلَى الليالي دون الأيام؛ لأنه قال ” وعشراً)) بِحَذْفِ الْهَاءِ فَتَنَاوَلَتْ مَا كَانَ مُؤَنَّثًا فِي اللَّفْظِ وَهُوَ اللَّيَالِي؛ لِأَنَّ عَدَدَ الْمُؤَنَّثِ فِي الْآحَادِ مَحْذُوفُ الْهَاءِ وَلَوْ أَرَادَ الْأَيَّامَ لَقَالَ وَعَشْرَةً بِإِثْبَاتِ الْهَاءِ كَمَا قَالَ: {سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا} [الحاقة: 7] وَهَذَا الْمَذْهَبُ فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Auza‘i berkata: “Empat bulan sepuluh malam,” sehingga ia tidak menghitung hari yang kesepuluh, karena Allah Ta‘ala menyebutkan bilangan yang berlaku untuk malam, bukan hari; sebab Allah berfirman “wa ‘asyran” (dan sepuluh) tanpa huruf ha, sehingga mencakup sesuatu yang berjenis feminin dalam lafaz, yaitu malam-malam, karena bilangan untuk feminin dalam satuan tidak memakai huruf ha. Jika yang dimaksud adalah hari, tentu Allah akan berfirman “wa ‘asyrah” dengan tambahan huruf ha, sebagaimana firman-Nya: {Sakhkhara ‘alayhim sab‘a layalin wa tsamaniyata ayyamin husuman} [al-Haqqah: 7]. Pendapat ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَيَّامَ دَاخِلَةٌ فِيمَا قَبِلَ الْعَاشِرِ فَلَمْ يَمْتَنِعْ دُخُولُهَا فِي الْعَاشِرِ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِجَمِيعِ الْعَدَدِ وَاحِدٌ.

Pertama: Hari-hari sudah termasuk dalam bilangan sebelum hari kesepuluh, sehingga tidak ada alasan untuk tidak memasukkan hari dalam bilangan kesepuluh, karena yang dimaksud dari seluruh bilangan itu adalah satu kesatuan.

وَالثَّانِي: أَنَّ إِطْلَاقَ اللَّيَالِي يَقْتَضِي دُخُولَ الْأَيَّامِ مَعَهَا وَإِطْلَاقَ الْأَيَّامِ يَقْتَضِي دُخُولَ اللَّيَالِي مَعَهَا.

Kedua: Penggunaan kata “malam-malam” juga mencakup hari-hari bersamanya, dan penggunaan kata “hari-hari” juga mencakup malam-malam bersamanya.

وَوَجْهٌ ثَالِثٌ: قَالَهُ ابْنُ الْأَعْرَابِيِّ أَنَّ الْهَاءَ تَدُلُّ عَلَى الْمُذَكَّرِ وَعَدَمَهَا يَدُلُّ عَلَى الْمُؤَنَّثِ إذا كان كان العدد مفسراً فيقال عشرة أيام وعشرة لَيَالٍ، فأمَا إِذَا أُطْلِقَ الْعَدَدُ مِنْ غَيْرِ تَفْسِيرٍ لَمْ يَدُلَّ عَلَى ذَلِكَ وَاحْتَمَلَ أَنْ يَتَنَاوَلَ الْمُذَكَّرَ وَالْمُؤَنَّثَ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيمَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ، وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ أَرَادَ الْأَيَّامَ الَّتِي يَكُونُ الصَّوْمُ فِيهَا دُونَ اللَّيَالِي.

Pendapat ketiga: Ibnu al-A‘rābī mengatakan bahwa huruf “hā’” menunjukkan mudzakkar (maskulin) dan ketiadaannya menunjukkan mu’annats (feminin) jika bilangan tersebut dijelaskan, seperti dikatakan “‘asyarah ayyām” (sepuluh hari) dan “‘asyara layālin” (sepuluh malam). Adapun jika bilangan disebutkan tanpa penjelasan, maka tidak menunjukkan hal tersebut dan bisa mencakup mudzakkar maupun mu’annats, sebagaimana sabda Nabi ﷺ tentang orang yang berpuasa Ramadan lalu mengikutinya dengan enam hari dari Syawwal, maka seolah-olah ia telah berpuasa sepanjang masa. Dan diketahui bahwa yang dimaksud adalah hari-hari yang dilakukan puasa di dalamnya, bukan malam-malam.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَتِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا حَامِلًا فَعِدَّتُهَا أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا سَوَاءٌ تَعَجَّلَ أَوْ تَأَخَّرَ وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ.

Jika perempuan yang ditinggal wafat suaminya sedang hamil, maka masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan kandungannya, baik kelahirannya cepat maupun lambat. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas sahabat dan tabi‘in.

قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَوْ وَضَعَتْ وَزَوْجُهَا عَلَى السَّرِيرِ حَلَّتْ، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، وَحُكِيَ عَنْ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِأَقْصَى الْأَجَلَيْنِ مِنَ الشُّهُورِ أَوِ الْحَمْلِ.

Umar radhiyallāhu ‘anhu berkata: “Seandainya ia melahirkan sementara suaminya masih di atas ranjang (baru saja wafat), maka ia telah halal (selesai masa ‘iddahnya).” Ini adalah pendapat jumhur fuqahā’. Diriwayatkan dari ‘Ali dan Ibnu ‘Abbās bahwa ia harus menempuh masa ‘iddah dengan mengambil waktu terlama antara dua batas, yaitu bulan-bulan (‘iddah wafat) atau kehamilan.

وَالدَّلِيلُ عَلَى اعْتِدَادِهَا بِالْحَمْلِ مَا رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ الْآيَةُ مُشْتَرَكَةٌ قَالَ أَيُّ آيَةٍ قُلْتُ {وَأُولاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] الْمُطَلَّقَةُ وَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا قَالَ نَعَمْ.

Dalil bahwa masa ‘iddahnya dengan kehamilan adalah riwayat dari Sa‘īd bin al-Musayyib dari Ubay bin Ka‘b, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, ayat ini bersifat umum.” Beliau bertanya, “Ayat yang mana?” Aku menjawab, “{Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya} [at-Talāq: 4], baik yang ditalak maupun yang ditinggal wafat suaminya.” Beliau bersabda, “Ya.”

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ حَدِيثَ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةِ مِنْ طُرُقٍ شَتَّى بِأَلْفَاظٍ مُخْتَلِفَةٍ وَمَعَانٍ مُتَّفِقَةٍ أَنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا وَأَنَّهُ لَقِيَهُمْ فِي الطَّرِيقِ فَقَتَلُوهُ فَوَضَعَتْ سُبَيْعَةُ حَمْلَهَا بَعْدَ قَتْلِ زَوْجِهَا بِنَحْوٍ مِنْ نِصْفِ شَهْرٍ فَمَرَّ بِهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ وَكَانَ يُرِيدُ خِطْبَتَهَا وَقَدْ كَرِهَتْهُ؛ لِأَنَّهُ شَيْخٌ وَقَدْ خَطَبَهَا شَابٌّ فَقَالَ: أَرَاكِ قَدْ تَصَنَّعْتِ لِلْأَزْوَاجِ؛ وَإِنَّمَا عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ فَأَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فأخبرته بذلك فقال: كذب أو السَّنَابِلِ: قَدْ حَلَلْتِ قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِي مَنْ شِئْتِ.

Imam Syāfi‘ī meriwayatkan hadis Subai‘ah al-Aslamiyyah dari berbagai jalur dengan lafaz yang berbeda namun maknanya sama, bahwa suaminya keluar untuk mencari budak-budaknya yang melarikan diri, lalu ia bertemu mereka di jalan dan mereka membunuhnya. Subai‘ah kemudian melahirkan kandungannya sekitar setengah bulan setelah suaminya terbunuh. Lalu Abu as-Sanābil bin Ba‘kak melewatinya dan ia ingin melamarnya, namun Subai‘ah tidak menyukainya karena ia sudah tua, sedangkan ada pemuda yang telah melamarnya. Abu as-Sanābil berkata: “Aku lihat engkau telah berhias untuk para pelamar, padahal masa ‘iddahmu adalah empat bulan sepuluh hari.” Maka Subai‘ah mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal itu, lalu beliau bersabda: “Abu as-Sanābil telah keliru, engkau telah halal, engkau telah halal, maka menikahlah dengan siapa saja yang engkau kehendaki.”

وَقَوْلُهُ كَذَبَ أَبُو السَّنَابِلِ يَعْنِي أَخْطَأَ كَمَا قَالَ الشَّاعِرِ.

Ucapan beliau “Abu as-Sanābil telah keliru” maksudnya adalah ia telah salah, sebagaimana ucapan penyair:

(كَذَبَتْكَ عَيْنُكَ أَمْ رَأَيْتَ بِوَاسِطٍ … غَلَسَ الظَّلَامِ مِنَ الرَّبَابِ خَيَالًا)

(“Matamu telah berdusta kepadamu, ataukah engkau melihat di Wāsith … bayangan dari kegelapan malam berupa khayalan dari kabilah Rabab?”)

قِيلَ: وَكَانَتْ هَذِهِ الْقِصَّةُ بَعْدَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ الَّتِي لَمْ يَعِشْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَهَا إِلَّا شُهُورًا.

Dikatakan: Kisah ini terjadi setelah Haji Wada‘, di mana Rasulullah ﷺ tidak hidup lama setelahnya kecuali beberapa bulan saja.

وَرَوَى أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ بَعْضِ الصَّحَابَةِ هَذَا الْحَدِيثَ، وأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَهَا: يَا سُبَيْعَةُ أَرْبِعِي بِنَفْسِكَ فَتَأَوَّلَهُ مَنْ أَلْزَمَهَا أَقْصَى الْأَجَلَيْنِ أَقِيمِي فِي رَبْعِكِ لِبَقَائِهَا فِي الْعِدَّةِ، وَتَأَوَّلَهُ مَنْ قَالَ بِانْقِضَاءِ عِدَّتِهِ اسْكُنِي أَيَّ رَبْعٍ شِئْتِ لِانْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، وَهَذَا التَّأْوِيلُ أَصَحُّ لِمَا رُوِيَ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ وَأَبَا هُرَيْرَةَ اخْتَلَفَا فِي عِدَّةِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا إِذَا كَانَتْ حَامِلًا.

Abu Salamah bin ‘Abdurrahman meriwayatkan dari sebagian sahabat hadis ini, dan bahwa Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Wahai Subai‘ah, beristirahatlah untuk dirimu.” Maka orang yang mewajibkan masa ‘iddah terlama menafsirkannya dengan “tinggallah di rumahmu” karena ia masih dalam masa ‘iddah, sedangkan yang berpendapat masa ‘iddahnya telah selesai menafsirkannya dengan “tinggallah di rumah mana saja yang engkau kehendaki” karena masa ‘iddahnya telah selesai. Tafsiran kedua ini lebih kuat, karena diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbās dan Abu Hurairah pernah berbeda pendapat tentang masa ‘iddah perempuan yang ditinggal wafat suaminya jika ia sedang hamil.

فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَقْصَى الْأَجَلَيْنِ.

Ibnu ‘Abbās berkata: “Masa terlama di antara dua batas.”

وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: وَضْعُ الْحَمْلِ فَأَرْسَلُوا أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَذَكَرَتْ لَهُمْ قِصَّةَ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةِ فَرَجَعَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِلَى قَوْلِهَا. وَاسْتَدَلَّ ابْنُ مَسْعُودٍ لِذَلِكَ بِمَعْنًى صَحِيحٍ، فَقَالَ: لَمَّا لَحِقَهَا التَّغْلِيظُ إِذَا تَأَخَّرَ لَحِقَهَا التَّخْفِيفُ إِذَا تَقَدَّمَ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تُعْتَبَرِ الْأَقْرَاءُ مَعَ الْحَمْلِ لَمْ تُعْتَبَرِ الشُّهُورُ مَعَ الْحَمْلِ؛ لِأَنَّ الْعِدَّةَ لَا يُجْمَعُ فِيهَا بَيْنَ جِنْسَيْنِ.

Abu Hurairah berkata: “Sampai melahirkan kandungan.” Maka mereka mengutus Abu Salamah bin ‘Abdurrahman kepada Ummu Salamah, lalu ia menceritakan kepada mereka kisah Subai‘ah al-Aslamiyyah, sehingga Ibnu ‘Abbās kembali kepada pendapatnya. Ibnu Mas‘ūd juga berdalil dengan makna yang benar, ia berkata: “Ketika ia terkena kewajiban yang berat jika masa ‘iddahnya lama, maka ia juga mendapat keringanan jika masa ‘iddahnya singkat. Dan karena masa haid tidak diperhitungkan bersama kehamilan, maka bulan-bulan pun tidak diperhitungkan bersama kehamilan, karena dalam masa ‘iddah tidak boleh digabungkan antara dua jenis (‘iddah).”

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” فتحل إذا وضعت قبل أن تَطْهُرَ مِنْ نِكَاحٍ صَحِيحٍ وَمَفْسُوخٍ “

Imam Syafi‘i berkata: “Maka ia menjadi halal (boleh menikah lagi) jika ia telah melahirkan sebelum suci, baik dari pernikahan yang sah maupun yang dibatalkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ مَوْتِ الزَّوْجِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوَضْعِهِ وَحَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ وَإِنْ كَانَتْ فِي النِّفَاسِ، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.

Al-Mawardi berkata: Jika seorang wanita melahirkan kandungannya setelah wafat suaminya, maka selesai masa ‘iddahnya dengan kelahiran tersebut dan ia halal (boleh menikah lagi) bagi para suami, meskipun ia masih dalam masa nifas. Ini adalah pendapat jumhur fuqaha.

وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ، وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ: هِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَى الْأَزْوَاجِ حَتَّى تَطْهُرَ مِنْ نِفَاسِهَا وَتَغْتَسِلَ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ: {وَأُولاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] وَلِحَدِيثِ سُبَيْعَةَ وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَجَلُ كُلِّ ذَاتِ حَمْلٍ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا ” فَلَمْ تَجُزِ الزِّيَادَةُ فِي عِدَّتِهَا عَلَى نَصِّ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَلِأَنَّ وَضْعَ الْحَمْلِ قَدْ تَحَقَّقَتْ بِهِ بَرَاءَةُ الرَّحِمِ وَتَأْثِيرُ النِّفَاسِ بَعْدَهُ فِي تَحْرِيمِ الْوَطْءِ وَهَذَا غَيْرُ مَانِعٍ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ كَالْحَائِضِ.

Al-Awza‘i dan Hammad bin Abi Sulaiman berkata: Ia tetap haram bagi para suami sampai ia suci dari nifasnya dan mandi. Pendapat ini keliru, berdasarkan firman Allah: {Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalaq: 4], juga berdasarkan hadits Subai‘ah, dan sabda Nabi ﷺ: “Masa ‘iddah setiap wanita hamil adalah sampai ia melahirkan kandungannya.” Maka tidak boleh menambah masa ‘iddahnya dari apa yang telah ditegaskan dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Karena dengan melahirkan kandungan telah terbukti bersihnya rahim, dan pengaruh nifas setelahnya hanya dalam hal pengharaman hubungan suami istri, dan ini tidak menghalangi akad nikah, sebagaimana halnya wanita haid.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ وَمَفْسُوخٍ يَعْنِي فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فِيهِمَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ؛ لِأَنَّهُمَا يَسْتَوِيَانِ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ، لِأَنَّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ تَجِبُ فِي النِّكَاحِ الصَّحِيحِ دَخَلَ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ وَعِدَّةُ الْوَفَاةِ لَا تَجِبُ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ، فَإِنْ لَمْ يقترن بَيْنَهُمَا فَإِذَا مَاتَ عَنْهَا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا بِمَوْتِهِ فَاسْتَأْنَفَتْ عِدَّةَ الْفُرْقَةِ لَا عِدَّةَ الْمَوْتِ، فَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَبِوَضْعِ الْحَمْلِ وَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ فَثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ فَثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ فَصَارَتْ مُخَالِفَةً لِعِدَّةِ الْوَفَاةِ، وَإِنَّمَا يَجْتَمِعَانِ فِي شَيْئَيْنِ:

Adapun perkataan Imam Syafi‘i: dalam pernikahan yang sah dan yang dibatalkan, maksudnya adalah dalam berakhirnya masa ‘iddah pada keduanya dengan melahirkan kandungan; karena keduanya sama dalam hal ‘iddah wafat, sebab ‘iddah wafat wajib dalam pernikahan yang sah, baik sudah terjadi hubungan suami istri maupun belum, dan ‘iddah wafat tidak wajib dalam pernikahan yang fasid (batal). Jika tidak digabungkan antara keduanya, maka jika suami meninggal dunia, terjadilah perpisahan antara keduanya karena kematian, sehingga ia memulai masa ‘iddah perpisahan, bukan masa ‘iddah kematian. Jika ia hamil, maka masa ‘iddahnya selesai dengan melahirkan kandungan; jika ia termasuk wanita yang mengalami haid, maka tiga kali haid; jika ia termasuk wanita yang masa ‘iddahnya dengan bulan, maka tiga bulan. Maka hal ini berbeda dengan ‘iddah wafat. Keduanya hanya sama dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: فِي ابْتِدَاءِ الْعِدَّةِ أَنَّهَا مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ.

Pertama: Dalam permulaan masa ‘iddah, yaitu setelah kematian (suami).

وَالثَّانِي: فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ فَمِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ جَمَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النِّكَاحِ الصَّحِيحِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِيمَا سِوَاهُمَا مِنَ الْأَحْكَامِ.

Kedua: Dalam berakhirnya masa ‘iddah dengan melahirkan kandungan. Dari dua sisi inilah disamakan antara keduanya dengan pernikahan yang sah, meskipun berbeda dalam hukum-hukum lainnya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَيْسَ لِلْحَامِلِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا نَفَقَةٌ قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ لَا نَفَقَةَ لَهَا حَسْبُهَا الْمِيرَاثُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ لأن مالكه قد انقطع بالموت (قال الْمُزَنِيِّ) : هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِي الْبَابِ الثَّانِي وهو أصح، وهو في الباب الثالث مشروح “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak ada nafkah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya.” Jabir bin Abdullah berkata: “Tidak ada nafkah baginya, cukuplah baginya warisan.” (Imam Syafi‘i) rahimahullah berkata: Karena pemilik (harta) telah terputus dengan kematian. (Al-Muzani berkata): Ini berbeda dengan pendapat beliau dalam bab kedua, dan pendapat ini yang lebih shahih, dan dalam bab ketiga telah dijelaskan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَا نَفَقَةَ لِلْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا حَامِلًا كَانَتْ أَوْ حَائِلًا.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah disebutkan: Tidak ada nafkah bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya, baik ia sedang hamil maupun tidak.

وَبِهِ قَالَ كَثِيرٌ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَجُمْهُورُ التَّابِعِينَ، وَالْفُقَهَاءِ، وَحُكِيَ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَابْنِ عُمَرَ أَنَّ لَهَا النَّفَقَةَ إِذَا كَانَتْ حَامِلًا لِقَوْلِ اللَّهِ: {وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 6] وَكَالْمُطَلَّقَةِ الْحَامِلِ وَاعْتِبَارًا بِوُجُوبِ السُّكْنَى.

Dan inilah pendapat banyak sahabat, jumhur tabi‘in, dan para fuqaha. Diriwayatkan dari Ali ‘alaihis salam dan Ibnu Umar bahwa wanita tersebut berhak mendapat nafkah jika ia sedang hamil, berdasarkan firman Allah: {Dan jika mereka (istri-istri yang ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalaq: 6], dan sebagaimana wanita hamil yang ditalak, serta dengan pertimbangan wajibnya tempat tinggal (sukunah).

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنْ لَا نَفَقَةَ لَهَا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنَّمَا النَّفَقَةُ لِلَّتِي يَمْلِكُ زَوْجُهَا رَجْعَتَهَا ” وَلَيْسَ عَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا رَجْعَةٌ فَلَمْ يَكُنْ لَهَا نَفَقَةٌ؛ وَلِأَنَّ وُجُوبَ النَّفَقَةِ مُتَجَدِّدٌ مَعَ الْأَوْقَاتِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِالْوَفَاةِ كَنَفَقَاتِ الْأَقَارِبِ، وَلِأَنَّ استحقاقها للنفقة لَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ لِحَمْلِهَا، أَوْ لَهَا، فَإِنْ كَانَ لَهَا فَهِيَ لَا تَسْتَحِقُّهَا لَوْ كَانَتْ حَائِلًا فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَتْ حَامِلًا، لِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ التَّمْكِينِ الْمُرْتَفِعِ بِالْمَوْتِ وَإِنْ كَانَتْ بحملها بالحمل لَوْ وُلِدَ لَمْ يَسْتَحِقَّ نَفَقَةً فَقَبْلَ الْوِلَادَةِ أَوْلَى أَنْ لَا يَسْتَحِقَّهَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ وَارِثًا فِي الْحَالَيْنِ، وَقَدِ انْقَطَعَ مِلْكُ الْأَبِ فِي الْحَالَيْنِ؛ وَلِأَنَّ أُجْرَةَ الرِّضَاعِ تَالِيَةٌ لِوُجُوبِ النَّفَقَةِ لِقَوْلِهِ: {فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} [الطلاق: 6] فَلَمَّا سَقَطَتْ أُجْرَةُ الرِّضَاعِ بِالْمَوْتِ سَقَطَتْ بِهِ النَّفَقَةُ.

Dan dalil bahwa ia (perempuan yang ditinggal wafat suaminya) tidak berhak mendapatkan nafkah adalah sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya nafkah itu hanya untuk perempuan yang suaminya masih memiliki hak rujuk atasnya.” Sedangkan terhadap perempuan yang ditinggal wafat suaminya tidak ada hak rujuk, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Selain itu, kewajiban nafkah itu terus-menerus mengikuti waktu, sehingga wajib gugur dengan kematian, sebagaimana nafkah kepada kerabat. Dan karena haknya atas nafkah tidak lepas dari dua kemungkinan: untuk kehamilannya atau untuk dirinya. Jika untuk dirinya, maka ia tidak berhak mendapatkannya jika ia tidak hamil, demikian pula jika ia hamil, karena nafkah itu sebagai imbalan atas penyerahan diri yang telah hilang dengan kematian. Jika untuk kehamilannya, maka seandainya anak itu lahir, ia pun tidak berhak atas nafkah, maka sebelum lahir tentu lebih utama untuk tidak berhak mendapatkannya; karena dalam kedua keadaan itu, ia telah menjadi ahli waris, dan kepemilikan ayah telah terputus dalam kedua keadaan tersebut. Selain itu, upah menyusui adalah turunan dari kewajiban nafkah, berdasarkan firman Allah: {Jika mereka menyusui anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya} (ath-Thalaq: 6). Maka ketika upah menyusui gugur karena kematian, gugurlah pula nafkah karenanya.

فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْآيَةِ فَهِيَ خِطَابٌ لِلْأَزْوَاجِ وَلَا يَتَوَجَّهُ إِلَى الْمَيِّتِ خِطَابٌ فَصَارَتْ مَحْمُولَةً عَلَى الطَّلَاقِ اعْتِبَارًا بِأُجْرَةِ الرَّضَاعِ، وَلِهَذَا الْمَعْنَى فَرَّقْنَا بَيْنَ عِدَّةِ الطَّلَاقِ وَالْوَفَاةِ. وَأَمَّا السُّكْنَى فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Adapun istidlāl (pengambilan dalil) dengan ayat tersebut, maka itu adalah khithāb (seruan) kepada para suami, dan tidak mungkin seruan itu ditujukan kepada orang yang telah wafat, sehingga ayat tersebut dipahami berkaitan dengan talak, dengan pertimbangan upah menyusui. Karena alasan inilah kami membedakan antara masa iddah talak dan iddah wafat. Adapun mengenai tempat tinggal (sukna), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ كَالنَّفَقَةِ فَاسْتَوَيَا.

Pertama: Bahwa itu (hak tempat tinggal) tidak berhak didapatkan, sebagaimana nafkah, sehingga keduanya sama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِخِلَافِ النَّفَقَةِ.

Pendapat kedua: Bahwa itu (hak tempat tinggal) tetap berhak didapatkan, berbeda dengan nafkah.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ النَّفَقَةَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ؛ لِأَنَّهُمَا لَوِ اتَّفَقَا عَلَى تَرْكِهَا سَقَطَتْ وَالسُّكْنَى مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى؛ لِأَنَّهَا لَوِ اتَّفَقَا عَلَى تَرْكِهِ وَالْخُرُوجِ مِنْ مَسْكَنِهَا لَمْ يَسْقُطْ فَافْتَرَقَا فِي الْوُجُوبِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي التَّغْلِيظِ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa nafkah termasuk hak-hak manusia; karena jika keduanya sepakat untuk meninggalkannya, maka gugurlah hak tersebut. Sedangkan sukna (hak tinggal) termasuk hak-hak Allah Ta‘ala; karena jika keduanya sepakat untuk meninggalkannya dan keluar dari tempat tinggalnya, maka hak itu tidak gugur. Maka keduanya berbeda dalam hal kewajiban, karena perbedaan dalam tingkat penekanan (tasydīd).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا قَوْلُ الْمُزَنِيِّ: هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِي الْبَابِ الثَّانِي، وَهَذَا أَصَحُّ وَهُوَ فِي الْبَابِ الثَّالِثِ مَشْرُوحٌ، فَالْمُرَادُ بِهِ تَعْلِيلُ الشَّافِعِيِّ لسقوط النفقة ها هنا بِأَنَّ مِلْكَهُ قَدِ انْقَطَعَ بِالْمَوْتِ أَصَحُّ مِمَّا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْبَابِ الثَّانِي مِنْ وُجُوبِ السُّكْنَى إِثْبَاتًا لِمِلْكِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَقَدْ شَرَحَهُ فِي الْبَابِ الثَّالِثِ: أَنَّهُ لَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا سُكْنَى لِاسْتِوَائِهِمَا فِي التَّعْلِيلِ بِأَنَّ مِلْكَهُ قَدْ زَالَ بِالْمَوْتِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Adapun perkataan al-Muzani: “Ini berbeda dengan pendapatnya (asy-Syafi‘i) dalam bab kedua, dan pendapat ini lebih sahih, dan telah dijelaskan dalam bab ketiga.” Yang dimaksud adalah bahwa alasan asy-Syafi‘i mengenai gugurnya nafkah di sini karena kepemilikan suami telah terputus dengan kematian, itu lebih sahih daripada apa yang dikatakan asy-Syafi‘i dalam bab kedua tentang wajibnya sukna sebagai penetapan kepemilikan setelah kematian. Dan telah dijelaskan dalam bab ketiga: bahwa tidak ada nafkah dan tidak ada sukna baginya, karena keduanya sama dalam alasan bahwa kepemilikan telah hilang dengan kematian. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَامِلًا فَإِنْ مَاتَ نِصْفَ النَّهَارِ وَقَدْ مَضَى مِنَ الْهِلَالِ عَشْرُ لَيَالٍ أَحْصَتْ مَا بَقِيَ مِنَ الْهِلَالِ فَإِنْ كَانَ عِشْرِينَ حَفِظَتْهَا ثُمَّ اعْتَدَّتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ بِالْأَهِلَّةِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَتِ الشَّهْرَ الرَّابِعَ فَأَحْصَتْ عِدَّةَ أَيَامِهِ فَإِذَا كَمُلَ لَهَا ثَلَاثُونَ يَوْمًا بَلَيَالِيهَا فَقَدْ أوفت أربعة اشهر واسقبلت عشراً لياليها فَإِذَا أَوْفَتْ لَهَا عَشْرًا إِلَى السَّاعَةِ الَّتِي مَاتَ فِيهَا فَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia (istri) tidak sedang hamil, lalu suaminya wafat pada pertengahan siang dan telah berlalu sepuluh malam dari bulan (hijriah), maka ia menghitung sisa hari dari bulan itu. Jika sisa bulan itu dua puluh hari, maka ia menjaganya, lalu ia beriddah tiga bulan dengan bulan-bulan hijriah, kemudian memasuki bulan keempat dan menghitung jumlah harinya. Jika telah genap tiga puluh hari beserta malam-malamnya, maka ia telah menyempurnakan empat bulan dan memasuki sepuluh malam berikutnya. Jika telah genap sepuluh malam hingga jam wafatnya suami, maka telah selesai masa iddahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى حُكْمُ هَذِهِ الْعِدَّةِ فِي الْمُطَلَّقَةِ إِذَا اعْتَدَّتْ بِالشُّهُورِ وَذَكَرْنَا مَا فِيهَا مِنْ خِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَغَيْرِهِ وَهِيَ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ بِمَثَابَةٍ وَذَلِكَ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الْوَفَاةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي مُسْتَهَلِّ شَهْرٍ أَوْ فِي تَضَاعِيفِهِ، فَإِنْ كَانَتْ فِي مُسْتَهَلِّ شَهْرٍ وَمَعَ أَوَّلِ هِلَالِهِ اعْتَدَّتْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ بِالْأَهِلَّةِ بِحَسَبِ وَجُودِهَا مِنْ كَمَالٍ وَنُقْصَانٍ ثُمَّ بِعَشَرَةِ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ الْخَامِسِ وَإِنْ كَانَ فِي تَضَاعِيفِ الشَّهْرِ اعْتَدَّتْ بَاقِيَهُ، فَإِنْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهُ عَشَرَةَ أَيَّامٍ احْتَسَبَتْهَا وَاعْتَدَّتْ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ بَعْدَهَا بِالْأَهِلَّةِ ثُمَّ اسْتَكْمَلَتْ شَهْرَ الْوَفَاةِ ثَلَاثِينَ يَوْمًا عَدَدًا سَوَاءٌ كَانَ كَامِلًا أَوْ نَاقِصًا فَتَأْتِي مِنَ الشَّهْرِ الرَّابِعِ بِعِشْرِينَ يَوْمًا تَكْمِلَةَ الشَّهْرِ الْأَوَّلِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَاضِي مِنْهُ عِشْرِينَ يَوْمًا لِكَمَالِهِ، أَوْ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا لِنُقْصَانِهِ، ثُمَّ تَعْتَدُّ بَعْدَ كَمَالِ الْأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ بِعَشَرَةِ أَيَّامٍ إِلَى مِثْلِ سَاعَةٍ مِنَ الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ زَوْجُهَا فَإِنْ قِيلَ، فلما زِيدَ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ قِيلَ: يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya hukum masa iddah ini pada wanita yang ditalak jika ia menjalani iddah dengan hitungan bulan, dan telah kami sebutkan perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan selainnya dalam hal itu. Adapun dalam iddah wafat, hukumnya serupa. Hal itu karena wafat tidak lepas dari dua keadaan: terjadi di awal bulan atau di pertengahan bulan. Jika wafat terjadi di awal bulan dan bersamaan dengan munculnya hilal, maka ia menjalani iddah selama empat bulan berdasarkan perhitungan hilal, sesuai dengan keberadaan bulan yang sempurna atau kurang, lalu ditambah sepuluh hari dari bulan kelima. Jika wafat terjadi di pertengahan bulan, maka ia menjalani iddah dengan sisa hari bulan tersebut. Jika sisa hari bulan itu sepuluh hari, maka ia menghitungnya, lalu menjalani iddah tiga bulan berikutnya berdasarkan hilal, kemudian menyempurnakan bulan wafat tersebut menjadi tiga puluh hari secara hitungan, baik bulan itu sempurna maupun kurang. Maka dari bulan keempat, ia mengambil dua puluh hari sebagai pelengkap bulan pertama, baik yang telah berlalu dari bulan itu dua puluh hari karena bulannya sempurna, atau sembilan belas hari karena bulannya kurang. Setelah genap empat bulan, ia menambah sepuluh hari hingga sampai pada waktu yang sama dari hari wafatnya suami. Jika ada yang bertanya: Mengapa masa iddah wafat lebih panjang daripada iddah talak? Maka dijawab: Hal itu mungkin karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: لِتَمَسُّكِهِ بِعِصْمَتِهَا وَحِفْظِهِ لِزِمَامِهَا بِخِلَافِ الْمُطَلِّقِ الَّذِي أَبَتَّ عِصْمَتَهَا وَقَطَعَ زِمَامَهَا فَجُوزِيَ عَلَيْهِ بِالزِّيَادَةِ فِيهَا لِحِفْظِ حُرْمَتِهِ وَالرِّعَايَةِ لِحُسْنِ صُحْبَتِهِ.

Pertama: Karena suami masih memegang ikatan pernikahan dan menjaga hak istrinya, berbeda dengan orang yang menalak, yang telah memutuskan ikatan pernikahan dan melepas hak istrinya. Maka sebagai balasan, masa iddah wafat ditambah untuk menjaga kehormatan suami dan sebagai penghargaan atas kebaikan pergaulannya.

وَالثَّانِي: لِيَكُونَ فَقْدُ الزَّوْجِ فِي اسْتِيفَاءِ الْعِدَّةِ عَلَيْهَا مَجْبُورًا بِالزِّيَادَةِ فِي عِدَّتِهَا فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ قَدَّرَهَا بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ، قِيلَ: لِمَصْلَحَةٍ اسْتَأْثَرَ بِهَا، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ الزَّمَانِ الَّذِي يَتَكَامَلُ فِيهِ خَلْقُ الْوَلَدِ وَيُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” يَكُونُ خَلْقُ أَحَدِكُمْ نُطْفَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ عَلَقَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ مُضْغَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا يَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ ” فَصَارَ نَفْخُ الرُّوحِ فِي الْعَشْرِ الَّتِي بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، فَلِذَلِكَ قُدِّرَتْ بِأَرْبَعَةِ أشهر والله أعلم.

Kedua: Agar kehilangan suami dalam masa iddah dapat terobati dengan tambahan masa iddah tersebut. Jika ada yang bertanya: Mengapa masa iddah itu ditetapkan selama empat bulan sepuluh hari? Maka dijawab: Itu adalah maslahat yang hanya Allah ketahui. Bisa jadi karena itu adalah waktu terdekat di mana penciptaan janin menjadi sempurna dan ruh ditiupkan ke dalamnya. Diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda: “Penciptaan salah seorang dari kalian dimulai dari nutfah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah selama empat puluh hari, lalu menjadi segumpal daging selama empat puluh hari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya.” Maka peniupan ruh terjadi pada sepuluh hari setelah empat bulan. Oleh karena itu, masa iddah ditetapkan selama empat bulan sepuluh hari. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تَأْتِيَ فِيهَا بِحَيْضٍ كَمَا لَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تَأْتِيَ فِي الْحَيْضِ بِشُهُورٍ وَلِأَنَّ كُلَّ عِدَّةٍ حَيْثُ جَعَلَهَا اللَّهُ “.

Imam Syafi’i berkata: “Tidak wajib bagi wanita menjalani iddah wafat dengan mengalami haid, sebagaimana tidak wajib menjalani iddah haid dengan hitungan bulan. Karena setiap iddah telah Allah tetapkan sesuai ketentuannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَا يُعْتَبَرُ الْحَيْضُ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ فَإِذَا اعْتَدَّتْ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ وَلَمْ تَرَ فِيهَا حَيْضًا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا سَوَاءٌ كَانَتْ عَادَتَهَا الْحَيْضُ فِي كُلِّ شَهْرٍ أَمْ لَا؟ .

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan (Imam Syafi’i): Haid tidak menjadi syarat dalam iddah wafat. Jika seorang wanita telah menjalani iddah empat bulan sepuluh hari dan tidak mengalami haid selama itu, maka iddahnya selesai, baik biasanya ia haid setiap bulan maupun tidak.

وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ.

Demikian pula pendapat Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَتْ عَادَتُهَا أَنْ تَحِيضَ فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالشُّهُورِ، وَإِنْ لَمْ تَحِضْ فِيهَا حَيْضَةً، وَإِنْ كَانَتْ عَادَتُهَا أن تحيض في شَهْرٍ أَوْ شَهْرَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ حَيْضَةً لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ إِذَا لَمْ تَكُنْ مِنْهَا حَيْضَةٌ وَمَكَثَتْ مُعْتَدَّةً بَعْدَهَا حَتَّى تَحِيضَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ تَأَخُّرَ حَيْضِهَا رِيبَةٌ وَالْمُسْتَرِيبَةُ تَمْكُثُ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ حَتَّى تَزُولَ رِيبَتُهَا كَالْمُعْتَدَّةِ بِالْأَقْرَاءِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا} [البقرة: 234] . فَاقْتَضَى الظَّاهِرُ أَنْ لَا يَتَرَبَّصْنَ أَكْثَرَ مِنْهَا ثُمَّ قَالَ: {فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 234] . يَعْنِي فِي التَّزْوِيجِ، وَمَالِكٌ يَجْعَلُ الْجُنَاحَ عَلَيْهَا بَاقِيًا، وَلِأَنَّهَا قَدْ تَعْتَدُّ بِالشُّهُورِ مِنَ الطَّلَاقِ تَارَةً وَفِي الْوَفَاةِ أُخْرَى، فَلَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي شُهُورِ الطَّلَاقِ غَيْرُهَا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي شُهُورِ الْوَفَاةِ غَيْرُهَا، وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ قَدْ تَكُونُ بِالشُّهُورِ تَارَةً وَبِالْأَقْرَاءِ أُخْرَى، فَلَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الشُّهُورِ الْأَقْرَاءُ لَمْ يُعْتَبَرِ الْحَيْضُ فِي الشُّهُورِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَتْ عَادَتُهَا أَنْ تَحِيضَ فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً فَلَمْ تَحِضْ فِي الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ وَالْعَشْرِ إِلَّا حَيْضَةً انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، وَإِنْ خَالَفَ الْعَادَةَ، كَذَلِكَ وَإِنْ لَمْ تَحِضْ فِيهَا حَيْضَةً.

Malik berkata: Jika kebiasaannya adalah haid sekali dalam setiap bulan, maka iddahnya selesai dengan hitungan bulan, meskipun ia tidak mengalami haid satu kali pun dalam bulan-bulan tersebut. Namun, jika kebiasaannya adalah haid satu kali dalam satu bulan, dua bulan, atau tiga bulan, maka iddahnya tidak selesai dengan empat bulan sepuluh hari jika tidak mengalami haid satu kali pun, dan ia tetap menjalani masa iddah setelahnya hingga ia mengalami haid. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa keterlambatan haid menimbulkan keraguan, dan wanita yang ragu tetap menjalani masa iddah setelah berakhirnya iddah hingga hilang keraguannya, sebagaimana wanita yang beriddah dengan masa quru’. Namun, ini adalah kekeliruan berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menunggu (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari} (al-Baqarah: 234). Maka, makna lahiriah ayat ini menunjukkan bahwa mereka tidak boleh menunggu lebih dari itu. Kemudian Allah berfirman: {Apabila telah sampai pada akhir masa iddahnya, maka tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka secara patut} (al-Baqarah: 234), yaitu dalam hal pernikahan. Namun Malik menjadikan dosa itu tetap ada atasnya. Selain itu, ia bisa saja beriddah dengan hitungan bulan karena talak pada suatu waktu dan karena wafat pada waktu lain. Maka, ketika dalam bulan-bulan talak tidak dipertimbangkan selain hitungan bulan, demikian pula dalam bulan-bulan wafat tidak dipertimbangkan selain hitungan bulan. Dan karena iddah kadang dilakukan dengan hitungan bulan dan kadang dengan quru’, maka ketika dalam hitungan bulan tidak dipertimbangkan quru’, demikian pula haid tidak dipertimbangkan dalam hitungan bulan. Dan jika kebiasaannya haid sekali dalam setiap bulan, lalu ia tidak haid selama empat bulan sepuluh hari kecuali satu kali haid, maka iddahnya selesai, meskipun itu menyelisihi kebiasaan. Demikian pula jika ia tidak haid satu kali pun dalam masa itu.

وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ تَأَخُّرَ حَيْضِهَا رِيبَةٌ.

Adapun ucapannya: Sesungguhnya keterlambatan haidnya adalah keraguan.

قِيلَ: الرِّيبَةُ: إِنَّمَا تَكُونُ بِانْتِفَاخِ الْجَوْفِ وَدُرُورِ اللَّبَنِ وَالْإِحْسَاسِ بِالْحَرَكَةِ، وَلَيْسَ تَأَخُّرُ الْحَيْضِ رِيبَةً كَمَا لَا يَكُونُ تَأَخُّرُهَا عن كل شهر ريبة.

Dikatakan: Keraguan itu hanya terjadi jika terdapat pembengkakan perut, keluarnya air susu, dan merasakan adanya gerakan (janin), sedangkan keterlambatan haid bukanlah keraguan, sebagaimana keterlambatan haid dari setiap bulan juga bukan keraguan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” إِلَّا أَنَّهَا إِنِ ارْتَابَتِ اسْتَبْرَأَتْ نَفْسَهَا مِنَ الرِّيبَةِ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Kecuali jika ia ragu, maka ia harus memastikan dirinya terbebas dari keraguan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَ الْمُرْتَابَةِ فِي الْمُطَلَّقَةِ، وَقَدْ أَعَادَهَا فِي الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا وَالرِّيبَةُ مَا ذَكَرْنَا مِنْ أَمَارَاتِ الْحَمْلِ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا فِي الرِّيبَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.

Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan hukum wanita yang ragu dalam kasus talak, dan beliau mengulanginya dalam kasus wanita yang suaminya wafat. Keraguan itu adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan berupa tanda-tanda kehamilan. Maka, keadaannya dalam keraguan tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا: أَنْ تَحْدُثَ الرِّيبَةُ بَعْدَ انْقِضَاءِ العدة فَهِيَ بَاقِيَةٌ فِي عِدَّتِهَا فَإِنْ نَكَحَتْ قَبْلَ زَوَالِهَا بَطَلَ نِكَاحُهَا.

Pertama: Keraguan itu muncul setelah berakhirnya masa iddah, maka ia tetap berada dalam masa iddahnya. Jika ia menikah sebelum keraguan itu hilang, maka pernikahannya batal.

وَالثَّانِي: أَنْ تَحْدُثَ الرِّيبَةُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَدَّتِهَا وَبَعْدَ نِكَاحِهَا فَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ، وَيُوقَفُ عَلَى مَا يَكُونُ فِي حَالِ الْحَمْلِ فَإِنِ انْفَشَّ ثَبَتَ النِّكَاحُ، وَإِنْ وَلَدَتْ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ النِّكَاحِ فَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ، وَهُوَ لَاحِقٌ بِالثَّانِي وَإِنْ كَانَ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ وَهُوَ لَاحِقٌ بِالْأَوَّلِ.

Kedua: Keraguan itu muncul setelah berakhirnya masa iddah dan setelah ia menikah, maka pernikahannya sah, dan ditangguhkan pada apa yang terjadi dalam keadaan hamil. Jika ternyata tidak hamil, maka pernikahan tetap sah. Jika ia melahirkan, maka dilihat: jika anak itu lahir lebih dari enam bulan sejak akad nikah, maka pernikahan sah dan anak itu dinisbatkan kepada suami kedua. Namun jika kurang dari enam bulan, maka pernikahan batal dan anak itu dinisbatkan kepada suami pertama.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَحْدُثَ الرِّيبَةُ بَعْدَ الْعِدَّةِ وَقَبْلَ النِّكَاحِ فَفِي بُطْلَانِ النِّكَاحِ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Keraguan itu muncul setelah iddah dan sebelum pernikahan, maka dalam batalnya pernikahan ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ – أَنَّ النِّكَاحَ جَائِزٌ يُوقَفُ عَلَى مَا تَبَيَّنَ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Sa‘id al-Istakhri, dan Abu ‘Ali bin Khairan, bahwa pernikahan boleh dilakukan dan ditangguhkan hingga jelas keadaannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ – أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa pernikahan batal.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَلَوْ طَلَّقَهَا مَرِيضًا ثَلَاثًا فَمَاتَ مِنْ مَرَضِهِ وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ فَقَدْ قِيلَ لَا تَرِثُ مَبْتُوتَةً وَهَذَا مِمَّا أَسْتَخِيرُ اللَّهَ فِيهِ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَهَذَا قَوْلٌ يَصِحُّ لِمَنْ قَالَ بِهِ قُلْتُ فَالِاسْتِخَارَةُ شَكٌّ وَقَوْلُهُ يَصِحُّ إِبْطَالًا للشك (وقال) فِي اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى: إِنَّ المبتوتة لا ترث وهذا أولى بقوله وبمعنى ظاهر القرآن لأن الله تعالى ورث الزوجة من زوج يرثها لو ماتت قبله فلما كانت إن ماتت لم يرثها وإن مات لم تعتد منه عدة من وفاته خرجت من معنى حكم الزوجة من القرآن واحتج الشافعي رحمه الله على من ورث رجلين كل واحد منهما النصف من ابن ادعياه وورث الابن إن ماتا قبله الجميع فقال الشافعي رحمه الله إنما يرث الناس من حيث يورثون يقول الشافعي فإن كانا يرثانه نصفين بالبنوة فكذلك يرثهما نصفين بالأبوة (قال المزني) رحمه الله فكذلك إنما ترث المرأة الزوج من حيث يرث الزوج المرأة بمعنى النكاح فإذا ارتفع النكاح بإجماع ارتفع حكمه والموارثة به ولما أجمعوا أنه لا يرثها لأنه ليس بزوج كان كذلك أيضاً لا ترثه لأنها ليست بزوجة وبالله التوفيق (قال الشافعي) رحمه الله فإن قيل قد ورثها عثمان قيل وقد أنكر ذلك عبد الرحمن بن عوف في حياته على عثمان رضي الله عنهما إن مات أو يورثها منه وقال ابْنِ الزُّبَيْرِ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أَرَ أن ترث مبتوتة وهذا اختلاف وسبيله القياس وهو ما قلنا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang suami yang sedang sakit mentalak istrinya tiga kali lalu ia meninggal dunia karena sakitnya itu, sementara istrinya masih dalam masa ‘iddah, maka telah dikatakan bahwa istri yang ditalak ba’in tidak berhak mewarisi. Dalam hal ini aku memohon petunjuk kepada Allah.” (Al-Muzani rahimahullah berkata) Dan beliau (Imam Syafi‘i) juga berkata di tempat lain: “Ini adalah pendapat yang sah bagi siapa yang berpendapat demikian.” Aku (Al-Muzani) berkata: Maka permohonan petunjuk itu menunjukkan adanya keraguan, dan ucapannya bahwa pendapat itu sah adalah penegasan atas keraguan tersebut. (Beliau juga) berkata dalam perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila: “Sesungguhnya istri yang ditalak ba’in tidak berhak mewarisi, dan ini lebih sesuai dengan pendapat beliau dan makna lahiriah Al-Qur’an, karena Allah Ta‘ala mewariskan kepada istri dari suami yang akan mewarisinya jika ia wafat lebih dahulu. Maka ketika istri yang ditalak ba’in, jika ia wafat, suaminya tidak mewarisinya, dan jika suaminya wafat, ia tidak menjalani masa ‘iddah wafat darinya, maka ia keluar dari makna hukum istri menurut Al-Qur’an. Imam Syafi‘i rahimahullah berdalil terhadap orang yang mewariskan dua laki-laki, masing-masing setengah dari seorang anak yang mereka akui, dan mewariskan seluruh harta kepada anak itu jika kedua laki-laki itu wafat lebih dahulu, maka Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: ‘Seseorang hanya mewarisi dari tempat di mana ia juga diwarisi.’ Imam Syafi‘i berkata: ‘Jika keduanya mewarisi setengah-setengah karena hubungan anak, maka demikian pula anak itu mewarisi keduanya setengah-setengah karena hubungan ayah.’ (Al-Muzani rahimahullah berkata): Demikian pula, seorang wanita hanya mewarisi dari suaminya dari tempat di mana suami mewarisi dari istrinya, yaitu karena hubungan pernikahan. Jika pernikahan itu hilang berdasarkan ijmā‘, maka hukum dan kewarisan karena pernikahan itu juga hilang. Dan ketika telah disepakati bahwa suami tidak mewarisi istri karena ia bukan lagi suami, maka demikian pula istri tidak mewarisi suami karena ia bukan lagi istri. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan. (Imam Syafi‘i rahimahullah berkata): Jika dikatakan bahwa Utsman telah mewariskan (istri yang ditalak ba’in), maka telah diingkari oleh Abdurrahman bin ‘Auf semasa hidup Utsman radhiyallahu ‘anhuma, jika suami wafat atau mewariskan istri darinya. Dan Ibnu Zubair berkata: ‘Seandainya aku, aku tidak akan berpendapat bahwa istri yang ditalak ba’in berhak mewarisi.’ Ini adalah perbedaan pendapat dan jalannya adalah qiyās, yaitu seperti yang telah kami katakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ ” الْفَرَائِضِ “، وَفِي كِتَابِ ” الطَّلَاقِ ” وَأَعَادَ ذِكْرَهَا فِي كِتَابِ ” الْعِدَدِ ” لِمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا مِنَ الْمِيرَاثِ، وَالطَّلَاقِ، وَالْعِدَّةِ.

Al-Mawardi berkata: Permasalahan ini telah dibahas dalam kitab “Al-Farā’idh” dan dalam kitab “At-Thalāq”, dan diulang penyebutannya dalam kitab “Al-‘Iddah” karena terkait dengan masalah warisan, talak, dan masa ‘iddah.

وَجُمْلَتُهُ: أَنَّ الْمُطَلَّقَةَ ثَلَاثًا فِي الْمَرَضِ يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا، فَإِنْ كَانَ الْمَرِيضُ هِيَ الزَّوْجَةُ الْمُطَلَّقَةُ فَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا سَوَاءٌ مَاتَ الزَّوْجُ أَوِ الزَّوْجَةُ، وَإِنْ كَانَ الْمَرِيضُ هُوَ الزَّوْجُ الْمُطَلِّقُ، فَإِنْ مَاتَتِ الزَّوْجَةُ لَمْ يَرِثْهَا، وَإِنْ مَاتَ الزَّوْجُ فَفِي تَوْرِيثِهَا مِنْهُ أَرْبَعَةُ أَقَاوِيلَ:

Kesimpulannya: Bahwa istri yang ditalak tiga kali saat suaminya sakit, maka talaknya jatuh atasnya. Jika yang sakit adalah istri yang ditalak, maka tidak ada saling mewarisi di antara keduanya, baik suami yang meninggal atau istri yang meninggal. Namun jika yang sakit adalah suami yang mentalak, maka jika istri meninggal, suami tidak mewarisinya. Jika suami meninggal, maka dalam hal istri mewarisi dari suaminya terdapat empat pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ الْأَظْهَرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ.

Pertama: Dan ini adalah pendapat yang paling kuat dalam mazhab Syafi‘i.

وَبِهِ قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ – لَا مِيرَاثَ لَهَا بِحَالٍ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ.

Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abdullah bin Zubair – radhiyallāhu ‘anhum – bahwa istri tidak berhak mewarisi dalam keadaan apa pun, dan ini juga dipilih oleh Al-Muzani.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنْ مَاتَ فِي عِدَّتِهَا وَرِثَتْهُ وَاعْتَدَّتْ عِدَّةَ الْوَفَاةِ وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ الْعِدَّةِ لَمْ تَرِثْهُ، وَهَذَا قَوْلُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ.

Pendapat kedua: Jika suami meninggal dalam masa ‘iddahnya, maka istri mewarisinya dan menjalani masa ‘iddah wafat. Namun jika suami meninggal setelah masa ‘iddah selesai, maka istri tidak mewarisinya. Ini adalah pendapat Utsman bin ‘Affan – radhiyallāhu ‘anhu – dan merupakan mazhab Abu Hanifah.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: إِنَّهَا تَرِثُ مَا لَمْ تَتَزَوَّجْ، فَإِنْ تَزَوَّجَتْ لَمْ تَرِثْ، وَهَذَا قَوْلُ الشَّعْبِيِّ، وَابْنِ أَبِي لَيْلَى.

Pendapat ketiga: Istri mewarisi selama ia belum menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia tidak mewarisi. Ini adalah pendapat Asy-Sya‘bi dan Ibnu Abi Laila.

وَالْقَوْلُ الرَّابِعُ: تَرِثُ أَبَدًا وَإِنْ تَزَوَّجَتْ.

Pendapat keempat: Istri tetap mewarisi selamanya, meskipun ia telah menikah lagi.

وَبِهِ قَالَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَعَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي تَوْجِيهِ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ وَمِنَ التَّفْرِيعِ فِي ذَلِكَ مَا أَغْنَى عن الإعادة.

Pendapat ini dipegang oleh Ubay bin Ka‘b dan ‘Aisyah – radhiyallāhu ‘anhā – dan merupakan mazhab Malik. Penjelasan mengenai alasan pendapat-pendapat ini dan cabang-cabang hukumnya telah dibahas sebelumnya sehingga tidak perlu diulang.

مسألة: قال الشافعي: ” وَلَوْ طَلَّقَ إِحْدَى امْرَأَتَيْهِ ثَلَاثًا فَمَاتَ وَلَا تُعْرَفُ اعْتَدَّتَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا تُكَمِّلُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فِيهَا ثَلَاثَ حِيَضٍ “.

Masalah: Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang suami mentalak salah satu dari dua istrinya tiga kali lalu ia meninggal dunia dan tidak diketahui siapa yang ditalak, maka keduanya wajib menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, dan masing-masing dari keduanya menyempurnakan tiga kali haid di dalamnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ طَلَّقَ إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ ثُمَّ مَاتَ فَطَلَاقُهُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: مُعَيَّنٍ، وَمُبْهَمٍ فَإِنْ كَانَ طَلَاقُهُ مُعَيَّنًا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah: Seorang laki-laki mentalak salah satu dari dua istrinya, kemudian ia meninggal dunia. Maka talaknya terbagi menjadi dua: talak yang ditentukan (jelas siapa yang ditalak), dan talak yang tidak ditentukan (tidak jelas siapa yang ditalak). Jika talaknya ditentukan, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يُبَيِّنَ قَبْلَ مَوْتِهِ أَوْ لَا يُبَيِّنُ، فَإِنْ بَيَّنَ الْمُطَلَّقَةَ مِنْهُمَا قَبْلَ مَوْتِهِ فَقَدْ زَالَ حُكْمُ الْإِشْكَالِ وَأُجْرِيَ عَلَى الْمُطَلَّقَةِ حُكْمُهَا فِي الطَّلَاقِ وَالْعِدَّةِ، وَأُجْرِيَ عَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا حُكْمُهَا فِي الْمِيرَاثِ وَالْعِدَّةِ، وَإِنْ لَمْ يُبَيِّنْ وَكَانَ عِنْدَ الْوَرَثَةِ بَيَانٌ عُمِلَ عَلَى بَيَانِهِمْ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَ الْوَرَثَةِ بَيَانٌ فَقَدْ أُشْكِلَتِ الْمُطَلَّقَةُ مِنَ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا فَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا مِنْ أَنْ تَتَّفِقَ أَحْوَالُهَا أَوْ تَخْتَلِفَ، فَإِنِ اتَّفَقَتْ أَحْوَالُهُمَا فَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَالْمُطَلَّقَةُ مِنْهُمَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا وَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا عَلَيْهَا الْعِدَّةُ، وَإِذَا أَشْكَلَتَا اعْتَدَّتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا اسْتِظْهَارًا لِلْمُتَوَفَّى عَنْهَا عِدَّةَ الْوَفَاةِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ فِيهَا حَيْضٌ لِتَنْقَضِيَ عِدَّةُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا وَلَا يَضُرُّ اعْتِدَادُ الْمُطَلَّقَةِ فِي حُكْمِ الِاسْتِظْهَارِ مَعَ حُدُوثِ الْإِشْكَالِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا، فعلى كل واحد منهما والعدة يَقِينًا لَكِنَّهُمَا يَخْتَلِفَانِ فِيهِمَا، فَعَلَى الْمُطَلَّقَةِ عِدَّةُ الطَّلَاقِ وَعَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا عِدَّةُ الْوَفَاةِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا مَعَ اتِّفَاقِهِمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Bisa jadi ia (suami) menjelaskan (siapa yang dicerai) sebelum wafatnya, atau tidak menjelaskan. Jika ia telah menjelaskan siapa yang dicerai di antara keduanya sebelum wafatnya, maka hilanglah status keraguan, dan diberlakukan pada yang dicerai hukum-hukum talak dan ‘iddah, serta diberlakukan pada yang ditinggal wafat suaminya hukum-hukum warisan dan ‘iddah. Jika ia tidak menjelaskan, namun para ahli waris memiliki penjelasan, maka dipakai penjelasan mereka. Jika para ahli waris pun tidak memiliki penjelasan, maka status siapa yang dicerai dan siapa yang ditinggal wafat suaminya menjadi samar. Maka, keadaan keduanya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah keadaan keduanya sama atau berbeda. Jika keadaan keduanya sama, maka tidak lepas dari dua hal: apakah suami sudah berhubungan (jima’) dengannya atau belum. Jika belum berhubungan, maka yang dicerai di antara keduanya tidak ada kewajiban ‘iddah atasnya, sedangkan yang ditinggal wafat suaminya wajib menjalani ‘iddah. Jika keduanya sama-sama tidak jelas, maka masing-masing dari keduanya wajib menjalani ‘iddah ihtiyāṭ (kehati-hatian) untuk yang ditinggal wafat suaminya, yaitu ‘iddah wafat selama empat bulan sepuluh hari, dan tidak disyaratkan adanya haid untuk berakhirnya ‘iddah wafat, serta tidak mengapa jika yang dicerai juga menjalani ‘iddah sebagai bentuk kehati-hatian ketika terjadi keraguan. Jika suami sudah berhubungan dengannya, maka masing-masing dari keduanya wajib menjalani ‘iddah secara yakin, namun keduanya berbeda dalam hal ini: yang dicerai wajib menjalani ‘iddah talak, sedangkan yang ditinggal wafat suaminya wajib menjalani ‘iddah wafat. Dalam kondisi seperti ini, keadaan keduanya yang sama tidak lepas dari tiga bagian:

إِمَّا أَنْ يَكُونَا مِنْ ذَوَاتِ الْحَمْلِ، أَوْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ، أَوْ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ، فَإِنْ كَانَتَا مِنْ ذَوَاتِ الْحَمْلِ فَقَدِ اتَّفَقَا فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ، وَعِدَّةِ الْوَفَاةِ، لِأَنَّ عِدَّةَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَضْعُ الْحَمْلِ فَأَيَّتُهُمَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، وَإِنْ كَانَتَا مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الطلاق في أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَائِنًا أَوْ رَجْعِيًّا، فَإِنْ كَانَ رَجْعِيًّا فَلَا يَخْلُو مَوْتِ الزَّوْجِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ أَوْ بَعْدَهَا، فَإِنْ كَانَ مَوْتُهُ قَبْلَ انْقِضَاءِ العدة فكل واحد مِنْهُمَا زَوْجَةٌ تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ وَيُحْكَمُ لَهَا بِالْمِيرَاثِ، لِأَنَّ الرَّجْعِيَّةَ زَوْجَةٌ مَا لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا فَعَلَى هَذَا تَعْتَدُّ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ اعْتِدَادًا يَشْتَرِكَانِ فِي وُجُوبِهِ وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ فِيهِمَا حَيْضٌ، وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَالْمُطَلَّقَةُ مِنْهُمَا قَدْ بَانَتْ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا هِيَ الزَّوْجَةُ الْمُعْتَدَّةُ، وَلَكِنَّ إِشْكَالَهُمَا قَدْ أَوْجَبَ أَنْ تَعْتَدَّ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَرْبَعَةِ أشهر وعشر ولا يلزم أن يكون فيها حَيْضٌ وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا فَلَا يَخْلُو مَوْتُ الزَّوْجِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Bisa jadi keduanya termasuk wanita yang hamil, atau termasuk wanita yang masa ‘iddahnya dengan haid, atau termasuk wanita yang masa ‘iddahnya dengan bulan (bukan haid atau hamil). Jika keduanya termasuk wanita yang hamil, maka keduanya sama dalam ‘iddah talak dan ‘iddah wafat, karena ‘iddah masing-masing dari keduanya adalah sampai melahirkan. Maka siapa pun di antara keduanya yang melahirkan, selesai ‘iddahnya. Jika keduanya termasuk wanita yang masa ‘iddahnya dengan haid, maka keadaan talak tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah talaknya bā’in atau raj‘i. Jika talaknya raj‘i, maka wafatnya suami tidak lepas dari dua kemungkinan: sebelum berakhirnya ‘iddah atau setelahnya. Jika wafatnya sebelum berakhirnya ‘iddah, maka masing-masing dari keduanya adalah istri yang wajib menjalani ‘iddah wafat dan berhak mendapat warisan, karena wanita yang ditalak raj‘i masih berstatus istri selama ‘iddahnya belum selesai. Dalam hal ini, masing-masing dari keduanya wajib menjalani ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, sebagai ‘iddah yang wajib atas keduanya, dan tidak disyaratkan adanya haid dalam masa itu. Jika suami wafat setelah berakhirnya ‘iddah, maka yang dicerai di antara keduanya telah benar-benar berpisah dengan berakhirnya ‘iddah, sedangkan yang ditinggal wafat suaminya adalah istri yang sedang menjalani ‘iddah. Namun, karena status keduanya yang samar, maka masing-masing dari keduanya wajib menjalani ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, dan tidak disyaratkan adanya haid. Jika talaknya bā’in, maka wafatnya suami tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَمُوتَ عَقِيبَ الطَّلَاقِ قَبْلَ مُضِيِّ شَيْءٍ مِنَ الْعِدَّةِ فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، وَعِدَّةُ الْمُطَلَّقَةِ مِنْهَا ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ وَعِدَّةُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ، وَقَدْ أَشْكَلَتْ فَأَوْجَبَ إِشْكَالُهُمَا الِاحْتِيَاطَ فِي عِدَّتِهِمَا، وَذَلِكَ بِأَنْ تَعْتَدَّ كُلُّ وَاحِدَةٍ بِأَقْصَى الْأَجَلَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ أَوْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ، فَإِنْ مَضَتْ ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ مَكَثَتْ تَمَامَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ اسْتِكْمَالًا لِعِدَّةِ الْوَفَاةِ، وَإِنْ مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَبْلَ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ مَكَثَتْ تَمَامَ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ اسْتِكْمَالَا لِعِدَّةِ الطَّلَاقِ وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: ” اعْتَدَّتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ فِيهَا ثَلَاثُ حِيَضٍ “، لِأَنَّ الْإِشْكَالَ فِيمَا يَجِبُ عَلَيْهَا مِنَ الْعِدَّتَيْنِ قَدْ أَوْجَبَ حَمْلَهُمَا عَلَى أَغْلَظِ الْأَمْرَيْنِ احْتِيَاطًا فِي الْعِدَّةِ وَاسْتِظْهَارًا لِلْعِبَادَةِ كَمَنْ أَشْكَلَتْ عَلَيْهِ صَلَاةٌ مِنْ صَلَاتَيْنِ وَجَبَ أَنْ يَقْضِيَهُمَا عِنْدَ الْإِشْكَالِ كَذَلِكَ هَاهُنَا.

Salah satunya: jika suami meninggal dunia setelah menjatuhkan talak sebelum berlalu sedikit pun dari masa ‘iddah, maka inilah masalah yang disebutkan dalam kitab. Masa ‘iddah perempuan yang ditalak adalah tiga quru’ (masa suci atau haid), sedangkan masa ‘iddah perempuan yang ditinggal wafat suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Permasalahan ini menjadi rumit, sehingga kerumitan tersebut mewajibkan kehati-hatian dalam menjalani kedua ‘iddah tersebut, yaitu dengan cara setiap perempuan menjalani ‘iddah dengan mengambil masa terpanjang di antara dua masa tersebut, yaitu tiga quru’ atau empat bulan sepuluh hari. Jika tiga quru’ telah berlalu sebelum empat bulan sepuluh hari, maka ia tetap menunggu hingga genap empat bulan sepuluh hari untuk menyempurnakan ‘iddah wafat. Jika empat bulan sepuluh hari telah berlalu sebelum tiga quru’, maka ia tetap menunggu hingga genap tiga quru’ untuk menyempurnakan ‘iddah talak. Inilah maksud perkataan asy-Syafi‘i: “Setiap dari keduanya menjalani ‘iddah empat bulan sepuluh hari yang di dalamnya terdapat tiga kali haid,” karena kerumitan dalam menentukan kewajiban ‘iddah yang harus dijalani mewajibkan untuk mengambil yang paling berat di antara keduanya sebagai bentuk kehati-hatian dalam ‘iddah dan untuk memastikan pelaksanaan ibadah, sebagaimana seseorang yang ragu antara dua salat, maka ia wajib mengqadha keduanya ketika terjadi keraguan, demikian pula dalam hal ini.

والْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَمُوتَ الزَّوْجُ بَعْدَ مُضِيِّ الْعِدَّةِ وَبَقَاءِ بَعْضِهَا، كَأَنَّهُ مَاتَ وَقَدْ مَضَى مِنَ الْعِدَّةِ قُرْءُ وَبَقِيَ قُرْءَانِ فَعَلَى كُلِّ واحدة منهما أن تعتد بأربعة أشهر فيما حَيْضَتَانِ، فَإِنْ مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَبْلَ حَيْضَتَانِ مَكَثَتْ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ حَيْضَتَيْنِ لِتَنْقَضِيَ بِالْحَيْضَتَيْنِ عِدَّةُ الطَّلَاقِ وَبِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ عِدَّةُ الْوَفَاةِ.

Keadaan kedua: jika suami meninggal dunia setelah sebagian masa ‘iddah berlalu dan sebagian lagi masih tersisa, misalnya suami meninggal setelah satu quru’ berlalu dan masih tersisa dua quru’, maka masing-masing dari keduanya wajib menjalani ‘iddah empat bulan sepuluh hari, di mana di dalamnya terdapat dua kali haid. Jika empat bulan sepuluh hari telah berlalu sebelum dua kali haid, maka ia tetap menunggu hingga genap dua kali haid agar ‘iddah talak selesai dengan dua kali haid dan ‘iddah wafat selesai dengan empat bulan sepuluh hari.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمُوتَ الزَّوْجُ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَلَيْسَ عَلَى الْمُطَلَّقَةِ عِدَّةٌ وَعَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ، وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ فِيهَا حَيْضٌ، لِأَنَّهَا عِدَّةُ وَفَاةٍ مَحْضَةٍ اخْتَصَّتْ بِإِحْدَاهُمَا، وَإِنَّمَا اشْتَرَكَا فِي الْتِزَامِهِمَا بِحُكْمِ الْإِشْكَالِ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ فَعِدَّةُ الْمُطَلَّقَةِ مِنْهُمَا ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ، وَعِدَّةُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ فَتَعْتَدُّ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا عِنْدَ الْإِشْكَالِ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ عَلَى الْأَحْوَالِ كُلِّهَا فَهَذَا حُكْمُهُمَا مَعَ اتِّفَاقِ أَحْوَالِهِمَا.

Keadaan ketiga: jika suami meninggal dunia setelah masa ‘iddah selesai, maka perempuan yang ditalak tidak lagi memiliki kewajiban ‘iddah, sedangkan perempuan yang ditinggal wafat suaminya wajib menjalani ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, dan tidak disyaratkan harus ada haid di dalamnya, karena itu adalah murni ‘iddah wafat yang khusus berlaku bagi salah satunya. Keduanya hanya sama dalam hal kewajiban menjalani ‘iddah karena adanya keraguan. Jika termasuk perempuan yang masa ‘iddahnya dengan hitungan bulan, maka masa ‘iddah perempuan yang ditalak adalah tiga bulan, sedangkan masa ‘iddah perempuan yang ditinggal wafat suaminya adalah empat bulan. Maka masing-masing dari keduanya, ketika terjadi keraguan, menjalani ‘iddah selama empat bulan dalam segala keadaan. Inilah hukum keduanya jika keadaan mereka sama.

فَأَمَّا إِنِ اخْتَلَفَتْ أَحْوَالُهُمَا فَكَانَتْ إِحْدَاهُمَا مَدْخُولًا بِهَا وَالْأُخْرَى غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا، أَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا حَامِلًا وَالْأُخْرَى حَائِلًا، أَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ، وَالْأُخْرَى مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ، فَأُجْرِيَ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا حُكْمُهَا الَّذِي أَجْرَتْهُ عَلَيْهَا لَوْ شاركتها الأخرى من صِفَتِهَا فَتُجْرِي عَلَى الْمَدْخُولِ بِهَا حُكْمَهَا كَمَا لَوْ كَانَتِ الْأُخْرَى مَدْخُولًا بِهَا وَتُجْرِي عَلَى غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا حُكْمَهَا لَوْ كَانَتِ الْأُخْرَى غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا، وَتُجْرِي عَلَى الْحَامِلِ حُكْمَهَا لَوْ كَانَتِ الْأُخْرَى حَامِلًا، وَيَجْرِي عَلَى الْحَائِلِ حكمها لَوْ كَانَتِ الْأُخْرَى حَائِلًا، وَيَجْرِي عَلَى ذَوَاتِ الأقراء حكمها لَوْ كَانَتِ الْأُخْرَى ذَاتَ الْأَقْرَاءِ وَعَلَى ذَاتِ الشهور حكمها إذا لو كَانَتِ الْأُخْرَى ذَاتَ شُهُورٍ.

Adapun jika keadaan keduanya berbeda, misalnya salah satunya telah digauli dan yang lainnya belum, atau salah satunya hamil dan yang lainnya tidak, atau salah satunya termasuk perempuan yang masa ‘iddahnya dengan quru’ dan yang lainnya dengan bulan, maka masing-masing dari keduanya menjalani hukum yang berlaku baginya seandainya yang lain memiliki sifat yang sama dengannya. Maka, pada yang telah digauli diterapkan hukumnya sebagaimana jika yang lain juga telah digauli, pada yang belum digauli diterapkan hukumnya sebagaimana jika yang lain juga belum digauli, pada yang hamil diterapkan hukumnya sebagaimana jika yang lain juga hamil, pada yang tidak hamil diterapkan hukumnya sebagaimana jika yang lain juga tidak hamil, pada yang masa ‘iddahnya dengan quru’ diterapkan hukumnya sebagaimana jika yang lain juga demikian, dan pada yang masa ‘iddahnya dengan bulan diterapkan hukumnya sebagaimana jika yang lain juga demikian.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَ طَلَاقُ الزَّوْجِ مِنْهَا، كَأَنَّهُ قَالَ: إِحْدَاكُمَا طَالِقٌ، وَلَمْ يُشِرْ بِالطَّلَاقِ إِلَى وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فَلَهُ تَعْيِينُهُ فِيمَنْ شَاءَ بَعْدَ وُقُوعِهِ عَلَى وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا غَيْرِ مُعَيَّنَةٍ.

Jika talak dijatuhkan oleh suami terhadap salah satu dari keduanya, misalnya ia berkata: “Salah satu dari kalian berdua tertalak,” dan ia tidak menunjuk secara spesifik kepada salah satunya, maka ia berhak menentukan siapa yang dimaksud setelah talak jatuh pada salah satu dari keduanya yang tidak ditentukan.

وَقَالَ دَاوُدُ: لَا يَقَعُ الْمُبْهَمُ وَلَا يَتَعَيَّنُ إِذَا عَيَّنَهُ، لِأَنَّ مَا لَمْ يَسْتَقِرَّ حُكْمُهُ بِاللَّفْظِ لَمْ يَسْتَقِرَّ حُكْمُهُ بَعْدَ اللَّفْظِ، وَهَذَا فَاسِدٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ: النِّكَاحُ، وَالطَّلَاقُ، وَالرَّجْعَةُ “. وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ مَوْقُوفًا عَلَى الصِّفَاتِ وَالْمُبْهَمُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا، وَلِأَنَّ حُكْمَ اللَّفْظِ مُسْتَقِرٌّ فِي طَلَاقِ إِحْدَاهُمَا، وَإِنَّمَا وُقِفَ تَعَيُّنُ الْمُطَلَّقَةِ عَلَى خِيَارٍ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ أُخِذَ بِالتَّعْيِينِ فِيمَنْ شَاءَ مِنْهُمَا، وَهَلْ يَكُونُ وَطْؤُهُ تَعْيِينًا لِلطَّلَاقِ فِي غَيْرِ الْمَوْطُوءَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ، فَإِذَا عُيِّنَ الطَّلَاقُ فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فَهَلْ يَكُونُ وُقُوعُهُ فِي وَقْتِ اللَّفْظِ أَمْ مِنْ وَقْتِ التَّعْيِينِ عَلَى وَجْهَيْنِ، فَإِنْ فَاتَ التَّعْيِينُ مِنْ جِهَتِهِ فَهَلْ لِلْوَارِثِ تَعْيِينُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ.

Dan Dawud berkata: Talak yang mubham (tidak jelas kepada siapa ditujukan) tidak jatuh dan tidak menjadi tertentu meskipun kemudian ditentukan, karena sesuatu yang hukumnya belum tetap dengan lafaz, maka hukumnya juga tidak tetap setelah lafaz itu. Pendapat ini rusak (tidak benar) karena sabda Nabi ﷺ: “Tiga perkara yang sungguh-sungguhnya adalah sungguh-sungguh dan bercandanya pun dianggap sungguh-sungguh: nikah, talak, dan rujuk.” Dan karena talak dapat terjadi dengan syarat-syarat tertentu, sedangkan yang mubham adalah salah satunya. Dan karena hukum lafaz telah tetap pada talak salah satu dari keduanya, hanya saja penentuan siapa yang ditalak ditangguhkan pada pilihan, dan jika demikian, maka penentuan itu diambil pada siapa saja yang dikehendaki di antara keduanya. Apakah hubungan suami-istri (jima‘) menjadi penentu talak bagi selain yang digauli atau tidak? Ada dua pendapat. Jika talak telah ditentukan pada salah satu dari keduanya, maka apakah kejadiannya dihitung sejak waktu pengucapan lafaz atau sejak waktu penentuan? Ada dua pendapat. Jika penentuan itu terlewatkan dari pihaknya, apakah ahli warisnya boleh menentukan setelah kematiannya atau tidak? Ada dua pendapat.

فَإِذَا ثَبَتَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ وَمَاتَ الرَّجُلُ قَبْلَ التَّعْيِينِ.

Jika ketentuan ini telah tetap dan laki-laki itu meninggal sebelum penentuan (siapa yang ditalak).

فَإِنْ قِيلَ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ بِاللَّفْظِ فَأَوَّلُ الْعِدَّةِ مِنْ حِينِ تَلَفَّظَ بِالطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَمَا لو أوقع الطلاق فيه معنياً فِي اعْتِبَارِهِ تَلَفَّظَ بِالطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَمَا لَوْ أَوْقَعَ الطَّلَاقَ فِيهِ مُعَيَّنًا فِي اعْتِبَارِهِ بَائِنًا أَوْ رَجْعِيًّا وَفِي اعْتِبَارِهِ مَا بَيْنَ الطَّلَاقِ وَالْمَوْتِ، وَإِنْ قِيلَ بِوُقُوعِ الطَّلَاقِ بِالتَّعْيِينِ فَأَوَّلُ الْعِدَّةِ مِنْ حِينِ الْمَوْتِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَمَا لَوْ مَاتَ عَقِيبَ الطَّلَاقِ الْمُعَيَّنِ.

Jika dikatakan bahwa talak jatuh dengan lafaz, maka awal masa ‘iddah dihitung sejak ia mengucapkan talak. Dengan demikian, hal itu seperti ia menjatuhkan talak secara tertentu, dalam pertimbangannya ia telah mengucapkan talak, sehingga dianggap seperti ia menjatuhkan talak secara tertentu, baik itu talak ba’in maupun raj‘i, dan dalam pertimbangannya adalah masa antara talak dan kematian. Namun jika dikatakan bahwa talak jatuh dengan penentuan, maka awal masa ‘iddah dihitung sejak kematian, sehingga keadaannya seperti seseorang yang meninggal setelah menjatuhkan talak yang tertentu.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا مَاتَ عَنْ زَوْجَتِهِ فَنَكَحَتْ بَعْدَ شَهْرَيْنِ مِنْ عِدَّتِهِ وَأَصَابَهَا مَعَ دُخُولِ الشُّبْهَةِ عَلَيْهِ وَجَاءَتْ بِوَلَدٍ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَعَدِمَتِ الْقَافَةُ فِي إِلْحَاقِهِ بِهِ عُلِمَ أَنَّهُ قَدِ انْقَضَتْ عِدَّةُ إِحْدَاهُمَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ، وَلَزِمَهَا عِدَّةُ الْآخَرِ كَانَ الحمل لاحقاً بالميت اعتدت مِنَ الثَّانِي بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، وَإِنْ كَانَ لَاحِقًا بِالثَّانِي اعْتَدَّتْ لِلْأَوَّلِ بَقِيَّةَ عِدَّتِهِ شَهْرَيْنِ وَعَشَرَةَ أَيَّامٍ، وَإِذَا أَشْكَلَ فَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِأَقْصَى الْأَجَلَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ أَوْ شَهْرَيْنِ وَعَشَرَةِ أَيَّامٍ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ -.

Jika seorang laki-laki meninggal dunia dan istrinya menikah lagi setelah dua bulan dari masa ‘iddahnya, lalu ia digauli dengan adanya syubhat (keraguan) pada suaminya yang baru, kemudian ia melahirkan seorang anak yang secara kemungkinan bisa berasal dari kedua suaminya, dan tidak ditemukan ahli qāfah (pakar nasab) untuk menisbatkan anak itu kepada salah satu dari keduanya, maka diketahui bahwa ‘iddah salah satu dari keduanya telah selesai dengan kelahiran anak, dan ia wajib menjalani ‘iddah dari suami yang lain. Jika anak itu dinisbatkan kepada suami yang telah meninggal, maka ia menjalani ‘iddah dari suami kedua dengan tiga kali quru’ (suci). Namun jika anak itu dinisbatkan kepada suami kedua, maka ia menjalani sisa ‘iddah dari suami pertama, yaitu dua bulan sepuluh hari. Jika perkara ini masih samar, maka ia wajib menjalani ‘iddah dengan masa terlama dari dua kemungkinan tersebut, yaitu tiga kali quru’ atau dua bulan sepuluh hari. – Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

(بَابُ مُقَامٍ الْمُطَلَّقَةِ فِي بَيْتِهَا وَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا من كتاب العدد وغيره)

(Bab Tempat Tinggal Perempuan yang Ditalak di Rumahnya dan Perempuan yang Ditinggal Mati Suaminya, dari Kitab al-‘Iddah dan selainnya)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْمُطَلَّقَاتِ {لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أن يأتين بفاحشة مبينة} وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِفُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ حِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ زَوْجَهَا قُتِلَ وَأَنَّهُ لَمْ يَتْرُكْهَا فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ ” امكثي في بيتك حتى يبلغ الكتاب أجله ” وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ الْفَاحِشَةُ الْمُبَيِّنَةُ أَنْ تَبْدُوَ عَلَى أَهْلِ زَوْجِهَا فَإِذَا بَدَتْ فَقَدْ حَلَّ إخراجها (قال الشافعي) رحمه الله هو معنى سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فيما أمر فاطمة بنت قيس أن تعتد في بيت ابن أم مكتوم مع ما جاء عن عائشة رضي الله عنها أنها أرسلت إلى مروان في مطلقة انتقلها ” اتق الله واردد المرأة إلى بيتها ” قال مروان أما بلغك شأن فاطمة؟ فقالت لا عليك أن تذكر فاطمة فقال إن كان بك شر فحسبك ما بين هذين من الشر وعن ابن المسيب تعتد المبتوتة في بيتها فقيل له فأين حديث فاطمة بنت قيس؟ فقال قد فتنت الناس كانت في لسانها ذرابة فاستطالت على أحمائها فأمرها النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن تعتد في بيت ابن أم مكتوم (قال الشافعي) رحمه الله تعالى فعائشة ومروان وابن المسيب يعرفون حديث فاطمة أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمرها أن تعتد في بيت ابن أم مكتوم كما حدثت ويذهبون إلى ذلك إنما كان للشر وكره لها ابن المسيب وغيره أنها كتمت السبب الذي به امرها النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن تعتد في بيت غير زوجها خوفاً أن يسمع ذلك سامع فيرى أن للمبتوتة أن تعتد حيث شاءت (قال الشافعي) رحمه الله تعالى فلم يقل لها النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اعتدي حيث شئت بل خصها إذ كان زوجها غائباً فبهذا كله أقول “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Allah Ta‘ala berfirman tentang para wanita yang ditalak: {Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata}. Dan Rasulullah ﷺ bersabda kepada Fura‘i‘ah binti Malik ketika beliau memberitahukan bahwa suaminya telah terbunuh dan bahwa suaminya tidak meninggalkannya di rumah yang dimilikinya: ‘Tinggallah di rumahmu sampai habis masa iddahmu.’ Ibnu ‘Abbas berkata: Perbuatan keji yang nyata adalah jika tampak pada keluarga suaminya, maka jika telah tampak, maka boleh mengeluarkannya. (Imam Syafi‘i berkata) rahimahullah, inilah makna sunnah Rasulullah ﷺ dalam perintah beliau kepada Fatimah binti Qais untuk menjalani iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum, sebagaimana juga riwayat dari ‘Aisyah ra. bahwa beliau mengirim pesan kepada Marwan dalam kasus seorang wanita yang ditalak dan dipindahkan: ‘Bertakwalah kepada Allah dan kembalikanlah wanita itu ke rumahnya.’ Marwan berkata: ‘Tidakkah engkau mengetahui kisah Fatimah?’ Maka ‘Aisyah menjawab: ‘Tidak perlu engkau sebut-sebut Fatimah.’ Marwan berkata: ‘Jika engkau khawatir keburukan, maka cukuplah keburukan yang ada di antara keduanya.’ Dari Ibnu al-Musayyib: Wanita yang ditalak ba’in menjalani iddah di rumahnya. Lalu ditanyakan kepadanya: ‘Bagaimana dengan hadits Fatimah binti Qais?’ Ia menjawab: ‘Hadits itu telah menimbulkan fitnah di tengah manusia. Fatimah memang memiliki lidah yang tajam sehingga ia berani terhadap keluarga suaminya, maka Nabi ﷺ memerintahkannya untuk menjalani iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum.’ (Imam Syafi‘i berkata) rahimahullah Ta‘ala: Maka ‘Aisyah, Marwan, dan Ibnu al-Musayyib mengetahui hadits Fatimah bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk menjalani iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum sebagaimana yang diriwayatkan, dan mereka berpendapat bahwa hal itu hanya karena adanya keburukan, dan Ibnu al-Musayyib serta yang lain tidak menyukai bahwa Fatimah menyembunyikan sebab yang membuat Nabi ﷺ memerintahkannya menjalani iddah di rumah selain rumah suaminya, karena khawatir ada yang mendengar lalu mengira bahwa wanita yang ditalak ba’in boleh menjalani iddah di mana saja ia mau. (Imam Syafi‘i berkata) rahimahullah Ta‘ala: Maka Nabi ﷺ tidak berkata kepadanya, ‘Jalani iddah di mana saja engkau mau,’ tetapi beliau khususkan karena suaminya sedang tidak ada. Maka dengan semua ini aku berpendapat demikian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَتُهُ أَنَّ عِدَّةَ الزَّوْجَاتِ مِنْ وَجْهَيْنِ مِنْ وَفَاةٍ، وَمِنْ طَلَاقٍ. فَأَمَّا عِدَّةُ الْوَفَاةِ فَلَا نَفَقَةَ فِيهَا، وَفِي السُّكْنَى قَوْلَانِ: نَذْكُرُهُمَا مِنْ بَعْدُ.

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, masa iddah para istri ada dua sebab: karena wafat dan karena talak. Adapun iddah karena wafat, maka tidak ada nafkah di dalamnya, dan mengenai tempat tinggal ada dua pendapat yang akan kami sebutkan setelah ini.

وَأَمَّا عِدَّةُ الطَّلَاقِ فَضَرْبَانِ رَجْعِيٌّ وَبَائِنٌ، فَأَمَّا الرَّجْعِيَّةُ فَلَهَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِبَقَاءِ أَحْكَامِ الزَّوْجِيَّةِ عَلَيْهَا.

Adapun iddah karena talak, terbagi menjadi dua: raj‘i dan ba’in. Untuk yang raj‘i, ia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal karena masih berlakunya hukum-hukum pernikahan atasnya.

وَأَمَّا الْبَائِنُ فَلَهَا حَالَتَانِ: حَائِلٌ وَحَامِلٌ.

Adapun yang ba’in, maka ada dua keadaan: tidak hamil dan hamil.

فَأَمَّا الْحَامِلُ فَلَهَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 6] .

Adapun yang hamil, maka ia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika mereka sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka hingga mereka melahirkan kandungannya} (QS. ath-Thalaq: 6).

وَأَمَّا الْحَائِلُ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ لَهَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Adapun yang tidak hamil, para fuqaha berbeda pendapat tentang kewajiban nafkah baginya menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: لَهَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى.

Pertama: Ia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ، وَابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا.

Pendapat ini dipegang oleh para sahabat seperti ‘Umar dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhuma.

وَمِنَ التَّابِعِينَ: شُرَيْحٌ.

Dan dari kalangan tabi‘in: Syuraih.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: أَبُو حَنِيفَةَ وَصَاحِبَاهُ.

Dan dari kalangan fuqaha: Abu Hanifah dan kedua sahabatnya.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: لَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا سُكْنَى.

Mazhab kedua: Ia tidak berhak mendapatkan nafkah maupun tempat tinggal.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ عَبَّاسٍ.

Pendapat ini dipegang oleh sahabat Ibnu ‘Abbas.

وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ وَالشَّعْبِيُّ، وَعَطَاءٌ.

Dan dari kalangan tabi‘in: al-Hasan, asy-Sya‘bi, dan ‘Atha’.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الزُّهْرِيُّ، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.

Dan dari kalangan fuqaha: az-Zuhri, Ahmad, dan Ishaq.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ لَهَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةَ.

Mazhab ketiga: Ia berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ عُمَرَ، وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا.

Pendapat ini dipegang oleh sahabat Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma.

وَمِنَ التَّابِعِينَ: سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ.

Dan dari kalangan tabi‘in: Sa‘id bin al-Musayyib dan Sulaiman bin Yasar.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الشَّافِعِيُّ، وَمَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَالْفُقَهَاءُ السَّبْعَةُ بِالْمَدِينَةِ.

Dan dari kalangan fuqaha: asy-Syafi‘i, Malik, al-Auza‘i, Ibnu Abi Laila, al-Laits bin Sa‘d, dan tujuh fuqaha Madinah.

فَأَمَّا الْكَلَامُ فِي النَّفَقَةِ فَيَأْتِي.

Adapun pembahasan tentang nafkah akan dijelaskan setelah ini.

وَأَمَّا السُّكْنَى فَاسْتَدَلَّ مَنْ أَسْقَطَهُ بِمَا رَوَاهُ مُجَاهِدٌ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ: بَتَّ زَوْجِي طَلَاقِي فَلَمْ يَجْعَلْ لِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَفَقَةً وَلَا سُكْنَى، وَقَالَ: إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِمَنْ يَمْلِكُ زَوْجُهَا رَجْعَتَهَا.

Adapun mengenai tempat tinggal, maka mereka yang menggugurkan hak tempat tinggal berdalil dengan riwayat yang dibawakan oleh Mujahid dari asy-Sya‘bi dari Fatimah binti Qais, ia berkata: Suamiku telah menjatuhkan talak ba’in kepadaku, maka Rasulullah ﷺ tidak menetapkan nafkah maupun tempat tinggal bagiku, dan beliau bersabda: ‘Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal hanya bagi wanita yang suaminya masih berhak merujuknya.’

وَرَوَى أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ: أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ، وَهُوَ غَائِبٌ بِالشَّامِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ، فَقَالَ: وَاللَّهِ مَا لَكَ عَلَيَّ مِنْ شَيْءٍ، وَإِنَّمَا نَتَطَوَّعُ عَلَيْكِ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ وَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ: تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، قِيلَ: لِأَنَّهَا كَانَتْ تُدَاوِي الْجَرْحَى، اعْتَدِّي فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ حَيْثُ شِئْتِ قَالُوا: وَلِأَنَّ النَّفَقَةَ والسكنى يجريان مجرى واحد لاجتماعهما في الْوُجُوبِ وَفِي السُّقُوطِ؛ لِأَنَّهَا فِي حَالِ الزَّوْجِيَّةِ لَهَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى، فَإِنْ نَشَزَتْ سَقَطَتِ النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى فَإِنْ طُلِّقَتْ رَجْعِيَّةً فَلَهَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى، فَإِنْ طُلِّقَتْ مَبْتُوتَةً فَلَيْسَ لَهَا نَفَقَةٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا السُّكْنَى. وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّ مَا أَسْقَطَ النَّفَقَةَ تُسْقِطُ السُّكْنَى كَالْمَوْتِ، وَالنُّشُوزِ؛ وَلِأَنَّ السُّكْنَى مِنْ مُوجِبَاتِ النِّكَاحِ وَالْمَبْتُوتَةُ قَدْ سَقَطَ حَقُّهَا مِنْ مُوجِبَاتِ النِّكَاحِ كَالنَّفَقَةِ.

Abu Salamah bin ‘Abd ar-Rahman meriwayatkan dari Fatimah binti Qais: Bahwa Abu ‘Amr bin Hafsh menceraikannya dengan talak bain, sementara ia sedang berada di Syam. Lalu wakilnya mengirimkan gandum kepadanya, namun ia tidak menerimanya. Maka wakil itu berkata, “Demi Allah, engkau tidak berhak atas apa pun dariku. Kami hanya bersedekah kepadamu.” Lalu Fatimah datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya. Beliau bersabda, “Engkau tidak berhak atas nafkah darinya,” dan memerintahkannya untuk menjalani masa ‘iddah di rumah Ummu Syarik. Kemudian beliau bersabda, “Wanita itu sering didatangi para sahabatku.” Dikatakan: Karena ia biasa merawat orang-orang yang terluka. “Jalani masa ‘iddah di rumah Ibnu Ummu Maktum, karena ia seorang laki-laki buta, sehingga engkau bisa meletakkan pakaianmu di mana pun engkau mau.” Mereka berkata: Karena nafkah dan tempat tinggal itu berjalan seiring, keduanya sama-sama wajib dan sama-sama gugur; sebab selama dalam status pernikahan, seorang istri berhak atas nafkah dan tempat tinggal. Jika ia nusyuz, maka gugur hak nafkah dan tempat tinggalnya. Jika ditalak raj‘i, maka ia tetap berhak atas nafkah dan tempat tinggal. Namun jika ditalak bain, maka ia tidak berhak atas nafkah, sehingga tidak berhak pula atas tempat tinggal. Penjelasan secara qiyās: Apa yang menggugurkan nafkah, juga menggugurkan tempat tinggal, seperti kematian dan nusyuz; karena tempat tinggal merupakan salah satu kewajiban pernikahan, dan bagi yang ditalak bain telah gugur haknya atas kewajiban pernikahan, sebagaimana nafkah.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} [الطلاق: 1] يَعْنِي مِنْ بُيُوتِ أَزْوَاجِهِنَّ بَعْدَ طَلَاقِهِنَّ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka (sendiri) keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata} [ath-Thalaq: 1], maksudnya dari rumah-rumah suami mereka setelah mereka ditalak.

لِأَنَّ بُيُوتَهُنَّ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهُنَّ مِنْهَا بِحَالٍ وَلَوْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، وَالْفَاحِشَةُ الْمُبَيِّنَةُ ها هنا مَا قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ أَنْ تَبْدُوَ عَلَى أَهْلِ زَوْجِهَا، فَدَلَّ عَلَى اسْتِحْقَاقِ السُّكْنَى فِي عُمُومِ الْمُطَلَّقَاتِ فَإِنْ قِيلَ: الْمُرَادُ بِهِ الرَّجْعِيَّةُ دُونَ الْمَبْتُوتَةِ، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا} [الطلاق: 1] يَعْنِي رَجْعَةً.

Karena rumah-rumah mereka tidak boleh mengeluarkan mereka dalam keadaan apa pun, meskipun mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Adapun “perbuatan keji yang nyata” di sini, menurut Ibnu ‘Abbas adalah jika perbuatan itu tampak di hadapan keluarga suaminya. Maka ini menunjukkan bahwa hak tempat tinggal berlaku umum bagi seluruh perempuan yang ditalak. Jika dikatakan: Yang dimaksud adalah perempuan yang ditalak raj‘i saja, bukan yang ditalak bain, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Mudah-mudahan Allah mengadakan sesudah itu suatu urusan yang baru} [ath-Thalaq: 1], maksudnya rujuk.

فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Maka ada dua jawaban atas hal itu:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الَّذِي يُحْدِثُهُ نِكَاحًا.

Pertama: Bisa jadi yang dimaksud dengan “urusan yang baru” itu adalah pernikahan.

وَالثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَوَّلُ الْكَلَامِ عَامًّا فِي الرَّجْعِيَّةِ وَالْمَبْتُوتَةِ، وَآخِرُهُ خَاصًّا فِي الرَّجْعِيَّةِ دُونَ الْمَبْتُوتَةِ، وَقَالَ تَعَالَى: {أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ} [الطلاق: 6] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الزَّوْجَاتِ وَالْمُطَلَّقَاتِ وَإِنْ كَانَ بِالْمُطَلَّقَاتِ أَخَصَّ؛ لِأَنَّ مَا قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا دَلِيلٌ عَلَيْهِ.

Kedua: Bisa jadi awal ayat tersebut bersifat umum untuk perempuan yang ditalak raj‘i maupun bain, sedangkan akhirnya khusus untuk yang ditalak raj‘i saja, tidak untuk yang ditalak bain. Allah Ta‘ala juga berfirman: {Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu} [ath-Thalaq: 6], maka ayat ini berlaku umum untuk para istri dan perempuan yang ditalak, meskipun lebih khusus untuk perempuan yang ditalak, karena konteks sebelum dan sesudahnya menunjukkan demikian.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِفُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ، وَهِيَ أُخْتُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ حِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ زَوْجَهَا قُتِلَ، وَلَمْ يَتْرُكْهَا فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ فَلَمَّا أَوْجَبَ السُّكْنَى لَهَا فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ فَأَوْلَى أَنْ تَجِبَ لَهَا فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ، وَلِأَنَّهَا مُعْتَدَّةٌ مِنْ طَلَاقٍ فَوَجَبَ لَهَا السُّكْنَى كَالرَّجْعِيَّةِ.

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ berkata kepada Fura‘i‘ah binti Malik, saudara perempuan Abu Sa‘id al-Khudri, ketika ia memberitahukan bahwa suaminya telah terbunuh dan tidak meninggalkannya di rumah yang ia miliki: “Tinggallah di rumahmu hingga habis masa ‘iddahmu.” Maka ketika beliau mewajibkan tempat tinggal baginya dalam masa ‘iddah karena wafat, maka lebih utama lagi tempat tinggal itu wajib baginya dalam masa ‘iddah karena talak. Dan karena ia adalah perempuan yang menjalani masa ‘iddah akibat talak, maka wajib baginya tempat tinggal sebagaimana perempuan yang ditalak raj‘i.

فَأَمَّا حَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ فَكَانَ لِإِخْرَاجِهَا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا بِسَبَبٍ كَتَمَتْهُ وَقَدْ وَرَدَ مِنْ طَرِيقَيْنِ:

Adapun hadis Fatimah binti Qais, maka itu adalah karena ia dikeluarkan dari rumah suaminya dengan sebab yang ia sembunyikan, dan hadis itu datang melalui dua jalur:

أَحَدُهُمَا: مَا رَوَاهُ مَيْمُونُ بْنُ مِهْرَانَ قَالَ: دَخَلْتُ الْمَدِينَةَ فَسَأَلْتُ عَنْ أَفْقَهِ النَّاسِ بِهَا فَقَالُوا: سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ سُكْنَى الْمَبْتُوتَةِ فَقَالَ: لَهَا السُّكْنَى، فَذَكَرْتُ لَهُ حَدِيثَ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ فَقَالَ: تِلْكَ امْرَأَةٌ فتنت الناس كان في لسانها ذرابة فَاسْتَطَالَتْ عَلَى أَحْمَائِهَا فَنَقَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِطُولِ لِسَانِهَا.

Pertama: Riwayat Maimun bin Mihran, ia berkata: Aku masuk ke Madinah dan bertanya tentang siapa yang paling faqih di sana. Mereka menjawab: Sa‘id bin al-Musayyib. Maka aku bertanya kepadanya tentang tempat tinggal bagi perempuan yang ditalak bain. Ia menjawab: “Ia berhak atas tempat tinggal.” Lalu aku menyebutkan hadis Fatimah binti Qais kepadanya. Ia berkata: “Perempuan itu telah menimbulkan fitnah di tengah masyarakat, lisannya tajam, ia berlaku kasar kepada keluarga suaminya, maka Rasulullah ﷺ memindahkannya karena lisannya yang panjang.”

وَالثَّانِي: مَا رُوِيَ أَنَّ يَحْيَى بْنَ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَكَمِ فَانْتَقَلَهَا أَبُوهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَرْسَلَتْ عَائِشَةُ إِلَى مَرْوَانَ اتَّقِ اللَّهَ وَارْدُدِ الْمَرْأَةَ إِلَى بَيْتِهَا، تَعْنِي أَنَّ سُكْنَاهَا وَاجِبٌ فَقَالَ مَرْوَانُ، أو ما بَلَغَكِ شَأْنُ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا لَا عَلَيْكَ أَلَّا تَذْكُرَ فَاطِمَةَ تَعْنِي أَنَّ تِلْكَ كَانَ لَهَا قِصَّةٌ أُخْرِجَتْ لَهَا فَقَالَ مَرْوَانُ إِنْ كَانَ بِكِ الشَّرُّ يَعْنِي الَّذِي كَانَ مِنْ فَاطِمَةَ حِينَ أُخْرِجَتْ فَحَسْبُكِ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ مِنَ الشَّرِّ، يَعْنِي أَنَّنِي أَخْرَجْتُهَا لِأَجْلِ الشَّرِّ الَّذِي أُخْرِجَتْ فَاطِمَةُ مِنْ أَجْلِهِ، وَقَوْلُ فَاطِمَةَ: لَمْ يَجْعَلْ لِي نَفَقَةً وَلَا سُكْنَى؛ فَلِأَنَّهَا حِينَ كَتَمَتِ السَّبَبَ، وَرَأَتِ الرَّسُولَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ نَقَلَهَا إِلَى بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ تصورت أنه نقلها لإسقاط سكناها، وهذ أَدَلُّ شَيْءٍ عَلَى وُجُوبِ السُّكْنَى؛ لِأَنَّهُ لَوْ أسقطها لأرسالها لِتَسْكُنَ حَيْثُ شَاءَتْ، وَرِوَايَتُهَا عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلَّتِي يَمْلِكُ زوجها رجعيتها ” يَعْنِي أَنَّ اسْتِحْقَاقَهُمَا مَعًا بِمَجْمُوعِهِمَا يَكُونُ لِلَّتِي يَمْلِكُ زَوْجُهَا رَجْعَتَهَا؛ لِأَنَّ الْمَبْتُوتَةَ لَا تَسْتَحِقُّهَا، وَإِنَّمَا تَسْتَحِقُّ أَحَدَهُمَا.

Kedua: Diriwayatkan bahwa Yahya bin Sa‘id bin al-‘Ash menceraikan istrinya, putri ‘Abd al-Rahman bin al-Hakam. Lalu ayahnya, ‘Abd al-Rahman, memindahkannya. Maka ‘Aisyah mengirim pesan kepada Marwan: “Bertakwalah kepada Allah dan kembalikanlah perempuan itu ke rumahnya,” maksudnya bahwa tempat tinggal adalah kewajiban. Marwan berkata, “Apakah engkau belum mendengar kisah Fathimah binti Qais?” Maka ‘Aisyah ra. berkata, “Tidak perlu engkau menyebut Fathimah,” maksudnya bahwa itu adalah kisah khusus yang terjadi pada Fathimah. Marwan berkata, “Jika engkau menganggap ada keburukan, yakni seperti yang terjadi pada Fathimah ketika ia dikeluarkan, maka cukuplah bagimu keburukan yang ada di antara dua hal ini,” maksudnya bahwa aku mengeluarkannya karena sebab keburukan yang juga menjadi alasan Fathimah dikeluarkan. Adapun perkataan Fathimah: “Tidak diberikan nafkah dan tempat tinggal untukku,” itu karena ia menyembunyikan sebabnya, dan ia melihat Rasulullah saw. telah memindahkannya ke rumah Ibnu Ummi Maktum, sehingga ia mengira bahwa pemindahan itu untuk menggugurkan hak tempat tinggalnya. Padahal, ini justru merupakan dalil paling kuat atas wajibnya tempat tinggal; sebab jika memang hak itu gugur, tentu ia akan dibebaskan untuk tinggal di mana saja yang ia kehendaki. Adapun riwayat Fathimah dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal hanya bagi perempuan yang suaminya masih berhak rujuk kepadanya,” maksudnya bahwa hak atas keduanya secara bersamaan hanya dimiliki oleh perempuan yang suaminya masih berhak rujuk kepadanya; karena perempuan yang ditalak bain (mubattatah) tidak berhak atas keduanya, melainkan hanya berhak atas salah satunya saja.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْجَمْعِ بَيْنَ النَّفَقَةِ وَالسُّكْنَى فِي الْوُجُوبِ وَالْإِسْقَاطِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ السُّكْنَى فِي الزَّوْجِيَّةِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ كَالنَّفَقَةِ؛ لِأَنَّهَا لَا تَسْقُطُ بِاتِّفَاقِهِمَا عَلَى النَّفَقَةِ وَالسُّكْنَى فِي الْعِدَّةِ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي لَا تَسْقُطُ بِالِاتِّفَاقِ عَلَى النُّقْلَةِ فَسَقَطَتْ بِسُقُوطِ النَّفَقَةِ مَا كَانَ مِنْ سُكْنَى الزَّوْجِيَّةِ لِاتِّفَاقِهِمَا فِي الْمَعْنَى وَلَمْ يَسْقُطْ سُكْنَى الْعِدَّةِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْعِلَّةِ، وَبِهَذَا الْمَعْنَى وَفَّيَا فِي الْعِدَّةِ بَيْنَ السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ.

Adapun dalil mereka yang menggabungkan antara nafkah dan tempat tinggal dalam hal kewajiban dan penggugurannya, maka jawabannya adalah bahwa tempat tinggal dalam masa pernikahan termasuk hak-hak manusia seperti halnya nafkah; karena keduanya tidak gugur dengan kesepakatan antara suami istri. Adapun tempat tinggal dalam masa ‘iddah termasuk hak-hak Allah Ta‘ala yang tidak gugur dengan kesepakatan untuk berpindah. Maka, gugurlah hak tempat tinggal dalam pernikahan karena kesepakatan keduanya, sebab keduanya sama dalam makna, sedangkan hak tempat tinggal dalam masa ‘iddah tidak gugur karena perbedaan sebabnya. Dengan makna ini, telah sempurna penjelasan tentang perbedaan antara tempat tinggal dan nafkah dalam masa ‘iddah.

فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا كَانَ سُكْنَى الْعِدَّةِ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى لَمْ تَسْقُطْ بِالْبَذَاءَةِ وَالشَّرِّ. قِيلَ: الْبَذَاءَةُ وَالشَّرُّ غَيْرُ مُوجِبٍ لِسُقُوطِهَا وَإِنَّمَا تُوجِبُ النُّقْلَةُ فِيهَا.

Jika dikatakan: Jika tempat tinggal dalam masa ‘iddah termasuk hak-hak Allah Ta‘ala, maka tidak gugur karena keburukan dan kejahatan. Maka dijawab: Keburukan dan kejahatan tidak menyebabkan gugurnya hak tersebut, melainkan hanya menyebabkan perpindahan tempat tinggal saja.

(فَصْلٌ)

(Pembahasan)

فَإِذَا تَقَرَّرَ وُجُوبُ السُّكْنَى فِي عِدَّةِ الْمَبْتُوتَةِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمَةِ وَالذِّمِّيَّةِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى فِي حِفْظِ الْأَنْسَابِ فَاسْتَوَى فِيهَا الْمُسْلِمَةُ وَالْكَافِرَةُ.

Jika telah ditetapkan kewajiban tempat tinggal dalam masa ‘iddah bagi perempuan yang ditalak bain (mubattatah), maka tidak ada perbedaan antara perempuan muslimah dan dzimmi (non-muslim); karena itu termasuk hak Allah Ta‘ala dalam menjaga nasab, sehingga baik muslimah maupun non-muslimah sama dalam hal ini.

فَأَمَّا الْأَمَةُ الْمَبْتُوتَةُ فِي الْعِدَّةِ فَلِلسَّيِّدِ فِي زَمَانِ عِدَّتِهَا حَقُّ الِاسْتِخْدَامِ، فَإِنْ رَفَعَ السَّيِّدُ يَدَهُ عَنْهَا وَجَبَ لَهَا السُّكْنَى تَحْصِينًا لِمَاءِ الزَّوْجِ، وَإِنْ لَمْ يَرْفَعْ يَدَهُ وَأَرَادَ اسْتِخْدَامَهَا لَمْ يُمْنَعْ مِنْهَا نَهَارًا مِنْ زَمَانِ الِاسْتِخْدَامِ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُمْنَعْ مِنْهَا مَعَ بَقَاءِ النِّكَاحِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يُمْنَعَ مِنْهَا مَعَ زَوَالِهِ وَلِلزَّوْجِ أَنْ يُحَصِّنَهَا لَيْلًا إِنْ شَاءَ وَفِي أَخْذِهِ بِهِ جبراً وجهان.

Adapun budak perempuan yang ditalak bain (mubattatah) dalam masa ‘iddah, maka tuannya berhak menggunakan jasanya selama masa ‘iddahnya. Jika tuan tersebut melepaskan haknya atasnya, maka wajib baginya diberi tempat tinggal untuk menjaga kehormatan air mani suaminya. Namun, jika tuan tidak melepaskan haknya dan ingin menggunakan jasanya, maka ia tidak dilarang melakukannya pada siang hari selama masa penggunaan, karena ketika pernikahan masih ada saja ia tidak dilarang, maka lebih utama lagi tidak dilarang setelah pernikahan berakhir. Dan suami boleh menjaga kehormatannya pada malam hari jika ia menghendaki, dan dalam hal pemaksaan atasnya terdapat dua pendapat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَهَا السُّكْنَى فِي مَنْزِلِهِ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ أَوْ لَا يَمْلِكُهَا فإن كان بكراء فهو عَلَى الْمُطَلِّقِ وَفِي مَالِ الزَّوْجِ الْمَيِّتِ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami menceraikannya, maka ia berhak tinggal di rumah suaminya hingga selesai masa ‘iddahnya, baik suaminya masih berhak rujuk atau tidak. Jika rumah itu sewa, maka biaya sewa menjadi tanggungan suami yang menceraikan, dan jika suaminya telah meninggal, maka diambil dari harta peninggalan suami.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي وُجُوبِ السُّكْنَى، فَأَمَّا مَوْضِعُهَا فَمُخْتَلَفٌ بِحَسَبِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ كَانَتْ فِي طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ فَمَوْضِعُهَا غَيْرُ مُتَعَيَّنٍ، وَهُوَ إِلَى خِيَارِ الزَّوْجِ فِي إِسْكَانِهَا حَيْثُ شَاءَ مِنَ الْمَوَاضِعِ الْمَأْمُونَةِ؛ لِأَنَّهُ سُكْنَى زَوْجِيَّةٍ يُسْتَحَقُّ مع النفقة فَأَشْبَهَتْ حَالَهَا قَبْلَ الطَّلَاقِ وَقَدْ كَانَ مُخَيَّرًا فِي نَقْلِهَا كَذَلِكَ بَعْدَهُ وَيَكُونُ هَذَا السُّكْنَى مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، وَإِنْ كَانَتِ الْعِدَّةُ مِنْ طَلَاقٍ بَائِنٍ فَمَوْضِعُهَا مُتَعَيَّنٌ لَا يَجُوزُ نَقْلُهَا منه لغير موجب وهي التي يجعلها مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى لِتَحْصِينِ الْمَاءِ وَحِفْظِ النَّسَبِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْمَوْضِعُ الْمُعَيَّنُ لِسُكْنَاهَا هُوَ الْمَسْكَنُ الَّذِي طَلَّقَهَا فِيهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بيوتهن ولا يخرجن إلا أن يأتي بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} [الطلاق: 1] يَعْنِي مِنْ بُيُوتِ أَزْوَاجِهِنَّ وَإِضَافَتُهَا إِلَيْهِنَّ لِاسْتِحْقَاقِهِنَّ سُكْنَاهَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Telah dibahas sebelumnya tentang kewajiban tempat tinggal (sukna). Adapun mengenai lokasinya, maka berbeda-beda sesuai dengan jenis masa iddah. Jika iddah itu karena talak raj‘i, maka tempat tinggalnya tidak ditentukan secara khusus, dan hal itu menjadi pilihan suami untuk menempatkannya di mana saja yang aman; karena ini adalah tempat tinggal sebagai pasangan suami-istri yang berhak didapatkan bersamaan dengan nafkah, sehingga keadaannya menyerupai sebelum talak, dan suami juga memiliki pilihan untuk memindahkannya, demikian pula setelah talak. Tempat tinggal ini termasuk hak-hak manusia (ḥuqūq al-ādāmiyyīn). Namun, jika iddah itu karena talak bā’in, maka tempat tinggalnya telah ditentukan dan tidak boleh dipindahkan darinya kecuali ada alasan yang dibenarkan. Ini termasuk hak-hak Allah Ta‘ala untuk menjaga kehormatan dan memelihara nasab. Jika demikian, maka tempat tinggal yang ditentukan baginya adalah rumah tempat ia ditalak, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata} [ath-Thalaq: 1], maksudnya dari rumah-rumah suami mereka, dan penisbatannya kepada mereka karena mereka berhak menempatinya. Jika demikian, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ لِلزَّوْجِ.

Pertama: Rumah itu milik suami.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لَهَا.

Kedua: Rumah itu miliknya (istri).

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ لِغَيْرِهَا.

Ketiga: Rumah itu milik orang lain.

فَإِنْ كَانَ مِلْكًا لِلزَّوْجِ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِخْرَاجُهَا مِنْهُ إِلَّا بِالْبَذَاءَةِ وَالِاسْتِطَالَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} [الطلاق: 1] قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هُوَ أَنْ تَبْدُوَ عَلَى أَهْلِ زَوْجِهَا.

Jika rumah itu milik suami, maka suami tidak boleh mengeluarkannya kecuali karena keburukan akhlak dan sikap kasar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata} [ath-Thalaq: 1]. Ibnu ‘Abbas berkata: Maksudnya adalah jika istri menampakkan keburukan kepada keluarga suaminya.

وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: الْفَاحِشَةُ الْمُبَيِّنَةُ هِيَ الزِّنَا وَإِخْرَاجُهَا مِنْهُ لِإِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَيْهَا، وَفِي حَدِيثِ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ مَا يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ تَأْوِيلِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أخراجها من منزل زوجها لاستطالة وذرابة لِسَانِهَا، فَإِذَا خَرَجَتْ لِهَذَا الْمَعْنَى لَمْ يَسْقُطْ حَقُّهَا مِنَ السُّكْنَى وَوَجَبَ نَقْلُهَا إِلَى أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ الْمُمْكِنَةِ مِنْهُ لِتَكُونَ أَقْرَبَ إِلَى الْمَوْضِعِ الْمُسْتَحَقِّ كَمَا تُنْقَلُ الزَّكَاةُ عِنْدَ تَعَذُّرِ مُسْتَحِقِّيهَا فِي الْبَلَدِ الَّذِي هِيَ فِيهِ إِلَى أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ إِلَيْهِ مِنْهُ، وَلَوْ بَذَأَ عَلَيْهَا أَحْمَاؤُهَا نقل أحماؤها عنه، وَلَمْ تُنْقَلْ هِيَ لِتَكُونَ النُّقْلَةُ عَنْهُ لِمَنْ بَذَأَ أَوِ اسْتَطَالَ، فَإِنْ كَانَ مَسْكَنُ الزَّوْجِ يَضِيقُ عَنْهُ أُقِرَّتْ فِيهِ وَأُخْرِجَ الزَّوْجُ مِنْهُ وَلَمْ تُجْبَرْ إِذَا انْفَرَدَتْ فِيهِ أَنْ تَخْرُجَ مِنْهُ لِاسْتِطَالَةٍ وَلَا بَذَاءَةٍ لِتَفَرُّدِهَا بِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَسْكَنُ لَهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ تَخْرُجَ مِنْهُ لِاسْتِطَالَةٍ وَلَا غَيْرِهَا وَأُخْرِجَ مِنْهُ الزَّوْجُ إِنْ كَانَ نَازِلًا فِيهِ، وَلَهَا مُطَالَبَةُ الزَّوْجِ بِأُجْرَتِهِ؛ لِأَنَّ سُكْنَاهَا عَلَى الزَّوْجِ لَا عَلَيْهَا، فَإِنْ لَمْ تُطَالِبْهُ بِالْأُجْرَةِ حَتَّى مَضَتْ مُدَّةُ السُّكْنَى فَفِيهَا وَجْهَانِ:

Ibnu Mas‘ud berkata: Perbuatan keji yang nyata adalah zina, dan pengeluaran istri dari rumah itu untuk ditegakkannya hukuman hadd atasnya. Dalam hadis Fathimah binti Qais terdapat dalil yang menunjukkan kebenaran tafsiran Ibnu ‘Abbas; karena Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengeluarkannya dari rumah suaminya karena sikap kasar dan tajam lisannya. Jika istri keluar karena alasan ini, maka haknya atas tempat tinggal tidak gugur, dan wajib dipindahkan ke tempat terdekat yang memungkinkan dari rumah itu, agar ia tetap dekat dengan tempat yang menjadi haknya, sebagaimana zakat dipindahkan ke tempat terdekat jika tidak ditemukan mustahiq di negeri tersebut. Jika yang berbuat kasar adalah kerabat suami, maka merekalah yang dipindahkan, bukan istrinya, agar perpindahan itu berlaku bagi pelaku keburukan atau kekasaran. Jika rumah suami terlalu sempit, maka istri tetap tinggal di situ dan suami yang dikeluarkan. Istri tidak dipaksa keluar jika ia tinggal sendirian di rumah itu, karena tidak ada lagi yang berbuat kasar atau buruk kepadanya. Jika rumah itu milik istri, maka tidak boleh ia dikeluarkan dari rumah itu karena kekasaran atau sebab lain, dan suami yang dikeluarkan jika ia tinggal di situ. Istri berhak menuntut suami untuk membayar sewanya, karena tempat tinggal selama iddah menjadi tanggungan suami, bukan istri. Jika ia tidak menuntut sewa hingga masa tinggalnya berakhir, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَسْتَحِقُّهَا؛ لِأَنَّهَا دَيْنٌ كَالنَّفَقَةِ لَوْ وَجَبَتْ.

Pertama: Ia tetap berhak atas sewa tersebut, karena itu adalah utang seperti nafkah jika memang wajib diberikan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَدْ سَقَطَتْ؛ لِأَنَّهَا مِنَ الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ فَصَارَ الْإِمْسَاكُ عَنْهَا عَفْوًا وَإِنْ كَانَ الْمَسْكَنُ لِغَيْرِهِمَا فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ بِإِجَارَةٍ أَوْ عَارِيَّةٍ، فَإِنْ كَانَ بإجارة فهي لازمة لا تَخْرُجُ مِنْهُ كَمَا لَا تَخْرُجُ مِنْ مِلْكٍ، وَالْأُجْرَةُ عَلَيْهِ دُونَهَا، فَإِنْ حَدَثَ اسْتِطَالَةٌ وَبَذَاءَةٌ فَعَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ كَانَ عَارِيَةً فَهِيَ غَيْرُ لَازِمَةٍ لِلْمُعِيرِ، فَإِنْ أَقَامَ عَلَى الْعَارِيَةِ لَمْ يَجُزْ إِخْرَاجُهَا مِنْهُ وَإِنْ رَجَعَ عَنْهَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَى اسْتَدَامَتِهَا لِأَجْلِ الطَّلَاقِ وَجَازَ إِخْرَاجُهَا مِنْهُ بِغَيْرِ اسْتِطَالَةٍ وَلَا بَذَاءَةٍ، وَسَوَاءٌ كان المعير أجنبياً أو أبا أو واحد مِنْهُمَا وَوَجَبَ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَنْقُلَهَا إِلَى أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ الْمُمْكِنَةِ مِنْهُ، إِمَّا بِشِرَاءٍ أَوْ إِجَارَةٍ أَوْ عَارِيَةٍ فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى أُجْرَةٍ تَأْخُذُهَا لِتَسْكُنَ حَيْثُ شَاءَتْ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ فِيهِ إِسْقَاطًا لِتَعْيِينِ الْمَسْكَنِ الْمُسْتَحَقِّ تَعْيِينُهُ.

Pendapat kedua: Kewajiban itu gugur, karena ia termasuk hak-hak bersama, sehingga menahan diri darinya menjadi suatu keringanan. Jika tempat tinggal tersebut milik selain keduanya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: disewa atau pinjaman pakai (‘āriyah). Jika dengan sewa, maka itu bersifat mengikat, ia tidak boleh dikeluarkan darinya sebagaimana tidak boleh dikeluarkan dari milik sendiri, dan biaya sewanya menjadi tanggungan suami, bukan istri. Jika terjadi perpanjangan waktu tinggal atau sikap kasar, maka hukumnya sebagaimana yang telah lalu. Jika berupa ‘āriyah, maka tidak mengikat bagi pemberi pinjaman. Jika pemberi pinjaman tetap mengizinkan, maka tidak boleh mengeluarkannya dari tempat tersebut. Namun jika pemberi pinjaman menarik kembali pinjamannya, maka ia tidak dipaksa untuk tetap meminjamkan hanya karena perceraian, dan boleh mengeluarkannya tanpa harus ada perpanjangan waktu tinggal atau sikap kasar. Sama saja apakah pemberi pinjaman itu orang lain, ayah, atau salah satu dari keduanya. Suami wajib memindahkannya ke tempat terdekat yang memungkinkan, baik dengan membeli, menyewa, atau meminjam. Jika keduanya sepakat untuk memberikan sejumlah uang kepada istri agar ia dapat tinggal di mana saja yang ia kehendaki, maka itu tidak diperbolehkan, karena hal itu berarti menggugurkan penetapan tempat tinggal yang seharusnya ditentukan.

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” وَفِي تَرِكَةِ الزَّوْجِ الْمَيِّتِ ” فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ حَمَلَهُ عَلَى وُجُوبِ سُكْنَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ حَمَلَهُ عَلَى الْمَبْتُوتَةِ إِذَا مَاتَ زَوْجُهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فِي اسْتِحْقَاقِهَا السُّكْنَى فِي تَرِكَتِهِ قولاً واحداً.

Adapun perkataan asy-Syafi‘i: “Dan dalam harta peninggalan suami yang wafat,” maka sebagian ulama kami menafsirkannya sebagai kewajiban menyediakan tempat tinggal bagi istri yang ditinggal wafat suaminya menurut salah satu dari dua pendapat. Sebagian ulama kami yang lain menafsirkannya pada istri yang ditalak bain (mubtadah) jika suaminya meninggal sebelum habis masa ‘iddah, maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal dari harta peninggalan suaminya menurut satu pendapat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلِزَوْجِهَا إِذَا تَرَكَهَا فِيمَا يَسَعُهَا مِنَ الْمَسْكَنِ وَسَتَرَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا أَنْ يَسْكُنَ فِي سِوَى مَا يَسَعُهَا قَالَ الْمُزَنِيُّ: هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ، وَذَلِكَ عِنْدِي أَوْلَى وَقَدْ بَيَّنْتُ ذَلِكَ فِي هَذَا الْبَابِ وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ لَا يُغْلِقُ عَلَيْهِ وَعَلَيْهَا حُجْرَةً إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ بَالِغٍ مِنَ الرِّجَالِ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Dan bagi suaminya, jika ia meninggalkannya di tempat tinggal yang cukup baginya dan ada pembatas antara dia dan istrinya, maka suami boleh tinggal di selain tempat yang cukup baginya.” Al-Muzani berkata: “Ini bertentangan dengan pendapatnya dalam masa ‘iddah wafat, dan menurutku pendapat ini lebih utama, dan aku telah menjelaskannya dalam bab ini.” Dan ia berkata dalam Kitab an-Nikāḥ dan ath-Thalāq: “Tidak boleh mengunci kamar atasnya dan atas istrinya kecuali jika bersama istrinya ada mahram laki-laki yang sudah baligh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي وُجُوبِ سُكْنَى الْمَبْتُوتَةِ ثُمَّ مَضَى الْكَلَامُ بَعْدَهُ فِي مَوْضِعِ السُّكْنَى، وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي قَدْرِ الْمَسْكَنِ وَذَلِكَ مُعْتَبَرٌ بِمَسْكَنِ مِثْلِهَا فِي الْعُرْفِ، لِأَنَّ مَا لَمْ يَتَقَدَّرْ لُغَةً وَلَا شَرْعًا تَقَدَّرَ بِالْعُرْفِ الْمَعْهُودِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ رُوعِيَ فِيهِ عَدَمُهَا لَا عُرْفُ الزَّوْجِ بِخِلَافِ النَّفَقَةِ، وَسُكْنَى الزَّوْجِيَّةِ الَّتِي يُرَاعَى فِيهَا حَالُ الزَّوْجِ دُونَهَا؛ لِمَا تَوَجَّهَ فِي هَذَا السُّكْنَى مِنْ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهَا، فَإِنْ كَانَتْ جَلِيلَةَ الْقَدْرِ كَثِيرَةَ الْجِهَازِ وَالْخَدَمِ احْتَاجَتْ إِلَى مَسْكَنِ مِثْلِهَا مِنْ دَارٍ وَاسِعَةٍ ذَاتِ حُجَرٍ يَسَعُهَا وَيَسَعُ جِهَازَهَا وَخَدَمَهَا وَإِنْ كَانَتْ مِنْ أَوْسَاطِ النَّاسِ ذَاتَ جِهَازٍ مُقْتَصِدٍ وَخَادِمٍ وَاحِدٍ فَدَارٌ مُقْتَصِدَةٌ لِمِثْلِهَا مِنْ غَيْرِ حُجْرَةٍ تَزِيدُ عَلَيْهَا، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ دُنَاةِ النَّاسِ فَمَنْزِلٌ لَطِيفٌ أَوْ بَيْتٌ فِي خَانٍ مُشْتَرَكٍ بِحَسَبِ الْعُرْفِ فِي قَدْرِهِ وَمَوْضِعِهِ مِنْ أَطْرَافِ الْبَلَدِ، فَهَذَا هُوَ الْمَسْكَنُ الْمُعْتَبَرُ فِي سُكْنَاهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ وَلَا يُعْتَبَرُ مَا كَانَ يَسْكُنُهَا الزَّوْجُ فِيهِ قَبْلَ الطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ تَكُونُ جَلِيلَةَ الْقَدْرِ فَتَقْنَعُ مِنْ زَوْجِهَا لِمَا هُوَ أَقَلُّ مِنْ مَسْكَنِ مِثْلِهَا فَلَا يَلْزَمُهَا أَنْ تَسْكُنَ بَعْدَ الطَّلَاقِ فِي مِثْلِهِ، وَقَدْ تَكُونُ مِنْ دُنَاةِ النَّاسِ فَيُسْكِنُهَا الزَّوْجُ فِيمَا هُوَ أَكْثَرُ مِنْ حَقِّهَا فَلَا يَلْزَمُهُ بَعْدَ الطَّلَاقِ أَنْ يُسْكِنَهَا فِي مِثْلِهِ فَلَا يُرَاعَى مَا اقْتَضَتْ بِهِ الزَّوْجَةُ وَلَا مَا تَبَرَّعَ بِهِ الزَّوْجُ بَلْ يُرَاعَى الْعُرْفَ فِي مَسْكَنِ مِثْلِهَا.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang kewajiban tempat tinggal bagi istri yang ditalak bain, kemudian dilanjutkan pembahasan tentang lokasi tempat tinggal. Masalah ini berkaitan dengan kadar (luas) tempat tinggal, dan hal itu diukur dengan tempat tinggal yang layak baginya menurut ‘urf (kebiasaan masyarakat), karena sesuatu yang tidak ditentukan secara bahasa maupun syariat, maka ditentukan berdasarkan ‘urf yang berlaku. Jika demikian, maka yang dijadikan ukuran adalah ‘urf istri, bukan ‘urf suami, berbeda dengan nafkah. Tempat tinggal bagi istri (yang masih dalam ikatan pernikahan) memperhatikan kondisi suami, sedangkan untuk istri yang ditalak bain tidak demikian, karena dalam tempat tinggal ini terdapat hak Allah Ta‘ala atasnya. Jika ia seorang wanita terpandang, memiliki banyak perlengkapan dan pembantu, maka ia membutuhkan tempat tinggal yang luas, terdiri dari beberapa kamar yang cukup untuk dirinya, perlengkapannya, dan para pembantunya. Jika ia dari kalangan menengah, dengan perlengkapan sederhana dan satu pembantu, maka rumah sederhana yang layak baginya tanpa tambahan kamar sudah cukup. Jika ia dari kalangan bawah, maka rumah kecil atau satu kamar di penginapan bersama sesuai ‘urf dalam ukuran dan lokasinya di pinggiran kota. Inilah tempat tinggal yang dianggap cukup untuknya setelah talak, dan tidak diukur dengan tempat tinggal yang diberikan suami sebelum talak; karena bisa jadi ia wanita terpandang namun menerima dari suaminya tempat tinggal yang lebih kecil dari yang seharusnya, sehingga ia tidak wajib tinggal di tempat seperti itu setelah talak. Bisa juga ia dari kalangan bawah, namun suaminya memberinya tempat tinggal lebih dari haknya, sehingga suami tidak wajib memberinya tempat tinggal seperti itu setelah talak. Maka, yang dijadikan ukuran bukanlah apa yang diterima istri atau apa yang diberikan suami secara sukarela, melainkan ‘urf dalam tempat tinggal yang layak baginya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا لَمْ يَخْلُ مَسْكَنُهَا وَقْتَ الطَّلَاقِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Jika hal ini telah dipastikan, maka tempat tinggalnya pada saat talak tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مَسْكَنَ مِثْلِهَا، فَعَلَيْهِ أَنْ يُقِرَّهَا فِيهِ وَلَا تَخْرُجُ مِنْهُ؛ لِأَنَّ حَقَّهَا قَدْ تَعَيَّنَ فِيهِ بِطَلَاقِهَا فِيهِ فَلَمْ يَجُزْ إِخْرَاجُهَا مِنْهُ وَلَمْ تَنْتَقِلْ عَنْ حَقِّهَا فَوَجَبَ إِخْرَاجُ الزَّوْجِ منه.

Pertama: Tempat tinggal itu setara dengan tempat tinggal yang layak baginya, maka suami wajib menahannya di situ dan ia tidak boleh keluar darinya; karena haknya telah ditetapkan di situ dengan terjadinya talak di tempat itu, sehingga tidak boleh mengeluarkannya dari sana dan ia tidak berpindah dari haknya, maka wajib mengeluarkan suami dari tempat itu.

والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ مَسْكَنِ مِثْلِهَا، فَإِنْ قَنِعَتْ بِهِ أُقِرَّتْ فِيهِ، وَلَمْ تَخْرُجْ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ تَقْنَعْ وَجَبَ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يُكْمِلَ حَقَّهَا فِي مَسْكَنِ مِثْلِهَا، فَإِنْ قَدَرَ عَلَى دَارٍ تُلَاصِقُهَا تُضَافُ إِلَيْهَا فَعَلَ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُخْرَجَ مِنْ دَارِهَا إِلَّا لِلِارْتِفَاقِ بِمَا أُضِيفَ إِلَيْهَا مِنْ بَابٍ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى دَارٍ تُلَاصِقُهَا اسْتَأْجَرَ لَهَا مَسْكَنَ مِثْلِهَا فِي أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ مِنْ دَارِ طَلَاقِهَا، وَكَانَ انْتِقَالُهَا إِلَيْهَا لِعُذْرٍ فِي اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ فَجَازَ.

Keadaan kedua: Tempat tinggal itu kurang dari tempat tinggal yang layak baginya. Jika ia rela dengan itu, maka ia tetap tinggal di situ dan tidak keluar darinya. Namun jika ia tidak rela, maka suami wajib menyempurnakan haknya dengan menyediakan tempat tinggal yang layak baginya. Jika suami mampu menyediakan rumah yang berdampingan dengannya dan dapat ditambahkan kepadanya, maka ia lakukan, dan tidak boleh mengeluarkannya dari rumahnya kecuali untuk memanfaatkan tambahan tersebut melalui pintu di antara keduanya. Jika suami tidak mampu menyediakan rumah yang berdampingan, maka ia harus menyewakan tempat tinggal yang layak baginya di tempat terdekat dari rumah tempat terjadinya talak, dan perpindahan istri ke sana dianggap sebagai uzur untuk memenuhi haknya, sehingga diperbolehkan.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ مَسْكَنِ مِثْلِهَا فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَلِلزَّوْجِ إِذَا تَرَكَهَا فِيمَا يَسَعُهَا مِنَ الْمَسْكَنِ وَسَتَرَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا أَنْ يَسْكُنَ فِي سِوَى مَا يَسَعُهَا “.

Keadaan ketiga: Tempat tinggal itu lebih besar dari tempat tinggal yang layak baginya. Inilah masalah yang dibahas dalam kitab, dan Imam asy-Syafi‘i berkata: “Bagi suami, jika ia meninggalkan istrinya di bagian rumah yang cukup untuknya dan menutup apa yang ada antara dirinya dan istrinya, maka ia boleh tinggal di bagian lain selain yang ditempati istrinya.”

وَتَفْصِيِلُهُ أن يراعي حال المسكن، فإن كان دار ذات حجرة تنفذ إليها سكنت فيها مسكناً مِثْلِهَا وَالزَّوْجُ فِي الْأُخْرَى بَعْدَ سَدِّ الْمَنْفَذِ أَوْ غَلْقِهِ، فَإِنْ كَانَ مَسْكَنُ مِثْلِهَا الدَّارَ سَكَنَتْهَا وَالزَّوْجُ فِي الْحُجْرَةِ، وَإِنْ كَانَ مَسْكَنُ مِثْلِهَا الْحُجْرَةَ سَكَنَتْهَا وَالزَّوْجُ فِي الدَّارِ، وَتَكُونُ الدَّارُ وَالْحُجْرَةُ كَدَارَيْنِ مُتَجَاوِرَتَيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلدَّارِ حُجْرَةٌ، وَكَانَ لَهَا عُلُوٌّ كَانَ الْعُلُوُّ كَالْحُجْرَةِ، فَإِنْ كَانَ مَسْكَنُ مِثْلِهَا الْعُلُوَّ سَكَنَتْهُ وَالزَّوْجُ فِي السُّفْلِ، وَقُطِعَ مَا بَيْنَ الْعُلُوِّ وَالسُّفْلِ بِغَلْقِ بَابٍ أَوْ سَدِّهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلدَّارِ عُلُوُّ فَلَهَا حَالَتَانِ:

Penjelasannya adalah hendaknya memperhatikan kondisi tempat tinggal. Jika rumah itu memiliki kamar yang dapat diakses, maka istri tinggal di kamar yang layak baginya dan suami di kamar lainnya setelah menutup atau mengunci akses antar kamar. Jika tempat tinggal yang layak baginya adalah seluruh rumah, maka ia tinggal di rumah itu dan suami di kamar; jika tempat tinggal yang layak baginya adalah kamar, maka ia tinggal di kamar itu dan suami di rumah. Rumah dan kamar itu seperti dua rumah yang berdampingan. Jika rumah itu tidak memiliki kamar, tetapi memiliki lantai atas, maka lantai atas itu seperti kamar. Jika tempat tinggal yang layak baginya adalah lantai atas, maka ia tinggal di sana dan suami di lantai bawah, dan akses antara lantai atas dan bawah diputus dengan menutup atau mengunci pintu. Jika rumah itu tidak memiliki lantai atas, maka ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَكُونَ وَاسِعَةً تَكْتَفِي كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِجَانِبٍ مِنْهَا فَإِنْ قُطِعَ بَيْنَ الْجَانِبَيْنِ بِحَاجِزٍ مِنْ بِنَاءٍ مَكِينٍ أَوْ خَشَبٍ وَثِيقٍ جَازَ أَنْ تَنْفَرِدَ الزَّوْجَةُ بِالسُّكْنَى فِي أَحَدِ الْجَانِبَيْنِ وَالزَّوْجُ فِي الْجَانِبِ الْآخَرِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا دُونَ مَحْرَمٍ، وَلَا نِسَاءٍ ثِقَاتٍ، لِأَنَّهَا بِالْقَطْعِ قَدْ صَارَتْ كَالدَّارَيْنِ وَإِنْ لَمْ يُقْطَعْ بَيْنَهُمَا بِحَاجِزٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِأَحَدِ الْجَانِبَيْنِ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ أَوْ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ قال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَخْلُو رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ.

Pertama: Rumah itu cukup luas sehingga masing-masing dapat menempati sisi yang berbeda. Jika kedua sisi dipisahkan dengan pembatas yang kokoh dari bangunan atau kayu yang kuat, maka istri boleh tinggal sendiri di salah satu sisi dan suami di sisi lainnya, meskipun ia tidak bersama mahram atau wanita-wanita terpercaya, karena dengan adanya pembatas tersebut, keduanya seperti berada di dua rumah yang terpisah. Namun jika tidak ada pembatas di antara keduanya, maka tidak boleh istri tinggal sendiri di salah satu sisi kecuali bersama mahram atau wanita-wanita terpercaya. Nabi ﷺ bersabda: “Tidak boleh seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan.”

والحال الثانية: أن تكون الدار ضيفة لَا تَحْتَمِلُ أَنْ تُقْطَعَ بِحَاجِزٍ فَلَهَا حَالَتَانِ:

Keadaan kedua: Rumah itu sempit sehingga tidak memungkinkan dipisahkan dengan pembatas, maka ada dua keadaan:

أحدهما: أَنْ تَكُونَ ذَاتَ بُيُوتٍ يُمْكِنُ إِذَا أُسْكِنَ أَحَدُهُمَا فِي بَيْتٍ مِنْهَا، وَسَكَنَ الْآخَرُ فِي بَيْتٍ آخَرَ أَنْ لَا تَقَعَ عَيْنُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ فَيَجُوزُ أَنْ تَسْكُنَ الزَّوْجَةُ فِي بَيْتٍ مِنْهَا إِذَا كَانَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ بَالِغٌ، أَوْ نِسَاءٌ ثِقَاتٌ لِتَكُونَ مَحْفُوظَةً بِمُرَاقَبَةِ ذِي الْمَحْرَمِ الْبَالِغِ وَالنِّسَاءِ الثِّقَاتِ، وَيَسْكُنُ الزَّوْجُ فِي بَيْتٍ آخَرَ مِنَ الدَّارِ وَإِنْ كَرِهْنَا ذَلِكَ لَهُ حَذَرًا مِنْ أَنْ تَقَعَ عَيْنُهُ عليها.

Pertama: Rumah itu memiliki beberapa kamar, sehingga jika salah satu dari keduanya tinggal di salah satu kamar dan yang lain di kamar lain, maka pandangan salah satu tidak akan jatuh pada yang lain. Maka boleh istri tinggal di salah satu kamar jika bersamanya mahram yang sudah baligh atau wanita-wanita terpercaya, agar ia terjaga dengan pengawasan mahram yang baligh dan wanita-wanita terpercaya, dan suami tinggal di kamar lain dalam rumah itu, meskipun kami tidak menyukai hal itu bagi suami karena dikhawatirkan pandangannya jatuh pada istrinya.

والحال الثالثة: أَنْ تَكُونَ الدَّارُ ذَاتَ بَيْتٍ وَاحِدٍ إِذَا اجْتَمَعَا فِيهِ لَا يُمْكِنُ أَنْ لَا تَقَعَ عَيْنُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَسْكُنَ مَعَهُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ أَوْ نِسَاءٌ ثِقَاتٌ؛ لِأَنَّ الْعَيْنَ لَا تُحْفَظُ عِنْدَ إِرْسَالِهَا قَدْ صَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَجْهَ الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ، وَكَانَ رَدِيفَهُ بِمِنَى عَنِ الْخَثْعَمِيَّةِ حِينَ جَعَلَ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَجَعَلَتْ تنظر إليه، وَقَالَ: شَابٌّ وَشَابَّةٌ وَخِفْتُ أَنْ يُدْخِلَ الشَّيْطَانُ بَيْنَهُمَا فَقَدْ مَنَعَ ذَلِكَ وَهُوَ أَعْظَمُ مِنَ المحرم.

Keadaan ketiga: Jika rumah itu hanya terdiri dari satu ruangan, sehingga apabila keduanya berkumpul di dalamnya, tidak mungkin salah satu dari mereka tidak melihat yang lain, maka tidak boleh ia (perempuan) tinggal bersamanya di situ, meskipun bersamanya ada mahram atau perempuan-perempuan tepercaya; karena pandangan mata tidak dapat dijaga ketika dibiarkan bebas. Rasulullah ﷺ pernah memalingkan wajah Al-Fadhl bin ‘Abbas, yang saat itu membonceng beliau di Mina, dari seorang wanita Khats’amiyah ketika Al-Fadhl mulai memandangnya dan wanita itu pun memandangnya. Beliau bersabda: “Pemuda dan pemudi, aku khawatir setan akan masuk di antara mereka berdua.” Maka beliau melarang hal itu, padahal itu lebih besar (larangannya) daripada larangan berkhalwat dengan mahram.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَ عَلَى زَوْجِهَا دَيْنٌ لَمْ يَبِعْ مَسْكَنَهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا وَذَلِكَ أَنَّهَا مَلَكَتْ عَلَيْهِ سُكْنَى مَا يُكفِيهَا حِينَ طَلَّقَهَا كَمَا يَمْلِكُ مَنْ يَكْتَرِي “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika suaminya memiliki utang, maka tidak boleh menjual tempat tinggalnya hingga selesai masa ‘iddahnya, karena ia (istri) telah memiliki hak tinggal yang mencukupinya sejak ia ditalak, sebagaimana seseorang yang menyewa rumah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لِأَنَّ حَقَّهَا فِي السُّكْنَى مُتَعَلِّقٌ بِذِمَّتِهِ، وَفِي عَيْنِ مَسْكَنِهِ فَكَانَ أَوْكَدَ مِنَ الدُّيُونِ الْمُخْتَصَّةِ بِذِمَّتِهِ فَلَمْ يَجُزْ لِأَجْلِ ذَلِكَ أَنْ يُبَاعَ مَسْكَنُهَا فِي دَيْنِهِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، فَإِنْ بَاعَهُ فِي دَيْنٍ أَوْ غَيْرِ دَيْنِ نُظِرَ حَالُ الْعِدَّةِ، فَإِنْ كَانَتْ مَجْهُولَةَ الْمُدَّةِ لِكَوْنِهَا حَامِلًا أَوْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ الْجَهْلَ بِسُكْنَى الْمُدَّةِ الْمُسْتَحَقَّةِ مُفْضٍ إِلَى الْجَهْلِ بِثَمَنِ الْمَبِيعِ فَصَارَ بِهِ الْبَيْعُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَتْ مَعْلُومَةَ الْمُدَّةِ لِكَوْنِهَا بِالشُّهُورِ فَصَارَتْ سُكْنَاهَا مُسْتَحَقَّةً فِي الْعِدَّةِ كَاسْتِحْقَاقِهَا فِي الْإِجَارَةِ، وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي بَيْعِ الدَّارِ الْمُؤَاجَرَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan (Imam Syafi‘i), karena haknya (istri) atas tempat tinggal terkait dengan tanggungan suami, dan juga pada fisik rumahnya, sehingga hak tersebut lebih kuat daripada utang-utang yang hanya terkait dengan tanggungan suami. Oleh karena itu, tidak boleh menjual rumahnya karena utang sebelum selesai masa ‘iddahnya. Jika rumah itu dijual karena utang atau sebab lain, maka dilihat keadaan masa ‘iddahnya. Jika masa ‘iddahnya tidak diketahui karena ia hamil atau termasuk wanita yang masa ‘iddahnya dengan haid, maka penjualan itu batal; karena ketidaktahuan tentang lama masa tinggal yang menjadi haknya berakibat pada ketidaktahuan harga barang yang dijual, sehingga penjualan itu menjadi batal. Jika masa ‘iddahnya diketahui, misalnya karena dihitung dengan bulan, maka hak tinggalnya dalam masa ‘iddah menjadi seperti haknya dalam akad ijarah (sewa). Telah terjadi perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang penjualan rumah yang sedang disewakan menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ فَعَلَى هذا بيعها في العدة أولى أن يكون بَاطِلًا. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ بَيْعَهَا فِي الْإِجَارَةِ جَائِزٌ، فَعَلَى هَذَا فِي بَيْعِهَا إِذَا اسْتُحِقَّتْ فِي الْعِدَّةِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Salah satunya: batal, maka menurut pendapat ini penjualannya dalam masa ‘iddah lebih utama untuk dianggap batal. Pendapat kedua: penjualannya dalam masa sewa itu sah, maka menurut pendapat ini, jika rumah itu dijual saat hak tinggal dalam masa ‘iddah, ada tiga wajah (pendapat):

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ مُتَقَدِّمِي أَصْحَابِنَا بَيْعُهَا جَائِزٌ فِي الْعِدَّةِ لِجَوَازِهِ فِي الْإِجَارَةِ.

Pertama: yaitu pendapat ulama terdahulu dari kalangan mazhab kami, penjualannya sah dalam masa ‘iddah karena sah pula dalam masa sewa.

الْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ بَيْعَهَا لَا يَجُوزُ فِي الْعِدَّةِ وَإِنْ جَازَ فِي الْإِجَارَةِ؛ لِأَنَّ الْمُعْتَدَّةَ قَدْ تَمُوتُ فَيَعُودُ السُّكْنَى إِلَيْهِ فَيَصِيرُ فِي حُكْمِ مَنْ بَاعَ دَارًا وَاسْتَثْنَى سُكْنَاهَا لِنَفْسِهِ، وَلَوْ فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا فَكَذَلِكَ مَا أَفْضَى إِلَيْهِ وَصَارَ بِخِلَافِ مَوْتِ الْمُسْتَأْجِرِ الَّذِي لَا يَقْتَضِي عَوْدَ السُّكْنَى إِلَيْهِ.

Wajah kedua: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa penjualannya tidak sah dalam masa ‘iddah meskipun sah dalam masa sewa; karena wanita yang dalam masa ‘iddah bisa saja meninggal dunia sehingga hak tinggal kembali kepada suami, sehingga keadaannya seperti orang yang menjual rumah lalu mengecualikan hak tinggal untuk dirinya sendiri. Jika ia melakukan hal itu, maka penjualannya batal, begitu pula apa yang berakibat padanya. Ini berbeda dengan kematian penyewa yang tidak mengakibatkan hak tinggal kembali kepada pemilik rumah.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ إِنْ كَانَتِ الْمُعْتَدَّةُ مِمَّنْ يَجُوزُ أَنْ تَنْتَقِلَ عِدَّتُهَا مِنَ الشُّهُورِ إِلَى الْأَقْرَاءِ لِكَوْنِهَا مُرَاهِقَةً يَجُوزُ أَنْ يَتَعَجَّلَ حَيْضُهَا وَمُؤْيِسَةً يَجُوزُ أَنْ يَعُودَ الْحَيْضُ إِلَيْهَا فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ الْمُدَّةَ تَتَرَدَّدُ بَيْنَ الْجَهَالَةِ وَالْعِلْمِ؛ وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَنْتَقِلَ مِنَ الشُّهُورِ إِلَى الْأَقْرَاءِ لِكَوْنِهَا صَغِيرَةً لَا يَجُوزُ أَنْ تَحِيضَ قَبْلَ شُهُورِ عِدَّتِهَا كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا كَالْإِجَارَةِ وَلَيْسَ لِمَا ذَكَرَ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا بِحُدُوثِ الْمَوْتِ وَجْهٌ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَ الْعُقُودِ مَحْمُولَةٌ عَلَى السَّلَامَةِ كَمَا تُحْمَلُ إِجَارَةُ الدَّارِ وَالْعَبْدِ عَلَى الصِّحَّةِ اعْتِبَارًا بِالسَّلَامَةِ، وَإِنْ جَازَ أَنْ تَبْطُلَ بانهدام الدار وموت العبد.

Wajah ketiga: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa jika wanita yang dalam masa ‘iddah termasuk yang mungkin masa ‘iddahnya berubah dari bulan ke haid, misalnya karena ia mendekati baligh sehingga bisa saja haidnya datang lebih cepat, atau wanita yang sudah menopause tapi bisa saja haidnya kembali, maka penjualannya batal; karena masa ‘iddahnya berada antara ketidakjelasan dan kejelasan. Namun jika tidak mungkin berubah dari bulan ke haid, misalnya karena ia masih kecil sehingga tidak mungkin haid sebelum selesai bulan-bulan ‘iddahnya, maka penjualannya sah seperti dalam akad sewa. Tidak ada alasan untuk membedakan antara keduanya karena kemungkinan terjadinya kematian; sebab hukum-hukum akad didasarkan pada anggapan keselamatan, sebagaimana akad sewa rumah dan budak dianggap sah dengan asumsi keselamatan, meskipun bisa saja batal karena rumah roboh atau budak meninggal.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَ فِي مَنْزِلٍ لَا يَمْلِكُهُ وَلَمْ يكتره فالأهلة إِخْرَاجُهَا وَعَلَيْهِ غَيْرُهُ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia (istri) tinggal di rumah yang bukan miliknya dan tidak menyewanya, maka keluarkanlah ia, dan suami wajib menyediakan tempat tinggal lain untuknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا طَلَّقَهَا وَهِيَ فِي مَنْزِلٍ لَا يَمْلِكُهُ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُسْتَأْجَرًا أَوْ مُعَارًا، فَإِنْ كَانَ مُسْتَأْجَرًا فَقَدْ مَلَكَ سُكْنَاهُ فَيَلْزَمُ إِقْرَارُهَا فِيهِ كَمَا تُقَرَّ فِي مِلْكِهِ مَا لَمْ تَنْقَضِ الْإِجَارَةُ، وَإِنْ كَانَ الْمَنْزِلُ مُعَارًا فَمَا لَمْ يَرْجِعْ فِيهِ الْمُعِيرُ فَهِيَ مُقَرَّةٌ عَلَى السُّكْنَى مَا أَقَرَّهَا الْمَالِكُ، فَإِنْ رَجَعَ الْمُعِيرُ أَوِ انْقَضَتْ مُدَّةُ الْإِجَارَةِ فَقَدِ اسْتَحَقَّ إِخْرَاجَهَا مِنْهُ، وَلِمَالِكِهِ حَالَتَانِ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar apabila ia menceraikannya sementara ia berada di rumah yang bukan miliknya. Maka, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: rumah itu disewa atau dipinjamkan. Jika rumah itu disewa, maka ia memiliki hak tinggal di dalamnya, sehingga wajib menetapkan istri yang sedang menjalani masa ‘iddah di sana sebagaimana ia ditetapkan di rumah miliknya sendiri, selama masa sewa belum berakhir. Jika rumah itu dipinjamkan, maka selama pemiliknya belum menarik kembali pinjamannya, ia tetap berhak tinggal di sana selama pemilik mengizinkannya. Namun, jika pemilik menarik kembali pinjamannya atau masa sewa telah habis, maka ia berhak mengeluarkannya dari rumah tersebut. Adapun bagi pemilik rumah, terdapat dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَبْذُلَهُ بِأُجْرَةِ مِثْلِهِ، فَعَلَى الزَّوْجِ بَذْلُهَا لَهُ وَتُقَرُّ الْمُعْتَدَّةُ فِيهِ إِلَى انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا وَلَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا منه.

Pertama: Ia menawarkan rumah itu dengan harga sewa yang wajar, maka suami wajib membayarnya kepada pemilik rumah dan perempuan yang menjalani masa ‘iddah tetap tinggal di sana hingga masa ‘iddahnya selesai, dan tidak boleh mengeluarkannya dari rumah tersebut.

والحال الثانية: أن يمتنع المالك في بَذْلِ الْمَنْزِلِ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ، وَيُقِيمُ عَلَى اسْتِرْجَاعِهِ أَوْ بِأَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ مِثْلِهِ فَهُوَ فِي الْحَالَيْنِ مَانِعٌ مِنْهُ؛ لِأَنَّ طَلَبَ الزِّيَادَةِ عَلَى أجرة المثل في المطلق أن يستأجر لها مسكنا مِثْلِهَا فِي أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ بِالْمَسْكَنِ الَّذِي طُلِّقَتْ فِيهِ فَإِنْ أَجَابَ الْمَالِكُ إِلَى بَذْلِهِ بَعْدَ نَقْلِهَا مِنْهُ نُظِرَ فِي بَذْلِهِ، فَإِنْ كَانَ بِعَارِيَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَادَ إِلَيْهِ لِجَوَازِ أَنْ يَرْجِعَ فِي الْعَارِيَةِ فَيَنْقُلَهَا ثَانِيَةً، وَإِنْ كان بإجارة نظر إلى الْمَسْكَنِ الَّذِي انْتَقَلَتْ إِلَيْهِ فَإِنْ كَانَ عَارِيَةً أُعِيدَتْ إِلَى الْمَسْكَنِ الَّذِي طُلِّقَتْ فِيهِ لِجَوَازِ أَنْ يَرْجِعَ الْمُعِيرُ فَتُخْرَجَ مِنْهُ فَتَكُونَ فِي عَوْدِهَا إِلَى مَنْزِلِ الطَّلَاقِ مَعَ لُزُومِ سُكْنَاهُ أَحَقَّ مِنْ غَيْرِهِ وَإِنْ كَانَا جَمِيعًا مُسْتَأْجِرَيْنِ احْتَمَلَ وَجْهَيْنِ:

Keadaan kedua: Pemilik rumah menolak untuk menyewakan rumah tersebut dengan harga sewa yang wajar, atau ia bersikeras untuk mengambil kembali rumah itu, atau meminta sewa lebih tinggi dari harga sewajarnya, maka dalam kedua keadaan ini, ia berhak melarang penggunaan rumah tersebut. Karena permintaan tambahan sewa di luar harga wajar, dalam fiqh, suami wajib menyewakan tempat tinggal yang setara untuknya di lokasi terdekat dengan rumah tempat ia dicerai. Jika setelah dipindahkan, pemilik rumah bersedia menyewakannya kembali, maka perlu dilihat: jika dengan status pinjaman, tidak boleh dikembalikan ke rumah itu karena pemilik bisa saja menarik kembali pinjamannya sehingga ia harus dipindahkan lagi. Jika dengan status sewa, maka dilihat rumah yang ia tempati sekarang: jika itu pinjaman, maka ia dikembalikan ke rumah tempat ia dicerai karena pemilik bisa saja menarik kembali pinjamannya sehingga ia harus keluar lagi. Maka, dalam hal ia kembali ke rumah tempat dicerai, dengan kewajiban tinggal di sana, ia lebih berhak dibandingkan tempat lain. Jika kedua rumah sama-sama disewa, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُقَرُّ فِي الْمَنْزِلِ الَّذِي انْتَقَلَتْ إِلَيْهِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الِاسْتِقْرَارِ فِيهِ.

Pertama: Ia tetap tinggal di rumah yang telah ia tempati, dengan pertimbangan lebih mengutamakan hukum menetap di tempat tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُعَادُ إِلَى الْمَنْزِلِ الَّذِي طُلِّقَتْ فِيهِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الطَّلَاقِ فِيهِ.

Pendapat kedua: Ia dikembalikan ke rumah tempat ia dicerai, dengan pertimbangan lebih mengutamakan hukum perceraian yang terjadi di sana.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَأَمَّا إِذَا مَاتَ الزَّوْجُ فِي تَضَاعِيفِ عِدَّتِهَا وَأَرَادَ الْوَرَثَةُ أَنْ يَقْتَسِمُوا مَسْكَنَهَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika suami meninggal dunia di tengah masa ‘iddahnya dan para ahli waris ingin membagi rumah tempat tinggalnya, maka ada dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ قِسْمَةَ مُنَاقَلَةٍ فَيَأْخُذَ بَعْضُهُمُ الدَّارَ، وَيَأْخُذَ الْبَاقُونَ غَيْرَهَا جَازَ سَوَاءٌ قِيلَ: إِنَّ الْقِسْمَةَ بَيْعٌ أَوْ تَمْيِيزُ نَصِيبٍ لِاسْتِحْقَاقِ السُّكْنَى فِي تَرِكَتِهِمْ بِخِلَافِ الْمُشْتَرَى فِي الْبَيْعِ وَلَهَا سُكْنَى الدَّارِ فِي بَقِيَّةِ عِدَّتِهَا، وَلَا يَرْجِعُ مَنْ صَارَتِ الدَّارُ فِي سَهْمِهِ بِأُجْرَةِ سُكْنَاهَا عَلَى شُرَكَائِهِ؛ لِأَنَّهُ مَلَكَهَا بِالْقِسْمَةِ بَعْدَ أَنْ صَارَتْ مَسْكَنَ الْمَنْفَعَةِ فِي تِلْكَ الْمُدَّةِ.

Pertama: Pembagian dengan cara tukar-menukar, sehingga sebagian ahli waris mengambil rumah itu dan yang lain mengambil bagian selain rumah tersebut. Ini diperbolehkan, baik dikatakan bahwa pembagian itu adalah jual beli atau pemisahan bagian, karena hak tinggal di rumah tersebut tetap berlaku dalam harta warisan mereka, berbeda dengan barang yang dibeli dalam jual beli. Maka, perempuan yang menjalani masa ‘iddah tetap berhak tinggal di rumah itu hingga masa ‘iddahnya selesai, dan ahli waris yang mendapatkan rumah itu tidak boleh menuntut biaya sewa kepada ahli waris lainnya, karena ia memilikinya melalui pembagian setelah rumah itu menjadi tempat tinggal yang manfaatnya wajib diberikan selama masa tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: يَقْتَسِمُوهَا قِسْمَةَ إِجَارَةٍ فَيُقَسِّمُ كُلُّ وَاحِدٍ حِصَّتَهُ فيها مجازة فَهَذَا فِي ضَرْبَيْنِ:

Bentuk kedua: Mereka membaginya dengan cara pembagian sewa, sehingga masing-masing mengambil bagiannya dalam bentuk sewa. Dalam hal ini, ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَحْجِزَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا حَازَهُ بِحَاجِزٍ فَلَيْسَ لَهُمْ ذَلِكَ سَوَاءٌ قِيلَ: إِنَّ الْقِسْمَةَ بَيْعٌ أَوْ تَمْيِيزُ نَصِيبٍ، لِأَنَّهَا اسْتَحَقَّتْ سُكْنَى دَارٍ غَيْرِ مُحَجَّزَةٍ بِالْقِسْمَةِ فَلَمْ يَجُزْ إِدْخَالُ الضَّرَرِ عَلَيْهَا بِالْقِسْمَةِ.

Pertama: Masing-masing dari mereka memisahkan bagian yang ia dapatkan dengan pembatas, maka hal ini tidak diperbolehkan, baik dikatakan bahwa pembagian itu adalah jual beli atau pemisahan bagian, karena perempuan yang menjalani masa ‘iddah berhak tinggal di rumah yang tidak dipisah-pisah melalui pembagian, sehingga tidak boleh menimbulkan mudarat baginya dengan pembagian tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَحْجِزَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حِصَّتَهُ وَيَقْتَصِرُ عَلَى عَلَامَةٍ يَتَمَيَّزُ بِهَا مَا حَازَهُ فَتَجُوزُ هَذِهِ الْقِسْمَةُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَدْخُلُ عَلَى الْمُعْتَدَّةِ بها ضرر والله أعلم.

Bentuk kedua: Masing-masing tidak memisahkan bagiannya, hanya sekadar memberi tanda untuk membedakan bagian yang ia miliki, maka pembagian seperti ini diperbolehkan, karena tidak menimbulkan mudarat bagi perempuan yang menjalani masa ‘iddah. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” إِلَّا أَنْ يُفْلِسَ فَتَضْرِبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِأَقَلِّ قِيمَةِ سُكْنَاهَا وَتُتْبِعُهُ بِفَضْلِهِ مَتَى أَيْسَرَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Kecuali jika ia bangkrut, maka ia menuntut bersama para kreditur dengan nilai sewa tempat tinggalnya yang paling rendah, dan ia menagih sisanya kapan pun suaminya mampu membayarnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يُفْلِسَ زَوْجُ الْمُعْتَدَّةِ وَتَسْتَحِقَّ سُكْنَى الْعِدَّةِ فَلِلزَّوْجِ حَالَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuknya adalah apabila suami perempuan yang menjalani masa ‘iddah bangkrut, sementara ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama masa ‘iddah. Maka, suami memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَمْلِكَ مَسْكَنَ عِدَّتِهَا.

Pertama: Ia memiliki rumah tempat tinggal untuk masa ‘iddahnya.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَمْلِكَهُ.

Kedua: Ia tidak memilikinya.

فَإِنْ كَانَ مَالِكَهُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْحَجْزِ عَلَيْهِ بِفَلَسِهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الطَّلَاقِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الطَّلَاقِ فَقَدْ سَبَقَ اسْتِحْقَاقُ الْغُرَمَاءِ لِذَلِكَ الْمَسْكَنِ عَلَى اسْتِحْقَاقِهَا لِسُكْنَى الْعِدَّةِ؛ فَيَكُونُونَ أَحَقَّ بِهِ مِنْهَا وَيَضْرِبُ مَعَهُمْ بأجرة سكناها وإن أن الْحَجْرُ عَلَيْهِ بَعْدَ الطَّلَاقِ فَالْمُطَلَّقَةُ أَحَقُّ بِسُكْنَى الدَّارِ فِي عِدَّتِهَا مِنَ الْغُرَمَاءِ لِأَنَّ حَقَّهَا قَدْ تَعَلَّقَ بِذِمَّةِ الزَّوْجِ وَتَعَيَّنَ فِيهِ الْمَسْكَنُ فَاخْتُصَّتْ بِهِ فِي مُدَّةِ السُّكْنَى دُونَهُمْ كَمَا يُخْتَصُّ الْمُرْتَهَنُ بِثَمَنِ الرَّهْنِ دُونَهُمْ لِثُبُوتِ حَقِّهِ في العين والذمة وانفرد حُقُوقِهِمْ بِالذِّمَّةِ دُونَ الْعَيْنِ.

Jika rumah tersebut adalah miliknya, maka keadaan penyitaan atasnya karena pailit tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi sebelum talak atau setelahnya. Jika penyitaan terjadi sebelum talak, maka hak para kreditur atas rumah tersebut telah lebih dahulu ada dibandingkan hak istri untuk menempatinya selama masa ‘iddah; sehingga para kreditur lebih berhak atas rumah itu daripadanya, dan ia hanya berhak menuntut biaya sewa tempat tinggalnya bersama mereka. Namun jika penyitaan terjadi setelah talak, maka perempuan yang ditalak lebih berhak menempati rumah itu selama masa ‘iddah daripada para kreditur, karena haknya telah melekat pada tanggungan suami dan rumah tersebut telah ditetapkan untuknya, sehingga ia memiliki kekhususan untuk menempatinya selama masa tinggal, tidak bersama para kreditur, sebagaimana orang yang menerima gadai memiliki kekhususan atas harga barang gadai dibandingkan para kreditur karena haknya melekat pada barang dan tanggungan, sedangkan hak para kreditur hanya melekat pada tanggungan, tidak pada barang.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bagian)

وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ غَيْرَ مَالِكٍ لِمَسْكَنِ عِدَّتِهَا ضَرَبَتْ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِأُجْرَتِهِ فِي مُدَّةِ الْعِدَّةِ وَكَانَتْ أُسْوَةَ جَمِيعِهِمْ فِي مَالِهِ سَوَاءٌ كَانَ مُتَقَدِّمًا عَلَى حَجْرِهِ لِلْغُرَمَاءِ أَوْ مُتَأَخِّرًا عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ تَقَدَّمَ عَلَى الْحَجْرِ فَقَدْ صَارَ الْحَجْرُ لَهَا ولم وَإِنْ تَأَخَّرَ فَهُوَ سَبَبٌ قَدْ يُقَدَّمُ عَلَى الْحَجْرِ وَهُوَ النِّكَاحُ فَصَارَ كَالْمُسْتَحَقِّ قَبْلَ الْحَجْرِ وَخَالَفَ مَا اشْتَرَاهُ بَعْدَ حَجْرِهِ فِي أَنَّ بَائِعَهُ لَا يَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِثَمَنِهِ لَا مُسْتَحْدِثَ السَّبَبِ فِي الِاسْتِحْقَاقِ بَعْدَ وُقُوعِ الْحَجْرِ.

Jika suami bukan pemilik rumah tempat tinggal masa ‘iddah, maka istri menuntut biaya sewanya bersama para kreditur selama masa ‘iddah, dan ia setara dengan mereka semua dalam harta suami, baik haknya muncul sebelum penyitaan untuk para kreditur maupun setelahnya; karena meskipun haknya muncul sebelum penyitaan, penyitaan itu juga untuk kepentingannya. Dan jika haknya muncul setelah penyitaan, sebabnya (yaitu pernikahan) bisa saja didahulukan atas penyitaan, sehingga ia seperti orang yang telah memiliki hak sebelum penyitaan. Hal ini berbeda dengan barang yang dibeli setelah penyitaan, di mana penjualnya tidak dapat menuntut harga barang bersama para kreditur, karena sebab haknya baru muncul setelah terjadinya penyitaan.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bagian)

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهَا تَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِأُجْرَةِ سُكْنَاهَا فَلَهَا حَالَتَانِ:

Jika telah ditetapkan bahwa ia menuntut biaya sewa tempat tinggalnya bersama para kreditur, maka ada dua keadaan baginya:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَكُونَ مُقَدَّمَةً بِالشُّهُورِ لِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ فَتَضْرِبَ مَعَهُمْ بِأُجْرَةِ مَسْكَنِهَا فِي شُهُورِ الْعِدَّةِ وَهِيَ ثَلَاثَةٌ.

Pertama: Jika masa ‘iddahnya ditentukan dengan bulan, baik karena masih kecil atau sudah menopause, maka ia menuntut biaya sewa rumahnya selama bulan-bulan masa ‘iddah, yaitu tiga bulan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ عِدَّتُهَا غَيْرَ مُقَدَّرَةٍ بِالشُّهُورِ، لِأَنَّهَا حَامِلٌ أَوْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ فَلَا يَخْلُو أَنْ تَكُونَ لَهَا عَادَةٌ فِي الْحَمْلِ وَالْأَقْرَاءِ أَوْ تَكُونَ مُبْتَدَأَةً فَإِنْ كَانَ لَهَا عَادَةٌ فِي الْحَمْلِ وَالْأَقْرَاءِ أَنْ يَكُونَ حَمْلُهَا تِسْعَةَ أَشْهُرٍ، وَأَنْ يَكُونَ لَهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ قُرْءٌ فَتَحْمِلُ فِي سُكْنَى الْعِدَّةِ الَّتِي تَضْرِبُ بِهَا مَعَ الْغُرَمَاءِ عَلَى عَادَتِهَا فِي الْحَمْلِ وَالْأَقْرَاءِ فَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا كَانَتْ مُدَّةُ سُكْنَاهَا تِسْعَةَ أَشْهُرٍ وَإِنْ جَازَ أَنْ تَزِيدَ أَوْ تَنْقُصَ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ كَانَ مُدَّةُ سُكْنَاهَا ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ، وَإِنْ جَازَ أَنْ تَزِيدَ أَوْ تَنْقُصَ اعْتِبَارًا بِغَالِبِ عَادَتِهَا لِيَنْظُرَ مَا يَكُونُ مِنْهَا فِي انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهَا عَادَةٌ فِي الْحَمْلِ وَلَا فِي الْأَقْرَاءِ فَقَدْ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَاخْتَارَهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ أَنَّهَا تَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِأَقَلِّ مُدَّةِ الْحَمْلِ وَهِيَ سِتَّةُ أَشْهُرٍ وَبِأَقَلَّ مُدَّةٍ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، وَهِيَ اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ يَوْمًا وَسَاعَتَانِ اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ فِيمَا تَسْتَحِقُّهُ، وَعِنْدِي: أَنَّهَا تَضْرِبُ مَعَهُمْ فِي الْغَالِبِ مِنْ مُدَّةِ الْحَمْلِ وَهِيَ تِسْعَةُ أَشْهُرٍ، وَبِالْغَالِبِ مِنْ مُدَّةِ الْأَقْرَاءِ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا حُمِلَتِ الْمُعْتَادَةُ عَلَى غَالِبِ عَادَتِهَا مَعَ جَوَازِ النُّقْصَانِ وَلَمْ يُحْمَلْ عَلَى الْيَقِينِ فِي الْأَقَلِّ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ غَيْرُ الْمُعْتَادَةِ مَحْمُولَةً عَلَى الْغَالِبِ مِنْ عَادَةِ غَيْرِهَا، وَلَا تُحْمَلُ عَلَى الْيَقِينِ فِي النُّقْصَانِ.

Kedua: Jika masa ‘iddahnya tidak ditentukan dengan bulan, karena ia sedang hamil atau termasuk perempuan yang mengalami haid, maka ada dua kemungkinan: ia memiliki kebiasaan dalam kehamilan atau haid, atau tidak memiliki kebiasaan. Jika ia memiliki kebiasaan dalam kehamilan atau haid, misalnya masa kehamilannya sembilan bulan, atau dalam setiap bulan mengalami satu kali haid, maka ia menuntut biaya sewa tempat tinggal selama masa ‘iddah sesuai kebiasaannya dalam kehamilan atau haid. Jika ia hamil, maka masa tinggalnya adalah sembilan bulan, meskipun bisa saja lebih atau kurang. Jika ia termasuk perempuan yang mengalami haid, maka masa tinggalnya adalah tiga bulan, meskipun bisa saja lebih atau kurang, dengan mempertimbangkan kebiasaan umumnya agar dapat diketahui berapa lama masa ‘iddahnya. Jika ia tidak memiliki kebiasaan dalam kehamilan maupun haid, maka menurut Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan ini juga dipilih oleh Abu Hamid al-Isfarayini, ia menuntut bersama para kreditur dengan masa paling singkat kehamilan, yaitu enam bulan, dan masa paling singkat tiga kali haid, yaitu tiga puluh dua hari dua jam, berdasarkan kepastian atas apa yang menjadi haknya. Menurut pendapat saya, ia menuntut bersama mereka dengan masa kehamilan yang umum, yaitu sembilan bulan, dan masa haid yang umum, yaitu tiga bulan; karena ketika perempuan yang memiliki kebiasaan diukur dengan kebiasaan umumnya meskipun bisa kurang, dan tidak diukur dengan kepastian pada masa paling singkat, maka perempuan yang tidak memiliki kebiasaan juga harus diukur dengan kebiasaan umum perempuan lain, dan tidak diukur dengan kepastian pada masa paling singkat.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bagian)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا تَضْرِبُ به من الْغُرَمَاءِ، وَكَانَ مُقَدَّرًا بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ فِي الْأَقْرَاءِ وَبِتِسْعَةِ أَشْهُرٍ مَعَ الْحَمْلِ نُظِرَ أُجْرَةُ مِثْلِ سُكْنَاهَا فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ فَإِنْ كَانَتْ سِتِّينَ دِرْهَمًا نُظِرَ مَالُ الْمُفْلِسِ مَعَ دُيُونِهِ، فَإِنْ كَانَ بِقَدْرِ نِصْفِهَا ضَرَبَتْ مَعَهُمْ بِثُلْثِهَا وَذَلِكَ عِشْرُونَ دِرْهَمًا فَإِذَا أَخَذَتْهَا تَوَلَّى الزَّوْجُ اسْتِئْجَارَ الْمَسْكَنِ لَهَا بِذَلِكَ دُونَهَا؛ لِأَنَّ حَقَّهَا فِي السُّكْنَى دُونَ الْأُجْرَةِ فَإِذَا سَكَنَتْ تِلْكَ الْمُدَّةَ سَكَنَتْ بَعْدَهَا فِي بَقِيَّةِ الْمُدَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ، لِأَنَّ لِلزَّوْجِ أَنْ يُحَصِّنَهَا فِي الْعِدَّةِ حَيْثُ يَشَاءُ إِذَا أَقَامَ لَهَا بِالسُّكْنَى فَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ سَقَطَ خِيَارُهُ وَكَانَ الْأَمْرُ لَهَا فِي السُّكْنَى حَيْثُ تَشَاءُ مِنَ الْمَوَاضِعِ الْمَأْمُونَةِ عل مِثْلِهَا وَكَانَ مَا بَقِيَ لَهَا مِنْ أُجْرَةِ السُّكْنَى مُعْتَبَرَ الْمِقْدَارِ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَلَا يَخْلُو حَالُهَا فِي انْقِضَائِهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Apabila telah ditetapkan jumlah yang akan dibagikan kepada para kreditur, dan jumlah tersebut ditentukan selama tiga bulan untuk masa iddah karena haid, dan sembilan bulan untuk masa iddah karena hamil, maka dilihat berapa biaya sewa rumah yang sepadan untuknya selama masa tersebut. Jika biaya sewanya adalah enam puluh dirham, maka dilihat harta si pailit beserta utang-utangnya. Jika harta tersebut hanya setengah dari jumlah itu, maka ia mendapat bagian bersama mereka sepertiga dari jumlah itu, yaitu dua puluh dirham. Setelah ia mengambilnya, suami bertanggung jawab menyewa rumah untuknya dengan jumlah itu, bukan ia sendiri; karena haknya adalah atas tempat tinggal, bukan atas uang sewa. Jika ia telah menempati rumah selama masa tersebut, maka setelahnya ia boleh tinggal di sisa masa iddah di mana pun ia kehendaki, karena suami berhak menempatkannya selama masa iddah di mana saja ia mau, selama ia menyediakan tempat tinggal untuknya. Jika suami tidak melakukannya, maka hak memilih tempat tinggal berpindah kepadanya, dan ia boleh tinggal di tempat yang aman sesuai dengan kebiasaannya. Sisa uang sewa rumah yang menjadi haknya dihitung berdasarkan sisa masa iddah. Keadaan iddahnya setelah berakhir tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَنْقَضِيَ فِي مُدَّةٍ مِثْلِ الْمُدَّةِ الْمُقَدَّرَةِ لَهَا مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ وَتَضَعُ حَمْلَهَا فِي تِسْعَةِ أَشْهُرٍ وَيَنْقَضِي أَقَرَاؤُهَا فِي ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ فَقَدِ اسْتَوْفَتْ مَا اسْتَحَقَّتْهُ مَعَ الْغُرَمَاءِ، وَإِنْ كَانَ الْبَاقِي دَيْنًا لَهَا فِي ذِمَّةِ الزَّوْجِ يُرْجَعُ بِهِ عَلَيْهِ إِذَا أَيْسَرَ.

Pertama: Masa iddahnya berakhir tepat dalam waktu yang telah ditentukan untuknya, tanpa ada penambahan atau pengurangan. Ia melahirkan dalam sembilan bulan, dan masa haidnya selesai dalam tiga bulan. Maka ia telah menerima haknya bersama para kreditur. Jika masih ada sisa utang yang menjadi haknya pada suami, maka ia dapat menagihnya ketika suami mampu membayarnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا فِي أَقَلَّ مِنَ الْمُدَّةِ الْمُقَدَّرَةِ لَهَا فَتَضَعَ حَمْلَهَا فِي سِتَّةِ أَشْهُرٍ، وَتَقْضِيَ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ فِي شَهْرَيْنِ فَتَصِيرَ مُدَّةُ الْعِدَّةِ ثُلْثَيِ الْمُدَّةِ الْمُقَدَّرَةِ فَتَرُدُّ عَلَى الْغُرَمَاءِ ثُلُثَ مَا أَخَذَتْهُ؛ لِأَنَّهَا ضَرَبَتْ مَعَهُمْ بِمَا هِيَ مُسْتَحِقَّةٌ لِثُلُثَيْهِ.

Kedua: Masa iddahnya berakhir dalam waktu yang lebih singkat dari waktu yang telah ditentukan untuknya, misalnya ia melahirkan dalam enam bulan, dan menyelesaikan tiga kali haid dalam dua bulan, sehingga masa iddahnya menjadi dua pertiga dari waktu yang telah ditentukan. Maka ia harus mengembalikan sepertiga dari apa yang telah diterimanya kepada para kreditur, karena ia telah mengambil bagian bersama mereka untuk dua pertiga masa yang menjadi haknya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا فِي أَكْثَرَ مِنَ الْعِدَّةِ الْمُقَدَّرَةِ لَهَا فَتَضَعَ حَمْلَهَا فِي سَنَةٍ وَتَقْضِيَ أَقَرَاءَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَتَزِيدَ عِدَّتُهَا ثُلُثَ الْعِدَّةِ الْمُقَدَّرَةِ لَهَا فَهَلْ تَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْغُرَمَاءِ أَوْ يَكُونُ فِي ذِمَّةِ الزَّوْجِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ.

Ketiga: Masa iddahnya berakhir dalam waktu yang lebih lama dari waktu yang telah ditentukan untuknya, misalnya ia melahirkan dalam satu tahun, dan menyelesaikan masa haidnya dalam empat bulan, sehingga masa iddahnya bertambah sepertiga dari waktu yang telah ditentukan. Apakah ia boleh menagih kelebihan itu kepada para kreditur, ataukah menjadi utang suami, terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا: أَنَّهَا تَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْغُرَمَاءِ كَمَا لَوْ ظَهَرَ غَرِيمٌ ضَرَبَ مَعَهُمْ بِقَدْرِ حَقِّهِ.

Pertama: Ia boleh menagih kelebihan itu kepada para kreditur, sebagaimana jika muncul kreditur lain yang menuntut haknya sesuai bagiannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْغُرَمَاءِ وَيَكُونُ مَعَ بَقِيَّةِ السُّكْنَى ديناً على الزَّوْجِ بِخِلَافِ الْغَرِيمِ إِذَا حَدَثَ؛ لِأَنَّهَا ضَرَبَتْ بِهَذَا الْقَدْرِ مَعَ الْعِلْمِ بِجَوَازِ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ وَخَالَفَ الْغَرِيمُ الَّذِي لَمْ يَعْلَمْ بِهِ.

Kedua: Ia tidak boleh menagih kelebihan itu kepada para kreditur, dan kelebihan itu menjadi utang suami, berbeda dengan kreditur lain yang muncul kemudian; karena ia telah mengambil bagian tersebut dengan mengetahui kemungkinan adanya penambahan, berbeda dengan kreditur yang tidak mengetahuinya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: إِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ رَجَعَتْ بِهَا عَلَى الْغُرَمَاءِ، وَإِنْ كَانَتْ فِي مُدَّةِ الْأَقْرَاءِ لَمْ يُرْجَعْ بِهَا عَلَيْهِمْ، لِأَنَّ وَضْعَ الْحَمْلِ مُشَاهَدٌ يُمْكِنُ أَنْ تَقُومَ بِهِ بَيِّنَةٌ، وَمُدَّةَ الْأَقْرَاءِ مَظْنُونَةٌ لَا تَقُومُ بِهَا بَيِّنَةٌ وَيُرْجَعُ إِلَى قَوْلِهَا فِي حَقِّ الزَّوْجِ دُونَ غَيْرِهِ فَافْتَرَقَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Ketiga: Jika penambahan itu terjadi pada masa kehamilan, maka ia boleh menagihnya kepada para kreditur. Namun jika penambahan itu terjadi pada masa haid, maka ia tidak boleh menagihnya kepada mereka, karena kelahiran anak adalah sesuatu yang dapat disaksikan dan dapat dibuktikan dengan saksi, sedangkan masa haid adalah sesuatu yang bersifat dugaan dan tidak dapat dibuktikan dengan saksi. Dalam hal ini, yang dijadikan pegangan adalah pengakuannya terhadap suami, bukan terhadap selainnya. Maka keduanya berbeda, dan Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الْمَسَائِلُ فِي مَوْتِهِ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا مَا وَصَفْتُ وَمَنْ قَالَهُ احْتَجَّ بقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِفُرَيْعَةَ: ” امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ” وَالثَّانِي أَنَّ الِاخْتِيَارَ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يَسْكُنُوهَا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَقَدْ مَلَكُوا دُونَهُ فَلَا سكنى لها كما لا نفقة لها ومن قاله قال أَنَّ قَوْلَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لفريعة: ” امكثي في بيتك ما لم يخرجك منه أهلك ” لأنها وصفت أن المنزل ليس لزوجها (قال المزني) هذا أولى بقوله لأنه لا نفقة لها حاملاً وغير حامل وقد احتج بأن الملك قد انقطع عنه بالموت (قال المزني) وكذلك قد انقطع عنه السكنى بالموت وقد أجمعوا أن من وجبت له نفقة وسكنى من ولد ووالد على رجل فمات انقطعت النفقة لهم والسكنى لأن ماله صار ميراثا لهم فكذلك امرأته وولده وسائر ورثته يرثون جميع ماله “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika masalah-masalah ini berkaitan dengan kematian suami, maka ada dua pendapat di dalamnya. Salah satunya adalah seperti yang telah aku jelaskan, dan siapa yang berpendapat demikian berdalil dengan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada Fura‘i‘ah: ‘Tinggallah di rumahmu hingga kitab (ketentuan) mencapai ajalnya.’ Pendapat kedua adalah bahwa para ahli waris berhak memilih untuk menempati rumah tersebut, jika mereka tidak melakukannya maka mereka telah memilikinya tanpa istri, sehingga istri tidak berhak tinggal di sana sebagaimana ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Orang yang berpendapat demikian mengatakan bahwa sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada Fura‘i‘ah: ‘Tinggallah di rumahmu selama keluargamu tidak mengeluarkanmu darinya,’ karena ia menyebutkan bahwa rumah itu bukan milik suaminya.” (Al-Muzani berkata:) “Pendapat ini lebih utama menurutnya, karena istri tidak berhak mendapatkan nafkah baik sedang hamil maupun tidak, dan ia berdalil bahwa kepemilikan telah terputus darinya karena kematian.” (Al-Muzani berkata:) “Demikian pula hak tinggal telah terputus karena kematian, dan telah terjadi ijmā‘ bahwa siapa saja yang berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari anak atau orang tua terhadap seseorang, lalu orang itu meninggal dunia, maka terputuslah nafkah dan tempat tinggal bagi mereka, karena hartanya telah menjadi warisan bagi mereka. Demikian pula istri, anak, dan seluruh ahli warisnya mewarisi seluruh hartanya.”

قال الماوردي: أما النفقة فلا تجب فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ إِجْمَاعًا حَامِلًا كَانَتْ أَوْ حَائِلًا، وَفِي وُجُوبِ السُّكْنَى قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun nafkah, maka tidak wajib dalam masa ‘iddah wafat berdasarkan ijmā‘, baik istri itu sedang hamil maupun tidak, dan dalam kewajiban tempat tinggal terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا سُكْنَى لَهَا.

Salah satunya: Tidak ada hak tempat tinggal baginya.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْعِرَاقِيِّينَ وَاخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ.

Pendapat ini dipegang oleh para sahabat: ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Abbas, dan ‘Aisyah radhiyallahu ta‘ala ‘anhum; dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, para ulama Irak, serta pilihan Al-Muzani.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهَا السُّكْنَى.

Pendapat kedua: Ia berhak mendapatkan tempat tinggal.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَابْنُ عُمَرَ، وَابْنُ مَسْعُودٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأُمُّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَكَثِيرٍ مِنَ الْفُقَهَاءِ.

Pendapat ini dipegang oleh para sahabat: ‘Umar, ‘Utsman, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas‘ud, Zaid bin Tsabit, dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum; dan ini adalah pendapat Malik serta banyak dari kalangan fuqaha.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَسْقَطَ السُّكْنَى بِأَنَّ السُّكْنَى تَجْرِي مَجْرَى النَّفَقَةِ؛ لِأَنَّهَا تَجِبُ بِوُجُوبِهَا فِي الزَّوْجِيَّةِ وَتَسْقُطُ بِسُقُوطِهَا في النشور، وَقَدْ سَقَطَتِ النَّفَقَةُ بِالْمَوْتِ فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ بِهِ السُّكْنَى وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّ مَا اسْتُحِقَّ فِي مُدَّةِ الزَّوْجِيَّةِ سَقَطَ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ كَالنَّفَقَةِ؛ وَلِأَنَّ مِلْكَهُ قَدِ انْتَقَلَ بِمَوْتِهِ إِلَى وَارِثِهِ فَاقْتَضَى أَنْ لَا يَجِبَ السُّكْنَى عَلَى الزَّوْجِ لِزَوَالِ مِلْكِهِ كَمَا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ النَّفَقَةُ، وَأَنْ لَا تَجِبَ عَلَى الْوَارِثِ الْمَالِكِ؛ لأن غَيْرُ زَوْجٍ كَمَا لَا تَجِبُ عَلَيْهِ النَّفَقَةُ؛ وَلِأَنَّهُ لَوْ وَجَبَتْ لَهَا السُّكْنَى حَامِلًا لَوَجَبَتْ لَهَا النَّفَقَةُ حَامِلًا كَالْمَبْتُوتَةِ، وَفِي سُقُوطِ نَفَقَتِهَا فِي الْحَالَيْنِ دَلِيلٌ عَلَى سُقُوطِ سُكْنَاهَا فِي الْحَالَيْنِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا سقط بالموت سكنى الأقارب لسقوط نققاتهم وَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِهِ سُكْنَى الزَّوْجَاتِ لِسُقُوطِ نَفَقَاتِهِمْ.

Orang yang menggugurkan hak tempat tinggal berdalil bahwa tempat tinggal itu mengikuti hukum nafkah; karena keduanya diwajibkan dalam pernikahan dan gugur dengan gugurnya (pernikahan) dalam keadaan berpisah, dan nafkah telah gugur karena kematian, maka wajib pula gugur hak tempat tinggal karena kematian. Penjelasannya secara qiyās: apa yang menjadi hak dalam masa pernikahan gugur dalam masa ‘iddah wafat, seperti nafkah; dan karena kepemilikan suami telah berpindah dengan kematiannya kepada ahli warisnya, maka tidak wajib atas suami menyediakan tempat tinggal karena kepemilikannya telah hilang, sebagaimana tidak wajib atasnya memberi nafkah; dan tidak wajib pula atas ahli waris yang menjadi pemilik, karena mereka bukan suami, sebagaimana tidak wajib atas mereka memberi nafkah; dan seandainya istri yang hamil berhak mendapatkan tempat tinggal, tentu ia juga berhak mendapatkan nafkah seperti wanita yang ditalak ba‘in, dan dalam gugurnya nafkah pada kedua keadaan itu terdapat dalil atas gugurnya hak tempat tinggal pada kedua keadaan itu. Dan karena ketika hak tinggal kerabat gugur karena gugurnya nafkah mereka akibat kematian, maka wajib pula hak tinggal istri gugur karena gugurnya nafkah mereka.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَوْجَبَ السُّكْنَى بِمَا رَوَتْهُ زَيْنَبُ بِنْتُ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَنَّ الْفُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ أُخْتَ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَخْبَرَتْهُ أَنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ، قَالَتْ: فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي فِي بَنِي خُدْرَةَ. فَإِنَّهُ لَمْ يَتْرُكْنِي فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: نَعَمْ، فَخَرَجْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي الْحُجْرَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ دَعَانِي أَوْ أَمَرَ بِي فَدُعِيتُ لَهُ، فَقَالَ: كَيْفَ؟ فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ فَقَالَ: امْكُثِي فِي بَيْتِكَ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ. فَاعْتَدَّتْ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا؛ فَلَمَّا كان عثمان 7 به عَفَّانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَرْسَلَ إِلَيَّ وَسَأَلَنِي عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرْتُهُ فَاتَّبَعَهُ وَقَضَى بِهِ، فَلَوْ لَمْ تَسْتَحِقَّ السُّكْنَى عَلَى الزَّوْجِ لَمَا أَعَادَهَا إِلَى مَسْكَنٍ قَدِ اسْتَعَارَهُ وَلَمْ يَمْلِكْهُ.

Orang yang mewajibkan tempat tinggal (bagi istri yang menjalani masa ‘iddah karena wafat suami) berdalil dengan riwayat yang disampaikan oleh Zainab binti Ka‘b bin ‘Ujrah, bahwa Fura‘i‘ah binti Malik bin Sinan, saudari Abu Sa‘id al-Khudri, memberitahunya bahwa ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan mengabarkan kepadanya bahwa suaminya keluar untuk mencari budak-budaknya yang melarikan diri, hingga ketika mereka berada di ujung al-Qadum, suaminya menyusul mereka lalu mereka membunuhnya. Ia berkata: “Maka aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ: Bolehkah aku kembali kepada keluargaku di Bani Khudrah? Sebab ia (suamiku) tidak meninggalkanku di tempat tinggal yang ia miliki dan tidak pula nafkah.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya.” Lalu aku keluar, hingga ketika aku berada di kamar atau di masjid, beliau memanggilku atau memerintahkan agar aku dipanggil, lalu aku dipanggil menghadap beliau. Beliau bertanya: “Bagaimana?” Maka aku mengulangi kisah tersebut kepadanya, lalu beliau bersabda: “Tinggallah di rumahmu hingga ketentuan Allah (masa ‘iddah) selesai.” Maka aku menjalani masa ‘iddah di rumah itu selama empat bulan sepuluh hari. Ketika masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan ra, beliau mengutus seseorang kepadaku dan menanyakan hal itu, lalu aku mengabarkannya dan beliau pun mengikuti (hukum) tersebut dan memutuskan dengannya. Maka, seandainya istri tidak berhak mendapatkan tempat tinggal dari suami, niscaya beliau tidak akan mengembalikannya ke rumah yang hanya dipinjam dan bukan milik suaminya.

فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ أَذِنَ لَهَا فِي النُّقْلَةِ ثُمَّ مَنَعَهَا فَفِيهَا تَأْوِيلَانِ:

Jika dikatakan: Bagaimana mungkin beliau mengizinkannya untuk pindah, lalu kemudian melarangnya? Maka dalam hal ini terdapat dua penafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَانَ لِسَهْوٍ أُسْقِطَ مِنْهُ.

Pertama: Karena beliau lupa sehingga terlewat darinya (hukum yang benar).

وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ لِاجْتِهَادٍ نُقِلَ عَنْهُ.

Kedua: Karena ijtihad yang kemudian ditinggalkan (diganti dengan pendapat lain).

فَإِنْ قِيلَ: فَعَلَى هَذَا يَكُونُ نَسْخًا وَالنَّسْخُ قَبْلَ الْفِعْلِ لَا يَجُوزُ.

Jika dikatakan: Kalau begitu, berarti ini adalah nasakh (penghapusan hukum), sedangkan nasakh sebelum perbuatan tidak diperbolehkan.

قِيلَ: إِنَّمَا لَا يَجُوزُ نَسْخُهُ قَبْلَ زَمَانِ فِعْلِهِ، وَيَجُوزُ قَبْلَ فِعْلِهِ، وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ إِذَا وَجَبَتْ بِمَوْتِ الزَّوْجِ تَحْصِينًا لِمَائِهِ وَحِفْظًا لِحُرْمَتِهِ كَانَتْ أَوْكَدَ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْمُخْتَصَّةِ بِتَحْصِينِ مَائِهِ دُونَ حُرْمَتِهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ بِوُجُوبِ السُّكْنَى أَحَقَّ مِنَ الطَّلَاقِ.

Dijawab: Sesungguhnya yang tidak diperbolehkan adalah nasakh sebelum tiba waktunya untuk diamalkan, adapun sebelum diamalkan (setelah waktunya tiba) maka boleh. Dan karena ‘iddah yang diwajibkan karena wafatnya suami itu bertujuan menjaga kehormatan air mani suami dan memelihara kehormatannya, maka ‘iddah ini lebih kuat daripada ‘iddah talak yang hanya khusus untuk menjaga air mani suami tanpa kehormatannya. Maka, hal itu menuntut agar kewajiban tempat tinggal dalam ‘iddah wafat lebih utama daripada dalam ‘iddah talak.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّهَا عِدَّةٌ مِنْ نِكَاحٍ فَوَجَبَ أَنْ تَسْتَحِقَّ فِيهَا السُّكْنَى كَالطَّلَاقِ؛ وَلِأَنَّهَا لَمَّا خُصَّتْ بِالسُّكْنَى فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ مَعَ قُدْرَةِ الزَّوْجِ عَلَى نَفْيِ وَلَدِهَا بِاللِّعَانِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَخْتَصَّ بِالسُّكْنَى فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ مَعَ عَدَمِ الْقُدْرَةِ عَلَى نَفْيِ وَلَدِهَا بِاللِّعَانِ؛ وَلِأَنَّ الْمُغَلَّبَ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ التَّعَبُّدُ، وَالِاسْتِبْرَاءَ تَبَعٌ، وَالْمُغَلَّبَ فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ الِاسْتِبْرَاءُ وَالتَّعَبُّدَ تَبَعٌ، لِأَنَّ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا تَجِبُ عَلَيْهَا عِدَّةُ الْوَفَاةِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهَا عِدَّةُ الطَّلَاقِ فَلَمَّا وَجَبَ السُّكْنَى فِي الِاسْتِبْرَاءِ كَانَ أَوْلَى أَنْ تَجِبَ فِي التَّعَبُّدِ؛ لِأَنَّ حُقُوقَ اللَّهِ أَوْكَدُ وَلِفَحْوَى هَذَا الْمَعْنَى فَرَّقْنَا بَيْنَ النَّفَقَةِ وَالسُّكْنَى وَبَيْنَ سُكْنَى الْأَقَارِبِ وَالزَّوْجَاتِ وَاللَّهُ أعلم.

Penjelasan secara qiyās: Bahwa ini adalah ‘iddah dari pernikahan, maka wajib baginya mendapatkan tempat tinggal sebagaimana dalam talak. Dan karena ketika tempat tinggal dikhususkan dalam ‘iddah talak, padahal suami masih bisa menafikan anaknya dengan li‘ān, maka lebih utama lagi jika tempat tinggal dikhususkan dalam ‘iddah wafat, di mana suami tidak lagi bisa menafikan anaknya dengan li‘ān. Dan karena yang dominan dalam ‘iddah wafat adalah aspek ta‘abbud (ibadah), sedangkan istibra’ (memastikan rahim kosong) hanya mengikuti, sedangkan dalam ‘iddah talak yang dominan adalah istibra’ dan ta‘abbud hanya mengikuti. Karena wanita yang belum digauli wajib menjalani ‘iddah wafat, tetapi tidak wajib menjalani ‘iddah talak. Maka, ketika tempat tinggal diwajibkan dalam istibra’, lebih utama lagi diwajibkan dalam ta‘abbud, karena hak-hak Allah lebih kuat. Dan berdasarkan makna ini pula kami membedakan antara nafkah dan tempat tinggal, serta antara tempat tinggal kerabat dan istri. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلِوَرَثَتِهِ أَنْ يُسْكِنُوهَا حَيْثُ شَاءُوا إِذَا كَانَ مَوْضِعُهَا حِرْزًا وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَمْتَنِعَ وَلِلسُّلْطَانِ أَنْ يَخُصَّهَا حَيْثُ تَرْضَى لِئَلَّا يَلْحَقَ بِالزَّوْجِ مَنْ لَيْسَ لَهُ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ahli waris berhak menempatkan istri (yang menjalani ‘iddah wafat) di mana saja mereka kehendaki, selama tempat itu aman, dan istri tidak berhak menolak. Adapun penguasa berhak menempatkannya di tempat yang ia ridai, agar tidak ada orang yang bukan haknya bergabung dengan suami.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا تَقَرَّرَ هَذَا أَنَّ السُّكْنَى فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ عَلَى قَوْلَيْنِ فَلِلْمُعْتَدَّةِ بَعْدَ الْوَفَاةِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Jika telah dipastikan bahwa tempat tinggal dalam ‘iddah wafat ada dua pendapat, maka bagi wanita yang menjalani ‘iddah setelah wafat suami terdapat tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ عَلَى حَال الزَّوْجِيَّةِ إِلَى حِينِ الْوَفَاةِ فَتَعْتَدَّ بِالْمَوْتِ فَهَذِهِ الَّتِي فِي وُجُوبِ سُكْنَاهَا قَوْلَانِ.

Pertama: Ia masih dalam keadaan sebagai istri hingga saat wafat, lalu ia menjalani ‘iddah karena kematian. Inilah yang dalam kewajiban tempat tinggalnya terdapat dua pendapat.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ فِي عِدَّةٍ مِنْ طَلَاقٍ بَائِنٍ فَيَمُوتُ زَوْجُهَا، وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ فَتَعْتَدُّ عِدَّةَ الطَّلَاقِ وَلَهَا السُّكْنَى قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهَا عِدَّةُ طَلَاقٍ لَمْ يَتَعَيَّنْ بِالْوَفَاةِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِهَا حُكْمُ السُّكْنَى، فَإِنْ كَانَتْ فِي مَسْكَنِ زَوْجِهَا اسْتَكْمَلَتْ فِيهِ عِدَّتَهَا وَإِنْ كَانَتْ فِي غَيْرِهِ أَخَذَتْ مِنْ تَرِكَتِهِ قَدْرَ أُجْرَتِهِ.

Keadaan kedua: Jika seorang perempuan berada dalam masa ‘iddah karena talak bā’in, lalu suaminya meninggal dunia sementara ia masih dalam masa ‘iddah, maka ia menjalani masa ‘iddah talak dan berhak mendapatkan tempat tinggal menurut satu pendapat; karena masa ‘iddah tersebut adalah masa ‘iddah talak yang tidak ditetapkan karena wafat, sehingga hukum tempat tinggal tidak gugur karenanya. Jika ia berada di rumah suaminya, maka ia menyempurnakan masa ‘iddahnya di sana. Namun jika ia berada di tempat lain, maka ia berhak mengambil dari harta warisan suaminya sebesar biaya sewanya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ فِي عِدَّةٍ مِنْ طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ فَيَمُوتُ زَوْجُهَا، وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ فَتُعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ دُونَ الطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهَا فِي حُكْمِ الزَّوْجَاتِ وَتَسْقُطُ نَفَقَتُهَا كَمَا تَسْقُطُ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ، فَأَمَّا السُّكْنَى فَإِنْ قِيلَ بِوُجُوبِهِ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ كَانَ وُجُوبُهُ لِهَذِهِ أَوْلَى، وَإِنْ قِيلَ بِسُقُوطِهِ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ كَانَ فِيهِ لِهَذِهِ الرَّجْعِيَّةِ وَجْهَانِ:

Keadaan ketiga: Jika seorang perempuan berada dalam masa ‘iddah karena talak raj‘ī, lalu suaminya meninggal dunia sementara ia masih dalam masa ‘iddah, maka ia menjalani masa ‘iddah wafat, bukan masa ‘iddah talak; karena ia masih berstatus sebagai istri. Nafkahnya gugur sebagaimana nafkah istri juga gugur. Adapun mengenai tempat tinggal, jika dikatakan wajib dalam masa ‘iddah wafat, maka kewajiban itu lebih utama bagi perempuan ini. Namun jika dikatakan gugur dalam masa ‘iddah wafat, maka dalam hal ini bagi perempuan yang dalam masa ‘iddah raj‘ī terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا سُكْنَى لَهَا؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ أَوْكَدَ حَالًا مِنَ الزَّوْجَاتِ.

Salah satunya: Ia tidak berhak mendapatkan tempat tinggal; karena keadaannya tidak lebih kuat dari istri-istri lainnya.

وَالثَّانِي: أَنَّ لَهَا السُّكْنَى وَإِنْ لَمْ تَجِبْ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ اسْتِصْحَابًا لِوُجُوبِهَا فِيمَا تَقَدَّمَ مِنْ عِدَّتِهَا كَالْبَائِنِ.

Yang kedua: Ia berhak mendapatkan tempat tinggal, meskipun tidak wajib dalam masa ‘iddah wafat, dengan mempertimbangkan kewajiban yang telah berlaku pada masa ‘iddah sebelumnya, sebagaimana pada kasus talak bā’in.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا تَفَرَّعَتْ أَحْكَامُ السُّكْنَى عَلَى الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ قُلْنَا بِوُجُوبِهَا اسْتَقَرَّتْ فِي تَرِكَةِ الزَّوْجِ وَرُوعِيَ حَالُ مَسْكَنِهَا فَإِنْ كَانَ مِلْكًا لِلزَّوْجِ أُخِذَ الْوَرَثَةُ جَبْرًا بِإِقْرَارِهَا فِيهِ وَأُخِذَتْ جَبْرًا إِنِ امْتَنَعَتْ بِالسُّكْنَى فِيهِ، وَإِنْ رَاضَاهَا الْوَرَثَةُ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْهُ أَحَدُهُمَا أَوِ السُّلْطَانُ جَبْرًا بِذَلِكَ لِمَا فِيهِ مِنْ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى الَّذِي لَا يُضَاعُ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ مَسْكَنُهَا مِلْكًا لِلزَّوْجِ وَجَبَ فِي تَرِكَتِهِ أُجْرَةُ مَسْكَنِهَا، وَقُدِّمَتْ بِهِ عَلَى الْوَصَايَا وَالْمِيرَاثِ، فَإِنْ زَاحَمَهَا الْغُرَمَاءُ اسْتَهَمُوا فِي التَّرِكَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي فَلَسِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجِ تَرِكَةٌ يَحْتَمِلُ السُّكْنَى لَمْ يَلْزَمِ الْوَرَثَةَ دَفْعُهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَدَفَعَهَا السُّلْطَانُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ لِمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا مِنْ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فِي إِقَامَةِ مَا تَعَبَّدَ بِهِ، فَإِنْ تَعَذَّرَ دَفْعُهَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ سَكَنَتِ الْمُعْتَدَّةُ حَيْثُ شَاءَتْ، وَحَفِظَتْ فِي نَفْسِهَا حَقَّ اللَّهِ تَعَالَى، وَحَقَّ الْمَيِّتِ.

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan, maka hukum-hukum mengenai tempat tinggal bercabang sesuai dua pendapat tersebut. Jika kita berpendapat bahwa tempat tinggal itu wajib, maka hak tersebut tetap menjadi bagian dari harta warisan suami dan memperhatikan keadaan tempat tinggalnya. Jika rumah itu milik suami, para ahli waris dipaksa untuk membiarkannya tinggal di sana, dan ia pun dipaksa untuk tinggal di sana jika ia menolak. Jika para ahli waris rela ia keluar dari rumah itu, atau penguasa memaksanya keluar karena ada hak Allah Ta‘ālā yang tidak boleh disia-siakan. Jika tempat tinggalnya bukan milik suami, maka dari harta warisan suami wajib diberikan biaya sewa tempat tinggalnya, dan hal itu didahulukan daripada wasiat dan warisan. Jika ada persaingan dengan para kreditur, maka mereka diundi dalam harta warisan sebagaimana telah dijelaskan dalam bab kebangkrutan. Jika suami tidak meninggalkan harta warisan yang cukup untuk tempat tinggal, maka para ahli waris tidak wajib membayarnya dari harta mereka, dan penguasa membayarnya dari Baitul Māl karena terkait dengan hak Allah Ta‘ālā dalam menegakkan syariat-Nya. Jika tidak memungkinkan membayarnya dari Baitul Māl, maka perempuan yang menjalani masa ‘iddah boleh tinggal di mana saja ia kehendaki, dan ia menjaga dalam dirinya hak Allah Ta‘ālā dan hak si mayit.

وَإِنْ قِيلَ بِسُقُوطِ السُّكْنَى فَلَا حَقَّ لَهَا فِي تَرِكَتِهِ وَلَا عَلَى وَرَثَتِهِ وَلَا فِي بَيْتِ الْمَالِ، وَلَهَا أَنْ تَسْكُنَ حيث شاءت؛ لأنه إذا أسقط حقها في السُّكْنَى سَقَطَ مَا عَلَيْهَا مِنْهُ إِلَّا أَنْ تَجِدَ مُتَطَوِّعًا بِسُكْنَاهَا فَتَصِيرَ السُّكْنَى وَاجِبًا عَلَيْهَا وَلَيْسَ يَخْلُو الْمُتَطَوِّعُ بِسُكْنَاهَا مِنْ أَحَدِ ثَلَاثَةِ أَصْنَافٍ:

Jika dikatakan bahwa hak tempat tinggal gugur, maka ia tidak berhak atas harta warisan suaminya, tidak pula atas para ahli warisnya, dan tidak pula dari Baitul Māl. Ia boleh tinggal di mana saja ia kehendaki; karena jika haknya atas tempat tinggal telah gugur, maka kewajiban atasnya pun gugur, kecuali jika ia menemukan seseorang yang secara sukarela memberinya tempat tinggal, maka tempat tinggal menjadi wajib atasnya. Orang yang secara sukarela memberinya tempat tinggal tidak lepas dari tiga golongan:

أَحَدُهَا: الْوَارِثُ يَتَطَوَّعُ بِسُكْنَاهَا إِمَّا مِنَ التَّرِكَةِ إِنْ كَانَتْ أَوْ مِنْ مَالِهِ تَحْصِينًا لِمَاءِ مَيِّتِهِ فَيَلْزَمُهَا إِجَابَتُهُ إِذَا أَقَامَ لَهَا بِهِ أَوْ بَذَلَ لَهَا أُجْرَتَهُ، فَإِنْ أَمْكَنَهُ مَسْكَنُ طَلَاقِهَا كَانَ أَوْلَى وَإِنْ أَعْوَزَهُ فَأَقْرَبُ الْمَسَاكِنِ بِهِ، فَإِنْ أَمْكَنَهُ مَسْكَنُ طَلَاقِهَا فَعَدَلَ بِهَا إِلَى غَيْرِهِ جَازَ؛ لِأَنَّهُ مُتَطَوِّعٌ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

Pertama: Ahli waris yang secara sukarela memberinya tempat tinggal, baik dari harta warisan jika masih ada, atau dari hartanya sendiri untuk menjaga kehormatan keluarganya yang telah meninggal. Maka ia wajib menerima tawaran tersebut jika ahli waris menyediakan tempat tinggal atau memberikan biaya sewanya. Jika memungkinkan untuk tinggal di rumah tempat ia menjalani masa ‘iddah talak, maka itu lebih utama. Jika tidak memungkinkan, maka di tempat tinggal terdekat. Jika memungkinkan tinggal di rumah masa ‘iddah talak, namun ia dialihkan ke tempat lain, maka itu boleh; karena ahli waris secara sukarela memberikan salah satu dari keduanya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: السُّلْطَانُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حِفْظِ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى فِي حِرَاسَةِ الْأَنْسَابِ قَدْ خَصَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ فِي عِدَّتِهَا حِينَ أَمَرَهَا أَنْ تَسْكُنَ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ وَيَدْفَعُ سُكْنَاهَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ جعلة الْمَصَالِحِ الْخَاصَّةِ الَّتِي لَهُ فِعْلُهَا وَإِنْ لَمْ تَجِبْ.

Bagian kedua: Penguasa, sesuai dengan pertimbangannya dalam menjaga hak-hak Allah Ta‘ālā dalam melindungi nasab. Rasulullah ﷺ secara khusus memerintahkan Fāṭimah binti Qays dalam masa ‘iddahnya agar tinggal di rumah Ibnu Umm Maktūm dan memberikan tempat tinggalnya dari Baitul Māl; karena hal itu termasuk kemaslahatan khusus yang menjadi wewenangnya untuk melakukannya, meskipun tidak wajib.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَجْنَبِيٌّ يَتَطَوَّعُ بِسُكْنَاهَا فَنَنْظُرُ حَالَهُ، فَإِنْ كَانَ مَتْهُومًا ذَا رِيبَةٍ لَمْ يَتَعَرَّضْ لَهَا، وَإِنْ كَانَ سَلِيمًا ذَا دِينٍ قَامَ بَذْلُه لِسُكْنَاهَا مَقَامَ بَذْلِ الْوَرَثَةِ وَلَزِمَهَا أَنْ تَسْكُنَ حَيْثُ يُسْكِنُهَا إِذَا كَانَ مَسْكَنَ مِثْلِهَا وَأَمِنَتْ عَلَى نَفْسِهَا فَيَكُونُ وُجُوبُ السُّكْنَى عَلَيْهَا مَشْرُوطًا بِهَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ، فَإِنْ رَضِيَتْ بِدُونِ مَسْكَنِ مِثْلِهَا جَازَ، وَإِنْ رَضِيَتْ بِمَا لَا يَأْمَنُهُ عَلَى نَفْسِهَا لَمْ يَجُزْ.

Bagian ketiga: Orang asing yang secara sukarela menawarkan tempat tinggalnya. Maka kita melihat keadaannya; jika ia dicurigai dan menimbulkan keraguan, maka tidak boleh diterima tawarannya. Namun jika ia orang yang baik dan beragama, maka pemberiannya untuk tempat tinggal itu menempati kedudukan pemberian ahli waris, dan wajib bagi perempuan itu untuk tinggal di tempat yang disediakan olehnya, jika tempat itu setara dengan tempat tinggalnya dan ia merasa aman atas dirinya. Maka kewajiban tinggal baginya disyaratkan dengan dua syarat ini. Jika ia rela dengan tempat tinggal yang di bawah standar miliknya, maka itu boleh. Namun jika ia rela dengan tempat yang tidak membuatnya aman atas dirinya, maka itu tidak boleh.

مَسْأَلَةٌ قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ أُذِنَ لَهَا أَنْ تَنْتَقِلَ فَنُقِلَ مَتَاعُهَا وَخَدَمُهَا وَلَمْ تَنْتَقِلْ بِبَدَنِهَا حَتَّى مَاتَ أَوْ طَلَّقَ اعْتَدَّتْ فِي بَيْتِهَا الَّذِي كَانَتْ فِيهِ “.

Masalah: Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika ia diizinkan untuk pindah, lalu barang-barangnya dan pelayannya telah dipindahkan, namun ia sendiri belum berpindah hingga suaminya wafat atau menceraikannya, maka ia menjalani masa ‘iddah di rumah tempat ia berada.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا أُذِنَ لِمُسْتَحَقَّةِ السُّكْنَى فِي الْعِدَّةِ أَنْ تَنْتَقِلَ مِنْ دَارِهِ إِلَى أُخْرَى ثُمَّ مَاتَ أَوْ طَلَّقَ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ، وَهِيَ مُقِيمَةٌ فِي الدَّارِ الْأُولَى بِبَدَنِهَا، وَرَحْلِهَا، وَخَدَمِهَا اعْتَدَّتْ فِيهَا، وَلَمْ تَعْتَدَّ فِي الثَّانِيَةِ وَلَمْ يَكُنْ لِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْإِذْنِ بِالنَّقْلِ بِأَثَرٍ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَنْتَقِلَ فِي الْعِدَّةِ إِلَى الدَّارِ الثَّانِيَةِ، وَإِنْ كَانَ الْمَوْتُ أَوِ الطَّلَاقُ بَعْدَ الِانْتِقَالِ إِلَى الدَّارِ الثَّانِيَةِ بِبَدَنِهَا وَرَحْلِهَا وَخَدَمِهَا اعْتَدَتْ فِي الدَّارِ الثَّانِيَةِ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَعُودَ فِي الْعِدَّةِ إِلَى الدَّارِ الْأُولَى وَإِنْ كَانَ الْمَوْتُ أَوِ الطَّلَاقُ بَعْدَ أَنْ نَقَلَتْ رَحْلَهَا وَخَدَمَهَا إِلَى الدَّارِ الثَّانِيَةِ وَهِيَ مُقِيمَةٌ بِبَدَنِهَا فِي الدَّارِ الْأُولَى اعْتَدَّتْ فِي الدَّارِ الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ، وَإِنْ كَانَ الْمَوْتُ أَوِ الطَّلَاقُ بَعْدَ أَنِ انْتَقَلَتْ بِبَدَنِهَا إِلَى الدَّارِ الثَّانِيَةِ، وَبَقِيَ رَحْلُهَا وَخَدَمُهَا فِي الدَّارِ الْأُولَى اعْتَدَّتْ فِي الدَّارِ الثَّانِيَةِ اعْتِبَارًا بِبَدَنِهَا دُونَ رَحْلِهَا وَخَدَمِهَا، وَكَذَلِكَ فِي الْأَيْمَانِ لو قال: والله لأسكنت هَذِهِ الدَّارَ، فَانْتَقَلَ مِنْهَا بِبَدَنِهِ دُونَ رَحْلِهِ وَخَدَمِهِ بَرَّ وَلَوْ نَقَلَ رَحْلَهُ وَخَدَمَهُ وَهُوَ مُقِيمٌ بِبَدَنِهِ حَنِثَ.

Al-Mawardi berkata: Jika perempuan yang berhak mendapatkan tempat tinggal selama masa ‘iddah diizinkan untuk pindah dari rumahnya ke rumah lain, lalu suaminya wafat atau menceraikannya, maka jika itu terjadi sementara ia masih tinggal di rumah pertama dengan badannya, barang-barangnya, dan pelayannya, maka ia menjalani masa ‘iddah di rumah pertama, dan tidak di rumah kedua. Izin sebelumnya untuk pindah tidak berpengaruh, dan tidak boleh ia pindah ke rumah kedua selama masa ‘iddah. Namun jika kematian atau perceraian terjadi setelah ia pindah ke rumah kedua dengan badannya, barang-barangnya, dan pelayannya, maka ia menjalani masa ‘iddah di rumah kedua, dan tidak boleh kembali ke rumah pertama selama masa ‘iddah. Jika kematian atau perceraian terjadi setelah ia memindahkan barang-barang dan pelayannya ke rumah kedua, sementara ia masih tinggal dengan badannya di rumah pertama, maka ia menjalani masa ‘iddah di rumah pertama, bukan di rumah kedua. Jika kematian atau perceraian terjadi setelah ia pindah dengan badannya ke rumah kedua, sementara barang-barang dan pelayannya masih di rumah pertama, maka ia menjalani masa ‘iddah di rumah kedua, berdasarkan keberadaan badannya, bukan barang-barang dan pelayannya. Demikian pula dalam masalah sumpah; jika seseorang berkata, “Demi Allah, aku akan menempatkan dia di rumah ini,” lalu ia pindah darinya dengan badannya saja tanpa barang-barang dan pelayannya, maka ia dianggap menepati sumpah. Namun jika ia memindahkan barang-barang dan pelayannya sementara ia masih tinggal dengan badannya, maka ia dianggap melanggar sumpah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: الِاعْتِبَارُ فِي الْأَيْمَانِ بِرَحْلِهِ وَمَالِهِ دُونَ بَدَنِهِ، فَإِذَا حَلَفَ لَا يَسْكُنُهَا فَنَقَلَ رَحْلَهُ وَخَدَمَهُ وَهُوَ مقيم ببدنه بر ولو انتقل ببدنه خلف فِيهَا رَحْلَهُ وَخَدَمَهُ حَنِثَ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَأَسْكُنَنَّ هَذِهِ الدَّارَ، فَالْبِرُّ يَتَعَلَّقُ بِرَحْلِهِ، وَخَدَمِهِ دُونَ بَدَنِهِ.

Abu Hanifah berkata: Dalam masalah sumpah, yang menjadi patokan adalah barang-barang dan hartanya, bukan badannya. Jika ia bersumpah tidak akan tinggal di rumah itu, lalu ia memindahkan barang-barang dan pelayannya sementara ia masih tinggal dengan badannya, maka ia dianggap menepati sumpah. Namun jika ia pindah dengan badannya sementara barang-barang dan pelayannya masih di rumah itu, maka ia dianggap melanggar sumpah. Demikian pula jika ia berkata, “Demi Allah, aku pasti akan tinggal di rumah ini,” maka penepatan sumpah dikaitkan dengan keberadaan barang-barang dan pelayannya, bukan badannya.

وَقَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ قَالَ وَاللَّهِ لَأَسْكُنَنَّهَا تَعَلَّقَ الْبِرُّ بِنَقْلِ رَحْلِهِ وَخَدَمِهِ دُونَ بَدَنِهِ كَمَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ.

Malik berkata: Jika seseorang berkata, “Demi Allah, aku pasti akan tinggal di rumah ini,” maka penepatan sumpah dikaitkan dengan pemindahan barang-barang dan pelayannya, bukan badannya, sebagaimana pendapat Abu Hanifah.

وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَأَسْكُنَنَّ هَذِهِ الدَّارَ تَعَلَّقَ الْبِرُّ بِبَدَنِهِ دُونَ رَحْلِهِ وَخَدَمِهِ كَمَا قُلْنَا، وَالصَّحِيحُ أَنْ يَكُونَ الْمُعْتَبَرُ مِنَ الْأَيْمَانِ مِنَ الْعِدَّةِ بِنَقْلِهِ الْبَدَنَ دُونَ الرَّحْلِ وَالْخَدَمِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ} [النور: 29] فَأَخْبَرَ أَنَّ بُيُوتَ الْمَتَاعِ غَيْرُ مَسْكُونَةٍ وَقَالَ تَعَالَى حِكَايَةً عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: {رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذي ذرع عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ} [إبراهيم: 37] فَأَخْبَرَ بِإِقَامَتِهِمْ فِيهِ مَعَ خُلُوِّهِمْ مِنْ رَحْلِهِمْ وَمَالِهِمْ فَثَبَتَ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِالْبَدَنِ دُونَ الرَّحْلِ وَالْمَالِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمُسَافِرُ بِبَدَنِهِ دُونَ مَالِهِ يَزُولُ عَنْهُ حُكْمُ الْمُقَامِ وَتَجْرِي عَلَيْهِ صِفَةُ السَّفَرِ مِنِ اسْتِبَاحَةِ الرُّخَصِ، وَلَوْ أَقَامَ بِبَدَنِهِ دُونَ مَالِهِ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِقَامَةِ فِي حَظْرِ الرُّخَصِ دَلَّ عَلَى اخْتِصَاصِ السُّكْنَى وَالِانْتِقَالِ بِالْبَدَنِ دُونَ الْمَالِ.

Dan jika seseorang berkata: “Demi Allah, sungguh aku akan tinggal di rumah ini,” maka pelaksanaan sumpah itu terkait dengan keberadaan badannya saja, tidak termasuk barang-barang dan pelayannya, sebagaimana telah kami sebutkan. Pendapat yang sahih adalah bahwa yang menjadi tolok ukur dalam sumpah-sumpah semacam ini adalah perpindahan badan saja, tanpa harus memindahkan barang-barang dan pelayan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah-rumah yang tidak dihuni, yang di dalamnya terdapat barang-barang milik kalian} (an-Nur: 29). Allah mengabarkan bahwa rumah yang hanya berisi barang-barang bukanlah rumah yang dihuni. Dan firman Allah Ta‘ala yang mengisahkan tentang Ibrahim ‘alaihissalam: {Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang suci} (Ibrahim: 37). Allah mengabarkan bahwa mereka tinggal di sana meskipun tanpa membawa barang-barang dan harta mereka. Maka, jelaslah bahwa yang menjadi tolok ukur adalah keberadaan badan, bukan barang-barang dan harta. Karena, ketika seorang musafir bepergian dengan badannya saja tanpa membawa hartanya, maka hukum mukim (berdiam) hilang darinya dan berlaku hukum safar (perjalanan) sehingga ia boleh mengambil rukhshah (keringanan). Sebaliknya, jika ia tinggal dengan badannya saja tanpa hartanya, maka berlaku hukum mukim baginya dalam hal larangan mengambil rukhshah. Hal ini menunjukkan bahwa makna tinggal dan berpindah adalah dengan badan, bukan dengan harta.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنِ اعْتِبَارِ الِانْتِقَالِ بِالْبَدَنِ دُونَ الرَّحْلِ وَالْمَالِ فَطُلِّقَتْ بَعْدَ خُرُوجِهَا مِنَ الدَّارِ الْأُولَى وَقَبْلَ وُصُولِهَا إِلَى الدَّارِ الثَّانِيَةِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan tentang pertimbangan perpindahan dengan badan tanpa harus membawa barang-barang dan harta, lalu seorang perempuan ditalak setelah keluar dari rumah pertama dan sebelum sampai ke rumah kedua, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: عَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي الدَّارِ الثَّانِيَةِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ هِيَ الْمَسْكَنَ.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: ia harus menjalani masa ‘iddah di rumah kedua, karena rumah itulah yang telah menjadi tempat tinggalnya.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا بِالْخِيَارِ فِي أَنْ تَعْتَدَّ فِي الْأُولَى أَوِ الثَّانِيَةِ؛ لِأَنَّهَا بَيْنَهُمَا.

Kedua, ia diberi pilihan untuk menjalani masa ‘iddah di rumah pertama atau rumah kedua, karena ia berada di antara keduanya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ يُعْتَبَرَ بِالْقُرْبِ فَيَرْجِعَ حُكْمُهُ، فَإِنْ كَانَتْ إِلَى الدَّارِ الْأُولَى أَقْرَبَ اعْتَدَّتْ فِيهَا وَإِنْ كَانَتْ إِلَى الثَّانِيَةِ أَقْرَبَ اعْتَدَّتْ فِيهَا، وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ قَوْلَ أَبِي الْفَيَّاضِ، وَلَكِنْ لَوِ انْتَقَلَتْ بِبَدَنِهَا إِلَى الدَّارِ الثَّانِيَةِ ثُمَّ عَادَتْ إِلَى الْأُولَى لِنُقِلَّ رَحْلَهَا فَطَلَّقَهَا وَهِيَ فِيهَا اعْتَدَّتْ فِي الثَّانِيَةِ؛ لِأَنَّ عَوْدَهَا إلى الأرض لَمْ يَكُنْ بِمُقَامٍ وَنُقْلَةٍ فَصَارَتْ كَالْمُطَلَّقَةِ إِذَا دَخَلَتْ دَارَ جَارٍ لِحَاجَةٍ.

Ketiga, pertimbangannya adalah kedekatan; maka hukumnya kembali kepada rumah yang lebih dekat. Jika ia lebih dekat ke rumah pertama, maka ia menjalani ‘iddah di sana; jika lebih dekat ke rumah kedua, maka ia menjalani ‘iddah di sana. Pendapat ini mirip dengan pendapat Abu al-Fayyadh. Namun, jika ia telah berpindah dengan badannya ke rumah kedua, lalu kembali ke rumah pertama hanya untuk memindahkan barang-barangnya, kemudian ditalak saat berada di rumah pertama, maka ia menjalani ‘iddah di rumah kedua. Sebab, kembalinya ke rumah pertama tidak dianggap sebagai tinggal dan menetap, sehingga ia seperti perempuan yang ditalak ketika masuk ke rumah tetangga karena suatu keperluan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَوْ طَلَّقَهَا فِي الدَّارِ الْأُولَى وَاحِدَةً ثُمَّ كَمَّلَ طَلَاقَهَا ثَلَاثًا فِي الدَّارِ الثَّانِيَةِ عَادَتْ إِلَى الدَّارِ الْأُولَى فَأَكْمَلَتْ فِيهَا بَقِيَّةَ الْعِدَّةِ الْأُولَى؛ لِأَنَّ أَوَّلَ عِدَّتِهَا مِنَ الطَّلَاقِ الْمَبْتُوتِ فِي الثَّانِيَةِ مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ فِي الْأُولَى فَلِذَلِكَ لَزِمَهَا الِاعْتِدَادُ فِيهَا آخِرًا كَمَا اعْتَدَّتْ فِيهَا أولاً والله أعلم.

Jika seorang suami menalaknya di rumah pertama dengan satu talak, lalu menyempurnakan talaknya menjadi tiga di rumah kedua, kemudian ia kembali ke rumah pertama, maka ia menyelesaikan sisa masa ‘iddah yang pertama di rumah pertama. Sebab, awal masa ‘iddahnya dari talak ba’in di rumah kedua dihitung sejak talak raj‘i di rumah pertama. Oleh karena itu, ia wajib menjalani masa ‘iddah di rumah pertama pada akhirnya sebagaimana ia telah menjalani masa ‘iddah di sana pada awalnya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ خَرَجَ مُسَافِرًا بِهَا أَوْ أَذِنَ لَهَا في الْحَجِّ فَزَايَلَتْ مَنْزِلَهُ فَمَاتَ أَوْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَسَوَاءٌ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَمْضِيَ لِسَفَرِهَا ذَاهِبَةً وَجَائِيَةً وَلَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَ سَفَرَهَا “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang suami bepergian bersama istrinya atau mengizinkan istrinya untuk berhaji, lalu ia meninggalkan rumahnya, kemudian suaminya meninggal dunia atau menalaknya tiga kali, maka istrinya memiliki pilihan untuk melanjutkan perjalanannya, baik pergi maupun pulang. Ia tidak wajib kembali ke rumah suaminya sebelum menyelesaikan perjalanannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يَأْذَنَ لِزَوْجَتِهِ فِي السَّفَرِ، إِمَّا مَعَهُ أَوْ مَعَ غَيْرِهِ ثُمَّ يَمُوتَ عَنْهَا أَوْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ إِذْنِهِ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ خُرُوجِهَا مِنْ مَنْزِلِهِ لَزِمَهَا أَنْ تُقِيمَ، وَتَعْتَدَّ فِيهِ سَوَاءٌ بَرَزَتْ بِرَحْلِهَا أَمْ لَا، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بَعْدَ خُرُوجِهَا مِنْ مَنْزِلِهِ فَفِيمَا تَسْتَقِرُّ بِهِ دُخُولَهَا فِي السَّفَرِ الْمَأْذُونِ فِيهِ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Al-Mawardi berkata: Adapun bentuk kasusnya adalah jika seorang suami mengizinkan istrinya untuk bepergian, baik bersamanya maupun dengan orang lain, lalu ia meninggal dunia atau menalaknya setelah memberikan izin tersebut. Jika hal itu terjadi sebelum istrinya keluar dari rumahnya, maka ia wajib tinggal dan menjalani masa ‘iddah di rumah tersebut, baik ia sudah mengeluarkan barang-barangnya atau belum. Namun, jika hal itu terjadi setelah ia keluar dari rumah suaminya, maka dalam hal tempat ia menetap selama perjalanan yang diizinkan, terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، وَالظَّاهِرُ مِنْ مَنْصُوصِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ بِخُرُوجِهَا مِنْ مَنْزِلِهِ قَدِ اسْتَقَرَّ لَهَا السَّفَرُ بِإِذْنِهِ وَإِنْ كَانَتْ فِي بُنْيَانِ بَلَدِهِ اعْتِبَارًا بِمُفَارَقَةِ الْمَنْزِلِ الْمَسْكُونِ فَلَا يَلْزَمُهَا بَعْدَ الْخُرُوجِ مِنْهُ أَنْ تُقِيمَ وَلَهَا أَنْ تَتَوَجَّهَ بَعْدَ الطَّلَاقِ فِي سَفَرِهِ.

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri, dan yang tampak dari nash Imam al-Syafi‘i, bahwa dengan keluarnya seorang istri dari rumahnya, maka status safar telah tetap baginya dengan izin suaminya, meskipun ia masih berada di dalam bangunan kota suaminya, dengan pertimbangan bahwa ia telah meninggalkan rumah yang dihuni. Maka, setelah keluar dari rumah tersebut, ia tidak wajib lagi menetap di sana, dan ia boleh melanjutkan perjalanan setelah terjadi talak dalam safarnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَا يَسْتَقِرُّ دُخُولُهَا فِي السَّفَرِ إِلَّا بِمُفَارَقَةِ آخِرِ بُنْيَانِ الْبَلَدِ اعْتِبَارًا بِمُفَارَقَةِ الْبَلَدِ الْمُسْتَوْطَنِ لِتَصِيرَ بِحَيْثُ يُسْتَبَاحُ قَصْرُ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهَا مَا لَمْ تُفَارِقْ آخِرَ بُنْيَانِ الْبَلَدِ حَتَّى مَاتَ أَوْ طَلَّقَهَا أَنْ تَعُودَ إِلَيْهِ، وَتَعْتَدَّ فِي الْمَنْزِلِ الَّذِي خَرَجَتْ مِنْهُ، فَإِنْ طُلِّقَتْ وَقَدْ فَارَقَتْ آخِرَ بُنْيَانِ الْبَلَدِ لَمْ يَلْزَمْهَا الْعَوْدُ إِلَيْهِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa status masuknya seorang istri dalam safar tidak tetap kecuali setelah ia meninggalkan batas terakhir bangunan kota, dengan pertimbangan bahwa ia telah meninggalkan kota tempat tinggalnya, sehingga ia berada di tempat yang diperbolehkan melakukan qashar shalat dalam safar. Maka, menurut pendapat ini, selama ia belum melewati batas terakhir bangunan kota, jika suaminya meninggal atau menceraikannya, ia wajib kembali dan menjalani masa iddah di rumah yang ia tinggalkan. Namun, jika ia ditalak setelah melewati batas terakhir bangunan kota, maka ia tidak wajib kembali ke rumah tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: حَكَاهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا يَسْتَقِرُّ دُخُولُهَا فِي السَّفَرِ إِلَّا أَنْ تَنْتَهِيَ إِلَى مَسَافَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ اعْتِبَارًا بِالسَّفَرِ الَّذِي تُسْتَبَاحُ فِيهِ الرُّخَصُ فَمَا لَمْ تَبْلُغْ إِلَيْهِ فَعَلَيْهَا إِذَا مَاتَ أَوْ طَلَّقَ أَنْ تَعُودَ فِي مَنْزِلِهَا، فَإِنْ بَلَغَتْ مَسَافَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ حِينَ مَاتَ أَوْ طَلَّقَ لَمْ يَلْزَمْهَا الْعَوْدُ.

Pendapat ketiga, yang dinukil oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa status masuknya seorang istri dalam safar tidak tetap kecuali jika ia telah menempuh jarak satu hari satu malam, dengan pertimbangan safar yang diperbolehkan adanya rukhshah. Maka, selama ia belum mencapai jarak tersebut, jika suaminya meninggal atau menceraikannya, ia wajib kembali ke rumahnya. Namun, jika ketika suaminya meninggal atau menceraikannya ia telah mencapai jarak satu hari satu malam, maka ia tidak wajib kembali.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا اسْتَقَرَّتْ فِي السَّفَرِ الَّذِي يَسْقُطُ بِهِ وُجُوبُ الْعَوْدِ إِلَى بَلَدِهَا إِذَا مَاتَ أَوْ طَلَّقَ عَلَى ما ذكرنا ما الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى خِيَارِهَا فِي الْعَوْدِ وَالتَّوَجُّهِ وَذَلِكَ مُعْتَبَرٌ بِالسَّفَرِ الْمَأْذُونِ فِيهِ، وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ: سَفَرُ عَوْدٍ، وَسَفَرُ نُقْلَةٍ.

Apabila telah tetap status safar yang dengannya gugur kewajiban kembali ke kotanya jika suaminya meninggal atau menceraikannya, menurut tiga pendapat yang telah disebutkan, maka pembahasan berpindah kepada pilihannya untuk kembali atau melanjutkan perjalanan. Hal ini bergantung pada safar yang diizinkan, yang terbagi menjadi dua: safar kembali dan safar pindah tempat tinggal.

فَأَمَّا سَفَرُ الْعَوْدِ فَهُوَ أَنْ يَأْذَنَ لَهَا فِي السَّفَرِ إِلَى بَلَدِ الْحَجِّ، أَوْ زِيَارَةٍ، أَوْ قَضَاءِ حَاجَةٍ ثُمَّ تَعُودُ مِنْهُ فَهِيَ بَعْدَ حُدُوثِ الْمَوْتِ أَوِ الطَّلَاقِ مُخَيَّرَةٌ بَيْنَ التَّوَجُّهِ أَوِ الْعَوْدِ إِذَا كَانَتْ فِي الْحَالَيْنِ آمِنَةً لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ أَصْحَابُنَا لِتَسَاوِيهِمَا فِي أَنَّهَا غَيْرُ مُسْتَوْطَنَةٍ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَالْأَوْلَى بِهَا أَنْ تَقْصِدَ أَقْرَبَ الْبَلَدَيْنِ إِلَيْهَا لِتَقْضِيَ عِدَّتَهَا فِي الْحَضَرِ فَهُوَ أَوْلَى مِنْ قَضَائِهَا فِي السَّفَرِ، فَإِنْ قَصَدَتْ أَبْعَدَ الْبَلَدَيْنِ جَازَ وَلَا حَرَجَ عَلَيْهَا.

Adapun safar kembali adalah ketika suami mengizinkan istri untuk bepergian ke kota haji, atau untuk ziarah, atau memenuhi suatu keperluan, kemudian ia kembali dari sana. Maka, setelah terjadi kematian atau talak, ia diberi pilihan antara melanjutkan perjalanan atau kembali, selama dalam kedua keadaan tersebut ia merasa aman. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kami tentang hal ini, karena keduanya sama-sama bukan tempat tinggal tetap baginya. Yang lebih utama baginya adalah menuju kota terdekat agar ia dapat menjalani masa iddah di tempat bermukim, karena itu lebih utama daripada menjalani iddah dalam safar. Namun, jika ia memilih kota yang lebih jauh, maka hal itu diperbolehkan dan tidak ada dosa baginya.

وَأَمَّا سَفَرُ النُّقْلَةِ فَهُوَ أَنْ يَأْذَنَ لَهَا فِي السَّفَرِ إِلَى بَلَدٍ لِتَسْتَوْطِنَهُ وَتُقِيمَ فِيهِ فَفِيهِ عِنْدُ حُدُوثِ الْمَوْتِ وَالطَّلَاقِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ، كَمَا لَوْ أَمَرَهَا أَنْ تَنْتَقِلَ مِنْ دَارٍ إِلَى أُخْرَى:

Adapun safar pindah tempat tinggal adalah ketika suami mengizinkan istri untuk bepergian ke suatu kota untuk menetap dan tinggal di sana. Dalam hal ini, jika terjadi kematian atau talak, terdapat tiga pendapat, sebagaimana jika suami memerintahkannya untuk pindah dari satu rumah ke rumah lain:

أَحَدُهَا: عَلَيْهَا أَنْ تَتَوَجَّهَ إِلَى الْبَلَدِ الْمَأْذُونِ فِيهِ وَتَعْتَدَّ فِيهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَعُودَ إِلَى الْبَلَدِ الَّذِي خَرَجَتْ مِنْهُ؛ لِأَنَّهَا لَمَّا فَارَقَتِ الْأَوَّلَ صَارَ الثَّانِي هُوَ الْوَطَنَ.

Salah satunya, ia wajib menuju kota yang telah diizinkan untuknya dan menjalani masa iddah di sana, dan tidak boleh kembali ke kota yang telah ia tinggalkan; karena setelah ia meninggalkan kota pertama, maka kota kedua menjadi tempat tinggalnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا بِالْخِيَارِ فِي التَّوَجُّهِ وَالْعَوْدِ لِخُرُوجِهَا عَنْهُ.

Pendapat kedua, ia diberi pilihan antara melanjutkan perjalanan atau kembali, karena ia telah keluar dari kota tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ إِلَى الْبَلَدِ الَّذِي تَنْتَقِلُ إِلَيْهِ أَقْرَبَ فَعَلَيْهَا التَّوَجُّهُ إِلَيْهِ لِتَعْتَدَّ فِيهِ، وَإِنْ كَانَتْ إِلَى الْبَلَدِ الَّذِي فَارَقَتْهُ أَقْرَبَ كَانَتْ مُخَيَّرَةً بَيْنَ الْعَوْدِ والتوجه.

Pendapat ketiga, jika kota yang akan dituju lebih dekat, maka ia wajib menuju ke sana untuk menjalani masa iddah di sana. Namun, jika kota yang telah ia tinggalkan lebih dekat, maka ia diberi pilihan antara kembali atau melanjutkan perjalanan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا تُقِيمُ فِي الْمِصْرِ الَّذِي أَذِنَ لَهَا فِي السَّفَرِ إِلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَذِنَ لَهَا فِي الْمُقَامِ فِيهِ أَوِ النُّقْلَةِ إِلَيْهِ فَيَكُونُ ذَلِكَ عَلَيْهَا إِذَا بَلَغَتْ ذَلِكَ الْمِصْرَ فَإِنْ كَانَ أَخْرَجَهَا مُسَافِرَةً أَقَامَتْ مَا يُقِيمُ الْمُسَافِرُ ثَمَّ رَجَعَتْ وَأَكْمَلَتْ عِدَّتَهَا “.

Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan ia tidak boleh menetap di kota yang diizinkan untuk safar ke sana kecuali jika ia diizinkan untuk tinggal atau pindah ke sana. Maka, hal itu menjadi kewajibannya jika ia telah sampai di kota tersebut. Jika suaminya mengeluarkannya untuk bepergian, maka ia tinggal di sana sebagaimana lamanya seorang musafir tinggal, kemudian ia kembali dan menyempurnakan masa iddahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا وَصَلَتْ إِلَى الْبَلَدِ الَّذِي أَذِنَ لَهَا بِالسَّفَرِ إِلَيْهِ، وَقَدْ عَرَفَتْ مَوْتَهُ، أَوْ طَلَاقَهُ فِي طَرِيقِهَا فَاخْتَارَتِ التَّوَجُّهَ إِلَى الْبَلَدِ، أَوْ عَرَفَتْهُ بَعْدَ وُصُولِهَا إِلَى الْبَلَدِ فَالْحُكْمُ بَعْدَ الْوُصُولِ إِلَيْهِ فِي الْحَالَيْنِ سَوَاءٌ، وَلَا يَخْلُو حَال إِذْنِهِ لَهَا فِي السَّفَرِ مِنْ خَمْسَةِ أقسام:

Al-Mawardi berkata: Jika seorang perempuan telah sampai di negeri yang suaminya izinkan untuk ia tuju dalam safar, dan ia telah mengetahui kematian atau talaknya di tengah perjalanan, lalu ia memilih untuk tetap menuju negeri tersebut, atau ia mengetahuinya setelah sampai di negeri itu, maka hukum setelah sampai di negeri itu dalam kedua keadaan tersebut adalah sama. Tidak lepas keadaan izin safar suami kepadanya dari lima bagian:

أحدهما: أَنْ يَأْذَنَ لَهَا فِي النُّقْلَةِ إِلَيْهِ مُسْتَوْطِنَةً لَهُ فَعَلَيْهَا أَنْ تَقْضِيَ فِيهِ عِدَّتَهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَخْرُجَ مِنْهُ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ لَهَا فِي هَذِهِ الْحَالِ وَطَنًا فَصَارَ كَطَلَاقِهِ لَهَا فِي بَدَنِهِ.

Pertama: Suami mengizinkannya untuk pindah ke negeri tersebut dengan niat menetap di sana, maka ia wajib menjalani masa ‘iddah di negeri itu, dan tidak boleh keluar darinya sebelum masa ‘iddah selesai di sana; karena negeri itu telah menjadi tempat tinggalnya dalam keadaan ini, sehingga hukumnya seperti jika ia ditalak di negeri tersebut.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَأْذَنَ لَهَا أَنْ تُسَافِرَ إِلَيْهِ لِحَاجَةٍ تَتَقَدَّرُ بَعْدَ دُخُولِهَا بِالْفَرَاغِ مِنْهَا إِمَّا لِحَجٍّ يُؤَدَّى أَوْ دَارٍ تُبْقَى لَهَا فَلَهَا الْمُقَامُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَجَّتَهَا وَتَبْنِيَ دَارَهَا، وَتَسْتَكْمِلَ ثُمَّ لَهَا بَعْدَ الْفَرَاغِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Bagian kedua: Suami mengizinkannya untuk safar ke negeri itu karena suatu kebutuhan yang diperkirakan akan selesai setelah ia masuk ke negeri itu, seperti untuk menunaikan haji atau membangun rumah yang akan tetap menjadi miliknya. Maka ia boleh tinggal di sana sampai menunaikan hajinya atau membangun rumahnya dan menyelesaikan kebutuhannya. Setelah selesai, ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ فَرَاغُهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَلَهَا أَنْ تَضَعَ بِنَفْسِهَا مَا شَاءَتْ مِنْ مُقَامٍ أَوْ عَوْدٍ.

Pertama: Selesainya kebutuhan itu setelah masa ‘iddah berakhir, maka ia boleh menentukan sendiri apakah akan tetap tinggal atau kembali (ke negerinya).

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً فِي عِدَّتِهَا بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ حَاجَتِهَا، وَيُمْكِنُ إِذَا عَادَتْ إِلَى بَلَدِهَا أَنْ تَقْضِيَ فِيهِ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا فَعَلَيْهَا بَعْدَ الْفَرَاغِ أَنْ تَعُودَ إِلَى بَلَدِهَا فَتَقْضِيَ فِيهِ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا.

Kedua: Ia masih dalam masa ‘iddah setelah selesai dari kebutuhannya, dan jika ia kembali ke negerinya masih memungkinkan untuk menyelesaikan sisa masa ‘iddah di sana, maka setelah selesai dari kebutuhannya ia wajib kembali ke negerinya dan menjalani sisa masa ‘iddah di sana.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً فِي عِدَّتِهَا، وَإِنْ عَادَتْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الْعِدَّةِ مَا تقضيه في بلدها، ففي وجوب العدة وَجْهَانِ:

Ketiga: Ia masih dalam masa ‘iddah, namun jika ia kembali ke negerinya, tidak tersisa waktu ‘iddah yang dapat dijalani di sana. Dalam hal kewajiban menjalani ‘iddah, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجِبُ عَلَيْهَا الْعَوْدُ لِيَكُونَ قَضَاءَ عِدَّتِهَا. فِيمَا قَرُبَ مِنَ الْبَلَدِ إِذَا تَعَذَّرَ أَنْ يَكُونَ فِي الْبَلَدِ.

Pertama: Ia wajib kembali agar penyelesaian masa ‘iddahnya dilakukan di negerinya, atau di tempat yang dekat dengan negeri itu jika tidak memungkinkan di negerinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُهَا الْعَوْدُ؛ لِأَنَّهَا لَا تُدْرِكُ قَضَاءَ الْعِدَّةِ فِي الْمِصْرِ، وَتَكُونُ فِيهِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْمُقَامِ وَالْعَوْدِ.

Kedua: Ia tidak wajib kembali, karena ia tidak dapat menyelesaikan masa ‘iddah di negeri asalnya, sehingga ia bebas memilih antara tinggal atau kembali.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهَا أَنْ تُسَافِرَ إِلَيْهِ لِمَا لَا يُفْتَقَرُ إِلَى مُقَامٍ فِيهِ مِنْ رِسَالَةٍ تُؤَدَّى أَوْ خَبَرٍ يُعْرَفُ فَلَيْسَ لَهَا بَعْدَ دُخُولِهِ أَنْ تُقِيمَ فِيهِ إِلَّا مُقَامَ الْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَذِنَ لِلْمُهَاجِرِ أَنْ يُقِيمَ بِمَكَّةَ بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَعَلَيْهَا أَنْ تَخْرُجَ فِي الْيَوْمِ الرَّابِعِ إِنْ كَانَ الْمَسِيرُ مُمْكِنًا، وَالطَّرِيقُ مَأْمُونًا لِتَعُودَ إِلَى بَلَدِهَا فَتَقْضِيَ فِيهِ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا، فَإِنْ أَخَّرَهَا بَعْدَ الثَّلَاثِ عُذْرٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ خَوْفٍ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهَا فِي الْمُقَامِ مَا كَانَ عُذْرُهَا بَاقِيًا، فَإِذَا زَالَ فَإِنْ كَانَتِ الْعِدَّةُ قَدِ انْقَضَتْ صَنَعَتْ بِنَفْسِهَا مَا شَاءَتْ وَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً وَأَمْكَنَ أَنْ تَقْضِيَ بَقِيَّتَهَا بِبَلَدِهَا لَزِمَهَا الْعَوْدُ إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ تُدْرِكْ بَقِيَّتَهَا فِي بَلَدِهَا فَفِي وُجُوبِ الْعَوْدِ وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى.

Bagian ketiga: Suami mengizinkannya untuk safar ke negeri itu untuk suatu urusan yang tidak membutuhkan tinggal lama di sana, seperti menyampaikan surat atau mencari informasi. Maka setelah masuk ke negeri itu, ia tidak boleh tinggal lebih dari waktu tinggal musafir, yaitu tiga hari; karena Rasulullah ﷺ mengizinkan orang yang berhijrah untuk tinggal di Makkah setelah menunaikan manasik selama tiga hari. Ia wajib keluar pada hari keempat jika perjalanan memungkinkan dan jalan aman, untuk kembali ke negerinya dan menyelesaikan sisa masa ‘iddah di sana. Jika ia tertahan lebih dari tiga hari karena uzur seperti sakit atau takut, maka tidak mengapa ia tinggal selama uzurnya masih ada. Jika uzurnya telah hilang, dan masa ‘iddah telah selesai, maka ia boleh menentukan sendiri apa yang ia kehendaki. Namun jika masa ‘iddah masih tersisa dan memungkinkan untuk menyelesaikannya di negerinya, maka ia wajib kembali ke negerinya. Jika tidak memungkinkan, maka dalam kewajiban kembali terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهَا أَنْ تُقِيمَ فِيهِ مُدَّةً قَدَّرَهَا كَأَنَّهُ قَالَ لَهَا: أَقِيمِي شَهْرًا فَهَلْ لَهَا إِذَا أُدْخِلَتْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ أَوْ طَلَاقِهِ أَنْ تُقِيمَ فِيهِ تِلْكَ الْمُدَّةَ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Bagian keempat: Suami mengizinkannya untuk tinggal di negeri itu selama waktu tertentu, misalnya ia berkata: “Tinggallah selama sebulan.” Apakah ia boleh tinggal di negeri itu selama waktu yang telah ditentukan setelah suaminya wafat atau menceraikannya, atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ أَنْ تُقِيمَ تِلْكَ الْمُدَّةَ لِتَقَدُّمِ الْإِذْنِ بِهَا، وَعَلَيْهَا بَعْدَ انْقِضَائِهَا أَنْ تَعُودَ إِلَى بَلَدِهَا إِنْ أَدْرَكَتْ فِيهِ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا، وَإِنْ لَمْ تُدْرِكْهَا فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Pertama, yang merupakan pilihan al-Muzani: Ia boleh tinggal selama waktu yang telah ditentukan karena izin telah diberikan sebelumnya. Setelah waktu itu habis, ia wajib kembali ke negerinya jika masih memungkinkan menyelesaikan sisa masa ‘iddah di sana. Jika tidak memungkinkan, maka berlaku dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَدْ بَطَلَ الْإِذْنُ بِالْمُدَّةِ الْمُقَدَّرَةِ لِاسْتِحْقَاقِ الْعِدَّةِ فِي الْوَطَنِ وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تُقِيمَ إِلَّا مُقَامَ الْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا أَنْ يَقْطَعَهَا عُذْرٌ فَتُقِيمَ مَا بَقِيَ عُذْرُهَا.

Pendapat kedua: Izin tinggal dengan jangka waktu tertentu telah gugur karena adanya kewajiban ‘iddah di tempat tinggal, dan ia tidak boleh tinggal kecuali sebatas masa tinggal musafir, yaitu tiga hari, kecuali jika ada uzur yang memutusnya, maka ia boleh tinggal selama uzurnya masih ada.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ يَأْذَنَ لَهَا فِي السَّفَرِ عَنْهُ إِذْنًا مُطْلَقًا لَا يَتَضَمَّنُ مُقَامًا وَلَا عَوْدًا فَتُرَاعِيَ شَوَاهِدَ الْأَحْوَالِ فِيهِ فَإِنْ دَلَّتْ عَلَى الْمُقَامِ أَقَامَتْ، وَإِنْ دَلَّتْ عَلَى الْعَوْدِ عَادَتْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي شَوَاهِدِ الْأَحْوَالِ دَلِيلٌ اقْتَضَى مُطْلَقُ الْإِذْنِ أَنْ يَكُونَ سَفَرَ مُقَامٍ؛ لِأَنَّ الْعَوْدَ سَفَرٌ آخَرُ يَحْتَاجُ إِلَى إِذْنٍ فِيهِ فَيَلْزَمُهَا قَضَاءُ الْعِدَّةِ فِي الْبَلَدِ الَّذِي سَافَرَتْ إِلَيْهِ ثُمَّ لَهَا الْخِيَارُ بَعْدَ الْمُدَّةِ.

Bagian kelima: Jika ia diizinkan untuk bepergian darinya dengan izin mutlak yang tidak mencakup tinggal maupun kembali, maka ia harus memperhatikan tanda-tanda keadaan dalam hal ini; jika tanda-tanda itu menunjukkan untuk tinggal, maka ia tinggal; jika menunjukkan untuk kembali, maka ia kembali; dan jika tidak ada petunjuk dalam tanda-tanda keadaan, maka izin mutlak itu menuntut agar perjalanannya adalah perjalanan untuk tinggal, karena kembali adalah perjalanan lain yang membutuhkan izin tersendiri. Maka ia wajib menjalani masa ‘iddah di negeri yang ia tuju, kemudian setelah masa tersebut ia memiliki pilihan.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ أَذِنَ لَهَا فِي زِيَارَةٍ أَوْ نُزْهَةٍ فَعَلَيْهَا أَنْ تَرْجِعَ لِأَنَّ الزِّيَارَةَ لَيْسَتْ مُقَامًا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia diizinkan untuk berkunjung atau berekreasi, maka ia wajib kembali, karena kunjungan bukanlah tinggal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:

Al-Mawardi berkata: Para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan masalah ini menjadi empat pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ تَأْوِيلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهَا صُورَةٌ فِي الْإِذْنِ لَهَا بِالزِّيَارَةِ وَالنُّزْهَةِ فِي بَلَدِهَا، وَلَمْ يُرِدِ الزِّيَارَةَ وَالنُّزْهَةَ فِي غَيْرِ بَلَدِهَا إِذَا مَاتَ أَوْ طَلَّقَهَا بَعْدَ خُرُوجِهَا لِلزِّيَارَةِ وَالنُّزْهَةِ أَنْ تَعُودَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَتَعْتَدَّ فِيهِ وَلَا تَقُمْ عَلَى زِيَارَتِهَا وَنُزْهَتِهَا بِخِلَافِ إِذْنِهِ لَهَا فِي الِانْتِقَالِ مِنْ دَارٍ إِلَى أُخْرَى، وَلَوْ مَاتَ أَوْ طَلَّقَ قَبْلَ خُرُوجِهَا لِلزِّيَارَةِ وَالنُّزْهَةِ لَمْ يَكُنْ لَهَا الْخُرُوجُ وَأَقَامَتْ فِي مَنْزِلِهِ لِلْعِدَّةِ وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ فِي غَيْرِ الْبَلَدِ لَكَانَ حُكْمُهُ كَحُكْمِ غَيْرِهِ مِنَ السَّفَرِ.

Pertama: Ini adalah tafsiran Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa ini adalah gambaran izin untuk berkunjung dan berekreasi di negerinya sendiri, dan tidak dimaksudkan kunjungan dan rekreasi di luar negerinya. Jika suaminya wafat atau menceraikannya setelah ia keluar untuk berkunjung dan berekreasi, maka ia harus kembali ke rumah suaminya dan menjalani ‘iddah di sana, dan tidak boleh tetap berada di tempat kunjungan atau rekreasinya. Berbeda halnya dengan izin untuk pindah dari satu rumah ke rumah lain. Jika suaminya wafat atau menceraikannya sebelum ia keluar untuk berkunjung dan berekreasi, maka ia tidak boleh keluar dan harus tetap tinggal di rumah suaminya untuk menjalani ‘iddah. Jika itu terjadi di luar negeri, maka hukumnya sama seperti hukum safar lainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ تَأْوِيلُ مَنْ جَعَلَ اسْتِقْرَارَ سَفَرِهَا بِمَسَافَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي زِيَارَةٍ أَوْ نُزْهَةٍ عَلَى أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَعَلَيْهَا إِذَا مَاتَ أَوْ طَلَّقَ بَعْدَ خُرُوجِهَا وَقَبْلَ وُصُولِهَا أَنْ تَعُودَ، وَلَوْ كَانَ بَعْدَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَمْ يَلْزَمْهَا الْعَوْدُ.

Pendapat kedua: Ini adalah tafsiran bagi yang menetapkan batas stabilnya perjalanan adalah sehari semalam, bahwa ini adalah gambaran kunjungan atau rekreasi yang kurang dari sehari semalam. Maka jika suaminya wafat atau menceraikannya setelah ia keluar dan sebelum sampai, ia harus kembali. Namun jika setelah sehari semalam, maka ia tidak wajib kembali.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ تَأْوِيلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ وَإِلَيْهِ أَذْهَبُ أَنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي الزِّيَارَةِ وَالنُّزْهَةِ فِي بَلَدٍ آخَرَ فَإِذَا مَاتَ أَوْ طَلَّقَ بَعْدَ وُصُولِهَا أَوْ فِي طَرِيقِهَا فَعَلَيْهَا بَعْدَ الْوُصُولِ أَنْ تَعُودَ لِوَقْتِهَا لِحُصُولِ الزِّيَارَةِ وَالنُّزْهَةِ عِنْدَ الْوُصُولِ فَلَا تُقِيمُ إِلَّا مُقَامَ الْمُسَافِرِ وَلَا يَجْعَلُ لِلزِّيَارَةِ وَالنُّزْهَةِ حَدًّا زَائِدًا عَلَى مُقَامِ الْمُسَافِرِ، فَيَكُونُ هَذَا هُوَ الْمَقْصُودَ بِالْمَسْأَلَةِ.

Pendapat ketiga: Ini adalah tafsiran Abu Hamid al-Isfarayini, dan saya condong kepadanya, bahwa ini adalah gambaran kunjungan dan rekreasi di negeri lain. Jika suaminya wafat atau menceraikannya setelah sampai atau dalam perjalanan, maka setelah sampai ia harus segera kembali, karena kunjungan dan rekreasi telah tercapai saat sampai. Maka ia tidak boleh tinggal kecuali sebatas masa tinggal musafir, dan tidak boleh menetapkan batas kunjungan dan rekreasi melebihi masa tinggal musafir. Maka inilah yang dimaksud dalam masalah ini.

وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: وَهُوَ تَأْوِيلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي الزِّيَارَةِ وَالنُّزْهَةِ فِي بَلَدٍ آخَرَ، فَإِذَا مَاتَ أَوْ طَلَّقَ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ سَفَرِهَا وَقَبْلَ وُصُولِهَا لَزِمَهَا الْعَوْدُ وَلَوْ كان وَعَدَمُهَا فِي الزِّيَارَةِ وَالنُّزْهَةِ، وَهَذَا تَفْرِيقٌ لَا أَجِدُ لَهُ فِي التَّحْقِيقِ وَجْهًا.

Pendapat keempat: Ini adalah tafsiran Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa ini adalah gambaran kunjungan dan rekreasi di negeri lain. Jika suaminya wafat atau menceraikannya setelah stabilnya perjalanan dan sebelum sampai, maka ia wajib kembali, baik ia telah sampai atau belum dalam kunjungan dan rekreasinya. Ini adalah perincian yang menurut saya tidak memiliki dasar yang kuat dalam penelitian.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَلَا تَخْرُجُ إِلَى الْحَجِّ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَلَا إِلَى مَسِيرَةِ يَوْمٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ وَتَكُونَ مَعَ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan tidak boleh keluar untuk haji setelah berakhirnya masa ‘iddah, dan tidak pula untuk perjalanan sehari kecuali bersama mahram, kecuali jika itu adalah haji Islam dan ia bersama perempuan-perempuan terpercaya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ اجْتِمَاعَ الْعِدَّةِ وَالْإِحْرَامِ يَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa berkumpulnya masa ‘iddah dan ihram terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَقَدَّمَ وُجُوبُ الْعِدَّةِ بِمَوْتٍ أَوْ طَلَاقٍ ثُمَّ تُحْرِمُ بِالْحَجِّ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَعَلَيْهَا أَنْ تُقِيمَ لِاسْتِكْمَالِ الْعِدَّةِ، وَلَا يَجُوزَ أَنْ تَحُجَّ فِي تَضَاعِيفِهَا وَإِنْ خَافَتِ الْفَوَاتَ لِتُقَدِّمِ وُجُوبِ الْعِدَّةِ عَلَى الْإِحْرَامِ، فَإِنِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا وَوَقْتُ الْحَجِّ مُمْكِنٌ خَرَجَتْ لِأَدَائِهِ وَإِنْ فَاتَهَا الْحَجُّ جَرَى عَلَيْهَا حُكْمُ فَوَاتِهِ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Salah satunya: apabila kewajiban ‘iddah telah lebih dahulu terjadi karena kematian atau talak, kemudian ia berihram untuk haji sebelum masa ‘iddah selesai, maka ia wajib tinggal untuk menyempurnakan masa ‘iddah, dan tidak boleh melaksanakan haji selama masa ‘iddah, meskipun ia khawatir akan terlewatnya waktu haji, karena kewajiban ‘iddah telah lebih dahulu daripada ihram. Jika masa ‘iddahnya telah selesai dan waktu haji masih memungkinkan, maka ia boleh keluar untuk menunaikannya. Namun, jika waktu hajinya telah terlewat, maka berlaku atasnya hukum terlewatnya haji. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَقَدَّمَ إِحْرَامُهَا بِالْحَجِّ عَنْ إِذْنِهِ ثُمَّ تَجِبُ الْعِدَّةُ عَلَيْهَا بِطَلَاقِهِ أَوْ مَوْتِهِ قَبْلَ أَدَائِهِ فَفَرْضُ الْحَجِّ مُقَدَّمٌ عَلَى الْعِدَّةِ، فَإِنْ كَانَ الْوَقْتُ مُضَيَّقًا خَرَجَتْ لِلْحَجِّ وَإِنْ كَانَ مُتَّسِعًا كَانَتْ مُخَيَّرَةً بَيْنَ تَقْدِيمِ الْعِدَّةِ عَلَى الْخُرُوجِ إِلَى الْحَجِّ، وَبَيْنَ تَقْدِيمِ الْخُرُوجِ لِلْحَجِّ عَلَى الْمُقَامِ لِلْعِدَّةِ.

Bagian kedua: apabila ihram haji telah lebih dahulu dilakukan atas izinnya, kemudian kewajiban ‘iddah terjadi karena talak atau kematian sebelum pelaksanaan haji, maka kewajiban haji didahulukan atas ‘iddah. Jika waktunya sempit, ia keluar untuk berhaji, dan jika waktunya luas, ia boleh memilih antara mendahulukan ‘iddah sebelum keluar untuk haji, atau mendahulukan keluar untuk haji sebelum tinggal untuk ‘iddah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْخُرُوجِ لِلْحَجِّ فَيَلْزَمُهَا الْمُقَامُ لِلْعِدَّةِ، وَإِنْ فَاتَهَا الْحَجُّ؛ لِأَنَّ فَوَاتَ الْحَجِّ يُقْضَى وَفَوَاتَ الْعِدَّةِ لَا يُقْضَى؛ وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ مِنَ الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ فَكَانَتْ أَوْكَدَ مِنَ الْحُقُوقِ الْمُفْرَدَةِ.

Abu Hanifah berkata: ‘iddah didahulukan atas keluar untuk haji, sehingga ia wajib tinggal untuk menyempurnakan ‘iddah, meskipun hajinya terlewat; karena haji yang terlewat masih dapat diganti, sedangkan ‘iddah yang terlewat tidak dapat diganti. Selain itu, ‘iddah termasuk hak-hak bersama sehingga lebih kuat daripada hak-hak individu.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ} [البقرة: 196] وَحَقِيقَةُ الْإِتْمَامِ إِكْمَالُ مَا دَخَلَ فِيهِ، وَلِأَنَّهُمَا عِبَادَتَانِ مُتَقَابِلَتَانِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَرَجَّحَ حُكْمُ أَسْبِقِهِمَا أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ تَقَدَّمَتِ الْعِدَّةُ عَلَى الْإِحْرَامِ غُلِّبَ حُكْمُ الْعِدَّةِ، كَذَلِكَ إِذَا تَقَدَّمَ الْإِحْرَامُ عَلَى الْعِدَّةِ، وَجَبَ أَنْ يُغَلَّبَ حُكْمُ الْإِحْرَامِ، وَلِأَنَّ الْإِحْرَامَ أَغْلَظُ أَحْكَامًا مِنَ الْعِدَّةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَضْعُفَ عَنْهَا عِنْدَ الْمُزَاحَمَةِ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah} (QS. Al-Baqarah: 196), dan hakikat penyempurnaan adalah menyelesaikan apa yang telah dimulai. Selain itu, keduanya (haji dan ‘iddah) adalah dua ibadah yang saling berhadapan, maka haruslah didahulukan hukum yang lebih dahulu terjadi. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ‘iddah lebih dahulu daripada ihram, maka hukum ‘iddah yang diutamakan? Begitu pula jika ihram lebih dahulu daripada ‘iddah, maka hukum ihram yang diutamakan. Selain itu, ihram memiliki hukum yang lebih berat daripada ‘iddah, sehingga tidak boleh dikalahkan ketika terjadi pertentangan.

وَاسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ فوات الحج قضي فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى قُوَّتِهِ وَتَغْلِيظُ حُكْمِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ عِنْدَ الْمُزَاحَمَةِ عَلَى ضَعْفِهِ وَاسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّ الْعِدَّةَ حَقٌّ مُشْتَرَكٌ فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى الضَّعْفِ دُونَ الْقُوَّةِ؛ لِأَنَّ حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى الْمَحْضَةَ أَوْكَدُ.

Dalilnya bahwa haji yang terlewat dapat diganti adalah bukti atas kekuatan dan beratnya hukum haji, sehingga tidak boleh dianggap lemah ketika terjadi pertentangan. Sedangkan dalilnya bahwa ‘iddah adalah hak bersama justru menunjukkan kelemahannya, bukan kekuatannya; karena hak-hak Allah Ta‘ala yang murni lebih kuat.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَقَدَّمَ الْإِحْرَامُ بِالْحَجِّ عَلَى الْعِدَّةِ ثُمَّ تَطْرَأَ الْعِدَّةُ بِمَوْتٍ أَوْ طَلَاقٍ بَعْدَ إِتْمَامِ الْحَجِّ فَيَكُونَ حكمها في العدة من سَافَرَتْ عَنْ إِذْنِهِ ثُمَّ وَجَبَتِ الْعِدَّةُ عَلَيْهَا بَعْدَ السَّفَرِ بِمَوْتِهِ أَوْ طَلَاقِهِ، وَذَلِكَ بِأَنْ تَعُودَ إِلَى بَلَدِهَا فَتَقْضِيَ فِيهِ عِدَّتَهَا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ.

Bagian ketiga: apabila ihram haji lebih dahulu daripada ‘iddah, kemudian ‘iddah terjadi karena kematian atau talak setelah haji selesai, maka hukumnya dalam masa ‘iddah seperti wanita yang bepergian atas izinnya, kemudian wajib ‘iddah atasnya setelah bepergian karena kematian atau talak suaminya, yaitu ia kembali ke negerinya dan menjalani masa ‘iddah di sana sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تَتَقَدَّمَ الْعِدَّةُ عَلَى الْإِحْرَامِ ثُمَّ تَسْتَأْنِفَ الْإِحْرَامَ بَعْدَ كَمَالِ الْعِدَّةِ فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ وَلَيْسَتْ مِنَ الْعِدَدِ، وَإِنَّمَا ذَكَرَهَا تَبَعًا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ مَا اعْتَرَضَ عَلَيْهَا فِي حَقِّ الزَّوْجِ بَعْدَ كَمَالِ الْعِدَّةِ وَالْكَلَامُ فِي حَجِّهَا، هَلْ يَفْتَقِرُ إِلَى ذِي مَحْرَمٍ أَمْ لَا؟ .

Bagian keempat: apabila ‘iddah lebih dahulu daripada ihram, kemudian ia memulai ihram setelah masa ‘iddah selesai, maka ini adalah masalah yang dibahas dalam kitab dan bukan termasuk pembahasan ‘iddah, hanya disebutkan sebagai pelengkap. Dalam hal ini, tidak ada keberatan terhadapnya dari sisi hak suami setelah masa ‘iddah selesai, dan pembahasan selanjutnya adalah tentang hajinya, apakah ia memerlukan mahram atau tidak?

فَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَجُوزُ أَنْ تُحْرِمَ لِلْحَجِّ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ سَوَاءٌ كَانَ فَرْضًا أَوْ تَطَوُّعًا تَمَسُّكًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ “.

Abu Hanifah berkata: Tidak boleh seorang wanita berihram untuk haji kecuali bersama mahram, baik itu haji fardhu maupun sunnah, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahram.”

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: إِنْ كَانَ الْحَجُّ فَرْضًا لَمْ يَكُنِ الْمَحْرَمُ فِيهِ شَرْطًا إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا، وَإِذَا كَانَ تَطَوُّعًا لَمْ تَخْرُجْ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي الْغَرَضِ، وَإِنَّ وُجُوبَ الْحَجِّ مُعْتَبَرٌ بِالزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ، وَلَوْ كَانَ الْمَحْرَمُ شَرْطًا لَكَانَ مِنْ شُرُوطِ الِاسْتِطَاعَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي الْوُجُوبِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ لِعَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ: يُوشِكُ أَنْ تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الْحِيرَةِ تَأَمُّ الْبَيْتَ لَا جِوَارَ مَعَهَا لَا تَخَافُ إِلَّا اللَّهَ فَلَوْلَا جَوَازُهُ لِمَا أَقَرَّ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ وُجُوبَ السَّفَرِ يُسْقِطُ اشْتِرَاطَ الْمَحْرَمِ فِيهِ كَالْهِجْرَةِ مِنْ دَارِ الشِّرْكِ، وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ الْحَجِّ مُسْتَوْفَاةً وَتَأَوَّلْنَا الْخَبَرَ عَلَى التَّطَوُّعِ دُونَ الْفَرْضِ، كَمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: لَا تَصُومَنَّ امْرَأَةٌ وَزَوْجُهَا حَاضِرٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَحُمِلَ عَلَى صَوْمِ التَّطَوُّعِ دُونَ الفرض.

Dan Imam al-Syafi‘i berkata: Jika haji itu fardhu, maka mahram bukanlah syarat di dalamnya apabila jalan aman. Namun jika haji itu sunnah, maka ia tidak boleh keluar kecuali bersama mahram karena perbedaan tujuan keduanya. Sesungguhnya kewajiban haji itu ditentukan dengan adanya bekal dan kendaraan. Jika mahram merupakan syarat, tentu ia termasuk syarat istitha‘ah yang diperhitungkan dalam kewajiban. Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau berkata kepada ‘Adiy bin Hatim: “Hampir saja seorang wanita bepergian dari Hirah menuju Baitullah tanpa ada pelindung bersamanya, tidak takut kecuali kepada Allah.” Maka seandainya hal itu tidak boleh, niscaya beliau tidak akan membiarkannya. Dan karena kewajiban safar menggugurkan syarat adanya mahram di dalamnya, sebagaimana hijrah dari negeri syirik. Masalah ini telah dijelaskan secara rinci dalam Kitab Haji, dan kami telah menakwilkan hadis tersebut pada haji sunnah, bukan fardhu, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Seorang wanita tidak boleh berpuasa sementara suaminya hadir kecuali dengan izinnya.” Maka hadis itu dibawa pada puasa sunnah, bukan puasa fardhu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ صَارَتْ إِلَى بَلَدٍ أَوْ مَنْزِلٍ بِإِذْنِهِ وَلَمْ يَقُلْ لَهَا أَقِيمِي ثُمَّ طَلَّقَهَا فَقَالَ لَمْ أَنْقُلْكِ وَقَالَتْ نَقَلْتَنِي فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا إِلَّا أَنْ تُقِرَّ هِيَ أَنَّهُ كَانَ لِلزِّيَارَةِ أَوْ مدة تُقِيمُهَا فَيَكُونَ عَلَيْهَا أَنْ تَرْجِعَ وَتَعْتَدَّ فِي بَيْتِهِ وَفِي مُقَامِهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ تُقِيمَ إِلَى الْمُدَّةِ كَمَا جُعِلَ لَهَا أَنْ تُقِيمَ فِي سَفَرِهَا إِلَى غَايَةٍ “.

Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika seorang istri pergi ke suatu negeri atau rumah dengan izinnya, dan ia tidak berkata kepadanya ‘tinggallah di sana’, lalu ia menceraikannya, kemudian ia berkata: ‘Aku tidak memindahkanmu’, dan sang istri berkata: ‘Engkau telah memindahkanku’, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri, kecuali jika ia sendiri mengakui bahwa itu untuk keperluan kunjungan atau untuk waktu tertentu ia tinggal di sana, maka wajib baginya untuk kembali dan menjalani masa ‘iddah di rumah suaminya. Dalam hal ia tinggal di sana terdapat dua pendapat: salah satunya, ia boleh tinggal hingga waktu yang telah ditentukan baginya, sebagaimana ia diperbolehkan tinggal dalam safarnya hingga batas waktu tertentu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: هَذِهِ مَسْأَلَةٌ تَشْتَمِلُ عَلَى فُصُولٍ قَدِ اخْتَلَطَ فِيهَا كَلَامُ أَصْحَابِنَا، وَنَسَبُوا الْمُزَنِيَّ إِلَى السَّهْوِ فِي نَقْلِهِ وَالْخَطَأِ فِي جَوَابِهِ لِشُبْهَةٍ دَخَلَتْ عَلَيْهِمْ فِي تَفْرِيقِ أُصُولِهَا، وَسَنُوَضِّحُهَا بِمَا تَزُولُ بِهِ الشُّبْهَةُ وَيَصِحُّ فِيهَا نَقْلُ الْمُزَنِيِّ وَجَوَابُهُ، وَذَلِكَ مَبْنِيٌّ عَلَى تَقْدِيرِ الْجَوَابِ فِي خَمْسَةِ فُصُولٍ قَدْ ذَكَرْنَاهَا مَعَ الِاتِّفَاقِ عَلَيْهَا، وَنَحْنُ نُعِيدُهَا لِنَبْنِيَ حُكْمَ اخْتِلَافِهِمْ عَلَيْهَا:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini mencakup beberapa rincian yang di dalamnya terjadi percampuran pendapat di kalangan para sahabat kami. Mereka menisbatkan kepada al-Muzani adanya kekeliruan dalam periwayatannya dan kesalahan dalam jawabannya karena adanya syubhat yang masuk kepada mereka dalam membedakan asal-usulnya. Kami akan menjelaskannya sehingga syubhat itu hilang dan periwayatan serta jawaban al-Muzani menjadi sahih. Hal itu dibangun atas takdir jawaban dalam lima rincian yang telah kami sebutkan dan telah disepakati, dan kami akan mengulanginya agar dapat membangun hukum perbedaan pendapat mereka atasnya:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ إِذَا أذن لها في سفر النقلة فَانْتَقَلَتْ ثُمَّ وَجَبَتْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِمَوْتٍ أَوْ طَلَاقٍ قَضَتِ الْعِدَّةَ فِي بَلَدِ النُّقْلَةِ، وَلَمْ يَلْزَمْهَا الْعَوْدُ.

Pertama: Jika suami mengizinkan istri untuk bepergian dalam rangka pindah tempat, lalu ia telah berpindah, kemudian wajib atasnya menjalani masa ‘iddah karena wafat atau talak, maka ia menjalani masa ‘iddah di negeri tempat ia berpindah, dan tidak wajib baginya kembali.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِنْ أَذِنَ لَهَا فِي سَفَرِ الْعَوْدَةِ ثُمَّ وَجَبَتِ الْعِدَّةُ بَعْدَ وُصُولِهَا لَزِمَهَا الْعَوْدُ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُقِيمَ.

Kedua: Jika suami mengizinkan istri untuk bepergian dalam rangka kembali, lalu setelah sampai wajib atasnya menjalani masa ‘iddah, maka wajib baginya kembali dan tidak boleh tinggal.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ إِذَا أَذِنَ لَهَا فِي السَّفَرِ إِلَيْهِ إِذْنًا مُطْلَقًا لَمْ يُصَرِّحْ فِيهِ بِنُقْلَةٍ وَلَا عَوْدٍ حُمِلَ عَلَى سَفَرِ النُّقْلَةِ دُونَ الْعَوْدِ؛ لِأَنَّ الْعَوْدَ سَفَرٌ آخَرُ يُحْتَاجُ فِيهِ إِلَى إِذْنٍ آخَرَ.

Ketiga: Jika suami mengizinkan istri untuk bepergian kepadanya dengan izin secara mutlak, tidak secara tegas untuk pindah atau kembali, maka izin itu dianggap sebagai izin untuk bepergian dalam rangka pindah, bukan untuk kembali; karena kembali adalah perjalanan lain yang membutuhkan izin tersendiri.

وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ إِذَا أَذِنَ لَهَا فِي السَّفَرِ إِلَيْهِ لِنُزْهَةٍ أَوْ زِيَارَةٍ كَانَ سَفَرَ عَوْدٍ، وَلَمْ يَكُنْ سَفَرَ مُقَامٍ.

Keempat: Jika suami mengizinkan istri untuk bepergian kepadanya untuk rekreasi atau kunjungan, maka itu dianggap sebagai perjalanan kembali, bukan perjalanan untuk menetap.

وَالْخَامِسُ: أَنَّهُ إِذَا أَذِنَ لَهَا فِي السَّفَرِ إِلَيْهِ لِتُقِيمَ شَهْرًا ثُمَّ تَعُودَ، فَهَلْ لَهَا بَعْدَ وُجُوبِ الْعِدَّةِ أَنْ تُقِيمَ تِلْكَ الْمُدَّةَ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا، فَهَذِهِ خَمْسَةُ فُصُولٍ لَا اخْتِلَافَ بَيْنَ أَصْحَابِنَا فِي جَوَابِهَا مَعَ اتِّفَاقِ الزَّوْجَيْنِ عَلَيْهَا، فَإِنِ اخْتَلَفَا فِيهَا اشْتَمَلَ اخْتِلَافُهُمَا عَلَى سِتَّةِ أَقْسَامٍ:

Kelima: Jika suami mengizinkan istri untuk bepergian kepadanya untuk tinggal selama sebulan kemudian kembali, maka apakah setelah wajib menjalani masa ‘iddah ia boleh tinggal selama waktu tersebut atau tidak? Ada dua pendapat yang telah disebutkan. Inilah lima rincian yang tidak ada perbedaan di antara para sahabat kami dalam jawabannya jika kedua suami istri sepakat atasnya. Namun jika mereka berselisih, maka perselisihan mereka mencakup enam bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَدَّعِيَ الزَّوْجَةُ سَفَرَ النُّقْلَةِ، وَيَدَّعِيَ الزَّوْجُ سَفَرَ الْعَوْدِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ الزَّوْجِ فِي حَيَاتِهِ، وَمَعَ الْوَرَثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ؛ لِأَنَّ سَفَرَ النُّقْلَةِ وَاحِدٌ وَسَفَرَ الْعَوْدِ اثْنَانِ فَكَانَ الْقَوْلُ فِي الثَّانِي قَوْلَ مُنْكِرٍ.

Pertama: Jika istri mengklaim bahwa perjalanannya adalah untuk pindah, sedangkan suami mengklaim bahwa itu adalah perjalanan kembali, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri bersama suami selama suami masih hidup, dan bersama ahli waris setelah suami wafat; karena perjalanan pindah itu satu kali, sedangkan perjalanan kembali itu dua kali, maka dalam hal kedua, yang dijadikan pegangan adalah ucapan pihak yang mengingkari.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَدَّعِيَ الزَّوْجَةُ سَفَرَ الْعَوْدِ وَيَدَّعِيَ عَلَيْهَا سَفَرَ النُّقْلَةِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَنْ خَالَفَهَا مِنَ الزَّوْجِ فِي حَيَاتِهِ، وَالْوَرَثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ؛ لِأَنَّهَا تَدَّعِي فِيهِ سَفَرًا ثَانِيًا فَكَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ مُنْكِرِهِ.

Bagian kedua: Jika istri mengklaim bahwa perjalanan yang dimaksud adalah safar ‘aud (perjalanan kembali), sedangkan suami mengklaim bahwa itu adalah safar naqlah (perpindahan tempat tinggal), maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang menentangnya, yaitu suami selama ia masih hidup, dan ahli warisnya setelah ia wafat; karena istri dalam hal ini mengklaim adanya perjalanan kedua, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengingkarinya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تَدَّعِيَ فِي السَّفَرِ الْمُطْلَقِ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ النَّقْلَةُ، وَيَدَّعِيَ عَلَيْهَا أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ النَّقْلَةُ فَقَوْلُهَا غَيْرُ مَقْبُولٍ، وَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي حَيَاتِهِ وَوَرَثَتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَعَهُمْ دُونَهَا، فَهَذِهِ الْأَقْسَامُ الْأَرْبَعَةُ تَسْتَوِي حُكْمُ الِاخْتِلَافِ فِيهَا مَعَ الزَّوْجِ وَالْوَرَثَةِ.

Bagian keempat: Jika istri mengklaim bahwa yang dimaksud dengan safar mutlak (perjalanan secara umum) adalah naqlah (perpindahan tempat tinggal), sedangkan pihak lain mengklaim bahwa yang dimaksud adalah naqlah juga, maka klaim istri tidak diterima, dan pendapat yang dipegang adalah pendapat suami selama ia hidup dan ahli warisnya setelah ia wafat; karena zhahir (indikasi lahiriah) berpihak kepada mereka, bukan kepada istri. Maka, keempat bagian ini memiliki hukum yang sama dalam hal perbedaan pendapat antara istri dengan suami dan ahli waris.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ تَدَّعِيَ الزَّوْجَةُ سَفَرًا لِمُدَّةٍ، وَيَدَّعِيَ عَلَيْهَا أَنَّهُ سَفَرٌ لِلنُّزْهَةِ فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا مَمْنُوعَةٌ مِنْ مُقَامِ تِلْكَ الْمُدَّةِ لَمْ يَكُنْ لِهَذَا الِاخْتِلَافِ تَأْثِيرٌ لِوُجُوبِ الْعَوْدِ فِيهِمَا لِلْوَقْتِ، وَإِنْ قِيلَ: بِمُقَامِهَا تِلْكَ الْمُدَّةَ، فَإِنْ كَانَ اخْتِلَافُهَا مَعَ الْوَرَثَةِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا وَإِنْ كَانَ مَعَ الزَّوْجِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مَعَ تَسَاوِي الظَّاهِرِ فِي اخْتِلَافِهِمَا مُبَايَنَةٌ لِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ، لِأَنَّ الْإِذْنَ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ الزَّوْجَانِ فَإِذَا كَانَ الِاخْتِلَافُ بَيْنَهُمَا رَجَعَ إِلَى الزَّوْجِ الْإِذْنُ فِي صِفَةِ إِذْنِهِ مَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ فِي أَصْلِ إِذْنِهِ، وَإِذَا كَانَ مَعَ الْوَرَثَةِ رَجَعَ فِيهِ إِلَى مَنْ سَوَّمَهُ بِالْإِذْنِ، وَهِيَ الزَّوْجَةُ دُونَ الْوَرَثَةِ.

Bagian kelima: Jika istri mengklaim adanya safar untuk suatu jangka waktu, sedangkan pihak lain mengklaim bahwa itu adalah safar untuk rekreasi, maka jika dikatakan bahwa ia tidak boleh tinggal selama jangka waktu tersebut, maka perbedaan pendapat ini tidak berpengaruh karena keduanya wajib kembali segera. Namun jika dikatakan bahwa ia boleh tinggal selama jangka waktu tersebut, maka jika perbedaan pendapat terjadi antara istri dan ahli waris, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat istri. Jika perbedaan terjadi dengan suami, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat suami. Perbedaan antara keduanya, meskipun zhahir tampak sama dalam perbedaan mereka, berbeda dengan empat bagian sebelumnya, karena izin telah disepakati oleh kedua suami istri. Maka, jika terjadi perbedaan antara keduanya, maka kembali kepada suami dalam hal sifat izinnya, sebagaimana kembali kepadanya dalam asal izinnya. Namun jika perbedaan terjadi dengan ahli waris, maka kembali kepada pihak yang menerima izin, yaitu istri, bukan ahli waris.

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ تَدَّعِيَ الزَّوْجَةُ سَفَرَ النُّزْهَةِ وَيَدَّعِيَ عَلَيْهَا أَنَّهُ سَفُرُ الْمُدَّةِ.

Bagian keenam: Jika istri mengklaim bahwa perjalanan yang dilakukan adalah safar rekreasi, sedangkan pihak lain mengklaim bahwa itu adalah safar untuk jangka waktu tertentu.

فَإِنْ قِيلَ لَا تُقِيمُ تِلْكَ الْمُدَّةَ فَلَا تَأْثِيرَ لِاخْتِلَافِهِمَا لِوُجُوبِ الْعَوْدِ فِيهِمَا.

Jika dikatakan bahwa ia tidak boleh tinggal selama jangka waktu tersebut, maka perbedaan pendapat antara keduanya tidak berpengaruh karena keduanya wajib kembali segera.

وَإِنْ قِيلَ بِمُقَامِهَا تِلْكَ الْمُدَّةَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ إِنْ كَانَ حَيًّا وَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ الْوَرَثَةِ إِنْ كَانَ مَيِّتًا لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا فَهَذَانِ قِسْمَانِ يَخْتَلِفُ فِيهِمَا حُكْمُ الزَّوْجِ وَالْوَرَثَةِ وَإِنِ اتَّفَقَ حُكْمُهُمَا فِي تِلْكَ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ، وَقَدْ أَوْضَحْتُ مِنَ التَّعْلِيلِ الْمُوجِبِ لِلْفَرْقِ وَالتَّسْوِيَةِ مَا يَمْنَعُ مِنْ مُخَالَفَتِهِ لِيَسْلَمَ الْمُزَنِيُّ مِنْ خَطَأٍ فِي النَّقْلِ لِحَمْلِ مُرَادِهِ عَلَى مَا وَافَقَهُ مِنْ تِلْكَ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الزَّوْجِ وَوَرَثَتِهِ وَيَسْلَمَ أَصْحَابُنَا مِنَ الْوَهْمِ فِي الشُّبْهَةِ الدَّاخِلَةِ عَلَيْهِمْ فِي تَخْطِئَتِهِ لِحَمْلِ جَوَابِهِ عَلَى مَا وَافَقَهُ مِنَ الْقِسْمَيْنِ الْمُتَأَخِّرَيْنِ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الزَّوْجِ وَوَرَثَتِهِ، وَقَدْ يَتَفَرَّعُ عَلَى الْأَقْسَامِ السِّتَّةِ أقسام لا تخرج عن أحكام الأقسام السنة إذا حقق تَعْلِيلُهَا فَاسْتُغْنِيَ بِالْمَذْكُورِ عَنِ الْمُغْفَلِ وَاللَّهُ وَلِيُّ التوفيق.

Namun jika dikatakan bahwa ia boleh tinggal selama jangka waktu tersebut, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat istri jika suami masih hidup, dan pendapat istri pula terhadap ahli waris jika suami telah wafat, sebagaimana telah dijelaskan perbedaan antara keduanya. Maka, kedua bagian ini berbeda hukum antara suami dan ahli waris, meskipun hukumnya sama dalam empat bagian sebelumnya. Aku telah menjelaskan alasan yang menyebabkan adanya perbedaan dan persamaan, sehingga tidak ada alasan untuk menyelisihinya, agar al-Muzani terhindar dari kesalahan dalam menukil dengan menafsirkan maksudnya sesuai dengan yang sejalan dari empat bagian tersebut dalam hal penyamaan antara suami dan ahli warisnya, dan agar para sahabat kami terhindar dari kekeliruan dalam syubhat yang masuk kepada mereka dalam menganggapnya salah karena menafsirkan jawabannya sesuai dengan dua bagian terakhir dalam hal perbedaan antara suami dan ahli warisnya. Dan bisa jadi dari enam bagian ini bercabang bagian-bagian lain yang tidak keluar dari hukum enam bagian tersebut jika penjelasannya telah benar, sehingga cukup dengan yang telah disebutkan dari yang tidak disebutkan. Allah adalah pemilik taufik.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَتَنْتَوِي الْبَدَوِّيةُ حَيْثُ يَنْتَوِي أَهْلُهَا لِأَنَّ سَكَنَ الْبَادِيَةِ إِنَّمَا هُوَ سُكْنَى مُقَامِ غِبْطَةٍ وَظَعْنِ غِبْطَةٍ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan wanita badui berniat tinggal di mana kaumnya berniat tinggal, karena tempat tinggal di pedalaman pada dasarnya adalah tempat tinggal sementara dan perpindahan sementara.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ: لِأَنَّ الْبَادِيَةَ تُخَالِفُ الْحَاضِرَةَ فِي السُّكْنَى مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan memang demikianlah sebagaimana yang beliau katakan, karena kehidupan di pedalaman berbeda dengan di perkotaan dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: صِفَةُ الْمَسَاكِنِ؛ لِأَنَّ بُيُوتَ الْبَادِيَةِ خِيَامُ نُقْلَةٍ، وَبُيُوتَ الْحَاضِرَةِ أَبْنِيَةُ مُقَامٍ.

Pertama: Sifat tempat tinggal; karena rumah-rumah di pedalaman adalah tenda-tenda yang mudah dipindahkan, sedangkan rumah-rumah di perkotaan adalah bangunan permanen.

وَالثَّانِي: أَنَّ البادية ينتقلون للنجعة طلب الكلأ، وَالْحَاضِرَةَ يُقِيمُونَ فِي أَمْصَارِهِمْ مُسْتَوْطِنِينَ فَإِذَا طُلِّقَتِ الْبَدَوِيَّةُ اعْتَدَّتْ فِي الْبَيْتِ الَّذِي هُوَ مَسَكِنُهَا مِنْ خِيَامِ النُّقْلَةِ وَأَقَامَتْ فِيهِ مَا أَقَامَ قَوْمُهَا، فَإِنِ انْتَقَلُوا فَلَهُمْ سَبْعَةُ أَحْوَالٍ:

Kedua: Orang-orang pedalaman berpindah-pindah untuk mencari padang rumput, sedangkan orang-orang perkotaan menetap di kota-kota mereka sebagai penduduk tetap. Maka, jika seorang wanita badui ditalak, ia menjalani masa ‘iddah di rumah yang menjadi tempat tinggalnya dari tenda-tenda yang berpindah, dan ia tinggal di sana selama kaumnya tinggal. Jika mereka berpindah, maka ada tujuh keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَنْتَقِلَ جَمِيعُ الْحَيِّ فَتَنْتَقِلَ بِانْتِقَالِهِمْ مُنْتَجِعَةً بِنَجِيعِهِمْ؛ لِأَنَّ فِي مُقَامِهَا بَعْدَهُمْ خَوْفًا عَلَيْهَا؛ وَلِأَنَّ حَالَ الْبَادِيَةِ هِيَ الْأَوْطَانُ لَا الْمَكَانُ.

Pertama: Jika seluruh anggota kabilah berpindah, maka ia pun berpindah bersama mereka, mengikuti perpindahan mereka, karena jika ia tetap tinggal setelah mereka pergi, dikhawatirkan akan terjadi bahaya atas dirinya; dan karena keadaan masyarakat Badui adalah tanah air mereka itu sendiri, bukan tempat tertentu.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَنْتَقِلَ رِجَالُهُمْ وَتُقِيمَ نِسَاؤُهُمْ لِحَرْبٍ يَقْصِدُونَهَا فَيَلْزَمُهَا أَنْ تُقِيمَ مَعَ نِسَائِهِمْ إذا آمن على أنفسن وَلِأَنَّ انْتِقَالَ الرِّجَالِ، فِي هَذِهِ الْحَالِ كَسَفَرِ الْحَاضِرَةِ.

Kedua: Jika para lelaki mereka berpindah dan para perempuan mereka tetap tinggal karena suatu peperangan yang mereka tuju, maka ia wajib tinggal bersama para perempuan mereka jika merasa aman atas dirinya; karena perpindahan para lelaki dalam keadaan ini seperti safar penduduk kota.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَنْتَقِلَ نِسَاؤُهُمْ وَيُقِيمَ رِجَالُهُمْ لِخَوْفٍ مِنْ عَدُوٍّ يَقْصِدُهُمْ فَتَنْتَقِلُ هَذِهِ مَعَ النِّسَاءِ، وَلَا تُقِيمُ مَعَ الرِّجَالِ.

Ketiga: Jika para perempuan mereka berpindah dan para lelaki mereka tetap tinggal karena takut terhadap musuh yang mengincar mereka, maka ia berpindah bersama para perempuan, dan tidak tinggal bersama para lelaki.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَنْتَقِلَ بَعْضُ الْحَيِّ، وَفِيهِ أَهْلُهَا وَأَهْلُ الزَّوْجِ وَيُقِيمَ بَاقِي الْحَيِّ وَلَيْسَ فِيهِ أَهْلُهَا وَلَا أَهْلُ الزَّوْجِ فَهَذِهِ تَنْتَقِلُ بِانْتِقَالِ أهلها ولا يقيم بِإِقَامَةِ غَيْرِهِمْ.

Keempat: Jika sebagian anggota kabilah berpindah, dan di antara mereka terdapat keluarganya dan keluarga suaminya, sementara sisanya tetap tinggal dan di antara mereka tidak ada keluarganya maupun keluarga suaminya, maka ia berpindah bersama keluarganya dan tidak tinggal bersama selain mereka.

وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ: أَنْ يُقِيمَ أَهْلُهَا وَأَهْلُ الزَّوْجِ، وَيَنْتَقِلَ مَنْ عَدَاهُمْ فَهَذِهِ تُقِيمُ مَعَ الْمُقِيمِينَ مِنْ أَهْلِهَا وَلَا تَنْتَقِلُ مَعَ الْمُنْتَقِلِينَ مِنْ غَيْرِهِمْ.

Kelima: Jika keluarganya dan keluarga suaminya tetap tinggal, dan yang lain berpindah, maka ia tinggal bersama keluarga yang menetap dari pihaknya, dan tidak berpindah bersama yang berpindah dari selain mereka.

وَالْحَالُ السَّادِسَةُ: أَنْ يَنْتَقِلَ أَهْلُهَا وَيُقِيمَ أَهْلُ الزَّوْجِ فَعَلَيْهَا أَنْ تُقِيمَ مَعَ أَهْلِ الزَّوْجِ وَلَا تَنْتَقِلَ مَعَ أَهْلِهَا؛ لِأَنَّهَا أَخَصُّ بِمَسْكَنِ الزَّوْجِ فِي الْعِدَّةِ مِنْ مَسْكَنِ أَهْلِهَا.

Keenam: Jika keluarganya berpindah dan keluarga suaminya tetap tinggal, maka ia wajib tinggal bersama keluarga suaminya dan tidak berpindah bersama keluarganya; karena ia lebih berhak tinggal di rumah suami selama masa ‘iddah daripada di rumah keluarganya.

وَالْحَالُ السَّابِعَةُ: أَنْ يَنْتَقِلَ أَهْلُ الزَّوْجِ وَيُقِيمَ أَهْلُهَا فَتَكُونُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الِانْتِقَالِ مَعَ أَهْلِ الزَّوْجِ لِاخْتِلَاطِ بَيْتِهَا بِبُيُوتِهِمْ، أَوْ تُقِيمُ مَعَ أَهْلِهَا بِمَكَانِهِمْ لِاخْتِصَاصِهِمْ بِمَكَانِ الطَّلَاقِ.

Ketujuh: Jika keluarga suaminya berpindah dan keluarganya tetap tinggal, maka ia memiliki pilihan antara berpindah bersama keluarga suaminya karena rumahnya bercampur dengan rumah mereka, atau tetap tinggal bersama keluarganya di tempat mereka karena tempat tersebut khusus bagi mereka sebagai tempat terjadinya talak.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَإِذَا دَلَّتِ السُّنَّةُ عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ تَخْرُجُ مِنَ الْبَذَاءِ عَلَى أَهْلِ زَوْجِهَا كَانَ الْعُذْرُ فِي ذَلِكَ الْمَعْنَى أَوْ أَكْثَرَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Jika sunnah menunjukkan bahwa seorang perempuan keluar dari perkampungan menuju keluarga suaminya, maka uzur dalam hal itu adalah karena alasan tersebut atau lebih.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: لِأَنَّ أَحْكَامَ الْإِعْذَارِ مُخَالِفَةٌ لِأَحْكَامِ الْإِخْبَارِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar; karena hukum uzur berbeda dengan hukum pemberitahuan.

وَالْإِعْذَارُ ضَرْبَانِ:

Uzur itu ada dua macam:

ضَرْبٌ يَجِبُ عَلَيْهَا الِانْتِقَالُ مَعَهُ، وَهُوَ مَا أَدَّى إِلَى الْخَوْفِ عَلَى نَفْسِهَا إِمَّا مِنْ تَلَفِ مُهْجَةٍ، وَإِمَّا مِنْ إِتْيَانِ فَاحِشَةٍ فَهَذِهِ تُؤْخَذُ بِالنُّقْلَةِ جَبْرًا لِتَحْصِينِ نَفْسِهَا، وَفَرَجِهَا.

Pertama, uzur yang mewajibkan ia berpindah bersamanya, yaitu jika menyebabkan kekhawatiran atas jiwanya, baik karena takut kehilangan nyawa, maupun karena takut terjerumus dalam perbuatan keji. Dalam hal ini, ia diwajibkan berpindah secara paksa demi menjaga keselamatan jiwa dan kehormatannya.

وَضَرْبٌ يَجُوزُ لَهَا الِانْتِقَالُ مَعَهُ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ وَهُوَ مَا أَدَّى إِلَى الْخَوْفِ عَلَى مَالِهَا مِنْ تَلَصُّصٍ أَوْ أَذِيَّةِ جَارٍ فِي شَتْمٍ أَوْ سَفَهٍ فَتَكُونُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْمُقَامِ وَالنُّقْلَةِ، وَلَا تُجْبَرُ عَلَى أَحَدِهِمَا مَعَ أَمْنِهَا عَلَى النَّفْسِ وَالْفَرْجِ.

Kedua, uzur yang membolehkan ia berpindah bersamanya meskipun tidak wajib, yaitu jika menyebabkan kekhawatiran atas hartanya, seperti takut dicuri atau diganggu tetangga dengan cacian atau tindakan bodoh. Dalam hal ini, ia boleh memilih antara tetap tinggal atau berpindah, dan tidak dipaksa memilih salah satunya selama ia merasa aman atas jiwa dan kehormatannya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي: ” وَيُخْرِجُهَا السُّلْطَانُ فِيمَا يَلْزَمُهَا فَإِذَا فَرَغَتْ رَدَّهَا “.

Imam Syafi‘i berkata: “Penguasa dapat mengeluarkannya untuk suatu kewajiban yang harus ia tunaikan, dan setelah selesai, ia dikembalikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ وُجُوبَ الْعِدَّةِ عَلَيْهَا لَا يَمْنَعُ مِنِ اسْتِغْنَاءِ الْحُقُوقِ مِنْهَا، وَالْحُقُوقُ ضَرْبَانِ: حُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى كَالْحُدُودِ، وَحُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ كَالْأَمْوَالِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar; karena kewajiban ‘iddah atasnya tidak menghalangi untuk menunaikan hak-hak yang harus dipenuhi darinya. Hak-hak itu ada dua macam: hak Allah Ta‘ala seperti hudud, dan hak manusia seperti harta.

فَأَمَّا حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ فَهِيَ مَوْقُوفَةٌ عَلَى مَطَالِبِهِمْ، فَإِنْ أَخَّرُوهَا فِي الْعِدَّةِ كَانَتْ عَلَى حَالِهَا مُقِيمَةً إِلَى انْقِضَائِهَا، وَإِنْ طَالَبُوهَا بِحُقُوقِهِمْ لَمْ يُمْنَعُوا، فَإِنْ خَرَجَتْ إِلَيْهِمْ مِنْ حقوقهم في ديون قضتها، أو ودائع درتها أُقِرَّتْ فِي مَسْكَنِهَا، وَإِنِ اقْتَضَتِ الْمُحَاكَمَةُ عِنْدَ التَّنَاكُرِ رُوعِيَ حَالُهَا، فَإِنْ كَانَتْ بَرَزَةً أَخْرَجَهَا السُّلْطَانُ لِلْمُحَاكَمَةِ ثُمَّ رَدَّهَا إِلَى الْعِدَّةِ بَعْدَ انْبِرَامِ الْحُكْمِ، وَإِنْ كَانَتْ خَفِرَةً أَنْفَذَ السُّلْطَانُ إِلَيْهَا مَنْ يَحْكُمُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ خُصُومِهَا فِي مَسْكَنِهَا كَمَا يُفْعَلُ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ الْمُعْتَدَّةِ مِنِ اعْتِبَارِ الْبُرُوزِ وَالْخَفَرِ فِي إِخْرَاجِهَا وَإِقْرَارِهَا.

Adapun hak-hak manusia, maka tergantung pada tuntutan mereka. Jika mereka menundanya selama masa ‘iddah, maka ia tetap tinggal hingga selesai masa ‘iddah. Jika mereka menuntut haknya, maka mereka tidak dicegah. Jika ia keluar kepada mereka untuk menunaikan hak-hak mereka, seperti membayar utang atau mengembalikan titipan, maka ia dikembalikan ke tempat tinggalnya. Jika perkara tersebut memerlukan proses peradilan karena adanya perselisihan, maka dilihat keadaannya: jika ia adalah perempuan yang biasa keluar rumah, maka penguasa mengeluarkannya untuk proses peradilan, lalu mengembalikannya ke masa ‘iddah setelah keputusan ditetapkan. Jika ia perempuan yang terjaga (tidak biasa keluar rumah), maka penguasa mengirimkan hakim ke rumahnya untuk memutuskan perkara antara dia dan lawannya di tempat tinggalnya, sebagaimana dilakukan terhadap perempuan yang bukan dalam masa ‘iddah, dengan mempertimbangkan kebiasaan keluar rumah atau tidak dalam mengeluarkan atau menahannya.

وَأَمَّا حُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْحُدُودِ فَيُعَجَّلُ اسْتِيفَاؤُهَا وَلَا يُؤَخَّرُ بِالْعِدَّةِ، وَإِنْ خَرَجَتْ بِالْمَرَضِ؛ لِأَنَّ اسْتِيفَاءَهَا فِي الْمَرَضِ مُفْضٍ إِلَى تَلَفِهَا بِخِلَافِ الْعِدَّةِ، فَإِذَا أَرَادَ السُّلْطَانُ اسْتِيفَاءَ الْحُدُودِ مِنْهَا رُوعِيَ حَالُهَا أَيْضًا فِي الْبُرُوزِ وَالْخَفَرِ، فَإِنْ كَانَتْ خَفِرَةً أَقَامَ الْحَدَّ عَلَيْهَا فِي مَنْزِلِهَا فَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَا أُنَيْسُ اغْدُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا ” وَإِنْ كَانَتْ بَرَزَةً أَخْرَجَهَا لِإِقَامَةِ الحد عليها قوله تَعَالَى {لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} [الطلاق: 1] وَالزِّنَا مِنْ أَكْبَرِ الْفَوَاحِشِ فَإِنْ كَانَ الْحَدُّ بِمَا فِي الزِّنَا فَكَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ وَالْأَقْرَاءِ رُجِمَتْ، وَلَمْ يُنْتَظَرْ بِهَا انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ الرَّحِمِ وَالْعِدَّةُ مَوْضُوعَةٌ لِمَنْعِهَا مِنَ الْأَزْوَاجِ وَرَجْمُهَا أَمْنَعُ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْحَمْلِ أُخِّرَتْ حَتَّى تَضَعَ أَوْ يَنْفَشَّ حَمْلُهَا؛ لِأَنَّ الْحَدَّ لَا يُقَامُ عَلَى حَامِلٍ، وَإِنْ كَانَ الْحَدُّ جَلْدًا فِي الزِّنَا جُلِدَتْ، وَإِنْ كانت حائلاً وفي تَغْرِيبِهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَجْهَانِ:

Adapun hak-hak Allah Ta‘ala dalam hal hudūd, maka pelaksanaannya disegerakan dan tidak ditunda karena masa ‘iddah, meskipun ia keluar karena sakit; sebab pelaksanaan hudūd saat sakit dapat mengakibatkan kematiannya, berbeda dengan masa ‘iddah. Apabila penguasa ingin menegakkan hudūd atasnya, maka juga diperhatikan keadaannya terkait keluar rumah dan kehormatannya. Jika ia adalah wanita yang terjaga kehormatannya (khafīrah), maka hudūd ditegakkan atasnya di rumahnya, sebagaimana sabda Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Wahai Unais, pergilah pagi-pagi kepada istri orang ini, jika ia mengaku, maka rajamlah dia.” Namun jika ia adalah wanita yang biasa keluar rumah (barizah), maka ia dikeluarkan untuk ditegakkan hudūd atasnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata} [Ath-Thalaq: 1], dan zina adalah salah satu perbuatan keji terbesar. Jika hudūd yang ditegakkan adalah karena zina, dan ia termasuk wanita yang masih dalam masa suci atau haid (‘iddah syuhūr atau aqra’), maka ia dirajam dan tidak menunggu habisnya masa ‘iddah, karena asalnya rahim telah bersih dan ‘iddah ditetapkan untuk mencegahnya dari para suami, sedangkan rajam lebih mencegah lagi. Namun jika ia sedang hamil, maka pelaksanaan hudūd ditunda hingga ia melahirkan atau kandungannya gugur, karena hudūd tidak ditegakkan atas wanita hamil. Jika hudūdnya adalah cambuk dalam kasus zina, maka ia dicambuk. Jika ia tidak sedang hamil, maka dalam hal pengasingannya (taghrīb) sebelum habis masa ‘iddah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تغرب إلى بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ تَغْلِيبًا لِحَقِّ الزَّوْجِ فِي تَحْصِينِ مَائِهِ.

Pertama: Tidak diasingkan hingga selesai masa ‘iddah, demi mengutamakan hak suami dalam menjaga keturunan dan kehormatannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُغَرَّبُ حَوْلًا إِلَى أَحْصَنِ الْمَوَاضِعِ وَيُرَاعَى تَحْصِينُهَا فِي التَّغْرِيبِ فِي بَقِيَّةِ الْعِدَّةِ، فَإِنِ اسْتَكْمَلَتْ حَوْلَ التَّغْرِيبِ قَبْلَ انقضاء العدة وجب رَدُّهَا إِلَى مَنْزِلِهَا لِتَقْضِيَ فِيهِ بَقِيَّةَ الْعِدَّةِ.

Pendapat kedua: Ia diasingkan selama satu tahun ke tempat yang paling aman, dan tetap diperhatikan penjagaannya selama pengasingan di sisa masa ‘iddah. Jika ia telah menyelesaikan satu tahun pengasingan sebelum habis masa ‘iddah, maka wajib dikembalikan ke rumahnya untuk menyelesaikan sisa masa ‘iddah di sana.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَيُكْتَرَى عَلَيْهِ إِذَا غَابَ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Dan disewakan rumah untuknya jika suami tidak ada.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ فِي السُّكْنَى حَقًّا لَهَا فِي الْمَسْكَنِ وَحَقًّا عَلَيْهَا فِي الْمُقَامِ فِيهِ، فَإِنْ مَلَكَ الزَّوْجُ مَسْكَنًا لَزِمَهُ إِقْرَارُهَا فِيهِ إِذَا كَانَ فِيهِ طَلَاقُهَا، وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْ مَسْكَنًا اكْتَرَاهُ بِمَالِهِ إِنْ حَضَرَ، وَاكْتَرَاهُ السُّلْطَانُ عَلَيْهِ إِنْ غَابَ إِذَا وَجَدَ لَهُ مَالًا؛ لِأَنَّ لِلسُّلْطَانِ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْحُقُوقَ مِمَّنْ غَابَ عَنْهَا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ لَهُ مَالًا اقْتَرَضَ عَلَيْهِ وَهُوَ فِيهِ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena dalam hak tinggal terdapat hak istri atas tempat tinggal dan hak suami atas keberadaan istri di rumah tersebut. Jika suami memiliki rumah, maka wajib membiarkan istri tinggal di sana selama masa talaknya. Jika tidak memiliki rumah, maka ia wajib menyewakan rumah dengan hartanya jika ia hadir, dan jika ia tidak hadir, maka penguasa yang menyewakan rumah untuknya dengan harta suami jika ditemukan hartanya; karena penguasa berhak menunaikan hak-hak dari orang yang tidak hadir. Jika tidak ditemukan harta suami, maka penguasa meminjamkan atas nama suami, dan dalam hal ini ada tiga keadaan:

إِمَّا أَنْ يَقْتَرِضَ عَلَيْهِ مِنْ أَجْنَبِيٍّ فَيَكُونَ دَيْنًا عَلَى الزَّوْجِ يَأْخُذُهُ بِأَدَائِهِ إِذَا قَدِمَ، وَبَيْنَ أَنْ يَأْذَنَ لَهَا فِي اكْتِرَاءِ مَسْكَنٍ تَرْجِعُ عَلَيْهِ بِأُجْرَتِهِ إِذَا قَدِمَ، وَبَيْنَ أَنْ يُقْرِضَهُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ أُجْرَةَ مَسْكَنٍ يُطَالِبُهُ بِهِ إِذَا حَضَرَ، فَإِنْ كَانَ السُّلْطَانُ هُوَ الْمُقْتَرِضَ عَلَيْهِ، إِمَّا مِنْ أَجْنَبِيٍّ أَوْ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ اكْتَرَى لَهَا مَسْكَنًا تَرْضَاهُ لِنَفْسِهَا، وَلَا يَجُوزُ فِي الْحَالَيْنِ أَنْ تَتَجَاوَزَ بِهِ مَسْكَنَ مِثْلِهَا.

Pertama, penguasa meminjamkan dari orang lain (ajnasbi), sehingga menjadi utang atas suami yang akan ditagih ketika ia kembali. Kedua, penguasa mengizinkan istri menyewa rumah dan ia dapat menagih biaya sewanya kepada suami ketika suami kembali. Ketiga, penguasa meminjamkan dari Baitul Mal untuk biaya sewa rumah dan menagihnya kepada suami ketika ia hadir. Jika penguasa yang meminjamkan, baik dari orang lain maupun dari Baitul Mal, maka ia menyewakan rumah yang sesuai dan layak untuk istri tersebut, dan tidak boleh dalam kedua keadaan itu melebihi rumah yang layak baginya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَا نَعْلَمُ أَحَدًا بِالْمَدِينَةِ فِيمَا مَضَى أَكْرَى مَنْزِلًا إِنَّمَا كَانُوا يَتَطَوَّعُونَ بِإِنْزَالِ مَنِازِلِهِمْ وَبِأَمْوَالِهِمْ مَعْ مَنَازِلِهِمْ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Kami tidak mengetahui seorang pun di Madinah pada masa lalu yang menyewa rumah, mereka biasa secara sukarela mempersilakan rumah dan harta mereka bersama rumah mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالَّذِي أَرَادَ الشَّافِعِيُّ بِذَلِكَ أَنَّ الْحَاكِمَ يَكْتَرِي عَلَى الْغَائِبِ مَسْكَنًا إِذَا لَمْ يَجِدْ مُتَطَوِّعًا بِمَسْكَنٍ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَإِنْ لَمْ يَكْتَرِ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ مَسْكَنًا عَلَى زَوْجِهَا وَلَا فَعَلَ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْ خُلَفَائِهِ بَعْدَهُ، فَلِأَنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ كَانُوا يَتَطَوَّعُونَ بِإِعَارَةِ مَنَازِلِهِمْ وَلَا يَكْرُونَهَا، وَلَوْ كَانَ كَذَلِكَ فِي زَمَانِنَا مَوْجُودًا فِي عُرْفِ بَعْضِ الْبِلَادِ اسْتَعَارَهُ الْحَاكِمُ لَهَا وَلَمْ يَكْتَرِهِ عَلَى زَوْجِهَا، وَإِنَّمَا اكْتَرَاهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَجِدْ مُعِيرًا وَسَوَاءٌ وُجِدَ الْمُعِيرُ فِي بَلَدٍ عُرْفُهُ الْعَارِيَةُ أَوِ الْكِرَاءُ، وَأَمَّا الزَّوْجُ إِذَا طَلَّقَهَا وَهِيَ فِي مَسْكَنٍ مُعَارٍ فَأَرَادَ نَقْلَهَا مِنْهُ إِلَى مَسْكَنٍ يَكْتَرِيهِ، فَإِنْ كَانَ فِي بَلَدٍ عُرْفُ أَهْلِهِ الْعَارِيَةُ لَمْ يَكُنْ لَهُ نَقْلُهَا مِنْهُ مَا لَمْ يَرْجِعْ أَهْلُهُ فِي إِعَارَتِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي بَلَدٍ عُرْفُ أَهْلِهِ الْكِرَاءُ فَفِي جَوَازِ نَقْلِهَا مِنْهُ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Yang dimaksud oleh asy-Syafi‘i dengan hal itu adalah bahwa hakim dapat menyewa tempat tinggal untuk orang yang ghaib (tidak hadir) apabila tidak ditemukan orang yang bersedia secara sukarela memberikan tempat tinggal; karena Nabi ﷺ meskipun tidak menyewakan tempat tinggal untuk Fathimah binti Qais atas nama suaminya, dan tidak pula dilakukan oleh salah satu khalifah setelah beliau, hal itu karena penduduk Madinah biasa secara sukarela meminjamkan rumah mereka dan tidak menyewakannya. Seandainya hal itu juga terdapat pada masa kita sekarang di sebagian negeri menurut kebiasaan mereka, maka hakim akan meminjamkan rumah untuknya dan tidak menyewakannya atas nama suaminya. Hakim hanya akan menyewakan karena tidak menemukan orang yang meminjamkan, baik ditemukan orang yang meminjamkan di negeri yang kebiasaannya adalah meminjamkan atau menyewakan. Adapun suami, jika menceraikannya sementara ia tinggal di rumah pinjaman lalu ingin memindahkannya ke rumah sewaan, maka jika berada di negeri yang kebiasaannya adalah meminjamkan, suami tidak berhak memindahkannya selama pemilik rumah belum menarik kembali pinjamannya. Namun jika di negeri yang kebiasaannya adalah menyewakan, maka dalam hal kebolehan memindahkannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ نَقْلُهَا مَا لَمْ يَرْجِعْ أَهْلُهُ فِي إِعَارَتِهِ كَالْبَلَدِ الْمَعْهُودِ إِعَارَتُهُ.

Salah satunya: Suami tidak berhak memindahkannya selama pemilik rumah belum menarik kembali pinjamannya, sebagaimana di negeri yang dikenal kebiasaannya meminjamkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ نَقْلُهَا مِنْهُ كَيْ لَا يَلْحَقَهُ مِنَ الْمِنَّةِ فِيهِ مَا لَا يَلْحَقُهُ فِي الْبَلَدِ الْمَعْهُودِ إِعَارَتُهُ.

Pendapat kedua: Suami berhak memindahkannya agar ia tidak terkena beban kebaikan (minnah) yang tidak ia alami di negeri yang dikenal kebiasaannya meminjamkan.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ تَكَارَتْ فَإِنَّ الْكِرَاءَ كَانَ لَهَا مِنْ يَوْمِ تَطْلُبُهُ وَمَا مَضَى حَقُّ تَرِكَتِهِ “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Dan jika disewa, maka biaya sewa itu menjadi haknya sejak hari ia menuntutnya, dan apa yang telah berlalu adalah hak yang telah ditinggalkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا طَالَبَتِ الْمُعْتَدَّةُ بِالسُّكْنَى بَعْدَ مُضِيِّ الْمُدَّةِ حُكِمَ لَهَا بِسُكْنَى مَا بَقِيَ مِنَ الْعِدَّةِ، وَسَقَطَ حَقُّهَا فِيمَا مَضَى قَبْلَ الْمُطَالَبَةِ هَذَا مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ، وَلَوْ كَانَتْ هَذِهِ الْمَبْتُوتَةُ ذَاتَ حَمْلٍ وَطَالَبَتْ نَفَقَتَهَا بَعْدَ مُضِيِّ بَعْضِ الْمُدَّةِ حُكِمَ لَهَا بِنَفَقَةِ مَا مَضَى وَمَا بَقِيَ، وَهَذَا نَصُّ الشَّافِعِيِّ فِي نَفَقَةِ الْحَامِلِ فَخَالَفَ فِيمَا مَضَى بَيْنَ السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ بَعْضُهُمْ يَجْمَعُ بَيْنَ الْحَوْلَيْنِ، وَيُخَرِّجُ اخْتِلَافَ نَصِّهِ فِيهِمَا عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, apabila perempuan yang dalam masa ‘iddah menuntut tempat tinggal setelah masa tertentu berlalu, maka diputuskan baginya hak tempat tinggal untuk sisa masa ‘iddah, dan gugur haknya atas masa yang telah berlalu sebelum tuntutan itu. Ini adalah nash asy-Syafi‘i. Jika perempuan yang dicerai ba’in itu sedang hamil dan ia menuntut nafkahnya setelah sebagian masa berlalu, maka diputuskan baginya nafkah untuk masa yang telah berlalu dan yang tersisa. Ini adalah nash asy-Syafi‘i dalam masalah nafkah perempuan hamil. Maka asy-Syafi‘i membedakan antara tempat tinggal dan nafkah dalam hal masa yang telah berlalu. Para ulama kami berbeda pendapat; sebagian mereka menggabungkan keduanya, dan menafsirkan perbedaan nash asy-Syafi‘i dalam keduanya atas dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحْكَمُ لَهَا بِالسُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي النَّفَقَةِ.

Salah satunya: Diputuskan baginya hak tempat tinggal dan nafkah sebagaimana nash asy-Syafi‘i dalam masalah nafkah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُحْكَمُ لَهَا بِالسُّكْنَى وَلَا بِالنَّفَقَةِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي السُّكْنَى وَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا إِلَى حَمْلِ الْجَوَابِ مِنْهُمَا عَلَى ظَاهِرِهِ فَيُحْكَمُ لَهَا فِيمَا مَضَى بِالنَّفَقَةِ وَلَا يُحْكَمُ لَهَا بِالسُّكْنَى.

Pendapat kedua: Tidak diputuskan baginya hak tempat tinggal maupun nafkah sebagaimana nash asy-Syafi‘i dalam masalah tempat tinggal. Mayoritas ulama kami berpendapat bahwa jawaban dari keduanya diambil secara zahir, sehingga diputuskan baginya nafkah atas masa yang telah berlalu, namun tidak diputuskan baginya hak tempat tinggal.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ السُّكْنَى تَشْتَمِلُ عَلَى حَقٍّ لَهَا، وَعَلَى حَقٍّ عَلَيْهَا لِأَنَّ لَهَا الْمَسْكَنَ وَعَلَيْهَا الْمُقَامُ، فَإِذَا تَرَكَتِ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْهَا فِي تَحْصِينِ مَاءِ الزَّوْجِ حيث يَشَاءُ، وَأَقَامَتْ حَيْثُ شَاءَتْ سَقَطَ الْحَقُّ الَّذِي لَهَا كَمَا أَسْقَطَتِ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ الْحَقَّيْنِ إِذَا تَقَابَلَا كَانَ سُقُوطُ أَحَدِهِمَا مُوجِبًا لِسُقُوطِ الْآخَرِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ نَفَقَةُ الْحَامِلِ؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهَا تَفَرَّدَتْ بِهِ إِمَّا بِحَمْلِهَا، وَإِمَّا لَهَا لِأَجْلِ الْحَمْلِ، وَلَيْسَ مُقَابَلَةَ حَقٍّ عَلَيْهَا فَلَمْ يَسْقُطْ بِمُضِيِّ زَمَانِهِ لِوُجُودِ مَعْنَى اسْتِحْقَاقِهَا كَالدُّيُونِ.

Perbedaan antara keduanya adalah: Tempat tinggal mencakup hak baginya dan hak atasnya, karena ia berhak atas tempat tinggal dan ia wajib tinggal di sana. Jika ia meninggalkan hak yang menjadi kewajibannya dalam menjaga kehormatan air mani suami di tempat yang diinginkan suami, dan ia tinggal di tempat yang ia inginkan, maka gugurlah hak yang menjadi miliknya sebagaimana ia telah menggugurkan hak yang menjadi kewajibannya; karena jika dua hak saling berhadapan, maka gugurnya salah satunya menyebabkan gugurnya yang lain. Tidak demikian halnya dengan nafkah perempuan hamil, karena itu adalah hak murni baginya, baik karena kehamilannya atau karena ia sendiri demi kehamilan itu, dan tidak ada hak yang menjadi kewajibannya yang berhadapan dengannya, sehingga tidak gugur dengan berlalunya waktu karena adanya makna berhaknya ia atas nafkah tersebut seperti halnya utang.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَا سُكْنَى لَهَا بِمَا مَضَى قَبْلَ الْمُطَالَبَةِ، وَلَهَا السُّكْنَى فِيمَا بَقِيَ بَعْدَهَا، وَكَانَ زَوْجُهَا غَائِبًا أَتَتِ الْحَاكِمَ حَتَّى يَحْكُمَ لَهَا بِالسُّكْنَى لِيَكُونَ دَيْنًا لَهَا عَلَى الزَّوْجِ، فَإِنْ عَدَلَتْ عَنِ الْحَاكِمِ وَهِيَ قَادِرَةٌ عَلَيْهِ لَمْ تَرْجِعْ وَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ عَلَى الْحَاكِمِ، وَلَمْ يَشْهَدْ عَلَى نَفْيِهَا بِالرُّجُوعِ لَمْ يَرْجِعْ وَإِنْ أَشْهَدَتْ عَلَى نَفْسِهَا أَنَّهَا تَتَكَارَى مَسْكَنًا عَلَى زَوْجِهَا فَفِي رُجُوعِهَا عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Jika telah tetap bahwa ia (perempuan) tidak berhak mendapatkan tempat tinggal (sukna) untuk masa yang telah berlalu sebelum ia menuntut, dan ia berhak mendapatkan sukna untuk masa yang tersisa setelahnya, dan suaminya sedang tidak ada (ghaib), maka ia datang kepada hakim agar hakim memutuskan hak sukna baginya sehingga menjadi utang bagi suaminya. Jika ia berpaling dari hakim padahal ia mampu menghadapinya, maka ia tidak dapat kembali (menuntut), dan jika ia tidak mampu menghadapinya, serta tidak ada saksi atas pengakuannya untuk kembali, maka ia juga tidak dapat kembali. Namun, jika ia bersaksi atas dirinya sendiri bahwa ia menyewa tempat tinggal atas tanggungan suaminya, maka dalam hal ia kembali menuntut kepada suaminya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَرْجِعُ عَلَيْهِ لِلضَّرُورَةِ.

Salah satunya: Ia boleh kembali menuntut kepada suaminya karena keadaan darurat.

وَالثَّانِي: لَا تَرْجِعُ؛ لِأَنَّ مَا كَانَ الْحَاكِمُ شَرْطًا فِيهِ لَمْ يَثْبُتْ مَعَ عَدَمِهِ كَالْعُنَّةِ. 0

Dan yang kedua: Ia tidak boleh kembali menuntut; karena perkara yang hakim menjadi syarat di dalamnya tidak tetap tanpa adanya hakim, seperti kasus ‘unnah (impotensi).

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَأَمَّا امْرَأَةُ صَاحِبِ السَّفِينَةِ إِذَا كَانَتْ مُسَافِرَةً معه فالمرأة الْمُسَافِرَةِ إِنْ شَاءَتْ مَضَتْ وَإِنْ شَاءَتْ رَجَعَتْ إِلَى مَنْزِلِهِ فَاعْتَدَّتْ بِهِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Adapun istri pemilik kapal, jika ia bepergian bersamanya, maka perempuan yang bepergian itu jika ia mau, ia boleh melanjutkan perjalanan, dan jika ia mau, ia boleh kembali ke rumahnya lalu menjalani masa ‘iddah di sana.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ الزَّوْجُ صَاحِبَ سَفِينَةٍ فَسَافَرَ بِزَوْجَتِهِ ثُمَّ طَلَّقَهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ صَاحِبِ السَّفِينَةِ مِنْ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika suami adalah pemilik kapal lalu bepergian bersama istrinya kemudian menceraikannya, maka keadaan pemilik kapal tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لَهُ مَسْكَنٌ غَيْرُ السَّفِينَةِ فِي بَلَدٍ مُسْتَوْطَنَةٍ إِذَا عَادَ مِنْ سَفَرِهِ فَتَكُونُ الْمُطَلَّقَةُ فِي عِدَّتِهَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَعْتَدَّ مَعَهُ فِي السَّفِينَةِ إِذَا اتَّسَعَتْ وَبَيْنَ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى بَلَدِهِ فَتَعْتَدَّ فِي مَنْزِلِهِ، كَمَا قُلْنَا فِي الْمُسَافِرَةِ فِي الْبَرِّ إِذَا طُلِّقَتْ بَعْدَ خُرُوجِهَا مِنْ بَلَدِهَا.

Salah satunya: Ia memiliki tempat tinggal selain kapal di negeri tempat ia menetap jika ia kembali dari perjalanannya, maka perempuan yang dicerai dalam masa ‘iddahnya memiliki pilihan antara menjalani ‘iddah bersamanya di kapal jika kapal itu cukup luas, atau kembali ke negerinya lalu menjalani ‘iddah di rumahnya, sebagaimana yang kami katakan tentang perempuan yang bepergian di darat jika dicerai setelah keluar dari negerinya.

وَالثَّانِي: لَا يَكُونُ لَهَا مَسْكَنٌ غَيْرُ سَفِينَتِهِ فَهِيَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَعْتَدَّ مَعَهُ فِي السَّفِينَةِ، وَبَيْنَ أَنْ تَصْعَدَ إِلَى الْبَرِّ فَتَعْتَدَّ فِي بَعْضِ الْبِلَادِ ثُمَّ فِيهِ إِنْ صَعِدَتْ وَجْهَانِ:

Dan yang kedua: Ia tidak memiliki tempat tinggal selain kapalnya, maka perempuan itu memiliki pilihan antara menjalani ‘iddah bersamanya di kapal, atau naik ke daratan lalu menjalani ‘iddah di salah satu negeri. Kemudian, jika ia naik ke daratan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّ لَهَا إِذَا صَعِدَتْ أَنْ تَعْتَدَّ فِي أَيِّ بَلَدٍ شَاءَتْ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa ia boleh menjalani ‘iddah di negeri mana saja yang ia kehendaki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وهو اصح أنها تعتد من أقرب البلاد في الْمَوْضِعِ الَّذِي طَلَّقَهَا فيه.

Dan pendapat kedua, yang lebih shahih, bahwa ia menjalani ‘iddah di negeri terdekat dari tempat di mana ia dicerai.

فَأَمَّا مُقَامُهَا مَعَهُ فِي السَّفِينَةِ فَمُعْتَبَرٌ بِحَالِ السَّفِينَةِ، فَإِنْ كَانَتْ كَبِيرَةً كَالْمَرَاكِبِ الْبَحْرِيَّةِ إِذَا انْفَرَدَتْ فِي مَوْضِعٍ مِنْهَا، وَحَجَزَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا وَلَمْ تَقَعْ عَيْنُهُ عَلَيْهَا جَازَ أَنْ تَعْتَدَّ مَعَهُ فِيهَا، وَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً لَا حَاجِزَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ كَانَ مَعَهُمَا ذُو مَحْرَمٍ جَازَ أَنْ تَعْتَدَّ فِيهَا إِذَا سَتَرَتْ عَنْهُ نَفْسَهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ لَمْ يَجُزْ كَالدَّارِ الصَّغِيرَةِ وَكَانَ عَلَيْهَا أَنْ تَصْعَدَ إِلَى الْأَرْضِ، فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ عَلَى الصُّعُودِ فَهِيَ حَالُ ضَرُورَةٍ فَتَعْتَدَّ فِيهَا.

Adapun keberadaannya bersama suami di kapal, maka hal itu tergantung pada kondisi kapal. Jika kapal itu besar seperti kapal laut dan ia dapat menyendiri di suatu tempat di dalamnya, serta ada pembatas antara dirinya dan suaminya sehingga suaminya tidak dapat melihatnya, maka boleh baginya menjalani ‘iddah di kapal tersebut. Namun, jika kapal itu kecil dan tidak ada pembatas antara dirinya dan suaminya, maka jika bersama mereka ada mahram, boleh baginya menjalani ‘iddah di kapal tersebut asalkan ia menutupi dirinya dari suaminya. Jika tidak ada mahram bersamanya, maka tidak boleh, seperti rumah kecil, dan ia wajib naik ke daratan. Jika ia tidak mampu naik ke daratan, maka itu adalah keadaan darurat sehingga ia boleh menjalani ‘iddah di kapal tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ سُكْنَى الْمُعْتَدَّةِ فِي الْمَسْكَنِ الَّذِي يَجِبُ أَنْ تَعْتَدَّ فِيهِ فَأَرَادَتِ الْخُرُوجَ مِنْهُ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jika telah ditetapkan sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang sukna perempuan yang menjalani ‘iddah di tempat tinggal yang wajib ia jalani ‘iddah di dalamnya, lalu ia ingin keluar darinya, maka hal itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: خُرُوجُ نُقْلَةٍ فَلَا يَجُوزُ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ يُخَافُ بِهَا عَلَى نَفْسٍ أَوْ مَالٍ فَيَجُوزُ مَعَهَا الِانْتِقَالُ عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ إِلَيْهِ.

Salah satunya: Keluar untuk pindah tempat, maka tidak diperbolehkan kecuali karena darurat yang dikhawatirkan akan membahayakan jiwa atau harta, sehingga boleh baginya berpindah ke tempat lain yang paling dekat dengannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ لِحَاجَةٍ تَعُودُ عَلَيْهِ بَعْدَ قَضَائِهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُعْتَدَّةِ مِنْ أَنْ تَكُونَ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ أَوْ فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ.

Dan yang kedua: Keluar karena kebutuhan yang setelah selesai urusannya ia akan kembali, maka keadaan perempuan yang menjalani ‘iddah tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia dalam masa ‘iddah wafat atau dalam masa ‘iddah talak.

فَإِنْ كَانَتْ فِي عِدَّةِ وَفَاةٍ جَازَ أَنْ يُخْرَجَ بِهَا فِي حَوَائِجِهَا وَتَعُودَ لَيْلًا إِلَى مَسْكَنِهَا وَرَوَى مُجَاهِدٌ، قَالَ: اسْتُشْهِدَ رِجَالٌ يَوْمَ أُحُدٍ فَجَاءَ نِسَاؤُهُمْ، وَكُنَّ مُتَجَاوِرَاتٍ فِي دَارٍ فَجِئْنَ إِلَى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقُلْنَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَوْحِشُ اللَّيْلَ فَنَبِيتُ عِنْدَ إِحْدَانَا، فَإِذَا أَصْبَحْنَا تَبَدَّدْنَا إِلَى بُيُوتِنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” تَحَدَّثْنَ عِنْدَ إِحْدَاكُنَّ مَا بَدَا لَكُنَّ، فَإِذَا أَرَدْتُنَّ النَّوْمَ فَلْتَأْتِ كُلُّ امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ إِلَى بيتها ” وإنما لم يفسح لهن في مفارقة منازلهن ليلا وفسح لَهُنَّ فِي مُفَارَقَتِهَا نَهَارًا، لِأَنَّ اللَّيْلَ زَمَانُ الْخَلَوَاتِ وَالِاسْتِخْفَاءِ بِالْفَوَاحِشِ فَمَنَعَهُنَّ تَحْصِينًا لَهُنَّ وَحِفْظًا لِمِيَاهِ أَزْوَاجِهِنَّ فِي زَمَانِ الْحَذَرِ مِنَ اللَّيْلِ، وَرَخَّصَ لَهُنَّ فِي زَمَانِ الْأَمْنِ مِنَ النَّهَارِ، وَإِنْ كَانَتْ فِي عِدَّةٍ مِنْ طَلَاقٍ بَاتٍّ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ مَنْزِلِهَا لَيْلًا لِمَا ذَكَرْنَا، وَفِي جَوَازِ خُرُوجِهَا نَهَارًا لِلْحَاجَةِ قَوْلَانِ:

Jika seorang wanita berada dalam masa ‘iddah karena wafatnya suami, maka diperbolehkan baginya keluar untuk keperluan-keperluannya dan kembali pada malam hari ke tempat tinggalnya. Mujahid meriwayatkan, ia berkata: Pada hari Uhud, beberapa laki-laki gugur sebagai syahid, lalu para istri mereka datang, dan mereka saling bertetangga di sebuah rumah. Mereka datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami merasa kesepian di malam hari, maka kami bermalam di rumah salah satu dari kami, dan ketika pagi tiba kami kembali ke rumah masing-masing.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Berbincanglah di rumah salah satu dari kalian sesuai keinginan kalian, namun jika kalian hendak tidur, hendaklah setiap wanita kembali ke rumahnya.” Tidak diperbolehkan bagi mereka meninggalkan rumah pada malam hari, namun diperbolehkan pada siang hari, karena malam adalah waktu terjadinya khalwat dan tersembunyinya perbuatan keji, sehingga mereka dilarang demi menjaga kehormatan mereka dan menjaga kehormatan suami mereka pada waktu yang rawan di malam hari, sedangkan pada waktu aman di siang hari diberikan keringanan bagi mereka. Jika seorang wanita berada dalam masa ‘iddah karena talak bā’in, maka tidak diperbolehkan baginya keluar dari rumahnya pada malam hari sebagaimana telah disebutkan, dan mengenai kebolehan keluar pada siang hari untuk keperluan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ تَخْرُجَ نَهَارًا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} [الطلاق: 1] .

Salah satunya: yaitu pendapat dalam qaul qadīm, dan ini juga pendapat Abu Hanifah, bahwa tidak boleh keluar pada siang hari, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Janganlah kamu mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata} (QS. At-Talaq: 1).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ، وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ قَوْلَ مَالِكٍ يَجُوزُ لَهَا الْخُرُوجُ نَهَارًا، وَإِنْ لَمْ يُسْتَحَبَّ كَالْمُتَوَفَّى عنها زوجها؛ لِمَا رَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ: طُلِّقَتْ خَالَتِي، فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ عَنِ الْخُرُوجِ فَأَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ: بَلَى فَجُدِّيَ نَخْلَكِ فَلَعَلَّكِ أَنْ تَتَصَدَّقِي أَوْ تَفْعَلِي خَيْرًا مَعْرُوفًا قَالَ الشَّافِعِيُّ: نَخْلُ الْأَنْصَارِ قَرِيبٌ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وَالْجُدَادُ يَكُونُ نَهَارًا فَأَذِنَ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat dalam qaul jadīd, dan tampaknya ini juga pendapat Malik, bahwa diperbolehkan baginya keluar pada siang hari, meskipun tidak disunnahkan, sebagaimana wanita yang ditinggal wafat suaminya; berdasarkan riwayat Abu az-Zubair dari Jabir: “Bibiku ditalak, lalu ia ingin memanen pohon kurmanya, namun seorang laki-laki melarangnya keluar. Maka ia mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal itu, lalu beliau bersabda: ‘Boleh, panenlah pohon kurmamu, barangkali engkau dapat bersedekah atau melakukan kebaikan yang dikenal.’” Asy-Syafi‘i berkata: “Kebun kurma kaum Anshar dekat dengan rumah mereka dan panen dilakukan pada siang hari, maka beliau membolehkannya. Wallāhu a‘lam.”

باب الإحداد من كتابي العدد القديم والجديد

(Bab al-Iḥdād) (dari Kitab al-‘Iddah, baik qaul qadīm maupun qaul jadīd)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَمَّا قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تَحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ” وَكَانَتْ هِيَ وَالْمُطَلَّقَةُ الَّتِي لَا يَمْلِكُ زَوْجُهَا رَجْعَتَهَا مَعًا فِي عِدَّةٍ وَكَانَتَا غَيْرَ ذَوَاتَيْ زَوْجَيْنِ أَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ عَلَى الْمُطَلَّقَةِ إِحْدَادٌ كَهُوَ عَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ فَأُحِبُّ ذَلِكَ لَهَا وَلَا يَبِينُ أَنْ أُوجِبَهُ عَلَيْهَا لِأَنَّهُمَا قَدْ تَخْتَلِفَانِ فِي حَالٍ وَإِنِ اجْتَمَعَتَا فِي غَيْرِهِ وَلَوْ لَمْ يَلْزَمِ الْقِيَاسُ إِلَّا بَاجْتِمَاعِ كُلِّ الْوُجُوهِ بَطَلَ الْقِيَاسُ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ وَقَدْ جَعَلَهُمَا فِي الْكِتَابِ الْقَدِيمِ فِي ذَلِكَ سَوَاءً وَقَالَ فِيهِ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ketika Nabi ﷺ bersabda: ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan iḥdād atas orang yang meninggal lebih dari tiga hari, kecuali atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari,’ dan ketika wanita tersebut dan wanita yang ditalak yang suaminya tidak memiliki hak rujuk sama-sama dalam masa ‘iddah dan keduanya tidak memiliki suami, maka tampaknya wajib atas wanita yang ditalak untuk melakukan iḥdād sebagaimana wanita yang ditinggal wafat suaminya. Wallāhu a‘lam. Maka aku menyukai hal itu baginya, namun tidak tampak bagiku untuk mewajibkannya, karena keduanya bisa saja berbeda dalam beberapa keadaan meskipun sama dalam hal lainnya. Jika qiyās hanya berlaku ketika seluruh sisi telah sama, maka qiyās akan batal.” (Al-Muzani rahimahullah berkata: “Beliau telah menyamakan keduanya dalam kitab qadīm dalam hal ini dan berkata di dalamnya.”)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْإِحْدَادُ فَهُوَ الِامْتِنَاعُ وَالزِّينَةُ مِنْ لِبَاسٍ وَغَيْرِ لِبَاسٍ إِذَا كَانَ يَبْعَثُ عَلَى شَهْوَةِ الرِّجَالِ لَهَا، وَسُمِّيَ إِحْدَادًا لِمَا فِيهِ مِنَ الِامْتِنَاعِ كَمَا سُمِّيَ الْحَدِيدُ حَدِيدًا؛ لِأَنَّهُ يَمْتَنِعُ بِهِ وَسُمِّيَ حَدَّ الزِّنَى؛ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنْ مُعَاوَدَتِهِ فَلَا يَجِبُ الْإِحْدَادُ عَلَى غَيْرِ مُعْتَدَّةٍ.

Al-Mawardi berkata: Adapun iḥdād adalah meninggalkan perhiasan, baik berupa pakaian maupun selain pakaian, jika hal itu dapat membangkitkan syahwat laki-laki terhadapnya. Disebut iḥdād karena di dalamnya terdapat unsur penahanan diri, sebagaimana besi disebut ḥadīd karena dengannya dapat menahan, dan hukuman zina disebut ḥadd karena mencegah pelakunya mengulangi perbuatan itu. Maka iḥdād tidak wajib atas selain wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah.

فَأَمَّا الْمُعْتَدَّاتُ فَثَلَاثٌ، مُعْتَدَّةٌ يَجِبُ الْإِحْدَادُ عَلَيْهَا، وَمُعْتَدَّةٌ لَا يَجِبُ الْإِحْدَادُ عَلَيْهَا وَمُعْتَدَّةٌ مُخْتَلَفٌ فِي وُجُوبِ الْإِحْدَادِ عَلَيْهَا.

Adapun wanita-wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah terbagi menjadi tiga: wanita yang wajib atasnya melakukan iḥdād, wanita yang tidak wajib atasnya melakukan iḥdād, dan wanita yang diperselisihkan kewajiban iḥdād atasnya.

فَأَمَّا الْمُعْتَدَّةُ الَّتِي يَجِبُ الْإِحْدَادُ عَلَيْهَا فَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا وَيَجِبُ الْإِحْدَادُ عَلَيْهَا، قَالَ جَمِيعُ الْفُقَهَاءِ إِلَّا مَا حُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَالشَّعْبِيِّ أَنَّ الْإِحْدَادَ غَيْرُ وَاجِبٍ عَلَيْهَا لِمَا رُوِيَ أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ عُمَيْسٍ لَمَّا أَتَاهَا نَعْشُ زَوْجِهَا جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” تَسَلَّبِي ثَلَاثًا ” فَدَلَّ عَلَى اقْتِصَارِهِ بِنَاءً عَلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ أَنَّ مَا عَدَاهَا غَيْرُ وَاجِبٍ.

Adapun perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah dan wajib melakukan ihdād (berkabung) atasnya adalah perempuan yang suaminya wafat, dan memang wajib baginya melakukan ihdād. Seluruh fuqahā’ sepakat tentang hal ini, kecuali pendapat yang dinisbatkan kepada al-Hasan al-Bashri dan al-Sya‘bi yang berpendapat bahwa ihdād tidaklah wajib baginya, berdasarkan riwayat bahwa Asmā’ binti ‘Umais ketika menerima jenazah suaminya, Ja‘far bin Abī Ṭālib, Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Berkabunglah selama tiga hari.” Hal ini menunjukkan pembatasan hanya pada tiga hari, sehingga selain itu tidaklah wajib.

وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِهِ فِي الْعِدَّةِ بِأَسْرِهَا مَا رَوَاهُ حُمَيْدُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ، وَهِيَ بِنْتُ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ حِينَ تُوُفِّيَ أَبُوهَا أَبُو سُفْيَانَ فَدَعَتْ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةُ خَلُوقٍ فَمَسَّتْ بِعَارِضَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ: وَاللَّهِ مَا لِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أن تحد على ميت فوق ثلاث لَيَالٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا.

Dalil atas kewajiban ihdād selama masa ‘iddah secara keseluruhan adalah riwayat dari Ḥumayd bin Nāfi‘ dari Zainab binti Abī Salamah, putri Ummu Salamah, ia berkata: Aku masuk menemui Ummu Ḥabībah ketika ayahnya, Abū Sufyān, wafat. Ia meminta dibawakan minyak wangi yang mengandung warna kuning dari khalūq, lalu ia mengoleskannya pada kedua pipinya, kemudian berkata: “Demi Allah, aku tidak membutuhkan minyak wangi ini, kecuali karena aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas orang yang meninggal lebih dari tiga malam, kecuali atas suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.”

قالت زينب، دخلت على زينب بنت جحش – رضي الله عنها – حِينَ تُوُفِّيَ أَخُوهَا فَدَعَتْ بِطِيبٍ فَمَسَّتْ مِنْهُ، وَقَالَتْ وَاللَّهِ مَا لِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ: ” لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أن تحد على مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “.

Zainab berkata, “Aku masuk menemui Zainab binti Jahsy radhiyallāhu ‘anhā ketika saudaranya wafat. Ia meminta dibawakan minyak wangi, lalu ia mengoleskannya, dan berkata: ‘Demi Allah, aku tidak membutuhkan minyak wangi ini, kecuali karena aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda di atas mimbar: Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas orang yang meninggal lebih dari tiga malam, kecuali atas suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.’”

قَالَتْ زَيْنَبُ: فَسَمِعْتُ أُمِّي أُمَّ سَلَمَةَ تَقُولُ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقالت يا رسول الله إن بنتي توفي زَوْجُهَا، وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا فَنَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا، مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا، ثُمَّ قَالَ: ” إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرِ وَعَشْرٌ، وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ ” قَالَ حُمَيْدٌ، قُلْتُ: لِزَيْنَبَ مَا تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ فَقَالَتْ زَيْنَبُ كَانْتِ الْمَرْأَةُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا دَخَلَتْ حِفْشًا، وَلَبِسَتْ شَرَّ ثِيَابِهَا، وَلَمْ تَمَسَّ طِيبًا وَلَا شَيْئًا حَتَّى يَمُرَّ بِهَا سَنَةٌ ثُمَّ تَأْتِي بِدَابَّةٍ أَوْ حِمَارٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ طَائِرٍ فَقَلَّمَا تَقْبِضُ بِشَيْءٍ إِلَّا مَاتَ يَعْنِي لِطُولِ أَظْفَارِهَا، ثُمَّ تَخْرُجُ فَتُعْطَى بَعْرَةً فَتَرْمِي بِهَا ثُمَّ تُرَاجِعُ بَعْدُ مَا شَاءَتْ مِنْ طِيبٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَهَذَا الْحَدِيثُ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ، وَأَبُو دَاوُدَ فِي الْمُتَوَفَّى عَنْهَا، وَهُوَ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحَادِيثَ تَدُلُّ كُلُّهَا عَلَى وُجُوبِ الْإِحْدَادِ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ، وَقَدْ فَسَّرَ الشَّافِعِيُّ مَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنَ الْغَرِيبِ فَقَالَ: ” الْحِفْشُ هُوَ الْبَيْتُ الصَّغِيرُ الذَّلِيلُ مِنَ الشعر والبناء وغيره “.

Zainab berkata: Aku mendengar ibuku, Ummu Salamah, berkata: Ada seorang perempuan datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, putriku ditinggal wafat suaminya, dan matanya sedang sakit. Bolehkah kami mengobatinya dengan celak?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak,” sebanyak dua atau tiga kali, setiap kali ditanya beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya masa ‘iddah itu empat bulan sepuluh hari. Dahulu, salah seorang dari kalian di masa jahiliah melemparkan kotoran unta di akhir tahun.” Ḥumayd berkata, “Aku bertanya kepada Zainab, ‘Apa maksudnya melempar kotoran unta?’” Zainab menjawab, “Pada masa jahiliah, jika seorang perempuan ditinggal wafat suaminya, ia masuk ke dalam sebuah gubuk, mengenakan pakaian terburuknya, tidak memakai minyak wangi atau apapun hingga berlalu satu tahun. Setelah itu, ia membawa seekor hewan—unta, keledai, kambing, atau burung—dan jarang sekali ia memegang sesuatu kecuali hewan itu mati, maksudnya karena panjang kukunya. Kemudian ia keluar dan diberi kotoran hewan, lalu ia melemparkannya, setelah itu ia boleh memakai minyak wangi atau lainnya sesuka hatinya.” Hadis ini disebutkan oleh al-Syāfi‘ī dan Abū Dāwūd tentang perempuan yang ditinggal wafat suaminya, dan hadis ini mencakup tiga hadis yang semuanya menunjukkan wajibnya ihdād dalam masa ‘iddah wafat. Al-Syāfi‘ī telah menjelaskan makna kata-kata asing dalam hadis ini, beliau berkata: “Al-ḥifsy adalah rumah kecil yang rendah, baik dari bahan kain, bangunan, maupun lainnya.”

وقال الأزهري: ” وهو الْبَيْتُ الصَّغِيرُ السُّمْكِ، وَمِنْهُ الْحَدِيثُ هَلَّا جَلَسَ فِي حِفْشِ أُمِّهِ ” وَسُمِّيَ حِفْشًا لِصِغَرِهِ. وَأَنَّهُ يَجْمَعُهَا، وَمِنْهُ قِيلَ لِلْمَرْأَةِ حَفَشَتْ زَوْجَهَا إِذَا حَلَّلَتْهُ بِنَفْسِهَا.

Al-Azhari berkata: “Al-ḥifsy adalah rumah kecil yang rendah atapnya. Di antaranya terdapat hadis: ‘Mengapa tidak duduk di ḥifsy ibunya?’ Dinamakan ḥifsy karena kecilnya dan karena dapat menampung penghuninya. Dari kata ini pula dikatakan kepada perempuan, ‘ḥafasyat zaujahā’ jika ia menghalalkan dirinya bagi suaminya.”

وَقِيلَ لِلزَّوْجِ الْحِفْشُ وَقَوْلُهَا: فَتَقْبِضُ فِي رِوَايَةِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ الْقَبْضُ بِالْكَفِّ، وَرَوَى غَيْرُهُ فَتَقْتَضُّ الْقَضَّ مِنَ الَّذِي هُوَ الْكَسْرُ لأن القبض الذي هو الأخذ بالكف يؤول إِلَى الْقَضِّ الَّذِي هُوَ الْكَسْرُ فَعَبَّرَ عَنْهُ بما يؤول إِلَيْهِ، وَأَمَّا الْبَعْرَةُ فَفِي إِلْقَائِهَا تَأْوِيلَانِ:

Dan dikatakan kepada suami: “al-hifsy”, dan ucapannya: “maka ia menggenggam” menurut riwayat asy-Syafi‘i, yaitu menggenggam dengan telapak tangan, dan menurut riwayat selainnya: “maka ia mematahkan” (al-qadhdhu) dari kata “al-qadhdhu” yang berarti mematahkan, karena menggenggam dengan telapak tangan pada akhirnya bermakna mematahkan, sehingga diungkapkan dengan sesuatu yang menjadi tujuannya. Adapun “al-ba‘rah” (kotoran unta), dalam melemparkannya terdapat dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ تَأْوِيلُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تُرِيدُ بِإِلْقَائِهَا أَنَّهَا قَدْ أَلْقَتْ حُقُوقَهُ عَنْهَا بِأَدَائِهَا كَإِلْقَاءِ الْبَعْرَةِ.

Pertama, dan ini adalah tafsiran asy-Syafi‘i, bahwa yang dimaksud dengan melemparkan adalah ia telah melepaskan hak-haknya darinya dengan menunaikannya, sebagaimana melemparkan kotoran unta.

وَالثَّانِي: تَعْنِي بِإِلْقَائِهَا أَنَّ مَا مَضَى عَلَيْهَا مِنْ بُؤْسِ الْحَوْلِ هَيِّنٌ فِي وُجُوبِ حَقِّهِ كَهَوَانِ الْبَعْرَةِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ لِأَسْمَاءَ: ” تَسَلَّبِي ثَلَاثًا ” فَهُوَ مَحْمُولٌ إِنْ صَحَّ عَلَى أَنَّهُ كَرَّرَ الْقَوْلَ عَلَيْهَا تَسَلَّبِي ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَأْكِيدًا لِأَمْرِهِ فقد كان – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَفْعَلُ ذَلِكَ كَثِيرًا وَفِي مَعْنَى تَسَلَّبِي تَأْوِيلَانِ:

Kedua, maksudnya dengan melemparkan adalah bahwa kesulitan yang telah ia alami selama setahun itu ringan dalam menunaikan hak suaminya, sebagaimana ringannya kotoran unta. Adapun sabda Nabi kepada Asma’: “Tanggalkanlah tiga kali”, maka jika hadis itu sahih, maksudnya adalah Nabi mengulangi perintah itu kepadanya sebanyak tiga kali sebagai penegasan, karena Rasulullah ﷺ sering melakukan hal demikian. Adapun makna “tanggalkanlah” terdapat dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: نَزْعُ الْحُلِيِّ وَالزِّينَةِ حَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ.

Pertama, maksudnya adalah menanggalkan perhiasan dan segala bentuk hiasan, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Abi Hurairah.

وَالثَّانِي: لُبْسُ الثِّيَابِ السُّودِ، وَهِيَ تُسَمَّى السِّلَابَ، وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:

Kedua, maksudnya adalah mengenakan pakaian hitam, yang disebut “as-silab”, sebagaimana perkataan penyair:

(يَخْمِشْنَ حُرَّ أَوْجُهٍ صِحَاحٍ … فِي السُّلُبِ السُّودِ وَفِي الْأَمْسَاحِ)

(Mereka mencakar wajah-wajah yang mulia dan sehat… dengan pakaian-pakaian hitam dan pakaian kasar)

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الَّتِي لَا إِحْدَادَ عَلَيْهَا فَهِيَ الرَّجْعِيَّةُ لَا يَجِبُ الْإِحْدَادُ عَلَيْهَا، لِأَنَّهَا زَوْجَةٌ تَجْرِي عَلَيْهَا أَحْكَامُ الزَّوْجَاتِ، وَفِي اسْتِحْبَابِ الْإِحْدَادِ لَهَا وجهان:

Adapun perempuan yang tidak wajib melakukan ihdad (masa berkabung) adalah perempuan yang ditalak raj‘i, tidak wajib baginya ihdad, karena ia masih berstatus istri yang berlaku atasnya hukum-hukum istri. Dalam hal dianjurkannya ihdad baginya terdapat dua pendapat:

أحدهما: يستحب لها ليظهر بالإحداد أسفاً عَلَيْهِ فَيَحْنُوَ عَلَيْهَا، وَيَرْغَبَ فِي مُرَاجَعَتِهَا.

Pertama: dianjurkan baginya agar dengan ihdad itu tampak rasa sedihnya atas suaminya, sehingga suaminya merasa iba dan terdorong untuk merujuknya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُسْتَحَبُّ لَهَا، وَتُنْدَبُ إِلَى التَّصَنُّعِ لَهُ بِالزِّينَةِ لِيَمِيلَ إِلَيْهَا فَيَرْغَبَ فِي مُرَاجَعَتِهَا.

Pendapat kedua: tidak dianjurkan baginya, bahkan dianjurkan untuk berhias diri agar suaminya tertarik dan ingin merujuknya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الْمُخْتَلَفُ فِي وُجُوبِ الْإِحْدَادِ عَلَيْهَا فَهِيَ الْمَبْتُوتَةُ، وَالْمُخْتَلِعَةُ، وَالْمُلَاعِنَةُ فَالْإِحْدَادُ مُسْتَحَبٌّ لَهُنَّ وَفِي وُجُوبِهِ قَوْلَانِ:

Adapun perempuan yang diperselisihkan kewajiban ihdad atasnya adalah perempuan yang ditalak bain (mubattatah), perempuan yang melakukan khulu‘, dan perempuan yang melakukan li‘an. Ihdad dianjurkan bagi mereka, dan dalam hal kewajibannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْمُزَنِيِّ أَنَّ الْإِحْدَادَ فِي عِدَّةِ الْبَنَاتِ وَاجِبٌ كَوُجُوبِهِ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ لِأَنَّهُمَا عِدَّتَانِ عَنْ نِكَاحٍ لَا سَبِيلَ عَلَيْهِمَا فِيهَا لِزَوْجٍ؛ وَلِأَنَّ عِدَّةَ الْمَبْتُوتَةِ أَغْلَظُ مِنْ عِدَّةِ الْوَفَاةِ؛ لِأَنَّهَا تُمْنَعُ مِنَ الْخُرُوجِ نَهَارًا وَلَا تُمْنَعُ مِنْ عِدَّةِ الْوَفَاةِ فَكَانَتْ بِالْإِحْدَادِ أَوْلَى.

Pertama, dan ini adalah pendapat dalam qaul qadim (pendapat lama) asy-Syafi‘i, juga merupakan mazhab Abu Hanifah dan al-Muzani, bahwa ihdad dalam masa iddah bain wajib sebagaimana wajibnya dalam iddah wafat, karena keduanya adalah masa iddah dari pernikahan yang tidak ada lagi jalan bagi suami terhadapnya. Bahkan, masa iddah mubattatah lebih berat daripada iddah wafat, karena ia dilarang keluar rumah di siang hari, sedangkan dalam iddah wafat tidak demikian, sehingga lebih utama untuk diwajibkan ihdad.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُ لَا إِحْدَادَ عَلَيْهَا كَالرَّجْعِيَّةِ لِأَنَّهَا فِي عِدَّةٍ مِنْ طَلَاقٍ؛ وَلِأَنَّ النِّكَاحَ مَوْضُوعٌ، وَلِذَلِكَ يُقَالُ اسْتَنْكَحَهُ المرض إذا دوامه فَإِذَا مَاتَ عَنْهَا فَقَدِ اسْتَوْفَى مُدَّةَ نِكَاحِهِ فَوَجَبَ الْإِحْدَادُ فِي عِدَّتِهِ لِرِعَايَةِ حُرْمَتِهِ، وَخَالَفَ الْمَبْتُوتَةَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَبَى عِصْمَتَهَا فَلَمْ يَجِبِ الْإِحْدَادُ فِي عِدَّتِهِ لِقَطْعِ حُرْمَتِهِ.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat dalam qaul jadid (pendapat baru) asy-Syafi‘i, juga merupakan mazhab Malik, bahwa tidak ada ihdad atasnya sebagaimana perempuan yang ditalak raj‘i, karena ia dalam masa iddah talak; dan karena pernikahan telah berakhir. Oleh karena itu, dikatakan: “Penyakit itu menikahinya” jika ia terus-menerus bersamanya. Jika suaminya wafat, berarti telah selesai masa pernikahannya, sehingga wajib ihdad dalam masa iddahnya untuk menjaga kehormatannya. Hal ini berbeda dengan perempuan yang ditalak bain, karena suaminya telah menolak untuk mempertahankan ikatan pernikahan, sehingga tidak wajib ihdad dalam masa iddahnya karena terputusnya kehormatan tersebut.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَاعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي فُرْقَةِ الْإِحْدَادِ بَيْنَ عِدَّةِ الْمَوْتِ وَعِدَّةِ الطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهُمَا قَدْ يَخْتَلِفَانِ فِي حَالٍ وَإِنِ اجْتَمَعَا فِي غَيْرِهِ فَأَنْكَرَ الْمُزَنِيُّ هَذَا التَّعْلِيلَ فِي فُرْقَتِهِ بَيْنَهُمَا بِأَنَّهُمَا قَدْ يَخْتَلِفَانِ فِي حَالٍ إِذَا اجْتَمَعَا فِي أُخْرَى فَقَالَ: كُلُّ مَا قِيسَ عَلَى أَصْلٍ فَهُوَ مُشْتَبِهٌ لَهُ مِنْ وَجْهٍ وَإِنْ خَالَفَهُ مِنْ غَيْرِهِ فَجَعَلَ الْمُزَنِيُّ اجْتِمَاعَهُمَا فِي حَالٍ يُوجِبُ اشْتِرَاكَهُمَا وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي أُخْرَى ثُمَّ قَالَ: لَوْ لَمْ يَكُنْ مِنَ الْقِيَاسِ إِلَّا بِاجْتِمَاعِ كُلِّ الْوُجُوهِ لَبَطَلَ الْقِيَاسُ.

Adapun al-Muzani mengkritik asy-Syafi‘i dalam perbedaan hukum ihdad antara iddah wafat dan iddah talak, karena keduanya bisa saja berbeda dalam satu keadaan meskipun sama dalam keadaan lain. Al-Muzani mengingkari alasan asy-Syafi‘i yang membedakan keduanya dengan alasan bahwa keduanya bisa saja berbeda dalam satu keadaan jika sama dalam keadaan lain. Ia berkata: “Setiap qiyās terhadap suatu asal pasti memiliki sisi kemiripan, meskipun berbeda dalam sisi lain.” Maka, al-Muzani menjadikan kesamaan dalam satu sisi sebagai alasan untuk menyamakan hukum, meskipun berbeda dalam sisi lain. Kemudian ia berkata: “Seandainya qiyās hanya bisa dilakukan jika semua sisi sama, niscaya qiyās akan batal.”

وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا أَنْ يُقَالَ لِلْمُزَنِيِّ: أَمَّا آخِرُ كَلَامِكَ فِي أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْقِيَاسِ اجْتِمَاعُ كُلِّ الْوُجُوهِ فَصَحِيحٌ؛ لِأَنَّ اشْتِرَاكَ الشَّيْئَيْنِ الْمَتْبُوعَيْنِ مِنْ جَمِيعِ الْوُجُوهِ مُمْتَنِعٌ وَلَوِ اشْتَرَكَا لَمْ يَتَنَوَّعَا، وَأَمَّا أَوَّلُ كَلَامِكَ فِي اعْتِرَاضِكَ فَلَيْسَ إِذَا اجْتَمَعَ الشَّيْئَانِ مِنْ وَجْهٍ وَاخْتَلَفَا من جوه وَجَبَ أَنْ يُسَوَّى بَيْنَهُمَا فِي الْحُكْمِ لِأَجْلِ الِاجْتِمَاعِ، وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فِيهِ لِأَجْلِ الِاخْتِلَافِ عَلَى إِرْسَالِ هَذَا الْقَوْلِ وَإِطْلَاقِهِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ غُلِّبَ حُكْمُ الِاجْتِمَاعِ لِمَا اخْتَلَفَ حُكْمَانِ؛ لِأَنَّهُ مَا مِنْ شَيْء فِي الْعَالَمِ إِلَّا وَقَدْ يشتركان في الحدوث، ولو غُلِّبَ حُكْمُ الِاخْتِلَافِ لِمَا اجْتَمَعَ حُكْمَانِ؛ لِأَنَّهُ مَا مِنْ نَوْعٍ إِلَّا وَقَدْ يُخَالِفُ غَيْرَهُ، وَإِنَّمَا يُجْمَعُ بَيْنَ الشَّيْئَيْنِ إِذَا اجْتَمَعَا فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي غَيْرِهِ وَيُفَرَّقُ بَيْنَ الشَّيْئَيْنِ إِذَا اخْتَلَفَا فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ وَإِنِ اجْتَمَعَا فِي غَيْرِهِ، وَهَذَا هُوَ مُرَادُ الشَّافِعِيِّ فَلَمْ يَكُنْ لِاعْتِرَاضِ الْمُزَنِيِّ عَلَيْهِ وَجْهٌ، فَإِنْ كَانَتِ الْعِلَّةُ فِي وُجُوبِ الْإِحْدَادِ فِي الْعِدَّةِ وُقُوعَ الْفُرْقَةِ الْبَائِنَةِ عَنْ نِكَاحٍ صَحِيحٍ وَجَبَ أَنْ يَلْزَمَ فِي الْعِدَّتَيْنِ عَلَى مَا اخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ، وَإِنْ كَانَتِ الْعِلَّةُ وُقُوعَ الْفُرْقَةِ بَعْدَ اسْتِيفَاءِ الْمُدَّةِ مِنْ غَيْرِ اخْتِيَارٍ لَزِمَ فِي عِدَّةِ الْمَوْتِ، وَلَمْ يَلْزَمْ فِي عِدَّةٍ الطَّلَاقِ عَلَى مَا رَجَّحَهُ الشَّافِعِيُّ.

Jawaban atas hal ini adalah dengan dikatakan kepada al-Muzani: Adapun akhir perkataanmu bahwa dalam qiyās tidak terdapat persamaan dalam seluruh aspek, maka itu benar; karena mustahil dua hal yang dibandingkan dalam qiyās dapat sama dalam seluruh sisi, dan seandainya keduanya sama, tentu tidak akan berbeda jenis. Adapun awal perkataanmu dalam sanggahanmu, maka tidaklah jika dua hal bersatu dalam satu sisi dan berbeda dalam sisi lain, wajib disamakan hukumnya hanya karena persamaan itu, dan tidak pula harus dibedakan hukumnya hanya karena perbedaan itu secara mutlak dan tanpa batas; sebab jika hukum persamaan yang diunggulkan, niscaya tidak akan ada dua hukum yang berbeda, karena tidak ada sesuatu pun di dunia ini kecuali pasti sama dalam hal kejadian (tercipta). Dan jika hukum perbedaan yang diunggulkan, niscaya tidak akan ada dua hukum yang sama, karena tidak ada satu jenis pun kecuali pasti berbeda dengan yang lain. Yang benar adalah, dua hal disamakan hukumnya jika keduanya bersatu dalam ‘illat (alasan hukum), meskipun berbeda dalam hal lain; dan dibedakan hukumnya jika keduanya berbeda dalam ‘illat hukum, meskipun bersatu dalam hal lain. Inilah maksud Imam asy-Syafi‘i, sehingga sanggahan al-Muzani terhadapnya tidaklah tepat. Jika ‘illat kewajiban ihdād dalam masa ‘iddah adalah terjadinya perpisahan yang nyata dari pernikahan yang sah, maka wajib diterapkan pada kedua masa ‘iddah sebagaimana yang dipilih al-Muzani. Namun jika ‘illatnya adalah terjadinya perpisahan setelah berakhirnya masa tanpa pilihan, maka itu berlaku pada ‘iddah wafat, dan tidak berlaku pada ‘iddah talak sebagaimana yang dikuatkan oleh asy-Syafi‘i.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا تَجْتَنِبُ الْمُعْتَدَّةُ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ وَأُمُّ الْوَلَدِ مَا تَجْتَنِبُ الْمُعْتَدَّةُ وَيَسْكُنَّ حَيْثُ شِئْنَ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Wanita yang menjalani ‘iddah dari nikah fasid dan umm al-walad tidak wajib menghindari apa yang wajib dihindari oleh wanita yang menjalani ‘iddah, dan mereka boleh tinggal di mana saja yang mereka kehendaki.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, dan pembahasan dalam hal ini mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُعْتَدَّةَ مِنْ نِكَاحٍ فَاسِدٍ وَوَطْءِ شُبْهَةٍ لَا إِحْدَادَ عَلَيْهِمَا، وَكَذَلِكَ أُمُّ الْوَلَدِ بَعْدَ مَوْتِ سَيِّدِهَا، وَالْأَمَةُ الْمُسْتَبْرَأَةُ فِي مِلْكٍ؛ لِأَنَّ الْإِحْدَادَ فِيهَا تَأَكَّدَتْ حُرْمَتُهُ مِنْ عُقُودِ الْمَنَاكِحِ الصَّحِيحَةِ رِعَايَةً لِحَقِّ الزَّوْجِ وَحِفْظًا لِحُرْمَتِهِ، وَهَذَا الْمَعْنَى مَقْصُودٌ فِيمَنْ ذَكَرْنَا من غير الزوجات حكمهن فِي الْإِحْدَادِ.

Pertama: Bahwa wanita yang menjalani ‘iddah dari nikah fasid dan dari hubungan karena syubhat tidak wajib menjalani ihdād, demikian pula umm al-walad setelah wafat tuannya, dan budak perempuan yang sedang istibra’ dalam kepemilikan; karena ihdād itu ditekankan keharamannya pada akad-akad pernikahan yang sah sebagai bentuk penghormatan terhadap hak suami dan penjagaan kehormatannya. Makna ini tidak dimaksudkan pada selain istri sebagaimana yang telah kami sebutkan terkait hukum mereka dalam ihdād.

وَالْفَصْلُ الثَّانِي: فِي السُّكَّنْى فَلَا سُكْنَى لِلْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ وَلَا لِلْمَنْكُوحَةِ نِكَاحًا فَاسِدًا لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجِبِ السُّكْنَى قَبْلَ الْعِدَّةِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَجِبَ فِي الْعِدَّةِ وَكَذَلِكَ أُمُّ الْوَلَدِ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجِبِ السُّكْنَى قَبْلَ الْعِدَّةِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَجِبَ فِي الْعِدَّةِ وَكَذَلِكَ أُمُّ الْوَلَدِ لَا سُكْنَى لَهَا؛ لِأَنَّ سُكْنَاهَا وَجَبَ بِالرِّقِّ فَسَقَطَ بِالْعِتْقِ وَإِذَا لم يكن لهن سكنى سكن حَيْثُ شِئْنَ فَإِنْ أَحَبَّ الْوَاطِئُ بِشُبْهَةٍ أَوْ فِي نِكَاحٍ فَاسِدٍ، تَحْصِينَ مَائِهِ فَبَذَلَ السُّكْنَى أُجْبِرَتِ

Bagian kedua: Dalam hal tempat tinggal, maka tidak ada kewajiban tempat tinggal bagi wanita yang digauli karena syubhat maupun yang dinikahi dengan nikah fasid, karena ketika sebelum masa ‘iddah saja tidak wajib tempat tinggal, maka lebih utama lagi tidak wajib dalam masa ‘iddah. Demikian pula umm al-walad, karena ketika sebelum masa ‘iddah saja tidak wajib tempat tinggal, maka lebih utama lagi tidak wajib dalam masa ‘iddah. Begitu pula umm al-walad tidak ada kewajiban tempat tinggal baginya; karena tempat tinggalnya wajib karena status budak, maka gugur dengan kemerdekaan. Jika mereka tidak memiliki kewajiban tempat tinggal, maka mereka boleh tinggal di mana saja yang mereka kehendaki. Namun, jika laki-laki yang menggauli karena syubhat atau dalam nikah fasid ingin menjaga air maninya lalu menawarkan tempat tinggal, maka wanita tersebut dipaksa untuk tinggal.

الْمُعْتَدَّةُ عَلَى السُّكْنَى حَيْثُ شَاءَ الْوَاطِئُ، وَكَذَلِكَ وَرَثَةُ السَّيِّدِ فِي أُمِّ الْوَلَدِ إِذَا بَذَلُوا سُكْنَاهَا لِتَحْصِينِهَا سَكَنَتْ حَيْثُ شَاءُوا لِئَلَّا تُدْخِلَ عَلَيْهِمْ نَسَبًا لَيْسَ مِنْهُمْ.

Wanita yang menjalani ‘iddah dipaksa untuk tinggal di tempat yang diinginkan oleh laki-laki yang menggaulinya, demikian pula para ahli waris tuan dalam kasus umm al-walad, jika mereka menawarkan tempat tinggal untuk menjaga kehormatannya, maka ia harus tinggal di tempat yang mereka kehendaki agar tidak masuk nasab yang bukan dari mereka.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنَّمَا الْإِحْدَادُ فِي الْبَدَنِ وَتَرْكِ زِينَةِ الْبَدَنِ وَهُوَ أَنْ تُدْخِلَ عَلَى الْبَدَنِ شَيْئًا مِنْ غَيْرِهِ أَوْ طِيبًا يَظْهَرُ عَلَيْهَا فَيَدْعُوَ إِلَى شهوتها “

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ihdād itu hanya berlaku pada badan dan meninggalkan perhiasan badan, yaitu tidak memasukkan sesuatu pada badan selainnya atau memakai wewangian yang tampak pada dirinya sehingga mengundang syahwat terhadapnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ؛ لِأَنَّ الْإِحْدَادَ مُخْتَصٌّ بِالْبَدَنِ فِي الِامْتِنَاعِ مِنْ إِدْخَالِ الزِّينَةِ عَلَيْهِ الَّتِي تَتَحَرَّكُ بِهَا شَهْوَةُ الْجِمَاعِ، إِمَّا شَهْوَتُهَا لِلرِّجَالِ، وَإِمَّا شَهْوَةُ الرِّجَالِ لَهَا؛ لِأَنَّهُ لما حرم نكاحها ووطئها حرم دواعيها كالمحرمة ودواعيها مَا اخْتَصَّ بِالْبَدَنِ لَا مَا فَارَقَهُ مِنْ مَسْكَنٍ وَفَرْشٍ؛ لِأَنَّهُ لَا حَرَجَ عَلَيْهَا فِي اسْتِحْسَانِ مَا سَكَنَتْ وَافْتَرَشَتْ، وَإِنَّمَا الْحَرَجُ فِيمَا زَيَّنَتْ بِهِ بَدَنَهَا وَتَحَرَّكَتْ بِهِ الشَّهْوَةُ لَهَا وَمِنْهَا فَوَافَقَتِ الْمُحْرِمَةَ فِي حَالٍ وَفَارَقَتْهَا فِي حَالٍ، فَأَمَّا حَالُ الْمُوَافِقَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan; karena masa ihdad (berkabung) itu khusus berkaitan dengan tubuh, yaitu dalam hal menahan diri dari memasukkan perhiasan pada tubuh yang dapat membangkitkan syahwat untuk berhubungan, baik syahwatnya terhadap laki-laki maupun syahwat laki-laki terhadap dirinya; sebab ketika diharamkan menikahinya dan menggaulinya, maka diharamkan pula segala hal yang menjadi pendorongnya, sebagaimana pada wanita yang sedang ihram dan hal-hal yang menjadi pendorongnya, yaitu yang khusus berkaitan dengan tubuh, bukan yang terpisah darinya seperti tempat tinggal dan alas tidur; karena tidak ada keberatan baginya untuk memilih tempat tinggal dan alas tidur yang baik, dan sesungguhnya keberatan itu hanya pada apa yang ia gunakan untuk memperindah tubuhnya dan yang dapat membangkitkan syahwat terhadap dirinya dan darinya. Maka dalam hal ini, wanita yang sedang ihdad (berkabung) serupa dengan wanita yang sedang ihram dalam satu sisi dan berbeda dalam sisi lain. Adapun sisi persamaannya ada dua:

أَحَدُهُمَا: تَحْرِيمُ الِاسْتِبَاحَةِ بِوَطْءٍ أَوْ عَقْدٍ.

Pertama: Diharamkannya kebolehan untuk digauli atau dinikahi.

وَالثَّانِي: حَظْرُ مَا حَرَّكَ الشَّهْوَةَ مِنْ طِيبٍ وَتَرْجِيلٍ. وَأَمَّا حَالُ الْمُفَارَقَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Kedua: Larangan terhadap segala sesuatu yang membangkitkan syahwat, seperti wewangian dan menyisir rambut. Adapun sisi perbedaannya juga ada dua:

أَحَدُهُمَا: فِي مَعْنَى الْحَظْرِ، وَأَنَّهُ فِي الْمُحْرِمَةِ مَا أَزَالَ الشَّعَثَ، وَلِذَلِكَ مُنِعَتْ مِنْ أَخْذِ الشَّعْرِ وَتَقْلِيمِ الْأَظَافِرِ وَأُبِيحَ لَهَا الْحُلِيُّ وَالزِّينَةُ، وَمَعْنَى الْحَظْرِ فِي الْمُعْتَدَّةِ اسْتِعْمَالُ الزِّينَةِ، وَلِذَلِكَ مُنِعَتْ مِنَ الْحُلِيِّ وَزِينَةِ الثِّيَابِ، وَأُبِيحُ لَهَا أَخْذُ الشَّعْرِ وَتَقْلِيمُ الْأَظَافِرِ.

Pertama: Dalam makna larangannya, yaitu pada wanita yang sedang ihram, larangan itu berkaitan dengan menghilangkan kusut (dari rambut dan tubuh), sehingga ia dilarang mengambil rambut dan memotong kuku, namun dibolehkan baginya memakai perhiasan dan berhias. Sedangkan makna larangan pada wanita yang sedang masa iddah (ihdad) adalah penggunaan perhiasan, sehingga ia dilarang memakai perhiasan dan berhias dengan pakaian, namun dibolehkan baginya mengambil rambut dan memotong kuku.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَحْظُورَ عَلَى الْمُحْرِمَةِ يُوجِبُ الْفِدْيَةَ عَلَيْهَا وَالْمَحْظُورَ عَلَى الْمُعْتَدَّةِ لَا يُوجِبُ الْفِدْيَةَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَذِنَ لِأُمِّ سَلَمَةَ فِي إِحْدَادِهَا أَنْ تَكْتَحِلَ بِالصَّبِرِ لَيْلًا وَتَمْسَحَهُ نَهَارًا، وَلَمْ يَأْمُرْهَا بِالْفِدْيَةِ وَأَذِنَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَنْ يَحْلِقَ شَعْرَهُ فِي إِحْرَامِهِ، وَأَمَرَهُ بِالْفِدْيَةِ.

Kedua: Bahwa larangan atas wanita yang sedang ihram mewajibkan fidyah (denda) baginya, sedangkan larangan atas wanita yang sedang masa iddah (ihdad) tidak mewajibkan fidyah baginya; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengizinkan Ummu Salamah dalam masa ihdad-nya untuk bercelak dengan shabr (sejenis tanaman) pada malam hari dan menghapusnya di siang hari, dan beliau tidak memerintahkannya untuk membayar fidyah. Sedangkan beliau mengizinkan Ka‘b bin ‘Ujrah untuk mencukur rambutnya saat ihram, namun memerintahkannya untuk membayar fidyah.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي الْمَعْنَى أَنَّ الْفِدْيَةَ فِي الْإِحْرَامِ لَمَّا وَجَبَتْ فِي فَاسِدِهِ وَجَبَتْ فِي مَحْظُورَاتِهِ، وَلَمَّا لَمْ تَجِبِ الْفِدْيَةُ فِي فَاسِدِ الْعِدَّةِ لَمْ تَجِبْ فِي مَحْظُورَاتِهَا، وَسَنَصِفُ كُلَّ نَوْعٍ مِنْ مَحْظُورَاتِ الْإِحْدَادِ كَمَا وَصَفْنَا كُلَّ نَوْعٍ مِنْ مَحْظُورَاتِ الإحرام.

Perbedaan antara keduanya dalam makna adalah bahwa fidyah dalam ihram diwajibkan ketika ihramnya rusak, maka diwajibkan pula pada larangan-larangannya. Sedangkan ketika fidyah tidak diwajibkan pada rusaknya masa iddah, maka tidak diwajibkan pula pada larangan-larangannya. Kami akan menjelaskan setiap jenis larangan dalam masa ihdad sebagaimana kami telah menjelaskan setiap jenis larangan dalam ihram.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رحمه الله تعالى: ” فَمِنْ ذَلِكَ الدُّهْنُ كُلُّهُ فِي الرَّأْسِ وَذَلِكَ أَنَّ كُلَّ الْأَدْهَانِ فِي تَرْجِيلِ الشَّعْرِ وِإِذْهَابِ الشَّعَثِ سَوَاءٌ وَهَكَذَا الْمُحْرِمُ يَفْتَدِي بِأَنْ يَدْهِنَ رَأْسَهُ أَوْ لِحْيَتَهُ بِزَيْتٍ لِمَا وَصَفْتُ وَأَمَّا مَدُّ يَدَيْهَا فَلَا بَأْسَ إِلَّا الطِّيبَ كَمَا لَا يَكُونُ بِذَلِكَ بَأْسٌ لِلْمُحْرِمِ وَإِنْ خَالَفَتِ الْمُحْرِمَ فِي بَعْضِ أَمْرِهَا “.

Al-Muzani rahimahullah berkata: “Di antara hal itu adalah semua minyak (oles) di kepala, karena semua minyak untuk menyisir rambut dan menghilangkan kusut itu sama saja. Demikian pula wanita yang sedang ihram, ia wajib membayar fidyah jika mengoleskan minyak di kepala atau janggutnya dengan minyak zaitun, sebagaimana yang telah aku jelaskan. Adapun mengulurkan tangannya (mengoleskan minyak) maka tidak mengapa, kecuali minyak wangi, sebagaimana tidak mengapa pula bagi wanita yang sedang ihram, meskipun ia berbeda dengan wanita yang sedang ihram dalam sebagian urusannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الدُّهْنُ فَمِمَّا تَسْتَوِي فِيهِ الْمُعْتَدَّةُ وَالْمُحْرِمَةُ لِوُجُودِ مَعْنَاهُمَا فِيهِ؛ لِأَنَّهُ يُحْدِثُ الزِّينَةَ فَمُنِعَتْ مِنْهُ الْمُعْتَدَّةُ وَيُزِيلُ الشَّعَثَ فَمُنِعَتْ مِنْهُ الْمُحْرِمَةُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ: طِيبٍ، وَغَيْرِ طيب فأما الطيب فنوعان: مَا كَانَ طِيبًا لِذَاتِهِ كَالْبَانِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun minyak (oles), maka dalam hal ini wanita yang sedang masa iddah (ihdad) dan wanita yang sedang ihram itu sama, karena makna keduanya terdapat pada minyak tersebut; sebab minyak itu menimbulkan perhiasan sehingga dilarang bagi wanita yang sedang masa iddah (ihdad), dan minyak itu menghilangkan kusut sehingga dilarang bagi wanita yang sedang ihram. Jika demikian, maka minyak itu terbagi menjadi dua: minyak wangi dan selain minyak wangi. Adapun minyak wangi terbagi menjadi dua jenis: yang memang wangi pada zatnya seperti minyak kasturi.

الثَّانِي: مَا أُدْخِلَ عَلَيْهِ الطِّيبُ كَالْوَرْدِ وَالْبَنَفْسَجِ، وَهُمَا فِي الْحُكْمِ سَوَاءٌ، وَيَحْرُمُ عَلَى الْمُعْتَدَّةِ أَنْ تَسْتَعْمِلَهُ فِي الشَّعْرِ وَالْبَدَنِ؛ لِأَنَّهُ طِيبٌ وَتَرْجِيلٌ.

Kedua: Yang dicampur dengan wewangian seperti minyak mawar dan minyak bunga violet, dan keduanya dalam hukum adalah sama, dan haram bagi wanita yang sedang masa iddah (ihdad) untuk menggunakannya pada rambut dan tubuhnya; karena itu adalah wewangian dan menyisir rambut.

وَأَمَّا غَيْرُ الطِّيبِ فَكَالزَّيْتِ وَالشَّيْرَجِ فَيَحْرُمُ عَلَيْهَا اسْتِعْمَالُهُ فِي تَرْجِيلِ الشَّعْرِ لِمَا يُحْدِثُ فِيهِ مِنْ حُسْنِ مَنْظَرِهِ، وَشِدَّةِ بَصِيصِهِ وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهَا اسْتِعْمَالُهُ فِي بَدَنِهَا؛ لِأَنَّ فِيهِ تَنْمِيسَ الْبَدَنِ وَاجْتِذَابَ الْوَسَخِ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ زِينَةٌ تُمْنَعُ بِهِ الْمُعْتَدَّةُ وَلَا إِزَالَةُ الشَّعَثِ تُمْنَعُ بِهِ الْمُحْرِمَةُ، فَلَوْ قَرِعَ رَأْسُهَا حَتَّى ذَهَبَ شَعْرُهَا جَازَ أَنْ تَسْتَعْمِلَهُ فِي رَأْسِهَا كَمَا تَسْتَعْمِلُهُ فِي بَدَنِهَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِذَهَابِ الشَّعْرِ كَالْبَدَنِ وَلَوْ حَلَقَتْهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَدْهِنَهُ؛ لِأَنَّ شَعْرَهَا يَنْبُتُ بَصِيصًا مُرَجَّلًا، وَلَوْ نَبَتَ فِي وَجْهِهَا شَعْرُ لِحْيَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَسْتَعْمِلَهُ فِيهَا وَإِنْ نُفِخَتْ بِاللِّحْيَةِ لِمَا فِي الدُّهْنِ مِنْ تَرْجِيلِهَا وَبَصِيصِ شَعْرِهَا.

Adapun selain minyak wangi seperti minyak zaitun dan minyak wijen, maka haram bagi perempuan yang sedang masa ‘iddah menggunakannya untuk merapikan rambut, karena hal itu dapat memperindah tampilan rambut dan membuatnya semakin berkilau. Namun, tidak haram baginya menggunakan minyak tersebut pada tubuhnya, karena penggunaannya dapat menghaluskan kulit dan menarik kotoran, sehingga tidak mengandung unsur perhiasan yang dilarang bagi perempuan yang sedang masa ‘iddah, dan juga tidak termasuk menghilangkan kusut yang dilarang bagi perempuan yang sedang ihram. Jika kepalanya botak hingga rambutnya habis, maka boleh baginya menggunakan minyak tersebut di kepalanya sebagaimana ia menggunakannya di tubuhnya, karena dengan hilangnya rambut, kepala menjadi seperti anggota tubuh lainnya. Namun, jika ia hanya mencukur rambutnya, maka tidak boleh mengoleskan minyak tersebut, karena rambutnya akan tumbuh kembali dengan kilau dan rapi. Jika tumbuh rambut janggut di wajahnya, maka tidak boleh menggunakannya di area tersebut, meskipun rambut janggut itu tebal, karena minyak dapat membuatnya rapi dan berkilau.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: {وَكُلُّ كُحْلٍ كَانَ زِينَةً فَلَا خَيْرَ فِيهِ لَهَا فَأَمَّا الْفَارِسِيُّ وَمَا أَشْبَهَهُ إِذَا احْتَاجَتْ إِلَيْهِ فَلَا بَأْسَ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِزِينَةٍ بَلْ يَزِيدُ الْعَيْنَ مَرَهًا وَقُبْحًا وَمَا اضْطُرَّتْ إِلَيْهِ مِمَّا فِيهِ زِينَةٌ مِنَ الْكُحْلِ اكْتَحَلَتْ بِهِ لَيْلًا وَتَمْسَحُهُ نَهَارًا “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Setiap celak yang merupakan perhiasan, maka tidak baik digunakan oleh perempuan yang sedang masa ‘iddah. Adapun celak Persia dan sejenisnya, jika memang dibutuhkan, maka tidak mengapa, karena itu bukanlah perhiasan, bahkan justru menambah sakit dan memperburuk mata. Jika ia terpaksa menggunakan celak yang mengandung unsur perhiasan, maka ia boleh memakainya pada malam hari dan menghapusnya di siang hari.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ، وَحَظْرُ الْكُحْلِ مُخْتَصٌّ بِالْمُعْتَدَّةِ دُونَ الْمُحْرِمَةِ؛ لِأَنَّهُ زِينَةٌ وَلَا يُزِيلُ الشَّعَثَ، وَهُوَ ضَرْبَانِ:

Al-Mawardi berkata: “Sebagaimana yang beliau katakan, larangan menggunakan celak khusus berlaku bagi perempuan yang sedang masa ‘iddah, tidak berlaku bagi perempuan yang sedang ihram, karena celak adalah perhiasan dan tidak menghilangkan kusut. Celak itu ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: مَا فِيهِ زِينَةٌ كَالْإِثْمِدِ وَهُوَ الْأَسْوَدُ وَالصَّهْرُ وَهُوَ الْأَصْفَرُ فَهُوَ زِينَةٌ؛ لِأَنَّ الْأَسْوَدَ يَصِيرُ عِنْدَ الِاكْتِحَالِ بِهِ كَالْخُطَّةِ السَّوْدَاءِ فِي أُصُولِ أَهْدَابِ الْعَيْنَيْنِ بَيْنَ بَيَاضَيْنِ، بَيَاضِ الْعَيْنِ، وبياض المحاجز فَصَارَ تَحْسِينًا لَهَا وَزِينَةً، فَأَمَّا الْأَصْفَرُ فَإِنَّهُ يُصَفِّرُ مَوْضِعَهُ وَيُحَسِّنُهُ كَالْخِضَابِ فَلِأَجْلِ الزِّينَةِ مُنِعَتْ مِنْهُ الْمُعْتَدَّةُ، رَوَتْ أُمُّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: جَاءَتِ امرأة إلى النبي فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّ بِنْتِي تُوُفِّيَ زَوْجُهَا عَنْهَا وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَيْهَا فَنَكْحُلُهَا، فَقَالَ: لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا وَلِأَنَّ التَّزَيُّنَ بِذَلِكَ مِمَّا يَعْطِفُ أَبْصَارَ الرَّجُلِ فَيَدْعُوهُمْ إِلَى شَهْوَتِهَا.

Pertama: Celak yang mengandung unsur perhiasan seperti itsmid (celak hitam) dan shahr (celak kuning), keduanya adalah perhiasan. Celak hitam, ketika digunakan, tampak seperti garis hitam di pangkal bulu mata di antara dua bagian putih, yaitu putih mata dan putih kelopak, sehingga memperindah dan menjadi perhiasan bagi mata. Adapun celak kuning, ia menguningkan area yang dipakai dan memperindahnya seperti pacar, sehingga karena unsur perhiasan inilah perempuan yang sedang masa ‘iddah dilarang menggunakannya. Ummu Salamah meriwayatkan: Ada seorang perempuan datang kepada Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, putriku ditinggal wafat suaminya dan matanya sakit, bolehkah kami memakaikan celak padanya?” Beliau menjawab, “Tidak,” sebanyak dua atau tiga kali, setiap kali ditanya beliau menjawab, “Tidak.” Karena berhias dengan celak tersebut dapat menarik perhatian laki-laki dan mengundang syahwat mereka.”

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مِنْهُ مَا لَا زِينَةَ فِيهِ كَالْفَارِسِيِّ، وَهُوَ الْأَبْيَضُ مِنَ الْبُرُودِ وَالْعَنْزَرُوتِ وَالتُّوتْيَا فَلَا بَأْسَ بِاسْتِعْمَالِهِ لِأَنَّهُ لَا تَحْسِينَ فِيهِ بَلْ يَزِيدُ الْعَيْنَ مَرَهًا وَقُبْحًا، وَلَا وَجْهَ لِمَا قَالَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِنَّهُ زِينَةٌ لِبِيضِ النِّسَاءِ، وَلَيْسَ بِزِينَةٍ لِسُمْرِهِنَّ وَسُودِهِنَّ كَنِسَاءِ مَكَّةَ فَيُمْنَعُ مِنْهُ الْبِيضُ وَلَا يُمْنَعُ مِنْهُ السُّمْرُ وَالسُّودُ، بَلْ هُوَ فِي جَمِيعِ النِّسَاءِ إِلَى اخْتِلَافِ أَلْوَانِهِنَّ مُبَاحٌ، وَلَوِ اخْتَلَفَ حُكْمُهُ لِاخْتِلَافِ الْأَلْوَانِ لِلنِّسَاءِ لَكَانَ الْأَبْيَضُ بِالسُّمْرِ وَالسُّودِ أَحْرَى أَنْ يَكُونَ زِينَةً مِنْهُ بِالْبِيضِ، وَلَكَانَ الْأَسْوَدُ مِنْهُ مُخْتَلِفَ الْحُكْمِ فِي الْبِيضِ وَالسُّودِ، وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ بِلَوْنِهِ لَا بِلَوْنِ مُسْتَعْمِلِهِ، فَإِنِ اسْتَعْمَلَتِ الْمُعْتَدَّةُ كُحْلَ الزِّينَةِ فِي غَيْرِ عَيْنِهَا مِنْ يَدِهَا جَازَ؛ لِأَنَّهُ يَزِيدُ مَا سِوَى الْعَيْنِ مِنَ الْبَدَنِ تَشْوِيهًا وَقُبْحًا إِلَّا الْأَصْفَرَ مِنْهُ الَّذِي لَهُ لَوْنٌ إِذَا طُلِيَ بِهِ الْجَسَدُ كَالصَّبِرِ حَسَّنَهُ فَتَمَنَّعَ مِنْهُ فِيمَا ظَهَرَ مِنَ الْجَسَدِ كَالْوَجْهِ وَلَا تُمْنَعُ مِنْهُ فِيمَا يُظَنُّ لِامْتِدَادِ الْأَبْصَارِ إِلَى مَا ظَهَرَ دون ما بطن فإن اضطررت الْمُعْتَدَّةُ إِلَى اسْتِعْمَالِ كُحْلِ الزِّينَةِ لِمَرَضٍ بِعَيْنِهَا اسْتَعْمَلَتْهُ لَيْلًا وَمَسَحَتْهُ نَهَارًا؛ رَوَتْ أُمُّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَنَا حَادَّةٌ عَلَى أَبِي سَلَمَةَ، وَقَدْ جَعَلْتُ عَلَى عَيْنِي صَبِرًا، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا أُمَّ سَلَمَةَ، فَقَالَتْ: إِنَّمَا هُوَ صَبِرٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ فِيهِ طِيبٌ قَالَ: إِنَّهُ يُشِبُّ الْوَجْهُ فَلَا تَجْعَلِيهِ إِلَّا بِاللَّيْلِ وَتَنْزِعِيهِ بالنهار.

Jenis kedua: di antaranya ada yang tidak mengandung unsur perhiasan, seperti kohl Persia, yaitu kohl putih dari jenis burud, ‘anzarūt, dan tūtyā. Tidak mengapa menggunakannya karena tidak ada unsur memperindah, bahkan justru menambah mata menjadi sakit dan buruk. Tidak ada alasan untuk pendapat sebagian ulama kami yang mengatakan bahwa itu adalah perhiasan bagi perempuan berkulit putih, dan bukan perhiasan bagi perempuan berkulit sawo matang atau hitam seperti wanita Makkah, sehingga perempuan berkulit putih dilarang menggunakannya, sedangkan yang berkulit sawo matang dan hitam tidak dilarang. Bahkan, pada seluruh perempuan dengan berbagai warna kulitnya, hukumnya tetap mubah. Jika hukum penggunaannya berbeda-beda karena perbedaan warna kulit perempuan, maka kohl putih pada perempuan berkulit sawo matang dan hitam lebih layak dianggap sebagai perhiasan daripada pada perempuan berkulit putih. Begitu pula kohl hitam, hukumnya akan berbeda antara perempuan berkulit putih dan hitam, dan ini adalah pendapat yang rusak; karena yang menjadi pertimbangan adalah warna kohl-nya, bukan warna penggunanya. Jika perempuan yang sedang masa ‘iddah menggunakan kohl perhiasan bukan pada matanya, seperti di tangannya, maka itu boleh, karena justru menambah bagian tubuh selain mata menjadi semakin buruk dan jelek, kecuali kohl kuning yang memiliki warna jika dioleskan ke tubuh seperti shabr (sejenis tanaman), maka itu memperindahnya, sehingga dilarang digunakan pada bagian tubuh yang tampak seperti wajah, dan tidak dilarang pada bagian yang tidak tampak atau tidak biasa terlihat oleh pandangan. Jika perempuan yang sedang masa ‘iddah terpaksa menggunakan kohl perhiasan karena sakit pada matanya, maka ia boleh menggunakannya pada malam hari dan menghapusnya pada siang hari. Ummu Salamah radhiyallāhu ‘anhā meriwayatkan bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ masuk menemuiku saat aku sedang menjalani masa berkabung atas Abu Salamah, dan aku telah mengoleskan shabr pada mataku. Beliau bersabda: “Apa ini, wahai Ummu Salamah?” Ia menjawab: “Ini hanya shabr, wahai Rasulullah, tidak ada unsur wewangian di dalamnya.” Beliau bersabda: “Itu dapat memperindah wajah, maka janganlah engkau menggunakannya kecuali pada malam hari dan lepaskanlah pada siang hari.”

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَكَذَلِكَ الدِّمَامُ دَخَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ وَهِيَ حَادٌّ عَلَى أَبِي سَلَمَةَ فَقَالَ ” مَا هَذَا يَا أُمَّ سَلَمَةَ؟ ” فَقَالَتْ إِنَّمَا هُوَ صَبْرٌ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ” اجعليه بالليل وامسحيه بالنهار ” (قال الشافعي) الصبر يصفر فيكون زينة وليس بطيب فأذن لها فيه بالليل حيث لا يرى وتمسحه بالنهار حيث يرى وكذلك ما أشبهه “.

Imam Syafi‘i berkata: “Demikian pula dengan dimām. Nabi ﷺ masuk menemui Ummu Salamah saat ia sedang berkabung atas Abu Salamah, lalu beliau bersabda: ‘Apa ini, wahai Ummu Salamah?’ Ia menjawab: ‘Ini hanya shabr.’ Maka beliau bersabda: ‘Gunakanlah pada malam hari dan hapuslah pada siang hari.’ (Imam Syafi‘i berkata) Shabr memberi warna kuning sehingga menjadi perhiasan, namun bukan wewangian, maka beliau membolehkannya pada malam hari ketika tidak terlihat, dan memerintahkan untuk menghapusnya pada siang hari ketika terlihat, demikian pula hal-hal yang serupa dengannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالدِّمَامُ هُوَ مَا يُغْشَى بِهِ الْجَسَدُ، ويُطْلَى عَلَيْهِ حَتَّى يُغَيِّرَ لَوْنَهُ وَيُحَسِّنَهُ كاسفيذاج العرائس الذي يبيض اللَّوْنَ، وَكَالْحُمْرَةِ الَّتِي يُوَرَّدُ بِهَا الْخَدُّ وَالْوَجْهُ، فَهُوَ مَحْظُورٌ عَلَى الْمُعْتَدَّةِ فِي الْإِحْدَادِ كَالصَّبْرِ الَّذِي نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُمَّ سَلَمَةَ عَنْهُ سُمِّيَ دِمَامًا مِنْ قَوْلِهِمْ قِدْرٌ مَدْمُومَةٌ إِذَا طَلَى عَلَيْهَا الْكَلْكُونَ أَوْ نَحْوَهُ، فَهَذَا مِمَّا يُمْنَعُ مِنْهُ الْمُعْتَدَّةُ فِي الْإِحْدَادِ؛ لِأَنَّهُ زِينَةٌ، وَلَا تُمْنَعُ مِنْهُ الْمُحْرِمَةَ، لأنه لا يزل الشَّعَثَ، وَهَكَذَا الْخِضَابُ تُمْنَعُ مِنْهُ بِالْحِنَّاءِ أَوِ الْكَتَمِ سَوَاءٌ تُرِكَ عَلَى حُمْرَتِهِ أَوْ غُيِّرَ حَتَّى اسْوَدَّ لِأَنَّهُمَا مَعًا زِينَةٌ وَتَحْصِينٌ.

Al-Māwardī berkata: Dimām adalah sesuatu yang dilapiskan pada tubuh dan dioleskan sehingga mengubah warnanya dan memperindahnya, seperti asfidzāj al-‘arā’is yang memutihkan warna kulit, dan seperti pemerah yang digunakan untuk memerahkan pipi dan wajah. Maka, itu dilarang bagi perempuan yang sedang masa ‘iddah dalam berkabung, sebagaimana shabr yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ kepada Ummu Salamah. Disebut dimām dari ucapan mereka “qidr madmūmah” jika dilapisi kalkūn atau semacamnya. Maka, ini termasuk yang dilarang bagi perempuan yang sedang masa ‘iddah dalam berkabung karena merupakan perhiasan. Namun, tidak dilarang bagi perempuan yang sedang ihram, karena tidak menghilangkan rambut kusut. Demikian pula, penggunaan pewarna (khidāb) dengan hinā’ atau katam, baik dibiarkan tetap merah maupun diubah hingga menjadi hitam, keduanya adalah perhiasan dan penghalang (dari larangan berkabung).

رَوَتْ أم سلمة رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: نَهَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا أَنْ تَكْتَحِلَ أَوْ تَخْتَضِبَ، وَكَذَلِكَ كُلُّ لَوْنٍ طُلِيَ بِهِ الْجَسَدُ فحسنه منعت منه المعتدة في إحدادها؛ لأن لا يَدْعُوَ شَهْوَةَ الرِّجَالِ إِلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يُقْصَدُ بِهِ إِلَّا التَّصَنُّعَ لَهُمْ بِالزِّينَةِ، فَإِنِ اسْتَعْمَلَتْهُ فِيمَا خَفِيَ مِنْ جَسَدِهَا وَوَارَتْهُ ثِيَابُهَا لَمْ يَحْرُمْ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَذِنَ لِأُمِّ سَلَمَةَ فِي الصَّبْرِ لَيْلًا وَنَهَاهَا عَنْهُ نَهَارًا؛ لِأَنَّهُ يَخْفَى بِاللَّيْلِ عَنِ الْأَبْصَارِ وَيُرَى فِي النَّهَارِ فَكَذَلِكَ مَا أَخْفَاهُ ثِيَابُهَا وَلَمْ تَرَهُ الْأَبْصَارُ غَيْرَ أَنَّهَا إِنْ فَعَلَتْهُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ كُرِهَ فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ لَمْ يُكْرَهْ.

Ummu Salamah radhiyallāhu ta‘ālā ‘anhā meriwayatkan bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- melarang perempuan yang suaminya wafat untuk bercelak atau memakai pacar, demikian pula segala jenis warna yang digunakan pada tubuh sehingga memperindahnya, maka hal itu dilarang bagi perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah dalam masa ihdād-nya, agar tidak menarik syahwat laki-laki kepadanya; karena tujuan dari hal tersebut hanyalah untuk berhias bagi mereka. Namun, jika ia menggunakannya pada bagian tubuh yang tersembunyi dan tertutupi oleh pakaiannya, maka tidak diharamkan baginya; karena Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengizinkan Ummu Salamah menggunakan ṣabr pada malam hari dan melarangnya pada siang hari; karena pada malam hari tidak tampak oleh pandangan mata, sedangkan pada siang hari terlihat. Demikian pula halnya dengan apa yang tersembunyi oleh pakaiannya dan tidak terlihat oleh mata. Hanya saja, jika ia melakukannya tanpa ada kebutuhan, maka hukumnya makruh, namun jika ada kebutuhan maka tidak makruh.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا الطِّيبُ فَتُمْنَعُ الْمُعْتَدَّةُ فِي إحداها مِنِ اسْتِعْمَالِ جَمِيعِهِ مِنْ ذِي لَوْنٍ فِي بَخُورٍ وَطَلْيٍ؛ لِأَنَّهُ زِينَةٌ، وَلِأَنَّهُ يُحَرِّكُ الشَّهْوَةَ، وَيَسْتَوِي فِي حَظْرِهِ الْمُعْتَدَّةُ وَالْمُحْرِمَةُ؛ لِأَنَّهُ يُزِيلُ شَعَثَ الْمُحْرِمَةِ، وَيُحْدِثُ الزِّينَةَ فِي الْمُعْتَدَّةِ فَإِنْ أَرَادَتِ الْمُعْتَدَّةُ أَنْ تَتَطَيَّبَ فِيمَا خَفِيَ مِنْ جَسَدِهَا لَمْ يَجُزْ بِخِلَافِ الْخِضَابِ، لِأَنَّ الطِّيبَ رَائِحَتُهُ تَظْهَرُ فَتُحَرِّكُ الشَّهْوَةَ بِخِلَافِ الْخِضَابِ وَهَكَذَا لَوْ أَرَادَتْ أَنْ تَتَطَيَّبَ لَيْلًا دُونَ النَّهَارِ ولم يجز لأنه يُحَرِّكُ شَهْوَتَهَا وَإِنْ لَمْ يُحَرِّكْ شَهْوَةَ غَيْرِهَا، وَالْخِضَابُ لَا يُحَرِّكُ إِلَّا شَهْوَةَ غَيْرِهَا فَافْتَرَقَا. فَأَمَّا الْمَبْتُوتَةُ فِي الْعِدَّةِ فَالطِّيبُ مَحْظُورٌ عَلَيْهَا إِنْ وَجَبَ الْإِحْدَادُ عَلَيْهَا وَفِي حَظْرِهِ إِنْ لَمْ يَجِبِ الْإِحْدَادُ عَلَيْهَا وَجْهَانِ:

Adapun wewangian, maka perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah dalam ihdād dilarang menggunakan seluruh jenis wewangian yang berwarna, baik berupa dupa maupun olesan; karena itu termasuk perhiasan, dan dapat membangkitkan syahwat. Dalam larangan ini, perempuan yang sedang ‘iddah dan perempuan yang sedang ihram sama hukumnya; karena wewangian dapat menghilangkan keadaan kusut perempuan yang ihram, dan menimbulkan perhiasan pada perempuan yang sedang ‘iddah. Jika perempuan yang sedang ‘iddah ingin memakai wewangian pada bagian tubuh yang tersembunyi, maka tidak diperbolehkan, berbeda dengan penggunaan pacar, karena wewangian baunya tercium sehingga membangkitkan syahwat, berbeda dengan pacar. Demikian pula jika ia ingin memakai wewangian pada malam hari saja tanpa siang hari, maka tidak diperbolehkan, karena dapat membangkitkan syahwatnya meskipun tidak membangkitkan syahwat orang lain, sedangkan pacar hanya membangkitkan syahwat orang lain, bukan dirinya, sehingga keduanya berbeda. Adapun perempuan yang ditalak ba’in dalam masa ‘iddah, maka wewangian tetap dilarang baginya jika ihdād wajib atasnya, dan dalam larangannya jika ihdād tidak wajib atasnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَحْرُمُ كَمَا لَا يَحْرُمُ غَيْرُهُ مِنْ مَحْظُورَاتِ الْإِحْدَادِ.

Pertama: Tidak diharamkan, sebagaimana tidak diharamkan pula hal-hal lain yang dilarang dalam ihdād.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَحْرُمُ عَلَيْهَا لِاخْتِصَاصِهِ مِنْ بَيْنِ مَحْظُورَاتِ الْإِحْدَادِ بِتَحْرِيكِ شَهْوَتِهَا وَشَهْوَةِ الرِّجَالِ لها.

Pendapat kedua: Diharamkan baginya, karena wewangian secara khusus di antara larangan ihdād dapat membangkitkan syahwat dirinya dan syahwat laki-laki terhadapnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَفِي الثِّيَابِ زِينَتَانِ إِحْدَاهُمَا جَمَالُ اللَّابِسِينَ وَتَسْتُرُ العورة قال اللَّهُ تَعَالَى {خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ} [الأعراف: 31] فالثياب زينة لمن لبسها فإذا أفردت العرب التزين على بعض اللابسين دون بعض فإنما من الصبغ خاصة ولا باس أن تلبس الحاد كل ثوب من البياض لأن البياض ليس بمزين وكذلك الصوف والوبر وكل ما نسج على وجهه لم يدخل عليه صبغ من خز أو غيره وكذلك كل صبغ لم يرد به تزيين الثوب مثل السواد وما صبغ ليقبح لحزن أو لنفي الوسخ عنه وصباغ الغزل بالخضرة يقارب السواد لا الخضرة الصافية وما في معناه فأما ما كان من زينة أو شيء في ثوب وغيره فلا تلبسه الحاد “.

Imam Syafi‘i berkata: “Pada pakaian terdapat dua jenis perhiasan: salah satunya adalah keindahan bagi pemakainya dan menutupi aurat. Allah Ta‘ālā berfirman: {Ambillah perhiasanmu di setiap (memasuki) masjid} (al-A‘rāf: 31). Maka pakaian adalah perhiasan bagi siapa yang memakainya. Jika orang Arab membedakan berhias pada sebagian pemakai pakaian dan tidak pada yang lain, maka itu hanya berasal dari pewarnaan saja. Tidak mengapa perempuan yang sedang ihdād memakai pakaian putih, karena putih bukanlah perhiasan, demikian pula wol, bulu, dan semua yang ditenun tanpa diberi pewarna dari kain halus atau selainnya. Demikian pula semua pewarnaan yang tidak dimaksudkan untuk memperindah pakaian, seperti warna hitam dan apa yang diwarnai agar tampak buruk karena duka cita atau untuk menghilangkan kotoran darinya, serta benang yang diwarnai dengan warna kehijauan yang mendekati hitam, bukan hijau murni, dan yang semisalnya. Adapun yang merupakan perhiasan atau sesuatu pada pakaian dan selainnya, maka perempuan yang sedang ihdād tidak boleh memakainya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدِ اسْتَوْفَيْنَا نَقْلَ هَذَا الْفَصْلِ لِأَنَّهُ مَشْرُوحٌ، وَنَحْنُ نُشِيرُ إِلَى عِلَلِهِ.

Al-Māwardī berkata: Kami telah menukilkan bab ini secara lengkap karena telah dijelaskan, dan kami akan menunjuk pada alasan-alasannya.

وَجُمْلَةُ الثِّيَابِ ضَرْبَانِ:

Secara umum, pakaian terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ عَلَى جِهَتِهِ لَمْ تَدْخُلْ عَلَيْهِ زِينَةٌ وَإِنْ كَانَ فِي نَفْسِهِ زِينَةً يَتَزَيَّنُ بِهَا اللَّابِسُ، وَيَسْتُرُ بِهَا الْعَوْرَةَ عَلَى مَا سَمَّاهَا اللَّهُ تَعَالَى بِهِ من الزينة في قوله: {خذو زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ} [الأعراف: 31] وَذَلِكَ هُوَ الْبَيَاضُ مِنْ جَمِيعِ الثِّيَابِ فَمِنْهَا الْقُطْنُ أَرْفَعُهُ وَأَدْوَنُهُ وَمِنْهَا الْكَتَّانُ أَرْفَعُهُ وَأَدْوَنُهُ سَمَّاهُ الشَّافِعِيُّ ثِيَابَ الْوَرَعِ، وَمِنْهَا الْوَبَرُ أَرْفَعُهُ وَهُوَ الْخَزُّ وَأَدْوَنُهُ وَهُوَ الْمِعْزَى، وَمِنْهَا الصُّوفُ أَرْفَعُهُ وَأَدْوَنُهُ، وَمِنْهَا الْإِبْرَيْسَمُ وَهُوَ رَفِيعُ الْجِنْسِ فَيَجُوزُ لَهَا لُبْسُ الْبَيَاضِ كُلِّهِ مَقْصُورًا وَخَامًا، لِأَنَّ الْقِصَارَةَ كَالْغَسْلِ فِي إِنْقَاءِ الثَّوْبِ وَإِذْهَابِ وَسَخِهِ، فَإِنْ كَانَ عَلَى بَيَاضِ الثِّيَابِ طُرُزٌ، فَإِنْ كَانَتْ أَعْلَامًا كِبَارًا لَمْ يَجُزْ أَنْ تَلْبَسَهَا لِأَنَّهَا زِينَةٌ ظَاهِرَةٌ قَدْ أُدْخِلَتْ عَلَى الثَّوْبِ، وَإِنْ كَانَتْ صِغَارًا خَفِيَّةً فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Pertama: Yaitu pakaian yang tetap dalam bentuk asalnya, belum dimasuki unsur perhiasan, meskipun pada dirinya sendiri terdapat unsur keindahan yang memperindah pemakainya, dan menutupi aurat sebagaimana yang Allah Ta‘ala sebutkan sebagai perhiasan dalam firman-Nya: {Ambillah perhiasanmu di setiap (memasuki) masjid} [al-A‘rāf: 31]. Yang dimaksud di sini adalah pakaian berwarna putih dari semua jenis kain; di antaranya katun, baik yang paling bagus maupun yang paling rendah; di antaranya linen, baik yang paling bagus maupun yang paling rendah, yang oleh Imam Syāfi‘ī disebut sebagai “pakaian wara‘”; di antaranya bulu hewan, yang paling bagus adalah khazz dan yang paling rendah adalah mi‘zā; di antaranya wol, baik yang paling bagus maupun yang paling rendah; di antaranya juga sutra, yang merupakan jenis kain yang halus. Maka, boleh bagi perempuan mengenakan seluruh pakaian putih, baik yang telah diputihkan maupun yang masih mentah, karena proses pemutihan itu seperti mencuci dalam membersihkan pakaian dan menghilangkan kotorannya. Jika pada pakaian putih tersebut terdapat hiasan (bordir), maka jika hiasan itu berupa tanda-tanda besar, tidak boleh dipakai karena itu merupakan perhiasan yang tampak jelas yang telah ditambahkan pada pakaian. Namun jika hiasannya kecil dan tersembunyi, maka ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهَا زِينَةٌ تَمْنَعُ مِنْ لُبْسِهَا.

Pertama: Bahwa itu adalah perhiasan yang menghalangi pemakaiannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا عَفْوٌ لَا تَمْنَعُ مِنْ لُبْسِهَا لِخَفَائِهَا.

Kedua: Bahwa itu dimaafkan dan tidak menghalangi pemakaiannya karena tersembunyi.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا إِنْ رُكِّبَتْ بَعْدَ النَّسْجِ كَانَتْ زِينَةً مَحْضَةً تَمْنَعُ مِنْ لُبْسِهَا، وَإِنْ كَانَتْ نَسِيجَةً مَعَهَا لَمْ تَمْنَعْ مِنْ لُبْسِهَا؛ لِأَنَّهَا غَيْرُ مَزِيدَةٍ فِي الثَّوْبِ.

Ketiga: Jika hiasan itu dipasang setelah proses penenunan, maka itu adalah perhiasan murni yang menghalangi pemakaiannya. Namun jika hiasan itu ditenun bersamaan dengan kainnya, maka tidak menghalangi pemakaiannya, karena tidak menambah apa pun pada pakaian tersebut.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مِنَ الثِّيَابِ مَا غَيَّرَ بَيَاضَهَا بِالْأَصْبَاغِ الْمُلَوَّنَةِ حَتَّى تَصِيرَ زِينَةً فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Jenis kedua: Yaitu pakaian yang warna putihnya diubah dengan pewarna berwarna hingga menjadi perhiasan. Jenis ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُمْزَجَ لَوْنُهُ بِالنُّقُوشِ كَالْوَشْيِ وَالسَّقْلَاطُونِ أَوْ بِالتَّخْطِيطِ كَالْعَتَّابِيِّ فَهُوَ إِدْخَالُ زِينَةٍ مَحْضَةٍ عَلَى الثَّوْبِ وَتَسْتَوِي جَمِيعُ الْأَلْوَانِ فِي حَظْرِهِ عَلَى الْحَادِّ مِنْ سَوَادٍ وَغَيْرِ سَوَادٍ سَوَاءٌ كَانَ نَقْشُهُ نَسْجًا أَوْ تَرْكِيبًا.

Pertama: Jika warnanya dicampur dengan motif seperti wasy (kain bermotif) dan saqlāṭūn, atau dengan garis-garis seperti ‘attābī, maka ini merupakan penambahan perhiasan murni pada pakaian. Semua warna sama hukumnya dalam larangan ini bagi perempuan yang sedang berkabung, baik hitam maupun selain hitam, baik motifnya berupa tenunan maupun tempelan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن يصبغ جميعه لوناً واحداً فألوان الأصابغ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jenis kedua: Jika seluruhnya diwarnai dengan satu warna, maka warna-warna pewarna terbagi menjadi tiga kelompok:

أَحَدُهَا: مَا كَانَ زِينَةً مَحْضَةً وَهُوَ الْأَحْمَرُ صَافِيهِ وَمُشَبَّعُهُ، وَالْأَصْفَرُ صَافِيهِ وَمُشَبَّعُهُ فَلُبْسُهُ مَحْظُورٌ عَلَى الْمُعْتَدَّةِ فِي الْإِحْدَادِ، لِأَنَّهُ زِينَةٌ، وَلَيْسَ بِمَحْظُورٍ عَلَى الْمُحْرِمَةِ لِأَنَّهُ لَا يُزِيلُ الشَّعَثَ.

Pertama: Yang merupakan perhiasan murni, yaitu merah yang murni dan pekat, serta kuning yang murni dan pekat. Memakai warna ini dilarang bagi perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah wafat (ihdād), karena itu adalah perhiasan. Namun tidak dilarang bagi perempuan yang sedang ihram, karena tidak menghilangkan keadaan kusut.

رَوَتْ أُمِّ سَلَمَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: لَا تَلْبَسِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا الْمُعَصْفَرَ وَلَا الْمَمْشُوقَ، وَلَا الْحُلِيَّ.

Ummu Salamah meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Perempuan yang ditinggal wafat suaminya tidak boleh memakai pakaian yang dicelup ‘ushfur (merah), tidak pula yang dimashūq (kuning), dan tidak pula perhiasan.”

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مِنَ الصَّبْغِ مَا لَمْ يَكُنْ زِينَةً وَكَانَ شِعَارًا فِي الْإِحْدَادِ وَلِإِخْفَاءِ الْوَسَخِ، وَهُوَ السَّوَادُ صَافِيهِ وَمُشَبَّعُهُ فَلَا يُمْنَعُ الْحَادُّ لُبْسَهُ؛ لِأَنَّهُ إِنْ لَمْ يَزِدْهَا قُبْحًا لَمْ يُكْسِبْهَا جَمَالًا وَهُوَ لُبْسُ الْإِحْدَادِ وَشِعَارُهُ حَتَّى اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ لُبْسِهِ فِي الْإِحْدَادِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kelompok kedua dari pewarna adalah yang bukan perhiasan, melainkan menjadi ciri khas dalam masa ihdād dan untuk menutupi kotoran, yaitu hitam yang murni dan pekat. Maka, perempuan yang berkabung tidak dilarang memakainya; karena jika tidak menambah keburukan, juga tidak menambah keindahan, dan itu adalah pakaian ihdād serta ciri khasnya. Sampai-sampai para ulama kami berbeda pendapat tentang wajib tidaknya memakai pakaian hitam dalam masa ihdād, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجِبُ لِاخْتِصَاصِهِ بِشِعَارِ الْحُزْنِ وَالْمَصَائِبِ.

Pertama: Wajib, karena khusus sebagai simbol kesedihan dan musibah.

وَالثَّانِي: يُسْتَحَبُّ وَلَا يَجِبُ لِاخْتِصَاصِ الْوُجُوبِ بِمَا يَجْتَنِبُهُ دُونَ مَا يَسْتَعْمِلُهُ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ التَّأْوِيلِ فِي قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لاسماء بن عُمَيْسٍ حِينَ أَتَاهَا نَعْيُ زَوْجِهَا جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ تَسَلَّبِي فَأَحَدُ تَأْوِيلَيْهِ: أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ لُبْسَ السَّوَادِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لُبْسُهُ وَاجِبًا فِي الْإِحْدَادِ لِأَمْرِهِ.

Kedua: Disunnahkan dan tidak wajib, karena kewajiban hanya berlaku pada apa yang harus dijauhi, bukan pada apa yang digunakan. Dua pendapat ini muncul dari perbedaan penafsiran terhadap sabda Nabi ﷺ kepada Asmā’ binti ‘Umays ketika datang kabar wafat suaminya, Ja‘far bin Abī Ṭālib: “Tanggalkanlah (pakaian perhiasan).” Salah satu penafsirannya: yang dimaksud adalah memakai pakaian hitam, sehingga menurut pendapat ini, memakai pakaian hitam menjadi wajib dalam masa ihdād karena perintah Nabi.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ نَزْعَ الْحُلِيِّ، فَعَلَى هَذَا لَا يَكُونُ لُبْسُهُ وَاجِبًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِ أَمْرٌ، وَيَكُونُ نَزْعُ الْحُلِيِّ وَاجِبًا لِمَا تَوَجَّهَ إِلَيْهِ مِنَ النَّهْيِ.

Kedua: Yang dimaksud adalah melepas perhiasan, sehingga menurut pendapat ini, memakai pakaian hitam tidak wajib karena tidak ada perintah khusus untuk itu, dan yang wajib adalah melepas perhiasan karena adanya larangan yang jelas.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مِنَ الْأَلْوَانِ مَا يَخْتَلِفُ حَالُ مُشَبَّعِهِ وَصَافِيهِ، وَهُوَ الْخُضْرَةُ وَالزُّرْقَةُ فَإِنْ كَانَا صَافِيَيْنِ مُشْرِقَيْنِ فَهُمَا زِينَةٌ كَالْحُمْرَةِ وَالصُّفْرَةِ فَتُمْنَعُ الْحَادُّ مِنْ لُبْسِهَا لِاخْتِصَاصِهَا بِالزِّينَةِ، وإن كانا مشبعين بَيْنَ كَمُشَبَّعِ الْحُلِيِّ وَالْأَخْضَرِ فَهُمَا كَالسَّوَادِ يَدْخُلَانِ عَلَى الثَّوْبِ لِإِخْفَاءِ الْوَسَخِ فَلَا تُمْنَعُ الْحَادُّ مِنْ لُبْسِهَا، وَيُفَارِقَانِ السَّوَادَ فِي وُجُوبِ لُبْسِهِ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَلَا فَرْقَ فِي أَلْوَانِ الزِّينَةِ الْمَحْظُورَةِ عَلَيْهَا مِنْ صَبْغِ الْغَزْلِ بِهَا قَبْلَ نَسْجِهِ وَبَيْنَ صَبْغِ الثَّوْبِ بِهَا بعد نسجه، لأنهما في الحالتين زِينَةٌ وَوَهِمَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَفَرَّقَ بَيْنَ مَا صبغ قبل النسج وبعد فَمَنَعَ مِنَ الْمَصْبُوغِ بَعْدَ نَسْجٍ وَأَبَاحَ الْمَصْبُوغَ قَبْلَ نَسْجِهِ وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَلَمْ يَذْكُرْهُ فِي شَرْحِهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Bagian ketiga: dari warna-warna adalah warna yang keadaan versi pekat dan jernihnya berbeda, yaitu hijau dan biru. Jika keduanya jernih dan terang, maka keduanya adalah perhiasan seperti merah dan kuning, sehingga perempuan yang sedang berkabung (ḥād) dilarang memakainya karena khusus sebagai perhiasan. Namun jika keduanya pekat seperti warna perhiasan dan hijau tua, maka keduanya seperti hitam, boleh digunakan pada pakaian untuk menyamarkan kotoran sehingga perempuan ḥād tidak dilarang memakainya. Keduanya berbeda dengan hitam dalam hal kewajiban memakainya menurut salah satu pendapat. Tidak ada perbedaan pada warna-warna perhiasan yang dilarang baginya, baik mewarnai benang dengannya sebelum ditenun maupun mewarnai kain setelah ditenun, karena dalam kedua keadaan itu tetap merupakan perhiasan. Sebagian ulama kami keliru dengan membedakan antara yang diwarnai sebelum ditenun dan setelahnya, sehingga melarang yang diwarnai setelah ditenun dan membolehkan yang diwarnai sebelum ditenun. Pendapat ini dinukil dari Abū Isḥāq al-Marwazī, namun ia tidak menyebutkannya dalam syarahnya. Pendapat ini batil dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: عُمُومُ نَهْيِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ لُبْسِ الْمُعَصْفَرِ الْمَمْشُوقِ.

Pertama: larangan Nabi ﷺ secara umum dari memakai kain yang dicelup dengan ‘uṣfur (pewarna merah) yang telah dipintal.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَصْبُوغَ قَبْلَ النِّسَاجَةِ أَحْسَنُ، وَهُوَ بِذَوِي النَّبَاهَةِ أَخَصُّ فَكَانَ بِالْحَظْرِ أَحَقَّ.

Kedua: kain yang diwarnai sebelum ditenun justru lebih bagus, dan itu lebih khusus bagi orang-orang terhormat, sehingga lebih layak untuk dilarang.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا الْحُلِيُّ مَحْظُورٌ عَلَيْهَا فِي الْإِحْدَادِ لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْهُ، وَلِأَنَّ نَزْعَهُ أَحَدُ التَّأْوِيلَيْنِ فِي قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَسْمَاءَ: تَسَلَّبِي وَهَذَا مِمَّا تُخْتَصُّ بِهِ الْمُعْتَدَّةُ بِحَظْرِهِ دُونَ الْمُحْرِمَةِ؛ لِأَنَّهُ زِينَةٌ وَلَيْسَ لَهُ فِي زَوَالِ الشَّعَثِ تَأْثِيرٌ وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ حُلِيُّ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَاللُّؤْلُؤِ أَوِ الْجَوَاهِرِ وَسَوَاءٌ مَا كَثُرَ مِنْهُ كَالْخَلَاخِلَةِ وَالْأَسْوِرَةِ وَمَا قَلَّ كَالْخَوَاتِيمِ وَالْأَقْرَاطِ، فَأَمَّا إِنْ تَحَلَّتْ بِالصُّفْرِ وَالنُّحَاسِ وَالرَّصَاصِ فَإِنْ كَانَ مُمَوَّهًا بِالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ أَوْ كَانَ مُشَابِهًا لِلْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ يَخْفَى عَلَى النَّاظِرِ إِلَّا بَعْدَ شِدَّةِ التَّأَمُّلِ فَهِيَ مَمْنُوعَةٌ مِنْ لُبْسِهِ أَيْضًا كَمَا تُمْنَعُ مِنْ لُبْسِ حُلِيِّ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ فِي لِبَاسِهِ وَتَحْسِينِهَا الدَّاعِي إِلَى اسْتِحْسَانِهَا، فَإِنَّهُ الْمَقْصُودُ بِلُبْسِ الْحُلِيِّ كَمَا قَالَ الشَّاعِرُ.

Adapun perhiasan, maka itu dilarang baginya (perempuan yang sedang berkabung) selama masa iḥdād karena larangan Nabi ﷺ terhadapnya, dan karena melepas perhiasan adalah salah satu penafsiran dari sabda beliau ﷺ kepada Asmā’: “Tanggalkanlah perhiasanmu.” Ini adalah sesuatu yang khusus bagi perempuan yang sedang masa ‘iddah dengan larangan tersebut, tidak berlaku bagi perempuan yang sedang ihram; karena perhiasan adalah hiasan dan tidak berpengaruh dalam menghilangkan kusut. Sama saja dalam hal ini perhiasan dari emas, perak, mutiara, atau permata, baik yang banyak seperti gelang kaki dan gelang tangan, maupun yang sedikit seperti cincin dan anting. Adapun jika ia berhias dengan kuningan, tembaga, atau timah, jika dilapisi dengan perak atau emas, atau menyerupai perak dan emas sehingga sulit dibedakan kecuali dengan pengamatan yang teliti, maka ia juga dilarang memakainya sebagaimana dilarang memakai perhiasan perak dan emas, karena tujuan dari memakai perhiasan adalah untuk memperindah diri, sebagaimana dikatakan oleh penyair:

(وَمَا الْحُلِيُّ إِلَّا زِينَةٌ لِنَقِيضَةٍ … يُتِمُّ مِنْ حُسْنٍ إِذَا الْحُسْنُ قَصَّرَا)

“Perhiasan itu hanyalah hiasan bagi yang kurang, 
menyempurnakan keindahan jika keindahan itu kurang.”

(فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْجَمَالُ مُوَفَّرًا … كَحُسْنِكِ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى أَنْ يُزَوَّدَا)

“Adapun jika keindahan telah sempurna, 
seperti kecantikanmu, maka tidak butuh lagi ditambah.”

فَأَمَّا إِذَا لَمْ يُشَبَّهْ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَتَمَيَّزَ عَنْهُمَا فِي النَّظَرِ رُوعِيَ فِيهِ حَالُ الْمُعْتَدَّةِ، فَإِنْ كانت من قوم جرت عادتهم أن يتحلو بِالصُّفْرِ وَالنُّحَاسِ مُنِعَتْ مِنْ لُبْسِهِ فِي الْإِحْدَادِ؛ لِأَنَّهُ زِينَةٌ لَهُمْ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ قَوْمٍ لَا يَتَحَلَّوْنَ بِهِ، وَإِنَّمَا يَسْتَعْمِلُونَهُ لِمَا يَتَصَوَّرُونَ فِيهِ مِنَ الْحِرْزِ وَالنَّفْعِ جَازَ لَهَا لُبْسُهُ؛ لأنه ليس يزينة لها، فإذا أرادت المعتدة في إحداها أَنْ تَلْبَسَ حُلِيَّهَا لَيْلًا وَتَنْزِعَهُ نَهَارًا جَازَ ذَلِكَ لَكِنْ إِنْ فَعَلَتْ ذَاكَ لِإِحْرَازِهِ لَمْ يُكْرَهْ وَإِنْ فَعَلَتْهُ لِغَيْرِ إِحْرَازٍ وَحَاجَةٍ كُرِهَ وَإِنْ لَمْ يَحْرُمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jika tidak menyerupai emas dan perak dan dapat dibedakan dari keduanya secara kasat mata, maka dilihat keadaan perempuan yang sedang masa ‘iddah. Jika ia berasal dari kaum yang biasa berhias dengan kuningan dan tembaga, maka ia dilarang memakainya selama masa iḥdād karena itu merupakan perhiasan bagi mereka. Namun jika ia berasal dari kaum yang tidak berhias dengannya, dan hanya menggunakannya untuk tujuan perlindungan atau manfaat tertentu, maka ia boleh memakainya karena itu bukan perhiasan baginya. Jika perempuan yang sedang masa ‘iddah ingin memakai perhiasannya di malam hari dan melepasnya di siang hari, maka itu dibolehkan. Namun jika ia melakukannya untuk menjaga perhiasannya, maka tidak makruh; tetapi jika dilakukan bukan untuk menjaga atau karena kebutuhan, maka makruh meskipun tidak haram. Wallāhu a‘lam.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا مَا عَدَا زِينَةَ جَسَدِهَا مِنْ زِينَةِ مَنْزِلِهَا وَزِينَةِ فُرِشِهَا فَلَا تُمْنَعُ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا عَلَى الْإِحْدَادِ مِنَ الْأَجَانِبِ مَنْ يَرَاهَا فِيهِ فَيُحَسِّنُهَا وَكَذَلِكَ لَا يَحْرُمُ عَلَيْهَا أَنْ تَنَامَ عَلَى فِرَاشٍ أَوْ تَضَعَ رَأْسَهَا عَلَى وِسَادَةٍ وَلَا تُمْنَعُ مِنْ أَكْلِ اللَّحْمِ وَالْحَلْوَاءِ وَسَائِرِ الْمَآكِلِ الْمُشْتَهَاةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا رَهْبَانِيَّةَ فِي الْإِسْلَامِ “.

Adapun selain perhiasan tubuhnya, seperti perhiasan rumahnya dan perhiasan tempat tidurnya, maka ia tidak dilarang darinya; karena tidak ada laki-laki asing yang masuk menemuinya dalam masa ihdād sehingga melihatnya dengan perhiasan itu lalu mengaguminya. Demikian pula, tidak diharamkan baginya untuk tidur di atas kasur atau meletakkan kepalanya di atas bantal, dan tidak dilarang pula makan daging, makanan manis, dan berbagai makanan lezat lainnya, berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Tidak ada rahbāniyyah dalam Islam.”

فَأَمَّا أَكْلُ مَا فِيهِ طِيبٌ مِنَ الْحَلْوَاءِ أَوِ الطَّبِيخِ فَهُوَ مَحْظُورٌ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ يُحَرِّكُ شَهْوَتَهَا لِلرِّجَالِ وَإِنْ لَمْ تَتَحَرَّكْ لَهَا شَهْوَةُ الرجال والله أعلم بالصواب.

Adapun makan sesuatu yang mengandung aroma wangi dari makanan manis atau masakan, maka itu dilarang baginya; karena dapat membangkitkan syahwatnya terhadap laki-laki, meskipun syahwat terhadap laki-laki tidak muncul pada dirinya. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَكَذَلِكَ كُلُّ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ كَبِيرَةٍ أَوْ صَغِيرَةٍ مُسْلِمَةٍ أَوْ ذِمِّيَّةٍ “.

Imam Syafi‘i berkata: “Demikian pula setiap perempuan merdeka dan budak, baik dewasa maupun kecil, muslimah maupun dzimmiyyah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ؛ وَهُوَ مُشْتَمِلٌ عَلَى ثَلَاثَةِ مَسَائِلَ:

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar; dan mencakup tiga permasalahan:

أَحَدُهَا: فِي الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ فَأَمَّا الْحُرَّةُ فَقَدْ ذَكَرْنَا وُجُوبَ الْإِحْدَادِ عَلَيْهَا، وَأَمَّا الْأَمَةُ فَهِيَ فِي الْإِحْدَادِ كَالْحُرَّةِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي مُدَّةِ الْعِدَّةِ، فَأَمَّا السُّكْنَى فَإِنْ تَرَكَ السَّيِّدُ اسْتِخْدَامَهَا وَجَبَ لَهَا السُّكْنَى كَالْحُرَّةِ وَلَزِمَهَا الْجَمْعُ بَيْنَ السُّكْنَى وَالْإِحْدَادِ وَإِنِ اسْتَخْدَمَهَا لَمْ يُمْنَعْ مِنْهَا لِحَقِّهِ فِي الْمِلْكِ، وَسَقَطَتِ السُّكْنَى وَلَزِمَ الْإِحْدَادُ وَلَا يَكُونُ سُقُوطُ السُّكْنَى مُوجِبًا لِسُقُوطِ الْإِحْدَادِ؛ لِأَنَّ مَقْصُودَ الْإِحْدَادِ أَمْرَانِ:

Pertama: tentang perempuan merdeka dan budak. Adapun perempuan merdeka, telah kami sebutkan kewajiban ihdād atasnya. Sedangkan budak, dalam hal ihdād sama seperti perempuan merdeka, meskipun berbeda dalam masa ‘iddah. Adapun tempat tinggal, jika tuannya tidak mempekerjakannya, maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal seperti perempuan merdeka, dan ia wajib menggabungkan antara tinggal dan ihdād. Namun jika tuannya mempekerjakannya, maka ia tidak dilarang dari pekerjaan itu karena hak kepemilikannya, sehingga gugurlah hak tempat tinggal dan tetap wajib ihdād. Gugurnya hak tempat tinggal tidak berarti gugurnya kewajiban ihdād; karena tujuan ihdād ada dua:

أَحَدُهُمَا: إِظْهَارُ الْحُزْنِ عَلَى الزَّوْجِ رِعَايَةً لِحُرْمَتِهِ.

Pertama: Menampakkan kesedihan atas suami sebagai bentuk penghormatan terhadapnya.

وَالثَّانِي: تَرْكُ مَا يُحَرِّكُ الشَّهْوَةَ مِنَ الزِّينَةِ لِأَنْ لَا تَشْتَهِيَ وَيَشْتَهِيَهَا الرِّجَالُ وَلَيْسَ فِي وَاحِدٍ مِنْ هَذَيْنِ مَا يُخَالِفُ فِيهِ مَعْنَى الْحُرَّةِ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيمَا يَسْتَحِقُّهُ السَّيِّدُ مِنَ الْخِدْمَةِ.

Kedua: Meninggalkan segala sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat dari perhiasan, agar ia tidak menginginkan dan tidak diinginkan oleh laki-laki. Dalam kedua hal ini, tidak ada perbedaan makna antara perempuan merdeka dan budak, dan tidak memengaruhi hak tuan atas pelayanan budaknya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ فِي الصَّغِيرَةِ وَالْكَبِيرَةِ، فَأَمَّا الْكَبِيرَةُ فَقَدْ ذَكَرْنَا وُجُوبَ الْإِحْدَادِ عَلَيْهَا فِي الْعِدَّةِ فَأَمَّا الصَّغِيرَةُ فَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَالْإِحْدَادُ فِيهَا كَالْكَبِيرَةِ.

Permasalahan kedua adalah tentang perempuan kecil dan dewasa. Adapun yang dewasa, telah kami sebutkan kewajiban ihdād atasnya dalam masa ‘iddah. Sedangkan yang kecil, maka ia juga wajib menjalani masa ‘iddah dan ihdād di dalamnya seperti perempuan dewasa.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: عَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَيْسَ عَلَيْهَا الْإِحْدَادُ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَلِأَنَّ الْإِحْدَادَ تَعَبُّدٌ مَحْضٌ لَا حَقَّ فِيهِ لِلزَّوْجِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَ الصَّغِيرَةَ كَالْعِبَادَاتِ.

Abu Hanifah berkata: Ia wajib menjalani masa ‘iddah, tetapi tidak wajib ihdād atasnya, berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia baligh…” Dan karena ihdād adalah bentuk ibadah murni yang tidak ada hak suami di dalamnya, maka tidak wajib atas anak kecil sebagaimana ibadah-ibadah lainnya.

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّ بِنْتَهَا مَاتَ زَوْجُهَا، وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا أَفَتَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ: لَا وَلَمْ يَسْأَلْهَا عَنْ صِغَرِهَا وَكِبَرِهَا فَدَلَّ عَلَى اسْتِوَاءِ الْأَمْرَيْنِ: وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَزِمَتْهَا الْعِدَّةُ وَجَبَ أَنْ تُؤْخَذَ بِأَحْكَامِ تِلْكَ الْعِدَّةِ كَالْكَبِيرَةِ.

Dalil kami adalah riwayat Ummu Salamah bahwa ada seorang perempuan datang kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- dan menyebutkan bahwa putrinya ditinggal mati suaminya, dan matanya sedang sakit, apakah boleh diberi celak? Beliau menjawab: “Tidak,” dan beliau tidak menanyakan apakah putrinya masih kecil atau sudah dewasa, maka ini menunjukkan bahwa hukumnya sama. Dan setiap orang yang wajib menjalani masa ‘iddah, maka wajib pula menjalankan hukum-hukum masa ‘iddah tersebut seperti perempuan dewasa.

فَأَمَّا رَفْعُ الْقَلَمِ عَنْهَا فَلَمَّا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ وُجُوبِ الْعِدَّةِ عَلَيْهَا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ أَحْكَامِهَا، وَأَمَّا كَوْنُ الْإِحْدَادِ تَعَبُّدًا مَحْضًا فَهُوَ كَالْعِدَّةِ فِيهِ تعبد ويتعلق به حتى الزَّوْجِ إِمَّا لِرِعَايَةِ حُرْمَتِهِ وَإِمَّا لِصَرْفِ الرِّجَالِ عن الرغبة فيها في عدته وَهَذَانِ مِمَّا لَا يَفْتَرِقُ فِيهِمَا حُكْمُ الصَّغِيرَةِ وَالْكَبِيرَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun pengangkatan pena (tidak dibebani hukum) atasnya, jika tidak menghalangi kewajiban ‘iddah atasnya, maka tidak pula menghalangi hukum-hukum yang terkait dengannya. Adapun ihdād sebagai ibadah murni, maka hukumnya seperti ‘iddah, yakni tetap merupakan bentuk ibadah dan terkait pula dengan suami, baik untuk menjaga kehormatannya maupun untuk mencegah laki-laki lain tertarik kepadanya selama masa ‘iddah. Kedua hal ini tidak membedakan antara anak kecil dan dewasa. Dan Allah lebih mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ فِي الْمُسْلِمَةِ وَالذِّمِّيَّةِ.

Permasalahan ketiga adalah tentang perempuan muslimah dan dzimmiyyah.

فَأَمَّا الْمُسْلِمَةُ فَقَدْ ذَكَرْنَا وُجُوبَ الْإِحْدَادِ عَلَيْهَا فِي الْعِدَّةِ.

Adapun perempuan muslimah, telah kami sebutkan kewajiban ihdād atasnya dalam masa ‘iddah.

وَأَمَّا الذِّمِّيَّةُ فَهِيَ فِي وُجُوبِ الْعِدَّةِ وَالْإِحْدَادِ كَالْمُسْلِمَةِ.

Sedangkan perempuan dzimmiyyah, maka dalam kewajiban ‘iddah dan ihdād sama seperti perempuan muslimah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ كَانَ زَوْجُهَا مُسْلِمًا فَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَيْسَ عَلَيْهَا الْإِحْدَادُ وَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا ذِمِّيًّا فَلَا عِدَّةَ وَلَا حِدَادَ.

Abu Hanifah berkata: Jika suaminya seorang Muslim, maka ia wajib menjalani masa ‘iddah, namun tidak wajib menjalani masa ihdād (berkabung). Jika suaminya seorang dzimmi, maka tidak ada kewajiban ‘iddah maupun ihdād atasnya.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ، وَمُحَمَّدٌ: عَلَيْهَا الْعِدَّةُ مِنْهُمَا وَلَا إِحْدَادَ عَلَيْهَا مِنْهُمَا اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أن تحد على ميت فوق ثلاث ليال إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَلَمَّا خَصَّ الْمُؤْمِنَةَ بِالذِّكْرِ دَلَّ عَلَى اخْتِصَاصِهَا بِالْحُكْمِ؛ وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ مَحْضَةٌ فَسَقَطَتْ بِالْكُفْرِ كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ؛ وَلِأَنَّهَا لَمَّا أُقِرَّتْ عَلَى تَرْكِ الْإِيمَانِ كَانَ إِقْرَارُهَا عَلَى تَرْكِ الْإِحْدَادِ أَوْلَى.

Abu Yusuf dan Muhammad berkata: Ia wajib menjalani masa ‘iddah dari keduanya (baik suami Muslim maupun dzimmi), namun tidak wajib menjalani ihdād dari keduanya, dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas suami selama empat bulan sepuluh hari.” Ketika Nabi ﷺ secara khusus menyebutkan wanita mukminah, itu menunjukkan kekhususan hukum tersebut baginya; dan karena ihdād adalah ibadah murni, maka gugur dengan kekufuran sebagaimana ibadah-ibadah lainnya; dan karena ketika ia dibiarkan dalam keadaan tidak beriman, maka membiarkannya tidak melakukan ihdād lebih utama.

وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ أم سلمة رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: الْمُتَوَفَّى زَوْجُهَا لَا تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ وَلَا الْمُمَشوق وَلَا الْحُلِيَّ وَلَا تَكْتَحِلُ وَلَا تَخْتَضِبُ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ الْمُسْلِمَةِ وَالذِّمِّيَّةِ فَدَلَّ عَلَى اشْتِرَاكِهِمَا، فِيهِ؛ وَلِأَنَّهَا بَائِنٌ بِالْوَفَاةِ فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَهَا الْعِدَّةُ وَالْإِحْدَادُ كَالْمُسْلِمَةِ، وَلِأَنَّ الْإِحْدَادَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ لِرِعَايَةِ الْحُرْمَةِ وَإِمَّا لِحِفْظِ الشَّهْوَةِ وَإِنْ كَانَتِ الذِّمِّيَّةُ أَقَلَّ رِعَايَةً لِلْحُرْمَةِ فَهِيَ أَقْوَى شَهْوَةً لِقِلَّةِ الْمُرَاقَبَةِ فَكَانَتْ بِالْإِحْدَادِ أَوْلَى مِنَ الْمُسْلِمَةِ.

Dalil kami adalah hadis Ummu Salamah ra. bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Wanita yang suaminya wafat tidak boleh memakai pakaian yang dicelup ‘ma‘shafar’, tidak pula yang ‘mumashshaq’, tidak memakai perhiasan, tidak bercelak, dan tidak berhias dengan pacar.” Nabi tidak membedakan antara wanita Muslimah dan dzimmi, sehingga menunjukkan keduanya sama dalam hal ini; dan karena ia telah berpisah dengan wafat, maka wajib atasnya menjalani ‘iddah dan ihdād sebagaimana wanita Muslimah; dan karena ihdād itu bisa jadi untuk menjaga kehormatan atau menjaga syahwat, dan meskipun wanita dzimmi lebih sedikit menjaga kehormatan, namun syahwatnya lebih kuat karena kurangnya pengawasan, maka ia lebih utama menjalani ihdād daripada wanita Muslimah.

فَأَمَّا الْخَبَرُ فَلَمْ يُذْكَرِ الْإِيمَانُ فِيهِ شَرْطًا، وَإِنَّمَا ذَكَرَهُ تَنْبِيهًا عَلَى الْأَدْنَى وكما قال تعالى: {إن نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} [الأحزاب: 49] فَلَمْ يَكُنْ ذِكْرُ الْإِيمَانِ فِيهِنَّ شَرْطًا، وَكَانَ تَنْبِيهًا يَسْتَوِي فِيهِ مَنْ آمَنَ وَمَنْ كفر.

Adapun hadis tersebut, tidak disebutkan iman sebagai syarat di dalamnya, melainkan hanya sebagai penunjuk pada tingkatan yang paling rendah. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Jika kamu menikahi wanita-wanita mukminah lalu kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, maka tidak ada masa ‘iddah yang perlu kamu perhitungkan atas mereka} (al-Ahzab: 49). Maka penyebutan iman di sini bukanlah sebagai syarat, melainkan sebagai penunjuk yang berlaku bagi yang beriman maupun yang kafir.

والجواب عن قولهم: أن تعبد، فهو أن التعبد لما اقْتَرَنَ بِهِ حَقُّ الزَّوْجِ جَازَ أَنْ يُؤْخَذَ بِهِ وَإِنْ لَمْ يُؤْخَذْ بِحُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى المحضة والله أعلم.

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa ihdād adalah ibadah, maka jawabannya adalah: Ketika ibadah itu terkait dengan hak suami, maka boleh diberlakukan meskipun tidak diberlakukan pada hak-hak Allah Ta‘ala yang murni. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي: ” وَلَوْ تَزَوَّجَتْ نَصْرَانِيَّةٌ نَصْرَانِيًّا فَأَصَابَهَا أَحَلَّهَا لِزَوْجِهَا الْمُسْلِمِ وَيُحْصِنُهَا لِأَنَّهُ زَوْجٌ أَلَا تَرَى أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَلَا يَرْجُمُ إِلَّا مُحَصَّنًا “.

Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seorang wanita Nasrani menikah dengan laki-laki Nasrani lalu ia digauli, maka ia menjadi halal bagi suaminya yang Muslim dan statusnya menjadi muhsanah (terjaga kehormatannya), karena ia adalah seorang istri. Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi ﷺ pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina, dan beliau tidak merajam kecuali terhadap orang yang muhsan?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى خَمْسَةِ فُصُولٍ: قَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِي كُلِّ فَصْلٍ مِنْهَا:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini mencakup lima bagian, yang telah dijelaskan pada masing-masing bagian sebelumnya:

أَحَدُهَا: أَنَّ مَنَاكِحَ الْمُشْرِكِينَ صَحِيحَةٌ وَأَبْطَلَهَا مالك.

Pertama: Bahwa pernikahan kaum musyrik adalah sah, namun Malik membatalkannya.

والدليل عليه قول تَعَالَى: {وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ} [المسد: 4] فَجَعَلَهَا زَوْجَةً بِنِكَاحِ الشِّرْكِ وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” وُلِدْتُ مِنْ نِكَاحٍ لَا مِنْ سِفَاحٍ ” وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ إِقْرَارُهُمْ عَلَيْهَا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ جَازَ وَدَلَّ عَلَى صِحَّتِهَا فِي شِرْكِهِمْ.

Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {dan istrinya pembawa kayu bakar} (al-Masad: 4), maka Allah menjadikannya sebagai istri melalui pernikahan syirik. Dan sabda Nabi ﷺ: “Aku dilahirkan dari pernikahan, bukan dari perzinaan.” Dan karena ketika dibolehkan membiarkan mereka tetap dalam pernikahan itu setelah mereka masuk Islam, maka itu menunjukkan sahnya pernikahan tersebut ketika masih dalam kemusyrikan.

وَالْفَصْلُ الثَّانِي: وُقُوعُ الطَّلَاقِ فِي مَنَاكِحِهِمْ حَتَّى إِنْ طَلَّقَهَا فِي الشِّرْكِ ثَلَاثًا ثُمَّ أَسْلَمَا لَمْ تَحِلَّ لَهُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ.

Bagian kedua: Terjadinya talak dalam pernikahan mereka, sehingga jika ia menceraikannya dalam keadaan syirik sebanyak tiga kali lalu keduanya masuk Islam, maka ia tidak halal baginya hingga menikah dengan suami lain.

وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَقَعُ بَيْنَهُمْ بطَلَاق بِنَاءً عَلَى مَذْهَبِهِ فِي فَسَادِ مَنَاكِحِهِمْ.

Malik berkata: Talak tidak berlaku di antara mereka, berdasarkan pendapatnya tentang batalnya pernikahan mereka.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ الله تَعَالَى: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Jika ia menceraikannya (untuk ketiga kalinya), maka tidak halal baginya setelah itu hingga ia menikah dengan suami yang lain} (al-Baqarah: 230), maka ayat ini berlaku secara umum.

وَالْفَصْلُ الثَّالِثُ: ثُبُوتُ إِحْصَانِهِمْ بِالْإِصَابَةِ فِي مَنَاكِحِهِمْ.

Bagian ketiga: Penetapan status muhsan bagi mereka dengan terjadinya hubungan dalam pernikahan mereka.

وَقَالَ مَالِكٌ، وَأَبُو حَنِيفَةَ: لَا إِحْصَانَ لَهُمْ، وَدَلِيلُنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا ” وَلَا يَرْجُمُ إِلَّا مُحَصَّنًا، وَلِأَنَّهَا إِصَابَةٌ فِي نِكَاحٍ يُقِرُّ عَلَيْهَا أَهْلُهُ فَوَجَبَ أَنْ يَثْبُتَ بِهَا الْحَصَانَةُ كَالْمُسْلِمَةِ.

Malik dan Abu Hanifah berkata: “Mereka tidak memiliki status muḥṣan.” Dalil kami adalah bahwa Rasulullah ﷺ pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina, dan beliau tidak merajam kecuali terhadap yang muḥṣan. Selain itu, karena hubungan tersebut terjadi dalam pernikahan yang diakui oleh kaumnya, maka wajib ditetapkan padanya status muḥṣan sebagaimana pada perempuan Muslimah.

وَالْفَصْلُ الرَّابِعُ: أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا طَلَّقَ الذِّمِّيَّةَ ثَلَاثًا، ونكحت بعده ذمياً أجلها لِلْمُسْلِمِ بَعْدَ طَلَاقِهِ لَهَا.

Bagian keempat: Jika seorang Muslim mentalak istrinya yang dzimmi tiga kali, lalu setelah itu ia menikah dengan laki-laki dzimmi lain, maka masa iddahnya tetap diperhitungkan untuk Muslim tersebut setelah ia menceraikannya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ: لَا يُحِلُّهَا وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} [البقرة: 230] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ؛ وَلِأَنَّهُ نِكَاحٌ يُقِرُّ عَلَيْهِ الزَّوْجُ فَجَازَ أَنْ يُسْتَبَاحَ بِالْإِصَابَةِ فِيهِ نِكَاحُ الْأَوَّلِ كَالْمُسْلِمِ.

Abu Hanifah dan Malik berkata: “Hal itu tidak menghalalkannya.” Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {hingga dia menikah dengan suami yang lain} [al-Baqarah: 230], maka ayat ini berlaku secara umum; dan karena itu adalah pernikahan yang diakui oleh suaminya, maka boleh dihalalkan dengan terjadinya hubungan dalam pernikahan tersebut, sebagaimana pada perempuan Muslimah.

وَالْفَصْلُ الْخَامِسُ: وُجُوبُ الْعِدَّةِ عَلَى الذِّمِّيَّةِ مِنَ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ.

Bagian kelima: Kewajiban iddah atas perempuan dzimmi dari suami Muslim maupun kafir.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ، عَلَيْهَا الْعِدَّةُ مِنَ الْمُسْلِمِ وَلَيْسَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ مِنَ الْكَافِرِ.

Abu Hanifah dan Malik berkata: “Ia wajib menjalani iddah dari suami Muslim, namun tidak wajib menjalani iddah dari suami kafir.”

وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] . وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي سَبْيِ هَوَازِنَ: ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ ” وَقَدْ كُنَّ ذَوَاتِ أَزْوَاجٍ فِي الشِّرْكِ، وَلِأَنَّ عليها أن تحفظ أنساب المشتركين كَمَا تَحْفَظُ أَنْسَابَ الْمُسْلِمِينَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ} [البقرة: 49] وَلِتَمْيِيزِ أَنْسَابِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَنْسَابِ الْمُشْرِكِينَ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْأَحْكَامِ فَاسْتَوَيَا فِي الْعِدَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dalil kami: firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’} [al-Baqarah: 228]. Dan karena Nabi ﷺ bersabda tentang tawanan Hawazin: “Ketahuilah, tidak boleh digauli perempuan hamil hingga ia melahirkan, dan tidak boleh digauli perempuan yang tidak hamil hingga ia haid,” padahal mereka adalah perempuan-perempuan yang bersuami di masa syirik. Selain itu, mereka wajib menjaga nasab orang-orang musyrik sebagaimana menjaga nasab kaum Muslimin, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan} [al-Baqarah: 49], serta untuk membedakan nasab kaum Muslimin dari nasab orang-orang musyrik karena perbedaan hukum di antara keduanya. Maka keduanya sama dalam kewajiban iddah. Allah Maha Mengetahui.

باب اجتماع العدتين والقافة

(Bab: Berkumpulnya dua iddah dan tentang al-qāfah)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِذَا تَزَوَّجَتْ فِي الْعِدَّةِ وَدَخَلَ بِهَا الثَّانِي فَإِنَّهَا تَعْتَدُّ بِنِيَّةِ عِدَّتِهَا مِنَ الْأَوَّلِ ثُمَّ تَعْتَدُّ مِنَ الثَّانِي وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِقَوْلِ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) لَأَنَّ عَلَيْهَا حَقَّيْنِ بِسَبَبِ الزَّوْجَيْنِ وَكَذَلِكَ كُلُّ حَقَّيْنِ لَزِمَا مِنْ وَجْهَيْنِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang perempuan menikah dalam masa iddahnya dan suami kedua telah menggaulinya, maka ia menjalani iddah dengan niat iddah dari suami pertama, kemudian menjalani iddah dari suami kedua. Beliau berdalil dalam hal ini dengan perkataan Umar, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz rahimahumullah. (Imam Syafi‘i berkata): Karena ia memiliki dua hak yang wajib dipenuhi akibat dua suami, demikian pula setiap dua hak yang wajib dipenuhi dari dua sebab.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، وُجُوبُ الْعِدَّةِ تَمْنَعُ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ قَبْلَ انْقِضَائِهَا، فَإِنْ نَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا بِالْإِجْمَاعِ الْمُنْعَقِدِ عَنِ النَّصِّ فِي قَوْله تَعَالَى {وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أجله} [البقرة: 235] ولفساد العقد حالتان:

Al-Mawardi berkata: “Hal ini sebagaimana yang dikatakan, kewajiban iddah mencegah akad nikah sebelum iddah selesai. Jika seorang perempuan menikah dalam masa iddahnya, maka pernikahan itu batal berdasarkan ijmā‘ yang didasarkan pada nash firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu bertekad untuk melangsungkan akad nikah sebelum iddahnya selesai} [al-Baqarah: 235]. Adapun kerusakan akad ini memiliki dua keadaan:

إحدهما: أَنْ يَخْلُوَ مِنْ وَطْءٍ.

Pertama: Tidak terjadi hubungan badan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَقْتَرِنَ بِهِ وَطْءٌ.

Kedua: Terjadi hubungan badan.

فَإِنْ خَلَا مِنَ الْوَطْءِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِمَا فِيهِ لَكِنْ يُعَزَّرَانِ إِنْ عَلِمَا بِالتَّحْرِيمِ، وَلَا يُعَزَّرَانِ إِنْ جَهِلَاهُ، وَالتَّعْزِيرُ لِإِقْدَامِهِمَا عَلَى التَّعَرُّضِ لِمَحْظُورِ النِّكَاحِ وَلَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِعَقْدٍ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ النِّكَاحِ فَلَا يُسْتَحَقُّ بِهِ مَهْرٌ، وَلَا نَفَقَةٌ، وَلَا سُكْنَى وَلَا تَصِيرُ فِيهِ فِرَاشًا وَلَا يَثْبُتُ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ، وَلَا يَجِبُ بِالتَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا عِدَّةٌ، وَلَا تَنْقَطِعُ بِهِ عِدَّةُ الْأَوَّلِ، وَتَكُونُ جَارِيَةً فِيهَا.

Jika tidak terjadi hubungan badan, maka tidak ada hukuman had atas keduanya, namun keduanya tetap dikenai ta‘zīr jika mengetahui keharamannya, dan tidak dikenai ta‘zīr jika tidak mengetahuinya. Ta‘zīr ini karena keduanya telah berani melakukan sesuatu yang dilarang dalam pernikahan. Pernikahan tersebut tidak sah karena bukan akad yang sah, sehingga tidak ada satu pun hukum pernikahan yang berlaku padanya: tidak berhak mendapat mahar, tidak ada nafkah, tidak ada tempat tinggal, tidak menjadi tempat tidur yang sah, tidak menetapkan keharaman karena hubungan muṣāharah, tidak wajib menjalani iddah karena perpisahan, iddah dari suami pertama tidak terputus, dan iddah tetap berjalan seperti semula.

فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ الرَّجْعَةُ فِي الْعِدَّةِ تَقْطَعُ عِدَّةَ الْمُطَلَّقِ حَتَّى إِنْ طَلَّقَهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ لَمْ يَحْتَسِبْ بِمَا بَيْنَ الرَّجْعَةِ، وَالطَّلَاقِ الثَّانِي مِنَ الْعِدَّةِ فَهَلَّا كَانَتِ الْمَنْكُوحَةُ فِي الْعِدَّةِ قَاطِعَةً لِلْعِدَّةِ مَا لَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهُمَا.

Jika dikatakan: Bukankah rujuk dalam masa iddah memutus iddah perempuan yang ditalak, sehingga jika ia ditalak lagi setelah rujuk, maka masa antara rujuk dan talak kedua tidak dihitung sebagai iddah? Lalu mengapa perempuan yang dinikahi dalam masa iddah tidak memutus iddah selama belum dipisahkan dari suami kedua?

قُلْنَا: لِأَنَّ الْمُرْتَجَعَةَ تَكُونُ فِرَاشًا فَلَمْ يُحْتَسَبْ بِمُدَّةِ الْفِرَاشِ مِنَ الْعِدَّةِ، وَالْمَنْكُوحَةُ فِي الْعِدَّةِ لَا تَكُونُ فِرَاشًا فَجَازَ أَنْ يُحْتَسَبَ بِمُدَّةِ الِاجْتِمَاعِ مِنَ الْعِدَّةِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَكْمَلَتِ الْعِدَّةَ قَبْلَ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا فَقَدْ حَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ، وَكَانَ لِلنَّاكِحِ لَهَا فِي الْعِدَّةِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بَعْدَ الْعِدَّةِ وَأَحْسَبُ مالكاً بقول لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ مَا لَمْ تَنْكِحْ غَيْرَهُ.

Kami berkata: Karena wanita yang dirujuk kembali menjadi “firāsy” (istri yang sah), maka masa “firāsy” tersebut tidak dihitung sebagai bagian dari masa ‘iddah. Adapun wanita yang dinikahi saat masih dalam masa ‘iddah, ia tidak menjadi “firāsy”, sehingga boleh saja masa kebersamaan mereka dihitung sebagai bagian dari masa ‘iddah. Berdasarkan hal ini, jika ia telah menyelesaikan masa ‘iddah sebelum terjadi perpisahan di antara keduanya, maka ia telah halal bagi para suami. Dan bagi laki-laki yang menikahinya saat dalam masa ‘iddah, boleh menikahinya kembali setelah masa ‘iddah selesai. Aku kira Mālik berpendapat bahwa tidak boleh baginya menikahi wanita itu, dan ia tetap haram baginya sampai wanita itu menikah dengan laki-laki lain.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِنْ وَطِئَهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Jika ia (suami) menggaulinya, maka keadaan mereka berdua tidak lepas dari empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا عَالِمَيْنِ بِالتَّحْرِيمِ.

Pertama: Keduanya sama-sama mengetahui keharaman (perbuatan tersebut).

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَا جَاهِلَيْنِ بِهِ.

Kedua: Keduanya sama-sama tidak mengetahui keharaman itu.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْوَاطِئُ عَالِمًا وَالْمَوْطُوءَةُ جَاهِلَةً.

Ketiga: Laki-laki yang menggauli mengetahui (keharaman), sedangkan wanita yang digauli tidak mengetahuinya.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْوَاطِئُ جَاهِلًا وَالْمَوْطُوءَةُ عَالِمَةً.

Keempat: Laki-laki yang menggauli tidak mengetahui (keharaman), sedangkan wanita yang digauli mengetahuinya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَا عَالِمَيْنِ بِالتَّحْرِيمِ فَعَلَيْهِمَا الْحَدُّ.

Adapun keadaan pertama, yaitu keduanya sama-sama mengetahui keharaman, maka atas keduanya dikenakan had (hukuman hudud).

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا حَدَّ عَلَيْهِمَا لِشُبْهَةِ الْعَقْدِ بِنَاءً عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الْوَاطِئِ لِأُمِّهِ بَعْدَ النِّكَاحِ أَنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهِ، وَقَدْ مَضَى مِنَ الْحِجَاجِ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ مَا هُوَ دَلِيلٌ عَلَيْهِ هَاهُنَا، وَقَدْ رَوَى الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَمِّي وَمَعَهُ رَايَةٌ، فَقُلْتُ إِلَى أَيْنَ تَذْهَبُ، فَقَالَ: أَرْسَلَنِي رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَى رَجُلٍ أَعْرَسَ بِامْرَأَةِ أَبِيهِ أَنْ أَقْتُلَهُ وَآتِيَهُ بِرَأْسِهِ وَأُخَمِّسَ مَالَهُ.

Abu Hanifah berkata: Tidak dikenakan had atas keduanya karena adanya syubhat akad, berdasarkan pendapatnya mengenai orang yang menggauli ibunya setelah akad nikah, bahwa tidak dikenakan had atasnya. Dan telah dijelaskan sebelumnya dalil yang menjadi hujah atas hal itu di sini. Al-Barā’ bin ‘Āzib meriwayatkan: Aku melihat pamanku membawa bendera, lalu aku bertanya, “Ke mana engkau pergi?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya agar aku membunuhnya, membawa kepalanya, dan membagi seperlima hartanya.”

وَالْعَرْسَةُ اسْمٌ لِلْوَطْءِ فِي نِكَاحٍ فَاحْتَمَلَ تَخْمِيسَ مَالِهِ، لِأَنَّهُ اسْتَحَلَّ ذَلِكَ فَصَارَ مُرْتَدًّا وَصَارَ مَالُهُ بِالرِّدَّةِ فَيْئًا وَاحْتَمَلَ إِنْ لَمْ يَسْتَحِلَّهُ فَقَتَلَهُ حَدًّا وَخَمَّسَ مَالَهُ عُقُوبَةً، لِأَنَّ الْعُقُوبَاتِ كَانَتْ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ بِالْأَمْوَالِ، فَدَلَّ ذِكْرُ الْحَسَبِ عَلَى تَعَلُّقِ الْقَتْلِ بِهِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا وَرَدَ النَّصُّ بِتَحْرِيمِهِ ارْتَفَعَتِ الشُّبْهَةُ فِي إِبَاحَتِهِ وَارْتِفَاعُ الشُّبْهَةِ فِي الوطء ويوجب للحد كَالزِّنَا، فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْحَدِّ عَلَيْهِمَا، فَهُوَ كَالزِّنَا لَا يُسْتَحَقُّ بِهِ الْمَهْرُ وَلَا يَجِبُ فِيهِ الْعِدَّةُ وَلَا يُلْحَقُ فِيهِ النَّسَبُ وَلَا بقطع عِدَّةَ الْأَوَّلِ وَيَسْرِي فِي عِدَّتِهِ، وَإِنْ لَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الثَّانِي؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَصِرْ بِهَذَا الْوَطْءِ فِرَاشًا لَهُ.

“Al-‘ursah” adalah istilah untuk hubungan suami istri dalam pernikahan. Maka, pembagian seperlima hartanya dimungkinkan karena ia telah menghalalkan perbuatan itu sehingga menjadi murtad, dan hartanya menjadi fai’ (rampasan) karena kemurtadannya. Atau dimungkinkan juga, jika ia tidak menghalalkannya, maka ia dibunuh sebagai hukuman had dan hartanya dibagi seperlima sebagai hukuman, karena hukuman pada masa awal Islam juga diberlakukan pada harta. Maka, penyebutan “al-hasab” (pembagian seperlima) menunjukkan adanya kaitan hukuman mati dengannya. Karena ketika telah datang nash yang mengharamkannya, hilanglah syubhat dalam menghalalkannya, dan hilangnya syubhat dalam hubungan badan mewajibkan had sebagaimana zina. Jika telah tetap kewajiban had atas keduanya, maka hukumnya seperti zina: tidak berhak mendapat mahar, tidak wajib ‘iddah, tidak dinisbatkan nasab, tidak memutus masa ‘iddah dari suami pertama, dan masa ‘iddah tetap berjalan, meskipun belum dipisahkan antara keduanya dan suami kedua; karena dengan hubungan badan ini, ia tidak menjadi “firāsy” bagi suami kedua.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي، وَهُوَ أَنْ يَكُونَا جَاهِلَيْنِ بِالتَّحْرِيمِ: إِمَّا لِجَهْلِهِمَا بِبَقَاءِ الْعِدَّةِ، وَإِمَّا لِجَهْلِهِمَا بِالتَّحْرِيمِ مَعَ عِلْمِهِمَا بِبَقَاءِ الْعِدَّةِ فَهُمَا سَوَاءٌ وَلَا حَدَّ عليهما، لأن في الجهل بالتحريم شبهة تدرأها الْحُدُودُ وَيَتَعَلَّقُ بِهَذَا الْوَاطِئِ أَحْكَامُهُ فِي النِّكَاحِ فَيُسْتَحَقُّ فِيهِ الْمَهْرُ وَيُلْحَقُ بِهِ النَّسَبُ وَتَجِبُ بِهِ الْعِدَّةُ وَتُقْطَعُ بِهِ عِدَّةُ الْأَوَّلِ مَا لَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الثَّانِي، لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِوَطْءِ الشُّبْهَةِ فِرَاشًا لَهُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ فِرَاشًا لَهُ وَمُعْتَدَّةً مِنْ غَيْرِهِ، لِأَنَّ الْعِدَّةَ تُنَافِي الْفِرَاشَ، فَإِذَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا صارت بالتفرقة داخلة في عدة لاأول لِارْتِفَاعِ الْفِرَاشِ بِهَا فَيَبْنِي عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا ثُمَّ تَعْتَدُّ مِنْ إِصَابَةِ الثَّانِي وَيَجُوزُ إِذَا كَمُلَتْ عِدَّةُ الْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا الثَّانِي، وَإِنْ كَانَتْ فِي عِدَّتِهِ وَلَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ، وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهَا قَدْ حَرُمَتْ عَلَى الثَّانِي أَبَدًا إِذَا كَانَ جَاهِلًا بِالتَّحْرِيمِ، وَلَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ مَعَ الْعِلْمِ بِالتَّحْرِيمِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ قَالَهُ حِكَايَةً عَنْ مَالِكٍ، أَوْ مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ فَقَالَ الْبَصْرِيُّونَ: حَكَاهُ عَنْ غَيْرِهِ.

Adapun bagian kedua, yaitu apabila keduanya tidak mengetahui adanya keharaman: baik karena keduanya tidak mengetahui masih adanya masa ‘iddah, atau karena keduanya tidak mengetahui keharaman meskipun mengetahui masih adanya masa ‘iddah, maka keduanya sama saja dan tidak dikenakan had atas mereka, karena ketidaktahuan terhadap keharaman merupakan syubhat yang menggugurkan penerapan hudud. Terkait dengan orang yang melakukan hubungan ini, berlaku hukum-hukum dalam pernikahan: mahar tetap wajib, nasab anak dinisbatkan kepadanya, wajib menjalani masa ‘iddah, dan masa ‘iddah dari suami pertama terputus selama belum dipisahkan antara perempuan itu dan laki-laki kedua, karena dengan hubungan syubhat tersebut, ia telah menjadi “tempat tidur” (istri) bagi laki-laki kedua, dan tidak boleh ia menjadi “tempat tidur” bagi laki-laki kedua sekaligus menjalani masa ‘iddah dari selainnya, karena masa ‘iddah bertentangan dengan status “tempat tidur” (istri). Jika keduanya dipisahkan, maka dengan perpisahan itu ia masuk ke dalam masa ‘iddah dari suami pertama karena status “tempat tidur” telah hilang darinya, sehingga ia melanjutkan sisa masa ‘iddah yang telah dijalani, kemudian menjalani masa ‘iddah dari hubungan dengan laki-laki kedua. Jika masa ‘iddah dari suami pertama telah selesai, maka laki-laki kedua boleh menikahinya, meskipun ia masih dalam masa ‘iddah dari laki-laki kedua, dan ia tidak menjadi haram baginya. Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khattab ra. bahwa perempuan itu menjadi haram selamanya bagi laki-laki kedua jika ia tidak mengetahui keharaman, dan tidak haram baginya jika ia mengetahui keharaman. Ini adalah mazhab Malik, dan disebutkan oleh al-Syafi‘i dalam pendapat lama beliau. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah beliau menyebutkannya sebagai riwayat dari Malik atau sebagai pendapat beliau sendiri. Ulama Basrah berpendapat bahwa beliau meriwayatkannya dari selain dirinya.

وَقَالَ الْبَغْدَادِيُّونَ: قَالَهُ مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا، هَلْ يَكُونُ تَفْرِيقُ الْحَاكِمِ بَيْنَهُمَا شَرْطًا فِي هَذَا التَّحْرِيمِ الْمُؤَبَّدِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Ulama Baghdad berpendapat: beliau (al-Syafi‘i) mengatakannya sebagai pendapat beliau sendiri. Dan orang-orang yang berpendapat demikian berbeda pendapat, apakah pemisahan oleh hakim antara keduanya merupakan syarat dalam keharaman abadi ini? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ شَرْطًا، وَقَدْ حَرُمَتْ أَبَدًا سَوَاءٌ افْتَرَقَا بِأَنْفُسِهِمَا أَوْ فَرَّقَ الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّ أَسْبَابَ التَّحْرِيمِ لَا تَقِفُ عَلَى الْحُكْمِ كَالنَّسَبِ وَالرَّضَاعِ.

Pertama: Tidak menjadi syarat, dan perempuan itu menjadi haram selamanya, baik keduanya berpisah sendiri maupun dipisahkan oleh hakim, karena sebab-sebab keharaman tidak bergantung pada keputusan hakim, seperti nasab dan persusuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْحُكْمَ شَرْطٌ فِي تَأْبِيدِ هَذَا الْحُكْمِ كَاللِّعَانِ، وَاحْتَجَّ مَنْ ذَهَبَ إِلَى هَذَا الْقَوْلِ بِأَمْرَيْنِ: هُمَا دَلِيلٌ وَفَرْقٌ بَيْنَ الْعَالَمِ وَالْجَاهِلِ:

Pendapat kedua: Keputusan hakim merupakan syarat dalam penetapan keharaman abadi ini, seperti dalam kasus li‘ān. Orang yang berpendapat demikian berdalil dengan dua hal: yaitu dalil dan perbedaan antara orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui.

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَالِمَ بِالتَّحْرِيمِ مَزْجُورٌ فَاسْتَغْنَى عَنِ الزَّجْرِ بِتَأْبِيدِ تَحْرِيمِهَا عليه والجاهل به غيره مزجوراً بِالْحَدِّ فَزُجِرَ بِتَأْبِيدِ التَّحْرِيمِ.

Pertama: Orang yang mengetahui keharaman sudah dicegah (dengan ancaman dosa), sehingga tidak perlu dicegah lagi dengan keharaman abadi, sedangkan orang yang tidak mengetahui keharaman tidak dicegah dengan had, maka dicegah dengan keharaman abadi.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْجَاهِلَ بِالتَّحْرِيمِ مُفْسِدٌ لِلنَّسَبِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِيهِ فَزُجِرَ عَلَى إِفْسَادِهِ بِتَأْبِيدِ التَّحْرِيمِ وَالْعَالِمَ بِهِ غَيْرُ مُفْسِدٍ لِلنَّسَبِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُشَارِكٍ فِيهِ فَلَمْ يُزْجَرْ بِتَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ لِعَدَمِ إِفْسَادِهِ فَهَذَا دَلِيلُ مَا قَالَهُ عُمَرُ، وَمَذْهَبُ مَنْ تَابَعَهُ عَلَيْهِ.

Kedua: Orang yang tidak mengetahui keharaman telah merusak nasab karena keterlibatan keduanya, maka ia dicegah dari perusakan itu dengan keharaman abadi. Sedangkan orang yang mengetahui keharaman tidak merusak nasab karena ia tidak terlibat di dalamnya, sehingga tidak dicegah dengan keharaman karena tidak ada perusakan. Inilah dalil pendapat ‘Umar dan mazhab orang-orang yang mengikutinya.

وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مَعَ الْجَهْلِ وَالْعِلْمِ جَمِيعًا، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ، وَهُوَ الْقِيَاسُ الصَّحِيحُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Ali bin Abi Thalib ra. berpendapat bahwa perempuan itu tidak menjadi haram baginya baik dalam keadaan tidak tahu maupun tahu, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah, serta pendapat al-Syafi‘i dalam pendapat barunya. Ini adalah qiyās yang benar dari tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ مَعَ الْعِلْمِ أَغْلَظُ مَأْثَمًا ثُمَّ لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ فَكَانَتْ مَعَ ارْتِفَاعِ الْمَأْثَمِ بِالْجَهْلِ أَوْلَى أَنْ لَا يَحْرُمَ.

Pertama: Dalam keadaan mengetahui keharaman, dosanya lebih besar, namun tidak menjadikan perempuan itu haram baginya, maka dalam keadaan tidak tahu—yang dosanya lebih ringan—lebih utama untuk tidak menjadi haram.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَطْءَ لَا يَقْتَضِي تَحْرِيمَ الْمَوْطُوءَةِ عَلَى الْوَاطِئِ، وَإِنَّمَا يَقْتَضِي تَحْرِيمَ غَيْرِهَا عَلَى الْوَاطِئِ وَتَحْرِيمَهَا عَلَى غَيْرِ الْوَاطِئِ.

Kedua: Hubungan (jima‘) tidak meniscayakan keharaman perempuan yang digauli atas laki-laki yang menggaulinya, melainkan meniscayakan keharaman perempuan itu atas selain laki-laki tersebut, dan keharaman perempuan lain atas laki-laki yang menggaulinya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ حَلَالَ الْوَطْءِ وَحَرَامَهُ مِنْ نِكَاحٍ وَزِنًا لَا يُوجِبُ تَأْبِيدَ تَحْرِيمِ الْمَوْطُوءَةِ عَلَى الْوَاطِئِ، وَهَذَا الْوَطْءُ مُلْحَقٌ بِأَحَدِهِمَا وَلَيْسَ لِلْفَرْقَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ وَجْهٌ؛ لِأَنَّ الزَّجْرَ لَا يَكُونُ بِالتَّحْرِيمِ فَبَطَلَ بِهِ الْفَرْقُ الْأَوَّلُ، وَالْجَاهِلُ غَيْرُ مُفْسِدٍ لِلنَّسَبِ، لِأَنَّهُ يَسْتَضِيفُ وَلَدَهُ إِلَى نَفْسِهِ وَالْعَالِمُ هُوَ الْمُفْسِدُ، لِأَنَّهُ قَدْ أَضَافَ وَلَدَهُ إِلَى غَيْرِهِ فَبَطَلَ بِهِ الْفَرْقُ الثَّانِي.

Ketiga: Bahwa kehalalan dan keharaman hubungan seksual, baik melalui pernikahan maupun zina, tidak menyebabkan keharaman abadi bagi perempuan yang digauli terhadap laki-laki yang menggaulinya. Hubungan seksual ini disamakan dengan salah satu dari keduanya, dan dua perbedaan yang telah disebutkan sebelumnya tidak memiliki alasan yang kuat; karena pencegahan (larangan) tidak terjadi dengan pengharaman, maka batalah perbedaan pertama. Sedangkan orang yang tidak tahu (jahil) tidak merusak nasab, karena ia akan menisbatkan anaknya kepada dirinya sendiri, sedangkan orang yang tahu (alim) justru yang merusak, karena ia telah menisbatkan anaknya kepada selain dirinya, maka batal pula perbedaan kedua.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْوَاطِئُ عَالِمًا بِالتَّحْرِيمِ وَالْمَوْطُوءَةُ جَاهِلَةً بِهِ فَعَلَيْهِ الْحَدُّ دُونَهَا وَلَهَا الْمَهْرُ؛ لِأَنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِشُبْهَتِهَا وَلَا يُلْحَقُ بِهِ النَّسَبُ وَلَا تَجِبُ بِهِ الْعِدَّةُ لِأَنَّهُمَا يُعْتَبَرَانِ بِشُبْهَةٍ دُونَهُمَا وَلَا يَنْقَطِعُ بِوَطْئِهِ عِدَّةُ الْأَوَّلِ: لِأَنَّهَا لَمْ تَصِرْ بِهِ فِرَاشًا وَيَكُونُ مَا مَضَى مِنْ مُدَّةِ اجْتِمَاعِهِمَا مُحْتَسِبًا بِهِ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ فَتُبْنَى عَلَيْهَا حَتَّى تَسْتَكْمِلَهَا وَيَجْرِي عَلَى هَذَا الْوَطْءِ فِي حَقِّ الْوَاطِئِ حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ، وَفِي حق الْمَوْطُوءَةِ حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّانِي، وَمَا وَجَبَ مِنَ الْمَهْرِ فِيهِمَا فَهُوَ لِلْمَوْطُوءَةِ وَلَا يَكُونُ فِي بَيْتِ الْمَالِ.

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila laki-laki yang menggauli mengetahui keharaman (hubungan tersebut), sedangkan perempuan yang digauli tidak mengetahuinya, maka had (hukuman) dikenakan kepada laki-laki saja, tidak kepada perempuan, dan perempuan berhak atas mahar; karena ia dianggap berdasarkan syubhatnya, dan nasab tidak dinisbatkan kepadanya, serta tidak wajib atasnya menjalani iddah, karena keduanya dianggap berdasarkan syubhat, tidak seperti selain mereka. Masa iddah dari suami pertama tidak terputus oleh hubungan ini, karena ia belum menjadi istri (firasy) bagi yang kedua. Masa pertemuan mereka yang telah berlalu dihitung sebagai bagian dari iddah suami pertama, sehingga ia melanjutkan hingga menyempurnakannya. Hukum hubungan ini bagi laki-laki mengikuti hukum bagian pertama, dan bagi perempuan mengikuti hukum bagian kedua. Mahar yang wajib dalam kasus ini menjadi hak perempuan yang digauli dan tidak masuk ke Baitul Mal.

وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَكُونُ مَهْرُهَا فِي بَيْتِ الْمَالِ، وَفِي قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا ” مَا يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ مُسْتَحِقًّا لِغَيْرِهَا.

Umar radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa maharnya masuk ke Baitul Mal. Namun dalam sabda Nabi ﷺ: “Maka baginya mahar atas apa yang telah dihalalkan dari kemaluannya,” terdapat dalil yang mencegah mahar itu menjadi hak selain dirinya.

وَبِهِ قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَهُوَ الْقِيَاسُ الَّذِي عَمِلَ بِهِ الشَّافِعِيُّ.

Demikian pula pendapat Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, dan ini adalah qiyās yang diikuti oleh Imam Syafi‘i.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْوَاطِئُ جَاهِلًا بِالتَّحْرِيمِ وَالْمَوْطُوءَةُ عَالِمَةً بِهِ فَالْحَدُّ عَلَى الْمَوْطُوءَةِ دُونَ الْوَاطِئِ، لِأَنَّ الْحَدَّ مُعْتَبَرٌ بِشُبْهَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَا مَهْرَ لَهَا، لِأَنَّ الْمَهْرَ مُعْتَبَرٌ بِشُبْهَتِهَا، وَالْوَلَدَ لَاحِقٌ بِهِ، وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ، لِأَنَّهُمَا مُعْتَبَرَانِ بِشُبْهَةٍ، وَتَكُونُ هَذِهِ الْإِصَابَةُ قَاطِعَةً لِعِدَّةِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِهَا فِرَاشًا لِلثَّانِي، فَإِذَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا دَخَلَتْ فِي عِدَّةِ الْأَوَّلِ، وَبَنَتْ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا حَتَّى تَسْتَكْمِلَهَا وَتَسْتَأْنِفَ بَعْدَهَا عِدَّةَ الثَّانِي، وَتَجْرِي عَلَى هَذِهِ الْإِصَابَةِ فِي حَقِّ الْمَوْطُوءَةِ حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ، وَفِي حَقِّ الْوَاطِئِ حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّانِي فَتَصِيرُ إِصَابَةُ الثَّانِي قَاطِعَةً لِعِدَّةِ الْأَوَّلِ فِي قِسْمَيْنِ إِذَا جَهِلَا التَّحْرِيمَ أَوْ جَهِلَهُ الْوَاطِئُ دُونَهَا، وَغَيْرَ قَاطِعَةٍ لِعِدَّتِهِ فِي قِسْمَيْنِ إِذَا عَلِمَا بِالتَّحْرِيمِ أَوْ عَلِمَهُ الْوَاطِئُ دُونَهَا.

Adapun bagian keempat: yaitu apabila laki-laki yang menggauli tidak mengetahui keharaman (hubungan tersebut), sedangkan perempuan yang digauli mengetahuinya, maka had (hukuman) dikenakan kepada perempuan saja, tidak kepada laki-laki, karena had dipertimbangkan berdasarkan syubhat masing-masing dari keduanya. Perempuan tidak berhak atas mahar, karena mahar dipertimbangkan berdasarkan syubhatnya. Anak dinisbatkan kepada laki-laki, dan perempuan wajib menjalani iddah, karena keduanya dipertimbangkan berdasarkan syubhat. Hubungan ini memutus iddah dari suami pertama, karena ia telah menjadi istri (firasy) bagi yang kedua. Jika keduanya dipisahkan, maka perempuan masuk ke dalam iddah suami pertama, dan melanjutkan sisa iddahnya hingga selesai, lalu memulai iddah kedua setelahnya. Hukum hubungan ini bagi perempuan mengikuti hukum bagian pertama, dan bagi laki-laki mengikuti hukum bagian kedua. Maka hubungan dengan laki-laki kedua memutus iddah suami pertama dalam dua keadaan: jika keduanya sama-sama tidak mengetahui keharaman, atau jika hanya laki-laki yang tidak tahu. Namun tidak memutus iddah dalam dua keadaan: jika keduanya sama-sama mengetahui keharaman, atau jika hanya laki-laki yang tahu.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَحْكَامِ هَذِهِ الْأَقْسَامِ وَوَجَبَتْ عَلَيْهَا عِدَّتَانِ عِدَّةٌ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَعِدَّةٌ مِنْ وَطْءِ الثَّانِي لَمْ تَتَدَاخَلِ الْعِدَّتَانِ، وَأَكْمَلَتْ عِدَّةَ الْأَوَّلِ لِتُقَدِّمِهِ وَصِحَّةِ عَقْدِهِ ثُمَّ اسْتَأْنَفَتْ بَعْدَهَا عِدَّةَ الثَّانِي.

Jika telah ditetapkan hukum-hukum bagian-bagian yang telah kami sebutkan, dan perempuan tersebut wajib menjalani dua iddah: iddah karena talak dari suami pertama dan iddah karena hubungan dengan laki-laki kedua, maka kedua iddah itu tidak saling masuk (tidak tumpang tindih). Ia harus menyempurnakan iddah dari suami pertama karena lebih dahulu dan sahnya akad, kemudian setelah itu ia memulai iddah dari laki-laki kedua.

وَبِهِ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تعالى عنه وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ.

Demikian pula pendapat Umar bin al-Khattab radhiyallahu ta‘ala ‘anhu, Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, dan Umar bin Abdul Aziz.

وَقَالَ مَالِكٌ: وَأَبُو حَنِيفَةَ تَتَدَاخَلُ الْعِدَّتَانِ وَلَا يَلْزَمُهَا أَكْثَرُ مِنْ عِدَّةٍ وَاحِدَةٍ، وَيَكُونُ الْبَاقِي مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ دَاخِلًا فِي عِدَّةِ الثَّانِي اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَأُولاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] فَلَمْ يُوجِبْ عَلَى الْحَامِلِ عِدَّةً غَيْرَ وَضْعِ الْحَمْلِ سَوَاءٌ كَانَ مِنْ وَاحِدٍ أَوْ جَمَاعَةٍ، وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] فَلَمْ يُوجِبْ عَلَيْهَا غَيْرَهَا فِي عُمُومِ الْأَحْوَالِ.

Malik dan Abu Hanifah berpendapat: kedua masa iddah itu saling tumpang tindih dan tidak wajib atas perempuan tersebut menjalani lebih dari satu masa iddah. Sisa masa iddah dari suami pertama termasuk dalam masa iddah dari suami kedua, dengan dalil firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalaq: 4], maka Allah tidak mewajibkan atas perempuan hamil iddah lain selain melahirkan, baik kehamilan itu dari satu orang atau beberapa orang. Dan juga firman-Nya Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’} [al-Baqarah: 228], maka Allah tidak mewajibkan atas mereka selain itu dalam seluruh keadaan secara umum.

قَالُوا: وَلِأَنَّهُمَا عِدَّتَانِ تَرَادَفَتَا فَوَجَبَ أَنْ تَتَدَاخَلَا كَمَا لَوْ كَانَتَا مِنْ وَاحِدٍ، وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ تُرَادُ لِاسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ، فَإِذَا عُرِفَ فِي حق إحداهما عُرِفَ فِي حَقِّهِمَا فَلَمْ يَسْتَفِدْ بِالزِّيَادَةِ مَا لَمْ يَسْتَفِدْ قَبْلَهَا، وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ تَتَّصِلُ بِسَبَبِهَا وَلَا تَتَأَخَّرُ عَنْهُ وَذَلِكَ مُوجِبٌ لِتَدَاخُلِهِمَا حَتَّى لا تتأخر واحد مِنْهُمَا عَنْ سَبَبِهَا، وَلِأَنَّ الْمُخْتَلِعَةَ يَجُوزُ لِمُخَالِعِهَا أن يتزوجها في عدتها، ولو طئت فِيهَا بِشُبْهَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فَلَوْلَا أَنَّهَا فِي عِدَّةٍ مِنْهُمَا لَجَازَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، فَاقْتَضَى هَذَا الْمَنْعُ تَدَاخُلَ الْعِدَّتَيْنِ وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ أَجَلٌ يُقْضَى بِمُرُورِ الزَّمَانِ، فَإِذَا اجْتَمَعَ أَجَلَانِ فِي دَيْنٍ لِرَجُلَيْنِ تَدَاخَلَا كَذَلِكَ إِذَا اجْتَمَعَتْ عِدَّتَانِ.

Mereka berkata: Karena keduanya adalah dua masa iddah yang datang berturut-turut, maka wajib untuk saling tumpang tindih sebagaimana jika keduanya berasal dari satu orang. Dan karena iddah dimaksudkan untuk memastikan kekosongan rahim, maka jika telah diketahui pada salah satunya, maka telah diketahui pula pada keduanya, sehingga tidak ada manfaat dari penambahan iddah yang tidak didapatkan sebelumnya. Dan karena iddah itu berkaitan dengan sebabnya dan tidak tertunda darinya, hal ini mengharuskan keduanya saling tumpang tindih sehingga tidak ada satu pun yang tertunda dari sebabnya. Dan karena perempuan yang melakukan khulu‘ boleh dinikahi oleh suaminya yang menceraikannya selama masa iddah, namun jika ia digauli dalam masa iddah karena syubhat, maka tidak boleh dinikahi, maka seandainya ia tidak dalam masa iddah salah satunya, niscaya boleh dinikahi. Maka larangan ini menunjukkan adanya tumpang tindih dua iddah. Dan karena iddah adalah masa yang diputuskan dengan berlalunya waktu, maka jika dua masa jatuh tempo berkumpul dalam utang untuk dua orang, keduanya saling tumpang tindih, demikian pula jika dua iddah berkumpul.

وَدَلِيلُنَا إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ مَنْقُولٌ عَنِ اثْنَيْنِ أَمْسَكَ الْبَاقُونَ عَنْ مُخَالَفَتِهِمَا.

Dalil kami adalah ijmā‘ para sahabat yang dinukil dari dua orang, sementara yang lainnya tidak menentang keduanya.

أَحَدُهُمَا: عَنْ عُمَرَ رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سعيد بن المسيب، وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ طُلَيْحَةَ كَانَتْ تَحْتَ رُشَيْدٍ الثَّقَفِيِّ فَطَلَّقَهَا الْبَتَّةَ فَنَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا فَضَرَبَهَا عُمَرُ وَضَرَبَ زَوْجَهَا بِالْمِخْفَقَةِ ضَرَبَاتٍ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ قَالَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ فِي عِدَّتِهَا فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا الَّذِي تَزَوَّجَهَا لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَاعْتَدَّتْ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا مِنْ زَوْجِهَا الْأَوَّلِ ثُمَّ الْآخَرِ وَكَانَ خَاطِبًا مِنَ الْخُطَّابِ وَإِنْ كَانَ دَخَلَ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَاعْتَدَّتْ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا مِنْ زَوْجِهَا الْأَوَّلِ ثُمَّ اعْتَدَّتْ مِنَ الْآخَرِ ثُمَّ لَمْ يَنْكِحْهَا أَبَدًا.

Salah satunya: dari Umar, diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Malik dari az-Zuhri dari Sa‘id bin al-Musayyab dan Sulaiman bin Yasar, bahwa Thulaihah pernah menjadi istri Rushaid ats-Tsaqafi, lalu ia menceraikannya dengan talak ba’in, kemudian ia menikah dalam masa iddahnya. Maka Umar memukulnya dan memukul suaminya dengan cambuk beberapa kali, lalu memisahkan keduanya. Kemudian ia berkata: “Siapa saja perempuan yang dinikahi dalam masa iddahnya, jika suaminya yang menikahinya belum menggaulinya, maka dipisahkan keduanya, dan ia menjalani sisa iddahnya dari suami pertama, lalu dari suami kedua, dan ia menjadi pelamar di antara para pelamar. Namun jika telah digauli, maka dipisahkan keduanya, dan ia menjalani sisa iddah dari suami pertama, lalu menjalani iddah dari suami kedua, dan setelah itu tidak boleh dinikahi olehnya selamanya.”

وَالثَّانِي: عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَاعْتَدَّتْ مِنْهُ حَتَّى إِذَا بَقِيَ مِنْ عِدَّتِهَا نَكَحَهَا رَجُلٌ فِي آخِرِ عَدَّتِهَا وَبَنَى بِهَا فَأُتِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فِي ذَلِكَ فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّتِهَا الْأُولَى ثُمَّ تَسْتَأْنِفَ عِدَّةَ الثَّانِي، فَإِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا فَهِيَ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَتْ نَكَحَتْ وَإِنْ شَاءَتْ فَلَا.

Yang kedua: dari Ali ‘alaihis salam, diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari ‘Abdul Majid dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, bahwa seorang laki-laki menceraikan istrinya, lalu perempuan itu menjalani iddah darinya. Ketika sisa masa iddahnya tinggal sedikit, ia dinikahi oleh laki-laki lain di akhir masa iddahnya dan digauli. Maka Ali bin Abi Thalib didatangkan dalam perkara itu, lalu ia memisahkan keduanya dan memerintahkan perempuan itu untuk menjalani sisa iddah dari suami pertamanya, kemudian memulai iddah dari suami kedua. Setelah selesai masa iddahnya, maka ia bebas memilih, jika ia mau menikah, jika tidak, maka tidak menikah.

قَالَ الشَّافِعِيُّ: أَنَا أَقُولُ بِقَوْلِهِمَا فِي أَنْ لَا تَتَدَاخَلَ الْعِدَّتَانِ وَأَقُولُ بِقَوْلِ عَلِيٍّ فِي أَنَّهَا لَا تَحْرُمُ عَلَى الثَّانِي إِذَا كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا، وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَثَبَتَ إِجْمَاعًا.

Asy-Syafi‘i berkata: Aku berpendapat sebagaimana pendapat keduanya, bahwa dua iddah tidak saling tumpang tindih, dan aku berpendapat sebagaimana pendapat Ali bahwa perempuan tersebut tidak menjadi haram bagi suami kedua jika telah digauli. Dan tidak ada sahabat yang menyelisihi keduanya, maka tetaplah hal itu sebagai ijmā‘.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ خَالَفَهُمَا ابْنُ مَسْعُودٍ.

Jika dikatakan: Bukankah Ibnu Mas‘ud telah menyelisihi keduanya?

قِيلَ: لَيْسَ بِثَابِتٍ مَعَ اشْتِهَارِ هَاتَيْنِ الْقِصَّتَيْنِ مِنْ إِمَامَيْنِ لَوْ خَالَفَهُمَا غَيْرُهُمَا لَاشْتُهِرَ كَاشْتِهَارِهِمَا وَمِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّهُمَا حَقَّانِ مَقْصُورَانِ لِآدَمِيِّينَ فَوَجَبَ إِذَا تَرَادَفَا أَنْ لَا يَتَدَاخَلَا، كَمَا لَوْ قَتَلَ رَجُلَيْنِ قُتِلَ بِأَحَدِهِمَا وَأُخِذَتْ مِنْهُ دِيَةُ الْآخَرِ فِي قَوْلِ الشَّافِعِيِّ، وَفِي قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ قُتِلَ لهما وتؤخذ منه الدية تكون بَيْنَهُمَا، وَكَذَلِكَ لَوْ قَطَعَ يُمْنَى رَجُلَيْنِ اقْتَصَّ مِنْ يَمِينِهِ لِأَحَدِهِمَا، وَأُخِذَتْ مِنْهُ دِيَةُ يَمِينِ الْآخَرِ فِي قَوْلِ الشَّافِعِيِّ، وَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي النَّفْسِ، وَلَيْسَ تَدَاخُلُ أَحَدِ الْحَقَّيْنِ فِي الْآخَرِ عَلَى كُلِّ الْمَذْهَبَيْنِ فِي النُّفُوسِ، وَالْأَطْرَافِ، وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ مَحْبُوسَةٌ عَلَى الزوج على حَقَّيْنِ نِكَاحٍ وَعِدَّةٍ فَلَمَّا امْتَنَعَ اشْتِرَاكُ الزَّوْجَيْنِ امْتَنَعَ تَدَاخُلُ الْعِدَّتَيْنِ، وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ مِنَ الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى فِي التَّعَبُّدِ وَحَقِّ الزَّوْجِ فِي حِفْظِ مَائِهِ، وَحَقِّ الزَّوْجَةِ فِي السُّكْنَى فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَتَدَاخَلَ مَعَ اختلاف مستحقهما لأنه إن غلب يها حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى لَمْ تَتَدَاخَلْ كَالْحُدُودِ، وَالْكَفَّارَاتِ الْمُخْتَلِفَةِ، وَإِنْ غُلِّبَ فِيهَا حَقُّ الْآدَمِيِّينَ لَمْ تَتَدَاخَلْ كَالدُّيُونِ، وَالْقِصَاصِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ فِي عِدَّةٍ أَنْ تَتَدَاخَلَ بِاخْتِلَافِ مَنْ عَلَيْهِ العدة لم تَتَدَاخَلْ بِاخْتِلَافِ مَنْ لَهُ الْعِدَّةُ، وَلِأَنَّهَا لَوْ وُطِئَتْ بِالشُّبْهَةِ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ لَمْ تَتَدَاخَلِ الْعِدَّتَانِ، وَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ الْوَطْءُ فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ وَجَبَ أَنْ لَا تَتَدَاخَلَ الْعِدَّتَانِ.

Dikatakan: Hal itu tidaklah tetap (benar) mengingat dua kisah ini sangat masyhur dari dua imam; seandainya ada selain keduanya yang menyelisihi, niscaya akan menjadi masyhur pula sebagaimana kemasyhuran keduanya. Dan menurut qiyās: keduanya adalah dua hak yang terbatas untuk manusia, maka apabila keduanya berkumpul, tidak boleh saling tumpang tindih, sebagaimana jika seseorang membunuh dua orang, maka ia dibunuh karena salah satunya dan diambil darinya diyat untuk yang lainnya menurut pendapat asy-Syāfi‘ī, dan menurut pendapat Abū Ḥanīfah, ia dibunuh untuk keduanya dan diambil darinya diyat yang dibagi di antara keduanya. Demikian pula jika ia memotong tangan kanan dua orang, maka dilakukan qiṣāṣ pada tangan kanannya untuk salah satu dari keduanya, dan diambil darinya diyat tangan kanan yang lain menurut pendapat asy-Syāfi‘ī, dan pendapat Abū Ḥanīfah sebagaimana yang telah kami sebutkan pada kasus jiwa. Tidak ada tumpang tindih antara salah satu dari dua hak dalam hak yang lain menurut kedua mazhab dalam masalah jiwa dan anggota tubuh. Dan karena perempuan itu terikat pada suami dengan dua hak, yaitu hak nikah dan hak ‘iddah, maka ketika tidak mungkin suami berbagi, tidak mungkin pula tumpang tindih dua ‘iddah. Dan karena ‘iddah termasuk hak-hak bersama, yaitu hak Allah Ta‘ālā dalam bentuk ibadah, hak suami dalam menjaga keturunannya, dan hak istri dalam tempat tinggal, maka tidak boleh saling tumpang tindih ketika berbeda pihak yang berhak, karena jika yang dominan adalah hak Allah Ta‘ālā, maka tidak terjadi tumpang tindih seperti pada ḥudūd dan kafārat yang berbeda, dan jika yang dominan adalah hak manusia, maka tidak terjadi tumpang tindih seperti pada utang dan qiṣāṣ. Dan karena jika tidak boleh dalam satu ‘iddah terjadi tumpang tindih karena perbedaan siapa yang wajib menjalani ‘iddah, maka tidak boleh pula tumpang tindih karena perbedaan siapa yang berhak atas ‘iddah. Dan karena jika seorang perempuan digauli karena syubhat dalam masa ‘iddah wafat, maka tidak terjadi tumpang tindih dua ‘iddah, demikian pula jika hubungan terjadi dalam masa ‘iddah talak, maka wajib tidak terjadi tumpang tindih dua ‘iddah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَتَيْنِ فَهُوَ أَنَّ صِيغَةَ اللَّفْظِ تَضْمَنُ عِدَّةً وَاحِدَةً فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُحْمَلَ عَلَى عِدَّتَيْنِ.

Adapun jawaban terhadap dua ayat tersebut adalah bahwa bentuk lafaznya hanya mencakup satu ‘iddah, maka tidak boleh dipahami sebagai dua ‘iddah.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى تَدَاخُلِ الْعِدَّتَيْنِ مِنْ وَاحِدٍ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ اسْتِبْرَاءٌ مِنْ مَاءٍ وَاحِدٍ فَجَازَ أَنْ يَتَدَاخَلَ، وَإِذَا كَانَ مِنِ اثْنَيْنِ فَهُوَ اسْتِبْرَاءٌ مِنْ مَائَيْنِ فَلَمْ يَتَدَاخَلَا.

Adapun qiyās mereka tentang tumpang tindih dua ‘iddah dari satu orang, maka maksudnya adalah: itu merupakan istibrā’ dari satu air mani, sehingga boleh terjadi tumpang tindih. Namun jika dari dua orang, maka itu adalah istibrā’ dari dua air mani, sehingga tidak boleh terjadi tumpang tindih.

وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ إِذَا عُرِفَ بَرَاءَةُ رَحِمِهَا عَنْ أَحَدِهِمَا عُرِفَ بَرَاءَتُهُ فِي حَقِّهِمَا.

Adapun pernyataan mereka bahwa jika telah diketahui bersihnya rahim dari salah satu dari keduanya, maka diketahui pula kebersihannya untuk keduanya.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْعِدَّةَ اسْتِبْرَاءٌ وَتَعَبُّدٌ فَإِذَا عُرِفَ الِاسْتِبْرَاءُ لَمْ يَسْقُطْ مَعَهُ التَّعَبُّدُ كَعِدَّةِ الصَّغِيرَةِ وَغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا فِي الْوَفَاةِ.

Jawabannya adalah bahwa ‘iddah itu merupakan istibrā’ dan ibadah, maka jika telah diketahui istibrā’-nya, ibadahnya tidak gugur bersamanya, seperti ‘iddah anak kecil dan perempuan yang belum digauli dalam kasus wafat.

وَقَوْلُهُمْ: إِنَّ الْعِدَّةَ تَتَّصِلُ بِسَبَبِهَا وَلَا تَنْفَصِلُ عَنْهُ فَفَاسِدٌ بِمَسْأَلَتِنَا لِانْفِصَالِ عِدَّةِ الْأَوَّلِ فِي مُدَّةِ وَطْءِ الثَّانِي ثُمَّ بِالْمُطَلَّقَةِ فِي الْحَيْضِ وَلَيْسَ الحيض، وإنها تستقبل العدة بما بعد بعض حَيْضِ الطَّلَاقِ، وَمَا قَالُوهُ مِنْ تَحْرِيمِ الْمُخْتَلِعَةِ عَلَيْهِ إِذَا وُطِئَتْ فِي عِدَّتِهَا، فَإِنَّمَا مُنِعَ مِنْ نِكَاحِهَا، لِأَنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ بَعْدَ عِدَّتِهِ حَتَّى تَقْضِيَ عِدَّةَ غَيْرِهِ فَصَارَتْ كَالْمُحَرَّمَةِ عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ.

Dan pernyataan mereka bahwa ‘iddah itu berkaitan dengan sebabnya dan tidak terpisah darinya, maka itu rusak (tidak benar) dalam masalah kita, karena ‘iddah yang pertama terpisah selama masa hubungan dengan yang kedua, kemudian pada perempuan yang ditalak saat haid, dan bukan haid itu sendiri, dan ia memulai ‘iddah dengan masa setelah sebagian haid talak. Dan apa yang mereka katakan tentang haramnya perempuan yang melakukan khulu‘ atas suaminya jika digauli dalam masa ‘iddahnya, maka yang dilarang hanyalah menikahinya, karena ia haram atasnya setelah ‘iddahnya hingga ia menyelesaikan ‘iddah dari laki-laki lain, sehingga ia seperti perempuan yang haram atasnya hingga menikah dengan suami lain.

وَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ بِتَدَاخُلِ الْأَجَلَيْنِ فَلَا يَصِحُّ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun analogi mereka dengan tumpang tindih dua tenggat waktu, maka tidak sah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَجَلَ فِي الدَّيْنِ حَقٌّ لِمَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ، وَلَهُ إِسْقَاطُهُ بِالتَّعْجِيلِ، وَالْأَجَلُ فِي الْعِدَّةِ حَقٌّ عَلَى مَنْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ، وَلَا يَجُوزُ إِسْقَاطُهُ بِالْعَفْوِ فَافْتَرَقَا.

Pertama: bahwa tenggat waktu dalam utang adalah hak bagi orang yang berutang, dan ia boleh menggugurkannya dengan mempercepat pembayaran, sedangkan tenggat waktu dalam ‘iddah adalah hak atas orang yang menjalani ‘iddah, dan tidak boleh digugurkan dengan pemaafan, maka keduanya berbeda.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَقْصُودَ الْآجَالِ مَا بَعْدَهَا مِنَ الْحُقُوقِ وَهِيَ غَيْرُ مُتَدَاخِلَةٍ، وَالْعِدَدُ هِيَ الْحُقُوقُ الْمَقْصُودَةُ فَاقْتَضَى قِيَاسُهُ أَنْ لَا يَتَدَاخَلَ.

Kedua: bahwa maksud dari tenggat waktu adalah hak-hak yang datang setelahnya, dan hak-hak itu tidak saling tumpang tindih, sedangkan ‘iddah itu sendiri adalah hak yang dimaksudkan, maka qiyās mengharuskan agar tidak terjadi tumpang tindih.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ قُلْتُمْ بِتَدَاخُلِ الْعِدَّتَيْنِ فِي ثَلَاثِ مَسَائِلَ فَلَزِمَكُمْ أَنْ تَقُولُوا بِهِ فِي جَمِيعِ الْمَسَائِلِ.

Jika dikatakan: Kalian telah berpendapat tentang terjadinya tumpang tindih dua masa ‘iddah dalam tiga permasalahan, maka seharusnya kalian juga berpendapat demikian dalam seluruh permasalahan.

إِحْدَاهُنَّ: فِي زَوْجَةٍ لِرَجُلٍ وَطِئَهَا أَجْنَبِيٌّ بِشُبْهَةٍ فَدَخَلَتْ فِي عِدَّةِ الْوَاطِئِ ثُمَّ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّةِ الْوَاطِئِ اسْتَأْنَفَتْ عِدَّةَ الطَّلَاقِ، وَدَخَلَتْ فِيهَا عِدَّةُ الْوَاطِئِ بِشُبْهَةٍ. وَالْجَوَابُ عَنْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ لأصحابنا فيها وجهان:

Salah satunya: tentang seorang istri yang digauli oleh laki-laki lain karena syubhat, lalu ia masuk ke masa ‘iddah karena hubungan tersebut, kemudian suaminya menceraikannya sebelum masa ‘iddah dari hubungan itu selesai, maka ia memulai masa ‘iddah talak, dan masa ‘iddah dari hubungan syubhat itu masuk ke dalam masa ‘iddah talak. Jawaban atas permasalahan ini, menurut para ulama mazhab kami, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعِدَّتَيْنِ لَا يَتَدَاخَلَانِ كَمَا لَمْ يَتَدَاخَلَا فِي غَيْرِهِمَا، وَيَكُونُ هَذَا أَصْلًا مُسْتَمِرًّا وَتَأْتِي بِمَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الْوَطْءِ لِتَقَدُّمِهَا ثُمَّ تَسْتَأْنِفُ عِدَّةَ الطَّلَاقِ.

Pertama: Bahwa kedua masa ‘iddah tidak saling tumpang tindih, sebagaimana tidak tumpang tindih dalam kasus lainnya, dan ini menjadi kaidah yang tetap. Maka ia menyelesaikan sisa masa ‘iddah dari hubungan syubhat terlebih dahulu, kemudian memulai masa ‘iddah talak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَسْتَأْنِفُ عِدَّةَ الطَّلَاقِ، وَيَسْقُطُ بِهَا الْبَاقِي مِنْ عِدَّةِ الْوَطْءِ وَلَا تَدْخُلُ بَقِيَّتُهَا فِي عِدَّةِ الطلاق.

Pendapat kedua: Ia memulai masa ‘iddah talak, dan sisa masa ‘iddah dari hubungan syubhat gugur karenanya, serta sisa masa ‘iddah tersebut tidak masuk ke dalam masa ‘iddah talak.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، وَمَسْأَلَةِ الْخِلَافِ: أَنَّ الْعِدَّةَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ طَرَأَتْ عَلَى نِكَاحٍ فجاز أن يسقط حكمها له سفعها بِعِدَّةِ النِّكَاحِ لِقُوَّتِهِ، وَفِي مَسْأَلَةِ الْخِلَافِ طَرَأَتْ عِدَّةٌ عَلَى عِدَّةٍ فَلَزِمَتَا مَعًا، وَلَمْ يَتَدَاخَلَا لِأَنَّ فِي تَدَاخُلِهِمَا سُقُوطَ إِحْدَاهُمَا.

Perbedaan antara permasalahan ini dan permasalahan khilaf adalah: bahwa masa ‘iddah dalam permasalahan ini muncul karena adanya pernikahan, sehingga boleh saja hukumnya gugur karena tertutupi oleh masa ‘iddah pernikahan karena lebih kuat, sedangkan dalam permasalahan khilaf, masa ‘iddah yang satu muncul di atas masa ‘iddah yang lain, sehingga keduanya wajib dijalani bersama dan tidak saling tumpang tindih, karena jika tumpang tindih maka salah satunya akan gugur.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: إِنْ قَالُوا قَدْ قُلْتُمْ فِي مُشْرِكٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ فِي الشِّرْكِ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَتْ فِي عِدَّتِهَا وَوَطِئَهَا الثَّانِي ثُمَّ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا أَنَّهَا تَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ تُدْخِلُ فِيهَا مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ، فَكَانَ هَذَا تَدَاخُلُ عِدَّتَيْنِ فِي حَقِّ الْمُشْرِكِينَ، فَكَذَلِكَ فِي حَقِّ الْمُسْلِمِينَ.

Permasalahan kedua: Jika mereka berkata, “Kalian telah berpendapat bahwa seorang musyrik yang menceraikan istrinya dalam keadaan musyrik dengan tiga talak, lalu istrinya menikah lagi dalam masa ‘iddah dan digauli oleh suami kedua, kemudian keduanya dipisahkan, maka ia memulai masa ‘iddah dengan tiga kali suci, dan memasukkan sisa masa ‘iddah talak ke dalamnya. Maka ini adalah tumpang tindih dua masa ‘iddah pada hak orang-orang musyrik, maka demikian pula seharusnya pada hak orang-orang muslim.”

وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَنْ يَكُونَا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ أَوْ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ فَإِنْ كَانَا مِنْ أَهْلِ الحرب لم يتداخل عِدَّتَاهُمَا؛ لِأَنَّهُ يَلْزَمُنَا حِفْظُ أَنْسَابِهِمْ كَمَا يَلْزَمُنَا حِفْظُ أَنْسَابِنَا وَإِنْ كَانَا مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jawabannya adalah: Keadaan orang-orang musyrik tidak lepas dari dua kemungkinan, yaitu mereka termasuk ahludz-dzimmah atau termasuk ahlul-harb. Jika mereka termasuk ahlul-harb, maka kedua masa ‘iddah tidak tumpang tindih, karena kita juga wajib menjaga nasab mereka sebagaimana kita wajib menjaga nasab kita. Namun jika mereka termasuk ahlul-harb, maka para ulama mazhab kami berbeda pendapat dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعِدَّتَيْنِ لَا يَتَدَاخَلَانِ فِي حَقِّ الْمُشْرِكِينَ كَمَا لَا يَتَدَاخَلَانِ فِي حَقِّ الْمُسْلِمِينَ.

Pertama: Bahwa kedua masa ‘iddah tidak tumpang tindih pada hak orang-orang musyrik, sebagaimana tidak tumpang tindih pada hak orang-orang muslim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تَتَدَاخَلُ الْعِدَّتَانِ، لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُنَا أَنْ نَحْفَظَ أَنْسَابَ الْمُشْرِكِينَ فَلَمْ تَتَدَاخَلِ الْعِدَّتَانِ فِي حُقُوقِهِمْ وَإِنَّمَا تُوجَبُ الْعِدَّةُ عَلَى الْمُشْرِكِ حِفْظًا لِنَسَبِ مَنْ يَتَزَوَّجُهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ كَمَا تَسْتَبْرِئُ المسببة حِفْظًا لِنَسَبِ مَنْ يَسْتَمْتِعُ بِهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ.

Pendapat kedua: Kedua masa ‘iddah dapat tumpang tindih, karena kita tidak wajib menjaga nasab orang-orang musyrik, sehingga kedua masa ‘iddah tidak tumpang tindih dalam hak mereka. Sesungguhnya diwajibkan masa ‘iddah atas orang musyrik adalah untuk menjaga nasab bagi siapa saja dari kaum muslimin yang menikahinya, sebagaimana istibra’ diwajibkan pada budak perempuan untuk menjaga nasab bagi siapa saja dari kaum muslimin yang menikmatinya.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: إِنْ قَالُوا قَدْ قُلْتُمْ فِي رجل وطأ أَمَةً اشْتَرَاهَا قَبْلَ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا ثُمَّ بَاعَهَا لَزِمَ الْمُشْتَرِي الثَّانِي أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا بِقُرْءٍ وَاحِدٍ، وإن لزمها الاستبراء بقرأين ويدخل أحد الاستبرائين فِي الْآخَرِ كَذَلِكَ تَدَاخُلُ الْعِدَّتَيْنِ.

Permasalahan ketiga: Jika mereka berkata, “Kalian telah berpendapat tentang seorang laki-laki yang menggauli budak perempuan yang ia beli sebelum ia melakukan istibra’ terhadapnya, kemudian ia menjualnya, maka pembeli kedua wajib melakukan istibra’ dengan satu kali haid. Jika ia wajib melakukan istibra’ dengan dua kali haid, dan salah satu istibra’ masuk ke dalam istibra’ yang lain, maka demikian pula tumpang tindih dua masa ‘iddah.”

وَالْجَوَابُ عَنْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ لِأَصْحَابِنَا أَيْضًا فِيهَا وَجْهَيْنِ:

Jawaban atas permasalahan ini, menurut para ulama mazhab kami, juga ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهَا الِاسْتِبْرَاءَ بِقُرْأَيْنِ لِلْمُسْتَبْرَأَيْنِ، وَلَا تَتَدَاخَلُ وَهَذَا أَصَحُّ.

Pertama: Ia wajib melakukan istibra’ dengan dua kali haid untuk dua orang yang melakukan istibra’, dan tidak terjadi tumpang tindih. Ini adalah pendapat yang lebih shahih.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ عَلَيْهِمَا الاستبراء وَاحِدٌ، وَيَتَدَاخَلُ الِاسْتِبْرَاءَانِ وَإِنْ لَمْ تَتَدَاخَلِ الْعِدَّتَانِ.

Pendapat kedua: Tidak wajib dua kali istibra’, dan kedua istibra’ itu dapat tumpang tindih, meskipun kedua masa ‘iddah tidak tumpang tindih.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: الِاسْتِبْرَاءُ أَخَفُّ مِنَ الْعِدَّةِ، لِأَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ بِقُرْءٍ وَاحِدٍ، وَالْعِدَّةَ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ فَجَازَ أَنْ يَتَدَاخَلَ الِاسْتِبْرَاءُ لِضَعْفِهِ وَلَمْ تَتَدَاخَلِ الْعِدَّةُ لِقُوَّتِهَا.

Perbedaan antara keduanya dari dua sisi: Pertama, istibra’ lebih ringan daripada ‘iddah, karena istibra’ hanya dengan satu kali haid, sedangkan ‘iddah dengan tiga kali suci. Maka boleh saja istibra’ tumpang tindih karena lebih ringan, sedangkan ‘iddah tidak tumpang tindih karena lebih kuat.

وَالثَّانِي: أَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ يَجِبُ فِي حَقِّ الْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ فَلَمْ يَجِبْ عَلَى الْبَائِعِ اسْتِبْرَاءٌ بَعْدَ زَوَالِ مِلْكِهِ، وَوَجَبَ عَلَى الْمُشْتَرِي لِحُدُوثِ مِلْكِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْعِدَّةُ لِأَنَّهَا تَجِبُ بَعْدَ ارْتِفَاعِ الْفِرَاشِ فَلَمْ يُؤَثِّرِ ارْتِفَاعُهُ فِي سُقُوطِهَا، وَهُوَ الْعِلَّةُ فِي وجوبها.

Kedua: Bahwa istibra’ wajib bagi pembeli dan tidak wajib bagi penjual. Maka, penjual tidak wajib melakukan istibra’ setelah hilangnya kepemilikannya, sedangkan pembeli wajib melakukannya karena terjadinya kepemilikan baru. Tidak demikian halnya dengan ‘iddah, karena ‘iddah itu wajib setelah berakhirnya hubungan (pernikahan), sehingga berakhirnya hubungan tersebut tidak berpengaruh pada gugurnya kewajiban ‘iddah, dan inilah sebab diwajibkannya ‘iddah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْعِدَّتَيْنِ، وَأَنَّهُمَا لَا يَتَدَاخَلَانِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُعْتَدَّةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Apabila telah tetap kewajiban dua ‘iddah, dan keduanya tidak dapat saling menggantikan, maka keadaan perempuan yang menjalani ‘iddah tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ لِصِغَرٍ، أَوْ إِيَاسٍ فَهِيَ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ إِنْ كَانَتْ حُرَّةً فَيُنْظَرُ فِي الْمَاضِي مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ شَهْرًا وَاحِدًا اعْتَدَّتْ بِخَمْسَةِ أَشْهُرٍ شَهْرَانِ مِنْهَا تَسْتَكْمِلُ بِهَا عِدَّةَ الطَّلَاقِ، وَلِلْمُطَلِّقِ أَنْ يُرَاجِعَهَا فِيهِمَا إِنْ كَانَ طَلَاقُهُ رَجْعِيًّا وَثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ عِدَّةُ الْوَطْءِ وَلِلْوَاطِئِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِيهَا، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِغَيْرِهِ وَإِنْ مَضَى لَهَا مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ شَهْرَانِ اعْتَدَّتْ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ شَهْرٌ مِنْهَا تَسْتَكْمِلُ بِهِ عِدَّةَ الطَّلَاقِ وَثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ عِدَّةُ الْوَطْءِ.

Pertama: Jika ia termasuk perempuan yang masa ‘iddahnya dengan bulan-bulan karena masih kecil atau sudah menopause, maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan jika ia merdeka. Maka dilihat masa lalu dari ‘iddah talak, jika telah berlalu satu bulan, ia menjalani ‘iddah selama lima bulan, dua bulan di antaranya untuk menyempurnakan ‘iddah talak—dan bagi suami yang mentalaknya boleh merujuknya dalam dua bulan itu jika talaknya raj‘i—dan tiga bulan sebagai ‘iddah karena persetubuhan, dan bagi laki-laki yang menyetubuhinya boleh menikahinya dalam masa itu, dan tidak berlaku bagi selainnya. Jika telah berlalu dua bulan dari ‘iddah talak, maka ia menjalani ‘iddah selama empat bulan, satu bulan di antaranya untuk menyempurnakan ‘iddah talak, dan tiga bulan sebagai ‘iddah karena persetubuhan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ فَيُنْظَرُ فِي الْمَاضِي مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ قُرْءًا اعْتَدَّتْ بخمسة أقراء منها قرءان تَسْتَكْمِلُ بِهِمَا عِدَّةَ الطَّلَاقِ، وَثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ عِدَّةُ الوطء وإن مضى منها قرءان اعْتَدَّتْ بِأَرْبَعَةِ أَقْرَاءٍ مِنْهَا قُرْءٌ تَسْتَكْمِلُ بِهِ عِدَّةَ الطَّلَاقِ، وَثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ عِدَّةُ الْوَطْءِ.

Bagian kedua: Jika ia termasuk perempuan yang masa ‘iddahnya dengan haid, maka dilihat masa lalu dari ‘iddah talak, jika telah berlalu satu kali haid, maka ia menjalani ‘iddah selama lima kali haid, dua di antaranya untuk menyempurnakan ‘iddah talak, dan tiga kali haid sebagai ‘iddah karena persetubuhan. Jika telah berlalu dua kali haid, maka ia menjalani ‘iddah selama empat kali haid, satu di antaranya untuk menyempurnakan ‘iddah talak, dan tiga kali haid sebagai ‘iddah karena persetubuhan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ مِنْ ذَوَاتِ الْحَمْلِ فَيُنْظَرُ فِي الْحَمْلِ، فَإِنْ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا مِنْهُ بِوَضْعِهِ وَاسْتَأْنَفَتْ لِلثَّانِي ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ وَإِنْ لَحِقَ بِالثَّانِي انْقَضَتْ عِدَّتُهَا مِنْهُ بِوَضْعِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لَاحِقًا بِهِ وَتَنْقَضِي بِهِ عِدَّتُهَا مِنْ غَيْرِهِ فَلِذَلِكَ تَقَدَّمَتْ بِهِ عِدَّةُ الثَّانِي وَلَزِمَهَا أَنْ تَسْتَكْمِلَ مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ وَلَا اعْتِبَارَ بِادِّعَائِهِ لَهُ، لِأَنَّ ثُبُوتَ النَّسَبِ حَقٌّ لِلْوَلَدِ فَإِنْ نَفَاهُ لَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ إِلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ مِنْهُ فَيَنْتَفِيَ بِاللِّعَانِ وَلَا يُلْحَقُ بِالْأَوَّلِ، وَكَذَلِكَ لَوْ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ فَنَفَاهُ بِاللِّعَانِ لَمْ يُلْحَقْ بِالثَّانِي وَتَكُونُ عِدَّةُ مَنْ نَفَاهُ قَدِ انْقَضَتْ بِوَضْعِهِ، لِأَنَّهُ نُفِيَ بَعْدَ لُحُوقٍ وَلَكِنْ لَوْ لَمْ يُلْحَقْ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لَمْ تَنْقَضِ بِوَضْعِهِ عِدَّةُ واحد منهما، وكان عليهما أَنْ تَسْتَكْمِلَ مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ، وَتَسْتَأْنِفَ عِدَّةَ الثَّانِي وَإِنْ أَمْكَنَ أَنْ يُلْحَقَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا وَعَدِمَتِ الْقَافَةُ وُقِفَ إِلَى زَمَانِ الِانْتِسَابِ وَكَانَ عَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، لِأَنَّ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ قَدِ انْقَضَتْ بِوَضْعِهِ وَبَقِيَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ الْأُخْرَى، فَإِنْ كَانَتِ الْأُولَى فَهِيَ بَقِيَّتُهَا، وَإِنْ كَانَتِ الثَّانِيَةُ فَهِيَ جَمِيعُهَا فَإِذَا اعْتَدَّتْ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ كَانَتْ يَقِينًا.

Bagian ketiga: Jika ia termasuk perempuan yang sedang hamil, maka dilihat pada kehamilannya. Jika anak yang dikandungnya dinisbatkan kepada suami pertama, maka ‘iddahnya dari suami pertama selesai dengan kelahiran anak tersebut, lalu ia memulai ‘iddah untuk suami kedua selama tiga kali haid. Jika anak tersebut dinisbatkan kepada suami kedua, maka ‘iddahnya dari suami kedua selesai dengan kelahiran anak tersebut, karena tidak boleh anak itu dinisbatkan kepadanya (suami kedua) dan ‘iddahnya dari selainnya selesai dengan kelahiran itu. Oleh karena itu, ‘iddah suami kedua didahulukan dengan kelahiran tersebut, dan ia wajib menyempurnakan sisa ‘iddah dari suami pertama. Tidak dianggap pengakuan salah satu dari mereka, karena penetapan nasab adalah hak anak. Jika suami menafikan anak itu, maka nasabnya tidak terputus kecuali dengan li‘an, sehingga nasabnya terputus melalui li‘an dan tidak dinisbatkan kepada suami pertama. Demikian pula jika anak itu dinisbatkan kepada suami pertama lalu ia menafikannya dengan li‘an, maka tidak dinisbatkan kepada suami kedua, dan ‘iddah dari yang menafikannya telah selesai dengan kelahiran anak tersebut, karena penafian terjadi setelah penetapan nasab. Namun, jika anak itu tidak dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, maka dengan kelahirannya tidak selesai ‘iddah dari salah satu dari mereka, dan ia wajib menyempurnakan sisa ‘iddah dari suami pertama dan memulai ‘iddah dari suami kedua. Jika memungkinkan anak itu dinisbatkan kepada salah satu dari mereka, namun tidak ada ahli qafah (pakar nasab), maka ditangguhkan sampai waktu penetapan nasab, dan ia wajib menjalani ‘iddah selama tiga kali haid, karena salah satu dari dua ‘iddah telah selesai dengan kelahiran anak tersebut, dan masih tersisa satu ‘iddah lagi. Jika yang pertama, maka yang tersisa adalah sisa ‘iddahnya, dan jika yang kedua, maka seluruhnya adalah ‘iddahnya. Maka apabila ia telah menjalani ‘iddah selama tiga kali haid, maka itu sudah pasti.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا اجْتِمَاعُ الْعِدَّتَيْنِ فِي حَقِّ الرَّجُلِ الْوَاحِدِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun berkumpulnya dua ‘iddah pada satu laki-laki, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ الْعِدَّةُ الْأُولَى عَنْ عَقْدٍ، وَالْعِدَّةُ الثَّانِيَةُ عَنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ.

Pertama: Jika ‘iddah yang pertama karena akad nikah, dan ‘iddah yang kedua karena persetubuhan syubhat.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْأُولَى عَنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ، وَالثَّانِيَةُ عَنْ عَقْدٍ. وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ كون كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْعِدَّتَيْنِ عَنْ عَقْدٍ.

Bagian kedua: Jika yang pertama karena persetubuhan syubhat, dan yang kedua karena akad nikah. Bagian ketiga: Jika masing-masing dari kedua ‘iddah itu karena akad nikah.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْعِدَّةُ الْأُولَى عَنْ عَقْدٍ، وَالثَّانِيَةُ عَنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ فَصُورَتُهُ فِي رَجُلٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ طَلَاقًا رَجْعِيًّا ثُمَّ وَطِئَهَا فِي عِدَّتِهَا فَهَذَا الْوَطْءُ مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ عِنْدَنَا وَلَا تَصِحُّ بِهِ الرَّجْعَةُ، وَهُوَ حَلَالٌ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَتَصِحُّ بِهِ الرَّجْعَةُ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ ” الرَّجْعَةِ ” وَإِذَا كَانَ هَذَا الْوَطْءُ مُحَرَّمًا فَلَا حَدَّ فِيهِ لِأَجْلِ الشُّبْهَةِ وَأَنَّ الرَّجْعِيَّةَ فِي أَحْكَامِ الزَّوْجَاتِ لِوُجُوبِ النَّفَقَةِ، وَاسْتِحْقَاقِ التَّوَارُثِ، وَذَلِكَ مِنْ أَقْوَى الشُّبُهَاتِ فِي إِسْقَاطِ الْحَدِّ مَعَ الْعِلْمِ وَالْجَهْلِ لَكِنْ يُعَزَّرَانِ إِنْ عَلِمَا تَحْرِيمَهُ وَلَا يعزران إن جهلاه، وعليهما أَنْ تَعْتَدَّ مِنْ هَذَا الْوَطْءِ؛ لِأَنَّهُ وَطْءُ شُبْهَةٍ يُوجِبُ لُحُوقَ النَّسَبِ وَيَدْخُلُ فِي عِدَّةِ الْوَطْءِ مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ، لِأَنَّهُمَا عِدَّتَانِ لِحِفْظِ مَاءٍ وَاحِدٍ فَتَدَاخَلَتَا فِي حَقِّ الرَّجُلِ الْوَاحِدِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُعْتَدَّةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun bagian pertama, yaitu apabila ‘iddah yang pertama karena akad (nikah), dan yang kedua karena wath’i syubhat, maka bentuk kasusnya adalah seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak raj‘i, kemudian menggaulinya (berhubungan) dalam masa ‘iddahnya. Hubungan tersebut menurut kami adalah haram baginya dan tidak sah dijadikan sebagai rujuk, sedangkan menurut Abu Hanifah hukumnya halal dan sah dijadikan rujuk. Penjelasan tentang hal ini telah disebutkan dalam Kitab “ar-Raj‘ah”. Jika hubungan tersebut haram, maka tidak ada had atasnya karena adanya syubhat, dan karena wanita yang ditalak raj‘i dalam hukum-hukum istri, seperti wajibnya nafkah dan berhak mendapatkan warisan, dan itu termasuk syubhat terkuat dalam menggugurkan had baik dalam keadaan tahu maupun tidak tahu. Namun, keduanya tetap dikenai ta‘zīr jika mengetahui keharamannya, dan tidak dikenai ta‘zīr jika tidak mengetahuinya. Keduanya wajib menjalani masa ‘iddah dari hubungan tersebut, karena itu adalah wath’i syubhat yang menyebabkan nasab anak menjadi sah, dan masa ‘iddah wath’i syubhat mencakup sisa masa ‘iddah talak, karena keduanya adalah dua masa ‘iddah untuk menjaga satu air (keturunan) sehingga saling masuk dalam hak satu laki-laki. Dengan demikian, keadaan wanita yang menjalani ‘iddah tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ.

Pertama: Wanita yang masa ‘iddahnya dengan bulan (bukan haid).

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ.

Kedua: Wanita yang masa ‘iddahnya dengan quru’ (haid).

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ حَامِلًا.

Ketiga: Wanita yang sedang hamil.

فَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتٍ الشُّهُورِ فَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ الْوَطْءِ يَدْخُلُ فِيهَا مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ الْوَطْءُ بَعْدَ أَنْ مَضَى مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ شَهْرٌ وَبَقِيَ مِنْهَا شَهْرَانِ كَانَ الشَّهْرُ الْأَوَّلُ، وَالشَّهْرُ الثَّانِي مِنَ الْعِدَّتَيْنِ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ وَمِنْ عِدَّةِ الْوَطْءِ وَلَهَا فِيهِمَا النَّفَقَةُ، وَلَهُ فِيهِمَا الرَّجْعَةُ، وَإِنْ وَطِئَهَا فِيهِمَا لَمْ يُحَدَّ وَكَانَ الشَّهْرُ الثَّالِثُ مُخْتَصًّا بِعِدَّةِ الْوَطْءِ لَا نَفَقَةَ لَهَا فِيهِ وَلَا رَجْعَةَ لَهُ فِيهِ، وَإِنْ وَطِئَهَا فِيهِ فَعَلَيْهِ الْحَدُّ.

Jika ia termasuk wanita yang masa ‘iddahnya dengan bulan, maka ia wajib menjalani masa ‘iddah selama tiga bulan sejak waktu hubungan, yang di dalamnya termasuk sisa masa ‘iddah talak. Jika hubungan terjadi setelah berlalu satu bulan dari masa ‘iddah talak dan tersisa dua bulan, maka bulan pertama dan kedua termasuk dalam kedua masa ‘iddah, yaitu ‘iddah talak dan ‘iddah wath’i syubhat, dan selama dua bulan itu ia berhak mendapatkan nafkah dan suaminya berhak melakukan rujuk. Jika ia digauli dalam masa dua bulan itu, maka tidak dikenai had. Adapun bulan ketiga khusus untuk masa ‘iddah wath’i syubhat, pada bulan itu ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan suaminya tidak berhak melakukan rujuk, dan jika ia digauli pada bulan itu maka suaminya dikenai had.

وَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ اعْتَدَّتْ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ مِنْ وَقْتِ الْوَطْءِ، وَأَجْزَأَهَا عَنِ الْعِدَّتَيْنِ فَإِنْ كان الوطء بعد أن مضى قرءان مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ كَانَ الْقُرْءُ الْأَوَّلُ آخِرَ عِدَّةِ الطَّلَاقِ، وَأَوَّلَ عِدَّةِ الْوَطْءِ وَلَهُ فِيهِ الرَّجْعَةُ وَعَلَيْهِ فِيهِ النَّفَقَةُ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ إن وطئ فيه وكان القرءان الْآخَرَانِ مُخْتَصَّيْنِ بِعِدَّةِ الْوَطْءِ لَيْسَ لَهُ فِيهَا رَجْعَةٌ وَلَا عَلَيْهِ فِيهِمَا نَفَقَةٌ وَإِنْ وَطِئَهَا فِيهِمَا حُدَّ.

Jika ia termasuk wanita yang masa ‘iddahnya dengan quru’ (haid), maka ia menjalani masa ‘iddah tiga kali haid sejak waktu hubungan, dan itu mencukupi untuk kedua masa ‘iddah. Jika hubungan terjadi setelah berlalu dua kali haid dari masa ‘iddah talak, maka haid pertama adalah akhir dari masa ‘iddah talak dan awal dari masa ‘iddah wath’i syubhat, dan pada masa itu suaminya berhak melakukan rujuk dan wajib memberikan nafkah, dan tidak dikenai had jika menggaulinya pada masa itu. Adapun dua haid berikutnya khusus untuk masa ‘iddah wath’i syubhat, pada masa itu suaminya tidak berhak melakukan rujuk dan tidak wajib memberikan nafkah, dan jika ia digauli pada masa itu maka suaminya dikenai had.

وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا لَمْ يَخْلُ حَمْلُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika ia sedang hamil, maka kehamilannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَقَدِّمًا قَبْلَ الطَّلَاقِ أَوْ حَادِثًا بَعْدَ الْوَطْءِ، فَإِنْ كَانَ مُتَقَدِّمًا قَبْلَ الطَّلَاقِ فَعِدَّتُهَا مِنَ الطَّلَاقِ تَكُونُ بِوَضْعِ الْحَمْلِ، وَعِدَّتُهَا مِنَ الْوَطْءِ تَكُونُ بِالْأَقْرَاءِ، وَهُمَا جِنْسَانِ وَفِي تَدَاخُلِهِمَا وَجْهَانِ:

Pertama, kehamilan itu sudah ada sebelum talak, atau kedua, kehamilan itu terjadi setelah hubungan (wath’i syubhat). Jika kehamilan sudah ada sebelum talak, maka masa ‘iddahnya dari talak adalah dengan melahirkan, dan masa ‘iddahnya dari wath’i syubhat adalah dengan quru’ (haid), dan keduanya adalah dua jenis yang berbeda, dan dalam tumpang tindih keduanya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَتَدَاخَلَانِ فِي الْجِنْسِ الْوَاحِدِ، فَعَلَى هَذَا تَنْقَضِي عَدَّتَاهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ وَلَهُ الرَّجْعَةُ مَا لَمْ تَضَعْ وَعَلَيْهِ النَّفَقَةُ، وَإِنْ وَطِئَهَا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ.

Pertama: Keduanya saling masuk dalam satu jenis, sehingga masa ‘iddahnya selesai dengan melahirkan, dan suaminya berhak melakukan rujuk selama belum melahirkan dan wajib memberikan nafkah, dan jika ia digauli maka suaminya tidak dikenai had.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَتَدَاخَلَانِ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْجِنْسَيْنِ يَقْتَضِي اخْتِلَافَ الْحُكْمَيْنِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَدَاخَلَا مَعَ اخْتِلَافِ الْجِنْسِ وَالْحُكْمِ، وَهَكَذَا لَوْ زَنَا بِكْرًا ثُمَّ زَنَا ثَيِّبًا فَفِي تَدَاخُلِ الْحَدَّيْنِ وَجْهَانِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا مُنِعَ مِنْ تَدَاخُلِ هَاتَيْنِ الْعِدَّتَيْنِ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا فِي الْحَمْلِ مِنْ أَنْ تَرَى عَلَيْهِ دَمًا أَوْ لَا تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَرَ دَمًا انْقَضَتْ عِدَّةُ الطَّلَاقِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ وَلَهُ مَا لَمْ تَضَعْ أَنْ يُرَاجِعَ وَعَلَيْهِ النَّفَقَةُ فَإِذَا وَضَعَتِ اسْتَأْنَفَتْ عِدَّةَ الْوَطْءِ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ بَعْدَ النِّفَاسِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهَا رَجْعَةٌ وَلَا عَلَيْهِ فِيهَا نَفَقَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ تَرَى عَلَى الْحَمْلِ دَمًا فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، هَلْ يَكُونُ دَمُهَا عَلَى الْحَمْلِ حَيْضًا أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pendapat kedua: Keduanya tidak dapat saling masuk (tidak dapat digabungkan); karena perbedaan jenis menuntut perbedaan hukum, maka tidak boleh keduanya digabungkan ketika terdapat perbedaan jenis dan hukum. Demikian pula, jika seseorang berzina dengan seorang gadis lalu berzina dengan seorang janda, maka dalam penggabungan dua had (hukuman) terdapat dua pendapat. Berdasarkan hal ini, jika tidak diperbolehkan menggabungkan dua masa iddah ini, maka keadaannya dalam masa kehamilan tidak lepas dari dua kemungkinan: ia melihat darah atau tidak melihatnya. Jika ia tidak melihat darah, maka iddah talaknya selesai dengan melahirkan, dan selama belum melahirkan, suaminya boleh merujukinya dan wajib menafkahinya. Jika ia telah melahirkan, maka ia memulai iddah karena persetubuhan dengan tiga kali suci setelah nifas, dan dalam masa ini suaminya tidak boleh merujukinya dan tidak wajib menafkahinya. Jika ia melihat darah selama hamil, maka terdapat perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi‘i, apakah darah tersebut dianggap haid atau tidak, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ في القديم يكون دم فعاد وَلَا يَكُونُ حَيْضًا، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ فِي حُكْمِ مَنْ لَمْ تَرَ عَلَى الْحَيْضِ دَمًا فِي أَنَّ عِدَّتَهَا مِنَ الطَّلَاقِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ وَمِنَ الْوَطْءِ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ بَعْدَ النِّفَاسِ.

Salah satunya: dan ini adalah pendapat dalam qaul qadim, bahwa darah tersebut adalah darah fasad dan bukan haid. Maka berdasarkan pendapat ini, hukumnya sama dengan wanita yang tidak melihat darah haid saat hamil, yaitu iddah talaknya selesai dengan melahirkan, dan iddah karena persetubuhan adalah tiga kali suci setelah nifas.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ الدَّمَ عَلَى الْحَمْلِ يَكُونُ حَيْضًا، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ عِدَّتُهَا مِنَ الطَّلَاقِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ وَعِدَّتُهَا مِنَ الْوَطْءِ تَكُونُ بِالْأَقْرَاءِ الَّتِي عَلَى الْحَمْلِ وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ تَعْتَدَّ هَذِهِ الْحَامِلُ بِالْأَقْرَاءِ الَّتِي عَلَى الْحَمْلِ، وَإِنْ لَمْ تَعْتَدَّ غَيْرُهَا بِهِ، لِأَنَّ عَلَى هَذِهِ عِدَّتَيْنِ إِحْدَاهُمَا بِالْحَمْلِ فَجَازَ أَنْ تَكُونَ الْأُخْرَى بِالْأَقْرَاءِ الَّتِي عَلَى الْحَمْلِ وَغَيْرُهَا لَيْسَ عَلَيْهَا إِلَّا عِدَّةٌ وَاحِدَةٌ فَلَمْ تَعْتَدَّ إِلَّا بِالْحَمْلِ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نُظِرَ فَإِنِ اسْتَكْمَلَتْ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ قَبْلَ وَضْعِ الْحَمْلِ فَقَدْ مَضَتْ عِدَّةُ الْوَطْءِ وَتَصِيرُ هَذَا الْمَوْضِعَ مُتَقَدِّمَةً عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ وَتَنْقَضِي عِدَّةُ الطَّلَاقِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ وَلَهُ الرَّجْعَةُ مَا لَمْ تَضَعْ وَعَلَيْهِ النَّفَقَةُ وَإِنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ اسْتِكْمَالِ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ انْقَضَتْ عِدَّةُ الطَّلَاقِ بِوَضْعِهِ،

Pendapat kedua: dan ini adalah pendapat dalam qaul jadid, bahwa darah yang keluar saat hamil adalah haid. Maka berdasarkan pendapat ini, iddah talaknya selesai dengan melahirkan, dan iddah karena persetubuhan dihitung dengan masa suci yang terjadi selama kehamilan. Tidak terlarang bagi wanita hamil ini untuk beriddah dengan masa suci yang terjadi selama kehamilan, meskipun wanita lain tidak beriddah dengannya, karena pada kasus ini terdapat dua iddah, salah satunya dengan kehamilan sehingga boleh yang lainnya dengan masa suci selama kehamilan. Sedangkan wanita lain hanya memiliki satu iddah, yaitu dengan kehamilan saja. Jika demikian, maka jika ia telah menyempurnakan tiga kali suci sebelum melahirkan, maka iddah karena persetubuhan telah selesai dan dalam hal ini iddah tersebut mendahului iddah talak, dan iddah talak selesai dengan melahirkan. Suaminya boleh merujukinya selama ia belum melahirkan dan wajib menafkahinya. Namun jika ia melahirkan sebelum menyempurnakan tiga kali suci, maka iddah talaknya selesai dengan melahirkan,

وَسَقَطَتْ عَنْهُ النَّفَقَةُ وَبَطَلَتِ الرَّجْعَةُ وَلَزِمَهَا أَنْ تُكْمِلَ بَعْدَ الْوَضْعِ مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الْوَطْءِ، وإن كان الحمل حدثاً بَعْدَ الْوَطْءِ فَعِدَّةُ الطَّلَاقِ بِالْأَقْرَاءِ وَعِدَّةُ الْوَطْءِ بِالْحَمْلِ، وَفِي تَدَاخُلِهِمَا مَعَ اخْتِلَافِ جِنْسِهِمَا مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

dan kewajiban nafkah gugur darinya, hak rujuk pun batal, dan ia wajib menyempurnakan sisa iddah karena persetubuhan setelah melahirkan. Jika kehamilan terjadi setelah persetubuhan, maka iddah talaknya dengan masa suci dan iddah karena persetubuhan dengan kehamilan. Dalam penggabungan keduanya yang berbeda jenis, terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan:

أَحَدُهُمَا: يَتَدَاخَلَانِ، فَعَلَى هَذَا تَنْقَضِي عِدَّتَاهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ، وَلَهُ مَا لَمْ تَضَعِ الرَّجْعَةُ وَعَلَيْهِ النَّفَقَةُ.

Salah satunya: keduanya dapat digabungkan, sehingga iddahnya selesai dengan melahirkan, dan suaminya boleh merujukinya selama belum melahirkan dan wajib menafkahinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَتَدَاخَلَانِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ تَرَ عَلَى الْحَمْلِ دَمًا أَوْ رَأَتْهُ وَلَمْ تَجْعَلْهُ حَيْضًا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا مِنَ الْوَطْءِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ، وَتَكُونُ عدتها الْوَطْءِ هَاهُنَا مُتَقَدِّمَةً عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ، فَإِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا اسْتَكْمَلَتْ مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ الْمَاضِي مِنْهَا قَبْلَ الْوَطْءِ قُرْءٌ أَتَتْ بِقُرْأَيْنِ، وَإِنْ كَانَ الْمَاضِيَ مِنْهَا قرءان أَتَتْ بِقُرْءٍ وَاحِدٍ، وَلَهُ أَنْ يُرْجِعَهَا فِي الْبَاقِي مِنْ أَقْرَاءِ الطَّلَاقِ بَعْدَ الْحَمْلِ، وَعَلَيْهِ فِيهِ النَّفَقَةُ وَفِي مُرَاجَعَتِهَا وَوُجُوبِ نَفَقَتِهَا قَبْلَ وَضْعِ الْحَمْلِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: keduanya tidak dapat digabungkan. Maka jika ia tidak melihat darah selama hamil atau melihatnya namun tidak dianggap sebagai haid, maka iddah karena persetubuhan selesai dengan melahirkan, dan iddah karena persetubuhan di sini mendahului iddah talak. Jika ia telah melahirkan, maka ia menyempurnakan sisa iddah talak. Jika yang telah berlalu sebelum persetubuhan adalah satu kali suci, maka ia menyempurnakan dua kali suci; jika yang telah berlalu dua kali suci, maka ia menyempurnakan satu kali suci. Suaminya boleh merujukinya dalam sisa masa suci iddah talak setelah melahirkan, dan wajib menafkahinya. Dalam masalah rujuk dan kewajiban nafkah sebelum melahirkan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا رَجْعَةَ لَهُ، وَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا عِدَّةُ مَنْ وَطِئَ فَعَلَى هَذَا لَوْ وَطِئَهَا فِي الْحَمْلِ حُدَّ.

Salah satunya: suaminya tidak memiliki hak rujuk dan tidak wajib menafkahinya, karena itu adalah iddah wanita yang telah digauli. Berdasarkan pendapat ini, jika ia digauli selama hamil, maka suaminya dikenai hukuman had.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ الرَّجْعَةُ وَعَلَيْهِ النَّفَقَةُ، لِأَنَّهُ لَمَّا تَعَقَّبَ الْحَمْلُ عِدَّةَ الطَّلَاقِ جَرَى عَلَى مُدَّةِ الْحَمْلِ أَحْكَامُ عِدَّةِ الطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ وَطِئَهَا فِي الحمل لم يجد وَإِنْ رَأَتْ عَلَى الْحَمْلِ دَمًا وَجَعَلْنَاهُ حَيْضًا اعْتَدَّتْ بِالْأَقْرَاءِ عَلَى الْحَمْلِ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ وَبِوَضْعِ الْحَمْلِ مِنْ عِدَّةِ الْوَطْءِ فَإِنْ سَبَقَ وَضْعَ الْحَمْلِ انْقَضَتْ بِهِ عِدَّةُ الْوَطْءِ وَأَتَتْ بِالْبَاقِي مِنْ أَقْرَاءِ الطَّلَاقِ، وَكَانَ فِي الرَّجْعَةِ وَالنَّفَقَةِ وَالْوَطْءِ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ سَبَقَتِ الْأَقْرَاءُ عَلَى وَضْعِ الْحَمْلِ انْقَضَتْ بِهَا عِدَّةُ الطَّلَاقِ وَانْقَضَتْ بِوَضْعِ الْحَمْلِ عِدَّةُ الْوَطْءِ.

Pendapat kedua: Suami berhak melakukan rujuk dan wajib menafkahi istrinya, karena ketika masa kehamilan mengikuti masa ‘iddah talak, maka selama masa kehamilan berlaku hukum-hukum ‘iddah talak. Berdasarkan hal ini, jika suami menggaulinya selama kehamilan, maka tidak terhitung (sebagai hubungan baru). Jika ia mengalami darah selama kehamilan dan kita anggap itu sebagai haid, maka ia menjalani ‘iddah dengan hitungan quru’ selama kehamilan dari ‘iddah talak, dan dengan melahirkan dari ‘iddah persetubuhan. Jika kelahiran terjadi lebih dahulu, maka dengan kelahiran itu berakhirlah ‘iddah persetubuhan dan ia melanjutkan sisa quru’ dari ‘iddah talak; dan dalam hal rujuk, nafkah, dan hubungan suami istri berlaku seperti sebelumnya. Namun jika quru’ selesai lebih dahulu sebelum melahirkan, maka dengan selesainya quru’ berakhirlah ‘iddah talak dan dengan kelahiran berakhirlah ‘iddah persetubuhan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْعِدَّةُ الْأُولَى عَنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ، وَالْعِدَّةُ الثَّانِيَةُ عَنْ عَقْدِ نِكَاحٍ، فَصُورَتُهُ فِي رَجُلٍ وَطِئَ امْرَأَةً بِشُبْهَةٍ أَوْ بِعَقْدٍ فَاسِدٍ، ثُمَّ تَزَوَّجَهَا فِي الْعِدَّةِ فَالْعَقْدُ صَحِيحٌ، لِأَنَّ الْعِدَّةَ مِنْهُ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا سَقَطَتْ عِدَّةُ الْوَطْءِ بِدُخُولِهِ، وَعَلَيْهَا إِنْ طَلَّقَ أَنْ تَسْتَأْنِفَ الْعِدَّةَ مِنْ طَلَاقِهِ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتَّى طَلَّقَهَا فَهَلْ تَكُونُ مُدَّةُ النِّكَاحِ قَاطِعَةً لِعِدَّةِ الْوَطْءِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun bagian kedua: yaitu jika ‘iddah pertama karena persetubuhan syubhat, dan ‘iddah kedua karena akad nikah. Contohnya adalah seorang laki-laki menggauli seorang wanita karena syubhat atau dengan akad yang fasid, kemudian menikahinya saat masih dalam masa ‘iddah, maka akadnya sah karena ‘iddah itu berasal darinya. Jika ia telah menggaulinya, maka ‘iddah persetubuhan gugur dengan hubungan tersebut, dan jika ia menceraikannya, maka wanita itu wajib memulai ‘iddah dari talaknya. Namun jika ia belum menggaulinya hingga menceraikannya, maka apakah masa pernikahan memutus ‘iddah persetubuhan atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَخَرَجَ بِهِ عَنِ الْقِيَاسِ أَنَّهُ لَا تُقْطَعُ عِدَّةُ الْوَطْءِ بِعَقْدِ النِّكَاحِ حَتَّى يَطَأَ فِيهِ كَالْعَقْدِ الْفَاسِدِ وَجَعَلَهَا فِي مُدَّةِ النِّكَاحِ جَارِيَةً فِي عِدَّةِ الْوَطْءِ.

Pendapat pertama: yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, yang menyelisihi qiyās, bahwa ‘iddah persetubuhan tidak terputus dengan akad nikah hingga terjadi hubungan di dalamnya, sebagaimana pada akad yang fasid, dan ia menganggap selama masa pernikahan, ‘iddah persetubuhan tetap berjalan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَعَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الْقِيَاسُ الْمُطَّرِدُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عِدَّةَ الْوَطْءِ قَدِ انْقَطَعَتْ بِعَقْدِ النِّكَاحِ إِذَا كَانَ صَحِيحًا، وَإِنْ لَمْ يَطَأْ فِيهِ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِهِ فِرَاشًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ فِرَاشًا وَهِيَ مُعْتَدَّةٌ وَخَالَفَتِ النِّكَاحَ الْفَاسِدَ، لِأَنَّهَا لَا تَكُونُ فِرَاشًا فِيهِ إِلَّا بِالْوَطْءِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَنْقَطِعْ بِهِ الْعِدَّةُ، فَعَلَى هَذَا إِذَا قَطَعَ الْعَقْدُ مَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الْعِدَّةِ أَكْمَلَتْ بَعْدَ الطَّلَاقِ عِدَّةَ الْوَطْءِ وَبَنَتْ عَلَى مَا مَضَى مِنْهُ وَحَلَّتْ بَعْدَهَا لِلْأَزْوَاجِ، وَلَمْ يَلْزَمْهَا مِنَ الطَّلَاقِ عِدَّةٌ؛ لِأَنَّهُ فِي نِكَاحٍ تَجَرَّدَ عَنْ دُخُولٍ.

Pendapat kedua: dan ini adalah pendapat mayoritas ulama kami, serta merupakan qiyās yang konsisten menurut mazhab al-Syafi‘i, bahwa ‘iddah persetubuhan terputus dengan akad nikah jika akadnya sah, meskipun belum terjadi hubungan, karena dengan akad itu wanita telah menjadi istri secara penuh (menjadi firāsy), dan tidak boleh seorang wanita menjadi firāsy sementara ia masih dalam masa ‘iddah. Ini berbeda dengan nikah fasid, karena dalam nikah fasid wanita tidak menjadi firāsy kecuali setelah terjadi hubungan, sehingga ‘iddah tidak terputus karenanya. Berdasarkan hal ini, jika akad telah memutus ‘iddah sebelumnya, maka setelah talak ia menyempurnakan sisa ‘iddah persetubuhan dan melanjutkan dari yang telah dijalani, lalu setelah itu ia halal bagi para suami lain, dan tidak wajib menjalani ‘iddah dari talak, karena pernikahan tersebut tidak diiringi dengan hubungan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْعِدَّتَانِ عَنْ عَقْدَيْنِ، فَصُورَتُهُ فِي رَجُلٍ خَالَعَ زَوْجَتَهُ بَعْدَ الدُّخُولِ عَلَى طَلْقَةٍ أَوْ طَلْقَتَيْنِ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَالْعَقْدُ صَحِيحٌ، وَإِنْ خَالَفَ فِيهِ الْمُزَنِيُّ خِلَافًا تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ، فَإِنْ طَلَّقَ فِي هَذَا الْعَقْدِ الثَّانِي لَمْ يَخْلُ أَنْ تَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ، أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَقَدْ سَقَطَ بِالدُّخُولِ مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ فِي الْخُلْعِ، وَعَلَيْهَا أَنْ تَسْتَأْنِفَ الْعِدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّانِي وَإِن لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فِي الْعَقْدِ الثَّانِي حَتَّى طَلَّقَ وَلَمْ يُلْزِمْهَا فِيهِ عِدَّةً، وَلَمْ يُسْقِطْ بِهِ مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ، وَأَسْقَطَهُ أَبُو حَنِيفَةَ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ وَإِذَا لَمْ يَسْقُطْ لَزِمَهَا إِكْمَالُ الْعِدَّةِ الْأُولَى، وَهَلْ يَكُونُ الْعَقْدُ الثَّانِي مَعَ خُلُوِّهِ مِنَ الْوَطْءِ قَاطِعًا لِلْعِدَّةِ الْأُولَى أَمْ لَا؟

Adapun bagian ketiga: yaitu jika kedua ‘iddah berasal dari dua akad nikah. Contohnya adalah seorang laki-laki yang melakukan khulu‘ terhadap istrinya setelah berhubungan pada talak pertama atau kedua, kemudian menikahinya kembali sebelum masa ‘iddah habis, maka akadnya sah, meskipun al-Muzani berbeda pendapat dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jika ia menceraikan dalam akad kedua ini, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: sebelum berhubungan atau setelahnya. Jika setelah berhubungan, maka dengan hubungan itu gugurlah sisa ‘iddah talak pertama pada khulu‘, dan wanita itu wajib memulai ‘iddah dari talak kedua. Namun jika ia belum berhubungan dalam akad kedua hingga menceraikannya, maka tidak wajib menjalani ‘iddah dalam akad kedua tersebut, dan tidak gugur sisa ‘iddah talak pertama, meskipun Abu Hanifah berpendapat gugur, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jika tidak gugur, maka wanita itu wajib menyempurnakan ‘iddah pertama. Apakah akad kedua tanpa adanya hubungan dapat memutus ‘iddah pertama atau tidak?

قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: لَا تَقْطَعُهَا وَتَكُونُ جَارِيَةً فِي عِدَّتِهَا حَتَّى تَسْتَكْمِلَهَا، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ أَنَّ الْعِدَّةَ قَدِ انْقَطَعَتْ بِالْعَقْدِ، وَيَكُونُ الْبِنَاءُ عَلَى الْعِدَّةِ بَعْدَ الطَّلَاقِ، وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَإِنَّمَا أُعِيدَتْ لِاقْتِضَاءِ التَّسْلِيمِ لَهَا.

Abu al-‘Abbas bin Suraij berkata: “Iddahnya tidak terputus dan ia tetap menjalani masa iddahnya hingga selesai. Adapun mazhab al-Syafi‘i dan pendapat mayoritas para pengikutnya adalah bahwa iddah telah terputus dengan akad, dan bangunan hukum didasarkan pada iddah setelah talak. Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya, dan diulang di sini karena diperlukan penegasan terhadapnya.”

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِذَا زَوَّجَ السَّيِّدُ أَمَتَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ بَعْدَ الدُّخُولِ بِهَا فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَى السَّيِّدِ حَتَّى تَقْضِيَ عِدَّتَهَا فَإِذَا قَضَتْهَا حَلَّتْ لَهُ مِنْ غَيْرِ اسْتِبْرَاءٍ بَعْدَ الْعِدَّةِ، وَلَوْ بَاعَهَا السَّيِّدُ فِي الْعِدَّةِ صَحَّ الْبَيْعُ، لِأَنَّ تَحْرِيمَهَا بِالْعِدَّةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الْبَيْعِ لَهَا كَالْمُحَرَّمَةِ بِنَسَبٍ، أَوْ رَضَاعٍ، فَإِذَا قَضَتْ عِدَّتَهَا لَمْ تَحِلَّ لِلْمُشْتَرِي إِلَّا بَعْدَ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا بِحَيْضَةٍ بِخِلَافِ الْبَائِعِ.

Apabila seorang tuan menikahkan budaknya, lalu suaminya menceraikannya setelah melakukan hubungan suami istri, maka budak tersebut haram bagi tuannya hingga selesai masa iddahnya. Jika masa iddahnya telah selesai, maka ia halal bagi tuannya tanpa perlu istibra’ setelah iddah. Jika tuan menjual budak tersebut saat masih dalam masa iddah, maka jual beli itu sah, karena pengharaman budak tersebut karena iddah tidak menghalangi bolehnya penjualan, sebagaimana halnya budak yang haram dinikahi karena hubungan nasab atau persusuan. Apabila masa iddahnya telah selesai, maka budak tersebut tidak halal bagi pembeli kecuali setelah melakukan istibra’ dengan satu kali haid, berbeda dengan penjual.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْبَائِعَ عَادَتْ إِلَيْهِ بِمِلْكٍ مُتَقَدِّمٍ قَدِ اسْتَبْرَأَهَا فِيهِ فلم يلزمه أن يستبرأها ثَانِيَةً لِأَنَّهُ مَا اسْتَحْدَثَ مِلْكًا ثَانِيًا وَإِنَّمَا طَرَأَ عَلَى مِلْكِهِ فِرَاشَ الزَّوْجِ، وَقَدِ ارْتَفَعَ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مِنْهُ فَعَادَتْ إِلَى إِبَاحَتِهِ بِالْمَعْنَى الْأَوَّلِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِبْرَاءٌ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُشْتَرِي، لِأَنَّهُ اسْتَحْدَثَ مِلْكًا يُوجِبُ عَلَيْهِ الِاسْتِبْرَاءَ فِي حَقِّهِ وَعِدَّةُ الْمُطَلِّقِ كَانَتْ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَصَارَ كَعِدَّتَيْنِ مِنِ اثْنَيْنِ لَا يَتَدَاخَلَانِ كَذَلِكَ لَا يَتَدَاخَلُ الِاسْتِبْرَاءُ وَالْعِدَّةُ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa penjual mendapatkan kembali budak tersebut dengan kepemilikan yang lama, di mana ia telah melakukan istibra’ sebelumnya, sehingga tidak wajib baginya melakukan istibra’ kedua kali, karena ia tidak memperoleh kepemilikan baru, melainkan hanya terjadi perubahan pada kepemilikannya akibat adanya hubungan pernikahan dengan suami, dan hal itu telah berakhir dengan selesainya masa iddah, sehingga budak tersebut kembali halal baginya sebagaimana semula, maka tidak wajib baginya melakukan istibra’. Tidak demikian halnya dengan pembeli, karena ia memperoleh kepemilikan baru yang mewajibkan istibra’ baginya, sedangkan iddah dari suami adalah untuk dirinya sendiri, sehingga seakan-akan terdapat dua iddah dari dua orang yang tidak saling masuk satu sama lain, demikian pula istibra’ dan iddah tidak saling masuk satu sama lain.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِذَا وَطِئَ الرَّجُلُ أَمَةَ غَيْرِهِ بِشُبْهَةٍ يَظُنُّهَا أَمَةَ نَفْسِهِ لَحِقَ بِهِ وَلَدُهَا، وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ وَكَانَتْ عِدَّتُهَا مِنْ إِصَابَةِ الِاسْتِبْرَاءِ بِحَيْضَةٍ وَلَا يَلْزَمُهَا عِدَّةُ الزَّوْجَاتِ، لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِزَوْجَةٍ وَلَا ظَنَّهَا الْوَاطِئُ زَوْجَةً فَإِنْ ظَنَّهَا عِنْدَ وَطْئِهِ لَهَا أَنَّهَا زَوْجُهُ فَهَلْ تَكُونُ عِدَّتُهَا مِنْ إِصَابَتِهِ عِدَّةَ زَوْجَةٍ، أَوِ اسْتِبْرَاءَ أَمَةٍ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apabila seorang laki-laki menggauli budak milik orang lain karena syubhat, yakni ia mengira budak itu adalah miliknya, maka anak yang lahir darinya dinasabkan kepadanya, dan ia wajib membayar nilai budak tersebut. Masa iddah budak itu karena hubungan tersebut adalah istibra’ dengan satu kali haid, dan tidak wajib menjalani iddah seperti istri, karena ia bukan istri dan pelaku juga tidak mengira budak itu sebagai istrinya. Namun, jika saat menggauli budak itu ia mengira bahwa budak tersebut adalah istrinya, maka apakah masa iddahnya karena hubungan itu adalah iddah istri atau istibra’ budak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: استبراء أمة بحيضة واحدة اعتباراً يالموطوءة وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عِدَّةُ الزَّوْجِيَّةِ اعْتِبَارًا بِالْوَطْءِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَتْ زَوْجَتُهُ الَّتِي اشْتَبَهَتْ عَلَيْهِ بِهَذِهِ الْأَمَةِ الْمَوْطُوءَةِ مَمْلُوكَةً، وَلَمْ تَكُنْ حُرَّةً لَزِمَ الْأَمَةَ الْمَوْطُوءَةَ عِدَّةُ أَمَةٍ، وَإِنْ كَانَتْ حُرَّةً فَفِيمَا يَلْزَمُ الْأَمَةَ الْمَوْطُوءَةَ مِنَ الْعِدَّةِ وَجْهَانِ:

Pertama: istibra’ budak dengan satu kali haid, berdasarkan status budak yang digauli. Pendapat kedua: iddah istri, berdasarkan hubungan suami istri. Dalam hal ini, jika istri yang dikira sebagai budak tersebut juga seorang budak dan bukan wanita merdeka, maka budak yang digauli itu wajib menjalani iddah budak. Namun jika istri yang dikira itu adalah wanita merdeka, maka terkait kewajiban iddah bagi budak yang digauli ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجِ عِدَّهُ حُرَّةٍ ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ اعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْوَاطِئِ وَطْءَ زَوْجَتِهِ حُرَّةً.

Pertama, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij: iddahnya seperti wanita merdeka, yaitu tiga kali suci, berdasarkan keyakinan pelaku bahwa ia menggauli istrinya yang merdeka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّهَا عِدَّةُ أَمَةٍ، لأن عدة الزوجية معتبرة بحال الموظوءة دُونَ الْوَاطِئِ فَأَمَّا إِذَا وَطِئَ زَوْجَةَ غَيْرِهِ يَظُنُّهَا أَمَةَ نَفْسِهِ فَعَلَيْهَا مِنْ وَطْئِهِ عِدَّةُ حُرَّةٍ لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ أَصْحَابُنَا وَلَا اعْتِبَارَ فِيهَا بِمُعْتَقَدِهِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْحُرَّةَ لَا تَسْتَبْرِئُ نَفْسَهَا إِلَّا بِعِدَّةٍ، وَالْأَمَةُ قَدْ تَسْتَبْرِئُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ عِدَّةٍ فَجَازَ أَنْ يَخْتَلِفَ حَالُ الْأَمَةِ وَلَا يَخْتَلِفَ حَالُ الْحُرَّةِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat mayoritas ulama kami: iddahnya adalah iddah budak, karena iddah istri ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang digauli, bukan pelakunya. Adapun jika seseorang menggauli istri orang lain dengan mengira ia adalah budaknya sendiri, maka wanita itu wajib menjalani iddah wanita merdeka karena hubungan tersebut, dan para ulama kami tidak berbeda pendapat dalam hal ini, serta tidak dianggap keyakinan pelaku. Perbedaannya adalah bahwa wanita merdeka tidak dapat melakukan istibra’ kecuali dengan iddah, sedangkan budak dapat melakukan istibra’ tanpa iddah, sehingga status budak dapat berbeda-beda, sedangkan status wanita merdeka tidak berbeda.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اعْتَدَّتْ بِحَيْضَةٍ ثُمَّ أَصَابَهَا الثَّانِي وَحَمَلَتْ وَفُرِّقَ بَيْنَهُمَا اعْتَدَّتْ بِالْحَمْلِ فَإِذَا وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ نَكَحَهَا الْآخَرُ فهو من الأول وإن جاءت به لأكثر من أربع سنين من يوم فارقها الأول وكان طلاقه لا يملك فيه الرجعة فهو للآخر وإن كان يملك فيه الرجعة وتداعياه أو لم يتداعياه ولم ينكراه ولا واحداً منهما أريه القافة فإن ألحقوه بالأول فقد انقضت عدتها منه وتبتدئ عدة من الثاني وله خطبتها فإن ألحقوه بالثاني فقد انقضت عدتها منه وتبتدئ فتكمل على ما مض من عدة الأول وللأول عليها الرجعة “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي مُطَلَّقَةٍ نَكَحَتْ فِي عدتها فقد ذكرنا بطلان نكاحها، وأنهإ إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا الثَّانِي كَانَتْ جَارِيَةً فِي عِدَّتِهَا، وَكَانَ وُجُودُ النِّكَاحِ فِي النِّكَاحِ كَعَدَمِهِ، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا الثَّانِي انْقَطَعَتْ عِدَّةُ الْأَوَّلِ بِدُخُولِ الثَّانِي لَا بِعَقْدِهِ، لِأَنَّهُ بِالدُّخُولِ صَارَتْ فِرَاشًا لَهُ وَبِالْفِرَاشِ تَنْقَطِعُ الْعِدَّةُ، فَإِذَا فراق بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الثَّانِي ارْتَفَعَ فِرَاشُهُ، وَلَزِمَهَا أَنْ تَعْتَدَّ مِنْ وَطْئِهِ بَعْدَ أَنْ تُكْمِلَ بَقِيَّةَ عِدَّةِ الْأَوَّلِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَامِلًا بَدَّلَتْ بِبَقِيَّةِ عِدَّةِ الْأَوَّلِ مِنْ بَعْدِ فُرْقَةِ الثَّانِي، فَإِذَا أَكْمَلَتْهَا اسْتَأْنَفَتْ بَعْدَهَا عِدَّةَ الثَّانِي بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ كَامِلَةٍ، وَهَذَا قَدْ مَضَى وَإِنْ كَانَتْ حِينَ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الثَّانِي حَامِلًا فَلِحَمْلِهَا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seorang perempuan menjalani masa ‘iddah dengan satu kali haid, lalu haid kedua datang dan ia hamil, kemudian terjadi perpisahan antara dia dan suami keduanya, maka ia menjalani masa ‘iddah dengan kehamilan tersebut. Jika ia melahirkan kurang dari enam bulan sejak hari pernikahan dengan suami kedua, maka anak itu dari suami pertama. Namun jika ia melahirkan lebih dari empat tahun sejak hari perpisahan dengan suami pertama, dan talaknya adalah talak yang tidak memungkinkan rujuk, maka anak itu dari suami kedua. Jika talaknya memungkinkan rujuk, lalu keduanya saling mengaku atau tidak saling mengaku dan tidak ada yang mengingkari, maka diperlihatkan kepada ahli qāfah (pakar nasab). Jika ahli qāfah menetapkan anak itu kepada suami pertama, maka masa ‘iddahnya dari suami pertama telah selesai dan ia memulai masa ‘iddah dari suami kedua, dan suami kedua boleh melamarnya. Jika ahli qāfah menetapkan anak itu kepada suami kedua, maka masa ‘iddahnya dari suami kedua telah selesai dan ia memulai serta menyempurnakan sisa masa ‘iddah dari suami pertama, dan suami pertama berhak merujuknya.” Al-Māwardī berkata: “Kejadian ini terjadi pada perempuan yang ditalak lalu menikah dalam masa ‘iddahnya. Sebagaimana telah kami sebutkan, nikahnya batal. Jika suami kedua belum berhubungan dengannya, maka ia tetap menjalani masa ‘iddahnya, dan keberadaan akad nikah kedua dianggap tidak ada. Namun jika suami kedua telah berhubungan dengannya, maka masa ‘iddah dari suami pertama terputus dengan hubungan badan suami kedua, bukan dengan akadnya, karena dengan hubungan badan ia menjadi istri (firas) bagi suami kedua dan dengan itu masa ‘iddah terputus. Jika terjadi perpisahan antara dia dan suami kedua, maka firas suami kedua hilang, dan ia wajib menjalani masa ‘iddah dari suami kedua setelah menyempurnakan sisa masa ‘iddah dari suami pertama. Jika ia tidak hamil, maka ia mengganti sisa masa ‘iddah dari suami pertama setelah berpisah dengan suami kedua. Setelah menyempurnakannya, ia memulai masa ‘iddah dari suami kedua dengan tiga kali quru’ (suci/haid) yang sempurna. Hal ini telah dijelaskan. Jika ketika berpisah dengan suami kedua ia dalam keadaan hamil, maka untuk kehamilannya ada empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي.

Pertama: Anak itu dinisbatkan kepada suami pertama, bukan suami kedua.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُلْحَقَ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ.

Keadaan kedua: Anak itu dinisbatkan kepada suami kedua, bukan suami pertama.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ لَا يُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ وَلَا بِالثَّانِي. وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُمْكِنَ لُحُوقُهُ بِالْأَوَّلِ وَالثَّانِي.

Keadaan ketiga: Anak itu tidak dinisbatkan kepada suami pertama maupun suami kedua. Keadaan keempat: Anak itu mungkin dinisbatkan kepada suami pertama maupun suami kedua.

فَأَمَّا الْحَالُ الْأُولَى: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْحَمْلُ لَاحِقًا بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي: فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَمَا دُونَهَا مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَلِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ دُخُولِ الثَّانِي، فَهُوَ لَاحِقٌ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي، لِأَنَّ مُدَّةَ الْحَمْلِ مَا بَيْنَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ إِلَى أَرْبَعِ سِنِينَ اعْتِبَارًا بِالْوُجُودِ عَلَى مَا سَنُوَضِّحُهُ فَكَانَتِ السِّتَّةُ أَشْهُرٍ حَدًّا لِأَقَلِّهِ فَلَمْ يَكُنْ مَا دُونَهَا مُدَّةً لِلْحَمْلِ، وَكَانَتِ الْأَرْبَعُ سِنِينَ حَدًّا لِأَكْثَرِهِ فَلَمْ يَكُنْ مَا زَادَ عَلَيْهَا مُدَّةً لِلْحَمْلِ فَلِذَلِكَ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ لِوُجُودِهِ فِي مُدَّةِ حَمْلِهِ، وَانْتَفَى عَنِ الثَّانِي لِقُصُورِهِ عَنْ مُدَّةِ حَمْلِهِ، وَيَتَعَلَّقُ بِذَلِكَ خَمْسَةُ أَحْكَامٍ النَّسَبُ، وَالْعِدَّةُ، وَالرَّجْعَةُ، وَالتَّزْوِيجُ، وَالنَّفَقَةُ.

Adapun keadaan pertama, yaitu jika kehamilan itu dinisbatkan kepada suami pertama, bukan suami kedua: yaitu jika ia melahirkan dalam waktu empat tahun atau kurang dari talak suami pertama, dan kurang dari enam bulan dari hubungan dengan suami kedua, maka anak itu dinisbatkan kepada suami pertama, bukan suami kedua. Sebab, masa kehamilan menurut pertimbangan yang akan dijelaskan adalah antara enam bulan hingga empat tahun. Enam bulan adalah batas minimal kehamilan, sehingga kurang dari itu tidak dianggap masa kehamilan. Empat tahun adalah batas maksimal kehamilan, sehingga lebih dari itu tidak dianggap masa kehamilan. Oleh karena itu, anak itu dinisbatkan kepada suami pertama karena lahir dalam masa kehamilannya, dan tidak dinisbatkan kepada suami kedua karena kurang dari masa kehamilannya. Dalam hal ini terdapat lima hukum yang terkait: nasab, ‘iddah, rujuk, pernikahan, dan nafkah.

فأما النسب فقد ذكرناه، وأنه لا حق به هَاهُنَا بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي.

Adapun nasab, sebagaimana telah disebutkan, bahwa anak itu dinisbatkan kepada suami pertama di sini, bukan kepada suami kedua.

وَأَمَّا الْعِدَّةُ فَهِيَ عِدَّتَانِ فَتَنْقَضِي عِدَّةُ الْأَوَّلِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ لِلُحُوقِهِ بِهِ وَتَسْتَأْنِفُ عِدَّةَ الثَّانِي بَعْدَ مُدَّةِ النِّفَاسِ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ.

Adapun ‘iddah, maka ada dua masa ‘iddah: masa ‘iddah dari suami pertama selesai dengan kelahiran anak karena anak itu dinisbatkan kepadanya, dan ia memulai masa ‘iddah dari suami kedua setelah masa nifas dengan tiga kali quru’ (suci/haid).

وَأَمَّا الرَّجْعَةُ فَهِيَ مُسْتَحَقَّةٌ فِي النِّكَاحِ الصَّحِيحِ دُونَ الْفَاسِدِ، فَيَكُونُ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ لِصِحَّةِ نِكَاحِهِ دُونَ الثَّانِي لِفَسَادِ نِكَاحِهِ، فَإِذَا اسْتَحَقَّهَا الْأَوَّلُ فِي الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ فَلَيْسَ لَهُ مُرَاجَعَتُهَا فِي مُدَّةِ اجْتِمَاعِهَا مَعَ الْأَوَّلِ، لِأَنَّهَا خَارِجَةٌ فِيهَا عَنْ عِدَّتِهِ وَفِرَاشٌ لِغَيْرِهِ فَإِنْ رَاجَعَ فِيهَا كَانَتِ الرَّجْعَةُ بَاطِلَةً، فَإِذَا فَارَقَتِ الثَّانِي صَارَتْ دَاخِلَةً فِي الْعِدَّةِ فَهُوَ الْوَقْتُ الَّذِي يَسْتَحِقُّ الْأَوَّلُ فِيهِ الرَّجْعَةَ، فَإِذَا رَاجَعَهَا فَلَهُ حِينَ الرَّجْعَةِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Adapun rujuk, maka rujuk hanya berhak dilakukan dalam pernikahan yang sah, bukan yang fasid (batal). Maka suami pertama berhak merujuk karena pernikahannya sah, sedangkan suami kedua tidak berhak karena pernikahannya fasid. Jika suami pertama berhak merujuk dalam talak raj‘i, maka ia tidak boleh merujuk selama perempuan tersebut masih dalam masa kebersamaan dengan suami kedua, karena ia telah keluar dari masa ‘iddahnya dan menjadi istri (firas) bagi orang lain. Jika ia merujuk dalam masa itu, maka rujuknya batal. Jika ia telah berpisah dengan suami kedua, maka ia kembali masuk dalam masa ‘iddah, dan saat itulah suami pertama berhak merujuk. Jika ia merujuk, maka pada saat rujuk itu ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَعْلَمَ فِي وَقْتِ الرَّجْعَةِ بِتَقَدُّمِ حَمْلِهَا عل وَطْءِ الثَّانِي فَرَجْعَتُهُ صَحِيحَةٌ لِعِلْمِهِ بِأَنَّهَا فِي عِدَّتِهِ وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ، أَنْ يَعْلَمَ تَحَمُّلَهَا وَقْتَ رَجْعَتِهَا، وَلَا يَعْلَمَ تَقَدُّمَهُ عَلَى وَطْءِ الثَّانِي فَفِي صِحَّةِ رَجْعَتِهِ وَجْهَانِ:

Salah satunya: yaitu ketika ia mengetahui pada waktu rujuk bahwa kehamilannya terjadi sebelum digauli oleh suami kedua, maka rujuknya sah karena ia mengetahui bahwa istrinya masih dalam masa iddahnya. Keadaan kedua, yaitu ia mengetahui kehamilannya pada waktu rujuk, namun tidak mengetahui apakah kehamilan itu terjadi sebelum atau sesudah digauli oleh suami kedua. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat mengenai keabsahan rujuknya:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فِي إِطْلَاقِهِ أَنَّ الرَّجْعَةَ صَحِيحَةٌ، لِأَنَّهَا صَادَفَتْ مُدَّةَ عِدَّتِهِ.

Salah satunya, dan ini adalah pendapat yang tampak dari madzhab Syafi‘i secara mutlak, bahwa rujuknya sah, karena rujuk itu terjadi dalam masa iddahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الرَّجْعَةَ فَاسِدَةٌ، لِأَنَّ الْحَمْلَ قَبْلَ وَضْعِهِ مُشْتَبِهُ الْحَالِ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ فَيَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِهِ فَلَا يَمْلِكُهَا فَصَارَ شَاكًّا فِي اسْتِحْقَاقِهَا فِيهِ فَبَطَلَتْ.

Pendapat kedua: bahwa rujuknya batal, karena kehamilan sebelum melahirkan masih samar statusnya, bisa jadi dari suami pertama sehingga ia berhak rujuk, atau dari selainnya sehingga ia tidak berhak rujuk. Maka ia menjadi ragu dalam haknya untuk rujuk, sehingga rujuknya batal.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُرَاجِعَهَا مِنْ غَيْرِ عِلْمٍ بِحَمْلِهَا فَيَنْظُرَ فِي وَقْتِ رَجْعَتِهِ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ أَنْ يَمْضِيَ عَلَيْهَا بَقِيَّةُ عِدَّتِهِ صَحَّتْ رَجْعَتُهُ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ مُضِيِّهَا لَمْ تَصِحَّ.

Keadaan ketiga: yaitu ia merujuk istrinya tanpa mengetahui adanya kehamilan, maka dilihat pada waktu rujuknya; jika rujuk itu terjadi sebelum sisa masa iddahnya habis, maka rujuknya sah. Namun jika setelah masa iddahnya habis, maka rujuknya tidak sah.

مِثَالُهُ: أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي مِنْ عدته قرءان فَرَاجَعَ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْقُرْأَيْنِ صَحَّتِ الرَّجْعَةُ، لِأَنَّهَا صَادَفَتْ مُدَّةَ عِدَّتِهِ اعْتِقَادًا وَحُكْمًا، وَإِنْ رَاجَعَهَا بَعْدَ مُضِيِّ الْقُرْأَيْنِ لَمْ تَصِحَّ الرَّجْعَةُ اعْتِبَارًا بِالظَّاهِرِ مِنِ انْقِضَائِهَا، وَإِنْ كَانَتْ فِي الْبَاطِنِ بَاقِيَةً فِيهَا وَصَارَتْ رَجْعَتُهُ مَعَ اعْتِقَادِهِ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ عَبَثًا مِنْهُ، وَإِنْ وَافَقَتْ زَمَانَ الْعِدَّةِ.

Contohnya: jika sisa iddahnya adalah dua kali suci, lalu ia rujuk sebelum habis dua kali suci tersebut, maka rujuknya sah, karena rujuk itu terjadi dalam masa iddahnya baik secara keyakinan maupun hukum. Namun jika ia rujuk setelah lewat dua kali suci, maka rujuknya tidak sah, berdasarkan zahirnya bahwa iddah telah selesai, meskipun secara batin iddahnya masih tersisa. Maka rujuknya, dengan keyakinan bahwa iddah telah selesai, menjadi sia-sia, meskipun waktunya bertepatan dengan masa iddah.

وَأَمَّا التَّزْوِيجُ فَلَا يَجُوزُ فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ بِحَالٍ، وَأَمَّا فِي عِدَّةِ الثَّانِي بَعْدَ الْحَمْلِ فَلَا يَجُوزُ لِغَيْرِهِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِيهَا، وَيَجُوزُ لِلثَّانِي عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، وَعَلَى مَذْهَبِ مَالِكٍ، وَالتَّخْرِيجُ الْمَحْكِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ قَدْ حَرُمَتْ عَلَى الثَّانِي أَبَدًا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِي الْعِدَّةِ وَلَا بَعْدَهَا وَيَجُوزُ لِغَيْرِهِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بَعْدَ الْعِدَّةِ.

Adapun pernikahan, maka tidak boleh dilakukan selama masa kehamilan dalam keadaan apa pun. Adapun dalam masa iddah suami kedua setelah kehamilan, maka tidak boleh bagi selain suami kedua untuk menikahinya dalam masa itu. Namun, menurut pendapat yang sahih dari madzhab, suami kedua boleh menikahinya. Sedangkan menurut madzhab Malik dan pendapat yang dinukil dari Syafi‘i dalam qaul qadim, ia menjadi haram selamanya bagi suami kedua, sehingga tidak boleh menikahinya baik dalam masa iddah maupun setelahnya, dan boleh bagi selainnya untuk menikahinya setelah iddah selesai.

وَأَمَّا النَّفَقَةُ فَسَيَأْتِي الْكَلَامُ فِيهَا مَسْطُورًا مِنْ بَعْدُ فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ مِنْ أَحْوَالِهَا الْأَرْبَعِ.

Adapun nafkah, maka pembahasannya akan dijelaskan kemudian secara terperinci. Inilah hukum bagian pertama dari empat keadaannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي مِنْ أَحْوَالِهَا وهو أن يكون لاحقا بالثاني دون الأول فهو أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طلاق الأول ولستة أشهر فصاعدا من أَوَّلِ دُخُولِ الثَّانِي لِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ بِاسْتِكْمَالِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ أَوَّلِ دُخُولِهِ وَنُقْصَانِهَا مِنْ آخِرِ دُخُولِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهَذَا الْوَلَدُ لَاحِقٌ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ إِنْ كَانَ طَلَاقُهُ بَائِنًا، وَإِنْ كَانَ رَجْعِيًّا فَعَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا:

Adapun bagian kedua dari keadaannya, yaitu apabila anak itu dihubungkan kepada suami kedua saja, bukan kepada suami pertama, yaitu jika ia melahirkan anak lebih dari empat tahun setelah talak dari suami pertama dan enam bulan atau lebih sejak pertama kali digauli oleh suami kedua. Karena yang menjadi patokan adalah genap enam bulan dari awal digauli dan kurang dari itu dihitung dari akhir digauli. Jika demikian, maka anak itu dihubungkan kepada suami kedua saja, bukan kepada suami pertama jika talaknya adalah talak bain. Namun jika talaknya raj‘i, maka ada dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: كَالْبَائِنِ يُلْحَقُ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ.

Salah satunya: seperti talak bain, anak itu dihubungkan kepada suami kedua saja, bukan kepada suami pertama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلْبَائِنِ، وَيُمْكِنُ أَنْ يُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ وَالثَّانِي فَيَكُونَ كَالْقِسْمِ الرَّابِعِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، وَالتَّفْرِيعُ هَاهُنَا يَكُونُ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ، لِأَنَّ تَفْرِيعَ الْقَوْلِ الثَّانِي يَدْخُلُ فِي الْقِسْمِ الرَّابِعِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ تَوَجَّهَ الْكَلَامُ إِلَى بَيَانِ ثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ: الْعِدَّةُ، وَالرَّجْعَةُ، وَالتَّزْوِيجُ، لِأَنَّ النَّسَبَ مَضَى، وَالنَّفَقَةَ تَأْتِي.

Pendapat kedua: bahwa ini berbeda dengan talak bain, dan bisa jadi anak itu dihubungkan kepada suami pertama maupun suami kedua, sehingga keadaannya seperti bagian keempat sebagaimana akan dijelaskan. Penjabaran di sini mengikuti pendapat pertama, karena penjabaran pendapat kedua masuk dalam bagian keempat. Jika demikian, maka pembahasan diarahkan pada penjelasan tiga hukum: iddah, rujuk, dan pernikahan, karena masalah nasab telah selesai, dan nafkah akan dibahas kemudian.

فَأَمَّا الْعِدَّةُ فَتَنْقَضِي عِدَّةُ الثَّانِي بِوَضْعِ الْحَمْلِ لِأَنَّهُ لَاحِقٌ بِهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُلْحَقَ بِهِ حَمْلٌ تَعْتَدُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ، لِأَنَّ عِدَّتَهُ لِحِفْظِ مَائِهِ ثُمَّ تَسْتَأْنِفُ مَا بَقِيَ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ بَعْدَ انقطاع دم النفاس والباقي منها قرءان، لِأَنَّ الْمَاضِيَ مِنْهَا قُرْءٌ، فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْهَا حَلَّتْ.

Adapun iddah, maka iddah suami kedua berakhir dengan kelahiran anak, karena anak itu dihubungkan kepadanya. Tidak boleh dihubungkan kepadanya kehamilan yang iddahnya dihitung dari selainnya, karena iddahnya bertujuan menjaga nasabnya. Setelah itu, ia memulai sisa iddah dari suami pertama setelah darah nifas berhenti, dan sisa iddahnya adalah dua kali suci, karena yang telah berlalu dihitung satu kali suci. Jika telah menyempurnakan iddahnya, maka ia halal (untuk menikah lagi).

وَأَمَّا الرَّجْعَةُ فَهِيَ لِلْأَوَّلِ فِي الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ، فإذا رَاجَعَهَا بَعْدَ نِفَاسِهَا فِي بَقِيَّةِ عِدَّتِهِ صَحَّتْ رجعته، فإن رَاجَعَهَا قَبْلَ دُخُولِهَا فِي عِدَّتِهِ فَفِي صِحَّةِ رَجْعَتِهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ ذَكَرْنَاهُمَا:

Adapun rujuk, maka itu hanya bagi suami pertama dalam talak raj‘i. Jika ia merujuk istrinya setelah masa nifasnya selama sisa masa ‘iddahnya, maka rujuknya sah. Namun jika ia merujuk istrinya sebelum masuknya masa ‘iddah, maka menurut para ulama kami terdapat dua pendapat tentang keabsahan rujuknya, yang telah kami sebutkan:

أَحَدُهُمَا: الرَّجْعَةُ صَحِيحَةٌ لِبَقَاءِ عِدَّتِهِ.

Salah satunya: rujuknya sah karena masih tersisa masa ‘iddahnya.

وَالثَّانِي: فَاسِدَةٌ، لِأَنَّهَا فِي غَيْرِ عِدَّتِهِ، وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنْ يُفْصَلَ، فَإِنْ كَانَتْ فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ بَطَلَتْ، وَإِنْ كَانَتْ فِي مُدَّةِ النِّفَاسِ صَحَّتْ، لِأَنَّهَا فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ مُعْتَدَّةٌ مِنْ غَيْرِهِ وَفِي مُدَّةِ النِّفَاسِ غَيْرُ مُعْتَدَّةٍ مِنْ غَيْرِهِ.

Yang kedua: rujuknya tidak sah, karena itu terjadi di luar masa ‘iddahnya. Pendapat yang benar menurutku adalah dirinci: jika rujuk itu terjadi pada masa kehamilan, maka batal; dan jika pada masa nifas, maka sah. Sebab, pada masa kehamilan ia menjalani ‘iddah dari selain suami pertama, sedangkan pada masa nifas ia tidak menjalani ‘iddah dari selain suami pertama.

وَأَمَّا التَّزْوِيجُ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا أَحَدٌ فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ، وَلَا يَجُوزُ لِغَيْرِ الْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِي بَقِيَّةِ عِدَّتِهِ فَأَمَّا الْأَوَّلُ، فَإِنْ كَانَ يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ أَغْنَتْهُ الرَّجْعَةُ عَنِ النِّكَاحِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَمْلِكُهَا وَحَلَّتْ لَهُ قَبْلَ زَوْجٍ جَازَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، وَإِنْ لَمْ تَحِلَّ لَهُ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَلَمْ يُحِلَّهَا الثَّانِي لَهُ لِفَسَادِ نِكَاحِهِ، وَلِأَنَّ إِصَابَتَهُ كَانَتْ فِي مُدَّةِ عِدَّتِهِ.

Adapun pernikahan, maka tidak sah seorang pun menikahinya selama masa kehamilan, dan tidak boleh selain suami pertama menikahinya selama sisa masa ‘iddahnya. Adapun suami pertama, jika ia masih memiliki hak rujuk, maka rujuk sudah cukup baginya tanpa perlu akad nikah baru. Jika ia tidak memiliki hak rujuk dan wanita itu telah halal baginya sebelum menikah dengan laki-laki lain, maka boleh ia menikahinya. Namun jika wanita itu tidak halal baginya kecuali setelah menikah dengan laki-laki lain, maka tidak boleh ia menikahinya dan laki-laki kedua pun tidak menghalalkannya baginya karena akad nikahnya rusak, dan karena hubungan suami istri yang terjadi adalah pada masa ‘iddah dari suami pertama.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ مِنْ أَحْوَالِهَا الْأَرْبَعَةِ، وَهُوَ أَنْ لَا يُلْحَقَ بالأول ولا بِالثَّانِي فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَلِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ آخِرِ دُخُولِ الثَّانِي فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا لَمْ يُلْحَقْ بِالْأَوَّلِ وَلَا بِالثَّانِي لِتَجَاوُزِ مُدَّةِ أَكْثَرِ الْحَمْلِ فِي حَقِّ الْأَوَّلِ، وَلِقُصُورِهِ عَنْ مُدَّةِ أَقَلِّ الْحَمْلِ فِي حَقِّ الثَّانِي وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun bagian ketiga dari empat keadaannya, yaitu tidak dapat dinisbatkan kepada suami pertama maupun kedua, yaitu jika ia melahirkan setelah lebih dari empat tahun dari talak suami pertama dan kurang dari enam bulan dari terakhir kali digauli suami kedua. Jika talaknya adalah talak bain, maka anak itu tidak dinisbatkan kepada suami pertama maupun kedua, karena telah melewati masa maksimal kehamilan menurut suami pertama, dan kurang dari masa minimal kehamilan menurut suami kedua. Jika talaknya adalah talak raj‘i, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: كَالْبَائِنِ لَا يُلْحَقُ بِالْأَوَّلِ.

Salah satunya: seperti talak bain, anak itu tidak dinisbatkan kepada suami pertama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُلْحَقُ بِهِ وَيَكُونُ كَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ، وَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ يَكُونُ التَّفْرِيعُ لِدُخُولِ حُكْمِ الْقَوْلِ الثَّانِي فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَلَمْ يُلْحَقِ الْوَلَدُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا فَعَلَيْهِما عِدَّتَانِ بَقِيَّةُ عِدَّةِ الْأَوَّلِ، وَكُلُّ عِدَّةِ الثَّانِي وَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَنْ تَرَى فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ دَمًا أَوْ لَا تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَرَ عَلَيْهِ دَمًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَسْقُطُ بِوَضْعِ الْحَمْلِ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: anak itu dinisbatkan kepadanya dan hukumnya seperti pada bagian pertama. Menurut pendapat pertama, rincian hukumnya mengikuti pendapat kedua yang masuk dalam bagian pertama. Jika demikian, dan anak itu tidak dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, maka wanita itu harus menjalani dua ‘iddah: sisa ‘iddah dari suami pertama dan seluruh ‘iddah dari suami kedua. Keadaannya tidak lepas dari kemungkinan ia melihat darah selama masa kehamilan atau tidak. Jika ia tidak melihat darah, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah dengan melahirkan gugur salah satu dari dua ‘iddah atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ تَخْرِيجًا – أَنَّهُ تَنْقَضِي بِهِ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ، لِأَنَّ نَفْيَهُ لَا يَمْنَعُ مِنِ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِهِ كَالْمَنْفِيِّ بِاللِّعَانِ، فَعَلَى هَذَا تَنْقَضِي بِهِ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ لَا بِعَيْنِهَا وَيَلْزَمُهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِعِدَّةٍ أَوْ فِي الْعِدَّتَيْنِ احْتِيَاطًا.

Salah satunya, sebagaimana dinukil Abu Hamid al-Isfara’ini sebagai hasil istinbat: bahwa dengan melahirkan gugur salah satu dari dua ‘iddah, karena penafian anak tidak menghalangi berakhirnya ‘iddah dengan kelahiran, seperti kasus anak yang dinafikan melalui li‘an. Maka menurut pendapat ini, dengan kelahiran gugur salah satu dari dua ‘iddah, namun tidak ditentukan yang mana, sehingga wajib baginya menjalani satu ‘iddah atau dua ‘iddah sekaligus sebagai bentuk kehati-hatian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا – أَنَّ الْعِدَّتَيْنِ بَاقِيَتَانِ لَا تَسْقُطُ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا بِوَضْعِهِ، لِأَنَّ الْعِدَّةَ مَوْضُوعَةٌ لِحِفْظِ مَاءٍ مُسْتَلْحَقٍ، وَهَذَا الْحَمْلُ غَيْرُ لَاحِقٍ فَخَرَجَ زَمَانُهُ عَنْ حُكْمِ الْعِدَّةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَنْقَضِيَ بِهِ الْعِدَّةُ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهَا أَنْ تَسْتَكْمِلَ بَعْدَ دَمِ نِفَاسِهَا مَا بَقِيَ مِنْ عدة الأول، وهي قرءان ثُمَّ تَسْتَأْنِفُ بَعْدَهُمَا عِدَّةَ الثَّانِي، وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ، فَإِنْ رَأَتْ عَلَى الْحَمْلِ دَمًا، فَإِنْ قِيلَ فِيهِ إِنَّهُ لَيْسَ بِحَيْضٍ كَانَتْ فِي حكم من لم ترد دَمًا عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ حَيْضٌ، وَقِيلَ: إِنَّهَا تَعْتَدُّ بِالْحَمْلِ لَمْ يَجُزْ أن تعتد بالحيض الذي على الحمل، لأن لا تَتَدَاخَلَ عِدَّتَانِ فِي حَقَّيْ شَخْصَيْنِ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا لَا تَعْتَدُّ بِالْحَمْلِ مِنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِانْتِفَائِهِ عَنْهُمَا، فَهَلْ تَحْتَسِبُ حَيْضَهَا عَلَيْهِ مِنْ أَقْرَاءِ عِدَّتِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama mazhab kami, adalah bahwa kedua masa ‘iddah tetap berlaku dan tidak gugur salah satunya dengan kelahiran, karena ‘iddah ditetapkan untuk menjaga kemungkinan adanya anak yang dinasabkan, sedangkan kehamilan ini tidak dinasabkan (kepada suami yang bersangkutan), sehingga masa kehamilan tersebut keluar dari ketentuan hukum ‘iddah, maka tidak boleh ‘iddah berakhir dengan kelahiran tersebut. Berdasarkan hal ini, perempuan tersebut wajib menyempurnakan sisa masa ‘iddah pertama setelah darah nifasnya selesai, yaitu dua kali suci, kemudian memulai masa ‘iddah kedua setelahnya, yaitu tiga kali suci. Jika ia melihat darah selama hamil, maka jika dikatakan bahwa darah itu bukan haid, maka hukumnya seperti perempuan yang tidak melihat darah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun jika dikatakan bahwa itu adalah haid, dan dikatakan pula bahwa ia harus menjalani ‘iddah dengan kehamilan, maka tidak boleh ia menjalani ‘iddah dengan haid yang terjadi selama kehamilan, agar tidak terjadi tumpang tindih dua ‘iddah untuk dua orang yang berbeda. Jika dikatakan bahwa ia tidak menjalani ‘iddah dengan kehamilan dari salah satu di antara keduanya karena kehamilan itu tidak dinasabkan kepada mereka, maka apakah ia menghitung haidnya selama kehamilan sebagai bagian dari masa suci ‘iddahnya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لا نحتسب بِهِ عِدَّةَ أَقْرَائِهَا لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَعْتَدَّ بِالْحَمْلِ فَأَوْلَى أَنْ لَا تَعْتَدَّ بِالْأَقْرَاءِ الَّتِي عَلَى الْحَمْلِ، وَيَكُونُ زَمَانُ الْحَمْلِ كُلُّهُ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي الْعِدَّتَيْنِ عَلَى مَا مَضَى مِنِ اسْتِئْنَافِهَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ.

Pertama: Tidak dihitung masa suci ‘iddahnya dengan haid tersebut, karena jika ia tidak menjalani ‘iddah dengan kehamilan, maka lebih utama lagi untuk tidak menjalani ‘iddah dengan masa suci yang terjadi selama kehamilan. Maka seluruh masa kehamilan tidak dianggap dalam kedua ‘iddah, dan ia memulai kembali ‘iddah setelah melahirkan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَحْتَسِبُ بِهِ مِنْ عِدَّةِ أَقْرَائِهَا، لِأَنَّهُ إِذَا سَقَطَ حُكْمُ الْحَمْلِ مِنَ الْعِدَّةِ ثَبَتَ فِيهَا حُكْمُ الْأَقْرَاءِ وَكَمَا تَعْتَدُّ بِهَا مَعًا إِذَا كَانَتِ الْعِدَّتَانِ مَعًا مِنْ صَاحِبِ الْحَمْلِ عَلَى مَا بَيَّنَاهُ مِنْ قَبْلُ، فَعَلَى هَذَا إِذَا مَضَتْ لَهَا فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ خَمْسَةُ أَقْرَاءٍ انْقَضَتْ عدتاها قرءان مِنْهَا بَقِيَّةُ عِدَّةِ الْأَوَّلِ، وَثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ هِيَ عِدَّةُ الثَّانِي لَكِنْ لَا يُحْكَمُ لَهَا فِي الْحَالِ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ إِلَّا بَعْدَ أَنْ يَعْلَمَ بَعْدَ وَضْعِهَا أَنَّ حَمْلَهَا غَيْرُ لَاحِقٍ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا فَإِذَا عَلِمَ تَبَيَّنَا انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا مِنْ قَبْلُ بِانْقِضَاءِ الْأَقْرَاءِ الْخَمْسَةِ، وَلَوْ كَانَتْ أَقَرَاؤُهَا على الحمل أقل من خمسة لم تنقضي عِدَّتُهَا إِلَّا بَعْدَ اسْتِكْمَالِ الْخَمْسَةِ الْأَقْرَاءِ بَعْدَ ولادتها، فإن كان الماضي على حملها قرءان اسْتَكْمَلَتْ بِهِمَا عِدَّةَ الْأَوَّلِ وَاعْتَدَّتْ بَعْدَ الْوِلَادَةِ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ هِيَ عِدَّةُ الثَّانِي بِكَمَالِهَا، وَإِنْ كَانَ الْمَاضِيَ عَلَى حَمْلِهَا ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ كَانَ قرءان مِنْهَا بَقِيَّةَ عِدَّةِ الْأَوَّلِ وَالثَّالِثُ أَوَّلَ قُرْءِ الثَّانِي فَتَأْتِي بَعْدَ الْوِلَادَةِ بِقُرْأَيْنِ تَمَامَ عِدَّتِهِ.

Pendapat kedua: Ia menghitungnya sebagai bagian dari masa suci ‘iddahnya, karena jika hukum kehamilan gugur dari ‘iddah, maka yang berlaku adalah hukum masa suci (qur’). Sebagaimana ia menjalani keduanya sekaligus jika kedua ‘iddah berasal dari pemilik kehamilan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan hal ini, jika selama masa kehamilan ia mengalami lima kali suci, maka kedua ‘iddahnya telah selesai: dua kali suci sebagai sisa ‘iddah pertama, dan tiga kali suci sebagai ‘iddah kedua. Namun, tidak diputuskan bahwa ‘iddahnya telah selesai kecuali setelah diketahui setelah melahirkan bahwa kehamilannya tidak dinasabkan kepada salah satu dari keduanya. Jika sudah diketahui, maka jelaslah bahwa ‘iddahnya telah selesai sebelumnya dengan selesainya lima kali suci tersebut. Jika masa sucinya selama kehamilan kurang dari lima, maka ‘iddahnya tidak selesai kecuali setelah menyempurnakan lima kali suci setelah melahirkan. Jika selama kehamilan telah berlalu dua kali suci, maka dengan keduanya ia menyempurnakan ‘iddah pertama, dan setelah melahirkan ia menjalani tiga kali suci sebagai ‘iddah kedua secara sempurna. Jika selama kehamilan telah berlalu tiga kali suci, maka dua di antaranya menjadi sisa ‘iddah pertama, dan yang ketiga menjadi awal masa suci ‘iddah kedua, sehingga setelah melahirkan ia menjalani dua kali suci untuk menyempurnakan ‘iddah kedua.

وَأَمَّا الرَّجْعَةُ فَهِيَ لِلْأَوَّلِ فِي طَلَاقِهِ الرَّجْعِيِّ وَاسْتِحْقَاقُهَا مُعْتَبَرٌ بِالْحَمْلِ فِي سُقُوطِ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ بِهِ.

Adapun hak rujuk, maka itu menjadi hak suami pertama dalam talak raj‘i, dan hak tersebut bergantung pada kehamilan dalam hal gugurnya salah satu dari dua ‘iddah.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ قَدْ سَقَطَتْ بِهِ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ فَلَا رَجْعَةَ لِلْأَوَّلِ لَا فِي زَمَانِ الْحَمْلِ، وَلَا فِي زَمَانِ الْأَقْرَاءِ بَعْدَ وَضْعِ الْحَمْلِ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّمَانَيْنِ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ عِدَّةِ الثَّانِي فَصَارَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَشْكُوكًا فِي اسْتِحْقَاقِ الرَّجْعَةِ فِيهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَحِقَّهَا بِالشَّكِّ فَلَوْ جَمَعَ بَيْنَ رَجْعَتِهَا فِي الْحَمْلِ وَرَجْعَتِهَا فِي الْقُرْأَيْنِ بَعْدَ الْحَمْلِ احْتَمَلَ صِحَّةُ رَجْعَتِهِ وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan bahwa salah satu dari dua ‘iddah telah gugur dengan kehamilan, maka suami pertama tidak lagi memiliki hak rujuk, baik selama masa kehamilan maupun selama masa suci setelah melahirkan, karena masing-masing dari kedua masa tersebut mungkin termasuk dalam ‘iddah suami pertama, dan mungkin juga termasuk dalam ‘iddah suami kedua. Maka, masing-masing dari keduanya menjadi syubhat (diragukan) dalam hal hak rujuk, sehingga tidak boleh ia mendapatkan hak rujuk dengan adanya keraguan. Jika ia menggabungkan antara rujuk selama kehamilan dan rujuk selama dua kali suci setelah kehamilan, maka keabsahan rujuknya diperselisihkan dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَصِحُّ رَجْعَتُهُ لِمُصَادَفَةِ إِحْدَاهُمَا زَمَانَ الْعِدَّةِ.

Pertama: Rujuknya sah, karena salah satunya pasti bertepatan dengan masa ‘iddah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَصِحُّ رَجْعَتُهُ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَعَيَّنِ الصِّحَّةَ فِي إِحْدَاهُمَا لَمْ يَصِحَّ مَعَ إِبْهَامِهِمَا.

Pendapat kedua: Rujuknya tidak sah, karena ketika tidak dapat dipastikan keabsahan pada salah satunya, maka tidak sah dengan adanya keraguan pada keduanya.

وَإِنْ قِيلَ: الْحَمْلُ لَا تَسْقُطُ بِهِ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ وَافَتْهَا بِالْأَقْرَاءِ فَعِدَّةُ الْأَوَّلِ مُقَدَّمَةٌ عَلَى عِدَّةِ الثَّانِي سَوَاءٌ اعْتَدَّتْ بِأَقْرَائِهَا عَلَى الْحَمْلِ أَوْ لَمْ تَعْتَدَّ بِهَا فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا فِي الْبَاقِي مِنْ أَقْرَاءِ عدته، وفي جواز فِي الْحَمْلِ قَبْلَ عِدَّتِهِ وَجْهَانِ:

Dan jika dikatakan: Kehamilan tidak menggugurkan salah satu dari dua masa ‘iddah, dan ia mendapati masa ‘iddah dengan quru’ (masa suci haid), maka ‘iddah yang pertama didahulukan atas ‘iddah yang kedua, baik ia menjalani ‘iddah dengan quru’-nya dalam keadaan hamil atau tidak. Maka, suami pertama boleh merujuknya dalam sisa quru’ dari ‘iddahnya. Adapun mengenai kebolehan merujuk dalam masa kehamilan sebelum ‘iddahnya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ، لِأَنَّهَا غَيْرُ مُعْتَدَّةٍ بِهِ مِنْهُ.

Salah satunya: Tidak boleh, karena ia tidak menjalani ‘iddah dari suami pertama dengan kehamilan tersebut.

وَالثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يُرَاجِعَهَا فِيهِ، وَإِنْ لَمْ تَعْتَدَّ بِهِ، وَلَا يَجُوزُ لِلثَّانِي أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِي الْحَمْلِ وَلَا فِي عِدَّةِ الْأَوَّلِ، وَيَجُوزُ لِلثَّانِي أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ فِي عِدَّتِهِ وَلَا يَجُوزُ لِلْأَوَّلِ أَنْ يُرَاجِعَهَا فِيهَا، وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ مِنَ الْخُطَّابِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا إِلَّا بَعْدَ قَضَاءِ الْعِدَّةِ الثَّانِيَةِ.

Dan pendapat kedua: Boleh baginya untuk merujuknya dalam masa kehamilan tersebut, meskipun ia tidak menjalani ‘iddah dengannya. Dan suami kedua tidak boleh menikahinya dalam masa kehamilan maupun dalam masa ‘iddah suami pertama. Namun, menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, suami kedua boleh menikahinya dalam masa ‘iddahnya, dan suami pertama tidak boleh merujuknya dalam masa itu. Tidak boleh pula bagi siapa pun dari para pelamar untuk menikahinya kecuali setelah selesai masa ‘iddah yang kedua.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ مِنْ أَحْوَالِهَا الْأَرْبَعَةِ وَهُوَ أَنْ يُمْكِنَ لُحُوقُهُ بِالْأَوَّلِ وَبِالثَّانِي فَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَمَا دُونَهَا مِنْ طَلَاقِ الْأَوَّلِ وَلِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَمَا فَوْقَهَا مِنْ دُخُولِ الثَّانِي فَيُمْكِنُ أَنْ يُلْحَقَ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّهُ لَمْ يَزِدْ عَلَى هَذِهِ أَكْثَرُ الْحَمْلِ فِي حَقِّ الْأَوَّلِ وَلَا يَنْقُصُ عَنْ مُدَّةِ أَقَلِّ الْحَمْلِ فِي حَقِّ الثَّانِي فَاسْتَوَيَا فِي لُحُوقِهِ بِهِمَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُدْعَى لَهُ الْقَافَةُ حَتَّى يُلْحِقُوهُ بِأَحَدِهِمَا، فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بالأول انقضت بِهِ عِدَّتُهُ، وَاسْتَأْنَفَتْ عِدَّةَ الثَّانِي بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، وَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالثَّانِي انْقَضَتْ بِهِ عِدَّتُهُ وَكَمَّلَتْ عِدَّةَ الْأَوَّلِ بِقُرْأَيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْقَافَةِ بَيَانٌ وُقِفَ الْوَلَدُ إِلَى زَمَانِ الِانْتِسَابِ لِيَنْتَسِبَ بِطَبْعِهِ إِلَى أَبِيهِ مِنْهُمَا، فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ الرَّحِمَ إِذَا تَمَاسَّتْ تَعَاطَفَتْ ” وفي زمان انتسابه ذكر كَانَ أَوْ أُنْثَى قَوْلَانِ:

Adapun bagian keempat dari empat keadaannya, yaitu jika memungkinkan anak tersebut dinisbatkan kepada suami pertama maupun suami kedua, yaitu jika ia melahirkan anak dalam waktu empat tahun atau kurang dari talak suami pertama, dan enam bulan atau lebih dari masa masuknya suami kedua, maka memungkinkan anak tersebut dinisbatkan kepada keduanya. Karena tidak melebihi masa maksimal kehamilan menurut suami pertama, dan tidak kurang dari masa minimal kehamilan menurut suami kedua, sehingga keduanya sama dalam kemungkinan nasab anak tersebut. Jika demikian, maka wajib dipanggil ahli qāfah (pakar nasab) agar mereka menisbatkan anak tersebut kepada salah satu dari keduanya. Jika mereka menisbatkannya kepada suami pertama, maka selesai masa ‘iddahnya dengan kelahiran anak tersebut, dan ia memulai masa ‘iddah suami kedua dengan tiga quru’. Jika mereka menisbatkannya kepada suami kedua, maka selesai masa ‘iddahnya dengan kelahiran anak tersebut, dan ia menyempurnakan masa ‘iddah suami pertama dengan dua quru’. Jika tidak ada penjelasan dari ahli qāfah, maka status anak tersebut ditangguhkan hingga masa penetapan nasab, agar ia dapat dinisbatkan secara alami kepada ayahnya dari salah satu keduanya. Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya rahim jika saling bersentuhan, maka akan saling berkasih sayang.” Dalam masa penetapan nasab, baik anak itu laki-laki maupun perempuan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِذَا اسْتَكْمَلَ سَبْعَ سِنِينَ، وَهُوَ الزَّمَانُ الَّذِي يُخَيَّرُ فِيهِ بَيْنَ أَبَوَيْهِ.

Salah satunya: Jika telah genap berusia tujuh tahun, yaitu masa di mana anak diberi pilihan antara kedua orang tuanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِذَا بَلَغَ لِيَجْرِيَ عَلَيْهِ الْقَلَمُ فَيَكُونَ لِقَوْلِهِ حُكْمٌ، فَإِذَا انْتَسَبَ إِلَى أَحَدِهِمَا أُلْحِقَ بِهِ وَانْقَطَعَتْ عَنْهُ أُبُوَّةُ الْآخَرِ، وَإِنْ تَوَقَّفَ عَنِ الِانْتِسَابِ أُخِذَ بِهِ جَبْرًا حَتَّى يَنْتَسِبَ لِمَا فِي ثُبُوتِ نَسَبِهِ مِنْ حَقٍّ لَهُ وَعَلَيْهِ.

Dan pendapat kedua: Jika telah baligh, agar berlaku hukum atas ucapannya. Jika ia menisbatkan diri kepada salah satu dari keduanya, maka ia dinisbatkan kepadanya dan terputuslah hubungan ayah dengan yang lain. Jika ia menunda penetapan nasab, maka ia dipaksa hingga menisbatkan diri, karena dalam penetapan nasab terdapat hak baginya dan atasnya.

فَأَمَّا الْعِدَّةُ: فَقَدِ انْقَضَتْ بِوَضْعِ الْحَمْلِ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ، لَا بِعَيْنِهَا، وبقيت عليها إحداها لا يعينها، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِقُرْأَيْنِ إِنْ كَانَ الْوَلَدُ لَاحِقًا بِالثَّانِي أَوْ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ إِنْ كَانَ لَاحِقًا بِالْأَوَّلِ فَلَزِمَهَا أَنْ تَعْتَدَّ أَوْفَاهُمَا وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ لِتَكُونَ عَلَى يَقِينٍ مِنْ قَضَائِهَا.

Adapun mengenai ‘iddah: Telah selesai dengan kelahiran anak salah satu dari dua masa ‘iddah, bukan secara spesifik, dan masih tersisa satu masa ‘iddah tanpa ditentukan. Boleh saja masa ‘iddah itu dua quru’ jika anak dinisbatkan kepada suami kedua, atau tiga quru’ jika dinisbatkan kepada suami pertama. Maka wajib baginya menjalani masa ‘iddah yang paling sempurna, yaitu tiga quru’, agar ia benar-benar yakin telah menyelesaikannya.

وَأَمَّا الرَّجْعَةُ فَلَا تَخْلُو مُرَاجَعَةُ الْأَوَّلِ لَهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي الْحَمْلِ أَوْ فِي الْأَقْرَاءِ فَإِنْ رَاجَعَهَا فِي الْحَمْلِ كَانَ مُعْتَبَرًا بِحَالِ الْحَمْلِ فَإِنْ لَحِقَ بِالثَّانِي فَرَجْعَةُ الْأَوَّلِ فِيهِ بَاطِلَةٌ، وَإِنْ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ فَفِي صِحَّةِ رَجْعَتِهِ وَجْهَانِ حَكَاهَا أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ:

Adapun mengenai rujuk, maka rujuknya suami pertama tidak lepas dari dua kemungkinan: dilakukan dalam masa kehamilan atau dalam masa quru’. Jika ia merujuknya dalam masa kehamilan, maka hal itu tergantung pada status kehamilan. Jika anak dinisbatkan kepada suami kedua, maka rujuk suami pertama dalam masa itu batal. Jika anak dinisbatkan kepada suami pertama, maka dalam keabsahan rujuknya terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini:

أَحَدُهُمَا: تَصِحُّ رَجْعَتُهُ، لِأَنَّهَا صَادَفَتْ عِدَّتَهُ.

Salah satunya: Rujuknya sah, karena rujuk itu terjadi dalam masa ‘iddahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَصِحُّ، لِأَنَّهُ رَاجِعٌ عَلَى شَكٍّ مِنِ اسْتِحْقَاقِ الرَّجْعَةِ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ كَمَنْ بَاعَ دَارَ أَبِيهِ يَعْتَقِدُ حَيَاتَهُ، وَكَانَ مَيِّتًا فَفِي صِحَّةِ بَيْعِهِ وَجْهَانِ، وَإِنْ رَاجَعَ فِي الْأَقْرَاءِ الَّتِي بَعْدَ الْحَمْلِ نُظِرَ فِي رَجْعَتِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي الْقُرْءِ الثَّالِثِ لَمْ تَصِحَّ الرَّجْعَةُ، لِأَنَّ الْقُرْءَ الْثالث لَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ فِي عِدَّتِهِ يَقِينًا، لِأَنَّهُ إِنْ لَحِقَ بِهِ الْحَمْلُ كَانَتْ عِدَّتُهُ بِهِ، وَالْأَقْرَاءُ مِنَ الثَّانِي، وَإِنْ لَمْ يُلْحَقْ بِهِ الْحَمْلُ كَانَتْ عِدَّتُهُ قُرْأَيْنِ وَكَانَ الثَّالِثُ مِنْ غَيْرِ عِدَّتِهِ فَلِذَلِكَ بَطَلَتْ رَجْعَتُهُ فِيهِ بِكُلِّ حَالٍ، وَإِنْ رَاجَعَ فِي الْقُرْأَيْنِ كَانَ مُعْتَبَرًا بِالْحَمْلِ فَإِنْ كَانَ لَاحِقًا بِهِ بَطَلَتْ رَجْعَتُهُ فِي الْقُرْأَيْنِ، لِأَنَّهُمَا فِي عِدَّةِ الثَّانِي، وَإِنْ كَانَ الْحَمْلُ لَاحِقًا بِالثَّانِي، وكان القرءان مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ فَفِي صِحَّةِ رَجْعَتِهِ فِيهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Tidak sah, karena hal itu kembali kepada keraguan atas hak rujuk. Dua pendapat ini serupa dengan kasus seseorang yang menjual rumah milik ayahnya dengan keyakinan ayahnya masih hidup, padahal ternyata sudah wafat. Dalam keabsahan jual belinya terdapat dua pendapat. Jika ia merujuk pada masa quru’ (masa haid) setelah kehamilan, maka dilihat pada rujuknya itu: jika pada quru’ ketiga, maka rujuknya tidak sah, karena quru’ ketiga tidak mungkin menjadi bagian dari masa iddahnya secara pasti. Sebab, jika kehamilan itu dinisbatkan kepadanya, maka iddahnya adalah dengan kehamilan tersebut dan masa quru’ dimulai dari yang kedua. Jika kehamilan tidak dinisbatkan kepadanya, maka iddahnya adalah dua quru’ dan quru’ ketiga berada di luar masa iddahnya. Oleh karena itu, rujuknya pada masa itu batal dalam segala keadaan. Jika ia merujuk pada dua quru’, maka hal itu tergantung pada kehamilan: jika kehamilan dinisbatkan kepadanya, maka rujuknya pada dua quru’ batal, karena keduanya termasuk dalam iddah suami kedua. Jika kehamilan dinisbatkan kepada suami kedua, dan dua quru’ termasuk dalam iddah suami pertama, maka dalam keabsahan rujuknya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَصِحُّ، لِأَنَّهَا صَادَفَتْ عِدَّتَهُ.

Salah satunya: Sah, karena rujuk itu terjadi pada masa iddahnya.

وَالثَّانِي: لَا تَصِحُّ لِوُجُودِهَا فِي زَمَانِ الشَّكِّ، وَأَمَّا تَزْوِيجُهَا فَلَا يَجُوزُ لِغَيْرِ الثَّانِي أَنْ يَتَزَوَّجَهَا مَا لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا، فَأَمَّا الثَّانِي إِذَا قِيلَ بِالصَّحِيحِ مِنَ الْوَجْهَيْنِ أَنَّهَا لَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ، فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ سَوَاءٌ لَحِقَ بِهِ أَوْ لَمْ يَلْحَقْ، لِأَنَّهُ إِنْ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ فَهِيَ مُعْتَدَّةٌ مِنْ غَيْرِهِ، وَإِنْ لَحِقَ بِهِ فَعَلَيْهَا بَعْدَهُ عِدَّةٌ لِغَيْرِهِ، وَإِنْ تَزَوَّجَهَا فِي الْأَقْرَاءِ بَعْدَ الْحَمْلِ نُظِرَ فِي حَالِ تَزْوِيجِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي الْقُرْأَيْنِ فَهُوَ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مِنْ عِدَّتِهِ فَيَصِحَّ وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ فَيَبْطُلُ فَصَارَ متردداً بين حَظْرٍ وَإِبَاحَةٍ فَبَطَلَ، لِأَنَّ النِّكَاحَ لَا يُسْتَبَاحُ بِالشَّكِّ وَسَوَاءٌ بَانَ مِنْ بَعْدُ أَنَّهُ مِنْ عِدَّتِهِ أَمْ لَا بِخِلَافِ الرَّجْعَةِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، لِأَنَّ النِّكَاحَ عَقْدٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى خُلُوِّهَا مِنَ الْعِدَّةِ، وَالرَّجْعَةُ يَصِحُّ أَنْ تَكُونَ مَوْقُوفَةً عَلَى بَقَاءِ الْعِدَّةِ، وَإِنْ تَزَوَّجَهَا فِي الْقُرْءِ الثَّالِثِ صَحَّ النِّكَاحُ، لِأَنَّهُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ فِيهِ مُعْتَدَّةً مِنْهُ أَوْ خَالِيَةً مِنْ عِدَّةٍ، وَلَيْسَ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَانِعٌ مِنْ نِكَاحِهَا.

Pendapat kedua: Tidak sah, karena terjadi pada masa yang masih diragukan. Adapun menikahinya, maka tidak boleh bagi selain suami kedua untuk menikahinya selama masa iddahnya belum selesai. Adapun suami kedua, jika diambil pendapat yang sahih dari dua pendapat bahwa wanita itu tidak menjadi haram baginya, maka tidak boleh menikahinya selama masa kehamilan, baik kehamilan itu dinisbatkan kepadanya maupun tidak. Sebab, jika kehamilan tidak dinisbatkan kepadanya, maka wanita itu sedang menjalani iddah dari selainnya, dan jika kehamilan dinisbatkan kepadanya, maka setelah itu masih ada iddah untuk selainnya. Jika ia menikahinya pada masa quru’ setelah kehamilan, maka dilihat pada keadaan pernikahannya: jika pada dua quru’, maka pernikahan itu batal, karena masih diperselisihkan antara termasuk dalam iddahnya sehingga sah, atau termasuk dalam iddah suami pertama sehingga batal. Maka, statusnya menjadi antara larangan dan kebolehan, sehingga batal, karena pernikahan tidak boleh dilakukan dalam keadaan ragu. Baik setelahnya ternyata termasuk dalam iddahnya atau tidak, berbeda dengan rujuk menurut salah satu pendapat, karena pernikahan adalah akad yang tidak boleh digantungkan pada bebasnya wanita dari iddah, sedangkan rujuk boleh digantungkan pada keberadaan iddah. Jika ia menikahinya pada quru’ ketiga, maka pernikahan itu sah, karena statusnya masih antara wanita itu sedang menjalani iddah darinya atau sudah bebas dari iddah, dan pada keduanya tidak ada penghalang untuk menikahinya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ لَمْ يُلْحِقُوهُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَوْ أَلْحَقُوهُ بِهِمَا أَوْ لَمْ تَكُنْ قَافَةٌ أَوْ مَاتَ قَبْلَ يَرَاهُ الْقَافَةُ أَوْ أَلْقَتْهُ مَيِّتًا فَلَا يَكُونُ ابْنَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika mereka (para ahli qafah) tidak menisbatkan anak itu kepada salah satu dari keduanya, atau menisbatkannya kepada keduanya, atau tidak ada ahli qafah, atau ia wafat sebelum dilihat oleh ahli qafah, atau anak itu lahir dalam keadaan meninggal, maka anak itu tidak menjadi anak salah satu dari keduanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا الرُّجُوعَ إِلَى بَيَانِ الْقَافَةِ مَعَ إِشْكَالِ النَّسَبِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ بَيَانٌ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِي ذَلِكَ خَمْسَ مَسَائِلَ:

Al-Mawardi berkata: Kami telah menjelaskan kembali kepada penjelasan ahli qafah dalam kasus kerancuan nasab. Jika di antara mereka tidak ada penjelasan, maka Imam Syafi‘i telah menyebutkan dalam hal itu lima permasalahan:

أَحَدُهَا: أن لا يلحقوه بواحد منها فَلَا يَكُونُ فِيهِ بَيَانٌ، لِأَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهُمْ نَفْيُهُ عَنْهُمَا وَقَدْ ثَبَتَ فِرَاشُهُمَا، وَأَوْجَبَ الشَّرْعُ لُحُوقَهُ بِأَحَدِهِمَا، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مَوْقُوفَ النَّسَبِ عَلَيْهِمَا فَقُبِلَ مِنْهُمْ لُحُوقُهُ بِأَحَدِهِمَا، لِأَنَّهُ تَمْيِيزٌ مَا اقْتَضَاهُ الشَّرْعُ وَلَمْ يَقْبَلْ نَفْيَهُ عَنْهُمَا، لِأَنَّهُ نَفَى مَا أَثْبَتَهُ الشَّرْعُ فَصَارُوا مِمَّنْ لَا بَيَانَ فِيهِمْ.

Pertama: Jika mereka tidak menisbatkannya kepada salah satu dari keduanya, maka tidak ada penjelasan dalam hal itu, karena tidak diterima dari mereka penafian terhadap keduanya padahal telah tetap adanya hubungan pernikahan, dan syariat mewajibkan penetapan nasab kepada salah satu dari keduanya. Karena nasabnya menjadi tergantung pada keduanya, maka diterima dari mereka penetapan nasab kepada salah satu dari keduanya, karena itu merupakan penjelasan atas apa yang ditetapkan syariat, dan tidak diterima penafian dari keduanya, karena itu berarti menafikan apa yang telah ditetapkan syariat, sehingga mereka termasuk golongan yang tidak ada penjelasan di antara mereka.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: إِذَا أَلْحَقُوهُ بِهِمَا فَلَا يَلْحَقُ بِهِمَا، لِأَنَّ الشَّرْعَ قَدْ مَنَعَ مِنْ لُحُوقِهِ بِأَبَوَيْنِ فَصَارُوا مُثْبِتِينَ لِمَا نَفَاهُ الشَّرْعُ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِمْ بَيَانٌ.

Permasalahan kedua: Jika mereka menisbatkannya kepada keduanya, maka tidak dinisbatkan kepada keduanya, karena syariat telah melarang penetapan nasab kepada dua orang tua sekaligus, sehingga mereka menetapkan apa yang telah dinafikan syariat, maka tidak ada penjelasan di antara mereka.

وَالْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: إِذَا لَمْ يَكُنْ قَافَةٌ يُرِيدُ فِي مَوْضِعِ الْوَلَدِ الْمُتَنَازَعِ فِيهِ وَمَا قَارَبَهُ إِلَى مَسَافَةِ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَنِصْفِ لَيْلَةٍ، وَلَمْ يُرِدْ أَنْ لَا يَكُونُوا فِي الدُّنْيَا كُلِّهَا، لِأَنَّهُمْ لَا يَخْلُونَ مِنَ الْحِجَارِ، وَلَا يَلْزَمُ إِذَا بَعُدُوا أَنْ يُحْمَلَ الْوَلَدُ إِلَيْهِمْ، وَلَا أَنْ يُحْمَلُوا إِلَيْهِ كَالشُّهُودِ الَّذِي لَا يَلْزَمُ نَقْلُهُمْ وَلَا الِانْتِقَالُ إِلَيْهِمْ، وَكَالْوَلِيِّ الْغَائِبِ الَّذِي لَا يَلْزَمُ نَقْلُهُ وَلَا الِانْتِقَالُ إِلَيْهِ، وَيَكُونُ خُلُوُّ الْمَوْضِعِ وَمَا قَارَبَهُ مِنَ الْقَافَةِ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ الْعَدَمِ لَهُمْ وَفَقْدِ الْبَيَانِ مِنْهُمْ، فَإِنْ تَكَلَّفُوا الِانْتِقَالَ إِلَيْهِمْ أَوْ نَقْلَ الْقَافَةِ إِلَيْهِمْ جَازَ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ وَلَزِمَ بَعْدَ حُضُورِهِمْ أَنْ يُعْمَلَ عَلَى قَوْلِهِمْ إِذَا كَانَ فِيهِ بَيَانٌ.

Masalah ketiga: Jika tidak terdapat qāfah yang dimaksudkan di tempat anak yang dipersengketakan dan di sekitarnya dalam jarak kurang dari satu hari dan setengah malam, maka yang dimaksud bukanlah tidak adanya mereka di seluruh dunia, karena mereka tidak pernah lepas dari keberadaan di berbagai tempat. Tidak wajib pula jika mereka berada jauh, anak tersebut dibawa kepada mereka, atau mereka dibawa kepada anak tersebut seperti halnya saksi yang tidak wajib dipindahkan atau didatangi, dan seperti wali yang ghaib yang tidak wajib dipindahkan atau didatangi. Maka, ketiadaan qāfah di tempat tersebut dan di sekitarnya diperlakukan seperti tidak adanya mereka dan tidak adanya keterangan dari mereka. Jika kemudian diusahakan untuk mendatangi mereka atau membawa qāfah ke tempat tersebut, maka hal itu boleh meskipun tidak wajib, dan setelah mereka hadir, wajib mengikuti pendapat mereka jika terdapat penjelasan dari mereka.

وَالْمَسْأَلَةُ الرَّابِعَةُ: إِذَا مَاتَ مِنْهُمْ قَبْلَ بَيَانِ الْقَافَةِ مَيِّتٌ فَيُنْظَرُ، فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتَ الْمُتَنَازِعَانِ، أَوْ أَحَدُهُمَا، وَكَانَ الْقَافَةُ يَعْرِفُونَ الْمَيِّتَ فِي حَيَاتِهِ بِكَلَامِهِ وَأَلْحَاظِهِ وَشَمَائِلِهِ وَأَمَارَاتِهِ فَلَمْ يُؤَثِّرَ مَوْتُهُ فِي حُكْمِ الْقَافَةِ، وَجَازَ أَنْ يُلْحِقُوهُ بَعْدَ الْمَوْتِ بِمَنْ حَكَمُوا بِشَبَهِهِ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَعْرِفُوهُ فِي حَيَاتِهِ أَوْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الْوَلَدَ الَّذِي لَمْ يُعْرَفْ نُظِرَ حَالُهُ بَعْدَ الْمَوْتِ فَإِنْ تَغَيَّرَ فِي أَوْصَافِهِ وَحُلَاهُ ارْتَفَعَ حُكْمُ الْقَافَةِ عَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ وَكَانَ بَاقِيًا عَلَى أَوْصَافِهِ الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي حَيَاتِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Masalah keempat: Jika salah satu dari mereka meninggal sebelum adanya penjelasan dari qāfah, maka diperhatikan keadaannya. Jika yang meninggal adalah salah satu dari dua pihak yang bersengketa, atau salah satunya, dan qāfah mengenal orang yang meninggal itu semasa hidupnya melalui perkataan, tatapan, sifat, dan tanda-tandanya, maka kematiannya tidak berpengaruh pada hukum qāfah, dan boleh bagi mereka untuk menetapkan kemiripan setelah kematian kepada siapa yang mereka nilai mirip dengannya. Namun, jika mereka tidak mengenalnya semasa hidup, atau yang meninggal adalah anak yang tidak diketahui, maka dilihat keadaannya setelah meninggal. Jika terjadi perubahan pada sifat dan ciri-cirinya, maka hukum qāfah tidak berlaku atasnya. Jika tidak berubah dan tetap pada sifat-sifatnya seperti semasa hidup, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ حُكْمُ الْقَافَةِ فِيهِمْ بِالْمَوْتِ، لِأَنَّهُمْ يَعْتَبِرُونَ مَعَ الشَّبَهِ الظَّاهِرِ مَا خَفِيَ مِنَ الشَّبَهِ الْخَفِيِّ فِي الْكَلَامِ وَالْأَلْحَاظِ وَالشَّمَائِلِ وَالْإِشَارَاتِ، وَيَقْتَصِرُونَ عَلَى أَحَدِهِمَا وَهَذَا الشَّبَهُ الْخَفِيُّ مَفْقُودٌ بِالْمَوْتِ فَلَمْ يَصِحَّ الْحُكْمُ.

Salah satunya: Hukum qāfah batal atas mereka karena kematian, karena qāfah mempertimbangkan selain kemiripan yang tampak juga kemiripan yang tersembunyi dalam ucapan, tatapan, sifat, dan isyarat, dan mereka membatasi pada salah satunya. Kemiripan tersembunyi ini hilang karena kematian, sehingga tidak sah penetapan hukum.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَوْتَ لَا يَمْنَعُ حُكْمَ الْقَافَةِ، لِأَنَّ الشَّبَهَ الظَّاهِرَ أَقْوَى، وَبَيَانَهُ فِي الْحُلَى وَالْأَوْصَافِ أَوْضَحُ، وَإِنَّمَا يَفْتَقِرُونَ إِلَى الشَّبَهِ الْبَاطِنِ فِي الْإِشَارَاتِ عِنْدَ إِشْكَالِ الشَّبَهِ الظَّاهِرِ فَلَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ مِنْ جَوَازِ الْحُكْمِ بِالْقَافَةِ فَقَدْ مَرَّ مُجَزِّز الْمُدْلِجِيُّ بِأُسَامَةَ وَزَيْدٍ نَائِمَيْنِ وَقَدْ تَغَطَّيَا بِقَطِيفَةٍ بَدَتْ مِنْهُمَا أَقْدَامُهُمَا فَقَالَ: إِنَّ هَذِهِ الْأَقْدَامَ بَعْضُهُمَا مِنْ بَعْضٍ فَقَضَى فِيهِمْ بِالشَّبَهِ الظَّاهِرِ، وَلَمْ يَفْتَقِرْ مَعَهُ إِلَى الشَّبَهِ الْبَاطِنِ فِي الْإِشَارَاتِ وَالنَّوْمِ فِي خَفَاهَا عَلَيْهِ كَالْمَوْتِ.

Pendapat kedua: Kematian tidak menghalangi penetapan hukum qāfah, karena kemiripan yang tampak lebih kuat, dan penjelasannya dalam ciri dan sifat lebih jelas. Mereka hanya membutuhkan kemiripan batin dalam isyarat ketika kemiripan lahiriah sulit dibedakan, sehingga hal itu tidak menghalangi bolehnya penetapan hukum dengan qāfah. Sebagaimana telah terjadi, Mujazziz al-Mudlijī melewati Usamah dan Zaid yang sedang tidur dan tertutup kain, hanya tampak kaki mereka, lalu ia berkata: “Kaki-kaki ini sebagian berasal dari sebagian yang lain.” Ia menetapkan hukum berdasarkan kemiripan lahiriah, tanpa membutuhkan kemiripan batin dalam isyarat, dan tidur yang menutupi isyarat itu baginya seperti kematian.

وَالْمَسْأَلَةُ الْخَامِسَةُ: إِذَا أَلْقَتِ الْمَوْلُودَ مَيِّتًا، فَإن كَانَ مَوْتُهُ قَبْلَ أَنْ يَسْتَكْمِلَ أَوْصَافَهُ وَتَتَنَاهَى صُورَتُهُ لَمْ يُحْكَمْ فيه بالقافة، وإن كان بعد تناهيها وَاسْتِكْمَالِهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ، إِذَا مَاتَ بَعْدَ وِلَادَتِهِ حَيَّا، وَإِنْ كَانَ حُكْمُ الْقَافَةِ فِي الْمَوْلُودِ مَيِّتًا أَضْعَفَ، فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ إِذَا عُدِمَ بَيَانُ الْقَافَةِ، فِيمَا ذَكَرَهُ مِنْ هَذِهِ الْمَسَائِلِ الْخَمْسِ أَنَّهُ لَا يَكُونُ ابْنَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَعْنِي بِعَيْنِهِ لِلْجَهْلِ بِهِ، وإن كان ابن أحدهما لا يعنيه كَأَنَّهُ لَا أَبَّ لَهُ سِوَاهُمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Masalah kelima: Jika bayi yang dilahirkan dalam keadaan mati, maka jika kematiannya sebelum sempurna sifat dan bentuknya, tidak dapat dihukumi dengan qāfah. Namun jika setelah sempurna sifat dan bentuknya, maka berlaku seperti dua pendapat yang telah disebutkan, jika ia meninggal setelah lahir dalam keadaan hidup. Meski demikian, hukum qāfah pada bayi yang lahir mati lebih lemah. Adapun pendapat asy-Syāfi‘ī, jika tidak ada penjelasan dari qāfah dalam lima masalah ini, bahwa anak tersebut tidak dapat dinisbatkan sebagai anak salah satu dari mereka secara pasti karena ketidaktahuan, meskipun ia adalah anak salah satu dari mereka, seakan-akan ia tidak memiliki ayah selain keduanya. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ أَوْصَى لَهُ بِشَيْءٍ وُقِفَ حَتَّى يَصْطَلِحَا فِيهِ “.

Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika salah satu dari mereka berwasiat untuk anak itu dengan sesuatu, maka ditangguhkan hingga keduanya berdamai dalam urusan tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: يَعْنِي بِهِ هَذَا الْوَلَدَ الْمَوْقُوفَ نَسَبُهُ إِذَا أَوْصَى لَهُ بِوَصِيَّةٍ ثُمَّ مَاتَ فَالْوَصِيَّةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Yang dimaksud adalah anak yang nasabnya masih ditangguhkan, jika ada wasiat untuknya lalu yang berwasiat meninggal dunia, maka wasiat itu terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُوصِيَ لَهُ بَعْدَ وِلَادَتِهِ.

Pertama: Wasiat diberikan kepadanya setelah ia lahir.

وَالثَّانِي: أَنْ يُوصِيَ لَهُ فِي حَالِ حَمْلِهِ.

Kedua: Memberi wasiat kepadanya saat ia masih dalam kandungan.

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ فِي الْوَصِيَّةِ لَهُ بَعْدَ وِلَادَتِهِ فَلَا يَخْلُو مَوْتُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ قَبُولِ الْوَصِيَّةِ أَوْ قَبْلَهَا، فَإِنْ مَاتَ بَعْدَ قَبُولِ الْوَصِيَّةِ وَقَبُولُهَا قَدْ يَصِحُّ مِنْ وُجُوهٍ ثَلَاثَةٍ:

Adapun jenis pertama, yaitu wasiat untuknya setelah ia lahir, maka kematiannya tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi setelah menerima wasiat atau sebelum menerimanya. Jika ia wafat setelah menerima wasiat—dan penerimaan wasiat itu dapat sah melalui tiga cara:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ قَبِلَهَا بَعْدَ بُلُوغِهِ، وَمَاتَ قَبْلَ انْتِسَابِهِ.

Pertama: Ia menerimanya setelah baligh, lalu wafat sebelum penetapan nasabnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَقْبَلَهَا الْحَاكِمُ لَهُ فِي صِغَرِهِ.

Kedua: Wasiat diterima untuknya oleh hakim saat ia masih kecil.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَقْبَلَهَا لَهُ الْمُتَنَازِعَانِ فِي نَسَبِهِ فَيَصِحَّ قَبُولُهَا، لِأَنَّ أَحَدَهُمَا أَبُوهُ، فَإِنْ قَبِلَهَا أَحَدُهُمَا لَمْ يَصِحَّ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ أَجْنَبِيًّا، وَإِنْ قَبِلَتْهَا أُمُّهُ، فَفِي صِحَّةِ قَبُولِهَا وَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي ثُبُوتِ وِلَايَتِهَا عَلَيْهِ عِنْدَ فَقْدِ الْأَبِ، وَإِنْ مَاتَ قَبْلَ قَبُولِهَا لَمْ يَبْطُلْ بِمَوْتِهِ وَكَانَ قَبُولُهَا مَوْقُوفًا عَلَى اجْتِمَاعِ وَرَثَتِهِ عَلَى قَبُولِهَا، وَهُوَ أَنْ تَجْتَمِعَ الْأُمُّ مَعَ الْمُتَنَازِعَيْنِ عَلَى الْقَبُولِ فَيَصِحُّ، لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهُمْ وَرِثُوهُ عَنْهُ فَلَا يصح إلا بِاجْتِمَاعِهِمْ، فَإِنْ تَفَرَّدَتِ الْأُمُّ بِالْقَبُولِ صَحَّ فِي حَقِّهَا، وَإِنْ تَفَرَّدَ الْمُتَنَازِعَانِ بِالْقَبُولِ صَحَّ فِي حَقِّهَا، وَإِنْ تَفَرَّدَ أَحَدُهُمَا بِالْقَبُولِ لَمْ يَصِحَّ فِي وَاحِدٍ مِنَ الْحَقَّيْنِ، وَإِنْ قَبِلَ الْحَاكِمُ لَمْ يَصِحَّ قَبُولُهُ، وَإِنْ صَحَّ فِي حَيَاةِ الْمُوصَى لَهُ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ فِي هَذِهِ الْحَالِ لِمَنْ لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَيْهِ، وَفِي تِلْكَ الْحَالِ لَا مَوْلَى عَلَيْهِ فَإِذَا صَحَّ قَبُولُ الْوَصِيَّةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَهِيَ مَوْرُوثَةٌ عَنْهُ يَمِينُ أُمِّهِ وَأَبِيهِ وَلِلْأُمِّ فِي قَدْرِ مِيرَاثِهَا مِنْهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Ketiga: Wasiat diterima untuknya oleh dua orang yang bersengketa dalam penetapan nasabnya, maka penerimaan itu sah karena salah satu dari keduanya adalah ayahnya. Jika hanya salah satu dari mereka yang menerima, tidak sah karena mungkin saja ia adalah orang asing. Jika ibunya yang menerima, maka dalam kesahihan penerimaannya ada dua pendapat, mengikuti perbedaan pendapat dalam fiqh tentang keabsahan kewaliannya atas anak ketika ayahnya tidak ada. Jika ia wafat sebelum menerima wasiat, maka wasiat itu tidak batal karena kematiannya, dan penerimaannya bergantung pada kesepakatan para ahli warisnya untuk menerima wasiat tersebut, yaitu jika ibu bersama dua orang yang bersengketa sepakat untuk menerima, maka sah, karena itu adalah hak mereka yang mereka warisi darinya, sehingga tidak sah kecuali dengan kesepakatan mereka. Jika ibu sendiri yang menerima, sah untuk bagiannya; jika dua orang yang bersengketa saja yang menerima, sah untuk bagian mereka; jika hanya salah satu dari mereka yang menerima, tidak sah untuk salah satu dari kedua hak tersebut. Jika hakim yang menerima, maka penerimaannya tidak sah, meskipun sah ketika masih hidup penerima wasiat, karena dalam keadaan ini wasiat tersebut untuk orang yang tidak berada di bawah kewenangannya, dan dalam keadaan itu tidak ada wali atasnya. Jika penerimaan wasiat telah sah sebagaimana yang telah disebutkan, maka wasiat itu menjadi harta warisan bagi ibu dan ayahnya. Adapun bagian ibu dari warisan tersebut ada tiga keadaan:

حَالٌ تَسْتَحِقُّ فِيهَا الثُّلُثَ يَقِينًا، وَحَالٌ تَسْتَحِقُّ فِيهَا السُّدُسَ يَقِينًا، وَحَالٌ شك في اسحقاقها لثلث أو سدس.

Keadaan di mana ia pasti berhak atas sepertiga, keadaan di mana ia pasti berhak atas seperenam, dan keadaan di mana masih diragukan apakah ia berhak atas sepertiga atau seperenam.

فأما الحال المتيقن فيما اسحقاقها لِلثُّلُثِ فَهُوَ أَنْ لَا يَجْتَمِعَ لِلْمَيِّتِ أَخَوَانِ مُتَحَقِّقَانِ إِمَّا بِأَنْ لَا يَكُونَ لَهَا وَلَا لِأَحَدٍ مِنَ الْمُتَنَازِعَيْنِ وَلَدٌ وَيَكُونَ لَهَا وَلَدٌ، وَلَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَدٌ، أَوْ يَكُونُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَدٌ وَاحِدٌ، وَلَيْسَ لَهَا وَلَدٌ فَمُسْتَحَقُّ الثُّلُثِ فِي هَذِهِ الْحَالِ لِأَنَّهَا غَيْرُ مَحْجُوبَةٍ عَنْهُ لِفَقْدِ الْأَخَوَيْنِ، وَيَكُونُ الثُّلُثَانِ الْبَاقِيَانِ بَعْدَ ثُلُثِهَا مَوْقُوفَيْنِ عَلَى الْمُتَنَازِعَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا عَلَيْهِ عَنْ تَرَاضٍ، إِمَّا بِالتَّسَاوِي فِيهِ أَوْ بِالتَّفَاضُلِ أَوْ بِانْفِرَادِ أَحَدِهِمَا بِهِ.

Adapun keadaan yang pasti berhak atas sepertiga adalah ketika si mayit tidak memiliki dua saudara kandung yang pasti, yaitu baik karena tidak ada anak bagi ibu maupun bagi salah satu dari dua orang yang bersengketa, dan ibu memiliki anak, serta tidak ada anak bagi salah satu dari mereka; atau masing-masing dari keduanya memiliki satu anak, dan ibu tidak memiliki anak, maka dalam keadaan ini ibu berhak atas sepertiga karena ia tidak terhalang oleh keberadaan dua saudara, dan dua pertiga sisanya setelah sepertiga bagian ibu ditangguhkan untuk kedua orang yang bersengketa sampai mereka berdamai dengan kesepakatan, baik dengan membaginya sama rata, atau dengan perbedaan, atau salah satu dari mereka mengambil seluruhnya.

وَأَمَّا الْحَالُ الْمُتَيَقَّنُ فِيهَا اسْتِحْقَاقُهَا لِلسُّدُسِ فَهُوَ أَنْ يَجْتَمِعَ لِلْمَيِّتِ أَخَوَانِ مُتَحَقَّقَانِ إِمَّا بِأَنْ يَكُونَ لَهَا وَلَدَانِ فَيَكُونَا أَخَوَيْنِ مِنْ أُمٍّ، وَإِمَّا بِأَنْ يَكُونَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمُتَنَازِعَيْنِ وَلَدٌ فَيَكُونَ له لَهُ أَخَوَانِ أَحَدُهُمَا مِنْ أُمٍّ وَالْآخَرُ مِنْ أَبٍّ وَأُمٍّ فَيَحْجُبُونَهَا إِلَى السُّدُسِ فَتُعْطَاهُ وَيَكُونُ مَا عَدَاهُ مَوْقُوفًا بَيْنَ الْمُتَنَازِعَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا عَلَيْهِ.

Adapun keadaan yang pasti berhak atas seperenam adalah ketika si mayit memiliki dua saudara kandung yang pasti, yaitu baik ibu memiliki dua anak yang keduanya adalah saudara seibu, atau masing-masing dari dua orang yang bersengketa memiliki satu anak sehingga si mayit memiliki dua saudara, salah satunya saudara seibu dan yang lain saudara seayah dan seibu, maka mereka menghalangi ibu hingga hanya mendapat seperenam, dan sisanya ditangguhkan di antara dua orang yang bersengketa sampai mereka berdamai atasnya.

وَأَمَّا الْحَالُ الْمَشْكُوكُ فِي اسْتِحْقَاقِهَا لِثُلُثٍ أَوْ سُدُسٍ فَهُوَ أَنْ يَكُونَ لِلْمَيِّتِ أَخَوَانِ فِي حَالٍ وَوَاحِدٌ فِي حَالٍ، وَذَلِكَ بِأَنْ يَكُونَ لِأُمِّهِ وَلَدٌ وَلِأَحَدِ الْمُتَنَازِعَيْنِ وَلَدٌ، وَلَيْسَ لِلْآخَرِ وَلَدٌ أَوْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا وَلَدَانِ وَلَيْسَ لِلْآخَرِ إِلَّا وَلَدٌ وَاحِدٌ، فَقَدْ تَرِثُ الْأُمُّ إِنْ لَحِقَ بِصَاحِبِ الْوَلَدَيْنِ السُّدُسَ، وَإِنْ لَحِقَ بِصَاحِبِ الْوَلَدِ الْوَاحِدِ الثُّلُثَ وَفِي قَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّهُ مَعَ هَذَا الشَّكِّ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو إسحاق المروزي:

Adapun keadaan yang diragukan dalam hal berhak atas sepertiga atau seperenam adalah ketika si mayit memiliki dua saudara dalam satu keadaan dan satu saudara dalam keadaan lain. Hal itu terjadi apabila ibunya memiliki anak dan salah satu dari dua pihak yang berselisih juga memiliki anak, sedangkan yang lain tidak memiliki anak; atau salah satu dari mereka memiliki dua anak dan yang lain hanya memiliki satu anak. Maka, bisa jadi ibu mewarisi seperenam jika disandarkan pada pihak yang memiliki dua anak, dan sepertiga jika disandarkan pada pihak yang memiliki satu anak. Dalam hal besaran hak yang diperoleh dengan keraguan ini terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Marwazi:

أحدهما: تعطى السُّدُسَ، لِأَنَّهَا لَا تُوَرَّثُ بِالشَّكِّ وَيَكُونُ السُّدُسُ الْآخَرُ مَوْقُوفًا بَيْنَهَما وَبَيْنَ الْمُتَنَازِعِينَ حَتَّى يُصَالِحْنَهَا عَلَيْهِ، وَتَكُونُ مَا عَدَاهُ مَوْقُوفًا عَلَيْهَا حَتَّى يَصْطَلِحَا عَلَيْهِ.

Pertama: Ibu diberikan seperenam, karena ia tidak diwarisi dengan keraguan, dan seperenam sisanya ditangguhkan antara dia dan pihak yang berselisih hingga mereka berdamai atasnya, dan sisanya juga ditangguhkan atasnya hingga keduanya berdamai atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ تُعْطَى الثُّلُثَ، لِأَنَّهَا لَا تُحْجَبُ بِالشَّكِّ، فَإِنْ بَانَ حَجْبُهَا رجع عليها بالسدس الزائد على حقها إن لَمْ يَبِنْ فَلَا رُجُوعَ.

Pendapat kedua: Ibu diberikan sepertiga, karena ia tidak terhalang dengan keraguan. Jika ternyata ia terhalang, maka dikembalikan kepadanya kelebihan seperenam dari haknya; jika tidak jelas, maka tidak ada pengembalian.

قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: وَالْأَوَّلُ أَحْوَطُ وَالثَّانِي أَقْيَسُ.

Abu Ishaq berkata: Pendapat pertama lebih hati-hati dan pendapat kedua lebih mendekati qiyās.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يُوصِيَ لَهُ فِي حَالِ حَمْلِهِ، فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jenis kedua, yaitu jika wasiat diberikan kepadanya dalam keadaan ia masih janin, maka hal itu terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تُطْلَقَ الْوَصِيَّةُ لَهُ.

Pertama: Wasiat diberikan kepadanya secara mutlak.

وَالثَّانِي: أَنْ يُضَافَ فِيهَا إِلَى أَحَدِ الْمُتَنَازِعَيْنِ.

Kedua: Wasiat dikaitkan kepada salah satu pihak yang berselisih.

فَإِنْ أُطْلِقَتِ الْوَصِيَّةُ لَهُ فَقَالَ الْمُوصِي قَدْ وَصَّيْتُ لِحَمْلِ هَذِهِ الْمَرْأَةِ فَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ وَلَهُ حَالَتَانِ:

Jika wasiat diberikan secara mutlak, misalnya pewasiat berkata, “Aku mewasiatkan kepada janin perempuan ini,” maka wasiat itu sah dan ada dua kemungkinan:

إِحْدَاهُمَا: أن تضعه حياً فتصح بَعْدَ وِلَادَتِهِ، وَيَكُونَ الْقَبُولُ لَهَا وَالْمِيرَاثُ فِيهَا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ.

Pertama: Janin itu lahir hidup-hidup, maka wasiat menjadi sah setelah kelahirannya, dan penerimaan serta warisannya berlaku sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَلِدَهُ مَيِّتًا لَمْ يَسْتَهِلَّ، فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّهُ لَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ، وَإِنْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ مُضَافَةً إِلَى حَمْلِهِ مِنْ أَحَدِ الْمُتَنَازِعَيْنِ كَقَوْلِهِ قَدْ وَصَّيْتُ لِحَمْلِهَا مِنْ زَيْدٍ، فَإِنَّ الْوَصِيَّةَ جَائِزَةٌ، وَهِيَ مَوْقُوفَةٌ عَلَى لُحُوقِهِ بِهِ وَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِيهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Kedua: Janin itu lahir dalam keadaan mati dan tidak sempat menangis, maka wasiat batal, karena ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi. Jika wasiat dikaitkan dengan janin dari salah satu pihak yang berselisih, seperti ucapan, “Aku mewasiatkan kepada janinnya dari Zaid,” maka wasiat itu sah, namun tergantung pada penetapan nasab kepadanya, dan dalam hal ini terdapat tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُلْحَقَ بِهِ فَتَصِحَّ الْوَصِيَّةُ، وَيَكُونَ قَبُولُهَا مَقْصُورًا عَلَيْهِ وَمِيرَاثُهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأُمِّ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ.

Pertama: Nasabnya ditetapkan kepadanya, maka wasiat sah, penerimaannya hanya untuknya, dan warisannya bersama ibu sebagaimana telah dijelaskan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُلْحَقَ بِغَيْرِهِ فَالْوَصِيَّةُ باطلة لعدة شَرْطِهَا.

Kedua: Nasabnya ditetapkan kepada selainnya, maka wasiat batal karena syaratnya tidak terpenuhi.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يُلْحَقَ بِوَاحِدٍ مِنْهَا لِبَقَاءِ الْإِشْكَالِ وَالْإِيَاسِ مِنَ الْبَيَانِ فَلَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ، لِأَنَّهَا لَا تُسْتَحَقُّ بِالشَّكِّ.

Ketiga: Tidak ditetapkan kepada salah satu dari keduanya karena masih ada keraguan dan tidak ada kejelasan, maka wasiat tidak sah karena tidak dapat dimiliki dengan keraguan.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالنَّفَقَةُ عَلَى الزَّوْجِ الصَّحِيحِ النِّكَاحِ وَلَا آخُذُهُ بنفقتها حتى تلده فإن ألحق به الولد أعطيتها نفقة الحمل من يوم طلقها وإن أشكل أمره لم آخذه بنفقته حتى ينتسب إليه فإن الحق بصاحبه فلا نفقة منا لأنها حبلى من غيره (قال المزني) رحمه الله خالف الشافعي في إلحاق الولد في أكثر من أربع سنين بأن يكون له الرجعة “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Nafkah menjadi tanggungan suami dari pernikahan yang sah, dan aku tidak mewajibkan nafkah untuknya sampai ia melahirkan. Jika anak itu dinisbatkan kepadanya, aku berikan nafkah kehamilan sejak hari ia menceraikannya. Jika status anak itu masih samar, aku tidak mewajibkan nafkah sampai anak itu dinisbatkan kepadanya. Jika anak itu dinisbatkan kepada selainnya, maka tidak ada nafkah dari kami karena ia hamil dari orang lain.” (Al-Muzani rahimahullah berkata: Syafi‘i berbeda pendapat dalam penetapan nasab anak lebih dari empat tahun, yaitu bahwa suami masih memiliki hak rujuk).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَقْصُورَةٌ عَلَى بَيَانِ النَّفَقَةِ لِلْمَنْكُوحَةِ فِي الْعِدَّةِ وَمُقَدِّمَتُهَا أَنَّ الْعِدَّةَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini terbatas pada penjelasan nafkah bagi istri yang dinikahi dalam masa ‘iddah, dan pendahuluannya adalah bahwa ‘iddah terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: مِنْ نِكَاحٍ صَحِيحٍ.

Pertama: Dari pernikahan yang sah.

وَالثَّانِي: مِنْ نِكَاحٍ فَاسِدٍ.

Kedua: Dari pernikahan yang fasid (tidak sah).

فَأَمَّا الْعِدَّةُ مِنَ النِّكَاحِ الصَّحِيحِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun ‘iddah dari pernikahan yang sah terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: رَجْعِيَّةٌ.

Pertama: Raj‘iyyah (talak yang masih bisa rujuk).

وَالثَّانِي: مَبْتُوتَةٌ.

Kedua: Mubatatah (talak ba’in, tidak bisa rujuk).

فَأَمَّا الرَّجْعِيَّةُ فَلَهَا النَّفَقَةُ فِي الْعِدَّةِ حَامِلًا كَانَتْ أَوْ حَائِلًا، لِأَنَّهَا فِي مَعَانِي الزَّوْجَاتِ وَنَفَقَتُهَا مُعَجَّلَةٌ وَتَسْتَحِقُّهَا يَوْمًا بِيَوْمٍ.

Adapun raj‘iyyah, maka ia berhak mendapatkan nafkah selama masa ‘iddah, baik dalam keadaan hamil maupun tidak, karena ia masih dalam status istri dan nafkahnya wajib diberikan secara langsung dan ia berhak menerimanya hari demi hari.

وَأَمَّا الْمَبْتُوتَةُ فَلَهَا حَالَتَانِ: حَامِلٌ وَحَائِلٌ فَالْحَائِلُ لَا نَفَقَةَ لَهَا، وَالْحَامِلُ لَهَا النَّفَقَةُ وَفِيهَا قَوْلَانِ:

Adapun mubatatah, maka ada dua keadaan: hamil dan tidak hamil. Yang tidak hamil tidak berhak mendapatkan nafkah, sedangkan yang hamil berhak mendapatkan nafkah, dan dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّفَقَةَ وَجَبَتْ لَهَا.

Pertama: Nafkah wajib diberikan untuknya.

وَالثَّانِي: لِحَمْلِهَا وَفِي صِفَةِ اسْتِحْقَاقِهَا قَوْلَانِ:

Kedua: Nafkah diberikan untuk kehamilannya, dan dalam tata cara berhaknya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: مُعَجَّلَةٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ.

Salah satunya: diberikan segera setiap hari.

وَالثَّانِي: مُؤَجَّلَةٌ بَعْدَ الْوَضْعِ. وَأَمَّا الْعِدَّةُ مِنَ النِّكَاحِ الْفَاسِدِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Dan yang kedua: diberikan setelah melahirkan. Adapun masa ‘iddah dari pernikahan yang fasid, maka terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ بِغَيْرِ حَمْلٍ إِمَّا بِشُهُورٍ أَوْ أَقْرَاءٍ فَلَا نَفَقَةَ فِيهَا لِلْمُعْتَدَّةِ.

Salah satunya: tanpa kehamilan, baik dengan hitungan bulan maupun quru’ (masa suci), maka tidak ada nafkah bagi perempuan yang menjalani ‘iddah tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ بِحَمْلٍ فَفِي وُجُوبِ نَفَقَتِهَا قَوْلَانِ:

Dan bagian kedua: dengan kehamilan, maka dalam kewajiban nafkahnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا نَفَقَةَ لَهَا إِذَا قِيلَ إِنْ نَفَقَةَ الْحَامِلِ مُسْتَحَقَّةٌ لِلْحَمْلِ لِكَوْنِهَا حَامِلًا.

Salah satunya: tidak ada nafkah baginya jika dikatakan bahwa nafkah bagi perempuan hamil itu diberikan karena kehamilannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهَا النَّفَقَةُ إِذَا قِيلَ إِنَّ نَفَقَةَ الْحَامِلِ مُسْتَحَقَّةٌ لِلْحَمْلِ، وَهَلْ تَسْتَحِقُّهَا مُعَجَّلَةً أَوْ بَعْدَ الْوَضْعِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Dan pendapat kedua: ia berhak mendapatkan nafkah jika dikatakan bahwa nafkah perempuan hamil itu diberikan karena kehamilannya, dan apakah ia berhak menerimanya secara langsung atau setelah melahirkan, terdapat dua pendapat:

فَإِذَا ثَبَتَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ، وَكَانَتِ الْمَنْكُوحَةُ فِي الْعِدَّةِ ذَاتَ حَمْلٍ تَرَتَّبَ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ:

Apabila penjelasan ini telah ditetapkan, dan perempuan yang dinikahi dalam masa ‘iddah sedang hamil, maka berlaku pembagian yang telah kami sebutkan dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي فَنَفَقَتُهَا فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ وَاجِبَةٌ عَلَى الْأَوَّلِ لِصِحَّةِ نِكَاحِهِ، فَإِنْ كَانَتْ رَجْعِيَّةً اسْتَحَقَّتْهَا مُعَجَّلَةً يَوْمًا بِيَوْمٍ مِنْ بَعْدِ فِرَاقِ الثَّانِي وَإِلَى وَقْتِ الْوِلَادَةِ وَلَا تَسْتَحِقُّهَا فِي نِفَاسِ الْوِلَادَةِ، وَإِنْ كَانَتْ مَبْتُوتَةً فَعَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ:

Salah satunya: anak dinisbatkan kepada suami pertama dan bukan kepada suami kedua, maka nafkahnya selama masa kehamilan wajib atas suami pertama karena pernikahannya sah. Jika ia dalam masa talak raj‘i, maka ia berhak mendapatkannya secara langsung hari demi hari setelah berpisah dari suami kedua hingga waktu melahirkan, dan ia tidak berhak mendapatkannya selama masa nifas setelah melahirkan. Jika ia dalam masa talak bain, maka berlaku sebagaimana dua pendapat yang telah kami sebutkan:

أَحَدُهُمَا: تَسْتَحِقُّهَا مُعَجَّلَةً كَذَلِكَ.

Salah satunya: ia berhak mendapatkannya secara langsung demikian pula.

وَالثَّانِي: مُؤَجَّلَةٌ بَعْدَ الْوِلَادَةِ وَلَا نَفَقَةَ لَهَا عَلَى الزَّوْجِ الثَّانِي فِي امْتِدَادِهَا مِنْهُ بِالْإِقْرَاءِ لِفَسَادِ نِكَاحِهِ.

Dan yang kedua: diberikan setelah melahirkan, dan tidak ada nafkah baginya dari suami kedua selama masa ‘iddah dari suami kedua dengan quru’ karena pernikahan keduanya fasid.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُلْحَقَ الْوَلَدُ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ، فَهَلْ عَلَى الثَّانِي نَفَقَتُهَا فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Bagian kedua: anak dinisbatkan kepada suami kedua dan bukan kepada suami pertama, maka apakah suami kedua wajib memberi nafkah selama masa kehamilan atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا نَفَقَةَ لَهَا إِذَا قِيلَ إِنْ نَفَقَةَ الْحَامِلِ لِكَوْنِهَا حَامِلًا.

Salah satunya: tidak ada nafkah baginya jika dikatakan bahwa nafkah perempuan hamil itu diberikan karena kehamilannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهَا النَّفَقَةُ إِذَا قِيلَ لِحَمْلِهَا وَفِي تَعْجِيلِهَا وَتَأْجِيلِهَا قَوْلَانِ: فَأَمَّا نَفَقَتُهَا فِي عِدَّةِ الْأَوَّلِ بِالْأَقْرَاءِ بَعْدَ الْحَمْلِ، فَإِنْ كَانَتْ مَبْتُوتَةً فَلَا نَفَقَةَ لَهَا، وَإِنْ كَانَتْ رَجْعِيَّةً فَلَهَا النَّفَقَةُ، وَفِيهَا وَجْهَانِ:

Dan pendapat kedua: ia berhak mendapat nafkah jika dikatakan karena kehamilannya, dan dalam hal pemberian secara langsung atau ditunda terdapat dua pendapat. Adapun nafkahnya dalam masa ‘iddah dari suami pertama dengan quru’ setelah kehamilan, jika ia dalam masa talak bain maka tidak ada nafkah baginya, dan jika dalam masa talak raj‘i maka ia berhak mendapat nafkah, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ – أَنَّهَا تَسْتَحِقُّهَا مِنْ بَعْدِ انْقِطَاعِ دَمِ نِفَاسِهَا، لِأَنَّ دَمَ النِّفَاسِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ بِهِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: bahwa ia berhak mendapatkannya setelah darah nifasnya berhenti, karena darah nifas tidak diperhitungkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهَا النَّفَقَةُ مِنْ بَعْدِ الْوِلَادَةِ فِي مُدَّةِ النِّفَاسِ وَمَا بَعْدَهَا إِلَى انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا لِأَنَّهَا جَارِيَةٌ فِي الْعِدَّةِ، وَإِنْ لَمْ تَعْتَدَّ بِالنِّفَاسِ كَمَا لَوْ طَلَّقَهَا حَائِضًا كَانَتْ لَهَا النَّفَقَةُ فِي حَيْضِهَا، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُعْتَدَّةٍ بِهِ.

Dan pendapat kedua: ia berhak mendapat nafkah setelah melahirkan selama masa nifas dan setelahnya hingga berakhir masa ‘iddahnya, karena ia masih dalam masa ‘iddah, meskipun ia tidak menjalani ‘iddah dengan nifas, sebagaimana jika ia ditalak saat haid maka ia tetap berhak mendapat nafkah selama haidnya, meskipun ia tidak menjalani ‘iddah dengan haid.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يُلْحَقَ الْوَلَدُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا فَلَا نَفَقَةَ لَهَا عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي مُدَّةِ حَمْلِهَا، لِأَنَّهُ غَيْرُ لَاحِقٍ به ولا في حال عدتها في الثَّانِي لِفَسَادِ نِكَاحِهِ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَإِنْ كَانَتْ مَبْتُوتَةً مِنْهُ فَكَذَلِكَ لَا نَفَقَةَ لَهَا عَلَيْهِ فِي عِدَّتِهَا مِنْهُ، وَإِنْ كَانَتْ رَجْعِيَّةً فَلَهَا النَّفَقَةُ فِي الْعِدَّةِ.

Bagian ketiga: jika anak tidak dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, maka tidak ada nafkah baginya dari keduanya selama masa kehamilannya, karena anak tersebut tidak dinisbatkan kepada mereka berdua, dan tidak pula selama masa ‘iddah dari suami kedua karena pernikahan keduanya fasid. Adapun dari suami pertama, jika ia dalam masa talak bain darinya, maka demikian pula tidak ada nafkah baginya selama masa ‘iddahnya dari suami pertama, dan jika dalam masa talak raj‘i maka ia berhak mendapat nafkah selama masa ‘iddah.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ الْمَنْظُورُ أَنْ يُمْكِنَ لُحُوقُهُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَنَفَقَتُهَا مُعْتَبَرَةٌ بِطَلَاقِ الْأَوَّلِ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ: رَجْعِيٍّ، وَبَائِنٍ فَإِنْ كَانَ رَجْعِيًّا فَالنَّفَقَةُ فِي عِدَّتِهِ مُسْتَحَقَّةٌ وَيَتَرَتَّبُ اسْتِحْقَاقُهَا عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْحَمْلِ إِنْ لَحِقَ بِالثَّانِي، فَهَلْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Bagian keempat, yang menjadi perhatian, adalah jika memungkinkan anak dinisbatkan kepada masing-masing dari keduanya, maka nafkahnya mengikuti talak dari suami pertama, dan ini terbagi menjadi dua: talak raj‘i dan talak bain. Jika talaknya raj‘i, maka nafkah selama masa ‘iddahnya tetap wajib, dan haknya atas nafkah tersebut bergantung pada perbedaan pendapat Imam asy-Syafi‘i tentang kehamilan, jika anak dinisbatkan kepada suami kedua, apakah suami kedua wajib memberi nafkah atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ إِذَا قِيلَ: إِنَّ النَّفَقَةَ لِلْحَامِلِ، فَعَلَى هَذَا لَا تَسْتَحِقُّ نَفَقَةَ الْحَمْلِ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّهُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَنْ يُلْحَقَ بِالثَّانِي فَتَسْقُطَ نَفَقَتُهُ وَبَيْنَ أَنْ يُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ فَتَجِبَ نَفَقَتُهُ فَصَارَتْ نَفَقَتُهُ مُتَرَدِّدَةً بَيْنَ وُجُودٍ وَإِسْقَاطٍ فَلَمْ تَجِبْ لَكِنَّهَا فِي عِدَّةِ الْأَوَّلِ مُسْتَحِقَّةٌ لِلنَّفَقَةِ لِكَوْنِهَا رَجْعِيَّةً وَنَفَقَتُهَا مُعَجَّلَةٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ، لِأَنَّهَا فِي حُكْمِ الزَّوْجَةِ وَعِدَّتُهَا مُتَرَدِّدَةٌ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ بِالْحَمْلِ إِنْ لَحِقَ بِهِ أَوْ بِالْأَقْرَاءِ إِنِ انْتَفَى عَنْهُ فَوَجَبَ أَنْ يُؤْخَذَ بِنَفَقَةِ أَقْصَى الْمُدَّتَيْنِ لِاسْتِحْقَاقِهَا يَقِينًا، فَإِنْ كَانَتْ مُدَّةُ الْحَمْلِ أَقْصَرَ أُخِذَ بِنَفَقَتِهَا فِي مُدَّةِ حَمْلِهَا، وَإِنْ كَانَتْ مُدَّةُ الْأَقْرَاءِ أَقْصَرَ أُخِذَ بِنَفَقَةِ قُرْأَيْنِ، لِأَنَّهُمَا قَدْرُ الْبَاقِي مِنْ عِدَّتِهِ، ثُمَّ يُرَاعَى حَالُ الْحَمْلِ بَعْدَ وِلَادَتِهِ، فَإِنْ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ تَقَدَّرَتْ نَفَقَتُهَا بِمُدَّةِ الْحَوْلِ، فَإِنْ كَانَتْ هِيَ أَقْصَرَ الْمُدَّتَيْنِ فَقَدِ اسْتَوْفَتْهَا، وَإِنْ كَانَتْ أَطْوَلَهَا رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِالْبَاقِي مِنْهَا، وَإِنْ لَحِقَ بِالثَّانِي تَقَدَّرَتْ نَفَقَتُهَا بِمُدَّةِ الْقُرْأَيْنِ، فَإِنْ كَانَتْ أَقْصَرَ الْمُدَّتَيْنِ فَقَدِ اسْتَوْفَتْهَا، وَهَلْ تَسْتَحِقُّ مَعَهَا نَفَقَةَ مُدَّةِ النِّفَاسِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ، وَإِنْ كَانَتْ أَطْوَلَ الْمُدَّتَيْنِ رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِمَا بَقِيَ مِنْهَا، وَهَلْ يُضَافُ إِلَيْهَا مُدَّةُ النِّفَاسِ أَمْ لا؟

Pertama: Tidak ada nafkah atasnya jika dikatakan bahwa nafkah itu untuk wanita hamil. Maka berdasarkan hal ini, ia tidak berhak mendapatkan nafkah kehamilan dari salah satu di antara keduanya, karena statusnya masih belum pasti antara dinisbatkan kepada yang kedua sehingga gugur nafkahnya, atau dinisbatkan kepada yang pertama sehingga wajib nafkahnya. Maka nafkahnya menjadi tidak pasti antara ada dan gugur, sehingga tidak wajib diberikan. Namun, selama dalam masa ‘iddah dari suami pertama, ia berhak mendapatkan nafkah karena ‘iddah tersebut adalah raj‘iyyah, dan nafkahnya diberikan setiap hari karena statusnya masih dianggap sebagai istri. Masa ‘iddahnya pun masih belum pasti, apakah dengan kehamilan jika anaknya dinisbatkan kepada suami pertama, atau dengan dua kali suci (‘aqrā’) jika tidak dinisbatkan kepadanya. Maka wajib diambil patokan nafkah untuk masa terlama di antara keduanya, karena ia pasti berhak atasnya. Jika masa kehamilan lebih singkat, maka diambil nafkah selama masa kehamilannya. Jika masa dua kali suci (‘aqrā’) lebih singkat, maka diambil nafkah selama dua kali suci, karena itu adalah sisa masa ‘iddahnya. Kemudian, setelah melahirkan, dilihat kembali keadaan kehamilannya: jika anaknya dinisbatkan kepada suami pertama, maka nafkahnya dihitung selama satu tahun. Jika itu adalah masa terpendek di antara dua masa, maka ia telah menerimanya secara penuh. Jika masa tersebut lebih panjang, maka ia dapat menuntut sisanya. Jika anaknya dinisbatkan kepada suami kedua, maka nafkahnya dihitung selama dua kali suci (‘aqrā’). Jika itu adalah masa terpendek di antara dua masa, maka ia telah menerimanya secara penuh. Apakah ia juga berhak atas nafkah selama masa nifas atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan. Jika masa tersebut lebih panjang, maka ia dapat menuntut sisanya. Apakah masa nifas juga ditambahkan atau tidak?

عَلَى الْوَجْهَيْنِ، فَهَذَا حُكْمُ النَّفَقَةِ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ.

Menurut dua pendapat tersebut, inilah hukum nafkah menurut pendapat pertama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ نَفَقَةَ الْحَمْلِ مُسْتَحَقَّةٌ عَلَى الثَّانِي، إِنْ لَحِقَ بِهِ إِذَا قِيلَ إِنَّ النَّفَقَةَ لِلْحَمْلِ، فَعَلَى هَذَا يَتَرَتَّبُ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فَهَلْ يَسْتَحِقُّ نَفَقَةَ الْحَمْلِ مُعَجَّلَةً فِي كُلِّ يَوْمٍ أَوْ مُؤَجَّلَةً بَعْدَ الْوِلَادَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pendapat kedua: Nafkah kehamilan menjadi tanggungan suami kedua jika anaknya dinisbatkan kepadanya, apabila dikatakan bahwa nafkah itu untuk kehamilan. Maka berdasarkan hal ini, hal tersebut bergantung pada perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i: Apakah nafkah kehamilan itu diberikan secara langsung setiap hari, atau ditangguhkan hingga setelah melahirkan? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُسْتَحَقُّ مُؤَجَّلَةً بَعْدَ الْوِلَادَةِ، فَعَلَى هَذَا لَا يُؤْخَذُ بِالثَّانِي بِشَيْءٍ مِنْهَا قَبْلَ الْوِلَادَةِ لِجَوَازِ أَنْ يُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ، وَيَكُونُ مَأْخُوذًا بِنَفَقَةِ الْعِدَّةِ فِي أَقْصَرِ الْمُدَّتَيْنِ عَلَى مَا مَضَى مُعَجَّلَةً، لِأَنَّهَا فِي حَقِّهِ نَفَقَةُ زَوْجِيَّةٍ، وَفِي حَقِّ الثَّانِي نَفَقَةُ حَمْلٍ، ثُمَّ يُرَاعَى مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ حَالُ الْحَمْلِ، فَإِنْ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ فَلَا شَيْءَ عَلَى الثَّانِي، وَقَدْ تَقَدَّرَتْ نَفَقَتُهَا عَلَى الْأَوَّلِ بِمُدَّةِ الْحَمْلِ فَيُعْتَبَرُ فِيهِ، هَلْ هِيَ أَقْصَرُ الْمُدَّتَيْنِ أَوْ أَطْوَلُهُمَا فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ لَحِقَ بِالثَّانِي رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِنَفَقَةِ مُدَّةِ الْحَمْلِ، وَتَقَدَّرَتْ عِدَّةُ الْأَوَّلِ بِقُرْأَيْنِ فَتَكُونُ عَلَى مَا مَضَى وَإِنْ لَحِقَ بِالثَّانِي رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِنَفَقَةِ مُدَّةِ الْحَمْلِ، وَتَقَدَّرَتْ عِدَّةُ الْأَوَّلِ بِقُرْأَيْنِ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى.

Pertama: Nafkah itu diberikan secara ditangguhkan setelah melahirkan. Maka berdasarkan hal ini, suami kedua tidak dibebani apa pun sebelum kelahiran, karena masih mungkin anak itu dinisbatkan kepada suami pertama, dan nafkah ‘iddah diambil dari masa terpendek di antara dua masa sebagaimana telah dijelaskan, secara langsung, karena baginya itu adalah nafkah sebagai istri, sedangkan bagi suami kedua itu adalah nafkah kehamilan. Kemudian, dilihat bagaimana keadaan kehamilannya berakhir: jika anaknya dinisbatkan kepada suami pertama, maka tidak ada kewajiban apa pun atas suami kedua, dan nafkahnya telah dihitung atas suami pertama selama masa kehamilan, maka dilihat apakah masa itu yang terpendek atau terpanjang di antara dua masa, dan berlaku sebagaimana telah dijelaskan. Jika anaknya dinisbatkan kepada suami kedua, maka ia dapat menuntut nafkah selama masa kehamilan, dan masa ‘iddah suami pertama dihitung selama dua kali suci (‘aqrā’), maka berlaku sebagaimana telah dijelaskan. Jika anaknya dinisbatkan kepada suami kedua, maka ia dapat menuntut nafkah selama masa kehamilan, dan masa ‘iddah suami pertama dihitung selama dua kali suci (‘aqrā’), maka berlaku sebagaimana telah dijelaskan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ نَفَقَةَ الْحَمْلِ تُسْتَحَقُّ مُعَجَّلَةً فِي كُلِّ يَوْمٍ، فَعَلَى هَذَا قَدِ اسْتَوَى الْأَوَّلُ وَالثَّانِي فِي نَفَقَةِ الْحَمْلِ لِوُجُوبِهَا عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا إِنْ لَحِقَ بِهِ، وَتَكُونُ نَفَقَةُ الْحَمْلِ هِيَ الْمُعْتَبَرَةَ وَقَدْ صَارَ الْأَوَّلُ وَالثَّانِي فِيهَا سَوَاءً فَيُؤْخَذَانِ جَمِيعًا بِهَا، لِأَنَّهُ لَيْسَ أَحَدُهُمَا بِأَوْلَى بِتَحَمُّلِهَا مِنَ الْآخَرِ ثُمَّ يُعْتَبَرُ حَالُهُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، فَإِنْ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ فَلَا شَيْءَ عَلَى الثَّانِي وَيُرْجَعُ عَلَى الْأَوَّلِ بِمَا أَنْفَقَ، وَإِنْ لَحِقَ بِالثَّانِي رَجَعَ الْأَوَّلُ عَلَيْهِ بِمَا أَنْفَقَ وَكَانَ على الأول نفقة عدته بالأقراء، وهي قرءان، وَهَلْ يُضَمُّ إِلَيْهَا نَفَقَةُ النِّفَاسِ عَلَى الْوَجْهَيْنِ.

Pendapat kedua: Nafkah untuk janin wajib diberikan secara langsung setiap hari. Berdasarkan pendapat ini, pihak pertama dan kedua sama kedudukannya dalam kewajiban nafkah janin, karena kewajiban tersebut berlaku atas masing-masing dari mereka jika janin itu dinisbatkan kepadanya. Maka nafkah janinlah yang menjadi acuan, dan keduanya setara dalam hal ini, sehingga keduanya bersama-sama dibebani kewajiban tersebut, karena tidak ada salah satu dari mereka yang lebih berhak menanggungnya dibandingkan yang lain. Setelah kelahiran, keadaannya dipertimbangkan kembali: jika janin dinisbatkan kepada yang pertama, maka tidak ada kewajiban atas yang kedua, dan yang kedua dapat menuntut penggantian dari yang pertama atas apa yang telah ia keluarkan. Jika janin dinisbatkan kepada yang kedua, maka yang pertama menuntut penggantian dari yang kedua atas apa yang telah ia keluarkan, dan atas yang pertama tetap wajib menafkahi masa ‘iddah dengan hitungan quru’ (dua kali haid), dan apakah nafkah masa nifas juga digabungkan ke dalamnya, terdapat dua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِنْ كَانَ طَلَاقُ الْأَوَّلِ بَائِنًا، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ نَفَقَةَ الْحَمْلِ لَا تَجِبُ عَلَى الثَّانِي إِنْ لَحِقَ بِهِ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا عَلَيْهِ، وَلَا عَلَى الْأَوَّلِ لِجَوَازِ أَنْ لَا يَلْحَقَ ثُمَّ رُوعِيَ أَمْرُهُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، فَإِنْ لَحِقَ بِالْأَوَّلِ وَجَبَ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ، وَإِنْ لَحِقَ بِالثَّانِي لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ، وَلَوْ قُلْنَا: إِنَّ نَفَقَةَ الْحَمْلِ عَلَى الثَّانِي وَاجِبَةٌ فَإِنْ جَعَلْنَاهَا مُؤَجَّلَةً لَمْ يُؤْخَذْ وَاحِدٌ مِنْهَا بِهَا حتى كُلِّ يَوْمٍ أُخِذَا جَمِيعًا بِهَا لِاسْتِوَائِهِمَا فِيهَا، فَإِذَا أُلْحِقَ بَعْدَ الْوِلَادَةِ بِأَحَدِهِمَا رَجَعَ عَلَيْهِ الْآخَرُ بِمَا أَنْفَقَ عَلَى مَا سَنَذْكُرُ، وَصَارَ هُوَ الْمُخْتَصَّ بِنَفَقَةِ الْوَلَدِ بَعْدَ وَضْعِهِ، وَإِنْ لَمْ يُلْحَقْ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا كَانَا عَلَى اشْتِرَاكٍ فِي تَحَمُّلِ نَفَقَتِهِ بَعْدَ وَضْعِهِ حَتَّى يَبْلُغَ فَيَنْتَسِبَ إِلَى أَحَدِهِمَا، فَيَصِيرُ الَّذِي انْتَسَبَ إِلَيْهِ هُوَ الْمُتَحَمِّلُ لِجَمِيعِ نَفَقَتِهِ فِي حَالِ حَمْلِهِ، وَبَعْدَ وِلَادَتِهِ، وَإِنْ مَاتَ الْوَلَدُ قَبْلَ أَنْ يَنْتَسِبَ إِلَى أَحَدِهِمَا لَمْ يَرْجِعْ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ بِشَيْءٍ، لِأَنَّهُ لَيْسَ أَحَدُهُمَا بِأَوْلَى بِتَحَمُّلِهَا من الآخر وأخذا جميعاً بكفنه، ومؤونة دفنه إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَالٌ، فَتَكُونَ نَفَقَتُهُ في حياته ومؤونة كَفَنِهِ وَدَفْنِهِ فِي مَالِهِ دُونَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ نَفَقَةِ حَمْلِهِ، فَأَمَّا قَوْلُ الْمُزَنِيِّ: ” فَإِنْ أُشْكِلَ الْأَمْرُ لَمْ آخُذْهُ بِنَفَقَتِهِ ” يَعْنِي لَمْ يَأْخُذْهُ وَحْدَهُ بِهَا كَأَنَّهُ يَأْخُذُهَا مِنْهُمَا؟

Jika talak dari suami pertama adalah talak bain, maka jika dikatakan bahwa nafkah janin tidak wajib atas suami kedua jika janin itu dinisbatkan kepadanya, maka tidak ada nafkah baginya dari suami kedua, dan juga tidak dari suami pertama karena mungkin saja janin itu tidak dinisbatkan kepadanya. Kemudian, keadaannya dipertimbangkan setelah kelahiran: jika janin dinisbatkan kepada suami pertama, maka wajib atasnya menafkahi; jika dinisbatkan kepada suami kedua, maka tidak wajib atasnya menafkahi. Namun, jika dikatakan bahwa nafkah janin wajib atas suami kedua, dan jika nafkah itu dijadikan tertunda, maka tidak ada satu pun dari mereka yang dibebani kewajiban tersebut hingga setiap hari keduanya bersama-sama dibebani, karena keduanya setara dalam hal ini. Jika setelah kelahiran janin dinisbatkan kepada salah satu dari mereka, maka yang lain menuntut penggantian atas apa yang telah ia keluarkan, sebagaimana akan dijelaskan, dan yang dinisbatkan kepadanya menjadi satu-satunya yang wajib menafkahi anak setelah kelahirannya. Jika tidak dinisbatkan kepada salah satu dari mereka, maka keduanya bersama-sama menanggung nafkah anak setelah kelahirannya hingga anak itu dewasa dan menisbatkan diri kepada salah satu dari mereka, maka yang dinisbatkan kepadanya menjadi penanggung seluruh nafkahnya baik saat masih janin maupun setelah lahir. Jika anak itu meninggal sebelum menisbatkan diri kepada salah satu dari mereka, maka tidak ada satu pun dari mereka yang menuntut penggantian dari yang lain, karena tidak ada satu pun dari mereka yang lebih berhak menanggungnya dibandingkan yang lain. Keduanya bersama-sama menanggung biaya kafan dan pemakamannya, kecuali jika anak itu memiliki harta, maka nafkah hidupnya serta biaya kafan dan pemakamannya diambil dari hartanya, tidak termasuk nafkah janin yang telah lalu. Adapun pendapat al-Muzani: “Jika perkara ini masih samar, aku tidak membebani satu pihak saja dengan nafkahnya,” maksudnya ia tidak membebani satu pihak saja, seakan-akan ia membebani keduanya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا وَاشْتَرَكَا فِي تَحَمُّلِ نَفَقَتِهِ حَمْلًا وَمَوْلُودًا ثُمَّ لَحِقَ بِأَحَدِهِمَا، فَإِنْ أَرَادَ الْآخَرُ الرُّجُوعَ عَلَيْهِ بِمَا أَنْفَقَ لَمْ تَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika telah ditetapkan sebagaimana yang telah dijelaskan, dan keduanya bersama-sama menanggung nafkah anak baik saat masih janin maupun setelah lahir, kemudian anak itu dinisbatkan kepada salah satu dari mereka, maka jika yang lain ingin menuntut penggantian atas apa yang telah ia keluarkan, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُدَّعِيًا لِلْوَلَدِ أَوْ غَيْرَ مُدَّعٍ لَهُ، فَإِنْ كَانَ مُدَّعِيًا لَهُ لَمْ يَرْجِعْ بِمَا أَنْفَقَ، لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِأَنَّهُ أَنْفَقَهَا عَلَى وَلَدٍ، وَإِنْ نَفَاهُ الشَّرْعُ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُدَّعٍ لَهُ وَلَا مُنَازِعٍ فِيهِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَنْفَقَ بِحُكْمِ حَاكِمٍ رَجَعَ بِمَا أَنْفَقَ، لِأَنَّ الْحُكْمَ يُوجِبُ تَحَمُّلَهَا فَوَجَبَ الرُّجُوعُ بِهَا، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَنْفَقَ بِغَيْرِ حُكْمِ حَاكِمٍ فَإِنْ شَرَطَ الرُّجُوعَ فِي حَالِ الْإِنْفَاقِ رَجَعَ بِهَا، وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْ لَمْ يَرْجِعْ بِهَا، لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ تَطَوُّعًا، وَحَكَى ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجْهًا آخَرَ أَنَّهُ يَرْجِعُ بِهَا، لِأَنَّ تَحَمُّلَهَا مَعَ الِاشْتِبَاهِ قَدْ كَانَ وَاجِبًا عَلَيْهِ فَاسْتَوَى فِي الرُّجُوعِ بِهَا حُكْمُ الْحَاكِمِ وَعَدَمُهُ.

Pertama: Bisa jadi ia mengaku anak itu sebagai anaknya atau tidak mengakuinya. Jika ia mengakuinya, maka ia tidak berhak menuntut penggantian atas apa yang telah ia keluarkan, karena ia mengakui bahwa ia telah menafkahi anaknya, meskipun secara syar‘i anak itu tidak dinisbatkan kepadanya. Jika ia tidak mengakuinya dan juga tidak berselisih tentangnya, maka dilihat: jika ia menafkahi berdasarkan keputusan hakim, maka ia berhak menuntut penggantian atas apa yang telah ia keluarkan, karena keputusan hakim mewajibkan penanggungannya, sehingga ia berhak menuntut penggantian. Jika ia menafkahi tanpa keputusan hakim, maka jika saat menafkahi ia mensyaratkan hak untuk menuntut penggantian, maka ia berhak menuntutnya; namun jika tidak mensyaratkan, maka ia tidak berhak menuntut, karena nafkah itu dianggap sebagai sedekah. Ibn Abi Hurairah meriwayatkan pendapat lain bahwa ia tetap berhak menuntut penggantian, karena penanggungannya dalam keadaan syubhat (ketidakjelasan) tetap wajib atasnya, sehingga dalam hal menuntut penggantian, keputusan hakim dan tidak adanya keputusan hakim sama saja.

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ حَكَى عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْمَوْلُودِ مِنَ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ أَنَّهُ يُلْحَقُ بِهِ بَعْدَ أَرْبَعِ سِنِينَ، وَحُكِيَ عَنْهُ: أَنَّهُ لَا يُلْحَقُ بِهِ كَالْبَائِنِ، وَاخْتَارَهُ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ، وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Adapun al-Muzani, ia meriwayatkan dari asy-Syafi‘i mengenai anak yang lahir dari talak raj‘i, bahwa anak tersebut dinasabkan kepadanya setelah empat tahun. Dan diriwayatkan pula darinya: bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya seperti halnya talak bain, dan pendapat ini yang ia pilih. Telah dijelaskan pembahasan bersamanya, dan hanya kepada Allah-lah taufik.

(بَابُ عِدَّةِ الْمُطَلَّقَةِ يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا زَوْجُهَا ثُمَّ يموت أو يطلق)

(Bab ‘Iddah Perempuan yang Ditalak, Suaminya Masih Berhak Merujukinya, Lalu Suaminya Meninggal atau Menjatuhkan Talak Lagi)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ طَلَّقَهَا طَلْقَةً يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا ثُمَ مَاتَ اعْتَدَّتْ عِدَّةَ الْوَفَاةِ وَوَرِثَتْ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang suami menalaknya dengan satu kali talak yang masih berhak merujukinya, lalu ia meninggal dunia, maka perempuan itu menjalani ‘iddah wafat dan berhak mendapat warisan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَتْ فِي عِدَّةٍ مِنْ طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ فَمَاتَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا وَلَوْ بِسَاعَةٍ بَطَلَتْ عِدَّةُ الطَّلَاقِ، وَانْتَقَلَتْ إِلَى عِدَّةِ الْوَفَاةِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ تَعْتَدُّ مِنَ الطَّلَاقِ بِالْأَقْرَاءِ أَوْ بِالشُّهُورِ فَلَوِ اعْتَدَّتْ مِنْ شهور بالطلاق بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ إِلَّا سَاعَةً اسْتَأْنَفَتْ عِدَّةَ الْوَفَاةِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ الرَّجْعِيَّةَ فِي مَعَانِي الزَّوْجَاتِ لِمَا يَلْحَقُهَا مِنْ طلاقته، وَظِهَارِهِ، وَإِيلَائِهِ، كَذَلِكَ مَا يَلْحَقُهَا مِنْ فُرْقَةِ وَفَاتِهِ، لِأَنَّهَا فُرْقَةُ بَتَاتٍ فَسَقَطَ بِهَا فُرْقَةُ الرَّجْعِيَّةِ وَلَزِمَهَا اسْتِئْنَافُ الْعِدَّةِ عَنِ الْوَفَاةِ، لِأَنَّ الْبَيْنُونَةَ بِهَا وَقَعَتْ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْتَنَبَ بِمَا تَقَدَّمَ عَلَى الْوَفَاةِ مِنَ الشُّهُورِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan (asy-Syafi‘i): Jika seorang perempuan masih dalam masa ‘iddah dari talak raj‘i, lalu suaminya meninggal sebelum habis masa ‘iddahnya, meskipun hanya sesaat, maka ‘iddah talak gugur dan ia berpindah ke ‘iddah wafat. Baik ia menjalani ‘iddah talak dengan hitungan quru’ (masa suci) maupun dengan bulan. Jika ia telah menjalani ‘iddah talak selama tiga bulan kurang satu jam, maka ia harus memulai ‘iddah wafat selama empat bulan sepuluh hari. Hal itu karena perempuan yang dalam masa raj‘i masih dalam hukum istri, sebab ia masih terkena hukum talak, zihar, dan ila’ dari suaminya, demikian pula ia terkena hukum perpisahan karena wafat suaminya, sebab perpisahan karena wafat adalah perpisahan yang final, sehingga perpisahan raj‘i gugur dan ia wajib memulai ‘iddah karena wafat. Karena bainunah (perpisahan total) terjadi dengan wafat, dan tidak boleh menganggap cukup dengan masa bulan-bulan yang telah dijalani sebelum wafat karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: لِتُقَدُّمِهِ عَلَى سَبَبِ الْوُجُوبِ.

Pertama: Karena masa tersebut terjadi sebelum sebab kewajiban (‘iddah wafat) muncul.

وَالثَّانِي: لِاخْتِلَافِ مُوجِبِهَا كَمَنْ زَنَا بِكْرًا ثُمَّ زَنَا ثَيِّبًا لَزِمَهُ حَدَّانِ، وَلَوْ تَكَرَّرَ مِنْ بِكْرٍ أَوْ ثَيِّبٍ لَزِمَهُ حَدٌّ وَاحِدٌ، فَإِذَا ثَبَتَ انْتِقَالُهَا إِلَى عِدَّةِ الْوَفَاةِ كَانَ لَهَا الْمِيرَاثُ لِإِجْرَاءِ أَحْكَامِ الزَّوْجِيَّةِ عَلَيْهَا، وَتَكُونُ مُسَاوِيَةً لِمَنْ يُطَلِّقُهَا مِنْ زَوْجَاتِهِ، وَهَكَذَا لَوْ مَاتَتْ هِيَ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّةِ رَجْعِيَّةٍ بِسَاعَةٍ كَانَ لَهُ الْمِيرَاثُ مِنْهَا.

Kedua: Karena perbedaan sebab kewajibannya, seperti seseorang yang berzina dengan perempuan perawan lalu berzina lagi dengan perempuan yang sudah pernah menikah, maka ia dikenai dua had. Namun jika ia mengulangi zina dengan perempuan perawan saja atau dengan perempuan yang sudah menikah saja, maka cukup satu had. Maka jika telah tetap berpindahnya perempuan itu ke ‘iddah wafat, maka ia berhak mendapat warisan karena hukum-hukum pernikahan masih berlaku atasnya, dan ia setara dengan istri-istri lain yang ditalak. Demikian pula jika ia meninggal sebelum habis masa ‘iddah raj‘i walau hanya sesaat, maka suaminya berhak mendapat warisan darinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا مِيرَاثُ الْمَنْكُوحَةِ فِي الْعِدَّةِ إِذَا كَانَتْ حَامِلًا وَأَمْكَنَ لُحُوقُهُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَلَا مِيرَاثَ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الثَّانِي لِفَسَادِ نِكَاحِهِ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَإِنْ كَانَ طَلَاقُهُ بَائِنًا فَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ طَلَاقُهُ رَجْعِيًّا فَإِنْ كَانَ الْمَوْتُ فِي حَالِ الْحَمْلِ تَوَارَثَا سواء لحقه الحمل أو انتفى عنه، لأن إن لحق به كان بِهِ فِي عِدَّتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ فَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ مِنْهُ بَعْدَ وَضْعِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَوْتُ بَعْدَ الْحَمْلِ فِي عِدَّةِ الْأَقْرَاءِ نُظِرَ حَالُ الْحَمْلِ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun warisan istri yang masih dalam masa ‘iddah jika ia sedang hamil dan memungkinkan anak tersebut dinasabkan kepada masing-masing dari dua suami, maka tidak ada warisan antara keduanya dan suami kedua karena rusaknya akad nikahnya. Adapun suami pertama, jika talaknya adalah talak bain maka tidak ada saling mewarisi di antara keduanya. Namun jika talaknya adalah talak raj‘i, dan kematian terjadi saat ia hamil, maka keduanya saling mewarisi, baik anak itu dinasabkan kepadanya atau tidak, karena jika anak itu dinasabkan kepadanya, maka ia masih dalam ‘iddahnya. Jika tidak dinasabkan kepadanya, maka ia tetap wajib menjalani ‘iddah darinya setelah melahirkan. Jika kematian terjadi setelah masa hamil, dalam masa ‘iddah quru’, maka dilihat keadaan kehamilannya, karena tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ فَلَا تَوَارُثَ لِانْقِضَاءِ عِدَّتِهِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ.

Pertama: Anak itu dinasabkan kepada suami pertama, maka tidak ada saling mewarisi karena ‘iddahnya telah selesai dengan kelahiran.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُلْحَقَ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ فَإِنَّهُمَا يَتَوَارَثَانِ إِنْ كَانَ الْمَوْتُ فِي الْقُرْأَيْنِ دُونَ الثَّالِثِ.

Kedua: Anak itu dinasabkan kepada suami kedua saja, bukan kepada suami pertama, maka keduanya saling mewarisi jika kematian terjadi dalam dua quru’ (masa suci) sebelum yang ketiga.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يُلْحَقَ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لِدَوَامِ إِشْكَالِهِ فَفِي التَّوَارُثِ بَيْنَهُمَا فِي عِدَّةِ القرءين وَجْهَانِ مِنْ وَجْهَيْ مِيرَاثِهَا مِنْ وَلَدِهَا إِذَا حَجَبَهَا وَأَوْلَادَ أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ مَعَ بَقَاءِ الْإِشْكَالِ: أَحَدُهُمَا: لَهَا الْمِيرَاثُ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْعِدَّةِ كَمَا كَانَ الْأَصْلُ هُنَاكَ عَدَمَ الْحَجْبِ.

Ketiga: Anak itu tidak dinasabkan kepada keduanya karena terus-menerusnya keraguan, maka dalam hal warisan antara keduanya dalam masa ‘iddah dua quru’ ada dua pendapat, sebagaimana dalam masalah warisan perempuan dari anaknya jika ia terhalang (oleh anak tersebut) dan anak-anak salah satu dari keduanya saja, dengan tetap adanya keraguan: Pertama, ia berhak mendapat warisan, karena asalnya ‘iddah masih berlangsung, sebagaimana asalnya di sana adalah tidak adanya penghalang warisan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا مِيرَاثَ لَهَا، لِأَنَّ الْمِيرَاثَ لَا يُسْتَحَقُّ بِالشَّكِّ فِي الْمَوْضِعَيْنِ.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak mendapat warisan, karena warisan tidak dapat ditetapkan dengan adanya keraguan pada kedua keadaan tersebut.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَاجَعَهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ أحدهما تعتد من الطلاق الأخير وهو قول ابن جريج وعبد الكريم وطاوس والحسن بن مسلم ومن قال هذا انبغى أن يقول رجعته مخالفة لنكاحه إياها ثم يطلقها قبل أن يمسها لم تعتد فكذلك لا تعتد من طلاق أحدثه، وإن كانت رجعة إذا لم يمسها (قال المزني) رحمه الله المعنى الأول أولى بالحق عندي لأنه إذا ارتجعها سقطت عدتها وصارت في معناها القديم بالعقد الأول لا بنكاح مستقبل فإنما طلق امرأة مدخولاً بها في غير عدة فهو في معنى من ابتدأ طلاقه (قال المزني) رحمه الله ولو لم يرتجعها حتى طلقها فإنها تبنى على عدتها من أول طلاقها لأن تلك العدة لم تبطل حتى طلق وإنما زادها طلاقا وهي معتدة بإجماع فلا تبطل مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ مِنْ عِدَّةٍ قَائِمَةٍ إِلَّا بإجماع مثله أو قياس على نظيره “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seorang suami merujuk istrinya lalu menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka ada dua pendapat dalam hal ini. Salah satunya, ia ber‘iddah dari talak terakhir, dan ini adalah pendapat Ibnu Jurayj, ‘Abd al-Karīm, Ṭāwūs, al-Ḥasan bin Muslim. Siapa yang berpendapat demikian, seharusnya juga mengatakan bahwa rujuk itu berbeda dengan akad nikah baru; jika ia menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka ia tidak ber‘iddah, maka demikian pula ia tidak ber‘iddah dari talak yang baru dijatuhkan. Dan jika itu adalah rujuk, selama belum disentuh (belum digauli). (Al-Muzani berkata) raḥimahullāh: Makna yang pertama lebih kuat menurutku, karena jika ia merujuk istrinya, maka masa ‘iddahnya gugur dan ia kembali pada status lamanya berdasarkan akad pertama, bukan dengan akad baru. Maka ia menceraikan wanita yang telah digauli di luar masa ‘iddah, sehingga hukumnya seperti orang yang memulai talak. (Al-Muzani berkata) raḥimahullāh: Jika ia belum merujuk istrinya hingga menceraikannya, maka ia melanjutkan masa ‘iddahnya dari talak pertama, karena masa ‘iddah itu belum batal hingga terjadi talak, dan talak itu hanya menambah jumlah talak saat ia sedang ber‘iddah, berdasarkan ijmā‘, sehingga tidak boleh membatalkan masa ‘iddah yang telah disepakati kecuali dengan ijmā‘ yang serupa atau qiyās atas kasus yang sepadan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَذَكَرْنَا أَنَّ الْمُعْتَدَّةَ مِنْ طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ إِذَا رَاجَعَهَا زَوْجُهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا لَمْ يَخْلُ الطَّلَاقُ الثَّانِي مِنْ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الْوَطْءِ أَوْ قَبْلَهُ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ أَنْ وَطِئَهَا فِي رَجْعَتِهِ، فَقَدْ بَطَلَ بِالْوَطْءِ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْعِدَّةِ، وَعَلَيْهِ إِذَا طَلَّقَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْعِدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّانِي وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَطَأْ بَعْدَ الرَّجْعَةِ حَتَّى طَلَّقَ فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ أَنَّ الرَّجْعَةَ قَدْ قَطَعَتْ عِدَّةَ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ، وَهِيَ فِيمَا بَيْنَ الرَّجْعَةِ وَالطَّلَاقِ الثَّانِي غَيْرُ مُعْتَدَّةٍ.

Al-Māwardi berkata: Masalah ini telah berlalu, dan kami telah sebutkan bahwa seorang wanita yang ber‘iddah dari talak raj‘i, jika suaminya merujuknya lalu menceraikannya lagi, maka talak kedua itu tidak lepas dari dua keadaan: terjadi setelah jima‘ atau sebelumnya. Jika setelah digauli dalam masa rujuk, maka dengan jima‘ itu, masa ‘iddah sebelumnya batal, sehingga jika ia menceraikannya, ia harus memulai ‘iddah baru dari talak kedua, dan ini disepakati. Jika belum digauli setelah rujuk hingga ditalak, maka mazhab tidak berbeda bahwa rujuk telah memutus masa ‘iddah dari talak pertama, dan antara rujuk dan talak kedua, ia tidak sedang ber‘iddah.

وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَنْقَطِعُ عِدَّتُهَا بِالرَّجْعَةِ حَتَّى يَطَأَ، وَهَذَا خَطَأٌ. لِأَنَّ الرَّجْعَةَ إِبَاحَةٌ، وَالْعِدَّةَ حَظْرٌ وَهُمَا ضِدَّانِ فَلَا يَجْتَمِعَانِ، وَإِذَا لَمْ يَجْتَمِعَا فَالْإِبَاحَةُ ثَابِتَةٌ، وَبَطَلَ حُكْمُ الْحَظْرِ لِأَجْلِ الْعِدَّةِ، وَلِأَنَّ هَذَا الَّذِي قَالَهُ مَالِكٌ مُفْضٍ إِلَى أَنْ تَبِينَ مِنْهُ بَعْدَ رجعتها إذا أَخَّرَ الْإِصَابَةَ إِلَى انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا فَيَصِيرُ سِرَايَةُ الطَّلَاقِ مُبْطِلًا لِحُكْمِ الرَّجْعَةِ وَالْمُسْتَقِرُّ مِنْ حُكْمِ الرَّجْعَةِ أَنْ تَبْطُلَ سِرَايَةُ الطَّلَاقِ فَصَارَ عَكْسًا فَبَطَلَ قَوْلُهُ، فَإِذَا وَقَعَ الطَّلَاقُ الثَّانِي فَهَلْ تَسْتَأْنِفُ لَهُ الْعِدَّةَ أَوْ تَبْنِي عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ؟ فِيهِ قَوْلَانِ:

Imam Mālik berkata: Masa ‘iddahnya tidak terputus dengan rujuk hingga terjadi jima‘, dan ini adalah kekeliruan. Karena rujuk adalah kebolehan, sedangkan ‘iddah adalah larangan, dan keduanya bertentangan sehingga tidak dapat berkumpul. Jika tidak dapat berkumpul, maka kebolehanlah yang berlaku, dan hukum larangan karena ‘iddah menjadi batal. Selain itu, pendapat Mālik ini berkonsekuensi bahwa wanita itu akan berpisah dari suaminya setelah rujuk jika suami menunda jima‘ hingga habis masa ‘iddahnya, sehingga efek talak membatalkan hukum rujuk. Padahal yang tetap dari hukum rujuk adalah efek talak menjadi batal, sehingga ini menjadi terbalik dan pendapatnya batal. Maka, jika terjadi talak kedua, apakah ia memulai ‘iddah baru atau melanjutkan dari ‘iddah talak pertama? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَبْنِي عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ.

Pertama: Ia melanjutkan dari ‘iddah talak pertama.

وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ:

Dan ini adalah pendapat Mālik.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا تَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّانِي، وَلَا تَبْنِي عَلَى عِدَّةِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ وَسَوَاءٌ كَانَ الطَّلَاقُ الثَّانِي بَائِنًا أَوْ رَجْعِيًّا.

Pendapat kedua: Ia memulai ‘iddah baru dari talak kedua, dan tidak melanjutkan dari ‘iddah talak pertama, baik talak kedua itu bain maupun raj‘i.

وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ، وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ لَكِنِ احْتَجَّ الْمُزَنِيُّ لِمَا اخْتَارَهُ مِنِ اسْتِئْنَافِ الْعِدَّةِ بِأَمْرَيْنِ:

Dan ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah, dan dipilih oleh al-Muzani. Penjelasan kedua pendapat ini telah berlalu, namun al-Muzani menguatkan pilihannya untuk memulai ‘iddah baru dengan dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّجْعَةَ لَمَّا انْقَطَعَتْ بِهَا سِرَاءَةُ الْعِدَّةِ وَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ بِهَا مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْعِدَّةِ كَالْوَطْءِ، وَهَذَا فَاسِدٌ بِالْمُخْتَلِعَةِ إِذَا نَكَحَهَا فِي الْعِدَّةِ ثُمَّ طَلَّقَهَا لِأَنَّ النِّكَاحَ قَطَعَ الْعِدَّةَ، وَلَمْ يُبْطِلْهَا، وَالطَّلَاقُ فِيهِ مُوجِبٌ لِلْبِنَاءِ دُونَ الِاسْتِئْنَافِ.

Pertama: Karena rujuk telah memutus kelanjutan masa ‘iddah, maka seharusnya masa ‘iddah sebelumnya juga batal karenanya, sebagaimana jima‘. Namun ini tidak tepat pada kasus wanita yang dicerai khulu‘, jika dinikahi dalam masa ‘iddah lalu dicerai lagi, karena akad nikah memutus masa ‘iddah, tetapi tidak membatalkannya, dan talak dalam kasus itu menyebabkan kelanjutan ‘iddah, bukan memulai yang baru.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّجْعَةَ لَمَّا رَفَعَتْ تَحْرِيمَ الطَّلَاقِ رَفَعَتْ عِدَّةَ تَحْرِيمِهِ وَصَارَتْ بِمَثَابَةِ مَنْ لَمْ تُطَلَّقْ، فَإِذَا طُلِّقَتْ مِنْ بَعْدُ اسْتَأْنَفَتِ الْعِدَّةَ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّهَا قَطَعَتِ التَّحْرِيمَ وَلَمْ يُرْفَعْ مَا تَقَدَّمَ فَكَذَلِكَ الْعِدَّةُ تَنْقَطِعُ بِالرَّجْعَةِ وَلَا ترفع ما تقدم.

Kedua: Karena rujuk telah mengangkat larangan talak, maka ia juga mengangkat masa ‘iddah larangan itu, sehingga statusnya seperti wanita yang belum ditalak. Maka jika ditalak setelah itu, ia memulai ‘iddah baru. Namun ini juga tidak tepat, karena rujuk hanya mengangkat larangan, tetapi tidak menghapus masa sebelumnya. Demikian pula, masa ‘iddah terputus dengan rujuk, tetapi tidak menghapus masa sebelumnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” يشبه أَنْ يَلْزَمَهُ أَنْ يَقُولَ: ارْتَجَعَ أَوْ لَمْ يَرْتَجِعْ سَوَاءٌ وَيَحْتَجُّ بِأَنَّ زَوْجَهَا لَوْ مَاتَ اعْتَدَّتْ مِنْهُ عِدَّةَ الْوَفَاةِ وَوَرِثَتْ كَمَنْ لَمْ تُطَلَّقْ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tampaknya ia harus mengatakan: baik suami merujuk atau tidak, hukumnya sama saja, dan ia berdalil bahwa jika suaminya meninggal, maka ia ber‘iddah wafat dan mewarisi seperti wanita yang tidak ditalak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يُطَلِّقَهَا فِي الْعِدَّةِ الرَّجْعِيَّةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَرْتَجِعَهَا فَيُرَاعِيَ الطَّلَاقَ الْبَائِنَ فَإِنْ كَانَ رَجْعِيًّا لَمْ تَبْنِ به وبنت عَلَى مَا مَضَى مِنْ عِدَّتِهَا قَوْلًا وَاحِدًا لِاسْتِوَاءِ حُكْمِ الطَّلَاقَيْنِ وَالْعِدَّتَيْنِ، وَإِنَّهَا قَدْ كَانَتْ تَبْنِي مِنْهُ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مِنَ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ، وَالطَّلَاقُ الثَّانِي إِنْ لَمْ يَزِدْهَا تَحْرِيمًا لَمْ يَنْقُصْهَا، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ الثَّانِي بَائِنًا وَذَلِكَ بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya adalah apabila seorang suami mentalak istrinya dalam masa ‘iddah raj‘iyyah tanpa merujuknya, lalu memperhatikan hukum talak bain. Jika talaknya masih raj‘i, maka ia tidak membangun (menghitung) masa ‘iddah dari awal, melainkan melanjutkan sisa ‘iddahnya yang telah berjalan, menurut satu pendapat, karena hukum kedua talak dan kedua ‘iddah itu sama. Sebab, ia memang telah membangun dari talak pertama dengan berakhirnya masa ‘iddah, dan talak kedua jika tidak menambah keharaman, maka tidak pula menguranginya. Namun jika talak kedua itu bain, dan itu terjadi dalam dua keadaan:

إِمَّا أَنْ يَسْتَكْمِلَ بِهِ عِدَدَ الثَّلَاثِ، وَإِمَّا بِأَنْ يَقْتَرِنَ بِخُلْعٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama, talak kedua itu menyempurnakan jumlah tiga talak; atau kedua, talak kedua itu disertai dengan khulu‘. Dalam hal ini, para ulama kami berbeda pendapat menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، وَابْنِ عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ: أَنَّهُمَا كَالَّتِي قَبْلَهَا إِذَا ارْتَجَعَهَا هَلْ تَبْنِي أَوْ تَسْتَأْنِفُ عَلَى قَوْلَيْنِ، لِأَنَّ حُكْمَ الطَّلَاقِ الثَّانِي مُخَالِفٌ لِحُكْمِ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ لِكَوْنِ الثَّانِي بَائِنًا وَالْأَوَّلِ رَجْعِيًّا، فَلَمْ يُؤَثِّرْ عَدَمُ الرَّجْعَةِ في استئناف العدة كالموت الذي يوهب اسْتِئْنَافَ الْعِدَّةِ، وَإِنْ لَمْ يَتَقَدَّمْهُ رَجْعَةٌ، وَتَمَسَّكَ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ بِظَاهِرِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ ” ارْتَجَعَ أَوْ لَمْ يَرْتَجِعْ سَوَاءً “.

Salah satunya adalah pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri dan Ibn ‘Ali Ibn Khairan: Bahwa kasus ini sama seperti sebelumnya, yaitu jika suami merujuk istrinya, apakah ia membangun (‘iddah) atau memulai (‘iddah) yang baru, terdapat dua pendapat. Sebab, hukum talak kedua berbeda dengan talak pertama, karena talak kedua adalah bain sedangkan yang pertama raj‘i. Maka, tidak berpengaruhnya tidak adanya rujuk dalam memulai ‘iddah seperti halnya kematian yang mewajibkan memulai ‘iddah, meskipun sebelumnya tidak ada rujuk. Pendapat ini didasarkan pada zahir ucapan asy-Syafi‘i: “Baik ia merujuk atau tidak, hukumnya sama.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهَا تَبْنِي عَلَى الْعِدَّةِ وَلَا تَسْتَأْنِفُهَا قَوْلًا وَاحِدًا وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ، لِأَنَّ الْمُزَنِيَّ اخْتَارَ بَعْدَ الرَّجْعَةِ أَنْ تَسْتَأْنِفَ وَقَبْلَ الرَّجْعَةِ أَنْ تَبْنِيَ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الرَّجْعَةَ لَمَّا رَفَعَتِ التَّحْرِيمَ رَفَعَتِ الْعِدَّةَ وَالتَّحْرِيمُ لَا يَرْتَفِعُ بِعَدَمِ الرَّجْعَةِ فَلَمْ تَرْتَفِعِ الرَّجْعَةُ.

Pendapat kedua adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa ia melanjutkan (‘iddah) dan tidak memulai dari awal menurut satu pendapat, dan ini adalah pilihan al-Muzani. Sebab, al-Muzani memilih bahwa setelah rujuk, ia memulai (‘iddah) baru, dan sebelum rujuk, ia melanjutkan (‘iddah) yang telah berjalan. Ia membedakan keduanya dengan alasan bahwa rujuk menghilangkan keharaman, maka ‘iddah pun terangkat, sedangkan keharaman tidak hilang tanpa rujuk, maka rujuk pun tidak terangkat.

وَاحْتَجَّ أَبُو إِسْحَاقَ بِأَنَّ الطَّلَاقَ الثَّلَاثَ عِدَّةٌ وَاحِدَةٌ، فَسَوَاءٌ اجْتَمَعَتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ إِذَا لَمْ يَتَخَلَّلْهَا إِبَاحَةٌ، وَتَأَوَّلَ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ ” ارْتَجَعَ أَوْ لَمْ يَرْتَجِعْ سَوَاءٌ ” عَلَى وَجْهِ الْإِلْزَامِ ليبطل به ما أوجبه ودعي إِلَيْهِ، وَهُنَا لَا يَلْزَمُ فَكَذَلِكَ مَا اقْتَضَاهُ لَيْسَ بِلَازِمٍ.

Abu Ishaq berdalil bahwa tiga talak itu satu ‘iddah, baik dilakukan sekaligus maupun terpisah, selama tidak ada masa halal di antara keduanya. Ia menafsirkan ucapan asy-Syafi‘i “Baik ia merujuk atau tidak, hukumnya sama” sebagai bentuk keharusan untuk membatalkan apa yang telah diwajibkan dan dianjurkan, dan di sini tidak ada keharusan, maka demikian pula apa yang ditunjukkan oleh ucapan itu tidak mesti berlaku.

وَمِثَالُهُ مَا قَالَهُ فِي كِتَابِ ” الْبُيُوعِ ” مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي اللُّحْمَانِ وَمَنْ قَالَ إِنَّ اللُّحْمَانَ صِنْفٌ وَاحِدُ لَزِمَهُ أَنْ يَقُولَ فِي الثِّمَارِ أَنَّهَا صِنْفٌ وَاحِدٌ أَيْ لَمْ يَقْبَلْ بِهَذَا أَحَدٌ فِي الثِّمَارِ، فَكَذَلِكَ لَا يُقَالُ بِهِ فِي اللُّحْمَانِ، فَأَمَّا قَوْلُ الْمُزَنِيِّ وَهِيَ مُعْتَدَّةٌ بِإِجْمَاعٍ فَلَا يَبْطُلُ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ مِنْ عِدَّةٍ قَائِمَةٍ إِلَّا بِإِجْمَاعٍ مِثْلِهِ، أَوْ قِيَاسٍ عَلَى نَظِيرِهِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ لِمَنْ خَالَفَهُ فِي اخْتِيَارِهِ، وَهُوَ مَا أَجَابَ بِهِ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهَا مُعْتَدَّةٌ بِإِجْمَاعٍ فَلَا تَخْرُجُ مِنْ عِدَّتِهَا إِلَّا بِإِجْمَاعٍ، وَالْإِجْمَاعُ أَنْ تَأْتِيَ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ مِنَ الطَّلَاقِ الثَّانِي وَاللَّهُ أعلم.

Contohnya adalah apa yang disebutkan dalam kitab “al-Buyu‘” tentang dua pendapat dalam masalah daging. Barang siapa yang mengatakan bahwa semua daging adalah satu jenis, maka ia harus mengatakan bahwa semua buah-buahan juga satu jenis. Namun tidak ada seorang pun yang menerima hal ini dalam masalah buah-buahan, maka demikian pula tidak dikatakan dalam masalah daging. Adapun ucapan al-Muzani bahwa ia adalah wanita yang sedang menjalani ‘iddah berdasarkan ijmā‘, maka tidak dapat membatalkan apa yang telah disepakati berupa ‘iddah yang sedang berjalan kecuali dengan ijmā‘ yang serupa atau qiyās terhadap kasus yang sepadan. Maka jawaban bagi yang berbeda pendapat dalam pilihannya adalah sebagaimana jawaban Ibn Abi Hurairah, bahwa ia adalah wanita yang sedang menjalani ‘iddah berdasarkan ijmā‘, sehingga ia tidak keluar dari ‘iddahnya kecuali dengan ijmā‘. Dan ijmā‘ adalah bahwa ia menjalani tiga kali quru‘ (‘iddah) dari talak kedua. Wallāhu a‘lam.

(بَابُ امْرَأَةِ الْمَفْقُودِ وَعِدَّتِهَا إِذَا نَكَحَتْ غَيْرَهُ وغير ذلك)

(Bab: Istri orang yang hilang (mafqud) dan masa ‘iddahnya jika ia menikah dengan laki-laki lain dan selainnya)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فِي امْرَأَةِ الْغَائِبِ أَيَّ غَيْبَةٍ كَانَتْ لَا تَعْتَدُّ وَلَا تَنْكِحُ أَبَدًا حَتَّى يَأْتِيَهَا يَقِينُ وفاته وترثه ولا يجوز أن تعتد من وفاته ومثلها يرث إلا ورثت زوجها الذي اعتدت من وفاته وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه في امرأة المفقود إنها لا تتزوج “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Tentang istri orang yang ghaib, dalam bentuk apapun kepergiannya, ia tidak menjalani ‘iddah dan tidak boleh menikah sama sekali hingga datang kepadanya keyakinan tentang wafatnya suami, sehingga ia dapat mewarisi suaminya. Tidak boleh ia menjalani ‘iddah karena wafatnya suami dan mewarisi, kecuali ia mewarisi suaminya yang telah ia jalani ‘iddah wafatnya. Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu berkata tentang istri orang yang mafqud (hilang): ‘Ia tidak boleh menikah.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. وَلِغَيْبَةِ الرَّجُلِ عَنْ زَوْجَتِهِ حَالَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Kepergian seorang suami dari istrinya memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُتَّصِلَ الْأَخْبَارِ مَعْلُومَ الْحَيَاةِ فَنِكَاحُ زَوْجَتِهِ مُحَالٌ، وَإِنْ طَالَتْ غَيْبَتُهُ وَسَوَاءٌ تَرَكَ لَهَا مَالًا أَمْ لَا، وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ غَيْرَهُ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Pertama: Suami tetap ada kabar dan diketahui masih hidup, maka pernikahan istrinya dengan laki-laki lain adalah mustahil, meskipun kepergiannya sangat lama, baik ia meninggalkan harta untuk istrinya atau tidak. Istrinya tidak boleh menikah dengan laki-laki lain, dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مُنْقَطِعَ الْأَخْبَارِ مَجْهُولَ الْحَيَاةِ فَحُكْمُهُ عَلَى اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِ فِي سَفَرِهِ وَاحِدٌ، سَوَاءٌ قَعَدَ فِي بَلَدِهِ أَوْ بعده خُرُوجِهِ مِنْهُ فِي بَرٍّ كَانَ سَفَرُهُ أَوْ فِي بَحْرٍ، وَسَوَاءٌ كُسِرَ مَرْكَبُهُ أَوْ فُقِدَ بين صفي حرب فهو في هذه الأحوا كلها مفقود وما له عَلَيْهِ مَوْقُوفٌ يَتَصَرَّفُ فِيهِ وُكَلَاؤُهُ وَيُمْنَعُ مِنْهُ وَرَثَتُهُ، فَأَمَّا زَوْجَتُهُ إِذَا بَعُدَ عَهْدُهُ، وَخَفِيَ خَبَرُهُ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Keadaan kedua: yaitu apabila seseorang terputus kabarnya dan tidak diketahui kehidupannya, maka hukumnya, meskipun berbeda-beda keadaannya dalam perjalanannya, tetap satu; baik ia tinggal di negerinya atau setelah ia keluar darinya, baik perjalanannya di darat maupun di laut, baik kapalnya karam atau ia hilang di antara barisan perang, maka dalam semua keadaan ini ia dianggap mafqūd (hilang tak diketahui), dan harta miliknya tetap ditangguhkan, yang mengelolanya adalah para wakilnya dan dicegah dari ahli warisnya. Adapun istrinya, jika telah lama tidak ada kabar darinya dan beritanya tidak diketahui, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ بِحُكْمِ حَاكِمٍ ثُمَّ بِحُكْمِ مَوْتِهِ فِي حَقِّهَا خَاصَّةً ثُمَّ تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، فَإِذَا انْقَضَتْ فَقَدْ حَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ، وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ.

Salah satunya: bahwa ia (istri) menunggu selama empat tahun berdasarkan keputusan hakim, kemudian diputuskan status kematiannya secara khusus untuk istrinya, lalu ia menjalani masa ‘iddah wafat selama empat bulan sepuluh hari. Setelah masa itu selesai, maka ia telah halal untuk menikah lagi. Ini adalah pendapat dalam qaul qadīm dan diikuti oleh para sahabat seperti ‘Umar bin al-Khattāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Abdullāh bin ‘Abbās, dan ‘Abdullāh bin ‘Umar radhiyallāhu ta‘ālā ‘anhum.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ إِلَّا أَنَّ مَالِكًا فَرَّقَ بَيْنَ خُرُوجِهِ لَيْلًا وَنَهَارًا فَجَعَلَهُ مَفْقُودًا إِذَا خَرَجَ لَيْلًا دُونَ النَّهَارِ.

Dan dari kalangan fuqahā’: Mālik, al-Awzā‘ī, Ahmad, dan Ishāq, kecuali Mālik yang membedakan antara kepergian malam dan siang; ia menganggap seseorang sebagai mafqūd jika ia pergi pada malam hari, tidak pada siang hari.

وَوَجْهُ هَذَا الْقَوْلِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا} [البقرة: 231] وَفِي حَبْسِهَا عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالِ إِضْرَارٌ وَعُدْوَانٌ.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan janganlah kamu menahan mereka (para istri) untuk memberi mudharat agar kamu melampaui batas} (QS. al-Baqarah: 231), dan menahan istri dalam keadaan seperti ini adalah mudharat dan tindakan melampaui batas.

وَرَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي لَيْلَى أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ فَقَالَتْ إِنَّ زَوْجِي خَرَجَ إِلَى مَسْجِدِ أَهْلِهِ وَفُقِدَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَتَرَبَّصَ أَرْبَعَ سِنِينَ فَتَرَبَّصَتْ ثُمَّ عَادَتْ فَقَالَ لَهَا اعْتَدِّي أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وعشراً، ففعلت ثم عادت فقالت: قَدْ حَلَلْتُ لِلْأَزْوَاجِ فَتَزَوَّجَتْ فَعَادَ زَوْجُهَا فَأَتَى عُمَرَ فَقَالَ زَوَّجْتَ امْرَأَتِي، فَقَالَ وَمَا ذَاكَ فَقَالَ: غِبْتُ أَرْبَعَ سِنِينَ فَزَوَّجْتَهَا، فَقَالَ: يَغِيبُ أَحَدُكُمْ أَرْبَعَ سِنِينَ فِي غَيْرِ غَزَاةٍ وَلَا تِجَارَةٍ ثُمَّ يَأْتِينِي فَيَقُولُ زَوَّجْتَ امْرَأَتِي، فَقَالَ: خرجت إلى مسجد أهلي فاستلبنني الْجِنُّ فَكُنْتُ مَعَهُمْ فَغَزَاهُمْ جِنٌّ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَوَجَدُونِي مَعَهُمْ فِي الْأَسْرِ، فَقَالُوا مَا دِينُكَ قُلْتُ الْإِسْلَامُ فَخَيَّرُونِي بَيْنَ أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ، وَبَيْنَ الرُّجُوعِ إِلَى أَهْلِي فَاخْتَرْتُ الرُّجُوعَ إِلَى أَهْلِي فَسَلَّمُونِي إِلَى قَوْمٍ فَكُنْتُ أَسْمَعُ بِاللَّيْلِ كَلَامَ الرِّجَالِ وَأَرَى بِالنَّهَارِ مِثْلَ الْغُبَارِ فَأَسِيرُ فِي أَثَرِهِ حَتَّى هَبَطْتُ عِنْدَكُمْ فَخَيَّرَهُ عُمَرُ بَيْنَ أَنْ يَأْخُذَ زَوْجَتَهُ وَبَيْنَ أَنْ يَأْخُذَ مهرها.

Diriwayatkan dari ‘Abd al-Rahmān bin Abī Lailā bahwa seorang wanita datang kepada ‘Umar bin al-Khattāb radhiyallāhu ta‘ālā ‘anhu dan berkata, “Suamiku pergi ke masjid keluarganya lalu hilang.” Maka ‘Umar memerintahkannya untuk menunggu selama empat tahun, lalu ia menunggu. Setelah itu ia kembali, lalu ‘Umar berkata, “Ber‘iddahlah selama empat bulan sepuluh hari.” Ia pun melakukannya, lalu kembali lagi dan berkata, “Aku telah halal untuk menikah.” Maka ia pun menikah. Kemudian suaminya kembali dan mendatangi ‘Umar seraya berkata, “Engkau telah menikahkan istriku.” ‘Umar bertanya, “Apa maksudmu?” Ia menjawab, “Aku pergi selama empat tahun, lalu engkau menikahkannya.” ‘Umar berkata, “Seseorang dari kalian pergi selama empat tahun bukan untuk perang atau berdagang, lalu datang kepadaku dan berkata, ‘Engkau telah menikahkan istriku!’” Ia berkata, “Aku pergi ke masjid keluargaku, lalu jin menculikku. Aku bersama mereka, lalu jin Muslim memerangi mereka dan menemukan aku di antara tawanan. Mereka bertanya, ‘Apa agamamu?’ Aku menjawab, ‘Islam.’ Mereka memberiku pilihan antara tetap bersama mereka atau kembali kepada keluargaku. Aku memilih kembali kepada keluargaku, lalu mereka menyerahkanku kepada suatu kaum. Aku mendengar suara laki-laki di malam hari dan melihat seperti debu di siang hari, maka aku mengikuti jejak itu hingga aku sampai di tempat kalian.” Maka ‘Umar memberikan pilihan kepadanya antara mengambil istrinya kembali atau mengambil maharnya.

وروى عاصم الأحول عن عُثْمَانَ قَالَ: أَتَتِ امْرَأَةٌ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ فَقَالَتِ اسْتَهْوَتِ الْجِنُّ زَوْجَهَا، فَأَمَرَهَا أَنْ تَتَرَبَّصَ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ أَمَرَ وَلِيَّ الَّذِي اسْتَهْوَتْهُ الْجِنُّ أَنْ يُطَلِّقَهَا ثُمَّ أَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَهَذِهِ قَضِيَّةٌ انْتَشَرَتْ فِي الصَّحَابَةِ، وَحُكِمَ بِهَا عَنْ رَأْيِ الْجَمَاعَةِ فَكَانَتْ حُجَّةً، وَلِأَنَّ الْفَسْخَ لَمَّا اسْتُحِقَّ بِالْعُنَّةِ وَهُوَ فَقْدُ الِاسْتِمْتَاعِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى النَّفَقَةِ، وَاسْتُحِقَّ بِالْإِعْسَارِ وَهُوَ فَقْدُ النَّفَقَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ، فَلِأَنْ تُسْتَحَقُّ بِغَيْبَةِ الْمَفْقُودِ، وَهُوَ جَامِعٌ بَيْنَ فَقْدِ الِاسْتِمْتَاعِ وَفَقْدِ النَّفَقَةِ، أَوْلَى.

Diriwayatkan dari ‘Āshim al-Ahwal dari ‘Utsmān, ia berkata: Seorang wanita datang kepada ‘Umar bin al-Khattāb radhiyallāhu ta‘ālā ‘anhu dan berkata, “Jin telah menculik suamiku.” Maka ‘Umar memerintahkannya untuk menunggu selama empat tahun, kemudian memerintahkan wali dari suaminya yang diculik jin itu untuk menceraikannya, lalu memerintahkannya untuk ber‘iddah selama empat bulan sepuluh hari. Kisah ini tersebar di kalangan para sahabat dan diputuskan berdasarkan pendapat jamaah, sehingga menjadi hujjah. Karena fasakh (pembatalan nikah) dibolehkan karena ‘innah (impotensi), yaitu hilangnya kenikmatan dengan tetap adanya kemampuan memberi nafkah, dan dibolehkan karena ‘isār (tidak mampu memberi nafkah), yaitu hilangnya nafkah dengan tetap adanya kemampuan memberi kenikmatan, maka lebih utama jika dibolehkan karena ghaibnya mafqūd, yang mengumpulkan antara hilangnya kenikmatan dan hilangnya nafkah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إنَّهَا بَاقِيَةٌ عَلَى الزَّوْجَةِ مَحْبُوسَةٌ عَلَى قُدُومِ الزَّوْجِ، وَإِنْ طَالَتْ غَيْبَتُهُ مَا لَمْ يَأْتِهَا يَقِينُ مَوْتِهِ وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ.

Pendapat kedua: bahwa ia (istri) tetap berstatus sebagai istri dan terikat menunggu kedatangan suaminya, meskipun suaminya lama tidak kembali, selama belum ada kepastian tentang kematiannya. Ini adalah pendapat dalam qaul jadīd.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: أَبُو حَنِيفَةَ وَالْعِرَاقِيُّونَ.

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: ‘Ali bin Abi Thalib, dan dari kalangan fuqaha: Abu Hanifah dan para ulama Irak.

وَوَجْهُ مَا رَوَاهُ سَوَّارُ بْنُ مُصْعَبٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ امْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْتِيَهَا الْخَبَرُ ذَكَرَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ فِي سُنَنِهِ.

Dasar pendapat ini adalah riwayat Swwar bin Mush‘ab dari Muhammad bin Syurahbil dari al-Mughirah bin Syu‘bah, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Istri orang yang hilang tetap berstatus istrinya sampai datang kabar tentangnya.” Hal ini disebutkan oleh ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya.

وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ مِثْلَ ذَلِكَ، وَهُوَ نَصٌّ إِنْ ثَبَتَ، وَلِأَنَّ مَنْ جُهِلَ مَوْتُهُ لَمْ يُحْكَمْ بِوَفَاتِهِ كَمَنْ غَابَ أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْوَفَاةِ فِي مَالِهِ مَعَ الْجَهْلِ بِحَيَاتِهِ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْحَيَاةِ فِي زَوْجَاتِهِ كَمَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْحَيَاةِ فِي أُمَّهَاتِ أَوْلَادِهِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ غَابَتِ الزَّوْجَةُ حَتَّى خَفِيَ خَبَرُهَا لَمْ يُجْزِهَا أَنْ يُحْكَمَ بِمَوْتِهَا فِي إِبَاحَةِ أُخْتِهَا لِزَوْجِهَا، وَنِكَاحِ أَرْبَعٍ سِوَاهَا كَذَلِكَ غَيْبَةُ الزَّوْجِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَرَى عَلَيْهِ فِي غَيْبَتِهِ حُكْمُ طَلَاقِهِ، وَظِهَارِهِ جَرَى عَلَيْهَا حُكْمُ الزَّوْجِيَّةِ فِي تَحْرِيمِهَا عَلَى غَيْرِهِ، فَأَمَّا حَدِيثُ عُمَرَ فَقَدْ رُوِيَ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْ قَضِيَّتِهِ حِينَ رَجَعَ الزَّوْجُ، وَكَذَلِكَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعُثْمَانُ فَصَارَ إِجْمَاعًا بَعْدَ خِلَافٍ، وَالِاعْتِبَارُ بِالْعُنَّةِ وَالْإِعْسَارِ مَعَ فَسَادِهِ بِغَيْبِهِ الْمَعْرُوفِ حَيَاتِهِ، فَالْمَعْنَى فِي الْعُنَّةِ: نَقْصُ الْخِلْقَةِ، وَفِي الْإِعْسَارِ وَمَا أُلْزِمَهُ، وَهُمَا مَفْقُودَانِ فِي الْمَفْقُودِ بِسَلَامَةِ خِلْقَتِهِ وَصِحَّةِ ذمته.

Ibnu ‘Abbas juga meriwayatkan hal yang serupa, dan itu merupakan nash jika memang sahih. Sebab, siapa pun yang tidak diketahui kematiannya, tidak diputuskan sebagai telah wafat, sebagaimana orang yang menghilang kurang dari empat tahun. Dan karena ketika hukum kematian berlaku atas hartanya dalam keadaan tidak diketahui kehidupannya, maka hukum kehidupan tetap berlaku atas istrinya, sebagaimana hukum kehidupan juga berlaku atas ibu-ibu anaknya. Jika istri yang menghilang hingga tidak diketahui beritanya, tidak cukup untuk diputuskan kematiannya dalam rangka membolehkan saudara perempuannya dinikahi oleh suaminya, dan membolehkan menikahi empat wanita selain dirinya, maka demikian pula halnya dengan suami yang menghilang. Dan karena ketika dalam masa menghilangnya berlaku hukum talak dan zhihar atasnya, maka tetap berlaku hukum sebagai suami dalam hal pengharaman istri atas laki-laki lain. Adapun hadis ‘Umar, diriwayatkan bahwa beliau menarik kembali keputusannya ketika suami tersebut kembali, demikian pula Ibnu ‘Abbas dan ‘Utsman, sehingga akhirnya menjadi ijmā‘ setelah sebelumnya terjadi perbedaan pendapat. Pertimbangan pada kasus ‘innah (impotensi) dan i‘sar (ketidakmampuan memberi nafkah) menjadi tidak relevan karena dalam kasus orang yang hilang, diketahui masih hidup. Makna pada kasus ‘innah adalah kekurangan fisik, dan pada i‘sar adalah ketidakmampuan dan kewajiban yang harus dipenuhi, sementara keduanya tidak terdapat pada orang yang hilang karena ia sehat secara fisik dan tanggungannya masih berlaku.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ تفرع الحكم عليهما، فإذا قبل بِالْأَوَّلِ مِنْهُمَا أَنَّهَا تَتَرَبَّصُ بِنَفْسِهَا أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ فَإِنَّمَا تَقَدَّرَتْ مُدَّةُ التَّرَبُّصِ بِأَرْبَعِ سِنِينَ؛ لِأَنَّهَا مُدَّةُ أَكْثَرِ الْعَمَلِ الَّذِي يَتَحَقَّقُ فِيهِ بَرَاءَةُ الرَّحِمِ ثُمَّ أُلْزِمَتْ عِدَّةَ الْوَفَاةِ لِأَمْرَيْنِ:

Setelah dipaparkan dua pendapat yang telah disebutkan, maka hukum bercabang dari keduanya. Jika mengikuti pendapat pertama, maka istri harus menunggu selama empat tahun, kemudian menjalani masa ‘iddah wafat. Penetapan masa menunggu selama empat tahun karena itu adalah masa terlama yang diyakini dapat memastikan rahim telah bersih, kemudian ia diwajibkan menjalani ‘iddah wafat karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَغْلَبَ مِنْ حَالِ الْمَفْقُودِ مَوْتُهُ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى طَلَاقٍ، فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ أَمَرَ عُمَرُ وَلِيَّ الْمَفْقُودِ أن يطلق قبل لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ فِعْلُ ذَلِكَ اسْتِظْهَارًا، لِأَنَّ الْمَحْكُومَ بِمَوْتِهِ لَا تَقِفُ فُرْقَةُ زَوْجَتِهِ عَلَى طَلَاقِ غَيْرِهِ.

Pertama: Kebanyakan keadaan orang yang hilang adalah telah wafat, sehingga tidak perlu talak. Jika ada yang berkata: Umar memerintahkan wali orang yang hilang untuk mentalaknya terlebih dahulu, maka itu boleh jadi hanya sebagai tindakan kehati-hatian, karena orang yang telah diputuskan wafat, perpisahan istrinya tidak bergantung pada talak orang lain.

وَالثَّانِي: أَنَّ مَا سِوَى عِدَّةِ الْوَفَاةِ اسْتِبْرَاءٌ، لِأَنَّهَا لَا تَجِبُ عَلَى غَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا، وَقَدِ اسْتَبْرَأَتْ هَذِهِ نَفْسَهَا بِأَرْبَعِ سِنِينَ فَلَمْ تَحْتَجْ إِلَى الِاسْتِبْرَاءِ، وَأُلْزِمَتْ عِدَّةَ الْوَفَاةِ إِحْدَادًا. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَوَّلُ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ مِنْ وَقْتِ حُكْمِ الْحَاكِمِ لَهَا بِالتَّرَبُّصِ.

Kedua: Selain ‘iddah wafat, masa tunggu itu adalah untuk memastikan rahim bersih, karena masa tersebut tidak diwajibkan bagi wanita yang belum pernah digauli. Wanita ini telah memastikan kebersihan rahimnya dengan menunggu selama empat tahun, sehingga tidak perlu lagi masa istibra’, dan ia diwajibkan menjalani ‘iddah wafat sebagai bentuk berkabung. Dengan demikian, awal masa menunggu dihitung sejak hakim memutuskan ia harus menunggu.

وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ:

Pendapat ini juga dipegang oleh al-Auza‘i.

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: أَوَّلُهَا مِنْ وَقْتِ الْغَيْبَةِ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Ahmad bin Hanbal berkata: Awal masa menunggu dihitung sejak suami menghilang, dan ini tidak tepat dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَمَرَهَا بِالتَّرَبُّصِ مِنْ وَقْتِ قَضَائِهِ وَالْعَمَلِ فِيهَا عَلَى قَوْلِهِ.

Pertama: Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ta‘ala ‘anhu memerintahkan istri untuk menunggu sejak waktu ia memutuskan perkara tersebut, dan praktiknya pun mengikuti pendapat beliau.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا مُدَّةٌ تَقَدَّرَتْ بِاجْتِهَادٍ فَاقْتَضَى أَنْ تَتَقَدَّرَ بِالْحُكْمِ كَأَجَلِ الْعُنَّةِ، وَخَالَفَتْ مُدَّةُ الْإِيلَاءِ الْمُقَدَّرَةُ بِالنَّصِّ، فَإِذَا انْقَضَتِ الْمُدَّةُ بَعْدَ حُكْمِ الْحَاكِمِ بِهَا وَتَقَدُّرِهَا، فَهَلْ يَكُونُ ذَلِكَ حُكْمًا بِوَفَاتِهِ أَمْ يَحْتَاجُ إِلَى اسْتِئْنَافِ حُكْمٍ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُحْتَمَلَيْنِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْحُكْمِ بِتَقْدِيرِ الْمُدَّةِ حُكْمٌ بِالْمَوْتِ بَعْدَ انْقِضَاءِ تِلْكَ الْمُدَّةِ لِأَنَّهُ مَقْصُودُ التَّقْدِيرِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا انْقَضَتْ تِلْكَ الْمُدَّةُ لَمْ يَلْزَمْهَا مُعَاوَدَةُ الْحَاكِمِ وَصَارَتْ دَاخِلَةً فِي الْعِدَّةِ بَعْدَ انْقِضَائِهَا، فَإِذَا اقْتَضَتْ عِدَّتَهَا حَلَّتْ.

Kedua: Bahwa masa tersebut adalah suatu jangka waktu yang ditetapkan berdasarkan ijtihad, sehingga menuntut untuk ditetapkan pula dengan hukum, seperti halnya batas waktu ‘unnah. Hal ini berbeda dengan masa ila’ yang telah ditetapkan secara nash. Maka, apabila masa tersebut telah berlalu setelah hakim memutuskan dan menetapkannya, apakah hal itu dianggap sebagai putusan kematian, ataukah masih memerlukan penetapan hukum yang baru? Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan. Pertama: bahwa keputusan sebelumnya yang menetapkan masa tersebut merupakan putusan kematian setelah masa itu berakhir, karena itulah tujuan dari penetapan masa tersebut. Maka, menurut pendapat ini, jika masa itu telah berlalu, tidak wajib lagi bagi perempuan tersebut untuk kembali kepada hakim, dan ia telah masuk dalam masa iddah setelah masa itu berakhir. Jika masa iddahnya selesai, maka ia menjadi halal (untuk menikah lagi).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَكُونُ الْحُكْمُ بِتَقْدِيرِ الْمُدَّةِ حُكْمًا بِالْمَوْتِ بَعْدَ انْقِضَائِهَا حَتَّى يَحْكُمَ لَهَا الْحَاكِمُ بِمَوْتِهِ؛ لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ اسْتَأْنَفَ حُكْمَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ؛ وَلِأَنَّ الْحُكْمَ بِأَجْلِ الْعُنَّةِ لَا يَكُونُ حُكْمًا بِالْفُرْقَةِ حَتَّى يَحْكُمَ بِهَا الْحَاكِمُ كَذَلِكَ الْحُكْمُ بِأَجْلِ الْغَيْبَةِ، فَعَلَى هَذَا لَا تَدْخُلُ فِي الْعِدَّةِ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ إِلَّا بِأَنْ يَحْكُمَ لَهَا الْحَاكِمُ بِمَوْتِهِ فتقع الفرقة ما حُكِمَ بِهِ مِنَ الْمَوْتِ ثُمَّ تَدْخُلُ بَعْدَ حُكْمِهِ فِي الْعِدَّةِ وَتَحِلُّ حِينَئِذٍ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَإِذَا حُكِمَ بِالْفُرْقَةِ عَلَى مَا وَصَفْنَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُقُوعِهَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah bahwa penetapan masa tersebut bukanlah putusan kematian setelah masa itu berakhir, kecuali jika hakim memutuskan kematiannya; karena Umar radhiyallahu ta‘ala ‘anhu memulai kembali penetapan hukumnya setelah masa itu berakhir. Juga karena penetapan batas waktu ‘unnah tidak dianggap sebagai putusan perpisahan sampai hakim memutuskannya, demikian pula penetapan batas waktu bagi orang yang ghaib. Maka, menurut pendapat ini, perempuan tersebut tidak masuk dalam masa iddah setelah masa itu berakhir kecuali jika hakim memutuskan kematian suaminya, sehingga perpisahan terjadi berdasarkan putusan kematian tersebut, lalu setelah putusan itu ia masuk dalam masa iddah dan menjadi halal setelah iddahnya selesai. Jika telah diputuskan perpisahan sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai terjadinya perpisahan itu secara lahir dan batin dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَقَعُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا حَتَّى إِنْ قَدِمَ الزَّوْجُ حَيًّا لَمْ يَبْطُلْ بِهِ النكاح.

Salah satunya: bahwa perpisahan itu terjadi secara lahir dan batin, sehingga jika suaminya datang kembali dalam keadaan hidup, maka pernikahan tidak menjadi batal karenanya.

وَالثَّانِي: لِأَنَّ لِلْحَاكِمِ مَدْخَلًا فِي إِيقَاعِ الْفُرْقَةِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ.

Yang kedua: karena hakim memiliki peran dalam menetapkan perpisahan antara suami istri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَقَعُ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ فَإِنْ قَدِمَ الزَّوْجُ حَيًّا بَطَلَ نِكَاحُ الثَّانِي، لِأَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ لَا يُحِيلُ الْأُمُورَ عَمَّا هِيَ عَلَيْهِ، وَفِعْلُ عُمَرَ رضي الله تعالى عنه حين خبر الْأَوَّلَ يَدُلُّ عَلَى احْتِمَالِ الْوَجْهَيْنِ، فَهَذَا حُكْمُ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ، وَإِذَا قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّهَا بَاقِيَةٌ عَلَى الزَّوْجِيَّةِ وَمَحْبُوسَةٌ عَلَى نِكَاحِهِ حَتَّى يُعْرَفَ يَقِينُ مَوْتِهِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ الَّذِي يُعْمَلُ عَلَيْهِ فَإِنْ نَكَحَتْ قَبْلَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ أَوْ بَعْدَهَا كَانَ نِكَاحُهَا بَاطِلًا، وَعَلَى هَذَا لَوْ حَكَمَ لَهَا الْحَاكِمُ بِالْمُدَّةِ قَضَى بَعْدَ انْقِضَائِهَا بِالْفُرْقَةِ فَفِي نَقْضِ حُكْمِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: bahwa perpisahan itu terjadi secara lahir saja, tidak secara batin. Maka jika suaminya datang kembali dalam keadaan hidup, pernikahan dengan suami kedua menjadi batal, karena putusan hakim tidak mengubah hakikat sesuatu dari keadaan aslinya. Perbuatan Umar radhiyallahu ta‘ala ‘anhu ketika mengetahui keadaan suami pertama menunjukkan kemungkinan kedua pendapat tersebut. Inilah hukum menurut pendapat pertama. Adapun jika diambil pendapat kedua, bahwa perempuan itu tetap berstatus sebagai istri dan terikat dengan pernikahan suaminya sampai diketahui secara pasti kematiannya, dan inilah pendapat yang benar dan diamalkan. Maka jika ia menikah sebelum masa penantian atau sesudahnya, pernikahannya batal. Berdasarkan hal ini, jika hakim memutuskan masa penantian baginya, lalu setelah masa itu berlalu hakim memutuskan perpisahan, maka dalam pembatalan putusan hakim terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُنْقَضُ لِنُفُوذِهِ عَنِ اجْتِهَادٍ مُسَوِّغٍ وَخِلَافٍ مُنْتَشِرٍ

Salah satunya: tidak dibatalkan karena putusan tersebut sah berdasarkan ijtihad yang dibenarkan dan adanya perbedaan pendapat yang tersebar.

والوجه الثاني: أن حكمه ينقض وقضاؤه يُرَدُّ، لِأَنَّ الْمَرْوِيَّ مِنْ رُجُوعِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَدْ رَفَعَ الْخِلَافَ وَعَقَدَ الْإِجْمَاعَ، وَلِأَنَّ الْقِيَاسَ فِيهِمَا قَوِيٌّ لَا يُحْتَمَلُ خلافه والله أعلم.

Pendapat kedua: bahwa putusan hakim tersebut dibatalkan dan keputusannya ditolak, karena riwayat tentang rujuknya Umar radhiyallahu ta‘ala ‘anhu telah menghilangkan perbedaan pendapat dan menetapkan ijma‘, serta karena qiyās dalam masalah ini sangat kuat sehingga tidak mungkin ada perbedaan pendapat. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ طَلَّقَهَا وَهُوَ خَفِيُّ الْغَيْبَةِ أَوْ آلَى مِنْهَا أَوْ تَظَاهَرَ أَوْ قَذَفَهَا لَزِمَهُ مَا يَلْزَمُ الزَّوْجَ الْحَاضِرَ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia menceraikannya sementara ia dalam keadaan ghaib yang tidak diketahui beritanya, atau melakukan ila’, atau zihar, atau menuduhnya (qadzaf), maka ia wajib menanggung apa yang wajib ditanggung oleh suami yang hadir.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ لَا يَخْلُو مَا فَعَلَهُ الزَّوْجُ فِي غَيْبَتِهِ الَّتِي خَفِيَ فِيهَا خَبَرُهُ مِنْ طَلَاقٍ، وَظِهَارٍ، وَإِيلَاءٍ وَقَذْفٍ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, apa yang dilakukan suami dalam masa ghaibnya yang tidak diketahui beritanya, baik berupa talak, zihar, ila’, maupun qadzaf, tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ تَفْرِيقِ الْحَاكِمِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ أَوْ بَعْدَهُ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَهُ فَكُلُّ ذلك نافد يَلْزَمُهُ الطَّلَاقُ، وَالظِّهَارُ، وَتَجِبُ فِيهِ الْكَفَّارَةُ بِالْعَوْدِ وَيُؤْخَذُ بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ وَوَقْفِ الْمُدَّةِ وَيَلْزَمُهُ الْقَذْفُ وَلَهُ نَفْيُهُ بِاللِّعَانِ وَيَكُونُ فِعْلُهُ لِذَلِكَ فِي غَيْبَتِهِ كَفِعْلِهِ فِي حُضُورِهِ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ بَعْدَ تَفْرِيقِ الْحَاكِمِ بَيْنِهِ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ بَعْدَ أَرْبَعِ سِنِينَ وَأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ فَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ قِيلَ بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهَا مَوْقُوفَةٌ عَلَى الزَّوْجِ أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ يَقِينُ مَوْتِهِ فَحُكْمُ الْحَاكِمِ بِالْفُرْقَةِ قَدْ بَطَلَ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ تَيَقَّنَ حَيَاتَهُ فَصَارَ كَحُكْمِهِ، مُجْتَهِدًا إِذَا خَالَفَ فِيهِ نَصًّا، وَلَا يَكُونُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي نَقْضِ حُكْمِهِ، لِأَنَّ الْوَجْهَيْنِ فِي نَقْضِهِ مَعَ بَقَاءِ الْإِشْكَالِ لَا مَعَ ارْتِفَاعِهِ، فَعَلَى هَذَا يُؤْخَذُ بِحُكْمِ طَلَاقِهِ، وَظِهَارِهِ، وَإِيلَائِهِ، وَقَذْفِهِ. وَإِنْ قِيلَ: بِقَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ الْفُرْقَةَ وَاقِعَةٌ بِحُكْمِ الْحَاكِمِ كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي نُفُوذِ حُكْمِهِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا.

Bisa jadi hal itu terjadi sebelum hakim memisahkan antara dia dan istrinya, atau setelahnya. Jika itu terjadi sebelumnya, maka semuanya berlaku: ia tetap wajib menanggung talak, zhihār, dan wajib membayar kafārah jika kembali, serta dikenai hukum ila’ dan penetapan masa tunggu, dan ia tetap terkena hukum qazaf, dan ia berhak menafikan (anak) dengan li‘ān. Perbuatannya dalam keadaan tidak hadir sama dengan perbuatannya saat hadir. Namun jika itu terjadi setelah hakim memisahkan antara dia dan istrinya, setelah empat tahun, empat bulan, dan sepuluh hari, maka hal itu didasarkan pada dua pendapat yang telah kami sebutkan. Jika mengikuti pendapat Imam Syafi‘i dalam qaul jadid bahwa status istri tetap tergantung pada suami selamanya hingga dipastikan kematiannya, maka keputusan hakim tentang perpisahan menjadi batal, karena sebelumnya telah diyakini bahwa suami masih hidup, sehingga hukumnya seperti ijtihad hakim yang bertentangan dengan nash. Tidak berlaku seperti dua wajah (pendapat) yang kami sebutkan tentang pembatalan keputusan hakim, karena dua wajah itu berlaku jika masih ada keraguan, bukan jika keraguan telah hilang. Dengan demikian, ia tetap dikenai hukum talak, zhihār, ila’, dan qazaf. Namun jika mengikuti pendapat Imam Syafi‘i dalam qaul qadim bahwa perpisahan terjadi dengan keputusan hakim, maka ada dua wajah, sesuai perbedaan dua pendapat tentang berlakunya keputusan hakim secara lahir dan batin.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّ حُكْمَهُ قَدْ نَفَذَ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ كَانَ حُكْمُهُ إِذَا بَانَتْ حَيَاةُ الزَّوْجِ بَاطِنًا وَالزَّوْجُ مَأْخُوذٌ بِحُكْمِ طَلَاقِهِ وَظِهَارِهِ وَإِيلَائِهِ وَلِعَانِهِ وَقَذْفِهِ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّ حُكْمَهُ قَدْ نَفَذَ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ صَحَّ حُكْمُهُ مَعَ حَيَاةِ الزَّوْجِ وَمَوْتِهِ وَلَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ وَلَا ظهاره، ولا إيلائه وَيُحَدُّ مِنْ قَذْفِهِ وَلَا يَلْتَعِنُ.

Jika dikatakan bahwa keputusannya berlaku secara lahir saja, tidak secara batin, maka apabila diketahui suami masih hidup, secara batin suami tetap dikenai hukum talak, zhihār, ila’, li‘ān, dan qazaf. Namun jika dikatakan keputusannya berlaku secara lahir dan batin, maka keputusannya sah baik suami masih hidup maupun sudah wafat, dan talak, zhihār, dan ila’ tidak terjadi, ia hanya dikenai hukuman qazaf dan tidak boleh melakukan li‘ān.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اعْتَدَّتْ بِأَمْرِ حَاكِمٍ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا أَوْ نَكَحَتْ وَدَخَلَ بِهَا الزَّوْجُ كَانَ حُكْمُ الزَّوْجِيَّةِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ زَوْجِهَا الْأَوَّلِ بِحَالِهِ غَيْرَ أَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ فَرْجِهَا بِوَطْءِ شُبْهَةٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang wanita menjalani masa iddah atas perintah hakim selama empat tahun, kemudian empat bulan sepuluh hari, atau ia menikah dan suami barunya telah menggaulinya, maka status pernikahan antara dia dan suami pertamanya tetap seperti semula, hanya saja suami pertama dilarang menggaulinya karena adanya syubhat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ زَوْجَةَ الْمَفْقُودِ إِذَا تَزَوَّجَتْ بَعْدَ أَنْ حَكَمَ لَهَا الْحَاكِمُ بِفَسْخِ نِكَاحِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَدِمَ الْأَوَّلُ حَيًّا أَنَّ الْمَذَاهِبَ فِيهِ مُخْتَلِفَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, jika istri dari orang yang hilang menikah lagi setelah hakim memutuskan fasakh atas pernikahan pertamanya, kemudian suami pertama datang dalam keadaan hidup, maka pendapat para ulama dalam masalah ini berbeda-beda.

فَمَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ أَنَّ الْأَوَّلَ يَكُونُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَنْزِعَهَا مِنَ الثَّانِي وَبَيْنَ أَنْ يُقِرَّهَا عَلَيْهِ، وَيَأْخُذَ مِنْهُ مَهْرَ مِثْلِهَا، لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ خَيَّرَ الْمَفْقُودَ حِينَ قَدِمَ بَيْنَ زَوْجَتِهِ أَوْ مَهْرِ مِثْلِهَا، وَهَذَا التَّخْيِيرُ فَاسِدٌ، لِأَنَّهَا لَا يَخْلُو أَنْ تَكُونَ زَوْجَةً لِلْأَوَّلِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَقِرَّ مَعَ الثَّانِي، أَوْ تَكُونَ زَوْجَةً لِلثَّانِي فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْتَزِعَهَا الْأَوَّلُ، وَإِذَا بَطَلَ التَّخْيِيرُ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ كَانَ النِّكَاحُ مَحْمُولًا عَلَى صِحَّةِ نِكَاحِ الثَّانِي وَفَسَادِهِ، فَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ نِكَاحُ الثَّانِي وَهِيَ زَوْجَةٌ لِلْأَوَّلِ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الثَّانِي، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ دَخَلَ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَحَلَّتْ لِلْأَوَّلِ مِنْ وَقْتِهَا وَإِنْ دَخَلَ بِهَا الثَّانِي فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَكَانَ وَطْءَ شُبْهَةٍ يُوجِبُ لَهَا مَهْرَ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَى الْأَوَّلِ مَا لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا، فَإِذَا انْقَضَتْ حَلَّتْ لَهُ فَأَمَّا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِذَا قَدِمَ الْأَوَّلُ حَيًّا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي نِكَاحِ الْأَوَّلِ بَعْدَ حُكْمِ الْحَاكِمِ بِفَسْخِهِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:

Maka mazhab Mālik dan Ahmad rahimahumallāh adalah bahwa suami pertama memiliki hak memilih antara menceraikannya dari suami kedua atau membiarkannya tetap bersama suami kedua dan mengambil dari suami kedua mahar yang sepadan dengannya. Hal ini karena ‘Umar raḍiyallāhu ta‘ālā ‘anhu memberikan pilihan kepada orang yang hilang ketika ia kembali antara istrinya atau mahar yang sepadan dengannya. Namun, pilihan ini dianggap tidak sah, karena tidak lepas dari dua kemungkinan: jika ia masih menjadi istri pertama, maka tidak boleh tetap bersama suami kedua; atau jika ia menjadi istri kedua, maka tidak boleh diambil kembali oleh suami pertama. Jika pilihan ini batal dari sisi ini, maka pernikahan tersebut dianggap berdasarkan keabsahan atau kebatalan nikah suami kedua. Maka menurut pendapat al-Syāfi‘ī dalam pendapat barunya, nikah suami kedua batal dan ia tetap menjadi istri suami pertama, lalu dilihat keadaan suami kedua: jika belum berhubungan dengannya, maka dipisahkan dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya, dan ia halal bagi suami pertama sejak saat itu. Namun jika suami kedua telah berhubungan dengannya, maka dipisahkan dan hubungan tersebut dianggap sebagai hubungan syubhat yang mewajibkan mahar mitsil (mahar sepadan) baginya, bukan mahar yang telah ditentukan, dan ia wajib menjalani masa ‘iddah serta haram bagi suami pertama hingga selesai masa ‘iddahnya. Jika telah selesai masa ‘iddah, maka ia halal bagi suami pertama. Adapun menurut pendapat al-Syāfi‘ī dalam pendapat lamanya, jika suami pertama datang dalam keadaan hidup, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai status pernikahan suami pertama setelah adanya keputusan hakim untuk membatalkannya, menjadi empat pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَعْنَى حُكْمٍ الْحَاكِمِ هَلْ نَفَذَ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ أَوْ نَفَذَ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ مَعًا فَإِنْ قِيلَ بِنُفُوذِهِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ مَعًا فَقَدْ بَطَلَ نِكَاحُ الْأَوَّلِ سَوَاءٌ كَانَ حَيًّا أَوْ مَيِّتًا، وَيَكُونُ نِكَاحُ الثَّانِي صَحِيحًا.

Pertama: Ini adalah pendapat mayoritas ulama kami, bahwa hal ini dikembalikan pada makna keputusan hakim, apakah berlaku secara lahiriah saja atau berlaku secara lahiriah dan batiniah sekaligus. Jika dikatakan berlaku secara lahiriah dan batiniah sekaligus, maka pernikahan suami pertama batal, baik ia masih hidup maupun sudah meninggal, dan pernikahan suami kedua menjadi sah.

وَإِنْ قِيلَ: بِنُفُوذِهِ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ فَنِكَاحُ الْأَوَّلِ ثَابِتٌ سَوَاءٌ نَكَحَتْ بَعْدَهُ أَوْ لَمْ تَنْكِحْ لِزَوَالِ الظَّاهِرِ مَعَ وُجُودِ الْحَيَاةِ، وَيَكُونُ نِكَاحُ الثَّانِي بَاطِلًا.

Dan jika dikatakan: berlaku secara lahiriah saja, maka pernikahan suami pertama tetap sah, baik istrinya menikah lagi setelahnya atau tidak, karena hilangnya hukum lahiriah dengan adanya kehidupan, dan pernikahan suami kedua batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ نِكَاحَ الْأَوَّلِ ثَابِتٌ فِي الْحَالَيْنِ لِأَنَّ عِلَّةَ الْفَسْخِ تَغْلِيبُ حُكْمِ الْمَوْتِ، وَقَدْ بَطَلَتْ مَعَ وُجُودِ الْحَيَاةِ سَوَاءٌ تَزَوَّجَتْ أَوْ لَمْ تَتَزَوَّجْ.

Pendapat kedua: Diriwayatkan dari Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah bahwa pernikahan suami pertama tetap sah dalam kedua keadaan, karena alasan pembatalan adalah menguatkan hukum kematian, dan alasan itu batal dengan adanya kehidupan, baik istrinya menikah lagi atau tidak.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ نِكَاحَ الْأَوَّلِ بَاطِلٌ فِي الْحَالَيْنِ، لِأَنَّ عِلَّةَ الْفَسْخِ انْقِطَاعُ خَبَرِهِ، وَعَدَمُ الْعِلْمِ بِأَثَرِهِ، وَهَذِهِ الْعِلَّةِ مَوْجُودَةٌ، وَإِنْ بَانَ حَيًّا مِنْ بَعْدُ سَوَاءٌ تَزَوَّجَتْ أو لم تَتَزَوَّجْ فَإِنْ تَزَوَّجَتْ كَانَ نِكَاحُ الثَّانِي صَحِيحًا سَوَاءٌ بَانَتْ حَيَاةُ الْأَوَّلِ أَوْ مَوْتُهُ.

Pendapat ketiga: Bahwa pernikahan suami pertama batal dalam kedua keadaan, karena alasan pembatalan adalah terputusnya kabar tentangnya dan tidak diketahui keberadaannya, dan alasan ini tetap ada meskipun kemudian ternyata ia masih hidup, baik istrinya menikah lagi atau tidak. Jika istrinya menikah lagi, maka pernikahan suami kedua sah, baik kemudian diketahui suami pertama hidup atau telah meninggal.

وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: حَكَاهُ الدَّارِكِيُّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ نِكَاحَ الْأَوَّلِ ثَابِتٌ إِنْ لَمْ تَتَزَوَّجْ بِغَيْرِهِ وَبَاطِلٌ إِنْ تَزَوَّجَتْ بِغَيْرِهِ، لِأَنَّ مَقْصُودَ الْحُكْمِ بِفَسْخِ نِكَاحِهِ لِتَتَزَوَّجَ بِغَيْرِهِ فَإِذَا وُجِدَ الْمَقْصُودُ اسْتَقَرَّ الْحُكْمُ، وَإِذَا لَمْ يُوجَدْ لَمْ يَسْتَقِرَّ كَالْمُتَيَمِّمِ مَقْصُودُهُ فِعْلُ الصَّلَاةِ فَإِذَا وُجِدَ الْمَاءُ بَعْدَ دُخُولِهِ فِيهَا اسْتَقَرَّ حُكْمُهُ، وَإِذَا وُجِدَ قَبْلَ الدُّخُولِ فِيهَا بَطَلَ، فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ الْأَرْبَعَةِ تخَرِّجُ مِنْهَا فِي نِكَاحِ الْأَوَّلِ وَجْهَانِ:

Pendapat keempat: Diriwayatkan oleh al-Dārakī dari Abū Isḥāq al-Marwazī bahwa pernikahan suami pertama tetap sah jika istrinya tidak menikah dengan laki-laki lain, dan batal jika ia menikah dengan laki-laki lain. Karena tujuan dari keputusan pembatalan nikahnya adalah agar ia dapat menikah dengan laki-laki lain. Jika tujuan itu tercapai, maka keputusan itu tetap berlaku, dan jika tidak tercapai maka tidak tetap, seperti orang yang bertayamum, tujuannya adalah untuk melaksanakan shalat. Jika air ditemukan setelah ia masuk dalam shalat, maka hukum tayamumnya tetap, dan jika ditemukan sebelum masuk shalat maka batal. Maka setelah dijelaskan empat pendapat ini, dapat diambil dua kesimpulan dalam masalah pernikahan suami pertama:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ عَلَى تَفْصِيلِ الْوُجُوهِ الْمَذْكُورَةِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ نِكَاحُ الثَّانِي صَحِيحًا وَعَلَيْهِ الْمَهْرُ الْمُسَمَّى لِلزَّوْجَةِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ لِلْأَوَّلِ، وَحَكَى الْكَرَابِيسِيُّ أَنَّ عَلَيْهِ لِلْأَوَّلِ مَهْرَ مِثْلِهَا، وَأَنْكَرَهُ سَائِرُ أَصْحَابِنَا عَلَيْهِ.

Pertama: Batal, dengan rincian sebagaimana pendapat-pendapat yang telah disebutkan. Dengan demikian, pernikahan suami kedua menjadi sah dan ia wajib memberikan mahar yang telah ditentukan kepada istri, dan tidak ada kewajiban apa pun kepada suami pertama. Al-Karābīsī meriwayatkan bahwa suami kedua wajib memberikan mahar mitsil kepada suami pertama, namun seluruh ulama kami selainnya mengingkari pendapat ini.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ نِكَاحَ الْأَوَّلِ ثَابِتٌ عَلَى تَفْصِيلِ الْوُجُوهِ الْمَذْكُورَةِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ نِكَاحُ الثَّانِي بَاطِلًا وَفِي زَمَانِ بُطْلَانِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Bahwa pernikahan dengan suami pertama tetap sah, dengan rincian sebagaimana telah disebutkan. Maka berdasarkan hal ini, pernikahan dengan suami kedua menjadi batal, dan dalam masa batalnya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ وَقَعَ بَاطِلًا حِينَ الْعَقْدِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَيْهِ إِنْ دَخَلَ بِهَا مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، لِأَنَّ النِّكَاحَ لَا يَنْعَقِدُ مَوْقُوفًا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا.

Salah satunya: Bahwa pernikahan itu batal sejak akad, sehingga jika suami kedua telah menggaulinya, maka ia wajib membayar mahar mitsil, bukan mahar yang telah disebutkan, karena pernikahan tidak bisa digantungkan (muallaq), dan tidak ada kewajiban apapun jika belum menggaulinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ نِكَاحَ الثَّانِي صَحِيحٌ وَقْتَ الْعَقْدِ، وَبَاطِلٌ عِنْدَ الْعِلْمِ بِحَيَاةِ الْأَوَّلِ كَالْغَاصِبِ إِذَا غَرِمَ قِيمَةَ الْعَبْدِ بَعْدَ إِبَاقِهِ، أَوِ الْجَانِي إِذَا غَرِمَ دِيَةَ الْعَيْنِ بَعْدَ بَيَاضِهَا ثُمَّ وُجِدَ الْعَبْدُ، وَبَرَأَتِ الْعَيْنُ رُدَّتِ الْقَيِّمَةُ بَعْدَ صِحَّةِ مِلْكِهَا كَذَلِكَ النِّكَاحُ فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ الْمَهْرُ الْمُسَمَّى بَعْدَ الدُّخُولِ وَنِصْفُهُ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَهَذَا الِاخْتِلَافُ كُلُّهُ إِنَّمَا هُوَ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، فَأَمَّا عَلَى الْجَدِيدِ فَلَا يَخْتَلِفُ أَنَّ نِكَاحَ الْأَوَّلِ ثَابِتٌ، وَنِكَاحَ الثَّانِي بَاطِلٌ مِنْ أَصْلِهِ.

Pendapat kedua: Bahwa pernikahan dengan suami kedua sah pada saat akad, namun menjadi batal ketika diketahui suami pertama masih hidup, seperti halnya seorang perampas yang mengganti harga budak setelah budak itu kabur, atau pelaku kejahatan yang mengganti diyat mata setelah matanya menjadi buta, kemudian ternyata budak itu ditemukan atau mata itu sembuh, maka nilai yang telah diganti dikembalikan setelah kepemilikannya sah. Demikian pula dalam kasus pernikahan ini: jika telah terjadi hubungan suami istri, maka wajib membayar mahar yang telah disebutkan, dan setengahnya jika belum terjadi hubungan. Seluruh perbedaan pendapat ini hanya berlaku menurut pendapat lama (qaul qadim) Imam Syafi‘i. Adapun menurut pendapat baru (qaul jadid), tidak ada perbedaan bahwa pernikahan dengan suami pertama tetap sah dan pernikahan dengan suami kedua batal sejak awal.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا نَكَحَتْ زَوْجَةُ الْمَفْقُودِ ثُمَّ بَانَ أَنَّ زَوْجَهَا كَانَ مَيِّتًا قَبْلَ نِكَاحِهَا فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ نِكَاحُهَا جَائِزٌ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ فِيهِ وَجْهَانِ:

Adapun jika istri orang yang hilang menikah lagi, lalu ternyata suaminya telah wafat sebelum ia menikah, maka menurut qaul qadim, pernikahan barunya sah. Sedangkan menurut qaul jadid, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ اعْتِبَارًا بِحَظْرِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ.

Salah satunya: Batal, karena pada saat akad masih ada larangan.

وَالثَّانِي: صَحِيحٌ اعْتِبَارًا بِظُهُورِ الْإِبَاحَةِ مِنْ بَعْدُ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ كَاخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِيمَنْ بَاعَ دَارَ أَبِيهِ يَظُنُّهُ حَيًّا فَبَانَ مَيِّتًا، وَكَاخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْوَكِيلِ إِذَا بَاعَ بَعْدَ عَزْلِهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ بِالْعَزْلِ، وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ يَكُونُ نِكَاحُ مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً يُعْتَقَدُ أَنَّهَا أُخْتُهُ فَكَانَتْ أَجْنَبِيَّةً أَوْ يُعْتِقُ أَمَةَ أَبِيهِ ثُمَّ تَبَيَّنَ أَنَّهُ وَارِثُهَا، وَقَدْ حُكِيَ أَنَّ الشَّافِعِيَّ كَانَ رَاكِبًا فَزَحَمَ امْرَأَةً فَقَالَ لَهَا تَأَخَّرِي عَنِ الطَّرِيقِ يَا حُرَّةُ ثُمَّ عَرَفَ أَنَّهَا جَارِيَةٌ فَلَمْ يَتَمَلَّكْهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَاحْتَمَلَ ذَلِكَ مِنْهُ أَنْ يَكُونَ قَدْ عَتَقَتْ عِنْدَهُ، وَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَعْتَقَهَا تَبَرُّعًا وَتَوَرُّعًا.

Yang kedua: Sah, karena setelahnya tampak adanya kebolehan. Dua pendapat ini serupa dengan perbedaan pendapat dalam kasus seseorang yang menjual rumah ayahnya dengan sangkaan ayahnya masih hidup, lalu ternyata sudah wafat; dan seperti perbedaan pendapat dalam kasus wakil yang menjual setelah ia diberhentikan, namun ia tidak mengetahui pemberhentian tersebut. Berdasarkan dua pendapat ini pula, berlaku pada kasus seseorang menikahi wanita yang disangka saudaranya, ternyata wanita itu adalah orang lain (bukan mahram), atau seseorang memerdekakan budak perempuan ayahnya lalu ternyata ia adalah ahli warisnya. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi‘i pernah berkendara dan berdesakan dengan seorang wanita, lalu beliau berkata kepadanya, “Minggirlah dari jalan, wahai wanita merdeka!” Setelah itu beliau mengetahui bahwa wanita itu adalah budak, maka beliau tidak memilikinya setelah itu. Hal ini bisa jadi karena menurut beliau wanita itu telah merdeka, atau bisa juga karena beliau memerdekakannya secara sukarela dan kehati-hatian.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا نَفَقَةَ لَهَا مِنْ حِينَ نَكَحَتْ وَلَا فِي حِينِ عِدَّتِهَا مِنَ الْوَطْءِ الْفَاسِدِ لِأَنَّهَا مخرجة نفسها من يديه وغيره وَاقِفَةٍ عَلَيْهِ وَمُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ بِالْمَعْنَى الَّذِي دَخَلَتْ فِيهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tidak ada nafkah baginya sejak ia menikah lagi, dan juga tidak ada nafkah selama masa iddahnya akibat hubungan yang fasid, karena ia telah mengeluarkan dirinya dari kekuasaan suaminya, dan selain itu statusnya tergantung pada suaminya dan diharamkan atasnya dengan sebab yang ia masuki.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ زَوْجَةُ الْمَفْقُودِ لَهَا النَّفَقَةُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَمْتِعْ بِهَا، لِأَنَّ الْمَنْعَ مِنْهُ لَا مِنْهَا فَإِنْ رَفَعَتْ أَمْرَهَا إِلَى حَاكِمٍ لَمْ يَرَ الْفُرْقَةَ وَلَا ضَرْبَ الْمُدَّةِ كَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ وَإِنْ رَأَى وَحَكَمَ لَهَا أَنْ تَتَرَبَّصَ بِنَفْسِهَا أَرْبَعَ سِنِينَ فَلَهَا النَّفَقَةُ فِي مُدَّةِ التَّرَبُّصِ لِأَنَّهَا مَحْبُوسَةٌ فِيهَا عَلَيْهِ فَإِذَا انْقَضَتْ بِهِ التَّرَبُّصَ ودخلت في الاعتداد بأربعة أشهر وعشراً، فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ لَا نَفَقَةَ لَهَا لِنُفُوذِ الْحُكْمِ بِالْفُرْقَةِ لَكِنْ فِي اسْتِحْقَاقِهَا لِلسُّكْنَى في مدة العدة قولان؛ لأنها من عِدَّةِ وَفَاةٍ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ لَهَا النَّفَقَةُ مَا لَمْ تَتَزَوَّجْ، لِأَنَّ الْفُرْقَةَ لَمْ تَقَعْ، وَالْحُكْمَ بِهَا لَمْ يُنَفَّذْ، وَاعْتِقَادَهَا لِلتَّحْرِيمِ لَا يُسْقِطُ نَفَقَتَهَا مَا كَانَتْ عَلَى الْحَالِ الَّتِي فَارَقَهَا الزَّوْجُ، فَإِنْ تَزَوَّجَتْ سَقَطَتْ حِينَئِذٍ نَفَقَتُهَا بِالتَّزْوِيجِ سَوَاءٌ قِيلَ: إِنَّ نِكَاحَ الثَّانِي صَحِيحٌ أَوْ بَاطِلٌ، لِأَنَّهَا صَارَتْ بِالنِّكَاحِ نَاشِزًا، فَإِنْ فَارَقَهَا الثَّانِي وَجَبَتْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ مِنْ إِصَابَتِهِ فَإِنْ حَضَرَ الْأَوَّلُ وَأُقِرَّتْ عَلَى نِكَاحِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا مَا كَانَتْ فِي عِدَّتِهَا مِنَ الثَّانِي لِتَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ وَلَا نَفَقَةَ لَهَا عَلَيْهِ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا، فَإِذَا قَضَتْهَا وَسَلَّمَتْ نَفْسَهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ حِينَئِذٍ نَفَقَتُهَا وَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ الْأَوَّلُ حِينَ فَارَقَهَا الثَّانِي غَائِبًا، وَقَضَتْ عِدَّتَهَا وَعَادَتْ إِلَى مَسْكَنِ الْأَوَّلِ مُسَلِّمَةً نَفْسَهَا، فَهَلْ تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا قَبْلَ أَنْ يَعُودَ فَيَتَسَلَّمَهَا ظَاهِرُ مَا رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا يَقْتَضِي وُجُوبَ نَفَقَتِهَا، لِأَنَّهُ قَالَ لَا نفقة لها من حين نكحت ولا في حِينِ عِدَّتِهَا فَدَلَّ مَجْرَى كَلَامِهِ عَلَى أَنَّ لَهَا النَّفَقَةَ بَعْدَ عِدَّتِهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, istri dari suami yang mafqūd (hilang) berhak mendapatkan nafkah meskipun suaminya tidak dapat menikmati dirinya, karena penghalang itu berasal dari pihak suami, bukan dari pihak istri. Jika ia mengadukan perkaranya kepada hakim, lalu hakim tidak memutuskan perpisahan dan tidak menetapkan masa tunggu, maka ia tetap berhak atas nafkahnya. Namun jika hakim memutuskan dan menetapkan baginya untuk menunggu sendiri selama empat tahun, maka ia tetap berhak atas nafkah selama masa penantian itu, karena ia dalam masa tersebut masih terikat kepada suaminya. Jika masa penantian itu selesai dan ia memasuki masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, maka menurut pendapat lama (qaul qadīm), ia tidak berhak atas nafkah karena telah terlaksananya keputusan perpisahan. Namun, dalam hal haknya atas tempat tinggal selama masa ‘iddah, terdapat dua pendapat; karena masa itu adalah masa ‘iddah wafat. Sedangkan menurut pendapat baru (qaul jadīd), ia tetap berhak atas nafkah selama belum menikah lagi, karena perpisahan belum terjadi dan keputusan hakim belum terlaksana, serta keyakinannya atas keharaman (menikah lagi) tidak menggugurkan hak nafkahnya selama ia masih dalam keadaan ketika suaminya meninggalkannya. Jika ia menikah lagi, maka gugurlah nafkahnya karena pernikahan tersebut, baik dikatakan bahwa pernikahan kedua itu sah maupun batal, karena dengan pernikahan itu ia menjadi nasyiz (durhaka). Jika suami kedua menceraikannya, maka ia wajib menjalani ‘iddah dari suami kedua. Jika suami pertama datang dan ia tetap dalam pernikahan dengan suami pertama, maka tidak boleh suami pertama menggaulinya selama ia masih dalam masa ‘iddah dari suami kedua, karena ia haram baginya, dan ia tidak berhak atas nafkah dari suami pertama sampai masa ‘iddahnya selesai. Jika masa ‘iddahnya selesai dan ia menyerahkan dirinya, maka saat itu suami pertama wajib memberinya nafkah, meskipun ketika suami kedua menceraikannya suami pertama sedang tidak ada, dan ia telah menyelesaikan ‘iddahnya serta kembali ke rumah suami pertama dengan menyerahkan dirinya. Apakah suami pertama wajib memberinya nafkah sebelum ia kembali dan menerima istrinya? Secara lahiriyah, riwayat dari al-Muzani di sini menunjukkan kewajiban nafkah baginya, karena ia berkata: “Tidak ada nafkah baginya sejak ia menikah (lagi) dan juga tidak selama masa ‘iddahnya.” Maka dari rangkaian perkataannya menunjukkan bahwa ia berhak atas nafkah setelah masa ‘iddahnya.

وَرَوَى الرَّبِيعُ أَنَّهُ لَا نَفَقَةَ لَهَا فِي الْعِدَّةِ وَلَا بَعْدَهَا، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Ar-Rabi‘ meriwayatkan bahwa tidak ada nafkah baginya baik selama masa ‘iddah maupun setelahnya. Maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua wajah (pendapat):

أَحَدُهُمَا: أَنْ خَرَّجُوا وُجُوبَ النَّفَقَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ لِاخْتِلَافِ الرِّوَايَتَيْنِ:

Pertama: Mereka mengeluarkan kewajiban nafkah menjadi dua pendapat karena perbedaan dua riwayat tersebut:

أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: لَهَا النَّفَقَةُ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ رِوَايَةِ الْمُزَنِيِّ؛ لِأَنَّهَا قَدْ عَادَتْ إِلَى يَدِهِ بِمَعْنَاهَا الْأَوَّلِ مِنَ الْإِبَاحَةِ.

Salah satu dari dua pendapat itu: Ia berhak atas nafkah, dan ini yang tampak dari riwayat al-Muzani; karena ia telah kembali ke dalam kekuasaan suaminya seperti semula, yaitu dalam makna kebolehan (berhubungan).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا نَفَقَةَ لَهَا حَتَّى يَعُودَ الْأَوَّلُ فَيَتَسَلَّمَهَا عَلَى مَا رَوَاهُ الرَّبِيعُ لِأَنَّ تَسْلِيمَ نَفْسِهَا إِنَّمَا يَصِحُّ مَعَ وُجُودِ مَنْ يَتَسَلَّمُهَا أَلَا تَرَاهُ لَوْ نَكَحَهَا ثُمَّ سَافَرَ قَبْلَ أَنْ تُسَلِّمَ نَفْسَهَا ثُمَّ سَلَّمَتْ نَفْسَهَا فِي غَيْبَتِهِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ تَسْلِيمًا تَسْتَحِقُّ بِهِ النَّفَقَةَ كَذَلِكَ هَذِهِ، وَلِأَنَّهَا بِنِكَاحِ الثَّانِي مُتَعَدِّيَةٌ فِي حَقِّ الْأَوَّلِ فَصَارَتْ كَالْمُتَعَدِّي فِي الْوَدِيعَةِ لَا يَسْقُطُ التَّعَدِّي بِالْكَفِّ عَنْهَا إِلَّا بَعْدَ تَسْلِيمِهَا إِلَى مَالِكِهَا كَذَلِكَ هَذِهِ فَهَذَا أَحَدُ وَجْهَيْ أصحابنا.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak atas nafkah sampai suami pertama kembali dan menerima dirinya, sebagaimana riwayat ar-Rabi‘, karena penyerahan dirinya hanya sah jika ada orang yang menerima. Bukankah engkau lihat, jika ia menikah lalu suaminya bepergian sebelum ia menyerahkan diri, kemudian ia menyerahkan diri saat suaminya tidak ada, maka itu bukanlah penyerahan yang membuatnya berhak atas nafkah? Demikian pula dalam kasus ini. Dan karena dengan menikah lagi, ia telah melampaui hak suami pertama, sehingga ia seperti orang yang melampaui dalam urusan titipan (wadi‘ah), dan pelanggaran itu tidak gugur hanya dengan berhenti darinya kecuali setelah ia diserahkan kepada pemiliknya. Demikian pula dalam kasus ini. Inilah salah satu dari dua pendapat ulama kami.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حالين، واختلاف مَنْ قَالَ بِاخْتِلَافِهِمَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Bahwa perbedaan itu bukan karena dua pendapat, melainkan karena dua keadaan yang berbeda, dan perbedaan siapa yang berpendapat sesuai perbedaan keadaan itu juga terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ وُجُوبَ النَّفَقَةِ لَهَا إِذَا كَانَتْ هِيَ الزَّوْجَةَ لِنَفْسِهَا دُونَ الْحَاكِمِ فَلَوْ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ فَلَا نفقة لهاحتى يَتَسَلَّمَهَا الْأَوَّلُ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ رَافِعٌ لِيَدِ الْأَوَّلِ.

Pertama: Kewajiban nafkah baginya jika ia kembali menjadi istri suami pertama dengan sendirinya, bukan karena keputusan hakim. Jika hakim yang menikahkannya (dengan suami kedua), maka tidak ada nafkah baginya sampai suami pertama kembali dan menerima dirinya, karena keputusan hakim telah mengangkat kekuasaan suami pertama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ وُجُوبَ النفقة لَهَا إِذَا أَعَادَهَا الْحَاكِمُ إِلَى نِكَاحِ الْأَوَّلِ، فَإِنْ عَادَتْ هِيَ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا لِأَنَّ حُكْمَ الحاكم مثبت ليد الأول.

Kedua: Kewajiban nafkah baginya jika hakim mengembalikannya ke dalam pernikahan suami pertama. Namun jika ia sendiri yang kembali, maka tidak ada nafkah baginya, karena keputusan hakim menetapkan kekuasaan suami pertama.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَمْ أُلْزِمِ الْوَاطِئَ بِنَفَقَتِهَا لِأَنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُمَا شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ الزَّوْجَيْنِ إِلَّا لُحُوقَ الْوَلَدِ فَإِنَّهُ فِرَاشٌ بِالشُّبْهَةِ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Aku tidak mewajibkan nafkah kepada laki-laki yang menggaulinya, karena tidak ada di antara mereka berdua hukum-hukum suami istri kecuali keterkaitan anak, sebab ia adalah firāsy (tempat tidur) karena syubhat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا نَفَقَتُهَا عَلَى الزَّوْجِ الثَّانِي فَمُعْتَبَرَةٌ بِحُكْمِ نِكَاحِهِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun nafkahnya atas suami kedua, maka dipertimbangkan berdasarkan hukum akad nikahnya.

فَإِنْ قِيلَ بِقَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ نِكَاحَهُ صَحِيحٌ فَعَلَيْهِ النَّفَقَةُ مِنْ حِينِ الْعَقْدِ وَإِلَى حِينِ الْفُرْقَةِ وَلَا نَفَقَةَ لَهَا فِي الْعِدَّةِ، لِأَنَّهُ لا يملك فيها الرجعة، ولها السكنى كالمتبوتة.

Jika dikatakan menurut pendapat beliau dalam qaul qadim: bahwa nikahnya sah, maka wajib atasnya memberikan nafkah sejak akad hingga terjadi perpisahan, dan tidak ada nafkah baginya selama masa ‘iddah, karena ia tidak memiliki hak ruju‘ dalam masa itu, namun ia berhak atas tempat tinggal seperti wanita yang ditalak ba’in.

وَإِنْ قِيلَ بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ نِكَاحَهُ بَاطِلٌ فَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ بَعْدَ نِكَاحِهِ وَلَا فِي حَالِ دُخُولِهِ، لِأَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجِيَّةِ تُسْتَحَقُّ في مقابلة التمكين المستحق، وفساد النكاح يمنح مِنِ اسْتِحْقَاقِ التَّمْكِينِ فَمَنَعَ مِنِ اسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ.

Dan jika dikatakan menurut pendapat beliau dalam qaul jadid bahwa nikahnya batal, maka tidak ada kewajiban nafkah atasnya setelah akad nikah maupun ketika terjadi hubungan, karena nafkah istri menjadi hak sebagai imbalan atas penyerahan diri yang sah, sedangkan rusaknya akad nikah menghalangi hak penyerahan diri, sehingga menghalangi pula hak nafkah.

فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ كَالْمُتَصَرِّفِ عَنْ إِجَارَةٍ فَاسِدَةٍ يَلْزَمُهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ مَعَ فَسَادِ عَقْدِهِ.

Jika dikatakan: Mengapa tidak disamakan dengan orang yang bertransaksi dengan akad ijarah (sewa-menyewa) yang rusak, yang tetap wajib membayar upah sepadan meskipun akadnya rusak?

قِيلَ: لِأَنَّ مَنَافِعَ الْإِجَارَةِ فِي يَدِهِ تَضَمَّنَهَا بِالْيَدِ وَمَنَافِعَ الِاسْتِمْتَاعِ فِي يَدِهَا فَلَمْ يُضَمَّنْهَا إِلَّا بِالِاسْتِهْلَاكِ وَالِاسْتِهْلَاكُ هُوَ الْوَطْءُ فَالْوَطْءُ مُوجِبٌ لَغُرْمِ الْمَهْرِ دُونَ النَّفَقَةِ، وَقَدْ وَجَبَ الْمَهْرُ وَإِنْ لَمْ تَجِبِ النَّفَقَةُ فَكَانَ بَيْنَهُمَا شَبَهٌ بِهِ مِنْ وَجْهٍ، وَفَرْقٌ مِنْ آخَرَ، فَإِنْ فَارَقَهَا الثَّانِي فَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ فِي عِدَّتِهِ وَلَا سُكْنَى لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجِبْ قَبْلَ التفرقة فأولى أن لا يجب بعدها إلى أَنْ تَكُونَ حَامِلًا، فَفِي وُجُوبِ نَفَقَتِهَا مُدَّةَ حَمْلِهَا قَوْلَانِ:

Dijawab: Karena manfaat ijarah berada di tangannya sehingga ia menanggungnya dengan kepemilikan, sedangkan manfaat istimtā‘ (kenikmatan) berada di tangan wanita, sehingga ia tidak menanggungnya kecuali dengan konsumsi, dan konsumsi itu adalah hubungan badan. Maka, hubungan badan mewajibkan pembayaran mahar, bukan nafkah. Mahar tetap wajib meskipun nafkah tidak wajib, sehingga ada kemiripan di antara keduanya dari satu sisi, dan perbedaan dari sisi lain. Jika suami kedua menceraikannya, maka tidak ada kewajiban nafkah selama masa ‘iddah dan tidak pula tempat tinggal, karena ketika sebelum perpisahan saja tidak wajib, maka lebih utama lagi setelahnya, kecuali jika ia sedang hamil. Dalam hal kewajiban nafkah selama masa kehamilannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهَا النَّفَقَةُ إِذَا قِيلَ: إِنَّهَا لِلْحَمْلِ

Salah satunya: Ia berhak mendapat nafkah jika dikatakan bahwa nafkah itu untuk janin.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا نَفَقَةَ لَهَا إِذَا قِيلَ: إِنَّ النَّفَقَةَ لِكَوْنِهَا ذَاتَ حَمْلٍ، فَإِنْ عَادَتْ إِلَى الْأَوَّلِ بَعْدَ وَضْعِهَا، فَفِي وُجُوبِ نَفَقَتِهَا عَلَيْهِ مُدَّةَ نِفَاسِهَا وَجْهَانِ مَضَيَا.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak mendapat nafkah jika dikatakan bahwa nafkah itu karena ia sedang hamil. Jika ia kembali kepada suami pertama setelah melahirkan, maka dalam hal kewajiban nafkah selama masa nifas atas suami pertama terdapat dua wajah (pendapat) yang telah lalu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا وَضَعَتْ فَلِزَوْجِهَا أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ رَضَاعِ وَلَدِهَا إِلَّا اللَّبَأَ وَمَا إِنْ تَرَكَتْهُ لَمْ يَعْتَدَّ غَيْرُهَا “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia telah melahirkan, maka suaminya berhak melarangnya menyusui anaknya kecuali kolostrum dan apa yang jika ia tinggalkan tidak dapat digantikan oleh selainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا عَادَ الزَّوْجُ الْمَفْقُودُ وَزَوْجَتُهُ حَامِلٌ مِنْ نِكَاحِ غَيْرِهِ كَانَ الْحَمْلُ لَاحِقًا بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ، لِأَنَّهَا تَرَبَّصَتْ لِلْأَوَّلِ بِمُدَّةِ أَكْثَرِ الْحَمْلِ، وَهِيَ أَرْبَعُ سِنِينَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ مِنْهُ وَأُلْحِقَ بِالثَّانِي؛ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِوَطْءِ نِكَاحٍ أَوْ شُبْهَةِ فِرَاشٍ لَهُ وَهِيَ مَمْنُوعَةٌ مِنَ الْأَوَّلِ حَتَّى تَضَعَ لِبَقَاءِ عِدَّتِهَا مِنَ الثَّانِي، فَإِذَا وَضَعَتْ عَادَتْ إِلَى إِبَاحَةِ الْأَوَّلِ، وإن حرم عليه وطئها فِي مُدَّةِ النِّفَاسِ كَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ فِي نِفَاسِهَا مِنْهُ، فَأَمَّا رِضَاعُ الْوَلَدِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُمَكِّنَهَا مِنْ رِضَاعِ اللِّبَأِ وَمَا لَا يَغْذُوهُ غَيْرُهُ وَلَا يُوجَدُ مِنْ غَيْرِهَا فَإِذَا اسْتَغْنَى عَنِ اللِّبَأِ نُظِرَ، فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ لَهُ مُرْضِعَةٌ غَيْرُهَا وَجَبَ عَلَيْهِ تَمْكِينُهَا مِنْ رَضَاعِهِ اسْتِيفَاءً لِحَيَاتِهِ، وَإِنْ كَانَ فِيهِ اسْتِهْلَاكٌ لِحَقِّهِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ كَمَا يَلْزَمُهُ فِي الضَّرُورَةِ أَنْ يُحْيِيَ بِمَالِهِ نَفْسَ غَيْرِهِ، وَإِنْ وُجِدَ لَهُ مُرْضِعَةٌ غَيْرُهَا كَانَ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ رَضَاعِهِ؛ لِأَنَّهَا فِي هَذِهِ الْحَالِ مُتَطَوِّعَةٌ لَا تُجْبَرُ عَلَى رَضَاعِهِ إِذَا امْتَنَعَتْ وَفِي الْحَالِ الْأُولَى مُعْتَرِضَةٌ تُجْبَرُ عَلَى رَضَاعِهِ لَوِ امْتَنَعَتْ فَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَعَ التَّطَوُّعِ بِرَضَاعِهِ أَنْ تُسْقِطَ بِهِ حَقَّ اسْتِمْتَاعِهِ كَمَا لَا يَسْقُطُ بِرِضَاعِ غَيْرِهِ، وَلَا يَدُلُّ مَنْعُهُ لَهَا مِنَ الرِّضَاعِ عَلَى أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ عَلَيْهَا الرِّضَاعَ كَمَا يَمْنَعُهَا مِنْ خِدْمَةِ غَيْرِهِ، وَلَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهَا خِدْمَةَ نَفْسِهِ أَلَا تَرَى أَنَّ مَنِ اسْتَأْجَرَ خَيَّاطًا كَانَ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنَ الْبِنَاءِ ولا يستحق عليه البناء.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila suami yang hilang kembali dan istrinya sedang hamil dari pernikahan dengan laki-laki lain, maka kehamilan itu dinisbatkan kepada suami kedua, bukan kepada suami pertama. Sebab, ia telah menunggu suami pertama selama masa maksimal kehamilan, yaitu empat tahun, sehingga tidak boleh anak itu dinisbatkan kepada suami pertama, melainkan dinisbatkan kepada suami kedua. Karena ia telah digauli dalam pernikahan atau syubhat firāsy oleh suami kedua, dan ia terhalang untuk kembali kepada suami pertama sampai melahirkan, karena masih dalam masa ‘iddah dari suami kedua. Setelah ia melahirkan, ia kembali halal bagi suami pertama, meskipun haram bagi suami pertama untuk menggaulinya selama masa nifas, sebagaimana juga haram baginya menggauli istrinya sendiri saat nifas. Adapun mengenai penyusuan anak, maka suami wajib membiarkan istrinya menyusui anak itu dengan kolostrum dan apa yang tidak dapat digantikan oleh selainnya dan tidak ditemukan dari selainnya. Jika anak itu sudah tidak membutuhkan kolostrum, maka dilihat kembali: jika tidak ada wanita lain yang dapat menyusui anak itu selain dia, maka wajib bagi suami membiarkannya menyusui anak itu demi menjaga kelangsungan hidupnya, meskipun hal itu menghilangkan hak suami untuk menikmati istrinya, sebagaimana ia juga wajib dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan nyawa orang lain dengan hartanya. Namun, jika ada wanita lain yang dapat menyusui anak itu, maka suami boleh melarang istrinya menyusui anak tersebut, karena dalam keadaan ini ia hanya bersifat sukarela dan tidak dipaksa untuk menyusui jika ia menolak. Sedangkan dalam keadaan pertama, ia dipaksa untuk menyusui jika ia menolak. Maka, dalam keadaan sukarela menyusui anak itu, ia tidak boleh menggugurkan hak suami untuk menikmati istrinya, sebagaimana hak itu juga tidak gugur dengan penyusuan oleh wanita lain. Larangan suami terhadap istrinya untuk menyusui tidak menunjukkan bahwa ia berhak atas penyusuan itu, sebagaimana ia juga dapat melarang istrinya melayani orang lain, padahal ia tidak berhak atas pelayanan itu untuk dirinya sendiri. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang menyewa seorang penjahit, ia boleh melarang penjahit itu membangun rumah, namun ia tidak berhak atas jasa membangun rumah dari penjahit tersebut.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُنْفِقُ عَلَيْهَا فِي رِضَاعِهَا وَلَدَ غَيْرُهُ “

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan suami tidak menafkahi istrinya dalam hal menyusui anak orang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا أَرْضَعَتْ وَلَدَ الثَّانِي بَعْدَ عَوْدِهَا إِلَى الْأَوَّلِ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَنْ تُرْضِعَهُ فِي بَيْتِ الْأَوَّلِ أَوْ فِي غَيْرِ بَيْتِهِ، فَإِنْ أَرْضَعَتْهُ فِي بَيْتِ الْأَوَّلِ وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا عَلَيْهِ سَوَاءٌ أَرْضَعَتْهُ بِإِذْنِهِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ لَكِنْ إِنْ كَانَ بِإِذْنِهِ لَمْ تَعْصِهِ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ عَصَتْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رِضَاعُهُ وَاجِبًا عَلَيْهَا فَلَا تَكُونُ بِهِ عَاصِيَةً، وَإِنْ أَرْضَعَتْهُ فِي غَيْرِ بَيْتِ الْأَوَّلِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَقَدْ عَصَتْهُ وَإِنْ كَانَ بِإِذْنِهِ لَمْ تَعْصِهِ، وَفِي اسْتِحْقَاقِهَا لِلنَّفَقَةِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika seorang istri menyusui anak dari suami kedua setelah ia kembali kepada suami pertama, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia menyusui anak itu di rumah suami pertama atau di luar rumahnya. Jika ia menyusui di rumah suami pertama, maka nafkahnya wajib atas suami, baik dengan izinnya maupun tanpa izinnya. Namun, jika dengan izinnya, ia tidak berdosa. Jika tanpa izinnya, ia berdosa, kecuali jika penyusuan itu wajib atasnya, maka ia tidak berdosa. Jika ia menyusui di luar rumah suami pertama, maka dilihat: jika tanpa izin suami, maka tidak ada nafkah baginya dan ia berdosa. Jika dengan izin suami, ia tidak berdosa. Dalam hal berhak atau tidaknya ia atas nafkah, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهَا النَّفَقَةُ لِوُجُودِ الْإِذْنِ.

Pertama: Ia berhak atas nafkah karena adanya izin.

وَالثَّانِي: لَا نَفَقَةَ لَهَا لِتَفْوِيتِ الِاسْتِمْتَاعِ، وَذَلِكَ كَالْمُسَافِرَةِ إِنْ كَانَتْ مَعَ زَوْجِهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا، وَإِنِ انْفَرَدَتْ عَنْهُ بِالسَّفَرِ، وَكَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا، وَإِنْ كَانَ بِإِذْنِهِ ففي وجوب نفقتها وجهان:

Kedua: Ia tidak berhak atas nafkah karena telah menghilangkan hak suami untuk menikmati istrinya. Hal ini seperti istri yang bepergian; jika ia bepergian bersama suaminya, maka wajib atas suami menafkahinya. Namun, jika ia bepergian sendiri tanpa izin suami, maka tidak ada nafkah baginya. Jika dengan izin suami, maka dalam kewajiban nafkah terdapat dua pendapat:

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ ادَّعَاهُ الْأَوَّلُ أُرِيَتْهُ الْقَافَةُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika suami pertama mengakuinya (anak itu), maka diperlihatkan kepada para ahli qāfah (pakar nasab).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا أَتَتْ بِوَلَدِ زَوْجَةِ الْمَفْقُودِ بَعْدَ التَّرَبُّصِ بِنَفْسِهَا أَرْبَعَ سِنِينَ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ قَدْ تَزَوَّجَتْ بِغَيْرِهِ أَوْ لَمْ تَتَزَوَّجْ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَزَوَّجَتْ بِغَيْرِهِ، فَفِي لُحُوقِ وَلَدِهَا بِهِ وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Jika istri dari suami yang hilang melahirkan anak setelah menunggu sendiri selama empat tahun, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia telah menikah dengan laki-laki lain atau belum menikah. Jika ia belum menikah dengan laki-laki lain, maka dalam hal nasab anaknya kepada suami yang hilang terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُلْحَقُ بِهِ لِأَنَّهَا إِذَا لَمْ تَصِرْ فِرَاشًا لِغَيْرِهِ كَانَتْ بَاقِيَةً عَلَى حُكْمِ فِرَاشِهِ.

Pertama: Anak itu dinisbatkan kepadanya, karena selama ia belum menjadi istri bagi laki-laki lain, maka ia tetap berada dalam status firāsy suaminya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُلْحَقُ بِهِ، لِأَنَّ الْمَفْقُودَ مَنْ عُدِمَتْ أَخْبَارُهُ، وَانْقَطَعَتْ آثَارُهُ، وَقَدْ مَضَى مِنْ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ مَا يَمْنَعُ مِنْ بَقَاءِ مَائِهِ مَعَهَا فَامْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ وَلَدُهَا مِنْهُ، وإن تزوجت غيره ولدت بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ دُخُولِ الثَّانِي فَهُوَ لَاحِقٌ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ مَا لَمْ يَدِّعِهِ الْأَوَّلُ.

Pendapat kedua: Tidak disamakan dengannya, karena orang yang hilang adalah orang yang tidak ada kabarnya dan terputus jejaknya, dan telah berlalu masa penantian yang mencegah kemungkinan air maninya masih ada bersamanya, sehingga mustahil anaknya berasal darinya. Jika ia menikah dengan laki-laki lain lalu melahirkan setelah enam bulan dari masuknya suami kedua, maka anak itu dinisbatkan kepada suami kedua, bukan kepada suami pertama, selama suami pertama tidak mengakuinya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَكُونُ لَاحِقًا بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي وَإِنْ لَمْ يَدَّعِهِ، وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ تَلِدُهُ بَعْدَ ذَلِكَ مِنَ الثَّانِي يَكُونُ لَاحِقًا بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي، وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي الْمَشْرِقِيِّ إِذَا تَزَوَّجَ بِمَغْرِبِيَّةٍ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهِ، فَإِنِ ادَّعَاهُ الْأَوَّلُ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” أُرِيَتْهُ الْقَافَةُ ” فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ادِّعَائِهِ لَهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Abu Hanifah berpendapat: Anak itu dinisbatkan kepada suami pertama, bukan kepada suami kedua, meskipun suami pertama tidak mengakuinya. Demikian pula setiap anak yang dilahirkan setelah itu dari suami kedua, tetap dinisbatkan kepada suami pertama, bukan kepada suami kedua. Ia membangun pendapat ini berdasarkan prinsipnya dalam kasus seorang laki-laki dari timur menikahi perempuan dari barat, dan pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya. Jika suami pertama mengakuinya, Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Anak itu diperlihatkan kepada para ahli qāfah (pakar nasab),” lalu para ulama kami berbeda pendapat mengenai pengakuan suami pertama atas anak itu menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقُولَ فِي الدَّعْوَى إِنِّي رَجَعْتُ سِرًّا فَأَصَبْتُهَا، وَيَكُونُ مَا ادَّعَاهُ مُمْكِنًا فيَجُوزُ حِينَئِذٍ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الثَّانِي فَيَرَى الْقَافَةُ حَتَّى يُلْحِقُوهُ بِأَشْبَهِهِمَا بِهِ، فَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ هَذَا فِي دَعْوَاهُ فَلَا حَقَّ لَهُ فِي الْوَلَدِ وَيَكُونُ مِنَ الثَّانِي، وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي لَا يُلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ إِذَا لَمْ تَتَزَوَّجْ.

Salah satunya: Jika dalam pengakuannya ia berkata, “Aku telah kembali secara diam-diam lalu menggaulinya,” dan apa yang ia akui itu mungkin terjadi, maka boleh jadi anak itu berasal darinya, dan boleh jadi berasal dari suami kedua. Maka anak itu diperlihatkan kepada para ahli qāfah hingga mereka menisbatkannya kepada yang paling mirip di antara keduanya. Jika ia tidak menyebutkan hal ini dalam pengakuannya, maka ia tidak berhak atas anak itu dan anak itu menjadi milik suami kedua. Ini menurut pendapat yang menyatakan anak tidak dinisbatkan kepadanya jika ia belum menikah lagi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ إِذَا ادَّعَاهُ دَعْوَى مُجَرَّدَةً قَبِلْنَا دَعَوَاهُ، وَجَعَلْنَا لَهُ فِي الْوَلَدِ حَقًّا فَيَرَى الْقَافَةُ فَيُلْحِقُوهُ بِأَحَدِهِمَا، وَلَوْ لَمْ يَدَّعِهِ لَجَعَلْنَاهُ لِلثَّانِي تَغْلِيبًا لِلظَّاهِرِ وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يُلْحَقُ بِهِ الولد إذا لم تتزوج.

Pendapat kedua: Jika ia mengakuinya dengan pengakuan semata, kami terima pengakuannya, dan kami berikan hak atas anak itu kepadanya. Maka anak itu diperlihatkan kepada para ahli qāfah, lalu mereka menisbatkannya kepada salah satu dari keduanya. Jika ia tidak mengakuinya, maka anak itu kami nisbatkan kepada suami kedua, dengan mengedepankan yang tampak. Ini menurut pendapat yang menyatakan anak dinisbatkan kepadanya jika ia belum menikah lagi.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ مَاتَ الزَّوْجُ الْأَوَّلُ وَالْآخُرُ وَلَا يُعْلَمُ أَيُّهُمَا مَاتَ أَوَّلًا بَدَأَتْ فَاعْتَدَّتْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، لِأَنَّهُ النِّكَاحُ الصَّحِيحُ الْأَوَّلُ ثَمَّ اعْتَدَّتْ بِثَلَاثَةِ قُرُوءٍ. “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika suami pertama dan terakhir meninggal dunia dan tidak diketahui siapa yang lebih dahulu meninggal, maka ia memulai dengan ber‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, karena itu adalah pernikahan yang sah yang pertama, kemudian ia ber‘iddah tiga kali suci.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ بِالْحُكْمِ بَعْدَ مُدَّةِ التَّرَبُّصِ ثُمَّ يَمُوتُ الزَّوْجَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا فَالْكَلَامُ مُتَوَجِّهٌ إِلَى بَيَانِ حُكْمَيِ الْعِدَّةِ، وَالْمِيرَاثِ، فَذَلِكَ مَبْنِيٌّ عَلَى عَقْدِ الثَّانِي: هَلْ هُوَ صَحِيحٌ أَوْ فَاسِدٌ، فَإِنْ قِيلَ بِصِحَّتِهِ، وَإنَّ نِكَاحَ الْأَوَّلِ قَدِ انْفَسَخَ بِالْحُكْمِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ نُظِرَ فِي الْمَيِّتِ مِنْهُمَا، فَإِنْ كَانَ هُوَ الْأَوَّلَ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا مِنْهُ وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا لَهُ وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الثَّانِيَ فَلَهَا مِيرَاثُهُ، وَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ مِنْهُ عِدَّةَ الْوَفَاةِ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ، فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ أَيُّهُمَا هُوَ الْمَيِّتُ فَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا وَلَا مِيرَاثَ لَهَا؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ مِنْهُمَا هُوَ الثَّانِي وَهِيَ شَاكَّةٌ فِي مَوْتِهِ فَكَانَتْ بَاقِيَةً عَلَى نِكَاحِهِ حَتَّى يُتَيَقَّنَ مَوْتُهُ فَتَعْتَدَّ مِنْهُ وَتَرِثَهُ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang istri dari orang yang hilang menikah berdasarkan keputusan hakim setelah masa penantian, lalu kedua suaminya atau salah satunya meninggal dunia. Maka pembahasan diarahkan pada penjelasan hukum ‘iddah dan warisan. Hal itu tergantung pada akad suami kedua: apakah sah atau fasid (batal). Jika dikatakan sah, dan pernikahan pertama telah terputus dengan keputusan hakim menurut pendapat lama, maka dilihat siapa yang meninggal di antara keduanya. Jika yang meninggal adalah suami pertama, maka ia tidak berhak mendapatkan warisan darinya dan tidak ada ‘iddah atasnya untuk suami pertama. Jika yang meninggal adalah suami kedua, maka ia berhak mendapatkan warisan dari suami kedua dan wajib ber‘iddah wafat darinya selama empat bulan sepuluh hari. Jika tidak diketahui siapa yang meninggal, maka tidak ada ‘iddah atasnya dan tidak ada warisan baginya, karena suaminya adalah yang kedua dan ia ragu atas kematiannya, sehingga ia tetap berada dalam pernikahannya sampai kematian suami kedua dipastikan, lalu ia ber‘iddah dan mewarisinya.

وَإِنْ قِيلَ: بِفَسَادِ نِكَاحِ الثَّانِي وَبَقَائِهَا عَلَى نِكَاحِ الْأَوَّلِ لَمْ يَخْلُ حَالُ مَنْ مَاتَ مِنْهُمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ: إِمَّا الْأَوَّلُ أَوِ الثَّانِي أَوْ أَحَدُهُمَا لَا بِعَيْنِهِ أَوْ هُمَا جَمِيعًا معاً.

Jika dikatakan bahwa pernikahan suami kedua batal dan ia tetap berada dalam pernikahan suami pertama, maka keadaan siapa yang meninggal di antara keduanya tidak lepas dari empat kemungkinan: yaitu suami pertama, suami kedua, salah satu dari keduanya tanpa diketahui siapa, atau keduanya meninggal bersama-sama.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ الْأَوَّلُ دُونَ الثَّانِي فَهُوَ الزَّوْجُ الْمَوْرُوثُ، فَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ مِنْهُ عِدَّةَ الْوَفَاةِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلَا يَكُونُ أَوَّلَهَا وَقْتُ الْمَوْتِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ فِرَاشًا لِلثَّانِي بِخِلَافِ مَا لَوْ كَانَتْ بَاقِيَةً عَلَى فِرَاشِ الْأَوَّلِ، فَإِذَا فُرِّقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الثَّانِي بَدَأَتْ بِعِدَّةِ الْأَوَّلِ وَاسْتَحَقَّتْ مِيرَاثَهُ.

Adapun kemungkinan pertama, yaitu suami pertama meninggal tanpa suami kedua, maka ia adalah suami yang diwarisi, sehingga ia wajib ber‘iddah wafat darinya selama empat bulan sepuluh hari. Awal masa ‘iddahnya bukan sejak waktu kematian, karena ia telah menjadi istri bagi suami kedua, berbeda jika ia masih menjadi istri suami pertama. Maka jika telah dipisahkan antara dia dan suami kedua, ia memulai ‘iddah suami pertama dan berhak atas warisannya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ الثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا مِنْهُ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِزَوْجٍ يُورَثُ وَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ مِنْ مَوْتِهِ بِالْأَقْرَاءِ دُونَ الشُّهُورِ، لِأَنَّهَا عِدَّةُ اسْتِبْرَاءٍ لَا عِدَّةَ زَوْجِيَّةٍ فَتَعْتَدَّ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ مِنْ وَقْتِ مَوْتِهِ بِخِلَافِ مَوْتِ الْأَوَّلِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهَا فِرَاشٌ لِلْأَوَّلِ بِالْعَقْدِ وَفِرَاشٌ لِلثَّانِي بِالْوَطْءِ فَرَاعَيْنَا فِي عِدَّةِ الْأَوَّلِ أَنْ تَبْتَدِئَهَا بَعْدَ رَفْعِ فِرَاشِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّهُ ثَابِتٌ مُسْتَحَقٌّ.

Adapun bagian kedua: yaitu apabila yang kedua meninggal sebelum yang pertama, maka ia (perempuan tersebut) tidak mendapatkan warisan darinya, karena ia bukanlah suami yang dapat diwarisi. Ia wajib menjalani masa ‘iddah karena wafatnya (suami kedua) dengan tiga kali suci (qurū’), bukan dengan hitungan bulan, karena ini adalah ‘iddah istibra’ (untuk memastikan rahim kosong), bukan ‘iddah pernikahan. Maka ia menjalani ‘iddah tiga kali suci sejak wafatnya (suami kedua), berbeda dengan wafatnya suami pertama. Perbedaannya adalah: ia menjadi istri (berstatus ranjang) bagi suami pertama karena akad, dan menjadi istri bagi suami kedua karena hubungan suami-istri (jima’). Maka dalam ‘iddah suami pertama, kami memperhatikan agar ia memulai ‘iddah setelah berakhirnya status istri dari suami pertama, karena status itu tetap dan merupakan hak yang sah.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ أَحَدُهُمَا وَلَا يُعْلَمُ الْمَيِّتُ مِنْهُمَا فَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ أَكْثَرَ الْأَجَلَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، أَوْ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ، فَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ هُوَ الميت فقد انقضت عدته بأربعة أشهر وعشراً، وَإِنْ كَانَ الثَّانِي هُوَ الْمَيِّتُ فَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُهُ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ.

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila salah satu dari keduanya meninggal dan tidak diketahui siapa yang lebih dahulu wafat di antara keduanya, maka ia wajib menjalani masa ‘iddah yang lebih panjang di antara dua masa, yaitu empat bulan sepuluh hari atau tiga kali suci (qurū’). Jika yang pertama adalah yang wafat, maka ‘iddahnya selesai dengan empat bulan sepuluh hari. Jika yang kedua adalah yang wafat, maka ‘iddahnya selesai dengan tiga kali suci.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَا مَعًا فَلَا يَخْلُو حَالُ مَوْتِهِمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ: إِمَّا أَنْ يَتَقَدَّمَ مَوْتُ الْأَوَّلِ، وَإِمَّا أَنْ يَتَقَدَّمَ مَوْتُ الثَّانِي، وَإِمَّا أَنْ يَمُوتَا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ، وَإِمَّا أَنْ يُجْهَلَ الْمُتَقَدِّمُ مِنْهُمَا.

Adapun bagian keempat: yaitu apabila keduanya meninggal bersamaan, maka keadaan wafatnya mereka tidak lepas dari empat bagian: bisa jadi wafatnya yang pertama lebih dahulu, atau wafatnya yang kedua lebih dahulu, atau keduanya wafat dalam waktu yang sama, atau tidak diketahui siapa yang lebih dahulu wafat di antara keduanya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ أَنْ يَتَقَدَّمَ مَوْتُ الْأَوَّلِ ثُمَّ يَمُوتَ الثَّانِي بَعْدَهُ فَتَبْدَأُ بِعِدَّةِ الْأَوَّلِ مِنْ بَعْدِ مَوْتِ الثَّانِي بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِلثَّانِي بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّةِ الْأَوَّلِ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ وَلَهَا مِيرَاثُ الْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي.

Adapun bagian pertama, yaitu wafatnya yang pertama lebih dahulu, kemudian yang kedua wafat setelahnya, maka ia memulai ‘iddah untuk yang pertama setelah wafatnya yang kedua selama empat bulan sepuluh hari, kemudian menjalani ‘iddah untuk yang kedua setelah selesai ‘iddah yang pertama dengan tiga kali suci, dan ia berhak atas warisan dari yang pertama, tidak dari yang kedua.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَتَقَدَّمَ مَوْتُ الثَّانِي ثُمَّ يَمُوتَ الْأَوَّلُ بَعْدَهُ فَأَوَّلُ عِدَّتِهَا مِنَ الثَّانِي مِنْ وَقْتِ مَوْتِهِ ثُمَّ يُرَاعَى مَوْتُ الْأَوَّلِ، فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Adapun bagian kedua, yaitu wafatnya yang kedua lebih dahulu, kemudian yang pertama wafat setelahnya, maka awal masa ‘iddahnya dari yang kedua, sejak wafatnya, kemudian memperhatikan wafatnya yang pertama, yang mana hal itu tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ قَضَاءِ عِدَّةِ الثَّانِي فَقَدْ وَفَّتْ عِدَّةَ الثَّانِي، وَعَلَيْهَا أَنْ تَسْتَأْنِفَ عِدَّةَ الْأَوَّلِ مِنْ وَقْتِ مَوْتِهِ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ.

Pertama: yaitu apabila yang pertama wafat setelah selesai masa ‘iddah dari yang kedua, maka ia telah menyelesaikan ‘iddah dari yang kedua, dan ia wajib memulai ‘iddah dari yang pertama sejak wafatnya selama empat bulan sepuluh hari.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَمُوتَ الْأَوَّلُ فِي تَضَاعِيفِ عِدَّةِ الثَّانِي، كَأَنَّهُ مَاتَ بَعْدَ قُرْءٍ وَاحِدٍ مِنْ عِدَّتِهِ فَتَقْطَعُ وَفَاةُ الْأَوَّلِ عِدَّةَ الثَّانِي لِصِحَّةِ عَقْدِهِ وَقُوَّةِ حَقِّهِ وَتَعْتَدُّ مِنْهُ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ، فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْهَا عَادَتْ فَتَمَّتْ عِدَّةُ الثَّانِي، وَبَنَتْ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَهُوَ قُرْءٌ وَاحِدٌ فَتَأْتِي بِقُرْأَيْنِ، وَقَدْ حَلَّتْ مِنَ الْعِدَّتَيْنِ، وَهَكَذَا لَوْ وُطِئَتْ زَوْجَةُ رَجُلٍ بِشُبْهَةٍ فَشَرَعَتْ فِي الِاعْتِدَادِ مِنْ وَطْئِهِ ثُمَّ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ فِي تَضَاعِيفِ عِدَّتِهَا أَوْ مَاتَ عَنْهَا انْقَطَعَتْ عِدَّةُ الْوَطْءِ، وَلَزِمَهَا أَنْ تَعْتَدَّ لِلزَّوْجِ مِنْ طَلَاقِهِ أَوْ مَوْتِهِ، فَإِذَا أَكْمَلَتْ عِدَّتَهُ عَادَتْ فَتَمَّتْ عِدَّةَ الْوَاطِئِ بِشُبْهَةٍ لِقُوَّةِ حَقِّ الزَّوْجِ عَلَى حَقِّهِ بِصِحَّةِ عَقْدِهِ.

Kedua: yaitu apabila yang pertama wafat di tengah-tengah masa ‘iddah dari yang kedua, misalnya ia wafat setelah satu kali suci dari masa ‘iddahnya, maka wafatnya yang pertama memutus masa ‘iddah dari yang kedua karena sahnya akad dan kuatnya hak suami pertama, sehingga ia menjalani ‘iddah dari yang pertama selama empat bulan sepuluh hari. Setelah ia menyelesaikannya, ia kembali melanjutkan sisa masa ‘iddah dari yang kedua, yaitu satu kali suci, sehingga ia menambah dua kali suci lagi, dan ia telah selesai dari kedua masa ‘iddah tersebut. Demikian pula jika seorang istri digauli oleh seorang laki-laki karena syubhat, lalu ia mulai menjalani masa ‘iddah karena hubungan tersebut, kemudian suaminya menceraikannya di tengah-tengah masa ‘iddahnya atau meninggal dunia, maka masa ‘iddah karena hubungan syubhat terputus, dan ia wajib menjalani masa ‘iddah untuk suaminya karena talak atau wafatnya. Setelah ia menyelesaikan masa ‘iddah untuk suaminya, ia kembali melanjutkan sisa masa ‘iddah dari laki-laki yang menggaulinya karena syubhat, karena kuatnya hak suami atas hak laki-laki tersebut karena sahnya akad.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُجْهَلَ مَا بَيْنَ مَوْتِهِمَا فَيَلْزَمُهَا أَنْ تَعْمَلَ عَلَى أَغْلَظِ الْأَمْرَيْنِ، وَهُوَ أَنْ تَبْتَدِئَ بِعِدَّةِ أَقْرَبِ الْمَوْتَيْنِ بِعِدَّةِ الْوَفَاةِ عَنِ الْأَوَّلِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ تَعْتَدُّ بَعْدَهَا عَنِ الثَّانِي بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ.

Ketiga: yaitu apabila tidak diketahui urutan wafat di antara keduanya, maka ia wajib mengambil yang paling berat di antara dua kemungkinan, yaitu memulai ‘iddah dari yang wafat lebih dekat dengan masa ‘iddah wafat untuk yang pertama selama empat bulan sepuluh hari, kemudian menjalani ‘iddah setelahnya untuk yang kedua dengan tiga kali suci.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ فَقَدِ اجْتَمَعَ عَلَيْهَا عِدَّتَانِ لَا يَتَدَاخَلَانِ فَتُقَدَّمُ عِدَّةُ الْأَوَّلِ لِصِحَّةِ عَقْدِهِ وَقُوَّةِ حَقِّهِ فَتَعْتَدُّ مِنْهُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، ثُمَّ تَعْتَدُّ بَعْدَ انْقِضَائِهَا عَنِ الثَّانِي بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، فَلَوْ لَمْ يُعْلَمْ بِمَوْتِهِمَا حَتَّى مَضَتْ عَلَيْهَا الْعِدَّتَانِ حَلَّتْ، لِأَنَّ الْعِدَّةَ مَضَى زَمَانٌ لَا يُعْتَبَرُ فِيهِ النِّيَّةُ ثُمَّ قَدْ مَضَى الزَّمَانُ فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ بِهِ الِاعْتِدَادُ.

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila keduanya (dua suami) meninggal dalam satu waktu yang sama, maka terdapat dua masa ‘iddah yang tidak saling tumpang tindih. Maka didahulukan masa ‘iddah dari suami pertama karena akadnya sah dan haknya lebih kuat, sehingga ia menjalani masa ‘iddah darinya selama empat bulan sepuluh hari, kemudian setelah selesai masa itu, ia menjalani masa ‘iddah dari suami kedua selama tiga quru’. Jika kematian keduanya tidak diketahui hingga kedua masa ‘iddah itu telah berlalu, maka ia telah halal (boleh menikah lagi), karena masa ‘iddah adalah waktu yang telah berlalu yang tidak dipertimbangkan niat di dalamnya, dan waktu itu telah berlalu sehingga wajib dihitung sebagai masa ‘iddah.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ لَا يُعْلَمَ أَيُّهُمَا تَقَدَّمَ مَوْتُهُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ الِاعْتِدَادُ بِمَا بَيْنَ الْمَوْتَيْنِ، وَإِنْ كَانَ مَعْلُومَ الْقَدْرِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَتَقَدَّمَ مَوْتُ الثَّانِي فَتَعْتَدَّ بِهِ مِنْ أَقْرَائِهِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَقَدَّمَ مَوْتُ الْأَوَّلِ فَلَا تُعْتَدُّ بِهِ شُهُورِهِ فَلَمْ يَجُزْ مَعَ الْإِشْكَالِ أَنْ تَعْتَدَّ بِهِ فِي حَقِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، فَأَمَّا مَا بَعْدَ الْمَوْتَتَيْنِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا أَوْ غَيْرَ مَعْلُومٍ، فَإِنْ كَانَ مَعْلُومًا كَانَ مَحْسُوبًا مِنْ شُهُورِ الْأَوَّلِ، وَلَا يُحْتَسَبُ مِنْ أَقْرَاءِ الثَّانِي لِأَنَّ عِدَّةَ الْأَوَّلِ مُقَدَّمَةٌ عَلَى عِدَّةِ الثَّانِي، فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا اسْتَأْنَفَتْ لِلثَّانِي ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ، وَإِنْ كَانَ مَا بَعْدَ الْمَوْتَيْنِ مَجْهُولًا اسْتَظْهَرَتْ فِيهِ بِأَقْرَبِ عَهْدِهِ وَأَقْرَبِهِ عَهْدًا مَسَافَةً فَإِنْ كَانَ الْمَوْتُ عَلَى مَسَافَةِ شَهْرٍ احْتُسِبَ بِشَهْرٍ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ، وَبَنَتْ، وَإِنْ كَانَ حَتَّى تَسْتَيْقِنَ بَعْدَ الْمَوْتَيْنِ عَلَى مَسَافَةِ عَشَرَةِ أَيَّامٍ احْتَسَبَتْ بِهَا ثُمَّ بَنَتِ اسْتِكْمَالَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ وَثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ عِنْدَ مَوْتِهِمَا حَامِلًا فَحَبَلُهَا لَاحِقٌ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ فَتَنْقَضِي بِهِ عِدَّةُ الثَّانِي، وَإِنْ تَأَخَّرَ مَوْتُهُ، لِأَنَّ الْحَمْلَ لَا يُعْتَدُّ بِوَضْعِهِ إِلَّا مِمَّنْ هُوَ لَاحِقٌ بِهِ ثُمَّ عَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بَعْدَ الْوَضْعِ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ عَنِ الْأَوَّلِ، وَهَلْ تُحْتَسَبُ بِمُدَّةِ النِّفَاسِ فِيهَا أَمْ لَا: عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun bagian keempat: yaitu apabila tidak diketahui siapa di antara keduanya yang lebih dahulu meninggal, maka tidak boleh masa ‘iddah dihitung dari waktu antara dua kematian, meskipun durasinya diketahui, karena bisa jadi kematian suami kedua yang lebih dahulu sehingga ia menjalani masa ‘iddah darinya dengan tiga quru’, dan bisa jadi kematian suami pertama yang lebih dahulu sehingga ia tidak menjalani masa ‘iddah dari bulan-bulannya. Maka, selama ada keraguan, tidak boleh ia menjalani masa ‘iddah itu untuk salah satu dari keduanya. Adapun setelah kedua kematian itu, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: diketahui atau tidak diketahui. Jika diketahui, maka waktu itu dihitung sebagai bagian dari bulan-bulan masa ‘iddah suami pertama, dan tidak dihitung sebagai bagian dari quru’ masa ‘iddah suami kedua, karena masa ‘iddah suami pertama didahulukan atas masa ‘iddah suami kedua. Maka, jika ia telah menyempurnakan empat bulan sepuluh hari, ia memulai masa tiga quru’ untuk suami kedua. Jika waktu setelah kedua kematian itu tidak diketahui, maka ia memperkirakan dengan waktu yang paling dekat dan jarak yang paling dekat. Jika kematian terjadi dalam jarak satu bulan, maka dihitung satu bulan dari masa ‘iddah suami pertama, lalu dilanjutkan. Jika sampai ia yakin setelah kedua kematian itu dalam jarak sepuluh hari, maka ia menghitungnya, lalu melanjutkan penyempurnaan empat bulan sepuluh hari dan tiga quru’. Adapun jika saat kedua suami meninggal ia dalam keadaan hamil, maka kehamilannya dinisbatkan kepada suami kedua, bukan suami pertama, sehingga masa ‘iddah suami kedua selesai dengan kelahiran, meskipun kematiannya lebih akhir, karena kehamilan tidak dianggap selesai kecuali dari orang yang kehamilannya dinisbatkan kepadanya. Setelah itu, ia wajib menjalani masa ‘iddah setelah melahirkan selama empat bulan sepuluh hari dari suami pertama. Adapun apakah masa nifas dihitung dalam masa ‘iddah tersebut atau tidak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أبي علي بن أبي هريرة لَا تُحْتَسَبُ مُدَّةُ نِفَاسِهَا فِي عِدَّةِ الْأَوَّلِ، لِأَنَّ النِّفَاسِ مِنْ تَوَابِعِ الْعِدَّةِ الْفَاسِدَةِ فَكَانَ فِي حُكْمِهَا.

Salah satunya: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa masa nifas tidak dihitung dalam masa ‘iddah suami pertama, karena nifas termasuk bagian dari masa ‘iddah yang rusak, sehingga hukumnya mengikuti masa ‘iddah tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَالظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تُحْتَسَبُ مُدَّةُ النِّفَاسِ مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ، لِأَنَّهَا بِالْوِلَادَةِ خَارِجَةٌ عن عدة الثاني، وتحمل لِلْأَزْوَاجِ لَوْ حَلَّتْ مِنْ عِدَّةٍ أُخْرَى.

Pendapat kedua: yaitu pendapat jumhur, dan yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i bahwa masa nifas dihitung dalam masa ‘iddah suami pertama, karena dengan kelahiran ia telah keluar dari masa ‘iddah suami kedua, dan berlaku bagi para istri jika ia telah halal dari masa ‘iddah yang lain.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا مَاتَتِ الزَّوْجَةُ عِنْدَ الثَّانِي فَمِيرَاثُهَا لِمَنْ صَحَّ نِكَاحُهُ مِنْهَا.

Adapun jika istri meninggal pada masa suami kedua, maka warisannya diberikan kepada pihak yang sah pernikahannya dengannya.

فَإِنْ قِيلَ بِصِحَّةِ نِكَاحِ الثَّانِي عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ كَانَ مِيرَاثُهَا لِلثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ، وإن قبل بِبَقَاءِ النِّكَاحِ لِلْأَوَّلِ وَفَسَادِ نِكَاحِ الثَّانِي كَانَ مِيرَاثُهَا لِلْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي، وَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ ذَلِكَ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” ثُمَّ قَالَ: وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَهْرَهَا، وَنَقَلَ الْمُزَنِيُّ ذَلِكَ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ وَتَكَلَّمَ عَلَيْهِ، وَقَالَ: هَذَا غَلَطٌ يَنْبَغِي أَنْ يَأْخُذَ الْمَهْرَ، لِأَنَّهَا مَلَكَتْهُ فَصَارَ كَسَائِرِ أَمْلَاكِهَا، وَهَذَا الَّذِي تَوَهَّمَهُ الْمُزَنِيُّ لَيْسَ بِصَحِيحٍ بَلْ مَهْرُهَا عَلَى الثَّانِي مِلْكٌ لَهَا وَمِنْ جَمَاعَةِ تَرِكَتِهَا وَيَرِثُ الْأَوَّلُ مِنْهُ قَدْرَ حَقِّهِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا عَنَاهُ الشَّافِعِيُّ بِقَوْلِهِ: ” وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَهْرَهَا ” عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan bahwa pernikahan kedua sah menurut pendapatnya dalam qaul qadim, maka warisannya menjadi milik suami kedua, bukan yang pertama. Namun jika dikatakan bahwa pernikahan pertama tetap berlaku dan pernikahan kedua batal, maka warisannya menjadi milik suami pertama, bukan yang kedua. Hal ini telah disebutkan oleh asy-Syafi‘i dalam kitab “al-Umm”, kemudian beliau berkata: “Dan tidak berhak baginya (suami pertama) mengambil maharnya.” Al-Muzani menukil hal itu dalam kitab “Jami‘ al-Kabir” dan membahasnya, lalu berkata: “Ini adalah kekeliruan, seharusnya ia (suami pertama) mengambil maharnya, karena mahar itu telah menjadi miliknya (istri), sehingga menjadi seperti harta miliknya yang lain.” Namun apa yang dipahami oleh al-Muzani ini tidaklah benar, bahkan maharnya atas suami kedua adalah milik istri dan menjadi bagian dari harta peninggalannya, dan suami pertama mewarisi bagiannya dari mahar tersebut. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai maksud asy-Syafi‘i dengan ucapannya: “Dan tidak berhak baginya mengambil maharnya,” menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ – إنَّهُ عنى بِهَذَا التَّخْيِيرِ الَّذِي يَذْهَبُ إِلَيْهِ مَالِكٌ، وَأَحْمَدُ، أَنْ يَكُونَ مُخَيَّرًا بَيْنَ إِقْرَارِهَا عَلَى الثَّانِي وَأَخْذِ مَهْرِهَا مِنْهُ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, bahwa maksudnya adalah pilihan sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Malik dan Ahmad, yaitu suami pertama diberi pilihan antara membiarkan istri bersama suami kedua dan mengambil maharnya dari suami kedua.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ مَهْرَ الِاسْتِمْتَاعِ، لِأَنَّهُ لَهَا دُونَ الزَّوْجِ بِخِلَافِ مَا حَكَاهُ الْكَرَابِيسِيُّ فَيَكُونُ لَهُ بَعْدَ الْمَوْتِ قَدْرُ مِيرَاثِهِ مِنْهُ، وَلَا يَكُونُ لَهُ جَمِيعُهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua, bahwa yang dimaksud adalah mahar istimta‘, karena itu menjadi hak istri, bukan hak suami, berbeda dengan apa yang diriwayatkan oleh al-Karabisi. Maka setelah wafat, suami pertama hanya berhak atas bagian warisannya dari mahar tersebut, dan tidak seluruhnya. Allah Maha Mengetahui.

باب استبراء أم الولد من كتابين امرأة المفقود وعدتها إذا نكحت غيره وغير ذلك

(Bab tentang istibra’ umm al-walad dari dua kitab: wanita yang suaminya hilang dan masa ‘iddahnya jika menikah dengan laki-laki lain, serta hal-hal lain yang berkaitan)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ فِي أُمِّ الْوَلَدِ يُتَوَفَّى عَنْهَا سَيِّدُهَا تَعْتَدُّ بِحَيْضَةٍ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: “Malik telah memberitakan kepada kami dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata tentang umm al-walad yang tuannya wafat, maka ia ber‘iddah satu kali haid.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا مَاتَ السَّيِّدُ عَنْ أُمِّ وَلَدِهِ لَزِمَهَا أَنْ تَسْتَبْرِئَ نَفْسَهَا بِقُرْءٍ وَاحِدٍ، وَكَذَلِكَ الْمُدَبَّرَةُ، وَالْأَمَةُ الْمُشْتَرَاةُ وَالْحُرَّةُ الْمُسْتَرَقَّةُ بِالسَّبْيِ فَيَلْزَمُ هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَ أَنْ يَسْتَبْرِئْنَ أَنْفُسَهُنَّ بِقُرْءٍ وَاحِدٍ، وَوَافَقَ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى الْأَمَةِ والمسبية أنهما يستبرئا نفسهما بِقُرْءٍ وَاحِدٍ، وَخَالَفَ فِي الْمُدَبَّرَةِ فَقَالَ: لَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا، وَخَالَفَ فِي أُمِّ الْوَلَدِ فَقَالُ: تَسْتَبْرِئُ نَفْسَهَا بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، وَكَذَلِكَ لَوْ أَعْتَقَهَا سَيِّدُهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika seorang tuan wafat dan meninggalkan umm al-walad, maka wajib baginya untuk melakukan istibra’ (menyucikan rahim) dengan satu kali quru’ (masa suci atau haid), demikian pula bagi al-mudabbara, al-amah al-musytara (budak perempuan yang dibeli), dan al-hurrah al-mustaraqah bis-sabyi (perempuan merdeka yang diperbudak karena tawanan perang), maka keempat golongan ini wajib melakukan istibra’ dengan satu kali quru’. Abu Hanifah sepakat mengenai al-amah dan al-musbiyah bahwa keduanya melakukan istibra’ dengan satu kali quru’, namun berbeda pendapat dalam hal al-mudabbara, ia berkata: tidak ada istibra’ atasnya. Ia juga berbeda pendapat dalam hal umm al-walad, ia berkata: umm al-walad melakukan istibra’ dengan tiga kali quru’, demikian pula jika tuannya memerdekakannya.

وَقَالَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ: أُمُّ الْوَلَدِ إِذَا مَاتَ عَنْهَا سَيِّدُهَا تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا كَالْحُرَّةِ.

Amr bin al-‘Ash berkata: Umm al-walad jika tuannya wafat, maka ia ber‘iddah selama empat bulan sepuluh hari seperti perempuan merdeka.

فَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ عِدَّةَ أُمِّ الْوَلَدِ ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ، وَهُوَ قَوْلُ عَلِيٍّ، وَابْنِ مَسْعُودٍ بِمَا رُوِيَ أَنَّ مَارِيَةَ اعْتَدَّتْ لِوَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، وَهِيَ لَا تَفْعَلُ ذَلِكَ إِلَّا عَنْ تَوْقِيفٍ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ، قَالَ وَلِأَنَّهَا عِدَّةٌ وَجَبَتْ فِي حَالِ الْحُرِّيَّةِ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ كَامِلَةً كَعِدَّةِ الْحُرَّةِ الْمُطَلَّقَةِ.

Adapun Abu Hanifah berdalil bahwa masa ‘iddah umm al-walad adalah tiga kali quru’, dan ini juga merupakan pendapat ‘Ali dan Ibnu Mas‘ud, berdasarkan riwayat bahwa Mariyah ber‘iddah karena wafatnya Rasulullah ﷺ dengan tiga kali quru’, dan ia tidak melakukan hal itu kecuali berdasarkan petunjuk (tawqif), karena ia bukan termasuk ahli ijtihad. Ia juga berkata: karena ‘iddah itu wajib dilakukan dalam keadaan merdeka, maka wajib pula sempurna seperti ‘iddah perempuan merdeka yang ditalak.

قَالَ وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ مُعْتَبَرَةٌ بِأَحَدِ طَرَفَيْهَا وَأُمُّ الْوَلَدِ فِي طَرَفَيْ عِدَّتِهَا حُرَّةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عِدَّتُهَا عِدَّةَ حُرَّةٍ.

Ia juga berkata: karena ‘iddah itu diukur dengan salah satu dari dua pihak, dan umm al-walad pada kedua sisi ‘iddahnya adalah perempuan merdeka, maka wajib baginya menjalani ‘iddah seperti perempuan merdeka.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِقُرْءٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ وَعُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ قَوْلُ اللَّهُ تَعَالَى {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] فَجَعَلَ الْأَقْرَاءَ الثَّلَاثَةَ عِدَّةَ مَنْ يَلْحَقُهَا الطَّلَاقُ، وَذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِالزَّوْجَاتِ دُونَ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ، وَلِأَنَّهُ اسْتِبْرَاءٌ عَنْ مِلْكٍ فَوَجَبَ أَنْ تَقْتَصِرَ فِيهِ عَلَى قُرْءٍ كَالْأَمَةِ الْمُشْتَرَاةِ، وَلِأَنَّ ذَوَاتَ الْأَعْدَادِ مِنَ الْعِدَدِ لَا يَجِبُ اسْتِيفَاءُ عَدَدِهَا عَلَى أُمِّ الْوَلَدِ كَعِدَّةِ الْوَفَاةِ، وَلِأَنَّهَا عِدَّةٌ وَجَبَتْ عن انتقال رق وَحُرِّيَّةٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَكُونَ كَامِلَةً كَالْمَسْبِيَّةِ، لِأَنَّ الْمَسْبِيَّةَ كَانَتْ حُرَّةً فَرُقَّتْ كَالسَّبْيِ، وَهَذِهِ كَانَتْ أَمَةً فَعَتَقَتْ بِالْمَوْتِ وَالْجَمِيعُ انْتِقَالُ عِتْقٍ وَحُرِّيَّةٍ، وَلِأَنَّ أُمَّ الْوَلَدِ لَمَّا انْتَفَى عَنْهَا أحكام النِّكَاحِ مِنَ الطَّلَاقِ، وَالظِّهَارِ، وَالْإِيلَاءِ انْتَفَى عَنْهَا عِدَّةُ النِّكَاحِ؛ وَلِأَنَّهَا لَا تَخْلُو فِي اسْتِبْرَائِهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ مُعْتَبَرَةً بِالْحَرَائِرِ، أَوْ بِالْإِمَاءِ فَلَمَّا لَمْ يَلْزَمْهَا عِدَّةُ الْوَفَاةِ بَطَلَ اعْتِبَارُهَا بِالْحَرَائِرِ، وَثَبَتَ اعْتِبَارُهَا بِالْإِمَاءِ.

Dan dalil bahwa ia (umm al-walad) menjalani masa iddah dengan satu quru’, adalah pendapat Umar, Utsman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, Aisyah, dan Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhum, serta firman Allah Ta‘ala: {Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga quru’} (al-Baqarah: 228). Maka Allah menjadikan tiga quru’ sebagai masa iddah bagi perempuan yang terkena talak, dan itu khusus bagi para istri, tidak termasuk umm al-walad. Karena iddah tersebut adalah istibra’ dari kepemilikan, maka wajib dibatasi dengan satu quru’ seperti budak perempuan yang dibeli. Juga karena perempuan-perempuan yang memiliki masa iddah tertentu tidak wajib memenuhi jumlah iddahnya pada umm al-walad, seperti iddah wafat. Dan karena iddah ini diwajibkan karena perpindahan status dari budak menjadi merdeka, maka tidak boleh disamakan dengan iddah yang sempurna, seperti perempuan yang ditawan, karena perempuan yang ditawan sebelumnya merdeka lalu menjadi budak seperti tawanan, sedangkan umm al-walad sebelumnya budak lalu merdeka karena kematian (tuannya), dan keduanya sama-sama mengalami perpindahan status dari budak ke merdeka. Dan karena pada umm al-walad telah gugur hukum-hukum nikah seperti talak, zihar, dan ila’, maka gugur pula iddah nikah darinya. Dan dalam istibra’-nya, ia tidak lepas dari dua kemungkinan: disamakan dengan perempuan merdeka atau dengan budak perempuan. Maka ketika ia tidak diwajibkan menjalani iddah wafat, gugurlah penyamaannya dengan perempuan merdeka, dan tetaplah penyamaannya dengan budak perempuan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اعْتِدَادِ مَارِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا بِثَلَاثَةِ أقراء فهو أن فعلها أضعف حكماً في قَوْلِهَا، وَلَيْسَ قَوْلُهَا حُجَّةً فَفِعْلُهَا أَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ حُجَّةً وَعَلَى أَنَّ الْعِدَّةَ تُعْتَبَرُ مِمَّنْ تَحِلُّ لِلْأَزْوَاجِ وَمَارِيَةُ مُحَرَّمَةٌ بَعْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى جَمِيعِ الْأُمَّةِ، فَكَانَ كُلُّ زَمَانِهَا عِدَّةً فَلَمْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ.

Adapun jawaban atas (riwayat) bahwa Maryam radhiyallahu ‘anha menjalani iddah tiga quru’, maka perbuatannya lebih lemah kedudukannya daripada ucapannya, dan ucapannya sendiri bukanlah hujjah, maka perbuatannya lebih utama untuk tidak dijadikan hujjah. Selain itu, iddah itu diperhitungkan bagi perempuan yang halal dinikahi, sedangkan Maryam haram dinikahi setelah Nabi ﷺ oleh seluruh umat, sehingga seluruh masa hidupnya adalah iddah, maka ia tidak menjalani iddah tiga quru’.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحُرَّةِ فَالْمَعْنَى فِيهَا: أَنَّهَا تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ، وَذَلِكَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي أُمِّ الْوَلَدِ فَكَذَلِكَ الْأَقْرَاءُ الثَّلَاثَةُ.

Adapun qiyas mereka terhadap perempuan merdeka, maka maksudnya adalah: perempuan merdeka menjalani iddah wafat, dan hal itu tidak berlaku pada umm al-walad, maka demikian pula tiga quru’ (tidak berlaku padanya).

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِكَمَالِ طَرَفَيْهَا فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ، لِأَنَّ الطَّرَفَ الْأَوَّلَ حَالُ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فِي الرِّقِّ، وَهُوَ طَرَفٌ نَاقِصٌ وَنُقْصَانُ أَحَدِ الطَّرَفَيْنِ مُوجِبٌ لِنُقْصَانِ الْعِدَّةِ كَالْحُرَّةِ إِذَا سُبِيَتْ لَمَّا نَقَصَ طَرَفُهَا الْأَدْنَى وَإِنْ كَمُلَ طَرَفُهَا الْأَعْلَى اقْتَصَرَتْ عَلَى قُرْءٍ وَاحِدٍ، وَهَذَا اسْتِدْلَالٌ وَانْفِصَالٌ.

Adapun dalil mereka dengan kesempurnaan dua sisi (status) umm al-walad, maka itu tidak dapat diterima, karena sisi pertama adalah keadaan saat ia dinikmati dalam status budak, dan itu adalah sisi yang kurang. Kekurangan salah satu sisi menyebabkan kekurangan iddah, seperti perempuan merdeka yang ditawan, ketika sisi bawahnya berkurang meskipun sisi atasnya sempurna, maka ia cukup menjalani satu quru’. Ini adalah penjelasan dan pemisahan (antara dua keadaan).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ فَقَدْ رَوَى رَجَاءُ بْنُ حَيْوَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ، قَالَ: لَا تُلَبِّسُوا عَلَيْنَا سُنَّةَ نَبِيِّنَا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عِدَّتُهَا عِدَّةُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وعشراً يَعْنِي أُمَّ الْوَلَدِ فَأَضَافَ ذَلِكَ إِلَى سُنَّةِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَصَارَ كَالرِّوَايَةِ عَنْهُ نَقْلًا، وَهَذَا أَحَدُ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ.

Adapun ‘Amr bin al-‘Ash, maka telah meriwayatkan Raja’ bin Haywah dari Qabisah bin Dzu’aib bahwa ‘Amr bin al-‘Ash berkata: “Janganlah kalian mencampuradukkan kepada kami sunnah Nabi kita ﷺ. Masa iddahnya (umm al-walad) adalah masa iddah perempuan yang ditinggal wafat suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.” Maksudnya adalah umm al-walad. Maka ia menisbatkan hal itu kepada sunnah Nabi ﷺ, sehingga kedudukannya seperti riwayat darinya secara langsung. Dan ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا} [البقرة: 232] فَجَعَلَ عِدَّةَ الْوَفَاةِ مَقْصُورَةً عَلَى الْأَزْوَاجِ دُونَ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ، وَلِأَنَّهُ اسْتِبْرَاءٌ عَنْ مِلْكٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِقُرْءٍ كَالْأَمَةِ.

Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang meninggal di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka (istri-istri itu) menunggu empat bulan sepuluh hari} (al-Baqarah: 232). Maka Allah menjadikan iddah wafat hanya berlaku bagi para istri, tidak termasuk umm al-walad. Dan karena iddah ini adalah istibra’ dari kepemilikan, maka wajib hanya satu quru’ seperti budak perempuan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَمِنْ وُجُوهٍ:

Adapun jawaban atas khabar tersebut ada beberapa sisi:

أَحَدُهَا: مَا حَكَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ أَنَّهُ مُنْقَطِعٌ، لِأَنَّ قَبِيصَةَ لَمْ يَسْمَعْهُ مِنْ عَمْرِو.

Pertama: Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni bahwa sanadnya terputus, karena Qabisah tidak mendengarnya langsung dari ‘Amr.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرِّوَايَةَ ” لَا تُلَبِّسُوا عَلَيْنَا سُنَّةَ نَبِيِّنَا ” يَعْنِي بَيْنَ الصَّحَابَةِ، وَقَدِ اخْتَلَفُوا فِيهَا.

Kedua: bahwa riwayat “janganlah kalian mengaburkan kepada kami sunnah Nabi kami” maksudnya adalah di antara para sahabat, dan mereka telah berselisih pendapat dalam hal ini.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ مَحْمُولٌ مِنْهُ عَلَى سنة النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الِاجْتِهَادِ الْمَعْمُولِ عَلَيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Ketiga: bahwa hal itu dimaknai sebagai sunnah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam ijtihad yang diamalkan, dan Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا تَحِلُّ أُمُّ الْوَلَدِ لِلْأَزْوَاجِ حَتَّى تَرَى الطُّهْرَ مِنَ الْحَيْضَةِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak halal bagi umm al-walad untuk menikah lagi sampai ia melihat suci dari satu kali haid.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ اسْتِبْرَاءَ أُمِّ الْوَلَدِ إِذَا مَاتَ سَيِّدُهَا أَوْ أَعْتَقَهَا فِي حياته بقروء وَاحِدٍ كَالْأَمَةِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الْقُرْءِ هَلْ مَقْصُودُهُ الطُّهْرُ، وَالْحَيْضُ فِيهِ تَبَعٌ كَالْعِدَّةِ أَمْ مَقْصُودُهُ الْحَيْضُ، وَالطُّهْرُ فِيهِ تَبَعٌ بِخِلَافِ الْعِدَّةِ عَلَى وَجْهَيْنِ ذكرهما البغدادي.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa masa istibra’ (penantian) umm al-walad apabila tuannya meninggal atau memerdekakannya semasa hidupnya adalah satu kali quru’ seperti budak perempuan biasa. Jika demikian, maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai quru’ ini: apakah yang dimaksud adalah masa suci, dan haid di dalamnya hanya sebagai pengikut seperti dalam masa ‘iddah, ataukah yang dimaksud adalah haid, dan suci di dalamnya hanya sebagai pengikut, berbeda dengan ‘iddah, sebagaimana dua pendapat yang disebutkan oleh al-Baghdadi.

وَوَجْهٌ ثَالِثٌ ذَكَرَهُ الْبَصْرِيُّونَ فَصَارَ فِيهَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ، لِأَنَّ كَلَامَ الشَّافِعِيِّ فِيهَا مُحْتَمَلٌ وَلِاحْتِمَالِهِ خَرَّجَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا أَقَاوِيلَ عَنْهُ، فَأَحَدُ الْوُجُوهِ: أَنَّ الْمَقْصُودَ فِيهِ الطُّهْرُ، وَالْحَيْضُ تَبَعٌ كَالْعِدَّةِ، فَعَلَى هَذَا لَهَا عِنْدَ مَوْتِ السَّيِّدِ أَوْ عِتْقِهِ حَالَتَانِ، حَائِضٌ أَوْ طَاهِرٌ، فَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا لَمْ تَعْتَدَّ بِبَقِيَّةِ الْحَيْضِ، فَإِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا دَخَلَتْ فِي قُرُوئهَا فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ طُهْرَهَا وَرَأَتْ دَمَ الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ حَلَّت وَإِنْ كَانَتْ طَاهِرًا، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي بَقِيَّةِ هَذَا الطُّهْرِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ هَلْ يَكُونُ قُرْءًا مُعْتَدًّا بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Dan ada pendapat ketiga yang disebutkan oleh ulama Basrah, sehingga dalam masalah ini terdapat tiga pendapat. Hal ini karena perkataan Imam Syafi‘i dalam masalah ini mengandung kemungkinan makna, dan karena kemungkinannya itu sebagian sahabat kami mengeluarkan beberapa pendapat darinya. Salah satu pendapat: bahwa yang dimaksud adalah masa suci, dan haid hanya sebagai pengikut seperti dalam ‘iddah. Maka, dalam hal ini, ketika tuannya meninggal atau memerdekakannya, umm al-walad memiliki dua keadaan: sedang haid atau sedang suci. Jika ia sedang haid, maka ia tidak menghitung sisa haidnya, sehingga ketika haidnya selesai, ia masuk ke dalam masa quru’-nya. Jika ia telah menyempurnakan masa sucinya dan melihat darah haid kedua, maka ia telah halal. Dan jika ia sedang suci, maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai sisa masa suci ini dalam pendapat ini: apakah sisa masa suci ini dihitung sebagai satu quru’ yang sah atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ إنَّهُ يَكُونُ قُرْءًا كَمَا يكون في العدة قروءاً لَكِنْ تُضَمُّ إِلَيْهِ حَيْضَةٌ كَامِلَةٌ لِيُعْرَفَ بِهَا بَرَاءَةُ الرَّحِمِ بِبَقِيَّةِ الطُّهْرِ، فَإِذَا مَضَتْ بَقِيَّةُ طُهْرِهَا وَاسْتَكْمَلَتِ الْحَيْضَةَ الَّتِي بَعْدَهَا وَانْقَطَعَتْ حَلَّتْ.

Salah satunya, yaitu pendapat ulama Baghdad, bahwa sisa masa suci itu dihitung sebagai satu quru’ sebagaimana dalam ‘iddah, namun harus ditambahkan satu kali haid penuh agar dapat diketahui bersihnya rahim dengan sisa masa suci tersebut. Maka, apabila sisa masa sucinya telah berlalu dan ia telah menyempurnakan satu kali haid setelahnya dan haid itu telah selesai, maka ia telah halal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهَا لَا تَعْتَدُّ بِبَقِيَّةِ، هَذَا الطُّهْرِ قُرْءًا وَإِنْ كَانَ في العدة قروءاً لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua, yaitu pendapat ulama Basrah, bahwa ia tidak menghitung sisa masa suci ini sebagai satu quru’, meskipun dalam ‘iddah dihitung sebagai quru’, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ كَانَ قُرْءًا لَوَقَعَ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهِ، وَلَمْ تُضَمَّ إِلَيْهِ حَيْضَةٌ مُسْتَكْمِلَةً، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ ذَلِكَ فَثَبَتَ أَنَّهُ لَيْسَ بِقُرْءٍ.

Pertama: jika sisa masa suci itu dihitung sebagai satu quru’, niscaya cukup dengan itu saja dan tidak perlu ditambahkan satu kali haid penuh, dan tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian. Maka, tetaplah bahwa itu bukanlah satu quru’.

وَالثَّانِي: وَهُوَ فَرْقٌ وَتَوْجِيهٌ: أَنَّهُ يَكُونُ فِي الْعِدَّةِ قُرُوءًا لِكَوْنِهِ تَبَعًا لِأَقْرَاءٍ كَامِلَةٍ فَقَوِيَ حُكْمُهُ بِأَتْبَاعِهَا، وَلَمْ يَكُنْ قُرْءًا فِي العدة لانفراده من غير فَضَعُفَ عَنْ حُكْمِ الْكَمَالِ، فَعَلَى هَذَا لَا تَعْتَدُّ بِبَقِيَّةِ هَذَا الطُّهْرِ حَتَّى يَنْقَضِيَ وَتَحِيضَ ثم الطهر، فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ هَذَا الطُّهْرَ وَرَأَتْ دَمَ الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ حَلَّتْ فَهَذَا حُكْمُ الْوَجْهِ الْأَوَّلِ أَنَّ الطُّهْرَ هُوَ الْمَقْصُودُ فِي هَذَا الْقُرُوءِ كَالْعِدَّةِ.

Kedua, yaitu perbedaan dan penjelasan: bahwa dalam ‘iddah, sisa masa suci itu dihitung sebagai quru’ karena mengikuti quru’-quru’ yang sempurna, sehingga hukumnya menjadi kuat karena mengikuti yang lain. Namun dalam masalah ini, sisa masa suci itu berdiri sendiri tanpa diikuti yang lain, sehingga hukumnya menjadi lemah dari kesempurnaan. Oleh karena itu, ia tidak menghitung sisa masa suci ini sampai masa suci itu selesai dan ia mengalami haid, kemudian suci kembali. Jika ia telah menyempurnakan masa suci ini dan melihat darah haid kedua, maka ia telah halal. Inilah hukum dari pendapat pertama, bahwa masa suci adalah yang dimaksud dalam quru’ ini seperti dalam ‘iddah.

والوجه الثاني: أن المقصد في هذا القروء وَالْحَيْضَ، وَالطُّهْرُ فِيهِ تَبَعٌ بِخِلَافِ الْعِدَّةِ.

Dan pendapat kedua: bahwa yang dimaksud dalam quru’ ini adalah haid, dan masa suci di dalamnya hanya sebagai pengikut, berbeda dengan ‘iddah.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ فِي أَقْرَاءِ الْعِدَّةِ حَيْضًا كَامِلًا فَقَوَّى طُهْرَهَا فِي الِاسْتِبْرَاءِ، فَكَانَ الطُّهْرُ فِيهَا مَقْصُودًا وَطُهْرُ الِاسْتِبْرَاءِ يَضْعُفُ بِانْفِرَادِهِ عَنْ بَرَاءَةِ الرَّحِمِ فَصَارَ الْحَيْضُ فِيهِ مقُصودًا لِأَنَّ الطُّهْرَ لَا يُنَافِي الْحَمْلَ، وَإِنَّمَا يُنَافِيهِ الْحَيْضُ، فَعَلَى هَذَا لَهَا حَالَتَانِ حَائِضٌ أَوْ طَاهِرٌ، وَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا لَمْ تَعْتَدَّ بِبَقِيَّةِ هَذَا الْحَيْضِ بوفاق البغداديين وَالْبَصْرِيِّينَ وَإِنْ خَالَفَ الْبَغْدَادِيُّونَ فِي الِاعْتِدَادِ بِبَقِيَّةِ الطُّهْرِ، وَجَعَلَهُ الْبَصْرِيُّونَ حُجَّةً عَلَيْهِمْ فِي بَقِيَّةِ الطُّهْرِ، وَفَرَّقَ الْبَغْدَادِيُّونَ بَيْنَهُمَا: بِأَنَّ بَقِيَّةَ الْحَيْضِ يَتَعَقَّبُهُ طُهْرٌ لَا يَدُلُّ عَلَى بَرَاءَةِ الرَّحِمِ فَلَمْ يُعْتَدَّ بِهِ، وَبَقِيَّةُ الطُّهْرِ تَتَعَقَّبُهُ حَيْضٌ يَدُلُّ عَلَى بَرَاءَةِ الرَّحِمِ فَاعْتَدَّتْ بِهِ وَهَذَا، وَهَذَا تَزْوِيقٌ، وَلَيْسَ تَحْقِيقًا وَلَوْ عُكِسَ لَكَانَ أَشْبَهَ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa dalam qirā’ (masa suci) ‘iddah terdapat satu haid yang sempurna sehingga memperkuat masa sucinya dalam istibra’, sehingga masa suci di dalamnya menjadi tujuan, sedangkan masa suci istibra’ menjadi lemah karena terpisah dari terbebasnya rahim, sehingga haid di dalamnya menjadi tujuan, karena masa suci tidak menafikan kemungkinan hamil, yang menafikannya hanyalah haid. Berdasarkan hal ini, ada dua keadaan baginya: haid atau suci. Jika ia sedang haid, maka ia tidak menghitung sisa haid tersebut menurut kesepakatan ulama Baghdad dan Basrah, meskipun ulama Baghdad berbeda pendapat dalam menghitung sisa masa suci, dan ulama Basrah menjadikannya sebagai hujjah atas mereka dalam sisa masa suci. Ulama Baghdad membedakan antara keduanya: bahwa sisa haid diikuti oleh masa suci yang tidak menunjukkan terbebasnya rahim, sehingga tidak dihitung, sedangkan sisa masa suci diikuti oleh haid yang menunjukkan terbebasnya rahim, sehingga dihitung. Namun ini hanyalah penghiasan kata, bukan hakikat, dan seandainya dibalik justru lebih mendekati kebenaran.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ مَاتَ سَيِّدُهَا فِي أَوَّلِ حَيْضِهَا اعْتَدَّتْ بِتِلْكَ الْحَيْضَةِ، وَإِنْ مَاتَ فِي آخِرِهَا لَمْ تَعْتَدَّ بِهِ، وَفَرَّقَ بَيْنَ أَوَّلِ الْحَيْضِ وَآخِرِهِ بِأَنَّ قُوَّةَ أَوَّلِهِ تَمْنَعُ مِنْ عُلُوقِ الْوَلَدِ فَبَرَأَ بِهِ الرَّحِمُ وَضَعْفُ آخِرِهِ لَا يَمْنَعُ مِنْ عُلُوقِ الْوَلَدِ، فَلَمْ يَبْرَأْ بِهِ الرَّحِمُ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Imam Malik berkata: Jika tuannya meninggal pada awal haidnya, maka ia ber‘iddah dengan haid tersebut, dan jika tuannya meninggal pada akhir haidnya, maka ia tidak ber‘iddah dengannya. Ia membedakan antara awal haid dan akhirnya dengan alasan bahwa kekuatan awal haid mencegah terjadinya kehamilan sehingga rahim menjadi bersih karenanya, sedangkan lemahnya akhir haid tidak mencegah terjadinya kehamilan, sehingga rahim tidak bersih karenanya. Pendapat ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ بَرِئَ بِهِ الرَّحِمُ فِي الِاسْتِبْرَاءِ لَبَرِئَ بِهِ الرَّحِمُ فِي الْعِدَّةِ.

Pertama: Jika rahim telah bersih karenanya dalam istibra’, maka rahim juga akan bersih karenanya dalam ‘iddah.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ بَرِئَ الرَّحِمُ بِأَوَّلِهِ لَمْ يُحْتَجْ إِلَى اسْتِكْمَالِ آخِرِهِ.

Kedua: Jika rahim telah bersih dengan awal haid, maka tidak perlu menyempurnakan akhir haid.

فَإِذَا ثَبَتَ، مَا ذَكَرْنَا أَنَّهَا لَا تَعْتَدُّ بَقِيَّةَ حَيْضِهَا، فَإِذَا طَهُرَتْ مِنْهَا، وَدَخَلَتْ فِي الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ دَخَلَتْ فِي قُرْئِهَما فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْهَا بِانْقِطَاعِ الدَّمِ وَدُخُولِهَا فِي الطهر الثاني حلت، وإن كانت عنه مَوْتِ السَّيِّدِ طَاهِرًا لَمْ تَعْتَدَّ بِبَقِيَّةِ طُهْرِهَا، فَإِذَا رَأَتِ الدَّمَ دَخَلَتْ فِي قُرْئِهَا فَإِذَا اسْتَكْمَلَتِ الْحَيْضَةَ، وَطَهُرَتْ حَلَّتْ فَهَذَا حُكْمُ الْوَجْهِ الثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ الْحَيْضُ.

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan bahwa ia tidak menghitung sisa haidnya, maka jika ia telah suci darinya dan masuk pada haid kedua, maka ia masuk dalam qirā’ (masa suci) keduanya. Jika ia telah menyempurnakannya dengan berhentinya darah dan masuk pada masa suci kedua, maka ia telah halal. Jika ia dalam keadaan suci saat tuannya wafat, maka ia tidak menghitung sisa masa sucinya. Jika ia melihat darah, maka ia masuk dalam qirā’ (masa suci) nya. Jika ia telah menyempurnakan haidnya dan suci, maka ia halal. Inilah hukum dari pendapat kedua: bahwa yang menjadi tujuan adalah haid.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الَّذِي تَفَرَّدَ بِهِ الْبَصْرِيُّونَ أَنَّ الطُّهْرَ وَالْحَيْضَ مَقْصُودَانِ مَعًا فِي قُرُوءِ الِاسْتِبْرَاءِ، وَإِنْ لَمْ يُقْصَدَا مَعًا فِي أَقْرَاءِ الْعِدَّةِ؛ لِأَنَّهُمَا فِي أَقْرَاءِ الْعِدَّةِ يَجْتَمِعَانِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا مَقْصُودًا، وَفِي قُرُوءِ الِاسْتِبْرَاءِ لَا يَجْتَمِعَانِ إِلَّا أَنْ يُقْصَدَا فَلِذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَا فِيهِ مَقْصُودَيْنِ، فَعَلَى هَذَا لَهَا عِنْدَ مَوْتِ السَّيِّدِ حَالَتَانِ: حَائِضٌ، أَوْ طَاهِرٌ، فَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا، فَإِذَا انْقَطَعَ دَمُهَا وَرَأَتِ الطُّهْرَ دَخَلَتْ في قرئها، فإذا استكملت طهرها ثم حَيْضَةً كَامِلَةً بَعْدَهُ، وَدَخَلَتْ فِي الطُّهْرِ الثَّانِي حَلَّتْ، وَإِنْ كَانَتْ طَاهِرًا، فَهَلْ تَعْتَدُّ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ بِبَقِيَّةِ هَذَا الطُّهْرِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat ketiga, yang dipegang khusus oleh ulama Basrah, adalah bahwa masa suci dan haid sama-sama menjadi tujuan dalam qirā’ istibra’, meskipun keduanya tidak menjadi tujuan bersama dalam qirā’ ‘iddah; karena dalam qirā’ ‘iddah keduanya berkumpul sehingga boleh salah satunya menjadi tujuan, sedangkan dalam qirā’ istibra’ keduanya tidak berkumpul kecuali jika keduanya menjadi tujuan, maka karena itu wajib keduanya menjadi tujuan di dalamnya. Berdasarkan hal ini, ketika tuannya wafat, ia memiliki dua keadaan: haid atau suci. Jika ia sedang haid, maka ketika darahnya berhenti dan ia melihat masa suci, ia masuk dalam qirā’ nya. Jika ia telah menyempurnakan masa sucinya lalu satu haid sempurna setelahnya, dan masuk pada masa suci kedua, maka ia halal. Jika ia dalam keadaan suci, apakah ia ber‘iddah dengan sisa masa suci ini atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَعْتَدُّ بِهِ كَمَا لَا تَعْتَدُّ بِهِ عَلَى قَوْلِ الْبَصْرِيِّينَ إِذَا كَانَ الطُّهْرُ وَحْدَهُ مَقْصُودًا فَعَلَى هَذَا إِذَا رَأَتِ الدَّمَ بَعْدَ بَقِيَّةِ هَذَا الطُّهْرِ دَخَلَتْ فِي قُرْئِهَا، فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ حَيْضَتَهَا ثُمَّ اسْتَكْمَلَتْ بعدها طهر كَامِلًا، وَرَأَتْ دَمَ الْحَيْضَةِ الثَّانِيَةِ حَلَّتْ.

Pertama: Ia tidak menghitungnya, sebagaimana ia tidak menghitungnya menurut pendapat ulama Basrah jika masa suci saja yang menjadi tujuan. Berdasarkan hal ini, jika ia melihat darah setelah sisa masa suci ini, maka ia masuk dalam qirā’ nya. Jika ia telah menyempurnakan haidnya lalu menyempurnakan setelahnya satu masa suci penuh, dan melihat darah haid kedua, maka ia halal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِبَقِيَّةِ هَذَا الطُّهْرِ إِذَا كَانَا مَقْصُودَيْنِ، وَلَا تَعْتَدُّ بِهِ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا مَقْصُودًا لِقُوَّتِهِ إِذَا قُرِنَ بِغَيْرِهِ وَضَعْفِهِ إِذَا انْفَرَدَتْ بِذَاتِهِ، فَعَلَى هَذَا يَدْخُلُ فِي قُرْئِهَا فِي بَقِيَّةِ طُهْرِهَا، فَإِذَا دَخَلَتْ فِي الْحَيْضَةِ وَاسْتَكْمَلَتْهَا بِانْقِطَاعِ الدَّمِ، وَدُخُولِ الطُّهْرِ حَلَّتْ وَيَصِيرُ اسْتِبْرَاؤُهَا بِذَلِكَ مُوَافِقًا لِأَحْكَامِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ والله أعلم.

Pendapat kedua: Bahwa ia menghitung masa iddah dengan sisa masa suci ini jika keduanya dimaksudkan, dan tidak menghitungnya jika salah satunya saja yang dimaksudkan karena kekuatannya jika digabungkan dengan yang lain dan kelemahannya jika berdiri sendiri. Berdasarkan hal ini, ia masuk dalam masa quru’nya pada sisa masa sucinya. Jika ia telah masuk dalam masa haid dan menyempurnakannya dengan berhentinya darah dan masuknya masa suci, maka ia telah halal (boleh menikah lagi), dan dengan demikian istibra’-nya menjadi sesuai dengan hukum dari tiga pendapat tersebut. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال المزني رضي الله عنه: ” وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ إِمْلَاءً عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا تَحِيضُ فَشَهْرٌ (قَالَ) وَإِنْ مَاتَ سَيِّدُهَا أَوْ أَعْتَقَهَا وَهِيَ حَائِضٌ لَمْ تَعْتَدَّ بِتِلْكَ الْحَيْضَةِ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Dan beliau (Imam Syafi‘i) berkata dalam Kitab Nikah dan Talak, sebagai penjelasan atas masalah-masalah Malik: ‘Jika ia termasuk wanita yang tidak mengalami haid, maka (iddahnya) satu bulan.’ (Beliau berkata): ‘Jika tuannya meninggal atau memerdekakannya saat ia sedang haid, maka ia tidak menghitung masa haid tersebut sebagai iddahnya.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا كَانَتْ أُمُّ الْوَلَدِ مُؤَيَّسَةً اسْتَبْرَأَتْ نَفْسَهَا بِالشُّهُورِ وَفِيهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Jika ummu al-walad sudah tidak mungkin lagi haid (menopause), maka ia menjalani istibra’ dengan bulan-bulan, dan dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ – إِنَّهَا تَسْتَبْرِئُ نَفْسَهَا بِشَهْرٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّ عَلَيْهَا قُرْءًا وَاحِدًا، وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى الْأَقْرَاءَ الثَّلَاثَةَ فِي مُقَابَلَةِ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ فَصَارَ الْقَرْءُ الْوَاحِدُ مُقَابِلًا لِشَهْرٍ وَاحِدٍ، فَلِذَلِكَ اسْتَبْرَأَتْ نَفْسَهَا فِي الْقُرْءِ الْوَاحِدِ بِشَهْرٍ وَاحِدٍ.

Salah satunya, yaitu pendapat beliau (Imam Syafi‘i) dalam qaul jadid: bahwa ia menjalani istibra’ selama satu bulan, karena ia hanya wajib satu quru’, dan Allah Ta‘ala telah menjadikan tiga quru’ sebagai bandingan dari tiga bulan, sehingga satu quru’ menjadi bandingan satu bulan. Oleh karena itu, ia menjalani istibra’ dengan satu quru’ selama satu bulan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْتَبْرِئُ نَفْسَهَا بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ كَالْحُرَّةِ، لِأَنَّهُ أَوَّلُ الزَّمَانِ الَّذِي يَبْرَأُ فِيهِ الرَّحِمُ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّ ابْنَ آدَمَ يَمْكُثُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا عَلَقَةً ثُمَّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مُضْغَةً “، فَهُوَ بَعْدَ انْتِقَالِهِ مِنَ الْعَلَقَةِ إِلَى الْمُضْغَةِ فِي الشَّهْرِ الثَّالِثِ تَظْهَرُ أَمَارَاتُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ فَيُعْرَفُ بِهِ حَالُ الْحَمْلِ، وَبِفَقْدِ أَمَارَاتِهِ تُعْرَفُ بَرَاءَةُ الرَّحِمِ فَلَمْ يَتَبَعَّضْ هَذَا الزَّمَانُ فِيهِ، وَجَرَى مَجْرَى الْحَمْلِ الَّذِي لَا يَتَبَعَّضُ فَاسْتَوَى فِيهِ اسْتِبْرَاءُ الْأَمَةِ، وَهَذِهِ الْحُرَّةِ كَذَلِكَ الشُّهُورُ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim: bahwa ia menjalani istibra’ selama tiga bulan seperti wanita merdeka, karena itu adalah awal waktu di mana rahim dinyatakan bersih, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya anak Adam berada dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nutfah, kemudian empat puluh hari sebagai ‘alaqah, kemudian empat puluh hari sebagai mudhghah.” Maka setelah berpindah dari ‘alaqah ke mudhghah pada bulan ketiga, tanda-tandanya mulai tampak dalam perut ibunya sehingga dapat diketahui keadaan kehamilannya, dan dengan tidak adanya tanda-tanda tersebut diketahui kebersihan rahim. Maka waktu ini tidak dapat dipisah-pisahkan, dan hukumnya seperti kehamilan yang juga tidak dapat dipisah-pisahkan, sehingga istibra’ bagi budak perempuan dan wanita merdeka sama-sama dengan bulan-bulan tersebut.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَأَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia sedang hamil, maka (iddahnya) sampai ia melahirkan kandungannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ أَنَّ اسْتِبْرَاءَ كُلِّ ذَاتِ حَمْلٍ مِنْ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ يَكُونُ بِوَضْعِ الْحَمْلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَأُولاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4] وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في سبي أوطاس: ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ “.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, telah disepakati bahwa istibra’ bagi setiap wanita hamil, baik merdeka maupun budak, adalah dengan melahirkan kandungannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalaq: 4], dan sabda Nabi ﷺ dalam peristiwa tawanan Autas: “Ketahuilah, tidak boleh digauli wanita hamil sampai ia melahirkan, dan tidak boleh digauli wanita yang tidak hamil sampai ia haid.”

وَرَوَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” عِدَّةُ كُلِّ ذَاتِ حَمْلٍ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا ” وَلِأَنَّ الْحَمْلَ لَا يَتَبَعَّضُ فَعَمَّ حُكْمُهُ فِي الْحَرَائِرِ، وَالْإِمَاءِ كَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ فَإِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا حَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ، وَإِنْ كَانَتْ فِي نِفَاسِهَا لَكِنْ يُمْنَعُ الزَّوْجُ مِنْ وَطْئِهَا فِي النِّفَاسِ كَمَا لَوْ كَانَ مِنْهُ وَصَارَ اسْتِبْرَاءُ أُمِّ الْوَلَدِ، وَالْأَمَةِ الْمُشْتَرَاةِ، وَالْحُرَّةِ الْمَسْبِيَّةِ بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: بِالْحَمْلِ إِنْ كَانَ وَهْمًا وَهُوَ مِمَّا تَسَاوَى فِيهِ الْحُرَّةُ وَالْأَمَةُ وَبِالطُّهْرِ وَالْحَيْضِ إِنْ فُقِدَ الْحَمْلُ، وَكَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ، وَهُوَ مِمَّا خَالَفَ فِيهِ الْحُرَّةُ، وَبِالشُّهُورِ إِنْ فُقِدَتِ الْأَمْرَانِ، وَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي مُسَاوَاتِهِمَا فيه الحرة.

Ubay bin Ka‘b meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Iddah setiap wanita hamil adalah sampai ia melahirkan kandungannya.” Karena kehamilan tidak dapat dipisah-pisahkan, maka hukumnya berlaku umum pada wanita merdeka dan budak, sebagaimana hukum potong tangan dalam pencurian. Jika ia telah melahirkan kandungannya, maka ia halal bagi para suami, meskipun ia masih dalam masa nifas, namun suami dilarang menggaulinya selama nifas sebagaimana jika nifas itu berasal darinya sendiri. Maka istibra’ ummu al-walad, budak perempuan yang dibeli, dan wanita merdeka yang menjadi tawanan, berlaku dengan salah satu dari tiga hal: dengan kehamilan jika memang ada, dan ini sama antara wanita merdeka dan budak; dengan masa suci dan haid jika tidak ada kehamilan dan ia termasuk wanita yang mengalami haid, dan dalam hal ini berbeda antara wanita merdeka dan budak; dan dengan bulan-bulan jika kedua hal tersebut tidak ada, dan terdapat perbedaan pendapat mengenai kesamaan keduanya dengan wanita merdeka.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُدَبَّرَةُ إِذَا مَاتَ عَنْهَا سَيِّدُهَا، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِرَاشًا عَتَقَتْ بِمَوْتِهِ، وَلَمْ يَلْزَمْهَا اسْتِبْرَاءٌ عَنْهُ، وَحَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ مِنْ سَاعَتِهَا، وَإِنْ كَانَتْ فِرَاشًا لَهُ اسْتَبْرَأَتْ نَفْسَهَا بَعْدَ موته بقروء وَاحِدٍ كَأُمِّ الْوَلَدِ، وَلَمْ تَحِلَّ لِلْأَزْوَاجِ إِلَّا بعد الاسبتراء.

Adapun budak perempuan mudabbirah, jika tuannya meninggal dunia, maka jika ia bukan merupakan firāsy baginya, ia merdeka karena kematiannya, dan tidak wajib menjalani masa istibra’ darinya, serta langsung halal bagi para suami sejak saat itu. Namun jika ia adalah firāsy baginya, maka ia wajib menjalani istibra’ setelah kematian tuannya dengan satu kali quru’ sebagaimana umm al-walad, dan tidak halal bagi para suami kecuali setelah istibra’ selesai.

فأما الأمة إذا مات عنها سيدها لم يَلْزَمْهَا عَنْهُ اسْتِبْرَاءٌ، سَوَاءٌ كَانَ قَدْ وَطِئَهَا أَمْ لَا؟ لَكِنْ لَيْسَ لِمَنِ انْتَقَلَتْ إِلَى مِلْكِهِ مِنْ وَارِثٍ أَوْ مُشْتَرٍ أَنْ يَطَأَهَا إِلَّا بَعْدَ اسْتِبْرَائِهَا كَمَا يَجُوزُ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَبِيعَهَا قَبْلَ اسْتِبْرَائِهَا، وَإِنْ كَانَ وَاطِئًا لَهَا، وَلَوْ أَرَادَ أَنْ يُزَوِّجَهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَوِّجَهَا إِلَّا بَعْدَ اسْتِبْرَائِهَا.

Adapun budak perempuan, jika tuannya meninggal dunia, maka tidak wajib baginya menjalani istibra’ darinya, baik tuannya telah menggaulinya maupun belum. Namun, orang yang memperoleh kepemilikan atasnya, baik dari ahli waris maupun pembeli, tidak boleh menggaulinya kecuali setelah ia menjalani istibra’, sebagaimana tuan boleh menjualnya sebelum ia menjalani istibra’, meskipun tuan telah menggaulinya. Jika tuan ingin menikahkannya, maka tidak boleh menikahkannya kecuali setelah ia menjalani istibra’.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ يَجُوزُ شِرَاءُ الْأَمَةِ، وَإِنْ حَرُمَتْ فَجَازَ أَنْ يكون استبرائها فِي مِلْكِ الْمُشْتَرِي وَلَا يَجُوزُ نِكَاحُهَا إِذَا حُرِّمَتْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا فِي مِلْكِ الزَّوْجِ فَلِذَلِكَ تَقَدَّمَ اسْتِبْرَاءُ الْأَمَةِ عَلَى النِّكَاحِ، وتأخر عن البيع.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa boleh membeli budak perempuan, meskipun ia haram (untuk digauli), sehingga istibra’-nya dapat dilakukan dalam kepemilikan pembeli. Sedangkan pernikahan tidak boleh dilakukan jika ia haram, sehingga tidak boleh menjalani istibra’ dalam kepemilikan suami. Oleh karena itu, istibra’ budak perempuan didahulukan sebelum pernikahan, dan diakhirkan setelah penjualan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنِ اسْتَرَابَتْ فَهِيَ كَالْحُرَّةِ الْمُسْتَرِيبَةِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia ragu (tentang haidnya), maka hukumnya seperti perempuan merdeka yang ragu (tentang haidnya).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَقَدْ مَضَى حُكْمُ الْحُرَّةِ الْمُسْتَبْرِئَةِ فِي مَوْضِعَيْنِ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ، وَهَذِهِ إِذَا اسْتَبْرَأَتْ فِي حُكْمِهَا وَلَا يَخْلُو حَالُ اسْتِرَابَتِهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan telah dijelaskan hukum perempuan merdeka yang menjalani istibra’ pada dua tempat dalam kitab ini. Jika budak perempuan ini menjalani istibra’ dalam hukumnya, maka keadaan keraguannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ فِي حَالِ قُرْئِهَا فَهِيَ بَاقِيَةٌ فِي الِاسْتِبْرَاءِ، فَإِنْ نَكَحَتْ قَبْلَ زَوَالِ الرِّيبَةِ بَطَلَ نِكَاحُهَا لَا يَخْتَلِفُ.

Pertama: Jika keraguan itu terjadi saat masa quru’-nya, maka ia tetap dalam masa istibra’. Jika ia menikah sebelum hilangnya keraguan, maka pernikahannya batal tanpa ada perbedaan pendapat.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَحْدُثَ الرِّيبَةُ بَعْدَ نِكَاحِهَا، وَتَقْضِي مُدَّةَ اسْتِبْرَائِهَا فَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ إِلَّا أَنْ يَحْدُثَ بَعْدَ وِلَادَتِهَا لِأَقَلِّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مَا يُوجِبُ فَسَادَ النِّكَاحِ فَيَكُونُ حِينَئِذٍ بَاطِلًا.

Bagian kedua: Jika keraguan itu muncul setelah ia menikah, dan ia telah menyelesaikan masa istibra’-nya, maka pernikahannya sah, kecuali jika setelah ia melahirkan kurang dari enam bulan terjadi sesuatu yang menyebabkan rusaknya pernikahan, maka saat itu pernikahannya menjadi batal.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَحْدُثَ الرِّيبَةُ بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ، وَقَبْلَ النِّكَاحِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Bagian ketiga: Jika keraguan itu muncul setelah selesai masa istibra’, dan sebelum menikah, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّ حُدُوثَ الرِّيبَةِ يَمْنَعُ مِنْ صحة الاستبراء ويوجب بقائها فِيهِ، فَإِنْ نَكَحَتْ كَانَ نِكَاحُهَا بَاطِلًا كَمَا لَوْ تَقَدَّمَتِ الرِّيبَةُ فِي زَمَانِ الِاسْتِبْرَاءِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij, bahwa terjadinya keraguan mencegah keabsahan istibra’ dan mewajibkan tetapnya masa istibra’. Jika ia menikah, maka pernikahannya batal, sebagaimana jika keraguan itu terjadi pada masa istibra’.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أن حُدُوثَ الرِّيبَةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الِاسْتِبْرَاءِ اعْتِبَارًا بِالظَّاهِرِ مِنْ حَالِ الصحة، ولا يوجب بقاؤها فِي الِاسْتِبْرَاءِ فَإِنْ نَكَحَتْ كَانَ نِكَاحُهَا جَائِزًا كَمَا لَوْ حَدَثَتِ الرِّيبَةُ بَعْدَ النِّكَاحِ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa terjadinya keraguan tidak menghalangi keabsahan istibra’ yang telah lalu, dengan mempertimbangkan keadaan lahiriah yang menunjukkan keabsahan, dan tidak mewajibkan tetapnya masa istibra’. Jika ia menikah, maka pernikahannya sah, sebagaimana jika keraguan itu terjadi setelah menikah.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ مَاتَ سَيِّدُهَا وَهِيَ تَحْتَ زَوْجٍ أَوْ فِي عِدَّةِ زَوْجٍ فَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا لِأَنَّ فَرْجَهَا مَمْنُوعٌ مِنْهُ بِشَيْءٍ أَبَاحَهُ لِزَوْجِهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika tuannya meninggal dunia sementara ia masih menjadi istri seseorang atau dalam masa ‘iddah dari suaminya, maka tidak ada kewajiban istibra’ atasnya, karena kemaluannya telah terhalang untuknya (tuan) oleh sesuatu yang telah dihalalkan bagi suaminya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا مَاتَ سَيِّدُ أُمِّ الْوَلَدِ وَهِيَ ذَاتُ حَمْلٍ فَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا بِمَوْتِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Jika tuan dari umm al-walad meninggal dunia sementara ia sedang hamil, maka tidak ada kewajiban istibra’ atasnya karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِرَاشَهُ قَدْ زَالَ عَنْهَا قَبْلَ مَوْتِهِ.

Pertama: Karena firāsy tuannya telah hilang darinya sebelum kematiannya.

وَالثَّانِي: لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ فِرَاشًا لِغَيْرِهِ.

Kedua: Karena ia telah menjadi firāsy bagi orang lain.

فَإِنْ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ أَوْ مَاتَ عَنْهَا لَمْ يَخْلُ ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika suaminya menceraikannya atau meninggal dunia, maka tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ مَوْتِ السَّيِّدِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ طَلَاقُ الزَّوْجِ أَوْ مَوْتُهُ بَعْدَ مَوْتِ السَّيِّدِ فَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ لِطَلَاقِهِ أَوْ مَوْتِهِ عِدَّةَ حُرَّةٍ لِكَمَالِ طَرَفَيْهَا بِالْحُرِّيَّةِ قَبْلَ الطَّلَاقِ وَبَعْدَهُ وَإِنْ كَانَ طَلَاقُ الزَّوْجِ أَوْ مَوْتُهُ مُتَقَدِّمًا عَلَى مَوْتِ السَّيِّدِ لَمْ يَخْلُ مَوْتُ السَّيِّدِ مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي أَثْنَاءِ عِدَّتِهَا أَوْ بَعْدَ انْقِضَائِهَا، فَإِنْ كَانَ فِي أَثْنَاءِ عِدَّتِهَا فَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا بِمَوْتِ السَّيِّدِ، لِأَنَّهَا لَمْ تَعُدْ إِلَى إِبَاحَتِهِ مِعِ بَقَاءِ عِدَّةِ الزَّوْجِ، وَقَدْ كَانَتْ فِي أَوَّلِ عِدَّتِهَا مِنَ الزَّوْجِ فِي حُكْمِ الْأَمَةِ ثُمَّ صَارَتْ فِي آخِرِهَا حُرَّةً فَهَلْ تَبْنِي عَلَى عِدَّةِ أَمَةٍ أَوْ تَسْتَكْمِلُ عِدَّةَ حُرَّةٍ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا مِنْ قَبْلُ، وَإِنْ مَاتَ السَّيِّدُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا مِنَ الزَّوْجِ لَمْ تَكُنْ عِدَّتُهَا مِنَ الزَّوْجِ إِلَّا عِدَّةَ أَمَةٍ لِنُقْصَانِ طَرَفَيْهَا بِالرِّقِّ قبل الطلاق، وبعده هل تَصِيرُ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فِرَاشًا لِلسَّيِّدِ وَيُسْتَبَاحُ وَطْؤُهَا مِنْ غَيْرِ اسْتِبْرَاءٍ أَمْ لَا؟ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وما ظهر من منصوصاته في كتبه: أنه قَدْ عَادَتْ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ إِلَى فِرَاشِ السَّيِّدِ، وَحَلَّ لَهُ وَطْؤُهَا مِنْ غَيْرِ اسْتِبْرَاءٍ لِرَحِمِهَا بِالْعِدَّةِ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهَا الِاسْتِبْرَاءُ بِمَوْتِ السَّيِّدِ وطأ أَوْ لَمْ يَطَأْ، وَحَكَى ابْنُ خَيْرَانَ قَوْلًا ثَانِيًا تَفَرَّدَ بِنَقْلِهِ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهَا لَا تَصِيرُ فِرَاشًا لِلسَّيِّدِ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، ولا يستباح وطئها إِلَّا بَعْدَ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا فِي حَقِّ نَفْسِهِ؟ لِأَنَّهَا اسْتِبَاحَةٌ تَجَدَّدَتْ فِي مَالِكٍ فَلَزِمَ الِاسْتِبْرَاءُ فِيهَا بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْمِلْكِ كَالْمُشْتَرِي يَلْزَمُهُ الِاسْتِبْرَاءُ بَعْدَ الشِّرَاءِ وَلَا يُجْزِئُهُ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الِاسْتِبْرَاءِ مِنَ الْبَائِعِ، فَعَلَى هَذَا إِنِ اسْتَبْرَأَهَا السَّيِّدُ وَوَطِئَهَا صَارَتْ بِهَذَا الْوَطْءِ فِرَاشًا، وَإِنْ مَاتَ لَزِمَهَا الِاسْتِبْرَاءُ بِمَوْتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَطَأْهَا حَتَّى مَاتَ قَبْلَ الِاسْتِبْرَاءِ أَوْ بَعْدَهُ فَقَدْ مَاتَ، وَهِيَ غَيْرُ فِرَاشٍ لَهُ، وَفِي وُجُوبِ الِاسْتِبْرَاءِ بِمَوْتِهِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي اسْتِبْرَاءِ أُمِّ الْوَلَدِ، هَلْ وَجَبَ لِحُرْمَةِ الْوَلَدِ أَوْ لِرَفْعِ الْفِرَاشِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Baik itu terjadi sebelum wafatnya tuan maupun sesudahnya. Jika talak atau wafatnya suami terjadi setelah wafatnya tuan, maka perempuan tersebut wajib menjalani masa ‘iddah karena talak atau wafat suaminya dengan masa ‘iddah seperti perempuan merdeka, karena kedua sisinya telah sempurna dalam status kemerdekaan sebelum dan sesudah talak. Namun, jika talak atau wafat suami terjadi sebelum wafatnya tuan, maka wafatnya tuan tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi di tengah masa ‘iddahnya atau setelah masa ‘iddahnya selesai. Jika wafatnya tuan terjadi di tengah masa ‘iddahnya, maka tidak ada kewajiban istibra’ atasnya karena wafatnya tuan, sebab ia belum kembali menjadi halal bagi tuannya selama masa ‘iddah suami masih berlangsung. Pada awal masa ‘iddah dari suaminya, ia berstatus sebagai budak, lalu pada akhir masa ‘iddahnya ia menjadi merdeka. Apakah ia melanjutkan masa ‘iddah sebagai budak atau menyempurnakan masa ‘iddah sebagai perempuan merdeka? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya. Jika tuan wafat setelah masa ‘iddahnya dari suami selesai, maka masa ‘iddahnya dari suami hanya dihitung sebagai masa ‘iddah budak, karena kedua sisinya masih kurang dengan status perbudakan sebelum dan sesudah talak. Setelah masa ‘iddah selesai, apakah ia langsung menjadi tempat tidur (istri) bagi tuannya dan halal digauli tanpa istibra’, atau tidak? Menurut mazhab al-Syafi‘i dan yang tampak dari nash-nash beliau dalam kitab-kitabnya: ia kembali menjadi istri tuannya setelah masa ‘iddah selesai, dan halal bagi tuannya untuk menggaulinya tanpa istibra’ karena rahimnya telah bersih dengan masa ‘iddah. Dengan demikian, jika tuannya wafat, maka ia wajib menjalani istibra’ karena wafat tuannya, baik sudah digauli maupun belum. Ibnu Khayran meriwayatkan pendapat kedua yang hanya ia sendiri yang menukil dari al-Syafi‘i dalam qaul qadim, bahwa ia tidak langsung menjadi istri tuannya setelah masa ‘iddah selesai, dan tidak halal digauli kecuali setelah menjalani istibra’ untuk hak tuannya. Sebab, kehalalan yang baru terjadi pada pemilik yang baru, sehingga wajib istibra’ setelah kepemilikan itu tetap, seperti pembeli budak perempuan yang wajib melakukan istibra’ setelah membeli dan tidak cukup dengan istibra’ yang telah dilakukan oleh penjual. Berdasarkan pendapat ini, jika tuan telah melakukan istibra’ dan menggaulinya, maka dengan hubungan tersebut ia menjadi istri (tempat tidur) tuannya. Jika tuan wafat, maka ia wajib menjalani istibra’ karena wafat tuannya. Namun, jika tuan tidak menggaulinya hingga wafat, baik sebelum maupun sesudah istibra’, maka tuan telah wafat sementara ia belum menjadi istri (tempat tidur) tuannya. Dalam kewajiban istibra’ karena wafat tuan terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama kami dalam istibra’ bagi umm al-walad: apakah wajib karena kehormatan anak atau untuk mengakhiri status sebagai istri, terdapat dua wajah (pendapat):

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الِاصْطَخْرِيِّ أَنَّهُ وَجَبَ لِحُرْمَةِ الْوَلَدِ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ الِاسْتِبْرَاءُ لِثُبُوتِ حُرْمَتِهِ.

Pertama: yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, bahwa istibra’ itu wajib demi menjaga kehormatan anak. Dengan demikian, ia wajib menjalani istibra’ untuk menjaga kehormatan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ وَجَبَ لِرَفْعِ الْفِرَاشِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُهَا الِاسْتِبْرَاءُ، لِأَنَّ الْفِرَاشَ لَمْ يَعُدْ.

Pendapat kedua: bahwa istibra’ itu wajib untuk mengakhiri status sebagai istri (tempat tidur). Dengan demikian, ia tidak wajib menjalani istibra’, karena status sebagai istri sudah tidak ada lagi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي أُمِّ الْوَلَدِ أَنْ يُزَوِّجَ السَّيِّدُ أَمَتَهُ بَعْدَ اسْتِبْرَائِهَا مِنْ وَطْئِهِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا الزَّوْجُ، وَتَعْتَدُّ مِنْ طَلَاقِهِ فَفِي اسْتِبَاحَةِ السَّيِّدِ لَهَا قَبْلَ اسْتِبْرَائِهَا وَجْهَانِ وَعَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ لَا تَصِيرُ فِرَاشًا لَهُ إِلَّا بِالْوَطْءِ لِأَنَّ فِرَاشَ أم الولد أثبت، لأن وَلَدَهَا بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنِ اسْتِبْرَائِهَا يُلْحَقُ بِالسَّيِّدِ، وَلَا يُلْحَقُ بِهِ وَلَدُ الْأَمَةِ، وَإِذَا مَاتَ عَنِ الْأَمَةِ لَمْ يَلْزَمْهَا الاستبراء بموته ويلزم أم الولد.

Permasalahan yang bercabang dari masalah ini pada umm al-walad adalah jika tuan menikahkan budaknya setelah melakukan istibra’ dari hubungannya, kemudian suaminya menceraikannya, dan ia menjalani masa ‘iddah karena talak tersebut, maka dalam hal kehalalan tuan untuk menggaulinya sebelum istibra’ terdapat dua pendapat. Namun, menurut kedua pendapat tersebut, ia tidak menjadi istri (tempat tidur) tuannya kecuali setelah digauli, karena status istri pada umm al-walad lebih kuat, sebab anak yang lahir darinya setelah enam bulan dari istibra’nya dinasabkan kepada tuan, sedangkan anak dari budak perempuan tidak dinasabkan kepadanya. Jika tuan wafat dan meninggalkan budak perempuan, maka ia tidak wajib menjalani istibra’ karena wafat tuannya, sedangkan umm al-walad wajib menjalani istibra’.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ مَاتَا فَعُلِمَ أَنَّ أَحَدَهُمَا مَاتَ قَبْلَ الْآخَرِ بِيَوْمٍ أَوْ بِشَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ أَوْ أَكْثَرَ وَلَا نَعْلَمُ أَيُّهُمَا أَوَّلًا اعْتَدَّتْ مِنْ يَوْمِ مَاتَ الْآخِرُ مِنْهُمَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فيها حيضة وإنما لزمها إحداهما فإذا جاءت بهما فذلك أكمل ما عليها (قال المزني) رحمه الله هذا عندي غلط لأنه إذا لم يكن بين موتهما إلا أقل من شهرين وخمس ليال فلا معنى للحيضة لأن السيد إذا كان مات كان أولاً فهي تحت زوج مشغولة به عن الحيضة وإن كان موت الزوج أولاً فلم ينقض شهران وخمس ليال حتى مات السيد فهي مشغولة بعدة الزوج عن الحيضة وإن كان بينهما أكثر من شهرين وخمس ليال فقد أمكنت الحيضة فكما السيد الشافعي “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika keduanya (suami dan tuan) meninggal, lalu diketahui bahwa salah satu dari keduanya meninggal sebelum yang lain, baik selisihnya satu hari, dua bulan lima malam, atau lebih, namun kita tidak mengetahui siapa yang lebih dahulu, maka ia (budak perempuan) ber‘iddah sejak hari wafat yang terakhir dari keduanya selama empat bulan sepuluh hari, di dalamnya terdapat satu kali haid, dan yang wajib atasnya hanyalah salah satunya saja. Jika ia mengalami keduanya (‘iddah dan haid), maka itu adalah yang paling sempurna baginya.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Menurutku, ini adalah kekeliruan, karena jika selisih kematian keduanya kurang dari dua bulan lima malam, maka tidak ada makna haid. Sebab, jika tuan meninggal lebih dahulu, ia masih menjadi istri yang sibuk dengan masa ‘iddah dari suaminya sehingga tidak mengalami haid. Jika suami yang meninggal lebih dahulu, belum genap dua bulan lima malam hingga tuan meninggal, maka ia masih sibuk dengan masa ‘iddah dari suaminya sehingga tidak mengalami haid. Namun, jika selisih kematian keduanya lebih dari dua bulan lima malam, maka memungkinkan terjadinya haid, sebagaimana pendapat Imam Syafi‘i.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لَمَّا ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ يَقِينَ مَوْتِ السَّيِّدِ وَيَقِينَ مَوْتِ الزَّوْجِ، ذَكَرَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ فِي وُقُوعِ الشَّكِّ فِي مَوْتِهِمَا وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Setelah Imam Syafi‘i menyebutkan kepastian wafatnya tuan dan kepastian wafatnya suami, beliau menyebutkan masalah ini dalam konteks terjadinya keraguan tentang kematian keduanya, dan hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَقَعَ الشَّكُّ بَعْدَ غَيْبِهِمَا، هَلْ مَاتَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا أَمْ لَا؟ فَلَا حُكْمَ لِهَذَا الشَّكِّ وَهِيَ عَلَى حُكْمِهَا كَمَا لَوْ كَانَا بَاقِيَيْنِ فَإِذَا طَالَتْ غَيْبَتُهُمَا، فقد خبرهما جر عَلَيْهِمَا فِي حَقِّ الزَّوْجِ حُكْمُ الْمَفْقُودِ، وَلَمْ يَجْرِ عَلَيْهَا فِي حُكْمِ السَّيِّدِ حُكْمُ الْمَفْقُودِ، لِأَنَّهَا فِي حَقِّ السَّيِّدِ مُعْتَبَرَةٌ بِمَالِهِ، وَفِي حَقِّ الزَّوْجَةِ مُعْتَبَرَةٌ بِنِكَاحِهِ، وَإِذَا قَضَى لَهَا الْحَاكِمُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ بِالتَّرَبُّصِ لِلزَّوْجِ وَوُقُوعِ الْفُرْقَةِ مِنْهُ لَمْ يَجُزْ لَهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ بِخِلَافِ الْحُرَّةِ؛ لِأَنَّهَا لَا تَمْلِكُ ذَلِكَ مِنْ حَقِّ نَفْسِهَا، وَإِنَّمَا يَمْلِكُهُ السَّيِّدُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ.

Pertama: Terjadi keraguan setelah keduanya menghilang, apakah salah satu dari mereka telah meninggal atau belum? Maka tidak ada hukum atas keraguan ini, dan statusnya tetap sebagaimana sebelumnya, seolah-olah keduanya masih hidup. Jika masa hilangnya keduanya berlangsung lama, maka status mereka dalam hal suami mengikuti hukum orang yang hilang (mafqud), namun tidak berlaku hukum mafqud atasnya dalam hal tuan, karena dalam kaitannya dengan tuan, ia dinilai berdasarkan harta tuan, sedangkan dalam kaitannya dengan suami, ia dinilai berdasarkan pernikahan. Jika hakim memutuskan baginya menurut pendapat lama Imam Syafi‘i untuk menunggu masa tertentu bagi suaminya dan terjadinya perpisahan darinya, maka ia tidak boleh menikah, berbeda dengan perempuan merdeka; karena ia tidak memiliki hak itu atas dirinya sendiri, melainkan yang memiliki hak tersebut adalah tuannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُعْلَمَ مَوْتُ أَحَدِهِمَا وَيُشَكَّ فِي الْمَيِّتِ مِنْهُمَا هَلْ هُوَ السَّيِّدُ أَوِ الزَّوْجُ فَلَا تَعْتِقُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْمَيِّتُ هُوَ الزَّوْجَ، وَلَا تَجِبُ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْمَيِّتُ هُوَ السَّيِّدَ فَلَا يَثْبُتُ حُكْمُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالشَّكِّ، وَتَكُونُ مُتَرَدِّدَةَ الْحَالِ بِمَوْتِ أَحَدِهِمَا بَيْنَ أَنْ تَكُونَ حُرَّةً ذَاتَ زَوْجٍ إِنْ كَانَ السَّيِّدُ هُوَ الْمَيِّتَ أَوْ تَكُونَ أُمَّ وَلَدٍ خَلِيَّةً مِنْ زَوْجٍ إِنْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْمَيِّتَ غَيْرَ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَعَيَّنْ بِالشَّكِّ أَحَدُهُمَا أُجْرِيَ عَلَيْهِمَا بَقَاءُ حُكْمِهِمَا وَيَجُوزُ أَنْ يُجْرَى عَلَيْهَا فِي الزَّوْجِ حُكْمُ الْمَفْقُودِ دُونَ السَّيِّدِ.

Bagian kedua: Diketahui salah satu dari keduanya telah meninggal, namun masih diragukan siapa yang meninggal, apakah tuan atau suami. Maka ia tidak merdeka, karena mungkin yang meninggal adalah suaminya, dan ia juga tidak wajib menjalani masa ‘iddah, karena mungkin yang meninggal adalah tuannya. Maka tidak ditetapkan hukum salah satu dari keduanya karena adanya keraguan, dan statusnya menjadi tidak pasti antara menjadi perempuan merdeka yang masih bersuami jika yang meninggal adalah tuannya, atau menjadi umm walad yang tidak bersuami jika yang meninggal adalah suaminya. Namun, karena tidak dapat dipastikan siapa yang meninggal, maka status hukum keduanya tetap berlaku, dan boleh diterapkan atasnya hukum mafqud dalam hal suami, tetapi tidak dalam hal tuan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ أَنْ يُعْلَمَ مَوْتُهُمَا، وَيَقَعَ الشَّكُّ فِيمَنْ تَقَدَّمَ مَوْتُهُ مِنْهُمَا فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Bagian ketiga, yaitu masalah yang dibahas dalam kitab ini: Diketahui keduanya telah meninggal, namun terjadi keraguan siapa yang lebih dahulu wafat di antara keduanya. Maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يُعْلَمَ بَيْنَ مَوْتِهِمَا أَقَلُّ مِنْ شَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ.

Pertama: Diketahui bahwa selisih waktu antara kematian keduanya kurang dari dua bulan lima malam.

وَالثَّانِي: أَنْ يُعْلَمَ بَيْنَ مَوْتِهِمَا أَكْثَرُ مِنْ شَهْرَيْنِ وخمس ليال.

Kedua: Diketahui bahwa selisih waktu antara kematian keduanya lebih dari dua bulan lima malam.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَقَعَ الشَّكُّ فِيمَا بَيْنُ مَوْتِهِمَا.

Ketiga: Terjadi keraguan mengenai selisih waktu antara kematian keduanya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ بين موتهما أقل من شهرين وخمس ليال، فَهَذِهِ يَلْزَمُهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ، وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ فِيهَا حَيْضَةٌ اعْتِبَارًا بِأَغْلَظِ حَالَيْهِمَا، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ السَّيِّدُ مَاتَ أَوَّلًا فَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا بِمَوْتِهِ وَقَدْ عَتَقَتْ، وَعَلَيْهَا بِمَوْتِ الزَّوْجِ بَعْدَهُ أَنْ تَعْتَدَّ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ مَاتَ أَوَّلًا فَعَلَيْهَا شَهْرَانِ وَخَمْسُ لَيَالٍ، وَمَوْتُ السَّيِّدِ قَبْلَ انْقِضَائِهَا سَقَطَ لِاسْتِبْرَائِهَا مِنْهُ فَيَسْقُطُ اسْتِبْرَاءُ السَّيِّدِ من الحالين يقين، وَصَارَ الشَّكُّ فِي وُجُوبِ عِدَّتِهَا مِنَ الزَّوْجِ هَلْ هِيَ بِشَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ إِنْ تَقَدَّمَ مَوْتُ الزَّوْجِ أَوْ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ، إِنْ تَقَدَّمَ مَوْتُ السَّيِّدِ فَأَوْجَبْنَا عَلَيْهَا أَطْوَلَ الْعِدَّتَيْنِ اعْتِبَارًا بِأَغْلَظِ الْأَمْرَيْنِ لِتَخْرُجَ مِنَ الْعِدَّةِ بِيَقِينٍ. وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ بين موتهما أكثر من شهرين وخمس ليال فَهَذِهِ يَلْزَمُهَا أَنْ تَعْتَدَّ مِنْ بَعْدِ آخِرِهِمَا مَوْتًا بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ فِيهَا حَيْضَةٌ هَذَا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، وَتَحْقِيقُهُ أَنَّهَا تَعْتَدُّ بِأَبْعَدِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ عِدَّةَ حُرَّةٍ، أَوْ قُرُوءٍ وَهُوَ اسْتِبْرَاءُ أُمِّ وَلَدٍ، لِأَنَّ عَلَيْهَا أَحَدَ الْأَمْرَيْنِ، وَلَيْسَ عَلَيْهَا الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ أَسْبَقَهُمَا مَوْتًا، وَهُوَ الزَّوْجُ فَقَدْ مَضَتْ عِدَّتُهُ شَهْرَانِ وَخَمْسُ لَيَالٍ قَبْلَ مَوْتِ السَّيِّدِ وَلَزِمَهَا أَنْ تَسْتَبْرِئَ نَفْسَهَا بِحَيْضَةٍ لِمَوْتِ السَّيِّدِ، وَإِنْ كَانَ السَّيِّدُ هُوَ أَسْبَقَهُمَا مَوْتًا فَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا لِمَوْتِهِ، وَعَلَيْهَا إِذَا مَاتَ أَنْ تَعْتَدَّ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَهُوَ لِأَنَّهَا حُرَّةٌ فَصَارَتْ حَالُهَا مُتَرَدِّدَةً بَيْنَ أَنْ يَلْزَمَهَا حَيْضَةٌ لَا غَيْرَ إِنْ تَقَدَّمَ مَوْتُ الزَّوْجِ أَوْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ إِنْ تَقَدَّمَ مَوْتُ السَّيِّدِ فَأَلْزَمْنَاهَا أَغْلَظَ الْأَمْرَيْنِ وَأَطْوَلَ الزَّمَانَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ، أَوْ قُرْءٍ كَامِلٍ كَالْمُطَلِّقِ إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ إِذَا مَاتَ عَنْهُمَا قَبْلَ الْبَيَانِ لَهَا أَنْ تَعْتَدَّ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَبْعَدِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ زَوْجَةً، أَوْ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ مُطَلَّقَةً، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ الْحَيْضَةُ الَّتِي فِي أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ قَبْلَ شَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ أَوْ بَعْدَهَا، وَوَهِمَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، وَحَكَاهُ عَنْهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ فَقَالَ: إِنَّمَا يُجْزِئُهَا الْحَيْضَةُ فِي أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ إِذَا كَانَتْ بَعْدَ شَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ لِجَوَازِ أَنْ يَتَأَخَّرَ مَوْتُ السَّيِّدِ بَعْدَهَا فَلَا يَجْرِي تَقَدُّمُ الْحَيْضَةِ قَبْلَ مَوْتِهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun bagian pertama, yaitu apabila diketahui bahwa jarak antara kematian keduanya kurang dari dua bulan lima malam, maka perempuan tersebut wajib menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, dan tidak disyaratkan di dalamnya terdapat satu kali haid, dengan mempertimbangkan keadaan yang paling berat di antara keduanya. Sebab, jika tuannya meninggal lebih dahulu, maka tidak ada masa istibra’ baginya karena kematian tuan tersebut dan ia telah merdeka, dan atasnya, setelah kematian suaminya, ia wajib menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari. Namun jika suaminya yang meninggal lebih dahulu, maka ia wajib menjalani masa dua bulan lima malam, dan jika tuannya meninggal sebelum masa itu selesai, maka gugurlah kewajiban istibra’ darinya, sehingga istibra’ dari tuan gugur secara pasti dari kedua keadaan tersebut. Maka yang tersisa adalah keraguan tentang kewajiban masa ‘iddah dari suami, apakah dua bulan lima malam jika kematian suami lebih dahulu, atau empat bulan sepuluh hari jika kematian tuan lebih dahulu. Maka kami mewajibkan atasnya masa ‘iddah yang lebih panjang di antara keduanya, dengan mempertimbangkan keadaan yang paling berat, agar ia keluar dari masa ‘iddah dengan keyakinan.

Adapun bagian kedua, yaitu apabila diketahui bahwa jarak antara kematian keduanya lebih dari dua bulan lima malam, maka perempuan tersebut wajib menjalani masa ‘iddah setelah kematian yang terakhir di antara keduanya selama empat bulan sepuluh hari, di dalamnya terdapat satu kali haid—ini adalah pendapat asy-Syafi‘i. Penjelasannya adalah bahwa ia wajib menjalani masa ‘iddah dengan yang paling lama di antara dua perkara: empat bulan sepuluh hari sebagai masa ‘iddah perempuan merdeka, atau satu kali haid sebagai istibra’ umm walad, karena ia wajib menjalani salah satu dari dua perkara tersebut, dan tidak wajib menggabungkan keduanya. Sebab, jika yang lebih dahulu meninggal adalah suaminya, maka masa ‘iddah suaminya telah berlalu dua bulan lima malam sebelum kematian tuan, dan ia wajib beristibra’ dengan satu kali haid karena kematian tuan. Namun jika tuan yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada istibra’ baginya karena kematian tuan, dan jika suaminya meninggal setelah itu, ia wajib menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari karena ia telah menjadi perempuan merdeka. Maka keadaannya menjadi antara wajib menjalani satu kali haid saja jika kematian suami lebih dahulu, atau empat bulan sepuluh hari jika kematian tuan lebih dahulu. Maka kami mewajibkan atasnya yang paling berat dan paling lama di antara dua masa, yaitu empat bulan sepuluh hari atau satu kali haid penuh, sebagaimana halnya seorang laki-laki yang menceraikan salah satu dari dua istrinya, lalu ia meninggal sebelum jelas bagi keduanya, maka masing-masing dari keduanya wajib menjalani masa ‘iddah yang paling lama di antara dua perkara: empat bulan sepuluh hari karena mungkin ia masih sebagai istri, atau tiga kali suci karena mungkin ia telah ditalak. Jika demikian, maka perbedaannya adalah apakah haid yang terdapat dalam empat bulan sepuluh hari itu terjadi sebelum dua bulan lima malam atau sesudahnya. Sebagian sahabat kami keliru, dan hal ini dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, ia berkata: “Cukup baginya satu kali haid dalam empat bulan sepuluh hari jika haid itu terjadi setelah dua bulan lima malam, karena mungkin kematian tuan terjadi setelahnya, sehingga tidak berlaku jika haid terjadi sebelum kematian tuan.” Ini adalah pendapat yang rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَيْسَ يَلْزَمُهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ إِلَّا أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ.

Pertama: Bahwa yang wajib atasnya, sebagaimana telah kami jelaskan, hanyalah salah satu dari dua perkara tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّنَا نَأْمُرُهَا بِذَلِكَ بِعِدَّةِ آخِرِهِمَا مَوْتًا فَلَيْسَ تُوجَدُ الْحَيْضَةُ إِلَا بَعْدَ مَوْتِ السَّيِّدِ سَوَاءٌ تَقَدَّمَتْ فِي أَوَّلِ شُهُورِهِمَا أَوْ تَأَخَّرَتْ.

Kedua: Bahwa kami memerintahkannya demikian dengan masa ‘iddah setelah kematian yang terakhir di antara keduanya, maka haid itu tidak akan ada kecuali setelah kematian tuan, baik haid itu terjadi di awal bulan-bulan keduanya atau setelahnya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يُشَكَّ فِيمَا بَيْنَ مَوْتِهِمَا فَلَا يُعْلَمُ، هَلْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ شَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ أَوْ أَكْثَرَ فَيُحْمَلُ عَلَى أَغْلَظِ الْأَمْرَيْنِ، وَأَغْلَظُهُمَا أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمَا أَكْثَرُ مِنْ شَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ، لِأَنَّهُ كَانَ بَيْنَهُمَا أَقَلُّ لَزِمَهُ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ فِيهِمَا حَيْضَةٌ فَلَزِمَهَا مَعَ هَذَا الشَّكِّ أَنْ تَعْتَدَّ بِأَبْعَدِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ، أَوْ قُرْءٍ وَاحِدٍ لِتَخْرُجَ مِنْ عَدَّتِهَا بِيَقِينٍ.

Adapun bagian ketiga: yaitu apabila terdapat keraguan mengenai jarak waktu antara kematian keduanya, sehingga tidak diketahui apakah jaraknya kurang dari dua bulan lima malam atau lebih. Maka, dalam hal ini diambil hukum yang paling berat di antara dua kemungkinan tersebut. Yang paling berat adalah jika jarak antara kematian keduanya lebih dari dua bulan lima malam. Sebab, jika jaraknya kurang dari itu, maka wajib atasnya menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, yang di dalamnya terdapat satu kali haid. Maka, dengan adanya keraguan ini, wajib baginya untuk menjalani masa ‘iddah dengan mengambil kemungkinan terjauh, yaitu antara empat bulan sepuluh hari atau satu kali quru’, agar ia benar-benar keluar dari masa ‘iddahnya dengan yakin.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا رَأَى الشَّافِعِيَّ أَطْلَقَ الْجَوَابَ فِي إِيجَابِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ فِيهَا حَيْضَةٌ مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ فِيمَا بَيْنَ الْمَوْتَيْنِ اعْتَرَضَ عَلَيْهِ فِي إِطْلَاقِهِ وَنَسَبَهُ إِلَى الْغَلَطِ فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ، وَفَصَّلَ الْمُزَنِيُّ اعْتِرَاضَهُ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ فَقَالَ إِنْ أَرَادَ بِهِ إِذَا كَانَ بَيْنَهُمَا أَكْثَرُ مِنْ شَهْرَيْنِ وَخَمْسٍ فَهُوَ صَحِيحٌ، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ أَقَلَّ فَهُوَ سَهْوٌ وَغَلَطٌ، وَهَذَا الَّذِي اعْتَرَضَ بِهِ الْمُزَنِيُّ، وَإِنْ كَانَ فِي الْفِقْهِ صَحِيحًا فَهُوَ فِي الِاعْتِرَاضِ عَلَى الشَّافِعِيِّ سُوءُ ظَنٍّ بِهِ وَوَهْمٌ مِنْهُ، وَقَدْ فَصَّلَ الشَّافِعِيُّ ذَلِكَ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” بِمَا يُغْنِي عَنْهُ الظَّنُّ وَالِاشْتِبَاهُ، وَفِي إِطْلَاقِهِ ذَلِكَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ جَوَابَانِ:

Adapun al-Muzani, ketika ia melihat bahwa asy-Syafi‘i memberikan jawaban secara mutlak dalam mewajibkan masa ‘iddah empat bulan sepuluh hari yang di dalamnya terdapat satu kali haid tanpa merinci jarak antara kedua kematian, ia pun mengkritik asy-Syafi‘i atas kemutlakannya itu dan menisbatkannya pada kekeliruan dalam menyamakan dua keadaan tersebut. Al-Muzani merinci kritiknya dalam kitab “al-Jami‘ al-Kabir”, ia berkata: Jika yang dimaksud adalah apabila jarak antara keduanya lebih dari dua bulan lima hari, maka itu benar. Namun jika yang dimaksud kurang dari itu, maka itu adalah kelalaian dan kekeliruan. Inilah yang dijadikan dasar kritik oleh al-Muzani. Walaupun secara fiqh benar, namun dalam mengkritik asy-Syafi‘i hal itu merupakan prasangka buruk dan kekeliruan darinya. Padahal asy-Syafi‘i telah merinci hal tersebut dalam kitab “al-Umm” dengan penjelasan yang cukup sehingga tidak perlu ada prasangka dan keraguan. Dalam kemutlakan jawabannya pada masalah ini terdapat dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَسْأَلَةَ مَسْطُورَةٌ فِي الْعِلْمِ بِمَوْتِهِمَا، وَوُقُوعِ الشَّكِّ فِي الْمُتَقَدِّمِ مِنْهُمَا وَفِيمَا بَيْنُ مَوْتِهِمَا وَفِي مَسْطُورِهَا مَا يَقْتَضِيهِ.

Pertama: Bahwa permasalahan ini telah dijelaskan dalam ilmu tentang kematian keduanya, dan terjadinya keraguan pada siapa yang lebih dahulu meninggal di antara keduanya serta jarak antara kematian mereka, dan dalam penjelasannya telah terdapat apa yang diperlukan.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ تَعُمُّ الْأَقْسَامَ الثَّلَاثَةَ، وَالْجَوَابُ عَائِدٌ إِلَى قِسْمَيْنِ مِنْهَا؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ مَأْخُوذٌ مِمَّا تَقَدَّمَ فَاكْتَفَى بِهِ عَنْ تَفْصِيلِ جَوَابِهِ والله أعلم.

Jawaban kedua: Bahwa permasalahan ini mencakup tiga bagian, dan jawaban tersebut kembali kepada dua bagian darinya; karena hukum bagian pertama telah diambil dari penjelasan sebelumnya, sehingga cukup dengan itu tanpa perlu merinci jawabannya. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا تَرِثُ زَوْجَهَا حَتَّى يُسْتَيْقَنَ أَنَّ سَيِّدَهَا مَاتَ قَبْلَ زَوْجِهَا فَتَرِثَهُ وَتَعْتَدَّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ كَالْحُرَّةِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Seorang istri tidak mewarisi suaminya hingga dipastikan bahwa tuannya (majikan budak perempuan tersebut) meninggal sebelum suaminya, sehingga ia dapat mewarisinya dan menjalani masa ‘iddah wafat seperti perempuan merdeka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا اسْتَدَامَ الشَّكُّ فِيمَنْ تَقَدَّمَ مَوْتُهُ مِنْهُمَا لَمْ تَرْثِ زَوْجَهَا تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الرِّقِّ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ قَبْلَ مَوْتِ السَّيِّدِ وَاعْتَدَّتْ عِدَّةَ حُرَّةٍ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مَوْتُهُ بَعْدَ مَوْتِ السَّيِّدِ.

Al-Mawardi berkata: Jika keraguan mengenai siapa yang lebih dahulu meninggal di antara keduanya tetap ada, maka istri tersebut tidak mewarisi suaminya, dengan mengedepankan hukum perbudakan, karena mungkin saja kematiannya terjadi sebelum kematian tuannya. Namun, ia tetap menjalani masa ‘iddah seperti perempuan merdeka, karena mungkin saja kematiannya terjadi setelah kematian tuannya.

فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ غَلَّبْتُمْ حُكْمَ الْحُرِّيَّةِ فِي الْعِدَّةِ دُونَ الْمِيرَاثِ، وَغَلَّبْتُمْ حُكْمَ الرِّقِّ فِي الْمِيرَاثِ دُونَ الْعِدَّةِ.

Jika dikatakan: Mengapa kalian mengedepankan hukum kemerdekaan dalam masalah ‘iddah, namun dalam warisan kalian mengedepankan hukum perbudakan, dan sebaliknya?

قِيلَ: لِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dijawab: Karena terdapat perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمِيرَاثَ لَا يُسْتَحَقُّ إِلَّا بِيَقِينٍ فَلَمْ تَرِثْ بِالشَّكِّ وَالْعِدَّةُ وَاجِبَةٌ بِيَقِينٍ فَلَمْ تَخْرُجْ مِنْهَا بِالشَّكِّ.

Pertama: Warisan tidak dapat diperoleh kecuali dengan keyakinan, maka ia tidak mewarisi karena adanya keraguan. Sedangkan ‘iddah wajib dijalani dengan keyakinan, maka ia tidak keluar dari ‘iddah karena adanya keraguan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمِيرَاثَ مُسْتَحَقٌّ لِغَيْرِهَا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُمْنَعَ مِنْ حَقِّهِ بِالشَّكِّ وَلَا يَتَعَلَّقَ بِتَغْلِيظِ الْعِدَّةِ إِسْقَاطُ حَقٍّ فَجَازَ أَنْ يَتَغَلَّظَ بِالشَّكِّ.

Kedua: Warisan adalah hak bagi orang lain, maka tidak boleh seseorang dihalangi dari haknya karena keraguan. Sedangkan memperberat masa ‘iddah tidak menyebabkan hilangnya hak siapa pun, sehingga boleh memperberatnya karena adanya keraguan.

فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا مُنِعَتْ مِنِ اسْتِحْقَاقِ الْمِيرَاثِ بِالشَّكِّ فَهَلَّا أَوْجَبَتْ بِالشَّكِّ وَقْفَ مِيرَاثِهَا، حَتَّى يَزُولَ الشَّكُّ كَمَنْ طَلَّقَ إِحْدَى زَوْجَتَيْهِ، وَلَمْ يُبِنْ حَتَّى مَاتَ وَقَفَ عَلَيْهِمَا مَعَ الشَّكِّ بِمِيرَاثِ زَوْجَتِهِ حَتَّى يَزُولَ الشَّكُّ، فَهَلَّا كَانَ مِيرَاثُ أُمِّ الْوَلَدِ مَوْقُوفًا كَذَلِكَ.

Jika dikatakan: Jika ia terhalang dari memperoleh warisan karena adanya keraguan, mengapa tidak diwajibkan untuk menangguhkan warisannya hingga keraguan itu hilang, sebagaimana seseorang yang menalak salah satu dari dua istrinya, namun tidak menjelaskan siapa yang ditalak hingga ia meninggal, maka warisan keduanya ditangguhkan karena adanya keraguan hingga keraguan itu hilang. Mengapa warisan ummul walad tidak juga ditangguhkan seperti itu?

قِيلَ: لِأَنَّ مِيرَاثَ أُمِّ الْوَلَدِ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ اسْتِحْقَاقِهِ وَإِسْقَاطِهِ فَلَمْ يَجُزْ وَقْفُهُ مَعَ الشَّكِّ فِي اسْتِحْقَاقِهِ وَمِيرَاثُ إِحْدَى الزَّوْجَتَيْنِ مُسْتَحَقٌّ قَطْعًا، وَإِنْ أَشْكَلَ مُسْتَحِقُّهُ مِنْهُمَا فَجَازَ أَنْ يُوقَفَ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ عَلَى بَيَانِ مُسْتَحِقِّهِ.

Dikatakan: Karena warisan umm al-walad masih diperselisihkan antara berhak atau gugur, maka tidak boleh ditahan (warisannya) ketika masih ada keraguan dalam haknya. Adapun warisan salah satu dari dua istri sudah pasti menjadi hak, meskipun siapa yang berhak di antara keduanya masih samar, sehingga boleh ditahan setelah kepastian haknya hingga jelas siapa yang berhak.

فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا الْفَرْقُ يَفْسُدُ بِمَنْ لَهُ زَوْجَتَانِ، مُسْلِمَةٌ وَذِمِّيَّةٌ طَلَّقَ إِحْدَاهُمَا، وَلَمْ يَبِنْ حَتَّى مَاتَ فَإِنَّهُ يُوقَفُ مِنْ مَالِهِ مِيرَاثُ زَوْجَتِهِ، وَإِنَّ شَكَّ فِي استحقاقه، كأنه متردد بين أن يكون الْمُطَلَّقَةُ هِيَ الذِّمِّيَّةَ فَتَسْتَحِقَّ الْمُسْلِمَةُ الْمِيرَاثَ وَبَيْنَ أَنْ تَكُونَ الْمُسْلِمَةُ هِيَ الْمُطَلَّقَةَ فَلَا تَسْتَحِقُّ الذِّمِّيَّةُ الْمِيرَاثَ وَلَمْ يَمْنَعْ هَذَا الشَّكُّ فِي اسْتِحْقَاقِهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا فَهَلَّا كَانَ مِيرَاثُ أُمِّ الْوَلَدِ مَوْقُوفًا.

Jika dikatakan: Perbedaan ini menjadi rusak pada kasus seseorang yang memiliki dua istri, satu muslimah dan satu dzimmi (non-muslim), lalu ia menceraikan salah satunya, namun belum jelas (siapa yang dicerai) hingga ia meninggal. Maka dari hartanya ditahan warisan untuk istrinya, meskipun masih ragu siapa yang berhak, seolah-olah masih diperselisihkan antara yang dicerai itu adalah dzimmi sehingga yang muslimah berhak atas warisan, atau yang dicerai adalah muslimah sehingga dzimmi tidak berhak atas warisan. Keraguan dalam hak warisan ini tidak menghalangi untuk ditahan (warisannya). Maka mengapa warisan umm al-walad tidak boleh ditahan juga?

قِيلَ: فَهَذَا لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ أُمِّ الْوَلَدِ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْمُسْلِمَةِ أَنَّهَا مُسْتَحِقَّةٌ لِلْمِيرَاثِ، فَلَمْ تُسْقِطْ مِيرَاثَهَا بِالشَّكِّ، وَالْأَصْلُ فِي أُمِّ الْوَلَدِ أَنَّهَا غَيْرُ وَارِثَةٍ فَلَمْ يُوقَفْ لَهَا مِيرَاثٌ بِالشَّكِّ، فَصَحَّ بِهَذَا الْفَرْقِ مَا تقد من الفرق.

Dikatakan: Hal ini tidak menghalangi sahnya perbedaan antara keduanya dan umm al-walad; karena asalnya, muslimah itu memang berhak atas warisan, sehingga warisannya tidak gugur hanya karena keraguan. Sedangkan asalnya, umm al-walad memang bukan ahli waris, sehingga tidak ditahan warisan untuknya karena keraguan. Maka dengan perbedaan ini, benarlah perbedaan yang telah disebutkan sebelumnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْأَمَةُ يَطَؤُهَا تُسْتَبْرَأُ بِحَيْضَةٍ فَإِنْ نَكَحَتْ قَبْلَهَا فَمَفْسُوخٌ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Budak perempuan yang digauli harus diistibra’ (menunggu satu kali haid). Jika ia dinikahi sebelum masa istibra’ selesai, maka nikahnya batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ السَّيِّدَ إِذَا وَطِئَ أَمَتَهُ جَازَ لَهُ بَيْعُهَا قَبْلَ اسْتِبْرَائِهَا، وَلَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا إِلَّا بَعْدَ اسْتِبْرَائِهَا.

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, jika seorang tuan menggauli budak perempuannya, maka ia boleh menjualnya sebelum masa istibra’, namun tidak boleh menikahkannya kecuali setelah masa istibra’ selesai.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجَهَا قَبْلَ الِاسْتِبْرَاءِ كَالْبَيْعِ وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْتَبْرِئَ بَعْدَ مِلْكِهِ لِجَوَازِ أن يملك من لا تحل له والزواج لَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْتَبْرِئَ بَعْدَ نِكَاحِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْكِحَ مَنْ لَا تَحِلُّ لَهُ فَلِذَلِكَ جَازَ بَيْعُهَا قَبْلَ الِاسْتِبْرَاءِ، وَلَمْ يَجُزْ نِكَاحُهَا قَبْلَ الِاسْتِبْرَاءِ، فَإِذَا مَلَكَهَا الْمُشْتَرِي حَرُمَ عَلَيْهِ وَطْؤُهَا بِالْمِلْكِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا سَوَاءٌ كَانَ الْبَائِعُ قَدِ اسْتَبْرَأَهَا قَبْلَ الْبَيْعِ أَمْ لَا؟ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في سبي أوطاس: ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ ” وَذَلِكَ لِاسْتِحْدَاثِ الْمِلْكِ بِالسَّبْيِ، وَكَذَلِكَ كُلُّ مِلْكٍ مُسْتَحْدَثٍ فَإِنْ أَعْتَقَهَا الْمُشْتَرِي فَأَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَبْلَ الِاسْتِبْرَاءِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ الْبَائِعُ قَدِ اسْتَبْرَأَهَا قَبْلَ بَيْعِهِ جَازَ لِلْمُشْتَرِي أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بَعْدَ عِتْقِهِ لَهَا، وَإِنْ لَمْ يَسْتَبْرِئْهَا كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا الْبَائِعُ لَوْ لَمْ يَبِعْهَا.

Abu Hanifah berkata: Boleh menikahkan budak perempuan sebelum istibra’ sebagaimana boleh menjualnya, dan ini adalah kesalahan. Sebab, pembeli wajib melakukan istibra’ setelah memiliki budak tersebut, karena bisa saja ia memiliki budak yang tidak halal baginya. Sedangkan dalam pernikahan, suami tidak wajib melakukan istibra’ setelah menikahinya, karena tidak boleh menikahi perempuan yang tidak halal baginya. Oleh karena itu, boleh menjual budak sebelum istibra’, namun tidak boleh menikahkannya sebelum istibra’. Jika pembeli telah memilikinya, maka haram baginya menggauli budak itu karena kepemilikan hingga ia melakukan istibra’, baik penjual telah melakukan istibra’ sebelum penjualan atau belum. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ tentang tawanan perang Autas: “Ketahuilah, tidak boleh digauli perempuan hamil hingga ia melahirkan, dan tidak boleh digauli perempuan yang tidak hamil hingga ia haid.” Hal ini karena kepemilikan baru melalui tawanan, dan demikian pula setiap kepemilikan baru. Jika pembeli memerdekakannya lalu ingin menikahinya sebelum istibra’, maka dilihat: jika penjual telah melakukan istibra’ sebelum menjualnya, maka pembeli boleh menikahinya setelah memerdekakannya, sebagaimana penjual boleh menikahinya jika ia tidak menjualnya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَطَأَهَا بِالْمِلْكِ فَلَا تَحِلُّ لَهُ إِلَّا بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ وَبَيْنَ أَنْ يَطَأَهَا بِالنِّكَاحِ فَتَحِلُّ لَهُ قَبْلَ الِاسْتِبْرَاءِ هُوَ أَنَّ اسْتِبْرَاءَ الْبَائِعِ لَهَا قَبْلَ بَيْعِهَا قَدْ أَبْرَأَ رَحِمَهَا في الظاهر، فَإِنْ ظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ يُخَالِفُ الظَّاهِرَ أَمْكَنَ نَفْيُهُ فِي النِّكَاحِ بِاللِّعَانِ دُونَ الِاسْتِبْرَاءِ، وَلَمْ يَكُنْ نَفْيُهُ فِي الْمِلْكِ إِلَّا بِالِاسْتِبْرَاءِ فَلِذَلِكَ وَجَبَ تَجْدِيدُ الِاسْتِبْرَاءِ فِي الْوَطْءِ بِالْمِلْكِ وَلَمْ يَجِبْ تَجْدِيدُ الِاسْتِبْرَاءِ فِي الْوَطْءِ بِالنِّكَاحِ وَإِنْ كَانَ الْبَائِعُ مَا اسْتَبْرَأَهَا قَبْلَ بَيْعِهِ لَمْ يَجُزْ لِلْمُشْتَرِي إِذَا أَعْتَقَهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا إِلَّا بَعْدَ اسْتِبْرَائِهَا وَيَمْنَعُ وُجُوبُ الِاسْتِبْرَاءِ مِنْ صِحَّةِ النِّكَاحِ كَمَا يَمْنَعُ مِنْهُ وُجُوبُ الْعِدَّةِ.

Perbedaan antara menggauli budak karena kepemilikan—yang tidak halal kecuali setelah istibra’—dan menggauli budak karena pernikahan—yang halal sebelum istibra’—adalah bahwa istibra’ yang dilakukan penjual sebelum menjual budak telah membersihkan rahimnya secara lahiriah. Jika kemudian tampak hamil yang bertentangan dengan lahiriah, maka dalam pernikahan bisa dinafikan dengan li‘an, tidak demikian dalam kepemilikan, karena dalam kepemilikan tidak bisa dinafikan kecuali dengan istibra’. Oleh karena itu, wajib memperbarui istibra’ dalam hubungan karena kepemilikan, dan tidak wajib memperbarui istibra’ dalam hubungan karena pernikahan. Jika penjual belum melakukan istibra’ sebelum menjualnya, maka tidak boleh bagi pembeli yang telah memerdekakannya untuk menikahinya kecuali setelah istibra’. Kewajiban istibra’ ini menghalangi sahnya pernikahan, sebagaimana kewajiban iddah juga menghalanginya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ وَلَا يَمْنَعُ وُجُوبُ الِاسْتِبْرَاءِ عِنْدَهُ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ، وَهَذِهِ مَسْأَلَةُ أَبِي يُوسُفَ مَعَ ” الرَّشِيدِ ” فَإِنَّهُ اسْتَبْرَأَ أَمَةً فَمِنْ شِدَّةِ مَيْلِهِ إِلَيْهَا اسْتَصْعَبَ الصَّبْرَ عَنْهَا إِلَى أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا فَسَأَلَ أَبَا يُوسُفَ عَنِ الْمَخْرَجِ فِي تَعْجِيلِ الِاسْتِبَاحَةِ، فَقَالَ تُعْتِقُهَا وَتَتَزَوَّجُهَا فَحَظِيَ عِنْدَهُ وَوَصَلَهُ وَشَكَرَتْهُ الْجَارِيَةُ وَوَصَلَتْهُ، وَقَالَتْ: فَكَكْتَ رِقِّي، وَجَعَلْتَنِي زَوْجَةَ الرَّشِيدِ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مَا رَوَاهُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لا يشترك رجلان في طهر امرأته ” وَتَزْوِيجُهَا قَبْلَ الِاسْتِبْرَاءِ مُفْضٍ إِلَى اشْتِرَاكِ الْبَائِعِ وَالزَّوْجِ عَلَى وَطْئِهَا فِي الطُّهْرِ الْوَاحِدِ، وَهَذَا مَدْفُوعٌ بِالنَّصِّ.

Abu Hanifah berkata: Boleh (menikahi budak wanita yang harus menjalani istibra’), dan kewajiban istibra’ menurutnya tidak menghalangi akad nikah. Inilah masalah Abu Yusuf dengan “ar-Rasyid”, yaitu ketika ar-Rasyid melakukan istibra’ terhadap seorang budak perempuan, namun karena sangat tertarik kepadanya, ia merasa berat untuk bersabar hingga selesai masa istibra’. Maka ia bertanya kepada Abu Yusuf tentang jalan keluar agar dapat segera menghalalkan hubungan dengannya. Abu Yusuf berkata: “Merdekakanlah dia, lalu nikahilah dia.” Maka ar-Rasyid pun mendapat kemuliaan di sisinya, dan budak perempuan itu pun bersyukur kepadanya, seraya berkata: “Engkau telah membebaskan diriku dari perbudakan dan menjadikanku istri ar-Rasyid.” Dalil yang menunjukkan rusaknya pendapat tersebut adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak boleh dua orang laki-laki berserikat dalam satu masa suci seorang wanita.” Menikahi budak perempuan sebelum istibra’ akan menyebabkan adanya perserikatan antara penjual dan suami dalam menggaulinya pada satu masa suci, dan hal ini tertolak oleh nash.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ ” فَلَمْ يَجُزْ لِلزَّوْجِ أَنْ يَسْقِيَ زَرْعَ الْبَائِعِ بِمَائِهِ، وَلِأَنَّ وَطْءَ الْبَائِعِ وَطْءٌ لَهُ حُرْمَةٌ فَلَمْ يَجُزْ نِكَاحُهَا قَبْلَ اسْتِبْرَائِهَا مِنْهُ كَوَطْءِ الشُّبْهَةِ مَعَ حَظْرِ وَطْءِ الشُّبْهَةِ وَإِبَاحَةِ وَطْءِ السيد، والله أعلم.

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Janganlah engkau menyirami tanaman orang lain dengan airmu.” Maka tidak boleh bagi suami untuk menyirami tanaman penjual dengan airnya. Dan karena hubungan badan penjual adalah hubungan yang memiliki kehormatan, maka tidak boleh menikahinya sebelum ia menjalani istibra’ darinya, sebagaimana hubungan badan syubhat, padahal hubungan badan syubhat dilarang, sedangkan hubungan badan tuan (dengan budaknya) dibolehkan. Allah lebih mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ وَطِئَ الْمُكَاتِبُ أَمَتَهُ فَوَلَدَتْ أَلْحَقَتْهُ بِهِ ومنعته الوطء وفيها قولان أحدهما لا يبيعها بحال لأني حكمت لولدها بحكم الحرية إن عتق أبوه والثاني أن له بيعها خاف العجز أو لم يخفه (قال المزني) رحمه الله القياس على قوله أن لا يبيعها كما لا يبيع ولدها “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang mukatab menggauli budak wanitanya lalu ia melahirkan anak, maka anak itu dinisbatkan kepadanya dan ia dilarang menggaulinya lagi. Dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya, ia tidak boleh menjualnya dalam keadaan apa pun, karena aku telah menetapkan hukum kebebasan bagi anaknya jika ayahnya merdeka; pendapat kedua, ia boleh menjualnya, baik ia khawatir tidak mampu (melunasi akad mukatab) atau tidak. (Al-Muzani rahimahullah berkata:) Qiyas menurut pendapat beliau adalah tidak boleh menjualnya, sebagaimana tidak boleh menjual anaknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: يَجُوزُ لِلْمَكَاتِبِ أَنْ يَسْتَبْرِئَ الرَّقِيقَ مِنَ الْعَبِيدِ، وَالْإِمَاءِ إِذَا قَصَدَ بِهِ تَمْيِيزَ الْمَالِ لِوُجُودِ الْفَضْلِ فِيهِ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ، فَإِذَا مَلَكَ أَمَةً لَمْ يَكُنْ لَهُ وَطْؤُهَا لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Boleh bagi seorang mukatab untuk melakukan istibra’ terhadap budak laki-laki maupun budak perempuan jika tujuannya adalah untuk membedakan harta, karena terdapat keutamaan dalam hal itu sebagaimana pada harta-harta lainnya. Maka apabila ia memiliki seorang budak perempuan, ia tidak boleh menggaulinya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَقِرِّ الْمِلْكِ كَالْعَبْدِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَطَأَ بِالْمِلْكِ إِلَّا مَالِكٌ.

Pertama: Karena kepemilikannya belum tetap, seperti budak laki-laki, dan tidak boleh menggauli (budak) dengan dasar kepemilikan kecuali oleh seorang pemilik.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ رُبَّمَا أَحْبَلَهَا فَنَقَصَتْ قِيمَتُهَا، وَلَمْ يُؤْمَنْ تَلَفُهَا، وَالْمُكَاتَبُ مَمْنُوعٌ مِنْ إِتْلَافِ مَا بِيَدِهِ أَوْ إِحْدَاثِ نَقْصٍ فِيهِ، فَإِنِ اسْتَأْذَنَ سَيِّدَهُ فِي وَطْئِهَا، فَلَمْ يَأْذَنْ لَهُ فَالْحَظْرُ بَاقٍ لِحَالِهِ، وَإِنْ أَذِنَ لَهُ فِي وَطْئِهَا، فَلَمْ يَأْذَنْ لَهُ فَالْحَظْرُ بَاقٍ بِحَالِهِ، وَإِنْ أَذِنَ لَهُ فِي وَطْئِهَا لَمْ يَحْتَجْ إِلَى تَمْلِيكٍ، لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ مَالِكٌ بِالْكِتَابَةِ، وَفِي جَوَازِ وَطْئِهِ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ في العيد، هَلْ يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ، فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ، وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَطَأَ إِذَا أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ لَا يَمْلِكُ وَإِنْ مُلِّكَ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَطَأَ وَإِنْ أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ، لِأَنَّ الْإِذْنَ بِالْوَطْءِ أَنْ لَا يَمْلِكَ إِبَاحَةَ الْفَرْجِ الْمَمْلُوكِ وَالْفَرْجُ لَا يَحِلُّ بِالْإِبَاحَةِ، فَإِنْ وَطِئَهَا الْمُكَاتَبُ فَأَحْبَلَهَا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ سَوَاءٌ اسْتَأْذَنَ سَيِّدَهُ أَوْ لَمْ يَسْتَأْذِنْهُ، لِأَنَّهُ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ مَالِكٌ، وَعَلَى الثَّانِي فِي شُبْهَةِ مِلْكٍ، وَلَا حَدَّ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَا مَهْرَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ مَهْرَهَا مِنْ كَسْبِهِ وَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِهِ لِسُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهُ، وَلَا يُعْتَقُ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ وَلَدَهُ فِي حُكْمِهِ، وَهُوَ لَا يُعْتَقُ عَلَى نَفْسِهِ، فَكَذَلِكَ لَا يُعْتَقُ عَلَيْهِ وَلَدُهُ وَلَا يَجُوزُ له بيعه، لأن الولد لَا يَجُوزُ لَهُ بَيْعُ وَلَدِهِ كَمَا لَا يَجُوزُ لَهُ بَيْعُ نَفْسِهِ، فَإِنْ خَافَ الْعَجْزَ إِنْ لَمْ يَبِعْهُ، قَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يَجُوزُ لَهُ حِينَئِذٍ بَيْعُهُ، لِأَنَّ عَجْزَهُ مُفْضٍ إِلَى رِقِّهَا فَكَانَ بَيْعُهُ فِي عِتْقِ الْأَبِ أَوْلَى مِنِ اسْتِرْقَاقِهِ مَعَ الْأَبِ. وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا، وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ بَيْعُهُ إِنْ خَافَ الْعَجْزَ، لِأَنَّ الْعِتْقَ بِبَيْعِهِ بِظُنُونٍ لِجَوَازِ أَنْ يَتْلَفَ ثَمَنُهُ قَبْلَ أَدَائِهِ فِي الْكِتَابَةِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ بِهَذَا التَّجْوِيزِ مَا اسْتَحَقَّهُ عَلَى أَبِيهِ، وَقَدْ تَقَابَلَ هَذَا التَّجْوِيزَ مِثْلُهُ مِنْ أَنْ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكْتَسِبَ الْمُكَاتِبُ مَالًا قَبْلَ تَعَجُّزِهِ مِنْ هِبَةٍ أَوْ لَفْظَةٍ فَيُعْتَقَانِ مَعًا فَلَا يُرْفَعُ هَذَا التَّجْوِيزُ بِمِثْلِهِ، وَإِذَا تَقَابَلَ التَّجْوِيزُ إِنْ سَقَطَا، وَكَانَ الْأَصْلُ حَظْرَ بَيْعِهِ عَلَيْهِ، فَأَمَّا أُمُّهُ فَهَلْ تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ لِلْمَكَاتِبِ يُمْنَعُ مِنْ بَيْعِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Kedua: Bisa jadi ia menghamilinya sehingga nilai (budak perempuan) itu berkurang, dan tidak terjamin keselamatannya dari kerusakan. Sedangkan seorang mukatab dilarang merusak apa yang ada di tangannya atau menyebabkan kekurangan pada harta tersebut. Jika ia meminta izin kepada tuannya untuk menggaulinya, lalu tuannya tidak mengizinkan, maka larangan tetap berlaku sebagaimana adanya. Jika tuannya mengizinkan untuk menggaulinya, maka ia tidak membutuhkan kepemilikan (baru), karena mukatab telah menjadi pemilik melalui akad kitabah. Dalam hal kebolehan menggaulinya dengan izin tuan, terdapat dua pendapat, yang didasarkan pada perbedaan dua pendapat Imam asy-Syafi‘i dalam masalah ‘id, apakah ia menjadi pemilik jika telah diberikan kepemilikan. Menurut pendapat lama (al-qadim), ia menjadi pemilik jika telah diberikan kepemilikan, dan boleh baginya menggauli jika tuan mengizinkan. Sedangkan menurut pendapat baru (al-jadid), ia tidak menjadi pemilik meskipun telah diberikan kepemilikan, dan tidak boleh baginya menggauli meskipun tuan mengizinkan, karena izin untuk menggauli bukan berarti kepemilikan atas kemaluan yang dimiliki, dan kemaluan tidak menjadi halal hanya dengan izin. Jika mukatab menggaulinya lalu menghamilinya, maka tidak ada had atasnya, baik ia meminta izin kepada tuannya atau tidak, karena menurut salah satu pendapat ia adalah pemilik, dan menurut pendapat kedua ia dalam posisi syubhat kepemilikan, dan dalam kedua keadaan itu tidak ada had atasnya dan tidak ada mahar baginya, karena maharnya berasal dari hasil usahanya sendiri, dan anak yang lahir dinisbatkan kepadanya karena had tidak dikenakan atasnya, dan anak itu tidak otomatis merdeka karena anak itu mengikuti hukum bapaknya, dan seseorang tidak memerdekakan dirinya sendiri, maka demikian pula anaknya tidak menjadi merdeka karenanya. Ia juga tidak boleh menjual anaknya, karena tidak boleh baginya menjual anaknya sebagaimana tidak boleh menjual dirinya sendiri. Jika ia khawatir tidak mampu (melunasi kitabah) jika tidak menjual anaknya, menurut Abu Sa‘id al-Istakhri, boleh baginya menjual anaknya dalam keadaan itu, karena ketidakmampuannya akan menyebabkan anak itu kembali menjadi budak, maka menjualnya dalam rangka memerdekakan ayahnya lebih utama daripada membiarkan anak itu tetap dalam perbudakan bersama ayahnya. Namun mayoritas ulama kami, dan ini adalah pendapat yang zahir dalam mazhab asy-Syafi‘i, berpendapat bahwa tidak boleh baginya menjual anaknya jika ia khawatir tidak mampu, karena kemerdekaan dengan cara menjualnya masih bersifat dugaan, sebab bisa jadi harganya rusak sebelum dibayarkan dalam akad kitabah, sehingga tidak boleh menggugurkan hak yang dimiliki atas ayahnya hanya dengan dugaan ini. Dugaan ini juga diimbangi dengan kemungkinan mukatab memperoleh harta sebelum ia tidak mampu, baik dari hibah atau ucapan tertentu, sehingga keduanya bisa merdeka bersama-sama, maka dugaan ini tidak dapat mengalahkan dugaan yang lain. Jika dua dugaan ini saling berhadapan, maka keduanya gugur, dan hukum asalnya adalah larangan menjual anaknya. Adapun ibunya, apakah ia menjadi umm walad bagi mukatab sehingga tidak boleh dijual oleh mukatab, atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لِلْمَكَاتِبِ، وَيَجُوزُ لَهُ بَيْعُهَا، لِأَنَّهَا عَلِقَتْ مِنْهُ بِمَمْلُوكٍ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ حُرْمَةُ حُرِيَّةِ مُشْتَرًى إِلَيْهَا، وَلَيْسَ مَا يُرْجَى مِنْ حُدُوثِ عِتْقِهِ بِمُوجِبٍ لِتَحْرِيمِ بَيْعِهَا كَمَا لَوْ أَوْلَدَهَا بِعَقْدِ نِكَاحٍ لَمْ تَصِرْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ إِنْ مَلَكَهَا، وَلَوِ اشْتَرَاهُمَا بَعْدَ الْحُرِّيَّةِ عُتِقَ عَلَيْهِ الْوَلَدُ وَلَمْ يُوجِبْ حُدُوثُ عِتْقِهِ تَحْرِيمَ بَيْعِهَا، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ لَهُ بَيْعُهَا سَوَاءٌ أَدَّى فَعَتَقَ أَوْ عَجَزَ فَرَقَّ.

Salah satunya: Ia tidak menjadi umm walad bagi mukatab, dan boleh baginya menjualnya, karena ia hamil dari mukatab yang masih berstatus budak, sehingga tidak memiliki kehormatan kemerdekaan yang mengharuskan larangan penjualan. Harapan akan terjadinya kemerdekaan tidak menjadi alasan untuk mengharamkan penjualannya, sebagaimana jika ia melahirkan anak dari akad nikah, maka ia tidak menjadi umm walad jika kemudian dimiliki. Jika ia membeli keduanya setelah merdeka, maka anak itu menjadi merdeka karena ayahnya, namun kemerdekaan yang terjadi tidak menyebabkan larangan penjualan ibunya. Dengan demikian, boleh baginya menjual ibunya, baik ia telah membayar lalu merdeka, maupun tidak mampu lalu kembali menjadi budak.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ إِنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ لِلْمَكَاتِبِ يَحْرُمُ عَلَيْهِ بَيْعُهَا لِأَنَّهُ لَمَّا مُنِعَ مِنْ بَيْعِ وَلَدِهَا انْتَشَرَتْ حُرْمَةُ هَذَا الْمَنْعِ إِلَيْهَا فَصَارَ مَمْنُوعًا مِنْ بَيْعِهَا، فَعَلَى هَذَا يُمْنَعُ مِنْ بَيْعِ وَلَدِهَا، وَبَيْعِ أَمَتِهِ فِي حَالِ كِتَابَتِهِ ثُمَّ يُنْظَرُ مَا يَكُونُ مِنْ حَالِهِ فِي الْكِتَابَةِ فَإِنْ أَدَّى فَعَتَقَ عُتِقَ عَلَيْهِ وَلَدُهُ عِنْدَ عِتْقِهِ بِالْأَدَاءِ، وَاسْتَقَرَّ لِأَمَتِهِ حُكْمُ أُمِّ الْوَلَدِ فَحَرُمَ عَلَيْهِ بَيْعُهَا عَلَى الْأَبَدِ، وَعَتَقَتْ عَلَيْهِ بِالْمَوْتِ، وَإِنْ عَجَزَ وَرَقَّ صَارَ الْوَلَدُ وَأَمَتُهُ مَمْلُوكَيْنِ لِلسَّيِّدِ مَعَ الْأَبِ، وَجَازَ لَهُ بَيْعُهُمْ إِذَا شَاءَ.

Pendapat kedua, yang dipilih oleh al-Muzani, adalah bahwa perempuan tersebut telah menjadi umm walad bagi al-mukatab, sehingga haram baginya menjualnya. Sebab, ketika ia dilarang menjual anaknya, maka larangan tersebut juga berlaku atas ibunya, sehingga ia pun dilarang menjualnya. Berdasarkan hal ini, ia dilarang menjual anaknya dan juga menjual budaknya selama masa kitabah. Kemudian dilihat bagaimana keadaannya dalam masa kitabah: jika ia melunasi (pembayaran), maka ia dan anaknya merdeka bersamaan dengan kemerdekaannya karena pelunasan tersebut, dan bagi budaknya berlaku hukum umm walad, sehingga haram baginya menjualnya selamanya, dan budak itu merdeka karena kematiannya. Namun jika ia tidak mampu dan kembali menjadi budak, maka anak dan budaknya menjadi milik tuan bersama ayahnya, dan tuan boleh menjual mereka kapan saja ia mau.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا اشْتَرَى الْمُكَاتِبُ زَوْجَتَهُ صَحَّ الشِّرَاءُ، وَبَطَلَ عَلَيْهِ نِكَاحُهَا، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَطْؤُهَا بَعْدَ الشِّرَاءِ، وَإِنْ كَانَ لَهُ ذَلِكَ قَبْلَ الشراء، لأنه قبل الشراء يطأها بِالزَّوْجِيَّةِ وَالْمُكَاتِبُ لَا يُمْنَعُ مِنَ الْوَطْءِ بِالزَّوْجِيَّةِ وبعد الشراء يطأها بِالْمِلْكِ، وَالْمُكَاتِبُ مَمْنُوعٌ مِنَ الْوَطْءِ بِالْمِلْكِ، فَإِنْ وَطِئَهَا بَعْدَ الشِّرَاءِ كَانَ عَلَى مَا مَضَى، وبالله التوفيق.

Apabila al-mukatab membeli istrinya, maka jual beli itu sah, namun pernikahan mereka batal, dan ia tidak boleh menggaulinya setelah pembelian tersebut, meskipun sebelumnya ia boleh menggaulinya sebelum pembelian. Sebab, sebelum pembelian, ia menggaulinya karena status pernikahan, dan al-mukatab tidak dilarang menggauli istrinya. Namun setelah pembelian, ia menggaulinya karena kepemilikan, sedangkan al-mukatab dilarang menggauli budak yang ia miliki. Jika ia menggaulinya setelah pembelian, maka hukumnya sebagaimana yang telah lalu. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

باب الاستبراء من كتاب الاستبراء والإملاء

(Bab tentang istibra’ dari Kitab al-Istibra’ dan al-Imla’)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَامَ سَبْيِ أَوَطَاسٍ أَنْ تُوطَأَ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ أَوْ حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ وَلَا يُشَكُّ أن فيهن أبكاراً وحرائر كن قبل أن يستأمين وَإِمَاءً وَوَضِيعَاتٍ وَشَرِيفَاتٍ وَكَانَ الْأَمْرُ فِيهِنَّ وَاحِدًا (قال الشافعي) رحمه الله فكل ملك يحدث من مالك لم يجز فيه الوطء إلا بعد الاستبراء لأن الفرج كان ممنوعاً قبل الملك ثم حل بالملك “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Rasulullah ﷺ melarang pada tahun penaklukan Awtas untuk menggauli perempuan hamil hingga ia melahirkan, atau perempuan yang tidak hamil hingga ia haid. Tidak diragukan bahwa di antara mereka ada yang masih perawan dan merdeka sebelum mereka menjadi tawanan, juga ada budak, yang rendah maupun yang mulia, dan hukum atas mereka sama saja.” (Asy-Syafi‘i berkata) rahimahullah: “Setiap kepemilikan baru atas seorang budak perempuan, baik melalui pembelian, warisan, hibah, atau rampasan perang, tidak boleh digauli kecuali setelah istibra’, karena kemaluannya sebelumnya haram sebelum dimiliki, lalu menjadi halal karena kepemilikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ كُلُّ مَنْ اسْتَحْدَثَ مِلْكَ أَمَةٍ بِابْتِيَاعٍ، أَوْ مِيرَاثٍ، أَوْ هِبَةٍ، أَوْ مَغْنَمٍ يَحْرُمُ عَلَيْهِ وَطْؤُهَا حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا صَغِيرَةً كَانَتْ أَوْ كَبِيرَةً بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا شَرِيفَةً كَانَتْ أَوْ وَضِيعَةً مَنْ يجوز حبلها أولاً يَجُوزُ، وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَابْنِ مَسْعُودٍ – رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ.

Al-Mawardi berkata: “Sebagaimana yang dikatakan, setiap orang yang memperoleh kepemilikan baru atas seorang budak perempuan, baik melalui pembelian, warisan, hibah, atau rampasan perang, haram baginya menggaulinya hingga melakukan istibra’, baik budak itu masih kecil maupun sudah dewasa, perawan maupun janda, mulia maupun rendah, siapa pun yang mungkin hamil atau tidak. Inilah pendapat Umar, Utsman, dan Ibnu Mas‘ud—semoga Allah meridhai mereka.”

وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ.

Dan demikian pula pendapat Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ جُومِعَ مِثْلُهَا لَزِمَهُ اسْتِبْرَاؤُهَا، وَإِنْ لَمْ يُجَامَعْ مِثْلُهَا لَمْ يَلْزَمْهُ.

Malik berkata: Jika budak seperti itu biasa digauli, maka wajib dilakukan istibra’ terhadapnya. Jika tidak biasa digauli, maka tidak wajib.

وَقَالَ الليث بن سعيد إِنْ كَانَ مِثْلُهَا يَحْبَلُ لَزِمَهُ اسْتِبْرَاؤُهَا وَإِنْ لَمْ يَحْبَلْ مِثْلُهَا لَمْ يَلْزَمْهُ.

Al-Laits bin Sa‘id berkata: Jika budak seperti itu bisa hamil, maka wajib dilakukan istibra’ terhadapnya. Jika tidak bisa hamil, maka tidak wajib.

وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ، وَدَاوُدُ: إِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا لَزِمَهُ الِاسْتِبْرَاءُ، وَإِنْ كَانَتْ بكراُ لَمْ يَلْزَمْهُ ذَلِكَ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا ثَيِّبٌ حَتَّى تَحِيضَ ” فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ وَطْءِ الْبِكْرِ قَبْلَ أَنْ تَحِيضَ، وَبِمَا رُوِيَ عن عمر ابن الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: ” لَا اسْتِبْرَاءَ عَلَى الْعَذْرَاءِ “.

Abu Tsaur dan Dawud berkata: Jika budak itu janda, maka wajib dilakukan istibra’, namun jika masih perawan, maka tidak wajib. Mereka berdalil dengan riwayat Ruwaifi‘ bin Tsabit bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Ketahuilah, janganlah digauli perempuan hamil hingga ia melahirkan, dan jangan pula janda hingga ia haid.” Ini menunjukkan bolehnya menggauli perawan sebelum ia haid. Juga berdasarkan riwayat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Tidak ada istibra’ atas perempuan perawan.”

قَالُوا: وَلِأَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ مَوْضُوعٌ لِبَرَاءَةِ الرَّحِمِ فَلَمْ يَلْزَمْ فِيمَنْ عَلِمَ بَرَاءَةَ رَحِمِهَا، وَلِأَنَّ عَدَدَ الْحَرَائِرِ أَعْلَى مِنِ اسْتِبْرَاءِ الْإِمَاءِ، وَذَلِكَ سَاقِطٌ فِي غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا فَكَانَ الِاسْتِبْرَاءُ بِذَلِكَ أَوْلَى.

Mereka berkata: Karena istibra’ itu ditetapkan untuk memastikan rahim bersih, maka tidak wajib bagi yang sudah diketahui rahimnya bersih. Dan karena jumlah istri merdeka lebih banyak daripada istibra’ budak perempuan, dan itu tidak berlaku bagi perempuan yang belum digauli, maka istibra’ dalam hal ini lebih utama (untuk tidak diwajibkan).

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي كُلِّ حَائِلٍ مِنْ صَغِيرَةٍ وَكَبِيرَةٍ وَبِكْرٍ وَثَيِّبٍ مَعَ وُرُودِ ذَلِكَ فِي سَبْيِ أَوْطَاسٍ، وَكَانَ فِيهِنَّ صِغَارٌ وَكِبَارٌ فَعَمَّ وَلَمْ يُفَرِّقْ.

Dalil kami adalah riwayat Abu Sa‘id al-Khudri bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketahuilah, janganlah digauli perempuan hamil hingga ia melahirkan, dan jangan pula perempuan yang tidak hamil hingga ia haid.” Maka hadis ini berlaku umum untuk setiap perempuan yang tidak hamil, baik masih kecil maupun sudah dewasa, perawan maupun janda, sebagaimana hal itu terjadi pada tawanan Awtas, di antara mereka ada yang masih kecil dan ada yang sudah dewasa, maka hukum itu berlaku umum dan tidak dibedakan.

فَإِنْ قِيلَ: فَاسْمُ الْحَائِلِ لَا يَنْطَلِقُ إِلَّا عَلَى مَنْ أَخْلَفَ حَمَلُهَا بَعْدَ تَقَدُّمِهِ مِنْهَا كَمَا يُقَالُ: نَخْلَةٌ حَائِلٌ إِذَا أَخْلَفَتْ بَعْدَ أَنْ حَمَلَتْ، وَتَسْمِيَةُ حَائِلٍ لَا يَنْطَلِقُ ذَلِكَ عَلَى مَا لَمْ تَحْمِلْ مِنْ فَسِيلِ النَّخْلِ، وَصِغَارِ الْبَهَائِمِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Jika dikatakan: Nama “ḥā’il” (yang tidak hamil) hanya digunakan untuk hewan betina yang telah kehilangan kandungannya setelah sebelumnya pernah hamil, sebagaimana dikatakan: “pohon kurma ḥā’il” jika ia tidak lagi berbuah setelah sebelumnya pernah berbuah. Penamaan ḥā’il tidak berlaku bagi anakan pohon kurma yang belum pernah berbuah, atau anak-anak hewan ternak. Maka terhadap hal ini ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذَا غَيْرُ مُسَلَّمٍ، لِأَنَّ الْحَائِلَ ضِدُّ الْحَامِلِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى عُمُومِهِ مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ.

Pertama: Hal ini tidak dapat diterima, karena ḥā’il adalah lawan dari ḥāmil (yang hamil), sehingga harus dipahami secara umum baik dalam ucapan maupun perbuatan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ رَوَى أَبُو الْوَدَّاكِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ ” وَهَذَا لَا يَحْتَمِلُ مَا تَكَلَّفُوهُ مِنَ التَّأْوِيلِ، وَلِأَنَّ مَنِ اسْتَجَدَّ مِلْكَ أَمَةٍ مُحَرَّمَةٍ لَزِمَهُ اسْتِبْرَاؤُهَا قَبْلَ الِاسْتِمْتَاعِ قِيَاسًا عَلَى مَوْضِعِ الْوِفَاقِ، وَلِأَنَّ اعْتِبَارَ مَنْ يُجَامَعُ مِثْلُهَا، وَلَا يُجَامَعُ، وَمَنْ يَحْبَلُ مِثْلُهَا وَلَا يَحْبَلُ يَشُقُّ لِاخْتِلَافِهِ فِي النَّاسِ، وَاخْتِلَافِ النَّاسِ فِيهِ وَلَا سِيَّمَا مَعَ غَلَبَةِ الشَّهْوَةِ فَحُسِمَ الْبَابُ، وَقُطِعَ التَّنَازُعُ كَالْغُرَّةِ فِي الْجَنِينِ حِينَ قُدِّرَ شَرْعًا لِحَسْمِ التَّنَازُعِ، وَتَحْرِيمِ قَلِيلِ الْخَمْرِ حَسْمًا لِمَا تُفْضِي إِلَيْهِ مِنَ الصَّدِّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ كَذَلِكَ عُمُومُ الِاسْتِبْرَاءِ.

Kedua: Bahwa Abu al-Waddāk meriwayatkan dari Abu Sa‘īd al-Khudrī bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Ketahuilah, janganlah digauli perempuan hamil sampai ia melahirkan, dan jangan pula perempuan yang tidak hamil sampai ia haid.” Ini tidak dapat ditakwilkan seperti yang mereka paksakan, dan karena siapa saja yang memperoleh kepemilikan baru atas seorang budak perempuan yang haram (untuk digauli), maka wajib baginya melakukan istibrā’ sebelum menikmati (budak tersebut), berdasarkan qiyās pada kasus yang telah disepakati. Dan karena mempertimbangkan siapa yang biasa digauli dan yang tidak, serta siapa yang biasa hamil dan yang tidak, akan menyulitkan karena perbedaan di antara manusia, dan perbedaan manusia dalam hal ini, terutama dengan dominasi syahwat, maka pintu ini ditutup dan perselisihan diputuskan, sebagaimana diyat janin yang ditetapkan secara syar‘i untuk menutup perselisihan, dan pengharaman sedikit khamr untuk menutup akibat yang ditimbulkan berupa penghalangan dari mengingat Allah dan shalat. Demikian pula keumuman istibrā’.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ رِوَايَتِهِمْ لِقَوْلِهِ: ” وَلَا ثَيِّبٌ حَتَّى تَحِيضَ ” فَالْأَثْبَتُ مَا رُوِّينَاهُ مِنْ قَوْلِهِ: ” وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ ” وَلَوْ صَحَّتْ لَكَانَتْ بَعْضَ مَا شَمِلَهُ مِنَ الْعُمُومِ فَلَمْ يُعَارِضْهُ.

Adapun jawaban atas riwayat mereka tentang sabda Nabi: “dan tidak pula perempuan yang sudah pernah menikah sampai ia haid”, maka yang lebih kuat adalah apa yang kami riwayatkan dari sabda beliau: “dan tidak pula ḥā’il sampai ia haid”. Dan seandainya riwayat itu sahih, maka ia termasuk dalam keumuman yang telah dicakup, sehingga tidak bertentangan dengannya.

فَأَمَّا قَوْلُ عُمَرَ: ” لَا اسْتِبْرَاءَ عَلَى عَذْرَاءَ “، فَالْمَرْوِيُّ عَنْهُ خِلَافُهُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا وُجُوبُ الِاسْتِبْرَاءِ فِي جَمِيعِهِنَّ.

Adapun perkataan ‘Umar: “Tidak ada istibrā’ atas gadis perawan”, maka riwayat yang benar darinya adalah sebaliknya. Dan telah diriwayatkan dari ‘Alī dan Ibnu Mas‘ūd ra. kewajiban istibrā’ pada seluruh budak perempuan.

وَقَوْلُهُمْ: إِنَّ الِاسْتِبْرَاءَ لِبَرَاءَةِ الرَّحِمِ فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ بَلِ الِاسْتِبْرَاءُ لِاسْتِحْدَاثِ الْمِلْكِ، وَعَلَى أَنَّهُ لَيْسَ يُنْكَرُ أَنْ يَكُونَ لِاسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ تَارَةً وَلِلتَّعَبُّدِ أُخْرَى، كَالْعِدَّةِ تَكُونُ اسْتِبْرَاءً لِلرَّحِمِ تَارَةً وَلِلتَّعَبُّدِ أُخْرَى إِذَا كَانَتْ صَغِيرَةً أَوْ مُتَوَفًّى عَنْهَا زَوْجُهَا، وَهُوَ جَوَابٌ عَمَّا ذَكَرُوهُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِالْعِدَدِ.

Dan perkataan mereka: Sesungguhnya istibrā’ itu untuk memastikan rahim kosong, tidak dapat diterima. Bahkan istibrā’ itu karena adanya kepemilikan baru. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa istibrā’ kadang untuk memastikan rahim kosong dan kadang untuk tujuan ta‘abbud (ibadah), sebagaimana ‘iddah kadang untuk memastikan rahim kosong dan kadang untuk tujuan ta‘abbud, seperti pada perempuan kecil atau yang suaminya wafat. Ini juga merupakan jawaban atas apa yang mereka sebutkan tentang istidlāl dengan bilangan (‘iddah).

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَلَوْ بَاعَ جَارِيَةً مِنِ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ وَقَبَضَتْهَا وَتَفَرَّقَا بَعْدَ الْبَيْعِ ثُمَ اسْتَقَالَهَا فَأَقَالَتْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَطَأَهَا حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا مِنْ قِبَلِ أَنَّ الْفَرْجَ حُرِّمَ عَلَيْهِ ثُمَّ حَلَّ لَهُ بِالْمِلْكِ الثَّانِي “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menjual budak perempuan kepada seorang wanita tepercaya, lalu wanita itu menerima budak tersebut dan mereka berdua berpisah setelah akad jual beli, kemudian penjual meminta pembatalan dan pembeli mengabulkannya, maka penjual tidak boleh menggauli budak itu sampai melakukan istibrā’ terhadapnya, karena kemaluan itu telah diharamkan baginya lalu menjadi halal dengan kepemilikan yang kedua.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا أَوْضَحَ بِهِ الشَّافِعِيُّ اسْتِبْرَاءَ الْإِمَاءِ مَعَ يَقِينِ بَرَاءَةِ الرَّحِمِ، وَهُوَ أَنَّهُ لَوْ بَاعَ أَمَتَهُ عَلَى امْرَأَةٍ، وَتَفَرَّقَا بَعْدَ تَمَامِ الْبَيْعِ ثُمَّ اسْتَقَالَهَا فَأَقَالَتْهُ لَزِمَهُ اسْتِبْرَاؤُهَا بَعْدَ الْإِقَالَةِ سَوَاءٌ أَقْبَضَهَا أَوْ لَمْ يُقْبِضْهَا.

Al-Māwardī berkata: Inilah yang dijelaskan oleh Imam Syafi‘i tentang wajibnya istibrā’ terhadap budak perempuan meskipun telah diyakini rahimnya kosong. Yaitu, jika seseorang menjual budaknya kepada seorang wanita, lalu mereka berdua berpisah setelah akad jual beli selesai, kemudian penjual meminta pembatalan dan pembeli mengabulkannya, maka wajib baginya melakukan istibrā’ setelah pembatalan, baik budak itu telah diserahkan kepadanya maupun belum.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: يَلْزَمُهُ اسْتِبْرَاؤُهَا إِنْ أَقْبَضَهَا، وَلَا يَلْزَمُهُ اسْتِبْرَاؤُهَا إِنْ لَمْ يُقْبِضْهَا اسْتِحْسَانًا، وَإِنْ لَزِمَهُ قِيَاسًا، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِأَنَّ الِاسْتِحْسَانَ لَوْ دَفَعَ الْقِيَاسَ لَكَانَ بِإِيجَابِ الِاسْتِبْرَاءِ وَالِاحْتِيَاطِ فِي الدِّينِ أَحَقَّ، فَأَمَّا إِنْ تَفَاسَخَا فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ قَبْلَ انْبِرَامِ الْبَيْعِ فَقَدْ ذَكَرْنَاهُ فِي كِتَابِ ” الْبُيُوعِ ” بِمَا أَغْنَى عَنِ الإعادة.

Abu Yusuf berkata: Wajib melakukan istibrā’ jika budak itu telah diserahkan kepadanya, dan tidak wajib jika belum diserahkan, berdasarkan istihsān, meskipun secara qiyās tetap wajib. Namun ini tidak benar, karena jika istihsān menolak qiyās, maka dalam hal mewajibkan istibrā’ dan kehati-hatian dalam agama lebih utama. Adapun jika keduanya membatalkan akad dalam masa khiyār sebelum jual beli menjadi sempurna, maka hal ini telah kami sebutkan dalam Kitab al-Buyū‘ sehingga tidak perlu diulang.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالِاسْتِبْرَاءُ أَنْ تَمْكُثَ عِنْدَ الْمُشْتَرِي طَاهِرًا بَعْدَ مِلْكِهَا ثَمَّ تَحِيضَ حَيْضَةً مَعْرُوفَةً فَإِذَا طَهُرَتْ مِنْهَا فَهُوَ الِاسْتِبْرَاءُ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Istibra’ adalah seorang budak perempuan tinggal di sisi pembeli dalam keadaan suci setelah menjadi miliknya, kemudian ia mengalami satu kali haid yang jelas, maka apabila ia telah suci darinya, itulah yang disebut istibra’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا ثَبَتَ أَنَّ اسْتِبْرَاءَ الْأَمَةِ وَاجِبٌ فَمَلَكَ الرَّجُلُ أَمَةً بِالِابْتِيَاعِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَأَبِي حَنِيفَةَ: أَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ وَاجِبٌ عَلَى الْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ، وَيُسْتَحَبُّ لَوِ اسْتَبْرَأَهَا الْبَائِعُ وَإِنْ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ.

Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Apabila telah tetap bahwa istibra’ terhadap budak perempuan itu wajib, maka apabila seorang laki-laki memiliki budak perempuan dengan cara membeli, menurut mazhab Syafi‘i dan Abū Ḥanīfah: istibra’ wajib atas pembeli, bukan atas penjual. Namun, dianjurkan jika penjual melakukan istibra’ meskipun tidak wajib atasnya.

وَقَالَ عُثْمَانُ الْبَتِّيُّ، الِاسْتِبْرَاءُ وَاجِبٌ عَلَى الْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا الْمُشْتَرِي.

‘Utsmān al-Battī berkata, istibra’ wajib atas penjual, bukan atas pembeli, dan dianjurkan agar pembeli juga melakukan istibra’ terhadapnya.

وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ: الِاسْتِبْرَاءُ وَاجِبٌ عَلَى الْبَائِعِ وَعَلَى الْمُشْتَرِي.

Ibrāhīm an-Nakha‘ī dan Sufyān ats-Tsaurī berkata: istibra’ wajib atas penjual dan juga atas pembeli.

وَقَالَ مَالِكٌ: الِاسْتِبْرَاءُ وَاجِبٌ عَلَى الْمُوَاضَعَةِ بَعْدَ رَفْعِ يَدِ الْبَائِعِ، وَقَبْلَ دُخُولِ يَدِ الْمُشْتَرِي.

Mālik berkata: istibra’ wajib atas muwāḍa‘ah (budak perempuan yang diberi perjanjian pembebasan) setelah tangan penjual terangkat (tidak lagi memiliki), dan sebelum tangan pembeli masuk (sebelum pembeli sepenuhnya memiliki).

فَأَمَّا عُثْمَانُ الْبَتِّيُّ فاستدل بأنه لما لزم استبراء الحرية قَبْلَ عَقْدِ النِّكَاحِ عَلَيْهَا لَزِمَ اسْتِبْرَاءُ الْأَمَةِ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ ابْتِيَاعِ الْمُشْتَرِي لَهَا.

Adapun ‘Utsmān al-Battī berdalil bahwa karena istibra’ terhadap wanita merdeka diwajibkan sebelum akad nikah dengannya, maka istibra’ terhadap budak perempuan juga wajib dilakukan sebelum pembeli membelinya.

وَأَمَّا النَّخَعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، فَإِنَّهُمَا اسْتَدَلَّا بِأَنَّهَا تَسْتَبْرِئُ نَفْسَهَا مِنْ مَاءِ الْبَائِعِ لِتَقَدُّمِ إِصَابَتِهِ، وَمِنْ مَاءِ الْمُشْتَرِي لِمُسْتَحْدِثِ إِصَابَتِهِ فَوَجَبَ أَنْ تَسْتَبْرِئَ نَفْسَهَا فِي مِلْكِ الْبَائِعِ لِحِفْظِ مَائِهِ، وَفِي مِلْكِ الْمُشْتَرِي لِحِفْظِ مَائِهِ.

Adapun an-Nakha‘ī dan ats-Tsaurī, keduanya berdalil bahwa budak perempuan harus melakukan istibra’ dari air mani penjual karena adanya hubungan sebelumnya, dan dari air mani pembeli karena adanya hubungan yang baru, maka wajib baginya melakukan istibra’ saat masih dalam kepemilikan penjual untuk menjaga air maninya, dan saat dalam kepemilikan pembeli untuk menjaga air maninya pula.

وَأَمَّا مَالِكٌ فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ بِأَنَّ اسْتِبْرَاءَهَا عَلَى الْمُوَاضَعَةِ تَنُوبُ عَنِ الْحَقَّيْنِ، وَفِي يَدِ أَحَدِهِمَا تَنُوبُ عَنْ حَقِّهِ فَكَانَ اسْتِيفَاءُ الْحَقَّيْنِ بِالْمُوَاضَعَةِ أَوْلَى مِنِ اسْتِيفَاءِ أَحَدِهِمَا بِالِانْفِرَادِ.

Adapun Mālik, ia berdalil bahwa istibra’ pada muwāḍa‘ah mewakili kedua hak (penjual dan pembeli), dan jika berada di tangan salah satu dari keduanya, maka mewakili haknya saja. Maka, memenuhi kedua hak dengan muwāḍa‘ah lebih utama daripada memenuhi salah satunya secara terpisah.

وَدَلِيلُنَا عَلَى جَمَاعَتِهِمْ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ ” فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ عُثْمَانَ الْبَتِّيِّ لِأَنَّهُ جَعَلَ الْحَيْضَ مُبِيحًا لِلْوَطْءِ وَلَوْ كَانَ فِي يَدِ الْبَائِعِ لَكَانَ مَانِعًا مِنَ الْوَطْءِ، وَإِنَّمَا يُبِيحُهُ إِذَا كَانَ فِي مِلْكِ الْمُشْتَرِي وَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ سُفْيَانَ وَإِبْرَاهِيمَ لِأَنَّهُ أَبَاحَهَا بَعْدَ حَيْضَةٍ وَاحِدَةٍ، وَعَلَى قَوْلِهِمَا بَعْدَ حَيْضَتَيْنِ، وَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ مَالِكٍ، لِأَنَّهُ قَالَ: ذَلِكَ بَعْدَ حُصُولِ السَّبْيِ فِي مِلْكِ الْغَانِمِينَ، وَفِي أَيْدِيهِمْ، وَلِأَنَّهُ اسْتِبْرَاءٌ عَنْ إِصَابَةٍ، فَإِنِ احْتَجَجْتُ بِهِ عَلَى الْبَتِّيِّ قُلْتُ: فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ زَوَالِ الْإِبَاحَةِ كَالزَّوْجِيَّةِ، وَإِنِ احْتَجَجْتُ بِهِ عَلَى الثَّوْرِيِّ وَالنَّخَعِيِّ، قُلْتُ: فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَ فِيهِ إِلَّا اسْتِبْرَاءٌ وَاحِدٌ كَالزَّوْجِيَّةِ، وَإِنِ احْتَجَجْتُ بِهِ عَلَى مَالِكٍ، قُلْتُ: فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَ فِيهِ الْمُوَاضَعَةُ كَالزَّوْجَةِ.

Dalil kami terhadap pendapat mereka semua adalah sabda Nabi ﷺ: “Ketahuilah, tidak boleh digauli wanita hamil sampai ia melahirkan, dan tidak boleh digauli wanita yang tidak hamil sampai ia mengalami haid.” Maka, dengan hadits ini, pendapat ‘Utsmān al-Battī menjadi batal, karena ia menjadikan haid sebagai pemboleh untuk digauli, padahal jika masih di tangan penjual, haid itu justru menjadi penghalang untuk digauli. Yang membolehkannya adalah jika sudah dalam kepemilikan pembeli. Pendapat Sufyān dan Ibrāhīm juga batal, karena Nabi membolehkannya setelah satu kali haid, sedangkan menurut keduanya setelah dua kali haid. Pendapat Mālik juga batal, karena ia berkata: hal itu setelah terjadinya penawanan dalam kepemilikan para pemenang perang dan di tangan mereka. Dan karena istibra’ itu dilakukan karena adanya hubungan, maka jika aku berdalil dengan hadits ini terhadap al-Battī, aku katakan: maka wajib dilakukan setelah hilangnya kebolehan (hubungan), sebagaimana pada istri. Jika aku berdalil terhadap ats-Tsaurī dan an-Nakha‘ī, aku katakan: maka wajib hanya satu kali istibra’, sebagaimana pada istri. Jika aku berdalil terhadap Mālik, aku katakan: maka tidak wajib muwāḍa‘ah, sebagaimana pada istri.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُ الْبَتِّيِّ بِالنِّكَاحِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الِابْتِيَاعِ وَإِنْ كَانَا بَعْدَ زَوَالِ الْمِلْكِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun dalil al-Battī dengan pernikahan, maka perbedaan antara pernikahan dan pembelian, meskipun keduanya terjadi setelah hilangnya kepemilikan, ada pada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ مِلْكَ الْمُطَلِّقِ يَزُولُ عَنِ الزَّوْجَةِ إِلَى غَيْرِ مَالِكٍ فَأَمْكَنَ تَقْدِيمُ اسْتِبْرَائِهَا عَلَى عَقْدِ الثَّانِي، وَمِلْكُ الْبَائِعِ يَزُولُ بِمِلْكِ الْمُشْتَرِي فَلَمْ يُمْكِنْ تَقْدِيمُ اسْتِبْرَائِهَا عَلَى مِلْكِ الْمُشْتَرِي.

Pertama: Kepemilikan suami yang menceraikan hilang dari istrinya kepada selain pemilik, sehingga memungkinkan istibra’ dilakukan sebelum akad suami kedua. Sedangkan kepemilikan penjual hilang dengan masuknya kepemilikan pembeli, sehingga tidak mungkin istibra’ dilakukan sebelum budak itu menjadi milik pembeli.

وَالثَّانِي: أَنَّ تَحْرِيمَ الْمَنْكُوحَةِ يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ نِكَاحِهَا، فَلِذَلِكَ قُدِّمَ اسْتِبْرَاؤُهَا عَلَيْهِ وَتَحْرِيمُ الْأَمَةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ بَيْعِهَا، فَجَازَ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ اسْتِبْرَائِهَا.

Kedua: Keharaman terhadap wanita yang dinikahi mencegah bolehnya menikahinya, karena itu istibra’ didahulukan sebelum akad nikah. Sedangkan keharaman terhadap budak perempuan tidak mencegah bolehnya menjualnya, sehingga boleh dilakukan penjualan sebelum istibra’.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْمَنْكُوحَةَ تَصِيرُ فِرَاشًا بِالْعَقْدِ فَمَنَعَ بَقَاءُ الِاسْتِبْرَاءِ مِنْ صِحَّتِهِ وَلَا تَصِيرُ الْأَمَةُ فِرَاشًا بِالْبَيْعِ فَلَمْ يَمْنَعْ بَقَاءُ الِاسْتِبْرَاءِ مِنْ صِحَّتِهِ.

Ketiga: Sesungguhnya perempuan yang dinikahi menjadi “firāsy” (tempat tidur, yakni istri yang sah) dengan akad nikah, sehingga keberlangsungan masa istibra’ mencegah keabsahan akad tersebut. Sedangkan budak perempuan tidak menjadi “firāsy” hanya dengan jual beli, sehingga keberlangsungan masa istibra’ tidak mencegah keabsahan jual belinya.

وَأَمَّا الثَّوْرِيُّ، وَالنَّخَعِيُّ فَخَالَفَا مَوْضِعَ الِاسْتِبْرَاءِ، لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ إِلَّا وَاحِدًا يَتَمَيَّزُ لَهُ حِفْظُ مَا فِي الرَّحِمِ عَلَى مُسْتَحَقِّهِ وَهُوَ لا يستحقه إلا واحد فلذلك وجب اسبتراء واحد، ولووجب استبراآن لَجَازَ أَنْ يَكُونَ لَاحِقًا بِاثْنَيْنِ، وَهَذَا مَدْفُوعٌ.

Adapun ats-Tsauri dan an-Nakha‘i, keduanya menyelisihi dalam masalah istibra’, karena istibra’ itu hanya dilakukan satu kali untuk memastikan penjagaan apa yang ada dalam rahim bagi yang berhak, dan yang berhak atasnya hanyalah satu orang. Oleh karena itu, wajib hanya satu kali istibra’. Jika diwajibkan dua kali istibra’, maka boleh jadi anak itu dinisbatkan kepada dua orang, dan ini tertolak.

وَأَمَّا مَالِكٌ فَإِنَّهُ فَرَّقَ فِي اسْتِبْرَاءِ الْأَمَةِ بَيْنَ الْقَبِيحَةِ وَالْمَلِيحَةِ فَأَوْجَبَ الْمُوَاضَعَةَ فِي الْمَلِيحَةِ، وَلَمْ يُوجِبْهُ فِي الْقَبِيحَةِ، وَحُكْمُ الِاسْتِبْرَاءِ لَا يَفْتَرِقُ فِي الْقَبَائِحِ، وَالْمِلَاحِ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ قَدْ مَنَعْتَ بِهِ الْمُشْتَرِيَ مِنْ قَبْضِ مَا هُوَ مُسْتَحِقٌّ لِقَبْضِهِ مِنْ مِلْكِهِ بَعْدَ قَبْضِ ثَمَنِهِ؟ وَفَوَّتَ عَلَيْهِ الِانْتِفَاعَ، وَلَيْسَ مَنْعُهُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ مِنَ الِانْتِفَاعِ، وَقَدْ يَتْلَفُ فِي الْمُوَاضَعَةِ فَمِنْ مَالِ أَيِّهِمَا يَتْلَفُ، فَإِنْ قَالَ مِنْ مَالِ الْبَائِعِ، وَهُوَ مَذْهَبُهُ، قِيلَ: قَدْ أَقْبَضَ مَا بَاعَ فَلِمَ جَعَلْتَهُ تَالِفًا مِنْ مَالِهِ بَعْدَ إِقْبَاضِهِ، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى فَسَادِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ.

Adapun Malik, ia membedakan dalam istibra’ budak perempuan antara yang buruk rupa dan yang cantik. Ia mewajibkan muwāda‘ah (penundaan hubungan) pada yang cantik, dan tidak mewajibkannya pada yang buruk rupa. Padahal hukum istibra’ tidak berbeda antara yang buruk rupa dan yang cantik. Kemudian dikatakan kepadanya: “Engkau telah mencegah pembeli dari mengambil apa yang berhak ia ambil dari miliknya setelah ia membayar harganya, dan engkau telah menghalangi pembeli dari pemanfaatan (budak tersebut). Padahal pencegahan dari istimtā‘ (bersenang-senang) tidak menunjukkan pencegahan dari intifā‘ (pemanfaatan). Bisa jadi budak itu rusak (meninggal) selama masa muwāda‘ah, maka dari harta siapa kerusakan itu ditanggung?” Jika ia menjawab: “Dari harta penjual,” dan itu adalah pendapatnya, maka dikatakan: “Penjual telah menyerahkan apa yang ia jual, lalu mengapa engkau menjadikannya sebagai kerugian dari hartanya setelah penyerahan?” Maka hal ini menunjukkan rusaknya pendapat yang ia pilih.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ يَكُونُ فِي مِلْكِ الْمُشْتَرِي وَبَعْدَ حُدُوثِ كُلِّ مِلْكٍ بِغَيْرِ شِرَاءٍ مِنْ وَصِيَّةٍ، وَهِبَةٍ، وَمَغْنَمٍ، وَمِيرَاثٍ انْقَسَمَتْ أَسْبَابُ الْأَمْلَاكِ ثلاثة أقسام: قسم لا نصح الِاسْتِبْرَاءُ، فِيهِ إِلَّا بَعْدَ الْقَبْضِ، وَهُوَ مَا كَانَ الْقَبْضُ شَرْطًا فِي ثُبُوتِ مِلْكِهِ وَهُوَ الْهِبَةُ وَالْمَغْنَمُ، فَإِنْ وُجِدَ الِاسْتِبْرَاءُ قَبْلَ الْقَبْضِ لَمْ يُعْتَدَّ بِهِ لِوُجُودِهِ قَبْلَ الْمِلْكِ، وَلَزِمَ أَنْ تَسْتَبْرِئَ بَعْدَهُ.

Jika telah tetap bahwa istibra’ terjadi dalam kepemilikan pembeli dan setelah terjadinya setiap kepemilikan selain jual beli, seperti wasiat, hibah, ghanīmah (harta rampasan perang), dan warisan, maka sebab-sebab kepemilikan terbagi menjadi tiga bagian: Bagian pertama, istibra’ tidak sah kecuali setelah qabdh (pengambilan/penyerahan), yaitu pada hibah dan ghanīmah, karena qabdh adalah syarat dalam penetapan kepemilikan. Jika istibra’ dilakukan sebelum qabdh, maka tidak dianggap karena terjadi sebelum kepemilikan, dan wajib dilakukan istibra’ setelahnya.

وَقِسْمٌ ثَانٍ: يُعْتَدُّ الِاسْتِبْرَاءُ فِيهِ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَهُوَ الْمِيرَاثُ، فَإِذَا وُجِدَ الاستبراء بَعْدَ الْإِرْثِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ اعْتُدَّ بِهِ، لِأَنَّ الْمَوْرُوثَ فِي حُكْمِ الْمَقْبُوضِ، لِأَنَّهُ لَا يَدَ عَلَيْهِ لِغَيْرِ الْوَارِثِ.

Bagian kedua: Istibra’ dianggap sah jika dilakukan sebelum qabdh, yaitu pada warisan. Jika istibra’ terjadi setelah pewarisan dan sebelum qabdh, maka itu dianggap sah, karena harta warisan dalam hukum sudah dianggap sebagai milik yang telah diambil, sebab tidak ada tangan (hak) atasnya selain ahli waris.

وَقِسْمٌ ثَالِثٌ: يُخْتَلَفُ فِيهِ وَهُوَ الِابْتِيَاعُ فَالَّذِي ذَكَرَهُ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ، أَنَّهُ لَا يُعْتَدُّ بِالِاسْتِبْرَاءِ فِيهِ إِلَّا بَعْدَ الْقَبْضِ كَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ، وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنَّهُ يُعْتَدُّ بِالِاسْتِبْرَاءِ فِيهِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْمِلْكِ بِالْبَيْعِ وَالتَّفْرِيقِ، وَقَبْلَ الْقَبْضِ كَالْمَوْرُوثَةِ لِأَمْرَيْنِ:

Bagian ketiga: Terjadi perbedaan pendapat padanya, yaitu pada jual beli. Mayoritas ulama kami dari kalangan Baghdad berpendapat bahwa istibra’ tidak dianggap sah kecuali setelah qabdh, seperti pada bagian pertama. Namun pendapat yang benar menurutku adalah istibra’ dianggap sah setelah kepemilikan tetap melalui jual beli dan pemisahan, dan sebelum qabdh, seperti pada harta warisan, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ هُوَ الْمَنْعُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا بَعْدَ حُدُوثِ الْمِلْكِ لِيُعْلَمَ بِهِ بَرَاءَةُ رَحِمِهَا وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ قَبْلَ الْقَبْضِ وَبَعْدَهُ.

Pertama: Istibra’ adalah pencegahan dari istimtā‘ (bersenang-senang) dengannya setelah terjadinya kepemilikan, agar diketahui bersihnya rahimnya, dan makna ini ada baik sebelum maupun sesudah qabdh.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالَّذِي يَكُونُ بِهِ الِاسْتِبْرَاءُ مَا قَدَّمْنَاهُ فِي اسْتِبْرَاءِ أُمِّ الْوَلَدِ فَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَيُوضَعُ الْحَمْلُ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika demikian, maka cara istibra’ adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam istibra’ ummul walad. Jika ia sedang hamil, maka istibra’ dilakukan dengan melahirkan kandungannya. Jika ia termasuk perempuan yang mengalami haid bulanan, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تُسْتَبْرَأُ بِشَهْرٍ وَاحِدٍ.

Pertama: Istibra’ dilakukan dengan satu bulan.

وَالثَّانِي: بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ.

Kedua: Dengan tiga bulan.

وَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ فَاسْتِبْرَاؤُهَا بِقُرْءٍ وَاحِدٍ، وَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ هَاهُنَا أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِيهِ الْحَيْضُ فَتَسْتَبْرِئُ نَفْسَهَا بِحَيْضَةٍ كَامِلَةٍ، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ ” ثُمَّ تَحِيضُ حَيْضَةً مَعْرُوفَةً ” يَعْنِي كَامِلَةً، وَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ اسْتِبْرَاءِ الْأَمَةِ وَعِدَّةِ الْحُرَّةِ مَا قَدَّمْنَاهُ، وَفِيهِ وَجْهٌ ثَانٍ ذَهَبَ إِلَيْهِ كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِنَا: أَنَّ الِاعْتِبَارَ فِيهِ بِالطُّهْرِ كَالْحُرَّةِ وَحَمَلُوا قَوْلَ الشَّافِعِيِّ هَاهُنَا: ” ثُمَّ تَحِيضُ حَيْضَةً مَعْرُوفَةً ” لِيَقْوَى بِهَا مَا تَقَدَّمَ مِنَ الطُّهْرِ الَّذِي لَمْ يَكْمُلْ، وَفِيهِ وَجْهٌ ثَالِثٌ ذَهَبَ إِلَيْهِ الْبَصْرِيُّونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: أَنَّ كِلَا الْأَمْرَيْنِ مِنَ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ مُعْتَبَرٌ مَقْصُودُهُ، لِأَنَّهُ لَمَّا تَفَرَّدَ اسْتِبْرَاءُ الْأَمَةِ بِقُرْءٍ وَاحِدٍ جُمِعَ فِيهِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ تَقْوِيَةً لِحُكْمِهِ، وَزِيَادَةً فِي الِاسْتِظْهَارِ بِهِ، وَقَدْ ذَكَرْنَا مِنِ اعْتِبَارِ حَالِهِمَا عَلَى اخْتِلَافِ هَذِهِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ مَا أَغْنَى عَنِ الْإِعَادَةِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَبَاعَدَ حَيْضُهَا كَانَتْ فِي حُكْمِ الْحُرَّةِ إِذَا تَبَاعَدَ حَيْضُهَا فِي الْعِدَّةِ، فَإِنْ كَانَ لِعِلَّةٍ مَكَثَتْ حَتَّى تَحِيضَ فَتَسْتَبْرِئَ نَفْسَهَا بِقُرْءٍ أَوْ تَبْلُغَ زَمَانَ الْإِيَاسِ فَتَسْتَبْرِئَ بشهر في أحد القولين وبثلاثة اشهر من الْقَوْلِ الثَّانِي، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ عِلَّةٍ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Jika ia termasuk perempuan yang mengalami haid dan suci, maka masa istibra’-nya adalah satu quru’ (masa haid atau suci). Pendapat yang ditegaskan di sini adalah bahwa yang menjadi acuan dalam hal ini adalah haid, sehingga ia mengistibra’kan dirinya dengan satu kali haid yang sempurna. Inilah maksud dari perkataan asy-Syafi‘i: “Kemudian ia mengalami satu kali haid yang diketahui,” maksudnya adalah satu kali haid yang sempurna. Perbedaan antara istibra’ budak perempuan dan masa ‘iddah perempuan merdeka telah kami jelaskan sebelumnya. Dalam hal ini terdapat pendapat kedua yang dianut oleh banyak ulama mazhab kami: bahwa yang dijadikan acuan adalah masa suci, sebagaimana perempuan merdeka, dan mereka menafsirkan perkataan asy-Syafi‘i di sini: “Kemudian ia mengalami satu kali haid yang diketahui,” yakni agar dengan haid tersebut menjadi sempurna masa suci sebelumnya yang belum sempurna. Ada pula pendapat ketiga yang dianut oleh ulama Basrah dari mazhab kami: bahwa kedua hal, yaitu haid dan suci, sama-sama menjadi acuan dan tujuan, karena ketika istibra’ budak perempuan hanya satu quru’, maka dikumpulkanlah kedua hal tersebut untuk menguatkan hukumnya dan menambah kehati-hatian dalam penerapannya. Kami telah menyebutkan perincian keadaan keduanya menurut tiga pendapat ini sehingga tidak perlu diulang kembali. Berdasarkan hal ini, jika haidnya jarang, maka hukumnya seperti perempuan merdeka yang haidnya jarang dalam masa ‘iddah. Jika karena suatu sebab ia menunggu hingga haid, maka ia mengistibra’kan dirinya dengan satu quru’ atau hingga mencapai usia putus haid (menopause), maka ia mengistibra’kan dirinya selama satu bulan menurut salah satu pendapat, dan selama tiga bulan menurut pendapat kedua. Jika bukan karena suatu sebab, maka ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: إِنَّهَا تَتَرَبَّصُ بِنَفْسِهَا غَالِبَ الْحَمْلِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ تَسْتَبْرِئُ بِالشُّهُورِ.

Pertama: Ia menunggu selama masa kehamilan yang umum, yaitu enam bulan, kemudian mengistibra’kan dirinya dengan bulan-bulan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَتَرَبَّصُ بِنَفْسِهَا مُدَّةَ أَكْثَرِ الْحَمْلِ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَسْتَبْرِئُ بِالشُّهُورِ.

Pendapat kedua: Ia menunggu selama masa kehamilan terlama, yaitu empat tahun, kemudian mengistibra’kan dirinya dengan bulan-bulan.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: إِنَّهَا تَسْتَبْرِئُ تَتَرَبَّصُ بِنَفْسِهَا أَبَدًا حَتَّى تَبْلُغَ زَمَانَ الْإِيَاسِ ثُمَّ تَسْتَبْرِئُ بِالشُّهُورِ.

Pendapat ketiga: Ia terus menunggu selamanya hingga mencapai usia putus haid (menopause), kemudian mengistibra’kan dirinya dengan bulan-bulan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ من حالين:

Setelah penjelasan ini, maka keadaan budak perempuan setelah masa istibra’ tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَظْهَرَ بَرَاءَةُ رَحِمِهَا، وَأَنْ لَا حَمْلَ مَعَهَا فَتَحِلَّ لِلْمُشْتَرِي وَلِكُلِّ مَالِكٍ مِنْ وَارِثٍ وَغَانِمٍ.

Pertama: Telah jelas bahwa rahimnya kosong dan tidak ada kehamilan, maka ia halal bagi pembeli dan setiap pemilik, baik ahli waris maupun orang yang mendapatkannya sebagai rampasan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا بِوَضْعِ وَلَدٍ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Kedua: Ternyata ia hamil dengan melahirkan anak, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ لَا تَكُونَ فِرَاشًا لِزَوْجٍ وَلَا لِسَيِّدٍ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ مَسْبِيَّةً أَوْ تَكُونَ حَامِلًا مِنْ زِنًا فَيَكُونَ وَضْعُ الْحَمْلِ اسْتِبْرَاءً، وَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ صِحَّةِ الشِّرَاءِ، وَهِيَ حَلَالٌ لَهُ بَعْدَ الْوَضْعِ إِذَا انْقَضَتْ مُدَّةُ النِّفَاسِ وَالْوَلَدُ مَمْلُوكٌ لَهُ، وَلَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ قَبْلَ الْوِلَادَةِ لِمَا يَخَافُ عَلَيْهَا عِنْدَ الْوِلَادَةِ، فَأَمَّا بَعْدَهَا فَإِنْ تَحَقَّقَ حَمْلُهَا قَبْلَ الْوِلَادَةِ فَالْإِمْسَاكُ عَنِ الْعَيْبِ رِضًى بِالْعَيْبِ، فَلَا رَدَّ لَهُ، وَإِنْ لَمْ تَتَحَقَّقْ حَمْلَهَا حَتَّى وَلَدَتْ نُظِرَ حَالُهَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ، وَإِنْ لَمْ تَنْقُصْ قِيمَتُهَا بِالْوِلَادَةِ فَلَا رَدَّ له الزوال الْخَوْفِ وَعَدَمِ الْعَيْبِ، فَإِنْ نَقَصَتْ قِيمَتُهَا اعْتُبِرَ النَّقْصُ، فَإِنْ كَانَ حَادِثًا بَعْدَ الْوِلَادَةِ فَلَا رَدَّ لَهُ لِحُدُوثِهِ فِي يَدِهِ، وَإِنْ كَانَ مُتَقَدِّمًا وَقْتَ الْحَمْلِ فَلَهُ الرَّدُّ.

Pertama: Ia bukan istri bagi seorang suami maupun milik seorang tuan, yaitu jika ia adalah tawanan perang atau hamil karena zina, maka kelahiran anak itu menjadi istibra’, dan hal itu tidak menghalangi keabsahan jual beli. Ia halal bagi pembelinya setelah melahirkan dan selesai masa nifas, dan anak tersebut menjadi milik pembeli. Pembeli memiliki hak khiyar (memilih) untuk membatalkan jual beli sebelum kelahiran karena khawatir terhadap keselamatan budak saat melahirkan. Namun setelah melahirkan, jika kehamilannya telah diketahui sebelum kelahiran, maka tetap memilikinya berarti ridha terhadap cacat tersebut, sehingga tidak ada hak untuk mengembalikannya. Jika kehamilannya baru diketahui setelah melahirkan, maka dilihat keadaannya setelah melahirkan. Jika nilainya tidak berkurang karena kelahiran, maka tidak ada hak untuk mengembalikannya karena hilangnya kekhawatiran dan tidak ada cacat. Jika nilainya berkurang, maka dilihat sebabnya; jika kekurangan itu terjadi setelah melahirkan, maka tidak ada hak untuk mengembalikannya karena terjadi di tangan pembeli. Namun jika kekurangan itu sudah ada sejak masa kehamilan, maka pembeli berhak mengembalikannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْأَمَةُ فِرَاشًا لِزَوْجٍ كَأَنَّهَا زَوْجَةُ الْبَائِعِ أَوِ الْوَاهِبِ بِهَا فَالْوَلَدُ لَاحِقٌ بِزَوْجِهَا إِذَا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ، وَهُوَ مَمْلُوكٌ لِلْمُشْتَرِي أَوِ الْمُسْتَوْهِبِ وَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا مِنَ الزَّوْجِ بِوِلَادَتِهِ، وَهَلْ يَلْزَمُ الْمُشْتَرِي اسْتِبْرَاؤُهَا بَعْدَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Bagian kedua: Yaitu apabila seorang budak perempuan menjadi firāsy (tempat tidur) bagi seorang suami, seakan-akan ia adalah istri dari penjual atau orang yang menghadiahkannya. Maka anak yang lahir darinya dinisbatkan kepada suaminya jika memungkinkan anak itu berasal darinya, dan anak itu menjadi milik pembeli atau penerima hibah. Masa ‘iddahnya dari suami berakhir dengan kelahiran anak tersebut. Apakah pembeli wajib melakukan istibrā’ (memastikan rahim bersih) setelah itu atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهُ الِاسْتِبْرَاءُ لِمَا عَلِمَ مِنْ بَرَاءَةِ رَحِمِهَا بِالْوِلَادَةِ، وَتَكُونُ الْوِلَادَةُ اسْتِبْرَاءً فِي حَقِّ الزَّوْجِ وَالْمُشْتَرِي مَعًا.

Pertama: Tidak wajib melakukan istibrā’, karena telah diketahui bahwa rahimnya telah bersih dengan kelahiran tersebut. Maka kelahiran itu dianggap sebagai istibrā’ baik bagi suami maupun pembeli sekaligus.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ، لِأَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ الْوَاحِدَ لَا يَكُونُ فِي حَقِّ اثْنَيْنِ لِمَا يَكُونُ فِيهِ مِنْ تَدَاخُلِ الْعِدَّتَيْنِ.

Pendapat kedua: Wajib baginya untuk melakukan istibrā’ setelah kelahiran, karena satu kali istibrā’ tidak bisa berlaku untuk dua orang sekaligus, sebab di dalamnya terdapat tumpang tindih masa ‘iddah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الْأَمَةُ فِرَاشًا لِلسَّيِّدِ الْبَائِعِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga: Yaitu apabila budak perempuan menjadi firāsy bagi tuan penjual. Dalam hal ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ وِلَادَتُهَا قَبْلَ وَطْءِ الْمُشْتَرِي.

Pertama: Kelahirannya terjadi sebelum pembeli menyetubuhinya.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ وَطْءِ الْمُشْتَرِي لَمْ يَخْلُ حَالُ الْبَائِعِ، وَالْمُشْتَرِي فِي الْوَلَدِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Kedua: Kelahirannya terjadi setelahnya. Jika kelahirannya sebelum pembeli menyetubuhinya, maka keadaan penjual dan pembeli terkait anak tersebut terbagi menjadi empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَتَصَادَقَا عَلَى أَنَّهُ من البائع، لأنه لم يستبدئها مِنْ وَطْئَهِ وَقَدْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ بَيْعِهِ فَيَكُونُ الْوَلَدُ حُرًّا لَاحِقًا بِالْبَائِعِ، وَقَدْ صَارَتْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ فَيَبْطُلُ الْبَيْعُ فِيهَا وَيَرْجِعُ الْمُشْتَرِي.

Pertama: Keduanya sepakat bahwa anak itu dari penjual, karena pembeli belum menyetubuhinya dan ia melahirkan anak itu kurang dari enam bulan setelah penjualan. Maka anak tersebut menjadi merdeka dan dinisbatkan kepada penjual, dan budak perempuan itu menjadi umm walad (ibu dari anak penjual), sehingga penjualan atas dirinya batal dan pembeli mendapatkan kembali hartanya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَصَادَقَا أَنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْبَائِعِ؛ لِأَنَّ الْبَائِعَ لَمْ يَطَأْهَا أَوْ لِأَنَّهَا وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا بَعْدَ اسْتِبْرَائِهِ لَهَا فيكون البيع ماضياً، والولد مملوك لِلْمُشْتَرِي وَتَكُونُ وِلَادَتُهَا اسْتِبْرَاءً فِي حَقِّ الْمُشْتَرِي، وَيَجُوزُ لَهُ بَعْدَ انْقِطَاعِ نِفَاسِهَا أَنْ يَطَأَهَا.

Bagian kedua: Keduanya sepakat bahwa anak itu bukan dari penjual; karena penjual tidak menyetubuhinya atau karena ia melahirkan anak itu setelah enam bulan atau lebih setelah dilakukan istibrā’ oleh penjual. Maka penjualan tetap sah, anak tersebut menjadi milik pembeli, dan kelahirannya dianggap sebagai istibrā’ bagi pembeli. Setelah masa nifasnya berakhir, pembeli boleh menyetubuhinya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَدَّعِيَهُ الْبَائِعُ وَيُنْكِرَهُ الْمُشْتَرِي فَيَقُولَ الْبَائِعُ وَطِئْتُهَا وَلَمْ أَسْتَبْرِئْهَا وَقَدْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ وَطْئِي وَقَبْلَ اسْتِبْرَائِي، وَيَقُولَ الْمُشْتَرِي هُوَ مِنْ زِنًا فَلِلْبَائِعِ حَالَتَانِ:

Bagian ketiga: Penjual mengaku anak itu darinya, sedangkan pembeli mengingkarinya. Penjual berkata, “Aku telah menyetubuhinya dan belum melakukan istibrā’, dan ia melahirkan anak itu enam bulan setelah aku menyetubuhinya dan sebelum aku melakukan istibrā’.” Sedangkan pembeli berkata, “Anak itu hasil zina.” Maka penjual memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ هُوَ قَدْ سَمِعَ مِنْهُ الْإِقْرَارَ بِوَطْئِهَا قَبْلَ الْبَيْعِ إِمَّا مَعَ الْعَقْدِ أَوْ قَبْلَهُ فَإِنَّ الْحُكْمَ فِيهِمَا سَوَاءٌ فَيَكُونُ الْوَلَدُ لَاحِقًا بِهِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنِ اعْتِرَافِهِ بِالْوَطْءِ وَالْوَلَدُ حُرٌّ وَقَدْ صَارَتْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ فَيَكُونُ الْبَيْعُ فِيهِمَا بَاطِلًا وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ إِنْكَارُ الْمُشْتَرِي وَلَا يَمِينَ لَهُ عَلَى الْبَائِعِ، لِأَنَّ الْبَائِعَ لَوْ رَجَعَ عَنْ إِقْرَارِهِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ لِمَا فِيهِ مِنْ إِبْطَالِ النَّسَبِ وَسُقُوطِ الْعِتْقِ.

Pertama: Pembeli pernah mendengar penjual mengakui telah menyetubuhinya sebelum penjualan, baik bersamaan dengan akad maupun sebelumnya. Maka hukumnya sama saja, anak itu dinisbatkan kepada penjual karena adanya pengakuan penjual atas persetubuhan tersebut, dan anak itu menjadi merdeka serta budak perempuan itu menjadi umm walad bagi penjual. Maka penjualan atas dirinya batal, dan pengingkaran pembeli tidak berpengaruh serta tidak ada sumpah bagi pembeli atas penjual, karena jika penjual menarik kembali pengakuannya, tidak diterima darinya, sebab hal itu akan membatalkan nasab dan menggugurkan kemerdekaan anak.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يُسْمَعَ مِنَ الْبَائِعِ الِاعْتِرَافُ بِوَطْئِهَا قَبْلَ الْبَيْعِ وَيَدَّعِيَهُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ عَلَى الْمُشْتَرِي فِي إِبْطَالِ الْبَيْعِ وَعِتْقِ الْوَلَدِ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنَ الْبَيْعِ الصِّحَّةُ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى السَّلَامَةِ وَلَمْ يَنْفُذْ فِيهِ دَعْوَى الْبَائِعِ لِإِبْطَالِهِ كَمَا لَوْ بَاعَ عَبْدًا ثُمَّ ادَّعَى أَنَّهُ قَدْ كَانَ أَعْتَقَهُ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ كَانَ مَاضِيًا عَلَى الصِّحَّةِ، وَالْأَمَةُ مَمْلُوكَةٌ لِلْمُشْتَرِي فَتَكُونُ وِلَادَتُهَا اسْتِبْرَاءً فِي حَقِّهِ يَسْتَبِيحُهَا بَعْدَ انْقِطَاعِ دَمِ النِّفَاسِ وَالْوَلَدُ مَمْلُوكٌ لَهُ وَفِي لُحُوقِ نَسَبِهِ بِالْبَائِعِ قَوْلَانِ:

Kedua: Tidak pernah terdengar dari penjual pengakuan telah menyetubuhinya sebelum penjualan, dan ia baru mengakuinya setelah kelahiran anak. Maka pengakuannya tidak diterima untuk membatalkan penjualan dan memerdekakan anak, karena pada zahirnya penjualan itu sah, sehingga harus dianggap selamat dan tidak berlaku pengakuan penjual untuk membatalkannya, sebagaimana jika seseorang menjual budak lalu mengaku telah memerdekakannya, maka pengakuannya tidak diterima. Dengan demikian, penjualan tetap sah, budak perempuan itu menjadi milik pembeli, kelahirannya dianggap sebagai istibrā’ bagi pembeli sehingga ia boleh menyetubuhinya setelah darah nifas berhenti, dan anak itu menjadi milik pembeli. Adapun terkait nasab anak kepada penjual, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” وَ ” الْإِيلَاءِ ” يُلْحَقُ بِهِ، لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ عَلَى الْمُشْتَرِي فِي لُحُوقِ نَسَبِهِ وَإِنَّمَا الضَّرَرُ عَلَيْهِ فِي عِتْقِهِ فَأَرْفَقْنَاهُ لِنَفْيِ الضَّرَرِ عَنْهُ، وَلَمْ نَنْفِ نَسَبَهُ عَنِ الْبَائِعِ، لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ عَلَى الْمُشْتَرِي أن يكون عدة ذَا نَسَبٍ.

Salah satu pendapat: Beliau menyatakannya dalam kitab “al-Umm” dan “al-Ila’”, bahwa nasab anak tersebut disandarkan kepadanya (penjual), karena tidak ada mudarat bagi pembeli dalam penyandaran nasab tersebut, sedangkan mudarat itu hanya terjadi pada pembeli dalam hal pembebasan (anak tersebut). Maka kami memberikan keringanan untuk meniadakan mudarat darinya, dan kami tidak meniadakan nasab anak itu dari penjual, karena tidak ada mudarat bagi pembeli jika budak perempuan itu memiliki nasab.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: رَوَاهُ عَنْهُ الْبُوَيْطِيُّ لَا يُلْحَقُ نَسَبُهُ بِالْبَائِعِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُدْخِلُ عَلَى الْمُشْتَرِي ضَرَرًا فِي لُحُوقِ نَسَبِهِ بِالْبَائِعِ، إِذَا مَاتَ بَعْدَ عِتْقِهِ فِي أَنْ يَصِيرَ مِيرَاثُهُ لِأَبِيهِ دُونَ مُعْتِقِهِ لِتَقَدُّمِ الْمِيرَاثِ بِالنَّسَبِ عَلَى الْمِيرَاثِ بِالْوَلَاءِ.

Pendapat kedua: Diriwayatkan dari beliau oleh al-Buwaiti, bahwa nasab anak tersebut tidak disandarkan kepada penjual, karena hal itu bisa menimbulkan mudarat bagi pembeli jika nasabnya disandarkan kepada penjual, yaitu apabila anak itu meninggal setelah dimerdekakan, maka warisannya menjadi milik ayahnya (penjual) dan bukan kepada orang yang memerdekakannya, karena warisan karena nasab lebih didahulukan daripada warisan karena wala’.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَقُولَ الْمُشْتَرِيُ إِنَّهُ مِنَ الْبَائِعِ، وَيُنْكِرَ الْبَائِعُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْبَائِعِ مِنْ أَمْرَيْنِ:

Bagian keempat: Jika pembeli mengaku bahwa anak itu dari penjual, sedangkan penjual mengingkari bahwa anak itu darinya, maka keadaan penjual tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ سُمِعَ مِنْهُ الِاعْتِرَافُ بِوَطْئِهَا، فَيُلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ إِذَا وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ، وَلَا يُؤَثِّرُ إِنْكَارُهُ لِأَنَّ ثُبُوتَ النَّسَبِ حَقٌّ لِلْوَلَدِ لَا يَسْقُطُ بِالْجُحُودِ وَتَصِيرُ بِهِ الْأَمَةُ أُمَّ وَلَدٍ لِلْبَائِعِ يَبْطُلُ فِيهَا الْبَيْعُ وَيَرْجِعُ الْمُشْتَرِي عَلَيْهِ بِثَمَنِهَا.

Salah satunya: Jika telah terdengar dari penjual pengakuan bahwa ia telah menggaulinya, maka anak tersebut disandarkan kepadanya jika dilahirkan kurang dari enam bulan setelah masa istibra’, dan pengingkarannya tidak berpengaruh karena penetapan nasab adalah hak anak yang tidak gugur dengan pengingkaran. Dengan demikian, budak perempuan itu menjadi umm walad bagi penjual, jual belinya batal, dan pembeli berhak menuntut kembali harga budak tersebut dari penjual.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يُسْمَعَ مِنْهُ الِاعْتِرَافُ بِوَطْئِهَا فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْمُشْتَرِي عليه، لِأَنَّ الظَّاهِرَ صِحَّةُ الْبَيْعِ وَسَلَامَةُ الْعَقْدِ لَكِنْ يُعْتَقُ الْوَلَدُ عَلَى الْمُشْتَرِي لِاعْتِرَافِهِ بِحُرِّيَّتِهِ وَتَحْرُمُ عَلَيْهِ أُمُّهُ لِاعْتِرَافِهِ بِأَنَّهَا أُمُّ وَلَدٍ لِبَائِعِهَا، لِأَنَّ قَوْلَهُ مَقْبُولٌ عَلَى نَفْسِهِ، وَإِنْ لَمْ يُقْبَلْ عَلَى غَيْرِهِ، فَهَذَا حُكْمُ الْوَلَدِ إِذَا لم يكن المشتري قدم وطأها.

Keadaan kedua: Jika tidak terdengar dari penjual pengakuan bahwa ia telah menggaulinya, maka pernyataan pembeli tidak diterima atas penjual, karena yang tampak adalah sahnya jual beli dan keabsahan akad. Namun, anak tersebut menjadi merdeka atas pembeli karena pengakuannya terhadap kemerdekaannya, dan ibunya menjadi haram bagi pembeli karena pengakuannya bahwa ia adalah umm walad bagi penjualnya, sebab pernyataannya diterima atas dirinya sendiri, meskipun tidak diterima atas orang lain. Inilah hukum anak tersebut jika pembeli belum pernah menggaulinya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَأَمَّا إِذَا وَلَدَتْ بَعْدَ أَنْ وَطِئَهَا الْمُشْتَرِي فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَلَدِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يُلْحَقَ بِالْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي، وَهُوَ أَنْ تَضَعَ مَعَ اعْتِرَافِهَا بِالْوَطْءِ، لِأَقَلَّ من ستة أشهر من وطء المشتري، فيكون لاحقاً بالبائع نصير بِهِ الْأَمَةُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ، وَيَكُونُ الْبَيْعُ فِيهَا بَاطِلًا، وَعَلَى الْمُشْتَرِي مَهْرُ مِثْلِهَا لِلْبَائِعِ لِوَطْئِهِ أُمَّ وَلَدِهِ بِشُبْهَةٍ، وَيَتَقَاصَّا ذَلِكَ مِنْ ثَمَنِهَا وَيَرْجِعُ الْمُشْتَرِي بِبَاقِيهِ.

Adapun jika budak perempuan itu melahirkan setelah digauli oleh pembeli, maka keadaan anak tersebut tidak lepas dari tiga bagian: Pertama, anak itu disandarkan kepada penjual dan bukan kepada pembeli, yaitu jika ia melahirkan dengan pengakuan telah digauli oleh penjual, kurang dari enam bulan sejak digauli oleh pembeli, maka anak itu disandarkan kepada penjual, sehingga budak perempuan itu menjadi umm walad bagi penjual, dan jual beli atasnya batal. Pembeli wajib membayar mahar mitsil kepada penjual karena telah menggauli umm walad-nya dengan syubhat, dan nilai tersebut dikompensasikan dari harga budak, lalu pembeli mengambil sisanya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لَاحِقًا بِالْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ لِوَضْعِهِ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنِ اسْتِبْرَاءِ الْبَائِعِ وَلِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فصاعداً من وطء المشتري، فالبيع ماضى على الصحة ولا تراجع فيه من الْبَائِعِ وَالْمُشْتَرِي.

Bagian kedua: Anak itu disandarkan kepada pembeli dan bukan kepada penjual, jika dilahirkan enam bulan atau lebih sejak istibra’ penjual dan enam bulan atau lebih sejak digauli oleh pembeli. Maka jual beli tetap sah dan tidak ada hak pembatalan bagi penjual maupun pembeli.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يُلْحَقَ بِالْبَائِعِ وَلَا بِالْمُشْتَرِي، وَهُوَ أَنْ تَضَعَهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنِ اسْتِبْرَاءِ الْبَائِعِ، وَلِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْءِ الْمُشْتَرِي، فَيَكُونُ الْوَلَدُ منفياً عنهما ومملوك لِلْمُشْتَرِي، وَلَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ لِحُدُوثِهِ فِي مِلْكِهِ، وَهِيَ مَمْلُوكَةُ الْمُشْتَرِي وَحَلَالٌ لَهُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ.

Bagian ketiga: Anak itu tidak disandarkan kepada penjual maupun pembeli, yaitu jika dilahirkan enam bulan atau lebih sejak istibra’ penjual, dan kurang dari enam bulan sejak digauli oleh pembeli. Maka anak itu tidak disandarkan kepada keduanya dan menjadi milik pembeli, dan pembeli tidak memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli karena anak itu lahir dalam kepemilikannya, dan budak perempuan itu tetap menjadi milik pembeli dan halal baginya setelah melahirkan.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: الَّذِي يُمْكِنُ لُحُوقُهُ بِهِمَا فَهُوَ مُمْكِنٌ فِي الْحُرَّةِ وَمُمْتَنِعٌ فِي الْأَمَةِ، لِأَنَّ وَلَدَ الْحُرَّةِ لَاحِقٌ بِهِ إِلَى أَرْبَعِ سِنِينَ مِنَ الْعِدَّةِ وَوَلَدَ الْأَمَةِ لَا يُلْحَقُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنَ الِاسْتِبْرَاءِ إِلَّا عَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْحُرَّةِ فَيَجِيءُ عَلَى قَوْلِهِ تَخْرِيجُ الْقِسْمِ الرَّابِعِ، فَأَمَّا عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَقَوْلِ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ إِنَّهُ مُنْتَفٍ عَنْهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنَ الِاسْتِبْرَاءِ فَتَخْرِيجُهُ فِي إِمْكَانِ لُحُوقِهِ بِهِمَا مُمْتَنِعٌ لِأَنَّهَا إِنْ وَلَدَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنِ اسْتِبْرَاءِ الْبَائِعِ فَهُوَ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْءِ الْمُشْتَرِي، لِأَنَّ وَطْأَهُ بَعْدَ وَطْءِ الْبَائِعِ فَيَكُونَ لَاحِقًا بِالْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي وَإِنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْءِ الْمُشْتَرِي فَهُوَ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنِ اسْتِبْرَاءِ الْبَائِعِ، لِأَنَّ اسْتِبْرَاءَهُ قَبْلَ وَطْءِ الْمُشْتَرِي فَيَكُونَ لَاحِقًا بِالْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ فَلِذَلِكَ مَا امْتَنَعَ تخريجه هَذَا الْقِسْمِ فِي إِمْكَانِ لُحُوقِهِ بِهِمَا وَإِنْ وهم أبو حامد الإسفراييني في تخريج.

Adapun bagian keempat, yaitu yang mungkin dapat disamakan dengannya, maka hal itu mungkin terjadi pada perempuan merdeka dan tidak mungkin pada budak perempuan. Sebab, anak dari perempuan merdeka dapat dinisbatkan kepadanya hingga empat tahun dari masa ‘iddah, sedangkan anak dari budak perempuan tidak dapat dinisbatkan setelah enam bulan dari masa istibra’, kecuali menurut pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij yang menyamakan antara keduanya dengan perempuan merdeka, sehingga menurut pendapatnya, bagian keempat ini dapat dikeluarkan. Adapun menurut pendapat yang zahir dari mazhab al-Syafi‘i dan pendapat mayoritas pengikutnya, bahwa anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya setelah enam bulan dari masa istibra’, maka pengeluaran bagian ini dalam kemungkinan dinisbatkannya kepada keduanya adalah tidak mungkin. Sebab, jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan dari istibra’ penjual, maka itu berarti kurang dari enam bulan dari hubungan pembeli, karena hubungan pembeli terjadi setelah hubungan penjual, sehingga anak itu dinisbatkan kepada penjual, bukan kepada pembeli. Dan jika ia melahirkan anak setelah enam bulan dari hubungan pembeli, maka itu berarti lebih dari enam bulan dari istibra’ penjual, karena masa istibra’ terjadi sebelum hubungan pembeli, sehingga anak itu dinisbatkan kepada pembeli, bukan kepada penjual. Oleh karena itu, tidak mungkin mengeluarkan bagian ini dalam kemungkinan dinisbatkannya kepada keduanya, meskipun Abu Hamid al-Isfara’ini keliru dalam pengeluarannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنِ اسْتَرَابَتْ أَمْسَكَتْ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ تِلْكَ الريبة لم تكن حَمْلًا وَلَا أَعْلَمُ مُخَالِفًا فِي أَنَّ الْمُطَلَّقَةَ لَوْ حَاضَتْ ثَلَاثَ حِيَضٍ وَهِيَ تَرَى أَنَّهَا حَامِلٌ لَمْ تَحِلَّ إِلَّا بِوَضْعِ الْحَمْلِ أَوِ الْبَرَاءَةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ حَمْلًا “.

Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia ragu, maka ia menahan diri hingga mengetahui bahwa keraguan tersebut bukanlah kehamilan. Dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa seorang perempuan yang ditalak, jika ia telah mengalami tiga kali haid sementara ia merasa dirinya hamil, maka ia tidak halal (menikah lagi) kecuali setelah melahirkan atau terbukti bahwa itu bukanlah kehamilan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَ الْحُرَّةِ إِذَا اسْتَبْرَأَتْ، وَحُكْمَ أُمِّ الْوَلَدِ إِذَا اسْتَبْرَأَتْ، وَكَذَلِكَ حُكْمُ الْأَمَةِ إِذَا اسْتَبْرَأَتْ لَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan hukum perempuan merdeka jika telah menjalani istibra’, dan hukum umm al-walad jika telah menjalani istibra’, demikian pula hukum budak perempuan jika telah menjalani istibra’, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَظْهَرَ الرِّيبَةُ قَبْلَ اسْتِكْمَالِ الِاسْتِبْرَاءِ، فَتَكُونَ مُحَرَّمَةً عَلَى الْمُشْتَرِي حَتَّى تَزُولَ الرِّيبَةُ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ أُمَّ وَلَدٍ لِغَيْرِهِ.

Pertama: Jika muncul keraguan sebelum istibra’ selesai, maka ia haram bagi pembeli hingga keraguan itu hilang, karena mungkin saja ia adalah umm al-walad bagi orang lain.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَظْهَرَ الرِّيبَةُ بعد الاستبراء، وبعد إصابة المشتري فلا ففي يحرم عَلَيْهِ إِصَابَتُهَا، لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ لَهُ بِالْإِصَابَةِ فِرَاشًا.

Bagian kedua: Jika keraguan muncul setelah istibra’ dan setelah pembeli menggaulinya, maka tidak haram baginya menggauli, karena dengan hubungan itu ia telah menjadi miliknya sebagai istri.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَظْهَرَ الرِّيبَةُ بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ، وَقَبْلَ إِصَابَةِ الْمُشْتَرِي فَفِي تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Bagian ketiga: Jika keraguan muncul setelah istibra’ dan sebelum pembeli menggaulinya, maka dalam pengharamannya terhadap pembeli terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ أَنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ رَحِمِهَا.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas, bahwa ia haram bagi pembeli hingga dipastikan rahimnya bersih.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أنها حَلَالٌ لَهُ مَا لَمْ يَتَيَقَّنْ حَمْلُهَا.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa ia halal bagi pembeli selama belum dipastikan ia hamil.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَلَا يَحِلُّ لَهُ قَبْلَ الِاسْتِبْرَاءِ التَّلَذُّذُ بِمُبَاشَرَتِهَا ولا نظر بشهوة إلهيا وَقَدْ تَكُونُ أُمَّ وَلَدٍ لِغَيْرِهِ “.

Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Maka tidak halal baginya sebelum istibra’ untuk menikmati dengan menyentuhnya atau memandangnya dengan syahwat, karena bisa jadi ia adalah umm al-walad bagi orang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا وَجَبَ اسْتِبْرَاءُ الْأَمَةِ عَلَى مَنِ اسْتَحْدَثَ مِلْكَهَا حَرُمَ عَلَيْهِ فِي مُدَّةِ الِاسْتِبْرَاءِ وَطْؤُهَا لِأَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ هُوَ اعْتِزَالُ الْوَطْءِ سَوَاءٌ مَلَكَهَا عَنْ شِرَاءٍ أَوْ سَبْيٍ، فَأَمَّا الِاسْتِمْتَاعُ بِمَا عَدَا الْوَطْءِ مِنَ الْقُبْلَةِ وَالْمُلَامَسَةِ وَالتَّلَذُّذِ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ فَمُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْحَمْلِ إِنْ ظَهَرَ بِهَا هَلْ تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ لِمَنْ كَانَ مَالِكَهَا، فَإِنْ كَانَتْ تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ؛ لِأَنَّهَا مُشْتَرَاةٌ مِنْ مَالِكٍ كَانَتْ لَهُ فِرَاشًا أَوْ مَوْرُوثَةً عَنْهُ أَوْ مُسْتَوْهَبَةً مِنْهُ حَرُمَ عَلَيْهِ التَّلَذُّذُ بمباشرتها، والنظر إليها لشهرة كما يحرم عليه وطئها لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ أُمَّ وَلَدٍ لِغَيْرِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ كَالْمَسْبِيَّةِ وَالْحَامِلِ مِنْ زِنًا فَفِي تَحْرِيمِ التَّلَذُّذِ بِمُبَاشَرَتِهَا وَمَا دُونُ الْفَرَجِ مِنْهَا وَجْهَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika wajib melakukan istibra’ terhadap seorang budak perempuan bagi orang yang baru saja memilikinya, maka haram baginya untuk menggaulinya selama masa istibra’, karena istibra’ adalah menjauhi hubungan badan, baik ia memilikinya melalui pembelian atau penawanan. Adapun menikmati selain hubungan badan seperti mencium, menyentuh, dan bersenang-senang dengan selain kemaluan, maka hal itu dipertimbangkan menurut keadaan kehamilan: jika tampak darinya bahwa ia bisa menjadi ummu walad bagi pemilik sebelumnya, maka jika ia memang bisa menjadi ummu walad baginya—karena ia dibeli dari pemilik yang telah menjadikannya sebagai istri, atau diwarisi darinya, atau dihibahkan darinya—maka haram baginya bersenang-senang dengan menyentuhnya dan memandangnya dengan syahwat, sebagaimana haram menggaulinya, karena mungkin saja ia adalah ummu walad bagi orang lain. Namun jika ia tidak bisa menjadi ummu walad baginya, seperti budak perempuan tawanan perang atau yang hamil karena zina, maka dalam hal pengharaman bersenang-senang dengan menyentuhnya dan selain kemaluan darinya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَحْرُمُ تَبَعًا لِلْوَطْءِ كَالْمُشْتَرَاةِ مِنْ ذِي فِرَاشٍ.

Salah satunya: Diharamkan sebagai konsekuensi dari keharaman menggauli, seperti budak perempuan yang dibeli dari orang yang telah menjadikannya sebagai istri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَحْرُمُ، لِأَنَّ الْمُشْتَرَاةَ تَصِيرُ بِالْحَمْلِ أُمَّ وَلَدٍ لِغَيْرِهِ مُحَرَّمَةً عَلَيْهِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ فَحَرُمَتْ قَبْلَهَا، وَالْمَسْبِيَّةُ وَالزَّانِيَةُ لَا تَصِيرُ بِحَمْلِهَا أُمَّ وَلَدٍ لِغَيْرِهِ، وَلَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، وَإِنَّمَا يَسْتَبْرِئُهَا فِي حَقِّ نَفْسِهِ لِئَلَّا يَخْتَلِطَ بِمَائِهِ مَاءُ غَيْرِهِ، فَإِذَا اجْتَنَبَ الْوَطْءُ حَلَّ لَهُ مَا عَدَاهُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: وَقَعَ فِي سَهْمِي جارية من سبي جلولاء فرأيت لها عتقا كَإِبْرِيقِ الْفِضَّةِ فَمَا تَمَالَكْتُ أَنْ قَبَّلْتُهَا، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ مُحَرَّمًا لَامْتَنَعَ مِنْهُ وَلَأَنْكَرَهُ النَّاسُ عَلَيْهِ، وَهَكَذَا إِذَا وُطِئَتْ زَوْجَةٌ بِشُبْهَةٍ، وَلَزِمَهَا الِاعْتِدَادُ مِنْ وَطْئِهِ حَرُمَ عَلَى زَوْجِهَا وَطْؤُهَا فِي عِدَّةِ الشُّبْهَةِ، وَفِي تَحْرِيمِ التَّلَذُّذِ بِمَا دون الوطء وجهان: لأن المقصود بالعدة حذراً مِنِ اخْتِلَاطِ الْمَائَيْنِ، وَهِيَ بَعْدَ الْعِدَّةِ حَلَالٌ لِلزَّوْجِ فَأَشْبَهَتِ الْمَسْبِيَّةَ.

Pendapat kedua: Tidak diharamkan, karena budak perempuan yang dibeli akan menjadi ummu walad bagi orang lain jika hamil, sehingga ia menjadi haram setelah melahirkan, maka haram pula sebelum melahirkan. Adapun budak perempuan tawanan perang dan pezina, tidak akan menjadi ummu walad bagi orang lain karena kehamilannya, dan tidak menjadi haram setelah melahirkan. Ia hanya diistibra’ untuk kepentingan dirinya sendiri agar air mani orang lain tidak bercampur dengan air maninya. Maka jika ia menjauhi hubungan badan, halal baginya selain itu. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia berkata: “Aku mendapatkan seorang budak perempuan dari tawanan Jalula’ dalam undianku, aku melihat padanya tanda-tanda kemerdekaan seperti kendi perak, maka aku tidak kuasa kecuali menciumnya. Seandainya hal itu haram, tentu ia akan menahan diri dan orang-orang akan mengingkarinya.” Demikian pula jika seorang istri digauli karena syubhat, lalu ia wajib menjalani masa iddah dari hubungan tersebut, maka haram bagi suaminya menggaulinya selama masa iddah syubhat, dan dalam hal pengharaman bersenang-senang selain hubungan badan terdapat dua pendapat, karena tujuan dari iddah adalah untuk mencegah tercampurnya air mani, dan setelah iddah ia halal bagi suaminya, sehingga keadaannya serupa dengan budak perempuan tawanan perang.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا اشْتَرَى أَمَةً ذَاتَ زَوْجٍ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَى الْمُشْتَرِي فِي الْوَطْءِ وَالتَّلَذُّذِ جَمِيعًا، لِأَنَّ التَّلَذُّذَ بِهَا مِنْ حُقُوقِ الزَّوْجِ فَحَرُمَ عَلَى الْمُشْتَرِي كَالْوَطْءِ، فَإِنْ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun jika seseorang membeli budak perempuan yang masih bersuami, maka ia haram bagi pembeli baik dalam hubungan badan maupun bersenang-senang secara keseluruhan, karena bersenang-senang dengannya adalah hak suami, maka haram bagi pembeli sebagaimana hubungan badan. Jika suaminya menceraikannya, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ.

Pertama: Jika perceraian terjadi sebelum terjadi hubungan badan.

وَالثَّانِي: بَعْدَهُ.

Kedua: Setelah terjadi hubungan badan.

فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا، وَعَلَى الْمُشْتَرِي أن يستبرئها وهي محرمة عليه لَمْ يَسْتَبْرِئْهَا أَنْ يَطَأَهَا، وَفِي تَحْرِيمِ التَّلَذُّذِ بِمَا دُونَ الْوَطْءِ وَجْهَانِ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ مَالِكًا لَهَا قَبْلَ تَزْوِيجِهَا ثُمَّ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهَا عِدَّةُ الزَّوْجِ وَحَرُمَتْ عَلَى الْمَالِكِ إِلَّا بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ طَلَّقَهَا بَعْدَ الدُّخُولِ وَجَبَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ مِنْهُ، وَهِيَ فِي زَمَانِ عِدَّتِهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَى السَّيِّدِ أَنْ يَطَأَهَا أَوْ يَتَلَذَّذَ بِهَا، لِأَنَّ تَحْرِيمَ الْعِدَّةِ يَجْرِي مَجْرَى تَحْرِيمِ الزَّوْجَةِ، فَإِذَا انْقَضَتِ الْعِدَّةُ فَفِي وُجُوبِ اسْتِبْرَائِهَا عَلَى السَّيِّدِ وَجْهَانِ مَضَيَا:

Jika perceraian terjadi sebelum hubungan badan, maka tidak ada iddah baginya, dan pembeli wajib melakukan istibra’ terhadapnya, dan ia tetap haram baginya hingga selesai istibra’, tidak boleh menggaulinya. Dalam hal pengharaman bersenang-senang selain hubungan badan terdapat dua pendapat. Demikian pula jika ia adalah pemiliknya sebelum menikahkannya, lalu ia dicerai sebelum terjadi hubungan badan, maka tidak wajib menjalani iddah suami, dan ia tetap haram bagi pemiliknya hingga selesai istibra’. Jika suaminya menceraikannya setelah terjadi hubungan badan, maka wajib menjalani iddah dari suaminya, dan selama masa iddah tersebut ia haram bagi tuannya untuk digauli atau dinikmati, karena keharaman masa iddah sama seperti keharaman istri. Jika masa iddah telah selesai, maka dalam kewajiban istibra’ atas tuannya terdapat dua pendapat yang telah lalu:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا تَحْرِيمَ بَعْدَ الْعِدَّةِ لِبَرَاءَةِ رَحِمِهَا بِالْعِدَّةِ، فَعَلَى هَذَا يَحِلُّ لَهُ الْوَطْءُ وَغَيْرُهُ.

Pertama: Yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, tidak ada keharaman setelah iddah karena rahimnya telah bersih dengan iddah, sehingga halal baginya menggauli dan selainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الِاسْتِبْرَاءُ بَعْدَ الْعِدَّةِ تَعَبُّدًا فَعَلَى هَذَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ وطئها وَفِي تَحْرِيمِ مَا عَدَاهُ مِنَ التَّلَذُّذِ وَجْهَانِ.

Pendapat kedua: Wajib melakukan istibra’ setelah iddah sebagai bentuk ibadah, maka menurut pendapat ini haram menggaulinya, dan dalam pengharaman selain itu dari bentuk bersenang-senang terdapat dua pendapat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ لَمْ يَفْتَرِقَا حَتَّى وَضَعَتْ حَمْلًا لَمْ تَحِلَّ لَهُ حَتَّى تَطْهُرَ مِنْ نِفَاسِهَا ثُمَّ تَحِيضَ حَيْضَةً مُسْتَقْبَلَةً مِنْ قِبَلِ أَنَّ الْبَيْعَ إِنَّمَا تَمَّ حِينَ تَفَرَّقَا عَنْ مَكَانِهِمَا الَّذِي تَبَايَعَا فِيهِ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika keduanya belum berpisah hingga perempuan itu melahirkan, maka ia belum halal bagi pembelinya sampai ia suci dari nifasnya, kemudian mengalami satu kali haid yang baru. Sebab, akad jual beli itu baru sempurna ketika keduanya telah berpisah dari tempat mereka melakukan transaksi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْتَبَرَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا وُجُودَ الِاسْتِبْرَاءِ بَعْدَ تَمَامِ الْبَيْعِ وَلُزُومِهِ، وَلَمْ يَعْتَبِرْ فِيهِ وَجُودَهُ بَعْدَ الْقَبْضِ، وَفِيهِ شَاهِدٌ مِنْ مَذْهَبِهِ عَلَى مَا أُخْبِرْتُهُ مِنْ أَنَّ الْقَبْضَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي الِاسْتِبْرَاءِ وَإِنْ خَالَفَ فِيهِ أَصْحَابُنَا فَجَعَلُوهُ شَرْطًا فِيهِ، فَإِذَا وَضَعَتِ الْأَمَةُ الْمُشْتَرَاةُ حَمْلَهَا بَعْدَ الْبَيْعِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Asy-Syafi‘i dalam hal ini mensyaratkan adanya istibra’ setelah jual beli sempurna dan mengikat, dan tidak mensyaratkan adanya istibra’ setelah qabḍ (penguasaan barang). Dalam hal ini terdapat dalil dari mazhab beliau sebagaimana yang aku ketahui, bahwa qabḍ tidak dianggap dalam istibra’, meskipun para sahabat kami berbeda pendapat dan menjadikannya sebagai syarat. Maka, jika seorang budak perempuan yang dibeli melahirkan setelah akad jual beli, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا أَنْ تَضَعَهُ بَعْدَ لُزُومِ الْبَيْعِ بِالتَّفَرُّقِ وَمُضِيِّ زَمَانِ الْخِيَارِ فَيَكُونُ اسْتِبْرَاءً يَحِلُّ بِهِ الْمُشْتَرِي.

Pertama, ia melahirkan setelah jual beli menjadi mengikat dengan berpisahnya kedua pihak dan berakhirnya masa khiyār, maka kelahiran itu menjadi istibra’ yang dengannya pembeli menjadi halal (untuk menggaulinya).

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُ بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ التَّفَرُّقِ فَيَكُونُ الِاسْتِبْرَاءُ بِهِ مَبْنِيًّا عَلَى اخْتِلَافِ أَقَاوِيلِهِ فِي انْتِقَالِ الْمِلْكِ، هَلْ يَكُونُ بِالْعَقْدِ وَحْدَهُ أَوْ بِهِ؟ وَيَنْقَضِي زَمَانُ الْخِيَارِ.

Kedua, ia melahirkan setelah akad namun sebelum berpisah, maka istibra’ dengan kelahiran itu tergantung pada perbedaan pendapat mengenai perpindahan kepemilikan: apakah cukup dengan akad saja atau tidak? Dan masa khiyār telah berakhir.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْمِلْكَ لَا يَنْتَقِلُ إِلَّا بِهِمَا، وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ لَمْ يَكُنْ وَضْعُ الْحَمْلِ اسْتِبْرَاءً لِوُجُودِهِ قَبْلَ الْمِلْكِ فَصَارَ كَوُجُودِهِ قَبْلَ الْبَيْعِ، وَكَذَلِكَ لَوْ مَرَّ عَلَيْهَا قُرْءٌ بِحَيْضٍ أَوْ بِطُهْرٍ لَمْ يَكُنِ اسْتِبْرَاءً، وَلَا يَدْخُلُ بِالنِّفَاسِ فِي اسْتِبْرَاءٍ سَوَاءٌ قِيلَ، إِنَّهُ بِالْحَيْضِ أَوْ بِالطُّهْرِ، فَإِذَا انْقَضَى نِفَاسُهَا، فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الِاسْتِبْرَاءَ بِالطُّهْرِ دَخَلَتْ فِيهِ عِنْدَ تَقَضِّي النِّفَاسِ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ بِالْحَيْضِ لَمْ تَدْخُلْ فِيهِ إِلَّا بَعْدَ تَقَضِّي طُهْرِهَا وَطُهُورِ حَيْضِهَا فَهَذَا حُكْمُ وَضْعِهَا إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْمِلْكَ لَا يَنْتَقِلُ إِلَّا بِالْعَقْدِ وَتَقَضِّي زَمَانِ الْخِيَارِ.

Jika dikatakan bahwa kepemilikan tidak berpindah kecuali dengan keduanya (akad dan berpisah), dan inilah yang dinyatakan dalam masalah ini, maka kelahiran itu tidak dianggap sebagai istibra’ karena terjadi sebelum kepemilikan, sehingga sama seperti kelahiran sebelum akad jual beli. Demikian pula, jika telah berlalu satu quru’ (masa suci atau haid) atasnya, baik dengan haid atau suci, maka itu tidak dianggap sebagai istibra’. Nifas juga tidak termasuk dalam istibra’, baik dikatakan istibra’ itu dengan haid atau dengan suci. Maka, jika masa nifasnya telah selesai, jika dikatakan istibra’ itu dengan suci, maka ia masuk dalam istibra’ saat nifasnya selesai. Namun jika dikatakan istibra’ itu dengan haid, maka ia belum masuk dalam istibra’ kecuali setelah selesai masa sucinya dan mengalami haid serta bersuci darinya. Inilah hukum kelahiran jika dikatakan bahwa kepemilikan tidak berpindah kecuali dengan akad dan berakhirnya masa khiyār.

فَأَمَّا إِذَا قِيلَ: وَمَا عَدَاهُ مِنْ أَنَّ الْمِلْكَ مُنْتَقِلٌ إِلَى الْمُشْتَرِي بِنَفْسِ الْعَقْدِ أَوْ مَوْقُوفٌ بِعِلْمِ تَقَضِّي الْخِيَارِ وَوُجُودِ الْمِلْكِ بِنَفْسِ الْعَقْدِ كَانَ وَضْعُ الحمل استبراءاً لِوُجُودِهِ بَعْدَ الْمِلْكِ فَصَارَ كَوُجُودِهِ بَعْدَ تَقَضِّي الخيار فإن كان بدل الولادة قروءاً مِنْ حَيْضٍ أَوْ طُهْرٍ مَرَّ عَلَيْهَا بَعْدَ الْبَيْعِ، وَقَبْلَ التَّفْرِيقِ فَقَدْ خَرَّجَهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika dikatakan, sebagaimana pendapat lain, bahwa kepemilikan berpindah kepada pembeli dengan akad itu sendiri, atau tergantung pada pengetahuan berakhirnya masa khiyār dan adanya kepemilikan dengan akad itu sendiri, maka kelahiran itu menjadi istibra’ karena terjadi setelah kepemilikan, sehingga sama seperti kelahiran setelah berakhirnya masa khiyār. Jika yang terjadi bukan kelahiran, melainkan telah berlalu beberapa quru’ berupa haid atau suci setelah akad jual beli dan sebelum berpisah, maka Abu Ishaq al-Marwazi mengeluarkan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ اسْتِبْرَاءً كَالْحَمْلِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ.

Pertama: Itu dianggap sebagai istibra’ seperti halnya kelahiran, dan ini adalah pendapat yang shahih.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُعْتَدُّ بِهِ مِنَ الِاسْتِبْرَاءِ بِخِلَافِ الْحَمْلِ وَلَا أَعْرِفُ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَجْهًا إِلَّا أَنْ يُفَرَّقَ بِأَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ بِالْحَمْلِ أَقْوَى وَلَيْسَ بِفَرْقٍ، لِأَنَّهُمَا يَسْتَوِيَانِ في حصول الاستبراء بهما.

Kedua: Itu tidak dianggap sebagai istibra’, berbeda dengan kelahiran. Aku tidak mengetahui alasan perbedaan antara keduanya kecuali jika dibedakan bahwa istibra’ dengan kelahiran lebih kuat, namun ini bukanlah perbedaan yang berarti, karena keduanya sama-sama mewujudkan istibra’.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ أَمَةً مُكَاتَبَةً فَعَجَزَتْ لَمْ يَطَأْهَا حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا لِأَنَّهَا مَمْنُوعَةُ الْفَرْجِ مِنْهُ ثُمَّ أبيح بالعجز ولا يشبه صومها الواجب عليها وحيضتها ثم تخرج من ذلك، لأنه يحل له في ذلك أن يمسها ويقبلها ويحرم عليه ذلك في الكتابة كما يحرم إذا زوجها وإنما قلت طهر ثم حيضة حتى تغتسل مِنْهَا لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دل على أن الأقراء الأطهار بقوله في ابن عمر يطلقها طاهراً من غير جماع فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لها النساء وأمر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في الإماء أن يستبرئن بحيضة فكانت الحيضة الأولى أمامها طهر كما كان الطهر أمامه الحيض فكان قصد النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في الاستبراء إلى الحيض وفي العدة إلى الأطهار “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seorang budak perempuan berstatus mukatab lalu ia tidak mampu membayar (menjadi gagal), maka tuannya tidak boleh menggaulinya sampai ia melakukan istibra’ terhadapnya, karena sebelumnya ia terhalang untuk digauli oleh tuannya, lalu menjadi halal karena ketidakmampuannya. Hal ini tidak sama dengan puasanya yang wajib atau haidnya, lalu ia keluar dari keadaan itu, karena dalam keadaan tersebut tuannya boleh menyentuh dan menciumnya, sedangkan dalam status mukatab hal itu haram baginya sebagaimana haram jika ia menikahkannya. Aku katakan harus suci lalu haid hingga ia mandi darinya, karena Nabi ﷺ menunjukkan bahwa quru’ itu adalah masa suci, sebagaimana sabdanya tentang Ibnu Umar: ‘Ceraikanlah ia dalam keadaan suci dan tidak digauli.’ Maka itulah masa iddah yang Allah perintahkan untuk menceraikan perempuan. Nabi ﷺ juga memerintahkan agar budak perempuan diistibra’ dengan satu kali haid, sehingga haid pertama didahului oleh masa suci, sebagaimana masa suci didahului oleh haid. Maka maksud Nabi ﷺ dalam istibra’ adalah pada haid, dan dalam iddah adalah pada masa suci.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا كَاتَبَ أَمَتَهُ ثُمَّ عَادَتْ إِلَيْهِ بِالْعَجْزِ حَرُمَ عَلَيْهِ وَطْؤُهَا حتى يستبرئها وكذلك لو ارتد أو ثُمَّ أَسْلَمَ أَوْ أَسْلَمَتْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا اعْتِبَارًا فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ بِحُدُوثِ الْإِبَاحَةِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ التَّحْرِيمِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, apabila seseorang memukatibkan budak perempuannya, kemudian ia kembali kepadanya karena tidak mampu (melunasi), maka haram baginya menggaulinya sampai ia melakukan istibra’. Demikian pula jika ia murtad lalu masuk Islam kembali, atau budak perempuannya masuk Islam, maka haram baginya (menggauli) sampai ia melakukan istibra’ terhadapnya. Hal ini dipertimbangkan dalam tiga permasalahan ini karena adanya kebolehan (menggauli) setelah sebelumnya terjadi keharaman yang telah tetap.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَلْزَمُهُ الِاسْتِبْرَاءُ فِي الْمُكَاتَبَةِ إِذَا عَجَزَتْ، وَلَا فِي الْمُزَوَّجَةِ إِذَا طُلِّقَتْ، وَلَا فِي الْمُرْتَدَّةِ إِذَا أَسْلَمَتِ اعْتِبَارًا ببقاء الملك واستدلالا بأن طريان التَّحْرِيمِ عَلَيْهِ بِالْكِتَابَةِ، وَالتَّزْوِيجِ وَالرِّدَّةِ لِحُدُوثِ التَّحْرِيمِ بِالصِّيَامِ، وَالْحَيْضِ، وَالْإِحْرَامِ، وَذَلِكَ غَيْرُ مُوجِبٍ لِلِاسْتِبْرَاءِ لِبَقَاءِ الْمِلْكِ كَذَلِكَ لَمْ يَزَلْ بِهِ الْمِلْكُ؛ وَلِأَنَّ الرَّهْنَ يَمْنَعُ مِنْ وَطْئِهَا كَالْكِتَابَةِ، ثُمَّ لَمْ يَلْزَمْهُ الِاسْتِبْرَاءُ بَعْدَ فِكَاكِهَا مِنَ الرَّهْنِ كَذَلِكَ لَا يَلْزَمُهُ بَعْدَ عَجْزِهَا فِي الْكِتَابَةِ وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي كُلِّ إِبَاحَةٍ حَدَثَتْ بَعْدَ حَظْرٍ، وَلِأَنَّهُ اسْتَحْدَثَ استباحة يملك بَعْدَ عُمُومِ التَّحْرِيمِ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الِاسْتِبْرَاءُ كَالَّتِي اسْتَحْدَثَ مِلْكَهَا، وَخَالَفَ مَا ذَكَرَهُ مِنْ تَحْرِيمِ الصَّائِمَةِ، وَالْحَائِضِ وَالْمُحْرِمَةِ، لِاخْتِصَاصِهِ بِتَحْرِيمِ الْوَطْءِ دُونَ دَوَاعِيهِ فِي الْحَائِضِ وَالصَّائِمَةِ وَالتَّلَذُّذِ بِالنَّظَرِ إلى المحرمة، وتحريم ما ذَكَرْنَاهُ عَامٌّ زَالَ بِهِ عُمُومُ الِاسْتِبَاحَةِ فَافْتَرَقَا، وَأَمَّا الْمَرْهُونَةُ فَلَا يَحْرُمُ مِنْهَا دَوَاعِي الْوَطْءِ مِنَ الْقُبْلَةِ وَاللَّمْسِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إِبَاحَةِ وَطْئِهَا إِذَا أُمِنَ حَمْلُهَا بِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Tidak wajib melakukan istibra’ dalam kasus mukatabah jika budak perempuan itu tidak mampu (melunasi), tidak pula pada istri yang ditalak, dan tidak pula pada wanita murtad yang masuk Islam kembali, dengan pertimbangan karena kepemilikan masih tetap ada. Ia juga berdalil bahwa keharaman yang timbul karena mukatabah, pernikahan, dan riddah (kemurtadan) itu seperti keharaman yang terjadi karena puasa, haid, dan ihram, dan itu tidak mewajibkan istibra’ karena kepemilikan masih tetap ada; demikian pula kepemilikan tidak hilang karenanya. Karena gadai juga mencegah dari menggaulinya seperti halnya mukatabah, namun setelah terbebas dari gadai tidak wajib istibra’, maka demikian pula tidak wajib setelah tidak mampu dalam mukatabah. Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Ketahuilah, tidak boleh digauli wanita hamil sampai ia melahirkan dan tidak boleh digauli wanita yang tidak hamil sampai ia haid.” Maka hadits ini berlaku umum pada setiap kebolehan yang terjadi setelah adanya larangan. Dan karena telah terjadi kebolehan yang dimiliki setelah keharaman yang bersifat umum, maka wajib baginya melakukan istibra’ sebagaimana pada wanita yang baru dimiliki. Berbeda dengan yang disebutkan tentang keharaman bagi wanita yang berpuasa, haid, dan ihram, karena keharaman itu khusus pada hubungan badan tanpa sebab-sebabnya pada wanita haid dan puasa, serta kenikmatan dengan memandang wanita ihram. Sedangkan keharaman yang kami sebutkan bersifat umum yang menghilangkan keumuman kebolehan, sehingga keduanya berbeda. Adapun budak yang digadaikan, tidak haram darinya sebab-sebab hubungan badan seperti ciuman dan sentuhan, dan para ulama kami berbeda pendapat tentang kebolehan menggaulinya jika aman dari kehamilan karena masih kecil atau sudah menopause, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَجُوزُ وَطْؤُهَا.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, boleh menggaulinya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ حَبَلَهَا غَيْرُ مَأْمُونٍ، فَكَانَ الْمَنْعُ لِأَجْلِ الْحَبَلِ إِلَّا لِتَحْرِيمِ الْوَطْءِ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ الْمُرْتَهِنُ فِي وَطْئِهَا جَازَ، وَلَوْ كَانَ مَحْظُورًا لَمْ يَجُزْ.

Kedua, yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, tidak boleh; karena kehamilannya tidak dapat dipastikan aman, sehingga larangan itu karena faktor kehamilan, bukan karena keharaman hubungan badan. Jika orang yang menerima gadai mengizinkan untuk menggaulinya, maka boleh, dan jika memang terlarang, tentu tidak boleh.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا الْأَصْلُ تَفَرَّعَ عَلَيْهِ مَا سَنُوَضِّحُهُ فَمِنْ ذَلِكَ إِذَا اشْتَرَى أَمَةً مَجُوسِيَّةً وَاسْتَبْرَأَهَا ثُمَّ أَسْلَمَتْ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا، لِأَنَّهَا قَبْلَ الْإِسْلَامِ مُحَرَّمَةٌ، وَبِالْإِسْلَامِ حَلَّتْ فَلَزِمَهُ الِاسْتِبْرَاءُ بَعْدَ الْإِسْلَامِ لِحُدُوثِ الْإِبَاحَةِ بَعْدَ الْحَظْرِ كَالْمُرْتَدَّةِ إِذَا أَسْلَمَتْ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَشْتَرِيَ الْعَبْدُ الْمَأْذُونُ لَهُ فِي التِّجَارَةِ أَمَةً وَيَسْتَبْرِئَهَا فَلَا يَجُوزُ لِلْعَبْدِ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُهَا، فَأَمَّا اسْتِمْتَاعُ السَّيِّدِ بِهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى الْعَبْدِ دَيْنٌ مِنْ ثَمَنِهَا، وَلَا مِنْ غَيْرِهِ وَقْتَ اسْتِبْرَائِهَا حَلَّ لِلسَّيِّدِ وَطْؤُهَا لِوُجُودِ الِاسْتِبْرَاءِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْمِلْكِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى الْعَبْدِ دَيْنٌ فَالسَّيِّدُ مَمْنُوعٌ مِنْهَا مَعَ بَقَاءِ الدَّيْنِ، لِأَنَّ مَا بِيَدِ الْعَبْدِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ كَالْمَرْهُونِ عَلَى دَيْنِهِ، فَإِذَا قَضَاهُ قَالَ أَصْحَابُنَا: هِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا، لِأَنَّهَا إِبَاحَةٌ حَدَثَتْ بَعْدَ حَظْرٍ، وَلَا تَعْتَدُّ بِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الِاسْتِبْرَاءِ، وَعِنْدِي: أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ اسْتِبْرَاءٌ، وتحل له بالاستبراء المتقدم لوجوده بعد استقرار الملك، وَأَنَّ الرَّهْنَ لَا يُوجِبُ الِاسْتِبْرَاءَ، وَكَذَلِكَ لَا يَمْنَعُ مِنْهُ، فَأَمَّا إِذَا تَزَوَّجَ الْحُرُّ بِأَمَةٍ ثُمَّ اشْتَرَاهَا بَطَلَ نِكَاحُهَا، وَحَلَّتْ لَهُ بِالْمِلْكِ مِنْ غَيْرِ اسْتِبْرَاءٍ، لِأَنَّهَا انْتَقَلَتْ مِنْ إِبَاحَةٍ بِزَوْجِيَّةٍ إِلَى إِبَاحَةٍ بِمِلْكٍ فَلَمْ يَتَخَلَّلْهَا حَظْرٌ فَلِذَلِكَ لَمْ تَسْتَبْرِئْ، وَلَكِنْ لَوْ أَرَادَ أَنْ يُزَوِّجَهَا بَعْدَ ابْتِيَاعِهَا لَمْ يَجُزْ إِلَّا بَعْدَ اسْتِبْرَائِهَا، وَبِمَاذَا يَكُونُ اسْتِبْرَاؤُهَا؟ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ السَّيِّدِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ وَطِئَهَا قَبْلَ ابْتِيَاعِهَا اسْتَبْرَأَتْ نَفْسَهَا بِقُرْءٍ وَاحِدٍ اسْتِبْرَاءَ الْإِمَاءِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنِ السَّيِّدُ قَدْ وَطِئَهَا بَعْدَ ابْتِيَاعِهَا اسْتَبْرَأَتْ نَفْسَهَا بِقُرْأَيْنِ عِدَّةَ أَمَةٍ، لِأَنَّهُ عَنْ وَطْءٍ فِي زَوْجِيَّةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Jika prinsip ini telah ditetapkan, maka cabang-cabang hukum yang akan kami jelaskan berikut ini berpijak padanya. Di antaranya adalah: jika seseorang membeli seorang budak perempuan Majusi, lalu ia melakukan istibra’ terhadapnya, kemudian budak itu masuk Islam, maka ia tetap haram baginya hingga ia melakukan istibra’ lagi. Sebab, sebelum masuk Islam, ia haram; dan dengan masuk Islam, ia menjadi halal, sehingga wajib dilakukan istibra’ setelah masuk Islam karena adanya kehalalan setelah larangan, sebagaimana halnya budak perempuan murtad jika ia masuk Islam. Demikian pula, jika seorang budak laki-laki yang diizinkan berdagang membeli seorang budak perempuan dan melakukan istibra’ terhadapnya, maka tidak boleh bagi budak laki-laki itu untuk menikmati budak perempuan tersebut, karena ia tidak memilikinya. Adapun tuan (pemilik) yang ingin menikmati budak perempuan itu, jika pada budak laki-laki tersebut tidak ada utang dari harga budak perempuan itu maupun dari selainnya pada saat istibra’, maka halal bagi tuan untuk menggaulinya karena istibra’ telah dilakukan setelah kepemilikan tetap. Namun, jika budak laki-laki itu masih memiliki utang, maka tuan dilarang menikmatinya selama utang itu masih ada, karena apa yang ada di tangan budak yang diizinkan berdagang itu seperti barang gadai atas utangnya. Jika utangnya telah dilunasi, para sahabat kami berkata: budak perempuan itu haram baginya hingga ia melakukan istibra’ lagi, karena kehalalan itu terjadi setelah adanya larangan, sehingga istibra’ sebelumnya tidak dianggap. Menurut pendapat saya: ia tidak wajib melakukan istibra’ lagi, dan halal baginya dengan istibra’ yang telah dilakukan sebelumnya karena istibra’ itu terjadi setelah kepemilikan tetap, dan gadai tidak mewajibkan istibra’, juga tidak mencegahnya. Adapun jika seorang laki-laki merdeka menikahi seorang budak perempuan, lalu ia membelinya, maka batal nikahnya dan ia menjadi halal baginya karena kepemilikan tanpa perlu istibra’, karena ia berpindah dari kehalalan melalui pernikahan ke kehalalan melalui kepemilikan, sehingga tidak ada masa larangan di antaranya, maka tidak perlu istibra’. Namun, jika ia ingin menikahinya setelah membelinya, maka tidak boleh kecuali setelah istibra’. Dengan apa istibra’ itu dilakukan? Hal itu tergantung pada keadaan tuan. Jika tuan telah menggaulinya sebelum membelinya, maka ia beristibra’ dengan satu kali haid sebagaimana istibra’ budak perempuan. Jika tuan belum menggaulinya setelah membelinya, maka ia beristibra’ dengan dua kali haid sebagai masa iddah budak perempuan, karena itu berasal dari hubungan dalam pernikahan. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(Kitab Ringkasan Hukum yang Diharamkan karena Susuan)

من كتاب الرضاع ومن كتاب النكاح ومن أحكام القرآن

(Dari Kitab Radha‘ dan dari Kitab Nikah serta dari Ahkam al-Qur’an)

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَنْ حَرُمَ مَعَ الْقَرَابَةِ {وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم وأخوانكم من الرضاعة} وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلَادَةِ ” “

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: “Allah Ta‘ala berfirman tentang siapa saja yang diharamkan karena hubungan kekerabatan: {dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudaramu sesusuan} dan Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Diharamkan karena susuan apa yang diharamkan karena kelahiran.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الرَّضَاعُ فَاسْمٌ لِمَصِّ الثَّدْيِ وَشُرْبِ اللَّبَنِ، وَقَدْ كَانَتْ حُرْمَتُهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مُنْتَشِرَةً بَيْنَهُمْ وَمَرْعِيَّةً عِنْدَهُمْ، حَكَى مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ أَنَّ هَوَازِنَ لِمَا سُبِيَتْ وَغُنِمَتْ أَمْوَالُهُمْ لِحُنَيْنٍ قَدِمَتْ وُفُودُهُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُسْلِمِينَ فَقَامَ فِيهِمْ زُهَيْرُ بْنُ صُرَدٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّمَا فِي الْحَظَائِرِ عَمَّاتُكَ وَخَالَاتُكَ وَحَوَاضِنُكَ وَاللَّائِي كُنَّ يُرْضِعْنَكَ وَيَكْفُلْنَكَ وَلَوْ أنا ملحنا أَيْ أَرْضَعْنَا الْحَارِثَ بْنَ أَبِي شِمْرٍ، أَوِ النُّعْمَانَ بْنَ الْمُنْذِرِ ثُمَّ نَزَلْنَا بِمِثْلِ مَنْزِلِنَا مِنْكَ رَجَوْنَا عَطْفَهُمَا وَفَائِدَتَهُمَا وَأَنْتَ خَيْرُ الْكَافِلِينَ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ:

Al-Mawardi berkata: Adapun radha‘ (susuan) adalah istilah untuk mengisap payudara dan meminum susu. Hukum keharamannya telah dikenal luas di masa Jahiliyah dan dijaga di kalangan mereka. Muhammad bin Ishaq meriwayatkan bahwa ketika kabilah Hawazin ditawan dan harta mereka dirampas dalam peristiwa Hunain, delegasi mereka datang kepada Rasulullah ﷺ dalam keadaan telah masuk Islam. Maka berdirilah Zuhair bin Surad di hadapan mereka dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara para tawanan itu ada bibimu, saudari-saudari ibumu, para pengasuhmu, dan wanita-wanita yang dulu menyusui dan mengasuhmu. Seandainya kami menyusui al-Harits bin Abi Syamir atau an-Nu‘man bin al-Mundzir, lalu kami menempati kedudukan seperti yang kami dapatkan darimu, tentu kami berharap mendapatkan kasih sayang dan manfaat dari mereka berdua, sedangkan engkau adalah sebaik-baik penanggung jawab.” Kemudian ia melantunkan syair:

(امْنُنْ عَلَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ فِي كَرَمٍ … فَإِنَّكَ الْمَرْءُ نَرْجُوهُ وَنَنْتَظِرُ)

“Berilah kami karunia, wahai Rasulullah, dengan kemurahan hati … karena engkaulah orang yang kami harapkan dan nantikan.”

(امْنُنْ عَلَى نِسْوَةٍ قَدْ كُنْتَ تَرْضَعُهَا … إِذْ فُوكَ تَمْلَؤُهُ مِنْ مَحْضِهَا الدُّرَرُ)

“Berilah karunia kepada para wanita yang dahulu engkau disusui olehnya … ketika mulutmu dipenuhi oleh mutiara dari air susunya.”

(إِنْ لَمْ تدراكها نَعْمَاءُ نَسْتُرُهَا … يَا أَرْجَحَ النَّاسِ حِلْمًا حِينَ يُخْتَبَرُ)

Jika kenikmatan tidak segera menyelamatkannya, kami akan menutupinya… Wahai manusia yang paling utama dalam kesabaran ketika diuji.

(إِنَّا لَنَشْكُرُ لِلنُّعْمَى وَإِنْ كُفِرَتْ … وَعِنْدَنَا بَعْدَ هَذَا الْيَوْمِ مُدَّخَرُ)

Sesungguhnya kami tetap bersyukur atas nikmat, meskipun ia diingkari… Dan di sisi kami, setelah hari ini, masih ada simpanan (kebaikan).

فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبْنَاؤُكُمْ وَنِسَاؤُكُمْ أَحَبُّ إِلَيْكُمْ أَمْ أَمْوَالُكُمْ فَقَالُوا: أَخَيَّرْتَنَا بَيْنَ أَمْوَالِنَا وَأَحْسَابِنَا بَلْ تَرُدُّ عَلَيْنَا أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا فَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْنَا فَقَالَ: أَمَّا كَانَ لِي وَلِبَنِي هَاشِمٍ فَهُوَ لَكُمْ فَرَعَى لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حُرْمَةَ رِضَاعِهِ فِيهِمْ، وَجَرَى عَلَى مَعْهُودِ الْعَرَبِ مَعَهُمْ مِنْ إِثْبَاتٍ لِحُرْمَةِ النَّسَبِ، وَلَا حُكْمَ لِتَحْرِيمٍ وَلَا مُحَرَّمٍ ثُمَّ رَوَى أَبُو الطُّفَيْلِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُقَسِّمُ لَحْمًا بِالْجِعْرَانَةِ إِذَا أَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ فَدَنَتْ إِلَيْهِ فَبَسَطَ لَهَا رِدَاءَهُ فَجَلَسَتْ عَلَيْهِ فَقُلْتُ مَنْ هَذِهِ؟ فَقَالُوا: أُمُّهُ الَّتِي أَرْضَعَتْهُ.

Lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Apakah anak-anak dan istri-istri kalian lebih kalian cintai, ataukah harta kalian?” Mereka menjawab, “Engkau memberikan pilihan kepada kami antara harta dan kehormatan kami, tentu engkau kembalikan kepada kami anak-anak dan istri-istri kami, maka mereka lebih kami cintai.” Maka beliau bersabda, “Adapun yang menjadi milikku dan milik Bani Hasyim, itu untuk kalian.” Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menjaga kehormatan persusuan di antara mereka, dan mengikuti tradisi Arab bersama mereka dalam menetapkan kehormatan nasab, tanpa ada hukum pengharaman atau yang diharamkan. Kemudian Abu Thufail meriwayatkan, ia berkata: Aku melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– membagi daging di Ji‘ranah, tiba-tiba datang seorang wanita mendekat kepadanya, lalu beliau membentangkan kainnya untuk wanita itu, maka ia pun duduk di atasnya. Aku bertanya, “Siapakah wanita ini?” Mereka menjawab, “Itulah ibunya yang telah menyusuinya.”

فَدَلَّ هَذَا الْخَبَرُ عَلَى أَنَّ الْمُرْضِعَةَ تَكُونُ أُمًّا.

Maka berita ini menunjukkan bahwa wanita yang menyusui itu menjadi ibu (dari susuan).

وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: أَنَّهُ كَانَ فِي سَبْيِ هَوَازِنَ الشَّيْمَاءُ بِنْتُ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى أُخْتُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ الرَّضَاعَةِ فَعِيفَ بِهَا حَتَّى انْتَهَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهي تقول: أنا أُخْتُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ الرَّضَاعَةِ فَقَالَ، وَمَا عَلَامَةُ ذَلِكَ قَالَتْ عَضَّةٌ عَضِضْتَهَا فِي ظَهْرِي وَأَنَا مُتَوَرِّكَتُكَ فَعَرَفَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْعَلَامَةَ وَبَسَطَ لَهَا رِدَاءَهُ وَأَجْلَسَهَا عَلَيْهِ وَخَيَّرَهَا بَيْنَ الْمُقَامِ عِنْدَهُ مُكَرَّمَةً أَوِ الرُّجُوعِ إِلَى قَوْمِهَا مُمَتَّعَةً، فَاخْتَارَتْ أَنْ يُمَتِّعَهَا وَتَرْجِعَ إِلَى قَوْمِهَا فَفَعَلَ.

Dan Muhammad bin Ishaq meriwayatkan: Bahwa di antara tawanan Hawazin terdapat Syaimā’ binti al-Harits bin ‘Abd al-‘Uzza, saudari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dari persusuan. Ia diperlakukan dengan baik hingga sampai kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–, sambil berkata, “Aku adalah saudari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dari persusuan.” Beliau bertanya, “Apa tandanya?” Ia menjawab, “Bekas gigitan yang engkau gigitkan di punggungku saat aku menggendongmu.” Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenali tanda itu, lalu membentangkan kainnya untuknya dan mendudukkannya di atasnya, serta memberinya pilihan antara tinggal bersamanya dengan dimuliakan atau kembali kepada kaumnya dengan diberi bekal. Ia memilih untuk diberi bekal dan kembali kepada kaumnya, maka beliau pun melakukannya.

فَدَلَّ هَذَا الْخَبَرُ عَلَى أَنَّ بِنْتَ الْمُرْضِعَةِ أُخْتٌ مِنَ الرَّضَاعَةِ فَثَبَتَ مِنْ هَذَيْنِ الْخَبِرَيْنِ أَنَّهَا كَالنَّسَبِ، وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ حُكْمُ النَّسَبِ إِلَى أَنْ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى مَا بَيَّنَ بِهِ حُكْمَ الرَّضَاعِ فِي تَحْرِيمِ الْمَنَاكِحِ تَعْظِيمًا لِحُرْمَتِهِ فَقَالَ {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ} [النساء: 23] إِلَى قَوْلِهِ {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ من الرضاعة} فَسَمَّى الْمُرْضِعَةَ أُمًّا وَبِنْتَهَا أُخْتًا تَأْكِيدًا، لِمَا تَقَدَّمَتْ بِهِ السُّنَّةُ مِنَ الِاسْمِ وَزِيَادَةً عَلَيْهَا فِي الْحُكْمِ وَحُرْمَتُهَا كَتَحْرِيمِ الْأُمِّ، لِأَنَّهَا أَصْلٌ فِي حِفْظِ حَيَاتِهِ كَمَا كَانَتِ الْوَالِدَةُ أَصْلًا فِي إِيجَادِهِ، وَصَارَتْ بِنْتُ الْمُرْضِعَةِ أُخْتًا كَمَا كَانَتْ بِنْتُ الْوَالِدَةِ أُخْتًا، وَاقْتَصَرَ عَلَى ذِكْرِهِمَا فَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ مَقْصُورًا عَلَيْهِمَا، وَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ مُتَعَدِّيًا عَنْهُمَا إِلَى السَّبْعِ الْمُحَرَّمَاتِ بِالْأَنْسَابِ، فَجَاءَتِ السُّنَّةُ بِبَيَانِ مَا أُرِيدَ بِالْكِتَابِ، فَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلَادَةِ “.

Maka berita ini menunjukkan bahwa putri wanita yang menyusui adalah saudari dari persusuan. Dari kedua berita ini, dapat dipastikan bahwa kedudukannya seperti nasab, meskipun hukum nasab belum ditetapkan hingga Allah Ta‘ala menurunkan ayat yang menjelaskan hukum persusuan dalam pengharaman pernikahan sebagai bentuk pengagungan terhadap kehormatannya. Allah berfirman: {Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian} [an-Nisā’: 23] hingga firman-Nya: {dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, serta saudari-saudari kalian dari persusuan}. Maka Allah menamai wanita yang menyusui sebagai ibu dan putrinya sebagai saudari, sebagai penegasan atas apa yang telah ditetapkan oleh sunnah dari segi penamaan, dan tambahan atasnya dalam hukum, serta kehormatannya seperti pengharaman ibu kandung, karena ia adalah asal dalam menjaga kehidupan sebagaimana ibu kandung adalah asal dalam keberadaan, dan putri wanita yang menyusui menjadi saudari sebagaimana putri ibu kandung menjadi saudari. Disebutkan hanya keduanya, sehingga dimungkinkan bahwa pengharaman persusuan terbatas pada keduanya, dan dimungkinkan pula meluas kepada tujuh golongan yang diharamkan karena nasab. Maka datanglah sunnah untuk menjelaskan maksud dari al-Kitab, sebagaimana diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Sulaiman bin Yasar dari ‘Urwah bin az-Zubair dari ‘Aisyah radhiyallahu ta‘ala ‘anha, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari kelahiran (nasab).”

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ ابْنِ جُدْعَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ علي ابن أَبِي طَالِبٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ لَكَ فِي بِنْتِ عَمِّكَ حَمْزَةَ فَإِنَّهَا أَجْمَلُ فَتَاةٍ فِي قُرَيْشٍ فَقَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ حَمْزَةَ أَخِي فِي الرَّضَاعَةِ، وَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا حَرَّمَ مِنَ النَّسَبِ.

Diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Sufyan, dari Ibnu Jud‘an, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang putri pamanmu Hamzah? Sesungguhnya ia adalah gadis tercantik di Quraisy.” Maka beliau bersabda: “Tidakkah engkau tahu bahwa Hamzah adalah saudaraku karena sesusuan, dan sesungguhnya Allah mengharamkan melalui persusuan apa yang diharamkan melalui nasab.”

فَدَلَّ هَذَانِ الْحَدِيثَانِ عَلَى أَنَّ تَحْرِيمَ الرَّضَاعَةِ كَتَحْرِيمِ النَّسَبِ فَالَّذِي يَتَعَلَّقُ عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ النِّسَبِ حُكْمَانِ:

Dua hadis ini menunjukkan bahwa pengharaman karena persusuan sama dengan pengharaman karena nasab. Maka, hukum-hukum yang berkaitan dengan nasab ada dua:

أَحَدُهُمَا: تَحْرِيمُ الْمَنَاكِحِ لِذِكْرِهِ فِي آيَةِ التَّحْرِيمِ.

Pertama: Pengharaman pernikahan, sebagaimana disebutkan dalam ayat pengharaman.

وَالثَّانِي: ثُبُوتُ الْمُحَرَّمِ فِي إِبَاحَةِ النَّظَرِ إِلَيْهَا وَالْخَلْوَةِ مَعَهَا.

Kedua: Ditetapkannya status mahram dalam kebolehan melihat dan berduaan dengannya.

رُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ أَفْلَحَ أَخِي أَبِي الْقُعَيْسِ هَلْ يَدْخُلُ عَلَيْهَا؟ وَكَانَتِ امْرَأَةُ أَبِي قُعَيْسٍ قَدْ أَرْضَعَتْهَا فقال: ” ليلج عليك، فإنه معك مِنَ الرَّضَاعَةِ)) ، وَقَالَتْ عَائِشَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ صَوْتَ رَجُلٍ فِي مَنْزِلِكَ عِنْدَ حَفْصَةَ فَقَالَ: أُرَاهُ عَمَّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ.

Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ta‘ala ‘anha bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang Aflah, saudara laki-laki Abu Qu‘ais, apakah ia boleh masuk menemuinya? Istri Abu Qu‘ais telah menyusui ‘Aisyah. Maka beliau bersabda: “Biarkan ia masuk menemuimu, karena ia bersamamu melalui persusuan.” Dan ‘Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, aku mendengar suara seorang laki-laki di rumahmu, di tempat Hafshah.” Beliau bersabda: “Aku kira itu adalah paman susuanya.”

فَأَمَّا مَا عَدَا هَذَيْنِ الْحُكْمَيْنِ مِنَ الْمِيرَاثِ وَالنَّفَقَةِ وَالْوِلَايَةِ وَالْحَضَانَةِ وَسُقُوطِ الْقَوَدِ، وَتَحَمُّلِ الْعَقْلِ وَالْعِتْقِ بِالْمِلْكِ وَالْمَنْعِ مِنَ الشَّهَادَةِ، فَإِنَّهُ مُخْتَصٌّ بالنسب دون الرضاعة وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى بِالْأُمِّ ثَلَاثَةَ أَصْنَافٍ مِنَ النِّسَاءِ: الْوَالِدَةُ وَالْمُرْضِعَةُ وَأَزْوَاجُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَالْوَالِدَةُ مُسْتَوْجِبَةٌ لِجَمِيعِ أَحْكَامِ النَّسَبِ، وَالْمُرْضِعَةُ مَقْصُورَةٌ عَلَى حُكْمَيْنِ التَّحْرِيمِ وَالْمُحَرَّمِ وَفِي أَزْوَاجِ الرَّسُولِ وجهان:

Adapun selain dua hukum tersebut, seperti warisan, nafkah, perwalian, hak asuh, gugurnya qishash, tanggungan diyat, pembebasan budak karena kepemilikan, dan larangan menjadi saksi, maka itu khusus berlaku untuk nasab, tidak untuk persusuan. Allah Ta‘ala telah menyebut tiga golongan perempuan dengan istilah “ibu”: ibu kandung, ibu susuan, dan istri-istri Rasulullah ﷺ. Ibu kandung berhak atas seluruh hukum nasab, ibu susuan terbatas pada dua hukum, yaitu pengharaman dan status mahram, sedangkan pada istri-istri Rasulullah ﷺ terdapat dua pendapat:

أحدهما: يُشَارِكْنَ الْمُرْضِعَةَ فِي التَّحْرِيمِ وَالْمُحَرَّمَ.

Pertama: Mereka sama dengan ibu susuan dalam hal pengharaman dan status mahram.

وَالثَّانِي: يَنْفَرِدْنَ بالتحريم دون المحرم.

Kedua: Mereka hanya khusus dalam pengharaman, tidak dalam status mahram.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَبَيَّنَتِ السُّنَّةُ أَنَّ لَبَنَ الْفَحْلِ يُحَرِّمُ كَمَا تُحَرِّمُ وِلَادَةُ الْأَبِ وَسُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَأَرْضَعَتْ إِحْدَاهُمَا غُلَامًا وَالْأُخْرَى جَارِيَةً هَلْ يَتَزَوَّجُ الْغُلَامُ الْجَارِيَةَ؟ فَقَالَ لَا اللِّقَاحُ وَاحِدٌ وَقَالَ مِثْلَهُ عَطَاءٌ وَطَاوُسٌ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ فَبِهَذَا كُلِّهِ نَقُولُ فَكُلُّ مَا حَرُمَ بِالْوِلَادَةِ وَبِسَبَبِهَا حَرُمَ بِالرَّضَاعِ وَكَانَ بِهِ مِنْ ذَوِي الْمَحَارِمِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Sunnah telah menjelaskan bahwa susu dari suami (ayah) mengharamkan sebagaimana kelahiran dari ayah mengharamkan. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang memiliki dua istri, lalu salah satu dari keduanya menyusui seorang anak laki-laki dan yang lainnya menyusui seorang anak perempuan. Apakah anak laki-laki itu boleh menikahi anak perempuan tersebut? Ia menjawab: Tidak boleh, karena benihnya satu. Pendapat yang sama juga dikatakan oleh ‘Atha’ dan Thawus.” (Asy-Syafi‘i berkata:) Rahimahullah, “Dengan semua ini kami berpendapat: segala sesuatu yang haram karena kelahiran dan sebab-sebabnya, maka haram pula karena persusuan, dan dengannya seseorang menjadi mahram.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ اللَّبَنَ يَحْدُثُ بَعْدَ عُلُوقِ الْحَمْلِ لِيَكُونَ غِذَاءً لِلْوَلَدِ، فَإِذَا كَانَ الْمَوْلُودُ وَلَدًا لِلزَّوْجَيْنِ لِحُدُوثِهِ مِنْ مَائِهِمَا، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمُرْتَضَعُ وَلَدًا لَهَا لِاغْتِذَائِهِ بِلَبَنِهَا، لِأَنَّ اللَّبَنَ تَابِعٌ لِلْمَاءِ، لِأَنَّ الْمَاءَ أَصْلُ خَلْقِهِ، وَاللَّبَنَ حَافِظٌ لِحَيَاتِهِ، وَإِذَا كان كذلك نظر في المولود، فإذا كان لاحقا بِالْوَاطِئِ لِكَوْنِهِ مِنْ نِكَاحٍ أَوْ مِلْكِ يَمِينٍ أَوْ شُبْهَةِ وَاحِدٍ مِنْهُمَا تَبِعَهُ الْمُرْتَضَعُ فِي لَبَنِهِ فَكَانَ وَلَدَ رِضَاعٍ لِلْوَاطِئِ وَالْمُرْضِعَةِ وَإِنْ كَانَ الْمَوْلُودُ غَيْرَ لَاحِقٍ بِالْوَاطِئِ لِكَوْنِهِ مِنْ زِنًا صَرِيحٍ تَبِعَهُ الْمُرْضَعُ فِي انْتِفَائِهِ عَنِ الْوَاطِئِ، وَكَانَ وَلَدَ رِضَاعٍ لِلْمُرْضِعَةِ دُونَ الْوَاطِئِ فَيَصِيرُ الْمُرْتَضَعُ تَابِعًا لِلْمَوْلُودِ فِي لُحُوقِهِ وَانْتِفَائِهِ فَإِذَا أُلْحِقَا بِالزَّوْجِ الْوَاطِئِ فَهُوَ الْمُرَادُ بِقَوْلِ الشَّافِعِيِّ إِنَّ لَبَنَ الْفَحْلِ يُحَرِّمُ إِشَارَةً إِلَى أَنَّ نُزُولَ اللَّبَنِ فِي ثَدْيٍ لَبَنٌ يُرْضِعُ بِهِ وَلَدًا فَيَصِيرُ وَلَدَهُ مِنَ الرَّضَاعِ، فَإِذَا أُلْحِقَ وَلَدُ الرَّضَّاعِ بِهِمَا انْتَشَرَتِ الْحُرْمَةُ مِنْ جِهَتِهِمَا إِلَيْهِ فَهِيَ عَامَّةٌ تَتَعَدَّى إِلَى كُلِّ مَنْ نَاسَبَهُمَا مِنَ الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ وَالْبَنِينَ وَالْبَنَاتِ وَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ، فَتَكُونُ الْمُرْضِعَةُ أُمَّهُ وَأُمَّهَاتُهَا جَدَّاتِهِ لِأُمٍّ وَأَبَاؤُهَا أَجْدَادَهُ لِأُمٍّ وَإِخْوَتُهَا أَخْوَالَهُ، وَأَخَوَاتُهَا خَالَاتِهِ، وَأَوْلَادُهَا إِخْوَتَهُ، وَأَخَوَاتِهِ فَإِنْ كَانُوا مِنَ الزَّوْجِ فَهُمْ لِأَبٍّ وَأُمٍّ وَإِنْ كَانُوا مِنْهَا دُونَهُ، فَهُمْ لِأُمٍّ وَيَكُونُ الزَّوْجُ الْوَاطِئُ أَبَاهُ وَآبَاؤُهُ أَجْدَادَهُ لِأَبٍّ وَأُمَّهَاتُهُ جَدَّاتِهِ لِأَبٍّ، وَإِخْوَتُهُ أعمامه وأخواته عماته، وأولاد إِخْوَتِهِ وَأَخَوَاتِهِ، فَإِنْ كَانُوا مِنَ الْمُرْضِعَةِ فَهُمْ لِأَبٍّ وَأُمٍّ، وَإِنْ كَانُوا مِنْهَا دُونَهَا فَهُمْ لِأَبٍّ فَيَحْرُمُ مِنْ أَقَارِبِ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ من أقارب النَّسَبِ، وَأَمَّا انْتِشَارُهَا مِنْ جِهَتِهِ إِلَيْهِمَا فَهِيَ مَقْصُورَةٌ عَلَيْهِ وَعَلَى وَلَدِهِ وَإِنْ سَفُلَ دُونَ مَنْ عَلَا مِنْ آبَائِهِ وَأُمَّهَاتِهِ، وَدُونَ مَنْ شَارَكَهُ فِي النِّسَبِ مِنْ إِخْوَتِهِ وَأَخَوَاتِهِ فَلَا يحرم آباؤه وأمهاته وَلَا أَخَوَاتُهُ عَلَى وَاحِدٍ مِنْ أَبَوَيِ الرَّضَاعِ، فَيَكُونُ انْتِشَارُ الْحُرْمَةِ مِنْ جِهَتِهِ أَخَصَّ، وَانْتِشَارُهَا مِنْ جِهَتِهِمَا أَعَمَّ.

Al-Mawardi berkata: Dasar dari hal ini adalah bahwa air susu (ibu) muncul setelah terjadinya kehamilan agar menjadi makanan bagi anak. Jika anak yang lahir adalah anak dari kedua orang tua karena terjadi dari air mani keduanya, maka wajib anak yang menyusu menjadi anak bagi perempuan itu karena ia mendapatkan gizi dari air susunya, sebab air susu mengikuti air mani, karena air mani adalah asal penciptaannya, sedangkan air susu menjaga kehidupannya. Jika demikian, maka dilihat pada anak yang lahir: jika ia dinisbatkan kepada laki-laki yang menggauli karena terjadi dari pernikahan, atau kepemilikan budak, atau syubhat salah satu dari keduanya, maka anak yang menyusu mengikuti anak yang lahir dalam hal air susunya, sehingga menjadi anak susuan bagi laki-laki yang menggauli dan perempuan yang menyusui. Namun jika anak yang lahir tidak dinisbatkan kepada laki-laki yang menggauli karena terjadi dari zina yang jelas, maka anak yang menyusu mengikuti anak yang lahir dalam tidak dinisbatkannya kepada laki-laki yang menggauli, sehingga menjadi anak susuan bagi perempuan yang menyusui saja, tidak bagi laki-laki yang menggauli. Maka anak yang menyusu menjadi mengikuti anak yang lahir dalam hal nasab dan tidaknya. Jika keduanya dinisbatkan kepada suami yang menggauli, maka inilah yang dimaksud dengan perkataan asy-Syafi‘i bahwa “air susu laki-laki (al-fahl) mengharamkan”, sebagai isyarat bahwa keluarnya air susu di payudara adalah air susu yang dengannya menyusui seorang anak, sehingga menjadi anaknya dari susuan. Jika anak susuan dinisbatkan kepada keduanya, maka keharaman (pernikahan) menyebar dari keduanya kepadanya, sehingga menjadi umum dan meluas kepada semua yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keduanya, baik dari ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, saudara laki-laki, maupun saudara perempuan. Maka perempuan yang menyusui menjadi ibunya, ibu-ibunya menjadi nenek dari pihak ibu, ayah-ayahnya menjadi kakek dari pihak ibu, saudara-saudaranya menjadi paman dari pihak ibu, saudara perempuannya menjadi bibi dari pihak ibu, anak-anaknya menjadi saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka berasal dari suami, maka mereka menjadi saudara seayah dan seibu; jika dari perempuan saja tanpa suami, maka mereka menjadi saudara seibu. Suami yang menggauli menjadi ayahnya, ayah-ayahnya menjadi kakek dari pihak ayah, ibu-ibunya menjadi nenek dari pihak ayah, saudara-saudaranya menjadi paman dari pihak ayah, saudara perempuannya menjadi bibi dari pihak ayah, anak-anak saudara laki-laki dan perempuan, jika dari perempuan yang menyusui maka mereka menjadi saudara seayah dan seibu, jika dari suami saja tanpa perempuan yang menyusui maka mereka menjadi saudara seayah. Maka haram dari kerabat susuan apa yang haram dari kerabat nasab. Adapun penyebaran keharaman dari pihak anak susuan kepada keduanya, maka itu terbatas pada dirinya dan anak-anaknya meskipun ke bawah, tidak kepada yang di atasnya dari ayah dan ibu, dan tidak kepada yang setara dengannya dalam nasab dari saudara laki-laki dan perempuan. Maka tidak haram ayah dan ibunya, juga tidak saudara perempuannya bagi salah satu dari kedua orang tua susuan. Maka penyebaran keharaman dari pihak anak susuan lebih khusus, sedangkan penyebarannya dari pihak keduanya lebih umum.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي عُمُومِ الْحُرْمَةِ مِنْ جِهَتِهِمَا وَخُصُوصِيَّتِهَا مِنْ جِهَتِهِ وَهُوَ أَنَّ اللَّبَنَ لَهُمَا دُونَهُ، وَفِعْلَ الرَّضَاعِ مِنْهُمَا لَا مِنْهُ، فَكَانَتْ جِهَتُهُمَا أَقْوَى فَعَمَّتِ الْحُرْمَةُ وَضَعُفَتْ مِنْ جِهَتِهِ فَخُصَّتِ الْحُرْمَةُ.

Perbedaan antara keduanya dalam keumuman keharaman dari pihak keduanya dan kekhususannya dari pihak anak susuan adalah bahwa air susu itu milik keduanya, bukan milik anak susuan, dan perbuatan menyusui berasal dari keduanya, bukan dari anak susuan. Maka pihak keduanya lebih kuat sehingga keharaman menjadi umum, sedangkan dari pihak anak susuan lebih lemah sehingga keharaman menjadi khusus.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ هَذَا الْأَصْلِ الَّذِي عَلَيْهِ مَدَارُ الرَّضَّاعِ وَبِهِ يُعْتَبَرُ حُكْمَاهُ فِي التَّحْرِيمِ وَالْمُحَرَّمِ فَانْتِشَارُهُمَا مِنْ جِهَةِ الْمُرْضِعَةِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَانْتِشَارُهُمَا مِنْ جِهَةِ الْفَحْلِ مُخْتَلَفٌ فِيهِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ الْأَكْثَرُونَ أَنَّ ثُبُوتَ الْحُرْمَةِ وَانْتِشَارَهَا مِنْ جِهَةِ الْفَحْلِ فِي التَّحْرِيمِ وَالْمُحَرَّمِ كَثُبُوتِهَا، وَانْتِشَارِهَا مِنْ جِهَةِ الْمُرْضِعَةِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، وَعَائِشَةُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ، وَطَاوُسٌ، وَمُجَاهِدٌ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ، وَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى أَنَّ الْفَحْلَ لَا يَنْتَشِرُ عَنْهُ حُرْمَةُ الرَّضَاعِ، وَلَا يَثْبُتُ مِنْ جِهَتِهِ تَحْرِيمٌ وَلَا مُحَرَّمٌ، وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ الْمُرْتَضَعَةَ بِلَبَنِهِ وَكَذَلِكَ وَلَدُهُ مِنْ غَيْرِ الْمُرْضِعَةِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: ابْنُ عُمَرَ: وَابْنُ الزُّبَيْرِ، وَرَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ، وَأَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ النَّخَعِيُّ، وَرَبِيعَةُ بْنُ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، وَالْأَصَمُّ وَابْنُ عُلَيَّةَ، وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الشَّافِعِيُّ، وَدَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ، وَأَهْلُ الظَّاهِرِ وَجَعَلَهُ دَاوُدُ مَقْصُورًا عَلَى الْأُمَّهَاتِ وَالْأَخَوَاتِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ) [النساء: 23] فَخَصَّهُمَا بِذِكْرِ التَّحْرِيمِ ثُمَّ قَالَ مِنْ بَعْدُ {وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ} [النساء: 24] فَدَلَّ عَلَى إِبَاحَةِ مَنْ عَدَاهُمَا وَادَّعَوْا فِي ذَلِكَ إِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ، وَهُوَ مَا رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ خَطَبَ زَيْنَبَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ مِنْ أُمِّهَا أُمِّ سَلَمَةَ، لِأَخِيهِ حَمْزَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، فَقَالَتْ كَيْفَ أُزَوِّجُهَا بِهِ وَهُوَ أَخُوهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ ذَاكَ لَوْ أَرْضَعَتْهَا الْكَلْبِيَّةُ، وَذَلِكَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ أَمُّهُ أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ، وَحَمْزَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أُمُّهُ الْكَلْبِيَّةُ، وَكَانَتْ أَسْمَاءُ قَدْ أَرْضَعَتْ زَيْنَبَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ فَصَارَتْ بِزَيْنَبَ أُخْتًا لِعَبْدِ اللَّهِ مِنْ أَبِيهِ وَأُمِّهِ، وَأُخْتًا لِحَمْزَةَ مِنْ أَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ فَجَعَلَهَا عَبْدُ اللَّهِ أُخْتًا لِنَفْسِهِ، وَلَمْ يَجْعَلْهَا أُخْتًا لِأَخِيهِ حَمْزَةَ، وَلَا جَعَلَ اللَّبَنَ لِأَبِيهِ الزُّبَيْرِ، وَقَالَ لِأُمِّ سَلَمَةَ: سَلِي الصَّحَابَةَ، فَسَأَلُوا، وَذَلِكَ فِي أَيَّامِ الْحِيرَةِ فَأَبَاحُوهَا لَهُ، وَقَالُوا: لَبَنُ الْفَحْلِ لَا يُحَرِّمُ فَزُوِّجَتْ بِهِ، وَكَانَتْ عِنْدَهُ إِلَى أَنْ مَاتَ فَصَارَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ الْفَحْلَ لَوْ نَزَلَ لَهُ لَبَنٌ فَأَرْضَعَ بِهِ وَلَدًا لَمْ يَصِرْ لَهُ أَبًا فَلِأَنْ لَا يَصِيرَ أَبًا لَهُ بِلَبَنِ غَيْرِهِ أَوْلَى، وَلِأَنَّ اللَّبَنَ لَوْ كَانَ لَهُمَا لَكَانَ إِذَا أَرْضَعَتْ بِهِ وَلَدًا يَكُونُ أُجْرَةُ الرَّضَاعِ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا اخْتَصَّتِ الْمُرْضِعَةُ بِالْأُجْرَةِ دُونَ الْفَحْلِ دَلَّ عَلَى أَنَّ اللَّبَنَ لَهَا لَا لِلْفَحْلِ، وَلِأَنَّ الرَّضَاعَ لَمَّا اخْتُصَّ بِبَعْضِ أَحْكَامِ النَّسَبِ لِضَعْفِهِ وَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِالْمُرْضِعَةِ لِنَفْسِهِ.

Jika telah dipahami apa yang telah kami jelaskan mengenai dasar ini, yang menjadi pokok dalam masalah radha‘ (persusuan) dan dengannya dipertimbangkan hukum-hukum terkait keharaman dan hal-hal yang diharamkan, maka penyebaran (hukum keharaman) dari pihak ibu susu adalah kesepakatan ulama, sedangkan penyebaran (hukum keharaman) dari pihak ayah susu masih diperselisihkan. Mazhab asy-Syafi‘i dan mayoritas ulama berpendapat bahwa penetapan dan penyebaran keharaman dari pihak ayah susu dalam hal keharaman dan hal-hal yang diharamkan sama seperti penetapannya dan penyebarannya dari pihak ibu susu. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Abbas, dan ‘Aisyah ra., serta dari kalangan tabi‘in seperti ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid, dan dari kalangan fuqaha seperti Abu Hanifah, Malik, al-Auza‘i, al-Laits bin Sa‘d, Ahmad, dan Ishaq.

Sementara itu, sekelompok ulama berpendapat bahwa dari pihak ayah susu tidak menyebar hukum keharaman radha‘, dan tidak ditetapkan keharaman maupun hal-hal yang diharamkan dari pihaknya. Maka, boleh bagi ayah susu menikahi anak perempuan yang disusui dengan susunya, begitu pula anak kandungnya dari selain ibu susu tersebut. Pendapat ini dipegang oleh sahabat seperti Ibnu ‘Umar, Ibnu az-Zubair, dan Rafi‘ bin Khadij ra., serta dari tabi‘in seperti Sa‘id bin al-Musayyib, Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, dan dari fuqaha seperti an-Nakha‘i, Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, Hammad bin Abi Sulaiman, al-Asham, Ibnu ‘Ulayyah, Abu ‘Abdirrahman asy-Syafi‘i, Dawud bin ‘Ali, dan Ahl azh-Zhahir. Dawud membatasi keharaman ini hanya pada ibu-ibu dan saudari-saudari (dari persusuan), dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudaramu dari persusuan” (an-Nisa’: 23), sehingga Allah mengkhususkan keduanya dalam penyebutan keharaman, kemudian Allah berfirman setelahnya: “Dan dihalalkan bagi kalian selain dari itu” (an-Nisa’: 24), yang menunjukkan kebolehan selain keduanya. Mereka juga mengklaim adanya ijmā‘ sahabat dalam hal ini, sebagaimana diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin az-Zubair melamar Zainab binti Abi Salamah dari ibunya, Ummu Salamah, untuk saudaranya Hamzah bin az-Zubair. Ummu Salamah berkata, “Bagaimana aku menikahkannya dengannya, padahal ia adalah saudara perempuannya dari persusuan?” Maka ‘Abdullah berkata, “Itu jika yang menyusuinya adalah al-Kalbiyyah.” Adapun ‘Abdullah bin az-Zubair, ibunya adalah Asma’ binti Abi Bakr, sedangkan Hamzah bin az-Zubair, ibunya adalah al-Kalbiyyah. Asma’ telah menyusui Zainab binti Abi Salamah, sehingga Zainab menjadi saudari ‘Abdullah dari ayah dan ibunya, dan saudari Hamzah dari ayahnya saja, bukan dari ibunya. Maka ‘Abdullah menjadikannya saudari bagi dirinya, dan tidak menjadikannya saudari bagi saudaranya Hamzah, serta tidak menjadikan susu itu milik ayahnya, az-Zubair. Ia berkata kepada Ummu Salamah, “Tanyakanlah kepada para sahabat.” Maka mereka bertanya, dan itu terjadi pada masa al-Hirah, lalu para sahabat membolehkannya, dan mereka berkata, “Susu ayah (susu dari pihak laki-laki) tidak menyebabkan keharaman.” Maka Zainab dinikahkan dengannya, dan tetap bersamanya hingga ia wafat, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Selain itu, seandainya dari pihak ayah susu keluar susu lalu diberikan kepada seorang anak, maka anak itu tidak menjadi anaknya; maka lebih utama lagi jika tidak menjadi anaknya karena susu orang lain. Dan jika susu itu milik keduanya (ayah dan ibu susu), maka ketika ibu susu menyusui seorang anak, upah persusuan seharusnya dibagi antara keduanya; namun kenyataannya upah hanya khusus untuk ibu susu, bukan untuk ayah susu, sehingga menunjukkan bahwa susu itu milik ibu susu, bukan milik ayah susu. Dan karena radha‘ hanya memiliki sebagian hukum nasab karena kelemahannya, maka sudah seharusnya ia hanya khusus pada ibu susu saja.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ} [النساء: 23] إلى قوله {وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم وأخوانكم مِنَ الرَّضَاعَةِ} [النساء: 23] وَمِنَ الْآيَةِ دَلِيلَانِ، وَيَنْفَصِلُ بِهِمَا عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِهَا.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian dan anak-anak perempuan kalian} [an-Nisā’: 23] hingga firman-Nya {dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian dan saudara-saudara kalian sesusuan} [an-Nisā’: 23]. Dari ayat ini terdapat dua dalil, dan dengan keduanya dapat dijawab argumen mereka yang menggunakan ayat ini.

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ نَصَّ عَلَى الْأُمَّهَاتِ تَنْبِيهًا عَلَى الْبَنَاتِ، وَنَصَّ عَلَى الْأَخَوَاتِ تَنْبِيهًا عَلَى الْخَالَاتِ وَالْعَمَّاتِ اكْتِفَاءً بِمَا تقدم تفصيله.

Salah satunya: bahwa Allah menegaskan tentang ibu-ibu sebagai isyarat kepada anak-anak perempuan, dan menegaskan tentang saudara-saudara perempuan sebagai isyarat kepada bibi-bibi dari pihak ibu dan ayah, cukup dengan penjelasan yang telah lalu.

والثاني: أن قوله ” وأخواتكم ” عُمُومٌ يَتَنَاوَلُ الْأَخَوَاتِ مِنَ الْأُمِّ وَالْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ فَلَمْ يَقْتَضِ الظَّاهِرُ تَخْصِيصَ أَحَدِهِمَا، فَقَالَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ، وَتَحْرِيمُ النَّسَبِ عَامٌّ فِي جِهَةِ الْأَبَوَيْنِ فَكَذَلِكَ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ.

Yang kedua: bahwa firman-Nya “dan saudara-saudara perempuan kalian” bersifat umum, mencakup saudara-saudara perempuan seibu maupun seayah, sehingga secara lahiriah tidak ada pengkhususan terhadap salah satunya. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Diharamkan dari hubungan sesusuan apa yang diharamkan dari hubungan nasab,” dan keharaman karena nasab bersifat umum baik dari pihak ayah maupun ibu, demikian pula keharaman karena sesusuan.

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ أَفْلَحُ أَخُو أَبِي قُعَيْسٍ بَعْدَ مَا نَزَلَتْ آيَةُ الْحِجَابِ، فَاسْتَتَرْتُ مِنْهُ فَقَالَ: تَسْتَتِرِينَ مِنِّي وَأَنَا عَمُّكِ، فَقَالَتْ مِنْ أَيْنَ فَقَالَ أَرْضَعَتْكِ امْرَأَةُ أَخِي فَقَالَتْ: إِنَّمَا أَرْضَعَتْنِي امْرَأَةٌ وَلَمْ يُرْضِعْنِي رَجُلٌ، فَدَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَحَدَّثَهُ فَقَالَ: إِنَّهُ عَمُّكِ فَلْيَلِجْ عَلَيْكِ.

Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah ra., ia berkata: Aflah, saudara laki-laki Abu Qu‘ais, masuk menemuiku setelah turun ayat hijab, maka aku bersembunyi darinya. Ia berkata, “Apakah engkau bersembunyi dariku padahal aku adalah pamanmu?” Aku bertanya, “Dari mana?” Ia menjawab, “Istri saudaraku telah menyusui engkau.” Aku berkata, “Yang menyusuiku hanyalah seorang wanita, bukan seorang laki-laki.” Maka ia masuk menemui Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya. Beliau bersabda, “Dia adalah pamanmu, maka hendaklah ia masuk menemuimu.”

وَهَذَا نَصٌّ.

Ini adalah nash (teks yang jelas).

وَمِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى أَنَّ كُلَّ مَنْ حَرُمَ بِالنَّسَبِ حَرُمَ بِالرَّضَاعِ كَالْأُمِّ، وَهَذَا مِمَّا وَافَقَ فِيهِ لَفْظُ السُّنَّةِ مَعْنَاهَا، وَلِأَنَّ الْمَوْلُودَ مَخْلُوقٌ مِنْ مَائِهِمَا، فَكَانَ الْوَلَدُ لَهُمَا وَإِنْ بَاشَرَتِ الْأُمُّ وِلَادَتَهُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ اللَّبَنُ الْحَادِثُ عَنْهُ لَهُمَا، وَإِنْ بَاشَرَتِ الْأُمُّ رِضَاعَهُ، وَإِذَا كَانَ اللَّبَنُ لَهُمَا وَجَبَ أَنْ تَنْتَشِرَ حُرْمَتُهُ إِلَيْهِمَا وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَبَّهُ الرَّضَاعَ فِي التَّحْرِيمِ بِالنَّسَبِ، وَأَحْكَامُ النَّسَبِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ يَخْتَصُّ بِعَمُودَيِ النَّسَبِ الْأَعْلَى وَهُمُ الْوَالِدَانِ وَالْأَسْفَلُ وَهُمُ الْمَوْلُودُونَ وَلَا يَتَجَاوَزُهُمَا إِلَى مَا تَفَرَّعَ عَلَيْهِمَا، وَذَلِكَ وُجُوبُ النَّفَقَةِ وَسُقُوطُ الْقَوَدِ وَالْعِتْقُ بِالْمِلْكِ وَالْمَنْعُ مِنَ الشَّهَادَةِ.

Dari segi makna, setiap orang yang haram dinikahi karena nasab juga haram dinikahi karena sesusuan, seperti ibu. Ini adalah perkara yang lafaz dan makna sunnahnya sejalan. Karena anak yang lahir adalah hasil dari air mani keduanya, maka anak itu milik keduanya, meskipun ibu yang melahirkan secara langsung. Maka sudah sepatutnya susu yang dihasilkan darinya juga milik keduanya, meskipun ibu yang menyusui secara langsung. Jika susu itu milik keduanya, maka keharaman (menikah) juga berlaku pada keduanya. Nabi ﷺ telah menyamakan antara sesusuan dan nasab dalam hal keharaman. Hukum-hukum nasab terbagi menjadi tiga bagian: bagian yang khusus pada dua garis keturunan utama, yaitu kedua orang tua dan anak-anak, dan tidak melampaui mereka kepada cabang-cabangnya, seperti kewajiban nafkah, gugurnya qishash, pembebasan budak karena kepemilikan, dan larangan menjadi saksi.

وَقِسْمٌ يَخْتَصُّ بِالنَّسَبِ إِلَى حَيْثُ مَا انْتَشَرَ وَتَفَرَّعَ وَذَلِكَ الْمِيرَاثُ.

Bagian kedua adalah yang khusus pada nasab sejauh mana ia menyebar dan bercabang, yaitu warisan.

وَقِسْمٌ يَخْتَصُّ بِذِي الرَّحِمِ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ، وَذَلِكَ تَحْرِيمُ الْمَنَاكِحِ.

Bagian ketiga adalah yang khusus pada kerabat rahim dari kalangan dzawil arham, yaitu keharaman menikah.

فَلَمَّا لَمْ يَلْحَقِ الرَّضَاعُ بِالْقِسْمِ الْأَوَّلِ فِي اخْتِصَاصِهِ بِعَمُودَيِ النَّسَبِ لِتَحْرِيمِ الْأَخَوَاتِ، وَلَمْ يَلْحَقْ بِالْقِسْمِ الثَّانِي فِي اخْتِصَاصِهِ بِمَا تَفَرَّعَ عَلَى النَّسَبِ لِإِبَاحَةِ بَنَاتِ الْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ ثَبَتَ لُحُوقُهُ بِالْقِسْمِ الثَّالِثِ فِي اخْتِصَاصِهِ بِذِي الرَّحِمِ وَالْمُحَرَّمِ. فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ ادِّعَائِهِمُ الْإِجْمَاعَ فَقَدْ خَالَفَ فِيهِ عَلِيٌّ وَابْنُ عباس رضي الله تعالى عنهما وَمَعَ خِلَافِهِمَا يَبْطُلُ الْإِجْمَاعُ مَعَ كَوْنِ الْقِيَاسِ مَعَهُمَا بِهِ.

Karena sesusuan tidak mengikuti bagian pertama dalam kekhususan pada dua garis keturunan utama, sebab diharamkannya saudara-saudara perempuan, dan tidak pula mengikuti bagian kedua dalam kekhususan pada cabang-cabang nasab, karena bolehnya menikahi anak-anak perempuan paman dan bibi, maka tetaplah ia mengikuti bagian ketiga dalam kekhususan pada kerabat rahim dan yang diharamkan. Adapun jawaban atas klaim mereka tentang ijmā‘, maka telah menyelisihi hal itu ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas ra., dan dengan adanya perbedaan pendapat mereka, gugurlah klaim ijmā‘, apalagi qiyās juga bersama keduanya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ بِأَنَّ الْفَحْلَ لَوْ أُرْضِعَ بِلَبَنِهِ لَمْ يَحْرُمْ، فَهُوَ أَنَّهُ لَبَنٌ لَمْ يُخْلَقْ مِنْهُ الْمَوْلُودُ فَلِذَلِكَ لَمْ يَتَعَلَّقْ عَلَيْهِ التَّحْرِيمُ، وَجَرَى مَجْرَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَلْبَانِ وَالْأَغْذِيَةِ، وَخَالَفَ فِيهِ لَبَنَ الْمَرْأَةِ الْمَخْلُوقَ لِغِذَاءِ الْمَوْلُودِ.

Adapun jawaban atas argumen bahwa jika seorang laki-laki (fahl) disusui dengan susunya maka tidak menjadi haram, adalah bahwa itu adalah susu yang tidak diciptakan darinya seorang anak, maka tidak terkait padanya keharaman, dan hukumnya sama seperti susu dan makanan lainnya, berbeda dengan susu wanita yang memang diciptakan untuk makanan anak.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: لَوْ كَانَ اللَّبَنُ لَهُمَا لَكَانَتْ أُجْرَةُ الرَّضَاعِ بَيْنَهُمَا فَهُوَ أَنَّ أَصْحَابَنَا قَدِ اخْتَلَفُوا فِي أُجْرَةِ الرَّضَاعِ إِلَى مَاذَا يَنْصَرِفُ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban atas argumen mereka: “Jika susu itu milik keduanya, tentu upah menyusui menjadi milik keduanya,” maka para ulama kami berbeda pendapat tentang ke mana upah menyusui itu dialihkan, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِلَى الْحَضَانَةِ وَالرَّضَاعُ تَبَعٌ، فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ.

Salah satunya: kepada hak pengasuhan, dan menyusui adalah bagian darinya. Maka dengan demikian, gugurlah argumen tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِلَى اللَّبَنِ وَالْحَضَانَةُ تَبَعٌ، فَعَلَى هَذَا الْأُجْرَةُ مَأْخُوذَةٌ عَلَى فِعْلِ الرَّضَاعِ، لِأَنَّهُ مُشَاهَدٌ مَعْلُومٌ، وَلَيْسَتْ مَأْخُوذَةً ثَمَنًا لِلَّبَنِ لِلْجَهَالَةِ بِهِ وَفَقْدِ رُؤْيَتِهِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مِنْ جَعَلَهَا ثَمَنًا لِلَّبَنِ، وَجَعَلَهَا أَحَقَّ بِهِ، وَإِنِ اشْتَرَكَا فِي سَبَبِهِ، لِأَنَّهَا مُبَاشِرَةٌ كَرَجُلَيْنِ اشْتَرَكَا فِي حَفْرِ بِئْرٍ فَاسْتَقَى أَحَدُهُمَا مِنْ مَائِهَا كَانَ أَحَقَّ بِمَا اسْتَقَاهُ لِمُبَاشَرَتِهِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ اخْتِصَاصَهُ بِبَعْضِ أَحْكَامِ النَّسَبِ لِضَعْفِهِ يَقْتَضِي اخْتِصَاصَهُ بِبَعْضِ جِهَاتِهِ فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا شَارَكَ النَّسَبَ فِي التَّحْرِيمِ وَجَبَ أَنْ يُشَارِكَهُ فِي غَيْرِ التَّحْرِيمِ وَيَغْلُبُ ذَلِكَ دَلِيلًا عَلَيْهِمْ فَيُقَالُ لَهُمْ: لَمَّا كَانَ الْمُرْتَضَعُ مُوَافِقًا لِلْمَوْلُودِ فِي الرَّضَاعِ وَمُفَارِقًا لَهُ فِي الْوِلَادَةِ اقْتَضَى أَنْ يُسْلَبَ بِفَقْدِ النَّسَبِ الْوَاحِدِ مَا تَعَلَّقَ لسبب واحد والله أعلم.

Pendapat kedua: upah itu diberikan atas susu, sedangkan hak asuh adalah ikutannya. Maka menurut pendapat ini, upah diambil atas perbuatan menyusui, karena hal itu nyata dan diketahui, dan bukan diambil sebagai harga atas susu karena tidak diketahui dan tidak terlihat. Sebagian ulama kami ada yang menjadikannya sebagai harga atas susu, dan menjadikannya lebih berhak atas susu tersebut, meskipun keduanya (ibu dan anak) sama-sama menjadi sebabnya, karena ia (ibu) yang langsung melakukannya, seperti dua orang laki-laki yang bersama-sama menggali sumur, lalu salah satunya mengambil air dari sumur itu, maka ia lebih berhak atas air yang diambilnya karena ia yang langsung melakukannya. Adapun jawaban atas pendapat mereka yang mengatakan bahwa kekhususan (anak susuan) dalam sebagian hukum nasab karena lemahnya, menuntut kekhususan dalam sebagian aspeknya, maka jawabannya adalah: ketika ia (anak susuan) telah menyamai anak kandung dalam hal pengharaman (menikah), maka wajib pula ia menyamai dalam hal selain pengharaman, dan hal itu lebih kuat sebagai dalil atas mereka. Maka dikatakan kepada mereka: ketika anak susuan itu sama dengan anak kandung dalam hal menyusu dan berbeda dalam kelahiran, maka hal itu menuntut agar ia kehilangan satu nasab saja, sehingga hilang pula hukum yang terkait dengan satu sebab saja. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالرَّضَاعُ اسْمٌ جَامِعٌ يَقَعُ عَلَى الْمَصَّةِ وَأَكْثَرَ إِلَى كَمَالِ الْحَوْلَيْنِ وَعَلَى كُلِّ رِضَاعٍ بَعْدَ الحولين فوجب طلب الدلالة في ذلك وقالت عائشة رضي الله عنها كَانَ فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ ” عشر رضعات معلومات يحرمن ” ثم نسخن بخمس معلومات فتوفي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهن مما يقرأ من القرآن فكان لا يدخل عليها إلا من استكمل خمس رضعات وعن ابن الزبير قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ وَلَا الرَّضْعَةُ ولا الرضعتان ” (قال المزني) رحمه الله قلت للشافعي أفسمع ابْنُ الزُّبَيْرِ مِنَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال نعم وحفظ عنه وكان يوم سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ابن تسع سنين وعن عروة أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر امرأة أبي حذيفة أن ترضع سالماً خمس رضعات فتحرم بهن (قال) فدل ما وصفت أن الذي يحرم من الرضاع خمس رضعات كما جاء القرآن بقطع السارق فدل – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه أراد بعض الشارقين دون بعض وكذلك أبان أن المراد بمائة جلدة بعض الزناة دون بعض لا من لزمه اسم سرقة وزناً “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي قَدْرِ مَا ثَبَتَ بِهِ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Radā‘ adalah istilah umum yang mencakup satu hisapan atau lebih hingga sempurna dua tahun, dan mencakup setiap penyusuan setelah dua tahun. Maka wajib mencari dalil dalam hal ini. ‘Aisyah ra. berkata: ‘Dahulu di antara yang Allah turunkan dalam Al-Qur’an adalah ‘sepuluh kali penyusuan yang diketahui, yang mengharamkan’, lalu di-nasakh dengan lima kali penyusuan yang diketahui, kemudian Rasulullah ﷺ wafat sementara ayat itu masih dibaca sebagai bagian dari Al-Qur’an. Maka tidak ada yang boleh masuk menemuinya kecuali yang telah menyempurnakan lima kali penyusuan.’ Dari Ibnu Zubair, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Satu hisapan, dua hisapan, satu penyusuan, dua penyusuan tidak mengharamkan.’ (Al-Muzani rahimahullah berkata:) Aku bertanya kepada Imam Syafi‘i, ‘Apakah Ibnu Zubair mendengar langsung dari Nabi ﷺ?’ Beliau menjawab, ‘Ya, dan ia menghafalnya dari beliau, dan ketika ia mendengar dari Rasulullah ﷺ usianya sembilan tahun.’ Dari ‘Urwah, bahwa Nabi ﷺ memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim sebanyak lima kali penyusuan, sehingga menjadi haram karenanya. (Beliau berkata:) Maka dari keterangan yang aku sebutkan, yang mengharamkan dari radā‘ adalah lima kali penyusuan, sebagaimana Al-Qur’an menetapkan potong tangan bagi pencuri, maka Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sebagian pencuri, bukan semua, demikian pula dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan seratus cambukan adalah sebagian pezina, bukan semua orang yang terkena istilah pencurian atau zina.” Al-Mawardi berkata: Para fuqahā’ berbeda pendapat tentang jumlah penyusuan yang menetapkan keharaman radā‘ menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَثْبُتُ تحريم الرضاع إلى بِخَمْسِ رَضَعَاتٍ مُتَفَرِّقَاتٍ وَلَا يَثْبُتُ بِمَا دُونَهُمَا.

Pertama, yaitu mazhab Syafi‘i, bahwa keharaman radā‘ tidak ditetapkan kecuali dengan lima kali penyusuan yang terpisah-pisah, dan tidak ditetapkan dengan kurang dari itu.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ الزُّبَيْرِ، وَعَائِشَةُ.

Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Ibnu Zubair dan ‘Aisyah.

وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، وَطَاوُسٌ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.

Dan dari kalangan tābi‘īn: Sa‘īd bin al-Musayyib, dan Tāwūs. Dari kalangan fuqahā’: Ahmad dan Ishaq.

وَقَالَ دَاوُدُ: مِنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ إِنَّهُ يَثْبُتُ تَحْرِيمُهُ بِثَلَاثِ رَضَعَاتٍ.

Dawud dari kalangan Ahl al-Zhāhir berpendapat bahwa keharamannya ditetapkan dengan tiga kali penyusuan.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ.

Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat: Zaid bin Tsabit.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أَبُو ثَوْرٍ.

Dan dari kalangan fuqahā’: Abu Tsaur.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنَّهُ يَثْبُتُ تَحْرِيمُهُ بِرَضْعَةٍ وَاحِدَةٍ.

Abu Hanifah berpendapat bahwa keharamannya ditetapkan dengan satu kali penyusuan saja.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ.

Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat: ‘Ali, Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Abbas, dan Ibnu ‘Umar ra.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ} [النساء: 23] فَحَرَّمَ أُمًّا أَرْضَعَتْ، وَالَّتِي أَرْضَعَتْهُ مَرَّةً وَاحِدَةً يَقَعُ هَذَا الِاسْمُ عَلَيْهَا، فَوَجَبَ أَنْ تَحْرُمَ، وَبِهَذَا احْتَجَّ ابْنُ عُمَرَ عَلَى ابْنِ الزُّبَيْرِ حِينَ قَالَ: لَا تَحْرُمُ إِلَّا بِخَمْسِ رَضَعَاتٍ، فَقَالَ كِتَابُ اللَّهِ أَوْلَى مِنْ قَضَاءِ ابْنِ الزبير، بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ يَعْنِي مَا سَدَّ الْجَوْعَةَ وَالرَّضْعَةُ الْوَاحِدَةُ تَسُدُّ الْجَوْعَةَ، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” إِنَّ اللِّهَ تَعَالَى حَرَّمَ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا حَرَّمَ مِنَ النَّسَبِ ” وَتَحْرِيمُ النَّسَبِ لَا يُرَاعَى فِيهِ الْعَدَدُ فَكَذَلِكَ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ.

Di antara para fuqaha: Malik, al-Awza‘i, ats-Tsauri, dan al-Laits bin Sa‘d, mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian} [an-Nisa: 23]. Maka Allah mengharamkan seorang ibu yang telah menyusui, dan wanita yang menyusui seorang anak sekali saja sudah termasuk dalam sebutan ini, sehingga wajib diharamkan. Dengan dalil ini pula Ibnu Umar berhujah kepada Ibnu az-Zubair ketika ia berkata: “Tidak diharamkan kecuali dengan lima kali penyusuan.” Maka Ibnu Umar berkata: “Kitab Allah lebih utama daripada keputusan Ibnu az-Zubair.” Berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Penyusuan itu dari rasa lapar,” maksudnya adalah yang menghilangkan rasa lapar, dan satu kali penyusuan dapat menghilangkan rasa lapar. Juga berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala mengharamkan dari penyusuan apa yang diharamkan dari nasab,” dan pengharaman karena nasab tidak memperhatikan jumlah, maka demikian pula pengharaman karena penyusuan.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ مَا وَقَعَ بِهِ التَّحْرِيمُ الْمُؤَبَّدُ لَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ الْعَدَدُ كَالْوَطْءِ، وَعَقْدِ النِّكَاحِ، وَلِأَنَّهُ حُكْمٌ يَتَعَلَّقُ بِالشُّرْبِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعْتَبَرَ فِيهِ الْعَدَدُ كَحَدِّ الْخَمْرِ، وَلِأَنَّ الْوَاصِلَ إِلَى الْجَوْفِ يَتَعَلَّقُ بِهِ الْفِطْرُ تَارَةً وتحريم الرضاع أخرى، فلما لم يتعبر الْعَدَدُ فِي الْفِطْرِ لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الرَّضَاعِ.

Dan dari qiyās: Sesungguhnya sesuatu yang menyebabkan pengharaman abadi tidak dipertimbangkan jumlahnya, seperti hubungan suami-istri dan akad nikah. Dan karena ini adalah hukum yang berkaitan dengan minum, maka tidak perlu dipertimbangkan jumlahnya, seperti had (hukuman) minum khamr. Dan karena sesuatu yang sampai ke dalam perut terkadang menyebabkan batalnya puasa dan terkadang menyebabkan pengharaman karena penyusuan, maka ketika jumlah tidak dipertimbangkan dalam masalah batalnya puasa, maka tidak dipertimbangkan pula dalam masalah penyusuan.

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ مَا رَوَاهُ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ وَلَا الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ “.

Dan dalil atas hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari Abdullah bin az-Zubair bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Satu hisapan tidak mengharamkan, dua hisapan pun tidak, satu kali penyusuan tidak mengharamkan, dua kali penyusuan pun tidak.”

وَرَوَى أَيُّوبُ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لا يحرم المصة ولا المصتان، فَرَوَى عَنْ عَائِشَةَ مَا سَمِعَ مِنْهَا.

Dan telah meriwayatkan Ayyub dari Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu az-Zubair dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah ﷺ tidak mengharamkan satu hisapan dan tidak pula dua hisapan.” Maka ia meriwayatkan dari ‘Aisyah apa yang ia dengar darinya.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا سَمِعَهُ مِنْهُ.

Dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ apa yang ia dengar darinya.

قَالَ الْمُزَنِيُّ: قُلْتُ لِلشَّافِعِيِّ أَسَمِعَ ابْنُ الزُّبَيْرِ مِنَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: نَعَمْ سَمِعَ مِنْهُ وَلَهُ تِسْعُ سِنِينَ، وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلِابْنِ الزُّبَيْرِ تِسْعُ سِنِينَ، لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ وُلِدَ بَعْدَ الْهِجْرَةِ مِنْ أَوْلَادِ الْمُهَاجِرِينَ بَعْدَ سَنَةٍ مِنْ قُدُومِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمَدِينَةَ وَمَنْ لَهُ تِسْعُ سِنِينَ قَدْ يَضْبِطُ مَا يَسْمَعُهُ وَيَصِحُّ نَقْلُهُ وَرِوَايَتُهُ.

Al-Muzani berkata: Aku berkata kepada asy-Syafi‘i, “Apakah Ibnu az-Zubair mendengar langsung dari Nabi ﷺ?” Ia menjawab: “Ya, ia mendengar darinya ketika usianya sembilan tahun.” Maksudnya adalah bahwa Rasulullah ﷺ wafat ketika Ibnu az-Zubair berusia sembilan tahun, karena ia adalah anak pertama yang lahir setelah hijrah dari kalangan anak-anak Muhajirin, setahun setelah kedatangan Nabi ﷺ ke Madinah. Dan anak yang berusia sembilan tahun sudah dapat mengingat apa yang ia dengar dan sah periwayatan serta penukilannya.

وَرَوَتْ أُمُّ الْفَضْلِ قَالَتْ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ تَزَوَّجْتُ امْرَأَتِي، وَعِنْدِي أُخْرَى، وَقَدْ ذَكَرَتِ الْأُولَى أَنَّهَا أَرْضَعَتِ الْحُدْثَى رَضْعَةً أَوْ رَضْعَتَيْنِ فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ أَوِ الْإِمْلَاجَتَانِ.

Dan telah meriwayatkan Ummul Fadhl, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: ‘Aku telah menikahi istriku, dan aku memiliki istri lain, dan yang pertama menyebutkan bahwa ia telah menyusui yang kedua satu atau dua kali penyusuan.’ Maka Nabi ﷺ bersabda: ‘Satu kali atau dua kali isapan tidak mengharamkan.’”

وَقِيلَ: إِنَّ الإملاجة مأخوذة من ملج يملج إذا استحلب اللَّبَنَ مِنَ الثَّدْيِ، وَكُلُّ هَذِهِ الْأَخْبَارِ الثَّلَاثَةِ نُصُوصٌ فِي أَنَّ الرَّضْعَةَ الْوَاحِدَةَ لَا تُحَرِّمُ.

Dan dikatakan: Sesungguhnya “imlajah” diambil dari kata “malaja-yamluju” jika ia memerah susu dari payudara. Dan semua riwayat tiga ini adalah nash yang menunjukkan bahwa satu kali penyusuan tidak mengharamkan.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا لَمْ تُحَرِّمْ إِذَا لَمْ تَصِلْ إِلَى الْجَوْفِ بَعْدَ الْحِلَابِ أَوْ بَعْدَ مَصِّهَا مِنَ الثَّدْيِ فَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:

Jika dikatakan: “Sesungguhnya tidak diharamkan kecuali jika telah sampai ke dalam perut setelah diperah atau setelah dihisap dari payudara,” maka ada tiga jawaban atas hal ini:

أَحَدُهَا: أَنَّ الرَّضْعَةَ لَا تَنْطَلِقُ إِلَّا عَلَى مَا وَصَلَ إِلَى الْجَوْفِ بِالْمَصِّ وَالِازْدِرَادِ.

Pertama: Bahwa penyusuan tidak disebut demikian kecuali jika telah sampai ke dalam perut dengan cara dihisap dan ditelan.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ تَخْصِيصٌ يُسْقِطُ فَائِدَةَ الْخَبَرِ، لِأَنَّهُ فَرَّقَ فِيمَا لَمْ يَصِلْ إِلَى الْجَوْفِ بَيْنَ رَضْعَتَيْنِ وَبَيْنَ مِائَةِ رَضْعَةٍ.

Kedua: Bahwa ini adalah pengkhususan yang menghilangkan manfaat dari hadits, karena ia membedakan antara dua kali penyusuan dan seratus kali penyusuan yang tidak sampai ke dalam perut.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يُحْمَلُ عَلَى عُمُومِ الْأَمْرَيْنِ فِيمَا وَصَلَ إِلَى الْجَوْفِ وَفِيمَا لَمْ يَصِلْ.

Ketiga: Bahwa hal itu mencakup kedua keadaan, baik yang sampai ke dalam perut maupun yang tidak sampai.

فَإِنْ قِيلَ: فَإِنْ كَانَ نُطْقُهُ حُجَّةً عَلَيْنَا فَإِنَّ دَلِيلَهُ حُجَّةٌ عَلَيْكُمْ، لِأَنَّ نُطْقَهُ أَنَّ الرَّضْعَتَيْنِ لَا تُحَرِّمَانِ، وَدَلِيلُهُ أَنَّ الثَّلَاثَةَ تُحَرِّمُ وَأَنْتُمْ لَا تُحَرِّمُونَ إِلَّا بِخَمْسٍ، فَصَارَ مَذْهَبُكُمْ مَدْفُوعًا بِدَلِيلِهِ كَمَا دَفَعْتُمْ مَذْهَبَنَا بِنُطْقِهِ.

Jika dikatakan: Jika lafaznya menjadi hujjah atas kami, maka dalilnya juga menjadi hujjah atas kalian, karena lafaznya menyatakan bahwa dua kali penyusuan tidak mengharamkan, dan dalilnya menyatakan bahwa tiga kali penyusuan mengharamkan, sedangkan kalian tidak mengharamkan kecuali dengan lima kali penyusuan. Maka, mazhab kalian tertolak dengan dalilnya sebagaimana kalian menolak mazhab kami dengan lafaznya.

قِيلَ قَدْ صَحَّ بِهِ بُطْلَانُ مَذْهَبِكُمْ، وَلَوْ تَرَكَنَا وَدَلِيلَ نُطْقِهِ صِرْنَا إِلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَلْزَمِ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ عِنْدَكُمْ لَكِنْ يَمْنَعُ مِنْهُ مَا وَرَدَ فِيهِ مِنْ نَصٍّ مَنْطُوقٍ بِهِ، وَهُوَ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ تُحَرِّمُ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ فِي الْقُرْآنِ، فَلَمَّا أَخْبَرَتْ أَنَّ التَّحْرِيمَ بِالْعَشَرِ مَنْسُوخٌ بِالْخَمْسِ دَلَّ عَلَى ثُبُوتِ التَّحْرِيمِ بِالْخَمْسِ، لِأَنَّهَا دُونَهَا وَلَوْ وَقَعَ التَّحْرِيمُ بِأَقَلَّ مِنْهَا بَطَلَ أَنْ تَكُونَ الخمس ناسخاً، وصار منسوخاً كالعشر وهذا خلال النَّصِّ وَمُسْقِطٌ لِتَعَدِّي الْخَمْسِ.

Dijawab: Telah sah dengan itu batalnya mazhab kalian. Seandainya kami meninggalkan dalil lafaznya, tentu kami akan mengikuti dalil itu, meskipun menurut kalian tidak wajib mengikuti dalil tersebut. Namun, yang menghalangi untuk mengikutinya adalah adanya nash yang jelas tentang hal itu, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ‘Amrah binti ‘Abdurrahman dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: “Di antara yang Allah turunkan dalam Al-Qur’an adalah sepuluh kali penyusuan yang diketahui (jelas) mengharamkan, kemudian di-nasakh dengan lima kali penyusuan yang diketahui. Rasulullah ﷺ wafat sementara ayat itu masih dibaca dalam Al-Qur’an.” Maka, ketika ‘Aisyah memberitakan bahwa pengharaman dengan sepuluh kali telah di-nasakh dengan lima kali, itu menunjukkan tetapnya pengharaman dengan lima kali, karena lima itu lebih sedikit dari sepuluh. Seandainya pengharaman terjadi dengan kurang dari lima, maka batal lah lima sebagai nasikh, dan ia menjadi mansukh seperti sepuluh, dan ini bertentangan dengan nash serta menggugurkan ketentuan lebih dari lima.

وَاعْتَرَضُوا عَلَى الِاسْتِدْلَالِ بِهَذَا الْحَدِيثِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:

Mereka mengajukan keberatan terhadap pendalilan dengan hadits ini dari empat sisi:

أَحَدُهَا: أَنْ قَالُوا فِيهِ إِثْبَاتٌ لِذَلِكَ مِنَ الْقُرْآنِ وَهُوَ خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّكُمْ أَثْبَتُّمُ الْقُرْآنَ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ، وَالْقُرْآنُ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِأَخْبَارِ التَّوَاتُرِ وَالِاسْتِفَاضَةِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ كَانَ مِنَ القرآن لكان مثبتاً في المصحف متلو فِي الْمَحَارِيبِ، وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْقُرْآنِ.

Pertama: Mereka berkata bahwa di dalamnya terdapat penetapan hal tersebut dari Al-Qur’an, dan ini keliru dari dua sisi: Pertama, kalian menetapkan Al-Qur’an dengan khabar al-wāḥid, padahal Al-Qur’an tidak dapat ditetapkan kecuali dengan khabar mutawātir dan istifādhah. Kedua, seandainya itu termasuk Al-Qur’an, tentu akan tertulis dalam mushaf dan dibaca di mihrab-mihrab, dan hal itu tidak diperbolehkan, maka tidak boleh ia dianggap sebagai bagian dari Al-Qur’an.

وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Jawaban atas dua hal ini ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّا أَثْبَتْنَاهُ مِنَ الْقُرْآنِ حُكْمًا لَا تِلَاوَةً وَرَسْمًا وَالْأَحْكَامُ تَثْبُتُ بِأَخْبَارِ الْآحَادِ سَوَاءٌ أُضِيفَتْ إِلَى السُّنَّةِ، أَوْ إِلَى الْقُرْآنِ كَمَا أَثْبَتُوا بِقِرَاءَةِ ابْنِ مَسْعُودٍ ” فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ ” حُكْمَ التَّتَابُعِ، وَإِنْ لَمْ يَكْتُبُوا تِلَاوَتَهُ فَإِنِ اسْتَفَاضَ نَقْلُهُ ثَبَتَ بِالِاسْتِفَاضَةِ تِلَاوَتُهُ وَحُكْمُهُ.

Pertama: Kami menetapkannya dari Al-Qur’an sebagai hukum, bukan sebagai tilawah dan tulisan. Hukum-hukum dapat ditetapkan dengan khabar al-āḥād, baik dinisbatkan kepada sunnah maupun kepada Al-Qur’an, sebagaimana mereka menetapkan dengan qirā’ah Ibnu Mas‘ūd “maka berpuasalah tiga hari berturut-turut” hukum tentang keharusan berturut-turut, meskipun mereka tidak menuliskan tilawahnya. Jika periwayatannya masyhur, maka tilawah dan hukumnya ditetapkan dengan istifādhah.

وَمِثَالُهُ مَا نَقُولُ فِي السَّرِقَةِ إِذَا شَهِدَ بِهَا شَاهِدَانِ ثَبَتَ الْمَالُ وَالْقَطْعُ، وَإِنْ شَهِدَ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ ثَبَتَ الْمَالُ، وَلَمْ يَثْبُتِ الْقَطْعُ، لِأَنَّ بَيِّنَةَ الْقَطْعِ مَفْقُودَةٌ وَبَيِّنَةَ الْمَالِ مَوْجُودَةٌ كَذَلِكَ خَبَرُ الِاسْتِفَاضَةِ بَيِّنَةٌ فِي إِثْبَاتِ التِّلَاوَةِ، وَالْحُكْمُ وَخَبَرُ الْوَاحِدِ بَيِّنَةٌ فِي إِثْبَاتِ الْحُكْمِ دُونَ التِّلَاوَةِ.

Contohnya adalah apa yang kami katakan dalam kasus pencurian: jika ada dua saksi yang bersaksi, maka harta dan hukum potong tangan ditetapkan; jika satu saksi dan dua perempuan, maka harta ditetapkan, tetapi hukum potong tangan tidak, karena bukti untuk potong tangan tidak lengkap, sedangkan bukti untuk harta ada. Demikian pula khabar istifādhah menjadi bukti dalam penetapan tilawah dan hukum, sedangkan khabar al-wāḥid menjadi bukti dalam penetapan hukum saja, bukan tilawah.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ هَذَا مَنْسُوخُ التِّلَاوَةِ ثَابِتُ الْحُكْمِ فَكَانَ وُرُودُهُ بِالِاسْتِفَاضَةِ وَالْآحَادِ سَوَاءً فِي إِثْبَاتِ حُكْمِهِ، وَسُقُوطِ تِلَاوَتِهِ كَالَّذِي رُوِيَ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ” وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ” وَلَوْلَا أَنْ يَقُولَ النَّاسُ زَادَ عَمَرُ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُهَا فِي حَاشِيَةِ الْمُصْحَفِ، وَلَوْ كَانَتْ مِنَ الْمَتْلُوِّ لَكَتَبْتُهَا مَعَ الْمَرْسُومِ الْمَتْلُوِّ وَإِنَّمَا أراد بكتبتها في الحاشية، لأن لا يَنْسَاهَا النَّاسُ ثُمَّ لَمْ يَفْعَلْ لِئَلَّا تَصِيرَ مَتْلُوَّةً، لِأَنَّ الْمَنْسُوخَ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Jawaban kedua: Bahwa ini adalah ayat yang mansukh tilawahnya namun tetap hukumnya, sehingga periwayatannya baik dengan istifādhah maupun āḥād sama saja dalam penetapan hukumnya dan gugurnya tilawahnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Umar bahwa ia berkata: “Di antara yang Allah turunkan adalah: ‘Orang tua laki-laki dan perempuan jika berzina maka rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Allah.’ Seandainya bukan karena orang-orang berkata ‘Umar menambah dalam Al-Qur’an’, niscaya aku tulis ayat itu di pinggir mushaf.” Seandainya itu bagian dari yang dibaca, tentu ia akan menuliskannya bersama yang tertulis dan dibaca. Ia hanya ingin menuliskannya di pinggir mushaf agar tidak dilupakan orang, namun ia tidak melakukannya agar tidak menjadi bagian dari yang dibaca, karena ayat yang mansukh terbagi menjadi tiga bagian:

قِسْمٌ نُسِخَتْ تِلَاوَتُهُ وَحُكْمُهُ كَالَّذِي رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا قَامَ فِي اللَّيْلِ لِيَقْرَأَ سُورَةً فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا ثُمَّ سَأَلَ آخَرَ عَلَيْهَا فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا فَأَتَى جَمِيعُهُمْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَخْبَرُوهُ بِذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّهَا رُفِعَتِ اللَّيْلَةَ مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ.

Bagian yang di-naskh tilawah dan hukumnya, seperti yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bangun di malam hari untuk membaca suatu surah, namun ia tidak mampu membacanya. Kemudian ia bertanya kepada orang lain tentang surah itu, namun orang itu pun tidak mampu membacanya. Lalu mereka semua mendatangi Rasulullah ﷺ dan memberitahukan hal itu kepadanya. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya surah itu telah diangkat malam ini dari dada-dada manusia.”

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا نُسِخَ حُكْمُهُ وَبَقِيَتْ تِلَاوَتُهُ كَالْوَصِيَّةِ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالِاعْتِدَادِ بِالْحَوْلِ.

Bagian kedua: yaitu yang di-naskh hukumnya namun tilawahnya tetap, seperti wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat, serta masa iddah selama setahun.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا نُسِخَتْ تِلَاوَتُهُ، وَبَقِيَ حُكْمُهُ كَالْمَرْوِيِّ عَنْ عُمَرَ فِي الرَّجْمِ، وَعَنْ عَائِشَةَ فِي الرَّضَاعِ.

Bagian ketiga: yaitu yang di-naskh tilawahnya, namun hukumnya tetap, seperti yang diriwayatkan dari Umar tentang rajam, dan dari Aisyah tentang penyusuan.

وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْعَشْرَ نُسِخْنَ بالخمس، إنما هما جميعاً بالسنة إلا بِالْقُرْآنِ وَإِنَّمَا أَضَافَتْ عَائِشَةُ ذَلِكَ إِلَى الْقُرْآنِ لِمَا فِي الْقُرْآنِ مِنْ وُجُوبِ الْعَمَلِ بِالسُّنَّةِ كَالَّذِي رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ فِي كِتَابِهِ، فَقَالَتْ لَهُ: امْرَأَةٌ مَا وَجَدْتُ هَذَا فِي الْكِتَابِ فَقَالَ: أَلَيْسَ اللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا} [الحشر: 7] وَمِثْلُهُ مَا حُكِيَ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ سَأَلَنِي عَنْ شَيْءٍ أَخْبَرْتُهُ مِنَ الْقُرْآنِ، فَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ مُحْرِمٍ قَتَلَ زُنْبُورًا فَقَالَ: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: فَأَيْنَ هَذَا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَقَالَ: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا} [الحشر: 7] وَقَالَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اقتدوا بالذين مِنْ بَعْدِي أَيْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَسُئِلَ عَنْ مُحْرِمٍ قَتَلَ زُنْبُورًا، فَقَالَ: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَالِاعْتِرَاضُ الثَّانِي: إِنْ قَالُوا فَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ فِي صَحِيفَةٍ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَشَاغَلْنَا بِغَسْلِهِ فَدَخَلَ دَاجِنُ الْحَيِّ فَأَكَلَهَا، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ قُرْآنًا كَانَ مَحْرُوسًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى {إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ} [الحجر: 9] فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Jawaban ketiga: bahwa sepuluh kali (penyusuan) di-naskh dengan lima kali, keduanya sama-sama berdasarkan sunnah, bukan dengan al-Qur’an. Adapun Aisyah menisbatkan hal itu kepada al-Qur’an karena dalam al-Qur’an terdapat kewajiban untuk mengikuti sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas‘ud bahwa ia berkata: “Sesungguhnya Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang meminta disambungkan rambutnya dalam Kitab-Nya.” Maka seorang wanita berkata kepadanya: “Aku tidak menemukan hal ini dalam Kitabullah.” Ia menjawab: “Bukankah Allah Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah} (QS. al-Hasyr: 7).” Demikian pula sebagaimana yang dinukil dari asy-Syafi‘i bahwa ia berkata: “Barang siapa bertanya kepadaku tentang sesuatu, aku akan memberitahunya dari al-Qur’an.” Lalu seseorang bertanya kepadanya tentang seorang muhrim yang membunuh lebah, ia menjawab: “Tidak ada kewajiban apa-apa atasnya.” Orang itu bertanya lagi: “Di mana hal ini dalam Kitabullah?” Ia menjawab: “Firman Allah Ta‘ala: {Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah} (QS. al-Hasyr: 7).” Nabi ﷺ bersabda: “Ikutilah dua orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar.” Dan beliau pernah ditanya tentang seorang muhrim yang membunuh lebah, beliau menjawab: “Tidak ada kewajiban apa-apa atasnya.” Keberatan kedua: Jika mereka berkata, telah diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata: “Larangan penyusuan itu tertulis dalam lembaran, ketika Rasulullah ﷺ wafat, kami sibuk memandikan beliau, lalu hewan peliharaan rumah masuk dan memakannya. Seandainya itu adalah al-Qur’an, niscaya ia akan terjaga, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya Kami yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya} (QS. al-Hijr: 9).” Maka ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الَّذِي أَكَلَهُ دَاجِنُ الْحَيِّ رَضَاعُ الْكَبِيرِ وَحُكْمُهُ مَنْسُوخٌ.

Pertama: bahwa yang dimakan oleh hewan peliharaan rumah itu adalah tentang penyusuan orang dewasa, dan hukumnya telah di-naskh.

وَالثَّانِي: أنه العشر منسوخ بالخمسن وَذَلِكَ غَيْرُ صَائِرٍ لِأَنَّهُ مَحْفُوظٌ فِي صُدُورِ الرِّجَالِ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَاجِيلُ أُمَّتِي فِي صُدُورِهَا، وَلَوْ أُكِلَتْ مَصَاحِفُ الْعُمْرِ كُلُّهَا، لَمْ تُؤَثِّرْ فِي الْقُرْآنِ لِحِفْظِهِ فِي الصُّدُورِ.

Kedua: bahwa sepuluh kali (penyusuan) telah di-naskh dengan lima kali, dan hal itu tidak mungkin terjadi karena ia terjaga dalam dada-dada manusia. Nabi ﷺ bersabda: “Injil umatku ada di dalam dada mereka.” Seandainya seluruh mushaf di dunia ini dimakan, tidak akan berpengaruh terhadap al-Qur’an karena ia terjaga dalam dada-dada (manusia).

وَالِاعْتِرَاضُ الثَّالِثُ: إِنْ قَالُوا هَذَا إِثْبَاتٌ نُسِخَ بَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُولِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَنَّهَا قَالَتْ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُنَّ مِمَّنْ يُقْرَأُ فِي الْقُرْآنِ، وَبِهَذَا لَا يَجُوزُ وَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Keberatan ketiga: Jika mereka berkata, ini adalah penetapan adanya naskh setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, karena Aisyah berkata: “Rasulullah ﷺ wafat dan ayat-ayat itu masih dibaca dalam al-Qur’an.” Maka hal ini tidak diperbolehkan. Ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا رَوَتْ بَعْدَ الرَّسُولِ نَسْخًا كَانَ فِي زَمَانِ الرَّسُولِ وَقَوْلُهَا كَانَ مِمَّا يُقْرَأُ أَيْ مِمَّا يُعْمَلُ بِهِ.

Pertama: bahwa ia meriwayatkan adanya naskh setelah Rasulullah, padahal naskh itu terjadi pada masa Rasulullah. Ucapannya “masih dibaca” maksudnya adalah masih diamalkan.

والثاني: أنه كان يقرأ بعد رسول لِإِثْبَاتِ حُكْمِهِ لَا لِإِثْبَاتِ تِلَاوَتِهِ، فَلِمَا ثَبَتَ حُكْمُهُ تُرِكَتْ تِلَاوَتُهُ.

Kedua: bahwa ayat itu masih dibaca setelah Rasulullah untuk penetapan hukumnya, bukan untuk penetapan tilawahnya. Maka ketika hukumnya telah tetap, tilawahnya pun ditinggalkan.

وَالِاعْتِرَاضُ الرَّابِعُ: أَنَّ فِيهِ إِثْبَاتَ نَسْخٍ بِخَبَرِ وَاحِدٍ، وَالنَّسْخُ لَا يَكُونُ إِلَّا بِإِخْبَارِ التَّوَاتُرِ، وَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Keberatan keempat: bahwa di dalamnya terdapat penetapan naskh dengan khabar ahad, padahal naskh tidak boleh kecuali dengan khabar mutawatir. Ada dua jawaban:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الطَّرِيقَ الَّتِي يَثْبُتُ بِهَا خَبَرُ الْمَنْسُوخِ ثَبَتَ بِهَا خَبَرُ النَّاسِخِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ حُجَّةً فِي إِثْبَاتِ الْمَنْسُوخِ دُونَ النَّاسِخِ.

Pertama: bahwa cara yang dengannya khabar tentang mansukh (yang dihapus) dapat ditetapkan, maka dengan cara itu pula khabar tentang nasikh (yang menghapus) dapat ditetapkan. Maka tidak boleh dijadikan hujjah dalam penetapan mansukh tanpa penetapan nasikh.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ ذَلِكَ نَسْخًا بِخَبَرِ الْوَاحِدِ، وَإِنَّمَا هُوَ نَقْلُ نَسْخٍ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ وَنَقْلُ النَّسْخِ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ مَقْبُولٌ فَعَلِمَتْ عَائِشَةُ الْعَشْرَ وَنَسْخَهَا بِالْخَمْسِ فَرَوَتْهَا وَرَجَعَتْ إِلَى الْخَمْسِ، وَعَلِمَتْ حَفْصَةُ الْعَشْرَ، وَلَمْ تَعْلَمْ نَسْخَهَا بِالْخَمْسِ فَبَقِيَتْ عَلَى الْحُكْمِ الْأَوَّلِ فِي تَحْرِيمِ الرَّضَاعِ بِالْعَشْرِ دُونَ الْخَمْسِ، وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَى مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ مَا رُوِيَ أَنَّ سَهْلَةَ بِنْتَ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو كَانْتَ زَوْجَةَ أَبِي حُذَيْفَةَ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنْ سَالِمًا كُنَّا نَرَاهُ وَلَدًا، وَكَانَ يَدْخُلُ عَلَيٌّ وَأَنَا فُضُلٌ وَقَدْ نَزَلَ مِنَ التَّبَنِّي وَالْحِجَابِ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَمَاذَا تُرَانِي، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَرَضِعِيهِ خَمْسًا يَحْرُمُ بِهِنَّ عَلَيْكِ “، وَمِنْهُ دَلِيلَانِ:

Kedua: Bahwa hal itu bukanlah nasakh (penghapusan hukum) dengan khabar al-wāḥid, melainkan yang terjadi adalah periwayatan nasakh dengan khabar al-wāḥid, dan periwayatan nasakh dengan khabar al-wāḥid itu diterima. Maka ‘Aisyah mengetahui adanya sepuluh kali (susuan) dan penghapusannya dengan lima kali, lalu ia meriwayatkannya dan kembali kepada hukum lima kali. Sedangkan Hafshah mengetahui tentang sepuluh kali (susuan), namun tidak mengetahui penghapusannya dengan lima kali, sehingga ia tetap pada hukum pertama, yaitu pengharaman karena sepuluh kali susuan, bukan lima. Di antara dalil yang mendukung pendapat kami adalah riwayat bahwa Sahlah binti Suhail bin ‘Amr, istri Abu Hudzaifah, datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, dahulu kami menganggap Sālim sebagai anak, dan ia biasa masuk menemuiku dalam keadaan aku tidak berhijab, padahal telah turun hukum tentang larangan adopsi dan kewajiban hijab sebagaimana engkau ketahui. Maka bagaimana menurutmu?” Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Susuilah ia lima kali, maka ia menjadi mahram bagimu.” Dari hadits ini terdapat dua dalil:

أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ ” يَحْرُمُ بِهِنَّ عَلَيْكِ ” فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْرُمَ بِمَا دُونَهَا لِمَا فِيهِ مِنْ إِبْطَالِ حُكْمِهِ فِي وُقُوعِ التَّحْرِيمِ بِالْخَمْسِ.

Pertama: Sabda beliau, “Ia menjadi mahram bagimu dengan lima kali susuan,” maka tidak boleh menjadi mahram dengan kurang dari itu, karena hal itu akan membatalkan hukum beliau tentang terjadinya keharaman dengan lima kali susuan.

وَالثَّانِي: أَنَّ رَضَاعَ سَالِمٍ حَالُ ضَرُورَةٍ يُوجِبُ الِاقْتِصَارَ عَلَى مَا تَدْعُو إِلَيْهِ الضَّرُورَةُ وَلَوْ وَقَعَ التَّحْرِيمُ بِأَقَلَّ مِنْهَا لَاقْتَصَرَ عَلَيْهِ، فَإِنْ قَالُوا: هَذَا وَارِدٌ فِي رَضَاعِ الْكَبِيرِ وَرِضَاعُهُ مَنْسُوخٌ فَلَمْ يَجُزِ التَّعَلُّقُ بِهِ، فَعَنْهُ جَوَابَانِ:

Kedua: Bahwa penyusuan Sālim terjadi dalam keadaan darurat, sehingga wajib dibatasi hanya pada kadar yang diperlukan oleh keadaan darurat. Jika keharaman dapat terjadi dengan kurang dari lima kali, tentu akan dibatasi pada yang lebih sedikit itu. Jika mereka berkata: “Ini berlaku pada penyusuan orang dewasa, sedangkan penyusuan orang dewasa telah dinasakh, maka tidak boleh dijadikan dalil,” maka jawabannya ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى حُكْمَيْنِ:

Pertama: Bahwa hadits tersebut mencakup dua hukum:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ رَضَاعُ الْكَبِيرِ.

Pertama: Bahwa itu adalah penyusuan orang dewasa.

وَالثَّانِي: عَدَدُ مَا يَقَعُ بِهِ التَّحْرِيمُ، وَنَسْخُ أَحَدِ الْحُكْمَيْنِ، لَا يُوجِبُ سُقُوطَ الْآخَرِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ} [النساء: 15] فَاشْتَمَلَتْ عَلَى حُكْمَيْنِ.

Kedua: Jumlah susuan yang menyebabkan keharaman. Penghapusan salah satu dari dua hukum itu tidak mengharuskan gugurnya hukum yang lain, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan di antara kalian yang melakukan perbuatan keji, maka mintalah kesaksian terhadap mereka dari empat orang di antara kalian. Jika mereka telah bersaksi, maka kurunglah mereka di dalam rumah sampai mereka meninggal dunia} (an-Nisā’: 15), yang mencakup dua hukum.

أَحَدُهُمَا: عَدَدُ الْبَيِّنَةِ فِي الزِّنَا.

Pertama: Jumlah saksi dalam kasus zina.

وَالثَّانِي: إِمْسَاكُهُنَّ فِي الْبُيُوتِ إِلَى الْمَوْتِ حَدًّا فِي الزِّنَا ثُمَّ نُسِخَ هَذَا الْحَدُّ، وَلَمْ يُوجِبْ ذَلِكَ سُقُوطَ عَدَدِ الْبَيِّنَةِ.

Kedua: Mengurung mereka di rumah sampai mati sebagai hukuman dalam kasus zina, kemudian hukuman ini dinasakh, namun hal itu tidak menyebabkan gugurnya jumlah saksi.

وَالثَّانِي: أَنَّ رَضَاعَ الْكَبِيرِ حُرِّمَ عِنْدَ جَوَازِ التَّبَنِّي، لِأَنَّ سَلَمَةَ وَأَبَا حُذَيْفَةَ تَبَنَّيَا سَالِمًا، وَكَانَ التَّبَنِّي مُبَاحًا، وَكَانَا يَرَيَانِ سَالِمًا وَلَدًا فَلَمَّا حُرِّمَ التَّبَنِّي، وَنَزَلَ الْحِجَابُ حَرَّمَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالرَّضَاعِ عَنْ تَبَنِّيهِ الْمُبَاحِ لِيَعُودَ بِهِ إِلَى التَّبَنِّي الْأَوَّلِ فَلَمَّا نَسَخَ اللَّهُ تَعَالَى حُكْمَ التَّبَنِّي بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عند الله فإن لم تعلموا آبائهم فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ} [الأحزاب: 5] سَقَطَ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ رَضَاعِ الْكَبِيرِ، لِأَنَّ الْحُكْمَ إِذَا تَعَلَّقَ بِسَبَبٍ ثَبَتَ بِوُجُودِهِ وَسَقَطَ بِعَدَمِهِ فَصَارَ رَضَاعُ الْكَبِيرِ غَيْرَ مُحَرِّمٍ لِعَدَمِ سَبَبِهِ لَا لِنَسْخِهِ، وَقَدْ جَاءَ الشَّرْعُ بِمِثْلِ ذَلِكَ فِي مَوَاضِعَ مِنْهَا فَسْخُ الْحَجِّ إِلَى الْعُمْرَةِ أَمَرَ بِهِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عِنْدَ نُفُورِهِمْ مِنَ الْعُمْرَةِ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ. فَأَمَرَهُمْ بِفَسْخِ الْحَجِّ بِالْعُمْرَةِ، وَهَذَا أَعْظَمُ مِنِ اسْتِئْنَافِ الْإِحْرَامِ بِالْعُمْرَةِ، وَلِيَزُولَ مِنْ نُفُوسِهِمْ مَا اسْتَنْكَرُوهُ فَلَا يَنْفُرُوا مِنْهُ وَهَذَا الْمَعْنَى قَدْ زَالَ لِاسْتِقْرَارِهِ فِي النُّفُوسِ فَزَالَ بِهِ فَسْخُ الْحَجِّ، لَوْ لَمْ يُحْكَمْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ.

Kedua: Bahwa penyusuan orang dewasa diharamkan ketika adopsi masih diperbolehkan, karena Salamah dan Abu Hudzaifah mengadopsi Sālim, dan saat itu adopsi masih dibolehkan, dan keduanya menganggap Sālim sebagai anak. Ketika adopsi diharamkan dan turunlah ayat hijab, maka Rasulullah ﷺ mengharamkannya melalui penyusuan sebagai pengganti adopsi yang sebelumnya dibolehkan, agar kembali kepada status adopsi yang pertama. Ketika Allah Ta‘ala menghapus hukum adopsi dengan firman-Nya: {Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (nama) bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah. Jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka adalah saudara-saudara kalian dalam agama dan maula-maula kalian} (al-Ahzāb: 5), maka gugurlah hukum yang terkait dengan penyusuan orang dewasa, karena suatu hukum jika terkait dengan suatu sebab, maka ia berlaku selama sebab itu ada dan gugur ketika sebabnya tidak ada. Maka penyusuan orang dewasa tidak lagi menyebabkan keharaman karena sebabnya telah tiada, bukan karena dinasakh. Syariat telah datang dengan hal serupa dalam beberapa kasus, di antaranya adalah perintah membatalkan haji menjadi umrah yang diperintahkan Nabi ﷺ ketika para sahabat enggan melakukan umrah di bulan-bulan haji. Maka beliau memerintahkan mereka untuk membatalkan haji menjadi umrah, dan ini lebih berat daripada memulai ihram untuk umrah, agar hilang dari jiwa mereka apa yang mereka anggap aneh sehingga mereka tidak enggan melakukannya. Makna ini telah hilang karena telah menetap dalam jiwa mereka, maka dengan hilangnya makna itu, hilang pula hukum membatalkan haji, baik sedikit maupun banyak.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا دَاوُدُ وَمَنْ وَافَقَهُ فِي أَنَّ التَّحْرِيمَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِثَلَاثَةِ مَعَانٍ فَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ ” فَكَانَ دَلِيلُهُ أَنَّ الثَّالِثَةَ تُحَرِّمُ وَفِيمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْأَخْبَارِ فِي تَعْلِيقِ التَّحْرِيمِ بِالْخَمْسِ مَا يَمْنَعُ مِنْ وُقُوعِ التَّحْرِيمِ بِمَا دُونَ الْخَمْسِ، وَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ ” مَدْفُوعُ الدَّلِيلِ بِمَا رُوِّينَاهُ مِنَ النَّصِّ، وَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ ” وَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ جَوَازَ الرِّبَا فِي النَّقْدِ، ثُمَّ هُوَ مَدْفُوعٌ بِالنُّصُوصِ الْوَارِدَةِ فِيهِ، وَيَكُونُ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ ” جَارِيًا عَلَى السؤال عن ذلك، وقد روايناه عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Adapun Dāwud dan orang-orang yang sepaham dengannya dalam hal bahwa pengharaman (hubungan mahram karena) penyusuan tidak sah kecuali dengan tiga kali penyusuan, mereka berdalil dengan sabda Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Satu kali atau dua kali penyusuan tidak menyebabkan keharaman.” Maka dalil mereka adalah bahwa penyusuan yang ketiga menyebabkan keharaman. Namun, dalam riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan mengenai pengaitan keharaman dengan lima kali penyusuan, terdapat dalil yang mencegah terjadinya keharaman dengan kurang dari lima kali penyusuan. Adapun sabda beliau -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Satu kali atau dua kali penyusuan tidak menyebabkan keharaman,” tertolak dalilnya dengan nash yang telah kami riwayatkan, dan hal itu serupa dengan sabda beliau -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Riba itu hanya pada penangguhan,” yang menunjukkan kebolehan riba pada transaksi tunai, namun kemudian tertolak dengan nash-nash yang ada tentangnya. Maka sabda beliau -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Satu kali atau dua kali penyusuan tidak menyebabkan keharaman,” berlaku sesuai dengan pertanyaan tentang hal itu, dan kami meriwayatkannya dari Ummul Fadhl. Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَكَذَلِكَ أَبَانَ أَنَّ الْمُرَادَ بِتَحْرِيمِ الرَّضَاعِ بَعْضُ الْمُرْضِعِينَ دُونَ بَعْضٍ وَاحْتَجَّ فِيمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِسَهْلَةَ بِنْتِ سُهَيْلٍ لَمَّا قَالَتْ لَهُ كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا وَكَانَ يَدْخُلُ عَلَيَّ وَأَنَا فَضْلٌ وَلَيْسَ لَنَا إِلَّا بَيْتٌ وَاحِدٌ فَمَاذَا تَأْمُرِنِي فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِيمَا بَلَغَنَا ” أَرْضِعِيهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَيَحْرُمُ بِلَبَنِهَا ” فَفَعَلَتْ فَكَانَتْ تَرَاهُ ابنا من الرضاعة فأخذت بذلك عائشة رضي الله عنها فيمن أحبت أن يدخل عليها من الرجال وأبى سائر أزواج النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن يدخل عليهن بتلك الرضاعة أحد من الناس وقلن ما نرى الذي أمر به – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إلا رخصة في سالم وحده وروى الشافعي رحمه الله أن أم سلمة قالت في الحديث هو لسالم خاصة (قال الشافعي) رحمه الله تعالى فإذا كان خاصا فالخاص مخرج من العام والدليل على ذلك قول الله جل ثناؤه {حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} فجعل الحولين غاية وما جعل له غاية فالحكم بعد مضي الغاية خلاف الحكم قبل الغاية كَقَوْلِهِ تَعَالَى {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} فإذا مضت الأقراء فحكمهن بعد مضيها خلاف حكمهن فيها (قَالَ الْمُزَنِيُّ) وَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ عِنْدِي عَلَى نَفْيِ الْوَلَدِ لِأَكْثَرَ مِنْ سَنَتَيْنِ بِتَأْقِيتِ حَمْلِهِ وفصاله ثلاثين شهراً كما نفى توقيت حولين الرضاع لأكثر من الحولين (قال الشافعي) رحمه الله تعالى وكان عمر رضي الله عنه لا يرى رضاع الكبير يحرم وابن مسعود وابن عمر رضي الله عنهما وقال أبو هريرة رضي الله عنه لا يحرم من الرضاع إلا ما فتق الأمعاء “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Demikian pula telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keharaman karena penyusuan adalah pada sebagian anak susuan, tidak pada semuanya. Beliau berdalil dengan apa yang dikatakan Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- kepada Sahlah binti Suhail ketika ia berkata kepadanya: ‘Dulu kami menganggap Sālim sebagai anak, dan ia biasa masuk menemuiku sementara aku dalam keadaan bebas (tanpa hijab), dan kami hanya memiliki satu rumah. Apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Maka beliau -‘alaihis salām- bersabda sebagaimana yang sampai kepada kami: ‘Susuilah ia lima kali penyusuan, maka ia menjadi haram (mahram) dengan susuanmu.’ Maka Sahlah melakukannya, dan ia pun menganggap Sālim sebagai anak susuan. ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā mengambil pendapat ini bagi siapa saja dari laki-laki yang ia ingin agar boleh masuk menemuinya, sedangkan istri-istri Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- yang lain menolak agar ada seseorang yang masuk menemui mereka hanya dengan penyusuan tersebut, dan mereka berkata: ‘Kami tidak melihat apa yang diperintahkan oleh Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- kecuali sebagai keringanan khusus bagi Sālim saja.’ Imam Syafi‘i raḥimahullāh meriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata dalam hadits itu: ‘Itu khusus untuk Sālim.’ (Imam Syafi‘i berkata) raḥimahullāh: Jika memang khusus, maka yang khusus itu dikecualikan dari yang umum. Dalil atas hal itu adalah firman Allah Ta‘ālā: {dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan} (QS. Al-Baqarah: 233), maka Allah menjadikan dua tahun sebagai batas akhir. Sesuatu yang memiliki batas akhir, maka hukum setelah batas itu berbeda dengan hukum sebelumnya, sebagaimana firman-Nya Ta‘ālā: {Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’} (QS. Al-Baqarah: 228), maka jika masa iddah telah berlalu, hukum mereka setelahnya berbeda dengan sebelumnya. (Al-Muzani berkata): Dalam hal itu menurutku terdapat dalil tentang penafian status anak bagi yang lebih dari dua tahun, dengan penetapan masa kehamilan dan penyapihan selama tiga puluh bulan, sebagaimana penetapan dua tahun penyusuan tidak berlaku untuk lebih dari dua tahun. (Imam Syafi‘i berkata) raḥimahullāh: Umar raḍiyallāhu ‘anhu tidak berpendapat bahwa penyusuan orang dewasa menyebabkan keharaman, demikian pula Ibnu Mas‘ud dan Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā. Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu berkata: ‘Tidak ada yang menyebabkan keharaman dari penyusuan kecuali apa yang dapat menembus usus (yakni, pada masa bayi).’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَذَهَبَ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ رَضَاعَ الْكَبِيرِ لَا يُحَرِّمُ وَقَالَتْ عَائِشَةُ: رَضَاعُ الْكَبِيرِ يُحَرِّمُ كَرِضَاعِ الصَّغِيرِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ قَوْلُ أَهْلِ الظَّاهِرِ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَسَهْلَةَ بِنْتِ سُهَيْلٍ أَرَضِعِيهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ يَحْرُمُ بِهِنَّ عَلَيْكِ، وَكَانَ سَالِمٌ كَبِيرًا، وَكَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا إِذَا أَحَبَّتْ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا مِنَ الرِّجَالِ أَحَدٌ أَمَرَتْ أُخْتَهَا أُمَّ كُلْثُومٍ أَوْ غَيْرَهَا مِنْ بَنَاتِ إِخْوَتِهَا وَبَنَاتِ أَخَوَاتِهَا أَنْ تُرْضِعَهُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ يَصِيرُ بِهِنَّ مُحَرَّمًا، وَخَالَفَتْهَا أُمُّ سَلَمَةَ، وَسَائِرُ أَزْوَاجِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي ذَلِكَ قُلْنَ مَا نَرَى رَضَاعَ الْكَبِيرِ إِلَّا رُخْصَةً فِي سَالِمٍ وَحْدَهُ.

Al-Māwardī berkata: Mayoritas fuqahā’ berpendapat bahwa penyusuan orang dewasa tidak menyebabkan keharaman. ‘Aisyah berkata: “Penyusuan orang dewasa menyebabkan keharaman sebagaimana penyusuan anak kecil.” Pendapat ini juga dipegang oleh al-Awzā‘ī dari kalangan fuqahā’, dan tampaknya ini juga merupakan pendapat Ahl azh-Zhāhir sebagai bentuk istidlāl dengan sabda Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- kepada Sahlah binti Suhail: “Susuilah ia lima kali penyusuan, maka ia menjadi haram (mahram) bagimu,” padahal Sālim adalah orang dewasa. ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, jika ia ingin ada laki-laki yang boleh masuk menemuinya, ia memerintahkan saudara perempuannya, Ummu Kultsum, atau selainnya dari anak-anak perempuan saudara laki-lakinya atau saudara perempuannya untuk menyusuinya lima kali penyusuan hingga menjadi mahram. Namun, Ummu Salamah dan istri-istri Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- yang lain menyelisihinya dalam hal ini. Mereka berkata: “Kami tidak melihat penyusuan orang dewasa kecuali sebagai keringanan khusus bagi Sālim saja.”

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ رَضَاعَ الْكَبِيرِ لَا يُحَرِّمُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ) [البقرة: 223] فَجُعِلَ تَمَامُ الرَّضَاعِ فِي الشَّرْعِ مُقَدَّرًا بِحَوْلَيْنِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ حُكْمُهُ فِي الشَّرْعِ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ مُخَالِفًا لِحُكْمِهِ فِي الْحَوْلَيْنِ، وَحُكْمُهُ فِي الشَّرْعِ هُوَ التَّحْرِيمُ.

Dalil bahwa penyusuan orang dewasa tidak menyebabkan keharaman adalah firman Allah Ta‘ala: {Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan} [al-Baqarah: 223]. Maka, kesempurnaan penyusuan dalam syariat ditetapkan selama dua tahun, sehingga konsekuensinya hukum penyusuan dalam syariat setelah dua tahun berbeda dengan hukumnya dalam dua tahun tersebut, dan hukumnya dalam syariat adalah keharaman.

وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَا رَضَاعَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ نَفْيًا لِتَحْرِيمِهِ لَا لِجَوَازِهِ.

Dan Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada penyusuan setelah dua tahun,” maksudnya menafikan keharamannya, bukan membolehkannya.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ لَا رَضَاعَ بَعْدَ فِطَامٍ، يَعْنِي لا تحرم رَضَاعٌ بَعْدَ انْقِضَاءِ زَمَانِهِ.

Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak ada penyusuan setelah masa penyapihan,” artinya tidak ada penyusuan yang menyebabkan keharaman setelah habis waktunya.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ وَمَا سَدَّ الْجَوْعَةَ وَالْكَبِيرُ لَا يَسُدُّ الرَّضَاعُ جَوْعَتَهُ فَلَمْ يَثْبُتْ لَهُ فِيهِ حُكْمٌ.

Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Penyusuan itu untuk menghilangkan rasa lapar, dan apa yang mengenyangkan rasa lapar. Orang dewasa tidak hilang laparnya dengan penyusuan, maka tidak berlaku hukum (keharaman) baginya.”

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” الرَّضَاعُ مَا أَنْبَتَ اللَّحْمَ وَأَنْشَزَ العظم وروى الرضاعة ما فتقت الأمعاء وأثبتت اللَّحْمَ، وَهَذَا لَا يَكُونُ إِلَّا فِي الصَّغِيرِ، وَقَدْ مَضَى الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ سَالِمٍ فِي اخْتِصَاصِهِ بِالرَّضَاعِ فِي الْكَبِيرِ دُونَ الصَّغِيرِ.

Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Penyusuan adalah yang menumbuhkan daging dan menguatkan tulang.” Dan diriwayatkan pula: “Penyusuan adalah yang membuka usus dan meneguhkan daging.” Dan ini hanya terjadi pada anak kecil. Telah dijelaskan pula jawaban tentang hadis Sālim yang khusus mengenai penyusuan orang dewasa, tidak berlaku pada anak kecil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ تَحْرِيمَ الرَّضَاعَ مُخْتَصٌّ بِالصَّغِيرِ دُونَ الْكَبِيرِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حَدِّ تَحْرِيمِهِ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ:

Apabila telah tetap bahwa keharaman karena penyusuan khusus bagi anak kecil dan tidak berlaku bagi orang dewasa, maka para fuqahā’ berbeda pendapat tentang batasan keharamannya menjadi empat mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ مُحَدَّدٌ بِحَوْلَيْنِ، فَإِنْ وُجِدَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ بِيَوْمٍ لَمْ يُحَرِّمْ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ.

Pertama, yaitu mazhab Syāfi‘ī, bahwa batasannya adalah dua tahun. Jika penyusuan terjadi setelah dua tahun meskipun hanya sehari, maka tidak menyebabkan keharaman. Ini juga merupakan pendapat Abū Yūsuf dan Muhammad.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: مَا قَالَهُ مَالِكٌ فِي إِحْدَى رِوَايَاتِهِ إِنَّهُ يُحَرِّمُ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ بِشَهْرٍ فَجَعَلَ زَمَانَهُ مُحَدَّدًا بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ شَهْرًا.

Mazhab kedua, yaitu pendapat Mālik dalam salah satu riwayat darinya, bahwa penyusuan menyebabkan keharaman hingga satu bulan setelah dua tahun, sehingga batas waktunya adalah dua puluh lima bulan.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: مَا قَالَهُ أَبُو حَنِيفَةَ إِنَّهُ يُحَرِّمُ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَجَعَلَ زَمَانَهُ مُحَدَّدًا بِثَلَاثِينَ شَهْرًا

Mazhab ketiga, yaitu pendapat Abū Hanīfah, bahwa penyusuan menyebabkan keharaman hingga enam bulan setelah dua tahun, sehingga batas waktunya adalah tiga puluh bulan.

وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: مَا قَالَهُ زُفَرُ بْنُ الْهُذَيْلِ أَنَّهُ يُحَرِّمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ مُحَدَّدَةٍ بِسِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ شَهْرًا اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قول الله تعالى {وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم} [النساء: 23] ويقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ ” وَلِأَنَّهَا مَنْ يُعْتَدُّ فِيهَا بِالرَّضَاعِ فَوَجَبَ أَنْ يَثْبُتَ فِيهَا التَّحْرِيمُ كَالْحَوْلَيْنِ.

Mazhab keempat, yaitu pendapat Zufar bin al-Hudail, bahwa penyusuan menyebabkan keharaman hingga tiga tahun, yaitu tiga puluh enam bulan, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {dan ibu-ibumu yang menyusui kamu} [an-Nisā’: 23], dan sabda Nabi ﷺ: “Penyusuan itu untuk menghilangkan rasa lapar.” Karena ia adalah masa yang dianggap dalam penyusuan, maka wajib ditetapkan keharaman padanya sebagaimana dua tahun.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى {حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} [البقرة: 233] وَمَا حُدَّ فِي الشَّرْعِ إِلَى غَايَةٍ كَانَ مَا عَدَاهَا بِخِلَافِهَا كَالْأَقْرَاءِ، وَهَذِهِ دَلَالَةُ الشَّافِعِيِّ.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan} [al-Baqarah: 233]. Dan apa yang telah dibatasi dalam syariat hingga suatu batas, maka apa yang di luar batas itu berbeda hukumnya, seperti halnya masa haid. Inilah dalil Syāfi‘ī.

وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا رَضَاعَ بَعْدَ فِصَالٍ ” وَالْفِصَالُ فِي الْحَوْلَيْنِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف: 15] وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ أَقَلَّ الْحَمْلِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْبَاقِيَ هُوَ الْفِصَالُ، وَلِأَنَّهُ حَوْلٌ لَا يَثْبُتُ حُكْمُ الرَّضَاعِ فِي آخِرِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَثْبُتَ حُكْمُهُ فِي أَوَّلِهِ كَالْحَوْلِ الرَّابِعِ طَرْدًا، وَالثَّانِي عَكْسًا، وَلِأَنَّ الْحَدَّ إِذَا عُلِّقَ بِالْحَوْلِ وَلَمْ يَبْلُغْ بِهِ الْكَمَالَ قُطِعَ عَلَى التَّمَامِ كَالْحَوْلِ فِي الزَّكَاةِ.

Dan Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada penyusuan setelah masa penyapihan.” Dan masa penyapihan itu dalam dua tahun, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan masa mengandungnya dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan} [al-Ahqāf: 15]. Telah tetap bahwa masa kehamilan paling singkat adalah enam bulan, maka sisanya adalah masa penyapihan. Karena itu, tahun yang tidak berlaku hukum penyusuan di akhirnya, maka wajib pula tidak berlaku di awalnya, sebagaimana tahun keempat secara konsisten, dan yang kedua secara kebalikan. Dan karena batasan jika dikaitkan dengan tahun dan belum sempurna, maka diputuskan pada kesempurnaannya, seperti halnya haul dalam zakat.

فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِعُمُومِ الْآيَةِ وَالْخَبَرِ فَمَخْصُوصٌ بِمَا ذَكَرْنَاهُ.

Adapun istidlāl (pengambilan dalil) dengan keumuman ayat dan hadis, maka telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحَوْلَيْنِ فَفَاسِدٌ بِالشَّهْرِ السَّابِعِ يُتَغَذَّى فِيهِ بِاللَّبَنِ، وَلَا يَقَعُ بِهِ التَّحْرِيمُ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْحَوْلَيْنِ أَنَّهُ لَمَّا وَقَعَ التَّحْرِيمُ بِالرَّضَاعِ فِي آخِرِهِ وَقَعَ بِالرَّضَاعِ فِي أَوَّلِهِ وَخَالَفَ الثَّالِثَ.

Adapun qiyās mereka terhadap dua tahun, maka itu rusak (tidak sah), karena pada bulan ketujuh bayi sudah dapat diberi makan dengan susu, dan hal itu tidak menyebabkan keharaman (mahram) melalui penyusuan. Kemudian, makna (hikmah) penetapan dua tahun adalah bahwa ketika keharaman karena penyusuan terjadi di akhir masa dua tahun, maka keharaman itu juga berlaku di awalnya, dan berbeda dengan tahun ketiga.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ تَحْدِيدُ تَحْرِيمِهِ بِالْحَوْلَيْنِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَسْتَغْنِيَ فِيهَا بِالطَّعَامِ عَنِ الرَّضَاعِ أَمْ لَا.

Jika telah tetap penetapan keharaman (mahram) karena penyusuan dibatasi dengan dua tahun, maka tidak ada perbedaan apakah dalam masa itu anak sudah cukup dengan makanan selain susu atau belum.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِنَّمَا يَثْبُتُ تَحْرِيمُ الرَّضَاعٍ إِذَا كَانَ مُحْتَاجًا إِلَيْهِ غَيْرَ مُسْتَغْنٍ بِالطَّعَامِ عَنْهُ.

Imam Malik berkata: Sesungguhnya keharaman karena penyusuan hanya berlaku apabila anak masih membutuhkan susu dan belum cukup dengan makanan selain susu.

وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ تَقْدِيرَ الرَّضَاعِ بِالْحَوْلَيْنِ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِالزَّمَانِ دُونَ غَيْرِهِ، وَلِأَنَّ تعلقه بالحولين نص، واستغناؤه بِالطَّعَامِ اجْتِهَادٌ، وَتَعْلِيقُ الْحُكْمِ بِالنَّصِّ أَوْلَى مِنْ تَعْلِيقِهِ بِالِاجْتِهَادِ، وَلِأَنَّ اعْتِبَارَهُ بِالْحَوْلَيْنِ عِلْمٌ وَاعْتِبَارَهُ بِالِاسْتِغْنَاءِ خَاصٌّ وَاعْتِبَارُ مَا عَمَّ أَوْلَى مِنِ اعْتِبَارِ مَا خَصَّ.

Pendapat ini rusak (tidak sah), karena penetapan penyusuan dengan dua tahun menuntut agar yang dijadikan ukuran adalah waktu, bukan hal lain. Lagi pula, keterkaitannya dengan dua tahun adalah berdasarkan nash, sedangkan kecukupan dengan makanan adalah hasil ijtihad. Mengaitkan hukum dengan nash lebih utama daripada mengaitkannya dengan ijtihad. Selain itu, penetapan dengan dua tahun bersifat umum, sedangkan penetapan dengan kecukupan (dengan makanan) bersifat khusus, dan mempertimbangkan yang bersifat umum lebih utama daripada mempertimbangkan yang bersifat khusus.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

قَالَ الْمُزَنِيُّ: ” وَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ عِنْدِي عَلَى نَفْيِ الْوَلَدِ لِأَكْثَرَ مِنْ سَنَتَيْنِ بِتَأْقِيتِ حَمْلِهِ وَفِصَالِهِ ثَلَاثِينَ شَهْرًا كَمَا نُفِيَ تَوْقِيتُ الْحَوْلَيْنِ لِلرِّضَاعِ لِأَكْثَرَ مِنْ حَوْلَيْنِ “.

Al-Muzani berkata: “Menurutku, dalam hal ini terdapat dalil tentang penafian anak (nasab) untuk lebih dari dua tahun dengan penetapan masa kehamilan dan masa penyapihan selama tiga puluh bulan, sebagaimana ditiadakannya penetapan dua tahun untuk penyusuan bagi lebih dari dua tahun.”

وَالَّذِي أَرَادَهُ الْمُزَنِيُّ بِهَذَا الْفَصْلِ أَنْ يَحْتَجَّ بِهِ فِيمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مِنْ أَكْثَرِ الحمل أنه مُقَدَّرٌ بِسَنَتَيْنِ كَالرَّضَاعِ فَلَا يُلْحَقُ بِهِ إِذَا وُلِدَ لِأَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ كَمَا لَا يُحَرَّمُ بِالرَّضَاعِ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ قَالَ: لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف: 15] فَجَعَلَ مُدَّتَهَا ثَلَاثِينَ شَهْرًا فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ مُدَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثِينَ شَهْرًا وهذا الذي ذكره المزني فاسد، لأته لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَا قَدَّرَهُ بِثَلَاثِينَ شَهْرًا مُدَّةً لِأَكْثَرِهِمَا لِزِيَادَتِهِمَا عَلَى هَذَا التَّقْدِيرِ بِإِجْمَاعٍ، وَلَا مُدَّةَ لِأَقَلِّهِمَا بِالْإِجْمَاعِ، لِأَنَّ أَقَلَّ الرَّضَاعِ غَيْرُ مُحَدَّدٍ، وَلَا مُدَّةَ لِأَكْثَرِ الْحَمْلِ وأقل الرضاع، لأن أقل الرضاع غير ممدود فَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُدَّةً لِأَكْثَرِ الرَّضَاعِ، وَأَقَلُّ الْحَمْلِ وَأَكْثَرُ الرَّضَاعِ مُقَدَّرٌ بِحَوْلَيْنِ فَكَانَ الْبَاقِي بِعْدَهُمَا مُدَّةَ أَقَلِّ الْحَمْلِ، وَهُوَ سِتَّةُ أَشْهُرٍ، فَلَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى مُدَّةِ أَكْثَرِ الْحَمْلِ، وَإِنَّمَا جَمَعَ بَيْنَ مُدَّتَيْ أَكْثَرِ الرَّضَاعِ وَأَقَلِّ الْحَمْلِ تَنْبِيهًا عَلَى حُقُوقِ الْأُمَّهَاتِ وَوُجُوبِ حَقِّ الْوَالِدَيْنِ لِيَعْلَمَ مَنْ وُلِدَ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ أَنَّ حَقَّ وَالِدَتِهِ أَكْثَرُ وَشُكْرَهَا أَعْظَمُ كَمَا قَالَ {فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ} [الإسراء: 23] فَخَصَّصَ التَّأْفِيفَ بِالتَّحْرِيمِ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّ تَحْرِيمَ الضَّرْبِ وَالشَّتْمِ أَغْلَظُ ولم يذكر أول الرضاع، لأن لا تَقْتَصِرَ الْأُمَّهَاتُ عَلَيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Yang dimaksud al-Muzani dengan pasal ini adalah ingin berhujah bahwa menurut pendapatnya, masa maksimal kehamilan adalah dua tahun seperti halnya masa penyusuan. Maka, jika seorang anak lahir lebih dari masa tersebut, tidak dapat disandarkan (nasab) kepadanya, sebagaimana tidak menyebabkan keharaman (mahram) dengan penyusuan setelah dua tahun. Ia berkata: Karena Allah Ta‘ala berfirman: {Dan masa mengandungnya dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan} (QS. Al-Ahqaf: 15), maka Allah menjadikan masa tersebut tiga puluh bulan. Maka, wajib bahwa masa masing-masing dari keduanya (kehamilan dan penyusuan) kurang dari tiga puluh bulan. Namun, apa yang disebutkan oleh al-Muzani ini adalah pendapat yang rusak (tidak sah), karena tidak boleh menjadikan apa yang ditetapkan tiga puluh bulan itu sebagai masa maksimal keduanya, sebab keduanya bisa lebih dari itu menurut ijmā‘, dan tidak pula sebagai masa minimal keduanya menurut ijmā‘, karena minimal penyusuan tidak ditentukan, dan tidak pula sebagai masa maksimal kehamilan dan minimal penyusuan, karena minimal penyusuan tidak ada batasnya. Maka, yang tersisa hanyalah bahwa tiga puluh bulan itu adalah masa maksimal penyusuan dan minimal kehamilan. Minimal kehamilan dan maksimal penyusuan ditetapkan dua tahun, sehingga sisa setelah keduanya adalah masa minimal kehamilan, yaitu enam bulan. Maka, tidak terdapat dalam hal ini dalil tentang masa maksimal kehamilan. Sesungguhnya Allah hanya menggabungkan antara masa maksimal penyusuan dan minimal kehamilan untuk menunjukkan hak-hak ibu dan kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, agar diketahui bahwa siapa yang lahir lebih dari enam bulan, maka hak ibunya lebih besar dan rasa syukurnya lebih agung, sebagaimana firman Allah: {Maka janganlah engkau mengatakan “ah” kepada keduanya} (QS. Al-Isra’: 23). Allah mengkhususkan larangan berkata “ah” sebagai bentuk keharaman untuk menunjukkan bahwa keharaman memukul dan mencaci maki lebih berat. Allah tidak menyebutkan awal masa penyusuan, agar para ibu tidak membatasi diri hanya pada itu. Wallāhu a‘lam.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلَّا خَمْسُ رَضْعَاتٍ مُتَفَرَّقَاتٍ كُلُّهُنَّ فِي الْحَوْلَيْنِ قَالَ وَتَفْرِيقُ الرَّضَعَاتِ أَنْ تُرْضِعَ الْمَوْلُودَ ثُمَّ تَقْطَعَ الرَّضَاعَ ثُمَّ تُرْضِعَ ثُمَ تَقْطَعَ كَذَلِكَ فَإِذَا رَضَعَ فِي مَرَّةٍ مِنْهُنَّ مَا يُعْلَمُ أَنَّهُ وَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ مَا قَلَّ مِنْهُ وَمَا كَثُرَ فَهِيَ رضعة وإن التقم الثدي فلها قليلا وأرسله ثم عاد إليه كانت رضعة واحدة كما يكون الحالف لا يأكل بالنهار إلا مرة فيكون يأكل ويتنفس بعد الازدراد ويعود يأكل فذلك أكل مرة وإن طال وإن قطع قطعا بعد قليل أو كثير ثم أكل حنث وكان هذا أكلتين ولو أنفد ما في إحدى الثديين ثم تحول إلى الأخرى فأنفد ما فيها كانت رضعة واحدة “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak menyebabkan keharaman (mahram) karena penyusuan kecuali lima kali penyusuan yang terpisah-pisah, semuanya terjadi dalam dua tahun. Yang dimaksud dengan terpisah-pisah adalah: sang ibu menyusui bayi, lalu menghentikan penyusuan, kemudian menyusui lagi, lalu menghentikan lagi, demikian seterusnya. Jika dalam satu kali penyusuan bayi telah meminum susu hingga masuk ke perutnya, baik sedikit maupun banyak, maka itu dihitung satu kali penyusuan. Jika bayi mengisap puting sebentar lalu melepaskannya, kemudian kembali lagi, maka itu tetap dihitung satu kali penyusuan, sebagaimana orang yang bersumpah tidak makan di siang hari kecuali sekali, maka ia makan, lalu bernapas setelah menelan, lalu makan lagi, itu tetap dihitung satu kali makan, meskipun waktunya lama. Namun, jika ia berhenti cukup lama, lalu makan lagi, maka itu dihitung dua kali makan. Jika bayi menghabiskan susu di salah satu payudara, lalu berpindah ke payudara yang lain dan menghabiskan susunya, maka itu tetap dihitung satu kali penyusuan.”

قال الماوردي: ومنها قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لعائشة رضي الله تعالى عنها ” اشتري واشترطي لهم الولاء ” ثم شرط الولاء، وصحح الشراء ليستقر في نفوسهم المنع من اشتراط الولاء في البيع، ومع استقراره فالبيع باشتراطه باطل ولو لم يستقر لأجيز البيع حتى يستقر، فصارت هذه الأحكام مرتفعة لزوال أسبابها لا لنسخها، وهذا قول حكاه المروزي، وبعض أصحابنا واختاره ابن أبي هريرة.

Al-Mawardi berkata: Di antaranya adalah sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada ‘Aisyah radhiyallahu ta‘ala ‘anha: “Belilah dan syaratkanlah kepada mereka hak wala’.” Kemudian beliau mensyaratkan wala’, dan membenarkan pembelian itu agar tertanam dalam jiwa mereka larangan mensyaratkan wala’ dalam jual beli. Jika larangan itu telah tertanam, maka jual beli dengan syarat wala’ menjadi batal. Namun jika belum tertanam, maka jual beli itu dibolehkan hingga larangan itu tertanam. Maka, hukum-hukum ini menjadi gugur karena hilangnya sebab-sebabnya, bukan karena nasakh (penghapusan hukum). Ini adalah pendapat yang dinukil oleh al-Marwazi dan sebagian ulama kami, dan dipilih oleh Ibn Abi Hurairah.

والدليل من طريق المعنى أن كل سبب رفع به التحريم المؤبد إذا عرى عن جنس الاستباحة افتقر إلى العدد كاللعان وما لم يعر عن جنس الاستباحة لم يفتقر إلى العدد كالنكاح والوطء، ولأنه شرب لا يعدوه في العرف فوجب أن لا يقع به التحريم كالرضاع الكبير، ولأن ما يقع به التحريم نوعان، أقوال وأفعال، فلما كان من الأقوال ما يفتقر إلى العدد، وهو اللعان وجب أن يكون من الأفعال ما يفتقر إلى العدد، وهو الرضاع.

Dalil dari segi makna adalah bahwa setiap sebab yang dengannya diangkat keharaman yang bersifat abadi, jika terlepas dari jenis kebolehan, maka membutuhkan jumlah tertentu seperti li‘an. Sedangkan yang tidak terlepas dari jenis kebolehan tidak membutuhkan jumlah tertentu seperti nikah dan hubungan suami istri. Karena itu, minum (susu) yang tidak melebihi dalam kebiasaan, maka tidak menyebabkan keharaman, seperti halnya radha‘ (persusuan) orang dewasa. Dan sebab yang menyebabkan keharaman ada dua jenis: ucapan dan perbuatan. Maka, ketika dari ucapan ada yang membutuhkan jumlah tertentu, yaitu li‘an, maka dari perbuatan pun ada yang membutuhkan jumlah tertentu, yaitu radha‘.

وتحريره: أنه أحد فرعي التحريم فوجب أن يكون منه ما يفتقر إلى العدد كالأقوال، ولان وصول اللبن إلى الجوف إذا عرى عن عدد لم يقع به التحريم كالحقنة والسعطة فإن أكثرهم يوافق عليه.

Penjelasannya: Bahwa radha‘ adalah salah satu dari dua cabang keharaman, maka harus ada yang membutuhkan jumlah tertentu sebagaimana pada ucapan. Dan karena sampainya susu ke dalam perut jika tanpa jumlah tertentu tidak menyebabkan keharaman, seperti suntikan dan tetesan hidung, maka kebanyakan ulama sepakat akan hal ini.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban terhadap ayat tersebut ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: وهو محكى عن ابن أبي هريرة أن قوله {وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم} [النساء: 23] يقتضي إثباتها أما أولاً ثم ترضع فتحرم، وليس في عموم الآية ما يدل على إثباتها أماً، ولو قال واللاتي أرضعنكم هن أمهاتكم صح لهم استعمال العموم.

Pertama: Sebagaimana dinukil dari Ibn Abi Hurairah, bahwa firman Allah {dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian} [an-Nisa: 23] mengharuskan penetapan status ibu terlebih dahulu, kemudian menyusui sehingga menjadi haram. Tidak ada dalam keumuman ayat tersebut yang menunjukkan penetapan status ibu. Seandainya Allah berfirman: “Wanita-wanita yang menyusui kalian adalah ibu-ibu kalian,” maka keumuman itu dapat digunakan.

والثاني: أنه لا فرق بين تقدم الوصف للموصوف وتأخره في استعماله على عمومه ما لم يرد تخصيص، وقد خصه ما رويناه من الأخبار التي قصد بها قدر ما يقع به التحريم وقول ابن عمر قضاء الله أولى من قضاء ابن الزبير فهو كمال قال: ونحن إنما خصصناه برواية ابن الزبير لانقضائه.

Kedua: Tidak ada perbedaan antara mendahulukan sifat atas yang disifati atau mengakhirkan dalam penggunaannya secara umum, selama tidak ada pengkhususan. Dan telah dikhususkan dengan apa yang kami riwayatkan dari hadits-hadits yang dimaksudkan untuk menentukan kadar yang menyebabkan keharaman, dan perkataan Ibn Umar: “Hukum Allah lebih utama daripada hukum Ibn az-Zubair.” Maka, ini adalah kesempurnaan. Ia berkata: “Kami hanya mengkhususkannya dengan riwayat Ibn az-Zubair karena telah berakhirnya.”

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْأَخْبَارِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun jawaban terhadap hadits-hadits ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أن قوله ” الرضاعة من المجاعة ” يدفع أن تكون المصة محرمة، لأنها لا تسد جوعه.

Pertama: Bahwa sabda Nabi “Radha‘ (persusuan) karena kelaparan” menolak bahwa satu hisapan menjadi haram, karena satu hisapan tidak menghilangkan rasa lapar.

والثاني: أنها اخبار قصد بها تحريم الرضاع، وأخبارنا قصد بها عدد الرضاع فاقتضى أن يكون كل واحد منهما محمولاً على ما قصد به.

Kedua: Bahwa hadits-hadits tersebut dimaksudkan untuk mengharamkan radha‘, sedangkan hadits-hadits kami dimaksudkan untuk menentukan jumlah radha‘, sehingga masing-masing dibawa pada maksudnya.

وأما قياسهم على النكاح والوطء فالمعنى فيه أنه تحريم لم يرد عن جنس الاستباحة وأما قياسهم على الحد في الشرب فالمعنى فيه أن المشروب محرم فلم يعتبر فيه العدد واستوى حكم قليله وكثيره، والرضاع يحدث عنه التحريم فافترق حكم قليله وكثيره.

Adapun qiyas mereka terhadap nikah dan hubungan suami istri, maka maksudnya adalah bahwa keharaman itu tidak berasal dari jenis kebolehan. Sedangkan qiyas mereka terhadap had (hukuman) dalam minum (khamr), maksudnya adalah bahwa minuman itu haram, sehingga tidak dipertimbangkan jumlahnya, baik sedikit maupun banyak, dan hukumnya sama. Sedangkan radha‘ menimbulkan keharaman, sehingga hukum sedikit dan banyaknya berbeda.

وأما استدلالهم بالفطر فمعناه مخالف لمعنى الرضاع، لأن الفطر يقع بما وصل إلى الجوف على أي صفة كان، ولذلك لو خرج جائفة أفطر بها، والرضاع يحرم إذا غذى وأنبت اللحم وأنشز العظم فافترق أكلتين ولو أنفد ما في إحدى الثديين ثم يحول إلى الأخرى فأنفذ ما فيها كانت رضعة واحدة، وَهَذَا كَمَا قَالَ: لِأَنَّ تَحْرِيمَ الرَّضَاعِ إِذَا كَانَ مُحَدَّدًا بِخَمْسِ رَضَعَاتٍ وَجَبَ تَحْدِيدُ الرَّضْعَةِ وَتَقْدِيرُهَا وَالْمَقَادِيرُ تُؤْخَذُ مِنْ أَحَدِ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: مِنْ شَرْعٍ أَوْ لُغَةٍ أَوْ عُرْفٍ، وَلَيْسَ لَهُ فِي الشَّرْعِ وَاللُّغَةِ حَدٌّ فَوَجَبَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ جِهَةِ الْعُرْفِ، وَالْعُرْفُ فِي الرَّضْعَةِ أَنَّهَا مَا اتَّصَلَ شُرْبُهَا ثُمَّ انْفَصَلَ تَرْكُهَا، فإن تخلل فَتْرَةَ الِانْقِطَاعِ نَفَسٌ أَوْ لَهَثٌ أَوْ لِازْدِرَادِ مَا اجْتَمَعَ فِي فَمِهِ أَوْ لِاسْتِمْرَاءِ مَا حصل فيه فمه حلقه ثُمَّ عَاوَدَ الثَّدْيَ مُرْتَضِعًا، فَهِيَ رَضْعَةٌ وَاحِدَةٌ، لِأَنَّ الْعُرْفَ فِي الرَّضْعَةِ أَنْ يَتَخَلَّلَهَا فَتَرَاتٌ وَاسْتِرَاحَةُ وَلَهَثٌ كَمَنْ حَلَفَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا مرة مقتر فِي أَكْلَةٍ لِقَطْعِ نَفْسٍ أَوِ ازْدِرَادٍ أَوْ لَهَثٍ ثُمَّ عَاوَدَ الْأَكْلَ كَانَتْ أَكْلَةً وَاحِدَةً وَلَمْ يَحْنَثْ، وَهَكَذَا لَوِ انْتَقَلَ الطِّفْلُ مِنْ أَحَدِ الثَّدْيَيْنِ إِلَى الْآخَرِ كَانَتْ رَضْعَةً وَاحِدَةً كَمَا انْتَقَلَ الْحَالِفُ مِنْ لَوْنٍ إِلَى لَوْنٍ لَمْ يَحْنَثْ، وَلَوْ تَرَكَ الثَّدْيَ وَقَطَعَ الرَّضْعَةَ لغير سبب، ثم عاود مرتضعاً نظر إلى زَمَانِ الْفَتْرَةِ، فَإِنْ قَلَّ فَهِيَ رَضْعَةٌ وَإِنْ طَالَ فَهِيَ رَضْعَتَانِ وَكَذَلِكَ حُكْمُ الْحَالِفِ إِذَا قَطَعَ ثُمَّ عَاوَدَهُ.

Adapun dalil mereka dengan berbuka (puasa), maka maknanya berbeda dengan makna radha‘, karena berbuka terjadi dengan sampainya sesuatu ke dalam perut dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, jika keluar sesuatu dari luka yang tembus ke perut, maka batal puasanya. Sedangkan radha‘ menjadi haram jika memberikan gizi, menumbuhkan daging, dan menguatkan tulang, sehingga dua kali makan pun berbeda. Jika menghabiskan isi salah satu payudara, lalu berpindah ke payudara lain dan menghabiskan isinya, maka itu dihitung satu kali radha‘. Hal ini sebagaimana dikatakan: Karena keharaman radha‘ jika ditentukan dengan lima kali radha‘, maka harus pula ditentukan ukuran satu kali radha‘ dan ukurannya diambil dari salah satu dari tiga sumber: syariat, bahasa, atau ‘urf (kebiasaan). Dan tidak ada batasan dalam syariat maupun bahasa, maka harus diambil dari ‘urf. Dalam ‘urf, satu kali radha‘ adalah ketika anak menyusu secara terus-menerus lalu terputus karena ia berhenti. Jika di sela-sela terputus itu ada tarikan napas, atau menjilat, atau menelan apa yang terkumpul di mulutnya, atau mencerna apa yang ada di mulutnya lalu kembali menyusu, maka itu dihitung satu kali radha‘, karena dalam ‘urf satu kali radha‘ bisa diselingi jeda, istirahat, dan menjilat, sebagaimana orang yang bersumpah tidak makan kecuali sekali dalam satu hidangan, lalu ia berhenti sejenak untuk menarik napas, menelan, atau menjilat, lalu kembali makan, maka itu tetap dihitung satu kali makan dan sumpahnya tidak batal. Demikian pula jika anak berpindah dari satu payudara ke payudara lain, maka itu tetap dihitung satu kali radha‘, sebagaimana orang yang bersumpah berpindah dari satu jenis makanan ke jenis lain, sumpahnya tidak batal. Namun, jika anak meninggalkan payudara dan memutus radha‘ tanpa sebab, lalu kembali menyusu, maka dilihat dari lamanya jeda. Jika jedanya singkat, maka itu satu kali radha‘, dan jika lama, maka itu dua kali radha‘. Demikian pula hukum orang yang bersumpah, jika ia memutus lalu kembali, maka dilihat dari lamanya jeda.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَا التقدير فَرْعَانِ:

Berdasarkan penetapan ini, terdapat dua cabang hukum:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَلْتَقِمَ الثَّدْيَ وَيَمُصَّهُ فَيَخْرُجَ الثَّدْيُ مِنْ فَمِهِ وَيَقْطَعَ عَلَيْهِ رَضَاعَهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الْقَطْعِ، هَلْ يَسْتَكْمِلُ بِهِ الرَّضْعَةَ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pertama: Jika anak menempelkan mulutnya ke payudara dan mengisapnya, lalu payudara keluar dari mulutnya dan ia memutus radha‘nya, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang pemutusan ini, apakah dengan itu radha‘nya dianggap sempurna atau tidak, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّضْعَةَ لَمْ تَكْمُلْ حَتَّى يَقْطَعَهَا بِاخْتِيَارِهِ وَلَا يَحْتَسِبَ بِهَا مِنَ الْخَمْسِ لِعَدَمِ كَمَالِهَا كَمَنْ حَلَفَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا مَرَّةً فَقُطِعَ عَلَيْهِ الْأَكْلُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ ثُمَّ عَاوَدَ الْأَكْلَ بَعْدَ تَمْكِينِهِ لَمْ يَحْنَثْ.

Salah satu pendapat: Bahwa satu kali susuan belum dianggap sempurna hingga anak tersebut melepaskannya atas pilihannya sendiri, dan tidak dihitung sebagai salah satu dari lima kali susuan karena belum sempurna. Hal ini seperti seseorang yang bersumpah tidak akan makan kecuali satu kali, lalu makannya terputus tanpa kehendaknya, kemudian ia kembali makan setelah memungkinkan baginya, maka sumpahnya tidak batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَكُونُ رَضْعَةً كَامِلَةً يُحْتَسَبُ بِهَا مِنَ الْخَمْسِ، لِأَنَّ الرَّضَاعَ يُعْتَبَرُ فِيهِ فِعْلُ الْمُرْضِعَةِ وَالْمُرْضَعِ عَلَى الِانْفِرَادِ وَلَا يُعْتَبَرُ اجْتِمَاعُهُمَا عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَوِ ارْتَضَعَ مِنْهَا وَهِيَ نَائِمَةٌ كَانَ لَهَا رَضَاعًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا فِعْلٌ، وَلَوْ أَوْجَرَتْهُ لَبَنَهَا، وَهُوَ نَائِمٌ كَانَ رَضَاعًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِعْلٌ.

Pendapat kedua: Bahwa susuan tersebut dianggap satu kali susuan yang sempurna dan dihitung sebagai salah satu dari lima kali susuan, karena dalam masalah penyusuan yang diperhitungkan adalah perbuatan ibu yang menyusui dan anak yang disusui secara terpisah, dan tidak disyaratkan keduanya melakukannya secara bersamaan. Sebab, jika anak menyusu dari ibunya saat ibunya sedang tidur, maka itu tetap dianggap sebagai penyusuan meskipun sang ibu tidak melakukan apa-apa. Demikian pula jika sang ibu menuangkan susunya kepada anak yang sedang tidur, maka itu juga dianggap sebagai penyusuan meskipun sang anak tidak melakukan apa-apa.

وَالْفَرْعُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَرْتَضِعَ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنِ امْرَأَتَيْنِ أَرْبَعًا أَرْبَعًا ثُمَّ يُرْضَعُ الْخَامِسَةَ مِنْ إِحْدَاهُمَا ثُمَّ يَعْدِلُ عَنْ ثَدْيَيْهَا إِلَى ثَدْيِ الْأُخْرَى فَتُرْضِعُهُ، فَفِي تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Cabang kedua: Yaitu apabila seorang anak menyusu dari masing-masing dua perempuan sebanyak empat kali, kemudian ia menyusu yang kelima dari salah satu dari keduanya, lalu ia berpindah dari payudara perempuan tersebut ke payudara perempuan yang lain, lalu perempuan yang lain itu menyusuinya. Maka dalam keharaman keduanya atas anak tersebut terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا لِأَنَّ الرَّضْعَةَ الْخَامِسَةَ مُشْتَرَكَةٌ بَيْنَهُمَا، فَكَانَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَعْضُهَا فَلَمْ تَكْمُلْ بِهَا الْخَامِسَةُ كَمَا لَوِ انْتَقَلَ الْحَالِفُ مِنْ مَائِدَةٍ إِلَى أُخْرَى.

Salah satunya: Tidak ada satu pun dari keduanya yang menjadi haram bagi anak tersebut, karena susuan kelima itu terbagi antara keduanya, sehingga masing-masing dari keduanya hanya mendapatkan sebagian dari susuan tersebut, sehingga susuan kelima tidak sempurna pada salah satu dari keduanya, sebagaimana jika orang yang bersumpah berpindah dari satu hidangan ke hidangan lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَدْ حَرُمَتَا عَلَيْهِ، وَيُعْتَدُّ بِمَا شَرِبَهُ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا رَضْعَةً كَامِلَةً، لِأَنَّهُ قَطَعَ ثَدْيَهَا تَارِكًا لَهُ فَلَمْ يَقَعِ الْفَصْلُ فِي تَرْكِهِ بَيْنَ إِمْسَاكِهِ وَارْتِضَاعِهِ مِنْ غَيْرِهِ وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَا الْفَرْعِ أَنْ يَحْلُبَ لَبَنًا فِي إِنَاءٍ يَمْتَزِجُ فِيهِ لَبَنُهُمَا ثُمَّ يَشْرَبُهُ الطِّفْلُ فِي رَفْعَةٍ وَاحِدَةٍ فَلَا تُعْتَدُّ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا، وَيُعْتَدُّ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا رَضْعَةً كَامِلَةً والله أعلم بالصواب.

Pendapat kedua: Keduanya menjadi haram bagi anak tersebut, dan apa yang diminum dari masing-masing mereka dihitung sebagai satu kali susuan yang sempurna, karena anak tersebut meninggalkan payudara salah satu dari mereka dengan sengaja, sehingga tidak terjadi pemisahan antara ia memegang payudara dan menyusu dari yang lain. Cabang dari masalah ini adalah jika susu dari kedua perempuan diperah ke dalam satu wadah hingga bercampur, lalu diminum oleh anak dalam satu kali minum, maka menurut pendapat pertama, tidak ada satu pun dari keduanya yang dihitung sebagai satu kali susuan, sedangkan menurut pendapat kedua, masing-masing dari keduanya dihitung sebagai satu kali susuan yang sempurna. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْوُجُورُ كَالرَّضَاعِ وَكَذَلِكَ السُّعُوطُ لِأَنَّ الرَّأْسَ جَوْفٌ “.

Imam Syafi’i ra. berkata: “Memberikan susu dengan cara menuangkannya ke mulut (al-wujūr) sama hukumnya dengan penyusuan, demikian pula dengan cara menuangkannya ke hidung (as-su‘ūṭ), karena kepala termasuk rongga tubuh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا الْوُجُورُ فَهُوَ صَبُّ اللَّبَنِ فِي حَلْقِهِ، وَأَمَّا السُّعُوطُ فَهُوَ صَبُّ اللَّبَنِ فِي أَنْفِهِ وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي تَحْرِيمِ الرَّضَاعِ بِهِمَا إِذَا وَصَلَ اللَّبَنُ بِالْوُجُورِ إِلَى جَوْفِهِ، وَبِالسُّعُوطِ إِلَى دِمَاغِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Al-Mawardi berkata: Adapun al-wujūr adalah menuangkan susu ke dalam tenggorokannya, sedangkan as-su‘ūṭ adalah menuangkan susu ke dalam hidungnya. Para fuqaha berbeda pendapat tentang keharaman penyusuan dengan kedua cara ini apabila susu dengan al-wujūr sampai ke rongga tubuhnya, dan dengan as-su‘ūṭ sampai ke otaknya, menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إِنَّ التَّحْرِيمَ بِهِمَا ثَابِتٌ كَالرَّضَاعِ.

Pertama: Ini adalah mazhab Syafi’i, bahwa keharaman dengan kedua cara tersebut tetap berlaku seperti halnya penyusuan.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ عَطَاءٍ، وَدَاوُدَ أَنَّهُ لَا يَثْبُتُ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ بِهِمَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ} [النساء: 23] .

Kedua: Ini adalah mazhab ‘Aṭā’ dan Dāwūd, bahwa keharaman penyusuan tidak berlaku dengan kedua cara tersebut, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan ibu-ibumu yang menyusui kamu} (QS. An-Nisa: 23).

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ التَّحْرِيمَ ثَبَتَ بِالْوُجُورِ، وَلَا يَثْبُتُ بِالسُّعُوطِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ ” وَالْوُجُورُ يَحْصُلُ بِهِ الِاعْتِدَادُ لِوُصُولِهِ إِلَى الْجَوْفِ، وَالسُّعُوطُ لَا يَحْصُلُ بِهِ الِاعْتِدَادُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَصِلْ إِلَى الْجَوْفِ فَأَشْبَهَ الْحُقْنَةَ، وَالدَّلِيلُ عَلَيْهَا فِي الْوُجُورِ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الرَّضَاعُ مِنَ الْمَجَاعَةِ ” وَالْوُجُورُ يَحْصُلُ بِهِ الِاعْتِدَادُ لِوُصُولِهِ إِلَى الْجَوْفِ، وَالسُّعُوطُ لَا يَحْصُلُ بِهِ الِاعْتِدَادُ مَا أَنْبَتَ اللَّحْمَ وَأَنْشَرَ الْعَظْمَ، وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي الْوُجُورِ، وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي سَالِمٍ ” أَرَضِعِيهِ خَمْسًا يَحْرُمُ بِهِنَّ عَلَيْكِ ” وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَمْ يُرِدِ ارْتِضَاعَهُ مِنَ الثَّدْيِ بِتَحْرِيمِهِ عَلَيْهِ فَثَبَتَ أَنَّهُ أَرَادَ الْوُجُورَ.

Ketiga: Ini adalah mazhab Abu Hanifah, bahwa keharaman tetap berlaku dengan al-wujūr, tetapi tidak berlaku dengan as-su‘ūṭ, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Penyusuan itu dari sebab lapar.” Al-wujūr dianggap karena sampai ke rongga tubuh, sedangkan as-su‘ūṭ tidak dianggap karena tidak sampai ke rongga tubuh, sehingga serupa dengan suntikan. Dalil atas hal ini dalam al-wujūr adalah sabda Nabi ﷺ: “Penyusuan itu dari sebab lapar,” dan al-wujūr dianggap karena sampai ke rongga tubuh, sedangkan as-su‘ūṭ tidak dianggap kecuali jika menumbuhkan daging dan menguatkan tulang, dan ini terdapat pada al-wujūr. Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Sālim: “Susuilah ia lima kali, maka ia menjadi mahram bagimu,” dan diketahui bahwa yang dimaksud bukanlah menyusu langsung dari payudara dalam keharamannya, maka tetaplah bahwa yang dimaksud adalah al-wujūr.

وَالدَّلِيلُ على أبي حنيفة في السعود قول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ بَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أن تكون صائماً، لأن لا يَصِيرَ بِالْمُبَالَغَةِ وَوُصُولِ الْمَاءِ إِلَى الرَّأْسِ مُفْطِرًا كَوُصُولِهِ إِلَى الْجَوْفِ كَذَلِكَ الرَّضَاعُ، وَلِأَنَّ مَا أَفْطَرَ بِاعْتِدَائِهِ مِنْ لَبَنِهَا أَثْبَتَ تَحْرِيمَ الرَّضَاعِ فِي زَمَانِهِ كَالرَّضَاعِ فَأَمَّا قَوْله تَعَالَى {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتي أرضعنكم} ، فَهَذَا يَتَنَاوَلُ الرَّضَاعَ اسْمًا وَمَعْنًى.

Dalil bagi pendapat Abu Hanifah dalam masalah sa‘ūd adalah sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada Laqīṭ bin Ṣabrah: “Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyāq kecuali jika engkau sedang berpuasa,” karena jangan sampai dengan bersungguh-sungguh dan sampainya air ke kepala menyebabkan batalnya puasa, sebagaimana sampainya air ke dalam rongga, demikian pula halnya dengan radā‘ (penyusuan). Dan karena apa yang menyebabkan batalnya puasa karena tindakan melampaui batas dari air susunya, maka itu menetapkan keharaman radā‘ pada masa tersebut sebagaimana radā‘. Adapun firman Allah Ta‘ala: {dan ibu-ibumu yang menyusui kalian}, maka ini mencakup radā‘ baik secara lafaz maupun makna.

وَأَمَّا الْحُقْنَةُ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

Adapun suntikan (al-ḥuqnah), terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: ثَبَتَ بِهَا تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ فَيَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ.

Salah satunya: Dengan suntikan itu tetap berlaku keharaman radā‘, sehingga istidlāl (pengambilan dalil) gugur.

وَالثَّانِي: لَا يَثْبُتُ بِهَا تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ وَإِنْ أَفْطَرَ بِهَا الصَّائِمُ، لِأَنَّ تَأْثِيرَ الِاعْتِدَاءِ فِي السُّعُوطِ وَالْوُجُورِ، وَتَأْثِيرَهُ فِي الْحُقْنَةِ غَيْرُ مَوْجُودٍ.

Yang kedua: Dengan suntikan itu tidak tetap berlaku keharaman radā‘ meskipun dengannya puasa seseorang batal, karena pengaruh tindakan melampaui batas terdapat pada sa‘ūd dan wujūr, sedangkan pengaruhnya pada suntikan tidak ada.

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَاهُ فَلَا فَرْقَ فِي الْخَمْسِ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ كُلُّهَا رَضَاعًا أَوْ كُلُّهَا سُعُوطًا أَوْ كُلُّهَا وُجُورًا أَوْ بَعْضُهَا رَضَاعًا، وَبَعْضُهَا سُعُوطًا أَوْ بَعْضُهَا وجوراً.

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan, maka tidak ada perbedaan dalam lima kali (penyusuan) apakah semuanya berupa radā‘, atau semuanya sa‘ūd, atau semuanya wujūr, atau sebagian berupa radā‘ dan sebagian sa‘ūd, atau sebagian wujūr.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ حُقِنَ بِهِ كَانَ فِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أنه جوف وذلك أنها تفطر الصائم والآخر أن ما وصل إلى الدماغ كما وصل إلى المعدة لأنه يغتذي من المعدة وليس كذلك الحقنة (قال المزني) رحمه الله قد جعل الحقنة في معنى من شرب الماء فأفطر فكذلك هو في القياس في معنى من شرب اللبن وإذ جعل السعوط كالوجور لأن الرأس عنده جوف فالحقنه إذا وصلت إلى الجوف عندي أولى وبالله التوفيق “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika diberikan melalui suntikan, maka ada dua pendapat: salah satunya bahwa itu masuk ke dalam rongga, karena ia membatalkan puasa orang yang berpuasa; dan pendapat lain bahwa apa yang sampai ke otak seperti apa yang sampai ke lambung, karena seseorang mendapat nutrisi dari lambung, dan tidak demikian halnya dengan suntikan. (Al-Muzani rahimahullah berkata:) Beliau telah menyamakan suntikan dengan orang yang minum air sehingga batal puasanya, maka demikian pula secara qiyās dengan orang yang minum susu. Dan ketika sa‘ūd disamakan dengan wujūr karena kepala menurut beliau adalah rongga, maka suntikan jika sampai ke rongga menurutku lebih utama. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْحُقْنَةُ بِاللَّبَنِ أَنْ تُوَصَّلَ إِلَى دُبُرِهِ، وَفِي ثُبُوتِ التَّحْرِيمِ بِهِ قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Suntikan dengan susu adalah memasukkan susu ke duburnya, dan dalam penetapan keharaman (radā‘) dengannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ وَبِهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ إِنَّهُ يَثْبُتُ بِهِ التَّحْرِيمُ كَالسُّعُوطِ لِأَمْرَيْنِ:

Salah satunya, dan ini adalah pilihan Al-Muzani dan juga pendapat Muhammad bin Al-Hasan, bahwa dengan itu tetap berlaku keharaman sebagaimana sa‘ūd, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فِي إِفْطَارِ الصَّائِمِ بِهِ كَالسُّعُوطِ، وَكَذَلِكَ فِي تَحْرِيمِ الرَّضَاعِ بِمَثَابَتِهِ.

Pertama: Bahwa dalam membatalkan puasa dengannya sama seperti sa‘ūd, demikian pula dalam menetapkan keharaman radā‘.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ السُّعُوطُ كَالْوُجُورِ، لِأَنَّ الرَّأْسَ جَوْفٌ، وَالْوَاصِلَ مِنَ الدُّبُرِ، وَاصِلٌ إِلَى الْجَوْفِ فَكَانَ بِالتَّحْرِيمِ لِهَذِهِ الْعِلَّةِ أَحَقَّ.

Kedua: Karena sa‘ūd disamakan dengan wujūr, karena kepala adalah rongga, dan apa yang masuk dari dubur juga sampai ke rongga, maka dalam hal keharaman karena alasan ini lebih berhak.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنَّهُ لَا يَثْبُتُ بِهِ التَّحْرِيمُ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, bahwa dengan itu tidak tetap berlaku keharaman karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الرَّضَاعُ مَا أَنْبَتَ اللَّحْمَ وَأَنْشَزَ الْعَظْمَ ” وَهَذَا مَعْدُومٌ فِي الْحُقْنَةِ، لِأَنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَى مَحَلِّ الْغِذَاءِ لِلْإِسْهَالِ وَإِخْرَاجِ مَا فِي الْجَوْفِ فخالفت حكم ما يصل إلى جوف “.

Pertama: Berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Radā‘ adalah apa yang menumbuhkan daging dan menguatkan tulang,” dan ini tidak terdapat pada suntikan, karena tidak sampai ke tempat nutrisi, bahkan menyebabkan diare dan mengeluarkan isi rongga, sehingga hukumnya berbeda dengan apa yang sampai ke rongga.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الْمُزَنِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَأَدْخَلَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى مَنْ قَالَ إِنْ كَانَ مَا خَلَطَ بِاللَّبَنِ أَغْلَبَ لَمْ يَحْرُمْ وَإِنْ كَانَ اللَّبَنُ الْأَغْلَبَ حَرُمَ فَقَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ خَلَطَ حَرَامًا بِطَعَامٍ وَكَانَ مُسْتَهْلَكًا فِي الطَّعَامِ أَمَا يَحْرُمُ فَكَذَلِكَ اللَّبَنُ “.

Al-Muzani ra. berkata: “Imam Syafi‘i rahimahullah Ta‘ala membantah orang yang berpendapat bahwa jika campuran dengan susu lebih dominan maka tidak haram, dan jika susu yang lebih dominan maka haram, lalu beliau berkata: Bagaimana pendapatmu jika sesuatu yang haram dicampur dengan makanan dan sudah larut dalam makanan, bukankah itu tetap haram? Maka demikian pula susu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا شِيبَ اللَّبَنُ بِمَائِعٍ اخْتَلَطَ بِهِ مِنْ مَاءٍ أَوْ خَلٍّ أَوْ خَمْرٍ ثَبَتَ بِهِ التَّحْرِيمُ غَالِبًا كَانَ أَوْ مَغْلُوبًا، وَكَذَلِكَ لَوْ شِيبَ اللَّبَنُ بِجَامِدٍ كَالدَّقِيقِ وَالْعَصِيدِ فَأَكَلَهُ ثَبَتَ بِهِ التَّحْرِيمُ غَالِبًا كَانَ أَوْ مَغْلُوبًا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika susu dicampur dengan cairan yang bercampur dengannya, baik air, cuka, atau khamar, maka tetap berlaku keharaman baik susu yang dominan maupun yang kalah. Demikian pula jika susu dicampur dengan benda padat seperti tepung atau bubur lalu dimakan, maka tetap berlaku keharaman baik susu yang dominan maupun yang kalah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنِ اخْتَلَطَ بِمَائِعٍ نَشَرَ الْحُرْمَةَ إِنْ كَانَ غَالِبًا، وَلَمْ يَنْشُرِ الْحُرْمَةَ إِنْ كَانَ مَغْلُوبًا، وَإِنِ اخْتَلَطَ بِجَامِدٍ لَمْ يَنْشُرِ الْحُرْمَةَ سَوَاءٌ كَانَ غَالِبًا أَوْ مَغْلُوبًا.

Abu Hanifah berkata: Jika dicampur dengan cairan, maka keharaman menyebar jika susu yang dominan, dan tidak menyebar jika susu yang kalah. Namun jika dicampur dengan benda padat, maka keharaman tidak menyebar baik susu yang dominan maupun yang kalah.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ: نَشَرَ الْحُرْمَةَ إِذَا كَانَ غَالِبًا سَوَاءٌ اخْتَلَطَ بِمَائِعٍ أَوْ بِجَامِدٍ، وَلَا يَنْشُرُ الْحُرْمَةَ إِنْ كَانَ مَغْلُوبًا وَحَكَى الْمُزَنِيُّ نَحْوَهُ اسْتِدْلَالًا عَلَى اعتبار الْغَلَبَةِ، فَإِنَّ اللَّبَنَ إِذَا كَانَ مَغْلُوبًا صَارَ مُسْتَهْلَكًا بِمَا غَلَبَ عَلَيْهِ، وَزَالَ عَنْهُ الِاسْمُ، وَارْتَفَعَ عَنْهُ الْحُكْمُ.

Abu Yusuf dan Muhammad berkata: Hukum keharaman berlaku jika susu lebih dominan, baik bercampur dengan cairan maupun benda padat, dan tidak berlaku keharaman jika susu kalah (jumlahnya). Al-Muzani meriwayatkan pendapat serupa sebagai dalil atas pertimbangan dominasi (ghalabah), karena jika susu kalah (jumlahnya), maka ia dianggap telah habis (mustaḥlak) oleh yang mengalahkannya, sehingga nama (susu) hilang darinya dan hukumnya pun terangkat.

أَمَّا زَوَالُ اسْمِهِ فَلِأَنَّ رَجُلًا لَوْ حَلَفَ لَا يَشْرَبُ اللَّبَنَ فَغَلَبَ عَلَيْهِ الْمَاءُ لَمْ يَحْنَثْ بِشُرْبِهِ.

Adapun hilangnya nama (susu) itu, karena jika seseorang bersumpah tidak akan meminum susu, lalu air lebih dominan dalam campuran tersebut, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika meminumnya.

وَأَمَّا ارْتِفَاعُ حُكْمِهِ فَلِأَنَّ الْخَمْرَ لَوْ كَانَ مَغْلُوبًا فِي الْمَاءِ لَمْ يَجِبِ الْحَدُّ بِشُرْبِهِ، وَلَوْ كَانَ الطِّيبُ مَغْلُوبًا فِي الْمَاءِ لَمْ يُفْدِ الْمُحْرِمُ بِاسْتِعْمَالِهِ، فَإِذَا زَالَ عَنِ الْمَغْلُوبِ اسْمُهُ، وَحُكْمُهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَثْبُتَ بِمَغْلُوبِ اللَّبَنِ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ لِمَا فِيهِ مِنْ ذَهَابِ اسْمِهِ وَحُكْمِهِ وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ تَحْرِيمَ اللَّبَنِ إِذَا كَانَ خَالِصًا يَتَعَلَّقُ بِهِ فَتَعَلَّقَ بِهِ إِذَا كَانَ مُخْتَلِطًا قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا كَانَ غَالِبًا، وَلِأَنَّ كُلَّ مُمَازَجَةٍ تَسْلُبُ حُكْمَ اللَّبَنِ إِذَا كَانَ غَالِبًا لَمْ تَسْلُبْ حُكْمَهُ إِذَا كَانَ مَغْلُوبًا.

Adapun terangkatnya hukum (susu) itu, karena jika khamr kalah (jumlahnya) dalam air, maka tidak wajib hukuman had bagi yang meminumnya. Dan jika minyak wangi kalah (jumlahnya) dalam air, maka orang yang berihram tidak wajib membayar fidyah karena menggunakannya. Maka, jika nama dan hukum telah hilang dari yang kalah (jumlahnya), tidak boleh menetapkan keharaman radā‘ (persusuan) dengan susu yang kalah (jumlahnya), karena nama dan hukumnya telah hilang. Dalil kami adalah bahwa keharaman susu jika masih murni berlaku padanya, maka berlaku pula jika bercampur, dengan qiyās atas yang murni jika susu lebih dominan. Dan setiap pencampuran yang menghilangkan hukum susu jika susu lebih dominan, tidak menghilangkan hukumnya jika susu kalah (jumlahnya).

دليله إذا خلط بن آدَمِيَّةٍ بِلَبَنِ بَهِيمَةٍ فَإِنَّهُمْ يُوَافِقُونَ عَلَى ثُبُوتِ التَّحْرِيمِ، وَإِنْ كَانَ لَبَنُ الْبَهِيمَةِ أَكْثَرَ، وَلِأَنَّ كل ما تعلق به التحريم غائبا تَعَلَّقَ بِهِ مَغْلُوبًا كَالنَّجَاسَةِ فِي قَلِيلِ الْمَاءِ، وَلِأَنَّ اخْتِلَاطَ اللَّبَنِ بِالْمَاءِ قَبْلَ دُخُولِهِ فَمَهُ كَاخْتِلَاطِهِ بِهِ فِي فَمِهِ، وَلَوِ اخْتَلَطَ بِهِ فِي فَمِهِ ثَبَتَ بِهِ التَّحْرِيمُ وَإِنْ كَانَ مَغْلُوبًا كَذَلِكَ إِذَا اخْتَلَطَ قَبْلَ دُخُولِهِ فَمَهُ.

Dalilnya, jika susu perempuan dicampur dengan susu hewan, mereka sepakat bahwa keharaman tetap berlaku, meskipun susu hewan lebih banyak. Dan segala sesuatu yang keharamannya tetap meski tidak tampak, maka tetap pula jika kalah (jumlahnya), seperti najis dalam sedikit air. Dan karena pencampuran susu dengan air sebelum masuk ke mulut anak sama seperti pencampurannya di dalam mulutnya. Jika bercampur di dalam mulutnya, keharaman tetap berlaku meskipun susu kalah (jumlahnya), demikian pula jika bercampur sebelum masuk ke mulutnya.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِزَوَالِ اسْمِهِ الْمُوجِبِ لِارْتِفَاعِ حُكْمِهِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun dalil mereka dengan hilangnya nama yang menyebabkan terangkatnya hukum, maka jawabannya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مُطْلَقَ الِاسْمِ يَتَنَاوَلُ الْخَالِصَ دُونَ الْغَالِبِ ثُمَّ لَا يَقْتَضِي زَوَالَ الِاسْمِ عَنْهُ إِذَا كَانَ غَالِبًا مِنْ وُقُوعِ التَّحْرِيمِ بِهِ كَذَلِكَ إِذَا كَانَ مَغْلُوبًا.

Pertama: Bahwa nama secara mutlak hanya mencakup yang murni, bukan yang dominan, kemudian hilangnya nama dari yang dominan tidak meniscayakan hilangnya keharaman padanya, demikian pula jika kalah (jumlahnya).

وَالثَّانِي: أَنَّ الْحُكْمَ مُتَعَلِّقٌ بِالْمَعْنَى دُونَ الِاسْمِ، وَالْمَعْنَى حُصُولُ اللَّبَنِ فِي جَوْفِهِ، وَقَدْ حصل بالامتزاح غَالِبًا وَمَغْلُوبًا كَالنَّجَاسَةِ إِذَا غَلَبَ الْمَاءُ عَلَيْهَا ثَبَتَ حُكْمُهَا مَعَ زَوَالِ اسْمِهَا.

Kedua: Bahwa hukum terkait dengan makna, bukan nama. Maknanya adalah sampainya susu ke dalam perut anak, dan itu telah terjadi dengan pencampuran, baik susu dominan maupun kalah (jumlahnya), sebagaimana najis jika air lebih dominan atasnya, hukumnya tetap meskipun namanya hilang.

فَأَمَّا سُقُوطُ الْحَدِّ بِمَغْلُوبِ الْخَمْرِ دُونَ غَالِبِهِ، فَلِأَنَّ الْحُدُودَ تُدْرَأُ بِالشُّبَهَاتِ.

Adapun gugurnya hukuman had karena khamr yang kalah (jumlahnya), bukan yang dominan, karena hudud (hukuman) digugurkan oleh adanya syubhat (keraguan).

فَأَمَّا سُقُوطُ الْفِدْيَةِ بِمُسْتَهْلَكِ الطِّيبِ فِي الْمَاءِ فَلِزَوَالِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهِ.

Adapun gugurnya fidyah karena minyak wangi yang habis dalam air, karena hilangnya kenikmatan darinya.

وَأَمَّا سُقُوطُ الْكَفَّارَةِ عَنِ الْحَالِفِ فَلِأَنَّ الْأَيْمَانَ مَحْمُولَةٌ عَلَى الْعُرْفِ.

Adapun gugurnya kafarat dari orang yang bersumpah, karena sumpah-sumpah itu mengikuti kebiasaan (‘urf).

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ التَّحْرِيمُ بِاللَّبَنِ الْمَشُوبِ غَالِبًا وَمَغْلُوبًا، فَلَا يَخْلُو أَنْ يُشْرَبَ جَمِيعُ الْمَشُوبِ أَوْ بَعْضُهُ، فَإِنْ شُرِبَ جَمِيعُ الْمَشُوبِ بِاللَّبَنِ ثَبَتَ بِهِ التَّحْرِيمُ، وَإِنْ شُرِبَ بَعْضُهُ لَمْ يَخْلُ أَنْ يُعْلَمَ اخْتِلَاطُ اللَّبَنِ بِجَمِيعِهِ أَوْ لَا يُعْلَمَ، فَإِنْ لَمْ يُعْلَمِ اخْتِلَاطُ اللَّبَنِ بِجَمِيعِهِ كَقَطْرَةٍ مِنْ لَبَنٍ وَقَعَتْ فِي جُبٍّ مِنْ مَاءٍ فَشَرِبَ الطِّفْلُ مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ لَمْ يَثْبُتْ بِهِ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ، لِأَنَّ التَّحْرِيمَ لَا يَثْبُتُ بِالشَّكِّ وَإِنْ عُلِمَ اخْتِلَاطُ اللَّبَنِ بِجَمِيعِهِ كَأُوقِيَّةٍ مِنْ لَبَنٍ مُزِجَتْ بِأُوقِيَّتَيْنِ مِنْ مَاءٍ حَتَّى لَمْ يَتَمَيَّزِ الْمَاءُ مِنَ اللَّبَنِ، فَحُكْمُ جَمِيعِهِ فِي حُكْمِ اللَّبَنِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ التَّحْرِيمِ فَأَيُّ شَيْءٍ شَرِبَهُ مِنْ ذَلِكَ الْمَشُوبِ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ ثَبَتَ بِهِ التَّحْرِيمُ.

Jika telah tetap keharaman dengan susu yang bercampur, baik susu dominan maupun kalah (jumlahnya), maka tidak lepas dari dua keadaan: seluruh campuran diminum atau hanya sebagian. Jika seluruh campuran yang mengandung susu diminum, maka keharaman tetap berlaku. Jika hanya sebagian yang diminum, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: diketahui bahwa susu telah bercampur merata dalam seluruh campuran atau tidak diketahui. Jika tidak diketahui bahwa susu telah bercampur merata, seperti setetes susu jatuh ke dalam sumur air lalu anak meminum air tersebut, maka keharaman radā‘ tidak berlaku, karena keharaman tidak ditetapkan dengan keraguan. Namun jika diketahui bahwa susu telah bercampur merata, seperti satu uqiyah susu dicampur dengan dua uqiyah air hingga tidak bisa dibedakan antara air dan susu, maka hukum seluruh campuran itu dihukumi sebagai susu, dengan menguatkan hukum keharaman. Maka, apa pun yang diminum dari campuran itu, sedikit atau banyak, tetap berlaku keharaman.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا امْتَزَجَ لَبَنُ امرأتين ثم شربه المولود ثبت به تحريمها عَلَيْهِ سَوَاءٌ تَسَاوَى لَبَنُهُمَا أَوْ غَلَبَ لَبَنُ إِحْدَاهُمَا.

Jika susu dua perempuan bercampur lalu diminum oleh seorang anak, maka tetap berlaku keharaman baginya, baik kadar susu keduanya sama maupun salah satu lebih banyak.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو يُوسُفَ، يَخْتَصُّ التَّحْرِيمُ بِأَغْلَبِهِمَا لَبَنًا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِمَا فِي اعتبار الأغلب.

Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat, keharaman hanya berlaku pada yang susunya lebih dominan, berdasarkan prinsip mereka dalam mempertimbangkan yang lebih banyak.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَوْ جَبَّنَ اللَّبَنَ فَأَطْعَمَهُ كَانَ كَالرَّضَاعِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika susu itu dijadikan keju lalu diberikan kepada anak, hukumnya sama seperti menyusui.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا جَبَّنَ اللَّبَنَ أَوْ أَغْلَاهُ بِالنَّارِ تَعَلَّقَ بِهِ التَّحْرِيمُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar sebagaimana yang dikatakan, jika susu dijadikan keju atau direbus dengan api, maka tetap berlaku keharaman.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ التَّحْرِيمُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ) [النساء: 23] وَهَذَا مَفْقُودٌ فِي الْمُجَبَّنِ وَالْمَغْلِيِّ، وَلِأَنَّ زَوَالَ اسْمِ اللَّبَنِ مُوجِبٌ لِارْتِفَاعِ حُكْمِهِ بِنَاءً عَلَى مَا قَالَهُ فِي الْمَشُوبِ.

Abu Hanifah berkata: Tidak berlaku keharaman, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian} [an-Nisa: 23], dan ini tidak terdapat pada susu yang dijadikan keju atau direbus, serta karena hilangnya nama “susu” menyebabkan hilangnya hukumnya, sebagaimana yang ia katakan pada susu yang tercampur.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ ” وَهَذَا أَبْلَغُ فِي سَدِّ المجاعة من مائع اللبن فوجب أَنْ يَكُونَ أَخَصَّ بِالتَّحْرِيمِ، وَلِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِهِ التَّحْرِيمُ مَائِعًا تَعَلَّقَ بِهِ جَامِدًا كَالنَّجَاسَةِ وَالْخَمْرِ، وَلِأَنَّ انْعِقَادَ أَجْزَائِهِ لَا يَمْنَعُ مِنْ بَقَاءِ تَحْرِيمِهِ كَمَا لَوْ ثَخُنَ، وَلِأَنَّ تَغْيِيرَ صِفَتِهِ لَا تُوجِبُ تَغْيِيرَ حُكْمِهِ كَمَا لَوْ حَمُضَ وَقَدْ مَضَى الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ.

Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Penyusuan itu untuk menghilangkan lapar,” dan ini lebih efektif dalam menghilangkan lapar daripada susu cair, maka lebih layak untuk menyebabkan keharaman. Dan karena sesuatu yang menyebabkan keharaman dalam keadaan cair juga menyebabkan keharaman dalam keadaan padat, seperti najis dan khamr. Dan karena penggumpalan bagian-bagiannya tidak menghalangi tetapnya keharaman, sebagaimana jika susu itu mengental. Dan karena perubahan sifatnya tidak menyebabkan perubahan hukumnya, sebagaimana jika susu itu menjadi asam. Dan telah dijelaskan jawaban atas dalil yang mereka gunakan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه ” ولا يحرم لبن البهمية إِنَّمَا يُحَرِّمُ لَبَنُ الْآدَمِيَّاتِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى جل ثناؤه {وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم} وقال {فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن} .

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Susu hewan tidak menyebabkan keharaman, yang menyebabkan keharaman hanyalah susu perempuan. Allah Ta‘ala berfirman: {dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian} dan berfirman: {jika mereka menyusui anak-anak kalian maka berikanlah upahnya kepada mereka}.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا ارْتَضَعَ رَجُلَانِ مِنْ لَبَنِ بَهِيمَةٍ لَمْ يَصِيرَا أَخَوَيْنِ، وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِلَبَنِهَا تَحْرِيمٌ.

Al-Mawardi berkata: Jika dua laki-laki menyusu pada susu hewan, keduanya tidak menjadi saudara, dan tidak ada keharaman yang terkait dengan susunya.

وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ وَأُضِيفَ ذَلِكَ إِلَى مَالِكٍ، وَقَدْ أَنْكَرَهُ أَصْحَابُهُ إِنَّ لَبَنَ الْبَهِيمَةِ يُحَرِّمُ وَيَصِيرَا بِلَبَنِهَا أَخَوَيْنِ اسْتِدْلَالًا بِاجْتِمَاعِهِمَا عَلَى لَبَنٍ وَاحِدٍ فَوَجَبَ أَنْ يَصِيرَا بِهِ أَخَوَيْنِ كَلَبَنِ الْآدَمِيَّاتِ.

Sebagian salaf, dan pendapat ini juga dinisbatkan kepada Malik—meskipun para pengikutnya mengingkarinya—berpendapat bahwa susu hewan menyebabkan keharaman dan keduanya menjadi saudara karena menyusu pada susu yang sama, dengan alasan keduanya berkumpul pada satu susu, maka seharusnya keduanya menjadi saudara seperti pada susu perempuan.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتي أرضعنكم) وَالْبَهِيمَةُ لَا تَكُونُ بِارْتِضَاعِ لَبَنِهَا أُمًّا مُحَرَّمَةً كَذَلِكَ لَا يَصِيرُ الْمُرْتَضِعَانِ بِلَبَنِهَا أَخَوَيْنِ، لِأَنَّ الْأُخُوَّةَ فَرْعٌ مِنَ الْأُبُوَّةِ. وَلِأَنَّ الرَّضَاعَ يُلْحِقُ بِالنَّسَبِ فَلَمَّا لَمْ يَثْبُتِ النَّسَبُ إِلَّا مِنْ جِهَةِ الْأَبَوَيْنِ وَجَبَ أَنْ لَا يَثْبُتَ الرَّضَاعُ إلا من جهتهما.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian}, dan hewan tidak bisa menjadi ibu yang haram karena disusui susunya, demikian pula anak-anak yang menyusu pada susunya tidak menjadi saudara, karena persaudaraan adalah cabang dari hubungan keturunan. Dan karena penyusuan itu mengikuti nasab, maka ketika nasab tidak bisa ditetapkan kecuali dari kedua orang tua, maka penyusuan pun tidak bisa ditetapkan kecuali dari keduanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” قَالَ وَلَوْ حُلِبَ مِنْهَا رَضْعَةٌ خَامِسَةٌ ثُمَّ مَاتَتْ فَأُوجِرَهُ صَبِيٌّ كَانَ ابْنَهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika diperah darinya satu kali susuan kelima lalu ia meninggal, kemudian susu itu diminumkan kepada seorang anak, maka anak itu menjadi anaknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَوْتَهَا بَعْدَ حَلْبِ اللَّبَنِ فِي الْإِنَاءِ كَوْنُهَا بَعْدَ اجْتِمَاعِ اللبن في فمه، لأن فهمه كَالْإِنَاءِ فَلَمَّا كَانَ مَوْتُهَا بَعْدَ اجْتِمَاعِ اللَّبَنِ في فمه وقبل ازْدِرَادُهُ ثَبَتَ بِالتَّحْرِيمِ إِذَا ازْدَرَدَهُ كَذَلِكَ إِذَا مَاتَتْ بَعْدَ حَلْبِ اللَّبَنِ فِي الْإِنَاءِ فَوَجَبَ التَّحْرِيمُ إِذَا شَرِبَهُ.

Pertama: Bahwa kematiannya setelah susu diperah ke dalam wadah sama seperti setelah susu terkumpul di mulut anak, karena mulut anak seperti wadah. Maka ketika kematiannya terjadi setelah susu terkumpul di mulut anak dan sebelum ditelan, tetap berlaku keharaman jika ia menelannya. Demikian pula jika ia meninggal setelah susu diperah ke dalam wadah, maka wajib berlaku keharaman jika susu itu diminum.

وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّضَاعَ مُعْتَبَرٌ بِشَيْئَيْنِ:

Kedua: Bahwa penyusuan itu dipertimbangkan dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: مِنْ جِهَةِ الْمُرْضِعَةِ، وَهُوَ خُرُوجُ اللَّبَنِ مِنْ ثَدْيِهَا.

Pertama: Dari sisi perempuan yang menyusui, yaitu keluarnya susu dari payudaranya.

وَالثَّانِي: وُلُوجُهُ فِي جَوْفِ الْمُرْتَضَعِ فَاعْتَبَرْنَا حَيَاةَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِيمَا يُخْتَصُّ بِهِ وَلَمْ يَعْتَبِرْهَا فِيمَا يُخْتَصُّ بِصَاحِبِهِ كَالْجَارِحِ رَجُلًا إِذَا مَاتَ قَبْلَ الْمَجْرُوحِ كَانَ مَأْخُوذًا بِدِيَتِهِ إِذَا مَاتَ مِنْ جِرَاحَتِهِ كَمُرْسِلِ السَّهْمِ إِذَا مَاتَ قَبْلَ وُصُولِ السَّهْمِ إِلَى الْمَرْمَى ثُمَّ وَصَلَ السَّهْمُ إِلَيْهِ، فَمَاتَ كَانَ الرَّامِي مَأْخُوذًا بِدِيَتِهِ، وَإِنْ كَانَ وَصُولُ السَّهْمِ بَعْدَ مَوْتِهِ لِوُجُودِ الْإِرْسَالِ فِي حَيَاتِهِ، وَكَالْحَافِرِ بِئْرًا إِذَا تَلِفَ فِيهَا إِنْسَانٌ بَعْدَ مَوْتِ حَافِرَهَا كَانَ مَأْخُوذًا بِدِيَتِهِ فِيمَا خَلَّفَهُ مَنْ تَرِكَتِهِ لِوُجُودِ الْحَفْرِ فِي حَيَاتِهِ فَإِنْ قِيلَ: فَيَدْخُلُ عَلَى هَذَا التَّعْلِيلِ مَوْتُ الْمُكَاتَبِ بَعْدَ اكْتِسَابِ الْوَفَاءِ أَنْ يُعْتَقَ بِأَدَائِهِ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ لِوُجُودِ الْكَسْبِ فِي حَيَاتِهِ.

Kedua: Masuknya (susu) ke dalam tubuh anak yang disusui. Maka kami mempertimbangkan kehidupan masing-masing dari keduanya dalam hal yang menjadi kekhususan baginya, dan tidak mempertimbangkannya dalam hal yang menjadi kekhususan bagi pasangannya. Seperti halnya seseorang yang melukai orang lain, jika ia meninggal sebelum orang yang terluka, maka ia tetap bertanggung jawab atas diyat (denda) jika orang yang terluka meninggal karena lukanya. Atau seperti orang yang melepaskan anak panah, jika ia meninggal sebelum anak panah itu mengenai sasarannya, kemudian anak panah itu sampai dan membunuh, maka si pemanah tetap bertanggung jawab atas diyatnya, meskipun anak panah itu sampai setelah kematiannya, karena pelepasan anak panah terjadi saat ia masih hidup. Demikian pula seperti orang yang menggali sumur, jika ada orang yang celaka di dalamnya setelah si penggali meninggal, maka ia tetap bertanggung jawab atas diyatnya dari harta peninggalannya, karena penggalian terjadi saat ia masih hidup. Jika dikatakan: Dengan alasan ini, kematian seorang mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) setelah memperoleh harta yang cukup untuk membayar perjanjiannya, maka ia seharusnya dimerdekakan dengan pembayaran itu setelah kematiannya, karena perolehan harta terjadi saat ia masih hidup.

قِيلَ: لَا يَدْخُلُ عَلَى هَذَا التَّعْلِيلِ مَا ذَكَرَ مِنْ كسب المكاتب، لأن المعتبر في الكتابة في جِهَةِ السَّيِّدِ الْعَقْدُ، وَمِنْ جِهَةِ الْمُكَاتَبِ الْأَدَاءُ فَمِثَالُهُ مِنَ الرَّضَاعِ مَوْتُ السَّيِّدِ بَعْدَ عَقْدِهِ، وَذَلِكَ لَا يُبْطِلُ الْكِتَابَةَ وَمَوْتُ الْمُكَاتَبِ قَبْلَ الْأَدَاءِ كَمَوْتِ الطِّفْلِ قَبْلَ الرَّضَاعِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dijawab: Hal yang disebutkan tentang perolehan harta oleh mukatab tidak termasuk dalam alasan ini, karena yang dianggap dalam akad kitabah (perjanjian pembebasan budak) dari sisi tuan adalah akad, dan dari sisi mukatab adalah pembayaran. Maka contohnya dalam masalah radha‘ (persusuan) adalah kematian tuan setelah akad, dan itu tidak membatalkan akad kitabah. Sedangkan kematian mukatab sebelum pembayaran seperti kematian anak sebelum menyusu. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَضَعَ مِنْهَا بَعْدَ مَوْتِهَا لَمْ يَحْرُمْ لِأَنَّهُ لَا يَحِلُّ لَبَنُ الْمَيِّتَةِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang anak menyusu darinya setelah ia meninggal, maka tidak menjadi haram, karena susu mayit tidak halal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ، إِذَا ارْتُضِعَ الْمَوْلُودُ مِنْ لَبَنِ الْمَيِّتَةِ الْحَاصِلِ مِنْ ثَدْيِهَا بَعْدَ مَوْتِهَا لَمْ يَثْبُتْ بِهِ التَّحْرِيمُ.

Al-Mawardi berkata: Dan memang demikianlah, jika bayi menyusu dari susu seorang wanita yang telah meninggal, yang keluar dari payudaranya setelah kematiannya, maka tidak berlaku keharaman (mahram) karenanya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ، يَثْبُتُ بِهِ التَّحْرِيمُ كَارْتِضَاعِهِ فِي حَيَاتِهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الرضاعة من المجاعة “.

Abu Hanifah dan Malik berkata, keharaman tetap berlaku sebagaimana jika menyusu di masa hidupnya, dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: “Radha‘ (persusuan) itu dari kelaparan.”

وقول – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الرَّضَاعُ مَا أَنْبَتَ اللَّحْمَ وَأَنْشَزَ الْعَظْمَ “، وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي لَبَنِ الْمَيِّتَةِ كَوُجُودِهِ فِي لَبَنِ الْحَيَّةِ وَلِأَنَّهُ لَبَنُ آدَمِيَّةٍ وَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ فِي زَمَانِ التَّحْرِيمِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ التَّحْرِيمُ كَمَا لَوْ شربه في حياتنا.

Dan sabda Nabi ﷺ: “Radha‘ (persusuan) adalah apa yang menumbuhkan daging dan menguatkan tulang.” Makna ini terdapat pada susu mayit sebagaimana terdapat pada susu wanita hidup. Karena itu adalah susu manusia yang masuk ke tubuhnya pada masa keharaman, maka wajib berlaku keharaman sebagaimana jika diminum di masa hidupnya.

وَلِأَنَّهُ لَبَنٌ لَوْ وَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ فِي حياتها ثبت من التَّحْرِيمُ فَوَجَبَ أَنْ يَثْبُتَ بِهِ التَّحْرِيمُ إِذَا وَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ بَعْدَ مَوْتِهَا كَالْمَحْلُوبِ مِنْهَا فِي حَيَاتِهَا، وَلِأَنَّهُ سَبَبٌ ثَبَتَ بِهِ التَّحْرِيمُ الْمُؤَبَّدُ.

Dan karena itu adalah susu yang jika masuk ke tubuhnya di masa hidupnya, keharaman tetap berlaku, maka wajib pula berlaku keharaman jika masuk ke tubuhnya setelah kematiannya, sebagaimana susu yang diperah darinya di masa hidupnya. Dan karena itu adalah sebab yang menetapkan keharaman yang abadi.

فَاسْتَوَى وُجُودُهُ فِي الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْوَفَاةِ كَالْوِلَادَةِ وَلِأَنَّهُ لَيْسَ فِي مَوْتِهَا أَكْثَرُ مِنْ سُقُوطِ فِعْلِهَا، وَهَذَا لَا يُؤَثِّرُ فِي تَحْرِيمِ الرَّضَاعِ كَمَا لَوِ ارْتَضَعَ مِنْهَا فِي نَوْمِهَا.

Maka sama saja keberadaannya di masa hidup maupun setelah wafat, seperti kelahiran. Dan karena tidak ada pada kematiannya selain hilangnya perbuatannya, dan ini tidak berpengaruh pada keharaman radha‘, sebagaimana jika anak itu menyusu darinya saat ia tidur.

وَلِأَنَّ لَبَنَهَا مَا مَاتَ بِمَوْتِهَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِهِ التَّحْرِيمُ.

Dan karena susunya tidak mati dengan kematiannya, maka tidak seharusnya keharaman itu gugur karenanya.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْحَرَامُ لَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ ” وَهَذَا اللَّبَنُ مُحَرَّمٌ لِنَجَاسَةِ عَيْنِهِ، فَلَمْ يَثْبُتْ بِهِ تَحْرِيمُ مَا كَانَ حَلَالًا مِنْ قَبْلِهِ، وَلِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِهِ تَحْرِيمُ النِّكَاحِ يَنْتَفِي مِنْ حُدُوثِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ كَالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّ الرَّضَاعَ ثَبَّتَ تَحْرِيمَ الْمُصَاهَرَةِ كَالْوَطْءِ بِشُبْهَةٍ، فَلَمَّا كَانَ الْمَوْتُ مَانِعًا مِنْ ثُبُوتِ التَّحْرِيمِ بِالْوَطْءِ، لِأَنَّهُ لَوْ وَطِئَ الْمَيِّتَةَ بَعْدَ مَوْتِهَا مُعْتَقِدًا أَنَّهَا فِي الْحَيَاةِ لَمْ يَثْبُتْ بِوَطْئِهِ التَّحْرِيمُ كَذَلِكَ ارْتِضَاعُ لَبَنِ الْمَيِّتَةِ. وَتَحْرِيرُهُ أَنَّ مَا ثَبَتَ بِهِ التَّحْرِيمُ إِذَا اتَّصَلَ بِحَيَاتِهَا زَالَ عَنْهُ التَّحْرِيمُ إِذَا اتَّصَلَ بِمَوْتِهَا كَالْوَطْءِ، وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الرَّضَاعِ مُتَعَلِّقٌ بِانْفِصَالِهِ مِنْ ثَدْيِ الْأُمِّ وَوُصُولِهِ إِلَى جَوْفِ الْوَلَدِ فَلَمَّا كَانَ وَصُولُ اللَّبَنِ إِلَى الْوَلَدِ بَعْدَ مَوْتِهَا مَانِعًا مِنْ ثُبُوتِ التَّحْرِيمِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ انْفِصَالُهُ بَعْدَ مَوْتِ الْأُمِّ مَانِعًا مِنْ ثُبُوتِ التَّحْرِيمِ.

Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Yang haram tidak mengharamkan yang halal.” Susu ini haram karena najis pada zatnya, maka tidak menetapkan keharaman terhadap sesuatu yang sebelumnya halal. Selain itu, segala sesuatu yang berkaitan dengannya keharaman nikah menjadi hilang dengan terjadinya setelah kematian, seperti halnya pernikahan. Dan karena penyusuan menetapkan keharaman karena mushāharah (hubungan pernikahan) seperti jima‘ dengan syubhat, maka ketika kematian menjadi penghalang dari penetapan keharaman dengan jima‘—karena jika seseorang menyetubuhi mayit setelah wafatnya dengan mengira ia masih hidup, maka tidak ditetapkan keharaman karena perbuatannya itu—demikian pula halnya dengan menyusu pada susu mayit. Penjelasannya adalah bahwa sesuatu yang dengan sebabnya keharaman ditetapkan ketika bersambung dengan kehidupannya, maka keharaman itu hilang ketika bersambung dengan kematiannya, seperti jima‘. Selain itu, keharaman penyusuan berkaitan dengan terpisahnya susu dari payudara ibu dan sampainya ke perut anak. Maka, ketika sampainya susu kepada anak setelah kematian ibu menjadi penghalang dari penetapan keharaman, wajib pula bahwa terpisahnya susu setelah kematian ibu menjadi penghalang dari penetapan keharaman.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ أَحَدُ جِهَتَيِ التَّحْرِيمِ فَوَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ الْمَوْتُ مِنْ ثُبُوتِ التَّحْرِيمِ كَالْوَلَدِ، وَلِأَنَّ الْمَوْتَ لَمَّا أَسْقَطَ حُرْمَةَ وَطْئِهَا وَجَبَ أَنْ يُسْقِطَ حُرْمَةَ لَبَنِهَا كَالزِّنَا، وَلِأَنَّ الرَّضَاعَ كَالْجِنَايَةِ لِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ ضَمَانِ التَّحْرِيمِ وَالْمَيِّتُ لَا يَثْبُتُ حُكْمُ الْجِنَايَةِ فِي حَقِّهِ، وَإِنْ ثَبَتَ فِي حَقِّ النَّائِمِ وَالْمَجْنُونِ. أَلَا تَرَى أَنَّ مَيِّتًا لَوْ سَقَطَ عَلَى رَجُلٍ فَقَتَلَهُ لَمْ يَضْمَنْهُ، وَلَوْ سَقَطَ عَلَيْهِ نَائِمٌ أَوْ مَجْنُونٌ ضَمِنَهُ وَلَا يَدْخُلُ عَلَى هَذَا حَافِرُ الْبِئْرِ إِذَا حَدَثَتْ بِهَا جِنَايَةٌ بَعْدَ مَوْتِهِ لِوُجُودِ الْحَفْرِ مِنْهُ فِي حَيَاتِهِ، وَإِذَا سَقَطَ بِالْمَوْتِ حُكْمُ الْجِنَايَةِ سَقَطَ بِهَا حُكْمُ الضَّمَانِ.

Penjelasannya adalah bahwa hal itu merupakan salah satu sisi keharaman, maka wajib kematian menjadi penghalang dari penetapan keharaman sebagaimana pada anak. Dan karena kematian, ketika telah menggugurkan kehormatan jima‘ dengannya, maka wajib pula menggugurkan kehormatan susunya, seperti pada kasus zina. Selain itu, penyusuan itu seperti jināyah (tindak pidana) karena berkaitan dengan jaminan keharaman, sedangkan pada mayit tidak berlaku hukum jināyah, meskipun berlaku pada orang yang tidur dan orang gila. Tidakkah engkau melihat bahwa jika mayit jatuh menimpa seseorang lalu membunuhnya, ia tidak menanggung diyatnya, sedangkan jika yang jatuh adalah orang tidur atau orang gila, maka ia menanggungnya. Tidak termasuk dalam hal ini orang yang menggali sumur, jika terjadi jināyah setelah kematiannya, karena penggalian itu terjadi pada saat ia masih hidup. Maka, jika dengan kematian gugur hukum jināyah, maka gugur pula hukum jaminannya.

وَلِأَنَّ لَبَنَ الرَّضَاعِ مَا أَنْبَتَ اللحم وأنشزالعظم، وَلِهَذَا الْمَعْنَى لَمْ يَثْبُتْ رَضَاعُ الْكَبِيرِ، وَلَبَنُ الْمَيِّتَةِ دَاءٌ لَا يَنْبُتُ بِهِ اللَّحْمُ وَلَا يَنْتَشِرُ بِهِ الْعَظْمُ فَلَمْ يَثْبُتْ بِهِ التَّحْرِيمُ، وَبِهَذَا الْمَعْنَى يُجَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْخَبَرَيْنِ.

Selain itu, susu penyusuan adalah yang menumbuhkan daging dan menguatkan tulang. Karena alasan inilah penyusuan orang dewasa tidak ditetapkan. Sedangkan susu mayit adalah penyakit yang tidak menumbuhkan daging dan tidak menguatkan tulang, maka tidak ditetapkan keharaman dengannya. Dengan alasan ini pula dijawab dalil mereka dengan dua hadis tersebut.

وَبِمِثْلِهِ يُجَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى شُرْبِهِ فِي حَيَاتِهَا أَنَّ لَبَنَ الْحَيَّةِ يُنْبِتُ اللَّحْمَ وَيُنْشِزُ الْعَظْمَ.

Demikian pula dijawab qiyās mereka atas meminum susu itu ketika masih hidup, bahwa susu wanita hidup dapat menumbuhkan daging dan menguatkan tulang.

وَجَوَابٌ ثَانٍ فِي مَعْنَى الْأَصْلِ أَنَّهَا حَالٌ لَوْ وَطِئَتْ فِيهَا لَمْ يَثْبُتْ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ فَيَثْبُتُ بِهِ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ، وَالْوَطْءُ بَعْدَ الْمَوْتِ، لَا يَثْبُتُ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ، فَلَمْ يَثْبُتْ بِهِ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ.

Jawaban kedua dalam makna asal adalah bahwa itu adalah keadaan yang jika terjadi jima‘ di dalamnya, tidak menetapkan keharaman mushāharah, maka tidak pula menetapkan keharaman penyusuan. Jima‘ setelah kematian tidak menetapkan keharaman mushāharah, maka tidak pula menetapkan keharaman penyusuan.

وَالْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْوِلَادَةِ فَهُوَ أَنَّ لُحُوقَ النَّسَبِ بِالْعُلُوقِ، وَإِنَّمَا يَسْتَقِرُّ حُكْمُهُ وَتَتَحَقَّقُ حَالُهُ بِالْوِلَادَةِ بَعْدَ تَقَدُّمِ ثُبُوتِهِ بِعُلُوقِهِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَرِثُ وَيُوَرَّثُ قَبْلَ وِلَادَتِهِ وَيُضْمَنُ دِيَتُهُ جَنِينًا.

Jawaban atas qiyās mereka dengan kelahiran adalah bahwa keterkaitan nasab itu dengan pembuahan, dan sesungguhnya hukum itu baru tetap dan keadaannya menjadi nyata dengan kelahiran setelah sebelumnya telah tetap dengan pembuahan. Tidakkah engkau lihat bahwa ia dapat mewarisi dan diwarisi sebelum kelahirannya, dan diyatnya dijamin ketika masih janin.

وَالْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ سُقُوطَ فِعْلِهَا لَا يُؤَثِّرُ فِي تَحْرِيمِ الرَّضَاعِ كَالنَّائِمَةِ فَهُوَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يُضَافُ إِلَيْهِ فِعْلٌ، وَيُضَافُ إِلَى النَّائِمِ وَالْمَجْنُونِ فَافْتَرَقَا وَقَوْلُهُمْ إِنَّ لَبَنَهَا لَمْ يَمُتْ فَهُوَ وَإِنْ لَمْ تُحِلَّهُ حَيَاةٌ تَبَعٌ لِمَا فِيهِ حَيَاةٌ فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُهَا وَزَالَ عَنْهُ الْحُكْمُ لِعَدَمِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jawaban atas dalil mereka bahwa hilangnya perbuatan ibu tidak berpengaruh pada keharaman penyusuan seperti orang yang tidur, adalah sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya bahwa pada mayit tidak dapat disandarkan suatu perbuatan, sedangkan pada orang tidur dan orang gila dapat disandarkan, maka keduanya berbeda. Adapun ucapan mereka bahwa susunya belum mati, maka meskipun tidak dihidupkan oleh kehidupan, ia tetap mengikuti apa yang di dalamnya ada kehidupan, sehingga berlaku padanya hukumnya, dan hukum itu hilang karena ketiadaan kehidupan. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ حُلِبَ مِنِ امْرَأَةٍ لَبَنٌ كَثِيرٌ فَفُرِّقَ ثُمَّ أُوجِرَ مِنْهُ صَبِيٌّ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً لَمْ يَكُنْ إِلَّا رَضْعَةً وَاحِدَةً وَلَيْسَ كَاللَّبَنِ يَحْدُثُ فِي الثَّدْيِ كُلَّمَا خَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ حَدَثَ غَيْرُهُ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika dari seorang wanita diperah susu yang banyak lalu dibagi-bagikan, kemudian seorang anak kecil diberi minum dari susu itu dua atau tiga kali, maka itu tetap dihitung sebagai satu kali penyusuan saja. Ini tidak sama dengan susu yang terus-menerus terbentuk di payudara, di mana setiap kali keluar sebagian, akan terbentuk lagi yang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ لِلْمَرْأَةِ إِذَا حُلِبَ لَبَنُهَا وَشَرِبَهُ الْوَلَدُ أَرْبَعَةَ أَحْوَالٍ:

Al-Māwardī berkata: Secara ringkas, jika susu seorang wanita diperah dan diminum oleh anak, maka terdapat empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُحْلَبَ لَبَنُهَا مَرَّةً وَاحِدَةً وَيَشْرَبَهُ الْمَوْلُودُ فِي مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ فَهَذِهِ رَضْعَةٌ وَاحِدَةٌ سَوَاءٌ قَلَّ اللَّبَنَ أَوْ كَثُرَ.

Pertama: Susunya diperah satu kali dan diminum oleh anak dalam satu kali minum, maka ini dihitung satu kali penyusuan, baik susunya sedikit maupun banyak.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُحْلَبَ لَبَنُهَا خَمْسَ مَرَّاتٍ فِي خَمْسِ أَوَانِي وَيَشْرَبَهُ فِي خَمْسِ مَرَّاتٍ فَهَذِهِ خَمْسُ رَضَعَاتٍ لِوُجُودِ الْعَدَدِ مِنَ الْجِهَتَيْنِ.

Keadaan kedua: Susunya diperah lima kali dalam lima wadah, lalu diminum dalam lima kali minum, maka ini dihitung lima kali penyusuan karena jumlahnya terpenuhi dari kedua sisi (pemerasan dan pemberian minum).

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُحْلَبَ لَبَنُهَا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ، وَيَشْرَبَهُ الْمَوْلُودُ فِي خَمْسِ مَرَّاتٍ فَالَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فِي مُخْتَصَرِهِ وَجَامِعِهِ وَنَقَلَهُ الرَّبِيعُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ أَنَّهَا رَضْعَةٌ وَاحِدَةٌ اعْتِبَارًا بِفِعْلِ الْمُرْضِعَةِ قَالَ الرَّبِيعُ وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ إِنَّهَا خَمْسُ رَضَعَاتٍ اعْتِبَارًا بِشُرْبِ الْمُرْتَضَعِ، وَاخْتُلِفَ فِي تَخْرِيجِ الرَّبِيعِ، هَلْ هُوَ قَوْلٌ ثَانٍ لِلشَّافِعِيِّ أَوْ هُوَ وَجْهٌ قَالَهُ مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ، فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَجْعَلَانِهِ وَجْهًا، قَالَهُ مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ، وَكَانَ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ وَجَمِيعُ الْبَصْرِيِّينَ يُخَرِّجُونَهُ قَوْلًا ثَانِيًا لِلشَّافِعِيِّ، فَإِذَا قِيلَ بِالْقَوْلِ الْمَشْهُورِ إِنَّهُ يَكُونُ رَضْعَةً وَاحِدَةً اعْتِبَارًا بِفِعْلِ المرضعة فوجه قول الله تعالى {وأمهاتكم اللاتي أرضعنكم} [النساء: 23] فَأَضَافَ فِعْلَ الرَّضَاعِ إِلَيْهِنَّ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ فِعْلُهُنَّ فِيهِ أَغْلَبَ، وَهُوَ الْمُعْتَبَرُ فِي الْحُكْمِ ولقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِسَهْلَةَ فِي سَالِمٍ ” أَرَضِعِيهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ يَحْرُمُ بِهِنَّ عَلَيْكِ ” فَاعْتَبَرَ فِعْلَهَا، وَإِذَا قِيلَ بِالثَّانِي وَهُوَ تَخْرِيجُ الرَّبِيعِ إِنَّهُ يَكُونُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ اعْتِبَارًا بِشُرْبِ الْمُرْتَضَعِ فَوَجْهُهُ أَنَّ جِهَتَهُ أَقْوَى مِنْ جِهَةِ الْمُرْضِعَةِ لِوُقُوعِ التَّحْرِيمِ بِوُصُولِ اللَّبَنِ إِلَيْهِ لَا بِانْفِصَالِهِ عَنْهَا، وَلِأَنَّ الْحَالِفَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا مَرَّةً إِذَا جُمِعَ لَهُ الطَّعَامُ فَأَكَلَهُ مِرَارًا حَنِثَ اعْتِبَارًا بِأَكْلِهِ لَا يجمعه كَذَلِكَ الرَّضَاعُ.

Keadaan ketiga: Susunya diperah satu kali dalam satu wadah, lalu diminum oleh anak dalam lima kali minum. Pendapat yang dinukil oleh al-Muzani dalam Mukhtashar dan Jami‘-nya, serta oleh ar-Rabi‘ dalam Kitab al-Umm, bahwa ini dihitung satu kali penyusuan, berdasarkan pada perbuatan ibu yang memerah. Ar-Rabi‘ berkata, ada pendapat lain bahwa ini dihitung lima kali penyusuan, berdasarkan pada jumlah minum anak yang disusui. Terdapat perbedaan pendapat dalam menisbatkan pendapat ar-Rabi‘, apakah itu merupakan pendapat kedua dari asy-Syafi‘i atau merupakan pendapat yang ia kemukakan sendiri sebagai madzhab pribadinya. Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah menganggapnya sebagai pendapat pribadi ar-Rabi‘, sedangkan Abu Hamid al-Marwazi dan seluruh ulama Bashrah menganggapnya sebagai pendapat kedua dari asy-Syafi‘i. Jika diambil pendapat yang masyhur bahwa itu dihitung satu kali penyusuan berdasarkan perbuatan ibu yang memerah, maka alasannya adalah firman Allah Ta‘ala {dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian} [an-Nisā’: 23], di mana Allah menisbatkan perbuatan menyusui kepada para ibu, sehingga perbuatan mereka lebih dominan dan itu yang dijadikan dasar hukum. Juga berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- kepada Sahlah tentang Sālim: “Susuilah dia lima kali penyusuan yang dengannya menjadi haram bagimu,” maka yang diperhitungkan adalah perbuatan ibu. Namun jika diambil pendapat kedua, yaitu pendapat ar-Rabi‘, bahwa itu dihitung lima kali penyusuan berdasarkan jumlah minum anak, maka alasannya adalah sisi ini lebih kuat daripada sisi ibu yang memerah, karena keharaman terjadi dengan sampainya susu kepada anak, bukan dengan terpisahnya susu dari ibu. Juga karena seseorang yang bersumpah tidak makan kecuali sekali, lalu makanan dikumpulkan untuknya dan ia makan berkali-kali, maka ia dianggap melanggar sumpahnya berdasarkan jumlah makannya, bukan berdasarkan pengumpulannya. Demikian pula halnya dengan penyusuan.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُحْلَبَ لَبَنُهَا خَمْسَ مَرَّاتٍ فِي خَمْسَةِ أَوَانِي، وَيَشْرَبَهُ مَرَّةً وَاحِدَةً فَفِيهِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ:

Keadaan keempat: Susunya diperah lima kali dalam lima wadah, lalu diminum sekaligus dalam satu kali minum, maka dalam hal ini berlaku dua pendapat yang telah disebutkan:

أَحَدَهُمَا: يَكُونُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ اعْتِبَارًا بِفِعْلِ الْمُرْضِعِ.

Salah satunya: Dihitung lima kali penyusuan berdasarkan perbuatan ibu yang memerah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ رَضْعَةً وَاحِدَةً اعْتِبَارًا بِشُرْبِ الْمُرْتَضَعِ.

Pendapat kedua: Dihitung satu kali penyusuan berdasarkan jumlah minum anak yang disusui.

وَأَمَّا إِذَا حُلِبَ خَمْسَ مَرَّاتٍ فِي خمس اواني ثُمَّ جُمِعَ فِي إِنَاءٍ وَشَرِبَهُ الْمُرْتَضَعُ فِي خَمْسِ مَرَّاتٍ فَالصَّحِيحُ الَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أنه يكون خمس رَضَعَاتٍ اعْتِبَارًا بِوُجُودِ الْعَدَدِ فِي الِانْفِصَالِ وَالِاتِّصَالِ.

Adapun jika susu diperah lima kali dalam lima wadah, kemudian dikumpulkan dalam satu wadah dan diminum oleh anak dalam lima kali minum, maka pendapat yang sahih menurut mayoritas ulama kami adalah dihitung lima kali penyusuan, karena jumlahnya terpenuhi baik dalam pemisahan maupun penggabungan.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يُعْتَبَرُ بَعْدَ الِاجْتِمَاعِ كَالْحَلْبَةِ الْوَاحِدَةِ يَشْرَبُهَا الْمُرْتَضَعُ خَمْسَ مَرَّاتٍ فَيَكُونُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّهُ بَعْدَ الِاجْتِمَاعِ فِيهِ صَارَ شَارِبًا فِي كُلِّ مَرَّةٍ مِنْ كُلِّ حَلْبَةٍ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ الِاجْتِمَاعُ بَعْدَ وُجُودِ التفرقة.

Sebagian ulama kami berpendapat: Setelah dikumpulkan, hukumnya seperti satu kali perahan yang diminum oleh anak dalam lima kali minum, sehingga berlaku dua pendapat di atas. Namun pendapat ini lemah, karena setelah dikumpulkan, anak tersebut tetap meminum dari setiap perahan di setiap kali minum, sehingga penggabungan setelah adanya pemisahan tidak berpengaruh.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ تَزَوَّجَ صَغِيرَةً ثُمَّ أَرْضَعَتْهَا أُمُّهُ أَوِ ابْنَتُهُ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوِ امْرَأَةُ ابْنِهِ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ بِلَبَنِ ابْنِهِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الصَّغِيرَةُ أَبَدًا وَكَانَ لَهَا عَلَيْهِ نِصْفُ الْمَهْرِ وَرَجَعَ عَلَى الَّتِي أَرْضَعَتْهَا بِنِصْفِ صَدَاقِ مِثْلِهَا لِأَنَّ كُلَّ مَنْ أَفْسَدَ شَيْئًا لَزِمَهُ قِيمَةُ مَا أَفْسَدَ بِخَطَأٍ أَوْ عَمْدٍ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menikahi seorang anak perempuan kecil, lalu ibu kandungnya atau anak perempuannya dari nasab atau karena sesusuan, atau istri anaknya dari nasab atau sesusuan menyusui anak kecil itu dengan susu anaknya, maka anak kecil itu menjadi haram selamanya baginya, dan ia berhak atas separuh mahar, dan ia (suami) menuntut kepada wanita yang menyusuinya sebesar separuh mahar sepadan, karena setiap orang yang merusak sesuatu, maka ia wajib mengganti nilai kerusakan itu, baik karena kesalahan maupun sengaja.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ تَزَوَّجَ صَغِيرَةً لَهَا دُونَ الْحَوْلَيْنِ، فَأَرْضَعَتْهَا ذَاتُ قُرَابَةٍ لَهُ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ فَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:

Al-Māwardī berkata: Kasusnya adalah seorang laki-laki menikahi seorang anak perempuan kecil yang usianya di bawah dua tahun, lalu anak itu disusui oleh kerabat laki-laki tersebut, baik dari nasab maupun karena sesusuan. Maka pembahasan dalam hal ini mencakup tiga bagian:

أَحَدُهَا: فِي تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ.

Pertama: Tentang keharaman anak kecil itu atas suaminya.

وَالثَّانِي: فِيمَا تَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهِ الصَّغِيرَةُ الْمُرْضَعَةُ.

Kedua: Tentang hak yang diperoleh anak kecil yang disusui dari suaminya.

وَالثَّالِثُ: فِيمَا تَسْتَحِقُّهُ عَلَى الْكَبِيرَةِ الْمُرْضِعَةِ.

Ketiga: Tentang hak yang diperoleh atas wanita dewasa yang menyusui.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ فَهُوَ أَنْ يُعْتَبَرَ حَالُ الْمُرْضِعَةِ، فَإِنْ كَانَتْ مَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ ابْنَتُهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ الصَّغِيرَةُ بِرِضَاعِهَا، وَإِنْ كَانَتْ مَنْ لَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ ابْنَتُهَا لَمْ تَحْرُمِ الصَّغِيرَةُ، وَذَلِكَ بِأَنْ يُنْظَرَ حَالُ الْمُرْضِعَةِ، فَإِنْ كَانَتْ أُمَّ الزَّوْجِ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ حَرُمَتِ الصَّغِيرَةُ، لِأَنَّهَا صَارَتْ أُخْتَهُ، وَكَذَلِكَ لَوْ أَرْضَعَتْهَا إِحْدَى جَدَّاتِهِ، لِأَنَّهَا صَارَتْ خَالَتَهُ، وَلَوْ أَرْضَعَتْهَا ابْنَتُهُ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ حَرُمَتِ الصَّغِيرَةُ، لِأَنَّهَا صَارَتْ بِنْتَ بِنْتِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ أَرْضَعَتْهَا وَاحِدَةٌ مِنْ بَنَاتِ بَنِيهِ أَوْ بَنَاتِهِ؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ وَلَدَ وَلَدِهِ وَلَوْ أَرْضَعَتْهَا أُخْتُهُ مَنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ بَنَاتُ إِخْوَتِهِ وَأَخَوَاتِهِ.

Adapun bagian pertama, yaitu tentang keharaman anak kecil itu atas suaminya, maka hal itu bergantung pada keadaan wanita yang menyusui. Jika wanita yang menyusui itu adalah orang yang jika anak perempuannya haram atas laki-laki tersebut, maka anak kecil itu menjadi haram baginya karena sesusuan. Namun jika wanita yang menyusui itu adalah orang yang anak perempuannya tidak haram atas laki-laki tersebut, maka anak kecil itu tidak menjadi haram. Hal ini dengan memperhatikan keadaan wanita yang menyusui: jika ia adalah ibu suami, baik dari nasab maupun sesusuan, maka anak kecil itu menjadi haram, karena ia telah menjadi saudara perempuannya. Demikian pula jika yang menyusui adalah salah satu neneknya, karena ia telah menjadi bibinya. Jika yang menyusui adalah anak perempuannya, baik dari nasab maupun sesusuan, maka anak kecil itu menjadi haram, karena ia telah menjadi cucu perempuannya. Demikian pula jika yang menyusui adalah salah satu anak perempuan dari anak laki-lakinya atau anak perempuannya, karena ia telah menjadi cicitnya. Jika yang menyusui adalah saudara perempuannya, baik dari nasab maupun sesusuan, maka anak kecil itu menjadi haram, demikian pula anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya.

وَلَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ لَوْ أَرْضَعَتْهَا خَالَتُهُ أَوْ عَمَّتُهُ، لِأَنَّهَا لَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ بَنَاتُ خَالَاتِهِ وَلَا بَنَاتُ عَمَّاتِهِ، وَلَوْ أَرْضَعَتْهَا زَوْجَةُ أَبِيهِ بِلَبَنِ أَبِيهِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا صَارَتْ أُخْتَهُ وَلَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ لَوْ أَرْضَعَتْهَا بِغَيْرِ لَبَنِ أَبِيهِ، لِأَنَّهَا رَبِيبَةُ أَبِيهِ، وَلَوْ أَرْضَعَتْهَا امْرَأَةُ ابْنِهِ بِلَبَنِ ابْنِهِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا صَارَتْ بِنْتَ ابْنِهِ، وَلَا تَحْرُمُ لَوْ أَرْضَعَتْهَا بِغَيْرِ لَبَنِ ابْنِهِ، لِأَنَّهَا رَبِيبَةُ ابْنِهِ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْمِثَالِ، فَإِذَا لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ كَانَ النِّكَاحُ بِحَالِهِ، وَإِنْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ بَطَلَ نِكَاحُهَا لِأَنَّ تَحْرِيمَهَا مُؤَبَّدٌ، وَمَنْ تَأَبَّدَ تَحْرِيمُهَا بَطَلَ نِكَاحُهَا فِي الِابْتِدَاءِ وَالِاسْتِدَامَةِ كَالْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ إِذَا ثبت بها تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ بَطَلَ بِهَا نِكَاحُ الْمُحَرَّمَةِ.

Tidak menjadi haram jika yang menyusui adalah bibinya dari pihak ibu atau ayah, karena anak-anak perempuan dari bibi-bibinya tidak haram atasnya. Jika yang menyusui adalah istri ayahnya dengan susu ayahnya, maka anak kecil itu menjadi haram, karena ia telah menjadi saudara perempuannya. Namun jika disusui bukan dengan susu ayahnya, maka tidak menjadi haram, karena ia adalah anak tiri ayahnya. Jika yang menyusui adalah istri anaknya dengan susu anaknya, maka anak kecil itu menjadi haram, karena ia telah menjadi anak perempuan dari anaknya. Namun jika disusui bukan dengan susu anaknya, maka tidak menjadi haram, karena ia adalah anak tiri anaknya. Demikian seterusnya. Jika tidak menjadi haram, maka pernikahan tetap berlaku. Namun jika menjadi haram, maka pernikahannya batal, karena keharamannya bersifat abadi. Siapa yang keharamannya bersifat abadi, maka pernikahannya batal baik pada awal maupun saat berlangsung, seperti wanita yang digauli karena syubhat, jika dengan itu terjadi keharaman karena mushāharah, maka batal pula pernikahan dengan wanita yang haram dinikahi.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي: فِيمَا يَجِبُ لِلْمُحَرَّمَةِ عَلَى الزَّوْجِ فَذَلِكَ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الرَّضَاعِ وَهُوَ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Adapun bagian kedua: tentang apa yang menjadi hak wanita yang diharamkan atas suaminya, maka hal itu tergantung pada keadaan penyusuan, dan terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ تَنْفَرِدَ بِهِ الصَّغِيرَةُ فَتَرْضَعَ مِنْ لَبَنِ الْكَبِيرَةِ وَهِيَ نَائِمَةٌ لَا تَعْلَمُ بِارْتِضَاعِ الصَّغِيرَةِ فَلَا مَهْرَ لَهَا، لِأَنَّ الْفَسْخَ جَاءَ مِنْ قِبَلِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فَسَقَطَ بِهِ مَهْرُهَا.

Pertama: Jika hanya anak kecil yang melakukannya, yaitu ia menyusu dari wanita dewasa saat wanita itu sedang tidur dan tidak mengetahui bahwa anak kecil itu menyusu, maka tidak ada mahar baginya, karena pembatalan pernikahan terjadi dari pihaknya sebelum terjadi hubungan, sehingga maharnya gugur.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَنْفَرِدَ بِهِ الْكَبِيرَةُ فَتُرْضِعَهَا فَلِلصَّغِيرَةِ عَلَى زَوْجِهَا نِصْفُ مَهْرِهَا الْمُسَمَّى لِأَنَّهُ لَا صُنْعَ لَهَا فِي الْفَسْخِ فَصَارَ كَطَلَاقِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ.

Bagian kedua: Jika hanya wanita dewasa yang melakukannya, yaitu ia menyusui anak kecil itu, maka anak kecil itu berhak atas suaminya untuk mendapatkan separuh mahar yang telah ditetapkan, karena ia tidak berperan dalam pembatalan pernikahan, sehingga keadaannya seperti talak sebelum terjadi hubungan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَشْتَرِكَا فِيهِ وَالِاشْتِرَاكُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketiga: Jika keduanya bersama-sama melakukannya, dan kebersamaan itu terbagi menjadi dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَمَيَّزَا فِي الشَّرِكَةِ.

Pertama: Jika keduanya dapat dibedakan dalam kebersamaan itu.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَتَمَيَّزَا فِيهَا.

Kedua: Jika keduanya tidak dapat dibedakan dalam kebersamaan itu.

فَالَّذِي لَا يَتَمَيَّزَانِ فِيهِ أَنْ تَبْتَدِئَ الصَّغِيرَةُ فِي كُلِّ رَضْعَةٍ بِالْتِقَامِ الثَّدْيِ، وَتُمَكِّنُهَا الْكَبِيرَةُ مِنْ شُرْبِهِ وَلَا تَنْزِعُ ثَدْيَهَا مِنْ فَمِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ:

Adapun dalam hal yang keduanya tidak dapat dibedakan, yaitu ketika anak yang kecil memulai setiap kali menyusu dengan mengisap payudara, dan yang besar memungkinkannya untuk meminum susu tersebut serta tidak menarik payudaranya dari mulutnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang mungkin:

أَحَدُهُمَا: يُغَلَّبُ فِيهِ فِعْلُ الْكَبِيرَةِ، لِأَنَّ الصَّغِيرَةَ تَبَعٌ لَهَا، فَعَلَى هَذَا يَجِبُ لِلصَّغِيرَةِ نِصْفُ مَهْرِهَا الْمُسَمَّى.

Salah satunya: yang diutamakan adalah perbuatan yang besar, karena yang kecil mengikuti yang besar. Maka berdasarkan pendapat ini, anak yang kecil berhak mendapatkan setengah mahar yang telah ditetapkan untuknya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَكُونَانِ فِي التَّحْرِيمِ سَوَاءً، لِأَنَّ الْبُلُوغَ فِي فِعْلِ هَذَا التَّحْرِيمِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فَعَلَى هَذَا يَصِيرُ التَّحْرِيمُ مِنْ فِعْلِهَا فَيَسْقُطُ مَنْ نِصْفِ الْمَهْرِ مَا قَابَلَ فِعْلَهَا وَهُوَ نِصْفُ النِّصْفِ، وَيَبْقَى نِصْفُهُ وَهُوَ الرُّبْعُ فَتَسْتَحِقُّ رُبْعَ مَهْرِهَا عَلَى الزَّوْجِ، وَإِنْ كَانَ اشْتِرَاكُهُمَا فِي الرَّضَاعِ مُتَمَيِّزًا. مِثَالُهُ أَنْ تَنْفَرِدَ الْكَبِيرَةُ بِأَنْ تُرْضِعَهَا بَعْضَ الرَّضَعَاتِ الْخَمْسِ وَتَنْفَرِدَ الصَّغِيرَةُ بِأَنْ تَرْضَعَ بَعْضَ الرَّضَعَاتِ الْخَمْسِ فَفِيهِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ:

Pendapat kedua: keduanya sama dalam hal keharaman, karena kedewasaan dalam perbuatan yang menyebabkan keharaman ini tidak dianggap. Maka berdasarkan pendapat ini, keharaman itu berasal dari perbuatannya, sehingga gugur dari setengah mahar bagian yang berasal dari perbuatannya, yaitu setengah dari setengah, dan sisanya adalah setengahnya, yaitu seperempat. Maka ia berhak mendapatkan seperempat maharnya dari suami. Dan jika keterlibatan keduanya dalam penyusuan dapat dibedakan, misalnya yang besar sendiri menyusui sebagian dari lima kali penyusuan dan yang kecil sendiri menyusui sebagian dari lima kali penyusuan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang mungkin:

أَحَدُهُمَا: يُغَلَّبُ فِيهِ حُكْمُ مَنْ تَفَرَّدَ بِالرَّضْعَةِ الْخَامِسَةِ، لِأَنَّ بِهَا وَقَعَ التَّحْرِيمُ فَإِنْ تَفَرَّدَتْ بِهَا الصَّغِيرَةُ فَلَا مَهْرَ لَهَا، وَإِنْ تَفَرَّدَتْ بِهَا الْكَبِيرَةُ فَلِلصَّغِيرَةِ نِصْفُ مَهْرِهَا.

Salah satunya: yang diutamakan adalah hukum bagi siapa yang sendiri melakukan penyusuan kelima, karena dengan penyusuan kelima itulah terjadi keharaman. Jika yang kecil sendiri melakukannya, maka tidak ada mahar untuknya, dan jika yang besar sendiri melakukannya, maka yang kecil berhak atas setengah maharnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَتَقَسَّطُ نِصْفُ الْمَهْرِ عَلَى أَعْدَادِ الرَّضَعَاتِ، لِأَنَّ الْخَامِسَةَ لَمْ تُحَرِّمْ إِلَّا بِمَا تَقَدَّمَهَا فَصَارَ لِكُلِّ رَضْعَةٍ تَأْثِيرٌ فِي التَّحْرِيمِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَتِ الصَّغِيرَةُ قَدِ انْفَرَدَتْ بِرَضْعَةٍ وَاحِدَةٍ، وَالْكَبِيرَةُ بِأَرْبَعِ رَضَعَاتٍ سَقَطَ مِنْ نِصْفِ مَهْرِ الصَّغِيرَةِ خَمْسَةٌ وَوَجَبَ لَهَا أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ النصف من مهرها، وإن تفردت مرضعة وَاحِدَةٍ وَالصَّغِيرَةُ بِأَرْبَعِ رَضَعَاتٍ سَقَطَ مِنْ نِصْفِ مَهْرِهَا أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ، وَوَجَبَ لَهَا مِنْ نِصْفِ مَهْرِهَا خُمْسُهُ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ.

Pendapat kedua: setengah mahar dibagi rata sesuai jumlah penyusuan, karena penyusuan kelima tidak menyebabkan keharaman kecuali dengan adanya penyusuan sebelumnya, sehingga setiap penyusuan memiliki pengaruh dalam keharaman. Maka berdasarkan pendapat ini, jika yang kecil sendiri melakukan satu kali penyusuan dan yang besar melakukan empat kali penyusuan, maka gugur dari setengah mahar yang kecil satu per lima dan ia berhak atas empat per lima dari setengah maharnya. Dan jika satu penyusuan dilakukan oleh satu ibu susu dan yang kecil melakukan empat kali penyusuan, maka gugur dari setengah maharnya empat per lima dan ia berhak atas satu per lima dari setengah maharnya, dan demikian seterusnya menurut qiyās ini.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَا يَسْتَحِقُّهُ الزَّوْجُ عَلَى الْمُرْضِعَةِ الْمُحَرَّمَةِ إِذَا صَارَ التَّحْرِيمُ مَنْسُوبًا إِلَيْهَا فَمُعْتَبَرٌ بِحَالِهَا، وَلَهَا حَالَتَانِ:

Adapun bab ketiga: yaitu apa yang menjadi hak suami atas ibu susu yang menyebabkan keharaman apabila keharaman itu dinisbatkan kepadanya, maka hal itu tergantung pada keadaannya, dan ia memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ لَا يَثْبُتُ لِلزَّوْجِ عَلَيْهَا، وَفِي ذِمَّتِهَا مَالٌ كَأُمِّ الْوَلَدِ فَلَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ، لِأَنَّ السَّيِّدَ لَا يَمْلِكُ فِي ذِمَّةِ أَمَتِهِ مَالًا، وَإِنْ كَانَتْ مُكَاتَبَةً رَجَعَ عَلَيْهَا، لِأَنَّهَا بِالْكِتَابَةِ قَدْ مَلَكَتْ مَا بِيَدِهَا، وَلَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا إِنْ كَانَتْ مُدَبَّرَةً، لِأَنَّهَا لَا تَمْلِكُ مَا بِيَدِهَا كَالْأَمَةِ.

Salah satunya adalah jika ia termasuk orang yang suami tidak memiliki hak atasnya, dan pada tanggungannya terdapat harta, seperti ummu walad, maka suami tidak dapat menuntut apa pun darinya, karena tuan tidak memiliki harta dalam tanggungan budaknya. Namun jika ia adalah mukatabah, maka suami dapat menuntut darinya, karena dengan akad kitabah ia telah memiliki apa yang ada di tangannya. Dan suami tidak dapat menuntut darinya jika ia adalah mudabbirah, karena ia tidak memiliki apa yang ada di tangannya seperti budak biasa.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ مَنْ يَمْلِكُ الزَّوْجُ عَلَيْهَا وَفِي ذِمَّتِهَا مَالًا كَسَائِرِ الْحَرَائِرِ فَلَهَا فِي الرَّضَاعِ حَالَتَانِ:

Keadaan kedua: jika ia termasuk orang yang suami memiliki hak atasnya dan pada tanggungannya terdapat harta seperti wanita merdeka lainnya, maka dalam hal penyusuan terdapat dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَكُونَ بِإِذْنِ الزَّوْجِ فَلَا رُجُوعَ لَهُ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ، لِأَنَّ إِرَادَتَهُ كَالْإِبْرَاءِ كَمَنِ اسْتَحْفَرَ أَجِيرًا بِئْرًا فِي أَرْضٍ لَا يَمْلِكُهَا كَانَ غُرْمُ مَا تَلَفَ بِهَا مَضْمُونًا عَلَى الْآمِرِ، وَلَا يُرْجَعُ بِهِ عَلَى الْمَأْمُورِ.

Salah satunya: jika ia melakukannya dengan izin suami, maka suami tidak dapat menuntut apa pun darinya, karena keinginannya dianggap seperti pembebasan, sebagaimana orang yang menyuruh pekerja untuk menggali sumur di tanah yang bukan miliknya, maka kerugian yang terjadi menjadi tanggungan orang yang memerintah, dan tidak dapat dituntut kepada yang diperintah.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَأْذَنَ لَهَا الزَّوْجُ وَتَكُونَ هِيَ الْمُنْفَرِدَةَ بِالرَّضَاعِ فَالْكَلَامُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ:

Keadaan kedua: jika suami tidak mengizinkannya dan ia sendiri yang melakukan penyusuan, maka pembahasan dalam hal ini mencakup tiga hukum:

أَحَدُهَا: فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ.

Pertama: tentang kewajiban ganti rugi.

وَالثَّانِي: فِي قَدْرِهِ.

Kedua: tentang kadarnya.

وَالثَّالِثُ: فِي صِفَتِهِ.

Ketiga: tentang sifatnya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا الْحُكْمُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ وُجُوبُ الضَّمَانِ عَلَى الْمُرْضِعَةِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Adapun hukum pertama, yaitu kewajiban ganti rugi atas ibu susu, para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْمُرْضِعَةَ ضَامِنَةٌ يَرْجِعُ الزَّوْجُ عَلَيْهَا بِغُرْمِ التَّحْرِيمِ سَوَاءٌ قَصَدَتِ الْمُرْضِعَةُ التَّحْرِيمَ أَوْ لَمْ تَقْصِدْهُ.

Salah satunya, yaitu mazhab Syafi‘i, bahwa ibu susu adalah penanggung jawab, sehingga suami dapat menuntutnya atas kerugian akibat keharaman, baik ibu susu tersebut bermaksud menyebabkan keharaman maupun tidak.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّ الْمُرْضِعَةَ غَيْرُ ضَامِنَةٍ لِغُرْمِ التَّحْرِيمِ سَوَاءٌ قَصَدَتِ التَّحْرِيمَ أَوْ لَمْ تَقْصِدْهُ بِأَنْ خَافَتْ تَلَفَ الصَّغِيرَةِ فَأَرْضَعَتْهَا أَوِ اسْتُؤْجِرَتْ مُرْضِعًا لَهَا.

Kedua: yaitu pendapat Mālik, bahwa wanita yang menyusui tidak wajib menanggung ganti rugi atas kerugian akibat terjadinya pengharaman (pernikahan) baik ia memang berniat untuk mengharamkan atau tidak, seperti jika ia khawatir anak kecil itu akan celaka lalu ia menyusuinya, atau jika ia disewa sebagai ibu susu bagi anak tersebut.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهَا إِنْ قَصَدَتِ التَّحْرِيمَ ضَمِنَتْ، وَإِنْ لَمْ تَقْصِدْهُ لَمْ تَضْمَنْ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ تَحْرِيمَ الرَّضَاعِ سَبَبٌ، لِأَنَّ الرَّضَاعَ يُثْبِتُ الْحُرْمَةَ ثُمَّ يَبْطُلُ النِّكَاحُ بِثُبُوتِ الْحُرْمَةِ، وَالِاسْتِهْلَاكُ، إِذَا كَانَ بِسَبَبٍ لَمْ يَكُنْ عَنْ مُبَاشَرَةٍ، فُرِّقَ فِيهِ بَيْنَ التَّعَدِّي بِالْقَصْدِ، وَبَيْنَ مَنْ لَيْسَ بِقَاصِدٍ وَلَا مُتَعَدٍّ، كَحَافِرِ الْبِئْرِ إِنْ تَعَدَّى بِحَفْرِهَا فِي غَيْرِ مِلْكِهِ ضَمِنَ، وَإِنْ لَمْ يَتَعَدَّ بِحَفْرِهَا فِي غَيْرِ مِلْكِهِ لَمْ يَضْمَنْ.

Ketiga: yaitu pendapat Abū Ḥanīfah, bahwa jika ia memang berniat untuk mengharamkan, maka ia wajib menanggung ganti rugi; namun jika tidak berniat demikian, maka ia tidak wajib menanggungnya. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa pengharaman karena penyusuan adalah sebab, karena penyusuan menetapkan keharaman, lalu pernikahan menjadi batal karena keharaman tersebut. Dalam hal perusakan, jika terjadi karena suatu sebab dan bukan secara langsung, maka dibedakan antara yang melakukannya dengan sengaja dan yang tidak sengaja atau tidak melampaui batas, seperti orang yang menggali sumur: jika ia melampaui batas dengan menggali di tanah milik orang lain, maka ia wajib menanggung; namun jika tidak melampaui batas dengan menggali di tanah miliknya sendiri, maka ia tidak wajib menanggung.

والدليل على ذلك قول الله تعالى {يأيها الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ} إلى قوله {وآتوهم ما أنفقوا} فَمَنَحَ اللَّهُ تَعَالَى مَنْ رَدَّ الْمُسْلِمَةَ الْمُهَاجِرَةَ عَلَى زَوْجِهَا مَعَ اشْتِرَاطِ رَدِّ مَنْ أَسْلَمَ عَلَيْهِمْ وَأَوْجَبُ غُرْمَ مَهْرِهَا لِلزَّوْجِ لِأَنَّهُ قَدْ حِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ فَكَذَلِكَ الْمُرْضِعَةُ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا صَحَّ أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا بِالْعَقْدِ صَحَّ أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا بِالْإِتْلَافِ كَالْأَمْوَالِ.

Dalil atas hal tersebut adalah firman Allah Ta‘ala: {Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan mukmin yang berhijrah, maka ujilah mereka} hingga firman-Nya {dan berikanlah kepada mereka apa yang telah mereka nafkahkan}. Allah Ta‘ala memberikan hak kepada orang yang mengembalikan perempuan muslimah yang berhijrah kepada suaminya dengan syarat mengembalikan orang yang masuk Islam kepada mereka, dan mewajibkan pembayaran mahar kepada suaminya karena ia telah terhalang dari istrinya. Demikian pula halnya dengan wanita yang menyusui. Dan karena segala sesuatu yang sah untuk dijamin melalui akad, maka sah pula untuk dijamin melalui perusakan, seperti halnya harta benda.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ هُوَ أَنَّ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ إِذَا ضُمِّنَتْ بِالْعَمْدِ ضُمِّنَتْ بِالْخَطَأِ كَالْأَمْوَالِ، وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الزَّوْجَةِ بِالرَّضَاعِ يُوجِبُ الضَّمَانَ كَالْعَمْدِ.

Adapun dalil bagi Abū Ḥanīfah adalah bahwa hak-hak manusia, jika wajib diganti karena kesengajaan, maka juga wajib diganti karena kesalahan, sebagaimana harta benda. Dan karena pengharaman istri melalui penyusuan mewajibkan ganti rugi sebagaimana halnya kesengajaan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ التَّحْرِيمَ عَنْ سَبَبٍ فَهُوَ أَنَّ كَوْنَ السَّبَبِ عُدْوَانًا يُوجِبُ الضَّمَانَ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ كَمَا فِي حَفْرِ الْبِئْرِ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ يَضْمَنُ لِتَعَدِّيهِ وَفِي مِلْكِهِ لَا يَضْمَنُ لِعَدَمِ تَعَدِّيهِ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ، وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ الْمُرْضِعَةَ إِنْ أَرْضَعَتْ بِشَرْعٍ أَوْجَبَ عَلَيْهَا الرَّضَاعَ كَالَّتِي يُخَافُ تَلَفُهَا إِنْ لَمْ تُرْضِعْهَا لَمْ تَضْمَنْ وَإِنْ لَمْ يُوجِبْهُ الشَّرْعُ عَلَيْهَا ضَمِنَتْ، وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ مِنْ سُقُوطِ الْغُرْمِ، وَإِنَّمَا هُوَ وَجْهٌ فِي سُقُوطِ الْمَاءِ ثُمَّ كَمَنَ خَافَ تَلَفَ نَفْسِهِ فَأَحْيَاهَا بِمَالِ غَيْرِهِ ضَمِنَ وَلَمْ يَأْثَمْ.

Adapun jawaban atas argumentasi mereka bahwa pengharaman itu karena suatu sebab, maka sesungguhnya sebab yang berupa tindakan melampaui batas mewajibkan ganti rugi baik dalam kesengajaan maupun kesalahan, sebagaimana dalam kasus menggali sumur di tanah milik orang lain, maka ia wajib menanggung karena melampaui batas, dan jika di tanah miliknya sendiri maka ia tidak wajib menanggung karena tidak melampaui batas, baik dalam kesengajaan maupun kesalahan. Sebagian ulama kami berpendapat bahwa wanita yang menyusui, jika ia melakukannya karena syariat mewajibkan, seperti anak yang dikhawatirkan akan celaka jika tidak disusui, maka ia tidak wajib menanggung; namun jika syariat tidak mewajibkannya, maka ia wajib menanggung. Pendapat ini tidak tepat dalam hal gugurnya kewajiban ganti rugi, melainkan hanya tepat dalam gugurnya kewajiban air susu, seperti halnya orang yang khawatir dirinya akan celaka lalu menyelamatkan dirinya dengan harta orang lain, maka ia wajib mengganti namun tidak berdosa.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّانِي وَهُوَ قَدْرُ الضَّمَانِ إِذَا وَجَبَ عَلَى الْمُرْضِعَةِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ تَرْجِعُ عَلَيْهِ بِنِصْفِ الْمَهْرِ، وَقَالَ فِي الشَّاهِدَيْنِ ” إِذَا شَهِدَا عَلَى رَجُلٍ بِطَلَاقِ زَوْجَتِهِ قَبْلَ الدُّخُولِ ثُمَّ رَجَعَا عَنِ الشَّهَادَةِ غَرِمَا لَهُ جَمِيعَ الْمَهْرِ ” فِيمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ عَنْهُ بِخِلَافِ الرَّضَاعِ، وَنَقَلَ الرَّبِيعُ عَنْهُ أَنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الْمَهْرِ كَالرَّضَاعِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الرضاع والشهادة على ثلاثة طُرُقٍ:

Adapun hukum kedua, yaitu kadar ganti rugi jika memang wajib atas wanita yang menyusui, maka asy-Syāfi‘ī berkata: ia wajib mengganti setengah mahar. Dan beliau berkata dalam kasus dua saksi: “Jika keduanya bersaksi bahwa seorang laki-laki telah menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan, lalu keduanya menarik kembali kesaksiannya, maka keduanya wajib mengganti seluruh mahar,” sebagaimana yang diriwayatkan al-Muzanī darinya, berbeda dengan kasus penyusuan. Al-Rabī‘ meriwayatkan darinya bahwa ia wajib mengganti setengah mahar seperti dalam kasus penyusuan. Para ulama kami berbeda pendapat dalam masalah penyusuan dan kesaksian ini menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنْ جَمَعُوا بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ وَخَرَّجُوهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Pertama: yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, mereka menggabungkan kedua permasalahan ini dan mengembalikannya kepada dua pendapat:

أحدهما: وهي طرية أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنْ جَمَعُوا بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ وَخَرَّجُوهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Salah satunya: yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, mereka menggabungkan kedua permasalahan ini dan mengembalikannya kepada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُرْجَعُ فِي الرَّضَاعِ وَالشَّهَادَةِ بِنِصْفِ الْمَهْرِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الرَّضَاعِ، لِأَنَّهُ الْقَدْرُ الَّذِي غَرِمَهُ الزَّوْجُ فَلَمْ يُرْجَعْ بِأَكْثَرَ مِنْهُ.

Salah satunya: dalam kasus penyusuan dan kesaksian, ganti rugi yang dibebankan adalah setengah mahar sebagaimana yang dinyatakan dalam kasus penyusuan, karena itu adalah kadar yang telah ditanggung oleh suami, sehingga tidak dibebankan lebih dari itu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُرْجَعُ فِي الرَّضَاعِ وَالشَّهَادَةِ بِجَمِيعِ الْمَهْرِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الشَّهَادَةِ لِمَا فِيهِمَا مِنِ اسْتِهْلَاكِ الْبُضْعِ عَلَيْهِ بِالْإِحَالَةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ، فَوَجَبَ ضَمَانُ قِيمَتِهِ، وَهُوَ جَمِيعُ الْمَهْرِ.

Pendapat kedua: Dalam kasus radha‘ (persusuan) dan kesaksian, dikembalikan seluruh mahar sebagaimana yang telah dinyatakan dalam masalah kesaksian, karena pada keduanya terdapat unsur hilangnya hak atas hubungan suami istri akibat adanya penghalang antara suami dan istri, sehingga wajib mengganti nilainya, yaitu seluruh mahar.

وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الْجَوَابَ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ فَيُرْجَعُ فِي الرَّضَاعِ بِنِصْفِ الْمَهْرِ، وَيُرْجَعُ فِي الشَّهَادَةِ بِجَمِيعِ الْمَهْرِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْفُرْقَةَ فِي الرَّضَاعِ وَقَعَتْ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ حَقِيقَةً وَالزَّوْجُ بِهَا مُعْتَرِفٌ، وَقَدْ رَجَعَ إِلَيْهِ نِصْفُ الْمَهْرِ فَلَمْ يُرْجَعْ عَلَى الْمُرْضِعَةِ إِلَّا بِالنِّصْفِ الَّذِي الْتَزَمَهُ، وَخَالَفَ الشَّهَادَةَ لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِهَا فِي الظَّاهِرِ وَاعْتِرَافِ الشُّهُودِ بِإِحْلَالِهَا لَهُ، وَأَنَّهُ لَمْ يَسْتَرْجِعْ مِنَ الْمَهْرِ شَيْئًا فَلِذَلِكَ رَجَعَ عَلَيْهِمْ بِقِيمَةِ مَا فَوَّتُوهُ عَلَيْهِ مِنَ الْبُضْعِ وَهُوَ جَمِيعُ الْمَهْرِ.

Metode kedua, yaitu metode Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa jawaban diberikan sesuai zahirnya pada kedua kasus tersebut: dalam kasus radha‘ dikembalikan setengah mahar, dan dalam kasus kesaksian dikembalikan seluruh mahar. Perbedaannya adalah, perpisahan dalam kasus radha‘ terjadi secara lahir dan batin secara hakiki dan suami mengakuinya, sehingga setengah mahar telah kembali kepadanya, maka tidak dikembalikan kepada ibu susu kecuali setengah yang menjadi tanggungannya. Berbeda dengan kasus kesaksian, karena perpisahan terjadi secara lahir saja dan para saksi mengakui kehalalannya bagi suami, dan suami tidak mengambil kembali sedikit pun dari maharnya, maka dikembalikan kepada mereka nilai apa yang telah mereka hilangkan darinya, yaitu seluruh mahar.

وَالطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ: أَنَّهُ يُرْجَعُ فِي الرَّضَاعِ بِنِصْفِ الْمَهْرِ، فَأَمَّا الشَّهَادَةُ فَعَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالْمَوْضِعُ الَّذِي قَالَ يُرْجَعُ عَلَى الشَّاهِدَيْنِ بِجَمِيعِ الْمَهْرِ، إِذَا كَانَ الزَّوْجُ قَدْ سَاقَ إِلَيْهَا جَمِيعَهُ، لِأَنَّهُ بِإِنْكَارِ الطَّلَاقِ لَا يُرْجَعُ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ مِنْهُ فَصَارَ مُلْتَزِمًا بِجَمِيعِهِ، فَلِذَلِكَ رَجَعَ بِجَمِيعِهِ عَلَى الشُّهُودِ وَالْمَوْضِعُ الَّذِي يُرْجَعُ بِنِصْفِ الْمَهْرِ إِذَا لَمْ يَكُنْ قَدْ دُفِعَ إِلَيْهَا جَمِيعُ الصَّدَاقِ فَلَا يَلْزَمُهُ إِلَّا دَفْعُ نِصْفِهُ، لِأَنَّ الزَّوْجَةَ بِادِّعَاءِ الطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ لَا تَسْتَحِقُّ إِلَّا نِصْفَ الْمَهْرِ فَصَارَ الَّذِي لَزِمَهُ نِصْفُ الْمَهْرِ فَلَا يُرْجَعُ عَلَى الشَّاهِدَيْنِ بِأَكْثَرَ مِنْهُ.

Metode ketiga: Dalam kasus radha‘ dikembalikan setengah mahar, adapun dalam kasus kesaksian tergantung pada dua keadaan. Pada keadaan di mana dikatakan bahwa dikembalikan kepada dua saksi seluruh mahar, yaitu jika suami telah menyerahkan seluruhnya kepada istri, karena dengan pengingkaran terhadap talak, tidak dikembalikan kepadanya sedikit pun dari mahar, sehingga ia bertanggung jawab atas seluruhnya, maka dikembalikan seluruhnya kepada para saksi. Adapun keadaan di mana dikembalikan setengah mahar, yaitu jika belum seluruh mahar (shadaq) diserahkan kepadanya, maka suami hanya wajib membayar setengahnya, karena istri yang mengklaim talak sebelum dukhul (hubungan suami istri) hanya berhak atas setengah mahar, sehingga yang menjadi tanggungannya adalah setengah mahar, maka tidak dikembalikan kepada dua saksi lebih dari itu.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ صِفَةُ الضَّمَانِ فَالْكَلَامُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Adapun hukum ketiga, yaitu sifat jaminan, maka pembahasannya mencakup dua fasal:

أَحَدُهُمَا: صِفَةُ مَا تَضَمَّنَهُ الزَّوْجُ لِزَوْجَتِهِ الْمُرْتَضَعَةِ، وَذَلِكَ مُعْتَبَرٌ بِالْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ وَإِنْ كَانَ قَدْرَ مَهْرِ الْمِثْلِ فَمَا زَادَ وَجَبَ لَهَا نِصْفُ الْمُسَمَّى، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ كَانَ مَبْنِيًّا عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الَّذِي بِيَدِهِ عَقْدُ النِّكَاحِ.

Salah satunya: sifat apa yang dijamin suami kepada istrinya yang disusui, dan itu dinilai berdasarkan yang disebutkan dalam akad. Jika sesuai dengan mahar mitsil (mahar sepadan) atau lebih, maka wajib baginya setengah dari yang disebutkan. Jika kurang dari mahar mitsil, maka hal itu tergantung pada perbedaan pendapat Imam Syafi‘i dalam hal wali yang memegang akad nikah.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ الزَّوْجُ دُونَ الْأَبِ لَمْ يَكُنْ لِلْأَبِ أَنْ يُزَوِّجَ بِنْتَهُ الصَّغِيرَةَ بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ فَيَكُونَ الْمُسَمَّى إِذَا نَقَصَ منه باطلاً، يجب لَهَا نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ الْأَبُ، فَفِي جَوَازِ تَزْوِيجِهِ لَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ وَجْهَانِ:

Jika dikatakan: bahwa wali adalah suami, bukan ayah, maka ayah tidak boleh menikahkan putrinya yang masih kecil dengan mahar kurang dari mahar mitsil, sehingga jika mahar yang disebutkan kurang dari itu, maka batal dan wajib baginya setengah mahar mitsil. Jika dikatakan: bahwa wali adalah ayah, maka dalam kebolehan ayah menikahkan putrinya dengan mahar kurang dari mahar mitsil terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ، لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ لَهُ أَنْ يُبَرِّئَ مِنْ جَمِيعِ الْمَهْرِ، فَأَوْلَى أَنْ يُزَوِّجَ بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، فَتَكُونُ لَهَا نِصْفُ الْمُسَمَّى، وَإِنْ نَقَصَ عَنْ مَهْرِ مِثْلِهَا.

Salah satunya: boleh, karena jika ayah boleh membebaskan seluruh mahar, maka lebih utama lagi boleh menikahkan dengan mahar kurang dari mahar mitsil, sehingga hak istri adalah setengah dari mahar yang disebutkan, meskipun kurang dari mahar mitsil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ، أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا، وَإِنْ جَازَ أَنْ يُبَرِّئَ مِنْ جَمِيعِ مَهْرِهَا، لِأَنَّهُ يُبَرِّئُ مِنْهُ بَعْدَ الطَّلَاقِ لِيَسْتَفِيدَ مِثْلُهُ فِي النِّكَاحِ الْمُسْتَقْبَلِ وَخَالَفَ ابْتِدَاءَ الْعَقْدِ، لِأَنَّهُ قَدْ أَسْقَطَ لَهَا حَقًّا لَا يَسْتَفِيدُ مثله.

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa tidak boleh menikahkan dengan mahar kurang dari mahar mitsil, meskipun boleh membebaskan seluruh maharnya, karena pembebasan itu dilakukan setelah talak agar dapat memperoleh yang serupa dalam pernikahan berikutnya, berbeda dengan permulaan akad, karena di situ ia telah menggugurkan hak yang tidak dapat diperoleh kembali.

وَالْفَصْلُ الثَّانِي: صِفَةُ مَا تَضْمَنُهُ الْمُرْضِعَةُ لِلزَّوْجِ، وَهُوَ نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى سَوَاءٌ زَادَ عَلَيْهِ أَوْ نَقَصَ مِنْهُ.

Fasal kedua: sifat apa yang dijamin ibu susu kepada suami, yaitu setengah mahar mitsil, bukan yang disebutkan dalam akad, baik lebih maupun kurang dari itu.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يُرْجَعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الْمُسَمَّى، لِأَنَّهُ الْقَدْرُ الَّذِي غَرِمَهُ فَلَمْ يَرْجِعْ إِلَّا بِمِثْلِهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الزَّوْجَ ضَمِنَ الْمَهْرَ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا الْمُسَمَّى فِيهِ، وَالْمُرْضِعَةُ اسْتَهْلَكَتِ الْبُضْعَ بِالتَّحْرِيمِ فَلَزِمَهَا قِيمَةُ مَا اسْتَهْلَكَتْ وَهُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ كَمَنِ اسْتَهْلَكَ عَلَى الْمُشْتَرِي مَا اشْتَرَاهُ لَمْ يُغَرَّمْ إِلَّا الْقِيمَةَ، وَإِنْ غُرِّمَ الْمُشْتَرِي الثَّمَنَ الْمُسَمَّى بِزِيَادَتِهِ وَنَقْصِهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا أَلْفًا وَقَدْ أَصْدَقَهَا أَلْفَيْنِ غَرِمَ لَهَا أَلْفًا وَرَجَعَ عَلَى الْمُرْضِعَةِ بِخَمْسِمِائَةٍ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ مُحَابَاةٌ كَالْعَطَايَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Abu Hanifah berkata: “Dikembalikan kepadanya setengah dari mahar yang telah disebutkan, karena itulah kadar yang telah ia tanggung, maka ia tidak berhak kembali kecuali dengan yang semisalnya.” Namun, pendapat ini tidak benar, karena suami menjamin mahar dengan akad, sehingga yang wajib baginya hanyalah mahar yang disebutkan dalam akad tersebut. Sedangkan wanita yang menyusui telah menghilangkan hak atas kemaluan dengan sebab pengharaman, sehingga ia wajib mengganti nilai apa yang telah ia hilangkan, yaitu mahar mitsil, sebagaimana seseorang yang telah menghilangkan barang yang dibeli oleh pembeli, maka ia hanya menanggung nilainya saja. Meskipun pembeli menanggung harga yang telah disebutkan, baik lebih maupun kurang. Berdasarkan hal ini, jika mahar mitsilnya seribu, sedangkan ia telah memberinya mahar dua ribu, maka ia menanggung kepadanya seribu dan kembali kepada wanita yang menyusui dengan lima ratus, karena kelebihan itu adalah bentuk kemurahan hati seperti pemberian hadiah. Dan Allah lebih mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَرْضَعَتْهَا امْرَأَةٌ لَهُ كَبِيرَةٌ لَمْ يُصِبْهَا حَرُمَتِ الْأَمُّ لِأَنَّهَا مِنْ أُمَّهَاتِ نِسَائِهِ وَلَا نِصْفَ مَهْرٍ لَهَا وَلَا مُتْعَةَ لِأَنَّهَا الْمُفْسِدَةُ وَفَسَدَ نِكَاحُ الْمُرْضَعَةِ بِلَا طَلَاقٍ لِأَنَّهَا صَارَتْ وَأُمُّهَا فِي مِلْكِهِ فِي حَالٍ وَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ وَيُرْجَعُ عَلَى الَّتِي أَرْضَعَتْهَا بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang wanita yang menjadi istrinya yang lebih tua menyusui istri mudanya, maka istri tua itu menjadi haram baginya karena ia termasuk ibu dari istri-istrinya, dan tidak ada setengah mahar untuknya, juga tidak ada mut‘ah, karena dialah yang merusak (pernikahan itu), dan pernikahan wanita yang menyusui batal tanpa talak, karena ia dan ibunya telah berada dalam kekuasaannya pada satu waktu. Adapun untuk istri muda, ia berhak atas setengah maharnya, dan suami dapat menuntut kepada wanita yang menyusui dengan setengah mahar mitsilnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ لَهُ زَوْجَتَانِ صُغْرَى وَكُبْرَى أَرْضَعَتِ الْكُبْرَى الصُّغْرَى خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ:

Al-Mawardi berkata: “Kejadiannya adalah pada seorang laki-laki yang memiliki dua istri, yang satu lebih muda dan yang satu lebih tua. Lalu istri yang lebih tua menyusui istri yang lebih muda sebanyak lima kali susuan. Maka pembahasan dalam masalah ini mencakup tiga hukum:

أَحَدُهَا: فَسْخُ النِّكَاحِ.

Pertama: Pembatalan nikah.

وَالثَّانِي: ثُبُوتُ التَّحْرِيمِ.

Kedua: Penetapan keharaman.

وَالثَّالِثُ: الْمَهْرُ.

Ketiga: Mahar.

فَأَمَّا الْحُكْمُ الْأَوَّلُ فَهُوَ بُطْلَانُ النِّكَاحِ فَفِيهِ أَرْبَعَةُ مَذَاهِبَ:

Adapun hukum pertama, yaitu batalnya pernikahan, terdapat empat pendapat:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي ذُؤَيْبٍ إِنَّ النِّكَاحَ لَا يَنْفَسِخُ بِرِضَاعِ الضَّرَائِرِ.

Pertama, yaitu pendapat Ibn Abi Dzu’aib, bahwa pernikahan tidak batal karena persusuan di antara para istri.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: مَا حَكَاهُ ابْنُ بُكَيْرٍ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَدْخُلْ بِالْكُبْرَى بَطَلَ نِكَاحُهَا وَثَبَتَ نِكَاحُ الصُّغْرَى.

Pendapat kedua, sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Bukair dari Malik, bahwa jika suami belum berhubungan dengan istri yang lebih tua, maka pernikahan istri tua batal dan pernikahan istri muda tetap sah.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ إِنَّهُ إِذَا لَمْ يَدْخُلْ بِالْكُبْرَى ثَبَتَ نِكَاحُهَا وَبَطَلَ نِكَاحُ الصُّغْرَى.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat al-Auza‘i, bahwa jika suami belum berhubungan dengan istri yang lebih tua, maka pernikahan istri tua tetap sah dan pernikahan istri muda batal.

وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ إِنَّهُ بَطَلَ بِالرَّضَاعِ نِكَاحُهُمَا مَعًا سَوَاءٌ دَخَلَ بِالْكُبْرَى أَوْ لَمْ يَدْخُلْ، لِأَنَّهُ صَارَ جَامِعًا بَيْنَ امْرَأَةٍ وَبِنْتِهَا.

Pendapat keempat, yaitu pendapat asy-Syafi‘i, Abu Hanifah, dan mayoritas fuqaha, bahwa dengan adanya persusuan, pernikahan keduanya batal sekaligus, baik suami sudah berhubungan dengan istri tua maupun belum, karena ia telah mengumpulkan antara seorang wanita dan putrinya.

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّانِي: وَهُوَ التَّحْرِيمُ فَتَحْرُمُ عَلَيْهِ الْكُبْرَى عَلَى التَّأْبِيدِ، لِأَنَّهَا مِنْ أُمَّهَاتِ نِسَائِهِ، وَأَمَّا الصُّغْرَى فَتَحْرِيمُهَا مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْكُبْرَى فَإِنْ دَخَلَ بِهَا حَرُمَتِ الصُّغْرَى، وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا لَمْ تَحْرُمِ الصُّغْرَى، لِأَنَّهَا مِنْ رَبَائِبِهِ وَتَحْرِيمُ الرَّبِيبَةِ يَكُونُ بِدُخُولِهِ بِالْأُمِّ.

Adapun hukum kedua, yaitu keharaman, maka istri tua menjadi haram baginya untuk selamanya, karena ia termasuk ibu dari istri-istrinya. Adapun istri muda, keharamannya tergantung pada keadaan istri tua; jika suami telah berhubungan dengan istri tua, maka istri muda menjadi haram baginya, dan jika belum, maka istri muda tidak menjadi haram, karena ia termasuk rabibah (anak tiri), dan keharaman rabibah terjadi dengan masuknya suami kepada ibunya.

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الْمَهْرُ فَلِلصُّغْرَى عَلَيْهِ نِصْفُ مَهْرِهَا الْمُسَمَّى، لِأَنَّ فَسْخَ نِكَاحِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ كَانَ مِنْ غَيْرِهَا، وَيُرْجَعُ عَلَى الْكُبْرَى بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا أَوْ بِجَمِيعِهِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ.

Adapun hukum ketiga, yaitu mahar, maka istri muda berhak atas setengah mahar yang telah disebutkan, karena pembatalan pernikahan terjadi sebelum terjadi hubungan dan bukan karena kesalahannya. Suami dapat menuntut kepada istri tua dengan setengah mahar mitsilnya, atau seluruhnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَأَمَّا مَهْرُ الْكُبْرَى فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَقَدِ اسْتَحَقَّتْ جَمِيعَهُ وَإِلَّا سَقَطَ بِالرَّضَاعِ كَالْمُرْتَدَّةِ بَعْدَ الدُّخُولِ، وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا سَقَطَ مَهْرُهَا، لِأَنَّ الْفَسْخَ مِنْ جِهَتِهَا كالردة.

Adapun mahar istri tua, jika suami telah berhubungan dengannya, maka ia berhak atas seluruh maharnya. Jika tidak, maka maharnya gugur karena persusuan, seperti halnya wanita murtad setelah berhubungan. Jika belum berhubungan, maka maharnya gugur, karena pembatalan berasal dari pihaknya, seperti kasus murtad.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ تَزَوَّجَ ثَلَاثًا صِغَارًا فَأَرْضَعَتِ امْرَأَةٌ اثْنَتَيْنِ مِنْهُنَّ الرَّضْعَةَ الْخَامِسَةَ مَعًا فَسَدَ نِكَاحُ الْأُمِّ وَنِكَاحُ الصَّبِيَّتَيْنِ وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ نِصْفُ الْمَهْرِ الْمُسَمَّى ويرجع على امرأته بمثل نصف مهر كل واحدة منهما وتحل له كل واحدة منهما على الانفراد لأنهما ابنتا امرأة لم يدخل بها فإن أرضعت الثالثة بعد ذلك لم تحرم لأنها منفردة “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menikahi tiga wanita yang masih kecil, lalu seorang wanita menyusui dua di antara mereka pada susuan kelima secara bersamaan, maka batal pernikahan ibu dan kedua anak perempuan tersebut, dan masing-masing berhak atas setengah mahar yang telah disebutkan. Suami dapat menuntut kepada istrinya dengan setengah mahar dari masing-masing mereka. Masing-masing dari keduanya halal baginya secara terpisah, karena keduanya adalah anak perempuan dari wanita yang belum digauli. Jika kemudian wanita itu menyusui yang ketiga, maka ia tidak menjadi haram karena ia sendirian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا اعْتَمَدَتِ الْكُبْرَى وَلَهُ مَعَهَا ثَلَاثٌ صِغَارٌ فَأَرْضَعَتِ اثْنَتَيْنِ مِنْهُنَّ خَمْسَ رَضَعَاتٍ مَعًا بَطَلَ نِكَاحُهَا، وَنِكَاحُ الْكُبْرَى، وَلِتَحْرِيمِ نِكَاحِ الْكُبْرَى عِلَّةٌ وَاحِدَةٌ، لِأَنَّهَا صَارَتْ مِنْ أُمَّهَاتِ نِسَائِهِ فَكَانَ تَحْرِيمُهَا مُؤَبَّدًا، وَلِتَحْرِيمِ نِكَاحِ الصَّغِيرَتَيْنِ عِلَّتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, apabila istri yang lebih tua menjadi sandaran, dan ia bersama suaminya memiliki tiga istri yang lebih muda, lalu ia menyusui dua dari mereka masing-masing lima kali secara bersamaan, maka batalah pernikahan istri tua tersebut dan pernikahan kedua istri muda itu. Adapun sebab keharaman menikahi istri tua hanya satu, yaitu karena ia telah menjadi salah satu dari ibu-ibu istri-istrinya, sehingga keharamannya bersifat abadi. Sedangkan keharaman menikahi dua istri muda itu memiliki dua sebab:

إِحْدَاهُمَا: أَنَّهُمَا مِنْ رَبَائِبِهِ فإن دخل بالأم حرمتا على التأييد، وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا لَمْ يَتَأَبَّدْ تَحْرِيمُهُمَا.

Pertama: Keduanya termasuk anak tiri (rabā’ib)-nya. Jika ia telah berhubungan dengan ibunya, maka keduanya haram dinikahi untuk selamanya. Namun jika belum berhubungan, maka keharaman keduanya tidak bersifat abadi.

وَالْعِلَّةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُمَا صَارَتَا أُخْتَيْنِ فَحَرُمَتَا تَحْرِيمَ جَمْعٍ، وَحَلَّ لَهُ إِذَا لَمْ يَدْخُلْ بِالْأُمِّ أَنْ يَنْكِحَ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا عَلَى الِانْفِرَادِ وَلَا يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا فِي عَقْدٍ، فَأَمَّا مُهُورُهُنَّ فَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الصَّغِيرَتَيْنِ نِصْفُ مَهْرِهَا الْمُسَمَّى فَيَرْجِعُ عَلَى الْكُبْرَى بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ.

Sebab kedua: Keduanya telah menjadi saudari, sehingga haram dinikahi secara bersamaan. Namun, jika ia belum berhubungan dengan ibu mereka, maka ia boleh menikahi salah satu dari keduanya secara terpisah, dan tidak boleh mengumpulkan keduanya dalam satu akad. Adapun mengenai mahar mereka, maka masing-masing dari dua istri muda itu berhak atas setengah dari mahar yang telah ditentukan, dan ia dapat menuntut kepada istri tua setengah mahar yang sepadan dengan mahar masing-masing dari keduanya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَأَمَّا الْكُبْرَى فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا جَمِيعُ مَهْرِهَا وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا مَهْرَ لَهَا، لِأَنَّ الْفَسْخَ جَاءَ مِنْ قِبَلِهَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ عَادَتِ الْكُبْرَى فَأَرْضَعَتِ الصَّغِيرَةَ الثَّالِثَةَ لَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ بِالْكُبْرَى وَيَبْطُلُ إِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا.

Adapun istri tua, jika ia telah digauli, maka ia berhak atas seluruh maharnya. Namun jika belum digauli, maka ia tidak berhak atas mahar, karena pembatalan nikah berasal dari pihaknya. Berdasarkan hal ini, jika istri tua kembali lalu menyusui istri muda yang ketiga, maka pernikahannya tidak batal jika ia belum digauli, dan batal jika ia telah digauli.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَرْضَعَتْ إِحْدَاهُنَّ الرَّضْعَةَ الْخَامِسَةَ ثُمَّ الْأُخْرَيَيْنِ الْخَامِسَةَ مَعًا حَرُمْتَ عَلَيْهِ وَالَّتِي أَرْضَعَتْهَا أَوَّلًا لِأَنَّهُمَا صَارَتَا أُمًّا وَبِنْتًا فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ مَعًا وَحَرُمَتِ الْأُخْرَيَانِ لِأَنَّهُمَا صَارَتَا أُخْتَيْنِ فِي وقت معا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika salah satu dari mereka menyusui yang kelima, kemudian dua lainnya menyusui yang kelima secara bersamaan, maka ia (istri tua) menjadi haram baginya, demikian pula yang pertama kali disusui, karena keduanya telah menjadi ibu dan anak dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan dua lainnya menjadi haram karena keduanya telah menjadi saudari dalam waktu yang bersamaan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ الْكُبْرَى إِذَا أَرْضَعَتِ الْأُولَى مِنَ الصَّغَائِرِ بَطَلَ نِكَاحُهُمَا لِأَنَّهُمَا صَارَتَا أُمًّا وَبِنْتًا وَحَرُمُ نِكَاحُ الْكُبْرَى، عَلَى التَّأْبِيدِ، فَأَمَّا الصُّغْرَى، فَإِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِالْكُبْرَى حَرُمَتْ عَلَى التَّأْبِيدِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ بِهَا حَلَّتْ، وَلِلصَّغِيرَةِ نِصْفُ مَهْرِهَا، وَيَرْجِعُ عَلَى الْكَبِيرَةِ بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَفِي الْآخَرِ بِجَمِيعِهِ عَلَى مَا مَضَى وَلَا مَهْرَ لِلْكَبِيرَةِ إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا، وَلِأَنَّ الْفَسْخَ مِنْ قِبَلِهَا وَلَهَا جَمِيعُ الْمَهْرِ إِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا، فَإِنْ عَادَتِ الْكُبْرَى فَأَرْضَعَتِ الصَّغِيرَتَيْنِ الْبَاقِيَتَيْنِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ مَعًا، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ دُخُولِهِ بِالْكُبْرَى حَرُمَتَا عَلَى التَّأْبِيدِ، وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِالْكُبْرَى حَرُمَتَا تَحْرِيمَ الْجَمْعِ، لِأَنَّهُ صَارَ جَامِعًا بَيْنَ أُخْتَيْنِ، وَحَلَّ لَهُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ نِكَاحَ مَنْ شَاءَ مِنَ الثَّلَاثِ الصَّغَائِرِ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ مِنْهُنَّ، لِأَنَّهُنَّ أَخَوَاتٌ وَالْكَلَامُ عَلَى الْمَهْرِ عَلَى مَا مَضَى.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena jika istri tua menyusui yang pertama dari istri-istri muda, maka batal pernikahan keduanya karena keduanya telah menjadi ibu dan anak, dan pernikahan dengan istri tua menjadi haram untuk selamanya. Adapun istri muda, jika ia telah digauli bersama istri tua, maka ia haram dinikahi untuk selamanya. Namun jika belum digauli, maka ia halal dinikahi, dan ia berhak atas setengah maharnya, dan dapat menuntut kepada istri tua setengah mahar yang sepadan dengannya menurut salah satu pendapat, dan menurut pendapat lain seluruhnya, sebagaimana telah dijelaskan. Dan istri tua tidak berhak atas mahar jika belum digauli, karena pembatalan berasal dari pihaknya, dan ia berhak atas seluruh mahar jika telah digauli. Jika istri tua kembali lalu menyusui dua istri muda yang tersisa masing-masing lima kali secara bersamaan, maka jika itu terjadi setelah digauli, keduanya haram dinikahi untuk selamanya. Namun jika belum digauli, maka keduanya haram dinikahi secara bersamaan, karena ia telah mengumpulkan dua saudari, dan ia boleh memulai akad nikah baru dengan siapa saja dari tiga istri muda tersebut, namun tidak boleh mengumpulkan dua dari mereka, karena mereka adalah saudari, dan pembahasan tentang mahar sebagaimana telah dijelaskan.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا كَانَ لَهُ زَوْجَةٌ صَغِيرَةٌ وَثَلَاثُ زَوْجَاتٍ كِبَارٌ فَأَرْضَعَتْ إِحْدَى الْكِبَارِ الصَّغِيرَةَ بَطَلَ نِكَاحُهَا، فَإِنْ جَاءَتْ ثَانِيَةٌ مِنَ الْكِبَارِ فَأَرْضَعَتِ الصَّغِيرَةَ بَعْدَ بُطْلَانِ نِكَاحِهَا حَرُمَتِ الْكَبِيرَةُ، لِأَنَّهَا صَارَتْ أُمَّ مَنْ كَانَتْ زَوْجَةً لَهُ فَإِنْ جَاءَتِ الثَّالِثَةُ فَأَرْضَعَتْ تِلْكَ الصَّغِيرَةَ بَطَلَ نِكَاحُهَا أَيْضًا لِهَذَا الْمَعْنَى.

Jika ia memiliki seorang istri muda dan tiga istri tua, lalu salah satu dari istri tua itu menyusui istri muda tersebut, maka batal pernikahan istri tua itu. Jika kemudian istri tua kedua datang dan menyusui istri muda itu setelah batalnya pernikahan istri tua pertama, maka istri tua kedua menjadi haram dinikahi, karena ia telah menjadi ibu dari wanita yang pernah menjadi istrinya. Jika kemudian istri tua ketiga datang dan menyusui istri muda itu, maka batal pula pernikahan istri tua ketiga karena alasan yang sama.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ صُغْرَى وَكُبْرَى فَطَلَّقَ إِحْدَاهُمَا ثُمَّ أَرْضَعَتِ الْكُبْرَى قَبْلَ دُخُولِهِ بِهَا الصُّغْرَى نُظِرَ، فَإِنْ كَانَتِ الْمُطَلَّقَةُ هِيَ الصُّغْرَى حُرِمَّتْ عَلَيْهِ الْكُبْرَى، لِأَنَّهَا صَارَتْ أُمَّ مَنْ كَانَتْ زَوْجَتَهُ، وَإِنْ كَانَتِ الْمُطَلَّقَةُ هِيَ الْكُبْرَى لَمْ تَحْرُمِ الصُّغْرَى، لِأَنَّهَا رَبِيبَتُهُ لم يدخل بأمها.

Jika seseorang memiliki dua istri, yang satu lebih muda dan yang lain lebih tua, lalu ia menceraikan salah satunya, kemudian istri yang lebih tua menyusui yang lebih muda sebelum ia berhubungan dengannya, maka perlu diperhatikan: jika yang dicerai adalah yang lebih muda, maka istri yang lebih tua menjadi haram baginya, karena ia telah menjadi ibu dari mantan istrinya. Namun jika yang dicerai adalah yang lebih tua, maka yang lebih muda tidak menjadi haram baginya, karena ia adalah anak tiri yang belum digauli ibunya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَرْضَعَتْهُمَا مُتَفَرِّقَتَيْنِ لَمْ يَحْرُمَا مَعًا لَأَنَّهَا لم ترضع واحدة منهما إلا بعد ما بَانَتْ مِنْهُ هِيَ وَالْأُولَى فَيَثْبُتَ نِكَاحُ الَّتِي أَرْضَعَتْهُمَا بَعْدَ مَا بَانَتِ الْأُولَى وَيَفْسَدَ نِكَاحُ الَّتِي أَرْضَعَتْهَا بَعْدَهَا لِأَنَّهَا أُخْتُ امْرَأَتِهِ فَكَانَتِ كامرأة نكحت على أختها (قال المزني) رحمه الله ليس ينظر الشافعي في ذلك إلا إلى وقت الرضاع فقد صارتا أختين في وقت معا برضاع الآخرة منهما (قال المزني) رحمه الله ولا فرق بين امرأة كبيرة أرضعت امرأة له صغيرة فصارتا أما وبنتا في وقت معا وبين أجنبية أرضعت له امرأتين صغيرتين فصارتا أختين في وقت معا ولو جاز أن تكون إذا أرضعت صغيرة ثم صغيرة كامرأة نكحت على أختها لزم إذا نكح كبيرة ثم صغيرة فأرضعتها أن تكون كامرأة نكحت على أمها وفي ذلك دليل على ما قلت أنا وقد قال في كتاب النكاح القديم لو تزوج صبيتين فأرضعتهما امرأة واحدة بعد واحدة انفسخ نكاحهما (قال المزني) رحمه الله وهذا وذاك سواء وهو بقوله أولى “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menyusui keduanya secara terpisah, maka keduanya tidak menjadi haram bersamaan, karena ia tidak menyusui salah satu dari keduanya kecuali setelah ia berpisah darinya, baik dari dirinya maupun dari yang pertama. Maka tetap sah pernikahan dengan yang disusui setelah yang pertama berpisah, dan rusak pernikahan dengan yang disusui setelahnya, karena ia menjadi saudara istri, sehingga seperti wanita yang dinikahi bersama saudara perempuannya.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Imam asy-Syafi‘i dalam hal ini hanya melihat pada waktu penyusuan, sehingga keduanya menjadi saudara pada waktu yang sama karena penyusuan yang terakhir.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Tidak ada perbedaan antara seorang wanita dewasa yang menyusui istri kecilnya sehingga keduanya menjadi ibu dan anak pada waktu yang sama, dan antara wanita asing yang menyusui dua istri kecilnya sehingga keduanya menjadi saudara pada waktu yang sama. Jika dibolehkan bahwa jika ia menyusui yang kecil lalu yang kecil lagi, maka seperti wanita yang dinikahi bersama saudara perempuannya, maka harus pula jika ia menikahi yang besar lalu yang kecil lalu menyusuinya, maka seperti wanita yang dinikahi bersama ibunya. Dalam hal ini terdapat dalil atas apa yang aku katakan. Dan ia berkata dalam Kitab an-Nikah yang lama: Jika seseorang menikahi dua gadis kecil, lalu seorang wanita menyusui keduanya satu per satu, maka pernikahan keduanya batal.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Ini dan itu sama, dan pendapat ini lebih utama menurut beliau.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ تَزَوَّجَ كَبِيرَةً وَثَلَاثًا صِغَارًا فَأَرْضَعَتِ الْكَبِيرَةُ مِنْ قَبْلِ دُخُولِهِ بِهَا إِحْدَى الصِّغَارِ فَبَطَلَ نِكَاحُهُمَا مَعًا، لِأَنَّهُمَا أُمٌّ وَبِنْتٌ ثُمَّ عَادَتِ الْكَبِيرَةُ فَأَرْضَعَتْ ثَانِيَةً مِنَ الصَّغِيرَتَيْنِ الْبَاقِيَتَيْنِ لَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُ الصَّغِيرَةِ، لِأَنَّهَا بِنْتُ امْرَأَةٍ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا، وَقَدْ بَانَتْ مِنْهُ فَإِنْ عَادَتِ الْكَبِيرَةُ فَأَرْضَعَتِ الصَّغِيرَةَ الثَّالِثَةَ بَطَلَ نِكَاحُ الثَّالِثَةِ، لِأَنَّهَا صَارَتْ أُخْتَ الثَّانِيَةِ، وَهَلْ يَبْطُلُ بِهَا نِكَاحُ الثَّانِيَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: “Contohnya adalah seorang laki-laki menikahi seorang wanita dewasa dan tiga gadis kecil, lalu wanita dewasa itu sebelum digauli menyusui salah satu dari gadis kecil itu, maka batal pernikahan keduanya, karena keduanya menjadi ibu dan anak. Kemudian wanita dewasa itu kembali menyusui gadis kecil kedua dari dua yang tersisa, maka pernikahan gadis kecil itu tidak batal, karena ia adalah anak dari wanita yang belum digauli, dan wanita itu telah berpisah darinya. Jika wanita dewasa itu kembali menyusui gadis kecil ketiga, maka batal pernikahan gadis kecil ketiga, karena ia menjadi saudara dari gadis kecil kedua. Apakah pernikahan gadis kecil kedua juga batal atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْمُزَنِيِّ وَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يَنْفَسِخُ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ بِرِضَاعِ الثَّالِثَةِ، لِأَنَّهُمَا قَدْ صَارَتَا أُخْتَيْنِ فَصَارَ كَمَا لَوْ أَرْضَعَتْهُمَا مَعًا، وَلِأَنَّهُ لَوْ تَزَوَّجَ بِصُغْرَى وَكُبْرَى فَأَرْضَعَتِ الْكُبْرَى الصُّغْرَى بَطَلَ نِكَاحُهُمَا، لِأَنَّهُمَا صَارَتَا أُخْتَيْنِ، وَإِنْ تَقَدَّمَ سَبَبُ الْكُبْرَى عَلَى رَضَاعِ الصُّغْرَى كَذَلِكَ هَاهُنَا.

Salah satunya, dan ini adalah pendapat dalam qaul qadim, serta mazhab Abu Hanifah, al-Muzani, dan Abu al-‘Abbas bin Surayj, bahwa pernikahan gadis kecil kedua batal karena penyusuan gadis kecil ketiga, karena keduanya telah menjadi saudara, sehingga seperti jika keduanya disusui secara bersamaan. Dan karena jika seseorang menikahi gadis kecil dan wanita dewasa, lalu wanita dewasa menyusui gadis kecil, maka batal pernikahan keduanya, karena keduanya menjadi saudara, meskipun sebab pernikahan wanita dewasa lebih dahulu daripada penyusuan gadis kecil, demikian pula dalam kasus ini.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْأَوْزَاعِيِّ إِنَّ نِكَاحَ الثَّانِيَةِ بِحَالِهِ لَا يَنْفَسِخُ بِرِضَاعِ الثَّالِثَةِ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَنْفَسِخْ نِكَاحُهَا بِرِضَاعِهَا لَمْ يَنْفَسِخْ بِرِضَاعِ غَيْرِهَا وَصَارَتْ كَامْرَأَةٍ نُكِحَتْ عَلَيْهَا أُخْتُهَا يَبْطُلُ نِكَاحُ الْأُخْتِ وَثَبَتَ نِكَاحُهَا، وَلِأَنَّهُ لَوْ مَلَكَ أَمَتَيْنِ أُخْتَيْنِ فَوَطِئَ إِحْدَاهُمَا كَانَتِ الْأُخْرَى مُحَرَّمَةً عَلَيْهِ، فَإِنْ وَطِئَهَا لَمْ تَحْرُمِ الأولى بوطء الثانية وكانت الأولة عَلَى إِبَاحَتِهَا كَذَلِكَ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ، فَعَلَى هَذَا، لَوْ كَانَ لَهُ أَرْبَعُ زَوْجَاتٍ صِغَارٌ، فَأَرْضَعَتْ أَجْنَبِيَّةٌ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ الصِّغَارِ الْأَرْبَعِ وَاحِدَةً بَعْدَ وَاحِدَةٍ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ قد بطل نكاحهن كلهن فيبطل نكاح الأولة بِرِضَاعِ الثَّانِيَةِ، وَيَبْطُلُ نِكَاحُ الثَّالِثَةِ بِرِضَاعِ الرَّابِعَةِ.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat dalam qaul jadid, serta mazhab al-Awza‘i, bahwa pernikahan gadis kecil kedua tetap sah dan tidak batal karena penyusuan gadis kecil ketiga, karena ketika pernikahannya tidak batal dengan penyusuan dirinya sendiri, maka tidak batal pula dengan penyusuan orang lain. Ia menjadi seperti wanita yang dinikahi lalu saudara perempuannya dinikahi pula, maka pernikahan saudara perempuannya yang batal dan pernikahannya tetap sah. Dan karena jika seseorang memiliki dua budak perempuan yang bersaudara, lalu ia menggauli salah satunya, maka yang lain menjadi haram baginya. Namun jika ia menggauli yang kedua, maka yang pertama tidak menjadi haram karena menggauli yang kedua, dan yang pertama tetap halal baginya. Demikian pula dalam hal keharaman karena penyusuan. Maka berdasarkan ini, jika seseorang memiliki empat istri kecil, lalu seorang wanita asing menyusui keempat-empatnya satu per satu, maka menurut salah satu pendapat—dan ini adalah pilihan al-Muzani—batal seluruh pernikahan mereka; pernikahan yang pertama batal karena penyusuan yang kedua, dan pernikahan yang ketiga batal karena penyusuan yang keempat.

والقول الثاني: ثبت نكاح الأولة، ويبطل نكاح الثلاث برضاعهن بعد الأولة.

Dan pendapat kedua: pernikahan yang pertama tetap sah, dan pernikahan tiga lainnya batal karena penyusuan mereka setelah yang pertama.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَلَوْ كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ صَغِيرَتَانِ فَأَرْضَعَتْ أَجْنَبِيَّةٌ إِحْدَاهُمَا ثُمَّ أَرْضَعَتْ أُمُّ الْأَجْنَبِيَّةِ الْأُخْرَى بَطَلَ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ، لِأَنَّهَا صَارَتْ خَالَةَ الْأُولَى، وفي بطلان نكاح الأولة قَوْلَانِ:

Jika seseorang memiliki dua istri yang masih kecil, lalu seorang perempuan asing menyusui salah satu dari keduanya, kemudian ibu dari perempuan asing tersebut menyusui istri yang satunya lagi, maka batal nikah istri yang kedua, karena ia menjadi bibi dari yang pertama. Adapun mengenai batalnya nikah istri yang pertama, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَبْطُلُ نِكَاحُ الْأُولَى بِرِضَاعِ الثَّانِيَةِ.

Salah satunya: Nikah istri pertama batal karena penyusuan terhadap istri kedua.

والقول الثاني: لا يبطل نكاح الأولة، وَإِنْ بَطَلَ بِالرَّضَاعِ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ، وَكَانَ لِلَّتِي بَطَلَ نِكَاحُهَا نِصْفُ مَهْرِهَا، وَيَرْجِعُ بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ، وَبِجَمِيعِهِ فِي الْقَوْلِ الْآخَرِ، وَفِي الَّتِي يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِذَلِكَ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Nikah istri pertama tidak batal, meskipun nikah istri kedua batal karena penyusuan. Istri yang batal nikahnya berhak atas setengah maharnya, dan suami berhak kembali menuntut setengah mahar semisalnya menurut pendapat yang paling sahih, dan seluruhnya menurut pendapat yang lain. Mengenai kepada siapa suami menuntut kembali mahar tersebut, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: عَلَى الْمُرْضِعَةِ الثَّانِيَةِ، لِأَنَّ بِرِضَاعِهَا انْفَسَخَ النكاح.

Salah satunya: Kepada perempuan yang menyusui istri kedua, karena dengan penyusuannya nikah menjadi batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْمُرْضِعَتَيْنِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ، لِأَنَّ بِرِضَاعِهِمَا اسْتَقَرَّ فَسْخُ النِّكَاحِ.

Pendapat kedua: Suami menuntut kepada kedua perempuan yang menyusui, baik yang pertama maupun yang kedua, karena dengan penyusuan keduanya, pembatalan nikah menjadi tetap.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ كَانَ لِلْكَبِيرَةِ بَنَاتٌ مَرَاضِعُ أَوْ مِنْ رَضَاعٍ فَأَرْضَعْنَ الصِّغَارَ كُلَّهُنَّ انْفَسَخَ نِكَاحُهُنَّ مَعًا وَرُجِعَ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِنِصْفِ مَهْرِ التي أرضعت (قال المزني) رحمه الله ويرجع عليهن بنصف مهر امرأته الكبيرة إن لم يكن دخل بها لأنها صارت جدة مع بنات بناتها معاً وتحرم الكبيرة أبداً ويتزوج الصغار على الانفراد ولو كان دخل بالكبيرة حرمن جميعاً أبداً ولو لم يكن دخل بها فأرضعتهن أم امرأته الكبيرة أو جدتها أو أختها أو بنت أختها كان القول فيها كالقول في بناتها في المسألة قبلها “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika istri yang dewasa memiliki anak-anak perempuan yang menjadi ibu susu atau dari penyusuan, lalu mereka semua menyusui istri-istri yang masih kecil, maka batal seluruh pernikahan mereka secara bersamaan, dan suami menuntut kepada masing-masing dari mereka setengah mahar dari istri yang disusuinya. (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Suami menuntut kepada mereka setengah mahar istrinya yang dewasa jika ia belum berhubungan dengannya, karena ia telah menjadi nenek bersama anak-anak perempuannya, dan istri yang dewasa menjadi haram selamanya, sedangkan istri-istri kecil boleh dinikahi satu per satu. Jika suami telah berhubungan dengan istri dewasa, maka seluruh istri menjadi haram selamanya. Jika suami belum berhubungan dengan istri dewasa, lalu ibu istri dewasa, atau neneknya, atau saudarinya, atau anak perempuan dari saudarinya menyusui istri-istri kecil, maka hukumnya sama seperti pada kasus anak-anak perempuannya sebagaimana masalah sebelumnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يَتَزَوَّجَ كَبِيرَةً وَثَلَاثَ صِغَارٍ، وَلِلْكَبِيرَةِ ثَلَاثُ بَنَاتٍ مَرَاضِعَ أَيْ لَهُنَّ لَبَنٌ كَمَا قَالَ تَعَالَى {وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِنْ قَبْلُ} [القصص: 2] فَتُرْضِعُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْ بَنَاتِ الْكَبِيرَةِ وَاحِدَةً مِنَ الزَّوْجَاتِ الصِّغَارِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْكَبِيرَةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَدْخُولًا بِهَا أَوْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا، فَإِنْ كَانَتْ مَدْخُولًا بِهَا بَطَلَ نِكَاحُ الْكَبِيرَةِ وَنِكَاحُ الثَّلَاثِ الصغار عَلَى التَّأْبِيدِ سَوَاءٌ كَانَ رَضَاعُهُنَّ مَعًا أَوْ وَاحِدَةً بَعْدَ وَاحِدَةٍ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dewasa dan tiga perempuan kecil, dan perempuan dewasa tersebut memiliki tiga anak perempuan yang menjadi ibu susu, yaitu mereka memiliki air susu, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan Kami telah mengharamkan atasnya (Musa) para ibu susu sebelum itu} [al-Qashash: 12]. Lalu masing-masing anak perempuan dari istri dewasa menyusui satu dari istri-istri kecil. Maka, keadaan istri dewasa tidak lepas dari dua kemungkinan: sudah digauli atau belum. Jika sudah digauli, maka batal nikah istri dewasa dan nikah ketiga istri kecil untuk selamanya, baik penyusuan mereka dilakukan bersamaan maupun satu per satu.

أَمَّا الْكُبْرَى فَلِأَنَّهَا جَدَّةُ الصِّغَارِ، وَسَوَاءٌ كَانَتْ بَنَاتِهَا مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ.

Adapun istri dewasa, karena ia menjadi nenek bagi istri-istri kecil, baik anak-anak perempuannya itu dari nasab maupun dari penyusuan.

وَأَمَّا الصِّغَارُ فَلِأَنَّهُنَّ صِرْنَ بَنَاتِ امْرَأَةٍ قَدْ دَخَلَ بِهَا، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الصِّغَارِ نِصْفُ مَهْرِهَا، وَتَرْجِعُ عَلَى الَّتِي حَرَّمَتْهَا بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا.

Adapun istri-istri kecil, karena mereka menjadi anak-anak perempuan dari seorang perempuan yang telah digauli, dan masing-masing dari mereka berhak atas setengah maharnya, dan suami menuntut kepada perempuan yang menyebabkan keharamannya setengah mahar semisalnya sebagaimana telah disebutkan.

وَأَمَّا الْكُبْرَى فَلَهَا جَمِيعُ مَهْرِهَا لِاسْتِقْرَارِهِ بِالدُّخُولِ، فَإِنْ كَانَ بَنَاتُهَا أَرْضَعْنَ الصَّغَائِرَ مُتَفَرِّقَاتٍ وَاحِدَةً بَعْدَ أُخْرَى رَجَعَ بِمِثْلِ مَهْرِ الْكُبْرَى عَلَى الْمُرْضِعَةِ الْأُولَى عَلَى بَنَاتِهَا الثَّلَاثِ بِالسَّوِيَّةِ، لِأَنَّهُنَّ يَشْتَرِكْنَ فِي تَحْرِيمِهَا، وَلَا يَجُوزُ لَهُ مِنْ بَعْدُ أَنْ يَنْكِحَ وَاحِدَةً مِنَ الصَّغَائِرِ، لِأَنَّهُنَّ رَبَائِبُ قَدْ دُخِلَ بِجَدَّتِهِنَّ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ وَاحِدَةً مِنَ الْبَنَاتِ الْمُرْضَعَاتِ، لِأَنَّهُنَّ مِنْ أُمَّهَاتِ نِسَائِهِ، وَلِأَنَّهُنَّ بَنَاتُ امْرَأَةٍ قَدْ دَخَلَ بِهَا.

Adapun istri dewasa, ia berhak atas seluruh maharnya karena telah tetap dengan adanya hubungan suami-istri. Jika anak-anak perempuannya menyusui istri-istri kecil secara terpisah, satu demi satu, maka suami menuntut mahar semisal istri dewasa kepada ibu susu pertama dari anak-anak perempuannya yang tiga secara merata, karena mereka bersama-sama menyebabkan keharamannya. Setelah itu, suami tidak boleh menikahi salah satu dari istri-istri kecil, karena mereka adalah anak tiri yang neneknya telah digauli, dan tidak halal baginya menikahi salah satu dari anak-anak perempuan ibu susu, karena mereka adalah ibu dari istri-istrinya, dan karena mereka adalah anak dari perempuan yang telah digauli.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِالْكُبْرَى لَمْ يَخْلُ رَضَاعُ بَنَاتِهَا لِلصَّغَائِرِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Jika suami belum berhubungan dengan istri dewasa, maka penyusuan anak-anak perempuannya terhadap istri-istri kecil tidak lepas dari dua kemungkinan:

إِمَّا أَنْ يُرْضِعْنَ الصَّغَائِرَ مَعًا أَوْ مُتَفَرِّقَاتٍ.

Yaitu, mereka menyusui istri-istri kecil secara bersamaan atau secara terpisah.

فَإِنْ أَرْضَعَهُنَّ مَعًا مِثْلَ أَنْ يَنْفَرِدَ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْ بَنَاتِ الْكُبْرَى بِوَاحِدَةٍ مِنَ الصَّغَائِرِ فَتُرْضِعُهَا أَرْبَعَ رَضَعَاتٍ، إِمَّا عَلَى الِاجْتِمَاعِ أَوْ عَلَى الِانْفِرَادِ، ثُمَّ اتَّفَقُوا عَلَى إِجْمَاعِهِنَّ فِي الرَّضْعَةِ الْخَامِسَةِ مَعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ فَيَبْطُلُ نِكَاحُ الْكُبْرَى وَالصَّغَائِرِ مَعًا، لِأَنَّهُ صَارَ جَامِعًا بَيْنَ امْرَأَةٍ وَبَنَاتِ بَنَاتِهَا، وَحَرُمَتِ الْكُبْرَى عَلَى التَّأْبِيدِ، لِأَنَّهَا جَدَّةُ نِسَائِهِ وَحَرُمَ بَنَاتُهَا الْمَرَاضِعُ عَلَى التَّأْبِيدِ، لِأَنَّهُنَّ أُمَّهَاتُ نِسَائِهِ وَحَلَّ لَهُ الصَّغَائِرُ أَنْ يَتَزَوَّجَهُنَّ، لِأَنَّهُنَّ رَبَائِبُ مِنْ غَيْرِ مَدْخُولٍ بِهَا، وَجَازَ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُنَّ، لِأَنَّهُنَّ بَنَاتُ خَالَاتٍ، وَلَسْنَ بِأَخَوَاتٍ.

Jika mereka semua disusui secara bersamaan, misalnya masing-masing dari putri-putri yang lebih tua menyusui satu dari anak-anak yang lebih kecil, lalu ia menyusuinya sebanyak empat kali, baik secara bersamaan maupun sendiri-sendiri, kemudian mereka sepakat untuk menyusui mereka semua secara bersamaan pada susuan kelima dalam satu waktu, maka batalah pernikahan antara laki-laki itu dengan yang tua maupun yang kecil sekaligus. Hal ini karena ia telah mengumpulkan antara seorang perempuan dengan cucu-cucunya (putri-putri dari putrinya), dan perempuan yang lebih tua menjadi haram baginya untuk selama-lamanya karena ia telah menjadi nenek dari istri-istrinya, dan putri-putrinya yang menjadi ibu susu juga menjadi haram untuk selama-lamanya karena mereka adalah ibu-ibu dari istri-istrinya. Adapun anak-anak yang kecil, halal baginya untuk menikahi mereka, karena mereka adalah anak-anak tiri yang belum pernah digauli, dan boleh baginya untuk mengumpulkan mereka dalam satu pernikahan, karena mereka adalah anak-anak dari bibi-bibi, bukan saudara kandung.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: يُنْكَحْنَ عَلَى الِانْفِرَادِ.

Al-Muzani berkata: Mereka boleh dinikahi secara terpisah.

وَهَذَا وَهْمٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ سَهَا فِيهِ.

Ini adalah kekeliruan dari Al-Muzani yang ia lakukan karena lupa.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: لَيْسَ ذَلِكَ بِوَهْمٍ مِنْهُ، وَلَا سَهْوٍ، وَإِنَّمَا صور الْمَسْأَلَةِ فِي أَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْ بَنَاتِ الْكُبْرَى أَرْضَعَتِ الثَّلَاثَ كُلَّهُنَّ فَصِرْنَ أَخَوَاتٍ وَبَنَاتِ خَالَاتٍ فَحَرُمَ الْجَمْعُ بَيْنَهُنَّ، لِأَنَّهُنَّ أَخَوَاتٌ وَإِنْ لَمْ يَحْرُمْ بِأَنَّهُنَّ بَنَاتُ خَالَاتٍ.

Sebagian ulama kami berkata: Itu bukanlah kekeliruan atau kelupaan darinya, melainkan gambaran masalahnya adalah bahwa masing-masing dari putri-putri yang lebih tua menyusui ketiga-tiganya (anak kecil) sehingga mereka menjadi saudara-saudara sekaligus anak-anak dari bibi-bibi, maka haram mengumpulkan mereka dalam satu pernikahan karena mereka adalah saudara-saudara, meskipun tidak haram hanya karena mereka adalah anak-anak dari bibi-bibi.

فَأَمَّا الْمَهْرُ فَيَكُونُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الصَّغَائِرِ نِصْفُ مَهْرِهَا، وَتَرْجِعُ بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا عَلَى الَّتِي حَرَّمَهَا وَيَكُونُ لِلْكُبْرَى نِصْفُ مَهْرِهَا، وَتَرْجِعُ بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا عَلَى بَنَاتِهَا لِاشْتِرَاكِهِنَّ فِي تَحْرِيمِهَا.

Adapun mahar, maka untuk masing-masing dari anak-anak kecil mendapatkan setengah dari maharnya, dan ia (suami) dapat menuntut setengah mahar yang sepadan dari perempuan yang menyebabkan keharamannya, dan untuk yang lebih tua juga mendapatkan setengah maharnya, dan ia dapat menuntut setengah mahar yang sepadan dari putri-putrinya karena mereka bersama-sama menyebabkan keharamannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنِ افْتَرَقْنَ فِي الرَّضَاعِ فَأَرْضَعَتْ وَاحِدَةٌ مِنْ بَنَاتِ الْكُبْرَى لِوَاحِدَةٍ مِنَ الزَّوْجَاتِ ثُمَّ أَرْضَعَتْ ثَانِيَةٌ لِثَانِيَةٍ ثُمَّ أَرْضَعَتْ ثَالِثَةٌ لِثَالِثَةٍ بَطَلَ نِكَاحُ الْكُبْرَى وَالصَّغِيرَةِ الْأُولَى، وَكَانَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا نِصْفُ مَهْرِهَا، وَيُرْجَعُ بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا عَلَى الْمُرْضِعَةِ الْأُولَى، لِأَنَّهَا الْمُخْتَصَّةُ بِتَحْرِيمِهَا، وَأَمَّا نِكَاحُ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ فَبِحَالِهِ، وَعَلَى صِحَّتِهِ لِأَنَّهَا بَنَاتُ خَالَاتٍ، وَيَجُوزُ أَنْ تَتَزَوَّجَ الْأُولَى فَيَصِيرُ جَامِعًا بَيْنَهُنَّ كُلِّهِنَّ لِهَذَا الْمَعْنَى.

Jika mereka berbeda dalam penyusuan, yaitu satu dari putri-putri yang lebih tua menyusui satu dari istri-istri yang kecil, lalu yang kedua menyusui yang kedua, kemudian yang ketiga menyusui yang ketiga, maka batal pernikahan antara laki-laki itu dengan yang lebih tua dan anak kecil yang pertama, dan masing-masing dari keduanya mendapatkan setengah maharnya, dan ia (suami) dapat menuntut setengah mahar yang sepadan dari ibu susu yang pertama, karena dialah yang khusus menyebabkan keharamannya. Adapun pernikahan dengan yang kedua dan ketiga tetap sah, karena mereka adalah anak-anak dari bibi-bibi, dan boleh baginya menikahi yang pertama sehingga ia dapat mengumpulkan mereka semua dalam satu pernikahan karena alasan ini.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ زَوْجَاتٍ كِبَارٍ وَرَابِعَةٌ صَغِيرَةٌ، فَاجْتَمَعَ الْكِبَارُ عَلَى رَضَاعِ الصَّغِيرَةِ فَأَرْضَعْنَهَا خَمْسَ رَضَعَاتٍ بَيْنَهُنَّ لَمْ تَصِرْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ، إِمَّا لِلصَّغِيرَةِ، لِأَنَّهَا لَمْ تَسْتَكْمِلْ رَضَاعَهَا خَمْسًا، وَفِي تَحْرِيمِ الصَّغِيرَةِ عَلَى الزَّوْجِ إِذَا كَانَ اللَّبَنُ لَهُ وَجْهَانِ:

Jika ia memiliki tiga istri yang sudah dewasa dan satu lagi yang masih kecil, lalu para istri yang dewasa itu berkumpul untuk menyusui anak kecil tersebut dan mereka menyusuinya lima kali secara bergantian di antara mereka, maka tidak ada satu pun dari mereka yang menjadi ibu susu bagi anak kecil itu, karena masing-masing tidak menyempurnakan lima kali susuan. Dalam hal keharaman anak kecil itu atas suami jika air susunya berasal dari suami, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيِّ وَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ لَا تَحْرُمُ عَلَى الزَّوْجِ وَلَا تَصِيرُ لَهُ وَلَدًا، لِأَنَّ تَحْرِيمَ الرَّضَاعِ يَنْتَشِرُ عَنِ الْمُرْضِعَةِ إِلَى غَيْرِهَا فَلَمَّا لَمْ يَثْبُتْ تَحْرِيمُ الرَّضَاعِ فِي الْمُرْضِعَةِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَنْتَشِرَ إِلَى غَيْرِ الْمُرْضِعَةِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ نِكَاحُ الصَّغِيرَةِ وَالْكِبَارِ بِحَالِهِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu al-Qasim al-Anmathi dan Abu al-Abbas bin Surayj: Anak kecil itu tidak menjadi haram atas suami dan tidak menjadi anaknya, karena keharaman akibat penyusuan itu menyebar dari ibu susu kepada selainnya, maka ketika keharaman penyusuan tidak tetap pada ibu susu, maka lebih utama lagi tidak menyebar kepada selain ibu susu. Berdasarkan pendapat ini, pernikahan antara suami dengan anak kecil maupun istri-istri yang dewasa tetap sah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّ الصَّغِيرَةَ قَدْ صَارَتْ بِنْتًا لِلزَّوْجِ، وَإِنْ لَمْ تَصِرْ بِنْتًا لِوَاحِدَةٍ مِنَ الْمُرْضِعَاتِ، لِأَنَّ الْمُرْضِعَةَ تَصِيرُ أُمًّا إِذَا أَرْضَعَتْ خَمْسًا، وَهَذِهِ قَدِ اسْتَكْمَلَتْ خَمْسَ رَضَعَاتٍ مِنْ لَبَنِهِ فَاسْتَوَى حُكْمُ الْخَمْسِ مِنْ وَاحِدَةٍ أَوْ مِنْ خَمْسٍ. فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ نِكَاحُ الصَّغِيرَةِ؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ بِنْتَهُ، وَلَا يَبْطُلُ نِكَاحُ وَاحِدَةٍ مِنَ الْكِبَارِ لِأَنَّهَا لَمْ تَصِرْ مِنْ أُمَّهَاتِ نِسَائِهِ، وَيَكُونُ لِلصَّغِيرَةِ نِصْفُ مَهْرِهَا وَتَرْجِعُ بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا عَلَى الْكِبَارِ بَيْنَهُنَّ عَلَى أَعْدَادِ الزَّوْجَاتِ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa anak perempuan kecil itu telah menjadi anak perempuan bagi suami, meskipun ia tidak menjadi anak perempuan bagi salah satu dari para wanita yang menyusuinya. Sebab, wanita yang menyusui menjadi ibu apabila ia telah menyusui lima kali, dan anak ini telah sempurna mendapatkan lima kali susuan dari susunya, sehingga hukum lima kali susuan, baik dari satu wanita maupun dari lima wanita, adalah sama. Berdasarkan hal ini, maka pernikahan anak kecil itu batal karena ia telah menjadi anak perempuannya. Namun, pernikahan salah satu dari wanita-wanita dewasa tidak batal karena mereka tidak menjadi ibu dari istri-istrinya. Anak kecil itu berhak mendapatkan setengah maharnya, dan ia dapat menuntut setengah mahar yang sepadan dari para wanita dewasa tersebut, dibagi di antara mereka sesuai jumlah istri.

وَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَمْسُ بَنَاتٍ مَرَاضِعُ اشْتَرَكْنَ فِي إِرْضَاعِ صَغِيرَةٍ فَأَرْضَعَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ رَضْعَةً فَلَا تَكُونُ فِيهِنَّ أُمٌّ لَهَا، وَهَلْ أَبُوهُنَّ جَدٌّ لَهَا وَيَصِرْنَ بِذَلِكَ اللَّبَنِ خَالَاتٍ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Berdasarkan hal ini, jika ada seorang laki-laki yang memiliki lima anak perempuan yang semuanya menjadi wanita penyusu, lalu mereka bersama-sama menyusui seorang anak kecil, dan masing-masing dari mereka menyusuinya satu kali, maka tidak ada satu pun dari mereka yang menjadi ibu bagi anak kecil itu. Lalu, apakah ayah mereka menjadi kakek bagi anak kecil itu dan apakah mereka menjadi bibi-bibinya karena susuan tersebut atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْأَنْمَاطِيِّ إِنَّهُ لَا يَصِيرُ أَبُوهُنَّ جَدًّا لَهَا، وَلَا هُنَّ خَالَاتِهَا وَلَا تَحْرُمُ عَلَى أَبِيهِنَّ وَلَا على إخواتهن، وَيَجُوزُ لِلْأَجْنَبِيِّ إِذَا تَزَوَّجَ الصَّغِيرَةَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ مَنْ شَاءَ مِنَ الْمُرْضِعَاتِ الْخَمْسِ.

Salah satunya: yaitu pendapat al-Anmathi, bahwa ayah mereka tidak menjadi kakek bagi anak kecil itu, dan mereka juga tidak menjadi bibi-bibinya, serta anak kecil itu tidak menjadi haram bagi ayah mereka maupun bagi saudara-saudara mereka. Seorang laki-laki asing yang menikahi anak kecil itu boleh mengumpulkan antara dia dan siapa saja dari lima wanita penyusu tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ صَارَ أَبُوهُنَّ جَدًّا لَهَا لِارْتِضَاعِهَا مِنْ لَبَنِ بَنَاتِهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ، وَعَلَى أَوْلَادِهِ؛ لِأَنَّهُمْ أَخْوَالُهَا، وَلَا يَجُوزُ لِلْأَجْنَبِيِّ إِذَا تَزَوَّجَهَا أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ إِحْدَى الْمُرْضِعَاتِ، لِأَنَّهَا خَالَتُهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.

Pendapat kedua: bahwa ayah mereka telah menjadi kakek bagi anak kecil itu karena ia telah menyusu dari susu kelima putrinya sebanyak lima kali susuan, sehingga ia menjadi haram bagi ayah tersebut dan anak-anaknya, karena mereka adalah paman-pamannya (dari pihak ibu). Dan tidak boleh bagi laki-laki asing yang menikahinya untuk mengumpulkan antara dia dan salah satu dari wanita penyusu itu, karena dia adalah bibinya. Dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَوْ أَنَّ امْرَأَةً أَرْضَعَتْ مَوْلُودًا فَلَا بَأْسَ أَنْ تَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةُ الْمُرْضِعَةُ أَبَاهُ وَيَتَزَوَّجَ الْأَبُ ابْنَتَهَا أَوْ أُمَّهَا عَلَى الِانْفِرَادِ لِأَنَّهَا لَمْ تُرْضِعْهُ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang wanita menyusui seorang bayi, maka tidak mengapa wanita penyusu itu menikah dengan ayah bayi tersebut, dan ayahnya menikahi putrinya atau ibunya secara terpisah, karena wanita itu tidak menyusuinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مَا تَقَدَّمَ فِي صَدْرِ الْكِتَابِ، وَقُلْنَا: إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا أَرْضَعَتْ طِفْلًا بِلَبَنِ زَوْجِهَا صَارَ ابْنًا لَهُمَا وَصَارَا أَبَوَيْنِ لَهُ فَانْتَشَرَتْ حُرْمَةُ الرَّضَاعِ مِنْهُمَا إِلَيْهِ، بِأَنْ صَارَ وَلَدًا لَهُمَا، وَانْتَشَرَتِ الْحُرْمَةُ مِنْهُ إِلَيْهِمَا بِأَنْ صَارَا أَبَوَيْنِ لَهُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ كَانَ التَّحْرِيمُ الْمُنْتَشِرُ إِلَى الْأَبَوَيْنِ مُتَعَدِّيًا عَنْهُمَا إِلَى كُلِّ مَنْ نَاسَبَهُمَا فَيَصِيرُ أَبُو الزَّوْجِ جَدًّا لَهُ مِنْ أَبٍ، وَأُمُّهُ جَدَّةً لَهُ مِنْ أَبٍ، وَإِخْوَةُ الْأَبِ أَعْمَامَهُ، وَأَخَوَاتُ الْأَبِ عَمَّاتِهِ، وَأَبُو الْمُرْضِعَةِ جَدًّا لَهُ مِنْ أُمٍّ، وَأُمُّهَا جَدَّةً لَهُ مِنْ أُمٍّ فَكَذَلِكَ مَا عَلَا مِنْهُمَا.

Al-Mawardi berkata: Dan inilah yang telah dijelaskan di awal kitab, dan kami katakan: Jika seorang wanita menyusui seorang anak dengan susu suaminya, maka anak itu menjadi anak bagi keduanya dan keduanya menjadi orang tua baginya, sehingga hukum keharaman karena susuan menyebar dari keduanya kepada anak itu, karena ia telah menjadi anak mereka, dan keharaman juga menyebar dari anak itu kepada keduanya, karena keduanya menjadi orang tuanya. Jika demikian, maka keharaman yang menyebar kepada kedua orang tua itu juga meluas kepada semua kerabat mereka, sehingga ayah suami menjadi kakek dari pihak ayah, ibunya menjadi nenek dari pihak ayah, saudara laki-laki ayah menjadi paman, saudara perempuan ayah menjadi bibi, ayah wanita penyusu menjadi kakek dari pihak ibu, ibunya menjadi nenek dari pihak ibu, dan demikian pula yang lebih atas dari keduanya.

وَأَمَّا التَّحْرِيمُ الْمُنْتَشِرُ إِلَى الْوَلَدِ مَقْصُورٌ عَلَيْهِ وَعَلَى وَلَدِهِ وَلَا يَتَعَدَّى مِنْهُ إِلَى أَبَوَيْهِ فَيَجُوزُ لِأَبِيهِ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِالْمُرْضِعَةِ، لِأَنَّ أُمَّ وَلَدِهِ مِنَ النَّسَبِ لَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِأُمِّهِ أَنْ تَتَزَوَّجَ بِأَبِيهِ من الرضاع، ويجيز لِإِخْوَتِهِ وَأَخَوَاتِهِ أَنْ يَتَزَوَّجُوا بِأَبَوَيْهِ مِنَ الرَّضَاعِ، لِأَنَّهُ لَا نَسَبَ بَيْنَهُمْ وَلَا رَضَاعَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Adapun keharaman yang menyebar kepada anak hanya terbatas pada dirinya dan anak-anaknya, dan tidak meluas dari dirinya kepada kedua orang tuanya. Maka, ayahnya boleh menikahi wanita penyusu, karena ibu dari anaknya secara nasab tidak haram baginya. Ibunya juga boleh menikahi ayahnya dari susuan, dan saudara-saudara laki-laki dan perempuannya boleh menikahi kedua orang tuanya dari susuan, karena tidak ada hubungan nasab maupun susuan di antara mereka. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَإِذَا زَوَّجَ الرَّجُلُ عَبْدَهُ الصَّغِيرَ بِأَمَتِهِ ثُمَّ أَعْتَقَهَا، وَاخْتَارَتْ فَسْخَ نِكَاحِهِ، وَتَزَوَّجَتْ فَنَزَلَ لَهَا مِنْ زَوْجِهَا لَبَنٌ أَرْضَعَتْ بِهِ الزَّوْجَ الْأَوَّلَ بَطَلَ نِكَاحُهَا مِنَ الثَّانِي، لِأَنَّهُ صَارَ أَبًا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ، فَصَارَتْ مِنْ حَلَائِلِ أَبْنَائِهِ فَحَرُمَتْ عَلَيْهِ، وَلَوْ زَوَّجَ السَّيِّدُ أُمَّ وَلَدِهِ بِصَغِيرٍ فَأَرْضَعَتْهُ بِلَبَنِهَا انْفَسَخَ نِكَاحُهَا، لِأَنَّهَا صَارَتْ أُمَّ زَوْجِهَا وَحَرُمَتْ عَلَى سَيِّدِهَا، لِأَنَّ زَوْجَهَا صَارَ ابْنًا لِسَيِّدِهَا فَحَرُمَتْ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا صَارَتْ مَنْ حَلَائِلِ أَبْنَائِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika seorang laki-laki menikahkan budaknya yang masih kecil dengan budak perempuannya, lalu ia memerdekakan budak perempuan itu, kemudian budak perempuan tersebut memilih untuk memutuskan pernikahannya, lalu menikah lagi, dan dari suami barunya itu keluar air susu yang kemudian ia susukan kepada suami pertamanya, maka batalah pernikahannya dengan suami kedua. Sebab, suami kedua itu telah menjadi ayah bagi suami pertama, sehingga ia menjadi termasuk istri dari anak-anaknya dan haram baginya. Jika seorang tuan menikahkan ummu walad-nya dengan seorang anak kecil, lalu ia menyusuinya dengan air susunya sendiri, maka batal pula pernikahannya, karena ia telah menjadi ibu dari suaminya dan haram atas tuannya, sebab suaminya telah menjadi anak bagi tuannya, sehingga ia haram baginya, karena ia telah menjadi termasuk istri dari anak-anaknya. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ شَكَّ أَرْضَعَتْهُ خَمْسًا أَوْ أَقَلَّ لَمْ يَكُنِ ابْنًا لَهَا بِالشَّكُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia ragu, apakah telah menyusuinya lima kali atau kurang, maka ia tidak menjadi anaknya karena keraguan itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ الشَّكَّ إِذَا طَرَأَ عَلَى الْيَقِينِ سَقَطَ حُكْمُهُ كَالشَّاكِّ فِي الطَّلَاقِ وَالْحَدَثِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena jika keraguan muncul atas keyakinan, maka gugurlah hukumnya, sebagaimana orang yang ragu dalam talak dan hadats.

فَإِنْ قِيلَ: فَلَوْ شَكَّ فِي الَّتِي طَلَّقَهَا مِنْ نِسَائِهِ، حَرُمْنَ عَلَيْهِ كُلُّهُنَّ، وَقَدْ ثَبَتَ هَذَا التَّحْرِيمُ بِالشَّكِّ قَبْلَ الْجَوَابِ، لِأَنَّ التَّحْرِيمَ فِي الْمُطَلَّقَةِ مُتَيَقَّنٌ وَكُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ هِيَ الْمُطَلَّقَةَ، وَخَالَفَ هَذَا التَّحْرِيمَ الْمَشْكُوكَ في وقوعه والله أعلم بالصواب.

Jika dikatakan: Bagaimana jika ia ragu terhadap istri mana yang telah ia talak di antara para istrinya, maka seluruhnya menjadi haram baginya, dan pengharaman ini telah ditetapkan karena keraguan sebelum ada jawaban, sebab pengharaman pada wanita yang ditalak adalah sesuatu yang diyakini, dan masing-masing dari mereka mungkin saja adalah yang ditalak. Ini berbeda dengan pengharaman yang masih diragukan kejadiannya. Allah lebih mengetahui kebenarannya.

باب لبن الرجل والمرأة

(Bab Air Susu Laki-laki dan Perempuan)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَاللَّبَنُ لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ كَمَا الْوَلَدُ لَهُمَا وَالْمُرْضَعُ بِذَلِكَ اللَّبَنِ وَلَدُهُمَا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Air susu itu milik laki-laki dan perempuan, sebagaimana anak juga milik keduanya. Anak yang disusui dengan air susu itu adalah anak mereka berdua.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا قَدْ مَضَى فِي أَوَّلِ الْبَابِ، وَذَكَرْنَا أَنَّ لَبَنَ الرضاع للرجل والمرأة، والمرضع به ابناً لَهُمَا، وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ دَاوُدُ وَأَهْلُ الظَّاهِرِ فَجَعَلُوا اللَّبَنَ لِلْمَرْأَةِ دُونَ الرَّجُلِ وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُسْتَوْفَاةً فِيمَا تَقَدَّمَ إِلَى آخِرِهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini telah dijelaskan di awal bab, dan telah kami sebutkan bahwa air susu radha‘ itu milik laki-laki dan perempuan, dan anak yang disusui dengan air susu tersebut adalah anak bagi keduanya. Dalam hal ini, Dawud dan Ahl azh-Zhahir berbeda pendapat, mereka menetapkan air susu hanya milik perempuan, bukan laki-laki. Masalah ini telah dijelaskan secara rinci sebelumnya hingga akhirnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ وَلَدَتِ ابْنًا مِنْ زِنًا فَأَرْضَعَتْ مَوْلُودًا فَهُوَ ابْنُهَا وَلَا يَكُونُ ابْنَ الَّذِي زَنَى بِهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang perempuan melahirkan anak dari zina, lalu ia menyusui seorang bayi, maka bayi itu adalah anaknya, dan tidak menjadi anak dari laki-laki yang berzina dengannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَلَدُ الرَّضَاعِ تَبَعٌ لِوَلَدِ الْوِلَادَةِ فَإِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ زَوْجٍ أَوْ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ، كَانَ وَلَدُهَا الذي ولدته لاحقاً بِزَوْجِهَا الَّذِي وَلَدَتْ مِنْهُ وَبِالْوَطْءِ لَهَا بِالشُّبْهَةِ فَإِنْ أَرْضَعَتْ بِلَبَنِهِ وَلَدًا كَانَ وَلَدُ الرَّضَاعِ وَلَدًا لِلزَّوْجِ الَّذِي تَزَوَّجَتْ بِهِ، وَلِلْوَاطِئِ الَّذِي وطئها بالشبهة لأنه مخلوق من مائهما كان ولد الرضا لهما لأنه معتد بِلَبَنِهِمَا، فَإِنْ زَنَتْ وَوَلَدَتْ وَلَدًا مِنْ زِنًا وَأَرْضَعَتْ بِلَبَنِهِ وَلَدًا كَانَ وَلَدُ الزِّنَا وَوَلَدُ الرَّضَاعِ لَاحِقَيْنِ بِهَا وَلَمْ يُلْحَقَا بِالزَّانِي، لِأَنَّ ابْنَهَا الْمَوْلُودَ عَنِ الزَّانِي يُوجِبُ انْتِفَاءَ الْمُرْضَعِ عَنْهُ، لِأَنَّ وَلَدَ النَّسَبِ أَقْوَى حُكْمًا مِنْ وَلَدِ الرَّضَاعِ، وَقَدِ انْتَفَى عَنِ الزَّانِي فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَنْتَفِيَ عَنْهُ وَلَدُ الرَّضَاعِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Anak radha‘ mengikuti anak kelahiran. Jika seorang perempuan melahirkan anak dari suami atau dari hubungan syubhat, maka anak yang dilahirkannya itu dinasabkan kepada suaminya yang darinya ia melahirkan, dan juga kepada laki-laki yang menggaulinya karena syubhat. Jika ia menyusui seorang anak dengan air susunya, maka anak radha‘ itu menjadi anak bagi suami yang menikahinya, dan juga bagi laki-laki yang menggaulinya karena syubhat, karena anak itu tercipta dari air mani keduanya, maka anak radha‘ itu menjadi anak bagi keduanya karena dianggap berasal dari air susu mereka. Namun, jika ia berzina dan melahirkan anak dari zina, lalu ia menyusui seorang anak dengan air susu itu, maka anak zina dan anak radha‘ keduanya dinasabkan kepadanya (perempuan) dan tidak dinasabkan kepada pezina, karena anaknya yang lahir dari zina menyebabkan anak yang disusui tidak dinasabkan kepadanya (pezina), sebab anak nasab lebih kuat hukumnya daripada anak radha‘, dan jika anak nasab saja tidak dinasabkan kepada pezina, maka lebih utama lagi anak radha‘ tidak dinasabkan kepadanya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَكْرَهُ لَهُ فِي الْوَرَعِ أَنْ يَنْكِحَ بَنَاتِ الَّذِي وَلَدَهُ مِنْ زِنًا فَإِنْ نَكَحَ لَمْ أفسخه لأنه ابنه في حكم النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قضى عليه الصلاة والسلام بابن وليدة زمعة لزمعة وأمر سودة أن تحتجب منه لما رأى من شبهه بعتبة فلم يرها وقد حكم أنه أخوها لأن ترك رؤيتها مباح وإن كان أخاها (قال المزني) رحمه الله وقد كان أنكر على من قال يتزوج ابنته من زنا ويحتج بهذا المعنى وقد زعم أن رؤية ابن زمعة لسودة مباح وإن كرهه فكذلك في القياس لا يفسخ نكاحه وإن كرهه ولم يفسخ نكاح ابنه من زنا بناته من حلال لقطع الأخوة فكذلك في القياس لو تزوج ابنته من زنا لم يفسخ وإن كرهه لقطع الأبوة وتحريم الأخوة كتحريم الأبوة ولا حكم عنده لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” وللعاهر الحجر ” فهو في معنى الأجنبي وبالله التوفيق “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Aku tidak menyukai, demi kehati-hatian, seseorang menikahi anak perempuan dari laki-laki yang ia lahirkan dari zina. Namun jika ia menikahinya, aku tidak membatalkan pernikahannya, karena ia adalah anaknya menurut hukum Nabi ﷺ, sebagaimana Nabi ﷺ memutuskan anak dari budak perempuan Zam‘ah sebagai anak Zam‘ah, dan memerintahkan Saudah untuk berhijab darinya karena melihat kemiripannya dengan ‘Utbah, sehingga beliau tidak melihatnya sebagai mahram. Namun beliau telah menetapkan bahwa ia adalah saudaranya, karena meninggalkan melihatnya itu boleh meskipun ia saudaranya.” (Al-Muzani rahimahullah berkata: “Beliau telah mengingkari orang yang mengatakan boleh menikahi anak perempuan dari zina dan berdalil dengan makna ini. Ia berpendapat bahwa melihat anak Zam‘ah oleh Saudah itu boleh meskipun beliau membencinya, maka secara qiyās tidak dibatalkan pernikahannya meskipun dibenci. Dan beliau tidak membatalkan pernikahan anak dari zina dengan anak perempuan dari pernikahan yang sah karena memutuskan hubungan persaudaraan, maka secara qiyās jika menikahi anak perempuan dari zina pun tidak dibatalkan, meskipun dibenci, karena memutuskan hubungan ayah-anak. Pengharaman persaudaraan sama dengan pengharaman ayah-anak. Tidak ada hukum menurutnya atas sabda Nabi ﷺ: ‘Bagi pezina hanya kerugian.’ Maka ia dianggap seperti orang asing. Dan Allah-lah yang memberi taufik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ قَدْ مَضَتْ وَذَكَرْنَا أَنَّ وَلَدَ الزِّنَا لَا يُلْحَقُ بِالزَّانِي وَأَنَّ الْفُقَهَاءَ قَدِ اخْتَلَفُوا هَلْ يَجُوزُ لِلزَّانِي أَنْ يَتَزَوَّجَهَا إِذَا كَانَتْ بِنْتًا عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah berlalu, dan kami telah menyebutkan bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada pezina, dan para fuqaha telah berbeda pendapat apakah boleh bagi pezina menikahi anak perempuannya (hasil zina) menurut empat mazhab:

أَحَدُهَا: أَنَّ نِكَاحَهَا حَرَامٌ عَلَيْهِ وَمَتَى أَقَرَّ بِهَا لَحِقَتْهُ، حُكِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَالْحَسَنِ وَابْنِ سِيرِينَ وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.

Pertama: Nikah dengannya haram baginya, dan jika ia mengakuinya, maka anak itu dinasabkan kepadanya. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar, al-Hasan, dan Ibnu Sirin, dan ini juga pendapat Ahmad dan Ishaq.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ وَلَا تُلْحَقُ بِهِ إِذَا أَقَرَّ بِهَا، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ.

Mazhab kedua: Ia haram baginya, namun tidak dinasabkan kepadanya jika ia mengakuinya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا تَحِلُّ لَهُ وَلَا يُكْرَهُ لَهُ نِكَاحُهَا وَبِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ.

Mazhab ketiga: Ia halal baginya dan tidak makruh menikahinya. Ini adalah pendapat al-Muzani.

وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُهَا، وَيَكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ.

Mazhab keempat, yaitu pendapat asy-Syafi‘i: Halal baginya menikahinya, namun makruh baginya melakukan hal itu.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُهُ فِي مَعْنَى كَرَاهِيَتِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Para pengikutnya berbeda pendapat tentang makna kemakruhan ini dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ مَخْلُوقَةً مِنْ مَائِهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَحَقَّقَ خَلْقُهَا مِنْ مَائِهِ بِأَنْ حُبِسَا مَعًا مِنْ مُدَّةِ الزِّنَا إِلَى وَقْتِ الْوِلَادَةِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Mungkin saja anak itu diciptakan dari air mani (sperma)nya. Berdasarkan hal ini, jika dipastikan anak itu tercipta dari air maninya, misalnya dengan dikurung bersama dari masa zina hingga waktu kelahiran, maka haram baginya menikahinya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ يُكْرَهُ نِكَاحُهُمَا لِمَا فِيهِ مِنِ اخْتِلَافٍ كَمَا كُرِهَ الْقَصْرُ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ، وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ جَائِزًا لِمَا فِيهِ مِنَ الِاخْتِلَافِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَحَقَّقَ خَلْقُهَا مِنْ مَائِهِ لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا جَازَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا لثلاثة أمور:

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hamid al-Marwazi: Makruh menikahi mereka berdua karena adanya perbedaan pendapat, sebagaimana makruh melakukan qashar (salat) dalam perjalanan kurang dari tiga hari, meskipun menurutnya boleh karena adanya perbedaan pendapat. Berdasarkan hal ini, jika dipastikan anak itu tercipta dari air maninya, maka tidak haram baginya. Ia boleh menikahinya karena tiga alasan:

أحدها: لانتقاء نَسَبِهَا عَنْهُ كَالْأَجَانِبِ.

Pertama: Karena tidak adanya hubungan nasab antara keduanya, seperti orang asing.

وَالثَّانِي: لِانْتِفَاءِ أَحْكَامِ النِّسَبِ بَيْنَهُمَا مِنَ الْمِيرَاثِ وَالنَّفَقَةِ وَالْقِصَاصِ كَذَلِكَ تَحْرِيمُ النِّكَاحِ.

Kedua: Karena tidak adanya hukum-hukum nasab di antara keduanya, seperti warisan, nafkah, dan qishash, begitu pula pengharaman nikah.

وَالثَّالِثُ: لِإِبَاحَتِهَا لِأَخِيهِ وَلَوْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ الْأَبُ لَحَرُمَتْ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ الْعَمُّ، فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ تَكَلَّمَ عَلَى كَرَاهَةِ الشَّافِعِيِّ لَهُ، فَإِنْ نَسَبَ ذَلِكَ إِلَى التَّحْرِيمِ كَانَ غَلَطًا مِنْهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ نَسَبَهُ إِلَى كَرَاهَةِ اخْتِيَارٍ مَعَ جَوَازِهِ كَانَ مُصِيبًا وَقَدْ ذَكَرْنَا مَعْنَى الكراهية.

Ketiga: Karena ia halal bagi saudaranya, dan jika ia haram baginya karena ia adalah ayahnya, maka ia juga akan haram bagi saudaranya karena ia adalah pamannya. Adapun al-Muzani, ia membahas tentang kemakruhan menurut asy-Syafi‘i. Jika ia menisbatkan hal itu kepada keharaman, maka itu adalah kesalahan darinya terhadap asy-Syafi‘i. Namun jika ia menisbatkannya kepada kemakruhan pilihan dengan tetap bolehnya, maka ia benar. Dan kami telah menjelaskan makna kemakruhan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فِي عِدَّتِهَا فَأَصَابَهَا فَجَاءَتْ بِوَلَدٍ فَأَرْضَعَتْ مَوْلُودًا كَانَ ابْنَهَا وَأُرِيَ الْمَوْلُودُ الْقَافَةَ فَبِأَيِّهِمَا أُلْحِقَ لَحِقَ وَكَانَ الْمُرْضَعُ ابْنَهُ وَسَقَطَتْ أَبُوَّةُ الْآخَرِ “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang menikahi seorang wanita dalam masa ‘iddahnya, lalu menggaulinya, kemudian wanita itu melahirkan seorang anak dan menyusui seorang bayi, maka bayi yang disusui itu menjadi anaknya. Jika bayi itu diperlihatkan kepada ahli qiyāfah, maka kepada siapa pun ia dinasabkan, maka ia dinasabkan kepadanya, dan bayi yang disusui itu adalah anaknya, dan gugurlah status ayah dari yang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي امْرَأَةٍ تَزَوَّجَتْ فِي عِدَّتِهَا وَوَضَعَتْ وَلَدًا أَرْضَعَتْ بلبنه طفلا فالمرضع تابع للمولود، وللمولود أربعة أحوال:

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang wanita yang menikah dalam masa ‘iddahnya, lalu melahirkan seorang anak dan menyusui seorang bayi dengan susunya. Maka bayi yang disusui mengikuti status anak yang dilahirkan, dan anak yang dilahirkan memiliki empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُلْحَقَ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي فَيَتْبَعَهُ الْمُرْضَعُ، وَيَكُونَ لِلْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي.

Pertama: Dinisbatkan kepada suami pertama saja, bukan yang kedua, maka bayi yang disusui mengikuti suami pertama dan menjadi anaknya, bukan anak suami kedua.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الْمَوْلُودُ يُلْحَقُ بِالثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ فَيَتْبَعَهُ الْمُرْضَعُ، وَيَكُونَ ابْنًا لِلثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ.

Kedua: Anak yang dilahirkan dinisbatkan kepada suami kedua saja, bukan yang pertama, maka bayi yang disusui mengikuti suami kedua dan menjadi anaknya, bukan anak suami pertama.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَنْتَفِيَ الْمَوْلُودُ عَنِ الْأَوَّلِ وَالثَّانِي فَيَتْبَعَهُ الْمُرْضَعُ، وَيَنْتَفِيَ عَنِ الْأَوَّلِ وَالثَّانِي، وَذَكَرَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا أَنَّ إِلْحَاقَ الْمُرْضَعِ بِالْأَوَّلِ لِثُبُوتِ لَبَنِهِ كَمَا لَوْ لَمْ تَلِدِ الْمُرْضِعَةُ وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ، لَأَنَّ لَبَنَ الْوِلَادَةِ قَاطِعٌ لِحُكْمِ مَا تَقَدَّمَهُ فَإِذَا انْتَفَتِ الْوِلَادَةُ عَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَأَوْلَى أَنْ يَنْتَفِيَ الرَّضَاعُ عَنْهُمَا.

Ketiga: Anak yang dilahirkan tidak dinisbatkan kepada suami pertama maupun kedua, maka bayi yang disusui juga tidak dinisbatkan kepada keduanya. Sebagian ulama kami menyebutkan bahwa bayi yang disusui dinisbatkan kepada suami pertama karena adanya air susu darinya, sebagaimana jika wanita yang menyusui tidak melahirkan. Namun ini tidak benar, karena air susu akibat kelahiran memutuskan hukum yang sebelumnya. Maka jika kelahiran tidak dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, maka lebih utama lagi bayi yang disusui juga tidak dinisbatkan kepada keduanya.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُمْكِنَ لُحُوقُ الْمَوْلُودِ بكل واحد منهما فيرى المولد لِلْقَافَةِ فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالْأَوَّلِ لَحِقَ بِهِ وَتَبِعَهُ الْمُرْضَعُ، وَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالثَّانِي لَحِقَ بِهِ، وَتَبِعَهُ الْمُرْضَعُ وَإِنْ أَشْكَلَ عَلَى الْقَافَةِ أَوْ عُدِمُوا وُقِفَ الْمَوْلُودُ إِلَى زَمَانِ الْأَنْسَابِ، فَإِذَا انْتَسَبَ إِلَى أَحَدِهِمَا لَحِقَ بِهِ وَتَبِعَ الْمُرْضَعُ، وَإِنْ مَاتَ قَبْلَ الِانْتِسَابِ، وَكَانَ لَهُ وَلَدٌ قَامَ وَلَدُهُ مَقَامَهُ فِي الِانْتِسَابِ، فَإِذَا انْتَسَبَ إِلَى أحدهما لَحِقَ بِهِ وَتَبِعَهُ الْمُرْضَعُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ صَارَ ثُبُوتُ النَّسَبِ مِنْ جِهَةِ الْمَوْلُودِ مَعْدُومًا.

Keadaan keempat: Jika memungkinkan anak yang lahir itu dapat dinisbatkan kepada masing-masing dari keduanya, maka anak tersebut diserahkan kepada ahli qāfah. Jika ahli qāfah menisbatkannya kepada yang pertama, maka anak itu dinisbatkan kepadanya dan anak yang disusui pun mengikutinya. Jika mereka menisbatkannya kepada yang kedua, maka anak itu dinisbatkan kepadanya dan anak yang disusui pun mengikutinya. Jika ahli qāfah bingung atau tidak ada, maka status anak yang lahir itu ditangguhkan sampai masa penetapan nasab. Jika kemudian ia dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, maka ia dinisbatkan kepadanya dan anak yang disusui pun mengikutinya. Jika ia meninggal sebelum penetapan nasab dan ia memiliki anak, maka anaknya menggantikan posisinya dalam penetapan nasab. Jika kemudian ia dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, maka ia dinisbatkan kepadanya dan anak yang disusui pun mengikutinya. Jika ia tidak memiliki anak, maka penetapan nasab dari pihak anak yang lahir menjadi tidak ada.

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: ” ضَاعَ نَسَبُهُ ” وَمَعْنَاهُ: ضَاعَ النَّسَبُ الَّذِي يَثْبُتُ بِهِ النَّسَبُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَفِي الْمُرْضَعِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Imam Syafi‘i berkata: “Nasabnya hilang,” maksudnya: nasab yang dengannya nasab itu dapat ditetapkan telah hilang. Jika demikian, maka dalam hal anak yang disusui terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ ابْنًا لَهُمَا جَمِيعًا بِخِلَافِ الْمَوْلُودِ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لِلْمَوْلُودِ أَبَوَانِ مِنْ نَسَبٍ، لِأَنَّهُ لَا يُخْلَقُ إِلَّا مِنْ مَاءِ أَحَدِهِمَا، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَبَوَانِ مِنْ رَضَاعٍ لِأَنَّهُ قَدْ يُرْتَضَعُ مِنْ لَبَنِهِمَا وَيَكُونُ غِذَاءُ اللَّبَنِ لَهُمَا، وَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ لِأَحَدِهِمَا لِأَنَّ اللَّبَنَ قَدْ يَحْدُثُ بِالْوَطْءِ تَارَةً وَبِالْوِلَادَةِ أُخْرَى فَلِذَلِكَ صَارَ الْمُرْضَعُ ابْنًا لَهُمَا، وَفِي هَذَا الْقَوْلِ ضَعْفٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pertama: Anak yang disusui menjadi anak bagi keduanya, berbeda dengan anak yang lahir, karena tidak boleh anak yang lahir memiliki dua orang tua dari nasab, sebab ia tidak diciptakan kecuali dari air mani salah satu dari keduanya. Namun boleh saja ia memiliki dua orang tua dari susuan, karena bisa jadi ia menyusu dari susu keduanya dan nutrisi susu itu berasal dari keduanya, meskipun anak itu adalah anak salah satu dari keduanya. Sebab, susu bisa terjadi karena hubungan suami istri pada satu waktu dan karena kelahiran pada waktu lain, sehingga anak yang disusui menjadi anak bagi keduanya. Namun pendapat ini lemah dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ صَارَ ابْنًا لَهُمَا بِمَوْتِ الْوَلَدِ لَمَا جَازَ أَنْ يَنْقَطِعَ عَنْهُ أُبُوَّةُ أَحَدِهِمَا بِحَيَاةِ الْوَلَدِ.

Pertama: Jika anak yang disusui menjadi anak bagi keduanya karena kematian anak yang lahir, maka tidak mungkin terputus hubungan ayah dari salah satu keduanya selama anak yang lahir masih hidup.

وَالثَّانِي: أَنَّ نُزُولَ اللَّبَنِ إِنَّمَا يُضَافُ إِلَى الْوَاطِئِ بِالْوِلَادَةِ لَا بِالْوَطْءِ، لِأَنَّهُ لَوْ نَزَلَ لَهَا بِوَطْئِهِ لَبَنٌ فَأَرْضَعَتْ بِهِ وَلَدًا لَمْ يَصِرِ ابْنًا لِلزَّوْجِ حَتَّى تَلِدَ مِنْهُ فَيَصِيرَ اللَّبَنُ لَهُ وَالْمُرْضَعُ بِهِ ابْنًا لَهُ فَهَذَا قَوْلٌ.

Kedua: Turunnya susu itu hanya dinisbatkan kepada suami karena kelahiran, bukan karena hubungan suami istri. Sebab, jika susu itu keluar karena hubungan suami istri lalu ia menyusui seorang anak dengan susu itu, maka anak itu tidak menjadi anak suami sampai ia melahirkan dari suami tersebut, sehingga susu itu menjadi miliknya dan anak yang disusui dengan susu itu menjadi anaknya. Inilah satu pendapat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْمُرْضَعَ يُنْسَبُ إِلَى أَحَدِهِمَا، كَمَا كَانَ الْمَوْلُودُ يُنْسَبُ إلى أحدهما لأنهذذ تَابِعٌ لَهُ فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُهُ.

Pendapat kedua: Anak yang disusui dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, sebagaimana anak yang lahir dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, karena ia mengikuti salah satu dari keduanya, sehingga berlaku hukum atasnya.

فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا انْتَسَبَ الْمَوْلُودُ، لِأَنَّ الطَّبْعَ جَاذِبٌ وَالشَّبَهَ غَالِبٌ، وَهَذَا مَفْقُودٌ فِي الْمُرْضَعِ، وَلِذَلِكَ رُجِعَ إِلَى الْقَافَةِ فِي الْمَوْلُودِ، وَلَمْ يُرْجَعْ إِلَيْهِمْ فِي الْمُرْضَعِ.

Jika dikatakan: Anak yang lahir dinisbatkan karena tabiat yang menarik dan kemiripan yang dominan, dan hal ini tidak terdapat pada anak yang disusui. Oleh karena itu, dalam kasus anak yang lahir dikembalikan kepada ahli qāfah, sedangkan dalam kasus anak yang disusui tidak dikembalikan kepada mereka.

قِيلَ: قَدْ يُحْدِثُ الرَّضَاعُ مِنْ شَبَهِ الْأَخْلَاقِ مِثْلَ مَا تُحْدِثُهُ الْوِلَادَةُ مِنْ شَبَهِ الْأَجْسَامِ وَالصَّوْتِ، وَلِذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا تَسْتَرْضِعُوا الْحَمْقَى فَإِنَّ اللَّبَنَ يُغَذِّي “.

Dijawab: Susuan dapat menimbulkan kemiripan akhlak sebagaimana kelahiran menimbulkan kemiripan fisik dan suara. Karena itu Nabi ﷺ bersabda, “Janganlah kalian menyusukan anak kepada wanita yang dungu, karena susu itu mempengaruhi (akhlak).”

وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنَا أَفْصَحُ الْعَرَبِ بَيْدَ أَنِّي مِنْ قُرَيْشٍ وَأَخْوَالِي بَنُو زُهْرَةَ وَارْتُضِعْتُ فِي بَنِي سَعْدٍ “.

Dan Nabi ﷺ bersabda, “Aku adalah orang Arab yang paling fasih, hanya saja aku dari Quraisy dan paman-pamanku dari Bani Zuhrah, dan aku disusui di Bani Sa‘d.”

وَرَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَجُلًا فَقَالَ أَنْتَ مِنْ بَنِي فُلَانٍ قَالَ مِنْهُمْ رَضَاعًا لَا نَسَبًا فَأَضَافَهُ إِلَيْهِمْ بِشَبَهِ الْأَخْلَاقِ كَمَا تُضِيفُهُ الْقَافَةُ بِشَبَهِ الْأَجْسَامِ، وَلَمْ يُعَوَّلْ عَلَى الْقَافَةِ فِي إِلْحَاقِ الْمُرْضَعِ، وَإِنْ عُوِّلَ عَلَيْهِمْ فِي إِلْحَاقِ الْمَوْلُودِ، لِأَنَّ شَبَهَ الْأَجْسَامِ وَالصُّوَرِ أَقْوَى بِظُهُورِهِ، وَشَبَهَ الْأَخْلَاقِ وَالشِّيَمِ أَضْعَفُ لَحْقًا بِهِ.

Umar bin Khattab melihat seorang laki-laki lalu berkata, “Engkau dari Bani Fulan.” Ia menjawab, “Dari mereka karena susuan, bukan karena nasab.” Maka Umar menisbatkannya kepada mereka karena kemiripan akhlak, sebagaimana ahli qāfah menisbatkan karena kemiripan fisik. Namun, dalam penetapan anak yang disusui tidak dijadikan patokan kepada ahli qāfah, meskipun dalam penetapan anak yang lahir dijadikan patokan kepada mereka, karena kemiripan fisik dan rupa lebih kuat dan nyata, sedangkan kemiripan akhlak dan tabiat lebih lemah keterkaitannya.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَنْقَطِعُ عَنْهُ أُبُوَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الِانْتِسَابِ إِلَى أَحَدِهِمَا لِأَنَّ الْأَنْسَابَ تَثْبُتُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ بِالْفِرَاشِ ثُمَّ الْقَافَةِ ثُمَّ الِانْتِسَابِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ فِي الرَّضَاعِ فِرَاشٌ، وَلَمْ يَثْبُتْ بِالْقَافَةِ لَمْ يَثْبُتْ بِالِانْتِسَابِ وَإِنْ ثَبَتَ بِهِ النَّسَبُ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat ketiga: Terputuslah hubungan ayah dari masing-masing keduanya dan tidak ada pilihan baginya untuk dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, karena nasab itu ditetapkan melalui tiga cara: dengan firāsy, kemudian qāfah, lalu penetapan nasab. Karena dalam susuan tidak ada firāsy, dan tidak dapat ditetapkan dengan qāfah, maka tidak dapat pula ditetapkan dengan penetapan nasab, meskipun dengan penetapan nasab itu nasab dapat ditetapkan karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّسَبَ لَا يَقَعُ فِيهِ اشْتِرَاكٌ فَجَازَ أَنْ يُعَوَّلَ فِيهِ عَلَى الطَّبْعِ الْحَادِثِ وَيَقَعُ فِي الرَّضَاعِ اشْتِرَاكٌ فَعُدِمَ فِيهِ الطَّبْعُ الْحَادِثُ.

Salah satu alasannya: bahwa nasab tidak terjadi padanya percampuran, sehingga boleh bersandar padanya kepada tabiat yang baru muncul, sedangkan dalam radā‘ terdapat percampuran sehingga tidak ada tabiat baru yang muncul padanya.

وَالثَّانِي: أَنَّ امْتِزَاجَ النَّسَبِ مَوْجُودٌ مَعَ أَصْلِ الْخِلْقَةِ، وَالرَّضَاعَ حَادِثٌ بَعْدَ اسْتِكْمَالِ الْخَلْقِ وَاسْتِقْرَارِ الْخَلْقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan alasan kedua: bahwa percampuran nasab itu ada bersamaan dengan asal penciptaan, sedangkan radā‘ terjadi setelah penciptaan sempurna dan penciptaan telah tetap. Dan Allah Maha Mengetahui.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ مَاتَ فَالْوَرَعُ أَنْ لَا يَنْكِحَ ابْنَةَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَا يَكُونَ مَحْرَمًا لَهَا وَلَوْ قَالُوا الْمَوْلُودُ هُوَ ابْنُهُمَا جُبِرَ إِذَا بَلَغَ على الانتساب إلى أحداهما وَتَنْقَطِعُ أُبُوَّةُ الْآخَرِ وَلَوْ كَانَ مَعْتُوهًا لَمْ يُلْحَقْ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا حَتَّى يَمُوتَ وَلَهُ وَلَدٌ فَيَقُومُونَ مَقَامَهُ فِي الِانْتِسَابِ إِلَى أَحَدِهِمَا أَوْ لَا يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ فَيَكُونُ مِيرَاثُهُ مَوْقُوفًا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan jika ia meninggal, sikap wara‘ adalah tidak menikahi putri salah satu dari keduanya dan tidak menjadi mahram baginya. Jika mereka berkata bahwa anak yang lahir itu adalah anak dari keduanya, maka ketika ia dewasa, ia dipaksa untuk menasabkan diri kepada salah satu dari keduanya dan terputuslah hubungan kebapakan dari yang lain. Jika ia adalah orang yang idiot (tidak berakal), maka tidak dinasabkan kepada salah satu dari keduanya hingga ia meninggal dan memiliki anak, maka anak-anaknya menempati posisinya dalam penetapan nasab kepada salah satu dari keduanya. Atau jika ia tidak memiliki anak, maka warisannya ditangguhkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا حُدُوثُ الْمَوْتِ بَعْدَ الِاشْتِبَاهِ فَالْكَلَامُ فِيهِ مُتَعَلِّقٌ بِفَصْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun terjadinya kematian setelah adanya kesamaran (nasab), maka pembahasannya terkait dengan dua bagian:

أَحَدُهُمَا: نَسَبُ الْمَوْلُودِ.

Salah satunya: nasab anak yang lahir.

وَالثَّانِي: أُبُوَّةُ الْمُرْضَعِ.

Dan yang kedua: kebapakan dari orang yang menyusui.

فَأَمَّا نَسَبُ الْمَوْلُودِ، فَالْكَلَامُ فِيهِ مُتَعَلِّقٌ بِفَصْلَيْنِ:

Adapun nasab anak yang lahir, pembahasannya terkait dengan dua bagian:

أَحَدُهُمَا: حُكْمُ الْقِيَافَةِ.

Salah satunya: hukum al-qiyāfah (pencocokan ciri fisik).

وَالثَّانِي: حكم الانتساب.

Dan yang kedua: hukum penetapan nasab.

فَأَمَّا حُكْمُ الْقِيَافَةِ فَمُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْمَيِّتِ، فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الْمَوْلُودَ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ لَمْ يَنْقَطِعْ بِمَوْتِهِ حُكْمُ الْقِيَافَةِ وَقَامَ وَلَدُهُ فِي إِلْحَاقِ الْقَافَةِ مَقَامَهُ، وَإِنْ لَمْ يَتْرُكْ وَلَدًا نُظِرَ فَإِنْ دُفِنَ انْقَطَعَ بدفنه حكم القيافة وإن لم يدفن فتى انْقِطَاعِ حُكْمِ الْقِيَافَةِ بِمَوْتِهِ وَجْهَانِ:

Adapun hukum al-qiyāfah, maka hal itu bergantung pada keadaan orang yang meninggal. Jika yang meninggal adalah anak yang lahir, maka dilihat: jika ia memiliki anak, maka hukum al-qiyāfah tidak terputus dengan kematiannya dan anaknya menempati posisinya dalam penetapan al-qiyāfah. Jika ia tidak meninggalkan anak, maka dilihat: jika ia telah dikuburkan, maka hukum al-qiyāfah terputus dengan penguburannya. Jika belum dikuburkan, maka dalam terputusnya hukum al-qiyāfah karena kematiannya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَنْقَطِعُ لِبَقَاءِ الصُّوَرِ الْمُشَاكِلَةِ أَوِ الْمُتَنَافِيَةِ.

Salah satunya: tidak terputus karena masih adanya bentuk-bentuk kemiripan atau perbedaan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَدِ انْقَطَعَ بِمَوْتِهِ حُكْمُ الْقِيَافَةِ لِأَنَّ فِي إِشَارَاتِ الْحَيِّ وَحَرَكَاتِهِ عَوْنًا لِلْقَافَةِ عَلَى إِلْحَاقِهِ، وَذَلِكَ مَفْقُودٌ بِمَوْتِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هو الواطئان أَوْ أَحَدُهُمَا، فَإِنْ تَرَكَ الْمَيِّتُ وَالِدًا لَمْ يَنْقَطِعْ حُكْمُ الْقَافَةِ بِمَوْتِهِ، وَقَامَ وَالِدُهُ مَقَامَهُ كَمَا قَامَ وَلَدُ الْمَوْلُودِ مَقَامَهُ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وَلَدِ الْوَاطِئِ وَأَخِيهِ، هَلْ يَقُومَانِ بَعْدَ مَوْتِهِ مَقَامَ أَبِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: telah terputus dengan kematiannya hukum al-qiyāfah, karena dalam isyarat dan gerakan orang yang hidup terdapat bantuan bagi para ahli qiyāfah untuk menetapkan nasabnya, dan hal itu hilang dengan kematiannya. Jika yang meninggal adalah kedua orang yang berhubungan atau salah satunya, maka jika yang meninggal meninggalkan anak, maka hukum al-qiyāfah tidak terputus dengan kematiannya dan anaknya menempati posisinya sebagaimana anak dari anak yang lahir menempati posisinya. Para ulama kami berbeda pendapat tentang anak dari orang yang berhubungan dan saudaranya, apakah keduanya menempati posisi ayahnya setelah kematiannya atau tidak? Terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَقُومَانِ مَقَامَهُ لِامْتِزَاجِ النَّسَبِ.

Salah satunya: keduanya menempati posisinya karena percampuran nasab.

وَالثَّانِي: لَا يَقُومَانِ مَقَامَهُ لِبُعْدِ الِامْتِزَاجِ وَتَغَيُّرِ الْخَلْقِ بِاخْتِلَافِ الْأُمَّهَاتِ، وَإِنْ لَمْ يَتْرُكِ الْوَاطِئُ بَعْدَ مَوْتِهِ أَحَدًا فَفِي انْقِطَاعِ الْقِيَافَةِ بِمَوْتِهِ قَبْلَ دَفْنِهِ الْوَجْهَانِ الْمَاضِيَانِ: وَأَمَّا الِانْتِسَابُ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ مِنْ جِهَةِ الْمَوْلُودِ دُونَ الْوَاطِئِ، وَإِنَّمَا انْفَرَدَ بِهِ الْمَوْلُودُ لِانْفِرَادِهِ، وَمُنِعَ مِنْهُ الْوَاطِئُ لِاشْتِرَاكِهِ فِيهِ مَعَ غَيْرِهِ، وَأُخِذَ بِهِ الْمَوْلُودُ جَبْرًا وَإِنِ امْتَنَعَ لِأَنَّ فِي انْتِسَابِهِ حَقًّا لِلَّهِ تَعَالَى بِمَنْعِهِمْ مِنَ الِاتِّفَاقِ عَلَى نَفْيِ الِانْتِسَابِ، وَلِذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَعَنَ اللَّهُ مَنِ انْتَفَى مِنْ نَسَبٍ وَإِنْ رُقَّ “، وَلِأَنَّ فِي الِانْتِسَابِ حَقًّا لَهُ وَحَقًّا عَلَيْهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نُظِرَ فِي الْمَيِّتِ، فَإِنْ كَانَ هُوَ الْمَوْلُودَ رُوعِيَ حَالُهُ بَعْدَ الْمَوْتِ، فَإِنْ تَرَكَ وَلَدًا قَامَ وَلَدُهُ فِي انْتِسَابِ مَقَامِهِ لِمَا فِيهِ مِنَ الطَّبْعِ الْحَادِثِ كالأب، وإن لم بترك وَلَدًا انْقَطَعَ حُكْمُ النَّسَبِ بِمَوْتِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الْوَاطِئَ نُظِرَ حَالُ الْمَوْلُودِ عِنْدَ مَوْتِهِ، فَإِنْ كَانَ مُرَاهِقًا قَوِيَّ الْفِطْنَةِ صَحِيحَ الذَّكَاءِ قَدْ شَاهَدَ الْوَاطِئَ لَمْ يَنْقَطِعِ انْتِسَابَهُ بموت المواطئ، وَكَانَ لَهُ الِانْتِسَابُ بَعْدَ مَوْتِهِ مَا كَانَ لَهُ مِنَ الِانْتِسَابِ فِي حَيَاتِهِ، وَإِنْ كَانَ بِخِلَافِ ذَلِكَ طِفْلًا لَا يُمَيِّزُ أَوْ لَمْ يَرَهُ فِي حَيَاتِهِ سَقَطَ حُكْمُ انْتِسَابِهِ فَهَذَا حُكْمُ نَسَبِ الْمَوْلُودِ إِنْ حَدَثَ مَوْتٌ.

Kedua: Keduanya (yakni, qiyāfah dan syabah) tidak dapat menggantikan kedudukannya (nasab) karena jauhnya kemungkinan tercampur dan berubahnya sifat fisik akibat perbedaan ibu, dan jika orang yang melakukan hubungan (wāṭi’) tidak meninggalkan seorang pun setelah wafatnya, maka dalam hal terputusnya qiyāfah karena kematiannya sebelum dikubur terdapat dua pendapat yang telah lalu. Adapun nasab, maka yang dipertimbangkan adalah dari sisi anak yang dilahirkan, bukan dari sisi wāṭi’, dan nasab itu khusus bagi anak karena ia sendiri yang berhak, sedangkan wāṭi’ tidak berhak karena ia berbagi dengan selainnya. Anak diambil nasabnya secara paksa meskipun ia menolak, karena dalam penetapan nasab terdapat hak Allah Ta‘ālā, yaitu mencegah mereka bersepakat untuk menafikan nasab, dan karena itu Nabi ﷺ bersabda: “Allah melaknat orang yang menafikan nasab meskipun ia telah diangkat derajatnya.” Dan karena dalam nasab terdapat hak baginya dan hak atasnya. Jika demikian, maka dilihat keadaan orang yang wafat. Jika ia adalah anak yang dilahirkan, maka diperhatikan keadaannya setelah wafat; jika ia meninggalkan anak, maka anaknya menggantikan kedudukannya dalam nasab karena adanya sifat keturunan baru seperti ayahnya. Namun jika ia tidak meninggalkan anak, maka hukum nasab terputus dengan kematiannya. Jika yang wafat adalah wāṭi’, maka dilihat keadaan anak yang dilahirkan saat kematiannya; jika ia sudah mendekati baligh, cerdas, dan telah melihat wāṭi’ semasa hidupnya, maka nasabnya tidak terputus dengan kematian wāṭi’, dan ia tetap memiliki nasab setelah kematiannya sebagaimana ia memilikinya semasa hidupnya. Namun jika sebaliknya, yaitu masih anak kecil yang belum bisa membedakan atau belum pernah melihat wāṭi’ semasa hidupnya, maka gugurlah hukum nasabnya. Inilah hukum nasab anak yang dilahirkan jika terjadi kematian.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا أُبُوَّةُ الْمُرْضَعِ فَمُعْتَبَرَةٌ بِنَسَبِ الْمَوْلُودِ فَإِنْ لَمْ يَنْقَطِعْ نَسَبُهُ بِالْمَوْتِ عَلَى التَّفْصِيلِ الْمُقَدَّمِ لَمْ تَنْقَطِعْ أُبُوَّةُ الْمُرْضَعِ، وَكَانَ فِيمَا تَبِعَ الْوَلَدُ النَّسَبَ عِلَّةُ مَا قَدَّمْنَاهُ وَإِنِ انْقَطَعَ نَسَبُ الْمَوْلُودِ عَلَى التَّفْصِيلِ الْمُقَدَّمِ، كَانَ فِي بُنُوَّةِ الْمُرْضَعِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ، وَعَلَيْهَا تُبْنَى مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فِي تَزْوِيجِهِ بِنْتًا مِنَ الْوَاطِئَيْنِ فَإِنْ قُلْنَا بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ إِنَّهُ ابْنٌ لَهُمَا حَرُمَ عَلَيْهِ بَنَاتُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَكَانَ مَحْرَمًا لَهُنَّ.

Adapun status kebapakan dari pihak orang yang menyusui (murḍi‘), maka dipertimbangkan berdasarkan nasab anak yang dilahirkan. Jika nasabnya tidak terputus karena kematian, sebagaimana perincian yang telah disebutkan sebelumnya, maka status kebapakan murḍi‘ pun tidak terputus. Dalam hal ini, anak mengikuti nasab sebagaimana alasan yang telah kami sebutkan. Namun jika nasab anak terputus sebagaimana perincian yang telah disebutkan, maka dalam status kebapakan murḍi‘ berlaku tiga pendapat yang telah kami sebutkan, dan atas dasar itu dibangun permasalahan dalam kitab ini mengenai pernikahan anak tersebut dengan putri salah satu dari dua wāṭi’. Jika kita mengambil pendapat pertama bahwa ia adalah anak dari keduanya, maka haram baginya menikahi putri dari masing-masing mereka, dan ia menjadi maḥram bagi mereka.

وَإِنْ قُلْنَا بِالْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّهُ نُسِبَ إِلَى أَحَدِهِمَا فَإِذَا انْتَسَبَ إِلَيْهِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ بَنَاتُهُ فَصَارَ مَحْرَمًا لَهُنَّ لِثُبُوتِ الْأُخُوَّةِ بَيْنَهُمْ، وَلَمْ يَصِرْ مَحْرَمًا لِبَنَاتِ الْآخَرِ، وَفِي تَحْرِيمِهِ عَلَيْهِنَّ وجهان:

Jika kita mengambil pendapat kedua bahwa ia dinasabkan kepada salah satu dari keduanya, maka jika ia dinasabkan kepadanya, haram baginya menikahi putri-putrinya sehingga ia menjadi maḥram bagi mereka karena telah tetapnya hubungan persaudaraan di antara mereka, dan ia tidak menjadi maḥram bagi putri yang lain. Dalam pengharaman menikahi putri yang lain terdapat dua pendapat:

أحدهما: يحرم عليهن تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَظْرِ قَبْلَ الِانْتِسَابِ.

Pertama: Ia haram menikahi mereka dengan menguatkan hukum larangan sebelum penetapan nasab.

وَالثَّانِي: لَا يَحْرُمْنَ لِانْقِطَاعِ النَّسَبِ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُنَّ، وَإِنَّمَا مُنِعَ مِنْهُنَّ وَرَعًا، وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ.

Kedua: Tidak haram menikahi mereka karena terputusnya nasab antara dia dan mereka, dan ia hanya dilarang menikahi mereka sebagai bentuk kehati-hatian (wara‘), dan inilah yang tampak dari perkataan Imam Syāfi‘ī.

وَإِنْ قُلْنَا بِالْقَوْلِ الثَّالِثِ: إِنَّهُ يَنْقَطِعُ عَنْهُ أُبُوَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَمْ يَصِرْ مَحْرَمًا لِبَنَاتِ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَفِي إِبَاحَةِ تَزْوِيجِهِ بَنَاتِهِمَا أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:

Jika kita mengambil pendapat ketiga, yaitu bahwa terputus darinya status kebapakan dari masing-masing mereka, maka ia tidak menjadi maḥram bagi putri salah satu dari mereka. Dalam kebolehan menikahi putri-putri mereka terdapat empat pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ بَنَاتُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِانْقِطَاعِ الْأُبُوَّةِ، وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ بِنْتِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَإِنَّمَا يُمْنَعُ مِنْ تَزْوِيجِهِمَا وَرَعًا لَا تَحْرِيمًا، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ.

Pertama: Tidak haram menikahi putri salah satu dari mereka karena terputusnya hubungan kebapakan, dan boleh baginya mengumpulkan (menikahi) putri dari masing-masing mereka. Ia hanya dilarang menikahi mereka sebagai bentuk kehati-hatian (wara‘), bukan karena keharaman, dan ini yang tampak dari perkataan Imam Syāfi‘ī.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ بَنَاتُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَإِنْ لَمْ يَصِرْ مَحْرَمًا لَهَا تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَظْرِ الْمُشْتَبَهِ.

Pendapat kedua: Haram baginya menikahi putri dari masing-masing mereka, meskipun ia tidak menjadi maḥram bagi mereka, dengan menguatkan hukum larangan yang masih samar.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِنْتَ أَيِّهِمَا شَاءَ، وَلَا يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ بِنْتِ الْآخَرِ، فَإِذَا فَارَقَهُمَا حَلَّ لَهُ نِكَاحُ بِنْتِ الْآخَرِ فَجَعَلَهُ مُخَيَّرًا فِي نِكَاحِ بِنْتِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَمَنَعَهُ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا.

Pendapat ketiga: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa ia boleh menikahi putri dari salah satu di antara keduanya yang ia kehendaki, namun tidak boleh mengumpulkan keduanya sekaligus dengan putri yang lain. Jika ia telah berpisah dari keduanya, maka halal baginya menikahi putri yang lain. Dengan demikian, ia diberi pilihan untuk menikahi putri dari masing-masing di antara keduanya, namun dilarang mengumpulkan keduanya sekaligus.

قَالَ: لِأَنَّ الْوَاحِدَةَ لَا يَتَعَيَّنُ الْحَظْرُ فِيهَا، وَتَعَيَّنَ فِي الشَّيْئَيْنِ فَمُنِعَ مِنَ الْجَمْعِ وَلَمْ يُمْنَعْ مِنَ الِانْفِرَادِ، وَضَرَبَ بِذَلِكَ مِثَالًا لِرَجُلَيْنِ رَأَيَا طَائِرًا فَقَالَ أَحَدُهُمَا: إِنْ كَانَ هَذَا الطَّائِرُ غُرَابًا فَعَبْدِي حُرٌّ، وَقَالَ الْآخَرُ: إِنْ لَمْ يَكُنْ غُرَابًا فَعَبْدِي حُرٌّ، فَطَارَ وَلَمْ يُعْلَمْ هَلْ كَانَ غُرَابًا أَوْ غَيْرَ غُرَابٍ لَا عِتْقَ عَلَى واحد منهما لانفراد بِمَشْكُوكٍ فِي عِتْقِهِ فَإِنِ اجْتَمَعَا تَعَيَّنَ عَلَيْهِ عِتْقُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِاجْتِمَاعِهِمَا فِي مِلْكٍ.

Ia berkata: Karena pada salah satu saja tidak ditetapkan larangan secara pasti, namun pada dua hal sekaligus larangan itu menjadi pasti, sehingga ia dilarang mengumpulkan keduanya, tetapi tidak dilarang untuk menikahi salah satunya saja. Ia memberikan contoh tentang dua orang laki-laki yang melihat seekor burung, lalu salah satunya berkata: “Jika burung ini adalah gagak, maka budakku merdeka,” dan yang lain berkata: “Jika burung ini bukan gagak, maka budakku merdeka.” Lalu burung itu terbang dan tidak diketahui apakah ia gagak atau bukan, maka tidak ada kemerdekaan budak bagi salah satu dari keduanya karena masing-masing terkait dengan sesuatu yang masih diragukan. Namun jika keduanya berkumpul, maka wajib memerdekakan salah satu budak dari mereka karena keduanya berkumpul dalam satu kepemilikan.

وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ بِنْتَ أَيِّهِمَا شاء، فإن نَكَحَهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ بِنْتُ الْآخَرِ كَالْمُجْتَهِدِ فِي إِنَائَيْنِ مِنْ مَاءٍ إِذَا اسْتَعْمَلَ أَحَدَهُمَا حَرُمَ عَلَيْهِ اسْتِعْمَالُ الْآخَرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Pendapat keempat: yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, bahwa ia boleh menikahi putri dari salah satu di antara keduanya yang ia kehendaki. Jika ia telah menikahinya, maka haram baginya menikahi putri yang lain, sebagaimana seorang mujtahid dalam dua bejana air, jika ia telah menggunakan salah satunya, maka haram baginya menggunakan yang lain. Allah lebih mengetahui kebenarannya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَرْضَعَتْ بِلَبَنِ مَوْلُودٍ نَفَاهُ أَبُوهُ بِاللِّعَانِ لَمْ يَكُنْ أَبًا لِلْمُرْضَعِ فَإِنْ رَجَعَ لَحِقَهُ وَصَارَ أَبًا لِلْمُرْضَعِ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang wanita menyusui dengan air susu dari seorang anak yang ayahnya menafikan (menyangkal) anak itu melalui li‘ān, maka laki-laki itu bukanlah ayah dari anak yang disusui tersebut. Namun jika ia rujuk (menarik kembali penafian), maka anak itu kembali dinasabkan kepadanya dan ia menjadi ayah dari anak yang disusui tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا أَرْضَعَتِ الْمَرْأَةُ بِلَبَنِ وِلَادَتِهَا طِفْلًا وَنَفَى الزَّوْجُ وَلَدَهَا بِاللِّعَانِ انْتَفَى عَنْهُ نَسَبُ الْمَوْلُودِ بِلِعَانِهِ، وَتَبِعَهُ الْمُرْضَعُ فِي نَفْيِهِ، لِأَنَّ بُنُوَّةَ النَّسَبِ أَقْوَى مِنْ بُنُوَّةِ الرَّضَاعِ فَإِذَا انْتَفَتْ بُنُوَّةُ النَّسَبِ بِاللِّعَانِ، فَأَوْلَى أَنْ تَنْتَفِيَ بُنُوَّةُ الرضاع سَوَاءٌ أُرْضِعَ قَبْلَ اللِّعَانِ أَوْ بَعْدَهُ، وَسَوَاءٌ ذَكَرَ الْمُرْضَعَ فِي لِعَانِهِ أَوْ لَمْ يَذْكُرْهُ، لِأَنَّهُ تَابِعٌ لِلْمَوْلُودِ فِي الثُّبُوتِ وَالنَّفْيِ، فَلَوِ اعْتَرَفَ بِهِ الْأَبُ بَعْدَ نَفْيِهِ لَحِقَ بِهِ الْمَوْلُودُ، وَتَبِعَهُ وَلَدُ الرَّضَاعِ فَصَارَ لَهُ ابْنًا مِنَ الرَّضَاعِ كَمَا صَارَ الْمَوْلُودُ ابْنًا لَهُ مِنَ النَّسَبِ لِاتِّبَاعِهِ لَهُ فِي الْحَالَيْنِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika seorang wanita menyusui seorang anak dengan air susu dari kelahirannya, lalu suaminya menafikan anaknya melalui li‘ān, maka nasab anak tersebut terputus darinya karena li‘ān, dan anak yang disusui pun mengikuti dalam penafian tersebut, karena hubungan nasab lebih kuat daripada hubungan persusuan. Maka jika hubungan nasab terputus karena li‘ān, maka lebih utama lagi hubungan persusuan juga terputus, baik anak itu disusui sebelum li‘ān atau sesudahnya, baik anak yang disusui disebutkan dalam li‘ān atau tidak, karena ia mengikuti anak yang dilahirkan dalam hal penetapan maupun penafian. Jika ayahnya mengakui kembali setelah penafian, maka anak yang dilahirkan kembali dinasabkan kepadanya, dan anak yang disusui pun mengikutinya, sehingga ia menjadi anaknya melalui persusuan sebagaimana anak yang dilahirkan menjadi anaknya melalui nasab, karena keduanya sama-sama mengikutinya dalam kedua keadaan tersebut.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِثَلَاثِ حِيَضٍ وَثَبَتَ لَبَنُهَا أَوِ انْقَطَعَ ثُمَّ تَزَوَّجَتْ زَوْجًا فَأَصَابَهَا فَثَابَ لَهَا لَبَنٌ وَلَمْ يَظْهَرْ بِهَا حَمْلٌ فَهُوَ من الأول ولو كان لبنها ثبت فحملت من الثاني فنزل بها لبن في الوقت الذي يكون لها فيه لبن من الحمل الآخر كان اللبن من الأول بكل حال لأنا على علم من لبن الأول وفي شك من أن يكون خلطه لبن الأخر فلا أحرم بالشك وأحب للمرضع لو توقى بنات الزوج الآخر (قال المزني) رحمه الله عليه: هذا عندي أشبه (قال الشافعي) رحمه الله ولو انقطع فلم يثب حتى كان الحمل الآخر في وقت يمكن من الأول ففيها قولان أحدهما إنه من الأول بكل حال يثوب بأن ترحم المولود أو تشرب دواء فتدر عليه، والثاني أنه إذا انقطع انقطاعاً بينا فهو من الآخر وإن كان لا يكون من الآخر لبن ترضع به حتى تلد فهو من الأول في جميع هذه الأقاويل وإن كان يثوب شيء ترضع به وإن قل فهو منهما جميعاً وَمَنْ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اللَّبَنِ وَالْوَلَدِ قَالَ هو للأول ومن فرق قال هو منهما معاً ولو لم ينقطع اللبن حتى ولدت من الآخر فالولادة قطع للبن الأول فمن أرضعت فهو ابنها وابن الزوج الآخر “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika masa iddahnya telah habis dengan tiga kali haid dan air susunya tetap ada atau sempat terputus lalu ia menikah dengan suami lain dan digauli oleh suami tersebut, lalu air susunya kembali keluar namun tidak tampak adanya kehamilan, maka air susu itu berasal dari suami pertama. Jika air susunya tetap ada lalu ia hamil dari suami kedua, kemudian air susunya keluar pada waktu yang masih memungkinkan adanya air susu dari kehamilan sebelumnya, maka air susu itu tetap dari suami pertama dalam segala keadaan, karena kita yakin air susu itu dari suami pertama dan masih ragu apakah bercampur dengan air susu dari suami kedua, maka tidak diharamkan karena keraguan. Namun aku lebih menyukai bagi wanita yang menyusui untuk berhati-hati terhadap anak-anak dari suami kedua.” (Al-Muzani rahimahullah berkata: Menurutku ini lebih mendekati.) (Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata:) “Jika air susu itu terputus dan tidak kembali hingga kehamilan berikutnya pada waktu yang masih memungkinkan berasal dari suami pertama, maka ada dua pendapat: salah satunya, air susu itu tetap dari suami pertama dalam segala keadaan, baik karena ia merasa kasihan pada anak yang disusui atau karena minum obat sehingga air susunya keluar; pendapat kedua, jika air susu itu benar-benar terputus, maka itu dari suami kedua. Namun jika dari suami kedua tidak mungkin keluar air susu untuk menyusui hingga ia melahirkan, maka itu tetap dari suami pertama menurut semua pendapat. Jika keluar sedikit air susu yang bisa digunakan untuk menyusui, maka itu berasal dari keduanya. Barang siapa yang tidak membedakan antara air susu dan anak, ia berkata air susu itu dari suami pertama; dan barang siapa yang membedakan, ia berkata air susu itu dari keduanya. Jika air susu tidak terputus hingga ia melahirkan dari suami kedua, maka kelahiran itu memutus air susu dari suami pertama, sehingga anak yang disusui adalah anaknya dan anak dari suami kedua.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الْمُطَلَّقَةَ إِذَا كَانَ لَهَا لَبَنٌ مِنْ وَلَدِ الزَّوْجِ الْمُطَلِّقِ فَكُلُّ مَنْ أَرْضَعَتْهُ بِلَبَنِهَا كَانَ ابْنًا لَهَا وَلِزَوْجِهَا الْمُطَلِّقِ، لِأَنَّ اللَّبَنَ يُدِرُّ عَلَى الْمَوْلُودِ لِحَاجَتِهِ إِلَى اغْتِذَائِهِ بِهِ فَصَارَ اللَّبَنُ لَهُ، وَهُوَ وَلَدُ الْمُطَلِّقِ فَكَانَ وَلَدُ الرَّضَاعِ بِمَثَابَتِهِ، وَعَلَى حُكْمِهِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ فِي عِدَّتِهَا أَوِ انْقَضَتْ فَإِنْ تَزَوَّجَتْ بَعْدَ عِدَّتِهَا زَوْجًا كَانَ مَنْ أَرْضَعَتْهُ بَعْدَ تَزْوِيجِهَا ابْنًا لِلْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي سَوَاءٌ دَخَلَ بِهَا الثَّانِي أَوْ لَمْ يَدْخُلْ مَا لَمْ تَحْبَلْ فَلَوْ كَانَ اللَّبَنُ قَدِ انْقَطَعَ قَبْلَ دُخُولِ الثَّانِي ثُمَّ ثَابَ وَنَزَلَ بَعْدَ دُخُولِ الثَّانِي كَانَ اللَّبَنُ لِلْأَوَّلِ، لِأَنَّهُ مَخْلُوقٌ لِغِذَاءِ الْوَلَدِ وَالْوَلَدُ لِلْأَوَّلِ، وَإِنَّمَا ثَابَ لِلثَّانِي بَعْدَ انْقِطَاعِهِ، لِأَنَّ الْجِمَاعَ لِقَاحٌ مُبَاحٌ بِهِ اللَّبَنُ فَثَابَ وَظَهَرَ بَعْدَ كَوْنِهِ فَلِذَلِكَ كَانَ لِلْأَوَّلِ وَكَانَ الْمُرْضَعُ ابْنًا لَهُ دُونَ الثَّانِي.

Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya, apabila seorang perempuan yang ditalak memiliki air susu dari anak suaminya yang menalaknya, maka setiap anak yang disusuinya dengan air susunya itu menjadi anak baginya dan bagi suaminya yang menalaknya. Sebab, air susu itu keluar untuk kebutuhan anak yang harus diberi makan dengannya, sehingga air susu itu menjadi milik anak tersebut, dan anak itu adalah anak suaminya yang menalaknya, maka anak susuan pun kedudukannya sama, mengikuti hukum anak kandungnya. Hal ini berlaku baik ia masih dalam masa iddah maupun sudah selesai iddahnya. Jika setelah iddah ia menikah lagi dengan suami kedua, maka setiap anak yang ia susui setelah pernikahan keduanya itu tetap menjadi anak bagi suami pertama, bukan suami kedua, baik suami kedua telah berhubungan dengannya atau belum, selama ia belum hamil. Jika air susu itu telah terputus sebelum suami kedua berhubungan, lalu kembali keluar setelah suami kedua berhubungan, maka air susu itu tetap milik suami pertama, karena air susu itu tercipta untuk kebutuhan makan anak, dan anak itu adalah anak suami pertama. Adapun kembalinya air susu setelah terputus itu karena hubungan suami istri yang menyebabkan keluarnya air susu, sehingga air susu itu kembali dan keluar setelah adanya hubungan tersebut, maka karena itu air susu itu tetap milik suami pertama dan anak yang disusui menjadi anak bagi suami pertama, bukan suami kedua.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَأَمَّا إِذَا حَمَلَتْ مِنَ الثَّانِي ثُمَّ أَرْضَعَتْ عَلَى حَمْلِهَا وَلَدًا فَيُنْظَرُ في وقت الرضاع فإن كان في مبادئ الْحَمْلِ فِي وَقْتٍ لَا يُخْلَقُ لِلْحَمْلِ فِيهِ اللَّبَنُ؛ لِأَنَّ لَبَنَ الْحَمْلِ يَحْدُثُ عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ، وَذَلِكَ فِي زَمَانٍ يُسْتَكْمَلُ فِيهِ خَلْقُهُ، وَيَجُوزُ أَنْ يُولَدَ فِيهِ حَيًّا فَإِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْحَمْلُ إِلَى هَذَا الْحَدِّ، فَالْوَلَدُ لِلْأَوَّلِ وَإِنْ ثَابَ وَنَزَلَ بَعْدَ انْقِطَاعِهِ بِتَهَيُّجِ الْجِمَاعِ فَيَكُونُ الْمُرْضَعُ ابْنًا لِلْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي، وَإِنْ كَانَ الْحَمْلُ، قَدِ انْتَهَى إِلَى وَقْتٍ يَجُوزُ أَنْ يَنْزِلَ لِمِثْلِهِ لَبَنٌ لَمْ يَخْلُ حِينَئِذٍ لَبَنُ الْحَمْلِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun jika ia hamil dari suami kedua, lalu ia menyusui seorang anak saat sedang hamil, maka dilihat waktu penyusuannya. Jika penyusuan itu terjadi pada awal kehamilan, pada waktu di mana air susu belum tercipta untuk kehamilan tersebut—karena air susu pada masa hamil hanya muncul ketika ada kebutuhan, yaitu pada masa janin sudah sempurna penciptaannya dan memungkinkan untuk lahir hidup—maka jika kehamilan belum mencapai tahap itu, maka anak yang disusui tetap menjadi anak suami pertama. Jika air susu kembali keluar setelah terputus karena rangsangan hubungan suami istri, maka anak yang disusui tetap menjadi anak suami pertama, bukan suami kedua. Namun, jika kehamilan telah mencapai waktu di mana pada umumnya air susu sudah bisa keluar untuk janin seperti itu, maka pada saat itu air susu hamil terbagi menjadi tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ حَالُهُ قَبْلَ الْحَمْلِ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِ فَيَكُونَ لَبَنُهَا لِلْأَوَّلِ، لِأَنَّ الْحَمْلَ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ نَقَصَ لَبَنُهَا بِالْحَمْلِ فَيَكُونُ الْمُرْضَعُ بِهِ ابْنًا لِلْأَوَّلِ.

Pertama: Keadaan air susunya sama seperti sebelum hamil, tidak bertambah, maka air susunya tetap milik suami pertama, karena kehamilan tidak berpengaruh terhadapnya. Begitu pula jika air susunya justru berkurang karena hamil, maka anak yang disusui tetap menjadi anak suami pertama.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لَبَنُهَا قَدْ زَادَ بِالْحَمْلِ، وَلَمْ يَنْقُصْ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Kedua: Jika air susunya bertambah karena kehamilan dan tidak berkurang, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهُ يَكُونُ اللَّبَنُ لِلْأَوَّلِ وَالثَّانِي وَالْمُرْضَعُ بِهِ ابْنًا لَهُمَا، لِأَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الْحَمْلِ تَكُونُ مُضَافَةً إِلَيْهِ، وَحَادِثَةً عَنْهُ، فَامْتَزَجَ اللَّبَنَانِ فَصَارَ كَامْتِزَاجِهِ مِنِ امْرَأَتَيْنِ.

Salah satunya, dan ini adalah pendapat lama (qawl qadim), bahwa air susu itu menjadi milik suami pertama dan kedua, dan anak yang disusui menjadi anak bagi keduanya. Karena tambahan air susu akibat kehamilan itu dianggap sebagai tambahan yang dinisbatkan kepada suami kedua dan terjadi karena kehamilan darinya, sehingga kedua air susu itu bercampur, seperti bercampurnya air susu dari dua perempuan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ اللَّبَنَ لِلْأَوَّلِ، وَالْمُرْضَعُ بِهِ ابناً لَهُ دُونَ الثَّانِي لِأَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ مِنْ بقاء اللبن من الأول في شَكٍّ مِنَ الزِّيَادَةِ أَنْ تَكُونَ لِلثَّانِي لِجَوَازِ حُدُوثِهَا وَبِتَهَيُّجِ الْجِمَاعِ كَحُدُوثِهَا قَبْلَ الْحَمْلِ، وَهَذَا اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ، قَالَ الشَّافِعِيُّ ” وَأُحِبُّ لَهُ تَوَقِّي بَنَاتِ الثَّانِي لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ لَهُ “.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat baru (qawl jadid), bahwa air susu itu tetap milik suami pertama, dan anak yang disusui menjadi anak bagi suami pertama saja, bukan suami kedua. Karena kita yakin air susu yang ada berasal dari suami pertama, sedangkan tambahan air susu yang mungkin berasal dari suami kedua masih diragukan, bisa jadi terjadi karena kehamilan atau karena rangsangan hubungan suami istri, sebagaimana bisa terjadi sebelum hamil. Ini adalah pilihan al-Muzani. Imam al-Syafi‘i berkata, “Aku lebih suka jika ia berhati-hati terhadap anak perempuan suami kedua, karena mungkin saja tambahan air susu itu berasal dari suami kedua.”

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ لَبَنُهَا قَدِ انْقَطَعَ ثُمَّ ثَابَ وَنَزَلَ بِالْحَمْلِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Ketiga: Jika air susunya telah terputus, lalu kembali keluar karena kehamilan, maka dalam hal ini ada tiga pendapat:

أحدها: أنه للأول والمرضع به ابناً لَهُ، دُونَ الثَّانِي اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ فِي بَقَاءِ لَبَنِهِ وَأَنَّهُ مُبَاحٌ بِالْجِمَاعِ فَثَابَ وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ لَوْ تَوَقَّى بَنَاتِ الثَّانِي.

Pertama: Air susu itu milik suami pertama, dan anak yang disusui menjadi anak baginya, bukan suami kedua, berdasarkan keyakinan bahwa air susu itu berasal dari suami pertama dan keluarnya air susu itu dibolehkan karena hubungan suami istri, sehingga air susu itu kembali keluar. Dianjurkan untuk berhati-hati terhadap anak perempuan suami kedua.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أنه للثاني والمرضع به ابناً لَهُ دُونَ الْأَوَّلِ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ حُدُوثِهِ بِالْحَمْلِ أَنَّهُ مِنْهُ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَوْ تَوَقَّى بَنَاتِ الْأَوَّلِ.

Pendapat kedua: Air susu itu milik suami kedua, dan anak yang disusui menjadi anak baginya, bukan suami pertama, karena secara lahiriah air susu itu muncul karena kehamilan dari suami kedua. Dianjurkan untuk berhati-hati terhadap anak perempuan suami pertama.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ لَهُمَا وَالْمُرْضَعُ به ابناً لَهُمَا وَتَحْرُمُ عَلَيْهِ بَنَاتُهُمَا، لِأَنَّ احْتِمَالَ الْأَمْرَيْنِ يُوجِبُ تَسَاوِي حُكْمِهِمَا، وَأَنْ لَا يُخْتَصَّ بِأَحَدِهِمَا.

Pendapat ketiga: Air susu itu milik keduanya, dan anak yang disusui menjadi anak bagi keduanya, sehingga haram menikahi anak perempuan dari keduanya, karena kemungkinan kedua-duanya sama-sama berlaku, sehingga hukum keduanya pun setara dan tidak dikhususkan untuk salah satunya saja.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَأَمَّا إِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا فَاللَّبَنُ بَعْدَهُ حَادِثٌ مِنْهُ وَمُضَافٌ إِلَى الثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ عَلَى الْأَحْوَالِ كُلِّهَا مِنَ الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ، لِأَنَّ حَاجَةَ الْمَوْلُودِ إِلَى اغْتِذَائِهِ يَمْنَعُ مِنْ أَنْ يَكُونَ لِغَيْرِهِ فَيَكُونَ الْمُرْضَعُ بِهِ ابْنًا لِلثَّانِي وَهُوَ فِي بَنَاتِ الْأَوَّلِ عَلَى حُكْمِ الْإِبَاحَةِ.

Adapun jika ia telah melahirkan kandungannya, maka air susu setelah itu adalah sesuatu yang baru darinya dan dinisbatkan kepada yang kedua, bukan kepada yang pertama, dalam seluruh keadaan baik bertambah maupun berkurang. Sebab kebutuhan bayi yang baru lahir untuk mendapatkan nutrisi mencegah agar air susu itu tidak dinisbatkan kepada selainnya, sehingga anak yang disusui dengan susu tersebut menjadi anak bagi yang kedua, dan ia terhadap anak-anak perempuan dari yang pertama tetap dalam hukum kebolehan (tidak menjadi mahram).

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَمَنْ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اللَّبَنِ وَالْوَلَدِ قَالَ هُوَ لِلْأَوَّلِ وَمَنْ فَرَّقَ، قَالَ: هُوَ بَيْنَهُمَا جَمِيعًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun pendapat asy-Syafi‘i dan orang-orang yang tidak membedakan antara air susu dan anak, mereka mengatakan: air susu itu milik yang pertama. Sedangkan yang membedakan, mengatakan: air susu itu milik keduanya. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan hal ini menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ تَأْوِيلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ ” وَمَنْ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اللَّبَنِ وَالْوَلَدِ ” يَعْنِي أَنَّ اللَّبَنَ الْوَاحِدَ لَا يَكُونُ مِنْ رَجُلَيْنِ كَمَا أَنَّ الْمَوْلُودَ لَا يَكُونُ مِنْ أَبَوَيْنِ.

Salah satunya, yaitu penafsiran Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa maksud dari perkataan “dan siapa yang tidak membedakan antara air susu dan anak” adalah bahwa satu air susu tidak mungkin berasal dari dua laki-laki, sebagaimana seorang anak tidak mungkin berasal dari dua orang tua.

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمُرْضَعُ ابْنًا لِلْأَوَّلِ مَا لَمْ تَضَعْ حَمْلَ الثَّانِي، فَإِذَا وَضَعَتْهُ صَارَ الْمُرْضَعُ بَعْدَ وَضْعِهِ ابْنًا لِلثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُرْضَعُ ابْنًا لَهُمَا، كَمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْمَوْلُودُ ابْنًا لَهُمَا، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ: ” وَمَنْ فَرَّقَ قَالَ هُوَ بَيْنَهُمَا جَمِيعًا ” يَعْنِي وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ اللَّبَنِ وَالْوَلَدِ فَجَعَلَ اللَّبَنَ لِرَجُلَيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْمَوْلُودُ لِأَبَوَيْنِ، لأنه يجوز أن يكون للمرضع أمين، ولا يجوز أن يكون للمولود أمين.

Berdasarkan hal ini, anak yang disusui menjadi anak bagi yang pertama selama yang kedua belum melahirkan kandungannya. Jika ia telah melahirkan, maka anak yang disusui setelah kelahiran itu menjadi anak bagi yang kedua, bukan yang pertama. Tidak boleh anak yang disusui menjadi anak bagi keduanya, sebagaimana tidak boleh seorang anak menjadi anak bagi dua orang tua. Dan inilah maksud dari perkataan: “dan siapa yang membedakan mengatakan air susu itu milik keduanya,” yaitu siapa yang membedakan antara air susu dan anak, lalu menjadikan air susu itu milik dua laki-laki, meskipun tidak boleh anak itu menjadi anak bagi dua orang tua, karena boleh saja anak yang disusui memiliki dua ibu susu, sedangkan anak kandung tidak mungkin memiliki dua ibu.

فعلى هذا يجوز أن يكون للمرضع بِاللَّبَنِ الزَّائِدِ قَبْلَ الْوِلَادَةِ ابْنًا لَهُمَا، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْمَوْلُودُ إِلَّا لِأَحَدِهِمَا.

Berdasarkan hal ini, boleh saja anak yang disusui dengan air susu tambahan sebelum kelahiran menjadi anak bagi keduanya, namun anak kandung tidak boleh dinisbatkan kecuali kepada salah satu dari mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ ” وَمَنْ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اللَّبَنِ وَالْوَلَدِ ” يَعْنِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لِلْمَوْلُودِ قَبْلَ وِلَادَتِهِ لَبَنٌ، وَيُجْعَلَ جَمِيعُهُ مَعَ الزِّيَادَةِ لِلْأَوَّلِ جَعَلَ الْمُرْتَضِعَ قَبْلَ الْوِلَادَةِ ابْنًا لِلْأَوَّلِ، وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا يَعْنِي جَعَلَ لَهُ اللَّبَنَ الْحَادِثَ قَبْلَ وِلَادَتِهِ إِذَا زاد بحمله قال: إن المرتضع به ابناً لَهَا، حَتَّى تَضَعَ حَمْلَهَا فَيَصِيرَ الْمُرْتَضِعُ بَعْدَ الْحَمْلِ ابْنًا لِلثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ، وَكِلَا التَّأْوِيلَيْنِ محتمل والله أعلم.

Pendapat kedua: Maksud dari perkataan “dan siapa yang tidak membedakan antara air susu dan anak” adalah bahwa tidak boleh bagi bayi sebelum dilahirkan memiliki air susu, dan seluruh air susu beserta tambahannya dinisbatkan kepada yang pertama, sehingga anak yang disusui sebelum kelahiran menjadi anak bagi yang pertama. Sedangkan yang membedakan antara keduanya, maksudnya adalah menjadikan air susu yang baru terjadi sebelum kelahiran, jika bertambah karena kehamilan, maka anak yang disusui dengan air susu itu menjadi anak baginya, hingga ia melahirkan kandungannya, lalu setelah melahirkan, anak yang disusui menjadi anak bagi yang kedua, bukan yang pertama. Kedua penafsiran ini mungkin terjadi, dan Allah lebih mengetahui.

(الشهادات في الرضاع والإقرار من كتاب الرضاع ومن كتاب النكاح القديم)

(Pembahasan tentang kesaksian dalam masalah radā‘ dan pengakuan, dari Kitab Radā‘ dan dari Kitab Nikah versi lama)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَشَهَادَةُ النِّسَاءِ جَائِزَةٌ فِيمَا لَا يَحِلُّ لِلرِّجَالِ مِنْ غَيْرِ ذَوِي الْمَحَارِمِ أَنْ يَتَعَمَّدُوا النَّظَرَ إِلَيْهِ لِغَيْرِ شَهَادَةٍ مِنْ وِلَادَةِ الْمَرْأَةِ وَعُيُوبِهَا الَّتِي تَحْتَ ثِيَابِهَا وَالرَّضَاعُ عِنْدِي مِثْلُهُ لَا يَحِلُّ لِغَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَنْ يَتَعَمَّدَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى ثَدْيِهَا وَلَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى رَضَاعِهَا بِغَيْرِ رُؤْيَةِ ثَدْيَيْهَا “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Kesaksian perempuan diperbolehkan dalam perkara yang tidak halal bagi laki-laki selain mahram untuk sengaja melihatnya tanpa alasan kesaksian, seperti kelahiran seorang perempuan dan cacat-cacatnya yang berada di bawah pakaiannya. Menurutku, radā‘ (persusuan) juga demikian, tidak halal bagi selain mahram atau suami untuk sengaja melihat payudaranya, dan tidak mungkin seseorang bersaksi atas persusuannya kecuali dengan melihat kedua payudaranya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: يَجُوزُ أَنْ تُقْبَلَ شَهَادَةُ النِّسَاءِ مُنْفَرِدَاتٍ فِي أَرْبَعَةِ مَوَاضِعَ: الْوِلَادَةُ وَالِاسْتِهْلَالُ، وَالرَّضَاعُ، وَعُيُوبُ النِّسَاءِ الَّتِي تَحْتَ الثِّيَابِ، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى: لا تقبل شهادتين إلا في الولادة وحدها، واستدلالا بِأَنَّ الرَّضَاعَ يَجُوزُ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ الرِّجَالُ من ذوي المحارم، فَلَمْ يُقْبَلْ فِيهِ النِّسَاءُ عَلَى الِانْفِرَادِ كَالَّذِي يَجُوزُ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ الرِّجَالُ الْأَجَانِبُ.

Al-Mawardi berkata: Diperbolehkan menerima kesaksian perempuan secara sendiri-sendiri dalam empat perkara: kelahiran, istihlal (tangisan bayi saat lahir), radā‘ (persusuan), dan cacat-cacat perempuan yang berada di bawah pakaian. Ini adalah pendapat jumhur. Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila berkata: Tidak diterima kesaksian perempuan kecuali dalam kelahiran saja, dengan alasan bahwa radā‘ (persusuan) bisa diketahui oleh laki-laki dari kalangan mahram, sehingga tidak diterima kesaksian perempuan secara sendiri-sendiri dalam hal ini, sebagaimana perkara yang boleh diketahui oleh laki-laki asing.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ مَا كَانَ مِنْ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ، وَكُنَّ فِيهِ عَلَى اسْتِتَارٍ وَصِيَانَةٍ جَازَ أَنْ يَشْهَدَ بِهِ النِّسَاءُ مُنْفَرِدَاتٍ كَالْوِلَادَةِ، وَخَالَفَ الزِّنَا لِأَنَّهُنَّ هَتَكْنَ فِيهِ الْعَوْرَةَ فَلَمْ تُقْبَلْ فِيهِ إِلَّا الرِّجَالُ.

Dalil kami adalah bahwa perkara yang termasuk aurat perempuan dan mereka menjaga serta menutupinya, maka boleh perempuan bersaksi sendiri seperti dalam kelahiran. Berbeda dengan zina, karena dalam hal itu mereka membuka aurat sehingga tidak diterima kecuali kesaksian laki-laki.

وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تُسْتَوْفَى فِي كِتَابِ الشَّهَادَاتِ فَإِنْ شَهِدَ الرِّجَالُ بِذَلِكَ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ تَعَمُّدٍ لِلنَّظَرِ فَهُمْ عَلَى الْعَدَالَةِ وَشَهَادَتُهُمْ مَقْبُولَةٌ، وَإِنْ تَعَمَّدُوا النَّظَرَ لِغَيْرِ الشَّهَادَةِ كَانُوا فَسَقَةً لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ، وَإِنْ تَعَمَّدُوا النَّظَرَ لِإِقَامَةِ الشَّهَادَةِ فَفِي قَبُولِ شَهَادَتِهِمْ لِأَصْحَابِنَا ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Masalah ini akan dibahas secara tuntas dalam Kitab Asy-Syahādāt. Jika para laki-laki bersaksi tentang hal tersebut, maka perlu diteliti: jika mereka melihatnya tanpa sengaja, maka mereka tetap dalam keadilan dan kesaksian mereka diterima. Namun jika mereka sengaja melihat bukan untuk tujuan kesaksian, maka mereka menjadi fāsiq dan kesaksiannya tidak diterima. Jika mereka sengaja melihat untuk menegakkan kesaksian, maka menurut mazhab kami ada tiga pendapat mengenai diterimanya kesaksian mereka:

أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ إِنَّهُمْ فَسَقَةٌ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ، لأنهم عمدوا النَّظَرَ إِلَى عَوْرَةٍ مُحَرَّمَةٍ عَلَيْهِمْ.

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa mereka adalah fāsiq dan kesaksiannya tidak diterima, karena mereka sengaja melihat aurat yang diharamkan atas mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُمْ عَلَى الْعَدَالَةِ وَشَهَادَتُهُمْ مَقْبُولَةٌ لِمَا فِي النَّظَرِ مِنَ الْأَحْكَامِ الَّتِي يَلْزَمُ حِفْظُهَا فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى وَحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa mereka tetap dalam keadilan dan kesaksiannya diterima, karena dalam melihat tersebut terdapat hukum-hukum yang wajib dijaga baik dalam hak-hak Allah Ta‘ālā maupun hak-hak manusia.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُمْ يُقْبَلُونَ فِي الزِّنَا وَلَا يُقْبَلُونَ فِيمَا عَدَاهُ، لِأَنَّ الزَّانِيَ قَدْ هَتَكَ حُرْمَةَ نَفْسِهِ فَجَازَ النَّظَرُ إِلَيْهِ لِإِقَامَةِ حَدِّ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ، وَخَالَفَ حُكْمَ مَنْ كَانَ عَلَى ستره وصيانته.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah, bahwa mereka diterima kesaksiannya dalam perkara zina saja, dan tidak diterima dalam selainnya. Sebab pezina telah menodai kehormatan dirinya sendiri, sehingga boleh melihatnya untuk menegakkan ḥadd Allah Ta‘ālā atasnya, berbeda dengan hukum bagi orang yang masih terjaga kehormatannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَجُوزُ مِنَ النِّسَاءِ عَلَى الرَّضَاعِ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعِ حَرَائِرَ بَوَالِغَ عُدُولٍ وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لما أجاز شهادتين فِي الدَّيْنِ جَعَلَ امْرَأَتَيْنِ يَقُومَانِ مَقَامَ رَجُلٍ “.

Imam Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Tidak boleh dalam perkara persusuan (raḍā‘) dari kalangan perempuan kurang dari empat perempuan merdeka, baligh, dan ‘adūl (adil). Ini adalah pendapat ‘Aṭā’ ibn Abī Rabāḥ, karena Allah Ta‘ālā ketika membolehkan dua kesaksian dalam perkara utang, menjadikan dua perempuan setara dengan satu laki-laki.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي عَدَدِ النِّسَاءِ فِيمَا يَشْهَدُونَ فِيهِ مُنْفَرِدَاتٍ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ:

Al-Māwardī berkata: Para fuqahā’ berbeda pendapat mengenai jumlah perempuan yang bersaksi sendiri dalam perkara ini menjadi empat mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَعَطَاءٍ، أَنَّهُ لَا يقبل منهن أقل من أربع. وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَعَطَاءٍ، أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ

Pertama, yaitu mazhab Syāfi‘ī dan ‘Aṭā’, bahwa tidak diterima dari mereka kurang dari empat orang. Ini adalah mazhab Syāfi‘ī dan ‘Aṭā’, bahwa tidak diterima

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ الْحَسَنِ الْبَصَرِيِّ وَعُثْمَانَ الْبَتِّيِّ، أَنَّهُ يُقْبَلُ مِنْهُنَّ ثَلَاثٌ.

Kedua, yaitu mazhab al-Ḥasan al-Baṣrī dan ‘Utsmān al-Battī, bahwa diterima dari mereka tiga orang.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُ يُقْبَلُ فِيهِ امْرَأَتَانِ.

Ketiga, yaitu mazhab Mālik, bahwa diterima dalam hal ini dua perempuan.

وَالرَّابِعُ: وَهُوَ مَذْهَبُ الْأَوْزَاعِيِّ أَنَّهُ يُقْبَلُ مِنْهُ شَهَادَةُ الْوَاحِدَةِ.

Keempat, yaitu mazhab al-Awzā‘ī, bahwa diterima kesaksian satu perempuan saja.

وَاحْتَجَّ مَنِ اعْتَبَرَ الثَّلَاثَ بِأَنَّ الرَّجُلَ وَالْمَرْأَتَيْنِ بَيِّنَةٌ كَامِلَةٌ، وَقَدْ أُقِيمَ النِّسَاءُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مَقَامَ الرِّجَالِ فَأُبْدِلَ الرَّجُلُ بِامْرَأَتَيْنِ فَصِرْنَ ثَلَاثًا.

Adapun yang berpendapat tiga orang, mereka berdalil bahwa satu laki-laki dan dua perempuan adalah bayyinah (bukti) yang sempurna, dan dalam hal ini perempuan ditempatkan pada posisi laki-laki, sehingga satu laki-laki diganti dengan dua perempuan, maka jadilah tiga orang.

وَاحْتَجَّ مَنِ اعْتَبَرَ شَهَادَةَ امْرَأَتَيْنِ بِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ امْرَأَةً شَهِدَتْ عِنْدَهُ أَنَّهَا أَرْضَعَتْ رَجُلًا وَامْرَأَةً فَقَالَ اطْلُبُوا لِي مَعَهَا أُخْرَى، وَلَمْ يَفْسَخِ النِّكَاحَ، وَلِأَنَّهُنَّ قَدْ أُقِمْنَ مَقَامَ الرِّجَالِ فَاقْتُصِرَ مِنْهُنَّ عَلَى عَدَدَ الرِّجَالِ.

Adapun yang berpendapat dengan kesaksian dua perempuan, mereka berdalil dengan riwayat dari ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu bahwa seorang perempuan bersaksi di hadapannya bahwa ia telah menyusui seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “Carikan untukku satu orang lagi bersamanya,” dan beliau tidak membatalkan pernikahan tersebut. Karena mereka (perempuan) telah ditempatkan pada posisi laki-laki, maka cukup diambil jumlah laki-laki dari mereka.

وَاحْتَجَّ مَنْ قَبِلَ شَهَادَةَ الْوَاحِدَةِ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سمع شهادة القائلة؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا اقْتُصِرَ عَلَى قَبُولِ النِّسَاءِ لِلضَّرُورَةِ قُبِلَتِ الْوَاحِدَةُ، لِأَجْلِ الضَّرُورَةِ.

Adapun yang menerima kesaksian satu perempuan, mereka berdalil bahwa Rasulullah ﷺ menerima kesaksian seorang perempuan yang mengakuinya; dan karena ketika penerimaan kesaksian perempuan dibatasi karena darurat, maka satu orang pun diterima karena darurat.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لا يجوز أن يقبل منهم أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعٍ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى} [البقرة: 282] وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Adapun dalil bahwa tidak boleh diterima dari mereka kurang dari empat orang adalah firman Allah Ta‘ālā: {Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, agar jika salah satu dari keduanya lupa maka yang lain mengingatkannya} (al-Baqarah: 282). Dalam ayat ini terdapat dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَجْعَلَهَا كَالذَّكَرِ.

Pertama, bahwa dua perempuan itu dijadikan seperti satu laki-laki.

وَالثَّانِي: أَنْ تُذَكِّرَهَا إِذَا نَسِيَتْ فَلَمَّا أَقَامَ الْمَرْأَتَيْنِ مَقَامَ الرَّجُلِ لَمْ يُقْبَلْ مِنَ الرِّجَالِ أَقَلُّ مِنَ اثْنَيْنِ، وَجَبَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنَ النِّسَاءِ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعٍ، وَلِأَنَّ الشَّهَادَةَ إِذَا كَانَ لِلنِّسَاءِ فِيهَا مَدْخَلٌ لَمْ يقتصر على شهادة الواحدة كَالْأَمْوَالِ.

Kedua, bahwa salah satunya mengingatkan jika yang lain lupa. Maka ketika dua perempuan ditempatkan pada posisi satu laki-laki, dan tidak diterima dari laki-laki kurang dari dua orang, maka wajib tidak diterima dari perempuan kurang dari empat orang. Dan karena jika perempuan memiliki andil dalam kesaksian, tidak cukup dengan satu orang saja, seperti dalam perkara harta.

فَأَمَّا شَهَادَةُ الْقَابِلَةِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ يَأْتِي.

Adapun kesaksian bidan, jawabannya akan dijelaskan kemudian.

فَإِنْ قِيلَ: قَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ أَبِي مَرْيَمَ قَالَ: تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فَجَاءَتْ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَرْضَعْتُكُمَا فَجِئْتُ إِلَى النَبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَلْتُ: إِنَّ السَّوْدَاءَ قَالَتْ كَذَا، وَهِيَ كَاذِبَةٌ، فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” دَعْهَا لَا خَيْرَ لَكَ فِيهَا “.

Jika dikatakan: Ibnu Abi Mulaikah meriwayatkan dari Abu Maryam, ia berkata: Aku menikahi seorang wanita lalu datanglah seorang wanita berkulit hitam, ia berkata: “Aku telah menyusui kalian berdua.” Maka aku mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: “Wanita berkulit hitam itu berkata demikian, padahal ia berdusta.” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Tinggalkan dia, tidak ada kebaikan bagimu padanya.”

قِيلَ عَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:

Dijawab atas hal ini dengan tiga jawaban:

أَحَدُهَا: مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْرَضَ عَنْهُ، وَقَالَ: وَكَيْفَ وَقَدْ زَعَمَتِ السَّوْدَاءُ أَنَّهَا أَرْضَعَتْكُمَا، وَذَلِكَ لَا يَدُلُّ عَلَى الْحُكْمِ بشادتها فِي الْإِمْضَاءِ، وَلَا فِي الرَّدِّ وَأَجْرَاهُ فَجَرَى الْخَبَرُ الَّذِي يَحْتَمِلُ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ فَلَمْ يَقْطَعْ بِأَحَدِهِمَا.

Pertama: Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau berpaling darinya, dan berkata: “Bagaimana bisa, sementara wanita berkulit hitam itu mengaku telah menyusui kalian berdua?” Hal itu tidak menunjukkan adanya penetapan hukum berdasarkan persaksiannya, baik dalam menetapkan maupun menolak, dan beliau memperlakukan berita itu sebagaimana berita yang masih mungkin benar atau dusta, sehingga beliau tidak memutuskan salah satunya.

وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْلَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” دَعْهَا لَا خَيْرَ لَكَ فِيهَا ” طَرِيقُهُ طَرِيقُ الِاخْتِيَارِ وَالِاسْتِحْبَابِ دُونَ الِالْتِزَامِ وَالْإِيجَابِ لِقَوْلِهِ ” لَا خَيْرَ لَكَ فِيهَا ” وَلَوْ حَرُمَتْ لَأَخْبَرَهُ بِتَحْرِيمِهَا.

Kedua: Bahwa sabda Nabi ﷺ “Tinggalkan dia, tidak ada kebaikan bagimu padanya” adalah dalam rangka anjuran dan pilihan, bukan kewajiban dan keharusan, karena sabdanya “tidak ada kebaikan bagimu padanya”. Seandainya wanita itu menjadi haram, tentu beliau akan memberitahukan keharamannya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّ السَّوْدَاءَ الَّتِي شَهِدَتْ كَانَتْ أَمَةً وَشَهَادَةُ الْأَمَةِ غَيْرُ مَقْبُولَةٍ، وَقَدْ رَوَى الْحَدِيثَ عَلَى سِيَاقِهِ ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عُقْبَةَ بْنَ الْحَارِثِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ نَكَحَ أُمَّ يَحْيَى بِنْتَ أَبِي إِهَابٍ فَقَالَتْ لَهُ أَمَةٌ سَوْدَاءُ قَدْ أَرْضَعْتُكُمَا، قَالَ: فَجَاءَتْ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهَا، قَالَ: فَجِئْتُ فذكرته ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: ” وَكَيْفَ وَقَدْ زَعَمَتِ السَّوْدَاءُ أَنَّهَا أَرْضَعَتْكُمَا “، قَالَ: فَنَهَى عَنْهَا.

Ketiga: Bahwa wanita berkulit hitam yang bersaksi itu adalah seorang budak, dan persaksian budak tidak diterima. Ibnu Juraij meriwayatkan hadis ini dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Uqbah bin Al-Harits mengabarkan kepadanya bahwa ia menikahi Ummu Yahya binti Abi Ihab, lalu seorang budak wanita berkulit hitam berkata kepadanya: “Aku telah menyusui kalian berdua.” Ia berkata: Lalu ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan menyebutkan hal itu kepada beliau, maka beliau berpaling darinya. Ia berkata: Lalu aku datang dan menyebutkan hal itu kepada beliau, maka beliau bersabda: “Bagaimana bisa, sementara wanita berkulit hitam itu mengaku telah menyusui kalian berdua?” Ia berkata: Maka beliau melarangnya.

فَدَلَّ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ لَمْ يَكُنْ لِلشَّهَادَةِ وَإِنَّمَا كَانَ لِلِاحْتِيَاطِ.

Maka hal ini menunjukkan bahwa larangan tersebut bukan karena persaksian, melainkan sebagai bentuk kehati-hatian.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ عبد الرحمن السلماني عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَمَّا يَجُوزُ فِي الرَّضَاعِ فَقَالَ رَجُلٌ أَوِ امْرَأَةٌ.

Jika dikatakan: Telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Abdurrahman As-Sulmani dari ayahnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah ﷺ ditanya tentang siapa yang boleh menjadi saksi dalam perkara penyusuan, maka beliau menjawab: “Seorang laki-laki atau seorang wanita.”

قِيلَ: هَذَا رَوَاهُ حَرَامٌ، وَرَوَاهُ أَيْضًا عُمَارَةُ بْنُ حَرَمِيٍّ وَهُوَ ضَعِيفٌ، قَالَ الشافعي حديث حرام قبوله حرام وابن السلماني ضَعِيفٌ وَعَلَى أَنَّهُ لَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى جَوَازِ أَنْ يَشْهَدَ فِيهِ الرِّجَالُ إِذَا انْفَرَدُوا وَيَشْهَدَ بِهِ النِّسَاءُ إِذَا انْفَرَدْنَ وَاللَّهُ أعلم.

Dijawab: Hadis ini diriwayatkan oleh Haram, dan juga diriwayatkan oleh Umārah bin Harami, dan ia adalah perawi yang lemah. Asy-Syafi‘i berkata: Hadis Haram tidak boleh diterima, dan Ibnu As-Sulmani juga lemah. Dan seandainya hadis itu sahih, maka maknanya adalah bolehnya laki-laki bersaksi jika hanya mereka yang ada, dan bolehnya wanita bersaksi jika hanya mereka yang ada. Wallahu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَتِ الْمَرْأَةُ تُنْكِرُ الرَّضَاعَ فَكَانَتْ فِيهِنَّ أُمُّهَا أَوِ ابْنَتُهَا جُزْنَ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَتْ تَدَّعِي الرَّضَاعَ لَمْ يَجُزْ فِيهَا أُمُّهَا وَلَا أُمَّهَاتُهَا وَلَا ابْنَتُهَا وَلَا بَنَاتُهَا “.

Asy-Syafi‘i ra berkata: “Jika seorang wanita mengingkari adanya penyusuan, sementara di antara para saksi terdapat ibunya atau anak perempuannya, maka persaksian mereka boleh diterima. Namun jika ia mengaku adanya penyusuan, maka tidak boleh diterima persaksian ibunya, ibu-ibunya, anak perempuannya, ataupun anak-anak perempuannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُدَّعِي الرَّضَاعَ بَعْدَ الزَّوْجِيَّةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ هُوَ الزَّوْجَ أَوِ الزَّوْجَةَ، فَإِنْ كَانَ مُدَّعِيهِ الزَّوْجَ فَقَدِ انفسخ نكاح بِدَعْوَاهُ، لِأَنَّ الْفُرْقَةَ بِيَدِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ ” وَأُحِبُّ أن يطلق واحدة ليستبيح الأزواج بيقين “.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Maka keadaan orang yang mengaku adanya penyusuan setelah pernikahan tidak lepas dari dua kemungkinan: ia adalah suami atau istri. Jika yang mengaku adalah suami, maka pernikahan batal dengan pengakuannya, karena hak talak ada di tangannya. Asy-Syafi‘i berkata: “Aku menyukai agar ia mentalak satu kali agar para suami lain dapat menikahinya dengan keyakinan.”

وإنما قيل قَوْلُهُ فِي الْفُرْقَةِ ” بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ “، لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهُ وَلَمْ يُقْبَلْ فِي الْمَهْرِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ لِأَنَّهُ حَقٌّ عَلَيْهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ كَانَ عَلَيْهِ قَبْلَ الدُّخُولِ نِصْفُ الْمُسَمَّى وَبَعْدَ الدُّخُولِ جَمِيعُهُ، وَإِنْ كَانَ لَهُ بَيِّنَةٌ، وبينته شَاهِدَانِ، أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ، أَوْ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ، لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ عَلَى الرَّضَاعِ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ قَبْلَ الدُّخُولِ مَهْرٌ، وَعَلَيْهِ بَعْدَ الدُّخُولِ مَهْرُ الْمِثْلِ يُسْتَحَقُّ بِالْإِصَابَةِ دُونَ الْمُسَمَّى، لِفَسَادِ الْعَقْدِ.

Adapun sabdanya tentang perceraian “tanpa bukti”, karena itu adalah haknya, dan tidak diterima dalam perkara mahar kecuali dengan bukti, karena itu adalah hak atas dirinya. Jika ia tidak memiliki bukti, maka sebelum terjadi hubungan suami istri, ia wajib membayar setengah dari mahar yang telah ditetapkan, dan setelah terjadi hubungan, ia wajib membayar seluruhnya. Jika ia memiliki bukti, dan buktinya adalah dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua wanita, atau empat wanita, karena itu adalah bukti dalam perkara penyusuan, maka sebelum terjadi hubungan ia tidak wajib membayar mahar, dan setelah terjadi hubungan ia wajib membayar mahar mitsil (mahar yang sepadan) yang menjadi hak karena telah terjadi hubungan, bukan mahar yang telah ditetapkan, karena akadnya rusak.

فَلَوْ شَهِدَ لَهُ بِالرَّضَاعِ أُمَّهَاتُهُ أَوْ بَنَاتُهُ لَمْ يُقْبَلْنَ، لِأَنَّ شَهَادَةَ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ مَرْدُودَةٌ، وَكَذَلِكَ شَهَادَةُ الْوَلَدِ لِوَالِدِهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِنَّ أُمُّ الزَّوْجَةِ أَوْ بِنْتُهَا قُبِلَتْ شَهَادَتُهَا، لِأَنَّ شَهَادَةَ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ مَقْبُولَةٌ، وَإِنْ لَمْ يُقْبَلْ لَهُ.

Maka jika yang bersaksi tentang penyusuan itu adalah ibu-ibu atau anak-anak perempuannya, kesaksian mereka tidak diterima, karena kesaksian orang tua untuk anaknya itu ditolak, demikian pula kesaksian anak untuk orang tuanya. Namun, jika di antara mereka terdapat ibu mertua atau anak perempuan istri, maka kesaksiannya diterima, karena kesaksian orang tua terhadap anaknya diterima, meskipun tidak diterima untuk kepentingan dirinya.

وَإِنْ كَانَ مُدَّعِي الرَّضَاعَةِ الزَّوْجَةَ، وَالزَّوْجُ مُنْكِرٌ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِي الْفُرْقَةِ إلا ببنية لأنها لا تملك الفرقة، فإن أقامت بينة بِرَجُلَيْنِ أَوْ رَجُلٍ وَامْرَأَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعِ نِسْوَةٍ يَشْهَدْنَ بِالرَّضَاعِ قُبِلَتْ بَيِّنَتُهَا، وَوَقَعَتِ الْفُرْقَةُ، وَسَقَطَ مَهْرُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ، وَكَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ بَعْدَ الدُّخُولِ، فَلَوْ كَانَ فِي شُهُودِهَا أُمُّهَا أَوْ بِنْتُهَا رُدَّتْ شَهَادَتُهُمَا لِلتُّهْمَةِ، وَلَوْ كَانَ فيهن أو الزَّوْجِ أَوْ بِنْتُهُ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُمَا عَلَيْهِ لِارْتِفَاعِ التُّهْمَةِ.

Jika yang mengaku adanya penyusuan adalah istri, sedangkan suami mengingkarinya, maka perkataannya tidak diterima dalam hal perpisahan kecuali dengan bukti, karena ia tidak memiliki hak untuk memutuskan hubungan pernikahan. Jika ia mendatangkan bukti berupa dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau empat orang perempuan yang bersaksi tentang penyusuan, maka buktinya diterima, perpisahan terjadi, dan maharnya gugur sebelum terjadi hubungan suami istri, serta ia berhak atas mahar mitsil setelah terjadi hubungan suami istri. Jika di antara para saksi itu terdapat ibunya atau anak perempuannya, maka kesaksian keduanya ditolak karena adanya tuduhan (berpihak), namun jika di antara mereka terdapat ayah suami atau anak laki-lakinya, maka kesaksian keduanya diterima terhadapnya karena hilangnya tuduhan.

فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يَصِحُّ أَنْ تَشْهَدَ الْبِنْتُ عَلَى رَضَاعِ أَبِيهَا وَأُمِّهَا وَالرَّضَاعُ يَكُونُ فِي الصِّغَرِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يَشْهَدَهُ الْوَلَدُ، قِيلَ: لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ كَبِيرًا لَهُ وَلَدٌ يَكُونَ الْآخَرُ صَغِيرًا فَيَرْتَفِعَ مِنْ أُمِّ الْكَبِيرِ وَتَشْهَدَهُ بِنْتُهُ فتشهد بالرضاع له وعليه.

Jika dikatakan: Bagaimana mungkin anak perempuan dapat bersaksi atas penyusuan ayah dan ibunya, padahal penyusuan itu terjadi saat kecil yang tidak mungkin disaksikan oleh anak? Maka dijawab: Karena bisa saja salah satu dari pasangan suami istri itu sudah dewasa dan memiliki anak, sedangkan yang lainnya masih kecil, sehingga penyusuan itu berasal dari ibu si dewasa dan disaksikan oleh anak perempuannya, sehingga ia dapat bersaksi tentang penyusuan itu untuk dan atas nama ayahnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَجُوزُ فِي ذَلِكَ شَهَادَةُ الَّتِي أَرْضَعَتْ لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهَا فِي ذَلِكَ وَلَا عَلَيْهَا مَا ترد به شهادتهما (قال المزني) رحمه الله وكيف تجوز شهادتهما على فعلها ولا تجوز شهادة أمها وأمهاتها وبناتها فهن في شهادتهن على فعلها أجوز في القياس من شهادتها على فعل نفسها “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan boleh dalam hal itu kesaksian perempuan yang menyusui, karena ia tidak memiliki kepentingan dalam hal itu, baik untuk dirinya maupun terhadap dirinya, yang menyebabkan kesaksiannya ditolak.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Bagaimana mungkin kesaksiannya atas perbuatannya sendiri diterima, sedangkan kesaksian ibunya, neneknya, dan anak perempuannya tidak diterima? Padahal, dalam hal kesaksian mereka atas perbuatannya, itu lebih layak diterima secara qiyās daripada kesaksiannya atas perbuatannya sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا شَهَادَةُ الْمُرْضِعَةِ بِالرَّضَاعِ فَمَقْبُولَةٌ مَا لَمْ تَدَّعِ بِهَا أُجْرَةَ الرَّضَاعِ، لِأَنَّهَا لَا تَسْتَفِيدُ بِهَا نَفْعًا، وَلَا تَسْتَدْفِعُ بِهَا ضَرَرًا، فَزَالَتِ التُّهْمَةُ عَنْهَا فَقُبِلَتْ.

Al-Mawardi berkata: Adapun kesaksian perempuan yang menyusui tentang penyusuan itu diterima selama ia tidak menuntut upah atas penyusuan tersebut, karena ia tidak mendapatkan manfaat darinya dan tidak menolak bahaya darinya, sehingga tuduhan (berpihak) hilang darinya dan kesaksiannya diterima.

فَإِنْ قِيلَ: فَهِيَ تَشْهَدُ عَلَى فِعْلِهَا وَشَهَادَةُ الْفَاعِلِ عَلَى فِعْلِهِ مَرْدُودَةٌ كَالْحَاكِمِ إِذَا شَهِدَ بِمَا حَكَمَ بِهِ، وَالْقَاسِمِ إِذَا شَهِدَ بِمَا قَسَّمَهُ.

Jika dikatakan: Bukankah ia bersaksi atas perbuatannya sendiri, sedangkan kesaksian pelaku atas perbuatannya sendiri itu ditolak, seperti hakim yang bersaksi atas perkara yang ia putuskan, atau pembagi warisan yang bersaksi atas pembagian yang ia lakukan?

قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Dijawab: Perbedaannya antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْحَاكِمَ وَالْقَاسِمَ تَفَرَّدَا بِالْفِعْلِ فَلَمْ تَصِحَّ شَهَادَتُهُمَا بِهِ وَالْمُرْضِعَةُ إِمَّا أَنْ يَنْفَرِدَ الْوَلَدُ بِالرَّضَاعِ وَهِيَ نَائِمَةٌ، وَإِمَّا أَنْ تُمَكِّنَهُ فَيَكُونَ الْوَلَدُ هُوَ الْمُرْتَضِعَ فَلَمْ تَكُنْ شَهَادَتُهُمَا عَلَى مُجَرَّدِ فِعْلِهَا.

Pertama: Bahwa hakim dan pembagi warisan itu melakukan perbuatan tersebut sendirian, sehingga kesaksian mereka atas perbuatan itu tidak sah. Sedangkan perempuan yang menyusui, bisa jadi anak yang disusui itu menyusu sendiri saat ia sedang tidur, atau ia hanya memfasilitasi, sehingga yang menyusu adalah si anak, maka kesaksiannya tidak semata-mata atas perbuatannya sendiri.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي شَهَادَةِ الْحَاكِمِ وَالْقَاسِمِ تَزْكِيَةً لَهُمَا، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ مِنْهَا مَعَ الْفُسُوقِ وَالْكُفْرِ فَلَمْ تُرَدَّ بِهِ شَهَادَتُهَا مَعَ الْعَدَالَةِ.

Kedua: Dalam kesaksian hakim dan pembagi warisan terdapat unsur pensucian diri, karena tidak sah dari mereka jika mereka fasik atau kafir, maka kesaksian perempuan yang menyusui tidak ditolak selama ia adil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا إِذَا ادَّعَتِ الْمُرْضِعَةُ بِشَهَادَتِهَا الْأُجْرَةَ لَمْ يُقْبَلْ بِهِ قَوْلُهَا فِي اسْتِحْقَاقِ الْأُجْرَةِ، وَهَلْ تُرَدُّ بِهِ شَهَادَتُهُا فِي الرَّضَاعِ وَثُبُوتِ التَّحْرِيمِ بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun jika perempuan yang menyusui menuntut upah dengan kesaksiannya, maka perkataannya tidak diterima dalam hal hak mendapatkan upah. Apakah dengan itu kesaksiannya dalam hal penyusuan dan penetapan keharaman menjadi gugur atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهَا تُقْبَلُ وَلَا تُرَدُّ.

Pertama: Sebagaimana yang dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa kesaksiannya tetap diterima dan tidak gugur.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهَا تُرَدُّ وَلَا تُقْبَلُ، وَاخْتِلَافُهُمَا فِي ذَلِكَ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الشَّاهِدِ إِذَا رُدَّتْ شَهَادَتُهُ فِي بَعْضِ مَا شَهِدَ بِهِ هَلْ تُرَدُّ فِي الْبَاقِي؟ عَلَى قَوْلَيْنِ يُذْكَرَانِ فِي كِتَابِ الشَّهَادَاتِ.

Kedua: Sebagaimana yang dinukil dari Abu Ali bin Abi Hurairah, bahwa kesaksiannya gugur dan tidak diterima. Perbedaan pendapat keduanya itu didasarkan pada perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang saksi yang kesaksiannya ditolak dalam sebagian perkara yang ia saksikan, apakah kesaksiannya juga ditolak dalam perkara lainnya? Ada dua pendapat yang disebutkan dalam Kitab asy-Syahadat.

(فَصْلٌ:)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ غَلِطَ عَلَى الشَّافِعِيِّ غَلَطًا وَاضِحًا فَظَنَّ أَنَّهُ أَجَازَ شَهَادَةَ الْمُرْضِعَةِ وَرَدَّ شَهَادَةَ أُمِّهَا.

Adapun al-Muzani, ia telah keliru terhadap Imam Syafi‘i dengan kekeliruan yang jelas, karena ia mengira bahwa Imam Syafi‘i membolehkan kesaksian perempuan yang menyusui dan menolak kesaksian ibunya.

فَقَالَ: ” كَيْفَ يجوز شَهَادَتُهُا عَلَى فِعْلِهَا، وَلَا تَجُوزُ شَهَادَةُ أُمِّهَا؟

Ia berkata: “Bagaimana mungkin kesaksiannya atas perbuatannya sendiri diterima, sedangkan kesaksian ibunya tidak diterima?”

وَهَذَا غَلَطٌ مِنْهُ عَلَى الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ إِنَّمَا رَدَّ شَهَادَةَ أُمِّ الزَّوْجَيْنِ مِنَ النَّسَبِ وَلَمْ يَرُدَّ شَهَادَةَ أُمِّ الْمُرْضِعَةِ؟ لِأَنَّ أُبُوَّةَ الرَّضَاعِ لَا تَمْنَعُ مِنْ قَبُولِ الشَّهَادَةِ وَإِنَّمَا منعت أبوة النسب منها.

Ini adalah kekeliruan darinya terhadap Imam Syafi‘i, karena Imam Syafi‘i hanya menolak kesaksian ibu dari kedua pasangan suami istri dalam hal nasab, dan tidak menolak kesaksian ibu dari ibu susu. Sebab, hubungan keibuan karena persusuan tidak menghalangi diterimanya kesaksian, sedangkan yang menghalangi adalah hubungan keibuan karena nasab.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُوقَفْنَ حَتَّى يَشْهَدْنَ أَنْ قَدْ رَضَعَ الْمَوْلُودُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ يَخْلُصْنَ كُلُّهُنَّ إِلَى جَوْفِهِ وَتَسَعُهُنَّ الشهادة على هذا لأنه ظاهر علمهن وذكرت السوداء أنها أرضعت رجلاً وامرأة تناكحا فسال الرجل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن ذلك فأعرض فقال ” وكيف وقد زعمت السوداء أنها قد ارضعتكما ” (قال الشافعي) إعراضه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يشبه أن يكون لم ير هذا شهادة تلزمه وقوله ” وكيف وقد زعمت السوداء أنها قد أرضعتكما ” يشبه أن يكره له أن يقيم معها وقد قيل إنها أخته من الرضاعة وهو معنى ما قلنا يتركها ورعاً لا حكما “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Mereka (para saksi) ditahan hingga mereka bersaksi bahwa bayi tersebut telah menyusu sebanyak lima kali susuan yang seluruhnya masuk ke dalam perutnya, dan kesaksian mereka diterima atas hal ini karena itu adalah perkara yang mereka ketahui secara jelas. Seorang wanita berkulit hitam pernah menyatakan bahwa ia telah menyusui seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kemudian menikah, lalu laki-laki itu bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hal itu, maka beliau berpaling darinya dan bersabda: ‘Bagaimana bisa, sementara wanita berkulit hitam itu mengaku telah menyusui kalian berdua?’ (Imam Syafi‘i berkata:) Berpalingnya Nabi ﷺ tampaknya karena beliau tidak menganggap hal itu sebagai kesaksian yang mewajibkan hukum, dan sabdanya ‘Bagaimana bisa, sementara wanita berkulit hitam itu mengaku telah menyusui kalian berdua?’ tampaknya menunjukkan bahwa beliau tidak menyukai jika laki-laki itu tetap bersama wanita tersebut, karena telah dikatakan bahwa ia adalah saudara sesusuan, dan ini bermakna sebagaimana yang kami katakan: hendaknya ia meninggalkannya sebagai sikap wara‘ (kehati-hatian), bukan sebagai hukum.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لَا تُسْمَعُ الشَّهَادَةُ عَلَى الرَّضَاعِ مَعَ اخْتِلَافِ النَّاسِ فِيهِ إِلَّا مَشْرُوحَةً يَنْتَفِي عَنْهَا الِاحْتِمَالُ وَيَنْقَطِعُ بِهَا النِّزَاعُ، فَإِذَا شَهِدْنَ أَنَّهُمَا أَخَوَانِ مِنَ الرَّضَاعِ لَمْ تسمع شهادتين حَتَّى يَصِفْنَ الرَّضَاعَ، وَيَذْكُرْنَ الْعَدَدَ وَصِفَةَ الرَّضَاعِ فَجَمَعَ ثَلَاثَةَ شُرُوطٍ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, kesaksian tentang persusuan tidak diterima jika terjadi perbedaan pendapat di antara manusia kecuali jika dijelaskan secara rinci sehingga tidak ada kemungkinan lain dan perselisihan pun terputus karenanya. Maka jika para saksi hanya bersaksi bahwa keduanya adalah saudara sesusuan, kesaksian mereka tidak diterima sampai mereka menjelaskan rincian persusuan, menyebutkan jumlah dan sifat persusuan tersebut. Maka terkumpullah tiga syarat:

أَحَدُهَا: مُعَايَنَةُ الْتِقَامِ الْمَوْلُودِ لِثَدْيِ الْمَرْأَةِ، لِأَنَّ هَذَا إِنَّمَا يُعَايَنُ وَيُشَاهَدُ فَلَمْ يُعْمَلْ فِيهِ عَلَى الِاسْتِدْلَالِ كَالْقَاتِلِ وَالْمَقْتُولِ، وَالْغَاصِبِ وَالْمَغْصُوبِ، فَلَوْ دَخَلَ الْمَوْلُودُ فِي ثِيَابِ الْمُرْضِعَةِ مُسْتَتِرًا بِهَا لَمْ تَصِحَّ شهادتين بِالرَّضَاعِ لِعَدَمِ الرُّؤْيَةِ قَطْعًا.

Pertama: Menyaksikan secara langsung bayi tersebut mengisap payudara wanita (ibu susu), karena hal ini memang harus disaksikan secara langsung dan tidak cukup dengan dugaan, sebagaimana dalam kasus pembunuh dan korban, atau perampas dan yang dirampas. Jika bayi masuk ke dalam pakaian ibu susu dan tersembunyi di dalamnya, maka kesaksian tentang persusuan tidak sah karena tidak ada penglihatan secara pasti.

وَالثَّانِي: أَنْ يَشْهَدْنَ أَنَّ فِي ضَرْعِ الْمُرْضِعَةِ لَبَنًا بِفِعْلِ الْمَفْطُومِ، وَعِلْمُهُنَّ بِوُجُودِ اللَّبَنِ فِي الثَّدْيِ يَكُونُ بِأَنْ يُحْلَبَ فَيُرَى لَبَنُهُ، وَهَذَا مُحْتَاجٌ إِلَيْهِ فِي الرجعة الْأُولَى فَأَمَّا فِيمَا بَعْدَهَا إِلَى اسْتِكْمَالِ الْخَمْسِ فَلَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ إِنْ قَرُبَ الزَّمَانُ لِتَقَدُّمِ الْعِلْمِ بِهِ، وَيُحْتَاجُ إِلَى مُشَاهَدَتِهِ بَعْدَ تَطَاوُلِ الزَّمَانِ وَبَعْدَهُ.

Kedua: Para saksi harus bersaksi bahwa di payudara ibu susu terdapat susu akibat perbuatan anak yang disapih, dan pengetahuan mereka tentang adanya susu di payudara didapatkan dengan cara diperah lalu terlihat susunya. Hal ini diperlukan pada susuan pertama, adapun pada susuan berikutnya hingga genap lima kali, tidak diperlukan lagi jika waktunya berdekatan karena sudah diketahui sebelumnya, namun perlu disaksikan kembali jika waktunya sudah lama berlalu.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَشْهَدْنَ بِوُصُولِ اللَّبَنِ إِلَى جَوْفِهِ، وَهَذَا يُعْمَلُ فِيهِ عَلَى الِاسْتِدْلَالِ لِأَنَّ الشَّهَادَةَ فِيهِ مُتَعَذِّرَةٌ، لِأَنَّهُ إِذَا عُلِمَ جُوعُ الطِّفْلِ، وَقَدِ الْتَقَمَ الثَّدْيِ وَمَصَّهُ وَتَحَرَّكَ حُلْقُومُهُ حَرَكَةَ الشُّرْبِ وَسَكَنَ مَا كَانَ فِيهِ من الهتم بِالْتِقَامِ الثَّدْيِ عُلِمَ وُصُولُ اللَّبَنِ إِلَى جَوْفِهِ بِظَاهِرِ الِاسْتِدْلَالِ، وَغَالِبِ الظَّنِّ الَّذِي لَا يُوجَدُ طريقاً إِلَى الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ فَجَازَتِ الشَّهَادَةُ بِهِ قَطْعًا مَعَ عَدَمِ الْمُشَاهَدَةِ، لِأَنَّهَا غَايَةُ مَا يُعْلَمُ بِهِ مِثْلُهُ كَالشَّهَادَةِ بِالْأَنْسَابِ وَالْأَمْلَاكِ حَيْثُ جَازَتْ بِشَائِعِ الْخَبَرِ فَتَحَرَّرَتْ بِصِفَةِ الشَّهَادَةِ هَذِهِ الشُّرُوطُ أن يشهدن فيقلن نشهد أنه التقم ثدييها، وَفِيهِ لَبَنٌ ارْتَضَعَ خَمْسَ رَضَعَاتٍ وَصَلْنَ كُلُّهُنَّ إلى جوفه فيحكم حينئذ بشهادتين لا ينفى الاحتمال عنها.

Ketiga: Para saksi harus bersaksi bahwa susu tersebut sampai ke perut bayi, dan dalam hal ini diperbolehkan menggunakan indikasi (istidlal), karena kesaksian secara langsung sulit dilakukan. Jika diketahui bayi sedang lapar, lalu ia mengisap payudara dan menghisapnya, serta kerongkongannya bergerak seperti orang minum, dan hilanglah suara tangisannya karena mengisap payudara, maka diketahui bahwa susu telah sampai ke perutnya berdasarkan indikasi yang jelas dan dugaan kuat yang tidak mungkin ditambah lagi. Maka kesaksian atas hal ini boleh secara pasti meskipun tanpa melihat langsung, karena itu adalah batas maksimal pengetahuan dalam kasus seperti ini, sebagaimana kesaksian tentang nasab dan kepemilikan yang boleh berdasarkan berita yang masyhur. Maka dengan demikian, syarat-syarat kesaksian ini menjadi jelas, yaitu para saksi berkata: “Kami bersaksi bahwa ia telah mengisap payudara wanita itu, dan di dalamnya ada susu, ia telah menyusu sebanyak lima kali susuan yang seluruhnya sampai ke perutnya.” Maka pada saat itu, hukum ditetapkan dengan dua kesaksian yang tidak ada kemungkinan lain padanya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَالَ رَجُلٌ هَذِهِ أُخْتِي مِنَ الرَّضَاعَةِ أَوْ قَالَتْ هَذَا أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ وَكَذَّبَتْهُ أَوْ كَذَّبَهَا فَلَا يَحِلُّ لِوَاحِدٍ مِنْهَا أَنْ يَنْكِحَ الْآخَرَ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang laki-laki berkata, ‘Ini adalah saudara perempuanku karena persusuan,’ atau seorang perempuan berkata, ‘Ini adalah saudaraku karena persusuan,’ lalu salah satu dari mereka mendustakan yang lain, maka tidak halal bagi salah satu dari keduanya untuk menikahi yang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ لَا نِكَاحَ بَيْنَهُمَا فَأَقَرَّ الرَّجُلُ أَنَّهَا أُخْتُهُ مِنَ الرَّضَاعَةِ أَوْ بِنْتُهُ أَوْ أُمُّهُ، أَوْ أَقَرَّتِ الْمَرْأَةُ بِأَنَّهُ أَخُوهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ، أَوِ ابْنُهَا أَوْ أَبُوهَا كَانَ قَوْلُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي التَّحْرِيمِ مَقْبُولًا عَلَيْهَا إِذَا كَانَ مُمْكِنًا سَوَاءٌ صَدَّقَهُ صَاحِبُهُ عَلَيْهِ أَوْ كَذَّبَهُ، وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ وَاسْتَحَالَ مِثْلَ أَنْ يَتَسَاوَى بَيْنَهُمَا أَوْ يَتَقَارَبَ فَتَقُولَ الْمَرْأَةُ: هَذَا أَبِي مَنَ الرَّضَاعَةِ، أَوْ يَقُولَ الرَّجُلُ: هَذِهِ أُمِّي مِنَ الرَّضَاعَةِ فَيُعْلَمَ اسْتِحَالَةُ هَذَا الْإِقْرَارِ فَيَكُونُ مَرْدُودًا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ التَّحْرِيمُ.

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan pernikahan di antara keduanya, lalu laki-laki itu mengakui bahwa perempuan tersebut adalah saudara perempuannya karena sesusuan, atau anak perempuannya, atau ibunya; atau perempuan itu mengakui bahwa laki-laki tersebut adalah saudara laki-lakinya karena sesusuan, atau anak laki-lakinya, atau ayahnya. Maka, pengakuan masing-masing dari mereka dalam hal pengharaman (hubungan) diterima atas dirinya jika hal itu memungkinkan, baik pasangannya membenarkan pengakuan tersebut atau mendustakannya. Namun, jika tidak memungkinkan dan mustahil, seperti jika usia mereka sama atau berdekatan, lalu perempuan berkata, “Ini adalah ayahku karena sesusuan,” atau laki-laki berkata, “Ini adalah ibuku karena sesusuan,” sehingga diketahui kemustahilan pengakuan tersebut, maka pengakuan itu ditolak dan tidak berakibat hukum pengharaman.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يُقْبَلُ الْإِقْرَارُ وَيَثْبُتُ بِهِ التَّحْرِيمُ مَعَ اسْتِحَالَتِهِ الْتِزَامًا لِلْإِقْرَارِ، وَتَغْلِيبًا لِلْحَظْرِ وَبِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِيمَنْ قَالَ لِعَبْدٍ لَهُ هُوَ أَكْبَرُ سِنًّا مِنْهُ، أَنْتَ ابْنِي، عَتَقَ عَلَيْهِ مَعَ اسْتِحَالَةِ بُنُوَّتِهِ وَهَذَا قَوْلٌ مُسْتَهْجَنٌ يَدْفَعُهُ الْمَعْقُولُ وَالْكَلَامُ عَلَيْهِ يَأْتِي بَعْدُ، فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا وَحُكِمَ بِتَحْرِيمِ الرَّضَاعِ بَيْنَهُمَا بِوُجُودِ الْإِقْرَارِ مِنْ أَحَدِهِمَا لَمْ يُحْتَجْ فِي الْإِقْرَارِ إِلَى صِفَةِ الرَّضَاعِ وَذِكْرِ الْعَدَدِ بِخِلَافِ الشَّهَادَةِ لِأَمْرَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Pengakuan itu diterima dan dengannya ditetapkan hukum pengharaman, meskipun secara akal mustahil, sebagai bentuk komitmen terhadap pengakuan dan mengedepankan kehati-hatian (dalam larangan), serta berdasarkan pendapat dasarnya dalam kasus seseorang berkata kepada budaknya yang usianya lebih tua darinya, “Engkau adalah anakku,” maka budak itu menjadi merdeka atasnya meskipun mustahil secara akal adanya hubungan anak. Ini adalah pendapat yang diingkari dan ditolak oleh akal sehat, dan pembahasan tentangnya akan dijelaskan kemudian. Maka, jika telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan dan telah diputuskan adanya pengharaman karena sesusuan di antara keduanya dengan adanya pengakuan dari salah satu pihak, maka dalam pengakuan itu tidak disyaratkan penjelasan tentang sifat (cara) sesusuan dan penyebutan jumlah (susuan), berbeda dengan kesaksian, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّهَادَةَ لَا تَصِحُّ إِلَّا عَنْ مُشَاهَدَةٍ فَاسْتَوْفَى فِيهَا شُرُوطَ الْمُشَاهَدَةِ وَالْإِقْرَارُ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى الْمُشَاهَدَةِ، لِأَنَّهُ لَا يُشَاهِدُ رَضَاعَ نَفْسِهِ مِنْ لَبَنِ أُمِّهِ، وَإِنَّمَا يَعْمَلُ عَلَى الْخَبَرَ الَّذِي يُوَثَّقُ لَهُ فَيُصَدِّقُهُ.

Pertama: Kesaksian tidak sah kecuali berdasarkan penglihatan langsung, sehingga harus memenuhi syarat-syarat penglihatan, sedangkan pengakuan tidak memerlukan penglihatan langsung, karena seseorang tidak mungkin menyaksikan dirinya sendiri menyusu dari ibunya, melainkan hanya berdasarkan berita yang diyakini kebenarannya sehingga ia membenarkannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ فِي الشَّهَادَةِ الْتِزَامَ حَقٍّ عَلَى غَيْرِ الْمُشَاهِدِ فَبُنِيَ عَلَى الِاحْتِيَاطِ فِي نَفْيِ الِاحْتِمَالِ، وَالْإِقْرَارُ الْتِزَامُ حَقٍّ عَلَى النَّفْسِ فَكَانَ في ترك الاحتياط تقصير عن المقر فالتزام حُكْمُ إِقْرَارِهِ هَذَا فِيمَا تَعَلَّقَ بِصِفَةِ الرَّضَاعِ.

Kedua: Dalam kesaksian terdapat komitmen terhadap hak atas orang lain yang tidak menyaksikan, sehingga dibangun atas prinsip kehati-hatian dalam menafikan kemungkinan, sedangkan pengakuan adalah komitmen terhadap hak atas diri sendiri, sehingga jika tidak berhati-hati, maka itu adalah kekurangan dari pihak yang mengakui, sehingga wajib menetapkan hukum atas pengakuannya ini dalam hal yang berkaitan dengan sifat sesusuan.

فَأَمَّا الْعَدَدُ فَمُعْتَبِرٌ بِحَالِ الْإِقْرَارِ فَإِنْ قَالَ الرَّجُلُ: بَيْنِي وَبَيْنَهَا رَضَاعٌ افْتَقَرَ التَّحْرِيمُ إِلَى ذِكْرِ الْعَدَدِ، وَإِنْ قَالَ: هِيَ أُخْتِي مِنَ الرَّضَاعِ لَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى ذِكْرِ الْعَدَدِ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ، لِأَنَّ فِي اعْتِرَافِهِ بِأُخُوَّتِهَا الْتِزَامًا بِحُكْمِ التَّحْرِيمِ بِالْعَدَدِ الْمُحَرَّمِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ احْتَمَلَ وَجْهَيْنِ:

Adapun mengenai jumlah (susuan), maka tergantung pada bentuk pengakuan. Jika laki-laki berkata, “Antara aku dan dia ada hubungan sesusuan,” maka pengharaman membutuhkan penyebutan jumlah (susuan). Namun jika ia berkata, “Dia adalah saudara perempuanku karena sesusuan,” maka tidak membutuhkan penyebutan jumlah jika ia termasuk ahli ijtihad, karena dalam pengakuannya sebagai saudara perempuan terdapat komitmen terhadap hukum pengharaman dengan jumlah susuan yang mengharamkan. Namun jika ia bukan dari kalangan ahli ijtihad, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ ذِكْرُ الْعَدَدِ وَيُرْجَعُ فِيهِ إِلَيْهِ بَعْدَ إِقْرَارِهِ بِجَهْلِهِ بِالتَّحْرِيمِ الْمُحْتَمَلِ.

Pertama: Ia wajib menyebutkan jumlah (susuan) dan dikembalikan kepadanya setelah ia mengakui ketidaktahuannya terhadap pengharaman yang mungkin terjadi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُ ذِكْرُ الْعَدَدِ، وَلَا يُرْجَعُ فِيهِ إِلَيْهِ بَعْدَ إِطْلَاقِ الْإِقْرَارِ بِالتَّحْرِيمِ كَمَا لَا يُرْجَعُ إِلَيْهِ فِي صِفَةِ الطَّلَاقِ بَعْدَ إِقْرَارِهِ بِهِ كَمَا لَوْ أَقَرَّ بِأَنَّهَا أُخْتُهُ مِنَ النَّسَبِ.

Kedua: Tidak wajib menyebutkan jumlah, dan tidak dikembalikan kepadanya setelah ia mengucapkan pengakuan secara mutlak tentang pengharaman, sebagaimana tidak dikembalikan kepadanya dalam sifat talak setelah ia mengakuinya, sebagaimana jika ia mengakui bahwa perempuan itu adalah saudara perempuannya karena nasab.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَاهُ مِنْ ثُبُوتِ التَّحْرِيمِ بِإِقْرَارِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَإِنَّهُمَا يمنعان من النكاح، فإن تناحكا فُسِخَ النِّكَاحُ عَلَيْهِمَا وَلَا مَهْرَ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا سَوَاءٌ كَانَ الْإِقْرَارُ مِنْ جِهَتِهَا أَوْ مِنْ جِهَتِهِ لِفَسَادِ النِّكَاحِ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا حُدَّا إِنْ عَلِمَا تَحْرِيمَ الرضاع، ولا تحد عَلَيْهِمَا، إِنْ لَمْ يَعْلَمَا وَلَا مَهْرَ لَهَا إِنْ حُدَّتْ وَلَهَا الْمَهْرُ إِنْ لَمْ تُحَدَّ، وَلَكِنْ لَوْ كَانَتْ أَمَةً فَوَطِئَهَا بِمِلْكِ الْيَمِينِ كَانَ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِمَا مَعَ عِلْمِهِمَا بِالتَّحْرِيمِ قَوْلَانِ، كَالْأُخْتِ مِنَ النَّسَبِ.

Jika telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan tentang adanya pengharaman dengan pengakuan masing-masing dari keduanya, maka keduanya terhalang dari pernikahan. Jika mereka tetap menikah, maka pernikahan itu dibatalkan atas keduanya dan tidak ada mahar baginya jika belum terjadi hubungan (jima’), baik pengakuan itu dari pihak perempuan maupun dari pihak laki-laki, karena rusaknya pernikahan di antara keduanya. Jika telah terjadi hubungan, maka keduanya dikenai had jika keduanya mengetahui keharaman karena sesusuan. Namun, jika keduanya tidak mengetahui, maka tidak dikenai had atas keduanya. Tidak ada mahar baginya jika ia dikenai had, dan ia berhak atas mahar jika tidak dikenai had. Namun, jika perempuan itu adalah seorang budak lalu digauli oleh tuannya dengan hak milik, maka dalam kewajiban had atas keduanya jika keduanya mengetahui keharaman, terdapat dua pendapat, seperti halnya saudara perempuan karena nasab.

فَلَوْ رَجَعَا عن الرضاع بعد إقراراهما اعْتُبِرَ حَالُ إِقْرَارِهِمَا، فَإِنْ لَزِمَهُمَا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ لِعِلْمِهِمَا بِهِ لَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهُمَا فِيهِ ظَاهِرًا وَلَا بَاطِنًا، وَإِنْ لَزِمَهُمَا إِقْرَارُهُمَا فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ لِجَهْلِهِمَا بِهِ لَمْ يُقْبَلْ رجوعهما ظاهراً، وقيل بَاطِنًا.

Jika keduanya (suami-istri) menarik kembali pengakuan mereka tentang radā‘ (persusuan) setelah sebelumnya mengakuinya, maka yang menjadi acuan adalah keadaan saat mereka mengaku. Jika pengakuan itu mengikat mereka secara lahir dan batin karena mereka mengetahuinya, maka penarikan kembali pengakuan itu tidak diterima baik secara lahir maupun batin. Namun, jika pengakuan itu hanya mengikat mereka secara lahir saja, tidak secara batin karena ketidaktahuan mereka, maka penarikan kembali pengakuan itu tidak diterima secara lahir, dan ada pendapat yang mengatakan tidak diterima juga secara batin.

فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوِ ادَّعَتِ امْرَأَةٌ عَلَى رَجُلٍ عَقْدَ نِكَاحٍ وَأَنْكَرَهَا ثُمَّ اعْتَرَفَ بِهَا حَلَّتْ لَهُ؟ فَهَلَّا كَانَ فِي الرَّضَاعِ كَذَلِكَ؟

Jika ada yang bertanya: Bukankah jika seorang wanita mengaku pernah menikah dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu mengingkarinya, kemudian ia mengakuinya, maka wanita itu menjadi halal baginya? Mengapa dalam masalah radā‘ tidak berlaku demikian?

قِيلَ لِأَنَّ تَحْرِيمَ الَّتِي أَنْكَرَهَا غَيْرُ مُؤَبَّدٍ، فَجَازَ أَنْ يَسْتَبِيحَهَا بِالِاعْتِرَافِ، وَتَحْرِيمَ الرَّضَاعِ مؤبد فلم يستبحها بالاعتراف.

Dijawab: Karena keharaman wanita yang diingkari itu tidak bersifat permanen, sehingga boleh baginya menghalalkan wanita tersebut dengan pengakuan. Adapun keharaman karena radā‘ bersifat permanen, maka tidak dapat dihalalkan hanya dengan pengakuan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَقَرَّ بِذَلِكَ بَعْدَ عَقْدِ نِكَاحِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ كَذَّبَتْهُ أَخَذَتْ نِصْفَ مَا سُمِّيَ لَهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang mengakui hal itu (radā‘) setelah akad nikahnya, maka keduanya dipisahkan. Jika istrinya mendustakannya, maka ia berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditetapkan untuknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَقُلْنَا إِنَّ دَعْوَى أَحَدِهِمَا لِلرِّضَاعِ بَعْدَ وُجُودِ العقد بينهما مقبول فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ مِنْ قِبَلِ الزَّوْجِ، وَغَيْرُ مَقْبُولٍ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا فِي أَنَّ الْفُرْقَةَ يَمْلِكُهَا الزَّوْجُ ولا تملكها، فَلِذَلِكَ قُبِلَ فِي الْفُرْقَةِ قَوْلُ الزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ، فَأَمَّا سُقُوطُ الْمَهْرِ قَبْلَ الدُّخُولِ وَالِانْتِقَالُ إِلَى مَهْرِ الْمِثْلِ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَا يُقْبَلُ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجِ، وَإِنْ قُبِلَ قَوْلُهُ فِي الْفُرْقَةِ، لِأَنَّ الْعَقْدَ حَقٌّ لَهُ وَالْمَهْرَ حَقٌّ عَلَيْهِ فَقُبِلَ قَوْلُهُ فِيمَا لَهُ، وَلَمْ يُقْبَلْ فِيمَا عَلَيْهِ فَتَحْلِفُ الزَّوْجَةُ إِذَا أَكْذَبَتْهُ وَتَسْتَحِقُّ نِصْفَ الْمُسَمَّى قَبْلَ الدُّخُولِ وَجَمِيعَهُ بَعْدَهُ وَيَمِينُهَا عَلَى الْعِلْمِ، لِأَنَّهَا عَلَى نَفْيٍ فِي فِعْلِ الْغَيْرِ فَتَحْلِفُ بِاللَّهِ أَنَّهَا لَا تَعْلَمُ أَنَّ بَيْنَهُمَا رَضَاعًا فَإِنْ نَكَلَتْ عَنْهَا رُدَّتْ عَلَى الزَّوْجِ وَحَلَفَ عَلَى الْبَتِّ بِاللَّهِ أَنَّ بَيْنَهُمَا رَضَاعًا يَصِفُهُ، لِأَنَّ يَمِينَهُ كَالْبَيِّنَةِ.

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya, dan kami telah sampaikan bahwa pengakuan salah satu dari keduanya tentang radā‘ setelah terjadinya akad antara mereka diterima dalam hal terjadinya perpisahan dari pihak suami, namun tidak diterima dari pihak istri, karena telah dijelaskan perbedaan antara keduanya, yaitu bahwa hak perpisahan dimiliki oleh suami dan tidak dimiliki oleh istri. Oleh sebab itu, dalam hal perpisahan, yang diterima adalah pernyataan suami, bukan istri. Adapun mengenai gugurnya mahar sebelum terjadi hubungan suami istri dan berpindahnya kepada mahar mitsil setelah terjadi hubungan, maka dalam hal ini pernyataan suami tidak diterima, meskipun pernyataannya diterima dalam hal perpisahan. Sebab, akad adalah hak suami, sedangkan mahar adalah kewajiban atasnya. Maka diterima pernyataannya dalam hal yang menjadi haknya, dan tidak diterima dalam hal yang menjadi kewajibannya. Oleh karena itu, jika istri mendustakannya, ia harus bersumpah dan berhak atas setengah mahar yang telah ditetapkan sebelum terjadi hubungan, dan seluruhnya setelah terjadi hubungan. Sumpahnya atas dasar pengetahuan, karena ia bersumpah atas penafian terhadap perbuatan orang lain, maka ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak mengetahui adanya radā‘ di antara mereka. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada suami, dan suami bersumpah secara pasti dengan nama Allah bahwa di antara mereka ada radā‘ yang ia sebutkan, karena sumpahnya seperti bukti.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ هِيَ الْمُدَّعِيَةَ أَفْتَيْتُهُ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ وَيَدَعَ نِكَاحَهَا بِطَلْقَةٍ لِتَحِلَّ بِهَا لِغَيْرِهِ إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً وَأُحَلِّفُهُ لَهَا فَإِنْ نَكَلَ حَلَفَتْ وَفَرَّقْتُ بَيْنَهُمَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika istri yang mengaku (ada radā‘), aku fatwakan kepada suami agar bertakwa kepada Allah dan menceraikannya dengan satu talak agar ia halal bagi laki-laki lain jika ia (istri) berdusta. Aku juga meminta suami bersumpah untuknya. Jika suami enggan, maka istri yang bersumpah dan aku pisahkan keduanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا ادَّعَتِ الزَّوْجَةُ بِالرَّضَاعِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الزوج معها من ثلاثة أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Jika istri mengaku adanya radā‘, maka keadaan suami bersamanya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يُصَدِّقُهَا فَيُفْسَخَ النِّكَاحُ بِتَصْدِيقِهِ وَيَسْقُطَ الْمَهْرُ الْمُسَمَّى بِدَعْوَاهَا وَتَحِلَّ لِلْأَزْوَاجِ بَعْدَ عِدَّتِهَا.

Pertama: Suami membenarkannya, maka nikah dibatalkan dengan pembenarannya, mahar yang telah ditetapkan gugur karena pengakuan istri, dan ia (istri) menjadi halal bagi laki-laki lain setelah masa iddahnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُكَذِّبَهَا فَلَا يُقْبَلَ دَعْوَاهَا عَلَيْهِ وَيَحْلِفَ لَهَا الزَّوْجُ، وَيَكُونَانِ عَلَى النِّكَاحِ وَفِي صِفَةِ يَمِينِهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Suami mendustakannya, maka pengakuan istri tidak diterima terhadap suami, dan suami bersumpah untuknya, lalu keduanya tetap dalam status pernikahan. Dalam sifat sumpah suami ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا عَلَى الْعِلْمِ كَيَمِينِ الزَّوْجَةِ إِذَا أَنْكَرَتِ الرَّضَاعَ.

Pertama: Sumpah itu atas dasar pengetahuan, sebagaimana sumpah istri jika ia mengingkari adanya radā‘.

وَالثَّانِي: عَلَى الْبَتِّ وَالْقَطْعِ.

Kedua: Sumpah itu secara pasti dan tegas.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ يَمِينِ الزَّوْجِ وَيَمِينِ الزَّوْجَةِ، وَإِنْ كَانَتَا عَلَى نَفْيِ فِعْلِ الْغَيْرِ أَنَّ فِي يَمِينِ الزَّوْجِ مَعَ تَصْحِيحِ الْعَقْدِ فِيمَا مَضَى إِثْبَاتَ اسْتِبَاحَةٍ فِي الْمُسْتُقْبَلِ فَكَانَتْ عَلَى الْبَتِّ تَغْلِيظًا، وَيَمِينُ الزَّوْجَةِ لِبَقَاءِ حَقٍّ وَجَبَ بِالْعَقْدِ فَكَانَتْ عَلَى الْعِلْمِ تَحْقِيقًا، فَإِنْ كَانَ نَكَلَ الزَّوْجُ عَنْهَا رُدَّتْ عَلَى الزَّوْجَةِ، وَحَلَفَتْ عَلَى الْبَتِّ، لِأَنَّهَا يَمِينُ إثبات فكانت على البت.

Perbedaan antara sumpah suami dan sumpah istri, meskipun keduanya sama-sama menafikan perbuatan orang lain, adalah bahwa dalam sumpah suami, dengan tetap sahnya akad yang telah lalu, terdapat penetapan kebolehan (hubungan) di masa mendatang, sehingga sumpahnya dilakukan secara pasti sebagai bentuk penegasan. Sedangkan sumpah istri untuk mempertahankan hak yang telah ditetapkan dengan akad, maka sumpahnya atas dasar pengetahuan sebagai bentuk penegasan. Jika suami enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada istri, dan ia bersumpah secara pasti, karena sumpah itu adalah sumpah penetapan, sehingga dilakukan secara pasti.

والحال الثانية: أَنْ يَسْكُتَ فَلَا يَقَعَ فِي نَفْسِهِ صِدْقُهَا وَلَا كَذِبُهَا فَفِي جَوَازِ إِحْلَافِهِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى الْوَجْهَيْنِ فِي صِفَةِ يَمِينِهِ.

Kemungkinan kedua: Suami diam, sehingga dalam dirinya tidak ada keyakinan akan kebenaran maupun kedustaan istrinya. Dalam hal kebolehan meminta sumpah darinya terdapat dua pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam sifat sumpahnya.

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يَحْلِفَ إِذَا قِيلَ إِنَّ يَمِينَهُ عَلَى نَفْيِ الْعِلْمِ، وَلَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا حُكْمًا وَيَخْتَارَ أَنْ يُفَارِقَهَا وَرَعًا.

Yang pertama: Boleh baginya untuk bersumpah jika dikatakan bahwa sumpahnya atas dasar menafikan pengetahuan, dan ia boleh menikmati istrinya secara hukum serta memilih untuk berpisah dengannya sebagai sikap wara‘ (kehati-hatian).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ أَنْ يَحْلِفَ إِذَا قِيلَ: إِنَّ يَمِينَهُ عَلَى الْبَتِّ، وَيَكُونَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ:

Dan pendapat kedua: Tidak boleh baginya untuk bersumpah jika dikatakan bahwa sumpahnya atas dasar kepastian, dan ia diberi pilihan antara dua hal:

إِمَّا أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهَا الْيَمِينَ فَإِذَا حَلَفَتْ فُسِخَ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا، وَإِمَّا أَنْ يُطَلِّقَهَا وَاحِدَةً لِتَحِلَّ لِغَيْرِهِ مِنَ الْأَزْوَاجِ، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَأَفْتَيْتُهُ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ وَيَدَعَ نِكَاحَهَا بِطَلْقَةٍ وَهَذَا أَوْلَى الْأَمْرَيْنِ، لِأَنَّهَا تَسْتَبِيحُ الْأَزْوَاجَ بِيَقِينٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا إِنْ كَانَتْ فِي دَعْوَى الرَّضَاعِ صَادِقَةً فَالنِّكَاحُ مَفْسُوخٌ، وَالطَّلَاقُ وَإِنْ لَمْ يَقَعْ فَلَيْسَ بِضَارٍّ، وَإِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً حَلَّتْ بِالطَّلَاقِ لِلْأَزْوَاجِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Yaitu, apakah ia mengembalikan sumpah itu kepada istrinya, maka jika istrinya bersumpah, nikah antara keduanya dibatalkan; atau ia menceraikannya satu kali agar istrinya halal bagi laki-laki lain, dan inilah makna perkataan asy-Syafi‘i, dan aku berfatwa agar ia bertakwa kepada Allah dan meninggalkan pernikahannya dengan satu talak, dan ini adalah yang lebih utama di antara dua pilihan tersebut, karena dengan demikian ia menjadi halal bagi suami-suami lain dengan keyakinan yang disepakati, sebab jika ia benar dalam klaim radha‘ (persusuan), maka nikahnya batal, dan talak meskipun tidak terjadi, tidaklah membahayakan; dan jika ia berdusta, maka ia menjadi halal bagi suami-suami lain dengan talak, dan Allah Maha Mengetahui.

باب رضاع الخنثى

(Bab Radha‘ bagi Khuntsa)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” إِنْ كَانَ الْأَغْلَبُ مِنَ الْخُنْثَى أَنَّهُ رَجُلٌ نَكَحَ امْرَأَةً وَلَمْ يُنْزِلْ فَنَكَحَهُ رَجُلٌ فَإِذَا نَزَلَ لَهُ لَبَنٌ فَأَرْضَعَ بِهِ صَبِيًّا لَمْ يَكُنْ رَضَاعًا يُحَرِّمُ وَإِنْ كَانَ الْأَغْلَبُ أَنَّهُ امْرَأَةٌ فَنَزَلَ لَهُ لَبَنٌ مِنْ نِكَاحٍ أَوْ غَيْرِهِ فَأَرْضَعَ صَبِيًّا حَرَّمَ وَإِنْ كَانَ مُشْكِلًا فَلَهُ أَنْ يُنْكَحَ بِأَيِّهِمَا شَاءَ وَبِأَيِّهِمَا نُكِحَ به أولاً أجزته ولم أجعل له يُنْكَحَ بِالْآخَرِ “.

Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika yang lebih dominan dari khuntsa adalah laki-laki, lalu ia menikahi seorang wanita dan tidak mengeluarkan mani, kemudian ia dinikahi oleh seorang laki-laki, lalu keluar air susu darinya dan ia menyusui seorang anak, maka itu bukanlah radha‘ yang menyebabkan keharaman. Namun jika yang lebih dominan adalah perempuan, lalu keluar air susu darinya baik karena pernikahan atau sebab lain, lalu ia menyusui seorang anak, maka itu menyebabkan keharaman. Dan jika statusnya masih musykil (samar), maka boleh ia dinikahkan dengan siapa saja yang ia kehendaki, dan dengan siapa pun ia pertama kali dinikahkan, aku membolehkannya dan tidak membolehkannya untuk dinikahkan dengan yang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ تَكَرَّرَ فِي كِتَابِنَا هَذَا ذِكْرُ الْخُنْثَى، وَذَكَرْنَا فِي كُلِّ مَوْضِعٍ مِنْهُ مِنْ أَحْكَامِهِ طَرَفًا وَالْأَصْلُ فِيهِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَلَقَ الْحَيَوَانَ ذُكُورًا وَإِنَاثًا جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الشَّبَهِ لِيَأْنَسَ الذَّكُورُ بِالْإِنَاثِ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا فِي آلَةِ التَّنَاسُلِ فَجَعَلَ لِلرَّجُلِ ذَكَرًا وَلِلْمَرْأَةِ فَرْجًا لِيَجْتَمِعَا عَلَى الْغَشَيَانِ بِمَا رَكَّبَهُ فِي طِبَاعِهِمَا مِنْ شَهْوَةِ الِاجْتِمَاعِ فَيَمْتَزِجُ الْمَنِيَّانِ فِي قَرَارِ الرَّحِمِ، وَهُوَ مَحَلُّ الْعُلُوقِ لِيَحْفَظُ بِالتَّنَاسُلِ بَقَاءَ الْخَلْقِ فَمَنْ أَفْرَدَهُ بِالذَّكَرِ كَانَ رَجُلًا، وَمَنْ أَفْرَدَهُ بِالْفَرْجِ كَانَ امْرَأَةً، وَمَنْ جَمَعَ هَذَيْنِ الْعُضْوَيْنِ الذَّكَرَ وَالْفَرْجَ فَهُوَ الْخُنْثَى سُمِّيَ بِذَلِكَ لِاشْتِرَاكِ الشَّبَهَيْنِ فِيهِ مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ: تَخَنَّثَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ إِذَا اشْتَبَهَ أَمْرُهُ فَلَمْ يَخْلُصْ طَعْمُهُ الْمَقْصُودُ وَشَارَكَهُ طَعْمٌ غَيْرُهُ، وَرَجُلٌ مُخَنَّثٌ لِأَنَّهُ شُبِّهَ بِالْإِنَاثِ فِي أَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ جَعَلَ لِكُلٍّ وَاحِدٍ مِنْ عُضْوَيِ الذَّكَرِ وَالْفَرْجِ مَنْفَعَتَيْنِ عَامَّةٍ وَخَاصَّةٍ فَالْمَنْفَعَةُ الْعَامَّةُ، هِيَ الْبَوْلُ وَالْمَنْفَعَةُ الْخَاصَّةُ هِيَ غَشَيَانُ التَّنَاسُلِ، فَإِذَا اجْتَمَعَ الْعُضْوَانِ فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ فَكَانَ لَهُ ذَكَرٌ وَفَرْجٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا وَأُنْثَى، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ لَا ذَكَرًا وَلَا أُنْثَى، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ بَعْضُهُ ذَكَرًا وَبَعْضُهُ أُنْثَى لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ خَرْقِ الْعَادَةِ الَّتِي رَكَّبَهَا فِي خَلْقِهِ، وَحَفِظَ بِهَا تَنَاسُلَ الْعَالَمِ وَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ، إِمَّا ذِكْرًا وَإِمَّا أُنْثَى، وَقَدِ اشْتَبَهَ الْأَمْرُ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ الذَّكَرِ الدَّالِّ عَلَى كَوْنِهِ رَجُلًا، وَالْفَرْجِ الدَّالِّ عَلَى كَوْنِهِ امْرَأَةً، فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَدَلَّ عَلَيْهِ بِالْغَالِبِ الظَّاهِرِ مِنْ مَنَافِعِهِمَا، وَهُوَ الْبَوْلُ فَإِنْ بَالَ مِنَ الذَّكَرِ كَانَ رَجُلًا وَكَانَ الْفَرْجُ عُضْوًا زَائِدًا، وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الرِّجَالِ فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهِ، وَإِنْ بَالَ مِنَ الْفَرْجِ كَانَ امْرَأَةً وَكَانَ الذَّكَرُ عُضْوًا زَائِدًا، وَأُجْرِيَ عَلَيْهَا حُكْمُ النِّسَاءِ فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهَا، لِأَنَّ وُجُودَ مَنْفَعَةِ الْعُضْوِ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ مَخْلُوقٌ لَهُ، وَلِذَلِكَ لَمَا سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي غُلَامٍ مَيِّتٍ حُمِلَ إِلَيْهِ مِنَ الْأَنْصَارِ لَهُ ذَكَرٌ وَفَرْجٌ فَقَالَ وَرِّثُوهُ مِنْ حَيْثُ يَبُولُ، وَهَذَا الْخُنْثَى غَيْرُ مُشْكِلٍ، وَإِنْ كَانَ يَبُولُ مِنْهُمَا فَيَخْرُجُ بَوْلُهُ مِنْ ذَكَرِهِ وَمِنْ فَرْجِهِ، وَجَبَ أَنْ يُرَاعَى أَسْبَقُهُمَا بَوْلًا لِقُوَّتِهِ فَيُحْكَمَ بِهِ فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي السَّبْقِ وَجَبَ أَنْ يُرَاعَى آخِرُهُمَا انْقِطَاعًا لِغَلَبَتِهِ فَيُحْكَمَ بِهِ فإن استويا في السبق والخروج غير مشكل.

Al-Mawardi berkata: Dalam kitab kami ini telah berulang kali disebutkan tentang khuntsā, dan kami telah menyebutkan pada setiap tempat tentang sebagian hukum-hukumnya. Pada dasarnya, Allah Ta‘ala menciptakan hewan dalam bentuk jantan dan betina, menggabungkan keduanya dalam kemiripan agar jantan merasa nyaman dengan betina, dan membedakan keduanya dalam alat reproduksi, sehingga Allah menjadikan bagi laki-laki zakar dan bagi perempuan farji, agar keduanya dapat berkumpul dalam hubungan seksual sesuai dengan naluri syahwat yang telah Allah tanamkan pada keduanya, sehingga mani dari keduanya bercampur di rahim, yang merupakan tempat terjadinya pembuahan, agar dengan proses reproduksi tersebut terjaga kelangsungan makhluk. Maka, siapa yang hanya memiliki zakar, ia adalah laki-laki; siapa yang hanya memiliki farji, ia adalah perempuan; dan siapa yang memiliki kedua organ tersebut, zakar dan farji, maka ia adalah khuntsā. Disebut demikian karena adanya dua kemiripan pada dirinya, diambil dari ucapan mereka: “Takhannatha ath-tha‘ām wa asy-syarāb” (makanan dan minuman itu menjadi samar) jika keadaannya tidak jelas sehingga rasanya tidak murni dan bercampur dengan rasa lain. Dan seorang laki-laki disebut mukhannats karena ia menyerupai perempuan dalam ucapan dan perbuatannya. Jika demikian, maka masing-masing dari dua organ, zakar dan farji, memiliki dua manfaat: manfaat umum dan manfaat khusus. Manfaat umum adalah untuk buang air kecil, dan manfaat khusus adalah untuk hubungan seksual. Jika kedua organ tersebut terdapat pada satu orang, sehingga ia memiliki zakar dan farji, maka tidak boleh ia dianggap sebagai laki-laki dan perempuan sekaligus, tidak boleh juga dianggap bukan laki-laki dan bukan perempuan, dan tidak boleh pula sebagian dirinya laki-laki dan sebagian lainnya perempuan, karena hal itu bertentangan dengan kebiasaan yang telah Allah tetapkan dalam penciptaan-Nya dan dengan itu pula Allah menjaga kelangsungan keturunan makhluk. Maka wajib ditetapkan bahwa ia harus salah satu: laki-laki atau perempuan. Namun, karena adanya kerancuan dalam penggabungan antara zakar yang menunjukkan kelelakian dan farji yang menunjukkan keperempuanan, maka harus ditentukan berdasarkan manfaat yang paling dominan dan tampak dari keduanya, yaitu buang air kecil. Jika ia buang air kecil dari zakar, maka ia dianggap laki-laki dan farji menjadi organ tambahan, serta berlaku atasnya hukum-hukum laki-laki dalam seluruh keadaannya. Jika ia buang air kecil dari farji, maka ia dianggap perempuan dan zakar menjadi organ tambahan, serta berlaku atasnya hukum-hukum perempuan dalam seluruh keadaannya. Karena keberadaan manfaat pada organ tersebut menjadi bukti bahwa ia diciptakan untuknya. Oleh karena itu, ketika Rasulullah ﷺ ditanya tentang seorang anak laki-laki yang telah meninggal dari kalangan Anshar yang memiliki zakar dan farji, beliau bersabda: “Wariskanlah ia sesuai dari mana ia buang air kecil.” Inilah khuntsā yang tidak musykil (tidak sulit ditentukan). Namun, jika ia buang air kecil dari keduanya, baik dari zakar maupun dari farji, maka harus diperhatikan mana yang lebih dahulu keluar air kencingnya, karena itu lebih kuat, dan dihukumi berdasarkan hal itu. Jika keduanya sama-sama lebih dahulu, maka harus diperhatikan mana yang terakhir selesai, karena itu lebih dominan, dan dihukumi berdasarkan hal itu. Jika keduanya sama dalam hal lebih dahulu dan keluarnya, maka tidak ada kesulitan (tidak musykil).

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يُعْتَبَرُ أَكْثَرُهُمَا بَوْلًا فَيُحْكَمُ بِهِ، وَحَكَاهُ أَبُو الْقَاسِمِ الدَّارَكِيُّ عَلَى الْمَذْهَبِ، وَأَنْكَرَهُ سَائِرُ أَصْحَابِنَا وَجَعَلُوهُ مُشْكِلًا فَلَوْ سَبَقَ بوله في أَحَدِهِمَا، وَتَأَخَّرَ انْقِطَاعُهُ مِنَ الْآخَرِ بِقَدْرِ السَّبْقِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Abu Hanifah berkata: Yang dijadikan pertimbangan adalah dari mana air kencingnya lebih banyak, maka dihukumi berdasarkan itu. Hal ini juga dinukil oleh Abu al-Qasim ad-Dārakī sebagai pendapat dalam mazhab. Namun, seluruh ulama kami selainnya mengingkari pendapat ini dan menganggapnya sebagai kasus musykil. Jika air kencingnya lebih dahulu keluar dari salah satu organ, dan yang lain lebih lambat berhenti dengan kadar keterlambatan yang sama dengan kecepatan yang pertama, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُحْكَمُ بِالسَّبْقِ.

Pertama: Dihukumi berdasarkan yang lebih dahulu keluar.

وَالثَّانِي: قَدِ اسْتَوَيَا، وَيَكُونُ مُشْكِلًا، فَلَوْ سَبَقَ بَوْلُهُ مِنْ أَحَدِهِمَا، وَكَانَ قَلِيلًا وَتَأَخَّرَ مِنَ الْآخَرِ، وَكَانَ كثيراً ففيه ثلاثة أوجه:

Kedua: Keduanya dianggap sama, sehingga kasusnya menjadi musykil. Jika air kencingnya lebih dahulu keluar dari salah satu organ dan jumlahnya sedikit, sedangkan dari organ yang lain lebih lambat tetapi jumlahnya banyak, maka ada tiga pendapat:

أحدهما: يُحْكَمُ بِالسَّابِقِ مِنْهُمَا.

Pertama: Dihukumi berdasarkan yang lebih dahulu keluar.

وَالثَّانِي: يُحْكَمُ بِأَكْثَرِهِمَا.

Kedua: Dihukumi berdasarkan yang lebih banyak keluar.

وَالثَّالِثُ: يَكُونُ مُشْكِلًا فَلَوْ كَانَ يَبُولُ مِنْ أَحَدِهِمَا تَارَةً، وَمِنَ الْآخَرِ تَارَةً، أَوْ كَانَ يَسْبِقُ أَحَدُهُمَا تَارَةً وَيَتَأَخَّرُ تَارَةً، اعْتُبِرَ أَكْثَرُ الْحَالَتَيْنِ مِنْهُمَا، فَإِنِ اسْتَوَيَا فَهُوَ مُشْكِلٌ.

Ketiga: Keadaannya menjadi musykil (sulit ditentukan). Misalnya, jika ia terkadang kencing dari salah satu (organ), dan terkadang dari yang lain, atau salah satunya lebih dahulu keluar dan kadang yang lain lebih dahulu, maka yang dijadikan acuan adalah keadaan yang paling sering terjadi di antara keduanya. Jika keduanya sama, maka statusnya musykil.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: اعْتُبِرَ صِفَةُ الْبَوْلِ فَإِنْ زَرَقَ فَهُوَ ذَكَرٌ وَإِنْ رَشَّشَ فَهُوَ أُنْثَى. وَأَنْكَرَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا هَذَا الِاعْتِبَارَ وَجَعَلُوهُ مُشْكِلًا، فَإِذَا عُدِمَ الْبَيَانُ مِنْ طَرِيقِ الْمَبَالِ الَّذِي هُوَ الْأَعَمُّ مِنْ مَنْفَعَتِي الْعُضْوَيْنِ وَجَبَ الرُّجُوعُ إِلَى اعْتِبَارِ الْمَنْفَعَةِ الْخَاصَّةِ، وَهِيَ الْمَنِيُّ، وَذَلِكَ يَكُونُ عِنْدَ الْبُلُوغِ فَإِنْ أَمْنَى مَنْ ذَكَرِهِ فَهُوَ رَجُلٌ، وَإِنْ أَمْنَى مِنْ فَرْجِهِ فَهِيَ امْرَأَةٌ، وَإِنْ أَمْنَى مِنْهُمَا فَلَا بَيَانَ فِيهِ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُعْتَبَرُ بِالْحَيْضِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Sebagian ulama kami berkata: yang dijadikan acuan adalah sifat air kencingnya; jika memancar maka itu laki-laki, dan jika menetes maka itu perempuan. Namun, mayoritas ulama kami menolak pertimbangan ini dan menganggapnya musykil. Jika tidak ada kejelasan dari saluran kencing yang lebih dominan manfaatnya di antara kedua organ, maka wajib kembali kepada pertimbangan manfaat khusus, yaitu mani, dan itu terjadi saat baligh. Jika keluar mani dari zakarnya, maka ia laki-laki; jika keluar mani dari farjinya, maka ia perempuan; dan jika keluar dari keduanya, maka tidak ada kejelasan. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah haid juga dijadikan pertimbangan atau tidak, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُعْتَبَرُ بِالْحَيْضِ فَإِنْ حَاضَ فَهُوَ أُنْثَى، وَإِنْ لَمْ يَحِضْ فَهُوَ ذَكَرٌ.

Pertama: Haid dijadikan pertimbangan; jika mengalami haid maka ia perempuan, jika tidak maka ia laki-laki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا اعْتِبَارَ بِالْحَيْضِ، وَإِنِ اعْتُبِرَ الْمَنِيُّ، لِأَنَّهُمَا يَشْتَرِكَانِ فِي الْمَنِيِّ، وَيَخْتَلِفَانِ فِي مَخْرِجِهِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا كَمَا يَشْتَرِكَانِ فِي الْبَوْلِ، وَيَخْتَلِفَانِ فِي مَخْرِجِهِ وَلَا يَشْتَرِكَانِ فِي الْحَيْضِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الدَّمُ لَيْسَ بِحَيْضٍ، فَإِذَا فَاتَ الْبَيَانُ مِنَ الذَّكَرِ وَالْفَرْجِ بِاعْتِبَارِ الْبَوْلِ وَالْمَنِيِّ فَلَا اعْتِبَارَ بَعْدَهُمَا بِشَيْءٍ مِنْ أَعْضَاءِ الْجَسَدِ وَصِفَاتِهِ فَلَا تَكُونُ فِي اللِّحْيَةِ دَلِيلٌ، لِأَنَّهَا قَدْ تَكُونُ لِبَعْضِ النِّسَاءِ، وَلَا تَكُونُ فِي الثَّدْيِ وَاللَّبَنِ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ لِبَعْضِ الرِّجَالِ.

Pendapat kedua: Haid tidak dijadikan pertimbangan, yang dijadikan pertimbangan adalah mani, karena keduanya (laki-laki dan perempuan) sama-sama memiliki mani, namun berbeda pada tempat keluarnya, sehingga boleh jadi itu dijadikan acuan, sebagaimana keduanya sama-sama memiliki air kencing namun berbeda pada tempat keluarnya, sedangkan haid tidak dimiliki keduanya. Bisa jadi darah yang keluar bukan darah haid. Maka, jika tidak didapatkan kejelasan dari zakar dan farji dengan pertimbangan air kencing dan mani, maka tidak ada lagi yang dijadikan acuan dari anggota tubuh dan sifat-sifatnya; tidak ada petunjuk pada jenggot, karena bisa saja dimiliki sebagian perempuan, dan tidak pula pada payudara dan air susu, karena bisa saja dimiliki sebagian laki-laki.

وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ اعْتَبَرَ بِعَدَدِ الْأَضْلَاعِ فإن أضلاع المرأة متساوية في الْجَانِبَيْنِ، وَأَضْلَاعَ الرَّجُلِ تَنْقُصُ مِنَ الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ، ضِلْعًا لِأَجْلِ مَا حُكِيَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَلَقَ حَوَّاءَ مِنْ ضِلْعِ آدَمَ الْأَيْسَرِ، وَبِهَذَا قَالَ حَسَنٌ الْبَصْرِيُّ وَحَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا اعْتِبَارَ بِعَدَدِ الْأَضْلَاعِ لِأَمْرَيْنِ:

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihissalam bahwa ia menjadikan jumlah tulang rusuk sebagai acuan; bahwa tulang rusuk perempuan sama banyak di kedua sisi, sedangkan tulang rusuk laki-laki berkurang satu di sisi kiri, karena dikisahkan bahwa Allah Ta‘ala menciptakan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Pendapat ini juga dikatakan oleh Hasan al-Bashri dan dinukil oleh Ibnu Abi Hurairah dari sebagian ulama kami. Namun, mazhab asy-Syafi‘i dan mayoritas ulama kami berpendapat bahwa jumlah tulang rusuk tidak dijadikan acuan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَوْ كَانَ مُعْتَبَرًا لَقُدِّمَ عَلَى اعْتِبَارِ الْمَبَالِ، لِأَنَّهُ أَصْلٌ ثَابِتٌ فِي الْخِلْقَةِ.

Pertama, jika memang jumlah tulang rusuk dijadikan acuan, tentu itu lebih didahulukan daripada pertimbangan saluran kencing, karena ia merupakan dasar yang tetap dalam penciptaan.

وَالثَّانِي: مَا حُكِيَ عَنْ أَصْحَابِ التَّشْرِيحِ وَمَا تُوجَدُ شَوَاهِدُهُ فِي الْبَهَائِمِ بَعْدَ الذَّبْحِ أَنَّ أَضْلَاعَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى مُتَسَاوِيَةٌ فِي الْيُمْنَى وَالْيُسْرَى، وَأَنَّهَا أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ ضِلْعًا مِنَ الْجَانِبَيْنِ وَفِي كُلِّ جَانِبٍ مِنْهَا اثْنَا عَشَرَ ضِلْعًا خَمْسَةٌ مِنْهَا تَتَلَاقَى، وَسَبْعَةٌ مِنْهَا أَضْلَاعُ الْخَلَفِ وَهِيَ الَّتِي لَا تَتَلَاقَى، فَإِذَا لَمْ يزل إشكاله بالأمارات الظاهرة لتكافئ دَلَائِلِهَا وَجَبَ أَنْ يُرْجَعَ إِلَى الْأَمَارَاتِ الْبَاطِنَةِ الْمَرْكُوزَةِ فِي طَبْعِهِ، فَإِنَّ الذَّكَرَ مَطْبُوعٌ عَلَى مَا رَكَّبَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ مِنْ شَهْوَةِ الْأُنْثَى وَالْأُنْثَى مَطْبُوعَةٌ عَلَى مَا رَكَّبَهُ اللَّهُ تعالى فيها من شهوة الرجال الذكر لِيَحْفَظَ بِالشَّهْوَةِ الْغَرِيزِيَّةِ بَقَاءَ التَّنَاسُلِ.

Kedua, sebagaimana yang dikisahkan dari para ahli anatomi dan juga ditemukan pada hewan setelah disembelih, bahwa jumlah tulang rusuk laki-laki dan perempuan sama di sisi kanan dan kiri, yaitu dua puluh empat tulang rusuk di kedua sisi, masing-masing sisi dua belas tulang rusuk; lima di antaranya saling bertemu, dan tujuh di antaranya adalah tulang rusuk belakang yang tidak saling bertemu. Maka, jika masalahnya tidak bisa diselesaikan dengan tanda-tanda lahiriah karena dalil-dalilnya seimbang, maka harus kembali kepada tanda-tanda batiniah yang tertanam dalam tabiatnya. Sesungguhnya laki-laki secara fitrah memiliki syahwat kepada perempuan, dan perempuan secara fitrah memiliki syahwat kepada laki-laki, agar dengan syahwat naluriah itu terjaga kelangsungan keturunan.

وَمِثَالُهُ مَا يَقُولُهُ فِي لُحُوقِ الْأَنْسَابِ عِنْدَ الِاشْتِرَاكِ وَالِاشْتِبَاهِ، وَإِنَّمَا يُرْجَعُ بِالْقَافَةِ إِلَى الْأَمَارَاتِ الظَّاهِرَةِ فِي الْجَسَدِ فَإِذَا عُدِمَ الْبَيَانُ مِنْهَا رَجَعْنَا إِلَى الْأَمَارَاتِ الْبَاطِنَةِ فِي الْمَيْلِ بِالطَّبْعِ الْمَرْكُوزِ فِي الْخِلْقَةِ إِلَى الْمُتَمَازِجِينَ فِي الِانْتِسَابِ فَيُؤْخَذَ بِالِانْتِسَابِ إِلَى مَنْ مَالَ طَبْعُهُ إِلَيْهِ كَذَلِكَ الْخُنْثَى، وَهَذِهِ الشَّهْوَةُ تُسْتَكْمَلُ بِالْبُلُوغِ فَلَا اعْتِبَارَ بِهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ وَالَّذِي يَكُونُ بِهِ الْخُنْثَى الْمُشْكِلُ بَالِغًا قَدْ ذَكَرْنَاهُ فِي بَابِ الصَّلَاةِ فَإِذَا بَلَغَ اعْتُبِرَتْ حِينَئِذٍ شَهْوَتُهُ فِي الْمَيْلِ إِلَى أَحَدِ الْجِنْسَيْنِ فَإِنْ مَالَتْ شَهْوَتُهُ إِلَى النِّسَاءِ حُكِمَ بِأَنَّهُ رَجُلٌ وَإِنْ مَالَ إِلَى شَهْوَةِ الرِّجَالِ حُكِمَ بِأَنَّهُ امْرَأَةٌ، وَلَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهُ كَمَا أُجْرِيَ عَلَيْهِ مِنْ حُكْمِ أَحَدِ الْجِنْسَيْنِ إِلَّا أَنْ تَظْهَرَ مِنْ دَلَائِلِ أَصِلِ الْخِلْقَةِ مَا تَقْتَضِيهِ، وَذَلِكَ بِأَنْ يَرْجِعَ إِلَى شَهْوَتِهِ عِنْدَ عَدَمَ الْبَيَانِ فِي الْمَبَالِ لِتَسَاوِيهِمَا، وَيُحْكَمُ بِمَيْلِهِ إِلَى الرِّجَالِ أَنَّهُ امْرَأَةٌ ثُمَّ يَنْقَطِعُ بَوْلُهُ مِنَ الْفَرْجِ وَيَسْتَدِرُّ مِنَ الذَّكَرِ، فَيُحْكَمُ بِأَنَّهُ رَجُلٌ بَعْدَ أَنْ جَرَى حُكْمُ النِّسَاءِ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْأَمَارَاتِ الظَّاهِرَةَ أَقْوَى بَيَانًا مِنَ الْأَمَارَاتِ الْبَاطِنَةِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ تَزَوَّجَ رَجُلًا فُسِخَ نِكَاحُهُ وَزُوِّجَ امْرَأَةً إِنْ شَاءَ.

Contohnya adalah apa yang dikatakan dalam penetapan nasab ketika terjadi kesamaan dan kerancuan, yaitu bahwa penetapan dengan al-qāfah (ilmu mengenali nasab melalui tanda-tanda fisik) didasarkan pada tanda-tanda lahiriah pada tubuh. Jika tidak ditemukan penjelasan dari tanda-tanda tersebut, maka kita kembali kepada tanda-tanda batin berupa kecenderungan alami yang tertanam dalam ciptaan kepada pihak yang lebih dominan dalam hubungan nasab. Maka, nasab diambil kepada siapa yang secara alami lebih condong kepadanya, demikian pula pada kasus khuntsā (interseks). Syahwat ini akan sempurna dengan baligh, sehingga tidak dianggap sebelum baligh. Adapun yang menjadikan khuntsā musykil (interseks yang tidak jelas jenis kelaminnya) dianggap baligh telah kami sebutkan dalam bab shalat. Jika telah baligh, maka kecenderungan syahwatnya kepada salah satu jenis kelamin menjadi pertimbangan; jika syahwatnya condong kepada perempuan, maka dihukumi sebagai laki-laki, dan jika condong kepada syahwat laki-laki, maka dihukumi sebagai perempuan. Tidak diterima perubahan hukum setelah itu, kecuali jika muncul bukti dari asal penciptaan yang mengharuskannya. Hal itu terjadi jika kembali kepada syahwatnya ketika tidak ada kejelasan pada tempat keluarnya air kencing karena keduanya sama, lalu dihukumi berdasarkan kecenderungannya kepada laki-laki bahwa ia perempuan, kemudian air kencingnya terputus dari kemaluan perempuan dan mengalir dari kemaluan laki-laki, maka dihukumi sebagai laki-laki setelah sebelumnya dihukumi sebagai perempuan, karena tanda-tanda lahiriah lebih kuat penjelasannya daripada tanda-tanda batin. Jika ia telah menikahi seorang laki-laki, maka pernikahannya dibatalkan dan ia boleh menikahi perempuan jika ia menghendaki.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حَالِ الْخُنْثَى فِي زَوَالِ إِشْكَالِهِ أَوْ بَقَائِهِ عَلَى إِشْكَالِهِ فيحكم مَنْ أَرْضَعَهُ مِنَ الْأَطْفَالِ مُعْتَبَرٌ بِحَالِهِ فَإِنْ أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الرِّجَالِ، وَنَزَلَ لَهُ لَبَنٌ فَأَرْضَعَ بِهِ طِفْلًا لَمْ تَنْتَشِرْ بِهِ الْحُرْمَةُ وَلَمْ يَصِرِ ابْنًا لَهُ مِنَ الرَّضَاعِ، لِأَنَّ الرَّجُلَ لَا يَصِيرُ بِلَبَنِهِ أَبًا وَقَالَ الْحُسَيْنُ الْكَرَابِيسِيُّ: يَصِيرُ بِلَبَنِهِ أَبًا كَالْأُمِّ تَصِيرُ بِلَبَنِهَا أُمًّا وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan tentang keadaan khuntsā dalam hilangnya atau tetapnya kerancuan, maka hukum anak yang disusui olehnya juga mengikuti keadaannya. Jika telah dijatuhkan hukum sebagai laki-laki atasnya, lalu keluar air susu darinya dan ia menyusui seorang anak, maka tidak terjadi keharaman (mahram) karena hal itu dan anak tersebut tidak menjadi anak susuan baginya, karena seorang laki-laki tidak menjadi ayah dengan air susunya. Al-Husain al-Karabisi berkata: Ia menjadi ayah dengan air susunya sebagaimana seorang ibu menjadi ibu dengan air susunya. Pendapat ini batil dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَثْبَتَ بِالرَّضَاعِ أُمًّا، وَلَمْ يُثْبِتْ بِهِ أَبًا فَقَالَ {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ} [النساء: 23] .

Pertama: Bahwa Allah Ta‘ala menetapkan dengan persusuan seorang ibu, dan tidak menetapkan seorang ayah dengan persusuan, sebagaimana firman-Nya: {Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian} (an-Nisa: 23).

وَالثَّانِي: أَنَّ الْحُرْمَةَ تَنْتَشِرُ عَنِ ارْتِضَاعِ اللَّبَنِ الْمَخْلُوقِ لِغِذَاءِ الْوَلَدِ، وَذَلِكَ مَخْصُوصٌ فِيمَا خَلَقَهُ اللَّهُ تَعَالَى غَالِبًا مِنْ أَلْبَانِ النِّسَاءِ دُونَ الرِّجَالِ، وَصَارَ لَبَنُ الرَّجُلِ أَضْعَفَ حُكْمًا مِنْ لَبَنِ الْبَهِيمَةِ الَّتِي لَا يَنْتَشِرُ بِهِ حُرْمَةُ الرَّضَاعِ، وَلِأَنَّ الرَّضَاعَ تَبَعٌ لِلْوِلَادَةِ فَلَمَّا كَانَتِ الْمَرْأَةُ مَحَلَّ الْوِلَادَةِ، وَجَبَ أَنْ تَكُونَ مَحَلَّ الرَّضَاعِ، وَإِذَا لَمْ تَنْتَشِرِ الْحُرْمَةُ بِلَبَنِ الرَّجُلِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: كَرِهْتُ لَهُ إِنْ كَانَ الْمُرْضَعُ بِنْتًا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا لِاغْتِذَائِهَا بِلَبَنِهِ، فَإِنْ تَزَوَّجَهَا لَمْ يُفْسَخْ نِكَاحُهُ لِعَدَمِ حُرْمَتِهِ، وَإِنْ أُجْرِيَ عَلَى الْخُنْثَى حُكْمُ النِّسَاءِ وَأُبِيحِ لَهُ التَّزْوِيجُ بِالرِّجَالِ انْتَشَرَتِ الْحُرْمَةُ عَنْ لَبَنِهِ قَبْلَ التَّزْوِيجِ وَبَعْدَهُ، لِأَنَّ لَبَنَ النِّسَاءِ مَخْلُوقٌ لِلِاغْتِذَاءِ، وَلَيْسَ جِمَاعُ الرَّجُلِ شَرْطًا فِيهِ وَإِنْ كَانَ سَبَبًا لِنُزُولِهِ فِي الْأَغْلَبِ فَصَارَ كَالْبِكْرِ إِذَا نَزَلَ لَهَا لَبَنٌ فَأَرْضَعَتْ بِهِ طِفْلًا انْتَشَرَتْ بِهِ حُرْمَةُ الرَّضَاعِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ فَلَوْ حُكِمَ بِانْتِشَارِ حُرْمَةِ اللَّبَنِ بِمَا أُجْرِيَ عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ النِّسَاءِ وَتَزَوَّجَ رَجُلًا ثُمَّ ذَكَرَ مَيْلَهُ إِلَى طَبْعِ الرِّجَالِ، وَقَالَ أَنَا رَجُلٌ، نُظِرَ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بِمَا ادَّعَاهُ مِنَ انْتِقَالِ الشَّهْوَةِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، لِأَنَّهُ مُتَهَوِّمٌ فِيهِ، وَكَانَ عَلَى حُكْمِهِ الْأَوَّلِ فِي كَوْنِهِ امْرَأَةً، وَكَانَ الزَّوْجُ عَلَى نِكَاحِهِ لَكِنْ يُقَالُ لَهُ: نَخْتَارُ لَكَ فِي الْوَرَعِ أَنْ تُفَارِقَهَا إِنْ صَدَّقْتَهَا، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بِالْأَمَارَاتِ الظَّاهِرَةِ فِي الْبَوْلِ وَالْمَنِيِّ الَّذِي لَا يُتَّهَمُ فِيهِ قُبِلَ مِنْهُ، وَنُقِلَ عَنْ أَحْكَامِ النِّسَاءِ إِلَى أَحْكَامِ الرِّجَالِ وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الزَّوْجِ، وَبَطَلَ مَا انْتَشَرَ مِنْ حُرْمَةِ الرَّضَاعِ، وَكَرِهْنَا لَهُ إِنْ كَانَ الْوَلَدُ بِنْتًا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَأُبِيحَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً بَعْدَ أَنْ تَزَوَّجَ بِرَجُلٍ، وَإِنْ كَانَ عَلَى إِشْكَالِهِ فَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ إِذَا فَاتَ الْبَيَانُ بِالْأَمَارَاتِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ لِتَكَافُئِهَا وَعَدَمِ الشَّهْوَةِ الْمَرْكُوزَةِ فِي الطَّبْعِ صَارَ نُزُولُ اللَّبَنِ بَيَانًا، لِأَنَّهُ لَا يَنْزِلُ فِي الْغَالِبِ إِلَّا مِنَ امْرَأَةٍ فَاعْتُبِرَ الْإِشْكَالُ بِالْأَغْلَبِ مِنْهُمَا لَا اللَّبَنُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ أَحْكَامُ النِّسَاءِ وَانْتَشَرَتِ الْحُرْمَةُ عَنْ لَبَنِهِ، وَقَدْ حَكَى هَذَا الْوَجْهَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى هَذَا اخْتَلَفَ عَنْهُ فِي ظُهُورِ اللِّحْيَةِ هَلْ يَصِيرُ بَيَانًا عِنْدَ عَدَمِ الْبَيَانِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Kedua: Bahwa keharaman (mahram) menyebar karena penyusuan dari susu yang diciptakan untuk makanan anak, dan hal itu khusus pada apa yang Allah Ta‘ala ciptakan pada umumnya dari susu perempuan, bukan laki-laki. Maka, susu laki-laki lebih lemah hukumnya daripada susu hewan yang tidak menyebabkan keharaman karena penyusuan. Karena penyusuan adalah cabang dari kelahiran, maka ketika perempuan adalah tempat terjadinya kelahiran, wajib pula ia menjadi tempat terjadinya penyusuan. Jika keharaman tidak menyebar melalui susu laki-laki, maka asy-Syafi‘i berkata: “Aku tidak menyukai jika yang disusui itu seorang anak perempuan, lalu ia menikahinya karena anak itu mendapat gizi dari susunya. Namun jika ia menikahinya, maka pernikahannya tidak dibatalkan karena tidak ada keharaman.” Jika pada khuntsa (interseks) diberlakukan hukum perempuan dan dihalalkan baginya menikah dengan laki-laki, maka keharaman menyebar dari susunya, baik sebelum maupun sesudah menikah, karena susu perempuan diciptakan untuk makanan, dan hubungan suami-istri bukanlah syarat dalam hal itu, meskipun biasanya menjadi sebab keluarnya susu. Maka, keadaannya seperti perawan yang keluar susu darinya lalu ia menyusui seorang anak, maka keharaman penyusuan pun menyebar karenanya, meskipun tanpa hubungan suami-istri. Jika dihukumi menyebarnya keharaman susu karena diberlakukan atasnya hukum-hukum perempuan, lalu ia menikah dengan seorang laki-laki, kemudian ia menyatakan kecenderungannya kepada sifat laki-laki dan berkata, “Aku adalah laki-laki,” maka dilihat: jika hal itu hanya berdasarkan pengakuan adanya perubahan syahwat, maka tidak diterima darinya, karena ia dianggap berangan-angan dalam hal itu, dan tetap berlaku hukum sebelumnya sebagai perempuan, dan suaminya tetap dalam pernikahan dengannya. Namun dikatakan kepadanya: “Kami memilihkan untukmu, demi kehati-hatian, agar engkau menceraikannya jika engkau membenarkannya.” Jika hal itu berdasarkan tanda-tanda nyata pada air kencing dan mani yang tidak diragukan, maka diterima darinya, dan ia dipindahkan dari hukum-hukum perempuan ke hukum-hukum laki-laki, dan pernikahan dengan suaminya batal, serta batal pula keharaman penyusuan yang telah menyebar. Kami tidak menyukai jika anak itu perempuan lalu ia menikahinya, dan dihalalkan baginya menikahi perempuan setelah sebelumnya menikah dengan laki-laki. Jika masih dalam keadaan samar, sebagian ulama kami berpendapat bahwa jika penjelasan tidak didapatkan melalui tanda-tanda lahir dan batin karena keduanya seimbang dan tidak ada syahwat yang tertanam dalam tabiat, maka keluarnya susu menjadi penjelasan, karena pada umumnya susu hanya keluar dari perempuan. Maka, kesamaran ditetapkan berdasarkan yang paling dominan di antara keduanya, bukan pada susu, dan diberlakukan atasnya hukum-hukum perempuan serta keharaman menyebar dari susunya. Pendapat ini dinukil oleh Ibnu Abi Hurairah. Bagi yang berpendapat demikian, terjadi perbedaan pendapat tentang tumbuhnya jenggot, apakah itu menjadi penjelasan ketika tidak ada penjelasan lain? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَصِيرُ بَيَانًا كَاللَّبَنِ.

Pertama: Itu menjadi penjelasan seperti halnya susu.

وَالثَّانِي: لَا يَصِيرُ بَيَانًا، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ عَدَمُ اللِّحْيَةِ دَلِيلًا عَلَى الْأُنُوثَةِ لَمْ يَكُنْ وُجُودُهَا دَلِيلًا عَلَى الذُّكُورِيَّةِ، وَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ لَا يَصِيرُ اللَّبَنُ وَاللِّحْيَةُ بَيَانًا، لِأَنَّهُمَا قَدْ يَشْتَرِكُ فِيهِمَا الْجِنْسَانِ، وَإِنْ كَانَ نَادِرًا فَلَمْ يَصِرْ بَيَانًا، وَإِذَا فَاتَ الْبَيَانُ وَدَامَ الْإِشْكَالُ وَأَرْضَعَ بِلَبَنِهِ مَوْلُودًا لَمْ يُحْكَمْ لِلَبَنِهِ بِانْتِشَارِ الْحُرْمَةِ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ رَجُلًا، وَلَا يُعْدَمْهَا، لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً، وَكَانَ عَلَى الْوَقْفِ مَا بَقِيَ عَلَى الْإِشْكَالِ، لِأَنَّ مَا مِنْ وَقْتٍ يَحْدُثُ إِلَّا وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَحْدُثَ فِيهِ مَا يَزُولُ بِهِ الْإِشْكَالُ فَلِأَجْلِ ذَلِكَ وُقِفَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kedua: Itu tidak menjadi penjelasan, karena ketika tidak adanya jenggot bukanlah bukti kewanitaan, maka keberadaannya pun bukan bukti kelelakian. Pendapat mayoritas ulama kami, dan ini yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i, bahwa susu dan jenggot tidak menjadi penjelasan, karena keduanya bisa saja dimiliki oleh kedua jenis kelamin, meskipun jarang, sehingga tidak menjadi penjelasan. Jika penjelasan tidak didapatkan dan kesamaran tetap ada, lalu ia menyusui seorang anak dengan susunya, maka tidak dihukumi bahwa susunya menyebabkan keharaman, karena bisa jadi ia adalah laki-laki, dan tidak pula dihilangkan kemungkinan keharaman, karena bisa jadi ia adalah perempuan. Maka, statusnya tetap tergantung selama kesamaran masih ada, karena setiap waktu bisa saja terjadi sesuatu yang menghilangkan kesamaran itu. Oleh karena itu, statusnya tetap tergantung, dan Allah lebih mengetahui.

(Kitab Nafkah)

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ” قَالَ اللَّهُ عز وجل: (ذلك أدنى أن لا تَعُولُوا} [النساء: 3] أَيْ لَا يَكْثُرَ مَنْ تَعُولُونَ (قَالَ) وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ عَلَى الزَّوْجِ نَفَقَةَ امْرَأَتِهِ فَأُحِبُّ أَنْ يَقْتَصِرَ الرَجُلُ عَلَى وَاحِدَةٍ وَإِنْ أُبِيحَ لَهُ أَكْثَرُ وَجَاءَتْ هِنْدٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَإِنَّهُ لَا يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ سِرًّا وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جناح. فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف ” وَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال يا رسول الله عندي دينار فقال ” أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ ” قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ ” أَنْفِقْهُ عَلَى وَلَدِكَ ” قَالَ عِنْدِي آخَرُ فَقَالَ ” أَنْفِقْهُ عَلَى أَهْلِكَ ” قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ ” أَنْفِقْهُ عَلَى خَادِمِكَ ” قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ ” أنت أعلم ” قال سعيد المقبري ثم يقول أبو هريرة إذا حدث بهذا الحديث يَقُولُ وَلَدُكَ أَنْفِقْ عَلَيَّ إِلَى مَنْ تَكِلُنِي؟ وَتَقُولُ زَوْجَتُكَ أَنْفِقْ عَلَيَّ أَوْ طَلِّقْنِي وَيَقُولُ خادمك أنفق علي أو بعني)) .

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: Allah Azza wa Jalla berfirman: “Itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya (tidak berat menanggung keluarga)” (QS. an-Nisā’: 3), maksudnya agar tidak banyak orang yang harus kamu tanggung. (Beliau berkata): Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa suami wajib menafkahi istrinya. Maka aku lebih suka jika seorang laki-laki mencukupkan diri dengan satu istri, meskipun diperbolehkan baginya lebih dari itu. Pernah Hindun datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, dan ia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil darinya secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena itu?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang baik.” Dan pernah seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku punya satu dinar.” Beliau bersabda, “Gunakanlah untuk dirimu sendiri.” Ia berkata, “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda, “Gunakanlah untuk anakmu.” Ia berkata, “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda, “Gunakanlah untuk istrimu.” Ia berkata, “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda, “Gunakanlah untuk pembantumu.” Ia berkata, “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda, “Engkau lebih tahu (kebutuhanmu).” Sa‘id al-Maqburi berkata, kemudian Abu Hurairah apabila meriwayatkan hadis ini, ia berkata, “Anakmu berkata: ‘Nafkahi aku, kepada siapa engkau akan menyerahkanku?’ Dan istrimu berkata: ‘Nafkahi aku atau ceraikan aku!’ Dan pembantumu berkata: ‘Nafkahi aku atau juallah aku!’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا وُجُوبُ النَّفَقَاتِ بِأَسْبَابِهَا الْمُسْتَحَقَّةِ، فَمِمَّا لَا يَجِدُ النَّاسُ بُدًّا مِنْهُ لِعَجْزِ ذَوِي الْحَاجَةِ عَنْهَا وَقُدْرَةِ ذَوِي الْمُكْنَةِ عَلَيْهَا ليأتلف الخلق بوجود الكافية: فَجَعَلَهَا لِلْأَبَاعِدِ زَكَاةً لَا تَتَعَيَّنُ لِبَعْضِهِمْ عَلَى بعض لعمومها فيهم، وجعلهم لِلْأَقَارِبِ بِأَنْسَابٍ وَأَسْبَابِ مَعُونَةٍ وَمُوَاسَاةٍ تَتَعَيَّنُ لِمَنْ تَجِبُ لَهُ وَعَلَيْهِ لِتَعَيُّنِ مُوجِبِهَا مِنْ نَسَبٍ أَوْ سَبَبٍ فَمِنْ ذَلِكَ نَفَقَاتُ الزَّوْجَاتِ. وَاجِبَةٌ عَلَى الْأَزْوَاجِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْمَعْقُولِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun kewajiban nafkah karena sebab-sebab yang menjadikannya hak, maka hal itu merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh manusia, karena orang yang membutuhkan tidak mampu memenuhinya sendiri, sedangkan orang yang mampu dapat menunaikannya, agar tercipta keharmonisan di antara manusia dengan adanya kecukupan. Maka nafkah untuk orang-orang yang jauh (bukan kerabat) dijadikan sebagai zakat yang tidak ditetapkan untuk sebagian mereka atas sebagian yang lain karena sifatnya yang umum bagi mereka. Sedangkan nafkah untuk kerabat, baik karena nasab maupun sebab lain, dijadikan sebagai bentuk bantuan dan solidaritas yang wajib diberikan kepada siapa yang berhak menerimanya dan wajib ditunaikan oleh siapa yang menjadi penanggungnya, karena adanya sebab yang pasti, baik karena nasab maupun sebab lain. Di antara itu adalah nafkah istri-istri, yang wajib atas para suami berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah, dan akal.

فَأَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ} [الأحزاب: 50] ، فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ النَّفَقَةِ، لِأَنَّهَا مِنَ الْفَرْضِ، وَقَدْ صَرَّحَ بِذَلِكَ فِي قَوْله تَعَالَى: {لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ} [الطلاق: 7] ، فَأَمَرَهُ بِهَا فِي يَسَارِهِ وَإِعْسَارِهِ، وَقَالَ تَعَالَى {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا ممن أَمْوَالِهِمْ} [النساء: 34] ، فَدَلَّتْ عَلَى وُجُوبِ النَّفَقَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ مَعْقُولٍ وَنَصٍّ، فَالْمَعْقُولُ مِنْهَا قَوْلُهُ جَلَّ وعز: {الرجال قوامون على النساء} ، وَالْقَيِّمُ عَلَى غَيْرِهِ هُوَ الْمُتَكَفِّلُ بِأَمْرِهِ، وَالنَّصُّ مِنْهَا قَوْلُهُ {وبما أنفقوا من أموالهم} ، وَقَالَ تَعَالَى: {وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 233] ، فَنَصَّ عَلَى وُجُوبِهَا بِالْوِلَادَةِ فِي الْحَالِ الَّتِي تَتَشَاغَلُ بِوَلَدِهَا عَنِ اسْتِمْتَاعِ الزَّوْجِ لِيَكُونَ أَدَلَّ عَلَى وُجُوبِهَا عَلَيْهِ فِي حَالِ اسْتِمْتَاعِهِ بِهَا. وَقَالَ تَعَالَى: {وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 6] ، فَلَمَّا أَوْجَبَ نَفَقَتَهَا بَعْدَ الْفُرْاقِ إِذَا كَانَتْ حَامِلًا كَانَ وُجُوبُهَا قَبْلَ الْفُرْاقِ أَوْلَى، وَقَالَ تَعَالَى: فِيمَا اسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ: {فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا) [النساء: 3] ، قَالَ الشَّافِعِيُّ مَعْنَاهُ أَلَّا يَكْثُرَ مَنْ تَعُولُونَ، فَلَوْلَا وُجُوبُ النَّفَقَةِ عَلَيْهِ لَمَا كَانَ لِخَشْيَةِ الْعِيَالِ تَأْثِيرٌ، فَاعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيَّ ابْنُ دَاوُدَ وَبَعْضُ أَهْلِ اللُّغَةِ فِي تَأْوِيلِ هَذِهِ الْآيَةِ، وَقَالُوا: مَعْنَى عال يعول أي جاز يجوز، فَأَمَّا كَثْرَةُ الْعِيَالِ فَيُقَالُ فِيهِ أَعَالَ يُعِيلُ فَكَانَ الْعُدُولُ عَنْ هَذَا التَّأْوِيلِ جَهْلًا بِمَعْنَى اللُّغَةِ وَغَفْلَةً عَمَّا تَقَدَّمَ فِي الْآيَةِ مِنْ قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً} [النساء: 3] وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا الِاعْتِرَاضِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun dalil dari al-Kitab adalah firman Allah Ta‘ala: {Sungguh Kami telah mengetahui apa yang telah Kami wajibkan atas mereka mengenai istri-istri mereka} (QS. al-Ahzab: 50), yang menunjukkan kewajiban nafkah, karena nafkah termasuk dalam hal yang diwajibkan (al-fardh). Hal ini juga ditegaskan dalam firman-Nya: {Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya} (QS. ath-Thalaq: 7), maka Allah memerintahkan untuk memberi nafkah baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Allah juga berfirman: {Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka} (QS. an-Nisa’: 34). Ayat ini menunjukkan kewajiban nafkah dari dua sisi: sisi rasional (‘aqli) dan sisi nash (teks). Sisi rasionalnya adalah firman-Nya: {Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita}, dan pemimpin atas orang lain adalah yang bertanggung jawab atas urusannya. Sisi nash-nya adalah firman-Nya: {dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka}. Allah juga berfirman: {Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut} (QS. al-Baqarah: 233), maka Allah menegaskan kewajiban nafkah karena kelahiran, dalam keadaan di mana sang ibu sibuk mengurus anaknya sehingga tidak dapat melayani suaminya, agar lebih menunjukkan kewajiban nafkah atas suami pada saat ia dapat menikmati istrinya. Allah juga berfirman: {Dan jika mereka (para istri yang dicerai) sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka melahirkan kandungannya} (QS. ath-Thalaq: 6). Ketika Allah mewajibkan nafkah setelah perpisahan jika istri sedang hamil, maka kewajiban nafkah sebelum perpisahan tentu lebih utama. Allah juga berfirman, yang dijadikan dalil oleh asy-Syafi‘i: {Jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim} (QS. an-Nisa’: 3). Asy-Syafi‘i berkata, maknanya adalah agar tidak banyak orang yang harus kamu tanggung. Jika nafkah tidak wajib atas suami, maka kekhawatiran akan banyaknya tanggungan tidak akan berpengaruh. Namun, Ibnu Dawud dan sebagian ahli bahasa mengkritik asy-Syafi‘i dalam menafsirkan ayat ini, mereka berkata: makna ‘aal ya‘uulu adalah melampaui batas, bukan banyak tanggungan. Adapun untuk banyaknya tanggungan digunakan kata ‘aala ya‘iilu. Maka berpaling dari penafsiran ini adalah karena ketidaktahuan terhadap makna bahasa dan kelalaian terhadap apa yang telah disebutkan sebelumnya dalam ayat: {Jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja} (QS. an-Nisa’: 3). Jawaban atas kritik ini ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ تَأْوِيلَ الشَّافِعِيِّ أَصَحُّ لِشَاهِدَيِ وشرح وَلُغَةٍ.

Pertama: Penafsiran asy-Syafi‘i lebih benar karena didukung oleh dua bukti: penjelasan dan bahasa.

فَأَمَّا الشَّرْحُ فَمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّهُ قَرَأَ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ لَا يَكْثُرَ مَنْ تَعُولُونَ، فَكَانَ هَذَا التَّأْوِيلُ فِي قِرَاءَةِ ابْنِ مَسْعُودٍ لَفْظًا مَتْلُوًّا حَكَاهُ التَّاجِيُّ عَنِ الْفَرَّاءِ قَالَ اخْتَرْتُ مِنْ قِرَاءَةِ ابْنِ مَسْعُودٍ.

Adapun penjelasan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, bahwa ia membaca: “Yang demikian itu lebih dekat agar tidak banyak orang yang kamu tanggung.” Maka penafsiran ini terdapat dalam bacaan Ibnu Mas‘ud secara lafaz yang diriwayatkan oleh at-Taji dari al-Farra’, ia berkata: Aku memilih bacaan Ibnu Mas‘ud.

وَرَوَى أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ.

Dan Abu Shalih meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Sedekah yang paling baik adalah yang diberikan dari kelebihan harta, dan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.”

وَأَمَّا اللُّغَةُ فَقَدْ حَكَى ثَعْلَبٌ عَنْ سَلَمَةَ عَنِ الْفَرَّاءِ عَنِ الْكِسَائِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ الْعَرَبَ تَقُولُ: عَالَ يَعُولُ، مَعْنَاهُ كَثُرَ عِيَالُهُ، قَالَ ابْنُ الْأَنْبَارِيِّ وَمِنْهُ أُخِذَ عَوْلُ الْفَرَائِضِ لِكَثْرَةِ سِهَامِهَا، فَهَذَا جَوَابٌ، وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّ مِنَ الْأَبْنِيَةِ الْمُشْتَرِكَةِ ثَلَاثَةَ مَعَانٍ يُقَالُ عَالَ يَعُولُ. بِمَعْنَى جَارَ يَجُورُ. وَبِمَعْنَى مَانَ يَمُونُ. وَبِمَعْنَى أَكْثَرَ الْعِيَالَ. فَهُوَ بِكَثْرَتِهِمْ. فَتَنَاوَلَهُ الشَّافِعِيُّ بِأَحَدِ مَعَانِيهِ، وَبِهِ قَالَ ابْنَ مَسْعُودٍ وَزَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ وَطَائِفَهٌ.

Adapun dari sisi bahasa, telah diriwayatkan oleh Tsa‘lab dari Salamah dari al-Farra’ dari al-Kisai bahwa ia berkata: Aku mendengar orang Arab berkata: ‘aal ya‘uulu, artinya banyak tanggungan. Ibnu al-Anbari berkata: Dari sini diambil istilah ‘aulu al-fara’idh karena banyaknya bagian (warisan). Maka ini adalah jawaban. Jawaban kedua, bahwa dalam bentuk kata tersebut terdapat tiga makna yang digunakan bersama: ‘aal ya‘uulu bermakna melampaui batas, bermakna menanggung, dan bermakna banyak tanggungan. Maka asy-Syafi‘i mengambil salah satu maknanya, dan demikian pula pendapat Ibnu Mas‘ud, Zaid bin Aslam, dan sekelompok ulama.

وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ حَقِيقَتَهُ فِي اللُّغَةِ مَا ذَكَرُوهُ، وَمَجَازَهُ فِيهَا مَا ذَكَرْنَاهُ، فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى مَجَازِهِ دُونَ حَقِيقَتِهِ أَوْلَى مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jawaban ketiga: Bahwa makna hakikinya dalam bahasa adalah seperti yang mereka sebutkan, dan makna majazinya adalah seperti yang kami sebutkan. Maka menafsirkan dengan makna majazi lebih utama daripada makna hakiki dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَقِيقَتَهُ فِي الْجَوْرِ قَدِ اسْتُفِيدَتْ بِقَوْلِهِ تعالى: {فإن خفتم أن لا تعدلوا فواحدة} وحمله على كثرة العيال مستفاداً بمجاز قوله تعالى: {ذلك أدنى أن لا تعدلوا} لِيَكُونَ حَمْلُ الْآيَةِ عَلَى مَعْنَيَيْنِ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهَا عَلَى أَحَدِهِمَا:

Pertama: Bahwa makna hakikinya dalam kezaliman telah dipahami dari firman Allah Ta‘ala: {Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja} dan penafsiran ayat ini kepada banyaknya tanggungan keluarga dipahami dari makna majazi firman Allah Ta‘ala: {Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya}, sehingga menafsirkan ayat ini dengan dua makna lebih utama daripada menafsirkannya hanya dengan salah satunya.

وَالثَّانِي: أَنَّ كَثْرَةَ الْعِيَالِ يَؤُولُ إِلَى الْجَوْرِ فَعَبَّرَ عَنْهُ بِالْجَوْرِ، لِأَنَّهُ يَؤُولُ إِلَيْهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْرًا} [يوسف: 36] ، وَلَمْ يَعْصِرْ إِلَّا عِنَبًا فسماه خمراً لِأَنَّهُ يَؤُولُ إِلَى أَنْ يَصِيرَ خَمْرًا وَهَذَا مَشْهُورٌ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ وَأَشْعَارِهِمْ.

Kedua: Bahwa banyaknya tanggungan keluarga pada akhirnya akan mengarah kepada kezaliman, sehingga diungkapkan dengan kata “kezaliman” karena pada akhirnya bermuara ke sana, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya aku bermimpi memeras khamr} [Yusuf: 36], padahal yang diperas hanyalah anggur, namun disebut khamr karena pada akhirnya akan menjadi khamr. Ini adalah hal yang masyhur dalam bahasa dan syair Arab.

وَأَمَّا السُّنَّةُ فِي نَفَقَاتِ الزَّوْجَاتِ، فَمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَعِي دِينَارٌ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ. قَالَ مَعِي آخَرُ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى وَلَدِكَ. قَالَ مَعِي آخَرُ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى أَهْلِكَ. قَالَ مَعِي آخَرُ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى خَادِمِكَ. قَالَ مَعِي آخَرُ قَالَ أَنْتَ أَعْلَمُ.

Adapun sunnah mengenai nafkah istri, adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Sufyan bin ‘Uyainah dari Muhammad bin ‘Ajlan dari Sa‘id bin Abi Sa‘id al-Maqburi dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki satu dinar.” Beliau bersabda, “Belanjakanlah untuk dirimu.” Ia berkata, “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda, “Belanjakanlah untuk anakmu.” Ia berkata, “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda, “Belanjakanlah untuk istrimu.” Ia berkata, “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda, “Belanjakanlah untuk pembantumu.” Ia berkata, “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda, “Engkau lebih tahu.”

وَرُوِيَ عَنِ الشَّافِعِيِّ عَنْ وَكِيعِ بْنِ الْجَرَّاحِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي حُمَيْدٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْمُقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ بَعْدَ دِينَارِ الْخَادِمِ مَعِي آخِرُ لَمْ يَبْقَ غَيْرُهُ قَالَ أَنْفِقْهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ أَدْنَاهَا أَجْرًا.

Dan diriwayatkan dari asy-Syafi‘i dari Waki‘ bin al-Jarrah dari Muhammad bin Abi Humayd dari Abu Sa‘id al-Maqburi dari Abu Hurairah, bahwa setelah dinar untuk pembantu, ia berkata, “Aku punya satu lagi, tidak ada lagi selain itu.” Beliau bersabda, “Belanjakanlah di jalan Allah, dan itu yang paling sedikit pahalanya.”

قَالَ سَعِيدٌ الْمُقْبُرِيُّ: فكان أبو هريرة إذا حدث بهذا الحديث قَالَ يَقُولُ وَلَدُكَ أَنْفِقْ عَلَيَّ إِلَى مَنْ تَكِلُنِي، وَتَقُولُ زَوْجَتُكَ أَنْفِقْ عَلَيَّ أَوْ طَلِّقْنِي، وَيَقُولُ خَادِمُكَ أَنْفِقْ عَلَيَّ أَوْ بِعْنِي، وَهَذَا أَعَمُّ حَدِيثٍ فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ، لِأَنَّهُ جَمَعَ فِيهِ بَيْنَ وُجُوبِهَا بِنَسَبٍ وَسَبَبٍ.

Sa‘id al-Maqburi berkata: Maka Abu Hurairah jika meriwayatkan hadis ini berkata, “Anakmu berkata, ‘Nafkahi aku, kepada siapa engkau akan menyerahkanku?’ Istrimu berkata, ‘Nafkahi aku atau ceraikan aku.’ Pembantumu berkata, ‘Nafkahi aku atau juallah aku.’” Dan ini adalah hadis yang paling umum tentang kewajiban nafkah, karena di dalamnya terkumpul kewajiban nafkah karena hubungan nasab dan sebab.

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَعُولُ، وَفِيهِ وَجْهَانِ:

Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.” Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُجْمَلٌ لَا يُخْرِجُ الزَّوْجَةَ مِنْ بَيَانِ إِجْمَالِهِ.

Pertama: Bahwa hadis ini bersifat mujmal (umum) dan tidak mengeluarkan istri dari cakupan keumumannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَامٌّ يُدْخِلُ الزَّوْجَةَ فِي جُمْلَةِ عُمُومِهِ.

Kedua: Bahwa hadis ini bersifat umum yang memasukkan istri dalam cakupan keumumannya.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَإِنَّهُ لَا يُعْطِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا آخُذُ مِنْهُ سِرًّا وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَهَلْ عَلَيَّ فِيهِ شَيْءٌ، فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ فَدَلَّ هَذَا الْخَبَرُ عَلَى وجوب نفقة الزوجة الولد، وَاسْتُفِيدَ مِنْهُ سِوَى ذَلِكَ دَلَائِلُ عَلَى أَحْكَامٍ مِنْهَا جَوَازُ بُرُوزِ الْمَرْأَةِ فِيمَا عَرَضَ مِنْ حَاجَةٍ، وَدَلَّ عَلَى جَوَازِ سُؤَالِهَا فِيمَا يَخْتَصُّ بِهَا وَبِغَيْرِهَا مِنَ الْأَحْكَامِ، وَدَلَّ عَلَى جَوَازِ كَلَامِهَا لِلْأَجَانِبِ وَدَلَّ عَلَى جَوَازِ أَنْ يُوصَفَ الْإِنْسَانُ بِمَا فِيهِ وَإِنْ كَانَ ذَمًّا إِذَا تَعَلَّقَ بِمَا عَسُرَ، لِأَنَّهَا نَسَبَتْ أَبَا سُفْيَانَ إِلَى الشُّحِّ وَهُوَ ذَمٌّ وَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ أَنْ يَأْخُذَ حَقَّهُ بِغَيْرِ إِذْنَ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ، لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا فِي أَخْذِ مَا يَكْفِيهَا وَوَلَدَهَا. وَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ حَقَّهُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ إذا عدم الجنسن لِأَنَّهُ لَمْ يُعَيِّنْ عَلَى أَخْذِ مَا تَسْتَحِقُّهُ من قوت أَوْ لِبَاسٍ.

Dan asy-Syafi‘i meriwayatkan dari Anas bin ‘Iyadh dari Hisyam bin ‘Urwah dari ‘Urwah dari ‘Aisyah ra. berkata: Hindun datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, dan ia tidak memberiku dan anakku kecuali apa yang aku ambil darinya secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena itu?” Beliau bersabda, “Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang ma‘ruf.” Maka hadis ini menunjukkan wajibnya nafkah istri dan anak, dan darinya juga diambil beberapa dalil hukum lain, di antaranya: bolehnya perempuan keluar rumah karena kebutuhan yang mendesak; bolehnya ia bertanya tentang perkara yang khusus baginya maupun selainnya dari hukum-hukum; bolehnya ia berbicara dengan laki-laki asing; bolehnya seseorang digambarkan sesuai keadaannya meskipun berupa celaan jika berkaitan dengan hal yang sulit, karena Hindun menisbatkan Abu Sufyan pada sifat kikir dan itu adalah celaan; bolehnya pemilik hak mengambil haknya tanpa izin dari pihak yang berkewajiban, karena Nabi ﷺ mengizinkan Hindun mengambil secukupnya untuk dirinya dan anaknya; dan bolehnya mengambil hak dari selain jenisnya jika jenis yang dimaksud tidak ada, karena Nabi ﷺ tidak menentukan Hindun harus mengambil apa yang menjadi haknya dari makanan pokok atau pakaian saja.

وَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ النَّفَقَةِ بِالْمَعْرُوفِ مِنْ غَيْرِ سَرَفٍ وَلَا تَقْصِيرٍ لِقَوْلِهِ: ” خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ “، وَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الْقَضَاءِ عَلَى الْغَائِبِ، لِأَنَّهُ حَكَمَ عَلَى أَبِي سُفْيَانَ بِالنَّفَقَةِ وَلَمْ يَكُنْ حَاضِرًا.

Teks ini menunjukkan kewajiban memberikan nafkah secara patut, tanpa berlebihan dan tanpa kekurangan, berdasarkan sabda Nabi: “Ambillah apa yang cukup bagimu dan anakmu secara patut.” Teks ini juga menunjukkan bolehnya memutuskan perkara terhadap orang yang tidak hadir, karena Nabi memutuskan kewajiban nafkah atas Abu Sufyan padahal ia tidak hadir.

وَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَحْكُمَ بِعِلْمِهِ، لِأَنَّهُ حَكَمَ لَهَا بِالنَّفَقَةِ فِي مَالِ أَبِي سُفْيَانَ لِعِلْمِهِ بِأَنَّهَا زَوْجَتُهُ وَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِلْأُمِّ وِلَايَةً عَلَى وَلَدِهَا إِذَا كَانَ صَغِيرًا لِقَوْلِهِ: ” خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ ” وَأَمَّا الْمَعْقُولُ مِنْ معاني لمن مَعَانِي الْأُصُولِ، فَهُوَ أَنَّ الزَّوْجَةَ مَحْبُوسَةُ الْمَنَافِعِ عَلَيْهِ وَمَمْنُوعَةٌ مِنَ التَّصَرُّفِ لِحَقِّهِ فِي الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فَوَجَبَ لَهَا مُؤْنَتُهَا وَنَفَقَتُهَا كَمَا يَلْزَمُهُ لِمَمْلُوكِهِ الْمَوْقُوفِ عَلَى خِدْمَتِهِ وَكَمَا يَلْزَمُ الْإِمَامَ فِي بَيْتِ الْمَالِ نَفَقَاتُ أَهْلِ النَّفِيرِ لِاحْتِبَاسِ نُفُوسِهِمْ عَلَى الْجِهَادِ.

Teks ini juga menunjukkan bahwa hakim boleh memutuskan perkara berdasarkan pengetahuannya sendiri, karena Nabi memutuskan nafkah untuk perempuan itu dari harta Abu Sufyan berdasarkan pengetahuannya bahwa ia adalah istrinya. Selain itu, teks ini menunjukkan bahwa seorang ibu memiliki wewenang atas anaknya yang masih kecil, berdasarkan sabda Nabi: “Ambillah apa yang cukup bagimu dan anakmu secara patut.” Adapun makna rasional yang diambil dari prinsip-prinsip dasar (ma‘ānī al-uṣūl), adalah bahwa istri telah “ditahan” manfaatnya untuk suami dan dicegah dari bertindak bebas demi hak suami dalam menikmati dirinya, maka wajib bagi suami untuk menanggung biaya hidup dan nafkahnya, sebagaimana ia wajib menafkahi budaknya yang dikhususkan untuk melayaninya, dan sebagaimana imam wajib menanggung nafkah para pasukan yang berjuang di jalan Allah karena mereka telah “menahan” diri mereka untuk berjihad.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ نفقات الزوجات واجبة فقد إباحة اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يَنْكِحَ أَرْبَعًا بِقَوْلِهِ: {مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ} [النساء: 3] وَنَدَبَهُ إِلَى الِاقْتِصَارِ عَلَى واحدة بقوله: {فإن خفتم أن لا تعدلوا فواحدة} وَذَهَبَ ابْنُ دَاوُدَ وَطَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ إِلَى أَنَّ الْأَوْلَى أَنْ يَسْتَكْمِلَ نِكَاحَ الْأَرْبَعِ إذا قدر على القيام بهن ولا يتقصر عَلَى وَاحِدَةٍ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَقْتَصِرْ عَلَيْهَا، وَاسْتَحَبَّ الشَّافِعِيُّ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى وَاحِدَةٍ وَإِنْ أُبِيحَ لَهُ أَكْثَرُ. لِيَأْمَنَ الْجَوْرَ بِالْمَيْلِ إِلَى بَعْضِهِنَّ أَوْ بِالْعَجْزِ عَنْ نَفَقَاتِهِنَّ، وَأَوْلَى الْمَذْهَبَيْنِ عِنْدِي اعْتِبَارُ حَالِ الزَّوْجِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ تُقْنِعُهُ الْوَاحِدَةُ فَالْأَوْلَى أَنْ لَا يَزِيدَ عَلَيْهَا، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا تُقْنِعُهُ الْوَاحِدَةُ لِقُوَّةِ شَهْوَتِهِ وَكَثْرَةِ جِمَاعِهِ فَالْأَوْلَى أن ينتهي إلى العدد المقنع من اثنين أَوْ ثَلَاثٍ أَوْ أَرْبَعٍ لِيَكُونَ أَغْنَى لِبَصَرِهِ وَأَعَفَّ لِفَرْجِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Jika telah tetap bahwa nafkah istri-istri itu wajib, maka Allah Ta‘ala telah membolehkan menikahi empat perempuan, sebagaimana firman-Nya: {dua, tiga, dan empat} [an-Nisā’: 3], dan menganjurkan untuk mencukupkan diri dengan satu istri dengan firman-Nya: {Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka satu saja}. Ibn Dāwūd dan sekelompok ahli ẓāhir berpendapat bahwa yang utama adalah menyempurnakan jumlah empat istri jika mampu menunaikan hak-hak mereka, dan tidak cukup dengan satu saja, karena Nabi ﷺ tidak mencukupkan diri dengan satu istri. Sedangkan asy-Syāfi‘ī menganjurkan untuk mencukupkan diri dengan satu istri meskipun dibolehkan lebih dari itu, agar terhindar dari kezaliman akibat condong kepada sebagian istri atau karena tidak mampu menafkahi mereka. Menurutku, pendapat yang lebih utama di antara dua mazhab tersebut adalah mempertimbangkan keadaan suami; jika ia termasuk orang yang merasa cukup dengan satu istri, maka yang utama adalah tidak menambah dari satu. Namun jika ia termasuk orang yang tidak cukup dengan satu istri karena kuatnya syahwat dan banyaknya kebutuhan biologis, maka yang utama adalah mengambil jumlah yang mencukupi, dua, tiga, atau empat, agar lebih menjaga pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Allah Maha Mengetahui.

(الْقَوْلُ فِي وُجُوبِ نَفَقَةِ الْخَادِمِ)

(Pembahasan tentang Kewajiban Nafkah untuk Pembantu)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ بَيَانُ أَنَّ عَلَى الرَجُلِ مَا لَا غِنَى بِامْرَأَتِهِ عَنْهُ مِنْ نَفَقَةٍ وَكِسْوَةٍ وَخِدْمَةٍ فِي الْحَالِ الَّتِي لَا تَقْدِرُ عَلَى مَا لَا صَلَاحَ لِبَدَنِهَا مِنْ زَمَانَةٍ ومرض إلا به (وقال) في كتاب عشرة النساء يحتمل أن يكون عليه لخادمها نفقة إذا كانت ممن لا تخدم نفسها وقال فيه أيضاً إذا لم يكن لها خادم فلا يبين أن يعطيها خادماً ولكن يجبر على من يصنع لها الطعام الذي لا تصنعه هي ويدخل عليها ما لا تخرج لإدخاله من ماء وما يصلحها ولا يجاوز به ذلك (قال المزني) قد أوجب لها في موضع من هذا نفقة خادم وقاله في كتاب النكاح إملاء على مسائل مالك المجموعة وقاله في كتاب النفقة وهو بقوله أولى لأنه لم يختلف قوله أن عليه أن يزكي عن خادمها فكذلك ينفق عليها (قال المزني) رحمه الله: ومما يؤكد ذلك قوله لو أراد أن يخرج عنها أكثر من واحدة أخرجهن “.

Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullah berkata: “Dalam al-Qur’an dan sunnah terdapat penjelasan bahwa seorang laki-laki wajib menanggung apa yang tidak dapat ditinggalkan oleh istrinya berupa nafkah, pakaian, dan pelayanan, dalam keadaan ia tidak mampu melakukan sendiri hal-hal yang penting bagi tubuhnya karena cacat atau sakit kecuali dengan bantuan (pembantu). (Beliau juga berkata) dalam Kitāb ‘Asyrat an-Nisā’, dimungkinkan baginya wajib menanggung nafkah pembantu istrinya jika ia termasuk perempuan yang tidak melayani dirinya sendiri. Beliau juga berkata, jika ia tidak memiliki pembantu, tidak jelas bahwa suami wajib memberinya pembantu, tetapi suami wajib menyediakan orang yang memasakkan makanan yang tidak bisa ia masak sendiri, dan memasukkan ke rumahnya apa yang ia tidak bisa keluarkan sendiri seperti air dan keperluan lain, dan tidak lebih dari itu. (Al-Muzanī berkata) asy-Syāfi‘ī telah mewajibkan nafkah pembantu dalam sebagian tempat, dan beliau menyatakannya dalam Kitāb an-Nikāḥ sebagai penjelasan atas masalah-masalah yang dikumpulkan dari pendapat Mālik, dan juga dalam Kitāb an-Nafaqāt, dan pendapat ini lebih utama karena beliau tidak berbeda pendapat bahwa suami wajib mengeluarkan zakat atas pembantu istrinya, maka demikian pula wajib menafkahinya. (Al-Muzanī rahimahullah berkata): Di antara yang menguatkan hal ini adalah ucapannya, jika ia ingin mengeluarkan lebih dari satu pembantu, maka ia boleh mengeluarkan mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي وُجُوبِ نَفَقَتِهَا فَأَمَّا نَفَقَةُ خَادِمِهَا إِذَا كَانَ مِثْلُهَا مَخْدُومًا فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [النساء: 9] وَالْخِدْمَةُ مِنَ الْمُعَوَّدِ الْمَعْرُوفُ. وَلِقَوْلِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ. فَكَانَ الْخَادِمُ مِنَ الْمَعْرُوفِ. وَلِأَنَّهُ مَلَكَ مِنْهَا الِاسْتِمْتَاعَ الْكَامِلَ فَلَزِمَهُ لَهَا الْكِفَايَةُ الْكَامِلَةُ، فَأَمَّا إِذَا لَمْ يكن مثلها مخدوماً لقياسها بِخِدْمَةِ نَفْسِهَا لَمْ تَلْزَمْهُ نَفَقَةُ خَادِمِهَا لِأَنَّهُ خَارِجٌ مِنْ جُمْلَةِ الْمَعْرُوفِ الْمَأْمُورِ بِهِ فِي حَقِّهَا، وَالِاعْتِبَارُ فِي الْعُرْفِ بِذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Māwardī berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang kewajiban nafkah istri, adapun nafkah pembantunya, jika perempuan seperti itu pada umumnya memiliki pembantu, maka wajib atas suami menanggungnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan bergaullah dengan mereka secara patut} [an-Nisā’: 9], dan pelayanan termasuk kebiasaan yang dikenal. Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Ambillah apa yang cukup bagimu dan anakmu secara patut.” Maka pembantu termasuk dalam kategori “secara patut”. Karena suami telah memiliki hak penuh untuk menikmati istrinya, maka wajib baginya memberikan kecukupan penuh pula. Namun jika perempuan seperti itu pada umumnya tidak memiliki pembantu, maka diqiyaskan dengan dirinya sendiri, sehingga suami tidak wajib menanggung nafkah pembantunya, karena itu di luar kebiasaan yang diperintahkan untuknya. Penilaian dalam urf (kebiasaan masyarakat) dalam hal ini dilihat dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: عُرْفُ الْقَدْرِ وَالْمَنْزِلَةِ. فَإِنَّ عُرْفَ ذَوِي الْأَقْدَارِ بِشَرَفٍ أَوْ يَسَارٍ أَنْ يَخْدُمَهُمْ غَيْرُهُمْ فَلَا يَخْدُمُوا أَنْفُسَهُمْ. وَعُرْفَ مَنِ انْخَفَضَ قَدْرُهُ وَانْحَطَّتْ رُتْبَتُهُ أَنْ يَخْدُمَ نَفْسَهُ وَلَا يُخْدَمَ.

Yang pertama: ‘urf tentang kedudukan dan martabat. Sesungguhnya ‘urf orang-orang yang memiliki kedudukan, baik karena kehormatan maupun kekayaan, adalah bahwa mereka dilayani oleh orang lain dan tidak melayani diri mereka sendiri. Sedangkan ‘urf orang-orang yang rendah kedudukannya dan rendah derajatnya adalah bahwa mereka melayani diri sendiri dan tidak dilayani.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عُرْفُ الْبِلَادِ فَإِنَّ عَادَةَ أَهْلِ الْأَمْصَارِ أَنْ يَسْتَخْدِمُوا وَلَا يَخْدُمُوا، وَعَادَةَ أَهْلِ السَّوَادِ أَنْ يَخْدُمُوا وَلَا يَسْتَخْدِمُوا فَإِذَا كَانَتِ الزَّوْجَةُ مِمَّنْ يُخْدَمُ مِثْلُهَا لِأَنَّهَا مِنْ ذَوِي الْأَقْدَارِ وَسُكَّانِ الْأَمْصَارِ لَزِمَهُ نَفَقَةُ خَادِمِهَا إِلَّا أَنْ تَكُونَ مَرِيضَةً فَيَلْتَزِمَ لَهَا مُدَّةَ مَرَضِهَا وَإِنْ طَالَتْ، نَفَقَةُ خَادِمِهَا لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ كِفَايَتِهَا وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ ثَمَنُ الدَّوَاءِ وَأُجْرَةُ الطَّبِيبِ لِأَنَّ الْخِدْمَةَ قَدْ تَجِبُ فِي حُقُوقِ الزَّوْجَاتِ وَلَا يَجُبْ فِي حُقُوقِهِنَّ الدَّوَاءُ وَالطَّبِيبُ. وَالِاعْتِبَارُ فِي خِدْمَتِهَا بِمَا تَأْخُذُ بِهِ نَفْسَهَا فَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا يُخْدَمُ مِثْلُهَا فَتَرَفَّعَتْ عَنِ الْخِدْمَةِ لَمْ تَلْزَمْ نَفَقَةُ خَادِمِهَا، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ يُخْدَمُ مِثْلُهَا فَتَبَذَّلَتْ فِي الْخِدْمَةِ لَزِمَهُ نَفَقَةُ خَادِمِهَا وَلَا يَلْزَمُهُ لَهَا نفقة اكثر من خادم واحد وإن جلت.

Adapun sisi kedua: ‘urf daerah. Sesungguhnya kebiasaan penduduk kota-kota besar adalah mereka biasa mempekerjakan pelayan dan tidak melayani sendiri, sedangkan kebiasaan penduduk pedesaan adalah mereka melayani sendiri dan tidak mempekerjakan pelayan. Maka jika seorang istri termasuk golongan yang biasa dilayani karena ia berasal dari kalangan terhormat dan penduduk kota, maka suami wajib menanggung nafkah pelayannya, kecuali jika ia sakit, maka suami wajib menanggung nafkah pelayannya selama masa sakitnya, meskipun lama, karena itu termasuk bagian dari kebutuhannya. Namun, suami tidak wajib menanggung biaya obat dan upah dokter, sebab pelayanan bisa menjadi kewajiban dalam hak-hak istri, sedangkan obat dan dokter tidak menjadi kewajiban dalam hak-hak mereka. Penilaian dalam pelayanan ini didasarkan pada kebiasaan dirinya; jika ia termasuk golongan yang tidak biasa dilayani namun ia menolak untuk melayani diri sendiri, maka suami tidak wajib menanggung nafkah pelayannya. Namun jika ia termasuk golongan yang biasa dilayani namun ia bersedia melayani diri sendiri, maka suami tetap wajib menanggung nafkah pelayannya. Suami tidak wajib menanggung nafkah lebih dari satu pelayan, meskipun istri itu sangat terhormat.

وَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا لَمْ تَسْتَقِلَّ بِخَادِمٍ وَاحِدٍ لِجَلَالَةِ الْقَدْرِ وَكَثْرَةِ الْحَشَمِ. أُخِذَ مِنْهَا مَنْ جَرَتْ بِهِمْ عَادَةُ مِثْلِهَا مِنْ عَادَةِ الْخَدَمِ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ. وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ مَا زَادَ عَلَى الْخَادِمِ الْوَاحِدِ مَعَهُ لِزِينَةٍ أَوْ حِفْظِ مَالٍ وَذَلِكَ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ عَلَى الزَّوْجِ، وَجَرَى حُكْمُ مَا زَادَ عَلَى الْخَادِمِ الْوَاحِدِ حُكْمَ مَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ بِأَفْرَاسٍ فَإِنَّهُ لَا يُعْطَى الأسهم فَرْضٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّهُ لَا يُقَاتِلُ إِلَّا عَلَى فَرَسٍ وَاحِدٍ وَمَا عَدَاهُ لِعِدَّةٍ أَوْ زِينَةٍ. “.

Imam Malik berkata: Jika seorang istri tidak cukup dengan satu pelayan karena kemuliaan kedudukannya dan banyaknya pengikutnya, maka diambilkan untuknya sesuai kebiasaan orang-orang seperti dirinya dalam hal jumlah pelayan, berdasarkan pertimbangan ‘urf. Namun pendapat ini tidak benar, karena pelayan yang lebih dari satu biasanya hanya untuk perhiasan atau menjaga harta, dan itu bukan hak yang wajib atas suami. Hukum pelayan lebih dari satu ini seperti orang yang ikut dalam pertempuran dengan beberapa ekor kuda; ia tidak diberi bagian kecuali satu bagian saja, karena ia tidak berperang kecuali dengan satu kuda, sedangkan yang lainnya hanya untuk persiapan atau perhiasan.

[الْقَوْلُ فِي صِفَةِ الْخِدْمَةِ]

[Pembahasan tentang Sifat Pelayanan]

فَإِذَا ثَبَتَ اسْتِحْقَاقُ الْخِدْمَةِ فَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:

Jika telah tetap hak atas pelayanan, maka pembahasannya mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: صِفَةُ الْخِدْمَةِ.

Yang pertama: sifat pelayanan.

وَالثَّانِي: مَنْ يَقُومُ لَهَا بِالْخِدْمَةِ، فَأَمَّا صِفَةُ الْخِدْمَةِ فَهِيَ نَوْعَانِ: خَارِجَةٌ وَدَاخِلَةٌ.

Yang kedua: siapa yang melaksanakan pelayanan untuknya. Adapun sifat pelayanan, maka terbagi menjadi dua: pelayanan luar dan pelayanan dalam.

فَأَمَّا الْخَارِجَةُ فَيَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّاهَا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ مِنَ الْأَحْرَارِ وَالْمَمَالِيكِ، وَأَمَّا الدَّاخِلَةُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقُومَ بِهَا إِلَّا أَحَدُ ثَلَاثَةٍ.

Adapun pelayanan luar, boleh dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, baik dari kalangan merdeka maupun budak. Sedangkan pelayanan dalam, tidak boleh dilakukan kecuali oleh salah satu dari tiga golongan.

إِمَّا النِّسَاءُ، وَإِمَّا ذُو مَحْرَمٍ مِنَ الرِّجَالِ.

Yaitu perempuan, atau laki-laki yang merupakan mahramnya.

وَإِمَّا صَبِيٌّ لَمْ يَحْتَلِمْ، وَفِي الشَّيْخِ الْهَرِمِ وَمَمْلُوكِهَا وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي عَوْرَتِهَا مَعَهُمَا.

Atau anak laki-laki yang belum baligh. Adapun untuk orang tua renta dan budaknya, terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami terkait aurat istri di hadapan mereka.

فَلَوْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَخْدِمَ لَهَا مَنْ خَالَفَ دِينَهَا مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika suami ingin mempekerjakan pelayan yang berbeda agama dengan istrinya, seperti Yahudi atau Nasrani, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، يَجُوزُ لِحُصُولِ الْخِدْمَةِ بِهِمْ، وَلِأَنَّهُمْ رُبَّمَا كَانُوا أَذَلَّ نُفُوسًا وَأَسْرَعَ فِي الْخِدْمَةِ.

Yang pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: boleh, karena pelayanan dapat diperoleh dari mereka, dan karena mereka terkadang lebih rendah hati dan lebih cekatan dalam melayani.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ، لِأَنَّ النَّفْسَ رُبَّمَا عَافَتِ اسْتِخْدَامَهُ، وَلِأَنَّهُمْ رُبَّمَا لَمْ يُؤْمَنُوا لِعَدَاوَةِ الدِّينِ وَلَوْ قِيلَ يَجُوزُ أَنْ يَقُومُوا بِالْخِدْمَةِ الْخَارِجَةِ وَلَا يَقُومُوا بِالْخِدْمَةِ الدَّاخِلَةِ كَانَ وَجْهًا، وَأَمَّا مَنْ يَقُومُ لَهَا بِالْخِدْمَةِ فَالزَّوْجُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ:

Pendapat kedua: tidak boleh, karena jiwa mungkin merasa enggan dilayani oleh mereka, dan karena mereka mungkin tidak dapat dipercaya karena permusuhan agama. Jika dikatakan boleh mereka melakukan pelayanan luar namun tidak untuk pelayanan dalam, maka itu adalah pendapat yang layak dipertimbangkan. Adapun siapa yang melaksanakan pelayanan untuk istri, maka suami memiliki pilihan di antara tiga hal:

أما بأن المشتري خَادِمًا يَقُومُ بِخِدْمَتِهَا، وَإِمَّا بِأَنْ يَكْتَرِيَ لَهَا خَادِمًا، وَإِمَّا بِأَنْ يَكُونَ لَهَا خَادِمٌ يُنْفِقُ عَلَيْهِ، وَالْخِيَارُ فِي هَذِهِ الثَّلَاثَةِ إِلَيْهِ دُونَهَا، لِأَنَّ حَقَُّهَا فِي الْخِدْمَةِ، فَأَمَّا إِنْ أَرَادَ الزَّوْجُ أَنْ يَخْدُمَهَا بِنَفْسِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Pertama, dengan membelikan pelayan yang melayani istrinya; kedua, dengan menyewa pelayan untuknya; ketiga, jika istri sudah memiliki pelayan, maka suami menanggung nafkah pelayan tersebut. Pilihan di antara tiga hal ini ada pada suami, bukan pada istri, karena hak istri adalah mendapatkan pelayanan. Namun, jika suami ingin melayani istrinya sendiri, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَهُ ذَاكَ لِاسْتِغْنَائِهَا بِخِدْمَتِهِ:

Salah satu pendapat: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu Ali bin Abi Hurairah, bahwa istri berhak atas hal itu karena ia cukup dengan pelayanannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ ذَاكَ لِأَنَّهَا قد تحتشمه من الِاسْتِخْدَامِ فَيَلْحَقُهَا تَقْصِيرٌ، فَلَوْ قَالَتْ أُرِيدُ أَنْ أَخْدُمَ نَفْسِي وَآخُذَ أُجْرَةَ خَادِمِي لَمْ يَكُنْ لَهَا ذَلِكَ كَالْعَامِلِ فِي الْمُضَارَبَةِ لَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ لِلْمَالِ حَمَّالًا وَنَقَّالًا، فَلَوْ تَكَلَّفَ حَمْلَهُ بِنَفْسِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ أُجْرَةَ حَمْلِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ تَطَوَّعَ إِنْسَانٌ بِخِدْمَتِهَا سَقَطَتْ خِدْمَتُهَا عَنِ الزَّوْجِ سَوَاءٌ تَطَوَّعَ بِالْخِدْمَةِ عَنْهَا أَوْ عَنِ الزَّوْجِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْخَادِمِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ.

Pendapat kedua: ia tidak berhak atas hal itu karena bisa jadi ia merasa sungkan untuk menggunakan pelayan, sehingga terjadi kekurangan dalam pelayanannya. Maka jika ia berkata, “Aku ingin melayani diriku sendiri dan mengambil upah pelayanku,” maka ia tidak berhak atas hal itu, seperti pekerja dalam akad mudharabah yang boleh menyewa orang untuk membawa dan mengangkut barang, namun jika ia memaksakan diri membawa barang itu sendiri, ia tidak berhak mengambil upah atas pekerjaannya itu. Demikian pula jika ada seseorang yang secara sukarela melayaninya, maka kewajiban pelayanan dari suami gugur, baik pelayanan itu dilakukan atas nama istri atau atas nama suami. Jika demikian, maka keadaan pelayan tidak lepas dari tiga kemungkinan.

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مُشْتَرًى فَالْمُسْتَحَقُّ عَلَى الزَّوْجِ نَفَقَتُهُ، وَزَكَاةُ فِطْرِهِ سَوَاءٌ كَانَ مِلْكًا لَهَا أَوْ لِلزَّوْجِ.

Pertama: pelayan itu dibeli, maka yang wajib atas suami adalah menafkahinya dan membayar zakat fitrahnya, baik pelayan itu milik istri maupun milik suami.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُكْتَرًى فَعَلَى الزَّوْجِ أُجْرَتُهُ وَلَا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ، وَلَا زَكَاةُ فَطَرِهِ.

Kedua: pelayan itu disewa, maka atas suami wajib membayar upahnya, namun tidak wajib menafkahinya dan tidak pula membayar zakat fitrahnya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مُتَطَوِّعًا فَلَا يَلْزَمُ الزَّوْجَ أُجْرَتُهُ وَلَا نَفَقَتُهُ.

Ketiga: pelayan itu sukarela, maka suami tidak wajib membayar upah maupun menafkahinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ رَأَى الشَّافِعِيَّ قَدْ أَوْجَبَ نَفَقَةَ خَادِمِهَا في موضع ولم يوجبها في موض فَوَهِمَ وَتَصَوَّرَ أَنَّهُ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ جَوَابُهُ لِاخْتِلَافِ حَالَيْنِ، اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِمَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Adapun al-Muzani, ia melihat bahwa Imam Syafi‘i mewajibkan nafkah pelayan istri dalam satu keadaan dan tidak mewajibkannya dalam keadaan lain, lalu ia keliru dan mengira bahwa hal itu merupakan perbedaan dua pendapat. Padahal, perbedaan jawaban itu karena perbedaan dua keadaan, yang para sahabat kami berbeda pendapat di dalamnya menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَوْضِعَ الَّذِي أَوْجَبَ فِيهِ نَفَقَةَ خَادِمِهَا إِذَا كَانَ مِثْلُهَا مَخْدُومًا، والموضع الذي أسقط فيه نفقة خادمها إذا كَانَ مِثْلُهَا غَيْرَ مَخْدُومٍ.

Pertama: bahwa keadaan di mana Syafi‘i mewajibkan nafkah pelayan istri adalah jika perempuan seperti itu memang biasa dilayani, dan keadaan di mana ia tidak mewajibkan nafkah pelayan istri adalah jika perempuan seperti itu tidak biasa dilayani.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ اخْتِلَافَ حَالَيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ. فَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَوْجَبَ فِيهِ نَفَقَةَ خَادِمِهَا إِذَا كَانَ مشتراً. والموضع الذي أسقط فيه نفقة خادمها إذا كان مكترا، ثُمَّ وَهِمَ الْمُزَنِيُّ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ فَقَالَ: قد أوجب زكاة فطرته وَلَمْ يُوجِبْ نَفَقَتَهُ وَهَذَا أَظْهَرُ وهْمًا مِنَ الأول، لأن زكاة الفطر لابن م إِلَّا بِلُزُومِ النَّفَقَةِ وَقَدْ تَلْزَمُ النَّفَقَةُ وَإِنْ لم تلزم زكاة الفطرة.

Pendapat kedua: bahwa perbedaan dua keadaan itu bukan seperti ini. Keadaan di mana ia mewajibkan nafkah pelayan istri adalah jika pelayan itu dibeli, dan keadaan di mana ia tidak mewajibkan nafkah pelayan istri adalah jika pelayan itu disewa. Kemudian al-Muzani juga keliru dari sisi lain, ia berkata: “Syafi‘i mewajibkan zakat fitrah pelayan namun tidak mewajibkan nafkahnya.” Ini lebih jelas kekeliruannya daripada yang pertama, karena zakat fitrah tidak wajib kecuali jika nafkahnya juga wajib, dan bisa jadi nafkah wajib namun zakat fitrah tidak wajib.

(القول في نفقة المكاتب)

(Pembahasan tentang nafkah bagi mukatab)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُنْفِقُ الْمُكَاتَبُ عَلَى وَلَدِهِ مِنْ أَمَتِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Mukatab menafkahi anaknya dari budaknya perempuan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِوَلَدِ الْمُكَاتَبِ حَالَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena anak mukatab memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِنْ زَوْجَتِهِ وَالْخِلَافُ فِيهِ يَأْتِي.

Pertama: anak itu dari istrinya, dan perbedaan pendapat tentangnya akan dijelaskan kemudian.

والثاني: أَنْ يَكُونَ مِنْ أَمَةٍ اشْتَرَاهَا فِي كِتَابَتِهِ فَأَوْلَدَهَا بِإِذْنِ السَّيِّدِ أَوْ غَيْرِ إِذْنِهِ، فَهُوَ لَاحِقٌ بِهِ بِالْمِلْكِ أَوْ بِشُبْهَةِ الْمِلِكِ وَهُوَ تَابِعٌ لِأَبِيهِ بِعِتْقِهِ إِنْ أَدَّى وَيَرِقُّ بِرِقِّهِ إِنْ عَجَزَ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَزِمَهُ أَنْ ينفق عليه مما بيده من ماله الْكِتَابَةِ، وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَى الْعَبْدِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى وَلَدِهِ لِِأَمْرَيْنِ:

Kedua: anak itu dari budak perempuan yang ia beli dalam masa kitabah, lalu ia menghamilinya dengan izin tuannya atau tanpa izin, maka anak itu mengikuti status ayahnya, baik dalam hal kepemilikan maupun syubhat kepemilikan. Anak itu mengikuti ayahnya dalam kemerdekaan jika ayahnya melunasi kitabah, dan menjadi budak jika ayahnya gagal melunasi. Jika demikian, maka mukatab wajib menafkahi anaknya dari harta yang ia miliki dalam akad kitabah, meskipun seorang budak tidak wajib menafkahi anaknya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُكَاتَبَ يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ وَلَا يَجُوزُ تَصَرُّفُ الْعَبْدِ.

Pertama: mukatab boleh melakukan transaksi, sedangkan budak tidak boleh melakukan transaksi.

وَالثَّانِي: أَنَّ وَلَدَ الْمُكَاتَبِ مِنْ أَمَتِهِ تَابِعٌ لَهُ إِنْ عَتَقَ وَعَائِدٌ إِلَى سَيِّدِهِ إِنْ رُقَّ، فَخَالَفَ وَلَدَ الْعَبْدِ، وَلِأَنَّهُ إِنْ أُعْتِقَ فَمَالُهُ لَهُ: فَجَازَ أَنْ يُنْفِقَ مِنْهُ عَلَى وَلَدِهِ. وَإِنْ رُقَّ فَمَالُهُ لِسَيِّدِهِ، وَهُوَ وَوَلَدُهُ مَمْلُوكَانِ لِلسَّيِّدِ وَمَا بِيَدِهِ لِلسَّيِّدِ، فَجَازَ أَنْ يُنْفِقَ مِنْ مَالِ السَّيِّدِ عَلَى مَمْلُوكِهِ.

Kedua: anak mukatab dari budak perempuannya mengikuti ayahnya jika ia merdeka, dan kembali kepada tuannya jika ia menjadi budak, sehingga berbeda dengan anak budak. Jika ia merdeka, maka hartanya menjadi miliknya, sehingga boleh menafkahi anaknya dari hartanya. Jika ia menjadi budak, maka hartanya menjadi milik tuannya, dan ia serta anaknya menjadi milik tuannya, sehingga boleh menafkahi budaknya dari harta tuannya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ، وَلَوْ كَانَتِ امْرَأَتُهُ مُكَاتَبَةٍ وَلَيْسَتْ كِتَابَتُهُمَا وَاحِدَةً وَلَا مَوْلَاهُمَا وَاحِدًا وولدته فِي الْكِتَابَةِ أَوْلَادٌ فَنَفَقَتَهُمْ عَلَى الْأُمِّ لِأَنَّهَا أَحَقُّ بِهِمْ وَيُعْتَقُونَ بِعِتْقِهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan ia berkata dalam Kitab Nikah: Jika istrinya adalah seorang mukatab dan kitabah mereka tidak sama serta tuan mereka juga berbeda, lalu ia melahirkan anak-anak dalam masa kitabah, maka nafkah mereka atas ibu mereka karena ia lebih berhak atas mereka, dan mereka merdeka dengan kemerdekaan ibunya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا وَلَدُ الْمُكَاتَبِ مِنْ زَوْجَتِهِ فَلَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Adapun anak dari seorang mukatab dari istrinya, maka tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مِنْ حُرَّةٍ فَهُوَ حُرٌّ وَنَفَقَتُهُ عَلَى أُمِّهِ دُونَ أَبِيهِ، لِأَنَّ مَا بِيَدِ الْأَبِ الْمُكَاتَبِ مَوْقُوفٌ عَلَى سَيِّدِهِ بِأَنْ يَصِيرَ إِلَيْهِ بِالْأَدَاءِ إِنْ عَتَقَ أَوْ بِالْمِلْكِ إِنْ عَجَزَ وَرُقَّ فَلِذَلِكَ يُمْنَعُ من الإنفاق على ولده الحر، لأنه لاحق فِيهِ لِلسَّيِّدِ. وَلَمْ يُمْنَعْ مِنَ الْإِنْفَاقِ عَلَى وَلَدِهِ مَنْ أَمَتِهِ لِمَا فِيهِ مِنْ حَقِّ السَّيِّدِ، وَإِذَا سَقَطَتْ نَفَقَتُهُ عَنِ الْأَبِ وَجَبَتْ عَلَى الْأُمِّ، كَمَا لَوْ أَعْسَرَ بِهَا الْأَبُ الحر.

Pertama: Jika anak itu dari seorang wanita merdeka, maka anak itu merdeka dan nafkahnya menjadi tanggungan ibunya, bukan ayahnya. Sebab, harta yang ada di tangan ayah yang mukatab itu masih tergantung pada tuannya, yaitu akan menjadi milik tuannya jika ia gagal membayar atau menjadi miliknya sendiri jika ia melunasi pembayaran dan merdeka. Oleh karena itu, ia tidak diperbolehkan menafkahi anaknya yang merdeka, karena tuannya masih memiliki hak atas harta tersebut. Namun, ia tidak dilarang menafkahi anaknya dari budaknya, karena di dalamnya terdapat hak tuan. Jika nafkah anak gugur dari ayah, maka menjadi kewajiban ibu, sebagaimana jika ayah yang merdeka tidak mampu menafkahi anaknya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ وَلَدُهُ مِنْ مَمْلُوكَةٍ فَهُوَ مَمْلُوكٌ لِسَيِّدِ الْأُمِّ وَنَفَقَتُهُ عَلَيْهِ وَتَسْقُطُ عَنْ أُمِّهِ لِرِقِّهَا وَعَنْ أَبِيهِ لِكِتَابَتِهِ.

Kedua: Jika anaknya dari seorang budak perempuan, maka anak itu menjadi milik tuan ibunya dan nafkahnya menjadi tanggungan tuan tersebut, serta gugur dari ibunya karena statusnya sebagai budak, dan dari ayahnya karena statusnya sebagai mukatab.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ وَلَدُهُ مِنْ مُكَاتَبَةٍ: فَلَا يَكُونُ الْوَلَدُ تَبَعًا لِلْأَبِ، وَهَلْ يَكُونُ تَبَعًا لِأُمِّهِ أَوْ مِلْكًا لِلسَّيِّدِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Ketiga: Jika anaknya dari seorang wanita mukatabah, maka anak itu tidak mengikuti status ayahnya. Apakah ia mengikuti status ibunya atau menjadi milik tuan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ مِلْكًا لِسَيِّدِهَا وَيَجُوزُ لَهُ بَيْعُهُ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ نَفَقَتُهُ عَلَى سَيِّدِهَا دُونَهَا وَدُونَ الْأَبِ.

Salah satunya: Anak itu menjadi milik tuan ibunya dan tuan tersebut boleh menjualnya. Dalam hal ini, nafkah anak menjadi tanggungan tuan ibunya, bukan ibunya dan bukan pula ayahnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونُ تَبَعًا لَهَا يُعْتَقُ بِعِتْقِهَا وَيَرِقُّ بِرِقِّهَا كَمَا قُلْنَا فِي وَلَدِ الْمُكَاتَبِ مِنْ أَمَتِهِ، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ نَفَقَتُهُ عَلَى أُمِّهِ دُونَ أَبِيهِ، لِأَنَّهُ يَتْبَعُهَا فِي الْعِتْقِ وَالرِّقِّ دُونَ الْأَبِ، فَإِنْ أَرَادَ الْأَبُ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ نُظِرَ فِي الْأَبَوَيْنِ، فَإِنْ كَانَا مُكَاتَبَيْنِ لِسَيِّدَيْنِ لَمْ يَجُزْ لِلْأَبِ أن ينفق عليه، لأن سيد الأب لاحق لَهُ فِي وَلَدِ الْمُكَاتَبَةِ، وَإِنْ كَانَا لِسَيِّدٍ وَاحِدٍ كَاتَبَهُمَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ أَوْ فِي عَقْدَيْنِ جَازَ لِلْأَبِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ. وَإِنْ وَجَبَتْ عَلَى الْأُمِّ؛ لِأَنَّ لِسَيِّدِهِ حَقًّا فِي ولده.

Pendapat kedua: Anak itu mengikuti status ibunya, ia merdeka jika ibunya merdeka dan menjadi budak jika ibunya menjadi budak, sebagaimana telah dijelaskan pada anak mukatab dari budaknya. Dalam hal ini, nafkah anak menjadi tanggungan ibunya, bukan ayahnya, karena ia mengikuti ibunya dalam hal kemerdekaan dan perbudakan, bukan ayahnya. Jika ayah ingin menafkahi anak tersebut, maka dilihat status kedua orang tuanya. Jika keduanya mukatab kepada dua tuan yang berbeda, maka ayah tidak boleh menafkahi anak tersebut, karena tuan ayah memiliki hak atas anak mukatabah. Namun, jika keduanya mukatab kepada satu tuan, baik dalam satu akad maupun dua akad yang berbeda, maka ayah boleh menafkahi anak tersebut. Namun, jika nafkah tetap menjadi kewajiban ibu, karena tuan anak tersebut memiliki hak atasnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ عَلَى الْعَبْدِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى وَلَدِهِ مِنَ امْرَأَةٍ حُرَّةٍ وَلَا أَمَةٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Seorang budak tidak wajib menafkahi anaknya, baik dari wanita merdeka maupun budak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ مِنْ حُرَّةٍ فَهُوَ حُرٌّ وَنَفَقَةُ الْوَلَدِ الْحُرِّ وَاجِبَةٌ عَلَى الْحُرِّ مِنْ أَبَوَيْهِ دُونَ الْمَمْلُوكِ. وَإِنْ كَانَ مِنْ مَمْلُوكَةٍ فَهُوَ مَمْلُوكٌ لِسَيِّدِ الْأُمِّ، وَنَفَقَةُ الْمَمْلُوكِ عَلَى سَيِّدِهِ دُونَ أَبِيهِ، فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ الْعَبْدُ تَلْزَمُهُ نَفَقَةُ زَوْجَتِهِ فَهَلَّا وَجَبَتْ عَلَيْهِ نَفَقَةُ وَلَدِهِ؟ قِيلَ: لِأَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ مُعَاوَضَةٌ فِي مُقَابَلَةِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، فَلَمَّا مَلَكَ الِاسْتِمْتَاعَ مَلَكَ عَلَيْهِ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ النَّفَقَةِ وَلَيْسَتْ نَفَقَةُ الْوَلَدِ كَذَلِكَ لِأَنَّهَا مُوَاسَاةٌ وَلَيْسَ الْعَبْدُ مِنْ أَهْلِهَا وَلِذَلِكَ سَقَطَتْ عَنْهُ الزَّكَاةُ لِخُرُوجِهِ مَنْ أَهْلِ الْمُوَاسَاةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Karena jika anak itu dari wanita merdeka, maka ia merdeka dan nafkah anak merdeka wajib ditanggung oleh orang tua yang merdeka, bukan oleh yang berstatus budak. Jika anak itu dari budak perempuan, maka ia menjadi milik tuan ibunya dan nafkahnya menjadi tanggungan tuan, bukan ayahnya. Jika ada yang bertanya: Bukankah seorang budak wajib menafkahi istrinya, lalu mengapa tidak wajib menafkahi anaknya? Jawabnya: Karena nafkah istri merupakan kompensasi atas hak menikmati istri, sehingga ketika ia memiliki hak tersebut, ia juga wajib menanggung nafkah sebagai kompensasinya. Sedangkan nafkah anak bukan demikian, karena ia merupakan bentuk solidaritas, dan budak bukan termasuk orang yang wajib menanggung solidaritas tersebut. Oleh karena itu, zakat juga tidak diwajibkan atasnya karena ia bukan termasuk golongan yang wajib menunaikan solidaritas. Wallahu a‘lam.

باب قدر النفقة

(Bab tentang kadar nafkah)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” عَلَيْهِ النَّفَقَةُ نَفَقَتَانِ نَفَقَةُ الْمُوسِعِ وَنَفَقَةُ الْمُقْتِرِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عليه رزقه}

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Nafkah itu ada dua macam: nafkah orang yang lapang dan nafkah orang yang sempit. Allah Ta‘ala berfirman: {Hendaklah orang yang mempunyai kelapangan memberi nafkah menurut kelapangannya; dan orang yang disempitkan rezekinya…}”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: نَفَقَاتُ الزَّوْجَاتِ مُقَدَّرَةٌ تَخْتَلِفُ بِالْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ، وَيُعْتَبَرُ فِيهَا حَالُ الزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا تَقَدَّرَتْ بِمُدَّيْنِ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا تَقَدَّرَتْ بِمُدٍّ، وَإِنْ كَانَ مُتَوَسِّطًا تَقَدَّرَتْ بِمُدٍّ وَنِصْفٍ.

Al-Mawardi berkata: Nafkah para istri telah ditetapkan kadarnya, berbeda-beda sesuai dengan kelapangan dan kesempitan (ekonomi). Yang dijadikan ukuran adalah keadaan suami, bukan istri. Jika suami berkecukupan, maka kadarnya dua mud; jika suami dalam kesulitan, maka kadarnya satu mud; dan jika suami berada di tengah-tengah, maka kadarnya satu setengah mud.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالُكٌ: نَفَقَةُ الزَّوْجِيَّةِ مُعْتَبَرَةٌ بِكِفَايَتِهَا، وَلَا اعْتِبَارَ بِيَسَارِ الزَّوْجِ وَإِعْسَارِهِ فَخَالَفُوا فِي الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ، فَلَمْ يَجْعَلُوهَا مُقَدَّرَةً وَلَا مُعْتَبَرَةً بِحَالِ الزَّوْجِ وَلَا مُخْتَلِفَةً بِالْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ. وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِهِنْدٍ: ” خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ “. فَأَذِنَ لَهَا فِي أَخْذِ كِفَايَتِهَا، وَجَمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلَدِهَا، وَنَفَقَةُ وَلَدِهَا مُعْتَبَرَةٌ بِالْكِفَايَةِ، وَهُوَ لَا يَأْذَنُ لَهَا إِلَّا فِيمَا تَسْتَحِقُّهُ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْكِفَايَةَ هِيَ الْقَدْرُ الْمُسْتَحَقُّ، وَلِأَنَّ نَفَقَتَهَا فِي مُقَابَلَةِ تَمْكِينِ الزَّوْجِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ، وَالتَّمْكِينُ مُعْتَبَرٌ بِكِفَايَةِ الزَّوْجِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ ما في مقابلته من النفقة معتبراً بكافية الزَّوْجَةِ كَالْمُقَاتِلَةِ لَمَّا يَلْزَمُهُمْ كِفَايَةُ الْمُسْلِمِينَ جِهَادَ عَدُوِّهِمُ اسْتَحَقُّوا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فِي بَيْتِ مَالِهِمْ قَدْرَ كِفَايَتِهِمْ، وَلِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ النَّفَقَةِ يَكُونُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: بِنَسَبٍ، وَزَوْجِيَّةٍ، وَمِلْكٍ، فَلَمَّا كَانَ الْمُسْتَحَقُّ بِالنَّسَبِ وَالْمِلْكِ مُعْتَبَرًا بِالْكِفَايَةِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمُسْتَحَقُّ بِالزَّوْجِيَّةِ مُعْتَبَرًا بِالْكِفَايَةِ.

Abu Hanifah dan Malik berkata: Nafkah istri ditentukan berdasarkan kecukupannya, dan tidak mempertimbangkan keadaan suami apakah kaya atau miskin. Dengan demikian, mereka berbeda pendapat dalam tiga hukum tersebut; mereka tidak menjadikannya sebagai nafkah yang ditetapkan ukurannya, tidak pula berdasarkan keadaan suami, dan tidak pula berbeda menurut kaya atau miskinnya suami. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah ﷺ kepada Hindun: “Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang makruf.” Maka beliau membolehkan Hindun mengambil secukupnya, dan menggabungkan antara dirinya dan anaknya, sedangkan nafkah anaknya juga ditentukan berdasarkan kecukupan. Dan beliau tidak mengizinkan kecuali pada apa yang memang menjadi haknya, sehingga hal ini menunjukkan bahwa kecukupan adalah kadar yang berhak diterima. Karena nafkah istri itu sebagai imbalan atas suami yang dapat menikmati istrinya, dan pemanfaatan itu sendiri ditentukan berdasarkan kecukupan suami, maka wajib pula agar nafkah yang menjadi imbalannya ditentukan berdasarkan kecukupan istri, sebagaimana para mujahid (pejuang) ketika mereka wajib berjihad melawan musuh-musuh kaum Muslimin, mereka berhak mendapatkan dari Baitul Mal kaum Muslimin kadar kecukupan mereka. Dan karena hak mendapatkan nafkah itu ada dari tiga sebab: karena nasab, pernikahan, dan kepemilikan. Maka ketika yang berhak karena nasab dan kepemilikan ditentukan berdasarkan kecukupan, maka wajib pula yang berhak karena pernikahan ditentukan berdasarkan kecukupan.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهَا جِهَةٌ تَسْتَحِقُّ بِهَا النَّفَقَةَ.

Penjelasannya adalah bahwa pernikahan merupakan sebab yang dengannya seseorang berhak mendapatkan nafkah.

فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ مُعْتَبَرَةً بِالْكِفَايَةِ كَالنَّسَبِ وَالْمِلْكِ.

Maka wajiblah nafkah itu ditentukan berdasarkan kecukupan, sebagaimana pada nasab dan kepemilikan.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ} [الطلاق: 7] . فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى اعْتِبَارِ النَّفَقَةِ بِالزَّوْجِ وَاخْتِلَافِهَا بِيَسَارِهِ وَإِعْسَارِهِ. فَسَقَطَ بِذَلِكَ اعْتِبَارُ كِفَايَتِهَا وَلَا يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى نَفَقَةِ الْمُرْضِعَةِ؛ لِأَنَّهَا لَا تَخْتَلِفُ بِالْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ، وَلِأَنَّهَا أُجْرَةٌ مُقَدَّرَةٌ، وَلِأَنَّ الْمَالَ الْمُسْتَحَقَّ بِالزَّوْجِيَّةِ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُقَدَّرًا كَالْمَهْرِ، وَلِأَنَّ مَا اسْتَقَرَّ ثُبُوتُهُ فِي الذِّمَّةِ مِنَ الْإِطْعَامِ إِذَا لَمْ يَسْقُطُ بِالْإِعْسَارِ كَانَ مُقَدَّرًا كَالْكَفَّارَاتِ. وَلِأَنَّ اعْتِبَارَهَا بِالْكِفَايَةِ مُفْضٍ إِلَى التَّنَازُعِ فِي قَدْرِهَا. فَكَانَ تَقْدِيرُهَا بِالشَّرْعِ حَسْمًا لِلتَّنَازُعِ فِيهِ أَوْلَى كَدِيَةِ الْجَنِينِ.

Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya} (QS. Ath-Thalaq: 7). Ayat ini menunjukkan bahwa nafkah itu ditentukan berdasarkan keadaan suami dan berbeda menurut kaya atau miskinnya. Dengan demikian, pertimbangan kecukupan istri menjadi gugur. Tidak boleh pula ayat ini dibawa pada nafkah ibu susu, karena nafkah ibu susu tidak berbeda antara kaya dan miskin, dan karena ia adalah upah yang telah ditetapkan. Juga karena harta yang menjadi hak istri karena pernikahan haruslah ditetapkan ukurannya seperti mahar. Dan apa yang telah tetap menjadi tanggungan berupa makanan, jika tidak gugur karena kemiskinan, maka haruslah ditetapkan ukurannya seperti kafarat. Dan karena jika nafkah ditentukan berdasarkan kecukupan, hal itu akan menimbulkan perselisihan tentang kadarnya. Maka penetapan ukurannya secara syar‘i lebih utama untuk menghindari perselisihan, sebagaimana diyat janin.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ هِنْدٍ. فَهُوَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَذِنَ لَهَا أَنْ تَأْخُذَ بِالْمَعْرُوفِ، وَالْمَعْرُوفُ أَنْ لَا تَأْخُذَ فِي الْإِعْسَارِ مَا تَأْخُذُهُ فِي الْيَسَارِ.

Adapun jawaban atas hadis Hindun, maka Nabi ﷺ membolehkannya mengambil dengan cara yang makruf, dan yang makruf adalah tidak mengambil pada saat suami miskin sebagaimana yang diambil pada saat suami kaya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ الِاسْتِمْتَاعِ الْمُعْتَبَرِ بِالْكِفَايَةِ كَالْمُجَاهِدِينَ. فَهُوَ أَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ فِي مُقَابَلَةِ بَدَلٍ مُسْتَحَقٍّ بِعَقْدٍ فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْعِوَضِ، وَإِنَّمَا يَجِبُ بِالِانْقِطَاعِ عَنِ الْتِمَاسِ الْكِفَايَةِ فَجَازَ أَنْ لَا يُسْتَحَقَّ بِهَا قَدْرُ الْكِفَايَةِ.

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa nafkah istri sebagai imbalan atas kenikmatan yang ditentukan berdasarkan kecukupan seperti para mujahid, maka nafkah istri adalah sebagai imbalan yang wajib karena akad, sehingga berlaku hukum imbalan. Dan sesungguhnya nafkah itu wajib karena terputusnya istri dari mencari kecukupan, maka boleh jadi nafkah yang diterima tidak mencapai kadar kecukupan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى نَفَقَاتِ الْأَقَارِبِ وَالْمَمَالِيكِ، فَالْمَعْنَى فِيهَا أَنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ مِنْ غَيْرِ بَدَلٍ فَجَازَ أَنْ تَكُونَ غير مقدرة، ونفقة الزوجة مستحق عَنْ بَدَلٍ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ مُقَدَّرَةً كَالْأُجُورِ وَالْأَثْمَانِ.

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap nafkah kerabat dan budak, maka maknanya adalah bahwa nafkah tersebut menjadi hak tanpa adanya imbalan, sehingga boleh tidak ditetapkan ukurannya. Sedangkan nafkah istri adalah hak atas imbalan, maka wajib ditetapkan ukurannya seperti upah dan harga.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: النَّفَقَةُ نَفَقَتَانِ، نَفَقَةُ الْمُوسِرِ، وَنَفَقَةُ الْمُعْسِرِ، ثُمَّ قَدَّرَهَا ثَلَاثَ نَفَقَاتٍ. مُوسِرٌ وَمُعْسِرٌ وَمُتَوَسِّطٌ فَنَقَضَ بَعْضُ كَلَامِهِ بَعْضًا.

Jika dikatakan: Sesungguhnya asy-Syafi‘i berkata, “Nafkah itu ada dua: nafkah orang kaya dan nafkah orang miskin.” Namun kemudian ia menetapkannya menjadi tiga: kaya, miskin, dan pertengahan. Maka sebagian ucapannya bertentangan dengan sebagian yang lain.

قِيلَ: أَرَادَ الْمُعْتَبَرُ بِالشَّرْحِ نَفَقَتَانِ يَسَارٌ وَإِعْسَارٌ، وَالثَّالِثَةُ مُعْتَبِرَةٌ بِالِاجْتِهَادِ لِتَوَسُّطِهَا بين اليسار والإعسار.

Dikatakan: Yang dimaksud dengan nafkah menurut penjelasan adalah dua macam, yaitu nafkah orang yang mampu dan yang tidak mampu, sedangkan yang ketiga dipertimbangkan dengan ijtihad karena posisinya di tengah-tengah antara mampu dan tidak mampu.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَأَمَّا مَا يَلْزَمُ الْمُقْتِرَ لِامْرَأَتِهِ إِنْ كَانَ الْأَغْلَبُ بِبَلَدِهَا أَنَّهَا لَا تَكُونُ إِلَّا مَخْدُومَةً عَالَهَا وَخَادِمًا وَاحِدًا بِمَا لَا يَقُومُ بَدَنٌ عَلَى أَقَلَّ مِنْهُ وَذَلِكَ مُدٌّ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي كُلِّ يَوْمٍ مِنْ طَعَامِ الْبَلَدِ الْأَغْلَبِ فِيهَا مِنْ قُوتِ مِثْلِهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Adapun nafkah yang wajib atas suami yang miskin untuk istrinya, jika kebiasaan yang berlaku di negerinya adalah bahwa seorang istri tidaklah hidup kecuali dilayani, maka ia berhak mendapatkan nafkah dan seorang pembantu, dengan kadar yang tidak mungkin tubuh bertahan hidup dengan kurang dari itu, yaitu satu mud dengan takaran mud Nabi ﷺ setiap hari dari makanan pokok yang paling umum di negeri tersebut untuk orang sepertinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:

Al-Mawardi berkata: Pembahasan dalam masalah ini mencakup tiga bagian:

أَحَدُهَا: فِي مِقْدَارِ النَّفَقَةِ.

Pertama: tentang kadar nafkah.

وَالثَّانِي: فِي جِنْسِهَا.

Kedua: tentang jenisnya.

والثالث: في صفتها.

Ketiga: tentang sifatnya.

(الفصل الأول في مقدار النفقة)

(Bagian pertama: tentang kadar nafkah)

فَأَمَّا مِقْدَارُهَا. فَهُوَ مُخْتَلِفٌ بِالْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ وَالتَّوَسُّطِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمِقْدَارُ مُخْتَلِفًا لِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَأَنْ يُعْتَبَرَ بِأَصْلٍ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وَيُؤْخَذَ الْمِقْدَارُ مِنْهُ، فَكَانَ أَوْلَى الْأُصُولِ بِهَا الْكَفَّارَاتُ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun kadarnya, maka berbeda-beda sesuai dengan keadaan mampu, tidak mampu, dan pertengahan. Maka wajib kadar nafkah itu berbeda sesuai perbedaan keadaan, dan harus dipertimbangkan dengan suatu dasar yang dijadikan acuan dan diambil kadarnya darinya. Maka dasar yang paling utama untuk hal ini adalah kafarat karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ طَعَامٌ يُقْصَدُ بِهِ سَدُّ الْجَوْعَةِ.

Pertama: karena itu adalah makanan yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa lapar.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ طَعَامٌ يَسْتَقِرُّ ثُبُوتُهُ فِي الذِّمَّةِ. ثُمَّ وَجَدْنَا أَكْثَرَ الطَّعَامِ الْمُقَدَّرِ فِي الْكَفَّارَاتِ فِدْيَةَ الْأَذَى قُدِّرَ فِيهَا لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدَّانِ فَجَعَلْنَاهُ أَصْلًا لِنَفَقَةِ الْمُوسِرِ، فَأَوْجَبْنَا عَلَيْهِ لِنَفَقَةِ زوجته في يَوْمٍ مُدَّيْنِ وَلِأَنَّهُ أَكْثَرُ مَا يَقْتَاتُهُ الْإِنْسَانُ فِي الْأَغْلَبِ، وَوَجَدْنَا أَقَلَّ الطَّعَامِ الْمُقَدَّرِ فِي الْكَفَّارَاتِ كَفَّارَةَ الْوَطْءِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ. عَلَيْهِ لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدٌّ. فَجَعَلْنَاهُ أَصْلًا لِنَفَقَةِ الْمُعْسِرِ، وَأَوْجَبْنَا عَلَيْهِ لِنَفَقَةِ زَوْجَتِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا، وَلِأَنَّهُ أَقَلُّ مَا يَقْتَاتُهُ الْإِنْسَانُ فِي الْأَغْلَبِ، ثُمَّ وَجَدْنَا الْمُتَوَسِّطَ يَزِيدُ عَلَى حَالِ الْمُقْتِرِ وَيَنْقُصُ عَنْ حَالِ الْمُوسِرِ. فَلَمْ نَعْتَبِرْهُ بِالْمُعْسِرِ لِمَا يَدْخُلُ عَلَى الزَّوْجَةِ مِنْ حَيْفِ النُّقْصَانِ.

Kedua: karena itu adalah makanan yang penetapannya tetap menjadi tanggungan. Kemudian kami dapati bahwa kebanyakan makanan yang ditentukan dalam kafarat, seperti fidyah karena pelanggaran, ditetapkan untuk setiap miskin sebanyak dua mud, maka kami jadikan itu sebagai dasar nafkah bagi orang yang mampu, sehingga kami wajibkan atasnya untuk nafkah istrinya setiap hari dua mud, karena itu adalah makanan terbanyak yang biasa dikonsumsi manusia pada umumnya. Dan kami dapati bahwa makanan paling sedikit yang ditentukan dalam kafarat, seperti kafarat karena berhubungan di bulan Ramadan, adalah satu mud untuk setiap miskin. Maka kami jadikan itu sebagai dasar nafkah bagi orang yang tidak mampu, dan kami wajibkan atasnya untuk nafkah istrinya setiap hari satu mud, karena itu adalah makanan paling sedikit yang biasa dikonsumsi manusia pada umumnya. Kemudian kami dapati bahwa orang yang pertengahan keadaannya lebih banyak dari yang tidak mampu dan kurang dari yang mampu. Maka kami tidak mempertimbangkannya seperti yang tidak mampu karena akan menimbulkan kekurangan bagi istri.

وَلَمْ نَعْتَبِرْهُ بِالْمُوسِرِ لِمَا يَدْخُلُ عَلَى الزَّوْجِ مِنْ حَيْفِ الزِّيَادَةِ فَعَامَلْنَاهُ بِالتَّوَسُّطِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَأَوْجَبْنَا عَلَيْهِ مُدًّا وَنِصْفًا، لِأَنَّهُ نِصْفُ نَفَقَةِ مُوسِرٍ وَنِصْفُ نَفَقَةِ مُعْسِرٍ.

Dan kami tidak mempertimbangkannya seperti yang mampu karena akan menimbulkan kelebihan beban bagi suami. Maka kami perlakukan ia dengan pertengahan antara keduanya, dan kami wajibkan atasnya satu setengah mud, karena itu adalah setengah dari nafkah orang mampu dan setengah dari nafkah orang tidak mampu.

فَأَمَّا الْمُوسِرُ: فَهُوَ الَّذِي يَقْدِرُ عَلَى نَفَقَةِ الْمُوسِرِينَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَحَقِّ كُلِّ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ مِنْ كَسْبِهِ لَا مِنْ أَصْلِ مَالِهِ.

Adapun orang yang mampu adalah orang yang mampu menafkahi dirinya dan setiap orang yang wajib ia nafkahi dari hasil usahanya, bukan dari pokok hartanya.

وَأَمَّا الْمُعْسِرُ: فَهُوَ الَّذِي لَا يَقْدِرُ أَنْ يُنْفِقَ مِنْ كَسْبِهِ عَلَى نَفْسِهِ وَعَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ إِلَّا نَفَقَةَ الْمُعْسِرِينَ، وَإِنْ زَادَ عَلَيْهَا كَانَتْ مِنْ أَصْلِ مَالِهِ لَا مِنْ كَسْبِهِ.

Adapun orang yang tidak mampu adalah orang yang tidak mampu menafkahi dirinya dan orang yang wajib ia nafkahi kecuali dengan kadar nafkah orang yang tidak mampu, dan jika ia menambah dari itu maka berasal dari pokok hartanya, bukan dari hasil usahanya.

وَأَمَّا الْمُتَوَسِّطُ: فَهُوَ الَّذِي يَقْدِرُ أَنْ يُنْفِقَ مِنْ كَسْبِهِ عَلَى نَفْسِهِ وَعَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ نَفَقَةَ الْمُتَوَسِّطِينَ. فَإِنْ زَادَ عَلَيْهَا كَانَتْ مِنْ أَصْلِ مَالِهِ، وَإِنْ نَقَصَ عَنْهَا فَضُلَ مِنْ كَسْبِهِ. فَيَكُونُ الْيَسَارُ وَالْإِعْسَارُ بِالْكَسْبِ فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ، وَلَا يُعْتَبَرُ بِأَصْلِ الْمَالِ، كَمَا يُعْتَبَرُ ذَلِكَ فِي الْكَفَّارَاتِ. وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُقَدَّرَ لِلزَّوْجَةِ وَهُوَ شِبَعَهَا أَوْ كَانَ زَائِدًا أَوْ مُقَصِّرًا، فَإِنْ زَادَ عَلَى شِبَعِهَا كَانَتِ الزِّيَادَةُ مِلْكًا لَهَا، وَإِنْ نَقَصَ وَلَمْ تَقْدِرْ عَلَى التَّشَبُّعِ، بِهِ كَانَ الزَّوْجُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُتَمِّمَ لَهَا قَدْرَ شِبَعِهَا وَبَيْنَ أَنْ يُمَكِّنَهَا مِنَ اكْتِسَابِهِ. فَأَيُّهُمَا فَعَلَ فَلَا خِيَارَ لَهَا. فَإِنْ مَكَّنَهَا فَلَمْ تَقْدِرْ عَلَى اكْتِسَابِ كِفَايَتِهَا صارت من أهل الصدقات تأخذ د باقي كفايتها من الزكوات والكفارات.

Adapun orang yang berada di tingkat menengah adalah orang yang mampu menafkahi dirinya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi dengan pengeluaran sebagaimana umumnya orang-orang menengah. Jika ia menafkahi melebihi kadar tersebut, maka kelebihannya diambil dari harta pokoknya; dan jika kurang dari itu, maka sisanya berasal dari penghasilannya. Maka, kelapangan dan kesempitan dalam kewajiban nafkah diukur berdasarkan penghasilan, bukan berdasarkan harta pokok, sebagaimana hal itu dipertimbangkan dalam kafarat. Baik nafkah yang ditetapkan untuk istri itu sebesar kadar kenyangnya, atau lebih, atau kurang, jika melebihi kadar kenyangnya maka kelebihan itu menjadi milik istri, dan jika kurang sehingga ia tidak dapat merasa kenyang, maka suami diberi pilihan antara menyempurnakan kadar kenyangnya atau membolehkannya mencari penghasilan sendiri. Jika suami memilih salah satu dari keduanya, maka istri tidak memiliki pilihan lain. Jika suami membolehkannya namun ia tidak mampu memperoleh penghasilan yang mencukupi kebutuhannya, maka ia menjadi termasuk golongan yang berhak menerima sedekah, dan ia boleh mengambil sisa kebutuhannya dari zakat dan kafarat.

( [فصل: القول في جنس النفقة] )

([Fashl: Pembahasan tentang jenis nafkah])

وَأَمَّا جِنْسُ النَّفَقَةِ. فَهُوَ الْغَالِبُ مِنْ قُوتِ بَلَدِهِمَا. لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 233] وَذَلِكَ إِشَارَةٌ إِلَى الْعُرْفِ، وَلِأَنَّ الْكَفَّارَاتِ مُعْتَبَرَةٌ بِالنَّفَقَاتِ، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ} [المائدة: 89] ثم كانت الكفارات كفارات من غالب الأقوات، فكانت النفقة بِذَلِكَ أَوْلَى، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، فَغَالَبُ قُوتِ أَهْلِ الْحِجَازِ التَّمْرُ، وَغَالِبُ قُوتِ أَهْلِ الطَّائِفِ الشَّعِيرُ، وَغَالِبُ قُوتِ أَهْلِ الْيَمَنِ الذَّرَّةُ، وَغَالِبُ قُوتِ أَهْلِ الْعِرَاقِ الْبُرُّ، وَغَالِبُ قُوتِ أَهْلِ طَبَرِسْتَانَ الْأُرْزُ. فَيُنْظَرُ فِي غَالِبِ قُوتِ أَهْلِ بَلَدِهِمَا فَتَسْتَحِقُّ نَفَقَتَهَا مِنْهُ، فَإِنِ اخْتَلَفَ قُوتُ بَلَدِهِمَا وَجَبَ لَهَا الْغَالِبُ مِنْ قُوتِ مِثْلِهَا، فَإِنْ كَانَ مُخْتَلِفًا كَانَ الزَّوْجُ مُخَيَّرًا دُونَهَا، فَإِنْ كَانَا مِنْ بَلَدَيْنِ يَخْتَلِفُ قُوتُهُمَا نَظَرَ، فَإِنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ فِي بَلَدِهِ اعْتُبِرَ الْغَالِبُ مِنْ قُوتِ بَلَدِ الزَّوْجِ، وَإِنْ نَزَلَ عَلَيْهَا فِي بَلَدِهَا اعْتُبِرَ غَالِبُ قُوتِ بَلَدِ الزَّوْجَةِ، فَإِنْ لَمْ تَأْلَفِ الزَّوْجَةُ أَكْلَ قُوتِ بَلَدِهِ، قِيلَ: هَذَا حَقُّكِ فَإِنْ شِئْتِ فَأَبْدِلِيهِ بِقُوتِ بَلَدِكِ، وَهَكَذَا لَوِ انْتَقَلَا عَنْ بَلَدِهِمَا إِلَى بَلَدٍ قُوتُهُ مُخَالِفٌ لِقُوتِ بَلَدِهِمَا، لَزِمَهُ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهَا مِنْ غَالِبِ قُوتِ الْبَلَدِ الَّذِي انتقلا إليه دون البلد الذي انتقلا إليه، سَوَاءٌ كَانَ أَعْلَى أَوْ أَدْنَى. لِأَنَّ النَّفَقَةَ تَجِبُ فِي وَقْتٍ بَعْدَ وَقْتٍ، فَكَانَ لِكُلِّ وقت حكمه.

Adapun jenis nafkah adalah makanan pokok yang umum di negeri keduanya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut} (QS. Al-Baqarah: 233), dan itu merupakan isyarat kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat). Juga karena kafarat diukur dengan nafkah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu} (QS. Al-Ma’idah: 89). Kemudian, kafarat itu diberikan dari makanan pokok yang umum, maka nafkah lebih utama (mengikuti hal tersebut). Jika demikian, maka makanan pokok penduduk Hijaz adalah kurma, makanan pokok penduduk Tha’if adalah jelai, makanan pokok penduduk Yaman adalah jagung, makanan pokok penduduk Irak adalah gandum, dan makanan pokok penduduk Thabaristan adalah beras. Maka yang dijadikan acuan adalah makanan pokok yang umum di negeri keduanya, sehingga istri berhak menerima nafkah dari jenis itu. Jika makanan pokok di negeri keduanya berbeda, maka yang wajib diberikan kepadanya adalah makanan pokok yang umum bagi orang seperti dirinya. Jika terdapat perbedaan, maka suami yang diberi pilihan, bukan istri. Jika keduanya berasal dari dua negeri yang makanan pokoknya berbeda, maka dilihat: jika istri tinggal bersama suami di negerinya, maka yang dijadikan acuan adalah makanan pokok yang umum di negeri suami; jika suami tinggal bersama istri di negerinya, maka yang dijadikan acuan adalah makanan pokok yang umum di negeri istri. Jika istri tidak terbiasa makan makanan pokok negeri suaminya, dikatakan kepadanya: “Ini adalah hakmu, jika engkau mau, tukarlah dengan makanan pokok negerimu.” Demikian pula jika keduanya pindah dari negeri asal ke negeri lain yang makanan pokoknya berbeda, maka suami wajib menafkahi istri dari makanan pokok yang umum di negeri yang mereka tempati, bukan negeri asal mereka, baik makanan pokok di negeri baru itu lebih baik maupun lebih rendah. Karena nafkah itu wajib diberikan dari waktu ke waktu, maka setiap waktu memiliki hukumnya masing-masing.

(فصل: القول في صفة النفقة)

(Fashl: Pembahasan tentang sifat nafkah)

فَأَمَّا صِفَةُ جِنْسِ النَّفَقَةِ. فَهُوَ الْمُدُّ مِنَ الْبُرِّ أَوِ الشَّعِيرِ أَوِ الْأُرْزِ أَوِ الذُّرَةِ. دُونَ الدَّقِيقِ وَالْخُبْزِ، وَإِنْ كَانَ لَا يُقْتَاتُ إِلَّا بَعْدَ طَحْنِهِ وَخَبْزِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Adapun sifat dari jenis nafkah adalah satu mud dari gandum, atau jelai, atau beras, atau jagung, bukan dari tepung atau roti, meskipun makanan pokok itu tidak dapat dimakan kecuali setelah digiling dan dipanggang, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْحَبَّ أَكْمَلُ مَنْفَعَةً مِنْ مَطْحُونِهِ وَمَخْبُوزِهِ لِإِمْكَانِ ادِّخَارِهِ وَازْدِرَاعِهِ.

Pertama: Karena biji-bijian lebih sempurna manfaatnya dibandingkan dengan yang sudah digiling atau dipanggang, sebab dapat disimpan dan ditanam kembali.

وَالثَّانِي: لِثُبُوتِهِ فِي الذِّمَّةِ الَّتِي لَا يَثْبُتُ فِيهَا إِلَّا الْحَبُّ. دُونَ الدَّقِيقِ وَالْخُبْزِ، فَإِذَا وَجَبَ لَهَا الْحَبُّ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَتْ عَادَةُ أَمْثَالِهَا أَنْ يَتَوَلَّوْا طَحْنَ أَقْوَاتِهِمْ وَخَبْزَهَا بِأَنْفُسِهِمْ كَأَهْلِ السَّوَادِ، كَانَ مُبَاشَرَةُ طَحْنِهِ وَخَبْزِهِ عَلَيْهَا دُونَ الزَّوْجِ، وَإِنْ لَمْ تَجْرِ عادت أَمْثَالِهَا بِمُبَاشَرَةِ طَحْنِ أَقْوَاتِهِمْ وَخَبْزِهَا بِأَنْفُسِهِمْ كَانَ الزَّوْجُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهَا أُجْرَةَ الطَّحْنِ وَبَيْنَ أَنْ يُقِيمَ لَهَا مَنْ يَتَوَلَّى طَحْنَهُ وَخَبْزَهُ، فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا أَفْضَى حَقُّهَا إِلَى الْخُبْزِ كَانَ إِيجَابُهُ أَحَقَّ. قِيلَ: لِأَنَّ لَهَا أَنْ تَدَّخِرَهُ وَتَزْرَعَهُ إِنْ شَاءَتْ، فَلَوْ أَرَادَ الزَّوْجُ أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهَا قِيمَةَ الْحَبِّ لَمْ تُجْبَرِ الزَّوْجَةُ عَلَى قَبُولِهَا، وَلَوْ طَلَبَتِ الزَّوْجَةُ الْقِيمَةَ لَمْ يُجْبَرِ الزَّوْجُ عَلَى دَفْعِهَا، وَلَوِ اتَّفَقَا عَلَى الْقِيمَةِ فَفِي جَوَازِهَا وَجْهَانِ:

Yang kedua: karena kewajiban itu tetap dalam tanggungan (dzimmah), di mana yang tetap di dalamnya hanyalah biji-bijian, bukan tepung atau roti. Maka jika yang wajib baginya adalah biji-bijian, maka dilihat lagi: jika kebiasaan perempuan sepertinya adalah menggiling dan membuat roti kebutuhan mereka sendiri, seperti penduduk pedesaan, maka menggiling dan membuat roti itu menjadi kewajiban istri, bukan suami. Namun jika kebiasaan perempuan sepertinya bukan menggiling dan membuat roti kebutuhan mereka sendiri, maka suami memiliki pilihan antara memberikan upah penggilingan kepadanya atau menyediakan orang yang akan menggiling dan membuat roti untuknya. Jika ada yang berkata: Jika haknya sampai pada roti, maka mewajibkan roti lebih utama. Maka dijawab: Karena ia berhak untuk menyimpannya atau menanamnya jika ia mau. Maka jika suami ingin memberikan nilai (harga) biji-bijian kepadanya, istri tidak bisa dipaksa untuk menerimanya. Dan jika istri meminta nilai (harga) biji-bijian, suami tidak bisa dipaksa untuk memberikannya. Namun jika keduanya sepakat atas nilai (harga) tersebut, maka dalam kebolehannya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ كَالسَّلَمِ وَكَالزَّكَوَاتِ وَالْكَفَّارَاتِ.

Salah satunya: Tidak boleh, seperti dalam akad salam, zakat, dan kafarat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِاسْتِقْرَارِهِ فِي الذِّمَّةِ بِخِلَافِ السَّلَمِ، ولمعين بِخِلَافِ الْكَفَّارَاتِ، فَأَشْبَهَ الْقُرُوضَ.

Pendapat kedua: Boleh, karena kewajiban itu tetap dalam tanggungan, berbeda dengan akad salam; dan untuk sesuatu yang tertentu, berbeda dengan kafarat; maka hal ini menyerupai pinjaman.

(الْقَوْلُ فِي نَفَقَةِ خَادِمِ الزَّوْجَةِ)

(Pembahasan tentang nafkah untuk pembantu istri)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلِخَادِمِهَا مِثْلُهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan untuk pembantunya seperti itu juga.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا إِذَا كَانَ مِثْلُهَا مَخْدُومًا وَأَخْدَمَهَا مَمْلُوكًا لَهَا أَوْ لَهُ، فَعَلَيْهِ حِينَئِذٍ نَفَقَتُهُ. لَكِنْ إِنْ كَانَ الْخَادِمُ لَهُ فَنَفَقَتُهُ مُعْتَبَرَةٌ بِكِفَايَتِهِ كَسَائِرِ مَمَالِيكِهِ وَإِنْ كَانَ الْخَادِمُ مَمْلُوكًا لَهَا فَنَفَقَتُهُ مُخْتَلِفَةٌ بِحَسْبِ حَالِ الزَّوْجِ فِي يَسَارِهِ وَإِقْتَارِهِ وَتَوَسُّطِهِ، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ نَفَقَةَ زَوْجَتِهِ مُدَّانِ، فَتَكُونُ نَفَقَةُ خَادِمِهَا مُدًّا وَثُلُثًا، لِكَوْنِهِ تَابِعًا لَهَا فَلَمْ يَتَسَاوَيَا فِيهَا، وَلَمْ يُعْطَ مُدًّا وَنِصْفًا لِئَلَّا يُسَاوَى بَيْنَهُ وَبَيْنَ زَوْجَةِ الْمُتَوَسِّطِ، وَاقْتُصِرَ بِهِ عَلَى مُدٍّ وَثُلُثٍ وَهُوَ ثُلُثَا نَفَقَةِ زَوْجَةِ الْمُوسِرِ، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ مُتَوَسِّطًا وَنَفَقَةُ زَوْجَتِهِ مُدٌّ وَنِصْفٌ فَنَفَقَةُ خَادِمِهَا مُدٌّ وَاحِدٌ، وَذَلِكَ ثُلُثَا نَفَقَتِهَا، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ مُعْسِرًا وَنَفَقَةُ زَوْجَتِهِ مُدٌّ وَاحِدٌ. فَنَفَقَةُ خَادِمِهَا مُدٌّ وَاحِدٌ، وَقَدْ كَانَ الِاعْتِبَارُ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ ثُلُثَا مُدٍّ وَلَا يُسَاوَى بَيْنَهُمَا، لَكِنْ لَمْ يَقُمْ بَدَنٌ فِي الْأَغْلَبِ عَلَى أَقَلَّ مِنْ مُدٍّ كَامِلٍ فَسَوَّيْنَا بَيْنَهُمَا فِيهِ لِلضَّرُورَةِ الدَّاعِيَةِ إِلَى التَّسْوِيَةِ كَالْعَدَدِ وَالْحُدُودِ تَنْقُصُ بِالرِّقِّ عَنْ حَالِ الْحُرِّيَّةِ فِيمَا تَبَعَّضَ مِنَ الْأَقْرَاءِ وَالشُّهُورِ وَالْجَلْدِ وَسُوِّيَ بَيْنُهَمَا فِيمَا لَمْ يَتَبَعَّضْ مِنَ الْحَمْلِ وَقَطْعِ السَّرِقَةِ.

Al-Mawardi berkata: Dan ini jika perempuan seperti itu memang biasa memiliki pembantu dan suami memberinya seorang budak miliknya atau milik istrinya, maka nafkah pembantu itu menjadi tanggungannya. Namun, jika pembantu itu milik suami, maka nafkahnya disesuaikan dengan kebutuhan seperti budak-budak lainnya. Jika pembantu itu milik istri, maka nafkahnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan suami, apakah ia kaya, pas-pasan, atau miskin. Jika suami kaya, sebagaimana telah kami sebutkan bahwa nafkah istrinya adalah dua mud, maka nafkah pembantunya adalah satu mud dan sepertiga, karena ia mengikuti istri sehingga tidak disamakan dengan istri, dan tidak diberikan satu mud setengah agar tidak disamakan dengan istri suami yang sedang (tidak kaya dan tidak miskin), maka cukup dengan satu mud sepertiga, yaitu dua pertiga dari nafkah istri yang kaya. Jika suami sedang (tidak kaya dan tidak miskin) dan nafkah istrinya satu mud setengah, maka nafkah pembantunya satu mud, yaitu dua pertiga dari nafkah istrinya. Jika suami miskin dan nafkah istrinya satu mud, maka nafkah pembantunya juga satu mud. Sebenarnya, yang seharusnya adalah dua pertiga mud dan tidak disamakan antara keduanya, namun pada umumnya tidak ada tubuh yang cukup dengan kurang dari satu mud penuh, maka kami samakan antara keduanya karena kebutuhan mendesak untuk penyamaan, seperti jumlah dan batasan yang berkurang karena status budak dibandingkan dengan orang merdeka dalam hal masa iddah, bulan, dan cambukan, dan disamakan dalam hal yang tidak terbagi seperti kehamilan dan potong tangan karena mencuri.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَكِيلَةٌ مِنْ أُدْمِ بِلَادِهَا زَيْتًا كَانَ أَوْ سَمْنًا بِقَدْرِ مَا يَكْفِي مَا وَصَفْتُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan satu takaran dari lauk pauk negeri istri, baik itu minyak atau samin, sebanyak yang cukup sesuai yang telah aku sebutkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْأُدْمُ فَمِنَ الْمَعْرُوفِ الْمَأْلُوفِ، لِأَنَّ الطعام لا ينساغ أَكْلُهُ فِي الْأَغْلَبِ إِلَّا بِهِ. فَأَوْجَبْنَاهُ لَهَا عُرْفًا، وَإِذَا كَانَ أُدْمُهَا مُسْتَحَقًّا فَقَدْ جَعَلَهُ الشَّافِعِيُّ دُهْنًا، وَهَذَا خَارِجٌ مِنْهُ عَلَى عُرْفِ الْبِلَادِ الَّتِي يَتَأَدَّمُ أَهْلُهَا بِالدُّهْنِ، وَمِنَ الْبِلَادِ مَا يَتَأَدَّمُ أَهْلُهَا بِاللَّحْمِ فَيَكُونُ أُدْمُهَا لَحْمًا، وَمِنْهَا مَا يَتَأَدَّمُ أَهْلُهَا بِالسَّمَكِ فَيَكُونُ أُدْمُهَا سَمَكًا، وَمِنْهَا مَا يَتَأَدَّمُ أَهْلُهَا بِاللَّبَنِ فَيَكُونُ أُدْمُهَا لَبَنًا، وَنَحْنُ نِصْفُ مَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ إِدَامِ الدُّهْنِ، وَيَكُونُ مَا عَدَاهُ بِقِيَاسِهِ فَالْبِلَادُ الَّتِي يَتَأَدَّمُ أَهْلُهَا بِالدُّهْنِ يَخْتَلِفُ جِنْسُهُ بِاخْتِلَافِ عُرْفِ الْبِلَادِ. فَإِدَامُ أَهْلِ الْحِجَازِ السَّمْنُ وَإِدَامُ أَهْلِ الشَّامِ الزَّيْتُ وَإِدَامُ أَهْلِ الْعِرَاقِ الشَّيْرَجُ، فَيُعْتَبَرُ جِنْسُهُ بِعُرْفِ الْبَلَدِ مِنْ سَمْنٍ أَوْ زَيْتٍ أَوْ شَيْرَجٍ، فَأَمَّا مِقْدَارُهُ فَمُعْتَبَرٌ بِالْعُرْفِ الْمُسْتَعْمَلِ. فَيُقَالُ كَمْ يَكْفِي إِدَامُ كُلِّ مُدِّ طَعَامٍ مِنَ الدُّهْنِ. فَإِذَا قِيلَ كُلُّ مد يكتفي في آدامه بأوقية من دم جَعَلْتَ ذَلِكَ قَدْرًا مُسْتَحَقًّا فِي إِدَامِ، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا تَجِبُ عَلَيْهِ فِي نَفَقَتِهَا مُدَّانِ مِنْ حَبٍّ وَجَبَتْ عَلَيْهِ لِإِدَامِهَا أُوقِيَّتَانِ مِنْ دُهْنٍ، وَإِنْ كَانَ مُتَوَسِّطًا تَجِبُ عَلَيْهِ مُدٌّ وَنِصْفٌ. وَجَبَ لِإِدَامَهَا أُوقِيَّةٌ وَنِصْفٌ، وَإِنْ كَانَ مقتراً وجب عليه مد وجب لإدامه أُوقِيَّةٌ، وَكَذَلِكَ إِدَامُ خَادِمِهَا تُعْتَبَرُ بِقُوتِهِ مِنَ الْحَبِّ. فَإِنْ كَانَ لَهُ مُدٌّ وَثُلُثٌ مِنَ الْحَبِّ، كَانَ لَهُ أُوقِيَّةٌ وَثُلُثٌ مِنَ الدُّهْنِ، وَإِنْ كَانَ لَهُ مُدٌّ مِنَ الْحَبِّ كَانَ لَهُ أُوقِيَّةٌ مِنَ الدُّهْنِ، ثُمَّ يُرَاعَى بَعْدَ الدُّهْنِ حَالُهُمْ فِيمَا عَدَاهُ، فَإِنْ كَانَ لَهُمْ بِاللَّحْمِ عَادَةً اعْتَبَرْتَهَا فِيهِمْ، فَإِنْ كَانُوا يَأْكُلُونَ اللَّحْمَ فِي كُلِّ أُسْبُوعٍ مَرَّةً، أَوْجَبْتَهُ لَهَا فِي كُلِّ أُسْبُوعٍ مَرَّةً وَاحِدَةً، وَالْأَوْلَى أَنْ يَكُونَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، لِأَنَّهُ عُرْفُ مَنْ لَا يَأْكُلُ اللَّحْمَ إِلَّا مَرَّةً، وَإِنْ كَانُوا يَأْكُلُونَهُ فِي كُلِّ أُسْبُوعٍ مَرَّتَيْنِ أَوْجَبْتَهُ لَهَا مَرَّتَيْنِ، إِحْدَاهُمَا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، وَالْأُخْرَى فِي يَوْمِ الثُّلَاثَاءِ، لِأَنَّهُ عُرْفُ مَنْ يَأْكُلُهُ مَرَّتَيْنِ، وَعَلَى هَذَا الْعِبْرَةُ فِي الْعُرْفِ الْمُعْتَبَرُ فِيهِ، فَأَمَّا مِقْدَارُ اللَّحْمِ الَّذِي تَسْتَحِقُّهُ فَقَدْ قَدَّرَهُ الشَّافِعِيُّ بِرِطْلٍ وَاحِدٍ فِي الْيَوْمِ الَّذِي تَسْتَحِقُّهُ فِيهِ، وَلَيْسَ هَذَا الْمِقْدَارُ عَامًّا فِي جَمِيعِ النَّاسِ، وَإِنَّمَا اعْتَبَرَ الشَّافِعِيُّ عُرْفَ بِلَادِهِ بِالْحِجَازِ وَمِصْرَ، وَأَمَّا فِي الْبِلَادِ الَّتِي جَرَتْ عَادَةُ أَهْلِهَا أَنْ يَتَأَدَّمَ الْوَاحِدُ مِنْهُمْ فِي الْيَوْمِ بِأَكْثَرَ مِنْ رِطْلٍ مِنَ اللَّحْمِ فَقَدْرُهُ مُعْتَبَرٌ بِعُرْفِهِمْ فِي الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ. فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ جَعَلْتُمُ الْحَبَّ مُقَدَّرًا لَا يُعْتَبَرُ بِالْعُرْفِ وَجَعَلْتُمُ الدُّهْنَ وَاللَّحْمَ مُعْتَبَرًا بِالْعُرْفِ قِيلَ، لِأَنَّ الْحَبَّ يُقَدَّرُ بِالشَّرْعِ فَسَقَطَ اعْتِبَارِ الْعُرْفِ فِيهِ وَالْأُدْمَ لَمْ يَتَقَدَّرْ إِلَّا بِالْعُرْفِ فَوَجَبَ اعْتِبَارُهُ فِيهِ، وَمَا اعْتَبَرْنَاهُ مِنْ عُرْفِ الْأَزْوَاجِ فِي إِدَامِهَا اعْتَبَرْنَا عُرْفَ الْخَدَمِ فِي إِدَامِ خَادِمِهَا.

Al-Mawardi berkata: Adapun lauk-pauk (al-udm) termasuk hal yang sudah dikenal dan biasa, karena makanan pada umumnya tidak dapat dimakan kecuali dengannya. Maka kami mewajibkannya untuk istri berdasarkan ‘urf (kebiasaan), dan jika lauk-pauk itu memang menjadi haknya, maka Imam Syafi‘i menetapkannya berupa minyak, dan hal ini mengikuti kebiasaan negeri-negeri yang penduduknya menggunakan minyak sebagai lauk. Ada pula negeri-negeri yang penduduknya menggunakan daging sebagai lauk, maka lauk mereka adalah daging. Ada pula yang menggunakan ikan sebagai lauk, maka lauk mereka adalah ikan. Ada pula yang menggunakan susu sebagai lauk, maka lauk mereka adalah susu. Kami mengambil setengah dari apa yang disebutkan oleh Imam Syafi‘i tentang lauk berupa minyak, dan selainnya diqiyaskan dengannya. Maka negeri-negeri yang penduduknya menggunakan minyak sebagai lauk, jenis minyaknya berbeda-beda sesuai kebiasaan negeri masing-masing. Lauk penduduk Hijaz adalah samin (mentega), lauk penduduk Syam adalah minyak zaitun, lauk penduduk Irak adalah minyak wijen. Maka jenisnya diukur berdasarkan kebiasaan negeri, apakah itu samin, minyak zaitun, atau minyak wijen. Adapun kadarnya, maka diukur dengan kebiasaan yang berlaku. Maka dikatakan: Berapa banyak minyak yang cukup untuk setiap satu mud makanan? Jika dikatakan bahwa setiap satu mud makanan cukup dengan satu uqiyah minyak sebagai lauknya, maka itu dijadikan sebagai kadar yang wajib diberikan sebagai lauk. Jika suami mampu, maka ia wajib memberi nafkah kepada istrinya dua mud biji-bijian, dan wajib memberinya dua uqiyah minyak sebagai lauknya. Jika suami berada di tingkat menengah, maka ia wajib memberi satu setengah mud, dan lauknya satu setengah uqiyah. Jika suami dalam keadaan pas-pasan, maka ia wajib memberi satu mud dan lauknya satu uqiyah. Demikian pula lauk untuk pembantunya diukur berdasarkan kebutuhan makannya dari biji-bijian. Jika pembantu mendapat satu mud sepertiga dari biji-bijian, maka ia mendapat satu uqiyah sepertiga dari minyak. Jika ia mendapat satu mud biji-bijian, maka ia mendapat satu uqiyah minyak. Setelah minyak, diperhatikan pula kebiasaan mereka dalam hal lauk lainnya. Jika mereka terbiasa dengan daging, maka itu juga diperhitungkan. Jika mereka makan daging setiap minggu sekali, maka wajib diberikan sekali setiap minggu, dan yang utama diberikan pada hari Jumat, karena itu kebiasaan orang yang hanya makan daging sekali seminggu. Jika mereka makan daging dua kali seminggu, maka wajib diberikan dua kali, salah satunya pada hari Jumat dan yang lainnya pada hari Selasa, karena itu kebiasaan orang yang makan dua kali seminggu. Demikianlah, ukuran yang dipakai adalah kebiasaan yang berlaku. Adapun kadar daging yang menjadi hak istri, Imam Syafi‘i menetapkannya satu rithl pada hari yang menjadi haknya, dan kadar ini tidak berlaku umum untuk semua orang, melainkan Imam Syafi‘i mempertimbangkan kebiasaan negeri Hijaz dan Mesir. Adapun di negeri-negeri yang penduduknya biasa makan lebih dari satu rithl daging sehari, maka kadarnya mengikuti kebiasaan mereka, baik lebih maupun kurang. Jika ditanyakan: Mengapa biji-bijian ditetapkan kadarnya dan tidak mengikuti kebiasaan, sedangkan minyak dan daging mengikuti kebiasaan? Dijawab: Karena kadar biji-bijian telah ditetapkan oleh syariat, sehingga tidak perlu mempertimbangkan kebiasaan, sedangkan lauk-pauk tidak ditetapkan kecuali dengan kebiasaan, maka harus dipertimbangkan kebiasaan dalam hal ini. Apa yang kami pertimbangkan dari kebiasaan suami dalam lauk istrinya, juga kami pertimbangkan kebiasaan dalam lauk pembantunya.

(الْقَوْلُ فِي أَدَوَاتِ الزِّينَةِ وَالنَّظَافَةِ لِلزَّوْجَةِ)

(Pembahasan tentang alat-alat perhiasan dan kebersihan untuk istri)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُفْرَضُ لَهَا فِي دُهْنٍ وَمُشْطٍ أَقَلُّ مَا يَكْفِيهَا وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ لِخَادِمِهَا لِأَنَّهُ لَيْسَ بِالْمَعْرُوفِ لَهَا وَقِيلَ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ رِطْلُ لحم وذلك المعروف لمثلها “.

Imam asy-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Wajib diberikan kepada istri minyak dan sisir sekadar yang paling sedikit mencukupinya, dan itu tidak berlaku untuk pembantunya karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang dikenal (umum) baginya. Ada pula yang berpendapat, setiap Jumat diberikan satu rithl daging, karena itu adalah kebiasaan yang dikenal untuk perempuan sepertinya.”

قال الماوردي: قَالَ تَسْتَحِقُّ فِي نَفَقَتِهَا عَلَى الزَّوْجِ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنَ الدُّهْنِ لِتَرْجِيلِ شَعْرِهَا وَتَدْهِينِ جَسَدِهَا اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ، وَإِنَّ مِنْ حُقُوقِهِ عَلَيْهَا اسْتِعْمَالَ الزِّينَةِ الَّتِي تَدْعُوهُ إِلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، وَذَلِكَ مُعْتَبَرٌ بِعُرْفِ بِلَادِهَا، فَمِنْهَا مَا يَدِّهِنُ أَهْلُهُ بِالزَّيْتِ كَالشَّامِ فَهُوَ الْمُسْتَحَقُّ لَهَا، وَمِنْهَا مَا يَدَّهِنُ أَهْلُهُ بِالشَّيْرَجِ كَالْعِرَاقِ فَهُوَ الْمُسْتَحَقُّ لَهَا، وَمِنْهَا مَا لَا يَسْتَعْمِلُ أَمْثَالَهَا فِيهِ إِلَّا مَا طُيِّبَ مِنَ الدُّهْنِ بِالْبَنَفْسَجِ وَالْوَرْدِ، فَتَسْتَحِقُّ فِي دُهْنِهَا مَا كَانَ مُطَيَّبًا فَأَمَّا مِقْدَارُهُ فَمُعْتَبَرٌ بِكِفَايَةِ مِثْلِهَا، وَأَمَّا وَقْتُهُ فَهُوَ كُلُّ أُسْبُوعٍ مَرَّةً، لِأَنَّهُ الْعُرْفُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ادَّهِنُوا يَذْهَبُ الْبُؤْسُ عَنْكُمْ، وَالدُّهْنُ فِي الْأُسْبُوعِ يَذْهَبُ بِالْبُؤْسِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَالْمُشْطُ يَعْنِي بِهِ آلَةَ الْمُشْطِ مِنَ الْأَفَاوِيهِ وَالْغِسْلَةِ إِذَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ عُرْفِ بِلَادِهِمْ.

Al-Mawardi berkata: Ia (istri) berhak mendapatkan dari nafkah suami apa yang ia butuhkan berupa minyak untuk merapikan rambutnya dan meminyaki tubuhnya, berdasarkan kebiasaan (‘urf). Di antara hak suami atasnya adalah menggunakan perhiasan yang mendorong suami untuk menikmati dirinya, dan hal itu diukur berdasarkan kebiasaan di negerinya. Di antaranya, ada yang penduduknya menggunakan minyak zaitun seperti di Syam, maka itulah yang menjadi haknya; ada pula yang penduduknya menggunakan minyak wijen seperti di Irak, maka itulah yang menjadi haknya; dan ada pula yang orang-orang sepertinya hanya menggunakan minyak yang diberi pewangi seperti minyak bunga violet dan mawar, maka ia berhak mendapatkan minyak yang diberi pewangi. Adapun kadarnya, diukur sesuai kebutuhan perempuan sepertinya; sedangkan waktunya adalah sekali setiap pekan, karena demikianlah kebiasaan (‘urf). Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Gunakanlah minyak, niscaya kesusahan akan hilang dari kalian, dan penggunaan minyak setiap pekan dapat menghilangkan kesusahan.” Asy-Syafi‘i berkata: Yang dimaksud dengan sisir adalah alat untuk menyisir, baik dari gigi-gigi sisir maupun alat pencuci rambut, jika memang itu merupakan kebiasaan di negeri mereka.

فَأَمَّا الكحل فما كان منه للزينة الاثمد فَهُوَ عَلَى الزَّوْجِ، لِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الِاسْتِمْتَاعِ، وَمَا كَانَ مِنْهُ لِلدَّوَاءِ فَهُوَ عَلَى الزَّوْجَةِ كَسَائِرِ الْأَدْوِيَةِ، فَإِنْ قِيلَ فَهِيَ لِلدَّوَاءِ أَحْوَجُ مِنْهَا إِلَى الدُّهْنِ فَكَانَ بِأَنْ يَجِبَ عَلَى الزَّوْجِ أَحَقُّ قِيلَ: لِأَنَّ الدَّوَاءَ مُسْتَعْمَلٌ لِحِفْظِ الْجَسَدِ فَكَانَ عَلَيْهَا، وَالدُّهْنَ مُسْتَعْمَلٌ لِلزِّينَةِ فَكَانَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الزِّينَةَ لَهُ وَحِفْظَ الْجَسَدِ لَهَا، وَجَرْيُ الزَّوْجِ مَجْرَى الْمُكْرَى لَزِمَهُ بِنَاءَ مَا اسْتُهْدِمَ مِنَ الدَّارِ الْمُكْرَاةِ دُونَ مُكْتَرِيهَا، فَأَمَّا دُخُولُ الْحَمَّامِ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِالْعُرْفِ. فَإِنْ لَمْ تَجْرِ عَادَةُ أَهْلِهَا بِدُخُولِ الْحَمَّامِ كَالْقُرَى لَمْ يَجِبْ عَلَى الزَّوْجِ، وَإِنْ جَرَتْ بِهِ عَادَةُ أَهْلِهَا كَالْأَمْصَارِ كَانَ أَقَلُّ مَا يَلْزَمُهُ لَهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً؛ لِأَنَّ أَكْثَرَ النِّسَاءِ يَغْتَسِلْنَ بِهِ وَيَخْرُجْنَ بِهِ مِنْ دَمِ الْحَيْضِ الَّذِي يَكُونُ فِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فِي الْغَالِبِ، فَأَمَّا الْحِنَّاءُ وَالِاخْتِضَابُ بِهِ فِي الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ. فَإِنْ لَمْ يَطْلُبْهُ الزَّوْجُ لَمْ يَلْزَمْهُ وَلَمْ يَلْزَمْهَا، وَإِنْ طَلَبَهُ الزَّوْجُ وَجَبَ عَلَيْهَا فِعْلُهُ وَوَجَبَ عَلَى الزَّوْجِ نَفَقَتُهُ، رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ ” لَعَنَ السَّلْتَاءَ وَالْمَرْهَاءَ ” وَالسَّلْتَاءُ: الَّتِي لَا تَخْتَضِبُ وَالْمَرْهَاءُ الَّتِي لَا تَكْتَحِلُ تَفْعَلُ ذَلِكَ إِذَا كَرِهَتْ زَوْجَهَا لِيُفَارِقَهَا فَلِذَلِكَ لَعَنَهَا.

Adapun celak, jika digunakan untuk berhias seperti ats-mid, maka itu menjadi tanggungan suami, karena termasuk hak kenikmatan. Namun jika digunakan untuk pengobatan, maka itu menjadi tanggungan istri seperti obat-obatan lainnya. Jika dikatakan: “Bukankah ia lebih membutuhkan celak untuk pengobatan daripada minyak, sehingga lebih layak menjadi kewajiban suami?” Maka dijawab: Karena obat digunakan untuk menjaga tubuh, maka itu menjadi tanggung jawab istri; sedangkan minyak digunakan untuk berhias, maka itu menjadi tanggung jawab suami, sebab perhiasan untuk suami, sedangkan menjaga tubuh untuk istri. Perumpamaan suami seperti pemilik rumah sewaan, ia wajib memperbaiki bagian rumah yang rusak, bukan penyewanya. Adapun mandi di pemandian umum, hal itu diukur berdasarkan kebiasaan (‘urf). Jika di daerahnya tidak biasa masuk pemandian seperti di desa-desa, maka suami tidak wajib menanggungnya. Namun jika di daerahnya biasa masuk pemandian seperti di kota-kota, maka paling sedikit yang wajib diberikan suami adalah sekali setiap bulan, karena kebanyakan perempuan mandi di sana dan keluar dari darah haid yang biasanya terjadi sekali setiap bulan. Adapun penggunaan henna dan mewarnai tangan serta kaki dengannya, jika suami tidak memintanya, maka tidak wajib bagi suami maupun istri. Namun jika suami memintanya, maka istri wajib melakukannya dan suami wajib menanggung biayanya. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau “melaknat perempuan yang tidak memakai henna dan yang tidak bercelak,” yaitu perempuan yang tidak mewarnai (tangannya) dan yang tidak bercelak, yang melakukan itu karena membenci suaminya agar suaminya menceraikannya, maka karena itu ia dilaknat.

فَأَمَّا الطِيِبُ فَمَا كَانَ مِنْهُ مُزِيلًا لِسَهُوكَةِ الْجَسَدِ فَهُوَ مُسْتَحَقٌّ عَلَى الزَّوْجِ لَهَا، وَمَا كَانَ مِنْهُ مُسْتَعْمَلًا لِلِالْتِذَاذِ وَالِاسْتِمْتَاعِ بِرَائِحَتِهِ فَهُوَ حَقٌّ لِلزَّوْجِ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ، فَإِنْ قَامَ بِهِ لَزِمَهَا اسْتِعْمَالُهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ لَمْ يستحق المطالبة به.

Adapun parfum, jika digunakan untuk menghilangkan bau tidak sedap pada tubuh, maka itu menjadi hak istri atas suami. Namun jika digunakan untuk kenikmatan dan menikmati aromanya, maka itu adalah hak suami, tetapi tidak wajib atasnya. Jika suami telah menyediakan, maka istri wajib menggunakannya; namun jika suami tidak menyediakan, maka istri tidak berhak menuntutnya.

(فصل)

(Fasal)

فأما خدامها فَلَا يَسْتَحِقُّ عَلَى الزَّوْجِ دُهْنًا وَلَا مُشْطًا، لِأَنَّهَا زِينَةٌ تُقْصَدُ فِي الزَّوْجَاتِ دُونَ الْخَدَمِ، فَأَمَّا مَا احْتَاجَ إِلَيْهِ مِنَ الدَّوَاءِ فَيَسْتَحِقُّهُ عَلَى مَالِكِهِ مِنَ الزَّوْجَيْنِ، فَإِنْ كَانَ مِلْكًا لِلزَّوْجِ فَدَوَاؤُهُ عَلَيْهِ بِخِلَافِ الزَّوْجَةِ الَّتِي لَا يَجِبُ دَوَاؤُهَا عَلَى الزَّوْجِ؛ لِأَنَّ هَذَا مِنْ حُقُوقِ الْمِلْكِ، وَإِنْ كَانَ الْخَادِمُ مِلْكًا لِلزَّوْجَةِ كَانَ دَوَاؤُهُ عَلَيْهَا.

Adapun para pelayan perempuan, maka suami tidak wajib menyediakan minyak wangi maupun sisir bagi mereka, karena keduanya merupakan perhiasan yang ditujukan bagi para istri, bukan untuk para pelayan. Adapun jika pelayan membutuhkan obat, maka pemiliknya dari kedua pasanganlah yang wajib menanggungnya. Jika pelayan tersebut milik suami, maka pengobatannya menjadi tanggung jawab suami, berbeda dengan istri yang tidak wajib ditanggung pengobatannya oleh suami, karena hal ini termasuk hak kepemilikan. Jika pelayan tersebut milik istri, maka pengobatannya menjadi tanggung jawab istri.

(الْقَوْلُ فِي وُجُوبِ كِسْوَةِ الزوجة)

(Pembahasan tentang Kewajiban Pakaian bagi Istri)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَفُرِضَ لَهَا مِنَ الْكِسْوَةِ مَا يُكْسَى مِثْلُهَا بِبَلَدِهَا عِنْدَ الْمُقْتِرِ مِنَ الْقُطْنِ الْكُوفِيِّ وَالْبَصْرِيِّ وَمَا أَشْبَهَهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Telah diwajibkan baginya (istri) pakaian sebagaimana yang biasa dipakai oleh perempuan sepertinya di negerinya, bagi suami yang berkecukupan dengan pakaian dari katun Kufah, Basrah, dan yang semisalnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا كِسْوَةُ الزَّوْجَةِ فَمُسْتَحَقَّةٌ عَلَى الزَّوْجِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 233] وَلِأَنَّ اللِّبَاسَ مِمَّا لَا تَقُومُ الْأَبْدَانُ فِي دَفْعِ الحر البرد إِلَّا بِهِ، فَجَرَى فِي اسْتِحْقَاقِهِ عَلَى الزَّوْجِ مَجْرَى الْقُوتَ، وَإِذَا وَجَبَتِ الْكِسْوَةُ تَعَلَّقَ بِهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Adapun pakaian istri adalah hak yang wajib dipenuhi oleh suami, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut} (QS. Al-Baqarah: 233), dan karena pakaian merupakan kebutuhan pokok yang tidak dapat dijaga tubuh dari panas dan dingin kecuali dengannya, sehingga kewajiban pakaian atas suami setara dengan kewajiban nafkah. Jika pakaian telah menjadi kewajiban, maka terkait dengannya ada tiga hal:

أَحَدُهَا: عَدَدُ الثِّيَابِ.

Pertama: Jumlah pakaian.

وَالثَّانِي: جِنْسُهَا.

Kedua: Jenisnya.

وَالثَّالِثُ: مِقْدَارُهَا.

Ketiga: Kadarnya.

فَأَمَّا الْعَدَدُ فَأَقَلُّ مَا تَسْتَحِقُّهُ عَلَى الزَّوْجِ ثَلَاثَةُ أَثْوَابٍ فِي الصَّيْفِ وَأَرْبَعَةٌ فِي الشِّتَاءِ. قَمِيصٌ لِجَسَدِهَا وَقِنَاعٌ لِرَأْسِهَا، وَسَرَاوِيلُ أَوْ مِئْزَرٌ لِوَسَطِهَا.

Adapun jumlah pakaian, maka paling sedikit yang wajib diberikan suami kepada istri adalah tiga helai pakaian di musim panas dan empat helai di musim dingin: gamis untuk tubuhnya, kerudung untuk kepalanya, dan celana atau kain penutup untuk bagian tengah tubuhnya.

وَالرَّابِعُ: جُبَّةٌ تَخْتَصُّ بِالشِّتَاءِ، فَأَمَّا الْمِلْحَفَةُ فَلَا تَجِبُ، لِأَنَّهَا لَا تَحْتَاجُ إِلَيْهَا إِلَّا فِي الْخُرُوجِ الَّتِي تَلْتَحِفُ بِهَا، وَلِلزَّوْجِ مَنْعُهَا مِنَ الْخُرُوجِ فَسَقَطَ عَنْهُ مَا احْتَاجَتْ إِلَيْهِ فِي خُرُوجِهَا، وَكَذَلِكَ الْخُفُّ مِمَّا يَسْتَوِي فِي عَدَدِهِ زَوْجَةُ الْمُوسِرِ وَالْمُعْسِرِ فِي الْأَمْصَارِ وَالْقُرَى، وَلَئِنْ كَانَ فِي سُكَّانِ الْقُرَى مِنَ النِّسَاءِ مَنْ لَا يَلْبَسُ السَّرَاوِيلَ وَالْمِئْزَرَ فَفِي تَرْكِهِ هَتْكُ عَوْرَةٍ، وَيُؤْخَذُ بِهَا فِي حَقَّ اللَّهِ تَعَالَى جَمِيعُ النَّاسِ، لَكِنْ إِنْ كَانَتْ عَادَةُ نِسَاءِ الْبَلَدِ جَارِيَةً بِلَبْسِ السَّرَاوِيلِ كَانَ حَقُّهَا فِيهِ دُونَ الْمِئْزَرِ، وَإِنْ كُنَّ يَلْبَسْنَ الْمِئْزَرَ فَحَقُّهَا دون السراويل، وإن كان السَّرَاوِيلُ أَصْوَنَ وَأَسْتَرَ، فَأَمَّا مَدَاسُ الرِّجْلَيْنِ مِنْ نعل أو شبشب فمعتبر بالعادة والعرف، وإن كَانَ ذَلِكَ فِي سُكَّانِ الْقُرَى الَّتِي لَمْ تَجْرِ عَادَةُ نِسَائِهَا بِلُبْسِ الْمَدَاسِ فِي أَرْجُلِهِنَّ إِذَا كُنَّ فِي بُيُوتِهِنَّ لَمْ تَسْتَحِقَّ عَلَى الزَّوْجِ وَإِنْ كَانَتْ مِنْ سُكَّانِ الْأَمْصَارِ وَمِمَّنْ جَرَتْ عَادَتُهُنَّ بِلُبْسِ الْمَدَاسِ فِي أَرْجُلِهِنَّ إِذَا كُنَّ فِي بُيُوتِهِنَّ اسْتَحَقَّتْ عَلَيْهِ مَدَاسًا مُعْتَبَرًا بالعرف من نعل أو شبشب.

Yang keempat: jubah yang khusus untuk musim dingin. Adapun selimut, maka tidak wajib diberikan karena hanya dibutuhkan saat keluar rumah, sedangkan suami berhak melarang istri keluar rumah, sehingga gugurlah kewajiban atas suami untuk menyediakan apa yang dibutuhkan istri saat keluar rumah. Demikian pula sepatu, jumlahnya sama baik bagi istri orang kaya maupun miskin, baik di kota maupun di desa. Jika di desa terdapat perempuan yang tidak memakai celana atau kain penutup, maka meninggalkannya berarti menyingkap aurat, sehingga dalam hal ini seluruh manusia diharuskan memakainya demi menjaga hak Allah Ta‘ala. Namun, jika kebiasaan perempuan di suatu negeri adalah memakai celana, maka hak istri adalah celana, bukan kain penutup. Jika mereka biasa memakai kain penutup, maka hak istri adalah kain penutup, bukan celana, meskipun celana lebih menjaga dan lebih menutup aurat. Adapun alas kaki seperti sandal atau sepatu, maka hukumnya mengikuti kebiasaan dan adat. Jika di desa para perempuan tidak biasa memakai alas kaki di rumah, maka istri tidak berhak menuntut suami menyediakan alas kaki. Namun, jika di kota atau di tempat yang para perempuannya biasa memakai alas kaki di rumah, maka istri berhak mendapatkan alas kaki yang sesuai dengan kebiasaan, baik berupa sandal maupun sepatu.

(فصل: [القول في جنس الكسوة] )

(Bagian: [Pembahasan tentang Jenis Pakaian])

فَأَمَّا جِنْسُ الثِّيَابِ فَتَخْتَلِفُ بِالْيَسَارِ وَالْإِقْتَارِ وَالتَّوَسُّطِ، وَتَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ ثِيَابِ الْبَلَدِ، فَإِنْ كَانَ الْأَغْلَبُ مِنْ ثِيَابِهِ الْقُطْنَ فِي الصَّيْفِ وَالْخَزَّ فِي الشِّتَاءِ، فَرَضَ لِزَوْجَةِ الْمُوسِرِ ثَوْبًا مِنْ مُرْتَفِعِ الْقُطْنِ وَنَاعِمِهِ كَالْبَصَرِيِّ وَمُرْتَفِعِ الْمَرْوَزِيِّ، وَفَرَضَ لَهَا فِي الشِّتَاءِ جُبَّةَ خَزٍّ وَفَرَضَ لِزَوْجَةِ الْمُتَوَسِّطِ ثوباً من وسط القطن وكالبصري وَالْبَغْدَادِيِّ وَجُبَّةَ قُطْنٍ مَحْشُوَّةً أَوْ مِنْ وَسَطِ الْخَزِّ، وَفَرَضَ لِزَوْجَةِ الْمُقْتِرِ ثَوْبًا مِنْ غَلِيظِ الْقُطْنِ كَالْبَصَرِيِّ وَالْكُوفِيِّ وَجُبَّةً مِنْهُ أَوْ مِنْ صوف إن كان يكتسبه نِسَاءُ بَلَدِهَا، وَإِنْ كَانَ الْأَغْلَبُ مِنْ ثِيَابِ بَلَدِهَا الْكَتَّانَ وَالْإِبْرَيْسَمَ فَرَضَ لِزَوْجَةِ الْمُوسِرِ مِنْ مرتفع الكتاب كَالدَّبِيقِيِّ وَمُتْرَفٍ وَمُرْتَفِعِ السَّقْلَسِ، وَلَمْ يَفْرِضْ لَهَا مِنْ مُرْتَفِعِ الْقَصَبِ الْخَفِيفِ النَّسْجِ الَّذِي لَا تَجُوزُ فِيهِ الصَّلَاةُ. لِأَنَّهَا تَسْتَحِقُّ ثَوْبًا وَاحِدًا وَذَلِكَ لَا يَسْتُرْهَا وَلَا تَصِحُّ فِيهِ صَلَاتُهُا فلذلك فرض لها ما تجزي فِيهِ الصَّلَاةُ، وَفَرَضَ لَهَا فِي الشِّتَاءِ جُبَّةَ إِبْرِيسَمَ كَالدِّيبَاجِ وَالْحَرِيرِ وَمَا يَخْتَصُّ بِبَلَدِهَا مِنْ أَنْوَاعِ الْإِبْرَيْسَمِ، وَفَرَضَ لِزَوْجَةِ الْمُتَوَسِّطِ وَسَطَ الْكَتَّانِ كَالْمَعْصُورِ بِمِصْرَ وَالْمَعْرُوفِ بِالْبَصْرَةِ، وَوَسَطَ الرُّومِيِّ بِبَغْدَادَ وَجُبَّةً مِنْ وَسَطَ الْجِبَابِ الَّتِي يَلْبَسُهَا نِسَاءُ بَلَدِهَا، وَفَرَضَ لِزَوْجَةِ الْمُقْتِرِ غَلِيظَ الْكَتَّانِ وَخَشِنَهُ وَجُبَّةً لِجِسْمِهَا وَهَذَا مِثَالٌ وَلِكُلِّ بَلَدٍ عُرْفٌ فاعتبر عرفهم فيه.

Adapun jenis pakaian, maka berbeda-beda tergantung pada keadaan lapang, kekurangan, dan pertengahan, serta berbeda pula sesuai dengan pakaian yang lazim di suatu negeri. Jika pakaian yang paling umum di negerinya adalah kapas pada musim panas dan kain khazz pada musim dingin, maka wajib bagi istri dari suami yang mampu diberikan pakaian dari kapas berkualitas tinggi dan halus seperti buatan Bashrah dan Marw yang berkualitas tinggi, serta pada musim dingin diberikan jubah dari kain khazz. Untuk istri dari suami yang berada di tingkat pertengahan, diberikan pakaian dari kapas kualitas menengah seperti buatan Bashrah dan Baghdad, serta jubah dari kapas yang dilapisi atau dari kain khazz kualitas menengah. Sedangkan untuk istri dari suami yang kekurangan, diberikan pakaian dari kapas yang tebal seperti buatan Bashrah dan Kufah, serta jubah dari kapas tersebut atau dari wol jika itu biasa dipakai oleh wanita di negerinya. Jika pakaian yang paling umum di negerinya adalah linen dan sutra, maka wajib bagi istri dari suami yang mampu diberikan pakaian dari linen berkualitas tinggi seperti buatan Dabiq, Mutraf, dan Sallas berkualitas tinggi, namun tidak diberikan dari kain qasab yang tipis dan ringan yang tidak sah dipakai salat, karena ia hanya berhak atas satu pakaian dan itu tidak menutup auratnya serta tidak sah dipakai salat. Oleh karena itu, diberikan kepadanya pakaian yang sah dipakai salat. Pada musim dingin, diberikan jubah dari sutra seperti dibaj, harir, dan jenis sutra lain yang khas di negerinya. Untuk istri dari suami yang berada di tingkat pertengahan, diberikan pakaian dari linen kualitas menengah seperti buatan Ma’sur di Mesir, yang dikenal di Bashrah, dan kualitas menengah buatan Romawi di Baghdad, serta jubah dari jenis jubah menengah yang biasa dipakai wanita di negerinya. Untuk istri dari suami yang kekurangan, diberikan linen yang tebal dan kasar serta jubah untuk tubuhnya. Ini hanyalah contoh, dan setiap negeri memiliki kebiasaan masing-masing, maka ikutilah kebiasaan mereka dalam hal ini.

(فصل: [القول في مقدار الكسوة] )

(Bab: [Pembahasan tentang kadar pakaian])

وَأَمَّا مِقْدَارُ ثِيَابِهَا فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِقَدِّهَا فِي الطُّولِ وَالْقِصَرِ وَالنَّحَافَةِ وَالسِّمَنِ، هَذَا فِي مِقْدَارِ قميصها فأما القناع فيتساوى والسراويل يتقارب وَإِنَّمَا اعْتَبَرْنَا مِقْدَارَ الثِّيَابِ بِكِفَايَتِهَا، وَلَمْ يُعْتَبَرِ الْقُوتُ بِكِفَايَتِهَا لِأَمْرَيْنِ:

Adapun kadar pakaiannya, maka disesuaikan dengan ukuran tubuhnya, baik tinggi, pendek, kurus, maupun gemuk. Ini berlaku untuk ukuran gamisnya. Adapun kerudung, ukurannya sama, dan celana panjang ukurannya hampir serupa. Kami mempertimbangkan kadar pakaian berdasarkan kecukupannya, sedangkan makanan tidak dipertimbangkan berdasarkan kecukupannya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ فِي الشَّرْعِ أَصْلًا يَتَقَدَّرُ بِهِ الْقُوتُ فَلَمْ تُعْتَبَرْ فِيهِ الكفاية وليس في الشرع يَتَقَدَّرُ بِهِ اللِّبَاسُ فَاعْتَبَرَنَا فِيهِ الْكِفَايَةَ.

Pertama: Dalam syariat terdapat ketentuan pokok mengenai kadar makanan, sehingga tidak dipertimbangkan kecukupannya. Sedangkan dalam syariat tidak ada ketentuan pokok mengenai kadar pakaian, maka kami mempertimbangkan kecukupannya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْكِفَايَةَ فِي الْكِسْوَةِ مُتَحَقِّقَةٌ بِالْمُشَاهَدَةِ فَاعْتَبَرْنَاهَا وَكِفَايَةُ الْقُوتِ غَيْرُ مُتَحَقِّقَةٍ وَلَا مُشَاهَدَةٍ لَمْ نَعْتَبِرْهَا.

Kedua: Kecukupan dalam pakaian dapat diketahui secara nyata, sehingga kami mempertimbangkannya. Sedangkan kecukupan makanan tidak dapat diketahui secara nyata, maka kami tidak mempertimbangkannya.

(فَصْلٌ)

(Bab)

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ جِنْسِ الْكِسْوَةِ وَمِقْدَارِهَا فَعَلَيْهِ أَنْ يَدْفَعَهَا ثِيَابًا وَلَا يَدْفَعَ إِلَيْهَا ثَمَنَهَا لِاسْتِحْقَاقِهَا لِلْكِسْوَةِ دُونَ الثَّمَنِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَخِيطَ لَهَا مِنْهُ مَا احتاج إلى د خِيَاطَةٍ، فَإِنْ بَاعَتْهَا لَمْ يَصِحَّ وَإِنْ كَانَ بَعْدَهُ صَحَّ الْبَيْعُ وَمَلَكَتِ الثَّمَنَ، وَكَانَ عَلَيْهَا أَنْ تَكْسُوَ نَفْسَهَا بِمَا شَاءَتْ.

Jika telah tetap apa yang telah kami jelaskan mengenai jenis dan kadar pakaian, maka wajib baginya (suami) untuk memberikannya dalam bentuk pakaian, bukan dalam bentuk uang, karena yang menjadi hak istri adalah pakaian, bukan uangnya. Ia juga wajib menjahitkan pakaian tersebut jika memang membutuhkan jahitan. Jika istri menjual pakaian itu sebelum menerimanya, maka jual belinya tidak sah. Namun jika setelah menerimanya, maka jual belinya sah dan ia berhak atas uang hasil penjualan tersebut, dan ia boleh mengenakan pakaian apa saja yang ia kehendaki.

وَقَالَ ابْنُ الْحَدَّادِ الْمِصْرِيُّ: لَا يَصِحُّ بَيْعُهَا وَلَا يَجُوزُ الِاسْتِبْدَالُ، وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الْكِسْوَةَ لَا تَخْلُو أَنْ تَكُونَ فِي مِلْكِهَا أَوْ مِلْكِ الزَّوْجِ. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ فِي مِلْكِ الزَّوْجِ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ اسْتِرْجَاعُهَا. فَثَبَتَ أَنَّهَا لِلزَّوْجَةِ وَجَازَ لَهَا بَيْعُ مَا مَلَكَتْ وَاللَّهُ أعلم.

Ibnu al-Haddad al-Mishri berkata: Tidak sah menjual pakaian tersebut dan tidak boleh menggantinya. Pendapat ini tidak benar, karena pakaian itu tidak lepas dari dua kemungkinan: berada dalam kepemilikan istri atau suami. Tidak boleh berada dalam kepemilikan suami, karena suami tidak boleh mengambilnya kembali. Maka tetaplah bahwa pakaian itu milik istri, dan ia boleh menjual apa yang ia miliki. Allah Maha Mengetahui.

(كسوة خادم الزوجة)

(Pakaian untuk pembantu istri)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلِخَادِمِهَا كِرْبَاسٌ وَمَا أَشْبَهَهُ وَفِي الْبَلَدِ الْبَارِدِ أَقَلُّ مَا يَكْفِي الْبَرْدَ مِنْ جُبَّةٍ مَحْشُوَّةٍ وَقَطِيفَةٍ أَوْ لِحَافٍ يَكْفِي السَنَتَيْنِ وَقَمِيصٍ وَسَرَاوِيلَ وَخِمَارٍ أَوْ مَقْنَعَةٍ وَلِجَارِيَتِهَا جُبَّةُ صُوفٍ وَكِسَاءٌ تَلْتَحِفُهُ يُدْفِئُ مِثْلَهَا وَقَمِيصٌ وَمَقْنَعَةٌ وَخُفٌّ وَمَا لَا غِنَى بِهَا عَنْهُ وَيَفْرِضُ لَهَا فِي الصَّيْفِ قَمِيصًا وَمَلْحَفَةً وَمَقْنَعَةً “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Untuk pembantu perempuan (istri) diberikan kain katun (kirbās) dan yang sejenis dengannya. Di negeri yang dingin, diberikan paling sedikit pakaian yang cukup untuk menghangatkan dari dingin, berupa jubah berisi (berlapis), selimut tebal (qaṭīfah) atau selimut (liḥāf) yang cukup untuk dua tahun, serta kemeja (qamīṣ), celana panjang (sarāwīl), kerudung (khimār) atau penutup kepala (maqna‘ah). Untuk budak perempuannya diberikan jubah wol, kain penutup (kisā’) yang dapat diselimutkan untuk menghangatkan dirinya, kemeja, penutup kepala (maqna‘ah), sepatu (khuff), dan apa saja yang tidak bisa ia tinggalkan. Dan diwajibkan untuknya pada musim panas kemeja, kain penutup (milḥafah), dan penutup kepala (maqna‘ah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا وَجَبَتْ نَفَقَةُ خَادِمِهَا وَجَبَتْ كِسْوَتُهُ، فَإِنْ كَانَ عَبْدًا فَكِسْوَةُ الْعَبْدِ قَمِيصٌ وَمِنْدِيلٌ، وَفِي الشِّتَاءِ جُبَّةٌ، فَأَمَّا السَّرَاوِيلُ فَإِنْ كَانُوا فِي بَلَدٍ يَلْبَسُ عَبِيدُهُ السَّرَاوِيلَاتِ كَسَاهُ سَرَاوِيلَ، وَإِنْ لَمْ يَكْتَسُونَهُ سَقَطَ عَنْهُ وَإِنْ كَانُوا فِي بَلَدٍ يَأْتَزِرُونَ وَلَا يَتَقَمَّصُونَ كَالْبَحْرِ كَسَاهُ مِئْزَرًا وَسَقَطَ عَنْهُ الْقَمِيصُ، وَإِنْ كَانَ الْخَادِمُ أَمَةً كَسَاهَا قَمِيصًا وَقِنَاعًا وَلَمْ يَقْتَصِرْ بِهَا عَلَى الْمِئْزَرِ وَحْدَهُ وَإِنْ أَلِفُوهُ لِأَنَّهُ يُبْدِي مِنْ جَسَدِهَا مَا تُغَضُّ عَنْهُ الْأَبْصَارُ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ عَوْرَةً. وَتَحْتَاجُ الْأَمَةُ مَعَ ذَلِكَ إِلَى مِلْحَفَةٍ إِذَا خَرَجَتْ لِلْخِدْمَةِ، وَلَا تَحْتَاجُ إِلَيْهَا الزَّوْجَةُ لِأَنَّ لَهُ مَنْعَهَا مِنَ الْخُرُوجِ.

Al-Māwardī berkata: Jika nafkah pembantu perempuan istri telah diwajibkan, maka diwajibkan pula pakaiannya. Jika ia adalah budak laki-laki, maka pakaiannya adalah kemeja (qamīṣ) dan sapu tangan (mindīl), serta pada musim dingin diberikan jubah (jubbah). Adapun celana panjang (sarāwīl), jika mereka berada di negeri di mana para budaknya biasa memakai celana panjang, maka diberikan celana panjang. Jika tidak biasa memakainya, maka gugur kewajiban tersebut. Jika mereka berada di negeri di mana para budaknya hanya memakai kain sarung (mi’zar) dan tidak memakai kemeja, seperti di daerah pesisir, maka diberikan kain sarung dan gugur kewajiban kemeja. Jika pembantu itu adalah budak perempuan, maka diberikan kemeja dan penutup kepala (qinā‘), dan tidak cukup hanya dengan kain sarung saja meskipun sudah menjadi kebiasaan, karena kain sarung menampakkan bagian tubuh yang seharusnya dijaga pandangan darinya, meskipun bukan aurat. Budak perempuan juga membutuhkan kain penutup (milḥafah) jika keluar untuk bekerja, sedangkan istri tidak membutuhkannya karena suami berhak melarangnya keluar rumah.

فَأَمَّا الْخُفُّ في خروج الأمة، فَإِنْ كَانَ عَادَةُ الْبَلَدِ أَنْ تَتَخَفَّفَ إِمَاؤُهُ لَزِمَهُ خُفُّهَا، وَإِنْ لَمْ يَتَخَفَّفُوا سَقَطَ عَنْهُ، وَبِمِثْلِهِ يُعْتَبَرُ حَالُ السَّرَاوِيلِ وَالْمِئْزَرِ، فَأَمَّا جِنْسُ الثِّيَابِ فَفِي النَّاسِ قَوْمٌ تَتَسَاوَى كِسْوَاتُهُمْ وَكِسْوَاتُ إِمَائِهِمْ وَعَبِيدِهِمْ كَفُقَرَاءِ الْبَوَادِي وَسُكَّانِ الْفَلَوَاتِ فَيَكُونُ أَحْرَارُهُمْ وَعَبِيدُهُمْ فِي الْكِسْوَةِ سَوَاءً، وَالْأَغْلَبُ مِنْ أَحْوَالِ النَّاسِ أَنَّ كِسْوَاتِ عَبِيدِهِمْ وَإِمَائِهِمْ أَدْوَنُ مِنْ كِسْوَاتِ سَادَاتِهِمْ، وَعَلَيْهِ يَكُونُ الْكَلَامُ، فَيَفْرِضُ لِخَادِمِ زَوْجَةِ الْمُوسِرِ أَدْوَنَ مِمَّا يَفْرِضُهُ لِزَوْجَةِ الْمُتَوَسِّطِ كَمَا كَانَ فِي الْقُوتِ أَدْوَنَ مِنْهَا، ويفرض لِخَادِمِ زَوْجَةِ الْمُتَوَسِّطِ مِثْلَ مَا يَفْرِضُهُ لِزَوْجَةِ الْمُقْتِرِ كَمَا كَانَ فِي الْقُوتِ مِثْلَهَا، وَيَفْرِضُ لِخَادِمِ زَوْجَةِ الْمُقْتِرِ مَا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ دُونَهُ كَغَلِيظِ الْكَرَابِيسِ وَثِيَابِ الصُّوفِ، وَإِلَّا سَاوَى بَيْنَهُمَا وَكَانَ الْعُرْفُ فِيهِ شَاهِدًا مُعْتَبَرًا فِي الثِّيَابِ وَالْجِبَابِ.

Adapun sepatu (khuff) bagi budak perempuan ketika keluar, jika kebiasaan di negeri tersebut para budak perempuan memakai sepatu, maka diwajibkan memberikannya. Jika tidak, maka gugur kewajiban tersebut. Demikian pula halnya dengan celana panjang (sarāwīl) dan kain sarung (mi’zar). Adapun jenis pakaian, di antara manusia ada kaum yang pakaian mereka sama dengan pakaian budak laki-laki dan perempuan mereka, seperti kaum fakir di pedalaman dan penghuni padang pasir, sehingga orang merdeka dan budak mereka sama dalam hal pakaian. Namun, kebanyakan keadaan manusia adalah pakaian budak laki-laki dan perempuan mereka lebih rendah daripada pakaian tuan mereka, dan hal inilah yang menjadi acuan. Maka, untuk pembantu istri orang kaya diberikan pakaian yang lebih rendah daripada yang diberikan kepada istri orang menengah, sebagaimana dalam hal makanan juga lebih rendah. Untuk pembantu istri orang menengah diberikan pakaian seperti yang diberikan kepada istri orang miskin, sebagaimana dalam makanan juga demikian. Untuk pembantu istri orang miskin diberikan pakaian yang mungkin lebih rendah lagi, seperti kain katun kasar dan pakaian wol. Jika tidak memungkinkan, maka disamakan antara keduanya, dan adat kebiasaan menjadi pertimbangan yang diperhitungkan dalam hal pakaian dan jubah.

(الْقَوْلُ فِي حُكْمِ النَّفَقَةِ إِذَا كَانَتْ لَا تُكْفَى الزَّوْجَةُ بِهَا)

(Pembahasan tentang hukum nafkah jika istri tidak cukup dengan nafkah tersebut)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَتْ رَغِيبَةً لَا يُجْزِئْهَا هَذَا دَفَعَ إِلَيْهَا ذَلِكَ وَتَزَيَّدَتْ مِنْ ثَمَنِ أُدْمٍ وَلَحْمٍ وما شاءت في الحب وإن كانت زهيدة تزيدت فيما لا يقوتها من فضل المكيلة وإن كان زوجها موسعاً فرض لها مدان ومن الأدم واللحم ضعف ما وصفت لامرأة المقتر وكذلك في الدهن والمشط ومن كسوة وسط البغدادي والهروي ولين البصرة وما اشبهه ويحشي لها إن كانت ببلاد يحتاج أهلها إليه وقطيفة وسط ولا أعطيها في القوت دراهم فإن شاءت أن تبيعه فتصرفه فيما شاءت صرفته وأجعل لخادمها مداً وثلثا لأن ذلك سعة لمثلها وفي كسوتها الكرباس وغليظ البصري والواسطي وما أشبهه ولا أجاوزه بموسع من كان، ومن كانت امرأته “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika istri itu rakus (banyak makan) sehingga nafkah tersebut tidak mencukupinya, maka diberikan kepadanya nafkah itu dan ia boleh menambah dari harga lauk-pauk dan daging, serta apa yang ia kehendaki dalam makanan pokok. Jika ia adalah wanita yang sederhana, ia boleh menambah dari kelebihan bahan makanan yang tidak mengenyangkannya. Jika suaminya orang yang lapang rezekinya, maka ditetapkan untuknya dua mud dan dari lauk-pauk serta daging dua kali lipat dari yang aku sebutkan untuk istri orang miskin, demikian pula untuk minyak dan sisir, serta pakaian setara dengan pakaian menengah orang Baghdad dan Herat, serta kelembutan pakaian Basrah dan yang sejenisnya. Jika ia berada di negeri yang penduduknya membutuhkan pakaian berlapis, maka diberikan pula selimut tebal yang sedang. Aku tidak memberikan uang tunai untuk makanan pokoknya; jika ia ingin menjualnya dan membelanjakan pada apa yang ia kehendaki, maka ia boleh melakukannya. Untuk pembantunya aku tetapkan satu mud dan sepertiga, karena itu adalah kelapangan bagi yang sepertinya. Untuk pakaiannya diberikan kain katun (kirbās), kain kasar Basrah dan Wasith, dan yang sejenisnya, dan aku tidak melebihkan dari itu, siapapun suaminya yang lapang rezekinya, dan demikian pula untuk istrinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الرَّغِيبَةُ فَالْأَكُولَةُ، وَأَمَّا الزَّهِيدَةُ فَالْقَنُوعَةُ، فَإِذَا كَانَتِ الزَّوْجَةُ رَغِيبَةً لَا تَكْتَفِي مِنَ الْحَبِّ بِمَا فَرَضَ لَهَا فَأَرَادَتْ أَنْ تَأْخُذَ مِنْ ثَمَنِ أُدْمِهَا مَا تَزِيدُهُ فِي الْحَبَّ الَّذِي يَكْفِيهَا كَانَ ذَلِكَ لَهَا فَأَمَّا الْكِسْوَةُ إِذَا أَرَادَتْ بَيْعَهَا وَشِرَاءَ مَا هُوَ أَدْوَنُ مِنْهَا لَمْ يَكُنْ لَهَا ذَلِكَ.

Al-Māwardī berkata: Adapun “raghibah” adalah wanita yang banyak makan, sedangkan “zahīdah” adalah wanita yang qana‘ah (merasa cukup). Jika istri itu rakus sehingga tidak cukup dengan makanan pokok yang telah ditetapkan untuknya, lalu ia ingin mengambil dari harga lauk-pauknya untuk menambah makanan pokok yang mencukupinya, maka itu boleh baginya. Adapun untuk pakaian, jika ia ingin menjualnya dan membeli pakaian yang lebih rendah dari itu, maka itu tidak diperbolehkan baginya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ لِلزَّوْجِ حَقَّ الِاسْتِمْتَاعِ فِي زِينَةِ ثِيَابِهَا فَمُنِعَتْ مِنْ تَغْيِيرِهَا وَلَيْسَ لَهُ ذَلِكَ فِي قُوتِهَا فَمُكِّنَتْ مِنْ إِرَادَتِهَا، وَسَوَّى أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ بَيْنَهُمَا، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ، وَإِذَا أَرَادَتْ أَنْ تَسْتَبْدِلَ بِجَمِيعِ قُوتِهَا أَوْ تَتَصَدَّقَ بِهِ أَوْ تَهَبَهُ كَانَ ذَلِكَ لَهَا وَلَمْ تُمْنَعْ إِذَا وَجَدَتْ قُوتَهَا مِنْ غَيْرِهِ فَكَانَ فِيمَا صَوَّرَهُ الشَّافِعِيُّ مَنْ حَالِ الرَّغِيبَةِ وَالزَّهِيدَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقُوتَ مُقَدَّرٌ بِالشَّرْعِ وَغَيْرُ مُعْتَبَرٍ بِالْكِفَايَةِ، وَالثَّانِي أَنَّ لَهَا التَّصَرُّفَ فِيهِ كَيْفَ شَاءَتْ. فَلَوْ أَرَادَتِ الزَّوْجَةُ أَنْ تَقْتَصِرَ عَلَى أَكْلِ ما لا يشبعها وإن كانت تقضي بِهَا شِدَّةُ الْجُوعِ إِلَى مَرَضٍ أَوْ ضَعْفٍ مُنِعَتْ مِنْهُ لِمَا فِيهِ مِنْ تَفْوِيتِ اسْتِمْتَاعِ الزَّوْجِ كَمَا تُمْنَعُ مِنْ أَكْلِ مَا يُفْضِي إِلَى تَلَفِهَا مِنَ السُّمُومِ وَإِنْ كَانَ لَا يُفْضِي إِلَى مَرَضِهَا وَكَانَ مُفْضِيًا إِلَى هُزَالِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي إِجْبَارِهَا عَلَى الِاسْتِحْدَادِ وَمَنْعِهَا مِنْ أَكْلِ مَا يَتَأَذَّى بِرَائِحَتِهِ:

Perbedaan antara keduanya adalah: suami memiliki hak untuk menikmati istrinya dalam perhiasan pakaian, sehingga istri dilarang mengubahnya, sedangkan suami tidak memiliki hak tersebut dalam hal makanan pokoknya, sehingga istri dibolehkan mengaturnya sesuai keinginannya. Abu Ishaq al-Marwazi menyamakan keduanya, namun itu tidak benar sebagaimana telah kami sebutkan perbedaannya. Jika istri ingin mengganti seluruh makanan pokoknya, atau menyedekahkannya, atau memberikannya sebagai hadiah, maka itu dibolehkan baginya dan ia tidak dilarang selama ia mendapatkan makanan pokoknya dari selainnya. Dalam gambaran yang dikemukakan oleh asy-Syafi‘i tentang istri yang berkeinginan dan yang tidak berkeinginan, terdapat dalil atas dua hal: Pertama, bahwa makanan pokok itu ditentukan oleh syariat dan tidak diukur dengan kecukupan; kedua, bahwa istri berhak mengelolanya sesuai kehendaknya. Jika istri ingin membatasi diri hanya makan makanan yang tidak mengenyangkannya, meskipun itu menyebabkan rasa lapar yang berat hingga menimbulkan sakit atau kelemahan, maka ia dilarang melakukannya karena hal itu dapat menghilangkan kenikmatan suami, sebagaimana ia juga dilarang memakan sesuatu yang dapat membinasakannya seperti racun, meskipun tidak menyebabkan sakit tetapi menyebabkan tubuhnya kurus. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat asy-Syafi‘i tentang memaksanya untuk mencukur bulu kemaluan dan melarangnya memakan sesuatu yang baunya mengganggu:

أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ مَنْعُهَا مِنْ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ قَدْ يَصِلُ مَعَهُ إِلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا.

Salah satunya: Suami tidak berhak melarang istri dari hal tersebut, karena bisa jadi suami masih dapat menikmati istrinya bersamaan dengan itu.

وَالثَّانِي: لَهُ مَنْعُهَا مِنْ ذَلِكَ وَإِجْبَارُهَا عَلَى أَكْلِ مَا يَحْفَظُ بِهِ جَسَدَهَا وَيَدْفَعُ به هُزَالَهَا لِمَا يَلْحَقُهُ مِنْ نُقْصَانِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا.

Yang kedua: Suami berhak melarang istri dari hal tersebut dan memaksanya untuk makan makanan yang dapat menjaga tubuhnya dan menghilangkan kelemahannya, karena hal itu berkaitan dengan berkurangnya kenikmatan suami terhadap istrinya.

(القول في ما يجب للزوجة من الفراش)

(Pembahasan tentang apa yang wajib diberikan kepada istri berupa tempat tidur)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلِامْرَأَتِهِ فِرَاشٌ وَوِسَادَةٌ مِنْ غَلِيظِ مَتَاعِ الْبَصْرَةِ وَمَا أَشْبَهَهُ وَلِخَادِمَهَا فَرْوَةٌ وَوِسَادَةٌ وَمَا أَشْبَهَهُ مِنْ عَبَاءَةٍ أَوْ كِسَاءٍ غَلِيظٍ “.

Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Istri berhak mendapatkan tempat tidur dan bantal dari barang tebal buatan Bashrah atau yang semisalnya, dan untuk pembantunya berhak mendapatkan bulu domba dan bantal serta yang semisalnya dari selimut atau kain tebal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدَّمَ الشَّافِعِيُّ الْكَلَامَ فِي الْقُوتِ لِأَنَّهُ أَعَمُّ ثم تلاه بالكسوة لأنها أمس ثُمَّ عَقَبَهُ بِالدِّثَارِ وَالْوَطَاءِ، لِأَنَّ دِثَارَ الشِّتَاءِ لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ لِدَفْعِ الْبَرْدِ بِهِ فَكَانَ مستحقاً على الزوج، وعاد النَّاسِ فِي الدِّثَارِ تَخْتَلِفُ فَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَعْمِلُ اللُّحُفَ وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَعْمِلُ الْقُطُفَ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَعْمِلُ الْأَكْسِيَةَ فَيَفْرِضُ لَهَا مِنْ ذَلِكَ مَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ بَلَدِهَا. فَيَكُونُ لِزَوْجَةِ الْمُوسِرِ لِحَافٌ مَحْشُوٌّ مِنْ مُرْتَفِعِ الْقُطْنِ أَوْ مِنْ وسط الحرير، وإن كانوا يستعملون القطيف فَرَضَ لَهَا قَطِيفَةً مُرْتَفِعَةً، أَوِ الْأَكْسِيَةَ فَرَضَ لَهَا كِسَاءً مُرْتَفِعًا مِنْ أَكْسِيَةِ بَلَدِهَا، وَفَرَضَ لِزَوْجَةِ الْمُتَوَسِّطِ الْوَسَطَ مِنَ اللُّحُفِ أَوِ الْقُطُفِ أَوِ الْأَكْسِيَةِ، وَلِزَوْجَةِ الْمُقْتِرِ الْأَدْوَنُ مِنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ، هَذَا فِي الشِّتَاءِ فَأَمَّا الصَّيْفُ فَإِنِ اعْتَادُوا لِنَوْمِهِمْ غِطَاءً غَيْرَ لِبَاسِهِمْ فَرَضَ لَهَا بِحَسْبِ عُرْفِهِمْ، وَإِنْ لَمْ يَعْتَادُوهُ أُسْقِطَ عَنْهُ، وَخَالَفَ فِيهِ حَالُ الشِّتَاءِ لِأَنَّ الْعُرْفَ فِيهِ الِاسْتِكْثَارُ فِي دِثَارِ اللَّيْلِ عَلَى لِبَاسِ النَّهَارِ.

Al-Mawardi berkata: Asy-Syafi‘i mendahulukan pembahasan tentang makanan pokok karena itu lebih umum, kemudian diikuti dengan pembahasan pakaian karena lebih penting, lalu setelah itu membahas selimut dan alas tidur, karena selimut musim dingin tidak bisa ditinggalkan untuk mengusir dingin sehingga menjadi hak istri atas suami. Adat kebiasaan manusia dalam hal selimut berbeda-beda: ada yang menggunakan selimut tebal, ada yang menggunakan kapas, dan ada yang menggunakan kain penutup, maka ditetapkan untuk istri sesuai dengan kebiasaan di negerinya. Untuk istri dari suami yang kaya, diberikan selimut berisi kapas yang berkualitas atau dari sutra menengah; jika mereka biasa menggunakan kain beludru, maka diberikan kain beludru yang berkualitas; atau jika biasa menggunakan kain penutup, maka diberikan kain penutup yang berkualitas dari jenis kain penutup di negerinya. Untuk istri dari suami yang menengah, diberikan selimut, kapas, atau kain penutup yang kualitasnya menengah; dan untuk istri dari suami yang miskin, diberikan yang paling rendah dari tiga jenis itu. Ini untuk musim dingin. Adapun musim panas, jika mereka terbiasa menggunakan penutup tidur selain pakaian mereka, maka diberikan sesuai dengan kebiasaan mereka; jika tidak terbiasa, maka tidak diwajibkan. Hal ini berbeda dengan musim dingin, karena kebiasaan pada musim dingin adalah memperbanyak selimut malam dibandingkan pakaian siang hari.

وَالْعُرْفُ فِي الصَّيْفِ إِسْقَاطُ اللِّبَاسِ فِي نَوْمِ اللَّيْلِ عَنْ لِبَاسِ النَّهَارِ، وَأَمَّا الْوِطَاءُ فَهُوَ نَوْعَانِ: بِسَاطٌ لِجُلُوسِهَا، وَفِرَاشٌ لِمَنَامِهَا، فَأَمَّا بِسَاطُ الْجُلُوسِ فَمِمَّا لَا يَسْتَغْنِي عَنْهُ مُوسِرٌ وَلَا مُقْتِرٌ، فَيَفْرِضُ لَهَا بِحَسَبِ حَالِهِ وَعَادَةِ أَهْلِهِ مِنْ بُسُطِ الشِّتَاءِ وَحُصُرِ الصَّيْفِ، فَأَمَّا الْفِرَاشُ فكان الامصار وذو الْيَسَارِ يَسْتَعْمِلُونَهُ زِيَادَةً عَلَى بُسُطِ جُلُوسِهِمْ، فَيُفْرَضُ لَهَا عَلَيْهِ فِرَاشٌ مَحْشُوٌّ وَوِسَادَةٌ بِحَسَبِ الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ، فَأَمَّا سُكَّانُ الْقُرَى وَدُورِ الْأَقْتَارِ فَيَكْتَفُونَ فِي نَوْمِهِمْ بِالْبُسُطِ الْمُسْتَعْمَلَةِ لِجُلُوسِهِمْ. فَلَا يُفْرَضُ لمثلها فراش لكن وسادة لرأسها، قَدْ أَلِفَ النَّاسُ فِي زَمَانِنَا أَنْ يَكُونَ جِهَازُ الْمَنَازِلِ عَلَى النِّسَاءِ وَلَا يَصِيرُ ذَلِكَ عُرْفًا مُعْتَبَرًا. كَمَا أُلِفَ رَشْوَةَ النِّسَاءِ فِي النِّكَاحِ وَلَا يَصِيرُ حَقًّا مَعْتَبَرًا، لِأَنَّ حُقُوقَ الْأَمْوَالِ فِي الْمَنَاكِحِ تَجِبُ لِلنِّسَاءِ عَلَى الْأَزْوَاجِ فَلَا تُعْكَسُ فِي الِاسْتِحْقَاقِ وَأَمَّا خَادِمُهَا فَلَا يستغنى عن دثار في الشتار بِحَسْبِ عَادَتِهِ مِنَ الْفِرَاءِ وَالْأَكْسِيَةِ وَوِسَادَةٍ لِرَأْسِهِ وَبِسَاطٍ لِجُلُوسِهِ وَمَنَامِهِ مَا يَجْلِسُ مِثْلُهُ عَلَيْهِ فِي جَسَدِهِ. . فَيُفْرَضُ عَلَيْهِ لِخَادِمِهَا ذَلِكَ كَمَا يفرض قوته وكسوته.

Adapun kebiasaan (‘urf) pada musim panas adalah mengganti pakaian malam dengan pakaian siang saat tidur malam. Sedangkan alas (wiṭā’), ada dua jenis: alas duduk dan alas tidur. Untuk alas duduk, tidak ada orang kaya maupun miskin yang bisa lepas darinya, maka ditetapkan baginya sesuai keadaan dan kebiasaan keluarganya, baik berupa permadani musim dingin maupun tikar musim panas. Adapun alas tidur, di kota-kota dan bagi orang yang berkecukupan, mereka menggunakannya sebagai tambahan atas alas duduk mereka. Maka ditetapkan baginya alas tidur yang berisi (empuk) dan bantal sesuai dengan kebiasaan dan tradisi (‘urf wa ‘ādah). Adapun penduduk desa dan rumah-rumah di pedalaman, mereka cukup tidur di atas alas duduk yang biasa mereka gunakan. Maka tidak ditetapkan untuk yang semisalnya alas tidur, tetapi hanya bantal untuk kepalanya. Orang-orang pada zaman kita telah terbiasa bahwa perlengkapan rumah menjadi tanggungan perempuan, namun hal itu tidak menjadi ‘urf yang diakui. Sebagaimana telah menjadi kebiasaan adanya “uang pelicin” (raswah) dari perempuan dalam pernikahan, namun itu tidak menjadi hak yang diakui, karena hak-hak harta dalam pernikahan wajib diberikan kepada perempuan oleh suami, dan tidak sebaliknya dalam hal hak. Adapun untuk pembantunya, tidak bisa dilepaskan dari selimut pada musim dingin sesuai kebiasaannya, baik berupa bulu maupun kain tebal, serta bantal untuk kepalanya, dan alas untuk duduk dan tidurnya, sebagaimana yang biasa digunakan oleh orang sepertinya. Maka wajib atasnya menyediakan itu semua untuk pembantunya, sebagaimana wajib memberinya makan dan pakaian.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا بَلِيَ أَخْلَفَهُ وَإِنَّمَا جَعَلْتُ أَقَلَّ الْفَرْضِ فِي هَذَا بِالدَّلَالَةِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي دَفْعِهِ إِلَى الَّذِي أَصَابَ أَهْلَهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عَرَقًا فِيهِ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا لِسِتِّينَ مِسْكِينًا وَإِنَّمَا جَعَلْتُ أَكْثَرَ مَا فَرَضْتُ مُدَّيْنِ لِأَنَّ أَكْثَرَ مَا أَمَرَ بِهِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي فِدْيَةِ الْأَذَى مُدَّانِ لِكُلِّ مِسْكِينٍ فَلَمْ أُقَصِّرْ عَنْ هَذَا وَلَمْ أُجَاوِزْ هَذَا مَعَ أَنَّ مَعْلُومًا أَنَّ الْأَغْلَبَ أَنَّ أَقَلَّ الْقُوتِ مُدٌّ وَأَنَّ أَوْسَعَهُ مُدَّانِ وَالْفَرْضُ الَّذِي عَلَى الْوَسَطِ الَّذِي لَيْسَ بِالْمُوسِعِ وَلَا الْمُقْتِرِ بَيْنَهُمَا مُدٌّ وَنِصْفٌ وَلِلْخَادِمَةِ مُدًّا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika telah rusak (pakaian/nafkah), maka diganti. Aku menetapkan kadar minimal kewajiban ini berdasarkan dalil dari Nabi ﷺ ketika beliau memberikan kepada seseorang yang berhubungan dengan istrinya di bulan Ramadan satu keranjang (araq) berisi lima belas sha‘ untuk enam puluh orang miskin. Aku menetapkan kadar maksimal dua mud karena kadar terbanyak yang diperintahkan Nabi ﷺ dalam fidyah atas gangguan (haji) adalah dua mud untuk setiap orang miskin. Maka aku tidak mengurangi dari itu dan tidak melebihinya, dengan pengetahuan bahwa umumnya kadar minimal makanan pokok adalah satu mud dan yang paling luas dua mud, dan kewajiban yang berlaku bagi orang pertengahan (tidak kaya dan tidak miskin) adalah satu setengah mud, sedangkan untuk pembantu perempuan dua mud.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْقُوتُ فَمُسْتَحَقٌّ فِي كُلِّ يَوْمٍ عَلَيْهِ دَفْعُهُ إِلَيْهَا مَرَّةً وَاحِدَةً، وَلَا يُوَقِّتُهُ عَلَيْهَا وَتَسْتَحِقُّهُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ لِتَتَشَاغَلَ بِعَمَلِهِ وَلِتُبْدِيَ مِنْهُ لِغِذَائِهَا، فَعَلَى هَذَا إِنْ دَفَعَهُ إِلَيْهَا فَسُرِقَ مِنْهَا أَوْ تَلِفَ فِي إِصْلَاحِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ بَدَلُهُ كَمَا لَوْ دَفَعَ إِلَيْهَا صَدَاقَهَا فَرَّقَ، فَأَمَّا الْكِسْوَةُ فَالْعُرْفُ الْجَارِي فِيهَا، أَنْ تَسْتَحِقَّ فِي السَّنَةِ دَفْعَتَيْنِ، كِسْوَةٌ فِي الصَّيْفِ تَسْتَحِقُّهَا فِي أَوَّلِهِ، وَكِسْوَةٌ فِي الشِّتَاءِ تُسْتَحَقُّ فِي أَوَّلِهِ فَتَكُونُ مُدَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْكِسْوَتَيْنِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ، وَتَسْتَحِقُّ عِنْدَ انْقِضَائِهَا الْكِسْوَةَ الْأُخْرَى، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمَكْسُوَّةِ بَعْدَ لِبَاسِهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Adapun makanan pokok (qūt), wajib diberikan setiap hari sekali, dan tidak boleh ditunda-tunda, serta ia berhak menerimanya di awal hari agar bisa sibuk dengan pekerjaannya dan menggunakannya untuk makanannya. Jika telah diberikan kepadanya lalu dicuri atau rusak saat mengolahnya, maka tidak wajib menggantinya, sebagaimana jika telah diberikan mahar lalu ia membelanjakannya. Adapun pakaian (kiswah), kebiasaan (‘urf) yang berlaku adalah ia berhak menerima dua kali dalam setahun: pakaian musim panas yang diterima di awal musim panas, dan pakaian musim dingin yang diterima di awal musim dingin. Maka masa berlaku masing-masing pakaian adalah enam bulan, dan ketika masa itu habis, ia berhak menerima pakaian berikutnya. Dengan demikian, keadaan orang yang telah menerima pakaian setelah memakainya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ وَفْقَ مُدَّتِهَا لَا تَخْلُقُ قَبْلَهَا وَلَا تَبْقَى بَعْدَهَا فَقَدْ وَافَقَتْ مُدَّةَ الِاسْتِحْقَاقِ، فَعَلَيْهِ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ أَنْ يَكْسُوَهَا الْكِسْوَةَ الثَّانِيَةَ.

Pertama: Pakaian itu sesuai dengan masa pakainya, tidak rusak sebelum waktunya dan tidak bertahan setelahnya, maka telah sesuai dengan masa haknya. Setelah masa itu habis, ia wajib memberinya pakaian yang kedua.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَبْلَى كِسْوَتُهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ مُدَّتِهَا. فَيَنْظُرُ فِيهَا. فَإِنْ بَلِيَتْ لِسَخَافَةِ الثِّيَابِ وردائتها كَسَاهَا غَيْرَهَا لِبَاقِي مُدَّتِهَا، وَإِنْ بَلِيَتْ لِسُوءِ فِعْلِهَا وَفَسَادِ عَادَتِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ غَيْرُهَا إِلَى انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ.

Kedua: Pakaian itu rusak sebelum masa pakainya habis. Maka dilihat sebabnya, jika rusak karena tipis dan buruknya kualitas kain, maka ia wajib memberinya pakaian lain untuk sisa masa pakainya. Namun jika rusak karena kelalaian dan kebiasaan buruknya, maka tidak wajib memberinya pakaian lain hingga masa itu habis.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَبْقَى الْكِسْوَةُ بَعْدَ انْقِضَاءِ مُدَّتِهَا. فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Keadaan ketiga: pakaian masih ada setelah habis masa pemakaiannya. Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ كِسْوَتُهَا فِي وَقْتِهَا مَعَ بَقَاءِ مَا تَقَدَّمَهَا كَمَا لَوْ بَقِيَ مِنْ قُوتِ يَوْمِهَا إِلَى غَدِهِ اسْتَحَقَّتْ فِيهِ قُوتَهَا.

Pendapat pertama: suami tetap wajib memberikan pakaian pada waktunya meskipun pakaian sebelumnya masih ada, sebagaimana jika makanan hari ini masih tersisa hingga esok hari, maka istri tetap berhak mendapatkan makanan untuk hari itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَسْتَحِقُّ الْكِسْوَةَ مَعَ بَقَائِهَا بَعْدَ الْمُدَّةِ بِخِلَافِ الْقُوتِ.

Pendapat kedua: istri tidak berhak mendapatkan pakaian baru selama pakaian lama masih ada setelah masa pemakaiannya, berbeda dengan makanan.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْكِسْوَةَ مُعْتَبَرَةٌ بِالْكِفَايَةِ وَالْقُوتَ مُعْتَبَرٌ بِالشَّرْعِ، وَالْأَصَحُّ عِنْدِي مِنْ إِطْلَاقِ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَنْظُرَ فِي الْكِسْوَةِ، فَإِنْ بَقِيَتْ بَعْدَ مُدَّتِهَا لِجَوْدَتِهَا لَمْ تَسْتَحِقَّ بَدَلَهَا، لِأَنَّ الْجَوْدَةَ زِيَادَةٌ، وَإِنْ بَقِيَتْ بَعْدَهَا لِصِيَانَةِ لُبْسِهَا اسْتَحَقَّتْ بَدَلَهَا كَمَا لَوْ لَمْ تَلْبَسْهَا هَذَا كُلُّهُ فِيمَا عَدَا الْجِبَابِ. فَأَمَّا الْجِبَابُ فَمِنْهَا مَا يُعْتَادُ تَجْدِيدُهُ فِي كُلِّ شَتْوَةٍ مِثْلُ: جِبَابِ الْقُطْنِ. فَعَلَيْهِ أَنْ يَكْسُوَهَا فِي كُلِّ شَتْوَةٍ جُبَّةً، وَمِنْهَا مَا يُعْتَادُ أَنْ يُلْبَسَ سَنَتَيْنِ وَأَكْثَرَ كَالدِّيبَاجِ وَالسَّقْلَاطُونِ. فَلَا يَلْزَمُهُ إِبْدَالُهَا فِي كُلِّ شَتْوَةٍ، وَيُعْتَبَرُ فِيهِ عُرْفُ مِثْلِهَا فِيمَا تَلْبَسُ لَهُ مِنَ السِّنِينَ، وَأَمَّا الدِّثَارُ مِنَ اللُّحُفِ وَالْقُطُفِ وَالْأَكْسِيَةِ وَمَا تَسْتَوْطِئُهُ مِنَ الْفُرُشِ وَالْوَسَائِدِ فَهُوَ فِي الْعُرْفِ أَبْقَى مِنَ الْكِسْوَةِ، وَمُدَّةُ اسْتِعْمَالِهِ أَطْوَلُ مِنْ مُدَّةِ الثِّيَابِ، وَمُدَّةُ اللُّحُفِ وَالْقُطُفِ أَطْوَلُ مِنْ مُدَّةِ الْوَسَائِدِ وَالْفُرُشِ لِقُصُورِ مُدَّةِ اسْتِعْمَالِ اللُّحُفِ لِاخْتِصَاصِهَا بِالشَّتَاءِ، وَالْفَرُشُ مُسْتَدَامَةٌ فِي الصَّيْفِ وَالشَّتَاءِ. فَيُعْتَبَرُ في ذلك الْعُرْفُ وَالْعَادَةُ، وَهِيَ جَارِيَةٌ بِتَصَرُّفِهَا وَعَمَلِهَا فِي كُلِّ سَنَةٍ وَالِاسْتِبْدَالُ بِهَا فِي كُلِّ سَنَتَيْنِ فَيُرَاعَى فِيهَا الْعُرْفُ وَالْعَادَةُ فِي مُدَّةِ اسْتِحْقَاقِهَا. فَإِنْ بَلِيَتْ قَبْلَهَا أَوْ بَقِيَتْ بَعْدَهَا فَهِيَ كَالثِّيَابِ عَلَى مَا مَضَى.

Perbedaan antara keduanya: pakaian dipertimbangkan berdasarkan kecukupan, sedangkan makanan dipertimbangkan berdasarkan syariat. Pendapat yang lebih kuat menurut saya dari dua pendapat ini adalah melihat pada kondisi pakaian tersebut: jika pakaian itu masih layak dipakai setelah masa pemakaiannya karena kualitasnya yang baik, maka istri tidak berhak mendapatkan penggantinya, karena kualitas yang baik merupakan kelebihan. Namun jika pakaian itu masih ada karena jarang dipakai, maka istri berhak mendapatkan penggantinya, sebagaimana jika ia tidak memakainya sama sekali. Semua ini berlaku kecuali untuk jubah (jibab). Adapun jibab, ada yang biasa diganti setiap musim dingin seperti jibab dari katun, maka suami wajib memberinya jibab setiap musim dingin. Ada pula jibab yang biasa dipakai selama dua tahun atau lebih seperti dari kain sutra tebal (dībāj) dan saqlāṭūn, maka suami tidak wajib menggantinya setiap musim dingin, melainkan mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dalam berapa lama pakaian itu biasa dipakai. Adapun selimut, kain penutup, kain pelapis, serta alas tidur dan bantal yang biasa dipakai, menurut kebiasaan, masa pakainya lebih lama daripada pakaian, dan masa penggunaan selimut serta kain pelapis lebih lama daripada bantal dan alas tidur, karena selimut hanya dipakai di musim dingin, sedangkan alas tidur dipakai sepanjang tahun, baik musim panas maupun musim dingin. Maka dalam hal ini yang dijadikan acuan adalah kebiasaan dan adat, baik dalam penggunaan maupun penggantiannya setiap tahun atau setiap dua tahun. Jadi, dalam menentukan masa hak istri atas barang-barang tersebut, yang diperhatikan adalah kebiasaan dan adat. Jika barang-barang itu rusak sebelum waktunya atau masih ada setelah lewat waktunya, maka hukumnya sama seperti pakaian sebagaimana telah dijelaskan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا وَأَخَذَتْ مَا تَسْتَحِقُّهُ وَاسْتَعْجَلَتْهُ فَفَارَقَهَا قَبْلَ اسْتِعْمَالِهَا بِطَلَاقٍ أَوْ مَوْتٍ وَمَا أَخَذَتْهُ مِنْ ذَلِكَ بَاقٍ بِحَالِهِ. فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ قُوتًا أَوْ كِسْوَةً. فَإِنْ كَانَ قُوتُ يَوْمِهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَرْجِعَهَا لِاسْتِحْقَاقِهَا لَهُ فِي أَوَّلِ الْيَوْمِ، وَإِنْ تَعَجَّلَتْ قُوتَ شَهْرٍ فَطَلَّقَهَا لِيَوْمِهَا اسْتَرْجَعَ مِنْهَا مَا زَادَ عَلَى قُوتِ الْيَوْمِ لِأَنَّهُ تَعْجِيلُ مَا لَا تَسْتَحِقُّ فَصَارَ كَتَعْجِيلِ الزَّكَاةِ إِذَا ثَبَتَ الْمَالُ قَبْلَ الْحَوْلِ اسْتَحَقَّ الرُّجُوعَ بِهَا عَلَى الْآخِذِ وَكَذَلِكَ لَوْ مَاتَ عَنْهَا اسْتَرْجَعَ الْوَرَثَةُ مِنْهَا نَفَقَةَ مَا زَادَ عَلَى يَوْمِ الْمَوْتِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَرْجِعُ بِهِ بَعْدَ الْقَبْضِ كَالْهِبَةِ وَبَنَاهُ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّهَا بِرٌّ وَمُوَاسَاةٌ وَهِيَ عِنْدُنَا مُعَاوَضَةٌ فَرَجَعَ بِهَا عِنْدَ عَدَمِ الِاسْتِحْقَاقِ، وَإِنْ كَانَ كِسْوَةً مِنْ لِبَاسٍ أَوْ دِثَارٍ. فَفَارَقَهَا بَعْدَ دَفْعِهَا وَهِيَ بَاقِيَةٌ. فَفِي اسْتِحْقَاقِ الرُّجُوعِ بِهَا وَجْهَانِ:

Jika telah ditetapkan apa yang telah kami sebutkan dan istri telah mengambil apa yang menjadi haknya dan ia mengambilnya lebih awal, kemudian ia berpisah dengan suaminya sebelum menggunakan hak tersebut, baik karena talak atau kematian, maka apa yang telah diambilnya tetap sebagaimana adanya. Maka tidak lepas dari dua kemungkinan: berupa makanan atau pakaian. Jika yang diambil adalah makanan untuk hari itu, maka suami tidak boleh mengambilnya kembali karena istri telah berhak atasnya sejak awal hari. Namun jika istri mengambil makanan untuk sebulan penuh dan suami menceraikannya pada hari itu, maka suami berhak mengambil kembali sisa makanan yang melebihi kebutuhan hari itu, karena itu merupakan percepatan pemberian sesuatu yang belum menjadi haknya, sehingga hukumnya seperti percepatan pembayaran zakat; jika harta yang wajib dizakati hilang sebelum haul (satu tahun), maka pemberi zakat berhak mengambil kembali zakat yang telah diberikan. Demikian pula jika suami meninggal dunia, maka ahli waris berhak mengambil kembali nafkah yang melebihi kebutuhan hari kematian. Abu Hanifah berpendapat bahwa suami tidak boleh mengambilnya kembali setelah diberikan, seperti hibah, dan ia mendasarkan pendapatnya pada prinsip bahwa nafkah adalah kebaikan dan bantuan, sedangkan menurut kami nafkah adalah bentuk mu’awadhah (timbal balik), sehingga suami berhak mengambilnya kembali jika istri tidak lagi berhak menerimanya. Jika yang diambil adalah pakaian, baik berupa pakaian biasa maupun penutup, lalu suami berpisah dengannya setelah memberikannya dan pakaian itu masih ada, maka dalam hal hak suami untuk mengambilnya kembali ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ بِهَا كَالْقُوتِ الْمُعَجَّلِ لِأَنَّهَا لِمُدَّةٍ لَمْ تَأْتِ.

Pendapat pertama: suami boleh mengambilnya kembali seperti makanan yang diberikan lebih awal, karena pakaian itu diberikan untuk masa yang belum dijalani.

وَالْوَجْهُ الثاني: لا يرجع بها لأنه دَفَعَهَا مُسْتَحِقٌّ لِمَا تُؤْخَذُ بِهِ جَبْرًا بِخِلَافِ الْقُوتِ الْمُعَجَّلِ. فَجَرَى مَجْرَى قُوتِ الْيَوْمِ الَّذِي لَا يُسْتَرْجَعُ.

Pendapat kedua: suami tidak boleh mengambilnya kembali karena pakaian itu diberikan kepada orang yang berhak menerimanya dan dapat diambil secara paksa, berbeda dengan makanan yang diberikan lebih awal. Maka hukumnya seperti makanan untuk hari itu yang tidak boleh diambil kembali.

( [الْقَوْلُ فِي نَفَقَةِ الْبَدَوِيَّةِ)

(Pembahasan tentang nafkah bagi istri yang tinggal di pedesaan)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَتْ بَدَوِيَّةً فَمَا يَأْكُلُ أَهْلُ الْبَادِيَةِ وَمِنَ الْكِسْوَةِ بِقَدْرِ مَا يَلْبَسُونَ لَا وَقْتَ فِي ذَلِكَ إِلَّا قَدْرُ مَا يَرَى بِالْمَعْرُوفِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika istri itu seorang wanita pedesaan, maka nafkahnya mengikuti apa yang biasa dimakan oleh penduduk pedesaan dan pakaian sesuai dengan apa yang biasa mereka pakai, tanpa ada batas waktu tertentu kecuali sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ أَهْلَ الْبَادِيَةِ يُخَالِفُونَ الْحَاضِرَةَ فِي الْأَقْوَاتِ وَاللِّبَاسِ، فَأَقْوَاتُهُمْ أَخْشَنُ وَمَلَابِسُهُمْ أَخْشَنُ، وَمَنْ قَرُبَ مِنْ أَمْصَارِ الرِّيفِ وَطُرُقِهَا كَانَ فِي الْقُوتِ وَاللِّبَاسِ أَحْسَنَ حَالًا مِمَّنْ بَعُدَ عَنْهَا، فَيَنْظُرُ فِي الْأَقْوَاتِ إِلَى عُرْفِهِمْ فَيَفْرِضُ لَهَا مِنْهُ، وَفِي الْمَلَابِسِ إِلَى عُرْفِهِمْ فَيَفْرِضُ لَهَا مِنْهُ، فَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ حَضَرِيًّا وَالزَّوْجَةُ بَدَوِيَّةً. فَإِنْ سَاكَنَهَا فِي الْبَادِيَةِ لَزِمَهُ لَهَا قُوتُ الْبَادِيَةِ وَكِسْوَتُهُمْ، وَإِنْ سَاكَنَهَا فِي الْحَضَرِ لَزِمَهُ لَهَا قُوتُ الْحَضَرِ وَكِسْوَتُهُمْ، وَكَذَلِكَ الْبَدَوِيُّ إِذَا تَزَوَّجَ حَضَرِيَّةً رُوعِيَ مَوْضِعُ مُسَاكَنَتِهِمَا فَكَانَ هُوَ الْمُعْتَبَرَ فِي قُوتِهَا وَمَسْكَنِهَا وَكِسْوَتِهَا.

Al-Mawardi berkata: Ini benar; karena penduduk pedalaman berbeda dengan penduduk kota dalam hal makanan pokok dan pakaian. Makanan pokok mereka lebih kasar dan pakaian mereka juga lebih kasar. Siapa yang tinggal dekat dengan kota-kota pedesaan dan jalur-jalurnya, maka dalam hal makanan dan pakaian keadaannya lebih baik daripada yang jauh darinya. Maka dalam hal makanan pokok, dilihat kepada kebiasaan mereka lalu ditetapkan untuknya dari situ, dan dalam hal pakaian juga dilihat kepada kebiasaan mereka lalu ditetapkan untuknya dari situ. Jika suami adalah penduduk kota dan istri penduduk pedalaman, maka jika ia tinggal bersamanya di pedalaman, wajib baginya memberikan makanan pokok dan pakaian penduduk pedalaman. Jika ia tinggal bersamanya di kota, wajib baginya memberikan makanan pokok dan pakaian penduduk kota. Begitu pula jika penduduk pedalaman menikahi wanita kota, maka yang diperhatikan adalah tempat tinggal mereka berdua; itulah yang menjadi acuan dalam makanan pokok, tempat tinggal, dan pakaian untuknya.

(الْقَوْلُ فِي أُجْرَةِ الطَّبِيبِ وَثَمَنِ الدَّوَاءِ)

(Pembahasan tentang upah dokter dan harga obat)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ عَلَى رَجُلٍ أَنْ يُضَحِّيَ لِامْرَأَتِهِ وَلَا يُؤَدِّيَ عَنْهَا أَجْرَ طَبِيبٍ وَلَا حَجَّامٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Seorang laki-laki tidak wajib berkurban untuk istrinya, dan tidak wajib membayar upah dokter atau juru bekam untuknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْأُضْحِيَةُ فَمِمَّا لَا يَجِبُ عَلَيْهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَلَا فِي حَقِّهَا، وَهِيَ بِخِلَافِ زَكَاةِ الْفِطْرِ الَّتِي تَجِبُ عَلَيْهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَفِي حَقِّهَا.

Al-Mawardi berkata: Adapun kurban, itu bukanlah sesuatu yang wajib atas dirinya sendiri maupun atas istrinya, berbeda dengan zakat fitrah yang wajib atas dirinya sendiri dan atas istrinya.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ الْعُرْفُ فِيهَا مُعْتَبَرًا كَالْأَقْوَاتِ. قِيلَ إِنِ اعْتُبِرَ فِيهَا عُرْفُ الْأَكْلِ مِنْهَا فَقَدِ اسْتَحَقَّتْ مِثْلَهُ فِي قُوتِهَا، وَإِنِ اعْتُبِرَ فِيهَا عُرْفُ الصَّدَقَةِ فَهُوَ عَنِ الزَّوْجِ لَا عَنْهَا، وَأَمَّا أُجْرَةُ الطَّبِيبِ وَالْحَجَّامِ وَثَمَنُ الدَّوَاءِ فِي الْأَمْرَاضِ فَجَمِيعُهُ عَلَيْهَا دُونَ الزَّوْجِ بِخِلَافِ الدُّهْنِ وَالْمُشْطِ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Jika dikatakan: Mengapa adat kebiasaan tidak dijadikan acuan dalam hal ini sebagaimana dalam makanan pokok? Maka dijawab: Jika yang dijadikan acuan adalah kebiasaan makan daging kurban, maka ia berhak mendapatkan yang semisal dalam makanan pokoknya. Namun jika yang dijadikan acuan adalah kebiasaan sedekah, maka itu atas nama suami, bukan atas nama istri. Adapun upah dokter, juru bekam, dan harga obat dalam keadaan sakit, semuanya menjadi tanggungan istri, bukan suami, berbeda dengan minyak rambut dan sisir, karena ada dua perbedaan di antara keduanya:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الدُّهْنَ مَأْلُوفٌ وَهَذَا نَادِرٌ.

Pertama: Minyak rambut adalah sesuatu yang lazim, sedangkan yang lain jarang terjadi.

وَالثَّانِي: اخْتِصَاصُ الدُّهْنِ بِالِاسْتِمْتَاعِ وَاخْتِصَاصُ الدَّوَاءِ وَالطَّبِيبِ بِحِفْظِ الْجَسَدِ. وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: Minyak rambut khusus untuk kenikmatan, sedangkan obat dan dokter khusus untuk menjaga kesehatan tubuh. Dan Allah Maha Mengetahui.

(بَابُ الْحَالِ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا النَّفَقَةُ وَمَا لا يجب من كتاب عشرة النساء) (وكتاب التعريض بالخطبة ومن الإملاء على مسائل مالك)

(Bab tentang keadaan yang mewajibkan nafkah dan yang tidak mewajibkannya, dari Kitab ‘Asyrah an-Nisā’ dan Kitab at-Ta‘rīḍ bil-Khiṭbah serta dari al-Imlā’ ‘alā Masā’il Mālik)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” إِذَا كَانَتِ الْمَرْأَةُ يُجَامَعُ مِثْلُهَا فَخَلَّتْ أَوْ أَهْلُهَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الدُّخُولِ بِهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا وَإِنْ كَانَ صَغِيرًا لِأَنَّ الْحَبْسَ مِنْ قبله وقال في كتابين وقد قيل إذا كان الحبس من قبله فعليه وإذا كان من قبلها فلا نفقة لها ولو قال قائل ينفق لأنها ممنوعة من غيره كان مذهباً (قال المزني) رحمه الله قد قطع بأنها إذا لم تخل بينه وبينها فلا نفقة لها حتى قال فإن ادعت التخلية فهي غير مخلية حتى يعلم ذلك منها “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang wanita yang sepadan dengannya biasa digauli, lalu ia atau keluarganya membiarkan suaminya masuk menemuinya, maka wajib atas suami memberi nafkah kepadanya, meskipun ia masih kecil, karena penahanan berasal dari pihak suami. Dan beliau berkata dalam dua kitab: Telah dikatakan, jika penahanan berasal dari pihak suami, maka wajib atasnya (nafkah), dan jika dari pihak istri, maka tidak ada nafkah baginya. Namun jika ada yang berpendapat bahwa suami tetap menafkahi karena ia terhalang dari wanita lain, maka itu adalah suatu pendapat. (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Telah dipastikan bahwa jika istri tidak membiarkan suami menemuinya, maka tidak ada nafkah baginya, bahkan beliau berkata: Jika istri mengaku telah membiarkan, maka ia dianggap belum membiarkan sampai hal itu benar-benar diketahui darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْمُسْتَحَقُّ بِالزَّوْجِيَّةِ مِنْ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ شَيْئَانِ: الْمَهْرُ، وَالنَّفَقَةُ.

Al-Mawardi berkata: Hak-hak harta yang didapatkan karena pernikahan ada dua: mahar dan nafkah.

فَأَمَّا الْمَهْرُ فَيَجِبُ بِالْعَقْدِ، وَقَدْ مَضَى بَيَانُهُ فِي كِتَابِ الصَّدَاقِ.

Adapun mahar, maka wajib dengan akad, dan penjelasannya telah disebutkan dalam Kitab Ṣadāq.

وَأَمَّا النَّفَقَةُ فَلَا تَجِبُ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ لِسُقُوطِهَا بِالنُّشُوزِ، وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَزَوَّجَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَدَخَلَ بِهَا بَعْدَ سِنْتَيْنِ فَمَا أَنْفَقَ عَلَيْهَا حَتَّى دَخَلَتْ عَلَيْهِ وَلَوْ أَنْفَقَ عَلَيْهَا لَنُقِلَ، وَلَوْ كَانَ حَقًّا لَهَا لَسَاقَهُ إِلَيْهَا وَلَمَا اسْتَحَلَّ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ حَقٍّ وَجَبَ لَهَا، وَلَكَانَ إِنْ أَعْوَزَهُ فِي الْحَالِ بِسَوْقِهِ إِلَيْهَا من بعد أو يعملها بِحَقِّهَا ثُمَّ يَسْتَحِلُّهَا لِتَبْرَأَ ذِمَّتُهُ مِنْ مُطَالَبَتِهِ بِفَرْضٍ، فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ النَّفَقَةَ لَا تَجِبُ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ، وَكَذَلِكَ لَا تَجِبُ النَّفَقَةُ بِمُجَرَّدِ الِاسْتِمْتَاعِ، لِأَنَّ الْمَوْطُوءَةَ بِشُبْهَةٍ لَا نَفَقَةَ لَهَا وَإِنْ كَانَ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا مَوْجُودًا، وَكَذَلِكَ لا تجب بالعقد والاستماع، لِأَنَّهَا لَوْ مَكَّنَتْ مِنْ نَفْسِهَا بَعْدَ الْعَقْدِ وَجَبَ لَهَا النَّفَقَةُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَمْتِعْ بِهَا، فَدَلَّ إِذَا لَمْ تَجِبْ بِوَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ، عَلَى أَنَّهَا تَجِبُ بِاجْتِمَاعِ الْعَقْدِ وَالتَّمْكِينِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَحْرِيرِ الْعِبَارَةِ عَنْهُ. فَقَالَ الْبَغْدَادِيُّونَ تَجِبُ بِالتَّمْكِينِ الْمُسْتَنِدِ إِلَى عَقْدٍ فَجَعَلُوا الْوُجُوبَ مُعَلَّقًا بِالتَّمْكِينِ وَتَقْدِيمَ الْعَقْدِ شَرْطًا فِيهِ وَقَالَ الْبَصْرِيُّونَ: تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَالتَّمْكِينِ، فَجَعَلُوا الْوُجُوبَ مُعَلَّقًا بِالْعَقْدِ وَحُدُوثَ التَّمْكِينِ شَرْطًا فِيهِ، وَتَأْثِيرُ هَذَا الِاخْتِلَافِ يَكُونُ فِي زَمَانِ التَّأْنِيثِ لِلتَّمْكِينِ هَلْ تَسْتَحِقُّ فِيهِ النَّفَقَةَ أَمْ لَا. فَمَنْ جَعَلَ التَّمْكِينَ فِي الْوُجُوبِ أَصْلًا وَجَعَلَ تَقَدُّمَ الْعَقْدِ شَرْطًا لَمْ يُوجِبْ لَهَا النَّفَقَةَ فِي زَمَانِ التَّأْنِيثِ وَأَوْجَبَهَا بِكَمَالِ التَّمْكِينِ، وَمَنْ جَعَلَ الْعَقْدَ فِي الْوُجُوبِ أَصْلًا وَجَعَلَ حُدُوثَ التَّمْكِينِ شَرْطًا أَوْجَبَ لَهَا النَّفَقَةَ فِي أَوَّلِ زَمَانِ التَّأْنِيثِ لِلتَّمْكِينِ إِلَى أَقْصَى كَمَالِ التَّمْكِينِ.

Adapun nafkah, maka tidak wajib hanya dengan akad saja, karena nafkah gugur dengan adanya nusyūz, dan karena Rasulullah ﷺ menikahi ‘Āisyah ra. dan baru menggaulinya setelah dua tahun, dan beliau tidak memberi nafkah kepadanya sampai ‘Āisyah masuk ke rumah beliau. Seandainya beliau telah memberi nafkah kepadanya, tentu hal itu akan dinukilkan. Dan seandainya itu merupakan hak baginya, tentu beliau akan memberikannya dan tidak akan membiarkan diri beliau terus-menerus menahan hak yang wajib baginya. Dan seandainya beliau kesulitan saat itu untuk memberikannya, beliau akan memberikannya setelahnya atau menunaikan haknya terlebih dahulu, kemudian menghalalkannya agar terbebas dari tuntutan kewajiban. Maka hal ini menunjukkan bahwa nafkah tidak wajib hanya dengan akad saja. Demikian pula, nafkah tidak wajib hanya dengan adanya istimtā‘ (hubungan suami istri), karena perempuan yang digauli karena syubhat tidak berhak atas nafkah meskipun istimtā‘ telah terjadi. Demikian pula, nafkah tidak wajib hanya dengan akad dan istimtā‘, karena jika seorang istri telah membiarkan dirinya untuk dinikmati setelah akad, maka wajib baginya nafkah meskipun suami belum beristimtā‘ dengannya. Maka, jika nafkah tidak wajib dengan salah satu dari tiga keadaan ini, hal itu menunjukkan bahwa nafkah wajib dengan berkumpulnya akad dan tamkīn (penyerahan diri). Para ulama kami berbeda pendapat dalam merumuskan ungkapan tentang hal ini. Ulama Baghdad berpendapat: nafkah wajib dengan tamkīn yang bersandar pada akad, sehingga mereka menjadikan kewajiban itu tergantung pada tamkīn dan mendahulukan akad sebagai syarat di dalamnya. Sedangkan ulama Bashrah berpendapat: nafkah wajib dengan akad dan tamkīn, sehingga mereka menjadikan kewajiban itu tergantung pada akad dan terjadinya tamkīn sebagai syarat di dalamnya. Pengaruh perbedaan ini muncul pada masa penantian tamkīn, apakah istri berhak atas nafkah pada masa itu atau tidak. Barang siapa yang menjadikan tamkīn sebagai pokok dalam kewajiban dan mendahulukan akad sebagai syarat, maka ia tidak mewajibkan nafkah pada masa penantian, dan mewajibkannya dengan sempurnanya tamkīn. Sedangkan barang siapa yang menjadikan akad sebagai pokok dalam kewajiban dan terjadinya tamkīn sebagai syarat, maka ia mewajibkan nafkah pada awal masa penantian tamkīn hingga sempurna tamkīn tersebut.

(الْقَوْلُ فِي النَّفَقَةِ فِي الْعَقْدَ الْفَاسِدِ)

(Pembahasan tentang nafkah dalam akad yang fasid)

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا تَجِبُ بِهِ النَّفَقَةُ مِنَ الْعَقْدِ وَالتَّمْكِينِ، فَالْعَقْدُ مَا حُكِمَ لَهُ بِالصِّحَّةِ دُونَ الْفَسَادِ وَأَمَّا التَّمْكِينُ فَيَشْتَمِلُ عَلَى أَمْرَيْنِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِهِمَا.

Setelah jelas apa yang menyebabkan nafkah menjadi wajib, yaitu akad dan tamkīn, maka akad yang dimaksud adalah akad yang dihukumi sah, bukan yang fasid. Adapun tamkīn mencakup dua hal yang tidak sempurna kecuali dengan keduanya.

أَحَدُهُمَا: تَمْكِينُهُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا.

Pertama: Memberikan kesempatan kepada suami untuk beristimtā‘ (menikmati) dirinya.

وَالثَّانِي: تَمْكِينُهُ مِنَ النَّقْلَةِ مَعَهُ حَيْثُ شَاءَ فِي الْبَلَدِ الَّذِي تَزَوَّجَهَا فِيهِ وَإِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْبِلَادِ إِذَا كَانَتِ السُّبُلُ مَأْمُونَهً فَلَوْ مَكَّنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا وَلَمْ تُمَكِّنْهُ مِنَ النَّقْلَةِ مَعَهُ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ النَّفَقَةُ، لِأَنَّ التَّمْكِينَ لَمْ يَكْمُلْ إِلَّا أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا فِي زَمَانِ الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النَّقْلَةِ، فَتَجِبَ لَهَا النَّفَقَةُ وَيَصِيرَ اسْتِمْتَاعُهُ بِهَا عَفْوًا عَنِ النَّقْلَةِ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ وَإِنْ أَجَابَتْهُ إِلَى النَّقْلَةِ وَمَنَعَتْهُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ. فَإِنْ كَانَ لِعُذْرٍ يَحْرُمُ مَعَهُ الِاسْتِمْتَاعُ كَالْحَيْضِ وَالْإِحْرَامِ وَالصِّيَامِ لَمْ تَسْقُطْ نَفَقَتُهَا؛ لِأَنَّهُ مَحْظُورٌ عَلَيْهِ بِالشَّرْعِ فَصَارَ مُسْتَثْنًى مِنَ الْعَقْدِ، وَإِنْ كَانَ الِامْتِنَاعُ لِغَيْرِ عُذْرٍ سَقَطَتْ نَفَقَتُهَا إِذَا كَانَ الِاسْتِمْتَاعُ مُمْكِنًا.

Kedua: Memberikan kesempatan kepada suami untuk membawanya berpindah bersamanya ke mana saja ia mau di negeri tempat ia menikahinya, dan ke negeri lain jika jalan-jalannya aman. Maka, jika istri membiarkan dirinya untuk dinikmati tetapi tidak mengizinkan suami membawanya berpindah, maka nafkah tidak wajib atas suami, karena tamkīn belum sempurna kecuali jika suami dapat beristimtā‘ dengannya pada waktu berpindah. Maka, barulah nafkah wajib baginya, dan istimtā‘ suami dengannya pada waktu itu dianggap sebagai pengganti dari berpindah. Jika istri mengizinkan berpindah tetapi menolak istimtā‘, maka jika penolakan itu karena uzur yang menyebabkan istimtā‘ haram, seperti haid, ihram, dan puasa, maka nafkahnya tidak gugur, karena istimtā‘ terlarang secara syar‘i sehingga menjadi pengecualian dari akad. Namun jika penolakan itu tanpa uzur, maka nafkahnya gugur jika istimtā‘ sebenarnya memungkinkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الزَّوْجَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:

Jika demikian, maka keadaan suami istri tidak lepas dari empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الِاسْتِمْتَاعُ مُمْكِنًا مِنْ جِهَتِهِمَا جَمِيعًا، فَيَكُونَ الزَّوْجُ مِمَّنْ يَطَأُ وَالزَّوْجَةُ مِمَّنْ تُوطَأُ، فَإِذَا مَكَّنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا أَوْ كَانَتْ مُرَاهِقَةً غَيْرَ بَالِغٍ فَمَكَّنَهُ مِنْهَا وَلِيُّهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا سَوَاءٌ اسْتَمْتَعَ بِهَا أَوْ لَمْ يَسْتَمْتِعْ، لِأَنَّ الِاسْتِمْتَاعَ حَقٌّ لَهُ إِنْ شَاءَ اسْتَوْفَاهُ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهُ، وَلَوْ مَنَعَهُ مِنْهَا أَهْلُهَا لِعَدَمِ بُلُوغِهَا لَمْ تَجِبْ نَفَقَتُهَا وَإِنْ كَانَتْ مَعْذُورَةً، لِأَنَّ مَا تَجِبُ بِهِ النَّفَقَةُ مَعْدُومٌ، فَلَوْ بَذَلَتْ نَفْسَهَا قَبْلَ بُلُوغِهَا وَأَكْرَهَتْ أَهْلَهَا عَلَى تَمْكِينِهِ مِنْهَا اسْتَحَقَّتِ النَّفَقَةَ؛ لِأَنَّ الْبُلُوغَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي التَّسْلِيمِ الْمُسْتَحَقِّ كَالْمَبِيعِ إِذَا سَلَّمَهُ إِلَى الْمُشْتَرِي غَيْرَ بَالِغٍ صَحَّ الْقَبْضُ، فَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ غَائِبًا فَمَكَّنَتْ مِنْ نَفْسِهَا فِي حَالِ غَيْبَتِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Salah satunya: Bahwa istimta‘ (kenikmatan suami istri) memungkinkan dari kedua belah pihak, sehingga suami termasuk orang yang dapat melakukan hubungan (jima‘) dan istri termasuk orang yang dapat dijima‘. Maka apabila istri telah membiarkan dirinya untuk dinikmati oleh suaminya, atau ia masih mendekati baligh namun belum baligh dan walinya telah membiarkan suaminya menikmatinya, maka wajib atas suami untuk menafkahinya, baik ia telah menikmati istrinya atau belum. Sebab istimta‘ adalah hak suami, jika ia mau ia dapat memenuhinya dan jika ia mau ia dapat meninggalkannya. Namun jika keluarganya melarang suami untuk menikmatinya karena belum baligh, maka tidak wajib atas suami untuk menafkahinya meskipun istri dalam keadaan uzur, karena sebab yang mewajibkan nafkah tidak ada. Maka jika istri menawarkan dirinya sebelum baligh dan memaksa keluarganya untuk membiarkan suaminya menikmatinya, maka ia berhak mendapatkan nafkah; karena baligh tidak dianggap dalam penyerahan hak yang wajib seperti dalam kasus barang dagangan, apabila diserahkan kepada pembeli yang belum baligh maka sah penyerahannya. Jika suami sedang tidak ada (ghoib) lalu istri membiarkan dirinya untuk dinikmati pada saat suami tidak ada, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ تَسَلَّمَهَا قَبْلَ الْغِيبَةِ فَالنَّفَقَةُ لَهَا فِي زَمَانِ الْغِيبَةِ وَاجِبَةٌ لِأَنَّهَا مُسْتَدِيمَةٌ لِتَمْكِينٍ كَامِلٍ.

Salah satunya: Jika suami telah menerima istrinya sebelum ia pergi, maka nafkah tetap wajib diberikan kepada istri selama masa kepergian suami, karena ia terus-menerus memberikan kesempatan penuh (untuk istimta‘).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُوجَدَ التَّسْلِيمُ قَبْلَ الْغَيْبَةِ فَشُرُوعُهَا فِي التَّمْكِينِ أَنْ تَأْتِيَ الْحَاكِمَ فَتُخْبِرَهُ بَعْدَ ثُبُوتِ الزَّوْجِيَّةِ عِنْدَهُ بِأَنَّهَا مُسَلِّمَةٌ نَفْسَهَا إِلَى زَوْجِهَا، فَإِذَا فَعَلَتْ كَتَبَ حَاكِمُ بَلَدِهَا إِلَى حَاكِمِ الْبَلَدِ الَّذِي فِيهِ زَوْجُهَا بِحُضُورِ الزَّوْجَةِ وَتَسْلِيمِ نَفْسِهَا، فَإِذَا عَلِمَ الزَّوْجُ مِنْ حَاكِمِ بَلَدٍ بِتَسْلِيمِ نَفْسِهَا إِلَيْهِ فَكَمَالُ التَّمْكِينِ يَكُونُ بِأَنْ يَمْضِيَ عَلَى الزَّوْجِ بَعْدَ عِلْمِهِ زَمَانُ الِاجْتِمَاعِ إِمَّا بِأَنْ يَنْتَقِلَ إِلَيْهَا وَإِمَّا بِأَنْ يَنْقُلَهَا إِلَيْهِ، وَالْخِيَارُ فِي ذَلِكَ إِلَيْهِ دُونَهَا وَنَفَقَةُ نَقْلَتِهَا عَلَيْهِ دُونَهَا، فَإِذَا كَمَلَ التَّمْكِينُ بِمُضِيِّ زَمَانِ الِاجْتِمَاعِ فَعَلَى قَوْلِ الْبَغْدَادِيِّينَ تَجِبُ نَفَقَتُهَا حِينَئِذٍ، وَلَا تَجِبُ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ بَذْلِ التَّسْلِيمِ، وَعَلَى قَوْلِ الْبَصْرِيِّينَ تَجِبُ نَفَقَتُهَا مِنْ وَقْتِ الشُّرُوعِ فِي التَّسْلِيمِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِهِمْ فِي التَّمْكِينِ هَلْ هُوَ فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ أَصْلٌ أَمْ شَرْطٌ؟ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ.

Dan yang kedua: Jika tidak terjadi penyerahan sebelum kepergian suami, maka cara memulai penyerahan adalah istri mendatangi hakim lalu mengabarkan kepadanya, setelah terbukti adanya pernikahan, bahwa ia telah menyerahkan dirinya kepada suaminya. Jika ia telah melakukan hal itu, maka hakim di negerinya akan menulis surat kepada hakim di negeri tempat suaminya berada agar menghadirkan istri dan menyerahkan dirinya. Jika suami telah mengetahui dari hakim negeri tersebut bahwa istrinya telah menyerahkan diri kepadanya, maka sempurnanya penyerahan adalah dengan berlalu waktu yang memungkinkan untuk berkumpul, baik dengan suami berpindah ke tempat istri atau istri dipindahkan ke tempat suami, dan pilihan dalam hal ini ada pada suami, bukan pada istri, dan biaya pemindahan istri menjadi tanggungan suami, bukan istri. Jika penyerahan telah sempurna dengan berlalu waktu yang memungkinkan untuk berkumpul, maka menurut pendapat ulama Baghdad, nafkah wajib diberikan kepada istri pada saat itu, dan tidak wajib dengan penawaran penyerahan sebelumnya. Sedangkan menurut pendapat ulama Bashrah, nafkah wajib diberikan sejak dimulainya penyerahan, berdasarkan perbedaan pendapat mereka tentang penyerahan, apakah ia merupakan asal (sebab utama) atau syarat dalam kewajiban nafkah, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الِاسْتِمْتَاعُ مُمْكِنًا مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ لِبُلُوغِهِ وَغَيْرَ مُمْكِنٍ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ لِصِغَرِهَا وَكَوْنِهَا مِمَّنْ لَا يُوطَأُ مِثْلُهَا، فَلَا يَلْزَمُ أَهْلُهَا تَسْلِيمُهَا إِلَيْهِ، لأنه زمان يطأها إِنْ تَسَلَّمَهَا، وَفِي وُجُوبِ نَفَقَتِهَا عَلَيْهِ وَجْهَانِ:

Keadaan kedua: Bahwa istimta‘ memungkinkan dari pihak suami karena ia telah baligh, namun tidak memungkinkan dari pihak istri karena masih kecil dan termasuk golongan yang tidak dapat dijima‘. Maka keluarganya tidak wajib menyerahkan istri kepada suami, karena ini adalah masa di mana suami akan menjima‘nya jika ia telah menerima istri, dan dalam kewajiban nafkah atas suami terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهَا النَّفَقَةُ لِأَمْرَيْنِ:

Salah satunya: Istri tetap berhak mendapatkan nafkah karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَانِعَ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فِي الصِّغَرِ كَالْمَانِعِ مِنْهُ بِالْمَرَضِ، وَنَفَقَةُ الْمَرِيضَةِ وَاجِبَةٌ كَذَلِكَ نَفَقَةُ الصَّغِيرَةِ.

Pertama: Penghalang istimta‘ karena usia kecil sama seperti penghalang karena sakit, dan nafkah bagi istri yang sakit tetap wajib, demikian pula nafkah bagi istri yang masih kecil.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ تَزَوَّجَهَا عَالِمًا بِأَنَّهُ لَا اسْتِمْتَاعَ فِيهَا فَصَارَ كَالْعَاقِدِ مَعَ عِلْمِهِ بِالْعُيُوبِ، فَلَزِمَ فِيهَا حُكْمُ السَّلَامَةِ مِنْهَا.

Kedua: Suami telah menikahi istri dengan mengetahui bahwa tidak ada istimta‘ padanya, sehingga keadaannya seperti orang yang melakukan akad dengan mengetahui adanya cacat, maka berlaku hukum seolah-olah ia selamat dari cacat tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ النَّفَقَاتِ، وَفِي عِشْرَةِ النِّسَاءِ إِنَّهُ لَا نَفَقَةَ لَهَا، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ. اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Ditegaskan oleh asy-Syafi‘i dalam Kitab an-Nafaqat dan dalam pembahasan hubungan suami istri, bahwa tidak ada nafkah baginya, dan pendapat ini dipilih oleh al-Muzani dan merupakan mazhab Abu Hanifah. Dalilnya ada dua:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ فَقْدَ الِاسْتِمْتَاعِ بِالصِّغَرِ أَغْلَظُ مِنْ تَعَذُّرِهِ بِالنُّشُوزِ فِي الْكِبَرِ لِإِمْكَانِهِ فِي حَالِ النُّشُوزِ وَتَعَذُّرِهِ فِي حَالِ الصِّغَرِ، فَكَانَ إِلْحَاقُهُ بِالنُّشُوزِ فِي سُقُوطِ النَّفَقَةِ أَحَقَّ.

Pertama: Tidak adanya istimta‘ karena usia kecil lebih berat daripada terhalangnya istimta‘ karena nusyūz pada usia dewasa, karena pada saat nusyūz masih mungkin terjadi istimta‘, sedangkan pada saat kecil tidak mungkin, maka menyamakan keduanya dalam gugurnya nafkah lebih utama.

وَالثَّانِي: أَنَّ النَّفَقَةَ مُسْتَحَقَّةٌ فِي مُقَابَلَةِ التَّمْكِينِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ فَصَارَتْ بَدَلًا فِي مُقَابَلَةِ مُبْدَلٍ وَفَوَاتُ الْمُبْدِلِ مُوجِبٌ لِسُقُوطِ الْبَدَلِ سَوَاءٌ كَانَ فَوَاتُهُ بِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ لِسُقُوطِ الثَّمَنِ بِتَلَفِ الْمَبِيعِ.

Kedua: Nafkah itu menjadi hak sebagai imbalan atas adanya kemampuan untuk menikmati (hubungan suami istri), sehingga nafkah itu menjadi pengganti dari sesuatu yang digantikan. Jika yang digantikan itu hilang, maka penggantinya pun gugur, baik hilangnya itu karena uzur maupun tanpa uzur, sebagaimana gugurnya harga (jual beli) karena barang yang dijual rusak.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ الِاسْتِمْتَاعُ مِنَ الزَّوْجَةِ لِكِبَرِهَا وَمُتَعَذِّرًا مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ لِصِغَرِهِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِتَعَذُّرِهِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ، هَلْ يَجْرِي مَجْرَى تَعَذُّرِهِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Keadaan ketiga: Jika kenikmatan (hubungan suami istri) dapat dilakukan dari pihak istri karena ia sudah dewasa, namun tidak dapat dilakukan dari pihak suami karena ia masih kecil, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai hal ini—karena terhalangnya dari pihak suami—apakah hukumnya sama seperti terhalangnya dari pihak istri? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ وَإِنَّ وُجُوبَ نَفَقَتِهَا عَلَى قَوْلَيْنِ، لِأَنَّ عِلْمَهَا بِصِغَرِهِ كَعِلْمِهِ بِصِغَرِهَا فَاسْتَوَى فَوَاتُ الِاسْتِمْتَاعِ بِهِمَا.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: Keduanya sama, dan kewajiban nafkah atas istri ada dua pendapat, karena pengetahuan istri tentang kecilnya suami sama seperti pengetahuan suami tentang kecilnya istri, sehingga hilangnya kenikmatan (hubungan) dari keduanya adalah setara.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَهُوَ الْأَصَحُّ إِنَّ تَعَذُّرَ الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ جِهَتِهِ مُخَالِفٌ لِتَعَذُّرِهِ مِنْ جِهَتِهَا وَإِنَّ نَفَقَتَهَا تَجِبُ عَلَيْهِ قَوْلًا وَاحِدًا وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، لِأَنَّ الِاسْتِمْتَاعَ مُسْتَحَقٌّ عَلَيْهَا دُونَهُ، وَقَدْ وُجِدَ التَّمْكِينُ مِنْ جهة الزوج فَلَمْ تَسْقُطِ النَّفَقَةُ بِتَعَذُّرِهِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ فَصَارَ كَمَا لَوْ هَرَبَ أَوْ جُبَّ وَكَالْمُسْتَأْجِرِ داراً إذا مُكِّنَ مِنْ سَكَنَهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ أُجْرَتُهَا وَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ سُكَنَاهَا.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, dan ini yang lebih shahih: Bahwa terhalangnya kenikmatan (hubungan) dari pihak suami berbeda dengan terhalangnya dari pihak istri, dan nafkah tetap wajib atas suami menurut satu pendapat, dan ini juga pendapat Abu Hanifah, karena kenikmatan (hubungan) itu menjadi hak suami atas istri, bukan sebaliknya. Jika sudah ada kemampuan dari pihak istri, maka nafkah tidak gugur hanya karena terhalang dari pihak suami. Hal ini seperti jika suami melarikan diri atau dikebiri, dan seperti penyewa rumah, jika sudah diberi kemampuan untuk menempatinya maka wajib membayar sewanya, meskipun ia tidak mampu menempatinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَتَعَذَّرَ الِاسْتِمْتَاعَ مِنْ جِهَتِهِمَا لِصِغَرِهِمَا وَأَنَّ الزَّوْجَ مِمَّنْ لَا يَطَأُ وَالزَّوْجَةُ مِمَّنْ لَا تُوطَأُ. فَفِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ؟ قَوْلَانِ:

Keadaan keempat: Jika kenikmatan (hubungan) terhalang dari kedua belah pihak karena keduanya masih kecil, yaitu suami termasuk yang belum mampu melakukan hubungan dan istri juga termasuk yang belum dapat digauli. Dalam hal kewajiban nafkah, ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَهَا النَّفَقَةُ وَهُوَ أَصَحُّ تَغْلِيبًا لِعِلْمِهَا بِالْحَالِ مَعَ اسْتِوَائِهِمَا فِي الْعَجْزِ.

Salah satunya: Istri tetap berhak mendapatkan nafkah, dan ini yang lebih shahih, karena ia mengetahui keadaannya dan keduanya sama-sama tidak mampu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا نَفَقَةَ لَهَا اعْتِبَارًا بِتَعَذُّرِ الِاسْتِمْتَاعِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: Istri tidak berhak mendapatkan nafkah, karena terhalangnya kenikmatan (hubungan). Dan Allah lebih mengetahui.

(الْقَوْلُ فِي نفقة المريضة)

(Pembahasan tentang nafkah bagi istri yang sakit)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ كَانَتْ مَرِيضَةً لَزِمَتْهُ نَفَقَتُهَا وَلَيْسَتْ كَالصَّغِيرَةِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika istri sedang sakit, maka nafkah tetap wajib atas suami dan tidak sama dengan istri yang masih kecil.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لَا تَسْقُطُ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ بِالْمَرَضِ وَإِنْ سَقَطَتْ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ بِالصِّغَرِ لِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Nafkah istri tidak gugur karena sakit, meskipun dalam salah satu pendapat gugur karena masih kecil, karena terdapat perbedaan antara keduanya dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَرِيضَةَ فِي قَبْضَتِهِ لِمَا يَلْزَمُهَا مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا إِلَيْهِ، وَالصَّغِيرَةَ مَمْنُوعَةٌ مِنْهُ لِأَنَّهُ لَا يَجِبُ تَسْلِيمُهَا إِلَيْهِ.

Pertama: Istri yang sakit tetap berada dalam kekuasaan suami karena ia wajib menyerahkan dirinya kepada suami, sedangkan istri yang masih kecil tidak boleh diserahkan kepada suami karena tidak wajib menyerahkannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ فِي الْمَرِيضَةِ اسْتِمْتَاعًا بِمَا سِوَى الْوَطْءِ، وَإِنَّهَا سَكَنٌ وَإِلْفٌ وَلَيْسَ فِي الصَّغِيرَةِ اسْتِمْتَاعٌ. وَلَيْسَتْ بِسَكَنٍ وَلَا إِلْفٍ. وَفَرْقٌ بَيْنَ تَعَذُّرِ جَمِيعِ الِاسْتِمْتَاعِ وَبَيْنَ تَعَذُّرِ بَعْضِهِ كَالرَّتْقَاءِ تَجِبُ نَفَقَتُهَا وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِصَابَتِهَا.

Kedua: Pada istri yang sakit masih ada kenikmatan (hubungan) selain jima‘, dan ia tetap menjadi tempat tinggal dan teman hidup, sedangkan pada istri yang masih kecil tidak ada kenikmatan (hubungan), juga bukan tempat tinggal dan bukan teman hidup. Ada perbedaan antara terhalangnya seluruh kenikmatan dan terhalangnya sebagian, seperti wanita yang mengalami ratuq (tertutup kemaluannya), tetap wajib nafkahnya meskipun suami tidak mampu menggaulinya.

(الْقَوْلُ فِي حُكْمِ النَّفَقَةِ إِذَا كَانَ فِي الْجِمَاعِ ضَرَرٌ عَلَيْهَا)

(Pembahasan tentang hukum nafkah jika jima‘ membahayakan istri)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ فِي جِمَاعِهَا شِدَّةُ ضَرَرٍ مُنِعَ وَأُخِذَ بِنَفَقَتِهَا “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika dalam jima‘ (hubungan badan) terdapat bahaya besar bagi istri, maka suami dilarang melakukannya dan tetap diwajibkan memberi nafkah kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كان الجماع ينكأها وَيَنَالُهَا مِنْهُ شِدَّةُ ضَرَرٍ إِمَّا لِضُؤُولَةِ جَسَدِهَا وَضِيقِ فَرْجِهَا وَإِمَّا لِعَظْمِ خِلْقَةِ الزَّوْجِ وَغِلَظِ ذَكَرِهِ مُنِعَ مَنْ وَطْئِهَا لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika jima‘ dapat melukainya dan menimbulkan bahaya besar baginya, baik karena tubuhnya yang lemah dan sempitnya farji, atau karena tubuh suami yang besar dan zakarnya yang tebal, maka suami dilarang menggaulinya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: مَا يُخَافُ مِنْ جِنَايَتِهِ عَلَيْهَا وَأَنَّهُ رُبَّمَا أَفْضَاهَا وَأَدَّى إِلَى تَلَفِهَا.

Pertama: Dikhawatirkan akan mencelakainya, bahkan mungkin menyebabkan kerusakan atau kematian pada dirinya.

وَالثَّانِي: أَنَّ الِاسْتِمْتَاعَ الْمُسْتَحَقَّ مَا اشْتَرَكَ فِي الِالْتِذَاذِ بِهِ غَالِبًا. فَإِذَا خَرَجَ عَنْ هَذَا الْحَدِّ لَمْ يَكُنْ مُسْتَحَقًّا وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ عَيْبًا يُوجِبُ الْفَسْخَ. لِأَمْرَيْنِ:

Kedua: Kenikmatan (hubungan) yang menjadi hak adalah yang biasanya dinikmati bersama. Jika keluar dari batas ini, maka tidak lagi menjadi hak, dan hal itu tidak dianggap sebagai cacat yang membolehkan fasakh (pembatalan nikah), karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَيْبَ مَا ثَبَتَ حُكْمُهُ فِي حَقِّ كُلِّ زَوْجٍ، وَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ مِثْلَهَا لَمْ يَكُنْ عَيْبًا فَسَقَطَ أَنْ يَكُونَ فِي حقها عيباً.

Pertama: Bahwa ‘cacat’ adalah sesuatu yang ketentuannya berlaku bagi setiap pasangan, dan seandainya suami mengalami hal yang sama seperti istrinya, maka itu tidak dianggap sebagai cacat, sehingga tidak dapat dianggap sebagai cacat dalam hak istri.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ وُجُودُ مِثْلِهِ فِي الزَّوْجِ عَيْبًا تَفْسَخُ بِهِ الزَّوْجَةُ لَمْ يَكُنْ وُجُودُ مِثْلِهِ فِي الزَّوْجَةِ عَيْبًا يَفْسَخُ بِهِ الزَّوْجُ.

Kedua: Karena keberadaan hal serupa pada suami tidak dianggap sebagai cacat yang menyebabkan istri boleh membatalkan pernikahan, maka keberadaan hal serupa pada istri pun tidak dianggap sebagai cacat yang menyebabkan suami boleh membatalkan pernikahan.

فَلَوِ اخْتَلَفَا وَادَّعَتِ الزَّوْجَةُ دُخُولَ شِدَّةِ الضَّرَرِ عَلَيْهَا فِي جِمَاعِهِ وَأَنْكَرَ الزَّوْجُ أَنْ يَكُونَ عَلَيْهَا فِيهِ ضَرَرٌ فَهَذَا مِمَّا يُوصَلُ إِلَى مَعْرِفَتِهِ بِالْمُشَاهَدَةِ فِيهِ عَدَالَةُ ثِقَاتِ النِّسَاءِ لِيَشْهَدْنَ. فَإِنْ وَصَلْنَ إِلَى عِلْمِهِ وَمَعْرِفَةِ حَالِهِ فِي غَيْرِ وَقْتِ الْإِيلَاجِ نَظَرْنَهُ. وَإِنْ لَمْ يَتَوَصَّلْنَ إِلَى عِلْمِهِ إِلَّا عِنْدَ الْإِيلَاجِ جَازَ أَنْ يَشْهَدْنَ حَالَ الْإِيلَاجِ لِلضَّرُورَةِ الدَّاعِيَةِ إِلَيْهِ كَمَا يَشْهَدْنَ الْعُيُوبَ الْبَاطِنَةَ، وَكَمَا يُشَاهِدُ الطَّبِيبُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ فَرْجَ الْمَرْأَةِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهَلْ يَجْرِي ذَلِكَ مَجْرَى الْخَبَرِ أَوِ الشهادة؟ على وجهين:

Maka jika terjadi perselisihan, dan istri mengklaim bahwa ia mengalami kesulitan berat saat berhubungan suami istri, sedangkan suami menyangkal adanya bahaya atau mudarat pada istri dalam hal itu, maka hal ini dapat diketahui melalui pengamatan langsung oleh perempuan-perempuan tepercaya yang adil untuk memberikan kesaksian. Jika mereka dapat mengetahui dan memahami keadaannya di luar waktu terjadinya hubungan, maka mereka menelitinya. Namun jika hanya dapat diketahui saat terjadinya hubungan, maka boleh bagi mereka untuk menyaksikan saat terjadinya hubungan karena adanya kebutuhan mendesak, sebagaimana mereka menyaksikan cacat-cacat yang tersembunyi, dan sebagaimana dokter boleh melihat kemaluan perempuan saat keadaan darurat. Jika demikian, apakah hal ini diperlakukan sebagai berita atau sebagai kesaksian? Ada dua pendapat:

إحداهما: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْخَبَرِ فَيُقْبَلُ فِيهِ خَبَرُ الْمَرْأَةِ الْوَاحِدَةِ.

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa hal ini diperlakukan sebagai berita, sehingga diterima berita dari satu perempuan saja.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهَا شَهَادَةٌ لَا يُقْبَلُ فِيهَا أقل من أربعة نسوة.

Pendapat kedua: Bahwa ini adalah kesaksian yang tidak diterima kecuali dari minimal empat orang perempuan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ ارْتَتَقَتْ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى جِمَاعِهَا فَهَذَا عَارِضٌ، لَا مَنْعَ بِهِ مِنْهَا وَقَدْ جُومِعَتْ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia mengalami retak (tertutupnya lubang kemaluan) sehingga suami tidak mampu menggaulinya, maka ini adalah hal yang bersifat insidental, tidak menjadi penghalang untuknya, dan ia telah pernah digauli.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْقُرْنُ فَهُوَ عَظْمٌ يَعْتَرِضُ الرجم لَا يُمْكِنُ جِمَاعُهَا مَعَهُ وَلَا يَجُوزُ حُدُوثُ مِثْلِهِ بَعْدَ كَمَالِ الْخِلْقَةِ وَلَا يُرْجَى زَوَالُهُ بَعْدَ وُجُودِهِ فِي أَصْلِ الْخِلْقَةِ وَلِلزَّوْجِ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهَا بِهِ فَإِنْ أَقَامَ عَلَى نِكَاحِهَا لَزِمَتْهُ النَّفَقَةُ، وَلَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ مِنْهَا، وَأَمَّا الرَّتْقُ: فَهُوَ لَحْمٌ يَنْبُتُ فِي الرَّحِمِ لَا يُمْكِنُ جِمَاعُهَا مَعَهُ لِضِيقِ الْفَرْجِ بِهِ عَنْ دُخُولِ الذَّكَرِ وَيَجُوزُ حُدُوثُ مِثْلِهِ بَعْدَ كَمَالِ الْخِلْقَةِ وَيُمْكِنُ أَنْ يَزُولَ بَعْدَ حُدُوثِهِ فَلِلزَّوْجَ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهَا بِهِ إِذَا كَانَ مُتَقَدِّمًا عَلَى الْعَقْدِ، وَفِي فَسْخِهِ لِنِكَاحِهَا إِذَا وُجِدَ بَعْدَ الْعَقْدِ قَوْلَانِ مَضَيَا فِي كِتَابِ النِّكَاحِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun al-qarn adalah tulang yang menghalangi hubungan suami istri sehingga tidak mungkin menggaulinya, dan tidak mungkin muncul setelah penciptaan sempurna, serta tidak diharapkan hilang jika sudah ada sejak asal penciptaan. Suami memiliki hak memilih untuk membatalkan nikahnya karena hal itu. Jika ia tetap mempertahankan pernikahan, maka ia wajib menafkahinya, dan ia boleh menikmati selain kemaluan dari istrinya. Adapun ar-ritq: yaitu daging yang tumbuh di rahim sehingga tidak mungkin menggaulinya karena sempitnya kemaluan sehingga tidak bisa dimasuki zakar. Hal ini bisa saja terjadi setelah penciptaan sempurna dan bisa hilang setelah terjadi. Suami memiliki hak memilih untuk membatalkan nikahnya jika itu terjadi sebelum akad, dan dalam hal pembatalan nikah jika terjadi setelah akad, terdapat dua pendapat yang telah disebutkan dalam Kitab Nikah.

أَحَدُهُمَا: لَهُ الْفَسْخُ وَعَلَيْهِ بَعْدَ الْفَسْخِ جَمِيعُ الْمَهْرِ إِذَا كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا. وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا. فَإِنْ أَقَامَ لَزِمَتْهُ النَّفَقَةُ، وَلَهُ الِاسْتِمْتَاعُ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ.

Salah satunya: Suami boleh membatalkan dan setelah pembatalan, ia wajib membayar seluruh mahar jika sudah berhubungan. Jika belum berhubungan, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Jika ia tetap mempertahankan pernikahan, maka ia wajib menafkahinya dan boleh menikmati selain kemaluan istrinya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهُ. لِأَنَّ الطَّلَاقَ بِيَدِهِ، وَلَهَا النَّفَقَةُ لِكَوْنِهَا مُمْكِنًا وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ جِمَاعُهَا وَأَنَّهُ قَدْ يَقْدِرُ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ مِنْهَا.

Pendapat kedua: Suami tidak memiliki hak memilih (tidak boleh membatalkan). Karena talak ada di tangannya, dan istri tetap berhak atas nafkah karena ia masih mungkin untuk dinikmati meskipun tidak bisa digauli, dan suami masih bisa menikmati selain kemaluan istrinya.

(الْقَوْلُ فِي النَّفَقَةِ إِذَا أحرمت أو اعتكفت)

(Pembahasan tentang nafkah jika istri berihram atau i‘tikaf)

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَوْ أَذِنَ لَهَا فَأَحْرَمَتْ أَوِ اعْتَكَفَتْ أَوْ لَزِمَهَا نَذْرُ كَفَّارَةٍ كَانَ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika suami mengizinkan istrinya lalu ia berihram atau i‘tikaf, atau ia wajib menunaikan nazar kafarat, maka suami tetap wajib menafkahinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: جُمْلَةُ الْعِبَادَاتِ الَّتِي يَحْرُمُ الْوَطْءُ فِيهَا أَرْبَعَةٌ، الصَّلَاةُ، وَالصِّيَامُ، وَالِاعْتِكَافُ وَالْحَجُّ، فَبَدَأَ الشَّافِعِيُّ بِالْحَجِّ لِتَغْلِيظِ حُكْمِهِ، وَأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الْخُرُوجُ مِنْهُ قَبْلَ تَمَامِهِ مَعَ السَّفَرِ فِيهِ عَنِ الْوَطَنِ، فَإِذَا أَحْرَمَتْ بِالْحَجِّ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا فِيهِ مَعَ الزَّوْجِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بإذنه، أو غير إِذْنِهِ. فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ صَارَتْ بِالْإِحْرَامِ فِي حُكْمِ النَّاشِزِ وَنَفَقَتُهَا سَاقِطَةٌ عَنْهُ سَوَاءٌ أَحَرَمَتْ بِتَطَوُّعٍ أَوْ وَاجِبٍ. لِأَنَّ وُجُوبَ الْحَجِّ عَلَى التَّرَاخِي وَاسْتِمْتَاعَ الزَّوْجِ مُسْتَحَقٌّ عَلَى الْفَوْرِ، وَسَوَاءٌ أَكَانَ الزَّوْجُ مُحِلًّا يَقْدِرُ عَلَى الْإِصَابَةِ أَوْ كَانَ مُحْرِمًا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهَا، لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ بِحُدُوثِ الِامْتِنَاعِ مِنْ جِهَتِهَا، وَلَا اعْتِبَارَ بِمَنْعِ الزَّوْجِ مِنْهَا. أَلَا تَرَاهُ لَوْ كَانَ مُسَافِرًا عَنْهَا وَتَرَكَهَا فِي مَنْزِلِهِ فَخَرَجَتْ مِنْهُ سَقَطَتْ نَفَقَتُهَا، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ بِالْغِيبَةِ عَلَى إِصَابَتِهَا، وَإِنْ أَحْرَمَتْ بِإِذْنِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهَا أَوْ لَا يَكُونَ فَإِنْ كَانَ مَعَهَا فَلَهَا النَّفَقَةُ، لِأَنَّ إِذْنَهُ لَهَا قَدْ أَخْرَجَهَا مِنْ مَعْصِيَتِهِ، وَاجْتِمَاعِهَا مَعَهُ قَدْ أَخْرَجَهَا مِنْ مُبَاعَدَتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا فَفِي سُقُوطِ نَفَقَتِهَا قَوْلَانِ:

Al-Mawardi berkata: Secara umum, ibadah-ibadah yang diharamkan melakukan hubungan suami istri di dalamnya ada empat, yaitu shalat, puasa, i‘tikaf, dan haji. Imam Syafi‘i memulai pembahasan dengan haji karena hukumannya lebih berat, dan karena tidak mungkin keluar darinya sebelum selesai, serta adanya perjalanan meninggalkan tanah air. Jika seorang istri berihram untuk haji, maka keadaannya bersama suami tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, dengan izin suami, atau kedua, tanpa izinnya. Jika tanpa izin suami, maka dengan ihram tersebut ia dihukumi sebagai nâsyiz (istri yang membangkang), dan nafkahnya gugur, baik ia berihram untuk haji sunnah maupun wajib. Sebab, kewajiban haji itu boleh ditunda, sedangkan hak suami untuk menikmati istrinya harus segera dipenuhi. Tidak ada bedanya apakah suami dalam keadaan halal sehingga mampu menggaulinya, atau dalam keadaan ihram sehingga tidak mampu, karena yang menjadi tolok ukur adalah terjadinya penolakan dari pihak istri, bukan dari pihak suami. Bukankah jika suami bepergian dan meninggalkan istrinya di rumah, lalu istrinya keluar dari rumah tersebut, maka nafkahnya gugur, meskipun suami tidak mampu menggaulinya karena sedang bepergian? Jika ia berihram dengan izin suami, maka keadaannya juga tidak lepas dari dua kemungkinan: suami bersamanya atau tidak. Jika suami bersamanya, maka ia berhak mendapatkan nafkah, karena izin suami telah mengeluarkannya dari status maksiat kepada suami, dan kebersamaannya dengan suami telah mengeluarkannya dari status menjauh dari suami. Jika suami tidak bersamanya, maka dalam hal gugurnya nafkah ada dua pendapat:

أَظْهَرُهُمَا: لَهَا النَّفَقَةُ وَهُوَ الَّذِي أَشَارَ إليه هاهنا، لِأَنَّ إِحْرَامَهَا عَنْ إِذْنِهِ فَأَشْبَهَ إِذَا كَانَ مَعَهَا.

Pendapat yang lebih kuat: ia tetap berhak mendapatkan nafkah, dan inilah yang diisyaratkan di sini, karena ihramnya dilakukan dengan izin suami, sehingga keadaannya seperti jika suami bersamanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا نَفَقَةَ لَهَا. ذَكَرَهُ فِي كِتَابِ النُّشُوزِ. لِأَنَّهَا سَافَرَتْ عَنْهُ فَأَشْبَهَ إِذَا لَمْ يَأْذَنْ لَهَا وَهَكَذَا حُكْمُ الْعُمْرَةِ.

Pendapat kedua: ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Hal ini disebutkan dalam Kitab an-Nusyūz, karena ia telah bepergian meninggalkan suaminya, sehingga keadaannya seperti jika ia berihram tanpa izin suami. Demikian pula hukum untuk umrah.

(فصل)

(Fasal)

(القول في نفقة المعتكفة)

(Pembahasan tentang nafkah bagi istri yang i‘tikaf)

وَأَمَّا اعْتِكَافُهَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun i‘tikaf istri terbagi menjadi dua bentuk:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ فِي مَنْزِلِهَا إِذَا قِيلَ بِجَوَازِ اعْتِكَافِهَا فِيهِ فَلَهَا نَفَقَتُهَا إِذَا كَانَ تَطَوُّعًا. لِأَنَّهَا لَمْ تَبْعُدْ عَنْهُ وَيَقْدِرْ عَلَى إِخْرَاجِهَا مِنْهُ.

Pertama: i‘tikaf di rumahnya, jika dikatakan boleh i‘tikaf di rumah, maka ia tetap berhak atas nafkah jika i‘tikafnya sunnah, karena ia tidak menjauh dari suami dan suami masih bisa mengeluarkannya dari rumah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ اعْتِكَافُهَا فِي مَسْجِدٍ خَارِجَ مِنْ مَنْزِلِهَا. فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ عَنْ إِذْنِهِ أَوْ غَيْرِ إِذْنِهِ. فَإِنْ كَانَ عَنْ غَيْرِ إِذْنِهِ سَقَطَتْ نَفَقَتُهَا، وَإِنْ كَانَ عَنْ إِذْنِهِ وَهُوَ مَعَهَا فَلَهَا النَّفَقَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي الْحَجِّ.

Kedua: i‘tikaf di masjid di luar rumahnya. Dalam hal ini, bisa dengan izin suami atau tanpa izin suami. Jika tanpa izin suami, maka nafkahnya gugur. Jika dengan izin suami dan suami bersamanya, maka ia berhak atas nafkah. Jika suami tidak bersamanya, maka kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan dalam masalah haji.

أَحَدُهُمَا: تَسْقُطُ نَفَقَتُهَا.

Salah satunya: nafkahnya gugur.

وَالثَّانِي: لَا تَسْقُطُ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ التَّعْلِيلَيْنِ.

Yang kedua: nafkahnya tidak gugur, berdasarkan dua alasan yang telah dijelaskan sebelumnya.

(الْقَوْلُ فِي نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ الصَّائِمَةِ)

(Pembahasan tentang nafkah istri yang berpuasa)

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا صَوْمُهَا فَيَنْقَسِمُ خَمْسَةَ أَقْسَامٍ:

Adapun puasanya, maka terbagi menjadi lima bagian:

أَحَدُهَا: صَوْمُ شَهْرِ رَمَضَانَ فَهَذَا مِنَ الْفُرُوضِ الْمَشْرُوعَةِ فَإِذَا تَعَيَّنَ عَلَيْهَا كَانَ مُسْتَثْنًى مِنْ حُقُوقِ الزَّوْجِ فَكَانَتْ فِيهِ عَلَى حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ.

Pertama: puasa bulan Ramadan, ini adalah fardhu yang disyariatkan. Jika telah menjadi kewajiban atasnya, maka puasa ini dikecualikan dari hak-hak suami, sehingga ia tetap berhak atas nafkah selama puasa Ramadan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: قَضَاءُ رَمَضَانَ. فَزَمَانُهُ مَا بَيْنَ رَمَضَانِهَا الَّذِي أفطرته ورمضانها الذي تستقبله. فإذا كَانَ فِي آخِرِ زَمَانِهِ وَعِنْدَ تَعْيِينِ وَقْتِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهَا مِنْهُ، وَكَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ لِصَوْمِهَا فِي رَمَضَانَ، وَإِنْ كَانَ فِي أَوَّلِ زَمَانِهِ وَقَبْلَ تَعَيُّنِ وَقْتِهِ فَلَهُ مَنْعُهَا مِنْ تَقْدِيمِهِ، لِأَنَّ حَقَّهُ فِي الاستمتاع به عَلَى الْفَوْرِ وَهَذَا الصَّوْمَ عَلَى التَّرَاخِي، فَإِنْ دَخَلَتْ فِيهِ فَفِي جَوَازِ إِجْبَارِهِ لَهَا عَلَى الْفِطْرِ وَجْهَانِ: مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي إِجْبَارِهَا عَلَى إِحْلَالِهَا مِنَ الْحَجِّ.

Kedua: qadha Ramadan. Waktunya adalah antara Ramadan yang ia tinggalkan dengan Ramadan berikutnya. Jika dilakukan di akhir waktu dan telah ditentukan waktunya, maka suami tidak berhak melarangnya, dan ia tetap berhak atas nafkah karena puasanya di bulan Ramadan. Namun jika dilakukan di awal waktu dan sebelum penentuan waktunya, maka suami berhak melarangnya untuk mendahulukan qadha, karena hak suami untuk menikmati istri harus segera dipenuhi, sedangkan qadha puasa boleh ditunda. Jika ia telah memulai puasa qadha, maka dalam hal boleh tidaknya suami memaksanya untuk berbuka terdapat dua pendapat, yang diqiyaskan dari perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya suami memaksanya untuk bertahallul dari haji.

أَحَدُهُمَا: لَهُ أَنْ يُجْبِرَهَا عَلَى الْفِطْرِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَفْطَرَتْ كَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ، وَإِنِ امْتَنَعَتْ سَقَطَتْ نَفَقَتُهَا بَعْدَ الِامْتِنَاعِ كَالنَّاشِزِ.

Salah satu pendapat: Suami berhak memaksa istrinya untuk berbuka. Berdasarkan pendapat ini, jika istri berbuka maka ia tetap berhak mendapatkan nafkahnya, dan jika ia menolak maka nafkahnya gugur setelah penolakan tersebut, sebagaimana istri yang nusyuz.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ إِجْبَارُهَا عَلَى الْفِطْرِ تَغْلِيبًا لِحُرْمَةِ الْعِبَادَةِ. فَعَلَى هَذَا فِي سُقُوطِ نَفَقَتِهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Suami tidak berhak memaksa istrinya untuk berbuka, dengan mengedepankan kehormatan ibadah. Berdasarkan pendapat ini, dalam hal gugurnya nafkah istri terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَسْقُطُ بِهِ نَفَقَتُهَا كَالْحَجِّ.

Salah satunya: Nafkahnya gugur karenanya, seperti dalam ibadah haji.

وَالْوَجْهُ الثاني: لا تسقط به النفقة لأمرين. مما فرق بين الصوم والحج.

Pendapat kedua: Nafkahnya tidak gugur karena dua alasan yang membedakan antara puasa dan haji.

أَحَدُهُمَا: لِقُرْبِ زَمَانِهِ وَقُدْرَتِهِ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فِي لَيْلِهِ.

Salah satunya: Karena waktu puasa lebih singkat dan suami masih bisa menikmati istrinya pada malam hari.

وَالثَّانِي: لِمَقَامِهَا فِي مَنْزِلِهِ فَخَالَفَ الْحَجَّ فِي خُرُوجِهَا مِنْهُ.

Yang kedua: Karena istri tetap tinggal di rumah suami, sehingga berbeda dengan haji yang mengharuskan istri keluar dari rumah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: صَوْمُ التَّطَوُّعِ فَلَهُ مَنْعُهَا مِنْهُ لِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ يَوْمًا مِنْ غَيْرِ رَمَضَانَ إِلَّا بِإِذْنِهِ “، لِأَنَّ صَوْمَهَا يَمْنَعُ مِمَّا اسْتَحَقَّهُ الزَّوْجُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فَصَارَتْ مَانِعَةً مِنْ وَاجِبٍ بِتَطَوُّعٍ، فَإِنْ صَامَتْ وَلَمْ يَدْعُهَا الزَّوْجُ إِلَى الْخُرُوجِ مِنْهُ بِالِاسْتِمْتَاعِ فَهِيَ عَلَى حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ، وَإِنْ دَعَاهَا إِلَى الْخُرُوجِ مِنْهُ فَإِنْ خَرَجَتْ مِنْهُ بِالِاسْتِمْتَاعِ كَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ، وَإِنِ امْتَنَعَتْ صَارَتْ نَاشِزًا وَسَقَطَتْ نَفَقَتُهَا إِنْ كَانَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ وَكَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ إِنْ كَانَ الِامْتِنَاعُ فِي آخِرِهِ، لِقُرْبِهِ مِنْ زَمَانِ التَّمْكِينِ فَصَارَ مُلْحَقًا بِوَقْتِ الْأَكْلِ وَالطَّهَارَةِ.

Bagian ketiga: Puasa sunnah, maka suami berhak melarang istrinya melakukannya, berdasarkan riwayat Abu Hurairah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Seorang wanita tidak boleh berpuasa satu hari pun selain Ramadan sementara suaminya hadir kecuali dengan izinnya,” karena puasanya menghalangi hak suami untuk menikmati istrinya, sehingga ia telah mencegah suatu kewajiban dengan amalan sunnah. Jika istri berpuasa dan suami tidak memintanya untuk membatalkan puasa demi memenuhi hak suami, maka ia tetap berhak atas nafkahnya. Jika suami memintanya untuk membatalkan puasa dan istri memenuhi permintaan itu, maka ia tetap berhak atas nafkahnya. Namun jika ia menolak, maka ia menjadi nusyuz dan nafkahnya gugur jika penolakan itu terjadi di awal hari, dan tetap berhak atas nafkah jika penolakan itu terjadi di akhir hari, karena waktu itu dekat dengan waktu diperbolehkannya hubungan, sehingga disamakan dengan waktu makan dan bersuci.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: صَوْمُ الْكَفَّارَةِ. فَهُوَ فِي الذِّمَّةِ غَيْرُ مُعَيَّنِ الْوَقْتِ فَلَهُ مَنْعُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فِيهِ، فَإِنْ دَخَلَتْ فِيهِ بَعْدَ مَنْعِهِ صَارَتْ نَاشِزًا وَسَقَطَتْ نَفَقَتُهَا، وَإِنْ لَمْ يَمْنَعْهَا مِنْهُ حَتَّى دَخَلَتْ فِيهِ فَفِي إِجْبَارِهِ لَهَا عَلَى الْخُرُوجِ مِنْهُ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Bagian keempat: Puasa kafarat. Puasa ini merupakan kewajiban dalam tanggungan yang tidak ditentukan waktunya, maka suami berhak melarang istrinya sebelum ia memulai puasa tersebut. Jika istri tetap berpuasa setelah dilarang, maka ia menjadi nusyuz dan nafkahnya gugur. Jika suami tidak melarangnya hingga istri memulai puasa, maka dalam hal suami memaksanya untuk membatalkan puasa terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan:

أَحَدُهُمَا: لَهُ إِجْبَارُهَا وَتَسْقُطُ نَفَقَتُهَا إِنْ أَقَامَتْ عليه.

Salah satunya: Suami berhak memaksanya dan nafkahnya gugur jika istri tetap melanjutkan puasanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ إِجْبَارُهَا. فَعَلَى هَذَا ينظر. فإن كَانَ التَّتَابُعُ فِيهِ مُسْتَحَقًّا بَطَلَتْ بِهِ نَفَقَتُهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَحَقَّ التَّتَابُعِ فَفِي سُقُوطِ نَفَقَتِهَا بِهِ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Suami tidak berhak memaksanya. Berdasarkan pendapat ini, jika puasa tersebut wajib dilakukan secara berturut-turut maka nafkahnya gugur, dan jika tidak wajib berturut-turut maka dalam hal gugurnya nafkah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَسْقُطُ فِي أَيَّامِ الصَّوْمِ كَالْمُتَتَابِعِ.

Salah satunya: Nafkahnya gugur pada hari-hari ia berpuasa seperti puasa yang harus berturut-turut.

وَالثَّانِي: لَا تَسْقُطُ لِقُوَّتِهِ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا فِي نَفَقَةِ الْأَمَةِ عَلَى زَوْجِهَا إِذَا مُكِّنَ مِنْهَا لَيْلًا وَمُنِعَ مِنْهَا نَهَارًا هَلْ تَجِبُ نَفَقَتُهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Yang kedua: Nafkahnya tidak gugur karena kuatnya alasan, dan dua pendapat ini merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama kami tentang nafkah budak perempuan atas suaminya jika ia hanya bisa dinikmati pada malam hari dan tidak pada siang hari, apakah nafkahnya tetap wajib atau tidak? Terdapat dua pendapat:

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: صَوْمُ النَّذْرِ، وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian kelima: Puasa nadzar, dan puasa nadzar terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِي الذِّمَّةِ غَيْرَ مُعَيَّنِ الزَّمَنِ فَهُوَ كَصَوْمِ الْكَفَّارَةِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ. وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُعَيَّنَ الزَّمَانِ، فَلَهَا فِيهِ حَالَتَانِ:

Salah satunya: Puasa nadzar yang menjadi tanggungan tanpa ditentukan waktunya, maka hukumnya sama seperti puasa kafarat sebagaimana telah dijelaskan. Jenis kedua: Puasa nadzar yang ditentukan waktunya, maka dalam hal ini ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَتَقَدَّمَ عَقْدُ نَذْرِهَا عَلَى عَقْدِ نِكَاحِهَا فَلَا يَمْنَعُ صَوْمُهُ مِنْ وُجُوبِ نَفَقَتِهَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالتَّقْدِيمِ مُسْتَثْنًى مِنَ الْعَقْدِ كَالَّذِي اسْتَثْنَاهُ الشرع.

Pertama: Jika akad nadzar dilakukan sebelum akad nikah, maka puasa tersebut tidak menghalangi kewajiban nafkah, karena dengan adanya akad nadzar sebelum nikah, puasa tersebut menjadi pengecualian dari akad nikah, sebagaimana yang dikecualikan oleh syariat.

والحال الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ نَذْرُهَا بَعْدَ عَقْدِ النِّكَاحِ، فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ مَعْقُودًا بِإِذْنِ الزَّوْجِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، فَإِنْ كَانَ مَعْقُودًا بِإِذْنِهِ لم يكن لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهَا وَكَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ لِأَنَّ فِي إِذْنِهِ تَرْكًا لَحَقِّهِ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَلَهُ مَنْعُهَا وَتَسْقُطُ بِهِ نَفَقَتُهَا لِتَقَدُّمِ حَقِّهِ عَلَى نَذْرِهَا.

Kedua: Jika nadzar dilakukan setelah akad nikah, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: dilakukan dengan izin suami atau tanpa izinnya. Jika dilakukan dengan izin suami, maka suami tidak berhak melarangnya dan istri tetap berhak atas nafkahnya, karena dengan izinnya berarti suami telah merelakan haknya. Jika tanpa izin suami, maka suami berhak melarangnya dan nafkahnya gugur karena hak suami lebih didahulukan daripada nadzar istrinya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وأما الصلاة فتنقسم ستة أقسام:

Adapun shalat, maka terbagi menjadi enam bagian:

أحدهما: مَا كَانَ مِنَ الْفُرُوضِ الْمُوَقَّتَةِ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فَلَيْسَ لَهُ مَنْعُهَا مِنْهَا لِاسْتِثْنَاءِ الشَّرْعِ لَهَا، وَلَهَا تَعْجِيلُهَا فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ وَإِنْ جَازَ تَأْخِيرُهَا إِلَى آخِرِهِ، بِخِلَافِ فَرَضِ الْحَجِّ الَّذِي يَجُوزُ لَهُ مَنْعُهَا مِنْ تَقْدِيمِهِ.

Pertama: Apa yang termasuk fardhu muwaqqat (kewajiban yang ditentukan waktunya) seperti shalat lima waktu, maka suami tidak berhak melarang istri darinya, karena syariat telah mengecualikannya untuknya. Istri berhak menyegerakan pelaksanaan shalat di awal waktu, meskipun dibolehkan menundanya hingga akhir waktu, berbeda dengan kewajiban haji yang suami boleh melarang istri untuk melaksanakannya lebih awal.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ تَعْجِيلَ الصَّلَاةِ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا فَضِيلَةٌ تَتَعَلَّقُ بِالْوَقْتِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ تَفْوِيتُ الْفَضِيلَةِ عَلَيْهَا، وَتَعْجِيلُ الْحَجِّ احْتِيَاطٌ لَا يَخْتَصُّ فَضِيلَةَ تَفْوِيتٍ فَافْتَرَقَا.

Perbedaan antara keduanya: Menyegerakan shalat di awal waktunya adalah keutamaan yang berkaitan dengan waktu, sehingga suami tidak berhak menggugurkan keutamaan itu dari istri. Sedangkan menyegerakan haji adalah bentuk kehati-hatian yang tidak secara khusus memiliki keutamaan yang terlewatkan, sehingga keduanya berbeda.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا سَنَّهُ الشَّرْعُ مِنْ تَوَابِعِ الْفُرُوضِ الْمُؤَقَّتَةِ، فَإِنْ دَخَلَتْ فِيهَا فَعَلَيْهِ تَمْكِينُهَا مِنْهَا عَلَى الْعَادَةِ الْمَعْرُوفَةِ مِنْ غَيْرِ تَقْصِيرٍ وَلَا إِطَالَةٍ.

Bagian kedua: Apa yang disyariatkan sebagai pelengkap fardhu muwaqqat, jika istri telah memulainya maka suami wajib memberinya kesempatan melaksanakannya sesuai kebiasaan yang dikenal, tanpa mempercepat atau memperlama.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: قَضَاءُ الْفُرُوضِ الْمُؤَقَّتَةِ. فَإِنْ دَخَلَتْ فِيهَا فَأَحْرَمَتْ بِهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ قَطْعُهَا عَلَيْهَا. لِاسْتِحْقَاقِهَا بِالشَّرْعِ وَقُرْبِ زَمَانِهَا بِالْخُرُوجِ مِنْهَا، وَإِنْ لَمْ تُحْرِمْ بِهَا وَتَدْخُلْ فِيهَا فَلَيْسَ لَهُ مَنْعُهَا مِنْهَا عَلَى الدَّوَامِ. لِاسْتِحْقَاقِ الْقَضَاءِ لَهَا مَعَ الْإِمْكَانِ. فَإِنْ أَرَادَتِ الْإِحْرَامَ بِالْقَضَاءِ وَأَرَادَ الِاسْتِمْتَاعَ بِهَا فَفِيهِ وجهان:

Bagian ketiga: Qadha (mengganti) fardhu muwaqqat. Jika istri telah memulainya dan telah berniat (ihram) untuknya, maka suami tidak berhak memutusnya atas istri, karena istri telah berhak secara syar’i dan waktu pelaksanaannya dekat dengan waktu keluarnya dari kewajiban tersebut. Namun jika istri belum berniat dan belum memulainya, maka suami tidak berhak melarangnya secara terus-menerus, karena qadha adalah hak istri selama masih memungkinkan. Jika istri ingin berniat qadha dan suami ingin beristimta’ dengannya, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ يُقَدَّمُ حَقُّهُ عَلَى حَقِّ الْقَضَاءِ لِثُبُوتِهِ فِي الذِّمَّةِ.

Pertama: Pendapat Abu Hamid al-Isfarayini, hak suami didahulukan atas hak qadha karena hak suami telah tetap dalam tanggungan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ عِنْدِي، إِنَّهُ يُقَدَّمُ حَقُّ الْقَضَاءِ عَلَى حَقِّهِ. لِأَنَّ فَرْضَ الْقَضَاءِ مُسْتَحَقٌّ فِي أَوَّلِ زَمَانِ الْمُكْنَةِ فَصَارَتْ كَالْمُؤَقَّتَةِ شَرْعًا.

Pendapat kedua: Dan ini yang lebih shahih menurutku, bahwa hak qadha didahulukan atas hak suami. Karena kewajiban qadha harus segera dilaksanakan pada kesempatan pertama yang memungkinkan, sehingga hukumnya seperti fardhu muwaqqat secara syar’i.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: مَا كَانَ مِنَ السُّنَنِ الْمَشْرُوعَةِ فِي الْجَمَاعَةِ كَالْعِيدَيْنِ، وَكَذَا الِاسْتِسْقَاءُ وَالْخَسُوفَيْنِ فَلَهُ مَنْعُهَا مِنَ الْخُرُوجِ لِلْجَمَاعَةِ، وَلَيْسَ لَهُ مَنْعُهَا مِنْ فِعْلِهَا فِي مَنْزِلِهَا لِمُسَاوَاتِهَا لَهُ فِي الْأَمْرِ بِهَا وَالنَّدْبِ إِلَيْهَا وَإِنَّهَا مُخْتَصَّةٌ بِوَقْتٍ يَفُوتُ بِالتَّأْخِيرِ فَأَشْبَهَتِ الْفُرُوضَ وَإِنْ لَمْ تُفْرَضْ.

Bagian keempat: Apa yang termasuk sunnah yang disyariatkan secara berjamaah seperti shalat Id, demikian pula istisqa’ dan gerhana, maka suami boleh melarang istri keluar untuk berjamaah, namun tidak boleh melarang istri melaksanakannya di rumahnya. Karena dalam hal ini, istri dan suami sama-sama diperintahkan dan dianjurkan, dan shalat tersebut memiliki waktu tertentu yang akan terlewat jika ditunda, sehingga menyerupai fardhu meskipun tidak diwajibkan.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ تَكُونَ نَذْرًا فَتَكُونَ كَالصَّوْمِ الْمَنْذُورِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ فِي التَّقْسِيمِ.

Bagian kelima: Jika berupa nazar, maka hukumnya seperti puasa nazar sebagaimana telah dijelaskan dalam pembagian sebelumnya.

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ تَكُونَ تَطَوُّعًا مُبْتَدَأً فَلَهُ مَنْعُهَا مِنْهُ إِذَا دَعَاهَا إِلَى الِاسْتِمْتَاعِ وَلَهُ قَطْعُهَا بَعْدَ الدُّخُولِ فِيهَا كَمَا يَقْطَعُ عَلَيْهَا صَوْمَ التَّطَوُّعِ لِوُجُوبِ حَقِّهِ فَلَمْ يَجُزْ إِسْقَاطُهُ بتطوعها والله أعلم بالصواب.

Bagian keenam: Jika berupa ibadah sunnah yang baru dimulai, maka suami boleh melarang istri jika ia mengajaknya untuk beristimta’, dan suami boleh memutuskan ibadah tersebut setelah istri memulainya, sebagaimana suami boleh memutuskan puasa sunnah istri, karena hak suami wajib dipenuhi sehingga tidak boleh gugur karena ibadah sunnah yang dilakukan istri. Wallahu a’lam bish-shawab.

(الْقَوْلُ فِي النَّفَقَةِ إِذَا هَرَبَتِ الزَّوْجَةُ أَوِ امتنعت)

(Pembahasan tentang nafkah jika istri melarikan diri atau membangkang)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو هربت أو امتنعت أن كَانَتْ أَمَةً فَمَنَعَهَا سَيِّدُهَا فَلَا نَفَقَةَ لَهَا “.

Imam Syafi’i ra. berkata: “Jika istri melarikan diri atau membangkang, jika ia adalah seorang budak perempuan lalu tuannya melarangnya, maka tidak ada nafkah baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا هَرَبُهَا أَوْ نُشُوزُهَا عَلَيْهِ مَعَ الْمَقَامِ مَعَهُ فَهُمَا سَوَاءٌ فِي سُقُوطِ نَفَقَتِهَا، وَإِنْ كَانَتْ بِالْهَرَبِ أَعْظَمَ مَأْثَمًا وَعِصْيَانًا.

Al-Mawardi berkata: Adapun istri yang melarikan diri atau membangkang terhadap suami meskipun tetap tinggal bersamanya, keduanya sama saja dalam gugurnya hak nafkah, meskipun melarikan diri merupakan dosa dan maksiat yang lebih besar.

وَقَالَ الْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ: لَا تَسْقُطُ عَنْهُ بِالنُّشُوزِ، لِأَنَّهَا وَجَبَتْ بِمِلْكِ الِاسْتِمْتَاعِ وَلَا يَزُولُ مِلْكُهُ عَنِ الِاسْتِمْتَاعِ بِالنُّشُوزِ فَلَمْ تَسْقُطْ بِهِ النَّفَقَةُ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ وُجُوبَ النَّفَقَةِ بِالتَّمْكِينِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ كَمَا تَجِبُ أُجْرَةَ الدَّارِ بِالتَّمْكِينِ مِنَ السُّكْنَى، وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ الْمُؤْجِرَ إِذَا مَنَعَ الْمُسْتَأْجِرَ مِنَ السُّكْنَى سَقَطَتْ عَنْهُ الْأُجْرَةُ. كَذَلِكَ الزَّوْجَةُ إِذَا مَنَعَتْ مِنَ التَّمْكِينِ سَقَطَتِ النَّفَقَةُ.

Al-Hakam bin ‘Utaybah berkata: Nafkah tidak gugur karena pembangkangan, karena nafkah wajib atas dasar kepemilikan hak istimta’, dan hak tersebut tidak hilang dengan pembangkangan, sehingga nafkah tidak gugur karenanya. Namun pendapat ini tidak benar, karena kewajiban nafkah itu berdasarkan adanya kesempatan untuk istimta’, sebagaimana upah sewa rumah wajib karena adanya kesempatan untuk menempati rumah, dan telah tetap bahwa jika pemilik rumah melarang penyewa untuk menempati rumah, maka upahnya gugur. Demikian pula istri, jika ia menghalangi suami untuk istimta’, maka nafkahnya gugur.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا الْأَمَةُ إِذَا زَوَّجَهَا سَيِّدُهَا فَهِيَ مُخَالِفَةٌ لِلْحُرَّةِ فِي التَّمْكِينِ، لِأَنَّ الْحُرَّةَ يَلْزَمُهَا تَمْكِينُ الزَّوْجِ مِنْ نَفْسِهَا لَيْلًا وَنَهَارًا، وَالْأَمَةَ يَلْزَمُ السَّيِّدَ أَنْ يُمَكِّنَ زَوْجَهَا مِنْهَا لَيْلًا وَلَا يَلْزَمَهُ تَمْكِينُهُ مِنْهَا نَهَارًا.

Adapun budak perempuan, apabila tuannya menikahkannya, maka ia berbeda dengan perempuan merdeka dalam hal pemberian akses (kepada suami), karena perempuan merdeka wajib memberikan akses kepada suaminya baik siang maupun malam, sedangkan budak perempuan, yang wajib adalah tuan harus memberikan akses suaminya kepadanya pada malam hari, dan tidak wajib memberikannya pada siang hari.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْأَمَةَ مَمْلُوكَةُ الِاسْتِخْدَامِ فِي حَقِّ السَّيِّدِ، وَمَمْلُوكَةُ الِاسْتِمْتَاعِ فِي حَقِّ الزَّوْجِ فَلَمْ يَسْقُطْ أَحَدُ الْحَقَّيْنِ بِالْآخَرِ مَعَ تَغَايُرِهِمَا وَتَمَيُّزِ زَمَانِهِمَا، وَالِاسْتِخْدَامُ أَخَصُّ بِالنَّهَارِ مِنَ اللَّيْلِ فَاخْتَصَّ بِهِ السَّيِّدُ فَلَمْ يَلْزَمْهُ تَسْلِيمُهَا بِالنَّهَارِ، وَاللَّيْلُ أخص بِالِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النَّهَارِ فَاخْتَصَّ بِهِ الزَّوْجُ وَلَزِمَ السَّيِّدَ تَسْلِيمُهَا فِيهِ، وَالْحُرَّةُ بِخِلَافِهَا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُشَارِكِ الزَّوْجَ مُسْتَحِقٌّ لِلْخِدْمَةِ فَلِذَلِكَ وَجَبَ عَلَيْهَا تَسْلِيمُ نَفْسِهَا لَيْلًا وَنَهَارًا.

Perbedaan antara keduanya adalah: budak perempuan merupakan milik dalam hal penggunaan (kerja) bagi tuannya, dan milik dalam hal kenikmatan bagi suaminya. Maka, salah satu dari kedua hak tersebut tidak gugur karena adanya hak yang lain, mengingat keduanya berbeda dan waktu pelaksanaannya pun berbeda. Penggunaan (kerja) lebih khusus pada siang hari daripada malam hari, sehingga siang hari menjadi hak khusus tuan, dan ia tidak wajib menyerahkannya pada siang hari. Sedangkan malam hari lebih khusus untuk kenikmatan daripada siang hari, sehingga malam hari menjadi hak khusus suami, dan tuan wajib menyerahkannya pada malam hari. Adapun perempuan merdeka berbeda dengan budak perempuan, karena tidak ada pihak lain selain suami yang berhak atas pelayanan darinya, sehingga ia wajib menyerahkan dirinya kepada suami baik siang maupun malam.

فَإِنْ قِيلَ: فَهِيَ مَالِكَةٌ لِخِدْمَةِ نَفْسِهَا فَهَلَّا اسْتَحَقَّتْ مَنْعَ الزَّوْجِ مِنْ نَفْسِهَا فِي زَمَانِ الْخِدْمَةِ وَهُوَ النَّهَارُ كَالْأَمَةِ؟

Jika dikatakan: Perempuan merdeka adalah pemilik atas jasanya sendiri, maka mengapa ia tidak berhak mencegah suaminya dari dirinya pada waktu bekerja, yaitu siang hari, sebagaimana budak perempuan?

قِيلَ: لِأَنَّ الْخِدْمَةَ غَيْرُ مَمْلُوكَةٍ عَلَيْهَا، فَصَارَ فَى تَزْوِيجِهَا تَفْوِيتٌ لِحَقِّهَا مِنَ الْخِدْمَةِ، فَخَالَفَتِ الْأَمَةَ الَّتِي قَدْ مَلَكَ مِنْهَا الْخِدْمَةَ، فَإِنْ قِيلَ فَإِنْ كَانَتِ الْحُرَّةُ قَدْ أَجَرَتْ نَفْسَهَا لِلْخِدْمَةِ ثُمَّ تَزَوَّجَتْ أَيَكُونُ نَهَارُ الْخِدْمَةِ خَارِجًا مِنَ اسْتِمْتَاعِ الزَّوْجِ وَيَخْتَصُّ اسْتِمْتَاعُهُ بِاللَّيْلِ دُونَ النَّهَارِ قِيلَ نَعَمْ، وَلَوْ رَامَتِ الزَّوْجَةُ أَنْ تُؤْجِرَ نَفْسَهَا بَعْدَ التَّزْوِيجِ لَمْ يَجُزْ لَهَا؛ لِأَنَّهَا قَبْلَ التَّزْوِيجِ مَمْلُوكَةُ الِاسْتِخْدَامِ وَهِيَ بَعْدَ التَّزْوِيجِ مُفَوِّتَةٌ لِحَقِّهَا مِنْهُ، وَإِذَا تَقَدَّمَتِ الْإِجَارَةُ وَكَانَ الزَّوْجُ عَالِمًا بِهَا فَلَا خِيَارَ لَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَالِمًا فَلَهُ الْخِيَارُ بَيْنَ قِيَامِهِ عَلَى النِّكَاحِ وَبَيْنَ فَسْخِهِ؛ لِأَنَّ تَفْوِيتَ الِاسْتِمْتَاعِ فِي النَّهَارِ عَيْبٌ فَاسْتَحَقَّ بِهِ الْفَسْخَ فَلَوْ مَكَّنَ الْمُسْتَأْجِرُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فِي النَّهَارِ لَمْ يَسْقُطْ حَقُّهُ مِنَ الْخِيَارِ، لِأَنَّ الْمُسْتَأْجِرَ مُتَطَوِّعٌ بِالتَّمْكِينِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِتَطَوُّعِهِ خِيَارٌ مُسْتَحَقٌّ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّمْكِينَ مِنَ الْأَمَةِ مُسْتَحَقٌّ فِي اللَّيْلِ دُونَ النَّهَارِ بِخِلَافِ الْحُرَّةِ مَا لَمْ تَتَقَدَّمْ إِجَارَتُهَا فَلِلسَّيِّدِ حَالَتَانِ:

Dijawab: Karena pelayanan (kerja) tidak dimiliki atas dirinya, sehingga pernikahannya menyebabkan hilangnya haknya atas pelayanan tersebut. Maka, ia berbeda dengan budak perempuan yang memang hak pelayanannya telah dimiliki. Jika dikatakan: Jika perempuan merdeka telah menyewakan dirinya untuk bekerja, lalu ia menikah, apakah waktu siang hari yang digunakan untuk bekerja menjadi di luar hak kenikmatan suami, sehingga hak kenikmatan suami hanya khusus pada malam hari saja? Dijawab: Ya. Dan jika istri ingin menyewakan dirinya setelah menikah, maka tidak boleh baginya, karena sebelum menikah ia adalah milik dalam hal penggunaan (kerja), sedangkan setelah menikah ia telah menghilangkan haknya atas hal itu. Jika akad sewa telah terjadi sebelum menikah dan suami mengetahui hal itu, maka suami tidak memiliki hak memilih (membatalkan pernikahan). Namun jika suami tidak mengetahui, maka ia berhak memilih antara tetap melanjutkan pernikahan atau membatalkannya, karena hilangnya hak kenikmatan pada siang hari merupakan cacat yang membolehkan pembatalan. Jika pihak penyewa mengizinkan suami untuk menikmati istrinya pada siang hari, maka hak suami untuk memilih tidak gugur, karena penyewa telah rela memberikan akses, sehingga kerelaan tersebut tidak menggugurkan hak pilihan yang memang berhak dimiliki. Dengan demikian, telah tetap bahwa pemberian akses dari budak perempuan kepada suaminya adalah wajib pada malam hari saja, tidak pada siang hari, berbeda dengan perempuan merdeka, kecuali jika telah ada akad sewa sebelumnya. Maka, bagi tuan ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يُمَكِّنَهُ مِنْهَا لَيْلًا وَنَهَارًا فَيَلْزَمُهُ نَفَقَتُهَا لِكَمَالِ اسْتِمْتَاعِهِ بِهَا.

Pertama: Ia memberikan akses kepada suami baik siang maupun malam, maka ia wajib menanggung nafkahnya karena suami dapat menikmati istrinya secara sempurna.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُمَكِّنَهُ مِنْهَا لَيْلًا فِي زَمَانِ الِاسْتِمْتَاعِ وَيَمْنَعُهُ مِنْهَا نَهَارًا فِي زَمَانِ الِاسْتِخْدَامِ. فَلَا خِيَارَ لِلزَّوْجِ فِي فَسْخِ نِكَاحِهَا إِذَا كَانَ عَالِمًا بِرِقِّهَا؛ لِأَنَّهُ حُكْمٌ مُسْتَقِرٌّ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ، وَفِي نَفَقَتِهَا وَجْهَانِ:

Kedua: Ia memberikan akses kepada suami hanya pada malam hari, yaitu pada waktu kenikmatan, dan mencegahnya pada siang hari, yaitu pada waktu penggunaan (kerja). Maka, suami tidak memiliki hak untuk membatalkan pernikahan jika ia mengetahui status budak istrinya, karena hal itu merupakan ketentuan tetap dalam pernikahan budak perempuan. Dalam hal nafkahnya, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا إِنَّهُ لَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ لِقُصُورِ اسْتِمْتَاعِهِ عَنْ حَالِ الْكَمَالِ.

Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan mayoritas ulama mazhab kami, bahwa tidak ada kewajiban nafkah atas suami karena kenikmatannya tidak sempurna.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْأَظْهَرُ عِنْدِي إِنَّ عَلَيْهِ مِنْ نَفَقَتِهَا بِقِسْطِهِ مِنْ زَمَانِ الِاسْتِمْتَاعِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ على الزوج عشاؤها وعلى السيد غذاؤها لأن العشاء يراد لزمان الليل والغذاء يُرَادُ لِزَمَانِ النَّهَارِ، وَعَلَيْهِ مِنَ الْكِسْوَةِ مَا تَتَدَثَّرُ بِهِ لَيْلًا وَعَلَى السَّيِّدِ مِنْهُ مَا تَلْبَسُهُ نَهَارًا، وَإِنَّمَا تُقَسَّطُ النَّفَقَةُ عَلَيْهِ وَلَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ مَعَ وُجُودِ الِاسْتِمْتَاعِ لِئَلَّا يَخْلُوَ اسْتِمْتَاعٌ بِزَوْجَةٍ مِنَ اسْتِحْقَاقِ نَفَقَةٍ. كَالْحُرَّةِ إِذَا مَكَّنَتْ فِي يَوْمٍ وَنَشَزَتْ فِي يَوْمٍ.

Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan menurutku yang lebih kuat adalah bahwa suami wajib menafkahi istrinya sesuai bagian waktunya dalam masa istimta‘ (hubungan suami istri). Maksudnya, suami menanggung makan malamnya, sedangkan tuan (pemilik budak) menanggung makan siangnya, karena makan malam diperuntukkan untuk waktu malam dan makan siang untuk waktu siang. Suami juga menanggung pakaian yang digunakan istrinya untuk berbalut di malam hari, sedangkan tuan menanggung pakaian yang dipakai di siang hari. Nafkah itu dibagi sesuai bagian masing-masing dan tidak gugur kewajiban suami untuk menafkahi selama masih ada istimta‘, agar tidak ada istimta‘ dengan istri tanpa hak nafkah, sebagaimana wanita merdeka yang jika ia taat pada hari tertentu dan membangkang pada hari lainnya.

(الْقَوْلُ فِي اخْتِلَافِ الزَّوْجَيْنِ فِي قَبْضِ النَّفَقَةِ)

(Pembahasan tentang perselisihan suami istri dalam penerimaan nafkah)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُبْرِئُهُ مِمَّا وَجَبَ لَهَا مِنْ نَفَقَتِهَا وَإِنْ كَانَ حَاضِرًا مَعَهَا إِلَّا إِقْرَارُهَا أَوْ بَيِّنَةٌ تَقُومُ عَلَيْهَا “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak gugur kewajiban suami terhadap nafkah istrinya yang telah menjadi haknya, meskipun ia hadir bersamanya, kecuali dengan pengakuan istri atau adanya bukti yang menegaskan hal itu.”

– قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا اخْتَلَفَ الزَّوْجَانِ فِي قَبْضِ مَا يُسْتَحَقُّ بِالزَّوْجِيَّةِ مِنْ مَهْرٍ وَنَفَقَةٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Jika suami istri berselisih tentang penerimaan hak-hak yang timbul dari pernikahan, seperti mahar dan nafkah, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجَةِ الْمُنْكِرَةِ إِجْمَاعًا.

Pertama: Jika perselisihan terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri (dukhul), maka pendapat yang dipegang adalah pendapat istri yang mengingkari, menurut ijmā‘.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن يكون بعد الدخول فمذهب الشافعي وأبو حَنِيفَةَ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجَةِ أَيْضًا مَعَ يَمِينِهَا كَغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا وَقَالَ مَالِكٌ: الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّ ظَاهِرَ الْعُرْفِ فِي أَنَّ الْأَغْلَبَ مِنْ حَالِهَا أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَدْفَعْ صَدَاقَهَا لَمْ تُسَلِّمْ نَفْسَهَا وَلَوْ لَمْ يُنْفِقْ عَلَيْهَا لَمْ تُقِمْ مَعَهُ فَشَهِدَ بِصِحَّةِ قَوْلِ الزَّوْجِ دُونَهَا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ كَالْمُتَنَازِعَيْنِ دَارًا هِيَ فِي يَدِ أَحَدِهِمَا يَكُونُ الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلُ صَاحِبِ الْيَدِ لِأَنَّ ظَاهِرَ الْعُرْفِ يَشْهَدُ لَهُ بِالْمِلْكِ.

Kedua: Jika perselisihan terjadi setelah terjadi hubungan suami istri, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i dan Abu Hanifah, pendapat yang dipegang tetap pendapat istri dengan sumpahnya, sebagaimana pada wanita yang belum digauli. Sedangkan menurut Malik, pendapat yang dipegang adalah pendapat suami dengan sumpahnya, karena menurut kebiasaan yang berlaku, umumnya jika suami belum menyerahkan mahar, istri tidak akan menyerahkan dirinya, dan jika suami tidak menafkahinya, istri tidak akan tinggal bersamanya. Maka kebiasaan tersebut menguatkan kebenaran klaim suami, sehingga yang dipegang adalah pendapat suami dengan sumpahnya, sebagaimana dua orang yang bersengketa atas sebuah rumah yang berada di tangan salah satu dari mereka, maka yang dipegang adalah pendapat orang yang menguasai rumah itu, karena kebiasaan menunjukkan kepemilikan padanya.

وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ ” وَالزَّوْجُ مُدَّعٍ فَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ؛ وَلِأَنَّ اخْتِلَافَ الْمُزَّوْجَيْنِ فِي قَبْضِ حُقُوقِ الزَّوْجِيَّةِ يُوجِبُ قَبُولَ قَوْلِ الزَّوْجَةِ الْمُنْكِرَةِ كَغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا، وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى إِنْكَارُ الْبَائِعِ لِقَبْضِ الثَّمَنِ فِيمَا قَبْلَ تَسْلِيمِ الْمَبِيعِ وَبَعْدَهُ وَإِنْ كَانَ الْعُرْفُ فِي التَّسْلِيمِ أَنَّهُ لَا يَكُونُ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الثَّمَنِ. كَذَلِكَ الزَّوْجَةُ فِي إِنْكَارِهَا قَبَضَ الصَّدَاقِ وَالنَّفَقَةِ يَجِبُ أَنْ يَسْتَوِيَا فِيمَا قَبِلَ التَّمْكِينِ وَبَعْدَهُ، وَبِهَذَا يَقَعُ الِانْفِصَالُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ إِذَا سَلَّمَ لَهُ الْعُرْفُ فِيهِ.

Dalil atas apa yang kami sampaikan adalah sabda Nabi ﷺ: “Bukti (bayyinah) atas orang yang mengklaim, dan sumpah atas orang yang dituntut.” Dalam hal ini, suami adalah pihak yang mengklaim, sehingga klaimnya tidak diterima. Selain itu, perselisihan suami istri dalam penerimaan hak-hak pernikahan menyebabkan pendapat istri yang mengingkari diterima, sebagaimana pada wanita yang belum digauli. Juga, sebagaimana penjual yang mengingkari telah menerima pembayaran, baik sebelum maupun sesudah penyerahan barang, meskipun kebiasaan menunjukkan bahwa penyerahan barang biasanya setelah pembayaran diterima. Demikian pula istri, dalam pengingkarannya atas penerimaan mahar dan nafkah, harus diperlakukan sama baik sebelum maupun sesudah penyerahan diri. Dengan demikian, terjawab sudah argumentasi yang mendasarkan pada kebiasaan jika memang kebiasaan itu diakui.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَوْلَ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجَةِ فِي الْحَالَيْنِ مَعَ يَمِينِهَا فَلَا يَخْلُو أَنْ تَكُونَ حُرَّةً أَوْ أَمَةً، فَإِنْ كَانَتْ حُرَّةً فَالرُّجُوعُ فِيهِ إِلَى قَوْلِهَا مَعَ يَمِينِهَا مَا لَمْ تَقُمْ عَلَيْهَا بَيِّنَةٌ بِقَبْضِهِ أَوْ عَلَى إِقْرَارِهَا بِالْقَبْضِ، وَالْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ مَعًا، وَسَوَاءٌ فِيهِ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ وُجُوبُ النَّفَقَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ إِذَا سَلَّمَتْ نَفْسَهَا فَامْتَنَعَ مِنَ الدُّخُولِ عَلَيْهَا تَجِبُ لَهَا النَّفَقَةُ مَعَ عَدَمِ الدُّخُولِ، وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الِاخْتِلَافُ فِي قَبْضِ الصَّدَاقِ رُجِعَ فِيهِ إِلَى قَوْلِ سَيِّدِهَا دُونَهَا، لِأَنَّ الصَّدَاقَ مَلِكٌ لَهُ لَا لَهَا. فَإِنْ أَنْكَرَ قَبْضَهُ حَلَفَ وَلَمْ تَحْلِفِ الْأَمَةُ، وَإِنْ كَانَ الِاخْتِلَافُ فِي قَبْضِ النَّفَقَةِ رُجِعَ فِيهِ إِلَى قَوْلِهَا دُونَ سَيِّدِهَا لِأَنَّ النَّفَقَةَ حَقٌّ لَهَا دُونَ سَيِّدِهَا فَكَانَتْ هِيَ الْحَالِفَةَ دُونَهُ.

Jika telah tetap bahwa pendapat yang dipegang dalam kedua keadaan adalah pendapat istri dengan sumpahnya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: istri adalah wanita merdeka atau budak. Jika ia wanita merdeka, maka kembali kepada pendapatnya dengan sumpahnya selama tidak ada bukti penerimaan atau pengakuan darinya atas penerimaan mahar dan nafkah sekaligus, baik sebelum maupun sesudah dukhul. Tidak terhalang kewajiban nafkah sebelum dukhul jika ia telah menyerahkan dirinya namun suami menolak untuk berhubungan, maka ia tetap berhak atas nafkah meskipun belum terjadi dukhul. Jika ia seorang budak, maka jika perselisihan terjadi dalam penerimaan mahar, maka yang dipegang adalah pendapat tuannya, bukan pendapat budak, karena mahar adalah milik tuan, bukan milik budak. Jika tuan mengingkari penerimaan mahar, maka ia yang bersumpah, bukan budak. Namun jika perselisihan terjadi dalam penerimaan nafkah, maka yang dipegang adalah pendapat budak, bukan tuannya, karena nafkah adalah hak budak, bukan hak tuan, sehingga budaklah yang bersumpah, bukan tuannya.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِنِ ادَّعَى الْإِعْسَارَ وَدَفَعَ نَفَقَةَ مُعْسِرٍ وَادَّعَتِ الزَّوْجَةُ يَسَارَهُ وَطَالِبَتْهُ بنفقة موسر، فالقول قول الزوج مع يمنيه مَا لَمْ يَتَحَقَّقْ يَسَارُهُ، لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي النَّاسِ الْعَدَمُ حَتَّى يُوجَدَ الْيَسَارُ، وَلِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ حَتَّى يُعْلَمَ الِاسْتِحْقَاقُ، فَلِهَذَيْنِ قُبِلَ قَوْلُهُ فِي الْإِعْسَارِ وَأُحْلِفَ عَلَيْهِ لِجَوَازِ أَنْ يَطْرَأَ عَلَيْهِ الْيَسَارُ.

Jika suami mengaku tidak mampu dan memberikan nafkah seperti orang yang tidak mampu, lalu istri mengaku bahwa suaminya mampu dan menuntut nafkah seperti orang yang mampu, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami dengan sumpahnya, selama belum terbukti bahwa ia mampu. Sebab pada asalnya manusia itu dianggap tidak memiliki (harta) hingga terbukti adanya kemampuan, dan pada asalnya tanggungan seseorang itu bebas hingga diketahui adanya hak (istri). Karena dua alasan inilah, ucapan suami dalam hal ketidakmampuan diterima dan ia disumpah atasnya, karena mungkin saja kemampuan itu datang kemudian.

(الْقَوْلُ فِي النَّفَقَةِ إِذَا أسلم أحد الزوجين)

(Pernyataan tentang nafkah jika salah satu dari suami istri masuk Islam)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَسْلَمَتْ وَثَنِيَّةٌ وَأَسْلَمَ زَوْجُهَا فِي الْعِدَّةِ أَوْ بَعْدَهَا فَلَهَا النَّفَقَةُ لِأَنَّهَا مَحْبُوسَةٌ عَلَيْهِ متى شاء أسلم وكانت امرأته، وَلَوْ كَانَ هُوَ الْمُسْلِمُ لَمْ يَكُنْ لَهَا نفقة في أيام كفرها وإن دفعها إليها فلم يسلم حتى انقضت عدتها فلا حق له لأنه تطوع بها وقال في كتاب النكاح القديم فإن اسلم ثم أسلمت فهما على النكاح ولها النفقة في حال الوقف لأن العقد لم ينفسخ (قال المزني) رحمه الله: الأول أولى بقوله لأنه تمنع المسلمة النفقة بامتناعها فكيف لا تمنع الوثنية بامتناعها “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang wanita musyrik masuk Islam dan suaminya masuk Islam dalam masa iddah atau setelahnya, maka ia berhak mendapat nafkah karena ia masih terikat (dengan suaminya); kapan saja suaminya masuk Islam, ia tetap menjadi istrinya. Jika yang lebih dulu masuk Islam adalah suaminya, maka istri tidak berhak mendapat nafkah selama masa kekufurannya, dan jika nafkah itu telah diberikan kepadanya lalu ia tidak masuk Islam hingga iddahnya selesai, maka suami tidak berhak menuntut kembali nafkah itu karena ia telah memberikannya secara sukarela. Dalam Kitab Nikah yang lama, beliau berkata: Jika suami masuk Islam lalu istrinya menyusul masuk Islam, maka keduanya tetap dalam ikatan nikah dan istri berhak mendapat nafkah selama masa penantian, karena akad nikah belum batal.” (Al-Muzani rahimahullah berkata): Pendapat pertama lebih utama menurut perkataannya, karena wanita muslimah saja bisa dicegah dari nafkah jika ia menolak (kewajiban), maka bagaimana mungkin wanita musyrik tidak dicegah dari nafkah karena penolakannya?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي زَوْجَيْنِ وَثَنِيَّيْنِ أَوْ مَجُوسِيَّيْنِ أَسْلَمَ أَحَدَهُمَا، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُسْلِمِ مِنْهُمَا مِنْ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجَ أَوِ الزَّوْجَةَ، فَإِنْ كَانَ الْمُسْلِمُ هُوَ الزَّوْجَةَ لَمْ يَخْلُ إِسْلَامُهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ يَبْطُلُ نِكَاحُهَا وَسَقَطَ مَهْرُهَا لِأَنَّ الْفَسْخَ جَاءَ مِنْ قِبَلِهَا وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَالنِّكَاحُ مَوْقُوفٌ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَالْمَهْرُ قَدِ اسْتَكْمَلَتْهُ بِالدُّخُولِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالْإِسْلَامِ وَالنَّفَقَةُ وَاجِبَةٌ لَهَا فِي زَمَانِ الْعِدَّةِ سَوَاءٌ اجْتَمَعَا عَلَى النِّكَاحِ بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ أَوِ افْتَرَقَا فِيهِ بِمُقَامِ الزَّوْجِ عَلَى كُفْرِهِ إِلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ؛ لِأَنَّ الْفَسْخَ وَإِنْ كَانَ مِنْ قِبَلِهَا فَقَدْ كَانَ مُمْكِنًا مِنْ تَلَافِيهِ بِإِسْلَامِهِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتْهَا فَصَارَتِ الْفُرْقَةُ مَنْسُوبَةً إِلَى اخْتِيَارِهِ.

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada dua pasangan suami istri yang keduanya musyrik atau majusi, lalu salah satunya masuk Islam. Maka keadaan yang masuk Islam dari keduanya tidak lepas dari kemungkinan suami atau istri. Jika yang masuk Islam adalah istri, maka keislamannya tidak lepas dari sebelum atau sesudah terjadi hubungan suami istri. Jika sebelum terjadi hubungan, maka nikahnya batal dan maharnya gugur karena pembatalan datang dari pihak istri. Jika setelah terjadi hubungan, maka nikahnya tergantung sampai habis masa iddah, dan mahar telah menjadi haknya karena sudah terjadi hubungan, sehingga tidak gugur karena Islam, dan nafkah wajib diberikan kepadanya selama masa iddah, baik mereka tetap bersama dalam ikatan nikah karena suami masuk Islam sebelum iddah selesai, atau berpisah karena suami tetap dalam kekufuran hingga iddah selesai; sebab pembatalan meskipun dari pihak istri, masih mungkin dihindari dengan masuk Islamnya suami sebelum iddahnya selesai, sehingga perpisahan itu dianggap karena pilihan suami.

وَإِنْ كَانَ الْمُسْلِمُ مِنْهُمَا هُوَ الزَّوْجَ لَمْ يَخْلُ إِسْلَامُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ بَطَلَ نِكَاحُهَا وَكَانَ عَلَيْهِ نِصْفُ مَهْرِهَا، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ كَانَ النِّكَاحُ مَوْقُوفًا عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ. فَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بَطَلَ نِكَاحُهَا وَلَهَا الْمَهْرُ كَامِلًا لِاسْتِقْرَارِهِ بِالدُّخُولِ وَلَا نَفَقَةَ لَهَا لِأَنَّهَا بِمُقَامِهَا عَلَى الشِّرْكِ الَّذِي يُوجِبُ تَحْرِيمَهَا عَلَيْهِ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ النَّاشِزِ فَكَانَتْ بِسُقُوطِ النَّفَقَةِ أَحَقَّ، وَلَئِنْ كَانَ بِسَبَبٍ مِنْ جِهَتِهِ فَهُوَ مَأْمُورٌ بِهِ وَوَاجِبٌ عَلَيْهِ، وَلَهَا تَلَافِي التَّحْرِيمِ بِالْإِسْلَامِ الَّذِي هِيَ مَأْمُورَةٌ بِهِ أَيْضًا، وَإِنْ أَسْلَمَتْ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ كَانَا عَلَى النِّكَاحِ، وَفِي اسْتِحْقَاقِهَا النَّفَقَةَ فِي زَمَانِ وَقْفِهَا فِي الشِّرْكِ قَوْلَانِ:

Jika yang masuk Islam dari keduanya adalah suami, maka keislamannya tidak lepas dari sebelum atau sesudah terjadi hubungan suami istri. Jika sebelum terjadi hubungan, maka nikahnya batal dan ia wajib membayar setengah mahar. Jika setelah terjadi hubungan, maka nikahnya tergantung sampai habis masa iddah. Jika istri tidak masuk Islam hingga iddahnya selesai, maka nikahnya batal dan ia berhak atas mahar penuh karena sudah menjadi haknya dengan terjadinya hubungan, dan ia tidak berhak atas nafkah karena tetap dalam kekufuran yang menyebabkan keharamannya atas suami, yang keadaannya lebih buruk dari istri yang nusyuz, sehingga lebih berhak untuk tidak mendapat nafkah. Jika sebabnya dari pihak suami, maka itu adalah perintah dan kewajiban baginya, dan istri dapat menghindari keharaman itu dengan masuk Islam, yang juga merupakan perintah baginya. Jika istri masuk Islam sebelum iddah selesai, maka keduanya tetap dalam ikatan nikah. Adapun mengenai hak istri atas nafkah selama masa penantian dalam kekufuran, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ لَهَا النَّفَقَةُ؛ لِأَنَّ إِسْلَامَ الزَّوْجِ قَدْ شَعَّثَ الْعَقْدَ وَأَحْدَثَ فِيهِ خَلَلًا، فَإِذَا اسْتَدْرَكَتْهُ الزَّوْجَةُ بِإِسْلَامِهَا زَالَ حُكْمُهُ فَاسْتَحَقَّتِ النَّفَقَةَ.

Salah satunya, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim: istri berhak mendapat nafkah, karena masuk Islamnya suami telah merusak akad dan menimbulkan kekurangan di dalamnya. Jika istri kemudian menyusul masuk Islam, maka kerusakan itu hilang dan ia berhak atas nafkah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ: لَا نَفَقَةَ لَهَا، لِأَنَّ مَقَامَهَا عَلَى الْكُفْرِ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ النُّشُوزِ الَّذِي لَا يُوجِبُ الْإِقْلَاعُ مِنْهُ اسْتِحْقَاقَ النَّفَقَةِ فِيهِ فَكَانَ الْإِسْلَامُ بَعْدَ الْكُفْرِ أَوْلَى أَنْ لَا تَسْتَحِقَّ النَّفَقَةَ فِيهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ عَجَّلَ لَهَا نَفَقَةَ شَهْرٍ لَمْ يَسْتَرْجِعْهَا عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ لِاسْتِحْقَاقِهَا فِيهِ.

Pendapat kedua, yaitu dalam qaul jadid: istri tidak berhak atas nafkah, karena tetapnya istri dalam kekufuran lebih buruk keadaannya daripada nusyuz, yang tidak menyebabkan hak atas nafkah meskipun telah berhenti dari nusyuz, maka masuk Islam setelah kekufuran lebih utama untuk tidak berhak atas nafkah. Berdasarkan pendapat ini, jika suami telah memberikan nafkah satu bulan kepada istri, maka ia tidak boleh mengambilnya kembali menurut pendapat pertama karena istri memang berhak atasnya.

فَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي: إنه لا نفقة لها ينظر فِي زَمَانِ التَّعْجِيلِ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ إِسْلَامِ الزَّوْجِ اسْتَرْجَعَهُ لِأَنَّهُ كَانَ تَعْجِيلًا عَنْ ظَاهِرِ اسْتِحْقَاقٍ وَإِنْ عَجَّلَهُ بَعْدَ إِسْلَامِهِ لَمْ يَسْتَرْجِعْهُ لِأَنَّهُ تَطَوُّعٌ.

Adapun menurut pendapat kedua: bahwa ia tidak berhak mendapat nafkah, maka dilihat pada waktu percepatan (pemberian). Jika percepatan itu dilakukan sebelum suami masuk Islam, maka ia boleh mengambil kembali (nafkah yang telah diberikan), karena itu merupakan percepatan atas dasar tampaknya hak. Namun jika ia mempercepat pemberian itu setelah suami masuk Islam, maka ia tidak boleh mengambilnya kembali karena itu dianggap sebagai sedekah (tathawwu‘).

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَرْتَدَّ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ الْمُسْلِمَيْنِ. فَإِنْ كَانَ الْمُرْتَدُّ مِنْهُمَا هُوَ الزَّوْجَ وَكَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ، فَقَدْ بَانَتْ مِنْهُ وَلَزِمَهُ نِصْفُ الْمَهْرِ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَهُ فَعَلَيْهِ جَمِيعُ الْمَهْرِ وَالنِّكَاحُ مَوْقُوفٌ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَلَهَا النَّفَقَةُ فِي زَمَانِ عَدَّتِهَا؛ لِأَنَّهَا عَلَى دِينِهَا الْمَأْمُورَةِ بِهِ وَالتَّحْرِيمُ مِنْ قِبَلَ الزَّوْجِ وَيُقْدَرُ عَلَى تَلَافِيهِ وَاسْتِدْرَاكِهِ بِالْإِسْلَامِ، وَإِنِ ارْتَدَّتِ الزَّوْجَةُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا مَهْرَ لَهَا، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهَا جَمِيعُ الْمَهْرِ وَلَا نَفَقَةَ لَهَا فِي زَمَانِ الرِّدَّةِ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ التَّحْرِيمَ مِنْ قِبَلِهَا بِمَا لَا يَقْدِرُ الزَّوْجُ عَلَى تَلَافِيهِ، فَكَانَ أَسْوَأَ حَالًا مِنَ النُّشُوزِ فَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ حَتَّى مَضَتِ الْعِدَّةُ بَطَلَ النِّكَاحُ، وَإِنْ أَسْلَمَتْ قَبْلَ انْقِضَائِهَا كَانَا عَلَى النِّكَاحِ وَاسْتَحَقَّتْ نَفَقَةَ الْمُسْتَقْبَلِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ. فَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ غَائِبًا عَنْهَا وَقْتَ إِسْلَامِهَا وَجَبَتِ النَّفَقَةُ عَلَيْهِ بِإِسْلَامِهَا وَلَوْ كَانَتْ نَاشِزًا وَغَابَ الزَّوْجُ عَنْهَا ثُمَّ أَطَاعَتْ بِالْإِقْلَاعِ عَنِ النُّشُوزِ لَمْ تَسْتَحِقَّ النَّفَقَةَ إِلَّا بَعْدَ إِعْلَامِ الزَّوْجِ لِتَسْلِيمِهِ وَقُدُومِهِ أَوْ قُدُومِ وَكِيلِهِ.

Permasalahan ini bercabang pada kasus salah satu dari dua pasangan suami istri Muslim murtad. Jika yang murtad adalah suami dan itu terjadi sebelum terjadi hubungan (dalam pernikahan), maka istrinya terputus darinya dan ia wajib membayar setengah mahar. Jika murtad itu terjadi setelah hubungan, maka ia wajib membayar seluruh mahar dan status pernikahan bergantung pada berakhirnya masa ‘iddah. Istri berhak mendapat nafkah selama masa ‘iddahnya, karena ia tetap dalam agamanya yang diperintahkan, dan keharaman (hubungan) berasal dari pihak suami, yang masih mungkin diatasi dan diperbaiki dengan masuk Islam kembali. Namun jika yang murtad adalah istri, maka jika itu terjadi sebelum hubungan, ia tidak berhak atas mahar. Jika setelah hubungan, ia berhak atas seluruh mahar, tetapi tidak berhak atas nafkah selama masa murtad menurut satu pendapat, karena keharaman berasal dari pihak istri dengan sesuatu yang tidak dapat diatasi oleh suami, sehingga keadaannya lebih buruk daripada nusyūz. Jika ia tidak masuk Islam hingga masa ‘iddah berakhir, maka pernikahan batal. Namun jika ia masuk Islam sebelum masa ‘iddah berakhir, maka keduanya tetap dalam pernikahan dan ia berhak atas nafkah masa depan setelah masuk Islam. Jika suami sedang tidak bersamanya saat ia masuk Islam, maka nafkah tetap wajib atas suami karena keislamannya. Jika istri dalam keadaan nusyūz dan suami tidak bersamanya, lalu ia taat dengan meninggalkan nusyūz, maka ia tidak berhak atas nafkah kecuali setelah suami diberitahu agar ia dapat menerima (istri) atau ia datang sendiri atau melalui wakilnya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمُرْتَدَّةِ وَالنَّاشِزِ أَنَّ نَفَقَةَ الْمُرْتَدَّةِ سَقَطَتْ بِالرِّدَّةِ. فَإِذَا زَالَتِ الرِّدَّةُ عَادَتِ النَّفَقَةُ، وَنَفَقَةَ النَّاشِزِ سَقَطَتْ بِالِامْتِنَاعِ فَلَمْ تَعُدْ إِلَّا بِالتَّسْلِيمِ.

Perbedaan antara istri yang murtad dan istri yang nusyūz adalah bahwa nafkah istri yang murtad gugur karena kemurtadannya. Jika kemurtadannya hilang, maka nafkah kembali. Sedangkan nafkah istri yang nusyūz gugur karena penolakannya, dan tidak kembali kecuali dengan penyerahan diri (kepada suami).

( [الْقَوْلُ فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ لِزَوْجَةِ الْعَبْدِ] )

(Pembahasan tentang Kewajiban Nafkah untuk Istri Seorang Budak)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَعَلَى الْعَبْدِ نَفَقَةُ امْرَأَتِهِ الْحُرَّةِ وَالْكِتَابِيَّةِ وَالْأَمَةِ إذ بُوِّئَتْ مَعَهُ بَيْتًا وَإِذَا احْتَاجَ سَيَّدُهَا إِلَى خِدْمَتِهَا فَذَلِكَ لَهُ وَلَا نَفَقَةَ لَهَا “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Seorang budak wajib menafkahi istrinya, baik yang merdeka, kitabiyah, maupun budak, jika ia telah menempatkannya bersamanya di satu rumah. Jika tuannya membutuhkan pelayanannya, maka itu menjadi hak tuannya dan tidak ada nafkah baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. عَلَى الْعَبْدِ نَفَقَةُ زَوْجَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ نَفَقَةُ أَقَارِبِهِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan (Imam Syafi‘i). Budak wajib menafkahi istrinya, meskipun ia tidak wajib menafkahi kerabatnya, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ مُعَاوَضَةٌ وَالْعَبْدُ مِنْ أَهْلِ الْمُعَاوَضَاتِ، وَنَفَقَةَ الْأَقَارِبِ مُوَاسَاةٌ وَلَيْسَ الْعَبْدُ مِنْ أَهْلِ الْمُوَاسَاةِ.

Pertama: Nafkah istri adalah bentuk mu‘āwadah (timbal balik/hak ganti), dan budak termasuk orang yang berhak melakukan mu‘āwadah. Sedangkan nafkah kerabat adalah bentuk muwāsāh (saling membantu), dan budak bukan termasuk orang yang berhak melakukan muwāsāh.

وَالثَّانِي: أَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ تَجِبُ فِي الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ فَوَجَبَتْ عَلَى الْعَبْدِ مَعَ إِعْسَارِهِ، وَنَفَقَةَ الْأَقَارِبِ تَجِبُ فِي الْيَسَارِ دُونَ الْإِعْسَارِ فَسَقَطَتْ عَنِ الْعَبْدِ لِإِعْسَارِهِ. فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ النَّفَقَةِ عَلَيْهِ نَظَرَ فِي زَوْجَتِهِ فَإِنْ كَانَتْ حُرَّةً أَوْ مُكَاتَبَةً لَزِمَهَا تَمْكِينُهُ مِنْ نَفْسِهَا ليلاْ وَنَهَارًا، وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً نَظَرَ فَإِنْ كَانَ بَوَّأَهَا مَعَهُ السَّيِّدُ مَنْزِلًا لَيْلًا وَنَهَارًا وَجَبَتْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا، وَإِنْ مَنَعَهُ مِنْهَا لَيْلًا وَنَهَارًا سَقَطَتْ نَفَقَتُهَا وَكَانَ السَّيِّدُ مُتَعَدِّيًا بِمَنْعِهَا مِنْهُ فِي اللَّيْلِ دُونَ النَّهَارِ، وَإِنْ بَوَّأَهَا مَعَهُ لَيْلًا وَاسْتَخْدَمَهَا نَهَارًا لَمْ يَتَعَدَّ، وَفِي نَفَقَتِهَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Kedua: Nafkah istri wajib diberikan baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, sehingga wajib atas budak meskipun ia dalam keadaan tidak mampu. Sedangkan nafkah kerabat hanya wajib dalam keadaan mampu, tidak dalam keadaan tidak mampu, sehingga gugur dari budak karena ia tidak mampu. Jika telah tetap kewajiban nafkah atasnya, maka dilihat pada istrinya: jika ia merdeka atau mukatabah, maka wajib baginya untuk membiarkan suaminya menikmati dirinya siang dan malam. Jika ia seorang budak, maka dilihat: jika tuannya menempatkannya bersamanya di satu rumah siang dan malam, maka wajib atasnya menafkahinya. Jika tuannya melarangnya siang dan malam, maka gugur nafkahnya dan tuan dianggap melampaui batas dengan melarangnya dari suaminya di malam hari, tidak di siang hari. Jika tuannya menempatkannya bersama suaminya di malam hari dan mempekerjakannya di siang hari, maka tidak dianggap melampaui batas. Dalam hal nafkahnya, berlaku dua pendapat yang telah kami sebutkan:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْمَرْوَزِيِّ وَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ يَسْقُطُ عَنْهُ جَمِيعُهَا.

Pertama: yaitu pendapat al-Marwazi dan yang tampak dari mazhab Syafi‘i, bahwa seluruh nafkah gugur darinya.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ الْأَصَحُّ عِنْدِي إِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ مِنَ النَّفَقَةِ بِقِسْطِهَا مِنْ زَمَانِ اللَّيْلِ دُونَ النهار وهو ما قابل العشاء دون الغذاء. فَإِذَا تَقَرَّرَ اسْتِحْقَاقُهَا عَلَى مَا وَصَفْنَاهُ كَانَتْ مُسْتَحَقَّةً فِي كَسْبِهِ وَلَا تَعَلُّقَ لَهَا بِذِمَّتِهِ وَلَا بِرَقَبَتِهِ مَعَ وُجُودِ كَسْبِهِ؛ لِأَنَّ إِذْنَ السَّيِّدِ لَهُ بِالنِّكَاحِ إِذْنٌ بِاكْتِسَابِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، لِأَنَّهُمَا مِنْ مُوجِبَاتِ إِذْنِهِ، وَيُنْظَرُ فِي كَسْبِهِ، فَإِنْ كَانَ وَفْقَ النَّفَقَةِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ صُرِفَ جَمِيعُهُ فِي نَفَقَتِهِ وَنَفَقَةَ زَوْجَتِهِ. وَإِنْ كَانَ زَائِدًا عَلَى نَفَقَتِهِمَا أَخَذَ السَّيِّدُ فَاضِلَهُ وَإِنْ نَقَصَ عَنِ النَّفَقَةِ نُظِرَ فِيهِ. فَإِنْ كَانَ وَفْقَ نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ صَرَفَهُ الْعَبْدُ فِي نَفَقَةِ زَوْجَتِهِ وَكَانَ على السيد نفقة العبد في حق نسه وَإِنْ قَصَرَ كَسْبُهُ عَنْ نَفَقَةِ زَوْجَتِهِ الْتَزَمَ السيد النفقة للعبد وكمل الباقي في نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ كَمَا لَوْ كَانَ الْعَبْدُ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ، وَلَا يَخْلُو حَالُهُ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ مِنْ أَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan inilah yang menurutku paling sahih, bahwa wajib atasnya (yaitu budak) memberikan nafkah sesuai bagiannya dari waktu malam saja, tidak termasuk siang, yaitu bagian yang bertepatan dengan makan malam, bukan makan siang. Maka apabila telah dipastikan hak istrinya atas nafkah sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka nafkah itu menjadi hak atas hasil usahanya, dan tidak berkaitan dengan tanggungan atau dirinya selama ia masih memiliki penghasilan; karena izin tuan kepadanya untuk menikah berarti juga izin untuk memperoleh mahar dan nafkah, sebab keduanya merupakan konsekuensi dari izin tersebut. Maka dilihat dari penghasilannya, jika penghasilannya sesuai dengan kebutuhan nafkah tanpa kelebihan atau kekurangan, maka seluruh penghasilan itu digunakan untuk nafkah dirinya dan istrinya. Jika penghasilannya melebihi kebutuhan nafkah keduanya, maka kelebihannya diambil oleh tuan. Jika kurang dari kebutuhan nafkah, maka dilihat lagi: jika penghasilannya hanya cukup untuk nafkah istrinya saja tanpa dirinya, maka budak itu menggunakan seluruh penghasilannya untuk nafkah istrinya, dan nafkah untuk dirinya menjadi tanggungan tuan. Jika penghasilannya kurang dari kebutuhan nafkah istrinya, maka tuan wajib menanggung nafkah untuk budak tersebut dan melengkapi sisanya untuk nafkah istrinya, sebagaimana jika budak itu tidak memiliki penghasilan sama sekali. Dan jika ia tidak memiliki penghasilan, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لِعَجْزِهِ عَنِ الِاكْتِسَابِ مَعَ تَخْلِيَةِ السَّبِيلِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَسْبِ، فَعَلَى السَّيِّدِ نَفَقَةُ الْعَبْدِ، وَفِي نَفَقَةِ زَوْجَتِهِ قَوْلَانِ:

Pertama: Ia tidak memiliki penghasilan karena tidak mampu bekerja, padahal tidak ada halangan baginya untuk bekerja. Maka nafkah budak itu menjadi tanggungan tuan, sedangkan untuk nafkah istrinya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهَا تَتَعَلَّقُ بِرَقَبَةِ الْعَبْدِ فَيُبَاعُ مِنْهُ بِقَدْرِهَا إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ السَّيِّدُ بِالْتِزَامِهَا، لِأَنَّ وَطْأَهُ كَالْجِنَايَةِ مِنْهُ.

Pertama, sebagaimana pendapat dalam qaul qadim, bahwa nafkah itu menjadi tanggungan pada diri budak, sehingga ia dijual sesuai dengan nilai nafkah tersebut, kecuali jika tuan menebusnya dengan menanggung nafkah itu, karena hubungan suami istri di sini dianggap seperti tindak pidana yang dilakukan oleh budak.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّهَا تَتَعَلَّقُ بِذِمَّةِ الْعَبْدِ لِاسْتِحْقَاقِهَا عَنْ مُعَاوَضَةٍ.

Pendapat kedua, sebagaimana pendapat dalam qaul jadid, bahwa nafkah itu menjadi tanggungan dalam kewajiban budak, karena nafkah itu merupakan hak yang timbul dari akad pertukaran (mu‘awadhah).

فَيُقَالُ لِزَوْجَتِهِ: قَدْ أَعْسَرَ زَوْجُكِ بِنَفَقَتِكِ فَأَنْتِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْمُقَامِ مَعَهُ وَالصَّبْرِ بِالنَّفَقَةِ إِلَى حِينِ اكْتِسَابِهِ فِي رِقِّهِ أَوْ بَعْدَ عتقه وبين فسخ نكاحه.

Maka dikatakan kepada istrinya: “Suamimu tidak mampu menafkahimu, maka engkau berhak memilih antara tetap bersamanya dan bersabar atas kekurangan nafkah hingga ia memperoleh penghasilan, baik saat ia masih menjadi budak maupun setelah merdeka, atau memilih untuk memutuskan akad nikahnya.”

والحال الثانية: أَنْ يَكُونَ عَجْزُهُ عَنِ النَّفَقَةِ لِاسْتِخْدَامِ السَّيِّدِ لَهُ أَوْ لِسَفَرِهِ بِهِ فَيَكُونُ السَّيِّدُ ضَامِنًا لِنَفَقَةِ زَوْجَتِهِ، وَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ لَهَا وَجْهَانِ:

Keadaan kedua: Ia tidak mampu menafkahi istrinya karena digunakan oleh tuannya untuk bekerja atau karena bepergian bersama tuannya, maka tuan wajib menanggung nafkah istrinya. Dalam hal berapa banyak nafkah yang wajib ditanggung tuan, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ لَهَا جَمِيعَ نَفَقَتِهَا وَإِنْ زَادَتْ عَلَى كَسْبِهِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَجُوزُ أَنْ يَحْدُثَ لَهُ مِنْ زِيَادَةِ الْكَسْبِ مَا يَفِي بِنَفَقَتِهَا وَإِنْ زَادَتْ عَلَى كَسْبِهِ.

Pertama: Tuan wajib menanggung seluruh nafkah istrinya, meskipun melebihi penghasilan budak tersebut, karena bisa saja penghasilannya bertambah sehingga mencukupi kebutuhan nafkah istrinya, meskipun melebihi penghasilannya saat ini.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَضْمَنُ لَهَا أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نَفَقَتِهَا أَوْ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا فَإِنْ كَانَتْ نَفَقَتُهَا أَقَلَّ ضَمِنَ لَهَا جَمِيعَهَا، وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ ضَمِنَ لَهَا قَدْرَ كَسْبِهِ، وَكَانَ فِي الْبَاقِي مِنْهَا قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى.

Pendapat kedua: Tuan hanya wajib menanggung yang lebih sedikit antara kebutuhan nafkah istrinya atau penghasilan suaminya. Jika kebutuhan nafkah istrinya lebih sedikit, maka tuan menanggung seluruhnya. Jika kebutuhan nafkah istrinya lebih banyak, maka tuan hanya menanggung sebesar penghasilan suaminya, dan untuk sisanya ada dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

أَحَدُهُمَا: فِي رَقَبَتِهِ.

Pertama: Ditanggung pada diri budak.

وَالثَّانِي: فِي ذِمَّتِهِ وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ الشَّافِعِيِّ فِي الْعَبْدِ الْجَانِي إِذَا مَنَعَ السَّيِّدُ مِنْ بِيعِهِ وَكَانَ أَرْشُ جِنَايَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ فَفِي ضَمَانِهِ قَوْلَانِ:

Kedua: Ditanggung dalam kewajiban budak. Kedua pendapat ini diambil dari perbedaan pendapat Imam asy-Syafi‘i mengenai budak yang melakukan tindak pidana, apabila tuan melarang penjualannya dan nilai ganti rugi tindak pidananya lebih besar dari harga budak tersebut, maka dalam hal penjaminannya ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُ جَمِيعَ أَرْشِهَا.

Pertama: Tuan menanggung seluruh nilai ganti rugi tindak pidana tersebut.

وَالثَّانِي: يَضْمَنُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ أَرْشُ جِنَايَتِهِ.

Kedua: Tuan menanggung yang lebih sedikit antara harga budak atau nilai ganti rugi tindak pidananya.

(الْقَوْلُ فِي قَدْرِ نَفَقَةِ زَوْجَةِ الْعَبْدِ)

(Pembahasan tentang kadar nafkah istri budak)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” ونفقة نَفَقَةُ الْمُقْتِرِ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ إِلَّا وَهُوَ فَقِيرٌ لِأَنَّ مَا بِيَدِهِ وَإِنِ اتَّسَعَ لسيد ومن لم تكمل فيه الحرية فكالمملوك (قال المزني) رحمه الله إذا كان تسعة أعشاره حراً فهو يجعل له تسعة أعشار ما يملك ويرثه مولاه الذي أعتق تسعة أعشاره فكيف لا ينفق على قدر سعته (قال المزني) رحمه الله قد جعل الشافعي رحمه الله من لم تكمل فيه الحرية كالمملوك وقال في كتاب الأيمان إذا كان نصفه حراً ونصفه عبداً كفر بالإطعام فجعله كالحر ببعض الحرية ولم يجعله ببعض الحرية هاهنا كالحر بل جعله كالعبد فالقياس على أصله ما قلنا من أن الحر منه ينفق قدر سعته والعبد منه بقدره وكذا قال في كتاب الزكاة أن على الحر منه بقدره في زكاة الفطر وعلى سيد العبد بقدر الرق منه فالقياس ما قلنا فتفهموه تجدوه كذلك إن شاء الله تعالى “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan nafkahnya adalah nafkah orang yang kekurangan, karena tidak ada seorang hamba pun kecuali ia adalah fakir, sebab apa yang ada di tangannya, meskipun banyak, adalah milik tuannya. Dan siapa yang belum sempurna kemerdekaannya, maka ia seperti budak.” (Al-Muzani berkata) raḥimahullāh: Jika sembilan per sepuluh dirinya adalah merdeka, maka ia diberi sembilan per sepuluh dari apa yang ia miliki dan yang mewarisinya adalah tuannya yang telah memerdekakan sembilan per sepuluh dirinya. Maka bagaimana mungkin ia tidak menafkahi sesuai kadar kelapangannya? (Al-Muzani berkata) raḥimahullāh: Imam Syafi‘i raḥimahullāh telah menjadikan orang yang belum sempurna kemerdekaannya seperti budak, dan beliau berkata dalam Kitab al-Aiman: Jika setengah dirinya merdeka dan setengahnya lagi budak, maka ia membayar kafarat dengan memberi makan, sehingga beliau menjadikannya seperti orang merdeka karena sebagian kemerdekaannya. Namun di sini beliau tidak menjadikannya seperti orang merdeka karena sebagian kemerdekaannya, melainkan seperti budak. Maka qiyās atas pendapat dasarnya adalah seperti yang kami katakan, yaitu bahwa bagian merdekanya menafkahi sesuai kelapangannya, dan bagian budaknya sesuai kadarnya. Demikian pula beliau berkata dalam Kitab Zakat, bahwa bagian merdekanya wajib mengeluarkan zakat fitrah sesuai kadarnya, dan tuan dari bagian budaknya wajib mengeluarkan zakat sesuai kadar perbudakannya. Maka qiyāsnya adalah seperti yang kami katakan. Pahamilah, niscaya engkau akan mendapati demikian, insya Allah Ta‘ala.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا نَفَقَةُ الْعَبْدِ عَلَى زَوْجَتِهِ فَنَفَقَةُ الْمُعْسِرِينَ مُدٌّ وَاحِدٌ مِنَ الطَّعَامِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ حُرَّةً أَوْ أَمَةً وَسَوَاءٌ كَانَتْ مُوسِرَةً أَوْ مُعْسِرَةً، لِأَنَّ النَّفَقَةَ تَخْتَلِفُ بِيَسَارِ الزَّوْجِ وَإِعْسَارِهِ دُونَ الزَّوْجَةِ، وَالْعَبْدُ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْحُرِّ الْمُعْسِرِ، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ كَسْبَهُ وَالْحَرُّ يَمْلِكُ كَسْبَهُ فَكَانَ بِنَفَقَةِ الْمُعْسِرِ أَخَصَّ، وَهَكَذَا نَفَقَةُ الْمُدَبَّرِ وَالْمُكَاتَبِ نَفَقَةُ مِعْسَرٍ، وَلَئِنْ مَلَكَ الْمُكَاتَبُ مَا بِيَدِهِ فَمِلْكُهُ لَهُ ضَعِيفٌ لِمَا يَسْتَحِقُّهُ السَّيِّدُ مِنَ الْحَجْرِ عَلَيْهِ حَتَّى يُؤَدِّيَهُ فِي كِتَابَتِهِ وَلِأَنَّهُ مُعَرَّضٌ لِزَوَالِ مِلْكِهِ عِنْدَ عَجْزِهِ.

Al-Mawardi berkata: Adapun nafkah seorang budak kepada istrinya, maka nafkahnya adalah nafkah orang yang kekurangan, yaitu satu mud makanan, baik istrinya itu merdeka maupun budak, baik ia kaya maupun miskin, karena nafkah itu berbeda berdasarkan kelapangan atau kesempitan suami, bukan istri. Dan budak itu keadaannya lebih buruk daripada orang merdeka yang kekurangan, karena ia tidak memiliki hasil kerjanya, sedangkan orang merdeka memiliki hasil kerjanya. Maka nafkahnya lebih khusus dengan nafkah orang yang kekurangan. Demikian pula nafkah mudabbar dan mukatab adalah nafkah orang yang kekurangan. Jika mukatab memiliki harta di tangannya, maka kepemilikannya lemah karena tuannya berhak menahan harta itu sampai ia melunasi akad kitabahnya, dan karena ia terancam kehilangan kepemilikannya jika ia tidak mampu membayar.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَأَمَّا نَفَقَةُ مَنْ تَبَعَّضَتْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ وَالرِّقُّ فَكَانَ نِصْفُهُ حُرًّا وَنِصْفُهُ مَمْلُوكًا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ نَفَقَتَهُ نَفَقَةُ الْمُعْسِرِ مَا لَمْ تَكْمُلْ حُرِّيَّتُهُ فَيَلْزَمُهُ لِزَوْجَتِهِ مُدٌّ وَاحِدٌ وَإِنْ كَانَ مُوسِرًا بِمَا فِيهِ مِنَ الْحُرِّيَّةِ.

Adapun nafkah bagi orang yang pada dirinya terdapat sebagian kemerdekaan dan sebagian perbudakan, misalnya setengah dirinya merdeka dan setengahnya lagi budak, maka menurut mazhab Syafi‘i, nafkahnya adalah nafkah orang yang kekurangan selama kemerdekaannya belum sempurna. Maka ia wajib memberi istrinya satu mud, meskipun ia kaya karena bagian kemerdekaannya.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: إِذَا كَانَ مُوسِرًا بِمَا فِيهِ مِنَ الْحُرِّيَّةِ تَبَعَّضَتِ النَّفَقَةُ بِقَدْرِ الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ فَيَلْزَمُهُ بِنِصْفِهِ الْمَمْلُوكِ نِصْفُ نَفَقَةِ مُعْسِرٍ وَذَلِكَ نِصْفُ مُدٍّ وَبِنِصْفِهِ الْحُرِّ نِصْفُ نَفَقَةِ مُوسِرٍ وَذَلِكَ مُدٌّ فَيَصِيرُ عَلَيْهِ لِزَوْجَتِهِ مُدٌّ وَنِصْفٌ، اسْتِدْلَالًا بِثَلَاثَةِ أُمُورٍ:

Al-Muzani berkata: Jika ia kaya karena bagian kemerdekaannya, maka nafkahnya terbagi sesuai kadar kemerdekaan dan perbudakannya. Maka dengan setengah bagian budaknya, ia wajib menafkahi setengah nafkah orang yang kekurangan, yaitu setengah mud, dan dengan setengah bagian merdekanya, ia wajib menafkahi setengah nafkah orang yang lapang, yaitu satu mud. Maka total yang wajib ia berikan kepada istrinya adalah satu setengah mud, dengan beristidlal pada tiga hal:

أَحَدُهَا: أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ أَوْجَبَ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْأَيْمَانِ أَنْ يُكَفِّرَ بِالْإِطْعَامِ دُونَ الصِّيَامِ إِثْبَاتًا لِحُكْمِ الْحُرِّيَّةِ فَكَذَلِكَ فِي النَّفَقَةِ.

Pertama: Bahwa Imam Syafi‘i telah mewajibkan kepadanya dalam Kitab al-Aiman untuk membayar kafarat dengan memberi makan, bukan dengan puasa, sebagai penetapan hukum kemerdekaan. Maka demikian pula dalam masalah nafkah.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ مُلْتَزِمًا لِنِصْفِ زَكَاتِهِ بِنِصْفِ حريته والسيد نَصِفُهَا بِالنِّصْفِ مِنْ رِقِّهِ وَلَمْ يَغْلِبْ حُكْمُ الرِّقِّ فِي إِسْقَاطِهَا عَنْهُ كَذَلِكَ فِي النَّفَقَةِ.

Kedua: Bahwa dalam zakat fitrah, ia wajib membayar setengah zakatnya karena setengah kemerdekaannya, dan tuannya membayar setengahnya lagi karena setengah perbudakannya. Dan hukum perbudakan tidak mengalahkan sehingga menggugurkan kewajiban zakat darinya, maka demikian pula dalam nafkah.

والثالث: أنه لما كان مورثاً إِذَا مَاتَ بِقَدْرِ حُرِّيَّتِهِ وَلَمْ يَسْقُطِ الْمِيرَاثُ تَغْلِيبًا لِرِقِّهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي النَّفَقَةِ بِمَثَابَتِهِ.

Ketiga: Bahwa ketika ia menjadi ahli waris, jika ia meninggal, ia mewarisi sesuai kadar kemerdekaannya, dan warisan tidak gugur karena mengutamakan perbudakannya. Maka demikian pula dalam nafkah, harus disamakan.

وَهَذَا الَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ الْمُزَنِيُّ فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Pendapat yang dikemukakan oleh al-Muzani ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فِي أَحْكَامِ الزَّوْجِيَّةِ يَغْلِبُ حُكْمُ رِقِّهِ عَلَى حُرِّيَّتِهِ، فَلَا يَمْلِكُ مِنَ الطَّلَاقِ إِلَّا اثْنَتَيْنِ وَلَا يَنْكِحُ إِلَّا زَوْجَتَيْنِ، وَكَذَلِكَ فِي النَّفَقَةِ يَغْلِبُ حُكْمُ الرِّقِّ، وَلَوْ جَازَ أَنْ تَتَبَعَّضَ النَّفَقَةُ بِقَدْرِ حُرِّيَّتِهِ وَرِقِّهِ حَتَّى يَلْتَزِمَ مُدًّا وَنِصْفًا، لَمَلَكَ مِنَ الْمَنْكُوحَاتِ ثَلَاثًا وَاحِدَةٌ بِنِصْفِهِ الْمُسْتَرَقِّ وَاثْنَتَيْنِ بِنِصْفِهِ الْمُعْتَقِ، وَفِي إِبْطَالِ هَذَا وَتَغْلِيبِ حُكْمِ الرِّقِّ دَلِيلٌ عَلَى إِبْطَالِهِ فِي النَّفَقَةِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الرِّقِّ.

Pertama: Dalam hukum-hukum pernikahan, hukum perbudakannya lebih dominan atas kemerdekaannya, sehingga ia hanya berhak menjatuhkan talak dua kali dan hanya boleh menikahi dua istri. Demikian pula dalam nafkah, hukum perbudakan lebih dominan. Jika boleh nafkahnya terbagi sesuai kadar kemerdekaan dan perbudakannya hingga ia wajib menafkahi satu setengah mud, maka ia akan boleh menikahi tiga istri: satu karena setengah bagian budaknya dan dua karena setengah bagian merdekanya. Dalam pembatalan hal ini dan dominasi hukum perbudakan terdapat dalil untuk membatalkan pembagian nafkah tersebut, dengan mengutamakan hukum perbudakan.

وَالثَّانِي: أَنَّ أُصُولَ الشَّرْعِ فِي تَبْعِيضِ أَحْكَامِ الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Kedua: Bahwa dasar-dasar syariat dalam membagi hukum kemerdekaan dan perbudakan terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا غَلَبَ فِيهِ حُكْمُ الرِّقِّ عَلَى الْحُرِّيَّةِ. وهو الجدود وَالْمِيرَاثُ وَالطَّلَاقُ. وَأَعْدَادُ الْمَنْكُوحَاتِ وَزَكَاةُ الْمَالِ، وَسُقُوطُ فَرْضِ الْحَجِّ وَالْجُمُعَةِ. فَيَجْرِي عَلَيْهِ فِيهَا أَحْكَامُ مَنْ رُقَّ جَمِيعُهُ.

Salah satunya: perkara yang di dalamnya hukum perbudakan lebih dominan daripada kemerdekaan. Contohnya adalah masalah kakek, warisan, talak, jumlah istri yang boleh dinikahi, zakat harta, gugurnya kewajiban haji dan jum‘at. Maka dalam hal-hal tersebut, berlaku padanya hukum orang yang seluruhnya berstatus budak.

وَالثَّانِي: مَا تَغْلِبُ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ عَلَى الرِّقِّ وَذَلِكَ سَتْرُ الْعَوْرَةِ فِي الصَّلَاةِ عَلَى أَظْهَرِ الْوَجْهَيْنِ، وَكَالْإِطْعَامِ فِي الْكَفَّارَةِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنَ الْخِلَافِ فِيهِ.

Kedua: perkara yang di dalamnya kemerdekaan lebih dominan daripada perbudakan, seperti menutup aurat dalam salat menurut pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat, dan seperti memberi makan dalam kafārah sebagaimana akan kami sebutkan nanti tentang perbedaan pendapat di dalamnya.

وَالثَّالِثُ: مَا يَتَبَعَّضُ حُكْمُهُ بِحَسْبِ الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ وَذَلِكَ الْكَسْبُ وَالنَّفَقَةُ وَزَكَاةُ الْفِطْرِ، وَإِذَا اخْتَلَفَتْ فِيهِ أُصُولُ الشَّرْعِ كَانَتْ نَفَقَاتُ الزَّوْجَاتِ مُحْتَذِيَةً إِلَى أَحَدِ الْأُصُولِ إِلَّا بِدَلِيلٍ. فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُرَدَّ إِلَى مَا يَغْلِبُ فِيهِ حُكْمُ الْحُرِّيَّةِ لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: قِلَّةُ أَحْكَامِهِ وَضَعْفُ شَوَاهِدِهِ.

Ketiga: perkara yang hukumnya terbagi-bagi sesuai dengan bagian kemerdekaan dan perbudakan, seperti penghasilan, nafkah, dan zakat fitrah. Jika dalam perkara tersebut terdapat perbedaan prinsip-prinsip syariat, maka nafkah istri mengikuti salah satu prinsip kecuali ada dalil yang menunjukkan selainnya. Maka tidak boleh dikembalikan kepada perkara yang hukum kemerdekaannya lebih dominan karena dua alasan: Pertama, sedikitnya hukum-hukum tersebut dan lemahnya dalil-dalilnya.

وَالثَّانِي: انْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ عَلَى خِلَافِهِ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُرَدَّ إِلَى مَا يَتَبَعَّضُ حُكْمُهُ لِأَمْرَيْنِ:

Kedua: telah terjadi ijmā‘ atas kebalikannya, dan tidak boleh pula dikembalikan kepada perkara yang hukumnya terbagi-bagi karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مِنْ أَحْكَامِ الزَّوْجِيَّةِ وَهِيَ لَا تَتَبَعَّضُ فِيمَا عَدَا النَّفَقَةَ فَكَذَلِكَ فِي النَّفَقَةِ.

Pertama: karena ia termasuk hukum-hukum pernikahan, sedangkan pernikahan tidak terbagi-bagi kecuali dalam masalah nafkah, maka demikian pula dalam nafkah.

وَالثَّانِي: أَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجِيَّةِ لَا تَتَبَعَّضُ، لِأَنَّهَا لَا تَجِبُ عَلَى زَوْجَيْنِ فَوَجَبَ أَلَّا تَتَبَعَّضَ باختلاف الحكمين، فلم يبق فيها من الْأَقْوَالِ إِلَّا أَنْ يَغْلِبَ فِيهَا حُكْمُ الرِّقِّ مع كثرة أحكامه وقوة شواهده، أما اسْتِشْهَادُهُ بِمَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي إِطْعَامِهِ في الكفار فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْجَوَابِ عَنْ نَصِّهِ على ثلاثة أوجه:

Kedua: nafkah istri tidak terbagi-bagi, karena nafkah tidak diwajibkan atas dua suami, sehingga tidak boleh terbagi-bagi karena perbedaan dua hukum. Maka tidak tersisa dalam masalah ini kecuali bahwa hukum perbudakan lebih dominan di dalamnya, mengingat banyaknya hukum-hukum terkait dan kuatnya dalil-dalilnya. Adapun argumentasi dengan apa yang dinyatakan oleh al-Syāfi‘ī tentang memberi makan dalam kafārah, para ulama kami berbeda pendapat dalam menjawab nash tersebut menjadi tiga pendapat:

أحدهما: أَنَّهُ قَالَ ذَلِكَ عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الْقَدِيمِ. إِنَّ الْعَبْدَ يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ فَصَارَ بِالتَّمْلِيكِ فِي حُكْمِ مَنْ عَتَقَ جَمِيعُهُ. فَأَمَّا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ لَا يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ فَلَا يُكَفِّرُ إِلَّا بِالصِّيَامِ.

Pertama: bahwa beliau mengatakan hal itu menurut pendapatnya yang lama, yaitu bahwa budak memiliki hak milik jika diberi kepemilikan, sehingga dengan pemberian itu statusnya seperti orang yang seluruhnya merdeka. Adapun menurut pendapat barunya, bahwa budak tidak memiliki hak milik jika diberi kepemilikan, maka ia tidak dapat menunaikan kafārah kecuali dengan puasa.

وَالثَّانِي: أَنَّ السَّيِّدَ يَحْمِلُ عَنْهُ الْكَفَّارَةَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْهُ إِلَّا بِالْإِطْعَامِ دُونَ الصِّيَامِ. لِأَنَّ الصِّيَامَ لَا يَصِحُّ فِيهِ التَّحَمُّلُ وَيَصِحُّ فِي الْإِطْعَامِ.

Kedua: bahwa tuannya yang menanggung kafārah darinya, sehingga tidak boleh menunaikan kafārah kecuali dengan memberi makan, tidak dengan puasa. Karena puasa tidak sah untuk ditanggung, sedangkan memberi makan sah untuk ditanggung.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَغْلِبَ فِيهِ حُكْمُ الْحَرِيَّةِ عَلَى الْأَحْوَالِ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَبَعَّضَ بِخُرُوجِهِ عَنِ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ فِي الْكَفَّارَةِ وَوَجَبَ رَدُّهُ إِلَى تَغْلِيبِ أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ كَانَ تَغْلِيبُ الْحُرِّيَّةِ فِيهِ أَوْلَى مِنْ تَغْلِيبِ الرِّقِّ، لِأَنَّ مَنْ فَرْضُهُ الْإِطْعَامُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُكَفِّرَ بِالصِّيَامِ، وَيَجُوزُ لِمَنْ فَرْضُهُ الصِّيَامُ أَنْ يُكَفِّرَ بِالْإِطْعَامِ، وَهَذَا يَمْنَعُ مِنْ رَدِّ نَفَقَاتِ الزَّوْجَاتِ إِلَى التَّبْعِيضِ وَيُوجِبُ تَغْلِيبَ أَحَدِ الْحُكْمَيْنِ وَهُوَ بِخِلَافِ مَا قَالَهُ الْمُزَنِيُّ فَلَمْ يَصِحَّ اسْتِشْهَادُهُ بِهِ.

Ketiga: bahwa hukum kemerdekaan lebih dominan dalam hal ini, karena ketika tidak boleh terbagi-bagi dengan keluarnya dari nash dalam kafārah dan harus dikembalikan kepada dominasi salah satu dari dua hukum, maka dominasi hukum kemerdekaan lebih utama daripada dominasi hukum perbudakan. Karena orang yang kewajibannya memberi makan tidak boleh menunaikan kafārah dengan puasa, sedangkan orang yang kewajibannya puasa boleh menunaikan kafārah dengan memberi makan. Hal ini mencegah dikembalikannya nafkah istri kepada pembagian dan mewajibkan dominasi salah satu dari dua hukum, dan ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh al-Muzanī, sehingga tidak sah menjadikan pendapatnya sebagai dalil.

وَأَمَّا اسْتِشْهَادُهُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ فِي تَبْعِيضِهَا فَيَدْفَعُهُ زَكَاةُ الْمَالِ فِي تَغْلِيبِ الرِّقِّ فِي إِسْقَاطِهَا، ثُمَّ الْفَرْقُ بَيْنَ زَكَاةِ الْفِطْرِ وَنَفَقَةِ الزَّوْجَةِ أَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ تَتَبَعَّضُ فِي الْتِزَامِ الشُّرَكَاءِ لَهَا، وَنَفَقَةَ الزَّوْجِيَّةِ لَا تَتَبَعَّضُ لِاسْتِحَالَةِ أَنْ يَتَحَمَّلَهَا زَوْجَانِ مُشْتَرِكَانِ، وَأَمَّا اسْتِشْهَادُهُ بِأَنَّهُ يَتَبَعَّضُ فِي مِيرَاثِ مَالِهُ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الشَّافِعِيَّ لَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُ إِنَّهُ لَا يَرِثُ وَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ هَلْ يُورَثُ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Adapun argumentasi dengan zakat fitrah dalam pembagiannya, maka hal itu tertolak oleh zakat harta yang lebih mendominankan hukum perbudakan dalam penggugurannya. Kemudian perbedaan antara zakat fitrah dan nafkah istri adalah bahwa zakat fitrah dapat terbagi dalam tanggungan para sekutu, sedangkan nafkah istri tidak dapat terbagi karena mustahil ditanggung oleh dua suami yang berserikat. Adapun argumentasi bahwa warisan hartanya terbagi, maka jawabannya adalah bahwa al-Syāfi‘ī tidak berbeda pendapat bahwa ia tidak mewarisi, namun berbeda pendapat apakah hartanya diwariskan atau tidak, dengan dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: وَبِهِ قَالَ مالك إنه لا يورث لم يرث، وَيَكُونُ جَمِيعُ مَالِهِ لِسَيِّدِهِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الرِّقِّ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الِاسْتِشْهَادُ بِهِ.

Pertama, yaitu pendapat beliau yang lama, dan juga pendapat Mālik, bahwa hartanya tidak diwariskan dan ia tidak mewarisi, sehingga seluruh hartanya menjadi milik tuannya, dengan mendahulukan hukum perbudakan. Dengan demikian, argumentasi dengan hal itu gugur.

وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ يُورَثُ بِقَدْرِ حُرِّيَّتِهِ وَإِنْ لَمْ يَرِثْ بِهَا، لِأَنَّهُ لَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يُورَثَ مَنْ لَا يَرِثُ، لِأَنَّ الْجَنِينَ إذا سقط ميتاً بجانية كَانَ مَوْرُوثًا وَلَمْ يَكُنْ وَارِثًا، ثُمَّ لَا دَلِيلَ فِيهِ عَلَى تَبْعِيضِ نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّ الْمِيرَاثَ يَتَبَعَّضُ وَنَفَقَةَ الزَّوْجَةِ لَا تَتَبَعَّضُ وَاللَّهُ أعلم.

Kedua: yaitu pendapat beliau dalam pendapat baru (qaul jadid) bahwa ia diwarisi sesuai kadar kemerdekaannya meskipun ia sendiri tidak mewarisi, karena tidak mustahil seseorang diwarisi padahal ia sendiri tidak mewarisi. Sebab janin jika gugur dalam keadaan mati karena suatu sebab, maka ia menjadi ahli waris (mauṡūṡ) namun tidak menjadi pewaris (wāriṡ). Kemudian, tidak ada dalil dalam hal ini untuk membagi nafkah istri, karena warisan memang dapat terbagi-bagi, sedangkan nafkah istri tidak dapat terbagi-bagi. Allah Maha Mengetahui.

باب الرجل لا يجد نفقة من كتابين

(Bab: Laki-laki yang tidak mendapatkan nafkah dari dua sumber)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تخير بين مقامها معه وفراقه وكتب عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نسائهم يأمرهم أن يأخذوهم بأن ينفقوا أو يطلقوا فإن طلقوا بعثوا بنفقة ما حبسوا وهذا يشبه ما وصفت. وسئل ابن المسيب عن الرجل لا يجد ما ينفق على امرأته قال يفرق بينهما قيل له فسنة؟ قال سنة والذي يشبه قول ابن المسيب سنة أن يكون سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ketika al-Qur’an dan sunnah telah menunjukkan bahwa hak perempuan atas suami adalah agar ia menafkahinya, maka bisa jadi suami tidak berhak menikmati istrinya namun tetap menahan hak istrinya dan tidak membiarkannya menikah dengan orang lain yang bisa menafkahinya. Maka, perempuan diberi pilihan antara tetap bersama suaminya atau berpisah darinya. Umar bin al-Khattab ra. menulis surat kepada para gubernur pasukan tentang para laki-laki yang pergi meninggalkan istri-istri mereka, memerintahkan agar mereka menuntut para suami itu untuk menafkahi atau menceraikan istrinya. Jika mereka menceraikan, maka dikirimkan nafkah selama masa penahanan itu. Ini serupa dengan apa yang aku jelaskan. Ibnu al-Musayyib pernah ditanya tentang laki-laki yang tidak mampu menafkahi istrinya, ia menjawab: dipisahkan antara keduanya. Ditanya lagi: apakah ini sunnah? Ia menjawab: sunnah. Dan yang sesuai dengan pendapat Ibnu al-Musayyib adalah sunnah Rasulullah ﷺ.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِعْسَارُ الزَّوْجِ بِنَفَقَةِ الْمُوسِرِ وَهِيَ مُدَّانِ وَقُدْرَتِهِ عَلَى نَفَقَةِ الْمُعْسِرِ وَهِيَ مُدٌّ فَلَا يُوجِبُ لِلزَّوْجَةِ خِيَارًا وَإِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوِي الْأَقْدَارِ، وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ، وَأَمَّا إِعْسَارُهُ بِنَفَقَةِ الْمُعْسِرِ وَهِيَ مُدٌّ حَتَّى عَجَزَ عَنْهُ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ هَلْ تَسْتَحِقُّ بِهِ الزَّوْجَةُ خِيَارَ الْفَسْخِ أَمْ لَا. فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ لَهَا الْخِيَارَ بَيْنَ مُقَامِهَا مَعَهُ عَلَى إِعْسَارِهِ لِتَكُونَ النَّفَقَةُ دَيْنًا لَهَا عَلَيْهِ تَرْجِعُ بِهَا إِذَا أَيْسَرَ وَبَيْنَ فَسْخِ نِكَاحِهِ عِنْدَ الْحَاكِمِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ، وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَعَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ.

Al-Mawardi berkata: Adapun ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah orang mampu (yaitu dua mud) padahal ia hanya mampu memberi nafkah orang yang tidak mampu (yaitu satu mud), maka hal itu tidak memberikan hak pilihan (khiyar) bagi istri, meskipun istri termasuk orang yang berkecukupan, dan ini adalah ijmā‘. Adapun jika ia tidak mampu memberi nafkah orang yang tidak mampu (satu mud) hingga benar-benar tidak sanggup dan tidak mampu menunaikannya, maka terjadi perbedaan pendapat: apakah istri berhak mendapatkan khiyar fasakh (hak membatalkan pernikahan) atau tidak. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa istri memiliki hak memilih antara tetap bersama suaminya dalam keadaan suami tidak mampu, sehingga nafkah menjadi utang yang dapat ia tagih jika suaminya telah mampu, atau memilih untuk memfasakh nikahnya di hadapan hakim. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Hurairah ra., serta dari kalangan tabi‘in: Sa‘id bin al-Musayyib dan ‘Aṭā’ bin Abi Rabāḥ.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ حَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ وَرَبِيعَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا خِيَارَ لَهَا وَعَلَيْهَا الْإِنْظَارُ إِلَى وَقْتِ يَسَارِهِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعَيْنِ: الزُّهْرِيُّ، وَعَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْكُوفِيِّينَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَابْنُ شُبْرُمَةَ، وَأَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ. اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ} [البقرة: 280] فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي وُجُوبِ إِنْظَارِ كُلِّ مُعْسِرٍ بِحَقٍّ، وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنْكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يكونوا فقراء يغنيهم اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ} [النور: 32] ، فَنَدَبَ الْفُقَرَاءَ إِلَى النِّكَاحِ فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَنْدُبَ إِلَيْهِ مَنْ يَسْتَحِقُّ عَلَيْهِ فَسْخُهُ، وَلِأَنَّ الصَّدَاقَ بَعْدَ الدُّخُولِ أَوْكَدُ لِتَقَدُّمِهِ وَقُوَّتِهِ ثُمَّ لَمْ تَسْتَحِقَّ بِهِ الْفَسْخَ فَلَأَنْ لَا تَسْتَحِقَّ الْفَسْخَ بِالنَّفَقَةِ الَّتِي هِيَ أَضْعَفُ أَوْلَى.

Dari kalangan fuqaha: Hammad bin Abi Sulaiman, Rabi‘ah bin ‘Abdurrahman, Malik bin Anas, Ahmad, dan Ishaq. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat: istri tidak memiliki hak khiyar, dan ia harus bersabar hingga suaminya mampu. Pendapat ini juga dipegang oleh tabi‘in: az-Zuhri, ‘Aṭā’ bin Yasar, dan dari kalangan fuqaha Kufah: Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan maka berilah tangguh sampai dia mampu} (al-Baqarah: 280), sehingga ayat ini berlaku umum dalam kewajiban memberi tenggang waktu kepada setiap orang yang kesulitan dalam menunaikan hak. Juga firman-Nya: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya} (an-Nur: 32). Maka Allah menganjurkan orang miskin untuk menikah, sehingga tidak benar jika dianjurkan menikah kepada orang yang justru berhak untuk diputuskan pernikahannya. Selain itu, mahar setelah terjadi hubungan suami istri lebih kuat karena didahulukan dan lebih kokoh, namun tidak menyebabkan hak fasakh, maka lebih utama nafkah yang lebih lemah tidak menyebabkan hak fasakh.

وَتَحْرِيرُهُ: أَنَّهُ مَالٌ وَجَبَ بِحَقِّ الزَّوْجِيَّةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَمْلِكَ بِهِ الْفَسْخَ كَالصَّدَاقِ، وَلِأَنَّ مُدَّ الْيَسَارِ إِذَا أَعْسَرَ بِهِ الْمُوسِرُ لَمْ يُوجِبِ الْخِيَارَ كَذَلِكَ مُدٌّ الْمُعْسِرِ إِذَا أَعْسَرَ بِهِ لَمْ تَسْتَحِقَّ بِهِ الْخِيَارَ، وَلِأَنَّهَا تَسْتَحِقُّ النَّفَقَةَ لِنَفْسِهَا وَلِخُدَّامِهَا ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَا خِيَارَ لَهَا فِي الْإِعْسَارِ بِنَفَقَةِ خَادِمِهَا فَكَذَلِكَ لَا خِيَارَ لَهَا فِي الْإِعْسَارِ بِنَفَقَةِ نَفْسِهَا وَلِأَنَّ النَّفَقَةَ فِي مُقَابَلَةِ التَّمْكِينِ، ثُمَّ إِنَّهُ لَوْ أَعْوَزَ التَّمْكِينَ مِنْهَا بِالنُّشُوزِ لَمْ يَسْتَحِقَّ الزَّوْجُ بِهِ خِيَارَ الْفَسْخِ، كَذَلِكَ إِذَا أَعْوَزَتِ النَّفَقَةَ مِنْ جِهَتِهِ بِالْإِعْسَارِ لَمْ تَسْتَحِقَّ الزَّوْجَةُ بِهِ خِيَارَ الْفَسْخِ وَلِأَنَّ لِلنَّفَقَةِ حَالَتَيْنِ: مَاضِيَةٌ، وَمُسْتُقْبَلَةٌ.

Penjelasannya: Bahwa nafkah itu adalah harta yang wajib karena hak pernikahan, sehingga tidak sepatutnya istri memiliki hak fasakh (pembatalan nikah) karenanya, sebagaimana mahar. Selain itu, jika seorang suami yang mampu mengalami kesulitan dalam membayar mud al-yasar (nafkah yang cukup), hal itu tidak memberikan hak khiyar (pilihan fasakh) kepada istri, demikian pula jika yang mengalami kesulitan adalah suami yang tidak mampu, maka istri juga tidak berhak mendapatkan khiyar karenanya. Istri berhak mendapatkan nafkah untuk dirinya dan untuk pembantunya, namun telah tetap bahwa ia tidak memiliki hak khiyar dalam kasus suami tidak mampu memberi nafkah pembantunya, maka demikian pula ia tidak memiliki hak khiyar dalam kasus suami tidak mampu memberi nafkah untuk dirinya sendiri. Nafkah itu diberikan sebagai imbalan atas penyerahan diri (tamkin). Jika penyerahan diri dari pihak istri terhalang karena nusyuz (pembangkangan), suami tidak berhak mendapatkan khiyar fasakh karenanya. Demikian pula, jika nafkah terhalang dari pihak suami karena ia tidak mampu, maka istri tidak berhak mendapatkan khiyar fasakh karenanya. Nafkah itu memiliki dua keadaan: masa lalu dan masa yang akan datang.

وَالْمَاضِيَةُ دَيْنٌ لَا تَسْتَحِقُّ بِهِ الْفَسْخَ.

Adapun nafkah masa lalu adalah utang yang tidak memberikan hak fasakh.

وَالْمُسْتُقْبَلَةُ لَمْ تَجِبْ فَتَسْتَحِقُّ بِهَا الْفَسْخَ، فَلَمْ يَبْقَ سَبَبٌ يَسْتَحِقُّ بِهِ الْفَسْخَ.

Sedangkan nafkah masa depan belum menjadi kewajiban sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk mendapatkan hak fasakh. Maka tidak tersisa sebab yang dapat dijadikan dasar untuk hak fasakh.

وَدَلِيلُنَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْعِبْرَةُ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] فَإِذَا عَجَزَ عَنْ إِمْسَاكٍ بِمَعْرُوفٍ وَجَبَ عَلَيْهِ التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ، وَلِأَنَّ الْمُخَيَّرَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِذَا عَجَزَ عَنْ أَحَدِهِمَا تَعَيَّنَ عَلَيْهِ الْآخَرُ، وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا} [البقرة: 231] وَزَوْجَةُ الْمُعْسِرِ مُسْتَضَرَّةٌ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِمْسَاكُهَا.

Dalil kami adalah al-Qur’an, sunnah, dan pertimbangan (‘ibrah). Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: {Maka tahanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik} (QS. al-Baqarah: 229). Maka jika suami tidak mampu menahan dengan cara yang baik, wajib baginya melepaskan dengan cara yang baik. Karena seseorang yang diberi pilihan antara dua perkara, jika ia tidak mampu melakukan salah satunya, maka yang lain menjadi wajib baginya. Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: {Dan janganlah kamu pertahankan mereka untuk memberi mudharat sehingga kamu melampaui batas} (QS. al-Baqarah: 231). Istri dari suami yang tidak mampu (memberi nafkah) adalah pihak yang terdhalimi, maka suami tidak berhak menahannya.

وَالسُّنَّةُ مَا رَوَى حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُّودِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَمَّنْ أَعْسَرَ بِنَفَقَةِ امْرَأَتِهِ فَقَالَ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا وَهَذَا نَصٌّ.

Adapun sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah dari ‘Ashim bin Abi an-Najud dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya tentang seseorang yang tidak mampu memberi nafkah istrinya, maka beliau bersabda: “Dipisahkan antara keduanya.” Ini adalah nash (teks yang jelas).

وَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ قَالَ سُئِلَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ رَجُلٍ أَعْسَرَ بِنَفَقَةِ زَوْجَتِهِ فَقَالَ يُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا قِيلَ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ.

Abu az-Zubair meriwayatkan, ia berkata: Sa’id bin al-Musayyab pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang tidak mampu memberi nafkah istrinya, maka ia menjawab: “Dipisahkan antara dia dan istrinya.” Ada yang bertanya: “Apakah ini sunnah?” Ia menjawab: “Sunnah.”

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَقَوْلُ الرَّاوِي سُنَّةٌ يَقْتَضِي سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَصَارَ كَرِوَايَتِهِ عَنْهُ فَإِنْ قِيلَ فَهُوَ مُرْسَلٌ لِأَنَّ سَعِيدًا تَابِعِيٌّ قِيلَ: عَضَّدَهُ رِوَايَةُ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَانْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ عَلَيْهِ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْمَرَاسِيلِ، وَالْإِجْمَاعُ أَنَّهُ قَوْلُ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَكَتَبَ بِهِ عُمَرُ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ أَنْ يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا وَلَيْسَ لَهُمْ مَعَ انْتِشَارِ قَوْلِهِمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَثَبَتَ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ لَا يُسَوَّغُ خِلَافُهُ.

Asy-Syafi‘i berkata: Ucapan perawi “sunnah” menunjukkan maksudnya adalah sunnah Rasulullah ﷺ, sehingga kedudukannya seperti meriwayatkan langsung dari beliau. Jika dikatakan bahwa riwayat ini mursal karena Sa‘id adalah tabi‘i, maka dijawab: Riwayat ini didukung oleh riwayat Abu Hurairah, dan juga oleh ijmā‘ yang telah terjadi atasnya, sehingga keluar dari hukum mursal. Ijmā‘ bahwa ini adalah pendapat ‘Umar, ‘Ali, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum, dan ‘Umar pernah menulis surat kepada para gubernur pasukan tentang para laki-laki yang pergi meninggalkan istri mereka, agar mereka menafkahi atau menceraikan istrinya. Tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat mereka setelah tersebarnya pendapat ini di kalangan sahabat, sehingga tetaplah bahwa ini adalah ijmā‘ yang tidak boleh diselisihi.

وَالْعِبْرَةُ: أَنَّهُ حَقٌّ مَقْصُودٌ لِكُلِّ نِكَاحٍ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ الْفَسْخَ بِإِعْوَازِهِ كَالِاسْتِمْتَاعِ مِنَ الْمَجْبُوبِ، وَالْعِنِّينِ، وَالِاسْتِدْلَالُ بِهَذَا الْأَصْلِ مِنْ طَرِيقِ الْأَوْلَى مِنْ وَجْهَيْنِ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ أَحَدَهُمَا وَذَكَرَ أَصْحَابُنَا الْآخَرَ، فَالَّذِي ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ أَنَّ الْبَدَنَ يَقُومُ بِتَرْكِ الْجِمَاعِ وَلَا يَقُومُ بِتَرْكِ الْغِذَاءِ فَلَمَّا ثَبَتَ الْخِيَارُ بِفَوَاتِ الْجِمَاعِ كَانَ ثُبُوتُهُ بِفَوَاتِ النَّفَقَةِ أَوْلَى، وَالَّذِي ذَكَرَهُ أَصْحَابُنَا أَنَّ الِاسْتِمْتَاعَ فِي الْجِمَاعِ مُشْتَرَكٌ بَيْنَهُمَا وَالنَّفَقَةَ مُخْتَصَّةٌ بِهَا، فَلَمَّا ثَبَتَ الْخِيَارُ فِي الْحَقِّ الْمُشْتَرَكِ كَانَ ثُبُوتُهُ فِي الْمُخْتَصِّ أَوْلَى، فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا ثَبَتَ لَهَا الْخِيَارُ فِي الِاسْتِمْتَاعِ لِأَنَّهَا لَا تَقْدِرُ عَلَى مِثْلِهِ مِنْ غَيْرِهِ وَلَمْ يَثْبُتْ لَهَا فِي النَّفَقَةِ لِأَنَّهَا تَقْدِرُ عَلَى مِثْلِهَا مِنْ غَيْرِهِ، قُلْنَا: نَفَقَةُ الزَّوْجِيَّةِ لَا تُقَدَّرُ عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِهِ فَاسْتَوَيَا.

Intinya: nafkah adalah hak yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka wajib hak tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan (fasakh) pernikahan jika tidak terpenuhi, sebagaimana hak mendapatkan kenikmatan dari suami yang impoten, atau tidak memiliki alat kelamin. Dalil atas prinsip ini dengan qiyās aulā (analogi prioritas) dapat dilihat dari dua sisi: salah satunya disebutkan oleh asy-Syāfi‘ī, dan yang lainnya disebutkan oleh para ulama mazhab kami. Yang disebutkan oleh asy-Syāfi‘ī adalah bahwa tubuh dapat bertahan tanpa hubungan seksual, tetapi tidak dapat bertahan tanpa makanan. Maka, ketika hak memilih (fasakh) ditetapkan karena tidak terpenuhinya hubungan seksual, maka penetapan hak tersebut karena tidak terpenuhinya nafkah lebih utama. Adapun yang disebutkan oleh para ulama mazhab kami adalah bahwa kenikmatan dalam hubungan seksual adalah hak bersama antara suami dan istri, sedangkan nafkah adalah hak khusus istri. Maka, ketika hak memilih (fasakh) ditetapkan dalam hak yang bersifat bersama, maka penetapannya dalam hak yang bersifat khusus lebih utama. Jika dikatakan: hak memilih (fasakh) bagi istri dalam hal kenikmatan seksual diberikan karena ia tidak dapat memperolehnya dari selain suaminya, sedangkan dalam hal nafkah tidak diberikan karena ia bisa mendapatkannya dari selain suaminya, maka kami jawab: nafkah istri tidak dapat dipenuhi oleh selain suaminya, sehingga keduanya sama.

وَقِيَاسٌ ثَانٍ: لِأَنَّهُ مُعْسِرٌ بِمَا يَكُونُ مِنْ نَفَقَةِ مِلْكِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ حَقُّهُ مِنَ التَّمَسُّكِ بِهِ كَالْمُعْسِرِ بِنَفَقَةِ عَبْدِهِ، فَإِنْ قَالُوا: إِنَّمَا أُزِيلَ مِلْكُهُ عَنْ عَبْدِهِ إِذَا أَعْسَرَ بِنَفَقَتِهِ، لِأَنَّهَا لَا تَثْبُتُ فِي ذِمَّةِ السَّيِّدِ وَنَفَقَةُ الزَّوْجَةِ تَثْبُتُ فِي ذِمَّةِ الزَّوْجِ فَلَمْ يَزُلْ مِلْكُهُ عَنْهَا، قِيلَ: أُزِيلَ الْمِلْكُ لِإِعْوَازِهَا فِي الْحَالِ وَإِنَّ النَّفْسَ لَا تَثْبُتُ عَلَى فَقْدِهَا فَاسْتَوَيَا فِي الْحَالِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي ثَانِي حَالٍ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي حُكْمِ الْإِزَالَةِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي مَعْنَاهَا وَإِنِ اخْتَلَفَا فِيمَا سِوَاهَا، فَإِنْ قَالُوا: إِنَّمَا أُزِيلَ مِلْكُهُ عَنْ عَبْدِهِ، لِأَنَّهُ لَا يُفْضِي إِلَى اسْتِهْلَاكِ مِلْكِهِ لِوُصُولِهِ إِلَى ثَمَنِهِ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَالَ مِلْكُهُ عَنْ زَوْجَتِهِ لِمَا فِيهِ مِنَ اسْتِهْلَاكِ مِلْكٍ لَا يَصِلُ إِلَى بَدَلِهِ، قِيلَ: لِأَنَّ الْعَبْدَ مَالٌ فَجَازَ أَنْ يَرْجِعَ فِي الْإِزَالَةِ إِلَى بَدَلٍ وَلَيْسَتِ الزَّوْجَةُ مَالًا يُرْجَعُ فِي إِزَالَتِهِ إِلَى بَدَلٍ فَافْتَرَقَا فِي الْبَدَلِ مِنْ جِهَةِ الْمَالِ الْمُفْتَرِقِينَ فِيهِ وَاسْتَوَيَا فِي الْإِزَالَةِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي مَعْنَاهَا.

Qiyās kedua: karena suami yang tidak mampu memberikan nafkah dari hartanya sendiri, maka haknya untuk mempertahankan pernikahan harus gugur, sebagaimana orang yang tidak mampu memberi nafkah kepada budaknya. Jika mereka berkata: kepemilikan atas budak hanya dihapus jika tidak mampu memberi nafkah karena nafkah budak tidak menjadi tanggungan tuannya, sedangkan nafkah istri menjadi tanggungan suami, sehingga kepemilikan atas istri tidak dihapus, maka dijawab: kepemilikan dihapus karena ketidakmampuan memberi nafkah saat itu, dan jiwa tidak dapat bertahan tanpa nafkah, sehingga keduanya sama dalam kondisi ini, meskipun berbeda dalam kondisi selanjutnya. Maka wajib disamakan dalam hukum penghapusan (kepemilikan) karena keduanya memiliki makna yang sama, meskipun berbeda dalam hal lainnya. Jika mereka berkata: kepemilikan atas budak dihapus karena tidak menyebabkan hilangnya harta, sebab masih bisa mendapatkan pengganti (harga budak), sedangkan tidak boleh menghapus kepemilikan atas istri karena berarti menghilangkan hak milik yang tidak bisa diganti, maka dijawab: karena budak adalah harta, maka penghapusan kepemilikan bisa kembali pada penggantinya, sedangkan istri bukanlah harta yang jika dihapus kepemilikannya bisa diganti, sehingga keduanya berbeda dari sisi pengganti dalam hal harta, namun sama dalam penghapusan karena memiliki makna yang sama.

وَقِيَاسٌ ثَالِثٌ أَنَّهُ مُبْدَلٌ فِي مُعَاوَضَةٍ أَعْوَزَ الْوُصُولُ إِلَى بَدَلِهِ فَجَازَ أَنْ يَسْتَحِقَّ خِيَارَ فَسْخِهِ كَالْمَبِيعِ قَبْلَ الْقَبْضِ إِذَا أَعْسَرَ مُشْتَرِيهِ بِثَمَنِهِ.

Qiyās ketiga: karena nafkah adalah sesuatu yang menjadi pengganti dalam suatu akad mu‘āwadah (pertukaran), namun tidak dapat diperoleh penggantinya, maka boleh bagi istri untuk mendapatkan hak memilih (fasakh), sebagaimana barang yang dijual sebelum diterima, lalu pembelinya tidak mampu membayar harganya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَنَظِرَةٌ إلى ميسرة} فَهُوَ أَنَّهُ عَائِدٌ إِلَى مَا اسْتَقَرَّ ثُبُوتُهُ فِي الذِّمَّةِ وَهِيَ لَا تَسْتَحِقُّ الْفَسْخَ بِمَا اسْتَقَرَّ ثُبُوتُهُ فِي الذِّمَّةِ مِنْ مَاضِي نَفَقَتِهَا، وَإِنَّمَا تَسْتَحِقُّهُ بِنَفَقَةِ الْوَقْتِ الَّذِي لَمْ يَسْتَقِرَّ فِي الذِّمَّةِ فَلَمْ تَتَوَجَّهْ إِلَيْهَا الْآيَةُ.

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan firman Allah Ta‘ālā: {Maka berilah tangguh sampai waktu lapang} adalah bahwa ayat tersebut kembali kepada hak yang telah tetap menjadi tanggungan, sedangkan istri tidak berhak melakukan fasakh karena nafkah masa lalu yang telah menjadi tanggungan, melainkan ia berhak melakukannya karena nafkah pada waktu yang belum menjadi tanggungan, sehingga ayat tersebut tidak berlaku baginya.

وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى {إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فضله} ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْآمِرَ فِي الْآيَةِ تَوَجَّهَ مِنَ الْفُقَرَاءِ إِلَى مَنْ يَقْدِرُ عَلَى نَفَقَةِ الْفَقِيرِ وَلَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَى مَنْ عَجَزَ عَنْهَا، بَلْ جَاءَتِ السُّنَّةُ بِنَهْيِهِ عَنْهَا، وَهُوَ قَوْلُ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَلْيَصُمْ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ “، وَمَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنَ الصَّدَاقِ غَيْرُ مُسَلَّمٍ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ شَرْحِ الْمَذْهَبِ فِيهِ، وَمَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنْ إِعْسَارِ الْمُوسِرِ بِمُدِّ الْيَسَارِ وَقُدْرَتِهِ عَلَى مُدِّ الْإِعْسَارِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Adapun dalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka miskin, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dari karunia-Nya}, maka jawabannya adalah bahwa perintah dalam ayat tersebut ditujukan dari pihak yang miskin kepada pihak yang mampu menafkahi orang miskin, dan tidak ditujukan kepada orang yang tidak mampu menafkahinya. Bahkan, sunnah telah datang melarang hal itu, sebagaimana sabda Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu untuk menikah maka hendaklah ia menikah, dan barang siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah perisai baginya.” Adapun dalil yang mereka gunakan tentang mahar, tidak dapat diterima sebagaimana akan kami jelaskan dalam penjelasan mazhab mengenai hal itu. Dan dalil yang mereka gunakan tentang ketidakmampuan orang yang mampu dalam memberikan nafkah yang seharusnya dan kemampuannya dalam memberi nafkah yang tidak seharusnya, maka jawabannya ada dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ مُدَّ الْيَسَارِ يَسْقُطُ بِإِعْسَارِهِ فَلَمْ تَمْلِكِ الْفَسْخَ بِمَا لَا تَسْتَحِقُّهُ، وَمُدَّ الْإِعْسَارِ لَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِإِعْسَارِهِ فَجَازَ أَنْ تَفْسَخَ بِمَا تَسْتَحِقُّهُ.

Pertama: Bahwa nafkah yang seharusnya diberikan oleh orang mampu gugur ketika ia tidak mampu, sehingga istri tidak berhak membatalkan (pernikahan) karena sesuatu yang bukan haknya. Adapun nafkah yang tidak seharusnya, tidak gugur darinya karena ketidakmampuannya, sehingga istri boleh membatalkan (pernikahan) karena sesuatu yang memang menjadi haknya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ يَقُومُ بَدَنُهَا إِذَا عُدِمَ مُدَّ الْيَسَارِ بِمَا بَقِيَ مِنْ مُدِّ الْإِعْسَارِ، وَلَا قوام لبدنها وإذا تَعَذَّرَ مُدُّ الْإِعْسَارِ فَافْتَرَقَا، وَبِمِثْلِهِ يُجَابُ عَنْ إِعْسَارِهِ بِنَفَقَةِ خَادِمِهَا، وَلِأَنَّ نَفَقَةَ الْخَادِمِ تَابِعَةٌ وَلَيْسَتْ عَامَّةَ الِاسْتِحْقَاقِ فَخَالَفَتْ حُكْمَ مَا كَانَ متبوعاً من الِاسْتِحْقَاقِ، وَمَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنَ النُّشُوزِ دَلِيلٌ عَلَيْهِمْ، لِأَنَّ النُّشُوزَ لَمَّا سَقَطَ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ النَّفَقَةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِعْوَازُ النَّفَقَةِ يُسْقِطُ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ أَنَّهَا لَا تُفْسَخُ بِالْمَاضِي وَلَا بِالْمُسْتُقْبِلِ فَصَحِيحٌ وَالْفَسْخُ إِنِّمَا هُوَ بِحَالِ وَقْتِهَا دُونَ مَا مَضَى وَمَا يَسْتَقْبِلُ.

Kedua: Bisa jadi tubuhnya (istri) tetap terpelihara jika nafkah yang seharusnya tidak terpenuhi dengan sisa nafkah yang tidak seharusnya, namun tubuhnya tidak akan terpelihara jika nafkah yang tidak seharusnya juga tidak terpenuhi, maka keduanya berpisah. Demikian pula jawabannya atas ketidakmampuan suami menafkahi pembantunya. Karena nafkah pembantu itu bersifat turunan dan bukan hak umum, sehingga berbeda hukumnya dengan hak-hak yang bersifat pokok. Adapun dalil yang mereka gunakan tentang nushūz (pembangkangan istri) justru menjadi dalil atas mereka, karena ketika nushūz menyebabkan gugurnya hak nafkah, maka seharusnya ketidakmampuan memberi nafkah juga menggugurkan hak suami untuk mendapatkan kenikmatan (istimta‘). Adapun dalil mereka bahwa pernikahan tidak dibatalkan karena masa lalu atau masa depan, itu benar, dan pembatalan (fasakh) hanya berlaku pada keadaan saat itu, bukan pada masa lalu maupun masa depan.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لَهَا الْفَسْخَ إِذَا أَعْسَرَ بِنَفَقَتِهَا فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يُعْسِرَ بِالْمُدِّ كُلِّهِ أَوْ يُعْسِرَ بِبَعْضِهِ حَتَّى لَوْ قَدَرَ عَلَى تِسْعَةِ أَعْشَارِهِ وَعَجَزَ عَنْ عُشْرِهِ كَانَ لَهَا الْفَسْخُ، لِأَنَّهُ إِعْسَارٌ بِمُسْتَحَقٍّ فِي النَّفَقَةِ فَإِنْ أَعْسَرَ بِمُدٍّ مِنْ حِنْطَةٍ وَقَدَرَ عَلَى مُدٍّ مِنْ شَعِيرٍ، نُظِرَ، فَإِنْ كَانَتْ فِي بَلَدٍ يَقْتَاتُ فُقَرَاؤُهُ الشَّعِيرَ لَمْ تُفْسَخْ، سَوَاءٌ جَرَتْ عَادَتُهَا بِاقْتِيَاتِ الشَّعِيرِ أَمْ لَا، وَإِنْ كَانَتْ فِي بَلَدٍ لَا يَقْتَاتُ فُقَرَاؤُهُ الشَّعِيرَ كَانَ لَهَا الْفَسْخُ، فَإِنْ قَدَرَ عَلَى قُوتِهَا وَأَعْسَرَ بأدمها. نظر، فإن كان قوتاً اينساغ لِلْفُقَرَاءِ أَكْلُهُ عَلَى الدَّوَامِ بِغَيْرِ أُدْمٍ لَمْ تُفْسَخْ، وَإِنْ كَانَ لَا يَنْسَاغُ أَكْلُهُ عَلَى الدَّوَامِ إِلَّا بِأُدْمٍ فُسِخَتْ، فَإِنْ قَدَرَ عَلَى قُوتِهَا وَأَعْسَرَ بِكِسْوَتِهَا فُسِخَتْ، لِأَنَّهُ لَا يَقُومُ بَدَنُهَا إِلَّا بِكِسْوَةٍ تَقِيهَا مِنَ الْحَرِّ وَالْبَرْدِ.

Jika telah tetap bahwa istri berhak membatalkan (pernikahan) apabila suami tidak mampu menafkahinya, maka tidak ada perbedaan antara suami yang tidak mampu menafkahi seluruh kebutuhan atau hanya sebagian saja. Bahkan jika ia mampu menafkahi sembilan persepuluhnya dan tidak mampu menafkahi sepersepuluhnya, istri tetap berhak membatalkan, karena itu termasuk ketidakmampuan dalam memenuhi hak nafkah. Jika suami tidak mampu memberi satu mud gandum namun mampu memberi satu mud jelai, maka dilihat: jika di negeri tersebut fakir miskinnya biasa makan jelai, maka pernikahan tidak dibatalkan, baik istri terbiasa makan jelai atau tidak. Namun jika di negeri tersebut fakir miskinnya tidak biasa makan jelai, maka istri berhak membatalkan. Jika suami mampu memberi makanan pokoknya namun tidak mampu memberi lauknya, maka dilihat: jika makanan pokok itu bisa dimakan oleh fakir miskin secara terus-menerus tanpa lauk, maka pernikahan tidak dibatalkan. Namun jika makanan pokok itu tidak bisa dimakan secara terus-menerus kecuali dengan lauk, maka pernikahan dibatalkan. Jika suami mampu memberi makanan pokoknya namun tidak mampu memberi pakaiannya, maka pernikahan dibatalkan, karena tubuh istri tidak akan terpelihara kecuali dengan pakaian yang melindunginya dari panas dan dingin.

(الْقَوْلُ فِي الِامْتِنَاعِ عَنِ النَّفَقَةِ مَعَ الْيَسَارِ)

(Pembahasan tentang menolak memberi nafkah padahal mampu)

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَإِذَا امْتَنَعَ مِنَ النَّفَقَةِ عَلَيْهَا مَعَ يَسَارٍ لَمْ يُفْسَخْ وَبَاعَ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ مَا يَصْرِفُهُ فِي نَفَقَتِهَا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ لَهُ مَالًا حَبَسَهُ حَتَّى يُنْفِقَ عَلَيْهَا كَمَا يُحْبَسُ مَنْ مَطَلَ بِدَيْنٍ يَقْدِرُ عَلَى أَدَائِهِ وَلَوْ كَانَ غَائِبًا مَفْقُودًا وَلَمْ يُوجَدْ لَهُ مَالٌ يُصْرَفُ فِي نَفَقَتِهَا فَفِي اسْتِحْقَاقِهَا لِفَسْخِ نِكَاحِهِ بِإِعْوَازِ النَّفَقَةِ وَجْهَانِ:

Jika suami menolak memberi nafkah kepada istrinya padahal ia mampu, maka pernikahan tidak dibatalkan, dan hakim menjual harta suami untuk digunakan menafkahi istrinya. Jika tidak ditemukan harta milik suami, maka ia dipenjara hingga ia menafkahi istrinya, sebagaimana orang yang menunda pembayaran utang padahal mampu membayarnya juga dipenjara. Jika suami sedang bepergian atau tidak diketahui keberadaannya dan tidak ditemukan harta yang dapat digunakan untuk menafkahi istrinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat mengenai hak istri untuk membatalkan pernikahan karena tidak mendapat nafkah:

أَحَدُهُمَا: لَهَا الْفَسْخُ لِتَعَذُّرِ النَّفَقَةِ عَلَيْهَا.

Pertama: Istri berhak membatalkan pernikahan karena nafkah tidak dapat diberikan kepadanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ لَا فَسْخَ لَهَا لِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَ مَطْلِ الْمُوسِرِ وَإِعْوَازِ الْمُعْسِرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama: Istri tidak berhak membatalkan pernikahan, karena terdapat perbedaan antara penundaan oleh orang mampu dan ketidakmampuan oleh orang yang tidak mampu. Wallāhu a‘lam.

(الْقَوْلُ فِي وَقْتِ اسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ)

(Pembahasan tentang waktu berhaknya nafkah)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا وَجَدَ نَفَقَتَهَا يَوْمًا بِيَوْمٍ لَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهُمَا “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ia (suami) mendapatkan nafkahnya (istri) hari demi hari, maka tidak dipisahkan antara keduanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ لَيْسَ يَجِبُ لَهَا فِي الْيَوْمِ أَكْثَرُ مِنْ نَفَقَتِهَا، فَإِذَا أَعْطَاهَا أَيَّامًا مِنْ كَسْبٍ لَمْ يَجِدْ فِيهِ سِوَاهَا فَلَا خِيَارَ لَهَا، وَلَيْسَ لَهَا الْمُطَالَبَةُ بِنَفَقَةِ غَدِهِ فَلَمْ يَكُنْ لَهَا الْخِيَارُ بِعَدَمِهِ، وَلَوْ جَازَ لَهَا الْمُطَالَبَةُ بِنَفَقَةِ الْغَدِ لَجَازَ لَهَا الْمُطَالَبَةُ بِنَفَقَةِ شَهْرِهَا وَسَنَتِهَا، وَهَذَا شَطَطٌ لَا يُسْتَحَقُّ، وَالْوَقْتُ الَّذِي تَسْتَحِقُّ فِيهِ نَفَقَةَ يَوْمِهَا هُوَ أَوَّلُ أَوْقَاتِ التَّصَرُّفِ فِيهِ، لِأَنَّهَا إِنْ طَالَبَتْهُ مَعَ طُلُوعِ فَجْرِهِ خَرَجَتْ عَنِ الْعُرْفِ، وَإِنْ أَخَّرَهَا إِلَى غُرُوبِ شَمْسِهِ أَضَرَّ بِهَا، فَلَوْ كَانَ لَا يَجِدُ فِي أَوَّلِ الْيَوْمِ إِلَّا نَفَقَةَ الْغَدَاءِ وَفِي آخِرِهِ إِلَّا نَفَقَةَ الْعَشَاءِ فَفِي خِيَارِهَا وَجْهَانِ:

Al-Māwardī berkata: Ini benar, karena tidak wajib baginya (suami) memberikan kepada istri lebih dari nafkah hari itu. Jika ia memberikannya nafkah beberapa hari dari hasil kerjanya yang tidak didapatkan selain untuknya (istri), maka istri tidak memiliki hak memilih (fasakh), dan ia tidak berhak menuntut nafkah untuk hari esok, sehingga ia juga tidak memiliki hak memilih karena ketiadaannya. Jika ia boleh menuntut nafkah untuk hari esok, tentu ia juga boleh menuntut nafkah untuk sebulan atau setahun, dan ini adalah tuntutan yang berlebihan dan tidak berhak. Waktu di mana istri berhak atas nafkah hariannya adalah awal waktu ia dapat membelanjakannya, karena jika ia menuntutnya sejak terbit fajar, itu keluar dari kebiasaan (‘urf), dan jika ia menundanya sampai terbenam matahari, itu akan memberatkannya. Jika di awal hari suami hanya mendapatkan nafkah makan siang dan di akhir hari hanya nafkah makan malam, maka dalam hak pilih (fasakh) istri ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَسْتَحِقُّهُ لِوُصُولِهَا إِلَى الْكِفَايَةِ فِي وَقْتِهَا.

Pertama: Istri tidak berhak (meminta fasakh), karena ia telah mendapatkan kecukupan pada waktunya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تَسْتَحِقُّ الْخِيَارَ لِأَنَّ نَفَقَةَ الْيَوْمِ لَا تَتَبَعَّضُ وَلَوْ تَبَعَّضَتْ لَجَازَ أَنْ يُعْطِيَهَا كَسْرًا أَوْ لُقَمًا، فَلَوْ وَجَدَ نَفَقَةَ يَوْمٍ وَعَدِمَ نَفَقَةَ يَوْمٍ، كَأَنْ وَجَدَ فِي كُلِّ يَوْمَيْنِ نَفَقَةَ يَوْمٍ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ لِأَنَّهُ عَادِمٌ بَعْضَ نَفَقَتِهَا.

Pendapat kedua: Istri berhak memilih (fasakh), karena nafkah harian tidak dapat dipecah-pecah. Jika boleh dipecah, tentu boleh diberikan dalam bentuk pecahan atau suapan. Jika suami mendapatkan nafkah untuk satu hari dan tidak mendapatkan nafkah untuk hari berikutnya, seperti jika dalam dua hari hanya mendapatkan nafkah untuk satu hari, maka istri berhak memilih (fasakh), karena sebagian nafkahnya tidak terpenuhi.

(الْقَوْلُ فِي الْمُدَّةِ الَّتِي يُؤَجَّلُ فِيهَا الزَّوْجُ لِلْإِعْسَارِ)

(Pembahasan tentang jangka waktu yang diberikan kepada suami karena kesulitan ekonomi)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ لَمْ يَجِدْ لَمْ يُؤَجَّلْ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika tidak didapatkan (nafkah), maka tidak boleh diberi tenggang waktu lebih dari tiga hari.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لَا يَخْلُو حَالُ مَنْ أَعْوَزَتْهُ النَّفَقَةُ مِنْ ثَمَانِيَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Keadaan orang yang tidak mampu memberi nafkah tidak lepas dari delapan bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ لِشُرُوعِهِ فِي عَمَلٍ لَمْ يَسْتَكْمِلْهُ وَيَقْدِرُ بَعْدَ اسْتِكْمَالِهِ عَلَى النَّفَقَةِ كَالنَّسَّاجَ الَّذِي يَنْسِجُ فِي كُلِّ أُسْبُوعٍ ثَوْبًا فَإِذَا نَسَجَهُ كَانَتْ أُجْرَتُهُ نَفَقَةَ أُسْبُوعِهِ فَلَا خِيَارَ لِزَوْجَةِ هَذَا؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْوَاجِدِ لِنَفَقَتِهَا، وَإِنْ تَأَخَّرَتْ، وَيُنْفِقُ مِنَ الِاسْتِدَانَةِ لِإِمْكَانِ الْقَضَاءِ.

Pertama: Karena ia sedang memulai suatu pekerjaan yang belum diselesaikan, dan setelah selesai ia mampu memberi nafkah, seperti penenun yang menenun sehelai kain setiap minggu, dan jika selesai menenun, upahnya cukup untuk nafkah seminggu. Maka istri orang seperti ini tidak memiliki hak memilih (fasakh), karena ia dalam hukum orang yang mampu memberi nafkah, meskipun nafkah itu terlambat, dan ia boleh berutang karena ada kemungkinan untuk membayar.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِتَعَذُّرِ الْعَمَلِ كَالصُّنَّاعِ بِأَبْدَانِهِمْ مِنْ نَجَّارٍ وَبَنَّاءٍ وَحَمَّالٍ إِذَا عَمِلَ فِي يَوْمِهِ كَسَبَ قَدْرَ نَفَقَتِهِ فَيُعْذَرُ عَلَيْهِ مَنْ يَسْتَعْمِلُهُ فِي صَنْعَتِهِ، فَيُنْظَرُ، فَإِنْ كَانَ تَعَذُّرُهُ عَلَيْهِ نادر لَمْ يَكُنْ لِزَوْجَتِهِ خِيَارٌ، وَإِنْ كَانَ غَالِبًا فلها الخيار.

Bagian kedua: Karena kesulitan bekerja, seperti para pekerja kasar dengan tenaganya, seperti tukang kayu, tukang bangunan, dan kuli angkut, jika ia bekerja pada hari itu, ia mendapatkan nafkahnya. Maka orang yang mempekerjakannya dalam pekerjaannya dimaafkan. Maka dilihat, jika kesulitan itu jarang terjadi, maka istrinya tidak memiliki hak memilih (fasakh), tetapi jika sering terjadi, maka istri berhak memilih.

والقسم الثالث: يَكُونُ لِعَجْزٍ عَنِ التَّصَرُّفِ كَالصَّانِعِ إِذَا مَرِضَ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْعَمَلِ، فَيُنْظَرُ فِي مَرَضِهِ، فَإِنْ كَانَ مَرْجُوَّ الزَّوَالِ بَعْدَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ فَلَا خِيَارَ لَهَا، وَإِنْ كَانَ بَعِيدَ الزَّوَالِ فَلَهَا الْخِيَارُ.

Bagian ketiga: Karena tidak mampu berusaha, seperti pekerja yang sakit sehingga tidak mampu bekerja. Maka dilihat pada sakitnya, jika diharapkan sembuh setelah satu atau dua hari, maka istri tidak berhak memilih (fasakh), tetapi jika sulit untuk sembuh, maka istri berhak memilih.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ لِدَيْنٍ لَهُ عَلَى غَرِيمٍ لَا يَمْلِكُ سِوَاهُ وَقَدْ أَلَظَّ بِهِ الْغَرِيمُ وَمَطَلَهُ فَيُنْظَرُ فِي الغريم، فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Bagian keempat: Karena adanya piutang pada orang lain yang ia tidak memiliki harta selain itu, dan orang yang berutang kepadanya menunda pembayaran dan mengulur-ulur. Maka dilihat pada orang yang berutang, keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أن يكون معسراً فالدين عليه تائه وَمَالِكُهُ مُعْدَمٌ، فَيَكُونُ لِزَوْجَتِهِ الْخِيَارُ.

Pertama: Orang yang berutang itu fakir, sehingga utangnya tidak jelas dan pemiliknya tidak memiliki apa-apa. Maka istri berhak memilih (fasakh).

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ عَلَى مُوسِرٍ حَاضِرٍ فَمَالِكُ الدَّيْنِ مُوسِرٌ بِهِ وَلَا خِيَارَ لِزَوْجَتِهِ وَيُحْبَسُ الْغَرِيمُ حَتَّى يُؤَدِّيَ دَيْنَهُ، وَتَكُونُ الزَّوْجَةُ فِي حُكْمِ مَنْ زَوْجُهَا مُوسِرٌ وَقَدْ مَنَعَهَا النَّفَقَةَ فَيَسْقُطُ الخيار ويحبس زوجها على نفقتها، ذلك هاهنا يُسْقِطُ الْخِيَارَ وَيُحْبَسُ الْغَرِيمُ دُونَ الزَّوْجِ.

Kedua: Utang itu pada orang kaya yang hadir, maka pemilik utang itu mampu menagihnya dan istri tidak berhak memilih (fasakh). Orang yang berutang ditahan sampai ia membayar utangnya, dan istri dianggap seperti istri orang kaya yang menahan nafkahnya, sehingga hak pilih (fasakh) gugur dan suaminya ditahan karena nafkahnya. Dalam hal ini, hak pilih (fasakh) gugur dan yang ditahan adalah orang yang berutang, bukan suaminya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ الدَّيْنُ عَلَى مُوسِرٍ غَائِبٍ فَفِي خِيَارِهَا وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي زَوْجَةِ الْمُوسِرِ الْغَائِبِ.

Ketiga: Utang itu pada orang kaya yang sedang bepergian, maka dalam hak pilih (fasakh) istri ada dua pendapat, sebagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama kami tentang istri orang kaya yang sedang bepergian.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ لَهُ مَالٌ هُوَ غَائِبٌ عَنْهُ يَنْتَظِرُ قُدُومَهُ عَلَيْهِ لِيُنْفِقَ مِنْهُ، فَيُنْظَرُ فِي غَيْبَةِ الْمَالِ، فَإِنْ كَانَ عَلَى مَسَافَةٍ قَرِيبَةٍ لَا تُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ فَلَا خِيَارَ لَهَا، لِأَنَّ مَالَهُ فِي حُكْمِ الْحَاضِرِ وَيُؤْخَذُ بِتَعْجِيلِ نَقْلِهِ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدَ الْمَسَافَةِ عَلَى أَكْثَرَ من يوم وليلة فهو في حكم التائه ومالكه كالمعدوم فَيَكُونُ لَهَا الْخِيَارُ.

Bagian kelima: Jika seseorang memiliki harta yang sedang tidak berada di sisinya dan ia menunggu kedatangannya agar dapat menafkahi istrinya dari harta itu, maka dilihat keadaan harta yang tidak hadir tersebut. Jika harta itu berada pada jarak yang dekat, di mana dalam jarak seperti itu shalat tidak boleh diqashar, maka istrinya tidak memiliki hak memilih (khiyar), karena hartanya dianggap seperti hadir dan ia diwajibkan segera memindahkannya. Namun, jika harta itu berada pada jarak yang jauh, lebih dari sehari semalam, maka ia dianggap seperti orang yang kehilangan harta dan pemiliknya seperti orang yang tidak memiliki harta, sehingga istrinya berhak mendapatkan khiyar.

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ يَكُونَ مَالِكًا لِمَالٍ حَاضِرٍ قَدِ اسْتُحِقَّ عَلَيْهِ فِي دُيُونِهِ فَلَا خِيَارَ لَهَا قَبْلَ قَضَاءِ الدُّيُونِ، لِأَنَّ لَهُ أَنْ يُنْفِقَ مِنْهُ قَبْلَ قَضَاءِ الدُّيُونِ، وَالْمُسْتَحَقُّ فِي قَضَائِهِ مَا فَضُلَ عَنْ قُوتِ يَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ، فَإِذَا قَضَى دَيْنَهُ صَارَ بَعْدَ يَوْمِهِ مُعْسِرًا.

Bagian keenam: Jika seseorang memiliki harta yang hadir, namun harta itu telah menjadi hak orang lain karena utang-utangnya, maka istrinya tidak memiliki hak khiyar sebelum utang-utang itu dilunasi. Sebab, ia boleh menafkahi istrinya dari harta itu sebelum melunasi utang, dan yang wajib digunakan untuk membayar utang adalah kelebihan dari kebutuhan makan sehari semalamnya. Jika ia telah melunasi utangnya, maka setelah hari itu ia menjadi orang yang tidak mampu (mu‘sir).

وَالْقِسْمُ السَّابِعُ: أَنْ يَعْجِزَ عَنْ حَلَالِ الْكَسْبِ وَيَقْدِرَ عَلَى مَحْظُورِهِ. فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Bagian ketujuh: Jika seseorang tidak mampu memperoleh penghasilan yang halal, namun mampu memperoleh penghasilan dari yang terlarang. Keadaan ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ أَعْيَانًا مُحَرَّمَةً كَأَمْوَالِ السَّرِقَةِ وَالتَّطْفِيفِ وَأَثْمَانِ الْخُمُورِ وَالْخَنَازِيرِ، فَالْوَاجِدُ لَهَا كَالْعَادِمِ لِحَظْرِ تَصَرُّفِهِ فِيهِ فَيَكُونُ لِزَوْجَتِهِ الْخِيَارُ بِالْإِعْسَارِ.

Pertama: Jika yang ada adalah benda-benda yang haram, seperti harta hasil mencuri, menipu, harga khamar, dan babi, maka orang yang memilikinya dianggap seperti orang yang tidak memiliki harta karena dilarang menggunakannya, sehingga istrinya berhak mendapatkan khiyar karena suaminya dianggap mu‘sir.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْفِعْلُ الْمُوصِلُ إِلَيْهِ مَحْظُورًا كَصُنَّاعِ الْمَلَاهِي الْمَحْظُورَةِ، لِأَنَّهُ مُسْتَعْمَلٌ فِي مَحْظُورٍ لَا يَسْتَحِقُّ بِهِ مَا سُمِّيَ لَهُ مِنَ الْأُجْرَةِ، وَلَا بُدَّ أَنْ يَسْتَحِقَّ لِتَفْوِيتِ عَمَلِهِ أَجْرًا فَيَصِيرَ بِهِ مُوسِرًا وَلَا يَكُونَ لِزَوْجَتِهِ خِيَارٌ، وَكَذَلِكَ كَسْبُ الْمُنَجِّمِ. وَالْكَاهِنِ قَدْ يَتَوَصَّلُ إِلَيْهِ بِسَبَبٍ مَحْظُورٍ لَكِنَّهُ قَدْ أُعْطِيَ عَنْهُ عَنْ طِيبِ نَفْسِ الْمُعْطِي فأجرى مجرى الهبة، وإن كان محظوراً السَّبَبِ فَسَاغَ لَهُ إِنْفَاقُهُ وَخَرَجَ بِهِ مِنْ حُكْمِ الْمُعْسِرِينَ وَسَقَطَ بِهِ خِيَارُ زَوْجَتِهِ.

Kedua: Jika perbuatan yang mengantarkan pada penghasilan itu terlarang, seperti para pekerja hiburan yang diharamkan, karena pekerjaannya digunakan untuk sesuatu yang terlarang sehingga ia tidak berhak mendapatkan upah yang dijanjikan. Namun, ia tetap harus mendapatkan upah sebagai kompensasi atas pekerjaannya yang telah hilang, sehingga dengan itu ia menjadi mampu (mampu menafkahi) dan istrinya tidak berhak mendapatkan khiyar. Begitu pula penghasilan ahli nujum dan dukun, kadang-kadang diperoleh melalui sebab yang terlarang, namun kadang diberikan secara sukarela oleh pemberi, sehingga hukumnya seperti hibah. Meskipun sebabnya terlarang, namun boleh baginya membelanjakannya dan ia keluar dari status mu‘sir, serta gugur hak khiyar istrinya.

وَالْقِسْمُ الثَّامِنُ: أَنْ يَكُونَ عَجْزُهُ عَنِ النَّفَقَةِ لِعُدْمٍ لَا يَقْدِرُ عَلَى النَّفَقَةِ مِنْ مِلْكٍ وَلَا كَسْبٍ فَهَذَا هُوَ الْمُعْسِرُ عَلَى الْإِطْلَاقِ وَهُوَ الَّذِي تَسْتَحِقُّ زَوْجَتُهُ الْخِيَارَ.

Bagian kedelapan: Jika ketidakmampuannya menafkahi karena benar-benar tidak memiliki harta dan tidak mampu memperoleh penghasilan, maka inilah yang disebut mu‘sir secara mutlak, dan istrinya berhak mendapatkan khiyar.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ بِمَا ذَكَرْنَا اسْتِحْقَاقُهَا لِلْخِيَارِ بِالْإِعْسَارِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:

Jika telah tetap, sebagaimana yang telah kami sebutkan, bahwa istri berhak mendapatkan khiyar karena suaminya mu‘sir, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا تَسْتَحِقُّهُ عَلَى الْفَوْرِ فِي يَوْمِهَا مِنْ غَيْرِ إِنْظَارٍ وَلَا تَأْجِيلٍ وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ، لِأَنَّهُ خِيَارُ فَسْخٍ بِعَيْبٍ فَأَشْبَهَ الْفَسْخَ بِسَائِرِ الْعُيُوبِ، وَلِأَنَّ النَّفَقَةَ فِي مُقَابَلَةِ الِاسْتِمْتَاعِ الْمُسْتَحَقِّ عَلَى الْفَوْرِ فَكَانَ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنْ فَسْخِ الْإِعْسَارِ مُسْتَحَقًّا عَلَى الْفَوْرِ.

Pendapat pertama: Istri berhak mendapatkan khiyar secara langsung pada hari itu juga tanpa penundaan atau penangguhan, dan ini adalah pendapat dalam qaul qadim. Sebab, khiyar ini adalah khiyar fasakh karena cacat, sehingga disamakan dengan fasakh karena cacat-cacat lainnya. Selain itu, nafkah merupakan hak sebagai imbalan atas kenikmatan yang wajib diberikan segera, maka fasakh karena mu‘sir juga wajib diberikan segera.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ يُؤَجَّلُ ثلاثاً لا يزاد عليها ولا تفسح الزَّوْجَةُ قَبْلَ مُضِيِّهَا لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat kedua: Dan ini adalah pendapat dalam qaul jadid, yaitu diberi tenggang waktu tiga hari, tidak boleh lebih, dan istri tidak boleh meminta fasakh sebelum tiga hari berlalu, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي إِرْهَاقِهِ عَلَى تَعْجِيلِ الْفَسْخِ إِدْخَالَ ضَرَرٍ عَلَيْهِ فَأُمْهِلَ مِنَ الزَّمَانِ أَكْثَرَ قليله وهو ثلاث ليزول بها الضرر على الزَّوْجَيْنِ.

Pertama: Memaksa suami untuk segera melakukan fasakh akan menimbulkan mudarat baginya, sehingga diberi tenggang waktu yang paling sedikit, yaitu tiga hari, agar mudarat bagi kedua belah pihak dapat dihindari.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَالَ الْمُسْتَحَقَّ بِالنِّكَاحِ مَوْضُوعٌ عَلَى الْمُيَاسَرَةِ وَالْمُسَاهَلَةِ لِصِحَّةِ الْعَقْدِ بِغَيْرِ مَهْرٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْدِلَ بِهِ عَنْ مَوْضُوعِهِ فِي الْمُيَاسَرَةِ إِلَى إِرْهَاقٍ بِتَعْجِيلِ الْفَسْخِ، وَإِنْ نُظِرَ مِنَ الزَّمَانِ بِمَا يَخْرُجُ بِهِ عَنْ حد الإرهاق.

Kedua: Harta yang menjadi hak dalam pernikahan didasarkan pada kemudahan dan kelapangan, karena sahnya akad nikah tanpa mahar. Maka tidak boleh menyimpang dari prinsip kemudahan itu kepada pemaksaan dengan segera melakukan fasakh, dan tenggang waktu yang diberikan bertujuan agar tidak sampai pada batas pemaksaan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ فِي ثَلَاثٍ مِنْ أَنْ تَخْرُجَ فَتَعْمَلَ أَوْ تَسْأَلَ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ نَفَقَتَهَا خُيِّرَتْ كَمَا وَصَفْتُ فِي هَذَا الْقَوْلِ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Seorang wanita tidak dilarang dalam masa tiga hari untuk keluar bekerja atau meminta (nafkah). Jika ia tetap tidak mendapatkan nafkahnya, maka ia diberi hak memilih (khiyar) sebagaimana yang telah aku jelaskan dalam pendapat ini.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا أَمْهَلَتِ الزَّوْجَةُ بِالْفَسْخِ ثَلَاثًا كَانَ لَهَا الْخُرُوجُ مِنْ مَنْزِلِهَا لِتَكْتَسِبَ نَفَقَتَهَا بِعَمَلٍ أَوْ مَسْأَلَةٍ وَلَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجِ مَنْعُهَا مَعَ تَعَذُّرِ النَّفَقَةِ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَا قِوَامَ لِبَدَنِهَا إِلَّا بِمَا يَقُوتُهَا، فَلَوْ وَجَدَتْ مِنَ الْمَالِ مَا تُنْفِقُهُ وَأَمَرَهَا بِالْمُقَامِ لِلْإِنْفَاقِ مِنْهُ لَمْ يَلْزَمْهَا وَجَازَ لَهَا الْخُرُوجُ لِتَكْسِبَ، لِأَنَّهُ لَمَّا تَعَذَّرَ عَلَيْهَا اكْتِسَابُ النَّفَقَةِ مِنَ الزَّوْجِ جَازَ لَهَا أَنْ تَكْتَسِبَهَا بِعَمَلٍ مِنْ غَيْرِ زَوْجٍ فَلَوْ قَدَرَتْ عَلَى اكْتِسَابِ النَّفَقَةِ فِي مَنْزِلِهَا بِغَزْلٍ أَوْ خِيَاطَةٍ فَأَرَادَتِ الْخُرُوجَ لِلتَّكَسُّبِ بِعَمَلٍ فِي غَيْرِ مَنْزِلِهَا كَانَ ذَلِكَ لَهَا لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ الْحَجْرَ عَلَيْهَا فِي أَنْوَاعِ الْكَسْبِ، هَذَا فِي النَّهَارِ فَأَمَّا اللَّيْلُ فَعَلَيْهَا أَنْ تَرْجِعَ فِيهِ إِلَى مَنْزِلِ الزَّوْجِ لِأَنَّهُ زَمَانُ الْإِيوَاءِ دُونَ الْعَمَلِ وَالِاكْتِسَابِ فَإِنْ أَرَادَ الِاسْتِمْتَاعَ بِهَا فِي زَمَانِ الْإِنْظَارِ اسْتَحَقَّهُ لَيْلًا؛ لِأَنَّهُ زَمَانُ الدَّعَةِ، وَلَمْ يَسْتَحِقُّهُ نَهَارًا لِأَنَّهُ زَمَانُ الِاكْتِسَابِ، فَإِنِ امْتَنَعَتْ عَلَيْهِ فِي النَّهَارِ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهَا حُكْمُ النُّشُوزِ، وَكَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ اسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ، وَإِنِ امْتَنَعَتْ عَلَيْهِ فِي اللَّيْلِ صَارَتْ نَاشِزًا وَلَا نَفَقَةَ لَهَا، وَهَكَذَا حُكْمُهَا إِذَا رَضِيَتْ بِالْمُقَامِ مَعَهُ عَلَى إِعْسَارِهِ مَكَّنَهَا مِنَ الِاكْتِسَابِ نَهَارًا وَاسْتَمْتَعَ بِهَا لَيْلًا وَكَانَتِ النَّفَقَةُ دَيْنًا عَلَيْهِ يُؤْخَذُ بِهَا بَعْدَ إِيسَارِهِ، فَإِنْ قِيلَ فَهَلْ إِذَا سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا نَهَارًا أَنْ تَسْقُطَ عَنْهُ نَفَقَتُهَا كَمَا تَسْقُطُ نَفَقَتُهَا لَوْ كَانَتْ أَمَةً فَاسْتَخْدَمَهَا بِالنَّهَارِ سَيِّدُهَا، قِيلَ: لِأَنَّ مَنْعَ الْأَمَةِ مِنْ جِهَتِهَا فَجَازَ أَنْ تَسْقُطَ بِهِ نَفَقَتُهَا وَمَنْعَ الْمُعْسِرِ مِنْ جِهَتِهِ فَلَمْ تَسْقُطْ به نفقتها.

Al-Mawardi berkata: Jika istri menangguhkan permintaan fasakh selama tiga hari, maka ia berhak keluar dari rumahnya untuk mencari nafkah dengan bekerja atau meminta-minta, dan suami tidak berhak melarangnya selama ia tidak mampu memberikan nafkah, karena tubuhnya tidak dapat bertahan kecuali dengan sesuatu yang menghidupinya. Jika ia mendapatkan harta yang dapat ia gunakan untuk nafkah dan suaminya memerintahkannya untuk tetap tinggal di rumah agar nafkah diambil dari harta itu, ia tidak wajib menaatinya dan boleh keluar untuk bekerja, karena ketika ia tidak dapat memperoleh nafkah dari suami, maka ia boleh mencarinya dengan bekerja selain dari suaminya. Jika ia mampu memperoleh nafkah di rumahnya sendiri dengan memintal atau menjahit, namun ia ingin keluar untuk bekerja di luar rumahnya, maka itu dibolehkan baginya, karena ia tidak berhak dicegah dalam berbagai jenis pekerjaan. Ini berlaku pada siang hari, adapun malam hari maka ia wajib kembali ke rumah suaminya karena malam adalah waktu untuk beristirahat, bukan untuk bekerja dan mencari nafkah. Jika suami ingin menikmati istrinya pada masa penangguhan, ia berhak melakukannya pada malam hari, karena malam adalah waktu istirahat, dan ia tidak berhak melakukannya pada siang hari karena siang adalah waktu mencari nafkah. Jika istri menolak pada siang hari, tidak berlaku atasnya hukum nusyuz, dan ia tetap berhak atas nafkahnya. Namun jika ia menolak pada malam hari, maka ia menjadi nasyiz dan tidak berhak atas nafkah. Demikian pula hukumnya jika ia rela tinggal bersama suaminya dalam keadaan suami tidak mampu, maka suami membolehkannya bekerja pada siang hari dan menikmati istrinya pada malam hari, dan nafkah menjadi utang atas suami yang dapat ditagih setelah ia mampu. Jika ada yang bertanya: Apakah jika hak suami untuk menikmati istrinya pada siang hari gugur, maka gugur pula kewajiban nafkahnya, sebagaimana gugur nafkah budak perempuan jika tuannya mempekerjakannya pada siang hari? Dijawab: Karena larangan terhadap budak berasal dari pihak tuannya, maka boleh gugur nafkahnya, sedangkan larangan terhadap istri yang suaminya tidak mampu berasal dari pihak suami, maka tidak gugur nafkahnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ وَجَدَ نَفَقَتَهَا وَلَمْ يَجِدْ نَفَقَةَ خَادِمِهَا لم تخير لأنها تماسك بِنَفَقَتِهَا وَكَانَتْ نَفَقَةُ خَادِمِهَا دَيْنًا عَلَيْهِ مَتَى أَيْسَرَ أَخَذَتْهُ بِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika suami mampu memberikan nafkah kepada istrinya tetapi tidak mampu memberi nafkah untuk pembantunya, maka istri tidak diberi hak memilih (fasakh), karena ia masih dapat bertahan dengan nafkahnya, dan nafkah pembantunya menjadi utang atas suami yang dapat ditagih ketika suami mampu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا نَفَقَةُ الْخَادِمِ فَمُسْتَحَقَّةٌ لِمَنْ يُخْدَمُ مِثْلُهَا وَغَيْرُ مُسْتَحَقَّةٍ لِمَنْ لَا يُخْدَمُ مِثْلُهَا فَلَمْ تَكُنْ مِنْ حُقُوقِ كُلِّ زَوْجَةٍ، وَخَالَفَتِ النَّفَقَةُ وَالْكِسْوَةُ الْمُسْتَحَقَّةُ لِكُلِّ زَوْجَةٍ فَإِذَا أَعْسَرَ الزَّوْجُ بِنَفَقَةِ خَادِمِهَا وَمِثْلُهَا يُخْدَمُ لَمْ تَسْتَحِقَّ بِهِ الْخِيَارَ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Adapun nafkah pembantu, itu wajib diberikan kepada istri yang pada umumnya memang dilayani oleh pembantu, dan tidak wajib bagi istri yang tidak biasa dilayani pembantu, sehingga nafkah pembantu bukanlah hak setiap istri. Ini berbeda dengan nafkah dan pakaian yang merupakan hak setiap istri. Jika suami tidak mampu memberikan nafkah pembantu, padahal istrinya termasuk yang biasa dilayani pembantu, maka istri tidak berhak memilih (fasakh) karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَبَعٌ غَيْرُ مَقْصُودٍ، فَخَالَفَتْ فِي الْفَسْخِ حُكْمَ الْمَتْبُوعِ الْمَقْصُودِ.

Pertama: Karena nafkah pembantu adalah sesuatu yang bersifat tambahan dan bukan tujuan utama, sehingga dalam hal fasakh hukumnya berbeda dengan hak utama yang menjadi tujuan.

وَالثَّانِي: أَنَّ الْخِدْمَةَ مُسْتَحَقَّةٌ لِلدَّعَةِ وَالتَّرْفِيهِ وَيُمْكِنُ تَحَمُّلُهُ وَيَقُومُ الْبَدَنُ بِتَحَمُّلِهِ فَجَرَى مَجْرَى الْمُدِّ الثَّانِي مِنَ الْمُسْتَحَقِّ بِالْيَسَارِ وَلَا يُسْتَحَقُّ فِي الْإِعْسَارِ بِهِ خِيَارٌ، وَنَفَقَةُ نَفْسِهَا لَا يَقُومُ الْبَدَنُ بِعَدَمِهَا كَمُدِّ الْإِعْسَارِ الَّذِي تَسْتَحِقُّ بِهِ الْخِيَارَ فَلِذَلِكَ افْتَرَقَ حُكْمُ الْإِعْسَارِ بِنَفَقَتِهَا دُونَ نَفَقَةِ خَادِمِهَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ كَانَتْ نَفَقَةُ خَادِمِهَا دَيْنًا عَلَيْهِ سَوَاءٌ خَدَمَتْ نَفْسَهَا أَوِ اسْتَأْجَرَتْ خَادِمًا أَوْ أَنَفَقَتْ عَلَى خَادِمٍ لَهَا فَإِنْ كَانَ الْخَادِمُ مَمْلُوكًا رَجَعَتْ عَلَى الزَّوْجِ بِنَفَقَتِهِ وَإِنْ كَانَ حُرًّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِأُجْرَتِهِ فَإِنْ بَاشَرَتْ هِيَ الْخِدْمَةَ رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ فَإِنْ خَدَمَهَا لِلزَّوْجِ فِي مُدَّةِ إِعْسَارِهِ بِنَفَقَةِ خَادِمِهَا فَفِي رُجُوعِهَا عَلَيْهِ بِنَفَقَتِهِ وَجْهَانِ: مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا هَلْ لِلزَّوْجِ أَنْ يُسْقِطَ بِخِدْمَتِهِ لَهَا نَفَقَةَ خَادِمِهَا أَمْ لَا.

Kedua: Bahwa pelayanan (khidmah) merupakan hak untuk memperoleh kemudahan dan kenyamanan, dan hal itu masih dapat ditanggung serta tubuh mampu menanggungnya. Maka hukumnya seperti mud kedua dari hak yang diperoleh karena kelapangan, dan tidak berhak atasnya dalam keadaan kesempitan (‘usr) tanpa adanya hak memilih (khiyār). Sedangkan nafkah untuk dirinya sendiri, tubuh tidak dapat bertahan tanpa nafkah tersebut, seperti mud dalam keadaan kesempitan yang karenanya ia berhak memilih (khiyār). Oleh karena itu, hukum kesempitan dalam nafkah untuk dirinya berbeda dengan nafkah untuk pembantunya. Jika demikian, maka nafkah untuk pembantunya menjadi utang atas suami, baik ia melayani dirinya sendiri, menyewa pembantu, atau menafkahi pembantu miliknya. Jika pembantu itu adalah miliknya (budak), maka ia dapat menuntut suami atas nafkah pembantu tersebut. Jika pembantu itu merdeka, maka ia dapat menuntut suami atas upahnya. Jika ia sendiri yang melakukan pelayanan, maka ia dapat menuntut suami dengan nilai yang lebih rendah di antara dua hal tersebut. Jika ia melayani suaminya selama masa kesempitan dengan nafkah pembantunya, maka dalam hal ia menuntut suami atas nafkah pembantunya terdapat dua pendapat, yang merupakan hasil dari perbedaan pendapat ulama kami: apakah suami boleh menggugurkan nafkah pembantunya dengan pelayanannya untuk suami atau tidak.

(الْقَوْلُ فِي الْإِعْسَارِ بِالصَّدَاقِ)

(Pembahasan tentang kesempitan dalam pembayaran mahar)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” ومن قال هذا لَزِمَهُ عِنْدِي إِذَا لَمْ يَجِدْ صَدَاقَهَا أَنْ يخيرها لأنه شبيه بنفقتها (قال المزني) رحمه الله قد قال ولو أعسر بالصداق ولم يعسر بالنفقة فاختارت المقام معه لم يكن لها فراقة لأنه لا ضرر على بدنها إذا أنفق عليها في استئخار صداقها (قال المزني) فهذا دليل على أن لا خيار لها فيه كالنفقة “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Barang siapa yang berpendapat demikian, menurutku wajib baginya, jika ia tidak mampu membayar mahar istrinya, untuk memberikan hak memilih kepada istrinya, karena hal itu serupa dengan nafkahnya.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Beliau juga berkata: Jika suami mengalami kesempitan dalam pembayaran mahar namun tidak dalam nafkah, lalu istri memilih tetap bersamanya, maka ia tidak berhak meminta cerai, karena tidak ada mudarat pada tubuhnya selama ia dinafkahi meski pembayaran maharnya ditunda.” (Al-Muzani berkata:) “Ini adalah dalil bahwa istri tidak memiliki hak memilih dalam hal ini sebagaimana dalam masalah nafkah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ فِي إِعْسَارِ الزوج بصداق زوجته كلاماً محتملاً قاله هاهنا وَفِي الْإِمْلَاءِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُهُ لِأَجْلِهِ اخْتِلَافًا مُنْتَشِرًا جُمْلَتُهُ أَنْ يَتَخَرَّجَ فِي إِعْسَارِهِ بِصَدَاقِهَا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa Imam Syafi‘i dalam masalah suami yang mengalami kesempitan dalam pembayaran mahar istrinya memiliki pendapat yang memungkinkan untuk ditafsirkan, sebagaimana yang beliau sampaikan di sini dan dalam kitab Al-Imla’. Para pengikut beliau berbeda pendapat karenanya dengan perbedaan yang luas. Secara ringkas, dalam masalah suami yang mengalami kesempitan dalam pembayaran mahar istrinya terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: لَهَا الْخِيَارُ فِي إِعْسَارِهِ بِصَدَاقِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ وَبَعْدِهِ كَالنَّفَقَةِ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ لِأَنَّ الصَّدَاقَ أَقْوَى الْمَقْصُودَيْنِ لِاسْتِحْقَاقِهِ بِالْعَقْدِ فَإِذَا ثَبَتَ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَضْعَفِهِمَا كَانَ ثُبُوتُهُ فِي الْأَقْوَى أَحَقَّ.

Pertama: Istri memiliki hak memilih (khiyār) jika suami mengalami kesempitan dalam pembayaran mahar, baik sebelum maupun sesudah terjadi hubungan suami istri, sebagaimana dalam masalah nafkah. Ini adalah pendapat yang tampak dari perkataan Imam Syafi‘i dalam masalah ini, karena mahar adalah tujuan yang lebih kuat, sebab ia menjadi hak dengan akad. Maka jika hak memilih (khiyār) ditetapkan dalam hal yang lebih lemah, maka penetapannya dalam hal yang lebih kuat tentu lebih utama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ لَا خِيَارَ لَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ وَبَعْدَهُ لِمُخَالَفَةِ الصَّدَاقِ النفقة من وجهين:

Pendapat kedua, yang merupakan pilihan Al-Muzani: Istri tidak memiliki hak memilih, baik sebelum maupun sesudah terjadi hubungan suami istri, karena mahar berbeda dengan nafkah dari dua sisi:

أحدهما: أن يضعها بَعْدَ الدُّخُولِ مُسْتَهْلَكٌ فَصَارَ كَاسْتِهْلَاكِ الْمَبِيعِ فِي الْفَلَسِ لَا خِيَارَ فِيهِ لِلْبَائِعِ، وَقَبْلَ الدُّخُولِ يَسْقُطُ صَدَاقُهَا بِالْفَسْخِ مِنْ غَيْرِ بَدَلٍ فَلَمْ يَكُنِ الْفَسْخُ فِيهِ إِلَّا ضَرَرًا.

Pertama: Setelah terjadi hubungan suami istri, mahar menjadi sesuatu yang telah habis (istihlāk), sehingga hukumnya seperti barang jualan yang telah habis pada orang yang bangkrut, di mana penjual tidak memiliki hak memilih. Sebelum terjadi hubungan suami istri, mahar gugur dengan pembatalan akad tanpa pengganti, sehingga pembatalan akad hanya menimbulkan mudarat.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا بِتَأَخُّرِ الصَّدَاقِ عَنْهَا ضَرَرٌ فِي بَدَنِهَا وَيَقُومُ بَدَنُهَا بِتَأْخِيرِهِ وَفَقْدُ النَّفَقَةَ لَا يَقُومُ مَعَهُ بَدَنٌ وَلَا يُمْكِنُ مَعَهُ صَبْرٌ فَافْتَرَقَا فِي الْخِيَارِ مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ:

Kedua: Tidak ada mudarat pada tubuh istri akibat keterlambatan pembayaran mahar, dan tubuhnya tetap dapat bertahan meski mahar ditunda. Sedangkan kehilangan nafkah, tubuh tidak dapat bertahan dan tidak mungkin bersabar tanpanya. Maka keduanya berbeda dalam hal hak memilih dari dua sisi ini.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا إِنَّ لَهَا الْخِيَارَ قَبْلَ الدُّخُولِ وَلَا خِيَارَ لَهَا بَعْدَهُ لِأَمْرَيْنِ:

Pendapat ketiga, yang merupakan pilihan Abu Ishaq Al-Marwazi, Ibn Abi Hurairah, dan mayoritas ulama kami: Istri memiliki hak memilih sebelum terjadi hubungan suami istri, dan tidak memiliki hak memilih setelahnya, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ بُضْعَهَا بَعْدَ الدُّخُولِ مُسْتَهْلَكٌ فَسَقَطَ خِيَارُهَا كَمَا يَسْقُطُ خِيَارُ الْبَائِعِ بِتَلَفِ الْمَبِيعِ فِي يَدِ الْمُفْلِسِ، وَهُوَ قَبْلَ الدُّخُولِ غَيْرُ مُسْتَهْلَكٍ فَثَبَتَ لَهَا الْخِيَارُ كَمَا يَثْبُتُ لِلْبَائِعِ مَعَ بَقَاءِ الْمَبِيعِ.

Pertama: Setelah terjadi hubungan suami istri, kemaluannya telah “terpakai” (mustahlak), sehingga hak memilihnya gugur sebagaimana hak memilih penjual gugur jika barang yang dijual rusak di tangan pembeli yang bangkrut. Sebelum terjadi hubungan suami istri, kemaluannya belum “terpakai”, sehingga hak memilih tetap ada sebagaimana hak memilih penjual tetap ada selama barang masih ada.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَهَا الِامْتِنَاعُ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ حَتَّى تَقْبِضَ صَدَاقَهَا وَلَمْ يَكُنْ لَهَا الِامْتِنَاعُ بَعْدَ الدُّخُولِ كَانَتْ يَدُهَا فِيهِ قَبْلَ الدُّخُولِ أَقْوَى فَثَبَتَ لَهَا الْخِيَارُ فِي الْإِعْسَارِ وَبَعْدَ الدُّخُولِ أَضْعَفُ فَسَقَطَ خِيَارُهَا فِي الْإِعْسَارِ.

Kedua: Karena sebelum terjadi hubungan suami istri, istri berhak menolak menyerahkan dirinya hingga menerima maharnya, sedangkan setelah terjadi hubungan suami istri, ia tidak berhak menolak. Maka, sebelum terjadi hubungan suami istri, posisinya lebih kuat sehingga hak memilih dalam keadaan kesempitan tetap ada, sedangkan setelah terjadi hubungan suami istri, posisinya lebih lemah sehingga hak memilih dalam keadaan kesempitan gugur.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ تَوْجِيهِ الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ، فَإِنْ قِيلَ لَا خِيَارَ لَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ وَبَعْدَهُ كَانَ دَيْنًا فِي ذِمَّتِهِ تَرْجِعُ بِهِ مَتَى أَيْسَرَ، وَتُنْظِرُهُ بِهِ مَا أَعْسَرَ، وَالْقَوْلُ فِي الْمَعْسَرَةِ بِهِ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَإِنْ قِيلَ لَهَا الْخِيَارُ كَانَ خِيَارُهَا عَلَى الْفَوْرِ بَعْدَ التَّنَازُعِ فِيهِ إِلَى الْحَاكِمِ، لِأَنَّ الْفَسْخَ بِهِ لَا يَثْبُتُ إِلَّا عِنْدَ حَاكِمٍ، فَإِنْ أَمْسَكَتْ عَنْ مُحَاكَمَتِهِ بَعْدَ الْعِلْمِ بِإِعْسَارِهِ نُظِرَ. فَإِنْ كَانَ إِمْسَاكُهَا قَبْلَ الْمُطَالَبَةِ بِالصَّدَاقِ كَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ الْخِيَارِ عِنْدَ مُحَاكَمَتِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُوسِرَ بِهِ عِنْدَ مُطَالَبَتِهِ، وَإِنْ كَانَ إِمْسَاكُهَا بَعْدَ الْمُطَالَبَةِ بِهِ سَقَطَ خِيَارُهَا، وَكَانَ الْإِمْسَاكُ عَنْ مُحَاكَمَتِهِ رِضًا بِإِعْسَارِهِ، وَلَوْ حَاكَمَتْهُ وَعَرَضَ عَلَيْهَا الْحَاكِمُ الْفَسْخَ وَخَيَّرَهَا فِيهِ فَاخْتَارَتِ الْمُقَامَ مَعَهُ سَقَطَ خِيَارُهَا، فَإِنْ عَادَتْ تُحَاكِمُهُ وَتَطْلُبُ فَسْخَ نِكَاحِهِ فَلَا خِيَارَ لَهَا، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَتِ الْمُحَاكَمَةُ الْأُولَى بَعْدَ الدُّخُولِ لَاسْتَوَى إِعْسَارُهُ فِي الْحَالَيْنِ، فَسَقَطَ حُكْمُ الْخِيَارِ فِيهِ مَعَ الرَّضَا بِهِ كَالْخِيَارِ فِي جَمِيعِ الْعُيُوبِ، وَإِنْ كَانَتِ الْمُحَاكَمَةُ الْأُولَى وَالرِّضَا فِيهَا بِالْمُقَامِ قَبْلَ الدُّخُولِ وَالْمُحَاكَمَةُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ الدُّخُولِ فَفِي اسْتِحْقَاقِهَا لِلْخِيَارِ وَجْهَانِ:

Setelah dijelaskan apa yang telah kami uraikan mengenai penjelasan tiga pendapat tersebut, maka jika dikatakan bahwa tidak ada hak khiyar (pilihan) baginya sebelum maupun sesudah terjadi hubungan (dalam pernikahan), maka mahar itu menjadi utang dalam tanggungan suaminya yang dapat ia tuntut kapan saja suaminya mampu, dan ia harus menunggu jika suaminya dalam keadaan sulit. Dalam hal suami mengalami kesulitan, perkataan suami diterima dengan sumpahnya. Namun, jika dikatakan bahwa istri memiliki hak khiyar, maka hak khiyarnya harus segera dilakukan setelah terjadi perselisihan dan dibawa ke hakim, karena pembatalan (fasakh) hanya dapat ditetapkan oleh hakim. Jika istri menahan diri untuk tidak menggugat suaminya setelah mengetahui kesulitan suaminya, maka perlu diperhatikan: jika penahanannya itu terjadi sebelum menuntut mahar, maka ia tetap memiliki hak khiyar ketika menggugat suaminya, karena bisa jadi suami mampu membayar saat dituntut. Namun, jika penahanannya itu setelah menuntut mahar, maka gugurlah hak khiyarnya, dan penahanannya dari menggugat suami dianggap sebagai kerelaan atas kesulitan suaminya. Jika ia telah menggugat suaminya, lalu hakim menawarkan pembatalan dan memberinya pilihan, kemudian ia memilih tetap bersama suaminya, maka gugurlah hak khiyarnya. Jika kemudian ia kembali menggugat suaminya dan meminta pembatalan nikah, maka ia tidak lagi memiliki hak khiyar, karena jika gugatan pertama dilakukan setelah terjadi hubungan, maka keadaan suami yang sulit sama saja dalam kedua kondisi tersebut, sehingga gugurlah hukum khiyar bersamaan dengan kerelaan atasnya, sebagaimana khiyar dalam seluruh cacat. Namun, jika gugatan pertama dan kerelaan untuk tetap bersama terjadi sebelum hubungan, dan gugatan kedua setelah hubungan, maka dalam hal ini ada dua pendapat mengenai haknya atas khiyar:

أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهَا كَمَا لَوْ كَانَتِ الْمُحَاكَمَتَانِ بَعْدَ الدُّخُولِ.

Salah satunya: Ia tidak memiliki hak khiyar, sebagaimana jika kedua gugatan dilakukan setelah terjadi hubungan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهَا الْخِيَارُ فِي مُحَاكَمَتِهِ بَعْدَ الْأُولَى وَإِنْ رَضِيَتْ بِإِعْسَارِهِ قَبْلَ الدُّخُولِ، لِأَنَّ مِلْكَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ قَدْ كَانَ مُسْتَقِرًّا عَلَى نِصْفِهِ وَبَعْدَ الدُّخُولِ عَلَى جَمِيعِهِ، فَصَارَ إِعْسَارُهُ بَعْدَ الدُّخُولِ بِحَقٍّ لَمْ يَكُنْ مُسْتَقِرًّا قَبْلَ الدُّخُولِ فَجَازَ أَنْ تَسْتَجِدَّ بِهِ خِيَارًا لَمْ يَكُنْ.

Pendapat kedua: Ia memiliki hak khiyar dalam menggugat suaminya setelah gugatan pertama, meskipun ia telah rela atas kesulitan suaminya sebelum terjadi hubungan, karena kepemilikannya atas mahar sebelum hubungan hanya pada setengahnya, dan setelah hubungan atas seluruhnya. Maka, kesulitan suami setelah hubungan berkaitan dengan hak yang sebelumnya belum tetap sebelum terjadi hubungan, sehingga boleh baginya untuk mendapatkan hak khiyar yang sebelumnya belum ada.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اخْتَارَتِ الْمُقَامَ مَعَهُ فَمَتَى شَاءَتْ أَجَّلَ أَيْضًا لِأَنَّ ذَلِكَ عَفْوٌ عَمَّا مَضَى “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia memilih tetap bersama suaminya, maka kapan pun ia mau, ia boleh menunda lagi, karena itu merupakan pengampunan atas apa yang telah lalu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا خُيِّرَتِ الزَّوْجَةُ فِي إِعْسَارِهِ بِنَفَقَتِهَا فَاخْتَارَتِ الْمُقَامَ رِضًا بِعُسْرَتِهِ ثُمَّ عَادَتْ تُحَاكِمُهُ تَلْتَمِسُ الْخِيَارَ وَالْفَسْخَ كَانَ ذَلِكَ لَهَا فِي النَّفَقَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهَا فِي الصَّدَاقِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الصَّدَاقَ يَجِبُ دَفْعَةً وَاحِدَةً، فَإِذَا تَقَدَّمَ عَفْوُهَا سَقَطَ خِيَارُهَا، وَالنَّفَقَةُ يَتَكَرَّرُ وُجُوبُهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ فَإِذَا تَقَدَّمَ عَفْوُهَا كَانَ عَفْوُهَا عَمَّا تَقَدَّمَ اسْتِحْقَاقُهُ وَلَمْ يَصِحَّ الْعَفْوُ عَمَّا تَأَخَّرَ اسْتِحْقَاقُهُ فَصَارَ مَا طَالَبَتْ بِالْفَسْخِ فِيهِ غَيْرَ مَا رَضِيَتْ بِالْمُقَامِ عَلَيْهِ فَثَبَتَ لَهَا الْخِيَارُ فِيهِ، وَلَمْ يَكُنْ لِمَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الْعَفْوِ تَأْثِيرٌ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى الْوُجُوبِ كَالشَّفِيعِ إِذَا عَفَا عَنِ الشُّفَعَةِ قبل الشراء والورثة إذا جازوا الْوَصَايَا قَبْلَ الْوَفَاةِ وَالْأَمَةِ إِذَا رَضِيَتْ بِرِقِّ زَوْجِهَا قَبْلَ عِتْقِهَا لَمْ يَكُنْ لِذَلِكَ كُلِّهِ تَأْثِيرٌ لِوُجُودِهِ قَبْلَ الْوُجُوبِ، وَلَكِنْ لَوْ عَفَتْ فِي يَوْمٍ ثُمَّ عَادَتْ تُطَالِبُ فِيهِ بِالتَّخْيِيرِ لَمْ يُمْكِنْ ذَلِكَ لَهَا لِسُقُوطِ حَقِّهَا فِيهِ بِعَفْوِهَا، فَإِنْ عَادَتْ مِنْ غَدِهِ خُيِّرَتْ وَاللَّهُ أعلم.

Al-Mawardi berkata: Jika istri diberi pilihan karena suaminya tidak mampu menafkahinya, lalu ia memilih tetap bersama suaminya sebagai bentuk kerelaan atas kesulitan suaminya, kemudian ia kembali menggugat suaminya untuk meminta hak khiyar dan pembatalan, maka itu boleh baginya dalam masalah nafkah, meskipun tidak boleh dalam masalah mahar. Perbedaannya, mahar wajib dibayar sekaligus, sehingga jika sebelumnya ia telah memaafkan, gugurlah hak khiyarnya. Sedangkan nafkah kewajibannya berulang setiap hari, sehingga jika ia telah memaafkan sebelumnya, maka pengampunannya hanya berlaku atas hak yang telah jatuh tempo, dan tidak sah pengampunan atas hak yang belum jatuh tempo. Maka, apa yang ia tuntut pembatalan atasnya berbeda dengan apa yang ia rela untuk tetap bersamanya, sehingga tetaplah hak khiyar baginya dalam hal itu, dan pengampunan sebelumnya tidak berpengaruh karena terjadi sebelum kewajiban, sebagaimana syafii‘ (hak pre-emptive) jika ia memaafkan hak syuf‘ah sebelum pembelian, atau ahli waris yang membolehkan wasiat sebelum wafat, atau budak perempuan yang rela dengan status budak suaminya sebelum ia dimerdekakan, maka semua itu tidak berpengaruh karena terjadi sebelum kewajiban. Namun, jika ia memaafkan pada hari tertentu lalu kembali menuntut hak khiyar pada hari itu juga, maka itu tidak boleh baginya karena haknya telah gugur dengan pengampunannya. Jika ia kembali menuntut pada hari berikutnya, maka ia diberi pilihan lagi. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ عَلِمَتْ عُسْرَتَهُ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يُوسِرَ وَيُتَطَوَّعَ عَنْهُ بِالْغُرْمِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia mengetahui kesulitan suaminya, karena bisa jadi suaminya menjadi mampu atau ada orang yang membayarkan utangnya secara sukarela.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا تَزَوَّجَتْهُ عَالِمَةً بِعُسْرَتِهِ ثُمَّ طَلَبَتِ الْفَسْخَ بَعْدَ نِكَاحِهِ لِإِعْسَارِهِ بِالصَّدَاقِ أَوِ النَّفَقَةِ خُيِّرَتْ فِيهِمَا وَلَمْ يَسْقُطْ حَقُّهَا بِالْعِلْمِ الْمُتَقَدِّمِ. لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Jika seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki dengan pengetahuan tentang kesulitannya (dalam hal harta), kemudian ia meminta pembatalan pernikahan setelah akad nikah karena suaminya tidak mampu membayar mahar atau nafkah, maka ia diberi pilihan dalam kedua hal tersebut dan haknya tidak gugur hanya karena pengetahuan sebelumnya. Hal ini karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مِنَ الْعُيُوبَ الْمَظْنُونَةِ دُونَ الْمُتَحَقِّقَةِ.

Pertama: Karena hal itu termasuk cacat yang diduga (belum pasti) bukan yang sudah pasti.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ مِمَّا يَجُوزُ أَنْ يَزُولَ بَعْدَ وُجُودِهِ، وَقَدْ فَرَّقَ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ الْعُيُوبِ الْمَظْنُونَةِ وَالْمُتَيَقَّنَةِ وَبَيْنَ مَا يَجُوزُ أَنْ يَزُولَ وَلَا يَزُولَ أَلَا تَرَاهَا لَوْ تَزَوَّجَتْهُ بَعْدَ الْعِلْمِ بِعِنَّتِهِ لَمْ يَسْقُطْ خِيَارُهَا، لِأَنَّ الْعِنَّةَ مَظْنُونَةٌ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَزُولَ بَعْدَ وُجُودِهَا، وَلَوْ تَزَوَّجَتْهُ عَالِمَةً بِأَنَّهُ مَجْبُوبٌ لَمْ يَكُنْ لَهَا خِيَارٌ، لِأَنَّ الْجَبَّ مُتَيَقَّنٌ وَلَا يَزُولُ بَعْدَ وُجُودِهِ.

Kedua: Karena hal itu termasuk sesuatu yang mungkin saja hilang setelah adanya, dan Imam al-Syafi‘i telah membedakan antara cacat yang diduga dan yang sudah pasti, serta antara sesuatu yang mungkin hilang dan yang tidak mungkin hilang. Tidakkah engkau lihat, jika seorang perempuan menikah dengan laki-laki setelah mengetahui ia mengalami ‘innah (impotensi), maka hak pilihnya tidak gugur, karena ‘innah itu diduga dan tidak mungkin hilang setelah ada. Namun jika ia menikah dengan laki-laki dengan pengetahuan bahwa ia majbub (terpotong alat kelaminnya), maka ia tidak memiliki hak pilih, karena kebuntuan itu sudah pasti dan tidak akan hilang setelah ada.

(امْتِنَاعُ الزَّوْجَةِ عَنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا عِنْدَ الْإِعْسَارِ بِالصَّدَاقِ)

(Penolakan istri untuk menyerahkan diri ketika suami tidak mampu membayar mahar)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَهَا أَنْ لَا تَدْخُلَ عَلَيْهِ إِذَا أَعْسَرَ بِصَدَاقِهَا حَتَى تَقْبِضَهُ وَاحْتَجَّ عَلَى مُخَالِفِهِ فَقَالَ إِذَا خَيَّرْتَهَا فِي الْعِنِّينِ يُؤَجَّلُ سَنَةً وَرَضِيَتْ مِنْهُ بِجِمَاعٍ مَرَّةً فَإِنَّمَا هُوَ فَقْدُ لَذَّةٍ وَلَا صَبْرَ لَهَا عَلَى فَقْدِ النَّفَقَةِ فَكَيْفَ أَقَرَرْتَهَا مَعَهُ فِي أَعْظَمِ الضَّرَرَيْنِ وَفَرَّقْتَ بَيْنَهُمَا فِي أَصْغَرِ الضَّرَرَيْنِ “.

Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Dan ia (istri) berhak untuk tidak masuk (menyerahkan diri) kepada suaminya jika suami tidak mampu membayar maharnya hingga ia menerima mahar tersebut. Ia berdalil atas lawannya dengan berkata: Jika engkau memberikan hak pilih kepada istri dari suami yang ‘innin (impoten) dengan memberi tenggang waktu satu tahun, dan ia rela dengan hubungan suami istri sekali saja, maka itu hanyalah kehilangan kenikmatan, sedangkan ia tidak bisa bersabar atas kehilangan nafkah. Lalu bagaimana engkau membiarkannya bersama suami dalam bahaya yang lebih besar, sementara engkau memisahkan mereka dalam bahaya yang lebih kecil.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ قَدْ مَضَتْ فِي كِتَابِ الصَّدَاقِ وَلِامْتِنَاعِهِ مِنْ دَفْعِ صَدَاقِهَا حَالَتَانِ:

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan dalam Kitab al-Shadaq (Kitab Mahar). Penolakan suami untuk membayar maharnya memiliki dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ تسليم نفسها.

Pertama: Terjadi setelah istri menyerahkan dirinya.

والثاني: قَبْلَهُ، فَإِنِ امْتَنَعَ مِنْ دَفْعِهِ بَعْدَ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا إِلَيْهِ فَلَيْسَ لَهَا الِامْتِنَاعُ عَلَيْهِ، ثُمَّ يَنْظُرُ فِي حَالِهِ، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا بِهِ أُخِذَ جَبْرًا بِدَفْعِهِ وَحُبِسَ بِهِ إِنْ مَطَلَ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا بِهِ فَفِي اسْتِحْقَاقِهَا لِفَسْخِ، نكاحه قولان، وإن كان ذلك قبل التسليم نَفْسِهَا، فَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا بِهِ فَلَهَا خِيَارُ الْفَسْخِ، فَإِنْ رَضِيَتْ بِعُسْرَتِهِ كَانَ لَهَا الِامْتِنَاعُ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا مَعَ الْعُسْرَةِ إِلَى أَنْ تقبض الصداق، ولا يكون رضاها بالعسرة سقطاً لِحَقِّهَا مِنَ الِامْتِنَاعِ، وَلِهَذَا الْمَعْنَى أَعَادَ الشَّافِعِيُّ ذِكْرَهَا فِي هَذَا الْكِتَابِ لِئَلَّا يَسْتَهْلِكَ بَعْضَهَا بِغَيْرِ بَدَلٍ، وَإِنْ كَانَ مُوسِرًا لَمْ يُفْسَخْ وَيُؤْخَذَ جَبْرًا بِدَفْعِهِ، وَلَهَا الِامْتِنَاعُ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا حَتَّى تَقْبِضَهُ، فَإِنْ تَمَانَعَا وَقَالَ الزَّوْجُ: لَا أَدْفَعُ الصَّدَاقَ إِلَّا بَعْدِ التَّسْلِيمِ وَقَالَتْ: لَا أُسَلِّمُ نَفْسِي إِلَّا بَعْدَ الْقَبْضِ كَتَمَانُعِ الْمُتَبَايِعَيْنِ فِي تَسْلِيمِ الْمَبِيعِ وَقَبْضِ الثَّمَنِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ، وَإِنْ كَانَ فِي تَمَانُعِ الْمُتَبَايِعَيْنِ أَرْبَعَةُ أَقَاوِيلَ، أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: إِنَّهُ يَقْطَعُ التَّخَاصُمَ بَيْنَهُمَا وَيَقُولُ لِكُلٍّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا حَقٌّ فِي الِامْتِنَاعِ فَإِنْ سَلَّمْتِ أَيَّتُهَا الزَّوْجَةُ نَفْسَكِ أُجْبِرَ الزَّوْجُ عَلَى دَفْعِ صَدَاقِكِ، وَإِنْ بَدَأَ الزَّوْجُ بِدَفْعِ الصَّدَاقِ أُجْبِرَتِ الزَّوْجَةُ عَلَى تَسْلِيمِ نَفْسِهَا.

Kedua: Sebelum istri menyerahkan dirinya. Jika suami menolak membayar setelah istri menyerahkan diri kepadanya, maka istri tidak berhak menolak (menyerahkan diri), kemudian dilihat keadaan suami, jika ia mampu membayar maka ia dipaksa untuk membayar dan ditahan jika menunda-nunda. Jika ia tidak mampu membayar, maka dalam hal istri berhak membatalkan pernikahan ada dua pendapat. Jika itu terjadi sebelum istri menyerahkan diri, dan suami tidak mampu membayar, maka istri berhak memilih untuk membatalkan pernikahan. Jika ia rela dengan kesulitan suami, maka ia berhak menolak menyerahkan diri selama suami masih dalam kesulitan hingga ia menerima maharnya. Kerelaannya terhadap kesulitan suami tidak menggugurkan haknya untuk menolak. Karena alasan inilah Imam al-Syafi‘i mengulang pembahasan ini dalam kitab ini, agar sebagian hak istri tidak hilang tanpa ganti. Jika suami mampu membayar, maka pernikahan tidak dibatalkan dan ia dipaksa untuk membayar, dan istri berhak menolak menyerahkan diri hingga menerima maharnya. Jika keduanya saling menolak—suami berkata: “Aku tidak akan membayar mahar kecuali setelah istri menyerahkan diri,” dan istri berkata: “Aku tidak akan menyerahkan diri kecuali setelah menerima mahar”—seperti halnya dua orang yang berjual beli yang saling menolak dalam penyerahan barang dan pembayaran harga, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Dalam masalah penolakan dua orang yang berjual beli ada empat pendapat. Salah satu dari dua pendapat: Hakim memutuskan perselisihan di antara keduanya dan berkata: “Masing-masing dari kalian berhak menolak. Jika engkau, wahai istri, menyerahkan diri, maka suami dipaksa membayar maharmu. Jika suami lebih dulu membayar mahar, maka istri dipaksa menyerahkan diri.”

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْحَاكِمَ يُجْبِرُ الزَّوْجَ عَلَى تَسْلِيمِ الصَّدَاقِ إِلَى عَدْلٍ يَكُونُ أَمِينًا لَهُمَا فَإِذَا يحصل الصَّدَاقُ عِنْدَهُ أَجْبَرَ الزَّوْجَةَ عَلَى تَسْلِيمِ نَفْسِهَا إِلَى الزَّوْجِ، فَإِذَا سَلَّمَتْ نَفْسَهَا إِلَيْهِ دَفَعَ الأمين الصداق إليها والله أعلم بالصواب.

Pendapat kedua: Hakim memaksa suami untuk menyerahkan mahar kepada seorang yang adil dan dapat dipercaya bagi keduanya. Jika mahar sudah ada pada orang tersebut, maka istri dipaksa untuk menyerahkan diri kepada suami. Setelah istri menyerahkan diri kepada suami, orang yang dipercaya itu menyerahkan mahar kepada istri. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(نَفَقَةِ الَّتِي لَا يَمْلِكُ زَوْجُهَا رَجْعَتَهَا وَغَيْرُ ذلك)

(Nafkah bagi istri yang tidak bisa dirujuk oleh suaminya dan selain itu)

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ من وجدكم} وَقَالَ تَعَالَى {وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يضعن حملهن} فَلَمَّا أَوْجَبَ اللَّهُ لَهَا نَفَقَةً بِالْحَمْلِ دَلَّ عَلَى أَنْ لَا نَفَقَةَ لَهَا بِخِلَافِ الْحَمْلِ ولا أعلم خلافاً أن التي يملك رجعتها في معاني الأزواج في أن عليه نفقتها وسكناها وأن طلاقه وإيلاءه وظهاره ولعانه يقع عليها وأنها ترثه ويرثها فكانت الآية على غيرها من المطلقات وهي التي لا يملك رجعتها وبذلك جاءت سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في فاطمة بنت قيس بت زوجها طلاقها فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال ” ليس لك عليه نفقة ” وعن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أنه قال ” نفقة المطلقة ما لم تحرم ” وعن عطاء ليست المبتوتة الحبلى منه في شيء إلا أنه ينفق عليها من أجل الحبل فإن كانت غير حبلى فلا نفقة لها “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Allah Ta‘ala berfirman: {Tempatkanlah mereka (para istri yang ditalak) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu} dan Allah Ta‘ala juga berfirman: {Dan jika mereka (istri-istri yang ditalak) sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka hingga mereka melahirkan kandungannya}. Ketika Allah mewajibkan nafkah bagi perempuan karena kehamilannya, hal itu menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban nafkah baginya jika tidak hamil. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa perempuan yang masih bisa dirujuk (dalam masa iddah raj‘iyyah) dalam hal-hal yang berkaitan dengan istri, maka wajib atas suaminya memberi nafkah dan tempat tinggal, dan talak, ila’, zihar, serta li‘an berlaku atasnya, dan ia saling mewarisi dengan suaminya. Maka ayat tersebut berlaku untuk selain mereka dari kalangan perempuan yang ditalak, yaitu yang tidak bisa lagi dirujuk. Demikian pula sunnah Rasulullah ﷺ dalam kasus Fathimah binti Qais, yang suaminya telah menjatuhkan talak bain kepadanya. Aku menyampaikan hal itu kepada Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda: ‘Tidak ada nafkah atasnya untukmu.’ Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: ‘Nafkah bagi perempuan yang ditalak selama belum menjadi haram (belum talak bain).’ Dari ‘Atha’: ‘Perempuan yang ditalak bain dan sedang hamil darinya, maka ia berhak mendapatkan nafkah karena kehamilannya. Jika ia tidak hamil, maka tidak ada nafkah baginya.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لِلْمُطَلَّقَةِ حَالَتَانِ: رَجْعِيَّةٌ وَمَبْتُوتَةٌ.

Al-Mawardi berkata: Perempuan yang ditalak memiliki dua keadaan: raj‘iyyah (yang masih bisa dirujuk) dan mubaṭṭah (yang tidak bisa dirujuk/putus total).

فَأَمَّا الرَّجْعِيَّةُ فَلَهَا السُّكْنَى، وَالنَّفَقَةُ إِلَى انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا حَامِلًا كَانَتْ أَوْ حَائِلًا، وَهَذَا إِجْمَاعٌ.

Adapun yang raj‘iyyah, maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah hingga habis masa iddahnya, baik ia sedang hamil maupun tidak, dan ini adalah ijmā‘.

وَأَمَّا الْمَبْتُوتَةُ إِمَّا بِالْخُلْعِ أَوْ بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، فَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَلَهَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 6] وَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي وُجُوبِ السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ لَهَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:

Adapun yang mubaṭṭah, baik karena khulu‘ maupun talak tiga, jika ia sedang hamil maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika mereka (istri-istri yang ditalak) sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka hingga mereka melahirkan kandungannya} [ath-Thalaq: 6]. Jika ia tidak hamil, para fuqaha berbeda pendapat tentang kewajiban tempat tinggal dan nafkah baginya menjadi tiga mazhab:

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ لَا سُكْنَى لَهَا وَلَا نَفَقَةَ.

Pertama: Ini adalah mazhab Ahmad bin Hanbal, bahwa ia tidak berhak mendapatkan tempat tinggal maupun nafkah.

وَالثَّانِي: هُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ لَهَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةَ. وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.

Kedua: Ini adalah mazhab Abu Hanifah, bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Umar dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhuma.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ لَهَا السُّكْنَى وَلَيْسَ لَهَا النفقة، وبه قال من ال الصَّحَابَةِ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى.

Ketiga: Ini adalah mazhab asy-Syafi‘i, bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal namun tidak berhak mendapatkan nafkah. Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Ibnu ‘Abbas, dan dari kalangan fuqaha yaitu Malik, al-Auza‘i, dan Ibnu Abi Laila.

فَأَمَّا وُجُوبُ السُّكْنَى فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ مَعَ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الْعِدَدِ.

Adapun kewajiban tempat tinggal, telah dijelaskan pembahasannya bersama Ahmad dalam Kitab al-‘Iddah.

وَأَمَّا النَّفَقَةُ فَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى وُجُوبِ النَّفَقَةِ لَهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى {أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ} [الطلاق: 6] وَفِي الِامْتِنَاعِ مِنَ النَّفَقَةِ ضِرَارٌ قَدْ نَهَى عَنْهُ فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِهَا لَهَا.

Adapun nafkah, Abu Hanifah berdalil atas kewajiban nafkah baginya dengan firman Allah Ta‘ala: {Tempatkanlah mereka (para istri yang ditalak) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka} [ath-Thalaq: 6]. Tidak memberikan nafkah adalah bentuk menyusahkan yang telah dilarang, maka ini menunjukkan wajibnya nafkah baginya.

وَرَوَى حَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنِ النَّخَعِيِّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا بَلَغَهُ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ قَالَتْ: مَا جَعَلَ لِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُكْنَى وَلَا نَفَقَةً، قَالَ عُمَرُ: لَا نَدَعُ كتاب ربنا وسنة نبينا بقول امرأة لعلمها غَلِطَتْ أَوْ نَسِيَتْ سَمِعْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” لَهَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ ” وَهَذَا نَصٌّ.

Hammad bin Abi Sulaiman meriwayatkan dari an-Nakha‘i bahwa Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ketika sampai kepadanya kabar bahwa Fathimah binti Qais berkata: ‘Rasulullah ﷺ tidak menetapkan tempat tinggal dan nafkah untukku,’ Umar berkata: ‘Kita tidak akan meninggalkan Kitab Rabb kita dan Sunnah Nabi kita hanya karena ucapan seorang perempuan yang mungkin salah atau lupa. Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Baginya tempat tinggal dan nafkah.” Dan ini adalah nash (tegas).’

قَالُوا: وَلِأَنَّهَا مُعْتَدَّةٌ عَنْ طَلَاقٍ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ لَهَا النَّفَقَةُ كَالرَّجْعِيَّةِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهَا مَحْبُوسَةٌ عَنِ الْأَزْوَاجِ لِحَقِّهِ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ لَهَا النَّفَقَةُ كَالزَّوْجَةِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ حَقٌّ يَتَكَرَّرُ وُجُوبُهُ فِي حَالِ الزَّوْجِيَّةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِالْبَيْنُونَةِ كَالسُّكْنَى.

Mereka berkata: Karena ia adalah perempuan yang menjalani masa iddah akibat talak, maka wajib baginya mendapatkan nafkah sebagaimana perempuan raj‘iyyah. Mereka juga berkata: Karena ia terhalang untuk menikah lagi demi hak suaminya, maka wajib baginya mendapatkan nafkah sebagaimana istri. Mereka juga berkata: Karena ini adalah hak yang berulang kali diwajibkan selama masa pernikahan, maka tidak seharusnya gugur dengan terjadinya perpisahan (bain) sebagaimana hak tempat tinggal.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ) [الطلاق: 6] ، فَجَعَلَ نَفَقَةَ الْمَبْتُوتَةَ مَشْرُوطَةً بِالْحَمْلِ، فَدَلَّ عَلَى سُقُوطِهَا بِعَدَمِ الْحَمْلِ وَرُوِيَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ أَبَتَّ زَوْجُهَا طَلَاقًا فَأَتَاهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ وَأَتَتِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَسْأَلُهُ عَنْ نَفَقَتِهَا فَقَالَ: ” لَا نَفَقَةَ لَكِ إِلَّا أَنْ تَكُونِي حَامِلًا “.

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan jika mereka (para istri yang ditalak) sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6). Maka Allah menjadikan nafkah bagi wanita yang ditalak ba’in itu disyaratkan dengan adanya kehamilan, sehingga menunjukkan gugurnya kewajiban nafkah jika tidak ada kehamilan. Diriwayatkan bahwa Fathimah binti Qais ditalak ba’in oleh suaminya, lalu datanglah wakil suaminya membawakan gandum untuknya, namun ia tidak menerimanya dan mendatangi Nabi ﷺ untuk menanyakan tentang nafkahnya. Maka beliau bersabda: “Tidak ada nafkah bagimu kecuali jika engkau sedang hamil.”

وَرُوِيَ أَنَّهُ قَالَ لَهَا: ” إِنَّمَا النَّفَقَةُ لِلَّتِي يَمْلِكُ زَوْجُهَا رَجَعَتْهَا “. وَلِأَنَّهَا زَوْجِيَّةٌ زَالَتْ فَوَجَبَ أن تسقط النفقة بزوالها كالوفاة، ولأنه بَائِنٌ فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ نَفَقَتُهَا كَغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا، وَلِأَنَّ النَّفَقَةَ فِي مُقَابَلَةِ التَّمْكِينِ فَإِذَا زَالَ التَّمْكِينُ سَقَطَتِ النَّفَقَةُ، وَلِأَنَّهُ يَمْلِكُ الِاسْتِمْتَاعَ بِزَوْجَتِهِ كَمَا يَمْلِكُ رِقَّ أَمَتِهِ، فَلَمَّا سَقَطَتْ نَفَقَةُ الْأَمَةِ بِزَوَالِ مِلْكِهِ عَنْ رِقِّهَا وَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ بِزَوَالِ مِلْكِهِ عَنِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا.

Diriwayatkan pula bahwa beliau bersabda kepadanya: “Sesungguhnya nafkah itu hanya untuk wanita yang suaminya masih berhak merujuknya.” Karena status pernikahan telah hilang, maka wajiblah gugur nafkah dengan hilangnya status tersebut sebagaimana dalam kasus kematian. Dan karena ia telah menjadi ba’in, maka wajib gugur nafkahnya sebagaimana wanita yang belum pernah digauli. Selain itu, nafkah diberikan sebagai imbalan atas adanya kesempatan bagi suami untuk menikmati istrinya. Jika kesempatan itu hilang, maka gugurlah nafkah. Sebagaimana suami berhak menikmati istrinya sebagaimana ia berhak atas budaknya, maka ketika nafkah budak gugur karena hilangnya kepemilikan atasnya, demikian pula nafkah istri gugur karena hilangnya hak suami untuk menikmati dirinya.

فَأَمَّا عَنِ الْجَوَابِ عَنِ الْآيَةِ فهو وروده في السكنى بدليل قوله تعالى: {ولا تضارهن} . وَآخِرُ الْآيَةِ فِي النَّفَقَةِ دَلِيلُنَا لِاشْتِرَاطِ الْحَمْلِ في وجوبها واثر عمر فمنقطع، لأن راويه النَّخَعِيِّ وَلَمْ يَلْحَقْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَإِنِ اتَّصَلَ لَكَانَ حَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَوْلَى مِنْهُ، لِأَنَّ الْخَبَرَ فِيهَا وَارِدٌ فَكَانَتْ بِمَا تَضَمَّنَهُ أَخْبَرَ كَمَا أَخَذَ الْفُقَهَاءُ فِي الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ بِحَدِيثِ عَائِشَةَ وَقَوْلِهَا: ” فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاغْتَسَلْنَا “، وَلَوِ اسْتَدَلَّ بِالْحَمْلِ عَلَى أَنَّ طَلَاقَهَا رَجْعِيٌّ فَأَوْجَبَ لَهَا النَّفَقَةَ وَالسُّكْنَى بِحَدِيثِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَلِمَا عَلِمَ أَنَّهُ بَائِنٌ أَسْقَطَ نَفَقَتَهَا وَأَوْجَبَ سُكْنَاهَا بِحَدِيثِ فَاطِمَةَ كَمَا أَقْطَعَ الْأَبْيَضَ بْنَ حَمَّالٍ مِلْحَ مُآبٍ، فَلَمَّا قِيلَ لَهُ إِنَّهُ كَالْمَاءِ الْعَدِّ قَالَ: ” فَلَا إذن “، وقياسهم عَلَى الرَّجْعِيَّةِ فَالْمَعْنَى فِيهَا رَجْعَتُهَا، وَالْبَائِنُ فِي حُكْمِ الْأَجْنَبِيَّاتِ لِعَدَمِ التَّوَارُثِ وَسُقُوطِ أَحْكَامِ الزَّوْجِيَّةِ بينهما وأنا مُحَرَّمَةٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، وَبِمِثْلِهِ يُجَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الزَّوْجَةِ، وَتَعْلِيلُهُمْ بِأَنَّهَا مَحْبُوسَةٌ عَنِ الْأَزْوَاجِ لِحَقِّهِ يَفْسَدُ بِالْمُتَوَفَّى عَنْهَا زوجها وبالموطوئة بالشبهة، وقياسهم عَلَى السُّكْنَى فَالْمَعْنَى فِيهِ وُجُوبُ السُّكْنَى لِتَحْصِينِ مَائِهِ وَذَلِكَ يَسْتَوِي فِي حَالِ الزَّوْجِيَّةِ وَبَعْدَهَا، وَالنَّفَقَةُ لِأَجْلِ التَّمْكِينِ وَذَلِكَ فِي حَالِ الزَّوْجِيَّةِ فَخَالَفَ لِمَا بَعْدَهَا. . وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun jawaban atas dalil ayat tersebut adalah bahwa ayat itu turun berkaitan dengan tempat tinggal, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka.” Dan akhir ayat yang berkaitan dengan nafkah adalah dalil kami bahwa kehamilan menjadi syarat wajibnya nafkah. Adapun atsar dari Umar, sanadnya terputus karena perawinya, An-Nakha‘i, tidak bertemu dengan Umar radhiyallahu ‘anhu. Andaipun sanadnya bersambung, maka hadits Fathimah binti Qais lebih utama, karena berita tentangnya lebih jelas dan rinci, sebagaimana para fuqaha mengambil hukum bertemunya dua khitan (hubungan suami istri) dari hadits Aisyah dan perkataannya: “Aku melakukannya bersama Rasulullah ﷺ lalu kami mandi.” Jika ada yang berdalil dengan kehamilan bahwa talaknya adalah raj‘i sehingga mewajibkan nafkah dan tempat tinggal berdasarkan hadits Umar radhiyallahu ‘anhu, maka ketika diketahui bahwa talaknya ba’in, gugurlah nafkahnya dan tetap wajib tempat tinggalnya berdasarkan hadits Fathimah, sebagaimana Umar memutuskan untuk tidak memberikan garam Ma’ab kepada Al-Abyadh bin Hammal setelah mengetahui bahwa garam itu seperti air yang mengalir, maka beliau berkata: “Kalau begitu, tidak.” Qiyās mereka terhadap talak raj‘i, sebabnya adalah karena suami masih bisa merujuk istrinya, sedangkan talak ba’in hukumnya seperti wanita asing karena tidak ada hak waris dan gugurnya hukum-hukum pernikahan di antara keduanya, dan ia menjadi haram dinikmati oleh mantan suaminya. Demikian pula jawaban atas qiyās mereka terhadap istri, dan alasan mereka bahwa wanita tersebut terhalang menikah demi hak suami menjadi batal dengan kasus wanita yang ditinggal mati suaminya dan wanita yang digauli karena syubhat. Qiyās mereka terhadap tempat tinggal, sebabnya adalah kewajiban tempat tinggal untuk menjaga kehormatan anak, dan itu berlaku baik dalam masa pernikahan maupun setelahnya, sedangkan nafkah diberikan karena adanya kesempatan (tamkin), dan itu hanya ada dalam masa pernikahan, sehingga berbeda dengan setelahnya. Wallahu a‘lam.

(النَّفَقَةُ فِي حال الفسخ)

(Nafkah dalam kasus pembatalan pernikahan)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكُلُّ مَا وَصَفْتُ مِنْ مُتْعَةٍ أَوْ نَفَقَةٍ أَوْ سُكْنَى فَلَيْسَتْ إِلَّا فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ فَأَمَّا كُلُّ نِكَاحٍ كَانَ مَفْسُوخًا فَلَا نَفَقَةَ حَامِلًا أَوْ غَيْرَ حَامِلٍ “.

Imam Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Segala sesuatu yang telah aku sebutkan berupa mut‘ah, nafkah, atau tempat tinggal, semuanya hanya berlaku dalam pernikahan yang sah. Adapun setiap pernikahan yang dibatalkan, maka tidak ada nafkah, baik wanita itu hamil maupun tidak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: النِّكَاحُ ضربان: صحيح، وفاسد. وصحيح يَرْتَفِعُ بِثَلَاثَةِ أَنْوَاعٍ: طَلَاقٌ وَوَفَاةٌ وَفَسْخٌ.

Al-Mawardi berkata: Nikah itu ada dua macam: sah dan fasid (rusak/tidak sah). Nikah yang sah bisa berakhir dengan tiga cara: talak, wafat, dan fasakh (pembatalan).

فَأَمَّا الطَّلَاقُ فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي اسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ وَالسُّكْنَى فِي الرَّجْعِيِّ وَوُجُوبِ السُّكْنَى دُونَ النَّفَقَةِ فِي الْبَائِنِ، وَأَمَّا الْمُرْتَفِعُ بِالْوَفَاةِ فَيَأْتِي.

Adapun talak, telah dijelaskan sebelumnya tentang hak nafkah dan tempat tinggal bagi wanita yang ditalak raj‘i, dan kewajiban tempat tinggal tanpa nafkah bagi wanita yang ditalak ba’in. Adapun yang berakhir karena wafat, akan dijelaskan kemudian.

وَأَمَّا الْفَسْخُ فَلَا مُتْعَةَ فِيهِ لِأَنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ بِالطَّلَاقِ وَهُوَ مَفْقُودٌ وَتَسْتَحِقُّ بِهِ السُّكْنَى دُونَ النَّفَقَةِ كَالْبَائِنِ. لِأَنَّهُ يَسْتَنِدُ إِلَى عَقْدٍ صَحِيحٍ وَأَمَّا النِّكَاحُ الْفَاسِدُ كَالْمُتْعَةِ وَالشِّغَارِ، وَالنِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَلَا شُهُودٍ أَوْ فِي عِدَّةٍ أَوْ إِحْرَامٍ، فَإِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ دُخُولٌ فَلَا صَدَاقَ فِيهِ وَلَا مُتْعَةَ وَلَا سُكْنَى وَلَا نَفَقَةَ، وَإِنِ اقْتَرَنَ بِهِ دُخُولٌ فَفِيهِ مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، وَلَا مُتْعَةَ فِيهِ لِعَدَمِ الطَّلَاقِ، وَلَا تَخْلُو الْمَوْطُوءَةُ فِيهِ مِنْ أَنْ تَكُونَ حَائِلًا أَوْ حَامِلًا، فَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا فَلَا سُكْنَى لَهَا وَلَا نَفَقَةَ، لِأَنَّهَا لَمْ تَسْتَحِقَّهَا فِي حَالِ الِاجْتِمَاعِ فَأَوْلَى أَنْ لَا تَسْتَحِقَّهَا بَعْدَ الِافْتِرَاقِ، وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَفِي وُجُوبِ السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ لَهَا قَوْلَانِ مُخَرَّجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي نَفَقَةِ الْحَامِلِ هَلْ وَجَبَتْ لَهَا أَوْ لِحَمْلِهَا؟ فَإِنْ قِيلَ بِوُجُوبِهَا لَهَا فَلَا نَفَقَةَ لَهَا؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَسْتَحِقَّ النَّفَقَةَ فِي حَالِ التَّمْكِينِ فَأَوْلَى أَنْ لَا تَسْتَحِقَّهَا بَعْدَهُ، وَإِنْ قِيلَ بِوُجُوبِهَا لِلْحَمْلِ: كَانَ لَهَا النَّفَقَةُ وَقِيلَ فِي السُّكْنَى أَيْضًا تَبَعٌ لِلنَّفَقَةِ، لِأَنَّ حَمْلَهَا فِي اللُّحُوقِ كَحَمْلِ ذَاتِ النِّكَاحِ الصحيح فكان له النَّفَقَةُ فِي الْحَالَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun fasakh, maka tidak ada mut‘ah di dalamnya karena mut‘ah itu menjadi hak akibat talak, sedangkan talak tidak ada pada kasus ini. Namun, perempuan berhak mendapatkan tempat tinggal (sukna) karena fasakh, tetapi tidak berhak atas nafkah, sebagaimana perempuan yang ditalak bain. Sebab, fasakh bersandar pada akad yang sah. Adapun nikah fasid seperti nikah mut‘ah, syighar, nikah tanpa wali dan tanpa saksi, atau dalam masa iddah, atau dalam keadaan ihram, maka jika tidak terjadi hubungan suami istri (dakhul), tidak ada mahar, mut‘ah, tempat tinggal, maupun nafkah. Namun, jika terjadi hubungan suami istri, maka wajib diberikan mahar mitsil (mahar yang sepadan) bukan mahar yang telah disebutkan dalam akad, dan tidak ada mut‘ah karena tidak ada talak. Perempuan yang telah digauli dalam nikah fasid tidak lepas dari dua keadaan: hamil atau tidak hamil. Jika ia tidak hamil, maka tidak ada hak tempat tinggal dan nafkah baginya, karena ia tidak berhak atas keduanya saat masih bersama, maka lebih utama lagi ia tidak berhak setelah berpisah. Jika ia hamil, maka dalam hal kewajiban tempat tinggal dan nafkah baginya terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang nafkah bagi perempuan hamil: apakah nafkah itu wajib untuk dirinya atau untuk janinnya? Jika dikatakan nafkah itu wajib untuk dirinya, maka ia tidak berhak atas nafkah, karena ia tidak berhak atas nafkah saat masih bersama, maka lebih utama lagi ia tidak berhak setelah berpisah. Namun, jika dikatakan nafkah itu wajib untuk janinnya, maka ia berhak atas nafkah, dan ada pula pendapat bahwa tempat tinggal juga mengikuti nafkah, karena kehamilannya dalam hal nasab seperti kehamilan perempuan dengan nikah yang sah, sehingga ia berhak atas nafkah dalam kedua keadaan tersebut. Dan Allah Maha Mengetahui.

(أَحْكَامُ الْحَمْلِ في النفقة)

(Hukum-hukum Kehamilan dalam Nafkah)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنِ ادَّعَتِ الْحَمْلَ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا إِنَّهُ لَا يُعْلَمُ بِيَقِينٍ حَتَّى تَلِدَ فَتُعْطَى نَفَقَةَ ما مضى لها، وهكذا لو أوصى لحمل أو كان الوارث أو الموصى له غائبا فلا يعطى إلا بيقين أرأيت لو أعطيناها بقول النساء ثم أنفس أليس قد أعطينا من ماله ما لم يجب عليه، والقول الثاني أن تحصى من يوم فارقها فإذا قال النساء بها حمل أنفق عليها حتى تضع ولما مضى (قال المزني) رحمه الله هذا عندي أولى بقوله لأن الله عز وجل أوجب بالحمل والنفقة وحملها قبل أن تضع “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang perempuan mengaku hamil, maka ada dua pendapat: salah satunya, kehamilan itu tidak dapat dipastikan secara yakin hingga ia melahirkan, sehingga ia diberikan nafkah atas masa yang telah berlalu baginya. Demikian pula jika seseorang berwasiat untuk janin, atau ahli waris atau penerima wasiat itu sedang tidak ada, maka tidak diberikan kecuali setelah ada keyakinan. Bagaimana menurutmu jika kami memberikannya hanya berdasarkan ucapan para perempuan, lalu ternyata ia melahirkan dalam keadaan tidak hamil, bukankah berarti kami telah memberikan hartanya untuk sesuatu yang tidak wajib baginya? Pendapat kedua, nafkah dihitung sejak hari perpisahan, dan jika para perempuan mengatakan ia hamil, maka ia dinafkahi hingga melahirkan, termasuk untuk masa yang telah berlalu. (Al-Muzani rahimahullah berkata:) Menurutku, pendapat ini lebih sesuai dengan perkataan Imam Syafi‘i, karena Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan nafkah karena kehamilan, dan kehamilan itu sudah ada sebelum melahirkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْأَحْكَامَ الْمُتَعَلِّقَةَ بِالْحَمْلِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan kehamilan terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا يُعْمَلُ فِيهِ عَلَى الْيَقِينِ بِالْوِلَادَةِ وَلَا يُعْمَلُ فِيهِ عَلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ قَبْلَ الْوَضْعِ وَذَلِكَ الْمِيرَاثُ وَالْوَصِيَّةُ لَهُ أَوْ بِهِ. فَإِذَا بَانَتْ لِمَا رَأَتْ وَغَلَبَ وُجُودُهُ فِي الظَّنِّ كَانَ حُكْمُ الْمِيرَاثِ وَالْوَصِيَّةِ مَوْقُوفًا عَلَى أَمْرِهِ بَعْدَ وَضْعِهِ.

Pertama: Hukum yang didasarkan pada keyakinan setelah kelahiran, dan tidak didasarkan pada dugaan kuat sebelum melahirkan, yaitu warisan dan wasiat untuk janin atau karena janin. Jika kehamilan telah nyata dan dugaan kuat adanya janin telah muncul, maka hukum warisan dan wasiat tetap bergantung pada keadaannya setelah melahirkan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا يُعْمَلُ فِيهِ عَلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ وَلَا يُوقَفُ عَلَى الْيَقِينِ بِالْوِلَادَةِ كَقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ ” وَكَقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي إِبِلِ الدِّيَةِ: ” مِنْهَا أَرْبَعُونَ خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا “.

Bagian kedua: Hukum yang didasarkan pada dugaan kuat dan tidak menunggu keyakinan setelah kelahiran, seperti sabda Nabi ﷺ: “Janganlah seorang perempuan hamil digauli hingga ia melahirkan,” dan sabda beliau ﷺ tentang unta diyat: “Di antaranya ada empat puluh ekor yang sedang bunting dan di dalam perutnya ada anaknya.”

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ هَلْ يُعْمَلُ فِيهِ عَلَى الْيَقِينِ أَوْ عَلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ وَهُوَ نَفَقَةُ الْحَامِلِ فِي عِدَّتِهَا.

Bagian ketiga: Hukum yang dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi‘i, apakah didasarkan pada keyakinan atau pada dugaan kuat? Ada dua pendapat, yaitu tentang nafkah bagi perempuan hamil dalam masa iddahnya.

أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: أَنَّ الْعَمَلَ فِيهَا عَلَى الْيَقِينِ وَأَنْ لَا يَدْفَعَ النَّفَقَةَ إِلَيْهَا إِلَّا بَعْدَ الْوِلَادَةِ كَالْمِيرَاثِ وَالْوَصِيَّةِ لِجَوَازِ أَنْ يكون ما ظن بها من الحمل غلطاً أَوْ رِيحًا فَانْفَشَّ وَلَا تَسْتَحِقُّ بِهِ نَفَقَةً وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ إِيجَابُ حَقٍّ بِشَكٍّ.

Salah satu pendapat: Hukum ini didasarkan pada keyakinan, dan nafkah tidak diberikan kepadanya kecuali setelah melahirkan, sebagaimana warisan dan wasiat, karena bisa jadi apa yang disangka sebagai kehamilan itu ternyata keliru atau hanya angin, sehingga hilang dan ia tidak berhak atas nafkah. Tidak boleh menetapkan suatu hak berdasarkan keraguan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ وَأَكْثَرِ الصَّحَابَةِ، وَهُوَ الْأَظْهَرُ أَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ عَلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ.

Pendapat kedua, yang dipilih oleh Al-Muzani dan mayoritas sahabat (ulama Syafi‘iyah), dan ini yang lebih kuat, bahwa hukum ini didasarkan pada dugaan kuat.

فَإِذَا قَالَ أَرْبَعَةٌ مِنْ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ مِنَ الْقَوَابِلِ إِنَّ بِهَا حَمْلًا حَكَمْنَا لَهَا بِالنَّفَقَةِ وَإِنْ جَازَ خِلَافُهُ فِي الْبَاطِنِ كَمَا قُلْنَا فِي تَحْرِيمِ الْوَطْءِ وَالرَّدِّ بِعَيْبِهِ فِي الْبَيْعِ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ لَهَا النَّفَقَةَ فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ وَالْفَرْقُ بَيْنَ النَّفَقَةِ حَيْثُ عُمِلَ فِيهَا عَلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ وَبَيْنَ الْمِيرَاثِ وَالْوَصِيَّةِ حَيْثُ عُمِلَ فِيهِمَا عَلَى الْيَقِينِ أَنَّ النَّفَقَةَ تُسْتَحَقُّ بِالْحَمْلِ حَيًّا وَمَيِّتًا فَجَازَ أَنْ يَحْكُمَ بِهِ قَبْلَ الْوِلَادَةِ وَالْمِيرَاثُ وَالْوَصِيَّةُ مُتَعَلِّقَانِ بحياة فلم يتعلق إِلَّا بَعْدَ الْوِلَادَةِ. فَإِذَا قِيلَ بِالْأَوَّلِ إِنَّهُ لَا يَعْمَلُ بِالنَّفَقَةِ عَلَى الْيَقِينِ وَقَفَ أَمْرُ الْحَامِلِ حَتَّى تَضَعَ، فَإِذَا وَضَعَتْ حَيًّا أَوْ مَيِّتًا تَامًّا أَوْ نَاقِصًا أُعْطِيَتْ نَفَقَةَ مَا مَضَى لَهَا إِلَى أَنْ وَضَعَتْ وَلَا تُعْطَى النَّفَقَةَ فِي مُدَّةِ نِفَاسِهَا، لِأَنَّهَا تَحِلُّ فِيهِ لِعَقْدِ الْأَزْوَاجِ، وَإِذَا قِيلَ إِنَّهُ يُعْمَلُ فِيهِ عَلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ أُعْطِيَتْ نَفَقَةَ يَوْمٍ بِيَوْمٍ، فَإِنْ وَلَدَتْ لِمُدَّةِ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ تَحَقَّقَ اسْتِحْقَاقُهَا لِمَا أَحْدَثَ وَإِنِ انْفَشَّ مَا بِهَا أَوْ وَلَدَتْ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَصَاعِدًا اعلم أَنَّهَا لَمْ تَسْتَحِقَّ مَا أَحْدَثَ فَيَسْتَرْجِعُ جَمِيعَهُ إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا، وَإِنْ كَانَ رَجْعِيًّا اسْتَرْجَعَ مَا زَادَ عَلَى نَفَقَةِ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.

Apabila empat orang perempuan yang terpercaya dari kalangan bidan mengatakan bahwa seorang perempuan itu hamil, maka kami menetapkan baginya hak nafkah, meskipun secara batin masih dimungkinkan adanya perbedaan pendapat, sebagaimana telah kami jelaskan dalam hal pengharaman hubungan suami istri dan pengembalian barang karena cacat dalam jual beli. Hal ini karena Allah Ta‘ala telah mewajibkan nafkah baginya selama masa kehamilan. Perbedaan antara nafkah—yang dalam penetapannya didasarkan pada dugaan kuat—dengan warisan dan wasiat—yang dalam penetapannya didasarkan pada keyakinan—adalah bahwa nafkah berhak diberikan karena kehamilan, baik janin itu hidup maupun mati, sehingga boleh diputuskan sebelum kelahiran. Adapun warisan dan wasiat terkait dengan kehidupan, sehingga tidak berlaku kecuali setelah kelahiran. Maka, jika dikatakan pada pendapat pertama bahwa nafkah tidak diberikan kecuali dengan keyakinan, maka urusan perempuan hamil ditangguhkan hingga ia melahirkan. Jika ia melahirkan, baik anaknya hidup atau mati, sempurna atau cacat, maka ia diberikan nafkah selama masa yang telah berlalu hingga ia melahirkan, dan tidak diberikan nafkah selama masa nifasnya, karena pada masa itu ia telah halal untuk dinikahi kembali. Namun, jika dikatakan bahwa nafkah diberikan berdasarkan dugaan kuat, maka ia diberikan nafkah hari demi hari. Jika ia melahirkan dalam rentang waktu empat tahun sejak perceraian, maka terbukti haknya atas nafkah yang telah diberikan. Namun, jika kandungannya gugur atau ia melahirkan setelah empat tahun atau lebih, maka diketahui bahwa ia tidak berhak atas nafkah yang telah diberikan, sehingga seluruh nafkah tersebut harus dikembalikan jika talaknya adalah talak bain. Jika talaknya adalah talak raj‘i, maka yang dikembalikan adalah kelebihan dari nafkah selama tiga kali masa suci, sebagaimana akan kami jelaskan.

(الْقَوْلُ فِي نَفَقَةِ الْمُلَاعَنَةِ)

(Pembahasan tentang nafkah bagi perempuan yang melakukan mula‘anah)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ ظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ فَنَفَاهُ وَقَذَفَهَا لَاعَنَهَا وَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika tampak pada perempuan itu kehamilan, lalu suaminya menafikannya dan menuduhnya berzina, kemudian melakukan mula‘anah, maka tidak ada kewajiban nafkah atasnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا نَفَى حَمْلَ زَوْجَتِهِ وَلَاعَنَ مِنْهَا بَعْدَ قَذْفِهِ صَحَّ لِعَانُهُ مِنَ الْحَمْلِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ فِيهِ. لِأَنَّ نَفْيَهُ تَبَعٌ لِرَفْعِ الْفِرَاشِ وَلَهَا السُّكْنَى فِي مُدَّةِ الْعِدَّةِ، لِأَنَّهَا فُرْقَةٌ عَنْ نِكَاحٍ صَحِيحٍ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Jika seorang suami menafikan kehamilan istrinya dan melakukan mula‘anah setelah menuduhnya, maka mula‘anahnya sah terhadap kehamilan itu menurut dua pendapat dalam masalah ini. Karena penafian itu mengikuti pembatalan hubungan suami istri, dan perempuan itu tetap berhak atas tempat tinggal selama masa ‘iddah, karena perpisahan itu terjadi dari pernikahan yang sah.

وَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا لِانْتِفَاءِ حَمْلِهَا عَنْهُ بِاللِّعَانِ فَصَارَتْ كَالْحَائِلِ سواء قيل إن النفقة لحملها أولها لِأَجْلِ الْحَمْلِ، فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِوَضْعِهِ كَمَا لَوْ كَانَ لَاحِقًا بِهِ، فَهَلَّا وَجَبَتْ لَهَا النَّفَقَةُ كَاللَّاحِقِ؟ قِيلَ: الْعِدَّةُ تَجِبُ لاستبراء الرحم وَالتَّعَبُّدِ وَلِئَلَّا يَلْحَقَ بِزَوْجٍ غَيْرِهِ وَهُوَ أَقْوَى مَا يَقَعُ بِهِ الِاسْتِبْرَاءُ، فَاسْتَوَى فِي الِاسْتِبْرَاءِ وَانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِهِ مَنْ يَلْحَقُ وَمَنْ لَا يَلْحَقُ، وَالنَّفَقَةُ تَجِبُ لِلْحَمْلِ لِأَنَّهُ مُنَاسِبٌ وَالْمَنْفِيَّ غَيْرُ مُنَاسِبٍ فَلَمْ تَجِبْ لَهُ وَلَا نَفَقَةَ، فَإِنْ نَفَى حَمْلَهَا بَعْدَ أَنْ أَبَانَهَا بِالْخُلْعِ أَوْ بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، فَفِي جَوَازِ لِعَانِهِ مِنْهَا لِنَفْيِ الْحَمْلِ قَوْلَانِ، مَضَيَا فِي كِتَابِ اللِّعَانِ.

Tidak ada nafkah baginya meskipun ia hamil, karena kehamilannya telah dinyatakan bukan dari suaminya melalui mula‘anah, sehingga ia seperti perempuan yang tidak hamil, baik dikatakan bahwa nafkah itu karena kehamilannya atau karena janin yang dikandungnya. Jika ada yang bertanya: Jika masa ‘iddahnya berakhir dengan kelahiran janin, sebagaimana jika janin itu diakui sebagai anak suaminya, mengapa tidak wajib baginya nafkah seperti halnya janin yang diakui? Dijawab: Masa ‘iddah itu diwajibkan untuk memastikan kekosongan rahim, sebagai bentuk ibadah, dan agar janin tidak dinisbatkan kepada suami lain, dan ini adalah cara yang paling kuat untuk memastikan kekosongan rahim. Maka, dalam hal memastikan kekosongan rahim dan berakhirnya masa ‘iddah dengan kelahiran, sama saja antara janin yang diakui dan yang tidak diakui. Adapun nafkah, itu diwajibkan karena janin yang sesuai (dinasabkan kepada suami), sedangkan janin yang dinafikan tidak sesuai, sehingga tidak wajib baginya nafkah. Jika suami menafikan kehamilan istrinya setelah menceraikannya dengan khulu‘ atau talak tiga, maka dalam hal bolehnya melakukan mula‘anah untuk menafikan kehamilan ada dua pendapat, yang telah dijelaskan dalam Kitab al-Li‘an.

أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لَهُ نَفْيُهُ اعْتِبَارًا بِغَلَبَةِ الظَّنِّ فِي نَفْيِهِ وَنَفَقَتِهِ، فَعَلَى هَذَا تَسْقُطُ عَنْهُ النَّفَقَةُ إِذَا لَاعَنَ وَرَجَعَ عَلَيْهَا بِمَا أَنْفَقَ.

Salah satunya: Boleh baginya menafikan kehamilan berdasarkan dugaan kuat dalam penafian dan nafkahnya. Maka, dalam hal ini, gugurlah kewajiban nafkah jika telah dilakukan mula‘anah, dan suami boleh mengambil kembali nafkah yang telah diberikan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ أَنْ يُلَاعِنَ لِنَفْيِهِ حَتَّى تَضَعَ اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ فِي نَفْيِهِ وَنَفَقَتِهِ فَعَلَى هَذَا إِذَا وَضْعَتْ لَاعَنَ وَسَقَطَتْ عَنْهُ النفقة.

Pendapat kedua: Tidak boleh melakukan mula‘anah untuk menafikan kehamilan kecuali setelah perempuan itu melahirkan, berdasarkan keyakinan dalam penafian dan nafkahnya. Maka, dalam hal ini, jika perempuan itu telah melahirkan, barulah dilakukan mula‘anah dan gugurlah kewajiban nafkah.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: فَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ حُدَّ وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ ثُمَّ أَخَذَتْ مِنْهُ النَّفَقَةَ الَّتِي بَطَلَتْ عَنْهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia (suami) mengakui kebohongan dirinya sendiri, maka ia dikenai had dan anak itu dinisbatkan kepadanya, kemudian perempuan itu mengambil nafkah yang sebelumnya telah gugur darinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا أَكْذَبَ نَفْسَهُ بَعْدَ نَفْيِ حَمْلِهَا أَوْ وَلَدِهَا بِاللِّعَانِ.

Al-Mawardi berkata: Jika suami mengakui kebohongan dirinya sendiri setelah menafikan kehamilan atau anaknya melalui mula‘anah.

وَإِكْذَابُهُ لِنَفْسِهِ قَدْ يَكُونُ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا بِأَنْ يُكَذِّبَ نَفْسَهُ فِي قَذْفِهَا، وَإِمَّا أَنْ يُكَذِّبَ نَفْسَهُ فِي نَفْيِ وَلَدِهَا فَيَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ فِي الْحَالَيْنِ، وَيُحَدُّ بِقَذْفِهَا عَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ، وَيَتَبَيَّنُ بِذَلِكَ أَنَّهَا كَانَتْ مُسْتَحِقَّةً لِلنَّفَقَةِ فِي أَيَّامِ حَمْلِهَا فَتَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالنَّفَقَةِ مُدَّةَ حَمْلِهَا، وَلَا يَكُونُ لِلِعَانِهِ تَأْثِيرٌ فِي سُقُوطِهَا كَمَا لَمْ يُؤَثِّرْ فِي نَفْيِ وَلَدِهَا.

Dan penolakan (ikdzāb) seorang suami terhadap dirinya sendiri dapat terjadi dalam dua bentuk: pertama, ia mendustakan dirinya sendiri dalam tuduhan zina terhadap istrinya; kedua, ia mendustakan dirinya sendiri dalam penafian anaknya, sehingga anak tersebut tetap dinisbatkan kepadanya dalam kedua keadaan tersebut. Ia tetap dikenai had karena menuduh istrinya pada kedua bentuk itu. Dengan demikian, jelaslah bahwa istrinya berhak mendapatkan nafkah selama masa kehamilannya, sehingga ia dapat menuntut nafkah selama masa kehamilan tersebut. Li‘ān yang dilakukan suami tidak berpengaruh terhadap gugurnya hak nafkah, sebagaimana li‘ān juga tidak berpengaruh dalam penafian anaknya.

(الْعَمَلُ بِقَوْلِ الْقَوَابِلِ في النفقة)

(Penerapan Pendapat Para Bidan dalam Masalah Nafkah)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَعْطَاهَا بِقَوْلِ الْقَوَابِلِ أَنَّ بِهَا حَمْلًا ثُمَّ عَلِمَ أَنْ لَمْ يَكُنْ بِهَا حَمْلٌ أَوْ أَنْفَقَ عَلَيْهَا فَجَاوَزَتْ أَرْبَعَ سِنِينَ رَجَعَ عَلَيْهَا بِمَا أَخَذَتْ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia memberikan nafkah kepada istrinya berdasarkan keterangan para bidan bahwa istrinya hamil, kemudian diketahui ternyata istrinya tidak hamil, atau ia telah menafkahinya hingga melewati empat tahun, maka ia boleh menarik kembali apa yang telah diberikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا بَانَتْ مِنْهُ بِالْخُلْعِ أَوْ بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ وَادَّعَتِ الْحَمْلَ فَصَدَّقَهَا أَوْ أَنْكَرَ فَشَهِدَ الْقَوَابِلُ بِحَمْلِهَا وَدَفَعَ النَّفَقَةَ إِلَيْهَا ثُمَّ بَانَ أَنْ لَا حَمْلَ بِهَا أَوْ وَضَعَتْ وَلَدًا لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ لَا يَلْحَقُ بِهِ، لَمْ يَخْلُ حَالُهُ فِي النَّفَقَةِ مِنْ أَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Jika seorang wanita berpisah dari suaminya karena khulu‘ atau talak tiga, lalu ia mengaku hamil dan suaminya membenarkan atau mengingkarinya, kemudian para bidan bersaksi bahwa ia hamil dan suami memberikan nafkah kepadanya, lalu ternyata diketahui bahwa ia tidak hamil, atau ia melahirkan anak setelah lebih dari empat tahun (yang tidak dinisbatkan kepada suami), maka dalam hal nafkah, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِحُكْمِ حَاكِمٍ فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا؛ لِأَنَّهُ دَفَعَهَا مُجْبَرًا، وَقَدْ عَلِمَ سُقُوطَهَا فَاسْتَحَقَّ الرُّجُوعَ بِهَا، لِأَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ كَانَ بِظَاهِرٍ بَانَ خِلَافُهُ فَبَطَلَ، كَمَا لَوْ حَكَمَ بِاجْتِهَادٍ خَالَفَ فِيهِ نَصًّا.

Pertama: Jika nafkah itu diberikan berdasarkan keputusan hakim, maka suami boleh menarik kembali nafkah tersebut, karena ia memberikannya secara terpaksa, dan setelah diketahui gugurnya hak nafkah, ia berhak menariknya kembali. Sebab, keputusan hakim didasarkan pada bukti lahiriah yang ternyata bertentangan dengan kenyataan, sehingga batal, sebagaimana jika hakim memutuskan berdasarkan ijtihad yang bertentangan dengan nash.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ دَفَعَ النَّفَقَةَ إِلَيْهَا بِغَيْرِ حُكْمٍ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّ النفقة للحامل فتستحقه في الحال يوماً بيوم رَجَعَ بِمَا أَنْفَقَ، وَإِنْ صَدَّقَ عَلَى الْحَمْلِ لِأَنَّ الْيَقِينَ قَدْ رَفَعَ حُكْمَ التَّصْدِيقِ، وَيَكُونُ دَفْعُهَا بِغَيْرِ حُكْمٍ كَدَفْعِهَا عَلَى هَذَا الْقَوْلِ بِحُكْمٍ، لِأَنَّهُ لَوْ حُوكِمَ لَأُجْبِرَ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّ نَفَقَةَ الْحَامِلِ لَا تَسْتَحِقُّ إِلَّا بَعْدَ الْوَضْعِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ عِنْدَ الدَّفْعِ مِنْ أَنْ يَشْتَرِطَ فِيهَا التَّعْجِيلَ أَوْ لَا يَشْتَرِطَ، فَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطِ فِيهَا التَّعْجِيلَ لَمْ يَرْجِعْ بِهَا، لِأَنَّهَا مِنْهُ تَطَوُّعٌ، وَإِنِ اشْتَرَطَ فِيهَا التَّعْجِيلَ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Jika ia memberikan nafkah tanpa keputusan hakim, maka jika dikatakan bahwa nafkah bagi wanita hamil adalah hak yang harus diberikan saat itu juga, hari demi hari, maka suami boleh menarik kembali apa yang telah ia berikan, meskipun ia telah membenarkan kehamilan tersebut, karena keyakinan telah menghapus hukum pembenaran sebelumnya. Memberikan nafkah tanpa keputusan hakim dalam hal ini sama dengan memberikannya berdasarkan keputusan hakim, karena jika ia dibawa ke pengadilan, ia pasti akan dipaksa untuk memberikan nafkah. Namun, jika dikatakan bahwa nafkah bagi wanita hamil tidak menjadi hak kecuali setelah melahirkan, maka ketika memberikan nafkah, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia mensyaratkan percepatan pembayaran atau tidak. Jika ia tidak mensyaratkan percepatan, maka ia tidak boleh menarik kembali nafkah tersebut, karena itu dianggap sebagai pemberian sukarela darinya. Namun jika ia mensyaratkan percepatan, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: لَوْ تَضَمَّنَهَا الرُّجُوعُ بِهَا إِنِ انْفَشَّ حَمْلُهَا فَلَهُ الرُّجُوعُ اعْتِبَارًا بِالشَّرْطِ.

Pertama: Jika ia mensyaratkan boleh menarik kembali nafkah jika ternyata istrinya tidak hamil, maka ia boleh menariknya kembali sesuai dengan syarat tersebut.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُضَمِّنَهَا الرُّجُوعَ بِهَا فَفِي اسْتِرْجَاعِهَا وَجْهَانِ: أَصَحُّهُمَا يَرْجِعُ بِهَا تَغْلِيبًا لِحُكْمِ مَا اشْتَرَطَهُ مِنَ التَّعْجِيلِ، كَمَا يَسْتَرْجِعُ تَعْجِيلَ الزَّكَاةِ عِنْدَ تَلَفِ ماله إذا اشتراطه.

Kedua: Jika ia tidak mensyaratkan boleh menarik kembali nafkah, maka dalam hal penarikan kembali terdapat dua pendapat: yang lebih sahih, ia boleh menarik kembali nafkah tersebut karena mengutamakan ketentuan syarat percepatan, sebagaimana seseorang boleh menarik kembali zakat yang telah disegerakan jika hartanya rusak, apabila ia mensyaratkan demikian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَرْجِعُ بِهَا إِذَا اشْتَرَطَ التَّعْجِيلَ حَتَّى يَشْتَرِطَ التَّضْمِينَ مَعَهُ لِاحْتِمَالِ التَّعْجِيلِ وَإِخْلَالِهِ بِالتَّضْمِينِ الَّذِي هُوَ أَقْوَى، وَلَوْ نَكَحَ امْرَأَةً نِكَاحًا فَاسِدًا وَأَنْفَقَ عَلَيْهَا ثُمَّ عَلِمَ فَسَادَ نِكَاحِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِمَا أَنْفَقَ بِخِلَافِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ نَفَقَةِ الْحَامِلِ.

Pendapat kedua: Ia tidak boleh menarik kembali nafkah jika hanya mensyaratkan percepatan, kecuali juga mensyaratkan penjaminan pengembalian, karena kemungkinan percepatan dan kelalaian dalam penjaminan yang lebih kuat. Jika seseorang menikahi wanita dengan akad yang fasid (rusak) dan telah menafkahinya, lalu diketahui bahwa akad nikahnya tidak sah, maka ia tidak boleh menarik kembali nafkah yang telah diberikan, berbeda dengan nafkah wanita hamil sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ أَنْفَقَ فِي مُقَابَلَةِ الِاسْتِمْتَاعِ وَقَدْ حَصَلَ لَهُ، وَفِي الْحَامِلِ أَنْفَقَ لِأَجْلِ الْوَلَدِ وَلَمْ يَحْصُلْ لَهُ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa dalam nikah fasid, nafkah diberikan sebagai imbalan atas kenikmatan (hubungan suami istri) yang telah ia peroleh, sedangkan dalam kasus wanita hamil, nafkah diberikan karena anak yang ternyata tidak ia peroleh.

(الْقَوْلُ فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ فِي الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ)

(Pembahasan tentang Kewajiban Nafkah dalam Talak Raj‘i)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ فَلَمْ تُقِرَّ بِثَلَاثِ حِيَضٍ أَوْ كَانَ حَيْضُهَا يَخْتَلِفُ فَيَطُولُ وَيَقْصُرُ لَمْ أَجْعَلْ لَهَا إِلَّا الْأَقْصَرَ لِأَنَّ ذَلِكَ اليقين وأطرح الشك (قال المزني) رحمه الله إِذَا حُكِمَ بِأَنَّ الْعِدَّةَ قَائِمَةٌ فَكَذَلِكَ النَّفَقَةُ في القياس لها بالعدة قائمة ولو جاز قطع النفقة بالشك في انقضاء العدة لجاز انقطاع الرجعة بالشك في انقضاء العدة “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika suami masih memiliki hak rujuk, namun istri belum mengakui telah mengalami tiga kali haid, atau masa haidnya tidak teratur sehingga kadang panjang dan kadang pendek, maka aku hanya menetapkan masa terpendek, karena itu adalah yang pasti dan aku tinggalkan keraguan. (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Jika telah diputuskan bahwa masa iddah masih berlangsung, maka demikian pula nafkah tetap wajib menurut qiyās karena iddah masih berjalan. Jika boleh memutuskan nafkah hanya karena ragu telah berakhirnya iddah, maka boleh pula memutuskan hak rujuk hanya karena ragu telah berakhirnya iddah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الطَّلَاقُ الرَّجْعِيُّ فَالنَّفَقَةُ فِي الْعِدَّةِ فِيهِ وَاجِبَةٌ حَامِلًا كَانَتْ أَوْ غَيْرَ حَامِلٍ، لِأَنَّ أَحْكَامَ الزَّوْجَاتِ عَلَيْهَا جَارِيَةٌ وَاسْتِمْتَاعَهُ بِهَا مُمْكِنٌ إِذَا أَرَادَ وَإِنْ أَنْفَقَ عَلَيْهَا وادعت حملاً ظهرت أمارته وَجَبَ لَهَا النَّفَقَةُ مُدَّةَ حَمْلِهَا وَتَتَعَجَّلُهَا يَوْمًا بِيَوْمٍ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهَا تَسْتَحِقُّ النَّفَقَةَ فِي العدة مع وجوب الْحَمْلِ وَعَدَمِهِ فَتَعَجَّلَتْ لِوَقْتِهِ وَلَمْ يُوقَفْ عَلَى الوضع، ولها فيما بعد حالتان:

Al-Mawardi berkata: Adapun talak raj‘i, maka nafkah selama masa ‘iddah wajib diberikan, baik ia sedang hamil maupun tidak, karena hukum-hukum sebagai istri masih berlaku atasnya dan suami masih mungkin menikmati dirinya jika menghendaki. Jika suami telah memberikan nafkah kepadanya dan ia mengaku hamil yang tanda-tandanya tampak, maka wajib baginya diberikan nafkah selama masa kehamilannya, dan nafkah itu diberikan setiap hari secara langsung menurut satu pendapat, karena ia berhak atas nafkah selama masa ‘iddah baik ada kehamilan maupun tidak, sehingga nafkah itu diberikan sesuai waktunya dan tidak ditunda hingga melahirkan. Setelah itu, ia memiliki dua keadaan:

أحدهما: أن تنفش حَمْلُهَا وَيَظْهَرَ أَنَّهُ كَانَ رِيحًا وَغِلَظًا فَتَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ تَسْتَحِقُّ فِيهَا نَفَقَتَهَا وَتَرُدُّ مَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ، وَيُرْجَعُ إِلَى قَوْلِهَا فِي مِقْدَارِ الْأَقْرَاءِ الثَّلَاثَةِ، وَلَا يَخْلُو حَالُهَا فِيمَا تَذْكُرُهُ مِنْ مُدَّةِ أَقْرَائِهَا مِنْ سَبْعَةِ أَقْسَامٍ:

Pertama: Ternyata kehamilannya tidak nyata dan terbukti bahwa itu hanyalah angin atau kembung, maka masa ‘iddahnya selesai dengan tiga kali suci (qur’) di mana ia berhak atas nafkah selama itu dan mengembalikan kelebihan nafkah yang telah diterima. Dalam menentukan jumlah tiga kali suci tersebut, pendapatnya diterima. Dalam hal durasi masa sucinya yang ia sebutkan, terdapat tujuh keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ عَادَتُهَا فِي الْحَيْضِ والظهر مَعْرُوفَةً لَا تَخْتَلِفُ فَتَذْكُرَ قَدْرَ الْعَادَةِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ فَيُقْبَلُ قَوْلُهَا، فَإِنِ ادَّعَى الزَّوْجُ نُقْصَانَ عَادَتِهَا فَلَهُ إِحْلَافُهَا، لِأَنَّ النُّقْصَانَ مُمْكِنٌ.

Pertama: Kebiasaannya dalam haid dan suci sudah diketahui dan tidak berubah, lalu ia menyebutkan sesuai kebiasaannya tanpa penambahan atau pengurangan, maka ucapannya diterima. Jika suami mengklaim adanya pengurangan dari kebiasaannya, maka suami berhak meminta sumpahnya, karena pengurangan itu mungkin terjadi.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ عَادَتُهَا مُتَّفِقَةً لَا تَخْتَلِفُ فَتَذْكُرَ زِيَادَةَ عَادَتِهَا فِي الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا فِي زِيَادَةِ الْعَادَةِ، لِأَنَّهَا مُمْكِنَةٌ وَهِيَ مُصَدِّقَةٌ عَلَى نَفْسِهَا.

Kedua: Kebiasaannya tetap dan tidak berubah, lalu ia menyebutkan adanya penambahan dalam masa haid dan suci, maka ucapannya diterima dengan sumpahnya atas penambahan tersebut, karena hal itu mungkin terjadi dan ia dipercaya atas dirinya sendiri.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ عَادَتُهَا مُتَّفِقَةً لَا تَخْتَلِفُ فَتَذْكُرَ نُقْصَانَ عَادَتِهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا وَلَا يَمِينَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ أَضَرُّ بِهَا، وَقَدْ تَقْضِي زَمَانَ الرَّجْعَةِ فِي زِيَادَةِ الْعَادَةِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجِ إِحْلَافُهَا.

Ketiga: Kebiasaannya tetap dan tidak berubah, lalu ia menyebutkan adanya pengurangan dalam kebiasaannya, maka ucapannya diterima tanpa perlu bersumpah, karena hal itu lebih merugikan dirinya, dan bisa jadi ia telah menghabiskan masa raj‘ah dalam tambahan kebiasaan tersebut, sehingga suami tidak berhak meminta sumpahnya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ عَادَتُهَا مُخْتَلِفَةً فَتَذْكُرَ أَطْوَلَ الْعَادَتَيْنِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا وَلِلزَّوْجِ إِحْلَافُهَا. وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ تَكُونَ عَادَتُهَا مُخْتَلِفَةً فَتَذْكُرَ أَقْصَرَ الْعَادَتَيْنِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا وَلَيْسَ لِلزَّوْجِ إِحْلَافُهَا، لِأَنَّ ذَلِكَ أَضَرُّ بِهَا، وَهَذِهِ الْأَقْسَامُ لَمْ يَرُدُّهَا الشَّافِعِيُّ بِقَوْلِهِ لَمْ أَجْعَلْ لَهَا إِلَّا الْأَقْصَرَ، لِأَنَّهُ الْيَقِينُ وَأَطْرَحُ لِلشَّكِّ.

Keempat: Kebiasaannya berubah-ubah, lalu ia menyebutkan masa yang lebih panjang dari dua kebiasaan, maka ucapannya diterima dan suami berhak meminta sumpahnya. Kelima: Kebiasaannya berubah-ubah, lalu ia menyebutkan masa yang lebih pendek dari dua kebiasaan, maka ucapannya diterima dan suami tidak berhak meminta sumpahnya, karena hal itu lebih merugikan dirinya. Pembagian-pembagian ini tidak dibantah oleh asy-Syafi‘i dengan ucapannya, “Aku tidak menetapkan baginya kecuali yang paling pendek, karena itu yang yakin dan aku tinggalkan yang meragukan.”

وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ تَكُونَ عَادَتُهَا مُخْتَلِفَةً فَتَجْهَلَ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ هَلْ كَانَتْ بِأَطْوَلِ الْعَادَةِ أَوْ بِأَقْصَرِهَا فَلَا يَدْفَعُ إِلَيْهَا إِلَّا نَفَقَةَ الْأَقْصَرِ، لِأَنَّهُ الْيَقِينُ، وَالْأَطْوَلُ مَشْكُوكٌ فِيهِ، وَهَذَا الْقِسْمُ دَاخِلٌ فِي مُرَادِ الشَّافِعِيِّ بِقَوْلِهِ: وَكَانَ حَيْضُهَا يَخْتَلِفُ فَيَطُولُ وَيَقْصُرُ لَمْ أَجْعَلْ لَهَا إِلَّا الْأَقْصَرَ، لِأَنَّهُ الْيَقِينُ وَأَطْرَحُ لِلشَّكِّ، يَعْنِي أَطْوَلَ عَادَتِهَا.

Keenam: Kebiasaannya berubah-ubah, lalu ia tidak mengetahui apakah masa ‘iddahnya selesai dengan kebiasaan terpanjang atau terpendek, maka hanya diberikan nafkah sesuai masa terpendek, karena itu yang yakin, sedangkan yang terpanjang masih diragukan. Pembagian ini termasuk dalam maksud asy-Syafi‘i dengan ucapannya: “Jika haidnya berubah-ubah, kadang panjang kadang pendek, maka aku tidak menetapkan baginya kecuali yang paling pendek, karena itu yang yakin dan aku tinggalkan yang meragukan,” maksudnya adalah kebiasaan terpanjangnya.

وَالْقِسْمُ السَّابِعُ: أَنْ تَجْعَلَ قَدْرَ عَادَتِهَا فِي الطُّولِ وَالْقِصَرِ، فَيَدْفَعَ إِلَيْهَا نَفَقَةَ أَقَلِّ مُدَّةٍ تَنْقَضِي فِيهَا ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ وَذَلِكَ اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ يَوْمًا وَسَاعَتَانِ وَهُوَ دَاخِلٌ فِي مُرَادِ الشَّافِعِيِّ بِقَوْلِهِ: ” لَمْ أَجْعَلْ لَهَا إِلَّا الْأَقْصَرَ ” يَعْنِي أَقْصَرَ مَا يُمْكِنُ فَيَدْخُلُ هَذَانِ الْقَسَمَانِ فِي مُرَادِهِ بِالْأَقْصَرِ، وَإِنِ اخْتَلَفَ الْأَقْصَرُ فِيهِمَا فَكَانَ فِي السَّادِسِ مِنْ أَقْصَرِ عَادَتِهَا وَفِي السَّابِعِ أَقْصَرَ مَا يُمْكِنُ.

Ketujuh: Ia menentukan kadar kebiasaannya dalam panjang dan pendeknya, maka diberikan kepadanya nafkah untuk masa paling singkat yang cukup untuk menyelesaikan tiga kali suci, yaitu tiga puluh dua hari dan dua jam. Ini termasuk dalam maksud asy-Syafi‘i dengan ucapannya: “Aku tidak menetapkan baginya kecuali yang paling pendek,” maksudnya adalah yang paling singkat yang mungkin terjadi. Maka kedua pembagian ini termasuk dalam maksudnya dengan “yang paling pendek”. Jika terdapat perbedaan dalam “yang paling pendek” di antara keduanya, maka pada pembagian keenam adalah dari kebiasaan terpendeknya, sedangkan pada pembagian ketujuh adalah yang paling singkat yang mungkin terjadi.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ تَضَعَ مَا ادَّعَتْهُ مِنَ الْحَمْلِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Keadaan kedua adalah jika ia melahirkan apa yang ia klaim sebagai kehamilan, maka hal ini terbagi menjadi dua:

أَحَدُهُمَا: أَنْ تَضَعَهُ إِلَى مُدَّةِ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ فَيَكُونَ الْوَلَدُ لَاحِقًا بِالْمُطَلِّقِ وَتَسْتَحِقَّ النَّفَقَةَ فِي مُدَّةِ الطَّلَاقِ إِلَى وَقْتِ الْوِلَادَةِ لِانْقِضَاءِ العدة توضع الْحَمْلِ.

Salah satu di antaranya: jika ia melahirkan dalam jangka waktu empat tahun sejak waktu talak, maka anak tersebut dinisbatkan kepada suami yang mentalaknya, dan ia berhak mendapatkan nafkah selama masa talak hingga waktu kelahiran, karena masa ‘iddah berakhir dengan kelahiran kandungan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ فَفِي لُحُوقِهِ قَوْلَانِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي كِتَابَيِ ” الرَّجْعَةِ ” وَ ” الْعِدَدِ “.

Jenis yang kedua: jika ia melahirkan lebih dari empat tahun sejak waktu talak, maka dalam hal nasab anak tersebut terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam kitab “ar-Raj‘ah” dan “al-‘Iddah”.

أَحَدُهُمَا: يَلْحَقُ بِهِ بِخِلَافِ الْبَائِنِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي أَحْكَامِ الزَّوْجِيَّةِ، فَعَلَى هَذَا تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِوَضْعِهِ وَلَهَا عَلَيْهِ النَّفَقَةُ مِنْ وَقْتِ الطَّلَاقِ إِلَى وَقْتِ الْوِلَادَةِ لِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ.

Salah satunya: anak tersebut dinisbatkan kepadanya, berbeda dengan talak bain, karena perbedaan keduanya dalam hukum-hukum pernikahan. Dengan demikian, masa ‘iddahnya berakhir dengan kelahiran anak tersebut, dan ia berhak atas nafkah dari waktu talak hingga waktu kelahiran, karena masa ‘iddah berakhir dengan kelahiran kandungan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَلْحَقُ بِهِ كَالْبَائِنِ لِاجْتِمَاعِهِمَا فِي اسْتِحَالَةِ عُلُوقِهِ قَبْلَ طَلَاقِهَا، فَعَلَى هَذَا تُسْأَلُ عَنْ حَالِ الْحَمْلِ وَلَا يَخْلُو حَالُ جَوَابِهَا فِيهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Pendapat kedua: anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya, seperti pada kasus talak bain, karena keduanya sama-sama mustahil terjadi kehamilan sebelum talak. Dalam hal ini, perempuan tersebut akan ditanya tentang keadaan kehamilannya, dan jawabannya tidak lepas dari empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَدَّعِيَ أَنَّ الزَّوْجَ الْمُطَلِّقَ أَصَابَهَا بِرَجْعَةٍ أَوْ غَيْرِ رَجْعَةٍ.

Pertama: ia mengaku bahwa suami yang mentalaknya telah menggaulinya, baik dengan rujuk maupun tanpa rujuk.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَدَّعِيَ أَجْنَبِيًّا أَصَابَهَا بِشُبْهَةٍ.

Kedua: ia mengaku bahwa ada laki-laki asing yang menggaulinya karena syubhat.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تقر أن رجلاً زنا بِهَا سَفْحًا.

Ketiga: ia mengakui bahwa seorang laki-laki telah berzina dengannya secara terang-terangan.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ لَا تَعْزِيَهُ إِلَى جِهَةٍ.

Keempat: ia tidak menisbatkan kehamilannya kepada siapa pun.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ تَدَّعِيَ عَلَى الزَّوْجِ أَنَّهُ أَصَابَهَا فِي الْعِدَّةِ فَيُسْأَلُ الزَّوْجُ عَنْ دَعْوَاهَا فَإِنْ صَدَّقَهَا لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَانْقَضَتْ بِهِ الْعِدَّةُ، فَأَمَّا النَّفَقَةُ فتستحق منها النَّفَقَةَ فِي مُدَّةِ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، وَفِي اسْتِحْقَاقِهَا لِنَفَقَةِ مَا بَعْدَهَا مِنْ بَقِيَّةِ مُدَّةِ الْحَمْلِ قَوْلَانِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ لَا مِنْ نِكَاحٍ، وَإِنْ أَكْذَبَهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا يَلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ، وَلَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا لِانْتِفَائِهِ عَنْهُ.

Adapun keadaan pertama, yaitu ia mengaku kepada suaminya bahwa suami tersebut telah menggaulinya dalam masa ‘iddah, maka suami akan ditanya tentang pengakuan istrinya. Jika suami membenarkannya, maka anak tersebut dinisbatkan kepadanya dan masa ‘iddah pun selesai karenanya. Adapun nafkah, ia berhak mendapatkan nafkah selama masa tiga quru’, dan mengenai haknya atas nafkah untuk sisa masa kehamilan setelah itu terdapat dua pendapat; karena hubungan tersebut terjadi karena syubhat, bukan karena nikah. Jika suami mendustakannya, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami dengan sumpahnya, dan anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya, serta masa ‘iddah tidak selesai karenanya menurut pendapat yang zahir dari mazhab asy-Syafi‘i dan mayoritas ulama kami, karena anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya.

وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ لِإِمْكَانِ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ، وَإِنِ انْتَفَى عَنْهُ كَحَمْلِ الْمُلَاعَنَةِ تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ وَإِنِ انْتَفَى عَنْهُ بِاللِّعَانِ وَلَيْسَ لِهَذَا الْقَوْلِ عِنْدِي وَجْهٌ؛ لِأَنَّ حَمْلَ الْمُلَاعَنَةِ كَانَ قبل اللعان لاحقا فجاز أن تنقض بِهِ الْعِدَّةُ وَحَمْلُ هَذِهِ الْمُطَلَّقَةِ قَدْ كَانَ قَبْلَ هَذِهِ الدَّعْوَى الْمَرْدُودَةِ غَيْرَ لَاحِقٍ فَلِذَلِكَ لَمْ تَنْقَضِ بِهِ الْعِدَّةُ ثُمَّ نَاقَضَ أَبُو حَامِدٍ فِي قَوْلِهِ فَجَعَلَ عِدَّتَهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا النَّفَقَةَ فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ، وَكَانَ فَرْقُهُ بَيْنَ الْعِدَّةِ وَالنَّفَقَةِ أَنَّ الْعِدَّةَ حَقٌّ عَلَيْهَا وَالنَّفَقَةَ حَقٌّ لَهَا فَقُبِلَ قَوْلُهَا فِيمَا عَلَيْهَا وَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِيمَا لَهَا، وَالتَّعْلِيلُ بِهَذَا الْفَرْقِ يَفْسَدُ بِالْمُدَّعِيَةِ فِي عِدَّةِ أَقْرَائِهَا زِيَادَةً عَلَى عَادَتِهَا قَوْلُهَا مَقْبُولٌ فِي الْعِدَّةِ وَاسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ وَإِنْ كَانَتِ الْعِدَّةُ عَلَيْهَا وَالنَّفَقَةُ لَهَا، وَقَدْ قَالَ الْمُزَنِيُّ: إِذَا حُكِمَ بِأَنَّ الْعِدَّةَ قَائِمَةٌ فَكَذَلِكَ النَّفَقَةُ فِي الْقِيَاسِ لَهَا.

Abu Hamid al-Isfara’ini berkata: masa ‘iddah selesai karenanya karena mungkin saja anak itu berasal darinya, dan jika ia menafikan anak tersebut seperti pada kasus hamil karena li‘an, maka masa ‘iddah tetap selesai karenanya meskipun anak itu dinafikan dengan li‘an. Namun menurutku, pendapat ini tidak memiliki dasar; karena hamil akibat li‘an sebelumnya masih dinisbatkan kepadanya, sehingga boleh masa ‘iddah selesai karenanya. Sedangkan kehamilan perempuan yang ditalak ini, sebelum adanya pengakuan yang ditolak tersebut, tidak dinisbatkan kepadanya, sehingga masa ‘iddah tidak selesai karenanya. Kemudian Abu Hamid bertentangan dalam pendapatnya, ia menjadikan masa ‘iddahnya selesai dengan kelahiran, namun tidak memberikan hak nafkah selama masa kehamilan. Ia membedakan antara masa ‘iddah dan nafkah, bahwa masa ‘iddah adalah kewajiban atas perempuan, sedangkan nafkah adalah hak baginya. Maka diterima pengakuannya dalam hal yang menjadi kewajibannya, dan tidak diterima dalam hal yang menjadi haknya. Namun alasan pembedaan ini rusak dengan kasus perempuan yang mengaku masa ‘iddahnya lebih dari kebiasaan, pengakuannya diterima baik dalam masa ‘iddah maupun hak nafkah, meskipun masa ‘iddah adalah kewajibannya dan nafkah adalah haknya. Al-Muzani berkata: jika diputuskan bahwa masa ‘iddah masih berlangsung, maka demikian pula nafkah menurut qiyas adalah haknya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ هَذَا الْقِسْمِ عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلِ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا فِي أَنَّ الْعِدَّةَ لَا تَنْقَضِي بِوَضْعِ هَذَا الْحَمْلِ، أَنْ تُسْأَلَ عَمَّا ادَّعَتْهُ مِنْ وَطْءِ الزَّوْجِ، فَإِنْ قَالَتْ وَطِئَنِي عَقِيبَ طَلَاقِي لَزِمَهَا أَنْ تَعْتَدَّ بَعْدَ الْوِلَادَةِ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، لِأَنَّهَا مُقِرَّةٌ أَنَّهَا لَمْ تَعْتَدَّ بِشَيْءٍ مِنَ الْأَقْرَاءِ ثُمَّ لَا نَفَقَةَ لَهَا فِيمَا تَعْتَدُّ بِهِ مِنْ هَذِهِ الْأَقْرَاءِ الثَّلَاثَةِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ لِإِقْرَارِهَا بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِالْوِلَادَةِ وَلَا رَجْعَةَ فِيهَا لِلزَّوْجِ لِإِكْذَابِهَا فِيمَا ادَّعَتْهُ مِنَ الْإِصَابَةِ، وَإِنْ قَالَتْ وَطِئَنِي بَعْدَ مُضِيِّ أَقْرَائِي كَأَنَّهَا قَالَتْ وَطِئَنِي فِي الْقُرْءِ الثَّالِثِ بَعْدَ مُضِيِّ قُرْأَيْنِ احْتَسَبَتْ بِالْقُرْأَيْنِ الْأَوَّلِينِ وَاعْتَدَّتْ بِقُرْءٍ ثَالِثٍ بَعْدَ الْوِلَادَةِ تَنْقَضِي بِهِ بَقِيَّةُ الْعِدَّةِ.

Adapun jawaban mengenai bagian ini menurut pendapat yang zahir dari mazhab Syafi‘i dan pendapat mayoritas ulama kami, bahwa masa ‘iddah tidak berakhir dengan melahirkan kandungan ini, maka perempuan tersebut ditanya tentang pengakuannya mengenai jima‘ dengan suaminya. Jika ia berkata, “Suami saya menggauli saya setelah talak,” maka ia wajib menjalani masa ‘iddah setelah melahirkan dengan tiga kali quru’, karena ia mengakui bahwa ia belum menjalani masa ‘iddah dengan satu pun dari quru’ tersebut. Kemudian, ia tidak berhak mendapatkan nafkah dalam masa ‘iddah tiga quru’ setelah melahirkan, karena ia telah mengakui bahwa masa ‘iddahnya telah berakhir dengan kelahiran, dan suami tidak boleh merujuknya kembali karena ia telah dianggap berdusta dalam pengakuannya tentang terjadinya jima‘. Namun jika ia berkata, “Suami saya menggauli saya setelah berlalu dua quru’,” seakan-akan ia berkata, “Suami saya menggauli saya pada quru’ ketiga setelah berlalu dua quru’,” maka dua quru’ pertama dihitung sebagai masa ‘iddah, dan ia wajib menjalani satu quru’ ketiga setelah melahirkan, yang dengan itu sisa masa ‘iddahnya menjadi selesai.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَدَّعِيَ أَنَّ أَجْنَبِيًّا أَصَابَهَا بِشُبْهَةٍ فَدَعَوَاهَا إِصَابَةَ الْأَجْنَبِيِّ غَيْرُ مَقْبُولَةٍ عَلَيْهِ إِلَّا بِالتَّصْدِيقِ، فَإِنْ صَدَّقَهَا لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَانْقَضَتْ بِهِ عِدَّتُهَا مِنْ إِصَابَتِهِ، فَأَمَّا عِدَّةُ الْمُطَلَّقَةِ فَتُسْأَلُ الْمُطَلَّقَةُ عَنِ الْوَقْتِ الَّذِي أَصَابَهَا فِيهِ الْأَجْنَبِيُّ، وَلَهَا فِي الْجَوَابِ عَنْهُ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Adapun bagian kedua, yaitu apabila ia mengaku bahwa seorang laki-laki asing telah menggaulinya karena syubhat, maka pengakuannya tentang terjadinya jima‘ dengan laki-laki asing tidak diterima kecuali jika laki-laki itu membenarkannya. Jika laki-laki itu membenarkannya, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya dan masa ‘iddahnya pun selesai dengan terjadinya jima‘ tersebut. Adapun masa ‘iddah perempuan yang ditalak, maka perempuan yang ditalak itu ditanya tentang waktu terjadinya jima‘ dengan laki-laki asing tersebut, dan dalam menjawabnya terdapat empat keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَدَّعِيَهُ عَقِيبَ طَلَاقِهَا فَيَكُونَ ذَلِكَ إِقْرَارٌ مِنْهَا أَنَّهَا لَمْ تَعْتَدَّ عَنْ مُطَلِّقِهَا فَيَلْزَمَهَا أَنْ تَعْتَدَّ عَنْهُ بَعْدَ وِلَادَتِهَا بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ، وَلَهُ أَنْ يَسْتَرْجِعَ مِنْهَا نَفَقَةَ الْحَمْلِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهَا نَفَقَةَ عِدَّتِهَا بَعْدَ الْحَمْلِ، وَلَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا فِي هَذِهِ الْعِدَّةِ إِنْ صَدَّقَهَا عَلَى إِصَابَةِ الْأَجْنَبِيِّ وَلَا رَجْعَةَ لَهُ إِنْ أَكْذَبَهَا.

Pertama: Jika ia mengakuinya terjadi segera setelah talaknya, maka itu berarti ia mengakui bahwa ia belum menjalani masa ‘iddah dari suaminya yang menalaknya, sehingga ia wajib menjalani masa ‘iddah dari suaminya tersebut setelah melahirkan dengan tiga kali quru’. Suami berhak meminta kembali nafkah kehamilan, dan ia wajib memberikan nafkah masa ‘iddah setelah melahirkan. Suami juga boleh merujuknya dalam masa ‘iddah ini jika ia membenarkan pengakuannya tentang terjadinya jima‘ dengan laki-laki asing, dan tidak boleh merujuknya jika ia mendustakannya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَدَّعِيَ إِصَابَةَ الْأَجْنَبِيِّ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا بِالْأَقْرَاءِ الثَّلَاثَةِ فَيُقْبَلُ قَوْلُهَا فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَلَا يَلْزَمُهَا أَنْ تَعْتَدَّ لِلزَّوْجِ بَعْدَ وِلَادَتِهَا وَيَسْتَرْجِعَ مِنْهَا نَفَقَةَ حَمْلِهَا إِلَّا مُدَّةَ أَقْرَائِهَا الثَّلَاثَةِ، وَالْقَوْلُ فِي قَدْرِهَا عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْأَقْسَامِ السَّبْعَةِ إِذَا انْفَشَّ حَمْلُهَا.

Kedua: Jika ia mengaku bahwa jima‘ dengan laki-laki asing terjadi setelah masa ‘iddahnya selesai dengan tiga kali quru’, maka pengakuannya tentang berakhirnya masa ‘iddah diterima, dan ia tidak wajib menjalani masa ‘iddah lagi untuk suaminya setelah melahirkan. Suami berhak meminta kembali nafkah kehamilan kecuali selama masa tiga quru’ tersebut, dan ketentuan mengenai jumlahnya sama seperti yang telah dijelaskan pada tujuh bagian sebelumnya apabila kandungannya telah lahir.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَدَّعِيَ إِصَابَةَ الْأَجْنَبِيِّ فِي تَضَاعِيفِ أَقْرَائِهَا، كَأَنَّهَا ادَّعَتْ إِصَابَتَهُ فِي الْقُرْءِ الثَّانِي بَعْدَ اسْتِكْمَالِ الْأَوَّلِ فَتُحْسَبَ لَهَا بِقُرْءٍ، وَعَلَيْهَا أَنْ تَأْتِيَ بَعْدَ الْوِلَادَةِ بِقُرْأَيْنِ، ويسترجع منها نفقة الحمل إلا قرء واحد وَيَدْفَعَ إِلَيْهَا نَفَقَةَ قُرْأَيْنِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ.

Ketiga: Jika ia mengaku bahwa jima‘ dengan laki-laki asing terjadi di tengah-tengah masa quru’-nya, misalnya ia mengaku terjadi pada quru’ kedua setelah menyelesaikan quru’ pertama, maka satu quru’ dihitung untuknya, dan ia wajib menjalani dua quru’ lagi setelah melahirkan. Suami berhak meminta kembali nafkah kehamilan kecuali satu quru’, dan ia wajib memberikan nafkah dua quru’ setelah melahirkan.

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ تَجْهَلَ الْوَقْتَ الَّذِي ادَّعَتْ فِيهِ الْإِصَابَةَ وَلَا تُخْبِرَ بِهِ فَتَصِيرَ شَاكَّةً فِي انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا. فَيَلْزَمَهَا أَنْ تَعْتَدَّ بَعْدَ الْوِلَادَةِ بِثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ لِتَقْضِيَ عِدَّتَهَا بِيَقِينٍ، وَيَسْتَرْجِعَ الزَّوْجُ مِنْهَا نَفَقَةَ حَمْلِهَا لِأَنَّهَا لَمْ تَعْتَدَّ بِشَيْءٍ منه، ويدفع الزَّوْجُ مِنْهَا نَفَقَةَ حَمْلِهَا لِأَنَّهَا لَمْ تَعْتَدَّ بِشَيْءٍ مِنْهُ، وَيَدْفَعَ إِلَيْهَا نَفَقَةَ عِدَّتِهَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ، لِأَنَّهُ مُلْتَزِمٌ لَهَا قَبْلَ ذَلِكَ نَفَقَةَ عِدَّةٍ، وَلَا يُرَاجِعَهَا فِي هَذِهِ الْعِدَّةِ لِلشَّكِّ فِي اسْتِبَاحَتِهَا.

Keempat: Jika ia tidak mengetahui waktu terjadinya jima‘ yang diakuinya dan tidak memberitahukannya, sehingga ia ragu tentang berakhirnya masa ‘iddahnya, maka ia wajib menjalani masa ‘iddah setelah melahirkan dengan tiga kali quru’ agar masa ‘iddahnya benar-benar selesai dengan yakin. Suami berhak meminta kembali nafkah kehamilan karena ia belum menjalani masa ‘iddah darinya, dan suami wajib memberikan nafkah masa ‘iddah setelah melahirkan, karena sebelumnya ia memang berkewajiban memberikan nafkah masa ‘iddah. Suami tidak boleh merujuknya dalam masa ‘iddah ini karena adanya keraguan dalam kebolehan merujuknya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ تقر أن رجلاً زنا بِهَا فَتَعْتَدَّ بِمَا مَضَى مِنْ أَقْرَائِهَا قَبْلَ الزِّنَا وَبَعْدَهُ، وَلَا تَفِسَدَ الْأَقْرَاءُ بِوَطْءِ الزِّنَا وَتَعْتَدَّ بِحَيْضِهَا عَلَى الْحَمْلِ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ ما تراه الحامل من الدم حيضاً أَوْ لَيْسَ بِحَيْضٍ، لِأَنَّهُ قَدْ سَقَطَ فِي الْعِدَّةِ حُكْمُ هَذَا الْحَمْلِ فَاعْتَدَّتْ فِيهِ بِالْحَيْضِ، وَإِنْ سَقَطَ حُكْمُهُ فِي الْعِبَادَاتِ إِذَا قِيلَ لَيْسَ بِحَيْضٍ وَيَسْتَرْجِعَ مِنْهَا نَفَقَةَ حَمْلِهَا إِلَى مُدَّةِ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ يَرْجِعُ فِيهَا إِلَى قَوْلِهَا عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْأَقْسَامِ السَّبْعَةِ.

Adapun bagian ketiga: yaitu jika diakui bahwa seorang laki-laki telah berzina dengannya, maka ia menjalani masa ‘iddah dengan menghitung masa haid yang telah berlalu sebelum dan sesudah perzinaan itu, dan masa haid tersebut tidak batal karena hubungan zina, serta ia menjalani masa ‘iddah dengan haidnya meskipun sedang hamil, baik dikatakan bahwa darah yang keluar dari wanita hamil itu adalah haid atau bukan haid. Sebab, dalam masa ‘iddah, status kehamilan ini telah gugur sehingga ia menjalani masa ‘iddah dengan haid, meskipun statusnya gugur dalam ibadah jika dikatakan itu bukan haid. Dan nafkah kehamilannya dapat diminta kembali hingga masa tiga kali haid, yang dalam hal ini kembali kepada pengakuannya, sebagaimana telah dijelaskan dalam tujuh bagian sebelumnya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ لَا تَعْزِيَ وطأها إلى أحد أن تنكر أو يَكُونَ قَدْ وَطِئَهَا أَحَدٌ فَيَجْرِيَ عَلَيْهَا فِي الْعِدَّةِ حُكْمُ وَطْءِ الزِّنَا فَيَكُونَ حُكْمُهَا فِي الْعِدَّةِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun bagian keempat: yaitu jika hubungan badan dengannya tidak dinisbatkan kepada siapa pun, baik karena ia mengingkarinya atau memang tidak ada seorang pun yang menggaulinya, maka berlaku atasnya dalam masa ‘iddah hukum hubungan zina, sehingga ketentuannya dalam masa ‘iddah adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya. Dan Allah Maha Mengetahui.

(الْقَوْلُ في نفقة الحمل)

(Pembahasan tentang nafkah kehamilan)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا أَعْلَمُ حُجَّةً بِأَنْ لَا يُنْفِقَ عَلَى الْأَمَةِ الْحَامِلِ، وَلَوْ زَعَمْنَا أَنَّ النَّفَقَةَ لِلْحَمْلِ كَانَتْ نَفَقَةُ الْحَمْلِ لَا تَبْلُغُ بَعْضَ نَفَقَةِ أمة ولكنه حكم الله جل ثناؤه (وقال) في كتاب الإملاء: النفقة على السيد (قال المزني) رحمه الله: الأول أحق به لأنه شهد أنه حكم الله وحكم الله أولى مما خالفه “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang melarang memberi nafkah kepada budak perempuan yang sedang hamil. Andaikan kita menganggap bahwa nafkah itu untuk janin, maka nafkah janin tidak sebanding dengan sebagian nafkah budak perempuan. Namun demikian, itu adalah hukum Allah Ta‘ala.” (Beliau juga berkata) dalam kitab al-Imla’: nafkah itu menjadi tanggungan tuan (pemilik budak). (Al-Muzani rahimahullah berkata): Pendapat pertama lebih kuat, karena beliau menegaskan bahwa itu adalah hukum Allah, dan hukum Allah lebih utama daripada yang menyelisihinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا اخْتِلَافَ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي نَفَقَةِ الْحَامِلِ الْمَبْتُوتَةِ وَاجِبَةٌ، وَهَلْ وَجَبَتْ لِحَمْلِهَا أَوْ لَهَا؟ لِأَنَّهَا حَامِلٌ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan adanya perbedaan pendapat Syafi‘i tentang nafkah bagi wanita hamil yang telah ditalak bain, apakah wajib atau tidak, dan apakah wajib karena kehamilannya atau untuk dirinya karena ia hamil, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَنَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ إِلَى هَذَا الْمَوْضِعِ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ وَجُمْهُورُ أَصْحَابِنَا. أَنَّهَا وَجَبَتْ لَهَا لِكَوْنِهَا حَامِلًا لِأَرْبَعَةِ مَعَانٍ.

Pertama: Beliau menegaskan dalam kitab al-Umm dan dinukil oleh al-Muzani pada bagian ini, dan ini pula yang dipilih oleh al-Muzani dan mayoritas ulama kami, bahwa nafkah itu wajib untuk dirinya karena ia hamil, dengan empat alasan:

أَحَدُهَا: أَنَّهَا مُقَدَّرَةٌ بِكِفَايَةِ الْأُمِّ وَنَفَقَاتُ الْأَقَارِبِ غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ، وَهِيَ مُعْتَبَرَةٌ بِكِفَايَاتِهِمْ لَا بِكِفَايَةِ غَيْرِهِمْ، وَلَوْ وَجَبَتْ لِلْحَمْلِ لَمَا تَقَدَّرَتْ وَلَكَانَتْ بَعْضَ نَفَقَةِ أَمَةٍ.

Pertama: Nafkah itu ditentukan sesuai kebutuhan ibu, sedangkan nafkah kerabat tidak ditentukan, dan nafkah kerabat diukur berdasarkan kebutuhan mereka, bukan kebutuhan orang lain. Jika nafkah itu untuk janin, tentu tidak akan ditentukan dan hanya menjadi sebagian dari nafkah budak perempuan.

وَالثَّانِي: أَنَّ هَذِهِ النَّفَقَةَ لَا تَسْقُطُ بِتَأْخِيرِ الْمُطَالَبَةِ وَنَفَقَةَ الْأَقَارِبِ تَسْقُطُ بِتَأْخِيرِ الْمُطَالِبَةِ فَثَبَتَ أَنَّهَا لَهَا لَا لِحَمْلِهَا.

Kedua: Nafkah ini tidak gugur karena penundaan tuntutan, sedangkan nafkah kerabat gugur jika penuntutannya ditunda. Maka, hal ini menunjukkan bahwa nafkah itu untuk dirinya, bukan untuk janinnya.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا لَوْ كَانَتْ لِلْحَمْلِ لَوَجَبَ إِذَا مَلَكَ الْحَمْلُ مَالًا مِنْ وَصِيَّةٍ أَوْ مِيرَاثٍ أَنْ تَكُونَ النَّفَقَةُ فِي مَالِهِ لَا عَلَى أَبِيهِ، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّهَا عَلَى الْأَبِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهَا تَجِبُ لِلْحَامِلِ دُونَ الْحَمْلِ.

Ketiga: Jika nafkah itu untuk janin, maka ketika janin memiliki harta dari wasiat atau warisan, nafkahnya harus diambil dari hartanya, bukan dari ayahnya. Namun, adanya ijmā‘ bahwa nafkah tetap menjadi tanggungan ayah menunjukkan bahwa nafkah itu wajib untuk ibu hamil, bukan untuk janin.

وَالرَّابِعُ: أَنَّهَا لَوْ كَانَتْ لِلْحَمْلِ لَوَجَبَ أَنْ يُؤْخَذَ الْجَدُّ بِهَا عِنْدَ إِعْسَارِ الْأَبِ وَفِي سُقُوطِهَا عَنْهُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهَا لَا تَجِبُ لَهُ.

Keempat: Jika nafkah itu untuk janin, maka kakek harus menanggungnya ketika ayahnya tidak mampu. Namun, gugurnya kewajiban nafkah dari kakek menunjukkan bahwa nafkah itu tidak wajib untuk janin.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ ” الْإِمْلَاءِ ” إِنَّ النَّفَقَةَ تَجِبُ لِلْحَمْلِ لَا لِلْحَامِلِ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:

Pendapat kedua: Ditegaskan oleh Syafi‘i dalam kitab al-Imla’, bahwa nafkah itu wajib untuk janin, bukan untuk ibu hamil, dengan tiga alasan:

أَحَدُهَا: أَنَّ النَّفَقَةَ لما وجبت لوجود الحمل وسقطت بعدمه عَلَى وُجُوبِهَا لِلْحَمْلِ دُونَ أُمِّهِ.

Pertama: Karena nafkah itu diwajibkan karena adanya kehamilan dan gugur ketika kehamilan tidak ada, maka kewajibannya adalah untuk janin, bukan untuk ibunya.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَتْ نَفَقَةُ الْحَمْلِ بَعْدَ انْفِصَالِهِ وَجَبَتْ نَفَقَتُهُ فِي حَالِ اتِّصَالِهِ لِتَحْفَظَ بِهَا حَيَاتَهُ في الحالين.

Kedua: Karena ketika nafkah untuk janin diwajibkan setelah ia lahir, maka nafkahnya juga wajib selama ia masih dalam kandungan, agar kehidupannya terjaga dalam kedua keadaan tersebut.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ نَفَقَةُ الْمُرْضِعَةِ تَجِبُ لِلْمُرْضِعِ دُونَهَا وَإِنْ تَقَدَّرَتْ بِكِفَايَتِهَا كَانَتْ نَفَقَةُ الْحَامِلِ بِمَثَابَتِهَا تَجِبُ لِلْحَمْلِ دُونَهَا وَتَتَقَدَّرُ بِكِفَايَتِهَا دُونَهُ.

Ketiga: Karena nafkah untuk ibu yang menyusui diwajibkan untuk anak yang disusui, bukan untuk ibu, meskipun diukur berdasarkan kebutuhan ibu. Maka, nafkah untuk wanita hamil juga demikian, wajib untuk janin, bukan untuk ibunya, meskipun diukur berdasarkan kebutuhan ibunya, bukan kebutuhan janin.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ تَفَرَّعَ عَلَيْهِمَا إن أبت الحرة طَلَاقَ زَوْجَتِهِ الْأَمَةِ وَهِيَ حَامِلٌ فَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ إِنَّ النَّفَقَةَ لِلْحَامِلِ دُونَ الْحَمْلِ وَجَبَتْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا مُدَّةَ حَمْلِهَا، وَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّ النَّفَقَةَ لِلْحَمْلِ دُونَ الْحَامِلِ وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا عَلَى سَيِّدِهَا دُونَ زَوْجِهَا، لِأَنَّ الْحَمْلَ مَمْلُوكٌ لِلسَّيِّدِ فَوَجَبَتْ نَفَقَتُهَا عَلَيْهِ دُونَ الأب، ولو أبى الْعَبْدُ طَلَاقَ زَوْجَتِهِ الْحُرَّةِ وَهِيَ حَامِلٌ فَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ إِنَّ النَّفَقَةَ لِلْحَامِلِ دُونَ الْحَمْلِ تَجِبُ نَفَقَتُهَا عَلَى الزَّوْجِ، وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّ النَّفَقَةَ لِلْحَمْلِ دُونَ الْحَامِلِ تَسْقُطُ نَفَقَتُهَا عَنْهُ، لِأَنَّ الْعَبْدَ تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَةُ زَوْجَتِهِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَةُ وَلَدِهِ.

Apabila telah dijelaskan argumentasi kedua pendapat, maka cabang permasalahan dari keduanya adalah: Jika istri merdeka menolak untuk menceraikan istri budak suaminya yang sedang hamil, maka jika mengikuti pendapat pertama bahwa nafkah itu untuk ibu hamil dan bukan untuk janin, maka wajib atas suami memberikan nafkah kepadanya selama masa kehamilannya. Namun jika mengikuti pendapat kedua bahwa nafkah itu untuk janin dan bukan untuk ibu hamil, maka nafkahnya menjadi tanggungan tuannya (pemilik budak) dan bukan suaminya, karena janin adalah milik tuan sehingga nafkahnya menjadi kewajiban tuan, bukan ayahnya. Dan jika budak laki-laki menolak menceraikan istri merdekanya yang sedang hamil, maka menurut pendapat pertama bahwa nafkah itu untuk ibu hamil dan bukan untuk janin, maka nafkahnya wajib atas suami. Sedangkan menurut pendapat kedua bahwa nafkah itu untuk janin dan bukan untuk ibu hamil, maka nafkahnya gugur dari tanggungan suami, karena budak laki-laki wajib menafkahi istrinya, namun tidak wajib menafkahi anaknya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” فَأَمَّا كُلُّ نِكَاحٍ كَانَ مَفْسُوخًا فَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا سُكْنَى حَامِلًا أَوْ غَيْرَ حَامِلٍ (وقال) في موضع آخر إلا أن يتطوع المصيب لها بذلك ليحصنها فيكون ذلك لها بتطوعه وله تحصينها وبالله التوفيق “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Adapun setiap pernikahan yang dibatalkan, maka tidak ada nafkah dan tempat tinggal baginya, baik ia sedang hamil maupun tidak (dan beliau berkata) di tempat lain: kecuali jika pihak yang benar (dalam sengketa) bersedia secara sukarela memberikan itu kepadanya untuk menjaga kehormatannya, maka itu menjadi haknya karena kerelaan tersebut, dan baginya (pula) menjaga kehormatannya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا النِّكَاحُ الْمَفْسُوخُ فَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Al-Mawardi berkata: Adapun nikah yang dibatalkan terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مَفْسُوخَ الْعَقْدِ مِنْ أَصْلِهِ كَالنِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَبِغَيْرِ شُهُودٍ أَوْ كَنِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَالشِّغَارِ فَلَا تَسْتَحِقُّ فِيهِ النَّفَقَةَ لَا فِي حَالِ الِاجْتِمَاعِ وَلَا فِي حَالِ الْعِدَّةِ بَعْدَ الْفُرْقَةِ إِذَا كَانَتْ حَائِلًا لِأَمْرَيْنِ:

Pertama: Nikah yang batal sejak awal akadnya, seperti nikah tanpa wali dan tanpa saksi, atau seperti nikah mut‘ah dan syighar. Dalam hal ini, istri tidak berhak mendapatkan nafkah, baik saat masih bersama maupun saat masa iddah setelah perpisahan jika ia tidak hamil, karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ اسْتِحْقَاقَ النَّفَقَةِ فِي مُقَابَلَةِ اسْتِحْقَاقِ التَّمْكِينِ، وَمَعَ فَسْخِ النِّكَاحِ لَا يَجِبُ عَلَيْهَا التَّمْكِينُ فَلَمْ تَجِبْ لَهَا النَّفَقَةُ.

Pertama: Hak atas nafkah itu sebagai imbalan atas hak suami untuk mendapatkan pelayanan (temkin), dan jika nikah dibatalkan maka tidak ada kewajiban bagi istri untuk memberikan pelayanan, sehingga nafkah pun tidak wajib baginya.

وَالثَّانِي: أَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ تَجِبُ لِحُرْمَةِ الْعَقْدِ، وَلَيْسَ لِلْمَفْسُوخِ حُرْمَةٌ فَلَمْ تَجِبْ بِهِ نَفَقَةٌ، فَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فِي حَالِ الْعِدَّةِ فَفِي وُجُوبِ نَفَقَتِهَا قَوْلَانِ:

Kedua: Nafkah istri wajib karena kehormatan akad, sedangkan akad yang dibatalkan tidak memiliki kehormatan, sehingga tidak wajib nafkah karenanya. Jika istri sedang hamil pada masa iddah, maka dalam kewajiban nafkah baginya terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا تَجِبُ لَهَا إِذَا قِيلَ إِنَّهَا لِلْحَامِلِ دُونَ الْحَمْلِ.

Pertama: Tidak wajib nafkah baginya jika dikatakan bahwa nafkah itu untuk ibu hamil dan bukan untuk janin.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَجِبُ لَهَا النَّفَقَةُ إِذَا قِيلَ إِنَّهَا لِلْحَمْلِ دُونَ الْحَامِلِ.

Pendapat kedua: Wajib nafkah baginya jika dikatakan bahwa nafkah itu untuk janin dan bukan untuk ibu hamil.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَطْرَأَ عَلَيْهِ الْفَسْخُ بَعْدَ صِحَّةِ الْعَقْدِ بِمَا يَمْنَعُ مِنَ اسْتَدَامَتِهِ وَلَا يُوجِبُ رَفْعَهُ مِنْ أَصْلِهِ كَالْعُيُوبِ الْحَادِثَةِ إِذَا جُعِلَ لِلزَّوْجِ الْفَسْخُ لِحُدُوثِهَا فَتَسْتَحِقُّ بَعْدَ فَسْخِهِ الصَّدَاقَ الْمُسَمَّى وَتَكُونُ فِي عِدَّتِهَا كالمبتوتة لانفقة لَهَا إِنْ كَانَتْ حَائِلًا، وَلَهَا النَّفَقَةُ إِنْ كَانَتْ حَامِلًا عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا.

Bagian kedua: Nikah yang dibatalkan setelah akadnya sah, karena ada sebab yang menghalangi kelangsungan pernikahan namun tidak membatalkan akad dari asalnya, seperti cacat yang muncul kemudian dan suami diberi hak membatalkan karena cacat tersebut. Maka setelah pembatalan, istri berhak atas mahar yang telah ditentukan dan menjalani masa iddah seperti wanita yang ditalak bain; tidak ada nafkah baginya jika ia tidak hamil, dan ada nafkah baginya jika ia hamil menurut kedua pendapat.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَطْرَأَ عَلَيْهِ الْفَسْخُ بَعْدَ صِحَّةِ الْعَقْدِ بِمَا يُوجِبُ رَفْعَهُ مِنْ أَصْلِهِ كَالْعُيُوبِ الْمُتَقَدِّمَةِ إِذَا فَسَخَ الزَّوْجُ بِهَا. أن يقع العقد من اصله يقدم سَبَبُ الْفَسْخِ عَلَى الْعَقْدِ وَالْمُسْتَحَقُّ فِيهِ مِنَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Bagian ketiga: Nikah yang dibatalkan setelah akadnya sah, karena sebab yang membatalkan akad dari asalnya, seperti cacat yang sudah ada sebelumnya dan suami membatalkan karena cacat itu. Jika sebab pembatalan terjadi sebelum akad, maka hak yang didapatkan dari mahar dan nafkah terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: مَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْمَفْسُوخِ حَالَ الْعَقْدِ كَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ وَذَلِكَ كَالْمَهْرِ إِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ سَقَطَ وَإِنْ كَانَ بَعْدَهُ وَجَبَ فِيهِ مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى.

Pertama: Yang berlaku padanya hukum nikah yang batal sejak awal akad, seperti pada bagian pertama, yaitu mahar jika sebelum terjadi hubungan suami istri maka gugur, dan jika setelahnya maka wajib mahar mitsil (mahar yang sepadan) bukan mahar yang telah ditentukan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْفَسْخِ الطَّارِئِ الْمَانِعِ مِنَ الِاسْتِدَامَةِ وَلَا يَرْفَعُ الْعَقْدَ مِنْ أَصْلِهِ كَالْقِسْمِ الثَّانِي وهو وُجُوبَ النَّفَقَةِ قَبْلَ الْفَسْخِ تَسْتَحِقُّ وَإِنْ وَقَعَتِ الْمُطَالَبَةُ بِهَا بَعْدَ الْفَسْخِ لِوُجُودِ مُوجِبَيِ الِاسْتِحْقَاقِ قَبْلَ الْفَسْخِ، وَهُمَا وُجُوبُ التَّمْكِينِ وَحُرْمَةُ الْعَقْدِ.

Bagian kedua: Yang berlaku padanya hukum pembatalan yang terjadi setelah akad sah dan menghalangi kelangsungan pernikahan namun tidak membatalkan akad dari asalnya, seperti pada bagian kedua, yaitu kewajiban nafkah sebelum pembatalan tetap harus diberikan, meskipun tuntutannya terjadi setelah pembatalan, karena dua sebab yang mewajibkan hak tersebut sudah ada sebelum pembatalan, yaitu kewajiban pelayanan (temkin) dan kehormatan akad.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: نَفَقَةُ مَا بَعْدَ الْفَسْخِ مِنْ عِدَّةِ الْحَمْلِ ذَهَبَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ إِلَى إِلْحَاقِهَا بِالْقِسْمِ الْأَوَّلِ فِي الْمَفْسُوخِ مِنْ أَصْلِهِ وَخَرَّجَ اسْتِحْقَاقَهَا فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ عَلَى قَوْلَيْنِ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:

Bagian ketiga: nafkah setelah fasakh pada masa ‘iddah karena hamil. Abu Hamid al-Isfara’ini berpendapat bahwa nafkah ini disamakan dengan bagian pertama pada kasus pernikahan yang dibatalkan dari asalnya, dan ia mengeluarkan pendapat tentang hak atas nafkah selama masa hamil berdasarkan dua pendapat, dengan berdalil pada dua hal:

أَحَدُهُمَا: لِرَفْعِهِ الْعَقْدَ مِنْ أَصْلِهِ الثَّانِي لِاسْتِحْقَاقِ مَهْرِ الْمِثْلِ فِيهِ دُونَ الْمُسَمَّى، وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنَّهُ يَلْحَقُ بِالْقِسْمِ الثَّانِي فِي الْفَسْخِ الطَّارِئِ الرَّافِعِ لِاسْتِدَامَةِ الْعَقْدِ لِوُجُوبِ نَفَقَتِهَا في عدة الحمل على القولين معاً لوجود مُوجِبَيِ الِاسْتِحْقَاقِ قَبْلَ الْفَسْخِ مِنَ اسْتِحْقَاقِ التَّمْكِينِ وَحُرْمَةِ الْعَقْدِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pertama: karena akadnya dibatalkan dari asalnya. Kedua: karena berhak atas mahar mitsil dalam hal ini, bukan mahar yang telah disebutkan. Menurut pendapat yang benar menurutku, nafkah ini disamakan dengan bagian kedua, yaitu pada fasakh yang terjadi kemudian yang membatalkan keberlangsungan akad, sehingga wajib memberi nafkah selama masa ‘iddah hamil menurut kedua pendapat, karena adanya dua sebab yang mewajibkan hak tersebut sebelum fasakh, yaitu hak atas penyerahan diri dan keharaman akad. Dan Allah Maha Mengetahui.

باب النفقة على الأقارب من كتاب النفقة ومن ثلاثة كتب

(Bab Nafkah kepada Kerabat dari Kitab Nafkah dan dari Tiga Kitab)

(مسألة)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” فِي كِتَابِ اللَّهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيَانٌ أَنَّ عَلَى الْأَبِ أَنْ يَقُومَ بِالْمُؤْنَةِ فِي إِصْلَاحِ صِغَارِ وَلَدِهِ مِنْ رَضَاعٍ وَنَفَقَةٍ وَكِسْوَةٍ وَخِدْمَةٍ دُونَ أُمِّهِ “.

Imam asy-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: “Dalam Kitab Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam– terdapat penjelasan bahwa ayah wajib menanggung kebutuhan dalam memperbaiki anak-anaknya yang masih kecil berupa pemberian susu, nafkah, pakaian, dan pelayanan, bukan ibunya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: نَفَقَةُ الْأَوْلَادِ عَلَى الْآبَاءِ بِدَلِيلِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ وَالْعِبْرَةِ.

Al-Mawardi berkata: Nafkah anak-anak menjadi tanggungan para ayah berdasarkan dalil dari al-Kitab, as-Sunnah, ijmā‘, dan pertimbangan (‘ibrah).

فَأَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى {وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 233] فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى أَمْرَيْنِ:

Adapun dalil dari al-Kitab adalah firman-Nya Ta‘ala: {Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut} [al-Baqarah: 233]. Ayat ini menunjukkan dua hal:

أَحَدُهُمَا: عَلَى وُجُوبِ نَفَقَةِ الْأَوْلَادِ عَلَى الْآبَاءِ دُونَ الْأُمَّهَاتِ، وَدَلَّتْ عَلَى أَنَّ اشْتِغَالَ الْأُمِّ بِتَرْبِيَةِ وَلَدِهَا لَا يُوجِبُ سُقُوطَ نَفَقَتِهَا وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} [الطلاق: 6] ، يَعْنِي الْمُطَلَّقَاتِ إِذَا أَرْضَعْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَجَبَتْ لَهُنَّ أُجْرَةُ الرَّضَاعَةِ، فَلَمَّا لَزِمَتْ أُجْرَةُ الرَّضَاعِ كَانَ لُزُومُ النَّفَقَةِ أَحَقَّ. وَقَالَ تَعَالَى: {وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ} [الإسراء: 31] ، فَلَوْلَا وُجُوبُ النَّفَقَةِ عَلَيْهِ مَا قَتَلَهُ خَشْيَةَ الْإِمْلَاقِ مِنَ النَّفَقَةِ.

Pertama: wajibnya nafkah anak atas ayah, bukan atas ibu. Ayat ini juga menunjukkan bahwa kesibukan ibu dalam mengasuh anaknya tidak menggugurkan hak nafkahnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: {Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya} [ath-Thalaq: 6], maksudnya adalah para wanita yang ditalak, jika mereka menyusui anak-anak mereka, maka wajib diberikan upah menyusui kepada mereka. Jika upah menyusui saja wajib, maka kewajiban nafkah tentu lebih utama. Allah Ta‘ala juga berfirman: {Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu} [al-Isra’: 31]. Seandainya nafkah tidak wajib atas ayah, tentu ia tidak akan membunuh anaknya karena takut miskin akibat nafkah.

وَأَمَّا دَلِيلُ السُّنَّةِ فَمَا رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا آتِي رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: فَقَالَ: إِنَّ مَعِي دِينَارًا قَالَ: أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ قال: إن معي آخر قال: أنفقه عَلَى وَلَدِكَ قَالَ: إِنَّ مَعِي آخَرَ قَالَ: أَنْتَ أَعْلَمُ فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ النَّفَقَةِ لِلْوَلَدِ.

Adapun dalil dari as-Sunnah adalah riwayat asy-Syafi‘i dari Sufyan, dari Abu ‘Ajlan, dari Sa‘id bin Abi Sa‘id, dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– lalu berkata: “Aku memiliki satu dinar.” Beliau bersabda: “Belanjakanlah untuk dirimu.” Ia berkata: “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda: “Belanjakanlah untuk anakmu.” Ia berkata: “Aku punya satu lagi.” Beliau bersabda: “Engkau lebih tahu.” Maka hadis ini menunjukkan wajibnya nafkah untuk anak.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا حَدَّثَتْهُ أَنَّ هِنْدَ أُمَّ مُعَاوِيَةَ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَإِنَّهُ لَا يُعْطِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا آخُذُ مِنْهُ سِرًّا وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ)) ، فَدَلَّ هَذَا أَيْضًا عَلَى وُجُوبِ نَفَقَةِ الْوَلَدِ.

Asy-Syafi‘i meriwayatkan dari Anas bin ‘Iyadh, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ‘Aisyah, bahwa ia menceritakan kepadanya bahwa Hindun, ibu Mu‘awiyah, datang kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan berkata: “Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, ia tidak memberiku dan anakku kecuali apa yang aku ambil darinya secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena itu?” Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang patut.” Hadis ini juga menunjukkan wajibnya nafkah anak.

وَأَمَّا الْعِبْرَةُ فَإِنَّ وُجُودَ الْبَعْضِيَّةِ بَيْنَهُمَا وَأَنَّهُ يَعْتِقُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ كَمَا تَعْتِقُ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَلَا يَشْهَدُ لَهُ كَمَا لَا يَشْهَدُ لِنَفْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ يُنْفِقَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ كَمَا يُنْفِقُ عَلَى نَفْسِهِ.

Adapun pertimbangan (‘ibrah) adalah karena adanya hubungan sebagian (nasab) di antara keduanya, dan bahwa masing-masing dari mereka akan memerdekakan yang lain sebagaimana ia memerdekakan dirinya sendiri, dan tidak bersaksi untuknya sebagaimana tidak bersaksi untuk dirinya sendiri. Maka wajib bagi masing-masing dari mereka menafkahi yang lain sebagaimana ia menafkahi dirinya sendiri.

(الْقَوْلُ فِي شُرُوطِ النَّفَقَةِ عَلَى الْوَلَدِ)

(Pembahasan tentang Syarat-syarat Nafkah atas Anak)

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ نَفَقَةِ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ فَهِيَ مُعْتَبَرَةٌ بِشُرُوطٍ فِي الْوَلَدِ وَشُرُوطٍ فِي الْوَالِدِ.

Jika telah tetap kewajiban nafkah anak atas orang tua, maka nafkah itu dipertimbangkan dengan syarat-syarat pada anak dan syarat-syarat pada orang tua.

فَأَمَّا الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الْوَلَدِ، فَثَلَاثَةُ شُرُوطٍ:

Adapun syarat-syarat yang dipertimbangkan pada anak, ada tiga syarat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ حُرًّا فَإِنْ كَانَ مَمْلُوكًا كَانَ سَيِّدُهُ أَحَقَّ بِالْتِزَامِ نَفَقَتِهِ مِنْ أَبِيهِ لِأَنَّهُ مَالِكُ كَسْبِهِ.

Salah satunya: hendaknya ia adalah orang merdeka. Jika ia adalah seorang budak, maka tuannya lebih berhak menanggung nafkahnya daripada ayahnya, karena tuannya adalah pemilik hasil kerjanya.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أن يكون فقيراً لا مال له إن كَانَ لَهُ مَالٌ كَانَتْ نَفَقَتُهُ فِي مَالِهِ لَا عَلَى أَبِيهِ، لِأَنَّهَا مُوَاسَاةٌ لَا تَجِبُ إِلَّا مَعَ الْفَقْرِ.

Syarat kedua: hendaknya ia fakir, tidak memiliki harta. Jika ia memiliki harta, maka nafkahnya diambil dari hartanya sendiri, bukan dari ayahnya, karena nafkah itu merupakan bentuk solidaritas yang tidak wajib kecuali dalam keadaan fakir.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ عَاجِزًا عَنِ الْكَسْبِ، وَعَجْزُهُ عَنْهُ يَكُونُ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ:

Syarat ketiga: hendaknya ia tidak mampu bekerja, dan ketidakmampuannya itu terjadi karena salah satu dari dua hal:

إِمَّا بِنُقْصَانِ خَلْقِهِ وَإِمَّا بِنُقْصَانِ أَحْكَامِهِ، أَمَّا نُقْصَانُ خَلْقِهِ فَكَالْعَمَى وَالزَّمَانَةِ، وَأَمَّا نُقْصَانُ أَحْكَامِهِ فَكَالصِّغَرِ وَالْجُنُونِ.

Yaitu karena kekurangan fisik atau kekurangan hukum. Kekurangan fisik seperti buta atau cacat, sedangkan kekurangan hukum seperti masih kecil atau gila.

وَأَمَّا الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي وُجُوبِ نَفَقَتِهِ عَلَى الْأَبِ فَثَلَاثَةُ شُرُوطٍ:

Adapun syarat-syarat yang diperhitungkan dalam kewajiban nafkah atas ayah ada tiga:

أَحَدُهَا: الْحُرِّيَّةُ. لِيَكُونَ بِهَا مِنْ أَهْلِ الْمُوَاسَاةِ، فَإِنْ كَانَ مَمْلُوكًا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ نَفَقَةُ وَلَدِهِ، لأنه لما تَجِبْ عَلَيْهِ نَفَقَةُ نَفْسِهِ كَانَ أَوْلَى أَنْ لَا تَجِبَ عَلَيْهِ نَفَقَةُ وَلَدِهِ.

Salah satunya: kemerdekaan. Dengan kemerdekaan, ia termasuk golongan yang layak menerima solidaritas. Jika ia adalah seorang budak, maka tidak wajib atasnya memberi nafkah kepada anaknya, karena jika nafkah untuk dirinya sendiri saja tidak wajib atasnya, maka lebih utama lagi nafkah untuk anaknya tidak wajib atasnya.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَادِرًا عَلَى نَفَقَتِهِ، وَقُدْرَتُهُ عَلَيْهَا تَكُونُ مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ، إِمَّا مِنْ يَسَارٍ بِمَالٍ يَمْلِكُهُ، وَإِمَّا بِكَسْبِ بَدَنِهِ، لِأَنَّ الْقُدْرَةَ عَلَى الْكَسْبِ تُجْرِي عَلَيْهِ حُكْمَ الْغِنَى وَتَسْلُبُهُ حُكْمَ الْفَقْرِ، قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِرَجُلَيْنِ سَأَلَاهُ عَنِ الزَّكَاةِ إِنْ شِئْتُمَا وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي قُوَّةٍ مُكْتَسِبٍ “.

Syarat kedua: hendaknya ia mampu memberikan nafkah. Kemampuannya itu bisa dari dua sisi: bisa dari kelapangan harta yang dimilikinya, atau dari hasil kerja badannya. Karena kemampuan untuk bekerja menjadikan dirinya dihukumi sebagai orang kaya dan menghilangkan status fakir darinya. Nabi ﷺ bersabda kepada dua orang yang bertanya tentang zakat: “Jika kalian berdua mau, (ambil), tetapi tidak ada bagian dalam zakat bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang kuat dan mampu bekerja.”

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهَا فَاضِلَةً عَنْ نَفَقَةِ نَفْسِهِ فَإِنْ لَمْ تَفْضُلْ عَنْهَا سَقَطَتْ عَنْهُ. لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ابْدَأْ بِنَفْسِكَ ثُمَّ بِمَنْ تَعُولُ “.

Syarat ketiga: hendaknya ia mampu memberikan nafkah yang melebihi kebutuhan dirinya sendiri. Jika tidak ada kelebihan dari kebutuhannya, maka kewajiban nafkah itu gugur darinya. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Mulailah dari dirimu sendiri, kemudian kepada orang yang menjadi tanggunganmu.”

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” النوفية دلالة أن النفقة ليست على الميراث وقال ابن عباس رضي الله عنهما في قوله تعالى {وعلى الوارث مثل ذلك} من أن لا تضار والدة بولدها لا أن عليها النفقة “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Nash (dalil) yang jelas menunjukkan bahwa nafkah bukanlah berdasarkan warisan. Ibnu ‘Abbas ra. berkata tentang firman Allah Ta‘ala {Dan kewajiban orang yang mewarisi adalah seperti itu juga} bahwa maksudnya adalah agar seorang ibu tidak dirugikan karena anaknya, bukan berarti ibu wajib memberi nafkah.”

قال الماوري: وَهَذَا صَحِيحٌ وَأَحَقُّ النَّاسِ بِتَحَمُّلِ نَفَقَةِ الْوَلَدِ أَبَوَاهُ إِذَا اسْتُكْمِلَتْ فِيهِمَا شُرُوطُ الِالْتِزَامِ، فَإِنْ أَعْسَرَ الْأَبُ بِهَا أَوْ مَاتَ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيمَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ بَعْدَ الْأَبِ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ.

Al-Mawardi berkata: Ini benar. Orang yang paling berhak menanggung nafkah anak adalah kedua orang tuanya jika telah terpenuhi syarat-syarat kewajiban tersebut pada keduanya. Jika ayah tidak mampu atau meninggal dunia, maka para fuqaha berbeda pendapat tentang siapa yang wajib menanggung nafkah setelah ayah, menjadi empat mazhab.

أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تَجِبُ عَلَى الْجَدِّ أبي الأب ثم أباؤه وَإِنْ عَلَوْنَ دُونَ الْأُمِّ. سَوَاءٌ مَاتَ الْأَبُ أَوْ أَعْسَرَ، ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُمْ إِلَى الْأُمِّ.

Pertama: Ini adalah mazhab Syafi‘i, bahwa nafkah itu wajib atas kakek dari pihak ayah, kemudian para ayah di atasnya, meskipun lebih jauh, bukan atas ibu. Baik ayah meninggal atau tidak mampu, kemudian setelah mereka baru berpindah kepada ibu.

وَالثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهَا لَا تَجِبُ عَلَى الْأُمِّ وَلَا عَلَى الْجَدِّ، سَوَاءٌ مَاتَ الْأَبُ أَوْ أَعْسَرَ؛ لِبُعْدِ نَسَبِ الْجَدِّ وَضَعْفِ النِّسَاءِ عَنِ التَّحَمُّلِ.

Kedua: Ini adalah mazhab Malik, bahwa nafkah tidak wajib atas ibu dan tidak pula atas kakek, baik ayah meninggal atau tidak mampu, karena jauhnya hubungan kakek dan lemahnya kaum perempuan untuk menanggung nafkah.

وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ أَنَّهُ إِنْ أَعْسَرَ الْأَبُ تَحَمَّلَتْهَا الْأُمُّ لِتَرْجِعَ بِهَا عَلَيْهِ إِذَا أَيْسَرَ وَإِنْ مَاتَ الْأَبُ كَانَتْ عَلَى الْجَدِّ دُونَ الْأُمِّ.

Ketiga: Ini adalah mazhab Abu Yusuf dan Muhammad, bahwa jika ayah tidak mampu, maka ibu menanggung nafkah tersebut agar ia dapat menagihnya kembali kepada ayah jika ayah telah mampu. Namun jika ayah meninggal, maka nafkah menjadi tanggungan kakek, bukan ibu.

وَالرَّابِعُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهَا تَجِبُ فِي مَوْتِ الْأَبِ وَإِعْسَارِهِ عَلَى الْجَدِّ وَالْأُمِّ أَثْلَاثًا كَالْمِيرَاثِ، ثُلُثُهَا عَلَى الْأُمِّ وَثُلُثَاهَا عَلَى الْجَدِّ. اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بالمعروف} الْآيَةَ إِلَى أَنْ قَالَ {وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذلك} يَعْنِي مِثْلَمَا كَانَ عَلَى الْأَبِ مِنْ رِزْقِهِنَّ وَكِسْوَتِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَالْأُمُّ وَالْجَدُّ وَارِثَانِ فَوَجَبَ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي تَحَمُّلِ ذَلِكَ كَاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْمِيرَاثِ وَهَذَا نَصٌّ.

Keempat: Ini adalah mazhab Abu Hanifah, bahwa dalam kasus ayah meninggal atau tidak mampu, maka nafkah wajib atas kakek dan ibu secara bersama-sama seperti pembagian warisan, sepertiganya atas ibu dan dua pertiganya atas kakek. Berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan kewajiban orang yang mewarisi adalah seperti itu juga}, maksudnya seperti apa yang menjadi kewajiban ayah berupa nafkah dan pakaian yang layak. Ibu dan kakek adalah ahli waris, maka wajib bagi keduanya untuk berbagi dalam menanggung nafkah sebagaimana mereka berbagi dalam warisan, dan ini adalah nash (teks yang jelas).

وَدَلِيلُنَا هُوَ: أَنَّ الْجَدَّ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الْأَبِ فَانْطَلَقَ عَلَيْهِ حُكْمُهُ قَالَ تَعَالَى: {يَا بَنِي آدَمَ} [الأعراف: 26] فَسَمَّانَا أَبْنَاءً وَسَمَّى آدَمَ أَبًا، وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ {مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ} [الحج: 78] فَسَمَّاهُ أَبًا وَإِنْ كَانَ جَدًّا بَعِيدًا، وَلِأَنَّهُ لَمَّا قَامَ الْجَدُّ مَقَامَ الْأَبِ فِي الْوِلَايَةِ وَاخْتَصَّ دُونَ الْأُمِّ بِالتَّعْصِيبِ وَجَبَ أَنْ يَقُومَ مَقَامَهُ فِي الْتِزَامِ النَّفَقَةِ، فَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا دَلِيلَ فِيهَا لِاخْتِلَافِ أَهْلِ التأويل في المراد بالوارث هاهنا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:

Dalil kami adalah: bahwa kakek dapat disebut sebagai ayah, maka berlaku pula hukum ayah atasnya. Allah Ta‘ala berfirman: {Wahai anak-anak Adam} [al-A‘rāf: 26], maka Allah menyebut kita sebagai anak-anak dan menyebut Adam sebagai ayah. Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: {agama ayahmu Ibrahim} [al-Hajj: 78], maka Allah menyebut Ibrahim sebagai ayah meskipun beliau adalah kakek yang jauh. Dan karena kakek menempati posisi ayah dalam hal perwalian dan secara khusus mendapatkan hak ‘ashabah (hak waris laki-laki) yang tidak dimiliki ibu, maka wajib pula baginya menempati posisi ayah dalam kewajiban menafkahi. Adapun ayat tersebut, tidak terdapat dalil di dalamnya karena para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maksud “pewaris” di sini menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا أَنَّهُ الْمَوْلُودُ يَلْتَزِمُ نَفَقَةَ أُمِّهِ بَعْدَ مَوْتِ أَبِيهِ كَمَا الْتَزَمَهَا أَبُوهُ، وَهُوَ قَوْلُ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ وَعَلَى هَذَا التَّأْوِيلِ يَسْقُطُ الدَّلِيلُ.

Pertama, bahwa yang dimaksud adalah anak yang menanggung nafkah ibunya setelah ayahnya wafat sebagaimana ayahnya dahulu menanggungnya. Ini adalah pendapat Qabishah bin Dzu’aib, dan menurut penafsiran ini, dalil tersebut gugur.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ وَارِثَ الْأَبِ فَعَلَى هَذَا الْجَدُّ الَّذِي هُوَ أبوه أخص بميراثه نسباً من الأم هي زوجته فسقط الدليل. والثالث: وَارِثُ الْمَوْلُودِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ مثل ذلك مَا حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَتَابَعَهُ عَلَيْهِ الزُّهْرِيُّ وَالضَّحَّاكُ فِي أَنْ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا فَسَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ بِهَا عَلَى التَّأْوِيلَاتِ كُلِّهَا.

Kedua: bahwa yang dimaksud adalah pewaris ayah. Maka dalam hal ini, kakek yang merupakan ayah lebih berhak atas warisannya secara nasab daripada ibu yang merupakan istrinya, sehingga dalil tersebut gugur. Ketiga: pewaris anak yang lahir. Maka dalam hal ini, yang dimaksud dengan firman-Nya “seperti itu” adalah sebagaimana yang diriwayatkan asy-Syafi‘i dari Ibnu ‘Abbas dan diikuti oleh az-Zuhri dan adh-Dhahhak, yaitu bahwa tidak boleh seorang ibu dirugikan karena anaknya, sehingga istidlal (pengambilan dalil) dengan ayat ini gugur menurut semua penafsiran.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ وُجُوبِهَا عَلَى الْجَدِّ دُونَ الْأُمِّ فَهِيَ بَعْدَ الْجَدِّ عَلَى آبَائِهِ وَإِنْ بَعُدُوا دُونَ الْأُمِّ، وَلَا تَنْتَقِلُ إِلَى الْأَبْعَدِ إِلَّا بَعْدَ مَوْتِ الْأَقْرَبِ أَوْ عُسْرَتِهِ، فَإِذَا عُدِمُوا أَوْ أَعْسَرُوا انتقل وجوبها إلى الأم.

Apabila telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan tentang kewajiban nafkah atas kakek dan bukan atas ibu, maka setelah kakek, kewajiban itu berpindah kepada para ayahnya (leluhur laki-laki) meskipun jauh, dan bukan kepada ibu. Kewajiban tersebut tidak berpindah kepada yang lebih jauh kecuali setelah yang lebih dekat wafat atau dalam keadaan tidak mampu. Jika mereka tidak ada atau tidak mampu, maka kewajiban itu berpindah kepada ibu.

قال مَالِكٌ: لَا تَجِبُ عَلَى الْأُمِّ وَلَا مَدْخَلَ لِلنِّسَاءِ فِي تَحَمُّلِ النَّفَقَاتِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ} [النساء: 34] فَأَوْجَبَ النَّفَقَةَ لَهُنَّ وَلَمْ يُوجِبِ النَّفَقَةَ عَلَيْهِنَّ وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ} [البقرة: 233] فَلَمَّا أَوْجَبَ عَلَى الْأُمِّ مَا عَجَزَ عَنْهُ الْأَبُ مِنَ الرَّضَاعِ وَجَبَ عَلَيْهَا مَا عَجَزَ عَنْهُ مِنَ النَّفَقَةِ، وَلِأَنَّ الْبَعْضِيَّةَ فِيهَا مُتَحَقِّقَةٌ وَفِي الْأَبِ مَظْنُونَةٌ فَلَمَّا تَحَمَّلَتْ بِالْمَظْنُونَةِ كَانَ تَحَمُّلُهَا بِالْمُسْتَيْقِنَةِ أَوْلَى؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا تَحَمَّلَ الْوَلَدُ نَفَقَةَ أَبَوَيْهِ وَجَبَ أَنْ يَتَحَمَّلَ أَبَوَاهُ نَفَقَتَهُ، وَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا دَلِيلَ فِيهَا لِوُرُودِهَا فِي نَفَقَاتِ الزَّوْجَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Malik berkata: Tidak wajib atas ibu, dan perempuan tidak memiliki andil dalam menanggung nafkah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka} [an-Nisā’: 34]. Maka Allah mewajibkan nafkah untuk mereka (perempuan), dan tidak mewajibkan nafkah atas mereka. Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh} [al-Baqarah: 233]. Maka ketika Allah mewajibkan atas ibu sesuatu yang tidak mampu dilakukan ayah berupa penyusuan, maka wajib pula atasnya apa yang tidak mampu dilakukan ayah berupa nafkah. Karena adanya hubungan sebagian (nasab) pada ibu adalah pasti, sedangkan pada ayah masih diduga, maka ketika ibu menanggung yang diduga, maka menanggung yang pasti lebih utama. Dan karena ketika anak menanggung nafkah kedua orang tuanya, maka kedua orang tuanya pun wajib menanggung nafkah anaknya. Adapun ayat tersebut, tidak terdapat dalil di dalamnya karena ayat itu turun terkait nafkah istri. Allah Maha Mengetahui.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا ثَبَتَ تَحَمُّلُ الْأُمِّ لَهَا كَالْأَبِ خَرَجَ مِنِ الْتِزَامِهَا مَنْ عَدَا الْآبَاءَ وَالْأُمَّهَاتِ مِنْ سَائِرِ الْأَقَارِبِ وَالْعَصَبَاتِ، وَاخْتَصَّ بِتَحَمُّلِهَا وَالْتِزَامِهَا مَنْ فِيهِ بَعْضِيَّةٌ مِنْ آبَائِهِ وَأُمَّهَاتِهِ عَلَى مَا اسْتَدَلَّ عَلَيْهِ مَنْ بَعْدُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ مَنْ وُجِدَ مِنْهُمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Apabila telah tetap bahwa ibu menanggung nafkah sebagaimana ayah, maka yang keluar dari kewajiban ibu adalah selain ayah dan ibu dari kerabat dan ‘ashabah lainnya. Kewajiban menanggung nafkah hanya khusus bagi yang memiliki hubungan sebagian (nasab) dari ayah dan ibu, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian. Jika demikian, maka keadaan mereka yang ada terbagi menjadi tiga:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونُوا جَمِيعًا مِنْ قِبَلِ الْأَبِ لَا يُشَارِكُهُمْ أَحَدٌ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ.

Pertama: mereka semua berasal dari jalur ayah, tidak ada yang berasal dari jalur ibu.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونُوا جَمِيعًا مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ لَا يُشَارِكُهُمْ أَحَدٌ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ.

Kedua: mereka semua berasal dari jalur ibu, tidak ada yang berasal dari jalur ayah.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَشْتَرِكَ فِيهِ أَقَارِبُ الْأَبِ وَأَقَارِبُ الْأُمِّ، فَإِنِ انْفَرَدَ بِهِ أَقَارِبُ الْأَبِ فَنَفَقَتُهُ بَعْدَ الْأَبِ عَلَى الْجَدِّ فَإِنْ عُدِمَ أَوْ أَعْسَرَ انْتَقَلَتْ عَنْهُ إِلَى جَدِّ الْجَدِّ، ثُمَّ كَذَلِكَ إِلَى جَدٍّ بَعْدَ جَدٍّ، فَإِذَا عُدِمَ جَمِيعُ الْأَجْدَادِ انْتَقَلَتْ عَنْهُمْ إِلَى أُمِّ الْأَبِ لِقِيَامِهَا فِي الْحَضَانَةِ وَالْمِيرَاثِ مَقَامَ الْأَبِ، وَلَيْسَ يُشَارِكُهَا فِي دَرَجَتِهَا بَعْدَ الْجَدِّ أَحَدٌ، فَإِذَا صَعِدَتْ بَعْدَهَا دَرَجَةً اجْتَمَعَ فِيهَا بَعْدَ أَبِي الْجَدِّ ثَلَاثَةٌ: أُمُّ أُمِّ أَبٍ، وَأَبُ أُمِّ أَبٍ، وَأُمُّ أَبِ أَبٍ، فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:

Ketiga: Apabila kerabat dari pihak ayah dan kerabat dari pihak ibu sama-sama berhak, maka jika yang berhak hanya kerabat dari pihak ayah, maka nafkahnya setelah ayah menjadi tanggungan kakek. Jika kakek tidak ada atau tidak mampu, maka tanggungannya berpindah kepada kakek buyut, kemudian demikian seterusnya kepada kakek di atasnya. Jika seluruh kakek tidak ada, maka tanggungannya berpindah kepada nenek dari pihak ayah, karena kedudukannya dalam hadhanah dan warisan menggantikan posisi ayah. Tidak ada seorang pun yang setara dengannya dalam derajat itu setelah kakek. Jika naik satu derajat setelahnya, maka setelah ayah dari kakek, berkumpul tiga orang: ibu dari ibu ayah, ayah dari ibu ayah, dan ibu dari ayah ayah. Dalam hal ini, menurut para ulama mazhab kami terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ سَوَاءٌ فِي تَحَمُّلِهَا لِاسْتِوَائِهِمْ فِي الدَّرَجَةِ وَالْبَعْضِيَّةِ وَعَدَمِ التَّعَصُّبِ، فَيَشْتَرِكُونَ فِي تَحَمُّلِهَا بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ.

Pertama: Mereka sama dalam menanggung nafkah tersebut karena kesamaan derajat, sebagian, dan tidak adanya ‘ashabah, sehingga mereka berbagi secara merata dalam menanggungnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تَتَحَمَّلُهَا أُمُّ أَبِي الْأَبِ، لِأَنَّهَا مَعَ مُسَاوَاتِهِمْ في الدرجة أقرب إدلاءاً بِعَصَبَةٍ لِتَحَمُّلِهَا، وَأَرَى وَجْهًا ثَالِثًا وَهُوَ عِنْدِي أَصَحُّ، أَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ فِيهِمْ مَعَ اسْتِوَاءِ الدَّرَجِ وَارِثٌ وَغَيْرُ وَارِثٍ كَانَ الْوَارِثُ بِتَحَمُّلِهَا أَحَقَّ مِنْ غَيْرِ الْوَارِثِ لِقُوَّةِ الْوَارِثِ عَلَى مَنْ لَا يَرْثُ فَوَجَبَ أَنْ يَتَحَمَّلَهَا لِقُوَّةِ سَبَبِهِ.

Pendapat kedua: Yang menanggungnya adalah ibu dari ayah ayah, karena meskipun mereka setara dalam derajat, ia lebih dekat jalurnya kepada ‘ashabah dalam menanggungnya. Dan menurut saya ada pendapat ketiga, yang menurut saya lebih shahih, yaitu apabila di antara mereka yang setara dalam derajat terdapat pewaris dan bukan pewaris, maka yang berstatus pewaris lebih berhak menanggungnya daripada yang bukan pewaris, karena kekuatan pewaris atas yang tidak mewarisi, sehingga wajib baginya menanggung nafkah tersebut karena kuatnya sebab yang dimilikinya.

كَمَا تُقَدَّمُ الْعَصَبَةُ فِي تَحَمُّلِهَا عَلَى مَنْ لَيْسَ بِعَصَبَةٍ لِقُوَّتِهِمْ بِالتَّعَصُّبِ فَإِنِ اشْتَرَكَا فِي الْمِيرَاثِ تَحَمَّلَهَا مِنْهُمْ مَنْ كَانَ أَقْرَبَ إدلاءاً بِعَصَبَةٍ، وَإِنِ اخْتَلَفَتْ رَحِمُهُمْ تَحَمَّلَهَا الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ وَارِثًا كَانَ أَوْ غَيْرَ وَارِثٍ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ مَعَ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ أُمُّ أَبٍ كَانَتْ أَحَقَّ بِتَحَمُّلِهَا عَلَى الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ غَيْرُهُنَّ اشْتَرَكْ فِي تَحَمُّلِهَا أُمُّ أبي الْأَبِ، وَأُمُّ أُمِّ الْأَبِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْمِيرَاثِ، وَتَسْقُطُ عَنْ أَبِي أُمِّ الْأَبِ لِسُقُوطِ مِيرَاثِهِ وَعَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ وَمَا قَدَّمْتُهُ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ الثَّلَاثَةِ يَكُونُ التَّفْرِيعُ فِي جَمِيعِ مَنْ يَتَحَمَّلُهَا فَإِذَا صَعَدْتَ إِلَى دَرَجَةٍ رَابِعَةٍ اجْتَمَعَ لَكَ فِيهَا بَعْدَ جَدِّ الْجَدِّ الَّذِي لَا يَتَقَدَّمُهُ فِي تَحَمُّلِهَا مِنْهُمْ أَحَدٌ. سَبْعَةٌ:

Sebagaimana ‘ashabah didahulukan dalam menanggung nafkah atas yang bukan ‘ashabah karena kekuatan mereka dalam ‘ashabah. Jika mereka sama-sama berhak waris, maka yang lebih dekat jalurnya kepada ‘ashabah yang menanggungnya. Jika hubungan kekerabatan mereka berbeda, maka yang lebih dekat yang menanggungnya, baik ia pewaris maupun bukan pewaris. Berdasarkan hal ini, jika bersama tiga orang tersebut ada ibu dari ayah, maka dialah yang paling berhak menanggung nafkah menurut tiga pendapat tersebut. Jika tidak ada selain mereka, maka yang menanggung bersama adalah ibu dari ayah ayah dan ibu dari ibu ayah karena keduanya sama-sama berhak waris, sedangkan ayah dari ibu ayah gugur haknya karena tidak berhak waris. Berdasarkan kaidah ini dan apa yang telah saya sebutkan dari tiga pendapat tersebut, maka cabang-cabang hukum dalam semua yang menanggung nafkah didasarkan padanya. Jika engkau naik ke derajat keempat, maka setelah kakek buyut yang tidak ada lagi yang mendahuluinya dalam menanggung nafkah, berkumpul tujuh orang:

أَحَدُهُمْ: أُمُّ أَبِي أَبِي الْأَبِ.

Pertama: Ibu dari ayah ayah ayah.

وَالثَّانِي: أُمُّ أُمِّ أَبِي الْأَبِ.

Kedua: Ibu dari ibu ayah ayah.

وَالثَّالِثُ: أُمُّ أُمِّ أُمِّ أَبٍ، وَهَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةُ وَارِثَاتٌ.

Ketiga: Ibu dari ibu ibu ayah, dan ketiga orang ini adalah para pewaris.

وَالرَّابِعُ: أَبُ أُمِّ أَبِي أَبٍ.

Keempat: Ayah dari ibu ayah ayah.

وَالْخَامِسُ أَبُ أُمِّ أُمِّ أَبٍ.

Kelima: Ayah dari ibu ibu ayah.

وَالسَّادِسُ: أَبُ أَبِي أُمِّ أَبٍ.

Keenam: Ayah dari ayah ibu ayah.

وَالسَّابِعُ: أُمُّ أَبِي أُمِّ أَبٍ وَلَيْسَ فِي هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةِ وَارِثٌ. فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Ketujuh: Ibu dari ayah ibu ayah, dan dari empat orang terakhir ini tidak ada yang berstatus pewaris. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّفَقَةَ يَتَحَمَّلُونَهَا بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ لِاسْتِوَائِهِمْ فِي الدَّرَجَةِ، فَإِنْ عُدِمَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ تَحَمَّلَهَا مَنْ بَقِيَ وَلَا يَتَقَدَّمُ بِتَحَمُّلِهَا وَارِثٌ عَلَى غَيْرِ وَارِثٍ وَلَا مَنْ أَدْلَى بِعَصَبَةٍ عَلَى مَنْ أَدْلَى بِغَيْرِ عَصَبَةٍ، وَهَذَا قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ فِي تَحَمُّلِ النَّفَقَةِ قُرْبَ الدَّرَجِ.

Pertama: Nafkah ditanggung bersama secara merata di antara mereka karena kesamaan derajat. Jika salah satu dari mereka tidak ada, maka yang tersisa yang menanggungnya. Tidak didahulukan pewaris atas yang bukan pewaris, dan tidak pula yang jalurnya melalui ‘ashabah atas yang tidak melalui ‘ashabah. Ini adalah pendapat orang yang mempertimbangkan kedekatan derajat dalam menanggung nafkah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَتَحَمَّلُهَا مِنْهُمْ مَنْ أَدْلَى بِعَصَبَةٍ وَهُوَ لَا مَحَالَةَ وَارِثٌ وَهُوَ أَوَّلُ الْمَذْكُورِينَ مِنَ السَّبْعَةِ، أُمُّ أَبِي أَبِي الْأَبِ، وَتَسْقُطُ عَمَّنْ سِوَاهَا لِاخْتِصَاصِهَا بِقُوَّتَيِ الْمِيرَاثِ وَالْإِدْلَاءِ بِالْعَصَبَةِ، فَإِنْ عَدِمَتْ كَانَتْ عَلَى الثَّانِيَةِ وَهِيَ أُمُّ أُمِّ أَبِي الْأَبِ لِاخْتِصَاصِهَا بَعْدَ الْأُولَى بِالْقُوَّتَيْنِ الْمِيرَاثُ وَقُرْبُ الْإِدْلَاءِ بِالْعَصَبَةِ فَإِنْ عُدِمَتِ الثَّانِيَةُ كَانَتْ عَلَى الثَّالِثَةِ لِتَفَرُّدِهَا بِالْقُوَّتَيْنِ، فَإِنْ عُدِمَ الثَّلَاثُ الْوَارِثَاتُ كَانَتْ عَلَى الرَّابِعِ، وَهُوَ أَبُ أُمِّ أَبِي الْأَبِ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إدلاءاً بعصبة وأقرب إدلاءاً بِوَارِثٍ، فَإِنْ عُدِمَ الرَّابِعُ فَهُوَ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Bahwa yang menanggungnya dari mereka adalah siapa saja yang memiliki hubungan dengan ‘ashabah dan ia pasti merupakan ahli waris, yaitu yang pertama disebutkan dari tujuh orang, yaitu ibu dari ayah dari ayah (nenek buyut dari pihak ayah), dan gugur hak selainnya karena kekhususannya dengan dua kekuatan, yaitu kekuatan mewarisi dan hubungan dengan ‘ashabah. Jika yang pertama tidak ada, maka beralih kepada yang kedua, yaitu ibu dari ibu dari ayah dari ayah, karena setelah yang pertama, ia memiliki dua kekuatan tersebut: mewarisi dan kedekatan hubungan dengan ‘ashabah. Jika yang kedua tidak ada, maka beralih kepada yang ketiga karena ia sendiri yang memiliki dua kekuatan tersebut. Jika ketiga ahli waris tersebut tidak ada, maka beralih kepada yang keempat, yaitu ayah dari ibu dari ayah dari ayah, karena ia yang paling dekat dalam hubungan dengan ‘ashabah dan paling dekat dalam hubungan dengan ahli waris. Jika yang keempat tidak ada, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ مَنْ رَاعَى قُرْبَ الْإِدْلَاءِ بالعصبة فجعلها على الثلاثة الباقيين بِالسَّوِيَّةِ لِاسْتِوَاءِ دَرَجِهِمْ فِي الْإِدْلَاءِ بِالْعَصَبَةِ.

Salah satunya: yaitu pendapat yang mempertimbangkan kedekatan hubungan dengan ‘ashabah, sehingga dibebankan kepada tiga orang yang tersisa secara merata karena mereka setara dalam derajat hubungan dengan ‘ashabah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الَّذِي رَأَيْتُ تَخْرِيجَهُ أَصَحَّ فِي تقديم الوارث على من ليس بوارث. تَجِبُ عَلَى مَنْ كَانَ أَقْرَبَ إِدْلَاءً بِوَارِثٍ وَهُوَ الْخَامِسُ. أَبُ أُمِّ أُمِّ الْأَبِ، لِأَنَّهُ يُدْلِي بَعْدَ دَرَجَتِهِ بِوَارِثٍ، فَإِنْ عُدِمَ الْخَامِسُ اسْتَوَى السَّادِسُ وَالسَّابِعُ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْإِدْلَاءِ بِالتَّعَصُّبِ عَلَى قَوْلِ مَنِ اعْتَبَرَهُ وَلِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْإِدْلَاءِ بِوَارِثٍ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي اعْتَبَرْتُهُ. لَكِنَّ السَّادِسَ مِنْهُمَا ذَكَرٌ وَالسَّابِعَ أُنْثَى، فَإِذَا اجْتَمَعَ فِي تَحَمُّلِ النَّفَقَةِ ذَكَرٌ وَأُنْثَى وَهُمَا يُدْلِيَانِ بِشَخْصٍ وَاحِدٍ كَانَ الذَّكَرُ أَحَقَّ بِتَحَمُّلِهَا مِنَ الْأُنْثَى كَالْأَبَوَيْنِ، وَلَوْ أَدْلَيَا بِشَخْصَيْنِ تَسَاوَيَا رُوعِيَتْ قُوَّةُ الْأَسْبَابِ، فَإِنِ اسْتَوَتِ اشْتَرَكَا في التحمل، والسادس والسابع هاهنا يُدْلِيَانِ بِشَخْصٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَبُ أُمِّ الْأَبِ، فَالسَّادِسُ مِنْهُمَا أَبُوهُ وَالسَّابِعُ أُمُّهُ، فَاخْتَصَّ بِتَحَمُّلِهَا السَّادِسُ الَّذِي هُوَ أَبُ أَبِي أُمِّ الْأَبِ دُونَ السَّابِعَةِ الَّتِي هِيَ أُمُّ أَبِي أُمِّ الأب، فإن عدم السادس بتحملها السَّابِعُ حِينَئِذٍ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ.

Pendapat kedua: yaitu yang aku pandang lebih kuat dalam tarjih, yaitu mendahulukan yang ahli waris atas yang bukan ahli waris. Maka kewajiban itu dibebankan kepada yang paling dekat hubungannya dengan ahli waris, yaitu yang kelima, ayah dari ibu dari ibu dari ayah, karena setelah derajatnya, ia berhubungan dengan ahli waris. Jika yang kelima tidak ada, maka yang keenam dan ketujuh setara karena keduanya sama dalam hubungan dengan ‘ashabah menurut pendapat yang menganggapnya, dan juga setara dalam hubungan dengan ahli waris menurut pendapat yang aku anggap. Namun, yang keenam di antara mereka adalah laki-laki dan yang ketujuh perempuan. Jika dalam menanggung nafkah berkumpul laki-laki dan perempuan yang keduanya berhubungan dengan satu orang, maka laki-laki lebih berhak menanggungnya daripada perempuan, seperti halnya kedua orang tua. Jika keduanya berhubungan dengan dua orang, maka keduanya setara, dan dipertimbangkan kekuatan sebab. Jika setara, maka keduanya berbagi dalam menanggungnya. Keenam dan ketujuh di sini berhubungan dengan satu orang, yaitu ayah dari ibu dari ayah. Maka yang keenam adalah ayahnya dan yang ketujuh ibunya. Maka yang khusus menanggungnya adalah yang keenam, yaitu ayah dari ayah dari ibu dari ayah, bukan yang ketujuh, yaitu ibu dari ayah dari ibu dari ayah. Jika yang keenam tidak ada, maka yang ketujuh menanggungnya, lalu demikian seterusnya menurut qiyās ini.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ أَقَارِبُ الْأُمِّ فَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَا يَكُونُ فِيهِمْ عَصَبَةٌ وَيَخْتَصُّ بِمَنْ فِيهِ مِنْهُمْ وِلَادَةً وَهُمْ فِي أَوَّلِ دَرَجَةٍ بَعْدَ الْأُمِّ أَبَوَاهَا وَهُمَا أَبُ الْأُمِّ وَأُمُّ الْأُمِّ فَهِيَ عَلَى قَوْلِ مَنِ اعْتَبَرَ الدَّرَجَ بَيْنَهُمَا لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الدَّرَجَةِ، وَعَلَى الْوَجْهِ الَّذِي اعْتَبَرْتُهُ فِي التَّرْجِيحِ بِقُوَّةِ الْمِيرَاثِ تَجِبُ عَلَى أُمِّ الْأُمِّ دُونَ أَبِي الْأُمِّ، لِأَنَّهَا الْوَارِثَةُ دُونَهُ، وَلَهُ مَنِ اخْتُصَّ بِالذُّكُورَةِ، فَالتَّرْجِيحُ بِالْمِيرَاثِ أَقْوَى، فَإِذَا صَعِدْتَ بَعْدَهُمَا إِلَى دَرَجَةٍ ثَالِثَةٍ اجْتَمَعَ لَكَ فِيهَا أَرْبَعَةٌ مِنْهُمْ مِنْ جِهَةِ أَبِي الْأُمِّ أَبَوَاهُ وَمِنْ جِهَةِ أُمِّ الْأُمِّ أَبَوَاهَا فَيَكُونُ أَحَدُهُمْ أُمَّ أُمِّ الْأُمِّ، وَالثَّانِي أَبَ أُمِّ الْأُمِّ وَالثَّالِثُ أَبَ أَبِي الْأُمِّ وَالرَّابِعُ أُمَّ أَبِي الْأُمِّ فَهِيَ عَلَى قَوْلِ مَنِ اعْتَبَرَ الدَّرَجِ بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ لِاسْتِوَائِهِمْ فِي الدَّرَجَةِ وَهِيَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي اعْتَبَرْتُهُ فِي التَّرْجِيحِ بِقُوَّةِ الْمِيرَاثِ وَاجِبَةٌ عَلَى أُمِّ أُمِّ الْأُمِّ؛ لِأَنَّهَا الْوَارِثَةُ مِنْ جَمِيعِهِمْ فَإِنْ عُدِمَتْ وَجَبَتْ بَعْدَهَا عَلَى أَبِي أُمِّ الْأُمِّ؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِدْلَاءً بِوَارِثٍ، فَإِنْ عدم استوى الأثنان الباقيان فيها وهما أبرأ أَبِي الْأُمِّ وَقَدْ أَدْلَيَا بِشَخْصٍ وَاحِدٍ وَأَحَدُهُمَا ذَكَرٌ فَكَانَ أَحَقَّ بِتَحَمُّلِهَا وَوَجَبَتْ عَلَى أَبِي الْأُمِّ دُونَ أُمِّ أَبِي الْأُمِّ، فَإِنْ صَعِدْتَ بَعْدَهُمْ إِلَى دَرَجَةٍ رَابِعَةٍ اجْتَمَعَ لَكَ فِيهَا ثَمَانِيَةٌ أَحَدُهُمْ أُمُّ أُمِّ أُمِّ الْأُمِّ وَالثَّانِي أَبُ أُمِّ أُمِّ الْأُمِّ، وَالثَّالِثُ أَبُ أَبِي أُمِّ الْأُمِّ، وَالرَّابِعُ أُمُّ أَبِي أُمِّ الْأُمِّ وَالْخَامِسُ أَبُ أَبِي أَبِي الْأُمِّ، وَالسَّادِسُ أُمُّ أَبِي أَبِي الْأُمِّ، وَالسَّابِعُ أَبُ أُمِّ أَبِي الْأُمِّ، وَالثَّامِنُ أُمُّ أُمِّ أَبِي الْأُمِّ، فَعَلَى قَوْلِ مَنِ اعْتَبَرَ الدَّرَجِ تَجِبُ عَلَى جَمْعِهِمْ بِالسَّوِيَّةِ لِاسْتِوَائِهِمْ فِي الدَّرَجَةِ، وَهِيَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي اعْتَبَرْتُهُ، فِي التَّرْجِيحِ بِقُوَّةِ الْمِيرَاثِ تَجِبُ عَلَى الْأُولَى وَهِيَ أُمُّ أُمِّ أُمِّ الْأُمِّ، لِأَنَّهَا الْوَارِثَةُ مِنْ جَمِيعِهِمْ، فَإِنْ عُدِمَتْ فَهِيَ عَلَى الثَّانِي وَهُوَ أَبُ أُمِّ أُمِّ الْأُمِّ، لِأَنَّهُ أَقْرَبُهُمْ إِدْلَاءً بِوَارِثٍ فَإِنْ عُدِمَ فَهِيَ عَلَى الثَّالِثِ وَهُوَ أَبُ أَبِي أُمِّ الْأُمِّ، لِأَنَّهُ مَعَ الرَّابِعَةِ يُدْلِيَانِ بِأَبِي أُمِّ الْأُمِّ الْمُدْلِي بِوَارِثٍ فَقُدِّمَا عَلَى مَنْ بَعْدَهُمَا لِبُعْدِ إِدْلَائِهِمْ بِوَارِثٍ وَقُدِّمَ الثَّالِثُ لِذُكُورِيَّتِهِ عَلَى الرَّابِعَةِ لِأُنُوثِيَّتِهَا مَعَ اشْتِرَاكِهِمَا فِي الْإِدْلَاءِ بِشَخْصٍ وَاحِدٍ فَإِنْ عُدِمَ الثَّالِثُ فَهِيَ عَلَى الرَّابِعَةِ وَهِيَ أُمُّ أَبِي أُمِّ الْأُمِّ، فَإِنْ عُدِمَتْ فَعَلَى الْخَامِسِ وَهُوَ أَبُ أَبِي أَبِي الْأُمِّ، لِأَنَّهُ مَعَ السَّادِسَةِ يُدْلِيَانِ بِأَبِي أَبِي أَبِي الْأُمِّ، فقدم الخامس لذكوريته وإدلالئهما بِشَخْصٍ وَاحِدٍ، فَإِنْ عُدِمَ كَانَتْ بَعْدَهُ عَلَى السَّادِسَةِ وَهِيَ أُمُّ أَبِ أَبِي الْأُمِّ فَإِنْ عُدِمَتْ فَهِيَ بَعْدَهَا عَلَى السَّابِعِ وَهُوَ أَبُ أُمِّ أَبِي الْأُمِّ، لِأَنَّهُ يُدْلِي مَعَ الثَّامِنَةِ بِأُمِّ أَبِي الْأُمِّ فَاخْتُصَّ بِهَا لِذُكُورِيَّتِهِ، فَإِنْ عُدِمَ فَهِيَ بَعْدَهُ عَلَى الثَّامِنَةِ وَهِيَ أُمُّ أُمِّ أَبِي الْأُمِّ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ.

Adapun bagian kedua, yaitu apabila kerabat dari pihak ibu saja yang menjadi ahli waris, maka sudah diketahui bahwa di antara mereka tidak ada ‘ashabah, dan yang khusus dari mereka adalah yang memiliki hubungan kelahiran, yaitu pada derajat pertama setelah ibu adalah kedua orang tuanya, yaitu ayah ibu dan ibu ibu. Maka, menurut pendapat yang mempertimbangkan derajat di antara keduanya karena keduanya sama dalam derajat, dan menurut pendapat yang aku anggap lebih kuat dalam tarjih berdasarkan kekuatan warisan, maka kewajiban itu jatuh pada ibu dari ibu, bukan pada ayah dari ibu, karena dialah yang mewarisi, bukan ayah dari ibu. Adapun ayah dari ibu hanya mendapat bagian jika ada kekhususan karena laki-laki, sehingga tarjih dengan warisan lebih kuat. Jika engkau naik ke derajat ketiga setelah keduanya, maka di sana akan berkumpul empat orang dari mereka: dari jalur ayah ibu adalah kedua orang tuanya, dan dari jalur ibu ibu adalah kedua orang tuanya. Maka salah satunya adalah ibu dari ibu ibu, yang kedua adalah ayah dari ibu ibu, yang ketiga adalah ayah dari ayah ibu, dan yang keempat adalah ibu dari ayah ibu. Maka, menurut pendapat yang mempertimbangkan derajat di antara mereka secara setara karena kesamaan derajat, dan menurut pendapat yang aku anggap lebih kuat dalam tarjih berdasarkan kekuatan warisan, maka kewajiban itu jatuh pada ibu dari ibu ibu, karena dialah yang mewarisi dari semuanya. Jika ia tidak ada, maka kewajiban itu jatuh pada ayah dari ibu ibu, karena ia yang paling dekat hubungan dengan pewaris. Jika tidak ada juga, maka dua orang yang tersisa, yaitu ayah dari ayah ibu dan ibu dari ayah ibu, keduanya sama, dan keduanya memiliki hubungan melalui satu orang, dan salah satunya laki-laki, maka dialah yang lebih berhak menanggungnya, sehingga kewajiban itu jatuh pada ayah dari ayah ibu, bukan pada ibu dari ayah ibu. Jika engkau naik lagi ke derajat keempat setelah mereka, maka di sana akan berkumpul delapan orang: yang pertama adalah ibu dari ibu ibu ibu, yang kedua ayah dari ibu ibu ibu, yang ketiga ayah dari ayah ibu ibu, yang keempat ibu dari ayah ibu ibu, yang kelima ayah dari ayah ayah ibu, yang keenam ibu dari ayah ayah ibu, yang ketujuh ayah dari ibu ayah ibu, dan yang kedelapan ibu dari ibu ayah ibu. Maka menurut pendapat yang mempertimbangkan derajat, kewajiban itu jatuh pada semuanya secara setara karena kesamaan derajat, dan menurut pendapat yang aku anggap lebih kuat dalam tarjih berdasarkan kekuatan warisan, maka kewajiban itu jatuh pada yang pertama, yaitu ibu dari ibu ibu ibu, karena dialah yang mewarisi dari semuanya. Jika ia tidak ada, maka kewajiban itu jatuh pada yang kedua, yaitu ayah dari ibu ibu ibu, karena ia yang paling dekat hubungan dengan pewaris. Jika tidak ada, maka kewajiban itu jatuh pada yang ketiga, yaitu ayah dari ayah ibu ibu, karena bersama yang keempat, keduanya memiliki hubungan melalui ayah dari ibu ibu yang merupakan pewaris, sehingga keduanya didahulukan dari yang lain karena yang lain lebih jauh hubungannya dengan pewaris. Yang ketiga didahulukan karena laki-laki atas yang keempat karena perempuan, meskipun keduanya sama-sama memiliki hubungan melalui satu orang. Jika yang ketiga tidak ada, maka kewajiban itu jatuh pada yang keempat, yaitu ibu dari ayah ibu ibu. Jika ia tidak ada, maka kewajiban itu jatuh pada yang kelima, yaitu ayah dari ayah ayah ibu, karena bersama yang keenam, keduanya memiliki hubungan melalui ayah dari ayah ibu, dan yang kelima didahulukan karena laki-laki dan keduanya memiliki hubungan melalui satu orang. Jika yang kelima tidak ada, maka kewajiban itu jatuh pada yang keenam, yaitu ibu dari ayah ayah ibu. Jika ia tidak ada, maka kewajiban itu jatuh pada yang ketujuh, yaitu ayah dari ibu ayah ibu, karena ia memiliki hubungan bersama yang kedelapan melalui ibu dari ayah ibu, sehingga ia didahulukan karena laki-laki. Jika ia tidak ada, maka kewajiban itu jatuh pada yang kedelapan, yaitu ibu dari ibu ayah ibu. Kemudian demikianlah seterusnya menurut qiyās.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَشْتَرِكَ فِيهَا أَقَارِبُ الْأَبِ وَأَقَارِبُ الْأُمِّ، فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Adapun bagian ketiga, yaitu apabila kerabat dari pihak ayah dan kerabat dari pihak ibu sama-sama menjadi ahli waris, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ أَقَارِبُ الْأَبِ أَقْرَبَ فَهُمُ الْمُخْتَصُّونَ بِتَحَمُّلِهَا لِقُرْبِهِمْ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ أَحْكَامِ دَرَجِهِمْ دُونَ أَقَارِبِ الْأُمِّ لِبُعْدِهِمْ،

Pertama: Jika kerabat dari pihak ayah lebih dekat, maka merekalah yang khusus menanggungnya karena kedekatan mereka, sebagaimana telah kami sebutkan mengenai hukum tingkatan mereka, tanpa melibatkan kerabat dari pihak ibu karena jauhnya hubungan mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أَقَارِبُ الْأُمِّ أَقَرَبَ فَهُمْ أَخَصُّ بِتَحَمُّلِهَا لِقُرْبِهِمْ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ أَحْكَامِ دَرَجِهِمْ دُونَ أَقَارِبِ الْأَبِ لِبُعْدِهِمْ.

Bagian kedua: Jika kerabat dari pihak ibu lebih dekat, maka merekalah yang lebih berhak menanggungnya karena kedekatan mereka, sebagaimana telah kami sebutkan mengenai hukum tingkatan mereka, tanpa melibatkan kerabat dari pihak ayah karena jauhnya hubungan mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَوِيَ أَقَارِبُ الْأَبِ وَأَقَارِبُ الْأُمِّ فِي الدَّرَجِ فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Bagian ketiga: Jika kerabat dari pihak ayah dan kerabat dari pihak ibu sama dalam tingkatan, maka ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِكَ الْفَرِيقَانِ فِي تَحَمُّلِهَا وَهُوَ قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ الدَّرَجَ.

Pertama: Kedua kelompok tersebut bersama-sama menanggungnya, dan ini adalah pendapat mereka yang mempertimbangkan tingkatan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يختصر بِتَحَمُّلِهَا أَقَارِبُ الْأَبِ دُونَ أَقَارِبِ الْأُمِّ وَهَذَا قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ الْإِدْلَاءَ بِالْعَصَبَةِ.

Pendapat kedua: Yang menanggungnya hanya kerabat dari pihak ayah tanpa melibatkan kerabat dari pihak ibu, dan ini adalah pendapat mereka yang mempertimbangkan hubungan melalui ‘ashabah.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَحَمَّلَهَا الْوَرَثَةُ مِنْهُمْ دُونَ مَنْ لَمْ يَرِثْ، فَإِنْ لَمْ يَرِثْ مِنْهُمْ أَحَدٌ اخْتُصَّ بِهَا مَنْ كَانَ أَقْرَبَ إِدْلَاءً بِإِرْثٍ، وَهَذَا قَوْلِي فِي اعْتِبَارِ الْقُوَّةِ بِالْإِرْثِ، فَعَلَى هَذَا لَوِ اجْتَمَعَ أُمُّ أُمٍّ وَأُمُّ أَبٍ، كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat ketiga: Yang menanggungnya adalah para ahli waris dari mereka, bukan yang bukan ahli waris. Jika tidak ada seorang pun dari mereka yang menjadi ahli waris, maka yang khusus menanggungnya adalah yang paling dekat hubungannya dalam warisan. Ini adalah pendapat saya dalam mempertimbangkan kekuatan melalui warisan. Berdasarkan hal ini, jika berkumpul ibu dari ibu dan ibu dari ayah, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: يَشْتَرِكَانِ فِي تَحَمُّلِهَا وَهُوَ قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ الدَّرَجَ وَاعْتَبَرَ الْمِيرَاثَ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الدَّرَجِ وَاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْمِيرَاثِ.

Pertama: Keduanya bersama-sama menanggungnya, dan ini adalah pendapat mereka yang mempertimbangkan tingkatan dan warisan, karena keduanya sama dalam tingkatan dan sama-sama mendapat warisan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَخْتَصُّ بِتَحَمُّلِهَا أُمُّ الْأَبِ دُونَ أُمِّ الْأُمِّ وَهُوَ قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ الْإِدْلَاءَ بِالْعَصَبَةِ لِاخْتِصَاصِ أُمِّ الْأَبِ بِتَعْصِيبِ الْأَبِ، وَلَوِ اجْتَمَعَ أُمُّ أَبٍ وَأَبُ أُمٍّ كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: Yang khusus menanggungnya adalah ibu dari ayah tanpa melibatkan ibu dari ibu, dan ini adalah pendapat mereka yang mempertimbangkan hubungan melalui ‘ashabah, karena khususnya ibu dari ayah dalam menisbatkan kepada ayah. Jika berkumpul ibu dari ayah dan ayah dari ibu, maka ada dua kemungkinan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ فِي تَحَمُّلِهَا وَهُوَ قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ الدَّرَجَ لِاسْتِوَائِهِمَا فِيهَا.

Pertama: Keduanya sama dalam menanggungnya, dan ini adalah pendapat mereka yang mempertimbangkan tingkatan karena keduanya sama dalam tingkatan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَخْتَصَّ بِتَحَمُّلِهَا أُمُّ الْأَبِ، وَهُوَ قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ الْإِدْلَاءَ بِالْعَصَبَةِ وَقَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ الْقُوَّةَ بِالْمِيرَاثِ، لِأَنَّهُمَا مَعًا فِي جِهَةِ أُمِّ الْأَبِ دُونَ أَبِي الْأُمِّ، وَلَوِ اجْتَمَعَ فِيهَا ثَلَاثَةٌ أَبُ أُمِّ أَبٍ، وَأُمُّ أَبِي أَبٍ، وَأُمُّ أُمِّ أُمٍّ. كَانَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Pendapat kedua: Yang khusus menanggungnya adalah ibu dari ayah, dan ini adalah pendapat mereka yang mempertimbangkan hubungan melalui ‘ashabah dan pendapat mereka yang mempertimbangkan kekuatan melalui warisan, karena keduanya berada pada jalur ibu dari ayah, bukan ayah dari ibu. Jika dalam hal ini berkumpul tiga orang: ayah dari ibu dari ayah, ibu dari ayah dari ayah, dan ibu dari ibu dari ibu, maka ada tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُمْ يَشْتَرِكُونَ فِي تَحَمُّلِهَا لِاسْتِوَاءِ الدَّرَجِ.

Pertama: Mereka bersama-sama menanggungnya karena sama dalam tingkatan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَخْتَصَّ بِتَحَمُّلِهَا أُمُّ أَبِي الْأَبِ، لِأَنَّهَا أَقْرَبُ إِدْلَاءً بِعَصَبَةٍ وَهُوَ قَوْلُ مَنِ اعْتَبَرَ التَّعْصِيبَ.

Pendapat kedua: Yang khusus menanggungnya adalah ibu dari ayah dari ayah, karena ia lebih dekat hubungannya melalui ‘ashabah, dan ini adalah pendapat mereka yang mempertimbangkan ta‘ṣīb.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ يَشْتَرِكَ فِي تَحَمُّلِهَا أُمُّ أَبِي الْأَبِ وَأُمُّ أُمِّ الْأُمِّ لاشتراكهما في الْمِيرَاثِ دُونَ أَبِي أُمِّ الْأَبِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ وَارِثٍ، وَعَلَى هَذَا الْقِيَاسِ أَبَدًا.

Pendapat ketiga: Yang menanggungnya bersama adalah ibu dari ayah dari ayah dan ibu dari ibu dari ibu, karena keduanya sama-sama mendapat warisan, tidak termasuk ayah dari ibu dari ayah, karena ia bukan ahli waris. Dan demikianlah seterusnya menurut qiyās.

(الْقَوْلُ فِي الْوَقْتِ الَّذِي يَجِبُ فِيهِ الْإِنْفَاقُ عَلَى الْأَوْلَادِ)

(Pembahasan tentang waktu diwajibkannya nafkah kepada anak-anak)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَيُنْفِقُ الرَّجُلُ عَلَى وَلَدِهِ حَتَّى يَبْلُغُوا الْحُلُمَ أَوِ الْمَحِيضَ ثُمَّ لَا نَفَقَةَ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يَكُونُوا زَمْنَى فَيُنْفِقَ عَلَيْهِمْ إِذَا كَانُوا لَا يُغْنُونَ أَنْفُسَهُمْ وَكَذَلِكَ وَلَدُ وَلَدِهِ وَإِنْ سَفَلُوا مَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَبٌ دُونَهُ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِمْ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Seorang laki-laki menafkahi anaknya sampai mereka mencapai usia baligh atau haid, kemudian tidak ada lagi kewajiban nafkah bagi mereka kecuali jika mereka menderita cacat (tidak mampu), maka ia menafkahi mereka jika mereka tidak mampu menghidupi diri sendiri. Demikian pula cucu-cucunya, meskipun ke bawah, selama mereka tidak memiliki ayah di atas mereka yang mampu menafkahi mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا وَجَبَتْ نَفَقَةُ الْوَلَدِ لِصِغَرِهِ سَقَطَتْ بِبُلُوغِهِ مَا لَمْ تَخْلُفِ الصِّغَرَ زَمَانَةٌ أَوْ جُنُونٌ سَوَاءٌ كَانَ الْوَلَدُ غُلَامًا أَوْ جَارِيَةً، فَإِذَا احْتَلَمَ الْغُلَامُ أَوْ حَاضَتِ الْجَارِيَةُ سَقَطَتْ نَفَقَتُهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika nafkah anak diwajibkan karena usianya yang masih kecil, maka gugur dengan balighnya, kecuali jika setelah kecil itu disusul dengan cacat atau gila, baik anak itu laki-laki maupun perempuan. Jika anak laki-laki sudah mimpi basah atau anak perempuan sudah haid, maka gugurlah kewajiban nafkahnya.

وَقَالَ مَالِكٌ: تَجِبُ نَفَقَتُهَا حَتَّى تُزَوَّجَ فَإِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ عَادَتْ نَفَقَتُهَا عَلَى الْأَبِ، وَإِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ لَمْ تَعُدْ نَفَقَتُهَا عَلَيْهِ.

Malik berkata: Nafkahnya tetap wajib sampai ia menikah. Jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan (dengan suami), maka nafkahnya kembali menjadi tanggungan ayah. Namun jika ia dicerai setelah terjadi hubungan, maka nafkahnya tidak kembali kepada ayah.

وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ مَا سَقَطَتْ بِهِ نَفَقَةُ الْغُلَامِ سَقَطَتْ بِهِ نَفَقَةُ الْجَارِيَةِ كَالْيَسَارِ، وَلِأَنَّ الْقُدْرَةَ عَلَى الْكَسْبِ تَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ النَّفَقَةِ كَالْغُلَامِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ لِلْأُنُوثِيَّةِ مَزِيَّةٌ فِي اسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ لَوَجَبَتْ لِلْمُطَلَّقَةِ وَفِي سُقُوطِهَا لِلْمُطَلَّقَةِ إِسْقَاطٌ لِحُكْمِ الْأُنُوثِيَّةِ.

Dalil kami: Sesungguhnya apa yang menyebabkan gugurnya nafkah bagi anak laki-laki juga menyebabkan gugurnya nafkah bagi anak perempuan, seperti kecukupan (kekayaan). Karena kemampuan untuk bekerja mencegah kewajiban nafkah, sebagaimana pada anak laki-laki. Dan seandainya ada keistimewaan pada sifat kewanitaan dalam berhak atas nafkah, niscaya nafkah juga wajib bagi perempuan yang dicerai. Namun, dengan gugurnya nafkah bagi perempuan yang dicerai, maka gugur pula hukum keistimewaan sifat kewanitaan tersebut.

(الْقَوْلُ في سقوط نفقة الولد)

(Pembahasan tentang gugurnya nafkah anak)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَتْ لَهُمْ أَمْوَالٌ فَنَفَقَتُهُمْ فِي أَمْوَالِهِمْ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika mereka (anak-anak) memiliki harta, maka nafkah mereka diambil dari harta mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ نَفَقَةَ الْأَوْلَادِ مُوَاسَاةٌ فَوَجَبَتْ مَعَ الْعُدْمِ وَسَقَطَتْ مَعَ الْغِنَى، وَإِذَا سَقَطَتْ نَفَقَةُ الْأَوْلَادِ بِالْغِنَى، فَسَوَاءٌ كَانَ الولد ذكر أَوْ أُنْثَى، وَلَا يَخْلُو حَالُ مَالِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا فَإِنْ كَانَ حَاضِرًا فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَلَكَهُ بِوَاجِبٍ كَالْمِيرَاثِ أَوْ بِتَطَوُّعٍ كَالْهِبَةِ وَالْوَصِيَّةِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ نَاضًّا أَوْ عَقَارًا نَامِيًا كَانَ أَوْ غَيْرَ نَامٍ فَلَوْ كَانَ أَبُوهُ قَدْ وَهَبَ لَهُ مَالًا فَمَا لَمْ يَقْبِضْهُ الِابْنُ فَنَفَقَتُهُ عَلَى الْأَبِ، فَإِذَا أَقْبَضَهُ إِيَّاهُ سَقَطَتْ نَفَقَتُهُ على الْأَبِ، وَوَجَبَتْ عَلَى الْوَلَدِ فِي الْمَالِ الَّذِي مَلَكَهُ عَنْ أَبِيهِ بِالْهِبَةِ، فَإِنْ أَرَادَ الْأَبُ الرُّجُوعَ فِي هِبَتِهِ فَلَهُ الرُّجُوعُ وَعَلَيْهِ أَنْ ينفق بعد رجوعه عليه، إن كَانَ مَالُهُ غَائِبًا فَعَلَى الْأَبِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ فَرْضًا مَوْقُوفًا، فَإِنْ قَدِمَ مَالُهُ سَالِمًا رَجَعَ الْأَبُ بِمَا أَنْفَقَ سَوَاءٌ أَنَفَقَ بِحُكْمٍ أَوْ بِغَيْرِ حُكْمٍ إِذَا قَصَدَ بِالنَّفَقَةِ الرُّجُوعَ، لِأَنَّ أَمْرَ الْأَبِ فِي حَقِّ وَلَدِهِ أَنْفَذُ مِنْ حُكْمِ الْحَاكِمِ وَإِنْ هَلَكَ مَالُ الْوَلَدِ قَبْلَ قُدُومِهِ بَانَ اسْتِحْقَاقُ نَفَقَتِهِ عَلَى الْأَبِ مِنَ الْوَقْتِ الَّذِي تَلِفَ مَالُهُ فِيهِ، لِأَنَّهُ بِتَلَفِ مَالِهِ صَارَ فَقِيرًا مِنْ أَهْلِ الْمُوَاسَاةِ، فَإِنْ تَلِفَ مَالُهُ مِنْ أَوَّلِ إِنْفَاقِهِ سَقَطَ جميعه، وبرئت ذمة الولد

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena nafkah anak-anak adalah bentuk solidaritas sosial, sehingga diwajibkan ketika mereka tidak memiliki (harta), dan gugur ketika mereka kaya. Jika nafkah anak-anak gugur karena mereka kaya, maka tidak ada perbedaan apakah anak itu laki-laki atau perempuan. Keadaan harta anak tidak lepas dari dua kemungkinan: hadir atau tidak hadir (di tangan). Jika hartanya hadir, maka tidak ada perbedaan apakah ia memilikinya karena kewajiban seperti warisan, atau karena pemberian sukarela seperti hibah dan wasiat. Tidak ada pula perbedaan apakah harta itu berupa uang tunai atau berupa properti, baik yang produktif maupun tidak produktif. Jika ayahnya telah menghibahkan harta kepada anaknya, maka selama anak itu belum menerimanya, nafkahnya tetap menjadi tanggungan ayah. Namun, jika anak telah menerima hibah tersebut, maka gugurlah nafkahnya atas ayah, dan menjadi kewajiban anak untuk menafkahi dirinya dari harta yang ia miliki dari ayahnya melalui hibah. Jika ayah ingin menarik kembali hibahnya, maka ia boleh menariknya dan wajib menafkahi anak setelah hibah itu kembali kepadanya. Jika harta anak tidak hadir (tidak di tangan), maka ayah wajib menafkahi anak dengan status nafkah yang ditangguhkan. Jika kemudian harta anak datang dalam keadaan utuh, ayah boleh meminta kembali apa yang telah ia keluarkan, baik ia menafkahi dengan keputusan hakim atau tanpa keputusan hakim, selama ia memang berniat untuk meminta kembali nafkah tersebut. Sebab, urusan ayah terhadap anaknya lebih kuat daripada keputusan hakim. Jika harta anak rusak sebelum sampai ke tangan anak, maka menjadi jelaslah bahwa nafkah anak menjadi tanggungan ayah sejak waktu harta itu rusak, karena dengan rusaknya harta tersebut, anak menjadi fakir dan berhak menerima solidaritas sosial. Jika harta anak rusak sejak awal ayah menafkahinya, maka seluruh nafkah yang telah diberikan gugur, dan anak terbebas dari tanggungan.

(11/484)

(11/484)

سقط

Dihilangkan

(11/485)

(11/485)

سقط

Dihilangkan

(11/486)

(11/486)

سقط

Dihilangkan

(11/487)

(11/487)

سقط

Dihilangkan

(11/488)

(11/488)

سقط

Dihilangkan

(11/489)

(11/489)

سقط

Dihilangkan

(11/490)

(11/490)

سقط

Dihilangkan

(11/491)

(11/491)

سقط

Dihilangkan

(11/492)

(11/492)

سقط

Dihilangkan

(11/493)

(11/493)

سقط

Dihilangkan

(11/494)

(11/494)

سقط

Dihilangkan

(11/495)

(11/495)

سقط

Dihilangkan

(11/496)

(11/496)

سقط

Dihilangkan

(11/497)

(11/497)

سقط

Dihilangkan

(11/498)

(11/498)

سقط

Dihilangkan

(11/499)

(11/499)

سقط

Dihilangkan

(11/500)

(11/500)

من شاءت من أبويها، وتزول عنها الكفارة بِالتَّزْوِيجِ، لِأَنَّ الزَّوْجَ أَحَقُّ بِهَا، فَإِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ تَعُدِ الْكَفَالَةُ عَلَيْهَا، وَأَقَامَتْ حَيْثُ شَاءَتْ وَقَالَ مَالِكٌ: يَجِبُ عَلَى الْجَارِيَةِ أَنْ تُقِيمَ مَعَ الْأُمِّ حَتَّى تتزوج، فإن طلقت قبل الدخول عادة الْكَفَالَةُ عَلَيْهَا لِلْأُمِّ وَبَنَى أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِمَا فِي بَقَاءِ النَّفَقَةِ لَهَا حَتَّى تَتَزَوَّجَ.

Siapa saja dari kedua orang tuanya yang ia kehendaki, dan kewajiban penjaminan (kafālah) gugur darinya dengan pernikahan, karena suami lebih berhak atasnya. Jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri atau setelahnya, maka kewajiban penjaminan tidak kembali kepadanya, dan ia boleh tinggal di mana saja yang ia kehendaki. Malik berkata: Wajib bagi anak perempuan untuk tinggal bersama ibunya sampai ia menikah. Jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, maka kewajiban penjaminan kembali kepada ibunya. Abu Hanifah dan Malik membangun pendapat ini di atas prinsip mereka bahwa nafkah tetap wajib bagi anak perempuan sampai ia menikah.

وَالشَّافِعِيُّ يُسْقِطُ نَفَقَتَهَا بِالْبُلُوغِ فَأَسْقَطَ الْكَفَالَةَ عَنْهَا بِالْبُلُوغِ وَاسْتَبْقَى مَالِكٌ الْحَجْرَ عَلَى مَالِهَا حَتَّى تَزُوَّجَ وَجَعَلَ حَجْرَ الْكَفَالَةِ تَبَعًا لِمَالِهَا، وَفِيمَا مَضَى مَعَهَا مِنَ الْكَلَامِ فِيمَا جَعَلَاهُ أَصْلًا لِغَايَةٍ عَنْ تَجْدِيدِ الِاحْتِجَاجِ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُمَا لَمَّا اسْتَوَى حُكْمُ الْغُلَامِ وَالْجَارِيَةِ فِي ثُبُوتِ الْكَفَالَةِ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَارْتِفَاعِهَا بَعْدَ التَّزْوِيجِ، وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِيمَا بَيْنَ الْبُلُوغِ والتزويج والله اعلم.

Sedangkan asy-Syafi‘i menggugurkan nafkahnya dengan baligh, maka ia juga menggugurkan kewajiban penjaminan darinya dengan baligh. Malik tetap memberlakukan pembatasan terhadap hartanya sampai ia menikah, dan menjadikan pembatasan penjaminan mengikuti pembatasan harta. Dalam pembahasan sebelumnya bersama mereka, telah dijelaskan apa yang mereka jadikan sebagai prinsip hingga tidak perlu mengulang argumentasi. Kemudian dikatakan kepada keduanya: Ketika hukum anak laki-laki dan anak perempuan sama dalam hal penetapan penjaminan sebelum baligh dan gugurnya setelah menikah, maka seharusnya keduanya juga disamakan dalam masa antara baligh dan menikah. Wallāhu a‘lam.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا اسْتَكْمَلَ سَبْعَ سِنِينَ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أنثى وهو يعقل عقل مثله خير وقال في كتاب النكاح القديم إذا بلغ سبعاً أو ثمان سنين خير إذا كانت دارهما واحدة وكانا جميعاً مأمونين على الولد فإن كان أحدهما غير مأمون فهو عند المأمون منهما حتى يبلغ “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika telah genap tujuh tahun, baik laki-laki maupun perempuan, dan ia telah berakal sebagaimana anak seusianya, maka ia diberi pilihan. Dan beliau berkata dalam Kitab an-Nikāḥ versi lama: Jika telah mencapai usia tujuh atau delapan tahun, maka ia diberi pilihan jika kedua orang tuanya tinggal dalam satu rumah dan keduanya sama-sama dapat dipercaya terhadap anak. Jika salah satu dari keduanya tidak dapat dipercaya, maka anak itu berada di pihak yang dapat dipercaya hingga ia baligh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا ثَبَتَ تَخْيِيرُ الْوَلَدِ بَيْنَ أَبَوَيْهِ فِي زَمَانِ الْكَفَالَةِ وَبَعْدَ خُرُوجِهِ مِنْ حَدِّ الْحَضَانَةِ، فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِشُرُوطٍ فِي الْوَلَدِ وَشُرُوطٍ فِي الْأَبَوَيْنِ، فَأَمَّا الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الْوَلَدِ فَثَلَاثَةٌ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika telah tetap adanya pilihan bagi anak antara kedua orang tuanya pada masa kafālah dan setelah ia keluar dari batas hadhanah, maka hal itu dipertimbangkan dengan syarat-syarat pada anak dan syarat-syarat pada kedua orang tua. Adapun syarat-syarat yang dipertimbangkan pada anak ada tiga:

أَحَدُهَا: الْحُرِّيَّةُ فَإِنْ كَانَ عَبْدًا فَلَا كَفَالَةَ لِأَبَوَيْهِ سَوَاءٌ كَانَا حُرَّيْنِ أَوْ مَمْلُوكَيْنِ، وَسَيِّدُهُ أَحَقُّ بِهِ مِلْكًا لَا كَفَالَةً، وَعَلَيْهِ أَنْ يَقُومَ لَهُ بِمَا عَجَزَ عَنْهُ، فَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ مِلْكًا لِسَيِّدِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَهُمَا فِي زَمَانِ الْحَضَانَةِ وَفِي جَوَازِ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا فِي زَمَانِ الْكَفَالَةِ مَا بَيْنَ سَبْعٍ وَالْبُلُوغِ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَإِنْ كَانَ أَبُوهُ مِلْكًا لِسَيِّدِهِ، فَفِي إِجْرَاءِ حُكْمِ الْأُمِّ عَلَيْهِ فِي الْمَنْعِ مِنَ التَّفْرِقَةِ بينهما وجهان. فلو بَعْضُ الْوَلَدِ حُرًّا وَبَعْضُهُ مَرْقُوقًا خُيِّرَ بَيْنَ أَبَوَيْهِ بِمَا فِيهِ مِنَ الْحُرِّيَّةِ إِذَا كَانَا حُرَّيْنِ فَإِذَا اخْتَارَ أَحَدَهُمَا اجْتَمَعَ مَعَ سَيِّدِهِ الْمَالِكِ لِرِقِّهِ عَلَى مَا يَتَّفِقَانِ عَلَيْهِ فِي كفالته من اشتراك فِيهَا أَوْ مُهَايَأَةٍ عَلَيْهَا أَوِ اسْتِنَابَةٍ فِيهَا، فَإِنْ تَنَازَعَا اخْتَارَ الْحَاكِمُ لَهُمَا أَمِينًا يَنُوبُ عَنْهُمَا فِي كَفَالَتِهِ.

Pertama: Kebebasan. Jika anak itu adalah seorang budak, maka tidak ada kafālah bagi kedua orang tuanya, baik keduanya merdeka maupun budak, dan tuannya lebih berhak atasnya sebagai milik, bukan sebagai kafālah, dan tuannya wajib memenuhi apa yang tidak mampu dilakukan oleh anak itu. Jika ibunya adalah milik tuannya, maka tidak boleh dipisahkan antara keduanya pada masa hadhanah, dan dalam hal kebolehan memisahkan antara keduanya pada masa kafālah antara usia tujuh tahun dan baligh terdapat dua pendapat. Jika ayahnya adalah milik tuannya, maka dalam penerapan hukum ibu atasnya dalam larangan memisahkan antara keduanya terdapat dua wajah (pendapat). Jika sebagian anak itu merdeka dan sebagian lagi budak, maka ia diberi pilihan antara kedua orang tuanya sesuai bagian yang merdeka jika keduanya merdeka. Jika ia memilih salah satu dari keduanya, maka ia berkumpul dengan tuannya yang memiliki bagian budaknya sesuai kesepakatan mereka dalam kafālah, baik berupa kerja sama, pembagian waktu, atau perwakilan dalam kafālah tersebut. Jika terjadi perselisihan, hakim memilihkan seorang yang terpercaya untuk mewakili mereka dalam kafālah anak tersebut.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يُمَيِّزَ وَيَعْقِلَ عَقْلَ مِثْلِهِ لِيَكُونَ مُتَصَوِّرًا حَظَّ نَفْسِهِ فِي الِاخْتِيَارِ، فَإِنْ كَانَ مَخْبُولًا أَوْ مَجْنُونًا لَا يُمَيِّزُ بَيْنَ مَنَافِعِهِ وَمَضَارِّهِ لَمْ يُخَيَّرْ، وَكَانَ مَعَ أُمِّهِ كَحَالِهِ فِي زَمَانِ الْحَضَانَةِ، فَإِنْ كَانَ مَرِيضًا لَمْ يَمْنَعِ الْمَرَضُ مِنْ تَخْيِيرِهِ لِصِحَّةِ تَمْيِيزِهِ وَمَعْرِفَتِهِ بِحَظِّ نَفْسِهِ.

Syarat kedua: Anak tersebut mampu membedakan dan berakal sebagaimana anak seusianya, agar ia dapat memahami kemaslahatan dirinya dalam memilih. Jika ia idiot atau gila sehingga tidak dapat membedakan antara manfaat dan mudaratnya, maka ia tidak diberi pilihan, dan tetap bersama ibunya sebagaimana keadaannya pada masa hadhanah. Jika ia sakit, maka penyakit tidak menghalangi untuk diberi pilihan selama ia masih dapat membedakan dan mengetahui kemaslahatan dirinya.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: انْتِهَاؤُهُ إِلَى السِّنِّ الَّتِي يَسْتَحِقُّ التَّخْيِيرَ فيها قال الشافعي: هاهنا فِي سَبْعِ سِنِينَ، وَقَالَ فِي كِتَابِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ مِنَ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ، إِذَا بَلَغَ سَبْعًا أَوْ ثَمَانِيَ سِنِينَ خُيِّرَ وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ، وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فِي مُرَاعَاةِ أَمْرِهِ فِي ضَبْطِهِ وَتَحْصِيلِهِ وَمَعْرِفَتِهِ أَسْبَابَ الِاخْتِيَارِ، فَإِنْ تَقَدَّمَ ذَلِكَ فِيهِ وَوَجَدَ لِسَبْعٍ لِفَرْطِ ذَكَائِهِ، وَإِنْ تَأَخَّرَ لِبُعْدِ فِطْنَتِهِ خُيِّرَ فِي الثَّامِنَةِ عِنْدَ ظُهُورِ ذَلِكَ فِيهِ وَيَكُونُ مَوْكُولًا إِلَى رَأْيِ الْحَاكِمِ وَاجْتِهَادِهِ عِنْدَ التَّرَافُعِ إِلَيْهِ.

Syarat ketiga: Telah mencapai usia yang berhak untuk memilih. Imam Syafi‘i berkata: Di sini pada usia tujuh tahun. Dan beliau berkata dalam Kitab ‘Isyratun-Nisā’ dari nikah lama, jika telah mencapai tujuh atau delapan tahun, maka ia diberi pilihan. Hal ini bukan karena perbedaan dua pendapat, tetapi karena perbedaan dua keadaan dalam memperhatikan kemampuannya dalam menjaga, memperoleh, dan mengetahui sebab-sebab memilih. Jika kemampuan itu telah ada sebelum usia tujuh tahun karena sangat cerdasnya, maka ia diberi pilihan pada usia tujuh tahun. Jika terlambat karena kurang cerdasnya, maka ia diberi pilihan pada usia delapan tahun ketika kemampuan itu tampak padanya. Hal ini diserahkan kepada pendapat dan ijtihad hakim ketika perkara diajukan kepadanya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الأبوين فخمسة يشترك الأبوان فيها وسادس تختص به الأم وسابع مُخْتَلَفٌ فِيهِ.

Adapun syarat-syarat yang dipertimbangkan pada kedua orang tua ada lima yang berlaku bagi keduanya, satu syarat khusus bagi ibu, dan satu syarat yang diperselisihkan.

أَحَدُهَا: الْحُرِّيَّةُ، لِأَنَّ الرِّقَّ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِحْقَاقِ الْوِلَايَةِ، وَيُرْفَعُ الْحَجْرُ فِي حَقِّ السَّيِّدِ، فَإِنْ كَانَ الْأَبُ حُرًّا وَالْأُمُّ أَمَةً، أَوْ أُمَّ وَلَدٍ فَالْكَفَالَةُ لِلْأَبِ دُونَ الْأُمِّ، وَإِنْ كَانَتِ الْأُمُّ حُرَّةً وَالْأَبُ عَبْدًا أَوْ مُكَاتَبًا فَالْكَفَالَةُ لِلْأُمِّ دُونَ الْأَبِ، وَلَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا كَامِلَ الرِّقِّ، وَالْآخِرُ بَعْضُهُ حُرٌّ وَبَعْضُهُ رَقِيقٌ فَلَا كَفَالَةَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا كَامِلَ الْحُرِّيَّةِ وَالْآخِرُ بَعْضُهُ حُرٌّ وَبَعْضُهُ مَرْقُوقٌ، فَالْكَفَالَةُ لِمَنْ كَمَلَتْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ دُونَ مَنْ تَبَعَّضَتْ فِيهِ.

Pertama: Kebebasan, karena status budak menghalangi hak perwalian, dan penghalang (hajr) diangkat dari tuan. Jika ayahnya merdeka dan ibunya budak atau ummu walad, maka kafālah bagi ayah, bukan ibu. Jika ibunya merdeka dan ayahnya budak atau mukatab, maka kafālah bagi ibu, bukan ayah. Jika salah satu dari keduanya sepenuhnya budak dan yang lain sebagian merdeka dan sebagian budak, maka tidak ada kafālah bagi keduanya. Jika salah satu dari keduanya sepenuhnya merdeka dan yang lain sebagian merdeka dan sebagian budak, maka kafālah bagi yang sepenuhnya merdeka, bukan bagi yang sebagian merdeka.

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ أَسْقَطْتُمْ كَفَالَةَ مَنْ رُقَّ بَعْضُهُ، وَلَمْ تُسْقِطُوا تَخْيِيرَ الْوَلَدِ إِذَا رُقَّ بَعْضُهُ. قِيلَ: لِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الْكَفَالَةَ وِلَايَةٌ تَسْقُطُ بِقَلِيلِ الرِّقِّ، وَتَخْيِيرُ الْوَلَدِ لِطَلَبِ حَظِّهِ فَلَمْ يُمْنَعْ رِقُّ بَعْضِهِ مِنْ طَلَبِ حَظِّهِ فِي بَقِيَّةِ حُرِّيَّتِهِ، فَإِنْ عَتَقَ الْمَرْقُوقُ وَصَارَ حُرًّا اسْتَحَقَّ الْحَصَانَةُ، وَنَازَعَ فِيهَا مَنْ كَانَتْ لَهُ.

Jika dikatakan: Kalian telah menggugurkan hak kafālah bagi orang yang sebagian dirinya menjadi budak, namun kalian tidak menggugurkan hak memilih bagi anak jika sebagian dirinya menjadi budak. Maka dijawab: Karena terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu bahwa kafālah adalah bentuk perwalian yang gugur dengan sedikitnya status budak, sedangkan hak memilih bagi anak adalah untuk mencari kemaslahatannya, sehingga status budak pada sebagian dirinya tidak menghalanginya untuk mencari kemaslahatan pada sisa kebebasannya. Jika orang yang sebagian dirinya menjadi budak itu kemudian merdeka sepenuhnya, maka ia berhak mendapatkan perlindungan, dan ia dapat memperdebatkan hak tersebut dengan siapa pun yang sebelumnya memilikinya.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: الْعَقْلُ الَّذِي تَصِحُّ بِهِ الْوِلَايَةُ، وَتَقُومُ مَعَهُ بِالْكَفَالَةِ، فَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا مَجْنُونًا أَوْ مَعْتُوهًا أَوْ مَخْبُولًا فَلَا كَفَالَةَ لَهُ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مَكْفُولًا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ كاملاً، فَلَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِ الْكَفَالَةِ خَرَجَ مِنْهَا، فَأَمَّا الَّذِي يُجَنُّ زَمَانًا، وَيُفِيقُ زَمَانًا، فَلَا كَفَالَةَ لَهُ، لِأَنَّهُ فِي زَمَانِ الْجُنُونِ زَائِلُ الْوِلَايَةِ وَفِي زَمَانِ الْإِفَاقَةِ مُخْتَلُّ التَّدْبِيرِ، وَرُبَّمَا طَرَأَ جُنُونُهُ عَلَى عَقْلِهِ لَا يُؤْمَنُ معه على الولد إلا أَنْ يَقِلَّ جُنُونُهُ فِي الْأَحْيَانِ النَّادِرَةِ، وَلَا يُؤَثِّرُ فِي التَّمْيِيزِ بَعْدَ زَوَالِهِ، فَلَا يَمْنَعُ مِنَ الْكَفَالَةِ.

Syarat kedua: Akal yang dengan keberadaannya sah perwalian dan dapat dilaksanakan kafālah. Jika salah satu dari keduanya (wali atau anak) gila, idiot, atau hilang akal, maka tidak ada kafālah baginya karena ia telah menjadi pihak yang harus dinafkahi, sehingga tidak sah baginya menjadi wali secara sempurna. Jika kegilaan itu datang setelah ia berhak atas kafālah, maka ia keluar dari hak tersebut. Adapun orang yang kadang-kadang gila dan kadang-kadang sadar, maka tidak ada kafālah baginya, karena pada saat gila ia kehilangan kewalian, dan pada saat sadar ia terganggu dalam pengelolaan, serta bisa jadi kegilaannya muncul kembali sehingga tidak aman untuk anak kecuali jika kegilaannya sangat jarang terjadi dan tidak memengaruhi kemampuan membedakan setelah hilangnya, maka hal itu tidak menghalangi dari kafālah.

وَأَمَّا الْمَرَضُ فَإِنْ كَانَ طَارِئًا يُرْجَى زَوَالُهُ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ اسْتِحْقَاقِ الْكَفَالَةِ، وَإِنْ كَانَ مُلَازِمًا كَالْفَالِجِ وَالسُّلِّ الْمُتَطَاوِلِ نُظِرَ فِيهِ، فَإِنْ أَثَّرَ فِي عَقْلِهِ أَوْ تَشَاغَلَ بِشِدَّةِ أَلَمِهِ فَلَا كَفَالَةَ لَهُ لِقُصُورِهِ عَنْ مُرَاعَاةِ الْوَلَدِ وَتَرْبِيَتِهِ، وَإِنْ أَثَّرَ فِي قُصُورِ حَرَكَتِهِ مَعَ صِحَّةِ عَقْلِهِ وَقِلَّةِ أَلَمِهِ رُوعِيَتْ حَالُهُ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُبَاشِرُ كَفَالَتَهُ بِنَفْسِهِ سَقَطَ حَقُّهُ مِنْهَا لِمَا يَدْخُلُ عَلَى الْوَلَدِ مِنَ التَّقْصِيرِ فِيهَا وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُرَاعِي بِنَفْسِهِ التَّدْبِيرَ، وَيَسْتَنِيبُ فِيمَا تَقْتَضِيهِ الْمُبَاشَرَةُ. كَانَ عَلَى حَقِّهِ مِنَ الْكَفَالَةِ وَسَوَاءٌ كَانَ أَبًا أَوْ أُمًّا، فَلَوْ أَفَاقَ الْمَجْنُونُ وَبَرَأَ الْمَرِيضُ عاد إِلَى حَقِّهِمَا مِنَ الْكَفَالَةِ.

Adapun penyakit, jika penyakit itu bersifat sementara dan diharapkan sembuh, maka tidak menghalangi hak atas kafālah. Namun jika penyakit itu menetap seperti lumpuh atau TBC yang berkepanjangan, maka perlu diteliti: jika penyakit itu memengaruhi akalnya atau ia terlalu sibuk dengan rasa sakitnya, maka tidak ada kafālah baginya karena ia tidak mampu mengurus dan mendidik anak. Jika penyakit itu hanya mengurangi geraknya sementara akalnya sehat dan rasa sakitnya ringan, maka dilihat keadaannya: jika ia termasuk orang yang mengurus kafālah secara langsung, maka haknya atas kafālah gugur karena akan terjadi kekurangan dalam pengasuhan anak. Namun jika ia termasuk orang yang mengatur pengelolaan secara langsung dan menyerahkan pelaksanaan kepada orang lain, maka ia tetap berhak atas kafālah, baik ia ayah maupun ibu. Jika orang gila itu sadar kembali dan orang sakit sembuh, maka keduanya kembali berhak atas kafālah.

(فَصْلٌ)

(Fashl/Bab)

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: الْإِسْلَامُ فِي الْوَلَدِ الْمُسْلِمِ فَإِنْ كَانَ أَحَدُ أَبَوَيْهِ كَافِرًا سَقَطَتْ كَفَالَتُهُ بِكُفْرِهِ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ لَا تَبْطُلُ كفالته يكفره وَحَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ رَافِعِ بْنِ سِنَانٍ: أَنَّهُ أَسْلَمَ وَأَبَتِ امْرَأَتُهُ أَنْ تُسْلِمَ فَأَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ: ابْنَتِي، وَقَالَ رَافِعُ ابْنَتِي فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِرَافِعٍ: ” اقْعُدُ نَاحِيَةً ” وَلَهَا: ” اقْعُدِي نَاحِيَةً ” وَأَقْعَدَ الصَّبِيَّةَ بَيْنَهُمَا وَقَالَ: ادْعُوَاهَا، فَمَالَتْ إِلَى أُمِّهَا، فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: اللَّهُمَّ اهْدِهَا، فَمَالَتْ إِلَى أَبِيهَا فَأَخَذَهَا.

Syarat ketiga: Islam pada anak yang muslim. Jika salah satu dari kedua orang tuanya kafir, maka hak kafālahnya gugur karena kekafirannya. Abu Sa‘id al-Ishthakhri berkata: Hak kafālahnya tidak batal karena kekafirannya. Ibnu Abi Hurairah meriwayatkan dari Abu Hanifah dengan berdalil pada riwayat ‘Abd al-Hamid bin Ja‘far, ia berkata: Ayahku mengabarkan kepadaku dari Rafi‘ bin Sinan bahwa ia masuk Islam sementara istrinya menolak masuk Islam. Lalu istrinya datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Anakku!” Rafi‘ juga berkata: “Anakku!” Maka Nabi ﷺ bersabda kepada Rafi‘: “Duduklah di satu sisi,” dan kepada istrinya: “Duduklah di sisi lain.” Lalu Nabi ﷺ mendudukkan anak perempuan itu di antara keduanya dan berkata: “Panggillah dia!” Maka anak itu condong kepada ibunya. Nabi ﷺ berdoa: “Ya Allah, berilah ia petunjuk!” Maka anak itu condong kepada ayahnya, lalu ayahnya mengambilnya.

فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْكُفْرَ لَا يُسْقِطُ الْكَفَالَةَ.

Ini menunjukkan bahwa kekafiran tidak menggugurkan hak kafālah.

قَالُوا: وَلِأَنَّ الْكَافِرَ مُتَدَيِّنٌ بِاعْتِقَادِهِ فَكَانَ مَأْمُونًا عَلَى وَلَدِهِ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا} [النساء: 141] وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنَا بَرِئٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ مَعَ مُشْرِكٍ، وَلِأَنَّ افْتِرَاقَ الْأَدْيَانِ يَمْنَعُ مِنْ ثُبُوتِ الْوِلَايَةِ كَمَا يَمْنَعُ مِنْهَا عَلَى الْمَالِ، وَفِي النِّكَاحِ وِلَايَةٌ لَا يُؤْمَنُ أَنْ يَفْتِنَهُ عَنْ دِينِهِ وَرُبَّمَا أَلِفَ مِنْ كُفْرِهَا مَا يَتَعَذَّرُ انْتِقَالُهُ عَنْهُ بَعْدَ بُلُوغِهِ.

Mereka berkata: Karena orang kafir tetap beragama sesuai keyakinannya, maka ia dapat dipercaya untuk mengasuh anaknya. Namun ini adalah kekeliruan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin} (QS. an-Nisā’: 141), dan sabda Nabi ﷺ: “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bersama musyrik.” Selain itu, perbedaan agama menghalangi terjadinya perwalian, sebagaimana menghalangi perwalian atas harta. Dalam pernikahan, perwalian juga ada, namun tidak aman jika ia menyesatkan anak dari agamanya, dan bisa jadi anak itu terbiasa dengan kekafiran sehingga sulit baginya untuk berpindah agama setelah baligh.

فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْخَبَرِ، فَهُوَ ضَعِيفٌ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ الْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Adapun istidlāl dengan khabar, maka itu lemah menurut para ahli hadis. Dan seandainya sahih pun, maka jawabannya ada tiga sisi:

أَحَدُهَا: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ ظهور المعجزة باستحبابه دَعَوْتِهِ.

Pertama: Maksud dari khabar tersebut adalah tampaknya mukjizat dengan anjuran beliau untuk mendoakannya.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا كَانَتْ فَطِيمًا، وَالْفَطِيمُ لَا يُخَيَّرُ.

Kedua: Bahwa anak tersebut masih dalam masa sapih, dan anak yang masih disapih tidak diberi pilihan.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ دَعَا بِهِدَايَتِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّ كَفَالَتِهَا لَا إِلَى الْإِسْلَامِ لِثُبُوتِ إِسْلَامِهَا بِإِسْلَامِ أبيها فلو كان للأم حق لأقرها علي، وَلَمَا دَعَا بِهِدَايَتِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّهَا.

Ketiga: Bahwa beliau berdoa agar anak itu diberi petunjuk kepada orang yang berhak mengasuhnya, bukan kepada Islam, karena keislamannya telah tetap dengan keislaman ayahnya. Seandainya ibu memiliki hak, niscaya beliau akan menetapkannya atasnya, dan tidak akan mendoakan agar ia diberi petunjuk kepada yang berhak mengasuhnya.

وَقَوْلُهُمْ: إِنَّ الْكَافِرَ مَأْمُونٌ عَلَى وَلَدِهِ.

Dan ucapan mereka: “Sesungguhnya orang kafir dapat dipercaya atas anaknya.”

قِيلَ: هُوَ وَإِنْ كَانَ مَأْمُونًا عَلَى بَدَنِهِ فَغَيْرُ مَأْمُونٍ عَلَى دِينِهِ، وَحَظُّهُ فِي الدِّينِ أَقْوَى، فَلَوْ أَسْلَمَ الْكَافِرُ مِنْهُمَا عَادَ إِلَى كَفَالَتِهِ، وَلَوِ ارْتَدَّ الْمُسْلِمُ سَقَطَتْ كَفَالَتُهُ.

Dikatakan: Meskipun ia dapat dipercaya atas jasad anaknya, namun tidak dapat dipercaya atas agamanya, dan hak anak dalam agama lebih kuat. Maka jika salah satu dari keduanya yang kafir masuk Islam, hak asuh kembali kepadanya. Dan jika yang Muslim murtad, maka gugur hak asuhnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ: الْأَمَانَةُ بِوُجُودِ الْعَدَالَةِ، وَعَدَمِ الْفِسْقِ؛ لِأَنَّ الْعَدَالَةَ شَرْطٌ فِي اسْتِحْقَاقِ الْوِلَايَةِ فَكَانَتْ شَرْطًا فِي اسْتِحْقَاقِ الْكَفَالَةِ وَلِأَنَّ الْفَاسِقَ عَادِلٌ عَنْ صَلَاحِ نَفْسِهِ فَكَانَ بِأَنْ يَعْدِلَ عَنْ صَلَاحِ وَلَدِهِ أَشْبَهَ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا اقْتَدَى الْوَلَدُ بِفَسَادِهِ لِاقْتِرَانِهِ بِهِ ونشوئه معه، والعدالة المعتبرة فيه عدالة الظاهرة الْمُعْتَبَرَةِ فِي وِلَايَةِ النِّكَاحِ، وَلَا يُرَاعَى عَدَالَةُ الْبَاطِنِ الْمُعْتَبَرَةُ فِي قَبُولِ الشَّهَادَةِ لِيَكُونَ بِعَدَالَةِ ظَاهِرِهِ مَأْمُونًا عَلَى وَلَدِهِ قَيِّمًا بِمَصَالِحِهِ فَلَوْ صَارَ بَعْدَ فِسْقِهِ عَدْلًا اسْتَحَقَّ الْكَفَالَةَ، وَلَوْ فَسَقَ بَعْدَ عَدَالَتِهِ خَرَجَ مِنَ الْكَفَالَةِ وَيَسْتَوِي فِيهِ الْأَبَوَانِ، فَلَوِ ادَّعَى أَحَدُهُمَا فِسْقَ صَاحِبِهِ لِيَنْفَرِدَ بِالْكَفَالَةِ مِنْ غَيْرِ تَخْيِيرٍ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِيهِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِحْلَافُهُ عَلَيْهِ، وَكَانَ عَلَى ظَاهِرِ الْعَدَالَةِ حَتَّى يُقِيمَ مُدَّعِي الْفِسْقِ بَيِّنَةً عَلَيْهِ فَيَثْبُتَ بِهَا فِسْقَهُ، وَتَسْقُطَ بِهَا كَفَالَتُهُ.

Syarat keempat: Amanah dengan adanya keadilan dan tidak fasik; karena keadilan adalah syarat dalam berhaknya seseorang atas wilayah, maka menjadi syarat pula dalam berhaknya atas kafālah. Dan karena orang fasik telah menyimpang dari kebaikan dirinya sendiri, maka lebih mungkin ia menyimpang dari kebaikan anaknya. Dan karena boleh jadi anak meniru kerusakannya karena selalu bersamanya dan tumbuh bersamanya. Keadilan yang dianggap di sini adalah keadilan lahiriah yang juga dianggap dalam wilayah nikah, dan tidak diperhatikan keadilan batin yang dianggap dalam penerimaan kesaksian, agar dengan keadilan lahiriahnya ia dapat dipercaya atas anaknya dan mengurus kemaslahatannya. Jika setelah fasik ia menjadi adil, maka ia berhak atas kafālah. Jika setelah adil ia menjadi fasik, maka ia keluar dari hak kafālah. Hal ini berlaku bagi kedua orang tua. Jika salah satu dari keduanya menuduh pasangannya fasik agar dapat menguasai kafālah tanpa adanya pilihan, maka ucapannya tidak diterima, dan ia tidak berhak meminta sumpah atasnya. Statusnya tetap atas keadilan lahiriah hingga penuduh fasik mendatangkan bukti atasnya, sehingga dengan bukti itu terbukti kefasikannya dan gugur hak kafālahnya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَالشَّرْطُ الْخَامِسُ: اجْتِمَاعُ الْأَبَوَيْنِ فِي وَطَنٍ وَاحِدٍ لَا يختلف بهما بلد ليتساويا في الولد ويتساوا بِهِمَا حَالُ الْوَلَدِ، فَإِنْ سَافَرَ أَحَدُهُمَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Syarat kelima: Kedua orang tua tinggal di satu negeri yang sama, tidak berbeda kota, agar keduanya setara dalam hak atas anak dan keadaan anak pun setara bersama keduanya. Jika salah satu dari keduanya bepergian, maka ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ سَفَرَ الْحَاجَةِ إِذَا نجزت عَادَ، فَالْمُقِيمُ مِنْهُمَا أَبًا كَانَ أَوْ أُمًّا أَحَقُّ بِكَفَالَتِهِ ابْنًا كَانَ أَوْ بِنْتًا، لِأَنَّ الْمُقَامَ أَوْدَعُ وَالسَّفَرَ أَخْطَرُ.

Pertama: Jika bepergiannya karena suatu kebutuhan dan jika telah selesai ia akan kembali, maka yang menetap di antara keduanya, baik ayah maupun ibu, lebih berhak atas kafālah anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, karena yang menetap lebih aman dan bepergian lebih berisiko.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ سَفَرُهُ لِنَقْلَةٍ يَسْتَوْطِنُ فِيهَا بَلَدًا غَيْرَ بَلَدِ الْآخَرِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Kedua: Jika bepergiannya untuk pindah menetap di negeri lain yang bukan negeri pasangannya, maka ini ada dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَسَافَةُ مَا بَيْنَ الْبَلَدَيْنِ قَرِيبَةً لَا يُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ؛ لِأَنَّهَا أَقَلُّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَلَا يَمْنَعُ مِنَ الْكَفَالَةِ وَلَا يَسْقُطُ بِهِ تَخْيِيرُ الِابْنِ سَوَاءٌ انْتَقَلَ أَبُوهُ أَوْ أُمُّهُ، وَيُخَيَّرُ بَيْنَهُمَا، فَأَيَّهُمَا اخْتَارَهُ كَانَ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ سَوَاءٌ اخْتَارَ الْمُقِيمَ مِنْهُمَا أَوِ الْمُتَنَقِّلَ أَبًا كَانَ أَوْ أُمًّا؛ لِأَنَّ قُرْبَ الْمَسَافَةِ كَالْإِقَامَةِ فِي انْتِفَاءِ أَحْكَامِ السَّفَرِ وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى الْبَلَدِ الْوَاسِعِ إِذَا تَبَاعَدَتْ، فَحَالُهُ لَمْ يَمْنَعِ التَّنَقُّلُ فِيهِ مِنَ اسْتِحْقَاقِ الْكَفَالَةِ.

Pertama: Jika jarak antara kedua negeri itu dekat, tidak sampai jarak yang membolehkan qashar salat, karena kurang dari sehari semalam, maka hal itu tidak menghalangi hak kafālah dan tidak menggugurkan hak memilih bagi anak, baik yang pindah ayah atau ibunya. Anak diberi pilihan di antara keduanya, siapa pun yang dipilihnya, maka dialah yang lebih berhak atas kafālah, baik yang dipilih adalah yang menetap atau yang pindah, baik ayah maupun ibu; karena dekatnya jarak seperti halnya tinggal bersama dalam hilangnya hukum-hukum safar. Hal ini seperti dalam negeri yang luas jika jaraknya berjauhan, maka keadaan seperti itu tidak menghalangi hak kafālah karena perpindahan di dalamnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مَسَافَةُ مَا بَيْنَ الْبَلَدَيْنِ بَعِيدَةً يُقْصَرُ فِي مِثْلِهَا الصَّلَاةُ، فَالْأَبُ أَحَقُّ بِكَفَالَةِ وَلَدِهِ لِحِفْظِ نَسَبِهِ مِنَ الْأُمِّ، سواء كان هو المقيم أو المننتقل.

Kedua: Jika jarak antara kedua negeri itu jauh sehingga membolehkan qashar salat, maka ayah lebih berhak atas kafālah anaknya untuk menjaga nasabnya dari pihak ibu, baik ayah yang menetap maupun yang pindah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنِ انْتَقَلَ الْأَبُ فَالْأُمُّ أَحَقُّ بِكَفَالَتِهِ وَإِنِ انْتَقَلَتِ الْأُمُّ نُظِرَ فِي انْتِقَالِهَا، فَإِنْ كَانَتْ مِنْ قَرْيَةٍ إِلَى بَلَدٍ كَانَتِ الْأُمُّ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ، وَإِنْ كَانَ انْتِقَالُهَا مِنْ بَلَدٍ إِلَى قَرْيَةٍ كَانَ الْأَبُ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ، لِفَضْلِ الْبُلْدَانِ عَلَى الْقُرَى بِمَا فِيهَا مِنْ صِحَّةِ الْأَغْذِيَةِ وَظُهُورِ التَّأْدِيبِ وَصِحَّةِ التَّعْلِيمِ وَالتَّقْوِيمِ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Abu Hanifah berkata: Jika ayah berpindah tempat, maka ibu lebih berhak atas pemeliharaan anak; dan jika ibu yang berpindah, maka dilihat dahulu perpindahannya. Jika ia berpindah dari desa ke kota, maka ibu lebih berhak atas pemeliharaan anak; namun jika ia berpindah dari kota ke desa, maka ayah lebih berhak atas pemeliharaan anak, karena keutamaan kota atas desa dalam hal kesehatan makanan, kemudahan pendidikan, serta kualitas pengajaran dan pembinaan. Namun, pendapat ini rusak dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ كَانَ هَذَا الْمَعْنَى مُعْتَبَرًا فِي انْتِقَالِ الْأُمِّ لَوَجَبَ اعْتِبَارُهُ فِي انْتِقَالِ الْأَبِ.

Pertama: Jika makna ini dianggap dalam perpindahan ibu, maka seharusnya juga dipertimbangkan dalam perpindahan ayah.

وَالثَّانِي: أَنَّ حِفْظَ نَسَبِهِ الَّذِي لَا يَقْدِرُ عَلَى اكْتِسَابِهِ أَوْلَى بِالتَّقْدِيمِ وَالِاعْتِبَارِ مِمَّا يَقْدِرُ عَلَى اكْتِسَابِهِ مِنَ الْعُلُومِ وَالْآدَابِ.

Kedua: Menjaga nasab anak yang tidak dapat ia peroleh sendiri lebih utama untuk didahulukan dan dipertimbangkan daripada ilmu dan adab yang masih bisa ia peroleh.

فَهَذِهِ الشُّرُوطُ الْخَمْسَةُ التي يشترك الأبوان في اعتبارهما فيهما.

Inilah lima syarat yang menjadi pertimbangan bersama antara kedua orang tua.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالشَّرْطُ السَّادِسُ: الْمُخْتَصُّ بِالْأُمِّ أَنْ تَكُونَ خَلِيَّةً مِنْ زَوْجٍ.

Syarat keenam, yang khusus bagi ibu, adalah ia tidak sedang bersuami.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: لَا اعْتِبَارَ بِهَذَا الشَّرْطِ، وَلَا يَمْنَعُ مِنَ اسْتِحْقَاقِهَا الْكَفَالَةَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لما زوج أُمَّ سَلَمَةَ أَقَرَّهَا عَلَى كَفَالَةِ بِنْتِهَا زَيْنَبَ، وَجَعَلَ كَفَالَةَ بِنْتِ حَمْزَةَ لِخَالَتِهَا وَزَوْجِهَا جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلْمُنَازِعَةِ فِي حَضَانَةِ وَلَدِهَا: أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تُنْكَحِي، وَلِأَنَّ النِّكَاحَ يَمْنَعُ مِنْ مقصود الكفالة لاشتغالها بحقوق الزوج، ولأن الزوج مَنْعَهَا مِنَ التَّشَاغُلِ بِغَيْرِهِ، وَلِأَنَّ عَلَى الْوَلَدِ وعصبته عار فِي الْمُقَامِ مَعَ زَوْجِ أُمِّهِ فَأَمَّا أُمُّ سَلَمَةَ فَأَقَرَّهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى كَفَالَةِ بِنْتِهَا، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ عُصْبَتِهَا نِزَاعٌ وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَفْضَلُ الْخَلْقِ وَالْمَضْمُومُ إِلَيْهِ

Al-Hasan al-Bashri berkata: Syarat ini tidak perlu dipertimbangkan, dan tidak menghalangi hak ibu untuk mendapatkan pemeliharaan, dengan dalil bahwa Rasulullah ﷺ ketika menikahkan Ummu Salamah, beliau tetap membiarkan Ummu Salamah memelihara putrinya, Zainab. Beliau juga menjadikan pemeliharaan putri Hamzah kepada bibinya dan suaminya, Ja‘far bin Abi Thalib ra. Namun, ini adalah kekeliruan, karena Nabi ﷺ bersabda kepada pihak yang bersengketa dalam hak hadhanah anak: “Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah.” Selain itu, pernikahan menghalangi tujuan pemeliharaan karena ibu sibuk dengan hak-hak suami, dan suami berhak melarangnya untuk sibuk dengan selain dirinya. Juga, bagi anak dan keluarga ayahnya, ada aib jika tinggal bersama suami ibu. Adapun Ummu Salamah, Rasulullah ﷺ membiarkannya memelihara putrinya karena tidak ada perselisihan dari keluarga ayahnya, dan Rasulullah ﷺ adalah manusia terbaik, dan siapa yang diasuh oleh beliau adalah yang terbaik tumbuh kembangnya.

أَفْضَلُهُمْ نَشْأً فَخَالَفَ مَنْ عَلَاهُ وَإِقْرَارُهُ بِنْتَ حَمْزَةَ مَعَ خَالَتِهَا وَزَوْجِهَا جَعْفَرٍ، فَقَدْ قِيلَ: إِنَّهُ قَضَى بِهَا لِجَعْفَرٍ تَرْجِيحًا لِخَالَتِهَا، وَقِيلَ قَضَى بِهَا لِلْخَالَةِ تَرْجِيحًا لِجَعْفَرٍ، لِأَنَّهُ ابْنُ عَمِّهَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ زَوْجُ الْأُمِّ عَصَبَةً لِلْوَلَدِ، فَإِنْ مَنَعَهَا مِنَ الْكَفَالَةِ سَقَطَ حَقُّهَا، وَإِنْ أَذِنَ لَهَا فِي الْكَفَالَةِ وَمَكَّنَهَا مِنَ الْقِيَامِ بِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Beliau adalah yang terbaik dalam pertumbuhan, sehingga berbeda dengan selain beliau. Adapun persetujuan beliau atas pemeliharaan putri Hamzah oleh bibinya dan suaminya, Ja‘far, ada yang mengatakan: beliau memutuskan untuk Ja‘far karena keutamaan bibinya, dan ada pula yang mengatakan: beliau memutuskan untuk bibinya karena keutamaan Ja‘far, karena ia adalah anak paman si anak. Maka, jika suami ibu adalah keluarga ayah (ashabah) bagi anak, lalu ia melarang ibu dari pemeliharaan, maka gugurlah hak ibu. Namun jika ia mengizinkan dan memfasilitasi ibu untuk menjalankan pemeliharaan, maka ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَسْتَحِقُّ الْكَفَالَةَ لِزَوَالِ السَّبَبِ الْمَانِعِ بِالتَّمْكِينِ وَانْتِفَاءِ الْعَارِ بِامْتِزَاجِ النَّسَبِ.

Pertama: Ibu berhak atas pemeliharaan karena sebab penghalang telah hilang dengan adanya izin dan tidak ada lagi aib karena nasab telah bercampur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا كَفَالَةَ لَهَا لِعُمُومِ الْخَبَرِ، وَلِمَا يَجْذِبُهَا الطَّبْعُ إِلَيْهِ مِنَ التَّوَفُّرِ عَلَى الزَّوْجِ، وَمُرَاعَاةِ أَوْلَادِهَا مِنْهُ إِنْ كَانُوا.

Kedua: Ibu tidak berhak atas pemeliharaan karena keumuman hadis, dan karena kecenderungan tabiat ibu untuk lebih memperhatikan suaminya serta anak-anaknya dari suami tersebut jika ada.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

وَالشَّرْطُ السَّابِعُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ: أَنْ يُوجَدَ مِنْ كُلٍّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَبَوَيْنِ شُرُوطُ الْكَفَالَةِ، وَيُفَضَّلُ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ بِزِيَادَةٍ فِي الدِّينِ أَوْ زِيَادَةٍ فِي الْمَالِ أَوْ زِيَادَةٍ فِي الْمَحَبَّةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Syarat ketujuh yang diperselisihkan: Bahwa pada masing-masing orang tua terdapat syarat-syarat pemeliharaan, lalu salah satunya lebih utama karena kelebihan dalam agama, harta, atau kasih sayang. Dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذَا شَرْطٌ مُعْتَبَرٌ يُسْقِطُهُ التخيير وتكون الكفالة وفضلهما لِظُهُورِ الْحَظِّ فِيهِ لِلْوَلَدِ.

Pertama: Ini adalah syarat yang dipertimbangkan, namun gugur dengan adanya pilihan (takhyir), dan pemeliharaan serta keutamaannya diberikan kepada yang lebih tampak maslahatnya bagi anak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا فِي الْكَفَالَةِ سَوَاءٌ، وَلَا يَتَرَجَّحُ أَحَدُهُمَا بِزِيَادَةِ فَضِيلَةٍ إِذَا خَلَا مِنْ نَقْصٍ لِأَنَّ الْحَقَّ فِي الْكَفَالَةِ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ الْكَافِلِ وَالْمَكْفُولِ، فَلَمْ يَسْقُطْ حَقُّ الْكَافِلِ بِالزِّيَادَةِ فِي حَقِّ الْمَكْفُولِ.

Kedua: Keduanya sama dalam hak pemeliharaan, dan tidak ada yang lebih diutamakan hanya karena kelebihan jika tidak ada kekurangan, karena hak pemeliharaan adalah hak bersama antara yang memelihara dan yang dipelihara, sehingga hak pemelihara tidak gugur hanya karena kelebihan pada hak anak yang dipelihara.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ شُرُوطِ الْكَفَالَةِ فِي الْأَبَوَيْنِ، لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا فِيهِ من ثلاثة أقسام:

Jika telah jelas apa yang kami sebutkan tentang syarat-syarat pemeliharaan pada kedua orang tua, maka keadaan keduanya tidak lepas dari tiga bagian:

أحدهما: أَنْ يَتَنَازَعَا فِيهَا.

Pertama: Kedua orang tua saling memperebutkannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَتَدَافَعَا عَنْهَا.

Kedua: Keduanya saling menolak untuk mengasuhnya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُسَلِّمَهَا أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ.

Ketiga: Salah satu dari keduanya menyerahkan hak pengasuhan kepada yang lain.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَتَنَازَعَا فِيهَا وَيَطْلُبَهَا كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَيُخَيَّرُ الْوَلَدُ بَيْنَهُمَا، وَيَتَوَلَّى الْحَاكِمُ تَخْيِيرَهُ، لِأَنَّ التَّنَازُعَ إِلَيْهِ وَنُفُوذَ الْحُكْمِ مِنْهُ.

Adapun bagian pertama, yaitu apabila keduanya saling memperebutkannya dan masing-masing meminta hak pengasuhan, maka anak diberi pilihan di antara keduanya, dan hakimlah yang melaksanakan proses pemilihan tersebut, karena perselisihan itu diserahkan kepadanya dan keputusan hukum berlaku darinya.

وَلِلْوَلَدِ فِي التَّخْيِيرِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Bagi anak dalam proses pemilihan terdapat tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَخْتَارَ أَحَدَهُمَا فَيَكُونَ مَنِ اخْتَارَهُ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ أَبًا كَانَ أَوْ أُمًّا.

Pertama: Anak memilih salah satu dari keduanya, maka yang dipilihnya lebih berhak mengasuhnya, baik itu ayah maupun ibu.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَخْتَارَهُمَا فَلَا يَجْتَمِعَانِ فِيهِ مَعَ التَّنَازُعِ، وَيُقْرَعَ بَيْنَ الْأَبَوَيْنِ فَأَيَّهُمَا قَرَعَ كَانَ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ تَرَجَّحَ بِالْقُرْعَةِ مَعَ التَّسَاوِي فِي الِاخْتِيَارِ.

Kedua: Anak memilih keduanya, padahal keduanya tidak dapat berkumpul dalam pengasuhan ketika terjadi perselisihan, maka dilakukan undian di antara kedua orang tua; siapa yang terpilih melalui undian, dialah yang lebih berhak mengasuhnya, karena dengan undian tersebut salah satunya menjadi lebih kuat haknya ketika keduanya sama dalam pilihan anak.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَلَّا يَخْتَارَ وَاحِدًا مِنْهُمَا، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Anak tidak memilih salah satu dari keduanya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُقْرَعُ بَيْنَهُمَا، وَيَكْفُلُهُ مِنْ قَرَعَ مِنْهُمَا.

Pertama: Dilakukan undian di antara keduanya, dan yang terpilih melalui undian itulah yang mengasuh anak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْأُمَّ أَحَقُّ بِكَفَالَتِهِ لِاسْتِحْقَاقِهَا لِحَضَانَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَخْتَرْ غَيْرَهَا لِكَفَالَتِهَا، وَهُوَ أَشْبَهُ.

Pendapat kedua: Ibu lebih berhak mengasuh anak karena ia berhak atas hadhanah (pengasuhan), meskipun anak tidak memilih selainnya untuk mengasuh, dan pendapat ini lebih mendekati kebenaran.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَتَدَافَعَا كَفَالَتَهُ وَيَمْتَنِعَا مِنْهَا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Adapun bagian kedua, yaitu apabila keduanya saling menolak hak pengasuhan dan enggan untuk mengasuh, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَعْدَهُمَا مَنْ يَسْتَحِقُّ كَفَالَتَهُ كَالْجَدِّ بَعْدَ الْأَبِ وَالْجَدَّةِ بَعْدَ الْأُمِّ، فَيَخْرُجَانِ بِالتَّمَانُعِ مِنْهَا وَتَنْتَقِلُ الْكَفَالَةُ إِلَى مَنْ بَعْدَهُمَا وَيُخَيَّرُ الْوَلَدُ بَيْنَهُمَا إِذَا تَكَافَأَتْ أَحْوَالُهُمَا، لِأَنَّ حَقَّ الْوَلَدِ بِتَمَانُعِ الْأَبَوَيْنِ مُحْفَظٌ بِغَيْرِهِمَا.

Pertama: Setelah keduanya masih ada pihak lain yang berhak mengasuh, seperti kakek setelah ayah atau nenek setelah ibu, maka kedua orang tua keluar dari hak pengasuhan karena penolakan, dan hak pengasuhan berpindah kepada pihak berikutnya, dan anak diberi pilihan di antara mereka jika keduanya sama dalam keadaannya, karena hak anak tetap terjaga dengan adanya pihak lain selain kedua orang tua.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ بعدهما مستحقاً لِكَفَالَتِهِ لِتَفَرُّدِ الْأَبَوَيْنِ بِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Kedua: Tidak ada lagi setelah keduanya pihak yang berhak mengasuh karena hanya kedua orang tua yang berhak, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَكُونُ الْوَلَدُ عَلَى خِيَارِهِ وَيُجْبَرُ مَنِ اخْتَارَهُ عَلَى كَفَالَتِهِ؛ لِأَنَّ فِي الْكَفَالَةِ حَقًّا لَهُمَا وَحَقًّا عَلَيْهِمَا، فَإِذَا سَقَطَ بِالتَّمَانُعِ حَقُّهُمَا لَمْ يُسْقُطْ بِهِ حَقُّ الْوَلَدِ عَلَيْهِمَا وَلَوْ كَانَ هَذَا التَّمَانُعِ فِي وَقْتِ الْحَضَانَةِ وَقَبْلَ الِانْتِهَاءِ إِلَى وَقْتِ التَّخْيِيرِ فِي الْكَفَالَةِ أُقْرِعَ بَيْنَهُمَا، وَأُجْبِرَ عَلَيْهَا مَنْ قَرَعَ مِنْهَا، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ} [آل عمران: 44] وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:

Pertama: Anak tetap diberi pilihan, dan siapa yang dipilihnya dipaksa untuk mengasuhnya; karena dalam pengasuhan terdapat hak bagi keduanya dan juga kewajiban atas keduanya, maka jika hak keduanya gugur karena penolakan, tidak gugur hak anak atas keduanya. Jika penolakan ini terjadi pada masa hadhanah dan sebelum sampai pada masa pemilihan dalam pengasuhan, maka dilakukan undian di antara keduanya, dan siapa yang terpilih melalui undian dipaksa untuk mengasuh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan kamu tidak hadir pada waktu mereka melemparkan pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam, dan kamu tidak hadir pada waktu mereka bertengkar} (Ali Imran: 44), dan dalam ayat ini terdapat dua tafsiran:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمُ اختصموا تنازعاً لكفالتهما فَتُسَاهِمُوا عَلَيْهَا.

Pertama: Mereka berselisih karena memperebutkan hak pengasuhan, lalu mereka melakukan undian untuk itu.

وَالثَّانِي: أَنَّهُمُ اخْتَصَمُوا تَدَافُعًا لِكَفَالَتِهَا فَاسْتَهَمُوا فَدَلَّ عَلَى دُخُولِ الْقُرْعَةِ فِي الْحَالَيْنِ عِنْدَ التَّنَازُعِ وَالتَّدَافُعِ.

Kedua: Mereka berselisih karena saling menolak hak pengasuhan, lalu mereka melakukan undian, sehingga hal ini menunjukkan bahwa undian dapat dilakukan dalam dua keadaan, yaitu saat terjadi perebutan maupun penolakan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُجْبَرُ عَلَيْهَا مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ النَّفَقَةُ مِنْهُمَا لِوُجُوبِهَا عَلَيْهِ لِقُوَّةِ سَبَبِهِ.

Pendapat kedua: Yang dipaksa untuk mengasuh adalah pihak yang wajib menafkahinya di antara keduanya, karena kewajiban nafkah itu lebih kuat alasannya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدَهُمَا كَفَالَتَهُ إِلَى الْآخَرِ فَيَكُونَ مَنْ سُلِّمَ إِلَيْهِ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ، وَيَسْقُطَ تَخْيِيرُ الْوَلَدِ فِيهَا فَإِنْ عَادَ بَعْدَ التَّسْلِيمِ مُطَالِبًا بِهَا عَادَ إِلَى حَقِّهِ مِنْهَا، فَإِنْ تَنَازَعَا بَعْدَ عَوْدِهِ فَالْقِسْمُ الْأَوَّلُ. وَلَوْ جَعَلْتَ الْكَفَالَةَ لِأَحَدِهِمَا بِاخْتِيَارِ الْوَلَدِ فَدَفَعَهَا عَنْ نَفْسِهِ إِلَى الْآخَرِ، فَإِنْ دَفَعَهَا الْآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ فَكَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ وَإِنْ قَبِلَهَا فَكَالْقِسْمِ الثَّالِثِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun bagian ketiga, yaitu apabila salah satu dari keduanya menyerahkan hak pengasuhan kepada yang lain, maka yang diserahi hak pengasuhan lebih berhak mengasuh anak, dan hak pemilihan anak gugur dalam hal ini. Jika setelah penyerahan itu pihak yang menyerahkan kembali menuntut hak pengasuhan, maka ia kembali kepada haknya. Jika kemudian terjadi perebutan setelah kembalinya, maka kembali ke bagian pertama. Jika hak pengasuhan diberikan kepada salah satu dari keduanya berdasarkan pilihan anak, lalu ia menyerahkan hak itu kepada yang lain, dan yang lain itu juga menyerahkan kembali, maka keadaannya seperti bagian pertama. Namun jika yang lain menerima hak pengasuhan itu, maka keadaannya seperti bagian ketiga. Allah Maha Mengetahui.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا افْتَرَقَ الْأَبَوَانِ وَهُمَا فِي قَرْيَةٍ وَاحِدَةٍ فَالْأُمُّ أَحَقُّ بِالْوَلَدِ مَا لَمْ تَتَزَوَّجْ وَعَلَى أَبِيهِ نَفَقَتُهُ وَلَا يُمْنَعُ مِنْ تَأْدِيبِهِ وَيَخْرُجُ الْغُلَامُ إِلَى الْكُتَّابِ أَوِ الصِّنَاعَةِ إِذَا كَانَ مِنْ أَهْلِهَا وَيَأْوِي إِلَى أُمِّهِ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Apabila kedua orang tua berpisah dan mereka berada di satu desa yang sama, maka ibu lebih berhak atas anak selama ia belum menikah lagi, dan ayah tetap berkewajiban menafkahinya. Ayah tidak dilarang untuk mendidik anaknya, dan anak laki-laki boleh keluar untuk belajar di kuttāb (tempat belajar Al-Qur’an) atau belajar keterampilan jika ia termasuk orang yang layak untuk itu, namun ia tetap kembali ke ibunya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ فَرَّقْنَا بَيْنَ زَمَانِ الْحَضَانَةِ وَزَمَانِ الْكَفَالَةِ، وَأَنَّ الْحَضَانَةَ فِيمَا دُونَ السَّبْعِ، وَتَكُونُ الْأُمُّ أَحَقَّ فِيهَا بِالْوَلَدِ، وَالْكَفَالَةُ مُسْتَحَقَّةٌ عَلَى الْأَبِ سَوَاءٌ اخْتَارَهُ الْوَلَدُ أَوِ اخْتَارَ أُمَّهُ، وَكَذَلِكَ مَا احْتَاجَ إِلَيْهِ الْوَلَدُ مِنْ تَعْلِيمٍ وَتَأْدِيبٍ، لِأَنَّهُ مِنْ مَصَالِحِ الْوَلَدِ الَّتِي يَجِبُ عَلَيْهِ الْقِيَامُ بِهَا وَزَمَانُ التَّعْلِيمِ فِي إِسْلَامِهِ إِلَى الكتاب أو الصناعة الْوَلَدِ الَّتِي يَجِبُ عَلَيْهِ الْقِيَامُ بِهَا وَزَمَانُ التَّعْلِيمِ فِي إِسْلَامِهِ إِلَى الْكُتَّابِ أَوِ الصِّنَاعَةِ بِحَسْبِ عَادَتِهِ وَعُرْفِ أَهْلِهِ مُخْتَصٌّ بِالْبَنِينَ دُونَ الْبَنَاتِ وَزَمَانُهُ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْوَلَدِ فَإِنْ كَانَ فَطِنًا ذَكِيًّا قُدِّمَ فِي زَمَانِ الْحَضَّانَةِ إِذَا بَلَغَ خَمْسًا أَوْ سِتًّا، وَإِنْ كَانَ بَلِيدًا ضَعِيفَ التَّخْيِيرِ أُخِّرَ إِلَى زَمَانِ الْكَفَالَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعًا أَوْ ثَمَانِيًا، فَإِذَا احْتَاجَ الْوَلَدُ إِلَى خِدْمَةٍ فِي الْحَضَانَةِ وَالْكَفَالَةِ وَمِثْلُهُ مَنْ يُخْدَمُ قَامَ الْأَبُ بِمَؤُونَةِ خِدْمَتِهِ إِمَّا بِاسْتِئْجَارِ خَادِمٍ أَوِ ابْتِيَاعِهِ عَلَى حَسَبِ عَادَةِ أَهْلِهِ وَعُرْفِ أَمْثَالِهِ، وَلَا يَلْزَمُ الْأُمَّ مَعَ اسْتِحْقَاقِهَا لِحَضَانَتِهِ أَنْ تَقُومَ بِخِدْمَتِهِ إِذَا كَانَ مِثْلُهَا لَا يَخْدِمُ لِأَنَّ الْحَضَانَةَ هِيَ الْحِفْظُ وَالْمُرَاعَاةُ وَتَدْبِيرُ الْوَلَدِ وَالنَّظَرُ فِي مَصَالِحِهِ، وَذَلِكَ لَا يُوجِبُ مُبَاشَرَةَ الْخِدْمَةِ، وَالْخِدْمَةُ إِذَا وَجَبَتْ فَهِيَ مُسْتَحَقَّةٌ لِلْغُلَامِ وَالْجَارِيَةِ، وَإِنْ كَانَ التَّعْلِيمُ وَالتَّأْدِيبُ مُخْتَصَّا بِالْغُلَامِ دُونَ الْجَارِيَةِ، وَتَخْتَصُّ الْجَارِيَةُ بِأَنْ تؤخذ بالخفر والصيانة.

Al-Māwardī berkata: Kami telah membedakan antara masa ḥaḍānah (pengasuhan) dan masa kafālah (penjaminan). Ḥaḍānah berlaku untuk anak di bawah usia tujuh tahun, dan dalam masa ini ibu lebih berhak atas anak. Adapun kafālah menjadi kewajiban ayah, baik anak memilih ayahnya atau memilih ibunya. Begitu pula kebutuhan anak terhadap pendidikan dan pembinaan, karena itu termasuk kemaslahatan anak yang wajib dipenuhi oleh ayah. Masa pendidikan, yaitu ketika anak mulai masuk ke kuttāb atau belajar keterampilan, disesuaikan dengan kebiasaan dan adat masyarakatnya, dan hal ini khusus berlaku bagi anak laki-laki, bukan perempuan. Masa pendidikan ini juga disesuaikan dengan kondisi anak; jika anak cerdas dan pintar, maka masa pendidikan bisa dimulai pada masa ḥaḍānah ketika ia berusia lima atau enam tahun. Namun jika anak lamban dan kurang mampu memilih, maka masa pendidikan ditunda hingga masa kafālah, yaitu ketika ia berusia tujuh atau delapan tahun. Jika anak membutuhkan pelayanan selama masa ḥaḍānah dan kafālah, dan anak seusianya biasa dilayani, maka ayah wajib menanggung biaya pelayanannya, baik dengan menyewa pembantu atau membelinya, sesuai dengan kebiasaan masyarakat dan adat orang-orang sepertinya. Ibu tidak wajib melayani anak meskipun ia berhak atas ḥaḍānah, jika pada umumnya orang seperti dia tidak melayani, karena ḥaḍānah adalah menjaga, mengawasi, mengatur anak, dan memperhatikan kemaslahatannya, dan itu tidak mengharuskan pelayanan secara langsung. Jika pelayanan itu wajib, maka itu menjadi hak anak laki-laki maupun perempuan. Adapun pendidikan dan pembinaan khusus bagi anak laki-laki, bukan perempuan. Sedangkan anak perempuan khusus dijaga dan dilindungi kehormatannya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنِ اخْتَارَ أَبَاهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَ أُمَّهُ وَتَأْتِيهِ فِي الْأَيَّامِ وَإِنْ كَانَتْ جَارِيَةً لَمْ تُمْنَعُ أُمُّهَا مِنْ أَنْ تَأْتِيَهَا “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika anak memilih ayahnya, maka ayah tidak boleh melarangnya untuk menemui ibunya atau ibunya menemuinya pada hari-hari tertentu. Jika anak itu perempuan, maka ibunya tidak boleh dilarang untuk menemuinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الْوَلَدِ الْمَكْفُولِ مِنْ أَنْ يَكُونَ غُلَامًا أَوْ جَارِيَةً، فَإِنْ كَانَ غُلَامًا فَلَهُ حَالَتَانْ:

Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa keadaan anak yang berada dalam kafālah tidak lepas dari dua kemungkinan: laki-laki atau perempuan. Jika anak itu laki-laki, maka ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَخْتَارَ أُمَّهُ فَيَأْوِيَ فِي اللَّيْلِ إِلَيْهَا وَيَكُونَ فِي النَّهَارِ مَعَ أَبِيهِ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّنَاعَةِ أَوْ فِي الكتاب إنه كَانَ مَنْ أَهْلِ التَّعْلِيمِ وَلَيْسَ لِلْأُمِّ أَنْ تَقْطَعَهُ فِي النَّهَارِ إِلَيْهَا؛ لِمَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنَ الضَّرَرِ فِي تَعْطِيلِهِ عَنْ تَعْلِيمٍ أَوْ صِنَاعَةٍ.

Pertama: Anak memilih ibunya, sehingga ia bermalam di rumah ibunya pada malam hari dan bersama ayahnya pada siang hari, jika ayahnya seorang pekerja atau anak itu termasuk yang layak belajar di kuttāb. Ibu tidak boleh menarik anak itu ke rumahnya pada siang hari, karena hal itu akan merugikan anak dengan menghalanginya dari pendidikan atau keterampilan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَخْتَارَ أَبَاهُ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ لَيْلًا وَنَهَارًا؛ لِيَأْوِيَ فِي اللَّيْلِ إِلَيْهِ وَيَكُونَ فِي النَّهَارِ مُتَصَرِّفًا بِتَدْبِيرِ أَبِيهِ، إِمَّا فِي كُتَّابٍ يَتَعَلَّمُ فِيهِ، وَإِمَّا فِي صِنَاعَةٍ يَتَعَاطَاهَا وَعَلَيْهِ أَنْ يُنْفِذَهُ إِلَى زِيَارَةِ أُمِّهِ فِي كُلِّ يَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ، وَإِنْ كَانَ مَنْزِلُهَا قَرِيبًا فَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ لِيَأْلَفَ بِرَّهَا، وَلَا يَمْنَعَهُ مِنْهَا فَيَأْلَفَ الْعُقُوقَ وَإِنْ كَانَتْ جَارِيَةً: فَلَهَا حَالَتَانِ:

Kedua: Anak memilih ayahnya, maka ayah lebih berhak atas anak baik malam maupun siang hari; anak bermalam di rumah ayahnya dan pada siang hari berada di bawah pengawasan ayahnya, baik di kuttāb untuk belajar atau di tempat kerja untuk belajar keterampilan. Namun ayah wajib mengizinkan anak untuk mengunjungi ibunya setiap dua atau tiga hari sekali. Jika rumah ibunya dekat, maka tidak mengapa anak mengunjungi ibunya setiap hari agar ia terbiasa berbakti kepadanya, dan tidak dilarang darinya sehingga ia terbiasa durhaka. Jika anak itu perempuan, maka ada dua keadaan:

إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَخْتَارَ أُمَّهَا فَتَكُونَ أحق به لَيْلًا وَنَهَارًا بِخِلَافِ الْغُلَامِ، لِأَنَّ الْجَارِيَةَ مِنْ ذَوَاتِ الْخَفَرِ فَتُمْنَعُ مِنَ الْبُرُوزِ لَيْلًا وَنَهَارًا لِتَأْلَفَ الصِّيَانَةَ وَلِأَبِيهَا إِذَا أَرَادَ زِيَارَتَهَا أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا مُشَاهِدًا لَهَا وَمُتَعَرِّفًا لِخَبَرِهَا، لِتَأْلَفَهُ وَيَأْلَفَهَا، وَلَا يُطِيلَ، وَلْيَكُنْ مَعَ الْأُمِّ عِنْدَ دُخُولِ الْأَبِ لِزِيَارَةِ بِنْتِهِ ذُو مَحْرَمٍ أَوْ نِسَاءٌ ثِقَاتٌ لِتَنْتَفِيَ رِيبَةُ الْخَلْوَةِ بَعْدَ تَحْرِيمِ الطَّلَاقِ.

Pertama: Anak perempuan memilih ibunya, sehingga ibunya lebih berhak atasnya baik siang maupun malam, berbeda dengan anak laki-laki. Sebab, anak perempuan termasuk golongan yang harus dijaga kehormatannya, sehingga ia dicegah untuk sering keluar baik siang maupun malam agar terbiasa menjaga diri. Ayahnya, jika ingin menengoknya, boleh masuk menemuinya untuk melihat keadaannya dan mengetahui kabarnya, agar ia terbiasa dengan ayahnya dan ayahnya pun terbiasa dengannya, namun tidak boleh berlama-lama. Saat ayah masuk untuk menengok putrinya, hendaknya bersama ibu ada mahram atau perempuan-perempuan terpercaya agar terhindar dari syubhat khalwat setelah terjadinya perceraian yang tidak boleh dirujuk.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَخْتَارَ أَبَاهَا فَتَكُونَ مَعَهُ وَعِنْدَهُ لَيْلًا وَنَهَارًا فَإِنْ أَرَادَتِ الْأُمُّ زِيَارَتَهَا دَخَلَتْ عَلَيْهَا وَلَزِمَ الْأَبَ أَنْ يُمَكِّنَهَا مِنَ الدُّخُولِ عَلَيْهَا وَلَا يَمْنَعَهَا فَتَوْلَهُ وَالِدَةٌ عَلَى وَلَدِهَا، وَقَدْ نُهِيَ عَنْهُ، وَيُنْظَرُ حَالُ الْأَبِ عِنْدَ دُخُولِ الْأُمِّ عَلَى بِنْتِهَا، فَإِنْ كَانَ خَارِجًا جَازَ أَنْ تَدْخُلَ الْأُمُّ وَحْدَهَا، وَإِنْ كَانَ مَعَ بِنْتِهِ فِي دَارِهِ لَمْ تَدْخُلْ إِلَّا مَعَ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ لِيَنْتَفِيَ عَنْهُمَا التُّهْمَةُ، وَلَا يَحْصُلَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ مَنْ حُرِّمَتْ عَلَيْهِ خَلْوَةٌ، وَلَيْسَ لِلْأُمِّ إِذَا أَرَادَتْ زِيَارَتَهَا أَنْ يُخْرِجَهَا إِلَيْهَا، لِأَنَّهَا مِنْ ذَوَاتِ الْخَفَرِ فَتَمْنَعَ مِنَ الْخُرُوجِ حَتَّى لَا تَأْلَفَ التَّبَرُّجَ.

Kedua: Anak perempuan memilih ayahnya, sehingga ia bersama dan berada di sisi ayahnya siang dan malam. Jika ibunya ingin menengoknya, maka ia boleh masuk menemuinya, dan ayah wajib memberinya kesempatan untuk masuk dan tidak menghalanginya, agar tidak membuat seorang ibu menjadi terlalu merindukan anaknya, karena hal itu dilarang. Perhatikan pula keadaan ayah saat ibu masuk menemui putrinya; jika ayah sedang tidak di rumah, maka ibu boleh masuk sendirian. Namun jika ayah sedang bersama putrinya di rumah, maka ibu tidak boleh masuk kecuali bersama perempuan terpercaya, agar terhindar dari tuduhan yang tidak-tidak, dan tidak terjadi khalwat antara ibu dan orang yang haram dinikahinya. Ibu juga tidak berhak meminta agar anaknya dikeluarkan untuk menemuinya, karena anak perempuan termasuk golongan yang harus dijaga kehormatannya, sehingga dicegah untuk keluar rumah agar tidak terbiasa tampil di luar.

فَإِنْ قِيلَ: فَالْأَمْرُ بِهَذِهِ الْحَالَةِ، فَكَيْفَ تَكُونُ هِيَ الْخَارِجَةَ إِلَى بِنْتِهَا وَلَا تَكُونُ الْبِنْتُ خَارِجَةً إِلَيْهَا.

Jika ada yang bertanya: Dalam keadaan seperti ini, mengapa ibunya yang keluar menemui anaknya, bukan anaknya yang keluar menemui ibunya?

قِيلَ: لِأَنَّ الْحَذَرَ عَلَى الْبِنْتِ أَكْثَرُ وَحَالُهَا فِي الصِّغَرِ أَخْطَرُ.

Dijawab: Karena kehati-hatian terhadap anak perempuan lebih besar, dan keadaannya saat masih kecil lebih berisiko.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا أَعْلَمُ عَلَى أَبِيهَا إِخْرَاجَهَا إِلَيْهَا إِلَّا أَنْ تَمْرَضَ فَيُؤْمَرَ بِإِخْرَاجِهَا عَائِدَةً وَإِنْ مَاتَتِ الْبِنْتُ لَمْ تُمْنَعِ الْأُمُّ مِنْ أَنْ تَلِيَهَا حَتَّى تُدْفَنَ وَلَا تُمْنَعْ فِي مَرَضِهَا مِنْ أَنْ تَلِيَ تَمْرِيضَهَا فِي مَنْزِلِ أَبِيهَا “.

Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Aku tidak mengetahui adanya kewajiban bagi ayah untuk mengeluarkan anak perempuannya menemui ibunya, kecuali jika ibunya sakit, maka diperintahkan untuk mengeluarkan anaknya untuk menjenguk. Jika anak perempuan itu meninggal, maka ibu tidak dilarang untuk mengurusi jenazahnya hingga dimakamkan, dan tidak dilarang pula untuk merawatnya saat sakit di rumah ayahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا مَرِضَتِ الْأُمُّ وَجَبَ عَلَى الْأَبِ إِخْرَاجُ بِنْتِهَا لِتَزُورَهَا زِيَارَةَ الْعَائِدِ، وَلَئِنْ كَانَتْ مَمْنُوعَةً مِنَ الْبُرُوزِ لِتَأْلَفَ الْخَفَرَ، فَهَذِهِ حَالَةُ ضَرُورَةٍ يَتَّسِعُ حُكْمُهَا، وَتَعُودُ الْبِنْتُ إِلَى مَنْزِلِ أَبِيهَا بَعْدَ تَقَضِّي زَمَانِ الْعِيَادَةِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا مَعَ الصِّغَرِ فَاضِلٌ لِتَمْرِيضِ الْأُمِّ، فَانْصَرَفَتْ بَعْدَ الْعِيَادَةِ، فَإِنْ مَاتَتِ الْأُمُّ أَقَامَتْ عِنْدَهَا حَتَّى تُوَارَى وَمَنَعَهَا مِنَ اتِّبَاعِ جِنَازَتِهَا وَزِيَارَةِ قَبْرِهَا لِمَا فِيهَا مِنَ التَّبَرُّجِ، لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَعَنَ اللَّهُ زَوَّرَاتِ الْقُبُورِ ” فَلَوْ مَرِضَتِ الْبِنْتُ فِي مَنْزِلِ أَبِيهَا كَانَتِ الْأُمُّ أَحَقَّ بِتَمْرِيضِهَا مِنَ الْأَبِ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika ibu sakit, maka ayah wajib mengeluarkan anak perempuannya untuk menjenguk ibunya seperti kunjungan orang yang menjenguk orang sakit. Walaupun anak perempuan itu biasanya dicegah untuk sering keluar agar terbiasa menjaga kehormatan, namun dalam keadaan darurat seperti ini hukum menjadi lebih longgar. Setelah selesai masa kunjungan, anak perempuan kembali ke rumah ayahnya, karena tidak ada keutamaan bagi anak kecil untuk merawat ibunya, sehingga ia kembali setelah menjenguk. Jika ibunya meninggal, anak perempuan tinggal di sisi ibunya hingga dimakamkan, namun ia dilarang mengikuti jenazah ibunya dan menziarahi kuburnya karena hal itu termasuk tabarruj (menampakkan diri di luar), sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Allah melaknat para wanita yang sering menziarahi kubur.” Jika anak perempuan sakit di rumah ayahnya, maka ibunya lebih berhak merawatnya daripada ayahnya karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ النِّسَاءَ بِتَعْلِيلِ الْمَرَضِ أَقْوَمُ مِنَ الرِّجَالِ.

Pertama: Perempuan dalam hal merawat orang sakit lebih cakap daripada laki-laki.

وَالثَّانِي: أَنَّهَا تَصِيرُ بِضَعْفِ الْمَرَضِ كَالْعَائِدَةِ إِلَى حَالِ الصِّغَرِ، وَالْأُمُّ أَحَقُّ بِهَا فِي صِغَرِهَا مِنَ الْأَبِ فَإِذَا أَرَادَتِ الْأُمُّ تَمْرِيضَهَا فَالْأَبُ فِيهَا بَيْنَ خِيَارَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَنْقُلَهَا إِلَى مَنْزِلِ الْأُمِّ، لِتَقُومَ بِتَمْرِيضِهَا فِيهِ فَإِذَا بَرَأَتْ عَادَتْ إِلَيْهِ، وَلَيْسَ لَهَا مَنْعُ الْأَبِ مِنَ الدُّخُولِ لِعِيَادَةِ بِنْتِهِ، وَإِمَّا أَنْ يُفْرِدَ لَهَا فِي مَنْزِلِهِ مَوْضِعًا تَخْلُو لِتَمْرِيضِهَا فِيهِ، وَلْيَكُنْ بَيْنَهُمَا مِنْ ثِقَاتِ النِّسَاءِ أَوْ ذَوِي الْأَرْحَامِ الْمَحَارِمِ مَنْ تَنْتَفِي بِهِ التُّهْمَةُ عَنْهُمَا، فَإِذَا بَرَأَتِ انْصَرَفَتِ الْأُمُّ إِلَى مَنْزِلِهَا، وَإِنْ مَاتَتْ أَقَامَتِ الْأُمُّ لمواراتها حتى تدفن، وليس الأب أَنْ يَمْنَعَهَا مِنَ الْبُكَاءِ عَلَيْهَا، وَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنَ النِّيَاحَةِ وَاللَّطْمِ، وَيَمْنَعَهَا مِنَ اتِّبَاعِ جِنَازَتِهَا فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَحَقِّهِ، وَيَمْنَعَهَا مِنْ زِيَارَةِ قَبْرِهَا إِنْ دُفِنَتْ فِي مِلْكِهِ، فَإِنْ دُفِنَتْ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ مَنَعَهَا مِنَ الزيادة فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى دُونَ حَقِّهِ لِقَوْلِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لعن الله زورات القبور “.

Kedua: Bahwa dengan parahnya penyakit, anak perempuan itu menjadi seperti kembali ke keadaan kecil, dan ibu lebih berhak atasnya saat kecil daripada ayah. Maka jika ibu ingin merawatnya, ayah memiliki dua pilihan: pertama, memindahkannya ke rumah ibu agar ibu dapat merawatnya di sana, dan jika ia sembuh maka ia kembali kepada ayahnya, dan ibu tidak berhak melarang ayah untuk masuk menjenguk putrinya; atau kedua, ayah menyediakan tempat khusus di rumahnya agar ibu dapat merawatnya di sana secara terpisah, dan hendaknya di antara mereka ada perempuan-perempuan tepercaya atau kerabat mahram yang dapat menghilangkan tuduhan buruk terhadap mereka. Jika anak itu sembuh, ibu kembali ke rumahnya. Jika anak itu meninggal, ibu tetap tinggal untuk mengurus penguburannya hingga selesai. Ayah tidak boleh melarang ibu menangisi anaknya, namun ia boleh melarang ibu dari meratapi (niyāhah) dan menampar-nampar, serta melarang ibu mengikuti jenazah anaknya demi hak Allah Ta‘ala dan hak dirinya. Ia juga boleh melarang ibu menziarahi kubur anaknya jika anak itu dikuburkan di tanah milik ayah. Jika dikuburkan di tanah milik orang lain, ayah hanya boleh melarang ibu menziarahi kubur demi hak Allah Ta‘ala, bukan demi hak dirinya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Allah melaknat para wanita yang sering menziarahi kubur.”

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ مَخْبُولًا فَهُوَ كَالصَّغِيرِ فَالْأُمُّ أحق بِهِ وَلَا يُخَيَّرُ أَبَدًا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika anak itu mengalami gangguan jiwa, maka hukumnya seperti anak kecil; ibu lebih berhak mengasuhnya dan tidak ada pilihan (untuk ayah) selamanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا قَدْ مَضَى فِي شُرُوطِ التَّخْيِيرِ، لِأَنَّ الْمَخْبُولَ لِعَجْزِهِ عَنِ الْقِيَامِ بِنَفْسِهِ، وَفَقْدِ تَمْيِيزِهِ يَكُونُ كَالصَّغِيرِ، فَصَارَتِ الْأُمُّ بِهِ أَحَقَّ، كَالْمَحْضُونِ سَوَاءٌ كَانَ ابْنًا أَوْ بِنْتًا، هَكَذَا لَوْ طَالَ الْخَبَلُ وَالْجُنُونُ عَلَيْهِمَا بَعْدَ الصِّحَّةِ وَالْبُلُوغِ كَانَتِ الْأُمُّ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِمَا مِنَ الْأَبِ، فَإِنْ كَانَ لِلْمَخْبُولِ وَالْمَجْنُونِ زَوْجَةٌ أَوْ كَانَ لِلْمَخْبُولَةِ وَالْمَجْنُونَةِ، زوجا، كَانَ الزَّوْجُ وَالزَّوْجَةُ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِمَا مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ، لِأَنَّهُ لَا عَوْرَةَ بَيْنَهُمَا وَلِوُفُورِ السُّكُونِ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَوْ كَانَ لِلْمَخْبُولِ أم ولد كان الْأُمُّ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ مِنْ أُمِّ وَلَدِهِ لِأَنَّ ثُبُوتَ الرِّقِّ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِعْلَاءِ يَدِهَا، لَكِنْ تَقُومُ بِخِدْمَتِهِ، وَتَقُومُ الْأُمُّ بِكَفَالَتِهِ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini telah dijelaskan dalam syarat-syarat pemilihan (hak asuh), karena orang yang mengalami gangguan jiwa, disebabkan ketidakmampuannya mengurus diri sendiri dan hilangnya kemampuan membedakan, maka ia seperti anak kecil. Maka ibu lebih berhak mengasuhnya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan. Demikian pula jika gangguan jiwa atau kegilaan berlangsung lama setelah sehat dan baligh, maka ibu lebih berhak mengasuh mereka daripada ayah. Jika orang yang mengalami gangguan jiwa atau gila itu memiliki istri, atau perempuan yang mengalami gangguan jiwa atau gila itu memiliki suami, maka suami atau istri lebih berhak mengasuh mereka daripada ayah dan ibu, karena tidak ada aurat di antara mereka dan terdapat ketenangan yang lebih kepada masing-masing pasangan. Jika orang yang mengalami gangguan jiwa itu memiliki ummu walad (budak perempuan yang melahirkan anaknya), maka ibu kandungnya lebih berhak mengasuhnya daripada ummu walad, karena status perbudakan menghalangi kekuasaan ummu walad atasnya, namun ummu walad tetap melayaninya, dan ibu kandung tetap mengasuhnya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا خُيِّرَ فَاخْتَارَ أَحَدَ الْأَبَوَيْنِ ثُمَّ اخْتَارَ الْآخَرَ حُوِّلَ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika anak diberi pilihan lalu memilih salah satu dari kedua orang tuanya, kemudian memilih yang lain, maka ia dipindahkan (kepada yang dipilih terakhir).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لِأَنَّ تَخْيِيرَ الْوَلَدِ حَقٌّ لَهُ لَا عَلَيْهِ يَقِفُ عَلَى شَهْوَتِهِ وَالْمَيْلِ إِلَى مَصْلَحَتِهِ، فَإِذَا اخْتَارَ أَحَدَ أَبَوَيْهِ ثُمَّ عَدَلَ إِلَى اخْتِيَارِ الْآخَرِ حُوِّلَ إِلَيْهِ، فَإِنْ رَجَعَ إِلَى اخْتِيَارِ الْأَوَّلِ أُعِيدَ إِلَيْهِ على هذا أبداً، كلما اختار واحد بَعْدَ وَاحِدٍ حُوِّلَ إِلَيْهِ لِوُقُوفِهِ عَلَى شَهْوَتِهِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا حَدَثَ مِنْ تَقْصِيرِ مَنِ اخْتَارَهُ مَا يَبْعَثُهُ عَنِ الِانْتِقَالِ عَنْهُ.

Al-Mawardi berkata: Karena hak memilih bagi anak adalah hak untuk dirinya, bukan kewajiban atasnya, bergantung pada keinginannya dan kecenderungannya kepada kemaslahatannya. Jika ia memilih salah satu dari kedua orang tuanya, lalu berpindah memilih yang lain, maka ia dipindahkan kepadanya. Jika ia kembali memilih yang pertama, maka dikembalikan kepadanya. Demikian seterusnya, setiap kali ia memilih salah satu setelah yang lain, ia dipindahkan kepadanya, karena hal itu bergantung pada keinginannya. Bisa jadi terjadi kekurangan dari pihak yang dipilih sehingga mendorongnya untuk berpindah darinya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ مُنِعَتْ مِنْهُ بِالزَّوْجِ فَطَلَّقَهَا طَلَاقًا يَمْلِكُ فيه الرجعة أولا لَا يَمْلِكُهَا رَجَعَتْ عَلَى حَقِّهَا فِي وَلَدِهَا لَأَنَّهَا مَنَعَتْهُ بِوَجْهٍ فَإِذَا ذَهَبَ فَهِيَ كَمَا كانت فإن قيل فكيف تعود إلى ما بطل بالنكاح، قيل لو كان بطل ما كان لأمها أن تكون أحق بولدها من أبيهم وكان ينبغي إذا بطل عن الأم أن يبطل عن الجدة التي إنما حقها لحق الأم وقد قضى أبو بكر على عمر رضي الله عنهما بأن جدة ابنه أحق به منه فإن قيل فما حق الأم فيهم؟ قيل كحق الأب هما والدان يجدان بالولد فلما كان لا يعقل كانت أولى به على أن ذلك حق للولد للأبوين لأن الأم أحنى عليه وأرق من الأب “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang ibu terhalang dari anaknya karena menikah, lalu ia dicerai dengan talak yang masih memungkinkan rujuk atau tidak memungkinkan rujuk, maka ia kembali mendapatkan haknya atas anaknya, karena ia terhalang dengan suatu sebab, maka jika sebab itu hilang, ia kembali seperti semula. Jika ada yang bertanya, bagaimana ia bisa kembali kepada hak yang telah gugur karena pernikahan? Dijawab: Jika memang hak itu benar-benar gugur, tentu nenek dari pihak ibu tidak akan lebih berhak atas cucunya daripada ayahnya. Seharusnya, jika hak ibu gugur, maka hak nenek juga gugur, padahal hak nenek berasal dari hak ibu. Abu Bakar pernah memutuskan atas Umar ra. bahwa nenek dari pihak ibu lebih berhak atas cucunya daripada ayahnya. Jika ada yang bertanya, apa hak ibu atas anaknya? Dijawab: Sama seperti hak ayah, keduanya adalah orang tua yang memiliki hubungan dengan anak. Ketika anak belum berakal, maka ibu lebih berhak atasnya. Hak itu sebenarnya adalah hak anak atas kedua orang tuanya, karena ibu lebih penyayang dan lebih lembut daripada ayah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ تَزْوِيجَ الْأَمِّ يُسْقِطُ حَقَّهَا مِنَ الْحَضَانَةِ وَالْكَفَالَةِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تُنْكَحِي “، فَلَمْ يَكُنْ لِخِلَافِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ فِيهِ مَعَ هَذَا النص وجه، وإذا سقط حضانتها انتقلت عنها إلى أمها إذ لَمْ تَكُنْ أُمُّهَا ذَاتَ زَوْجٍ، فَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ نُظِرَ فِي الزَّوْجِ، فَإِنْ كَانَ جَدَّ الْوَلَدِ لَمْ يُسْقِطْ حَضَانَتَهَا وَإِنْ كَانَ أَجْنَبَيًّا أَسْقَطَهَا، وَصَارَتْ لِلْأَبِ، فَإِنْ أَتَمَّتِ الْأُمُّ بَعْدَ التَّزْوِيجِ بِمَوْتِ زَوْجِهَا أَوْ طَلَاقٍ عَادَتْ إِلَى حَقِّهَا مِنْ حَضَانَةِ وَلَدِهَا.

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa pernikahan seorang ibu menggugurkan haknya atas hadhanah (hak asuh) dan kafalah (pemeliharaan), berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah.” Maka, pendapat Hasan al-Bashri yang berbeda dalam hal ini tidak memiliki dasar di hadapan nash ini. Jika hak hadhanahnya gugur, maka hak itu berpindah kepada ibunya (nenek dari pihak ibu), selama ibunya tidak bersuami. Jika nenek tersebut bersuami, maka dilihat siapa suaminya: jika suaminya adalah kakek anak (dari pihak ibu), maka hak hadhanahnya tidak gugur; namun jika suaminya adalah orang asing, maka hak hadhanahnya gugur dan berpindah kepada ayah. Jika setelah menikah, ibu tersebut menjadi janda karena suaminya wafat atau bercerai, maka ia kembali memperoleh hak hadhanah atas anaknya.

وَقَالَ مَالِكٌ: قَدْ بَطَلَ حَقُّهَا بِالتَّزْوِيجِ، فَلَا يَعُودُ إِلَيْهَا وَإِنْ أَيْمَنَ، وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:

Malik berkata: Hak hadhanahnya telah gugur karena pernikahan, sehingga tidak kembali kepadanya meskipun ia menjadi janda. Ini adalah kesalahan dari dua sisi:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ سُقُوطَ حَضَانَتِهَا بِالزَّوْجِ كَسُقُوطِهَا بِجُنُونٍ أَوْ فَسْقٍ، وَهِيَ تَعُودُ إِلَى حَقِّهَا بِالْإِفَاقَةِ مِنَ الْجُنُونِ، وَالْعَدَالَةِ بَعْدَ الْفِسْقِ، فَكَذَلِكَ تَعُودُ بِالطَّلَاقِ بَعْدَ النِّكَاحِ، لِأَنَّ تَعَلُّقَ الْحُكْمِ بِعِلَّةٍ يُوجِبُ إِسْقَاطَهَا بِزَوَالِ تِلْكَ الْعِلَّةِ.

Pertama: Gugurnya hak hadhanah karena menikah itu seperti gugurnya karena gila atau fasik, di mana hak itu kembali jika ia sembuh dari kegilaan atau menjadi adil setelah fasik. Maka demikian pula, hak itu kembali setelah perceraian dari pernikahan, karena keterkaitan hukum dengan suatu ‘illat (alasan) menyebabkan gugurnya hukum itu dengan hilangnya ‘illat tersebut.

وَالثَّانِي: أَنَّ حَضَانَتَهَا بِالتَّزْوِيجِ تَأَخَّرَتْ، وَلَمْ يَبْطُلْ لِانْتِقَالِهَا إِلَى أُمِّهَا المدلية بها، ولو بطلت حضانتها فانتقلت إِلَى مَنْ أَدْلَى بِهَا، وَهَذَا دَلِيلُ الشَّافِعِيِّ.

Kedua: Hak hadhanahnya karena menikah hanya tertunda, tidak batal, karena berpindah kepada ibunya yang menjadi sebab baginya. Seandainya hak hadhanahnya batal, maka hak itu berpindah kepada orang yang menjadi sebab baginya. Inilah dalil Imam Syafi‘i.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِنْ ثَبَتَ عَوْدُهَا إِلَى الْحَضَانَةِ بَعْدَ طَلَاقِهَا فَسَوَاءٌ كَانَ طَلَاقُهَا بَائِنًا أَوْ رَجْعِيًّا.

Jika telah tetap bahwa hak hadhanahnya kembali setelah ia bercerai, maka sama saja apakah perceraian itu ba’in (talak yang tidak bisa rujuk) atau raj‘i (talak yang bisa rujuk).

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ كَانَ طَلَاقُهَا رَجْعِيًّا لَمْ تَعُدِ الْحَضَانَةُ إِلَّا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَوَافَقَهُ الْمُزَنِيُّ عَلَيْهِ وَبَنَى أَبُو حَنِيفَةَ: ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الرَّجْعِيَّةَ غَيْرُ مُحَرَّمَةٍ تجري عليها أحكام الزوجية، ونحن نبينه عَلَى أُصُولِنَا فِي أَنَّ الرَّجْعِيَّةَ مُحَرَّمَةٌ كَالْبَائِنِ؛ وَلِأَنَّهَا لَمَّا مَلَكَتْ نَفْسَهَا بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الرَّجْعَةِ صَارَتْ بِهِ كَالْخَلِيَّةِ فِي اسْتِحْقَاقِ الْحَضَانَةِ كَمَا صَارَتْ كَالْخَلِيَّةِ فِي جَوَازِ التَّصَرُّفِ، فَإِنْ رَاجَعَهَا الزَّوْجُ فِي عِدَّتِهَا سَقَطَتْ حَضَانَتُهَا بِرَجْعَتِهِ، وَلَوْ ظَاهَرَ مِنْهَا أَوْ آلَى لَمْ تَسْتَحِقَّ الْحَضَانَةَ لِبَقَائِهَا عَلَى الزَّوْجِيَّةِ بِخِلَافِ الْمُطَلَّقَةِ الرَّجْعِيَّةِ.

Abu Hanifah berkata: Jika talaknya raj‘i, maka hak hadhanah tidak kembali kecuali setelah selesai masa ‘iddah. Al-Muzani sependapat dengannya. Abu Hanifah mendasarkan hal ini pada prinsipnya bahwa wanita yang ditalak raj‘i masih berstatus istri, sehingga hukum-hukum pernikahan masih berlaku atasnya. Sedangkan kami (Syafi‘iyah) menjelaskan berdasarkan prinsip kami bahwa wanita yang ditalak raj‘i itu haram (bukan istri) seperti wanita yang ditalak ba’in; karena ketika ia telah menguasai dirinya sendiri dengan talak sebelum rujuk, maka ia seperti wanita yang tidak bersuami dalam berhak atas hadhanah, sebagaimana ia juga seperti wanita yang tidak bersuami dalam kebebasan bertindak. Jika suaminya merujuknya dalam masa ‘iddah, maka hak hadhanahnya gugur karena rujuk tersebut. Namun, jika suaminya melakukan zihar atau ila’, ia tidak berhak atas hadhanah karena masih berstatus sebagai istri, berbeda dengan wanita yang ditalak raj‘i.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا بَلَغَ الْغُلَامُ وَلِيَ نَفْسَهُ إِذَا أُونِسَ رُشْدُهُ وَلَمْ يُجْبَرْ عَلَى أَنْ يَكُونَ عِنْدَ أحدهما وأختار له برهما وترك فراقهما وإذ بلغت الجارية كانت مع أحدهما حتى تزوج فتكون مع زوجها فإن أبت وكانت مأمونة سكنت حيث شاءت ما لم تر ريبة وأختار لها أن لا تفارق أبويها “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika anak laki-laki telah baligh dan mampu mengurus dirinya sendiri, apabila tampak kecerdasannya, maka ia tidak dipaksa untuk tinggal bersama salah satu dari keduanya (ayah atau ibu), dan aku memilihkan baginya untuk berbakti kepada keduanya dan tidak memisahkan diri dari mereka. Jika anak perempuan telah baligh, maka ia tetap bersama salah satu dari keduanya sampai menikah, lalu ia bersama suaminya. Jika ia menolak dan ia dapat dipercaya, maka ia boleh tinggal di mana saja yang ia kehendaki selama tidak ada kekhawatiran, dan aku memilihkan baginya agar tidak berpisah dari kedua orang tuanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى حُكْمُ الْوَلَدِ عِنْدَ اكْتِفَائِهِ بِنَفْعِهِ بَعْدَ بُلُوغِهِ وَرُشْدِهِ وَخُرُوجِهِ مِنْ كَفَالَةِ أَبَوَيْهِ غُلَامًا كَانَ أَوْ جَارِيَةً، وَخَالَفَ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ، وَسَقَطَتْ نَفَقَتُهُ عَنْهَا.

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan hukum anak ketika ia telah cukup mandiri setelah baligh dan cerdas, serta keluar dari kafalah (pemeliharaan) kedua orang tuanya, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini, Abu Hanifah dan Malik berbeda pendapat sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, dan nafkah atas anak tersebut pun gugur.

وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ كُلٌّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يُقِرَّهُ فِي مَنْزِلِهِ كَمَا لَا يَلْزَمُ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ السُّكْنَى تَبَعٌ لِلنَّفَقَةِ وَلَوْ سَأَلَاهُ الْمُقَامَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَ أَحَدِهِمَا لَمْ يَلْزَمْهُ الْمُقَامُ فِيهِ، لأنه قد ملكت تَصَرُّفَ نَفْسِهِ، لَكِنْ يُكْرَهُ لَهُ التَّفَرُّدُ عَنْهُمَا مُحَافَظَةً عَلَى بِرِّهِمَا، وَحَذَرًا مِنْ عُقُوقِهِمَا وَمُقَامِهِ مع أبويه أَوْلَى مِنْ مُقَامِهِ عِنْدَ أُمِّهِ لِلتَّجَانُسِ وَإِنْفَاقِهِمَا عَلَى التَّصَرُّفِ وَالتَّعَاوُنِ، فَإِنِ امْتَنَعَ مِنَ الْبَقَاءِ مَعَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَمْ يُجْبَرْ وَلَمْ يَأْثَمْ مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ حَدِّ الْبِرِّ إِلَى الْعُقُوقِ.

Tidak wajib bagi masing-masing dari keduanya (ayah atau ibu) untuk menahan anak itu tinggal di rumahnya, sebagaimana tidak wajib pula menafkahinya; karena tempat tinggal adalah turunan dari nafkah. Jika kedua orang tuanya atau salah satunya meminta anak itu tinggal bersama mereka, maka anak itu tidak wajib memenuhi permintaan tersebut, karena ia telah memiliki hak mengatur dirinya sendiri. Namun, makruh baginya untuk hidup terpisah dari keduanya demi menjaga bakti kepada mereka dan menghindari durhaka. Tinggal bersama kedua orang tuanya lebih utama daripada tinggal bersama ibunya saja karena adanya kesesuaian, kerja sama, dan saling membantu. Jika ia menolak untuk tinggal bersama salah satu dari keduanya, maka ia tidak dipaksa dan tidak berdosa selama tidak keluar dari batas bakti kepada durhaka.

فَأَمَّا الْجَارِيَةُ إِذَا بَلَغَتْ فَحُكْمُهَا أَغْلَظُ لِكَوْنِهَا عَوْرَةً تَرْمُقُهَا الْعُيُونُ، وَتَسْبِقُ إِلَيْهَا الظُّنُونُ فَيَلْزَمُهَا وَيَلْزَمُ أَبَوَيْهَا مِنْ نَفْيِ التُّهْمَةِ عَنْهَا مَا لَا يَلْزَمُهَا فِي حَقِّ الِابْنِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْأَوْلَى بِهَا أَلَّا تُفَارِقَ أَحَدَ أَبَوَيْهَا، وَمُقَامِهَا مَعَ أُمِّهَا أَوْلَى مِنْ مُقَامِهَا مَعَ أَبِيهَا، لِأَنَّهَا أَقْدَرُ عَلَى حِفْظِهَا، وَأَخْبَرُ بِتَدْبِيرِهَا، لِأَنَّ النِّسَاءَ أَعْرَفُ مِنَ الرِّجَالِ بِعَادَاتِ النِّسَاءِ، كَمَا كَانَ الرِّجَالُ أَعْرَفُ مِنَ النِّسَاءِ بِعَادَاتِ الرِّجَالِ، لِأَجْلِ التَّجَانُسِ وَتَشَابُهِ الْأَخْلَاقِ، فَإِنْ فَارَقَتْ أَبَوَيْهَا نُظِرَ فِي حَالِهَا فَإِنِ انْتَفَتِ الرِّيبَةُ عَنْهَا فِي فِرَاقِهَا لَمْ يَكُنْ لَهُمَا عليه اعْتِرَاضٌ، وَإِنْ كَانَ الْأَوْلَى بِهَا أَلَّا تُفَارِقَ بِرَّهُمَا، وَإِنْ تَوَجَّهَتْ إِلَيْهَا رِيبَةٌ كَانَ لَهُمَا فِي حَقِّ صِيَانَتِهَا أَنْ يَأْخُذَاهَا بِمَا يَنْفِي الرِّيبَةَ عَنْهَا مِنْ مُقَامِهَا عِنْدَ أَحَدِهِمَا أَوْ عِنْدَ مَنْ يُوثَقُ بِهِ مِنْ أَهْلِهَا وَالنِّسَاءُ مِنْهُمْ أَوْلَى مِنَ الرِّجَالِ لِفَضْلِ الِاحْتِيَاطِ، وَإِنْ طَلَبَتِ الْمُقَامَ عِنْدَ أَحَدِ أَبَوَيْهَا فَامْتَنَعَ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ لِخَوْفِهَا عَلَى عَقَّهَا أُخِذَا جَبْرًا بِمُقَامِهَا عِنْدَ أَحَدِهِمَا، وَإِنْ كَانَ لِسُقُوطِ مُؤْنَةِ السُّكْنَى لَمْ يُجْبَرْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَلَيْهَا كَمَا لا يجبر على نفقتهما، ويكره لهما تضيعها فَإِذَا تَزَوَّجَتْ صَارَ الْأَبُ أَحَقَّ بِهَا مِنْهُمَا فَإِنْ أُيِّمَتْ بِمَوْتِ الزَّوْجِ أَوْ طَلَاقٍ، كَانَتْ حَالُهَا فِي الِانْفِرَادِ عَنْ أَبَوَيْهَا بَعْدَ الْأَيْمَةِ أَخَفَّ مِنْ حَالِهَا قَبْلَهَا، لِأَنَّهَا قَدْ خَبَرَتْ وَخَرَجَتْ عَنْ حَدِّ الْغِرَّةِ فَإِنْ ظَهَرَ مِنْهَا بَعْدَ الْأَيْمَةِ رِيبَةٌ تَوَلَّى الْأَبَوَانِ حَسْمَهَا.

Adapun anak perempuan, apabila telah baligh, maka hukumnya lebih ketat karena ia adalah aurat yang menjadi perhatian mata dan mudah menimbulkan prasangka. Oleh karena itu, ia dan kedua orang tuanya wajib menjaga dirinya dari segala tuduhan yang tidak berlaku pada anak laki-laki. Dengan demikian, yang lebih utama baginya adalah tidak berpisah dari salah satu orang tuanya, dan tinggal bersama ibunya lebih utama daripada tinggal bersama ayahnya, karena ibunya lebih mampu menjaga dan lebih mengetahui cara mengurusnya. Sebab, para wanita lebih memahami kebiasaan wanita daripada laki-laki, sebagaimana laki-laki lebih memahami kebiasaan laki-laki daripada wanita, karena adanya kesamaan dan kemiripan akhlak. Jika ia berpisah dari kedua orang tuanya, maka dilihat keadaannya: jika tidak ada kecurigaan terhadapnya dalam perpisahan itu, maka keduanya tidak berhak memprotes, meskipun yang lebih utama baginya adalah tidak berpisah dari bakti kepada keduanya. Namun jika timbul kecurigaan terhadapnya, maka keduanya berhak, demi menjaga kehormatannya, untuk menahannya dengan cara yang dapat menghilangkan kecurigaan tersebut, baik dengan menempatkannya di salah satu dari keduanya atau di tempat keluarga yang terpercaya, dan para wanita dari keluarga tersebut lebih utama daripada laki-laki demi kehati-hatian. Jika ia meminta tinggal bersama salah satu orang tuanya namun ditolak, maka dilihat sebabnya: jika karena khawatir ia akan durhaka, maka keduanya dipaksa untuk menerimanya tinggal bersama salah satu dari keduanya. Namun jika alasannya untuk menghindari beban biaya tempat tinggal, maka tidak ada kewajiban bagi salah satu dari keduanya untuk menanggungnya, sebagaimana tidak diwajibkan menanggung nafkahnya, dan makruh bagi keduanya menelantarkannya. Apabila ia telah menikah, maka ayahnya lebih berhak atas dirinya daripada keduanya. Jika ia menjadi janda karena suami meninggal atau cerai, maka keadaannya dalam berpisah dari kedua orang tuanya setelah menjadi janda lebih ringan daripada sebelumnya, karena ia telah berpengalaman dan keluar dari batas ketidaktahuan. Namun jika setelah menjadi janda muncul kecurigaan terhadapnya, maka kedua orang tuanya berhak menanganinya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا اجْتَمَعَ الْقَرَابَةُ مِنَ النِّسَاءِ فَتَنَازَعْنَ الْمَوْلُودَ فَالْأُمُّ أَوْلَى ثُمَّ أُمُّهَا ثُمُّ أُمَّهَاتُ أُمِّهَا وَإِنْ بَعُدْنَ ثُمَ الْجَدَّةُ أُمُّ الْأَبِ ثُمَّ أُمُّهَا ثُمَّ أُمَّهَاتُهَا ثُمَّ الْجَدَّةُ أُمُّ الْجَدِّ لِلْأَبِ ثُمَّ أُمُّهَا ثُمَّ أُمَّهَاتُهَا ثُمَّ الْأُخْتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ الْأُخْتُ لِلْأَبِ ثُمَّ الْأُخْتُ لِلْأُمِّ ثُمَّ الْخَالَةُ ثُمَّ الْعَمَّةُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Apabila para kerabat perempuan berkumpul dan berselisih tentang hak asuh anak, maka yang paling berhak adalah ibu, kemudian ibunya (nenek dari pihak ibu), lalu para ibu dari ibu (nenek-nenek dari pihak ibu) meskipun jauh, kemudian nenek dari pihak ayah, lalu ibunya, kemudian para ibu dari nenek ayah, lalu nenek dari pihak kakek ayah, kemudian ibunya, lalu para ibu dari nenek kakek ayah, kemudian saudari seayah seibu, lalu saudari seayah, kemudian saudari seibu, lalu bibi dari pihak ibu, kemudian bibi dari pihak ayah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ الْحَضَانَةِ ثُمَّ الْكَفَالَةِ مُسْتَحَقَّةٌ مِنَ الْأَبَوَيْنِ لِأَنَّهُمَا أَصْلُ النَّسَبِ لِحُدُوثِ الْوِلَادَةِ عَنْهُمَا فَتَفَرَّعَ عَنْهُمَا جَمِيعُ مَنْ عَلَا مِنَ القرابات، كما ترفع عَنِ الْوَلَدِ جَمِيعُ مَنْ نَزَلَ مِنَ الْقِرَابَاتِ، لِأَنَّ أَبَوَيْهِ أَصْلٌ لِمَنْ عَلَا مِنْ قِرَابَاتِهِ. وهو أصلاً لِمَنْ نَزَلَ عَنْهُ مِنْ قِرَابَاتِهِ.

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa hak hadhanah (pengasuhan), kemudian kafalah (penjaminan), adalah hak kedua orang tua, karena keduanya adalah asal nasab sebab terjadinya kelahiran dari mereka berdua, sehingga seluruh kerabat yang lebih tinggi derajatnya berasal dari mereka, sebagaimana seluruh kerabat yang lebih rendah derajatnya berasal dari anak, karena kedua orang tuanya adalah asal bagi kerabat yang lebih tinggi, dan anak adalah asal bagi kerabat yang lebih rendah darinya.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَحَضَانَتُهُ مُقَدَّمَةٌ عَلَيْهِمْ يَتَقَدَّمُ بِهَا مِنْهُمْ أَقْوَاهُمْ سَبَبًا فِيهَا، فَإِذَا اجْتَمَعَ فِي الْحَضَانَةِ قَرَابَاتُ الْمَوْلُودِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Jika demikian, maka hak hadhanah didahulukan atas mereka, dan yang paling kuat alasannya di antara mereka yang didahulukan. Jika para kerabat anak berkumpul dalam hak hadhanah, maka keadaan mereka tidak lepas dari tiga bagian:

أَحَدُهَا: أن يكونوا نساء لا رجلاً فِيهِمْ.

Pertama: Mereka semua perempuan, tidak ada laki-laki di antara mereka.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونُوا رِجِالًا لَا امْرَأَةَ فِيهِمْ.

Kedua: Mereka semua laki-laki, tidak ada perempuan di antara mereka.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونُوا رِجِالًا وَنِسَاءً.

Ketiga: Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ مَسْطُورُ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَكُونُوا نِسَاءً لَا رَجُلَ مَعَهُنَّ فَيَخْرُجَ مِنْهُنَّ مَنْ لَا حَضَانَةَ لَهَا، وَهِيَ نَوْعَانِ:

Adapun bagian pertama, sebagaimana yang disebutkan dalam masalah ini, yaitu mereka semua perempuan tanpa ada laki-laki di antara mereka, maka dikeluarkan dari mereka yang tidak berhak atas hadhanah, dan mereka terbagi menjadi dua jenis:

أَحَدُهُمَا: مَا سَقَطَتْ حَضَانَتُهَا لِنَقْصٍ كَإِخْلَالِهَا بِأَحَدِ الشُّرُوطِ السِّتَّةِ لِرِقٍّ أَوْ كُفْرٍ أَوْ جُنُونٍ أَوْ فِسْقٍ أَوْ بُعْدِ وَطَنٍ أَوْ تَزْوِيجٍ بِأَجْنَبِيِّ.

Pertama: Yang gugur hak hadhanah-nya karena kekurangan, seperti tidak memenuhi salah satu dari enam syarat, yaitu karena status budak, kafir, gila, fasik, jauhnya tempat tinggal, atau menikah dengan laki-laki asing.

وَالنَّوْعُ الثَّانِي: مَنْ سَقَطَتْ حَضَانَتُهَا لِضَعْفِ قَرَابَتِهَا، وَهِيَ كُلُّ مُدْلِيَةٍ بِذَكَرٍ لَا يَرِثُ كَأُمَّ ابْنِ الْأُمِّ، وَبِنْتِ الْخَالِ وَبِنْتِ ابْنِ الْأُخْتِ فَلَا حَضَانَةَ لَهُنَّ لِإِدْلَائِهِنَّ بِذَكَرٍ قَدْ فَقَدَ آلَةَ التَّرْبِيَةِ مِنَ الْأُنُوثِيَّةِ، وَعَدَمِ قُوَّةِ الْقَرَابَةِ لِسُقُوطِ الْمِيرَاثِ، فَلِذَلِكَ سَقَطَتْ حَضَانَةُ الْمُدْلِينَ بِهِ، فَأَمَّا مَنْ سَقَطَتْ حَضَانَتُهُنَّ لِلنَّقْصِ، فَلَا حَضَانَةَ لَهَا من مُسْتَحِقِّ الْحَضَانَةِ وَعَدَمِهِ، وَأَمَّا مَنْ سَقَطَتْ حَضَانَتُهَا لِضَعْفِ قَرَابَتِهَا فَلَا حَضَانَةَ لَهَا مَعَ وُجُودِ مُسْتَحِقِّهَا، وَفِي اسْتِحْقَاقِهَا لِلْحَضَانَةِ مَعَ عَدَمِ مُسْتَحِقِّهَا وَجْهَانِ:

Jenis kedua: Yaitu perempuan yang gugur hak hadhanahnya karena lemahnya hubungan kekerabatan, yaitu setiap perempuan yang hubungan kekerabatannya melalui laki-laki yang tidak mewarisi, seperti ibu dari anak seibu, putri paman dari pihak ibu, dan putri anak saudari perempuan. Maka mereka tidak memiliki hak hadhanah karena hubungan kekerabatannya melalui laki-laki yang telah kehilangan unsur keperempuanan yang menjadi alat pengasuhan, serta karena lemahnya hubungan kekerabatan akibat gugurnya hak waris. Oleh karena itu, gugurlah hak hadhanah bagi yang memiliki hubungan seperti itu. Adapun perempuan yang gugur hak hadhanahnya karena kekurangan (cacat), maka ia tidak memiliki hak hadhanah baik di hadapan orang yang berhak maupun yang tidak berhak. Sedangkan perempuan yang gugur hak hadhanahnya karena lemahnya hubungan kekerabatan, maka ia tidak memiliki hak hadhanah selama masih ada yang lebih berhak. Namun, dalam hal berhaknya ia atas hadhanah ketika tidak ada yang berhak, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَسْتَحِقُّ الْحَضَانَةَ لِاخْتِصَاصِهَا بِالْقُرْبَى، وَإِنْ ضَعُفَتْ، لِأَنَّ ضَعْفَهَا يُسْقِطُ حَقَّهَا مَعَ مَنْ هُوَ أَقْوَى مِنْهَا، وَلَا يُسْقِطُهَا مَعَ مَنْ عُدِمَ قَرَابَتَهَا، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ الْعُدُولُ عَنْهَا إِلَى الْأَجَانِبِ.

Salah satunya: Ia berhak atas hadhanah karena kekhususan kekerabatan, meskipun lemah, sebab kelemahan itu hanya menggugurkan haknya jika ada yang lebih kuat darinya, dan tidak menggugurkannya jika tidak ada kerabat lain. Dengan demikian, tidak boleh berpindah hak hadhanah darinya kepada orang asing.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَسْتَحِقُّ الْحَضَانَةَ، وَإِنْ عُدِمَ جَمِيعُ الْقِرَابَاتِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ فِيهَا مُثْبِتٌ لِاسْتِحْقَاقٍ، وَإِنَّمَا يَجُوزُ أَنْ يُقَدَّمَ بِذَلِكَ عَلَى الْأَجَانِبِ مِنْ طَرِيقِ الْأَوْلَى دُونَ الِاسْتِحْقَاقِ، كَمَا نُقَدِّمُ الْمُرْضِعَةَ وَالْجَارَةَ عَلَى غَيْرِهِمَا مِنْ طَرِيقِ الْأَوْلَى، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَدَّى اجْتِهَادُ الْحَاكِمِ إِلَى الْعُدُولِ عَنْهَا إِلَى غَيْرِهَا مِنَ الْأَجَانِبِ جَازَ.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak atas hadhanah, meskipun seluruh kerabat tidak ada, karena dalam dirinya tidak terdapat unsur yang menetapkan hak tersebut. Namun, boleh didahulukan atas orang asing dari sisi prioritas, bukan karena hak, sebagaimana kita mendahulukan ibu susu dan tetangga atas selain mereka dari sisi prioritas, bukan karena hak. Maka, jika ijtihad hakim mengarah pada berpindahnya hak hadhanah dari dirinya kepada selainnya dari kalangan orang asing, maka hal itu diperbolehkan.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا مستحقات الحضانة فهو من الصفين الْمَذْكُورَيْنِ مِنْ جَمِيعِ الْقِرَابَاتِ، فَيَتَقَدَّمْنَ فِيهَا بِقُوَّةِ النَّسَبِ.

Adapun yang berhak atas hadhanah adalah dari dua kelompok kekerabatan yang telah disebutkan, dan mereka didahulukan dalam hal ini berdasarkan kuatnya hubungan nasab.

وَقُوَّةُ النَّسَبِ شَيْئَانِ:

Kekuatan nasab itu ada dua hal:

أَحَدُهُمَا: دُنُوُّ الْقَرَابَةِ كَالْأُمِّ مَعَ ابْنِهَا، وَالْأُخْتِ مَعَ بِنْتِهَا.

Pertama: Dekatnya hubungan kekerabatan, seperti ibu dengan anaknya, dan saudari perempuan dengan putrinya.

وَالثَّانِي: قُوَّةُ الْقَرَابَةِ وَقُوَّتُهَا تَكُونُ بِخَمْسَةِ أَسْبَابٍ: أَوَّلُهَا: مُبَاشَرَةُ الْوِلَادَةِ، وَوُجُودُ الْبَعْضِيَّةِ.

Kedua: Kuatnya hubungan kekerabatan, dan kekuatan ini ada karena lima sebab: Pertama, adanya hubungan langsung kelahiran dan adanya unsur sebagian (dari yang diasuh).

ثَانِيهَا: التَّعْصِيبُ.

Kedua, karena ‘ashabah (hubungan kekerabatan laki-laki yang menjadi sebab waris).

ثَالِثُهَا: الْمِيرَاثُ.

Ketiga, karena warisan.

رَابِعُهَا: الْمَحْرَمُ.

Keempat, karena mahram.

خَامِسُهَا: الْإِدْلَاءُ بِمُسْتَحِقِّ الْحَضَانَةِ.

Kelima, karena hubungan melalui orang yang berhak atas hadhanah.

وَيَنْقَسِمُ الْإِدْلَاءُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:

Hubungan melalui orang yang berhak ini terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: الْإِدْلَاءُ بِالْوِلَادَةِ، كَإِدْلَاءِ أُمِّ الْأُمِّ بِوِلَادَةِ الْأُمِّ، وَأُمِّ الْأَبِ بِوِلَادَةِ الْأَبِ، وَهَذَا أَقْوَى أَقْسَامِ الْإِدْلَاءِ.

Pertama: Hubungan melalui kelahiran, seperti hubungan nenek dari ibu melalui kelahiran ibu, dan nenek dari ayah melalui kelahiran ayah. Ini adalah bagian terkuat dari hubungan tersebut.

الْقِسْمُ الثَّانِي: الْإِدْلَاءُ بِالِانْتِسَابِ كَإِدْلَاءِ الأخوات بالأبوين، وإدلاء بناتهن بهن، وهذا يتلوا الْأَوَّلَ فِي الْقُوَّةِ.

Bagian kedua: Hubungan melalui nasab, seperti hubungan saudari seayah seibu, dan hubungan putri-putri mereka melalui mereka. Ini menempati urutan setelah yang pertama dalam hal kekuatan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: الْإِدْلَاءُ بِالْقُرْبَى كَإِدْلَاءِ الْخَالَةِ بِالْأُمِّ وَالْعَمَّةِ بِالْأَبِ.

Bagian ketiga: Hubungan melalui kekerabatan, seperti hubungan bibi dari pihak ibu melalui ibu, dan bibi dari pihak ayah melalui ayah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ قُوَّةِ الْأَسْبَابِ عَلَى التَّرْتِيبِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ كَانَ أَحَقَّ الْقُرَابَاتِ بِالْحَضَانَةِ الْأُمُّ لِاجْتِمَاعِ مَعَانِي الِاسْتِحْقَاقِ فِيهَا، وَأَنَّهَا أَكْثَرُهُنَّ إِشْفَاقًا وَحُنُوًّا ثُمَّ تَلِيهَا أُمُّهَا لِمُشَارَكَتِهَا فِي الْوِلَادَةِ وَأَنَّهَا بَعْضُ أُمِّهَا كَمَا كَانَ الْوَلَدُ بَعْضَهَا ثُمَّ أُمَّهَاتُهَا وَإِنْ بَعُدْنَ يَتَقَدَّمْنَ عَلَى أُمَّهَاتِ الْأَبِ، وَإِنْ قَرُبْنَ لِأَمْرَيْنِ:

Jika telah ditetapkan apa yang telah kami sebutkan tentang kekuatan sebab-sebab (kekerabatan) sesuai urutan yang telah kami kemukakan, maka kerabat yang paling berhak atas hadhanah adalah ibu, karena terkumpulnya berbagai makna hak dalam dirinya, dan karena ia adalah yang paling penuh kasih sayang dan kelembutan. Setelah itu, nenek dari pihak ibu, karena ia juga terlibat dalam kelahiran dan ia adalah bagian dari ibu, sebagaimana anak adalah bagian dari ibunya. Kemudian nenek-nenek dari pihak ibu, meskipun jauh, mereka didahulukan atas nenek-nenek dari pihak ayah, meskipun dekat, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوِلَادَةَ فِيهِنَّ مُتَحَقِّقَةٌ، وَفِي أُمَّهَاتِ الْأَبِ لِأَجْلِ الْأَبِ مَظْنُونَةٌ.

Pertama: Bahwa kelahiran pada nenek-nenek dari pihak ibu itu pasti, sedangkan pada nenek-nenek dari pihak ayah hanya diperkirakan karena ayah.

وَالثَّانِي: أَنَّهُنَّ أَقْوَى مِيرَاثًا مِنْ أُمَّهَاتِ الْأَبِ، لِأَنَّهُنَّ لَا يُسْقُطْنَ بِالْأَبِ وَتَسْقُطُ أُمَّهَاتُ الْأَبِ بِالْأُمِّ وَتَسْقُطُ مِنْ أُمَّهَاتِ الْأُمِّ مَنْ أَدْلَتْ بِأَبٍ بَيْنَ أُمَّيْنِ.

Kedua: Bahwa mereka (nenek dari pihak ibu) lebih kuat dalam hal warisan dibandingkan nenek dari pihak ayah, karena mereka tidak gugur (hak warisnya) dengan adanya ayah, sedangkan nenek dari pihak ayah gugur dengan adanya ibu, dan dari nenek-nenek dari pihak ibu, yang gugur adalah yang hubungan kekerabatannya melalui ayah di antara dua nenek.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا عُدِمَتْ أُمَّهَاتُ الْأُمِّ قُرْبًا وَبُعْدًا انْتَقَلَتِ الْحَضَانَةُ بَعْدَهُنَّ إِلَى أُمَّهَاتِ الْأَبِ، وَهَذَا مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ، وَمُقْتَضَى أُصُولِهِ، وَلَا وَجْهَ لِمَا حَكَاهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنْهُ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّهَا تَنْتَقِلُ بَعْدَ أُمَّهَاتِ الْأُمِّ إِلَى الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ لِإِدْلَائِهِنَّ بِالْأَبَوَيْنِ لِأَمْرَيْنِ:

Apabila para nenek dari pihak ibu, baik yang dekat maupun yang jauh, sudah tidak ada, maka hak hadhanah berpindah setelah mereka kepada para nenek dari pihak ayah. Inilah pendapat yang dinyatakan oleh Imam asy-Syafi‘i dan merupakan konsekuensi dari prinsip-prinsipnya. Tidak ada alasan bagi apa yang diriwayatkan sebagian sahabat kami darinya dalam pendapat lama, yaitu bahwa hak hadhanah setelah para nenek dari pihak ibu berpindah kepada saudari-saudari seayah-seibu, karena mereka memiliki hubungan melalui kedua orang tua, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوِلَادَةَ وَالْبَعْضِيَّةَ أَقْوَى وَلِثُبُوتِ مِيرَاثِهِنَّ مَعَ الْأَبْنَاءِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فأحق أمهات الأب بالحضانة أمه لمباشرته لولادته ثم أمهاتها وإن علوان مُقَدَّمَاتٌ عَلَى أُمِّ الْجَدِّ لِتَقْدِيمِ الْأَبِ عَلَى الْجَدِّ، فَكَانَ الْمُدْلِي بِالْأَبِ أَحَقَّ مِنَ الْمُدْلِي بِالْجَدِّ، فَإِذَا عُدِمَ أُمَّهَاتُ الْأَبِ فَأُمُّ الْجَدِّ ثُمَّ أُمَّهَاتُهَا وَإِنْ عَلَوْنَ ثُمَّ أُمُّ ابْنِ الْجَدِّ ثُمَّ أُمَّهَاتُهَا، وإن علوان ثم أم جد الجد أُمَّهَاتُهَا وَإِنْ عَلَوْنَ، ثُمَّ كَذَلِكَ فِي أُمَّهَاتِ مَنْ عَلَا مِنْ كُلِّ جَدٍّ وَلَا حَضَانَةَ فيهن لما أَدْلَتْ بِأَبٍ بَيْنَ أُمَّيْنِ، كَأُمِّ ابْنِ الْأُمِّ.

Pertama: karena kelahiran dan hubungan sebagian (nasab) lebih kuat, serta karena mereka mendapatkan warisan bersama anak-anak. Jika demikian, maka yang paling berhak dari nenek-nenek pihak ayah atas hadhanah adalah ibunya sendiri karena langsung melahirkan ayah, kemudian ibu-ibu mereka meskipun lebih jauh, mereka didahulukan atas nenek dari pihak kakek, karena ayah didahulukan atas kakek. Maka yang memiliki hubungan melalui ayah lebih berhak daripada yang melalui kakek. Jika para nenek dari pihak ayah tidak ada, maka hak itu berpindah kepada nenek dari pihak kakek, lalu ibu-ibu mereka meskipun lebih jauh, kemudian ibu dari anak kakek, lalu ibu-ibu mereka meskipun lebih jauh, kemudian ibu dari kakek dari pihak kakek, lalu ibu-ibu mereka meskipun lebih jauh, dan demikian pula pada ibu-ibu dari setiap kakek yang lebih atas. Tidak ada hak hadhanah bagi mereka yang memiliki hubungan melalui ayah di antara dua ibu, seperti ibu dari anak perempuan ibu.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَإِذَا عُدِمَ أُمَّهَاتُ انْتَقَلَتِ الْحَضَانَةُ إِلَى الْأَخَوَاتِ وَتَقَدَّمْنَ عَلَى الْخَالَاتِ وَالْعَمَّاتِ، لِأَنَّهُنَّ رَاكَضْنَ الْمَوْلُودَ فِي الرَّحِمِ، وَشَارَكْنَهُ فِي النَّسَبِ، فَتَكُونُ الْحَضَانَةُ لِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ لِلْأُخْتِ لِلْأَبِ ثُمَّ لِلْأُخْتِ لِلْأُمِّ.

Apabila para nenek sudah tidak ada, maka hak hadhanah berpindah kepada para saudari, dan mereka didahulukan atas para bibi dari pihak ibu maupun ayah, karena mereka telah bersama-sama dalam rahim dengan anak yang lahir dan memiliki kesamaan nasab. Maka hak hadhanah menjadi milik saudari seayah-seibu, kemudian saudari seayah, lalu saudari seibu.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ وَأَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: الْأُخْتُ لِلْأُمِّ مُقَدِّمَةٌ عَلَى الْأُخْتِ لِلْأَبِ، لِأَنَّ الْمُدْلِي بِالْأُمِّ أَحَقُّ مِنَ الْمُدْلِي بِالْأَبِ كَالْجَدَّاتِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ:

Al-Muzani dan Abu al-‘Abbas bin Suraij berkata: Saudari seibu didahulukan atas saudari seayah, karena yang memiliki hubungan melalui ibu lebih berhak daripada yang melalui ayah, sebagaimana pada para nenek. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah. Namun, ini adalah kesalahan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا: قُوَّتُهَا بِالْمِيرَاثِ وَتَعْصِيبِ الْبَنَاتِ مَعَ مُسَاوَاتِهَا فِي الْأُنُوثِيَّةِ.

Pertama: karena kekuatannya dalam warisan dan dalam menguatkan kedudukan anak perempuan, serta kesetaraannya dalam sifat keperempuanan.

وَالثَّانِي أَنَّهَا تَقُومُ فِي الْمِيرَاثِ مَقَامَ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ إِذَا عُدِمَتْ فَكَذَلِكَ فِي الْحَضَانَةِ، وَمَا اعْتَبَرُوهُ مِنْ إِدْلَاءِ الْأُخْتِ لِلْأُمِّ بِالْأُمِّ، فَالْقُوَّةُ بِالْمِيرَاثِ صِفَةٌ فِي نَفْسِهَا، فَكَانَ أَوْلَى فِي التَّرْجِيحِ مِنَ اعْتِبَارِ صِفَةٍ مِنْ غَيْرِهَا.

Kedua, bahwa dalam warisan, ia menempati posisi saudari seayah-seibu jika yang terakhir tidak ada, maka demikian pula dalam hadhanah. Adapun pertimbangan mereka bahwa saudari seibu memiliki hubungan melalui ibu, maka kekuatan dalam warisan adalah sifat yang melekat pada dirinya sendiri, sehingga lebih utama dijadikan dasar pertimbangan daripada mempertimbangkan sifat dari selain dirinya.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَإِذَا عُدِمَ الْأَخَوَاتُ انْتَقَلَتِ الْحَضَانَةُ إِلَى الْخَالَاتِ وَتَقَدَّمْنَ فِيهَا عَلَى الْعَمَّاتِ لِإِدْلَائِهِنَّ بِالْأُمِّ، وَإِدْلَاءُ الْعَمَّاتِ بِالْأَبِ مَعَ اسْتِوَائِهِنَّ فِي الدَّرَجَةِ وَعَدَمِ الْمِيرَاثِ فَتُقَدَّمُ الْخَالَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمُّ ثُمَّ الْخَالَةُ لِلْأَبِ ثُمَّ الْخَالَةُ لِلْأُمِّ، وَعَلَى قَوْلِ الْمُزَنِيِّ وَأَبِي الْعَبَّاسِ تُقَدَّمُ الْخَالَةُ لِلْأُمِّ عَلَى الْخَالَةِ لِلْأَبِ.

Apabila para saudari sudah tidak ada, maka hak hadhanah berpindah kepada para bibi dari pihak ibu, dan mereka didahulukan atas para bibi dari pihak ayah karena hubungan mereka melalui ibu, sedangkan para bibi dari pihak ayah memiliki hubungan melalui ayah. Padahal keduanya setara dalam derajat dan tidak mendapatkan warisan, maka didahulukan bibi dari pihak ibu yang seayah-seibu, kemudian bibi dari pihak ibu yang seayah, lalu bibi dari pihak ibu yang seibu. Menurut pendapat al-Muzani dan Abu al-‘Abbas, bibi dari pihak ibu yang seibu didahulukan atas bibi dari pihak ibu yang seayah.

وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَسْقَطَ حَضَانَةَ الْخَالَةِ لِلْأَبِ لِإِدْلَائِهَا بِأَبِي الْأُمِّ، وَالْأُنْثَى إِذَا أَدْلَتْ بِذَكَرٍ لَا يَرِثُ سَقَطَتْ حَضَانَتُهَا كَأُمِّ ابْنِ الْأُمِّ.

Sebagian sahabat kami menggugurkan hak hadhanah bibi dari pihak ibu yang seayah, karena hubungannya melalui ayah ibu, dan seorang perempuan jika memiliki hubungan melalui laki-laki yang tidak mewarisi, maka gugur hak hadhanahnya, seperti ibu dari anak perempuan ibu.

وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ لِمُسَاوَاتِهَا لِلْأُمِّ فِي دَرَجَتِهَا فَصَارَتْ مُدْلِيَةً بِنَفْسِهَا، وَخَالَفَتْ أُمَّ ابْنِ الْأُمِّ الْمُدْلِيَةَ بِغَيْرِهَا.

Namun, ini tidak benar, karena ia setara dengan ibu dalam derajatnya, sehingga ia menjadi memiliki hubungan langsung, berbeda dengan ibu dari anak perempuan ibu yang memiliki hubungan melalui selain dirinya.

فَإِذَا عُدِمَ الْخَالَاتُ انْتَقَلَتِ الْحَضَانَةُ بَعْدَهُنَّ إِلَى الْعَمَّاتِ لِإِدْلَائِهِنَّ لِأُخُوَّةِ الْأَبِ كَإِدْلَاءِ الْخَالَاتِ بِإِخْوَةِ الْأُمِّ فَتُقَدَّمُ الْعَمَّةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ الْعَمَّةُ لِلْأَبِ ثُمَّ الْعَمَّةُ لِلْأُمِّ، وَعَلَى قَوْلِ الْمُزَنِيِّ وَأَبِي الْعَبَّاسِ تُقَدَّمُ الْعَمَّةُ لِلْأُمِّ عَلَى الْعَمَّةِ لِلْأَبِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ قَوْلِهِمْ فِي الْأَخَوَاتِ.

Apabila para bibi dari pihak ibu sudah tidak ada, maka hak hadhanah setelah mereka berpindah kepada para bibi dari pihak ayah, karena hubungan mereka melalui persaudaraan ayah, sebagaimana hubungan para bibi dari pihak ibu melalui persaudaraan ibu. Maka didahulukan bibi dari pihak ayah yang seayah-seibu, kemudian bibi dari pihak ayah yang seayah, lalu bibi dari pihak ayah yang seibu. Menurut pendapat al-Muzani dan Abu al-‘Abbas, bibi dari pihak ayah yang seibu didahulukan atas bibi dari pihak ayah yang seayah, sebagaimana telah disebutkan dalam pendapat mereka tentang saudari-saudari.

(فَصْلٌ)

(Bagian)

فَإِذَا عُدِمَ الْخَالَاتُ وَالْعَمَّاتُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ فِي مُسْتَحِقَّ الْحَضَانَةِ بَعْدَهُنَّ لِانْتِهَائِهَا إِلَيْهِنَّ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apabila para bibi dari pihak ibu dan pihak ayah sudah tidak ada, maka para sahabat asy-Syafi‘i berbeda pendapat mengenai siapa yang berhak atas hadhanah setelah mereka, karena hak itu berakhir pada mereka, menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَنْتَقِلُ بَعْدَهُنَّ إِلَى بَنَاتِ الْأُخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ ثُمَّ إِلَى بَنَاتِ الْعَصِبَاتِ قُرْبًا فَقُرْبًا ثُمَّ بَنَاتِ الْخَالَاتِ وَالْعَمَّاتِ ثُمَّ إِلَى خَالَاتِ الْأَبَوَيْنِ عَلَى تَرْتِيبِ الْعَصِبَاتِ اعْتِبَارًا بِالْمِيرَاثِ.

Salah satu pendapat: Setelah mereka (kelompok sebelumnya), hak asuh berpindah kepada anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, kemudian kepada anak-anak perempuan dari para ‘ashabah secara berurutan sesuai kedekatan, lalu kepada anak-anak perempuan dari bibi dari pihak ibu dan bibi dari pihak ayah, kemudian kepada bibi-bibi dari kedua orang tua menurut urutan para ‘ashabah, dengan mempertimbangkan (urutan) dalam warisan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَنْتَقِلُ بَعْدَ الْخَالَاتِ وَالْعَمَّاتِ إِلَى خَالَاتِ الْأَبَوَيْنِ عَمَلًا عَلَى تَدْرِيجِ الْأُبُوَّةِ.

Pendapat kedua: Setelah bibi dari pihak ibu dan bibi dari pihak ayah, hak asuh berpindah kepada bibi-bibi dari kedua orang tua, berdasarkan urutan kekerabatan ayah.

فَإِذَا قِيلَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِنَّهَا تَنْتَقِلُ بَعْدَهُنَّ إِلَى بَنَاتِ الْأُخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ تُقَدَّمُ فِيهَا بَنَاتُ الْأَخَوَاتِ عَلَى بَنَاتِ الْإِخْوَةِ لِتَقَدُّمِ الْأَخَوَاتِ فِيهَا عَلَى الْإِخْوَةِ، فَتُقَدَّمُ فِيهَا بَنَاتُ الْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ بَنَتُ الْأُخْتِ لِلْأَبِ ثُمَّ بَنَتُ الأخت للأم على قَوْلِ ابْنِ سُرَيْجٍ تُقَدَّمُ بِنْتُ الْأُخْتِ لِلْأُمِّ عَلَى بِنْتِ الْأُخْتِ لِلْأَبِ ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُنَّ إلى بنات الإخوة فيقدم بِنْتُ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ بِنْتُ الْأَخِ للأب، ثم بنت الأخ للأم.

Jika mengikuti pendapat pertama bahwa setelah mereka hak asuh berpindah kepada anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka didahulukan anak-anak perempuan dari saudara perempuan atas anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, karena saudara perempuan lebih didahulukan daripada saudara laki-laki dalam hal ini. Maka didahulukan anak perempuan dari saudara perempuan seayah seibu, kemudian anak perempuan dari saudara perempuan seayah, lalu anak perempuan dari saudara perempuan seibu menurut pendapat Ibn Surayj, didahulukan anak perempuan dari saudara perempuan seibu atas anak perempuan dari saudara perempuan seayah. Setelah mereka, hak asuh berpindah kepada anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, didahulukan anak perempuan dari saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak perempuan dari saudara laki-laki seayah, lalu anak perempuan dari saudara laki-laki seibu.

وعلى قول ابن سريج على ما ذكرنا ثُمَّ تَنْتَقِلُ الْحَضَانَةُ بَعْدَهُنَّ إِلَى بَنَاتِ بَنِي الْإِخْوَةِ دُونَ بَنَاتِ بَنِي الْأَخَوَاتِ؛ لِأَنَّ بَنِي الْأُخْوَةِ عَصَبَةٌ يَرْثُونَ، وَبَنُو الْأَخَوَاتِ لَا يَرْثُونَ فتقدم الحصانة بِنْتَ ابْنِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، ثُمَّ لِبِنْتِ الأخ للأب، لأحضانة لِبِنْتِ ابْنِ الْأَخِ لِلْأُمِّ، لِأَنَّهَا تُدْلِي بِذَكَرٍ لَا يَرْثِ، ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُنَّ إِلَى بَنَاتِ الْأَعْمَامِ فَتُقَدَّمُ بِنْتُ الْعَمِّ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ بِنْتُ الْعَمِّ لِلْأَبِ، وَلَا حَضَانَةَ لِبِنْتِ الْعَمِّ لِلْأُمِّ لِإِدْلَائِهَا بِذَكَرٍ لَا يَرِثُ، ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَ بَنَاتِ الْعَصِبَاتِ إِلَى بَنَاتِ الْخَالَاتِ ثُمَّ بَنَاتِ الْعَمَّاتِ.

Menurut pendapat Ibn Surayj sebagaimana telah disebutkan, setelah mereka hak asuh berpindah kepada anak-anak perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki, bukan anak-anak perempuan dari anak laki-laki saudara perempuan; karena anak laki-laki dari saudara laki-laki adalah ‘ashabah yang berhak mewarisi, sedangkan anak laki-laki dari saudara perempuan tidak mewarisi. Maka didahulukan hak asuh kepada anak perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu, kemudian kepada anak perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah, lalu hak asuh kepada anak perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki seibu, karena ia berasal dari laki-laki yang tidak mewarisi. Setelah mereka, hak asuh berpindah kepada anak-anak perempuan dari paman, didahulukan anak perempuan dari paman seayah seibu, kemudian anak perempuan dari paman seayah, dan tidak ada hak asuh bagi anak perempuan dari paman seibu karena ia berasal dari laki-laki yang tidak mewarisi. Setelah anak-anak perempuan dari ‘ashabah, hak asuh berpindah kepada anak-anak perempuan dari bibi dari pihak ibu, lalu anak-anak perempuan dari bibi dari pihak ayah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَإِذَا قِيلَ بِالْوَجْهِ الثَّانِي: فِي انْتِقَالِهَا بَعْدَ الْخَالَاتِ وَالْعَمَّاتِ إِلَى خَالَاتِ الْأَبَوَيْنِ انْتَقَلَتِ الْحَضَانَةُ إِلَى خَالَاتِ الْأُمِّ يَتَرَتَّبْنَ فِيهَا تَرْتِيبَ الْخَالَاتِ الْمُفْتَرِقَاتِ، وَلَا حَضَانَةَ لِعَمَّاتِ الْأُمِّ لِإِدْلَائِهِنَّ بِأَبِي الْأُمِّ، وَهُوَ ذَكَرٌ لَا يَرِثُ، ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَ خَالَاتِ الْأُمِّ إِلَى خَالَاتِ الْأَبِ ثُمَّ إِلَى عَمَّاتِهِ ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَ خَالَاتِ الْأَبِ وَعَمَّاتِهِ إِلَى خَالَاتِ أُمِّ الْأُمِّ دُونَ عَمَّاتِهَا، ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُنَّ إِلَى خَالَاتِ الْجَدِّ ثُمَّ إِلَى عَمَّاتِهِ، ثُمَّ تَسْتَعْلِي كَذَلِكَ إِلَى دَرَجَةٍ بَعْدَ دَرَجَةٍ، وَلَا تَسْتَوْعِبُ عَمُودَ الْأُمَّهَاتِ كَمَا اسْتَوْعَبَتْ أُمَّهَاتِ الْأُمَّهَاتِ؛ لِأَنَّ الْبُعْدَ مِنْ أُمَّهَاتِ الْأُمِّ وَارِثَةٌ كَالْقُرْبَى، فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِي حَضَانَتِهِنَّ قُرْبُ الدَّرَجِ، وَالْخَالَاتُ وَالْعَمَّاتُ بِخِلَافِهِنَّ لِأَنَّهُنَّ لَا يَرِثْنَ، فَاعْتُبِرَ فِيهِنَّ قُرْبُ الدَّرَجِ، فَإِذَا عُدِمَ خَالَاتُ الْأُمَّهَاتِ وَخَالَاتُ الْآبَاءِ وَعَمَّاتُهُ انْتَقَلَتِ الْحَضَانَةُ بَعْدَهُنَّ إِلَى بَنَاتِ الْأَخَوَاتِ ثُمَّ إِلَى بَنَاتِ بَنَاتِ الْأُخْوَةِ ثُمَّ إِلَى بَنَاتِ الْعَصَبَةِ ثُمَّ إِلَى بَنَاتِ الْخَالَاتِ، ثُمَّ إِلَى بَنَاتِ الْعَمَّاتِ عَلَى مَا بَيَّنَاهُ فِي الْوَجْهِ الْأَوَّلِ.

Jika mengikuti pendapat kedua, bahwa setelah bibi dari pihak ibu dan bibi dari pihak ayah hak asuh berpindah kepada bibi-bibi dari kedua orang tua, maka hak asuh berpindah kepada bibi-bibi dari pihak ibu, yang diurutkan sebagaimana urutan bibi-bibi yang berbeda-beda. Tidak ada hak asuh bagi bibi-bibi dari pihak ibu dari ibu, karena mereka berasal dari ayah ibu, yaitu laki-laki yang tidak mewarisi. Setelah bibi-bibi dari pihak ibu, hak asuh berpindah kepada bibi-bibi dari pihak ayah, lalu kepada bibi-bibi dari pihak ayahnya, kemudian setelah bibi-bibi dari pihak ayah dan bibi-bibi dari pihak ayahnya, hak asuh berpindah kepada bibi-bibi dari ibu dari pihak ibu tanpa bibi-bibi dari pihak ayahnya, lalu setelah mereka kepada bibi-bibi dari kakek, kemudian kepada bibi-bibi dari pihak ayahnya, lalu naik seterusnya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Tidak mencakup seluruh garis keturunan ibu sebagaimana mencakup ibu-ibu dari pihak ibu, karena jauhnya hubungan dari ibu-ibu pihak ibu tetap mewarisi sebagaimana yang dekat, sehingga dalam hak asuh mereka tidak dipertimbangkan kedekatan tingkatan. Adapun bibi-bibi dari pihak ibu dan bibi-bibi dari pihak ayah berbeda dengan mereka, karena mereka tidak mewarisi, sehingga dipertimbangkan kedekatan tingkatan. Jika tidak ada bibi-bibi dari pihak ibu, bibi-bibi dari pihak ayah, dan bibi-bibi dari pihak ayahnya, maka hak asuh setelah mereka berpindah kepada anak-anak perempuan dari saudara perempuan, kemudian kepada anak-anak perempuan dari anak-anak perempuan saudara laki-laki, lalu kepada anak-anak perempuan dari ‘ashabah, kemudian kepada anak-anak perempuan dari bibi dari pihak ibu, lalu kepada anak-anak perempuan dari bibi dari pihak ayah, sebagaimana telah dijelaskan pada pendapat pertama.

وَإِذَا اسْتَوْضَحْتَ مَا قَرَّرْتُهُ مِنْ هَذِهِ الْأُصُولِ صَحَّ لَكَ التَّفْرِيعُ عَلَيْهَا عِنْدَ اجْتِمَاعِ الْقُرَابَاتِ الْمُخْتَلِفَةِ الْجِهَاتِ، وَسَنَذْكُرُ تَفَرُّدَ الرَّجُلِ بِهَا، وَاشْتِرَاكَهُمْ مَعَ النِّسَاءِ فِيهَا مِنْ بَعْدُ وبالله التوفيق.

Jika engkau telah memahami apa yang telah aku tetapkan dari prinsip-prinsip ini, maka akan sah bagimu untuk merinci berdasarkan prinsip-prinsip tersebut ketika terdapat pertemuan kekerabatan dari berbagai arah. Kami akan sebutkan tentang kekhususan laki-laki dalam hal ini, dan keterlibatan mereka bersama perempuan setelahnya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا وِلَايَةَ لِأُمِّ أَبِي الْأُمِّ لِأَنَّ قَرَابَتَهَا بِأَبٍ لَا بِأُمٍّ فَقَرَابَةُ الصَّبِيِّ مِنَ النِّسَاءِ أَوْلَى “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tidak ada kewalian bagi nenek dari pihak ayah ibu, karena kekerabatannya melalui ayah, bukan melalui ibu. Maka kekerabatan anak dengan perempuan lebih utama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ كُلُّ ذكر لها يَرِثُ فَلَا حَضَانَةَ لَهُ، لِأَنَّهُ عُدِمَ آلَةَ التَّرْبِيَةِ مِنَ الْأُنُوثِيَّةِ وَفَقَدَ قُوَّةَ النَّسَبِ لِسُقُوطِ للميراث فَجَرَى مَجْرَى الْأَجَانِبِ فَمِنْهُمْ أَبُو الْأُمِّ وَلَا حَضَانَةَ لَهُ وَكَذَلِكَ الْخَالُ وَالْعَمُّ لِلْأُمِّ، وَبَنُو الْخَالَاتِ وَالْعَمَّاتِ وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لِهَؤُلَاءِ وَمَنْ جَرَى مَجْرَاهُمْ حَضَانَةٌ، فَلَا حَضَانَةَ لِبَنَاتِهِمْ لِإِدْلَائِهِنَّ بِمَنْ لَا يَسْتَحِقُّهَا، فَصِرْنَ فِيهِ أَضْعَفَ مِنْهُ فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ إِذَا سَقَطَتْ حَضَانَةُ الْكَافِرَةِ وَالْفَاسِقَةِ وَذَاتِ الزَّوْجِ لَمْ تَسْقُطْ حَضَانَةُ بَنَاتِهِنَّ، وَإِنْ أَدْلَيْنَ بِمَنْ لَا يَسْتَحِقُّهَا، فَهَلَّا كَانَتِ الْمُدْلِيَةُ بِذَكَرٍ لَا يَرِثُ فِي اسْتِحْقَاقِهَا، كَذَلِكَ.

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana pernyataan bahwa setiap laki-laki kerabat ibu yang berhak mewarisi, maka tidak berhak atas hadhanah, karena ia tidak memiliki alat (sifat) keibuan untuk mengasuh dan telah kehilangan kekuatan nasab karena gugurnya hak waris, sehingga kedudukannya seperti orang asing. Di antara mereka adalah kakek dari pihak ibu, maka ia tidak berhak atas hadhanah, demikian pula paman dari pihak ibu, anak-anak perempuan dari bibi dan paman ibu. Jika mereka dan yang sejenis dengan mereka tidak berhak atas hadhanah, maka anak-anak perempuan mereka pun tidak berhak atas hadhanah, karena mereka mendapatkan hak itu melalui orang yang tidak berhak, sehingga kedudukan mereka lebih lemah dari orang yang mereka sandari. Jika dikatakan: Bukankah ketika hadhanah perempuan kafir, fasik, dan yang bersuami gugur, hadhanah anak-anak perempuan mereka tidak gugur, meskipun mereka mendapatkan hak itu melalui orang yang tidak berhak? Mengapa perempuan yang mendapatkan hak melalui laki-laki yang tidak berhak mewarisi tidak diperlakukan sama dalam hal berhak atas hadhanah?

قِيلَ: لِأَنَّ سُقُوطَ الْحَضَانَةِ بِالْكُفْرِ وَالرِّقِّ وَالْفِسْقِ لِعَارِضِ نَقْصٍ مَعَ وُجُودِ السَّبَبِ الَّذِي تَسْتَحِقُّ بِهِ الْحَضَانَةَ، وَقَدْ يَزُولُ فَتَسْتَحِقُّ الْحَضَانَةَ وَلَيْسَ كَمَنْ ذَكَرْنَا مِنَ الذُّكُورِ الَّذِينَ لَا يَرْثُونَ لِأَنَّهُمْ سَقَطُوا لِعَدَمِ النَّسَبِ لَا لِنَقْصِ عِرْضٍ فَافْتَرَقُوا فَعَلَى هَذَا فَلَا حَضَانَةَ لِأُمِّ أَبِي الْأُمِّ وَلَا لِأُمَّهَاتِ آبَائِهِ وَأُمَّهَاتِهِ، وَكَذَلِكَ كُلُّ جَدَّةٍ بَيْنَهَا وَبَيْنَ أَحَدِ الْأَبَوَيْنِ أَبٌ بَيْنَ أُمَّيْنِ.

Dijawab: Karena gugurnya hadhanah karena kekufuran, perbudakan, dan kefasikan adalah karena adanya faktor penghalang yang bersifat sementara, sementara sebab yang membuatnya berhak atas hadhanah masih ada, dan bisa saja penghalang itu hilang sehingga ia kembali berhak atas hadhanah. Ini berbeda dengan laki-laki yang tidak berhak mewarisi, karena mereka gugur haknya karena tidak adanya hubungan nasab, bukan karena kekurangan yang bersifat sementara. Oleh karena itu, tidak ada hak hadhanah bagi nenek dari pihak ayah ibu, juga tidak bagi nenek-nenek dari pihak ayah dan ibu, demikian pula setiap nenek yang di antara dirinya dan salah satu orang tua terdapat ayah di antara dua ibu.

فَإِنِ انْفَرَدَ مَنْ لَا يَسْتَحِقُّ الْحَضَانَةَ مِنَ الْقَرَابَاتِ عَنْ مُسْتَحِقِّهَا فَهَلْ يُسَاوِينَ الْأَجَانِبَ فِيهَا، وَيَصِرْنَ أَحَقَّ بِهَا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Jika yang tersisa dari kerabat hanyalah mereka yang tidak berhak atas hadhanah, apakah mereka sama kedudukannya dengan orang asing dalam hal ini, ataukah mereka lebih berhak atas hadhanah sebagaimana dua pendapat yang telah kami sebutkan:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُنَّ وَالْأَجَانِبَ فِيهَا سَوَاءٌ، فَإِنْ قَدِمُوا مِنْ طَرِيقِ الْأَوْلَى دُونَ الِاسْتِحْقَاقِ.

Pendapat pertama: Mereka dan orang asing sama kedudukannya, sehingga jika mereka datang dari jalur yang lebih utama tanpa hak, maka tidak diutamakan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمْ يَسْتَحِقُّونَهَا بَعْدَ عَدَمِ مُسْتَحِقِّهَا لِتَمَيُّزِهِمْ بِقَرَابَةٍ بَانُوا بِهَا جَمِيعَ الْأَجَانِبِ فَعَلَى هَذَا لَوِ اجْتَمَعَ فِيهَا الذُّكُورُ، وَمَنْ أَدْلَى بِهِمْ مِنَ الْإِنَاثِ فَفِي أَحَقِّهِمْ بِهَا وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: Mereka berhak atas hadhanah setelah tidak adanya yang berhak, karena mereka memiliki keistimewaan berupa kekerabatan yang membedakan mereka dari seluruh orang asing. Berdasarkan ini, jika berkumpul dalam masalah ini laki-laki dan perempuan yang mendapatkan hak melalui mereka, maka dalam hal siapa yang lebih berhak atas hadhanah terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الذُّكُورَ أَحَقُّ بِهَا لِقُرْبِهِمْ مِمَّنْ أَدْلَى بِهِمْ لِبُعْدِهِمْ فَيَكُونُ أَبُو الْأُمِّ أَحَقَّ بِالْحَضَانَةِ مِنْ أُمِّهِ. وَالْخَالُ أَحَقَّ بِهَا مِنْ بِنْتِهِ.

Pendapat pertama: Laki-laki lebih berhak atas hadhanah karena mereka lebih dekat dengan orang yang menjadi sandaran hak, sedangkan perempuan lebih jauh. Maka kakek dari pihak ibu lebih berhak atas hadhanah daripada ibunya, dan paman dari pihak ibu lebih berhak daripada anak perempuannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْإِنَاثَ مَعَ بَعْدَهُنَّ أَحَقُّ بِهِمَا مِمَّنْ أَدْلَيْنَ بِهِ مِنَ الذُّكُورِ مع قربهم لاختصاصهن بالأنثوية الَّتِي هِيَ آلَةُ التَّرْبِيَةِ، وَمَقْصُودُ الْحَضَانَةِ فَتَكُونُ أُمُّ أَبِي الْأُمِّ أَحَقَّ مِنْ أَبِيهَا، وَبِنْتُ الْخَالِ أَحَقَّ بِهَا مِنَ الْخَالِ.

Pendapat kedua: Perempuan, meskipun lebih jauh, lebih berhak atas hadhanah daripada laki-laki yang menjadi sandaran hak mereka, karena mereka memiliki sifat keibuan yang merupakan alat pengasuhan dan tujuan utama dari hadhanah. Maka nenek dari pihak ayah ibu lebih berhak daripada ayahnya, dan anak perempuan dari paman ibu lebih berhak daripada pamannya.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا انْفَرَدَ الذُّكُورُ مِنْهُمْ عَنِ الْإِنَاثِ، وَتَنَازَعَ الْحَضَانَةَ مِنْهُمُ اثْنَانِ نُظِرَ فِيهَا فَإِنْ كَانَ لِأَحَدِهِمَا وِلَادَةٌ كَأَبِي الْأُمِّ وَالْخَالِ كَانَتِ الْحَضَانَةُ لِمَنِ اخْتُصَّ مِنْهُمَا بِالْوِلَادَةِ فَتَكُونُ لِأَبِي الْأُمِّ دُونَ الْخَالِ لِبَعْضِيَّتِهِ، وَأُجْرَى حُكْمُ الْأُبُوَّةِ عَلَيْهِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنْهُ وَعِتْقِهِ عَلَيْهِ إِذَا مَلَكَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا وِلَادَةٌ كَالْخَالِ وَالْعَمِّ مِنَ الْأُمِّ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Jika yang tersisa hanyalah laki-laki dari kerabat tanpa perempuan, lalu dua orang dari mereka berselisih dalam hal hadhanah, maka dilihat: jika salah satu dari mereka memiliki hubungan kelahiran seperti kakek dari pihak ibu dan paman dari pihak ibu, maka hadhanah diberikan kepada yang memiliki hubungan kelahiran, yaitu kakek dari pihak ibu, bukan paman dari pihak ibu, karena adanya hubungan bagian (nasab). Hukum kebapakan juga berlaku padanya dalam hal gugurnya qishash darinya dan pembebasan budak jika ia memilikinya. Jika tidak ada hubungan kelahiran seperti paman dari pihak ibu dan paman dari pihak ibu yang lain, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ، فَيَتَقَرَّعُ بَيْنَهُمَا فِيهَا وَلَا اعْتِبَارَ بِمَنْ أَدْلَيَا بِهِ لِتَسَاوِيهِمَا فِي سُقُوطِ الْحَضَانَةِ مَعَ وُجُودِ مُسْتَحِقِّهَا.

Pendapat pertama: Keduanya sama kedudukannya, sehingga dilakukan undian di antara mereka, dan tidak dianggap siapa yang menjadi sandaran hak mereka, karena keduanya sama-sama gugur hak hadhanahnya meskipun ada yang berhak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَشْبَهُ أَنَّهُ يَسْتَحِقُّهَا مِنْهُمَا مَنْ قَوِيَ بِسَبَبِ إِدْلَائِهِ، فَيَكُونُ الْخَالُ لِإِدْلَائِهِ بِالْأُمِّ أَحَقَّ بِهَا مِنَ الْعَمِّ لِلْأُمِّ لِإِدْلَائِهِ بِالْأَبِ الَّذِي تَقَدَّمَ عَلَيْهِ الْأُمُّ، وَلَوْ كَانَ ابْنَ أَخٍ لِأُمِّ وَعَمٍّ لِأُمٍّ، كَانَ الْعَمُّ لِلْأُمِّ أَحَقَّ بِهَا مِنَ ابْنِ الْأَخِ لِلْأُمِّ لِإِدْلَائِهِ لِأُمِّ الْأَبِ الَّتِي هِيَ أَحَقُّ بِالْحَضَانَةِ مِنَ الْأَخِ لِلْأُمِّ، وَهَكَذَا لَوِ انْفَرَدَ النِّسَاءُ مِنْهُمْ عَنِ الذُّكُورِ، وَتَنَازَعَهَا مِنْهُنَّ اثْنَتَانِ وَكَانَتْ فِي إِحْدَاهُمَا وِلَادَةٌ لَيْسَتْ فِي الْأُخْرَى كَأُمِّ أَبِي الْأُمِّ مَعَ بِنْتِ الْخَالِ كَانَتْ أُمُّ أَبِي الْأُمِّ أَحَقَّ بِهَا لِأَجْلِ الْوِلَادَةِ مِنْ بِنْتِ الْخَالِ.

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah bahwa yang paling berhak di antara mereka adalah yang lebih kuat sebab hubungannya. Maka, paman dari pihak ibu (khāl) karena hubungannya melalui ibu, lebih berhak atasnya daripada paman dari pihak ibu (ʿamm li-l-umm) yang hubungannya melalui ayah, di mana ibu lebih didahulukan daripada ayah. Jika yang bersaing adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan paman dari pihak ibu, maka paman dari pihak ibu lebih berhak atasnya daripada anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, karena hubungannya melalui ibu dari ayah, yang lebih berhak atas hadhanah daripada saudara laki-laki seibu. Demikian pula jika yang bersaing hanya perempuan saja tanpa laki-laki, dan dua perempuan berselisih, lalu salah satunya memiliki hubungan kelahiran yang tidak dimiliki yang lain, seperti nenek dari pihak ayah ibu dengan anak perempuan dari paman ibu, maka nenek dari pihak ayah ibu lebih berhak atasnya karena hubungan kelahiran daripada anak perempuan dari paman ibu.

وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا وِلَادَةٌ كَبِنْتِ الْخَالِ وَبِنْتِ الْعَمِّ لِلْأُمِّ كَانَ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ:

Dan jika tidak ada hubungan kelahiran, seperti anak perempuan dari paman ibu dan anak perempuan dari paman ayah ibu, maka kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya:

وَلَكِنْ لَوْ تَنَازَعَ فِيهَا مِنْهُنَّ أُنْثَى وَذَكَرٌ، وَلَيْسَ يُدْلِي وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِالْآخَرِ كَانَتِ الْأُنْثَى أَحَقَّ بِهَا مِنَ الذَّكَرِ وَجْهًا وَاحِدًا لِاخْتِصَاصِهَا بِآلَةِ التَّرْبِيَةِ مَا لَمْ يَكُنْ فِي الذَّكَرِ وِلَادَةٌ سَوَاءٌ قَرُبَتْ أَوْ بَعُدَتْ.

Namun, jika yang berselisih adalah seorang perempuan dan seorang laki-laki dari mereka, dan tidak ada satu pun dari keduanya yang memiliki hubungan melalui yang lain, maka perempuan lebih berhak atasnya daripada laki-laki menurut satu pendapat, karena kekhususannya dalam alat pengasuhan, selama laki-laki tersebut tidak memiliki hubungan kelahiran, baik dekat maupun jauh.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا حَقَّ لِأَحَدٍ مَعَ الْأَبِ غَيْرَ الْأُمِّ وأمهاتها فأما أخواته وغيرهين فَإِنَّمَا حُقُوقُهُنَّ بِالْأَبِ فَلَا يَكُونُ لَهُنَّ حَقٌّ مَعَهُ وَهُنَّ يُدْلِينَ بِهِ “.

Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak ada hak bagi siapa pun bersama ayah selain ibu dan nenek-neneknya. Adapun saudara-saudara perempuannya dan selain mereka, maka hak mereka hanyalah melalui ayah, sehingga mereka tidak memiliki hak bersamanya, karena mereka berhubungan dengannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ اجْتِمَاعُ الرِّجَالِ مَعَ النِّسَاءِ فِي الْحَضَانَةِ بَعْدَ أَنْ قَدَّمَ انْفِرَادَ النِّسَاءِ بِهَا، وَالْأَوْلَى أَنْ يُقَدِّمَ الرِّجَالَ بِهَا عَلَى النِّسَاءِ كَمَا قَدَّمَ انْفِرَادَ النِّسَاءِ بِهَا عَلَى الرِّجَالِ لِيَكُونَ حُكْمُ اجْتِمَاعِهِمَا مَبْنِيًّا عَلَى مَا اسْتَقَرَّ مِنْ حُكْمِ انْفِرَادِهِمَا.

Al-Māwardī berkata: Asy-Syafi‘i dalam masalah ini menyebutkan berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam hadhanah setelah sebelumnya mendahulukan perempuan secara sendiri. Yang lebih utama adalah mendahulukan laki-laki atas perempuan, sebagaimana beliau mendahulukan perempuan secara sendiri atas laki-laki, agar hukum berkumpulnya keduanya dibangun di atas hukum yang telah ditetapkan dari keadaan masing-masing secara sendiri.

فَإِذَا اجْتَمَعَ الرِّجَالُ مِنْ أَقَارِبِ الْمَوْلُودِ يَتَنَازَعُونَ حَضَانَتَهُ، مُنْفَرِدِينَ عَنِ النِّسَاءِ فَلَا حَقَّ فِيهَا لِمَنْ كَانَ مِنْهُمْ غَيْرَ وَارِثٍ لِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ ضَعْفِ قِسْمِهِمْ لِسُقُوطِ مِيرَاثِهِمْ وَتَمَيُّزِهِمْ عَمَّنْ لَا يَرِثُ من النساء بعد الْأُنُوثِيَّةِ الَّتِي هِيَ السَّبَبُ الْأَقْوَى فِي اسْتِحْقَاقِ الْحَضَانَةِ وَإِذَا اخْتَصَّتْ بِالْوَرَثَةِ مِنَ الذُّكُورِ لِمَنْ يستحقها من قبل الأم إلا واحد، وَهُوَ الْأَخُ لِلْأُمِّ، لِأَنَّهُ لَا يَرْثِ مِنْ جِهَتِهَا ذَكَرٌ سِوَاهُ، وَكَثُرَ مُسْتَحِقُّوهَا مِنْ جِهَةِ الْأَبِ لِكَثْرَةِ الْوَرَثَةِ مِنْهُمْ، وَلَا يَرْثِ مِنْهُمْ إِلَّا عَصَبَةٌ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَحَقُّ الذُّكُورِ بِالْحَضَانَةِ مِنَ الْوَرَثَةِ الْأَبُ، لِاخْتِصَاصِهِ بِمُبَاشَرَةِ الْوِلَادَةِ وَتَمَيُّزِهِ بِفَضْلِ الْحُنُوِّ وَالشَّفَقَةِ، ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُ إِلَى آبَائِهِ الَّذِينَ وَلَدُوهُ، وَيَتَقَدَّمُ بِهَا الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ، وَيَكُونُ أَبْعَدُ الْآبَاءِ دَرَجَةً أَحَقَّ بِهَا مِنَ الْإِخْوَةِ، وَإِنْ قَرُبُوا، فَإِذَا عُدِمَ الْأَجْدَادُ انْتَقَلَتْ بَعْدَهُمْ إِلَى الْإِخْوَةِ فَيُقَدَّمُ الْأَخُ لِلْأَبِ والأم ثم الأخ ثُمَّ الْأَخُ لِلْأُمِّ، وَعَلَى قِيَاسِ قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّ الْأَخَ لِلْأُمِّ يُقَدَّمُ عَلَى الْأَخِ لِلْأَبِ.

Apabila para laki-laki dari kerabat anak yang lahir berkumpul dan berselisih dalam hadhanahnya, tanpa ada perempuan, maka tidak ada hak bagi siapa pun dari mereka yang bukan ahli waris, sebagaimana telah kami sebutkan tentang lemahnya bagian mereka karena gugurnya warisan mereka dan perbedaan mereka dengan perempuan yang tidak mewarisi, setelah keperempuanan yang merupakan sebab terkuat dalam berhak atas hadhanah. Jika hadhanah itu khusus bagi ahli waris laki-laki dari pihak ibu, maka yang berhak hanyalah satu, yaitu saudara laki-laki seibu, karena tidak ada laki-laki lain yang mewarisi dari jalur tersebut selain dia. Sedangkan dari pihak ayah, yang berhak lebih banyak karena banyaknya ahli waris dari pihak mereka, dan yang mewarisi dari mereka hanyalah ‘aṣabah. Dengan demikian, laki-laki yang paling berhak atas hadhanah dari ahli waris adalah ayah, karena kekhususannya dalam langsung melahirkan dan keistimewaannya dalam kasih sayang dan kelembutan. Setelah itu, berpindah kepada ayah-ayahnya yang menurunkannya, dan yang lebih dekat lebih didahulukan. Ayah yang lebih jauh derajatnya lebih berhak daripada saudara-saudara, meskipun mereka lebih dekat. Jika kakek-kakek tidak ada, maka berpindah setelah mereka kepada saudara-saudara, didahulukan saudara seayah dan seibu, kemudian saudara seayah, kemudian saudara seibu. Menurut qiyās pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, saudara seibu didahulukan atas saudara seayah.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا عُدِمَ الْإِخْوَةُ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَنْ يَسْتَحِقُّهَا بَعْدَهُمْ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika saudara-saudara tidak ada, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang siapa yang berhak setelah mereka, menjadi dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَنْتَقِلُ إِلَى بَنِي الْإِخْوَةِ، وَيَتَقَدَّمُونَ بِهَا عَلَى الْأَعْمَامِ لِقُوَّةِ تَعَصُّبِهِمْ فِي حَجْبِ الْأَعْمَامِ عَنِ الْمِيرَاثِ فَيَتَقَدَّمُ بِهَا ابْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ ابْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ ولاحق فِيهَا لِابْنِ الْأَخِ لِلْأُمِّ، لِأَنَّهُ غَيْرُ وَارِثٍ ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُمْ إِلَى أَوْلَادِهِمَا وَإِنْ سَفَلُوا ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُمْ إِلَى الْأَعْمَامِ فَيَتَقَدَّمُ بِهَا الْعَمُّ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ لِلْعَمِّ لِلْأُمِّ، لِأَنَّهُ لَا يَرِثُ ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَهَا إِلَى أَوْلَادِهَا وَإِنْ جَعَلُوا يَتَقَدَّمُونَ بِهَا عَلَى أَعْمَامَ الْأَبِ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُمْ إِلَى بَنِي الْأَعْمَامِ.

Salah satu pendapat: hak tersebut berpindah kepada anak-anak saudara laki-laki, dan mereka didahulukan atas para paman karena kuatnya hubungan ‘ashabah mereka dalam menghalangi para paman dari warisan. Maka yang didahulukan adalah anak saudara laki-laki seayah dan seibu, kemudian anak saudara laki-laki seayah, dan tidak ada bagian di dalamnya untuk anak saudara laki-laki seibu, karena ia bukan ahli waris. Setelah mereka, hak tersebut berpindah kepada anak-anak mereka, meskipun keturunannya jauh. Setelah itu, hak tersebut berpindah kepada para paman, dan yang didahulukan adalah paman seayah dan seibu atas paman seibu, karena paman seibu tidak mewarisi. Setelah itu, hak tersebut berpindah kepada anak-anak mereka, meskipun keturunannya jauh. Mereka didahulukan atas paman-paman dari pihak ayah. Setelah mereka, hak tersebut berpindah kepada anak-anak paman.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَنْتَقِلُ بَعْدَ الْإِخْوَةِ إِلَى الْأَعْمَامِ دُونَ بَنِي الْأُخْوَةِ لِقُوَّتِهِمْ فِي الدَّرَجَةِ عَلَى غَيْرِ الْأُخْوَةِ فَإِذَا عُدِمَ الْأَعْمَامُ انْتَقَلَتْ إِلَى بَنِي الْإِخْوَةِ وَإِنْ سَفَلُوا دُونَ بَنِي الْأَعْمَامِ، وَإِنْ قَرُبُوا عَلَى الْوَجْهَيْنِ مَعًا لِاخْتِصَاصِ بَنِي الْإِخْوَةِ بِالْمَحْرَمِ دُونَ بَنِي الْأَعْمَامِ يَتَقَدَّمُونَ بِهَا وَإِنْ سَفَلُوا عَلَى أَعْمَامِ الْأَبِ فَإِذَا عُدِمَ بَنُو الْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ فَفِي مُسْتَحِقِّ الْحَضَانَةِ بَعْدَهُمْ وَجْهَانِ:

Pendapat kedua: hak tersebut berpindah setelah saudara laki-laki kepada para paman tanpa melalui anak-anak saudara laki-laki, karena para paman lebih kuat derajatnya dibanding selain saudara laki-laki. Jika tidak ada paman, maka hak tersebut berpindah kepada anak-anak saudara laki-laki, meskipun keturunannya jauh, tanpa melalui anak-anak paman, meskipun mereka lebih dekat, menurut kedua pendapat sekaligus, karena kekhususan anak-anak saudara laki-laki sebagai mahram, tidak seperti anak-anak paman. Mereka didahulukan, meskipun keturunannya jauh, atas paman-paman dari pihak ayah. Jika tidak ada anak-anak saudara laki-laki dan para paman, maka mengenai siapa yang berhak atas hadhanah setelah mereka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَنْتَقِلُ بَعْدَهُمْ إِلَى بَنِي الْأَعْمَامِ إِذَا قِيلَ يَتَقَدَّمُ بِهَا بَنُو الْإِخْوَةِ وَإِنْ سَفَلُوا عَلَى الْعَمِّ ثُمَّ يَنْتَقِلُ بَعْدَهُمْ إِلَى عَمِّ الْأَبِ.

Salah satunya: hak tersebut berpindah setelah mereka kepada anak-anak paman, jika dikatakan bahwa anak-anak saudara laki-laki, meskipun keturunannya jauh, didahulukan atas paman, kemudian setelah mereka berpindah kepada paman dari pihak ayah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَنْتَقِلُ إِلَى عَمِّ الْأَبِ يَتَقَدَّمُ بِهَا عَلَى بَنِي الْعَمِّ إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْعَمَّ مُقَدَّمٌ بِهَا عَلَى بَنِي الْإِخْوَةِ فَإِذَا عُدِمَ عَمُّ الْأَبِ انْتَقَلَتْ بَعْدَهُ إِلَى بَنِي الْعَمِّ يَتَقَدَّمُونَ بِهَا وَإِنْ سَفَلُوا عَلَى بَنِي الْعَمِّ، وَإِنْ قَرُبُوا لِاخْتِصَاصِهِمْ بِالْقُرْبِ وَتَسَاوِيهِمْ فِي عَدَمِ الْمَحْرَمِ ثُمَّ عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ فِي بَنِي أَبٍ بَعْدَ أَبٍ فَإِذَا عُدِمَ جَمِيعُ الْعَصَبَاتِ لَمْ يَكُنْ لِلْمَوْلَى الْمُعْتَقِ فِيهَا حَقٌّ، لِأَنَّهُ قَدْ أَسْقَطَ بِالْعِتْقِ حَقَّ نَفْسِهِ عَنِ الْمُعْتِقِ فَسَقَطَتْ حَضَانَتُهُ فَإِنْ كَانَ لِلْمَوْلَى الْمُعْتَقِ نَسَبٌ هُوَ أَبْعَدُ مَنْ نَسَبِ مَنْ حَضَرَ، فَهَلْ يَتَرَجَّحُ بِوِلَايَةِ مَنْ بَعْدِهِ عَلَى مَنْ هُوَ أَقْرَبُ مِنْهُ كَعَمٍّ وَعَمِّ أَبٍ مُعْتَقٍ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: hak tersebut berpindah kepada paman dari pihak ayah, yang didahulukan atas anak-anak paman, jika dikatakan bahwa paman didahulukan atas anak-anak saudara laki-laki. Jika tidak ada paman dari pihak ayah, maka setelahnya berpindah kepada anak-anak paman, yang didahulukan, meskipun keturunannya jauh, atas anak-anak paman yang lebih dekat, karena kekhususan mereka dalam hal kedekatan dan kesetaraan dalam tidak adanya mahram. Kemudian urutan ini berlaku pada anak-anak ayah setelah ayah. Jika seluruh ‘ashabah tidak ada, maka tidak ada hak bagi maula mu‘taq dalam hal ini, karena dengan pembebasan budak, ia telah menggugurkan hak dirinya atas mu‘taq, sehingga gugur pula hak hadhanahnya. Jika maula mu‘taq memiliki nasab yang lebih jauh dari nasab orang yang hadir, maka apakah ia lebih diutamakan karena wilayahnya setelahnya atas yang lebih dekat darinya, seperti paman dan paman dari pihak ayah yang merupakan mu‘taq, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَتَقَدَّمُ بِهِ وَإِنْ بَعُدَ لِجَمْعِهِ بَيْنَ شَيْئَيْنِ يَجْرِي عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمُ التعصب فَتَكُونُ الْحَضَانَةُ لِعَمِّ الْأَبِ لِوَلَائِهِ دُونَ الْعَمِّ.

Salah satunya: ia didahulukan, meskipun lebih jauh, karena menggabungkan dua hal yang masing-masing berlaku padanya hukum ‘ashabah, sehingga hak hadhanah menjadi milik paman dari pihak ayah karena wilayahnya, bukan paman.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُقَدَّمُ بِهِ، لِأَنَّهُ سَبَبٌ لَا يَسْتَحِقُّ بِهِ الْحَضَانَةَ فَلَمْ يَتَرَجَّحْ بِهِ الْحَضَانَةُ إِلَّا مَعَ التَّكَافُؤِ فَيَكُونُ الْعَمُّ أَحَقَّ بِالْحَضَانَةِ بِقُرْبِهِ مِنْ عَمِّ الْأَبِ مَعَ ولادته، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Pendapat kedua: ia tidak didahulukan, karena sebab tersebut tidak menjadikannya berhak atas hadhanah, sehingga tidak diunggulkan kecuali dalam keadaan setara. Maka paman lebih berhak atas hadhanah karena lebih dekat daripada paman dari pihak ayah, disertai kelahirannya. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(فَصْلٌ)

(Pasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ حُكْمُ مَا أَوْضَحْنَا مِنْ حُكْمِ النِّسَاءِ إِذَا انْفَرَدُوا عَنِ الرِّجَالِ، وَمِنْ حُكْمِ الرِّجَالِ إِذَا انْفَرَدَتْ عَنِ النِّسَاءِ تَرَتَّبَتْ عَلَى ذَلِكَ حُكْمُ اجْتِمَاعِ الرِّجَالِ مَعَ النِّسَاءِ، فَإِذَا اجْتَمَعُوا فَأَحَقُّ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ بِالْحَضَانَةَ الْأُمُّ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تُنْكَحِي ” وَلِأَنَّهَا مُبَاشَرِةٌ لِلْوِلَادَةِ قَطْعًا وَإِحَاطَةً وَهِيَ فِي الْأَبِ مَظْنُونَةٌ وَلِأَنَّهَا أَكْثَرُ حُنُوًّا وَإِشْفَاقًا، وَلِأَنَّهَا بِتَرْبِيَتِهِ أَخْبَرُ وَعَلَى التَّشَاغُلِ لِحَضَانَتِهِ أَصْبَرُ، فَإِذَا أُعْدِمَتِ الْأُمُّ فَأُمُّهَا لِأَنَّهَا تَلِي الْأُمَّ فِي مَعَانِيهَا ثُمَّ أُمَّهَاتُهَا وَإِنْ عَلَوْنَ يَتَقَدَّمْنَ عَلَى الْأَبِ مَعَ قُرْبِهِ. فَإِذَا عُدِمَتِ الْأُمُّ وَأُمَّهَاتُهَا انْتَقَلَتِ الْحَضَانَةُ إِلَى الْأَبِ، وَلَا وَجْهَ لِمَا دَلَّ فِيهِ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ مِنْ تَقْدِيمِ مَنْ أَدْلَى بِالْأُمِّ مِنَ النِّسَاءِ كَالْخَالَاتِ وَالْأَخَوَاتِ مِنَ الْأُمِّ عَلَى الْأَبِ، لِأَنَّ فِي الْأَبِ مِنَ الولادة، والاختصاب بِالنَّسَبِ، وَفَضْلِ الْحُنُوِّ وَالشَّفَقَةِ مَا لَا يَكُونُ فِيمَنْ عُدِمَ الْوِلَادَةَ وَيَكُونُ مَنِ اخْتُصَّ بِالْوِلَادَةِ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ أَحَقَّ بِالْحَضَانَةِ فَمَنْ عُدِمَ الْوِلَادَةَ فَإِنْ تَسَاوَى فِي الْوِلَادَةِ أَبَوَانِ قُدِّمَتِ الْأُمُّ عَلَى الْأَبِ بِالْأُنُوثِيَّةِ الْمُخْتَصَّةِ بِالتَّرْبِيَةِ، فَعَلَى هَذَا يَنْتَقِلُ بَعْدَ الْأُمِّ وَأُمَّهَاتِهَا إِلَى الْأَبِ، فَإِنْ عُدِمَ انْتَقَلَتْ إِلَى أُمِّهِ، وَمَنْ عَلَا تَقَدَّمَ عَلَى أَبِيهِ فَإِنْ عُدِمَ أُمَّهَاتُ الْأَبِ انْتَقَلَتْ إِلَى أَبِي الْأَبِ وَهُوَ الْجَدُّ، ثُمَّ أُمَّهَاتِهِ ثُمَّ إِلَى أَبِي الْجَدِّ ثُمَّ أُمَّهَاتِهِ عَلَى هَذَا، حَتَّى تَسْتَوْعِبَ عَمُودَ الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ لَا يَتَقَدَّمُ عَلَيْهِمْ مَعَ وُجُودِ الْوِلَادَةِ فِيهِمْ مَنْ عُدِمَهَا، فَإِذَا عُدِمَ الْآبَاءُ وَالْأُمَّهَاتُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُسْتَحِقِّ الْحَضَانَةِ بَعْدَهُمْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Apabila telah ditetapkan hukum sebagaimana yang telah kami jelaskan mengenai hukum perempuan jika mereka terpisah dari laki-laki, dan hukum laki-laki jika mereka terpisah dari perempuan, maka setelah itu timbul hukum mengenai berkumpulnya laki-laki dan perempuan. Apabila mereka berkumpul, maka yang paling berhak atas hadhanah (hak asuh) dari kalangan laki-laki dan perempuan adalah ibu, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah,” dan karena ibu secara pasti dan menyeluruh langsung terlibat dalam proses kelahiran, sedangkan pada ayah hal itu hanya diduga, serta karena ibu lebih penuh kasih sayang dan perhatian, dan lebih mengetahui dalam mendidik anak serta lebih sabar dalam mengurus hadhanah. Jika ibu tidak ada, maka yang berhak adalah ibunya (nenek dari pihak ibu), karena ia menempati posisi ibu dalam makna-makna tersebut, kemudian para ibu dari jalur atas (nenek-nenek dari pihak ibu), mereka didahulukan atas ayah meskipun ayah lebih dekat. Jika ibu dan para nenek dari pihak ibu tidak ada, maka hak asuh berpindah kepada ayah. Tidak ada alasan untuk pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri yang mendahulukan perempuan yang memiliki hubungan dengan ibu seperti bibi dari pihak ibu dan saudari seibu atas ayah, karena pada ayah terdapat unsur kelahiran, hubungan nasab, serta keutamaan kasih sayang dan perhatian yang tidak terdapat pada yang tidak memiliki hubungan kelahiran. Maka, siapa pun yang memiliki hubungan kelahiran dari kalangan laki-laki dan perempuan lebih berhak atas hadhanah. Jika tidak ada hubungan kelahiran, dan jika dua orang tua sama-sama memiliki hubungan kelahiran, maka ibu didahulukan atas ayah karena keperempuanan yang khusus dalam mendidik. Berdasarkan hal ini, setelah ibu dan para nenek dari pihak ibu, hak asuh berpindah kepada ayah. Jika ayah tidak ada, maka berpindah kepada ibunya (nenek dari pihak ayah), dan yang lebih tinggi derajatnya didahulukan atas ayahnya. Jika para nenek dari pihak ayah tidak ada, maka hak asuh berpindah kepada ayah dari ayah (kakek), kemudian kepada para ibu dari kakek, lalu kepada ayah dari kakek, kemudian kepada para ibu dari ayah kakek, dan seterusnya, hingga mencakup seluruh garis keturunan ayah dan ibu. Tidak ada yang didahulukan atas mereka selama masih ada hubungan kelahiran pada mereka, dibandingkan dengan yang tidak memilikinya. Jika para ayah dan ibu sudah tidak ada, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai siapa yang berhak atas hadhanah setelah mereka, menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّ جَمِيعَ النِّسَاءِ مِنَ الْأَقَارِبِ أَحَقُّ بِالْحَضَانَةِ مِنْ جَمِيعِ الْعَصَبَاتِ فَتُقَدَّمُ الْأَخَوَاتُ وَالْخَالَاتُ وَالْعَمَّاتُ، وَمَنْ أَدْلَى بِهِمْ مِنَ الْبَنَاتِ عَلَى جَمِيعِ الْعَصَبَاتِ مِنَ الْإِخْوَةِ وَبَنِيهِمْ وَالْأَعْمَامِ وَبَنِيهِمْ لِمَا فِيهِمْ مِنَ الْأُنُوثِيَّةِ الَّتِي هِيَ بِالْحَضَانَةِ أَخَصُّ مَعَ الِاشْتِرَاكِ فِي الْقَرَابَةِ، وَإِنْ تَفَاضَلُوا فِيهَا.

Pendapat pertama: Seluruh perempuan dari kalangan kerabat lebih berhak atas hadhanah daripada seluruh ‘ashabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah), sehingga didahulukan saudari-saudari perempuan, bibi-bibi dari pihak ibu, bibi-bibi dari pihak ayah, dan siapa saja yang memiliki hubungan dengan mereka dari kalangan anak-anak perempuan atas seluruh ‘ashabah dari kalangan saudara laki-laki, anak-anak mereka, paman-paman, dan anak-anak mereka, karena pada perempuan terdapat sifat keperempuanan yang lebih khusus dalam hadhanah, di samping adanya hubungan kekerabatan, meskipun mereka berbeda-beda dalam tingkat kekerabatan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ جَمِيعَ الْعَصَبَاتِ بَعْدَ الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ أَحَقُّ مِنْ جَمِيعِ النِّسَاءِ مِنَ الْأَخَوَاتِ وَالْخَالَاتِ وَالْعَمَّاتِ، وَمَنْ يُدْلِي بِهِنَّ مِنْ بَنَاتِهِنَّ لِاخْتِصَاصِ الْعَصِبَاتِ بِالنَّسَبِ وَاسْتِحْقَاقِهِمْ لِلْقِيَامِ بِتَأْدِيبِ الْمَوْلُودِ وَتَقْوِيمِهِ وَلِقُوَّتِهِمْ بِاسْتِحْقَاقِ مِيرَاثِهِ وَاخْتِصَاصِهِمْ بِنَقْلِهِ إِلَى وَطَنِهِمْ، فَصَارُوا بِذَلِكَ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ، بِخِلَافِ مَنْ عُدِمَ هَذِهِ الْمَعَانِيَ مِنَ النساء.

Pendapat kedua: Seluruh ‘ashabah setelah ayah dan ibu lebih berhak daripada seluruh perempuan dari kalangan saudari, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, dan siapa saja yang memiliki hubungan dengan mereka dari kalangan anak-anak perempuan, karena ‘ashabah memiliki kekhususan dalam nasab dan berhak untuk mendidik serta membina anak, juga karena mereka lebih kuat dalam hal berhak atas warisan dan kekhususan dalam membawa anak ke tempat asal mereka. Dengan demikian, mereka lebih berhak dalam pemeliharaan anak, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki makna-makna tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَصَحُّهَا أَنَّهُ يَتَرَجَّحُ أَحَدُ الْفَرِيقَيْنِ عَلَى الْعُمُومِ مَعَ تَفَاضُلِ الدَّرَجِ، وَيَتَرَتَّبُونَ تَرْتِيبَ الْعَصَبَاتِ فِي دَرَجَتِهِ فَالْمُسَاوِي لِلْأُمِّ فِي اسْتِحْقَاقِ الْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فَإِنْ كَانَ الرِّجَالُ أَقْرَبَ قُدِّمُوا وَإِنْ كَانَ النِّسَاءُ أَقْرَبَ قُدِّمْنَ وَإِنِ اسْتَوَى الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ فِي الدَّرَجِ قُدِّمَ النِّسَاءُ فِيهَا عَلَى الرِّجَالِ لِاخْتِصَاصِهِنَّ بِالْأُنُوثِيَّةِ، فَعَلَى هَذَا يَنْتَقِلُ بَعْدَ الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ إِلَى الْإِخْوَةِ، وَالْأَخَوَاتِ فَتُقَدَّمْنَ الْأَخَوَاتُ لِأُنُوثَتِهِنَّ ثُمَّ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُنَّ إِلَى الْإِخْوَةِ، فَإِذَا عُدِمُوا انْتَقَلَتْ إلى بنوات الْأَخَوَاتِ ثُمَّ إِلَى بَنِي الْإِخْوَةِ.

Pendapat ketiga, dan ini yang paling sahih, adalah bahwa salah satu dari dua kelompok lebih diutamakan secara umum dengan mempertimbangkan perbedaan derajat, dan mereka diurutkan sebagaimana urutan ‘ashabah dalam derajatnya. Maka yang setara dengan ibu dalam hak memperoleh (hadhanah) adalah yang paling dekat dari kalangan laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki lebih dekat, maka mereka didahulukan; jika perempuan lebih dekat, maka mereka didahulukan; dan jika laki-laki dan perempuan setara dalam derajat, maka perempuan didahulukan atas laki-laki karena kekhususan mereka dengan sifat keperempuanan. Berdasarkan hal ini, setelah ayah dan ibu, berpindah kepada saudara laki-laki dan saudari perempuan, lalu saudari perempuan didahulukan karena keperempuanan mereka, kemudian setelah mereka berpindah kepada saudara laki-laki. Jika mereka tidak ada, maka berpindah kepada anak-anak perempuan dari saudari perempuan, kemudian kepada anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki.

فَإِذَا اجْتَمَعَ ابن أخت وابن أخ كانت بنت الأخ أحق من الْأُخْتِ، وَإِنْ كَانَ مُدْلِيًا بِمَنْ هُوَ أَحَقُّ اعْتِبَارًا بِأُنُوثِيَّةِ الْمُسْتَحِقِّ فَإِذَا عُدِمَ دَرَجَةُ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ الْمُسَاوِينَ لِلْوَلَدِ فِي دَرَجَتِهِ انْتَقَلَتْ بَعْدَهُمْ إِلَى الدَّرَجَةِ الَّتِي تَلِيهِمْ وَهُمْ مِنْ مُسَاوِي الْأَبَوَيْنِ فِي دَرَجَتِهِمَا الْخَالَاتُ، وَالْمُسَاوِينَ لِلْأَبِ فِي دَرَجَتِهِ الْأَعْمَامُ وَالْعَمَّاتُ لِإِدْلَائِهِنَّ بِالْأُمِّ الَّتِي هِيَ أَحَقُّ بِالْحَضَانَةِ مِنَ الْأَبِ تَنْتَقِلُ بَعْدَهُنَّ إِلَى الْعَمَّاتِ يَتَقَدَّمُونَ فِيهَا عَلَى الْأَعْمَامِ ثُمَّ يَنْتَقِلُ بَعْدَهُنَّ إِلَى الْأَعْمَامِ فَإِذَا عُدِمَ الْأَعْمَامُ انْتَقَلَتْ إِلَى بَنَاتِ الْخَالَاتِ ثُمَّ إِلَى بَنَاتِ الْعَمَّاتِ ثُمَّ إِلَى بَنَاتِ الْعَمِّ ثُمَّ إِلَى بَنِي الْعَمِّ.

Jika berkumpul anak laki-laki dari saudari dan anak laki-laki dari saudara, maka anak perempuan dari saudara lebih berhak daripada anak laki-laki dari saudari, jika ia memiliki hubungan dengan yang lebih berhak, dengan mempertimbangkan keperempuanan pihak yang berhak. Jika derajat saudara laki-laki dan saudari perempuan yang setara dengan anak dalam derajatnya tidak ada, maka setelah mereka berpindah kepada derajat berikutnya, yaitu yang setara dengan kedua orang tua dalam derajatnya, yaitu para bibi dari pihak ibu, dan yang setara dengan ayah dalam derajatnya adalah para paman dan bibi dari pihak ayah, karena mereka terhubung melalui ibu yang lebih berhak atas hadhanah daripada ayah. Setelah mereka, berpindah kepada para bibi dari pihak ayah, mereka didahulukan atas para paman, kemudian setelah mereka berpindah kepada para paman. Jika para paman tidak ada, maka berpindah kepada anak-anak perempuan dari bibi pihak ibu, kemudian kepada anak-anak perempuan dari bibi pihak ayah, lalu kepada anak-anak perempuan dari paman, kemudian kepada anak-anak laki-laki dari paman.

فَإِذَا عَرَفْتَ هَذِهِ الدَّرَجَةَ انْتَقَلْتَ إِلَى الدَّرَجَةِ الَّتِي تَلِيهَا، وَهِيَ الدَّرَجَةُ الَّتِي تُسَاوِي دَرَجَةَ الْجَدِّ وَالْجَدَّةِ فَيُسَاوِي دَرَجَةَ الْجَدَّةِ خَالَاتُ الْأُمِّ وَتُسَاوِي دَرَجَةَ الْجَدِّ أَعْمَامُ الْأَبِ وَعَمَّاتُهُ فَتَنْتَقِلُ الْحَضَانَةُ إِلَى خَالَاتِ الْأُمِّ ثُمَّ إِلَى خَالَاتِ الْأَبِ ثُمَّ إِلَى عَمَّاتِ الْأَبِ ثُمَّ إِلَى أَعْمَامِ الْأَبِ. ثُمَّ إِلَى أَوْلَادِهِمْ فَتَكُونُ بعدهم بنات خَالَاتِ الْأُمِّ ثُمَّ لِبَنَاتِ خَالَاتِ الْأَبِ ثُمَّ لِبَنَاتِ عَمَّاتِ الْأَبِ ثُمَّ لِبَنَاتِ أَعْمَامِ الْأَبِ ثُمَّ لِبَنِي أَعْمَامِ الْأَبِ ثُمَّ تُسْتَعْلَى عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ دَرَجَةً بَعْدَ دَرَجَةٍ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ جَمِيعَ الدَّرَجِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Jika engkau telah mengetahui derajat ini, maka berpindahlah ke derajat berikutnya, yaitu derajat yang setara dengan derajat kakek dan nenek. Maka yang setara dengan derajat nenek adalah para bibi dari pihak ibu, dan yang setara dengan derajat kakek adalah para paman dan bibi dari pihak ayah. Maka hadhanah berpindah kepada para bibi dari pihak ibu, kemudian kepada para bibi dari pihak ayah, lalu kepada para bibi dari pihak ayah, kemudian kepada para paman dari pihak ayah, lalu kepada anak-anak mereka. Setelah mereka, kepada anak-anak perempuan dari bibi pihak ibu, kemudian kepada anak-anak perempuan dari bibi pihak ayah, lalu kepada anak-anak perempuan dari bibi pihak ayah, kemudian kepada anak-anak perempuan dari paman pihak ayah, lalu kepada anak-anak laki-laki dari paman pihak ayah. Kemudian diukur seterusnya dengan qiyās, derajat demi derajat, hingga seluruh derajat terpenuhi. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَلَوِ اجْتَمَعَ مَعَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فِي الْحَضَانَةِ خُنْثَى مُشْكِلٌ نُظِرَ فِي مُسْتَحِقِّهَا، فَإِنْ كَانَ رَجُلًا لَمْ يُسَاوِهِ الْخُنْثَى فِيهَا، لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً وَهَلْ يَتَقَدَّمُ بِذَلِكَ عَلَى الْمَرْأَةِ عِنْدَ عَدَمِ الرِّجَالِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ وَإِنْ كَانَ مُسْتَحِقُّهَا امْرَأَةً لَمْ يُسَاوِهَا الْخُنْثَى، وَهَلْ يَتَقَدَّمُ بِذَلِكَ عَلَى الرَّجُلِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Jika bersama laki-laki dan perempuan dalam hadhanah terdapat khuntsa musykil (orang dengan kelamin ganda yang tidak jelas), maka dilihat siapa yang lebih berhak. Jika yang berhak adalah laki-laki, maka khuntsa tidak disamakan dengannya, karena mungkin saja ia adalah perempuan. Apakah ia didahulukan atas perempuan ketika tidak ada laki-laki atau tidak? Ada dua pendapat. Jika yang berhak adalah perempuan, maka khuntsa tidak disamakan dengannya. Apakah ia didahulukan atas laki-laki atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَتَقَدَّمُ عَلَيْهِ، إِذَا تَقَدَّمَتْ عَلَيْهِ الْمَرْأَةُ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً.

Salah satunya: ia didahulukan atas laki-laki, jika perempuan didahulukan atas laki-laki, karena mungkin saja ia adalah perempuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَتَقَدَّمُ عَلَيْهِ بِعَدَمِ الْحُكْمِ بِأَنَّهُ امْرَأَةٌ فَلَوْ أَخْبَرَ الْخُنْثَى عَنِ اخْتِيَارِهِ لِنَفْسِهِ بِأَنَّهُ رجلاً أَوِ امْرَأَةٌ عُمِلَ عَلَى قَوْلِهِ فِي سُقُوطِ الْحَضَانَةِ وَهَلْ يُعْمَلُ عَلَى قَوْلِهِ فِي اسْتِحْقَاقِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:

Pendapat kedua: ia tidak didahulukan atas laki-laki karena tidak ada ketetapan bahwa ia adalah perempuan. Jika khuntsa mengabarkan pilihannya untuk dirinya sendiri, apakah ia laki-laki atau perempuan, maka ucapannya diterima dalam gugurnya hak hadhanah. Apakah ucapannya diterima dalam hak memperoleh hadhanah? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يُعْمَلُ عَلَى قَوْلِهِ لِأَنَّهُ أعرف بنفسه.

Salah satunya: ucapannya diterima karena ia lebih mengetahui dirinya sendiri.

وَالثَّانِي: لَا يُعْمَلُ عَلَى قَوْلِهِ لِتُهْمَتِهِ.

Yang kedua: ucapannya tidak diterima karena ada unsur tuduhan (kepentingan pribadi).

(فَصْلٌ)

(Fasal)

إِذَا وَقَعَ التَّنَازُعُ فِي كَفَالَةِ الْمَوْلُودِ، وَلَهُ زَوْجَةٌ كَبِيرَةٌ نُظِرَ، فَإِنْ أَمْكَنَ اسْتِمْتَاعُهُ بِهَا أَوِ اسْتِمْتَاعِهَا بِهِ، فَهِيَ أَحَقُّ بِكَفَالَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ أَجْنَبِيَّةً مِنْ جَمِيعِ قِرَابَاتِهِ، لِمَا جَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ مِنَ الْمَوَدَّةِ، فَكَانَ أَسْكَنَ إِلَيْهَا، وَكَانَتْ أَعْطَفَ عَلَيْهِ. وَإِنْ لَمْ يَكُنِ اسْتِمْتَاعُهُ بِهَا وَاسْتِمْتَاعُهَا بِهِ فَلَا حَقَّ لَهَا فِي كَفَالَتِهِ، وَأَقَارِبُهُ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ أَحَقُّ مِنْهُمَا بِهِ، فَلَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ مِنْ أَقَارِبِهِ، فَهَلْ يَتَرَجَّحُ بِعَقْدِ النِّكَاحِ عَلَى غَيْرِهَا مِنَ الْأَقَارِبِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apabila terjadi perselisihan dalam hal pemeliharaan (kafālah) anak yang baru lahir, dan ia memiliki istri yang sudah dewasa, maka dilihat keadaannya: jika memungkinkan untuk menikmati hubungan suami istri dengannya atau ia dapat menikmati suaminya, maka sang istri lebih berhak untuk memeliharanya, meskipun ia adalah orang asing dari seluruh kerabatnya, karena Allah Ta‘ala telah menjadikan antara suami istri adanya kasih sayang, sehingga ia lebih tenteram kepadanya dan ia lebih menyayanginya. Namun jika tidak memungkinkan adanya hubungan suami istri antara keduanya, maka ia tidak berhak atas pemeliharaan tersebut, dan kerabatnya, baik laki-laki maupun perempuan, lebih berhak atasnya daripada istrinya. Jika sang istri termasuk kerabatnya, maka apakah ia lebih diutamakan karena adanya akad nikah dibandingkan kerabat lain atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يَتَرَجَّحُ بِذَلِكَ عَلَيْهِمْ، وَيَكُونُ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ مِنْ جَمِيعِهِمْ لِجَمْعِهَا بَيْنَ سَبَبَيْنِ:

Pertama: Ia lebih diutamakan karena hal tersebut, dan ia lebih berhak memeliharanya dibandingkan seluruh kerabatnya, karena ia menggabungkan dua sebab:

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا تَتَرَجَّحُ بِهِ عَلَى غَيْرِهَا، وَتَقِفُ فِي الْكَفَالَةِ عَلَى دَرَجَتِهَا مِنَ الْقَرَابَةِ الَّتِي هِيَ أَخَصُّ بِالْكَفَالَةِ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْمَوْلُودُ جَارِيَةً، وَلَهَا زَوْجٌ كَبِيرٌ، فَإِنْ أَمْكَنَهُ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا كَانَ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهَا فَإِنْ لَمْ يُمْكِنُهُ فَالْأَقَارِبُ أَحَقُّ بِكَفَالَتِهَا مِنْهُ، فَإِنْ شَارَكَهُمْ فِي الْقَرَابَةِ فَهَلْ يَتَرَجَّحُ بِعَقْدِ النِّكَاحِ وَلِيُّهُمْ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Pendapat kedua: Ia tidak lebih diutamakan dibandingkan kerabat lainnya, dan hak pemeliharaan bergantung pada derajat kekerabatannya yang lebih khusus dalam pemeliharaan. Demikian pula jika anak yang lahir itu perempuan, dan ia memiliki suami yang sudah dewasa, maka jika suaminya dapat menikmati hubungan suami istri dengannya, maka suaminya lebih berhak memeliharanya. Namun jika tidak memungkinkan, maka kerabatnya lebih berhak memeliharanya daripada suaminya. Jika suaminya juga memiliki hubungan kekerabatan, maka apakah ia lebih diutamakan karena akad nikah atau tidak? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat. Dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْجَدُّ أَبُو الْأَبِ يَقُومُ مَقَامَ الْأَبِ إِذَا لم يكن أبا أَوْ كَانَ غَائِبًا أَوْ غَيْرُ رَشِيدٍ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Kakek dari pihak ayah menempati posisi ayah jika ayah tidak ada, atau ayah sedang tidak hadir, atau ayah tidak cakap.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْجَدُّ يَقُومُ مَقَامَ الْأَبِ عِنْدَ مَوْتِهِ، أَوْ نَقْصِهِ بِرِقٍّ، أَوْ كُفْرٍ، أَوْ مَعَ غَيْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى سَلَامَتِهِ، وَكَذَلِكَ أُمُّ الْأُمِّ تَقُومُ مَقَامَ الْأُمِّ عِنْدَ مَوْتِهَا، وَنَقْصِهَا وَمَعَ غَيْبَتِهَا.

Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa kakek menempati posisi ayah ketika ayah telah wafat, atau berkurang kedudukannya karena perbudakan, atau kekufuran, atau karena tidak hadir, meskipun ia dalam keadaan sehat. Demikian pula nenek dari pihak ibu menempati posisi ibu ketika ibu telah wafat, atau berkurang kedudukannya, atau karena tidak hadir.

فَإِنْ قِيلَ فلما نَقَلْتُمُ الْحَضَانَةَ عَنْ مُسْتَحِقِّهَا بِالْغَيْبَةِ، وَلَمْ تَنْقُلُوا وِلَايَةَ النِّكَاحِ عَنِ الْغَائِبِ؟

Jika ada yang bertanya: Mengapa kalian memindahkan hak hadhanah dari yang berhak karena ketidakhadiran, tetapi tidak memindahkan hak perwalian nikah dari wali yang tidak hadir?

قِيلَ: لِأَنَّ الْغَيْبَةَ لَا تَمْنَعُ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِهَا حَقُّ الْوَلِيِّ، وَتَمْنَعُ مِنَ الْكَفَالَةِ فَسَقَطَ بِهَا حَقُّ الْكَفِيلِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ ذَكَرْنَا مَنْ يَتَقَدَّمُ بِالْحَضَانَةِ، فَأَمَّا مِنْ غَيْرِ الْمَوْلُودِ بَيْنَهُمْ فِي الْكَفَالَةِ فَأَصْلُ تَخْيِيرِهِ يَكُونُ بَيْنَ أَبَوَيْهِ الْأُمِّ وَالْأَبِ، وَلَا تَخْيِيرَ بَيْنَ غَيْرِهِمَا مَعَ وُجُودِهِمَا، فَإِنْ عُدِمَتِ الْأُمُّ خُيِّرَ بَيْنَ الْأَبِ وَبَيْنَ جَمِيعِ أُمَّهَاتِ الْأُمِّ، وَكُنَّ فِي تَخْيِيرِ الْمَوْلُودِ بَيْنَ الْأَبِ وَبَيْنَهُنَّ كَالْأُمِّ، وَلَوْ عُدِمَ الْأَبُ مَعَ بَقَاءِ الْأُمِّ، خُيِّرَ الْمَوْلُودُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ جَمِيعِ آبَاءِ الْأَبِ مِنْ سَائِرِ الْأَجْدَادِ، وَكَانُوا فِي تَخْيِيرِ الْمَوْلُودِ بَيْنَ الْأُمِّ وَبَيْنَهُمْ كَالْأَبِ وَإِذَا وَقَعَ التَّخْيِيرُ بَيْنَ الْأَبِ وَجَمِيعِ الْجَدَّاتِ وَبَيْنَ الْأُمِّ وَجَمِيعِ الْأَجْدَادِ، ثبت التَّخْيِيرُ بَيْنَ جَمِيعِ الْأَجْدَادِ وَجَمِيعِ الْجَدَّاتِ، وَهَذَا مِمَّا لَمْ يَخْتَلِفْ فِيهِ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجَمِيعُ أَصْحَابِهِ.

Dijawab: Karena ketidakhadiran tidak menghalangi pelaksanaan akad nikah, sehingga hak wali tidak gugur karenanya, sedangkan ketidakhadiran menghalangi pemeliharaan (kafālah), sehingga hak pemelihara gugur karenanya. Dengan demikian, telah kami sebutkan siapa yang lebih didahulukan dalam hak hadhanah. Adapun selain anak yang lahir, jika terjadi perselisihan di antara mereka dalam hal pemeliharaan, maka pada dasarnya pilihan itu hanya antara kedua orang tuanya, ibu dan ayah, dan tidak ada pilihan antara selain keduanya selama keduanya masih ada. Jika ibu tidak ada, maka anak diberi pilihan antara ayah dan seluruh nenek dari pihak ibu, dan mereka dalam hal ini sama seperti ibu dalam hal pilihan anak antara ayah dan mereka. Jika ayah tidak ada sementara ibu masih ada, maka anak diberi pilihan antara ibu dan seluruh kakek dari pihak ayah, dan mereka dalam hal ini sama seperti ayah dalam hal pilihan anak antara ibu dan mereka. Jika terjadi pilihan antara ayah dan seluruh nenek, serta antara ibu dan seluruh kakek, maka pilihan itu berlaku antara seluruh kakek dan seluruh nenek. Hal ini tidak diperselisihkan dalam mazhab Syafi‘i dan seluruh pengikutnya.

فَأَمَّا تَخْيِيرُ الْمَوْلُودِ بَيْنَ الْأُمِّ وَبَيْنَ سائر العصبات عشر عَدَمِ الْأَبِ وَالْأَجْدَادِ كَالْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ وَبَيْنَهُمْ فَفِيهِ لِأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَجْهَانِ:

Adapun pilihan anak antara ibu dan seluruh ‘ashabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah) ketika ayah dan kakek tidak ada, seperti saudara laki-laki dan paman, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat di kalangan pengikut Syafi‘i:

أَحَدُهُمَا: لَا يُخَيَّرُ وَتَكُونُ الْأُمُّ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ مِنْ غَيْرِ تَخْيِيرٍ.

Pertama: Tidak ada pilihan, dan ibu lebih berhak memeliharanya tanpa adanya pilihan.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ أَبُو أَبِي الْأَبِ وَكَذَلِكَ الْعَصَبَةُ يَقُومُونَ مَقَامَ الْأَبِ إِذَا لَمْ يَكُنْ أَقْرَبُ مِنْهُمْ مَعَ الْأُمِّ وَغَيْرِهَا مِنْ أُمِّهَاتِهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Demikian pula kakek dari pihak ayahnya ayah, dan demikian pula ‘ashabah, mereka menempati posisi ayah jika tidak ada yang lebih dekat dari mereka bersama ibu dan selainnya dari para nenek.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْجَدُّ أَبُو أَبِي الْأَبِ يَقُومُ مَقَامَ الْأَبِ عِنْدَ مَوْتِهِ أَوْ نَقْصِهِ وَالْجَدَّةُ أُمُّ الْأُمِّ يقوم مَقَامَ الْأُمِّ، عِنْدَ مَوْتِهَا أَوْ نَقْصِهَا، فَأَمَّا التخيير الْمَوْلُودِ بَيْنَ مُسْتَحِقِّي حَضَانَتِهِ فَيُخَيَّرُ بَيْنَ أَبَوَيْهِ، والأم والأب، ولا تخير بَيْنَ غَيْرِهِمَا مَعَ وُجُودِهِمَا، فَإِنْ عُدِمَتِ الْأُمُّ خُيِّرَ بَيْنَ الْأَبِ وَبَيْنَ جَمِيعِ أُمَّهَاتِ الْأُمِّ وَإِنْ عُدِمَ الْأَبُ خُيِّرَ بَيْنَ الْأُمِّ وَجَمِيعِ آبَاءِ الْأَبِ، هَذَا فِيمَا لَمْ يَخْتَلِفْ فِيهِ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجَمِيعُ أَصْحَابِهِ وَاخْتَلَفُوا فِي تَخْيِيرِهِ بَيْنَ الْأُمِّ وَسَائِرِ الْعَصَبَاتِ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Kakek, yaitu ayah dari ayah, menempati posisi ayah ketika ayah telah meninggal atau tidak ada, dan nenek, yaitu ibu dari ibu, menempati posisi ibu ketika ibu telah meninggal atau tidak ada. Adapun mengenai pilihan anak antara orang-orang yang berhak mengasuhnya, maka anak diberi pilihan antara kedua orang tuanya, yaitu ibu dan ayah, dan tidak diberi pilihan antara selain keduanya selama keduanya masih ada. Jika ibu tidak ada, maka anak diberi pilihan antara ayah dan seluruh nenek dari pihak ibu. Jika ayah tidak ada, maka anak diberi pilihan antara ibu dan seluruh kakek dari pihak ayah. Hal ini merupakan pendapat yang tidak diperselisihkan dalam mazhab Syafi‘i dan seluruh pengikutnya. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai pemberian pilihan antara ibu dan selainnya dari kalangan ‘ashabah dalam dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: لَا يُخَيَّرُ وَتَكُونُ الْأُمُّ أَحَقَّ بِكَفَالَتِهِ لِاخْتِصَاصِهَا بِالْوِلَادَةِ.

Salah satunya: Anak tidak diberi pilihan dan ibu lebih berhak mengasuhnya karena kekhususan ibu dalam melahirkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُخَيَّرُ كَمَا يُخَيَّرُ بَيْنَهُمَا وبين الأب لأنهم عصبة مناسبون كالأب ولحديث عُمَارَةَ الْجُرَمِيِّ قَالَ: خَيَّرَنِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ بَيْنَ أُمِّي وَعَمِّي وَقَالَ لِأَخٍ لِي هُوَ أَصْغَرُ مِنِّي، وَهَذَا أَيْضًا لَوْ قَدْ بَلَغَ لَخَيَّرْتُهُ.

Pendapat kedua: Anak diberi pilihan sebagaimana diberi pilihan antara ibu dan ayah, karena mereka (‘ashabah) adalah kerabat yang sepadan seperti ayah. Berdasarkan hadis ‘Umārah al-Jurami, ia berkata: “Ali bin Abi Thalib memberiku pilihan antara ibuku dan pamanku, dan ia berkata kepada saudaraku yang lebih kecil dariku: ‘Seandainya ia sudah baligh, niscaya aku juga akan memberinya pilihan.’”

فَأَمَّا تَخْيِيرُهُ بَيْنَ الْأَبِ وَبَيْنَ غَيْرِ الْأُمِّ وَأُمَّهَاتِهَا مِنْ نِسَاءِ الْحَضَانَةِ، فَإِنْ أَدْلَيْنَ بِالْأَبِ لَمْ يُخَيَّرْ بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ الْأَبِ، وَإِنْ أَدْلَيْنَ بِالْأُمِّ كَالْخَالَاتِ فَفِي تَخْيِيرِهِ بَيْنَ الْأَبِ وَبَيْنَهُنَّ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.

Adapun pemberian pilihan antara ayah dan selain ibu serta nenek-neneknya dari kalangan perempuan yang berhak mengasuh, maka jika mereka memiliki hubungan nasab melalui ayah, anak tidak diberi pilihan antara mereka dan ayah. Namun jika mereka memiliki hubungan nasab melalui ibu, seperti para bibi dari pihak ibu, maka dalam pemberian pilihan antara ayah dan mereka terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.

فَأَمَّا تَخْيِيرُهُ بَيْنَ سَائِرِ الْعَصَبَاتِ، وَبَيْنَ سَائِرِ النِّسَاءِ سِوَى الْأُمَّهَاتِ، فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:

Adapun pemberian pilihan antara selain ‘ashabah dan selain perempuan selain para nenek, maka terdapat tiga pendapat:

أَحَدُهَا: لَا تخير وَتَكُونُ الْعَصَبَاتُ أَحَقَّ.

Salah satunya: Anak tidak diberi pilihan dan para ‘ashabah lebih berhak.

وَالثَّانِي: لَا يُخَيَّرُ وَيَكُونُ نِسَاءُ الْقُرَابَاتِ أَحَقَّ.

Kedua: Anak tidak diberi pilihan dan para perempuan kerabat lebih berhak.

وَالثَّالِثُ: يُخَيَّرُ بَيْنَ عَصَبَاتِهِ وبين نساء قراباته إذا تساوت درجتهم فَإِنْ تَسَاوَى اثْنَانِ فِي عَصَبَتِهِ لِأَخَوَيْنِ أَوِ اثْنَتَانِ مِنْ قِرَابَاتِهِ كَالْأُخْتَيْنِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:

Ketiga: Anak diberi pilihan antara para ‘ashabah dan para perempuan kerabatnya jika derajat mereka sama. Jika ada dua orang yang sama derajatnya dari kalangan ‘ashabah, seperti dua saudara laki-laki, atau dua orang perempuan kerabat seperti dua saudari perempuan, maka terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: يخير بينهما.

Salah satunya: Anak diberi pilihan di antara keduanya.

وَالثَّانِي: يُقْرَعُ بَيْنَهُمَا وَلَا يُخَيَّرُ وَيَسْتَحِقُّهُ مِنْ قرع منهما.

Kedua: Diundi di antara keduanya dan anak tidak diberi pilihan, dan yang berhak adalah yang keluar namanya dalam undian.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أَرَادَ الْأَبُ أَنْ يَنْتَقِلَ عَنِ الْبَلَدِ الَّذِي نَكَحَ بِهِ الْمَرْأَةَ كَانَ بَلَدَهُ أَوْ بَلَدَهَا فَسَوَاءٌ وَالْقَوْلُ قَوْلُهُ إِذَا قَالَ أَرَدْتُ النَّقْلَةَ وَهُوَ أَحَقُّ بِالْوَلَدِ مُرْضَعًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika ayah ingin pindah dari negeri tempat ia menikahi wanita tersebut, baik itu negerinya sendiri maupun negeri istrinya, maka hukumnya sama saja. Pendapat yang dipegang adalah pendapat ayah jika ia berkata: ‘Aku ingin pindah,’ dan ia lebih berhak atas anak, baik anak itu masih menyusu maupun sudah besar.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا انْتَقَلَ الْأَبُ عَنْ وَطَنِ الْأُمِّ لِاسْتِيطَانِ غَيْرِهِ مِنَ البلاد يكون بِوَلَدِهِ أَحَقَّ مِنْ أُمِّهِ سَوَاءٌ كَانَ رَضِيعًا فِي زَمَانِ الْحَضَانَةِ أَوْ فَطِيمًا فِي زَمَانِ الْكَفَالَةِ، وَهَكَذَا لَوْ أَقَامَ الْأَبُ وَانْتَقَلَتِ الْأُمُّ، كَانَ الْأَبُ أَحَقَّ بِالْوَلَدِ مِنْهَا سَوَاءٌ كَانَتْ بَلَدَهُ أَوْ بَلَدَهَا.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika ayah pindah dari negeri ibu untuk menetap di negeri lain, maka ia lebih berhak atas anaknya daripada ibu, baik anak itu masih bayi dalam masa hadhanah maupun sudah disapih dalam masa kafalah. Demikian pula jika ayah tetap tinggal dan ibu yang pindah, maka ayah lebih berhak atas anak daripada ibu, baik itu negeri ayah maupun negeri ibu.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنِ انْتَقَلَتِ الْأُمُّ إِلَى بَلَدِهَا الَّذِي نَكَحَهَا فِيهِ فَهِيَ أَحَقُّ بِهِ، وَإِنِ انْتَقَلَتْ إِلَى غَيْرِهِ، فَالْأَبُ أَحَقُّ بِهِ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِأَنَّ حِفْظَ نَسَبِهِ مُخْتَصٌّ بِأَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ، وَهُوَ أَوْلَى بِمَصَالِحِهِ لِثُبُوتِ التَّوَارُثِ بِهِ، وَلَوْ خَرَجَ لِسَفَرِ حَاجَةٍ فَالْأَمْرُ عَلَى حَقِّهَا مِنْ كَفَالَتِهِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُسَافِرَ بِهِ لِمَا يَنَالُهُ مِنْ شَقَاءِ السَّفَرِ وَكَثْرَةِ الحظر فلو اختلفا في السفرن فَقَالَ الْأَبُ أُرِيدُهُ لِلنَّقْلِ فِي الِاسْتِيطَانِ وَقَالَتِ الْأُمُّ: بَلْ تُرِيدُهُ لِلْحَاجَةِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْأَبِ مع يمنيه لِأَنَّهُ لَا يُعْرَفُ عَزْمُهُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَنِيبَ فِي كَفَالَةِ وَلَدِهِ جَازَ.

Abu Hanifah ra. berkata: Jika ibu pindah ke negerinya, yaitu negeri tempat ia dinikahi, maka ia lebih berhak atas anak. Namun jika ia pindah ke negeri lain, maka ayah lebih berhak atas anak. Pendapat ini tidak benar, karena menjaga nasab anak adalah kekhususan ayah, bukan ibu, dan ayah lebih utama dalam mengurus kemaslahatan anak karena adanya hubungan waris. Jika ayah bepergian untuk keperluan, maka hak asuh tetap pada ibu, dan ayah tidak boleh bepergian membawa anak karena akan menimbulkan kesulitan dan banyak larangan. Jika keduanya berselisih tentang bepergian, ayah berkata: “Aku ingin membawanya untuk pindah dan menetap,” sedangkan ibu berkata: “Aku ingin membawanya untuk suatu keperluan,” maka pendapat ayah yang dipegang dengan sumpahnya, karena niatnya tidak diketahui kecuali dari dirinya sendiri. Jika ayah ingin mewakilkan pengasuhan anaknya, maka itu boleh.

وَلَوْ أَرَادَتِ الْأُمُّ الِاسْتِنَابَةَ لَمْ يَجُزْ، لِاخْتِصَاصِ الْأَبِ بِالْمُرَاعَاةِ، وَهِيَ تُمَكِّنُهُ مِنَ الِاسْتِنَابَةِ وَاخْتِصَاصُ الْأُمِّ بِمُبَاشَرَةِ التَّرْبِيَةِ، وَهَى مَعْقُودَةٌ مَعَ الاستنابة.

Namun jika ibu ingin mewakilkan pengasuhan, maka tidak boleh, karena pengawasan khusus bagi ayah, dan ibu harus memfasilitasi ayah untuk mewakilkan, sedangkan kekhususan ibu adalah dalam melakukan pengasuhan secara langsung, dan ini tidak bisa digantikan dengan perwakilan.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ الْعَصَبَةُ إِلَّا أَنْ تَخْرُجَ الْأُمُّ إِلَى ذَلِكَ الْبَلَدِ فَتَكُونُ أَوْلَى “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Demikian pula halnya dengan ‘aṣabah, kecuali jika ibu berpindah ke negeri tersebut, maka ia lebih berhak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: يَعْنِي أَنَّ الْعَصَبَةَ بَعْدَ الْأَبِ يَقُومُونَ مَقَامَهُ إِذَا انْتَقَلُوا فِي إِخْرَاجِهِ مَعَهُمْ لِحِفْظِ نَسَبِهِ بِهِمْ، كَالْأَبِ، فَإِنِ انْتَقَلَ بَعْضُهُمْ وَأَقَامَ بَعْضُهُمْ، فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Maksudnya, para ‘aṣabah setelah ayah menempati posisinya apabila mereka berpindah dalam membawa anak bersamanya untuk menjaga nasabnya melalui mereka, seperti ayah. Jika sebagian dari mereka berpindah dan sebagian lainnya tetap tinggal, maka terbagi menjadi tiga bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَنْتَقِلَ أَبَاعِدُهُمْ وَيُقِيمَ أَقَارِبُهُمْ فَالْمُقِيمُونَ أَوْلَى.

Pertama: Jika yang berpindah adalah kerabat jauh dan yang menetap adalah kerabat dekat, maka yang menetap lebih berhak.

وَالثَّانِي: أَنْ يَنْتَقِلَ أَقَارِبُهُمْ وَيُقِيمَ أَبَاعِدُهُمْ فَالْمُنْتَقِلُونَ أَوْلَى بِهِ.

Kedua: Jika yang berpindah adalah kerabat dekat dan yang menetap adalah kerabat jauh, maka yang berpindah lebih berhak atas anak tersebut.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَتَسَاوَوْا فِي الدَّرَجَةِ قُرْبًا وَبُعْدًا فَالْمُقِيمُونَ أَوْلَى به من المتنقلين لِاسْتِوَائِهِمْ فِي حِفْظِ نَسَبِهِ وَحُصُولِ الدَّعَةِ بِإِقَامَتِهِ.

Ketiga: Jika mereka setara dalam derajat kedekatan dan kejauhan, maka yang menetap lebih berhak atas anak tersebut dibanding yang berpindah, karena mereka sama dalam menjaga nasabnya dan tercapainya ketenangan dengan menetapnya.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا حَقَّ لِمَنْ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ فِي وَلَدِ الْحُرِّ وَإِذَا كَانَ وَلَدُ الْحُرِّ مَمَالِيكَ فَسَيِّدُهُمْ أَحَقُّ بِهِمْ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak ada hak bagi orang yang tidak sempurna kemerdekaannya atas anak orang merdeka. Jika anak orang merdeka adalah budak, maka tuan mereka lebih berhak atas mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لَا حَقَّ لِلْمَمْلُوكِ فِي حَضَانَةِ وَلَدِهِ، لِأَنَّ فِي الْحَضَانَةِ وِلَايَةً لَا تَسْتَحِقُّ مَعَ الرِّقِّ، وَكَذَلِكَ الْمُدَبَّرُ وَالْمُكَاتَبُ وَأُمُّ الْوَلَدِ وَمَنْ رَقَّ بَعْضُهُ، لِأَنَّ أَحْكَامَ الرِّقِّ عَلَيْهِمْ جَارِيَةٌ، فَإِنْ عَتَقُوا زَاحَمُوا أَهْلَ الْحَضَانَةِ فِيهَا وَلَا يَمْنَعُهُمْ ثُبُوتُ الْوَلَاءِ عَلَيْهِمْ مُنَازَعَةَ مَنْ لَا وَلَاءَ عَلَيْهِ لِاسْتِوَائِهِمْ فِي الْحُرِّيَّةِ وَلِكَمَالِ التصرف.

Al-Māwardī berkata: Budak tidak memiliki hak dalam hadhanah (pengasuhan) anaknya, karena dalam hadhanah terdapat unsur wilayah (kekuasaan) yang tidak layak bagi budak. Demikian pula mudabbar, mukatab, umm al-walad, dan orang yang sebagian dirinya adalah budak, karena hukum-hukum perbudakan berlaku atas mereka. Jika mereka merdeka, maka mereka dapat bersaing dengan para pemilik hak hadhanah, dan keberadaan wala’ atas mereka tidak menghalangi mereka untuk bersaing dengan orang yang tidak memiliki wala’, karena mereka setara dalam kemerdekaan dan sempurna dalam kemampuan bertindak.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا كَانُوا مِنْ حُرَّةٍ وَأَبُوهُمْ مَمْلُوكٌ فَهِيَ أَحَقُّ بِهِمْ وَلَا يُخَيَّرُونَ فِي وَقْتِ الْخِيَارِ “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika mereka (anak-anak) berasal dari ibu yang merdeka dan ayah mereka adalah budak, maka ibunya lebih berhak atas mereka dan mereka tidak diberi pilihan pada waktu pemilihan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لَا يَخْلُو دُخُولُ الرِّقِّ بَيْنَ الْوَلَدِ وَأَبَوَيْهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:

Al-Māwardī berkata: Masuknya status budak antara anak dan kedua orang tuanya tidak lepas dari empat bagian:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ حُرًّا وَأَبَوَاهُ مَمْلُوكَيْنِ فَلَا حَضَانَةَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لِرِقِّهِ وَلَا لِسَيِّدِهِ، لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُ فِي وَلَدِ مَمْلُوكِهِ لِحُرِّيَّتِهِ وَيَكُونُ فِي حُكْمِ الْعَادِمِ لِأَبَوَيْهِ فَيَقُومُ بِكَفَالَتِهِ وَنَفَقَتِهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ إِلَى أَنْ يُرَاهِقَ وَيَسْتَغْنِيَ عَنْ مُرَاعَاةِ غَيْرِهِ، وَيَقْدِرَ عَلَى الِاكْتِسَابِ بِنَفْسِهِ وَلَا يُعْتَبَرُ الْبُلُوغُ إِلَّا فِي حَقِّ الْأَبَوَيْنِ، لِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِي بَيْتِ الْمَالِ حَالُ الضَّرُورَةِ، وَفِي حَقِّ الْأَبَوَيْنِ كَمَالُ الْوَلَدِ.

Pertama: Jika anak itu merdeka dan kedua orang tuanya adalah budak, maka tidak ada hak hadhanah bagi salah satu dari keduanya karena status budaknya, dan tidak pula bagi tuannya, karena ia tidak memiliki hak atas anak budaknya yang merdeka. Anak tersebut dianggap seperti tidak memiliki kedua orang tua, sehingga yang menanggung pemeliharaan dan nafkahnya adalah Baitul Mal hingga ia mendekati usia baligh dan tidak lagi membutuhkan pengasuhan orang lain, serta mampu mencari nafkah sendiri. Baligh tidak menjadi syarat kecuali dalam hak kedua orang tua, karena yang menjadi pertimbangan dalam Baitul Mal adalah keadaan darurat, sedangkan dalam hak kedua orang tua adalah kesempurnaan anak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ مَمْلُوكًا وَأَبَوَاهُ حُرَّيْنِ فَلَا كَفَالَةَ لَهُمَا بَعْدَ الْبَيْعِ لِرِقِّ الْوَلَدِ، وَلَا حَضَانَةَ لِأَبِيهِ فِيمَا دُونَ السَّبْعِ، وَفِي اسْتِحْقَاقِ الْأُمِّ لِحَضَانَتِهِ فِي السَّبْعِ رَضِيعًا أَوْ فَطِيمًا وَجْهَانِ:

Bagian kedua: Jika anak adalah budak dan kedua orang tuanya merdeka, maka tidak ada kewajiban penjaminan bagi keduanya setelah anak dijual karena status budaknya, dan ayahnya tidak memiliki hak hadhanah atasnya sebelum usia tujuh tahun. Adapun hak ibu untuk mengasuhnya selama tujuh tahun, baik saat masih menyusu maupun sudah disapih, terdapat dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَسْتَحِقُّهَا لِفَضْلِ حُنُوِّهَا، وَعَجْزِ السَّيِّدِ عَنْهَا.

Pertama: Ibu berhak mengasuhnya karena keutamaan kasih sayangnya dan ketidakmampuan tuan atas pengasuhan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَسْتَحِقُّهَا، لِأَنَّ الْمَمْلُوكَ لَا تَثْبُتُ عَلَيْهِ وِلَايَةٌ لِغَيْرِ سَيِّدِهِ.

Pendapat kedua: Ibu tidak berhak mengasuhnya, karena budak tidak berada dalam wilayah siapa pun kecuali tuannya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ وَأَبُوهُ حُرَّيْنِ، وَأُمُّهُ مَمْلُوكَةً فَالْأَبُ أَحَقُّ بِهِ حَاضِنًا وَكَفِيلًا لِحُرِّيَّتِهِ وَرِقِّ الْأُمِّ.

Bagian ketiga: Jika anak dan ayahnya merdeka, sedangkan ibunya adalah budak, maka ayah lebih berhak mengasuh dan menjamin anak tersebut karena kemerdekaannya dan status budak pada ibunya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ وَأُمُّهُ مَمْلُوكَيْنِ وَأَبُوهُ حُرًّا، فَلَا حَقَّ لِأَبِيهِ فِي حضانته ولا في كفالة، فَأَمَّا أُمُّهُ فَإِنْ كَانَتْ لِغَيْرِ سَيِّدِهِ فَلَا حَقَّ لَهَا فِي حَضَانَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ لِسَيِّدِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَهُمَا فِي حَالِ صِغَرِهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا تولد وَالِدَةٌ عَلَى وَلَدِهَا “.

Bagian keempat: Jika anak dan ibunya adalah budak, sedangkan ayahnya merdeka, maka ayah tidak memiliki hak dalam hadhanah maupun penjaminan anaknya. Adapun ibunya, jika ia adalah budak milik selain tuan anaknya, maka ia tidak berhak mengasuhnya. Namun jika ia adalah budak milik tuan anaknya, maka tidak boleh dipisahkan antara keduanya saat anak masih kecil, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak boleh seorang ibu dipisahkan dari anaknya.”

وَهَلْ تَصِيرُ بِالْمَنْعِ مِنَ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا مُسْتَحِقَّةً لِحَضَانَتِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:

Apakah dengan larangan memisahkan antara keduanya, ibu menjadi berhak mengasuh anaknya atau tidak? Ada dua pendapat:

أَحَدُهُمَا: تَسْتَحِقُّهَا، لِأَنَّ الْمَنْعَ مِنَ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا قَدْ جَعَلَهَا أَحَقَّ بِهِ مِنْ غَيْرِهَا.

Pertama: Ibu berhak mengasuhnya, karena larangan memisahkan antara keduanya telah menjadikannya lebih berhak atas anak tersebut dibandingkan yang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَسْتَحِقُّهَا لِأَنَّ ثُبُوتَ الرِّقِّ عَلَيْهَا مَانِعٌ مِنْ وِلَايَتِهَا.

Pendapat kedua: Ia tidak berhak mendapatkannya karena status budak yang melekat padanya menjadi penghalang bagi kewenangannya.

باب نفقة المماليك

(Bab Nafkah Para Budak)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنِ بَكْرٍ أَوْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ” الْمُزَنِيُّ شَكَّ ” عَنْ عَجْلَانَ أَبِي مُحْمَدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَا لَا يُطِيقُ (قَالَ) فَعَلَى مَالِكِ الْمَمْلُوكِ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى الْبَالِغَيْنِ إِذَا شَغَلَهُمَا فِي عَمَلٍ لَهُ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِمَا وَيَكْسُوَهُمَا بِالْمَعْرُوفِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: “Sufyan telah memberitakan kepada kami, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Bakr atau Bukair bin ‘Abdullah—al-Muzani ragu—dari ‘Ajlan Abu Muhammad, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Bagi budak, makanannya dan pakaiannya diberikan secara patut, dan ia tidak dibebani pekerjaan yang tidak mampu ia lakukan.’ (Beliau berkata:) Maka wajib bagi pemilik budak laki-laki dan perempuan yang sudah baligh, apabila mereka disibukkan dengan pekerjaan untuknya, untuk memberi nafkah dan pakaian kepada keduanya secara patut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: النَّفَقَةُ تَجِبُ بِثَلَاثَةِ أَسْبَابٍ، بِنَسَبٍ، وَزَوْجِيَّةٍ وَمِلْكِ يَمِينٍ، وَقَدْ مَضَى حُكْمُهَا بِالنَّسَبِ وَالزَّوْجِيَّةِ، فَأَمَّا مِلْكُ الْيَمِينِ فَتَجِبُ بِهِ نَفَقَاتُ الْعَبِيدِ وَالْإِمَاءِ لِمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الْمُقَدَّمِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ، مَا لَا يُطِيقُ فَبَيَّنَ بِهَذَا الخبر ما يجب المملوك مِنَ النَّفَقَةِ وَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ وَلِأَنَّ السَّيِّدَ مَالِكٌ لِتَصَرُّفِ عَبْدِهِ وَكَسْبِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُلْتَزِمًا لِنَفَقَتِهِ وَكِسْوَتِهِ لِمَا يَلْزَمُهُ من حراسة نفسه.

Al-Mawardi berkata: Nafkah itu wajib karena tiga sebab: karena nasab, pernikahan, dan kepemilikan (milik yamin). Hukum nafkah karena nasab dan pernikahan telah dijelaskan sebelumnya. Adapun karena milik yamin, maka nafkah bagi para budak laki-laki dan perempuan menjadi wajib, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi‘i dari hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Bagi budak, makanannya dan pakaiannya diberikan secara patut, dan ia tidak dibebani pekerjaan yang tidak mampu ia lakukan.” Dengan hadits ini dijelaskan apa yang wajib diberikan kepada budak berupa nafkah dan apa yang wajib ia lakukan berupa pekerjaan. Karena tuan adalah pemilik atas tindakan dan penghasilan budaknya, maka wajib baginya menanggung nafkah dan pakaian budaknya, karena ia berkewajiban menjaga keselamatan budaknya.

(فيما تجب فيه نفقة المملوك)

(Tentang Hal-hal yang Wajib Diberikan Nafkah kepada Budak)

(فَصْلٌ)

(Fasal)

فَإِذَا تَقَرَّرَ وُجُوبُ نَفَقَتِهِ وَكِسْوَتِهِ عَلَى سَيِّدِهِ فَسَوَاءٌ كَانَ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا صَحِيحًا أَوْ زَمِنًا عَاقِلًا أَوْ مَجْنُونًا مُكْتَسِبًا أَوْ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ أَنَفَقَ السَّيِّدُ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ، وَإِنْ كَانَ مُكْتَسِبًا فَالسَّيِّدُ بِالْخِيَارِ فِي اسْتِخْدَامِهِ وَالْتِزَامِ نَفَقَتِهِ وَكِسْوَتِهِ وَبَيْنَ الْإِذْنِ لَهُ فِي الِاكْتِسَابِ وَيَكُونُ اكْتِسَابُهُ مِلْكًا لِسَيِّدِهِ، لِأَنَّهُ أَمْلَكُ بِتَصَرُّفِهِ، وَعَلَى السَّيِّدِ نَفَقَتُهُ، وَهُوَ فِيهَا بِالْخِيَارِ فِي النَّفَقَةِ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ وَأَخْذِ جَمِيعِ كَسْبِهِ وَبَيْنَ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي الْإِنْفَاقِ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ كَسْبِهِ، فَإِنِ اكْتَسَبَ وَفْقَ نَفَقَتِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ لَمْ يَأْخُذْ مِنْهُ السَّيِّدُ شَيْئًا مِنْ كَسْبِهِ وَلَمْ يَلْزَمْ لَهُ شَيْءٌ مِنْ نَفَقَتِهِ وَإِنْ كَانَ الْكَسْبُ أَقَلَّ مِنْ نَفَقَتِهِ رَجَعَ عَلَى سَيِّدِهِ بِالْبَاقِي مِنْ نَفَقَتِهِ وَإِنْ كَانَ الْكَسْبُ أَكْثَرَ مِنْ نَفَقَتِهِ رَجَعَ السَّيِّدُ عَلَيْهِ بِفَاضِلِ كَسْبِهِ.

Apabila telah ditetapkan kewajiban nafkah dan pakaian atas tuan kepada budaknya, maka hukumnya sama saja, baik budak itu laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, sehat atau cacat, berakal atau gila, bekerja atau tidak bekerja. Jika ia tidak bekerja, maka tuan menafkahinya dari hartanya. Jika ia bekerja, maka tuan memiliki pilihan antara mempekerjakannya dan menanggung nafkah serta pakaiannya, atau mengizinkannya bekerja dan hasil kerjanya menjadi milik tuan, karena tuan lebih berhak atas tindakannya. Tuan tetap wajib menafkahinya, dan dalam hal ini tuan memiliki pilihan: menafkahinya dari hartanya dan mengambil seluruh hasil kerjanya, atau mengizinkannya menafkahi dirinya sendiri dari hasil kerjanya. Jika hasil kerjanya sesuai dengan kebutuhan nafkahnya, tanpa lebih atau kurang, maka tuan tidak mengambil apa pun dari hasil kerjanya dan tidak wajib menafkahinya. Jika hasil kerjanya kurang dari kebutuhan nafkahnya, maka ia kembali meminta kekurangan nafkah kepada tuannya. Jika hasil kerjanya lebih dari kebutuhan nafkahnya, maka tuan berhak mengambil kelebihan hasil kerjanya.

(الْقَوْلُ فِي مِقْدَارِ نَفَقَةِ الْمَمْلُوكِ وَجِنْسِهَا)

(Pembahasan tentang Kadar dan Jenis Nafkah Budak)

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَذَلِكَ نَفَقَةُ رَقِيقِ بَلَدِهِمَا الشِّبَعُ لِأَوْسَاطِ النَاسِ الَّذِي تَقُومُ بِهِ أَبْدَانُهُمْ مِنْ أَيِّ الطَّعَامِ كَانَ قَمْحًا أَوْ شَعِيرًا أَوْ ذُرَةً أَوْ تَمْرًا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Nafkah bagi budak di negeri mereka adalah makanan yang mengenyangkan sesuai standar orang kebanyakan, yang dapat menjaga kesehatan tubuh mereka, baik berupa gandum, jelai, jagung, atau kurma.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْحُكْمُ فِي نَفَقَةِ الْعَبْدِ مُشْتَمِلٌ عَلَى قِسْمَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Hukum nafkah bagi budak mencakup dua bagian:

أَحَدُهُمَا: فِي مِقْدَارِهَا.

Pertama: Tentang kadarnya.

وَالثَّانِي: فِي جِنْسِهَا.

Kedua: Tentang jenisnya.

فَأَمَّا مِقْدَارُهَا فَيُعْتَبَرُ بِالْكِفَايَةِ فِيمَا يَقْتَاتُهُ أَمْثَالُهُ فِي الْغَالِبِ وَلَيْسَ بِمُقَدَّرٍ، بِخِلَافِ الزَّوْجَاتِ، لِأَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَاتِ مُعَاوَضَةٌ وَهَذِهِ مُوَاسَاةٌ فَتُعْتَبَرُ بِالْأَغْلَبِ مِنْ أَوْسَاطِ النَّاسِ، فَإِنَّ مِنَ الناس زهيد يَكْتَفِي بِالْقَلِيلِ وَهُوَ نَادِرٌ، وَمِنْهُمْ رَغِيبٌ لَا يَكْفِيهِ إِلَّا الْكَثِيرُ وَهُوَ نَادِرٌ، وَلَا اعْتِبَارَ فِيهِ بِالنَّادِرَيْنِ فِي الْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ، وَيُعْتَبَرُ وَسَطُ الطَّرَفَيْنِ فَيَكُونُ هُوَ الْمِقْدَارُ الَّذِي يَسْتَحِقُّهُ الْعَبْدُ، وقد يختلف ذلك على وَجْهَيْنِ:

Adapun mengenai kadarnya, maka diukur berdasarkan kecukupan sesuai dengan apa yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang sepertinya pada umumnya, dan tidak ada ukuran tertentu, berbeda dengan para istri, karena nafkah istri merupakan bentuk mu‘āwaḍah (imbalan), sedangkan yang ini adalah bentuk muwāsāh (solidaritas sosial). Maka, diukur dengan kebiasaan mayoritas dari kalangan masyarakat menengah; sebab di antara manusia ada yang zuhud, cukup dengan sedikit dan itu jarang, dan ada pula yang rakus, tidak cukup kecuali dengan banyak dan itu juga jarang. Maka, yang langka dalam hal sedikit maupun banyak tidak menjadi pertimbangan, yang dijadikan ukuran adalah pertengahan antara dua ujung tersebut, sehingga itulah kadar yang berhak didapatkan oleh seorang budak. Namun, hal ini bisa berbeda dalam dua hal:

أَحَدُهُمَا: بِالصِّغَرِ وَالْكِبَرِ، فَإِنَّ لِلصَّغِيرِ مِنْهُ مقدار لا يكتفي به الكبير، وللكبير مقدار لَا يَسْتَحِقُّهُ الصَّغِيرُ، فَيُعْطَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحَسَبِ حَالِهِ.

Pertama: Berdasarkan usia muda dan tua, karena untuk yang masih kecil ada kadar tertentu yang tidak cukup bagi yang dewasa, dan untuk yang dewasa ada kadar tertentu yang tidak berhak didapatkan oleh yang kecil. Maka, masing-masing diberikan sesuai dengan kondisinya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَ مِقْدَارُهُ بِعُرْفِ الْبِلَادِ، فَإِنَّ أَهْلَ الْحِجَازِ يَكْتَفُونَ بِالْقَلِيلِ وَأَهْلَ الْعِرَاقِ يَتَوَسَّطُونَ، وَالْأَعَاجِمَ وَأَهْلَ الْجِبَالِ يُكْثِرُونَ، فَلَوْ أَعْطَاهُ الْمِقْدَارَ الْمُعْتَبَرَ فِي الْعُرْفِ الْمُتَوَسِّطِ لَمْ يَخْلُ فِيهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Kedua: Kadar tersebut bisa berbeda menurut ‘urf (kebiasaan) di suatu negeri. Misalnya, penduduk Hijaz cukup dengan sedikit, penduduk Irak berada di tengah-tengah, sedangkan orang ‘ajam (non-Arab) dan penduduk pegunungan cenderung banyak. Jika diberikan kadar yang dianggap cukup menurut ‘urf pertengahan, maka ada tiga kemungkinan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ وفق كفايته فقد ملكه: ولي لِلسَّيِّدِ أَنْ يَسْتَرْجِعَهُ، وَلِلْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَهُ مَتَى شَاءَ إِذَا تَاقَتْ نَفْسُهُ إِلَيْهِ فِي مَرَّةٍ أو مرتين أو مرار، فَإِنْ أَرَادَ السَّيِّدُ أَنْ يُبَدِّلَهُ بِغَيْرِهِ فِي وَقْتِ أَكْلِهِ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ كَانَ قَبْلَهُ جَازَ لِيُعْتَبَرَ فِيهِ حَقُّهُ عِنْدَ الْأَكْلِ، وَعِنْدِي إِنْ كَانَ إِبْدَالُهُ يُؤَخِّرُ أَكْلَهُ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ لَمْ يُؤَخِّرْ جَازَ.

Pertama: Jika sesuai dengan kebutuhannya, maka ia telah memilikinya; tuannya tidak berhak menariknya kembali, dan budak berhak memakannya kapan saja ia mau, baik sekali, dua kali, atau berkali-kali. Jika tuan ingin menggantinya dengan yang lain pada saat budak sedang makan, maka tidak boleh; namun jika sebelum itu, maka boleh, agar hak budak tetap terjaga saat makan. Menurut pendapat saya, jika penggantian tersebut menyebabkan keterlambatan makan, maka tidak boleh; namun jika tidak menyebabkan keterlambatan, maka boleh.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ كِفَايَتِهِ، لِأَنَّهُ زَهِيدٌ مُقَلِّلٌ فَلِلسَّيِّدِ اسْتِرْجَاعُ الْفَاضِلِ مِنْهُ لِأَنَّهُ مِنْ كَسْبِهِ، وَلَيْسَ لِلْعَبْدِ أَنْ يَهَبَهُ وَلَا أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ إِلَّا عَنْ إِذْنِهِ.

Kedua: Jika lebih dari kebutuhannya, karena budak tersebut zuhud dan terbiasa sedikit, maka tuan berhak mengambil kelebihan dari nafkah itu karena itu merupakan hasil usahanya. Budak tidak boleh memberikannya kepada orang lain atau bersedekah dengannya kecuali dengan izin tuannya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ كِفَايَتِهِ، لِأَنَّهُ رَغِيبٌ مُكْثِرٌ فَيُنْظَرُ فِيهِ فَإِنْ كَانَ اقْتِصَارُهُ عَلَى الْقَدْرِ الْمُتَوَسِّطِ غَيْرَ مُؤَثِّرٍ فِي بَدَنِهِ وَقُوَّتِهِ لَمْ يَلْزَمِ السَّيِّدَ أَنْ يَزِيدَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ مُؤَثِّرًا فِي بَدَنِهِ وَقُوَّتِهِ لَزِمَ أَنْ يُتِمَّ لَهُ مِقْدَارَ كِفَايَتِهِ وَإِنْ نَدَرَتْ لِأَنَّ عَلَيْهِ حراسة نفسه.

Ketiga: Jika kurang dari kebutuhannya, karena budak tersebut rakus dan terbiasa banyak, maka dilihat kondisinya; jika mencukupkan diri dengan kadar pertengahan tidak berpengaruh pada tubuh dan kekuatannya, maka tuan tidak wajib menambahkannya. Namun, jika berpengaruh pada tubuh dan kekuatannya, maka wajib bagi tuan untuk menyempurnakan kadar kebutuhannya, meskipun itu jarang, karena tuan bertanggung jawab menjaga keselamatan budaknya.

(الْقَوْلُ فِي جِنْسِ نَفَقَةِ الرَّقِيقِ)

(Pembahasan tentang jenis nafkah untuk budak)

(فَصْلٌ)

(Fasal)

وَأَمَّا جِنْسُ قُوتِهِ، فَالْمُعْتَبَرُ بِعُرْفِ بَلَدِهِ فِيمَا يَقْتَاتَهُ غَالِبُ مُتَوَسِّطِهِمْ، فَإِنِ اقْتَاتُوا الْحِنْطَةَ أَعْطَاهُ مِنْهَا، وَإِنِ اقْتَاتُوا غَيْرَهَا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ ذُرَةٍ أَوْ أَقِطٍ أَوْ تَمْرٍ كَانَ حَقُّهُ مِنْهَا، وَلَا اعْتِبَارَ بِالسَّيِّدِ إِذَا تَنَعَّمَ فَأَكَلَ السَّمِيدَ وَالْمُحَوَّرَ لِوُقُوعِ الْفَرْقِ فِي الْأَغْلَبِ بَيْنَ السَّادَةِ وَالْعَبِيدِ وَقَدْ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ “، وَالْمَعْرُوفُ هُوَ اعْتِبَارُ الْعُرْفِ بِالْمَأْلُوفِ وَكَذَلِكَ حَالَةُ الْعَبْدِ فِي إِدَامِهِ يُؤْدِمُ بِمَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ الْمُتَوَسِّطِينَ فِي بَلَدِهِ مِنْ لَحْمٍ أَوْ سَمَكٍ أَوْ دُهْنٍ أَوْ لَبَنٍ، وَلَا اعْتِبَارَ بِإِدَامِ السَّيِّدِ إِذَا تلذذ بأكل الدجاج والخرفان، وكذلك لوقتر عَلَى نَفْسِهِ، لِأَنَّهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ مُتَحَكِّمٌ وَفِي حَقِّ غَيْرِهِ مُلْتَزِمٌ، وَعَلَى السَّيِّدِ فِي طَعَامِ عَبْدِهِ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَيْهِ مَخْبُوزًا، وَفِي إِدَامِهِ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَيْهِ مَصْنُوعًا. بِخِلَافِ الزَّوْجَةِ الَّتِي تَسْتَحِقُّهُ حَبًّا لِثُبُوتِهِ فِي الذِّمَّةِ، وَيُسْتَحَبُّ لِلسَّيِّدِ إِذَا تَوَلَّى عَبْدُهُ صُنْعَ طَعَامِهِ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْهُ مَا يَدْفَعُ بِهِ شَهْوَتَهُ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – انه قال: ” إذا كفى خادم أحدكم طَعَامَهُ حَرَّهُ وَدُخَانَهُ فَلْيُجْلِسْهُ مَعَهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُرَوِّغْ لَهُ اللُّقْمَةَ وَاللُّقْمَتَيْنِ، وَالتَّرْوِيغُ أَنْ يُرَوِّيَهَا مِنَ الدَّسَمِ فَإِنِ امْتَنَعَ لَمْ يُجْبِرْهُ.

Adapun jenis makanan pokoknya, maka yang dijadikan acuan adalah kebiasaan di negerinya, yaitu apa yang biasa dikonsumsi oleh mayoritas kalangan menengah di sana. Jika mereka biasa makan gandum, maka diberikan dari gandum; jika mereka biasa makan selainnya seperti jelai, jagung, aqith (keju kering), atau kurma, maka haknya diberikan dari itu. Tidak diperhatikan makanan tuan jika ia hidup mewah dengan makan semolina dan makanan olahan, karena umumnya terdapat perbedaan antara kebiasaan para tuan dan para budak. Nabi ﷺ bersabda: “Bagi budak, makanan dan pakaiannya diberikan secara ma‘rūf (sesuai kebiasaan yang berlaku).” Yang dimaksud ma‘rūf adalah memperhatikan kebiasaan yang lazim. Begitu pula dalam hal lauk pauk budak, diberikan sesuai kebiasaan kalangan menengah di negerinya, baik berupa daging, ikan, minyak, atau susu. Tidak diperhatikan lauk pauk tuan jika ia menikmati makan ayam dan domba, begitu pula jika ia berhemat untuk dirinya sendiri, karena terhadap dirinya ia berhak menentukan, sedangkan terhadap orang lain ia terikat kewajiban. Tuan wajib memberikan makanan kepada budaknya dalam bentuk sudah dipanggang/siap makan, dan lauk pauknya juga dalam bentuk sudah diolah. Berbeda dengan istri yang berhak mendapat bahan makanan mentah karena menjadi tanggungan dalam dzimmah (utang kewajiban). Dianjurkan bagi tuan, jika budaknya sendiri yang memasak makanannya, untuk memberinya bagian yang dapat menghilangkan nafsu laparnya, berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ: “Jika pelayan salah seorang dari kalian telah cukup menanggung panas dan asap makanan kalian, maka dudukkanlah ia bersamamu. Jika engkau enggan, maka berikanlah kepadanya satu atau dua suapan. Dan yang dimaksud ‘memberikan’ adalah memberinya bagian yang mengandung lemak. Jika ia menolak, maka tidak boleh dipaksa.”

(الْقَوْلُ في كسوة المملوك)

(Pembahasan tentang pakaian budak)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكِسْوَتُهُمْ كَذَلِكَ مِمَّا يَعْرِفُ أَهْلُ ذَلِكَ الْبَلَدِ أَنَّهُ معروف صُوفٌ أَوْ قُطْنٌ أَوْ كَتَّانٌ أَيُّ ذَلِكَ كَانَ الْأَغْلَبَ بِذَلِكَ الْبَلَدِ وَكَانَ لَا يُسَمَّى مِثْلُهُ ضَيِّقًا بِمَوْضَعِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Pakaian mereka juga demikian, yaitu dari jenis yang dikenal oleh penduduk negeri tersebut sebagai pakaian yang ma‘rūf, baik itu wol, kapas, atau linen, mana saja yang paling umum di negeri itu dan tidak dianggap sempit (tidak layak) di tempat tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: كِسْوَةُ الْعَبْدِ مُعْتَبَرَةٌ بِمِثْلِ مَا اعْتُبِرَ بِهِ قُوتُهُ مِنْ غَالِبِ كِسْوَاتِ الْعَبِيدِ فِي الْبَلَدِ، وَالْإِمَاءِ فِي الصَّيْفِ وَالشِّتَاءِ، وَيَمْلِكُ الْعَبْدُ لِبَاسَ كِسْوَتِهِ، وَلَا يَمْلِكُ أَثْمَانَهَا وَإِذَا خَلَقَتِ اسْتَجَدَّ لَهُ السَّيِّدُ غَيْرَهَا، وَلَا يَلْزَمُ السَّيِّدَ إِذَا كَانَ يَلْبَسُ مُرْتَفِعَ الثِّيَابِ وَنَاعِمَهَا مِنَ الْوَشْيِ وَالْحَرِيرِ أَنْ يُسَاوِيَ فِيهَا بَيْنَ نَفْسِهِ وَبَيْنَ عَبْدِهِ، وَيَلْزَمُهُ إِذَا كَانَ يَلْبَسُ أَدْنَى الثِّيَابِ كَالْبَوَادِي وَأَهْلِ الْقُرَى أَنْ يُسَوِّيَ بَيْنَ نَفْسِهِ وَعَبْدِهِ، فَقَدْ رَوَى أَبُو ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: إخوانكم حولكم تَحْتَ أَيْدِيكُمْ أَطْعِمُوهُمْ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُمْ مِمَّا تَلْبَسُونَ وَذَلِكَ مُتَوَجِّهٌ إِلَى مَنْ جَرَتْ عَادَتُهُمْ فِي مَأْكَلِهِمْ وَمَلْبَسِهِمْ بِمُسَاوَاةِ عَبِيدِهِمْ دُونَ الْمُتَمَيِّزِينَ عَنْهُمْ، وَالسَّادَةُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:

Al-Mawardi berkata: Pakaian budak diukur sebagaimana makanan pokoknya, yaitu berdasarkan pakaian yang umum dipakai para budak di negeri itu, baik laki-laki maupun perempuan, pada musim panas maupun musim dingin. Budak memiliki hak kepemilikan atas pakaian yang diberikan kepadanya, namun tidak atas harganya. Jika pakaian itu rusak, maka tuan wajib memberinya pakaian baru. Tuan tidak wajib menyamakan budaknya dengan dirinya dalam hal pakaian mewah seperti pakaian berhias dan sutra jika ia sendiri memakainya, namun jika ia sendiri memakai pakaian yang sederhana seperti pakaian orang pedalaman dan desa, maka ia wajib menyamakan antara dirinya dan budaknya. Abu Dzar meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Saudara-saudaramu adalah orang-orang yang berada di bawah kekuasaanmu, berilah mereka makan dari apa yang kalian makan dan pakaian dari apa yang kalian pakai.” Ini berlaku bagi mereka yang sudah menjadi kebiasaan untuk menyamakan antara makanan dan pakaian mereka dengan budaknya, bukan bagi mereka yang membedakan diri dari budaknya. Para tuan terbagi menjadi empat golongan:

أَحَدُهَا: مُوسِرٌ يَسْتَعْمِلُ أَعْمَالَ الْمُوسِرِينَ، فَلَا تَلْزَمُهُ التَّسْوِيَةُ بَيْنَ نَفْسِهِ وَعَبْدِهِ.

Pertama: Orang kaya yang menjalani kehidupan orang-orang kaya, maka ia tidak wajib menyamakan antara dirinya dan budaknya.

وَالثَّانِي: مُعْسِرٌ يَسْتَعْمِلُ أَعْمَالَ الْمُعْسِرِينَ فَهَذَا يَلْزَمُهُ التَّسْوِيَةُ بَيْنَ نَفْسِهِ وَبَيْنَ عَبْدِهِ.

Kedua: Orang miskin yang menjalani kehidupan orang-orang miskin, maka ia wajib menyamakan antara dirinya dan budaknya.

وَالثَّالِثُ: هُوَ مُوسِرٌ يَسْتَعْمِلُ أَفْعَالَ الْمُعْسِرِينَ فَيَلْزَمُهُ مُسَاوَاةُ عَبْدِهِ.

Ketiga: Orang kaya yang menjalani kehidupan orang miskin, maka ia wajib menyamakan budaknya dengan dirinya.

وَالرَّابِعُ: مُعْسِرٌ يَسْتَعْمِلُ أفعال الموسرين فيمنع من مساواة عبده لترفهه فِي حَقِّ نَفْسِهِ.

Keempat: Orang miskin yang menjalani kehidupan orang kaya, maka ia tidak wajib menyamakan budaknya karena ia sendiri hidup mewah untuk dirinya.

(الْقَوْلُ فِي كِسْوَةِ الْجَوَارِي)

(Pembahasan tentang pakaian para jariyah/budak perempuan)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْجَوَارِي إِذَا كَانَتْ لَهُنَّ فَرَاهَةٌ وَجَمَالٌ فَالْمَعْرُوفُ انهن يكسين أحسن من كسوة اللائي دُونَهُنَّ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي الْمَمْلُوكِينَ أَطْعِمُوهُمْ مما تأكلون واكسوهم مما تلبسون (قال الشافعي) رحمه الله: هذا كلام مجمل يجوز أن يكون على الجواب فيسال السائل عن مماليكه وإنما يأكل تمراً أو شعيراً ويلبس صوفاً فقال أطعموهم مما تأكلون واكسوهم مما تلبسون والسائلون عرب ولبوس عامتهم وطعامهم خشن ومعاشهم ومعاش رقيقهم متقارب فأما من خالف معاش السلف فأكل رقيق الطعام ولبس جيد الثياب فلو آسى رقيقه كان أحسن وإن لم يفعل فله ما قاله رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” نفقته وكسوته بالمعروف ” فأما من لبس الوشي والمروي والخز وأكل النقي وألوان لحوم الدجاج فهذا ليس بالمعروف للمماليك وقال عليه السلام ” إِذَا كَفَى أَحَدِكُمْ خَادِمُه طَعَامَهُ حَرَّهُ وَدُخَانَهُ فليدعه فليجلسه معه فإن أبى فليروغ له لقمة فيناوله إياها ” أو كلمة هذا معناها فلما قال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فليروغ له لقمة ” كان هذا عندنا والله أعلم على وجهين أولاهما بمعناه أن إجلاسه معه أفضل وإن لم يفعل فليس بواجب إِذْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” وإلا فليروغ له لقمة ” لأن إجلاسه لو كان واجبا لم يجعل له أن يروغ له لقمة دون أن يجلسه معه أو يكون بالخيار بين أن يناوله أو يجلسه وقد يكون أمر اختيار غير الحتم وهذا يدل على ما وصفنا من بيان طعام المملوك وطعام سيده والمملوك الذي يلي طعام الرجل مخالف عندي للمملوك الذي لا يلي طعامه ينبغي أن يناوله مما يقرب إليه ولو لقمة فإن المعروف أن لا يكون يرى طعاماً قد ولي العمل فيه ثم لا ينال منه شيئاً يرد به شهوته وأقل ما يرد به شهوته لقمة وغيره من المماليك لم يله ولم يره والسنة خصت هذا من المماليك دون غيره وفي القرآن ما يدل على ما يوافق بعض معنى هذا قال الله جل ثناؤه {وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فارزقوهم منه} ولم يقل يرزق مثلهم ممن لم يحضر وقيل ذلك في المواريث وغيرها من الغنائم وهذا أوسع وأحب إلي ويعطون ما طابت به نفس المعطي بلا توقيت ولا يحرمون “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Para jawari (budak perempuan) apabila mereka memiliki pesona dan kecantikan, maka yang dikenal adalah mereka diberi pakaian yang lebih baik daripada pakaian yang di bawah mereka. Ibnu ‘Abbas berkata tentang para budak: ‘Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan dan pakaikanlah mereka dari apa yang kalian pakai.’ (Imam Syafi‘i) raḥimahullāh berkata: Ini adalah perkataan yang bersifat umum, bisa jadi maksudnya adalah sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang tentang budaknya, sementara ia sendiri hanya makan kurma atau gandum dan memakai pakaian dari wol, maka dikatakan kepadanya: ‘Berilah mereka makan dari apa yang kamu makan dan pakaikanlah mereka dari apa yang kamu pakai.’ Para penanya adalah orang Arab, dan pakaian serta makanan mayoritas mereka kasar, serta penghidupan mereka dan budak mereka hampir sama. Adapun orang yang kehidupannya berbeda dengan kehidupan para salaf, yakni makan makanan yang lezat dan memakai pakaian yang bagus, maka jika ia menyamakan budaknya dengannya, itu lebih baik. Namun jika tidak, maka baginya apa yang dikatakan Rasulullah ﷺ: ‘Nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang ma‘ruf (patut).’ Adapun orang yang memakai pakaian mewah dan makan makanan pilihan serta berbagai jenis daging ayam, maka ini bukanlah yang ma‘ruf bagi para budak. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian telah mencukupi pelayannya dengan makanan panas dan asapnya, maka hendaklah ia membiarkannya, lalu mendudukkannya bersamanya. Jika ia enggan, maka hendaklah ia mengambilkan sesuap makanan untuknya dan memberikannya kepadanya,’ atau perkataan yang maknanya seperti itu. Ketika Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Maka hendaklah ia mengambilkan sesuap makanan untuknya,’ maka menurut kami—wallāhu a‘lam—ada dua kemungkinan: pertama, maknanya adalah bahwa mendudukkannya bersama lebih utama, namun jika tidak dilakukan maka tidak wajib, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Jika tidak, maka hendaklah ia mengambilkan sesuap makanan untuknya.’ Jika mendudukkannya wajib, tentu tidak diberi pilihan untuk hanya mengambilkan sesuap makanan tanpa mendudukkannya, atau diberi pilihan antara memberikannya atau mendudukkannya. Dan kadang perintah pilihan itu bukanlah perintah yang wajib. Ini menunjukkan apa yang kami jelaskan tentang makanan budak dan makanan tuannya. Budak yang mengurus makanan majikannya berbeda menurut saya dengan budak yang tidak mengurus makanannya; hendaknya ia diberi dari makanan yang dekat dengannya, meskipun hanya sesuap, karena yang ma‘ruf adalah tidak pantas melihat makanan yang telah ia kerjakan namun tidak mendapat bagian sedikit pun untuk menghilangkan keinginannya, dan paling sedikit untuk menghilangkan keinginannya adalah sesuap. Adapun budak lain yang tidak mengurus dan tidak melihatnya, maka sunnah telah mengkhususkan hal ini untuk budak tertentu saja, tidak untuk yang lain. Dalam Al-Qur’an juga terdapat isyarat yang sesuai dengan sebagian makna ini, Allah Ta‘ala berfirman: {Dan apabila sewaktu pembagian (warisan) hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka sebagian darinya} dan tidak dikatakan memberi seperti mereka yang tidak hadir. Hal ini disebutkan dalam masalah warisan dan juga dalam pembagian ghanīmah. Ini lebih luas dan lebih aku sukai, dan mereka diberi sesuai kerelaan pemberi tanpa batasan tertentu dan tidak diharamkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا اعْتِبَارُ الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ. فَجِوَارِي الْخِدْمَةِ مُبْتَذَلَاتٌ، فَالْعُرْفُ فِي كِسْوَتِهِنَّ أَنْ تَكُونَ أَدْوَنَ، وَجِوَارِي التَّسَرِّي مَصُونَاتٌ لِلِاسْتِمْتَاعِ، وَالْعُرْفُ فِي كِسْوَتِهِنَّ أَنْ تَكُونَ أَرْفَعَ، فَكَذَلِكَ الْعَبِيدُ كِسْوَةُ مَنْ هُوَ بَيْنَ الدَّوَابِّ أَدْوَنُ مِنْ كِسْوَةِ مَنْ قَامَ بِتَمْيِيزِ الْأَمْوَالِ، وَكِسْوَاتُ الْجَوَارِي أَعَمُّ مِنْ كِسْوَاتِ الْعَبِيدِ لِمَا يَلْزَمُهُمْ مِنْ فَضْلِ السَّتْرِ لِئَلَّا تَمْتَدَّ إِلَيْهِنَّ الْأَبْصَارُ فَتَتَحَرَّكَ بِهَا الشَّهَوَاتُ.

Al-Mawardi berkata: “Dasar dari hal ini adalah mempertimbangkan ‘urf (kebiasaan) dan adat. Para jawari yang bertugas sebagai pelayan adalah budak yang biasa dipakai untuk pekerjaan, maka menurut ‘urf pakaian mereka lebih sederhana. Sedangkan jawari yang dijadikan sebagai selir adalah terjaga untuk dinikmati, maka menurut ‘urf pakaian mereka lebih baik. Demikian pula para budak laki-laki, pakaian budak yang bekerja di antara hewan ternak lebih sederhana daripada pakaian budak yang bertugas mengelola harta. Pakaian para jawari lebih umum daripada pakaian para budak laki-laki karena mereka lebih dituntut untuk menutup aurat agar pandangan tidak tertuju kepada mereka sehingga membangkitkan syahwat.”

(الْقَوْلُ فِيمَا يَجِبُ عَلَى الْمَمْلُوكِ من العمل)

(Pembahasan tentang kewajiban kerja bagi budak)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَعْنَى لَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ يَعْنِي وَاللَّهُ أَعْلَمُ إِلَّا مَا يُطِيقُ الدَّوَامَ عَلَيْهِ لَا مَا يُطِيقُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً وَنَحْوَ ذَلِكَ ثَمَّ يَعْجِزُ وَجُمْلَةُ ذَلِكَ مَا لَا يَضُرُّ بِبَدَنِهِ الضَّرَرَ الْبَيِّنَ “.

Imam Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Maksud dari ‘tidak dibebani pekerjaan kecuali yang mampu dikerjakan’ adalah—wallāhu a‘lam—kecuali pekerjaan yang mampu dilakukan secara terus-menerus, bukan pekerjaan yang hanya mampu dilakukan satu, dua, atau tiga hari lalu setelah itu ia tidak sanggup lagi. Kesimpulannya adalah pekerjaan yang tidak menimbulkan mudarat yang nyata bagi tubuhnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى مَا لِلْمَمْلُوكِ عَلَى سَيِّدِهِ مِنَ الْقُوتِ وَالْكِسْوَةِ، فَأَمَّا مَا لِلسَّيِّدِ عَلَى مَمْلُوكِهِ مِنَ الْعَمَلِ وَالْخِدْمَةِ فَيَفْتَرِقُ فِيهِ حَالُ الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ، لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْعُرْفِ نَوْعًا مِنَ الْخِدْمَةِ وَصِنْفًا مِنَ الْعَمَلِ، لِاخْتِلَافِ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فِيهِمَا، فَيُكَلَّفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَعْهُودَ خِدْمَتِهِ وَمَأْلُوفَ عَمَلِهِ، فَإِنِ اشْتَرَكَ الْفَرِيقَانِ فِي عَمَلٍ اسْتَعْمَلَ فِيهِ مَنْ شَاءَ مِنْهُمَا، وَيَجُوزُ أَنْ يَنْقُلَ عَبْدَهُ وَأَمَتَهُ مِنْ صِنَاعَةٍ قَدِ اخْتَصَّ بِهَا إِلَى تَعَلُّمِ غَيْرِهَا مِنْ صَنَائِعِ مِثْلِهِ، فَأَمَّا قَدْرُ الْعَمَلِ فَمُعْتَبَرٌ بِمَا يُطِيقُ الدَّوَامَ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ يُؤَثِّرُ فِي إِنْهَاكِ بَدَنٍ وَإِضْعَافِ قُوَّةٍ، فَأَمَّا مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً وَلَا يُطِيقُ الدَّوَامَ عَلَيْهِ أَوْ كَانَ يُؤَثِّرُ فِي إِنْهَاكِ بَدَنِهِ وَإِضْعَافِ قُوَّتِهِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُكَلِّفَهُ إِيَّاهُ فِي طَوِيلِ الزَّمَانِ وَلَا فِي قَصِيرِهِ، لِأَنَّهُ نَوْعٌ خَرَجَ مِنْ مُسْتَحِقِّ عَمَلِهِ فَإِنْ رَضِيَ بِهِ الْعَبْدُ فِي مُدَّةِ طَاقَتِهِ جَازَ. وَإِنْ كَثُرَ مُنِعَ مِنَ الْإِضْرَارِ بِنَفْسِهِ

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya mengenai hak budak atas tuannya berupa makanan pokok dan pakaian. Adapun hak tuan atas budaknya berupa pekerjaan dan pelayanan, maka dalam hal ini keadaan budak laki-laki dan budak perempuan berbeda, karena masing-masing dari keduanya menurut kebiasaan memiliki jenis pelayanan dan macam pekerjaan yang berbeda, sesuai perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut. Maka masing-masing dari keduanya dibebani dengan pelayanan yang lazim baginya dan pekerjaan yang biasa dilakukannya. Jika keduanya sama-sama mampu melakukan suatu pekerjaan, maka tuan boleh mempekerjakan siapa saja dari keduanya yang ia kehendaki. Dan boleh bagi tuan memindahkan budak laki-laki atau perempuannya dari suatu keahlian yang telah dikuasainya kepada mempelajari keahlian lain yang sejenis. Adapun kadar pekerjaan, maka diukur dengan apa yang mampu dilakukan secara terus-menerus selama tidak menyebabkan kelelahan fisik dan melemahkan kekuatan. Adapun pekerjaan yang hanya mampu dilakukan satu, dua, atau tiga hari saja dan tidak sanggup dilakukan secara terus-menerus, atau pekerjaan yang menyebabkan kelelahan fisik dan melemahkan kekuatan, maka tuan tidak boleh membebankan pekerjaan itu dalam waktu lama maupun singkat, karena itu termasuk jenis pekerjaan yang keluar dari hak budaknya. Jika budak rela melakukannya selama masih dalam batas kemampuannya, maka hal itu boleh. Namun jika pekerjaannya terlalu berat, maka dilarang membahayakan dirinya.

(الْقَوْلُ فِي نَفَقَةِ الْمَمْلُوكِ إذا عمي أو زمن)

(Pembahasan tentang nafkah budak apabila ia buta atau cacat)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ عَمِيَ أَوْ زَمِنَ أَنْفَقَ عَلَيْهِ مَوْلَاهُ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika budak itu menjadi buta atau cacat, maka tuannya tetap wajib menafkahinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِوُجُوبِ النَّفَقَةِ بِالْمِلْكِ دُونَ الْعَمَلِ فَاسْتَوَى فِيهَا الصَّحِيحُ وَالزَّمِنُ، كَمَا يَسْتَوِي فِيهَا الصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ، وَيَجُوزُ أَنْ يُسْتَعْمَلَ الْأَعْمَى وَالزَّمِنُ فِيمَا يَصِحُّ مِنَ الْعُمْيَانِ وَالزَّمْنَى.

Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena kewajiban nafkah itu disebabkan oleh kepemilikan, bukan karena pekerjaan. Maka dalam hal ini, budak yang sehat dan yang cacat sama saja, sebagaimana anak kecil dan dewasa juga sama. Dan boleh mempekerjakan budak yang buta atau cacat dalam pekerjaan yang masih bisa dilakukan oleh orang buta atau cacat.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَسْتَرْضِعَ الْأَمَةَ غَيْرَ وَلَدِهَا فَيَمْنَعَ مِنْهَا وَلَدَهَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهَا فَضْلٌ عَنْ رِيِّهِ أَوْ يَكُونَ وَلَدُهَا يَغْتَذِي بِالطَّعَامِ فَيُقِيمَ بَدَنَهُ فَلَا بَأْسَ بِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tuan tidak boleh menyuruh budak perempuan menyusui anak selain anaknya sendiri, lalu mencegah anaknya sendiri dari air susunya, kecuali jika air susunya berlebih dari kebutuhan anaknya, atau anaknya sudah bisa makan makanan sehingga tubuhnya tetap terjaga, maka tidak mengapa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لَا يَخْلُو وَلَدُ الْأَمَةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ حُرًّا أَوْ مَمْلُوكًا، فَإِنْ كَانَ حُرًّا فَنَفَقَتُهُ وَرَضَاعُهُ عَلَى أَبِيهِ دُونَ سَيِّدِ أُمِّهِ، وَلِسَيِّدِهَا أَنْ يَسْتَرْضِعَ لَبَنَهَا مَنْ أَرَادَ، وَإِنْ كَانَ مَمْلُوكًا لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ لِسَيِّدِ أُمِّهِ أَوْ غَيْرِهِا، فَإِنْ كَانَ مِلْكًا لِغَيْرِ سَيِّدِهَا فَنَفَقَتُهُ وَرَضَاعَتُهُ عَلَى سَيِّدِهِ، وَإِنْ كَانَ لِسَيِّدِهَا فَنَفَقَتُهُ وَرَضَاعَتُهُ عَلَى سَيِّدِهَا وَأُمُّهُ أَحَقُّ بِرَضَاعِهِ مِنْ غَيْرِهَا لِفَضْلِ حُنُوِّهَا وَاسْتِمْرَاءِ لَبَنِهَا وَإِدْرَارِهِ عَلَيْهِ دُونَ غَيْرِهَا، وَلَا يَخْلُو لَبَنُهَا مَعَهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:

Al-Mawardi berkata: Anak budak perempuan tidak lepas dari dua kemungkinan: ia adalah anak merdeka atau budak. Jika ia anak merdeka, maka nafkah dan susunya menjadi tanggungan ayahnya, bukan tuan ibunya. Tuan budak perempuan boleh memanfaatkan air susunya untuk siapa saja yang ia kehendaki. Jika anak itu budak, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: ia milik tuan ibunya atau milik orang lain. Jika ia milik orang lain, maka nafkah dan susunya menjadi tanggungan tuannya sendiri. Jika ia milik tuan ibunya, maka nafkah dan susunya menjadi tanggungan tuan ibunya, dan ibunya lebih berhak menyusui anaknya daripada orang lain karena keutamaan kasih sayang, kecocokan air susu, dan kelancaran air susu untuk anaknya, tidak seperti kepada anak lain. Air susu budak perempuan itu bersama anaknya tidak lepas dari tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بِقَدْرِ رِيِّهِ وَوَفْقَ كِفَايَتِهِ فَعَلَى السَّيِّدِ أَنْ يُخَلِّيَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَضَاعِ وَلَدِهَا، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَسْتَرْضِعَهَا غَيْرَهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا} [البقرة: 233] .

Pertama: Air susunya cukup untuk kebutuhan anaknya dan sesuai dengan kebutuhannya, maka tuan wajib membiarkan budak perempuan itu menyusui anaknya sendiri, dan tidak boleh memanfaatkannya untuk menyusui anak lain, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Tidak boleh seorang ibu dirugikan karena anaknya} (QS. Al-Baqarah: 233).

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ لَبَنُهَا قَاصِرًا عَنْ رِيِّهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُمَكِّنَهَا مِنْ رَضَاعِهِ وَيُتَمِّمَ لَهُ مِنْ غَيْرِهَا بِقِيمَةِ رِيِّهِ.

Kedua: Air susunya kurang dari kebutuhan anaknya, maka tuan wajib membiarkan budak perempuan itu menyusui anaknya, dan mencukupi kekurangannya dari orang lain sesuai kebutuhan anaknya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ لَبَنُهَا أَكْثَرَ مِنْ رِيِّهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُمَكِّنَهُ مِنَ ارْتِضَاعِ رِيِّهِ، وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْتَرْضِعَ فَاضِلَ لَبَنِهَا مَنْ شَاءَ بِأَجْرٍ أَوْ بِغَيْرِ أَجْرٍ.

Ketiga: Air susunya lebih banyak dari kebutuhan anaknya, maka tuan wajib membiarkan budak perempuan itu menyusui anaknya hingga cukup, dan boleh memanfaatkan kelebihan air susunya untuk siapa saja yang ia kehendaki, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُنْفِقُ عَلَى وَلَدِ أُمِّ وَلَدِهِ مِنْ غَيْرِهِ “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan wajib menafkahi anak dari ummu walad-nya (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya) dari selain dirinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا وَلَدُهُ مِنْهَا فَهُوَ حُرٌّ وَعَلَيْهِ نَفَقَتُهُ وَكِسْوَتُهُ كَسَائِرِ وَلَدِهِ، وَأَمَّا وَلَدُهَا مِنْ غَيْرِهِ فَهُوَ مَمْلُوكٌ لَهُ وَتَبَعٌ لِأُمِّهِ يُمْنَعُ مَنْ بِيعِهِ وَيُعْتَقُ عَلَيْهِ بِمَوْتِهِ مَعَ أُمِّهِ فَعَلَيْهِ نَفَقَتُهُمَا، وَإِنْ حَرُمَ عَلَيْهِ بِيعَهُمَا لِجَرَيَانِ أَحْكَامِ الرِّقِّ عَلَيْهِمَا، وَيَمْلِكُ أَكْسَابَهُمَا وَيَسْتَخْدِمُهُمَا للأم دون الولد.

Al-Mawardi berkata: Adapun anaknya dari perempuan itu, maka ia adalah merdeka dan wajib atasnya (bapak) untuk menafkahi dan memberinya pakaian sebagaimana anak-anaknya yang lain. Adapun anak perempuan itu dari selainnya, maka ia adalah milik (budak) baginya dan mengikuti status ibunya; tidak boleh dijual dan dimerdekakan bersamaan dengan ibunya ketika tuannya wafat, sehingga wajib atasnya menafkahi keduanya. Meskipun haram baginya menjual keduanya karena hukum-hukum perbudakan tetap berlaku atas keduanya, ia berhak memiliki hasil usaha keduanya dan boleh mempekerjakan keduanya, namun hanya kepada ibu, bukan kepada anak.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَمْنَعُهُ الْإِمَامُ أَنْ يَجْعَلْ عَلَى أَمَتِهِ خَرَاجًا إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي عَمَلٍ وَاجِبٍ وَكَذَلِكَ الْعَبْدُ إِذَا لَمْ يُطِقِ الْكَسْبَ قَالَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي خُطْبَتِهِ ” لَا تُكَلِّفُوا الصَّغِيرَ الْكَسْبَ فَيَسْرِقَ وَلَا الْأَمَةَ غَيْرَ ذَاتِ الصَّنْعَةِ فَتَكْسِبَ بِفَرْجِهَا “.

Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan imam (penguasa) melarang seseorang untuk membebankan kharaj (pajak/hasil tertentu) kepada budak perempuannya kecuali dalam pekerjaan yang wajib. Demikian pula terhadap budak laki-laki jika ia tidak mampu bekerja. Utsman bin Affan ra. berkata dalam khutbahnya: ‘Janganlah kalian membebani anak kecil untuk bekerja sehingga ia mencuri, dan jangan pula membebani budak perempuan yang tidak memiliki keahlian sehingga ia mencari penghasilan dengan kemaluannya.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَضْعُ الْخَرَاجِ عَلَى الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ هُوَ أَنْ يُخْلِفَ السَّيِّدُ بَيْنَ عَبْدِهِ وَكَسْبِهِ عَلَى أَنْ يَدْفَعَ إِلَى سَيِّدِهِ كُلَّ يَوْمٍ قَدْرًا مَعْلُومًا، وَيَكُونَ لَهُ فَاضِلُ كَسْبِهِ بِنَفَقَةٍ عَلَى نَفْسِهِ وَيَصْنَعَ بِهِ مَا شَاءَ، وَلَا اعْتِرَاضَ لِلسَّيِّدِ عَلَيْهِ فَهَذَا جَائِزٌ، وَقَدْ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – موالي أَبِي طِيبَةَ حِينَ حَجَّمَهُ وَقَدْ ضَرَبُوا عَلَيْهِ خَرَاجًا أَنْ يُخَفِّفُوا عَنْهُ، وخَرَاجَهُ دَلَّ عَلَى جَوَازِهِ وَهُوَ مِنَ الْعُقُودِ الْجَائِزَةِ دُونَ اللَّازِمَةِ، وَجَوَازُهُ مُعْتَبَرٌ بِشَرْطَيْنِ:

Al-Mawardi berkata: Meletakkan kharaj atas budak laki-laki dan perempuan adalah bahwa tuan membuat perjanjian antara dirinya dan budaknya agar budak itu memberikan kepada tuannya sejumlah tertentu setiap hari, dan kelebihan hasil usahanya menjadi milik budak itu untuk nafkah dirinya dan ia boleh menggunakannya sesuai kehendaknya tanpa intervensi tuan. Ini diperbolehkan. Rasulullah ﷺ pernah meminta kepada para maula Abu Thibah, ketika beliau berbekam dan mereka membebankan kharaj kepadanya, agar mereka meringankan bebannya. Kharaj tersebut menunjukkan kebolehannya, dan ini termasuk akad yang boleh, bukan yang wajib. Kebolehannya disyaratkan dengan dua syarat:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَرَاضَيَا بِهِ لِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ لَا يَصِحُّ مِنَ الْإِجْبَارِ.

Pertama: Kedua belah pihak saling ridha karena ini adalah akad mu‘awadhah (pertukaran) yang tidak sah jika dipaksakan.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ مُكْتَسِبًا لِقَدْرِ خَرَاجِهِ فَمَا زَادَ، فَإِنْ قَصَرَ كَسْبُهُ عَنْ خَرَاجِهِ لَمْ يَصِحَّ لِقَوْلِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي خُطْبَتِهِ لَا تُكَلِّفِ الصَّغِيرَ الْكَسْبَ فَيَسْرِقَ وَلَا الْأَمَةَ غَيْرَ ذَاتِ الصَّنْعَةِ فَتَكْتَسِبَ بِفَرْجِهَا، ويستوفي منه السيد خراجه. قال عَجَزَ عَنْهُ جَازَ أَنْ يُنْظِرَ بِهِ وَجَازَ لَهُ وَلِلْعَبْدِ أَنْ يَفْسَخَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَقْدَ الْمُخَارَجَةِ بِسَبَبٍ أَوْ غَيْرِ سَبَبٍ فَإِنْ فَسَخَهُ أَحَدُهُمَا وَفِي يَدِ الْعَبْدِ فَاضِلٌ مِنْ كسبه كان ملكاً لسيده، وبالله التوفيق.

Kedua: Budak itu mampu memperoleh hasil sebesar kharajnya atau lebih. Jika penghasilannya kurang dari kharaj yang ditetapkan, maka tidak sah, berdasarkan perkataan Utsman ra. dalam khutbahnya: “Janganlah kalian membebani anak kecil untuk bekerja sehingga ia mencuri, dan jangan pula membebani budak perempuan yang tidak memiliki keahlian sehingga ia mencari penghasilan dengan kemaluannya.” Tuan tetap berhak mengambil kharaj dari budaknya. Jika budak tidak mampu membayar, maka boleh ditangguhkan dan boleh bagi tuan maupun budak untuk membatalkan akad mukharajah (perjanjian kharaj) baik dengan sebab maupun tanpa sebab. Jika salah satu membatalkan dan masih ada kelebihan hasil usaha di tangan budak, maka itu menjadi milik tuannya. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan dimohon.

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ كَانَتْ لِرَجُلٍ دَابَّةٌ فِي الْمِصْرِ أَوْ شَاةٌ أَوْ بَعِيرٌ عَلَفَهُ بِمَا يُقِيمُهُ فَإِنِ امْتَنَعَ أَخَذَهُ السُلْطَانُ بِعَلَفِهِ أَوْ بَيْعِهِ “.

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang memiliki hewan tunggangan di kota, atau kambing, atau unta, maka ia wajib memberi makan dengan secukupnya. Jika ia enggan, maka penguasa berhak memaksanya untuk memberi makan atau menjualnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: نَفَقَاتُ الْبَهَائِمِ الْمَمْلُوكَةِ وَاجِبَةٌ عَلَى أَرْبَابِهَا لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ” وَنَهَى عَنْ تَعْذِيبِ الْبَهَائِمِ وَعَنْ قَتْلِهَا إِلَّا لِمَأْكَلِهِ وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: أُطْلِعْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي. فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ امْرَأَةً تُعَذَّبَ فَسَأَلْتُ عَنْهَا فَقِيلَ إِنَّهَا رَبَطَتْ هِرَّةً فَلَمْ تُطْعِمْهَا وَلَمْ تَسْقِهَا وَلَمْ تَدَعْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ حَتَّى مَاتَتْ فَعَذَّبَهَا اللَّهُ تَعَالَى. وَاطَّلَعَتُ عَلَى الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ امْرَأَةً مُوَمِسَةً يَعْنِي زَانِيَةً فَسَأَلْتُ عَنْهَا فَقِيلَ إِنَّهَا مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى بِئْرٍ يَلْهَثُ مِنَ الْعَطَشِ فَأَرْسَلَتْ إِزَارَهَا فَبَلَّتْهُ وَعَصَرَتْهُ فِي حَلْقِهِ حَتَّى رُوِيَ فَغَفَرَ اللَّهُ لَهَا، فَدَلَّ كِلَا الْأَمْرَيْنِ عَلَى حِرَاسَةِ نُفُوقِ الْبَهَائِمِ بِإِطْعَامِهَا حَتَّى تَشْبَعَ وَيسَقْيِهَا حَتَّى تُرَوَى سَوَاءٌ كَانَتْ مَأْكُولَةً أَوْ غَيْرَ مَأْكُولَةٍ، فَإِنْ قَصَّرَ فِيهَا حَتَّى هَلَكَتْ أَوْ نُهِكَتْ أَثِمَ.

Al-Mawardi berkata: Nafkah hewan-hewan yang dimiliki adalah wajib atas pemiliknya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Bertakwalah kalian kepada Allah terhadap apa yang dimiliki oleh tangan kanan kalian.” Dan beliau melarang menyiksa hewan dan membunuhnya kecuali untuk dimakan. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pada malam aku di-isra’-kan, aku diperlihatkan ke neraka. Aku melihat seorang wanita sedang disiksa. Aku bertanya tentangnya, lalu dijawab: ‘Dia mengurung seekor kucing, tidak memberinya makan dan minum, serta tidak membiarkannya mencari makan dari serangga tanah hingga mati, maka Allah menyiksanya.’ Aku juga diperlihatkan surga, dan aku melihat seorang wanita pezina di dalamnya. Aku bertanya tentangnya, lalu dijawab: ‘Dia melewati seekor anjing di dekat sumur yang kehausan, lalu ia melepas kainnya, membasahinya, dan memeras air ke mulut anjing itu hingga terpuaskan, maka Allah mengampuninya.’ Kedua kisah ini menunjukkan pentingnya menjaga kelangsungan hidup hewan dengan memberinya makan hingga kenyang dan minum hingga puas, baik hewan itu halal dimakan maupun tidak. Jika lalai hingga hewan itu mati atau tersiksa, maka ia berdosa.

(مَسْأَلَةٌ)

(Masalah)

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فَإِنْ كَانَ بِبَادِيَةٍ غَنَمٌ أَوْ إِبِلٌ أَوْ بقر أخذت على المرعى خلاها والرعي فإن أجدبت الأرض علفها أو ذبحها أو باعها ولا يحبسها فتموت هزلا إن لم يكن في الأرض متعلق وأجبر على ذلك إلا أن يكون فيها متعلق لأنها على ما في الأرض تتخذ وليست كالدواب التي لا ترعى والأرض مخصبة إلا رعيا ضعيفاً ولا تقوم للجدب قيام الرواعي “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika di pedalaman terdapat kambing, unta, atau sapi yang diambil zakatnya dari hasil penggembalaan, maka biarkanlah ia dan biarkan ia merumput. Jika tanah menjadi tandus, maka hendaknya diberi pakan, atau disembelih, atau dijual, dan tidak boleh dibiarkan hingga mati karena kurus, kecuali jika di tanah itu masih ada sisa rumput yang bisa dimakan. Pemiliknya dipaksa untuk melakukan hal tersebut, kecuali jika masih ada sisa rumput, karena hewan-hewan tersebut memang dipelihara untuk memanfaatkan apa yang ada di tanah, dan tidak seperti hewan tunggangan yang tidak merumput, sementara tanahnya subur, kecuali hanya mendapat rumput yang sedikit dan tidak mampu bertahan menghadapi musim tandus sebagaimana hewan penggembalaan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: عُلُوفَةُ الْبَهَائِمِ مُعْتَبَرَةٌ بِعُرْفِهَا، وَلَهَا فِي الْعُرْفِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:

Al-Māwardī berkata: Pemberian pakan kepada hewan ternak dinilai berdasarkan kebiasaan (‘urf)-nya, dan dalam kebiasaan (‘urf) ada tiga keadaan:

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مَعْلُوفَةً لَا تَرْعَى فَعَلَيْهِ أَنْ يَعْلِفَهَا حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى أَوَّلِ شِبَعِهَا، وَلَا يَلْزَمُهُ الِانْتِهَاءُ إِلَى غَايَتِهِ وَيَسْقِيَهَا حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى رِيِّهَا دُونَ غَايَتِهِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُعَدِّلَ بِهَا إِلَى الرَّعْيِ إِذَا لَمْ تَأْلَفْهُ، فَإِنِ امْتَنَعَ مِنْ عَلْفِهَا أَوْ قَصَّرَ عَنْ كِفَايَتِهَا رُوعِيَ حالها، فإن كَانَتْ مَأْكُولَةً خُيِّرَ مَالِكُهَا بَيْنَ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ. بَيْنَ عَلْفِهَا أَوْ ذَبْحِهَا أَوْ بَيْعِهَا.

Pertama: Jika hewan tersebut terbiasa diberi pakan dan tidak merumput, maka wajib bagi pemiliknya untuk memberi pakan hingga mencapai tingkat kenyang awalnya, tidak wajib sampai benar-benar kenyang sepenuhnya, dan memberinya minum hingga mencapai tingkat puas awalnya, tidak sampai benar-benar puas sepenuhnya. Tidak boleh mengalihkan hewan tersebut ke penggembalaan jika ia tidak terbiasa merumput. Jika pemilik menolak memberi pakan atau kurang dalam mencukupi kebutuhannya, maka dilihat keadaannya; jika hewan tersebut termasuk hewan yang boleh dimakan, maka pemiliknya diberi pilihan di antara tiga hal: memberi pakan, menyembelih, atau menjualnya.

فَإِنِ امْتَنَعَ بَاعَ السُّلْطَانُ مِنْهَا بِقَدْرِ عَلَفِهَا، فَإِنْ تَعَذَّرَ بَيْعُ بَعْضِهَا بَاعَ عَلَيْهِ جَمِيعَهَا، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَأْكُولَةٍ، خُيِّرَ بَيْنَ عَلْفِهَا أَوْ بَيْعِهَا وَحَرُمَ عَلَيْهِ ذَبْحُهَا لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَبْحِ الْحَيَوَانِ إِلَّا لِمَأْكِلِهِ.

Jika pemilik menolak, maka penguasa menjual sebagian hewan tersebut seukuran kebutuhan pakannya. Jika tidak memungkinkan menjual sebagian, maka dijual seluruhnya. Jika hewan tersebut bukan hewan yang boleh dimakan, maka pemilik diberi pilihan antara memberi pakan atau menjualnya, dan haram menyembelihnya karena larangan Nabi ﷺ menyembelih hewan kecuali untuk dimakan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ رَاعِيَةً لَا تَعْتَلِفُ. فَعَلَيْهِ إِرْسَالُهَا فِي الْمَرْعَى حَتَّى تَشْبَعَ مِنَ الْكَلَأِ، وَتَرْتَوِيَ من الماء وعليه في تسريحها للمرعى حقاً أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ أَرْضُ الْمَرْعَى ذَاتَ مَاءٍ مَشْرُوبٍ.

Keadaan kedua: Jika hewan tersebut terbiasa merumput dan tidak diberi pakan, maka wajib membiarkannya di padang rumput hingga kenyang dengan rumput dan puas dengan air. Dalam melepasnya ke padang rumput ada dua syarat: pertama, padang rumput tersebut memiliki air yang bisa diminum.

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْأَرْضُ غَيْرَ مُشْبِعَةٍ حَتَّى لَا تَفْتَرِشَ، ثُمَّ لَهُ بَعْدَ الشِّبَعِ وَالرَّعْيِ أَنْ يَسْتَعْمِلَ عَوَامِلَهَا. فَإِنْ جَدَبَتِ الْأَرْضُ وَلَمْ يَبْقَ فِيهَا مُتَعَلِّقٌ تَرْعَى نَقَلَهَا إِلَى أَرْضٍ خِصْبَةٍ إِنْ وَجَدَهَا، فَإِنْ لَمْ يَجِدِ ارْتَادَ لَهَا مَا يُمْسِكُ رَمَقَهَا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فُعِلَ مَا قَدَّمْنَاهُ.

Kedua, tanah padang rumput itu tidak boleh terlalu tandus hingga hewan tidak bisa berbaring. Setelah kenyang dan selesai merumput, pemilik boleh memanfaatkan tenaganya. Jika tanah menjadi tandus dan tidak ada lagi sisa rumput yang bisa dimakan, maka hewan dipindahkan ke tanah yang subur jika ada. Jika tidak ada, maka dicari sesuatu yang bisa menjaga kelangsungan hidupnya. Jika tidak dilakukan, maka berlaku ketentuan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ جَامِعَةً بَيْنَ الْعُلُوفَةِ وَالرَّعْيِ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:

Keadaan ketiga: Jika hewan tersebut terbiasa dengan kombinasi antara diberi pakan dan merumput, maka ada dua kemungkinan:

أحدها: أَنْ تَكْتَفِيَ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَيَكُونَ مُخَيَّرًا فِيهِمَا. فَإِنِ امْتَنَعَ فَعَلَى مَا مَضَى.

Pertama: Jika hewan tersebut cukup dengan salah satu dari keduanya, maka pemilik boleh memilih di antara keduanya. Jika ia menolak, maka berlaku ketentuan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا تَكْتَفِيَ إِلَّا بِهِمَا فَعَلَيْهِ لَهَا الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا وَلَا يَقْتَصِرَ بِهَا عَلَى أَحَدِهِمَا فَإِنِ امْتَنَعَ فَعَلَى مَا مَضَى.

Kedua: Jika hewan tersebut tidak cukup kecuali dengan keduanya, maka wajib bagi pemilik untuk menggabungkan keduanya dan tidak boleh hanya mencukupkan dengan salah satunya. Jika ia menolak, maka berlaku ketentuan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

(الْقَوْلُ في حلب أمهات النسل)

(Pembahasan tentang memerah susu induk hewan ternak)

(مسألة)

(Masalah)

قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا تُحْلَبُ أُمَّهَاتُ النَّسْلِ إِلَّا فَضْلًا عَمَّا يُقِيمُ أَوْلَادَهُنَّ لَا يَحْلِبُهُنَّ فَيَمُتْنَ هَزَلًا “.

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak boleh diperah susu induk hewan ternak kecuali kelebihan dari kebutuhan anak-anaknya; tidak boleh diperah hingga menyebabkan anak-anaknya mati karena kurus.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَلَدُ الْبَهِيمَةِ فِي ارْتِوَائِهِ مِنْ لَبَنِهَا إِذَا كَانَ رَضِيعًا كَوَلَدِ الْأَمَةِ فِي تَمْكِينِهِ مِنْ رِيِّهِ لِحُرْمَةِ نَفْسِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يجلب مِنْ لَبَنِهَا إِذَا كَانَ رَضِيعًا إِلَّا مَا فضل عن ريه حتى يستغنى عنه برعي أَوْ عُلُوفَه أَوْ ذَبْحِهِ إِذَا كَانَ مَأْكُولًا، فَإِنْ عَدَلَ بِهِ إِلَى لَبَنٍ غَيْرِ أُمِّهِ جَازَ إِنِ اشْتَرَاهُ، وَإِنْ أَبَاهُ وَلَمْ يَقْبَلْهُ كان أحق بلبن أمه، وبالله التوفيق وصلى الله على سيدنا محمد وآله أجمعين

Al-Māwardī berkata: Anak hewan dalam hal mendapatkan minum dari susu induknya ketika masih menyusu, kedudukannya seperti anak budak perempuan dalam hal mendapatkan minum karena kehormatan dirinya. Tidak boleh diambilkan susu dari induknya ketika masih menyusu kecuali kelebihan dari kebutuhannya, hingga ia bisa mandiri dengan merumput, diberi pakan, atau disembelih jika ia termasuk hewan yang boleh dimakan. Jika dialihkan ke susu selain induknya, maka boleh jika dibeli, dan jika anak tersebut menolak dan tidak mau menerimanya, maka ia lebih berhak atas susu induknya. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan, semoga shalawat tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad dan seluruh keluarganya.