Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, serta seluruh keluarga dan para sahabatnya.
– Klasifikasi Makhluk.
Perlu diketahui bahwa makhluk dibagi menjadi dua kategori, hewan? dan nonhewan. Adapun hewan terbagi menjadi dua, mukala¹llf dan nomukalaf.
– Definisi Mukalaf.
Mukalaf ialah orang yang mendapat ketentuan dan perintah untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan konsekuensi pahala bagi yang mengindahkan perintah-Nya serta meninggalkan perbuatan maksiat. Sedangkan mendapat siksa bagi orang yang mengabaikan perintah dan larangan-Nya.,
– Pembagian Mukalaf.
Mukalaf terbagi dua, mukmin dan kafir. Mukmin terbagi menjadi dua; taat dan maksiat. Keseluruhan dari yang taat dan maksiat terbagi lagi menjadi dua; pintar (berilmu) dan bodoh (tidak berilmu).
– Siapa Saja Yang Dapat Tertipu?
Imam al-Ghazali melihat bahwa tipu daya (al-ghurur) pasti dapat menimpa seluruh orang mukalaf baik mukmin maupun kafir kecuali orang-orang terpilih yang dijaga oleh Allah SWT. Dengan demikian, Al-Ghazali akan menguak seluruh tabir tipu daya yang menimpa mukalaf tersebut dalam pembahasan yang lebih rinci dan jelas, serta menggunakan redaksi yang ringkas dan simpel agar mudah dipahami. Hanya Allah-lah dzat sebaik-baik pemberi taufik.
– Kelompok Yang Tertipu Dari Kalangan Mukmin.
Mereka adalah:
- Golongan Ulama
- Golongan ahli ibadah
- Golongan orang yang bergelimang harta
- Golongan ahli tasawuf
– Kelompok Yang Tertipu Dari Kalangan Kafir.
Di antaranya adalah:
- Orang yang tertipu dengan kehidupan dunia.
- Orang yang tertipu oleh tipu daya setan.
Orang-orang yang tertipu dengan kehidupan dunia, mereka ini mengatakan bahwa hal yang sudah jelas dan pasti (faktual) itu lebih baik dari pada yang masih berupa wacana (ilusif).
Mereka mengira kesenangan di dunia itu dapat digapai dengan mudah, sedangkan kesenangan di akhirat dianggap semu. Dalam pikiran mereka suatu keyakinan seperti di atas tidak dapat diruntuhkan dengan perkara yang masih belum jelas kepastiannya. Penganalogian seperti ini adalah suatu kesalahan karena dapat merusak logika seorang manusia.
Analogi ini berasal dari iblis laknatullah alaihi dalam Ucapannya “Aku ini lebih baik”. Menurutnya, suatu kebaikan hanya dilihat dari siapa yang lebih unggul, karena menurut Iblis api itu lebih hebat ketimbang segumpal tanah.
– Obat Penawar dari Tertipunya Orang Kafir.
Di antaranya adalah iman yang kuat (at-Tashdiq) dan petunjuk (al-Burhan).
Solusi pertama yaitu dengan cara mempertebal iman kepada Allah SWT melalui firman-Nya, “Apapun yang berasal dari Allah SWT adalah baik dan kekal”, sedangkan yang berasal dari selain Allah pasti akan sirna.
Firman Allah yang lain berbunyi “Kehidupan dunia tidak lain hanyalah merupakan kesenangan yang palsu”. Serta (mempertebal) iman kepada utusan-Nya dan apa yang telah diturunkan kepadanya (Al-Qur’an).
Solusi kedua yaitu mencari petunjuk. Orang yang telah terperdaya hendaknya mengetahui rusaknya analogi yang berasal dari iblis bahwa dunia itu bersifat pasti sedangkan akhirat hanya sebatas janji manis. Letak kesalahannya adalah prasangka terhadap sesuatu yang telah terjadi itu lebih baik dari yang belum terjadi.
Prasangka seperti di atas tidak bisa dipercaya validitasnya. Bahkan jika seandainya keduanya sama-sama dikomparasikan, sebenarnya bahagia di dunia itu memang merupakan satu kebaikan. Namun kebahagiaan yang didapat sejatinya tidak lebih hanya bersifat sedikit dan sementara.
Sedangkan hidup bahagia di akhirat tentu jauh lebih baik dari pada hidup bahagia semasa di dunia.
Jelas sekali kebahagiaan di akhirat bersifat abadi sedangkan dunia hanya fana. Maka dari itu, dalam setiap doa hendaknya kita sebagai hamba selalu mengharapkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (as-sa’adah fi ad-darain).
Ungkapan “Kesenangan dunia itu pasti, dan kesenangan akhirat tidak pasti” juga merupakan kesalahan. Bagi orangorang mukmin, kesenangan di akhirat itu pasti terbukti karena mempunyai dua tendensi.
Pertama, iman dan percaya melalui jalan yang telah diajarkan oleh para Nabi terdahulu dan para ulama selaku ahli waris. Sama halnya seperti yakinnya seorang pasien terhadap resep obat yang telah disarankan langsung oleh dokter.
Kedua, melalui wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan ilham yang diturunkan kepada para wali.
Maka tidak tepat jika berprasangka bahwa Nabi SAW mengetahui seluruh urusan akhirat dan dunia melalui malaikat Jibril AS. Asumsi ini bukanlah pengertian yang benar dan lurus.
Nabi SAW dijauhkan oleh Allah SWT dari hal-hal tersebut, bahkan sesuatu tersebut membuka tabirnya sendiri hingga kemudian Nabi membuktikannya melalui ‘penglihatan hati’ bagai tersingkapnya sesuatu yang tidak jelas terlihat hanya dengan melihat dari sisi luarnya.
– Mukmin Yang Sama Tertipunya Dengan Kafir.
Yaitu. orang-orang mukmin dengan lidah dan keyakinannya yang telah abai terhadap perintah Allah yakni beramal shalih, dan terperangkap dengan hawa nafsu. Mereka adalah Orang Mukmin Yang Sama Tertipunya Dengan Orang Kafir.
Kehidupan dunia telah menipu orang kafir sedangkan mereka orang mukmin telah tertipu bahwa tertipunya orang kafir adalah karena mengingkari Allah.
Ibarat ucapan mereka tentang dirinya sendiri, “Jika Allah membantu kami, maka dengan itu kami lebih berhak mendapat pertolongan ketimbang orang lain”.
Seperti firman Allah dalam surat al-Kahfi yang berbunyi, “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya. Dan aku kira hari kiamat itu tidak akan datang, dan sekirang aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan Mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada ini”.
– Faktor Yang Menjadikan Mereka Tertipu.
Ketertipuan tersebut berdasarkan analogi yang dikampanyekan oleh Iblis laknatullah. Mereka memandang nikmat yang telah diberikan oleh Allah selama di dunia sama dengan nikmat yang diberikan di akhirat kelak.
Suatu hari ketika mereka melihat siksa Allah yang ditangguhkan kepada mereka selama di dunia, maka mereka analogikan dengan siksa akhirat.
Sebagaimana firman Allah, “Dan mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan itu?”, Cukuplah bagi mereka neraka jahanam yang akan mereka masuki. Maka neraka itu seburukburuk tempat kembali”.
Mereka juga memandang orang-orang mukmin sebagaj Orang yang fakir. Mereka memandangnya dengan pandangan hina seraya berkata, “Orang-orang semacam inikah di antargakita yang diberi anugerah oleh Allah?”. Dan mereka berkata, “Sekiranya al-Qur’an itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya”.
Urutan qiyas yang diyakini dalam hati mereka dalam perkataannya; “Allah telah berbuat baik dengan memberi kenikmatan duniawi kepada kita, setiap kebaikan pasti disenangi dan setiap hal yang disenangi adalah bersifat baik’. Padahal bukan seperti itu, bahkan setiap yang baik belum tentu disenangi.
Terkadang hal-hal yang (kelihatannya) baik justru dapat menjadi sebab kerusakan bagi dirinya sendiri, dalam arti lain yaitu istidraj. Prasangka yang seperti di atas merupakan ketertipuan yang sangat jelas bagi seorang hamba terhadap Allah SWT.
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah melindungi hamba-Nya yang beriman dari kenikmatan dunia yang dicintainya sebagaimana kalian mencegah orang yang sakit dari suatu. makanan dan minuman padahal mereka menyukainya” (HR. Ahmad dan Hakim).
Orang-orang yang mempunyai penglihatan hati saat berhadapan dengan (kemewahan) dunia, mereka akan bersedih hatinya. Sebaliknya, ketika mereka berhadapan dengan kesusahan, hati mereka justru senang. Mereka_berkata, “Selamat datang syiar orang-orang yang shalih”.
Allah telah berfirman, “Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia_ berkata, “Tuhanku _ telah memuliakanku”.
Dan firman Allah, “Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya”.
Dan firman Allah, “..Kelak akan kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh”.
Dan firman Allah, “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa”.
– Dari Mana Sumber Ketertipuan Mereka?
Akar masalahnya adalah karena mereka tidak mengenal Allah dan sifat-sifatnya. Sesungguhnya orang yang mengenal Allah mereka selalu waspada dan tidak pernah merasa aman dari segala tipu daya yang berasal dari Allah. Mereka juga melihat apa yang telah dialami oleh Fir’aun, Haman, dan kaum Tsamud, bahwa Allah telah memberi mereka dengan gelimang harta.
Sungguh Allah memberi peringatan melalui tipu dayaNya dalam ayat, “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”.
Dalam ayat lain, “Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”.
Serta ayat,”Karena itu (hai Muhammad,) beri tangguhlah (kepada) orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar”. Maka barangsiapa yang memperoleh suatu kenikmatan, waspadalah jika ternyata hal itu menjadi bumerang kerusakan bagi dirinya.
– Orang Maksiat Yang tertipu Dari Kalangan Mukmin.
Adapun tertipunya orang-orang yang maksiat dari kalangan mukmin adalah perkataannya sendiri yaitu; “sesungguhnya Allah Maha Mengampuni lagi Maha Mengasihi. Mereka memohon ampunan-Nya dan bertawakal tetapi tidak disertai dengan berbuat amal yang shalih.
Hal ini merupakan cara berharap (ar-raja’) yang keliru, Padahal ar-raja’ sebenarnya merupakan derajat yang terpuji dalam kehidupan dunia. Sesungguhnya rahmat Allah sangat luas, kenikmatan dari-Nya menyeluruh, kedermawanan-Nya merata serta kemuliaan-Nya menyeluruh. “Aku mengesakan Allah dan selalu berharap kepada-Nya melalui iman, memuliakan dan berbuat baik”.
– Dari Mana Sumber Ketertipuan Mereka?
Timbulnya keadaan tersebut diperkirakan terjadi karena adanya prinsip bahwa kehebatan seseorang tidak lepas dari kehebatan orang tuanya. Itu adalah puncak ketertipuan, karena sesungguhnya ayah mereka dengan kehebatan dan wirai-nya adalah karena merasa takut kepada Allah.
Analogi mereka karena hasutan setan bahwa barangsiapa yang mencintai seseorang, maka hendaknya mereka menyukai keturunannya. Allah telah mencintai ayahmu pasti mencintaimu pula, maka tidak perlu taat lagi. Mereka berpedoman dengan hal itu dan akhirnya tertipu.
Mereka juga tidak tahu bahwa Nabi Nuh hendak membawa anaknya ke dalam perahu tetapi anaknya menolak. Sehingga Allah menenggelamkannya dengan keadaan yang lebih mengenaskan ketimbang tenggelamnya kaum Nabi Nuh.
Sesungguhnya Nabi SAW meminta izin kepada Allah untuk menziarahi makam ibundanya dan memintakan ampunan kepada-Nya; maka Allah mengizinkan untuk menziarahinya tetapi tidak memberi izin untuk memintakan ampunan kepada-Nya.
Mereka lupa bahwa Allah berfirman, “Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)”.
Siapapun yang mengira bahwa ia akan selamat dari siksa sebab ketaatan ayahnya adalah bagai orang yang bisa kenyang (tanpa makan) dan hilang dahaga sebab ayahnya yang makan dan minum.
Takwa kepada Allah merupakan fardu ‘ain, sehingga ketakwaan anak tidak dapat diukur dari ketakwaan orang tuanya. Sebagaimana firman Allah, “Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan ibu bapaknya, serta istri dan anakanaknya”. Kecuali ia mendapatkan syafaat.
Mereka lupa terhadap ucapan Nabi SAW, “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berharap secara berlebihan terhadap Allah SWT”.
Dan firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang yang mengharapkan rahmat Aliah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dan firman Allah, “Sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan”. Tidak dapat dibenarkan jika mengharap rahmat Allah tanpa didahului dengan amal. Jika tidak didahului dengan amal, maka jelas hal tersebut adalah sebuah ketertipuan.
– Orang Yang Tertipu Sebab Sedikit Kebaikan Dan Banyak \ Keburukannya.
Termasuk golongan yang ketertipuannya sama dengan orang mukmin yang bermaksiat di atas adalah orang yang taat namun masih melakukan maksiat, tetapi maksiatnya lebih banyak. Mereka ini meminta ampunan Allah dan mengira bahw timbangan kebaikannya lebih banyak, padahal sebenarnya timbangan keburukannya yang justru lebih berat. Ini adalah puncak dari kebodohan.
Lihatlah seseorang yang membelanjakan uangnya yang banyak, uang tersebut terdiri dari yang halal dan haram. la mendapatkannya dari harta orang lain, padahal perkara syubhat (tidak jelas status halal atau haram) nya lebih banyak.
Bagai orang yang meletakkan uang sepuluh dirham dalam satu timbangan dan meletakkan seribu dirham ke dalam timbangan yang lain. Kemudian ia berharap timbangan yang berisi seribu dirhamlah yang lebih berat. Tentu ini adalah sebuah puncak dari segala kebodohan.
– Orang Yang Tertipu Sebab Menyangka Taatnya Lebih Banyak Dari Maksiatnya.
Ketika orang yang taat mengerjakan suatu amal, ia menjaga dan menghitungnya seperti orang yang beristighfar dengan lidahnya, membaca tasbih di siang dan malam sebanyak seratus atau seribu kali. Kemudian ia berharap mendapatkan keutamaan dari membaca tasbih. Lalu ia menakut-nakuti orang-orang Islam dengan perkara yang tidak diridhai Allah sepanjang hari.
Sedangkan ia sendiri lupa terhadap siksa bagi seorang pengumpat, pembohong, provokator, dan munafik. Maka dari itu, menjaga lisan dari ucapan yang menjadikannya maksiat lebih uttama dari membaca tasbih.
Orang-orang Yang Tertipu Dan Klasifikasinya Dalam Beberapa Kategori
Orang-orang yang tertipu ada banyak golongan. Salah satunya yaitu:
- Golongan Pertama.
Orang yang belajar ilmu agama (syariat) dan logika, memperdalam dan menyibukkan diri dengan ilmunya hingga lalai terhadap anggota tubuhnya sendiri dari perbuatan maksiat. Dan orang yang taat tetapi mereka terpedaya dengan iImunya sendiri, mereka mengira telah mendapatkan suatu tempat/kedudukan di sisi Allah.
Mereka mengira ilmunya telah sampai pada level di mana Allah tidak akan menyiksa orang-orang seperti mereka. Bahkan (mereka kira) Allah telah menerimanya serta para makhluk juga akan mendapat syafaat sehingga Allah tidak akan menuntut semua dosa dan seluruh kesalahannya. Mereka ini sungguh telah tertipu.
Sesungguhnya kelompok ini memandang-dengan penglihatan hati-dan mereka tahu bahwa ilmu itu ada dua, ilmu muamalah (bersosial) dan ilmu kasyaf (al-mukasyafah). Ilmu kasyaf di sini adalah ilmu untuk mengenal Allah dan sifat-sifatNya.
Sedangkan ilmu muamalah merupakan ilmu tentang kebijaksanaan yakni untuk mengetahui tentang halal dan haram serta mengetahui akhlak manusia yang baik dan buruk.
Ibarat seorang dokter yang mampu mengobati orang lain sedangkan pada saat dokter tersebut yang ditimpa sakit, seharusnya dokter tersebut mampu mengobati dirinya sendiri tetapi ia tidak dapat melakukan karena energinya sedang lemah.
Apakah hanya dengan minum obat saja cukup? Tidak mungkin. Minum obat saja belum cukup tanpa dibersamai dengan melakukan hal lain seperti makan makanan yang sehat, menjaga pola tidur, minum air putih yang banyak dan lain-lain.
Mereka melupakan firman Allah, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan’ jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. Allah tidak berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mengetahui cara menyucikan jiwanya, menyia-nyiakan ilmunya dan mengajarkannya kepada manusia.
Mereka juga lupa terhadap ucapan Nabi SAW, “sesungguhnya manusia yang mendapat azab pedih di hari kiamat nanti adalah orang alim sedangkan Allah tidak membuat ilmunya bermanfaat” (HR. Thabrani dan Baihaqi).
Mereka ini termasuk orang-orang yang tertipu daya. naudzu billahi min dzalik. Mereka terbiasa menyukai dunia, akhirat dan ketenangan, mereka menyangka bahwa ilmunya nanti di akhirat tidak berguna jika tidak diamalkan.
- Golongan Kedua.
Orang-orang yang menghukumi sesuatu dengan ilmu dan amal serta meninggalkan maksiat tetapi lupa menjaga hatinya sendiri.
Mereka tidak menghindari sifat-sifat yang tercela seperti sombong, pamer, hasud, mencari muka dan kedudukan yang tinggi, mengharap penghormatan dari orang lain dan sekutu mereka serta mencari popularitas.
Itu semua adalah ketertipuan. Penyebabnya adalah kelalaian mereka terhadap sabda Nabi SAW:
– “Pamer merupakan syirik kecil”.
– “Dengki dapat memakan habis semua kebaikan bagai api yang melalap habis kayu bakar”.
– ‘Cinta terhadap harta dan kemuliaan dapat menumbuhkan sifat munafik dalam hati bagai air yang menumbuhkan sayuran”.
Serta banyak hadis-hadis lain yang senada dengan pembahasan di atas .
Mereka melupakan firman Allah, “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.
Mereka lalai menjaga hatinya sendiri karena telah sibuk dengan perkara yang lahir. Barangsiapa yang tidak membersihkan hatinya, niscaya tidak akan sah ketaatannya. Seperti orang yang sakit kudis, maka dokter menyuruhnya agar memakan anak rusa dan minum obat. Kemudian ia hanya memakan anak rusa tanpa minum obat. Akibatnya, hanya bagian luarnya saja yang sembuh tetapi bagian dalam tubuhnya tidak sembuh.
Padahal asal dari sesuatu yang terlihat dari luar tubuh berasal dari bagian dalam tubuh. Penyakit kudis yang ia derita akan terus kambuh, karena bagian dalam tubuh belum diobati.
Demikian pula dengan perbuatan yang tercela yang berasal dari dalam hati, akan terlihat dampaknya pada anggota tubuh. Namun, apabila penyakit dari dalam tubuh telah hilang, maka yang ada di luar tubuhnya akan menjadi bersih terbebas dari segala penyakit.
- Golongan Ketiga.
Orang yang mengerti tentang akhlak tersebut. la mengerti bahwa hal tersebut merupakan akhlak yang buruk dari segi syariat. Namun, karena keterbuaiannya kepada diri sendiri menjadikannya telah bebas dari akhlak yang tercela ini.
Mereka mengira telah mendapatkan kedudukan di sisi Allah sehingga ia merasa tidak akan mendapat cobaan dari Allah. Hanya orang awamlah yang akan mendapatkan ujian tersebut, bukan orang yang telah sampai ilmunya sesuai level mereka.
Padahal sebenarnya yang siksanya lebih besar menurut Allah adalah mereka. Jelas mereka ini telah menyombongkan diri dan pamer serta mengharap kedudukan dan kemuliaan di mata manusia.
Yang menjadi sebab ketertipudayaan adalah prasangka bahwa hal tersebut bukan merupakan kesombongan melainkan memuliakan ilmu dan untuk menolong agama Allah. Mereka lupa bahwa Iblis bahagia dengan hal tersebut. Adapun pertolongan Nabi dapat diperoleh dengan apa? Dan dengan apa beliau menundukkan orang-orang kafir?
Mereka lupa terhadap kerendah hatian para sahabat Nabi-semoga Allah meridhai mereka semua-yang menghinakan dirinya sendiri, kefakiran serta rumahnya. Hingga sahabat Umar dicela saat tiba di Syam karena memakai baju yang lusuh. Beliau berkata, “Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, kami tidak mencari kemuliaan dari selain Islam”.
Lalu orang yang tertipu ini malah mencari kemuliaan agama dengan memakai pakaian yang halus dan bagus. Dengan hal itu mereka merasa telah berhasil mencari keagungan dan kemuliaan agama.
Bagaimanapun juga lidahnya tetap berkata dengan penuh dengki kepada orang lain dan orang yang tidak sependapat dengan pemikirannya. la tidak sadar bahwa yang ia lakukan adalah perbuatan dengki seraya berucap, “la marah karena merasa bahwa apa yang ia lakukan telah benar dan membantah orang yang berbuat perkara batil dalam permusuhan dan kezalimannya.
Mereka adalah orang yang telah tertipu, bahkan jika temannya yang berasal dari kalangan ulama dicela ia tidak akan marah, justru membuatnya gembira. Walaupun jika ia menampakkan kemarahannya di depan manusia, sama saja menjadikan hatinya gembira.
Terkadang saat ia menampakkan ilmunya seraya berkata, “Tujuanku dengan ilmu ini adalah agar dapat memberi manfaat kepada makhluk”. Padahal ucapannya_ tersebut menjadikannya pamer. Karena jika seandainya tujuannya adalah memberi kemaslahatan untuk makhluk, tentu ia ikut senang jika kebaikannya ada pada tangan orang lain baik yang umurnya sepadan, lebih tua dan lebih muda darinya.
Terkadang ia mengunjungi para penguasa, memperlihatkan kehormatan dan memuji mereka. Jika ia ditanya, ia menjawabnya “Tujuanku (mendatangi penguasa) adalah agar memberi manfaat kepada orang-orang Islam agar mereka aman dan terhindar dari suatu bahaya”. Dia ini adalah orang yang tertipu.
Jika tujuannya memang demikian, seharusnya ia rela jika hal tersebut dilakukan oleh orang lain. Padahal, andai orang lain yang sepadan dengannya mendatangi penguasa tersebut, ia akan marah.
Dan ketika mereka hendak mengambil harta dari penguasa, seketika terlintas dalam benaknya bahwa perbuatan ini haram. Kemudian setan menghasud kepadanya, “harta inj tidak bertuan, harta tersebut untuk kemaslahatan umat islam, sedangkan engkau adalah imam dan ulama mereka, dan hanya denganmu agama menjadi tegak”.
Dalam hal ini setidaknya ada tiga kerancuan; pertama, harta yang tak bertuan. Kedua, harta tersebut untuk kemaslahatan umat islam. Dan ketiga, ia adalah imamnya.
Tidak dapat disebut seorang pemimpin melainkan orang tersebut mampu berpaling dari godaan dunia layaknya para nabi dan sahabat-sahabatnya. Contohnya adalah ucapan Nabi Isa AS, “Orang alim yang buruk bagai batu besar yang keras yang jatuh ke dalam jurang, ia tidak dapat menyerap air tidak pula dapat menumbuhkan tumbuhan” . Golongan ahli ilmu yang tertipu sangat banyak, yang rusak lebih banyak ketimbang yang baik.
- Golongan Keempat.
Orang yang menghukumi sesuatu dengan ilmu, membersihkan anggota badannya dan menghiasinya dengan taat serta meninggalkan maksiat.
Dan mereka meninjau akhlak yang ada dalam dirinya serta sifat-sifat hatinya seperti pamer, hasud, sombong, dengki, mencari kedudukan dan menentang keras terhadapnya, dan mencabut akar yang menjadi sumbernya di dalam hati.
Namun, mereka ini sesungguhnya tetap tertipu karena di dalam hati mereka masih tersimpan tipu daya setan. Menjadi sarang tipuan nafsu yang halus dan samar, mereka tidak memahaminya sedikitpun bahkan abai terhadapnya.
Mereka ibarat seperti orang yang membersihkan tanaman. Barangsiapa yang hendak membersihkannya dari rerumputan, hendaknya mengelilinya seraya mencabutnya. la tidak dapat menyelidiki sesuatu yang belum keluar ujung bagian atasnya dari bawah tanah.
Ia mengira seluruhnya telah tampak. Ketika ia lalai, akhirnya tanaman tersebut tampak dan merusak dirinya. Mereka jika masih ingin mengubah, maka semuanya masih bisa berubah.
Terkadang mereka tidak mau bercengkerama dengan makhluk karena sombong. Terkadang mereka menatap makhluk dengan tatapan yang penuh kehinaan. Terkadang sebagian dari mereka ingin memperbaiki pandangannya agar ia tidak dilihat dengan mata kelemahan.
- Golongan Kelima.
Orang-orang yang meninggalkan ilmu-ilmu yang penting. Hanya mempelajari secara ringkas ilmu-ilmu terkait fatwa dalam pemerintahan, perdebatan, serta uraian tentang sosial duniawi yang terjadi antar makhluk untuk kemaslahatan kehidupan. Mereka hanya memperdalam ilmu fikih sehingga mendapat gelar ahli fikih (al-faqqih) dan ahli mazhab.
Terkadang mereka menyia-nyiakan ilmu tentang amal yang lahir dan batin, tidak introspeksi terhadap anggota tubuhnya, tidak menjaga lidahnya dari membicarakan orang lain, tidak menjaga perutnya dari hal yang haram, tidak menjaga kakinya untuk mengunjungi para penguasa, dan seluruh anggota tubuh lainnya. Mereka tidak menjaga hatinya dari sifat sombong, pamer, dengki, dan seluruh sifat yang dapat merusak,
Mereka adalah orang-orang yang tertipu dari dua sisi; Pertama, Amal. Dalam kasus’ ini pengarang telah menjelaskannya dalam kitab Ihya’. Mereka diibaratkan bagai orang yang sakit yang belajar tentang obat-obatan kepada dokter, namun tidak malah memahaminya justru tidak mau mempraktekkan ilmunya.
Mereka menjerumuskan kepada kerusakan, tidak mau membersihkan dirinya. Malah sibuk mendalami tentang haid, diyat (denda), li’an, dan dhihar. Mereka menyia-nyiakan perkembangan kebersihan dirinya.
Mereka tertipu karena para makhluk mengagungkan dan memuliakannya serta salah satu dari mereka telah ada yang menjadi hakim dan pemutus fatwa. Setiap dari mereka saling menyindir temannya ketika saling berjauhan, dan_ ketika mereka berdekatan hilanglah rasa saling sindir tersebut.
Kedua, dari sisi ilmu. Mereka mengira tidak ada ilmu yang lebih penting dari ilmu fikih. IImu tersebut yang dapat menuntun pada keberuntungan dan keselamatan. Padaha| perkara yang menguntungkan dan menyelamatkan hanyalah rasa cinta kepada Allah, dan cinta tidak cukup tanpa mengetahui tentang Allah.
Lalu bagaimana cara mengetahui Allah? Ada tiga cara; mengetahui dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Perumpamaannya adalah orang yang merasa cukup bekal untuk perjalanan haji. Dan mereka belum tahu bahwa ilmu fikih adalah ilmu yang memahami tentang ibadah kepada Allah, termasuk haji. Sedangkan mengetahui sifat-Nya yang menakutkan dan mengancam adalah tidak lain agar hati senantiasa takut supaya dapat melanggengkan ketakwaan.
Sesuai dalam firman-Nya, “Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka?
Orang-orang ini merasa cukup hanya dengan memahami ilmu fikih yang menjelaskan tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama hanya agar mahir berdebat, mempertahankan argumen dengan tujuan agar lawannya tidak berkutik. Mereka menolak kebenaran (yang lain) karena keangkuhannya. Sepanjang siang dan malam ia mempelajari tentang komparasi antar mazhab, mencari kesalahan lawan debat.
Mereka keluar dari batas keilmuan, malah hanya bertujuan untuk menang dari lawannya. Andai mereka mau menyibukkan diri dengan membersihkan hati, maka hal tersebut lebih baik untuknya. Kecuali mereka hanya sibuk berkutat pada ilmu yang membuat tidak bermanfaat baginya dan sibuk dengan urusan dunia.
Dan hal itu dapat mengantarkannya ke dalam neraka yang menyala di akhirat nanti. Padahal dalil-dalil yang digunakan oleh para imam mazhab itu didasari al-qur’an dan hadis. Maka tidak ada sesuatu yang lebih buruk ketimbang tertipunya mereka.
- Golongan Keenam.
Orang yang sibuk dengan ilmu kalam dan perdebatan, menyangkal orang lain yang berseberangan, dan suka larut dalam perselisihan.
Mereka memperiuas wawasan dengan berbagai macam ilmu komunikasi yang berbeda-beda, mempelajari tata cara membuat lawan tak berdaya dalam berdebat. Orang yang seperti ini terbagi menjadi dua;
Pertama, sesat menyesatkan. Dan kedua, membinasakan. Tertipunya kelompok pertama karena kesesatan dan prasangkanya bahwa dirinya telah benar. Mereka terdiri dari banyak kelompok, sebagian dari mereka suka mengkafirkan orang lain.
Mereka sesat karena tidak mampu memahami dengan utuh tentang dalil dan metodologinya. Mereka berpendapat bahwa karena adanya kasus yang serupa maka dapat dijadikan sebagai dalil, sedangkan dalilnya adalah keserupaan tersebut.
Kelompok yang membinasakan ini bersikukuh bahwa ilmu kalam dan ilmu debat ini paling penting dan menjadi hal utama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka yakin tidak akan menjadi sempurna agama seseorang sebelum ia meneliti dan membahas kedua ilmu tersebut.
Dan orang yang iman kepada Allah tanpa membahas dan meneliti suatu dalil maka ia belum layak disebut orang yang beriman dengan sungguh-sungguh, imannya belum sempurna dan bukan orang yang dekat di sisi Allah tanpa bercermi,, kepada orang-orang Islam pada generasi awal.
Sesungguhnya Nabi SAW memberi persaksian kepada orang-orang generasi awal bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk. Mereka tidak perlu dalil untuk menguatkan peryataan tersebut.
Abu Umamah meriwayatkan dari Nabi SAW, sesungguhnya beliau bersabda, “Sama sekali tidak akan ada sesuatu yang membuat tersesat bagi kaum kecuali mereka telah melakukan suatu perdebatan”.
- Golongan Ketujuh.
Orang yang tak henti-henti dalam memberikan nasihat dan meninggikan kedudukan orang yang suka berbicara tentang akhlak batin serta sifat-sifat hati seperti khauf, raja’, sabar, syukur, tawakal, zuhud, yakin, ikhlas dan jujur.
Mereka ini lebih tertipu ketimbang orang-orang sebelumnya karena dirinya menyangka telah cinta kepada Allah dan utusan-Nya.
Mereka tidak akan dapat mewujudkan suatu keikhlasan kecuali mereka mau menjadi orang-orang yang ikhlas dengan semurni-murninya. Mereka tidak akan luput dari semua kesalahan keruhnya hati kecuali mereka dapat menghindari hal tersebut.
Mereka ini lebih tertipu ketimbang orang-orang sebelumnya karena dirinya menyangka telah cinta kepada Allah dan utusan-Nya.
Mereka tidak akan dapat mewujudkan suatu keikhlasan kecuali mereka mau menjadi orang-orang yang ikhlas dengan semurni-murninya. Mereka tidak akan luput dari semua kesalahan keruhnya hati kecuali mereka dapat menghindari hal tersebut.
Mereka lebih menyukai perduniawian ketimbang orang lain. Suka menampakkan kezuhudannya di dunia padahal mereka sangat rakus terhadap dunia dan bahkan sangat tergilagila. Mereka mengajak manusia agar senantiasa ikhlas tetapi dirinya sendiri belum mampu menjadi orang yang ikhlas. Suka mengajak kepada Allah padahal mereka sendiri masih sering lari dari-Nya.
Kebiasaannya adalah menakut-nakuti manusia dari ancaman Allah padahal ia sendiri malah merasa aman dan bebas dari siksa-Nya. Selalu mengajak untuk berzikir kepada Allah tetapi lisannya sendiri sering lupa menyebut nama Allah. Selalu mengajak mendekatkan diri kepada-Nya padahal mereka sendiri masih jauh dari Allah.
Mereka tidak menyukai perbuatan tercela_ tetapi mereka sendiri suka mencela. Mengajak manusia untuk menghindari makhluk tetapi dirinya justru lebih ambisius. Seandainya mereka tidak dibolehkan duduk bersama makhluk untuk mengajak mereka kepada Allah seolah-olah dunia yang luas ini seketika menjadi sempit meskipun mereka yakin jika tujuannya adalah memberi kemaslahatan bagi para makhluk.
Jikalau terlihat ada seseorang yang seperti mereka didatangi oleh para makhluk, siapapun yang mendatanginya maka dirinya akan menjadi lebih baik, maka tentu mereka akan mati dalam keadaan sedih dan dengki.
Jikalau ada seseorang yang suka memuji dan sering mendatangi orang lain yang sama dengannya, maka ia menjadi manusia yang sangat tertipu dan akan menggubris segala peringatan terhadapnya dan ajakan untuk kembali ke jalan yang benar. Mereka menjadi makhluk yang paling emosi di dunia.
- Golongan Kedelapan.
Orang-orang yang meninggalkan kewajiban dalam memberi nasihat kepada umat padahal sebenarnya ia termasuk orang yang paling ditunggu petuah-petuahnya di zaman ini kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah. Mereka suka membuat keributan, kecemasan, mengumbar kata-kata yang melenceng dari aturan syariat dan mencari keadilan yang masih absurd.
Ada kelompok yang menyukai kata-kata yang cenderung lebay dan sepele. Kebanyakan membahas tentang hal yang puitis yang memperlihatkan tentang persatuan dan perpisahan,
Tujuannya adalah untuk mencari panggung demi kepura-puraan dan teriakkan-teriakan yang gaduh meskipun dengan cara yang tidak dapat dibenarkan. Mereka adalah setan yang berwujud manusia sesat dan menyesatkan.
Kelompok yang pertama memang tidak mahir memperbaiki diri sendiri tetapi mahir menguasai orang lain agar berbuat baik. Orang-orang tersebut selalu membenarkan ucapan dan nasihatnya.
Sayangnya mereka ini telah menyimpang dari jalan yang dibenarkan, kebiasaannya dalam menarik perhatian publik agar tertipu dengan kata-kata harapan palsu kemudian mereka malah tidak takut untuk berbuat maksiat dan senang terhadap dunia terlebih saat mereka mulai menyukai pakaian yang bagus, kendaraan dan transportasi serta dapat menjauhkannya dari rahmat Allah.
- Golongan Kesembilan.
Orang yang terpesona dengan ucapan-ucapan yang keluar dari lisan orang-orang zuhud yang menceritakan tentang hinanya dunia. Mereka mengulang-ulang perkataan tersebut tanpa paham sedikitpun dari filosofi dan maknanya. Hal ity mereka lakukan di atas mimbar-mimbar, pasar-pasar bersama dengan orang-orang yang duduk bersamanya.
Mereka menyangka telah menjadi orang yang selamat di sisi Allah dan telah mendapat ampunan-Nya karena telah menyampaikan apa yang diucapkan oleh orang-orang zuhud tanpa disertai dengan amal alias hanya omong belaka tanpa melakukan sesuatu sesuai yang diucapkan. Mereka ini lebih .parah tertipu dari tertipunya orang-orang sebelum mereka.
- Golongan Kesepuluh.
Orang-orang yang sibuk mempelajari ilmu hadis. Dalam artian mendengarkan hadis dan mengumpulkan banyak riwayat darinya, mencari sanad-sanad hadis yang asing dan yang paling tinggi.
Tujuannya adalah untuk mengelilingi dunia dan meriwayatkan hadis tersebut yang ia peroleh dari para gurunya agar mereka dapat berkata, “Aku meriwayatkan hadis ini dari Fulan, aku bertemu langsung dengannya. Aku_ telah mendapatkan sanad yang tidak didapatkan oleh orang lain”.
Mereka ini tertipu dari beberapa sisi. Salah satunya yaitu Ibarat orang yang membawa kitab yang tebal, mereka hanya bisa menukil saja tanpa memahami bahkan tidak menghayati makna-maknanya.
Dengan hal ini mereka menganggap bahwa hal itu sudah cukup baginya, padahal tidak. Karena yang dimaksud dengan memahami suatu hadis adalah dengan memahami pula makna-maknanya. Urutan belajar hadis adalah mendengarkan, memahami, menghafalkan, mengamalkan kemudian menyebarkannya.
Mereka memperingkasnya dengan hanya mendengarkan saja tanpa mengamalkan sedangkan jika demikian maka tidak ada gunanya ia belajar hadis. Apalagi di zaman sekarang, hadis yang dibacakan kepada anak yang kecil masih dianggap belum tuntas, ia dianggap masih mudah lupa karena kemampuan menghafalnya belum bisa maksimal layaknya orang dewasa.
Begitu pula guru yang membacakan hadis tersebut barangkali juga lupa redaksinya akibat usianya yang sudah mulai renta sehingga bisa jadi salah menerangkan dan hal itu tidak disadari. Terkadang saat ia bangun tidur kemudian meriwayatkan hadis yang dia tidak mengetahui asal-usulnya, Semua ini adalah ketertipuan yang nyata.
Awal mula hadis ialah mendengarkan langsung dari Nabi SAW atau melalui para sahabat, atau melalui para tabi’in (semoga Allah meridhai mereka semua). Mereka mendengarkan hadis dari para sahabat sama halnya dengan para sahabat yang mendengarkan langsung dari Nabi SAW.
Mereka mendengarkan kemudian menghafalkan, lalu meriwayatkannya sesuai dengan yang ia hafalkan sehingga tidak ada keraguan sedikitpun. Dan apabila ada suatu keraguan, maka ia tidak boleh meriwayatkannya.
Adapaun menghafalkan hadis itu ada dua cara; pertama, melalui hati. Kemudian konsisten dan mengulang-ulang dan mengingat-ingatnya.
Kedua, menulis apa yang telah didengar, mengecek ulang kebenaran redaksi yang telah ditulis kemudian menghafalkan, agar tidak ada seseorang yang mengubah redaksinya. Kitab yang telah ditulis hendaknya diletakkan dj lemari agar terjaga dari tangan-tangan jail manusia yang ingin mengubah isinya.
Dilarang menulis hadis yang didengar dari ucapan anak kecil, orang yang mudah lupa dan orang yang sering tidur. Meskipun sebenarnya tidak ada larangan menulis dari apa yang didengar dari anak kecil di tempat tidur.
Karena mendengar itu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, tidak boleh asal-asalan. Sedangkan maksud utama dari hadis ialah mengamalkan dan memahaminya. Karena dalam suatu hadis itu terdapat banyak sekali penjelasan sebagaimana al-qur’an.
Diriwayatkan dari sebagian masyayikh bahwa dia hadir dalam suatu majelis untuk mendengarkan, disitulah ia pertama kali mendengar hadis Nabi SAW, “Termasuk sebagian dari kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak ada guna baginya”.
Lalu masyayikh tersebut berdiri dan berkata, “Cukuplah bagiku satu hadis ini, saya akan memahaminya terlebih dahuly sebelum saya mendengarkan hadis yang lainnya”. Ini merupakan cara mendengarkan suatu hadis yang baik.
Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan akalnya. Masyayikh yang dimaksud adalah Abu Said ibn Abi al-Khair al-Manhi yang menghadiri majelis Ibnu Ahmad as-Sarkhasi.
- Golongan Kesebelas.
Orang yang menghabiskan waktunya untuk mempelajari ilmu nahwu, syiir, bahasa dan lainnya. Mereka tertipu dan berasumsi bahwa ia akan diampuni.
Mereka dianggap ulama bagi umatnya di eranya, karena telah menegakkan agama dan sunnah dengan ilmu bahasa dan nahwu. Hidupnya dihabiskan untuk mendalami permasalahan dalam ilmu nahwu dan bahasa, padahal hal itu membuatnya tertipu.
Jika dipikir, mengerti bahasa Arab sama saja dengan mengerti bahasa Turki, menyia-nyiakan waktu hanya untuk belajar bahasa Arab sama sia-sianya dengan mempelajari bahasa Turki, India dan lainnya.
Para ulama mengklasifikannya sesuai dengan tuntutan syariat, cukup mengetahui bahasa atau kata yang asing saja dalam hadis dan al-qur’an, tanpa perlu menguasai seluruh kosa kata dalam suatu bahasa tertentu.
Sama halnya dengan nahwu, cukup mempelajari sesuai dengan yang berhubungan dengan hadis maupun al-qur’an Saja, tidak perlu berlebihan apalagi jika mendalami hingga tak tahu ujung-ujungnya. Orang-orang yang seperti inilah yang telah tertipu daya.
Orang-orang dalam kategori ini sangat banyak. Di antaranya yaitu:
- Golongan Pertama
Orang yang tertipu dalam zuhud dan jihad. Sebagian dari mereka tertipu karena telah abai dalam perkara yang fardlu, malah rutin melakukan perkara sunnah. Sehinggah melewati batas bahkan berlebih-lebihan. Seperti orang wudhu tapi dalam hatinya penuh dengan rasa was-was sampai ia menghabiskan air yang banyak. Ia tidak rela terhadap air yang jelas-jelas telah di hukumi suci oleh syariat malah ragu bahwa air tersebut terkena najis.
Seandainya kehati-hatian ini dari air pada makanan, tentu yang paling utama sebaiknya mengikuti dalil karena dipraktikkan oleh para sahabat. Kala itu sahabat Umar bin khattab hendak wudu menggunakan wadah milik orang Nasrani yang sangat mungkin mengandung najis, beliau meninggalkan pintu-pintu yang dapat menjauhkannya dari perkara halal karena takut terjerumus pada perkara yang haram.
- Golongan Kedua.
Orang yang waswas dalam niat shalat. Setan tidak akan meninggalkannya sebelum ia berhasil melakukan niat dengan benar, ia akan terus menggodanya sehingga ia akan tertinggal dari jamaah, atau bahkan hingga waktu shalat telah habis. Jika telah sempurna takbiratul ihram, setan menggoda dalam hati manusia tentang keabsahan dalam niatnya, ia juga menggoda ketika takbir.
Terkadang sifat takbirnya berubah karena sangat hatihatinya, sampai ia tertinggal dari mendengarkan fatihahnya imam. Hal ini dilakukan pada awal shalat, sampai ia lalai hingga keseluruhan shalatnya, ia tidak berhasil menghadirkan hatinya selama shalat berlangsung, demikian ia telah tertipu.
Mereka lupa bahwa menghadirkan hati di dalam shalat adalah kewajiban. la telah ditipu oleh Iblis yang berkata, “Kehati-hatian yang kamu lakukan itu membedakanmu dengan orang awam, kamu lebih baik dari mereka di sisi Tuhan-Mu”.
- Golongan Ketiga.
Orang yang waswas dalam mengucapkan al-fatihah, termasuk zikir yang lain. la sangat berhati-hati dalam masalah tasydid, membedakan antara huruf d/at dan dha’, tanpa menganggap penting selain hal di atas. Tidak terpikirkan olehnya tentang rahasia surat al-fatihah dan maknanya.
la tidak tahu bahwa dalam membaca al-qur’an manusia tidak dipaksa untuk menetapkan keluarnya suatu huruf melainkan sesuai dengan kebiasaan lidah mereka dalam berbicara.
Demikian ini merupakan ketertipuan yang besar. Ibaratnya seperti orang yang mengantarkan sepucuk surat ke kediaman raja, ia diperintah tanpa memperlihatkan wajahnya. Kemudian ia menyampaikan isi surat tersebut dengan makhraj yang sangat teratur, mengulanginya beberapa kali.
Namun ia lupa apa tujuan dari surat tersebut, dan lupa dengan kehormatan majelis. Kejadian tersebut membuatnya ditempatkan di tempat berkumpulnya orang-orang yang tak menggunakan akalnya dengan baik.
4, Golongan Keempat.
Orang-orang yang tertipu sebab membaca al-qur’an. Ia selalu membaca dengan berulang-ulang dengan cepat di kamarnya, kadang dalam sehari semalam langsung khatam. Lidahnya membaca al-qur’an tetapi hatinya selalu berkhayal memikirkan dunia, tidak sedikitpun terbesit arti dari ayat-ayat tersebut agar ia terhindar dari segala macam hal yang dilarang.
Dan supaya dapat menerima nasihat, menjalankan yang telah diperintahkan, dan menjauhi larangan. Dapat mengambil hikmah dari tempat-tempat yang ia singgahi selama membaca al-qur’an, merasa nyaman dengan al-qur’an karena maknanya bukan dari susunannya.
Barangsiapa yang membaca al-qur’an sebanyak 100 kali dalam sehari semalam, kemudian ia meninggalkan apa yang diperintah dan melakukan maksiat maka ia akan mendapat siksaan. Terkadang mereka ini mempunyai suara yang bagus dan merasa nyaman dengan bacaannya, mereka ini tertipu dengan perasaan amannya tersebut.
Mereka mengira dengan suara yang bagus maka akan membuat nyaman saat bermunajat kepada Allah dan mendengarkan firman-Nya. Ekspektasi yang sangat jauh sekali, padahal ketenangan saat mendengarkan firman Allah tidak dilihat dari suara dan kemerduannya, hatinya juga tidak terlalu bergantung dengan hal tersebut. Kenyamanan mendengar firman Allah itu terletak dalam maknanya.
- Golongan Kelima.
Orang yang tertipu karena berpuasa. Terkadang mereka berpuasa bertahun-tahun dan di hari-hari yang dimuliakan tetapi lidah mereka masih suka ghibah, tidak mampu menahan keinginan untuk berbuat pamer, tidak bisa menjaga perut dari perkara haram ketika berbuka, dan tidak dapat menjaga khayalan terhadap sesuatu yang tidak berguna baginya.
Hal tersebut membuat mereka tertipu yang sangat besar sekali. Mereka meninggalkan kewajiban tetapi melaksanakan perkara yang sunnah dengan dalih hal itu akan dapat menyelamatkan mereka. Padahal tidak, yang selamat adalah orang yang didatangi oleh Allah dengan hati yang selamat.
- Golongan Keenam.
Orang-orang yang suka berdakwah dengan cara menakut-nakuti, mengajak berbuat makruf, meninggalkan perkara yang mungkar dan berbuat kebaikan tetapi sayangnya ia lupa terhadap dirinya sendiri. Menyuruh orang lain untuk berbuat baik tetapi ia sendiri malah berlaku kejam, mencari jabatan dan kemuliaan.
Saat ia berbuat kemungkaran dan ada orang lain yang mengingkarinya, ia akan marah seraya berkata, “Saya berniat karena Allah, bagaimana mungkin kalian mengingkariku?”.
Terkadang orang-orang menghadiri majelis atau masjidnya, apabila ada yang datang terlambat maka ia akan memarahi dan memaki. Tak lain tujuannya adalah pamer, mencari reputasi dan menyukai jabatan. Hal ini ditandai dengan orang lain selain dirinya berdiri, maka ia akan menegur Orang tersebut.
Bahkan sebagian dari mereka menjadi muadzin dan menyangka adzannya karena Allah. Andai ada orang lain yang adzan selain dirinya, maka ia akan marah dan berkata, “Kenapa kamu mengambil hakku? Apa kamu ingin menyaingiku?”.
Sebagian lagi menjabat sebagai imam masjid, ia mengira telah berada di jalan yang benar. Tujuan sebenarnya tak lain agar ia diakui sebagai imam masjid. Sedangkan tandanya yaitu jika ada orang lain yang ditunjuk sebagai imam meskipun orang tersebut lebih wara’ dan lebih alim darinya, maka ia merasa keberatan.
- Golongan Ketujuh.
Orang yang tinggal di daerah dekat dengan Mekkah dan Madinah, mereka tertipu dengan keduanya karena mereka tidak dapat mengontrol hati serta tidak mau membersihkan diri dan hatinya. Barangkali hati mereka masih terpaut dengan negaranya sehingga mereka mudah berkata, “Saya pernah tinggal di Mekkah selama sekian tahun”.
Mereka semua telah tertipu, karena pernyataan yang benar adalah di manapun mereka tinggal, hatinya tetap terpaut dengan Mekkah. Jika mempunyai tetangga hendaknya mereka menjaga hak-hak dalam bertetangga.
Jika bertetangga dengan Mekkah hendaknya menjaga hak-hak Allah, dan jika bertetangga dengan Madinah hendaknya menjaga hak-hak Nabi SAW. Lalu siapa sebenarnya Orang yang mampu melakukan hal tersebut?
Mereka adalah orang-orang yang tertipu dengan hal-hal yang zahir. Dengan prasangkanya bahwa gedung (Mekkah dan Madinah) tersebut dapat menyelamatkannya. Padahal tidak. Kadang mereka tidak mau bermurah hati dengan bersedekah sesuap nasi kepada orang-orang yang fakir.
Jika bertetangga dengan manusia saja sulit lantas bagaimana bisa ia bertetangga dengan Allah. Alangkah indahnya bertetangga dengan Allah seraya menjaga diri dan hatinya.
- Golongan Kedelapan.
Orang-orang yang zuhud dalam harta dan qanaah terhadap makanan, pakaian sederhana dan tempat tinggal dekat dengan masjid. Mereka mengira telah mencapai derajad kezuhudan, saat itu juga mereka senang mencari jabatan dan kedudukan.
Padahal zuhud hanya bisa diperoleh melalui salah satu di antara hal; ilmu, nasihat atau murni zuhud. Sungguh mereka telah meninggalkan dua perkara sederhana dari hal tersebut, malah berpaling kepada perkara yang jelas-jelas dapat menimbulkan kerusakan.
Sungguh pangkat itu lebih agung dari harta, apabila mereka mengambil harta dan meninggalkan jabatan maka hal itu lebih mendekatkan kepada keselamatan.
Mereka semua telah tertipu oleh prasangkanya bahwa mereka telah mencapai kezuhudan selama di dunia tetapi mereka tidak sadar bagaimana hal tersebut telah menipunya. Terkadang mereka mendahulukan orang kaya dan mengesampingkan orang fakir.
Sebagian lagi merasa bangga dengan ilmu_ yang dimilikinya, mengutamakan khalwat padahal tidak memenuhi syarat-syaratnya, kalau diberi uang maka ia akan menolak dengan alasan takut kalau kezuhudannya menjadi sia-sia, padahal ia sendiri mencintai dunia hanya saja ia tidak ingin ada orang lain yang mencela dirinya.
Sebagian lain yaitu orang yang suka menekan dirinya untuk melakukan perbuatan-perbuatan fisik seperti shalat seribu rakaat dalam sehari semalam, mengkhatamkan al-qur’an padahal tidak terbesit sedikitpun dalam hatinya untuk menjaga hati dan menjauhkannya dari sifat pamer, takjub dan semua sifat-sifat negatif lainnya.
Terkadang mereka ini mengira bahwa dengan melakukan ibadah yang lahir akan menjadikan timbangan amal kebaikan lebih berat. Padahal tidak demikian. Amal sebesar dzarrah dari orang yang takwa dan akhlak yang dimiliki orang-orang cerdas itu lebih utama ketimbang amal hingga sebesar gunung.
Kemudian mereka ini terbuai dengan perkataan orang lain terhadapnya, “Sungguh engkau termasuk dari para pemimpin di bumi dan bagian dari para wali dan kekasin-kekasih Allah”, dengan hal itu ia bergembira dan tampak kewibawaannya.
Tetapi jika suatu hari ia dicaci sekali, dua kali atau tiga kali, ia akan mengingkari dan akan dendam kepada orang yang mencacinya seraya berkata, “Allah tidak akan mengampunimu selamanya”.
- Golongan Kesembilan.
Orang-orang yang sangat menyukai perkara-perkara sunnah seperti shalat dhuha dan shalat malam dan perkara sunnah lainnya. Saat melakukan shalat fardhu, ia tidak menemukan kenikmatan dan kebaikan dari Allah, saking konsistennya melakukan shalat fardhu di awal waktu.
Ia lupa terhadap sabda Nabi SAW, “Orang-orang yang dekat dengan Allah tidak akan sempurna kedekatannya melainkan dengan mengutamakan apa yang telah Allah wajibkan kepada mereka”.
Sedangkan meninggalkan urutan di antara kebaikankebaikan tersebut termasuk suatu ketertipuan. Padahal telah jelas bahwa kewajiban bagi manusia hanya ada dua ketentuan yaitu luput dan tidak luput. Sedangkan kesunnahan yaitu sempit dan luang waktunya. Jika tidak dapat memahami klasifikasi ini, maka ia telah tertipu.
Hal itu ada banyak sekali jika dihitung, karena sesungguhnya maksiat itu jelas sedangkan perkara yang masih samar seperti mendahulukan kewajiban yang lebih penting dari kewajiban lainnya yang tidak lebih penting misalnya mendahulukan semua yang bersifat wajib dan mengesampingkan semua yang bersifat sunnah.
Mendahulukan fardhu ain dari fardhu kifayah yang tidak ada orang lain yang sanggup melakukannya selain dia, mendahulukan perkara yang penting dari fardhu ain dari pada fardhu kifayah, mendahulukan apa yang tidak kesampaian seperti mendahulukan hak ibu dari pada ayah, mendahulukan hutang yang wajib dari tanggungan yang lain.
Tidak ada yang lebih besar bagi seorang hamba dalam melakukan urutan perkara tersebut dengan teratur. Tetapi ketertipuan dalam hal tertib ini sangat halus dan samar sehingga tidak ada yang dapat mengetahui hal tersebut kecuali para ulama yang berkompeten ilmunya. Semoga Allah meridhai dan mengampuni mereka semua.
- Golongan Pertama.
Orang-orang yang turut andil dalam pembangunan masjid, madrasah, pondok, tandon air dan sesuatu yang kasat mata lainnya. Mereka mencantumkan nama mereka di petilasan batu, agar jasanya tetap dikenang setelah kematiannya, mereka mengira berhak mendapatkan ampunan dengan jasanya tersebut.
Mereka tertipu dari dua sisi. Pertama, harta yang diperoleh berbau zalim, syubhat, suap, dan sejenisnya yang dilarang. Mereka jelas mengundang murka Allah dari apa yang telah mereka kerjakan, yang dilakukannya merupakan kemaksiatan kepada Allah.
Satu-satunya yang harus mereka lakukan adalah bertaubat dan mengembalikan harta tersebut kepada tuannya jika mereka masih hidup atau ahli warisnya jika tuannya tidak ada. Dan jika pewarisnya tidak ada, maka yang wajib dilakukan adalah menggunakan harta tersebut untuk kemaslahatan.
Terkadang hal yang lebih utama adalah membagibagikan kepada para fakir miskin, demikian lebih berfaedah ketimbang dialokasikan menjadi suatu bangunan yang mana hal itu umumnya dapat menjadikan seseorang menjadi pamer, ingin terkenal dan merasa nyaman jika namanya disebut-sebut.
Kedua, mereka mengira telah ikhlas, berniat baik dalam berinfak, serta membangun tinggi sebuah bangunan. Andai ia dimintai untuk menginfakkan hartanya kepada orang miskin maka ia tidak tulus (lebih suka dipuji karena telah meninggikan Suatu bangunan ketimbang sedekah kepada fakir miskin) karena ia sendiri telah menyukai pujian yang bersarang di dalam hatinya.
- Golongan Kedua.
Orang-orang yang mengerjakan pekerjaan yang halal dan mengindari pekerjaan yang haram serta menginfakkan hartanya di masjid-masjid, tetapi mereka ini tertipu dari dua Sisi.
Pertama, karena pamer, mencari perhatian dan pujian. Kadang di kalangan tetangganya atau suatu daerah yang terdapat orang miskin, untuk membagikan hartanya kepada mereka merupakan keutamaan ketimbang infak ke masjid. Karena di daerah tersebut sudah banyak masjid.
Tujuan dari adanya masjid adalah agar manusia dapat berkumpul di sana, bukan untuk selainnya. Itulah kenapa masjid tidak dibangun di setiap jalan yang besar atau di sebelah pintu gerbang yang besar. Sedangkan para fakir miskin lebih membutuhkan harta tersebut.
Mereka merasa lebih nyaman mengeluarkan harta untuk renovasi masjid, karena dampaknya dapat dilihat oleh mata manusia. Mereka mengira ia akan mendapatkan pujian dari para makhluk dan mengira telah berbuat karena Allah padahal yang dilakukannya bukan diniati karena Allah. Allah Maha Mengetahui hal tersebut. Niatnya tersebut dapat mengundang murka Allah kepadanya tetapi mereka malah berucap, “Niatku ini hanyalah karena Allah semata”.
Kedua, ia tertipu karena menggunakan hartanya untuk memperindah masjid dengan hiasan yang dilarang dan dapat mengusik hati orang-orang yang shalat. Karena saat melihatnya, dapat membuat shalatnya tidak khusyuk dan menghadirkan hati yang keduanya menjadi tujuan utama dalam shalat.
Karena adanya faktor internal dan ekternal di dalam melakukan shalat tersebut harusnya menjadi pertimbangan bagi takmir. Oleh karenanya, tidak boleh menghias masjid dengan berbagai alasan.
Sayyidina Hasan RA berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW saat ingin merenovasi masjid di kota Madinah, Jibril mendatanginya seraya berkata, “Bangunlah dengan tinggi tujuh dzira’ dan janganlah engkau hiasi dan melukisnya”.
Mereka telah tertipu karena mengira bahwa perkara yang sebenarnya pekerjaan munkar malah dianggap sebuah pekerjaan yang baik, dan mereka tetap melakukannya.
- Golongan Ketiga.
Orang yang menginfakkan harta dengan bersedekah kepada para fakir dan miskin. la meminta agar mereka berkumpul di satu tempat agar dapat melihat sebagian dari mereka bersyukur dan mengungkap kebaikan. Sehingga ia tidak menyukai sedekah dalam keadaan sepi dengan sangkaan bahwa menyembunyikan sedekah merupakan pengkhianatan dan pengingkaran bagi mereka.
Mengenai hal tersebut, Ibnu Abbas berkate, “Di akhir zaman nanti akan ada banyak orang haji tanpa niat yang jeles, mudah bagi mereke untuk bepergian, rezekinya melimpah.
Mereka pulang menjadi orang yang dosa dan mencuri. Mereka dengan mudah melalui semak-semak dan padang pasir menggunakan kendaraan yang mewah sedangkan tetangganya kelaparan, tetapi ia tidak menolong dan perhatian kepada mereka.
- Golongan Keempat.
Hartawan kikir yang menyimpan hartanya. Mereka sibuk dengan ibadah yang tidak mengeluarkan harta sepeserpun seperti puasa, qiyamullail, dan mengkhatamkan al-qur’an.
Mereka tertipu sebab sifat kikir yang merusak hatinya, orang seperti ini perlu dipaksa agar mau mengeluarkan harta. Mereka menyibukkan diri dengan mencari keutamaan dan sibuk dengan hal tersebut.
Mereka ibarat orang yang memakai baju dan di dalamnya ada ular sehingga mereka merasa berada dalam bahaya. Mereka suka mencari tanaman sakanjabin (campuran madu dan racun) untuk membuat obat-obatan. Barangsiapa yang telah digigit ular hingga mati, lalu bagaimana ia masih membutuhkan tanaman tersebut?.
Dalam peristiwa ini ada seseorang yang berkata kepada Basyar al-Hafi, “Orang kaya itu sering berpuasa dan shalat”. Basyar menjawab, “Bukan, dia adalah orang miskin. la telah keluar dari satu keadaan ke keadaan yang lainnya”.
Hal yang harus dilakukan sebenarnya adalah memberi makan kepada orang lapar dan memberi nafkah kepada orang miskin karena laparnya orang miskin lebih utama dari pada laparnya orang kaya. Dan hal ini lebih utama dibanding memperbanyak shalat dan dan tak acuh kepada orang fakir yang kelaparan.
Orang-orang kikir yang kalut. Mereka tidak mau bersedekah kecuali hanya zakat, padahal yang ia keluarkan adalah dari harta yang kotor dan tidak disenanginya.
Mereka mencari orang-orang fakir untuk dijadikan pembantu di masa depan agar bisa melayani mereka, atau sengaja di sewa untuk satu keperluan tertentu, atau mereka diserahkan kepada atasannya yang lebih kaya raya dan paling ditakuti agar ia mendapat suatu posisi di sisi bosnya sehingga ia dapat mewujudkan sesuatu sesuai keinginannya.
Keseluruhan ini adalah rusak dan dapat membatalkan amal, orang seperti ini jelas tertipu dengan sangkaannya yang telah taat kepada Allah padahal sejatinya ia telah durhaka karena beribadah dengan tujuan mencari balasan melalui orang lain. Orang ini dan sejenisnya adalah orang-orang yang tertipu.
- Golongan Keenam.
Orang awam, baik hartawan maupun fakir. Mereka tertipu karena menghadiri suatu majelis zikir dan mengira hal tersebut akan menjadikannya kaya dan berkecukupan.
Mereka menjadikannya sebagai kebiasaan yang rutin. Mereka juga mengira hanya dengan menghadiri dan mendengarkan nasihat tanpa dibarengi dengan amal akan mendapatkan pahala.
Mereka semuanya tertipu karena sesungguhnya keutamaan majelis zikir adalah supaya menyukai terhadap kebaikan. Jika rasa senang tersebut tidak terbesit, maka percuma baginya mengunjungi majelis tersebut.
Padahal senang terhadap hal yang baik adalah termasuk sifat yang terpuji, karena hal itu dapat mendorongnya untuk beramal yang baik. Tetapi apabila ia tidak ada rasa terdorong untuk berbuat baik, maka tidak ada kebaikan baginya menghadiri majelis itu.
Terkadang mereka tertipu terhadap nasihat yang didengarnya. Dirinya telah dirasuki oleh perasaan sebagaimana perasaan wanita lalu ia menangis. Terkadang ia mendengarkan suatu kalimat yang menakutkan sehingga raut mukanya selalu pucat pasi sambil berucap, “Ya Allah Yang Maha Memberi Selamat, selamatkanlah aku, aku berlindung kepada-Mu, segala puji bagi-Mu, dan Engkau cukup bagiku, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin-Mu”.
Mereka kira telah melakukan kebaikan seluruhnya tetapi mereka tertipu. Ibarat orang sakit yang mendatangi rumah dokter dan mendengarkan obat yang dijelaskan oleh dokter tetapi ia tidak fokus dan tidak sungguh-sungguh dalam melakukannya. Dia mengira akan cepat sembuh. Begitu juga ibarat orang lapar yang ingin mendatangi tempat orang yang suka makan makanan lezat (tetapi ia tidak mampu mewujudkannya).
Setiap nasihat yang tidak akan dapat mengubah sifatmu kecuali kamu mau mengubahnya sehingga kamu dapat menerima nasihat Allah dan berpaling dari dunia dan menerima dengan penerimaan yang serius.
Dan jika kamu tidak melaksanakan nasihat tersebut, maka akan membuatmu banyak alasan yang memberatkanmy sendiri apalagi jika kamu menganggap nasihat itu sebagai perantara kebaikan tetapi kamu sendiri tidak mau melakukannya. Maka kamu adalah orang yang tertipu.
- Golongan Pertama.
Orang-orang ini adalah para sufi di zaman ini, kecuali orang yang dijaga oleh Allah. Mereka tertipu sebab pakaian, ucapan dan merasa kagum. Mereka terlihat seperti orang-orang yang paling benar di kalangan sufi baik dari cara berpakaian, berperilaku, berkata, bertata krama, berupacara dan membuat istilah.
Yang jelas dimiliki mereka adalah suka mendengarkan, menari, bersuci, shalat, duduk di atas sajadah sambil menundukkan kepala, dan memasukkannya ke dalam kerah baju seperti orang yang merenung sambil menghela nafas yang panjang dan mengecilkan suara dalam berbicara dan bercakap dengan orang lain.
Saat mereka menyadarinya, yang dikira adalah bahwa hal itu dapat membuat mereka selamat, padahal sama sekali mereka tidak bersusah payah dengan beribadah, riyadah, dan mendekatkan diri agar dirinya menjadi bersih luar dan dalam dari segala dosa yang samar dan tersembunyi. itu semua adalah bagian dari ajaran-ajaran tasawuf.
Kemudian mereka juga menyukai perkara yang haram, syubhat, dan harta penguasa. Mereka berebut mendapatkan anggur dan uang, mereka saling iri meski sebesar biji kurma dan setipis selaput biji kurma. Sebagian dari mereka menghina kehormatan orang lain saat orang tersebut tidak sependapat dengan mereka.
Mereka itulah orang-orang yang tertipu. Ibarat orang tua renta yang mendengar bahwa ada seorang pemberani, pahlawan dan para pejuang yang namanya tertulis dalam daftar buku orangorang yang hebat. la pun berpakaian seperti pakaian orang hebat tersebut.
Saat sampai di hadapan seorang raja dan ditunjukkan timbangan amalnya, maka ditemukan fakta bahwa ia adalah seorang perempuan tua renta yang sangat buruk.
Dan sebuah pertanyaan dilontarkan kepadanya, “Apakah kamu tidak punya rasa malu karena keteledoranmu di hadapan sang raja?, lemparkan dia di sekeliling gajah”. Kemudian ia dilemparkan di sekeliling gajah dan gajah mendorongnya hingga ia mati terbunuh.
- Golongan Kedua.
Orang yang lebih parah tertipunya, mereka sulit mengikuti tradisi dalam memakai pakaian keseharian, suka makan, suka menikah, dan rumah mewah. Mereka ingin menunjukkan sisi kesufiannya tetapi cara berpakaiannya jauh dari cara berpakaiannya ahli tasawuf.
Ahli tasawuf tidak memakai sutera dan baju berbahan sutera, tetapi mereka malah memakai pakaian yang berkelas, handuk yang lembut, serbet yang indah dan sajadah yang berwarna-warni. Karena serbet yang indah harganya lebih mahal dari harga sutera. Mereka juga tidak menjauhi maksiat yang lahir apalagi yang batin.
Mereka hanya ingin hidup bahagia dan makan dari harta para penguasa, mereka kira hal itu baik baginya. Bahaya yang ditimbulkan oleh mereka jauh melebihi bahayanya seorang pencuri karena mereka bisa mencuri hati orang lain melalui pakaian yang lekat pada tubuhnya sehingga ia pun diikuti oleh orang lain dan inilah yang menjadikan sebab mereka tertipu.
Jika dikuak dari awal, dapat diambil kesimpulan bahwa mereka seolah-olah adalah ahli tasawuf tapi sejatinya mereka sendiri justru berseberangan dengan ajaran sufi.
- Golongan Ketiga.
Orang yang mengaku telah mencapai derajat kasyaf, bisa melihat kebenaran yang hakiki, mengaku telah melampaui banyak level, wushul, dan komitmen dengan ainussyuhud, serta sampai pada maqom taqarrub dengan Allah.
Padahal sebenarnya mereka tidak tahu mengenai hal tersebut melainkan hanya tahu redaksi dan definisinya saja, kalimat-kalimat yang mengandung makna yang tinggi itu selalu diulang-ulangnya.
Ekspektasi mereka jelas sangat tinggi dari pada sekedar mengetahui para ulama generasi awal dan kontemporer. Dia melihat para fukaha, para qari, ahli tafsir, ahli hadis, dan berbagai golongan ulama dengan pandangan yang hina, apalagi terhadap orang awam.
Sehingga hal tersebut bisa menjadikan seorang petani meninggalkan pekerjaannya, tukang tenun meninggalkan tenunannya hanya untuk menemani mereka di suatu hari tertentu.
Kalimat-kalimat palsu itu mereka pakai berulang-ulang seolah-olah ia berbicara tentang wahyu dan rahasia-rahasia. Dengan hal itu pula ia menganggap hina semua orang dan para ulama.
Ketika mereka bicara tentang budak: “Mereka itu harus diberi pekerjaan yang berat-berat”. Juga bicara tentang ulama:
“Mereka itu telah terhalangi oleh suatu hadis”. Dia mengaku telah wushul kepada Allah Yang Hag dan termasuk orang-orang yang dekat dengan-Nya padahal di sisi Allah mereka sebenarnya adalah ahli maksiat dan munafik.
Sedangkan di sisi orang yang menjaga hatinya, mereka itu. termasuk golongan orang picik dan bodoh yang tidak mempunyai ilmu, tidak bisa menjaga etika, dan tidak bisa mengontrol hatinya malah memanjakan hawa nafsu dan bisanya hanya mengungkit-ungkit sesuatu. Padahal jika ia mau menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat tentu lebih baik baginya.
- Golongan Keempat.
Orang-orang yang beramal baik, selalu mencari perkara yang halal dan sibuk menyucikan hati. Sebagian dari mereka mengaku telah sampai pada derajat zuhud, tawakal, rela dan cinta tetapi tidak paham hakikat dari derajat tersebut serta tidak memenuhi syarat, tanda dan bahaya-bahayanya.
Sebagian yang lain mengaku telah sampai pada derajat sungguh-sungguh dan cinta kepada Allah. Mengira telah bersatu dengan-Nya dengan berkhayal dengan fantasi yang rusak mengandung bid’ah dan kufur. la mengaku cinta Allah dan dikatakannya telah mengenal-Nya padahal tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Mereka belum bisa melepaskan diri dari perkara yang dibenci Allah, masih mengikuti hawa nafsunya dalam melakukan perintah-Nya dan dari perkara lainnya karena malu di hadapan manusia.
Padahal saat ia sedang sendirian sangat malu kepada Allah dari perkara yang tidak mau mereka tinggalkan. Mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya hal itu justru bertentangan dengan rasa cintanya kepada Allah.
Sebagian dari mereka lainnya cenderung menyukai sifat qanaah dan tawakal. Mereka melewati padang sahara tanpa membawa perbekalan karena ingin membuktikan sifat tawakalnya. Tidak sadar bahwa yang demikian adalah suatu bid’ah yang tidak ia peroleh dari para ulama salaf dan para sahabat Nabi, semoga Allah meridhai mereka semua.
Terkadang mereka lebih mengetahui tentang tawakal, yang mereka pahami dari tawakal adalah sesuatu yang terbesit dalam jiwa dan meninggalkan bekal. Tetapi mereka tetap mengambil bekal padahal se,atinya seorang yang tawakal adalah orang yang telah pasrah kepada Allah dan lebih memilih tidak membawa bekal.
Mereka meninggalkan bekal dengan satu sebab dari beberapa faktor dan mereka yakin dengannya. Tidak ada satu maqom pun yang dapat menyelamatkannya kecuali jika di dalamnya terdapat suatu ketertipuan.
Sungguh kami (pengarang) telah memberi contoh dari suatu kaum dan telah menunjukkan beberapa sumber tentang bahaya maqamat pada bab seperempat sifat-sifat yang menyelamatkan (munjiyat) dalam kitab Ihya.
- Golongan Kelima.
Orang yang kesulitan ekonomi dan kebiasannya mencari perkara yang benar-benar murni kehalalannya hingga membuat mereka lupa terhadap hati dan anggota tubuhnya yang terkait dengan selain masalah yang satu ini.
Sebagian mereka abai terhadap kehalalan sesuatu dalam makanan, pakaian dan tempat kerjanya dan hal tersebut menjadi semakin parah. Mereka tidak tahu bahwa Allah tidak ridha dengan seorang hamba kecuali yang sempurna ketaatannya. Barangsiapa yang mengikuti orang-orang yang tertipu di atas dan bagian-bagian dari mereka, sungguh ia telah tertipu.
- Golongan Keenam.
Orang yang mengklaim mempunyai akhlak baik, suka tawadu dan berlapang dada dengan tujuan mengikuti jejak langkah pada sufi.
Mereka mengumpulkan suatu kaum dan membebani mereka dengan menyuruh berkhidmah kepada para _ sufi tersebut. Mereka melakukan cara itu supaya memperoleh barang-barang duniawi dan menumpuk harta.
Tujuannya tak lain adalah sombong dan memperbanyak harta. Mereka memperlihatkan tujuannya agar mendapat pelayanan dan pengikut. Lalu) dengan’ itu. mereka mengumpulkan barang haram dan syubhat untuk disalurkan kepada para sufi agar pengikutnya bertambah banyak dan namanya semakin tersebar.
Sebagian mereka menjilat harta para penguasa dan menyalurkannya untuk dana haji para sufi. Mereka mengira tujuannya adalah termasuk kebaikan dan sedekah. Sedangkan yang melatarbelakangi semua itu adalah sifat riya dan cari perhatian.
Semua itu dilakukan tetapi mereka abai terhadap semua perintah Allah, suka mengambil barang haram kemudian menyedekahkannya.
Misalnya seperti orang yang menyedekahkan uang haram untuk dana haji bagaikan orang yang mendirikan masjid kemudian mengotorinya dengan dalih bahwa usahanya adalah untuk memakmurkan masjid.
- Golongan Ketujuh.
Orang yang menghabiskan waktunya hanya untuk bermujahadah, memperbaiki akhlak dan menyucikan diri dari aib. Mereka memperdalamnya dengan selalu membahas halhal yang berkaitan dengan penyakit-penyakit hati, mengetahui segala risiko dan cara kerja tipuan itu terhadap mereka. Di setiap kondisi mereka sibuk menjaga diri dari segala penyakit hati dan mencari pembicaraan yang detail terkait dengan malapetaka hati.
Mereka berkata, “Ini merupakan penyakit dalam hati”, sedangkan mereka lalai dari aib yang ada di dalam dirinya yang juga terdapat aib. Mereka malah sibuk mencari kalimat yang rancu hingga waktunya terbuang sia-sia seakan-akan dirinya mampu berdiri sendiri tanpa peduli dengan siapa Tuhan yang menciptakannya.
Ibaratnya bagai orang yang yang seenaknya pada saat melakukan ibadah haji dan segala ritualnya tetapi tanpa memakai protokol yang telah ditentukan sehingga hajinya sia-sia.
- Golongan Kedelapan.
Orang yang telah melewati tingkatan ini, mereka mengikuti tarekat sampai pintu makrifat terbuka. Setelah mereka akan sampai pada awal makrifat, mereka takjub dan merasa senang, hatinya kagum dengan perkara yang di luar logika kemudian sering memikirkannya, berpikir bagaimana cara membuka pintu makrifat tersebut dan menutupi hal itu dari orang lain.
Semua ini adalah tipuan karena keajaiban-keajaiban tersebut adalah jalan menuju Allah dan itu tidak ada batasnya. Barangsiapa yang berhenti karena terbuai dengan keajaiban tersebut, maka hal itu) dapat membelenggu dan memperpendek langkah hingga ia tidak mungkin sampai menuju tujuannya.
Ibaratnya seperti orang yang hendak mendatangi raja, ia melihat pintu istana dan melihat kebun yang dipenuhi bungabunga indah bermekaran serta cahaya yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia pun terhenti dan habislah waktu yang ia miliki untuk bertemu dengan raja, akhirnya ia pulang dengan sia-sia.
9, Golongan Kesembilan.
Orang yang melampaui batas dari kelompok-kelompok sebelumnya. Mereka tidak berpaling dari cahaya-cahaya tarekat dan tidak peduli kepada sesuatu yang justru dapat membuatnya mudah mendapatkan pemberian yang melimpah. Mereka tidak berusaha untuk meraih pemberian tersebut.
Saat hampir meraihnya, mereka mengira telah sampai kepada Allah sehingga mereka berhenti dan tidak terus meraihnya. Mereka keliru karena Allah memiliki tujuh puluh hijab dari cahaya dan kegelapan. Seorang yang menempuhnya tidak akan bisa mencapai kecuali mereka merasa telah mampu meraihnya.
Hal ini sebagai isyarat dalam firman Allah tentang Nabi Ibrahim yang mencari siapa Tuhannya dan berkata, “Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku”, maka ketika bintang itu terbenam ia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam””. Sungguh banyak sekali hijab yang ada pada maqom ini.
Adapun hijab yang pertama antara seorang hamba dan Tuhannya adalah hatinya. Ini merupakan sesuatu yang bersifat illahi yang agung, ia adalah satu cahaya dari banyaknya cahayacahaya Allah yaitu rahasia hati (sirrul qalbi) yang di dalamnya jelas ada hakikat dari segala kebenaran, sehingga ia dapat mengetahui apa saja yang terjadi di alam semesta.
Pada saat itu, cahaya orang tersebut memancar dengan dahsyat, semua hal yang wujud akan terlihat. Fase ini adalah fase pertama kali ia ditutupi dengan cahaya yang menutupi dirinya sendiri.
Tatkala cahaya ini tampak sehingga terbukalah keindahan hati setelah sinar Allah sampai kepadanya, orang yang memiliki hati tersebut terlena dengan yang dialaminya karena telah melihat keindahan hatinya melebihi apa yang dia takutkan. Dengan demikian ia akan berkata, “Akulah al-Haq”. Jika ia tidak paham dengan apa yang ada di baliknya dan dia berhenti di situ, maka ia celaka.
Dengan mata inilah orang-orang nashrani melihat Nabi Isa al-Masih ketika mereka melihat pancaran cahaya Allah kepada Nabi Isa. Tetapi mereka salah, bagai orang yang melihat cahaya dari cermin atau air, mereka mengira cahaya dalam cermin itu adalah cahaya yang sebenarnya (padahal bukan, lalu mereka mengulurkan tangannya untuk meraih cahaya tersebut. Mereka ini telah tertipu.
Ada banyak macam tipuan bagi orang yang menuju kepada Allah dan tak terhitung banyaknya. Kecuali setelah semua ilmu yang samar menjadi jelas. Karena itulah tidak ada dispensasi dalam menyebutkannya. Terkadang dibolehkan menjelaskan hal tersebut agar seseorang tidak menjadi tertipu.
Semua pertolongan hanya berasal dari Allah, dan hanya itulah yang mencukupiku. Sebaik-baik tempat untuk bersandar, tidak ada kemampuan menjauhi maksiat serta kekuatan untuk melaksanakan ketaatan kecuali atas pertolongan Allah Yang Maha Agung.
Dengan puji Allah, karya ini telah selesai dari tangan pengarang. Semoga pertolongan-Nya mengalir kepada pengarang dan orang-orang setelahnya yang mengambil berkah darinya. Yang mengharap ampunan Allah al-Qarib al-Mujib al-Faqir; Usman ibn al-Allamah Syaikh Salman as-Syafii as-Suwaifi semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, dan semua orang Islam. Serta semoga rahmat Allah tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat dan seluruh sahabatnya.