Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada pimpinan kita Nabi Muhammad, penutup para nabi dan rasul, serta kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Beberapa sahabat dan saudaraku mengharapkan diriku untuk mengumpulkan hal-hal yang harus diketahui oleh orang-orang yang melangsungkan akad nikah dari perkara-perkara yang biasa dilakukan menurut syariat berdasarkan mazhab Imam Syafi’i r.a., untuk memenuhi harapan tersebut, maka saya terima permintaannya itu. Saya tulis lembaran-lembaran ini dengan diberi nama :
AL-MIFTAHU LIBABIN NIKAH
Dengan harapan agar Allah menjadikan penyusunan buku ini semata-mata ikhlas kepada-Nya. Amin.
PENGERTIAN NIKAH
Nikah menurut bahasa artinya menyatu dan bersetubuh Menurut syariat adalah suatu aqad yang menyebabkan bolehnya bersetubuh dengan lafazh nikah atau kawin atau terjemahannya (terjemah nikah atau kawin saja).
RUKUN-RUKUN NIKAH
Syarat sah nikah ada lima, yaitu:
- Suami
- Istri
- Wali
4, Dua orang saksi
- Aqad (Sighat).
TUGAS ORANG YANG MELAKSANAKAN AQAD NIKAH
Yang seharusnya dilakukan bagi orang yang melaksanakan aqad nikah, jika dia diminta untuk melaksanakan aqad nikah, baik dia walinya atau wakil walinya yang murni antara lain :
Sebelum melangsungkan aqad nikah, hendaknya ia menanyakan beberapa hal, diantaranya : Menanyakan keadaan calon istri, apakah masih perawan atau sudah janda.
Yang dimaksud perawan ialah wanita yang belum hilang keperawanannya karena bersetubuh, seperti karena belum pernah disetubuhi sama sekali atau sudah hilang keperawanannya tanpa disetubuhi, seperti karena jatuh atau derasnya haid.
Adapun janda ialah wanita yang sudah hilang keperawanannya karena bersetubuh, baik dengan cara halal maupun haram atau dengan cara syubhat (samar / yang tidak dihukumi halal atau haram).
Kalau perempuan tersebut masih perawan maka hanya ayah atau kakeknya saja yang boleh mengawinkannya secara paksa meskipun ia belum baligh, dan tidak boleh bagi wali-wali lain (seperti saudara atau paman). Nikah tersebut sah dengan syarat :
- Calon suaminya harus kufu’ kafa’ah? (sederajat) dengan calon istri.
- Mampu memberi mahar mitsil.
- Tidak terjadi permusuhan antara calon suami dan istri baik zhohir maupun batins.
- Tidak ada permusuhan yang nyata / jelas antara calon istri dengan walinya.
Kalau tidak memenuhi syarat di atas maka nikahnya tidak sah. Dan juga tidak kurang maharnya dari mahar mitsil, maskawinnya diserahkan saat itu juga sesuai mata uang yang berlaku di kota tersebut.
Seandainya perempuan itu tidak mempunyai ayah dan kakek. maka tidak boleh bagi wali lainnya (seperti paman, saudara, dan lain-lain) mengawinkannya. Kecuali kalau ia sudah baligh dan dapat izin darinya. Izin tersebut telah terpenuhi dengan diamnya perempuan itu.
Jika wanita yang hendak dikawinkan sudah baligh, sunnah bagi seorang ayah atau kakek meminta izin kepadanya.
Jika calon yang akan dilamar itu sudah janda, hendaklah orang yang akan mengaqadkannya menanyakan apakah suaminya telah meninggal atau menceraikannya.
Kalau telah meninggal, ia harus menanyakan waktu wafatnya agar dapat diketahui masa selesai iddah-nya (masa menunggu yang tidak boleh menikah). Karena masa iddah perempuan yang ditinggal meninggal suaminya adalah sampai melahirkan jika ia dalam keadaan hamil. Namun jika tidak hamil, masa iddahnya 4 bulan 10 hari bagi orang yang merdeka dan 2 bulan 5 hari bagi seorang hamba sahaya.
Dan bilamana ia ditalak (diceraikan) suaminya maka hendaklah Orang yang akan mengaqadkannya memperhatikan lafaz talaknya serta meneliti sah atau terlaksananya lafaz talak tersebut. Serta mengetahui apakah talak khulu’ (yang ada imbalan untuk sang suami) ataupun talak raj’i.
Selain itu ia harus meneliti apakah perempuan tersebut ditalak setelah disetubuhi oleh suami pertama atau belum. Jika sudah disetubuhi oleh suami pertama, ia menanyakan tentang selesai iddahnya, apakah masa iddah perempuan tersebut dengan guru’ (3 kali masa suci) ataukah dengan hitungan bulan.
KESIMPULAN
Tidak diperkenankan melangsungkan aqad nikah kecuali sampai benar-benar diyakini bahwa calon istri tidak sedang memiliki hubungan nikah serta tidak dalam masa iddah, dan terlepas dari segala hal yang menghalangi sahnya nikah. Sedangkan syarat sah hikah dengan janda yakni jika ia sudah baligh dan meminta izin kepada janda tersebut serta diizinkan melalui ucapan kepada walinya untuk mengawinkannya, meskipun walinya adalah ayah atau kakeknya sendiri.
WALI-WALI NIKAH YANG PALING BERHAK MENIKAHKAN
Paling berhaknya wali untuk menikahkan ialah ayah kandung, kemudian kakek (ayahnya ayah) ke atas. Kemudian saudara seayah seibu (sekandung), kemudian saudara seayah saja. Kemudian anak saudara kandung, kemudian anak saudara seayah dan seterusnya ke bawah. Kemudian paman (saudara ayah) sekandung, kemudian baman seayah. Kemudian anak paman sekandung, kemudian anak baman seayah dan kebawah seterusnya. Kemudian pamannya ayah, kemudian anaknya (anaknya paman ayah) dan seterusnya ke bawah. Kemudian pamannya kakek dan anaknya dan seterusnya ke bawah. Kemudian paman ayah kakek kemudian anaknya (anaknya paman ayahnya kakek).
Begitulah susunan pada semua asobah dengan mendahulukan saudara kandung diantara saudara yang seayah saja.
Jika tidak ada sama sekali asobah nasab, maka walinya mut’tiq (yang telah memerdekakannya) dan setelah itu asobahnya mu’tiq dengan tertib seperti diatas. Kemudian mu’tiqul mu’tiq. Kemudian asobahnya. Kemudian hakim atau wakilnya (petugas KUA).
Hukum Bila Para Wari Nikah Sama DERAJATNYA
Bila para wali nikah sama derajatnya, seperti beberapa orang saudara yang sama-sama sekandung atau seayah ataupun paman, maka yang berhak menikahkannya diantara mereka adalah siapa saja yang mendapatkan izin dari calon istri untuk mengawinkannya. Seandainya perempuan itu memberikan izin kepada mereka semuanya maka para wali tersebut harus berkumpul pada perkawinannya atau dengan cara mewakilkan salah seorang diantara mereka atau orang lain.”
Bila diizinkan setiap orang diantara mereka untuk menikahkannya, maka semuanya boleh melangsungkan aqad nikah walaupun tanpa izin yang lain.
SYARAT-SYARAT WALI NIKAH
Syarat wali nikah adalah :
Wali itu seorang muslim jika perempuan yang dinikahkannya muslimah, baligh, berakal, merdeka, mengerti dan adil.
Bila salah satu atau lebih dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka orang tersebut tidak berhak menjadi wali dan haknya pindah kepada wali setelahnya atau wali yang tingkatnya lebih rendah susunannya jika tidak ada wali yang derajatnya sama.
Dan diantara syaratnya wali, hendaknya wali itu tidak terpaksa dan tidak pikun? sebab tua atau sakit. Dan tidak sedang melaksanakan ihram haji maupun umrah. Oleh karena itu orang yang sedang melaksanakan ihram tidak sah mengawinkan dan mewakilkan kepada orang lain, walaupun wakilnya itu tidak ihram. Dan juga tidak berpindah kewalian dengan sebab ihram itu kepada wali setelahnya (dibawah derajatnya), akan tetapi berpindah kewaliannya kepada hakim atau wakilnya hakim (petugas KUA).
Hal-hal yang mencegah sahnya kewalian sebagaimana terhimpun dalam perkataan Ibnu Imad:
Sepuluh macam yang mencabut kewalian Kafir, fasik, dan kecil kebatasnya Budak, gila terus menerus atau pikun Bisu jawabannya telah tertutup Kurang akal sepertinya, juga sakit mubarsam Dan bodoh tidak mendapat petunjuk, dan bisu
10 hal yang menyebabkan berpindahnya hak wali nikah
kepada wali yang lebih rendah susunannya (dalam tertiban wali) :
- Jika wali yang dekat adalah kafir.
- Jika wali yang dekat seorang yang fasik. Namun Imam Nawawi dan selainnya memilih pendapat bahwa kewalian tetap pada orang fasik tersebut jika kewalian akan berpindah kepada hakim yang melakukan hal-hal fasik yang sejenis atau lebih dari yang dilakukan oleh si wali fasik.
- Jika walinya masih kecil atau belum baligh.
- Jika walinya itu adalah budak.
- Jika walinya gila berkesinambungan. Apabila masa gilanya sesaat, seperti satu hari dalam setahun maka ditunggu sadarnya. Kalau masa gilanya terputus-putus maka pada saat sadarnya ia berhak mengawinkan, namun pada saat gilanya hak kewalian berpindah ke wali setelahnya.
- Jika walinya menderita penyakit khobal. Khobal dengan dibaca sukun huruf baa ( ) atau difathahkan berarti rusak akalnya (pikun), baik itu bawaan lahir maupun dengan sebab yang lain, maka berpindah kewaliannya kepada ab’ad.
- Jika walinya bisu serta tidak bisa memberikan isyarat maupun tulisan yang dipahami. Kalau dia bisa memberi isyarat maupun tulisan yang dimengerti maka kewaliannya tidak berpindah, namun ia mewakilkan kepada wali lainnya dengan isyarat atau tulisannya tersebut.
- Jika walinya kurang akal atau disebut juga ma’tuh ( ) atau idiot. Ma’tuh diisyarahkan oleh nadzim dengan perkataanya ( ). Seandainya nadzim mengatakan ( ) pengganti dari lafaz ( ) pasti memberikan pengertian bahwasanya ( ) (orang yang bodoh yang dilarang membelanjakan hartanya) tidak boleh menjadi wali nikah anaknya akan tetapi pindah kewaliannya kepada wali setelahnya yang lebih rendah. Dan cukup dan lafaz ( ) semakna dengan lafaz ( ) dan ( )
- Jika walinya kurang pada akalnya (pikun).
- Jika walinya bodoh yang tidak bisa membedakan antara kufu’ (sederajat) atau tidak. Adapun perkataan nadzim wa abkam ( ) (bisu) dari penyempurnaan bait syair saja karena kata abkam semakna dengan akhros ( ) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Semua gambaran ini wali nikah berpindah kepada wali yang lebih jauh.
SEBAB-SEBAB HAKIM MENJADI WALI NIKAH
Hakim dapat jadi wali nikah. Hakim dalam hal ini adalah pemimpin atau wakilnya, baik itu menteri atau Modhi atau penghulu (KUA) dengan 20 sebab seperti yang tersusun dalam hazhom Imam Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad As-Suyuthy yang kemudian diuraikannya dengan jelas seperti di bawah ini :
Ada 20 sebab yang mana hakim menjadi wali. Tidak adanya wali, menghilangnya wali, tidak maunya wali, kepergiannya wali.
Ditahannya wali, sembunyi, tidak hadirnya wali, wali ingin menikahinya, atau untuk anak kecilnya atau cucunya sedangkan wali tidak bisa memaksanya (wali selain ayah dan kakek atau tidak memenuhi syarat ijbar) dan istri bukan cucunya. Budak perempuan milik orang yang tidak boleh membelanjakan hartanya dan perempuan gila yang tidak ada ayah dan kakek yang membutuhkan nikah. Budak perempuan milik orang perempuan yang rosyidah Wang boleh membelanjakan hartanya) yang tidak ada wali dan budak baitul mal serta budak yang diwakafkan jika tidak membahayakan.
Budak perempuan muslimah yang digantungkan kemerdekaannya atau budak yang dijanjikan merdeka setelah mati tuannya atau budak yang dijanjikan merdeka dengan membayar dua kali bayaran atau budak yang menjadi mustaulad-nya orang kafir. Sebab pertama : Hakim jadi wali jika tidak ada wali. Seperti wali nikahnya tidak ada sama sekali atau tidak ada menurut syariat. Contoh : wali yang berhak mengawinkannya ada, namu” dikarenakan adanya sebab yang menghalanginya jadi wali, seper”‘ masih kecil atau gila, bodoh atau semisalnya serta tidak ada sama sekali wali lainnya yang lebih rendah derajatnya. Sebab kedua – menghilangnya wali dan tidak diketahui keadaannya, apakah sudah mati atau masih hidup.
Sebab ketiga – ihramnya wali, baik haji maupun umrah, baik sah maupun tidak (seperti dirusakkannya dengan melakukan hubungan suami istri dimasa haji / umrah).
Sebab keempat: menolaknya wali. Hukumnya haram” menolak menjadi wali atau menikahkan setelah diminta oleh perempuan yang baligh dan berakal untuk mengawinkannya kepada kufu’ (calon suami sederajat). Hendaknya wali yang menolak, menyatakan keengganannya menikahkan dihadapan hakim dengan bukti atau menyebutkan sebab-sebab keengganannya. setelah diperintahkan hakim.
Sebab kelima – bepergiannya wali ke tempat yang boleh mengashar shalat. Adapun jika kurang dari jarak gashar maka harus mendapatkan izin dari wali dahulu.
Sebab keenam – terpenjaranya wali dan tidak boleh ditemui orang. Jika boleh ditemui, maka walinya mewakilkan kepada orang lain atau walinya mengawinkannya di penjara.
Sebab ketujuh : sembunyinya wali setiap diminta untuk menikahkan.
Sebab kedelapan – enggannya wali nikah. Artinya, setiap walinya diminta untuk menikahkan, ia berjanji akan hadir tapi pada saat tiba janjinya tidak dipenuhi dan ia tidak menolaknya dengan jelas. Dalam hal ini hendaknya ada pengesahan dengan dan (mengenai sebab keengganan dan sembunyinya) wali nikah dari hakim dengan didasari bukti.
Sebab kesembilan – kawinnya wali. Artinya, jika wali yang berhak, ingin mengawini si perempuan untuk dirinya sendiri seperti anak dari pamannya sendiri namun tidak ada wali yang lebih dekat darinya atau yang sama derajatnya. Caranya, wali tadi hanya gabul nikahnya dan yang mengawinkannya adalah hakim.
Sebab kesepuluh: jika walinya itu mau menikahkan si perempuan dengan anaknya yang kecil dan tidak ada wali yang lebih dekat atau sederajat dengannya. Caranya, wali itu yang mengabulkan nikah untuk anaknya dan yang mengawinkannya adalah hakim,
Sebab kesebelas – jika wali yang berhak hendak menikahkan si perempuan dengan cucunya (anak dari anak laki-laki) sedangkan walinya bukan wali mujbir. Jika walinya mujbir seperti calon istri itu (putri dari anak laki-lakinya yang lain) maka wali tersebut yang melangsungkan ijab gabulnya (dia yang mengawinkan dan dia juga yang menerima).
Sebab keduabelas : budak perempuan yang mana pemiliknya itu mahjur ‘alaih (tidak diizinkan syariat untuk bertransaksi atas hartanya) dan ia tidak mempunyai ayah atau kakek. Demi kemaslahatan maka yang menjadi walinya adalah hakim, Seandainya walinya safihan (bodoh), maka yang mengawinkannya adalah hakim dengan izin dari wali yang bodoh tersebut.
Sebab ketigabelas – perempuan gila yang sudah baligh yang membutuhkan nikah, sedangkan ia tidak mempunyai ayah maupun kakek, maka yang mengawinkannya adalah hakim.
Sebab keempatbelas – budak perempuan milik perempuan rosyidah (perempuan yang diizinkan oleh syariat untuk bertransaksi atas hartanya) yang tidak mempunyai wali, atau si perempuan rosyidah itu tidak mempunyai wali, maka yang mengawinkannya adalah hakim dengan izin si pemiliknya.
Sebab kelimabelas – budak perempuan baitul mal, maka yang menjadi walinya adalah hakim dengan izinnya.
Sebab keenambelas – budak perempuan yang diwakafkan. maka yang mengawinkannya adalah hakim dengan izin orang yang mengatur wakaf.
Sebab ketujuhbelas – budak muslim yang dimiliki oleh orang kafir jika digantungkan kemerdekaannya dengan ada sifat (seperti masuk rumah).
Sebab kedelapanbelas – budak yang mudabbaroh” muslimah milik orang kafir.
Sebab kesembilanbelas – budak yang mukatabah muslimah milik orang kafir.
Sebab keduapuluh – budak mustauladah” milik orang kafir jika budak itu masuk islam, demikian juga budak muslimah milik orang kafir meskipun dia budak yang murni.
Berdasarkan uraian tersebut, maka keduapuluh hal inilah yang menyebabkan hakim ataupun wakilnya dapat menjadi wali nikah.
Syarat kedua saksi nikah adalah baligh, berakal, merdeka, adil, muru’a, bisa melihat, mendengar, berbicara, memahami bahasa yang diucapkan oleh wali dan calon suami (mutaaqidain dalam melaksanakan aqad nikah tersebut.
Diantara syarat saksi adalah : tidak pikun dan tidak mengharuskan ia untuk jadi wali. Seandainya mengharuskan untuk menjadi wali, seperti ayah atau saudara yang hanya ada satu namun ia mewakilkan kepada orang lain untuk mengijabkan nikah sedangkan ia (wali ayah atau saudaranya) hadir untuk jadi saksi maka aqad nikah tersebut tidak sah, meskipun ayah dan saudaranya tadi memenuhi syarat untuk jadi saksi (hal ini dikarenakan ia harus jadi wali bukan saksi). Jika tidak tersedianya dua saksi, atau salah satu diantara keduanya tidak memenuhi syarat saksi maka nikahnya tidak sah.
Sah (diperbolehkan) kawin dengan disaksikan dua anak suami atau istri atau dua musuh keduanya (suami-istri). Boleh juga disaksikan oleh orang yang keadilannya belum diketahui (tidak tersebar), seperti apabila saksi-saksi tersebut secara dhahir dikenal baik atau tidak dikenal sebagai orang fasik.
Syarat calon suami adalah tidak terpaksa, laki-laki tulen, sudah jelas orangnya, ia mengenal nama calon istri atau orangnya, tidak sedang melaksanakan ihram haji ataupun umrah, tidak ada hubungan mahram? antara calon suami dan istri (baik mahram yang selama-lamanya maupun mahram dikarenakan mushoharoh / periparan), dan suami boleh mewakilkan orang lain untuk menerima nikah untuknya.
MAHRAM YANG SELAMA-LAMANYA
Mahram yang selama-lamanya ada 18 (delapan belas). 7 (tujuh) diantaranya dari nasab. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah : Diharamkan (untuk dinikahi) kepada kalian ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara perempuan, bibi (saudari ayah), bibi (saudari ibu) kalian, dan anak dari saudara laki-laki (kemenakan) dan anak dari saudari perempuan.
Dan tujuh dari hubungan rodho’ (susuan), yaitu ibu susuan dan anaknya, saudara, bibi (saudari ayah susuan), bibi (saudari ibu susuan) dan keponakannya (anak dari saudara perempuan iby susuan).
Selain itu ada 4 (empat) dari hubungan perkawinan yaitu: ibunya istri, anaknya istri (dari suami yang lain) jika sudah berhubungan dengan ibunya itu, lalu ibu tiri dan istrinya anak.
PEREMPUAN MAHRAM DENGAN SEBAB PERKAWINAN
Yang dimaksud mahram adalah setiap dua orang perempuan antara mereka berdua berhubungan nasab atau susuan, kalau dikirakan salah satunya laki-laki dan satunya perempuan maka keduanya tidak boleh kawin seperti 2 saudari dan seperti juga perempuan dan bibinya (saudari ayah) atau bibi (saudari ibu). Maka barang siapa yang kawin pada seorang perempuan, dia haram (tidak boleh) menikahi saudarinya sampai dia itu terlepas (talak ba’in) dari istri pertama baru boleh baginya mengawini saudari mantan istri. Seperti terlepasnya dikarenakan kematian istri atau dicerai yang ba’in, atau talak raj’i (cerai yang boleh kembali) tetapi masa iddahnya sudah habis yang merupakan syarat untuk cerai yang bisa kembali (talak raj’i).
Syarat calon istri yaitu benar-benar perempuan (tulen), tertentu (calonnya sudah jelas) dan tidak sedang ihram (baik haji maupun umrah), tidak dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki lain dan iddah selain calon suami (yang melamar), bukan istri yang pernah di li’an (yang disumpah li’an), bukan istri yang kelima kalau suami itu merdeka dan bukan yang ketiga kalau suaminya itu hamba sahaya.
Bila calon istri mengaku tidak dalam hubungan nikah dan iddah, maka pernyataannya itu diterima, dan bagi walinya baik wali khusus (ayah atau yang lainnya) maupun wali umum (KUA) boleh menikahkannya dengan berpegang pada pernyataannya. Sedangkan jika calon istri menyatakan bahwa dulunya ia adalah istri seseorang dan kemudian diceraikan atau suaminya sudah mati, maka pernyataannya ini tidak dapat dijadikan pegangan oleh wali umum (KUA) kecuali dengan saksi, sebaliknya wali khusus boleh berpegangan dengan pernyataan tersebut.
BERBILANGNYA ISTRI (POLIGAMI)
Diperbolehkan bagi seorang yang merdeka mengawini 4 (empat) orang istri dan bagi seorang hamba sahaya mengawini 2 (dua) orang istri. Jika seorang merdeka mengawini 5 istri atau lebih secara berurutan (satu persatu), maka istrinya yang kelima dan seterusnya tidak sah. Jika ia mengawini lima atau lebih perempuan dalam satu aqad nikah maka kesemuanya tidak sah.
SYARAT LAFAZ NIKAH (IJAB DAN OABUL)
Hal-hal yang disyaratkan pada lafaz nikah adalah sebagai berikut :
* Tidak dipisah antara lafaz ijab dan gabul oleh perkataan yang tidak ada hubungannya dengan nikah
* Tidak dipisah antara lafaz ijab dan gabul dengan diam yang lama:.
* Hendaknya antara ijab dan gabul sesuai makna.
* Tidak tertentu (tergantung nikah pada sesuatu).
* Tidak diberi tempo.
* Melafazkan dengan suara yang dapat terdengar oleh orang yang berada didekatnya.
” Tetap keahliahannya sampai terlaksananya gabul.
* Menggunakan lafaz tazwij (kawin) atau inkah (nikah) dan bukan selain dari lafaz ini. Tetapi boleh dengan terjemah lafaz tazwij (kawin) atau inkah (nikah) dengan syarat agid (wali dan calon suami) serta kedua saksi memahaminya. Dan tidak sah kawin dengan lafaz kinayah (lafaz selain inkah dan tazwij dan terjemah keduanya)
NIKAH LAKI-LAKI MERDEKA DENGAN BUDAK PEREMPUAN ATAU SEBALIKNYA
Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki merdeka mengawini budak (yang dimiliki), hal ini agar anak-anaknya tidak menjadi budak juga.
Namun ada 4 (empat) syarat yang memperbolehkannya menikahi budak, yaitu :
* Hendaknya budak itu muslimah
* Takut melakukan zina jika tidak menikah.
* Tidak mampu membayar maskawin jika menikahi seorang perempuan merdeka atau tidak ridhanya perempuan dengan mahar (maskawin) yang diterimanya.
* Tidak punya perempuan yang merdeka untuk disetubuhinya. Dan bila ia membeli istrinya maka rusak (terlepas) hubungan nikahnya.
Adapun hamba sahaya laki-laki, tidak boleh menikahi perempuan merdeka dikarenakan tidak kufu’ (sederajat). Kecuali jika perempuan merdeka itu menjatuhkan kafa’ah (derajat) nya serta diridhai oleh walinya yang dekat, maka boleh bagi hamba sahaya untuk menikahi perempuan tersebut.
semuanya memiliki arti yang sama. Dan menurut bahasa artinya sesuatu yang harus dengan sebab nikah. Adapun menurut syariat, artinya sesuatu yang diharuskan bagi calon suami terhadap calon istri. Biasanya dengan sebab nikah atau berhubungan syubhat atau yang semisalnya.
Derinisi MAHAR
Mahar artinya segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan. Baik berupa sesuatu yang dibayar ataupun barang yang dibeli maka hukumnya sah untuk dijadikan maskawin , sedangkan yang tidak bisa maka tidak sah dijadikan maskawin
MAHAR MITSIL DAN MUSAMMA
Mahar mitsil yaitu mahar yang dihasrat seperti orang semisalnya (perempuan) sederajat nasabnya, perawan dan jandanya.
Adapun musamma yaitu sesuatu yang disebutkan di waktu aqad nikah, baik itu mahar mitsil maupun lebih dan kurang dari mahar mitsil.
Perlu diketahui bahwa menyebut mahar pada saat aqad nikah hukumnya sunnah, meskipun kadang jadi wajib di beberaps tempat seperti yang disebutkan di kitab-kitab besar. Apabila pada waktu aqad nikah tidak disebutkan maharnya, jika si istrinya bukan mufawwidhah maka ia berhak mendapatkan mahar mitsil dengan sebab aqad. Jika ia mufawwidhah, seperti dengan mengatakan kepada walinya agar mengawinkannya tanpa mahar, dan walinyapun mengawinkannya tanpa mahar, maka wajiblah maharnya dengan salah satu dari tiga macam, yaitu:
* Ketentuan suami memberi mahar mitsil kepada istri ketika telah disetujui maharnya oleh istri.
* Ketentuan hakim, jika suami enggan membayar mahar, atau suami dan istri berselisih mengenai kadar banyaknya mahar.
* Dan jika suami sudah menggauli istrinya dan seperti masalah ini dengan mati salah satu diantara keduanya (suami atau istri).
Talak menurut bahasa artinya melepaskan ikatan. Sedangkan menurut syariat, talak berarti melepaskan hubungan pernikahan dengan lafaz talak atau sepertinya.
MACAM-MACAM TALAK
Talak terbagi 2 (dua), yaitu :
- Talak dengan uang (imbalan) yang dinamakan khulu’,
2, Talak tanpa uang (imbalan).
- TALAK DENGAN IMBALAN / KHULU’
PENGERTIAN KHULU’
Khulu’ berasal dari kata dengan dibaca fathah huruf kho yang artinya mencabut. Menurut syariat khulu’ berarti perpisahan dengan imbalan (ganti) yang dimaksud (dengan imbalan) yang kembali kepada suami.
RUKUN KHULU’
Rukun khulu’ ada 5 (lima) :
Suami ( ) Yang dimanfaatkan ( ), Orang yang memberi imbalan, baik istri, wali ataupun orang lain (. ) Imbalan ( ) dan Lafaz / shighat ( ).
Adapun yang disyaratkan pada suami adalah hendak-nya orang yang sah mentalak dan syaratnya yang dimanfaatkan (kemaluan/bud’i) dimiliki oleh suami. Jika istri telah ditalak khulu’ yang menjadi ba’in (telah lepas hubungan suami istri), maka jadi batal talak khulu’nya.
Syarat orang yang memberi imbalan hendaklah orang yang diizinkan oleh syariat untuk membelanjakan hartanya. Sedangkan syarat iwadh (imbalan) hendaknya dimaksud (yang bisa diperjual belikan, seperti uang, baju, dll) dan diketahui jenisnya serta kembali kepada suami dan bisa diserahkan kepada suami.
Bila ia mentalak khulu’ dengan sesuatu yang tidak dimaksud (seperti darah) maka talaknya jadi talak raj’i dan imbalannya batal. Apabila talak khulu’nya dengan sesuatu yang tidak jelas (tidak diketahui) atau yang dimaksudnya itu rusak (tidak sah dijual) seperti minuman keras, maka dia sah menjadi khulu’, hanya saja iwadh (imbalan) berpindah menjadi mahar mitsil (bukan minuman keras). Dan apabila gantinya kembali kepada selain suami maka menjadi talak raj’i
GAMBARAN MENGENAI TALAK KHULU’
Gambaran mengenai talak khulu’ adalah seperti si Zaid mengatakan kepada istrinya saya cerai khulu’ kepada kamu dengan uang seribu dirham atau saya cerai kamu dengan seribu dirham atau saya talak kamu dengan seribu dirham. Kemudian istrinya mengatakan seketika itu, saya terima, atau Zaid mengatakan kepada istrinya, apabila kamu menjamin (memberi) saya seratus dirham maka kamu saya talak. Kemudian si istri menjawab, ya, saya beri (jamin) kamu seratus dirham.
Khulu’ merupakan salah satu dari 2 macam talak sebagaimana yang telah kita ketahui bersama.
- TALAK TANPA IMBALAN
Talak tanpa imbalan terbagi 2 (dua), yaitu:
- Yang Jelas (sudah jelas menunjukkan lafaz talak)
- Yang Kinayah (belum jelas menunjukkan lafaz talak).
LAFAZ-LAFAZ YANG MENUNJUKKAN TALAK
Lafaz yang jelas / tegas menunjukkan talak ialah semua lafaz yang tidak mengandung makna lain selain talak itu sendiri. Lafaz ini ada tiga macam yaitu : . dan semua yang terpecah dari lafaz-lafaz ini.
- Lafaz ( ). Seperti: (saya cerai kamu), (kamu dicerai), (kamu tercerai), atau (wahai yang tercerai).
- Lafaz ( ). Seperti: , (saya pisah kamu), (kamu terpisah).
- Lafaz (. ). Seperti: (saya cerai kamu), atau (kamu tercerai).
Adapun lafaz dan bersifat sorih (jelas menunjukkan talak) jika disertai dengan harta setelahnya atau dengan niat talak. Jika tidak, maka kedua lafaz ini jadi kinayah (belum jelas talaknya).
LAFAZ-LAFAZ YANG BELUM JELAS TALAK (Kinayah )
Lafaz yang belum jelas / tegas menunjukkan talak yaitu setiap lafaz yang memiliki dua kemungkinan makna, apakah talak atau tidak, seperti perkataan seorang suami kepada istrinya :
(pulanglah ke keluargamu), (kamu bukan istriku), (hamilmu dari orang lain), (kamu terlepas), (bagimu talak), (saya yang tercerai darimu), dan segala perkataan yang menyerupainya.
Oleh karena itu, lafaz yang sudah jelas menunjukkan talak menyebabkan jatuhnya talak dengan lafaz tersebut, baik disertai niat maupun tidak. Kecuali jika ia menceritakan perkataan orang lain atau fagih (guru ahli figih) yang menggambarkan lafaz talak. Atau dapat juga maknanya dibalikkan ke maksud yang lain karena ada qorina yang kuat, seperti apabila istrinya dalam keadaan terikat, maka si suami melepas tali ikatannya dan berkata, ( ) sekarang kamu terlepas (dengan maksud terlepas dari ikatan tali, maka ucapan tersebut tidak menjadikan talak).
Adapun lafaz yang belum jelas talaknya (kinayah) tidak terjadi talak dengan mengucapkannya, kecuali bila diniatkan talak.
Berkata pengarang Kitab Zubad :
Setiap lafaz yang mengandung kata cerai maupun tidak, dinamakan kinayah, dan terjadilah talaknya Jika disertai niat.
TALAK SUNNI DAN TALAK BID’I
Talak sunni (talak yang sesuai sunnah seperti diajarkan Nabi Muhammad) yaitu suami mencerai istri pada masa suci istri yang belum disetubuhi olehnya.
Talak bid’i (talak yang haram) yaitu suami mentalak istri di masa haid, ataupun di masa sucinya namun sudah disetubuhi olehnya. Talak seperti ini dianggap sah dan si suami berdosa karena telah mentalaknya dalam keadaan tersebut.
Hukum ini berlaku secara keseluruhan jika istri itu sudah pernah disetubuhinya dan si istri bukan masih kecil yang belum pernah haid, bukan juga orang tua yang sudah terputus masa haidnya, bukan perempuan yang sedang hamil dan juga bukan yang di talak khulu’ dengan imbalan.
Jika si istri belum pernah disetubuhinya, maka ia boleh menceraikannya meskipun dalam masa haid, karena tidak ada masa iddah (menunggu). Seandainya anak kecil yang masih belum mengerti haid sama sekali ataupun orang tua yang sudah terputus haid, maka boleh menceraikannya meskipun di masa suci yang disetubuhinya. Dan seandainya si istri sedang hamil atau yang di talak khulu’ dengan imbalan maka si suami boleh menceraikannya walaupun si istri dalam masa haid.
TALAK RAPI DAN TALAK Ba’iIN
Talak juga terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu talak raj’i dan talak ba’in.
Talak raj’i yaitu suami merdeka mentalak istrinya yang sudah pernah disetubuhinya dengan satu atau dua kali talak, tanpa imbalan yang kembali kepada suami. Atau hamba sahaya (budak) yang mentalak istrinya yang sudah pernah disetubuhinya dengan satu kali talak.
Adapun talak ba’in terbagi lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
- Talak ba’in baynunah sughro.
- Talak ba’in baynunah kubro.
Baynunah sughro yaitu apabila suami mentalak istrinya yang belum pernah disetubuhi atau suami mentalaknya sesudah disetubuhi tetapi memakai imbalan yang kembali kepada suami serta belum memenuhi jumlah talak (kurang dari tiga kali).
Adapun Baynunah kubro yaitu apabila suami mentalak istrinya dengan tiga kali talak bagi orang merdeka, dan dua kali talak bagi budak (hamba sahaya), baik dengan adanya imbalan maupun tidak.
HUKUM TALAK YANG BUKAN BA’IN (TALAK RAJ’I)
Hukum talak yang bukan ba’in atau disebut juga talak raji yaitu suami boleh kembali lagi selama masa iddahnya masih ada seperti suami mengatakan , (saya kembali kepadanya / istri) atau (saya pegang dia) atau , (saya kembalikan dia kenikahku), tinggallah istrinya, apakah rela untuk kembali atau tidak. Jika suami mengatakan lafaz ini maka kembali baginya sisa dari jumlah talak.
Dan wajib bagi suami terhadap istrinya semasa talak raji memberikan nafkah, sebagaimana yang wajib dilakukan kepada istri seperti biasanya, terkecuali alat-alat kebersihan (sabun, sikat gigi dan lain-lain).
HUKUM TALAK BA’IN BAYNUNAH SUGHRO
Hukum talak ba’in baynunah sughro adalah bahwasanya suami tidak boleh kembali lagi (kepada istri) kecuali dengan aqad nikah yang baru, membayar mahar baru serta meminta izin kepada walinya terlebih dahulu. Setelah itu sisa dari jumlah talak kembali lagi kepada suami.
Selain itu wajib juga memberikan tempat tinggal kepada istrinya dimasa iddah (menunggu). Akan tetapi tidak wajib memberi nafkah, terkecuali bila istrinya sedang hamil.
HUKUM. TALAK BA’IN BAYNUNAH KUBRO
Hukum talak ba’in baynunah kubro adalah tidak diperbolehkan rujuk, terkecuali dengan lima syarat, yaitu setelah habis masa iddahnya dari suami yang mentalaknya. Setelah itu ia menikah dengan orang lain dengan nikah yang sah. Lalu didukhul (disetubuhi) suami barunya. Yang dimaksud dukhul (disetubuhi) ialah masuknya hasyafa (kepala kemaluan laki-laki) atau kadar ukurannya jika terputus kedalam kemaluan perempuan dengan syarat intisyar (terjadinya ereksi). Dan terlepas ikatan perkawinan dengan dicerai oleh suami keduanya hingga selesai masa iddahnya. Jika suaminya yang pertama kembali menikahinya dengan memenuhi syarat-syarat di atas, maka kembali lagi jumlah talaknya menjadi tiga kali yang lain.
Wajib hukumnya bagi suami terhadap istrinya di masa iddah sebagaimana yang wajib dilakukan kepada istri yang terkena talak ba’in baynunah sughro.
MENGGANTUNGKAN TALAK
Diperbolehkan menggantungkan talak dengan pekerjaan sendiri, atau pekerjaan orang lain, ataupun menggantungkan kepada terbitnya matahari dan lainnya. Seperti perkataan suami. jika saya masuk rumah maka fulanah (istri) kuceraikan, atau jika si fulan (orang lain) masuk rumahku maka dia (istri) kuceraikan, atau Jika terbit matahari maka fulanah (istri) kuceraikan. Dan kapan saja terjadi peristiwa yang digantungkannya seperti itu maka terjadilah talak. Namun kalau pekerjaan itu tidak terjadi maka talakpun tidak terjadi.
HURUF-HURUF MENGGANTUNGKAN TALAK
Huruf-huruf menggantungkan talak adalah (jika), (apabila), (kapan saja), (apa saja), (kapan waktu), (Setiap), (dan siapa diantara kalian / istri melakukan …..), serta huruf-huruf lain yang menyerupainya.
HUKUM HURUF-HURUF MENGGANTUNGKAN TALAK
Sebagian ulama telah menazomkan mengenai hukum huruf-huruf menggantungkan talak yang berdasarkan syarat terjadinya perkara yang digantungkan dengan seketika atau tidak, dengan perkataan :
Huruf-huruf menggantungkan talak jika dia menunjukkan arti nafi (tidak) maka menunjukkan arti seketika selain huruf ( ), Dan pada arti tsubut (kebalikan nafi), para ulama berpendapat :
Tidak menunjukkan arti seketika kecuali bila digantungkan lafaz ( ) yang disertai dengan menyebut uang setelahnya, begitu juga lafaz ( ). Adapun lafaz ( ) menunjukkan arti berulang-ulang.
Makna nazhom ini adalah, jika huruf menggantungkan talak Masuk kedalam fi’il yang manfiy (yang bermakna tidak) seperti : (apabila kamu tidak melakukan ini …),. (kapan saja kamu tidak melakukan ini …) atau … (di waktu apa saja kamu tidak melakukan ini …) maka kamu dicerai.
Semua pernyataan ini mengandung arti seketika, artinya apabila berlalu setelah lafaz-lafaz yang telah disebutkan di atas beberapa saat yang memungkinkan untuk melakukan pekerjaan yang telah digantungkannya, kemudian dia tidak melakukannya maka dia telah ditalak (cerai) terkecuali apabila yang digunakan adalah lafaz ( ), karena lafaz tersebut tidak menuntut arti seketika.
Seandainya dia berkata (jika kamu tidak masuk rumah maka kamu ditalak), maka tidak terjadi talak dengan berlalunya beberapa saat yang mungkin melakukan pekerjaan yang digantungkannya (masuk rumah) dan bisa jadi talak apabila tidak bisa masuk rumah sama sekali seperti dikarenakan rumahnya hancur atau telah matinya salah satu diantara suami dan istri.
Bila huruf-huruf menggantungkan talak masuk kedalam fiil yang mutsbat (kebalikan manfiy) seperti perkataan (jika kamu berbicara kepada Zaid), (apabila kamu masuk rumah), atau (kapan kamu melakukan itu) dan sebagainya. Ketika terjadi pekerjaan yang digantungkannya maka terjadilah cerai. Terkecuali apabila menggantungkannya dengan huruf ( ) atau ( ) yang disertai dengan menyebut harta setelahnya atau lafaz ( ).
(bicara kepada istri) lafaz ini mengandung arti fauriyah (seketika) seperti perkataan : (bila kamu (istri) menjamin atau memberi saya (uang) ……. , maka kamu saya ceraikan) atau (jika kamu membebaskan dari hutangmu serasa. kepadaku maka kamu saya ceraikan). Jika istri memberi apa yang telah disebutkan atau membebaskan hutangnya seketika maka terjadilah cerai.
Dan apabila berlalu beberapa saat setelah ia menggantungkan talaknya dihadapan istrinya ataupun tatkala si istri tidak ada dihadapannya kemudian ia mengetahui talak atasnya, dan pada waktu itu ia bisa melakukan pekerjaan yang digantungkan itu kemudian ia tidak melakukannya maka tidak terjadi talak.
Demikian juga seandainya ia menggantungkan dengan huruf ( ) atau ( ) disertai dengan ( ) seperti perkataan :
(jika kamu menghendaki talak maka kamu talak) atau (apabila kamu mau talak maka kamu talak), maka lafaz ini menunggu jawaban seketika. Seandainya si istri langsung menjawab (ya saya mau ditalak), maka terjadi talak.
Lain halnya bila ia mengatakan dengan lafaz (kapan saja kamu mau talak maka kamu saya talakkan) atau (di waktu apapun) dan yang lainnya, hal ini bisa terjadi talak kapan saja si istri mengatakan saya mau talak meskipun dalam jangka waktu yang lama.
Semua huruf ta’liq (huruf-huruf yang menggantungkan talak). tidak mengandung arti berulang-ulang terkecuali kata ( ) bahkan apabila terjadi pekerjaan yang digantungkan itu sekali dengan sengaja (tanpa lupa) serta mengetahuinya dan bukan karena terpaksa, maka terlepaslah sumpahnya.
Seperti suami mengatakan : (kapan saja kamu masuk rumah maka kamu saya ceraikan). Kemudian istri masuk rumah, maka terjadi cerai satu kali. Seandainya suami kembali lagi pada istrinya dan si istri masuk rumah lagi maka tidak terjadi cerai karena telah terlepas sumpahnya dengan pekerjaan yang dilakukannya pertama kali.
Akan tetapi, seandainya menggantungkan dengan kalimat ( ) mengandung arti berulang-ulang. Seperti suami mengatakan (kapan saja kamu masuk rumah Zed maka kamu talak satu kali) dan apabila dia masuk rumah Zed maka terjadi talak satu kali dan apabila dia masuk lagi ke rumah Zed sedangkan dia masih ada iddahnya atau masuk lagi setelah dia kembali ke nikah (setelah di rujuk) maka terjadi cerai untuk kedua kalinya. Dan apabila dia masuk ke rumah Zed untuk yang ketiga kalinya maka terjadi perceraian untuk yang ketiga kalinya.
Hal ini terjadi bagi si istri yang sudah didukhul (dikumpulinya). Seandainya istrinya belum didukhul (disetubuhinya) maka dengan dicerai yang pertama menjadi ba’in (terlepas dari suami) dan terlepasiah menggantungkannya dikarenakan terlepas hubungan suami istri itu.
HUKUM MENGGANTUNGKAN TALAK PADA PEMBAHASAN (Dari SESUATU YANG WAJIB BAGI Suami)
Bila suami menggantungkan talak kepada istrinya dengan pembebasan oleh istri terhadapnya dari maskawin (mahar) ataupun dari hutang yang wajib dibayar suami kepada istrinya, seperti dengan mengatakan kapan saja kamu membebaskan saya dari maharmu (atau dari hutangmu) maka kamu kuceraikan. Kemudian si istri membebaskan suami dari maharnya atau hutangnya. Maka terjadi talak dengan syarat pembebasan dari hutang atau mahar tersebut sah.
Seandainya tidak sah, seperti bila si istri tidak dibolehkan membelanjakan hartanya ( ) atau tidak tahu apa yang dibebaskannya maka tidak sah pembebasan hutang atau maharnya tersebut yang juga berarti tidak terjadi talak. Dan disyaratkan juga bagi suami dan istri mengetahui barang yang dibebaskan, baik itu jenis, kadar maupun sifatnya, serta tidak ada hubungan antara yang dikeluarkan itu dengan zakat yang belum dikeluarkan.
Dan apabila suami tidak mengetahui barang yang dibebaskan atau masih ada bersangkutan dengan zakat yang belum dikeluarkan, maka tidak terjadi perceraian. Inilah hukum menggantungkan talak dengan membebaskan (hutang atau mahar).
Lain halnya jika menggunakan bentuk agqad, seperti dia berkata kepada istrinya (saya talak khulu’ kamu) atau (saya talak kamu dengan membebaskan dari maharmu). Bila istri tidak mengetahui sesuatu yang dibebaskannya, maka terlaksanalah talak ba’in dengan mahar mitsil, hal ini dikarenakan rusaknya mahar (iwadh) (yang tidak diketahuinya itu) pada aqad khulu’ (cerai) tidak mempengaruhi terlaksananya talak. Lain halnya pada hukum ta’lig (menggantungkan talak) karena menggantungkan talak harus adanya sesuatu yang digantungkan.
Rujuk (kembali ke nikah) adalah menarik perempuan ke nikah dari sebab cerai yang bukan ba’in di masa iddahnya dengan cara tertentu, dimana bagi seseorang yang merdeka mencerai istrinya yang sudah dikumpulinya, satu atau dua kali cerai, atau seorang hamba yang mencerai istrinya satu kali. Yang mana cerainya tanpa Imbalan yang diberikan kepada suami maka boleh kembali lagi selagi kembalinya itu di masa iddahnya. Firman Allah swt :
Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali ke nikah kepada mereka apabila mereka menginginkan kebaikan (perdamaian). (O.S. Al-Bagarah : 228)
Adapun bila suami telah memenuhi jumlah cerai sebanyak tiga kali, maka tidak boleh kembali lagi sampai istrinya dikawini oleh orang lain dengan memenuhi persyaratan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dan apabila cerainya dengan imbalan yang kembali kepada suami atau Ssi istri belum pernah dikumpuli ataupun kembalinya di masa selesai iddahnya maka tidak diperbolehkan kembali lagi.
GAMBARAN RUJUK
Gambaran rujuk (kembali ke nikah) : hendaknya suami berkata kepada istri yang telah diceraikannya bukan cerai ba’in. yang belum habis masa iddahnya, (saya kembali kepada kamu), (saya pegang kamu kembali), , , (saya kembalikan kamu kepada saya atau kepada nikahku).
Bila suami mengucapkan perkataan itu, maka si istri kembali lagi ke nikahnya dengan sisa jumlah talaknya baik istrinya sukarela dengan kembalinya itu ataupun tidak.
Dan disunnahkan ada saksi yang menyaksikan proses rujuk tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa adanya saksi yang menyaksikannya hukumnya wajib.
Hukum istri yang dicerai yang bukan ba’in diberi nama talak raj’i (istri yang dicerai bisa kembali lagi) selama masa iddah. hukumnya seperti istri dalam semua hal. Selain bersenang-senang atau berduaan dengan suaminya, maka tidak boleh.
Suami wajib memberikan kepada istri nafkah pakaian, tempat tinggal dan lain-lain kecuali perlengkapan kebersihannya. Hal ini diperuntukkan bagi istrinya tadi bila tidak nasyizah (istri yang tidak ta’at kepada suami nya) dan jika dia istri yang nasyizah maka dia tidak berhak mendapatkan itu semua karena ketidak ta’atannya seperti ketika ia masih menjadi istri.
Dan jika si istri mati di masa iddahnya maka suami mewarisinya dan jika suami yang mati sedangkan istri masih di masa iddahnya maka masa iddahnya berpindah ke masa iddah istri yang ditinggal mati suami dan istri mewarisinya.
Suami tidak boleh menikahi istri yang keempat sedangkan istrinya masih di masa iddah. Dan tidak boleh menikahi saudari dan bibi istrinya selama istrinya masih di masa iddah. Istri yang dicerai bisa di cerai baru dan di khulu’ dan lain-lain dari hukum istri.
HUKUM PERBEDAAN SUAMI ISTRI TENTANG RUJUK
Apabila suami mengaku rujuk dan kenyataannya bahwa masa iddah istri masih tersisa maka suami dibenarkan, karena ia masih bisa mengungkapkan rujuknya saat itu.
Dan apabila dia mengaku rujuk sedangkan masa iddah istri telah selesai dan si istri mengingkarinya (kembali) dari asalnya maka si istri dibenarkan karena asal itu tidak terjadi rujuk.
Bila masa iddah istri telah selesai lalu suami mengaku telah kembali pada masa iddah, namun si istri mengingkarinya, seperti apabila suami istri sepakat berakhirnya masa iddah hari Jum’at dan suami berkata saya rujuk kamu hari Kamis (sebelum habis iddah) dan istri berkata kamu rujuk hari Sabtu, maka yang dibenarkan adalah istri dengan sumpahnya karena ia tidak mengetahui bahwa suaminya rujuk hari Kamis.
Bila mereka sepakat waktu kembalinya hari Jum’at, kemudian istri berkata habis masa iddahnya hari kamis tetapi suami berkata habis masa iddahnya hari Sabtu, maka suami dibenarkan bahwa iddahnya tidak habis hari Kamis karena kesepakatan mereka berdua waktu rujuk sedangkan asal itu tidak habis masa iddah sebelumnya.
Dan bila pertentangan suami istri pada yang terlebih dahulu, baik yang dahulu itu waktu habisnya iddah atau waktu rujuknya maka yang lebih shahih (pendapat yang lebih dipilih ulama) memilih yang terlebih dahulu mengaku (suami atau istri), seperti bila istri terlebih dahulu mengaku habis masa iddahnya kemudian baru suami mengaku rujuk (kembali) sebelum habis masa iddah, maka dibenarkan istri dengan sumpahnya, bahwa iddahnya telah habis sebelum suami kembali (rujuk).
Dan bila terlebih dahulu suami mengaku rujuk sebelum masa iddahnya habis baru kemudian setelah berselang beberapa waktu istri berkata bahwa suami rujuk kepadanya setelah selesai masa iddahnya maka yang dibenarkan adalah suami dengan sumpahnya bahwa suami kembali sebelum habis masa iddahnya.
Bila bersamaan pengakuannya, seperti perkataan istrinya, masa iddahku habis, berbarengan dengan perkataan suaminya, saya kembali kepada kamu, ataupun perkataaan istrinya langsung setelah perkataan suaminya maka istrinya dibenarkan dengan sumpahnya.
Hal ini berlaku bagi pertentangan antara yang lebih dahulu rujuk sebelum habis masa iddahnya dan yang lebih dahulu habis masa iddahnya sebelum rujuk. Tapi kedua suami istri telah sepakat mengenai waktu habisnya masa iddah.
Adapun bila mereka bertentangan mengenai apakah masa iddahnya telah habis atau tidak, maka yang dibenarkan adalah Istri apabila ia mengaku masa iddahnya telah habis berdasarkan berhitungan yang bukan memakai bulan. Dan dibenarkan bagi suami dengan sumpah, jika ia mengaku belum habis masa iddah Istrinya dimana perhitungan yang digunakan berdasarkan bulan bila si istri telah terputus dari haid sama sekali karena sudah tua atau tidak pernah sama sekali haid. Karena pertentangan mereka (suami istri) mengenai masa habis iddah, bila perhitungannya berdasarkan bulan maka dikembalikan pada waktu cerainya dan suami diterima perkataannya pada asal talak, begitu pula diterima waktu cerainya.
Adapun pengakuan istri mengenai masa habis iddahnya dengan melahirkan atau dengan guru’ (3 kali suci) bila memungkinkan, maka istri dibenarkan pengakuannya karena ia dipercaya pada apa-apa yang ada dirahimnya.
Bila ia mengaku habis masa idddahnya kurang dari masa yang memungkinkan maka ditolak pengakuannya. Namun dibenarkan bila memungkinkan, setelah itu si istri wajib ditanyai bagaimana sucinya dan haidnya, serta disumpah jika meragukan dikarenakan telah banyaknya kerusakan di kalangan masyarakat.
Paling cepatnya waktu yang memungkinkan bila ia mengaku melahirkan anak sempurna enam bulan (dikarenakan enam bulan merupakan paling singkatnya masa hamil) dan dua sebentar (sebentar dari masa berkumpul setelah kawin dan sebentar dari masa melahirkan) dari waktu berkumpulnya suami istri setelah kawin. Bila istri mengaku melahirkan dalam keadaan sigt (keguguran) yang sudah berbentuk anak, paling memungkinkan 120 hari dan dua sebentar (sebentar pertama waktu berkumpul suami istri dan kedua waktu melahirkan).
Bila istri mengaku melahirkan mudghah (segumpal daging) yang belum jelas bentuknya, paling mungkin 80 hari dan dua sebentar. Tapi disyaratkan pada keguguran yang berbentuk segumpal daging ini disaksikan oleh bidan, bahwa gumpalan ini asalnya manusia dan bila tidak ada kesaksian dari mereka. maka tidak habis masa iddahnya dengan melahirkan (keguguran) tersebut.
Bila istri mengaku habis masa iddahnya dengan guru’ (3 kali suci) jika ia orang merdeka dan dicerai di masa sucinya, maka paling mungkin habis iddahnya 32 hari (bila dia menceraikan istrinya sedangkan masa sucinya masih tersisa, itu dianggap satu guru’, 1 hari haid dan 15 hari suci (dua guru’) dan 1 hari haid 15 hari suci maka genaplah 3 guru’), dan dua sebentar (sebentar pertama sisa masa suci yang dicerai dan masa yang kedua masa sebentar selesai masa iddahnya). Bila dicerai di masa haidnya, maka paling mungkin 47 hari (ini seperti bila ia menggantungkan talak istrinya di akhir masa haidnya”, kemudian masuk masa sucinya 15 hari, 1 hari masa haid dan 15 hari sucinya. kemudian haid 1 hari dan suci 15 hari kemudian haid dan begitu memasuki masa suci, maka selesailah masa iddahnya, jumlahnya 47). dan satu sebentar (masuk masa suci yang ketiga).
Dan jika ia budak yang dicerai di masa suci, maka paling memungkinkan 16 hari dan dua sebentar (pertama sisa masa sucinya, kedua sebentar dengan masuk masa suci yang ketiga). Dan jika dicerai di masa haid, paling memungkinkan 31 hari dan satu sebentar (sebentar masa setelah habis iddahnya).
Namun bila tidak diketahui apakah dicerai di masa haid atau suci, untuk lebih berhati-hati maka diikutkan di masa haid, karena asalnya masih ada masa iddah.
Iddah adalah masa menunggu perempuan untuk menjaga dirinya agar tidak menikah untuk mengetahui kebersihan rahimnya, atau karena perintah Allah, ataupun kaget atas perpisahan dengan suaminya.
MACAM-MACAM IDDAH
Iddah ada 2 (dua) macam, yaitu :
- Iddah ditinggal wafat suami
- Iddah cerai.
IDDAH DITINGGAL WAFAT SUAMI
Diwajibkan atas istri yang ditinggal mati suami untuk beriddah, baik si istri sudah disetubuhi maupun belum. Bila istri dalam keadaan hamil, maka iddahnya habis dengan melahirkan semua kandungannya walaupun kembar dua, tapi dengan syarat bila anak yang dikandung itu diikutkan (dinisbahkan) kepada shahibul iddahnya (suami yang menyetubuhinya). Dan jika tidak hamil, maka iddahnya 4 bulan 10 hari bagi istri yang merdeka dan 2 bulan 5 hari bagi hamba sahaya.
IDDAH PERCERAIAN
Adapun jika karena cerai, istri hanya diwajibkan beriddah apabila ia sudah pernah disetubuhi.
Maka yang dicerai ataupun yang di fasakh (merusak nikah sebab ada aibnya) sebelum dikumpuli. tidak ada iddah baginya. Demikian juga bagi istri yang di lian yang belum disetubuhi.
Adapun bila sudah disetubuhi: yang dimaksud dengan itu adalah jima’ atau memasukkan sperma (yang dikeluarkan dengan cara yang benar) atau suami menyetubuhi seorang perempuan dengan syubhat (menjima’ seseorang yang dikiranya istrinya) maka istri harus beriddah.
Iddah seorang yang hamil yaitu bila melahirkan semua kandungan, dengan syarat yang telah lewat pada masa iddahnya perempuan yang ditinggal mati suami.
Dan bagi perempuan yang hail (tidak hamil) selain dari anak kecil yang tidak pernah haid atau orang tua yang sudah tidak akan haid lagi untuk selamanya, bila memakai hitungan guru’. maka masa iddahnya tiga guru’ atau tiga kali suci bagi perempuan yang merdeka dan dua kali suci bila dia hamba sahaya.
Dan bila masa iddahnya berdasarkan hitungan bulan (seperti anak kecil yang belum pernah haid atau orang tua yang tidak haid lagi) maka masa iddahnya tiga bulan bagi orang yang merdeka dan satu setengah bulan bagi hamba sahaya, dan akan lebih baik lagi bagi hamba sahaya jika masa iddahnya dua bulan.
IHDAD
Ihdad adalah meninggalkan pakaian yang dicelupkan (berwarna-warni). baik pakaian, wangi-wangian, minyak rambut. atau sipat mata dengan tujuan berhias kecuali di malam hari bila dibutuhkan. Dan meninggalkan berpacar dengan hinna’ atau waros (sejenis tumbuhan yang dibuat untuk berpacar) pada muka, kedua tangan dan kaki dan bukan pada anggota badan yang ditutupi pakaian.
Juga hendaknya meninggalkan memakai perhiasan, baik emas, mutiara ataupun yang sejenisnya, meskipun perhiasan itu berupa cincin.
HUKUM BERIHDAD
Hukum berihdad adalah wajib selama masa iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya. Sedangkan jika perempuan itu dicerai ba’in atau di fasakh nikahnya (sebab aib yang ada pada suami / istri) ataupun terkena talak raj’i maka hukum berihdad menjadi sunnah. Bahkan sebagian ulama menyatakan sunnah bagi istri yang di talak raj’i untuk berhias dan tidak berihdad apabila ia menginginkan suaminya tersebut kembali lagi, selama suaminya tidak menyangka bahwa ia berhias karena gembira atas perceraiannya.
RUMAH ATAU TEMPAT TINGGAL ISTRI YANG MASIH Di MASA IDDAH
Wajib adanya tempat tinggal bagi setiap istri yang masih di masa iddah, baik istri yang dicerai raj’i, ba’in, maupun yang ditinggal mati suaminya, baik dalam keadaan hamil maupun tidak. Maka wajib bagi istri untuk tetap di rumah saat di cerai apabila rumah itu milik suami dan pantas ditinggali oleh istri. Dan tidak boleh ada seorangpun yang mengeluarkannya dari rumah itu, juga ia sendiri tidak boleh keluar dari rumah itu meskipun dengan restu dari suaminya.
Namun istri diperbolehkan keluar jika dia tidak mendapatkan nafkah dari suami, seperti istri yang ditinggal mati oleh suami dan istri yang dicerai ba’in dan tidak hamil. Dikarenakan keadaan mendesak / darurat, seperti khawatir pada dirinya atau untuk membeli makanan bila tidak ada yang melakukannya maka ia boleh keluar dari rumah.
Adapun hukum terhadap istri yang wajib diberi nafkah yaitu istri yang dicerai raj’i atau ba’in yang dalam keadaan hamil, ataupun mustabro’ah (hamba yang menunggu masa iddahnya disebabakan kepemilikan atau hilangnya kepemilikan untuk mengetahui bersih rahimnya atau karena menurut perintah Allah), maka tidak boleh keluar rumah kecuali bila dapat izin dari suami atau karena darurat sebagaimana hukumnya sebagai seorang istri.
menurut bahasa adalah menghisap tempat susu beserta meminum susunya. Dan menurut syari’at adalah sampainya susu seorang perempuan (dari bani Adam) yang tertentu ke dalam perut anak kecil dengan cara tertentu.
Rukun menyusui ada tiga, yakni : Ibu yang menyusui, Anak yang menyusu, dan Air susu.
SYARAT-SYARAT HUKUM Susu Menyusul
Syarat bagi orang yang menyusui sebagai berikut :
» Yang menyusui itu orang perempuan, tidak dari susu orang laki-laki atau banci dan bukan susu hewan.
» Orang yang menyusui telah berusia lebih kurang sembilan tahun gamariah (bulan hijriyah). Jika belum sampai umur sembilan tahun maka tidak terjadi hubungan mahram.
» Waktu menyusui adalah selama dia masih hidup (bernyawa) dalam kehidupan yang mustaqirroh?’ (jelas).
» Anak yang menyusu hendaknya bernyawa dalam kehidupan yang mustagirroh dengan usia di bawah dua tahun.
» Menyusuinya lima kali susuan yang berbeda-beda. Tidak ada pengaruh bila kurang dari lima kali ataupun bila ada keraguan diantara kelima kali susuannya.
» Adapun perhitungan lamanya menyusui yaitu sesuai dengan kebiasaan meskipun tidak sampai kenyang.
» Seandainya sang bayi berhenti menyusu karena berpaling, atau ibu susunya memutuskan karena ada pekerjaan yang lama, lalu kembali menyusui maka dihitung dua kali menyusu.
» Seandainya sang bayi yang memutuskannya, dikarenakan berhenti sejenak atau bernafas, lalu kembali menyusu lagi dengan seketika, atau berpindah tempat ke sebelahnya dengan seketika, maka tidak terhitung dua kali. Namun kalau tidak seketika maka dihitung dua kali.
» Begitu juga tidak dihitung dua kali jika ibu susunya memutuskan susuannya karena ada pekerjaan sejenak dan kemudian kembali menyusui.
» Disyaratkan juga sampainya susu pada setiap kali dari lima kali susuan ke dalam perut bayi itu atau ke otaknya walaupun dimuntahkannya seketika. Dan hendaknya susu itu sampai ke perut dengan perantara lubang yang terbuka.
HUKUM YANG DITETAPKAN DARI MENYUSUI (RODHO’)
Ditetapkan dari menyusui yang memenuhi syarat-syarat yang dianggap : bahwasanya bayi yang menyusu menjadi (muhrim) anak ibu yang menyusuinya maka menjadi muhrim kepada anak itu, dia (orang yang menyusui) dan orang-orang tuanya dan anakanaknya dan saudara-saudaranya.
Sebagaimana anak itu juga menjadi anak kepada pemilik susu baik suami atau berhubungan secara syubhat atau pemilik budak (hamba sahaya).
Tidak terputus ikatan susu kepada orangnya (suami/orang yang menghamilinya) walaupun panjangnya masa atau terputusnya hubungan keduanya kemudian kembali, kecuali dengan melahirkan dari suami yang kedua maka susu yang ada sebelum melahirkan milik suami yang pertama dan susu yang ada setelah melahirkan milik suami kedua. Maka anak yang menyusu menjadi muhrim pemilik susu dan ayahnya (ayah dan ayah ayahnya seterusnya) dan anak-anaknya (anak cucunya) dan saudara-saudaranya. Dan menjadi muhrim anak yang menyusu dan anak cucunya saja kepada orang yang menyusuinya dan yang memiliki susu (ayahnya), dan anak cucunya dan saudara-saudara ayah dan ibu. maka ayahnya, ibu yang menyusui dan ayahnya yang memiliki susu dari orang yang menyusui adalah menjadi kakek-kakeknya anak yang menyusu, dan ibu-ibunya menjadi nenek-neneknya anak itu, dan anak-anak ibu yang menyusui menjadi saudara dan saudari sesusu.
Saudara saudari ibu yang menyusuinya menjadi paman dan bibi anak yang menyusu, dan saudara orang laki-laki yang memiliki susu menjadi paman (saudara ayahnya laki atau perempuan). dan anak-anak orang yang menyusu menjadi cucu-cucu keduanya (ibu dan ayah yang menyusui), adapun hawasyi ialah saudara dan saudari paman dan bibi (saudara ayah dan ibu).
Sebagian ulama telah menyusun hukum yang ditetapkan sebab persusuan, seperti pada bait berikut ini :
Dan tersebar muhrim susuan dari ibu susu ke ayah-ayah nya, anak-anak dan saudara-saudaranya dari tengah. Dan orang yang memiliki susu seperti ini, dan dari anak yang menyusu dari anak nya saja.
KHUTBAH YANG DIBACA SEBELUM AQAD NIKAH
Sebelum memulai aqad nikah disunnahkan membaca khutbah” yang diperuntukkan bagi wali, calon suami atau selain mereka dari orang-orang yang hadir dengan khutbah yang ma’tsurah (yang datang dari Nabi s.a.w.) dengan nama khutbatul hajah.
Abu Daud meriwayatkan dalam sunnahnya dengan sanad (jalan yang shahih). Dari Ibnu Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud) r.a., Rasulullah SAW telah mengajari kami khotbatul hajah. Beliau bersabda :
Segala puji bagi Allah yang kami memujinya dan minta pertolongan dan ampunan kepada-Nya ………. Sampai ke akhirnya.
Ibnu majah telah meriwayatkannya dengan tambahan berdasarkan salah satu riwayat Abu Daud : Dan ini kami nukilkan khutbahnya dengan di tambah padanya:
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya dan meminta pertolongan dan ampunan dari-Nya, dan kami berlindung padaNya dari kejelekan diri-diri kami dan dari kejelekan pekerjaan kami. Siapa yang di beri petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang menyesatkannya dan siapa yang di sesatkan Allah maka tidak ada yang memberinya petunjuk. Dan saya bersaksi tiada tuhan selain Allah, dialah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwasanya pimpinan kami Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, yang telah diutus dengan petunjuk dan agama yang benar untuk ditampakkan kepada semua agama walaupun tidak di sukai orang-orang musyrik. Kemudian sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi telah menghalalkan nikah dan menganjurkannya, serta mengharamkan zina dan menjanjikan azab yang pedih pada pelakunya. Allah berfirman tentang haramnya zina dan larangannya : “Janganlah kamu mendekati zina karena sesungguhnya hal tersebut (zina) keji dan jalan yang jelek”.
Firman Allah memerintakan takwa kepada-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman takwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.
Firman Allah : “Wahai manusia bertakwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa (Nabi Adam) dan menciptakan darinya itu istrinya dan memperbanyak dari keduanya orang-orang laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertakwalah kalian kepada Allah yang kamu minta kepadanya dan jagalah silaturrahmi kalian. Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kalian?
Firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman takwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki pekerjaan kalian dan barang siapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya maka dia telah beruntung dengan keuntungan yang besar.”
Nikah itu sunnahnya para Nabi dan syiar para Wali.
Bersabda Rasulullah Shallallaahu “Alaihi Wasallam : “Nikah itu dari sunnahku, barang siapa yang tidak suka sunnahku maka dia bukan dari golonganku”.
Bersabda Rasulullah Shallallaahu “Alaihi Wasallam : “Kawinlah kalian kepada orang yang (tidak mandul) orang yang saling mencintai karena saya membanggakan kalian kepada umat-umat di hari kiamat”
Saya wasiatkan kepada kalian dan diri saya untuk tetap bertakwa kepada Allah.
Saya akhiri perkataan saya ini dan saya minta ampun kepada Allah Yang Maha Agung untukku dan kalian, dan kedua orang tua kita, dan seluruh orang muslim dan minta ampunlah kalian kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Pemberi.
Katakan semua :
Saya minta ampun kepada Allah, kami minta ampun kepada Allah,
Kami beriman kepada Allah, apa-apa yang datang dari Allah dan apa yang diinginkan oleh Allah.
Kami beriman kepada Rasulullah, apa-apa yang datang dari Rasulullah, dan yang diinginkan oleh Rasulullah.
Kami beriman kepada syariat dan kami percaya kepada syariat, dan kami terlepas dari semua ajaran yang bertentangan dengan agama Islam.
Kami berlindung kepada Allah dari kemungkaran-kemungkaran.
Kami berlindung kepada Allah dari meninggalkan sholat.
Kami berlindung kepada Allah dari segala hal yang tidak disukai oleh Allah.
CARA MENTALQIN (MENUNTUN) AQAD NIKAH
Hendaknya bersalaman dua orang yang melakukan aqad nikah yaitu wali dan calon suami. Maka orang yang menuntun aqad nikah keduanya mengatakan : “Katakanlah wahai wali dan suami dengan menyebut nama Allah dan segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad bin Abdillah Shallallaahu “Alaihi Wasallam”.
Kemudian dia mengatakan kepada wali : “Katakanlah ya Fulan ibnu Fulan saya nikahkan kamu dengan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk memegang dengan baik atau menyerahkan dengan baik. Saya nikahkan kamu dengan anakku atau putri orang yang menyerahkan kewalian kepadaku Fulanah binti Fulan dengan maskawin (……………. perak murni umpamanya). Kemudian suami mengatakan saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut”.
Setelah itu wali mengatakan kepada orang yang melamar (calon suami) : “Wahai Fulan bin Fulan saya nikahkan kamu dengan anak saya atau putri orang yang menjadikan saya wali Fulanah binti Fulan dengan maskawin yang telah disebutkan. Lalu calon suami mengatakan saya terima nikah dengan maskawin tersebut”.
Kemudian wali mengatakan yang ketiga kalinya supaya lebih berhati-hati : “Wahai Fulan bin Fulan saya kawinkan dan nikahkan kamu dengan putriku atau putri orang yang menjadikan saya wali Fulanah yang telah disebut dengan maskawin yang telah disebutkan. Maka suami mengatakan saya terima kawin dan nikahnya dengan maskawin tersebut”.
Dan sunnah mendoakan suami dan istri setelah aqad nikah. Seperti dengan mendoakan kepada suami :
Mudah-mudahan Allah memberkahi kalian dan mengumpulkan kalian dalam kebaikan dan kesehatan.
Disunnahkan mendatangkan beberapa sholihin (orang baik) di waktu aqad nikah supaya lebih menambah saksi dan wali. Sunnah juga untuk disebarkan / dimeriahkan dan mengadakan aqad nikah di masjid serta di bulan Syawal pada pagi hari Jum’at sebagaimana disunnahkan meminta taubat kepada wali dan saksisaksi yang masih belum jelas kefasikannya sebelum aqad nikah untuk lebih berhati-hati.
Sunnah juga mencari saksi atas keridhaan calon istri bila dianggap ia sudah meridhainya. Namun demikian, saksi yang menyaksikan atas keridhaan istri bukan merupakan syarat sahnya nikah.
Seandainya yang mengawinkannya itu hakim, maka syarat ada di hati benarnya orang yang mengabarinya bahwa si calon istri telah mengizinkan untuk mengkawinkannya.
Demikianlah akhir dari apa-apa yang telah diberikan oleh Allah taufik kepadaku dan yang diharapkan dari Allah Yang Maha Tinggi untuk memberikan manfaat merata / menyeluruh, juga memberikan kepada pembacanya dengan fathi (keterbukaan hati) dan derajat. Semoga shalawat dan salam (rahmat) Allah kepada Sayyidina Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.
Walhamdulillahi Robbil “Alamin.
Selesai Penyusunan Kitab Ini Malam Kamis Tepat Pada Tanggal 25 Jumadil Awwal 1379 H Dari Hijrahnya Nabi Muhammad S.A.W. Semoga diberi shalawat dan penghormatan kepadanya dan kepada sahabatnya.
Ditulis oleh : Al-Faqir Ilallah Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Abdullah bin Abibakar bin Idrus bin Al Husin bin As-Syech Abi Bakar bin Salim Al-‘Alawi Al-Husaini Al-Hadhrami As-Syafi’i.
Mudah-mudahan ALLAH menerima dan memaafkan dirinya. Amin