Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam menyebutkan:

                                                                     

Inilah kitab sirah Rasulullah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib (nama asli Abdul Mutholib adalah Syaibah) bin Hasyim (nama asli Hasyim adalah Amru) bin Abd Manaf (nama asli Abdu Manaf adalah Mughirah) bin Qushay (nama asli Qushay adalah Zaid) bin Qilab bin Murrah bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama asli Mudrikah adalah Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma‘ad bin Adnan bin Udd -ada yang menyebut Udadbin Muqawim bin Nahur bin Tairah bin Ya’rub bin Yasyjub bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim -Khalilurrahman-bin Tarih (yakni Azar) bin Nahur bin Sarugh bin Ra‘u bin Falakh bin Aibar bin Syalakh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh bin Lamk bin Matusyalakh bin Akhnun (diduga adalah Nabi Idris) bin Yard bin Mahlail bin Qainan bin Yanisy bin Syits bin Adam.

 

Ibnu Hisyam berkata,

 

“Saya, insya Allah, akan memulai kitab ini dengan memaparkan riwayat hidup Ismail bin Ibrahim. Siapa saja garis keturunan dari Ismail sampai kepada Rasulullah. Berikut kisah mereka masing-masing. Tidak perlu membahas sejarah hidup selain anak keturunan Ismail, untuk menghemat tempat. Sampai pada tuturan sirah Rasulullah, saya juga akan mengabaikan sejumlah kisah yang dipaparkan Ibnu Ishaq, namun tidak ada hubungannya dengan Rasulullah dan tidak ada ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengannya; yakni bukan sebagai sebab turunnya suatu ayat, bukan pula sebagai tafsirnya, serta bukan merupakan saksi (syahid) baginya. Semuanya tidak saya paparkan untuk meringkas. Demikian juga dengan syair-syair yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq yang saya tidak mengetahui adanya ulama lain yang menyebutkannya. Begitu pula dengan beberapa hal yang menjadikan buruknya cerita, hal-hal buruk yang dipaparkan oleh sebagian kalangan, sebagian yang tidak dikukuhkan periwayatannya oleh Al-Baka’i. Saya juga meringkas, insya Allah, hal selain itu dari kitab ini dengan tetap menyampaikan riwayatnya dan ilmu tentangnya.

 

Ismail bin Ibrahim mempunyai dua belas anak laki-laki. Nabit, Qaidar, Adzbul, Mansya, Musmi,, Masya, Dima, Adzar, Thima, Tathura, Nabesy, dan Qaidzuma.

 

Nabit bin Ismail mempunyai anak bernama Yasyjab bin Nabit. Lalu Yasyjab mempunyai anak bernama Ya’rab. Ya‘rab mempunyai anak bernama Tairah. Tairah mempunyai anak Nahur. Nahur berketurunan Muqawim. Muqawim memiliki anak Udud. Lantas Udud memiliki anak bernama Adnan.

 

Dari Adnan inilah bercabang kabilah-kabilah dari anak keturunan Ismail.

 

Adnan mempunyai dua anak laki-laki, yakni Ma‘ad bin Adnan dan Ak bin Adnan.

 

Ak bertempat tinggal di negeri Yaman. Mengapa? Karena Ak menikah dengan kalangan orang Asy’ari, lalu menetap di negeri mereka sehingga jadilah negeri dan bahasanya satu. Orang-orang Asy‘ari adalah Bani Asy‘ar bin Nabet bin Udud bin Hamayasa’ bin Amru bin Arib bin Yasyjub bin Zaid bin Kahlan bin Yasyjub bin Ya‘rab bin Qahthan.

 

Adapun Ma‘ad bin Adnan berketurunan empat orang: Nazar, Qadha‘ah, Qanash, dan Iyad. Qadha‘ah pergi ke tempat Himyar bin Saba. Sedangkan sisa keturunan Qanash bin Ma‘ad telah binasa. Menurut klaim para ahlunasab Ma‘ad, salah satu di antara ahli nasab itu adalah Nu’man bin Mundzir, Raja Hirah.

 

Mimpi Rabi’ah bin Nash

 

Rabi‘ah bin Nashr adalah Raja Yaman, raja yang paling lemah di antara raja-raja Tababi‘ah. Ia memimpikan suatu mimpi yang membuatnya ngeri dan ketakutan. Ja tidak membiarkan seorang pun dari kalangan dukun, tukang sihir, peramal keberuntungan dengan perantaraan burung,’ dan nujum yang tinggal di kerajaannya, kecuali ia pasti mengundangnya untuk berkumpul di hadapannya. Lantas Rabi‘ah berkata kepada mereka, “Aku bermimpi sesuatu yang mengerikan dan membuatku takut. Beritahukan kepadaku takwilnya” Para dukun, tukang sihir, dan ahlu nujum itu berkata, “Ceritakan kepada kami mimpi itu, kami akan beritahukan takwilnya kepadamu.” Rabi‘ah berucap, “Jika aku memberitahukan mimpi itu kepada kalian, aku tidak yakin terhadap takwilan kalian karena tiada seorang pun yang mengetahui takwilnya kecuali orang yang sudah mengetahui mimpiku sebelum kuberitahukan mimpi itu kepadanya.” Seseorang dari kalangan hadirin berkomentar, “Jika Baginda berkata demikian, hendaklah Baginda mengirim orang untuk menemui Sathih dan Syiq, karena tiada yang lebih pandai dari mereka berdua. Mereka pasti akan memberitahu Baginda tentang apa yang ia tanyakan itu.” .

 

Rabi‘ah bin Nashr mengirim utusan untuk mengundang mereka berdua (Sathih dan Syiq). Sathih datang terlebih dahulu sebelum Syigq. Rabi‘ah berkata kepada Sathih, “Aku bermimpi sesuatu yang mengerikan dan menakutkan. Beritahukanlah apa mimpi itu karena jika engkau dapat mengetahui secara tepat mimpiku, engkau pasti dapat menakwilkannya dengan benar pula.” Sathih berkata, “Baiklah, akan kulakukan. Anda bermimpi melihat sepotong arang, muncul dari kegelapan. Kemudian arang itu jatuh di tanah yang rendah, lantas ia melahap habis semua benda yang memiliki gejolak api!”

 

Raja Rabi‘ah berkata, “Kamu tidak salah sedikit pun, hai Sathih. Lalu bagaimana takwilnya menurutmu?”

 

Sathih menjawab, “Aku bersumpah dengan segala jenis ular yang ada di antara dua bukit berpasir! Sungguh, bangsa Habsyi akan menduduki negeri kalian, lalu ia akan menguasai setiap jengkal tanah antara kota Abyan dan kota Jurasy!”

 

Sang Raja berucap, “Demi bapakmu, hai Sathih. Sungguh, ini adalah peristiwa yang menjengkelkan dan menyakitkan. Kapankah itu terjadi? Apakah pada zaman kekuasaanku ini atau zaman sesudahnya?”

 

Sathih menjawab, “Tidak, tetapi pada beberapa zaman sesudahnya. Jaraknya lebih dari enam puluh atau tujuh puluh tahun dan sudah berlalu beberapa tahun!”

 

Raja Rabi‘ah bertanya lagi, “Apakah kerajaan mereka terus berlangsung ataukah akan lengser?”

 

Sathih menjawab, “Tidak, kekuasaan kerajaan mereka akan lengser dalam waktu tujuh puluh sekian tahun kemudian. Selanjutnya, mereka terbunuh dan terusir dari negeri itu dengan melarikan diri.”

 

Rabi‘ah bertanya, “Siapakah yang memimpin aksi pembunuhan dan pengusiran mereka?”

 

Sathih menjawab, “Yang memimpin adalah Iram bin Dzu Yazan. Ia mengalahkan mereka dari Aden. Ia tidak membiarkan seorang pun dari mereka tinggal di Yaman.”

 

Rabi‘ah bertanya, “Apakah kekuasaan mereka kekal ataukah akan lengser?”

 

Sathih menjawab, “Lengser.’ Rabi‘ah bertanya, “Siapa yang melengserkannya?” Sathih menjawab, “Nabi yang suci. Wahyu datang kepadanya dari Yang Mahatinggi!” Rabi’ah bertanya, “Siapakah Nabi ini?” Sathih menjawab, “Ia seorang lelaki darj kalangan anak keturunan Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhr. la memegang kekuasaan di tengah kaumnya sampai akhir masa!”

 

Rabi‘ah bertanya, “Apakah masa itu masih mempunyai orang yang lain?”

 

Sathih menjawab, “Ya, pada hari dikumpulkannya manusia, baik yang awal maupun yang akhir. Akan berbahagia pada hari itu orang-orang yang baik dan akan celaka pada hari itu orang-orang yang buruk.”

 

Rabi‘ah bertanya, “Apakah benar berita yang kau beritahukan kepadaku ini?”

 

Sathih menjawab, “Ya, demi siang dan malam. Dan demi pagi ketika merekah cahayanya. Sungguh, apa yang kuberitahukan kepadamu adalah kebenaran.”

 

Kemudian Syiq pun datang menghadap kepada Raja Rabi‘ah. Rabi‘ah berkata kepadanya sebagaimana yang ia katakan kepada Sathih. Ia menyembunyikan apa yang dikatakan Sathih kepada dirinya dari Syiq, agar ia dapat melihat apakah perkataan mereka berdua sama ataukah berbeda.

 

Syiq berkata, “Ya, engkau bermimpi melihat arang, muncul dari kegelapan, lalu arang itu jatuh di antara tanah dan perbukitan, lantas ia melahap semua makhluk yang bernyawa.”

 

Tatkala Rabi‘ah mendengar penuturan Syiq, ia menjadi tahu bahwa keduanya sepakat pada satu hal, perkataan mereka berdua pun sama. Hanya saja Sathih berkata, “Arang itu jatuh di tanah rendah lalu melahap semua barang yang mempunyai gejolak api.” Sedangkan Syiq berucap, “Arang itu jatuh di antara kebun dan perbukitan, lalu melahap semua makhluk yang bernyawa.”

 

Sang Raja berucap, “Engkau tidak salah sedikit pun, wahai Syiq. Lantas, apa takwilnya menurutmu?”

 

Syiq berujar, “Aku bersumpah demi manusia yang ada di antara dua bukit berpasir ini. Sungguh, orang-orang berkulit hitam akan menduduki negeri kalian. Mereka benar-benar mengalahkan semua anak negeri ini, serta menguasai wilayah antara Abyan sampai Najran!”

 

Raja Rabi‘ah berucap kepada Syiq, “Demi bapakmu, wahai Syiq. Ini bagi kami merupakan peristiwa yang menjengkelkan sekaligus menyakitkan. Kapankah terjadinya? Apakah pada zaman kekuasaanku sekarang ini ataukah sesudahnya?”

 

Syiq menjawab, “Tidak, tetapi beberapa zaman sesudahnya. Selanjutnya, seorang agung yang berwibawa menyelamatkan kalian dari kejahatan mereka, sekaligus menorehkan kehinaan kepada mereka!”

 

Rabi‘ah bertanya, “Siapakah orang yang agung wibawanya ini?” Syiq menjawab, “Seorang pemuda yang tidak hina dan tidak ada yang membatasi urusannya. Ia muncul dari Istana Dzu Yazan dan mengalahkan mereka. la tidak menyisakan sedikit pun dari mereka di Yaman.’

 

Rabi‘ah bertanya lagi, “Apakah kekuasaannya berlangsung kekal ataukah lengser?” Syiq menjawab, “Lengser dengan adanya seorang rasul. Rasul itu datang dengan membawa kebenaran dan keadilan, di antara orang yang beragama dan utama. Ia terus memegang kekuasaan di tengah kaumnya sampai Hari Pemisah.”

 

Rabi‘ah bertanya, “Apakah Hari Pemisah itu?” Syiq menjawab, “Hari dibalasnya semua penguasa, dikumandangkan doa pada hari itu dari langit, mendengarnya orang-orang yang hidup dan orang-orang yang sudah mati. Dikumpulkan pada hari itu, seluruh manusia untuk suatu waktu yang dijanjikan. Pada hari itu, ada kejayaan dan kebaikan bagi siapa saja yang bertakwa!”

 

Rabi‘ah berucap memastikan, “Benarkah apa yang kau katakan ini?” Syiq menjawab, “Ya, Demi Pencipta langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, baik yang tinggi maupun yang rendah. Sungguh, berita yang kuberitahukan kepadamu ini adalah kebenaran. Tidak ada keraguan di dalamnya sedikit pun”

 

Yakinlah hati Rabi’ah dengan penuturan mereka berdua. Rabi‘ah segera mempersiapkan rumahnya dan membekali anggota keluarganya dengan perbekalan seperlunya menuju kota Irak. Ia menulis surat kepada salah seorang Raja Persia yang bernama Sabur bin Khurza, supaya ia menempatkan anggota keluarganya di Hirah.

 

Kekuasaan Abu Karab Taban As‘ad di Kerajaan Yaman dan Invasinya ke Yastrib

 

Tatkala Rabi‘ah bin Nashr mati. Kerajaanl Yaman seluruhnya kembali ke tangan Hasan bin Taban As‘ad, Abu Karab.

 

Bapaknya, Taban As‘ad menempuh perjalanan dari negeri timur (Masyriq) ke Madinah, tanpa mengajak keluarganya. Ia hanya menunjuk anak laki-laki sebagai wakilnya yang menjaga di garis belakang pasukan, tetapi ia tewas dibunuh. Ia pun datang ke Madinah untuk kedua kalinya, ia amat berkeinginan meluluhlantakkan kota itu dan membunuh habis warganya. Satu komunitas dari kalangan Anshar berhimpun untuk melawannya. Pemimpin komunitas itu adalah Amru bin Thallah, mereka pun berperang hebat. Kaum Anshar mendakwakan bahwa mereka akan memeranginya pada siang hari dan menjamunya sebagai tamu pada malam hari. Sikap kaum Anshar itu membuat Taban As‘ad kagum, seraya berkata, “Demi Allah, kaum kami ini sungguh mulia.”

 

Tatkala Tubba‘ (Taban As‘ad) masih memerangi mereka, tiba-tiba datanglah dua orang pendeta yang cerdas dan berilmu di antara sekian banyak pendeta Yahudi. Ketika mereka berdua mendengar berita akan dihancurkannya Madinah dan akan dibinasakannya penduduk kota itu, mereka pun berkata kepada Tubbas, “Wahai Raja, jangan engkau melakukan itu karena jika engkau bersikeras melakukannya, pasti akan ada aral yang merintangimu. Sungguh, kami tidak akan merasa aman terhadap dirimu dari terpaan siksa yang segera menimpa!” Taban As‘ad bertanya kepada mereka berdua, “Mengapa begitu?” Keduanya menjawab, “Kota itu adalah tempat hijrah Nabi yang akan muncul dari Tanah Haram ini, dari kalangan Quraisy pada akhir zaman. Kota itu akan menjadi tempat tinggal dan tempat bermukimnya!”

 

Tubba‘ menahan diri dari aksinya. Ia melihat kedua pendeta ini berilmu. Tutur kata mereka berdua membuatnya kagum. Lalu Tubba‘ menyingkir dari Madinah dan mengikuti kedua pendeta tersebut dengan memeluk agama mereka.

 

Dahulunya Tubba dan kaumnya adalah kaum paganis, yakni para penyembah berhala. Kemudian ia mengarahkan perjalanannya ke Mekah, yang juga merupakan kota yang ia lewati untuk sampai ke Yaman. Hingga ketika ia tiba di Usfan dan Amaj,’° datang menjumpainya satu rombongan dari Kabilah Hudzail bin Mudrikah, lantas mereka berkata kepadanya, “Wahai Raja, maukah engkau kami tunjukkan ke sebuah rumah harta (baitulmal) yang terlupakan, yang mana raja-raja sebelummu telah melupakannya. Di rumah itu ada permata, mutiara biru, dan permata merah delima, juga ada emas dan perak!” Tubba‘ menjawab, “Ya, mau!” Mereka berkata, “Itu adalah sebuah rumah di Mekah yang penduduknya biasa beribadah, dan berdoa di sana”

 

Kabilah Hudzail sebenarnya hanya menginginkan kematian Tubba‘ dengan tindakannya memasuki Kakbah, karena mereka mengetahui bahwa raja-raja sebelumnya yang menginginkan harta itu dan bertindak lalim di Mekah juga mati binasa.

 

Tatkala Tubba’ mempercayai perkataan orang-orang Hudzail tersebut, ia pun mengirim utusan kepada kedua pendeta yang cerdas tadi, seraya bertanya kepada mereka tentang saran Kabilah Hudzail. Kedua pendeta itu menjawab kepadanya, “Kaum Hudzail itu tidak menginginkan kecuali kematianmu dan kehancuran tentaramu. Kami tidak mengetahui adanya rumah yang Allah menjadikannya sebagai rumah-Nya di bumi selain Ka’bah itu. Sungguh, jika engkau melakukan apa yang mereka ajak itu, niscaya engkau akan binasa dan akan binasa pula semua orang yang menyertaimu!” Tubba‘ bertanya lagi, “Lantas, apa yang seharusnya kulakukan ketika aku datang ke Mekah nanti?” Mereka berdua menjawab, “Engkau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh penduduknya. Engkau melakukan tawaf mengelilingi Kakbah, lalu engkau mengagungkan dan memuliakannya. Kemudian engkau mencukur gundul rambut kepalamu di dekatnya. Engkau juga merendahkan diri kepadanya hingga kamu keluar dari sana.” Tubba’ bertanya, “Apa yang menghalangi kalian berdua datang ke Kakbah?” Keduanya menjawab, “Demi Allah, itu adalah rumah bapak moyang kami, Ibrahim. Kakbah itu keadaannya sebagaimana yang telah kami kabarkan kepadamu. Akan tetapi, penduduknya menghalangi kami dan bangunan itu dengan patung-patung di sekelilingnya, dan dengan darah hewan korban yang mereka tumpahkan di dekatnya. Sungguh, mereka itu najis bagi pelaku kesyirikan!”

 

Tubba‘ memercayai nasihat mereka berdua dan membenarkan cerita keduanya Oleh karena itu, ia pun bergerak mendekati rombongan orang Hudzail itu lalu menebas tangan dan kaki mereka. Ia meneruskan perjalanan hingga tiba di Mekah, Ia melakukan tawaf di Baitullah dan menyembelih hewan korban di sana. Lalu jg mencukur gundul rambutnya. Selanjutnya, ia tinggal di Mekah selama enam hari, dengan selalu menyembelih hewan dan memberi makan warga Mekah dengan daging hewan sembelihan itu, serta memberi mereka minuman berupa madu.

 

Ia bermimpi menutupi Kakbah dengan tirai. Ia pun menutupi Kakbah dengan kain yang sangat tebal. Ia juga bermimpi lagi bahwa ia menutupi Kakbah dengan kain yang lebih bagus daripada itu, ia pun menutupinya dengan kain indah buatan Yaman.”

 

Tubba, menurut klaim para ahli sejarah, ia merupakan orang pertama yang memberi kain penutup Kakbah dan mewasiatkan itu kepada para gubernurnya dari Jurhum. Ia juga menyuruh mereka untuk membersihkannya. Tidak mendekatkan darah, bangkai, atau pun sobekan kain dari wanita yang haid ke Baitullah, serta membuat pintu dan kunci pada Kakbah.

 

Tubba’ keluar dari Mekah menuju Yaman bersama tentaranya dan kedua pendeta. Sampai ketika ia memasuki negeri Yaman, ia mengundang kaumnya untuk memasuki istana yang ia masuki, tetapi mereka enggan memenuhi undangannya sampai mereka berhasil menyuruhnya berhukum kepada api yang ada di Yaman.

 

Api itu dianggap sebagai penetap hukum di antara mereka, dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan. Api itu akan melahap orang yang zalim dan tidak mencelakai orang yang dizalimi. Kaum tersebut berangkat dengan membawa berhala mereka dan apa yang mereka korbankan terkait urusan agama mereka. Sedangkan dua pendeta itu berangkat dengan membawa dua mushaf yang mereka jadikan sebagai kalung di leher mereka. Keduanya pun duduk menghadap tempat yang mana api akan keluar darinya. Api itu pun berkobar menyerang kedua pendeta. Tatkala api itu mengarah kepada mereka, mereka pun menyingkir dan takut kepadanya. Orang-orang yang hadir di tempat itu mencela mereka seraya menyuruh mereka untuk bertahan menghadapi api. Mereka pun bertahan, hingga api menyelubungi mereka, lantas melahap berhala, persembahan korban yang mereka bawa, serta orang yang membawa korban itu dari kalangan orang-orang Himyar. Tak lama, dua pendeta tersebut pun keluar, dengan mushaf ada pada leher mereka. Dahi keduanya berkeringat, tetapi api itu tidak mencelakakan mereka. Pada saat itulah kaum Himyar berhimpun dan bersatu memeluk agamanya.

 

Sejak saat itu dan karena kejadian itulah yang menjadi asal muasal Yahudi di Yaman.

 

Tatkala anaknya, Hasan bin Taban As‘ad menjadi raja, melakukan perjalanan bersama penduduk Yaman. Ia ingin menguasai negeri Arab dan negeri non-Arab bersama mereka. Sampai ketika mereka berada di negeri Bahrain, kaum Himyar dan berbagai Kabilah Yaman enggan menyertai Hasan. Mereka justru ingin pulang ke negeri mereka dan keluarga mereka. Mereka pun berbicara kepada saudara Hasan yang bernama Amru —yang juga ikut menyertai Hasan bersama tentaranya—. Mereka berkata kepada Amru, “Bunuhlah saudaramu Hasan. Jika kau melakukannya, kami akan menjadikanmu raja dan kamu akan pulang bersama kami ke negeri kami.” Amru menyambut permintaan mereka. Mereka pun sepakat untuk melakukan itu, kecuali Dzu Ru‘ain Al-Himyari, ia melarangnya untuk melakukan itu, tetapi Amru tidak mau menerima sarannya. Dzu Ru‘ain pun bersajak:

 

Ketahuilah orang yang menukarkan tidur dengan berjaga malam

Berbahagialah orang yang tidur malam sekejap mata .

Adakalanya Himyar itu curang dan berkhianat

Oleh karena itu, semoga udzur diberikan oleh Tuhan untuk Dzu Ru‘ain

 

Dzu Ru‘ain menulis dua baris syair tersebut pada selembar kertas lalu ia menutupnya. Selanjutnya, ia mendatangi Amru dan menyerahkan surat itu padanya seraya berucap, “Letakkan surat ini di hadapanmu.” Amru pun melakukannya. Selanjutnya, Amru membunuh saudaranya, Hasan, kemudian pulang bersama orang-orang yang menyertainya ke Yaman.

 

Tatkala Amru bin Taban tinggal di Yaman, ia tak bisa tidur dan terus terjaga pada malam hari. Ia berusaha keras mengobati penyakit itu. Ia pun meminta tolong kepada para tabib dan para pencari peruntungan dengan perantaraan burung, baik dari kalangan para dukun maupun peramal nasib, bagaimana cara untuk menyembuhkan penyakitnya. Salah seorang di antara mereka berkata kepadanya, “Demi Allah, tiada seorang pun yang telah membunuh saudaranya atau dari kalangan kerabatnya karena kedurhakaan, sebagaimana perbuatanmu membunuh saudaramu ini, kecuali akan hilang rasa kantuknya dan dikuasai oleh rasa tak bisa tidur (terus berjaga malam).” Ketika pernyataan ini dikatakan kepadanya, Amru langsung membunuh semua orang dari kalangan pemimpin Yaman yang dahulu menyuruhnya untuk membunuh Hasan, hingga ia tinggal bersama Dzu Ru‘ain saja. Dzu Ru‘ain berkata kepadanya, “Aku mempunyai bukti kebebasan diri pada dirimu.” Amru bertanya, “Apa itu?” Dzu Ru‘ain menjawab, “Surat yang dahulu pernah kuserahkan kepadamu.” Amru mengeluarkan surat itu, ternyata padanya termaktub dua bait syair. Amru membebaskan Dzu Ru‘ain dan tidak membunuhnya, karena memandang bahwa Dzu Ru‘in telah menasihatinya.

 

Amru pun meninggal dunia, urusan Kabilah Himyar menjadi kacau pada saat itu dan mereka bercerai-berai.

 

Seorang lelaki dari Kabilah Himyar yang bukan berasal dari istana raja muncul dan menyerang mereka. Ia bernama Lakhnai‘ah Yanuf Dzu Syanatir. Ia membunuh orang-orang pilihan Himyar, tetapi tidak merusak istana milik para penguasa mereka.

 

Lakhnai‘ah berkelakuan buruk. Ia melakukan perbuatan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh kaum Luth. Ia mengirim utusannya kepada Zur‘ah Dzu Nawas bin Tuban As‘ad -saudara laki-laki Hasan, yang ketika Hasan terbunuh ia masih muda belia-. Ia menapaki usia remaja sebagai pemuda yang tampan, berperawakan gagah, dan cerdas akalnya. Tatkala utusan Lakhnaiah datang kepadanya, ia sudah mengetahui apa yang diinginkan oleh Laknai‘ah. Ia pun mengambil pisau besi yang tipis, lalu ia menyembunyikannya di antara telapak kaki dan sandalnya, kemudian ia datang menemuinya. Tatkala Lakhnai‘ah menyepi bersama Dzu Nawas, Lakhnai‘ah langsung menghambur ke arahnya. Dzu Nawas balik menyerang Lakhnai‘ah dan menusuknya dengan pisau, sampai ia berhasil membunuhnya, Zur‘ah Dzu Nawas lantas keluar menemui publik. Orang-orang berkata, “Tidak pantas kami mengangkat raja selain engkau. Engkau telah membebaskan kami dari kejahatan orang buruk ini.”

 

Mereka pun menjadikan Zur‘ah sebagai raja. Kabilah Himyar dan seluruh kabilah lainnya di Yaman bersatu di bawah kepemimpinan Zur‘ah. Ia menjadi raja terakhir dari Kabilah Himyar. Ia-lah raja yang mempunyai banyak parit penyiksaan. Ia mengukuhkan kekuasaannya dalam waktu yang lama.

 

Najran, di kota tersebut terdapat sisa-sisa pengikut agama Isa bin Maryam. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keutamaan dan keistiqamahan. Mereka mempunyai pemimpin bernama Abdullah bin Tsamir. Dzu Nawas bersama bala tentaranya datang menemui mereka di Najran, lantas ia mengajak mereka untuk mengikuti ajaran Yahudi. Dzu Nawas menyuruh mereka memilih antara memeluk agama Yahudi atau dibunuh. Dzu Nawas membuat sekian banyak parit untuk mereka, dan menyalakan api pada parit tersebut. la membunuh penduduk Najran dengan pedang dan kemudian mencincang mereka. Ia telah membunuh sekitar dua puluh ribu orang di kalangan mereka

 

Berkenaan dengan Dzu Nawas dan tentaranya, Allah menurunkan kepada Rasul-Nya ayat-ayat yang termaktub pada surah al-Buruj

 

“Binasalah para pembuat parit. Api yang memiliki nyala bergejolak. Ketika mereka duduk (berjaga) di atasnya, mereka menyaksikan apa yang mereka lakukan terhadap orang-orang beriman. Tidaklah mereka menyiksa sebagian dari mereka kecuali karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha gagah lagi Maha Terpuji.” (al-Buruj [85]: 4-8)

 

Adapula yang berpendapat bahwa ayat-ayat ini berkenaan dengan orang yang dibunuh oleh Dzu Nawas, yakni Abdullah bin Tsamir, tetua sekaligus pemimpin penduduk Najran.

 

Kemenangan Habsyi atas Yaman

 

Seorang lelaki dari Saba’ selamat dari penyiksaan Dzu Nawas dan tentaranya. Orang ini bernama Daus Dzu Tsu‘luban. Ia menyelamatkan diri dengan menunggang kudanya. Ia melintasi padang pasir sehingga menyulitkan mereka mengejarnya. Ia terus memacu kudanya sampai ia tiba dan menghadap kepada Kaisar Romawi. Ia meminta bantuan dari Sang Kaisar untuk mengalahkan Dzu Nawas dan tentaranya, seraya mengabarkan derita yang ia dapati dari mereka. Kaisar Romawi berkata kepadanya, “Negerimu jauh dari kami. Akan tetapi, aku akan menulis surat untukmu kepada Raja Habsyi karena ia juga memeluk agama ini (Nasrani). Ia lebih dekat jaraknya dengan negerimu.” Kaisar Romawi menulis surat kepada Raja Habsyi (Najasyi) yang isinya menyuruhnya supaya membantu Daus dan melakukan serangan ke negeri Yaman. Daus pun datang menemui Najasyi dengan membawa surat dari Kaisar Romawi. Najasyi mengirimkan bersama Daus tujuh puluh ribu tentara Habsyi dan mengangkat seseorang di antara mereka yang bernama Aryath sebagai pemimpin. Di antara tentara Habsyi yang menyertainya adalah Abrahah Al-Asyram Aryath menyeberangi lautan hingga berlabuh di pantai Yaman. Ia bersama Daus Dzu Tsu‘luban. Dzu Nawas bergerak ke arah mereka bersama Kabilah Himyar dan orang-orang yang menaatinya dari berbagai Kabilah Yaman. Tatkala kedua pasukan itu bertemu dan bertempur, Dzu Nawas dan tentaranya mengalami kekalahan. Tatkala Dzu Nawas melihat kekalahan yang menimpanya dan kaumnya, ia segera mengarahkan kuda perangnya ke laut. Kemudian ia menghela kudanya hingga masuk ke laut dan terjun ke pantai yang dangkal, sampai akhirnya ia masuk ke air yang banyak dan mampu menenggelamkan orang. Dzu Nawas pun memasukinya dan tenggelam bersama kudanya. Itulah akhir hidupnya. Aryath pun berhasil memasuki Yaman dan menguasainya.

 

Pertikaian Aryath dengan Abrahah

 

Aryath tinggal di negeri Yaman selama dua tahun, selama masa kekuasaannya terhadap negeri itu. Kemudian Abrahah Al-Habsyi menentang dan melawannya untuk merebut kekuasaan Habsyi atas Yaman, hingga Bangsa Habsyi yang tinggal di Yaman berpecah-belah karena membela masing-masing dari keduanya. Mereka berdua memimpin sejumlah orang Habsyi, lantas mereka pun bersiap untuk saling menyerang.

 

Tatkala kedua pasukan sudah berada pada posisi yang dekat, Abrahah mengirim utusan kepada Aryath seraya menyampaikan pesan, “Sungguh, kamu benar-benar akan membiarkan Bangsa Habsyi ini saling berperang, tanpa menyisakan mereka satu pun! Majulah untuk berduel denganku, aku juga akan berperang tanding denganmu. Siapa di antara kami yang berhasil mengalahkan lawannya, dialah yang akan menjadi pemimpin pasukan Habsyi!”

 

Aryath mengirim utusan balasan kepada Abrahah seraya berucap, “Ya, aku setuju.” Abrahah maju menghadapi Aryath. Abrahah adalah seorang pria yang pendek dan gemuk. Ia juga dianggap sebagai pemuka agama Nasrani. Aryath maju menghadapi Abrahah. Aryath sendiri adalah seorang pria yang tampan, berperawakan besar, dan bertubuh tinggi. Ia memegang tombaknya. Abrahah menyuruh budaknya yang bernama Atwadah untuk melindungi punggungnya. Aryath mengangkat tombaknya dan menghantam Abrahah, yang menjadi sasarannya adalah bagian tengah kepala Abrahah, tetapi ternyata tombaknya mengenai kening Abrahah hingga membelah antara alis dan hidungnya serta mata dan bibirnya. Karena itulah ia disebut dengan nama Abrahah Al-Asyram (yang terbelah). Atwadah yang berada di belakang Abrahah langsung menyerang Aryath secara tiba-tiba dan berhasil membunuh Aryath. Terbunuhnya Aryath mengakibatkan seluruh tentara bergabung kepada Abrahah. Bersatulah tentara Habsyi yang tinggal di Yaman.

 

Kisah Tentara Gajah

 

Abrahah membangun Al-Qullais di Shan‘a. Ia membangun sebuah gereja dari tanah yang belum pernah diketahui bandingannya pada zaman itu. Lantas Abrahah menulis surat kepada Raja Najasyi, “Saya telah membangun untukmu, wahai Baginda raja, sebuah gereja yang belum pernah dibangun untuk seorang pun dari kalangan raja sebelum engkau. Saya tidak akan berhenti sampai berhasil memindahkan orang-orang Arab yang berhaji ke sana!”

 

Tatkala orang-orang Arab membicarakan surat Abrahah kepada Najasyi itu, seorang pria dari kalangan Nasah marah. Ia pun pergi sampai tiba di Al-Qullais. Ia berhadats (buang hajat) di sana. Lalu ia keluar dan kembali ke negerinya.

 

Abrahah diberitahu akan kejadian itu. Abrahah berkata, “Siapa yang melakukan ini?” Dijawab untuknya, “Yang melakukan ini adalah seorang lelaki dari kalangan Arab, dari kalangan penghuni rumah ini (Kakbah) yang biasa dijadikan sebagai tempat berhaji oleh orang-orang Arab di Mekah. Tatkala ia mendengar ucapanmu, Aku akan memindahkan tempat berhaji orang Arab ke sana’ ia pun marah. Sehingga ia datang ke sini dan membuang hajatnya di sini. Ia bermaksud menunjukkan bahwa Al-Qullais tidak pantas dijadikan tempat berhaji.’

 

Abrahah murka. Ia bersumpah akan berangkat menuju Baitullah untuk merobohkannya. Kemudian ia memerintahkan orang-orang Habsyi supaya bersiap dan berkemas. Pasukan Habsyi berangkat bersama Abrahah yang mengendarai gajah. Orang-orang Arab mendengar berita itu. Mereka menganggap berita itu sebagai berita yang besar dan mereka terkejut hebat karenanya. Mereka memandang bahwa berjihad melawan Abrahah merupakan kewajiban yang harus mereka jalankan, ketika mereka mendengar bahwa Abrahah ingin merobohkan Kakbah, Baitullah Al-Haram.

 

Seorang pria dari kalangan mulia dan penguasa warga Yaman yang bernama Dzu Nafir bangkit menghadang Abrahah. Kaumnya dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh penjuru Arab mengajaknya untuk memerangi Abrahah dan berjihad melawannya, guna mempertahankan Baitullah Al-Haram, dan menggagalkan keinginannya merobohkan serta meruntuhkan rumah Allah itu. Sebagian orang pun memenuhi panggilannya. Ia maju memerangi Abrahah, tetapi Dzu Nafir dan bala tentaranya mengalami kekalahan. Dzu Nafir ditangkap dan dijadikan tawanan perang.

 

Abrahah tetap meneruskan langkahnya. Ia ingin segera mewujudkan tujuan utama keberangkatannya dari Yaman. Hingga ketika ia sampai di wilayah Khats‘am, Nufail bin Habib Al-Khats‘ami bersama dua kabilah Khats‘am; yakni Syahran dan Nahis, beserta sejumlah Kabilah Arab menghadang dirinya. Abrahah balik menyerang mereka dan mengalahkan mereka. Nufail ditangkap dan dibawa bersama Abrahah sebagai penunjuk jalan menuju Mekah. Ketika pasukan Abrahah sampai di Thaif, Mas‘ud bin Mu’tab bersama sejumlah orang dari Suku Tsagif keluar menemuinya. Mereka berkata kepada Abrahah, “Wahai Baginda Raja, kami hanyalah hamba sahayamu. Siap mendengarkan titahmu dan menaatimu. Engkau tidak akan mendapati kami menyelisihimu. Rumah kami ini bukanlah yang kau inginkan yang mereka maksudkan adalah patung Latta Karena yang kau inginkan hanyalah rumah itu (Kakbah) di Mekah. Kami akan mengutus bersamamu seseorang yang akan menjadi penunjuk jalan ke Mekah.” Abrahah pun membebaskan penduduk Thaif.

 

Penduduk Thaif mengutus Abu Righal untuk menjadi penunjuk jalan bagi Abrahah menuju Mekah. Abrahah berangkat bersama Abu Righal hingga ia sampai di Mughamas. Tatkala mereka beristirahat, ternyata Abu Righal mati di sana. Orang-orang Arab melemparkan bebatuan ke kuburannya. Itulah satu-satunya kuburan yang ditutupi dengan bebatuan di Mughamas.

 

Tatkala Abrahah berada di Mughamas, ia mengutus seseorang dari kalangan Bangsa Habsyi yang bernama Aswad bin Mafshud dengan berkendara kuda perangnya. Mereka tiba di Mekah, lalu mengambil alih harta Tihamah dari kaum Quraisy dan selain mereka. Ia juga merampas dua ratus ekor unta milik Abdul Mutholib bin Hasyim, yang pada saat itu ia menjadi pembesar Quraisy sekaligus pemukanya. Suku Quraisy, Kinanah, dan Hudzail, serta orang-orang yang berada di Tanah Haram saat itu sangat ingin membunuh Aswad. Akan tetapi, mereka sadar bahwa mereka tidak mampu melawannya sehingga mereka membiarkannya menjarah harta itu.

 

Abrahah juga mengutus Hunathah Al-Himyari ke Mekah, seraya bertitah kepadanya, “Tanyakan kepada mereka, siapa yang menjadi pemimpin negeri ini sekaligus yang dimuliakan oleh mereka. Kemudian katakan kepadanya, ‘Rajaku berkata kepadamu, “Aku tidak datang untuk memerangi kalian. Aku hanya datang untuk meruntuhkan bangunan ini (Kakbah). Jika kalian tidak menghalangi kami dengan melancarkan pertempuran maka aku tidak merasa perlu untuk menumpahkan darah kalian.” Jika pemimpin Mekah itu tidak hendak berperang melawanku, suruhlah ia datang menghadapku!”

 

Tatkala Hunathah memasuki kota Mekah, ia bertanya siapakah pemimpin Bangsa Quraisy dan pemukanya yang mulia. Pertanyaan ini dijawab, “Abdul Mutholib bin Hasyim.” Hunathah segera datang menemui Abdul Mutholib seraya mengatakan apa yang dititahkan Abrahah kepadanya.

 

Abdul Mutholib menjawab, “Demi Allah, kami tidak hendak memeranginya karena kami tidak mampu melawannya. Ini adalah rumah Allah (Baitullah) yang haram dan rumah kekasih-Nya, Ibrahim. Jika Allah menghalangi Abrahah dari tindakannya merobohkan Kakbah maka itu karena ini adalah rumah-Nya dan keharaman-Nya. Jika Allah membiarkan antara Dirinya dengan Abrahah maka demi Allah, kami tidak mampu mempertahankannya dari serangannya.”

 

Hunathah berkata, “Kalau begitu, ayo ikut aku, karena Abrahah memerintahkanku untuk membawamu menghadap kepadanya.” Abdul Mutholib dengan disertai beberapa anaknya pun berangkat bersama Hunathah hingga sampai ke pasukan perang Abrahah. Abdul Mutholib bertanya tentang Dzu Nafir, karena ia adalah teman dekatnya. Sampai akhirnya, Abdul Mutholib berhasil masuk menemui Dzu Nafir di ruang penahanannya.

 

Abdul Mutholib berkata, “Hai Dzu Nafir, apakah engkau punya kekuatan atau cara untuk menghadapi musibah yang sedang menimpa kami ini?” Dzu Nafir menjawab, “Adakah kekuatan atau cara dan lelaki yang menjadi tawanan seorang raja, yang bahkan tidak mengetahui apakah akan dibunuh pada waktu pagi atau saat senja hari? Aku tidak punya kekuatan sedikit pun untuk menghadapi petaka yang menimpamu, kecuali Unais, si pelatih gajah, ia teman akrabku. Aku akan mengirimkan seseorang untuk menyampaikan pesan kepadanya dan aku akan mengatakan besarnya hakmu terhadap dirinya. Aku juga akan memintanya untuk memintakan izin untukmu agar dapat bertemu Sang Raja sehingga engkau dapat berbicara langsung kepadanya apa yang hendak kau katakan. Begitu pula agar memberikan perlindungan bagimu di hadapan Raja, bila ia mampu untuk melakukan itu.”

 

Abdul Mutholib berkata, “Sudah cukup itu bagiku.” Dzu Nafir mengirim utusan untuk menyampaikan pesannya kepada Unais, yang isinya, “Abdul Mutholib adalah pemimpin Bangsa Quraisy dan pemilik kafilah dagang Mekah. Ia biasa memberi makan orang lain dengan ringan hati dan mengurusi binatang liar di puncak gunung. Raja Abrahah telah merampas dua ratus ekor unta miliknya. Oleh karena itu, mintakan izin untuknya dan berikan manfaat kepadanya di hadapan Sang Raja sekuat kemampuanmu.” Unais menjawab, “Ya, aku akan melakukannya.”

 

Unais berbicara kepada Abrahah, seraya berucap, “Wahai tuanku Raja, ini pemimpin Quraisy berada di pintu ruanganmu, ia memohon izin bertemu denganmu. Ia adalah pemilik kafilah dagang Mekah. Ia biasa memberi makan orang lain dengan ringan hati dan juga mengurusi binatang-binatang liar di puncak gunung. Izinkanlah ia bertemu denganmu karena ia hendak menyampaikan keperluannya kepadamu.” Abrahah pun mengizinkan Abdul Mutholib menghadap.

 

Abdul Mutholib adalah pria yang paling tampan di kaumnya, paling gagah perawakannya, dan paling agung dari mereka. Tatkala Abrahah melihatnya, ia langsung menghormatinya, mengagungkannya, dan menganggapnya terlalu mulia untuk duduk di bawahnya, tetapi ia juga tidak mau orang-orang Habsyi melihat Abdul Mutholib duduk bersamanya di singgasananya. Oleh karena itu, Abrahah turun dari singgasananya dan duduk di hamparan permadani, seraya mempersilakan Abdul Mutholib duduk di sampingnya di atas permadani yang sama.

 

Kemudian Abrahah berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya, ‘Apa keperluanmu?’ Sang penerjemah menyampaikan itu kepada Abdul Mutholib Jalu ia menjawab, ‘Keperluanku adalah Raja berkenan mengembalikan kepadaku dua ratus ekor unta yang telah ia rampas dariku,”

 

Ketika penerjemah menyampaikan jawaban Abdul Mutholib kepada Raja Abrahah, ia langsung berkomentar, “Sungguh, kamu sudah membuatku kagum ketika pertama kali aku melihatmu, tetapi kemudian kamu justru bersikap lemah saat berbicara kepadaku! Apakah kamu berbicara kepadaku tentang dua ratus ekor unta yang kurampas darimu? Lantas kamu biarkan rumah yang menjadi pokok agama dan agama nenek moyangmu, yang aku datang ke sini, untuk aku robohkan! Mengapa kamu tidak membicarakan sedikit pun tentang hal itu?”

 

Abdul Mutholib menjawab, “Saya adalah pemilik unta-unta tersebut, sedangkan rumah itu (Kakbah) mempunyai pemilik sendiri yang pasti akan mempertahankannya!” Abrahah berkata tegas, “Pemiliknya tidak akan dapat mempertahankannya dariku!” Abdul Mutholib menyahut, “Silakan engkau buktikan sendiri!”

 

Abrahah kemudian mengembalikan unta-unta milik Abdul Mutholib yang ia rampas. Abdul Mutholib pulang menemui kaum Quraisy dan memberitahu mereka apa yang baru saja terjadi. Abdul Mutholib memerintahkan mereka untuk keluar dari Mekah dan berlindung di puncak gunung dan di lerengnya karena khawatir terkena tindak kekerasan pasukan Abrahah. Selanjutnya, Abdul Mutholib beranjak memegangi rantai pintu Kakbah. Sejumlah orang Quraisy juga melakukan hal yang sama. Mereka semuanya berdoa kepada Allah, memohon pertolongan kepada-Nya untuk mengalahkan Abrahah dan tentaranya. Abdul Mutholib bersenandung sembari memegangi rantai pintu Kakbah:

 

Wahai Allah, sungguh hamba-Mu melindungi untanya. Maka lindungilah kaum yang berhimpun kepada-Mu ini.

 

Jangan sampai menang keteguhan dan kekuatan mereka di hadapan kekuatan-Mu.

 

Sungguh, aku meninggalkan mereka dan kiblat kami maka perintahkanlah apa yang Kau kehendaki.

 

Abdul Mutholib melepaskan rantai pintu Kakbah, lalu ia bergerak bersama sejumlah orang Quraisy yang menyertainya menuju puncak gunung. Mereka berlindung di sana, sembari menunggu apa yang akan dilakukan Abrahah terhadap Mekah ketika ia memasukinya.

 

Tatkala Abrahah memasuki waktu pagi, ia mempersiapkan diri untuk memasuki kota Mekah. Ia juga mempersiapkan gajahnya serta memobilisasi tentaranya. Nama gajahnya adalah Mahmud. Abrahah berketetapan hati untuk merobohkan Baitullah lalu pulang ke Yaman. Tatkala pasukannya menghadapkan gajah ke arah Mekah, Nufail bin Habib datang dan mendekat di samping gajah. Kemudian ia memegang telinga gajah seraya berucap, “Menderumlah kamu dan kembalilah pulang dari arah datangmu karena kamu sekarang berada di negeri Allah yang haram!”

 

Nufail melepaskan telinga gajah itu, lantas si gajah menderum dan duduk bersimpuh. Nufail keluar meninggalkan pasukan Abrahah sampai ia naik ke gunung. Tentara Abrahah memukuli gajah itu agar mau berdiri, tetapi si gajah tetap enggan berdiri. Mereka memukul kepalanya dengan besi bengkok yang biasa digunakan untuk memukul gajah, agar ia mau berdiri, tetapi ia tetap tak mau berdiri. Mereka menyelipkan tongkat bengkok mereka ke dalam perut bagian bawah gajah lalu mencoba membangkitkan gajah itu agar ia mau berdiri, tetapi ia tetap enggan berdiri. Mereka mencoba mengarahkan si gajah pulang ke Yaman, ia pun langsung berdiri dan berlari-lari kecil. Mereka melakukan hal yang sama dengan diarahkan ke Syam, si gajah langsung bangkit, berdiri, dan berlari-lari kecil. Namun, ketika mereka mengarahkan ke kota Mekah, gajah itu langsung menderum dan duduk bersimpuh.

 

Allah kemudian mengutus sekelompok burung dari arah laut yang bentuknya seperti burung layang-layang hitam dan burung jalak. Setiap burung membawa tiga batu, yakni satu batu di paruhnya, sedang dua batu pada masing-masing dari dua kakinya. Batu itu besarnya seperti butir kacang panjang atau butir kacang tanah. Batu itu tidak menimpa seorang manusia pun, kecuali ia pasti mati karenanya. Tidak seluruh pasukan Abrahah terkena terpaan batu tersebut. Sebagian dari mereka lari lintang pukang menyelamatkan diri, berupaya adu cepat untuk sampai ke jalan yang mereka tempuh ketika datang. Mereka saling berjatuhan di sepanjang jalan. Mereka binasa di seluruh tempat kebinasaan, di semua tempat memulai. Abrahah juga terkena batu itu pada tubuhnya, lalu ia langsung mati karenanya.

 

Ibnu Ishaq berkata, “Tatkala Allah mengutus Muhammad, salah satu nikmat dan karunia yang telah Allah berikan kepada kaum Quraisy adalah pembelaan Allah untuk mereka dari serangan pasukan Habsyi, untuk mengekalkan urusan mereka dan zaman kejayaan mereka.”

 

Allah berfirman,

 

“Tidakkah engkau melihat bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap pasukan gajah? Bukankah Ia telah menjadikan tipu daya mereka berada dalam kesesatan? la mengirimkan terhadap mereka burung-burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka bebatuan dari Neraka Sijil. Sehingga mereka menjadi layaknya daun yang dimakan ulat.” (Al-Fil [105]: 1-5)

 

Uraian Anak Keturunan Nigam bin Ma’ad, :

 

Nizar bin Ma‘ad mempunyai tiga anak laki-laki, yakni Mudhar, Rabi‘ah, dan Anmar.

 

Mudhar mempunyai dua orang anak laki-laki, yakni Ilyas dan Ailan.

 

Ilyas memiliki tiga orang anak laki-laki, yaitu Mudrikah, Thabikhah, dan Qama‘ah.

 

Mudrikah mempunyai dua anak laki-laki, yakni Khuzaimah dan Hudzail.

 

Khuzaimah memiliki empat anak laki-laki, yaitu Kinanah, Asad, Asadah, dan Alhun.

 

Kinanah mempunyai empat anak lelaki, yaitu Nadhr, Malik, Abd Manaf, dan Milkan.

 

Nadhr memiliki dua anak laki-laki, yakni Malik dan Yakhlud.

 

Malik bin Nadhr mempunyai anak laki-laki, yakni Fihr bin Malik.

 

Fihr menurunkan empat orang anak laki-laki, yakni Ghalib, Muharib, Harits, dan Asad.

 

Ghalib berputra dua, yakni Luay dan Taim.

 

Luay dianugerahi empat anak lelaki, yaitu Ka‘ab, Amir, Samah, dan Auf.

 

Ka‘ab menurunkan tiga anak laki-laki, yaitu Murrah, Adiy, dan Hushaish.

 

Murrah berputra tiga, yaitu Kilab, Taim, dan Yaqazhah.

 

Kilab berputra dua, yaitu Qushay dan Zuhrah.

 

Qushay dianugerahi empat orang anak laki-laki, yakni Abd Manaf, Abdudar, Abdul‘uzza, dan Abdu Qushay.

 

Abd Manaf memiliki empat anak laki-laki, yakni Hasyim, Abdu Syams, Mutholib, dan Naufal.

 

Anak-Anak Abdul Mutholib bin Hasyim

 

Ibnu Hisyam bertutur, “Abdul Mutholib bin Hasyim dianugerahi sepuluh anak laki-laki dan enam anak perempuan. Mereka adalah Abbas, Hamzah, Abdullah, Abu Thalib, Zubair, Harits, Hajlan, Muqawim, Dharar, Abu Lahab (nama aslinya Abdul‘uzza), Shafiah, Ummu Hakim Al-Baidha, Atikah, Umaimah, Arwa, dan Barah.”

 

Orang Tua Rasulullah

 

Abdullah bin Abdul Mutholib dianugerahi anak, yakni Rasulullah, Sang Pemuka seluruh anak keturunan Adam. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib, semoga shalawat Allah, salam, rahmat, dan berkah-Nya senantiasa dilimpahkan kepada beliau dan keluarga beliau.

 

Ibunya adalah Aminah binti Wahab bin Abd Manaf bin Zahrah bin Kilab bin Murrah bin Ka‘ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhr.

 

Ibunda Aminah adalah Barrah binti Abdul‘uzza bin Utsman bin Abdudar bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka‘ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhr.

 

Sehingga Rasulullah merupakan anak paling mulia di antara seluruh anak keturunan Adam, paling utama nasabnya, baik dari arah bapak maupun dari ibunya. Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, kemuliaan, keutamaan, kesucian, dan keagungan kepada beliau.

 

Penggalian Zamzam dan Sumpah yang Diucapkan pada Saat itu

 

Tatkala Abdul Mutholib sedang tidur di Al-Hijr, ia bermimpi didatangi seseorang. Orang tersebut memerintahkannya untuk menggali mata air Zamzam.

 

Abdul Mutholib bertutur,

 

“Aku sedang tidur di Al-Hijr, tiba-tiba seseorang mendatangiku, lalu berkata, ‘Galilah Thaybah! Aku bertanya, ‘Apakah Thaybah itu?” Namun, orang itu pergi meninggalkanku. Besok harinya, aku kembali tidur di tempat itu, orang itu datang lagi kepadaku lalu berkata, ‘Galilah Matdhnunah!” Abdul Mutholib berucap, “Aku pun bertanya, ‘Apa itu Madhnunah?” Abdul Mutholib meneruskan ceritanya, “Kemudian orang itu pergi menjauh dariku. Keesokan harinya, aku datang ke tempat itu lagi lalu tidur di sana. Orang itu datang lagi sembari berucap, ‘Galilah Zamzam!” Abdul Mutholib berucap, “Aku bertanya, ‘Apakah Zamzam itu?’ Orang itu menjawab, ‘Mata air yang tak pernah kering dan tak pernah di dapati berkurang airnya’’, memberi minum orang yang melakukan haji nan agung. Ia berada di antara kotoran dan darah, di dekat lubang burung gagak berwarna belang.

 

Tatkala telah jelas bagi Abdul Mutholib perkara tersebut telah ditunjukkan tempatnya, dan ia meyakini bahwa perintah itu benar dititahkan kepada dirinya. Ia pun berangkat keesokan harinya dengan membawa cangkulnya, ditemani anak Laki-lakinya, Harits bin Abdul Mutholib, karena pada waktu itu ia tidak mempunyai anak laki-laki selainnya.

 

Ia menggali di tempat yang ditunjuk itu. Tatkala Abdul Mutholib melihat batu yang biasa digunakan untuk menutupi lubang sumur, ” ia pun mengumandangkan takbir. Kaum Quraisy mengetahui bahwa Abdul Mutholib sudah menemukan apa yang ia cari. Lantas mereka pun datang menghampirinya seraya berucap, “Wahai Abdul Mutholib, ini adalah sumur bapak moyang kami, Ismail, dan kami juga memiliki hak padanya maka ikut sertakanlah kami dalam memilikinya.”

 

Abdul Mutholib menjawab, “Aku tidak akan melakukan itu. Perintah ini dititahkan secara khusus kepadaku, tidak melibatkan kalian. Akulah yang diberi sumur ini.” Mereka mendesak, “Bersikap-adillah kepada kami. Sungguh, kami tidak akan membiarkan kamu sampai kami mendebat dan membantah kamu dalam urusan sumur ini.”

 

Abdul Mutholib berucap, “Kalian tunjuklah orang yang akan menetapkan hukum di antara kami, siapa pun itu. Aku akan memintakan keputusan hukum terhadap kalian kepadanya.” Orang-orang Quraisy menjawab, “Baik, ia adalah dukun wanita Bani Sa‘id Hudzaim.” Abdul Mutholib menjawab, “Ya, baiklah.”

 

Dukun perempuan itu tinggal di dataran tinggi Syam. Abdul Mutholib segera menaiki hewan tunggangannya, disertai rombongan dari anak-anak bapaknya, yakni Bani Abd Manaf. Dari setiap kabilah dari Bangsa Quraisy berangkat satu rombongan.

 

Pada waktu itu, negeri Arab masih berupa padang pasir yang tandus. Mereka pun berangkat, sampai ketika mereka tiba di salah satu padang pasir yang terbentang antara tanah Hijaz dan Syam, air minum Abdul Mutholib dan rombongannya habis sama sekali. Mereka sangat kehausan hingga mereka yakin bahwa mereka akan mati. Mereka pun meminta minum dari kabilah-kabilah Quraisy lainnya yang menyertai perjalanan mereka. Akan tetapi, mereka enggan memberi minum kepada mereka, dan berkata, “Kami sekarang berada di tengah padang pasir, kami khawatir diri kami juga akan tertimpa kehausan seperti yang menimpa kalian”

 

Tatkala Abdul Mutholib melihat apa yang dilakukan para kabilah Quraisy itu dan apa yang ia khawatirkan menimpa dirinya dan teman-teman sekelompoknya, ia berkata, “Bagaimana pendapat kalian?” Mereka menjawab, “Pendapat kami tidak lain kecuali mengikuti pendapatmu. Perintahlah kami dengan titah apa saja yang kau kehendaki.”

 

Abdul Mutholib berkata, “Menurutku, sekarang setiap orang dari kalian harus menggali tanah sebagai liang lahat untuk dirinya sendiri dengan sekuat tenaga. Setiap kali ada yang mati, teman-temannya segera mendorongnya ke liang lahatnya, kemudian menguburkannya. Sampai orang terakhir di antara kalian nanti tinggal satu. Sungguh, tersia-siakannya mayat satu orang itu lebih ringan daripada mayat seluruh rombongan kami ini”

 

Anggota rombongannya menjawab, “Bagus sekali perintahmu.” Masing-masing dari mereka lalu menggali liangnya, kemudian mereka duduk menunggu kematian dalam keadaan kehausan.

 

Abdul Mutholib tersadar dan berkata kepada teman-temannya, “Demi Allah, tindakan kami menyerah kepada kematian seperti ini, dengan tidak berupaya berjuang di muka bumi dan tidak berusaha untuk menyelamatkan diri kami, merupakan bentuk ketidakmampuan. Ayo, mudah-mudahan Allah memberi kami rezeki berupa air di sebagian wilayah negeri ini. Berangkatlah kalian!” Mereka pun berangkat meninggalkan tempat itu.

 

Sampai mereka kembali bertemu orang-orang yang menyertai mereka dari kabilah Quraisy lainnya. Rombongan Abdul Mutholib pun melihat apa yang diperbuat oleh mereka beberapa waktu yang lalu, Abdul Mutholib pun beranjak menuju hewan tunggangannya dan menaikinya. Tatkala hewan itu bergerak, terpancarlah dari bawah tapak kakinya mata air yang tawar dan segar. Abdul Mutholib bertakbir, begitu pula anggota rombongannya Abdul Mutholib segera turun dari kendaraannya dan minum air itu. Seluruh anggota rombongannya juga minum dan memenuhi wadah minuman mereka hingga penuh.

 

Abdul Mutholib memanggil kabilah Quraisy yang lainnya, seraya berucap, “Kemarilah kalian, menuju ke mata air. Sungguh, Allah telah memberi kami minuman. Minumlah kalian dan penuhilah wadah minuman kalian!” Mereka pun berdatangan, dan minum, lantas memenuhi wadah minuman mereka. Mereka berkata, “Demi Allah, telah ditetapkan hakmu atas kami, wahai Abdul Mutholib. Demi Allah, selamanya kami tidak akan membantahmu lagi dalam masalah Zamzam. Tuhan yang memberimu air di padang pasir ini adalah Tuhan yang memberimu mata air Zamzam. Silakan engkau pulang menuju mata airmu dalam keadaan benar.”

 

Abdul Mutholib pun pulang, mereka juga pulang bersamanya. Mereka tidak jadi menemui si dukun perempuan dan mereka memberi kebebasan kepada Abdul Mutholib untuk memiliki Zamzam.

 

Nadzar Abdul Mutholib Menyembelih Anaknya

 

Abdul Mutholib bin Hasyim pernah bernadzar ketika ia bertemu dengan orang. orang Quraisy lainnya saat menggali sumur Zamzam bahwa jika ia mempunyai sepuluh anak laki-laki, dan mereka semua mencapai usia balig sehingga mampu melindungi dirinya, ia akan menyembelih salah seorang di antara mereka untuk Allah di Kakbah. Tatkala anak laki-lakinya sempurna berjumlah sepuluh orang, ia juga mengetahui secara pasti bahwa mereka akan melindunginya, Abdul Mutholib mengumpulkan mereka semuanya seraya memberitahukan nadzarnya kepada mereka. Ia mengajak mereka supaya memenuhi janji kepada Allah.

 

Anak-anaknya menaatinya. Mereka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?” Abdul Mutholib menjawab, “Masing-masing dari kalian mengambil anak panah, kemudian ia menuliskan namanya pada anak panah itu. Setelah itu, datanglah kalian semua menemuiku.”

 

Anak-anaknya melaksanakan perintah ayah mereka, kemudian mereka datang menemuinya. Abdul Mutholib mengajak mereka semua ke hadapan patung Hubal, yang terletak di dalam bangunan Kakbah. Hubal ditempatkan di atas sumur di dalam Kakbah. Sumur itu adalah tempat dikumpulkannya berbagai hadiah yang dihadiahkan untuk Kakbah.

 

Di hadapan patung Hubal terdapat tujuh anak panah. Masing-masing anak panah ada tulisannya. Salah satu anak panah bertuliskan al-aql (diat/denda). Apabila kaum Quraisy berselisih tentang masalah diat (denda), yakni terkait siapakah yang berkewajiban membayarnya, mereka mengundi tujuh anak panah tersebut. Apabila yang keluar adalah anak panah bertuliskan al-aql, orang yang mendapatkan itu harus membayar denda.

 

Ada juga anak panah yang bertuliskan naam (ya), untuk menetapkan suatu perkara apabila kaum Quraisy hendak membebankannya pada orang tertentu dengan cara mengundi anak panah. Jika yang keluar adalah anak panah bertuliskan naam (ya), mereka akan melaksanakan keinginan mereka itu. Ada pula anak panah yang bertuliskan la (tidak). Apabila kaum Quraisy hendak mengerjakan sesuatu, mereka pun mengundi dengan tujuh anak panah tersebut. Apabila yang keluar adalah anak panah bertuliskan la, mereka tidak mengerjakan perbuatan itu.

 

Ada pula anak panah yang bertuliskan lafal minkum (dari kalian), ada pula bertuliskan mulshaq (yang ditempelkan), bertuliskan min ghairikum (dari selain kalian), dan yang terakhir adalah anak panah bertuliskan miyah (air-air). Apabila mereka hendak menggali sumur untuk mendapatkan air, mereka mengundi dengan anak panah-anak panah itu, yang mana di antara anak panah ada yang bertuliskan miyah (air-air), Mana pun dari anak panah itu keluar, mereka pun melakukannya sesuai apa yang tertulis pada anak panah itu.

 

Apabila mereka hendak mengkhitan anak lelaki, menikahkan seseorang, menguburkan mayat, atau ragu tentang nasab seseorang, mereka pergi mendatangi patung Hubal dengan membawa uang sebanyak seratus dirham dan seekor unta, jalu mereka memberikannya kepada sang pemegang panah undian untuk diundi dengan anak panah itu. Selanjutnya, mereka mendekatkan orang yang bersangkutan tersebut kepada Hubal. Kemudian mereka berkata, “Wahai tuhan kami, ini adalah Fulan bin Fulan. Kami ingin ia begini dan begini maka tetapkanlah kebenaran kepadanya.’” Kemudian mereka berkata kepada sang pemegang anak panah, “Lemparkan anak panah itu.” Jika yang keluar adalah anak panah bertuliskan minkum (dari kalian), ia adalah orang yang murni nasabnya.” Jika yang keluar adalah anak panah bertuliskan ghairikum (dari selain kalian) maka ia menjadi rekan dari kaum itu. Apabila yang keluar adalah anak panah bertuliskan mulshaq (ditempelkan), ia tetap berada pada kedudukannya semula, bukan dianggap saudara nasab, bukan pula rekan (halif).

 

Jika anak panah yang keluar terkait perkara yang akan mereka lakukan bertuliskan, na‘am (ya) mereka akan mengerjakannya. Namun, jika yang keluar adalah anak panah bertuliskan la (tidak), mereka menunda pekerjaan mereka pada tahun tersebut sampai mereka kembali mendatangi Hubal untuk kedua kalinya. Mereka menetapkan keputusan akhir urusan mereka sesuai dengan anak panah yang keluar dalam undian.

 

Abdul Mutholib berkata kepada sang pengundi, “Lakukanlah pengundian untuk anak-anakku dengan anak panah mereka ini.” Sembari memberitahukan kepadanya nadzar yang sudah ia ucapkan. Setiap anak laki-laki Abdul Mutholib menyerahkan anak panah yang bertuliskan namanya kepada si pengundi. Abdullah adalah anak laki-laki bungsu bapaknya. Ia merupakan anak yang paling beliau cintai. Abdul Mutholib melihat bahwa undian anak panah itu, apabila tidak mengenai Abdullah, pasti tidak akan terjadi pembunuhan.

 

Tatkala si pengundi hendak melakukan pengundian dengan anak panah, Abdul Mutholib berdiri di dekat Hubal, seraya berdoa kepada Allah. Lantas si pengundi melakukan undian, dan ternyata yang keluar adalah anak panah bertuliskan nama Abdullah. Abdul Mutholib memegang Abdullah dengan tangan. nya, lalu tangan yang satunya memegang pedang, lantas ia menggerakkan pedang itu untuk menyembelih Abdullah.

 

Orang-orang Quraisy seketika berdiri dari tempat duduk mereka seraya berkata, “Apa yang hendak kau lakukan, hai Abdul Mutholib?” Abdul Mutholib menjawab, “Aku hendak menyembelih anakku.”

 

Orang-orang Quraisy dan anak-anak Abdul Mutholib berkata, “Demi Allah, jangan pernah engkau mencoba untuk menyembelihnya, sampai engkau mendapatkan udzur baginya. Sungguh, jika engkau melakukan ini maka orang akan terus datang kepada Hubal untuk menyembelih anaknya, lalu manusia akan habis binasa karenanya!”

 

Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, yang merupakan anak saudara sekaum, ia berucap, “Demi Allah, janganlah engkau menyembelihnya sampai engkau mendapat alasan untuk membatalkan penyembelihannya. Jika tebusannya adalah harta, niscaya kami pasti menebusnya!”

 

Kaum Quraisy dan anak-anak Abdul Mutholib berkata kepada Abdul Mutholib, “Jangan kau lakukan itu, pergilah bersama anak itu ke Hijaz. Di sana ada dukun wanita peramal nasib yang mempunyai jin. Bertanyalah kepadanya sehingga kamu dapat memutuskan urusanmu itu dengan baik. Jika ia menyuruh kamu supaya menyembelih putramu maka sembelihlah ia. Tetapi jika ia memerintahmu untuk melakukan suatu tindakan sedang di dalam tindakan itu ada kelonggaran, laksanakanlah perintahnya itu.”

 

Mereka pun berangkat, dan sampailah mereka di Madinah. Mereka bertemu dengan wanita peramal nasib itu di Khaibar. Abdul Mutholib menceritakan kabarnya dan berita tentang anaknya kepada si peramal nasib. Abdul Mutholib juga memaparkan tentang keinginannya dan nazarnya. Wanita peramal itu berkata kepada rombongan Abdul Mutholib, “Pulanglah kalian dan tinggalkan aku hari ini, sampai jinku datang kepadaku. Sehingga aku bisa bertanya kepadanya.”

 

Rombongan pulang dari hadapannya. Tatkala anggota rombongan itu pergi meninggalkan si peramal, Abdullah berdiri dan berdoa kepada Allah.

 

Keesokan harinya, rombongan Quraisy kembali menemui si wanita dukun peramal, lalu wanita itu berkata kepada mereka, “Telah sampai berita kepadaku. Berapa banyak diat (denda) yang biasa kalian bayarkan?” Mereka menjawab, “Sepuluh ekor unta.” Wanita itu berkata, “Pulanglah kalian ke negeri kalian. Pekatkan orang yang hendak kalian sembelih sebagai korban itu ke berhala dan dekatkan pula sepuluh ekor unta. Lalu lakukanlah undian terhadapnya. Jika yang keluar adalah nama teman kalian yang hendak dikorbankan itu, tambahlah jumlah unta, sampai Tuhan kalian meridhainya. Jika undian yang keluar adalah unta, sembelihlah unta-unta tersebut karena Tuhan kalian sudah meridhainya dan teman kalian itu selamat.”

 

Mereka pun pulang meninggalkan tempat itu, hingga akhirnya mereka tiba di Mekah. Ketika mereka sudah sepakat untuk melaksanakan perintah itu, Abdul Mutholib berdiri dan berdoa kepada Allah. Kemudian mereka membawa Abdullah dan sepuluh ekor unta maju ke depan. Abdul Mutholib berdiri di dekat Hubal, sembari berdoa kepada Allah.

 

Mereka mulai mengundi, dan keluarlah anak panah yang bertuliskan nama Abdullah. Mereka menambah sepuluh unta lagi hingga jumlahnya menjadi dua puluh ekor. Abdul Mutholib berdiri dan memohon kepada Allah. Lantas mereka mengundi lagi dengan anak panah dan keluarlah anak panah bertuliskan Abdullah.

 

Mereka menambah sepuluh unta lagi hingga jumlahnya menjadi tiga puluh ekor. Abdul Mutholib kembali berdiri dan berdoa kepada Allah. Selanjutnya, mereka kembali mengundi dengan anak panah dan keluarlah anak panah yang bertuliskan Abdullah. Mereka menambah sepuluh unta lagi hingga jumlah totalnya mencapai empat puluh ekor. Abdul Mutholib berdiri dan memanjatkan doa kepada Allah. Lantas mereka mengundi lagi dengan anak panah dan keluarlah anak panah bertuliskan Abdullah. Mereka menambah sepuluh unta lagi hingga jumlah total untanya menjadi lima puluh ekor. Abdul Mutholib berdiri dan berdoa kepada Allah. Kemudian mereka kembali melakukan pengundian dengan anak panah dan keluarlah anak panah bertuliskan Abdullah. Mereka menambah lagi sepuluh unta hingga jumlahnya menjadi enam ‘puluh ekor. Abdul Mutholib berdiri dan memohon kepada Allah. Lalu mereka mengundi lagi dengan anak panah dan keluarlah anak panah bertuliskan Abdullah.

 

Mereka menambahkan sepuluh unta lagi sehingga jumlah totalnya menjadi tujuh puluh ekor. Abdul Mutholib berdiri dan memohon kepada Allah. Lantas mereka kembali mengundi dan keluarlah anak panah bertuliskan Abdullah.

 

Selanjutnya, mereka menambah sepuluh unta lagi hingga jumlahnya menjadi delapan puluh ekor. Abdul Mutholib kembali berdiri dan berdoa kepada Allah. Lalu mereka mengundi lagi dan keluarlah anak panah yang bertuliskan nama Abdullah. Mereka menambah sepuluh unta lagi hingga jumlahnya menjadi sembilan puluh ekor. Abdul Mutholib berdiri lagi dan memohon kepada Allah a. Lalu mereka kembali mengundi dan keluarlah anak panah bertuliskan Abdullah.

 

Selanjutnya, mereka menambah sepuluh unta lagi hingga jumlah totalnya adalah seratus ekor. Abdul Mutholib berdiri dan memohon kepada Allah. Lantas mereka mengundi lagi dengan anak panah dan keluarlah anak panah bertuliskan unta. Kaum Quraisy dan orang-orang yang hadir di situ berseru, “Tuhanmu telah ridha, wahai Abdul Mutholib!”

 

Para ahli sejarah mendakwakan bahwa Abdul Mutholib berkata, “Tidak, demi Allah. Sampai aku melakukan pengundian tiga kali untuk ini” Mereka pun kembali melakukan pengundian antara Abdullah dan unta. Abdul Mutholib kembali berdiri dan berdoa. Keluarlah anak panah yang bertuliskan unta. Kemudian mereka melakukan undian untuk kedua kalinya. Abdul Mutholib berdiri lagi dan berdoa kepada Allah. Mereka mengundi, ternyata yang keluar adalah anak panah bertuliskan unta. Selanjutnya, mereka bersiap-siap hendak melakukan pengundian yang ketiga. Abdul Mutholib kembali berdiri dan memohon kepada Allah. Mereka mengundi, dan ternyata yang keluar adalah anak panah bertuliskan unta. Akhirnya, seratus ekor unta itu disembelih dan ditinggalkan begitu saja, tiada seorang pun manusia yang dilarang untuk mengambil dan memakan dagingnya.

 

Aminah Mengandung Rasulullah

 

Para ahli sejarah mengklaim -menurut penuturan orang-orang, wallahu a‘lam- bahwa Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah pernah berkisah.

 

Saat mengandung Rasulullah, Aminah diberitahu, “Engkau sedang mengandung pemimpin umat ini. Jika ia terlahir ke dunia, berdoalah: Aku memohonkan perlindungan baginya kepada Al-Wahid (Yang Maha esa) dari kejahatan semua pendengki. Kemudian namailah ia Muhammad.”

 

Ketika mengandung Nabi, Aminah juga bermimpi melihat cahaya yang muncul dari dirinya menerangi istana-istana Bashrah di negeri Syam. Tak lama kemudian, Abdullah bin Abdul Mutholib, ayahanda Rasulullah meninggal dunia, ketika ibunda beliau masih mengandung beliau.

 

Kelahiran Rasulullah

 

Rasulullah lahir pada hari Senin, dua belas Rabiul Awal, Tahun Gajah.” Dari Qais bin Makhramah, ia berkata, “Aku dan Rasulullah dilahirkan pada tahun gajah sehingga kami adalah dua orang yang sebaya.”

 

Dari Hasan bin Tsabit, ia berkata, “Demi Allah, kala itu aku adalah pemuda yang kuat, berumur tujuh atau delapan tahun. Aku mampu memahami semua yang kudengar. Saat di Yatsrib, tiba-tiba aku mendengar orang Yahudi di atas kudanya berseru dengan lantang, “Wahai sekalian orang Yahudi!’ Setelah berkumpul, orang. orang Yahudi itu bertanya kepadanya, ‘Celaka kamu! Apa yang terjadi dengan dirimu?’ Ia menjawab, ‘Pada malam ini, bintang Ahmad yang menjadi tanda kelahirannya sudah muncul.”

 

Tatkala melahirkan Nabi, ibunda beliau segera mengirim utusan untuk menemui kakek anaknya, yakni Abdul Mutholib untuk menyampaikan pesan, “Anakmu sudah lahir, datanglah segera dan lihatlah ia!” Abdul Mutholib pun segera datang. Kepada mertuanya, Aminah menceritakan mimpinya saat mengandung putranya, perkataan orang-orang tentang bayinya itu, serta saran-saran yang diterimanya terkait pemberian nama untuk bayi itu.

 

Para ahli sejarah mengklaim bahwa Abdul Mutholib pergi membawa cucunya yang masih bayi itu, lalu masuk ke dalam Kakbah. Abdul Mutholib berdiri dan berdoa kepada Allah, bersyukur kepada-Nya atas karunia-Nya kepada dirinya.

 

Kemudian Abdul Mutholib keluar dengan menggendong cucunya yang masih bayi itu menemui ibundanya, lalu menyerahkan kepadanya. Abdul Mutholib segera mencari ibu susu untuk Rasulullah. Akhirnya Abdul Mutholib meminta seorang perempuan dari Bani Saad bin Bakar yang bernama Halimah binti Abu Dzu’aib untuk menyusui cucunya. Halimah, Ibu Susu Rasulullah Halimah bercerita bahwa ia berangkat meninggalkan kampung halamannya bersama suami, serta anaknya yang masih bayi dan masih ia susui, bersama sejumlah wanita dari Bani Saad untuk mencari anak susuan.

 

Ini terjadi pada musim kemarau yang tandus,”’ hingga tak menyisakan sedikit pun makanan untuk kami. Aku berangkat dengan menaiki keledai yang belang kulitnya. Kami juga membawa unta yang sudah berumur dua tahun. Demi Allah, tiada setetes pun air yang tersisa. Kami tidak tidur sepanjang malam itu karena bayi kami yang kami ajak serta, terus menangis akibat kelaparan. Sedangkan air susu yang ada dalam puting susuku tidak mencukupi untuk mengenyangkannya. Di unta kami juga tiada perbekalan makanan untuk mencukupi kebutuhan bayiku. Akan tetapi, kami tetap mengharapkan adanya pertolongan dan kelonggaran.

 

Aku berangkat dengan mengendarai keledaiku. Sungguh, aku melakukan perjalanan yang panjang dan lama dengan kendaraanku hingga anggota rombongan menjadi lemah dan kepayahan. Sampai akhirnya, kami tiba di Mekah, kami pun mencari anak-anak susuan (bayi yang hendak disusui).

 

Tiada seorang perempuan pun di antara kami kecuali ia sudah ditawari untuk menyusui bayi Rasulullah, tetapi mereka semua enggan menyusui beliau, ketika dikatakan bahwa bayi itu adalah anak yatim. Penolakan itu karena dalam menyusui seorang bayi, kami sebenarnya hanya mengharapkan kebaikan dari bapak si bayi. Kami kala itu berkata, “Anak Yatim! Apa yang akan dilakukan oleh kakek dan ibunya? Kami tidak menyukai bayi Muhammad karena ia yatim, hanya itu alasannya!”

 

Tiada seorang perempuan dari kami kecuali ia sudah membawa bayi untuk disusui, kecuali aku. Tatkala kami bersiap untuk kembali pulang, aku berkata kepada suamiku,” “Demi Allah, aku tidak senang bila pulang bersama teman-temanku, sedang aku tidak mendapatkan satu pun bayi susuan. Demi Allah, aku akan pergi ke tempat bayi yatim itu. Aku akan mengambilnya sebagai bayi susuanku!” Suaminya menyahut, “Lakukanlah. Mudah-mudahan Allah memberikan berkah kepada kami dengan adanya anak itu!”

 

Halimah berkata, “Aku pergi ke tempat tinggalnya dan mengambilnya sebagai anak susuan. Tiada yang mendorongku untuk mengambilnya kecuali karena aku tidak mendapatkan bayi susuan selain ia. Ketika aku sudah mengambilnya, aku kembali ke rombonganku. Tatkala kuletakkan ia ke pangkuanku, ia langsung mendekat ke kedua payudaraku untuk menyusu. Ia minum air susuku hingga kenyang. Saudara sepersusuannya (anak Halimah) juga menyusu kepadaku.

 

Keduanya pun tidur karena kenyang, padahal kami tak pernah bisa tidur sebelum itu. Suamiku berdiri menuju unta kami, ternyata ambingnya penuh dengan susu, Ia memerah susu dari unta itu dan meminumnya. Aku juga minum susu unta bersama suamiku hingga hilang rasa dahaga kami dan merasa kenyang. Kami pun tidur pada malam itu dengan tidur ternyenyak yang pernah kami alami.”

 

Halimah bertutur, “Suamiku berkata tatkala kami memasuki waktu pagi, ‘Ketahuilah wahai Halimah, demi Allah engkau telah mengambil bayi yang penuh berkah! Aku menjawab, ‘Demi Allah, aku pun berharap demikian.”

 

Kami pun beranjak pulang, aku menaiki keledaiku. Sambil menggendong bayi Muhammad itu bersamaku. Demi Allah, keledaiku berjalan sangat cepat dengan kecepatan yang tak dapat ditandingi keledai-keledai yang dinaiki anggota kafilah lainnya. Teman-teman perempuanku berkata kepadaku, “Hai putri Abu Dzuib, celaka kamu! Berhentilah dulu dan tunggulah kami. Bukankah ini keledai yang kau naiki saat berangkat ke Mekah dulu?!” Kukatakan kepada mereka, “Ya, benar, demi Allah. Keledai yang kunaiki saat berangkat dulu adalah keledai ini juga.” Mereka berkomentar, “Demi Allah, keledai ini telah mendapat karunia!”

 

Kami pun sampai di tempat tinggal kami, yakni perkampungan Bani Saad. Aku tidak mengetahui adanya satu wilayah pun dari negeri-negeri Allah ini yang lebih gersang daripada negeri kami. Dombaku pulang pada waktu sore, saat itu kami baru saja datang bersama bayi Muhammad, dalam keadaan kenyang dan penuh ambing susunya. Kami pun memerah susunya dan meminumnya. Padahal saat itu, tiada seorang pun dari teman-temanku yang dapat memerah kambingnya walau setetes pun. Siapa pun dari mereka tiada yang mendapati adanya susu pada ambing ternaknya. Keadaan ini membuat semua orang yang baru saja datang berkata kepada para penggembala kambing mereka, “Celaka kalian! Gembalakanlah kambing kalian di tempat digembalakannya kambing milik anak perempuan Abu Dzu’aib itu!” Walaupun begitu, kambing-kambing mereka tetap saja pulang pada waktu sore dalam keadaan kelaparan, tidak dapat diperah susunya walau setetes, sedang kambingku pulang dalam keadaan kenyang dan penuh ambing susunya.

 

Kami terus menerus mendapatkan tambahan karunia dan kebaikan dari Allah, sampai berlalu waktu dua tahun dan aku mulai menyapih Muhammad. Ia menjalani masa belianya tidak sebagaimana anak-anak lainnya. Belum genap dua tahun usianya, ia sudah menjadi anak yang kuat tubuhnya. Kami datang membawanya kepada ibunya, sedangkan kami sebenarnya sangat ingin agar ia tetap bersama kami lebih lama, karena keberkahan yang kami lihat pada dirinya.

 

Kami berbicara kepada ibunya. Kukatakan kepada ibunya, “Bagaimana, jika engkau perkenankan anakmu tetap tinggal bersamaku sampai ia kuat dan dewasa, karena kami mengkhawatirkan wabah yang sedang menimpa Mekah.” Kami terus memohon kepadanya sampai ibundanya berkenan mengembalikan Muhammad kepada kami.

 

Kami pun pulang bersama Muhammad. Demi Allah, setelah sebulan ia bersama kami, suatu hari ia bersama anakku, saudara sepersusuannya, menggembalakan anak kambing di belakang rumah kami. Tiba-tiba saudara sepersusuannya itu datang menemui kami ketakutan. Ia berkata kepadaku dan suamiku, “Saudaraku anak Quraisy itu diajak pergi oleh dua orang pria yang memakai baju putih. Lalu keduanya membaringkannya dan membelah perutnya. Kedua orang itu memukul sebagian anggota tubuhnya dengan anggota tubuhnya yang lain dan menggerak-gerakkannya.”

 

Aku dan suamiku segera beranjak menemui Muhammad. Aku mendapatinya sedang berdiri sedang wajahnya berseri cemerlang. Aku segera memeluknya, begitu pula suamiku. Kutanyakan kepadanya, “Apa yang terjadi padamu, wahai anakku?” Muhammad menjawab, “Ada dua lelaki dewasa mendatangiku, keduanya memakai baju berwarna putih. Mereka kemudian membaringkanku dan membelah perutku. Lantas keduanya mencari sesuatu, aku tidak tahu apa yang mereka cari itu?”

 

Suamiku membawanya pulang ke rumah, lantas ia berkata padaku, “Wahai Halimah, sungguh aku khawatir jika anak ini terkena gangguan setan. Bawalah ia kembali kepada keluarganya, sebelum tampak gangguan setan atau jin itu pada dirinya.”

 

Kami pun segera membawanya untuk menemui ibunya. Ibunya bertanya, “Apa yang mendorongmu datang kemari, wahai ibu susu? Bukankah kau dulu sangat ingin memelihara anakku dan sangat berharap agar anakku ini tinggal bersamamu?”

 

Aku menjawab, “Sungguh, Allah telah menjadikan anak susuanku ini balig, aku merasa sudah menunaikan kewajibanku. Aku mengkhawatirkan terjadinya berbagai peristiwa yang merisaukanku terhadap dirinya, sehingga mengembalikan dirinya kepadamu sebagaimana yang engkau inginkan” Aminah membantah, “Ini bukan seperti dirimu! Jujurlah kepadaku tentang apa yang kau alami. Dan jangan pergi sampai kamu memberitahukannya kepadaku.”

 

‘Aminah kembali bertanya, “Apakah kamu khawatir setan akan mengganggu, dirinya?” Aku menjawab, “Ya.” Aminah menyahut, “Tidak! Demi Allah, setan tidak akan pernah bisa mengganggunya. Anakku ini mempunyai keutamaan. Maukah kamu kuberitahu kisahnya?” Aku menjawab, “Ya, mau.”

 

Aminah bertutur, “Demi Allah, tatkala aku mengandungnya dulu aku ber. mimpi muncul dari diriku cahaya yang menerangi Istana Bushra” dari negeri Syam. Selanjutnya, ketika aku mengandungnya, aku tidak pernah merasakan kehamilan yang paling ringan dan paling mudah bagiku daripada saat mengandung Muhammad. Dan ketika aku melahirkannya, kulihat ia terlahir dengan posisi kedua tangannya ke tanah sedang pandangan matanya ke langit. Tinggalkan ia. Pulanglah kamu dengan tenang.”

 

Peristiwa Terbelahnya Dada

 

Ibnu Ishaq bertutur,

 

Tsaur bin Yazid menceritakan kepadaku, dari salah seorang ulama, dan aku menduga ulama itu adalah Khalid bin Madan Al-Kalai, “Sekelompok dari sahabat Rasulullah berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami tentang dirimu’ Rasulullah bersabda, “Ya, aku adalah dakwah yang didakwahkan bapakku Ibrahim dan kabar gembira yang dikabarkan saudaraku Isa. Ibuku bermimpi ketika mengandungku, muncul cahaya dari tubuhnya yang menerangi istana-istana Syam. Aku disusui di perkampungan Bani Saad bin Bakar.”

 

Rasulullah melanjutkan, “Suatu ketika, aku sedang bersama saudara sepersusuanku di belakang rumah. Kami sedang menggembalakan anak kambing kami. Tiba-tiba ada dua pria yang mengenakan baju putih datang mendekatiku, mereka membawa baskom dari emas yang penuh dengan es. Mereka berdua lantas menangkapku dan membelah perutku. Keduanya lalu mengeluarkan hatiku dan membedahnya. Mereka berdua mengeluarkan segumpal darah hitam dan mencampakkannya. Kemudian keduanya membasuh hatiku dan perutku dengan es (yang ada di baskom itu) dan membersihkannya. Salah seorang dari mereka berdua lantas berkata kepada temannya, “Timbanglah ia dengan sepuluh orang dari umatnya!’ Lalu ia menimbangku dengan mereka, ternyata aku lebih berat. Kemudian pria itu berkata lagi, “Timbanglah ia dengan seratus orang dari umatnya, Lalu ia menimbangku dengan mereka, ternyata aku lebih berat. Pria itu berkata, ‘Biarkanlah ia. Demi Allah, seandainya kamu menimbangnya dengan seluruh umatnya niscaya ia tetap lebih berat dari mereka”

 

Pengasuhan Nabi oleh Kakek Beliau

 

Rasulullah bersama ibunda, Aminah binti Wahab dan kakek beliau, Abdul Mutholib bin Hisyam, senantiasa dalam perlindungan Allah dan penjagaan-Nya. Allah menumbuhkan beliau dengan pertumbuhan yang baik karena apa yang Allah inginkan berupa kemuliaan beliau. Tatkala Rasulullah menapaki usia enam tahun, ibunya meninggal dunia di Abwa, sebuah tempat yang terletak di antara Mekah dan Madinah. Sang Ibu datang ke sana untuk menemui paman-pamannya dari arah ibu, yakni dari kalangan Bani Adiy bin Najar, dalam rangka mengunjungi mereka. Ia meninggal dunia ketika ia dalam perjalanan pulang menuju Mekah.

 

Rasulullah kemudian hidup bersama kakek beliau, Abdul Mutholib bin Hasyim.

 

Biasanya disiapkan sebuah singgasana di bawah naungan Kakbah untuk Abdul Mutholib. Anak-anaknya biasa duduk mengelilingi singgasana itu, sambil menunggu Abdul Mutholib keluar dari rumah lalu duduk di tempat itu. Tiada seorang pun dari anak-anaknya yang pernah duduk di singgasana tersebut, karena memuliakan ayahanda mereka.

 

Rasulullah, yang pada saat itu masih muda belia namun sudah kuat tubuhnya, datang ke sana dan langsung duduk di singgasana tersebut. Paman-pamannya segera memegangnya untuk menyingkirkannya dari kursi singgasana, namun Abdul Mutholib segera mencegah ketika melihat kejadian itu, “Biarkanlah anakku. Demi Allah, ia mempunyai keutamaan!” Kemudian Abdul Mutholib mengajaknya duduk bersama di singgasananya. Kakeknya mengusap punggung Nabi dengan tangannya. Rasulullah merasa gembira dengan perlakuan kakeknya terhadap dirinya.

 

Ketika Rasulullah berusia delapan tahun, Abdul Mutholib meninggal dunia. Peristiwa itu terjadi tepat delapan tahun sesudah tahun Gajah.

 

Pengasuhan Nabi, oleh Pamannya

 

Sepeninggal Abdul Mutholib, Rasulullah diasuh oleh paman beliau, Abu Thalib,

 

Kala itu ada seorang lelaki dari Liheb yang ahli meramal nasib. Ketika ia tiba di Mekah, sejumlah orang Quraisy datang kepadanya dengan membawa serta anak-anak mereka, supaya ia melihat dan meramal nasib mereka yang akan terjadi. Muhammad diajak datang dan menghadap kepada ahli ramal itu, ketika beliau masih muda belia, bersama sejumlah orang yang menyertainya. Peramal itu memandang Rasulullah, sejenak kemudian ia sibuk memandangi beliau dan melupakan yang lainnya. Tatkala selesai, orang itu berkata, “Anak ini, Aku memiliki kewajiban untuk menjaganya.”

 

Tatkala Abu Thalib melihat kesungguhan dan niat kuat si juru ramal untuk memelihara Muhammad, ia segera membawa Muhammad pergi darinya. Juru ramal itu berteriak keras, “Celaka kalian! Kembalikan kepadaku anak yang kulihat tadi! Demi Allah, ia memiliki keutamaan yang besar.”

 

Kisah Bahira

 

Selanjutnya, Abu Thalib melakukan perjalanan niaga sebagai pedagang ke Syam. Tatkala ia sedang bersiap berangkat dan melengkapi perbekalan safar, Rasulullah menyampaikan keinginannya untuk ikut serta. Abu Thalib merasa kasihan kepada keponakannya itu seraya berkata, “Demi Allah, akan menyertakan ia bersamaku. Ia tidak boleh berpisah denganku dan aku tidak akan berpisah darinya, selama-lamanya.”

 

Akhirnya, Abu Thalib berangkat ke Syam bersama Nabi. Sesampainya di Bushra, kafilah dagang itu pun beristirahat sebentar. Di sana ada seorang rahib (pendeta) yang bernama Bahira, di dalam biaranya. Ia memiliki pengetahuan tentang Nasrani. Ia senantiasa tinggal di dalam biaranya, sejak waktu yang lama, sebagai rahib, untuk mendalami ilmu dari kitab yang mereka imani. Ilmu itu diwarisi secara turun-temurun dari para sesepuh. Pada tahun itu, rombongan dagang Abu Thalib beristirahat di tempat tinggal Bahira. Padahal mereka sudah sering melewati tempat itu sebelumnya, namun Bahira tidak pernah mengajak mereka bicara, bahkan sekadar menoleh pun tidak. Sampai kejadian pada tahun itu, tatkala mereka beristirahat di dekat biara Bahira, Bahira menjamu mereka dengan makanan yang banyak dan beraneka ragam.

 

Sikap Bahira itu, menurut asumsi mereka, disebabkan sesuatu yang ia lihat dari piaranya. Mereka mengklaim bahwa Bahira melihat Rasulullah ketika Bahira berada di biaranya dan juga melihat kafilah dagang itu ketika datang, terdapat awan menaungi beliau di antara anggota rombongan lainnya. Mereka berhenti dan beristirahat di bawah naungan pohon dekat biara Bahira. Bahira melihat awan yang menaungi pohon itu dan dahan pohon itu menjuntai ke arah Rasulullah, sehingga beliau dapat bernaung di bawahnya. Tatkala Bahira melihat itu, ia langsung turun dan keluar dari biaranya. Ia mengutus seseorang untuk menemui rombongan Abu Thalib, menyampaikan pesannya, “Saya telah menyiapkan makanan untuk kalian, wahai orang-orang Quraisy. Saya senang bila kalian semuanya mau hadir di biara saya. Kalian semuanya, baik yang masih muda maupun yang sudah tua, baik budak kalian maupun orang merdeka dari kalian”

 

Salah seorang anggota rombongan bertanya kepada Bahira, “Demi Allah, hai Bahira. Engkau sedang mengadakan hajatan besar hari ini. Kamu tidak pernah menjamu kami dengan makanan seperti ini, padahal kami sudah sering lewat di dekat biaramu. Ada keperluan apa engkau hari ini?” Bahira menjawab kepadanya, “Kamu benar. Yang kau katakan itu benar. Akan tetapi, kalian adalah tamu. Aku senang bila aku memuliakan kalian dan membuat makanan untuk kalian, lalu kalian semuanya mau makan”

 

Semua anggota rombongan datang ke biaranya, tetapi Rasulullah tertinggal, tidak ikut serta karena beliau saat itu masih muda belia. Beliau ditugasi menjaga perbekalan rombongan, di bawah pohon. Tatkala Bahira melihat rombongan itu, dan ia tidak melihat sifat dan karakter yang ia kenali, Bahira pun berkata, “Wahai rombongan Quraisy, jangan sampai ada seorang pun dari kalian yang tidak ikut hadir pada jamuan makanku ini”

 

Rombongan Quraisy menjawab, “Wahai Bahira, tiada seorang pun dari kami yang pantas menghadiri jamuan makanmu ini tidak ikut serta di sini, kecuali seorang pemuda. Ia yang paling muda usianya di antara kami. Ia sengaja tidak ikut untuk menjaga perbekalan rombongan.”

 

Bahira berkata, “Jangan seperti itu. Panggillah ia, supaya ia ikut hadir dan menikmati jamuan makan ini bersama kalian.” Seorang pria Quraisy yang menjadi salah satu anggota kafilah itu berkata, “Demi Latta dan Uzza, sungguh satu hal yang tercela bila putra Abdul Mutholib itu tertinggal, dan tidak ikut makan bersama kami!” Kemudian orang itu berdiri, membawa Nabi ke tempat itu dan mempersilakannya duduk bersama anggota rombongan yang lainnya.

 

Tatkala Bahira melihatnya, ia mengamatinya dengan seksama. Ia melihat berbagai tanda pada tubuh Rasulullah, sesuai dengan yang ia ketahui ilmunya tentang itu. Sampai ketika kaum Quraisy selesai memakan hidangan yang disediakan Bahira, mereka pun bubar.

 

Bahira kemudian datang mendekati Nabi seraya berkata kepadanya, “Haj anak muda, aku akan bertanya kepadamu. Demi Latta dan Uzza, engkau harus menjawab apa saja pertanyaanku nanti.” Bahira mengucapkan sumpah itu karena ia mendengar kaum Quraisy bersumpah dengan itu (Latta dan Uzza). Para ahli sejarah berasumsi bahwa saat itu Rasulullah berkata kepada Bahira, “Kamu jangan memintaku dengan kalimat ‘demi Latta dan Uzza’? Demi Allah, tiada sesuatu yang lebih aku benci melebihi kebencianku terhadap dua berhala tersebut.””

 

Bahira berkata, “Kalau begitu, demi Allah, jawablah apa saja yang akan kutanyakan kepadamu.” Nabi bersabda, “Tanyakan apa saja yang hendak kau tanyakan kepadaku.”

 

Bahira bertanya tentang berbagai hal berkenaan dengan keadaan Nabi, tentang tidur beliau, aktifitas beliau, dan urusan-urusan beliau. Rasulullah memberitahukan semuanya kepada Bahira, dan ternyata semuanya cocok dengan sifat-sifat Nabi yang diketahui oleh Bahira. Kemudian Bahira melihat punggung beliau, dan melihat stempel kenabian terdapat di antara kedua pundak beliau, pada lokasi dan dengan bentuk yang cocok dengan ilmu yang ia miliki.

 

Tatkala tanya jawab dan pemeriksaan fisik itu selesai, Bahira berjalan mendekati paman Nabi, Abu Thalib, seraya berkata kepadanya, “Apa hubungan nasab anak muda ini dengan engkau?” Abu Thalib menjawab, “Ia anakku.” Bahira membantahnya, “Ia bukan anakmu. Tidak pantas bagi pemuda ini kecuali bapaknya pasti sudah meninggal dunia.” Abu Thalib berkata, “Ya, ia adalah keponakanku, anak saudara laki-lakiku.” Bahira bertanya lagi, “Apa yang terjadi dengan bapaknya?” Abu Thalib menjawab, “Bapaknya meninggal dunia ketika ibunya masih mengandung dirinya.” Bahira berkata, “Kamu berkata benar. Pulanglah bersama keponakanmu itu ke negerimu. Waspadalah terhadap orang-orang Yahudi. Demi Allah, jika mereka melihat dan mengenalinya sebagaimana aku mengenalinya, niscaya mereka akan melakukan tindak kejahatan terhadap dirinya karena keponakanmu ini akan mempunyai urusan yang besar nanti.’”

 

Abu Thalib segera pulang ke negerinya bersama keponakannya, Muhammad.

 

Perang Fijar

 

Perang Fijar bergolak ketika Rasulullah berusia dua puluh tahun.” Perang ini disebut Perang Fijar karena penghalalan yang dilakukan oleh dua suku; Kinanah dan Qais Ailan terhadap keharaman yang disepakati di antara mereka.

 

Panglima pasukan Quraisy dan Kinanah adalah Harb bin Umayah. Kemenangan pada awalnya dipegang oleh Qais atas Kinanah, sampai pada tengah pari kemenangan beralih menjadi milik Kinanah atas Qais.

 

Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang yang sukses. Ia mempekerjakan sejumlah pria untuk menjalankan bisnisnya dan ia berbagi hasil dengan mereka dengan ketentuan bagi hasil yang ia tetapkan. Kaum Quraisy adalah komunitas pedagang. Tatkala sampai kepada Khadijah berita tentang Rasulullah, yakni kejujuran perkataannya, besarnya sifat amanah, serta kemuliaan akhlaknya, Khadijah pun mengutus orang untuk menemui beliau seraya menawari beliau agar mau membisniskan dagangan Khadijah ke Syam dalam perjalanan niaga. Khadijah berjanji akan memberinya bagian yang lebih banyak dari yang pernah ia berikan kepada para pedagangnya. Perjalanan niaga itu akan ditemani oleh budak Jaki-laki Khadijah yang bernama Maisarah. Rasulullah menerima tawaran itu dari Khadijah dan beliau berangkat berdagang dengan membawa harta Khadijah, dengan ditemani Maisarah, sampai beliau tiba di Syam.

 

Rasulullah beristirahat di bawah naungan sebatang pohon yang tumbuh di dekat biara salah seorang rahib dari sekian banyak rahib yang tinggal di sana. Rahib mendekat kepada Maisarah dan bertanya, “Siapakah pria yang beristirahat di bawah pohon itu?” Maisarah menjawab, “Ia adalah seorang pria dari Quraisy, penduduk Tanah Haram.” Rahib itu berucap kepada Maisarah, “Tidak ada seorang pun yang beristirahat di bawah pohon ini kecuali Nabi!”

 

Kemudian Rasulullah menjual seluruh barang dagangan yang beliau, bawah. Beliau juga membeli barang yang hendak beliau beli. Lantas beliau bersiap, siap untuk melakukan perjalanan pulang ke Mekah. Sedangkan Maisarah, ketik, menginjak waktu tengah hari dan terik panas matahari sangat menyengat, ia melihat dua malaikat yang menaungi Rasulullah dari terik panas matahari, sedang beliau berkendara di atas untanya. Setiba di Mekah, Rasul menemui Khadijah dan membawa kembali hartanya yang terjual dan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, atau nyaris berlipat ganda.

 

Maisarah menceritakan kepada Khadijah tuturan Sang Rahib, serta apa yang ia lihat berupa dua malaikat yang menaungi Muhammad. Khadijah adalah seorang perempuan yang teguh hati, cerdas, dan mulia, serta memiliki apa saja yang diinginkan oleh Allah ada pada dirinya yang berasal dari kemurahan-Nya.

 

Tatkala Maisarah memberitahukan kepadanya semua kejadian itu, ia segera mengirim utusan kepada Rasulullah untuk menyampaikan ucapannya, “Wahai anak pamanku, saya sangat tertarik kepadamu karena hubungan kerabatmu denganku dan kemuliaanmu di tengah kaummu karena sifat amanahmu dan keindahan akhlakmu, serta karena kejujuran ucapanmu.”

 

Kemudian Khadijah menawarkan dirinya untuk menjadi istri Nabi. Pada waktu itu, Khadijah merupakan wanita Quraisy yang paling bagus nasabnya, paling agung kemuliaannya, dan paling banyak hartanya. Semua pria dari kaumnya sangat ingin memperistri Khadijah, kalau saja mereka mampu melakukannya.

 

Tatkala Khadijah mengatakan hal itu kepada Rasulullah, beliau menyampaikannya kepada paman-paman beliau. Paman beliau, Hamzah, lalu berangkat menemani beliau menemui Khuwailid bin Asad (ayahanda Khadijah) untuk meminang Khadijah bagi Rasulullah, lantas Khuwailid pun menikahkan keduanya.”

 

Khadijah ialah yang melahirkan seluruh putra Rasulullah, kecuali Ibrahim. Putra-putri Nabi adalah Qasim (dengan inilah beliau digelari Abul Qasim), AthThahir Ath-Thayib, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum, dan Fatimah.

 

Qasim dan Ath-Thahir Ath-Thayib, keduanya meninggal dunia pada masa Jahiliah. Adapun putri-putri beliau, semuanya mendapati masa Islam. Mereka semuanya masuk Islam serta berhijrah bersama Rasulullah.

 

Kisah Waraqah bin Naufal

 

Khadijah menceritakan kepada Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul‘uzza yang juga saudara sepupunya yang beragama Nasrani, mendalami kitab-kitab, dan mengetahui apa yang diketahui orang banyak-apa saja yang diceritakan oleh pudak laki-lakinya, Maisarah, yakni perkataan si Rahib dan apa yang dilihat oleh Maisarah, yakni dua malaikat yang menaungi Muhammad. Waraqah berkata, “Jika jni benar, wahai Khadijah, Muhammad itu adalah Nabi umat ini. Aku tahu akan ada untuk umat ini seorang Nabi yang dinanti. Sekarang inilah zamannya!”

 

Waraqah kemudian memperlambat tuturan tentang hal itu seraya berucap, “Sampai kapan?” Waraqah juga bertutur tentang itu dalam bait-bait syair berikut,

 

Aku keras kepala dan aku adalah orang yang keras kepala dalam ingatan orang…

 

Untuk kesedihan yang seringkali membangkitkan tangis tersedu-sedu

 

Gambaran sifat dari Khadijah sesudah penggambaran sifat…

 

Sungguh lama menungguku, wahai Khadijah Di perut dua sisi Mekah atas harapanku…

 

Ceritamu bahwa aku melihat jalan keluar darinya Dari apa yang kau beritahukan kepada kami berupa perkataan si pendeta…

 

Dari kalangan rahib aku tidak suka bila ia menyimpang Bahwa Muhammad akan menjadi pemimpin di tengah-tengah kami…

 

Dan membantah semua orang yang mendebat ia Tampak di negeri ini terangnya cahaya…

 

Menerpa dataran ini hingga berguncang Siapa pun yang memeranginya akan menemui kerugian…

 

Siapa pun yang menyerahkan diri kepadanya akan mendapatkan kemenangan atas musuh

 

Aduhai alangkah senangnya aku bila pada saat itu…

 

Aku masih hidup maka aku akan menjadi orang pertama yang menyerahkan diri dari mereka

 

Pembangunan Ka’bah

 

Tatkala Rasulullah berusia tiga puluh lima tahun, kaum Quraisy berkumpul dan bersepakat untuk membangun Kakbah. Mereka menginginkan pembangunan atap untuk Kakbah. Mereka khawatir Kakbah akan runtuh karena Kakbah hanya dibangun dengan batu-batuan yang saling ditumpuk satu di atas yang lain, tanpa diplester.

 

Suatu ketika, ombak laut yang besar melemparkan sebuah kapal ke Jedah, Kapal itu milik seorang pedagang Romawi. Kapal tersebut terdampar dan rusak, Orang-orang Quraisy pun mengambil kayunya dan mempersiapkannya untuk mengatapi Kakbah. Di Mekah ada orang Qibthi (Mesir) yang berprofesi sebagai tukang kayu. Ia mempersiapkan untuk kaum Quraisy perlengkapan dan bahan yang diperlukan untuk memperbaiki Kakbah.

 

Tiba-tiba, seekor ular keluar dari sumur Kakbah yang biasa dijadikan tempat untuk melemparkan hadiah yang dipersembahkan kepada Kakbah setiap harinya. Ular itu menampakkan diri di bawah terik panas matahari, di dinding Kakbah. Ular ini menyebabkan orang-orang yang hendak merenovasi Kakbah ketakutan karena tiada seorang pun yang mendekati ular tersebut kecuali ular itu pasti mengangkat kepalanya dan mendesis disebabkan gesekan sebagian kulit dengan kulit lainnya, serta ular tersebut pasti membuka mulutnya.

 

Suatu ketika, ular itu sedang menjalar di dinding Kakbah sebagaimana biasanya, lalu Allah pun mengutus seekor burung. Burung itu langsung menyambar ular tersebut dan membawanya pergi. Orang-orang Quraisy berkata, “Kami sangat berharap kiranya Allah meridhai apa yang kami inginkan. Kami mempunyai pekerja yang baik. Kami juga punya kayu, Allah juga telah melindungi kami dari ular tersebut.”

 

Ketika mereka benar-benar sepakat untuk merobohkan Kakbah dan membangunnya kembali, Abu Wahab bin Amru bin Aidz bin Abd bin Imran bin Makhzum pun berdiri. Ia mengambil satu batu dari Kakbah lalu memindahkan batu itu dengan tangannya lalu mengembalikannya ke tempat semula, seraya berucap, “Wahai sekalian orang Quraisy, janganlah kalian mendanai pembangunan Kakbah ini kecuali dari hasil yang baik. Jangan sampai pendanaan Kakbah diambil dari hasil pelacuran, hasil jual beli riba, jangan pula hasil dari tindak penzaliman seseorang terhadap orang lain.”

 

Kemudian kaum Quraisy membagi-bagi jatah pembangunan Kakbah. Bagian pintu Kakbah menjadi bagian Bani Abd Manaf dan Bani Zuhrah. Antara pojok Hajar Aswad (Rukun Aswad) sampai pojok Yaman (Rukun Yamani) adalah bagian Bani Makhzum dan beberapa kabilah Quraisy lainnya yang bergabung dengan mereka. Bagian belakang Kakbah adalah bagian Bani Jumah dan Sahm. Belahan Hijr Ismail (Al-Hijr) menjadi bagian Bani Abdudar Qushay dan Bani Asad bin Abdul‘uzza, serta untuk Bani Adiy bin Ka‘ab.

 

Semua orang tiba-tiba merasa segan merobohkan Kakbah dan takut untuk melakukannya. Lantas Walid bin Mughirah berkata, “Aku yang akan mengawali perobohannya.’ Ibnu Mughirah mengambil beliung lalu ia berdiri di atas Kakbah, seraya berkata, “Ya Allah, kami tidak menyimpang dari agama-Mu! Ya Allah, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan!” Walid pun merobohkan Kakbah dari arah dua rukun.

 

Orang-orang Quraisy menunggu dan mengamati apa yang terjadi malam itu sembari berucap, “Kami tunggu, jika Walid bin Mughirah terkena gangguan setan atau jin, kami tidak akan meruntuhkan Kakbah sedikit pun. Kami juga akan mengembalikannya sebagaimana sediakala. Namun, jika ia tidak terkena gangguan apa pun, berarti Allah meridhai tindakan kami, kemudian kami runtuhkan Kakbah secara total.”

 

Pada keesokan harinya, Walid memasuki Kakbah dalam keadaan sehat dan kembali bekerja seperti sediakala. Walid kembali bekerja merobohkan Kakbah dengan diikuti orang-orang yang menyertainya. Ketika pekerjaan peruntuhan bangunan selesai, mereka sampai pada pekerjaan pembongkaran fondasi, yakni fondasi Kakbah yang dibuat oleh Nabi Ibrahim. Mereka berusaha membongkar batu berwarna hijau yang bentuknya menyerupai punuk unta, dengan mengambilnya sebagian demi sebagiannya.

 

Sejumlah kabilah dari Quraisy mengumpulkan bebatuan untuk membangun Kakbah kembali. Masing-masing kabilah mengumpulkan batu untuk bagiannya sendiri. Kemudian mereka mulai membangunnya, hingga pembangunannya- sampai pada bagian sudut Hajar Aswad, mereka pun bertengkar memperebutkan Hajar Aswad. Semua kabilah ingin berkesempatan mengangkat Hajar Aswad dan meletakkannya ke tempatnya semula. Pertengkaran ini menyebabkan mereka membuat aliansi dengan kabilah sekutunya untuk melawan pihak musuh yang juga bersekutu dengan kabilah aliansinya, bahkan mereka telah bersiap untuk melakukan perang antar kabilah.

 

Sebagian ulama ahli riwayat mengklaim bahwa Abu Umayah bin Mughirah saat itu merupakan orang yang paling tua di antara seluruh orang Quraisy yang ada. Ia berkata, “Wahai sekalian orang Quraisy, jadikanlah orang yang menetapkan hukum atas apa yang kalian perselisihkan adalah orang pertama yang masuk melalui pintu masjid ini. Tunjuklah ia sebagai pemutus masalah kalian.”

 

Mereka pun melaksanakannya. Ternyata orang pertama yang masuk masjid menjumpai mereka adalah Rasulullah. Tatkala mereka melihat beliau, mereka berkata, “Orang ini adalah orang yang terpercaya. Kami ridha! Orang ini adalah Muhammad!” Ketika Muhammad telah mendekat ke arah mereka, mereka memberitahunya apa yang sedang terjadi.

 

Rasulullah bersabda, “Bawalah sehelai kain kepadaku.” Segera dibawakan kain kepada beliau. Beliau membawa kain itu ke dekat Hajar Aswad, lalu beliau meletakkan Hajar Aswad ke atas kain itu dengan tangan beliau. Rasulullah berucap, “Hendaklah seorang dari setiap kabilah memegang ujung kain ini, kemudian mereka mengangkatnya bersama-sama.” Mereka pun melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah. Tatkala mereka membawanya sampai ke tempatnya, Rasulullah meletakkan Hajar Aswad itu kembali ke tempatnya sediakala, kemudian beliau membangun di atasnya.

 

Informasi dari, Dukun arab, Pendeta Yahudi, dan Rahib Nasrani,

 

Para pendeta Yahudi, rahib Nasrani, serta sejumlah dukun Arab banyak memperbincangkan perkara Rasulullah sebelum diutusnya beliau, bahwa zaman diutusnya rasul itu sudah dekat.

 

Para pendeta Yahudi dan rahib Nasrani bersikap berdasarkan berita yang mereka dapati pada kitab mereka, terkait sifat-sifat Nabi, karakteristik zamannya, serta janji yang disampaikan para Nabi kepada mereka tentang Nabi terakhir.

 

Adapun para dukun Arab, didatangi oleh setan-setan jin yang membawa berita dari mencuri dengar berita langit, jika hal itu bisa dilakukan dan tidak terhalangi oleh lemparan bintang sebagai panah api. Dukun-dukun pada waktu itu terus menyampaikan berita tentang seorang rasul, tetapi orang Arab tidak memedulikannya. Sampai Allah mengutus beliau dan hal-hal yang mereka katakan benar-benar terjadi, orang-orang pun mengetahuinya.

 

Tatkala semakin dekat masa pengutusan Rasulullah, setan-setan gagal mencuri dengar berita langit. Mereka gagal mencapai tempat di mana mereka biasa mencuri dengar karena terkena lemparan bintang-bintang. Akhirnya, jin mengetahui bahwa terhalangnya mereka dari mencuri dengar itu karena sesuatu telah terjadi, yakni satu ketetapan Allah di kalangan para hamba-Nya.

 

Sifat Rasulullah,

 

Ibnu Hisyam berkata,

 

Gambaran sifat Rasulullah sebagaimana yang disebutkan oleh Umar maula Ghufrah, dari Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abu Thalib, ia berkata,

 

“Ali bin Abu Thalib ketika menggambarkan sifat Rasulullah, ia berkata, ‘Beliau bukan orang yang berperawakan terlalu tinggi, tidak pula terlalu pendek tubuhnya. Beliau adalah orang yang paling sempurna perawakannya di antara kaumnya. Beliau tidak berambut keriting, tetapi juga tidak lurus sepenuhnya, beliau menguraikan rambutnya. Beliau tidak berbadan besar, tetapi bukan pula orang yang bulat wajahnya dengan badan kurus. Kumis beliau putih, kedua matanya hitam pekat, ujung pelupuk matanya menyipit, tulang pokok persendian dan bahunya kokoh, tumbuh bulu-bulu lembut dari dada hingga pusar, tumbuh pula bulu-bulu halus pada kedua punggung telapak tangan dan telapak kaki beliau. Apabila berjalan beliau tidak menapakkan keseluruhan telapak kakinya, seolah-olah beliau berjalan di jalan yang menurun dan landai. Apabila menoleh, beliau menoleh dengan seluruh tubuhnya. Di antara kedua pundak beliau terdapat stempel kenabian. Beliau merupakan penutup para nabi, orang yang paling dermawan dalam memberi, paling pemberani dalam maju ke depan, manusia yang paling benar dan paling jujur tutur katanya, paling komitmen memenuhi janjinya kepada orang lain, paling bagus interaksinya dengan orang lain, paling mulia di antara mereka dalam pergaulannya. Siapa saja yang memandang beliau pertama kali, ia pasti langsung mengaguminya, siapa saja yang bergaul dekat dengan beliau pasti mencintainya.”

 

Orang yang mendeskripsikan karakter fisiknya berkata, “Aku tidak pernah melihat sebelum maupun sesudah beliau orang yang semisal dengannya, shalawat Allah dan salam-Nya semoga dilimpahkan kepada beliau.”

 

Sifat Rasulullah Menurut Injil

 

Ibnu Ishaq berkata,

 

“Salah satu berita yang sampai kepadaku adalah yang disampaikan oleh Isa bin Maryam berdasarkan wahyu yang diterimanya dari Allah dalam Injil untuk para pengikut Injil, terkait sifat Rasulullah yang ditulis oleh Yohanes, seorang sahabat (hawari) Isa, untuk para pengikut Injil, yakni ketika ia menulis Injil yang diturunkan kepada mereka pada masa Isa mengenai utusan Allah yang diutus kepada mereka. Di sana disebutkan bahwa Isa berkata,

 

‘Barang siapa membuatku murka, berarti telah membuat Tuhan murka. Andai bukan karena melakukan banyak hal yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun sebelumku di hadapan mereka, niscaya mereka sama sekali tidak melakukan satu kesalahan pun. Akan tetapi, sekarang mereka menolak kebenaran dan menyangka bahwa mereka mampu mengalahkanku. Begitu pun Tuhanku. Akan tetapi, kalimat . di dalam Namus pastilah terlaksana, tidak mungkin tidak. Mereka benar-benar membenciku secara batil. Andaikan datang Munhamanna ini yang diutus oleh Allah kepada kalian dari hadapan Tuhan. Roh Kudus ini yang dari sisi Tuhan telah keluar. Ia adalah saksi bagiku. Kalian juga. Karena kalian dahulu bersamaku pada hal ini, kukatakan kepada kalian supaya kalian tidak mengeluh dan mengaduh.”

 

Al-Munhamanna dengan bahasa Suryani artinya Muhammad. Sedang dalam bahasa Romawi, ia disebut Al-Baraqlithus.

 

Muhammad, Diutus. Sebagai Nabi

 

Tatkala Muhammad Rasulullah mencapai usia empat puluh tahun, Allah mengutus beliau menjadi sebagai bentuk kasih sayang kepada semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) serta seluruh umat manusia. Allah telah mengambil janji dari setiap Nabi yang Ia utus sebelum Muhammad untuk beriman kepada beliau, membenarkan beliau, dan membantu beliau mengalahkan semua yang menentang beliau. Allah juga mewajibkan mereka untuk menyampaikan hal ini kepada semua orang yang beriman kepada mereka dan membenarkan mereka. Lantas para nabi dan rasul itu menunaikan kewajiban mereka berupa kebenaran.

 

Dari Aisyah ws berkata, “Awal permulaan tanda kenabian yang terjadi pada Rasulullah, ketika Allah menginginkan kemuliaan beliau dan kasih sayang para hamba kepada beliau adalah mimpi yang benar. Tidaklah Rasulullah bermimpi saat beliau tertidur, kecuali mimpi itu pasti terjadi sebagaimana merekahnya waktu subuh.” Aisyah berkata, “Allah menjadikan beliau suka menyendiri. Tiada sesuatu pun yang lebih beliau sukai daripada menyendiri dan menyepi sendirian.”

 

Dari Abdul Malik bin Ubaidillah, “Rasulullah, ketika Allah menghendaki kemuliaan dan mengaruniakan, dan kenabian atas beliau, apabila beliau keluar untuk suatu keperluan, beliau selalu berjalan jauh, hingga beliau jauh dari rumahnya. Rasulullah pergi ke puncak-puncak gunung Mekah dan menyusuri lembahnya. Rasulullah tidak melalui satu batu atau satu pohon pun, kecuali benda-benda itu berkata, ‘Salam untukmu, wahai Rasulullah.” Abdul Malik melanjutkan, “Rasulullah menoleh ke sekeliling beliau, ke kanan, kiri, dan belakang beliau. Tetapi beliau tidak melihat siapa pun kecuali pepohonan dan bebatuan saja. Rasulullah terus-menerus seperti itu, melihat dan mendengar, sampai waktu yang Allah kehendaki.

 

Kemudian Jibril mendatangi beliau dengan membawa apa yang ia bawa, yakn; kemuliaan Allah. Kala itu beliau berada di Gua Hira, bertepatan dengan bulan Ramadhan.”

 

Dari Ubaid bin Umair,

 

“Rasulullah menyendiri di Gua Hira selama sebulan setiap tahunnya, Hal tersebut beliau lakukan untuk menghindarkan diri dari berhala yang biasa disembah orang Quraisy pada masa Jahiliah. Selama sebulan Rasulullah menetap di sana, beliau senantiasa memberi makan siapa saja orang miskin yang mendatangi beliau. Apabila Rasulullah sudah menyelesaikan masa menyendirinya, tempat pertama kali yang akan beliau datangi adalah Kakbah, sebelum beliau pulang ke rumahnya. Beliau melakukan tawaf mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh putaran, atau sebanyak yang beliau inginkan, kemudian barulah beliau pulang ke rumahnya,

 

Sampai tibalah saatnya bulan yang Allah menghendaki kemuliaan pada diri beliau, dari tahun diutusnya beliau menjadi rasul. Bulan itu adalah bulan Ramadhan. Rasulullah pergi ke Gua Hira seperti biasanya untuk menyendiri di sana, kala itu beliau ditemani istri beliau. Kemudian tibalah malam yang dengan risalah-Nya Allah muliakan Rasulullah. Jibril mendatangi beliau dengan membawa perintah Allah

 

Rasulullah bersabda, “Jibril mendatangiku ketika aku sedang tidur, ia membawa hamparan yang terbuat dari sutra tebal, dan terdapat tulisan. Jibril berkata, “Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca. Jibril pun mendekapku dengan sangat kuat, hingga aku menyangka bahwa aku sudah mati. Kemudian Jibril melepaskanku, seraya berucap, ‘Bacalah’? Aku menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca:’ Jibril kembali mendekapku dengan sangat kuat, hingga aku menyangka bahwa aku sudah mati. Kemudian Jibril melepaskanku, seraya berucap, ‘Bacalah’ Aku menjawab, Aku tidak bisa membaca’ Jibril mendekapku dengan sangat kuat, hingga aku menyangka bahwa aku sudah mati. Kemudian Jibril melepaskanku, sembari berkata, ‘Bacalah’ Akhirnya, aku menjawab, ‘Apa yang harus kubaca?’ Tidaklah aku berkata demikian, kecuali untuk membebaskan diri darinya agar ia tidak mendekapku lagi, seperti yang telah ia lakukan berkali-kali padaku. Jibril berkata, ‘Bacalah dengan Nama Tuhanmu Yang menciptakan. Ia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, demi Tuhanmu Yang Mahamulia. Yang mengajari manusia dengan pena. Ia mengajari manusia apa yang ia tidak mengetahuinya. (Al-‘Alaq [96]: 1-5).”

 

Rasulullah kembali bersabda, “Aku selesai membacanya. Jibril pun pergi meninggalkanku. Aku pun terbangun dari tidurku, seolah-olah sesuatu tertulis pada hatiku.

 

Aku keluar dari Gua Hira, sesampainya di pertengahan gunung, aku mendengar suara dari langit, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasulullah dan aku adalah Jibril? Aku pun mengangkat kepalaku, mendongak ke arah langit, dan aku melihat Jibril menjelma sebagai sesosok pria yang membariskan kedua telapak kakinya di ufuk langit. Ia berkata, ‘Wahai Muhammad, engkau adalah Rasulullah dan aku adalah Jibril’ Aku pun terdiam dan memandangnya. Aku tidak maju atau pun mundur selangkah pun. Lantas aku memalingkan wajahku darinya, yang ada di ufuk langit. Namun, tidaklah aku melihat ke arah lain, kecuali aku melihat pemandangan yang sama. Aku terus terdiam, tanpa bisa maju atau pun mundur, sampai Khadijah mengirim beberapa utusan untuk mencariku. Para utusan itu sampai ke dataran tinggi Mekah dan kembali menghadap Khadijah, sedang aku masih saja terdiam di tempatku itu. Sampai akhirnya, Jibril pergi meninggalkanku”

 

Aku meninggalkan tempat itu, pulang menemui keluargaku. Aku pun menemui Khadijah. Aku duduk di pahanya, menyandarkan tubuhku padanya. Khadijah berkata, “Wahai Abul Qasim, di manakah engkau tadi? Demi Allah, aku sudah mengirim beberapa utusan untuk mencarimu, hingga mereka sampai ke Mekah dan mereka pulang kembali’”

 

Aku menceritakan semua yang kualami kepada Khadijah. Khadijah berucap, “Bergembiralah, wahai anak pamanku, dan teguhkanlah dirimu. Demi Dzat Yang diri Khadijah berada di Tangan-Nya, aku sangat berharap engkau menjadi Nabi umat ini”

 

Khadijah bangkit, kemudian mempersiapkan bajunya untuk bepergian. Ia pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul‘uzza bin Qushay, saudara sepupunya. Waraqah beragama Nasrani, ia telah membaca banyak kitab. Ia juga mendengar berita dari ulama ahli Taurat dan Injil. Khadijah memberitahukan kepadanya berita yang diceritakan Rasulullah kepada dirinya, tentang apa yang beliau lihat dan beliau dengar. Waraqah bin Naufal berkata, “Qudus, Qudus. Demi Dzat Yang diri Waraqah berada di Tangan-Nya, jika kamu berkata benar, wahai Khadijah, sungguh yang mendatanginya adalah Namus yang agung yang dulu pernah datang kepada Musa.“ Sungguh, ia adalah Nabi bagi umat ini. Katakanlah kepadanya, supaya ia berteguh hati.”

 

Khadijah kembali pulang menemui Rasulullah. Ia memberitahu beliau tuturan Waraqah bin Naufal. Tatkala Rasulullah menyelesaikan ibadahnya dan bubaran meninggalkan gua, beliau mengerjakan sebagaimana yang biasa beliau kerjakan, yakni memulai dengan Kakbah lalu beliau melakukan tawaf mengelilinginya. Pada saat itulah Waraqah bin Naufal menemui beliau, saat beliau sedang melakukan tawaf di Kakbah. Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku, beritahukanlah kepadaku apa yang kau lihat dan kau dengar?” Rasulullah memberitahukan kepadanya hal itu. Waraqah berkata kepadanya, “Demi Dzat yang Diriku ada di Tangan-Nya, engkau adalah Nabi umat ini. Sungguh, sudah datang kepadamu Namus yang paling agung yang dulu pernah datang kepada Musa. Engkau akan benar-benar didustakan, disakiti, diusir, dan diperangi. Jika aku mendapati hari itu, niscaya aku benar-benar akan menolong Allah dengan pertolongan yang Ia mengetahuinya.” Kemudian Waraqah mendekatkan kepalanya dengan kepala Nabi, lalu ia mencium bagian depan kepala Nabi. Selanjutnya, Rasulullah pulang ke rumah beliau.

 

Permulaan Diturunkannya Al-Quran Rasulullah mulai mendapatkan wahyu Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.

 

Allah berfirman,

 

“Bulan Ramadhan yang Al-Quran diturunkan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan dari petunjuk itu, dan pemisah (antara kebenaran dengan kebatilan).” (Al-Baqarah [2]: 185)

 

“Sungguh, Kami menurunkannya pada malam kemuliaan. Tahukah engkau apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Para malaikat turun bersama malaikat Jibril pada malam itu, dengan izin Tuhan mereka, dari seluruh perkara. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadar [97]: 1-5)

 

“Ha mim. Demi Kitab (Al-Quran) yang menjelaskan. Sungguh, Kami menurunkannya pada sebuah malam yang diberkahi, Kami Yang memberi peringatan. Pada malam itu, dijelaskan semua perkara yang penuh hikmah. (Yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami, Kami Yang mengutus rasul-rasul.” (Ad-Dukhan [44]: 1-5)

 

“Jika kalian beriman kepada Allah dan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami di Hari Furqan, yaitu hari bertemunya dua pasukan.” (Al-Anfal [8]: 41)

 

Maksudnya adalah hari berhadap-hadapannya Rasulullah dengan kaum musyrik di Badar.

 

Keislaman Khadijah binti Khuwailid

 

Khadijah binti Khuwailid beriman kepada Muhammad. Ia memercayai dan membenarkan wahyu yang datang kepada beliau dari Allah. Ia menjadi pendamping suaminya dalam mengurusi urusan ini. Ia menjadi orang pertama yang beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, orang pertama yang membenarkan apa saja yang disampaikan suaminya. Dengan dukungan Khadijah ini, Allah memberikan keringanan kepada Nabi-Nya. Tidak pernah Nabi mendengar suatu ucapan pun yang beliau benci, baik berupa penolakan terhadap dakwah beliau maupun pendustaan terhadap beliau, lalu itu membuat beliau sedih dan susah, kecuali Allah memberi beliau kelonggaran dari itu dengan adanya Khadijah ketika beliau pulang ke rumah menemuinya. Khadijah meneguhkan hati beliau, meringankan kepayahan beliau, memercayai dan membenarkan beliau, meringankan dari diri beliau beban akibat tindakan banyak manusia terhadap beliau, hingga Allah menyayangi Khadijah!

 

Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memberi kabar gembira kepada Khadijah dengan sebuah rumah yang terbuat dari mutiara yang berongga, yang tiada kegaduhan di dalamnya dan tiada pula keletihan.”

 

Terhentinya Wahyu

 

Kemudian wahyu berhenti dari Rasulullah selama beberapa waktu lamanya. Berhentinya wahyu ini menjadikan beliau susah dan bersedih hati. Jibril datang kepada beliau seraya menyampaikan surah Adh-Dhuha. Allah bersumpah kepada Nabi bahwa Ia adalah Yang memuliakan Nabi dengan sesuatu yang Ia pernah memuliakan beliau dengannya, Ia tidak pernah meninggalkan beliau dan tidak pernah pula membenci beliau. Allah berfirman,

 

“Demi waktu dhuha. Dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu dan tidak akan membencimu.” (Adh-Dhuha [93]: 1-3)

 

Maksudnya Allah berfirman, “Ya tidak mendiamkan kamu (Muhammad) kemudian meninggalkanmu. Ia juga tidak membencimu, bahkan Ia mencintaimu”

 

“Sungguh akhirat itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (dunia).” (Adh Dhuha [93]: 4)

 

Maknanya, apa yang ada di hadapan-Ku berupa tempat kembalimu kepada-Ku, hal itu lebih baik bagimu daripada Kusegerakan kemuliaan bagimu di dunia.

 

“Kelak, Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya sehingga engkau merasa ridha.” (Adh-Dhuha [93]: 5)

 

Berupa kejayaan di dunia dan pahala di akhirat.

 

“Bukankah Ia mendapatimu dalam keadaan yatim lalu Ia melindungimu? Ia mendapatimu dalam keadaan tersesat, lalu Ila memberi petunjuk? Ia mendapatimu dalam keadaan serba kekurangan, lalu la mencukupimu?” (Adh-Dhuha [93]: 6-8)

 

Allah mengingatkan beliau akan semua telah yang Ia berikan kepada beliau, berupa kemuliaan yang disegerakan. Pemberian kenikmatan-Nya kepada beliau, di saat beliau berada dalam kondisi yatim, kekurangan, dan tersesat. Begitu pula penyelamatan Allah atas beliau karena kasih sayang-Nya.

 

“Sebab itu, terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Terhadap peminta-minta, janganlah engkau menghardik.” (Adh-Dhuha [93]: 9-10)

 

Maknanya, “Janganlah kamu menjadi orang yang lalim dan sombong. Jangan pula menjadi orang yang berbuat keji dan kasar terhadap kaum dhuafa.”

 

“Terhadap nikmat Tuhanmu, hendaknya engkau menyiarkannya.” (Adh-Dhuha [93]: 11)

 

Maksudnya, siarkanlah apa yang datang dari Allah berupa kenikmatan-Nya dan pemuliaan-Nya berupa kenabian. Atau maksudnya, ingatlah dan berdakwahlah untuk mengajak orang kepadanya.

 

Rasulullah pun mendakwahkan apa yang di karuniakan Allah kepadanya dan seluruh hamba-Nya, berupa kenabian, secara rahasia kepada kalangan keluarga Nabi yang sudah meyakini kebenaran beliau.

 

Orang yang Pertama Masuk Islam

 

Lelaki pertama yang beriman kepada Rasulullah, mengerjakan shalat bersama beliau, dan membenarkan wahyu yang datang dari Allah adalah Ali bin Abu Thalib -semoga keridhaan Allah dan salam-Nya diberikan kepadanya. Kala itu Ali masih berusia sepuluh tahun.

 

Hal ini merupakan nikmat Allah yang dianugerahkan kepada Ali bin Abu Thalib. Sebuah ketetapan yang Allah tetapkan untuknya, dan Allah menginginkan kebaikan untuk Ali, yakni kala itu suku Quraisy tertimpa krisis ekonomi yang cukup dahsyat.

 

Abu Thalib adalah orang yang mempunyai banyak putra dan anggota keluarga. Rasulullah bersabda kepada Abbas, paman beliau yang termasuk orang paling lapang rezekinya dari kalangan Bani Hasyim, “Wahai Abbas, sungguh saudaramu, Abu Thalib, mempunyai banyak anggota keluarga. Sedang sekarang ini krisis ekonomi tengah melanda masyarakat, sebagaimana kau lihat. Mari kami pergi dan meringankan beban keluarga Abu Thalib. Aku akan mengajak serta salah seorang anaknya dan kamu juga mengambil salah seorang putranya, lalu kami asuh mereka berdua menggantikan Abu Thalib.”

 

Abbas menjawab, “Ya” Abbas dan Rasulullah berangkat menemui Abu Thalib. Keduanya berkata kepada Abu Thalib, “Kami ingin meringankan beban keluargamu, hingga krisis yang melanda masyarakat ini tersingkap dan lenyap” Abu Thalib berkata kepada mereka berdua, “Asalkan kalian berdua membiarkan Agqil tetap bersamaku, lakukanlah apa yang kalian inginkan.”

 

Rasulullah mengajak serta Ali dan mengasuhnya. Sedangkan Abbas membawa serta Jakfar dan mengasuhnya bersama anak-anaknya. Ali masih berada dalam asuhan Rasulullah, sampai Allah mengutus beliau sebagai Nabi. Kemudian Ali mengikuti beliau, beriman, dan membenarkan risalah beliau.

 

Sejumlah ulama ahli sejarah menyebutkan bahwa Rasulullah, ketika waktu shalat tiba, beliau keluar ke perbukitan Mekah. Ali bin Abu Thalib ikut keluar bersama beliau dengan bersembunyi dari bapaknya, semua pamannya, bahkan dari seluruh kaumnya. Mereka berdua lantas mengerjakan shalat di sana. Tatkala mereka ingin beranjak pulang, Allah menghendaki mereka menetap lebih lama.

 

Abu Thalib memergoki mereka berdua ketika sedang mengerjakan shalat. Abu Thalib bertanya kepada Rasulullah, “Wahai keponakanku, apakah agama yang kulihat engkau menjalankannya ini?”

 

Rasulullah menjawab, “Wahai paman, ini adalah agama Allah, agama sekalian malaikat-Nya, agama para rasul-Nya, dan agama Nabi kami Ibrahim. Allah mengutusku dengan membawa agama ini sebagai Rasul kepada seluruh hamba-Nya. Engkau, wahai paman, merupakan orang yang paling berhak untuk mendapatkan nasihat ini dariku, orang yang paling layak kuajak menuju petunjuk, dan orang yang paling pantas menerima dan memenuhi seruanku. Oleh karena itu, tolonglah aku dengan mengimaninya”

 

Abu Thalib menjawab, “Wahai keponakanku, sungguh aku tidak mampu memisahkan diri dari agama nenek moyangku dan apa yang mereka jalani. Akan tetapi, demi Allah, kau tidak akan mendapatkan sedikit pun sesuatu yang kau benci selagi aku masih hidup!”

 

Berikutnya, yang masuk Islam adalah Zaid bin Haritsah bin Syurahbil bin Ka‘ab bin Abdul ‘uzza. Hakim bin Hizam bin Khuwailid datang dari Syam dengan membawa sejumlah budak, salah satunya adalah Zaid bin Haritsah. Hakim datang ke rumah bibinya, Khadijah, yang kala itu Khadijah telah menjadi istri Rasulullah.

 

Hakim berkata kepada bibinya, “Pilihlah budak-budak ini, hai bibiku. Mana saja dari budak-budak ini yang kau inginkan maka ia menjadi milikmu.”

 

Khadijah memilih Zaid, lalu ia mengambilnya sebagai budak. Rasulullah -melihat Zaid sebagai budak istrinya, lalu beliau minta agar sang istri berkenan menghibahkannya kepada beliau, Khadijah pun menghibahkannya kepada suaminya. Rasulullah memerdekakannya dan menjadikannya anak beliau. Ini terjadi sebelum diwahyukan kepada beliau larangan menjadikan anak angkat sebagai anak sendiri.

 

Selanjutnya, orang yang masuk Islam adalah Abu Bakar bin Abu Quhafah. Nama aslinya adalah Atiq. Sedangkan nama asli Abu Quhafah adalah Utsman. Tatkala Abu Bakar masuk Islam, ia mengumumkan keislamannya dan mengajak orang kepada Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar adalah pria yang bersikap lembut hati kepada kaumnya, mencintai orang lain, dan lapang dada. Ia adalah orang Quraisy yang paling mengetahui nasab Quraisy, serta orang yang paling mengetahui keadaan kaum Quraisy, baik berupa kebaikan maupun keburukan.

 

Abu Bakar merupakan pedagang yang berakhlak baik. Para petinggi kaumnya biasa mendatangi dan berteman dengannya bukan hanya karena satu alasan, melainkan juga karena ilmunya, perdagangannya, dan bagusnya majelisnya. Ia berdakwah dan mengajak menuju Allah dan Islam siapa saja yang memercayainya baik dari kalangan kaumnya maupun orang-orang yang biasa datang kepadanya, kemudian bermajelis dengannya.

 

Orang-orang yang masuk Islam melalui dakwahnya adalah Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Abdurahman bin Auf, Saad bin Abu Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Kedelapan orang ini merupakan orang-orang yang mendahului siapa pun masuk Islam. Mereka pun mengerjakan shalat dan membenarkan Rasulullah,

 

Selanjutnya, orang yang masuk Islam adalah Abu Ubaidah bin Jarah, Aby Salamah bin Abd Asad, Arqam bin Abil Arqam, Utsman bin Mazh’un serta dua saudaranya, yakni Qudamah dan Abdullah, Ubaidah bin Harits, Sa‘id bin Zaid bin Amru serta istrinya; Fatimah adik Umar bin Khathab, Asma binti Abu Bakar, Aisyah binti Abu Bakar yang pada waktu itu masih kecil, Khabab bin Arat, Umair bin Abu Waqash, Abdullah bin Mas‘ud, Mas‘ud bin Qari, Salith bin Amru, Ayasy bin Abu Rabi‘ah serta istrinya; Asma binti Salamah, Khunais bin Hudzafah, Amir bin Rabi‘ah, Abdullah bin Jahsy serta saudaranya; Abu Ahmad, Jakfar bin Abu Thalib serta istrinya; Asma binti Umais, Hathib bin Harits serta istrinya; Fatimah binti Mujalal, begitu pula saudaranya; Hathab bin Harits yang juga bersama istrinya; Fukaihah binti Yasar, Ma‘mar bin Harits, Saib bin Utsman bin Mazh‘’un, Mutholib bin Azhar serta istrinya; Ramlah binti Abi Auf, Naham yang nama aslinya adalah Nu‘aim bin Abdullah, Amir bin Fuhairah, Khalid bin Sa‘id bin Ash serta istrinya; Aminah binti Khalaf, Hathib bin Amru, Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi‘ah, Waqid bin Abdullah, Khalid, Amir, Aqil, serta Ilyas; yang merupakan anak-anak Bukair bin Abdu Yalil, Amar bin Yasir, dan Shuhaib bin Sinan Rumi”.

 

Dakwah secara Terang-terangan

 

Manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam, berkelompok dan berombongan, baik dari kalangan pria maupun wanita, sampai Islam disebut-sebut secara meluas di Mekah dan menjadi bahan pembicaraan banyak orang.

 

Selanjutnya, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menampakkan misi risalahnya serta mulai berdakwah secara terang-terangan kepada publik, mengajak mereka kepada Islam. Jarak waktu antara Rasulullah memulai dakwah secara rahasia dengan perintah Allah untuk menampakkan dakwah adalah tiga tahun, dihitung sejak diutusnya beliau sebagai Nabi dan Rasul.

 

Lalu Allah berfirman,

 

“Tampakkanlah apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (Al-Hijr [15]: 94)

 

“Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikutimu. Kemudian jika mereka mendurhakaimu, katakanlah, ‘Sungguh aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Asy-Syu‘ara [26]: 214-216)

 

Dahulu para sahabat Rasulullah, apabila hendak mengerjakan shalat, mereka pergi ke pegunugan, lalu mereka merahasiakan shalat mereka dari pandangan kaum mereka. Suatu ketika Saad bin Abu Waqash sedang bersama salah satu rombongan sahabat Rasulullah di salah satu bukit kota Mekah. Tiba-tiba sekelompok kaum musyrik melihat mereka yang sedang mengerjakan shalat. Orang-orang musyrik itu mengingkari mereka dan mencela mereka atas apa yang mereka kerjakan itu, bahkan kaum musyrik menyerang mereka. Saad bin Abu Wagqash pada saat itu memukul seorang pria dari kalangan musyrikin dengan tulang rahang unta, hingga meretakkan kepalanya. Itulah darah pertama yang tertumpahkan dalam Islam.

 

Tatkala Rasulullah mulai menampakkan Islam kepada kaumnya dan memperlihatkannya sebagaimana perintah yang dititahkan Allah kepada beliau, kaumnya tidak menjauh dari beliau dan tidak membantah beliau, sampai beliau menyebut tuhan-tuhan mereka dan mencelanya. Tatkala beliau melakukan itu, mereka menganggap tindakan itu sebagai tindakan yang besar dan mereka mengingkarinya dengan keras. Mereka pun bersatu padu untuk menentang beliau dan memusuhi beliau, kecuali orang-orang yang dilindungi oleh Allah we di antara mereka dengan Islam, tetapi jumlah mereka ini hanya sedikit dan menyembunyikan diri.

 

Paman Rasulullah, Abu Thalib, menyayangi dan mengasihani beliau, melindungi beliau dan berdiri membela beliau. Rasulullah terus melaksanakan perintah Allah, menampakkan dakwah beliau dan tiada sesuatu pun yang dapat menolak itu. Tatkala kaum Quraisy melihat bahwa Rasulullah tidak mau diajak berkompromi dan menghentikan hal-hal yang mereka ingkari pada diri beliau, seperti sikap memisahkan diri dari mereka dan mencela tuhan-tuhan mereka, mereka juga mengetahui bahwa paman beliau, Abu Thalib, menyayangi beliau dan membela beliau sehingga tak pernah menyerahkan beliau kepada mereka. Oleh karena itu, sejumlah petinggi Quraisy datang menemui Abu Thalib, seraya berkata, “Wahai Abu Thalib, keponakanmu ini sudah mencaci-maki tuhan-tuhan kami, mencela agama kami, menganggap bodoh akal kami, menganggap sesat nenek moyang kami. Engkau harus menghentikan aksinya atau engkau harus menyerahkan ia kepada kami!” Abu Thalib menjawab omongan mereka ini dengan tutur kata yang lembut, menjawab mereka dengan jawaban yang indah, lalu mereka pun pergi meninggalkannya. .

 

Rasulullah terus menjalankan aksinya, menampakkan din Allah dan mengajak orang kepadanya. Kemudian terpecah-belahlah urusan antara beliau dengan mereka sehingga sekian banyak orang menjadi saling menjauh dan saling membenci. Kaum Quraisy kian sering memperbincangkan Rasulullah, lantas sebagian mereka menghasut sebagian lain untuk mencerca dan melawan beliau.

 

Mereka mendatangi Abu Thalib untuk kedua kalinya, lantas mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, engkau yang paling berumur, paling mulia, dan paling berkedudukan di antara kami. Kami sudah memintamu untuk menghentikan aktifitas keponakanmu ini, tetapi engkau tidak mau menghentikannya untuk mencerca kami. Kami, demi Allah, tidak mampu bersabar terhadap tindakannya mencaci maki nenek moyang kami, menganggap bodoh akal kami, mencerca tuhan-tuhan kami, sampai engkau melarangnya berbuat demikian pada kami. Atau kami akan pisahkan ia dari perlindunganmu sehingga salah satu dari dua kelompok yang berseteru ini binasa!”

 

Abu Thalib mengirim utusan untuk menemui Rasulullah seraya menyamaikan pesannya, “Wahai keponakanku, kaummu datang menemuiku dan mereka berkata kepadaku begini dan begitu seperti yang mereka katakan kepada Abu Thalib teguhkanlah diriku juga dirimu, jangan kau membebaniku dengan urusan yang aku tidak mampu memikulnya.”

 

Rasulullah menyangka bahwa pamannya sekarang sudah memutuskan untuk membiarkan beliau dan menyerahkan beliau kepada orang-orang kafir tersebut. Dan menyangka paman beliau sudah tak mampu lagi membantu beliau. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda,

 

“Wahai paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku mati di dalamnya.”

 

Kemudian Rasulullah mencucurkan air mata dan menangis. Lalu beliau berdiri. Tatkala beliau berpaling meninggalkan paman beliau, Abu Thalib memanggil beliau seraya berkata, “Kemarilah, wahai keponakanku.” Rasulullah datang menghadap kepada pamannya. Abu Thalib berkata, “Pergilah, wahai keponakanku, dan lakukanlah apa yang menurutmu benar. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan kamu dengan imbalan apa pun selama-lamanya.”

 

Tatkala kaum Quraisy mengetahui bahwa Abu Thalib tidak mau menelantarkan Rasulullah dan menyerahkan beliau, bahkan Abu Thalib bersatu dengan beliau untuk memisahkan mereka dalam persoalan ini dan memusuhi mereka, mereka pun mendatangi Abu Thalib dengan mengajak serta Umarah bin Walid bin Mughirah, lalu mereka berkata kepadanya, “Wahai Abu Thalib, ini adalah Umarah bin Walid, pemuda yang terkuat dan tertampan di antara pemuda Quraisy, ambillah ia menjadi anakmu, engkau pasti akan mendapat manfaat dari kecerdasan akalnya dan pertolongannya. Jadikanlah ia sebagai anakmu maka ia akan menjadi anakmu. Serahkan kepada kami keponakanmu itu karena ia telah menyelisihi agamamu dan agama nenek moyangmu, memecah belah kesatuan kaummu, membodohkan akal mereka, sungguh kami akan membunuhnya. Karena seorang pria harus dihadapi oleh pria juga!

 

Abu Thalib berkata, “Demi Allah, buruk tindakan yang kalian perintahkan terhadap diriku! Apakah kalian akan memberikan anak laki-laki kalian lantas aku harus memberi makan ia untuk kepentingan kalian, sedangkan aku harus memberikan anak laki-lakiku untuk kalian bunuh? Demi Allah, ini tidak akan pernah terjadi selama-lamanya!”

 

Muth‘im bin Adiy berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalib, kaummu telah bersikap objektif dan adil kepadamu. Mereka berusaha keras untuk bebas dari sesuatu yang kau benci. Mengapa aku melihatmu tidak mau menerima tawaran mereka sedikit pun!”

 

Abu Thalib menjawab kepada Muth‘im, “Demi Allah, mereka tidak bersikap adil kepadaku. Akan tetapi, kamu sudah menghimpun aksi penelantaran terhadap diriku dan penentangan kaum terhadap diriku. Lakukan apa yang hendak kau lakukan?”

 

Urusan menjadi semakin runyam, memanaslah perang, kaum Quraisy menjadi saling tuding dan menyalahkan, sebagian dari mereka membinasakan sebagian yang lain.

 

Kaum Quraisy pun mulai saling menyerang kabilah yang di dalamnya terdapat sahabat Rasulullah yang sudah masuk Islam bersama beliau. Masing-masing kabilah menyerang siapa saja kaum muslim yang ada di kabilah mereka, menyiksa serta memaksa mereka supaya keluar dari agama mereka. Pada saat itu, Allah melindungi Rasul-Nya dari tindak kekerasan mereka dengan adanya paman beliau, Abu Thalib.

 

Abu Thalib akhirnya turun tangan ketika melihat kaum Quraisy telah berani melakukan tindak kekerasan. Abu Thalib mengajak Bani Hasyim dan Bani Mutholib untuk melindungi Rasulullah dan bangkit membela beliau. Bani Hasyim dan Bani Mutholib bersatu dan berdiri bersama Abu Thalib. Mereka memenuhi ajakan Abu Thalib, kecuali Abu Lahab, si musuh Allah yang terlaknat.

 

Komentar Walid bin Mughirah tentang Al-Qur’an

 

Walid bin Mughirah merupakan poros berhimpunnya sejumlah orang Quraisy. Ia termasuk orang yang paling berumur di antara mereka. Kala itu, musim haji telah tiba, lantas ia berucap kepada kaum Quraisy, “Wahai sekalian orang Quraisy, musim haji telah tiba. Tamu-tamu dari penjuru negeri Arab akan berdatangan ke Mekah. Mereka telah mendengar berita tentang teman kalian ini (Muhammad). Satukanlah pendapat kalian, jangan kalian berselisih hingga sebagian kalian mendustakan sebagian yang lain. Jangan sampai pula omongan kalian saling membantah satu dengan lainnya.”

 

Orang-orang Quraisy berkata, “Engkau sendiri bagaimana, wahai Abu Abdu Syams? Katakan sesuatu dan sampaikan ide yang harus kami katakan nanti!”

 

Walid berkata, “Kalian yang harus bicara, aku mendengarkannya.” Orang-orang itu berkata, “Kami akan katakan bahwa Muhammad itu dukun.” Walid membantah, “Tidak, demi Allah, ia bukan dukun. Kami tahu bagaimana dukun. Muhammad tidak pernah merapal mantra dukun dan tidak pernah mengucapkannya!”

 

Orang-orang berucap, “Kalau begitu, bagaimana jika orang gila?” Walid membantah, “Ia bukan orang gila. Sungguh, kami tahu bagaimana perangai orang gila. Ia tidak pernah merasa tercekik, tidak pula terguncang jiwanya, tidak juga terlihat gelisah”

 

Mereka berkata, “Kami akan mengatakan bahwa ia adalah penyair.” Walid bin Mughirah kembali membantah, “Kami sudah mengetahui seluruh macam syair yang ada, baik yang berjenis rajaz, hazjah, maupun Quraizhah, yang menyedihkan maupun yang menyenangkan. Dan yang ia ucapkan itu bukanlah syair!”

 

Mereka berucap, “Tukang sihir?” Ibnu Mughirah berkata, “Ia bukan tukang sihir. Kami tahu bagaimana tukang sihir dan aksi sihir mereka. Muhammad tidak pernah meniup seperti tiupan mereka dan tidak pula mengikat benang sebagaimana mereka.”

 

Orang-orang Quraisy bertanya, “Lalu apa yang akan kau katakan, wahai Abu Abdu Syams?” Walid bin Mughirah berkata, “Demi Allah, ucapannya itu amat manis. Pokok ucapannya layaknya pohon kurma, sedang cabangnya adalah buahnya yang bisa dipetik. Tidaklah kalian mengucapkan kata-kata tadi, kecuali akan diketahui bahwa itu suatu kebohongan. Ucapan yang paling tepat untuknya adalah Tukang sihir. Ia mengucapkan perkataan yang mampu memisahkan seseorang dengan saudaranya, suami dengan istrinya, dengan keluarganya! Sebarkanlah ucapan ini. Duduklah kalian di jalan-jalan yang biasa dilewati oleh rombongan yang hendak berhaji. Jangan sampai ada satu orang pun yang lewat kecuali kalian menyampaikan ancaman tentang Muhammad. Kalian ceritakan pula keadaannya kepada mereka”

 

Sebab itulah, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang Walid bin Mughirah,

 

“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang telah Aku ciptakan sendiri Aku jadikan baginya harta yang banyak. Dan anak-anak yang selalu hadir menemaninya. Telah Kulapangkan baginya (rezeki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya. Kemudian ia sangat ingin agar Aku menambahinya, Sekali-kali tidak, sungguh ia menentang ayat-ayat Kami.” (Al-Muddatstsir [74]: 11-16)

 

Orang-orang pun menyebarkan kabar tentang Rasulullah itu kepada siapa saja yang mereka temui, hingga orang-orang Arab pada musim haji itu mengetahui perkara Rasulullah. Berita tentang beliau tersebar luas di seantero Arab.

 

Hal yang Dialami Rasulullah dari Kaumnya

 

Kaum Quraisy kian merasa urusan mereka bertambah pelik. Kesengsaraan senantiasa menimpa mereka, disebabkan aksi permusuhan terhadap Rasulullah, terlebih banyak yang masuk Islam dari kalangan mereka. Kaum Quraisy akhirnya menggerakkan orang-orang bodoh mereka supaya mendustakan beliau dan mengganggu beliau. Mereka menuduh beliau sebagai penyair, tukang sihir, dukun, bahkan gila. Namun, Rasulullah tetap kukuh menyiarkan perintah Allah, tidak menyembunyikannya. Rasul memperlihatkan kepada mereka apa yang mereka benci, berupa cercaan terhadap agama mereka, sikap beliau menyingkir dari berhala mereka, dan tindakan beliau memisahkan dari mereka dikarenakan kekafiran mereka.

 

Abdullah bin Amru bin Ash berkata,

 

“Aku hadir di majelis mereka. Suatu hari orang-orang mulia mereka berkumpul di Al-Hijr (Hijr Ismail). Lalu mereka memperbincangkan tentang Rasulullah Mereka berucap, ‘Kami berpendapat bahwa tidak selayaknya kami bersabar membiarkan urusan orang ini sama sekali. Ia menganggap bodoh akal kami, mencerca nenek moyang kami, mencela agama kami, memecah-belah kesatuan kami, bahkan memaki tuhan-tuhan kami. Sungguh, kami sudah lama bersabar terhadap masalah yang besar ini:

 

Ketika mereka masih memperbincangkan Rasulullah, tiba-tiba saja Rasulullah datang. Beliau berjalan kaki sampai menyentuh rukun Hajar Aswad. Kemudian beliau melewati mereka karena beliau melakukan tawaf mengelilingi Baitullah. Tatkala beliau melewati mereka, mereka saling mengedipkan mata sambil mempergunjingkan beliau dengan beberapa. Aku mengetahui hal itu tercermin pada rona wajah Rasulullah. Tatkala beliau lewat di tempat itu untuk kedua kalinya, mereka mengedipkan mata sambil mempergunjingkan beliau lagi. Aku mengetahui hal itu tercermin pada wajah Rasulullah. Kemudian beliau melewati mereka untuk ketiga kalinya, lalu mereka kembali melakukan hal itu. Rasulullah lantas berhenti dan bersabda, ‘Apakah kalian mendengar, hai sekalian orang Quraisy! Ketahuilah, demi Dzat Yang diriku ada di Tangan-Nya, aku pasti datang kepada kalian dengan sembelihan.”

 

Kata-kata Rasulullah ini pun membungkam mereka sehingga tiada seorang pun dari mereka kecuali seolah-olah ada burung hinggap di atas kepalanya. Bahkan orang yang tadinya paling pedas perkataannya di antara mereka, menjawab beliau dengan kata-kata paling indah. Orang tersebut berkata, “Silahkan meninggalkan tempat ini wahai Abul Qasim. Demi Allah, engkau bukanlah orang yang bodoh.”

 

Rasulullah meninggalkan tempat itu. Keesokan harinya, orang-orang itu kembali berkumpul di Hijr Ismail, kala itu aku bersama mereka. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Ingatkah kalian berita yang sampai kepada kalian dan omongan yang ia sampaikan kepada kalian? Dan ketika kalian sudah tahu siapa yang melakukan hal yang tidak kalian suka, apakah kalian akan mengabaikannya!?”

 

Tatkala mereka masih berbincang-bincang, tiba-tiba Rasulullah sudah di hadapan mereka. Mereka pun bersama-sama menyerbu beliau. Mereka mengepung beliau. Mereka berkata, “Kamukah yang mengatakan begini dan begitu…,” seraya menyebutkan berbagai celaan terkait tuhan dan agama mereka yang Rasulullah ucapkan. Rasulullah pun menjawab, “Ya. Akulah yang mengatakan itu.’

 

Abdullah bin Amru berkata, “Sungguh, aku benar-benar melihat salah seorang dari mereka menarik selendang Nabi” Ibnu Amru berkata, “Abu Bakar Ash Shiddiq pun bangkit membela Nabi. Ia menangis sambil berkata, ‘Apakah kalian hendak membunuh seorang pria yang berkata Tuhanku adalah Allah!”

 

Orang-orang itu pun bubar pergi meninggalkan Nabi. Sungguh, itu adalah peristiwa terdahsyat. Sebelumnya, aku belum pernah melihat Quraisy melakukan kekerasan terhadap beliau sama sekali.

 

Keislaman Hamzah

 

Seorang pria yang cerdas dan berpengalaman dari Kabilah Aslam bercerita kepadaku,

 

Suatu ketika, Abu Jahal melewati Rasulullah di Bukit Shafa. Lantas Abu Jahal menyakiti beliau dan mencerca beliau. Ia menimpakan terhadap diri beliau sesuatu yang beliau membencinya berupa celaan terhadap agama beliau dan pelecehan urusan beliau. Rasulullah tidak berbicara kepadanya. Bekas budak perempuan Abdullah bin Jud‘an yang berada di rumahnya dan ia mendengar cacian dan gangguan Abu Jahal tersebut. Kemudian Abu Jahal meninggalkan Nabi menuju ke salah satu majelis perkumpulan dari kalangan Quraisy, yang dihelat di dekat Kakbah, lalu ia duduk bersama mereka.

 

Tak lama kemudian, Hamzah bin Abdul Mutholib datang dengan menyandang busur panahnya. Ia baru saja pulang dari berburu. Ia dikenal sebagai ahli berburu, ia biasa memanah binatang buruannya dan keluar dari Mekah untuk berburu. Biasanya, apabila ia pulang dari perburuannya, ia tidak langsung menemui keluarganya sampai bertawaf di Kakbah terlebih dahulu. Apabila ia melakukan tawaf, ia tidak melewati satu majelis perkumpulan orang Quraisy kecuali ia pasti berhenti, mengucapkan salam, dan berbicara dengan mereka. Ia adalah pemuda Quraisy yang paling gagah dan paling mampu menahan dirinya dari kemarahan. Tatkala ia melewati kumpulan bekas budak, sedang Rasulullah sudah pulang ke rumahnya maka mantan budak perempuan tersebut berkata kepadanya, “Wahai Abu Umarah, andai engkau tadi melihat apa yang dialami keponakanmu, Muhammad, akibat perlakuan Abul Hakam bin Hisyam dan tentaranya yang ada di sini. Keponakanmu itu sedang duduk, dan tiba-tiba ia menyakiti dan memakinya. Abul Hakam mengucapkan kata-kata kebencian. Lalu ia pergi meninggalkan Muhammad sedang keponakanmu itu tidak berbicara sepatah kata pun kepada

 

Abu Jahal (Abul Hakam).”

 

Allah menghendaki kemuliaan atas diri Hamzah, kemarahan pun menguasainya, ia langsung pergi dan tergesa-gesa, tanpa berhenti di dekat siapa pun karena ia hendak menuju Abu Jahal, seseorang yang apabila ia bertemu dengannya nanti maka ia akan menghantamnya. Tatkala memasuki Masjidil Haram, Hamzah melihat Abu Jahal sedang duduk di tengah kaum Quraisy. Hamzah mendekatinya, sampai ia berdiri di dekat kepala Abu Jahal. Hamzah mengangkat busur panahnya dan memukulkannya ke tubuh Abu Jahal hingga menimbulkan luka serius. Sesaat kemudian Hamzah pun berkata, “Apakah kau juga akan mencercaku seperti Muhammad, jika aku mengatakan semua yang ia katakan? Balaslah diriku jika kamu mampu!”

 

Orang-orang dari kalangan Bani Makhzum langsung bangkit menyerbu Hamzah, untuk menolong Abu Jahal. Abu Jahal berkata, “Biarkanlah Abu Umarah. Demi Allah, aku telah mencaci-maki keponakannya dengan cacian yang amat buruk.” Hamzah menguatkan tekad keislamannya, berdasarkan apa saja yang ia ikuti dari Rasulullah. Tatkala Hamzah masuk Islam, kaum Quraisy tahu pasti bahwa Rasulullah sekarang sudah menjadi kuat dan terlindung. Hamzah pasti akan melindungi beliau. Mereka pun menahan diri dari tindak kekerasan yang ingin mereka lakukan terhadap beliau.

 

Rasulullah dan Pembesar Quraisy,

 

Komentar Utbah bin Rabi‘ah tentang Rasulullah

 

Diceritakan bahwa Utbah bin Rabi‘ah -ia adalah pemuka Quraisy pada suatu hari berkata sambil duduk di antara kumpulan kaum Quraisy, sedangkan Rasulullah pada waktu itu duduk di Masjidil Haram sendirian, “Wahai sekalian orang Quraisy, ketahuilah, aku akan datang kepada Muhammad. Aku akan berbicara kepadanya dan menawarkan sejumlah perkara, mudah-mudahan ia mau menerima sebagiannya, lalu kami berikan kepadanya apa saja yang ia kehendaki dan ia akan berhenti dari tindakannya menyerang kami!” Ucapan Utbah ini terjadi ketika Hamzah masuk Islam dan mereka melihat bahwa jumlah sahabat dan pengikut Rasulullah bertambah dan membanyak. Mereka berkata, “Benar, wahai Abul Walid. Temuilah ia dan bicaralah kepadanya’”’

 

Utbah bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan sampai duduk lagi di hadapan Rasulullah. Utbah berkata, “Wahai keponakanku, engkau di kalangan kami adalah sebagaimana yang kau ketahui. Engkau memiliki kemuliaan dalam keluarga, berkedudukan dalam nasab, dan engkau telah datang kepada kaummu dengan membawa urusan yang besar. Engkau memecah-belah kesatuan mereka, menganggap bodoh akal pikiran mereka, mencela orang-orang yang sudah mati dari kalangan nenek moyang mereka. Oleh karena itu, dengarkanlah omonganku, Aku akan menawarkan kepadamu sejumlah perkara yang engkau dapat memper. timbangkannya terlebih dahulu. Mudah-mudahan engkau menerima sebagiannya” Rasulullah berkata, “Katakanlah, wahai Abul Walid, aku siap mendengarkan”

 

Utbah berkata, “Wahai keponakanku, jika engkau menginginkan harta dengan tindakanmu ini, kami akan mengumpulkan harta kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya di antara kami. Jika engkau dengan tindakanmu ini menginginkan kemuliaan, kami akan menjadikan engkau sebagai pemimpin kami sehingga kami tidak memutuskan satu perkara pun tanpa persetujuanmu. Jika dengan tindakanmu ini engkau menginginkan kerajaan, kami akan menjadikanmu raja kami. Jika sesuatu yang datang kepadamu ini merupakan gangguan atau bisikan jin sedang engkau tak mampu menolaknya dari dirimu, kami akan mencari tabib dan kami akan dermakan harta kami sampai engkau sembuh darinya. Terkadang, seseorang bisa dikalahkan oleh jin sehingga ia perlu disembuhkan darinya.”

 

Rasulullah dengan seksama mendengarkan ucapan Utbah hingga selesai, kemudian beliau bertanya, “Apakah kau sudah selesai bicara, wahai Abul Walid?”

 

Utbah menjawab, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Sekarang, dengarkanlah perkataanku.” Utbah menjawab, “Ya, baiklah.” Rasulullah membaca ayat,

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Ha Mim. Al-Quran ini diturunkan dari Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam berbahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Sebagai pemberi kabar gembira dan penyampai ancaman, namun sebagian besar dari mereka berpaling, bahkan tidak mau mendengar. Mereka berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) dari apa yang kamu mengajak kami kepadanya.” (Fushshilat [41]: 1-5)

 

Kemudian Rasulullah terus membacakannya kepada Utbah. Tatkala Utbah mendengar bacaan Al-Qur’an itu dari beliau, ia pun terdiam karenanya. la meletakkan kedua tangannya di pundak Rasulullah, berpegangan pada keduanya untuk mendengarkan bacaan ayat Al-Qur’an. Kemudian, hingga pada ayat sajadah,” Rasulullah pun berhenti, kemudian bersujud. Selanjutnya, beliau bersabda, “Wahai Abul Walid, engkau telah mendengar sebagaimana yang kau dengar. Maka terserah padamu.”

 

Utbah bangkit menemui para sahabatnya. Mereka pun saling berucap satu sama lain, “Demi Allah, Abul Walid datang dengan rona wajah yang berbeda ketika kepergiannya tadi.” Tatkala Utbah duduk di majelis mereka, mereka bertanya, “Apa yang barusan terjadi padamu, hai Abul Walid?” Utbah menjawab, “Aku telah mendengarnya! Demi Allah, aku tidak pernah mendengar ucapan seperti itu sama sekali. Demi Allah, itu bukanlah syair, bukan sihir, bukan pula mantra perdukunan. Wahai sekalian orang Quraisy, taatilah aku dan ikutilah pendapatku. Biarkanlah pria ini (Muhammad) dengan apa yang ia lakukan selama ini dan menyingkirlah darinya. Demi Allah, perkataan yang kudengar ini pasti akan menjadi berita yang besar. Jika orang Arab berhasil mengalahkannya, hal itu sudah cukup untuk menghentikan yang lainnya. Tetapi jika ia berhasil mengalahkan orang Arab, sungguh kerajaannya akan menjadi kerajaan kalian pula, kemuliaan juga merupakan kemuliaan kalian, dan kalian akan menjadi manusia yang paling bahagia dengannya!”

 

Mereka berkata, “Demi Allah, wahai Abul Walid, ia telah menyihirmu dengan lisannya.” Utbah berkata, “Ini hanya pendapat dariku. Lakukan saja apa yang kalian inginkan!”

 

Dialog antara Rasulullah dengan Para Pemimpin Quraisy

 

Islam menjadi semakin tersebar luas di Mekah, terlebih di kalangan kabilah-kabilah Quraisy, baik pria maupun wanita. Kaum Quraisy berusaha menghalangi siapa pun yang berkeinginan masuk Islam, lalu melancarkan fitnah dengan sekuat tenaga di kalangan muslimin.

 

Sejumlah orang mulia dari kalangan Quraisy, dari setiap kabilah, seperti Utbah bin Rabi‘ah, Syaibah bin Rabi‘ah, Abu Sufyan bin Harb, Nadhr bin Harits, Abul Bakhtari bin Hisyam, Aswad bin Mutholib, Zam‘ah bin Aswad, Walid bin Mughirah, Abu Jahal bin Hisyam, Abdullah bin Abu Umayah, Ashi bin Wail, Nubaih bin Hajaj, Munabih bin Hajaj, dan Umayah bin Khalaf berkumpul setelah tenggelamnya matahari di belakang Kakbah. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lainnya, “Kalian utuslah orang untuk menemui Muhammad, lalu ajaklah ia bicara dan bantahlah omongannya sehingga kalian bisa mendapatkan alasan untuk menerimanya.”

 

Mereka pun mengirim orang kepada Muhammad untuk menyampaikan pesan, “Kalangan mulia dari kaummu sudah berkumpul untuk berbicara kepada. mu, datanglah menemui mereka.” Rasulullah datang menemui mereka dengan bergegas. Beliau menyangka bahwa mereka sudah mulai terbuka dan may menerima apa yang beliau katakan kepada mereka. Beliau sangat ingin dan senang bila mereka mendapat petunjuk, sedang kelaliman mereka itu membuat beliau sedih. Akhirnya, beliau duduk di majelis berhadapan dengan mereka. Mereka berkata kepada Rasulullah,

 

“Wahai Muhammad, kami mengutus orang untuk berbicara kepadamu. Demi Allah, kami tidak mengetahui seorang pun lelaki dari kalangan Arab membawa suatu perkara kepada kaumnya sebagaimana yang kau lakukan pada kaummu. Kamu telah memaki nenek moyang, mencela agama, mencaci maki tuhan-tuhan, menganggap bodoh akal, memecah-belah kesatuan, hingga tidak tersisa satu perbuatan buruk pun kecuali kamu sudah melakukannya dalam hubungan antara kami dengan kamu. Jika kamu menyampaikan cerita ini hanya karena kamu ingin mendapatkan harta, kami akan kumpulkan harta kami sehingga kamu menjadi orang yang paling banyak hartanya di antara kami. Jika engkau hanya menginginkan kemuliaan di tengah kami, kami akan menjadikanmu tuan yang memimpin kami. Jika engkau menginginkan kerajaan, kami akan mengangkatmu sebagai raja kami. Jika yang datang kepadamu ini adalah jin yang mengganggu yang menurutmu telah mengalahkan kamu -mereka menamai jin yang mengganggu manusia dengan Raiy maka barangkali yang terjadi demikian, kami akan mendermakan harta kami untuk mencari obat untukmu sehingga kami dapat menyembuhkanmu dari penyakit gangguan jin itu atau kami akan memaklumi keadaanmu.”

 

Rasulullah bersabda kepada mereka, “Tidak pantas bagiku melakukan apa yang kalian katakan itu. Aku datang bukan untuk sesuatu yang kalian tawarkan, bahwa aku menginginkan harta, kemuliaan, atau kerajaan yang memerintah kalian. Akan tetapi, Allah mengutusku kepada kalian sebagai seorang rasul, Ia menurunkan kepadaku kitab, memerintahku supaya aku menjadi penyampai kabar gembira dan pemberi ancaman. Sehingga, aku menyampaikan kepada kalian risalah-risalah Tuhanku dan aku menasihati kalian. Jika kalian menerima ajaran yang kubawa kepada kalian, itu menjadi bagian kalian di dunia dan akhirat. Jika kalian menolaknya, aku akan bersabar untuk menunggu perintah Allah, sampai Allah menetapkan hukum antara aku dan kalian.”

 

Para pemimpin dan orang-orang mulia Quraisy itu berucap, “Wahai Muhammad, jika engkau sama sekali tidak mau menerima apa yang kami tawarkan kepadamu, sungguh engkau pasti tahu bahwa tiada yang lebih sempit negerinya, lebih sedikit airnya, dan lebih berat kehidupannya daripada Negeri kami. Mintalah kepada Tuhanmu Yang mengutusmu dengan agamamu itu, supaya Ia menggerakkan gunung-gunung yang menyempitkan kami ini, melapangkannya bagi kami. Kemudian Ia mengalirkan sungai untuk kami sebagaimana sungai-sungai Syam dan Irak. Minta juga membangkitkan kembali orang-orang yang mati dari kalangan nenek moyang kami. Salah seorang yang dibangkitkan kembali itu hendaknya Qushay bin Kilab karena ia adalah syaikh yang jujur. Kami pun dapat bertanya kepada mereka tentang apa yang kau katakan, ‘Apakah hal itu merupakan kebenaran atau kebatilan?’ Jika mereka membenarkan kamu dan tentunya kamu melaksanakan apa yang kami minta itu maka kami akan memercayai kamu. Kami dapat mengetahui kedudukanmu di hadapan Allah bahwa Ia mengutusmu sebagai seorang rasul sebagaimana yang kau katakan!”

 

Nabi bersabda kepada mereka, “Bukan untuk itu aku diutus oleh Allah kepada kalian. Sungguh, aku mendatangi kalian hanya membawa misi yang Allah mengutusku untuk menyampaikannya. Aku telah sampaikan kepada kalian misi kerasulanku tersebut. Jika kalian menerimanya, itulah bagian kalian di dunia dan akhirat. Jika kalian menolaknya, aku akan bersabar karena perintah Allah , sampai Allah menetapkan hukum antara aku dan kalian.”

 

Para pembesar Quraisy berkata, “Apabila kamu tidak melakukan ini untuk kami, lakukanlah untuk kepentingan dirimu sendiri. Mintalah kepada Tuhanmu agar mengutus malaikat bersamamu yang membenarkan semua yang kau katakan dan dapat berkonsultasi dengan dirimu. Mintalah kepada-Nya, agar Ia menjadikan dirimu memiliki banyak kebun, istana, serta harta perbendaharaan berupa emas dan perak yang dapat membuatmu kaya sehingga kamu tidak perlu bekerja keras seperti yang kami lihat, tidak perlu berjual-beli di pasar sebagaimana kami lakukan, atau mencari penghidupan sebagaimana kami mencarinya. Dengan begitu, kami mengetahui keutamaanmu dan kedudukanmu di hadapan Tuhanmu, jika engkau adalah seorang Rasul sebagaimana pengakuanmu.”

 

Rasulullah berkata kepada para pemimpin Quraisy itu, “Aku tidak pantas melakukan itu. Aku tidak layak meminta kepada Tuhanku semua permintaan itu.

 

Aku tidak diutus kepada kalian dengan ini. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Jika kalian menerima misi yang kusampaikan, hal itu menjadi bagian kalian di dunia dan akhirat. Jika kalian menolaknya, aku akan bersabar karena perintah Allah, sampai Allah menetapkan hukum antara aku dan kalian.”

 

Mereka berkata lagi, “Jatuhkanlah satu potongan langit kepada kami, sebagaimana asumsimu bahwa Tuhanmu, apabila Ia berkehendak, pasti akan melakukannya. Kami tidak akan beriman kepadamu kecuali kamu bisa melakukannya.”

 

Rasulullah bersabda kepada mereka, “Mintalah itu kepada Allah. Jika la menghendaki, niscaya la pasti melakukannya kepada kalian.”

 

Para pemuka Quraisy itu kembali berkata, “Wahai Muhammad, bukankah Tuhanmu telah mengetahui bahwa kami akan duduk bersamamu, lalu meminta dan menuntut darimu semua yang kami sebutkan tadi? Sehingga Ia mendatangimu, kemudian mengajarimu cara menjawabnya dan memberitahumu apa yang akan Ia lakukan kepada kami, apabila kami tidak menerima ajaran yang kau bawa! Sungguh, telah sampai berita kepada kami bahwa yang mengajarimu adalah seorang lelaki dari Yamamah yang bernama Ar-Rahman.” Demi Allah, kami tidak akan beriman kepada Ar-Rahman selama-lamanya. Wahai Muhammad, kami telah menyampaikan alasan keberatan kami kepadamu. Demi Allah, kami tidak akan membiarkan kamu dan ajaran yang kau sampaikan ini kepada kami, sampai kami membinasakanmu atau kamu yang membinasakan kami!”

 

Juru bicara kaum kafir berkata, “Kami menyembah para malaikat, karena mereka adalah anak-anak perempuan Allah!”

 

Mereka berkata lagi, “Kami tidak akan beriman kepadamu sampai kamu benar-benar mempertemukan kami dengan Allah dan para malaikat”

 

Tatkala mereka mengucapkan kata-kata ini kepada Rasulullah, beliau pun serta merta bangkit berdiri meninggalkan mereka: Abdullah bin Abu Umayah bin Mughirah turut bangkit menyertai beliau, ia merupakan anak bibi beliau (saudara sepupu beliau). Ia berkata, “Wahai Muhammad, kaummu menawarkan beberapa tawaran kepadamu, tetapi engkau tidak menerima tawaran mereka.

 

Kemudian mereka meminta untuk diri mereka beberapa hal, yang dengan dikabulkannya permintaan itu mereka dapat mengetahui kedudukanmu di hadapan Allah sebagaimana yang engkau katakan sehingga mereka membenarkan dan mengikutimu, tetapi engkau tidak melakukannya. Kemudian mereka pun memintamu supaya engkau meminta untuk dirimu sendiri sehingga mereka mengetahui kelebihanmu atas mereka dan kedudukanmu di hadapan Allah, tetapi engkau juga tidak melakukannya. Demi Allah, aku tidak akan beriman kepadamu selama-lamanya, sampai kamu bisa membuat tangga ke langit, lalu engkau menaikinya, sedangkan aku melihatmu ketika engkau melakukannya; kemudian datang bersamamu empat malaikat yang bersaksi untukmu bahwa engkau benar-benar sebagaimana yang kau katakan. Demi Allah, jika engkau mampu melakukan itu, aku rasa aku akan membenarkan dan memercayaimu!”

 

Kemudian ia pergi meninggalkan Rasulullah. Rasulullah pun pulang menemui keluarga beliau dalam keadaan sedih dan menyayangkan peristiwa itu, karena beliau kehilangan kesempatan emas untuk mewujudkan apa yang sangat beliau harapkan bisa terjadi pada kaumnya ketika beliau mendakwahi mereka, dan karena beliau melihat sikap mereka yang menjauhkan diri dari beliau.

 

Tindakan Abu Jahal

 

Tatkala Rasulullah berdiri meninggalkan mereka, Abu Jahal berkata, “Wahai sekalian orang Quraisy! Muhammad enggan melakukan apa pun kecuali mencela agama kami, mencaci maki nenek moyang kami, menganggap bodoh akal kami, dan mencerca tuhan-tuhan kami. Sungguh, aku berjanji kepada Allah, esok pagi aku akan menantinya dengan membawa batu besar yang aku kuat memikulnya. Apabila Muhammad bersujud ketika shalat, akan kutimpakan batu itu ke kepalanya. Aku tidak peduli, apakah pada waktu itu kalian akan menyerahkanku ataukah melindungiku. Aku juga tidak peduli tindakan apa pun yang akan dilakukan oleh Bani Abd Manaf!”

 

Mereka berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu apa pun alasannya, lakukanlah apa yang kau inginkan!”

 

Tatkala memasuki waktu pagi, Abu Jahal mengambil batu, sebagaimana yang ia terangkan, kemudian ia duduk menunggu kedatangan Rasulullah. Rasul datang sebagaimana biasanya, pada waktu pagi. Beliau tinggal di Mekah, sedang kiblat shalat pada waktu itu ke arah Syam. Bila mengerjakan shalat, beliau biasanya mengerjakannya di antara dua rukun; rukun Yamani dan rukun Hajar Aswad. Kakbah ditempatkan di antara beliau dengan Syam.

 

Rasulullah tampak berdiri mengerjakan shalat sedangkan orang-orang Quraisy sudah berjaga sejak pagi, sementara mereka duduk-duduk di tempat biasa mereka berkumpul, menunggu Abu Jahal bertindak. Tatkala Rasulullah bersujud, Abu Jahal mengangkat batu, kemudian berjalan menuju arah Nabi, Namun, saat ia berada di posisi paling dekat dengan Nabi, tiba-tiba saja Abu Jahal mundur dalam keadaan ketakutan, bahkan rona mukanya menjadi pucat ketakutan. Padahal kala itu, ia sudah memegang batu besar dengan kedua tangannya, namun kemudian batu itu tercampakkan dari tangannya.

 

Sejumlah pria Quraisy datang menghampirinya lalu bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, hai Abul Hakam?” Abu Jahal menjawab, “Aku tadi berdiri tegak hendak melakukan apa yang kukatakan kepada kalian tadi malam. Tatkala aku mendekati Muhammad, tiba-tiba saja seekor unta jantan yang sangat besar menghadang dan menghalangiku dari Muhammad. Demi Allah, aku belum pernah melihat unta jantan yang lebih besar dan memiliki punuk serta gigi yang besar dan kuat seperti unta tersebut. Unta itu hendak menyerangku dan hampir saja memakanku!” ,

 

Berita Nadhr bin Harits

 

Tatkala Abu Jahal menceritakan pengalaman dahsyatnya itu kepada kaum Quraisy, Nadhr bin Harits bangkit dan berkata, “Wahai sekalian orang Quraisy! Demi Allah, kalian telah menghadapi suatu urusan besar yang kalian tidak berdaya untuk mengelakkannya. Dahulu Muhammad adalah seorang pemuda yang paling kalian ridhai, paling jujur omongannya, dan paling tinggi rasa amanahnya di antara kalian. Namun, ketika ia mulai dewasa dan beranjak tua, ia datang kepada kalian dengan apa yang ia bawa, lantas kalian berkata, ‘Ia tukang sihir!’ Tidak, demi Allah, ia bukan tukang sihir. Kami telah mengetahui sihir, bagaimana hembusan mereka dan buhul-buhul mereka. Kalian mengatakan, ‘Ia seorang penyair: Tidak, demi Allah, ia bukan penyair! Kami tahu betul bagaimana syair, kami pun telah mendengar semua jenis syair yang ada; baik prosa maupun puisinya. Kalian mengatakan, ‘Ia orang gila, terkena gangguan jin!’ Tidak, demi Allah, ia bukanlah orang yang terkena gangguan jin. Ia tidak pernah tercekik oleh jin, tidak terkena bisikannya, tidak pula terkena campur tangannya. Wahai sekalian orang Quraisy, perhatikanlah keadaan kalian! Demi Allah, kalian telah menghadapi suatu urusan yang besar!”

 

Nadhr bin Harits termasuk salah satu setan Quraisy. Ia juga salah seorang yang menyakiti Rasulullah dan menancapkan bendera permusuhan terhadap beliau. Ia pernah datang ke Hirah, di sana ia mempelajari kisah-kisah raja Persia, serta cerita tentang Rustum dan Isfandiyar. Aksi Nadhr, tatkala Rasulullah beranjak pergi dari suatu majelis yang mana beliau menyebut Allah, kemudian menyampaikan ancaman kepada kaumnya dengan siksa Allah yang menimpa umat-umat sebelumnya, Nadhr segera duduk menggantikan Rasulullah, lalu berkata, “Demi Allah, wahai orang-orang Quraisy, aku mempunyai cerita yang lebih bagus dari ceritanya. Marilah mendekat kepadaku. Aku akan ceritakan kepada kalian kisah yang lebih bagus daripada kisah yang ia tuturkan.” Lalu Nadhr menceritakan kepada mereka kisah tentang raja-raja Persia, Rustum, dan Isfandiyar, lantas berucap, “Atas dasar apa cerita Muhammad lebih bagus daripada ceritaku?”

 

Ibnu Abbas berkata, “Diturunkanlah delapan ayat dari Al-Qur’an berkenaan Nadhr bin Harits. Allah berfirman,

 

‘“Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, ‘Ini adalah cerita orang-orang terdahulu.” (Al-Qalam [68]: 15)

 

Sungguh, semua yang disebutkan oleh Nabi merupakan cerita-cerita dari AlQur’an!

 

Permusuhan Musynikin terhadap Islam

 

Mereka memusuhi semua orang yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah dari kalangan sahabat beliau. Masing-masing kabilah menyerang siapa saja yang masuk Islam dari anggota kabilahnya. Mereka menahan orang-orang yang masuk Islam itu, menyiksa mereka dengan dipukuli, dibiarkan kelaparan dan kehausan, serta disiksa dengan dipanaskan di tanah yang terkena terik panas matahari di Mekah. Kaum dhuafa di antara mereka disiksa agar keluar dari agama mereka. Di antara mereka ada yang disiksa dengan siksaan yang sangat dahsyat. Ada pula yang disalib. Allah melindungi Nabi dari mereka.

 

Bilal adalah budak yang dimerdekakan Abu Bakar. Dahulunya Bilal adalah budak milik salah seorang dari kalangan Bani Jumah. Ia menjadi salah satu anak yang dilahirkan oleh budak mereka. Ia bernama Bilal bin Rabah. Nama ibunya adalah Humamah. Bilal membenarkan Islam dan suci hatinya. Umayah bin Khalaf bin Wahab bin Hudzafah bin Jumah, menyuruhnya keluar pada waktu zhuhur menyengat panasnya, lalu ia dicampakkan beralaskan punggungnya di tanah berpasir dan berkerikil. Ia memerintahkan seseorang untuk mengambil sebongkah batu yang besar lalu diletakkan di atas dada Bilal, lalu ia berkata kepadanya, “Demi Allah, kamu akan terus menerus disiksa seperti ini sampai kamu mati atau kamu kafir terhadap Muhammad dan kembali menyembah Latta dan Uzza!”

 

Bilal berkata ketika ia masih disiksa seperti itu, “Ahad… Ahad..!” Waraqah bin Naufal melewatinya ketika ia sedang menjalani penyiksaan itu, dan Bilal terus ~ berkata, “Ahad.. Ahad..!”

 

Waraqah berkata, “Ahad.. Ahad..! Demi Allah, hai Bilal!” Kemudian Waraqah menghadap Umayah bin Khalaf dan orang yang menyiksa Bilal dari kalangan Bani Jumah. Waraqah berkata, “Aku bersumpah demi Allah, jika kalian membunuh ia dengan cara seperti ini, aku akan mengusap tubuhnya untuk mendapatkan berkah!”

 

Hingga suatu hari, Abu Bakar Ash-Shidiq melewati tempat itu ketika mereka sedang menyiksa Bilal. Abu Bakar berkata kepada Umayah bin Khalaf, “Tidakkah kamu takut kepada Allah karena menyiksa orang yang malang ini, sampai kapan siksaan ini!” Umayah berkata, “Kamu yang telah merusaknya. Selamatkan ia dari keadaan ini!”

 

Abu Bakar berkata, “Baik, akan kulakukan! Aku punya budak berkulit hitam yang lebih kekar dan kuat daripada ia. Budak tersebut menjalani agamamu, akan kuberikan ia kepadamu.’? Umayah menjawab, “Baik, kuterima.” Abu Bakar berkata, “fa jadi milikmu” Abu Bakar Ash-Shidiq a memberikan budaknya kepada Umayah dan mengambil Bilal sebagai gantinya. Lantas Abu Bakar memerdekakan Bilal.

 

Abu Bakar juga memerdekakan enam budak yang lainnya layaknya Bilal karena Islam, sebelum ia berhijrah ke Madinah. Bilal merupakan budak ketujuh yang ia merdekakan. Mereka di antaranya, Amir bin Fuhairah, Ummu Ubais, dan Zinirah. Tatkala Abu Bakar memerdekakan Zinirah, ia mengalami cedera pada matanya hingga membutakannya. Kaum Quraisy berkomentar, “Tiada yang menjadikan matanya buta kecuali Latta dan Uzza!” Zinirah membantah, “Bodoh! Demi Baitullah, Latta dan Uzza tidak dapat menimpakan mudharat dan tidak dapat memberi manfaat!” Lalu Allah mengembalikan penglihatannya.

 

Abu Bakar juga memerdekakan Nahdiah dan anak perempuannya. Keduanya sebelumnya merupakan budak perempuan milik seorang wanita dari Bani Abdudar. Abu Bakar melewati mereka berdua ketika majikan mereka menyuruh untuk menumbuk gandum sambil berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memerdekakan kalian berdua selamanya!” Abu Bakar a berkata, “Langgarlah sumpahmu, hai Ummu Fulan!” Majikan perempuan itu berucap, “Melanggar sumpah? Kamu yang merusak mereka berdua, merdekakanlah keduanya!” Abu Bakar bertanya, “Berapa harga mereka berdua?” Perempuan itu menjawab, “Sekian, sekian” Abu Bakar berkata, “Aku telah membeli mereka berdua! Sekarang keduanya bebas merdeka. Kalian kembalikan alat penumbuk gandum miliknya itu!” Keduanya berkata, “Kami selesaikan dulu menumbuk gandumnya, wahai Abu Bakar. Setelah itu, barulah kami akan mengembalikannya kepadanya.” Abu Bakar menjawab, “Ya, terserah kalian saja””

 

Suatu hari Abu Bakar melewati seorang budak perempuan Bani Muammal yang sudah masuk Islam. Umar bin Khathab sedang menyiksanya agar mau meninggalkan Islam, ketika itu Umar masih musyrik. Umar terus memukulinya sampai Umar bosan dan kelelahan. Umar berkata, “Aku beritahukan kepadamu, tidaklah aku menghentikan penyiksaan ini, kecuali karena bosan!” Budak perempuan itu menjawab, “Begitulah, Allah menghendaki dirimu demikian!” Abu Bakar lalu membeli budak itu dan memerdekakannya.

 

Abu Quhafah berkata kepada Abu Bakar, “Anakku, selama ini aku melihatmu memerdekakan budak-budak yang lemah dan tak berdaya. Alangkah baiknya jika kamu memerdekakan budak-budak laki-laki yang kuat, supaya mereka dapat melindungimu dan membelamu!” Abu Bakar berkata, “Ayahandaku, sungguh yang kuinginkan hanyalah Allah.”

 

Bani Makhzum menyeret keluar Amar bin Yasir beserta bapak dan ibunya. Mereka merupakan satu keluarga yang telah memeluk Islam. Saat itu adalah tengah hari yang panas dan terik. Mereka menyiksa keluarga itu di tanah berpasir panas dan berbatu kerikil di Mekah. Rasulullah melewati mereka seraya bersabda,

 

“Bersabarlah wahai keluarga Yasir, tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah Surga!”

 

Ibu Amar akhirnya dibunuh oleh orang-orang kafir itu karena ia tidak mau menjalani agama selain Islam.

 

Abu Jahal, si fasik yang suka menghasut orang lain di kalangan orang-orang Quraisy, apabila mendengar orang yang masuk Islam, yang mempunyai kemuliaan dan perlindungan. Ia akan selalu memperingatkan dan menghinakannya, seraya berkata, “Kamu meninggalkan agama nenek moyangmu padahal itu lebih baik bagimu! Kami benar-benar akan menganggap bodoh akalmu, melecehkan kecerdasanmu, dan kami akan merendahkanmu!”

 

Jika orang yang masuk Islam itu adalah pedagang, Abu Jahal berkata, “Demi Allah, kami pasti akan membangkrutkan perdaganganmu dan menghancurleburkan hartamu!”

 

Jika yang masuk Islam adalah orang yang lemah dan tak berdaya, Abu Jahal menghasutnya.

 

Dari Sa‘id bin Jubair, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas, ‘Apakah dahulu orang-orang musyrik itu menyiksa para sahabat Rasulullah dengan siksaan yang amat berat sehingga mereka harus beralasan untuk meninggalkan agama mereka?’”

 

Ibnu Abbas berkata, “Ya, demi Allah. Sungguh mereka memukuli salah seorang muslim, menjadikannya kelaparan, membuatnya kehausan, sampai ia tidak mampu duduk karena beratnya siksaan dan mudharat yang ditimpakan terhadapnya, sampai ia mau memberikan apa yang mereka minta berupa fitnah. Apabila mereka berkata kepadanya, “Bukankah Latta dan Uzza itu tuhanmu selain Allah?’ Ia harus menjawab, “Ya? Bahkan ketika seekor kumbang lewat kepada mereka, lantas orang-orang kafir berkata kepadanya, ‘Apakah kumbang ini adalah tuhanmu selain Allah?’ Ia pun harus menjawab, ‘Ya’ Sekadar sebagai tebusan bagi mereka karena mereka telah menyiksanya hingga batas kemampuannya.”

 

Hijrah Pertama ke Habasyah

 

Tatkala Rasulullah melihat apa yang menimpa sahabat-sahabat beliau, berupa penyiksaan yang luar biasa. Sedangkan beliau sendiri masih sehat dan selamat karena kedudukan beliau yang dianugerahkan oleh Allah, serta karena perlindungan paman beliau, Abu Thalib. Rasulullah juga merasa tidak mampu melindungi mereka dari penyiksaan kaum kafir. Rasulullah pun bersabda kepada mereka, “Bagaimana jika kalian pergi ke negeri Habasyah? Di sana ada raja yang tiada seorang pun yang dizalimi di hadapannya. Itu adalah negeri kejujuran. Menetaplah sampai Allah memberi kalian kelonggaran dari apa yang menerpa kalian sekarang ini.” Lantas berangkatlah kaum muslim ke negeri Habasyah karena khawatir terpaan fitnah terhadap diri mereka, sebagai bentuk melarikan diri kepada Allah dengan membawa serta agama mereka. Itulah hijrah pertama yang dilakukan dalam Islam.

 

Orang pertama yang berangkat ke sana dari kalangan muslimin adalah Utsman bin Affan bersama istrinya; Rugayah binti Rasulullah Abu Hudzaifah bin Utbah bersama istrinya; Sahlah binti Suhail, Zubair bin Awam, Mush’ab bin Umair, Abdurahman bin Auf, Abu Salamah bin Abd Asad dan istrinya; Ummu Salamah binti Abu Umayah, Utsman bin Mazh‘un, Amir bin Rabi‘ah bersama istrinya; Laila binti Abu Hatsmah, Abu Sabrah bin Abu Ruhem, dan Suhail bin Baidha. Sepuluh pria inilah yang menjadi orang-orang pertama yang berhijrah ke negeri Habasyah.

 

Kemudian Jakfar bin Abu Thalib a menyusul berangkat ke Habasyah, diikuti kaum muslim yang lainnya hingga mereka berkumpul di negeri Habasyah. Mereka tinggal di sana. Di antara mereka ada yang berhijrah bersama keluarganya, ada pula yang berhijrah sendirian; tidak bersama istri atau keluarganya.

 

Jumlah semua orang yang menyusul hijrah ke negeri Habasyah dan orang yang sudah berhijrah ke sana lebih dahulu, tidak termasuk anak-anak mereka —karena sebagian dari mereka mengajak serta anaknya dan ada pula anak yang dilahirkan di sana adalah delapan puluh tiga orang.

 

Utusan Quraisy ke Habasyah guna Meminta Dikembalikannya Muhajirin

 

Tatkala kaum Quraisy melihat bahwa para sahabat Rasulullah mendapatkan keamanan dan hidup tenteram di negeri Habasyah, juga mendapatkan rumah dan tempat tinggal di sana, mereka pun bersepakat mengutus dua orang Quraisy yang kuat kemampuan diplomasinya untuk menemui Najasyi. Tujuan perutusan ini adalah agar Raja Najasyi bersedia mengembalikan orang-orang muslim Mekah yang berada di sana kepada kaum Quraisy, sehingga bisa kembali ditekan agar mau keluar dari agama Islam. Tujuan lain adalah agar Raja bersedia mengusir orang-orang muslim dari negeri yang memberi mereka tempat tinggal dan jaminan keamanan. Quraisy mengutus Abdullah bin Abu Rabi‘ah dan Amru bin Ash bin Wail. Mereka mengumpulkan berbagai macam hadiah untuk dibawa dua orang utusan itu dan dipersembahkan kepada Raja Najasyi dan patrik-patriknya.

 

Dari Ummu Salamah binti Abu Umayah bin Mughirah, istri Rasulullah, ia berkata, “Tatkala kami tinggal di negeri Habasyah, kami bertetangga dengan sebaik-baik tetangga, yakni Raja Najasyi. Kami mendapatkan jaminan keamanan untuk menjalankan agama kami. Kami menyembah Allah tanpa disakiti dan diganggu. Kami tidak pernah mendengar ucapan yang tidak kami sukai. Tatkala keadaan kami ini sampai kepada kaum Quraisy, mereka langsung bersekongkol| mengutus dua orang yang kuat diplomasinya kepada Najasyi, serta memberi hadiah. hadiah yang mewah berupa barang-barang Mekah kepada Najasyi. Hadiah yang paling disukai dan dikagumi oleh Najasyi adalah kulit binatang, sehingga mereka mengumpulkan kulit binatang dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka tidak bertemu seorang patrik pun kecuali mereka juga memberikan hadiah kepadanya. Selanjutnya, mereka mengutus Abdullah bin Rabi‘ah dan Amru bin Ash berangkat ke Habasyah dengan membawa semua hadiah tersebut dan memerintahkan mereka berdua untuk menjalankan perintah mereka.

 

Mereka berpesan kepada kedua utusan tersebut, ‘Berikan hadiah kepada semua patrik sebelum kalian berdua berbicara kepada Najasyi tentang urusan orang-orang Islam itu. Lalu berikanlah kepada Najasyi hadiah-hadiahnya, lalu mintalah ia agar menyerahkan orang-orang Islam itu kepada kalian berdua, sebelum Najasyi berbicara kepada mereka.”

 

Ummu Salamah meneruskan tuturan kisahnya, “Kedua utusan itu pun berangkat hingga menemui Raja Najasyi. Ketika itu, kami hidup di sebaik-baik negeri dan bertetangga dengan sebaik-baik tetangga. Tidak ada satu patrik pun dari sekian banyak patrik Najasyi kecuali mereka berdua memberikan hadiah kepadanya sebelum keduanya berbicara kepada Najasyi. Keduanya berkata kepada setiap patrik yang ditemui, “Di negeri Raja Najasyi ini, ada sejumlah anak muda kami yang bodoh yang meminta perlindungan. Mereka meninggalkan agama kaum mereka bukan untuk memeluk agama kalian. Mereka datang dengan membawa agama bid‘ah, kami tidak mengenalnya, begitu juga dengan kalian. Kami diutus oleh kaum kami, yang di antara mereka terdapat orang-orang mulia dari kaum kami, untuk menemui Raja, meminta agar Raja berkenan mengembalikan anak-anak muda bodoh itu kepada mereka. Nanti apabila kami berbicara tentang mereka kepada Raja, tolong bujuklah Raja agar mau menyerahkan mereka kepada kami. Jangan berbicara kepada mereka karena kaum mereka itu lebih mengetahui keadaan mereka dan lebih mengetahui celaan yang mereka sampaikan terhadap mereka. Patrik-patrik itu pun menjawab kepada keduanya, “Ya-”

 

Selanjutnya, mereka berdua juga mempersembahkan kepada Raja Najasyi hadiah-hadiah yang diperuntukkan baginya. Najasyi menerimanya, lantas keduanya berkata kepada Najasyi, “Wahai Baginda Raja, telah datang berlindung ke negerimu ini sejumlah anak muda yang bodoh dari kaum kami. Mereka meninggalkan agama kaum mereka, tetapi bukan untuk memeluk agama Anda. Mereka datang dengan membawa agama bid‘ah yang baru, baik kami maupun Anda tidak mengenalnya. Orang-orang mulia dari kalangan kaum mereka, yakni bapak, paman, bahkan keluarga besar mereka telah mengutus kami untuk menghadap dan meminta agar Anda berkenan mengembalikan mereka kepada kaum mereka tersebut, sebab kaum mereka lebih mengetahui kondisi mereka, begitu pula celaan serta cercaan yang orang-orang tersebut alamatkan kepada kaumnya.”

 

Ummu Salamah melanjutkan tuturan kisahnya, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih dibenci oleh Abdullah bin Abu Rabi‘ah dan Amru bin Ash daripada bila An-Najasyi mendengar omongan orang-orang Islam itu.” Ummu Salamah bertutur lagi, “Patrik-patrik yang ada di sekelilingnya berkata, “Kedua orang ini berkata benar, wahai Raja. Kaum mereka lebih mengetahui keadaan mereka dan lebih tahu cercaan yang mereka alamatkan kepada mereka. Oleh karena itu, serahkanlah kepada mereka berdua, supaya keduanya dapat mengembalikan orang-orang Islam itu ke negeri mereka dan kepada kaum mereka:

 

Ummu Salamah bertutur lagi, “Najasyi marah. Kemudian ia berkata, ‘Tidak, demi Allah. Kalau begitu, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kedua orang ini. Tidak sepantasnya sejumlah orang yang bertetangga denganku, tinggal di negeriku, memilihku daripada yang lain ini kuperlakukan seperti itu! Aku akan memanggil mereka, lalu akan kutanyakan perihal yang dikatakan dua orang ini berkenaan dengan urusan mereka. Jika keadaan mereka seperti yang dikatakan kedua orang ini, aku akan serahkan mereka kepada keduanya, dan akan kukembalikan mereka kepada kaum mereka. Akan tetapi, jika keadaan mereka tidak seperti itu, aku akan melindungi mereka dari keduanya. Aku akan memperlakukan mereka dengan baik sebagai tetangga, sebagaimana mereka menjadikan aku sebagai tetangga.”

 

Ummu Salamah meneruskan ceritanya, “Raja Najasyi segera mengirim utusan untuk menemui para sahabat Rasulullah seraya mengundang mereka. Tatkala utusan Najasyi datang menemui mereka, mereka berkumpul. Lalu sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lainnya, ‘Apa yang akan kalian katakan kepada pria itu (Najasyi) ketika kalian datang menghadap kepadanya nanti?’ Mereka menjawab, ‘Kami katakan, “Demi Allah, kami tidak tahu. Apa yang diperintahkan oleh Nabi kami kepada kami itu akan terjadi dalam hal itu apa yang terjadi” Tatkala mereka datang, ternyata Najasyi sudah memanggil para uskupnya. Lalu uskup-uskup itu membuka mushaf mereka di sekeliling Najasyi. Najasyi bertanya kepada para sahabat Nabi dengan berkata, ‘Agama apa yang kalian tinggalkan, sedang kalian juga tidak hendak masuk ke dalam agamaku, tidak juga akan masuk ke agama seorang pun dari kelompok-kelompok ini?”

 

Orang yang diajak bicara oleh Raja Najasyi adalah Jakfar bin Abu Thalib, ia pun berkata kepada Sang Raja, “Wahai Baginda Raja, kami dulu adalah suatu kaum yang berlaku jahiliah, kami menyembah patung, memakan bangkai, mengerjakan perbuatan keji, memutus hubungan keluarga, bersikap buruk terhadap tetangga, dan yang kuat menindas yang lemah. Kami terus berada dalam keadaan itu, sampai Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami. Kami mengetahui nasab Sang Rasul, kejujuran, amanat, serta keperwiraan dirinya. Lalu Rasul itu mengajak kami kepada Allah, supaya kami mengesakan-Nya, menyembah-Nya, dan meninggalkan apa yang kami dan nenek moyang kami sembah, berupa batu dan berhala. Rasul tersebut menyuruh kami untuk berkata jujur, menunaikan amanat, menyambung hubungan keluarga, berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari keharaman dan penumpahan darah. Selain itu, Sang Rasul juga melarang kami dari perbuatan keji, perkataan dusta, memakan harta anak yatim, menuduh zina perempuan yang menjaga dirinya. Rasul itu memerintahkan supaya kami hanya menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Beliau menyuruh kami untuk mengerjakan shalat, membayarkan zakat, dan berpuasa.”

 

Ummu Salamah berkata, “Selanjutnya, Jakfar menyebutkan sejumlah urusan Islam, ‘Kami membenarkan beliau dan kami beriman kepada beliau. Kami juga mengikuti beliau atas risalah yang beliau bawa dari Allah. Kami menyembah Allah Yang Esa, kami tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Kami mengharamkan apa yang diharamkan Allah atas kami, dan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah bagi kami. Kemudian kaum kami memusuhi kami. Mereka menyiksa dan memfitnah kami supaya keluar dari agama kami, supaya mereka dapat mengembalikan kami kepada penyembahan berhala dan meninggalkan penyembahan kepada Allah, supaya kami menghalalkan apa yang dulu kami halalkan, berupa perbuatan keji dan mesum. Tatkala mereka memaksa, menzalimi, menyempitkan ruang gerak kami, dan menghalangi kami mempraktikkan agama kami, sehingga kami pergi berhijrah ke negeri Anda. Kami memilih Anda daripada orang selain Anda. Kami ingin bertetangga dengan Anda. Kami berharap, kami tidak akan dizalimi di hadapan Anda, wahai Raja?”

 

Najasyi bertanya kepada Jakfar, “Apakah engkau mempunyai sesuatu yang datang dari Allah tentang agamamu?”

 

Jakfar menjawab kepadanya, “Ya.” Najasyi bertitah kepada Jaf‘ar, “Bacakan itu kepadaku.” Jakfar segera membacakan permulaan surah Maryam kepada Najasyi. Ummu Salamah berkata, “Demi Allah, Raja Najasyi menangis, hingga air mata membasahi janggutnya. Uskup-uskupnya juga menangis hingga air mata mereka membasahi mushaf mereka, ketika mereka mendengar apa yang dibacakan Jakfar bin Abu Thalib kepada mereka! Raja Najasyi berkata kepada kaum muslim, ‘Ajaran kalian dan ajaran yang dibawa oleh Isa muncul dari satu pelita! Pergilah kalian berdua! Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian, mereka tidak akan pernah diserahkan!”

 

Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, “Tatkala mereka berdua keluar dari hadapan Sang Raja, Amru bin Ash berkata, “Demi Allah, aku pasti akan kembali esok untuk membahas mereka. Aku akan menyampaikan satu hal kepada raja yang dapat menghabisi keberadaan mereka!” Ummu Salamah melanjutkan, “Abdullah bin Abu Rabi‘ah berkata kepadanya, menurut kami, ia paling berhati-hati di antara keduanya, ‘Kami tidak akan melakukannya! Di antara mereka ada hubungan kekeluargaan. Sungguh, Raja pun telah menyelisihi kami’ Amru bin Ash berkata, ‘Demi Allah, aku akan memberitahu raja bahwa mereka telah mengklaim Isa bin Maryam seorang hamba biasa.”

 

Keesokan harinya, Amru bin Ash berkata kepada Raja Najasyi, “Mereka mengatakan tentang Isa bin Maryam suatu pernyataan yang besar, kirimlah utusan kepada mereka dan tanyakanlah apa yang mereka katakan tentang Isa.”

 

Najasyi mengirim utusannya kepada mereka untuk menanyakan hal-hal tersebut. Ummu Salamah berkata, “Sungguh, tidak pernah ada ujian semisal ini menimpa kami sama sekali sebelumnya.” Seluruh kaum muslim berkumpul. Lalu sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Apa yang hendak kalian katakan tentang Isa bin Maryam apabila Najasyi menanyakannya?” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami akan mengatakan sebagaimana difirmankan Allah dan disampaikan Nabi kepada kami Biarlah terjadi apa yang terjadi.”

 

Tatkala mereka masuk menemui Najasyi, Najasyi bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?” Ummu Salamah berucap, “Jakfar bin Abu Thalib pun menjawab, ‘Kami akan katakan tentang ia sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi kami kepada kami. Beliau bersabda bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang Ia berikan kepada Maryam sang perawan yang hidup membujang untuk beribadah kepada Allah:

 

Najasyi menggerakkan tangannya ke lantai, lantas ia mengambil tongkat yang tergeletak. Lalu Najasyi berkata, “Demi Allah, apa yang kau katakan tentang Isa bin Maryam tidak melebihi kadar tongkat ini.”

 

Patrik-patrik yang ada di sekeliling Najasyi menjadi takut ketika Najasy; mengatakan hal tersebut. Raja Najasyi berkata, “Jika kalian takut, demi Allah, Pergilah, karena kalian mendapatkan jaminan keamanan di negeriku. Siapa saja yang mencaci maki kalian maka ia harus membayar denda! Siapa saja yang memaki kalian harus membayar denda! Aku tidak akan senang bila aku mendapatkan gunung emas, tetapi aku harus menyakiti salah seorang di antara kalian. Kembalikan kepada mereka berdua hadiah-hadiah yang mereka berikan., Aku tidak butuh hadiah itu!”

 

Ummu Salamah berujar, “Mereka berdua keluar dari hadapan Najasyi sebagai dua orang yang dihinakan dan hadiah mereka berdua dikembalikan. Kami tinggal di negeri Raja Najasyi, di sebaik-baik tempat tinggal dan bersama sebaik-baik tetangga.”

 

Ummu Salamah melanjutkan paparan kisahnya,

 

“Demi Allah, saat itu kami sangat khawatir, ketika ada seseorang dari kalangan bangsa Habasyah yang ingin melengserkan Najasyi dari kekuasaannya. Demi Allah, aku tidak pernah merasakan kesedihan yang lebih besar dari kesedihan pada waktu itu. Kami khawatir orang itu akan berhasil mengalahkan Najasyi sehingga akan datang seorang pria yang tidak mengetahui hak kami sebagaimana Najasyi.’

 

Ummu Salamah berujar, “Najasyi melakukan perjalanan perang menuju tempat musuhnya, yang di antara mereka terbentang Sungai Nil” Ummu Salamah meneruskan tuturannya, “Para sahabat Rasulullah #¢ berkata, ‘Siapa orang yang mau keluar untuk menyaksikan jalannya perang yang dilakukan kaum itu. Sehingga ia kembali dengan membawa kabar pertempuran?’ Ummu Salamah berkata, ‘Zubair bin Awam berkata, “Saya.” Orang-orang yang lainnya berkata, “Ya, kamu’ Zubair adalah orang paling muda usianya di antara kaum muslim yang berhijrah ke Habasyah.”

 

Ummu Salamah berujar, “Kaum muslim meniup geribah (wadah air dari kulit) lalu memasangkannya di dada Zubair. Selanjutnya, Zubair berenang menyeberangi Sungai Nil dan muncul di tepian Nil yang satunya, yang mana menjadi tempat bertempur orang-orang itu. Zubair segera bertolak hingga ia sampai di dekat mereka.”

 

Ummu Salamah berujar,

 

“Kami berdoa kepada Allah untuk Najasyi agar ia menggapai kemenangan atas musuhnya, serta menjadi kukuh kekuasaan untuknya di negerinya. Demi Allah, saat itu kami ingin menyaksikan apa yang terjadi. Tiba-tiba Zubair muncul dengan berjalan kaki, lalu ia mengibarkan bajunya agar dilihat oleh orang lain, seraya berucap, ‘Ketahuilah! Bergembiralah kalian, sungguh Najasyi telah menggapai kemenangan!”

 

Allah menghancurkan musuhnya, mengukuhkan kekuasaan di negerinya untuknya, serta terhimpunlah seluruh urusan Habasyah atas dirinya. Oleh karena itulah kami bersamanya berada di tempat tinggal terbaik, sampai kami datang menemui Rasulullah di Mekah.

 

Keislaman Umar bin Khathab

 

Tatkala Amru bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi‘ah kembali dari Habasyah menemui kaum Quraisy, dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan dari para sahabat Rasulullah. Bahwa Najasyi menolak mereka dengan sesuatu yang mereka benci, serta dengan Islamnya Umar bin Khathab yang merupakan seorang pria yang memiliki harga diri dan ditakuti orang, sehingga para sahabat Rasulullah menjadikan dirinya dan Hamzah sebagai pelindung mereka, mereka pun berani melawan kaum Quraisy.

 

Abdullah bin Mas‘ud berkata, “Kami tidak berani mengerjakan shalat di Kakbah sampai Umar bin Khathab masuk Islam. Tatkala ia masuk Islam, ia langsung melawan kaum Quraisy sehingga ia bisa mengerjakan shalat di Kakbah, kami pun juga mengerjakan shalat bersamanya.”

 

Masuk Islamnya Umar itu terjadi sesudah keberangkatan rombongan Muhajirin yang berhijrah ke Habasyah.

 

Keislaman Umar, sebagaimana berita yang sampai kepadaku, kala itu adik perempuannya, Fatimah binti Khathab, sudah masuk Islam sebelum Umar. Demikian juga dengan suami Fatimah, yakni Sa‘id bin Zaid. Mereka berdua menyembunyikan keislamannya dari Umar. Nu‘aim bin Abdullah An-Naham – seorang pria dari kaumnya, Bani Adiy bin Ka‘ab juga sudah masuk Islam. Ia juga menyembunyikan keislamannya karena takut disiksa oleh kaumnya.

 

Khabab bin Arat datang ke rumah Fatimah binti Khathab untuk membacakan Al-Qur’an kepadanya. Pada hari yang sama, Umar keluar dari rumahnya dengan menghunuskan pedangnya. Ia hendak membunuh Rasulullah dan sejumlah sahabat beliau. Umar mendapat kabar bahwa mereka (Nabi dan para sahabat) sedang berkumpul di sebuah rumah di Bukit Shafa. Mereka semuanya berjumlah sekitar empat puluh orang, baik pria maupun wanita. Pada waktu itu, Rasulullah bersama paman beliau, yakni Hamzah bin Abdul Mutholib, Abu Bakar AshShidiq, Ali bin Abu Thalib, sejumlah orang dari kalangan muslimin, mereka tinggal bersama Rasulullah di Mekah dan tidak ikut pergi berhijrah ke negeri Habasyah.

 

Nu‘aim bin Abdullah mencegat Umar seraya berkata kepadanya, “Apa yang kau inginkan, hai Umar?” Umar menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad, si murtad yang memecah-belah kaum Quraisy, menganggap bodoh akalnya, mencela agamanya, memaki tuhan-tuhannya. Aku pasti akan membunuhnya!” Nu‘aim berkata kepadanya, “Demi Allah, engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri, hai Umar! Apakah kamu menyangka Bani Abd Manaf akan membiarkanmu tetap hidup sedang kamu sudah membunuh Muhammad?! Tidakkah sebaiknya kamu pulang ke rumahmu menemui keluargamu lalu meluruskan urusan mereka terlebih dahulu?” Umar bertanya, “Ada apa dengan keluargaku?” Nu‘aim berkata, “Adik iparmu, yang juga saudara sepupumu, Said bin Zaid bin Amru dan adik perempuanmu, Fatimah binti Khathab. Demi Allah, mereka sudah masuk Islam dan mengikuti Muhammad; memeluk agamanya. Kamu harus meluruskan mereka berdua lebih dahulu!”

 

Umar pulang menuju rumah adiknya dan suaminya itu. Di rumah mereka ada Khabab bin Arat yang membawa lembaran bertuliskan ayat Al-Qur’an (awal surah Thaha). Tatkala mereka mendengar suara Umar, Khabab langsung bersembunyi di dalam kamar di rumah mereka, atau di salah satu bagian dari rumah itu. Fatimah binti Khathab mengambil lembaran Al-Qur’an tersebut dan menyembunyikannya di bawah pahanya. Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang dilantunkan Khabab untuk mereka berdua ketika ia berada di dekat rumah adiknya itu.

 

Tatkala Umar masuk, ia bertanya, “Suara asing apa yang kudengar barusan?”

 

Keduanya menjawab, “Engkau tidak mendengar apa-apa!”

 

Umar membantah, “Tidak, demi Allah. Aku telah diberitahu bahwa kalian berdua mengikuti Muhammad dan menjalankan agamanya!”

 

Umar langsung menyerang adik iparnya, Sa‘id bin Zaid, namun adiknya, Fatimah binti Khathab, segera bangkit dan menahan serangan Umar dari suaminya. Umar pun memukul Fatimah dan melukainya.

 

Tatkala Umar melakukan tindak kekerasan itu, adiknya dan adik iparnya berkata, “Ya, sungguh kami telah masuk Islam dan beriman kepada Allah serta Rasul-Nya. Lakukanlah apa saja yang hendak kau lakukan!”

 

Tatkala melihat tubuh adiknya berdarah, Umar menyesali tindakannya yang telah memukul adiknya tadi, lalu ia berbelas kasihan, seraya berkata kepada adiknya, “Berikan kepadaku lembaran yang kudengar kalian membacanya tadi, supaya aku dapat melihat ajaran apa yang dibawa oleh Muhammad.” Umar adalah orang yang dapat membaca dan menulis.

 

Tatkala Umar mengatakan ucapan ini, adik perempuannya berkata, “Kami khawatir apabila kamu mengambil lembaran itu.”

 

Umar berkata, “Kamu jangan khawatir” Kemudian Umar bersumpah dengan menyebut nama tuhan-tuhannya bahwa ia akan mengembalikan lembaran itu kepada Fatimah bila selesai membacanya.

 

Tatkala Umar mengatakan itu, Fatimah pun sangat menginginkan keislaman kakaknya. Ia pun berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, sungguh kamu orang yang najis, karena kemusyrikanmu. Hanya orang suci yang boleh menyentuh lembaran itu!”

 

Umar langsung beranjak dari tempat itu dan mandi. Setelah mandi, Fatimah memberikan lembaran Al-Quran itu kepada Umar, ternyata di dalamnya tertulis surah Thaha. Umar membacanya.

 

Tatkala Umar membaca bagian awal dari surah itu, ia berucap, “Betapa indah perkataan ini dan betapa mulianya!”

 

Tatkala Khabab mendengar ucapan Umar, ia langsung keluar dari tempat persembunyiannya dan berkata, “Wahai Umar, demi Allah, aku sangat berharap bahwa Allah memilihmu dengan doa Nabi-Nya, karena aku mendengar beliau kemarin berdoa, ‘Ya Allah, kuatkan Islam ini dengan Abul Hakam bin Hisyam atau dengan Umar bin Khathab!’ Demi Allah, Allah telah memberimu hidayah, wahai Umar!”

 

Umar berkata kepada Khabab pada waktu itu, “Tunjukkan kepadaku, ha; Khabab, di manakah Muhammad, supaya aku bisa menghadap kepadanya lalu aky akan masuk Islam!” Khabab menjawab, “Beliau berada di sebuah rumah di Buki, Shafa, bersama sejumlah sahabatnya.”

 

Umar mengambil pedangnya lalu menyandangnya di tubuhnya. Kemudian ia berangkat menuju rumah yang ditinggali oleh Rasulullah dan para sahabat beliau. Ia mengetuk pintu rumah mereka. Tatkala mereka mendengar suara Umar, salah seorang di antara sahabat Rasulullah bangkit lalu ia melihat dari celah. celah pintu. Ia melihat Umar yang menyandang pedang.

 

Orang itu kembali menemui Rasulullah dalam keadaan ketakutan sembarj melapor, “Wahai Rasulullah, ini Umar bin Khathab datang dengan menghunuskan pedangnya.”

 

Hamzah bin Abdul Mutholib berkata, “Izinkan ia masuk. Jika ia datang dengan tujuan yang baik maka kami akan mendermakan kebaikan kami kepadanya. Tetapi jika ia datang dengan tujuan yang jahat, kami akan bunuh ia dengan pedangnya itu.”

 

Rasulullah bertitah, “Izinkan ia masuk.” Salah seorang sahabat mengizinkannya masuk, lalu Rasulullah langsung bangkit ke arah Umar sampai beliau bertemu dengannya di sebuah ruangan. Rasulullah memegang sabuk Umar atau selendangnya, kemudian beliau menariknya dengan tarikan yang kuat, seraya bersabda, “Apa yang mendorongmu datang kemari, hai Ibnul Khathab? Demi Allah, aku tidak berpikir kamu akan berhenti mencariku sampai Allah membinasakanmu!” Umar berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepadamu untuk aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta apa yang dibawa olehnya dari sisi Allah!” .

 

Rasulullah bertakbir dengan takbir yang keras hingga semua sahabat yang ada di rumah itu mengetahui bahwa Umar telah masuk Islam.

 

Para sahabat segera berhamburan dari tempat duduk mereka, mereka merasa diri mereka kian kuat ketika Umar masuk Islam, begitu pula dengan keislaman Hamzah. Mereka tahu bahwa keduanya akan menjadi pelindung Rasulullah kaum muslim juga akan terlindungi dari musuh dengan adanya dua orang tersebut.

 

Umar berkata, “Tatkala aku masuk Islam pada malam itu, aku ingat siapa orang Mekah yang paling keras permusuhannya terhadap Rasulullah untuk kudatangi dan kuberitahu bahwa aku sudah masuk Islam.” Aku berkata, “Abu Jahal!” Aku pun mendatanginya pada waktu pagi, sampai aku mengetuk pintu rumahnya. Abu Jahal pun keluar menemuiku, lalu ia berkata, “Selamat datang wahai putra saudara perempuanku,” apa keperluanmu?” Umar menjawab, “Aku datang untuk memberitahumu bahwa aku sudah beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya Muhammad. Aku membenarkan ajaran yang ia bawa.” Abu Jahal langsung membanting pintu di depan wajahku, sembari menukas, “Semoga Allah memburukkanmu, semoga Allah memburukkan ajaran yang kau bawa.”

 

Kisah Piagam Pemboikotan

 

Tatkala kaum Quraisy melihat para sahabat Rasulullah telah bertempat tinggal di negeri yang menyediakan jaminan keamanan dan tempat tinggal yang nyaman. Raja Najasyi bersedia melindungi orang-orang Islam yang meminta perlindungan kepadanya, dan keislaman Umar sehingga ia dan Hamzah bin Abdul Mutholib selalu menyertai Rasulullah dan para sahabat beliau. Pun Islam kian tersebar luas di berbagai kabilah Arab. Mereka berkumpul dan merancang persekongkolan jahat di antara mereka, yakni menulis sebuah piagam yang isinya menindas Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib bahwa mereka tidak menikahkan anak perempuan mereka dengan lelaki Bani Hasyim dan juga tidak menikahi perempuan Bani Hasyim, tidak menjual apa pun kepada mereka dan tidak membeli apa pun dari mereka.

 

Ketika mereka bersepakat untuk itu, mereka menuliskan kesepakatan tersebut pada selembar kertas, mereka pun menjadikannya sebagai piagam perjanjian dan akta bersama yang dipegangi secara kukuh. Kemudian piagam itu digantungkan di dalam Kakbah, sebagai pengukuhan terhadap diri mereka.

 

Penulis piagam itu Manshur bin Ikrimah. Oleh karenanya, Rasulullah mendoakan laknat terhadap dirinya, lantas sejumlah jari tangannya lumpuh.

 

Tatkala kaum Quraisy melakukan itu, Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib berafiliasi kepada Abu Thalib bin Abdul Mutholib. Mereka masuk bersamanya ke sebuah celah di lereng gunung. Dari Bani Hasyim, Abu Lahab, yakni Abdul‘uzza bin Abdul Mutholib keluar, lalu ia bergabung dengan kaum Quraisy dan membantu mereka.

 

Abu Lahab berkata, “Muhammad mengancamku beberapa hal yang aku belum melihatnya. la mengklaim bahwa ancaman itu akan terjadi sesudah aku mati. Apa yang akan terjadi pada kedua tanganku sesudah mati?” Kemudian Abu Lahab meniup dan berucap pada kedua tangannya, “Celakalah kalian berdua. Aku tidak melihat apg pun yang terjadi pada kalian berdua sebagaimana yang dikatakan Muhammad!”

 

Lalu Allah menurunkan surah Al-Lahab “Celakalah kedua tangan Aby Lahab dan ia pasti celaka!” (Al-Lahab [111]: 1)

 

Lantas Bani Hasyim menjalani kehidupan dalam keadaan diboikot seperti itu selama dua atau tiga tahun, sampai mereka tertekan dan terhimpit luar biasa. Tiada makanan yang sampai kepada mereka kecuali yang dikirimkan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi oleh sejumlah orang Quraisy yang hendak berhubungan dengan Bani Hasyim.

 

Gangguan yang Dialami Rasulullah dari Kaumnya

 

Kaum Quraisy bertindak manakala Allah melindungi Rasul-Nya dari gangguan mereka, lalu paman beliau dan kaum beliau dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib berdiri membelanya, serta menghalangi mereka dari bertindak kasar terhadap Nabi, orang Quraisy pun berusaha mengalahkan beliau, melecehkan, dan menentang beliau. Al-Qur’an turun di kalangan kaum Quraisy sesuai dengan keadaan mereka dan pada orang yang melancarkan permusuhannya dari mereka. Di antara mereka ada yang disebutkan namanya kepada kami, di antara mereka juga ada yang Al-Qur’an turun tentangnya, di kalangan mayoritas orang yang disebutkan oleh Allah secara umum dari kalangan orang kafir.

 

Salah seorang dari kalangan Quraisy yang disebutkan namanya kepada kami adalah paman beliau, Abu Lahab bin Abdul Mutholib, bersama istrinya, Ummu Jamil binti Harb bin Umayah “wanita pembawa kayu bakar’, karena ia biasa membawa duri lalu mencampakkannya ke jalan yang biasa dilalui Rasulullah, lantas Allah menurunkan surah Al-Lahab berkenaan dengan kedua orang tersebut,

 

“Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan ia pasti celaka. Tidak berguna baginya harta dan apa yang ia usahakan. Ia akan masuk ke dalam neraka yang bergejolak. Dan istrinya si pembawa kayu bakar, pada lehernya ada tali dari sabut.” (Al-Lahab [111]: 1-5)

 

Ibnu Ishaq berkata,

 

“Diceritakan kepadaku bahwa Ummu Jamil ‘si wanita pembawa kayu bakar’, ketika ia mendengar adanya ayat Al-Qur’an yang turun tentang dirinya dan suaminya, ia mendatangi Rasulullah, yang saat itu sedang duduk di masjid dekat Kakbah ditemani Abu Bakar Ash-Shidiq. Ummu Jamil membawa batu sebesar kepalan tangan. Tatkala ia sampai ke tempat keduanya, Allah membutakannya hingga tak bisa melihat Rasulullah. Ia tidak melihat kecuali Abu Bakar saja. Ummu Jamil berkata, “Hai Abu Bakar, di mana sahabatmu itu. Sungguh, telah sampai kabar kepadaku bahwa ia mencaci-makiku. Demi Allah, andaikan aku bertemu dengannya pasti aku akan hantam mulutnya dengan batu yang kubawa ini’ Kemudian Ummu Jamil pergi meninggalkan tempat itu. Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau melihatnya dan ia melihatmu?’ Nabi menjawab, ‘Ia tidak melihatku. Allah telah menghilangkan membutakannya hingga tidak melihatku-”

 

Umayah bin Khalaf bin Wahab bin Hudzafah bin Jumah. Apabila ia melihat Rasulullah, ia selalu mencaci dan mengumpat Rasulullah, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Allah pun menurunkan ayat berkenaan dirinya,

 

“Celaka bagi setiap pengumpat secara terang-terangan dan pencaci maki secara sembunyi-sembunyi. Yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitungnya. la menyangka bahwa hartanya dapat mengekalkan dirinya. Sekali-kali tidak, sungguh ia akan dicampakkan di Neraka Huthamah. Tahukah kamu, apakah Huthamah itu? Neraka Allah yang menyala-nyala. Yang menjilat sampai ke hati. Sungguh api itu ditutup rapat atas mereka. (Sedang mereka) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (Al-Humazah [104]: 1-9)

 

Berikutnya, adalah Ash bin Wail As-Sahmi. Khabab bin Arat merupakan salah satu sahabat Rasulullah. Ia bekerja sebagai tukang besi, yang membuat pedang, Ia menjual sejumlah pedang buatannya kepada Ash bin Wail. Karena itulah Ash bin Wail mempunyai harta yang harus dibayarkan. Suatu waktu, Khabab datang untuk menagihnya. Ash berkata, “Hai Khabab, bukankah Muhammad temanmu yang kamu sekarang menjalani agamanya itu mengklaim bahwa di Surga itu tersedia semua yang diinginkan oleh penghuninya, baik berupa emas, perak, maupun ganjaran, bahkan pelayan!” Khabab menjawab, “Ya.” Ash berkata, “Kalau begitu, berilah aku waktu sampai Hari Kiamat, hai Khabab. Waktu sampai aku kembali pulang ke kampung itu (Surga), kemudian aku akan melunasi semua utangku kepadamu. Demi Allah, kamu dan temanmu itu, hai Khabab, tidak akan menjadi orang yang lebih kaya di hadapan Allah daripada aku. Kalian juga tidak akan mempunyai bagian yang lebih besar di Surga daripada aku!” Sehingga Allah menurunkan ayat-Nya,

 

“Tidakkah engkau melihat orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami lalu ia berkata, ‘Pasti aku benar-benar akan diberi harta dan anak.’ Apakah ia mengetahui perkara gaib ataukah ia sudah mendapatkan janji di hadapan Sang Maha Penyayang. Sekali-kali tidak! Kami akan mencatat apa yang ia ucapkan dan Kami akan menambahkan siksa kepadanya dengan berbagai tambahan siksaan. Kami akan mewarisi apa yang ia katakan, sedangkan ia akan datang kepada Kami sendirian.” (Maryam [19]: 77-80)

 

Abu Jahal bin Hisyam bertemu dengan Rasulullah -termaktub dalam buah riwayat yang sampai kepadaku (Ibnu Hisyam)lalu Abu Jahal berkata padanya, “Demi Allah, wahai Muhammad, hentikanlah makianmu terhadap tuhan-tuhan kami atau kami akan benar-benar memaki Tuhan yang kau sembah!” Allah menurunkan ayat berkenaan dengan itu,

 

“Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah, dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Al-An’am [6]: 108)

 

Lalu diceritakan kepadaku bahwa Rasulullah menghentikan makian terhadap tuhan-tuhan mereka, Rasulullah pun berdakwah mengajak mereka kepada Allah.

 

Selanjutnya, Nadhr bin Harits bin Kaladah bin Abd Manaf bin Abdudar bin Qushay. Ketika Rasulullah duduk di suatu majelis yang di dalamnya ajakan untuk menyembah Allah dan membacakan Al-Qur’an padanya, serta menyampaikan ancaman terhadap kaum Quraisy akan apa yang menimpa umatumat terdahulu, Nadhr bin Harits selalu menggantikan beliau ketika beliau sudah pergi meninggalkan majelis tersebut. Lalu Nadhr menceritakan kepada orang-orang yang hadir di situ cerita tentang Rustum Sang Matahari Persia, tentang Isfandiyar, serta tentang raja-raja Persia. Kemudian Nadhr berkata, “Demi Allah, tidaklah Muhammad itu lebih baik ceritanya daripada aku. Tidaklah cerita-cerita yang ia tuturkan itu kecuali kisah orang-orang terdahulu yang aku bisa menulisnya sebagaimana Muhammad telah menulisnya.” Kemudian Allah menurunkan ayat berkenaan kejadian itu,

 

“Mereka berkata, ‘Ini adalah cerita orang-orang kuno yang ia menulisnya, yang kemudian ia diktekan pada waktu pagi dan petang.’ Katakanlah, ‘Yang menurunkannya adalah Dzat Yang Maha Mengetahui rahasia di langit dan bumi. Sungguh, Ia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (Al-Furqan [25]: 5-6)

 

Allah juga berfirman,

 

“Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, ‘Ini hanyalah cerita orang-orang terdahulu.” (Al-Qalam [68]: 15)

 

Allah berfirman,

 

“Celaka bagi setiap pendusta lagi pendurhaka. la mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, kemudian ia bersikukuh dalam keadaan sombong, seolah-olah ia tidak mendengarnya. Maka berilah kabar gembira kepadanya dengan siksa yang pedih.” (Al-Jatsiyah [45]: 7-8)

 

Kemudian Akhnas bin Syuraiq bin Wahab Ats-Tsaqafi. Ia termasuk tokoh pemuka kaumnya dan orang yang didengar omongannya. Ia selalu menimpakan keburukan terhadap Rasulullah dan menolak beliau. Allah pun menurunkan ayat berkaitan dengan dirinya,

 

“Janganlah kamu menaati semua orang yang berdusta terhadap Allah lagi hina. Orang yang selalu mengumpat, kian kemari mengambur fitnah. Sangat bakhil terhadap harta, bertindak melampaui batas, dan banyak dosa. Kasar perangainya sesudah itu terkenal kejahatannya.” (Al-Qalam [68]: 10-13)

 

Walid bin Mughirah, ia berkata, “Apakah’ wahyu itu diturunkan kepada Muhammad sedangkan aku ditinggalkan (tidak diberi wahyu)? Padahal aku adalah pembesar Quraisy dan pemukanya! Abu Masud Amru bin Umair Ats-Tsagqafi, Sang Pemuka Tsaqif, juga tidak diberi wahyu. Padahal kami berdua adalah dua pembesar di dua kota tersebut!”

 

Allah pun menurunkan ayat berkenaan peristiwa ini,

 

“Mereka berkata, ‘Mengapakah Al-Quran ini tidak diturunkan kepada salah satu pembesar dari dua kota ini? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Kami pun telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan!” (Az-Zukhruf [43]: 31-32)

 

Ubay bin Khalaf dan Uqbah bin Abi Mu’aith merupakan dua orang yang bersahabat karib, hubungan keduanya sangatlah baik. Suatu ketika Uqbah duduk di majelis Rasulullah dan ikut mendengar ucapan dakwah beliau. Berita tentang peristiwa itu sampai kepada Ubay, lantas ia datang menemui Uqbah, seraya berkata kepadanya, “Benarkah berita yang sampai kepadaku bahwa engkau ikut duduk di majelis Muhammad dan mendengar kata-katanya! Haram hukumnya bagiku berbicara kepadamu -ia mengukuhkan sumpahnya dengan sekuat-kuatnya jika kamu sudah duduk di majelis Muhammad atau kau mendengar omongannya. Mengapa kamu tidak mendatanginya lalu meludahi wajahnya!” Lalu si musuh Allah, Ugbah bin Abi Mu‘aith, semoga Allah melaknatnya, melakukannya.

 

Allah menurunkan ayat berkenaan dengan mereka berdua:

 

“Pada hari orang-orang zalim menggigit jarinya (karena jengkel), ia berkata, Alangkah senangnya bila aku dulu mengambil jalan bersama Rasulullah, kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku tidak menjadikan fulan temanku. Sungguh, ia telah menyesatkanku dari Al-Qur‘an ketika Al-Qur’an datang padaku. Sungguh, tidaklah setan itu menolong manusia.” (al-Furqan [25]: 27-29)

 

Ubay bin Khalaf berjalan menuju Rasulullah dengan membawa tulang yang sudah rusak, lalu ia berkata, “Hai Muhammad, kamu mengklaim bahwa Allah akan membangkitkan ini sesudah ia rusak dan remuk!” Kemudian Ubay meremukkannya dan menghembuskannya saat angin berhembus kencang kg arah Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Ya, aku mengatakan itu. Allah akan membangkitkan tulang itu dan tulangmu sesudah kalian berdua menjadi tulang belulang yang remuk dan rusak seperti ini. Kemudian Allah akan memasukkanmu ke dalam neraka!”

 

Kemudian Allah menurunkan ayat:

 

“Ia membuat permisalan untuk Kami dan ia melupakan penciptaannya, ia berkata, ‘Siapa yang menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh? Katakanlah, ‘Yang menghidupkannya adalah Dzat Yang menciptakannya pertama kali, dan la Maha Mengetahui segala makhluk. Dzat Yang menjadikan untuk kalian api dari kayu yang hijau, lalu tiba-tiba kalian dapat menyalakan api darinya.” (Yasin [36]: 78-80)

 

Ketika Rasulullah sedang melakukan tawaf di Kakbah, beliau dihadang oleh Aswad bin Mutholib bin Asad bin Abdul‘uzza, Walid bin Mughirah, Umayah bin Khalaf, dan Ash bin Wail As-Sahmi. Mereka adalah para senior di tengah kaum mereka. Lalu mereka berkata, “Hai Muhammad, marilah kami menyembah tuhan yang kau sembah, lalu kamu juga menyembah tuhan yang kami sembah, sehingga kami dan kamu bisa berserikat dalam urusan ini. Jika tuhan yang kau sembah itu lebih baik daripada tuhan yang kami sembah, kami sudah mengambil bagian kami darinya. Sedangkan jika tuhan yang kami sembah itu lebih baik daripada tuhan yang kau sembah, kamu juga sudah mengambil bagianmu darinya.” Lantas Allah berfirman berkenaan mereka:

 

“Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian bukanlah para penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku bukanlah penyembah apa yang kalian sembah. Kalian bukanlah para penyembah Tuhan yang aku sembah, Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.” (Al-Kafirun [109]: 1-6)

 

Abu Jahal bin Hisyam, tatkala Allah ye menyebutkan pohon Zaqum untuk menakut-nakuti orang-orang kafir Quraisy, ia berkata, “Wahai sekalian orang Quraisy, tahukah kalian apakah pohon Zaqum yang Muhammad menakut-nakuti kalian dengannya?” Orang-orang Quraisy menjawab, “Tidak” Abu Jahal berkata, “Itu adalah pohon kurma Ajwah di Yastrib yang ada di Zubud. Demi Allah, jika aku mampu mendapatkannya, akan kutelan buahnya bulat-bulat.”

 

Allah menurunkan ayat berkenaan peristiwa itu,

 

“Sungguh, pohon Zaqum itu. Makanan bagi si pendosa. Ia seperti cairan tembaga yang sangat panas, mendidih menggelegak dalam perut peminumnya, seperti mendidihnya air panas.” (Ad-Dukhan [44]: 43-46)

 

Walid bin Mughirah berdiri di dekat Rasulullah. Rasulullah berbicara kepadanya, beliau sangat menginginkan keislamannya. Ketika beliau masih dalam keadaan itu, tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum yang buta matanya lewat. Ia berbicara kepada Rasulullah seraya meminta beliau membacakan Al-Qur’an untuk dirinya. Permintaan itu terasa berat bagi Rasulullah sehingga beliau menjadi gelisah karenanya. Rasul bersikap demikian karena kedatangan Ibnu Ummi Maktum telah membuat beliau terpalingkan konsentrasinya dari urusan Walid, serta keinginan beliau yang sangat kuat agar ia mau masuk Islam. Tatkala Ibnu Ummi Maktum terus-menerus mendesak beliau, Rasulullah pun berpaling darinya dengan bermuka masam dan meninggalkannya.

 

Allah menurunkan ayat berkenaan peristiwa itu,

 

“Ia bermuka masam dan berpaling. Bahwasanya datang kepadanya Seorang buta. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau ia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi pendapat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera, sedang ia takut kepada Allah, kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan! Sungguh, ajaran-ajaran Allah itu suatu peringatan. Barang siapa menghendaki, tentulah ia memperhatikan di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan.” (‘Abasa [80]: 1-14)

 

Maksudnya, “Aku hanya mengutusmu sebagai pemberi kabar gembira dan penyampai ancaman. Aku tidak mengutusmu khusus untuk satu orang dan tidak bagi yang lainnya. Janganlah kamu menghalanginya dari orang yang mencarinya dan kamu jangan memaksakannya kepada orang yang tidak menginginkannya”

 

Sejumlah orang yang biasa mengganggu dan menyakiti Rasulullah di rumah beliau adalah Abu Lahab, Hakam bin Abil Ash, Uqbah bin Abi Mu‘aith, Adiy bin Hamra Ats-Tsaqafi, dan Ibnul Ashda’ Al-Hadzali. Mereka semuanya adalah tetangga Nabi. Beliau tidak selamat dari gangguan mereka selain Hakam bin Abil Ash. Salah seorang di antara mereka —menurut berita yang sampai kepada saya melemparkan ari-ari kambing ke tubuh Rasulullah ketika beliau sedang mengerjakan shalat. Salah seorang di antara mereka juga melemparkan benda yang sama ke tungku Nabi ketika sedang dipakai memasak, sampai Rasulullah membuat kamar untuk menutupi diri beliau dari mereka ketika beliau mengerjakan shalat. Apabila mereka melemparkan kotoran terhadap beliau, beliau pun mengeluarkan kotoran itu dengan tongkat kayu, lantas beliau berdiri di pintu rumah beliau sembari berucap, “Wahai Bani Abd Manaf, sikap bertetangga macam apa ini?!” Beliau pun mencampakkannya ke jalanan.

 

Kepulangan Muhajirin Habasyah ke Mekah

 

Sampai kepada para sahabat Rasulullah yang pergi berhijrah ke negeri Habasyah berita keislaman penduduk Mekah. Lalu mereka pulang kembali ke Mekah sesaat sesudah berita itu sampai kepada mereka. Ketika mereka sampai di dekat kota Mekah, sampailah berita kepada mereka bahwa kabar yang banyak diperbincangkan tentang masuk Islamnya warga Mekah itu adalah kebohongan belaka. Karena itulah tiada seorang pun di antara mereka yang masuk ke Mekah kecuali dengan perlindungan orang Mekah atau dengan sembunyi-sembunyi. Jumlah total sahabat Rasul yang pulang ke Mekah dari negeri Habasyah adalah tiga puluh tiga pria.

 

Beberapa dari mereka yang memasuki kota Mekah dengan perlindungan warga Mekah, yang disebutkan namanya kepada kami adalah Utsman bin Mazh’un bin Hubaib Al-Jumahi, ia masuk Mekah dengan perlindungan Walid bin Mughirah. Kemudian Abu Salamah bin Abdul’asad bin Hilal bin Abdullah bin Amru bin Makhzum, ia masuk Mekah dengan perlindungan Abu Thalib bin Abdul Mutholib -merupakan paman Rasulullah dari arah ibu karena ibunda Abu Salamah adalah Barah bin Abdul Mutholib.

 

Peristiwa Rusaknya Piagam Pemboikotan

 

Beberapa laki-laki Quraisy bangkit untuk merusak piagam pemboikotan yang ditulis oleh kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib itu. Orang yang berperan besar dalam membatalkan piagam itu adalah Hisyam bin Amru. Ia adalah keponakan Nadhlah bin Hasyim bin Abd Manaf, melalui jalur ibunya. Hisyam mempunyai hubungan dengan Bani Hasyim. Ia memiliki kedudukan mulia di tengah kaumnya. Berita yang sampai kepadaku adalah ia datang dengan mengendarai unta, sedang malam itu Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib sedang berada di lereng gunung. Hisyam membawakan makanan kepada mereka. Sesampainya di mulut lereng gunung, ia membuka penutup mukanya. Kemudian meletakkannya di sampingnya. Ia pun memasuki lereng gunung itu untuk menemui Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib. Selanjutnya, ia datang dengan membawa makanan yang ia tidak akan pada kainnya. Lantas ia melakukan seperti itu juga.

 

Berikutnya, Hisyam datang menemui Zuhair bin Abu Umayah bin Mughirah, ibunya adalah Atikah binti Abdul Mutholib, lalu ia berkata, “Wahai Zuhair, apakah kamu ridha jika kamu makan, berpakaian, dan menikah dengan banyak wanita, tetapi saudara-saudaramu dari arah ibumu mengalami penderitaan seperti yang kau ketahui. Mereka tidak boleh berjual-beli, tidak menikah, dan tidak dinikahi. Aku bersumpah demi Allah, seandainya mereka adalah saudara-saudara Abul Hakam bin Hisyam, kemudian engkau mengajak mereka memperlakukan saudara-saudara mereka itu seperti perlakuan yang engkau diajaknya untuk melakukannya terhadap saudara-saudaramu, niscaya ia tidak akan sudi mengikuti ajakanmu itu selama-lamanya!”

 

Zuhair berkata, “Celaka kau wahai Hisyam, lalu apa yang harus kulakukan? Aku hanyalah seorang diri saja. Demi Allah, andai-kata ada orang lain yang menyertaiku, niscaya aku akan bangkit membatalkan piagam perjanjian pemboikotan itu, sampai aku berhasil melakukannya.” Hisyam berkata, “Kamu sudah mendapatkan seorang teman.” Zuhair bertanya, “Siapa ia?” Hisyam menjawab, “Aku.” Zuhair berkata kepadanya, “Carikan untuk kami orang yang ketiga”

 

Hisyam beranjak menemui Muth‘im bin Adit, lalu ia berkata kepadanya, “Haj Muth‘im, apakah kamu meridhai binasanya dua kabilah dai Bani Abd Manaf, sedangkan kamu masih hidup dan menyaksikan itu, hanya karena menyetujui tindakan pemboikotan Quraisy?! Ketahuilah, jika kamu biarkan mereka bertindak kejam seperti itu, kamu akan dapati mereka segera bertindak seperti itu juga terhadap kalian.”” Muth’im berkata, “Celaka kau, lantas apa yang harus kulakukan? Aku hanya satu orang saja.” Hisyam berkata, “Kamu sudah mendapatkan orang yang kedua.” Muth‘im bertanya, “Siapa ia?” Hisyam menjawab, “Aku.” Muth‘im berkata, “Kalau begitu, carilah orang yang ketiga.” Hisyam menjawab, “Aku sudah mendapatkannya.” Muth‘im bertanya, “Siapa ia?” Hisyam menjawab, “Zuhair bin Abu Umayah.” Muth‘im berkata, “Cari lagi untuk kami orang yang keempat.”

 

Hisyam berangkat menemui Abul Bakhtari bin Hisyam. la berbicara kepadanya seperti yang ia katakan kepada Muth‘im bin Adiy, lalu Abul Bakhtari bertanya, “Adakah orang lain yang membantu untuk melakukan ini?” Hisyam menjawab, “Ya.” Abul Bakhtari bertanya, “Siapa ia?” Hisyam menjawab, “Zuhair bin Abu Umayah, Muth‘im bin Adiy, dan aku bersamamu.” Abul Bakhtari berucap, “Carilah orang yang kelima untuk kami.”

 

Hisyam datang kepada Zam‘ah bin Aswad bin Mutholib. Hisyam bertutur kepadanya dan menceritakan kepadanya kekerabatan mereka dan hak mereka. Lalu Zam‘ah bertanya kepada Hisyam, “Apakah ada orang lain yang kau ajak sebagaimana ajakanmu kepadaku ini?” Hisyam menjawab, “Ya” Kemudian Hisyam menyebutkan tiga orang yang sudah ia ajak dan menerima ajakannya.

 

Mereka berjanji untuk bertemu di Khathmal Hajun di malam hari, di dataran tinggi kota Mekah. Mereka akhirnya berkumpul di sana dan menyepakati urusan mereka. Mereka juga berjanji untuk melawan isi piagam pemboikotan itu sampai dapat membatalkannya. Zuhair berkata, “Aku yang memulai di antara kalian, aku akan menjadi orang pertama yang berbicara.”

 

Pagi harinya, mereka segera menuju ke tempat pertemuan mereka. Zuhair bin Umayah berangkat pagi hari itu dengan memakai pakaian bagus. Lalu, ia bertawaf di Baitullah tujuh putaran. Ia menghadap ke arah khalayak ramai seraya berucap, “Wahai warga Mekah, tidak selayaknya kami makan dan berpakaian, sedangkan Bani Hasyim binasa! Mereka tidak bisa membeli dan menjual barang! Demi Allah, aku tidak akan duduk sampai piagam pemboikotan yang zalim itu disobek.”

 

Abu Jahal yang ada di sudut masjid berkata, “Bohong kamu! Demi Allah! Itu tidak boleh disobek!”

 

Zam‘ah bin Aswad berkata, “Kamu, demi Allah, lebih besar kebohongannya! Kami tidak meridhai boikot ini ketika itu ditetapkan” Abul Bakhtari berkata, “Zamah benar, kami tidak ridha terhadap apa yang tertulis di dalamnya dan kami tidak mengakui itu.’ Muth‘im bin Adiy berkata, “Kalian berdua berkata benar, sungguh berdustalah orang yang mengatakan selain itu. Kami berlepas diri kepada Allah dari piagam pemboikotan itu dan apa yang tertulis padanya!” Hisyam bin Amru mengatakan semisal dengan ucapan tersebut.

 

Abu Jahal berkata, “Keputusan ini ditetapkan pada waktu malam, dibahas dan dimusyawarahkan bukan di tempat ini’

 

Rawi berkata, “Abu Thalib duduk di sudut masjid. Lalu Muth’im beranjak mendekati piagam pemboikotan untuk menyobeknya. Ternyata ia mendapati serangga dan binatang kecil sudah memakan piagam itu selain bagian yang bertuliskan, “Bismikallaahumma.”

 

Penulis akta pemboikotan itu adalah Manshur bin Ikrimah, tangannya menjadi lumpuh, menurut klaim para ahli sejarah.

 

Peristiwa Orang lrasy yang Menjual Unta kepada Abu Jahal

 

Ibnu Ishaq berkata, Abdul Malik bin Abdullah bin Abu Sufyan Ats-Tsaqafi, yang penuh perhatian, berkata:

 

Seorang pria dari kabilah Irasy datang ke Mekah dengan membawa untanya. Abu Jahal membeli unta itu darinya. Tetapi kemudian Abu Jahal menunda pembayaran harganya, padahal ia mempunyai uang untuk membayarnya. Orang Irasy itu datang mendekati sekumpulan orang Quraisy. Pada saat itu, Rasulullah duduk di sudut Masjidil Haram. Orang Irasy itu berkata, “Hai sekalian Orang Quraisy! Siapakah orang yang mau menolongku untuk menagih Abul Hakam bin Hisyam, karena aku adalah orang asing di sini dan juga orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil). Ia telah mengambil hakku!” Orang-orang yang ada di majelis tersebut berkata kepadanya, “Apakah kamu melihat lelaki yang duduk itu, adalah Rasulullah, tetapi mereka mengolok-oloknya karena mereka mengetahui bahwa ia bermusuhan dengan Abu Jahal-. Pergilah temui dirinya karena ia akan membantumu untuk menagih Abu Jahal!”

 

Orang dari Suku Irasy itu berjalan maju hingga berhenti di hadapan Rasulullah. Lantas ia berucap, “Wahai hamba Allah, sungguh Abul Hakam bin Hisyam telah merenggut hakku, kewajibannya. Aku adalah orang asing, sekaligus orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil). Aku bertanya kepada sekumpulan orang itu tentang siapakah orang yang akan membantuku untuk menagih Abu Jahal dan mengambilkan hakku darinya, lalu mereka menunjukmu. Oleh karena itu, kumohon ambilkan hakku dari ia, semoga Allah menyayangimu!”

 

Rasulullah menjawab, “Ayo kami berangkat ke rumah Abu Jahal.” Rasulullah berjalan bersamanya. Tatkala orang-orang Quraisy melihat Nabi berdiri dan berjalan bersama pria Irasy tersebut, mereka berkata kepada seorang pria yang menyertai mereka, “Ikutilah ia, perhatikan apa yang akan ia lakukan!”

 

Rasulullah keluar dari Masjidil Haram, hingga beliau tiba di rumah Abu Jahal. Beliau mengetuk pintu rumahnya. Abu Jahal bertanya, “Siapa di luar?” Nabi menjawab, “Muhammad, keluarlah untuk menemuiku.” Abu Jahal keluar dengan wajah yang seolah tak ada ruhnya, pucat pasi warnanya. Rasulullah bertitah, “Berikan kepada orang ini haknya.” Abu Jahal menjawab, “Ya. Janganlah kamu meninggalkan tempat ini sampai kuberikan kepada orang ini haknya.” Abu Jahal masuk lagi ke dalam rumahnya lalu ia keluar menemui Nabi dengan membawa harta untuk membayar unta kepada pria Irasy itu dan langsung menyerahkannya kepada lelaki tersebut.

 

Selanjutnya, Rasulullah pergi meninggalkan tempat tersebut. Beliau bersabda kepada orang Irasy itu, “Selesaikanlah urusanmu.” Orang Irasy itu pun beranjak pergi sampai datang ke majelis Nabi seraya berucap, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Demi Allah, ia sudah mengambil untaku dan kemudian memberikan hakku.”

 

Rawi kisah ini bertutur, “Orang yang diutus oleh kaum Quraisy untuk mengikuti dan menguntit Nabi datang. Para pengutusnya berucap, ‘Celaka kamu! Apa yang kau lihat?’ Orang itu menjawab, ‘Keajaiban yang mengalahkan segala keajaiban. Demi Allah, tiadalah itu kecuali saat Muhammad mengetuk pintu rumah Abu Jahal. Lalu Abu Jahal keluar dengan tubuh yang seolah tanpa ruh. Muhammad pun berkata kepadanya, “Berikan kepada orang ini haknya.” Abu Jahal menjawab, “Ya. Engkau jangan meninggalkan tempat ini sampai kuberikan hak orang ini kepadanya.” Lalu Abu Jahal pun membayarkan uang pembelian unta kepada pria Irasy tersebut.”

 

Tak lama kemudian, Abu Jahal datang ke kumpulan orang Quraisy itu. Mereka bertanya kepadanya, “Celaka kamu! apa yang terjadi padamu? Demi Allah, kami sama sekali tidak pernah melihatmu melakukan perbuatan seperti yang baru saja kau lakukan itu!” Abu Jahal menyahut, “Celaka kalian. Demi Allah tiada yang terjadi kecuali Muhammad mengetuk pintu rumahku, aku mendengar suaranya, sedang diriku langsung dipenuhi rasa ketakutan. Lalu aku keluar menemui Muhammad. Ternyata tepat di atas kepala Muhammad ada seekor unta jantan yang aku belum pernah melihat unta yang kepalanya sebesar itu, pendek perawakannya, dan yang tajam gigi taringnya seperti unta itu sama sekali! Demi Allah, seandainya aku enggan membayar pasti unta itu memakanku!”

 

Isra’ dan Mikraj

 

Kisah Isra’ (Perjalanan pada Malam Hari)

 

Nabi diperjalankan pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang berlokasi di Baitul Maqdis di Iliya (Palestina). Islam sudah tersiar luas di Mekah, di kalangan kaum Quraisy dan kabilah-kabilah Arab seluruhnya.

 

Abdullah bin Mas‘ud -sebagaimana berita yang sampai kepadaku darinya-, ia berucap,

 

Didatangkan Buraq kepada Rasulullah -Buraq adalah hewan tunggangan yang biasa dikendarai oleh para nabi sebelum beliau, ia meletakkan tapak kakinya pada penghabisan ujung kakinya-, lalu beliau mengendarai binatang tersebut. Selanjutnya, teman beliau berangkat bersama beliau. Beliau melihat berbagai tanda kekuasaan Allah yang ada di antara langit dan bumi, sampai berakhir di Baity Maqdis. Di sana Nabi bertemu dengan Ibrahim Al-Khalil, Musa, dan Isa dalam sebuah rombongan yang beranggotakan para nabi, yang dikumpulkan untuk menyambut beliau, Lantas beliau mengimami shalat mereka secara berjamaah, Kemudian Nabi diberi tiga cawan; cawan berisi susu, cawan berisi arak, dan cawan berisi air. Rasulullah bersabda, “Aku mendengar seseorang berkata ketika ketiga cawan itu dihadapkan kepadaku, ‘Jika ia mengambil air maka ia tenggelam dan tenggelam pula umatnya. Jika ia mengambil arak maka ia sesat dan sesat pula umatmu. Jika ia mengambil susu maka ia mendapat petunjuk dan umatnya juga mendapat petunjuk. Lalu aku mengambil cawan berisi susu, dan aku meminumnya, Jibril berkata kepadaku, “Engkau diberi petunjuk dan diberi petunjuk pula umatmu, wahai Muhammad.”

 

Ibnu Ishaq berkata, diceritakan kepadaku dari Hasan, bahwasanya ia berkata: Rasulullah bersabda:

 

“Suatu ketika aku sedang tidur di Hijr (hijr Ismail), tiba-tiba Jibril mendatangku, lalu ia menerjangku dengan telapak kakinya. Aku duduk dan aku tidak melihat sesuatu pun. Lalu aku kembali ke tempat tidurku, lalu Jibril datang kepadaku untuk kedua kalinya, ia kembali menyerangku dengan tapak kakinya. Aku duduk dan aku tidak melihat apa pun. Kemudian aku kembali ke tempat tidurku. Lantas Jibril datang kepadaku untuk ketiga kalianya, lalu ia menerjangku dengan telapak kakinya. Aku duduk lalu ia memegang lengan atasku. Aku pun menyertainya. Ia keluar bersamaku menuju pintu masjid. Ternyata di sana sudah ada hewan tunggangan berwarna putih, bentuk fisiknya antara bagal dan keledai, pada kedua pahanya terbentang dua sayap, dengan kedua sayap itu ia mendorong kedua kakinya, meletakkan tangannya pada ujungnya, lalu ia menggendongku di atasnya. Kemudian ia keluar bersamaku, ia tidak melepaskanku dan aku pun tidak akan melepaskannya.”

 

Hasan bertutur pada haditsnya:

 

“Rasulullah berangkat. Malaikat Jibril menyertai beliau. Hingga beliau sampai ke Baitul Maqdis. Di sana, beliau berjumpa dengan Ibrahim, Musa, dan Isa, dalam sebuah rombongan yang beranggotakan para nabi. Rasulullah mengimami shalat mereka berjamaah. Kemudian disajikan kepada Rasulullah dua wadah air. Salah satunya berisi arak sedangkan yang lainnya berisi susu.’ Rawi berkata, “Rasulullah mengambil wadah yang berisi susu. Kemudian beliau meminumnya dan tidak mengambil wadah yang berisi arak.” Rawi berucap,

 

“Jibril berkata kepada Nabi, ‘Engkau diberi petunjuk menuju fitrah. Umatmu juga diberi petunjuk, wahai Muhammad. Diharamkan arak atas kalian!’ Kemudian Rasulullah meninggalkan tempat menuju Mekah. Ketika beliau. memasuki waktu pagi pada keesokan harinya, beliau segera menemui kaum Quraisy dan memberitahu mereka apa yang beliau alami. Mayoritas orang berkomentar, ‘Ini, demi Allah, adalah kebohongan yang nyata! Demi Allah, kafilah itu menempuh perjalanan selama sebulan dari Mekah menuju Syam untuk pulang dan satu bulan perjalanan datang kembali ke Mekah. Apakah Muhammad dapat menempuhnya hanya dalam satu malam saja, dan pagi harinya sudah kembali ke Mekah!”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Banyak orang yang dahulunya Islam menjadi murtad. Orang-orang pergi menemui Abu Bakar, lalu mereka berkata kepadanya, ‘Apa pendapatmu, wahai Abu Bakar, terhadap temanmu ini. Ia mengklaim bahwa tadi malam ia mendatangi Baitul Maqdis, kemudian mengerjakan shalat di sana, lantas hari ini ia telah kembali ke Mekah! Abu Bakar berkata kepada mereka, ‘Apakah kalian mendustakan omongannya?’ Mereka menjawab, ‘Ya. Lihatlah, ia masih bercerita kepada publik di Masjidil Haram? Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah, jika itu memang benar perkataannya, ia pasti berkata jujur. Apa yang membuat kalian takjub dari cerita itu! Demi Allah, ia memberitahuku bahwa wahyu sampai kepadanya dari Allah, dari langit, ke bumi dalam satu waktu dari malam atau siang hari, aku pun membenarkannya! Sungguh, ini jauh lebih menakjubkan daripada yang kalian takjubi itu!’ Kemudian Abu Bakar datang hingga berhenti di dekat Rasulullah #%, lantas berucap, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau bercerita kepada mereka, kaum Quraisy itu, bahwa engkau datang dari Baitul Maqdis malam ini?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya? Abu Bakar berkata, “Wahai Nabi Allah, gambarkan kepadaku panorama Baitul Maqdis itu karena aku sudah pernah datang ke sana Rasulullah bersabda, ‘Seketika itu ditampakkan kepadaku Baitul Maqdis, sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas? Sejenak kemudian Rasulullah menggambarkan panoramanya kepada Abu Bakar, dan seketika itu pula Abu Bakar berkata, “Engkau benar. Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah’? Hingga akhirnya, Rasulullah datang mendekati Abu Bakar sembari bersabda, ‘Engkau, wahai Abu Bakar, adalah Ash-Shidiq (orang yang membenarkan)!’ Sejak hari itulah, Abu Bakar dipanggil dengan nama Ash-Shidiq”

 

Dari Sa‘id bin Musayab bahwasanya Rasulullah, menggambarkan kepada para sahabat beliau keadaan fisik Ibrahim, Musa, dan Isa, ketika beliau melihat mereka pada malam itu, dengan bersabda:

 

“Adapun Ibrahim, aku belum pernah melihat seorang pria yang lebih Mirip dengannya daripada sahabat kalian ini. Aku juga belum pernah melihat Seorang yang menjadi sahabat kalian yang lebih mirip dengannya. Adapun Musa, ia seorang pria yang berkulit coklat, tinggi perawakannya, ringan dagingnya, Keriting rambutnya, dan berhidung mancung. Adapun Isa bin Maryam, ia pria berkuli, merah, tidak pendek dan tidak tinggi, rambutnya tergerai, banyak tahi lalat hitam di wajahnya, seolah-olah ia keluar dari kamar mandi, rambut kepalanya masih meneteskan air, yang paling mirip di antara kalian dengannya adalah Urwah bin Mas‘ud Ats-Tsaqafi.”

 

Kisah Mikraj

 

Ibnu Ishaq berkata, bercerita kepadaku orang yang tidak kutuduh berdusta, dari Abu Said Al-Khudri bahwasanya ia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:

 

“Tatkala aku selesai menjalani perintah Allah di Baitul Maqdis, aku diajak untuk naik ke langit (mikraj). Aku tidak melihat sesuatu pun yang lebih indah dari padanya. Itulah pemandangan yang dilihat oleh mata orang mati ketika mengalami sakaratul maut. Temanku (Jibril) membawaku naik di sana, sampai ia berhenti denganku di salah satu pintu dari sekian banyak pintu langit. Pintu itu dinamakan pintu Hafazhah. Di sana ada satu malaikat di antara sekian banyak malaikat yang ada. Malaikat itu bernama Ismail. Di bawah kedua tangannya ada dua belas ribu malaikat. Di bawah kedua tangan setiap malaikat dari mereka itu terdapat dua belas ribu malaikat lagi -rawi berkata, ‘Rasulullah bersabda ketika menyampaikan hadits ini, “Tiada yang mengetahui tentara Pemeliharamu kecuali Ia sendiri-” Tatkala aku diajak masuk, malaikat penjaga itu bertanya, ‘Siapa ini, wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Ini Muhammad?’ Malaikat penjaga bertanya lagi, Apakah ia sudah diutus?’ Jibril menjawab, “Ya? Rasul bersabda, “Kemudian malaikat penjaga itu mendoakan kebaikan untukku dan ia mengucapkannya.”

 

Beliau meneruskan tuturannya:

 

“Tatkala aku masuk ke langit dunia, kulihat di sana seorang pria yang sedang duduk. Dihadapkan kepadanya ruh-ruh anak keturunan Adam. Lalu ia berkata baik terhadap sebagiannya ketika dihadapkan kepadanya dan ia bergembira karenanya. Ia berucap, ‘Ruh yang baik, keluar dari jasad yang baik’? Orang itu juga berkata terhadap sebagian ruh ketika dihadapkan kepadanya, ‘Cih, sembari memasamkan rona wajahnya, lalu ia berkata, ‘Ruh yang buruk, keluar dari jasad yang buruk:

 

Aku pun bertanya, ‘Siapa pria ini, wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Ini adalah bapak moyangmu, Adam. Dihadapkan kepadanya ruh-ruh anak keturunannya. Apabila melewatinya ruh orang yang beriman di antara mereka maka ia menjadi gembira karenanya lalu ia berucap, “Ruh yang baik, keluar dari jasad yang baik.” Sedangkan apabila melewatinya ruh orang yang kafir di antara mereka maka dia mengucapkan “Cih” terhadapnya dan membencinya, ia pun menjadi susah karenanya, seraya berucap, “Ruh yang buruk, keluar dari jasad yang buruk.”

 

Kemudian aku melihat sejumlah orang yang memiliki bibir seperti bibir unta. Di tangan mereka ada potongan api seperti batu sebesar sekepalan tangan. Mereka melemparkan batu-batu itu ke dalam mulut mereka, lalu keluar dari dubur mereka. Aku bertanya, “Siapakah mereka, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah para pemakan harta anak yatim dengan cara yang zalim”

 

Selanjutnya, aku melihat orang-orang yang memiliki perut yang belum pernah kulihat semisal itu, dari kalangan keluarga Firaun, mereka berjalan melewati mereka layaknya unta yang kehausan ketika mereka dihadapkan ke neraka. Mereka menginjak-injak mereka, sedang yang diinjak itu tidak dapat berpindah dari tempat mereka. Aku pun bertanya, “Siapakah mereka, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah para pemakan riba.”

 

Kemudian aku melihat banyak orang yang di depan mereka ada daging yang besar dan enak, tetapi di sampingnya ada daging yang kecil dan busuk. Mereka makan daging yang kecil dan busuk itu, meninggalkan daging yang besar dan enak. Aku bertanya, “Siapakah mereka, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan wanita-wanita yang dihalalkan Allah untuk mereka, lalu pergi menuju wanita-wanita yang diharamkan Allah bagi mereka.”

 

Selanjutnya, aku melihat sejumlah wanita yang digantung bagian payudaranya, lalu aku berkata, “Siapakah mereka, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah perempuan yang memperbolehkan masuk lelaki yang bukan termasuk anak keturunan mereka.”

 

Kemudian Jibril mengajakku naik ke langit yang kedua, ternyata di sana ada dua saudara sepupu (anak bibi), yakni Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakaria.

 

Lalu Jibril membawaku naik ke langit yang ketiga, ternyata di sana ada seorang lelaki yang wajahnya seperti bulan purnama. Aku bertanya, “Siapa orang ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Ini adalah saudaramu, Yusuf bin Ya‘qub.”

 

Lantas Jibril mengajakku naik ke langit yang keempat. Ternyata di sana ada seorang pria. Aku bertanya kepada Jibril, “Siapa ia?” Jibril menjawab, “Ini adalah, Idris.” -Rasulullah bersabda, “Kami mengangkatnya ke tempat yang tinggi-”

 

Kemudian Jibril membawaku naik ke langit yang kelima. Di sana ada seorang pria dewasa yang putih rambut kepalanya dan putih pula jenggotnya, lebat jenggotnya. Aku tidak pernah melihat pria dewasa yang lebih tampan darinya. Aku bertanya, “Siapa orang ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Ini adalah orang yang dicintai di kalangan kaumnya, Harun bin Imran”

 

Selanjutnya, Jibril membawaku naik menuju langit yang keenam. Ternyata di sana ada seorang pria yang berkulit sawo matang, berhidung mancung*’, penampilannya seperti laki-laki dari kabilah Syanu‘ah. Aku bertanya kepada Jibril, “Siapa orang ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Ini adalah saudaramu, Musa bin Imran.”

 

Lantas Jibril menaikkan aku sampai ke langit yang ketujuh. Di sana ada seorang pria dewasa yang duduk di atas kursi yang panjangnya sampai ke pintu Baitul Makmur, yang setiap hari didatangi oleh tujuh puluh ribu malaikat, lalu mereka tidak kembali lagi ke sana sampai Hari Kiamat. Aku tidak melihat seorang lelaki yang mirip sahabat kalian ini, dan tidak pula sahabat kalian ini mirip dengannya darinya. Aku bertanya, “Siapa orang ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Ia adalah bapak moyangmu, Ibrahim.”

 

Selanjutnya, aku diajak masuk ke dalam Surga. Kulihat di Surga seorang budak perempuan yang mempunyai bibir yang sedikit kehitaman. Aku bertanya kepada ia, “Milik siapakah kamu?” Ia membuatku kagum ketika aku melihatnya. Budak perempuan itu menjawab, “Milik Zaid bin Haritsah.”

 

Kemudian Rasulullah menyampaikan berita gembira ini kepada Zaid bin Haritsah.

 

Rasulullah bersabda,

 

“Aku pulang. Ketika aku melewati Musa bin Imran, dan ia adalah sebaik-baik sahabat bagi kalian, ia bertanya kepadaku, “Berapakah shalat yang diwajibkan atas dirimu?’ Aku pun menjawab, ‘Lima puluh shalat dalam sehari? Musa berkomentar, ‘Shalat itu berat, sedang umatmu itu lemah. Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah Ia supaya memberi keringanan untukmu dan umatmu:’ Lalu aku kembali dan meminta kepada Tuhanku supaya Ia memberikan keringanan untukku dan umatku. Allah mengurangi sepuluh shalat. Selanjutnya, aku pergi dan melewati Musa kembali. Musa mengatakan kepadaku seperti perkataannya yang pertama tadi. Aku pun kembali dan meminta kepada Tuhanku. Akhirnya, Allah membebaskan dariku sepuluh shalat lagi. Kemudian aku meninggalkan tempat dan kembali melewati Musa. Musa berkata kepadaku seperti perkataannya yang pertama dan kedua. Aku pun kembali dan meminta kepada Tuhanku. Allah mengurangi sepuluh shalat lagi dariku. Kemudian Musa terus saja mengatakan ucapan yang sama kepadaku, setiap kali aku kembali menemuinya. Musa berkata, ‘Kembalilah kamu dan mintalah sampai akhirnya, aku berhenti ketika Allah telah membebaskan kewajiban shalat dariku kecuali lima shalat dalam sehari semalam. Kemudian aku kembali menemui Musa. Musa mengatakan kepadaku perkataan yang semisal dengan ucapannya sebelumnya. Lalu aku menjawab, ‘Aku sudah kembali menemui Tuhanku dan aku sudah meminta kepada-Nya, sampai aku malu kepada-Nya. Aku tidak akan melakukan hal itu lagi-”

 

Barang siapa di antara kalian yang mengerjakan lima shalat itu dalam keadaan beriman terhadap kewajiban itu, serta mengharapkan pahala dengan mengerjakannya, ia mendapatkan pahala sebagaimana pahala mengerjakan lima puluh shalat wajib.

 

Wafatnya Abu Thalib dan Khadijah

 

Khadijah binti Khuwailid dan Abu Thalib meninggal dunia pada tahun yang sama, sehingga musibah terasa bertubi-tubi menimpa Rasulullah. Kematian Khadijah, yang mana ia merupakan teman yang jujur dan benar bagi Nabi dalam menjalankan Islam, tempat beliau biasa mengadu kepadanya. Kemudian kematian paman beliau Abu Thalib, yang merupakan pendukung dan pengawal dalam urusan beliau, serta pelindung dan penolong beliau dalam menghadapi kaumnya. Kedua musibah besar ini terjadi tiga tahun sebelum beliau berhijrah ke Madinah.

 

Tatkala Abu Thalib meninggal, kaum Quraisy menimpakan gangguan dan siksaan terhadap Rasulullah yang belum pernah berhasil diwujudkan ketika Abu Thalib masih hidup. Sedemikian dahsyatnya terpaan itu, hingga salah seorang bodoh dari orang-orang bodoh Quraisy menebarkan debu ke kepala Rasulullah. Rasulullah masuk ke rumah beliau sedang debu-debu itu masih ada di kepala beliau. Salah seorang putri beliau bangkit dan membasuh kepala ayahnya dari debu, sambil menangis. Rasulullah bersabda kepada putrinya, “Janganlah engkau menangis, wahai putriku. Allah pasti akan melindungi ayahmu.’ Rasulullah pernah bersabda, “Kaum Quraisy tidak pernah menimpakan keburukan terhadap diriku sampai Abu Thalib meninggal dunia”

 

Tatkala Abu Thalib sakit dan orang Quraisy mendengar sakitnya bertambah parah, mereka pun saling berbincang satu sama lain, “Hamzah dan Umar sudah masuk Islam. Dakwah Muhammad sudah tersebar luas di kabilah-kabilah Quraisy. Karena itu, marilah kami pergi menemui Abu Thalib, supaya ia mau membawa keponakannya itu dan menyerahkannya kepada kami. Demi Allah, kami tidak akan aman dari tindakan Muhammad yang merampas urusan ini dari kami!”

 

Ibnu Abbas bertutur:

 

Mereka pergi menuju rumah Abu Thalib dan berbicara kepadanya. Mereka merupakan orang-orang mulia Suku Quraisy, yakni Utbah bin Rabi‘ah, Syaibah bin Rabi‘ah, Abu Jahal bin Hisyam, Umayah bin Khalaf, Abu Sufyan bin Harb, serta sejumlah orang mulia dari kaum Quraisy. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, sungguh engkau memiliki kedudukan di antara kami sebagaimana kau ketahui. Sungguh, telah terjadi di hadapanmu apa yang kau lihat. Kami mengkhawatirkan musibah terjadi menimpamu. Engkau mengetahui apa yang terjadi antara kami dengan keponakanmu itu, panggillah ia. Ambillah haknya dari kami dan ambillah pula hak kami darinya, supaya ia menahan diri dari menyerang kami, sehingga kami pun akan menahan diri darinya. Suruhlah ia membiarkan kami dan agama kami, kami pun akan membiarkan ia dan agamanya!”

 

Abu Thalib mengirim utusan untuk menemui Muhammad, beliau pun mendatangi paman beliau yang tercinta. Abu Thalib berkata, “Wahai keponakanku, mereka adalah orang-orang mulia dari kaummu. Mereka berkumpul untuk menemuimu, untuk memberi dan meminta sesuatu darimu.” Ibnu Abbas bertutur bahwa Rasulullah bersabda, “Ya, satu kalimat saja kalian memberikannya kepadaku, kalian akan menguasai seluruh bangsa Arab, lalu bangsa-bangsa non Arab akan menjalankannya untuk kalian-” Abu Jahal berkata, “Ya, demi bapakmu, sepuluh kalimat pun akan kami penuhi” Rasulullah bersabda, “Kalian ucapkan, “Tiada tuhan kecuali Allah, dan kalian mencabut keyakinan terhadap apa yang kalian sembah selain Allah.”

 

Ibnu Abbas meneruskan tuturannya, “Tokoh-tokoh Quraisy itu bertepuk tangan. Lalu mereka berucap, ‘Hai Muhammad, apakah kamu ingin menjadikan tuhan-tuhan yang banyak ini menjadi satu tuhan saja. Engkau benar-benar mengherankan

 

Ibnu Abbas berujar, “Mereka pun saling berkata kepada yang lain, ‘Demi Allah, orang ini tidak akan memberikan sedikit pun apa yang kalian inginkan. Pergilah kalian dan segeralah menuju agama bapak moyang kalian, sampai Allah menetapkan hukum antara kalian dengan dirinya.”

 

Kemudian mereka berpisah. Abu Thalib berkata kepada Rasulullah, “Demi Allah, wahai keponakanku, aku tidak melihatmu meminta mereka terlalu berlebihan!” Tatkala Abu Thalib mengucapkan demikian, Rasulullah menjadi sangat ingin apabila pamannya itu masuk Islam. Beliau pun bersabda kepada Abu Thalib, “Wahai paman, kalau begitu ucapkanlah perkataan tadi, niscaya aku akan meminta agar diperkenankan memberikan syafaat bagimu pada Hari Kiamat nanti.”

 

Ketika melihat keinginan Rasulullah yang sedemikian kuat, Abu Thalib berucap, “Wahai keponakanku, demi Allah, kalaulah tidak karena takut cacian mereka atas dirimu dan anak-anak bapakmu sepeninggalmu, atau kaum Quraisy menyangka bahwa aku hanya mengucapkannya karena takut mati, niscaya aku pasti mengucapkannya. Aku tidak akan mengucapkannya kecuali aku membisikkannya kepadamu.”

 

Tatkala kematian semakin dekat bagi Abu Thalib, Abbas memandang kepadanya yang menggerakkan Kedua bibirnya. Lalu ia menyuruh Rasulullah mendengarkannya dengan seksama seraya berkata, “Wahai keponakanku, demi Allah, saudaraku ini sudah mengucapkan kata-kata sebagaimana kau perintahkan kepadanya!” Rasulullah bersabda, “Aku tidak mendengarnya.”

 

Ibnu Abbas berucap, “Allah menurunkan ayat berkaitan sekelompok orang yang berkumpul dengan Rasulullah, yang beliau berkata kepada mereka, namun mereka membantah beliau dengan berbagai bantahan.

 

“Shad, demi Al-Quran yang memiliki keagungan. Sebenarnya, orang-orang kafir itu berada dalam kesombongan dan permusuhan. Berapa banyak Kami hancurkan umat sebelum mereka, lalu mereka menyeru dan meminta tolong ketika tiada lagi tempat perlindungan. Mereka heran karena kedatangan seorang pemberi ancaman di antara mereka, dan orang-orang kafir itu berkata ‘Ini adalah tukang sihir dan pendusta. Apakah ia hendak menjadikan tuhan-tuhan yang banyak ini menjadi satu Tuhan saja! Sungguh, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.’ Berangkatlah para pembesar dari mereka, ‘Terus berjalanlah kalian dan bersabarlah kalian atas tuhan-tuhan kalian. Inilah sesuatu yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar dakwah ini pada millah yang terakhir….’” (Shad [38]: 1-7)

 

Yang mereka maksud dengan millah terakhir adalah Nasrani, berdasarkan ucapan mereka, “Allah itu yang ketiga dari tiga.” (Al-Ma‘idah [5]: 73) dan “Tiadalah ini kecuali sesuatu yang dibuat-buat” (Shad [38]: 7).

 

Kemudian Abu Thalib meninggal dunia.

 

Perjalanan Rasulullah ke Tsaqif untuk Meminta Bantuan

 

Ketika Abu Thalib meninggal dunia, kaum Quraisy menimpakan Rasulullah berbagai gangguan yang belum pernah ditimpakan terhadap beliau tatkala paman beliau, Abu Thalib, masih hidup. Karena itulah Rasulullah pergi ke Thaif untuk mencari bantuan dan pertolongan dari Suku Tsagif, juga meminta perlindungan kepada mereka dari gangguan kaum Quraisy. Beliau berangkat dengan harapan mereka mau menerima ajaran yang beliau bawa dari Allah w. Beliau berangkat ke Thaif sendirian.

 

Tatkala Rasulullah sampai di Thaif, beliau segera mendekati satu komunitas dari Suku Tsaqif. Mereka, pada waktu itu, adalah para pemuka Tsaqif dan tokoh mereka. Mereka adalah tiga bersaudara, Abdu Yalil bin Amru bin Umair, Mas‘ud bin Amru bin Umair, dan Hubaib bin Amru bin Umair. Salah seorang dari mereka beristrikan perempuan Quraisy dari Bani Jumah. Rasulullah duduk di majelis mereka dan berdakwah mengajak mereka kepada Allah, serta menyampaikan tujuan kedatangan beliau dan agar mereka bersedia menolong beliau untuk Islam, berdiri bersama beliau untuk melawan siapa pun yang menentang beliau dari kaum Quraisy.

 

Salah seorang di antara mereka berucap, “Ia melucuti dan mencampakkan kain penutup Kakbah jika Allah mengutusmu.” Yang lainnya berkata, “Apakah Allah tidak mendapati siapa pun untuk diutus selain kamu?!” Yang ketiga berucap, “Demi Allah, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya. Jika kamu adalah rasul utusan Allah, sebagaimana yang kau katakan, kamu lebih berbahaya jika aku menjawab omonganmu. Namun, jika kamu berdusta atas Allah, tentu tidak sepantasnya aku berbicara denganmu!”

 

Rasulullah bangkit dari majelis mereka. Rasulullah bersabda kepada mereka, “Jika kalian berbuat demikian padaku, tutupilah sikap kalian itu padaku” Rasulullah tidak suka bila peristiwa penolakan pemuka Tsaqif ini sampai kepada kaum Quraisy, sehingga mereka kian berani menyakiti beliau. Akan tetapi, para tokoh Tsagif ini tidak mau melakukannya. Mereka justru menghasut anak-anak mereka dan budak mereka untuk mencaci Nabi dan meneriaki beliau dengan teriakan penghinaan, sehingga banyak orang berkerumun untuk menyakiti beliau. Mereka mendesak beliau hingga beliau berlindung di kebun berpagar milik Utbah bin Rabi‘ah dan Syaibah bin Rabi‘ah, sedang mereka berdua berada di kebun itu. Anak-anak Tsagif yang menguntit beliau, lantas pergi meninggalkan beliau. Nabi berpegangan pada batang pohon anggur. Beliau duduk di sana, sedang kedua anak Rabi‘ah (Utbah dan Syaibah) memandangi beliau dari jauh. Mereka berdua melihat apa yang terjadi pada Rasulullah dari anak-anak Thaif.

 

Rasulullah juga bertemu dengan perempuan yang berasal dari Bani Jumah itu, beliau berkata kepada perempuan itu, “Apa yang kami alami ini karena suamimu!”

 

Tatkala Rasulullah merasa tenang, beliau berdoa —sebagaimana yang diceritakan kepadaku-:

 

“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya rekadayaku, dan ketidakberdayaanku atas manusia. Wahai Dzat yang Paling Penyayang di antara para penyayang, Engkau Tuhan bagi orang-orang lemah dan dhuafa. Engkau Tuhanku. Kepada siapakah Engkau menyerahkan aku? Kepada orang jauh yang bersikap keras dan kasar terhadapku? Atau kepada musuh yang Engkau beri kekuasaan kepadanya untuk memegang urusanku? Jika tiada murka dari-Mu atas diriku maka aku tak peduli. Akan tetapi, maaf dari-Mu itu paling luas meliputiku. Aku berlindung dengan Cahaya Wajah-Mu yang mengubah kegelapan menjadi cahaya terang, serta menyebabkan baiknya urusan dunia dan akhirat. Aku berlindung, jangan sampai kemarahan atau kemurkaan-Mu menimpa diriku. Hanya untuk-Mu aku memperbaiki diri dari kesalahan sampai Engkau ridha. Tiada daya dan upaya kecuali dengan perkenan-Mu.”

 

Tatkala kedua putra Rabi‘ah, yakni Utbah dan Syaibah, melihat Rasulullah dan apa yang beliau alami, tergeraklah kasih sayang mereka berdua kepada beliau. Mereka segera memanggil budak lelaki mereka yang beragama Nasrani, namanya Addas. Mereka berdua berkata kepada Addas, “Ambillah setandan buah anggur dari pohon ini, lalu letakkan di atas nampan. Pergilah, bawakan kepada pria itu, dan suruhlah ia memakan anggur ini.” Addas melaksanakan perintah itu. Ia mendatangi Nabi sembari meletakkan nampan yang berisi setandan buah anggur itu ke hadapan Rasulullah. Addas berkata, “Makanlah.” Tatkala Rasulullah meletakkan buah anggur itu ke tangan, beliau berucap, “Bismillah” Kemudian beliau memakannya.

 

Addas memandang wajah Rasul lalu berkata, “Demi Allah, ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini!”

 

Rasulullah bertanya kepada Addas, “Dari negeri manakah kamu, hai Addas? Apa agamamu?”

 

Addas menjawab, “Saya seorang Nasrani, saya adalah orang yang berasal dari negeri Ninawa”

 

Rasulullah bersabda, “Kamu berasal dari negeri orang shalih yang bernama Yunus bin Matta?”

 

Addas bertanya heran, “Apa yang kau ketahui tentang Yunus bin Matta?”

 

Rasulullah menjawab, “Ia adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan aku juga seorang Nabi!” Addas pun langsung bersimpuh memeluk Rasulullah seraya mencium kepala beliau, kedua tangan beliau, dan kedua kaki beliau.

 

Rawi berucap, “Salah satu putra Rabi‘ah berucap kepada saudaranya, ‘Ketahuilah, budakmu itu sudah dirusak oleh Muhammad karena perbuatanmu!’ Tatkala Addas datang kepada kedua majikannya itu, keduanya berucap, ‘Celaka kamu, hai Addas! Mengapa kamu mencium kepala orang itu, bahkan mencium kedua tangan dan kakinya?’ Addas menjawab, “Tuanku, tiada di muka bumi ini orang yang lebih baik daripada orang itu. la memberitahuku suatu perkara yang tiada yang mengetahuinya kecuali seorang Nabi!’ Utbah dan Syaibah berujar, ‘Celaka kamu, hai Addas. Jangan sampai ia memalingkanmu dari agamamu, karena agamamu itu lebih baik dari agamanya.”

 

Peristiwa Jin Nishibin

 

Rasulullah pergi meninggalkan Thaif untuk kembali ke Mekah, tatkala beliau merasa putus asa dari mendapatkan kebaikan Suku Tsaqif. Sesampainya di Nakhlah, beliau berdiri untuk mengerjakan shalat malam. Kemudian lewatlah sekelompok jin yang keadaan mereka disebutkan oleh Allah. Mereka sebagaimana yang diceritakan kepadaku adalah tujuh jin dari kalangan penduduk Nishibin. Mereka mendengarkan bacaan beliau. Tatkala beliau selesai dari shalat, mereka berpaling menuju kaum mereka untuk memberikan peringatan dan ancaman. Mereka telah beriman dan mengijabahi tuturan yang mereka dengar. Kemudian Allah menceritakan berita mereka kepada beliau. Allah berfirman,

 

“Ingatlah ketika Kami hadapkan sekelompok jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran maka tatkala mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata: ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya). Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: ‘Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Ap Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan menyelamatkan kalian dari siksa yang pedih.” (Al-Ahqaf [46]: 29-31)

 

Juga berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Diwahyukan kepadaku bahwa sekelompok dari jin telah mendengarkan….” (Al-Jin [72]: 1) sampai akhir kisah dari berita tentang mereka pada surah ini.

 

Rasulullah Menawarkan Dirinya kepada Berbagai Kabilah

 

Selanjutnya, Rasulullah tiba di Mekah, sedang kaum beliau kian keras sikapnya dari sebelumnya dalam menyelisihi beliau dan memusuhi agama beliau, kecuali sedikit orang dari kalangan kaum dhuafa yang beriman kepada beliau. Rasulullah mulai menawarkan diri beliau pada musim haji ketika waktunya tiba, kepada berbagai kabilah Arab. Beliau mengajak mereka kepada Allah, memberitahu mereka bahwa beliau adalah Nabi yang diutus, meminta mereka supaya membenarkan beliau dan melindungi beliau, sampai beliau menjelaskan kepada mereka misi pengutusan beliau oleh Allah.

 

Rabi‘ah bin Abad berkata,

 

“Aku saat itu seorang anak kecil berusia belia. Aku bersama ayahku di Mina. Rasulullah saat itu berhenti di tempat-tempat istirahat berbagai kabilah Arab. Beliau bersabda, “Wahai Bani fulan, aku adalah utusan Allah untuk kalian, memerintahkan kalian agar menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Juga agar kalian menghentikan penyembahan terhadap berhala-berhala selain-Nya, supaya kalian beriman kepadaku, membenarkan aku, dan melindungi aku, sampai kujelaskan dari Allah suatu perkara yang Ia mengutusku dengannya’ Di belakang beliau ada seorang lelaki yang bermata juling, berwajah cerah bersinar, memiliki dua jalinan ekor rambut, dan memakai baju buatan Aden. Apabila Rasulullah selesai bicara dan selesai berdakwah, lelaki itu berkata, “Wahai Bani fulan, sungguh orang ini tadi hanyalah mengajak kalian untuk melepaskan keyakinan Latta dan Uzza dari leher kalian, serta mengajak untuk meninggalkan sekutu kalian dari kalangan jin dari Bani Malik bin Uqaisy,™ menuju ajaran yang ia bawa yakni, bid‘ah dan kesesatan. Oleh karena itu, janganlah kalian menaatinya dan jangan dengarkan omongannya!”

 

Rabi‘ah bin Abad berkata, “Aku pun bertanya kepada ayahku, ‘Ayah, siapa orang yang mengikuti si pendakwah serta menolak apa saja yang ia katakan itu?’ Bapakku menjawab, ‘Ia adalah pamannya, Abdul‘uzza bin Abdul Mutholib, Abu Lahab.”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Ibnu Syihab Az-Zuhri menceritakan kepadaku, bahwasanya Rasulullah datang ke Kandah, di tempat istirahat mereka. Di sana terdapat pemimpin mereka yang bernama Mulaih. Kemudian beliau mengajak beriman kepada Allah, serta menawarkan diri beliau kepada mereka. Akan tetapi, mereka enggan menerima beliau.”

 

Beliau juga datang kepada Bani Amir bin Sha’‘sha‘ah, lalu beliau mendakwahi mereka kepada Allah, serta menawarkan diri beliau kepada mereka. Salah seorang di antara mereka yang bernama Baiharah bin Firas berkata, “Demi Allah, andaikan aku menerima tawaran pemuda Quraisy ini, niscaya aku bisa menguasai orang Arab!” Kemudian ia berkata kepada Nabi, “Bagaimana pendapatmu, jika kami membaiatmu untuk mengikuti perintahmu, kemudian Allah memenangkanmu atas siapa saja yang menentangmu, apakah kepemimpinan setelahmu nanti akan menjadi milik kami?” Rasulullah menjawab, “Kepemimpinan kembali kepada Allah, Allah akan memberikannya sesuai kehendak-Nya.”

 

Baiharah berkata kepada Nabi, “Apakah kami akan mempertaruhkan leher kami sebagai sasaran anak panah orang-orang Arab untuk melindungimu, sedangkan ketika Allah memenangkanmu, kekuasaan tidak diberikan kepada kami?! Kami tidak ada urusan denganmu!” Mereka pun enggan menerima Nabi.

 

Tatkala orang-orang pergi meninggalkan Mekah, Bani Amir pulang ke kampung halaman mereka, lalu menemui sesepuh mereka yang sudah sangat lanjut usia sehingga ia tidak bisa ikut berangkat bersama mereka untuk beribadah haji. Apabila mereka pulang kepadanya, mereka selalu menceritakan apa yang mereka alami dan terjadi di musim haji. Tatkala mereka datang menemuinya pada tahun itu, ia bertanya apa saja yang terjadi di musim haji mereka itu. Mereka menjawab, “Datang kepada kami seorang pemuda Quraisy, salah seorang dari Bani Abdul Mutholib. Ia mengklaim dirinya adalah seorang Nabi. Ia mengajak kami untuk melindunginya, berjuang bersamanya, dan mengajaknya keluar meninggalkan Mekah menuju ke negeri kami!”

 

Sesepuh mereka itu meletakkan kedua tangannya di atas kepalanya, lalu ia berkata, “Hai Bani Amir, apakah masih bisa didapatkan lagi, apakah masih bisa carj lagi orang itu! Demi Dzat yang jiwa fulan berada di Tangan-Nya, tiada seorang pun anak keturunan Ismail yang mengucapkan kata-kata itu sama sekali. Itu kebenaran. Di mana akal kalian hingga hilang dari diri kalian?!”

 

Dari Abdullah bin Ka‘ab, bahwasanya Rasulullah datang kepada Bani Hanifah, di tempat istirahat mereka, lalu beliau mengajak mereka kepada Allah, menawarkan diri beliau kepada mereka, tetapi tiada seorang pun dari bangsa Arab yang lebih buruk penolakannya terhadap beliau dari mereka.

 

Rasulullah tetap melaksanakan misi beliau tersebut. Setiap kali orang-orang berkumpul pada musim haji, beliau selalu datang kepada mereka, mengajak kabilah-kabilah itu kepada Allah dan kepada Islam, menawarkan kepada mereka diri beliau dan apa yang beliau bawa dari Allah berupa petunjuk dan kasih sayang. Beliau tidak mendengar berita datangnya seseorang yang mulia dan memiliki reputasi baik ke Mekah kecuali beliau pasti menghadangnya dan mengajaknya kepada Allah, serta menawarkan ajaran yang beliau bawa kepadanya.

 

Suwaid bin Shamit, salah seorang dari kalangan Bani Amru bin Auf, datang ke Mekah untuk beribadah haji atau umrah. Rasulullah menghadangnya ketika beliau mendengar berita itu. Rasul mengajaknya kepada Allah dan kepada Islam. Suwaid berkata kepada beliau, “Mungkinkah kamu mempunyai sesuatu sebagaimana yang kupunya.” Rasulullah bersabda, “Apa yang kau miliki?” Suwaid berkata, “Catatan ucapan Luqman.” Rasulullah bersabda, “Perlihatkanlah kepadaku.” Suwaid memperlihatkan catatan itu kepada beliau. Rasulullah berkomentar, “Ini adalah ucapan yang indah, tetapi yang kumiliki lebih utama dari ini, yakni Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah g kepadaku, yang menjadi petunjuk dan cahaya.” Kemudian Nabi membacakan Al-Qur’an kepada Suwaid, lalu mengajaknya menuju Islam, dan Suwaid tidak menjauh darinya. Ia berkata, “Ini adalah perkataan yang indah.” Kemudian Suwaid pergi meninggalkan beliau.

 

Ia tiba di Madinah, menemui kaumnya, tetapi tidak lama kemudian ia dibunuh oleh orang-orang Khazraj.

 

Sejumlah orang dari kaumnya berkata, “Kami melihat ia terbunuh, sedang ia sudah menjadi seorang muslim.”

 

Terbunuhnya Suwaid terjadi sebelum Perang Bu‘ats.

 

Keislaman Kaum Anshan

 

Permulaan Masuk Islamnya Kaum Anshar

 

Tatkala Allah menghendaki kemenangan agama-Nya, kemuliaan Nabi-Nya, dan pelaksanaan janji-Nya kepada beliau, Rasulullah keluar pada musim haji yang di sana ada sekelompok orang Anshar menemui beliau. Beliau menawarkan diri beliau kepada berbagai kabilah Arab sebagaimana yang biasa beliau lakukan pada musim haji. Ketika beliau sedang berada di Aqabah, beliau bertemu satu rombongan Suku Khazraj yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan.”

 

Tatkala Rasulullah bertemu dengan mereka, beliau bersabda kepada mereka, “Siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Satu rombongan dari Suku Khazraj.” Rasul bertanya lagi, “Apakah kalian termasuk orang-orang yang bertetangga dengan kaum Yahudi?” Mereka menjawab, “Ya.” Rasul berucap, “Maukah kalian duduk sebentar, karena saya hendak berbicara kepada kalian.” Mereka menjawab, “Ya, baiklah” Mereka pun duduk satu majelis dengan beliau. Beliau pun mengajak mereka beriman kepada Allah, menawarkan Islam, serta membacakan Al-Qur’an kepada mereka.

 

Salah satu takdir yang ditetapkan Allah atas mereka dalam Islam adalah kaum Yahudi hidup berdampingan dengan Islam di negeri mereka. Orang-orang Yahudi memiliki kitab dan ilmu, sedangkan kaum Khazraj adalah orang-orang musyrik dan kalangan paganis. Khazraj biasa memerangi Yahudi yang tinggal di negeri mereka. Apabila terjadi sedikit percekcokan di antara mereka, Yahudi berkata kepada mereka, “Seorang Nabi telah diutus sekarang ini, sudah tiba waktunya Kami akan mengikutinya dan kami akan memerangi kalian bersamanya dengan pertempuran yang luar biasa dan menghancurkan kalian!”

 

Tatkala Rasulullah berbicara kepada komunitas itu dan mengajak mereka kepada Allah, sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lainnya, “Ketahuilah, demi Allah, ia adalah Nabi yang dijanjikan oleh orang-orang Yahudi, Jangan sampai mereka mendahului kalian dalam mengikutinya”

 

Oleh karena itulah, mereka segera menerima ajakan Nabi. Mereka membenarkan beliau, menerima apa yang beliau tawarkan berupa Islam. Mereka berkata, “Kami meninggalkan kaum kami dengan kaum lainnya, di antara mereka ada yang saling bermusuhan, bahkan buruk hubungannya. Mudah-mudahan Allah menyatukan mereka dengan kehadiranmu. Kami akan datang dan mengajak mereka untuk mengikuti perintahmu, kami akan tawarkan kepada mereka tawaranmu yang sudah kami terima, yakni Islam. Jika Allah menyatukan mereka melalui perantara dirimu, sungguh tiada seorang pun yang lebih mulia daripada engkau”

 

Kemudian mereka pergi meninggalkan Rasulullah, pulang ke negeri mereka, sedang mereka sudah beriman dan memercayai kebenaran Nabi. Jumlah mereka, sebagaimana yang dituturkan kepadaku, adalah enam orang, semuanya dari Kabilah Khazraj.

 

Tatkala mereka tiba di Madinah, dan sudah menemui kaum mereka, mereka menceritakan Rasulullah kepada kaum mereka. Mereka mengajak kaum mereka kepada Islam hingga tersebar luas di kalangan mereka. Tiada tersisa satu kampung pun dari perkampungan Anshar kecuali diceritakan tentang Rasulullah di sana.

 

Baiat Aqabah Pertama

 

Pada tahun berikutnya, rombongan haji dari Anshar datang kembali ke Mekah, berjumlah dua belas orang laki-laki. Mereka bertemu Nabi di Aqabah, dan itulah peristiwa Baiat Aqabah pertama. Mereka membaiat Rasulullah berdasarkan baiat kaum wanita. Peristiwa ini terjadi sebelum diwajibkan perang atas mereka. Orang yang membaiat Rasulullah di antaranya, As‘ad bin Zurarah, Rafi‘ bin Malik, Ubadah bin Shamit, dan Abul Haitsam bin Tayahan.

 

Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata:

 

“Aku termasuk orang yang ikut serta pada Baiat Aqabah pertama. Kami saat itu berjumlah dua belas laki-laki. Rasulullah membaiat kami berdasarkan baiat terhadap kaum wanita. Pembaiatan itu terjadi sebelum diwajibkannya perang, dengan baiat bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kami tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, kami tidak melakukan kebohongan yang kami buat-buat dengan tangan dan kaki kami, dan kami tidak menyalahi beliau dalam perkara yang makruf. Rasul bersabda, ‘Jika kalian memenuhi baiat itu maka Surga untuk kalian, sedangkan jika kalian menyembunyikan (pelanggaran) sedikit dari baiat itu maka urusan kalian kembali kepada Allah. Jika Allah menghendaki, Ia akan menimpakan adzab, dan jika Allah menghendaki, Ia akan memberikan ampunan.”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Tatkala orang-orang itu pergi meninggalkan Nabi, Rasulullah mengutus bersama mereka Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abd Manaf. Rasul menyuruhnya untuk membacakan Al-Quran kepada mereka, mengajarkan Islam kepada mereka, serta memahamkan mereka agama Islam, hingga akhirnya, Mush‘ab dikenal dengan nama Al-Mugri’ bil Madinah (si pembaca Al-Qur’an di Madinah)”

 

Mushiab mengimami shalat jamaah mereka karena Aus dan Khazraj masingmasing dari keduanya tidak suka bila diimami oleh yang lainnya.

 

Baiat Aqabah Kedua

 

Selanjutnya, Mush‘ab bin Umair kembali ke Mekah, ikut berangkat bersama rombongan Anshar yang sudah menjadi orang-orang Islam untuk menunaikan ibadah haji, bersama rombongan haji kaum mereka dari kalangan orang-orang musyrik. Setiba di Mekah, Rasulullah berjanji untuk menemui mereka di Aqabah, pada pertengahan Hari Tasyrik ketika Allah menghendaki kebaikan untuk mereka sebagaimana Ia menghendaki kemuliaan Rasul-Nya, menolong Nabi-Nya, menguatkan Islam serta pemeluknya.

 

Ka‘ab bin Malik bertutur:

 

“Kami berangkat bersama rombongan haji dari kalangan orang-orang musyrik. Kami telah mengerjakan shalat dan memahaminya. Kami bersama Barq bin Ma’rur, pemuka kami dan pembesar kami. Tatkala kami hendak menuju tujuan perjalanan kami, dan kami sudah keluar meninggalkan Madinah, Bara’ berkata kepada kami, “Wahai teman-temanku, sungguh aku mempunyai satu pendapat, yang demi Allah aku tidak tahu, apakah kalian akan menyetujui pendapatku inj ataukah tidak?’ Kami bertanya, ‘Pendapat apa itu?’ Bara menjawab, ‘Aku berpikir bahwa aku tidak akan meninggalkan bangunan ini dengan membelakanginya maksudnya Kakbah-. Aku akan shalat dengan menghadap padanya: Kami pun menjawab, ‘Demi Allah, berita yang sampai kepada kami adalah Nabi kami tidak mengerjakan shalat kecuali menghadap ke Syam, ” kami tidak akan menyelisihi beliau!’ Kemudian Bara’ berkata, ‘Aku benar-benar akan shalat menghadap Kakbah? Kami berkata kepadanya, ‘Akan tetapi, kami tidak akan melakukan itu!’ Ketika tiba waktu shalat, kami mengerjakan shalat menghadap ke arah Syam, sedangkan Bard mengerjakan shalat dengan menghadap ke Kakbah. Ia terus seperti itu sampai kami tiba di Mekah. Kami pun mencelanya atas tindakannya itu, tetapi ia tetap bersikeras melakukannya. Tatkala kami tiba di Mekah, Bara’ berkata kepadaku, “Wahai keponakanku, marilah kami pergi menemui Rasulullah. Kami bertanya kepada beliau tentang apa yang kulakukan pada perjalananku ini. Demi Allah, aku merasa ada sesuatu yang kurasakan dalam diriku, disebabkan sikap kalian yang menyelisihiku.”

 

Ka‘ab bin Malik melanjutkan ceritanya:

 

Kami pun berangkat untuk bertanya kepada Rasulullah, padahal kami tidak mengenali beliau. Kami belum pernah melihat beliau sebelumnya. Kami bertemu seorang pria warga kota Mekah, lantas kami menanyainya tentang Rasulullah. Ia balik bertanya, “Apakah kalian sudah mengenalnya?” Kami menjawab, “Belum.” Ia bertanya lagi, “Apakah kalian kenal Abbas bin Abdul Mutholib, pamannya?” Kami menjawab, “Ya, kami mengenal Abbas. Ia berkali-kali datang ke kota kami sebagai pedagang.” Orang itu berujar, “Apabila kalian berdua masuk masjid, Muhammad adalah orang yang duduk bersama Abbas.’ Kami masuk masjid, ternyata di sana ada Abbas yang sedang duduk, sedang Rasulullah juga duduk bersamanya. Kami mengucapkan salam lalu kami duduk menghadap kepada beliau. Rasulullah bertanya kepada Abbas, “Apakah engkau mengenal dua orang ini, wahai Abul Fadhl?” Abbas menjawab, “Ya. Ini adalah Bara’ bin Ma’rur, pemuka kaum, sedangkan yang ini adalah Ka‘ab bin Malik.” Demi Allah, aku tidak pernah lupa sabda Rasulullah, “Sang penyair?” Aku menjawab, “Ya.” Bara bin Ma’rur berkata, “Wahai Nabi Allah, sungguh aku berangkat dalam perjalananku ini, sesudah Allah mengaruniakan kepadaku petunjuk menuju Islam, lalu aku melihat bahwa aku tidak akan membelakangi bangunan ini (Kakbah). Sehingga aku mengerjakan shalat dengan menghadap kepadanya. Teman-temanku ini menyelisihiku dalam hal itu, hingga muncul sedikit perasaan tidak enak dalam diriku akan hal itu. Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Sungguh kamu telah menghadap ke arah kiblat, jika kamu bisa sedikit bersabar.”

 

Ka‘ab berkata, “Bara akhirnya mau kembali menghadap ke kiblat Rasulullah. Ia pun mengerjakan shalat bersama kami dengan menghadap ke Syam”

 

Kami pun kembali menunaikan ibadah haji. Rasulullah berjanji kepada kami akan mengadakan pertemuan di Aqabah pada pertengahan hari-hari Tasyrik. Tatkala kami selesai menunaikan haji, tibalah malam yang dijanjikan oleh Rasulullah. Kami disertai Abdullah bin Amru bin Haram, Abu Jabir (bapaknya Jabir), salah seorang pemuka kami, yang juga salah seorang tokoh mulia dari kami. Kami menyembunyikan urusan kami ini dari anggota rombongan kami yang masih musyrik. Kami berbicara kepada Abdullah dan kami katakan kepadanya, “Wahai Abu Jabir, engkau adalah salah seorang pemuka kami dan salah seorang tokoh mulia kami, kami sangat berharap engkau mau meninggalkan apa yang kau jalani selama ini yang mengakibatkan engkau menjadi kayu bakar Neraka besok di akhirat.” ‘Selanjutnya, kami mengajaknya kepada Islam, dan kami beritahukan kepadanya janji Rasulullah kepada kami di Aqabah. Lantas Abdullah masuk Islam dan ia ikut menyertai kami datang ke Aqabah, bahkan ia menjadi pemimpin rombongan.

 

Kami tidur pada malam itu bersama kaum kami di tempat peristirahatan hewan tunggangan kami. Ketika sudah lewat sepertiga malam, kami berangkat meninggalkan tempat istirahat kami untuk memenuhi janji Rasulullah. Kami mengendap-endap seperti kucing yang mengendap-endap, pergi dengan sembunyi-sembunyi, hingga kami berkumpul di lereng gunung di dekat Aqabah. Kami berjumlah tujuh puluh tiga orang. Dua perempuan dari kalangan istri-istri kami pun turut serta, yakni Nusaibah binti Ka‘ab dan Asma binti Amru bin Adiy.

 

Ka‘ab bertutur, “Kami berkumpul di lereng gunung, menunggu Rasulullah, sampai beliau datang bersama paman beliau Abbas bin Abdul Mutholib. Pada saat itu, Abbas masih memeluk agama kaumnya (jahiliah). Akan tetapi, ia senang mengikuti urusan keponakannya dan ia sangat memercayai beliau. Tatkala Nabi duduk, orang pertama yang berbicara adalah Abbas bin Abdul Mutholib. Abbas berkata, “Wahai segenap orang Khazraj -orang-orang Arab biasa menyebut satu komunitas dari Anshar dengan sebutan Khazraj, baik untuk menyebut Suku Khazraj maupun Suku Aus Muhammad adalah bagian dari kami, sebagaimana kalian sudah mengetahuinya. Kami melindunginya dari kaum kami, yakni dari kalangan orang yang berpikir sebagaimana kami tentang dirinya. Ia berada dalam posisi mulia di antara kaumnya, dan terlindungi di negerinya. Ia memutuskan untuk berafiliasi ke negeri kalian, menyusul kalian. Jika kalian memandang bahwa kalian mampu memenuhi seruannya, melindunginya dari siapa saja yang menyelisihinya, berarti kalian siap membawanya bersama kalian. Tetapi jika kalian berpikir untuk menyerahkannya kepada musuhnya dan menelantarkannya setelah kepergiannya dari negeri kalian, sejak sekarang tinggalkan ia. Ia sekarang berada pada posisi mulia dan terlindungi dari kaumnya dan penduduk negerinya’

 

Kami berkata kepada Abbas, “Kami sudah mendengar apa yang kau katakan, silakan berbicara wahai Rasulullah, ambillah hak untuk dirimu dan untuk Tuhanmu apa saja yang engkau inginkan.””

 

Rasulullah berbicara. Beliau membaca Al-Qur’an, menyeru kepada Allah, menghasung untuk masuk Islam, kemudian beliau bersabda, “Aku membaiat kalian atas dasar kalian melindungiku sebagaimana kalian melindungi istri dan anak kalian!”

 

Bara bin Ma‘rur segera memegang tangan Nabi seraya berucap, “Ya, demi Dzat Yang mengutusmu sebagai Nabi dengan kebenaran, kami benar-benar akan melindungimu sebagaimana kami melindungi diri dan istri kami. Baiatlah kami wahai Rasulullah, karena kami, demi Allah adalah anak-anak perang dan ahli menggunakan senjata. Kami mewarisi keahlian ini dari orang tua kami, secara turun temurun!”

 

Ketika Bara’ masih berbicara kepada Rasulullah, Abul Haitsam bin Tayahan menyela pembicaraan, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, antara kami dengan sejumlah orang itu -yang ia maksudkan adalah Yahudi ada sebuah hubungan yang kami telah memutuskannya. Apakah jika kami melakukan itu, lalu Allah memberimu kemenangan, engkau akan kembali ke kaummu dan meninggalkan kami?” Rasulullah tersenyum, kemudian bersabda, “Tidak, darah kalian adalah darahku, penumpahan darah kalian adalah penumpahan darahku,” aku adalah bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dariku. Aku memerangi siapa saja yang memerangi kalian, dan aku berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian!”

 

Rasulullah bersabda, “Kalian utuslah untuk menemuiku dua belas kepala suku, agar mereka menjadi pembaiat atas kaum mereka serta apa yang ada pada kalangan mereka.” Kaum Anshar itu segera mengirim dua belas kepala suku dari mereka, yakni sembilan orang dari Kabilah Khazraj dan tiga orang dari Kabilah Aus.”

 

Orang pertama yang memegang tangan Rasulullah untuk berbaiat adalah Bara bin Marur, kemudian yang lainnya turut membaiat beliau.

 

Tatkala kami membaiat Rasulullah setan berteriak dari puncak Bukit Aqabah dengan suara paling keras yang pernah kudengar, “Wahai orang-orang yang ada di tempat-tempat istirahat Mina, apakah kalian akan menyertai orang yang tercela (mudzammam)” dan ikut bersama mereka menjadi orang-orang yang murtad dari agamanya?” Sungguh, mereka telah bersatu untuk memerangi kalian!” Rasulullah bersabda, “Ini adalah Azab Aqabah, ia merupakan anak Azyab!”

 

Kemudian Rasulullah bersabda, “Bertolaklah kalian ke tempat istirahat kalian.” Abbas bin Ubadah bin Nadhlah berkata kepada beliau, “Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan kebenaran. Jika engkau menghendaki, sungguh kami akan mendatangi orang-orang yang ada di Mina ini besok pagi dengan menyandang pedang kami!” Rasulullah bersabda, “Kami belum diperintahkan untuk melakukannya, akan tetapi kembalilah kalian ke tempat istirahat kalian”

 

Kami pun kembali pulang ke tempat kami. Kami tidur pada malam itu hingga pagi. Tatkala kami memasuki waktu pagi, orang-orang tua dari kalangan Quraisy mendatangi kami lalu berkata, “Wahai sekalian orang Khazraj, sampai berita kepada kami bahwa kalian telah datang menemui teman kami ini (Muhammad), lantas kalian hendak mengajaknya keluar berpindah dari kami. Kalian juga membaiatnya untuk memerangi kami. Demi Allah, tiada satu pun komunitas Arab yang paling kami benci untuk kami perangi, dari kalian!”

 

Orang-orang musyrik dari kaum kami yang ada di sana bangkit, mereka bersumpah demi Allah, “Hal seperti itu tidak mungkin terjadi! Kami, bahkan tidak mengetahuinya!” Mereka memang berkata benar, dan mereka memang belum mengetahui Rasulullah. Ka‘ab berkata, “Kami pun hanya saling berpandangan.”

 

Orang-orang pergi meninggalkan Mina. Orang Quraisy terus memperbincangkan berita pembaiatan tersebut, dan mereka mendapati bahwa pembaiatan itu sudah terjadi. Mereka keluar untuk mencari kaum yang berbaiat kepada Nabi, lalu mereka berhasil menyusul Saad bin Ubadah dan Mundzir bin Amru di Adzakhir,” keduanya termasuk kepala suku. Mereka gagal menangkap Mundzir tetapi berhasil menangkap Saad. Mereka mengikat kedua tangan Saad bin Ubadah ke lehernya dengan tali kekang hewan tunggangannya. Kemudian mereka membawanya ke kota Mekah, lantas memukulinya. Mereka menjambak rambut Saad, Saad merupakan orang yang lebat rambutnya.

 

Saad bin Ubadah berkata:

 

“Demi Allah, aku berada di genggaman mereka, tiba-tiba muncul di hadapanku sekelompok orang dari kalangan Quraisy, di antara mereka ada seorang pria yang bersih wajahnya dan putih kulitnya, bagus perawakannya, dan termasuk pria yang berwajah tampan. Aku bergumam dalam hati, ‘Jika ada kebaikan pada seseorang dari kaum ini, pasti ada pada orang ini!’ Tatkala ia mendekatiku, ia mengangkat tangannya lalu meninjuku dengan hantaman yang kuat. Aku pun bergumam dalam hati, ‘Demi Allah, tiada kebaikan pada mereka sesudah orang ini.” Saad meneruskan tuturannya, “Demi Allah, aku berada dalam kekuasaan mereka, mereka menyeretku. Tiba-tiba ada seseorang di antara mereka yang merasa kasihan kepadaku dan menyayangiku, lalu ia berkata, ‘Celaka kamu! Tidakkah kamu mempunyai ikatan perjanjian dan akta untuk saling melindungi dengan seorang lelaki dari Quraisy?’ Aku menjawab, ‘Ya, demi Allah. Aku dulu memberi perlindungan untuk Jubair bin Muth’im bin Adiy bin Naufal bin Abd Manaf dalam bidang perniagaan, aku melindungi mereka dari orang yang ingin menzalimi mereka di negeriku. Aku juga pernah melindungi Harits bin Harb bin Umayah bin Abdu Syams bin Abd Manaf? Orang itu berkata, ‘Celaka! Panggillah nama dua orang itu dan sampaikan apa yang pernah terjadi antara dirimu dengan mereka berdua!”

 

Saad bin Ubadah meneruskan cerita pengalamannya, “Aku yang akan melakukannya.” Lelaki itu pergi menemui mereka berdua (Jubair bin Muth‘im dan Harits bin Harb), ia menemukan keduanya di Masjidil Haram di dekat Kakbah. Orang itu berkata kepada keduanya, “Ada seorang pria dari Khazraj yang sekarang jni sedang disiksa di Abthah, ia memanggil kalian berdua. la menyebutkan bahwa adanya hubungan saling melindungi antara dirinya dengan kalian berdua!” Keduanya bertanya, “Siapa ia?” Si utusan menjawab, “Saad bin Ubadah” Mereka berdua berucap, “Benar, demi Allah. Ia pernah melindungi kafilah dagang kami, melindungi mereka dari tindak kezaliman di negerinya.”

 

Rawi berucap, “Kemudian keduanya membebaskan Saad dari tangan musuh Islam, lantas Saad pergi meninggalkan tempat itu.”

 

Syarat Baiat Aqabah Terakhir

 

Baiat Aqabah terakhir (Baiat Aqabah Kedua) adalah baiat perang, ketika Allah mengizinkan Rasul-Nya untuk berperang, dan itu menjadi salah satu syarat, di samping syarat-syarat yang ditetapkan Rasulullah untuk dipenuhi oleh orang-orang Islam pada Baiat Aqabah pertama. Baiat Aqabah pertama isinya didasarkan pada baiat terhadap kaum wanita, karena pada waktu itu Allah belum mengizinkan Rasul-Nya untuk berperang. Tatkala Allah sudah mengizinkan perang, Rasulullah pada Baiat Aqabah kedua membaiat orang-orang Islam untuk berperang melawan orang kulit merah dan kulit hitam. Beliau mengambil perjanjian itu untuk dirinya, mensyaratkan orang-orang agar berjanji untuk Tuhannya, dan menjanjikan surga bila mereka memenuhi baiat tersebut.

 

Ubadah bin Shamit berkata:

 

“Kami membaiat Rasulullah dengan baiat perang, untuk siap mendengar dan menaati, baik dalam keadaan sulit maupun lapang, dalam keadaan senang maupun tidak senang, bahkan ketika terjadi ketidakadilan pemimpin terhadap kami. Kami berjanji tidak akan merebut urusan dari ahlinya, mengatakan kebenaran, di mana pun kami berada, serta tidak takut, dalam perjuangan di jalan Allah ini terhadap cercaan dari siapa pun yang mencerca!”

 

Turunnya Ayat Berisi Perintah Perang

 

Keadaan Rasulullah, sebelum terjadinya Baiat Aqabah adalah tidak diizinkan untuk berperang dan tidak dihalalkan bagi beliau untuk menumpahkan darah musuhnya. Beliau hanya diperintahkan untuk berdoa kepada Allah, bersabar, menghadapi gangguan dan siksaan, serta memaafkan tindakan orang bodoh. Kaum Quraisy menekan dan mengimpit siapa saja yang mengikuti Nabi dari kalangan Muhajirin, hingga memfitnah mereka supaya murtad dari agama mereka, dan mengusir mereka dari negeri mereka.

 

Keadaan ini mengakibatkan kaum muslimin berada di antara orang yang terfitnah dalam agamanya, orang yang disiksa di hadapan mereka, serta orang-orang pergi ke berbagai negeri sebagai bentuk pelarian. Di antara mereka ada yang berhijrah ke negeri Habasyah, ada pula yang berpindah ke Madinah, dalam kondisi dan keadaan yang beragam.

 

Tatkala kaum Quraisy bermaksiat kepada Allah , menolak kemuliaan yang akan diberikan Allah kepada mereka, mendustakan Nabi-Nya, menyiksa dan melenyapkan siapa saja yang menyembah-Nya. Mengesakan-Nya, membenarkan Nabi-Nya, serta berpegang teguh kepada agama-Nya, Allah pun mengizinkan Rasul-Nya untuk berperang serta membalas siapa pun yang menzalimi mereka dan siapa pun bertindak melampaui batas terhadap mereka.

 

Ayat pertama yang turun terkait izin Allah untuk Nabi-Nya berperang serta penghalalan darah orang kafir dan perang terhadap mereka menurut riwayat yang sampai kepada saya-, dari Urwah bin Zubair dan ulama lainnya adalah firman Allah,

 

“Diizinkan (berperang) untuk orang-orang yang diperangi, karena mereka dizalimi. Sungguh, Allah Mahakuasa untuk menolong mereka. Orang-orang yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa hak, tetapi mereka berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah.’ Kalaulah bukan karena perlindungan Allah terhadap manusia, sebagian mereka dengan sebagian yang lain, pastilah diruntuhkan biara, gereja, sinagog, dan masjid yang banyak disebut Nama Allah di dalamnya. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat lagi Mahagagah. Orang-orang yang jika Kami tempatkan mereka berkuasa di bumi, mereka pasti menegakkan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemunkaran. Milik Allah-lah kesudahan semua urusan.” (Al-Haj [22]: 39-41)

 

Maksudnya; Aku (Allah) menghalalkan perang untuk mereka karena mereka telah dizalimi, padahal mereka tidak berdosa dalam hubungan mereka dengan orang-orang yang lainnya. Sungguh, apabila mereka menang maka mereka akan menegakkan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemunkaran. Yang dimaksud adalah Nabi dan para sahabat beliau, semoga Allah meridhai mereka semuanya.

 

Selanjutnya, Allah menurunkan ayat kepada Nabi:

 

“Perangilah mereka sampai tiada fitnah (kekafiran)….” (Al-Baqarah [2]: 193)

 

Maksudnya, seorang mukmin tidak terfitnah hingga meninggalkan agamanya. Dan firman Allah:

 

“ dan seluruh agama ini menjadi milik Allah….” (Al-Baqarah [2]: 193)

 

Maksudnya sampai Allah disembah dan tiada sesuatu pun yang juga disembah selain Ia.

 

Izin Hijrah ke Madinah

 

Tatkala Allah mengizinkan Nabi-Nya berperang, dan komunitas Ansha, ini membaiat beliau untuk menjalankan Islam, menolong beliau, menolong semua orang Islam yang mengikuti beliau dan memberi tempat tinggal kepada beliau, Rasulullah pun memerintahkan para sahabat beliau, baik dari kalangan yang sudah berhijrah maupun yang masih bersama beliau di Mekah untuk berangkat ke Madinah dan berhijrah ke sana, serta untuk menyusul saudara-saudara seiman mereka dari kalangan kaum Anshar. Rasulullah bersabda:

 

“Sungguh, Allah telah menjadikan untuk kalian saudara-saudara dan negeri yang kalian akan mendapatkan keamanan di sana.”

 

Kemudian para sahabat Nabi berhijrah secara bertahap, satu rombongan demi satu rombongan. Rasulullah tetap tinggal di Mekah, menunggu izin dari Tuhannya untuk pergi meninggalkan Mekah dan berhijrah ke Madinah.

 

Kaum Muslim Berhijrah ke Madinah

 

Orang pertama yang berhijrah ke Madinah dari kalangan sahabat Rasul, dari kalangan Muhajirin, dari Quraisy, dan dari Bani Makhzum adalah Abu Salamah bin Abdul’asad. Ia berhijrah ke Madinah setahun sebelum terjadinya Baiat Aqabah. Saat itu, ia datang menemui Rasulullah di Mekah dari negeri Habasyah. Tatkala kaum Quraisy menyakitinya dan sampai kepadanya berita keislaman orang-orang Anshar, ia pun berangkat ke Madinah untuk berhijrah.

 

Orang pertama yang datang di Madinah dari kalangan Muhajirin, sesudah Abu Salamah, adalah Amir bin Rabi‘ah. Ia datang bersama istrinya; Laila binti Abi Hatsmah. Kemudian Abdullah bin Jahsy; ia membawa serta keluarganya dan saudaranya Abd bin Jahsy; yakni Abu Ahmad. Abu Ahmad adalah orang yang buta. Ia senantiasa berkeliling kota Mekah, baik di dataran tinggi maupun dataran rendahnya tanpa ada seorang pun yang menuntunnya. Ia adalah seorang penyair.

 

Selanjutnya, yang berangkat berhijrah adalah Umar bin Khathab dan Ayasy bin Abu Rabi‘ah Al-Makhzumi. Sesampainya keduanya di Madinah, para sahabat Nabi yang lain pun turut berhijrah (Muhajirin).

 

Hijrah Rasulullah

 

Rasulullah tetap tinggal di Mekah, sedang seluruh sahabat beliau telah berhijrah ke Madinah. Beliau menunggu diizinkan oleh Allah untuk berangkat hijrah. Tiada seorang pun dari kalangan Muhajir yang masih tinggal di Mekah, kecuali orang yang ditawan atau difitnah, kecuali Ali bin Abu Thalib dan Abu Bakar bin Abu Quhafah Ash-Shidiq. Abu Bakar sangat sering meminta izin kepada Rasulullah untuk berhijrah, lantas Rasulullah menjawabnya, “Jangan tergesa-gesa, mudah-mudahan Allah menetapkan seorang teman untukmu.” Abu Bakar sangat ingin dirinyalah yang menemani Nabi dalam berhijrah.

 

Tatkala kaum Quraisy melihat bahwa Rasulullah telah memiliki pengikut dan teman-teman selain yang tidak tinggal di negeri mereka. Mereka juga melihat bahwa para sahabat Rasulullah dari kalangan Muhajir telah meninggalkan Mekah, dan mereka sudah bertempat tinggal di sebuah negeri (Yatstrib/Madinah) serta mendapatkan perlindungan di sana, mereka pun khawatir bila Rasulullah akan menyerbu negeri mereka, karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah sudah menghimpun kekuatan untuk memerangi mereka.

 

Oleh karena itulah mereka berkumpul di Dar An-Nadwah -rumah Qushay bin Kilab yang orang-orang Quraisy tak pernah memutuskan satu perkara pun kecuali di tempat itu-. Mereka bermusyawarah, tindakan apa yang akan mereka lakukan terhadap Muhammad, ketika mereka takut kepada beliau.

 

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Tatkala orang-orang Quraisy bersepakat untuk membuat makar, mereka pun berjanji untuk berkumpul di Dar An-Nadwah, bermusyawarah tentang urusan Rasulullah. Mereka pun berangkat pada hari yang telah dijanjikan untuk itu. Hari itu disebut dengan Yaum Zahmah. Iblis datang kepada mereka dalam bentuk orang tua yang sangat lanjut usia dan memakai kain segi empat yang tebal. Ja berdiri di pintu Rumah Pertemuan (Dari An-Nadwah) Tatkala orang-orang melihatnya berdiri di pintu rumah, mereka bertanya, “Siapa orang tua itu?” Orang tua itu menjawab, “Orang tua dari Nejed yang mendengar, pertemuan yang akan kalian adakan ini. Ia hanya ingin mendengarkan apa yang akan kalian katakan. Barangkali ia dapat memberikan pendapat dan nasihatnya kepada kalian!” Mereka berkata, “Ya, masuklah!” Iblis yang menyamar sebagai orang tua itu pun masuk dan ternyata di sana sudah berkumpul tokoh dan pemuka Quraisy. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Keadaan orang ini (Muhammad) sudah menjadi seperti yang kalian lihat. Demi Allah, kami percaya. Pasti ia akan datang menyerang kami bersama para pengikutnya. Oleh karena itu, satukanlah pendapat untuk menghentikannya.”

 

Mereka membahas, kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Tahanlah ia dengan rantai besi, tutup pintu ruang tahanannya, dan biarkan dirinya sampai ia menjadi seperti orang-orang yang semisal dengannya, yakni penyair Zuhair dan Nabighah, serta orang-orang yang sudah mati di antara mereka!”

 

Orang tua dari Nejed ini berkata, “Tidak, demi Allah. Ini bukan pendapat yang tepat. Demi Allah, jika kalian menahannya sebagaimana yang kalian katakan, ia akan tetap bisa keluar dari pintu belakang dan ia akan menemui para sahabatnya. Mereka pun akan menyerang kalian dan merenggut kekuasaan dari tangan kalian. Mereka pun akan terus menyerang kalian, sampai mereka dapat mengalahkan kalian atas urusan kalian itu. Ini bukan pendapat yang baik, perhatikanlah pendapat selain ia”

 

Mereka membahas lagi kemudian salah seorang di antara mereka” berkata, “Kami usir ia dari hadapan kami, lalu kami lenyapkan ia dari negeri kami. Ketika ia sudah dikeluarkan dari negeri kami maka demi Allah, kami tidak perlu memedulikan ke mana ia pergi, dan di mana ia tinggal. Jika ia sudah tidak ada di antara kami, tentu selesai urusan kami dengannya. Lalu kami perbaiki urusan kami dan pertautan hubungan kami sebagaimana sediakala!”

 

Orang tua Nejed berujar, “Tidak, demi Allah. Ini bukanlah pendapat yang tepat. Tidakkah kalian lihat bagusnya cerita yang ia tuturkan? Keindahan tutur katanya dan kelihaiannya merebut hati banyak orang yang ia datangi. Demi Allah, jika kalian lakukan ini niscaya kalian tidak aman dari tindakannya memasuki satu komunitas dari bangsa Arab. Ia dapat menguasai mereka dengan perkataannya dan cerita tuturannya, sehingga mereka akan mengikutinya untuk menjalankan agamanya. Sesudah itu, ia akan datang kepada kalian bersama mereka, kemudian menginjak-injak kalian di negeri kalian dengan kekuatan mereka. Ia akan merampas kepemimpinan kalian dari tangan kalian, dan melakukan apa saja yang ia inginkan. Silakan yang lainnya menyampaikan pendapatnya secara bergiliran!”

 

Abu Jahal bin Hisyam berkata, “Demi Allah, saya mempunyai pendapat yang menurutku kalian akan setuju.” Orang-orang bertanya, “Apa pendapatmu jtu, hai Abul Hakam?” Abu Jahal berucap, “Kami pilih dari setiap kabilah seorang pemuda yang kuat, memiliki nasab yang mulia di kalangan kami. Kemudian kami beri masing-masing pemuda itu pedang yang tajam. Mereka semuanya harus menyerang Muhammad dan menyabetkan pedang terhadapnya bersama-sama hingga mereka membunuhnya. Kami pun bisa beristirahat darinya karena apabila mereka melakukan itu, niscaya yang bertanggung jawab atas tumpahnya darah Muhammad adalah semua kabilah Arab. Bani Abd Manaf pun tidak akan mampu berperang melawan semua kabilah. Karena itulah, mereka nanti akan meridhai pemberian diat dari kami, lalu kami membayarkan diat itu kepada mereka.”

 

Orang tua Nejed berkata, “Tepat sekali pendapat yang dikatakan orang ini. Inilah pendapat yang tiada pendapat lain yang menyertainya!” Akhirnya, orang-orang itu bubar meninggalkan tempat dalam keadaan menerima pendapat itu dan mereka semuanya menyetujuinya.

 

Jibril datang menemui Rasulullah, lalu ia berkata, “Janganlah engkau tidur pada malam ini di atas ranjangmu yang engkau biasa tidur di atasnya.”

 

Ketika sudah masuk waktu ‘atamah” pada malam itu, orang-orang berkumpul di pintu rumah Nabi, untuk mengawasi beliau, kapankah beliau tidur, lalu mereka akan menyerang beliau bersama-sama. Tatkala Rasulullah melihat aktifitas mereka, beliau berkata kepada Ali bin Abu Thalib, “Tidurlah kamu di ranjangku dan tutupilah tubuhmu dengan kain burdahku yang buatan Hadhramaut dan berwarna hijau ini. Lalu tidurlah kamu dengannya karena tidak akan sampai kepadamu sesuatu pun yang tidak kau sukai dari mereka.”

 

Rasulullah biasanya tidur dengan kain burdah beliau tersebut.

 

Dari Muhammad bin Ka‘ab Al-Qurazhi, ia berkata:

 

“Tatkala mereka berkumpul untuk menyerang Nabi, yang di antara mereka ada Abu Jahal bin Hisyam, ia pun berkata ketika mereka sudah berada di depan pintu rumah Nabi, ‘Muhammad mengatakan, jika kalian mengikuti perintahnya, kalian akan menjadi raja baik di kalangan Arab dan non-Arab. Kemudian kalian akan dibangkitkan sesudah kematian kalian. Kalian akan di beri kebun-kebun layaknya kebun Yordania. Jika kalian tidak melaksanakannya, ia akan menyembelih kalian, lantas kalian dibangkitkan sesudah mati dan dijadikan neraka untuk kalian, kalian akan dibakar di dalamnya!”

 

Rasulullah keluar menghadapi mereka. Beliau mengambil segenggam tanah. Kemudian beliau bersabda, “Kalian (debu) adalah bagian dari mereka” Allah pun menghilangkan pandangan mereka, sehingga mereka tidak melihat beliau. Rasulullah menebarkan tanah pada kepala mereka sembari membaca ayat-ayat pada surah Yasin:

 

“Yasin. Demi Al-Quran yang penuh hikmah. Sungguh, engkau termasuk para rasul yang diutus. Di atas jalan yang lurus. Turunnya dari Yang Mahagagah lagi Maha Penyayang. Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (Yasin [36]: 1-9)

 

Saat Rasulullah selesai membaca ayat-ayat ini, tiada seorang pun di antara mereka yang tersisa kecuali Rasulullah sudah menaburkan tanah pada kepalanya, lalu beliau pergi ke arah mana pun yang beliau kehendaki.

 

Kemudian datanglah orang lain yang tidak ikut menyertai mereka di tempat itu (rumah Nabi), lalu ia bertanya, “Apa yang kalian tunggu di sini?” Mereka menjawab, “Muhammad.” Orang itu berkata, “Allah menjadikan kalian rugi! Demi Allah, Muhammad telah keluar meninggalkan kalian. Ia tidak meninggalkan seorang pun di antara kalian kecuali ia telah menaburkan tanah ke kepalanya, lalu ia pergi memenuhi keperluannya. Apakah kalian tahu apa yang terjadi pada kalian?” Semua orang dari mereka lalu meletakkan tangannya ke atas kepalanya, ternyata ada tanah di atas kepala mereka.

 

Kemudian mereka mengintai rumah Nabi, mereka pun melihat Ali yang tidur di ranjang, ia menutupi tubuhnya dengan kain burdah Rasulullah. Mereka berkata, “Demi Allah, itu pasti Muhammad yang sedang tidur, berselimutkan kain burdahnya!” Mereka tidak meninggalkan rumah Nabi sampai mereka memasuki waktu pagi. Lalu ketika Ali bangkit dari ranjang mereka berkata, “Sungguh, orang yang berbicara kepada kami tadi malam itu telah berkata benar!”

 

Ibnu Ishaq bertutur, “Abu Bakar adalah seorang hartawan yang kaya. Ketika ia meminta izin kepada Rasulullah untuk berhijrah ke Madinah, Rasulullah berkata kepadanya, ‘Kamu jangan tergesa-gesa, mudah-mudahan Allah akan menjadikan teman untukmu?’ Abu Bakar sangat berharap bahwa yang dimaksud Rasulullah dengan ‘teman’ adalah diri beliau sendiri. Abu Bakar pun membeli dua unta tunggangan, lalu ia mengandangkan kedua unta itu di dalam rumahnya dan memberi keduanya makanan (maksudnya kedua unta itu tidak digembalakan untuk merumput di padang rumput)

 

Aisyah berkata, “Rasulullah tidak pernah berkunjung ke rumah Abu Bakar kecuali pada salah satu dari dua ujung siang, mungkin pada pagi hari, mungkin juga pada sore hari. Ketika tiba hari yang Rasulullah diizinkan untuk berhijrah dan keluar meninggalkan Mekah, Rasulullah mendatangi kami pada waktu tengah hari, waktu yang beliau tidak pernah berkunjung sebelumnya.”

 

Tatkala Abu Bakar melihat beliau, ia berkata, “Rasulullah tidak akan datang pada waktu sekarang ini kecuali karena satu perintah yang dititahkan.” Tatkala beliau masuk, Abu Bakar mundur dari kursi singgasananya untuk mempersilakan Rasulullah duduk di situ, lalu Rasulullah duduk. Tiada seorang pun di rumah Abu Bakar kecuali aku, dan kakak perempuanku, Asma binti Abu Bakar.” Rasulullah bersabda, “Suruhlah keluar ke hadapanku, siapa pun yang tinggal di rumahmu.” Abu Bakar menjawab, “Wahai Rasulullah, mereka berdua hanyalah anak-anak perempuanku. Ada apa sebenarnya?”

 

Rasulullah menjawab, “Allah telah mengizinkanku untuk berhijrah” Abu, Bakar bertanya, “Apakah aku yang menemanimu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ya, kamu yang menemaniku.” Demi Allah, aku tidak pernah melihat sebelum hari itu seseorang yang menangis karena gembira, sampai aku melihat Abu Bakar menangis. Abu Bakar lalu berucap, “Wahai Nabi Allah, dua hewan tunggangan ini sudah kupersiapkan untuk keperluan ini.” Mereka berdua (Rasul dan Abu Bakar) mempekerjakan Abdullah bin Argath -seorang pria dari Bani Du’al bin Bakar, ibunya seorang perempuan dari Bani Sahm bin Amir, sedang ia adalah orang musyrik untuk menjadi penunjuk jalan, lalu mereka berdua menyerahkan hewan tunggangan mereka kepadanya, sehingga kedua hewan tunggangan itu digembalakan oleh Ibnu Arqath untuk dipersiapkan sampai waktu yang ditentukan.”

 

Ibnu Ishaq berujar, “Menurut berita yang sampai kepadaku, tiada seorang pun yang mengetahui kepergian Rasulullah ketika beliau pergi meninggalkan Mekah, kecuali Ali bin Abu Thalib, Abu Bakar Ash-Shidiq, dan keluarga Abu Bakar, Adapun Ali, Rasulullah -berdasarkan kabar yang sampai kepadaku telah memberitahunya akan kepergian beliau, dan menyuruhnya untuk menggantikan beliau di Mekah sampai ia mengembalikan seluruh barang milik orang-orang Mekah yang dititipkan kepada Nabi, kepada pemiliknya masing-masing. Mengapa? Karena tiada seorang pun penduduk Mekah yang mempunyai harta dan mengkhawatirkan keamanannya, kecuali ia pasti menitipkannya kepada Rasulullah, karena mengetahui kejujuran beliau dan sifat amanah beliau.

 

Tatkala Rasulullah telah memutuskan untuk pergi berhijrah, beliau datang kepada Abu Bakar bin Abu Quhafah, lalu keduanya berangkat bersama-sama melalui Khaukhah Abu Bakar yang ada di belakang rumahnya. Keduanya menuju Gua Tsur, mereka berdua masuk ke dalam gua tersebut. Abu Bakar menyuruh anaknya, Abdullah bin Abu Bakar supaya berusaha mendengarkan apa yang dibicarakan orang tentang Nabi dan Abu Bakar pada siang harinya, untuk kepentingan mereka berdua. Kemudian supaya Abdullah datang kepada mereka berdua ketika ia memasuki waktu senja hari untuk menyampaikan berita hari itu kepada keduanya. Abu Bakar juga menyuruh Amir bin Fuhairah, mantan budaknya, untuk menggembalakan kambingnya sepanjang hari, lalu membawa kambing-kambing tersebut pada waktu sore kepada mereka berdua (untuk diperah dan diminum susunya), Mereka pun menemui keduanya di gua ketika senja hari tiba. Asma’ binti Abu Bakar juga datang pada sore hari dengan membawa makanan yang bermanfaat untuk ayahnya dan Nabinya.

 

Rasulullah tinggal di gua itu selama tiga hari. Abu Bakar terus menemani beliau sepanjang waktu. Ketika orang-orang Quraisy kehilangan jejak Nabi, mereka menjanjikan hadiah seratus ekor unta bagi siapa saja yang berhasil membawa Nabi kepada mereka. Abdullah bin Abu Bakar bersama orang-orang Quraisy pada siang harinya. Ia mendengar apa saja yang mereka bahas dan apa yang mereka omongkan tentang keadaan Rasulullah.

 

Selanjutnya, Abdullah datang menemui ayahnya dan Nabi pada senja hari seraya mengabarkan berita kepada mereka berdua. Adapun Amir bin Fuhairah, bekas budak Abu Bakar, ia biasa menggembalakan kambing bersama para penggembala kota Mekah. Bila petang tiba, ia membawa kambing tersebut kepada Abu Bakar dan Nabi, lalu ia memerah susunya dan menyembelihnya. Ketika Abdullah bin Abu Bakar pergi meninggalkan ayah dan Nabi untuk pulang ke Mekah, Amir bin Fuhairah mengikuti jejak kakinya dengan seluruh kambing gembalaannya, sehingga jejak kaki Abdullah terhapus dari padang pasir.

 

Hal itu berlangsung selama tiga hari, orang-orang pun sudah bersikap diam (tidak lagi mengejar dan mencari) Abu Bakar dan Rasul. Orang yang dipekerjakan mereka berdua itu pun datang dengan membawa serta dua unta mereka dan untanya sendiri. Saat itu Asma’ binti Abu Bakar datang dengan membawa makanan untuk bekal perjalanan mereka. Akan tetapi, Asma’ lupa tidak membawa tali untuk mengikat makanan itu di punggung unta. Ketika mereka hendak melakukan perjalanan, Asma’ berupaya menggantungkan bekal perjalanan (berupa makanan) ke unta. Akan tetapi, ia tetap tidak mendapatkan tali untuk mengikatnya. Sejenak kemudian, Asma menyobek ikat pinggangnya dan menjadikannya tali, ia pun mengikat bekal perjalanan itu dengan sobekan ikat pinggangnya.

 

Oleh karena itulah, Asma’ binti Abu Bakar digelari dengan Dzat An-Nithag (wanita pemilik ikat pinggang).”

 

Tatkala Abu Bakar a membawa dua untanya ke dekat Rasulullah, ia membawakan unta yang paling baik dari kedua unta itu kepada Rasulullah sembari berkata, “Demi ayah dan ibuku, naiklah wahai Rasulullah” Rasulullah bersabda, “Aku tidak akan menaiki unta yang bukan milikku.”

 

Abu Bakar berkata, “Ini sekarang menjadi milikmu, wahai Rasulullah, Rasulullah bersabda, “Tidak, tetapi berapa harga kau beli unta ini?” Abu Bakar menjawab, “Harganya sekian.” Rasul bersabda, “Aku membelinya dengan harga itu.” Abu Bakar menjawab, “Unta ini dan harga pembeliannya kuberikan semuanya untukmu, wahai Rasulullah”

 

Keduanya pun menaiki unta dan bertolak meninggalkan tempat itu. Abu Bakar Ash-Shidiq memboncengkan Amir bin Fuhairah, mantan budaknya, di belakangnya, agar ia bisa melayani keperluan mereka berdua saat perjalanan.

 

Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Tatkala Rasulullah dan Abu Bakar a berangkat, sekelompok orang kafir Quraisy datang ke rumah kami. Di antara mereka adalah Abu Jahal bin Hisyam. Mereka semuanya berhenti di depan pintu rumah Abu Bakar. Aku keluar menemui mereka, mereka pun bertanya, ‘Ke mana bapakmu, hai putri Abu Bakar?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak tahu di mana bapakku: Abu Jahal mengangkat tangannya sedang ia adalah orang yang suka berbuat keji dan orang jahat-lalu ia menampar pipiku dengan tamparan yang Keras sehingga anting-antingku terlempar dari telingaku!”

 

Kemudian mereka pergi meninggalkan rumahku. Kami tinggal selama tiga hari dalam keadaan tidak tahu ke mana Rasulullah mengarahkan tujuan perjalanan beliau. Sampai muncullah seorang dari kalangan jin dari dataran rendah kota Mekah yang mendendangkan bait-bait syair dengan dendangan lagu Arab. Orang-orang mengikutinya dan mendengarkan suaranya, tetapi mereka tidak bisa melihatnya, ia pun memunculkan dirinya di dataran tinggi kota Mekah dengan bersajak:

 

Semoga Allah, Tuhan seluruh manusia, membalas dengan sebaik-baik balasan-Nya…

Dua teman akrab yang menginap di dua kemah Ummu Ma‘bad

Mereka berdua tinggal di dataran, kemudian mereka berangkat…

Maka berjayalah orang yang berangkat menjadi teman Muhammad

Untuk memberi kabar gembira kepada Bani Kab tempat remaja putri mereka…

Dan tempat kedudukannya untuk orang-orang beriman dengan tempat pengawasan

Tatkala kami mendengar ucapannya, kami pun tahu ke arah mana Rasulullah pergi, yakni menuju Madinah.

 

Suraqah bin Malik bin Ju’syum bercerita, “Tatkala Rasulullah keluar meninggalkan Mekah untuk berhijrah ke Madinah, kaum Quraisy menetapkan hadiah seratus ekor unta bagi siapa saja yang bisa membawa kembali Muhammad kepada mereka. Ketika aku sedang duduk di ruang pertemuan kaumku, tiba-tiba seorang lelaki dari kami datang, ia pun berdiri di tengah kami. Ia berkata, ‘Demi Allah, aku melihat kafilah Muhammad, mereka berjumlah tiga orang, baru saja mereka melewati tempatku. Aku yakin mereka itu adalah Muhammad dan teman-temannya’? Aku memberi isyarat kepadanya dengan mataku, ‘Diamlah? Aku berkata, ‘Mereka itu hanyalah Bani Fulan, mereka mencari barang mereka yang hilang! Temanku yang bercerita tadi berkata, ‘Oh, iya, barangkali’ Lalu ia diam. Aku terdiam sebentar. Lalu aku segera bangkit dan masuk ke rumahku. Aku menyuruh agar kudaku dipersiapkan. Aku juga menyuruh untuk diambilkan senjataku, lalu diambilkanlah untukku dari belakang kamarku. Aku mengambil anak panah yang biasa kugunakan untuk mengundi nasib. Aku pun berangkat. Aku memakai baju besi dan menyandang pedang. Aku mengeluarkan wadah anak panahku, kemudian mengundi dengannya. Ternyata yang keluar adalah anak panah yang aku benci, yakni bertuliskan ‘jangan memudharatinya. Aku hanya berharap bisa membawa kembali Muhammad kepada kaum Quraisy, sehingga aku berhasil mendapatkan seratus ekor unta.’ .

 

Suraqah meneruskan kisahnya, “Aku menaiki kudaku mengejar jejak Muhammad. Ketika kudaku berlari cepat, ia tergelincir dan aku terjatuh darinya” Suraqah berujar, “Apa ini?”

 

Suraqah bertutur lagi, “Kemudian aku mengeluarkan wadah anak panahku dan mengundi kembali dengannya. Keluarlah anak panah yang kubenci, yakni bertuliskan ‘jangan memudharatinya” Aku enggan berbuat apa pun kecuali aku bisa mengejar Muhammad. Aku pun kembali menaiki kudaku untuk mengejarnya, Ketika kudaku berpacu dengan cepat, ia tergelincir lagi dan aku jatuh dari punggung kudaku. Aku berucap, ‘Apa ini?’ Kemudian aku mengeluarkan wadah anak panahku dan mengundi nasib lagi dengannya. Ternyata yang keluar adalah anak panah yang kubenci, yakni bertuliskan ‘jangan memudharatinya.”

 

Suraqah melanjutkan tuturan kisahnya, “Aku tidak ingin berbuat apa pun, kecuali mengejar Muhammad. Lalu aku kembali menunggangi kudaku untuk mengejarnya. Tatkala rombongan Muhammad tampak, aku pun dapat melihat mereka, tiba-tiba kudaku terjungkal lagi. Kedua kaki depan kudaku terperosok ke tanah, dan aku jatuh darinya. Kudaku berusaha menarik dua kaki depannya dari tanah, ternyata muncul asap seperti angin topan yang mengiringi bebasnya kedua kaki kudaku itu. Ketika aku melihat itu, aku jadi tahu bahwa Muhammad memang dilindungi dari kejaranku, dan dialah yang menang.”

 

Suraqah berkata, “Aku pun memanggil rombongan Muhammad sambil berteriak, ‘Aku adalah Suraqah bin Ju’syum. Tunggu aku, aku akan berbicara kepada kalian. Demi Allah, aku tidak akan bertindak licik terhadap kalian, dan tidak akan menimpa kalian satu pun perbuatan yang kalian benci!’ Rasulullah #% bersabda kepada Abu Bakar, “Tanyakan kepadanya, “Apa yang kau inginkan dari kami?” Abu Bakar mengatakan itu kepada Suraqah. Aku pun menjawab, ‘Engkau mau menuliskan untukku surat yang menjadi tanda antara diriku dengan engkau’ Rasulullah bersabda, “Tulislah itu untuknya, hai Abu Bakar’

 

Abu Bakar menuliskan surat untukku pada sebatang tulang, atau pada papan, atau pada geribah, lalu ia memberikannya kepadaku. Aku mengambilnya dan kuletakkan di dalam wadah panahku, kemudian aku pulang. Aku diam dan aku tidak mengatakan sedikit pun apa yang kualami itu sampai saat pembebasan kota Mekah (Fathu Makkah) dianugerahkan kepada Rasulullah, dan beliau selesai dari memerangi Hunain dan Thaif.

 

Aku berangkat dengan membawa surat itu untuk menyampaikannya kepada beliau. Kemudian aku berhasil menemui beliau di Ji‘ranah. Aku masuk ke dalam satu batalion dari pasukan kavaleri Anshar. Mereka mengusirku dengan tombak seraya berkata, ‘Pergilah kamu, apa yang kau inginkan?’ Aku pun mendekati Rasulullah saat itu beliau berada di atas untanya. Demi Allah, seolah-olah aku sekarang ini masih melihat betis beliau yang putih seperti jantung pohon kurma.”

 

Suraqah bertutur lagi, “Kuangkat tanganku membawa surat itu lalu kukatakan, ‘Wahai Rasulullah, ini adalah suratmu untukku. Aku adalah Suraqah bin Ju‘syum.” Rasulullah bersabda, “Ini adalah hari penunaian janji dan pelaksanaan kebaikan. Mendekatlah.” Aku mendekat kepada beliau, lalu aku masuk Islam. Aku mencoba mengingat sesuatu yang akan kutanyakan kepada Rasulullah, tetapi aku gagal mengingatnya. Akhirnya, aku berkata, “Wahai Rasulullah, ada unta yang tersesat, memasuki wilayah pekaranganku yang sudah kupenuhi untuk kebutuhan untaku sendiri. Apakah aku mendapat pahala bila aku memberinya air?” Rasulullah menjawab, “Ya, pada setiap makhluk yang bernyawa itu ada pahala.” Suraqah berkata, “Kemudian aku pulang menemui kaumku, lantas kubawa kepada Rasulullah sedekahku.”

 

Ibnu Ishaq berkata: “Tatkala penunjuk jalan Nabi dan Abu Bakar, Abdullah bin Arqath, memimpin perjalanan mereka ia mengajak keduanya menempuh jalan melalui kota Mekah bagian bawah, lalu melintasinya melalui pantai, hingga sampai di jalan wilayah Usfan bagian bawah. Ia kemudian mengajak Nabi dan Abu Bakar melewati daerah Amaj bagian bawah, hingga membawa keduanya sampai ke jalan yang sudah melewati Qudaid. Selanjutnya, ia mengajak keduanya melintas dari tempat beliau itu dan menempuh jalan menuju Kharar. Melewati Liqef. Lalu melintasi Madlaj Liqef, memasuki bagian dalam Madlajah Mahaj. Kemudian melintasi Marjah Mahaj. Lalu membawa keduanya memasuki bagian dalam Marjah dari arah Dzul Ghadhawain. Lantas memasuki Dzu Kasyr. Kemudian melalui Jadajid, lalu bagian atas dari Ajrad. Selanjutnya, Ibnu Arqath membawa mereka ke Dzu Salam dari bagian tengah Ada Madlajah Ti‘ihen, lalu Ababid bagian atas. Selanjutnya, membawa mereka berdua melintasi Fajah.”

 

Ibnu Hisyam berucap, “Kemudian ia mengajak keduanya menuruni Arej. Banyaknya barang bawaan mengakibatkan perjalanan mereka melambat. Kemudian Rasulullah membawa serta seorang lelaki dari Suku Aslam yang biasa dipanggil dengan nama Aus bin Hajar untuk menunggang unta beliau yang bernama Ibnur Rida’ dan bergegas pergi ke Madinah. Rasulullah juga mengutus budaknya, Mas‘uq bin Hunaidah, untuk menemaninya. Selanjutnya, si penunjuk jalan Nabi dan Abu Bakar itu keluar dari wilayah Arej, ia pun membawa mereka berdua melewati Bukit Air dari lereng sebelah kanan, sampai menuruni perut Lembah Rim. Kemudian mereka tiba di Quba, di rumah Bani Amru bin Auf, pada tanggal 12 Rabiul Awal, hari Senin, ketika waktu dhuha sudah mulai terik, dan matahari hampir berada pada posisi lurus (berada tepat di atas kepala). ”

 

Rasulullah Tiba di Quba’

 

Dari Abdurahman bin Uwaimir bin Saidah, ia berkata bahwa sejumlah orang dari kaumku bercerita kepadaku, dari sejumlah sahabat Rasulullah, mereka berkata,

 

“Tatkala kami mendengar berita kepergian Rasulullah dari Mekah, kami menyelidiki dengan seksama kabar kedatangan beliau. Kami keluar seusai mengerjakan shalat Subuh ke balik tanah berbatu hitam menunggu Rasulullah. Demi Allah, kami tak pernah meninggalkan tempat itu sampai kami terkena terik panas matahari karena naungan yang ada tak lagi cukup. Ketika kami tak mendapatkan naungan, kami pun masuk. Itu kami lakukan pada hari-hari yang panas. Hingga tibalah hari kedatangan Rasulullah. Hari itu, kami duduk sebagaimana kami biasa duduk menunggu, sampai ketika sudah tiada lagi naungan yang tersisa, kami beranjak masuk ke rumah kami. Rasulullah datang ketika kami masuk ke dalam rumah. Orang yang pertama kali melihat beliau adalah seorang Yahudi. Ia melihat apa yang kami lakukan, kami senantiasa menunggu kedatangan Rasulullah ia pun berteriak dengan suaranya yang paling keras, “Hai Bani Qailah, ini orang mulia kalian sudah datang!’

 

Kami keluar menyambut Rasulullah. Beliau berada di bawah naungan pohon kurma. Beliau disertai Abu Bakar a, yang usianya hampir sama dengan usia beliau. Kebanyakan dari kami belum pernah melihat Rasulullah sebelum itu, sehingga orang-orang itu mengawasi dan mencocokkan apa yang mereka ketahui pada Abu Bakar. Ketika naungan telah hilang dari Rasulullah, Abu Bakar pun bangkit menaungi beliau dengan selendangnya, kami baru mengenali Nabi pada saat itu”

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

“Rasulullah -menurut apa yang mereka ceritakan- tinggal di rumah Kultsum bin Hidam. Dikatakan pula bahwa beliau tinggal di rumah Saad bin Khaitsamah. Sebagian ahli sejarah yang menyatakan bahwa beliau tinggal di rumah Kultsum bin Hadam berkata, ‘Rasulullah apabila keluar dari rumah Kultsum bin Hadam, beliau duduk untuk menemui kaumnya di rumah Saad bin Khaitsamah. Itu karena Saad hidup membujang, belum berkeluarga. Rumah ini juga menjadi rumah bagi orang-orang yang masih bujang dari kalangan sahabat Rasulullah yang berhijrah’

 

Abu Bakar Ash-Shidiq tinggal di rumah Hubaib bin Isaf. Salah seorang ahli sejarah menyatakan bahwa Abu Bakar bertempat tinggal di rumah Kharijah bin Zaid.

 

Ali bin Abu Thalib a tetap tinggal di Mekah selama tiga hari tiga malam, sampai ia mengembalikan semua barang yang dititipkan kepada Nabi. Ketika ia sudah menyelesaikan tugasnya, ia berangkat menyusul Rasulullah lalu ia tinggal bersama beliau di rumah Kultsum bin Hadam.

 

Rasulullah tinggal di Quba, di perkampungan Bani Amir bin Auf, pada hari Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis. Kemudian Rasulullah membangun fondasi Masjid Quba”

 

Rasulullah Tiba di Madinah

 

Selanjutnya, Allah mengeluarkan Rasul dari tengah-tengah kampung halaman mereka pada hari Jumat. Ibadah Jumat tiba waktunya ketika Rasulullah berada di perkampungan Bani Salim bin Auf, lalu beliau mengerjakannya di masjid yang ada di perut lembah, yakni Lembah Ranuna, itulah shalat Jumat pertama yang dilakukan oleh Rasulullah di Madinah.

 

Kemudian beberapa orang datang menjumpai Nabi; yakni Itban bin Malik, Abbas bin Ubadah bin Nadhlah, serta sejumlah orang dari Bani Salim bin Auf. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, tinggallah di kampung kami yang banyak orang Islamnya, lengkap persenjataannya, dan kuat perlindungannya.” Rasulullah menjawab, “Bebaskanlah jalannya karena ia sedang diperintah.” Yang beliau maksud adalah unta beliau. Mereka pun membebaskan jalan unta beliau.

 

Unta itu meneruskan perjalanan sampai ketika ia melewati perkampungan Bani Bayadhah, Ziyad bin Labid dan Farwah bin Amru menemui beliau, bersama sejumlah orang dari Bani Bayadhah. Mereka berucap, “Wahai Rasulullah, tinggallah di kampung kami yang banyak jumlah musliminnya, lengkap persenjataannya, dan kuat perlindungannya.” Nabi menjawab, “Bebaskan jalannya, karena ia diperintah oleh Allah?

 

Unta Nabi terus berjalan hingga ketika melewati kampung Bani Sa‘idah, beliau dihadang oleh Saad bin Ubadah dan Mundzir bin Amru bersama beberapa orang dari Bani Sa‘idah. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, tinggallah bersama kami, kampung yang jumlah musliminnya banyak, persenjataannya lengkap, dan terlindungi.” Rasulullah menjawab, “Biarkanlah ia berjalan, karena ia diperintah oleh Allah” Mereka pun membebaskan jalan unta Nabi.

 

Unta itu kembali berjalan sampai melalui perkampungan Bani Harits bin Khazraj, unta itu dicegat oleh Saad bin Rabi, Kharijah bin Zaid, dan Abdullah bin Rawahah, bersama sejumlah orang dari kalangan Bani Harits bin Khazraj. Mereka berucap, “Wahai Rasulullah, datang dan tinggallah di kampung kami, tempat yang banyak jumlah musliminnya, lengkap persenjataannya, dan kokoh perlindungannya.” Rasul menjawab, “Bebaskanlah jalannya, karena ia diperintah oleh Allah”

 

Mereka pun memberi jalan untuk unta itu, hingga unta itu tiba di kampung Bani Adiy bin Najar, sedang mereka adalah paman-paman Nabi dari arah ibu, yakni Dinia -ibunda Abdul Mutholib, Salma binti Amru, merupakan salah seorang wanita mereka~ unta itu dicegat oleh Salith bin Qais, bapak Salith adalah -Usairah bin Abu Kharijah, bersama Bani Adiy bin Najar. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, tinggallah bersama kami, saudara-saudara pamanmu dari arah ibu, sebuah kampung yang banyak jumlah orang Islamnya, banyak persenjataannya, dan kuat perlindungannya.” Nabi menjawab, “Biarkanlah unta ini berjalan, karena ia sedang diperintah” Mereka pun membuka jalan untuk unta Nabi, dan unta itu pun bertolak meninggalkan tempat tersebut.

 

Sampai ketika unta itu datang ke kampung Bani Malik bin Najar, ia menderum di pintu masjid beliau, saat itu tempat tersebut merupakan tempat untuk mengeringkan unta milik dua anak yatim dari Bani Najar, -kedua yatim tersebut berada dalam asuhan Mu‘adz bin Afra yakni Sahl bin Amru dan Suhail bin Amru. Tatkala unta itu menderum dan Rasulullah belum turun, unta itu pun melompat. Kemudian ia berjalan tidak jauh sedang Rasulullah memegang tali kendalinya dan beliau tidak memalingkannya. Kemudian unta itu menoleh ke arah belakang dan kembali ke tempat menderumnya yang pertama. Lantas ia menderum di situ.

 

Lalu unta tersebut bergerak dan bersuara, serta meletakkan dada dan perut tapak kakinya.

 

Rasulullah hendak turun dari unta beliau, namun Abu Ayub Khalid bin Zaid membawa pergi kendaraan Nabi lantas meletakkannya di rumahnya. Rasulullah pun turun dan bertanya tentang tempat pengeringan unta tersebut, “Milik siapakah ini?” Mu‘adz bin Afra’ menjawab pertanyaan Nabi tersebut, “Tempat ini, wahai Rasulullah, milik Sahl dan Suhail, keduanya anak Amru. Mereka berdua adalah anak yatim yang hidup dalam asuhanku. Aku akan meminta keridhaan mereka berdua. Jadikanlah tanah ini sebagai masjid.”

 

Rasulullah memerintahkan untuk dibangun sebuah masjid di tempat tersebut. Lantas Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayub sampai masjid dan rumah beliau selesai dibangun. Rasulullah ikut bekerja membangunnya untuk menyemangati kaum muslimin agar ikut bekerja membangunnya, sehingga kaum muslim, baik Muhajir maupun Anshar turut serta membangunnya. Mereka bersungguh-sungguh melakukannya. Salah seorang dari kaum muslim bersyair:

 

Sungguh jika duduk bertopang dagu sedang Nabi bekerja

Sungguh itu adalah amalan yang menyesatkan bagi kami

 

Kaum muslim mendendangkan syair rajaz ketika mereka membangun Masjid Nabawi. Mereka berucap,

 

“Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, Ya Allah sayangilah kaum Anshar dan Muhajir.”

 

Rasulullah juga bersabda,

 

“Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, Ya Allah, sayangilah kaum Muhajirin dan Anshar”

 

Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayub, sampai selesai dibangunnya masjid dan rumah beliau. Sesudah keduanya selesai, Nabi pun berpindah dari rumah Abu Ayub ke tempat tinggalnya sendiri, semoga kasih sayang dan ridha Allah terlimpah kepadanya.

 

Abu Ayub berkata, “Tatkala Rasulullah tinggal di rumahku, beliau tinggal di rumah bagian bawah, sedangkan aku dan Ummu Ayub tinggal di rumah bagian atas. Kukatakan kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, sungguh aku tidak suka dan merasa berat jika aku tinggal di atasmu, sedangkan engkau tinggal di bawahku. Saya mohon engkau berkenan tinggal di bagian atas, sehingga kami akan turun dan tinggal di bawah Nabi menjawab, “‘Wahai Abu Ayub, yang lebih menyenangkan bagi kami dan orang-orang yang ada di sekitar kami, jika aku tinggal di rumah bagian bawah.”

 

Abu Ayub melanjutkan tuturannya, “Rasulullah tinggal di rumah bagian bawah (lantai dasar), sedangkan kami bertempat tinggal di atas beliau. Sungguh, suatu ketika teko kami yang berisi air jatuh dan pecah, aku dan Ummu Ayub segera mengambil selimut kami, karena kami tidak punya kain lain selain itu, kami mengeringkan air dengannya, karena takut bila ada tetesan air yang jatuh mengenai Rasulullah sehingga mengganggu beliau.”

 

Abu Ayub bertutur lagi, “Kami memasak makan malam untuk Nabi, kemudian kami mengirimkannya kepada beliau. Apabila beliau mengirimkan kembali sisa makanan beliau, aku dan Ummu Ayub selalu memegang bekas tempat tangan beliau, lalu kami memakan sisa makanan itu, kami mencari berkah dengannya. Sampai suatu malam kami mengirimkan makan malam kepada beliau, kami menyajikan makanan itu dengan bawang merah dan bawang putih. Rasulullah mengembalikannya. Aku tidak melihat bekas tangan pada makanan itu, aku pun segera datang menemui beliau. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah mengembalikan makan malammu, tetapi aku tidak melihat bekas tanganmu padanya. Sungguh, biasanya bila engkau mengembalikan sisa makananmu kepada kami, aku dan Ummu Ayub bersungguh-sungguh mencari bekas tanganmu, karena kami mencari berkah’ Nabi pun bersabda, ‘Aku mencium bau tumbuhan ini (bawang merah dan bawang putih), sedangkan aku adalah seorang yang selalu berdoa dengan berbisik (kepada Allah). Adapun kalian, makanlah, tidak mengapa.”

 

Abu Ayub berkata, “Lalu kami memakannya. Namun, kami tidak pernah menyajikan makanan dari tumbuhan tersebut untuk beliau (bawang merah atau bawang putih Pere)”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Orang-orang Islam yang berhijrah (Muhajir) menyusul Rasulullah, sehingga tiada yang tersisa di Mekah seorang muslim pun kecuali orang yang disiksa atau ditawan. Sedangkan kaum muslimin yang berhijrah dari Mekah, tidak membawa serta seluruh keluarga dan harta mereka, kecuali penduduk dari kampung-kampung yang bernama Bani Mazh‘un kumpulan dari Bani Jumah, Bani Jahsy bin Ruab yang menjadi sekutu (halif) Bani Umayah dan Bani Bukair kumpulan dari Bani Saad bin Laits yang menjadi sekutu Bani Adiy bin Ka‘ab. Karena perkampungan mereka ditinggalkan total di Mekah karena hijrah, tiada seorang pun yang tinggal di sana.

 

Kutbah-kutbah dan Perjanjian-perjanjian di Madinah.

 

Rasulullah tinggal di Madinah, ketika beliau tiba di sana, dari bulan Rabiul Awal sampai bulan Safar pada tahun itu, sampai dibangun untuk beliau Masjid Nabawi dan rumah-rumah beliau. Terhimpunlah pada beliau keislaman komunitas Anshar ini, sehingga tiada tersisa satu pun kampung dari perkampungan Anshar, kecuali semua penghuninya telah masuk Islam, kecuali kampung Khathmah, Waqdif, Wail, dan Umayah, serta Ausullah. Mereka semuanya adalah suku dari kabilah Aus karena mereka tetap teguh dalam kemusyrikan mereka.

 

Khotbah pertama yang disampaikan Rasulullah menurut berita yang sampai kepadaku dari Abu Salamah bin Abdurahman, yang kami berlindung kepada Allah dari kami mengatasnamakan Rasulullah dengan perkataan yang tidak beliau ucapkan bahwasanya beliau berdiri di tengah-tengah mereka, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan pujian dan sanjungan yang pantas, lantas beliau berkhotbah:

 

“Amma ba‘du. Wahai sekalian manusia, beramallah untuk diri kalian. Kalian kelak akan tahu, demi Allah, salah seorang dari kalian kelak akan dipingsankan, lalu ia akan meninggalkan kambingnya tanpa penggembala. Kemudian, Tuhannya akan berkata kepadanya, tanpa ada penerjemah, dan tanpa ada penghalang yang menghalangi, “‘Bukankah Rasul-Ku telah datang kepadamu, lantas menyampaikan Islam kepadamu? Bukankah Aku telah memberimu harta dan Ku-lebihkan untuk dirimu? Amalan apa yang kau banggakan untuk dirimu?’

 

Kemudian.ia memandang ke kanan dan kiri, namun ia tidak melihat apa pun. Lantas melihat ke depan, ia tidak melihat selain Neraka Jahanam. Oleh karena itu, barang siapa mampu melindungi wajahnya dari neraka, meski dengan separuh kurma hendaklah ia melakukannya. Siapa saja yang tidak mendapatkannya (separuh kurma), bisa dengan mengucapkan kalimah thayibah. Karena dengannya kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Wassalamu‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.”

 

Rasulullah juga berkhotbah di depan publik pada kesempatan yang lainnya:

 

“Segala puji hanya milik Allah, aku memuji dan memohon pertolongan padaNya. Kami memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amalan kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Siapa saja yang disesatkan oleh Allah, tiada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah.

 

Sungguh beruntung orang yang hatinya telah dihiasi oleh Allah, dimasukkan oleh Allah ke dalam Islam sesudah kekafiran, dan dipilih oleh-Nya atas yang lainnya dari orang-orang yang baru masuk Islam. Itu ucapan yang paling baik dan paling pamuncak. Cintailah apa yang dicintai Allah. Cintailah Allah dari dalam hati kalian. Jangan bosan kepada kalam Allah dan dzikir mengingat-Nya. Jangan sampai hati kalian menjadi keras terhadapnya.

 

Dari semua yang diciptakan Allah, Ia memilih dan menyeleksi yang terbaik. Allah menamai yang terbaik tersebut dengan ‘pilihan-Nya, baik dari amal perbuatan, hamba-hamba pilihan, perkataan yang baik, atau pun seluruh yang diberikan manusia yang halal atau haram. Oleh karena itu, sembahlah Allah, jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

 

Bertakwalah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya takwa. Bersikap jujurlah kepada Allah dengan mengucapkan kebaikan dari mulut kalian. Hendaklah kalian saling mencintai dengan kelapangan Allah. Sungguh, Allah akan marah bila janji-Nya dirusak. Wassalamu‘alaikum.”

 

Rasulullah membuat ketetapan antara kaum Muhajir dan Anshar untuk berdamai dan membuat kontrak perjanjian dengan kaum Yahudi, mengizinkan mereka menjalankan agamanya dan menjaga harta mereka. Mereka membuat persyaratan dan disyaratkan kepada kaum Yahudi:

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat dari Muhammad, Nabi, untuk orang-orang yang beriman dan Islam, dari kalangan Quraisy dan Yastrib, serta siapa saja yang mengikuti, menyusul, dan berjihad bersama mereka.

 

Mereka adalah umat yang satu. Orang-orang Quraisy yang berhijrah (Muhajir) itu berada pada keadaan yang mereka dapati dalam Islam saling bersekutu untuk membayar diat di antara mereka, mereka juga menebus tawanan mereka dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang yang beriman.

 

Bani Auf berada pada keadaan yang mereka dapati dalam Islam saling bersekutu untuk membayar diat di antara mereka sebagaimana perjanjian mereka yang awal, masing-masing kelompok dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang yang beriman.

 

Bani Sa‘idah berada pada keadaan yang mereka dapati dalam Islam saling bersekutu untuk membayar diat di antara mereka sebagaimana perjanjian mereka yang awal, masing-masing kelompok dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang yang beriman.

 

Bani Harits berada pada keadaan yang mereka dapati dalam Islam saling bersekutu untuk membayar diat di antara mereka sebagaimana perjanjian mereka yang awal, masing-masing kelompok dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang yang beriman.

 

Bani Jusyam berada pada keadaan yang mereka dapati dalam Islam saling bersekutu untuk membayar diat di antara mereka sebagaimana perjanjian mereka yang awal, masing-masing kelompok dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang yang beriman.

 

Bani Najar berada pada keadaan yang mereka dapati dalam Islam saling bersekutu untuk membayar diat di antara mereka sebagaimana perjanjian mereka yang awal, masing-masing kelompok dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil di antara kaum mukminin.

 

Bani Amru bin Auf berada pada keadaan yang mereka dapati dalam Islam saling bersekutu untuk membayar diat di antara mereka sebagaimana perjanjian mereka yang awal, masing-masing kelompok dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang yang beriman.

 

Bani Nabib berada pada keadaan yang mereka dapati dalam Islam saling bersekutu untuk membayar diat di antara mereka sebagaimana perjanjian mereka yang awal, masing-masing kelompok dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil di antara kaum mukminin.

 

Bani Aus berada pada keadaan yang mereka dapati dalam Islam saling bersekutu untuk membayar diat di antara mereka sebagaimana perjanjian mereka yang awal. Masing-masing kelompok dari mereka menebus tawanannya dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang yang beriman.

 

Orang-orang beriman itu tidak meninggalkan kondisi berat dalam membayar utang dan terbebani oleh banyaknya anggota keluarga di antara mereka untuk memberinya dengan cara yang baik, baik dalam penebusan maupun pembayaran diat, dan seorang yang beriman itu tidak akan bersekutu dengan mantan budak orang beriman yang lainnya tanpa ia.

 

Orang-orang yang beriman dan bertakwa itu bersikap benar terhadap orang yang berbuat melampaui batas dari mereka, atau orang yang mencari besarnya kezaliman, atau dosa, atau permusuhan, atau kerusakan di antara orang-orang beriman. Tangan mereka berkuasa atasnya seluruhnya, walaupun itu adalah anak salah seorang di antara mereka.

 

Seorang mukmin tidak boleh membunuh mukmin yang lainnya dalam urusan orang kafir. Seorang mukmin juga tidak boleh membantu orang kafir memerangi mukmin lainnya. Perlindungan Allah itu satu, melindungi atas mereka orang yang paling rendah dari mereka. Orang-orang beriman itu sebagian mereka menjadi kekasih sebagian yang lain, bukan orang selain mereka.

 

Siapa saja yang mengikuti kami dari kalangan Yahudi maka ia berhak men. dapatkan pertolongan dan keadilan, tidak menjadi orang-orang yang dizalimi dan tidak pula menjadi orang-orang yang dibantu musuh mereka untuk mengalahkan mereka. Perdamaian orang-orang beriman itu satu. Seorang mukmin tidak boleh didamaikan dengan meninggalkan mukmin yang lainnya dalam urusan perang di jalan Allah, kecuali berdasarkan kesetaraan dan keadilan di antara mereka.

 

Semua pejuang yang berperang bersama kami, sebagiannya menggantikan sebagian lainnya. Orang-orang beriman itu sebagian kembali kepada sebagian lainnya dengan apa yang ia kenai darah mereka di jalan Allah. Orang-orang beriman yang bertakwa itu berada pada sebaik-baik dan selurus-lurus petunjuk. Orang musyrik tidak boleh melindungi harta dan jiwa orang Quraisy, tidak boleh membelanya untuk melawan mukmin.

 

Siapa saja yang membunuh orang mukmin secara zalim dan ada buktinya maka ia harus dihukum bunuh kecuali jika wali korban terbunuh memaafkannya. Orang-orang beriman secara menyeluruh berada di atas hukum itu. Tidak halal bagi mereka kecuali menegakkannya. Tidak halal seorang mukmin yang mengakui kebenaran isi piagam ini serta beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, untuk menolong atau melindungi pelaku kejahatan.

 

Siapa saja yang menolong atau melindunginya maka ia dikenai laknat dan kemurkaan Allah pada Hari Kiamat. Tidak diterima darinya kompensasi atau tebusan. Kalian, apa pun perselisihan kalian tentang hal itu, kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad.

 

Orang-orang Yahudi diberi nafkah bersama dengan orang-orang beriman, selagi mereka (Yahudi itu) masih diperangi. Yahudi Bani Auf adalah satu komunitas bersama mukminin. Untuk Yahudi agama mereka dan untuk orang-orang Islam agama mereka, baik pengurus mereka maupun diri mereka, kecuali orang yang berbuat zalim dan berdosa, karena ia tidak membinasakan kecuali dirinya sendiri dan anggota keluarganya. Yahudi Bani Najar memiliki hak yang sama dengan Yahudi Bani Auf. Yahudi Bani Harits itu memiliki hak yang sama dengan Yahudi Bani Auf.

 

Yahudi Bani Sa‘idah itu mempunyai hak dan bagian yang sama dengan Yahudi Bani Auf. Yahudi Bani Jusyam memiliki bagian yang sama dengan Yahudi Bani Auf. Yahudi Bani Aus memiliki hak yang sama dengan Yahudi Bani Auf. Yahudi Bani Tsa‘labah mempunyai bagian yang sama dengan Yahudi Bani Auf, kecuali orang yang berbuat zalim dan berbuat dosa, karena ia tidak menghancurkan kecuali dirinya sendiri dan anggota keluarganya. Jafnah adalah bagian dari Bani Tsa‘labah sebagaimana diri mereka sendiri. Bani Syathibah mempunyai bagian yang sama dengan Yahudi Bani Auf.

 

Kebaikan itu bukanlah dosa. Mantan-mantan budak Bani Tsa‘labah itu seperti diri mereka sendiri. Teman dekat Yahudi itu sebagaimana diri mereka sendiri. Tiada seorang pun dari mereka boleh keluar kecuali dengan izin Muhammad. Dibolehkannya melukai tidak dibatasi hanya pada penuntutan balas saja. Siapa saja yang bertindak melampaui batas maka berarti ia telah melampaui batas terhadap dirinya sendiri dan anggota keluarganya, kecuali orang yang dizalimi, karena Allah meridhai orang ini.”

 

Kaum Yahudi wajib menafkahi diri mereka sendiri. Kaum muslim juga berkewajiban menafkahi diri mereka. Di antara mereka terdapat pertolongan untuk mengalahkan siapa saja yang memerangi pihak yang terikat dengan piagam ini. Di antara mereka harus ada penasihatan dan nasihat, kebaikan bukan dosa.

 

Seseorang tidak berdosa karena sekutunya. Pertolongan itu untuk orang yang dizalimi. Kaum Yahudi diberi nafkah bersama kaum mukmin selagi mereka diperangi.

 

Apa saja yang terjadi di antara pihak yang terikat dengan piagam ini, baik berupa peristiwa atau percekcokan yang dikhawatirkan kerusakannya, kembalinya kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah. Allah pasti menolong orang yang paling menjaga isi piagam ini dan yang paling berbakti.

 

Quraisy itu tidak dilindungi, demikian juga siapa saja yang menolongnya. Di antara mereka ada pertolongan terhadap siapa saja yang menyerang Yastrib. Apabila mereka diseru menuju perjanjian damai agar mereka mengikat perjanjian damai dan menjalankannya maka mereka mau mengikat perjanjian damai dan menjalankannya. Mereka apabila diajak menuju ke keadaan seperti itu maka itu menjadi hak mereka yang harus dipenuhi oleh kaum mukminin, kecuali Orang yang memerangi dalam din. Menjadi kewajiban setiap kelompok orang bagian mereka dari sisi mereka yang ada di hadapan mereka.

 

Yahudi Aus itu bekas budak mereka dan diri mereka, seperti apa yang menjadi hak pemegang piagam ini, disertai dengan kebaikan yang murni dari pemegang piagam ini. Kebajikan itu bukanlah dosa. Tiada seorang pun yang berusaha melemahkannya kecuali itu akan menimpa dirinya sendiri.

 

Barang siapa yang duduk maka ia berada dalam keadaan aman di Madinah, kecuali orang yang berbuat zalim dan berbuat dosa. Allah melindungi orang yang bersikap paling jujur terhadap isi piagam ini dan yang paling berbakti. Tiada yang menghalangi surat ini selain orang yang zalim dan si pendosa.

 

Siapa saja yang keluar maka ia aman. Siapa saja yang duduk maka ia aman di Madinah. Allah melindungi siapa saja yang berbuat kebajikan dan bertakwa, Muhammad juga melindunginya.”

 

Dipersaudarakannya Muhajin dan Anshan

 

Ibnu Ishaq berkata,

 

Rasulullah mempersaudarakan para sahabat beliau dari kalangan Muhajir dan Anshar, lalu beliau bersabda —menurut berita yang sampai kepadaku-, kami memohon perlindungan kepada Allah dari mengatasnamakan kepada Nabi sesuatu yang beliau tidak mengatakannya, “Bersaudaralah kalian karena Allah, dua orang dua orang.” Kemudian Rasulullah memegang tangan Ali bin Abu Thalib, seraya bersabda, “Ini adalah saudaraku.”

 

Rasulullah adalah pemuka para rasul dan imam orang-orang yang bertakwa, serta utusan dari Tuhan sekalian alam, yang tiada bandingannya dan tiada yang menyetarainya seorang pun dari kalangan hamba Allah, beliau bersaudara dengan Ali bin Abu Thalib. Hamzah bin Abdul Mutholib, singa Allah dan singa Rasul-Nya, sekaligus paman Rasulullah bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, bekas budak Rasulullah. Kepada Zaid, Hamzah berwasiat tatkala Perang Uhud hampir berkecamuk, jika kematian menjemputnya nanti. Jakfar bin Abu Thalib, sang pemilik dua sayap burung, menjadi bersaudara dengan Mu‘adz bin Jabal, saudara Bani Salamah.

 

Abu Bakar Ash-Shidiq bin Abu Quhafah bersaudara dengan Kharijah bin Zuhair. Umar bin Khathab bersaudara dengan Itban bin Malik. Abu Ubaidah bin Jarah dengan Saad bin Mu‘adz. Abdurahman bin Auf menjadi bersaudara Saad bin Rabi. Zubair bin Awam bersaudara dengan Salamah bin Salamah bin Qais. Utsman bin Affan dengan Aus bin Tsabit bin Mundzir. Thalhah bin Ubaidilah bersaudara dengan Ka‘ab bin Malik. Sa‘id bin Zaid bin Amru bin Nufail bersaudara dengan Ubay bin Ka‘ab. Mush’ab bin Umair bersaudara dengan Abu Ayub Khalid bin Zaid. Abu Hudzaifah bin Utbah menjadi saudara Abad bin Bisyr. Amar bin Yasir bersaudara dengan Hudzaifah bin Yaman. Abu Dzar Al-Ghifari menjadi saudara Mundzir bin Amru.

 

Hathib bin Abi Balta‘ah bersaudara dengan Uwaim bin Sa‘idah. Salman AlFarisi bersaudara dengan Abu Darda. Bilal, bekas budak Abu Bakar, bersaudara dengan Abu Ruwaihah.

 

Mereka semua yang disebutkan namanya termasuk orang yang dipersaudarakan oleh Rasulullah dari kalangan sahabat beliau.

 

Kisah Azan

 

Tatkala Rasulullah sudah merasa tenang di Madinah, telah berkumpul bersama beliau para sahabatnya dari kalangan Muhajir, dan terselesaikan pula urusan orang-orang Anshar maka perintah Islam mulai diterapkan; shalat ditegakkan, zakat dan puasa diwajibkan, hukum had diberlakukan, halal dan haram ditetapkan, dan Islam sudah bertahta kuat di tengah mereka, karena komunitas Anshar ini adalah orang-orang yang menempati Madinah dan telah beriman. Ketika Rasulullah datang ke Madinah, orang-orang berkumpul kepada beliau untuk mengerjakan shalat berjamaah ketika tiba waktunya, tanpa ada panggilan atau seruan. Rasulullah kemudian ingin membuat terompet seperti terompetnya orang Yahudi yang biasa mereka gunakan untuk memanggil orang untuk menunaikan ibadah mereka, tetapi beliau membencinya. Lalu beliau juga pernah memerintahkan supaya disiapkan lonceng untuk dipukul sebagai alat memanggil kaum muslim untuk shalat berjamaah.

 

Ketika kaum muslim masih dalam keadaan itu (mencari cara memanggil muslimin hadir ke masjid untuk shalat berjamaah), Abdullah bin Zaid bin Tsa‘labah, yang bersaudara dengan Harits bin Khazraj, bermimpi mendengar suara panggilan. Lalu ia datang menemui Rasulullah,

 

“Wahai Rasulullah, sungguh aku bermimpi ada orang yang mengelilingiku malam ini, seorang lelaki yang memakai dua helai baju berwarna hijau, ia membawa lonceng di tangannya. Lalu kubertanya padanya, ‘Wahai hamba Allah, apakah kamu hendak menjual lonceng ini?’ Ia balik bertanya, ‘Apa yang akan kau lakukan dengan lonceng ini?’ Aku pun menjawab, ‘Kami hendak memanggil orang untuk mengerjakan shalat jamaah dengan lonceng itu’ Ia berkata, ‘Maukah kamu kutunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada itu?’ Aku bertanya, ‘Apa itu?” Ia berkata, “Kamu ucapkan, ‘Allahu akbar, Allahu akbar. Allahu akbar, Allahu akbar. Asyhadu an la ilaha illallah, asyhadu an la ilaha illallah. Asyhadu anna muhammadar rasulullah, asyhadu anna muhammadar rasulullah. Hayya alash shalah, hayya alash shaléh. Hayya ‘alal falah, hayya alal falah. Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallah.’ (artinya: Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah, aku bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mari kami shalat. Mari kami shalat. Ayo kami menuju kejayaan, ayo kami menuju kejayaan. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tiada Ilah kecuali Allah)”

 

Tatkala Rasulullah diberitahu tentang mimpi tersebut beliau bersabda, “Sungguh, itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Oleh karena itu, pergilah bersama Bilal dan diktekan kata-kata itu kepadanya, supaya ia yang mengumandangkannya, karena ia lebih keras suaranya darimu.”

 

Tatkala Bilal mengumandangkan seruan azan itu, Umar bin Khathab mendengarnya, kala itu ia berada di ramahnya. Umar segera keluar dari ramahnya menemui Rasulullah, ia membiarkan selendangnya terjurai, lalu ia berkata, “Wahai Nabi Allah, demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku bermimpi seperti mimpi yang dialami oleh Abdullah bin Zaid itu” Rasulullah bersabda, “Milik Allah segala puji atas hal itu.”

 

Kisah Sakitnya Para Sahabat Rasulullah

 

Dari Aisyah ws, ia berkata, “Tatkala Rasulullah tiba di Madinah, kota itu sedang tertimpa wabah penyakit demam. Sehingga penyakit demam dan bencana tersebut juga menimpa para sahabat beliau. Allah menjauhkan penyakit itu dari Nabi-Nya. Abu Bakar, Amir bin Fuhairah dan Bilal, keduanya adalah mantan budak Abu Bakar, bersama Abu Bakar di satu rumah, lalu demam menimpa mereka. Aku pun masuk untuk menjenguk mereka. Ini terjadi sebelum diwajibkannya hijab (cadar) atas kami. Mereka mengalami keadaan yang tiada yang mengetahuinya kecuali Allah, karena sakit yang semakin parah. Kemudian aku mendekati Abu Bakar, dan kutanyakan kepadanya, ‘Bagaimana keadaan dirimu, wahai ayahandaku?’ Abu Bakar menjawab dengan syairnya:

 

Setiap orang datang pada waktu pagi pada keluarganya…

Sedang kematian itu lebih dekat daripada tali sandalnya.”

 

Aku pun berkata, “Demi Allah, ayahku tidak memahami apa yang ia katakan” Kemudian aku mendekati Amir bin Fuhairah, lantas kutanyakan kepadanya, “Apa yang kau rasakan, wahai Amir?” Amir menjawab:

 

Sungguh aku sudah mendapati kematian sebelum merasakannya…

Sungguh si penakut itu kematiannya dari ketakutannya

Setiap orang diperintahkan untuk bersungguh-sungguh dengan segenap kemampuannya…

Sebagaimana kesungguhan sapi jantan melindungi kulit dengan tanduknya

 

Aku berkata, “Demi Allah, Amir tidak memahami apa yang ia katakan!” Bilal apabila menderita sakit demam, ia selalu berbaring di halaman rumah, kemudian mengeraskan suaranya berkata:

 

Ketahuilah, alangkah senang perasaanku apabila aku dapat bermalam satu malam saja…

 

Di Fakh, sedang sekitarku ada rumput berbau wangi dan tsimam

 

Apakah suatu hari nanti aku bisa mendatangi mata air Majinnah ”…

 

Apakah akan tampak bagiku Gunung Syamah dan Gunung Thufail

 

Kuceritakan apa yang kudengar dari mereka kepada Rasulullah. Aku berkata, “Mereka berbicara tak karuan, bahkan mereka tak dapat berpikir normal karena demam yang sangat parah.” Rasulullah berdoa, (artinya) “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana Engkau telah menjadikan kami mencintai Mekah, atau lebih dari itu. Berkahilah mudd dan sha‘nya, lalu pindahkanlah wabah penyakitnya ke Mahya‘ah”

 

Penanggalan Hijrah

 

Rasulullah tiba di Madinah pada hari Senin, 12 Rabiul Awal, kala waktu dhuha sudah mulai terik, dan matahari hampir berada tepat di atas kepala. Pagi waktu itu, Rasulullah berusia lima puluh tiga tahun, karena hijrah dilakukan tiga belas tahun sesudah Allah s mengutus beliau sebagai Rasul. Rasulullah tinggal di Madinah pada sisa bulan Rabiul Awal, bulan Rabiuts Tsani, dua bulan Jumad (Jumadal Ula dan Jumadats Tsaniyah), Rajab, Sya‘ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqadah, Dzulhijah, dan Muharam.

 

Peristiwa Tahun Pertama Hijriyah

 

Ghazwah Pertama Rasulullah

 

Selanjutnya, Rasulullah pergi berperang pada bulan Safar, yakni Ghazwah Wadan, tepat pada dua belas bulan pertama sejak beliau tiba di Madinah, hingga beliau sampai di Wadan. Disebut juga Ghazwah Abwa. Ghazwah itu dilancarkan dengan sasaran orang Quraisy, Bani Dhamrah bin Bakar bin Abdu Manat bin Kinanah. Bani Dhamrah berpisah menjauh dari beliau. Kemudian Rasulullah pulang kembali ke Madinah tanpa terjadi satu pun pertempuran. Selanjutnya, beliau tinggal di Madinah pada sisa bulan Safar dan awal bulan Rabiul Awal.

 

Sariah Ubaidah bin Harits, Panji Pertama yang Dikibarkan Nabi

 

Rasulullah, pada masa awal beliau di Madinah, mengutus Ubaidah bin Harits bin Mutholib bin Abd Manaf bin Qushay, bersama enam puluh atau delapan puluh personel pasukan kavaleri dari kalangan Muhajir, tanpa disertai satu pun orang Anshar, untuk berangkat berperang. Ubaidah melakukan perjalanan bersama pasukannya hingga ia sampai di mata air di bagian bawah Tsaniah Al-Marah (Tikungan Marah) lalu ia bertemu dengan sejumlah besar dari orang Quraisy, tetapi tidak terjadi perang antara mereka, akan tetapi Saad bin Abu Waqash menembakkan satu anak panahnya. Itulah anak panah pertama yang ditembakkan dalam Islam.

 

Kedua pasukan itu pun pergi meninggalkan tempat itu, sedang kaum muslim mempunyai pasukan pelindung.

 

Sariah Hamzah Dikirim ke Tepi Laut

 

Pada awal tinggalnya Rasulullah di Madinah, beliau mengutus Hamzah bin Abdul Mutholib bin Hasyim ke tepi laut (pantai) di arah ‘Ish. Hamzah diutus bersama tiga puluh personel pasukan kavaleri dari kalangan Muhajir, tanpa seorang pun dari kalangan Anshar yang ikut serta dalam pasukan itu.

 

Kemudian Hamzah bertemu dengan Abu Jahal bin Hisyam di pantai itu. Abu Jahal sedang bersama tiga ratus personel kavaleri dari kalangan penduduk Mekah, Akan tetapi, Majdi bin Amru Al-Juhani menghalangi pertemuan kedua pasukan. Ia menyuruh kedua belah pihak untuk pergi meninggalkan tempat tersebut. Akhirnya, kedua belah pihak pergi menjauh dan tidak terjadi pertempuran sama sekali.

 

Ghazwah Buwath

 

Rasulullah melakukan peperangan pada bulan Rabiul Awal. Sasaran beliau adalah kaum Quraisy.” Beliau pun tiba di Buwath,” dari arah Radhwa. Selanjutnya, beliau pulang ke Madinah dan tidak meletus satu pun pertempuran. Beliau tinggal di kota itu (Madinah) pada sisa bulan Rabiuts Tsani dan sebagian dari bulan Jumadal Ula.

 

Ghazwah Usyairah

 

Berikutnya, Nabi kembali berperang melawan kaum Quraisy, ” Rasulullah menempuh perjalanan sampai ke Bani Dinar, kemudian Faifa Al-Khabar. Rasulullah beristirahat di bawah pohon di Bath-ha’ Ibnu Azhar, lalu beliau mengerjakan shalat di sana, karena di sana ada masjid beliau.

 

Kemudian dibuatkan makanan untuk beliau, beliau pun memakannya bersama orang-orang yang menyertai beliau. Menggunakan periuk dari batu untuk memasak makanan sudah dikenal di sana. Nabi diberi minum air yang ada di sana, yang disebut Al-Musytarab.

 

Rasulullah kembali meneruskan perjalanan, hingga beliau meninggalkan Khalaiq di sebelah kiri. Beliau melewati jalan berupa celah bukit yang dinamai dengan Celah Bukit Abdullah. Lantas beliau turun ke arah kiri hingga turun di Yalyal. Beliau beristirahat di sana bersama masyarakat kampung itu dan masyarakat Dhabu’ah. Beliau mendapatkan air untuk minum dari sumur Dhabu’ah. Selanjutnya, beliau melalui jalan Farasy Malal, sampai beliau bertemu dengan jalan yang berbatu keras dan besar di Yamam. Kemudian beliau berjalan menyimpang sampai turun di Usyairah, di tengah wilayah Yanbu’ Beliau tinggal di sana pada bulan Jumadal Ula dan beberapa hari dari bulan Jumadats Tsaniyah. Beliau berpisah dan orang yang biasa berjalan malam dan para sekutu mereka dari Bani Dhamrah, kemudian beliau kembali pulang ke Madinah, tanpa mengalami satu perang pun.

 

Sariah Saad bin Abu Waqash

 

Di antara waktu-waktu itu, Rasulullah mengirim pasukan perang Saad bin Abu Wagash, yang beranggotakan delapan puluh personel kavaleri. Saad berangkat dari Hijaz hingga tiba di Kharar, kemudian ia pulang kembali tanpa menghadapi satu pun perang.

 

Ghazwah Safwan, Perang Badar Pertama

 

Rasulullah tidak tinggal di Madinah sesudah kepulangan beliau dari penyerangan Usyairah kecuali beberapa malam saja, tidak sampai sepuluh malam, kemudian terjadilah penyerangan yang dilakukan oleh Kurz bin Jabir Al-Fihri terhadap unta yang digembalakan’ di Madinah. Rasulullah berangkat untuk mengejarnya’” hingga sampai di sebuah lembah yang biasa disebut dengan Lembah Safwan, di arah Badar. Kurz bin Jabir berhasil menghilang dan Nabi tidak berhasil menangkapnya. Itulah yang disebut dengan Perang Badar pertama. Kemudian Rasulullah kembali ke Madinah, lantas tinggal di sana pada sisa hari dari bulan Jumadats Tsaniyah, Rajab, dan Sya‘ban.

 

Sariah Abdullah bin Jahsy

 

Rasulullah mengirim Abdullah bin Jahsy, pada bulan Rajab, sepulang beliau dari Badar pertama. Beliau juga mengirim bersamanya delapan puluh personel pasukan Muhajir, tanpa disertai satu pun orang Anshar. Beliau menuliskan sebuah surat untuknya. Beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Jahsy supaya tidak melihat apa isi surat itu sampai ia melakukan perjalanan selama dua hari. Ibnu Jahsy melaksanakan perintah Nabi yang dititahkan kepadanya dan ia tidak memaksakan satu orang pun dari kalangan sahabatnya.

 

Tatkala Abdullah bin Jahsy sudah melakukan perjalanan selama dua hari, ia membuka surat Nabi itu, ternyata isinya, “Apabila engkau sudah membaca suratku ini, teruskan perjalanan sampai engkau tiba dan beristirahat di Nakhlah (kebun kurma) yang letaknya di antara Mekah dan Thaif. Awasilah kaum Quraisy di sana dan beritahukan kepada kami kabar kalian””

 

Tatkala Abdullah bin Jahsy melihat isi surat itu, ia berkata, “Saya siap mendengar dan taat.” Kemudian ia berkata kepada pasukannya, “Sungguh, Rasulullah menyuruhku untuk meneruskan perjalanan sampai ke Nakhlah. Aku akan mengawasi kaum Quraisy sampai aku datang kepada beliau menyampaikan kabar tentang mereka. Rasulullah melarangku memaksa seorang pun di antara kalian. Oleh karena itu, siapa saja di antara kalian yang ingin mendapatkan kesyahidan dan senang memperolehnya, hendaklah ia berangkat. Sedangkan siapa saja yang tidak suka melakukannya, hendaklah ia pulang. Adapun aku, aku pasti berangkat melaksanakan perintah Rasulullah”

 

Abdullah bin Jahsy meneruskan perjalanan, semua anggota pasukannya juga ikut berangkat, tiada seorang pun di antara mereka yang tertinggal.

 

Ibnu Jahsy menempuh perjalanan ke Hijaz, sesampainya mereka di Ma‘dan di wilayah Furu‘, yang biasa disebut dengan daerah Bahran, Saad bin Abu Waqash dan Utbah bin Ghazwan kehilangan unta mereka, keduanya pun tertinggal karena mencari unta masing-masing.

 

Abdullah bin Jahsy dan sisa pasukannya meneruskan perjalanan hingga sampai di Nakhlah. Sekelompok Quraisy yang membawa kismis (anggur kering), kulit, dan sejumlah barang dagangan Quraisy melewati tempat itu. Di antara anggota rombongan itu adalah Amru bin Hadhrami dan Utsman bin Abdullah bin Mughirah, serta saudaranya Naufal bin Abdullah, juga Hakam bin Kaisan. Tatkala rombongan itu melihat pasukan Islam, mereka melarikan diri, karena ternyata pasukan Islam beristirahat di tempat tidak jauh dari mereka.

 

Ukasyah bin Mihshan mengawasi mereka. Ia sudah mencukur gundul rambut kepalanya. Tatkala mereka melihatnya, merasa aman seraya berkata, “Itu penduduk setempat, mereka tidak ada membahayakan kalian.” Pasukan Islam bermusyawarah tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap mereka. Saat itu adalah hari terakhir bulan Rajab.

 

Orang-orang berkata, “Demi Allah, jika kalian biarkan rombongan Quraisy itu meneruskan perjalanan sampai nanti malam maka mereka akan masuk ke Tanah Haram, kalian pun menjadi terlarang menyerang mereka. Sedangkan jika kalian memerangi mereka sekarang, niscaya kalian menyerang mereka pada bulan Haram!”

 

Kaum muslim ragu-ragu dan takut untuk menyerang mereka. Kemudian ja memberanikan diri mereka untuk menyerbu mereka. Mereka sepakat untuk membunuh siapa saja yang mampu mereka bunuh dan merampas harta yang dibawa oleh rombongan Quraisy itu.

 

Wafid bin Abdullah At-Tamimi melepaskan anak panahnya ke arah Amru bin Hadhrami hingga membunuhnya. Utsman bin Abdullah dan Hakam bin Kaisan menjadi tawanan. Naufal bin Abdullah mengajak teman-temannya melarikan diri, tetapi ia tidak mampu melakukannya. Akhirnya, Abdullah bin Jahsy datang bersama rombongan pasukannya dan juga orang-orang Quraisy yang menjadi tawanan, lantas menemui Rasulullah di Madinah.

 

Tatkala mereka menghadap Rasulullah di Madinah, beliau bersabda, “Aku tidak menyuruh kalian untuk berperang pada bulan Haram!” Kemudian Rasulullah menyuruh rombongan dan sejumlah tawanan itu berhenti. Beliau tidak mau menerima sedikit pun dari mereka. Tatkala Rasulullah mengucapkan sabda beliau, pasukan Ibnu Jahsy menjadi lunglai, mereka menyangka bahwa mereka telah binasa. Saudara-saudara mereka dari kalangan kaum muslim mencerca atas tindakan mereka itu.

 

Kaum Quraisy berkata, “Muhammad dan sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram! Mereka menumpahkan darah dan merampas harta pada bulan itu. Mereka juga menawan banyak orang pada bulan Haram!” Salah seorang yang masih tinggal di Mekah menjawab tudingan kaum kafir Quraisy itu dengan ucapan, “Mereka melakukan itu disebabkan perlakuan yang mereka terima di bulan Sya‘ban!”

 

Tatkala orang banyak membicarakan peristiwa tersebut, Allah menurunkan ayat kepada Rasul-Nya:

 

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan Haram, bagaimana hukum melakukan perang di dalamnya. Katakanlah, ‘Berperang pada bulan Haram adalah dosa besar. Sedangkan menghalangi orang dari jalan Allah, kafir terhadap-Nya, dan menghalangi orang dari Masjidil Haram, serta mengusir penduduknya dari sana, itu lebih besar dosanya di hadapan Allah.’” (Al-Baqarah [2]: 217)

 

Maksudnya, jika kalian membunuh pada bulan Haram, tindakan menghalangi kalian dari jalan Allah diiringi dengan kekafiran kepada-Nya, serta tindakan menghalangi orang dari Masjidil Haram itu, juga diusirnya kalian darinya padahal kalian adalah penduduknya, itu lebih besar dosanya di hadapan Allah daripada membunuh orang dari mereka.

 

“Fitnah (syirik) itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan.” (Al-Baqarah [2]: 217)

 

Maksudnya, mereka dulu telah memfitnah kaum muslim dalam hal agama, sehingga ia murtad kepada kekafiran sesudah keimanannya. Maka tindakan itu lebih besar dosanya di hadapan Allah daripada membunuh.

 

“mereka senantiasa memerangi kalian sampai mereka memurtadkan kalian dari agama kalian, jika mereka mampu melakukannya….” (Al-Baqarah (2): 217)

 

Maksudnya, mereka terus melakukan perbuatan yang paling buruk dan paling besar dosanya, tanpa mau bertobat terlebih menghentikannya.

 

Tatkala turun ayat berkenaan urusan ini, dan Allah memberi kelonggaran untuk kaum muslim dari ketakutan dan larangan yang mereka jalani, Rasulullah ge pun menangkap kafilah dan tawanan itu. Kaum Quraisy mengirim tebusan kepada beliau berupa uang untuk menebus Utsman bin Abdullah dan Hakam bin Kaisan. Rasulullah bersabda, “Kami tidak akan menerima tebusan untuk kalian berdua sampai teman kami —Saad bin Abu Waqqash dan Utbah bin Ghazwan datang, karena kami mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua. Jika kalian membunuh dua orang itu maka kami juga akan membunuh teman kalian ini!” Kemudian Saad dan Utbah datang, lantas Rasulullah menerima tebusan dari Quraisy lantas membebaskan Utsman dan Hakam.

 

Hakam bin Kaisan, ia justru masuk Islam dan menjalankan Islamnya dengan baik. Ia tinggal bersama Rasulullah sampai akhirnya ia terbunuh pada Perang Bir Ma‘unah sebagai syahid. Adapun Utsman bin Abdullah, ia menyusul kaum Quraisy di Mekah, lalu ia mati sebagai orang kafir.

 

Pemindahan Kiblat ke Kakbah

 

Dikatakan bahwa pemindahan kiblat ini terjadi pada bulan Sya‘ban, delapan belas bulan semenjak kedatangan Rasulullah di Madinah.

 

Ghazwah Badar Kubra

 

Rasulullah mendengar berita bahwa Abu Sufyan bin Harb datang dari Syam bersama kafilah dagang milik Quraisy yang sangat besar jumlahnya. Pada kafilah itu, terdapat harta milik orang-orang kafir Quraisy, serta barang perniagaan dari sekian banyak barang dagangan mereka. Pada kafilah tersebut juga terdapat tiga puluh atau empat puluh orang Quraisy, yang di antara mereka adalah Makhramah bin Naufal dan Amru bin Ash.

 

Rasulullah menghasung kaum muslim untuk menyerang kafilah tersebut, seraya bersabda, “Ini adalah rombongan Quraisy, yang di dalamnya terdapat harta mereka. Oleh karena itu, berangkatlah kalian untuk menyerangnya, mudah-mudahan Allah memberikan harta itu kepada kalian!”

 

Kaum muslimin memenuhi hubungan Nabi, sebagian dari mereka menyanggupinya dengan ringan, tetapi sebagian yang lainnya merasa berat untuk melakukannya. Itu terjadi karena mereka tidak menyangka bahwa Rasulullah juga akan berangkat pada misi penyerangan tersebut.

 

Abu Sufyan, ketika telah mendekati wilayah Hijaz, ia mulai menyelidiki dan mencari berita. Ia bertanya kepada rombongan yang ia temui di jalan, karena takut akan terjadi sesuatu pada kafilah dagangnya. Akhirnya, ia mendapatkan berita dari sejumlah rombongan, “Muhammad telah keluar meninggalkan Madinah bersama para sahabatnya untuk menyerang kamu dan rombonganmu!” Pada saat itulah Abu Sufyan takut dan waspada. Ia segera membayar Dhamdham bin Amru Al- Ghifari untuk berangkat dengan cepat menuju Mekah. Abu Sufyan menyuruhnya datang menemui kaum Quraisy dengan pesan supaya mereka segera berangkat berperang mempertahankan harta mereka. Abu Sufyan juga memberitahukan bahwa Muhammad bersama sahabatnya telah siap menghadang kafilah dagang Quraisy. Dhamdham bin Amru berangkat ke Mekah dengan memacu kudanya secepat-cepatnya.

 

Atikah binti Abdul Mutholib, tiga hari sebelum kedatangan Dhamdham ke Mekah, bermimpi yang menjadikan dirinya ketakutan. Ia mengutus orang menemui saudaranya, Abbas bin Abdul Mutholib, supaya menyampaikan kata-katanya, “Wahai saudaraku, demi Allah, aku bermimpi yang menakutkan malam ini. Aku takut bila ada keburukan yang datang menimpa kaummu dan adanya musibah yang akan datang menerpanya. Rahasiakanlah mimpi yang kuceritakan kepadamu ini baik-baik.” Abbas bertanya, “Apa mimpimu?” Atikah menjawab, “Aku bermimpi ada pengendara unta yang datang lalu ia berhenti di Abthah. Ia berteriak dengan suaranya yang keras melengking lagi tinggi, “Tidakkah kalian berangkat perang, wahai para pengkhianat, untuk menjemput kematian kalian dalam tiga hari ini!’ Kulihat manusia berkumpul mengelilinginya. Kemudian si pengendara unta itu masuk ke Masjidil Haram, sedang orang-orang masih mengikutinya. Ketika mereka masih berada di sekelilingnya, untanya tiba-tiba berdiri di atas punggung Kakbah, lantas orang itu meneriakkan kata-kata yang sama, “Tidakkah kalian berangkat perang, wahai para pengkhianat, untuk menjemput kematian kalian dalam tiga hari ini!’ Lalu tiba-tiba untanya telah berdiri di atas puncak Gunung Abu Qubais, ia berteriak lagi dengan kata-kata yang sama. Kemudian ia mengambil! batu besar dan melemparkannya. Batu itu meluncur deras, sampai tiba di bawah gunung, batu itu pun pecah berantakan. Tiada tersisa satu rumah pun di Mekah, baik yang terbuat dari batu maupun dari kain, kecuali dimasuki oleh pecahan batu tersebut!”

 

Abbas berkata, “Demi Allah, itu hanyalah sebuah mimpi Kamu harus menyimpannya baik-baik, jangan kau ceritakan kepada siapa pun.”

 

Abbas keluar dari rumah tersebut, lantas ia bertemu dengan Walid bin Utbah bin Rabi‘ah. Walid adalah teman akrab Abbas. Abbas menceritakan mimpi Atikah jtu kepada Walid sembari berpesan untuk merahasiakan dan menyembunyikannya. Walid menceritakan mimpi Atikah itu kepada bapaknya, Utbah. Sesudah itu, tersebarlah cerita mimpi ini ke seantero Mekah, sehingga kaum Quraisy ramai membicarakannya di tempat-tempat pertemuan mereka.

 

Abbas berkata: “Aku berangkat pada waktu pagi untuk melakukan tawaf di Baitullah. Abu Jahal bin Hisyam sedang duduk bersama sejumlah orang Quraisy, membicarakan mimpi Atikah itu. Tatkala Abu Jahal melihatku, ia berkata, ‘Hai Abul Fadhl, apabila kamu sudah menyelesaikan tawafmu maka datanglah kemari’ Ketika aku sudah menyelesaikan tawafku, aku pun datang ke majelis Abu Jahal itu dan aku duduk bersama mereka. Abu Jahal berkata, ‘Wahai Bani Abdul Mutholib, kapankah si nabi perempuan ini menceritakannya pada kalian?’ Aku bertanya, ‘Apa itu?’ Abu Jahal menjawab, ‘Itu, mimpi yang dilihat oleh Atikah’? Aku bertanya, ‘Apa yang ia lihat dalam mimpinya?’ Abu Jahal berkata, ‘Hai Bani Abdul Mutholib, apakah kalian ridha ada dari kaum lelaki kalian mengaku sebagai Nabi, kemudian kaum wanita kalian juga mengaku sebagai nabi! Atikah mengklaim dalam mimpinya bahwa orang itu berkata, “Berangkatlah berperang tiga hari lagi!” Kami akan menunggu kalian dalam tiga hari ini. Jika yang ia katakan itu benar maka pastilah terjadi. Jika lewat tiga hari dan tidak terjadi apa-apa, kami akan mencatat bahwa kalian adalah keluarga yang paling berdusta di Arab ini-”

 

Abbas bertutur lagi, “Demi Allah, tidaklah ia lebih agung daripada diriku, aku benar-benar membantahnya. Aku tidak percaya Atikah bermimpi apa pun.” Kami pun berpisah. Ketika aku memasuki waktu sore, tiada tersisa satu pun perempuan dari kalangan Bani Abdul Mutholib kecuali mendatangiku dan berkata, “Kalian telah membiarkan orang fasik dan buruk ini mencela kaum laki-laki kalian. Sekarang, ia juga melakukannya pada kaum wanita dan kamu telah mendengarnya. Tidakkah kamu memiliki alasan untuk membantah apa yang kau dengar itu!” Aku menjawab, “Demi Allah, aku pasti melakukannya. Tidaklah ia lebih agung dariku. Demi Allah, aku benar-benar akan mengkritiknya. Jika ia mengulanginya maka aku akan benar-benar menghabisinya.”

 

Aku berangkat awal pagi hari, pada hari ketiga dari mimpi Atikah, dengan pandangan yang tajam dan rasa marah, layaknya seseorang yang tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Aku pun memasuki Masjidil Haram, lalu aku melihat Abu Jahal. Demi Allah, aku berjalan ke arahnya untuk mengkritiknya, agar ia mau menarik kembali perkataannya lalu aku dapat menggugurkannya, Ia adalah seorang lelaki berbadan kurus, dagunya runcing, lisan dan matanya tajam, Tiba-tiba ia keluar ke arah pintu masjid dengan marah. Aku berkata pada diriku sendiri, “Apa yang terjadi padanya, semoga Allah melaknatnya. Apakah semua ini dilakukan karena takut bila aku memakinya!” Ternyata ia telah mendengar berita yang aku belum mendengarnya, yakni teriakan Dhamdham bin Amru Al. Ghifari. Ia berteriak di perut lembah, dengan berdiri di atas punggung untanya, Ia telah memotong hidung untanya, memindahkan perbekalannya, menyobek bajunya, seraya berucap, “Wahai orang-orang Quraisy, Unta yang membawa perbekalan dan minyak wangi itu. Harta kalian yang dibawa oleh Abu Sufyan telah dihadang oleh Muhammad dan para sahabatnya. Aku tidak melihat mereka dapat mempertahankannya. Tolong… tolonglah…!”

 

Urusan itu pun menyibukkanku hingga melalaikannya, ia pula melalaikanku.

 

Orang-orang itu bersiap dengan cepat. Mereka berkata, “Apakah Muhammad dan teman-temannya menyangka bahwa pasukan ini akan sama seperti rombongan Ibnu Hadhrami? Sekali-kali tidak, ia akan tahu bahwa ini tidak seperti itu!” Kaum Quraisy hanya terbagi menjadi dua kelompok; yakni ia yang ikut berangkat berperang atau ia mengutus orang lain untuk menggantikan dirinya. Kaum Quraisy berangkat. Tiada seorang pun tokoh dan pemukanya yang tertinggal, kecuali Abu Lahab bin Abdul Mutholib, tetapi ia mengirim orang sebagai penggantinya, yaitu Ashi bin Hisyam bin Mughirah. Ashi selama ini ditahan oleh Abu Lahab karena berutang kepada dirinya sebanyak empat ratus ribu dirham, karena ia mengalami pailit usahanya. Kemudian Abu Lahab menyuruhnya berangkat perang untuk menggantikannya dengan imbalan pembebasan utangnya itu.

 

Umayah bin Khalaf bersikukuh untuk tidak ikut berperang. Umayah adalah orang yang sudah tua renta, gemuk badannya, dan berat untuk berperang. Uqbah bin Abi Mu‘aith datang menemuinya ketika ia duduk di Masjidil Haram, di tengah-tengah kaumnya. Kemudian Uqbah berkata, “Hai Abu Ali, berceboklah kamu dengan batu, karena kamu itu salah satu di antara kaum wanita.” Umayah menukas, “Semoga Allah memburukkanmu dan memburukkan tujuan kedatanganmu ini!” Kemudian Umayah bersiap-siap dan berangkat perang bersama kaum Quraisy.

 

Tatkala mereka selesai bersiap-siap dan hendak berangkat, mereka memperbincangkan perang yang pernah terjadi di antara mereka dengan Bani Bakar bin Abdu Manat, lalu mereka berkata, “Kami khawatir bila mereka datang menyerang kami dari belakang” Hampir saja perbincangan itu membatalkan keberangkatan mereka. Kemudian Iblis menampakkan diri dalam bentuk Suragah bin Malik bin Ju‘syum Al-Madlaji, lalu berkata kepada mereka, “Akulah yang menjadi pelindung kalian dari serangan Kinanah dari belakang sehingga mereka tidak akan dapat mencelakai kalian sedikit pun”

 

Lalu Mereka pun meninggalkan Mekah dengan tergesa-gesa. Rasulullah juga meninggalkan Madinah ketika bulan Ramadhan telah dijalani beberapa hari, bersama para sahabat beliau: Rasul menunjuk Amru bin Ummi Maktum untuk mengimami shalat jamaah warga Madinah, menggantikan beliau, kemudian beliau menyuruh kembali Abu Lubabah dari Rauha’ dan beliau menunjuknya untuk memimpin Madinah menggantikan beliau.

 

Rasulullah menyerahkan panji perang kepada Mush‘ab bin Umair, panji itu berwarna putih. Di depan Rasulullah ada dua panji berwarna hitam. Salah satunya dipegang oleh Ali bin Abu Thalib, yakni panji yang disebut dengan Al‘Iqab. Sedangkan panji hitam yang satunya dipegang oleh salah seorang di antara kaum Anshar.

 

Unta milik sahabat Rasulullah pada waktu itu berjumlah tujuh puluh ekor, lalu mereka pun mengikuti jejaknya. Rasulullah, Ali bin Abu Thalib, dan Martsad bin Abu Martsad Al-Ghanawi mengikuti jejak seekor unta. Hamzah bin Abdul Mutholib, Zaid bin Haritsah, Abu Kabsyah dan Anasah yang keduanya adalah bekas budak Rasulullah mengikuti jejak unta yang lainnya. Abu Bakar, Umar, dan Abdurahman bin Auf mengikuti jejak unta yang lainnya lagi.

 

Rasulullah menempuh jalan beliau dari Madinah ke Mekah melalui celah Bukit Madinah, kemudian beliau naik ke Aqiq, lalu Dzul Hulaifah, lantas mendaki Ulat Al-Jaisy. Selanjutnya, beliau melewati Turban, Malal, lalu Ghamis Al-Hamam dari Marabain. Kemudian beliau melewati Shukhairat Al-Yamam, lalu Siyalah, lantas Fajj Ar-Rauha, kemudian Syanukah. Sampai berada di ‘Irq Adh-Dhabiah, beliau bertemu dengan seorang Badui, lantas mereka bertanya kepadanya, tetapi orang Badui tersebut tidak mengetahui perihal orang-orang yang ditanyakan. Para sahabat Nabi berkata kepadanya, “Ucapkan salam kepada Rasulullah!” Ia balik bertanya, “Apakah di antara kalian ada Rasulullah?” Para sahabat menjawab, “Ya.” Kemudian orang Badui itu mengucapkan salam kepada Rasulullah. Lalu ia berucap, “Jika engkau adalah Rasulullah, beritahukanlah kepadaku apa isi perut untaku ini.” Salamah bin Salamah bin Waqsy menukas, “Kamu jangan bertanya kepada Rasulullah. Datanglah kepadaku, aku pun akan memberitahumu apa isinya. Kamu telah berbuat keji dengannya, bukankah yang di dalam perut unta itu ada janin dari mu?” Rasulullah bersabda, “Hus, kamulah yang telah berbuat keji kepada orang ini!” Kemudian Rasul berpaling dari Salamah.

 

Rasulullah beristirahat di Sajsaj, yakni Sumur Rauha. Kemudian beliau bertolak meninggalkannya sampai tiba di Munsharif, beliau menyimpang dari jalan menuju Mekah ke arah kiri. Beliau melewati Dzat Al-Yamin, melalui Naziah, untuk menuju Badar. Beliau menempuh perjalanan ke arah Badar hingga beliau sampai di sebuah lembah yang bernama Ruhgqan, yang terletak di antara Naziah dengan Mudhayiq Ash-Shafra’ Lalu beliau memasuki Mudhayiq. Lantas beliau bertolak dari tempat itu hingga ketika beliau berada dekat dengan Ash-Shafra’ beliau mengutus Basbas bin Amru Al-Juhani dan Adiy bin Abi Zaghba’ ke Badar, untuk menyelidiki dan mencari berita tentang Abu Sufyan bin Harb dan kafilahnya yang kemudian disampaikan kepada beliau. Selanjutnya, Rasulullah meneruskan perjalanan dan beliau telah mendahului mereka berdua.

 

Sampai kepada Nabi berita tentang Quraisy bahwa mereka melakukan perjalanan untuk melindungi kafilah dagang mereka. Kemudian Rasulullah mengajak sahabat beliau bermusyarawarah tentang itu seraya memberitahu mereka kabar tentang Quraisy. Abu Bakar Ash-Shidiq bangkit berdiri dan mengucapkan perkataan yang baik. Kemudian Miqdad bin Amru berdiri, seraya berkata:

 

“Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang ditentukan Allah atasmu, kami pasti menyertaimu. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kepadamu sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, ‘Pergilah kamu dan Tuhanmu, lalu berperanglah kalian berdua, kami di sini saja duduk-duduk menunggu. (Al-Ma‘idah [4]: 24)

 

Akan tetapi, berangkatlah engkau bersama Pemeliharamu, dan berperanglah. Sungguh, kami ikut berperang bersamamu. Demi Dzat Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, andaikan engkau mengajak kami melakukan perjalanan sampai ke Bark Al-Ghimad’ niscaya kami akan tetap tabah bersamamu, sebagai orang yang melindungimu sampai engkau sampai ke sana!” Rasulullah pun menjawab dengan jawaban yang baik kepadanya dan beliau mendoakannya.

 

Kemudian Rasulullah bersabda, “Berikan saran kepadaku, wahai sekalian manusia!” Yang dimaksud Nabi adalah orang-orang Anshar, karena jumlah mereka jebih banyak. Tatkala mereka membaiat beliau di Aqabah, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami berlepas diri dari melindungimu sampai engkau sampai ke kampung kami. Apabila engkau sudah sampai di perkampungan kami, engkau berada dalam perlindungan kami. Kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi anak dan istri kami” Rasulullah khawatir jikalau kaum Anshar berpikir bahwa mereka tidak berkewajiban menolong dan melindungi kecuali orang yang berada di Madinah. Atau berpikir bahwa mereka tidak wajib pergi berperang melawan musuh kecuali yang berasal dari daerah mereka (Madinah) saja.

 

Tatkala Rasulullah mengucapkan kata-kata itu, Saad bin Ubadah langsung bertanya mengonfirmasi beliau, “Demi Allah, seolah-olah engkau menujukan kata-kata itu kepada kami, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Ya.” Saad bin Ubadah berkata:

 

“Sungguh, kami beriman kepadamu dan membenarkan engkau. Kami bersaksi bahwa ajaran yang kau bawa adalah kebenaran. Untuk itu, kami telah memberikan kepadamu janji kami dan ikatan perjanjian kami yang kuat untuk siap mendengar dan menaati. Oleh karena itu, laksanakanlah wahai Rasulullah, apa yang kau inginkan dan kami akan menyertaimu. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andaikan engkau membawa kami menuju lautan, lalu engkau menceburkan dirimu ke dalam laut, niscaya kami juga akan menceburkan diri kami ke dalamnya. Tiada seorang pun di antara kami yang tertinggal. Kami tidak membenci bila engkau mempertemukan kami dengan musuh kami esok hari. Kami adalah orang-orang yang mampu bertahan dalam perang, orang-orang yang bersikap benar saat bertemu musuh. Mudah-mudahan Allah memperlihatkan kepadamu dari tindakan kami yang menyenangkan dirimu. Berangkatlah bersama kami, dengan berkah Allah!”

 

Rasulullah pun bergembira dengan perkataan Saad, perkataan itu membuat beliau bersemangat. Kemudian beliau bersabda, “Berangkatlah dan bergembiralah! Karena Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok. Demi Allah, tetapi aku sekarang ini melihat kematian kaum kafir itu!”

 

Selanjutnya, Rasulullah beristirahat di dekat Badar. Beliau ditemani seorang sahabat yang menaiki unta sampai berhenti di depan seorang lelaki tua dari kalangan Arab Badui, lalu beliau bertanya kepadanya tentang Quraisy, juga tentang Muhammad dan para sahabatnya, dan berita apa yang sampai kepadanya tentang mereka.

 

Orang tua itu berkata, “Aku tidak akan memberitahu kalian berdua sampai kalian memberitahuku dari kabilah manakah kalian?” Rasulullah menjawab, “Jika kamu mau memberitahu kami, kami pasti akan memberitahumu.” Lelaki tua berkata, “Baik, ini dibalas dengan itu?” Nabi menjawab, “Ya”

 

Lelaki itu berucap, “Aku mendengar berita bahwa Muhammad dan para sahabatnya berangkat dari Madinah pada hari ini dan ini. Jika orang yang menyampaikan berita kepadaku itu berkata benar maka mereka sekarang ini berada di tempat anu.” Ia menyebutkan tempat yang ditempati pasukan Nabi pada waktu itu. “Aku juga mendengar berita bahwa orang-orang Quraisy keluar meninggalkan Mekah pada hari ini dan ini, jika orang yang memberitahukan berita itu benar, mereka tentu sekarang berada di tempat anu.” Seraya menyebutkan tempat yang sekarang pasukan Quraisy berada di sana.

 

Setelah orang tua itu menyampaikan berita tersebut, ia balik bertanya, “Dari manakah kalian berdua?” Rasulullah menjawab, “Kami berasal dari air!” Kemudian beliau meninggalkan orang tua tersebut. Si tua berkata, “Apa dari air? Apakah dari mata air Irak?”

 

Kemudian Rasulullah kembali menemui para sahabatnya yang sedang beristirahat. Ketika senja hari tiba, beliau mengutus Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awam, Saad bin Abu Waqash, bersama sekelompok dari kalangan sahabat Nabi lainnya, menuju mata air Badar, mencari berita untuk disampaikan kepada beliau. Mereka mendapatkan seekor unta milik Quraisy yang sedang minum di mata air Badar, di sana terdapat orang bernama Aslam, budak Bani Hajaj dan Aridh Abu Yasar, budak Bani Ash bin Sa‘id. Kemudian Ali dan teman-temannya membawa serta dua orang budak itu dan menanyainya. Pada waktu itu, Rasulullah sedang mengerjakan shalat.

 

Keduanya berkata, “Kami adalah penyedia minuman untuk orang Quraisy. Mereka mengutus kami untuk mencari air dan menyediakan minum bagi mereka.’

 

Kaum muslim memaksa mereka berdua memberi informasi dan memaksa keduanya mengaku sebagai budak Abu Sufyan, lalu mereka memukuli keduanya. Tatkala kaum muslim selesai memukuli mereka berdua sampai babak belur, mereka berdua berucap, “Kami adalah budak milik Abu Sufyan” Lalu mereka membiarkan keduanya.

 

Rasulullah melakukan rukuk lalu bersujud dua kali, kemudian beliau mengucapkan salam. Beliau bersabda, “Ketika kedua orang ini berkata jujur kepada kalian, kalian malah memukuli keduanya. Tetapi ketika keduanya berdusta kepada kalian, kalian justru membiarkan mereka berdua? Keduanya telah berkata jujur bahwa mereka berdua adalah budak milik orang Quraisy! Beritahukan kepadaku tentang pasukan Quraisy itu?”

 

Mereka berdua berkata, “Mereka, demi Allah, berada di balik bukit pasir yang engkau lihat, di sisi lembah yang jauh.”

 

Rasulullah berkata kepada mereka berdua, “Berapa jumlah personel mereka?” Keduanya menjawab, “Kami tidak tahu.”

 

Rasul bertanya lagi, “Berapa banyak kambing yang mereka sembelih setiap harinya?” Keduanya menjawab, “Kadang-kadang sembilan ekor, kadang-kadang sepuluh ekor.” Rasulullah bersabda, “Jumlah mereka antara 900 sampai 1000 orang.

 

Rasul bertanya lagi kepada mereka berdua, “Siapakah pemimpin Quraisy yang ikut serta?” Mereka berdua menjawab, “Utbah bin Rabi‘ah, Syaibah bin Rabi‘ah, Abul Bakhtari bin Hisyam, Hakim bin Hizam, Naufal bin Khuwailid, Harits bin Amir bin Naufal, Thu‘aimah bin Adiy bin Naufal, Nadhr bin Harits, Zam‘ah bin Aswad, Abu Jahal bin Hisyam, Umayah bin Khalaf, Nabih dan Munabih yang keduanya adalah putra Hajaj, Suhail bin Amru, dan Amru bin Abdu Wudd.”

 

Rasulullah pun menghadapkan diri beliau kepada kaum muslim seraya bersabda, “Mekah telah menyerahkan jantung hatinya kepada kalian!”

 

Basbas bin Amru dan Adiy bin Abu Zaghba’ berangkat hingga keduanya sampai di Badar. Keduanya menderumkan unta masing-masing di bukit, dekat dengan mata air. Kemudian mereka berdua mengambil wadah air dari kulit untuk meminum air dengannya. Adapun Majdi bin Amru Al-Juhani berada di dekat mata air. Adiy dan Basbas mendengar dua gadis dari kaum perempuan penduduk setempat, keduanya saling berhubungan karena utang piutang, dan keduanya berada di mata air itu. Gadis yang berutang berkata kepada temannya, “Rombongan itu hanya akan datang besok atau lusa, aku akan bekerja untuk mereka, lalu aku akan melunasi utangku kepadamu.” Majdi berkata, “Kamu benar.” Lalu ia pergi meninggalkan kedua gadis itu. Adiy dan Basbas mendengar ucapan itu, ketika keduanya masih duduk di atas punggung unta masing-masing, lantas keduanya bertolak dan datang menemui Rasulullah. Lalu mereka berdua menyampaikan berita yang mereka dengar itu kepada Rasulullah.

 

Abu Sufyan bin Harb datang sampai ia menempatkan dirinya di haluan kafilah, karena kekhawatirannya hingga kafilah itu sampai di mata air. Aby Sufyan bertanya kepada Majdi bin Amru, “Apakah kamu merasakan kehadiran orang asing?” Majdi menjawab, “Aku tidak melihat seorang pun yang kucurigai, tetapi aku melihat dua orang pengendara unta yang menderumkan unta mereka di bukit ini, kemudian mereka memenuhi air pada wadah air mereka yang terbuat dari kulit, lantas mereka pergi.”

 

Abu Sufyan mendatangi tempat yang sebelumnya digunakan untuk tempat menderum unta Basbas dan Amru. Lalu ia mengambil kotoran dua unta itu yang sudah kering, lantas ia membelahnya, ternyata di dalamnya ada biji. Abu Sufyan berkata, “Ini, demi Allah, adalah kotoran unta Yastrib.” Ia segera kembali menemui rombongannya dengan cepat, lalu ia mengarahkan haluan kafilahnya menyimpang dari jalan dan menempuh jalan menyusuri pantai. Abu Sufyan menjadikan Badar di sebelah kirinya, ia berangkat dengan cepat.

 

Tatkala Abu Sufyan merasa yakin bahwa dirinya telah berhasil mengamankan kafilah dagangnya, ia pun mengirimkan utusan untuk menemui kaum Quraisy dengan pesan, “Kalian berangkat dari Mekah hanya untuk melindungi kafilah dagang, orang-orang kalian, dan harta kalian. Sekarang Allah telah menyelamatkannya maka pulanglah kalian”

 

Abu Jahal bin Hisyam berkata, “Demi Allah, kami tidak akan pulang hingga kami tiba di Badar —Badar adalah salah satu tempat berkumpul orang Arab, setiap tahun ada pasar yang berhimpun untuk mereka di sana lalu kami akan tinggal di sana selama tiga hari. Kami akan menyembelih unta, makan makanan yang lezat, minum arak, dan budak-budak perempuan akan bernyanyi merdu untuk kami, supaya orang-orang Arab mendengar perjalanan kami dan perkumpulan kami, dan mereka akan terus menyegani kami selama-lamanya. Maka teruskan perjalanan kalian!”

 

Pasukan Quraisy meneruskan perjalanan sampai mereka memasuki sisi yang jauh dari lembah itu. Allah mengirimkan hujan dari langit sehingga tanah pada lembah itu menjadi lembek. Sedangkan Rasulullah dan para sahabat beliau melewati bagian yang keras tanahnya sehingga perjalanan mereka tak terhalang sampai ke tujuan. Sedangkan kaum Quraisy melewati tanah yang lembek sehingga mereka tidak mampu berjalan secepat pasukan Islam. Rasulullah pun mendahului kaum Quraisy mencapai mata air Badar, sampai ketika beliau tiba di mata air yang terdekat dengan mereka, beliau beristirahat di sana.

 

Hubab bin Mundzir berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang tempat ini. Apakah ini adalah tempat yang sudah ditetapkan oleh Allah sebagai tempat kedudukanmu sehingga kami tidak mempunyai hak lagi untuk maju atau mundur sedikit pun dari sini. Ataukah ini hanya pendapatmu saja, sebagai siasat dan strategi perang?” Rasulullah menjawab, “Ini hanya pendapatku, siasatku, dan strategi perang belaka.”

 

Hubab berkata lagi, “Wahai Rasulullah, tempat ini bukanlah tempat yang tepat. Ajaklah pasukan untuk maju lagi hingga kami sampai pada mata air (sumur) yang paling dekat dengan posisi pasukan Quraisy, lalu kami beristirahat dan menunggu di sana. Lantas kami mengubur mata air yang lainnya. Kemudian kami membuat telaga kecil dan kami penuhi dengan air. Lalu kami berperang melawan kafir Quraisy. Dengan begitu, kami bisa minum, sedang mereka tidak dapat minum.”

 

Rasulullah bersabda, “Sungguh bagus usulanmu!” Rasulullah bangkit meninggalkan tempat itu bersama para sahabat, lalu beliau meneruskan perjalanan hingga sampai mata air yang terdekat posisinya dari arah kedatangan kaum Quraisy. Kemudian beliau memerintahkan untuk mengubur mata air yang lainnya, dan memerintahkan untuk dibuat sebuah danau kecil pada mata air yang beliau berposisi di situ, lalu danau itu dipenuhi air. Kemudian para sahabat menempatkan bejana-bejana mereka di situ.

 

Saad bin Mu‘adz berkata: “Wahai Nabi Allah, bagaimana bila kami membuatkan tempat yang teduh di antara dua pohon untuk engkau tinggal di bawahnya. Di situ kami akan mempersiapkan hewan tungganganmu, lalu kami akan menghadapi musuh kami. Apabila Allah menganugerahkan kepada kami kejayaan dan kemenangan atas musuh, itulah yang kami inginkan. Sedangkan jika yang terjadi bukan itu, engkau bisa langsung duduk di atas kendaraanmu, lalu engkau dapat menyusul orang yang ada di belakang kami. Sungguh, ada beberapa kaum yang masih tertinggal di belakang sana, wahai Nabi Allah, yang kami tidak lebih mencintaimu daripada mereka. Kalaulah mereka mengetahui bahwa engkau ikut berperang niscaya mereka tidak akan tertinggal dari mengikutimu. Semoga Allah melindungimu dengan perantaraan mereka, mereka akan setia menasihatimu dan mereka akan berjihad bersamamu.”

 

Rasulullah menyanjungnya dan mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian dibangun untuk Rasulullah sebuah tempat yang teduh.

 

Pasukan Quraisy bergerak maju ketika mereka memasuki waktu pagi. Tatkala Rasulullah melihat pasukan itu, beliau bergerak turun dari Aqnaqal —bukit pasir arah mereka datang menuju Lembah Badar seraya berdoa:

 

“Ya Allah, inilah Quraisy yang datang dengan kesombongan dan kecongkakannya, menentang-Mu dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, berikanlah pertolongan-Mu yang Kau janjikan kepadaku. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini!”

 

Tatkala orang-orang itu berhenti, satu rombongan dari pasukan Quraisy maju untuk mengambil air dari telaga Rasulullah. Di antara mereka terdapat Hakim bin Hizam. Rasulullah memberi komando, “Biarkanlah mereka!” Tiada seorang pun di antara anggota rombongan itu yang minum air telaga tersebut pasti mati terbunuh, kecuali Hakim bin Hizam. Ia sengaja tidak dibunuh. Kemudian Hakim masuk Islam dan menjalankan Islamnya dengan sebaik-baiknya. Apabila ia bersumpah dengan sungguh-sungguh ia akan berkata, “Demi Dzat Yang telah menyelamatkanku pada Perang Badar!”

 

Ketika kaum Quraisy sudah tenang, mereka mengutus Umair bin Wahab Al-Jumhi, lantas berkata, “Perkirakan para sahabat Muhammad untuk kepentingan kami.” Umair kemudian berkeliling dengan mengendarai kudanya di sekeliling pasukan, kemudian ia kembali menemui mereka, seraya berucap, “Jumlah mereka tiga ratus orang, mungkin lebih sedikit atau kurang sedikit dari jumlah itu. Akan tetapi, berilah waktu untukku untuk melihat lagi, apakah pasukan mereka masih memiliki bala bantuan atau tambahan personel?”

 

Umair segera memacu kudanya melintasi lembah itu hingga tempat yang jauh. Ia tidak melihat apa pun di sana. Lalu ia kembali menemui pasukan Quraisy seraya berkata, “Aku tidak menemukan apa pun. Akan tetapi, aku melihat wahai sekalian orang Quraisy, unta atau hewan tunggangan Yatsrib. Mereka tidak punya pelindung dan tempat berlindung kecuali pedang mereka. Demi Allah, menurutku, tiada seorang pun dari mereka yang terbunuh sampai terbunuh seseorang di antara kalian. Apabila mereka menyerang kalian dengan seluruh jumlah personel mereka maka tiada kehidupan yang lebih baik sesudah itu! Maka bagaimana pendapat kalian”

 

Tatkala Hakim bin Hizam mendengar perkataan Umair itu, ia berjalan di antara orang-orang Quraisy. Ia datang kepada Utbah dan berkata, “Wahai Abul Walid, sungguh kamu adalah pembesar Quraisy dan pemukanya, orang yang ditaati olehnya.

 

Apakah kamu ingin melakukan sesuatu yang menjadikanmu senantiasa disebut kebaikannya sampai akhir masa nanti?” Utbah bertanya, “Apa itu, hai Hakim?”

 

Hakim menjawab, “Pulanglah bersama orang-orang Quraisy ini dan uruslah masalah sekutumu Amru bin Hadhrami.”!

 

Utbah berkata, “Ya, aku pasti melakukannya. Kamu mengingatkanku akan tanggung jawabku itu. Ia sekutuku, diatnya tentu menjadi tanggunganku serta apa yang hilang dari hartanya. Datanglah kepada Ibnul Hanzhaliah, karena aku tidak mengkhawatirkan ada yang menyalakan api pertengkaran antara orang-orang itu kecuali ia”

 

Kemudian Utbah bin Rabi‘ah berdiri dan berkhotbah, “Wahai sekalian orang Quraisy. Demi Allah, apa yang akan kalian lakukan bila kalian bertemu Muhammad dan semua sahabatnya dalam satu pertempuran? Demi Allah, jika kalian bertemu dengannya, niscaya seseorang akan melihat wajah orang yang Lainnya dengan kebencian, karena telah membunuh anak pamannya dari arah bapak, anak pamannya dari arah ibu, dari keluarganya. Maka pulanglah kalian dan biarkan jalan Muhammad untuk berdakwah kepada seluruh Arab. Apabila seluruh bangsa Arab memeranginya, itulah yang kalian inginkan. Jika yang terjadi bukan itu, ia pasti akan menyatukan dan mempertautkan hati kalian. Sehingga kalian tidak akan menghadapinya apa yang tidak kalian inginkan!”

 

Aku beranjak pergi hingga menemui Abu Jahal, lantas aku mendapatinya sudah mengeluarkan jubah besinya dari tas dan sedang melumurinya dengan minyak. Aku berkata kepadanya, “Wahai Abul Hakam, Utbah mengutusku untuk menemuimu dengan tujuan ini dan ini.” Sebagaimana yang dikatakan oleh Utbah.

 

Abu Jahal mendesah, “Demi Allah, muncul lagi sikap pengecutnya, ketika ia melihat Muhammad dan para sahabatnya. Sekali-kali tidak, demi Allah, kami tidak akan pulang sampai Allah menetapkan keputusan di antara kami dengan Muhammad. Utbah tidak berhak mengatakan itu. Semua ini karena ia telah melihat Muhammad dan para sahabatnya itu jumlahnya hanya sedikit, sedang di antara mereka ada anaknya. Kalian hanya mengkhawatirkan keselamatannya!”

 

Abu Jahal mengirim utusan untuk menemui Amir bin Hadhrami Seraya berucap, “Ini sekutumu ingin mengajak orang-orang Quraisy pulang. Sungguh, aky melihat semangat balas dendammu menyala di matamu. Bangkitlah dan tuntutlah balas berdasarkan janji mereka kepadamu dan terbunuhnya saudaramu.”

 

Amir bin Hadhrami bangkit dan berdiri, lalu ia menyingkapkan penutup wajahnya dan berteriak keras, “Wahai Amru… duhai Amru…!” Lalu menyalalah pertempuran. Keadaan orang-orang Quraisy semakin panas. Mereka pun ber. kumpul dan bersatu dengan keburukan yang menjadi landasan tindakan mereka, menghancurkan pendapat yang tadinya akan mereka ikuti, yakni yang diserukan oleh Utbah.

 

Aswad bin Abdulaswad Al-Makhzumi maju ke depan —ia adalah seorang pria yang kejam dan buruk perangainya-. Ia berkata, “Aku berjanji kepada Allah, aku benar-benar akan minum dari telaga mereka, menghancurkannya, atau aku mati untuk merebutnya!”

 

Tatkala Aswad muncul, Hamzah bin Abdul Mutholib maju menghadangnya, Tatkala keduanya sudah berhadap-hadapan, Hamzah menghantamnya dengan pedang hingga ia berhasil menebas telapak kakinya sampai pertengahan betisnya. Saat itu, Aswad sudah berada di dekat telaga. Ia jatuh telentang, sedang kakinya mengucurkan darah dengan deras. Ia bersuara keras ke arah teman-temannya. Kemudian ia merangkak menuju telaga buatan itu dan menceburkan diri ke dalamnya. Ia ingin menunaikan sumpahnya. Hamzah mengejarnya dan menebas tubuhnya lagi dengan pedang hingga Hamzah berhasil membunuhnya di telaga.

 

Utbah bin Rabi‘ah maju, ia diapit oleh saudaranya, Syaibah bin Rabi‘ah dan anak laki-lakinya, Walid bin Utbah. Sampai ketika ia sudah memisahkan diri dari barisan pasukan Quraisy, ia menantang muslimin untuk berduel satu lawan satu. Tiga orang Anshar maju melayani tantangan duel itu. Ketiga orang Anshar itu adalah Auf bin Harits, Mu‘adz bin Harits, dan seorang laki-laki yang bernama Abdullah bin Rawahah.

 

Tokoh-tokoh kafir Quraisy itu berkata, “Siapa kalian?” Tiga orang muslimin itu menjawab, “Kami adalah orang-orang Anshar”

 

Utbah dan teman-temannya berucap, “Kami tidak butuh kalian”” Kemudian penyeru kafir Quraisy berteriak, “Hai Muhammad, keluarkan untuk menghadapi kami orang-orang yang setara dengan kami dari kaum kami sendiri!”

 

Rasulullah bertitah, “Bangkitlah, hai Ubaidah bin Harits! Bangkitlah, hai Hamzah! Bangkitlah, hai Ali!” Tatkala ketiga orang itu bangkit dan maju mendekati tiga tokoh kafir Quraisy itu, mereka bertanya, “Siapa kalian?” Ubaidah menjawab, “Ubaidah.” Hamzah menjawab, “Hamzah.” Ali menjawab, “Ali”

 

Kaum Quraisy berucap, “Ya. Ini orang-orang yang setara dan mulia.” Ubaidah -yang menjadi orang tertua dari mereka berduel melawan Utbah bin Rabi‘ah. Hamzah berduel dengan Syaibah bin Rabi‘ah. Ali berduel dengan Walid bin Utbah.

 

Hamzah, tidak memberi tempo kepada Syaibah, melainkan langsung membunuhnya. Ali juga tidak memberi waktu bernapas untuk Walid, namun langsung membunuhnya. Sedangkan Ubaidah berduel sengit dengan Utbah. Keduanya saling menghantamkan pedang ke tubuh musuhnya. Keduanya saling melukai musuhnya. Hamzah dan Ali dengan pedang masing-masing menyerang Utbah, keduanya berhasil mempercepat kematiannya. Lalu mereka berdua menggendong Ubaidah kembali kepada pasukan induk muslimin.

 

Orang-orang bergerak secara perlahan, sehingga sebagian dari mereka mendekati sebagian yang lain. Rasulullah telah memerintahkan para sahabat beliau untuk tidak menyerang sampai beliau mengomando mereka. Beliau bersabda, “Jika mereka menyerang kalian maka tembaklah mereka dengan panah!” Rasulullah berada di bangsal tempat berteduh yang sudah dibuatkan khusus untuk beliau, ditemani oleh Abu Bakar Ash-Shidiq.

 

Perang Badar terjadi pada hari Jumat, 17 Ramadhan di pagi hari.

 

Selanjutnya, Rasulullah meluruskan barisan pasukan muslimin dan beliau kembali ke bangsal. Beliau masuk ke bangsal bersama Abu Bakar Ash-Shidiq. Tidak ada sahabat lain yang menemani beliau selain ia. Rasulullah berdoa kepada Tuhannya dengan apa yang telah Ia janjikan berupa kemenangan. Salah satu kalimat doa yang beliau ucapkan adalah

 

“Ya Allah, jika Engkau binasakan kelompok ini pada hari ini, niscaya Engkau tidak akan diibadahi lagi!”

 

Abu Bakar berkata, “Wahai Nabi Allah, sudah cukup doamu kepada Tuhanmu, karena Allah pasti memenuhi apa yang Ia janjikan kepadamu.”

 

Rasulullah tertidur sebentar, ketika beliau berada di dalam bangsal itu. Kemudian beliau bangun kembali dan bersabda, “Bergembiralah, wahai Abu Bakar, pertolongan Allah datang kepadamu! Ini Jibril, ia memegang tali kekang kuda yang mengendalikannya, yang pada kedua gigi taringnya mengepulkan debu.”

 

Kemudian Rasulullah keluar menjumpai pasukan Islam lantas beliau menghasung mereka seraya bersabda,

 

“Demi Dzat Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, tiada seorang pun yang memerangi mereka pada hari ini dalam keadaan tabah dan mengharapkan pahala, maju menyongsong musuh dan tidak melarikan diri, kecuali Allah pasti memasukkan ia ke dalam Surga.”

 

Umair bin Humam, saudara Bani Salamah, yang di tangannya masih ada beberapa buah kurma, berkata, “Bakh, bakh… ,” apakah tiada di antara diriku dan masuknya diriku ke Surga kecuali jika mereka membunuhku!” Kemudian ia melemparkan buah kurma yang ada di tangannya lalu menghunuskan pedangnya. Ia langsung maju berperang melawan orang-orang Kafir Quraisy hingga terbunuh,

 

Berikutnya, Rasulullah mengambil segenggam kerikil lantas beliau menghadap ke pasukan Quraisy dengan membawa kerikil itu, lalu beliau bersabda,

 

“Buruklah wajah-wajah itu!” Kemudian beliau menghembuskan kerikil-kerikil itu terhadap mereka. Beliau juga memerintahkan para sahabat dengan komandonya, “Serang!” Lalu terjadilah kekalahan di pihak pasukan Quraisy, Allah membunuh siapa saja dari kalangan pembesar Quraisy dan menjadikan sebagian dari kaum mulia mereka sebagai tawanan.

 

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi bersabda kepada para sahabatnya pada hari itu:

 

“Aku mengetahui bahwa sejumlah orang dari kalangan Bani Hasyim dan lainnya telah dipaksa keluar dari Mekah untuk berperang melawan kami. Mereka tidak ingin memerangi kami. Siapa saja di antara kalian yang menjumpai seseorang dari kalangan Bani Hasyim, janganlah ia membunuhnya. Siapa saja yang bertemu dengan Abul Bakhtari bin Hisyam bin Harits bin Asad, janganlah ia membunuhnya. Siapa saja yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Mutholib, janganlah ia membunuhnya karena ia dipaksa untuk ikut berangkat perang.”

 

Abu Hudzaifah berkata, “Apakah kami akan membunuh bapak kami, saudara kami, dan keluarga kami, tetapi kami membiarkan Abbas tetap hidup! Demi Allah, jika aku bertemu dengannya, niscaya aku akan menebasnya dengan pedang.” Pernyataan Abu Hudzaifah ini sampai kepada Rasulullah, beliau bersabda kepada Umar bin Khathab, “Hai Abu Hafsh! Apakah kepala paman Rasulullah akan ditebas dengan pedangnya?” Umar berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku, akan aku penggal leher orang yang mengatakannya dengan pedang ini. Demi Allah, ia berbuat munafik”

 

Abu Hudzaifah berkata, “Aku tidak pernah merasa aman akibat kata-kata yang kuucapkan pada waktu itu. Aku terus merasa khawatir bila tiada amalan yang dapat menghapuskan dosa perkataanku itu kecuali kematian sebagai syahid!” Akhirnya, Abu Hudzaifah terbunuh pada Perang Yamamah sebagai syahid.

 

Para malaikat tidak pernah ikut serta dalam perang, selain Perang Badar. Para malaikat memang datang dengan jumlah dan perlengkapan pada perang yang lainnya, tetapi tidak ikut berperang.

 

Tatkala Rasulullah menyelesaikan perang melawan musuh, beliau memerintahkan agar jasad Abu Jahal dicari di antara korban-korban terbunuh. Ibnu Mas‘ud berkata, “Aku memenggal kepalanya, kemudian aku datang menemui Rasulullah dengan membawanya, ‘Wahai Rasulullah, ini kepala musuh Allah, Abu Jahal” Rasulullah bersabda, “Demi Allah Yang tiada tuhan selain Ia?” Ibnu Mas‘ud berkata, “Itulah sumpah Rasulullah, aku berkata, “Ya, demi Allah Yang tiada tuhan kecuali Ia? Kemudian kulemparkan kepalanya ke hadapan Rasulullah. Lantas beliau memuji Allah (mengucapkan Alhamdulillah).

 

Ketika Rasulullah menitahkan supaya jasad tokoh-tokoh kafir dicampakkan ke dalam sumur, semua jasad itu pun dilemparkan ke dalamnya, kecuali jasad Umayah bin Khalaf, karena jasadnya menggembung di dalam jubah besinya sehingga memenuhi jubah. Para sahabat berupaya menggerakkannya lantas dagingnya berjatuhan. Akhirnya, mereka berketetapan untuk melemparkannya ke dalam sumur sembari menutupinya dengan tanah dan batu. Malam harinya, tatkala muslimin sudah melemparkan semua jasad itu ke dalam sumur, Rasulullah berdiri di dekat sumur itu lantas para sahabatnya mendengar beliau berkata:

 

“Hai penghuni sumur, hai Utbah bin Rabi‘ah, hai Syaibah bin Rabi‘ah, haj Umayah bin Khalaf, hai Abu Jahal -lantas beliau menyebut nama tokoh-tokoh

 

Quraisy lainnya yang dikubur di dalam sumur. Apakah kalian mendapati apa yang dijanjikan Tuhan kalian itu benar, karena aku sudah mendapati bahwa apa yang dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku adalah benar?” Kaum muslimin berkata, “Wahai Rasulullah, mengapakah engkau memanggil sejumlah orang yang sudah membujur kaku menjadi bangkai?” Rasulullah bersabda, “Kalian tidak lebih mendengar apa yang kukatakan ini daripada mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab kata-kataku!”

 

Selanjutnya, Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya mengumpulkan harta rampasan yang didapatkan oleh pasukan Islam, harta itu pun dikumpulkan, Kaum muslim bersilang pendapat tentang harta rampasan itu. Orang-orang yang mengumpulkan harta itu berkata, “Harta rampasan ini milik kami”

 

Orang-orang yang sudah berperang melawan musuh dan mengejarnya berkata, “Demi Allah, kalaulah tidak karena kami, niscaya kalian tidak akan mendapatkannya. Sungguh, kami lebih sibuk mengurusi orang banyak sehingga kalian dapat memperoleh harta yang kalian peroleh itu!”

 

Orang-orang yang menjaga Rasulullah karena khawatir bila musuh datang menyerbu beliau berkata, “Demi Allah, kalian tidak lebih berhak daripada kami. Demi Allah, kami melihat bahwa kami dapat membunuh musuh apabila Allah mengaruniakan kepada kami bahu mereka. Sungguh, kami juga melihat kami dapat mengambil harta rampasan perang, ketika tiada seorang pun di belakang Nabi yang melindungi beliau. Akan tetapi, kami mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah dari serangan musuh, kami pun berdiri melindungi beliau. Maka kalian tidak lebih berhak daripada kami”

 

Rasulullah ketika meraih kemenangan itu, beliau mengutus Abdullah bin Rawahah sebagai penyampai kabar gembira kepada orang-orang yang tinggal di dataran tinggi, yakni bahwa Allah ta telah memberikan kemenangan kepada Rasul-Nya dan kepada kaum muslim. Rasulullah juga mengutus Zaid bin Haritsah untuk memberitahu orang-orang yang tinggal di dataran rendah. Selanjutnya, beliau berangkat kembali ke Madinah bersama sejumlah tawanan musyrikin, di antara mereka adalah Uqbah bin Abi Mu‘aith dan Nadhr bin Harits. Rasulullah juga membawa harta rampasan perang yang didapatkan dari kaum musyrik. Beliau mengangkat Abdullah bin Ka‘ab bin Amru bin Auf sebagai pengurus harta rampasan.

 

Rasulullah pun berangkat, sampai beliau keluar meninggalkan Madhyag Ash-Shafra, beliau beristirahat di padang pasir antara Madhyaq dan Naziah. Di tempat itu beliau membagi secara merata harta yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslim yang dirampas dari kaum musyrik.

 

Kemudian Rasulullah meneruskan perjalanan, hingga ketika beliau tiba di Rauha, kaum muslim menyambut beliau, mengucapkan selamat kepada beliau atas kemenangan yang dianugerahkan Allah kepada beliau dan kaum muslim yang menyertai beliau. Salamah bin Salamah berkata kepada mereka, “Ucapan selamat apa yang kalian sampaikan kepada beliau? Demi Allah, tiada yang kami hadapi kecuali orang-orang tua yang sudah botak, layaknya unta yang sudah diikat dengan tali, lalu kami menyembelihnya!” Rasulullah tersenyum kemudian bersabda, “Wahai keponakanku, mereka adalah para pembesar!”

 

Sesampainya ketika Rasulullah di Ash-Shafra, Nadhr bin Harits dibunuh. Pembunuhnya adalah Ali bin Abu Thalib. Kemudian beliau keluar dari tempat itu, sampai ketika beliau tiba di Irq Azh-Zhabiah, Uqbah bin Abi Mu‘aith dibunuh. Ugbah berkata ketika Rasulullah memerintahkan pembunuhannya, “Siapakah pemilik orang yang murtad, wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Api neraka” Ashim bin Tsabit bin Abul Aqlah Al-Anshari membunuhnya.

 

Rasulullah lantas melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah sehari sebelum tibanya para tawanan. Ketika rombongan tawanan tiba, Rasulullah menyayangi mereka di antara para sahabatnya, sehingga beliau bersabda, “Berwasiat baiklah kalian kepada para tawanan!”

 

Orang pertama yang tiba di Mekah dan memberitahukan musibah kekalahan yang menimpa Quraisy adalah Haisuman bin Abdullah.

 

Kaum Quraisy meratapi orang-orang yang mati dari mereka, kemudian mereka berkata, “Jangan kalian lakukan itu (meratap), karena jika kelakuan kalian ini sampai beritanya kepada Muhammad dan para sahabatnya, mereka akan senang dengan penderitaan kalian. Jangan pula kalian mengirim utusan untuk menebus teman-teman kalian yang menjadi tawanan, kecuali kalian menunda-nunda penebusan itu terlebih dahulu. Jangan sampai Muhammad dan teman-temannya mendesak kalian melakukan penebusan tersebut.”

 

Aswad bin Abdul Mutholib kehilangan tiga orang anak dan cucunya; Zam‘ah bin Aswad, Uqail bin Aswad, dan Harits bin Zam‘ah. Ia ingin menangisi anak-anaknya itu. Ketika ia masih dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara wanita yang meratap pada waktu malam. Kemudian ia berkata kepada budaknya karena ia sudah buta matanya, “Lihatlah, apakah meratap telah diperbolehkan sekarang! Apakah orang-orang Quraisy menangisi orang-orang yang mati dari mereka? Barangkali aku diperkenankan untuk menangisi Abu Hakimah yakni Zam‘ah karena kerongkonganku rasanya terbakar!”

 

Tatkala budaknya kembali kepadanya, sang budak berkata, “Itu hanyalah seorang perempuan yang menangisi untanya yang hilang.” Seketika itu Aswaq bersyair:

 

Apakah ia menangis karena untanya hilang Hingga ia terus berjaga tak bisa tidur Janganlah kamu menangisi unta muda, tetapi Terhadap Badar, berkurang kesungguhannya Terhadap Badar, pimpinan Bani Hushaish, Makhzum dan rombongan Abul Walid Jika kamu menangis, tangisilah Aqil, Tangisilah Harits si macan Aswad Tangisilah mereka dan jangan kau anggap sial semuanya Karena tiada yang sebanding dengan Abu Hakimah

 

Kemudian Quraisy mengirim orang untuk menebus tawanan. Mikraz bin Hafsh maju untuk menebus Suhail bin Amru. Tatkala Mikraz berusaha melobi kaum muslim dan akhirnya ia berhasil mendapatkan keridhaan mereka. Kaum muslim berkata, “Datangkan orang yang menjadi penebus kepada kami!” Mikraz berkata, “Jadikanlah aku sebagai penggantinya. Bebaskanlah jalannya, sampai dikirim kepada kalian tebusannya.” Orang-orang Islam pun membebaskan Suhail dan menahan Mikraz untuk menggantikannya.

 

Umar bin Khathab berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya, akan kucabut dua gigi depan Suhail bin Amru, dan kubuat lidahnya menjulur keluar, sehingga ia tidak bisa lagi berdiri berpidato menyerangmu di mana pun juga selama-lamanya.” Rasulullah bersabda, “Aku tidak akan mencincangnya sehingga Allah juga akan mencincangku. Sungguh, aku adalah seorang Nabi.”

 

Di antara para tawanan terdapat Abul Ash bin Rabi bin Abdul‘uzza, menantu Rasulullah, suami putri beliau, Zainab. Islam telah memisahkan antara Zainab, ketika ia masuk Islam, dengan Abul Ash bin Rabi’ Akan tetapi, Rasulullah tidak mampu memisahkan mereka berdua. Zainab tetap tinggal bersama suaminya, padahal sang suami masih menjalani kemusyrikannya, sampai Rasulullah berhijrah. Tatkala rombongan Quraisy menuju Badar, Abul Ash bin Rabi’ ikut serta di dalamnya. Lantas Abul Ash menjadi tawanan pada Perang Badar, sehingga ia berada di Madinah bersama Rasulullah.

 

Tatkala penduduk Mekah mengirim utusan untuk menebus kebebasan tawanan mereka, Zainab binti Rasulullah juga mengirim harta untuk membebaskan Abul Ash bin Rabi. Di antara harta yang dikirimkan Zainab adalah seutas kalung miliknya yang dulu diberikan oleh Khadijah, ibunya, ketika Abul Ash menjalani malam pengantin dengan Zainab. Tatkala Rasulullah melihat kalung itu, muncullah rasa kasihan yang luar biasa pada diri beliau. Lantas beliau bersabda, “Jika kalian setuju untuk membebaskan tawanan itu (Abul Ash) untuk Zainab dan mengembalikan hartanya, lakukanlah!” Para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Para sahabat pun membebaskan Abul Ash dan mengembalikan harta Zainab yang akan digunakan untuk menebus Abul Ash kepada Zainab.

 

Abul Ash tinggal di Mekah, sedangkan Zainab tinggal bersama Rasulullah di Madinah, sampai Islam memisahkan di antara mereka berdua. Sampai beberapa saat menjelang pembebasan kota Mekah, Abul Ash melakukan perjalanan sebagai seorang pedagang, menuju Syam. Abul Ash adalah seorang lelaki yang terpercaya. Ia dipercaya membawa hartanya sendiri dan harta beberapa orang Quraisy. Mereka menitipkannya kepada Abul Ash dalam wujud barang dagangan.

 

Selesai dari perjalanan dagangnya, ia pulang ke Mekah. Sariah yang dikirim oleh Rasulullah menghadangnya dan mengambil semua harta yang ia bawa. Abul Ash sendiri berhasil melarikan diri. Tatkala Sariah ini datang ke Madinah beserta semua harta rampasan yang mereka dapatkan dari musuh. Abul Ash datang pada waktu malam, lalu masuk menemui Zainab binti Rasulullah, kemudian meminta perlindungan kepadanya. Zainab melindunginya.

 

Abul Ash datang untuk meminta hartanya. Tatkala Rasulullah keluar dari rumah beliau pada waktu subuh, beliau bertakbir untuk shalat (takbiratul ihram) dan kaum muslim juga bertakbir bersama beliau. Zainab berteriak dari balairung wanita, “Saudara-saudara, aku telah memberi perlindungan kepada Abul Ash bin Rabi’

 

Tatkala Rasulullah selesai mengerjakan shalat, beliau menghadap kepada para makmumnya, lantas bersabda, “Saudara-saudara, apakah kalian mendengar apa yang kudengar?” Mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, aku tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu sampai aku mendengar suara yang kalian dengar tadi, Orang yang kedudukannya paling rendah dari kaum muslim itu perlindungannya tetap berlaku atas seluruh muslim lainnya” Kemudian Rasulullah pergi meninggalkan tempat dan mendatangi kamar putrinya, seraya bersabda, “Putriku, muliakanlah kedudukannya. Akan tetapi, jangan sampai ia menyetubuhimu karena kamu tidak halal untuknya.”

 

Dari Abdullah bin Abu Bakar, bahwasanya Rasulullah mengirim utusan kepada Sariah yang memperoleh harta Abul Ash, untuk menyampaikan pesan beliau kepada mereka, “Orang ini (Abul Ash) adalah bagian dari kami, sebagaimana kalian sudah mengetahuinya. Kalian telah mendapatkan hartanya. Jika kalian mau berbuat baik dan mengembalikan harta itu kepadanya, kami akan senang terhadap tindakan itu. Jika kalian enggan melakukannya maka itu adalah harta fai’ dari Allah yang dianugerahkan oleh-Nya kepada kalian, tentu kalian lebih berhak atasnya”

 

Mereka (anggota sariah itu) menjawab, “Wahai Rasulullah, kami akan mengembalikan harta ini kepadanya.” Mereka lantas mengembalikan kepada Abul Ash hartanya. Sampai-sampai seorang pria mengembalikan timba, mengembalikan alat minum yang sudah usang, serta wadah air kecil yang terbuat dari kulit. Demikian juga, sampai seseorang di antara mereka mengembalikan papan kayu yang dimasukkan dalam dua ikatan karung, hingga mereka mengembalikan seluruh hartanya kepadanya, tiada yang hilang sedikit pun.

 

Selanjutnya, Abul Ash membawa harta itu ke Mekah, lantas ia memberikan kepada setiap orang yang memiliki harta dari kalangan Quraisy hartanya, serta siapa saja yang memiliki bagian bersamanya. Kemudian Abul Ash berkata, “Wahai sekalian orang Quraisy, apakah masih ada di antara kalian yang mempunyai bagian dari diriku yang ia belum mengambilnya?” Mereka menjawab, “Tidak, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sungguh, kami mendapati kamu sebagai orang yang memenuhi janji dan dermawan.”

 

Abul Ash berkata, “Sekarang aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya sekaligus utusan-Nya. Demi Allah, tiada yang menghalangiku dari masuk Islam di hadapan beliau kecuali perasaan takut bahwa kalian menyangka aku hanya ingin memakan harta kalian. Tatkala Allah sudah memberikan harta kalian itu kepada kalian dan aku sudah selesai menunaikannya, aku pun masuk Islam.”

 

Kemudian Abul Ash keluar meninggalkan Mekah, lalu menemui Rasulullah.

 

Sebagian tawanan yang disebutkan namanya kepada kami, dari kalangan mereka yang diberi anugerah kebebasan tanpa adanya tebusan adalah Abul Ash bin Rabi, Mutholib bin Hanthab, Shaifi bin Abu Rifa‘ah, dan Abu Azah bin Abdullah bin Utsman bin Uhaib bin Hudzafah bin Jumah, yang terakhir ini adalah orang miskin, memiliki banyak kebutuhan, dan mempunyai banyak anak perempuan. Ia berbicara kepada Rasulullah , seraya berucap, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau mengetahui bahwa aku tidak mempunyai harta. Aku adalah orang miskin, banyak kebutuhannya, dan juga mempunyai keluarga yang banyak jumlahnya, berilah anugerah kebebasan kepadaku”

 

Rasulullah pun memberikan kebebasan kepadanya, sembari menyuruh ia berjanji untuk tidak membantu siapa pun, memerangi atau memusuhi Nabi. Pada waktu itu, Abu Azah memuji Rasulullah dan menyebutkan keutamaan beliau di tengah kaumnya: .

 

Siapakah yang mau menyampaikan dariku kepada Sang Rasul Muhammad…

Bahwa engkau benar dan Sang Raja yang berkuasa itu Maha Terpuji

Engkau adalah seseorang yang menyeru kepada kebenaran dan petunjuk…

Atas dirimu, Allah Yang Mahaagung menjadi saksi

Engkau adalah seseorang yang ditempatkan di tempat yang baik di tengah kami…

Memiliki tingkatan yang sejajar dan terus meninggi

Karena engkau siapa saja yang kau perangi pasti layak diperangi…

 

Dan orang yang celaka, sedang orang yang kau berdamai dengannya adalah orang yang bahagia

 

Tebusan orang-orang musyrik pada hari itu adalah empat ribu dirham sampai seribu dirham untuk setiap orang, kecuali orang yang tidak punya harta sama sekali. Tawanan yang tak berharta dibebaskan oleh Rasulullah tanpa tebusan sedikit pun.

 

Jumlah orang yang ikut serta pada Perang Badar dari kalangan 4 Muhajir dan orang yang ditetapkan bagiannya dan upahnya oleh Rasulullah adalah delapan puluh tiga orang. Adapun jumlah kaum Aus yang ikut serta dalam Perang Badar dan orang yang ditentukan bagian dan upahnya oleh Rasulullah adalah enam puluh satu orang. Adapun jumlah orang yang ikut serta dalam Perang Badar dari kalangan kaum Khazraj adalah seratus tujuh puluh orang.

 

Dengan demikian, jumlah total orang yang ikut serta dalam Perang Badar dari kalangan muslimin, baik Muhajir maupun Anshar, yakni mereka yang ikut Perang maupun yang ditetapkan bagiannya adalah tiga ratus empat belas orang.

 

Ghazwah Bani Sulaim di Kuder

 

Tatkala Rasulullah tiba di Madinah, beliau tidak tinggal di kota itu kecuali hanya tujuh hari saja. Sesudah itu, beliau berangkat berperang menyerang Bani Sulaim. Lantas beliau sampai pada salah satu mata air mereka yang disebut Kuder, Beliau tinggal di dekat mata air tersebut selama tiga hari, lantas beliau kembali pulang ke Madinah, tanpa mengalami satu pertempuran sama sekali. Lantas beliau tinggal di Madinah pada sisa bulan Syawal dan Dzulqa‘dah. Dalam rentang waktu tinggalnya beliau di Madinah ini, beliau menerima tebusan dari pembebasan sebagian besar tawanan Quraisy.

 

Ghazwah Sawiq

 

Selanjutnya, Abu Sufyan bin Harb melancarkan Perang Sawiq pada bulan Dzulhijah. Sedangkan yang mengurusi haji pada tahun itu adalah orang-orang musyrik. Abu Sufyan, ketika ia pulang sampai di Mekah dan pasukan Quraisy yang kalah dari Badar juga pulang sampai di Mekah, Abu Sufyan bernadzar bahwa air tidak akan mengguyur kepalanya disebabkan junub, sampai ia memerangi Muhammad. Oleh karena itulah ia segera keluar meninggalkan Mekah bersama dua ratus personel pasukan kavaleri Quraisy dalam rangka melaksanakan sumpahnya. Abu Sufyan menempuh jalan yang melewati Najdiah, sampai ia beristirahat di bagian depan jalan terusan menuju gunung, yang biasa dikenal dengan nama daerah Tsaib, yang berjarak satu baris atau sekitar itu dari Madinah.

 

Selanjutnya, Abu Sufyan keluar pada waktu malam, hingga ia datang ke perkampungan Bani Nadhir pada malam hari. Selanjutnya, Abu Sufyan datang kepada Huyay bin Akhthab dan mengetuk pintu rumahnya. Huyay enggan membukakan pintu untuk Abu Sufyan karena takut kepadanya.

 

Abu Sufyan berpindah ke rumah Salam bin Misykam. Ia adalah pemuka Bani Nadhir pada zamannya itu sekaligus pengurus harta perbendaharaan mereka.’

 Lalu Abu Sufyan meminta izin untuk bertemu, Salam mengizinkannya. Salam memberinya jamuan makanan khusus untuk tamu dan memberinya minuman, serta memberitahunya akan rahasia komunitas mereka.

 

Abu Sufyan kemudian keluar dari perkampungan Bani Nadhir pada akhir malam itu hingga ia menemui teman-temannya. Berikutnya, Abu Sufyan mengutus sejumlah orang Quraisy ke Madinah, lalu mereka datang melalui satu bagian dari kota itu yang dikenal dengan sebutan Uraidh. Mereka membakar sejumlah kebun kurma di sana. Mereka menjumpai seorang laki-laki dari kalangan Anshar dan sekutunya sedang berada di ladang mereka berdua. Orang-orang Quraisy membunuh keduanya, lalu mereka meninggalkan tempat itu untuk pulang ke Mekah.

 

Orang-orang Madinah mengetahui perbuatan mereka. Lantas Rasulullah, keluar untuk mengejar mereka. Beliau menunjuk Busyair bin Abdulmundzir sebagai pemimpin Madinah, Beliau terus mengejar orang-orang Quraisy hingga beliau sampai di Qarqarah Kuder. Lalu beliau balik pulang ke Madinah, karena Abu Sufyan dan teman-temannya telah hilang dari beliau, tak terkejar lagi.

 

Pasukan Islam yang menyertai Nabi melihat beberapa perbekalan kaum Quraisy yang mereka campakkan di ladang, karena mereka sengaja mengurangi beban muatan kafilah untuk menyelamatkan diri. Kaum muslim berkata ketika Rasulullah pulang ke Madinah, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan kami berperang lagi?” Rasul menjawab, “Ya.”

 

Peristiwa Tahun Kedua Hijriyah

 

Ghazwah Dzu Amar

 

Ketika Rasulullah pulang dari Perang Sawigq, beliau tinggal di Madinah pada sisa bulan Dzulhijah atau pada waktu sekitar itu. Lantas beliau berangkat memerangi Nejed, yakni Perang Dzu Amar.

 

Beliau tinggal di Nejed pada bulan Safar penuh, atau kurang sedikit dari itu, lantas beliau kembali pulang ke Madinah, tanpa menghadapi satu pertempuran., Lalu beliau berada di Madinah selama akhir bulan Rabiul Awal penuh, atau kurang sedikit dari itu.

 

Ghazwah Furu dari Bahran

 

Selanjutnya, Rasulullah berperang lagi dengan sasaran kaum kafir Quraisy’” hingga beliau tiba di Bahran, sebuah tambang di Hijaz dari arah Furu’. Lantas Nabi tinggal di sana sepanjang bulan Rabiuts Tsani dan Jumadal Ula. Lalu Nabi pulang ke Madinah tanpa berperang sekali pun. Insiden Bani Qainuqa‘

 

Salah satu insiden Bani Qainuqa” adalah ada seorang perempuan Arab yang datang dengan membawa barang dagangannya (berupa emas) untuk dijual di pasar, lalu ia menjualnya di pasar Bani Qainuqa’. Ia duduk di kios milik penjual emas yang ada di pasar tersebut. Mereka ingin perempuan muslimah itu membuka penutup wajahnya, tetapi wanita itu enggan. Si penjual emas lalu mengikat salah satu ujung kain baju muslimah itu ke kiosnya, tanpa sepengetahuan wanita muslimah tersebut. Tatkala muslimah itu berdiri maka terbukalah auratnya. Orang-orang Yahudi yang ada di tempat itu tertawa-tawa, sedang wanita Arab itu berteriak histeris.

 

Seorang lelaki dari kalangan muslimin yang ada di sana langsung menyerang si penjual emas itu yang ternyata seorang Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi marah terhadap muslim ini dan mereka mengeroyoknya sampai membunuhnya. Keluarga muslim yang terbunuh ini berteriak-teriak meminta tolong dari kaum muslim yang lainnya untuk melawan Yahudi. Kaum muslim marah besar, lantas terjadilah ketegangan dan peperangan antara mereka dengan Yahudi Bani Qainuqa’.

 

Bani Qainuqa’ adalah golongan Yahudi pertama yang merusak perjanjian mereka dengan Rasulullah. Kemudian Rasulullah mengepung mereka sampai mereka mau tunduk kepada hukum beliau. Abdullah bin Ubay bin Salul bangkit menghadap Nabi ketika Nabi sudah berkuasa atas Yahudi Qainuqa‘’ itu.

 

Ibnu Ubay berkata, “Wahai Muhammad, berbuat baiklah kepada teman-teman dekatku!” Rasulullah tidak bereaksi kepadanya. Lalu ia berkata, “Wahai Muhammad, bertindak baiklah kepada teman-teman akrabku itu!” Rasulullah berpaling darinya. Lalu Ibnu Ubay memasukkan tangannya ke dalam saku jubah besi Rasulullah lalu ia berkata kepada beliau, “Utuslah aku!”

 

Rasulullah marah sampai terlihat rona hitam pada wajah beliau. Kemudian Rasulullah berkata, “Celaka kamu, lepaskan aku!” Ibnu Ubay menjawab, “Tidak! Demi Allah! Aku tidak akan melepaskanmu sampai engkau bertindak baik kepada sahabat-sahabatku, empat ratus orang yang tidak berzirah (berbaju besi) dan tiga ratus orang berzirah. Sungguh, mereka telah melindungiku dari orang non-Arab maupun orang Arab, dan engkau akan membunuh mereka pada satu pagi saja! Aku orang biasa, aku khawatir terjadinya pergiliran buruk.” Rasulullah bersabda, “Mereka itu milikmu.”

 

Ubadah bin Shamit berjalan mendekati Rasulullah. Bani Qainuqa‘ mempunyai perjanjian persekutuan dengan Ubadah sebagaimana mereka memiliki perjanjian yang sama dengan Abdullah bin Ubay. Kemudian Ubadah mencabut perjanjian itu untuk Rasulullah. Ia membebaskan dirinya dari perjanjian persekutuan itu kepada Allah dan kepada Rasulullah.

 

Ubadah berkata, “Wahai Rasulullah, aku bersikap loyal kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman. Aku membebaskan diriku dari ikatan persekutuan dengan orang-orang kafir itu dan dari sikap loyal kepada mereka”

 

Berkenaan dengan sikap Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay, turun ayat-ayat yang mengabarkan kisah ini, yang termaktub dalam surah Al-Maidah,

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai kekasih, sebagian dari mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lainnya. Siapa saja di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai kekasih, sungguh ia adalah bagian dari mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk, kepada kaum yang zalim. Engkau akan melihat orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit bersegera kepada mereka, seraya berkata, ‘Kami khawatir pergiliran yang buruk akan menimpa kami.’ Mudah-mudahan Allah mendatangkan kemenangan atau perintah dari hadapan-Nya, sehingga mereka menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan kepada diri mereka sendiri. Orang-orang yang beriman berkata, ‘Apakah mereka orang-orang yang bersumpah demi Allah dengan sebenar-benar sumpah mereka?” (Al-Ma‘idah [5]: 51-53)

 

Kisah ini berlanjut sampai firman Allah: “Sungguh, kekasih kalian itu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yakni orang-orang yang menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan mereka melakukan rukuk.” (Al. Ma‘idah [5]: 55)

 

Allah juga menyebutkan loyalitas Ubadah bin Shamit kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, serta pembebasan dirinya dari Bani Qainuqa’, dari persekutuan dengan mereka, dan dari loyalitas kepada mereka.

 

“Barang siapa bersikap loyal kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, sungguh golongan Allah itulah yang menang.” (Al-Ma‘idah (5): 56)

 

Sariah Zaid bin Haritsah ke Qaradah dari Mata Air Nejed

 

Salah satu bagian dari kisah Sariah ini adalah kaum Quraisy mengkhawatirkan keamanan jalan yang biasa mereka tempuh ke Syam, karena terjadinya Perang Badar. Oleh karena itu, mereka menempuh jalan menuju Irak. Berangkatlah dari Mekah para pedagang yang salah satunya adalah Abu Sufyan bin Harb. Mereka membawa perak yang banyak jumlahnya. Ini adalah kafilah dagang mereka yang terbesar. Mereka mengupahi seorang pria dari Bani Bakar bin Wail, bernama Furat bin Hayan, menjadi penunjuk jalan mereka dalam perjalanan dagang tersebut.

 

Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah (bersama pasukannya), lantas ia menghadang mereka di mata air Nejed. Zaid berhasil menyerang kafilah itu dan merampas barang bawaan mereka. Sejumlah orang tak berdaya menghadapi Zaid.

 

Selanjutnya, Zaid membawa semua barang rampasan itu kepada Rasulullah.

 

Ghazwah Uhud

 

Sesudah kaum kafir Quraisy (terutama orang-orang yang tak bernyawa mereka dimasukkan ke dalam sumur) diterpa kekalahan pada Perang Badar, orang-orang yang melarikan diri dari mereka pulang ke Mekah, begitu pula Abu Sufyan bin Harb bersama kafilah dagangnya pulang ke Mekah, Abdullah bin Abu Rabi‘ah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Shafwan bin Umayah berjalan bersama sejumlah orang Quraisy yang bapak mereka, atau anak mereka, atau saudara mereka terbunuh pada Perang Badar.

 

Mereka datang dan berbicara kepada Abu Sufyan bin Harb bersama sejumlah orang yang ikut pada rombongan dagangnya. Mereka berkata, “Wahai sekalian orang Quraisy! Muhammad telah membalas kalian dan membunuh orang-orang terbaik kalian. Oleh karena itu, bantulah kami dengan harta ini untuk berperang melawannya. Mudah-mudahan kami dapat membalas kekalahan kami.” Mereka pun melaksanakannya.

 

Kaum Quraisy bersepakat dan bersatu untuk memerangi Rasulullah ketika Abu Sufyan, orang-orang yang ikut dalam kafilah dagang, dan orang-orang yang bergabung kepada mereka, serta kabilah-kabilah yang menaatinya, yakni kabilah Kinanah dan penduduk Tihamah melakukan hal itu. Mereka pun keluar bersama mereka dengan mengajak perempuan (istri atau budak) untuk menjadi penjaga wanita, serta supaya mereka tidak melarikan diri. Abu Sufyan bin Harb berangkat sebagai panglima perang bersama Hindun binti Utbah (istrinya). Ikrimah bin Abu Jahal berangkat bersama istrinya, Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam bin Mughirah. Harits bin Hisyam bin Mughirah berangkat bersama Fatimah binti Walid bin Mughirah. Shafwan bin Umayah berangkat bersama Barzah binti Mas‘ud Ats-Tsaqafiah. Amru bin Ash berangkat bersama Raythah binti Munabih bin Hajaj.

 

Mereka berangkat maju sampai beristirahat di dua mata air, di sebuah gunung di perut Sabkhah, dari terusan di tepian bukit yang berhadap-hadapan dengan Madinah. Tatkala Rasulullah mendengar berita kedatangan mereka, sedang kaum muslim sedang beristirahat di tempat mereka beristirahat, Rasulullah bersabda kepada seluruh muslim, “Demi Allah, sungguh aku bermimpi, suatu kebaikan. Aku bermimpi melihat sapiku disembelih. Aku melihat tepi mata pedangku menjadi tumpul. Aku bermimpi melihat diriku memasukkan tanganku pada baju zirah yang terlindungi, aku menakwilkannya Madinah. Jika kalian hendak tinggal di Madinah dan mengajak mereka supaya tinggal maka jika mereka tetap tinggal di sana berarti mereka tinggal pada tempat yang paling buruk. Sedangkan bila mereka masuk ke Madinah menyerang kalian, kami akan memerangi mereka di dalam kota itu.’

 

Abdullah bin Ubay bin Salul sependapat dengan ide Rasulullah, yakni sebaiknya Nabi tidak keluar menyongsong orang Quraisy. Rasulullah pun tidak suka keluar dari Madinah. Sejumlah orang dari kaum muslim, yakni dari kalangan mereka yang dimuliakan Allah dengan kesyahidan pada Perang Uhud dan perang yang lainnya, dan dari kalangan mereka yang tidak ikut serta pada Perang Badar berkata, “Wahai Rasulullah, keluarlah bersama kami menghadapi musuh sehingga mereka tidak melihat kepengecutan dan ketidakberdayaan kami!”

 

Abdullah bin Ubay bin Salul berkata, “Wahai Rasulullah, tetaplah di Madinah, jangan keluar menyongsong mereka. Demi Allah, tidaklah kami keluar menghadapi musuh, kecuali pasti mereka akan mengalahkan kami. Tidaklah mereka memasuki Madinah untuk menyerang kami kecuali kami akan mengalahkan mereka. Biarkan mereka, wahai Rasulullah. Jika mereka tetap di posisi mereka, berarti mereka tinggal dalam seburuk-buruk penahanan. Jika mereka masuk menyerang kami di Madinah, tentu kaum lelaki Madinah akan memerangi mereka dari arah depan, sedangkan para wanita dan anak-anak akan menyerang mereka dari atas. Jika mereka pulang, mereka pun pulang dalam keadaan rugi sebagaimana mereka datang.”

 

Adapun orang-orang Islam yang ingin menyongsong musuh di luar kota Madinah terus mendesak Rasulullah, sampai beliau masuk ke rumahnya. Kemudian beliau mengenakan jubah perang dan senjata beliau. Pada saat itu, adalah hari Jumat dan beliau baru saja selesai menunaikan shalat Jumat.

 

Pada hari itu, seorang sahabat Anshar yang bernama Malik bin Amru meninggal dunia. Rasulullah menyalatkan jenazahnya, kemudian beliau keluar menjumpai kaum muslim. Orang-orang yang mendesak Nabi menyesali tindakan mereka, seraya berucap, “Kami telah memaksa Rasulullah, padahal kami tidak berhak melakukan itu.”

 

Tatkala Rasulullah keluar menemui mereka, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah memaksamu, padahal kami tidak berhak melakukan itu. Jika engkau menghendaki, silakan bertahan di Madinah, semoga shalawat Allah dilimpahkan atasmu.”

 

Rasulullah bersabda, “Tidak pantas bagi seorang Nabi, apabila ia sudah mengenakan jubah perang dan menyandang senjatanya, lalu ia meletakkannya lagi, sampai ia berperang.” Rasulullah keluar dari Madinah bersama seribu sahabat beliau.

 

Sesampainya di Syauth, sebuah tempat yang terletak di antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan desersi, tidak mengindahkan komando Nabi, memisahkan diri dari Nabi, bersama sepertiga pasukan, ia berkata, “Ia (Nabi) menaati mereka dan memaksiatiku. Wahai sekalian manusia, kami tidak tahu atas dasar apa kami membunuh diri kami di sini!”

 

Ibnu Ubay pun pulang ke Madinah bersama orang-orang yang mengikutinya dari kalangan kaum munafik dan peragu. Abdullah bin Amru bin Haram mengejar mereka dan berkata, “Hai kaum, aku mengingatkan kalian akan Allah. Janganlah kalian menelantarkan kaum kalian dan Nabi kalian ketika mereka hendak berperang menghadapi musuh mereka.” Mereka berkata, “Andaikan kami mengetahui bahwa kalian berperang, niscaya kami tidak akan menyerahkan kalian. Akan tetapi, kami memandang bahwa perang tidak akan terjadi”

 

Tatkala mereka bermaksiat kepada Nabi dan enggan melakukan apa pun selain berpaling meninggalkan pasukan Islam, Abdullah bin Amru bin Haram berkata, “Semoga Allah membinasakan kalian, hai musuh-musuh Allah. Allah akan mencukupi Nabi-Nya dari kalian”

 

Orang-orang Anshar berkata pada hari Perang Uhud, “Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak meminta tolong kepada sekutu kami dari kalangan Yahudi?” Rasulullah menjawab, “Kami tidak membutuhkan mereka.”

 

Rasulullah melanjutkan perjalanan hingga beliau beristirahat di lereng Gunung Uhud, di antara lembah sampai gunung. Beliau menghadapkan punggungnya dan pasukannya ke arah Uhud. Beliau bersabda, “Jangan sampai ada seorang pun di antara kalian yang berperang sampai kami memerintahkannya untuk berperang.”

 

Pasukan Quraisy melepaskan unta dan kuda mereka merumput di sawah dan ladang yang ada di Shamghah’ dari arah ‘jalan terusan’ muslimin. Seorang pria Anshar berkata ketika Rasulullah melarang perang, “Apakah sawah ladang Bani Qailah’”! dijadikan padang gembalaan tetapi kami tidak boleh menyerang!”

 

Rasulullah bersiap-siap perang. Saat itu beliau bersama tujuh ratus personel pasukan. Beliau menunjuk Abdullah bin Jubair sebagai komandan pasukan Panah, beliau memberi tanda pada hari itu dengan baju putih. Pasukan panah berjumlah lima puluh orang. Beliau bersabda, “Hujanilah pasukan berkuda musuh dengan panah untuk melindungi kami, sehingga mereka tak dapat menyerang kami dari belakang. Baik ketika kami menang maupun ketika kami kalah. Tetap teguhlah kamu pada posisi itu di atas kami, kami tidak akan datang dari arah depanmu.” Punggung Rasulullah dilindungi oleh dua lapis baju besi. Rasulullah menyerahkan panji perang kepada Mush’ab bin Umair, dari kalangan Bani Abdudar.

 

Pada hari itu, Rasulullah memperkenankan Samurah bin Jundub dan Raf bin Khadij, keduanya berasal dari Bani Haritsah, untuk ikut berperang. Pada waktu itu, usia mereka berdua sekitar lima belas tahun. Sebelumnya, Nabi menolak keikutsertaan keduanya, lantas dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sungguh Rafi‘ itu seorang pemanah.” Lantas Nabi mengizinkan Rafi‘ ikut berperang, Tatkala beliau memperkenankan Rafi, dikatakan lagi kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sungguh Samurah itu mampu mengalahkan Rafi‘ dalam bergulat” Lantas Rasul mengizinkan Samurah. Rasulullah menolak keikutsertaan Usamah bin Zaid, Abdullah bin Umar bin Khathab, Zaid bin Tsabit, Bara’ bin Azib, Amru bin Hazm, dan Usaid bin Dhuhair. Selanjutnya, Rasulullah memperkenankan mereka semuanya yang untuk ikut serta dalam Perang Khandaq, yang ketika itu mereka berumur lima belas tahun.

 

Quraisy memobilisasi pasukan. Mereka berjumlah tiga ribu orang. Di antara tiga ribu orang itu, terdapat dua ratus orang penunggang kuda yang berada di samping pasukan utama. Lalu mereka mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima pasukan sayap kanan dan Ikrimah bin Abu Jahal sebagai komandan pasukan sayap kiri.

 

Rasulullah bersabda:

 

“Siapa yang bersedia memegang pedang ini dan menunaikan haknya?” Sejumlah orang bangkit berdiri, tetapi beliau menahan pedang itu dari mereka. Sampai Abu Dujanah Simak bin Kharasyah berdiri menyambut tawaran beliau itu dengan bertanya, “Apakah haknya, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Kamu hantamkan ini kepada musuh sampai bengkok.” Abu Dujanah berkata, “Saya siap mengambilnya wahai Rasulullah, dengan menunaikan haknya.” Lantas Rasulullah menyerahkan pedang itu kepada Abu Dujanah.

 

Abu Dujanah adalah seorang pria pemberani, bersikap sombong ketika perang sudah berkecamuk dahsyat. Apabila ia memakai ikat kepalanya yang berwarna merah sebagai tanda di hadapan manusia, itu berarti ia hendak berperang habis-habisan. Tatkala ia mengambil pedang dari tangan Rasulullah, ia langsung mengeluarkan ikat kepalanya itu. Lantas ia berjalan dengan lagak dan gaya sombong di antara dua barisan pasukan itu. Rasulullah bersabda ketika beliau melihat Abu Dujanah berjalan dengan berlagak sombong itu, “Itu cara berjalan yang dimurkai Allah, kecuali pada keadaan seperti sekarang ini’

 

Abu Sufyan berkata kepada para pemegang panji perang dari Bani Abdudar, seraya menghasung mereka untuk berperang, “Wahai Bani Abdudar, sungguh kalian telah memegang panji kami pada Perang Badar, lalu kekalahan menimpa kami sebagaimana yang kalian lihat. Kemenangan suatu pasukan itu dilihat dari bendera panji mereka. Apabila panji itu jatuh, mereka pun kalah. Lantas, apakah kalian memikul bendera panji kami, ataukah kalian biarkan kami memegang panji itu, dan kami akan mencukupi kalian dengannya.”

 

Mereka berkata, “Kami serahkan panji kami ini kepadamu. Engkau akan mengetahui apa yang kami lakukan besok ketika kami berhadapan dengan musuh!” Itulah yang diinginkan oleh Abu Sufyan.

 

Tatkala kedua pasukan bertemu dan saling mendekati posisi musuhnya. Hindun binti Utbah bangkit di tengah sejumlah wanita yang menemaninya. Mereka mengambil rebana dan menabuhnya di belakang kaum pria untuk menyemangati mereka. Hindun mengucapkan sejumlah perkataan, di antaranya:

 

Wahai Bani Abdudar… Wahai para pelindung di belakang mereka

Seranglah dengan semua pedang yang memenggal

Hindun juga berucap:

Jika kalian maju kami akan memeluk…

Dan kami akan hamparkan kasur dan bantal Atau kalian balik ke belakang, kami akan berpisah…

Perpisahan tanpa rasa cinta Adapun semboyan para sahabat Rasulullah pada Perang Uhud adalah, “Matilah.. matilah!”

 

Orang-orang berperang dahsyat hingga peperangan semakin memanas. Abu Dujanah berperang sampai ia merangsek jauh ke tengah manusia. Ia tidak bertemu seorang musuh pun kecuali ia mendesak dan membunuhnya. Masing-masing dari kedua pasukan yang berhadapan itu kian mendekati lawannya. Aku berdoa kepada Allah agar Ia menyatukan keduanya, lalu keduanya bertemu dan Saling menghantam lawannya. Lantas seorang musyrik menghantam Abu Dujanah, tetap; ia mampu melindungi dirinya dengan perisainya yang terbuat dari kulit. Lalu Abu Dujanah memegangi pedangnya kuat-kuat dan menghantamkannya ke arah orang musyrik itu hingga ia berhasil membunuhnya. Lantas aku melihat ia mengarahkan pedangnya ke arah belahan kepala Hindun binti Utbah, tetapi ia mengurungkan niatnya.’”

 

Hamzah berperang dengan gagah berani sampai ia berhasil membunuh Arthah bin Abdu Syurahbil bin Hasyim bin Abd Manaf bin Abdudar. Ia adalah salah seorang anggota pasukan pembawa bendera panji. Lalu Hamzah melewati Siba‘ bin Abdul‘uzza Al-Ghubsyani yang digelari dengan julukan Abu Niyar. Lantas Hamzah berkata kepadanya, “Kemarilah kamu, hai anak wanita tukang khitan!” Ibu Siba‘ adalah seorang wanita tukang khitan di Mekah.

 

Wahsyi, budak Jubair bin Muth’im berkata:

 

“Demi Allah, aku melihat Hamzah menebas musuh-musuhnya dengan pedangnya hingga tak tersisa sedikit pun, seperti unta berwarna kelabu bagai debu. Ketika Siba’ bin Abdul ‘uzza mendahuluiku untuk menghadapinya. Hamzah berkata kepadanya, ‘Kemarilah kamu, hai anak wanita tukang khitan’ Kemudian Hamzah menghantamnya dengan sekali hantaman, seakan-akan ia tidak melakukan kesalahan dalam menghancurkan kepala musuhnya.

 

Aku menggerak-gerakkan tombakku sampai ketika aku sudah merasa tepat maka kulemparkan tombakku itu ke arah Hamzah, lantas tombak itu menancap di antara bagian bawah perutnya sampai kemaluannya, hingga tombak itu tembus dari kedua kakinya. Hamzah menghadap ke arahku. Akan tetapi, ia sudah lemah dan jatuh ke tanah.

 

Aku menunggunya sebentar, sampai ketika ia sudah mati, aku datang dan kuambil kembali tombakku. Kemudian aku bergerak menuju pasukan induk. Aku tidak berkeperluan sedikit pun selain itu (membunuh Hamzah). Aku membunuh Hamzah hanyalah untuk dimerdekakan.

 

Setiba di Mekah, aku dimerdekakan. Kemudian aku bermukim di kota itu sampai ketika Rasulullah membebaskan Mekah, aku melarikan diri ke Thaif. Aku tinggal di sana. Tatkala delegasi perutusan Thaif datang menemui Rasulullah untuk menyatakan penyerahan diri mereka, ada beberapa ide tentang tempat pelarian mengemuka pada diriku.

 

Aku berkata, ‘Aku akan pergi ke Syam, atau Yaman, atau negeri-negeri yang lainnya. Demi Allah, aku sedang berpikir tentang hal itu karena kesedihanku, tiba-tiba seseorang berkata kepadaku, ‘Celaka kamu! Demi Allah, ia (Rasulullah) tidak membunuh siapa pun yang masuk ke dalam agamanya dan bersyahadat dengan syahadat beliau?

 

Tatkala ia mengatakan itu kepadaku, aku segera pergi hingga aku tiba di hadapan Rasulullah. di Madinah. Tiada yang mengejutkan beliau kecuali aku sudah berdiri tepat di depan beliau dan melafalkan kalimat syahadat. Tatkala beliau melihatku, beliau bertanya, ‘Apakah kamu ini Wahsyi?’ Aku menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah’ Rasul bertitah, ‘Duduklah, lalu ceritakan kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah’

 

Aku pun menceritakannya kepada beliau sebagaimana aku menceritakannya kepada kalian berdua. Tatkala aku selesai menceritakan itu, Rasulullah bersabda, ‘Celaka kamu! Sembunyikan wajahmu dariku, hingga aku benar-benar tidak melihatmu lagi? Setelah itu, aku selalu menyingkir dan menjauh dari Rasulullah sedemikian rupa, agar beliau tidak melihatku, sampai Allah mewafatkan beliau”

 

Mush‘ab bin Umair berperang membela Rasulullah sampai ia terbunuh sebagai syuhada. Orang yang membunuh Mushiab adalah Ibnu Qam‘ah AlI-Laitsi. Ia menyangka bahwa orang yang ia bunuh adalah Rasulullah. Karena itulah ia segera kembali menemui pasukan Quraisy seraya berucap keras, “Aku telah membunuh Muhammad!” Tatkala Mush‘ab terbunuh, Rasulullah memberikan bendera panji kepada Ali bin Abu Thalib. Ali bin Abu Thalib berperang secara dahsyat, demikian juga semua personel pasukan Islam.

 

Tatkala Perang Uhud kian menghebat, Rasulullah duduk di bawah panji Anshar. Rasulullah mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada Ali bin Abu Thalib, “Ajukan bendera panji.” Ali maju seraya berkata, “Akulah Abulqusham!” Lantas Abu Saad bin Abu Thalhah, si pembawa panji pasukan musyrik, memanggilnya, “Sekarang, hai Abulqusham, apakah kamu merasa peri, untuk berduel dan berperang tanding?” Ali menjawab, “Ya.” Sebentar kemudian, keduanya sudah berduel di antara dua barisan terdepan dari dua pasukan yang berhadapan. Keduanya saling sabet dan saling hantam dengan sengit. Ali kemudian, berhasil menghantam Abu Saad hingga menjungkalkannya dan membunuhnya, Kemudian Ali berpaling darinya dan tidak mengambil perlengkapan Abu Sa‘aq sebagai harta rampasan. Teman-teman Ali berkata kepada Ali, “Mengapa kamu tidak mengambil senjata dan perlengkapannya sebagai harta rampasanmu?” Ali menjawab, “Auratnya tersingkap kepadaku, sehingga bangkit rasa belas kasihku kepadanya. Aku tahu bahwa Allah Yang telah membunuhnya.”

 

Ashim bin Tsabit bin Abul Aqlah turut berperang, ia membunuh Musafi’ bin Thalhah dan saudaranya, yakni Julas bin Thalhah. Keduanya terkena banyak panah pada tubuh mereka. Lantas ibu mereka, Sulafah, datang. Kemudian ig meletakkan kepala Musafi’ ke pangkuannya secara berucap, “Anakku, siapa yang menyerangmu?”

 

Musafi‘ berkata, “Aku mendengar seorang lelaki menembakkan anak panahanak panah ke tubuhku sedang ia berkata, ‘Ambillah ini, aku adalah putra Abul Aqlah’ Selanjutnya, ibunda Musafi‘ dan Julas itu bernadzar bahwa jika Allah memberi kesempatan untuk membalas dendam, ia akan memenggal kepala Ashim lantas ia akan minum arak di atasnya.

 

Hanzhalah bin Amir Al-Ghasil (orang yang dimandikan) dan Abu Sufyan saling berhadapan. Tatkala Hanzhalah bin Abu Amir sudah mendesak Abu Sufyan, Syadad bin Aswad -yang ketika itu ia masih muda melihat kejadian itu, ia pun langsung menghantam Hanzhalah dan membunuhnya. Rasulullah bersabda, “Sahabat kalian ini -yakni Hanzhalah dimandikan oleh para malaikat.” Orang-orang kemudian bertanya kepada keluarganya, “Apa yang terjadi dengan Hanzhalah?” Istri Hanzhalah ditanyai tentang suaminya, lantas ia berkata, “la berangkat perang dalam keadaan junub, ketika ia mendengar suara panggilan perang.”

 

Allah pun menurunkan pertolongan-Nya kepada kaum muslim dan mewujudkan kebenaran janji-Nya, lalu mereka membunuh musuh mereka habis-habisan dengan pedang, sampai mereka berhasil mengalahkan mereka dalam pertempuran tersebut. Kekalahan, tak pelak lagi, terjadi pada kaum Quraisy.

 

Zubair berkata: “Demi Allah, aku terpana akan diriku sendiri yang memandangi betis Hindun binti Utbah dan wanita-wanita lain yang menemaninya, mereka berjalan cepat dan berlari, tiada terlalu banyak orang yang melindungi mereka. Pasukan pemanah pun turun menuju pasukan utama tatkala mereka melihat kami berhasil mengalahkan pasukan Quraisy. Pasukan pemanah meninggalkan pasukan pelindung, sehingga kami pun diserang dari belakang. Seseorang berteriak keras, ‘Ketahuilah, sungguh Muhammad sudah terbunuh: Kami bercerai-berai, musuh kami mencerai-beraikan kami, padahal sebelumnya kami membunuh para pemegang panji musuh sampai tiada seorang pun dari musuh yang mendekati bendera panji itu. Panji musuh masih terjatuh ke tanah, sampai Amrah binti Alqamah Al-Haritsiah mengambilnya, lalu ia mengangkatnya untuk kaum Quraisy, lantas pasukan Quraisy mengerumuninya.

 

Kaum muslim mengalami kekalahan. Musuh menyerang mereka habis-habisan. Hari itu adalah hari cobaan dan ujian. Allah memuliakan pada hari itu orang yang Ia muliakan dari kalangan muslim dengan kematian sebagai syuhada, sampai musuh bisa menyerang Rasulullah. Batu-batu yang dilemparkan musuh mengenai beliau hingga beliau jatuh ke samping, gigi beliau tanggal, wajah dan bibir beliau terluka. Yang melakukan itu adalah Utbah bin Abu Waqash. Darah mengalir pada wajah beliau. Beliau mengusap aliran darah itu sambil bersabda, “Bagaimana akan beruntung kaum yang melukai wajah Nabi mereka, sedang ia mengajak mereka kepada Tuhan mereka!” Lantas Allah g menurunkan ayat berkenaan dengan peristiwa itu:

 

“Kamu tidak perlu mengurusi itu sedikit pun, mungkin Allah akan mengaruniakan tobat kepada mereka, atau Allah menyiksa mereka karena mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Ali-‘Imran [3]: 128)

 

Dari Abu Sa‘id Al-Khudri:

 

“Pada hari itu, Utbah bin Abu Waqash memanah Rasulullah, hingga gigi beliau bagian kanan bawah tanggal, serta bibir bawah beliau terluka. Abdullah bin Syihab Az-Zuhri melukai dahi beliau, dan Ibnu Qami‘ah melukai pipi beliau, hingga dua rantai dari topi besi menusuk ke pelipis beliau. Rasulullah terjatuh ke dalam salah satu dari sekian banyak lubang yang dibuat oleh Abu Amir agar kaum muslim jatuh terjerembab ke dalamnya, sedang kaum muslim tidak menyadarinya Ali bin Abu Thalib segera meraih tangan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah membantu beliau naik hingga beliau dapat berdiri tegak kembali. Malik bin Sinan, bapak Abu Sa‘id Al-Khudri mengisap darah dari wajah Rasulullah, kemudian ia menelannya. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang darahku bersentuhan, dengan darahnya maka api neraka tidak akan menyentuhnya.”

 

Rasulullah bersabda ketika orang-orang kafir datang mengepung beliau, “Siapa orang yang menjual dirinya untuk melindungi kami?” Ziyad bin Sakan bangkit bersama lima orang Anshar, lantas mereka berperang melindungi Rasulullah. Mereka semuanya terbunuh ketika membela dan melindungi beliau, Orang terakhir yang terbunuh adalah Ziyad, atau Amarah bin Yazid bin Sakan. Ia terus berperang hingga luka-lukanya kian parah. Lalu datanglah satu kelompok dari kalangan muslim, kelompok ini mengalahkan musuh dan mengusir mereka dari Nabi. Rasulullah bersabda, “Dekatkanlah ia dariku.” Lantas Rasulullah meletakkan tapak kaki beliau sebagai bantal, lalu orang itu mati sedang pipinya tepat berada di atas punggung telapak kaki Rasulullah.

 

Abu Dujanah menjadikan dirinya sebagai perisai untuk melindungi Rasulullah. Anak panah menancap di punggungnya, sedang ia tidak memedulikannya, sampai sekian banyak anak panah melukai tubuhnya. Saad bin Abu Waqash memanah untuk melindungi Rasulullah. Saad berkata, “Sungguh, aku melihat beliau memberikan anak panah kepadaku, dan beliau bersabda, ‘Panahlah, tebusanmu bapakku dan ibuku!’ Sampai beliau memberikan kepadaku anak panah yang tidak ada mata panahnya, dan beliau juga berkata, “Tembakkan panah ini!”

 

Orang pertama yang mengenali Rasulullah, setelah kekalahan pasukan Islam dan tersebarnya omongan, “Rasulullah sudah mati” adalah Ka‘ab bin Malik. Ia berkata, “Aku melihat dua mata beliau berkilat-kilat di bawah pelindung kepala beliau, aku pun berseru dengan suaraku yang terkeras, “Wahai sekalian muslimin, bergembiralah, ini Rasulullah Rasulullah berisyarat kepadaku untuk diam”

 

Tatkala kaum muslim mengetahui bahwa Rasulullah masih hidup, mereka bangkit bersama beliau. Beberapa turut bangkit ke arah gunung menyertai Rasulullah, yakni Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khathab, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam dan Harits bin Shimah, serta sejumlah orang dari kaum muslim.

 

Tatkala Rasulullah berlindung di gunung, Ubay bin Khalaf menemui beliau. Ubay berkata, “Hai Muhammad; aku tidak akan selamat jika kamu masih hidup!” Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara kami harus mengasihani ia?” Rasulullah bersabda, “Biarkan ia!” Tatkala Ubay bin Khalaf mendekat, Rasulullah meraih tombak dari Harits bin Shimah. Tatkala Rasulullah sudah berhasil meraih tombak dari Harits bin Shimah, sebagian orang bertutur -sebagaimana yang disampaikan kepadaku-, “Tatkala Rasulullah memegang tombak itu darinya, beliau mengibaskan tombak itu layaknya kibasan lalat yang hendak menyengat, dari punggung unta beliau. Lantas beliau menghadap ke arah Ubay dan menusuk lehernya sehingga membuatnya terjatuh dari kudanya berkali-kali.”

 

Ubay bin Khalaf dulu pernah menemui Rasulullah di Mekah, lalu ia berkata, “Hai Muhammad, jika aku punya kuda, aku akan memberinya makanan berupa biji-bijian sebanyak dua belas rithl tiap hari. Aku akan membunuhmu dengan kuda itu.” Rasulullah menjawab tantangan itu, “Aku yang akan membunuhmu, insya Allah.” Pada hari itu, tatkala ia pulang ke pasukan induk Quraisy, dan ia mengalami luka pada lehernya akibat tusukan tombak Rasulullah, sedang luka itu tidaklah lebar, dan aliran darahnya sudah dapat dihentikan, ia berkata, “Demi Allah, Muhammad telah membunuhku!” Orang-orang Quraisy berkata kepadanya, “Demi Allah, apa kau sudah gila! Demi Allah, kamu tidak apa-apa.” Ubay berkata, “Muhammad pernah berkata kepadaku saat di Mekah dulu, ‘Aku akan membunuhmu: Demi Allah, andaikan ia hanya meludah saja ke tubuhku, niscaya ia pasti dapat membunuhku”

 

Tidak lama kemudian, musuh Allah ini mati di Sarif, ketika rombongan Quraisy pulang ke Mekah.

 

Tatkala Rasulullah sampai di mulut jalan lereng gunung, Ali bin Abu Thalib keluar sampai ia memenuhi perisainya yang terbuat dari kulit dengan air dari mata air Mihras. Ali datang membawa itu kepada Rasulullah agar beliau minum air tersebut. Rasulullah mencium bau yang tidak sedap darinya, beliau pun tidak berkenan minum air itu. Beliau hanya membasuh wajah beliau untuk menghilangkan darah, serta menuangkan air itu ke kepala beliau seraya bersabda, ‘Allah sangat marah terhadap orang yang menjadikan wajah Nabi-Nya berdarah.”

 

Rasulullah beranjak menuju sebongkah batu besar dari Gunung Uhud, untuk menaikinya, padahal Rasulullah sudah tua usianya dan melemah tenaganya. Beliau berupaya naik dengan memakai dua lapis jubah besi. Beliau berusaha naik, tetapi tidak mampu. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah jongkok di bawah batu tersebut, menopang Rasulullah naik ke atas batu besar itu. Rasulullah bersabda, “Thalhah wajib masuk surga!” Ketika Thalhah melakukan tindakannya itu untuk Rasulullah.

 

Salah seorang yang terbunuh pada Perang Uhud adalah Mukhairiq. Ia adalah salah seorang dari kalangan Bani Tsa‘labah bin Fithyaun. Ketika Perang Uhuq ia berkata, “Wahai orang-orang Yahudi. Demi Allah, kalian sudah mengetahui bahwa kemenangan Muhammad atas kalian merupakan kebenaran yang tak terbantahkan.” Orang-orang Yahudi berkata, “Ini hari Sabtu.”

 

Mukhairiq berkata, “Tidak ada Sabtu untuk kalian” Kemudian ia mengambil pedangnya dan perlengkapan perangnya. Ia berkata, “Jika aku mati maka berikan hartaku kepada Muhammad. Ia boleh mempergunakannya sekehendaknya” Kemudian menemui Rasulullah dan berperang bersama beliau sampai mati, Rasulullah bersabda, “Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi.”

 

Abu Hurairah berkata: “Ceritakanlah kepadaku tentang seseorang yang masuk Surga tanpa pernah mengerjakan shalat sama sekali?” Ketika orang-orang tidak mengenal siapa ia maka mereka bertanya kepada Abu Hurairah, “Siapakah ia?” Abu Hurairah menjawab, “Ushairim Bani Abdul Asyhal, Amru bin Tsabit bin Waqsy.”

 

Hushain bin Abdurahman berkata, “Aku bertanya kepada Mahmud bin Asad:

 

“Bagaimana keadaan Ushairim itu?” Ia menjawab, “Ia enggan masuk Islam karena kaumnya. Tatkala tiba hari keberangkatan Rasulullah ke Uhud, ia tertarik kepada Islam lantas ia masuk Islam. Kemudian ia mengambil pedangnya dan berangkat berperang, hingga ia masuk ke kerumunan manusia.” Ia berperang sampai luka banyak mendera tubuhnya dan membuatnya kesakitan. Ketika sejumlah orang dari Bani Asyhal mencari orang-orang yang terbunuh di antara mereka pada perang itu mereka menemukan Ushairim. Mereka bertanya kepadanya, “Apa yang mendorong Ushairim ikut Perang Uhud?” Mereka bertanya, “Apa yang mendorongmu untuk ikut, hai Amru? Apakah kamu membela kaummu ataukah karena kamu masuk Islam?”

 

Ushairim (Amru bin Tsabit) menjawab, “Bahkan kemauan untuk masuk Islam. Aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Aku sudah masuk Islam. Lalu kuambil pedangku dan aku berangkat menemui Rasulullah dan berperang sampai terluka seperti ini” Selanjutnya, tidak lama waktu berselang, Ushairim meninggal di pangkuan mereka. Mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, lantas beliau bersabda, “Ia termasuk penghuni Surga.”

 

Amru bin Jamuh adalah seorang lelaki yang pincang, bahkan sangat pincang kakinya. la mempunyai empat orang anak laki-laki yang pemberani bagaikan singa. Mereka ikut serta dalam berbagai perang yang dijalani oleh Rasulullah. Pada Perang Uhud, anak-anaknya ingin menahan Amru bin Jamuh di rumah, tidak ikut berperang. Mereka berkata kepada Sang Ayah:

 

“Allah telah memberikan udzur kepadamu!” Amru bin Jamuh lalu datang menemui Rasulullah, sembari berucap, “Anak-anak saya ingin menahan saya dari perang ini, supaya saya tidak ikut berangkat menyertaimu. Demi Allah, saya sangat berharap bisa menginjakkan kaki saya yang pincang ini di Surga.”

 

Rasulullah bersabda, “Engkau ini, sebenarnya Allah telah memberikan udzur kepadamu, sehingga tiada kewajiban jihad atas dirimu.” Lantas Nabi bersabda kepada anak-anak Amru bin Jamuh, “Kalian tidak berdosa bila kalian tidak menghalanginya berjihad. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan rezeki kesyahidan kepadanya.” Kemudian Amru bin Jamuh berangkat berperang bersama Nabi, dan ia terbunuh sebagai syuhada saat menyertai beliau, pada Perang Uhud.

 

Hindun binti Utbah datang bersama sejumlah wanita yang menyertainya. Mereka mencincang jasad orang-orang yang mati dari kalangan sahabat Nabi. Mereka memotong telinga dan hidung, sampai Hindun dapat membuat gelang kaki dan kalung dari potongan hidung dan telinga para syuhada itu. Hindun memberikan gelang kakinya, kalungnya, dan anting-antingnya kepada Wahsyi, budak milik Jubair bin Muth‘im. Hindun membedah hati Hamzah lalu ia mengunyahnya, tetapi ia tidak mampu menelannya, lalu ia melemparkannya.

 

Hulais bin Zaban, pada waktu itu, adalah pemuka orang-orang Habasyah. Ia berjalan melewati Abu Sufyan yang sedang menusuk pelipis Hamzah bin Abdul Mutholib dengan tombaknya. Abu Sufyan berkata, “Rasakan, hai pendurhaka!” Hulais berkata, “Hai Bani Kinanah, ini pemuka Quraisy tengah berbuat sesuatu terhadap anak pamannya yang sudah mati dan tak berdaya, lihatlah!” Abu Sufyan berkata, “Celaka kamu, sembunyikan tindakanku ini, karena ini adalah kesalahan.”

 

Kemudian Abu Sufyan bin Harb, tatkala hendak meninggalkan Uhud, ia naj, ke atas gunung lalu berteriak dengan suaranya yang keras dan lantang:

 

“Betapa bagusnya perbuatanmu!” Sungguh, perang itu pergiliran. Satu perang dibalas perang yang lainnya. Hidup Hubal!” Maksudnya “menangkan agamamu?

 

Rasulullah bersabda, “Berdirilah, hai Umar dan jawablah ia. Katakanlah, ‘Allah itu Mahatinggi dan Mahamulia. Kami tidak sama dan tidak setara. Orang-orang yang mati di antara kami berada di Surga, sedang orang-orang yang mati di antara kalian berada di Neraka,”

 

Tatkala Umar menjawab Abu Sufyan, Abu Sufyan berkata, “Ke sini kamu, haj Umar!” Rasulullah bersabda kepada Umar, “Datangilah ia dan lihatlah apa yang ia lakukan.”

 

Umar mendatangi Abu Sufyan lantas Abu Sufyan bertanya kepadanya, “Aku memintamu bersaksi demi Allah, hai Umar, apakah kami telah membunuh Muhammad?” Umar menjawab, “Ya Allah, tidak! Beliau mendengar omonganmu sekarang ini.”

 

Abu Sufyan berkata, “Kamu lebih jujur bagiku daripada Ibnu Qam‘ah dan lebih baik daripada ia!” Karena sebelum itu Ibnu Qam‘ah berkata kepada pasukan kafir Quraisy, “Aku telah membunuh Muhammad!”

 

Kemudian Abu Sufyan berseru, “Sungguh, jasad orang-orang yang mati di antara kalian telah dicincang. Demi Allah, aku tidak meridhai tindakan itu, tetapi juga tidak memurkainya. Aku tidak melarang, tetapi juga tidak memerintahkannya!”

 

Tatkala Abu Sufyan dan pasukannya bubaran meninggalkan tempat, ia berseru lagi, “Waktu yang kujanjikan kepada kalian adalah Badar, tahun depan!”

 

Rasulullah bersabda kepada seorang lelaki di antara sahabat beliau, “Katakan, ‘Ya. Badar itu menjadi tempat perjanjian antara kami dan kamu.”

 

Selanjutnya, Rasulullah mengutus Ali bin Abu Thalib, seraya bertitah:

 

“Berangkatlah, ikuti jejak pasukan Abu Sufyan itu. Lihatlah apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka inginkan. Jika mereka menggiring kuda ke samping pasukan mereka, dan mereka menaiki unta, berarti mereka hendak pulang ke Mekah. Sedangkan jika mereka mengendarai kuda dan menggiring unta, berarti mereka hendak menuju ke Madinah. Demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh jika mereka hendak menuju ke Madinah, aku benar-benar akan maju melawan mereka di sana, lantas aku akan berperang tanding dengan mereka.” Ali berkata, “Aku berangkat mengikuti jejak mereka. Aku melihat dengan seksama apa yang hendak mereka lakukan. Ternyata mereka menggiring kuda di samping pasukan dan mengendarai unta, serta berjalan menuju arah Mekah.”

 

Orang-orang selesai memeriksa korban yang terbunuh dari mereka. Rasulullah bersabda, “Siapakah orang yang mau mencari kabar untukku tentang apa yang dialami oleh Saad bin Rabi‘? Apakah ia ada di antara orang-orang yang masih hidup ataukah ada di antara orang-orang yang sudah mati?” Seorang lelaki dari kalangan Anshar’” berkata, “Saya akan mencarikan kabarnya untukmu, wahai Rasulullah, tentang apa yang dialami Saad.” Orang Anshar itu menemukan Saad bin Rabi‘ dalam keadaan terluka di antara jasad-jasad yang terbujur kaku sebagai syuhada. Saad sudah tersengal-sengal napasnya, hampir mati. Kukatakan kepadanya, “Rasulullah memerintahkan aku untuk melihat, apakah engkau termasuk orang-orang yang masih hidup ataukah orang-orang yang sudah mati?” Saad berkata, “Aku termasuk di kalangan orang-orang yang mati. Sampaikan salamku kepada Rasulullah. Katakan kepada beliau, ‘Saad bin Rabi’ berkata kepadamu, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dari kami, sebagaimana Ia membalas seorang nabi dari umatnya.” Sampaikan juga salamku kepada kaummu, serta katakan kepada mereka, ‘Saad bin Rabi‘ berkata kepada kalian, tiada alasan bagi kalian di hadapan Allah, jika ada serangan yang sampai mengenai nabi kalian, sedangkan kalian menutup mata dengan kejadian tersebut!” Aku pun terdiam sesaat, kemudian Saad mati. Lantas aku datang menemui Rasulullah dan kusampaikan kepada beliau berita tentang Saad bin Rabi.

 

Rasulullah pergi, menurut riwayat yang sampai kepadaku, mencari jasad Hamzah bin Abdul Mutholib, lalu beliau menemukannya di perut lembah, dalam keadaan terbedah perutnya dan diambil hatinya, tercincang tubuhnya, terpotong hidung dan kedua telinganya. Rasulullah bersabda saat melihat jasad Hamzah itu:

 

“Kalaulah bukan karena Shafiah (binti Abdul Mutholib) akan bersedih dan akan menjadi sunah bagi orang sepeninggalku, niscaya akan kubiarkan jasad jn; masuk ke dalam perut binatang buas dan burung. Sungguh, jika Allah memberiku kemenangan atas orang Quraisy dalam satu dari sekian banyak perang nant, niscaya aku akan mencincang tiga puluh orang dari mereka!”

 

Tatkala kaum muslim melihat kesedihan Rasulullah dan kemarahan beliau terhadap tindakan yang dilakukan orang kafir terhadap paman beliau itu mereka berkata, “Demi Allah, jika suatu saat nanti Allah memberi kami kemenangan atas mereka, niscaya kami akan mencincang mereka dengan model pencincangan yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab.”

 

Dari Ibnu Abbas:

 

“Allah menurunkan ayat menanggapi sabda Rasulullah dan perkataan para sahabat beliau, (artinya) ‘Jika kalian membalas, balaslah seperti tindakan yang ditimpakan terhadap kalian. Sungguh, jika kalian bersabar maka itu lebih baik bagi orang-orang yang bersabar. Bersabarlah, tiadalah kesabaranmu itu kecuali karena Allah. Janganlah kamu bersedih atas mereka dan jangan pula kamu merasa sempit terhadap makar yang mereka lancarkan, (An-Nakhl [16]: 156-157)

 

Lantas Rasulullah memaafkan tindakan itu, dan melarang mencincang mayat.

 

Rasulullah memerintahkan agar jasad Hamzah ditutupi dengan kain burdah. Kemudian beliau menyalatkan jenazahnya. Beliau bertakbir tujuh kali. Lantas beliau memerintahkan jasad-jasad lainnya yang terbunuh diletakkan di dekat jasad Hamzah. Kemudian beliau menyalatkan mereka (satu persatu) dan juga menyalatkan Hamzah bersama mereka, hingga beliau menyalatkan Hamzah sebanyak tujuh puluh dua kali.”

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

Sungguh telah datang -menurut berita yang sampai kepadaku Shafiyah binti Abdul Mutholib untuk melihat jasad Hamzah. Hamzah adalah saudara kandungnya, sebapak dan seibu. Rasulullah  bersabda kepada anak laki-laki Shafiah, Zubair bin Awam, “Temuilah ibumu dan ajaklah ia pulang, jangan biarkan ia melihat jasad saudara kandungnya itu.” Zubair berkata, “Ibunda, sungguh Rasulullah menyuruhmu untuk pulang.” Shafiah bertanya, “Mengapa? Telah sampai berita kepadaku bahwa jasad saudaraku dicincang, dan itu dilakukan di jalan Allah. Tiada yang lebih menjadikan kami ridha daripada itu. Aku benar-benar mengharapkan pahala dari Allah dan aku pasti akan bersabar, insya Allah!” Tatkala Zubair menghadap Rasulullah dan memberitahu beliau apa yang dikatakan oleh ibunya,

 

Rasulullah bertitah, “Bebaskan jalannya.” Shafiah datang mendekati jasad Hamzah. Ia memandang kepadanya, lalu menyalatkannya, lantas mengucapkan istirja’ dan memohonkan ampunan untuknya. Selanjutnya, Rasulullah memerintahkan agar jasad Hamzah dikuburkan.

 

Orang-orang Islam membawa jasad korban terbunuh dari mereka ke Madinah, untuk mereka kuburkan di sana. Lalu Rasulullah melarang perbuatan ini seraya bersabda, “Kuburkan mereka di tempat terbunuhnya mereka.”

 

Dari Abdullah bin Tsa‘labah, tatkala Rasulullah mendatangi jasad-jasad korban yang terbunuh pada Perang Uhud, beliau bersabda:

 

“Aku menjadi saksi atas mereka. Tiada seorang pun yang mati dengan terluka di jalan Allah kecuali Allah akan membangkitkannya pada Hari Kiamat, dalam keadaan lukanya masih mengeluarkan darah, warnanya warna darah, tetapi baunya seharum bau minyak wangi kesturi (misk)! Perhatikanlah, siapa di antara mereka yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya, jadikanlah ia di depan jasad temannya yang dikubur bersamanya.’

 

Para sahabat menguburkan dua orang atau tiga orang dalam satu liang kuburan.

 

Kemudian Rasulullah pulang ke Madinah. Hamnah binti Jahsy menemui beliau. Tatkala ia bertemu orang-orang, disampaikan kepadanya berita kematian saudaranya, Abdullah bin Jahsy, lalu ia mengucapkan istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi rajiun) dan memohonkan ampunan untuknya. Lalu dikabarkan pula kepadanya berita kematian pamannya, Hamzah bin Abdul Mutholib, lantas ia mengucapkan lafal istirja’ dan memohonkan ampunan untuknya. Disampaikan pula kepadanya berita kematian suaminya, Mushiab bin Umair. Seketika itu Hamnah berseru dan berteriak keras.

 

Rasulullah bersabda, “Suami itu menempati kedudukan yang paling tinggi bagi seorang wanita!” Tatkala beliau melihat keteguhan Hamnah yang mendengar berita kematian saudara dan pamannya. Namun, berteriak keras saat mendengar berita kematian suaminya.

 

Rasulullah melewati satu perkampungan dari sekian banyak perkampungan Anshar dari Bani Abdul Asyhal dan Zhafar, lalu beliau mendengar suara tangisan dan ratapan terhadap orang-orang yang mati di antara mereka. Kedua mata Rasulullah mencucurkan air mata, lantas beliau menangis. Kemudian beliau bersabda, “Akan tetapi, Hamzah, tiada seorang pun yang menangisinya.’

 

Tatkala Saad bin Mu‘adz dan Usaid bin Hudhair pulang ke perkampungan Bani Abdul Asyhal, keduanya menyuruh para wanita mereka untuk berkumpy berdesak-desakan, lalu berangkat, dan menangisi paman Rasulullah. Tatkala

 

Rasulullah mendengar tangisan mereka untuk Hamzah, beliau keluar menemy; mereka, sedangkan mereka berada di depan pintu masjid beliau sedang menangig; Hamzah. Beliau berkata, “Pulanglah kalian, semoga Allah menyayangi kalian. Sungguh kalian telah berbela sungkawa dengan diri kalian sendiri.”

 

Rasulullah kemudian melewati seorang perempuan dari Bani Dinar Ia kehilangan suaminya, saudara laki-lakinya, dan bapaknya yang mati sebagai syuhada pada Perang Uhud. Tatkala berita kematian mereka dikabarkan kepadanya, ia berkata, “Bagaimana keadaan Rasulullah?” Orang-orang menjawab, “Beliau dalam keadaan baik-baik saja, hai Ummu Fulan. Beliau, Alhamdulillah, keadaannya seperti yang kau harapkan.” Perempuan itu berkata, “Perlihatkan kepadaku, hingga aku dapat melihat beliau.” Lalu ditunjukkan Rasul kepadanya dengan isyarat. Ketika perempuan itu melihat Nabi, ia berkata, “Semua musibah yang terjadi setelah mengetahui keselamatan engkau menjadi terasa ringan.”

 

Tatkala Rasulullah pulang menemui keluarga beliau, beliau memberikan pedangnya kepada putrinya, Fatimah, seraya bersabda, “Basuhlah darah dari pedang ini, wahai putriku. Demi Allah, ia telah memenuhi tugasnya hari ini.” Ali bin Abu Thalib juga memberikan pedangnya sembari berucap, “Ini juga, basuhlah darahnya, karena demi Allah, ia telah memenuhi janjinya hari ini.” Rasulullah bersabda, “Jika kamu telah memenuhi janji dalam perang, Sahl bin Hunaif dan Abu Dujanah telah mendahuluimu.”

 

Perang Uhud terjadi pada Hari Sabtu, pertengahan bulan Syawal.

 

Keesokan harinya, sehari sesudah Perang Uhud, yakni tanggal enam belas Syawal, muadzin Rasulullah memanggil kaum muslim, mereka diperintahkan untuk mengejar musuh. Sang Muadzin juga mengumumkan bahwa tiada seorang pun yang boleh keluar bersama (Rasul dan sahabat beliau) kecuali orang yang ikut serta pada Perang Uhud kemarin. Jabir bin Abdullah bin Amru bin Haram berbicara kepada Rasulullah:

 

“Wahai Rasulullah, sungguh bapakku menyuruhku menggantikannya mengasuh tujuh adik perempuanku.” Rasul bersabda, “Anakku, sungguh tidak pantas bagiku dan bagimu untuk membiarkan adik-adik perempuanmu itu tanpa ditemani oleh seorang lelaki di tengah mereka. Aku bukanlah orang yang menyuruh-mu mengutamakan berjihad bersama Rasulullah daripada diriku sendiri. Oleh karena itu, kamu tetap tinggal saja untuk mengurusi adik-adik perempuanmu itu.” Aku pun tidak ikut mengejar musuh karena mengurusi saudara-saudara perempuanku.

 

Rasulullah mengizinkannya dan ia pergi bersama beliau. Rasulullah keluar dari Madinah itu hanyalah untuk menakut-nakuti musuh, dan agar sampai kepada mereka berita bahwa beliau keluar untuk mencari mereka, dan mereka pun menyangka bahwa beliau masih memiliki kekuatan, serta kekalahan yang menimpa kaum muslim kemarin itu tidak menjadikan mereka lemah dan tak berdaya melawan musuh mereka.

 

Rasulullah keluar meninggalkan Madinah hingga beliau tiba di Hamra Al-Asad -yang berjarak delapan mil dari Madinah beliau menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai pemimpin Madinah menggantikan beliau untuk sementara waktu. Beliau tinggal di Hamra Al-Asad pada hari Senin, Selasa, dan Rabu. Kemudian beliau pulang kembali ke Madinah.

 

Ma’bad bin Abu Ma‘bad Al-Khuza‘i melewati beliau. Bani Khuza‘ah itu, baik yang sudah masuk Islam maupun yang masih musyrik, adalah pemegang rahasia Rasulullah di Tihamah, persatuan dan kesatuan mereka itu bersama beliau. Mereka tidak menyembunyikan apa pun yang ada pada mereka kepada beliau. Ma’bad pada waktu itu masih musyrik. Ia berkata, “Wahai Muhammad, ketahuilah, demi Allah, sungguh berat bagi kami kekalahan yang menimpamu. Sungguh kami sangat berharap Allah menyembuhkan luka hatimu di tengah mereka.”

 

Selanjutnya, Rasulullah berangkat menuju Hamra Al-Asad, sampai bertemu dengan Abu Sufyan bin Harb dan bala tentaranya di Rauha. Mereka sudah sepakat untuk kembali menuju tempat Rasulullah dan para sahabat beliau. Mereka berkata, “Kami sudah berhasi! membalas para sahabat Muhammad, tokoh mereka dan panglima mereka, tetapi kemudian kami pulang tanpa membasmi mereka sampai binasa hingga ke akar-akarnya! Sungguh, kami harus menyerang kembali sisa-sisa mereka dan kami tuntaskan urusan kami dengan mereka”

 

Tatkala Abu Sufyan melihat Ma‘bad, ia bertanya, “Apa yang kau lihat di belakangmu, hai Ma‘bad?”

 

Ma‘bad menjawab, “Muhammad dan para sahabatnya telah keluar dari Madinah untuk mencari dan mengejar kalian dengan sebuah pasukan yang besar, yang aku belum pernah melihat pasukan sebesar itu. Mereka sangat marah dan jengkel terhadap kalian. Orang-orang yang tidak ikut Perang Uhud juga bergabung dengan Muhammad, mereka menyesali apa yang mereka lakukan kemarin (tidak ikut perang). Di antara mereka ada orang yang sangat marah. Kalian akan menghadapi sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya!”

 

Abu Sufyan berkata, “Celaka kamu! Apa yang kau katakan?” Ma‘bad menjawab, “Demi Allah, menurutku sebaiknya kamu jangan meneruskan perjalanan sampai kamu melihat jambul-jambul pasukan kavaleri itu”

 

Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, kami sepakat untuk menyerang mereka lagi agar kami dapat membasmi mereka hingga habis sama sekali.”

 

Ma‘bad berkata, “Aku melarangmu melakukan itu. Demi Allah, apa yang kulihat tadi mendorongku untuk bertutur tentang mereka dengan beberapa bait syair.”

 

Abu Sufyan berkata, “Apa yang kau katakan?” Ma‘bad berkata:

 

Hewan tungganganku nyaris jatuh ketakutan karena suara-suara itu

Tatkala tanah bergetar dikarenakan kuda-kuda perang yang berombongan

Berjalan dengan cepat bagai singa-singa pilihan yang tidak pendek

Ketika bertemu musuh, bukan orang yang tidak teguh pada pelana dan bukan pula yang tak bersenjata

Aku pun berjalan cepat, aku merasa bumi ini menjadi miring

Tatkala mereka mengangkat tinggi sang pemimpin yang bukan orang yang ditelantarkan

Maka kukatakan, “Celakalah Ibnu Harb bila berhadapan dengan kalian

Apabila tanah yang datar ini bergetar karena sekelompok manusia

Aku adalah penyampai ancaman kepada penduduk Tanah Haram secara terang-terangan

Untuk semua orang yang mempunyai akal di antara mereka dan yang cerdas

Terhadap tentara Ahmad yang bukan dari kalangan orang rendahan, bahkan berhati mulia

Ancaman yang kusampaikan ini tidak bisa dikatakan gertakan saja

 

Syair ini membuat Abu Sufyan dan teman-temannya menjadi ragu-ragu.

 

Satu rombongan berkendaraan dari Bani Abdul Qais melewati posisi Abu Sufyan, lantas Abu Sufyan bertanya, “Hendak ke mana kalian?” Mereka menjawab, “Kami hendak ke Madinah” Abu Sufyan bertanya lagi, “Untuk apa?” Mereka menjawab, “Membeli makanan untuk dibawa ke negeri kami” Abu Sufyan berkata, “Maukah kalian menyampaikan sebuah pesan dariku untuk Muhammad yang akan aku titipkan pada kalian? Aku akan memberi kalian imbalan berupa kismis di pasar Ukazh, besok, setelah kalian melaksanakan tugas ini dengan baik.” Mereka menjawab, “Ya, baiklah.” .

 

Abu Sufyan berkata, “Apabila kalian mau melaksanakannya maka beritahukanlah kepada Muhammad bahwa kami telah menyatukan kekuatan dan hendak menyerang ia dan teman-temannya, untuk membasmi mereka hingga binasa.” Rombongan itu pun melewati rombongan Rasulullah ketika beliau berada di Hamra Al-Asad. Mereka lantas memberitahu beliau apa yang dikatakan oleh Abu Sufyan. Rasulullah bersabda, “Cukuplah bagi kami Allah dan Ia adalah sebaikbaik pengurus.”

 

Rasulullah ditempatitu, sebelum kepulangan beliau ke Madinah, menangkap Muawiah bin Mughirah bin Abul Ash dan Abu Azah Al-Jumahi. Rasulullah dulu menawannya di Badar kemudian membebaskannya tanpa tebusan. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, bebaskan saya.” Rasulullah bersabda, “Demi Allah, jangan sampai setiba di Mekah kamu menutupi kejadian yang sebenarnya sehingga kamu berkata, ‘Aku sudah menipu Muhammad dua kali.’ Tebaslah lehernya, hai Zubair!’ Zubair pun menebas lehernya.”

 

Tatkala Rasulullah tiba di Madinah, Abdullah bin Ubay bin Salul sudah menempati tempat yang biasa ia tempati pada hari Jumat, yang tak diingkari, sebagai bentuk pemuliaan untuk dirinya sendiri dan kaumnya, karena Ibnu Ubay adalah orang mulia di tengah mereka.

 

Ketika Rasulullah duduk di mimbar pada hari Jumat dan beliau berkhotbah, kepada publik, Ibnu Ubay pun bangkit dan berkata, “Saudara-saudara sekalian inilah Rasulullah berada di tengah-tengah kalian! Semoga Allah memuliakan kalian dan mengukuhkan kalian dengan adanya beliau. Oleh karena itu, tolong, bantulah beliau. Dengarkanlah ucapan beliau dan taatlah.” Kemudian Abdullah bin Ubay bin Salul duduk.

 

Hingga setelah ia melakukan pembelotan pada Perang Uhud dan pulang bersama sekian banyak orang, ia kembali berdiri hendak melakukan hal yang biasa ia lakukan. Orang-orang Islam memegang kain bajunya dari segala arah di sekelilingnya, mereka berkata, “Duduklah, hai musuh Allah. Kamu tidak pantas melakukan itu lagi, karena kamu sudah melakukan pembelotan yang keji itu!”

 

Ibnu Ubay keluar dari masjid dengan melangkahi pundak-pundak orang yang duduk bersila, seraya berkata, “Demi Allah, seolah-olah aku berkata buruk, padahal aku hendak menegaskan pentingnya urusan Nabi!”

 

Seorang laki-laki Anshar menemuinya di pintu masjid seraya bertanya, “Apa yang terjadi denganmu, celaka kamu!”

 

Ibnu Ubay menjawab, “Aku berdiri untuk menegaskan pentingnya urusan Nabi, tetapi tiba-tiba banyak orang dari kalangan sahabatnya menarikku dan bersikap kasar terhadapku, seolah-olah aku hendak berkata buruk saja, padahal aku hanya berdiri untuk menguatkan pentingnya urusan Nabi!”

 

Orang Anshar itu berkata, “Celaka kamu! Pulanglah! Semoga Rasulullah berkenan memohonkan ampunan untukmu.” Ibnu Ubay berkata, “Demi Allah, aku tidak ingin ia memohonkan ampunan untukku”

 

Ibnu Ishaq berkata: “Hari Perang Uhud adalah hari malapetaka, musibah, dan ujian. Allah menguji orang-orang beriman dan menguji orang-orang munafik, yakni mereka yang menampakkan iman dengan lisannya, tetapi menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya. Hari Perang Uhud juga menjadi hari yang dengannya Allah memuliakan siapa saja yang Dia kehendaki, berupa Syahid, dari kalangan orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan kasih sayang Allah.”

 

Peristiwa Tahun Ketiga, Hijriah

 

Insiden Raji‘

 

Setelah berlalu Perang Uhud, satu rombongan dari Kabilah Adhal dan Qarah datang menemui Rasulullah. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh di kalangan kami ada orang-orang yang sudah masuk Islam. Kirimkanlah bersama rombongan kami sejumlah sahabatmu yang akan memahamkan keislaman kami, membacakan Al-Qur’an kepada kami, dan mengajari kami Syariat Islam”

 

Rasulullah kemudian mengutus satu rombongan dari kalangan sahabat beliau. Mereka adalah Martsad bin Abi Martsad, Khalid bin Bukair, Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Adiy, Zaid bin Datsinah, dan Abdullah bin Thariq. Rasulullah mengangkat Martsad bin Abi Martsad sebagai pemimpin rombongan itu.

 

Mereka pun berangkat meninggalkan Madinah bersama rombongan kabilah Adhal dan Qarah yang pulang, sampai ketika mereka tiba di Raji‘; mata air milik Kabilah Hudzail di arah Hijaz, pada permulaan wilayah Had‘ah, rombongan Adhal dan Qarah itu mengkhianati utusan Nabi. Mereka meminta tolong kepada Kabilah Hudzail untuk menyerang rombongan sahabat Nabi. Tiada yang mengejutkan saat mereka masih duduk di punggung hewan tunggangan mereka kecuali sejumlah pria yang menghunuskan pedang dan telah mengepung mereka. Para sahabat Nabi pun mencabut pedang mereka dari sarungnya untuk berperang melawan musuh.

 

Kabilah Adhal-Qarah berkata kepada mereka, “Kami, demi Allah, tidak bermaksud membunuh kalian. Akan tetapi, kami memberi kalian bagian dari harta penduduk Mekah ini. Kalian berhak mendapatkan janji Allah dan perjanjiannya bahwa kami tidak akan memerangi kalian.”

 

Martsad bin Abi Martsad, Khalid bin Bukair, dan Ashim bin Tsabit, mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menerima dari orang musyrik satu janji pun atau satu ikatan perjanjian pun selama-lamanya!” Ashim bin Tsabit bersajak:

 

Apa alasanku, sedang aku adalah lelaki yang teguh dan ahli memanah

Sedang busur panah itu ganjil jumlahnya dan sangat keras

Menyingkir dari lembarannya, pedang yang lebar dan panjang

Mati adalah kebenaran, sedang hidup adalah kebatilan

Semua yang ditetapkan oleh Allah, pasti terjadi

Terhadap seseorang, sedang orang itu pasti menuju ke sana

 

Kemudian ia berperang melawan kaum itu sampai ia terbunuh, dan terbunuh pula dua sahabatnya (Martsad dan Khalid bin Bukair).

 

Tatkala Ashim terbunuh, orang-orang Hudzail hendak memenggal kepalanya untuk mereka jual kepada Sulafah binti Saad bin Syuhid. Perempuan itu telah bernadzar ketika Ashim membunuh dua orang anak laki-lakinya pada perang Uhud bahwa jika ia berhasil mendapatkan kepala Ashim, ia akan minum arak dengan tengkorak kepalanya. Akan tetapi, kambang-kumbang besar dan lebah menghalangi mereka memenggal kepalanya. Tatkala binatang-binatang kecil menghalangi mereka, mereka berkata, “Biarkan jasadnya sampai senja_ harj nanti, hingga lebah dan kumbang ini pergi dan kami bisa mengambil kepalanya” Kemudian Allah mengutus singa untuk membawa jasad Ashim pergi meninggalkan tempat itu.

 

Ashim pernah memohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar tiada satu pun orang musyrik yang menyentuhnya selama-lamanya, Karena ia merasa hal itu najis. Umar bin Khathab berkata tatkala sampai berita kepadanya bahwa lebah dan kumbang melindungi tubuhnya, “Allah menjaga hamba yang beriman. Ashim pernah bersumpah bahwa jangan sampai orang musyrik menyentuhnya dan jangan sampai ia menyentuh orang musyrik selama-lamanya, sepanjang hidupnya. Lalu Allah melindunginya setelah kematiannya, sebagaimana Allah melindunginya sepanjang hayatnya.”

 

Adapun Zaid bin Datsinah, Khubaib bin Adiy, dan Abdullah bin Tharigq, mereka bersikap lemah, lembut, dan masih mengharapkan diri mereka tetap hidup. Oleh karena itu, mereka menyerah dan orang-orang itu menjadikan mereka sebagai budak. Lantas mereka membawa ketiga sahabat Nabi tersebut ke Mekah untuk dijual sebagai budak. Sampai ketika mereka tiba di Zhuhran, Abdullah bin Thariq menarik tangannya dari tali yang digunakan untuk mengikat tawanan, kemudian ia mengambil pedangnya untuk melawan. Orang-orang mundur menjauh dari dirinya lalu mereka melemparinya dengan batu. Akhirnya, Ibnu Thariq wafat dan dikubur di Zhuhran, semoga Allah menyayanginya.

 

Adapun Khubaib bin Adiy dan Zaid bin Datsinah, keduanya dibawa oleh orang-orang itu ke Mekah. Lantas mereka menjualnya kepada orang Quraisy dengan imbalan dibebaskannya dua tawanan dari Hudzail yang ditawan oleh orang Quraisy. Khubaib dibeli oleh Hujair bin Abi Ihab dengan bayaran Qubah bin Harits bin Amir, untuk ia bunuh sebagai pembalasan atas kematian bapaknya.

 

Sedangkan Zaid bin Datsinah dibeli oleh Shafwan bin Umayah, untuk membalas dendam atas kematian bapaknya, Umayah bin Khalaf. Shafwan bin Umayah mengirim Zaid bersama seorang mantan budaknya yang bernama Nisthas ke Tan‘im. Mereka mengeluarkannya dari Tanah Haram agar mereka bisa membunuhnya. Sejumlah rombongan dari Quraisy berkumpul di situ, salah seorang di antara mereka adalah Abu Sufyan bin Harb.

 

Abu Sufyan berkata ketika Zaid didatangkan untuk dibunuh, “Aku mempersaksikanmu kepada Allah, hai Zaid, apakah kamu senang Muhammad berada di tengah kami sekarang ini, menggantikan tempatmu, lalu kami penggal lehernya, sedang kamu dalam keadaan senang di tengah keluargamu?” Zaid menjawab, “Demi Allah, aku tidak senang, bahkan apabila Muhammad sekarang ini sedang berada di tempat beliau, tetapi beliau tertusuk satu duri yang menyakiti beliau, sedang aku duduk di tengah keluargaku!”

 

Abu Sufyan berkata, “Aku tidak pernah melihat orang-orang yang mencintai seseorang, sebagaimana cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!”

 

Kemudian Nisthas membunuhnya, semoga Allah menyayanginya.

 

Dari Mawiah, mantan budak Hujair bin Abi Ihab -sedang ia sudah masuk Islam-, ia berkata: “Khubaib hidup bersamaku, ditahan di rumahku. Sungguh, aku melihatnya pada suatu hari, di tangannya ada setandan anggur yang besarnya sebesar kepala manusia. Ia memakannya. Padahal aku tidak mengetahui di bumi Allah ini ada anggur yang siap dimakan. Ia berkata kepadaku ketika eksekusi mati sudah datang menyapanya, ‘Kirimkan pisau besi kepadaku, aku akan mencukur bulu kemaluanku dan menyucikan diri sebelum dibunuh:

 

Kuberikan kepada seorang anak laki-laki dari kabilah itu sebatang pisau cukur, lalu kukatakan, “‘Bawalah pisau cukur ini ke lelaki yang ada di rumah itu? Demi Allah, tiadalah ia kecuali budak itu membawa pisau cukur kepadanya. Aku pun bergumam ‘Apa yang kulakukan barusan! Demi Allah, Laki-laki itu pasti akan menggunakan pisau cukur itu untuk melawan dan membunuh anak tersebut. Terlebih ia hanya melawan seorang lelaki?

 

Tatkala si anak memberikan pisau cukur kepada Khubaib, Khubaib mengambilnya dari tangan anak laki-laki tersebut, seraya berkata, “Sungguh, ibumu tidak perlu takut akan pengkhianatanku, ketika ia mengutusmu untuk membawa pisau besi yang tajam ini kepadaku!’ Kemudian Khubaib menyuruh anak itu perg; dan membebaskan jalannya.

 

Selanjutnya, mereka keluar dengan membawa Khubaib. Setibanya mereka di Tan‘im untuk menyalibnya, Khubaib berkata kepada mereka, ‘Jika kalian setuju, perkenankan aku untuk mengerjakan shalat dua rakaat terlebih dahulu’ Mereka berkata, “Terserah kamu, lakukanlah shalat? Khubaib bin Adiy mengerjakan shalat dua rakaat, ia menyempurnakan kedua rakaat itu dan membaguskannya.

 

Kemudian ia menghadap orang-orang yang hadir di tempat itu, seraya berucap, ‘Ketahuilah, demi Allah, andaikan bukan karena kalian akan menyangkaku bahwa aku memperpanjang shalat disebabkan aku takut mati, niscaya akan kuperbanyak jumlah rakaat shalatku’? Rawi berucap, ‘Khubaib bin Adiy adalah orang pertama yang menyunahkan untuk kaum muslim shalat dua rakaat sebelum dieksekusj mati:

 

Selanjutnya, mereka mengangkat tubuh Khubaib ke kayu salib. Tatkala mereka mengikatnya, Khubaib berdoa, “Ya Allah, sungguh kami telah menyampaikan risalah Rasul-Mu, sampaikanlah kepada beliau besok semua tindakan yang dilakukan terhadap kami ini’? Lantas Khubaib berdoa lagi, “Ya Allah, binasakanlah mereka dalam jumlah yang besar, bunuhlah mereka dalam keadaan tercerai-berai, dan jangan kau sisakan dari mereka seorang pun? Selanjutnya, orang-orang kafir itu membunuhnya, semoga Allah menyayanginya.”

 

Muawiah bin Abu Sufyan berkata, “Aku termasuk salah seorang yang menyaksikan peristiwa Khubaib itu, bersama Abu Sufyan. Sungguh, aku merasakan ia membaringkanku di atas tanah karena takut terhadap doa Khubaib. Orang-orang berkata, ‘Seseorang itu apabila didoakan keburukan lalu ia berbaring maka doa buruk itu akan hilang dari dirinya,”

 

Umar bin Khathab pernah mengangkat Sa‘id bin Amir bin Jidzyim Al-Jumahi menjadi penguasa sebagian wilayah Syam. Ia berkali-kali pingsan ketika ia sedang berada di tengah-tengah rakyatnya. Keadaan itu disampaikan kepada Umar bin Khathab. Dikatakan, “Orang itu (Sa‘id) sering pingsan.”

 

Umar menanyai Sa‘id setibanya di Syam, “Hai Sa‘id, apa yang terjadi dengan dirimu sehingga kamu sering pingsan?” Sa‘id bin Amir menjawab, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, saya sebenarnya tidak sakit apa-apa, tetapi saya termasuk salah scorang yang ikut menyaksikan peristiwa Khubaib bin Adiy, ketika ia dibunuh. saya mendengar doanya. Demi Allah, hati saya tidak pernah terbesitkan peristiwa itu ketika saya sedang bermajelis, kecuali pasti saya pingsan karenanya!” Jawaban Sa’id ini membuat dirinya semakin baik di mata Umar.

 

Ibnu Abbas berkata: “Tatkala rombongan Martsad dan Ashim terkena musibah di Raji, sejumlah orang munafik berkata, ‘Aduhai celakanya orang-orang yang terfitnah itu, yakni orang-orang yang binasa. Mengapa mereka tidak duduk bersama keluarganya saja dan tidak menyampaikan risalah sahabat mereka (Nabi): Allah menurunkan ayat berkenaan dengan omongan orang-orang munafik dan rombongan orang-orang baik itu yang diterpa musibah”

 

Allah Yang Mahasuci berfirman, “Dan sebagian manusia ada yang ucapannya tentang kehidupan dunia membuatmu kagum.” Maksudnya, dengan apa yang ia tampakkan, berupa Islam, dengan lisannya, “Dan ia meminta agar Allah mempersaksikan apa yang ada pada hatinya.” Padahal isi hatinya bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh lisannya, “sedang ia adalah pembantah yang paling keras.” Maksudnya, orang yang suka membantah, apabila ia berbicara kepadamu dan menjawabmu. “Apabila ia berpaling,” maksudnya keluar dari hadapanmu, “ia berusaha di muka bumi untuk melakukan kerusakan, dan menghancurkan tanaman dan binatang ternak, dan Allah itu tidak menyukai kerusakan.” Maksudnya, Allah tidak mencintai tindakan merusak dan tidak meridhainya.

 

“Apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ maka rasa sombong dengan dosa menguasai dirinya, cukuplah untuknya Neraka Jahanam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat tinggal. Di antara manusia ada orang menjual dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah itu Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah [2]: 204)

 

Maksudnya, sungguh mereka telah menjual diri mereka kepada Allah dengan berjihad di jalan-Nya, menunaikan hak-Nya, sampai mereka mati karena itu, yang dimaksud adalah rombongan tersebut (Martsad, Ashim, dan teman-temannya-),.”

 

Salah satu syair yang dituturkan tentang peristiwa ini adalah tuturan Khubaib bin Adiy ketika sampai berita kepadanya bahwa orang-orang itu bersepakat untuk menyalib dirinya:

 

Sungguh pasukan aliansi telah berkumpul di sekitarku, mereka sudah berhimpun menjadi satu…

Kabilah-kabilah mereka, mereka berusaha mengumpulkan semua kumpulan

Mereka semua menampakkan permusuhan, bersungguh-sungguh…

Menyerangku karena aku berada dalam ikatan tali yang terpisah-pisah

Sungguh mereka telah menghimpun anak-anak mereka dan wanita mereka, ,.

Aku didekatkan pada batang pohon yang panjang dan terlindungi

Kepada Allah aku mengadukan keasinganku kemudian kesulitanku…

Dan apa yang dipersiapkan aliansi untuk diriku menjelang kematianku

Maka itulah singgasana, sabarkanlah aku atas apa yang diinginkan terhadap diriku…

Sungguh mereka telah memotong dagingku dan sudah berputus asa keinginanku

Itulah pada Dzat Ilahi, jika ia menghendaki…

Ia memberkahi tersambungnya tubuh yang sudah tercerai-berai

Sungguh mereka memberikan opsi kepadaku; kafir atau mati membela Nabi…

Kedua mataku mengalirkan darah bukan karena berkeluh kesah

Aku tidak takut mati, karena aku pasti akan mati…

Akan tetapi, aku takut kepada Neraka Jahanam yang meliputi

Maka demi Allah, aku tidak takut bila aku mati sebagai orang Islam…

Dalam keadaan bagaimana pun aku mati di jalan Allah

Aku tidak menampakkan permusuhan sebagai wujud sikap merendahkan diri…

Tidak pula keluh kesah, sungguh kepada Allah tempat Aku kembali.

 

Hasan bin Tsabit bersenandung seraya menangisi Khubaib:

 

Apa kabarnya matamu, yang tidak berhenti mencucurkan air mata…

Menyusuri atas dada seperti mutiara yang bergerak jatuh

Atas Khubaib, seorang pemuda dari para muda mereka sudah tahu…

Tidak hilang semangatnya ketika ia bertemu dengannya dan tidak pula buruk akhlaknya

Pergilah wahai Khubaib semoga Allah membalasmu dengan kebaikan…

Dan surga yang kekal di hadapan bidadari bermata jeli yang penuh kelembutan

Apa yang kalian katakan jika Nabi bersabda kepada kalian…

Ketika para malaikat berbakti itu berada di ufuk cakrawala

Sebab, apa kalian membunuh seorang saksi Allah…

Pendurhaka yang sudah menghebat perusakannya di berbagai negeri dan manusia

 

Peristiwa Tahun Keempat Hijriah,

 

Insiden Bir Ma‘unah pada Bulan Safar

 

Rasulullah tinggal pada sisa bulan Syawal, Dzulqa‘dah, Dzulhijah -orang-orang musyrik mengikuti bulan inidan Muharam. Kemudian Rasulullah mengutus rombongan Bir Maunah pada bulan Safar, empat bulan berselang setelah Perang Uhud.

 

Abu Bara’ Amir bin Malik bin Jakfar yang ahli memainkan lembing datang menemui Rasulullah di Madinah. Rasulullah menawarkan Islam kepadanya dan beliau mengajaknya untuk memeluk Islam. Abu Bara’ tidak mau masuk Islam dan tidak pula menjauh dari Islam. Ia berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana jika engkau mengirim sejumlah orang dari kalangan sahabatmu kepada penduduk Nejed, lalu mereka mengajak penduduk Nejed untuk menaati perintahmu (masuk Islam). Aku berharap mereka akan mau menerimanya untukmu”

 

Rasulullah bersabda, “Aku khawatir warga Nejed akan membunuh sahabat-sahabatku.” Abu Bara’ berkata, “Aku pasti akan melindungi mereka. Utuslah mereka dan suruhlah mereka mengajak orang untuk menaati perintahmu.”’

 

Rasulullah kemudian mengutus Mundzir bin Amru, saudara Bani Sa‘idah Al-Mu’minun Liyamut ‘si orang yang cepat mati’ bersama empat puluh orang dari kalangan sahabat beliau yang termasuk orang-orang Islam pilihan. Mereka di antaranya, Harits bin Shimah, Haram bin Milhan, Urwah bin Asma, Nafi’ bin Budail bin Warqa, Amir bin Fuhairah; mantan budak Abu Bakar Ash-Shidiq, bersama orang-orang terbaik dari kalangan muslimin terpilih. Mereka melakukan perjalanan sampai mereka beristirahat di Bi’r (sumur) Ma‘unah, yang terletak di antara tanah milik Bani Amir dan tanah berbatu hitam milik Bani Sulaim. Kedua kampung itu jaraknya dekat dengan sumur Ma‘unah, tetapi lebih dekat ke tana}, berbatu hitam milik Bani Sulaim.

 

Tatkala mereka beristirahat di sana, mereka mengutus Haram bin Milhan untuk memberikan surat dari Rasulullah kepada musuh Allah, Amir bin Thufail Tatkala Haram datang menemuinya, lantas ia membunuhnya, lalu ia meminta tolong kepada Bani Amir untuk menyerang para sahabat yang diutus Rasulullah itu, tetapi Bani Amir enggan menerima ajakannya. Mereka berkata, “Kami tidak akan merusak janji kami kepada Abu Bara’, karena ia telah berjanji kepada mereka untuk melindungi mereka.” Amir bin Thufail lalu meminta tolong kepada sejumlah kabilah dari Bani Sulaim untuk menyerang rombongan sahabat Nabi, mereka pun menerima permintaannya. Mereka pun keluar dari kampungnya dan mengepung rombongan sahabat Nabi di tempat istirahat mereka. Tatkala para sahabat melihat orang-orang datang mengepung mereka, mereka langsung mengambil pedang mereka, dan berperang melawan mereka. Akhirnya, rombongan para sahabat itu semuanya mati terbunuh, tiada yang tersisa, semoga Allah menyayangi mereka; kecuali Ka‘ab bin Zaid, yang ditinggalkan oleh para pengepung ketika ia masih tersengal-sengal. Ia terluka dan dibawa pergi dari tempat itu, di antara jasad korban yang terbunuh. Ia hidup hingga akhirnya terbunuh sebagai syuhada pada Perang Khandaq, semoga Allah menyayanginya.

 

Tidak jauh dari tempat itu Amru bin Umayah Adh-Dhamri dan seorang lelaki Anshar, yakni seorang dari Bani Amru bin Auf’ berada. Tiada yang memberitahu mereka berdua akan musibah yang menimpa rombongan sahabat Nabi itu kecuali seekor burung yang terbang mengitari pasukan yang sedang berperang itu, lalu keduanya berucap, “Demi Allah, burung ini hendak menyampaikan sesuatu” Keduanya datang ke tempat terjadinya pertempuran, untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata mereka mendapati para sahabat yang diutus Nabi sudah berlumuran darah, sedangkan pasukan kavaleri yang menyerang mereka berhenti.

 

Orang Anshar itu berkata kepada Amru bin Umayah, “Apa pendapatmu?” Amru berkata, “Aku berpendapat bahwa kami harus pergi menemui Rasulullah dan memberitahu beliau berita mengerikan ini.”

 

Orang Anshar itu berkata, “Aku tidak berminat lagi menyelamatkan nyawaku dari tempat pertempuran yang Mundzir bin Amru terbunuh di sana. Aku tidak merasa perlu kamu memberitahuku tentang orang-orang itu!” Kemudian orang Anshar ini berperang melawan sekian banyak orang dari Bani Sulaim, sampai ia terbunuh.

 

Mereka menangkap Amru bin Umayah sebagai tawanan. Tatkala Amru memberitahu mereka bahwa dirinya berasal dari kabilah Mudhar, Amir bin Thufail membebaskannya dan memotong jambul rambutnya. Amir bin Thufail juga memerdekakan budak perempuan, karena ia mengklaim bahwa budak perempuan itu termasuk kabilah ibunya. Amru bin Umayah segera meninggalkan tempat itu hingga ketika ia sampai di Qarqarah,’ di bagian depan Qanat,’ dua orang pria dari Bani Amir datang menghampirinya dan mengajaknya beristirahat di sebuah tempat yang teduh.

 

Dua orang dari kabilah Amiriah (Bani Amir) membawa surat perjanjian dan perlindungan, tetapi Amru bin Umayah tidak mengetahuinya. Amru bertanya kepada mereka berdua ketika keduanya beristirahat, “Dari kabilah manakah kalian berdua?” Keduanya menjawab, “Dari Bani Amir.” Amru memberi tempo kepada keduanya, sampai ketika mereka berdua tertidur, Amru membunuh keduanya. Amru memandang bahwa tindakannya untuk menuntut balas atas Bani Amir, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap para sahabat Rasulullah.

 

Tatkala Amru bin Umayah datang menemui Rasulullah dan memberitahukan kepada beliau apa saja yang sudah terjadi. Rasul bersabda, “Sungguh, kamu telah membunuh dua orang korban, aku akan membayar diat untuk keduanya!”

 

Lalu Rasulullah bersabda, “Ini akibat perbuatan Abu Bara’ Aku sejak awal tidak suka dan mengkhawatirkan terjadinya hal ini!”

 

Berita itu sampai kepada Abu Bara. Ia merasa sedih terhadap pengingkaran janji yang dilakukan Amir terhadap dirinya, serta terbunuhnya para sahabat Rasulullah, disebabkan oleh dirinya dan perlindungannya.

 

Salah seorang yang terbunuh pada peristiwa itu adalah Amir bin Fuhairah.

 

Dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, bahwasanya Amir bin Thufail berkata, “Siapakah yang terbunuh di antara mereka, aku melihatnya berada di antara langit dan bumi, sampai kulihat langit berada di bawahnya?” Mereka menjawab, “la adalah Amir bin Fuhairah.”

 

Pengusiran Bani Nadhir

 

Selanjutnya, Rasulullah berangkat menuju perkampungan Bani Nadhir, untuk meminta tolong terkait urusan diat dua orang yang terbunuh dari Bani Amir, yakni dua orang yang dibunuh oleh Amru bin Umayah Adh-Dhamri; karena adanya perlindungan yang diikat perjanjiannya oleh Rasulullah untuk mereka berdua, Di antara Bani Nadhir dan Bani Amir terdapat perjanjian dan akta persekutuan. Tatkala Rasulullah datang ke kampung Bani Nadhir, untuk meminta tolong mereka dalam pembayaran diat itu, mereka berkata, “Ya, wahai Abul Qasim. Kami akan membantumu sesuai yang kau inginkan dan kau minta dari kami.’

 

Kemudian sebagian dari mereka menyepi dengan sebagian yang lain, lantas mereka berkata, “Kalian tidak akan mendapati seorang lelaki yang keadaannya seperti keadaan orang ini -saat itu Rasulullah sedang duduk di sebelah dinding dari rumah mereka-, siapakah pria yang mau naik ke atas rumah ini lalu melemparkan sebongkah batu besar pada tubuh Muhammad sehingga kami bisa berlepas diri darinya!” Amru bin Jahasy bin Ka‘ab, salah seorang dari mereka, menyanggupi tawaran itu. Ia berucap, “Aku yang akan melakukannya.” Ia naik ke atas rumah untuk melémparkan batu besar terhadap Rasulullah. Pada waktu itu, Rasulullah sedang bersama sejumlah sahabat beliau, di antaranya Abu Bakar, Umar, dan Ali, semoga Allah meridhai mereka.

 

Datang kepada Rasulullah berita dari langit yang menginformasikan apa yang hendak dilakukan kaum itu. Beliau segera bangkit berdiri dan pulang kembali ke Madinah. Tatkala para sahabat Nabi terlambat mengikuti beliau, mereka segera bangkit mencari beliau. Mereka bertemu dengan seorang pria yang baru saja keluar dari kota Madinah, lantas mereka menanyainya tentang Nabi. Pria itu menjawab, “Aku melihat beliau masuk kota Madinah” Para sahabat bergegas menemui Rasulullah hingga mereka sampai di hadapan beliau, lantas beliau memberitahu mereka apa yang akan dilakukan orang-orang Yahudi, yang hendak melakukan pengkhianatan terhadap beliau.

 

Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk bersiap guna memerangi mereka dan menyerang mereka. Tak lama kemudian Nabi berangkat bersama sahabat-sahabat beliau hingga sampai ke perkampungan Yahudi.

 

Kaum Yahudi berlindung di dalam benteng-benteng mereka. Rasulullah memerintahkan untuk menebang pohon kurma dan membakarnya. Kaum Yahudi berteriak keras. “Hai Muhammad, kamu dulu melarang tindakan perusakan dan mencerca siapa saja yang melakukannya! Mengapa sekarang kamu justru memerintahkan itu semua!”

 

Sejumlah orang dari Bani Auf bin Khazraj. Mereka di antaranya, Abdullah bin Ubay bin Salul, Wadi‘ah, Malik bin Abi Qauqal, Suwaid, dan Da‘is. Mereka mengirim utusan kepada Bani Nadhir dengan pesan, “Tetap teguhlah kalian dan berlindunglah. Kami tidak akan menyerahkan kalian kepada musuh. Jika kalian diperangi maka kami akan berperang bersama kalian. Jika kalian diusir maka kami akan ikut keluar bersama kalian.” Karena itulah Bani Nadhir menunggu pertolongan Bani Auf, tetapi ternyata mereka tidak melakukannya.

 

Allah mencampakkan rasa takut ke dalam hati mereka. Selanjutnya, Bani Nadhir meminta kepada Rasulullah agar beliau mengusir mereka dan menahan diri dari memerangi mereka, dengan syarat mereka boleh membawa harta mereka yang bisa dibawa dengan unta, kecuali semua jenis senjata.

 

Rasulullah menyetujuinya. Orang-orang Yahudi membawa harta mereka yang bisa dipanggul oleh unta mereka. Seseorang dari mereka meruntuhkan rumahnya dari bagian atas pintunya, lalu meletakkannya di punggung untanya, ia pergi meninggalkan kampung halamannya. Mereka pergi menuju Khaibar. Di antara mereka ada juga yang pergi ke Syam. Para pemuka mereka yang pergi menuju Khaibar adalah Salam bin Abil Huqaiq, Kinanah bin Rabi‘ bin Abil Huqaigq, dan Huyay bin Akhthab. Tatkala mereka tinggal di Khaibar, para penduduknya mendekati mereka.

 

Abdullah bin Abu Bakar bercerita:

 

“Bahwasanya ia mendapatkan cerita bahwa mereka berpindah tempat dengan mengajak kaum wanita, anak-anak, dan membawa serta harta mereka. Mereka juga membawa rebana dan seruling, lengkap dengan budak penyanyi wanita yang bernyanyi di belakang mereka. Di antara mereka ada Ummu Amru, budak perempuan Urwah bin Ward Al-Absi yang mereka beli darinya.’ Mereka berlalu dengan kesombongan dan kecongkakan yang belum pernah terlihat bandingannya pada komunitas lain di zaman itu.”

 

Mereka membiarkan harta menjadi milik Rasulullah,

 

Berkenaan dengan Bani Nadhir, dalam awal Surah Al-Hasyr disebutkan apa yang ditimpakan Allah terhadap Bani Nadhir, berupa siksa-Nya serta penguasaan terhadap mereka yang Allah berikan kepada Rasulullah, dan apa saja tindakan yang beliau lakukan terhadap mereka. Allah berfirman:

 

“Dialah yang mengusir orang-orang kafir dari kalangan ahlukitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran yang pertama. Kalian tidak menyangka mereka akan keluar. Mereka menyangka bahwa benteng mereka akan melindung; mereka dari Allah. Kemudian Allah mendatangkan kepada mereka dari arah yang mereka tidak menyangkanya. Allah mencampakkan ke dalam hati mereka rasa takut. Mereka meruntuhkan rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan juga dengan tangan orang-orang beriman.” (Al-Hasyr [59]: 2)

 

Itu karena tindakan mereka meruntuhkan rumah mereka dari palang pintu bagian atas ketika mereka membawanya pergi.

 

“Maka kalian ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki pengetahuan. Kalaulah Allah tidak menetapkan pengusiran terhadap mereka.” Dan itu bagi mereka merupakan siksa dari Allah,

 

“Niscaya Allah pasti menyiksa mereka di dunia.” yakni dengan pedang “Dan untuk mereka di akhirat siksa neraka.” (Al-Hasyr [59]: 2-3) bersama itu.

 

“Tidaklah kalian menebang batang pohon kurma atau kalian membiarkannya tegak atas pokoknya,” al-linah adalah batang pohon kurma yang berbeda dengan ajwah (kurma yang terbungkus)

 

“Maka dengan izin Allah,” maksudnya dengan perintah Allah batang kurma itu ditebang, bukan merupakan bentuk perusakan, tetapi itu adalah siksa dari Allah,

 

“Dan untuk menghinakan orang-orang fasik. Harta fai’ yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari mereka.’ (Al-Hasyr [59]: 5) yakni dari Bani Nadhir.

 

“Maka untuk mendapatkannya kamu tidak perlu mengerahkan pasukan berkuda atau pasukan berkendara unta, tetapi Allah menguasakannya pada para rasul-Nya atas siapa saja yang la kehendaki, dan Allah itu Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta fai’ yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari penduduk negeri, itu milik Allah dan milik Rasul-Nya.” ( Al-Hasyr (59): 6-7)

 

Ibnu Ishaq berkata, “Apa saja yang kaum muslim kerahkan berupa pasukan berkuda dan pasukan berkendara unta padanya, dan dibebaskan dengan perang secara paksa maka hasilnya adalah milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang yang memiliki hubungan kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), agar harta itu tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya di antara kalian. Apa saja yang diperintahkan Rasulullah maka laksanakanlah. Apa saja yang beliau melarangnya maka berhentilah.’ (Al-Hasyr [59]: 7).”

 

Ia berkata, “Ini adalah contoh lain yang diakibatkan peperangan antara kaum muslim, berdasarkan aturan yang Allah tetapkan.”

 

Kemudian Allah berfirman:

 

“Tidakkah kamu melihat kepada orang-orang yang munafik,’ yakni Abdullah bin Ubay dan teman-temannya, serta orang yang keadaannnya seperti mereka, “Mereka berkata kepada teman-teman mereka dari kalangan orang-orang kafir ahlukitab,” yakni Bani Nadhir. Sampai firman Allah, “Seperti permisalan orang-orang sebelum kalian yang dekat masanya, mereka merasakan akibat tindakan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih,” yakni Bani Qainuga. Kemudian diteruskanlah kisah ini sampai firman-Nya, “Sebagaimana setan tatkala ia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah! Tatkala manusia itu kafir setan pun berkata, Aku berlepas diri darimu, aku benar-benar takut kepada Allah Tuhan semesta alam. Kemudian akibat keduanya, mereka berdua berada di dalam neraka, keduanya kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang-orang yang zalim.” (Al-Hasyr [69]: 11-17)

 

Ghazwah Dzatur Riqa‘

 

Rasulullah tinggal di Madinah sesudah Perang Bani Nadhir pada bulan Rabiuts Tsani dan sebagian dari dua bulan Jumad. Kemudian beliau berperang melawan Nejed, dengan sasaran Bani Muharib dan Bani Tsa‘labah dari Ghathafan, Beliau mengangkat Abu Dzar Al-Ghifari sebagai pengganti beliau memimpin Madinah sementara, sampai beliau beristirahat di Nakhel,'” dan terjadilah Perang Dzatur Riga.” Di sana kaum muslim bertemu sejumlah besar orang-orang Ghathafan. Kedua belah pihak saling mendekat, tetapi belum terjadi perang di antara mereka. Orang-orang itu sebagian terhadap sebagian yang lain merasa takut hingga Rasulullah mengerjakan shalat Khauf bersama kaum muslim. Kemudian orang-orang itu bubar meninggalkan tempat.

 

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata:

 

Aku berangkat bersama Rasulullah menuju Perang Dzatur Riqa’ di Nakhel, dengan mengendarai unta yang lemah. Tatkala Rasulullah pulang, Jabir berkata, “Teman-teman sudah berjalan, tetapi aku tertinggal, sampai Rasulullah menjumpaiku.” Beliau bertanya, “Ada apa dengan dirimu, hai Jabir?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, untaku ini berjalan lambat.” Rasulullah bertitah, “Derumkanlah ia!’ Aku pun menderumkan untaku. Rasulullah juga menderumkan unta beliau. Kemudian Rasulullah bersabda, “Berikan kepadaku tongkat yang kau pegang itu, atau potonglah ranting pohon untuk dijadikan tongkat untukku.” Aku melaksanakan apa yang diperintahkan Rasul.

 

Jabir meneruskan kisahnya, “Rasulullah memegang tongkat kayu itu lantas beliau memukul untaku beberapa kali, lalu beliau bersabda, “Naikilah unta ini? Aku pun menaikinya, lalu beliau berangkat. Demi Dzat yang mengutus beliau dengan kebenaran. Beliau telah menyuruh unta itu berjalan dengan cepat.

 

Aku berbincang-bincang dengan Rasulullah, lalu beliau bersabda kepadaku,

 

Jabir, maukah kamu menjual untamu ini kepadaku?? Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, kuhadiahkan saja unta ini kepadamu’ Nabi bersabda, ‘Tidak, jual saja kepadaku. Kukatakan, ‘Sebutlah harganya, wahai Rasulullah’ Rasul bersabda, ‘Aku membelinya satu dirham? Jabir berkata, ‘Tidak, kalau begitu. Engkau membuatku rugi, wahai Rasulullah!’ Rasul bersabda, ‘Kalau begitu kubeli dua dirham?’ Aku berkata, ‘Tidak’ Rasulullah terus menaikkan harga unta itu kepadaku hingga harganya mencapai satu uqiah (1 ons emas, atau sekitar 2 dinar), Aku berucap, ‘Apakah engkau ridha dengan harga satu uqiah, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Ya? Aku berkata, ‘Sekarang, unta ini menjadi milikmu’ Nabi menjawab, ‘Ya, aku sudah menerimanya’”

 

Rasullah bersabda, “Hai Jabir, apakah kamu sudah menikah?” Aku menjawab, “ya, sudah, wahai Rasulullah” Rasul bertanya, “Dengan janda atau dengan gadis?” Aku menjawab, “Tidak, tetapi dengan janda.” Rasulullah bersabda, “Mengapa tidak dengan gadis, kalian bisa saling menyenangkan diri kalian masing-masing.” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh bapakku terbunuh pada Perang Uhud, ia meninggalkan tujuh anak perempuan, sehingga lebih baik aku menikah dengan seorang perempuan berpengalaman, yang mampu menghimpun keinginan akal mereka, dan mampu mengurusi mereka.” Rasul berkomentar, “Engkau benar, insya Allah. Ketahuilah, jika kami nanti sampai di Shirar, kami akan menyembelih unta. Kami akan menetap di sana sehari.” Istriku mendengar percakapan kami, lalu ja mengibaskan bantal supaya hilang debunya. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak punya bantal.” Rasulullah menjawab, “Nanti akan ada bantal. Jika kamu sampai di tempat itu maka lakukanlah tindakan yang cerdas.”

 

Setibanya di Shirar, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menyembelih unta. Kami tinggal di sana selama sehari. Tatkala memasuki waktu petang, Rasulullah masuk ke kemah dan kami (Jabir dan istrinya) pun masuk ke kemah. Aku menceritakan kejadian yang kualami kepada istriku. Rasulullah tidak berkata apa pun kepadaku. Istriku berkata, “Kepadamu, aku siap mendengar dan menaati.”

 

Esok paginya, aku memegang kendali unta (yang sudah dijual kepada Rasulullah Pen), lalu aku membawanya sampai kuderumkan di depan pintu kemah Rasulullah. Kemudian aku duduk di masjid, dekat kemah beliau. Rasulullah keluar, lalu beliau melihat unta itu. Beliau bertanya, “Apa ini?” Orang-orang menjawab, “Wahai Rasulullah, ini adalah unta yang dibawa oleh Jabir” Rasul bertanya lagi, “Di manakah Jabir?” Lalu aku dipanggil untuk menemui Nabi. Beliau bersabda, “Hai keponakanku, ambillah kembali untamu ini, karena ini milikmu!” Kemudian Nabi memanggil Bilal dan berkata kepadanya, “Pergilah kamu bersama Jabir, lalu berilah ia uang sebanyak satu uqiah. Aku pergi bersama Bilal, lalu Bilal memberiku satu ugiah dan ia menambahkannya sedikit.”” Demi Allah, uang ity terus bertambah banyak di sisiku (karena digunakan untuk berniaga), dilihat dari kondisi rumahku, sampai aku tertimpa musibah kemarin, pada musibah yang menimpa kami semuanya, yakni pada Hari Harrah (hari diserbunya kota Madinah oleh pasukan Bani Umayah pada masa kekhalifahan Yazid-).

 

Jabir juga berujar:

 

“Kami keluar meninggalkan Madinah pada Perang Dzatur Riqa‘ dari Nakhel, Seorang lelaki berzina dengan seorang perempuan yang menjadi istri seseorang darj kalangan musyrik. Tatkala Rasulullah meninggalkan tempat itu hendak pulang, suami dari perempuan tersebut, datang sebelumnya tidak ada di rumah. Tatkala ia diberitahu peristiwa perzinaan istrinya itu ia bersumpah bahwa dirinya tidak akan berhenti sampai ia dapat membunuh sahabat Muhammad. Ia pun berangkat mengejar Rasulullah.

 

Rasulullah beristirahat di suatu tempat, lalu beliau bersabda, ‘Siapakah orang yang akan berjaga melindungi kami malam ini?’ Seorang pria dari kalangan Muhajir dan seorang pria lainnya dari kalangan Anshar menyanggupi tawaran Rasulullah ini. Keduanya berkata, ‘Kami, wahai Rasulullah’? Rasulullah bertitah, ‘Kalian berdua berjaga di mulut jalan lereng gunung ini.

 

Tatkala kedua orang itu keluar di mulut jalan lereng gunung, si lelaki Anshar berkata kepada orang muhajir, “Malam ini, kapan waktu jaga yang engkau inginkan aku menjaganya; apakah awal malam ataukah akhir malam?’ Orang Muhajir itu menjawab, ‘Kamu menjaga awal malam saja’? Lantas orang Muhajir itu tidur, sedangkan temannya orang Anshar itu mengerjakan shalat Malam.

 

Pria musyrik yang hendak membunuh muslimin itu datang. Tatkala ia melihat orang yang sedang shalat itu, ia pun dapat mengenali bahwa orang itu adalah pengintai. Lantas ia menembakkan anak panah ke arah sahabat Anshar yang sedang shalat dan berhasil mengenai tubuhnya. Orang Anshar ini mencabut anak panah itu dan tetap berdiri mengerjakan shalat. Pria musyrik tersebut menembakkan panah untuk kedua kalinya dan kembali mengenai tubuh Anshar. Ia kembali mencabutnya, membuangnya, dan tetap teguh berdiri. Si musyrik mengulangi serangan itu untuk ketiga kalinya, dan anak panahnya kembali menancap pada tubuh si Anshar. Orang Anshar itu mencabut anak panah dan meletakkannya, kemudian ia melakukan rukuk dan sujud. Lantas ia membangunkan temannya yang sedang tidur, seraya berkata, “‘Duduklah, sungguh aku terluka hingga tidak mampu bergerak lagi? Orang Muhajir segera bangun dari tidurnya dan melompat. Tatkala orang musyrik melihat mereka berdua, ia menjadi sadar bahwa kedua orang itu mengancam keselamatan nyawanya, lalu ia langsung melarikan diri.

 

Tatkala orang Muhajir melihat tubuh temannya tersebut berlumuran darah, ja berucap, ‘Subhanallah, mengapa kamu tidak membangunkanku, sejak pertama kali tubuhmu terkena anak panah?’ Orang Anshar itu menjawab, ‘Aku sedang membaca surah dari Al-Quran, aku tidak senang memutus bacaanku itu sampai aku menyelesaikannya. Tatkala orang itu memanahku lagi secara berturut-turut, aku pun rukuk dan memberitahumu. Demi Allah, kalaulah aku tidak khawatir mengkhianati tugas berjaga yang diperintahkan Rasulullah kepadaku, niscaya aku akan mati sebelum aku sempat memutuskan atau meneruskan bacaanku.”

 

Ibnu Ishaq berujar “Tatkala Rasulullah datang ke Madinah sepulang dari Perang Riqa, beliau tinggal di kota itu pada sisa bulan Jumadal Ula, lalu bulan Jumadats Tsaniyah, dan bulan Rajab.”

 

Ghazwah Badar Terakhir pada Bulan Sya‘ban

 

Berikutnya, Rasulullah pergi meninggalkan Madinah menuju Badar pada bulan Sya‘ban, untuk memenuhi perjanjian dengan Abu Sufyan. Beliau tinggal di sana.

 

Beliau tinggal di Badar selama delapan hari delapan malam, menunggu Abu Sufyan. Abu Sufyan berangkat bersama penduduk Mekah, hingga ia beristirahat di Majanah, ‘ yang termasuk wilayah Zhahran. Kemudian Abu Sufyan memutuskan untuk pulang kembali ke Mekah. Ia berkata, “Wahai sekalian orang Quraisy, sungguh saat ini tidak tepat untuk berperang, kecuali pada tahun yang subur, sehingga kalian mendapatkan pepohonan untuk menggembalakan ternak dan dapat meminum susunya. Tahun ini tahun gersang. Aku memutuskan untuk pulang maka pulanglah kalian.”

 

Orang-orang Quraisy pulang. Warga Mekah menamai miereka jaisyus sawiq (tentara arak). Warga Mekah berkata, “Kalian bepergian hanyalah untuk meminum arak.”

 

Rasulullah tinggal di Badar menunggu Abu Sufyan untuk memenuhi perjanjiannya. Makhsyi bin Amru Adh-Dhamri yang dulu Nabi pernah menjalin perjanjian dengannya sebagai wakil Bani Dhamrah pada Perang Wadan datang menemui beliau, seraya berkata, “Wahai Muhammad, apakah kamu datang ke sini untuk bertemu orang-orang Quraisy di mata air ini?” Rasulullah menjawab, “Ya, hai saudara Bani Dhamrah. Jika kamu mau, kami bisa sekaligus membalas perbuatan yang terjadi antara kami. Kami akan memerangimu sampai Allah menetapkan hukum antara kami.” Makhsyi berkata, “Tidak, wahai Muhammad, kami tidak ada perlu denganmu.”

 

Rasulullah tetap tinggal di Badar, menunggu Abu Sufyan. Ma‘bad bin Aby Ma’bas Al-Khuza‘i melewati beliau. Melihat Rasulullah berjalan cepat dengan untanya ke arahnya, ia bersyair:

 

Sungguh ia lari dari dua teman Muhammad

Dan buah kurma dari Yastrib, layaknya anggur kering berwarna hitam

Ingin menuju agama bapaknya, agama terdahulu

Ia menjadikan mata air Qudaid sebagai tempat perjanjian

Sedang mata air Dhajnan pada esok harinya

 

Waktu itu Abdullah bin Rawahah bersyair:

 

Abu Sufyan menjanjikan kepada kami Badar, tetapi kami tidak mendapati…

Kejujuran dalam janjinya, dan tidaklah ia menepati janji

Maka aku bersumpah, andaikan ia menepati janji kepada kami lalu menemui kami…

Niscaya kamu pulang dalam keadaan tercela dan kau kehilangan sekutu Kami tinggalkan dengannya sendi-sendi tubuh Utbah dan anaknya…

Dan Amru Abu Jahal kami tinggalkan ia bermukim

Kalian memaksiati Rasulullah, cis untuk agama kalian…

Urusan kalian buruk lagi menyimpang

Aku, walau kalian mencelaku, aku tetap berbicara…

Sebagai tebusan untuk Rasulullah, keluarga, dan hartaku

 

Kami taat kepada beliau dan kami tak menganggap beliau sebanding dengan selain beliau… Layaknya bintang bercahaya bagi kami di kegelapan malam sebagai pemberi petunjuk

 

Peristiwa Tahun Kelima Hijriah

 

Ghazwah Daumatul Jandal pada Bulan Rabiul Awal

 

Kemudian Rasulullah pulang ke Madinah, beliau tinggal di sana selama sebulan, hingga selesainya bulan Dzulhijah. Haji pada tahun ini masih diurusi oleh orang-orang musyrik, dan ini merupakan tahun keempat dari kedatangan Rasulullah di Madinah. Selanjutnya, Rasulullah berperang di Daumatul Jandal, namun beliau pulang sebelum sampai di sana, dan beliau tidak bertempur sama sekali. Beliau tinggal di Madinah sampai akhir tahun itu (5 H.)

 

Ghazwah Khandaq pada Bulan Syawal

 

Berikutnya, terjadilah Perang Khandaq pada bulan Syawal tahun 5 Hijriah. Salah satu penyebab terjadinya Perang Khandaq adalah sekelompok orang Yahudi, mereka di antaranya, Salam bin Abil Huqaiq An-Nadhari, Huyay bin Akhthab An-Nadhari, Kinanah bin Rabi‘ bin Abil Huqaiq An-Nadhari, Haudzah bin Qais Al-Waili, Abu Ammar Al-Waili, bersama sejumlah orang dari kalangan Bani Nadhir dan beberapa orang dari Bani Wail dan merekalah yang membentuk pasukan aliansi melawan Rasulullah, mereka melakukan perjalanan sampai tiba di Mekah dan bertemu kaum Quraisy. Mereka mengajak Quraisy untuk memerangi Rasulullah.

 

Mereka berkata, “Kami akan bersama kalian untuk memeranginya, kami akan membasmi mereka sampai ke akar-akarnya.” Quraisy berkata kepada mereka, “Hai orang-orang Yahudi, sungguh kalian adalah pemilik kitab yang awal dan kalian mengetahui tentang apa yang telah kami jalani. Kami berselisih dengan Muhammad dalam soal itu. Apakah agama kami lebih baik ataukah agama Muhammad yang lebih baik?” Orang-orang Yahudi itu menjawab, “Agama kalian lebih baik daripada agamanya. Kalian lebih berhak mendapatkan kebenaran darinya.”

 

Mereka itulah yang menjadi pokok pembicaraan pada ayat yang Allah turunkan: “Tidakkah kamu perhatikan kepada orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab, mereka beriman kepada berhala dan taghut. Mereka berkata kepada orang-orang kafir, ‘Mereka itu dan apa yang mereka jalani lebih mendapat petunjuk daripada orang-orang yang beriman.’ Mereka orang-orang yang dilaknat Allah, Barang siapa dilaknat oleh Allah, kamu tidak akan mendapati penolong untuknya” sampai firman Allah, “Apakah mereka mendengki manusia atas karunia yang Allah anugerahkan kepada mereka,” maksudnya kenabian. “Sungguh, Kami berikan pula kepada keluarga Ibrahim kitab dan hikmah. Kami berikan pula kepada mereka kerajaan yang besar. Sebagian dari mereka ada yang beriman kepadanya dan sebagian mereka ada yang menghalanginya. Cukuplah (bagi mereka) Jahanam yang ° menyala-nyala api.” (An-Nisa [4]: 51-54)

 

Tatkala mereka mengatakan itu kepada kaum Quraisy, perkataan itu menjadikan Quraisy bergembira dan mereka bersemangat mengijabahi seruan mereka, yakni memerangi Rasulullah. Kemudian mereka berkumpul dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.

 

Lalu rombongan Yahudi itu pergi meninggalkan Mekah hingga mereka datang ke kabilah Ghathafan, lalu mereka mengajak mereka untuk memerangi Rasulullah, serta memberitahu mereka bahwa mereka siap bersama mereka, dan bahwa Quraisy pasti mengikuti mereka, sehingga berhimpunlah mereka dengan orang-orang itu dalam urusan tersebut.

 

Quraisy keluar dengan dikomandani Abu Sufyan bin Harb. Ghathafan juga keluar dengan panglima mereka, yakni Uyainah bin Hishn pada pasukan Bani Fazarah, Harits bin Auf bin Abu Haritsah Al-Murri pada Bani Murah, serta Mis‘ar bin Rukhailah dari kalangan kabilah Asyja’.

 

Tatkala Rasulullah mendengar berita pergerakan mereka, serta urusan -yang mereka sepakati itu, beliau membuat parit untuk melindungi Madinah. Rasulullah ikut menggali parit, sebagai bentuk penghasutan untuk kaum muslim dalam hal pahala, dan kaum muslim ikut bekerja bersama beliau dalam penggalian parit itu.

 

Rasul menggali parit dengan tekun, begitu pula kaum muslim melakukannya dengan tekun. Yang tidak segera ikut serta menggali bersama Rasulullah dan kaum muslim adalah sejumlah orang dari kaum munafik. Mereka menyembunyikan ketidakmauan mereka dengan alasan ketidakmampuan mereka untuk bekerja, lalu mereka menyelinap kepada keluarga mereka tanpa diketahui oleh Rasulullah dan tanpa izin beliau.

 

Setiap orang dari kaum muslim, apabila mempunyai keperluan yang tidak dapat ditinggalkan, ia pasti mengatakan hal itu kepada Rasulullah dan meminta jzin dari beliau untuk menyelesaikan keperluannya terlebih dahulu. Lalu Rasulullah mengizinkannya. Ketika ia sudah menyelesaikan keperluannya, ia kembali bekerja menggali parit, karena keinginannya untuk mendapatkan kebaikan dan pahala.

 

Allah menurunkan ayat tentang orang-orang yang beriman: “Orang-orang beriman adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika mereka sedang mengerjakan urusan bersama, mereka tidak pergi sampai mereka meminta izin kepada beliau. Orang-orang yang meminta izin adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila mereka meminta izin kepadamu untuk sebagian urusan mereka, izinkanlah orang yang kau kehendaki dari mereka, dan mohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nir [24]: 62)

 

Ayat ini turun berkenaan dengan orang dari kalangan muslimin, yakni dari kalangan mereka yang mengharapkan pahala dan sangat ingin kepada kebaikan, serta taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya.

 

Kemudian Allah berfirman, terkait orang-orang munafik yang menyelinap dari pekerjaan itu, lantas mereka pergi tanpa meminta izin dari Nabi:

 

“Janganlah kalian menjadikan panggilan Rasul di antara kalian itu sebagaimana panggilan sebagian kalian kepada yang lainnya. Sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang menyelinap dari kalian dengan cara menutupi diri dengan sesuatu ketika melarikan diri. Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya itu takut bahwa mereka akan tertimpa fitnah atau siksa yang pedih.” (an-Nur [24]: 63)

 

Ibnu Hisyam berkata, “Al-liwadz adalah menyembunyikan diri dengan sesuaty ketika melarikan diri”

 

“Ketahuilah, sungguh milik Allah apa yang ada dilangit dan apa yangada di bumj. Sungguh Ia mengetahui apa yang kalian jalani,” berupa kejujuran atau kedustaan, “Dan pada hari kalian dikembalikan kepada-Nya lantas la memberitahukan kepada mereka apa yang mereka kerjakan. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (An-Nir [24]: 64)

 

Tatkala Rasulullah selesai menggali parit, pasukan Quraisy datang. Mereka beristirahat di Mujtama‘ Al-Asyal, wilayah Rumah, di antara Juruf dan Rughabah, dengan kekuatan personel sebanyak sepuluh ribu; dari kalangan orang-orang Habasyah teman mereka dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Bani Kinanah dan penduduk Tihamah.

 

Ghathafan dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan penduduk Nejed datang, lalu mereka beristirahat di Dzanbu Naqama menuju ke samping Gunung Uhud. Rasulullah keluar bersama kaum muslim, sampai mereka berhenti dengan Gunung Sila’ di belakang mereka, jumlah mereka adalah tiga ribu personel. Di sanalah Nabi menempatkan tentara militer beliau, sedang parit terhampar di antara beliau dengan musuh. Nabi memerintahkan anak-anak dan kaum wanita berlindung di benteng-benteng.

 

Musuh Allah, Huyay bin Akhthab An-Nadhari muncul, ia menghadap Ka‘ab bin Asad Al-Qurazhi, pemimpin Bani Quraizhah dan pemegang janji mereka. Ia menjalin perjanjian damai dengan Rasulullah untuk kaumnya, berjanji kepada beliau dan mengikat akta perjanjian dengan beliau. Tatkala Ka‘ab mendengar kedatangan Huyay bin Akhthab, ia segera mengunci pintu bentengnya. Huyay meminta izin kepadanya, tetapi ia tidak mau membukakan pintu untuk Huyay.

 

Huyay memanggilnya, “Celaka kamu, hai Ka‘ab! Bukakan pintu untukku!”

 

Ka‘ab menjawab balik, “Celaka kamu, hai Huyay. Sungguh, kamu adalah orang yang sial. Aku sudah mengikat perjanjian damai dengan Muhammad. Aku tidak akan merusak perjanjianku dengannya! Aku juga tidak melihat pada dirinya kecuali pasti berkomitmen memenuhi janji dan jujur.”

 

Huyay berkata, “Celaka kamu! Bukakan pintu, aku ingin bicara kepadamu?” Ka‘ab menjawab, “Aku tidak akan melakukannya.’

 

Huyay berkata ketus, “Demi Allah, kamu tidak menutup pintu gerbang benteng untuk menghalangiku kecuali karena khawatir bahwa aku akan ikut memakan makananmu, yakni adonan gandum yang kasar!” Kata-kata Huyay ini mampu meluluhkan Ka‘ab, sehingga ia membukakan pintu gerbang untuknya.

 

Huyay berkata, “Celaka kamu, hai Ka‘ab, Aku datang kepadamu dengan kemuliaan sepanjang masa serta lautan yang memiliki ombak menggunung tinggi. Aku datang kepadamu dengan kaum Quraisy yang beserta pemimpin dan pemukanya, aku menempatkan mereka di Mujtama‘ Asyal, wilayah Rumah. Aku juga datang dengan Bani Ghathafan beserta pemimpin dan pemukanya, kutempatkan mereka di Dzanbu Naqama, di samping Gunung Uhud. Mereka telah berjanji dan mengikat akta perjanjian denganku bahwa mereka tidak akan pergi sampai mereka membasmi habis Muhammad dan para sahabatnya””

 

Ka‘ab berkata, “Engkau datang kepadaku dengan kehinaan sepanjang masa dan awan yang tak berair karena sudah dituangkan airnya. Awan itu bergemuruh dan berkilat, tetapi tidak ada apa-apanya. Celaka kamu, hai Huyay! Biarkan aku dan apa yang kujalani, karena aku tidak melihat pada diri Muhammad, kecuali seorang yang jujur dan memenuhi janji!”

 

Huyay terus merayu Ka‘ab dan memengaruhinya dengan berbagai cara sampai Ka‘ab mau mendengarkan omongannya, serta mau memberikan perjanjian dengan nama Allah dan ikatan yang kuat, “Jika Quraisy dan Ghathafan kembali pulang, sedangkan mereka belum menyerang Muhammad maka aku akan masuk bersamamu ke bentengmu, sehingga akan menanggung pula apa yang menimpa dirimu”’

 

Ka‘ab bin Asad merusak perjanjiannya (dengan Muhammad) dan ia melepaskan dirinya dari ikatan perjanjian damai yang ada di antara dirinya dengan Rasulullah.

 

Tatkala berita itu sampai kepada Rasulullah dan kepada kaum muslim, Rasulullah mengutus Saad bin Mu‘adz bin Nu‘man yang waktu itu menjadi pemimpin Aus, serta Saad bin Ubadah bin Dailam yang pada waktu itu adalah pemimpin Khazraj. Menyertai keduanya Abdullah bin Rawahah dan Khawat bin Jubair.

 

Saad bin Ubadah berkata, “Pergilah kalian lalu perhatikanlah. Apakah benar berita yang sampai kepada kami tentang Bani Quraizhah itu ataukah tidak? Jika itu benar, sampaikan isyarat kepadaku dengan isyarat yang aku pahami, dan janganlah kalian menghinakan atau merendahkan orang lain. Jika mereka berkomitmen memenuhi janji yang ada di antara kami dan mereka, umumkanlah itu kepada publik”

 

Mereka keluar sampai memenuhi Bani Quraizhah, ternyata mereka mendapat keadaan mereka lebih buruk daripada berita yang sampai kepada kaum muslim, berupa cercaan mereka terhadap Rasulullah. Mereka berkata, “Siapa Rasulullah itu? Tidak ada perjanjian antara kami dengan Muhammad dan tidak ada akad persetujuan apa pun!”

 

Saad bin Mu‘adz mengutuk mereka dan mereka juga mengutuknya. Saad bin Mu‘adz dikenal sebagai orang yang tajam ucapannya.

 

Saad bin Ubadah berkata kepadanya, “Jangan kamu mengutuk mereka lagi, tiada keuntungan yang kami dapatkan dari saling mengutuk antara kami dengan mereka”

 

Selanjutnya, Saad bin Ubadah dan Saad bin Mu‘adz serta orang yang menyertai mereka datang menghadap Rasulullah, lalu mereka mengucapkan salam kepada beliau seraya berkata, “Adhl dan Qarah!” Maksudnya seperti pengkhianatan ‘Adhl dan Qarah terhadap korban peristiwa Raji’, yakni Khubaib dan teman-temannya.

 

Rasulullah bersabda, “Allahu akbar! Bergembiralah kalian, wahai sekalian muslim!”

 

Pada saat itu, ujian kian mengemuka dan ketakutan kian merajalela. Musuh menyerang dari atas dan dari bawah mereka, sampai orang-orang beriman menyangka dengan berbagai persangkaan. Muncullah sifat kemunafikan pada sebagian orang munafik, hingga Mu’atib bin Qusyair berkata, “Muhammad dulu menjanjikan kepada kami bahwa kami akan makan harta perbendaharaan Kisra dan Kaisar. Akan tetapi, ternyata setiap orang dari kami sekarang ini tidak dapat menjamin keamanan dirinya ketika ia hendak pergi ke tempat buang air besar.”

 

Sedemikian rupa keadaannya hingga Aus bin Qaizhi berucap, “Wahai Rasulullah, sungguh rumah kami dalam keadaan terbuka untuk diserang musuh -padahal rumahnya berada di antara rumah para pembesar kaumnya-, izinkan kami untuk keluar dari Madinah untuk pulang ke kampung halaman kami, karena kampung kami itu berada di luar kota Madinah”

 

Rasulullah tetap bertahan dan kaum musyrik juga tetap bertahan di tempat mereka selama dua puluh sekian hari, mendekati satu bulan, dalam keadaan tidak terjadi perang di antara mereka, kecuali saling serang dengan anak panah, dan pengepungan.

 

Tatkala kondisi yang dialami orang-orang kian genting, Rasulullah mengirim utusan untuk menemui Uyainah bin Hishn dan Harits bin Auf AlMurri, keduanya adalah panglima pasukan Ghathafan. Rasulullah memberi mereka sepertiga hasil buah-buahan Madinah bila keduanya mau pulang bersama pasukannya dan meninggalkan beliau serta para sahabat beliau. Lantas akan diberlakukan perjanjian damai antara beliau dengan mereka berdua, sehingga mereka menulis surat.

 

Persaksian dan ketetapan perdamaian belum terjadi, akan tetapi yang terjadi adalah tukar pikiran tentang hal itu. Tatkala Rasulullah hendak melakukan itu, beliau mengirim utusan untuk menemui Saad bin Mu‘adz dan Saad bin Ubadah. Beliau menceritakan kepada mereka berdua akan hal itu dan meminta saran dari keduanya.

 

Keduanya berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah ini merupakan perkara yang engkau ingin agar kami melaksanakannya, atau sesuatu yang diperintahkan oleh Allah kepadamu yang kami harus mengamalkannya, ataukah suatu rencana yang kau susun untuk kami?”

 

Nabi menjawab, “Itu hanyalah rencana yang kususun untuk kalian. Demi Allah, aku tidak menyusun rencana itu kecuali karena aku melihat orang-orang Arab terus menyerang kalian dengan anak panah dari satu busur panah yang sama. Mereka juga menghimpit kalian dari segala arah. Aku ingin menghilangkan satu duri kalian agar berpindah ke urusan yang lainnya.”

 

Saad bin Mu‘adz berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sungguh kami dan mereka dulu adalah suatu kaum yang hidup di atas kemusyrikan kepada Allah dan penyembahan kepada berhala. Kami tidak menyembah Allah dan tidak mengenalNya, sedang mereka tidak mau makan sebutir kurma pun, kecuali berupa jaminan atau dagangan. Apakah ketika Allah telah memuliakan kami dengan Islam, memberi petunjuk kami kepadanya, dan memuliakan kami denganmu dan Islam, kami akan memberikan kepada mereka harta kami. Demi Allah, kami tidak perlu melakukan itu. Kami tidak akan memberi mereka kecuali pedang, sampai Allah menetapkan hukum di antara kami dengan mereka.”

 

Rasulullah bersabda, “Ya, terserah engkau, kalau begitu.” Saad bin Mu‘ad menerima piagam perjanjian itu lalu ia menghapus tulisan yang ada pada piagam itu, seraya berkata, “Supaya mereka bersungguh-sungguh melawan kami”

 

Rasulullah dan kaum muslim tetap bertahan, demikian juga musuh mereka tetap bertahan melakukan pengepungan. Tidak terjadi satu pertempuran pun di antara mereka, kecuali ada sejumlah penunggang kuda handal dari kalangan Quraisy, di antaranya Amru bin Abdu Wudd, Ikrimah bin Abu Jahal, Hubairah bin Abu Wahab Al-Makhzumi, Dharar bin Khathab sang penyair yang bersiap-siap untuk melakukan serangan, kemudian mereka keluar dari kesatuan pasukan kavaleri mereka.

 

Tatkala melewati posisi pasukan Bani Kinanah, lantas mereka berteriak, “Bersiaplah kalian untuk perang, hai Bani Kinanah. Kalian akan mengetahui siapakah pasukan penunggang kuda yang menang hari ini.”

 

Kemudian mereka datang menyerang dengan cepat, sampai mereka berhenti di dekat parit. Tatkala melihat parit itu, mereka berkata, “Demi Allah, ini adalah rekadaya yang belum pernah dikerjakan oleh orang Arab!”’

 

Kemudian mereka menuju ke tempat yang sempit dari parit itu, lantas pasukan kavaleri mereka menyerang dan terjun ke dalamnya, berkeliling di tanah berair di antara parit dan Gunung Sila’ Ali bin Abu Thalib muncul bersama sejumlah orang dari kalangan muslim. Mereka menyerang pasukan kavaleri musuh melalui lubang, sehingga menyebabkan mereka terjun ke parit. Lantas pasukan kavaleri lainnya menghadang dan menyerang mereka.

 

Amru bin Abdu Wudd dahulu ikut berperang pada Perang Badar, sehingga ia mengalami luka yang cukup parah. Ia pun tidak ikut serta pada Perang Uhud. Tatkala Perang Khandagq, ia ikut berangkat dengan mengenakan tanda perang pada tubuhnya, agar dilihat sepak terjangnya. Tatkala ia bersama kudanya berhenti, ia berteriak, “Siapa yang mau berduel denganku?” Lantas Ali bin Abu Thalib melayani tantangan duelnya.

 

Ali berkata kepadanya, “Hai Amru, kamu telah berjanji kepada Allah bahwa tiada seorang pun dari kalangan Quraisy yang mengajakmu untuk memilih salah satu dari dua opsi, kecuali kamu pasti memilih salah satunya” Amru menjawab, “Ya!”

 

Ali berkata, “Aku mengajakmu kepada Allah, Rasulullah, dan Islam.” Amru berkata, “Aku tidak memerlukan itu.”

 

Ali berkata, “Aku menantangmu berduel” Ia bertanya, “Mengapa, wahai keponakanku? Demi Allah aku tidak tega membunuhmu.’ Ali berkata, “Akan tetapi, demi Allah, aku tega membunuhmu!”

 

Pada saat itulah Amru terbangkit kemarahannya, lantas ia menjatuhkan diri dari kudanya. Ia menyembelih kudanya dan menghantam wajahnya. Kemudian Amru menghadap ke arah Ali. Lantas keduanya berduel dan berkeliling ke berbagai tempat. Akhirnya, Ali berhasil membunuhnya.

 

Pasukan kavaleri musuh keluar dari parit dengan kekalahan, sehingga mereka berusaha keluar dari parit untuk melarikan diri.

 

Ikrimah bin Abu Jahal mencampakkan tombaknya, sedang ia merasa kalah karena kematian Amru. Hasan bin Tsabit bersajak tentang peristiwa ini: .

 

Ia lari dan mencampakkan tombaknya kepada kami

Barangkali kamu, hai Ikrim, tidak melakukannya

Dan kamu berpaling melarikan diri sebagaimana larinya burung unta jantan

Ketika ia menyimpang dari jalan

Dan tidak membengkokkan punggungmu dengan senang hati

Seolah-olah tengkukmu adalah tengkuk anjing hutan kecil

Semboyan para sahabat Rasulullah pada Perang Khandaq dan Perang Bani Quraizhah adalah, “Ha mim, mereka tidak tertolong!”

 

Rasulullah bertahan bersama para sahabat beliau dalam keadaan yang digambarkan oleh Allah, yakni ketakutan dan kepayahan, karena musuh mereka saling membantu untuk memerangi mereka, serta serangan yang dilancarkan baik dari atas maupun dari bawah mereka.

 

Selanjutnya, Nu‘aim bin Mas‘ud datang menemui Rasulullah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku sudah masuk Islam, sedang kaumku belum mengetahui keislamanku. Perintahlah aku sekehendakmu!” Rasulullah bersabda, “Engkau di tengah kami hanyalah seorang lelaki saja maka masuklah kamu ke tengah musuh sampai sebagian mereka menelantarkan sebagian yang lainnya, jika kamu mampu melakukannya, karena perang adalah tipu muslihat.”

 

Nu‘aim bin Mas‘ud berangkat, hingga ia datang kepada Bani Quraizhah, karena ia adalah sahabat mereka pada masa Jahiliah. Nu‘aim berkata, “Hai Bani Quraizhah, sungguh kalian telah mengetahui cintaku kepada kalian, khususnya hubungan antara diriku dengan kalian” Mereka menjawab, “Kamu berkata benar. Bagi kami, kamu bukanlah orang yang tertuduh berzina!”

 

Nu‘aim berkata kepada mereka, “Quraisy dan Ghathafan tidaklah seperti kalian. Negeri ini adalah negeri kalian, di dalamnya ada harta kalian, anak kalian, dan wanita kalian. Kalian tidak mampu untuk berpindah dari negeri inj ke tempat yang lainnya. Quraisy dan Ghathafan sudah datang untuk memerangi Muhammad dan teman-temannya. Kalian sudah membantu mereka untuk itu. Negeri mereka, harta mereka, dan wanita mereka tidak berada di sini, sehingga mereka tidaklah seperti kalian. Jika mereka melihat ada kesempatan, mereka pasti menggunakannya. Jika tidak ada kesempatan maka mereka akan pulang ke negeri mereka dan meninggalkan kalian bertempur dengan lelaki itu (Muhammad) di negeri kalian ini. Kalian tidak akan mampu menghadapi Muhammad jika kalian hanya sendirian. Oleh karena itu, janganlah kalian berperang bersama suatu kaum sampai kalian mengambil jaminan dari mereka, dari kalangan pemuka dan orang mulia mereka, yang mereka ada di tangan kalian, sebagai bentuk kepercayaan kepada kalian jika kalian berperang bersama mereka melawan Muhammad, sampai kalian dapat melaksanakannya.”

 

Bani Quraizhah berkata kepada Nu‘aim, “Sungguh, bagus saranmu!”

 

Kemudian Nu‘aim pergi mendatangi kaum Quraisy, lalu ia berkata kepada Abu Sufyan bin Harb bersama sejumlah orang Quraisy yang menyertainya, “Sungguh, kalian sudah mengetahui kecintaanku kepada kalian dan pemisahan diriku dengan Muhammad. Telah sampai kepadaku suatu perkara yang menurutku wajib kusampaikan kepada kalian, sebagai nasihat untuk kalian maka rahasiakanlah pesan dariku.” Orang-orang Quraisy berkata, “Baik, kami laksanakan””

 

Nu‘aim berkata, “Ketahuilah bahwa orang-orang Yahudi menyesali apa yang mereka lakukan antara mereka dengan Muhammad. Mereka sudah mengirim utusan kepada Muhammad untuk menyatakan, ‘Kami menyesali tindakan kami. Oleh karena itu, apakah engkau ridha bila kami menangkap untukmu orang-orang mulia dan pemuka dari kalangan dua kabilah, Quraisy dan Ghathafan, untuk kami berikan kepada kalian, lalu engkau memenggal kepala mereka. Kami akan berperang bersamamu untuk membunuh siapa pun yang tersisa, sampai kami binasakan mereka semuanya?’

 

Muhammad pun mengirim utusan kepada mereka untuk menyampaikan pesan, ‘Ya. Jika kaum Yahudi meminta dari kalian jaminan berupa sejumlah orang di antara kalian, janganlah kalian serahkan kepada mereka satu orang pun di antara kalian.”

 

Selanjutnya, Nu‘aim pergi menemui kabilah Ghathafan, seraya berkata, “Wahai sekalian orang Ghathafan, sungguh kalian adalah asal kabilahku dan keluargaku, serta orang yang paling kucintai. Jangan sampai aku melihat kalian menuduh buruk terhadapku.” Mereka menjawab, “Engkau benar, kami tidak pernah menuduh buruk terhadap dirimu.”

 

Nu’aim berkata, “Rahasiakanlah pesan ini dariku.” Mereka menjawab, “Ya.” Kemudian Nu‘aim berkata kepada mereka sebagaimana yang ia katakan kepada Quraisy, dan ia menyampaikan ancaman kepada mereka sebagaimana ancaman yang ia paparkan kepada Quraisy.

 

Tatkala tiba malam Sabtu, dari bulan Syawal, tahun kelima, terjadilah salah satu tindakan Allah untuk Rasul-Nya, yakni Abu Sufyan bin Harb serta para pemimpin Ghathafan mengirim kepada Bani Quraizhah Ikrimah bin Abu Jahal bersama sekelompok orang Quraisy dan Ghathafan. Mereka berkata kepada mereka, “Kami tidak berada di tempat yang dapat ditinggali dengan nyaman. Kuda dan unta telah binasa, berangkatlah kalian untuk berperang supaya kami dapat menghabisi Muhammad, dan kami segera mendapatkan kelonggaran dari pertikaian yang terjadi di antara kami dengannya.”

 

Yahudi Bani Quraizhah mengirim utusan kepada Quraisy dan Ghathafan dengan pesan, “Ini hari Sabtu, yakni hari yang kami tidak bekerja sama sekali. Salah seorang di antara kami sudah terlanjur melakukan sesuatu, lalu ia tertimpa apa yang sudah kalian ketahui. Dengan ini, kami tidak akan berperang bersama kalian melawan Muhammad sampai kalian memberikan jaminan berupa sejumlah orang di antara kalian yang harus ada di tangan kami, sebagai bentuk kepercayaan kepada kami, sampai kami dapat menghabisi Muhammad. Kami khawatir jika perang mengalahkan kalian dan pertempuran menjadi berat kalian akan segera pulang ke negeri kalian dan meninggalkan kami bersama pria itu (Muhammad) dan kami di negeri kami, padahal kami tidak mampu bila menghadapi ia sendirian!”

 

Tatkala para utusan kembali kepada mereka dengan menyampaikan apa yang dikatakan oleh Bani Quraizhah, Quraisy dan Ghathafan berkata, “Demi Allah, berita yang diceritakan oleh Nu‘aim bin Mas‘ud ini benar. Kirimlah utusan kepada Bani Quraizhah dengan pesan, ‘Kami, demi Allah, tidak akan mengirimkan saty pun orang kami sebagai bantuan kepada kalian. Jika kalian hendak berperang maka berangkat dan berperanglah,”

 

Bani Quraizhah berkata ketika beberapa utusan Quraisy menyampaikan pesan itu kepada mereka, “Berita yang disampaikan oleh Nu‘aim itu benar! Orang-orang itu tidak menginginkan kecuali kalian berperang sendirian. Jika mereka melihat kesempatan, mereka akan mempergunakannya dengan sebaik-baiknya. Jika kesempatan itu tidak ada, mereka akan menarik mundur menuju negeri mereka dan membiarkan kalian berperang sendiri dengan lelaki itu (Muhammad) di negeri kalian ini. Kirimlah utusan kepada Quraisy dan Ghathafan dengan pesan, ‘Demi Allah, kami tidak akan berperang bersama kalian untuk melawan Muhammad sampai kalian memberi kami jaminan.”

 

Kaum Quraisy dan Ghathafan enggan memberi jaminan kepada Bani Quraizhah. Allah menelantarkan hubungan persekutuan antara mereka. Allah mengirimkan mereka angin kencang yang sangat dingin dalam beberapa malam. Angin itu menghancurkan periuk mereka dan mencampakkan wadah air mereka.

 

Tatkala sampai kepada Rasulullah perselisihan yang terjadi di antara pasukan aliansi, dan dicerai-beraikannya kesatuan mereka oleh’ Allah, beliau memanggil Hudzaifah bin Yaman, lalu beliau mengirimnya ke posisi musuh untuk melihat apa yang dilakukan oleh musuh pada suatu malam.

 

Dari Muhammad bin Ka‘ab Al-Qurazhi, ia berkata:

 

Seorang laki-laki dari kalangan penduduk Kufah berkata kepada Hudzaifah bin Yaman, “Wahai Abu Abdillah, bukankah kalian bertemu dengan Rasulullah dan bersahabat dengan beliau?” Hudzaifah menjawab, “Ya, wahai keponakanku.” Ja berkata, “Bagaimana tindakan yang kalian lakukan?” Hudzaifah berkata, “Demi Allah, kami berjihad.”

 

Rawi berkata, “Orang Kufah ini berkata, ‘Demi Allah, seandainya kami bertemu dengan beliau niscaya kami tidak akan membiarkan beliau berjalan di atas tanah, kami akan menggendong beliau di atas leher kami.”

 

Rawi berucap, “Hudzaifah berkata, “‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ingat ketika kami bersama Rasulullah di parit (khandaq). Rasulullah mengerjakan shalat di sebagian waktu malam, kemudian beliau menoleh ke arah kami, seraya berkata, “Siapa orang yang siap melaksanakan tugas untuk melihat dan mengawasi apa yang dilakukan pasukan kafir itu, untuk kepentingan kami, sampai ia pulang kembali (untuk menyampaikan informasi kepada muslimin), Rasulullah mensyaratkan kembalinya orang yang ditugasi itu, sungguh aku akan memohon kepada Allah agar orang yang ditugasi itu menjadi teman dekatku di Surga!”

 

Tiada seorang pun dari muslimin yang berdiri menyambut tawaran Rasul itu, karena kondisi saat itu sangat mencekam dan menakutkan, rasa lapar luar biasa mendera, dan hawanya sangat dingin menusuk tulang. Tatkala tiada seorang pun yang menyambut tawaran beliau, Rasulullah memanggilku. Aku tidak bisa tidak bangkit dan berdiri ketika beliau memanggilku. Beliau bersabda, “Hai Hudzaifah, pergilah dan masuklah kamu ke dalam pasukan musuh. Lihatlah apa yang mereka kerjakan. Jangan berbuat apa-apa sampai kamu datang kepada kami.”

 

Hudzaifah berkata, “Aku pergi dan aku masuk ke pasukan musuh, ketika angin dan tentara Allah bertindak terhadap mereka apa yang mereka lakukan. Tiada satu pun periuk yang masih tetap pada tempatnya, tiada api yang masih menyala, dan tiada kemah yang masih tegak. Abu Sufyan berkata, “Wahai sekalian orang Quraisy; hendaklah setiap orang memerhatikan siapa yang duduk di sampingnya’ Hudzaifah berkata, ‘Kupegang tangan orang yang ada di sampingku, lalu aku katakan, “Siapa kamu?” Orang itu menjawab, ‘Aku adalah fulan bin fulan.”

 

Selanjutnya, Abu Sufyan berkata, “Wahai kaum Quraisy, sungguh kalian, demi Allah, sekarang kalian tidak berada di tempat yang layak ditinggali. Pasukan kavaleri dan invanteri sudah binasa, Bani Quraizhah menyelisihi kami, sampai kepada kami berita yang tidak menyenangkan dari mereka, kami juga menghadapi angin ribut seperti yang kalian lihat, yang menjadikan tiada satu periuk pun yang dapat tegak, tiada satu api pun yang bisa dinyalakan, dan tiada satu kemah pun yang masih tegak berdiri. Pergilah, tinggalkan tempat ini, karena aku juga akan segera berangkat!”

 

Kemudian Abu Sufyan menunggangi untanya, sedang unta itu masih diikat, lalu Abu Sufyan menepuknya, lalu ia melompati tiga jengkal, demi Allah, ia tidak membuka ikatan unta itu kecuali si unta langsung berdiri. Andaikan tidak karena janjiku kepada Rasulullah, “Kamu jangan berbuat apa pun sampai kamu datang kepadaku,” kemudian aku berkehendak, niscaya aku sudah membunuh Abu Sufyan dengan panah.

 

Hudzaifah berkata, “Aku kembali kepada Rasulullah, ketika beliau berdiri, mengerjakan shalat dengan mengenakan kain berbordir milik salah seorang istri beliau. Tatkala beliau melihatku, beliau memasukkan aku ke tempat di antarg kedua kaki beliau, lantas beliau melemparkan ke tubuhku ujung kain itu, lantas beliau melakukan rukuk dan sujud, sedang aku berada di dalam kain beliau. Tatkala beliau mengucap salam, kuberitahukan kabar yang kudapatkan kepada beliau”

 

Ghathafan mengetahui apa yang dilakukan oleh kaum Quraisy, lantas mereka pun beranjak pulang ke negeri mereka.

 

Tatkala Rasulullah memasuki waktu pagi pada keesokan harinya, beliau meninggalkan parit (khandaq) dan pulang ke Madinah, begitu pula kaum muslin, Mereka meletakkan senjata.

 

Ghazwah Bani Quraizhah

 

Tatkala waktu Zhuhur tiba, Jibril datang menemui Rasulullah, dengan mengenakan serban yang terbuat dari sutra tebal, mengendarai bagal (hewan hasil kawin silang antara kuda dengan keledai) yang berpelana. Di atas pelananya terdapat potongan kain sutra. Jibril berkata, “Apakah engkau sudah meletakkan senjatamu, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Ya.” Jibril berkata, “Para malaikat belum meletakkan senjata sekarang ini. Aku tidak pulang sekarang ini kecuali karena mengejar suatu kaum. Allah memerintahkan kepadamu, wahai Muhammad, untuk melakukan perjalanan perang menuju perkampungan Bani Quraizhah. Aku juga akan berangkat kepada mereka dan mengguncangkan mereka.”

 

Rasulullah segera memerintahkan muadzin untuk mengumumkan kepada publik, “Siapa saja yang mau mendengar dan taat, janganlah ia mengerjakan shalat Asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”

 

Rasulullah memerintahkan Ali bin Abu Thalib untuk maju ke depan, memimpin, dengan membawa panji beliau, menuju Bani Quraizhah dan orang-orang segera mengikutinya. Ali bin Abu Thalib sampai ketika ia mendekati benteng-benteng Yahudi, ia mendengar omongan buruk tentang Rasulullah.

 

Ia kembali pulang hingga bertemu Rasulullah di jalan, lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh, jangan sampai engkau kami dekatkan dengan orang-orang buruk itu.”

 

Rasulullah bertanya, “Mengapa? Aku menyangka kamu mendengar dari mereka sesuatu omongan yang menyakitiku.” Ali menjawab, “Ya, wahai Rasulullah”

 

Rasulullah bersabda, “Andaikan mereka melihatku niscaya mereka tidak akan mengucapkan omongan itu sedikit pun”

 

Tatkala Rasulullah mendekati benteng mereka, beliau bersabda, “Hai saudara-saudara kera! Bukankah Allah telah menghinakan kalian dan menimpakan siksa-Nya terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Abul Qasim, engkau bukanlah orang bodoh””

 

Tatkala Rasulullah datang ke perkampungan Bani Quraizhah, beliau beristirahat di salah satu dari sekian banyak sumur mereka, yang menjadi harta mereka, yang disebut dengan nama Bi’r Anna (sumur Anna).

 

Orang-orang datang ke tempat itu saling menyusul. Sejumlah orang dari mereka datang sesudah waktu isya, sedangkan mereka belum mengerjakan shalat Asar, karena memegang sabda Rasulullah, “Jangan ada seorang pun yang mengerjakan shalat Asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Sabda beliau itu membuat mereka melalaikan yang lainnya dan segera memerangi Bani Quraizhah. Mereka enggan mengerjakan shalat karena sabda Rasulullah, “Sampai kalian datang ke Bani Quraizhah.””’ Kemudian mereka mengerjakan shalat Asar sesudah masuknya waktu isya. Allah tidak mencela perbuatan itu di kitab-Nya dan Rasulullah juga tidak mencela mereka.

 

Rasulullah mengepung mereka selama dua puluh lima hari, sampai beliau menghimpit mereka dengan pengepungan itu. Allah memberikan rasa takut di dalam hati mereka.

 

Huyay bin Akhthab masuk bersama Bani Quraizhah ke dalam benteng mereka, ketika Quraisy dan Ghathafan pulang meninggalkan mereka, sebagai wujud komitmen kepada Ka‘ab bin Asad pada janji yang ia ucapkan. Tatkala mereka, yakin bahwa Rasulullah tidak akan pergi meninggalkan mereka sampai beliau menyelesaikan urusan mereka, Ka‘ab bin Asad berkata kepada mereka, “Wahai sekalian orang Yahudi, sungguh telah menimpa kalian suatu urusan sebagaimana yang kalian lihat. Aku akan menawarkan tiga opsi kepada kalian, lakukanlah mana yang kalian kehendaki.”” Mereka bertanya, “Apa itu?”

 

Ka‘ab berkata, “Kami mengikuti pria itu (Muhammad) dan membenarkannya. Demi Allah, sudah jelas terbukti kepada kalian bahwa ia adalah Nabi yang diutus, dialah orang yang kalian dapati pada kitab kalian. Dengan sikap ini, kalian akan menjamin keamanan darah kalian, anak-anak kalian, dan kaum wanita kalian” Mereka berkata, “Kami tidak akan mencampakkan hukum Taurat selama-lamanya, Kami tidak akan menggantinya dengan hukum yang lainnya.”

 

Ka‘ab berkata, “Kalau kalian enggan melakukannya, marilah kami berperang dengan mengajak serta anak-anak dan kaum wanita kami, kemudian kami keluar menghadapi Muhammad dan para sahabatnya, yang menyandang dan menghunuskan pedang. Kami tidak meninggalkan satu beban pun di belakang kami, sampai Allah memutuskan hukum antara kami dengan Muhammad. Jika kami binasa, kami binasa dan tidak meninggalkan seorang anak keturunan pun yang kami khawatirkan keadaannya. Jika kami menang, sungguh, kami akan mendapatkan kaum wanita dan anak-anak” Bani Quraizhah berkata, “Kami membunuh orang-orang miskin itu! Adakah kehidupan yang baik sepeninggal mereka?”

 

Ka‘ab berkata, “Jika kalian enggan melakukannya, malam ini adalah malam Sabtu. Barangkali Muhammad dan para sahabatnya akan memberi penundaan waktu kepada kami pada malam ini. Turunlah dari benteng, barangkali kami masih dapat menipu Muhammad dan sahabatnya.” Bani Quraizhah berkata, “Kami akan merusak hari Sabtu kita, kami akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang sebelum kami, kecuali orang yang sudah kau ketahui. Lalu ia akan berubah bentuk seperti yang kau tahu!”

 

Ka‘ab berkata, “Tiada seorang pun di antara kalian yang menjalani satu malam pun dalam keadaan berketetapan hati, sejak ibunya melahirkannya!”

 

Selanjutnya, mereka mengirim utusan kepada Rasulullah dengan pesan, “Utuslah kepada kami Abu Lubabah bin Abdulmundzir, supaya kami bisa berkonsultasi dengannya tentang urusan kami ini” Rasulullah kemudian mengutus Abu Lubabah kepada mereka.

 

Tatkala mereka melihatnya, sejumlah orang bangkit menyambutnya. Beberapa orang wanita dan anak-anak maju dan menangis di hadapannya. Abu Lubabah merasa kasihan kepada mereka dan mereka pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Lubabah, apakah engkau melihat kami harus mengikuti hukum Muhammad?” Abu Lubabah berkata, “Ya -ia berisyarat ke arah tenggorokannya.” Maksudnya itu adalah penyembelihan.

 

Abu Lubabah berkata, “Demi Allah, kedua tapak kakiku ini tidak bergeser dari tempatnya sampai aku mengetahui bahwa aku sudah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.”

 

Kemudian Abu Lubabah berpindah meninggalkan tempat itu. Ia tidak datang menemui Rasulullah sampai ia mengikat dirinya di masjid, pada salah satu tiang penopangnya. Ia berkata, “Aku tidak akan meninggalkan tempatku ini sampai Allah mengaruniakan tobat kepadaku atas apa yang kulakukan. Aku berjanji kepada Allah bahwa aku tidak akan menginjakkan kaki di tempat Bani Quraizhah selamaJamanya dan aku tidak akan terlihat lagi selama-lamanya di negeri yang di sana aku mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.”

 

Tatkala sampai kepada Rasulullah berita Abu Lubabah, walau berita itu terlambat datangnya, beliau bersabda, “Ketahuilah, seandainya ia datang kepadaku, aku pasti memohonkan ampun untuknya. Adapun ketika ia sudah melakukan apa yang ia lakukan sekarang ini, aku tidak akan melepaskannya dari ikatan yang membelitnya sampai Allah mengaruniakan tobat kepadanya.”

 

Dari Ummu Salamah, Rasulullah bersabda, “Dikaruniakan tobat untuk Abu Lubabah.’ Aku bertanya, “Bolehkah saya memberitahukan kabar gembira ini kepadanya, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Ya, jika kamu menginginkannya.” Kemudian Ummu Salamah berdiri di depan pintu kamarnya -itu terjadi sebelum diwajibkan cadar atas istri-istri Nabilantas ia berucap, “Hai Abu Lubabah, bergembiralah, Allah telah menganugerahkan tobat kepadamu!”

 

Ummu Salamah berkata, “Orang-orang berlompatan untuk melepaskan ikatannya.” Abu Lubabah berkata, “Tidak, demi Allah, sampai Rasulullah sendiri yang melepaskan ikatanku ini dengan tangan beliau.” Tatkala Rasulullah melewati Abu Lubabah, saat beliau keluar dari rumah untuk mengerjakan shalat Subuh, beliau melepaskan ikatan yang membelit tubuhnya.

 

Ibnu Hisyam berkata, “Abu Lubabah tinggal dalam keadaan terikat di batang pohon kurma penyangga bangunan masjid selama enam hari. Istrinya datang kepadanya pada setiap waktu shalat untuk melepaskan ikatannya sehingga ia dapat mengikuti shalat berjamaah. Selesai shalat, ia kembali diikat di batang pohon kurma.”

 

Tatkala mereka memasuki waktu pagi, mereka mau tunduk dan mengikuti hukum Rasulullah Orang-orang Aus berlompatan, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh mereka adalah sekutu kami dan bukan sekutu Khazraj. Engkau melakukan tindakan terhadap sekutu saudara kami Aus pada waktu yang laly sebagaimana yang sudah engkau ketahui -sebelum mengepung Bani Quraizhah, Rasulullah sudah mengepung Bani Qainuga’ yang merupakan sekutu Khazraj-, lalu mereka tunduk di bawah ketetapan hukum beliau, lantas Abdullah bin Ubay bin Salul meminta kepada beliau akan mereka, lantas beliau pun menghibahkan mereka kepadanya. Tatkala kabilah Aus berbicara kepada beliau, Rasulullah bersabda, “Apakah kalian ridha, wahai orang-orang Aus, bila yang menetapkan hukum di antara kalian adalah seorang laki-laki di antara kalian?” Mereka menjawab, “Ya” Rasulullah bersabda, “Orang itu adalah Saad bin Mu‘adz.”

 

Rasulullah menempatkan Saad bin Mu’adz di kemah milik seorang perempuan dari Suku Aslam, yang bernama Rufaidah, di masjid beliau. Rufaidah adalah seorang wanita yang biasa merawat orang-orang yang terluka di medan perang dan ia mendedikasikan dirinya untuk melayani orang-orang yang tersiasiakan dan lemah dari kalangan muslim. Rasulullah pernah bersabda kepada kaum Saad bin Mu‘adz ketika ia terkena anak panah pada Perang Khandagq, “Tempatkan ia di kemah Rufaidah sehingga aku bisa menjenguknya.”

 

Tatkala Rasulullah menyuruh ia untuk menetapkan hukum tentang Bani Quraizhah, kaumnya datang kepadanya dan membawanya di atas punggung keledai yang sudah dipersiapkan untuknya dengan bantal dari kulit. Saad bin Mu’adz adalah seorang pria yang besar perawakan tubuhnya dan tampan wajahnya.

 

Mereka datang bersamanya menghadap Rasulullah, sedang mereka berkata, “Wahai Abu Amru, bersikap baiklah kepada sekutu-sekutumu, karena Rasulullah menjadikanmu sebagai penetap hukum hanyalah agar kamu berbuat baik kepada mereka!”

 

Tatkala orang-orang Aus terus mendesak Saad, ia berkata, “Sungguh, telah tiba waktunya bagi Saad untuk tidak menggubris di jalan Allah ini cercaan orang lain.” Sebagian orang yang menyertai ia dari kaumnya kembali pulang ke perkampungan Bani Abdul Asyhal, lantas ia menyampaikan kepada mereka berita kematian sejumlah orang dari kalangan Bani Quraizhah sebelum Saad sampai ke tempat mereka, berdasarkan kata yang ia dengar dari Saad.

 

Tatkala Saad telah menghadap Rasulullah dan kaum muslim, Rasulullah berkata, “Berdirilah kalian menyambut pemimpin kalian” -Muhajir dari Quraisy berkata, “Yang dikehendaki oleh Rasulullah hanyalah orang-orang Anshar.” Sedangkan kaum Anshar berkata, “Rasulullah menyampaikannya secara umum-.’ Mereka pun berdiri menyambut Saad. Mereka berkata, “Wahai Abu Amru, sungguh Rasulullah telah menyerahkan kepadamu urusan sekutumu (Bani Quraizhah) agar engkau memutuskan hukum terhadap mereka.”

 

Saad bin Mu‘adz berkata, “Kalian wajib memegang janji Allah dan ikatan perjanjian dengan-Nya, bahwasanya hukum terhadap mereka itu adalah apa yang kuputuskan?” Mereka menjawab, “Ya.”

 

Saad berkata, “Juga terhadap orang yang ada di sini?” -di arah yang Rasulullah ie ada di situ, karena Saad berpaling dari Rasulullah sebagai bentuk pemuliaan kepada beliauRasulullah bersabda, “Ya.”

 

Saad berkata, “Aku menetapkan hukum terhadap mereka, yakni semua orang laki-laki mereka dibunuh, harta mereka dibagi, serta wanita dan anak-anak mereka dijadikan tawanan.”

 

Rasulullah bersabda kepada Saad, “Sungguh, kamu telah menetapkan hukum terhadap mereka dengan hukum Allah, dari atas tujuh langit.”

 

Kemudian mereka disuruh turun dari benteng. Rasulullah menahan mereka di Madinah di rumah putri Harits, kemudian Rasulullah keluar menuju pasar Madinah -yang menjadi pasar kota itu sekarang ini lalu beliau menyuruh menggali sejumlah parit di sana, lantas beliau mengirim orang-orang lelaki dari Bani Quraizhah ke sana, lantas dipenggal leher mereka di parit-parit itu. Bani Quraizhah dikeluarkan dari rumah putri Harits secara berombongan. Di antara mereka terdapat musuh Allah, Huyay bin Akhthab, Ka‘ab bin Asad Sang kepala suku, dan mereka semuanya berjumlah enam ratus atau tujuh ratus orang.

 

Adapun ahli sejarah yang memperbanyak jumlah mereka, mengatakan bahwa jumlah mereka sekitar delapan ratus sampai sembilan ratus orang. Mereka berkata kepada Ka‘ab bin Asad, ketika mereka diberangkatkan secara berombongan kepada Rasulullah, “Hai Ka‘ab, menurutmu apa yang akan dilakukan terhadap kami?”

 

Ka‘ab menjawab, “Apakah di mana pun berada kalian ini tidak punya otak untuk berpikir? Tidakkah kalian melihat juru panggil itu tidak ditarik, dan siapa di antara kalian yang sudah pergi tidak balik? Demi Allah, ini adalah pembunuhan!” Seperti itulah yang terjadi sampai Rasulullah menyelesaikan eksekusi matj mereka semua.

 

Huyay bin Akhthab, si musuh Allah, didatangkan. Ia mengenakan pakaian yang berwarna bunga mawar yang hampir terbuka, pada setiap sudutnya robek selebar ujung jari, ia memakainya pakaian itu tidak dirampas darinya. Kedua tangannya terikat pada tengkuknya. Tatkala ia memandang kepada Rasulullah, ia berkata, “Ketahuilah, demi Allah, aku tidak menyalahkan diriku dalam tindakanku memusuhimu. Akan tetapi, siapa saja yang berusaha menelantarkan Allah, ia pasti akan diterlantarkan!”

 

Ia menghadapkan dirinya kepada publik seraya berkata, “Wahai sekalian manusia, sungguh tidak ada masalah dengan perintah Allah, ketetapan, dan takdir, serta pertempuran besar yang ditetapkan oleh Allah atas Bani Israil.” Ia pun terduduk dan dipenggal lehernya.

 

Dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata: “Tiada seorang pun di antara wanita Bani Quraizhah yang dibunuh kecuali satu orang saja.” Aisyah berkata lagi, “Demi Allah, ia berada di dekatku, berbincang bersamaku, tertawa dengan amat suka cita. Sedang pada waktu itu Rasulullah membunuh kaum pria mereka di pasar, tibatiba ada seseorang memanggil namanya, ‘Di mana si fulanah?’ Ia menjawab, ‘Aku di sini, demi Allah’ Aku berkata padanya, ‘Celaka! Ada apa denganmu?’ Ia menjawab, ‘Aku akan dibunuh’ Aku bertanya, ‘Mengapa?’ Ia menjawab, ‘Karena satu peristiwa yang kulakukan.” Kemudian ia dibawa pergi dan dipenggal lehernya.

 

Aisyah berkata, “Demi Allah, aku tidak bisa melupakan kejadian itu, karena kekagumanku kepadanya. Sedemikian rela dirinya, banyak tertawa padahal ia tahu bahwa dirinya akan dibunuh.”

 

Rasulullah memerintahkan semua anak yang sudah tumbuh bulu kemaluannya untuk dibunuh.

 

Dari Athiah Al-Qurazhi, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan untuk membunuh dari Bani Quraizhah siapa saja yang sudah tumbuh bulu kemaluannya. Saat itu, aku masih anak-anak, mereka mendapati bulu kemaluanku belum tumbuh, mereka pun membebaskan jalanku (tidak dibunuh),”

 

Dari Ayub bin Abdurahman: “Salma binti Qais —salah satu bibi Rasulullah dari arah ibu beliau, ia menjumpai shalat menghadap dua kiblat, serta membaiat beliau pada pembaiatan para wanita meminta Rifa‘ah bin Samuel Al-Qurazhi kepada Rasulullah, ia adalah seorang lelaki yang sudah balig, Rifaiah meminta perlindungan kepada Salma. Ia mengenal mereka sebelum itu. Salma berkata, ‘Wahai Nabi Allah, kumohon hadiahkanlah Rifa‘ah kepadaku. Ia mengatakan bahwa ja telah mengerjakan shalat dan memakan daging unta’? Nabi pun menghibahkan Rifa‘ah kepada Salma, sehingga Salma merasa malu kepadanya.’

 

Berikutnya, Rasulullah membagi harta rampasan Bani Quraizhah, wanita mereka, dan anak-anak mereka kepada kaum muslim.

 

Rasulullah mengutus Sa‘id bin Zaid Al-Anshari, saudara Bani Abdul Asyhal, untuk membawa wanita-wanita Bani Quraizhah yang dijadikan tawanan ke Nejed, lalu ia menjual mereka untuk membeli kuda dan senjata.

 

Rasulullah memilih untuk diri beliau sendiri salah seorang wanita Bani Quraizhah yang bernama Raihanah binti Amru bin Khunaqah. Raihanah tetap hidup bersama Rasulullah sampai beliau wafat masih sebagai budak beliau. Rasulullah menawari Raihanah untuk menjadi istrinya, sehingga beliau akan mengenakan kerudung dan cadar kepadanya. Raihanah berkata, “Wahai Rasulullah, engkau biarkan saya tetap menjadi budakmu itu lebih ringan bagiku dan juga bagimu.” Lantas Nabi membiarkannya. Ketika Nabi menjadikannya sebagai budak, Raihanah tidak mau masuk Islam dan ia lebih memilih Yahudi. Oleh karena itu, Rasulullah menjauh darinya dan beliau merasa tidak enak dalam hati beliau.

 

Ketika Nabi sedang bersama para sahabat beliau, tiba-tiba terdengar suara derap dua sandal di belakang beliau. Beliau bersabda, “Sandal ini milik Tsa‘labah bin Su‘aih ia menyampaikan berita kepadaku berupa keislaman Raihanah.”” Tsa‘labah menghadap beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, Raihanah telah masuk Islam!” Berita itu membuat beliau gembira dan bersuka cita.

 

Allah menurunkan ayat berkenaan Perang Khandaq dan urusan Banget Quraizhah, dalam bentuk sebuah kisah dalam surah Al-Ahzab. Menceritakan ujian yang menerpa orang-orang beriman, nikmat-Nya kepada mereka, serta perlindungan-Nya kepada mereka. Ia melonggarkan urusan mereka, setelah perkataan kalangan kaum munafik:

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah yang dianugerahkan kepada mereka, tatkala tentara-tentara itu datang kepada kalian, lantas Kami mengirimkan terhadap mereka angin dan tentara yang mereka tidak melihatnya, Allah itu Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Al-Ahzab [33]: 9)

 

Maksud tentara di sini adalah pasukan Quraisy, Ghathafan, dan Bani Quraizhah. Adapun tentara yang dikirimkan oleh Allah terhadap mereka selain angin adalah para malaikat.

 

Allah berfirman:

 

“Tatkala mereka datang kepada kalian dari atas dan bawah kalian. Ketika pandangan mata menjadi menyimpang, jantung sudah melesak sampai kerongkongan, dan kalian menyangka terhadap Allah berbagai persangkaan.” (Al-Ahzab [33]: 10)

 

Orang-orang yang datang dari atas mereka adalah Bani Quraizhah, sedangkan yang datang dari bawah mereka adalah pasukan Quraisy dan Ghathafan.

 

Allah berfirman:

 

“Pada waktu itulah orang-orang beriman diuji dan diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat. Tatkala orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit hatinya berkata, ‘Tiadalah yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya kepada kami kecuali tipuan belaka.” (Al-Ahzab [33]: 11-12)

 

Berdasarkan perkataan Mu‘atib bin Qusyair, ketika ia mengatakan apa yang ia katakan,

 

“Tatkala sebagian dari mereka berkata, ‘Wahai penduduk Yastrib, tidak ada tempat tinggal untuk kalian, pulanglah kalian! Sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi seraya berucap, ‘Rumah kami adalah aurat (terbuka dari serangan musuh). Padahal itu bukan aurat, tiadalah mereka menginginkan kecuali melarikan diri.” (A\l-Ahzab [33]: 13)

 

Berdasarkan perkataan Aus bin Qaizhi dan orang yang sependapat dengannya. “Andaikan musuh-musuh berhasil mengepung mereka dari berbagai penjuru….” Maksudnya, segala penjuru kota Madinah. “Kemudian mereka diminta melakukan fitnah….” Maksudnya, kembali kepada kemusyrikan.“Niscaya mereka melakukannya, dan tidaklah mereka tinggal diam kecuali sebentar saja. Sungguh mereka telah berjanji kepada Allah sebelumnya bahwa mereka tidak akan melarikan diri dan janji kepada Allah itu pasti dimintai pertanggungjawaban.” (Al-Ahzab [33]: 14-15)

 

Mereka adalah Bani Haritsah, merekalah yang ingin bertindak pengecut pada perang Uhud bersama Bani Salimah, ketika kedua bani itu hendak bertindak pada Perang Uhud, mereka lantas berjanji kepada Allah bahwa mereka tidak akan mengulangi perbuatan seperti itu selama-lamanya. Allah pun menyebutkan kepada mereka sesuatu yang diberikan kepada mereka dari diri mereka sendiri.

 

Allah berfirman, “Katakanlah, “Melarikan diri itu tidak bermanfaat bagi kalian, jika kalian lari dari kematian atau peperangan, dan jika begitu kalian tidak akan diberi kenikmatan kecuali sebentar saja.’ Katakanlah, ‘Siapakah yang melindungi kalian dari Allah, jika Ila menghendaki keburukan terhadap kalian, atau menghendaki kasih sayang kepada kalian.’ Mereka tidak mendapati untuk mereka seorang kekasih pun dan tidak pula seorang penolong.” (Al-Ahzab [33]: 16-18)

 

Sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang menghalangi orang lain dari jihad. Yakni dari kalangan orang munafik.

 

“Dan orang-orang yang berkata kepada teman-teman mereka, ‘Datanglah kepada kami. Tiada yang mau datang ke medan perang kecuali sedikit saja kecuali sekadar sebagai penolak celaan dan sebagai penguat alasan. “Kekikiray ditimpakan atas kalian,” karena kedengkian yang ada di dalam diri mereka.

 

‘Apabila perang dimulai, engkau melihat mereka memandang kepadamu, sedang bola mata mereka berputar layaknya orang yang dipingsankan karena kematian,” sebagai bentuk “Ketika rasa takut telah hilang dari mereka, mereka menyakiti kalian dengan ucapan yang tajam….” Yakni dengan perkataan yang tidak kau sukai, itu semua dikarenakan mereka tidak memercayai akhirat dan tidak mengharap pahala. Mereka sangat takut pada kematian dengan ketakutan yang belum pernah dirasakan siapa pun sebelumnya.

 

“Mereka (orang-orang munafik) menyangka bahwa pasukan aliansi itu tidak akan pergi,” maksudnya pasukan Quraisy dan Ghathafan. “Jika pasukan sekutu datang, mereka sangat berharap kalau saja mereka berada di tanah Arab Badui, lalu mereka bertanya tentang kalian. Seandainya mereka ada di tengah-tengah kalian, tidaklah mereka berperang kecuali sedikit orang saja.” (Al-Ahzab [33]: 17-20)

 

Kemudian Allah menunjukkan ayat berikutnya kepada orang beriman. Allah berfirman, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik, bagi siapa saja yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan ganjaran pada Hari Kiamat,” agar kalian tidak menganggap diri kalian lebih utama daripada beliau dan tidak pula terhadap tempat yang beliau tinggali.

 

Selanjutnya, Allah memaparkan tentang orang-orang beriman, kejujuran mereka, dan pembenaran mereka terhadap apa yang dijanjikan oleh Allah kepada mereka berupa ujian yang Ia menguji dengannya.

 

Allah berfirman, “Tatkala orang-orang beriman melihat pasukan aliansi, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.’ Situasi itu tidak menambahi mereka kecuali iman dan penyerahan diri.” Maksudnya bersabar menjalani ujian, menyerahkan diri kepada ketetapan Allah, serta membenarkan kebenaran. Tatkala Allah dan Rasul-Nya menjanjikan hal itu.

 

Allah berfirman, “Di antara orang-orang beriman ada sejumlah lelaki yang telah memenuhi janji mereka kepada Allah dengan benar, di antara mereka ada yang gugur.. Maksudnya selesai dari amalannya dan kembali kepada Tuhannya sebagaimana orang yang mati syahid pada Perang Badar dan Perang Uhud. “..dan di antara mereka ada yang masih menunggu,” maksudnya masih menunggu apa yang dijanjikan oleh Allah berupa kemenangan atau kesyahidan terhadap siapa saja yang sudah berlalu dari kalangan sahabat beliau. “..dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab [33]: 21-23)

 

Maksudnya mereka tidak pernah ragu atau bimbang dalam agama mereka. Mereka juga tidak pernah mengganti agama itu dengan agama yang lainnya.

 

“Supaya Allah membalas orang-orang yang berkata jujur disebabkan kejujuran mereka dan menyiksa orang-orang munafik, bila Ia menghendaki, atau mengaruniakan tobat kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah menghalau orang-orang kafir yang penuh dengan kejengkelan.” Maksudnya kaum Quraisy dan Ghathafan. “Mereka tidak mendapatkan kebaikan. Allah menghindarkan orang-orang beriman dari peperangan. Allah Mahakuat lagi Mahagagah.

 

Allah menurunkan orang-orang yang membantu mereka dari kalangan ahlukitab.” maksudnya Bani Quraizhah.

 

“Dari benteng-benteng mereka,” ash-shayadshi adalah benteng-benteng yang mereka tinggal di dalamnya. “Allah memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka, sebagian dari mereka kalian bunuh, dan kalian menawan sebagian yang lainnya.” Maksudnya, mereka membunuh sejumlah orang serta menawan anak-anak dan kaum wanita. “Ia wariskan kepada kalian negeri, kampung halaman, dan harta mereka, serta negeri yang kalian belum pernah menginjakkan kaki padanya,” yakni Khaibar. “Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al-Ahzab [33]: 24-27)

 

Tatkala urusan Bani Quraizhah ini selesai, memancarlah luka pada tubuh Saad bin Mu‘adz, lalu ia mati syahid karenanya.

 

Dari Hasan A]-Bashri, ia berkata:

 

“Saad adalah seorang pria yang gemuk. Tatkala orang-orang memikul jenazahnya, mereka merasakan ringan. Seorang lelaki dari kalangan munafik berkata, ‘Demi Allah, ia adalah seorang lelaki yang gemuk, tetapi jenazahnya yang kami pikul itu lebih ringan daripada berat tubuhnya’ Sampailah berita itu kepada Rasulullah, beliau bersabda, ‘Sungguh, Saad mempunyai sejumlah pemikul selain mereka. Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh para malaikat bergembira menyambut ruh Saad dan singgasana Allah berguncang karena kematiannya.-”

 

Yang terbunuh dari kalangan orang-orang musyrik tiga orang, Munabih bin Utsman bin Ubaid; terkena anak panah lalu mati di Mekah. Kemudian dari Bani Makhzum bin Yaqzhah, Naufal bin Abdullah bin Mughirah, orang-orang kafir meminta kepada Rasulullah agar beliau menjual jasadnya kepada mereka. Ia berhasil melintasi parit, namun ia berada dalam posisi yang sulit lantas ia terbunuh, akhirnya kaum muslim yang menguasai tubuhnya.

 

Rasulullah bersabda, “Aku tidak butuh dengan tubuhnya dan tidak butuh pula dengan hasil penjualannya” Lantas Nabi membiarkan mereka mengambil tubuhnya.

 

Dari Bani Amir bin Luay, Amru bin Abdu Wudd, ia dibunuh oleh Ali bin Abu Thalib.

 

Kaum muslim yang mati syahid pada Perang Bani Quraizhah adalah Khalad bin Suwaid yang dilempari batu penggiling gandum oleh seorang wanita Quraizhah, lantas memecahkan kepalanya. Orang-orang mengklaim bahwa Rasulullah bersabda, “Ia mendapatkan pahala dua orang yang mati syahid.”

 

Abu Sinan bin Mihshan bin Hurtsan mati syahid, ketika Rasulullah masih mengepung Bani Quraizhah, lantas ia dikebumikan di pekuburan milik Bani Quraizhah.

 

Tatkala orang-orang yang terlibat dalam Perang Khandaq bubaran meninggalkan Khandagq, Rasulullah bersabda, sebagaimana riwayat yang sampai kepadaku, “Kaum Quraisy tidak akan memerangi kalian sesudah tahun ini, akan tetapi kalianlah yang akan memerangi mereka.”

 

Kaum Quraisy tidak lagi menyerang kaum muslim sesudah itu. Nabi-lah kemudian yang menyerang dan memerangi mereka sampai Allah membebaskan kota Mekah untuk beliau.

 

Peristiwa Tahun Keenam Hijriah

 

Ghazwah Bani Lihyan

 

Rasulullah kemudian tinggal di Madinah pada bulan Dzulhijah, Muharam, Safar, dan dua bulan Rabi‘ (Rabiul Awal dan Rabiuts Tsani). Beliau lantas bepergian lagi ke luar kota Madinah, pada awal bulan keenam sejak ditaklukkannya Bani Quraizhah, menuju ke perkampungan Bani Lihyan, untuk menuntut balas terbunuhnya para sahabat beliau di Raji‘ (insiden Raji‘), yakni Khubaib bin Adiy dan teman-temannya. Beliau menampakkan diri layaknya hendak pergi ke Syam, supaya musuh beliau lalai dan tidak menyadarinya.

 

Beliau keluar dari Madinah lalu menempuh perjalanan menuju Ghurab, sebuah gunung di sekitar kota Madinah pada jalan menuju negeri Syam. Lalu peliau datang ke Makhidh, lalu melewati Batra, lalu berbelok menyimpang ke arah kiri, lantas beliau keluar dari Bin. Selanjutnya, menuju ke Shukhairat Yamam.

 

Beliau menempuh jalan yang lurus sampai ke Mahajah, melalui jalan Mekah, lalu mempercepat langkah perjalanannya hingga beliau beristirahat di Ghuran, yakni tempat tinggal Bani Lihyan. Ghuran adalah nama lembah yang terletak di antara Amaj dan Usfan, menuju ke sebuah negeri yang disebut dengan nama Sayah, Jantas beliau mendapati Bani Lihyan ketakutan dan bertahan di puncak gunung.

 

Tatkala Rasulullah menuruni gunung itu, sedang beliau ingin musuh tidak mewaspadai beliau dan lalai terhadap beliau lakukan, beliau bersabda, “Seandainya kami turun melalui Usfan, niscaya penduduk Mekah mengetahui bahwa kami datang ke Mekah.” Beliau keluar bersama dua ratus personel pasukan penunggang kuda dari kalangan sahabat beliau, hingga beliau beristirahat di Usfan. Lantas beliau mengutus dua penunggang kuda dari kalangan sahabat beliau untuk berangkat hingga keduanya sampai di Kura’ Ghumaim. Selanjutnya, beliau kembali dan pulang.

 

Jabir bin Abdillah berkata:

 

“Aku mendengar Rasulullah berdoa ketika beliau hendak pulang, (artinya) ‘Kami adalah orang-orang yang kembali pulang, orang-orang yang bertobat, jika Allah menghendaki. Kami memuji Tuhan kami. Aku berlindung kepada Allah dari kepayahan bepergian, kesulitan pulang, dan buruknya pemandangan pada keluarga dan harta.”

 

Ghazwah Dzu Qarad

 

Rasulullah tiba di kota Madinah. Beliau tidak tinggal di sana kecuali beberapa hari saja, lantas Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badar Fazari, bersama pasukan kavalerinya dari Ghathafan, menyerang unta Rasulullah yang sudah bunting dan diperah susunya yang sedang digembalakan di Ghabah. di sana ada seorang lelaki dari bani Ghifar dan istrinya. Mereka membunuh laki-laki itu dan membawa serta istrinya bersama unta Nabi.

 

Orang pertama yang mengetahui perbuatan mereka adalah Salamah bin Amry bin Akwa’ As-Sulami. Ia berangkat pagi ke Ghabah. Ia menyandang busur panah dan anak panahnya. Ia ditemani oleh seorang budak milik Thalhah bin Ubaidillah, Ia juga membawa kuda yang ia tuntun. Ketika ia naik ke atas Tsaniyatul Wada‘ ia melihat sebagian pasukan berkuda Ghathafan. Ia langsung bergerak cepat di arah Gunung Sila’ sembari berteriak, “Hai orang-orang di pagi hari!” Kemudian ja berangkat dengan cepat mengejar mereka.

 

Salamah beraksi bagaikan binatang buas, sampai ia berhasil menyusul mereka. Ia menembakkan anak panahnya satu persatu, sembari berucap setiap kali menembakkan panah, “Ambillah ini, aku adalah anak laki-laki Akwa; hari ini adalah hari kebinasaan orang yang tercela!” Ketika pasukan berkuda Ghathafan menoleh melihatnya, mereka segera melarikan diri. Salamah pun mencegat mereka. Jika ia berkesempatan memanah maka ia memanah mereka, sembari berucap, “Ambillah ini, aku adalah anak laki-laki Akwa’. Hari ini adalah hari kematian si tercela!”

 

Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah ia akan membunuh kami semua pagi hari ini?”

 

Sampai kepada Rasulullah teriakan Ibnu Akwa, lalu beliau berteriak di Madinah, “Bahaya.. bahaya..!” Pasukan berkuda muslimin segera datang mendekati Rasulullah.

 

Orang pertama yang sampai kepada Rasulullah dari kalangan pasukan berkuda adalah Miqdad bin Amru, kemudian Abad bin Busyr bin Waqsy, Saad bin Zaid, Usaid bin Zhuhair, Ukasyah bin Mihshan, Muhariz bin Nadhlah, Abu Qatadah Harits bin Ribi, dan Abu Ayasy Ubaid bin Zaid. Tatkala mereka sudah berkumpul ke hadapan Rasulullah, beliau mengangkat Saad bin Zaid sebagai komandan mereka, lantas beliau bertitah, “Berangkatlah kalian untuk mengejar musuh, sampai kalian berhasil menyusulnya!”

 

Tatkala pasukan kavaleri Nabi sedang mengejar musuh, Abu Qatadah Harits bin Rib’i membunuh Hubaib bin Uyainah bin Hishn. Abu Qatadah menutupi jasad Hubaib dengan kain burdahnya, lalu pergi menyusul teman-temannya.

 

Rasulullah dan kaum muslim datang ke tempat itu. Mereka mendapati jasad Hubaib ditutupi dengan kain burdah milik Abu Qatadah. Orang-orang mengucapkan istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un), seraya berkata:

 

“Abu Qatadah telah terbunuh!” Rasulullah, membantah, “Itu bukan jasad Abu Qatadah. Itu jasad orang yang dibunuh oleh Abu Qatadah. Ia meletakkan kain burdahnya di atas jasad itu agar diketahui bahwa dialah pembunuhnya.”

 

Ukasyah bin Mihshan menangkap Aubar dan anaknya, Amru bin Aubar, ketika keduanya sedang mengendarai seekor unta. Ukasyah melemparkan tombaknya dengan kuat, hingga berhasil membunuh mereka berdua sekaligus. Pasukan Islam berhasil mendapatkan kembali sejumlah unta perah milik Nabi. Rasulullah meneruskan perjalanan hingga beliau beristirahat di sebuah gunung di Dzu Qarad. Orang-orang datang menyusul beliau. Rasulullah tinggal di tempat itu selama sehari semalam.

 

Salamah bin Akwa‘ berkata:

 

“Wahai Rasulullah, bila engkau memperkenankan aku menyerbu musuh bersama seratus orang niscaya aku bisa mengambil kembali unta-unta yang masih dibawa mereka. Aku akan penggal leher mereka semuanya.” Rasulullah bersabda, “Mereka sekarang ini sedang memberi minum air susu unta kepada orang-orang di Ghathafan-”

 

Rasulullah membagikan kepada para sahabatnya unta-unta beliau. Setiap seratus orang diberi seekor unta jazur. Mereka tinggal di tempat itu sebentar. Kemudian Rasulullah pulang hingga tiba di Madinah.

 

Perempuan dari Bani Ghifar yang sebelumnya dibawa lari oleh perampok unta itu datang dengan mengendarai salah satu unta milik Rasulullah, hingga ia menghadap kepada beliau, lalu menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada Rasulullah. Ketika ia selesai memaparkan kejadian itu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya bernadzar kepada Allah untuk menyembelih unta ini, bila Allah menyelamatkan saya dengan mengendarainya!”

 

Rasulullah tersenyum seraya berucap, “Buruk nian balasan yang kau berikan kepada unta yang dengannya Allah membawamu dan menyelamatkanmu, justru kamu hendak menyembelihnya! Tidak boleh bernadzar dengan kemaksiatan kepada Allah, atau bernadzar terhadap sesuatu yang tidak kau miliki. Unta ini hanya salah satu dari untaku. Pulanglah kamu ke keluargamu, semoga Allah memberkahimu!”

 

Ghazwah Bani Mushthaliq

 

Rasulullah tinggal di Madinah pada sebagian bulan Jumadats Tsaniyah dan Rajab, lantas beliau melancarkan perang terhadap Bani Mushthaliq dari Khuza‘ah, pada bulan Sya‘ban tahun keenam Hijriah.

 

Sampai berita kepada Rasulullah bahwa Bani Mushthaliq berkumpul untuk menyerang beliau. Mereka diketuai oleh Harits bin Abi Dhirar, ayahanda Juwairiah binti Harits, istri Rasulullah. Tatkala Rasulullah mendengar berita mereka, beliau segera keluar menuju tempat tinggal mereka hingga beliau berhadap. hadapan dengan mereka di sebuah mata air Muraisi, di sekitar Qadid sampai ke pantai. Kedua pasukan kemudian maju menyeruak dan berperang dengan hebat. Allah mengalahkan Bani Mushthaliq dan membunuh sejumlah orang dari mereka, Rasulullah membawa serta anak-anak, wanita, dan harta mereka. Rasulullah menjadikan mereka sebagai harta fai’

 

Seorang lelaki dari kaum muslim yang berasal dari Bani Ka‘ab bin Auf terbunuh pada perang tersebut. Ia bernama Hisyam bin Shubabah. Yang membunuhnya adalah seorang lelaki Anshar, anggota sariah Ubadah bin Shamit, karena ia mengira Hisyam adalah musuhnya hingga ia membunuhnya karena kekeliruan ini.

 

Ketika Rasulullah berada di dekat mata air, sejumlah orang datang untuk mengambil air. Umar bin Khathab pada waktu itu bersama buruhnya dari Bani Ghifar yang bernama Jahjah bin Mas‘ud, yang menuntun kudanya. Jahjah dan Sinan bin Wabr Al-Juhani berdesak-desakan untuk mengambil air, lalu kedua orang itu bertengkar. Orang Juhani ini berteriak, “Hai orang-orang Anshar!” Sedangkan Jahjah berteriak, “Hai sekalian orang Muhajir!”

 

Abdullah bin Ubay bin Salul marah sedang pada waktu itu, ia bersama dengan sekelompok orang dari kaumnya, yang di antara mereka ada Zaid bin Arqam, seorang pemuda beliau Ibnu Ubay berkata, “Apakah mereka benar-benar melakukannya? Sungguh, mereka telah mengusir kami, sedang mereka menjadi lebih banyak jumlahnya di negeri kami. Demi Allah, aku tidak menganggap kami dan jalabib Quraisy kecuali sebagaimana orang zaman dahulu berkata, ‘Gemukkan anjingmu maka ia akan memakanmu!’ Ketahuilah, demi Allah, jika kami pulang ke Madinah, orang yang mulia akan mengusir orang yang hina!”

 

Kemudian Abdullah bin Ubay menghadap kepada kaumnya yang hadir di tempat itu, seraya berucap, “Ini lagi, apa yang telah kalian lakukan! Kalian menghalalkan negeri kalian kepada mereka dan kalian membagi harta kalian dengan mereka. Ketahuilah, demi Allah, jika kalian menahan harta kalian dari mereka, niscaya mereka akan berpindah ke negeri lain!”

 

Zaid bin Arqam mendengar omongan Abdullah bin Ubay itu, lalu ia menghadap Rasulullah. Peristiwa ini terjadi sesaat sesudah Rasulullah selesai berperang melawan musuh beliau. Zaid memberitahukan berita itu kepada beliau, sedang pada waktu itu Umar bin Khathab berada di samping beliau, lantas Umar berkata, “Perintahkan kepada Abad bin Bisyr untuk membunuhnya!” Rasulullah bersabda, “Bagaimana Umar, jika orang-orang berkomentar bahwa Muhammad membunuh teman-temannya! Tidak, akan tetapi umumkanlah keberangkatan.” Itu terjadi pada saat Rasulullah belum mengendarai kendaraan beliau untuk pergi, sesudah itu orang-orang naik ke atas hewan kendaraan dan berangkat.

 

Abdullah bin Ubay bin Salul datang menemui Rasulullah ketika terbetik kabar bahwa Zaid bin Arqam telah menyampaikan apa yang ia dengar. Ibnu Ubay bersumpah demi Allah, “Aku tidak mengatakan apa yang ia katakan dan aku tidak mengucapkan kalimat itu!” Ibnu Ubay dikenal sebagai orang mulia dan agung di tengah kaumnya. Orang yang hadir di tempat itu bersama Rasulullah dari kalangan Anshar sahabat beliau berkata, “Wahai Rasulullah, pasti anak muda itu (Zaid) tidak tahu apa yang telah dikatakannya, sehingga ia tidak dapat menghafalkan apa yang diomongkan oleh orang lain!” Sebagai bentuk simpati dan pembelaan untuk Abdullah bin Ubay.

 

Tatkala Rasulullah sudah menganggap ringan hal itu dan beliau meneruskan perjalanan, tiba-tiba Usaid bin Hudhair menemui beliau, lantas mengucapkan penghormatan yang layak bagi Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau, seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, demi Allah, engkau telah melakukan perjalanan yang berbeda pada sore hari ini dengan perjalanan yang biasa engkau lakukan!”

 

Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah sudah sampai kepadamu apa yang diucapkan oleh teman kalian itu?” Usaid bertanya, “Teman yang mana, wahai Rasulullah?”

 

Rasul menjawab, “Abdullah bin Ubay.” Usaid bertanya lagi, “Apa yang ia katakan?”

 

Nabi menjawab, “Ia mengklaim bahwa jika ia pulang ke Madinah maka Orang yang mulia akan benar-benar mengusir orang yang hina darinya.’ Usaid berkata tegas, “Engkau, wahai Rasulullah, demi Allah, engkau bisa mengusir ia kapan Saja engkau kehendaki. Ia, demi Allah adalah orang yang hina dan engkaulah orang yang mulia!” Kemudian Usaid berkata, “Wahai Rasulullah, bersikap lembutlah kepadanya. Demi Allah, saat Allah mendatangkan engkau kepada kami dahulu itu kaum Abdullah bin Ubay sudah siap menjadikannya pemimpin yang berkuasa, Sungguh sekarang ia melihatmu sebagai orang yang merampas kekuasaan dari dirinya.”

 

Sore harinya, Rasulullah berjalan bersama kaum muslim, dan berjalan pada malam hari sampai pagi, serta berjalan pula pada awal hari sampai terik panas matahari menerpa mereka. Kemudian beliau beristirahat bersama mereka, dan belum lama mereka beristirahat seketika mereka merasakan rasa kantuk yang luar biasa, sehingga mereka tertidur di tempat itu. Rasulullah hanyalah melakukan itu untuk menjadikan orang-orang lalai dari peristiwa yang terjadi kemarin, yakni kejadian Abdullah bin Ubay.

 

Berikutnya, Rasulullah meneruskan perjalanan pada sore hari bersama rombongan beliau, dan menempuh jalan ke Hijaz, hingga beliau beristirahat di mata air Hijaz jernih yang terletak di atas bukit, bernama Baq‘a. Tatkala Rasulullah datang ke mata air itu pada senja hari, berhembuslah angin yang menyakitkan tubuh para sahabat dan menakutkan mereka, lantas Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian takut kepadanya, karena angin ini hanyalah berhembus untuk kematian seorang pembesar dari sekian banyak tokoh orang-orang kafir”

 

Tatkala mereka tiba di Madinah, mereka mendapati Rifa‘ah bin Zaid bin Tabut -salah seorang dari Bani Qainuqa’ sekaligus salah seorang pembesar Yahudi dan sosok pelindung orang-orang munafik mati pada hari itu.

 

Turunlah surah yang di dalamnya Allah menceritakan tentang orang-orang munafik, yakni tentang Abdullah bin Ubay dan orang yang perbuatannya semisal dengannya. Tatkala surah itu diturunkan, Rasulullah segera memegang telinga Zaid bin Arqam seraya berucap, “Inilah yang ia sempurnakan untuk Allah dengan telinganya.”

 

Sampai kepada Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul berita tentang bapaknya, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sampai berita kepadaku bahwa engkau hendak membunuh Abdullah bin Ubay, karena tindakan ia yang beritanya sampai kepadamu. Jika engkau melakukannya, perintahlah aku. Akulah yang akan membawa kepalanya kepadamu. Demi Allah, kaum Khazraj mengetahui bahwa tiada seorang anak pun yang lebih berbakti kepada bapaknya daripada aku, dan aku khawatir jika engkau menyuruh orang lain untuk membunuhnya lalu orang jtu membunuhnya, aku tidak akan dapat membiarkan diriku melihat si pembunuh bapakku itu berjalan di tengah manusia, sampai aku membunuh ia, sehingga aku membunuh seorang mukmin karena membela orang kafir, sehingga aku akan masuk ke dalam neraka.”

 

Rasulullah bersabda, “Tidak, kami bahkan akan bersikap lembut kepadanya, bersikap baik dalam bersahabat dengannya, selama ia tetap tinggal bersama kami.”

 

Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, sesudah kejadian itu, apabila ada peristiwa terjadi lagi maka kaumnya langsung mencerca Abdullah bin Ubay, menangkap dan menghukumnya. Lantas Rasulullah bersabda kepada Umar bin Khathab, ketika beliau mendengar tindakan kaum Abdullah bin Ubay terhadap dirinya, “Bagaimana pendapatmu, hai Umar? Ketahuilah, demi Allah, seandainya aku membunuh ia pada hari aku berkata kepada diriku, Aku akan membunuhnya berarti harga diri akan mengancamnya. Andaikan aku memerintahkan harga dirinya untuk membunuh ia hari ini, niscaya harga diri itu pasti akan membunuhnya.” Umar menjawab, “Demi Allah, aku mengetahui bahwa urusan Rasulullah lebih besar berkahnya daripada urusanku.”

 

Miqyas bin Shubabah datang dari Mekah sebagai muslim, sebagaimana yang ia tampakkan secara lahiriah. Lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepadamu sebagai seorang muslim. Aku datang kepadamu untuk meminta diat saudaraku. Ia terbunuh karena kekeliruan!” Rasulullah memerintahkan dibayarkannya diat saudaranya, yakni Hisyam bin Shubabah. Miqyas tinggal bersama Rasulullah dalam waktu yang tidak lama, kemudian ia berangkat menuju orang yang membunuh saudaranya, lalu ia membunuh orang tersebut. Lantas ia keluar dari Madinah, kembali ke Mekah, sebagai orang yang murtad dari Islam.

 

Sejumlah orang mati pada Perang Bani Musthaliq. Ali bin Abu Thalib membunuh dua orang dari mereka, yakni Malik dan anaknya. Abdurahman bin Auf membunuh seorang pria dari kalangan pasukan kavaleri mereka, yang bernama Ahmar, atau Uhaimir.

 

Rasulullah mendapatkan banyak tawanan wanita, sehingga tersiarlah pembagiannya di kalangan kaum muslim. Salah satu tawanan wanita pada waktu itu adalah Juwairiah binti Harits bin Abi Dhirar, istri Rasulullah.

 

Aisyah berkata: “Tatkala Rasulullah membagikan tawanan wanita Bani Mushthaliq, Juwairiah binti Harits menjadi bagian Tsabit bin Qais bin Syimas atau menjadi bagian saudara sepupunya, lantas Juwairiah membayar kemerdekaan dirinya secara bertahap. Ia adalah seorang wanita yang sangat cantik, tiada seorang pun pria yang melihatnya kecuali ia akan menawan hati pria tersebut.

 

Juwairiah kemudian datang menemui Rasulullah untuk meminta tolong kepada beliau dalam pembayaran pemerdekaan dirinya. Demi Allah, tiadalah peristiwa itu kecuali aku melihatnya dari atas pintu kamarku, aku pun membencinya, Aku mengetahui bahwa Rasulullah akan melihat pada diri Juwairiah apa yang kulihat. Kemudian Juwairiah masuk menemui beliau seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah Juwairiah binti Harits bin Abi Dhirar, bapakku adalah pemimpin kaumnya. Aku tertimpa musibah sebagaimana yang sudah kau ketahui, Aku menjadi milik Tsabit bin Qais bin Syimas -atau milik saudara sepupunya lalu aku berusaha membayar harga kemerdekaanku. Oleh karena itu, aku datang kepadamu untuk memintamu membantuku melunasi harga kebebasanku

 

Rasulullah bersabda, ‘Maukah kamu kutawari sesuatu yang lebih baik daripada itu?’ Juwairiah bertanya, ‘Apa itu, wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘Kulunasi harga pembebasanmu dan kunikahi kamu’ Juwairiah menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah’ Rasul bersabda, ‘Sudah kulakukan itu.”

 

Tersiarlah berita kepada publik bahwa Rasulullah menikahi Juwairiah binti Harits bin Abi Dhirar, lalu orang-orang berkata, “Ini adalah saudara-saudara persemendaan Rasulullah” Mereka pun membebaskan wanita-wanita Bani Mushthaliq yang menjadi budak mereka.

 

Aisyah berkata, “Sungguh, telah dimerdekakan dengan adanya pernikahan Rasulullah dan Juwairiah itu seratus budak wanita dari Bani Mushthaliq. Sungguh, aku tidak mengetahui perempuan yang lebih besar berkahnya bagi kaumnya melebihi Juwairiah.”

 

Dari Yazid bin Ruman, bahwasanya Rasulullah mengutus kepada Bani Mushthaliq sesudah keislaman mereka Walid bin Uqbah bin Abi Mu‘aith. Tatkala mereka mendengar berita kedatangan Walid, mereka pun mengendarai hewan tunggangan untuk menyambutnya.

 

Tatkala Walid mendengar berita munculnya banyak orang yang menghadangnya, ia pun menjadi takut dan pulang kembali menemui Rasulullah. Ia memberitahu Rasulullah bahwa Bani Mushthaliq sangat ingin membunuhnya dan menghalanginya dari mengambil zakat mereka. Kaum muslim banyak mengusulkan dilancarkannya perang terhadap mereka, sehingga Rasulullah menjadi sangat ingin memerangi mereka. Ketika mereka masih dalam keadaan demikian, datanglah utusan dari Bani Mushthaliq kepada Rasulullah dan mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami mendengar kedatangan utusanmu ketika engkau mengutusnya kepada kami. Lalu kami keluar dari kampung untuk menyambutnya dan memuliakannya, serta kami akan memberikan kepadanya zakat dari harta kami, tetapi utusanmu itu bergegas pulang dengan cepat. Kemudian sampai berita kepada kami bahwa ia melapor kepada Rasulullah bahwa kami keluar menghadangnya untuk membunuhnya, padahal demi Allah, kami tidak datang untuk tujuan itu.” Kemudian Allah menurunkan ayat berkenaan dengan Walid dan orang-orang Bani Mushthaliq ini,

 

“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik dengan menyampaikan berita, buktikanlah terlebih dahulu kebenaran berita itu, supaya kalian tidak menimpakan keburukan terhadap suatu kaum karena ketidaktahuan, lantas kalian menjadi menyesal terhadap apa yang sudah kalian kerjakan. Ketahuilah, bahwa di antara kalian ada Rasulullah, andaikan ia menaati kalian pada sebagian besar urusan, niscaya kalian akan mengalami kesulitan….” (Al-Hujurat [49]: 6-7)

 

Rasulullah datang dari perjalanan pulang beliau dari Bani Mushthaliq sampai ketika beliau sudah berada di dekat Madinah, sedang pada waktu itu Aisyah menemani beliau dalam perjalanan tersebut, lantas para pembuat berita bohong mengatakan kebohongan.

 

Haditsul Ifki pada Perang Bani Mushthaliq

 

Dari Aisyah, ia berkata: “Rasulullah itu apabila hendak bepergian, beliau mengundi di antara istri beliau. Siapa saja yang keluar anak panahnya (anak panah yang bertuliskan namanya), dialah yang menemani Nabi dalam bepergian. Pada Perang Bani Mushthaliq, Rasulullah mengundi di antara istri beliau, sebagaimana yang biasa beliau lakukan, anak panah yang keluar adalah anak panah bertuliskan namaku, kemudian Rasulullah bepergian bersamaku.

 

Para wanita pada waktu itu hanya memakan makanan yang mudah ditelan sehingga mereka tidak menjadi gemuk dan badan mereka tidak berat. Aku, apabila diajak bepergian dengan mengendarai untaku maka aku duduk di dalam sekedupku (sejenis tandu yang beratap dan bertutup samping untuk diletakkan di atas punggung unta), Orang-orang datang untuk membawaku bepergian. Mereka memegang bagian bawah sekedup, lalu mengangkatnya, mereka meletakkannya di atas punggung unta, lantas mengikatnya dengan tali sekedup itu. Sesudah itu, mereka memegang kepala unta, menuntunnya, dan berangkat.

 

Tatkala Rasulullah sudah selesai dari bepergian itu, beliau mengarah pulang. Sampai ketika beliau berada di dekat Madinah, beliau beristirahat di suatu tempat. Beliau menjalani sebagian waktu malam di tempat itu. Kemudian beliau mengumumkan kepada rombongan untuk segera berangkat, lalu rombongan pun berangkat. Aku keluar (dari sekedup) karena suatu keperluan (buang air). Di leherku melingkar kalung milikku. Pada kalung itu ada azimat dari Zhifar. Tatkala aku selesai dari keperluanku, kalung itu terlepas dari leherku, tetapi aku tidak mengetahuinya. Ketika aku kembali ke rombongan, aku berusaha mencarinya di leherku, tetapi aku tidak mendapatkannya, sedangkan pada waktu itu orang-orang sudah bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempat tersebut.

 

Aku kembali ke tempatku menyelesaikan keperluan tadi, lalu aku mencarinya, sampai aku mendapatkannya. Tetapi orang-orang sudah meninggalkanku, yakni mereka yang biasa membawa untaku pergi. Mereka sudah selesai mengemasi barang perbekalanku. Lalu mereka membawa sekedup. Mereka merasa aku berada di dalamnya, sebagaimana yang biasa kujalani. Mereka memikulnya, lalu mengikatkan dengan kuat di atas punggung unta. Mereka tidak ragu bahwa aku berada di dalamnya. Kemudian mereka memegang kepala unta dan berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

 

Aku kembali ke tempat pasukan beristirahat, ternyata tiada seorang pun yang memanggil dan tiada pula yang menjawab panggilan. Orang-orang semuanya sudah pergi. Aku pun menyelimuti tubuhku dengan jilbabku, lalu aku tertidur di tempat itu. Aku tahu bahwa jika rombongan merasa kehilangan, mereka pasti akan kembali ke tempat itu mencariku.”

 

Aisyah berkata, “Demi Allah, aku sedang berbaring, ketika tiba-tiba Shafwan bin Mu‘athal As-Sulami lewat di dekatku. Ia juga tertinggal dari pasukan karena menyelesaikan salah satu keperluannya. Ia tidak menjalani malam di tempat ini bersama rombongan. Lalu ia melihat hitam-hitam bayanganku. Ia datang mendekat hingga ia berdiri di dekatku. Ia pernah melihat aku sebelum diwajibkan cadar atas kami (istri-istri Nabi).

 

Tatkala ia melihatku, ia berucap, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un (sungguh, kami milik Allah dan akan kembali kepada Allah), istri Rasulullah’ Sedang pada waktu itu aku menyelimuti tubuhku dengan kain dan bajuku.

 

Ia bertanya, ‘Apa yang membuatmu tertinggal, semoga Allah menyayangimu?’ Aku tidak berkata sepatah kata pun kepadanya.

 

Shafwan mendekatkan untanya, seraya berucap, ‘Naiklah’ Lalu ia menjauh dariku.

 

Aku naik. Shafwan memegang tali kekang pada kepala unta, lalu ia berangkat dengan cepat, untuk menyusul rombongan. Demi Allah, kami tidak bisa menyusul rombongan, dan rombongan itu tidak merasa kehilangan aku sampai aku memasuki waktu pagi, dan orang-orang beristirahat. Tatkala mereka dalam keadaan tenang, muncullah seorang lelaki (Shafwan) menuntun unta yang kukendarai. Para penyebar berita bohong pun mengatakan apa yang mereka katakan. Pasukan Islam menjadi gempar, dan demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun tentang itu.

 

Kami pun tiba di Madinah. Tidak lama sesudah kedatangan kami, aku menderita sakit yang parah. Tiada terbetik satu berita pun kepadaku berkenaan dengan kejadian itu, padahal berita dusta itu sudah sampai kepada Rasulullah, dan kepada kedua orang tuaku, tetapi mereka tidak menceritakannya kepadaku, sedikit atau pun banyak, kecuali aku mendapati perubahan perilaku Rasulullah terhadap diriku dan kasih sayangnya kepadaku. Apabila aku sakit biasanya beliau menyayangiku dan bersikap lemah lembut kepadaku. Akan tetapi, pada sakitku itu beliau tidak melakukan apa yang biasa beliau lakukan terhadap diriku ketika sakit, sehingga aku merasa aneh dengan itu.

 

Rasulullah ketika masuk ke kamarku, sedang di kamar itu ada ibuku yang sedang merawatku, beliau hanya berkata, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Beliau tidak bersikap lebih dari itu. Sampai aku mendapati rasa tidak enak dalam diriku, sampai aku berkata ketika aku melihat sikap beliau yang keras dan dingin, “Wahai Rasulullah, jikalau engkau mengizinkan, aku akan pindah sementara ke rumah ibuku, supaya ia bisa merawatku di sana’ Rasul menjawab, ‘Ya, silakan.

 

Aku pun pindah ke rumah ibuku, dan aku tetap tidak mengetahui sedikit pun apa yang sedang terjadi, sampai aku sembuh dari sakitku, dua puluh sekian hari kemudian.

 

Kami adalah Bangsa Arab. Kami tidak biasa membuat kamar mandi di rumah kami seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang non-Arab. Kami merasa jijik dengan itu dan kami membencinya. Kami biasanya hanya pergi ke tempat lapang yang ada di Madinah. Biasanya kaum wanita keluar untuk membuang hajat pada waktu malam.

 

Suatu malam aku keluar untuk membuang hajatku. Aku ditemani oleh Ummu Misthah binti Abu Ruhm bin Mutholib bin Abd Manaf, ibunya adalah anak perempuan Shakhr bin Amir bin Ka‘ab bin Saad bin Taim, bibi Abu Bakar AshShidiq.

 

Demi Allah, ia sedang berjalan bersamaku ketika ia terpeleset pada kain bajunya. Ia berkata, ‘Celakalah Misthah!’ Misthah adalah julukannya, sedang nama aslinya adalah Auf. Aku bertanya, ‘Sungguh buruk, demi Allah, apa yang kau katakan untuk seorang lelaki dari kalangan muhajir yang ikut serta dalam Perang Badar’

 

Ummu Misthah berkata, ‘Apakah belum sampai berita itu kepadamu, wahai putri Abu Bakar?’ Aku balik bertanya, “Berita apa itu?’

 

Lalu Ummu Misthah memberitahukan kepadaku sebagian dari omongan para penyebar berita bohong. Aku bertanya, ‘Apakah ini benar-benar terjadi? Ummu Misthah menjawab, “Ya, demi Allah, ini benar-benar terjadi:

 

Aisyah berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu menyelesaikan keperluanku, dan aku langsung pulang. Demi Allah, aku terus menerus menangis sampai aku menyangka bahwa tangisanku itu akan membelah hatiku.” Aku berucap kepada ibuku, “Semoga Allah mengampunimu, orang-orang berbicara dengan apa yang mereka bicarakan itu, sedang engkau tidak menceritakan pembicaraan mereka itu kepadaku sedikit pun!” Ibuku menjawab, “Putriku, tenangkanlah dirimu menghadapi hal itu, karena demi Allah, sangat sedikit keadaan perempuan yang cantik, di Aku kembali ke tempat pasukan beristirahat, ternyata tiada seorang pun yang memanggil dan tiada pula yang menjawab panggilan. Orang-orang semuanya sudah pergi. Aku pun menyelimuti tubuhku dengan jilbabku, lalu aku tertidur di tempat itu. Aku tahu bahwa jika rombongan merasa kehilangan, mereka pasti akan kembali ke tempat itu mencariku”

 

Aisyah berkata, “Demi Allah, aku sedang berbaring, ketika tiba-tiba Shafwan bin Mu‘athal As-Sulami lewat di dekatku. Ia juga tertinggal dari pasukan karena menyelesaikan salah satu keperluannya. Ia tidak menjalani malam di tempat ini bersama rombongan. Lalu ia melihat hitam-hitam bayanganku. Ia datang mendekat hingga ia berdiri di dekatku. Ia pernah melihat aku sebelum diwajibkan cadar atas kami (istri-istri Nabi).

 

Tatkala ia melihatku, ia berucap, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un (sungguh, kami milik Allah dan akan kembali kepada Allah), istri Rasulullah Sedang pada waktu itu aku menyelimuti tubuhku dengan kain dan bajuku.

 

Ia bertanya, ‘Apa yang membuatmu tertinggal, semoga Allah menyayangimu?’ Aku tidak berkata sepatah kata pun kepadanya.

 

Shafwan mendekatkan untanya, seraya berucap, “Naiklah’? Lalu ia menjauh dariku.

 

Aku naik. Shafwan memegang tali kekang pada kepala unta, lalu ia berangkat dengan cepat, untuk menyusul rombongan. Demi Allah, kami tidak bisa menyusul rombongan, dan rombongan itu tidak merasa kehilangan aku sampai aku memasuki waktu pagi, dan orang-orang beristirahat. Tatkala mereka dalam keadaan tenang, muncullah seorang lelaki (Shafwan) menuntun unta yang kukendarai. Para penyebar berita bohong pun mengatakan apa yang mereka katakan. Pasukan Islam menjadi gempar, dan demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun tentang itu.

 

Kami pun tiba di Madinah. Tidak lama sesudah kedatangan kami, aku menderita sakit yang parah. Tiada terbetik satu berita pun kepadaku berkenaan dengan kejadian itu, padahal berita dusta itu sudah sampai kepada Rasulullah, dan kepada kedua orang tuaku, tetapi mereka tidak menceritakannya kepadaku, sedikit atau pun banyak, kecuali aku mendapati perubahan perilaku Rasulullah terhadap diriku dan kasih sayangnya kepadaku. Apabila aku sakit biasanya beliau menyayangiku. dan bersikap lemah lembut kepadaku. Akan tetapi, pada sakitku itu beliau tidak melakukan apa yang biasa beliau lakukan terhadap diriku ketika sakit, sehingga aku merasa aneh dengan itu.

 

Usamah, ia menyanjung baik kepadaku dan ia juga mengatakan itu. Lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, istri-istrimu, kami tidak mengetahui seorang pun dari mereka kecuali baik keadaannya. Ini adalah berita yang dusta dan batil’? Adapun Ali, sungguh ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh wanita itu banyak jumlahnya, dan engkau mampu untuk mengganti istrimu. Pinanglah seorang gadis, ia pasti mau menjadi istrimu.”

 

Rasulullah kemudian memanggil Barirah’* untuk menanyainya. Aisyah berkata, “Ali bin Abu Thalib mendekati Barirah, lalu ia memukulnya dengan pukulan yang kuat, seraya berucap, ‘Berkata jujurlah kamu kepada Rasulullah Lantas Barirah berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali kebaikan, Aku tidak pernah mencela Aisyah sedikit pun, kecuali suatu ketika aku membuat adonan dengan tepung gandum, lalu aku menyuruh ia untuk menjaganya, tetapi ia tertidur. Seekor kambing pun datang dan memakan adonanku itu.”

 

Aisyah berkata, “Rasulullah datang ke rumahku. Ketika itu aku ditemani oleh ayah dan ibuku serta seorang perempuan Anshar di sampingku. Aku menangis dan wanita Anshar itu juga menangis bersamaku. Nabi duduk, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lantas beliau bersabda, “Wahai Aisyah, sungguh sudah sampai kepadamu apa yang dikatakan orang-orang itu. Bertakwalah kamu kepada Allah, jika kamu memang telah melakukan satu keburukan sebagaimana yang dikatakan orang-orang itu dan bertobatlah kamu kepada-Nya. Sungguh, Allah menerima tobat dari para hamba-Nya.”

 

Aisyah berkata, “Demi Allah, tiadalah beliau mengatakan ucapan itu kepadaku kecuali tangisku kian menjadi-jadi, sampai aku merasa sudah tidak ada lagi air mataku yang tersisa. Aku menunggu kedua orang tuaku menjawab ucapan Rasulullah untuk membelaku, tetapi keduanya tidak berbicara!”

 

Demi Allah, aku menganggap diriku terlalu hina dan kedudukanku terlalu rendah bila Allah berkenan menurunkan ayat-Nya terkait diriku dan akan dibaca di masjid-masjid serta dalam shalat. Akan tetapi, aku hanya berharap bahwa Rasulullah akan melihat pada tidur beliau sesuatu yang dengannya Allah menyatakan kedustaan berita itu, sehingga beliau mengetahui bahwa aku bebas dari dosa, atau beliau menyampaikan berita. Adapun ayat Al-Qur’an yang diturunkan berkenaan diriku, demi Allah, aku menganggap diriku amat hina untuk mendapatkannya.

 

Tatkala aku melihat kedua orang tuaku tidak berbicara. Aku berkata kepada mereka berdua, “Mengapa kalian berdua tidak menjawab ucapan Rasulullah” Kedua orang tuaku berkata, “Demi Allah, kami tidak tahu jawaban apa yang akan kami sampaikan kepada beliau.” Demi Allah, aku tidak mengetahui adanya keluarga yang tertimpa musibah sebagaimana keluarga Abu Bakar di masa itu.

 

Tatkala kedua orang tuaku tidak berbicara membelaku, aku pun berusaha berbicara sehingga aku menangis. Aku berkata, “Demi Allah, aku tidak akan bertobat kepada Allah terhadap perkara yang engkau sampaikan tadi selama-lamanya. Demi Allah, aku mengetahui bahwa jika aku mengakui apa yang dikatakan orang itu, padahal Allah mengetahui bahwa aku bersih dari tuduhan itu, berarti aku mengatakan sesuatu yang tidak terjadi. Sungguh, jika aku mengingkari apa yang mereka katakan, kalian tidak memercayaiku.”

 

Aku hendak menyebut nama Ya‘qub, tetapi aku tidak mengingatnya, lantas aku berkata, “Aku akan berkata seperti yang dikatakan oleh bapak Yusuf, ‘Maka sabar itulah yang terbaik, Allah itu Dzat Yang Dimintai pertolongan atas apa yang kalian gambarkan sifatnya.”

 

Demi Allah, Rasulullah belum berpindah dari tempat duduk beliau, sampai meliputi beliau sesuatu dari Allah sebagaimana yang biasa meliputi beliau, lantas beliau diselimuti dengan baju beliau dan diletakkan sebuah bantal dari kulit di bawah kepala beliau. Adapun aku, ketika aku melihat apa yang kulihat itu, demi Allah, aku tidak terkejut dan aku tidak peduli. Sungguh, aku mengetahui bahwa aku bebas dari dosa, pun Allah tidak akan menzalimiku. Sedangkan kedua orang tuaku, demi Dzat Yang jiwa Aisyah ada di Tangan-Nya, belum hilang dari Rasulullah apa yang menimpa beliau itu sampai aku menyangka bahwa nyawa mereka berdua akan keluar, karena ketakutan bila wahyu yang turun kepada Rasulullah membenarkan apa yang dikatakan publik.

 

Berakhirlah keadaan yang terjadi pada Rasulullah. Lalu beliau duduk. Sungguh, menetes dari beliau butiran keringat bagai mutiara yang dibuat dari perak, padahal peristiwa itu terjadi pada hari yang dingin. Beliau mengusap keringat dari kening beliau, seraya bersabda, “Bergembiralah kamu, hai Aisyah, sungguh Allah telah menurunkan ayat yang menyatakan kebebasan dirimu dari tuduhan itu.” Aku berkata, “Alhamdulillah.”

 

Kemudian Rasulullah keluar menjumpai khalayak, beliau membacakan kepada mereka ayat Al-Qur’an yang diturunkan tadi. Beliau memerintahkan dilakukannya tindakan terhadap Misthah bin Utsasah, Hasan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy. Mereka semuanya dianggap sebagai biang keladi munculnya fitnah keji. Kemudian mereka dijilid dengan hukum had.

 

Ibnu Ishaq berkata, “Dari salah seorang lelaki Bani Najar, bahwasanya Abu Ayub Khalid bin Zaid, istrinya, Ummu Ayub, berkata kepadanya, “Wahai Abu Ayub, tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan orang tentang Aisyah?’ Abu Ayub berkata, “Ya, itu adalah kedustaan. Apakah kamu, hai Ummu Ayub, pelakunya?? Ummu Ayub menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak melakukannya’ Abu Ayub berkata, ‘Aisyah itu, demi Allah, lebih baik daripada kamu.”

 

Aisyah berkata, “Tatkala turun ayat Al-Qur’an yang menyebutkan orang yang berkata itu termasuk pelaku perbuatan keji dan apa yang dikatakan oleh penyebar berita dusta, Allah berfirman, ‘Sungguh, orang-orang yang membawa berita dusta itu merupakan sebagian dari kalian. Janganlah kalian menganggapnya buruk untuk kalian, akan tetapi jadikan itu kebaikan bagi kalian. Tiap-tiap orang akan mendapatkan (balasan) dosa yang ia kerjakan. Orang yang mengurusi sebagian besarnya di antara mereka akan mendapatkan siksaan yang besar. (An-Nur [24]: 11).”

 

Itulah Hasan bin Tsabit dan teman-temannya yang mengatakan apa yang mereka katakan. Kemudian Allah berfirman, “Mengapakah tidak ketika kalian mendengarnya, orang-orang beriman laki-laki dan perempuan menyangka baik terhadap diri mereka,” (An-Nur [24]: 12) maksudnya mereka berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Ayub dan istrinya.

 

Allah berfirman, “Ketika kalian menyampaikannya dengan lisan kalian, dan mengatakannya dengan mulut kalian, apa yang kalian tidak punya ilmunya. Kalian menyangkanya ringan, padahal itu besar di hadapan Allah.” (An-Nur [24]: 15)

 

Tatkala ayat tentang Aisyah dan orang yang berkomentar tentangnya turun, Abu Bakar yang biasa memberi nafkah kepada Misthah dan kerabatnya, serta mencukupi kebutuhannya, berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah kepada Misthah sedikit pun selama-lamanya. Aku tidak akan memberinya manfaat dengan satu manfaat pun sesudah ia mengatakan buruk terhadap Aisyah dan merusak kehormatan kami!”

 

Aisyah berkata, “Allah pun menurunkan ayat-Nya tentang kejadian itu Janganlah orang yang mempunyai kelebihan harta dan kelonggaran di antara kalian ‘ itu bersumpah untuk tidak memberi nafkah kepada kerabat, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan melonggarkan, tidakkah kalian senang bila Allah mengampuni kalian. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur [24]: 22)”

 

Abu Bakar berkata, “Tidak, demi Allah, aku senang bila Allah mengampuniku.” Kemudian Abu Bakar kembali memberi Misthah nafkah yang biasa ia berikan kepadanya, dan ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menghentikan nafkah ini darinya selama-lamanya.”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Seseorang dari kaum muslim berkata tentang tindakan Hasan bersama teman-temannya dalam fitnah mereka terhadap Aisyah:

 

Sungguh Hasan yang menjadi pelakunya telah merasakan…

Begitu pula Hamnah, ketika mereka mengatakan ucapan keji, begitu juga Mishthah

Mereka menyangka buruk terhadap orang lain, yakni istri Nabi mereka…

Kemurkaan Sang Pemilik Arsy yang mulia lalu mereka dijadikan bersedih

Mereka menyakiti Rasulullah padanya lantas mereka ditutupi tirai…

Kehinaan yang tetap kekal, mereka diumumkan dan dianggap keji

Dituangkan atas mereka cemeti mahkamah seolah-olah itu…

Terpaan tetes air dari tempat yang tinggi dan hujan yang mengalir.”

 

Perang Hudaibiah

 

Setelah kejadian tersebut, Rasulullah berdiam di Madinah selama dua bulan, yakni Ramadhan dan Syawal. Beliau kembali bepergian meninggalkan Madinah pada bulan Dzulqa‘dah, untuk menjalankan Umrah, tanpa menginginkan perang. Kepergian beliau ini membuat orang-orang Arab dan orang-orang Badui yang tinggal di sekitar beliau ikut serta berangkat menyertai beliau.

 

Rasulullah khawatir kaum Quraisy akan berbuat sesuatu, yakni mengajak berperang atau menghalangi beliau dari Baitullah. Oleh karena itu, sebagian besar komunitas Arab dusun memperlambat kepergiannya bersama beliau. Rasulullah berangkat bersama orang-orang yang menyertai beliau dari kalangan Muhajir dan Anshar, serta orang-orang Badui yang menyusul mereka. Beliau membawa binatang hadyu, berihram untuk umrah, agar publik merasa aman dari aksi perang beliau, serta agar orang-orang mengetahui bahwa beliau hanya bepergian untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkannya.

 

Rasulullah terus melakukan perjalanan, sampai ketika beliau tiba di Usfan’ beliau ditemui oleh Bisyr bin Sufyan Al-Ka‘bi. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, kaum Quraisy telah mendengar perjalananmu. Mereka keluar sembari membawa serta unta-unta yang baru saja melahirkan anaknya dan unta yang bersama anaknya, Mereka sekarang beristirahat di Dzi Thuwa, mereka berjanji kepada Allah bahwa kalian tidak akan diperkenankan memasuki tempat tinggal mereka (Mekah) selama-lamanya. Khalid bin Walid bersama pasukan kavalerinya menjadi pasukan pendahulu Quraisy, sekarang sampai di Kura’ Al-Ghamim.” Rasulullah bersabda: “Hai celakalah Quraisy! Sungguh perang telah menguasai mereka. Apa ruginya seandainya mereka membiarkan aku dan seluruh orang Arab. Jika mereka menyerangku, itulah yang mereka inginkan. Jika Allah memenangkanku atas mereka, mereka harus masuk Islam semuanya. Jika mereka tidak melakukan itu, mereka akan berperang sedang mereka mempunyai kekuatan. Apa yang dipikirkan Quraisy? Demi Allah, aku tidak akan berhenti berjihad atas misi yang aku diutus dengannya, sampai Allah memenangkanku, atau ujung leherku ini terpenggal dan terpisah dari badan!”

 

Beliau bersabda, “Siapakah orang yang bisa berangkat bersama kami melalui jalan yang tidak biasa mereka lalui?” Seorang lelaki dari Bani Aslam berkata, “Saya, wahai Rasulullah” Lantas ia mengajak rombongan muslimin untuk melewati jalan yang banyak berbatu di antara celah lereng gunung. Tatkala mereka keluar dari celah itu dan kaum muslim mengalami kesulitan dalam menempuhnya, mereka pun sampai ke tempat yang lapang di belahan lembah. Rasulullah bersabda, “Kalian katakanlah, ‘Kami memohon ampun kepada Allah dan kami bertobat kepada-Nya?” Mereka pun mengatakan itu. Lalu Rasulullah berkata, “Demi Allah, ini adalah hiththah yang dihadapkan kepada Bani Israil, tetapi mereka tidak mau mengatakannya.”

 

Rasulullah memerintahkan rombongan kaum muslim dengan bersabda, “Lewatlah sebelah kanan di antara dua punggung bukit, jalan yang tempat keluarnya adalah Tsaniyah Murar, supaya beristirahat di Hudaibiah, bagian dari dataran rendah kota Mekah.”

 

Tentara Islam menempuh jalan itu. Tatkala pasukan kavaleri Quraisy melihat xepulan debu rombongan, yang tampak menyelisihi jalan mereka, mereka pun kembali kepada Quraisy. Rasulullah tatkala menempuh jalan Tsaniyah Murar, unta beliau menderum sendiri. Orang-orang berkomentar, “Unta ini menderum dan tidak mau disuruh berdiri” Rasulullah bersabda, “Apa yang membuatnya begitu. Ini bukan kebiasaannya, akan tetapi telah menahannya Dzat Yang telah menahan gajah (milik Abrahah) dari Mekah. Tidaklah kaum Quraisy mengajakku hari ini untuk melakukan penyambungan hubungan keluarga, kecuali aku akan mengabulkannya.”

 

Rasulullah bersabda kepada orang-orang Islam, “Turunlah kalian dan beristirahatlah” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah di lembah ini ada mata air yang kami bisa beristirahat di sana.” Rasulullah mengeluarkan sebatang anak panah dari wadah anak panah beliau, lalu memberikannya kepada seorang pria dari kalangan sahabat beliau. Rasulullah turun dengan membawanya ke sebuah sumur dari sekian banyak sumur yang ada di sana. Rasulullah menancapkannya pada rongganya, lantas mencabutnya kembali. Terpancarlah air yang mengalir deras, sampai orang-orang menderumkan untanya di sekitar mata air itu.

 

Ketika Rasulullah sudah beristirahat dengan tenang, Budail bin Warqa Al-Khuza‘i datang menemui beliau bersama beberapa orang dari Khuza‘ah. Mereka berbicara kepada beliau dan bertanya kepada beliau, “Apa yang terjadi denganmu?” Lantas Rasulullah memberitahu mereka bahwa dirinya tidak datang dengan niat berperang. Beliau hanya datang untuk berziarah ke Baitullah dan mengagungkannya. Beliau juga berkata sebagaimana yang beliau katakan kepada Bisyr bin Sufyan.

 

Rombongan Khuza‘ah ini kembali kepada kaum Quraisy dan berkata kepada mereka, “Wahai orang-orang Quraisy, sungguh kalian tergesa-gesa dalam bersikap terhadap Muhammad. Sungguh, Muhammad tidak datang untuk berperang. Ia hanya datang untuk mengunjungi Baitullah.”

 

Kaum Quraisy menuduh keburukan dan mengatakan hal-hal yang dibenci kepada mereka. Mereka berkata, “Jika ia datang tanpa berniat berperang, demi Allah, ia tidak akan dapat masuk ke tempat kami dengan kekerasan selama-lamanya. Jangan sampai orang-orang Arab membicarakan kami tentang itu.”

 

Khuza‘ah merupakan kabilah pemegang rahasia Rasulullah, baik muslimnya maupun musyriknya, mereka tidak menyembunyikan dari beliau sedikit pun ketika beliau berada di Mekah.

 

Selanjutnya, kaum Quraisy mengutus Mikraz bin Hafsh bin Akhif untuk menemui beliau. Tatkala Rasulullah melihat kedatangannya, beliau berkomentar, “Ini adalah seorang lelaki dari kaum pengkhianat.” Ketika ia berada di hadapan Rasulullah dan berbicara kepada beliau, Rasulullah bersabda kepadanya seperti yang beliau sabdakan kepada Budail dan teman-temannya. Ia pun kembali kepada Quraisy dan memberitahu mereka apa yang dikatakan oleh Rasulullah kepadanya.

 

Selanjutnya, mereka mengutus Hulais bin Alqamah —atau Ibnu Zaban kepada Nabi, sedang pada waktu itu ia menjadi pemimpin orang-orang Habasyah. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau berkomentar, “Sungguh, orang ini termasuk kaum yang menyembah dan mengagungkan Allah. Kalian tempatkanlah binatang hadyu di depannya agar ia melihatnya.” Ketika ia melihat binatang hadyu berjalan mendekatinya dari samping lembah dengan kalung yang dilingkarkan di lehernya (sebagai tanda bahwa itu adalah binatang hadyu) yang bulunya sebagian telah termakan karena terlalu lama ditahan di tempat penyembelihan binatang di Tanah Haram, ia pun kembali pulang menemui orang-orang Quraisy dan tidak sampai kepada Rasulullah, karena mengagungkan apa yang ia lihat.

 

Ia mengatakan itu kepada kaum Quraisy. Orang-orang Quraisy berkata kepadanya, “Duduklah kamu, karena kamu adalah orang Arab desa yang tidak punya ilmu.” Ia marah ketika dikatakan seperti itu, sembari berkata, “Wahai sekalian Quraisy, demi Allah, bukan atas dasar ini kami bersumpah kepada kalian. Tidak pula atas dasar ini kami menjalin akta perjanjian dengan kalian. Apakah akan dihalangi dari Baitullah orang yang datang untuk mengagungkannya! Demi Dzat Yang jiwa Hulais ada di Tangan-Nya, sungguh kalian harus membebaskan antara Muhammad dengan apa yang ia datang dengannya, atau aku akan memberangkatkan seluruh orang Habasyah dalam satu rombongan yang bersatu bagai satu orang saja!” Kaum Quraisy berkata, “Cis, tahanlah itu dari kami, hai Hulais, sampai kami mengambil untuk kami apa yang kami ridhai.”

 

Selanjutnya, mereka mengutus kepada Rasulullah Urwah bin Masud AtsTsaqafi. Ia berangkat hingga menghadap Rasulullah, lalu ia duduk di hadapan beliau. Ia berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau mengumpulkan orang dari berbagai kabilah lalu engkau datang bersama mereka ke kabilahmu untuk engkau gabungkan. Sungguh, Quraisy berangkat dengan membawa serta unta-unta yang baru saja melahirkan dan unta bersama anaknya’” sebagai bekal. Mereka menyandang busana perang. Mereka berjanji kepada Allah bahwa engkau tidak boleh memasuki Mekah secara paksa selama-lamanya. Demi Allah, seolah-olah aku telah melihat mereka menang melawanmu esok hari!”

 

Pada saat itu, Abu Bakar Ash-Shidiq sedang duduk di belakang Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Mengisaplah ke kelentit Latta, apakah kami akan kalah?”

 

Urwah bin Mas‘ud bertanya, “Siapa orang ini, hai Muhammad?” Rasul menjawab, “Ini adalah putra Abu Quhafah””

 

Urwah berkata, “Ketahuilah, demi Allah, kalaulah engkau tidak mempunyai kekuatan di hadapanku, niscaya aku akan mencukupimu darinya, tetapi orang ini juga mempunyai kekuatan.”

 

Kemudian Urwah berusaha memegang jenggot Rasulullah ketika beliau berbicara kepadanya. Mughirah bin Syu’bah berdiri di dekat kepala Rasulullah dengan membawa sebatang besi. Ia memukul tangan Urwah ketika hendak meraih jenggot Rasulullah seraya berkata, “Tahan tanganmu dari wajah Rasulullah sebelum tangan itu tidak sampai lagi kepadamu!” Urwah berkata, “Siapa ini, wahai Muhammad?” Rasul menjawab, “Ini adalah keponakanmu, Mughirah bin Syu‘bah-”

 

Urwah berkata, “Hai pengkhianat, kamu belum membasuh auratmu kecuali kemarin!”’ Lalu Rasulullah berbicara kepada Urwah bin Mas‘ud semisal apa yang beliau katakan kepada teman-temannya. Beliau memberitahu Urwah bahwa beliau tidak datang dengan maksud berperang.

 

Urwah bangkit dan berdiri dari hadapan Nabi, ia telah melihat apa yang dilakukan oleh para sahabat beliau. Beliau tidak berwudhu kecuali mereka segera memperebutkan air wudhu beliau. Beliau tidak meludah satu ludah pun, kecuali mereka memperebutkannya. Tiada sehelai pun rambut beliau yang jatuh kecuali mereka mengambilnya.

 

Urwah kembali kepada Quraisy seraya berucap, “Wahai sekalian orang Quraisy, sungguh aku pernah datang kepada Kisra di kerajaannya, Kaisar di kerajaannya, serta Najasyi di kerajaannya. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja di tengah kaumnya yang semisal dengan Muhammad di tengah para sahabatnya! Sungguh, aku melihat suatu kaum yang tidak mungkin menyerahkan dirinya untuk sesuatu pun selama-lamanya. Silakan kalian berpendapat.”

 

Rasulullah memanggil Khirasy bin Umayah Al-Khuza‘i, lantas beliau mengutusnya untuk menemui Quraisy di Mekah. Beliau menyuruh Khirasy menaiki unta beliau yang bernama Tsa‘lab, untuk menyampaikan kepada para pemuka Quraisy berita tentang beliau dan tujuan beliau. Kaum Quraisy justru menyembelih unta Rasulullah dan hendak membunuh Khirasy, tetapi orang. orang Habasyah mencegahnya dan mereka akhirnya membebaskan Khirasy, sehingga ia kembali menemui Rasulullah.

 

Rasulullah memanggil Umar bin Khathab untuk mengirimnya sebagai utusan ke Mekah, guna menyampaikan kepada pemuka Quraisy tujuan kedatangan beliau ke Mekah. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku khawatir kaum Quraisy akan membunuhku. Di Mekah tidak ada seorang pun dari Bani Adiy bin Ka‘ab yang akan melindungiku. Quraisy sudah mengetahui permusuhanku kepadanya dan kekerasan sikapku terhadapnya. Akan tetapi, aku dapat menunjukkan kepadamu seorang lelaki yang lebih mulia dan lebih kuat perlindungannya dariku, ia adalah Utsman bin Affan.”

 

Rasulullah memanggil Utsman bin Affan, lalu beliau mengutusnya kepada Abu Sufyan serta pemuka Quraisy lainnya, untuk mengabarkan kepada mereka bahwa beliau tidak datang dengan tujuan berperang, serta bahwa beliau hanya datang untuk berziarah ke Baitullah dan sebagai orang yang mengagungkan kehormatannya.

 

Utsman berangkat ke Mekah. Ia ditemui oleh Aban bin Sa‘id bin Ash, ketika ia memasuki kota Mekah, atau dikatakan juga ketika ia hendak memasuki kota Mekah. Aban membawa Utsman di depannya kemudian ia melindunginya sampai Utsman menyampaikan surat Rasulullah. Utsman berangkat hingga ia datang kepada Abu Sufyan dan pembesar Quraisy lainnya. Utsman menyampaikan kepada mereka surat dari Rasulullah yang ia bawa.

 

Mereka berkata kepada Utsman ketika ia selesai membacakan surat Rasulullah, “Jika engkau menghendaki untuk melakukan tawaf di Baitullah, silakan kamu bertawaf-”

 

Utsman berkata, “Aku tidak akan melakukannya sampai Rasulullah melakukan tawaf di sana.” Kaum Quraisy lalu menahan Utsman di Mekah. Sampai kabar kepada Rasulullah dan kaum muslim bahwa Utsman bin Affan telah dibunuh.

 

Baiat Ridhwan

 

Ibnu Ishaq berkata bahwa Abdullah bin Abu Bakar menceritakan kepadaku: “Rasulullah ketika sampai berita kepada beliau bahwa Utsman telah dibunuh, beliau bersabda, ‘Kami tidak akan pergi dari sini sampai kami habisi orang-orang kafir itu? Lantas Rasulullah memanggil semua anggota rombongan untuk berbaiat. Itulah Baiat Ridhwan yang dilakukan di bawah pohon.

 

Orang-orang berkata, ‘Rasulullah membaiat mereka untuk mati’ Jabir bin

 

Abdullah berkata, ‘Sungguh, Rasulullah tidak membaiat kami untuk mati, akan tetapi beliau membaiat kami untuk tidak melarikan diri?

 

Kaum muslim’? membaiat Rasulullah. Tiada seorang pun dari kaum muslim yang tidak ikut dalam pembaiatan itu kecuali Jadd bin Qais, saudara Bani Salamah. Jabir bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah, aku melihatnya yang sedang menempelkan tubuhnya pada ketiak untanya. Ia menempelkan tubuhnya ke unta itu untuk bersembunyi dari pandangan orang banyak’

 

Kemudian sampai berita kepada Rasulullah bahwa kabar yang diceritakan tentang Utsman itu adalah kabar yang batil”

 

Perjanjian Damai Hudaibiah

 

Berikutnya, kaum Quraisy mengutus Suhail bin Amru, saudara Bani Amir bin Luay, kepada Rasulullah dan berkata kepadanya, “Datanglah kamu kepada Muhammad, lalu ajaklah ia menuju perjanjian damai. Jangan sampai ada pada isi perjanjian itu kecuali ia harus pulang meninggalkan kami pada tahun ini. Demi Allah, jangan sampai orang-orang Arab memperbincangkan kami bahwa Muhammad dapat masuk ke negeri kami secara paksa, selama-lamanya.”

 

Suhail bin Amru datang kepada Nabi. Tatkala Rasulullah melihat ia datang, beliau berkomentar, “Kaum Quraisy menginginkan perdamaian ketika mereka mengutus orang ini.” Tatkala Suhail sampai di hadapan Rasulullah, ia berbicara secara panjang lebar, dan keduanya saling bergantian bicara, lantas diberlakukanlah perjanjian damai di antara mereka berdua (Rasulullah dan Suhail).

 

Tatkala urusan itu sudah disepakati, dan yang dilakukan hanya tinggal menuliskannya saja, Umar bin Khathab langsung melompat dan datang kepada Abu Bakar. Ia berkata:

 

“Wahai Abu Bakar, bukankah ia ini Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Ya” Umar bertanya lagi, “Bukankah kami ini orang-orang Islam?” Abu Bakar menjawab lagi, “Ya.” Umar bertanya kembali, “Bukankah mereka itu orang-orang musyrik?” Abu Bakar menjawab, “Ya.” Umar berkata, “Lantas atas dasar apa kami memberikan kerendahan dan kehinaan kepada agama kami?”

 

Abu Bakar menyahut, “Hai Umar, pegangilah urusanmu kuat-kuat karena aku bersaksi bahwa ia adalah Rasulullah.” Umar berkata, “Aku juga bersaksi bahwa ia adalah Rasulullah.”

 

Selanjutnya, Umar datang kepada Rasulullah seraya berucap:

 

“Wahai Rasulullah, bukankah engkau adalah utusan Allah?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Umar bertanya lagi, “Bukankah kami adalah orang-orang Islam?” Rasul menjawab, “Ya.” Umar bertanya, “Bukankah mereka adalah orang-orang musyrik?” Rasul menjawab, “Ya.” Umar bertanya, “Lalu atas dasar apa kami memberikan kehinaan di dalam agama kami?” Rasulullah bersabda, “Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku tidak akan menyelisihi perintah-Nya dan la tidak akan menyia-nyiakan diriku.”

 

Umar berkata:

 

“Aku terus menerus bersedekah, berpuasa, mengerjakan shalat, dan memerdekakan budak sejak aku melakukan perbuatanku pada hari itu. Aku mengkhawatirkan ucapanku yang kukatakan pada waktu itu, sampai aku berharap bahwa itu menjadi kebaikan.’

 

Lantas Rasulullah memanggil Ali bin Abu Thalib, semoga Allah meridhainya, seraya bersabda:

 

“Tulislah “Bismillahirrahmanirrahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang).” Suhail berkata, “Aku tidak kenal ini, tulis saja, ‘Bismikallahumma (Dengan Nama-Mu wahai Allah).” Kemudian Ali menulisnya. Kemudian Rasulullah bertitah, “Tulislah, ‘Ini adalah perjanjian damai yang disepakati oleh Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amru.” Suhail berkata, “Kalau saja aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah (utusan Allah), niscaya aku tidak akan memerangimu. Tulis saja namamu dan nama bapakmu.” Rasulullah bertitah, “Tulislah, ‘Ini adalah perjanjian damai yang disepakati oleh Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amru.”

 

Keduanya sepakat untuk meletakkan senjata dari orang-orang itu selama sepuluh tahun. Orang-orang mendapatkan keamanan pada masa itu dan sebagian dari mereka menahan diri dari memerangi sebagian yang lainnya. Siapa saja yang datang kepada Muhammad dari kalangan orang Quraisy tanpa izin walinya, Muhammad harus mengembalikan ia kepada mereka (penduduk Mekah). Sedangkan siapa saja yang datang kepada kaum Quraisy dari kalangan pengikut Muhammad, Quraisy tidak mengembalikannya kepadanya. Tidak boleh ada pencurian ringan dan tidak boleh ada pengkhianatan. Sungguh, siapa saja yang ingin masuk ke akad Quraisy dan perjanjian mereka, ia boleh masuk ke sana.

 

Orang-orang Khuza‘ah berlompatan seraya berkata, “Kami masuk ke dalam akad Muhammad dan janjinya” Bani Bakar juga berloncatan sembari berucap, “Kami masuk ke akad Quraisy dan janji mereka. Sungguh, kamu harus pulang tahun ini, janganlah kamu memasuki Mekah. Sungguh, pada tahun depan, kami akan keluar darinya dan kamu dapat memasuki Mekah bersama sahabatmu, Jalu kamu boleh tinggal di sana selama tiga hari. Kamu boleh membawa senjata yang disandang pengendara unta, sedang pedang-pedang harus berada di dalam sarungnya. Kamu tidak boleh masuk Mekah dengan membawa yang lainnya.”

 

Ketika Rasulullah sedang menyuruh dituliskannya perjanjian itu bersama Suhail bin Amru, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amru datang, ia dibelenggu dengan rantai besi. Ia melepaskan diri menuju Rasulullah, ketika para sahabat Rasulullah sudah keluar. Mereka meragukan tentang kemenangan, berdasarkan mimpi yang dialami oleh Rasulullah.

 

Tatkala mereka melihat perjanjian damai dan kemunduran yang terjadi, serta beban berat yang dipikul oleh Rasulullah pada diri beliau, dan urusan yang besar menimpa manusia disebabkan hal itu, sampai mereka hampir binasa.

 

Tatkala Suhail melihat Abu Jandal berdiri menghadap kepadanya, ia langsung memukul wajah anaknya itu dan memegang baju depannya lalu menyeretnya. Suhail berkata, “Wahai Muhammad, perjanjian damai sudah berlaku sempurna antara aku dengan kamu sebelum orang ini datang kepadamu.”

 

Nabi menjawab, “Ya, kau benar.” Suhail segera menarik baju anaknya dengan tarikan yang keras untuk membawanya kembali kepada Quraisy. Abu Jandal berteriak dengan suaranya yang paling keras, “Wahai sekalian muslim, apakah aku akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik, mereka akan memfitnahku dalam urusan dinku!!” Peristiwa itu menambah kesedihan yang dirasakan oleh kaum muslim.

 

Rasulullah bersabda:

 

“Wahai Abu Jandal, bersabarlah kamu dan berharaplah pahala dari Allah, karena Allah pasti akan memberikan kelonggaran dan jalan keluar untukmu serta orang-orang yang menyertaimu dari kalangan kaum dhuafa! Sungguh, aku telah mengikat perjanjian damai dengan kaum Quraisy, dan memberikan komitmenku kepada mereka untuk melaksanakan perjanjian tersebut, sedang mereka telah memberi kami janji kepada Allah. Sungguh, kami tidak akan mengkhianati mereka”

 

Umar bin Khathab melompat ke dekat Abu Jandal, lalu ia berjalan di sampingnya seraya berkata, “Bersabarlah kamu, hai Abu Jandal, karena mereka itu orang-orang musyrik. Darah seseorang di antara mereka itu hanyalah darah anjing!” Umar mendekatkan sarung pedangnya seraya berucap, “Aku berharap ia mengambil pedang lalu menghantamkannya kepada bapaknya! Sehingga itu menjadi peristiwa khusus antara seseorang dengan bapaknya, dan perjanjian damai tetap berlangsung”

 

Tatkala penulisan perjanjian damai itu selesai, sejumlah orang dari kaum muslim dan beberapa orang dari kaum musyrik menjadi saksinya. Mereka adalah Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khathab, Abdurahman bin Auf, Abdullah bin Suhail bin Amru, Saad bin Abu Waqash, Mahmud bin Maslamah, Mikraz bin Hafsh yang pada waktu itu masih musyrik, serta Ali bin Abu Thalib yang mana dialah penulis perjanjian itu.

 

Rasulullah merasa gelisah di tanah halal, lalu beliau mengerjakan shalat di Tanah Haram. Tatkala beliau menyelesaikan akta perjanjian itu, beliau langsung menuju ke binatang hadyu lalu menyembelihnya. Lantas beliau duduk dan mencukur gundul rambut beliau. Tatkala orang-orang melihat bahwa Rasulullah sudah menyembelih binatang hadyu dan mencukur gundul rambutnya, mereka segera berlompatan untuk menyembelih binatang hadyu dan mencukur gundul rambut mereka.

 

Kemudian Rasulullah pergi meninggalkan tempat itu untuk pulang. Hingga ketika beliau sedang berada di jalan antara Mekah dan Madinah, turunlah surah Al-Fath:

 

“Sungguh, Kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan dosa-dosamu yang akan datang, menyempurnakan nikmat-Nya untukmu, dan memberimu petunjuk menuju jalan yang lurus.” (Al-Fath [48]: 1-2)

 

Kemudian Allah berfirman:

 

“Sungguh, Allah telah mewujudkan untuk Rasul-Nya mimpi itu dengan kebenaran, sungguh kamu benar-benar akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki, dalam keadaan aman, dalam keadaan bercukur gundul atau bercukur pendek rambut kalian, kalian tidak takut, karena la mengetahui apa yang kalian tidak ketahui.” (Al-Fath [48]: 27)

 

Maksudnya, sungguh mimpi Rasulullah yang beliau alami, bahwa beliau akan masuk Mekah dalam keadaan aman dan tidak takut.

 

Allah berfirman, “Mencukur gundul rambut kalian dan mencukur pendek rambut kalian, karena Ia mengetahui dari itu apa yang kalian tidak mengetahuinya. Lantas Ia menjadikan dari selain itu kemenangan yang dekat,’ yakni perjanjian damai Hudaibiah.

 

Zuhri berkata, “Tidak pernah diraih di dalam Islam sebelum Hudaibiah satu kemenangan pun yang lebih agung daripadanya. Yang terjadi biasanya hanyalah perang dengan orang-orang yang berhadap-hadapan.

 

Tatkala yang terjadi adalah perjanjian gencatan senjata dan dihentikannya perang, lalu orang-orang mendapatkan rasa aman antara sebagiannya dengan sebagian yang lainnya, dan mereka saling bertemu.

 

Mereka pun berbicara, berbincang, dan berdebat, sehingga tiada seorang pun yang diajak bicara tentang Islam, lalu ia berpikir sedikit saja kecuali ia akan masuk Islam.

 

Sungguh, dalam rentang waktu dua tahun sejak diberlakukannya perjanjian itu, orang yang masuk Islam jumlahnya seperti jumlah orang Islam dalam kurun waktu belasan tahun sebelumnya, atau bahkan lebih banyak daripada itu.”

 

Peristiwa Tahun Ketujuh Hijriah

 

Paparan Perjalanan Rasulullah ke Khaibar

 

Rasulullah tinggal di Madinah sekembalinya dari Hudaibiah, pada bulan Dzulhijah dan sebagian bulan Muharam. Haji tahun itu masih diurusi oleh orang-orang musyrik. Lantas beliau keluar lagi meninggalkan Madinah pada sebagian akhir dari bulan Muharam, menuju Khaibar.

 

Dari Abu Mu‘atib bin Amru:

 

Bahwasanya Rasulullah, tatkala beliau mulai melakukan perjalanan menuju Khaibar, beliau bersabda kepada para sahabat beliau, sedang aku termasuk di antara mereka, “Berhenti!” Kemudian Rasulullah berdoa, (artinya) “Ya Allah, Sang Pemelihara seluruh langit dan apa yang mereka naungi, Pemelihara seluruh lapis bumi dan apa yang mereka bawa, Tuhan seluruh setan dan apa saja yang mereka sesatkan, Tuhan angin dan apa saja yang mereka terbangkan. Sungguh, kami memohon kepada-Mu kebaikan negeri ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan apa saja yang ada padanya. Kami berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan apa yang ada padanya. Majulah kalian, dengan Nama Allah.”

 

Abu Mui‘atib berkata, “Beliau mengucapkan doa itu pada setiap negeri yang beliau masuki.”

 

Dari Anas bin Malik, ia berkata:

 

“Rasulullah apabila memerangi suatu kaum, beliau tidak menyerang mereka sampai beliau memasuki waktu subuh. Jika beliau mendengar azan berkumandang, beliau pun menahan diri. Jika beliau tidak mendengar suara azan, beliau menyerang. Kami tiba di Khaibar pada malam hari. Rasulullah bermalam di sana, sampai ketika beliau memasuki waktu pagi ternyata beliau tidak mendengar kumandang azan, lantas beliau naik kuda dan kami pun menaiki kuda kami, aku juga mengendarai kuda di belakang Abu Thalhah. Sungguh, telapak kakiku menyentuh telapak kaki Rasulullah. Kami menyongsong penduduk Khaibar yang bekerja pada waktu pagi. Mereka sudah pergi dengan menyandang cangkul dan sekop mereka. Tatkala mereka melihat Rasulullah dan pasukan Islam, mereka berkata, ‘Muhammad dan pasukannya!’’“ Mereka segera lari lintang pukang”

 

Rasulullah bersabda, “Allahu akbar, runtuhlah Khaibar, sungguh apabila kami memasuki pekarangan suatu kaum, itulah seburuk-buruk pagi bagi orang-orang yang terancam.”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Rasulullah ketika berangkat dari Madinah ke Khaibar, beliau menempuh jalan Ishr lalu beliau membangun masjid di sana. Beliau melewati Shahba” Kemudian Rasulullah maju dan pasukannya maju ketika mereka tiba di sebuah lembah bernama Raji. Lantas beliau tinggal bersama orang-orang Ghathafan untuk menghalangi mereka dengan penduduk Khaibar, supaya mereka tidak dapat membantu orang-orang Khaibar, karena mereka biasa saling bantu dengan warga Khaibar untuk melawan Rasulullah”

 

Sampai berita kepadaku, tatkala Ghathafan mendengar berita tentang posisi Rasulullah dari Khaibar, mereka pun berkumpul. Kemudian mereka berangkat untuk membantu Yahudi melawan beliau, sampai ketika mereka melakukan perjalanan satu manqalah (satu marhalah) buritan pasukan mereka mendengar suara orang pada harta dan keluarga yang mereka tinggalkan. Mereka menyangka bahwa kaum Yahudi telah menyelisihi janji kepada mereka, lantas mereka pun kembali pulang. Mereka tinggal di tengah keluarga dan harta mereka. Mereka membiarkan Rasulullah berperang dengan warga Khaibar.

 

Rasulullah mengambil harta Yahudi satu demi satu, menaklukkan benteng satu demi satu. Benteng pertama yang berhasil ditaklukkan adalah benteng Na‘im. Di sanalah Mahmud bin Maslamah terbunuh, dilemparkan batu penggilingan kepadanya lalu batu penggilingan itu membunuhnya. Sesudah itu, benteng Qamus yang merupakan benteng milik Bani Abil Huqaiq.

 

Rasulullah mendapatkan banyak tawanan wanita di sana, di antara mereka adalah Shafiah binti Huyay bin Akhthab -yang saat itu menjadi istri Kinanah bin Rabi‘ bin Abil Huqaiq dan dua putri pamannya, lalu Rasulullah memilih Shafiah untuk diri beliau.

 

Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi pernah meminta Shafiah kepada Rasulullah. Tatkala Rasulullah memilihnya untuk diri beliau sendiri, Rasul memberi Dihyah dua anak perempuan dari paman Shafiah. Tersebarlah tawanan-tawanan wanita di Khaibar di kalangan muslimin.

 

Tatkala Rasulullah menaklukkan benteng-benteng mereka sebanyak yang beliau taklukkan. Beliau juga mendapatkan harta sebanyak yang beliau dapatkan. Pasukan Islam berakhir pada dua benteng mereka, yakni Wathih dan Sulalam, Itulah benteng terakhir Khaibar yang ditaklukkan. Rasulullah mengepung mereka selama beberapa belas malam.

 

Marhab, seorang Yahudi dari benteng mereka, menyandang senjatanya dengan lengkap, maju menantang seraya berucap:

 

Sungguh Khaibar tahu bahwa aku adalah Marhab…

Tajam senjatanya, jagoan yang berpengalaman

Aku kadang menusuk dan kadang menghantam…

Ketika singa-singa itu maju dengan marah

Sungguh, pelindungku terhadap pelindung itu tidak didekatkan

Ia berkata, “Siapa yang mau berduel denganku?” Lalu Ka‘ab bin Malik menjawab:

Sungguh Khaibar tahu bahwa aku adalah Ka‘ab…

Yang melonggarkan kesulitan, pemberani, dan kuat

Ketika perang berkecamuk dan diiringi oleh perang…

Aku membawa pedang seperti batu akik kemarahannya

Kami menginjak kalian sampai si payah terhina…

Kami beri pembalasan atau rampasan diambil sebagai fai’

Sepadan dengan yang dulu tiada kecaman padanya

 

Rasulullah bersabda, “Siapa yang siap menghadapi orang itu?” Muhammad bin Maslamah menjawab, “Saya, wahai Rasulullah. Saya akan membalas. Saudaraku terbunuh kemarin.” Nabi bersabda, “Berdirilah dan hadapilah ia. Ya Allah, tolonglah ia mengalahkan Marhab.’

 

Tatkala masing-masing dari keduanya maju menghadapi lawannya, di antara mereka terdapat beberapa pohon tua yang licin permukaan batangnya dan lemah. Masing-masing dari mereka berdua berlindung dengan pepohonan itu dari lawannya. Setiap kali ada salah seorang di antara mereka yang berlindung dengan satu pohon, lawannya menebang pohon itu dengan pedangnya, sampai habis, hingga akhirnya mereka berperang tanding satu Jawan satu dengan jantan. Jadilah medan duel di antara mereka seperti seorang lelaki yang berdiri tanpa ada satu pohon pun menghalangi.

 

Marhab menyerbu Muhammad bin Maslamah. Ia berhasil menghantamnya tetapi Ibnu Maslamah berlindung dengan perisainya, lantas pedang Marhab menancap di perisai Ibnu Maslamah, hingga tertahan tak dapat ditarik. Muhammad bin Maslamah dengan cepat menghantam musuhnya itu dengan pedang hingga Marhab mati terbunuh.

 

Setelah kematian Marhab, saudaranya Yasir maju ke depan pasukan dan berkata, “Siapa yang berani berduel melawan aku?” Hisyam bin Urwah menebak bahwa Zubair bin Awam yang akan maju menghadapinya. Ibu Zubair, Shafiah binti Abdul Mutholib, berkata, “Anakku akan mati terbunuh, wahai Rasulullah!” Rasul menjawab, “Tidak, anakmu yang akan membunuhnya, insya Allah!” Zubair maju dan berperang tanding dengan Yasir, lalu Zubair berhasil membunuhnya.

 

Dari Salamah bin Amru bin Akwa, ia berkata,

 

“Rasulullah mengutus Abu Bakar Ash-Shidiq membawa bendera panji perang beliau, menuju ke salah satu benteng Khaibar, lalu ia berperang, lalu ia pulang dan tidak berhasil membuka benteng itu, padahal ia sudah bersungguh-sungguh dalam berperang. Kemudian esok harinya beliau mengutus Umar bin Khathab, lalu Umar berperang, lalu ia pulang dan tidak berhasil membuka benteng, padahal ia sudah berperang dengan bersungguh-sungguh. Rasulullah bersabda, ‘Sungguh aku benar-benar akan memberikan bendera panji ini besok pagi kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah akan membuka kemenangan melalui kedua tangannya, dan ia bukanlah orang yang lari dari perang.”

 

Rawi berkata, “Salamah berkata, “‘Rasulullah memanggil Ali, padahal ia sedang sakit mata, lalu Nabi meludahi kedua matanya-” Rasulullah bersabda, “Ambillah bendera panji ini, berangkatlah kamu sampai Allah membuka kemenangan untuk dirimu.”

 

Salamah berkata, “Ali maju bertempur dengan napas yang terengah-engah karena lelah. Ia lari ke sana kemari. Sungguh, kami berada di belakangnya, mengikuti jejak langkahnya. Hingga akhirnya, ia menancapkan bendera panjinya

 

pada bebatuan yang ada di bawah benteng. Seorang Yahudi melongok ke arahnya dari puncak benteng seraya berkata, ‘Siapa kamu?’ Ali menjawab, ‘Aku adalah Ali bin Abu Thalib’ Yahudi itu berkata, ‘Kalian adalah Ali (Ali artinya unggul, menang penerj.), demi yang diturunkan kepada Musa!’ Ali tidak pulang sampai Allah membukakan benteng itu melalui tangannya.”

 

Rasulullah mengepung penduduk Khaibar di dalam dua benteng terakhir mereka, Wathih dan Sulalim, sampai ketika mereka menyangka bahwa mereka akan binasa, mereka meminta beliau agar mengusir mereka dari kampung halaman mereka serta mau menahan penumpahan darah mereka. Lantas Rasulullah memenuhi permintaan tersebut.

 

Rasulullah mengambil alih seluruh harta yang ada pada benteng Syigq, Nathah, Katibah, dan seluruh benteng mereka kecuali harta yang ada pada kedua benteng terakhir. Tatkala penduduk Fadak mendengar apa yang dilakukan oleh penghuni kedua benteng tersebut, mereka segera mengirim utusan kepada Rasulullah agar mengusir dan menahan diri dari menumpahkan darah mereka, dengan kesediaan mereka memberikan harta kepada beliau. Beliau pun mengabulkan permintaan mereka.

 

Salah seorang yang menjadi perantara antara Rasulullah dengan mereka dalam menyampaikan permintaan itu adalah Muhaishah bin Mas‘ud,’” seorang lelaki dari Bani Haritsah. Tatkala warga Khaibar turun dari benteng mereka, mereka meminta kepada Rasulullah agar beliau mempekerjakan mereka, mengurusi harta mereka, (sawah dan ladang) dengan konsesi bahwa Rasul mendapatkan separuh hasilnya.

 

Mereka berkata, “Kami lebih mengetahui cara mengurusi sawah ladang ini daripada kalian dan kami lebih mampu memakmurkannya daripada kalian.” Rasulullah kemudian mengikat perjanjian dengan mereka untuk mendapatkan separuh hasil pertanian Khaibar, dengan tambahan syarat, “Bila kami menghendaki, kami berhak mengusir kalian kapan saja”

 

Penduduk Fadak (bagian dari wilayah Khaibar) mau menerima syarat ini. Khaibar menjadi harta rampasan yang dimiliki bersama antara kaum muslim. Adapun tanah Fadak, menjadi milik Rasulullah secara khusus, karena kaum muslim tidak mengerahkan pasukan berkuda maupun unta untuk merebutnya.

 

Tatkala Rasulullah sedang beristirahat dengan tenang, Zainab binti Harits, istri Salam bin Misykam, menghadiahkan kepada beliau daging kambing panggang. Zainab bertanya, “Yang mana dari anggota tubuh kambing yang paling disukai oleh Rasulullah” Dijawab kepadanya, “Lengan.” Zainab lalu memperbanyak taburan racun pada lengan kambing panggangnya, kemudian ia juga membubuhkan racun pada seluruh daging kambing itu.

 

Ia datang menghidangkannya kepada Rasulullah. Tatkala Zainab meletakkan daging kambing panggang itu di hadapan Rasulullah, beliau langsung mengambil Jengannya, lalu memakannya, tetapi belum menelannya. Orang yang menyertai Nabi pada waktu itu adalah Bisyr bin Bara’ bin Ma’rur. Ia juga mengambil daging kambing jtu sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah. Akan tetapi, Bisyr langsung menelannya, sedang Rasulullah memakannya, tetapi lalu memuntahkannya.

 

Rasulullah bersabda, “Daging ini memberitahuku bahwa ia beracun, kemudian ja meneriakkan itu sehingga aku mengetahuinya.”

 

Nabi menginterogasi Zainab binti Harits, “Apa yang mendorongmu melakukan ini?” Ia menjawab, “Kau telah menyampaikan kepada kaumku apa yang belum. mereka ketahui, sehingga aku pikir, ‘Jika ia adalah malaikat ia tidak akan memakan hidanganku sedikit pun. Tetapi jika ia seorang Nabi, pasti ia akan diberitahu (tentang racun itu).” Rasulullah memaafkan perbuatan Zainab, akan tetapi Bisyr mati karena memakan sedikit daging yang dihidangkan Zainab.

 

Ketika Rasulullah menyelesaikan aktifitas beliau di Khaibar, beliau berangkat menuju Wadil Qura, lantas beliau mengepung penduduk negeri itu selama beberapa malam. Kemudian kembali pulang ke Madinah.

 

Tatkala Rasulullah menjalani malam pengantin bersama Shafiah, di Khaibar, atau di perjalanan, yang mendandani Shafiah untuk Rasulullah dan menyisirinya serta mempercantik penampilannya adalah Ummu Sulaim binti Milhan, ibunda Anas bin Malik. Rasulullah bermalam pengantin dengannya di kemah beliau. Abu Ayub Khalid bin Zaid berjaga dengan menghunuskan pedangnya, menjaga Rasulullah dan berjalan mengelilingi kemah beliau, sampai Rasulullah memasuki waktu pagi.

 

Tatkala Rasulullah mengetahui posisi Abu Ayub di sekitar tenda beliau, beliau bertanya, “Apa yang kau lakukan, hai Abu Ayub?” Abu Ayub menjawab, “Wahai Rasulullah, aku khawatir terjadi sesuatu padamu akibat perbuatan perempuan ini. Ia seorang perempuan yang engkau sudah membunuh bapaknya, suaminya, dan kaumnya. Ia juga baru saja masuk Islam, aku khawatir ia berbuat buruk terhadapmu.”

 

Para ahli sejarah menyangka bahwa Rasulullah berdoa yang artinya, “Ya Allah, jagalah Abu Ayub sebagaimana ia datang menjagaku!”

 

Tatkala Rasulullah pulang dari Khaibar, di tengah perjalanan, beliau bersabda pada akhir malam:

 

“Siapakah lelaki yang akan menjaga kami sampai fajar terbit, barangkali kamj tertidur?” Bilal menjawab, “Aku, wahai Rasulullah. Aku akan menjaga untukmu” Rasulullah turun dari hewan tunggangannya, demikian juga para sahabat, lalu mereka tidur. Bilal berdiri mengerjakan shalat. Ia mengerjakan shalat sebanyak yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian ia bersandar ke tubuh untanya, dan lalu ia menghadapi waktu fajar dengan membelalakkan mata, tetapi rasa kantuk mengalahkannya, akhirnya ia tertidur.

 

Tiada yang membangunkan mereka kecuali terik panas matahari. Rasulullah adalah orang pertama di antara mereka yang bangun. Beliau berkata, “Apa yang kau lakukan terhadap kami, hai Bilal?” Bilal menjawab, “Wahai Rasulullah, diri tertimpa (rasa kantuk) sebagaimana yang menimpa dirimu.” Rasul bersabda, “Kamu benar.’

 

Kemudian Rasulullah berjalan menuntun unta beliau pergi, dalam waktu yang tidak lama, beliau menderumkan unta tersebut. Lantas beliau berwudhu, lalu para sahabat berwudhu. Selanjutnya, beliau menyuruh Bilal supaya mengumandangkan iqamah untuk shalat. Rasulullah mengimami shalat jamaah bersama rombongan beliau.

 

Selepas mengucapkan salam, beliau menghadap ke arah jamaah shalat seraya bersabda, “Apabila kalian lupa mengerjakan shalat, kerjakanlah shalat itu ketika kalian mengingatnya, karena Allah berfirman, “Tegakkanlah shalat untuk mengingat Akw’ (Thaha [20]: 14).”

 

Rasulullah, sebagaimana kabar yang sampai kepadaku, memberi Ibnu Lugqaim Al-Absi, ketika penaklukan Khaibar, semua yang ada di sana berupa ayam atau hewan piaran lainnya seperti kambing dan merpati. Pembebasan Khaibar terjadi pada bulan Safar. Ibnu Luqaim Al-Absi bersenandung di Khaibar:

 

Benteng Nathah dilempari oleh Rasul di sariah…

Bersenjata lengkap lagi memiliki kekuatan dahsyat

Benteng itu meyakini kekalahannya tatkala ia dicerai-beraikan…

Orang-orang Aslam dan Ghifar di tengahnya

Ia memasuki waktu pagi kepada Bani Amir bin Zurah…

Benteng Syaq menggelapi penghuninya pada siang hari

Ia jalankan datarannya yang mudah, ia tak tinggalkan…

Kecuali binatang piaraan yang bersuara saat sahur

Tiap-tiap benteng sibuk dengan pasukan kuda mereka…

Baik Abdu Asyhal maupun Bani Najar

Orang-orang yang berhijrah mengetahui tanda mereka…

Di atas topi baja tak berniat melarikan diri

Sungguh, kutahu Muhammad pasti kan menang…

Akan bermukim di sana pada bulan Safar

Yahudi lari pada hari itu dari perang…

Di bawah kepulan debu dengan pandangan nanar Kembalinya Jakfar dari Habasyah

 

Kisah Orang-Orang yang Berhijrah ke Habasyah

 

Ibnu Hisyam bertutur:

 

“Dari Sya‘bi, bahwasanya Jakfar bin Abu Thalib datang kepada Rasulullah pada hari Penaklukan Khaibar, lalu Rasulullah mencium keningnya, dan memeluknya. Rasul bersabda, ‘Aku tidak tahu yang mana dari dua hal ini yang menyebabkan aku lebih bergembira, terbebaskannya Khaibar atau datangnya Jakfar?”

 

Ibnu Ishaq berkata: “Beberapa Bani tetap bermukim di negeri Habasyah, sampai Rasulullah mengutus Amru bin Umayah Adh-Dhamri kepada Najasyi, lalu Najasyi mempersilakan para sahabat untuk menaiki dua kapal. Amru pun datang bersama mereka menjumpai Nabi ketika beliau berada di Khaibar, sesudah perjanjian Hudaibiah”

 

Para sahabat tersebut adalah dari Bani Hasyim bin Abd Manaf; Jakfar bin Abu Thalib bin Abdul Mutholib, bersama istrinya Asma binti Umais Al-Khatsamiah, serta anaknya Abdullah bin Jakfar yang lahir di negeri Habasyah.

 

Adapun dari Bani Abdu Syams bin Abd Manaf; Khalid bin Sa‘id bin Ash bin Umayah bin Abdu Syams, bersama istrinya Aminah binti Khalaf bin As‘ad, dan dua anaknya, yakni Sa‘id bin Khalid dan Amah bin Khalid; keduanya lahir di negeri Habasyah. Saudara Khalid, yakni Amru bin Sa‘id bin Ash. Mu‘aigib bin Abi Fatimah, Sang Bendahara yang nantinya ditunjuk oleh Umar bin Khathab untuk mengurusi harta kaum muslim, serta Abu Musa Al-Asy‘ari.

 

Dari Bani Asad bin Abdul‘uzza; Aswad bin Naufal bin Khuwailid.

Dari Bani Abdudar bin Qushay; Jahm bin Qais.

Dari Bani Zuhrah bin Kilab; Amir bin Abu Waqash dan Utbah bin Mas‘ud.

Dari Bani Tamim bin Murrah; Harits bin Khalid bin Shakhr.

Dari Bani Jumah bin Amru; Utsman bin Rabi‘ah bin Ahban.

Dari Bani Sahm bin Amru; Mahmiah bin Juz.

Dari Bani Adiy bin Ka‘ab; Ma‘mar bin Abdullah bin Nadhlah.

Dari Bani Amir bin Luay; Abu Hathib bin Amru dan Malik bin Rabi‘ah.

Dari Bani Harits bin Fihr bin Malik; Harits bin Abdu Qais bin Luqaith.

 

Pada dua kapal yang mereka naiki, diikutkan juga istri-istri kaum muslim yang meninggal dunia di negeri Habasyah.

 

Mereka itulah yang diikutkan oleh Najasyi bersama Amru bin Umayah AdhDhamri pada dua kapal tersebut. Jumlah total orang yang datang dengan menaiki dua kapal tersebut lalu bertemu Rasulullah adalah enam belas orang lakilaki. Jumlah total orang yang tidak ikut pada Perang Badar, yang tidak bertemu Rasulullah baik saat di Mekah, atau pun setelah hijrah, dan orang yang tidak diikutsertakan Najasyi pada dua kapal itu adalah tiga puluh empat orang.

 

Umrah Qadha’

 

Tatkala Rasulullah pulang ke Madinah dari Khaibar, beliau tinggal di kota itu selama dua bulan Rabi‘ (Rabiul Awal dan Rabiuts Tsani-), dua bulan Jumad (Jumadal Ula dan Jumadats Tsaniyah-), Rajab, Sya‘ban, Ramadhan, dan Syawal. Beliau mengirimkan selama rentang waktu itu sejumlah pasukan dan beberapa sariah.

 

Kemudian beliau bepergian pada bulan Dzulqa‘dah, yakni pada bulan yang sama beliau dihalangi oleh orang-orang musyrik tahun lalu, untuk melaksanakan umrah Qadha (umrah pengganti), untuk menggantikan umrah beliau yang terhalang pada tahun lalu. Kaum muslim dari kalangan mereka yang ikut terhalang melaksanakan umrah tahun lalu menyertai beliau melaksanakan umrah Qadha yang dilakukan pada tahun ketujuh hijrah. Ketika orang-orang Mekah mendengar berita kedatangan Nabi, mereka pun keluar rumah. Kaum Quraisy ramai memperbincangkan tentang Muhammad dan para sahabatnya yang mengalami kesulitan, kepayahan, dan kesusahan.

 

Ibnu Abbas bertutur:

 

Mereka berbaris menyambut beliau di Dar An-Nadwah (balairung/tempat pertemuan Quraisy), untuk melihat Muhammad dan para sahabatnya. Tatkala Rasulullah masuk ke Masjidil Haram, beliau memasukkan selendang beliau dari bawah ketiak beliau yang kanan, lalu menjadikan ujungnya di atas pundak beliau yang kiri, sehingga dengan itu beliau menampakkan salah satu pertengahan lengan tangannya,dan mengeluarkan lengan kanannya. Lalu beliau bersabda, “Semoga Allah menyayangi seseorang yang pada hari menampakkan kekuatan kepada mereka!”

 

Kemudian beliau menyentuh rukun Aswad (sudut Kakbah tempat Hajar Aswad berada), lalu berlari-lari kecil. Para sahabat juga berlari-lari kecil bersama beliau, sampai ketika beliau berada di belakang Kakbah dan tak terlihat oleh orang-orang kafir, beliau menyentuh Rukun Yamani lalu berjalan, sampai’ beliau kembali menyentuh Rukun Aswad. Kemudian beliau kembali berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama, lalu berjalan kaki sesudahnya.

 

Dari Ibnu Abbas pula, bahwasanya Rasulullah menikahi Maimunah binti Harits ketika beliau sedang bepergian, padahal beliau sedang ihram. Yang menikahkan Nabi dengan Maimunah adalah Abbas bin Abdul Mutholib.

 

Rasulullah tinggal di Mekah selama tiga hari. Huwaithib bin Abdul‘uzza datang menemui beliau bersama sekelompok orang Quraisy pada hari ketiga. Kaum Quraisy sudah mewakilkan kepada ia untuk menyuruh Rasulullah keluar dari Mekah.

 

Rombongan Quraisy itu berkata kepada Nabi, “Sungguh, waktumu sudah habis,!” silakan keluar dari negeri kami.” Nabi bersabda “Bagaimana jika kalian membiarkanku menjalani masa pengantinku di tengah kalian, lalu aku akan membuat makanan dan mengundang kalian hadir untuk menikmati makanan itu!” Mereka menjawab, “Kami tidak butuh makananmu, keluarlah segera dari kami.” Rasulullah keluar dari Mekah dan memerintahkan Abu Rafi, bekas budak beliau, untuk menjemput Maimunah. Abu Rafi‘ datang bersama Maimunah menghadap Nabi di Saraf, lantas Nabi menyetubuhi Maimunah sebagai pengantin baru di sana. Kemudian Nabi bergerak menuju Madinah.

 

Ibnu Hisyam berkata:

 

“Kemudian Allah menurunkan ayat ini, sebagaimana yang diceritakan Abu Ubaidah kepadaku, ‘Sungguh Allah telah memenuhi janji-Nya kepada RasulNya dengan kebenaran, sungguh kalian benar-benar memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki, dalam keadaan aman, dalam keadaan mencukur gundul rambut kalian atau mencukur pendek rambut kalian saja, dan kalian tidak mengalami ketakutan. Allah Mengetahui apa yang kalian tidak mengetahuinya. Lalu Allah menjadikan sesudah itu kemenangan yang dekat’ (Al-Fath [48]: 27).”

 

Peristiwa Tahun Kedelapan

 

Hijriah Ghazwah Mu‘tah pada Bulan Jumadal Ula

 

Beliau tinggal di Madinah pada sisa bulan Dzulhijah -sedang haji pada tahun itu masih diurus oleh orang-orang musyrik-, bulan Muharam, Safar, dan dua bulan Rabi‘ (Rabiul Awal dan Rabiuts Tsani-Penj-) Pada bulan Jumadal Ula beliau mengirim pasukan ekspedisi ke Syam, yang mengalami kekalahan di Muth. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan tersebut. Beliau bersabda:

 

“Jika Zaid terbunuh maka penggantinya adalah Jakfar bin Abu Thalib. Jika Jafar terbunuh maka penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.”

 

Orang-orang mempersiapkan perbekalan mereka masing-masing, mereka lalu bersiap untuk berangkat. Mereka berjumlah tiga ribu orang. Tatkala keberangkatan mereka telah tiba, warga Madinah mengantarkan dan menyampaikan ucapan selamat jalan kepada para komandan yang ditunjuk Rasulullah itu dan mereka mengucapkan salam kepada mereka. Tatkala Abdullah bin Rawahah mengucapkan selamat tinggal bersama para komandan yang diangkat Rasulullah selain dirinya, ia menangis.

 

Orang-orang bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Ibnu Rawahah?” Ibnu Rawahah menjawab, “Ketahuilah, demi Allah, aku tidak mencintai dunia, tidak pula mencintai kalian dengan cinta yang meluapJuap, akan tetapi aku mendengar Rasulullah membaca satu ayat dari Kitabullah, yang pada ayat itu disebutkan tentang neraka, “Tiadalah seorang pun di antara kalian kecuali pasti melewatinya (Neraka Jahanam), itu adalah kepastian yang ditetapkan oleh Tuhanmu, (Maryam [19]: 71) Sunguh, aku tidak tahu bagaimana keadaan diriku sesudah melewatinya!”

 

Kaum muslim berkata, “Semoga Allah menyertai kalian dan menepis serangan musuh dari kalian, serta mengembalikan kalian kepada kami sebagai orang-orang yang shalih!”

 

Abdullah bin Rawahah berkata:

 

Akan tetapi, aku meminta ampun kepada Sang Maha Penyayang…

Dan pukulan kuat yang memuntahkan darah

Atau tusukan dengan kedua tanganku yang panas dan cepat…

Dengan tombak yang menembus isi perut dan hati

Sampai dikatakan apabila mereka melewati kuburanku…

Semoga Allah memberinya petunjuk dari pejuang perang dan telah mendapat petunjuk

 

Pasukan itu berangkat, Rasulullah pun ikut keluar, untuk mengantar dan mengucapkan selamat jalan kepada mereka, lalu beliau kembali meninggalkan mereka. Abdullah bin Rawahah kembali bersajak:

 

Salam meninggalkan seseorang yang mengucapkan selamat tinggal kepadanya

 

Di dalam kebun kurma sebagai sebaik-baik pengantar dan sebaik-baik kekasih .

 

Kemudian rombongan pasukan itu melanjutkan perjalanan hingga mereka beristirahat di Ma‘an, salah satu wilayah negeri Syam. Tersampaikan berita kepada anggota pasukan Islam bahwa Heraklius telah bersiap di Ma‘ab, bagian dari negeri Balqa, bersama seribu personel pasukan Romawi, lantas bergabung kepada mereka pasukan dari Lakhem, Judzam, Qain, Bahra, dan Baliy yang jumlahnya seratus ribu orang. Yang mengomandani mereka adalah seorang lelaki dari Baliy yang juga Salah seorang yang cekatan, yang bernama Malik bin Rafilah.

 

Tatkala berita ini sampai kepada kaum muslim, mereka berkemah di Ma‘an selama dua malam untuk memikirkan situasi yang mereka hadapi ini, mereka berkata, “Kami menulis surat saja kepada Rasulullah x yang isinya memberitahy beliau jumlah musuh yang kami hadapi. Mungkin beliau akan mengirimkan bantuan tentara kepada kami, atau mungkin juga beliau menyuruh kami untuk melakukan sesuatu lalu kami mengerjakannya.”

 

Abdullah bin Rawahah menggelorakan semangat pasukannya, seraya berucap, “Hai kaum muslim, demi Allah, sesuatu yang kalian benci adalah sesuatu yang kalian berangkat untuk mencari kesyahidannya. Kami tidak berperang melawan musuh dengan mengandalkan jumlah personel, kekuatan, atau banyaknya senjata, Kami tidak memerangi kecuali dengan mengandalkan din yang Allah memuliakan kami dengannya. Berangkatlah kalian, karena yang akan kami dapatkan hanyalah satu dari dua kebaikan, apakah menang atau mati syahid!”

 

Pasukan Islam berkata, “Sungguh, demi Allah, Ibnu Rawahah berkata benar!”

 

Kaum muslim berangkat, hingga ketika mereka sampai di perbatasan wilayah 181 Balqa, sekelompok pasukan Heraklius dari kalangan orang Romawi dan Arab menghadang mereka, di salah satu desa di wilayah Balqa yang bernama Masyarif. Kemudian musuh mendekat dan kaum muslim berlindung ke desa lainnya yang bernama Mu’tah. Di sanalah kedua pasukan bertemu. Kaum muslim bersiap-siap menghadapi musuh. Mereka menempatkan seorang pria dari Bani Udzrah yang bernama Quthbah bin Qatadah sebagai komandan pasukan sayap kanan. Adapun komandan pasukan sayap kiri dipercayakan kepada seorang pria Anshar yang bernama Ababah bin Malik.

 

Selanjutnya, kedua pasukan bertempur dengan dahsyat dan hebat. Zaid bin Haritsah berperang dengan membawa bendera panji Rasulullah sampai memancar darahnya dan mati karena dihujani panah oleh musuh.

 

Bendera panji lalu diambil alih oleh Jakfar. Ia berperang dengan menyandangnya. Sampai ketika perang kian mengimpit dan tiada jalan menyelamatkan diri, ia menjatuhkan dirinya dari kudanya yang bernama Syaqra, lalu ia memotong salah satu kaki kuda itu, lantas ia berperang melawan musuh sampai terbunuh. Sebelum meninggal ia berucap:

 

Wahai, alangkah bagusnya Surga, dekat dengannya itu indah, dingin segar minumannya

Romawi itu tujuan, sudah dekat siksaan untuknya, kafir jauh kebaikannya

Aku wajib menghantamnya bila aku bertemu dengannya

 

Ibnu Hisyam berkata, “Orang yang kupercayai dari kalangan ulama bercerita kepadaku:

 

“Jakfar bin Abu Thalib memegang bendera panji dengan tangan kanannya, lalu tangan kanannya itu terputus (karena ditebas musuh), lalu ia memegang bendera dengan tangan kirinya, lantas tangan itu putus juga, lantas ia mengapitnya dengan kedua lengannya sampai ia terbunuh, semoga Allah meridhainya. Saat itu, ia berusia tiga puluh tiga tahun. Allah mengganjarkan pengorbanannya itu dengan dua sayap di Surga, ia bebas terbang ke mana saja yang ia kehendaki”

 

Dikatakan bahwa waktu itu ada seorang tentara Romawi yang membelah tubuhnya menjadi dua bagian.

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

“Tatkala Jakfar syahid, Abdullah bin Rawahah mengambil alih bendera panji darinya, kemudian ia maju dengan membawa bendera itu, sedang ia berada di atas kudanya, lalu ia mengalami keraguan dan kebimbangan, mundur maju, lalu ia berucap:

 

Aku bersumpah wahai diri, kamu benar-benar akan turun ke medan perang

Kamu benar-benar turun atau kamu akan membencinya dengan sebenci-bencinya

 

Jika orang-orang selamat dan berkumpul dan mereka menguatkan suara gaung dan gema

Mengapa aku melihatmu membenci Surga

Sudah lama waktu engkau hidup tenteram

Tiadalah engkau kecuali air mani di wadah yang rusak

Ia juga berkata: . Wahai diri, jika kamu tak terbunuh maka kamu tetap mati juga

Ini merpati kematian sudah datang kepadamu

Apa yang kau angankan maka kau akan diberikan itu

Jika engkau melakukan perbuatan keduanya maka kau diberi hadiah

 

Kemudian Ibnu Rawahah turun ke gelanggang perang. Tatkala ia turun ke medan perang, saudara sepupunya datang kepadanya dengan membawa tulang yang masih ada sedikit daging, seraya berkata, “Tegakkan tulang sulbimu dengan memakan ini, sungguh kau sudah sering mengalami hal ini” Ibnu Rawahah mengambil tulang dengan sedikit daging itu dari tangan saudara sepupunya, lalu memakannya sedikit. Ia pun mendengar suara kerumunan orang dan hantaman sebagian mereka terhadap sebagian yang lainnya dari arah pasukannya, lalu ia berkata, “Hai kamu di dunia!” Lantas ia mencampakkan tulang berdaging sedikit itu dari tangannya, lantas ia menghunuskan pedangnya dan maju ke medan tempur, lalu ia berperang hingga syahid terbunuh.

 

Berikutnya, yang meraih bendera panji adalah Tsabit bin Aqram, dari kalangan Bani Ajlan. Ia berkata, “Wahai kaum muslim! Bersepakatlah kalian pada seorang lelaki di antara kalian” Mereka bertanya, “Kamukah lelaki itu?” Tsabit menjawab, “Bukan aku” Akhirnya, kaum muslim sepakat menunjuk Khalid bin Walid. Tatkala Khalid memegang bendera panji, ia segera menggerakkan pasukan Islam dan membawa mereka menyingkir dari tempat itu, sampai mereka berhasil menyingkirkan pasukan Islam dari musuh dan berhasil meninggalkan musuh.

 

Tatkala pasukan Islam mengalami kekalahan, Rasulullah bersabda, sebagaimana berita yang sampai kepadaku:

 

“Zaid bin Haritsah memegang bendera panji, lalu ia berperang dengan membawanya sampai ia terbunuh sebagai syuhada. Selanjutnya, Jakfar mengambil alih bendera itu dan berperang dengan membawanya sampai ia terbunuh sebagai syuhada.” Kemudian Rasulullah diam, sampai wajah orang-orang Anshar berubah karenanya. Mereka menyangka bahwa terjadi sesuatu yang tidak mereka sukai pada diri Abdullah bin Rawahah.

 

Lantas Rasulullah meneruskan sabda beliau, “Kemudian Abdullah bin Rawahah mengambilnya, lalu ia berperang dengan membawanya hingga terbunuh sebagai syuhada.” Selanjutnya, Rasulullah bersabda, “Sungguh mereka diperlihatkan keadaannya kepadaku, sebagaimana bermimpinya orang yang sedang tidur, di atas dipan-dipan kencana yang terbuat dari emas. Aku melihat pada dipan Abdullah bin Rawahah ada kebengkokan bila dibandingkan dipan kedua temannya (Zaid dan Jakfar), sehingga aku bertanya, ‘Mengapa ini?’ Dijawab kepadaku, ‘Keduanya maju ke medan tempur, sedang Abdullah mengalami keraguan terlebih dahulu, kemudian ia maju ke medan tempur.”

 

Tatkala Khalid berhasil membawa lari pasukannya dari kepungan pasukan musuh, ia mengajak mereka pulang ke Madinah.

 

Tatkala mereka mendekati Madinah, Rasulullah dan kaum muslim menyambut mereka. Anak-anak juga menyambut mereka dengan bergegas bagai hendak menyerang musuh. Rasulullah menyambut bersama sejumlah sahabat dengan mengendarai hewan tunggangan masing-masing. Beliau bersabda, “Peganglah anak-anak itu dan gendonglah mereka. Berikan kepadaku anak lelaki Jafar” Abdullah bin Jakfar diajak kepada Nabi lalu beliau memegangnya dan menggendongnya di depan beliau.

 

Penduduk Madinah melemparkan tanah ke pasukan Khalid seraya berkata, “Hai orang-orang yang lari dari perang! Kalian melarikan diri di jalan Allah!”

 

Rasulullah bersabda, “Mereka bukan orang-orang yang melarikan diri, tetapi mereka adalah orang-orang yang mundur lalu menyerang kembali, insya Allah.”

 

Salah satu yang ditangisi pada pasukan Mu‘tah dari kalangan sahabat Rasulullah  adalah tuturan Hasan bin Tsabit:

 

Kembali kepadaku malam di Yastrib, sedang itu lebih payah

Dan kesedihan apabila orang-orang tak tidur berjaga

Karena ingatanku kepada kekasih memunculkan pelajaran bagiku

Mencucurkan air mata dan yang menyebabkan tangis tatkala mengingat itu Ya, sungguh kehilangan kekasih itu malapetaka

Betapa banyak orang mulia diuji lalu ia bersabar

Kulihat orang-orang baik dari muslim memasuki

Lereng-lereng gunung itu, meninggalkan orang yang tertinggal di belakang mereka .

Maka Allah tidak akan melaknat orang-orang yang terbunuh secara berturutturut

Tatkala Perang Mu’tah, sebagian mereka adalah si pemilik dua sayap

Jakfar Zaid dan Abdullah ketika mereka berturut-turut

Semuanya, sedang sebab kematian terlintas dan terbersit

Suatu pagi mereka maju memimpin orang-orang beriman

Menuju kematian sebagai orang yang bahagia, layaknya putih bunga

Putih cemerlang seperti cahaya purnama dari keluarga Hasyim

Apa yang terjadi ketika dipaksa menerima kezaliman di bagian depan jembatan

Lalu ia menusuk sampai menyimpang tanpa berbantal

Dengan medan perang, di dalamnya ada tandan yang dipatahkan

Lantas ia menjadi dari kalangan orang-orang yang mati syahid, pahalanya

Adalah taman-taman yang diselingi dengan kebun yang hijau

Kami melihat pada Jakfar terhadap Muhammad

Penunaian janji, perintah, dan keteguhan hati ketika ia memerintah

Tiada henti di tengah Islam dari keluarga Hasyim

Penopang-penopang yang kokoh, tidak akan tergelincir dan tidak sombong

Mereka layaknya gunung Islam sedang manusia di sekeliling mereka

Adalah bebatuan yang merasa lebih tinggi dan berbangga hati

Si tuan yang buruk wajah dari mereka adalah Jakfar dan saudara seibunya Ali, di antara mereka juga ada Ahmad (Muhammad) yang terpilih

Juga Hamzah dan Abbas, termasuk dari mereka dan dari mereka pula Agqil dan mata air tingkat dari arah ia diberi hujan

Dengan mereka, akan dilapangkan berbagai kesulitan di setiap tempat

Yang gelap, ketika orang tidak harus berebut sempit dalam mendapatkan sumber

Mereka para kekasih Allah, Allah turunkan hikmah-Nya kepada mereka dan di tengah mereka ada kitab yang menyucikan

 

Fathu Makkah pada Bulan Ramadhan

 

Selepas Rasulullah, mengirimkan pasukan ke Mu’tah, beliau tinggal di Madinah selama bulan Jumadats Tsaniyah dan Rajab.

 

Bani Bakar bin Abdu Manat bin Kinanah melanggar batas terhadap Khuza‘ah. Penyebab berkobarnya api permusuhan antara Bani Bakar dengan Bani Khuza‘ah adalah seorang lelaki dari Bani Hadhrami, bernama Malik bin Abad -sekutu Bani Hadhrami pada waktu itu adalah Aswad bin Raznpergi berdagang. Tatkala ia berada di tengah perkampungan Khuza‘ah, mereka menyerangnya, membunuhnya, dan merampas hartanya. Oleh karena itulah Bani Bakar membalasnya dengan bertindak lalim terhadap seorang lelaki dari Bani Khuza‘ah dan membunuhnya. Khuza‘ah menjelang keislaman mereka menyerang Bani Aswad bin Razn Ad-Dili, yakni Salma, Kultsum, dan Dzuaib, lalu mereka membunuh orang-orang itu di dekat perbatasan antara Tanah Halal dan Tanah Haram.”

 

Ketika Bani Bakar dan Khuza‘ah berada dalam kondisi tegang, Islam memisahkan mereka. Orang-orang sibuk mengurusi itu. Tatkala perjanjian damai Hudaibiah antara Rasulullah dengan kaum Quraisy ditandatangani, salah satu syarat yang mereka ajukan kepada Rasulullah dan yang diajukan oleh Rasulullah kepada mereka adalah, “Barang siapa ingin masuk ke dalam akad Rasulullah dan perjanjian beliau, ia boleh memasukinya. Dan siapa saja yang menghendaki ikut ke dalam akad Quraisy dan perjanjiannya, ia boleh mengikutinya. Bani Bakar masuk ke dalam akad Quraisy dan perjanjian mereka, sedangkan Khuza‘ah mengikuti akad Rasulullah dan perjanjian beliau.”

 

Ketika perjanjian Hudaibiah mulai dijalankan, Bani Dil mengambil kesempatan dari Bani Bakar dan Khuza‘ah. Bani Dil ingin mengobarkan api peperangan antara mereka dengan menggunakan orang-orang yang mereka serang di Bani Aswad bin Razn.

 

Naufal bin Muawiah Ad-Dili berangkat bersama Bani Dil, sebagai panglima mereka, tetapi tidak semua orang Bani Bakar mengikutinya, sampai ia bermalam di tempat tinggal kabilah Khuza‘ah. Kala itu, Khuza‘ah sedang berada di Watir, yakni sebuah mata air milik mereka.

 

Pasukan Naufal menyerang seorang lelaki dari Khuza‘ah, lantas mereka menggabungkan diri ke kabilah Bakar dan ikut berperang. Quraisy membantu Bani Bakar dengan persenjataan. Sebagian orang Quraisy juga ikut berperang bersama mereka pada waktu malam hari secara sembunyi-sembunyi, sampai mereka menggiring Khuza‘ah menuju Tanah Haram.

 

Sesampainya di Tanah Haram, Bani Bakar berkata, “Hai Naufal, sungguh kami sudah masuk Tanah Haram, ingatlah tuhanmu!”

 

Naufal mengucapkan perkataan yang berat, “Tiada tuhan bagi Naufal hari ini!  Hai Bani Bakar tepatkan serangan kalian! Sungguh, kalian biasa bertindak berlebihan di Tanah Haram, tidakkah kalian ingin membalaskan dendam kalian di sini?!”

 

Pada malam harinya, di Watir, mereka menyerang seorang lelaki yang bernama Munabih. Munabih merupakan seorang lelaki yang lemah hatinya. Ia keluar bersama seorang lelaki dari kaumnya yang bernama Tamim bin Asad. Munabih berkata kepadanya, “Hai Tamim, selamatkan dirimu. Adapun aku sendiri, demi

 

Allah, aku pasti mati. Mereka membunuhku atau membiarkan aku. Sungguh sudah putus hatiku!”

 

Tamim pun pergi sehingga ia selamat. Orang-orang itu menangkap Munabih, lalu mereka membunuhnya.

 

Tatkala kabilah Khuza‘ah memasuki Mekah, mereka berlindung ke perkampungan Budail bin Warqa, kampung mantan budak mereka yang bernama Rafi’

 

Tatkala Bani Bakar saling membantu dengan Quraisy untuk mengalahkan Khuza‘ah dan mereka sudah mendapatkan harta dari mereka, mereka telah merusak perjanjian dengan Rasulullah dengan cara menyerang Khuza‘ah yang masuk ke dalam akta perjanjian dan akad Rasulullah.

 

Amru bin Salim Al-Khuza‘i, termasuk salah seorang Bani Ka‘ab pun pergi, sampai ia bertemu dengan Rasulullah di Madinah. Peristiwa itu termasuk salah satu faktor yang mendorong terjadinya Fathu Makkah.

 

Ia duduk di hadapan Nabi, ketika beliau duduk di masjid, di antara para sahabat beliau. Lantas Amru bersenandung:

 

Wahai Tuhanku, sungguh aku meminta kepada Muhammad…

Persekutuan bapak kami dan bapaknya terdahulu

Sungguh kalian dilahirkan dan kami juga dilahirkan…

Di sana kami masuk Islam dan kami tak berlepas tangan

Maka tolonglah, semoga Allah menunjukimu dengan pertolongan yang segera…

Serulah hamba-hamba Allah untuk datang memberi bantuan

Di antara mereka ada Rasulullah sudah bersiap sendirian…

Sungguh terbebani, kerendahan wajahnya menghitam

Di sariah seperti kapal laut berlayar penuh riak air…

Sungguh Quraisy menyelisihimu dalam janjinya

Mereka merusak perjanjian denganmu yang dikukuhkan…

Mereka menjadikan untukku di Kada’, tempat mengintai

Mereka mendakwakan bahwa aku tidak mengajak siapa pun…

Sedang mereka lebih hina dan lebih sedikit jumlahnya

Mereka mengepung kami di Watir saat bertahajud…

Mereka membunuh kami ketika kami rukuk dan sujud

 

Rasulullah bersabda, “Kamu pasti ditolong, hai Amru bin Salim!” Kemudian dihadapkan kepada Rasulullah awan dari langit, lantas beliau bersabda, “Sungguh, awan ini akan mempermudah kemenangan Bani Ka‘ab.”

 

Selanjutnya, Budail bin Warqa berangkat bersama satu rombongan dari Khuzaah, sampai mereka datang bertemu dengan Rasulullah di Madinah. Mereka memberitahukan kepada beliau apa yang mereka alami, yakni saling bantunya kaum Quraisy dan Bani Bakar untuk menyerang mereka. Kemudian mereka kembali pulang ke Mekah. Rasulullah bersabda kepada kaum muslim, “Seolah-olah kalian sebentar lagi akan melihat Abu Sufyan datang untuk memperbaiki perjanjian dan menambah lamanya waktu berlakunya perjanjian itu.”

 

Budail bin Warqa dan teman-temannya pergi, sampai mereka bertemu dengan Abu Sufyan bin Harb di Usfan. Kaum Quraisy sudah mengutusnya untuk menemui Rasulullah dalam rangka memperbaiki perjanjian damai dan menambah lama waktu berlakunya. Kaum Quraisy ketakutan dengan perbuatan yang telah mereka lakukan.

 

Tatkala Abu Sufyan bertemu dengan Budail bin Warqa, ia berkata, “Darj mana kamu datang, hai Budail?” Abu Sufyan menyangka bahwa Budail baru saja datang menemui Rasulullah. Budail menjawab, “Aku berjalan melewati kabilah Khuza‘ah di pantai ini dan di perut lembah ini”

 

Abu Sufyan bertanya menyelidik, “Apakah kamu datang kepada Muhammad?” Budail menjawab, “Tidak.” Tatkala Budail meneruskan perjalanan menuju Mekah, Abu Sufyan bergumam, “Sungguh jika Budail datang dari Madinah maka pada kotoran untanya pasti ada biji kurma!” Oleh karena itu, Abu Sufyan segera datang ke tempat menderum unta mereka, lantas ia memilah-milah kotoran untanya lantas ia dapati biji kurma di dalamnya.

 

Abu Sufyan berkata, “Aku bersumpah demi Allah, sungguh Budail telah datang menemui Muhammad

 

Kemudian Abu Sufyan berangkat dan menemui Rasulullah di Madinah. Ia masuk ke rumah putrinya, Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Tatkala ia duduk di tikar Rasulullah, Ummu Habibah segera melipat dan menggulungnya. Abu Sufyan bertanya, “Hai putriku, aku tidak tahu, apakah kamu tidak suka kepadaku bila aku duduk di atas tikar ini, ataukah kamu tidak suka terhadap tikar ini untuk aku duduki?”

 

Ummu Habibah menjawab, “Bahkan ini adalah tikar Rasulullah, sedang engkau adalah seorang lelaki musyrik dan najis. Saya tidak suka engkau duduk di atas tikar Rasulullah” Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, sungguh keburukan telah menimpamu sepeninggalku, wahai putriku!”

 

Selanjutnya, Rasulullah keluar meninggalkan rumah Ummu Habibah, ia menemui Rasulullah. Abu Sufyan berbicara kepada Rasul, tetapi beliau tidak menjawabnya sepatah kata pun. Lantas Abu Sufyan pergi menemui Abu Bakar agar ia mau meminta Rasulullah agar berkenan berbicara kepadanya. Abu Bakar menjawab, “Aku tidak akan melakukannya!”

 

Berikutnya, Abu Sufyan datang menemui Umar, dan berbicara kepadanya. Umar menjawab, “Aku tidak akan memberimu pertolongan untuk dapat berbicara dengan Rasulullah. Demi Allah, jika aku tidak mendapati kecuali seekor semut kecil, niscaya aku akan berjihad dengannya melawanmu!”

 

Kemudian Abu Sufyan pergi menemui Ali bin Abu Thalib. Ali beristrikan Fatimah binti Rasulullah dan Ali ridha kepadanya. Fatimah mempunyai anak bernama Hasan bin Ali, yang merupakan seorang anak yang masih merangkak di depannya. Abu Sufyan berkata, “Wahai Ali, sungguh aku mempunyai hubungan keluarga dengan kaum ini. Sungguh aku datang untuk suatu keperluan. Aku tidak akan pulang sebagaimana aku datang dalam keadaan rugi. Tolonglah aku supaya Rasulullah mau menerima dan berbicara kepadaku.”

 

Ali berkata, “Celaka kamu, hai Abu Sufyan! Demi Allah, sungguh Rasulullah sudah bertekad bulat untuk melakukan sesuatu, tentu kami tidak akan dapat berbicara lagi kepada beliau tentang perkara itu.”

 

Kemudian Abu Sufyan berpaling kepada Fatimah, lalu ia berkata, “Wahai putri Muhammad, apakah engkau berkenan menyuruh anakmu ini memberi perlindungan di antara manusia, sehingga ia akan menjadi pemuka orang Arab sampai akhir masa?” Fatimah menjawab, “Demi Allah, anakku tidak sampai seperti itu, yakni menjadi pelindung di antara manusia, tiada seorang pun yang berani menjadi pelindung untuk melawan Rasulullah”

 

Abu Sufyan berkata, “Wahai Abul Hasan, sungguh aku memandang berbagai urusan ini menjadi kian menyulitkan diriku maka nasihatilah aku” Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu yang bisa mencukupimu sedikit pun. Akan tetapi, engkau adalah pemuka Bani Kinanah. Bangkit dan berdirilah, berilah perlindungan di antara manusia (orang-orang Quraisy), kemudian segera pulanglah ke negerimu.’

 

Abu Sufyan bertanya, “Apakah engkau memandang bahwa itu mencukupiku walau sedikit?” Ali menjawab, “Tidak, demi Allah, aku yakin itu tidak cukup. Akan tetapi, aku tidak mendapati jalan lain selain itu.”

 

Abu Sufyan beranjak dan berdiri di masjid Nabawi, lalu ia berkata, “Wahai sekalian manusia, sungguh aku memberikan perlindungan di antara manusia (orang-orang Quraisy).”

 

Kemudian Abu Sufyan menaiki untanya dan pergi meninggalkan Madinah. Tatkala ia tiba di Mekah dan bertemu dengan orang-orang Quraisy, mereka bertanya, “Berita apa yang kau bawa dari Madinah?”

 

Abu Sufyan menjawab, “Aku datang kepada Muhammad dan aku berbicara kepadanya. Demi Allah, ia tidak menjawab omonganku sepatah kata pun. Aku pun mendatangi Ibnu Abu Quhafah, tetapi aku tidak mendapati kebaikan pada dirinya. Lantas aku datang menemui Ibnu Khathab dan kudapati ia sedikit kurang permusuhannya. Lalu aku bertemu Ali, ternyata kudapati ia paling lembut di antara mereka bertiga. Ali menyarankan kepadaku suatu tindakan dan sudah kulaksanakan saran itu. Demi Allah, aku tidak tahu apakah tindakanku itu sedikit berguna atau tidak sama sekali?”

 

Orang-orang Quraisy bertanya, “Apa yang ia perintahkan kepadamu?” Abu Sufyan menjawab, “Ali menyuruhku supaya aku memberi perlindungan di antara manusia, lalu aku melakukannya.” Kaum Quraisy bertanya, “Apakah Muhammad memperkenankan perlindunganmu itu?”

 

Abu Sufyan menjawab, “Tidak.” Mereka menyergahnya, “Celaka kamu! Demi Allah, sungguh lelaki itu (Ali) telah mempermainkanmu terlalu berlebihan. Apakah semua yang kau katakan itu cukup untuk melindungimu?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak mendapatkan jalan selain itu.”

 

Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk bersiap. Beliau menyuruh istri-istri beliau untuk mempersiapkan perbekalan beliau. Abu Bakar masuk ke kamar putrinya, Aisyah ws, saat Aisyah sedang mempersiapkan perbekalan perjalanan Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Putriku, apakah Rasulullah menyuruh kalian (Aisyah dan para istri Nabi yang lain) untuk mempersiapkan bekal perjalanan beliau?”

 

Aisyah menjawab, “Ya, bersiap-siaplah engkau.” Abu Bakar bertanya, “Hendak kemanakah beliau pergi?” Aisyah menjawab, “Sungguh, demi Allah, aku tidak tahu.”

 

Selanjutnya, Rasulullah memberitahu kaum muslim bahwa beliau akan berangkat ke Mekah. Nabi menyuruh mereka untuk bersungguh-sungguh dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Beliau berdoa, “Ya Allah, hilangkan mata-mata dan berita dari Quraisy sehingga kami dapat menyerang secara mengejutkan di negerinya.” Para sahabat pun segera bersiap-siap.

 

Tatkala Rasulullah telah siap berangkat ke Mekah, Hathib bin Abi Baltaah menulis sepucuk surat kepada Quraisy, yang isinya memberitahu mereka tindakan Rasulullah, yakni melakukan perjalanan kepada mereka. Hathib memberikan surat itu kepada seorang perempuan. Hathib lalu memberinya upah untuk mengantarkan surat itu kepada kaum Quraisy. Perempuan itu meletakkan surat tersebut di kepalanya, lalu ia menggulung pada jalinan rambutnya, lantas ia pergi meninggalkan Madinah.

 

Datang kepada Rasulullah berita dari langit yang isinya menginformasikan kelakuan Hathib tersebut. Lalu Rasulullah mengutus Ali bin Abu Thalib dan Zubair bin Awam. Rasul bersabda, “Tangkaplah perempuan yang membawa surat yang ditulis oleh Hathib bin Abi Balta’ah, yang hendak dikirimkan kepada Quraisy. Isinya memberitahu mereka apa yang kami kerjakan untuk menyerang mereka.”

 

Ali dan Zubair segera berangkat, sehingga mereka berdua menangkap perempuan itu di suatu wilayah, wilayah Bani Abu Ahmad, lantas mereka menyuruh perempuan itu turun dari hewan tunggangannya. Keduanya lalu mencari surat tersebut di hewan yang ia tunggangi, tetapi mereka berdua tidak mendapati apa pun padanya.

 

Ali bin Abu Thalib berkata, “Sungguh aku bersumpah demi Allah, Rasulullah tidak pernah berbohong dan kami tidak pernah dibohongi. Kamu harus mengeluarkan surat itu atau aku akan membuka seluruh pakaianmu!”

 

Tatkala perempuan itu melihat kesungguhan Ali, ia pun berkata, “Balikkan tubuhmu terlebih dahulu.” Ali membalikkan tubuh dan berpaling darinya, lalu perempuan itu membuka jalinan rambutnya serta mengeluarkan selembar surat darinya. Kemudian ia menyerahkannya kepada Ali, lantas surat itu dibawa ke hadapan Rasulullah.

 

Rasulullah memanggil Hathib, lalu menanyainya, “Hai Hathib, apa yang mendorongmu melakukan ini?” Hathib menjawab, “Ketahuilah, demi Allah, aku adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, aku tidak pernah mengubahnya dan tak pernah menggantinya. Akan tetapi, aku adalah seseorang yang tidak mempunyai asal nasab dan keluarga besar di tengah kaum Quraisy. Aku mempunyai anak dan keluarga yang masih tinggal di tengah-tengah mereka, sehingga aku melakukan itu untuk mereka”

 

Umar bin Khathab berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, sungguh orang ini telah berbuat munafik!”

 

Rasulullah bersabda, “Apa yang kau ketahui, wahai Umar. Bukankah Allah telah melihat orang-orang yang ikut Perang Badar. Ia berfirman, ‘Berbuatlah sekehendak kalian, karena sungguh Aku telah mengampuni kalian.”

 

Allah pun menurunkan ayat berkenaan Hathib, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai kekasih, yang kalian memberikan cinta kalian kepada mereka…” sampai firmanNya, “Sungguh, ada bagi kalian suri teladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang menyertainya, tatkala mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sungguh, kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Kami kafir terhadap kalian. Sudah nampak di antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya, sampai kalian hanya beriman kepada Allah… (Al-Mumtahanah [60]: 1-4) sampai akhir kisah ini”

 

Selanjutnya, Rasulullah meneruskan perjalanan beliau. Beliau menunjuk Abu Dzar Al-Ghifari sebagai pengganti beliau di Madinah. Beliau berangkat pada tanggal sepuluh Ramadhan. Beliau tetap berpuasa dan orang-orang ikut berpuasa bersama beliau, hingga ketika mereka tiba di Kudaid, yang terletak di antara Usfan dan Amaj, beliau membatalkan puasa.

 

Lantas beliau melanjutkan perjalanan hingga beristirahat di Marr Zhahran, bersama sepuluh ribu personel kaum muslim. Bani Sulaim berjumlah tujuh ratus orang. Salah seorang ahli sejarah menyatakan, “Bani Sulaim mencapai jumlah seribu orang, demikian juga kabilah Muzainah yang jumlah personelnya mencapai seribu orang. Pada setiap kabilah ada banyak personel pasukan dan banyak pula orang Islamnya. Seluruh orang Muhajir dan Anshar ikut menyertai Rasulullah, tiada seorang pun dari mereka yang tertinggal, tidak ikut serta.

 

Tatkala Rasulullah beristirahat di Marr Zhahran, kaum Quraisy sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, tiada satu pun berita tentang Rasulullah sampai kepada mereka. Mereka tidak tahu apa yang sedang dikerjakan beliau.

 

Pada malam-malam itu, Abu Sufyan bin Harb keluar dari rumah bersama Hakim bin Hizam dan Budail bin Warqa. Mereka menyelidiki dan mencari berita. Mereka mengamati apakah ada berita atau apakah mereka mendengar sesuatu. Abbas bin Abdul Mutholib datang menemui Rasulullah di salah satu jalan yang beliau lalui. Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Mutholib dan Abdullah bin Abi Umayah bin Mughirah sudah menjumpai Rasulullah juga di Niq Uqab, yang terletak antara Mekah dan Madinah. Keduanya berusaha mencari cara untuk bertemu Rasulullah. Ummu Salamah bertutur kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, ini anak pamanmu dan anak bibimu serta saudara persemandaanmu datang.” Rasulullah bersabda, “Aku tidak berkeperluan dengan mereka berdua. Anak pamanku sudah mengoyak kehormatanku. Sedangkan anak bibiku dan persemandaanku, dialah yang berkata di Mekah sesuatu yang telah ia katakan”

 

Ketika sampai berita ini kepada mereka berdua, sedangkan Abu Sufyan sedang bersama anaknya, ia berkata, “Demi Allah, sungguh ia benar-benar akan menyakitiku atau ia akan mengambil anakku ini dan membawanya pergi ke suatu tempat di bumi sampai ia mati kelaparan atau kehausan!”

 

Tatkala kejadian itu sampai kepada Rasulullah , beliau merasa kasihan kepada mereka berdua. Lantas beliau mengizinkan keduanya untuk masuk bertemu beliau. Mereka berdua masuk Islam. Abu Sufyan bin Harits menyusun sajak tentang tuturan keislamannya, dan ia juga meminta maaf kepada beliau atas perbuatannya yang ia lakukan pada masa lalu. Ia berkata:

 

Sungguh suatu hari yang lalu aku membawa bendera panji

Untuk pasukan berkuda Latta mengalahkan pasukan berkuda Muhammad

Seperti orang yang berjalan pada malam hari itu bingung karena malam begitu gelap

Maka sekarang inilah masaku, ketika aku diberi petunjuk dan aku meminta petunjuk

Memberi petunjuk si pemberi petunjuk selain diriku dan mengenaiku

Dari Allah orang yang ditolak dengan sebenar-benar penolakan

Aku menghalangi dan aku menjauh sebagai orang yang berjihad melawan Muhammad

Aku mengajak dan walaupun aku tak pernah tepat mengenai Muhammad

Mereka, siapa mereka orang yang tak pernah berbicara dengan hawa nafsu mereka

Meski ia punya akal maka ia dicela dan didustakan

Aku ingin menjadikan mereka ridha, tetapi aku tidak dekat

Dengan kaum itu, selagi aku belum diberi petunjuk di setiap tempat

Maka katakanlah kepada Tsagif itu, ‘Ubahlah atau ulangilah’

Aku bukanlah orang yang mendapatkan kemakmuran di pasukan

Tidak pula karena keberanian lisanku dan tidak pula tanganku

Kabilah-kabilah datang dari berbagai negeri yang jauh

Berbagai rombongan datang dari Siham dan Surdadi

 

Mereka (para ulama ahli sejarah) berasumsi bahwa ketika Abu Sufyan bin Harits mendendangkan syair kepada Rasulullah yang berbunyi, ‘Dan mengenaiku dari Allah orang yang ditolak dengan sebenar-benar penolakan’ maka Rasulullah menepuk dadanya seraya bersabda, “Kamulah yang menolakku dengan sebenarbenar penolakan!”

 

Tatkala Rasulullah beristirahat di Marr Zhahran, Abbas bin Abdul Mutholib berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Demi Allah, jika Rasulullah masuk Mekah secara paksa, sedang kalian belum menemui beliau untuk meminta jaminan keamanan kepadanya, sungguh itu adalah kebinasaan Quraisy sampai akhir masa!”

 

Abbas berkata, “Aku menaiki bagal Rasulullah yang bernama Baidha’ (si putih), lalu aku keluar sampai tiba di Arak, Aku pun bergumam, ‘Barangkali aku bertemu dengan para pencari kayu bakar, pemilik susu, atau orang memiliki keperluan yang datang ke Mekah, aku akan memberitahu mereka tempat kedudukan Rasulullah supaya mereka menghadap Nabi dan meminta jaminan keamanan dari beliau sebelum beliau memasuki kota mereka (Mekah) secara paksa!”

 

Abbas berkata, “Demi Allah, aku melakukan perjalanan dengan mengendaraj keledai untuk tujuan tersebut. Tiba-tiba aku mendengar percakapan Abu Sufyan dan Budail bin Warqa, saat keduanya pulang” Abu Sufyan berkata, “Aku tidak pernah melihat banyaknya obor dan pasukan militer seperti yang kulihat pada malam ini” Budail berkata, “Demi Allah, itu pasti Khuza‘ah, perang telah membakarnya!” Abu Sufyan berkata, “Khuza‘ah itu lebih rendah dan lebih sedikit daripada jumlah obor dan pasukan militer ini!”

 

Abbas berkata, “Aku mengenal suaranya, aku pun berseru, ‘Hai Abu Hanzhalah!’ Ia juga mengenal suaraku, lalu ia menjawab, ‘Abul Fadh! kah?’ Aku menjawab, ‘Ya’ Ia berkata, “‘Bagaimana keadaanmu, semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu?’ Aku berkata, ‘Celaka kamu, hai Abu Sufyan! Ini Rasulullah sudah berada di tengah pasukannya. Celakalah orang Quraisy, demi Allah!’

 

Abu Sufyan bertanya, ‘Lalu bagaimanakah cara menghindarinya, tebusanmu bapakku dan ibuku?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, sungguh jika ia berhasil mengalahkanmu, ia pasti akan memenggal lehermu. Oleh karena itu, naiklah bagal ini bersamaku, aku akan membawamu menemui Rasulullah, aku akan meminta kepada beliau jaminan keamanan untuk dirimu.”

 

Abu Sufyan naik bagal di belakangku, sedangkan kedua temannya pulang. Aku datang dengan mengajak Abu Sufyan. Setiap kali aku melewati satu obor dari sekian banyak obor penerang milik kaum muslim, mereka selalu bertanya, “Siapa orang ini!” Tatkala mereka melihat bagal Rasulullah dan aku yang menaikinya, mereka pun berkata, “Ini adalah paman Rasulullah yang menaiki keledai beliau.”

 

Sesampainya aku pada obor milik Umar bin Khathab Ia bertanya, “Siapa ini?” Lalu ia berdiri melihatku. Tatkala ia melihat Abu Sufyan berada di belakangku, ia berkata, “Abu Sufyan musuh Allah! Segala puji bagi Allah yang telah menempatkanmu di sini tanpa akad gencatan senjata dan tanpa perjanjian damai.’

 

Umar berjalan cepat menuju Rasulullah. Aku juga mempercepat langkah bagal ini hingga akhirnya aku mendahului Umar, dengan cara seekor hewan yang lambat mengalahkan orang yang lambat. Aku langsung turun dari bagal dan masuk ke kemah Rasulullah. Umar juga masuk ke kemah itu, lantas ia berkata; “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan, telah ditempatkan oleh Allah di sini tanpa ada akad gencatan senjata dan tanpa perjanjian damai, karena itu biarkan aku memenggal lehernya!”

 

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah melindunginya!” Kemudian aku duduk mendekat Rasulullah, aku memegang kepala beliau dan bergumam, “Demi Allah, jangan sampai ada seorang pun selain aku yang membisikinya!”

 

Ketika Umar terus membicarakan Abu Sufyan, aku berkata, “Tenanglah, hai Umar. Demi Allah, seandainya ia berasal dari Bani Adiy bin Ka‘ab, niscaya kamu tidak akan berkata seperti itu. Akan tetapi, kamu mengetahui bahwa ia termasuk Bani Abd Manaf”

 

Umar berkata, “Sebentar, hai Abbas, sungguh keislamanmu pada hari kamu masuk Islam itu lebih kusukai daripada masuk Islamnya Khathab, andaikan ia masuk Islam.” Rasulullah bersabda, “Hai Abbas, pergilah dan bawalah ia ke tendamu. Pagi hari esok, datanglah kepadaku dan ajak ia”

 

Aku pergi menuju kemahku bersama Abu Sufyan, ia bermalam di tendaku. Pagi harinya, aku segera menemui Rasulullah. Beliau bersabda, “Celaka kamu, hai Abu Sufyan, belumkah datang waktunya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Abu Sufyan berkata, “Sungguh, betapa lembut, mulia, dan kuatnya engkau menyambung hubungan keluarga! Demi Allah, sungguh aku yakin, kalau saja ada tuhan selain Allah yang menyertai-Nya, ia pasti telah mencukupiku walau sedikit sekarang ini!”

 

Rasulullah bersabda, “Perhatikan, hai Abu Sufyan, belumkah datang waktunya bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?” Abu Sufyan berkata, “Sungguh, betapa lembut, mulia, dan kuatnya engkau menyambung hubungan keluarga! Adapun ini, demi Allah, masih ada sesuatu dalam diriku ini sampai sekarang!” Aku pun Abbas berkata kepadanya, “Celakalah kamu! Masuk Islamlah. Bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, sebelum dipenggal lehermu!”

 

Abbas berkata, “Lalu Abu Sufyan bersyahadat dengan syahadat kebenaran, dan ia masuk Islam.”

 

Abbas berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah, ‘Sungguh Abu Sufyan adalah seorang pria yang senang berbangga diri, berilah ia sesuatu’” Rasulullah bersabda,

 

“Baiklah, siapa saja yang masuk rumah Abu Sufyan maka ia aman. Barang siapa yang masuk rumahnya dan mengunci pintu rumahnya sendiri maka ia aman. Siapa saja yang masuk ke masjid maka ia aman.”

 

Tatkala Abu Sufyan pergi meninggalkan tempat, Rasulullah bersabda, “Hai Abbas, tahanlah ia di tempat sempit di lembah itu di dekat jalan keluar dari gunung, sampai tentara-tentara Allah lewat sehingga ia melihatnya.”

 

Abbas berkata, “Aku keluar sampai aku menahannya di tempat sempit di lembah, sebagaimana perintah Rasulullah kepadaku.”

 

Kabilah-kabilah melewati tempat itu dengan bendera panji masing-masing. Setiap kali satu kabilah lewat, Abu Sufyan bertanya, “Abbas, siapa ini?” Lalu aku menjawab, “Sulaim.” Ia berkata, “Tidak ada urusan apa pun antara aku dengan Sulaim” Kemudian lewatlah kabilah yang lainnya, Abu Sufyan bertanya, “Siapa mereka?” Kujawab, “Muzainah.” Ia berkata, “Tidak ada urusan apa pun antara aku dengan Muzainah.”

 

Kabilah demi kabilah lewat dan berlalu. Tiada satu pun kabilah yang lewat, kecuali ia bertanya kepadaku. Ketika kuberitahu ia tentang mereka, ia selalu berkata, “Tiada urusan antara aku dengan Bani Fulan.” Sampai Rasulullah lewat bersama pasukan beliau yang disebut Khadhra. Di pasukan ini terdapat orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, semoga Allah meridhai mereka. Tiada yang terlihat dari mereka kecuali besi yang tajam.

 

Abu Sufyan berucap, “Subhanallah, Abbas, siapakah mereka?” Aku menjawab, “Ini adalah Rasulullah bersama kaum Muhajir dan Anshar.” Abu Sufyan berkata, “Tiada seorang pun yang mampu menghadapi mereka! Demi Allah, hai Abul Fadhl, sungguh kerajaan keponakanmu ini sudah menjadi sedemikian besar!”

 

Aku menyahut omongan ia, “Hai Abu Sufyan, sungguh ini adalah kenabian.” Abu Sufyan berucap, “Ya, baiklah kalau begitu.” Aku pun berkata, “Segeralah pulang kepada kaummu!”

 

Abu Sufyan pulang, sampai ketika ia sudah tiba di tengah kaumnya, ia berteriak dengan suaranya yang paling keras, “Wahai sekalian orang Quraisy! Ini Muhammad datang kepada kalian dengan pasukan yang kalian tidak akan mampu melawannya. Siapa saja yang masuk rumah Abu Sufyan maka ia aman!”

 

Hindun binti Utbah bangkit ke arah Abu Sufyan, lalu ia memegang kumis suaminya itu, seraya berkata, “Kalian bunuhlah orang yang gemuk, berlemak, dan banyak dagingnya ini. la adalah seburuk-buruk pengintai!”

 

Abu Sufyan berkata, “Celaka kalian, jangan sampai wanita ini memperdayai diri kalian! Sungguh, telah datang kepada kalian kekuatan yang tidak akan mampu kalian hadapi, siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka ia aman!”

 

Orang-orang Quraisy berkata, “Semoga Allah melaknatmu, apakah rumahmu cukup untuk kami semua?”

 

Abu Sufyan berkata, “Siapa saja yang masuk rumahnya sendiri dan mengunci pintunya maka ia aman. Barang siapa yang masuk ke masjid (Masjidil Haram) maka ia aman!” Orang-orang bubar menuju rumah mereka sendiri dan masjid.

 

Dari Abdullah bin Abu Bakar:

 

“Rasulullah ketika sampai di Dzi Thuwa, beliau berdiri di atas kendaraannya, lalu beliau memakai serban tanpa ekor dengan separuh kain burdah buatan Yaman yang berwarna merah. Sungguh, Rasulullah menundukkan kepala beliau karena sikap tawadhuk kepada Allah ketika beliau melihat kemenangan yang Allah berikan untuk memuliakan beliau, sampai jenggot beliau hampir menyentuh tengah-tengah pelana hewan tunggangannya.”

 

Dari Asma’ binti Abu Bakar, ia berkata:

 

“Tatkala Rasulullah berhenti di Dzi Thuwa, Abu Quhafah berkata kepada putri bungsunya, Anakku, ajaklah aku menaiki Gunung Abi Qubais -ketika itu Abu Quhafah sudah buta matanya-? Anak perempuannya itu membawa ayahnya naik ke gunung itu, lalu Abu Quhafah berkata, “Putriku, apa yang kau lihat?’ Putrinya menjawab, ‘Aku melihat sekerumunan hitam? Abu Quhafah berkata, ‘Itu pasukan berkuda. Putrinya berkata lagi, ‘Aku juga melihat seorang lelaki yang berjalan cepat di depan kumpulan itu, ia maju ke depan dan mundur ke belakang’? Abu Quhafah berkata, ‘Anakku, itu adalah orang yang mengatur pasukan dan menata barisannya, yakni orang yang mengomando pasukan berkuda dan maju memimpinnya. Putri bungsu Abu Quhafah itu kembali berkata, ‘Demi Allah, sungguh hitam-hitam itu kini menyebar. Lalu Abu Quhafah berkata, ‘Sungguh, demi Allah, kalau begitu pasukan berkuda itu telah berangkat sekarang. Ayo cepat antar aku pulang ke rumahku?

 

Anak perempuannya itu berjalan bersamanya. Pasukan berkuda menghadangnya sebelum ia sampai ke rumahnya. Asma’ berkata, ‘Pada leher anak perempuan itu ada kalung dari perak. Lantas seorang lelaki mendatanginya dan merampas kalung tersebut-”

 

Asma melanjutkan tuturan kisahnya, “Tatkala Rasulullah memasuki Mekah dan memasuki Masjidil Haram, Abu Bakar datang bersama ayahnya yang ia tuntun. Tatkala Rasulullah melihatnya, beliau bersabda, ‘Mengapa engkau tidak tinggalkan saja orang tuamu ini di rumahnya, sampai aku yang datang kepadanya?’ Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, ia lebih layak untuk berjalan kepadamu daripada engkau datang berjalan kepadanya’

 

Abu Bakar mendudukkan ayahnya di hadapan Nabi. Kemudian Nabi mengusap dada Abu Quhafah, lantas beliau bersabda kepadanya, “Masuk Islamlah engkau, masuk Islamlah-”

 

Abu Bakar masuk ke rumah bersamanya, seolah-olah kepala Abu Quhafah seperti Tsaghamah sehingga Rasulullah bersabda, “Ubahlah warna rambutnya ini.”

 

Kemudian Abu Bakar berdiri dan memegang tangan saudara perempuannya, sembari berucap, “Aku mempersaksikan kalian dengan Allah dan Islam, di manakah kalung saudara perempuanku.” Tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Lalu Abu Bakar berkata, “Wahai saudara perempuanku, renungkanlah hilangnya kalungmu itu. Demi Allah, sungguh sifat amanah di kalangan manusia sekarang ini tinggal sedikit.’

 

Semboyan atau yel-yel para sahabat Rasulullah saat Fathu Makkah, Perang Hunain, dan pembebasan Thaif; semboyan kaum Muhajir adalah “Hai Bani Abdurahman.” Yel-yel Khazraj adalah “Hai Bani Abdullah.” Semboyan Aus adalah “Hai Bani Ubaidullah-”

 

Rasulullah telah berpesan kepada seluruh panglima dari pasukan muslim tatkala memasuki kota Mekah agar tidak membunuh kecuali orang-orang tertentu yang sudah beliau sebutkan namanya. Nabi memerintahkan mereka dibunuh walaupun mereka bergelantungan di kiswah Kakbah.

 

Salah seorang yang disebut namanya untuk dibunuh adalah Abdullah bin Saad dari Bani Amir bin Luay. Rasulullah menitahkan pembunuhannya karena ja dulunya sudah masuk Islam dan menjadi salah seorang penulis wahyu untuk Rasulullah, ia murtad, dan musyrik, lantas kembali kepada kaum Quraisy.

 

Abdullah bin Saad kemudian lari kepada Utsman bin Affan, yang merupakan saudara sesusunya. Utsman menyembunyikannya sampai ia datang bertemu Rasulullah sesudah pasukan Islam beristirahat dengan tenang, demikian juga dengan penduduk Mekah. Lalu Utsman memintakan jaminan keamanan untuk Ibnu Saad.

 

Para ulama ahli sejarah menyatakan bahwa Rasulullah diam dalam waktu yang lama, kemudian beliau bersabda, “Ya.” Tatkala Utsman pergi meninggalkan tempat itu, Rasulullah bersabda kepada orang-orang yang ada di sekeliling beliau, “Sungguh aku tadi diam demikian lama agar salah seorang di antara kalian bangkit lalu memenggal kepala Ibnu Saad”

 

Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata, “Mengapa engkau tidak berisyarat kepadaku, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Sungguh tidak pantas bagi seorang Nabi membunuh orang dengan isyarat.”

 

Orang lainnya yang ditetapkan oleh Nabi untuk dibunuh adalah Abdullah bin Khathal. Ia seorang pria dari Bani Taim bin Ghalib. Rasulullah memerintahkan eksekusinya karena ia dulu seorang muslim, lalu Rasulullah mengutusnya sebagai petugas pengumpul zakat.

 

Rasul juga mengirim bersamanya seorang lelaki yang lainnya. Ia juga mengajak serta mantan budaknya untuk melayani dirinya, budak itu muslim. Ia beristirahat di suatu tempat lalu ia menyuruh mantan budaknya untuk menyembelih kambing dan memasak makanan untuknya. Ia pun tidur, namun ketika bangun ternyata mantan budaknya itu belum membuat makanan sama sekali. Ia menghampiri mantan budaknya dan membunuhnya, lalu ia murtad, menjadi musyrik lagi.

 

Abdullah bin Khathal mempunyai dua budak perempuan yang menjadi penyanyi (biduanita), yakni Fartani dan temannya. Kedua budak itu dulu menyanyi untuk menghina Rasulullah. Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan agar dua budak penyanyi tersebut dibunuh.

 

Kemudian Huwairits bin Nuqaidz, ia termasuk yang menyakiti Nabi di Mekah.

 

Kemudian Miqyas bin Shubabah. Ia dibunuh karena telah membunuuh orang Anshar yang membunuh saudaranya karena kekeliruan. Juga karena ia pulang kembali kepada Quraisy sebagai orang musyrik.

 

Berikutnya, adalah Sarah, mantan budak perempuan Bani Abd Manaf. Selanjutnya, Ikrimah bin Abu Jahal. Sarah termasuk salah seorang yang menyakiti Nabi di Mekah. Adapun Ikrimah, ia lari ke Yaman. Sedangkan istrinya, Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam, masuk Islam. Kemudian Ummu Hakim meminta jaminan keamanan dari Rasulullah, Rasulullah pun memberikan jaminan keamanan untuk Ikrimah. Ummu Hakim pergi menyusul dan mencari suaminya di Yaman, sampai akhirnya ia datang menemui Rasulullah dengan mengajak serta Ikrimah, lantas Ikrimah masuk Islam.

 

Abdullah bin Khathal dibunuh oleh Sa‘id bin Huraits Al-Makhzumi. Abu Barzah Al-Aslami turut andil pembunuhannya.

 

Migqyas bin Shubabah dibunuh oleh Numailah bin Abdullah, seorang lelaki dari kaum Miqyas juga. Saudara perempuan Miqyas bertutur saat terbunuhnya Miqyas:

 

Untuk Allah, air mata orang yang melihat orang seperti Miqyas

 

Karena wanita-wanita yang nifas menjadi tidak dibuatkan makanan untuk kelahiran bayi ;

 

Dua budak biduanita milik Ibnu Khathal, salah satunya berhasil dibunuh. Adapun yang satunya melarikan diri, sampai akhirnya dimintakan kepada Rasulullah jaminan keamanan untuk ia, lalu beliau memberinya jaminan keamanan.

 

Adapun Sarah, dimintakan jaminan keamanan untuknya, Nabi pun memberinya jaminan keamanan. Lalu ia bertahan hidup sampai seorang lelaki yang menaiki kuda menginjak tubuhnya, pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, di Abthah.

 

Dari Ummu Hani binti Abu Thalib, ia berkata:

 

“Tatkala Rasulullah turun dari dataran tinggi Mekah, dua orang pria dari kalangan saudara suamiku dari Bani Makhzum lari ke rumahku -saat itu, Ummu Hani adalah istri Hubairah bin Abi Wahab Al-Makhzumi-, ia berkata, “Ali bin Abu Thalib, saudaraku, masuk ke rumahku lalu ia berkata, ‘Demi Allah, aku benarbenar akan membunuh mereka berdua!’ Lalu aku menutup pintu rumahku untuk melindungi mereka. Kemudian aku datang menemui Rasulullah # ketika beliau masih berada di dataran tinggi Mekah. Kudapati beliau sedang mandi dengan sebuah mangkuk besar yang masih ada sisa adonan gandum padanya. Fatimah, putri beliau, menutupi tubuh beliau dengan kain beliau. Ketika beliau selesai mandi, beliau mengambil kain baju beliau dan mengenakannya. Kemudian beliau mengerjakan shalat Dhuha sebanyak delapan rakaat. Lalu beliau datang kepadaku dan berucap, ‘Selamat datang dan semoga engkau senang, wahai Ummu Hani. Ada keperluan apa engkau datang?’ Lalu kuberitahukan kepada beliau berita tentang dua orang pria yang bersembunyi di rumahku dan berita tentang tekad Ali bin AbuThalib. Rasulullah bersabda, ‘Sungguh aku telah melindungi siapa saja yang kau lindungi. Aku memberi keamanan siapa saja yang kau beri keamanan, sehingga hendaknya Ali tidak membunuh mereka berdua!”

 

Dari Shafiah binti Syaibah:

 

“Bahwasanya Rasulullah, ketika beliau sudah beristirahat di Mekah dan orang-orang sudah beristirahat dengan tenang. Beliau beranjak pergi hingga sampai ke Baitullah. Kemudian beliau melakukan tawaf sebanyak tujuh putaran dengan mengendarai hewan tunggangan beliau. Beliau menyentuh rukun aswad dengan tongkat berujung bengkok yang biasa beliau gunakan. Tatkala beliau selesai melakukan tawaf, beliau memanggil Utsman bin Thalhah. Rasulullah mengambil darinya kunci Kakbah. Kemudian dibukakan pintu Kakbah untuk beliau dan beliau pun memasukinya. Beliau mendapati di dalam Kakbah patung burung merpati dari balok kayu, lalu beliau menghancurkannya dengan tangan beliau sendiri lantas mencampakkannya. Selanjutnya, beliau berdiri di pintu Kakbah dan orang-orang sudah berkumpul untuk beliau di Masjidil Haram”

 

Ibnu Ishaq berkata, salah seorang ulama bertutur kepadaku, Rasulullah berdiri di pintu Kakbah, lalu beliau bersabda:

 

“Tiada tuhan kecuali Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Ia telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, menghancurkan pasukan aliansi dengan Sendiri-Nya. Ketahuilah, semua perangai baik yang diwariskan, atau darah, atau harta yang didakwakan maka itu sudah berada di bawah kedua kakiku ini, kecuali pelayanan untuk Baitullah dan pemberian minum kepada orang yang menunaikan ibadah haji.

 

Ketahuilah, orang yang membunuh orang lain karena kekeliruan, tetapi menyerupai pembunuhan sengaja, yakni dengan cemeti atau dengan tongkat, ia harus membayar diat (diat mughallazhah) berupa seratus ekor unta, yang empat puluh ekor di antaranya adalah unta bunting.

 

Wahai sekalian orang Quraisy, sungguh Allah telah melenyapkan dari kalian ambisi jahiliah dan pengagungannya kepada nenek moyang. Manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu berasal dari tanah.”

 

Kemudian beliau membaca sebuah ayat, “Wahai sekalian manusia, sungguh Kami menciptakan kalian berupa laki-laki dan perempuan. Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: [49]: 13)

 

Selanjutnya, Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian orang Quraisy, apa pendapat kalian tentang tindakanku terhadap kalian?” Orang-orang Quraisy menjawab, “Engkau adalah saudara yang pemurah dan mulia, putra dari saudara yang mulia pula.”

 

Rasulullah bersabda, “Pergilah kalian, karena kalian adalah orang-orang yang dibebaskan.”

 

Kemudian Rasulullah duduk di Masjidil Haram. Ali bin Abu Thalib berdiri dengan membawa kunci Kakbah di tangannya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, kumpulkanlah untuk kami kedudukan sebagai pemegang pintu Kakbah (hijabah) serta pemberi minum orang yang berhaji (siqgayah), semoga shalawat Allah diberikan kepadamu.” Rasulullah bersabda, “Di manakah Utsman bin Thalhah?” Lalu Utsman dipanggil untuk menghadap Nabi. Rasulullah bersabda, “Ini kuncimu, hai Utsman. Hari ini adalah hari kebaikan dan pelaksanaan janji.”

 

Ibnu Hisyam berkata bahwa salah seorang ulama bercerita kepadaku:

 

Rasulullah memasuki Baitullah (Kakbah) pada Fathu Makkah. Beliau melihat patung-patung malaikat dan lainnya di dalamnya. Beliau melihat Ibrahim x. dibuat patung dengan membawa anak panah undian di tangannya dan ia mengundi nasib dengannya.

 

Rasulullah bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka! Mereka menjadikan kakek kami ini mengundi dengan anak panah! Apa urusan Ibrahim dengan anak panah-anak panah ini! Ibrahim bukanlah orang Yahudi dan bukan pula orang Nasrani, tetapi ia orang yang condong kepada kebenaran dan seorang muslim, ia tidak termasuk dari kalangan orang-orang musyrik!”

 

Beliau pun memerintahkan agar seluruh patung tersebut dihancurkan dan dibakar.

 

Rasulullah memasuki Kakbah saat Fathu Makkah ditemani oleh Bilal. Nabi menyuruh Bilal mengumandangkan azan. Sementara itu, Abu Sufyan bin Harb, Atab bin Asid, dan Harits bin Hisyam duduk di halaman Kakbah. Atab bin Harits berkata, “Sungguh Allah telah memuliakan Asid yang tidak mendengar suara ini, sehingga ia mendengar suara yang membuatnya jengkel!” Harits bin Hisyam berkata, “Ketahuilah, demi Allah, seandainya aku mengetahui bahwa ia (Muhammad) mampu mewujudkan ini, niscaya aku pasti sudah mengikutinya!” Abu Sufyan berucap, “Aku tidak akan berkomentar apa-apa, karena kalau saja aku berbicara, niscaya kerikil-kerikil ini akan mengabarkan tentang diriku!”

 

Nabi # keluar menjumpai mereka, lantas beliau bersabda, “Aku mengetahui semua yang kalian katakan.” Kemudian Nabi mengatakan kembali komentar mereka itu kepada mereka. Harits dan Atab berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah. Tiada sesuatu pun di sekitar kami, apa yang kami katakan Ia pasti memberitahu engkau!”

 

Ibnu Hisyam berkata, dari Ibnu Abbas, ia berkata:

 

“Rasulullah memasuki kota Mekah ketika Fathu Makkah dengan mengendarai hewan tunggangan beliau. Beliau melakukan tawaf di sana, padahal di sekitar Baitullah terdapat patung-patung yang terpasang kuat dengan timah. Nabi berisyarat dengan tongkat pendek di tangan beliau ke arah berhala-berhala itu, seraya berucap, ‘Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap, sungguh kebatilan itu pasti lenyap!’ Beliau tidak berisyarat ke satu berhala pun di depannya, kecuali berhala itu jatuh terpelanting ke belakang, dan beliau tidak berisyarat ke arah belakang patung kecuali ia jatuh tersungkur ke depan, sampai tiada satu pun dari sekian banyak patung berhala itu kecuali jatuh ke tanah.”

 

Orang yang kupercayai dari kalangan ulama ahluhadits bertutur kepadaku:

 

“Fadhalah bin Umair Al-Laitsi ingin membunuh Nabi ketika beliau sedang melakukan tawaf di Baitullah, saat Fathu Makkah. Tatkala Fadhalah di dekat beliau, Rasulullah bertanya, ‘Apakah kamu Fadhalah?’ Fadhalah menjawab, ‘Ya, saya Fadhalah, wahai Rasulullah’ Rasul bertanya, ‘Apa yang kau katakan kepada dirimu sendiri?’ Fadhalah menjawab, “Tidak ada. Aku sedang berzikir mengingat Allah?

 

Nabi WW tertawa, kemudian beliau bersabda, ‘Mohon ampunlah kamu kepada Allah!’ Kemudian beliau meletakkan tangan beliau pada dada Fadhalah sehingga membuat hatinya tenang. Fadhalah berkata, ‘Demi Allah, Rasulullah tidak mengangkat tangan beliau itu dari dadaku setelah itu, kecuali tiada satu pun makhluk Allah yang lebih kucintai daripada beliau.”

 

Fadhalah berkata, “Aku pulang kembali kepada keluargaku. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan seorang perempuan yang aku pernah berbicara kepadanya. Ia berkata, ‘Kemarilah, kami bicara lagi? Aku menjawab, ‘Tidak’ Fadhalah lantas bersajak:

 

Ia berkata, ‘Mari kami bicara, dan kujawab, ‘Tidak,

Sungguh Allah dan Islam wajib atas dirimu

Meskipun kamu tidak melihat Muhammad dan kedatangannya

Dengan pembebasan Mekah pada hari dihancurkannya berhala-berhala

Sungguh, kamu pasti melihat agama Allah itu lebih jelas terangnya

Sedang kesyirikan itu laksana kegelapan yang menutupi wajah.”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Jumlah total personel pasukan Islam pada Fathu Makkah adalah sepuluh ribuh orang. Dari Bani Sulaim tujuh ratus orang, tetapi sebagian ulama menyatakan jumlahnya seribu orang. Dari Bani Ghifar empat ratus orang. . Dari bani Muzainah seribu tiga ratus orang. Lalu sisanya dari Quraisy, Anshar, dan sekutu mereka, serta beberapa komunitas Arab, yakni Tamim, Qais, dan Asad.

 

Salah satu syair yang dituturkan pada Fathu Makkah adalah tuturan Hasan bin Tsabit Al-Anshari:

 

Berubah Dzat Al-Ashabi‘ dan Al-Jiwa’…

Menuju Adzra’ tempatnya mengasingkan diri Kampung-kampung dari Bani Hashas adalah padang pasiv…

Menghapuskannya angin penghapus jejak dan hujan

Ada senantiasa di sana seorang teman…

Di sela padang rumputnya unta dan kambing

Maka tinggalkan ini, tetapi siapa yang menangani bayang-bayang…

Ia menjadikanku tak bisa tidur selepas Isya.

 

Untuk orang berambut kusut yang la sudah melakukannya…

Maka tiada bibir untuk hatinya

Seolah-olah arak dari Bait Ras…

Campurannya adalah madu dan air

Apabila tiada minuman yang disebutkan suatu hari…

Maka itu harum baunya sang prajurit

Kami memalingkannya dari celaan, ketika kami melakukan sesuatu yang pantas dicela…

Apabila ada hantaman tangan dan caci maki

Kami meminumnya lalu kami biarkan raja…

Dan singa apa yang pertemuan itu melarang kami

Kami kehilangan kuda kami jika kalian tidak melihatnya…

Memercikkan debu tempatnya di Bukit Kada’

Mencabutnya tali-tali kekang yang dipolakan…

Atas pundaknya tombak yang layu

Orang-orang baik kami bergegas…

Menampar mereka dengan kerudung wanita

Maka adakalanya kalian berpaling dari kami, kami berumrah…

Terjadilah pembebasan dan tersingkaplah penutup

Jika tidak, bersabarlah untuk penderaan suatu hari nanti…

Allah menolong siapa saja yang Ia kehendaki

Jibril adalah utusan Allah di tengah kami…

Dan Ruh Qudus tiada yang sebanding dengannya

 

Allah berfirman, “Sungguh Aku telah mengutus seorang hamba…” Mengatakan kebenaran jika ujian bermanfaat Aku menyaksikannya maka berdirilah kalian, kalian pasti membenarkannya… Lalu kalian berkata, “Kami tidak berdiri dan tidak berkehendak.” Allah berfirman, “Sungguh aku telah menjalankan tentara….”

 

Mereka adalah Anshar yang siap hadapi musuh Kami punya persiapan untuk setiap hari…

Caci maki, atau perang, atau ejekan

Kami melindungi dengan dupa harum terhadap orang yang memfitnah kami…

Kami memukul ketika darah sudah bercampur dan berlumuran

Ketahuilah, sampaikan kepada Abu Sufyan tentang diriku…

Surat yang dikirim dari satu negeri ke negeri lain yang tersembunyi

Bahwa pedang kami membiarkanmu sebagai budak…

Sedang Abdudar pemimpinnya adalah budak perempuan

Kamu memfitnah Muhammad dan kamu menjawab darinya…

Di hadapan Allah ada balasan terhadap itu

Apakah kamu memfitnahnya sedang kamu tidak setara…

Kejahatan kalian berdua jadi penebus kebaikan kalian

Kamu memfitnah orang yang diberkahi, yang baik, dan condong kepada kebenaran…

Kepercayaan Allah yang perangainya komitmen memenuhi janji

Apakah orang yang memfitnah Rasulullah di antara kalian…

Sama dengan yang memuji beliau dan menolongnya?

Sungguh bapakku, kedua orang tuanya, dan kehormatanku…

Untuk kehormatan Muhammad dari ucapan kalian sebagai pelindung

Lisanku adalah pedang yang tiada cacatnya…

Lautanku tidak dapat dikeruhkan oleh bejana atau timba

 

Ghazwah Hunain; Sesudah Fathu Makkah

 

Ketika kaum Hawazin mendengar tindakan Rasulullah dan kemenangan yang Allah anugerahkan kepada beliau, berupa Fathu Makkah, Malik bin Auf AnNashri mengumpulkan kaumnya. Lantas Kabilah Tsaqif seluruhnya bergabung kepada Hawazin. Demikian juga Kabilah Nashr dan Jusyam, semuanya. Begitu pula dengan Saad bin Bakar; sekelompok orang dari Bani Hilal yang tidak terlalu banyak jumlahnya, dan tiada yang ikut serta dari Qais Ailan kecuali mereka. Kabilah yang tidak hadir turut serta dari kalangan kaum Hawazin adalah Kabilah Ka’ab dan Kilab. Tidak diketahui nama seorang pun yang ikut menghadiri.

 

Di kalangan Bani Jusyam ada Duraid bin Shimah, seorang tua renta yang tidak mempunyai apa-apa kecuali kecerdasan akalnya dan pengetahuan perangnya, karena ia adalah orang tua yang berpengalaman. Di kalangan Tsaqif ada dua orang pemimpin mereka. Di kalangan para sekutu terdapat Qarib bin Aswad bin Mas‘ud bin Mu‘atib. Di kalangan Bani Malik ada Dzul Khimar Subai‘ bin Harits bin Malik, dan saudaranya Ahmar bin Harits. Mereka semuanya bersatu-padu di bawah pimpinan Malik bin Auf An-Nashri.

 

Tatkala ia sudah bertekad untuk maju ke posisi Rasulullah, ia mengikutsertakan pasukan harta, wanita, dan anak-anak mereka. Tatkala ia beristirahat di Authas, orang-orang berhimpun kepadanya. Di antara mereka adalah Duraid bin Shimah, yang berada di sekedupnya yang tertutup bagian atasnya, dan dibopong dengannya. Tatkala ia turun dari sekedupnya, ia bertanya, “Di lembah apa kalian sekarang ini?” Mereka menjawab, “Di Lembah Authas.”

 

Duraid berkata, “Ini adalah sebaik-baik lapangan untuk kuda, bukan daerah tinggi yang banyak bebatuan, bukan pula tanah yang lunak karena banyak pasirnya. Mengapa aku mendengar suara unta, ringkikan keledai, tangis anak kecil, dan embikan kambing?”

 

Mereka menjawab, “Malik bin Auf mengikutsertakan harta, wanita-wanita, dan anak-anak mereka”

 

Duraid bertanya, “Di manakah Malik?” Malik pun dipanggil lalu Duraid berkata, “Hai Malik, sungguh kamu sekarang sudah menjadi pemimpin kaummu. Sungguh ini adalah hari yang pasti terjadi pula hari-hari sesudahnya! Mengapa aku mendengar suara unta, ringkikan keledai, tangisan anak kecil, dan embikan kambing?”

 

Malik menjawab, “Saya mengajak serta bersama pasukan, harta dan wanita mereka.” Duraid bertanya, “Mengapa begitu?” Malik menjawab, “Saya ingin menempatkan di belakang setiap orang dari pasukanku keluarga dan hartanya, agar ia berperang membela mereka.”

 

Duraid menempelkan lidahnya ke langit-langit mulut, lalu bersuara pada tepiannya karena mengingkari perkataan atau perbuatan Malik, lalu ia berkata, “Penggembala kambing, demi Allah! Apakah orang yang kalah akan mendapatkan pengembalian hartanya walau sedikit? Sungguh, jika kamu menang maka tidak akan bermanfaat bagimu kecuali seorang pria dengan pedang dan tombaknya. Jika kamu kalah, kamu pasti akan dicerca dan dicaci oleh keluargamu dan hartamu.”

 

Kemudian Duraid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Ka‘ab dan Kilab?” Orang-orang menjawab, “Tiada seorang pun dari mereka yang ikut serta.” Duraid berkata, “Keberanian dan harga diri telah hilang. Kalaulah hari ini adalah hari kemenangan dan ketinggian derajat, niscaya Ka‘ab dan Kilab tidak akan absen! Sungguh aku sangat ingin bahwa kalian melakukan apa yang dilakukan oleh Ka‘ab dan Kilab, siapa yang menyertainya di antara kalian?”

 

Mereka berkata, “Amru bin Amir dan Auf bin Amir”

 

Duraid berkata, “Kedua orang itu adalah orang yang lemah dalam perang di kalangan Amir. Keduanya tidak akan memberi manfaat dan tidak akan menimbulkan mudharat! Hai Malik, mengapa kamu tidak mengedepankan sedikit pasukan induk, yakni pasukan Hawazin, menuju ke depan pasukan berkuda? Ajaklah mereka untuk melindungi negeri mereka dan bagian atas kaum mereka, kemudian temuilah orang yang murtad dari agama nenek moyang itu, untuk menyerang inti pasukan berkuda. Jika kamu menang, ia pasti akan menyusulmu dari belakang. Jika kamu kalah, mereka akan menggabungkan diri kepadamu, sedang kamu telah melindungi keluarga dan hartamu.”

 

Malik menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan melakukan itu. Sungguh, kamu sudah tua dan sudah tua pula akalmu! Demi Allah, kalian harus benar-benar menaatiku, hai sekalian kaum Hawazin, atau aku akan bersandar pada pedang ini sampai pedang ini tembus keluar dari punggungku —ia tidak suka bila Duraid bin Shimah dikenal atau dipandang peranannya. Mereka berkata, “Kami menaatimu.”

 

Duraid bin Shimmah berkata, “Ini adalah hari yang aku tidak pernah mengalaminya dan tidak pernah melewatkanku:

 

Aduhai, alangkah senangnya bila aku masih muda…

Aku bisa bepergian ke sana dan kemari

Aku bisa menuntun hewan tunggangan pilihan yang panjang bulunya…

Seakan-akan ia binatang yang berbadan sedang

 

Kemudian Malik berkata kepada pasukannya, “Apabila kalian melihat mereka, rusakkanlah sarung pedang kalian, lalu seranglah dengan serentak”

 

Tatkala Nabi mendengar omongan mereka itu, beliau mengutus Abdullah bin Abi Hadrad Al-Aslami. Beliau menugasinya untuk masuk ke tengah tengah musuh, lalu tinggal bersama mereka di perkampungan mereka, sampai ia mengetahui informasi mereka. Selanjutnya, ia datang kembali kepada Nabi untuk menyampaikan berita berkenaan dengan mereka.

 

Ibnu Hadrad berangkat, lalu ia masuk ke komunitas mereka dan tinggal di tengah-tengah mereka. Sampai akhirnya, ia mendengar berita dan mengetahui apa yang mereka sepakati berupa perang terhadap Rasulullah. Ia juga mendengar omongan Malik dan urusan Kaum Hawazin, yakni apa yang sedang mereka kerjakan. Kemudian Ibnu Hadrad kembali kepada Rasulullah dan memberitahukan kepada beliau berita yang ia peroleh.

 

Tatkala Rasulullah bertekad untuk datang ke perkampungan Kaum Hawazin dan menghadapi mereka, diceritakan kepada beliau bahwa Shafwan bin Umayah mempunyai banyak baju besi dan juga berbagai macam senjata. Rasulullah mengirim utusan beliau untuk menemui Shafwan bin Umayah yang ketika itu masih musyrik, lalu beliau bersabda, “Wahai Abu Umayah, pinjamilah kami senjatamu karena kami akan bertempur dengan musuh kami besok.” Shafwan berkata, “Apakah ini bentuk perampasan harta, hai Muhammad?” Rasulullah menjawab, “Tidak, ini peminjaman dengan jaminan, sampai kami mengembalikannya kepadamu.” Shafwan berkata, “Tidak masalah kalau begitu!”

 

Shafwan memberikan kepada Nabi seratus baju besi dan senjata yang cukup untuk melengkapinya. Para ahli sejarah menjelaskan bahwa Rasulullah meminta Shafwan mencukupi mereka dengan perlengkapan perangnya dan Shafwan melakukannya.

 

Selanjutnya, Rasulullah berangkat bersama dua ribu penduduk Mekah dan sepuluh ribu sahabat beliau yang menyertai beliau tatkala Fathu Makkah, sehingga mereka semuanya berjumlah dua belas ribu orang. Rasulullah mengangkat Atab bin Asid bin Abil Ish bin Umayah bin Abdu Syams untuk mengurusi Mekah, sebagai pemimpin orang-orang yang masih tinggal di kota tersebut. Selanjutnya, Rasulullah maju ke depan, hendak menghadapi Kabilah Hawazin.

 

Dari Harits bin Malik, ia berkata:

 

“Kami berangkat bersama Rasulullah menuju Hunain. Pada saat itu, kami baru saja meninggalkan kejahiliahan.” Harits berkata, “Kami berjalan bersama beliau ke Hunain” Ia berkata lagi, “Orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang Arab selain mereka mempunyai sebuah pohon besar dan hijau dedaunannya. Pohon itu dinamai Dzatu Anwath. Mereka biasa datang ke pohon itu setiap tahun. Mereka menggantungkan senjata mereka di sana, menyembelih binatang di dekatnya, dan melakukan peribadatan kepadanya.”

 

Harits kembali bertutur, “Kami melihat ketika kami berjalan bersama Rasulullah pohon bidara yang hijau dedaunannya dan besar batangnya. Lantas kami saling menyeru dari berbagai sisi jalan, “Wahai Rasulullah, jadikanlah untuk kami Dzatu Anwath seperti milik mereka’? Rasulullah bersabda, ‘Allahu akbar. Kalian berkata, demi Dzat Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, sebagaimana kaum Musa berkata kepada Musa, “Jadikanlah untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai banyak tuhan,” Musa pun berkata, “Sungguh kalian adalah kaum yang bodoh” Sungguh, ini termasuk sebuah kebiasaan. Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang sebelum kalian”

 

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

 

Tatkala kami maju menuju Lembah Hunain, kami menuruni lereng lembah dari arah Lembah Tihamah yang lebar dan menurun. Jabir berkata, “Itu terjadi pada saat masih gelap, sebelum subuh”

 

Kaum Hawazin mendahului kami sampai di lembah itu. Mereka bersembunyi untuk menyerang kami pada jalan rahasia, sisi-sisi belokan, dan tempattempat sempitnya. Mereka sudah berkumpul, bersiap-siap, dan mempersiapkan penyerangan. Demi Allah, tiada yang menjaga kami, ketika kami merosot drastis, kecuali sejumlah sariah yang melindungi kami bagai perlindungan satu orang saja. Orang Islam tercerai-berai dan kalah, lalu mereka pulang. Tiada seorang pun yang menggubris orang lain.

 

Rasulullah menggabungkan diri ke arah kanan, kemudian beliau bersabda, “Ke mana kalian, hai pasukan? Ayo bergeraklah ke arahku, aku adalah Rasulullah, aku Muhammad bin Abduilah. Maka untuk apa unta-unta itu mengangkut sebagian dari kalian.” Orang-orang Islam tetap pergi menjauh, kecuali yang tersisa menemani Rasulullah sekelompok dari kaum Muhajir, Anshar, dan keluarga beliau.

 

Ibnu Ishaq berkata, “Tatkala Islam mengalami kekalahan, dan orang-orang yang menyertai Rasulullah melihat kekasaran penduduk Mekah yang kalah, sejumlah orang dari mereka mengucapkan kebencian yang ada di dalam diri mereka. Abu Sufyan bin Harb berkata, ‘Kekalahan mereka tidak akan terhenti sampai lautan! Sungguh, anak-anak panah undian itu masih bersama ia di dalam wadah anak panahnya.”

 

Jabalah bin Hanbal berteriak, “Ketahuilah, sihirnya telah lenyap hari ini!”

 

Syaibah bin Utsman berkata, “Aku bergumam, “Hari ini aku akan membalas dendamku terhadap Muhammad!! Hari ini aku pasti akan membunuh Muhammad!’ Aku lantas berkeliling mencari Rasulullah untuk membunuh beliau. Lalu terjadi sesuatu yang menghadangku dan meliputi hatiku, sehingga aku tidak mampu melakukannya. Akhirnya, aku mengetahui bahwa ia terlindungi dariku.”

 

Sebagian penduduk Mekah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah ketika meninggalkan Mekah menuju Hunain dan ketika beliau melihat banyaknya tentara Allah yang menyertai beliau, beliau bersabda, “Tidak akan terkalahkan pasukan ini disebabkan sedikitnya jumlah personel!”

 

Dari Abbas bin Abdul Mutholib, ia berkata:

 

Sungguh aku bersama Rasulullah. Aku memegang tali kekang bagal beliau ( yang berwarna putih, yang kuletakkan pada pertemuan antara dua janggut bagal itu. Aku adalah seorang pria yang berbadan besar dan bersuara keras. Rasulullah bersabda ketika beliau melihat kocar-kacirnya pasukan Islam, “Di mana kalian, hai pasukan?” Beliau tidak melihat orang-orang itu menggubris. Beliau bersabda, “Hai Abbas, berteriaklah, “Hai orang-orang Anshar, hai orang-orang yang ikut berbaiat di bawah pohon Samurah” Abbas berkata, “Mereka pun menjawab panggilan beliau, “Labbaik.. labbaik!”

 

Seseorang bertindak untuk memalingkan untanya, tetapi ia tidak mampu melakukannya. Ia lalu mengambil baju besinya dan memakainya, lalu ia mengambil pedang dan perisainya, kemudian ia turun dari untanya seraya membiarkan untanya pergi. Suara panggilan Rasul itu menggema ke seluruh pasukan hingga sampai kembali kepada Rasulullah. Berkumpullah seratus orang dari mereka ke hadapan Nabi, lantas mereka menghadap ke arah musuh dan berperang dengan hebat.

 

Panggilan pada awal perang adalah, “Hai Anshar!” Kemudian panggilan itu berubah pada akhirnya menjadi “Hai Khazraj!” Karena mereka adalah orang-orang yang tabah saat berperang. Rasulullah segera bergerak ke arah kendaraan beliau. Beliau melihat lokasi kekuatan musuh, karena mereka sedemikian kuat. Kemudian beliau bersabda, “Sekarang ini pertempuran akan memanas.”

 

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

 

“Pada waktu itu, ada seorang lelaki dari Hawazin yang membawa bendera panji mereka sedang menaiki untanya, dan melakukan apa yang ia lakukan. Saat itu, Ali bin Abu Thalib hendak menyerangnya, demikian juga seorang lelaki dari kalangan Anshar. Keduanya sama-sama hendak menyerang pemegang bendera Hawazin tersebut. Ali bin AbuThalib menyerangnya dari belakang, lalu ia memotong dua lutut untanya, hingga unta itu jatuh pada pantatnya. Orang Anshar itu menyerang lelaki Hawazin tersebut, lalu ia menebasnya dengan pedang dengan tebasan yang keras pada pertengahan betisnya. Seketika itu, ia jatuh dari kendaraannya. Jabir berkata, ‘Kaum muslim berperang dengan dahsyat. Demi Allah, tiada seorang pun yang kembali dari kekalahan mereka itu sampai mereka mendapati para tawanan terbelenggu pada pundaknya di hadapan Rasulullah”

 

Rasulullah menoleh ke arah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Mutholib. Ia termasuk orang yang tabah dan bertahan pada hari itu bersama Rasulullah. Ia adalah orang yang menjalankan Islam dengan baik sejak keislamannya. Ia adalah salah seorang yang bertugas melindungi bagal Nabi dari belakang. Rasul bertanya, “Siapa ini?” Abu Sufyan menjawab, “Aku putra ibumu, wahai Rasulullah!”

 

Dari Abdullah bin Abu Bakar:

 

“Rasulullah menoleh, lalu beliau melihat Ummu Sulaim binti Milhan. Ia sedang bersama suaminya, Abu Thalhah. Ummu Sulaim mengikat bagian tengah badannya dengan kain burdah miliknya. Pada waktu itu, Ummu Sulaim sedang mengandung Abdullah bin Abu Thalhah. Ia mengendarai unta milik Abu Thalhah. Ummu Sulaim khawatir jatuh dari unta itu, sehingga ia mendekatkan kepalanya dengan punggung unta dan memasukkan tangannya ke gulungan rambut yang diletakkan pada hidung unta dengan tali kekangnya. Rasulullah bertanya, ‘Ummu Sulaim kah?’

 

Ummu Sulaim menjawab, ‘Ya, sungguh, wahai Rasulullah. Bunuhlah orang-orang yang melarikan diri darimu sebagaimana engkau membunuh orang-orang yang memerangi dirimu, karena mereka layak untuk dibunuh!’

 

Rasulullah bersabda, ‘Tidakkah Allah sudah mencukupi itu, wahai Ummu Sulaim?’ Ummu Sulaim berbicara sedang ia membawa pisau belati. Abu Thalhah bertanya kepada istrinya itu, ‘Mengapa kamu membawa belati ini, hai Ummu Sulaim?’ Ia menjawab, ‘Aku sengaja membawa belati. Jika ada seseorang dari kaum musyrik mendekatiku, aku akan menusuk perutnya dengan belati ini’

 

Abu Thalhah berkata, ‘Tidakkah engkau mendengar, wahai Rasulullah, apa yang dikatakan oleh Rumaisha’! ini!”

 

Dari Abu Qatadah, ia berkata:

 

“Pada Perang Hunain, aku melihat dua orang yang saling berperang dengan sengit: seorang muslim dan seorang musyrik. Tiba-tiba ada seseorang dari kalangan musyrik yang hendak membantu temannya melawan muslim itu, aku pun langsung mendatanginya ia dan kusabet tangannya dengan pedang hingga aku berhasil menebasnya. Ia menyerangku dengan tangannya yang satunya.

 

Demi Allah, ia tidak menyerangku sampai aku mendapati bau darah. Ia hampir saja membunuhku. Andaikan tidak karena darah yang memancar dari tubuhnya, niscaya ia akan berhasil membunuhku. Ia jatuh ke tanah dan aku menghantam tubuhnya, lalu aku berhasil membunuhnya. Pertempuran itu membuatku sibuk dan terlalaikan dari lainnya. Seorang pria penduduk Mekah melewati tempat itu dan ia mengambil harta Hawazin yang kubunuh tersebut.

 

Tatkala perang telah usai dan kami berhasil mengalahkan Hawazin, Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa membunuh musuh, ia berhak mendapatkan harta yang dibawa oleh orang yang ia bunuh.”

 

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku telah membunuh seorang musuh yang mempunyai harta. Akan tetapi, pertempuran dengannya menjadikan aku lupa mengambilnya. Aku tidak tahu siapa yang mengambil hartanya.” Seorang lelaki dari kalangan penduduk Mekah berkata, “Ia benar, wahai Rasulullah. Harta korban terbunuh itu sekarang kubawa. Hendaklah ia meridhai harta rampasan itu menjadi milikku.”

 

Abu Bakar Ash-Shidiq ag berkata, “Tidak, demi Allah. Ia tidak meridhainya. Kamu sengaja berbuat terhadap salah satu dari singa Allah yang berperang membela agama Allah, kamu membantahnya dalam soal harta rampasannya! Kembalikan kepadanya harta orang yang ia bunuh itu!” Rasulullah bersabda, “Ia benar, kembalikan kepadanya harta rampasannya.”

 

Abu Qatadah berkata, “Aku mengambil, lalu menjual harta itu kembali. Hasil penjualannya kugunakan untuk membeli satu atau beberapa kebun kurma (yang jumlahnya mendekati sepuluh). Itu menjadi harta pertama yang kudapatkan.”

 

Ibnu Ishaq berkata,

 

Ketika Kaum Hawazin mengalami kekalahan, sangat banyak korban terbunuh dari Tsaqif di kalangan Bani Malik. Terbunuhlah tujuh puluh orang di bawah bendera panji mereka. Di antara mereka adalah Utsman bin Abdullah bin Rabi‘ah bin Harits bin Hubaib. Bendera panji mereka dibawa oleh Dzul Khimar.!” Tatkala ia terbunuh, panji diambil alih oleh Utsman bin Abdullah, lalu ia berperang hingga terbunuh.

 

Tatkala pasukan musyrik kalah, mereka pergi menuju Thaif, disertai juga oleh

 

Malik bin Auf. Sebagian dari mereka bersiaga militer di Authas. Sebagian yang lainnya pergi menuju Nakhlah. Tiada yang ikut pergi menuju Nakhlah kecuali Bani Ghirah dari Kabilah Tsaqif. Pasukan kavaleri Rasulullah mengejar siapa saja yang melintasi Nakhlah, tetapi tidak mengejar orang yang melewati celah antara dua gunung.

 

Rasulullah mengutus Abu Amir Al-Asy‘ari beserta pasukannya untuk mengejar jejak musuh yang menuju Authas, lalu ia menemukan sejumlah orang yang melarikan diri. Terjadilah perang yang dahsyat. Abu Amir dihujani anak panah hingga syahid terbunuh. Bendera panji diambil alih oleh Abu Musa Al-Asy’ari, yang merupakan keponakan Abu Amir. Abu Musa berperang melawan mereka, sampai Allah memberinya kemenangan dan mengalahkan mereka.

 

Malik bin Auf melarikan diri ketika mengalami kekalahan, ia berhenti di antara kuda-kuda perang milik kaumnya pada sebuah dataran tinggi antara dua gunung. Ia berkata kepada teman-temannya, “Berhentilah kalian sampai orang-orang lemah kalian lewat dan orang-orang akhir dari kalian dapat menyusul.” Ia berhenti di tempat itu hingga orang-orang yang baru saja mengalami kekalahan melewati tempat itu.

 

Rasulullah x melewati jasad perempuan yang dibunuh oleh Khalid bin Walid, orang orang berdesak-desakan melihatnya. Rasulullah bertanya, “Ada apa ini?” Orang-orang itu menjawab, “Ada jasad perempuan yang dibunuh oleh Khalid bin Walid” Rasulullah bersabda kepada salah seorang sahabat yang menyertai beliau, “Temuilah Khalid dan katakan kepadanya, ‘Sungguh, Rasulullah melarang kamu membunuh seorang ibu yang mempunyai anak, seorang perempuan, bahkan buruh upahan.”

 

Sungguh, Rasulullah bersabda pada hari itu, “Jika kalian mampu membunuh Bijad -seorang lelaki dari Bani Saad bin Bakar-, jangan sampai ia lepas dari kalian. Sungguh ia telah melakukan perbuatan besar.” Tatkala kaum muslim berhasil menangkapnya, mereka menggiring dirinya dan keluarganya, Mereka juga menggiring Syaima binti Harits bin Abdul‘uzza, saudara sesusu Rasulullah. Kaum muslim bertindak kasar terhadap Syaima’ lantas ia berkata kepada kaum muslim, “Ketahuilah, demi Allah, aku adalah saudara sesusu teman kalian itu!” Orang-orang Islam tidak memercayainya sampai mereka membawanya menghadap kepada Rasulullah.

 

Tatkala mereka membawanya ke hadapan Rasulullah, Syaima’ berujar, “Wahai Rasulullah, aku adalah saudara sesusumu.” Rasul bertanya, “Apa tandanya?” Syaima’ menjawab, “Bekas gigitanmu yang ada di punggungku. Waktu itu aku menggendongmu.” Rasulullah mengenali tanda itu. Kemudian beliau menghamparkan selendang beliau dan menyuruh Syaima’ duduk di atasnya. Beliau memberikan pilihan seraya bersabda, “Jika engkau mau tinggal sebagai orang yang terkasih di dekatku maka kau boleh menjalaninya. Tetapi jika engkau mau kuberi bekal harta lalu engkau kembali ke kaummu, itu juga boleh dilakukan”” Syaima’ berkata, “Kau beri aku bekal harta dan kembalikan aku ke kaumku.” Rasulullah memberinya bekal harta dan mengembalikannya ia ke kaumnya.

 

Bani Saad mengklaim bahwa Rasulullah memberi Syaima’ seorang budak laki-laki bernama Makhul dan budak perempuan. Lalu kedua budak itu dinikahkan. Anak keturunan mereka terus kekal sampai waktu yang lama.

 

Ibnu Hisyam berkata:

 

Allah a menurunkan ayat pada Perang Hunain, “Sungguh Allah menolong kalian pada berbagai perang yang banyak, dan pada hari Hunain, tatkala banyaknya kalian membuat kalian takjub” sampai firman-Nya “Itulah balasan untuk orang-orang kafir.” (At-Taubah [9]: 25-26)

 

Ibnu Ishaq bertutur:

 

“Terhimpun di hadapan Rasulullah banyak tawanan wanita Hunain dan harta mereka. Salah satu harta rampasan yang didapatkan adalah Mas‘ud bin Amru Al-Ghifari. Rasulullah menitahkan untuk membawa wanita tawanan dan harta rampasan ke Ji‘ranah, untuk ditahan di sana.’

 

GhazwahThaif

 

Tatkala orang-orang Tsaqif yang melarikan diri karena kalah perang sampai di Thaif, warga Thaif langsung menutup pintu gerbang kota mereka. Lantas mereka melakukan segala persiapan untuk perang.

 

Urwah bin Mas‘ud tidak ikut serta pada Perang Hunain dan pengepungan Thaif. Demikian juga halnya dengan Ghailan bin Salamah. Kedua orang tersebut pada saat yang sama berada di Jarasy, mempelajari pembuatan kendaraan tempur (dababah), ketapel batu (manjaniq), dan Dhubur.

 

Selanjutnya, Rasulullah berjalan menuju Thaif ketika beliau menyelesaikan misinya dari Hunain. Ka‘ab bin Malik berkata ketika Rasulullah sudah bertekad untuk melakukan perjalanan menuju Thaif:

 

Kami tuntaskan dari Tihamah semua keraguan… ,

Dan Khaibar, kemudian kami istirahatkan pedang

Kami memberinya pilihan, andaikan ia bisa bicara pasti ia berkata…

Para penebangnya, Daus atau Tsaqif

Aku bukanlah untuk si benteng jika kalian tidak melihatnya…

Di halaman rumah kalian dari kami beribu-ribu

Kami mencabut singgasana di perut Waijj…

Kampung kalian menjadi sepi penghuni

 

Kemudian Rasulullah 4g melanjutkan perjalanan melewati kebun kurma Yaman, lalu melintasi Qarn, melewati Mulaih. Selanjutnya, melewati Buhrah Rugha;, dari Liyah. Di sana beliau membangun masjid dan mengerjakan shalat di dalamnya. Lantas Nabi melewati sebuah jalan bernama Dhaiqah. Kemudian beliau keluar menuju Nakhb, sampai di bawah pohon bidara yang dinamai Shadirah, dekat dari serangan orang Tsagif.

 

Rasulullah mengirim utusan beliau kepadanya untuk menyampaikan pesan, “Kamu harus pergi keluar dari kebunmu ini atau kami akan meluluhlantidak akan kebunmu ini bersamamu.” Orang itu tidak mau keluar, lantas Rasulullah menyuruh tentara Islam menghancur-luluhkan kebunnya.

 

Selanjutnya, Rasulullah meneruskan perjalanan hingga beristirahat di dekat Thaif. Beliau memerintahkan pasukan muslim menegakkan tenda dan kemah untuk tentara. Sejumlah sahabat beliau terbunuh oleh serangan anak panah. Itu terjadi karena pasukan yang berada dekat dengan Thaif terjangkau tembakan panah. Kaum muslim tidak mampu menyerang masuk ke kebun mereka. Mereka mengunci pintu masuk untuk melindungi diri. Sesudah sejumlah personel tentara Islam mati terkena serangan panah, Nabi menempatkan pasukan beliau di dekat masjid beliau yang ada di Thaif pada waktu itu. Nabi mengepung Thaif selama dua puluh sembilan hari.

 

Saat itu, Nabi ditemani oleh dua istri beliau, salah satunya adalah Ummu Salamah bin Abu Umayah. Nabi membuat dua tenda untuk masing-masing dari kedua istrinya dan beliau mengerjakan shalat di antara dua tenda tersebut. Kemudian beliau berdiri. Tatkala orang-orang Tsagif masuk Islam, Amru bin Umayah bin Wahab membangun masjid di atas tempat shalat Nabi itu. Di masjid itu ada sebuah tiang, menurut pernyataan para ahli sejarah, tidaklah matahari tepat di atasnya pada suatu hari kecuali tiang tersebut pasti bersuara. Rasulullah mengepung mereka dan menyerang mereka dengan serangan yang hebat lagi dahsyat. Pasukan Islam juga menghujani mereka dengan anak panah.’”

 

Tibalah hari penghancuran dinding benteng Thaif. Sejumlah sahabat Rasulullah masuk ke dalam kendaraan perang (dababah), kemudian mereka merangkak dengan kendaraan itu menuju dinding kota Thaif untuk meruntuhkannya. Kaum Tsaqif menyiram mereka dengan paku-paku besi yang dilelehkan, lantas pasukan Islam pun keluar dari dababah tersebut. Pasukan Tsaqif menembaki mereka dengan anak panah sehingga beberapa orang dari mereka terbunuh. Rasulullah lalu memerintahkan untuk menebangi pohon anggur kaum Thaif, sehingga pasukan Islam menebanginya.

 

Sampai berita kepadaku bahwa Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar Ash-Shidig, ketika beliau mengepung kabilah Tsagif:

 

“Wahai Abu Bakar, aku bermimpi bahwa aku diberi hadiah sebuah periuk yang penuh berisi buih, lalu seekor ayam mematuknya dan tumpahlah semua isinya.” Abu Bakar berkata, “Saya tidak menyangka engkau akan mendapatinya dari mereka hari ini, apa yang kau inginkan.” Rasulullah bersabda, “Aku tidak melihat begitu.”

 

Selanjutnya, Khuwailah binti Hakim As-Sulamiah, istri Utsman, berkata:

 

“Wahai Rasulullah, mohon berikan kepadaku, jika Allah memberimu kemenangan atas Thaif, perhiasan milik Badiah binti Ghailan atau perhiasan milik Fariah binti Uqail” Kedua perempuan itu termasuk wanita yang paling banyak perhiasannya di antara kaum wanita Tsaqif. Lantas diceritakan kepadaku bahwa Rasulullah bersabda kepada Khuwailah, “Bagaimana jika Allah tidak menghendaki diriku mengalahkan Tsaqif, hai Khuwailah?” Khuwailah pergi dan menceritakan kejadiannya bersama Nabi itu kepada Umar bin Khathab. Lantas Umar datang menemui Rasulullah seraya berucap, “Wahai Rasulullah, apa perkataan yang engkau ucapkan kepada Khuwailah itu, ia berasumsi bahwa engkau telah mengucapkannya?” Rasul menjawab, “Ya, aku telah mengatakannya.” Umar bertanya, “Apakah belum diizinkan untukmu mengalahkan mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Belum” Umar bertanya lagi, “Apakah sudah diizinkan untuk maju menyerang?” Nabi menjawab, “Ya.” Rawi berkata, “Lalu Umar mengumumkan perintah menyerang.”

 

Tatkala orang-orang menganggap remeh seruan itu, Sa‘id bin Ubaid berteriak, “Ketahuilah, sungguh kehidupan sudah tetap dan kukuh”

 

Uyainah bin Hishn berkata, “Benar, demi Allah, kemuliaan dan kemuliaan!” Seorang lelaki dari kalangan muslim berkata, “Semoga Allah mematikanmu, hai Uyainah, apakah kamu memuji orang-orang musyrik dengan berlindungnya mereka dari serangan Rasulullah, bukankah kamu datang untuk membantu Rasulullah?”

 

la menjawab, “Demi Allah, aku tidak datang untuk berperang melawan Tsaqif bersama kalian. Akan tetapi, aku ingin Muhammad berhasil menaklukkan Thaif lalu aku diberi tawanan wanita Thaif lalu aku menyetubuhinya, mudah-mudahan ia melahirkan anak laki-laki untukku, karena Tsaqif adalah suatu kaum yang memiliki kecerdikan dan ahli rekayasa.”

 

Tatkala Rasulullah mengepung Thaif, budak-budak dari Thaif yang terkepung itu keluar dan masuk Islam. Rasulullah pun memerdekakan mereka.

 

Tatkala orang-orang Thaif masuk Islam, sejumlah orang dari mereka berbicara tentang budak-budak itu, lantas Rasulullah menyergah, “Tidak, mereka adalah orang-orang yang dimerdekakan Allah.’

 

Salah seorang yang ikut berbicara tentang mereka adalah Harits bin Kaladah.

 

Jumlah tentara Islam yang mati syahid di Thaif, dari kalangan sahabat Rasulullah adalah dua belas orang; tujuh orang Quraisy, empat orang Anshar, dan satu orang dari Laits.

 

Tatkala Rasulullah pergi meninggalkan Thaif setelah memerangi dan mengepungnya, Bujair bin Zuhair bin Abu Salma bersajak menceritakan Hunain dan Thaif:

 

Perang demi perang terjadi pada hari di perut Hunain…

Pagi hari Authas dan perang Abraq

Berkumpul dengan tipu daya, Hawazin ia mengumpulkannya…

Lalu mereka bercerai-berai bagai burung yang tercabik

Mereka tidak berlindung dari kami pada satu tempat pun…

Kecuali dinding benteng mereka dan perut parit

Sungguh, kami maju menghadang agar mereka mau keluar…

Lalu mereka berlindung dari kami dengan pintu gerbang yang tertutup

Tertolak penyesalan kami kepada sariah yang besar…

Putih bersih berkilau dengan kematian lalu Failaq

Dihimpun hijau-hijau, andaikan mereka melemparkannya dengannya…

Gunung Hadhan kami, sungguh adalah naungan seolah-olah belum diciptakan

Jalan dengan meremehkan atas tumbuhan berduri, seolah-olah kami…

Pasukan kuda yang tercerai-berai di dalam ikatan dan saling bertemu

Pada setiap baju besi yang sempurna apabila digunakan sebagai pelindung…

Seperti anak sungai anginnya berhembus lembut

Jubah besi yang bagus, yang sandal kami menyentuh kelebihan airnya…

Dibuat dari anyaman Daud dan keluarga Muhariq

 

Harta Hawazin dan Tawanan Wanita Mereka

 

Selanjutnya, Rasulullah ketika meninggalkan Thaif, pergi melalui jalan Dahna, sampai beliau beristirahat di Ji‘ranah bersama beberapa orang yang menyertai beliau. Beliau juga membawa serta sekian banyak wanita Hawazin yang menjadi tawanan. Seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau berkata ketika beliau pergi meninggalkan Tsaqif, “Wahai Rasulullah, doakanlah keburukan atas mereka!” Rasulullah bersabda, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada Tsaqif dan datangkanlah mereka.”

 

Kemudian datang menemui beliau delegasi Hawazin di Ji‘ranah. Waktu itu, jumlah tawanan Hawazin yang dibawa serta oleh Rasulullah adalah enam ribu orang, terdiri dari anak-anak dan wanita, masih ditambah lagi dengan unta dan kambing yang jumlahnya tak terhitung. Delegasi Hawazin berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh kami ini berasal dari satu kakek dan merupakan satu keluarga besar. Kami tertimpa malapetaka sebagaimana yang sudah engkau ketahui. Oleh karena itu, berikanlah karunia kepada kami, semoga Allah memberimu anugerah.”

 

Seorang pria dari Suku Hawazin berdiri, kemudian diikuti oleh seorang lelaki dari Bani Saad bin Bakar bernama Zuhair; bergelar Abu Shurad. Lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, yang berada di kandang” itu hanyalah bibimu dari arah bapak, bibimu dari arah ibu, ibu-ibu susuanmu yang telah mengasuhmu. Bagaimana jika kami menyusukan bayi untuk Harits bin Abi Syamir atau Nu‘man bin Mundzir, kemudian ia dapat mengambil harta kami yang semisal dengan kau berikan kepadanya, kami mengharapkan belas kasihnya dan pemberiannya kepada kami, sedang engkau adalah sebaik-baik yang mengurusi!”

 

Rasulullah bersabda, “Anak-anak kalian dan wanita kalian itu lebih kalian sukai ataukah harta kalian?” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, engkau menyuruh kami memilih antara harta kami dengan keluarga kami? Baiklah, kembalikan kepada kami wanita dan anak-anak kami, itu lebih kami sukai.” Rasulullah bersabda kepada mereka, “Adapun para tawanan yang berhubungan persaudaraan denganku dan Bani Abdul Mutholib, mereka semuanya kukembalikan kepada kalian. Apabila aku selesai mengerjakan shalat Zhuhur bersama orang-orang nanti, berdirilah kalian dan katakanlah, ‘Kami telah meminta syafaat dengan Rasulullah untuk kaum muslim, dan dengan kaum muslim untuk Rasulullah dalam urusan anak-anak dan wanita kami? Aku pasti akan memberikan kepada kalian pada saatnya nanti dan aku akan meminta kepada kalian.”

 

Tatkala Rasulullah selesai mengerjakan shalat Zhuhur berjamaah bersama kaum muslim, delegasi Hawazin itu berdiri dan mengatakan apa yang diperintahkan Nabi kepada mereka. Rasulullah bersabda, “Siapa saja tawanan yang memiliki hubungan persaudaraan denganku atau Bani Abdul Mutholib, ia menjadi milik kalian”” Kaum Muhajir berkata, “Tawanan yang kami miliki, kami berikan kepada Rasulullah” Orang-orang Anshar berucap, “Tawanan yang menjadi milik kami, kami berikan kepada Rasulullah”’ Aqra‘ bin Habis berkata, “Aku dan Bani Tamim, tidak akan memberikannya.” Uyainah bin Hishn berkata, “Ketahuilah, aku dan Bani Fazarah juga tidak akan memberikannya.” Abbas bin Mirdas berkata, “Aku dan Bani Sulaim tidak memberikannya.” Bani Sulaim menyahut, “Tidak, tawanan yang kami miliki kami berikan kepada Rasulullah.”

 

Abbas bin Mirdas berkata kepada Bani Sulaim, “Kalian melemahkanku!”

 

Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang masih memegangi hak miliknya atas tawanan ini, ia mendapat imbalan enam bagian ghanimah untuk setiap seorang tawanan, dari tawanan pertama yang ia dapatkan. Oleh karena itu, kembalikanlah kepada mereka anak-anak dan wanita mereka.”

 

Rasulullah bersabda kepada delegasi Hawazin dan bertanya kepada mereka tentang Malik bin Auf, “Bagaimana kabarnya?” Mereka menjawab, “Ia berada di Thaif bersama kaum Tsagif-” Rasulullah bersabda, “Beritahukan kepada Malik bahwa jika ia datang kepadaku sebagai orang Islam, aku akan kembalikan keluarga dan hartanya. Lalu aku akan memberikan kepadanya seratus ekor unta.”

 

Berita itu disampaikan kepada Malik, lalu ia berangkat dari Thaif untuk menemui Nabi. Malik takut kepada Tsaqif akan keselamatan dirinya bila mereka mengetahui bahwa Rasulullah telah mengatakan apa yang beliau ucapkan bahwa kaum Tsaqif akan menahan dan memenjarakan dirinya. Oleh karena itu, ia langsung memerintahkan agar hewan tunggangannya dipersiapkan, lantas dipersiapkan dengan cepat. Ia juga meminta agar kuda miliknya didatangkan dan dibawa ke Thaif.

 

Malik berangkat pada malam hari dengan mengendarai kudanya. Lantas ia memacu kudanya hingga sampai ke tempat yang ia perintahkan agar kuda itu ditahan. Lantas ia ganti menaiki unta untuk menyusul Rasulullah. Ia berhasil menjumpai Rasulullah di Ji‘ranah atau di Mekah, lantas Rasulullah mengembalikan keluarga dan hartanya. Rasul juga memberinya seratus ekor unta. Malik masuk Islam dan menjalankan Islamnya dengan baik.

 

Malik bin Auf bertutur ketika ia masuk Islam:

 

Aku tak pernah melihat atau mendengar yang setara dengannya…

Di kalangan manusia seluruhnya yang seperti Muhammad

Memenuhi janji dan memberi dengan berlimpah ketika ia dijumpai…

Kapan saja kau kehendaki ia akan memberitahumu tentang apa yang terjadi esok hari

Apabila sariah telah lari para pemimpinnya…

Dengan tombak dan sabetan semua pedang

Maka seolah-olah ia adalah singa atas anak-anaknya…

Di tengah kepulan debu perang yang terang di tempat pengintaian

 

Rasulullah mengangkat Malik bin Auf untuk memimpin orang yang masuk Islam dari kaumnya serta memimpin beberapa kabilah, yakni Tsumalah, Salimah, dan Fahm, karena ia mengajak mereka berperang melawan Tsaqif. Tidak ada penggembala yang keluar kepada mereka kecuali Malik menyerangnya, sehingga Malik menyempitkan ruang gerak mereka. Abu Mihjan Ats-Tsaqafi berkata:

 

Musuh berhembus di samping kami kemudian Bani Salimah menyerang kami

Malik datang kepada kami bersama mereka merusak janji dan kehormatan

Mereka datang kepada kami di kampung kami, dan sungguh kami punya pembalasan

 

Orang-orang mengikuti Rasulullah dan mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagikan harta rampasan berupa unta dan kambing kepada kami!” Mereka terus mendesak Nabi hingga sampai ke sebuah pohon lalu dirampaslah selendang beliau. Rasulullah bersabda, “Kembalikan kepadaku selendangku, hai orang-orang, karena demi Allah, kalaulah kalian mempunyai unta sebanyak jumlah pohon di Tihamah, pasti kubagikan kepada kalian. Sehingga kalian tidak mengenaliku sebagai orang yang kikir, tidak pula seorang pengecut, bukan pula pendusta.”

 

Kemudian Rasulullah berdiri di samping unta, lalu beliau mengambil bulu unta dari punuknya lantas beliau meletakkannya di antara jemari beliau, kemudian beliau mengangkatnya, lalu beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, demi Allah, tiada hak bagiku dari harta rampasan yang kalian dapatkan dan tidak pula dari bulu ini kecuali seperlima, dan seperlima itu juga pasti dikembalikan kepada kalian. Berikanlah walau hanya benang dan jarum, karena harta rampasan yang dicuri itu akan menjadi cacat, api, dan seburuk-buruk cela terhadap pemiliknya pada Hari Kiamat.”

 

Seorang lelaki Anshar datang dengan membawa tenunan dari benang gandum. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengambil hasil tenunan ini untuk aku gunakan sebagai pelana untaku yang luka”” Rasulullah zg bersabda, “Bagianku dari harta itu kuberikan kepadamu!” Orang itu berkata, “Untaku sudah sembuh, aku tidak lagi memerlukan hasil tenunan ini.” Lalu ia membuangnya.

 

Rasulullah memberikan harta kepada para mualaf, sedang mereka adalah orang-orang mulia dan terkemuka dari kaumnya. Rasulullah berusaha melembutkan hati mereka dan berupaya melembutkan hati kaum mereka. Rasul memberi Abu Sufyan bin Harb seratus ekor unta, memberikan kepada putranya, Muawiah seratus ekor unta. Beliau juga memberi seratus ekor unta kepada Hakim bin Hizam.

 

Rasulullah memberi Harits bin Harits bin Kaladah seratus unta. Beliau juga memberikan kepada Suhail bin Amru seratus ekor unta. Nabi memberi Huwaithib bin Abdul‘uzza seratus ekor unta. Ala’ bin Jariah Ats-Tsaqafi diberi Nabi seratus unta. Seratus ekor unta juga diberikan oleh Rasulullah kepada Uyainah bin Hishn. Aqra‘ bin Habis At-Tamimi mendapatkan dari Nabi seratus ekor unta. Nabi memberi seratus ekor unta kepada Malik bin Auf An-Nashri. Shafwan bin Umayah juga mendapat pembagian harta dari Nabi berupa seratus ekor unta. Mereka disebut sebagai Ashhabul Miain (orang-orang yang mendapatkan seratus unta).

 

Nabi juga memberi sejumlah orang yang lainnya, unta kurang dari seratus. Di antara mereka adalah Makhramah bin Naufal Az-Zuhri, Umair bin Wahab Al-Jumahi, Hisyam bin Amru dari Bani Amir bin Luay. Aku tidak hafal berapakah jumlah unta yang beliau berikan kepada masing-masing dari mereka, akan tetapi yang aku ketahui jumlahnya kurang dari seratus. Rasulullah juga memberikan kepada Sa‘id bin Yarbu‘ bin Ankatsah lima puluh ekor unta, serta memberi Sahmi lima puluh ekor unta.

 

Beliau memberi Abbas bin Mirdas beberapa ekor unta saja, lalu ia marah. Lantas ia memaki Rasulullah. Abbas bin Mirdas mencaci maki Rasulullah dengan syairnya:

 

Itu adalah rampasan yang aku mendapatkannya…

Dengan seranganku atas anak kuda di tempat yang mudah

Dan tindakanku membangunkan suatu kaum yang tertidur…

Apabila orang-orang tidur aku tidak tidur

Maka harta rampasanku dan rampasan hamba-hamba menjadi…

Di antara Uyainah dan Agra‘

Sungguh, aku dalam perang memiliki kemampuan membela kaumku…

Aku tidak diberi sesuatu dan juga tidak dihalangi darinya

Kecuali unta-unta kecil yang diberikan kepadaku…

Sebanyak penopangnya yang berjumlah empat

Tiada satu pun benteng pelindung maupun penghalang…

Yang keduanya mampu mengungguli guruku dalam pertemuan

Tidaklah aku di belakang seorang pun dari mereka berdua…

Dan siapa saja yang jatuh hari ini tidak akan terangkat lagi

 

Rasulullah bersabda, “Pergilah kalian dan ‘putuslah lidahnya’ dari memakiku.” Kemudian para sahabat memberinya unta sampai ia ridha. Itulah ‘pemutusan lidah yang diperintahkan oleh Rasulullah.

 

Dari Abu Sa‘id Al-Khudri, ia berkata:

 

“Tatkala Rasulullah memberikan harta sebanyak itu kepada orang-orang Quraisy dan kepada beberapa kabilah Arab, dan tidak ada bagian bagi orang Anshar sedikit pun dari harta itu, komunitas Anshar merasakan sesuatu yang tidak enak dalam diri mereka, sehingga banyak omongan yang mereka lontarkan. Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Demi Allah, Rasulullah sudah bertemu kaumnya’ Saad bin Ubadah datang menemui Nabi seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh masyarakat Anshar ini mendapati rasa tidak enak dalam diri mereka, karena tindakanmu terhadap harta rampasan (fai’) yang kau dapatkan. Engkau membaginya pada kaummu. Engkau memberikan pemberian yang berlimpah kepada sejumlah kabilah Arab, akan tetapi masyarakat Anshar ini tidak mendapatkan bagian dari harta itu sedikit pun’ Rasul bertanya, ‘Di mana posisimu tentang keadaan ini, hai Saad?’ Saad bin Ubadah menjawab, ‘Wahai Rasulullah, tidaklah aku kecuali bagian dari kaumku’ Nabi bersabda, ‘Kumpulkan kaummu untuk menemuiku di tempat yang dikelilingi tembok ini’

 

Saad beranjak dari kemah Nabi, lalu ia mengumpulkan orang-orang Anshar di tempat yang dipagari dinding itu. Rawi berkata, ‘Ada beberapa orang Muhaijir, Saad membiarkan mereka, lalu mereka memasuki tempat itu. Ada lagi orang lainnya yang hendak masuk, tetapi Saad menolak mereka. Tatkala orang-orang Anshar telah berkumpul, Saad menghadapi Nabi sembari berucap, “Komunitas Anshar ini sudah berkumpul menghadapmu.”

 

Rasulullah datang menemui mereka. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan sanjungan dan pujian yang pantas untuk-Nya. Kemudian beliau bersabda, “Wahai sekalian orang Anshar, apa perkataan yang sampai kepadaku dari kalian. Apa pula perasaan yang kalian rasakan terhadap diriku pada diri kalian? Bukankah aku datang kepada kalian yang sedang dalam keadaan tersesat, lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian, dalam keadaan miskin papa dan tersia-sia, lalu Allah mencukupi kalian, dalam keadaan bermusuhan lalu Allah mempertautkan hati kalian!’ Orang-orang Anshar menjawab, “Benar, Allah dan Rasul-Nya lebih banyak memberi karunia dan lebih utama’

 

Selanjutnya, Rasulullah bertanya, “Mengapa kalian tidak menjawabku, wahai orang-orang Anshar?’ Kaum Anshar balik bertanya, ‘Dengan apa kami menjawabmu, wahai Rasulullah? Karunia dan keutamaan hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya’ Nabi bersabda, ‘Ketahuilah, demi Allah, kalau kalian mau, niscaya kalian akan berbicara dan berkata benar dan kalian pasti dibenarkan orang: Kamu datang kepada kami dalam keadaan didustakan orang, lalu kami membenarkan dan memercayaimu, dalam keadaan diterlantarkan orang lalu kami menolongmu, dalam keadaan terusir lalu kami memberimu tempat pengungsian, dalam keadaan tersia-siakan lalu kami memberimu hingga menjadi seperti kami. Apakah kalian merasa tidak enak dalam diri kalian, dalam urusan harta dunia yang kugunakan untuk mempertautkan hati suatu kaum agar mereka mau masuk Islam, sedangkan kuserahkan kalian kepada keislaman kalian. Tidakkah kalian ridha, wahai masyarakat Anshar, bahwa orang-orang itu pergi dengan membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang ke kampung halaman kalian bersama Rasulullah? Demi Dzat Yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, andaikan tidak karena hijrah, niscaya aku menjadi salah seorang di antara kaum Anshar. Andaikan orang-orang itu menempuh jalan di gunung, sedang kaum Anshar menempuh jalan gunung yang lainnya, niscaya aku akan menempuh jalan yang ditempuh orang-orang Anshar. Wahai Allah, sayangilah Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu orang Anshar.”

 

Rawi berkata, “Kaum Anshar menangis hingga air mata membasahi janggut mereka. Mereka berkata, ‘Kami ridha kepada Rasulullah akan pembagian beliau dan bagian dari beliau’ Selanjutnya, Rasulullah pergi meninggalkan tempat itu dan kaum Anshar pun bubaran.” Umrah Rasulullah dari Ji‘ranah

 

Beliau mengangkat Atab bin Usaid untuk memimpin Mekah, lalu Atab menunaikan haji bersama kaum muslim pada tahun kedelapan.

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

“Rasulullah pergi meninggalkan Ji‘ranah sebagai orang yang hendak berumrah, lalu beliau memerintahkan agar sisa harta rampasan ditahan di Majanah, di dekat Marr Zhahran. Ketika Rasulullah selesai dari umrah, beliau pulang kembali ke Madinah, dengan mengangkat Atab bin Usaid sebagai pemimpin Mekah. Beliau juga menunjuk Mu‘adz bin Jabal untuk menggantikan beliau mengajari warga Mekah tentang Islam dan mengajarkan Al-Qur’an. Rasulullah memberikannya secara rutin sisa harta rampasan perang.”

 

Umrah Rasulullah itu dilakukan pada bulan Dzulqa‘dah. Rasulullah kemudian tiba di Madinah pada hari-hari terakhir bulan Dzulhijah.

 

Ibnu Ishaq berkata, “Orang-orang berhaji pada tahun itu sebagaimana ibadah haji yang biasa dijalani orang-orang Arab. Yang berhaji bersama kaum muslim pada tahun itu adalah Atab bin Usaid, sedang haji ini terlaksana pada tahun kedelapan hijrah. Penduduk Thaif tetap teguh menjalani kesyirikan mereka dan tindakan mereka menghalangi Nabi masuk ke kota Thaif mereka, pada rentang waktu antara Dzulqa‘dah tahun kesembilan.”

 

Urusan Ka‘ab bin Zuhair

 

Ketika Rasulullah datang dari tempat bertolaknya beliau dari Thaif, Bujair bin Zuhair bin Abu Sulma menulis surat kepada saudaranya, Ka‘ab bin Zuhair. Yang isinya memberitahukan bahwa Rasulullah membunuh beberapa orang di Mekah, dari kalangan mereka yang membuat syair untuk menyerang beliau dan menyakiti beliau. Yang tersisa dari penyair Quraisy adalah Ibnu Zihari dan Hubairah bin Abu Wahab. Mereka sudah melarikan diri ke berbagai negeri. Jika kamu berkeperluan maka datanglah kepada Rasulullah , karena ia tidak membunuh seorang pun yang datang kepada beliau dalam keadaan bertobat. Jika kamu tidak melakukannya, selamatkan diri menuju tempat yang dapat menyelamatkan dirimu di dunia ini.

 

Ka‘ab dulu pernah berucap:

 

Ketahuilah, sampaikanlah dariku sebuah surat untuk Bujair…

Apakah kamu mempunyai apa yang kukatakan, celakalah apakah kamu memilikinya?

Maka terangkanlah kepada kami jika kamu tidak melakukannya…

Atas dasar apa selain itu ia menunjuki

Atas akhlak yang tidak mempertautkan ibu atau ayah…

Atasnya dan tidaklah kamu dapatkan saudara bagimu

Jika engkau tidak melakukan, aku tidak menyayangkan…

Dan tidak berkata apabila kamu datang, berdiri, dan bangkitlah

Memberi minum orang terpercaya dengan gelas penuh air penghilang dahaga…

Maka orang yang terpercaya itu memberimu minuman pertama darinya dan memberimu minuman kedua

 

Rawi berkata, “Ia mengirimkannya kepada Bujair. Tatkala surat itu sampai kepada Bujair, ia tidak suka bila Ka‘ab menyembunyikannya kepada Rasulullah, lantas ia mendendangkan sajak itu kepada beliau.

 

Rasulullah bersabda tatkala beliau mendengar bait syair, ‘Memberi minuman kamu orang yang terpercaya, ‘Ia berkata benar, walau sungguh ia adalah pendusta. Akulah orang yang dipercayai itu (al-ma’mun).”

 

Tatkala beliau mendengar bait syair, “Atas akhlak yang tidak mempertautkan ibu atau ayah,’ beliau bersabda, “Ya, bapaknya dan ibunya tidak bertaut hati atas dirinya”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Tatkala surat itu sampai kepada Ka‘ab, bumi menjadi sesak dirasakan olehnya. Ia bersedih terhadap dirinya sendiri. Gemparlah orang yang ada di sekelilingnya dari kalangan musuhnya. Mereka berkata, ‘Ia pasti dibunuh. Ketika ia tidak mendapati alasan lain maka sajaknya bertutur memuji Rasulullah, serta menyebutkan ketakutannya dan gemetarnya musuh terhadap dirinya, kemudian ia pergi sampai tiba di Madinah.

 

Ka‘ab tinggal bersama seseorang yang ia kenali dari kalangan kabilah Juhainah, sebagaimana yang dituturkan kepadaku. Keesokan harinya, ia bergegas menemui Rasulullah ketika ia mengerjakan shalat Subuh. Ia mengerjakan shalat bersama Rasulullah.

 

Ia diberi isyarat menghadap Rasulullah seraya berkata, ‘Ini adalah Rasulullah, menghadaplah kepadanya dan mintalah jaminan keamanan darinya’ Lantas dituturkan kepadaku bahwa ia berdiri mendekati Rasulullah sampai ia duduk di dekat beliau. Ia meletakkan tangannya ke tangan Nabi. Rasulullah tidak mengenalnya.

 

Ka‘ab berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh Ka‘ab bin Zuhair datang untuk meminta jaminan keamanan kepadamu, sebagai orang yang bertobat dan muslim. Apakah engkau menerimanya bila aku datang bersamanya menghadapmu?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya’ Ia berkata, ‘Akulah, wahai Rasulullah, Ka‘ab bin Zuhair.”

 

Ibnu Ishaq berkata, Ashim bin Umar bin Qatadah bertutur kepadaku:

 

“Ada seorang lelaki Anshar melompat ke arahnya, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan aku dan musuh Allah ini, akan kupenggal lehernya!’ Rasulullah bersabda, ‘Biarkan ia. Sungguh, ia telah datang sebagai orang yang bertobat dan sudah mencabut apa yang ia jalani sebelumnya.”

 

Ka‘ab marah terhadap komunitas Anshar ini karena kelakuan salah seorang di antara mereka. Itu karena tiada seorang pun di antara kaum Muhajir yang berkata kecuali kebaikan. Syairnya bertutur ketika ia datang menemui Rasulullah:

 

Su‘ad telah pergi sehingga hatiku sekarang ini tersakiti oleh cinta…

Dihinakan jejaknya, tidak ditebus tawanannya yang diikat

Aku diberitahu bahwa Rasulullah telah berjanji kepadaku…

Maaf di hadapan Rasulullah itu diharapkan

Tunggu, pasti telah memberi petunjuk Dzat Yang mengaruniai dirimu keutamaan…

Al-Quran berupa nasihat dan keterangan teperinci

Janganlah kamu benar-benar menghukumku berdasar omongan tukang fitnah sedang aku tidak…

Berbuat dosa meskipun banyak omongan tentang diriku

Sungguh, aku berdiri di suatu tempat, yang kalau ia berdiri di sana…

Kulihat dan kudengar layaknya gajah itu mendengar

Aku terus melintasi padang sahara, mengenakan…

Sayap kegelapan dan baju malam yang menjurai

Sampai kuletakkan tangan kananku, aku tidak mencabutnya…

Dari telapak tangan Sang Pemilik siksaan yang ucapannya adalah ucapan kebenaran Sungguh ia lebih kutakuti ketika aku berbicara kepadanya…

Lantas dikatakan, “Sungguh engkau disandari dan ditanyai” Dari singa di tanah berpepohonan hutan belantara…

Di perut habitat singa belantara di balik belantara Ia berangkat pagi lalu memakan daging dua singa hidup mereka…

Daging dari manusia berguling-guling di tanah terpotong-potong

Jika ia menyerang lawan maka ia tak boleh…

Meninggalkannya kecuali ia melarikan diri

Darinya, hewan-hewan buas padang datar pun mengalah…

Pejalan kaki tidak berjalan-jalan di lembah-lembahnya

Saudara yang terpercaya tak henti di lembahnya…

Berlumuran darah senjata dan baju usang dimakan zaman

Sungguh, Rasul adalah cahaya yang ditunjuki dengannya…

Pedang dari pedang-pedang Allah yang terhunus

Sekelompok orang Quraisy, telah berkata salah satunya…

Di tengah Mekah tatkala mereka masuk Islam, “Pindahlah kalian”

Mereka pun berpindah, sehingga selalu saja orang-orang lemah dan tak berperisai…

Pada pertemuan dengan musuh tak berpedang dan tak bersenjata

Orang-orang yang tajam penciumannya adalah pahlawan bajunya…

Dari hasil tenunan Daud dalam peperangan berupa gamis

Putih panjang yang sudah ditenun memiliki kalung…

Seakan-akan kalung pohon Qafa‘a yang dibuat jadi

Mereka tidak terlalu gembira ketika panah mereka mengenai musuh…

Tidak pula terlalu sedih ketika mereka terkena panah

Mereka berjalan bagai jalannya unta putih melindungi mereka…

Pukulan apabila si hitam pendek melarikan diri

Tikaman tidak menimpa kecuali pada leher mereka…

Sedang mereka tidak tahu kapan datangnya kematian

 

Ashim bin Umar bin Qatadah berkata:

 

“Tatkala Ka‘ab berkata, ‘Apabila orang hitam pendek itu melarikan diri’ maka yang ia maksudkan hanyalah kami, wahai sekalian orang Anshar, karena sahabat kami melakukan apa yang ia lakukan. Ia mengkhususkan pada orang-orang Muhajir dari Quraisy dari kalangan sahabat Rasulullah dengan pujiannya, orang-orang Anshar marah terhadapnya. Lalu setelah keislamannya, ia memuji orang-orang Anshar dan menyebutkan ujian mereka bersama Rasulullah, serta tempat kedudukan mereka di Yaman:

 

Siapa saja yang kedermawanan hidup membahagiakannya maka ia tidak henti…

Berada di pasukan kavaleri dari orang-orang shalih Anshar

Mereka mewarisi kedermawanan secara turun temurun…

Sungguh, orang-orang pilihan mereka adalah anak dari orang pilihan juga

Orang-orang yang memaksa tombak dengan lengan-lengan…

Sebagaimana tombak-tombak yang tidak pendek

Orang-orang yang memandang dengan mata-mata merah…

Seperti bara api, bukan seperti malam yang melihat

Orang-orang yang menjual diri mereka untuk nabi mereka…

Untuk mati pada hari berangkulan dan menyerang

Orang-orang yang menolak orang lain dari agama mereka…

Dengan pedang yang sudah dihunuskan

Mereka bersuci, mereka melihatnya sebagai ibadah bagi mereka…

Dengan darah orang yang mereka kalungi dari kalangan orang-orang kafir

Mereka membiasakan diri sebagaimana biasa dilakukan di termpat yang gelap…

Kekerasan leher dari si hitam yang biasa diburu

Apabila kamu menghalalkan penghalang sampai kepada mereka…

Niscaya kamu menjadi berada di dekat anak unta yang diikat dengan tali iqal Mereka menghantam Ali (bin Mas‘ud bin Mazin Al-Ghassani) pada Perang Badar sekali hantaman…

Dekat dengan kejadiannya semua yang remeh dan sedikit

Andai kaum-kaum itu mengetahui ilmuku seluruhnya…

Di tengah mereka, niscaya membenarkanku orang-orang yang kubantah itu

Suatu kaum, yang ketika bintang-bintang itu runtuh berjatuhan karena mereka…

Untuk orang-orang yang datang pada waktu malam banyak memberi makan kepada tamu

Dalam keadaan putih dari Ghassan dari pangkalnya…

Alat penggalinya bekerja di atas paruh.”

 

Dikatakan bahwa Rasulullah berkata kepadanya ketika ia mendendangkan syair ini:

 

“Su‘ad berpisah jauh maka hatiku hari ini disakiti oleh cinta,’ “Mengapa aku tidak menyebut Anshar dengan kebaikan, mereka pantas untuk itu?” Kemudian Ka‘ab mendendangkan bait-bait syair ini, inilah yang menjadi kasidah miliknya. Ibnu Syihab berkata, diceritakan kepadaku dari Ali bin Zaid bin Jud‘an bahwasanya ia berkata, “Ka‘ab bin Zuhair menyanyikan kepada Rasulullah di masjid, “Su‘ad berpisah jauh maka hatiku hari ini disakiti oleh cinta”

 

Ghazwah Tabuk pada Bulan Rajab

 

Selanjutnya, Rasulullah tinggal di Madinah dalam rentang waktu antara bulan Dzulhijah sampai Rajab. Lalu Nabi menyuruh orang-orang Islam untuk bersiap berperang melawan Romawi.

 

Zuhri, Yazid bin Ruman, Abdullah bin Abu Bakar, Ashim bin Amru bin Qatadah, dan ulama kami lainnya, semuanya menceritakan tentang Perang Tabuk apa saja yang disampaikan darinya. Sebagian mereka menceritakan apa yang tidak dipaparkan oleh sebagian yang lain:

 

“Rasulullah menyuruh para sahabat untuk bersiap memerangi Romawi. Itu terjadi pada masa orang-orang sedang tertimpa kesulitan hidup, pada waktu yang sangat panas, serta ketika kegersangan tanah melanda negeri, sedang buahbuah sudah hampir masak. Orang-orang lebih senang tinggal di Madinah untuk memanen buah-buahan mereka dan menikmati naungan pepohonannya. Mereka tidak senang bepergian pada kondisi yang sedang mereka alami itu. Rasulullah sangat jarang keluar untuk berperang kecuali beliau pasti menyamarkannya dengan yang lainnya dan tidak pernah memberitahukan ke mana tujuan yang beliau tuju, kecuali pada Perang Tabuk.

 

Saat itu, Rasulullah menerangkannya secara jelas kepada publik, karena jauhnya jarak perjalanan, karena sulitnya masa, serta banyaknya jumlah personel musuh yang akan mereka lawan. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar orang-orang dapat mempersiapkan bekal dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, Nabi memerintahkan kaum muslim untuk berbekal serta memberitahu mereka bahwa beliau hendak memerangi Romawi.

 

Rasulullah bersabda pada suatu hari, ketika sedang mempersiapkan bekal beliau, kepada Jadd bin Qais, salah seorang anggota Bani Salimah, “Hai Jadd, apakah tahun ini kamu hendak ikut memerangi orang-orang Romawi?’ Jadd menjawab, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku dan janganlah engkau memfitnahku? Demi Allah, kaumku sudah mengetahui bahwa tiada seorang pun yang lebih mengagumi wanita daripada aku. Aku khawatir, jika aku melihat wanita Romawi maka aku tidak akan dapat menahan diriku untuk bersabar.

 

Rasulullah berpaling meninggalkan Jadd sembari berucap, ‘Sungguh aku telah mengizinkan kamu’ Tentang Jadd bin Qais inilah turun ayat, ‘Di antara mereka ada orang yang berkata, “Izinkanlah aku dan jangan kau fitnah aku.” Ketahuilah, di dalam fitnah mereka jatuh, dan sungguh neraka Jahanam itu meliputi orang-orang kafir. (At-Taubah [9]: 49)

 

Maksudnya, jika ia hanya khawatir terfitnah oleh wanita-wanita Romawi, padahal itu tidak terjadi dengan dirinya, tentu fitnah yang ia jatuh ke dalamnya itu lebih besar, yakni dengan ketidaksertaannya dengan rombongan pasukan Rasulullah, dan mencintai dirinya daripada dirinya sendiri’ Rasul bersabda, ‘Sungguh Jahanam itu berada di belakangnya.”

 

Sebagian kaum munafik berkata kepada sebagian yang lainnya, “Janganlah kalian pergi pada waktu panas seperti ini!” Sebagai hasutan untuk meninggalkan jihad, mengeluh dalam kebenaran, dan provokasi terhadap Rasulullah, lantas Allah menurunkan ayat tentang mereka:

 

“Mereka berkata, ‘Janganlah kalian berangkat dalam keadaan cuaca panas!’ Katakanlah, ‘Neraka Jahanam itu lebih panas, kalau saja kalian memahaminya, Hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai balasan dari apa yang mereka usahakan.” (At-Taubah [9]: 81-82)

 

Ibnu Ishaq berkata: .

 

“Rasulullah bersungguh-sungguh akan melakukan perjalanan dan menyuruh orang-orang mempersiapkan bekal dan bergegas. Beliau menganjurkan kepada orang-orang kaya untuk memberikan derma dan kendaraan untuk perang di jalan Allah. Beberapa orang kaya menyediakan kendaraan dan mereka mengharapkan pahalanya. Utsman bin Affan menginfakkan derma yang sangat besar, tiada seorang pun yang berderma seperti dirinya

 

Kemudian sejumlah orang dari kaum muslim datang menjumpai Rasulullah. Mereka datang sambil menangis. Mereka adalah tujuh orang dari kalangan Anshar dan juga lainnya, dari Bani Amru bin Auf adalah Salim bin Umair. Ulbah bin Zaid dari Bani Haritsah. Abu Laila Abdurahman bin Ka‘ab dari Bani Mazin bin Najar. Amru bin Humam bin Jamuh dari Bani Salamah, dan Abdullah bin Mughafal Al-Muzani.

 

Sebagian ahli sejarah berkata, “Mereka adalah Abdullah bin Amru AIMuzani, Harmi bin Abdullah dari Bani Wagif, dan Irbadh bin Sariah Al-Fazarj mereka meminta tumpangan kendaraan kepada Rasulullah, karena mereka adalah orang-orang yang membutuhkan, lantas Rasulullah bersabda, ‘Aku tidak mempunyai kendaraan untuk membawa kalian di atasnya’ Mereka pun berpaling, sedang mata mereka mencucurkan air mata, karena sedih tidak mendapatkan sesuatu untuk mereka nafkahkan

 

Sampai berita kepadaku bahwa Ibnu Yamin bin Umair bin Ka‘ab AnNadhri menemui Abu Laila Abdurahman bin Ka‘ab dan Abdullah bin Mughafal. Keduanya sedang menangis. Lalu Ibnu Yamin bertanya, “Apa yang menyebabkan kalian menangis?” Keduanya menjawab, “Kami datang kepada Rasulullah agar beliau memberi kami tumpangan kendaraan, tetapi kami tidak mendapatkan sisa kendaraan untuk ditumpangi. Kami juga tidak memiliki harta yang cukup untuk menjadikan kami kuat berangkat berperang bersama beliau.” Ibnu Yamin kemudian memberikan kedua untanya, supaya keduanya berangkat perang. Ibnu Yamin juga membekali mereka sedikit kurma. Keduanya pun berangkat berperang bersama Rasulullah.

 

Orang-orang yang mengajukan alasan dari kalangan Arab badui datang kepada Nabi. Mereka menyampaikan alasan kepada beliau. Allah ge tidak menerima alasan mereka. Disebutkan kepadaku bahwa mereka adalah sekelompok dari Bani Ghifar.

 

Selanjutnya, Rasulullah terus melakukan perjalanan secara berturutturut, dan bertekad untuk berjalan. Beberapa orang dari kaum muslim bersikap lamban dan lambat dalam berniat untuk mengikuti Rasulullah sehingga mereka tertinggal, tetapi bukan karena kesyirikan dan bukan pula karena keraguan. Di antara mereka adalah Ka‘ab bin Malik bin Abi Ka‘ab, Murarah bin Rabi’, Hilal bin Umayah, dan Abu Khaitsamah. Mereka adalah rombongan orang yang jujur, tidak pernah tertuduh berdusta dalam masa keislaman mereka. Tatkala Rasulullah berangkat, beliau mengomando pasukan beliau melewati Tsaniah Wadah.

 

Abdullah bin Ubay ikut serta dalam pasukan Nabi, tetapi berada di tempat yang Jebih rendah daripada beliau, ke arah Dzubab Ibnu Ubay -menurut persangkaan para ahli sejarahbukanlah orang yang paling sedikit bekalnya di antara orang-orang yang ikut berperang. Tatkala Rasulullah mulai berjalan, Abdullah bin Ubay menyengaja tertinggal dari beliau, bersama orang-orang yang tertinggal dari kalangan kaum munafik dan mereka yang ragu-ragu.

 

Rasulullah mengangkat Ali bin Abu Thalib a sebagai pengganti beliau mengurusi keluarga beliau, dan Rasul memerintahkan Ali untuk tinggal di tengah mereka. Orang-orang munafik menyebarkan berita dusta dengan berucap, “Muhammad tidak menunjuk Ali sebagai penggantinya kecuali karena merasa keberatan terhadap Ali dan memberi keringanan kepada Ali yang menganggap remeh perang ini.” Tatkala orang-orang munafik mengatakan hal ini, Ali bin Abu Thalib a» langsung mengambil senjatanya kemudian berangkat sampai berhasil menemui Rasulullah ketika beliau sedang beristirahat di Jurf. Ali berkata, “Wahai Nabi Allah, orang-orang munafik menuduh bahwa engkau menyuruhku menggantikan engkau di Madinah hanyalah karena engkau merasa keberatan bila aku berangkat dan karena engkau memberi keringanan kepadaku.”

 

Rasulullah bersabda, “Mereka bohong. Aku menyuruhmu menggantikanku untuk mengurusi orang-orang yang kutinggalkan. Karena itu, pulanglah dan gantikan aku mengurusi keluargaku dan keluargamu. Tidakkah kamu ridha, hai Ali, bahwa kamu bagiku sebagaimana kedudukan Harun bagi Musa. Akan tetapi, tidak ada Nabi lagi sepeninggalku.” Kemudian Ali kembali pulang ke Madinah, sedang Rasulullah meneruskan perjalanan beliau.

 

Abu Khaitsamah pulang, beberapa hari sesudah Rasulullah berangkat. Abu Khaitsamah menemui keluarganya pada hari yang panas. la mendapati dua orang istrinya sedang berada di dalam dua kemah mereka masing-masing di dalam kebunnya. Masing-masing dari mereka berdua beristirahat dan berteduh dari panasnya matahari di dalam kemah itu. Masing-masing dari keduanya mempersiapkan air yang dingin untuk suaminya tercinta dan menyiapkan sajian makanan untuknya. Tatkala Abu Khaitsamah masuk ke kebunnya, ia berdiri di depan pintu kemah, lalu ia melihat kedua istrinya dan apa yang mereka perbuat untuk dirinya.

 

Abu Khaitsamah berkata, “Rasulullah sekarang ini berada di bawah terik panas matahari, hembusan angin yang kencang, dan panas yang menyengat, sedang Abu Khaitsamah berada di bawah naungan yang dingin, makanan yang terhidang, perempuan yang cantik, tinggal di tengah hartanya? Ini tidak adil!” Kemudian ia berkata lagi, “Demi Allah, aku tidak akan masuk ke dalam kemah salah seorang pun di antara kalian berdua sampai aku menyusul Rasulullah. Oleh karena itu, kalian persiapkan bekal perangku.”

 

Kedua istrinya pun mempersiapkannya. Lantas Abu Khaitsamah mengajukan untanya yang biasa digunakan untuk mengairi tanaman, lalu meletakkan pelana pada punggungnya. Ia berangkat untuk mengejar Rasulullah sampai ia berhasil menyusul beliau ketika beliau beristirahat di Tabuk. Abu Khaitsamah mendapati Umair bin Wahab Al-Jumahi di jalan yang juga sedang mengejar Rasulullah. Keduanya berteman di perjalanan, sampai ketika mereka sudah mendekati Tabuk. Abu Khaitsamah berkata kepada Umair bin Wahab, “Sungguh aku punya dosa, kamu tidak bersalah apa-apa jika tertinggal dariku, sampai aku datang kepada Rasulullah.” Umair pun melaksanakannya.

 

Tatkala Abu Khaitsamah sudah dekat dengan Rasulullah ketika beliau beristirahat di Tabuk, orang-orang berkata, “Ada pengendara unta yang berjalan mendekati kami!” Rasulullah bersabda, “Mudah-mudahan itu adalah Abu Khaitsamah!” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, itu adalah Abu Khaitsamah.” Tatkala Abu Khaitsamah menderumkan untanya, ia segera datang dan mengucapkan salam kepada Rasulullah. Rasul bersabda kepadanya, “Kamu hampir saja binasa, hai Abu Khaitsamah.”

 

Kemudian Abu Khaitsamah memberitahukan kepada Rasulullah apa yang ia alami dan jalani, lalu Rasulullah berkata baik kepadanya dan mendoakan kebaikan untuknya.

 

Rasulullah ketika melewati Hijr, beliau beristirahat di sana dan orang-orang mengambil air dari sumurnya untuk minum. Tatkala mereka memasuki waktu sore, Rasulullah bersabda, “Kalian jangan minum sedikit pun dari airnya dan janganlah kalian berwudhu dengan airnya. Air yang sudah digunakan untuk membuat adonan makanan unta maka berikanlah kepada unta, tetapi kalian jangan makan darinya sedikit pun. Jangan sampai ada seorang pun di antara kalian yang pergi pada malam ini kecuali ditemani oleh sahabatnya”

 

Semua orang melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah kepada mereka kecuali dua orang pria dari Bani Sa‘idah. Salah seorang dari mereka berdua pergi untuk menunaikan hajatnya, sedangkan yang satunya pergi untuk mencari untanya. Orang yang pergi untuk menunaikan hajatnya, ia tercekik sesak napas pada tempat kepergiannya. Sedangkan orang yang pergi untuk mencari untanya dihembus oleh angin kencang hingga angin itu mencampakkannya ke dua Gunung Thayi.

 

Berita tentang kedua orang itu diberitakan kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Bukankah aku sudah melarang kalian agar jangan sampai ada seorang pun di antara kalian yang pergi kecuali ditemani oleh sahabatnya?” Kemudian Rasulullah meminta agar dipanggilkan orang yang tertusuk saat perginya, lalu ia dikaruniai kesembuhan. Adapun orang yang satunya yang dihempaskan di dua Gunung Thayi, sungguh Gunung Thayi menghadiahkannya kepada Rasulullah ketika beliau tiba di Madinah.

 

Tatkala orang-orang memasuki waktu pagi dan mereka tidak mempunyai persediaan air, mereka mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah berdoa. Lantas Allah mengirim awan yang menurunkan hujan, sampai hilang dahaga kaum muslim dan mereka juga bisa memenuhi kebutuhan air mereka.

 

Kemudian Rasulullah meneruskan perjalanan, di tengah perjalanan unta beliau hilang. Para sahabat pergi mencarinya. Di dekat Rasulullah ada seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau yang biasa dipanggil dengan nama Umarah bin Hazm. Ia adalah penjaga garis belakang pada Perang Badar. Ia paman Bani Amru bin Hazm. Di antara anggota rombongannya adalah Zaid bin Lushait Al-Qainuqa’i, seorang munafik.

 

Zaid bin Lushait termasuk dalam kafilah Umarah. Ketika Umarah sedang bersama Rasulullah, Zaid berkata, “Bukankah Muhammad mengklaim bahwa dirinya seorang Nabi. Ia dapat memberitahukan kepada kalian berita langit, tetapi mengapa ia tidak mengetahui di manakah untanya?”

 

Rasulullah bersabda, sedang Umarah masih berada di hadapan beliau, “Sungguh ada seorang lelaki berkata, ‘Ini Muhammad memberitahu kalian bahwa ia seorang Nabi. la mengklaim bahwa dirinya dapat memberitahu kalian urusan langit, padahal ia tidak mengetahui di manakah untanya’ Demi Allah, aku tidak tahu kecuali apa yang Allah beritahukan kepadaku. Sungguh sekarang ini Allah telah menunjukkan kepadaku di mana letak untaku. Untaku berada di lembah ini di lereng gunung ini dan itu, sebatang pohon telah menahan tali kekangnya. Berangkatlah kalian ke sana untuk membawanya kembali kepadaku.”

 

Orang-orang Islam segera berangkat menuju ke tempat yang ditunjukan Nabi, mereka membawa kembali unta.

 

Umarah bin Hazm kembali ke kafilahnya. Lalu ia berkata, “Demi Allah, sungguh menakjubkan sesuatu yang diceritakan oleh Rasulullah kepada kami, yakni tentang omongan orang lantas Allah memberitahukan itu begini dan begitu -yakni yang diomongkan Zaid bin Lushait-.’ Seorang pria dari anggota kafilah Umarah, tetapi tidak ikut hadir di dekat Rasulullah, ia berkata, “Demi Allah, Zaid adalah orang yang mengucapkan omongan ini, sebelum engkau datang.”

 

Umarah menemui Zaid sembari menusuk lehernya seraya_berucap, “Kemarilah, hai hamba-hamba Allah. Sungguh di dalam kafilahku ada seorang pembuat masalah, tetapi aku tidak menyadarinya! Keluar kamu, hai musuh Allah, dari kafilahku, jangan lagi menyertaiku!”

 

Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa Zaid bertobat sesudah itu. Sebagian ahli sejarah juga menyatakan bahwa ia tetap tertuduh dengan keburukan sampai mati.

 

Selanjutnya, Rasulullah melanjutkan perjalanan. Lantas seorang lelaki tertinggal dari rombongan beliau. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, si fulan tertinggal!” Rasulullah bersabda, “Biarkan saja ia, jika ada kebaikan di dalam dirinya, Allah g akan menjadikannya mampu menyusul kalian. Jika ia tidak baik, Allah akan membebaskan kalian darinya.” Lantas dikatakan, “Wahai Rasulullah, Abu Dzar tertinggal karena untanya berjalan lambat.” Rasulullah bersabda, “Biarkan ia. Jika ada kebaikan di dalam dirinya, Allah akan menjadikannya mampu menyusul kalian. Jika ia tidak baik, Allah membebaskan kalian darinya (keburukannya).’

 

Abu Dzar diam sebentar di atas punggung untanya. Tatkala unta itu berjalan lambat, ia pun mengambil perbekalannya lalu memikulnya di punggungnya, lantas ia berangkat mengikuti jejak Rasulullah dengan berjalan kaki. Rasulullah beristirahat pada suatu tempat, lalu seorang pengintai dari kaum muslim berucap, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang berjalan sendirian.” Rasulullah bersabda, “Mudah-mudahan itu adalah Abu Dzar.” Tatkala orang-orang melihat orang yang baru datang itu dengan seksama, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, ia adalah Abu Dzar!” Rasulullah bersabda, “Semoga Allah menyayangi Abu Dzar, ia berjalan sendirian, akan mati sendirian, dan dibangkitkan sendirian.”

 

Dari Abdullah bin Mas‘ud, ia berkata:

 

“Tatkala Utsman bin Affan mengasingkan Abu Dzar ke Rabadzah dan memberi bagiannya di sana, tiada seorang pun yang menemaninya kecuali istri dan budak laki-lakinya. Abu Dzar berwasiat kepada mereka berdua, ‘Kalian mandikanlah aku dan kafanilah aku, kemudian letakkan aku di tengah jalan, jika ada orang pertama yang lewat di jalan itu, katakan kepada mereka, “Ini adalah Abu Dzar, sahabat Rasulullah, bantulah aku untuk menguburkannya.” Tatkala Abu Dzar mati, mereka berdua melaksanakan wasiatnya, kemudian keduanya meletakkan jasad Abu Dzar di tengah jalan.

 

Abdullah bin Mas‘ud melewati jalan itu bersama sekelompok orang Irak yang akan melakukan umrah. Tiada yang mengejutkan mereka kecuali adanya jenazah di tengah jalan, hampir saja unta mereka menginjaknya. Budak Abu Dzar bangkit menemui mereka seraya berkata, “Ini adalah jasad Abu Dzar, sahabat Rasulullah, kalian bantulah aku untuk memakamkannya’ Abdullah bin Mas‘ud meneriakkan tahlil seraya menangis, lantas ia berucap, “Rasulullah benar, “Kamu akan berjalan sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian!” Kemudian Ibnu Mas‘ud dan teman-temannya turun dari unta mereka dan menguburkan jasad Abu Dzar.”

 

Abdullah bin Mas‘ud menceritakan kepada mereka hadits tersebut, serta apa yang disabdakan Rasulullah dalam perjalanan beliau menuju Tabuk.

 

Tatkala Rasulullah sampai ke Tabuk, Yuhanah (Johanna) bin Ru’bah, penguasa Ailah, datang menemui beliau lalu mengajukan tawaran berdamai dan memberikan jizyah kepada beliau. Penduduk Jarba dan Adzruh juga datang menjumpai beliau dan memberi beliau jizyah. Lantas Rasulullah menulis surat kepada mereka, saat beliau berada di tengah-tengah mereka.

 

Rasulullah menulis surat kepada Yuhanah bin Ru‘bah:

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, ini adalah amanat dari Allah dan dari Muhammad Sang Nabi, untuk Yuhanah bin Ru‘bah dan penduduk Ailah. Baik orang-orang yang berlayar di lautan maupun yang sedang melakukan perjalanan di daratan, untuk mereka ada perlindungan Allah dan perlindungan Muhammad Sang Nabi, serta siapa saja yang menyertai mereka dari kalangan penduduk Syam, warga Yaman, dan penduduk Bahr (laut). Siapa saja di antara mereka yang melakukan suatu pelanggaran, hartanya tidak bisa melindungi nyawanya. Sungguh hartanya baik untuk siapa saja orang yang mengambilnya. Sungguh, tidak halal mereka dihalangi dari air yang mereka hendak mendapatkannya, tidak halal pula menghalangi jalan yang mereka inginkan untuk mendapatkan air, baik darat maupun laut.”

 

Rasulullah Mengutus Khalid bin Walid kepada Ukaidir Dumah

 

Rasulullah memanggil Khalid bin Walid, lalu beliau mengutusnya kepada Ukaidir Dumah. Ia adalah Ukaidir bin Abdul Malik, seorang lelaki dari Kindah. Ia adalah Raja Kindah. Ia beragama Nasrani. Rasulullah bersabda kepada Khalid, “Sungguh, kamu akan mendapatinya tengah berburu sapi.”

 

Lalu Khalid berangkat sampai ketika ia tiba di bentengnya di Manzhar Al‘Ain, pada malam yang diterangi sinar rembulan pada musim panas. Ukaidir berada di atap rumahnya bersama istrinya. Pada malam hari ada seekor sapi jantan yang menggaruk pintu gerbang istana dengan tanduknya. Istrinya berkata kepada Ukaidir, “Apakah kamu pernah melihat pemandangan, seperti ini walau hanya sekali?” Ukaidir menjawab, “Tidak. Demi Allah” Istri Ukaidir berkata, “Siapa yang meninggalkan sapi itu di sini?” Ukaidir menjawab, “Tidak ada seorang pun.”

 

Ukaidir turun dari benteng, lalu ia menyuruh prajuritnya memasang pelana pada punggung kudanya, lantas dipasanglah pelana itu. Ukaidir menaikinya lalu pergi dengan ditemani sejumlah orang dari anggota keluarganya, di antaranya adalah saudara lak-lakinya bernama Hasan. Mereka menaiki kuda masing-masing menemani Ukaidir, dengan membawa tombak pendek yang biasa digunakan untuk berburu binatang liar.

 

Tatkala mereka keluar, satu pasukan kavaleri Rasulullah menghadang mereka dan menangkap Ukaidir, serta membunuh saudara laki-lakinya. Pada waktu itu, Ukaidir mengenakan pakaian luar yang terbuat dari sutra dan ditenun dengan perhiasan emas, lantas Khalid merampasnya! Lalu ia mengirimkannya kepada Rasulullah, sebelum mereka datang membawa Ukaidir menemui beliau.

 

Dari Anas bin Malik, ia berkata:

 

“Aku melihat pakaian luar Ukaidir ketika utusan datang menemui Rasulullah dengan membawanya. Kaum muslim menyentuh pakaian luar itu dengan tangan mereka dan mengaguminya. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Apakah kalian mengaguminya? Demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh sapu tangan Saad bin Mu‘adz di Surga itu lebih indah daripada ini.”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Selanjutnya, Khalid datang bersama Ukaidir menemui Rasulullah. Beliau menyelamatkannya dari pembunuhan, yakni berdamai dengannya dengan syarat membayar jizyah, lantas beliau membebaskan ia untuk pergi. Ukaidir akhirnya pulang ke negerinya”

 

Rasulullah tinggal di Tabuk selama beberapa belas malam, tidak lebih dari itu. Kemudian beliau bertolak pulang ke Madinah. Di perjalanan ada air yang muncul dari batu yang meneteskan air sedikit demi sedikit, cukup untuk menghilangkan dahaga seorang pengendara unta, dua, atau tiga orang, di sebuah lembah yang bernama Lembah Musyaqaq.

 

Rasulullah bersabda:

 

“Siapa yang mendahului kami ke lembah itu, janganlah ia mengambil air untuk minum sedikit pun sampai kami menyusulnya.” Rawi bertutur, “Sekelompok orang munafik mendahului beliau tiba di sana, lalu mereka meminum airnya. Tatkala Rasulullah tiba di sana, beliau berdiri di lembah tersebut, tetapi beliau ( tidak melihat sedikit pun air di mata air itu. Beliau bertanya, ‘Siapa yang mendahului kami tiba di mata air ini?’ Dijawab, “Wahai Rasulullah, si fulan dan si fulan’? Rasul bersabda, ‘Bukankah aku telah melarang mereka untuk meminum air dari mata air ini sedikit pun sampai aku datang?”

 

Rasulullah melaknat mereka, dan mendoakan kebinasaan terhadap mereka. Lantas Rasulullah turun dan meletakkan tangan beliau ke sisa air yang tinggal sedikit sekali, lalu beliau menuangkan air itu ke tangannya sebanyak yang Allah kehendaki, kemudian beliau memercikkannya dan mengusap dengan tangannya.

 

Kemudian Rasulullah berdoa dengan doa yang beliau inginkan maka memancarlah sebagian dari air tersebut -sebagaimana yang dikatakan oleh pendengarnya-yang bersuara seperti suara petir, lalu orang-orang minum, dan mereka memenuhi kebutuhan minum mereka darinya. Rasulullah  bersabda,

 

“Sungguh jika kalian masih hidup, atau bila ada orang yang masih hidup di antara kalian, sungguh kamu benar-benar mendengar lembah ini bahwa ia menjadi lebih subur, baik di depannya maupun di belakangnya.”

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

Ibnu Syihab Az-Zuhri menyebutkan, dari Ibnu Ukaimah Al-Laitsi, dari anak saudara laki-laki Abu Ruhm AI-Ghifari:

 

Bahwasanya ia mendengar Abu Ruhm AlI-Ghifari Kultsum bin Hushain, termasuk salah seorang sahabat Rasulullah yang berbaiat kepada beliau di bawah pohon (Baiatur Ridhwan) berkata, “Aku berperang bersama Rasulullah pada Perang Tabuk. Aku berjalan pada suatu malam bersama beliau. Kami sedang berada di Akhdhar’” dekat dari Rasulullah. Allah memberikan rasa kantuk kepada kami. Lalu aku bangun sedang hewan tungganganku berdekatan dengan hewan tunggangan Rasulullah. Kedekatan itu mengejutkan aku karena aku khawatir kalau-kalau aku menginjak beliau pada pelana. Aku mulai menjaga kendaraanku dari beliau, hingga aku dikalahkan oleh rasa kantukku, di sebagian jalan, sedang kami sedang menjalani sebagian waktu malam. Kendaraanku akhirnya, berdesakan dengan kendaraan Rasulullah, sedang kaki beliau berada di pelana. Aku tidak bangun kecuali oleh sabda beliau, ‘Aduh sakit.”

 

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkan ampun untukku.” Rasulullah bersabda, “Teruskan perjalanan””

 

Rasulullah bertanya kepadaku tentang orang yang tertinggal (tidak ikut perang) dari Bani Ghifar, lalu kuberitahukan kepada beliau. Beliau bersabda saat beliau bertanya kepadaku, “Bagaimana kabar sekelompok merah yang tinggi dan sedikit bulu janggut dan alisnya?” Lalu kuceritakan kepada beliau akan ketertinggalan mereka. Beliau bertanya lagi, “Apa kabarnya rombongan hitam dan pendek?”

 

Aku menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu mereka itu bagian dari kami.” Rasul bersabda, “Ya, orang-orang yang mempunyai unta di tempat Bani Ghifar dan Bani Aslam di Hijaz.” Lantas aku ingat mereka di kalangan Bani Ghifar, tetapi aku tidak menyebutkan mereka sampai aku ingat, mereka adalah sekelompok orang dari Aslam yang menjadi sekutu di tengah kami. Lalu kukatakan, “Wahai Rasulullah, mereka itu adalah rombongan dari Aslam yang menjadi sekutu di antara kami.”

 

Rasulullah bersabda, “Apa yang menghalangi seseorang di antara mereka tertinggal, sedang seorang mereka dapat menaiki dari sekian banyak untanya sebagai orang yang tangkas di jalan Allah. Sungguh yang paling berat terasakan atas diriku adalah bila kaum Muhajir dari kalangan Quraisy, Anshar, Suku Ghifar, dan Aslam tertinggal dariku (tidak ikut menyertai Nabi):

 

Peristiwa Tahun Kesembilan, Hijriah

 

Delegasi Tsaqif dan Keislaman Mereka

 

Ibnu Ishaq bertutur, “Rasulullah tiba di Madinah dari Tabuk pada bulan Ramadhan. Pada bulan itulah delegasi Tsaqif datang menemui beliau.”

 

Salah satu cerita mereka adalah bahwa Rasulullah ketika pergi meninggalkan mereka, Urwah bin Mas‘ud Ats-Tsaqafi mengikuti jejak beliau, sampai berhasil menyusul beliau sebelum tiba di Madinah, lalu Urwah masuk Islam. Urwah bertanya kepada beliau apakah ia boleh pulang kepada kaumnya dengan membawa Islam. Rasulullah bersabda kepadanya, sebagaimana yang beliau sabdakan kepada kaumnya, “Sungguh mereka pasti membunuhmu.”

 

Rasulullah mengetahui bahwa di dalam kabilah Tsaqif itu terkandung semangat untuk melindungi apa yang muncul dari mereka. Urwah berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang datang kepada mereka mulai dari anak-anak muda mereka.”

 

Urwah bin Mas‘ud adalah orang yang dicintai dan ditaati oleh Kaum Tsaqif, ia pun keluar mengajak kaumnya untuk masuk Islam, dengan harapan mereka tidak menyelisihi atau menentangnya, karena kedudukannya di tengah kaumnya. Tatkala Urwah mulai berdakwah kepada mereka di atas kamarnya, mengajak kepada Islam dan mengungkapkan agamanya secara jelas, mereka langsung menembakinya dengan anak panah dari segala arah. Salah satu anak panah itu mengenai tubuhnya, lalu ia terbunuh.

 

Bani Malik mengklaim pembunuh Urwah bin Mas‘ud adalah seorang pria dari mereka yang bernama Aus bin Auf, saudara Bani Salim bin Malik. Sedangkan Kabilah Ahlaf(sekutu) mereka mengklaim pembunuhnya adalah seorang lelaki dari mereka, Bani Utab bin Malik, yang bernama Wahab bin Jabir. Dikatakan kepada Urwah ketika ia akan mati, “Apa pendapatmu tentang tertumpahnya darahmu ini?” Urwah menjawab, “Ini adalah kemuliaan yang Allah memuliakan aku dengannya, serta kematian sebagai syahid yang Allah giring kepadaku; maka tiada yang pantas bagi diriku kecuali apa yang pantas dilakukan terhadap para syuhada yang terbunuh bersama Rasulullah sebelum beliau berpindah dari kalian maka kuburkanlah aku bersama mereka.”

 

Para ahli sejarah menyatakan bahwa Rasulullah bersabda berkenaan dengan peristiwa itu, “Sungguh, permisalan ia di tengah kaumnya adalah sebagaimana permisalan Sang Pemilik Yasin (Nabi Muhammad) di tengah kaumnya.”

 

Selanjutnya, Tsaqif tinggal diam selama beberapa bulan sesudah kematian Urwah, kemudian mereka bermusyawarah di antara mereka, lantas mereka memandang bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memerangi orang-orang Arab yang berada di sekeliling mereka, mereka pun membaiat Nabi dan masuk Islam.

 

Mereka kembali bermusyawarah. Kemudian mereka sepakat bahwa mereka akan mengirim seorang utusan kepada Rasulullah, sebagaimana mereka dulu pernah mengutus Urwah bin Masud. Mereka bicara kepada Abdu Yalil bin Amru bin Umair, yang pernah mengikuti jejak Urwah bin Mas‘ud. Mereka menawarinya menjadi utusan, tetapi ia enggan menerima tawaran tersebut. Abdu Yalil takut jika ia dibunuh ketika pulang sebagaimana yang terjadi pada Urwah. Abdu Yalil berkata, “Aku tidak akan mau menjadi utusan sampai kalian juga mengutus sejumlah orang untuk menyertaiku.”

 

Kaum Tsaqif akhirnya setuju mengutus dua orang dari kalangan Kaum Ahlaf (sekutu) dan tiga orang dari Bani Malik; sehingga delegasi perutusan Tsagqif berjumlah enam orang. Mereka juga mengutus orang lainnya untuk menemani Abdu Yalil, yaitu Hakam bin Amru bin Wahab bin Mu’atib, Syurahbil bin Ghailan bin Salamah bin Mu’atib. Dari Bani Malik, yaitu Utsman bin Abul Ash bin Bishr bin Abdu Duhnman saudara Bani Yasar, Aus bin Auf saudara Bani Salim, Numair bin Kharasyah bin Rabi’ah saudara Bani Harits.

 

Akhirnya, Abdu Yalil berangkat bersama mereka, ia menjadi pemimpin rombongan itu sekaligus orang yang mengurusi urusan mereka. Abdu Yalil tidak mau ‘berangkat, Kecuali bersama mereka karena khawatir dirinya akan dibunuh sebapaiinana ‘yang terjadi pada diri Urwah bin Mas‘ud, supaya setiap anggota rombongan itu ketika mereka pulang ke Thaif menjadi sibuk mengurusi kabilahnya masing-masing. 

 

Tatkala rombongan itu sudah sampai ke dekat kota Madinah, sedang mereka beristirahat di salah satu jalan menuju ke kota itu, mereka bertemu dengan Mughirah bin Syu’bah yang sedang menjalankan tugasnya menggembalakan hewan-hewan funggangan para sahabat Rasulullah di pekarangannya —penggembalaan itu ia Jakukan untuk menggantikan pekerjaan para sahabat Rasulullah.

 

Tatkala ia melihat mereka meninggalkan hewan tunggangan di kampung orang-orang Tsaqif, ia segera melompat cepat lalu menyampaikan berita gembira kepada Rasulullah akan kedatangan mereka untuk menemui beliau. Abu Bakar AshShidiq menjumpainya sebelum menemui Rasulullah. Selanjutnya, Mughirah memberitahu beliau tentang Kafilah Tsaqif, yakni mereka telah datang dengan tujuan berbaiat dan masuk Islam, serta supaya Rasulullah menetapkan sejumlah syarat untuk mereka. Mereka juga menyalin dari Rasulullah surat tentang kaum mereka, negeri mereka, dan harta mereka.

 

Abu Bakar berkata kepada Mughirah, “Aku bersumpah demi Allah kepadamu, kamu jangan mendahuluiku menemui Rasulullah , sehingga akulah yang berbicara kepadanya” Mughirah menyetujuinya. Abu Bakar kemudian masuk menemui Rasulullah seraya mengabarkan kedatangan Bani Tsaqif. Selanjutnya, Muphirah keluar menemui teman-temannya, lalu ia mengistirahatkan dirinya bersama mereka, sembari mengajarkan kepada mereka bagaimana cara mereka menghormati Rasulullah, tetapi mereka tidak mempraktikkan kecuali cara penghormatan jahiliah. 

 

Tatkala mereka menghadap Rasulullah, beliau membuatkan kemah untuk mereka. di pojok masjid, sebagaimana yang mereka sangka. Khalid bin Sa‘id bin Ash, menjadi perantara antara mereka dengan Rasulullah, sampai ketika mereka menyalin surat untuk mereka, Khalid bin Sa‘id yang menuliskan surat untuk mereka dengan farigannya. Mereka tidak memakan satu makanan pun yang diberikan Rasulullah sampai Khalid mau makan sebagian darinya terlebih dahulu, sampai mereka masuk Islam dan selesai menyalin surat mereka.

 

Salah satu yang mereka minta dari Rasulullah adalah agar beliau membiarkan satu berhala, yakni Latta dan tidak menghancurkannya, selama tiga tahun. Rasulullah enggan mengabulkan permintaan itu. Tatkala mereka hendak pulang, mereka meminta agar berhala itu dibiarkan selama setahun saja, lalu mereka terus memperpendek waktu dibiarkannya berhala itu hingga satu bulan saja semenjak kedatangan mereka kembali ke negeri mereka.

 

Rasulullah menolak permintaan penundaan penghancuran berhala itu dalam tenggang waktu seberapa pun. Mereka menginginkan dengan permintaan itu, menurut pernyataan mereka, supaya mereka selamat dari cercaan orang-orang bodoh mereka, wanita mereka dan anak keturunan mereka, bila mereka membiarkan berhala itu tetap utuh. Mereka tidak suka menghasung kaum mereka untuk menghancurkan berhala Latta itu sampai Islam masuk ke dalam diri mereka. Rasulullah tidak mau mengabulkan permintaan itu. Akan tetapi, beliau justru mengutus Abu Sufyan dan Mughirah bin Syu‘bah, supaya mereka berdua menghancurkan berhala tersebut. Kaum Tsagqif juga meminta —di samping dibiarkan patung Latta supaya Rasulullah membebaskan mereka untuk tidak mengerjakan shalat, serta supaya mereka tidak disuruh menghancurkan berhala dengan tangan mereka sendiri. Rasulullah menjawab, “Adapun tentang penghancuran berhala dan patung dengan tangan kalian sendiri, kami membebaskan kalian dari tugas itu. Sedangkan shalat, tiada kebaikan pada agama yang tiada shalat di dalamnya”

 

Tatkala mereka masuk Islam dan Rasulullah sudah menuliskan surat untuk mereka, beliau mengangkat Utsman bin Abil Ash sebagai pemimpin mereka. Ia adalah orang yang paling muda usianya di antara mereka. Ia dipilih karena ia adalah orang yang paling kuat keinginannya untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam dan paling giat mempelajari Al-Quran. Abu Bakar berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sungguh aku melihat pemuda yang berasal dari mereka ini adalah orang yang paling kuat keinginannya untuk mendalami Islam dan mempelajari Al-Qur’an”

 

Ketika mereka sudah menyelesaikan urusan mereka, dan berjalan menuju ke negeri mereka untuk pulang, Rasulullah mengirim Abu Sufyan bin Harb dan Mughirah bin Syu‘bah menyertai mereka, dalam rangka menghancurkan berhala mereka. Keduanya ikut berangkat bersama rombongan Tsaqif, sampai ketika mereka tiba di Thaif, Mughirah bin Syu‘bah hendak menyuruh Abu Sufyan maju ke haluan pasukan. Akan tetapi, Abu Sufyan enggan melakukannya, seraya berkata, “Kamulah yang harus masuk terlebih dahulu menemui kaummu.” Abu Sufyan tetap tinggal bersama harta dan perlengkapannya di Dzul Hudum.”

 

Tatkala Mughirah bin Syu‘bah masuk dari arah atas berhala Latta, ia langsung menghantam berhala itu dengan beliungnya. Kaumnya, Bani Mur’atib, berdiri di belakangnya karena khawatir terlempari pecahan batu atau tertimpa musibah sebagaimana yang menimpa Urwah bin Mas‘ud (mati). Wanita-wanita Tsaqif keluar dalam keadaan membuka penutup wajahnya serta menangisi berhala itu, dengan berucap:

 

Sungguh si penepis bencana akan benar-benar ditangisi”

 

Si tercela itu sudah ia serahkan’

 

Mereka tidak menghantamnya dengan pedang secara baik-baik

 

Abu Sufyan berkata ketika Mughirah memukuli berhala Latta dengan kapak, “Aduhai sedihnya… alangkah susahnya!”

 

Tatkala Mughirah sudah selesai menghancurkan patung Latta dan mengambil harta serta perhiasan yang menempel padanya, ia mengirimkan kepada Abu Sufyan perhiasan Latta seluruhnya berupa emas dan mutiara.

 

Abu Mulaih bin Urwah dan Qarib bin Aswad datang menemui Rasulullah iz sebelum datangnya delegasi Tsaqif -ketika Urwah bin Mas‘ud terbunuh keduanya hendak memisahkan diri dari Tsaqif, serta tidak berkumpul lagi dengan mereka pada urusan apa pun selama-lamanya, keduanya masuk Islam. Rasulullah bersabda kepada keduanya, “Setialah kalian kepada siapa pun yang kalian kehendaki.” Keduanya berkata, “Kami setia kepada Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah bersabda, “Juga kepada paman kalian, Abu Sufyan bin Harb?” Keduanya menjawab, “Juga kepada paman kami, Abu Sufyan”

 

Ketika penduduk Thaif masuk Islam dan Rasulullah menugaskan Abu Sufyan dan Mughirah untuk menghancurkan berhala besar Latta, Abul Mulaih bin Urwah meminta kepada Rasulullah agar melunasi utang bapaknya, Urwah, yang terbebankan kepada dirinya dengan harta yang didapatkan dari patung Latta itu. Rasulullah menjawab, “Ya.” Qarib bin Aswad berkata, “Untuk Aswad, wahai Rasulullah, mohon lunasi utangnya -Urwah dan Aswad adalah saudara kandung, seibu-sebapak—maka Rasulullah bersabda, “Sungguh Aswad itu mati dalam keadaan musyrik.” Qarib berkata, “Wahai Rasulullah, tetapi ia menyambung hubungan dengan muslim yang masih kerabatnya -yang ia maksud adalah dirinya sendiri utangnya menjadi tanggunganku. Hanya aku yang dituntut untuk membayar utangnya.” Kemudian Rasulullah menyuruh Abu Sufyan untuk melunasi utang Urwah dan Aswad dengan harta patung Latta.

 

Ketika Mughirah mengumpulkan harta berhala Latta, ia berkata kepada Abu Sufyan, “Sungguh Rasulullah menyuruhmu untuk melunasi utang Urwah dan Aswad.” Lantas Abu Sufyan pun melunasinya.

 

Surat Rasulullah yang beliau tuliskan untuk mereka adalah

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, dari Muhammad, Nabi dan Rasulullah kepada orang-orang beriman. Sungguh pohon berdurinya Wajj?”, binatang buruannya tidak boleh dipotong. Siapa saja yang didapati melakukan sedikit dari perbuatan itu, ia harus didera dan dilucuti bajunya. Jika ia melanggar itu maka ia dihukum, lalu ia disampaikan kepada Sang Nabi Muhammad. Sungguh, ini adalah perintah Sang Nabi, Muhammad, Rasulullah.”

 

Khalid bin Sa‘id menuliskan ini berdasarkan perintah Rasul, Muhammad bin Abdullah. Tiada seorang pun yang melanggarnya lalu ia menzalimi dirinya sendiri pada apa yang Muhammad Rasulullah memerintahkan terhadap dirinya. Tahun Delegasi, serta Turunnya Surah Al-Fath

 

Ibnu Ishaq berkata, “Tatkala Rasulullah membebaskan kota Mekah, menyelesaikan Perang Tabuk, Kabilah Tsaqif masuk Islam dan berbaiat, datang kepada beliau berbagai delegasi perutusan Arab, dari segala penjuru Arab.”

 

Yang terjadi sebenarnya, hanyalah orang-orang Arab menunggu Islamnya suku Quraisy, karena Quraisy adalah pemimpin masyarakat Arab dan pemberi petunjuk mereka, pengurus Baitullah dan Tanah Haram, suku yang paling terkemuka dari anak turun Ismail bin Ibrahim teladan Arab, mereka tidak diingkari dalam hal itu. Dahulu Quraisy berdiri kukuh memerangi Rasulullah dan menentang beliau. Tatkala Mekah telah dibebaskan, Quraisy mendekat kepada Nabi, dan Islam telah menundukkan suku itu, orang-orang Arab pun sadar bahwa mereka tidak mampu lagi mengobarkan perang melawan Rasulullah dan tidak kuasa lagi memusuhi beliau. Mereka pun masuk ke dalam agama Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Allah, secara berbondong-bondong. Mereka datang dari seluruh penjuru negeri.

 

Allah berfirman kepada Nabi-Nya

 

“Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan. Engkau melihat manusia masuk ke dalam agama Allah dalam keadaan berduyun-duyun. Maka Mahasucikanlah Pemeliharamu dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sungguh Dia Maha Penerima tobat.” (An-Nashr [110]: 1-3)

 

Maksudnya, “Pujilah Allah atas apa yang Ia menangkan dari agamamu dan memohon ampunlah kepada-Nya karena Ia Maha Penerima tobat.” Kedatangan Delegasi Bani Tamim serta Turunnya Surah Al-Hujurat Tamu-tamu delegasi bangsa Arab datang kepada Rasulullah. Utharid bin Hajib bin Zurarah bin Udus At-Tamimi menemui Nabi bersama sejumlah tokoh terkemuka Bani Tamim, di antaranya adalah Aqra‘ bin Habis At-Tamimi, Zibriqan bin Badar At-Tamimi anggota Bani Saad, Umar bin Ahtam, dan Habahib bin Yazid.

 

Anggota delegasi Tamim adalah Nu‘aim bin Yazid, Qais bin Harits, Qais bin Ashim dari Bani Saad, bersama sekelompok besar dari Bani Tamim, yang salah satunya adalah Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badar Al-Fazari.

 

Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Hishn ikut menyertai Rasulullah pada Fathu Makkah, Perang Hunain, dan pengepungan Thaif. Tatkala delegasi Bani Tamim datang, mereka berdua (Aqra‘ dan Uyainah) ikut bersama mereka. Tatkala tamu Bani Tamim masuk masjid, mereka memanggil Rasulullah dari belakang kamar beliau, “Keluarlah menemui kami, wahai Muhammad.’ Dengan teriakan dan panggilan itu mereka menyakiti Rasulullah, lantas beliau pun keluar menemui mereka.

 

Mereka berkata, “Wahai Muhammad, kami datang kepadamu untuk membanggakan dirimu. Oleh karena itulah izinkanlah penyair dan jubir (juru bicara) kami tampil berpidato.” Nabi bersabda, “Kuizinkan jubir kalian untuk berbicara”

 

Utharid bin Hajib berdiri dan berkata:

 

“Segala puji milik Allah Yang memiliki anugerah dan karunia kami, karena Ia Yang berhak atasnya, Yang menjadikan kami sebagai raja-raja, menganugerahkan kepada kami harta yang banyak, yang kami membelanjakannya dengan baik. Allah juga menjadikan kami sebagai penduduk timur yang paling mulia dan paling banyak jumlahnya, serta paling siap perlengkapan perangnya. Siapa yang menyetarai kami di antara manusia? Bukankah kami berada di pucuk pimpinan orang dan orang yang memiliki keutamaan dari mereka? Siapa yang menyaingi kami, hendaklah ia menghitung kelebihan seperti yang kami lakukan. Sungguh kalau saja kami menghendaki, niscaya kami akan berbicara lebih banyak lagi, tetapi kami malu menyebutkan terlalu banyak nikmat yang diberikan Allah kepada kami, sedang kami dikenal dengan itu. Kukatakan ini agar kalian mengucapkan perkataan yang semisal dengan perkataan kami ini dan perkara yang lebih daripada perkara kami.”

 

Kemudian Utharid duduk. Rasulullah bersabda kepada Tsabit bin Qais bin Syamas, salah seorang anggota Bani Harits bin Khazraj:

 

“Berdirilah kamu dan jawablah orang itu dalam pidatonya.” Tsabit berdiri lalu berkata,

 

“Segala puji milik Allah Yang langit dan bumi adalah ciptaan-Nya. Ia menetapkan perintah-Nya pada makhluk-makhluk itu, ilmu-Nya luas mencakup keluasan kursi-Nya, tiada sesuatu pun yang terjadi kecuali berasal dari karunia-Nya. Salah satu kekuasaan-Nya adalah Ia menjadikan kami sebagai raja-raja, memilih dari sebaik-baik makhluk-Nya sebagai Rasul, orang yang paling mulia nasabnya, paling jujur ucapannya dan paling utama kedudukannya. Lantas Allah menurunkan kepadanya kitab-Nya dan memberinya amanah atas sekalian makhluk-Nya. Ia adalah pilihan Allah dari sekalian alam. Ia mengajak manusia untuk beriman kepada-Nya. Beriman kepada Rasulullah, orang-orang yang berhijrah dari kaum beliau, dan sanak kerabat beliau. Beliau adalah manusia yang paling mulia kedudukannya, paling tampan wajahnya, dan paling baik perbuatannya. Lalu komunitas pertama yang menerima dakwah Islam, serta menerima untuk Allah ketika Rasulullah mengajaknya adalah kami, kamilah para penolong Allah serta para sahabat yang menyertai Rasul-Nya. Kami memerangi manusia sampai mereka beriman kepada Allah. Barang siapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, ia telah melindungi harta dan darahnya dari kami. Siapa saja yang kafir, kami berjihad melawannya di jalan Allah selama-lamanya. Membunuhnya (orang kafir), bagi kami adalah ringan. Aku katakan ucapan ini, dan aku memohon ampun kepada Allah untuk diriku, untuk orang-orang beriman baik laki-laki maupun perempuan, wassalamu‘alaikum.”

 

Zibriqan bin Badar berdiri, lalu berkata:

 

Kami adalah orang-orang mulia, tiada komunitas lain yang menyetarai kami…

Para raja berasal dari kami dan di tengah kami biara-biara dibangun

Berapa banyak kami memaksa komunitas lain semuanya…

Ketika perampasan dan keutamaan kemuliaan yang diikuti

Kami sang pemberi makan yang memberi makan ketika kelaparan…

Berupa daging panggang apabila langit tidak berawan tipis

Dengan apa yang kau lihat manusia datang kepada kami pemuka mereka…

Dari segala penjuru negeri dengan cepat kemudian kami berbuat

Kami menyembelih unta pilihan kami tanpa ada alasan…

Untuk orang-orang yang beristirahat apabila mereka beristirahat sampai kenyang

Maka janganlah engkau melihat kami kecuali masyarakat yang kami membanggakan mereka…

Kecuali mereka mendapatkan faedah, mereka adalah kepala yang dipenggal

Siapakah yang menyaingi kami dalam hal itu yang kami tahu…

Hendaklah kaum itu kembali dan kabar akan didengar

Sungguh kami enggan maka janganlah seorang pun enggan kepada kami

Sungguh kami seperti itu ketika sedang bangga kami naik mendaki Hasan tidak ada di tempat itu.

 

Lalu Rasulullah mengutus orang untuk menemuinya. Hasan berkata, “Utusan Rasulullah datang kepadaku lalu ia memberitahuku bahwa Rasulullah mengundangku hanyalah agar aku menjawab tuturan penyair Bani Tamim, lalu aku keluar menjumpai Rasulullah dengan bersajak,

 

Kami lindungi Rasulullah ketika ia berada di tengah kami…

Atas awal keridhaan terhadap pengembalian dan ketidakridhaan

Kami lindungi ia tatkala di antara rumah-rumah kami…

Dengan pedang kami dengan segala kedurhakaan dan kezaliman

Di rumah yang tersendiri, kemuliaannya dan hartanya…

Di Jabiah Jaulan di tengah orang-orang non-Arab?”

Tiadalah kemuliaan itu kecuali kemuliaan yang terdahulu dan kemurahan hati masa lalu

Dan kehormatan para raja itu serta membawa keagungan-keagungan yang ada

 

Hasan berkata, “Tatkala aku sudah berada di dekat Rasulullah sedang si penyair Bani Tamim itu masih mengucapkan syairnya, aku pun menyindir ucapannya, dan kukatakan tuturan yang semisal dengan apa yang ia katakan. Tatkala Zibriqan selesai, Rasulullah bersabda kepada Hasan bin Tsabit, “Berdirilah, hai Hasan, jawablah omongan orang itu.”

 

Hasan bangkit dan berkata:

 

Sungguh para pemuka dari kalangan Fihr dan saudara mereka

Sudah menjelaskan sunah kepada manusia untuk diikuti

Ridha kepada mereka semua orang yang perangainya

Takwa kepada Tuhan dan semua kebaikan ia lakukan

Suatu kaum yang apabila mereka memerangi, mereka memudharati musuh mereka

Atau apabila mereka berupaya memberi manfaat pada kelompok, mereka memberi manfaat

Tabiat itu dari mereka, bukan dibuat-buat baru

Sungguh para makhluk itu, ketahuilah keburukannya adalah bid‘ah

Walaupun di tengah manusia banyak orang-orang yang mendahului sesudah mereka

Setiap yang mendahului menuju kepada paling rendahnya pendahuluan mereka diikuti

Janganlah manusia bodoh terhadap sesuatu yang telapak tangan mereka lernah terhadapnya

Ketika membela, jangan pula mereka lernah terhadap apa yang tidak tahu

Jika manusia mendahului pada suatu hari, pedang mereka akan berjaya

Atau mereka menimbang orang mulia dengan kemurahan hati sebagai bekal

Apakah keperwiraan itu disebut pada wahyu keperwiraan mereka

Mereka tidak mengotori diri, dan ketamakan tidak membinasakan mereka

Mereka tidak bakhil kepada tetangga dengan kelebihan harta mereka

Dan tidak menyentuh mereka dengan kekotoran dari ketamakan

Apabila kami tampakkan permusuhan terhadap satu komunitas, kami tidak merayap ke arah mereka

Sebagaimana ia merangkak menuju sapi liar

Mereka bangkit ketika perang menimpa kami cakar-cakarnya

Ketika ujung-ujung kuku manusia dan pengikutnya tunduk

Mereka tidak berbangga ketika mereka menimpa musuh mereka

Jika tertimpa kekalahan, tidak menjadi lemah dan pengecut

Seolah-olah mereka berada di tempat yang berhiruk pikuk, sedang kematian itu sudah mendekat .

Singa-singa di belantara singa di tempatnya yang dijaga dan dilindungi bengkok ke satu arah

Ambillah dari mereka apa yang datang tanpa diminta dan tanpa kesulitan apabila mereka marah

Janganlah kesedihanmu terhadap urusan yang mereka halangi

Sungguh pada perang terhadap mereka, tinggalkan permusuhan terhadap rnereka,

Terdapat keburukan dimasukkan ke dalamnya racun dan tumbuhan beracun Muliakan kaum Rasulullah, kelompok mereka

Apabila hawa nafsu berbeda-beda dan kelompok berpuak-puak

Kuhadiahkan untuk mereka pujianku hati yang menebarkannya

Pada apa yang dicintai oleh lisan yang menenung dengan mahir

Sungguh mereka adalah komunitas yang paling utama keseluruhannya

 

Walaupun manusia bersuara keras terhadapnya dengan kekerasan ucapan atau mereka bersenda gurau

 

Tatkala kaum itu selesai bersajak, mereka pun masuk Islam. Rasulullah memberi mereka jamuan istimewa sebagai tamu, lalu beliau menjamu mereka dengan sebaik-baiknya.

 

Amru bin Ahtam ditunjuk oleh kaumnya sebagai penjaga bagian belakang, untuk menjaga unta mereka, ia adalah yang termuda usianya di antara mereka. Qais bin Ashim yang membenci Amru bin Ahtam berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh ia dahulu adalah salah seorang di antara kami yang menjaga hewan tunggangan kami. Ia adalah seorang pemuda yang belia usianya —dan paling kuat untuk itu-.

 

Lantas Rasulullah memberikan tugas kepadanya semisal tugas yang diberikan kaumnya kepadanya.

 

Amru bin Ahtam berkata -ketika sampai berita kepadanya bahwa Qais mengatakan itu dengan bersajak:

 

Aku menjadi manusia liar yang menyerang dari belakangnya, kau mencercaku

Di hadapan Rasul maka kamu tidak berkata jujur dan tidak berbicara benar

Orang mulia kalian adalah orang mulia yang lapang dan aurat kalian

Tampak gigi gerahamnya meminum habis air di dalam timba

 

Ibnu Ishaq berkata, “Tentang mereka inilah turun ayat dari Al-Qur’an:

 

‘Sungguh orang-orang yang memanggilmu dari belakang kamar-kamar itu kebanyakan mereka tidak berakal.” (Al-Hujurat [49]: 4)

 

Kisah Amir bin Thufail dan Arbad bin Qais

 

Delegasi Bani Amir datang menemui Rasulullah. Di antara mereka adalah Amir bin Thufail, Arbad bin Qais bin Jaze’ bin Khalid bin Jakfar, dan Jabar bin Salma bin Malik bin Jakfar. Mereka bertiga adalah pemimpin kaum itu (Bani Amir) dan ahli tipu daya mereka. Amir bin Thufail, Sang musuh Allah, datang menemui Rasulullah sedang ia hendak melancarkan tipu dayanya terhadap beliau. Kaumnya telah berkata kepadanya, “Hai Amir, orang-orang sudah masuk Islam maka masuk Islamlah kamu.” Amir berkata, “Demi Allah, aku tidak ingin mati sampai orang-orang Arab mengikuti. Apakah justru aku yang akan mengikuti pemuda dari Quraisy ini (Muhammad)?” Kemudian Amir bin Thufail berkata kepada Arbad, “Apabila kami mendatangi lelaki itu, aku akan menyibukkan pandangan wajahnya darimu. Pada saat itulah kamu harus membunuhnya dengan pedang”

 

Tatkala mereka berdua datang kepada Rasulullah , Amir bin Thufail berkata, “Wahai Muhammad, berilah aku waktu untuk berbicara sendiri denganmu.” Rasulullah menjawab, “Tidak, demi Allah, sampai kamu mau beriman kepada Allah” Amir berkata, “Wahai Muhammad, biarkan aku berbicara sendirian denganmu.” Amir bin Thufail terus berbicara dan ia menunggu Arbad melaksanakan perintahnya. Tetapi ternyata Arbad tidak merespons ucapannya dengan reaksi apa pun.

 

Tatkala Amir melihat apa yang dilakukan Arbad, ia berkata lagi, “Wahai Muhammad, mari berbicara sendirian denganku.” Rasul tetap bersabda, “Tidak, demi Allah, sampai kamu beriman kepada Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya!” Tatkala Rasulullah enggan memenuhi keinginan Amir, ia berkata, “Ketahuilah, demi Allah, aku akan menyerang kamu dengan kekuatan penuh berupa pasukan kavaleri (penunggang kuda) dan pasukan infanteri (pejalan kaki)!” Tatkala Amir bin Thufail pergi meninggalkan Nabi, beliau berdoa, “Ya Allah, cukupkanlah aku dari Amir bin Thufail”

 

Ketika mereka berdua (Amir dan Arbad) pergi jauh meninggalkan Rasulullah, Amir berkata kepada Arbad, “Celaka kamu, hai Arbad! Mengapa kamu tidak melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu? Demi Allah, tiada di muka bumi ini seorang pun yang lebih kutakuti daripada diriku sendiri selain kamu. Demi Allah, sekarang ini aku tidak takut lagi kepadamu selama-lamanya!” Arbad berkata, “Celaka kamu! Kamu jangan tergesa-gesa memvonisku. Demi Allah, aku tidak melakukan apa yang kau perintahkan kecuali kamu masuk di antaraku dengan ia, namun aku tidak melihat siapa pun selain kamu, apakah aku harus memenggalmu dengan pedang?”

 

Mereka pulang menuju ke negeri mereka, sampai ketika mereka berada di dalam perjalanan pulang, Allah menimpakan wabah penyakit terhadap Amir bin Thufail tepat pada lehernya, hingga akhirnya Allah mencabut nyawanya di rumah seorang perempuan dari Bani Salul. Ketika akan mati, Amir berkata, “Hai Bani Amir ini adalah penyakit Ghudah yang menimpa unta, yang mematikan sedang aku di rumah seorang perempuan Bani Salul?!” kemudian teman-temanya memakannya. Mereka melanjutkan perjalanan sampai tiba di negeri Bani Amir. Syatin.

 

Tatkala mereka tiba, kaum mereka berkerumun lantas berkata “Apa yang terjadi, hai Arbad?” ia menjawab, “Tidak ada apa-apa. Demi Allah, sungguh ia menyuruh kami untuk menyembah sesuatu. Aku ingin ia berada di hadapanku sekarang, lalu menembaknya dengan anak panah sampai aku membunuhnya!”

 

Selang sehari atau dua hari setelah mengucapkan perkataan itu, Arbad keluar dengan seekor untanya yang berjalan mengikutinya. Kemudian Allah mengirimkan petir, lalu petir itu membakar mereka berdua. Arbad bin Qais adalah saudara seibu Labid bin Rabi’ah, Labid bersajak menangisi Arbad :

 

Ketahuilah jika si pemberi handuk melampaui batas terhadap seseorang…

Bukan orang tua yang menyayangi, bukan pula seorang anak

Aku khawatir matinya Arbad tetapi aku tidak…

Takut hujan ikan dan singa

Maka wahai mata tidaklah kamu menangisi arbad …

Kami berdiri dan para wanita berdiri pada hati

Jika mereka membuat kerusuhan, ia tidak peduli dengan huru-hara mereka…

Atau mereka menuju pada hukum yang mereka tuju

Lezat yang banyak akal sedang di dalam kelezatannya….

Ada kepahitan lembut isinya dan hatinya

Dan wahai mata, tidaklah kau tangisi Arbad Ketika…

Angin musim dingin menghilangkan dedaunan pohon

Lalu menjadi hewan yang siap-siap diperah susunya, tetapi ia tidak mempunyai susu…

Sampai tampak sisa perbekalan yang tertinggal

Lebih berani daripada singa belantara yang banyak dagingnya…

Yang bersifat rakus pada bagian atas dan melihat segalanya

Mata tidak sampai melihat seluruh kerakusannya…

Pada malam yang sore harinya dijalani oleh orang baik seperti seiris daging

Sang pembangkit ratapan pada tempat perkumpulannya…

Seperti rusa muda dengan belalang

Mengejutkanku kilat dan halilintar dengan penunggang kuda…

Pada hari yang dibenci oleh si pemberani

Orang yang memerangi dan memaksa orang yang dirampas ketika…

Ia datang dalam keadaan tertimpa bencana, jika ia mengulangi maka diulangi

Ia memaafkan kepayahan dan permintaan, sebagaimana…

Hujan musim semi menumbuhkan tanah yang berumput

Semua Bani Hurah itu tempat kembali mereka…

Sedikit walaupun jumlahnya banyak

Jika mereka diinginkan maka mereka jatuh, jika mereka diperintah…

Suatu hari mereka menuju ke kebinasaan dan hilang tereliminasi

 

Kedatangan Jarud pada Delegasi Abdul Qais

 

Jarud bin Amru bin Hanasy, dari Bani Abdul Qais, datang menemui Rasulullah.

 

Dari Hasan, ia berkata:

 

“Tatkala ia sampai kepada Rasulullah, ia berbicara kepada beliau, lantas Rasulullah menawarkan Islam kepadanya dan mengajaknya untuk memeluk Islam, seraya menganjurkannya agar mau berislam. Ia berkata, “Wahai Muhammad, sungguh aku sudah memeluk suatu agama. Sungguh, jika aku meninggalkan agamaku untuk memeluk agamamu, apakah kamu mau menanggung utangku?’ Rasulullah bersabda, “Ya, aku menanggung bahwa Allah memberimu petunjuk menuju sesuatu yang lebih baik daripadanya’

 

Jarud pun masuk Islam, demikian juga dengan para sahabatnya. Selanjutnya, ia meminta kepada Rasulullah hewan untuk ditunggangi. Rasulullah menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak punya hewan tunggangan untuk kalian tunggangi’ Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh di antara kami dengan negeri kami itu ada orang-orang yang lemah, bolehkah kami membawa mereka ke negeri kami?’ Nabi menjawab, “Tidak, jangan lakukan itu, karena itu hanyalah akan menyalakan api perang:

 

Akhirnya, Jarud pergi meninggalkan Rasulullah, pulang ke kaumnya. Ia menjalankan Islamnya dengan baik dan teguh pada agamanya sampai ia mati. Ia juga mengalami Perang Ridah (perang melawan kaum murtad, pada masa kekhalifahan Abu Bakar).”

 

Ketika ada orang dari kaumnya yang dahulu telah masuk Islam lalu kembali ke agama mereka yang awal pulang, bersama Gharur bin Mundzir bin Nu‘man bin Mundzir, Jarud bangkit dan beridiri lalu ia berbicara dan bersyahadat dengan syahadat kebenaran. Ia mengajak kepada Islam, lalu ia berucap, “Wahai sekalian manusia, sungguh aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya sekaligus Rasul-Nya. Aku menganggap kafir siapa saja yang tidak bersyahadat seperti ini!”

 

Kedatangan Bani Hanifah Bersama Musailimah Al-Kadzab

 

Tamu delegasi Bani Hanifah datang menemui Rasulullah, di antara mereka Musailimah bin Habib Al-Hanafi Al-Kadzab.

 

Mereka tinggal di rumah bintu Al-Harits, seorang perempuan Anshar, dari kalangan Bani Najar. Selanjutnya, salah seorang ulama kami dari kalangan penduduk Madinah menceritakan kepadaku bahwa Bani Hanifah datang bersama Musailimah menghadap Rasulullah, mereka menutupinya dengan kain. Sedang pada saat itu, Rasulullah duduk di tengah para sahabat beliau. Beliau membawa pelepah kurma, sedang pada kepala beliau ada daun kurma. Tatkala ia sampai ke dekat Rasulullah dan mereka menutupinya dengan pakaian, Musailimah berbicara kepada beliau dan menanyai beliau, Rasulullah bersabda kepadanya, “Andaikan engkau meminta dariku pelepah kurma ini, niscaya aku tidak akan memberikannya kepadamu.”

 

Ibnu Ishaq berkata,

 

Telah menceritakan kepadaku seorang tua dari Bani Hanifah, dari penduduk Yamamah, bahwa cerilanya tidak seperti ini, “Ia mengklaim bahwa delegasi Bani Hanifah datang menemui Rasulullah, sembari meninggalkan Musailimah di hewan tunggangan mereka. Tatkala mereka masuk Islam, mereka menceritakan tentang kedudukan Musailimah, seraya berkata:

 

“Wahai Rasulullah, sungguh kami telah meninggalkan sahabat kami untuk mengurusi hewan tunggangan kami dan menjaganya untuk kami.” Rawi berkata, “Rasulullah memerintahkan kepadanya seperti apa yang beliau perintahkan kepada kaum tersebut.” Beliau bersabda, “Ketahuilah, sungguh ia bukanlah orang yang paling buruk kedudukannya di kalangan kalian.” Maksudnya, ia menjaga barang-barang temannya. Itulah yang diinginkan oleh Rasulullah.

 

Rawi berucap, “Kemudian mereka pergi meninggalkan Rasulullah. Mereka menghadap Musailimah dengan membawa apa yang disampaikan Rasulullah kepadanya. Tatkala mereka sampai ke Yamamah, musuh Allah itu murtad, mendakwakan dirinya sebagai Nabi, dan mendustakan mereka. Musailimah berkata, ‘Sungguh, aku bersekutu dengan Muhammad dalam kenabian’ Ia berkata kepada tamu-tamunya yang ada di dekatnya, ‘Bukankah ia (Muhammad) mengatakan kepada kalian ketika kalian menyebutkanku di hadapannya, “Ketahuilah, ia bukanlah orang yang paling buruk kedudukannya di antara kalian.” Tiadalah itu kecuali karena ia mengetahui bahwa aku akan menyerikatinya dalam urusan kenabian ini.”

 

Musailimah menjadi lebih berani berkata kepada mereka. Ia berkata kepada mereka ucapan yang mirip dengan Al-Qur’an, “Sungguh Allah telah memberi nikmat kepada wanita hamil. Ia mengeluarkan darinya jiwa yang bergerak, di antara perut yang lembut dan isi perut.”

 

Musailimah menghalalkan untuk mereka arak dan zina, menggugurkan kewajiban shalat. Walaupun demikian, ia tetap bersaksi bahwa Rasulullah adalah seorang Nabi.

 

Bani Hanifah bersatu di bawah kepemimpinannya, Allah Yang lebih mengetahui apa yang terjadi.

 

Kisah Adiy bin Hatim

 

Adiy bin Hatim, menurut riwayat yang sampai kepadaku, ia bertutur:

 

“Tiada seorang pun lelaki Arab yang lebih membenci Rasulullah ketika ia mendengar dari beliau daripada aku. Aku dulu adalah seorang terkemuka dan mulia, Aku beragama Nasrani. Aku biasa mendapatkan seperempat dari harta rampasan perang yang didapatkan oleh kaumku.”

 

Saat itu, aku sudah menjalani suatu agama. Aku adalah raja di tengah kaumku, terhadap apa yang dilakukan terhadap diriku. Tatkala aku mendengar berita tentang Rasulullah aku membencinya. Kukatakan kepada budakku yang berkebangsaan Arab, yang biasanya bertugas menggembalakan untaku, ‘Celaka kamu, hitunglah jumlah untaku, unta-unta yang menyenangkan dan gemuk, tahanlah berada di dekat tempat tinggalku. Apabila kamu mendengar kedatangan tentara Muhammad sudah menapaki negeri ini, beritahukanlah kepadaku’ Budak Arab itu melaksanakannya.

 

Selanjutnya, budak itu datang kepadaku pada suatu pagi. Ia berkata, “Wahai Adiy, kau tidak berbuat banyak ketika tiba-tiba pasukan berkuda Muhammad telah mengepungmu sekarang ini. Lakukanlah sekarang juga, karena aku sudah melihat bendera-bendera panji perang dikibarkan’? Aku bertanya tentang kabar itu, lalu orang-orang menjawab, ‘Ini adalah pasukan Muhammad. Aku berkata, “‘Dekatkan unta-untaku kepadaku’ Budakku mendekatkannya.

 

Aku membawa istri dan anak-anakku menaiki unta, lalu kukatakan, ‘Aku akan menyusul keluargaku yang seagama denganku di Syam. Lantas aku melewati Jausyiah, atau dikatakan juga Husyiah -menurut tuturan Ibnu Hisyamaku meninggalkan anak perempuan Hatim di tengah penduduk yang bermukim di daerah itu. Setiba di Syam, aku pun tinggal dan bermukim di sana. Pasukan berkuda Rasulullah tertinggal dari mengejarku, tetapi mereka mendapatkan anak perempuan Hatim, bagi orang yang mendapatkannya. Lantas anak perempuan itu dibawa ke hadapan Rasulullah bersama para tawanan wanita dari Thayi. Berita pelarian diriku ke negeri Syam sampai kepada Rasulullah.

 

Putri Hatim ditempatkan di Hazhirah, dekat pintu masjid. Para tawanan wanita ditahan di sana. Rasulullah a melewati putri Hatim lalu ia berdiri di dekat Nabi. Ia adalah perempuan yang fasih tutur katanya. Ia berucap, “‘Wahai Rasulullah, ayah aku sudah mati, tamuku sudah pergi, berilah karunia kepadaku semoga Allah memberikan karunia kepadamu:

 

Rasulullah bertanya, ‘Siapakah tamumu?’ Ia menjawab, ‘Adiy bin Hatim Rasulullah berkomentar, ‘Orang yang lari dari Allah dan Rasul-Nya itu?’ Anak perempuan Hatim itu berkata, ‘Kemudian Rasulullah pergi dan meninggalkan aku, sampai keesokan harinya beliau melewatiku lagi lalu kukatakan seperti yang kuucapkan kemarin. Lantas Rasulullah bersabda kepadaku sebagaimana yang beliau sabdakan kepadaku kemarin’

 

Putri Hatim berkata, “Sampai hari lusa tiba, beliau melewatiku lagi dan aku sudah berputus asa darinya. Kemudian seorang pria berisyarat kepadaku dari belakang beliau, makna isyarat itu adalah, “Berdirilah kamu dan bicaralah lagi kepada Nabi.”

 

Aku pun berdiri kepada Nabi dan kukatakan, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah mati dan tamuku sudah pergi, berilah karunia kepadaku semoga Allah memberikan karunia kepadamu:’ Nabi bersabda, ‘Sudah kulakukan. Janganlah kamu tergesagesa untuk keluar sampai kau dapati dari kaummu orang yang dapat dipercayai, sehingga ia mengantarkan kamu sampai ke negerimu, kemudian beritahu aku?’

 

Aku bertanya tentang seorang lelaki yang memberiku isyarat supaya aku berbicara kepada beliau. Dikatakan, ‘Ia adalah Ali bin Abu Thalib es? Aku tinggal sampai datangnya sekelompok berkuda dari Bali atau dari Qudha‘ah. Wanita ini berkata, “Yang kuinginkan hanyalah aku bisa datang menemui saudaraku di Syam?

 

Putri Hatim itu bertutur lagi, ‘Aku datang menemui Rasulullah, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh telah datang sekelompok orang dari kaumku, aku memercayai mereka dan mereka pasti akan membawaku sampai kepada saudara laki-lakiku (Adiy)-”

 

Putri Hatim berujar lagi, ‘Rasulullah memakaikan baju kepadaku, menaikkanku ke atas hewan tunggangan, lalu beliau memberiku nafkah. Aku pergi bersama mereka hingga aku sampai di negeri Syam

 

Adiy berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku sedang duduk di tengah keluargaku, ketika aku melihat seorang wanita yang menunjuk ke arahku berisyarat kepada kami? Aku berucap, ‘Itu kan anak perempuan Hatim?’ Ternyata ia benar anak perempuan Hatim. Tatkala ia berdiri di depanku ia melepas baju luarnya sembari berucap, ‘Orang yang memutus persaudaraan adalah orang yang zalim. Engkau mengajak serta istrimu dan anakmu, tetapi kamu meninggalkan sisa anak ayahmu sebagai auratmu!’ Adiy berucap, ‘Wahai saudara perempuanku, janganlah kamu berkata kecuali kebaikan. Demi Allah, tiada alasan bagiku. Sungguh aku telah melakukan apa yang kau katakan itu?

 

Selanjutnya, saudaraku itu tinggal bersamaku. Kutanyakan kepadanya, sedang ia adalah seorang perempuan yang kuat tekadnya, ‘Apa pendapatmu tentang pria ini (Muhammad)?’ Saudara perempuanku menjawab, ‘Menurut pendapatku, demi Allah, kamu harus bertemu ia segera. Jika pria itu adalah seorang Nabi maka orang yang segera bertemu dengannya akan mendapatkan kelebihannya. Jika ia adalah seorang raja, kamu tidak akan hina di kemuliaan Yaman. Engkau adalah engkau yang sesungguhnya.

 

Aku berkata, ‘Demi Allah, sungguh ini adalah pendapat yang tepat.

 

Aku segera berangkat hingga aku bertemu dengan Rasulullah di Madinah, Jalu aku menemui beliau, ketika beliau berada di masjidnya. Aku mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bertanya, ‘Siapa kamu?’ Aku menjawab, ‘Aku Adiy bin Hatim’ Rasulullah berdiri, lalu ia mengajakku berjalan menuju ke rumah beliau. Demi Allah, beliau sengaja mengajakku pergi ke rumah beliau. Tiba-tiba seorang perempuan yang sudah tak berdaya dan berusia tua menemui beliau, lalu meminta belas kasihan dari beliau.

 

Rasulullah berhenti untuk melayaninya dalam waktu yang lama, perempuan tua itu mengatakan kebutuhannya kepada beliau. Kukatakan kepada diriku sendiri, ‘Demi Allah lelaki ini bukanlah seorang raja.

 

Selanjutnya, Rasulullah pergi bersamaku, sampai ketika beliau masuk ke rumah beliau bersamaku, beliau mengambil bantal yang terbuat dari kulit yang berisi serabut, lalu beliau memberikannya kepadaku. Beliau bersabda, ‘Duduklah di bantal ini? Aku berkata, “Engkau saja, silakan engkau duduk di atasnya’ Nabi bersabda, ‘Kamu saja’ Lalu aku pun duduk di atas bantal itu, sedangkan Rasulullah duduk di atas tanah.

 

Kukatakan pada diriku sendiri, ‘Demi Allah, tindakan ini bukanlah kelakuan seorang raja’ Kemudian Nabi bersabda, ‘Hai Adiy bin Hatim! Bukankah kamu orang Rukusia?’ Aku menjawab, “Ya: Nabi bersabda, ‘Bukankah kamu menjalankan di tengah kaummu peraturan diberikannya seperempat harta ghanimah?’ Aku berkata, ‘Ya’ Nabi bersabda, ‘Bukankah itu sebenarnya tidak halal menurut agamamu?’ Aku menjawab, ‘Ya, demi Allah’ Adiy berucap, ‘Aku pun tahu bahwa beliau adalah Nabi yang diutus, mengetahui apa yang tidak diketahui orang’ Nabi bersabda, ‘Barangkali kamu, wahai Adiy, yang menghalangimu dari Islam adalah apa yang kau lihat berupa kebutuhan orang-orang Islam. Demi Allah, harta ini benar-benar akan dilimpahkan kepada mereka sehingga tiada orang yang mau mengambilnya. Barangkali kamu, yang menghalangimu dari Islam adalah apa yang kau lihat berupa banyaknya musuh dan sedikitnya jumlah. Demi Allah, sungguh kamu benar-benar akan mendengar seorang perempuan pergi dari Qadisiah dengan mengendarai untanya sampai ia berkunjung ke Baitullah ini, tanpa rasa takut sama sekali. Barangkali, yang mencegahmu dari Islam adalah bahwa kamu melihat kerajaan dan kekuasaan ada pada orang-orang selain mereka. Demi Allah, kamu benar-benar akan mendengar istana-istana putih dari negeri Babilonia akan ditaklukkan dan dibebaskan untuk orang Islam?”

 

Adiy berkata, “Lalu aku masuk Islam.”

 

Adiy berkata, “Sudah terjadi dua hal, tinggal yang ketiga. Demi Allah, itu pasti akan benar-benar terjadi. Aku telah melihat istana-istana putih dari negeri Babilonia ditaklukkan. Aku juga telah mendapati seorang perempuan pergi dari Qadisiah dengan mengendarai untanya tanpa merasa takut, sampai ia berhaji ke Baitullah. Demi Allah, yang ketiga pasti akan benar-benar terjadi, harta akan benarbenar berlimpah ruah hingga tidak didapatkan orang yang mau mengambilnya.”

 

Kedatangan Farwah bin Musaik Al-Muradi

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

Farwah bin Musaik Al-Muradi menghadap Rasulullah. Ia memisahkan diri dari raja-raja Kindah dan menjauhi mereka, menuju Rasulullah. Menjelang

 

keislamannya, terjadi perang antara Murad dengan Hamdan; Hamdan mengalahkan Murad pada pertempuran itu seperti yang mereka kehendaki. Hamdan membunuh sekian banyak orang Murad, pada suatu hari yang disebut dengan Hari Radem (yaum ar-radm). Yang mengomandani Hamdan mengalahkan Murad adalah Ajda‘ bin Malik. Tatkala Farwan bin Musaik menjumpai Rasulullah, sebagai orang yang memisahkan diri dari raja-raja Kindah, ia bersajak:

 

Tatkala kulihat raja-raja Kindah berpaling…

Seperti kaki yang mengkhianati kaki urat paha dalamnya

Aku mendekatkan kendaraanku menuju Muhammad…

Aku harapkan keutamaan dan kebaikan kedermawanannya’

 

Tatkala ia sudah sampai ke dekat Rasulullah, Rasul bersabda kepadanya, -menurut riwayat yang sampai kepadaku-, “Hai Farwah, apakah kekalahan yang menimpa Kaum Radem menyusahkan dirimu?” Farwah menjawab, “Wahai Rasulullah, siapakah yang mempunyai peristiwa yang menimpa kaumnya seperti yang menimpa kaumku pada Hari Radem, lantas peristiwa itu tidak menyusahkannya?” Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, sungguh kejadian itu tidak menambahi kaummu di dalam Islam kecuali kebaikan.”

 

Nabi mengangkat Farwah menjadi pemimpin Suku Murad, Zubaid, dan Madzhij seluruhnya. Beliau juga mengutus Khalid bin Sa‘id bin Ash untuk menyertainya dalam mengurusi zakat. Ia terus menyertainya sampai Rasulullah wafat.

 

Kedatangan Amru bin Ma‘dikarib

 

Amru bin Madikarib datang menghadap Nabi bersama sejumlah orang dari Bani Zubaid, lalu ia masuk Islam. Amru dahulu pernah berkata kepada Qais bin Maksyuh Al-Muradi -ketika sampai kepada mereka berita tentang Rasulullah-, “Hai Qais, sungguh engkau adalah pemimpin kaummu. Telah diceritakan kepada

 

kami bahwa ada seorang pria Quraisy yang bernama Muhammad sudah muncul di Hijaz, ia berkata bahwa dirinya adalah seorang Nabi. Oleh karena itu, marilah kami pergi menemuinya, sehingga kami dapat mengetahui ilmunya. Jika ia adalah seorang Nabi sebagaimana yang ia katakan, tentu itu tidak akan tersembunyi bagimu. Apabila kami bertemu dengannya, kami akan mengikutinya. Jika keadaannya tidak demikian maka kami juga akan mengetahui ilmunya”

 

Qais tidak mau melakukan itu. Ia bahkan menganggap bodoh ide Amru itu. Akhirnya, Amru bin Ma‘dikarib mengendarai hewan tunggangannya sampai menghadap Rasulullah, lantas ia masuk Islam, membenarkan dan beriman kepada beliau. Tatkala berita keislamannya sampai kepada Qais bin Maksyuh, ia mengancam Amru dan bersikap keras terhadapnya.

 

Qais berkata, “Ia telah menyelisihiku dan menolak ideku mentah-mentah!” Amru bin Ma‘dikarib bertutur pada waktu itu:

 

Aku memerintahkan kepadamu pada Hari Shan‘a…

Suatu perintah yang jelas petunjuknya

Aku memerintahkan kamu untuk bertakwa kepada Allah…

Serta berbuat baik yang kau siapkannya

Aku keluar dari kematian semisal…

Keledai kecil yang putih alat pengikatnya

Kamu mengangankan aku di atas kuda…

Di atasnya duduk singanya

Aku memakai jubah besi yang longgar…

Bebas airnya ke tanah yang keras

Menolak tombak diulangi gigi…

Terbang berhamburan cabikan tombaknya

Seandainya kamu menemuiku, niscaya kamu akan menemui singa yang di atasnya ada bulu pundak singa

Saling bertemu dengan tanduknya, campur cakar kukunya…

Cakar binatang buas, tinggi antara dua pundaknya

Melebihi tingginya yang menjadikanmu dalam keberanian…

Menyengaja kepadanya dan mengalahkannya

Lalu ia mengambil dan meninggikannya…

Lalu merendahkan lantas membunuhnya

Lantas mengeluarkan sumsum dan memecahkannya…

Lalu memakan dan menelannya

Hai si zalim syirik pada apa…

Yang taring dan tangannya menjaga

 

Amru bin Madikarib tinggal bersama kaumnya dari kalangan Bani Zubaid yang dipimpin oleh Farwah bin Musaik. Tatkala Rasulullah wafat, Amru bin Maddikarib murtad. Ia berkata ketika murtad dari Islam:

 

Kami dapati kerajaan Farwah sebagai seburuk-buruk kerajaan…

Keledai yang berbau lubang cuping hidungnya

Aku dulu apabila aku melihat Abu Umair…

 

Kamu melihat kulit yang anak unta keluar padanya berupa kotoran dan pengkhianatan

 

Kedatangan Asy’ats bin Qais Bersama Delegasi Kindah

 

Ibnu Ishaq bertutur:

 

Asy’ats bin Qais datang menjumpai Rasulullah bersama rombongan delegasi Kindah. Zuhri Ibnu Syihab menceritakan kepadaku, “Asy’ats datang menemui Rasulullah bersama delapan puluh orang penunggang kuda Suku Kindah. Mereka menemui Rasulullah di masjid beliau dengan rambut tersisir dan terjurai, memakai celak mata, mengenakan jubah berupa kain bermotif garis-garis buatan Yaman, yang disela-selain dengan kain sutra. Tatkala mereka masuk menemui Rasulullah beliau bertanya, “Tidakkah kalian masuk Islam? Mereka menjawab, Ya. Rasul bertanya lagi, “Bagaimana keadaan sutra pada leher kalian itu.

 

Rawi berkata, “Mereka merasa berat dengan perkataan Nabi itu, lantas mereka melepas kain berselang sutra tersebut. Selanjutnya, Asy’ats bin Qais berkata, Wahai Rasulullah, kami adalah Bani Akil Murar (anak keturunan si pemakan empedu – penerj.) sedang engkau adalah Ibnu Akil Murar.”

 

Rawi berucap, “Rasulullah tersenyum. Beliau berucap, “Mereka menasabkan nasab ini kepada Abbas bin Abdul Mutholib dan Rabi’ah bin Harits. Abbas dan Rabi’ah adalah dua pedagang sukses. Mereka berdua, apabila bepergian untuk berdagang di sebagian komunitas Arab, lalu keduanya ditanyai tentang identitas mereka berdua, keduanya menjawab, “Kami adalah Bani Akil Murar” Mereka merasa mulia dengan itu. Disebabkan Bangsa Kindah adalah para raja.”

 

Kemudian Rasul bersabda kepada mereka, “Tidak, tetapi kami adalah Bani Nadhr bin Kinanah. Kami tidak menghentikan garis nasab ibu kami, tetapi juga tak hendak mengeliminasi garis nasab bapak kami.”

 

Asy’ats bin Qais berkata, “Apakah kalian telah selesai, hai sekalian orang Kindah?” Demi Allah, aku tidak akan mendengar lagi seseorang yang mengatakan ini kecuali aku akan menderanya delapan puluh kali deraan.

 

Kedatangan Shurad bin Abdullah Al-Azdi

 

Shurad bin Abdullah Al-Azdi mendatangi Rasulullah, kemudian ia masuk Islam dan menjalankan Islamnya dengan sebaik-baiknya, ia termasuk rombongan dari Suku Azdi. Lantas Rasulullah menjadikannya sebagai pemimpin orang-orang yang sudah masuk Islam dari kaumnya. Rasul juga menyuruh ia untuk berjihad bersama orang yang sudah masuk Islam melawan orang-orang yang tinggal di sekitarnya dari kalangan musyrik, dari berbagai Kabilah Yaman.

 

Shurad bin Abdullah berangkat dan melaksanakan perintah Rasulullah hingga ia beristirahat di Jurasy. Pada waktu itu, Jurasy adalah sebuah kota yang masih tertutup rapat. Di kota itu tinggal sejumlah kabilah Yaman. Suku Khatsam ikut bergabung dan berlindung kepada mereka. Selanjutnya, Bani Khatsam memasuki kota itu bersama kabilah-kabilah Yaman tersebut manakala mereka mendengar bahwa kaum muslim sedang melakukan perjalanan menuju ke posisi mereka. Akhirnya, pasukan Islam mengepung mereka di kota itu dalam kurun waktu mendekati sebulan.

 

Musuh menghalangi masuknya Shurad ke dalamnya. Selanjutnya, Shurad beranjak pulang dari mereka, sampai ketika ia sampai ke gunung mereka yang bernama Syakr, penduduk Jurasy menyangka bahwa ia telah pergi dalam keadaan kalah, mereka segera keluar mencari beliau. Sampai ketika mereka berhasil menemui beliau, Shurad bin Abdullah justru memerangi mereka dengan perang yang dahsyat.

 

Pada waktu yang sama, penduduk Jurasy mengutus dua orang pria dari mereka kepada Rasulullah di Madinah, keduanya merasa ragu-ragu dan menunggu. Tatkala keduanya berada di hadapan Rasulullah pada waktu sore, sesudah shalat Asar, tiba-tiba Rasulullah bersabda, “Di negeri Allah yang manakah Syakr itu?” Dua orang dari Jurasy ini bangkit berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, di negeri kami ada gunung yang bernama Kasyr begitulah penduduk Jurasy menamai Gunung Syakr-” Rasulullah bersabda, “Sungguh, itu bukan Kasyr, tetapi Syakr” Keduanya berkata, “Apa yang terjadi dengan gunung itu, wahai Rasulullah?” Rasul bersabda, “Sungguh, unta Allah sedang disembelih di gunung itu sekarang ini”

 

Dua orang pria ini lalu duduk mendekati Abu Bakar, atau mendekati Utsman, lalu ia berkata kepada mereka berdua, “Celaka kalian! Sungguh Rasulullah sekarang ini sedang memberitahukan berita kematian kaum kalian berdua. Bangkit dan datanglah kepada Rasulullah lalu mintalah agar beliau berdoa kepada Allah agar menghilangkan bencana dari kaum kalian.” Keduanya segera mendatangi Rasulullah dan meminta hal itu.

 

Rasulullah berdoa, “Ya Allah, hilangkan bencana dari mereka!” Kedua orang Jurasy itu pamit keluar dari hadapan Rasulullah untuk pulang menjumpai kaum mereka. Mereka mendapati kaum mereka telah tertimpa musibah pada hari pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh Shurad bin Abdullah, pada hari yang Rasulullah bersabda tentang hal itu, pada waktu yang sama dengan ketika Nabi menyebutkan kejadian itu.

 

Delegasi Jurasy segera meninggalkan negeri mereka sampai mereka tiba di hadapan Rasulullah. Mereka masuk Islam, lalu Rasulullah melindungi mereka dengan perlindungan yang mencakup negeri-negeri di sekitar mereka, dengan tanda tertentu, tanda untuk kuda, unta, sapi, sapi untuk pertanian, dan siapa saja yang menggembalakannya dari kalangan manusia maka hartanya haram untuk diambil atau dimakan.”

 

Kedatangan Utusan Para Raja Himyar Beserta Surat Mereka

 

Sampai kepada Rasulullah surat raja-raja Himyar setibanya beliau dari Tabuk. Adapun utusan-utusan mereka kepada beliau yang mengabarkan keislaman mereka adalah Harits bin Abdu Kulal, Nu’aim bin Abdu Kulal, Numan Oail Dzi Ru’ain, Ma’afar, dan Hamdan.

 

Zurah Dzu Yazan mengutus kepada beliau Malik bin Murrah Ar-Rahawi untuk mengabarkan keislaman mereka, serta sikap mereka memisahi kesyirikan dan pelakunya. Selanjutnya, Rasulullah menulis surat kepada mereka:

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, dari Muhammad Rasul dan Nabi Allah, untuk Harits bin Abdu Kulal, Nu’aim bin Abdul Kulal, dan kepada Nu’man Qail Dzi Ru’ain, Ma’afar, serta Hamdan.

 

Adapun sesudah itu, sungguh aku memujikan kepada kalian Allah Yang Tiada tuhan kecuali Ia. Sungguh sudah sampai kepada kami utusan kalian sepulang kami dari negeri Romawi, lantas kami bertemu di Madinah. Ia telah menyampaikan surat yang kalian kirimkan. Ia juga telah mengabarkan kepada kami berita dari kalian. Ia memberitakan kepada kami keislaman kalian dan pembunuhan orang-orang musyrik yang kalian lakukan.

 

Sungguh Allah telah memberi petunjuk kalian dengan hidayah-Nya. Jika kalian memperbaiki diri kalian, menaati Allah dan Rasul-Nya, menegakkan shalat, membayarkan zakat, memberikan dari harta rampasan perang seperlima bagian untuk Allah dan juga bagian Nabi serta harta pilihannya, juga zakat yang diwajibkan atas orang-orang beriman berupa hasil bumi, besarnya sepersepuluh dari hasil sawah yang dialiri dengan air dari mata air atau dengan air hujan. Sedangkan kewajiban zakat bagi hasil sawah yang dialiri dengan air dari bejana besar adalah seperduapuluh.

 

Kewajiban zakat pada unta yang berjumlah empat puluh ekor adalah unta betina berusia genap dua tahun memasuki tahun ketiga, sedangkan pada setiap tiga puluh ekor unta kewajiban zakatnya adalah unta jantan berusia dua tahun penuh memasuki tahun ketiga. Pada setiap lima ekor unta zakatnya seekor kambing, dan pada setiap sepuluh ekor unta zakatnya adalah dua ekor kambing. Pada setiap empat puluh ekor sapi zakatnya adalah seekor sapi betina. Pada setiap tiga puluh ekor sapi zakatnya adalah seekor sapi berusia setahun penuh, boleh jantan dan boleh juga betina. Pada setiap empat puluh ekor kambing yang digembalakan zakatnya | adalah seekor kambing. Bahwa ini merupakan kewajiban zakat yang ditetapkan oleh Allah atas orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menambah kebaikan, itu merupakan kebaikan baginya. Siapa saja yang menunaikan itu dan bersaksi atas keislamannya, dan membantu orang-orang beriman melawan orang-orang musyrik, ia termasuk orang-orang beriman. Ia memiliki hak sebagaimana hak yang mereka miliki, dan juga terbebani kewajiban sebagaimana yang dibebankan kepada mereka. Ia mendapatkan perlindungan Allah dan perlindungan Rasul-Nya.

 

Sungguh barang siapa yang masuk Islam, baik dari kalangan orang Yahudi maupun Nasrani, ia termasuk dari kalangan orang-orang beriman. Ia mempunyai hak sebagai orang-orang beriman lainnya dan terbebani kewajiban sebagaimana yang dibebankan terhadap mereka. Siapa saja yang tetap menjalankan agama Yahudi atau Nasraninya maka ia tidak ditolak darinya, akan tetapi ia dibebani kewajiban membayar jizyah, pada seluruh keadaannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang merdeka maupun hamba sahaya, sebesar satu dinar penuh, berupa nilai uang yang berlaku maupun gantinya berupa kain (baju).

 

Barang siapa yang telah membayarkan itu kepada Rasulullah maka ia mendapatkan perlindungan Allah dan perlindungan Rasul-Nya. Siapa saja yang tidak mau membayarkannya, sungguh ia adalah musuh Allah dan Rasul-Nya.

 

Selanjutnya, Muhammad Sang Nabi Allah mengutus utusan kepada Zur’ah Dzu Yazan. Jika datang kepada kalian utusan-utusanku, kuwasiatkan kepada kalian untuk berlaku baik kepada mereka, yakni Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Zaid, Malik bin Ubadah, Ugbah bin Namir, Malik bin Murrah, serta para sahabat mereka. Hendaklah kalian mengumpulkan apa yang ada pada kalian berupa zakat dan jizyah dari orang-orang yang menyelisihi kalian, dan sampaikanlah itu kepada para utusanku. Pemimpin mereka adalah Mu’adz bin Jabal, jangan sampai mereka kembali kecuali dalam keadaan ridha.

 

Amma ba’du, sungguh Muhammad bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa ia adalah hamba-Nya sekaligus Rasul-Nya.

 

Sungguh Malik bin Murrah Ar-Rahawi telah mengabarkan kepadaku bahwa kamu sudah masuk Islam sebelum keislaman Suku Hirnyar. Kamu sudah membunuh orang-orang musyrik, bergembiralah dengan kebaikan atau aku memerintahkan kamu berbuat baik terhadap Suku Himyar. Janganlah kalian mengkhianati dan jangan pula kalian menelantarkan, karena Rasulullah adalah pemimpin orang-orang kaya kalian serta orang-orang fakir kalian, sedekah itu tidak halal atas Muhammad dan juga keluarganya. Itu hanyalah zakat yang ia menyucikan dengannya atas orang-orang fakir dari kalangan muslim dan orang yang kehabisan bekal di perjalanan.

 

Sungguh Malik sudah menyampaikan berita dan menjaga ketika tidak ada. Karena itu, aku perintahkan kalian untuk berbuat baik kepadanya. Sungguh, aku telah mengutus kepada kalian dari kalangan orang-orang shalih keluargaku, orang yang taat menjalankan agama mereka, dan orang-orang yang berilmu dari mereka. Aku perintahkan kalian untuk berbuat baik kepada mereka, karena mereka adalah orang yang terkemuka di kalangan mereka. Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu.”

 

Wasiat Rasulullah kepada Mu’adz

 

Rasulullah Mengutus Mu’adz ke Yaman

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

Abduliah bin Abu Bakar menceritakan kepadaku, bahwasanya diceritakan kepadanya bahwa Rasulullah -ketika beliau mengutus Mu’adzbeliau menyampaikan wasiat dan janji kepadanya, kemudian beliau bersabda: “Mudahkanlah, jangan kau persulit. Sampaikan berita gembira, jangan kau buat mereka melarikan diri. Sungguh engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlukitab, mereka akan bertanya kepadamu, Apakah kunci Surga itu?” Jawablah, Syahadat (kesaksian) bahwa tiada tuhan kecuali Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya.”

 

Keislaman Bani Harits bin Ka’ab

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

“Selanjutya, Rasulullah mengutus Khalid bin Walid pada bulan Rabiuts Isani, atau Jumadal Ula, tahun kesepuluh hijrah: ke Bani Harits bin Kaab yang bertempat tinggal di Najran. Beliau memerintahkan Khalid untuk mengajak mereka kepada Islam sebelum ia memerangi mereka. Ajakan itu disampaikan selama tiga hari. Jika mereka mau memenuhi seruan itu maka terimalah mereka, tetapi jika mereka tidak mau memenuhinya maka perangilah mereka.”

 

Khalid berangkat hingga ia sampai ke negeri mereka. Khalid mengutus beberapa personel kavaleri untuk pergi ke seluruh penjuru negeri itu, berdakwah mengajak mereka kepada Islam. Para pendakwah itu berkata, “Wahai sekalian manusia, masuk Islamlah kalian niscaya kalian selamat?” Banyak orang masuk Islam dan memasuki sesuatu yang diajakkan kepada mereka. Khalid tinggal di tengah mereka, mengajarkan kepada mereka Islam, Kitabullah, dan Sunah Nabi-Nya. Dengan itu, Rasulullah memerintahnya jika mereka masuk Islam, dan mereka tidak berperang.

 

Kemudian Khalid bin Walid menulis surat kepada Rasulullah

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, untuk Muhammad Sang Nabi, Rasulullah dari Khalid bin Walid. Salam untukmu, wahai Rasulullah, demikian juga kasih sayang Allah dan berkah-Nya. Sungguh, aku memujikan untukmu kepada Allah Yang tiada tuhan kecuali Ia. Amma ba’du. Wahai Rasulullah, shalawat Allah semoga dilimpahkan kepadamu, karena engkau mengutusku ke Bani Harits bin Ka’ab, dan engkau menyuruhku ketika aku datang kepada mereka supaya aku tidak memerangi mereka selama tiga hari, serta mengajak mereka kepada Islam. Jika mereka masuk Islam maka aku akan tinggal di tengah mereka dan aku menerima keislaman mereka, lalu aku mengajarkan kepada mereka ajaran-ajaran Islam, Kitabullah, dan Sunah Nabi-Nya. Jika mereka tidak mau masuk Islam, aku harus memerangi mereka.

 

Sungguh, aku sudah mendatangi mereka lalu mengajak mereka kepada Islam selama tiga hari, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah kepadaku. Aku mengutus kepada mereka sejumlah pendakwah yang berkendara. Mereka berkata, “Wahai Bani Harits, masuk Islamlah kalian, niscaya kalian selamat.

 

Mereka masuk Islam dan tidak berperang. Aku tinggal bersama mereka. Aku menyuruh mereka mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka dan aku melarang mereka dari apa saja yang dilarang Allah dari mereka. Aku akan tetap mengajarkan kepada mereka Islam dan Sunah Nabi, sampai Rasulullah tg menulis surat balasan kepadaku. Salam Allah untukmu, wahai Rasulullah, demikian juga kasih sayang Allah dan berkah-Nya.”

 

Rasulullah menulis surat balasan untuk Khalid:

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, dari Muhammad Sang Nabi, Rasulullah, untuk Khalid bin Walid. Salam Allah untukmu. Sungguh, aku memujikan untukmu kepada Allah Yang tiada tuhan kecuali Ia. Amma badu. Sungguh suratmu sudah sampai kepadaku dibawa oleh utusanmu yang mengabarkan bahwa Bani Harits bin Ka’ab telah masuk Islam sebelum kamu memerangi mereka, dan mereka menerima dakwah yang kau sampaikan kepadanya. Mereka juga bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Allah telah memberi petunjuk mereka dengan hidayah-Nya, sampaikanlah kabar gembira kepada mereka dan sampaikan pula ancaman terhadap mereka. Menghadaplah kamu dan hendaklah delegasi mereka ikut menghadap bersamamu. Salam Allah untukmu dan juga kasih sayang Allah serta berkah-Nya.”

 

Khalid datang menghadap kepada Rasulullah. Delegasi Bani Harits bin Kaab juga ikut menghadap beliau. Anggota delegasi itu di antaranya, Qais bin Hushain Dzul Ghushah, Yazid bin Abdul Madan, Yazid bin Muhajal, Abdullah bin Ourad Az-Ziyad, Syadad bin Abdullah Al-Oanani, dan Amru bin Abdullah AdhDhibabi.

 

Tatkala mereka datang kepada Rasulullah dan Rasulullah melihat mereka, beliau bertanya: “Siapa orang-orang itu, sepertinya mereka adalah orang-orang India?” Dijawab, “Wahai Rasulullah, mereka adalah orang-orang Bani Harits bin Kaab.” Tatkala mereka berdiri di hadapan Rasulullah mereka mengucapkan salam kepada beliau. Lantas mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan bahwa tiada tuhan kecuali Allah.

 

Rasulullah bersabda, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan aku adalah Rasulullah (utusan Allah)” Kemudian Rasulullah bersabda, “Apakah kalian orang-orang yang dihalau dan diminta datang” Mereka diam. Tiada seorang pun dari mereka yang menjawab. Kemudian Rasulullah mengulangi pertanyaannya untuk kedua kalinya, dan tiada seorang pun dari mereka yang menjawab pertanyaan beliau. Lantas beliau mengulanginya untuk ketiga kalinya, tetapi tiada seorang pun di antara mereka yang menjawab beliau.

 

Kemudian Beliau mengulangi untuk keempat kalinya, lantas Yazid bin Abdul Madan menjawab, “Ya, wahai Rasulullah, kami adalah orang-orang yang ketika mereka dihalau justru mereka diminta datang” Yazid mengucapkan jawaban itu empat kali.

 

Rasulullah bersabda, “Seandainya Khalid tidak menulis surat kepadaku bahwa kalian masuk Islam dan kalian tidak berperang, niscaya aku akan mencampakkan kepala kalian di bawah telapak kaki kalian.” Yazid bin Abdul Madan berkata, “Ketahuilah, kami tidak memujimu dan kami juga tidak memuji Khalid”

 

Rasul bertanya, “Lantas, siapa yang kalian puji?” Mereka menjawab, “Kami memuji Allah yang telah memberi petunjuk kepada kami dengan dirimu, wahai Rasulullah.”

 

Rasul bersabda, “Kalian berkata benar” Rasulullah kembali bersabda, “Dengan apa kalian mengalahkan orang yang memerangi kalian pada zaman Jahiliah?” Mereka menjawab, “Kami belum pernah menang atas siapa pun.”

 

Rasulullah bersabda, “Ya, sungguh kalian menang dan mengalahkan orang yang memerangi kalian.” Mereka berkata, “Kami akan mengalahkan orang yang memerangi kami, wahai Rasulullah. Sungguh, kami dulu bersatu dan tidak berpecah-belah, dan kami tidak akan memulai bertindak zalim terhadap siapa pun.” Rasul bersabda, “Kalian berkata benar?

 

Rasulullah mengangkat Qais bin Hushain sebagai pemimpin Bani Harits bin Ka’ab.

 

Delegasi Bani Harits kembali pulang ke kaum mereka pada sisa bulan Syawal, atau pada permulaan bulan Dzulga’dah, lalu mereka tidak tinggal sesudah kepulangan mereka kepada kaum mereka itu kecuali empat bulan saja, sampai Rasulullah wafat, semoga Allah menyayangi beliau, memberkahi, ridha kepada beliau dan menganugerahkan nikmat kepada beliau.

 

Rasulullah mengutus Amru bin Hazm kepada mereka, sesudah delegasi mereka pulang, untuk memahamkan kepada mereka agama Islam, mengajarkan Sunah dan ajaran Islam, serta mengambil zakat dari mereka. Rasulullah menuliskan untuk Amru bin Hazm surat yang berisi pesan beliau, dan menyuruhnya melaksanakan perintah tersebut.

 

Isi surat tersebut adalah

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Ini adalah penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya. Wahai sekalian orang-orang yang beriman, tunaikanlah janji. Janji dari Muhammad Sang Nabi dan Rasul Allah untuk Amru bin Hazm, ketika ia mengutusnya ke Yaman. Ia memerintahkan kepadanya untuk bertakwa kepada Allah dalam setiap urusannya, karena Allah itu bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang mereka berbuat baik.

 

Rasul menyuruhnya untuk mengambil dengan kebenaran sebagaimana Allah memerintahkan kepada beliau. Supaya ia memberi kabar gembira kepada publik dengan kebaikan, menyuruh mereka melakukannya, mengajarkan AlOuran kepada orang lain, menjadikan mereka paham tentangnya, serta melarang orang, sehingga tiada seorang pun manusia yang menyentuh Al-Quran kecuali ia dalam keadaan suci. Memberitahukan kepada publik apa hak mereka dan apa pula kewajiban mereka, bersikap lembut kepada orang lain dalam kebenaran dan bersikap keras terhadap mereka dalam kezaliman, karena Allah membenci kezaliman dan melarangnya.

 

Allah berfirman, Ketahuilah, laknat Allah ditimpakan atas orang-orang yang zalim?” (Hud (11): 18)

 

Ia juga harus menyampaikan berita gembira kepada publik dengan Surga dan amalannya. Mengancam publik dengan neraka dan amalannya. Mempertautkan hati manusia sampai mereka memahami tentang din, mengajarkan kepada mereka pengetahuan tentang haji, sunah dan fardhunya, serta apa saja yang diperintahkan oleh Allah dengannya. Haji besar adalah haji, sedangkan haji kecil adalah umrah.

 

Ia juga seharusnya melarang orang dari mengerjakan shalat dengan memakai kain yang kecil, kecuali bila kain itu diikatkan kedua ujungnya ke pundaknya. Melarang manusia dari duduk mengangkang dengan satu kain saja sehingga ia menghadapkan kemaluannya ke langit, melarang orang menjalin rambut kepalanya ke tengkuknya, melarang orang menyeru kepada kabilah dan keluarga ketika terjadi penghasutan, supaya seruan mereka hanya kepada Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Siapa saja yang tidak menyeru kepada Allah, tetapi menyeru kepada kabilah dan keluarga, hendaklah mereka menebasnya dengan pedang, sampai seruan mereka menjadi seruan kepada Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya.

 

la juga harus menyuruh manusia untuk menyempurnakan wudhu pada wajah mereka, tangan sampai siku, kaki sampai mata kaki, serta mengusap kepala mereka sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada mereka.

 

Ia juga seharusnya menyuruh orang mengerjakan shalat tepat pada waktunya, menyempurnakan rukuk, sujud, dan khusyuk, mengerjakan shalat Subuh ketika hari masih gelap, melaksanakan shalat Zhuhur pada waktu siang saat matahari tergelincir, shalat Asar ketika matahari sudah mulai pergi (menuju tenggelam), shalat Maghrib ketika malam mulai datang, jangan menundanya sampai tampaknya bintang-bintang di langit, shalat Isya pada awal malam.

 

la juga hendaknya memerintahkan publik untuk berjalan menuju shalat Jumat di masjid ketika dikumandangkan azan untuk shalat, serta mandi sebelum berangkat shalat Jumat, serta menyuruh publik untuk mengambil seperlima bagian Allah pada setiap harta rampasan perang (ghanimah).

 

Adapun kewajiban yang ditetapkan atas orang-orang beriman dalam zakat hasil pertanian adalah sepersepuluh pada hasil pertanian yang diairi oleh mata air atau air hujan. Sedangkan yang dialiri dengan girbah, zakatnya adalah seperduapuluh. Pada setiap sepuluh ekor unta zakatnya adalah dua ekor kambing, pada setiap dua puluh ekor unta zakatnya adalah empat ekor kambing. Pada setiap empat puluh ekor sapi zakatnya adalah seekor sapi. Pada setiap tiga puluh ekor sapi zakatnya adalah seekor sapi yang berusia setahun atau jalan dua tahun, baik jantan maupun betina. Pada setiap empat puluh ekor kambing yang digembalakan, zakatnya adalah seekor kambing. Sungguh ini adalah kewajiban yang Ia tetapkan atas orang-orang beriman dalam hal zakat. Siapa saja yang menambah berupa kebaikan maka itu lebih baik baginya.

 

Barang siapa masuk Islam dari kalangan orang Yahudi atau Nasrani dengan Islam yang murni dari dalam dirinya, lalu ia menjalankan agama Islam, sungguh ia termasuk dari kalangan orang-orang beriman. Ia mempunyai hak sebagaimana mereka dan terbebani kewajiban sebagaimana orang muslim.

 

Siapa saja yang tetap menjalankan agama Nasrani atau Yahudinya maka ia tidak ditolak, akan tetapi terbebani kewajiban atas setiap orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, baik merdeka maupun hamba sahaya, membayar jizyah berupa uang satu dinar penuh atau pakaian yang senilai dengan itu. Barang siapa telah menunaikan pembayaran jizyah, ia mendapatkan perlindungan Allah dan perlindungan Rasul-Nya. Barang siapa tidak mau membayar jizyah, sungguh ia adalah musuh Allah, Rasul-Nya, dan musuh orang-orang beriman seluruhnya.

 

Semoga shalawat Allah diberikan kepada Muhammad, juga salam-Nya kepadanya, serta kasih sayang-Nya serta berkah-Nya.”

 

Dua Pendusta: Musailimah Al-Hanafi dan Aswad Al-Ansi

 

Ibnu Ishaq berkata: “Pada masa Rasulullah diperbincangkan dua orang pendusta, yakni Musailimah bin Habib Al-Kadzab yang tinggal di Yamamah di kalangan Bani Hanifah, serta Aswad bin Ka’ab Al-Ansi yang bertempat tinggal di Shan’a.”

 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ketika beliau sedang berkhotbah di atas mimbarnya, beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sungguh aku bermimpi melihat malam kemuliaan (lailatul qadar), kemudian aku dijadikan lupa tentang itu. Aku juga bermimpi melihat dua gelang emas melingkar di lengan tanganku lalu aku tidak menyukai keduanya, lantas kuhempaskan gelang itu lalu keduanya terbang. Aku menakwilkan dua gelang emas itu adalah dua pendusta ini, yakni orang Yaman (Ka’ab Al-Ansi) dan orang Yamamah (Musailimah).”

 

Orang yang tidak kutuduh berdusta menceritakan kepadaku dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda, Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai munculnya tiga puluh Dajal, semuanya mengklaim dirinya sebagai Nabi.”

 

Keberangkatan Para Komandan dan Petugas untuk Mengambil Zakat

 

Rasulullah mengutus para komandan dan sekalian petugas beliau untuk mengambil zakat, ke seluruh penjuru negeri yang sudah dibebaskan Islam. Beliau | mengutus Muhajir bin Abu Umayah bin Mughirah ke Shana, lantas Al-Ansi menghadapinya ketika ia berada di negeri itu.

 

Nabi mengutus Ziyad bin Labid dari Bani Bayadhah Al-Anshari ke Hadhramaut, untuk mengambil zakat negeri itu. Rasul mengirim Adiy bin Hatim ke Thayi serta mengurusi zakatnya, juga ke kalangan Bani Asad.

 

Nabi mengutus Malik bin Nuwairah untuk .

memungut zakat Bani Hanzhalah.

 

Beliau membagi zakat bani Saad atas dua orang di antara mereka, beliau mengirim Zibrigan bin Badar ke salah satu wilayahnya dan Qais bin Ashim ke wilayah yang lain. Beliau mengutus Ala bin Hadhrami ke Bahrain. Mengirim Ali bin Abu Thalib kepada penduduk Najran untuk mengumpulkan zakat mereka, serta memungut jizyah dari mereka.

 

Surat Musailimah kepada Rasulullah dan Jawaban Beliau Musailimah bin Habib menulis surat kepada Rasulullah, yang isinya: “Dari Musailimah rasulullah kepada Muhammad Rasulullah. Salam untukmu.

 

Amma ba’du, sungguh aku telah menyekutuimu dalam urusan ini bersamamu.

 

Sungguh, kami mempunyai separuh bumi sedangkan Quraisy juga memiliki separuh bumi. Akan tetapi, Quraisy itu adalah kaum yang melampaui batas.”

 

Dua orang utusan Musailimah menghadap Rasulullah dengan membawa surat tersebut.

 

Ibnu Ishaq berkata,

 

Seorang syaikh dari kabilah Asyja’ bertutur kepadaku, dari Salamah bin Nu’aim bin Masud Al-Asyja’i, dari bapaknya, yakni Nu’aim, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada mereka berdua (dua utusan Musailimah) ketika beliau membaca suratnya, Apa yang kalian berdua hendak katakan?” Keduanya menjawab, “Kami mengatakan sebagaimana yang ia katakan: Rasulullah bersabda, Ketahuilah, demi Allah, kalaulah tidak karena aturan Syariat bahwa utusan itu tidak boleh dibunuh, aku pasti sudah memenggal leher kalian?”

 

Kemudian Rasulullah menulis surat kepada Musailimah:

 

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, dari Muhammad Rasulullah, untuk Musailimah Al-Kadzab (Musailimah si pendusta). Salam bagi siapa saja yang mau mengikuti petunjuk. Amma ba’du, sungguh bumi ini milik Allah. Ja mewariskannya kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan hamba-hamba-Nya, adapun kesudahan akhir itu milik orang-orang yang bertakwa.”

 

Peristiwa ini terjadi pada akhir tahun kesepuluh hijriah.

 

Haji Wada’

 

Tatkala bulan Dzulhijah datang menyapa Rasulullah, beliau bersiap-siap untuk berhaji dan menyuruh orang-orang Islam untuk bersiap pula. Rasulullah berangkat menunaikan ibadah haji ketika bulan Dzulga’dah tersisa lima hari (sekitar tanggal 25 Dzulqadah).?!

 

Selanjutnya, Rasulullah meneruskan perjalanan haji beliau. Beliau memperlihatkan kepada publik manasik haji mereka, mengajarkan kepada mereka sunah haji mereka, berkhotbah kepada publik dengan suatu khotbah yang beliau menjelaskan padanya apa saja yang beliau jelaskan, lantas beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda:

 

“Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku, sungguh aku tidak tahu barangkali aku tidak akan bertemu kalian lagi sesudah tahun ini dalam kesempatan seperti ini selama-lamanya. Wahai sekalian manusia, sungguh darah kalian dan harta kalian adalah haram ditumpahkan secara zalim atas kalian sampai kalian bertemu Tuhan kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, dan sebagaimana haramnya bulan kalian ini.

 

Sungguh kalian akan bertemu Tuhan kalian dan Ia akan menanyai kalian tentang amalan kalian, sungguh telah kusampaikan. Barang siapa yang memegang amanat, hendaklah ia menunaikannya kepada orang yang menitipkan amanat itu. Sungguh, semua riba itu sudah digugurkan, akan tetapi untuk kalian pokok harta kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Allah telah menetapkan bahwa tidak boleh ada riba lagi. Sungguh riba Abbas bin Abdul Mutholib sudah digugurkan semuanya.

 

Sungguh semua darah yang tertumpah pada masa Jahiliah sudah digugurkan penuntutan balasnya. Darah pertama yang kugugurkan tuntutannya adalah darah Ibnu Rabi’ah?? bin Harits bin Abdul Mutholib -ia dulu dipersusukan di kalangan Bani Laits lalu suku Hudzail membunuhnya maka ia adalah awal yang aku memulai darinya dari darah-darah masa Jahiliah.

 

Adapun sesudah itu, wahai segenap manusia, sungguh setan itu telah berputus asa dari disembahnya ia di negeri kalian ini selama-lamanya. Akan tetapi, jika ia ditaati pada selain penyembahan maka ia ridha daripada apa yang kalian anggap hina dari amalan kalian. Waspadailah ia atas agama kalian.

 

Wahai sekalian manusia, sungguh penundaan (sengaja menunda atau mengakhirkan-) bulan Haram itu merupakan tambahan pada kekafiran, orang-orang kafir disesatkan dengannya. Mereka menghalalkan bulan haram dalam satu tahun lalu mereka mengharamkannya pada tahun yang lainnya, supaya kalian jatuh pada apa yang diharamkan Allah, lantas kalian menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan kalian mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Sungguh masa ini telah berputar sebagaimana keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Sungguh jumlah bilangan bulan dalam setahun di hadapan Allah adalah dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan Haram, tiga bulan berturut-turut dan bulan Rajab Mudhar?? yang terletak di antara dua bulan Jumad (Jumadal Ula dan Jumadats Tsaniyah ) serta Sya’ban.

 

Selanjutnya, wahai segenap manusia, sungguh kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian, dan mereka juga memiliki hak atas kalian. Kalian mempunyai hak atas mereka, mereka tidak boleh mempersilakan duduk siapa pun yang kalian benci di atas tikar kalian. Mereka juga berkewajiban untuk meninggalkan perbuatan keji secara terang-terangan. Jika mereka melakukannya, Allah mengizinkan kalian untuk memisahi mereka dalam tempat tidur, lalu kalian juga boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak keras dan menyakitkan. Jika mereka menghentikan perilaku kejinya, mereka berhak mendapatkan rezeki mereka (nafkah?) dan pakaian dengan cara yang baik. Saling berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita, karena mereka di hadapan kalian itu sebagai tawanan, mereka tidak memiliki diri mereka sedikit pun, sedang kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah, serta kalian sudah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah.

 

Pahamilah, wahai sekalian manusia, ucapanku, karena aku telah menyampaikan ini. Sungguh aku tinggalkan di tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, sebagai perkara yang jelas: yakni Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya. Wahai segenap manusia, dengarkanlah ucapanku dan pahamilah baik-baik. Hendaklah kalian benar-benar memahami bahwa setiap muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, kaum muslim itu bersaudara. Tidak halal bagi seseorang harta dari saudaranya kecuali bila ia memberikannya dengan sukarela. Janganlah kalian menzalimi diri kalian sendiri. Ya Allah, sudahkah kusampaikan?”

 

Diceritakan kepadaku bahwa orang-orang berkata, “Ya Allah. Iya, benar.” Rasulullah: kemudian bersabda, “Ya Allah, persaksikanlah!”

 

Peristiwa Tahun Sepuluh Hijriah

 

Pengiriman Usamah bin Zaid ke Negeri Palestina

 

Ibnu Ishaq berujar:

 

“Selanjutnya, Rasulullah pulang ke Madinah. Beliau tinggal di Madinah pada sisa bulan Dzulhijah, Muharam, dan Safar. Selanjutnya, beliau mempersiapkan mobilisasi pasukan untuk dikirim ke Syam. Rasul mengangkat Usamah bin Zaid bin Haritsah, mantan budak beliau, sebagai panglima pasukan itu. Rasulullah menitahkan kepada Usamah agar pasukan kavalerinya merangsek maju hingga menduduki Tukhum Balga dan Darum yang merupakan bagian dari negeri Palestina. Pasukan Islam pun bersiap-siap, lalu berangkat seluruhnya tanpa ada satu pun dari kalangan Muhajir awal yang tertinggal dari pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid ini.”

 

Berangkatnya Utusan Rasulullah Menuju Para Raja

 

Ibnu Hisyam bertutur: “Rasulullah mengirim sejumlah utusan dari kalangan sahabat beliau kepada para raja, beliau menulis surat untuk mereka yang isinya mengajak mereka kepada Islam.”

 

Ibnu Hisyam berujar,

 

Telah menceritakan kepadaku orang yang kupercayai, dari Abu Bakar AlHudzali, ia berkata:

 

Sampai berita kepadaku bahwa Rasulullah keluar menjumpai para sahabatnya pada suatu hari, sesudah umrah beliau yang dihalangi pada peristiwa Hudaibiah, lalu beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah mengutusku sebagai kasih sayang dan secara menyeluruh, maka janganlah kalian menyelisihiku sebagaimana Hawariun menyelisihi Isa bin Maryam.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana bentuk penyelisihan Hawariun itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Nabi Isa menyeru mereka untuk melakukan sebagaimana yang akan kuserukan sekarang ini. Orang dari kalangan Hawariun yang diutus ke tempat yang dekat maka ia ridha dan selamat. Sedangkan orang dari Hawariun yang diutus ke tempat yang jauh menjadi benci wajahnya dan merasa berat. Isa kemudian mengadukan ini kepada Allah. Selanjutnya, orang-orang yang merasa berat itu, setiap orang dari mereka, menjadi berbicara dengan bahasa kaum yang ia diutus menuju ke kaum itu saja.

 

Kemudian Rasulullah mengutus sejumlah duta dengan membawa surat untuk disampaikan kepada para raja, beliau mengajak mereka kepada Islam.

 

Beliau mengutus Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi kepada Kaisar, Raja Romawi.

 

Rasulullah mengutus Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi kepada Kisra, Raja Persia.

 

Nabi mengirim Amru bin Umayah Adh-Dhamri kepada Najasyi, Raja Habasyah.

 

Beliau mengirim Hathib bin Abi Balta’ah kepada Mugaigis, Raja Alexendria.

 

Rasulullah mengutus Amru bin Ash As-Sahmi kepada Jifar dan Iyadz, keduanya adalah anak Julanda, dari kalangan Suku Azdi, dua orang itu adalah Raja Oman.

 

Nabi mengutus Ala bin Hadhrami kepada Mudzir bin Sawa Abdi, Raja Bahrain.

 

Nabi juga mengirim Syuja’ bin Wahab Al-Asadi kepada Harits bin Abu Syamir Al-Ghasani, Raja Tukhum Syam.

 

Ibnu Hisyam berkata, “Kami menasabkan Salith, Tsumamah, Haudzah, dan Mundzir.”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Yazid bin Abi Habib Al-Mishri bertutur kepadaku: “Ia menemukan surat yang di dalamnya ada keterangan tentang orang yang diutus oleh Rasulullah gg ke berbagai negara raja Arab dan raja non-Arab, serta apa yang disabdakan oleh beliau kepada para sahabat ketika beliau mengutus mereka.”

 

Yazid berkata,

 

Aku mengirim surat itu kepada Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, lalu ia mengenalinya. Isi surat itu adalah, “Bahwasanya Rasulullah  keluar kepada para sahabat, lantas beliau bersabda kepada mereka, “Sungguh Allah mengutusku sebagai kasih sayang dan secara menyeluruh maka kalian laksanakanlah tugas dariku, semoga Allah menyayangi kalian. Janganlah kalian menyelisihiku sebagaimana kaum Hawariun menyelisihi Isa bin Maryam: Para sahabat bertanya, “Bagaimana penyelisihan mereka, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Isa mengajak mereka seperti yang kuajakkan kepada kalian ini. Adapun orang yang diutus ke tempat yang dekat dengannya, ia senang dan merasa selamat. Sedangkan orang yang diutus ke tempat yang jauh, ia benci dan enggan, lalu Isa mengadukan sikap mereka itu kepada Allah, lantas mereka memasuki waktu pagi sedang masing-masing orang dari mereka berbicara dengan bahasa kaum yang ia akan diutus ke sana.”

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

“Orang yang diutus oleh Isa bin Maryam dari kalangan Hawarjiun dan para pengikut yang ada sesudah mereka di muka bumi, yakni Petrus: adalah salah seorang Hawariun disertai Paulus. Paulus termasuk pengikut Nabi Isa, tetapi bukan Hawariun. Keduanya dikirim ke Romawi. Selanjutnya, Andres dan Mantha diutus ke negeri yang penduduknya suka memakan manusia (kanibal). Thomas dikirim ke negeri Babilonia, bagian dari negeri Masyrig. Philips diutus ke negeri Oarthajanah, yang terletak di Afrika. Yohanes dikirim ke negeri Afsus yang merupakan negeri pemuda penghuni gua (Ashabul Kahfi). Yakobus diutus ke Yerusalem, yakni Iliya (Palestina), negeri Baitul Magdis. Ibnu Tsalma dikirim ke negeri Arab, yakni tanah Hijaz. Simon diutus ke negeri Barbar, bersama dengan Yahudza yang bukan termasuk Hawariun, menggantikan kedudukan Yudas.”

 

Pengutusan Terakhir

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

“Rasulullah mengutus Usamah bin Zaid bin Haritsah ke Syam. Beliau menyuruhnya untuk membawa pasukan kavaleri mencapai Tukhum Balga dan Darum yang termasuk wilayah negeri Palestina. Orang-orang Islam bersiap berangkat, lalu seluruh kaum Muhajir ikut serta dalam pasukan yang dikomandani Usamah tersebut.”

 

Permulaan Sakit yang Diderita Rasulullah

 

Ibnu Ishaq bertutur: “Ketika orang-orang sedang bersiap berangkat perang dalam pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid, Rasulullah mulai merasakan sakitnya yang akhirnya Allah mewafatkan beliau lantaran sakit itu menuju apa yang dikehendaki untuk beliau berupa kemuliaan-Nya dan kasih sayang-Nya, pada malam-malam terakhir dari bulan Safar, atau pada malam-malam awal dari bulan Rabiul Awal.

 

Permulaan sakit yang beliau rasakan -menurut riwayat yang dipaparkan kepadaku adalah saat beliau keluar ke Baqi’ Gharqad pada waktu malam hari, lantas beliau memohonkan ampunan untuk para penghuni kuburan tersebut. Selanjutnya, beliau kembali kepada keluarga beliau. Keesokan harinya, beliau mulai merasakan sakit.”

 

Dari Abu Muwaihibah, mantan budak Rasulullah, ia berkata: “Rasulullah mengutusku pada malam hari. Beliau bersabda, “Hai Abu Muwaihibah, sungguh aku diperintah (Allah) untuk memohonkan ampunan bagi penduduk Bagi. Ayo berangkat bersamaku: Aku pun berangkat ke Bagi’ menyertai beliau. Tatkala beliau berhenti di tengah mereka, beliau bersabda, Assalamualaikum wahai penghuni kubur, supaya mengucapkan selamat kepada kalian apa yang sekarang ini kalian jalani berupa keadaan yang dijalani oleh manusia sekarang. Fitnah-fitnah telah datang seperti potongan malam yang gelap. Bagian akhirnya mengiringi bagian awalnya, sedang yang akhir itu lebih buruk daripada yang awal.

 

Kemudian Rasulullah menghadap ke arahku, lantas beliau bersabda, Wahai Abu Muwaihibah, sungguh aku sudah diberi kunci-kunci harta perbendaharaan dunia dan kekekalan di dunia, lalu Surga. Aku disuruh memilih antara itu semua dengan bertemu Tuhanku dan Surga? Abu Muwaihibah berkata, “Sungguh, ambillah kunci-kunci perbendaharaan dunia dan kekal di dalamnya, kemudian Surga: Rasulullah bersabda, “Tidak, demi Allah, wahai Abu Muwaihibah. Sungguh aku telah memilih bertemu dengan Tuhanku dan Surga:

 

Selanjutnya, Rasulullah memohonkan ampun untuk penghuni kubur Bagi’ lalu beliau meninggalkan tempat itu. Lalu Rasulullah mulai menderita sakit yang akhirnya beliau wafat karenanya.”

 

Dari Aisyah istri Nabi, ia berkata: “Rasulullah pulang dari Bagi’ lalu beliau menjumpaiku yang sedang menderita sakit kepala, aku berkata, Aduh sakitnya kepalaku! Rasulullah bersabda, “Bahkan aku, demi Allah, hai Aisyah, aduh sakitnya kepalaku! Kemudian Rasulullah bersabda, “Apakah kamu keberatan, jika seandainya kamu mati sebelum aku, aku yang akan mengurus jenazahmu, mengafanimu, menyalatkanmu, dan menguburkan kamu?” Aku berkata, “Demi Allah, seolah-olah aku denganmu, seandainya engkau melakukan itu maka sungguh kamu akan pulang ke rumahku lalu engkau bermalam pengantin di sana dengan salah seorang di antara istrimu.”

 

Aisyah berkata, “Rasulullah tersenyum. Sakit beliau menjadi kian parah, sedang beliau dirawat secara bergiliran di antara para istri beliau, sampai sakit beliau menjadi kian parah, sedang saat itu beliau berada di rumah Maimunah. Beliau memanggil seluruh istri beliau dan meminta izin kepada mereka untuk dirawat di rumahku, lantas mereka mengizinkan beliau.”

 

Istri-lstri Nabi: Ummul Mukminin

 

Ibnu Hisyam berkata, “Mereka adalah sembilan orang wanita, yakni Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar bin Khathab, Ummu Habibah binti Abu Sufyan bin Harb, Ummu Salamah binti Abu Umayah bin Mughirah, Saudah binti Zamah bin Qais, Zainab binti Jahsy bin Ri’ab, Maimunah binti Harits bin Hazn, Juwairiah binti Harits bin Abi Dhirar, dan Shaftah binti Huyay bin Akhthab, sebagaimana yang dituturkan kepadaku oleh lebih dari seorang ulama.”

 

Adapun secara keseluruhan wanita yang dinikahi oleh Rasulullah dalam kurun waktu tiga belas tahun adalah Khadijah binti Khuwailid. Wanita pertama yang dinikahi Rasulullah. Yang menikahkan Khadijah adalah bapaknya, Khuwailid bin Asad. Akan tetapi, diriwayatkan pula bahwa yang menikahkan adalah saudara laki-lakinya, Amru bin Khuwailid. Rasulullah memberinya mahar sebesar dua puluh ekor unta muda. Khadijah melahirkan semua anak Rasulullah, kecuali Ibrahim. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah menikah dengan Abu Halah bin Malik, salah seorang dari Bani Usaid bin Amru bin Tamim, sekutu Bani Abdudar. Khadijah melahirkan anak Abu Halah, yakni Hind bin Abu Halah dan Zainab binti Abu Halah. Sebelum menikah dengan Abu Halah, Khadijah menjadi istri Atig bin Abid bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, darinya ia melahirkan anak laki-lakinya Abdullah dan anak perempuannya Jariah.

 

Rasulullah menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shidiq di Mekah, saat Aisyah masih berumur tujuh tahun. Kemudian beliau mulai tinggal berumah tangga bersama Aisyah di Madinah ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun. Rasulullah tidak menikah dengan gadis perawan selain ia. Yang menikahkan Aisyah adalah bapaknya Abu Bakar. Rasulullah memberinya mahar sebanyak empat ratus dirham.

 

Rasulullah juga menikahi Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdu Syams bin Abdu Wudd bin Nashr bin Malik bin Hisl bin Amir bin Luay. Yang menikahkan beliau dengan Saudah adalah Sulaith bin Amru, tetapi dikatakan juga bahwa yang menikahkan beliau adalah Hathib bin Amru bin Abdu Syams bin Abdu Wudd bin Nashr bin Malik bin Hisl. Rasulullah memberinya mahar sebanyak empat ratus dirham.  Sebelumnya, Saudah adalah istri dari Sukran bin Armru bin Abdu Syams bin Abdu Wudd bin Nashr bin Malik bin Hisl.

 

Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy bin Riab Al-Asadiah. Yang menikahkan dirinya dengan Rasulullah adalah saudara laki-lakinya, Abu Ahmad bin Jashy. Rasulullah memberinya mahar sebanyak empat ratus dirham. Sebelum menjadi istri Rasulullah, Zainab adalah istri Zaid bin Haritsah, bekas budak Rasulullah. Berkenaan dengan dirinya Allah ge menurunkan ayat, “Tatkala Zaid menyelesaikan keperluannya terhadap ia (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengannya” (Al-Ahzab (33): 37).

 

Rasulullah juga menikah dengan Ummu Salamah binti Abu Umayah bin Mughirah Al-Makhzumiah, nama aslinya adalah Hindun. Yang menikahkan beliau dengan Ummu Salamah adalah Salamah bin Abu Salamah, putranya. Rasulullah memberikan mahar kepadanya berupa kasur yang isinya serabut, serta berupa periuk, piring besar, dan batu penggiling gandum. Sebelum menikah dengan Nabi, Ummu Salamah adalah istri dari Abu Salamah bin Abd Asad, yang bernama asli Abdullah. Dari pernikahan pertamanya ini Ummu Salamah melahirkan Salamah, Umar, Zainab, dan Rugayah.

 

Rasulullah menikahi Hafshah binti Umar bin Khathab. Yang menikahkan beliau dengan Hafshah adalah bapaknya, yakni Umar bin Khathab. Rasulullah memberinya mahar sebanyak empat ratus dirham. Sebelumnya, Hafshah bersuamikan Khunais As-Sahmi.

 

Rasulullah menikah dengan Ummu Habibah -nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb. Yang menikahkan beliau dengannya adalah Khalid bin Sa’id bin Ash, ketika mereka berdua (Khalid dan Ramlah) masih tinggal di negeri Habasyah. Raja Najasyi memberikan mahar kepadanya untuk mewakili Rasulullah, yakni uang sebanyak empat ratus dinar. Najasyi pula yang meminangnya untuk Rasulullah. Sebelumnya, Ramlah adalah istri dari Ubaidullah bin Jahsy Al-Asadi.

 

Rasulullah menikahi Juwairiah binti Harits bin Abi Dhirar Al-Khuza’iah. Ia adalah salah seorang wanita Bani Musthalig dari Khuzaah yang menjadi tawanan. Ia menjadi bagian milik Tsabit bin Qais bin Syamas Al-Anshari. Lantas ia membayar kemerdekaan dirinya secara bertahap (mukatabah). Lantas ia mendatangi Rasulullah dalam rangka meminta pertolongan untuk melunasi pemerdekaan dirinya. Kemudian Rasulullah bersabda, “Maukah kamu kuberitahu sesuatu yang lebih baik daripada itu?” Juwairiah bertanya, “Apa itu?” Rasulullah bersabda, “Kulunasi pembayaran kemerdekaan dirimu lalu aku menikahimu. Juwairiah berkata, “Ya, baiklah” Kemudian Rasulullah menikahinya.

 

Ibnu Hisyam bertutur: “Disebutkan bahwa tatkala Rasulullah pulang dari perang Bani Musthalig, sedangkan ketika itu beliau sudah bersama Juwairiah binti Harits, dan beliau berada di tengah pasukan, Nabi menyerahkan Juwairiah kepada seorang pria dari kalangan Anshar sebagai titipan dan memerintahkan orang Anshar untuk menjaganya dengan baik. Rasulullah tiba di Madinah, lalu bapak Juwairiah, yakni Harits bin Abi Dhirar datang untuk menebus kemerdekaan putrinya. Tatkala Harits berada di Lembah Aqiq, ia memandang unta-unta yang ia bawa untuk menebus putrinya, lalu ia tertarik dengan dua ekor unta di antaranya, ia pun menyembunyikannya di salah satu jalan yang ada di Lembah Aqiq.

 

Harits datang menemui Nabi Ia berkata, “Wahai Muhammad, engkau sudah mendapatkan putriku. Ini tebusannya. Rasulullah bersabda, “Di manakah dua ekor unta yang kau sembunyikan di Lembah Agig, di jalan ini dan itu?

 

Harits pun berkata, Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa engkau adalah Rasulullah. Shalawat Allah semoga dilimpahkan atas dirimu. Demi Allah, tiada yang memperlihatkan itu kecuali Allah Harits pun masuk Islam. Masuk Islam juga dua anak lelakinya dan sejumlah orang dari kalangan kaumnya.

 

Harits mengutus seseorang untuk mencari dua unta yang ia sembunyikan. Ia pun datang dengan membawa dua ekor unta tersebut. Ia menyerahkan unta-unta itu kepada Nabi, lantas putrinya, Juwairiah diserahkan kembali kepadanya. Juwairiah langsung masuk Islam dan menjalankan Islamnya dengan baik. Rasulullah kemudian meminangnya kepada bapaknya. Sang bapak menikahkan Nabi dengan Juwairiah. Rasul memberinya mahar sebesar empat ratus dirham. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Juwairiah bersuamikan anak pamannya yang bernama Abdullah.”

 

Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah membeli Juwairiah dari Tsabit bin Qais, lalu beliau memerdekakannya dan menikahinya, dengan memberinya mahar empat ratus dirham.

 

Rasulullah menikahi Shafiah binti Huyay bin Akhthab, yang menjadi tawanan wanita beliau dari Khaibar. Lantas beliau memilihnya untuk diri beliau sendiri. Rasulullah mengadakan walimah yang tidak ada lemak dan daging pada makanannya, akan tetapi makanannya hanyalah tepung gandum dan kurma. Sebelumnya, Shafiah menjadi istri Kinanah bin Rabi’ bin Abil Hugaig.

 

Rasulullah juga menikah dengan Maimunah binti Harits bin Hazn bin Bahir bin Huzam bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah. Yang menikahkan ia dengan beliau adalah Abbas bin Abdul Mutholib. Abbas memberikan mahar kepadanya sebagai wakil Rasulullah sebanyak empat ratus dirham. Sebelumnya, Maimunah bersuamikan Abu Ruhm bin Abdul’uzza bin Abu Qais bin Abdu Wudd bin Nashr bin Malik bin Hisl bin Amir bin Luay.

 

Disebutkan bahwa dialah wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi. Hal itu karena pinangan Nabi sampai kepadanya ketika ia masih berada di atas untanya. Lantas ia berkata, “Unta dan semua muatan di atasnya adalah milik Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian menurunkan ayat, “Dan seorang perempuan beriman, jika ia menghibahkan dirinya kepada Nabi, jika Nabi ingin menikahinya.” (Al-Ahzab (33): 50)

 

Dituturkan pula bahwa wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi gx adalah Zainab binti Jahsy. Diriwayatkan juga bahwa wanita itu adalah Ummu Syarik Ghaziah binti Jabir bin Wahab, dari Bani Mungidz bin Amru bin Ma’ish bin Amir bin Luay. Dikatakan pula bahwa ia adalah wanita dari Bani Samah bin Luay, lalu Rasulullah menunda keputusan terhadap dirinya.

 

Rasulullah juga menikahi dengan Zainab binti Khuzaimah bin Harits bin Abdullah bin Amru bin Abd Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah. Ia dijuluki dengan Ummul Masakin (ibunda orang-orang miskin), karena kasih sayangnya kepada mereka dan sikapnya yang lembut terhadap mereka. Orang yang menikahkan Rasulullah dengannya adalah Oabishah bin Amru Al-Hilali.

 

Rasulullah memberinya mahar sebanyak empat ratus dirham. Sebelumnya, ia adalah istri dari Ubaidah bin Harits bin Abdul Mutholib bin Abd Manaf. Sebelum menjadi istri Ubaidah, Zainab binti Khuzaimah bersuamikan Jahm bin Amru bin Harits, yang merupakan saudara sepupunya.

 

Mereka yang menjadi istri dan pernah disetubuhi oleh Rasulullah berjumlah sebelas orang wanita. Dua orang di antaranya meninggal dunia sebelum Rasulullah, yakni Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah. Rasulullah wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri yang telah disebutkan pada awal pembahasan ini.

 

Ada dua wanita yang pernah menikah dengan Rasulullah, tetapi beliau belum menyetubuhinya. Pertama adalah Asma binti Nu’man Al-Kindiah. Beliau menikahinya, tetapi beliau kemudian mendapati belang pada tubuhnya, lantas beliau memberinya harta dan mengembalikannya kepada keluarganya. Kedua adalah Amrah binti Yazid Al-Kalabiah. Ia baru saja meninggalkan kekafiran.

 

Tatkala ia dihadapkan kepada Rasulullah, ia memohon perlindungan dari diri Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Aku terhalang dengan permintaan perlindungan kepada Allah.” Lantas beliau mengembalikannya kepada keluarganya.

 

Diriwayatkan juga bahwa wanita yang meminta perlindungan dari diri Rasulullah itu adalah Kindiah, saudara sepupu Asma binti Nu’man. Diceritakan pula bahwa Rasulullah memanggilnya lantas ia berkata, “Aku berasal dari suatu kaum yang kami didatangi, bukan yang mendatangi!” Lalu Rasulullah mengembalikannya kepada keluarganya.

 

Wanita-wanita Quraisy yang menjadi istri Nabi gg berjumlah enam orang. (1) Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul’uzza bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. (2) Aisyah binti Abu Bakar bin Abu Quhafah bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Saad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. (3) Hafshah binti Umar bin Khathab bin Nufail bin Abdul’uzza bin Abdullah bin Qurth bin Rayah bin Rizah bin Adiy bin Ka’ab bin Luay. (4) Ummu Habibah binti Abu Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abdu Syams bin Abd Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. (5) Ummu Salamah binti Abu Umayah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhan bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. (6) Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdu Syams bin Abdu Wudd bin Nashr bin

 

Malik bin Hisl bin Amir bin Luay.

 

Wanita Arab selain Quraisy yang menjadi istri Nabi berjumlah enam orang. (1) Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mur bin Shabirah bin Murrah bin Kabir bin Ghanem bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah. (2) Maimunah binti Harits bin Hazn bin Bahir bin Huzam bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah bin Muawiah bin Bakar bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Khashafah bin Qais bin Ailan. (3) Zainab binti Khuzaimah bin Harits bin Abdullah bin Amru bin Abd Manaf bin Hilal bin Amir bin Shashaah bin Muawiah. (4) Juwairiah binti Harits bin Abi Dhirar Al-Khuza’iah Al-Mushthaligiah. (5) Asma binti Nu man AlKindiah. (6) Amrah binti Yazid Al-Kalabiah.

 

Sedangkan istri Nabi yang bukan wanita Arab adalah Shafiah binti Huyay bin Akhthab, ia berasal dari Bani Nadhir.

 

Paparan tentang Sakit Rasulullah

 

Ibnu Ishaq berujar: Ya’gub bin Utbah telah menceritakan kepadaku, dari Muhammad bin Muslim

 

Az-Zuhri, dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, dari Aisyah istri Nabi ia berkata:

 

“Rasulullah berjalan dengan dipapah dua orang lelaki dari keluarga beliau. Salah satunya adalah Fadhl bin Abbas, dan satu orang lelaki lainnya, beliau memakai serban di kepalanya dan berjalan dengan terseok-seok sampai beliau masuk ke rumahku.”

 

Ubaidullah berkata, “Kuceritakan hadits ini kepada Abdullah bin Abbas, lalu ia bertanya, “Tahukah kamu siapa lelaki yang lainnya itu?” Aku menjawab, “Tidak. Ibnu Abbas berkata, Ta adalah Ali bin Abu Thalib.”

 

Kemudian Rasulullah pingsan dan sakit beliau menjadi kian parah. Beliau bersabda, “Tuangkan kepadaku air dari tujuh gerabah, dari sumur yang berbedabeda, agar aku bisa keluar menemui orang-orang itu dan kusampaikan pesan wasiatku kepada mereka.” Aisyah berkata, “Kami mendudukkan Nabi di dekat sebuah bejana besar milik Hafshah binti Umar, lalu kami tuangkan air ke tubuh beliau, sampai beliau bersabda, “Sudah cukup kalian, sudah cukup!”

 

Zuhri berkata, “Ayub bin Basyir menceritakan kepadaku: Rasulullah keluar dari rumah dengan serban di kepalanya, sampai beliau duduk di atas mimbar. Perkataan pertama yang beliau sabdakan adalah tentang beliau menyalatkan orang-orang yang mati syahid pada Perang Uhud, lantas memohonkan ampunan untuk mereka dan memperbanyak doa untuk mereka. Kemudian Rasulullah bersabda, “Sungguh ada seorang hamba di antara hamba Allah disuruh memilih antara dunia dan apa yang ada di hadapan-Nya, lalu ia memilih apa yang ada di hadapan Allah.”

 

Ayub berkata, “Abu Bakar memahaminya, ia mengetahui bahwa Nabi menginginkan bertemu dengan Allah, lalu Abu Bakar menangis, seraya berkata, “Bahkan kami akan menebusmu dengan diri kami dan anak-anak kami: Rasulullah menjawab, Sebentar, wahai Abu Bakar: Kemudian beliau bersabda, Kalian lihatlah pintu-pintu yang menembus sampai ke masjid. Tutuplah semua pintu itu kecuali yang menuju rumah Abu Bakar. Sungguh, aku tidak mengetahui seorang pun yang lebih utama persahabatannya denganku daripada ia.”

 

Abdurahman bin Abdullah menceritakan kepadaku, dari salah seorang keluarga Sa’id bin Al-Mu’alla: Suatu hari Rasulullah bersabda, dalam sabdanya disebutkan, “Sungguh, seandainya aku mengambil kekasih dari kalangan hamba Allah, aku pasti menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Akan tetapi, yang ada hanyalah persahabatan dan persaudaraan berdasarkan iman, sehingga dengannya Allah mengumpulkan di antara kami di hadapan-Nya”

 

Muhammad bin Ja’far bin Zubair bercerita kepadaku, dari Urwah bin Zubair dan ulama yang lainnya: “Rasulullah menderita sakit yang parah, sehingga orang-orang terlambat dalam pengiriman pasukan Usamah bin Zaid. Beliau pun keluar dengan memakai serban di kepalanya. Beliau duduk di atas mimbar. Saat itu, orang-orang ramai memperbincangkan tentang kepemimpinan Usamah, “Mengapa Rasulullah menjadikan pemuda berusia belia itu memimpin orang-orang tua dan senior dari kalangan Muhajir dan Anshar? Lantas Nabi memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang pantas bagi-Nya.”

 

Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian manusia, berangkatkan pasukan Usamah. Sungguh jika kalian memperbincangkan kepemimpinannya, dulu kalian juga membicarakan kepemimpinan bapaknya sebelum ia. Sungguh ia pantas untuk menjadi pemimpin dan bapaknya juga layak menjadi pemimpin.”

 

Kemudian Rasulullah turun dari mimbar dan kaum muslim bergegas bersiap untuk berangkat. Sakit Rasulullah kian parah. Usamah berangkat. Tentara Usamah juga berangkat bersamanya hingga mereka beristirahat di Juruf, sebuah tempat yang berjarak satu farsakh dari Madinah, lantas ia menempatkan pasukan perangnya di sana. Orang-orang menyempurnakan barisan mereka kepadanya. Rasulullah kian merasakan beratnya sakit beliau. Usamah dan anggota pasukannya tinggal beberapa waktu di tempat itu sembari memerhatikan apa yang akan Allah tetapkan pada diri Rasulullah.

 

Zuhri berkata, “Abdullah bin Ka’ab bin Malik menceritakan kepadaku: Rasulullah mengisahkan hari di mana beliau menyalatkan dan memohonkan ampunan untuk syuhada Uhud. Beliau juga menceritakan keadaan mereka, apa yang beliau tuturkan bersama sabda beliau pada hari itu, “Wahai sekalian kaum Muhajir, berwasiat baiklah kalian kepada orang-orang Anshar. Sungguh, jumlah manusia akan semakin banyak, sedang orang-orang Anshar itu tetap pada keadaannya, tidak bertambah. Sungguh mereka adalah orang-orangku yang istimewa dan penyimpan rahasiaku yang aku kembali kepadanya. Oleh karena itu, bersikap baiklah kepada orang yang baik dari mereka, dan maafkanlah kesalahan orang yang berbuat buruk dari mereka.”

 

Kemudian Rasulullah turun dari mimbar, lantas beliau masuk ke rumah beliau. Sakit beliau kian parah, sampai beliau pingsan tak sadarkan diri.

 

Istri beliau yang berkumpul ke dekat beliau adalah Ummu Salamah dan Maimunah, begitu pula sejumlah istri kaum muslim, di antaranya Asma binti Umais. Di dekat beliau juga hadir Abbas, paman beliau. Mereka bersepakat untuk mencekoki Nabi dengan minuman obat. Abbas berkata, “Sungguh aku benar-benar akan mencekokinya.”

 

Mereka pun mencekoki Nabi dengan obat. Tatkala Rasulullah siuman, beliau bertanya, “Siapa yang melakukan ini terhadap diriku?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, pamanmu. Rasulullah bersabda, “Ini adalah obat yang dibuat oleh para wanita, mereka pernah datang dengan membawa obat dari negeri itu.” Beliau berisyarat ke arah negeri Habasyah.

 

Nabi bertanya, “Mengapa kalian melakukan ini?” Paman beliau, Abbas, menjawab, “Kami khawatir, wahai Rasulullah, jikalau engkau terkena penyakit Dzatul Janbi” Rasulullah bersabda, “Sungguh ini adalah obat yang Allah tidak pernah memberikannya kepadaku. Jangan sampai ada yang tersisa di rumah ini seorang pun kecuali ia juga harus dicekoki dengan obat itu, kecuali pamanku.” Sungguh Maimunah juga dicekoki dengan obat itu, padahal ia sedang berpuasa karena sumpah Rasulullah, sekaligus sebagai hukuman untuk mereka atas apa yang mereka lakukan.

 

Dari Usamah bin Zaid, ia berkata, “Tatkala sakit Rasulullah kian parah, aku segera pulang dan pasukanku juga pulang bersamaku ke Madinah. Aku datang menemui Rasulullah. Sungguh beliau diam tidak berbicara sepatah kata pun. Beliau mengangkat tangan beliau ke langit kemudian meletakkannya ke atasku, aku pun tahu bahwa beliau sedang mendoakanku”

 

Dari Aisyah, ia berkata, “Keadaan Rasulullah itu, banyak sekali kudengar beliau bersabda, “Sungguh Allah tidak mewafatkan seorang nabi, kecuali Ia memberikan pilihan kepadanya? Aisyah berkata, “Tatkala Rasulullah akan wafat, ucapan terakhir yang kudengar dari mulut beliau, “Bahkan teman yang berkedudukan tinggi?” dari Surga.” Aku berkata, “Kalau begitu, demi Allah, beliau tidak memilih kami.’ Aku tahu bahwa beliaulah yang mengatakan kepada kami, “Sungguh seorang Nabi itu tidak dicabut nyawanya sampai ia disuruh memilih?” – Abu Bakar Mengimami Shalat

 

Zuhri berkata, Hamzah bin Abdullah bin Umar menceritakan kepadaku bahwa Aisyah berkata: “Tatkala sakit Rasulullah kian parah, beliau bersabda, Suruhlah Abu Bakar mengimami shalat kaum muslim: Aku berkata, “Wahai Nabi Allah, sungguh Abu Bakar adalah seorang lelaki yang lembut, lemah suaranya, banyak menangis apabila ia membaca Al-Quran.

 

Nabi bersabda, ‘Perintahlah ia supaya mengimami shalat orang-orang itus Kuulangi lagi jawabanku tadi. Rasulullah bersabda, “Sungguh kalian ini seperti saudara-saudara Nabi Yusuf! Suruhlah ia mengimami shalat jamaah kaum muslim: Demi Allah, tidaklah aku mengatakan itu kecuali karena aku ingin bila itu dihindarkan dari Abu Bakar. Aku tahu bahwa orang-orang tidak menyukai seseorang yang menggantikan tempat Nabi selama-lamanya, serta bahwa orang-orang itu merasa sial dengannya dalam segala peristiwa yang terjadi. Oleh karena itulah aku senang bila itu dihindarkan dari diri Abu Bakar?”

 

Dari Abdullah bin Zam’ah bin Aswad bin Mutholib bin Asad, ia berkata, “Tatkala semakin payah dan berat sakit yang dirasakan oleh Rasulullah, aku senantiasa berada di dekatnya bersama sejumlah orang dari kalangan muslimin.”

 

Rawi (Abdullah bin Zamah) berkata, “Bilal memanggil beliau untuk mengimami shalat.” Rasulullah bersabda, “Suruhlah orang lain untuk mengimami shalat berjamaah kaum muslim.” Ibnu Zam’ah berkata, “Lantas aku keluar dari rumah Nabi, ternyata Umar ada di tengah jamaah shalat, sedang saat itu Abu Bakar tidak ada di tempat. Kukatakan, “Berdirilah wahai Umar dan imamilah shalat orang-orang ini.”

 

Rawi berucap, “Kemudian Umar berdiri. Tatkala ia bertakbir, Rasulullah mendengar suaranya, karena Umar adalah orang yang bersuara keras dan lantang” Rasulullah bersabda, “Di manakah Abu Bakar? Allah enggan menerima itu, demikian juga dengan orang-orang Islam. Allah enggan terhadap hal itu demikian juga orang-orang yang beriman.”

 

Ibnu Zamah berkata lagi, “Kemudian seseorang diutus untuk menemui Abu Bakar, lalu ia datang setelah Umar usai mengimami shalat jamaah, lantas ia mengimami shalat mereka lagi.”

 

Abdullah bin Zam’ah berkata, “Umar berkata kepadaku, “Celaka kamu, apa yang kau lakukan terhadap diriku, hai Ibnu Zam’ah! Demi Allah, aku tidak menyangka bahwa ketika kamu menyuruhku itu kecuali bahwa Rasulullah memerintahkan kamu untuk melakukan itu. Kalaulah aku tahu ternyata tidak begitu, niscaya aku tidak akan mau mengimami shalat jamaah kaum muslim.”

 

Aku berucap, “Demi Allah, Rasulullah memang tidak memerintahkanku melakukan itu, akan tetapi ketika aku tidak melihat Abu Bakar maka aku melihat kamu yang paling berhak mengimami shalat jamaah daripada hadirin yang lainnya!”

 

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa, Zuhri berkata, Anas bin Malik menceritakan kepadaku:

 

“Tatkala tiba hari Senin, yang pada hari itu Allah mewafatkan Rasul-Nya, beliau keluar menemui para sahabat, ketika mereka sedang mengerjakan shalat Subuh, lalu beliau menyingkapkan tirai kamar beliau dan membuka pintunya. Lantas Rasulullah keluar. Kemudian beliau berdiri di pintu kamar Aisyah. Kaum muslim hampir saja terganggu shalat mereka karena melihat keberadaan Rasulullah dan merasa sangat gembira dengannya. Mereka melonggarkan shaf, tetapi Rasulullah berisyarat kepada mereka supaya tetap pada tempat masing-masing, pada shalat mereka.”

 

Anas berkata, “Rasulullah tersenyum gembira tatkala melihat keadaan para sahabat beliau ketika mereka mengerjakan shalat. Aku tidak pernah melihat Rasulullah dalam keadaan yang lebih baik daripada keadaan beliau pada saat itu.”

 

Anas berkata, “Selanjutnya, orang-orang menyelesaikan shalat mereka dan mereka berpendapat bahwa Rasulullah sudah sembuh dari sakit beliau. Lantas Abu Bakar kembali menuju keluarganya di Sunh.??

 

Muhammad bin Ibrahim bin Harits menceritakan kepadaku, dari Qasim bin Muhammad:

 

“Tatkala Rasulullah mendengar suara takbir Umar saat mengerjakan shalat, beliau bertanya, “Di manakah Abu Bakar? Allah dan kaum muslim enggan terhadap itu? Kalaulah bukan karena perkataan yang diucapkan oleh Umar saat menjelang wafatnya, niscaya kaum muslim tidak ragu lagi bahwa Rasulullah sudah mengangkat Abu Bakar sebagai penggantinya. Akan tetapi, Umar berkata menjelang kematiannya, Jika aku mengangkat khalifah, sungguh orang yang lebih baik daripadaku sudah mengangkat khalifah sebagai penggantinya. Tetapi jika aku membiarkan mereka, sungguh telah membiarkan mereka orang yang lebih baik daripadaku.

 

Perkataan ini membuat orang-orang mengetahui bahwa Rasulullah tidak mengangkat siapa pun sebagai khalifah penggantinya, karena Umar bukanlah orang yang bingung tentang sikap Abu Bakar.”

 

Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah menceritakan kepadaku, ia berkata, “Pada hari Senin, Rasulullah keluar memakai serban pada kepalanya untuk berangkat shalat Subuh. Abu Bakar mengimami shalat jamaah kaum muslim. Tatkala Rasulullah keluar, para makmum melonggarkan tempat. Abu Bakar mengetahui bahwa para makmumnya tidak melakukan itu kecuali untuk memberi tempat kepada Rasulullah, lalu ia pun mundur dari tempat shalatnya. Rasulullah mendorongnya dari belakang untuk kembali maju seraya bersabda, “Imamilah shalat jamaah orang banyak ini?

 

Rasulullah duduk di samping Abu Bakar. Beliau shalat dengan duduk di sebelah kanan Abu Bakar. Tatkala selesai shalat, beliau menghadap ke arah makmum, lantas beliau berbicara kepada mereka dengan mengeraskan suaranya, hingga suara beliau itu keluar dari pintu masjid.

 

Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian manusia, api telah dinyalakan, fitnah telah datang sebagaimana potongan malam yang gelap. Sungguh aku, demi Allah, apa yang kalian pegangi dariku dengan sesuatu, sungguh aku tidak menghalalkan kecuali apa yang dihalalkan oleh Al-Qur’an. Dan aku tidak mengharamkan kecuali yang diharamkan oleh Al-Quran.”

 

Rawi hadits ini berkata, “Tatkala Rasulullah selesai berbicara, Abu Bakar berkata kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, sungguh aku melihatmu pagi ini dalam keadaan mendapatkan nikmat dari Allah dan karunia-Nya, sebagaimana yang kami sukai. Hari ini adalah hari giliran Binti Kharijah (salah seorang istri Abu Bakar), apakah aku boleh mendatanginya? Rasulullah menjawab, Ya, silakan. Kemudian Rasulullah masuk ke dalam rumah beliau dan Abu Bakar pergi menuju rumah keluarganya (istrinya) di Sunh”

 

Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Pada hari itu, Ali bin Abu Thalib ass keluar rumah, dari hadapan Rasulullah untuk menemui orang-orang, lalu mereka bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah pagi ini? Ali menjawab, Beliau pagi ini keadaannya, Alhamdulillah, sudah sembuh dari sakit.”

 

Abdullah bin Abbas berkata, “Abbas memegang tangan Ali lalu berkata, “Hai Ali, demi Allah engkau akan menjadi pengikut tiga khalifah, aku bersumpah demi Allah, sungguh aku melihat rona kematian pada wajah Rasulullah, sebagaimana aku selalu mengenalinya pada wajah-wajah Bani Abdul Mutholib. Ayo kami pergi menemui Rasulullah. Jika urusan kepemimpinan ini ditetapkan pada kalangan kami (ahlubait Nabi), kami akan dapat mengetahuinya, sedangkan jika urusan itu akan ditetapkan untuk selain kami maka kami bisa menyuruh beliau agar beliau mewasiatkannya kepada kami untuk memimpin manusia.”

 

Ibnu Abbas berkata bahwa, “Ali berkata kepada Abbas, Sungguh aku, demi Allah, tidak akan melakukannya. Demi Allah, jika kami terhalangi dari urusan kepemimpinan itu, tiada seorang pun yang memberikannya kepada kami sepeninggal Nabi:

 

Rasulullah wafat ketika matahari waktu dhuha sudah mulai memanas teriknya, di hari tersebut.”

 

Dari Aisyah, ia berkata:

 

“Rasulullah pulang kepadaku pada hari itu ketika beliau masuk dari masjid, lalu beliau berbaring di pangkuanku, lalu seorang lelaki dari keluarga Abu Bakar masuk ke kamarku dengan membawa siwak berwarna hijau. Rasulullah memandangi tangannya dengan pandangan yang kutahu bahwa beliau menginginkannya.

 

Kukatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau senang bila kuberikan siwak ini? Beliau bersabda, “Ya: Lalu aku mengambil siwak itu lalu aku menggigitinya sampai aku berhasil melunakkannya, kemudian kuberikan siwak itu kepada beliau.

 

Lantas beliau menyikat gigi dengan siwak itu, sebagaimana orang yang paling bersungguh-sungguh dalam bersiwak yang pernah kulihat. Kemudian beliau meletakkan siwak itu.

 

Kudapati Rasulullah semakin berat dalam pangkuanku, aku memandang wajah beliau dengan seksama, ternyata mata beliau sudah mulai menutup, sedang beliau bersabda, “Ya, menuju ke teman yang tertinggi dari Surga. Aku berucap, “Engkau disuruh memilih, lalu engkau telah memilih, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran!”

 

Rasulullah Wafat

 

Ibnu Ishaq berkata,

 

Yahya bin Abbad bin Abdullah bin Zubair, dari bapaknya. Abbad, ia berkata, “Aku mendengar Aisyah berkata, Rasulullah wafat di antara tenggorokan dan dadaku bagian atas, pada saat giliranku, aku tidak menzalimi siapa pun dalam hal itu. Disebabkan kebodohanku dan kemudaan usiaku, serta karena Rasulullah wafat sedang beliau berada di pangkuanku, kuletakkan kepala beliau di atas bantal. Lalu aku menepuk dadaku bersama kaum wanita yang lainnya dan menepuk wajahku.”

 

Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Tatkala Rasulullah wafat, Umar bin Khathab bangkit dan berkata, “Sungguh beberapa lelaki dari kalangan munafik mengklaim bahwa Rasulullah telah wafat. Sungguh Rasulullah itu tidak mati, tetapi beliau sedang pergi menemui Tuhannya sebagaimana yang dilakukan Musa bin Imran dahulu, ia pergi menghilang dari kaumnya selama empat puluh hari. Kemudian ia kembali pulang kepada mereka sesudah dikatakan, “Sungguh ia telah mati” Demi Allah, Rasulullah akan kembali pulang sebagaimana dulu Musa kembali. Tangan dan kaki orang-orang yang mengklaim bahwa Rasulullah mati itu harus dipotong.”

 

Abu Hurairah berkata, “Abu Bakar datang dan masuk melalui pintu masjid ketika berita heboh itu sampai kepadanya. Umar masih berbicara kepada khalayak. Abu Bakar tidak menggubris sedikit pun perbuatan Umar itu hingga ia datang mendekati jasad Rasulullah yang ada di rumah Aisyah, sedang Rasulullah masih ditutupi kairr burdah hibarah (bermotif garis-garis) di sudut kamar. Abu Bakar datang mendekatinya, lantas menyingkapkan kain dari wajah Rasulullah.”

 

Abu Hurairah berkata, “Abu Bakar mendekati jasad Nabi dan menciumnya. Lalu Abu Bakar berucap, “Sungguh, terkait kematian yang ditetapkan Allah atas dirimu, engkau telah merasakannya, dan sesudah itu tiada kematian lagi yang akan menimpamu selama-lamanya.”

 

Abu Hurairah meneruskan tuturan kisahnya, “Kemudian Abu Bakar kembali menutupkan kain burdah pada wajah Rasulullah. Selanjutnya, ia keluar sedang Umar masih berbicara kepada khalayak di luar.

 

Abu Bakar berkata, Sebentar, hai Umar, diamlah dulu! Umar enggan, ia tetap berbicara. Tatkala Abu Bakar melihat Umar tidak mau diam, ia menghadap kepada publik. Tatkala khalayak ramai mendengar omongan Abu Bakar maka mereka menghadap ke arahnya dan meninggalkan Umar. Abu Bakar memuji Allah dan menyanjung-Nya.

 

Abu Bakar berkata, “Wahai sekalian manusia, barang siapa menyembah Muhammad, sungguh Muhammad telah mati. Sedangkan siapa saja yang menyembah Allah, sungguh Allah itu Mahahidup dan tidak akan mati! Kemudian Abu Bakar membaca ayat, “Tidaklah Muhammad itu kecuali seorang Rasul, sudah lewat sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh, kalian akan berbalik (murtad) atas tumit-tumit kalian? Barang siapa berbalik atas kedua tumitnya, ia tidak akan mampu menimpakan mudharat terhadap Allah sedikit pun. Bahkan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur” (Ali Imran (3): 144)”

 

Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, seolah-olah orang-orang belum pernah mengetahui ayat ini turun sampai Abu Bakar membacanya lagi pada hari itu.” Abu Hurairah bertutur, “Orang-orang mendapatkan ayat itu dari Abu Bakar, padahal ayat itu sudah berulang kali mereka baca dengan mulut mereka.”

 

Abu Hurairah berkata, “Umar berucap, Demi Allah, tiadalah kejadian itu kecuali bahwa aku mendengar Abu Bakar membacanya, aku menjadi bingung dan jatuh ke tanah, kedua kakiku tak mampu lagi menahan berat tubuhku. Aku sekarang mengetahui bahwa Rasulullah telah meninggal dunia.”

 

Peristiwa Balairung (Sagifah) Bani Sa’idah

 

Ibnu Ishaq berkata:

 

Tatkala Rasulullah wafat, komunitas Anshar berhimpun kepada Saad bin Ubadah di balairung Bani Sa’idah. Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awam, dan Thalhah bin Ubaidillah menyingkir di rumah Aisyah. Sedangkan orang-orang Muhajir yang lainnya berafiliasi kepada Abu Bakar. Usaid bin Hudhair di kalangan Bani Asyhal juga ikut bergabung dengan mereka. Seseorang datang kepada Abu Bakar dan Umar, lalu ia berkata, “Sungguh komunitas Anshar ini sekarang sedang bersama Saad bin Ubadah di balairung Bani Sa’idah, mereka sudah berhimpun kepadanya. Jika kalian merasa perlu memerintahkan sesuatu kepada kaum muslim, susullah orang-orang itu sebelum mereka menyepakati urusan mereka. Sedang saat itu, jasad Rasulullah masih ada di rumah beliau, belum selesai kepengurusan jenazahnya. Pintu rumah Nabi dikunci oleh keluarga beliau dari dalam. Umar berkata kepada Abu Bakar, Mari kami berangkat menemui teman-teman kami dari kalangan Anshar itu, sehingga kami dapat mengetahui apa yang sedang mereka lakukan.”

 

Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata,

 

Abdurahman bin Auf mengabarkan kepadaku, sedang saat itu aku berada di rumahnya di Mina, aku menunggunya karena ia masih berada di rumah Umar pada haji terakhir yang dilakukan Umar. Abdurahman bin Auf pulang dari rumah Umar, lalu ia menjumpaiku di rumahnya di Mina, yang sedang menunggu kedatangannya. Aku membacakan Al-Qur’an kepadanya, lalu Abdurahman bin Auf berkata kepadaku:

 

“Seandainya kamu menyaksikan seorang lelaki yang mendatangi kepada Amirul Mukminin, lalu ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu tentang si fulan yang berkata, “Demi Allah, seandainya Umar bin Khathab mati, sungguh aku pasti akan membaiat si fulan! Demi Allah, tiadalah pembaiatan Abu Bakar itu kecuali mendadak tanpa persiapan lebih dahulu, tetapi kemudian sempurna:

 

Ibnu Auf berkata, “Umar marah, lalu ia berkata, Sungguh, jika Allah berkenan, aku akan berdiri dan berpidato di hadapan rakyat malam ini, untuk menyampaikan ancaman kepada mereka yang ingin merampas dari mereka kepemimpinan mereka.

 

Abdurahman berkata, “Wahai Amirul Mukminin, jangan kau lakukan itu. Sungguh musim haji kali ini menghimpun banyak orang dari kalangan rakyat bawah dan jelata. Sungguh mereka itulah yang paling dekat denganmu ketika engkau berpidato kepada khalayak ramai. Aku khawatir bila engkau berdiri berpidato lalu kamu mengatakan ucapan yang mereka pahami dengan berbagai kesalahan penafsiran, karena mereka tidak memahaminya dan tidak meletakkannya pada tempatnya. Oleh karena itu, tundalah keinginanmu itu sampai engkau tiba di Madinah, karena kota itu adalah negeri sunah. Engkau akan dapat memilih orang-orang yang terpercaya dan kalangan terkemuka manusia, lantas engkau dapat mengatakan apa yang hendak kau katakan dengan tenang di Madinah. Selanjutnya, orang-orang yang cerdas itu akan memahami perkataanmu dan mereka akan berbuat adil.”

 

Ibnu Auf berkata, “Umar pun berucap, “Ketahuilah, demi Allah, bila Allah memperkenankan, aku akan benar-benar berpidato pada saat pertamaku datang di Madinah.”

 

Ibnu Abbas bertutur: “Kami tiba di Madinah pada akhir bulan Dzulhijah. Tatkala tiba hari Jumat, kami segera berangkat ke masjid ketika matahari telah tergelincir. Kudapati Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail duduk di dekat sudut mimbar, lalu aku duduk berhadapan dengannya, kedua lututku menyentuh lututnya. Tidak lama kemudian, Umar bin Khathab keluar. Tatkala aku melihat Umar datang, aku berkata kepada Sa’id bin Zaid, “Sungguh pada senja hari ini, ja akan mengatakan, di atas mimbar itu, suatu perkataan yang belum pernah ia katakan sejak ia dibaiat sebagai khalifah.”

 

Ibnu Abbas berkata, “Said bin Zaid mengingkari perkataanku itu, ia berkata, “Ia tidak akan mengucapkan apa yang belum pernah ia ucapkan sebelumnya: Umar duduk di atas mimbar. Ketika para muadzin sudah diam, Umar berdiri lalu ia menyanjung Allah dengan sanjungan yang pantas untuk-Nya.”

 

Umar berkata, “Amma ba’du, aku hari ini akan mengatakan kepada kalian suatu perkataan yang ditetapkan bagiku untuk menakwilkannya, sedang aku tidak tahu barangkali ini menjelang kematianku. Barang siapa mampu mengerti dan memahaminya, hendaklah ia membawanya sampai di mana berakhirnya kendaraannya. Barang siapa khawatir tidak dapat memahaminya dengan baik, tidak halal bagi siapa pun untuk berdusta atas namaku.

 

Sungguh Allah mengutus Muhammad dan menurunkan Al-Ouran kepadanya. Salah satu ayat yang Ia turunkan kepada beliau adalah ayat rajam, sehingga kami membaca, mengetahui, dan memahaminya. Rasulullah &£ menerapkan hukum rajam, kami juga menerapkannya sepeninggal beliau. Oleh karena itu, aku khawatir bila berlalu masa yang panjang bagi manusia, sehingga orang berkata, “Demi Allah, kami tidak mendapati ayat rajam pada Kitabullah! Mereka tersesat karena meninggalkan kewajiban yang diturunkan oleh Allah.

 

Sungguh rajam yang termaktub dalam Kitabullah merupakan suatu kebenaran yang ditetapkan atas siapa saja yang berzina dan pernah menikah, baik pria maupun wanita. Apabila ada saksi yang mau bersaksi, adanya kehamilan, atau adanya pengakuan. Sungguh, kami dulu membaca ayat yang kami dapat dari kitab Allah, Janganlah kalian membenci bapak moyang kalian. Sungguh kekafiran bagi kalian bila kalian membenci bapak moyang kalian.

 

Ketahuilah, Rasulullah bersabda, Janganlah kalian memuji aku sebagaimana Isa bin Maryam dipuji, namun katakanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” Telah sampai pula kepadaku bahwa si fulan berkata, “Demi Allah, andaikan Umar bin Khathab mati, aku pasti akan membaiat si fulan? Janganlah menipu seorang pun dengan ucapan, Sungguh baiat Abu Bakar dilakukan mendadak dan tanpa persiapan, lalu menjadi sempurna: Sungguh dari peristiwa yang terjadi, kecuali Allah pasti menjaga keburukannya. Tiada di antara kalian seorang pun yang dipenggal lehernya layaknya posisi yang dialami Abu Bakar. Barang siapa membaiat seseorang tanpa musyawarah dengan kaum muslim, sungguh tiada baiat baginya, tidak pula orang yang membaiatnya karena takut tertipu?” menjadi saling memerangi.

 

Sungguh salah satu peristiwa yang kami jalani ketika Allah mewafatkan Nabi-Nya, yakni orang-orang Anshar itu menyelisihi kami. Mereka berkumpul bersama para pemimpin dan pemuka mereka di balairung Bani Sa’idah. Yang tertinggal dari kami adalah Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awam, dan sejumlah lainnya yang menyertai mereka. Kaum Muhajir berhimpun kepada Abu Bakar. Lalu kukatakan kepada Abu Bakar, “Marilah kami berangkat menuju tempat saudara kami, dari kalangan Anshar.”

 

Kami kemudian berangkat menuju tempat mereka, kami bertemu dengan dua orang shalih dari mereka. Keduanya menceritakan kepada kami apa yang sedang dilakukan oleh kaum mereka. Salah seorang di antara mereka bertanya, “Hendak kemanakah kalian, wahai orang Muhajir?” Kami menjawab, “Kami hendak pergi ke tempat saudara kami kaum Anshar.” Keduanya berkata, “Kalian tidak seharusnya mengurusi itu! Jangan mendekati mereka wahai kaum Muhajir. Selesaikan saja urusan kalian!” Aku pun berkata, “Demi Allah, kami pasti akan mendatangi mereka.”

 

Kami berangkat sampai tiba di balairung Bani Sa’idah. Ternyata di tengah mereka ada seseorang yang menyelimuti tubuhnya dengan kain. Aku bertanya, “Siapa orang ini?” Mereka menjawab: “Saad bin Ubadah.” Aku tanyakan: Apa yang terjadi padanya?” Mereka menjawab, “Ia sedang sakit.”

 

Tatkala kami duduk, khathib mereka berbicara. Ia menyanjung Allah dengan sanjungan yang layak untuk-Nya. Kemudian ia berucap, “Amma ba’du, kami ini adalah para penolong Allah dan pasukan Islam, sedangkan kalian wahai sekalian Muhajir adalah satu rombongan dari kami. Sungguh, telah datang satu rombongan dari kaum kalian yang berasal dari desa ke kota ini” Umar berkata, “Kalau begitu, mereka ingin menggiring kami secara perlahan menjauhi asal kami. Mereka akan merampas urusan kepemimpinan ini!”

 

Tatkala khathib Anshar itu diam, aku ingin berbicara. Aku telah mempersiapkan di dalam diriku sebuah perkataan yang membuatku kagum. Aku ingin menyampaikannya di hadapan Abu Bakar. Aku merasa lebih mengetahui darinya pada batas tertentu. Abu Bakar berkata, “Sebentar, wahai Umar.” Aku tidak suka membuat Abu Bakar marah. Lalu Abu Bakar berbicara. Ia lebih berilmu dariku dan lebih tenang. Demi Allah, ia tidak meninggalkan satu kata pun yang membuatku kagum dari perkataan yang sudah kusiapkan, kecuali ia mengatakannya dengan keindahan bahasanya, atau semisal dengannya, bahkan lebih baik lagi, Abu Bakar lantas terdiam.

 

Abu Bakar melanjutkan tuturannya, “Terkait apa yang kalian sebutkan berupa kebaikan pada diri kalian itu, kalian memang memilikinya. Akan tetapi, orang Arab tidak mengetahui urusan kepemimpinan ini kecuali pada komunitas Quraisy ini, mereka merupakan kaum Arab yang paling baik nasab dan tempat tinggalnya. Sungguh aku telah meridhai untuk kalian salah satu dari dua orang ini. Baiatlah salah satu dari mereka berdua yang kalian kehendaki” Saat itu, Abu bakar memegang tanganku dan tangan Abu Ubaidah bin Jarrah, sedang Abu Bakar duduk di antara kami.

 

Aku tidak pernah membenci sesuatu yang dikatakan Abu Bakar kecuali perkataannya itu. Demi Allah, apabila aku disuruh maju untuk dipenggal leherku, tetapi itu tidak mendekatkanku kepada dosa, itu lebih kusukai daripada aku disuruh memimpin suatu kaum yang di antara mereka ada Abu Bakar!

 

Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata, “Aku bisa memberikan solusi yang terbaik. Kami mempunyai seorang pemimpin. Kalian wahai orang Quraisy, juga mempunyai seorang pemimpin lainnya.”

 

Keadaan menjadi heboh, banyak orang bersuara dan berteriak, hingga aku khawatir terjadinya perselisihan. Lalu aku berkata, “Ulurkan tanganmu, wahai Abu Bakar” Abu Bakar mengulurkan tangannya, lalu aku langsung membaiatnya. Kemudian kaum Muhajir membaiatnya. Lantas orang-orang Anshar ikut membaiatnya pula. Kami mengalahkan Saad bin Ubadah. Seseorang dari mereka berkata, “Kalian telah membunuh Saad bin Ubadah.” Umar berkata, “Allah yang membunuh Saad bin Ubadah.”

 

Zuhri berkata, Urwah bin Zubair mengabarkan kepadaku, “Salah seorang dari dua orang yang bertemu dengan orang Anshar ketika mereka pergi ke balairung, adalah Uwaim bin Sa’idah, orang satunya adalah Ma’an bin Adiy, seorang Bani Ajlan. Adapun Uwaim bin Sa’idah, ia adalah orang yang menyampaikan kepada kami berita bahwa pernah ditanyakan kepada Rasulullah, Siapakah orang yang Allah maksud dalam firmannya, “Di dalamnya ada orang-orang yang senang menyucikan dirinya, dan Allah mencintai orang-orang yang menyucikan diri!” Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik orang di antara mereka adalah Uwaim bin Sa’idah:

 

Adapun Ma’aan bin Adiy, ada yang berkata kepada kami bahwa ia bersama orang-orang yang menghadap Rasulullah ketika Allah mewafatkan beliau. Mereka berkata, “Demi Allah, sungguh kami sangat ingin bahwa kami mati sebelum beliau, kami khawatir kami akan terkena fitnah sepeninggal beliau: Sedang Maan bin Adiy berucap, Akan tetapi, demi Allah, aku tidak suka bila aku mati sebelum beliau sehingga aku bisa membenarkan beliau ketika beliau sudah mati sebagaimana dulu aku membenarkan dan memercayai beliau ketika masih hidup:

 

Ma’an terbunuh pada Perang Yamamah sebagai seorang syuhada, pada masa kekhalifahan Abu Bakar, pada pertempuran melawan Musailimah Al-Kadzab.”

 

Zuhri juga menceritakan kepadaku, ia berkata, Anas bin Malik bercerita kepadaku, ia berkata: “Tatkala Abu Bakar dibaiat di balairung Bani Sa’idah, keesokan harinya Abu Bakar duduk di atas mimbar. Lalu Umar berdiri. Ia berbicara sebelum Abu Bakar. Ia memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang layak untuk-Nya. Umar berkata, “Wahai sekalian manusia, sungguh aku telah mengatakan kepada kalian kemarin, suatu perkataan yang bukan berasal dari sesuatu yang kau dapati pada Kitabullah, bukan pula wasiat yang diwasiatkan oleh Rasulullah kepadaku. Akan tetapi, aku sungguh melihat bahwa Rasulullah akan mengatur urusan kami.”

 

Umar melanjutkan, “Akan ada orang akhir dari kami. Sungguh Allah telah mengekalkan di tengah kalian kitab-Nya, dengannya Allah akan memberi petunjuk Rasul-Nya. Jika kalian berpegang teguh kepadanya, Allah pasti memberi petunjuk terkait sesuatu yang Ia tunjuki kepadanya. Sungguh Allah telah menyatukan urusan kalian pada orang yang paling baik dari kalian, sahabat utama Rasulullah, satu dari dua orang yang berada di dalam gua. Berdirilah kalian dan baiatlah ia!” Orang-orang segera membaiat Abu Bakar dalam pembaiatan umum, sesudah pembaitan di balairung.

 

Abu Bakar berbicara. Ia memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang pantas untuk-Nya. Abu Bakar berkata, “Amma badu. Wahai sekalian manusia, sungguh aku telah dijadikan sebagai pemimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang paling baik di antara kalian. Jika aku berbuat baik maka bantulah aku.

 

Jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku. Kejujuran itu amanat, sedang dusta itu khianat. Orang yang lemah di antara kalian adalah kuat di hadapanku sampai kuberikan kepadanya haknya, insya Allah. Sedangkan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di hadapanku sampai aku mengambil hak darinya, insya Allah.

 

Tidaklah suatu kaum itu meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan menimpakan kehinaan terhadap mereka. Tidak tersiar satu perbuatan keji atau mesum di tengah suatu kaum, kecuali Allah akan menimpakan malapetaka kepada mereka seluruhnya. Taatlah kepadaku, selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku melakukan maksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya, tiada kewajiban kalian untuk taat kepadaku. Bangkitlah sekarang untuk menunaikan shalat, semoga Allah menyayangi kalian.”

 

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Demi Allah, aku pernah berjalan bersama Umar pada masa kekhalifahannya, saat itu ia hendak menyelesaikan salah satu keperluannya. Di tangannya ada cemeti. Tiada yang menyertainya ketika itu selain aku. Ia berbicara sendiri, seraya mencambuk bagian luar telapak kakinya dengan cemetinya itu. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku seraya berkata, “Hai Ibnu Abbas, tahukah kamu apa yang mendorongku mengucapkan perkataanku yang kukatakan ketika Rasulullah wafat? Aku menjawab, Aku tidak tahu, wahai Amirul Mukminin, engkau yang lebih tahu.”

 

Umar berkata, “Demi Allah, tiada yang mendorongku mengucapkan perkataan itu kecuali aku membaca ayat ini, Dan demikian itulah Kami jadikan kalian umat yang adil, supaya kalian menjadi saksi-saksi atas manusia, dan supaya Rasul menjadi saksi atas kalian.” (Al-Bagarah (2): 143)

 

Demi Allah, sungguh aku menyangka bahwa Rasulullah akan tetap hidup di kalangan umat beliau sampai beliau mempersaksikan akhir amalan umat itu. Sungguh itulah yang mendorongku untuk mengucapkan perkataanku yang kukatakan pada waktu itu.”

 

Persiapan Pengurusan dan Penguburan Jenazah Rasulullah

 

Ibnu Ishaq berkata, “Tatkala Abu Bakar sudah dibaiat, orang-orang mulai mempersiapkan pengurusan jenazah Rasulullah pada hari Selasa”

 

Abdullah bin Abu Bakar dan Husain bin Abdullah, serta sahabat kami selainnya menceritakan kepadaku:

 

“Ali bin Abu Thalib, Abbas bin Abdul Mutholib, Fadhl bin Abbas, Qutsam bin Abbas, Usamah bin Zaid, dan Syugran mantan budak Rasulullah. Mereka itulah yang mengurusi pemandian jasad Nabi. Bahwasanya Aus bin Khauli, seorang dari Bani Auf bin Khazraj berkata kepada Ali bin Abu Thalib, Aku mempersaksikan kamu kepada Allah, wahai Ali, apa bagian kami dari Rasulullah’ Aus termasuk sahabat Rasulullah dan ikut serta dalam Perang Badar. Ali berkata, “Masuklah? Aus pun masuk dan duduk. Ia kemudian ikut serta memandikan jasad Rasulullah.

 

Ali bin Abu Thalib menyandarkan tubuh Nabi ke dadanya, lalu Abbas, Fadhl, dan Qutsam membalikkan tubuh beliau bersamaan. Usamah bin Zaid dan Syugran mantan budak beliau, dua orang tersebut yang menuangkan air ke tubuh Nabi sedang Ali memandikannya. Ali menyandarkan tubuh Nabi ke dadanya, gamisnya tetap dikenakan pada tubuh beliau sedang Ali menggosok tubuh Nabi dengan gamis itu, sehingga tangannya tidak menyentuh tubuh Rasulullah. Ali berkata, “Sungguh, betapa harumnya engkau, baik ketika masih hidup maupun ketika sudah mati”

 

Tidak terlihat dari Rasulullah sesuatu pun yang biasanya terlihat pada tubuh orang mati.

 

Dari Aisyah, ia berkata, “Tatkala orang-orang itu hendak memandikan Rasulullah, mereka berselisih tentang pelaksanaannya. Mereka berkata, ‘Demi Allah, kami tidak tahu, apakah kami harus menelanjangi Rasulullah sebagaimana kami biasa menelanjangi orang-orang mati di antara kami, atau kami memandikan beliau dalam keadaan tetap mengenakan pakaian beliau?” Tatkala mereka berbeda pendapat seperti itu Allah memberikan rasa kantuk kepada mereka sehingga tiada seorang pun di antara mereka kecuali dagunya menempel di dadanya. Kemudian ada seseorang yang berbicara dari arah rumah, mereka tidak tahu siapa ia, “Mandikanlah Nabi dalam keadaan tetap berpakaian: Mereka pun segera bangkit mendekati tubuh Rasulullah dan mereka memandikan beliau dalam keadaan tetap memakai gamisnya. Mereka menuangkan air ke atas gamis dan mereka menggosoknya, sedang gamis itu berada di bawah tangan mereka.”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Tatkala jasad Rasulullah selesai dimandikan, beliau dikafani dengan tiga lapis kain kafan: dua helai kain shuhara?” dan satu kain burdah hibariah, yang dibuat berlapis beberapa tingkatan?”

 

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Tatkala para sahabat hendak menguburkan Rasulullah, Abu Ubaidah bin Jarrah membuat kuburan syig seperti liang kubur penduduk Mekah. Sedangkan Abu Thalhah Zaid bin Sahl adalah orang yang biasa membuat liang kubur untuk penduduk Madinah, ia membuat lahat. Abbas memanggil dua orang laki-laki, lalu berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Pergilah kamu menemui Abu Ubaidah bin Jarrah: Lalu berkata kepada orang yang satunya, “Pergilah kamu menjumpai Abu Thalhah: Ya Allah, pilihkanlah untuk Rasulullah Lantas orang yang diutus kepada Abu Thalhah berhasil menemui Abu Thalhah lebih dahulu, ia membuat liang lahat untuk Rasulullah

 

Tatkala persiapan penguburan Rasulullah sudah selesai pada hari Selasa, jasad beliau diletakkan di atas ranjang beliau di rumah beliau. Kaum muslim berbeda pendapat tentang penguburannya. Salah seorang dari mereka berkata, “Kami akan menguburkannya di masjidnya.” Yang lain berpendapat, “Tidak, kami akan menguburkannya bersama para sahabatnya.” Abu Bakar berkata, “Sungguh aku mendengar Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang Nabi itu dicabut nyawanya kecuali ia dikuburkan di tempat ia dicabut nyawanya.”

 

Ranjang Rasulullah yang beliau wafat di atasnya diangkat, lalu digali tanah di bawahnya. Kemudian orang-orang masuk ke rumah Rasulullah itu untuk menyalatkan beliau secara berombongan dan bergantian. Sejumlah orang lelaki masuk. Sampai ketika mereka selesai menyalatkan, kaum wanita ganti yang dipersilakan untuk masuk. Ketika kaum wanita selesai menyalatkan beliau, anakanak kecil disuruh masuk. Tiada seorang pun yang mengimami manusia atas Rasulullah.

 

Selanjutnya, Rasulullah dimakamkan pada tengah malam Rabu.

 

Dari Aisyah, ia berkata, “Kami tidak mengetahui penguburan jasad Rasulullah sampai kami mendengar suara penggalian tanah dengan besi pada sebagian waktu malam, pada malam Rabu.”

 

Ibnu Ishaq berkata, “Orang-orang yang turun ke kuburan Rasulullah adalah Ali bin Abu Thalib, Fadhl bin Abbas, Qutsam bin Abbas, dan Syuqran bekas budak Rasulullah.”

 

Aus bin Khauli berkata kepada Ali bin Abu Thalib, “Hai Ali, aku mempersaksikan engkau kepada Allah, apa bagian kami dari Rasulullah” Ali berkata kepadanya, “Turunlah kamu!” Lalu Aus pun turun ke liang kubur Nabi.

 

Mantan budak beliau, Syuqran —ketika jasad Nabi diletakkan di liang kuburnya dan mulai dirapikan liangnya ia sudah mengambil kain yang biasa digunakan sebagai selimut, yang dahulu dipakai oleh Rasulullah dan digunakan sebagai alas oleh beliau, lalu ia memasukkannya ke dalam liang kubur beliau seraya berkata, “Demi Allah, tiada seorang pun yang akan menggunakannya sepeninggalmu selama-lamanya.”

 

Syuqran berkata, “Lalu kain selimut itu dikuburkan bersama jasad Rasulullah.”

 

Mughirah bin Syu’bah berasumsi bahwa dialah orang terakhir yang menyentuh tubuh Rasulullah. Ia berucap:

 

“Aku mencabut cincinku lalu kulemparkan ke liang kubur Nabi, lalu aku berkata, “Cincinku jatuh dariku? Padahal sebenarnya aku sengaja melemparkannya agar aku dapat menyentuh tubuh Rasulullah. Karena itulah aku menjadi orang terakhir yang menyentuh beliau.”

 

Dari Miqsam bin Abul Qasim, bekas budak Abdullah bin Harits bin Naufal, dari mantan tuannya, yakni Abdullah bin Harits, ia berkata:

 

“Aku menunaikan ibadah umrah bersama Ali bin Abu Thalib pada zaman kekhalifahan Umar atau zaman kekhalifahan Utsman. Ali beristirahat di rumah saudara perempuannya, Ummu Hani binti Abu Thalib. Tatkala selesai dari ibadah umrahnya, Ali pulang. Dibawakan bejana untuk mandi kepadanya lalu ia mandi. Setelah selesai dari mandinya, sekelompok dari penduduk Irak datang menemuinya. Mereka berkata, “Wahai Abu Hasan, kami datang kepadamu untuk bertanya kepadamu perkara yang kami senang bila engkau berkenan memberitahukannya kepada kami:

 

Ali menerka arah omongan mereka, ‘Aku menyangka Mughirah bin Syu’bah menceritakan kepada kalian bahwa ja adalah orang terakhir yang bersama Rasulullah: Orang-orang Irak itu menjawab, Ya, hal itulah yang hendak kami tanyakan kepadamu. Ali berkata, “Orang terakhir yang bersama Rasulullah adalah Qutsam bin Abbas.”

 

Dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, bahwasanya Aisyah menceritakan kepadanya, ia berkata: “Rasulullah diselimuti dengan selimut berwarna hitam ketika beliau menderita sakit yang parah” Aisyah tes berkata, “Beliau meletakkan selimut itu terkadang ke atas wajahnya, tetapi terkadang beliau menyingkapkannya dari wajah. Beliau bersabda, “Semoga Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai masjid-masjid!” Beliau menyampaikan ancaman ini kepada umat beliau?”

 

Dari Aisyah, ia berkata: “Akhir masa hidup Rasulullah adalah ketika beliau bersabda, “Di Jazirah Arab tidak akan dibiarkan adanya dua agama.”

 

Ibnu Ishaq bertutur, “Tatkala Rasulullah wafat, peristiwa itu menjadi musibah terbesar dan terberat bagi kaum muslim. Aisyah -menurut riwayat yang sampai kepadaku berkata: “Tatkala Rasulullah wafat, orang-orang Arab murtad, kalangan Yahudi dan Nasrani muncul memerhatikan situasi dan kondisi, kaum munafik menampakkan diri, kaum muslim menjadi layaknya kambing yang dihamburkan, beterbangan di malam musim dingin karena kehilangan Nabi mereka, sampai Allah mengumpulkan mereka semua di bawah kepemimpinan Abu Bakar.”

 

Ibnu Hisyam bertutur,

 

Abu Ubaidah dan ulama lainnya menceritakan kepadaku: “Mayoritas penduduk Mekah, ketika Rasulullah wafat, ingin keluar dari Islam. Mereka menginginkan hal itu, sampai Attab bin Asid?’ takut terhadap mereka, lalu ia bersembunyi. Suhail bin Amru bangkit dan berpidato. Ia memuji Allah dan menyanjung kepada-Nya. Kemudian ia menyebutkan tentang wafatnya Rasulullah, dan berkata, “Sungguh itu tidak akan menambahi Islam kecuali kekuatan. Siapa saja yang meragukan kami, kami akan penggal lehernya!”

 

Orang-orang lalu kembali taat. Mereka menahan diri dari apa yang mereka inginkan. Attab bin Asid keluar dari persembunyiannya dan menampakkan diri lagi.

 

Inilah kedudukan yang dikehendaki oleh Rasulullah pada sabda beliau kepada Umar bin Khathab: “Sungguh, mudah-mudahan ia akan menempati kedudukan yang kamu tidak akan mencelanya lagi.”

 

Hasan bin Tsabit bersajak sembari menangisi Rasulullah, menurut yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam, dari Abu Zaid Al-Anshari:

 

Di Madinah ada bekas rumah milik Rasul dan pendidikannya…

Yang bersinar dan sungguh bekas-bekas itu masih kuat

Jangan kau hilangkan tanda-tanda itu dari rumah kehormatan…

Di sana ada mimbar penyebar hidayah yang biasa ia naiki

Jelas bekas dan tanda pengenalnya yang tersisa…

Dan langkahnya di mushala dan masjid

Di sana ada kamar-kamar yang beliau tinggal di dalamnya…

Dari Allah cahaya yang dijadikan penerang dan dinyalakan

Tanda pengenal yang tidak akan terhapus oleh zaman…

Kerusakan datang kepadanya, tetapi ia terus terperbarui

Aku mengetahui dengannya jejak Rasul dan masanya…

Dan kubur di sana menguburkan beliau si pengubur lahat

Aku berada di sana menangisi Rasul lalu melihatlah…

Banyak mata, demikian juga pelupuk mata menjadi jelas

Mereka mengingat nikmat-nikmat Sang Rasul dan aku tak melihat…

Padanya penyia-nyiaan diriku sedang diriku yang bebal

Tiba-tiba melemahkannya peristiwa kehilangan Ahmad…

Maka jadilah berbagai nikmat Sang Rasul itu terhitung lagi

Tidaklah sampai dari segala urusan itu kesedihannya…

Akan tetapi, untuk diriku telah didapati kesedihan

Sekian lama berdiri menjadikan mata mencucurkan air mata…

Terhadap peninggalan yang nampak, yakni kubur yang di dalamnya ada Ahmad

Maka diberkahilah hai kubur Rasul dan diberkahi pula…

Negeri yang di sana orang yang lurus dan dibenarkan itu pernah hidup di sana

Diberkahi pula liang lahat darimu mengandung keharuman…

Di atasnya ada bangunan dari bebatuan yang ditata, satu di atas yang lainnya

Menimpanya tanah di tangan dan mata…

Di atasnya, sedang sudah sampai Tihamah dengan itu lebih berbahagia

Sungguh mereka telah kehilangan kesantunan, ilmu, dan kasih sayang…

Sore itu di atasnya debu tanah tanpa bantal

Mereka pulang sore dengan kesedihan, tiada lagi Nabi mereka menyertai mereka…

Sungguh menjadi lemah dari mereka kekuatan dan lengan

Mereka menangisi seseorang yang ditangisi pula oleh langit pada hari itu…

Dan bumi menangisinya sehingga manusia semuanya menjadi kelabu

Adakah yang setara dengan suatu hari yang menerima bakti orang yang mati…

Penerimaan bakti hari yang Muhammad mati padanya?

Sudah putus pada hari itu orang yang diturunkan wahyu kepadanya dari mereka…

Sungguh ia mempunyai cahaya yang mengenai tanah yang rendah dan menyelimuti Najed

Menunjukkan kepada Ar-Rahmman orang yang meneladaninya…

Dan menyelamatkan dari kengerian, keterhinaan dan memberi petunjuk Imam mereka menunjuki mereka kebenaran dengan sungguh-sungguh…

Pengajar kejujuran bila mereka menaatinya, mereka berbahagia

Memaafkan kesalahan dan menerima alasan ketidakmampuan mereka…

Jika mereka berbuat baik maka Allah itu lebih dermawan terhadap kebaikan

Jika terlewat suatu perkara mereka tidak dapat mengerjakannya…

Maka dari hadapannya keringanan itu dikukuhkan

Ketika mereka berada di dalam nikmat Allah di antara mereka…

itulah dalil metode jalan yang dituju

Berat baginya bila orang-orang menyimpang dari petunjuk…

Ia sangat ingin mereka menjadi istiqamah dan mendapat petunjuk

Sangat penyantun kepada mereka tidak terkecualikan sayapnya…

Ke samping ia menyayangi mereka dan mendidik

Ketika mereka berada di petunjuk ini saat berangkat pagi…

Menuju cahaya mereka, panah dari kematian menimpa

Maka ia menjadi terpuji kepada Allah sebagai orang yang pulang…

Menangisinya hak-hak malaikat yang diutus dan ia dipuji

Negeri Haram memasuki waktu sore dalam keadaan liar daerahnya…

Karena ketiadaan wahyu yang biasanya turun dan tersedia

Bagai sarang kecuali lahat yang dimakmurkan sempitnya…

Itulah sejengkal tanah yang ditangisi, tanah datar dan pohon Gharqad

Dan masjidnya menjadi asing karena kehilangan ia…

Sepi darinya di dalamnya ada tempat berdiri dan tempat duduk

Dan di Jumrah Kubra juga terasa asing di sana…

Rumah-rumah, halaman, rumah dan tempat lahir

Maka tangisilah Rasulullah wahai mata, dengan bersedih hati…

Aku benar-benar tak mengetahui sepanjang zaman ini kapan air matamu berhenti mengalir

Mengapa kamu tidak menangisi orang yang memiliki nikmat yang…

Atas manusia darinya sempurna dan diinginkan

Maka dermawanlah untuknya dengan air mata dan keraskan suara tangismu…

Karena kehilangan orang yang tiada taranya sepanjang zaman

Tiada orang-orang dahulu pernah kehilangan orang yang setara dengan Muhammad…

Tiada pula yang semisal dengannya sampai kiamat berlalu

Paling pemaaf dan paling penyempurna perlindungan sesudah perlindungan…

Paling dekat darinya mendapatkannya tanpa dikeruhkan dengan pengumpatan pemberian

Paling berderma dalam harta yang baru dan harta waris…

Ketika pemberi lainnya bersikap kikir dengan apa yang pasti akan hilang

Paling mulia sebutan baiknya di rumah-rumah ketika berkembang…

Paling mulia kedermawanannya sampai ke dataran lebar di Mekah dan dijadikan pemimpin

Puncak yang paling melindungi dan tetap kukuh berada di atas…

Penopang kemuliaan tinggi dimuliakan Meneguhkan cabang pada cabang-cabang dan tempat tumbuh…

Dan batang yang gizinya adalah awan hujan maka batangnya penuh gizi

Memeliharanya sebagai anak sehingga sempurna kesempurnaannya…

Atas paling mulianya kebaikan Sang Pemelihara yang dipuji

Berakhir para pewasiat muslim di telapak tangannya…

Maka tiada ilmu tertahan dan tiada pendapat yang terhilangkan

Aku katakan dan tidak ada aib dicampakkan pada perkataanku…

Dari manusia kecuali orang yang hilang akalnya terjauhkan dari kebaikan

Tiada penyimpangan yang muncul dari menyanjungnya…

Mudah-mudahan aku bersamanya di Surga kekal abadi

Bersama Al-Mushthafa (orang pilihan), aku mengharapkan bertetangga dengannya…

Juga dalam mendapatkan hari itu aku akan berusaha dengan sungguh-sungguh

Hasan bin Tsabit juga bersyair sembari menangisi Rasulullah

Mengapa matamu tak tidur seolah-olah…

Dicelaki aliran air dengan celak sakit radang mata

Keluh kesah atas Al-Mahdi yang menjadi sosok yang dimakamkan…

Wahai kebaikan orang yang menginjak kerikil tanpa merusaknya

Wajahku menjagamu dari tanah teriakanku alangkah senangnya aku…

Bila aku mati sebelummu di Bagi’ Al-Ghargad

Sungguh, siapa yang kusaksikan wafatnya…

Pada hari Senin, Sang Nabi yang memberi petunjuk

Aku pun menjadi bingung sesudah wafatnya…

Sangat bingung, alangkah senangnya bila aku belum dilahirkan

Atau aku tinggal sepeninggalmu di Madinah di antara mereka…

Alangkah senangnya aku diberi minum racun hitam ular pagi tadi

Atau bencana dari Allah menimpa kami segera…

Pada sore hari karmni ini atau esok harinya

Lantas terjadilah kiamat sehingga kami menemui kebaikan…

Yang murni, karakternya mulia dan asli

Wahai perawan Aminah yang diberkahi keperawanannya…

Ia melahirkannya dalam keadaan sudah menikah dengan kebahagiaan yang

sangat bahagia Cahaya menerangi makhluk seluruhnya…

Orang yang diberi hadiah untuk cahaya yang diberkahi menunjuki

Wahai Tuhan kumpulkanlah kami bersama Nabi kami…

Di Surga terpalingkan dari mata-mata pendengki

Di Surga Firdaus maka tetapkanlah kami untuknya…

Wahai Dzat Yang memiliki kemuliaan, ketinggian dan kekuatan

Demi Allah aku tidak mendengar apa yang aku masih hidup dengan orang yang sudah mati…

Kecuali aku menangisi Muhammad Sang Nabi

Wahai Anshar para penolong Nabi dan rombongannya…

Sesudah orang yang hilang di datarnya liang lahat

Menjadi sempit bagi orang Anshar negeri ini, mereka menjadi…

hitam wajahnya seperti warna celak itsrmid

Sungguh kami melahirkan ia dan di tengah kami kuburannya…

Dan keutamaan nikmatnya dengan kami tak pernah membantah

Semoga Allah memuliakan kami dan memberi petunjuk dengannya…

Para penolongnya pada setiap saat yang dialami

Tuhan kami menyelawatkannya dan siapa saja yang mendekat ke ArsyNya…

Sedang orang-orang yang baik atas keberkahan Ahmad

Ibnu Ishaq berkata, Hasan bin Tsabit bertutur menangisi Rasulullah

Beritahulah orang-orang miskin bahwa kebaikan telah memisahi mereka…

Bersama Nabi yang pergi dari mereka pada waktu pagi

Siapakah yang padanya ada pelanaku dan kendaraanku…

Dan rezeki keluargaku apabila mereka tidak mendapatkan hujan

Ataukah siapa yang kami tegur tanpa kami khawatirkan keburukannya…

Ketika lisan melampaui batas dalam berkata-kata atau berbicara serampangan

Sinar dan cahaya itu mengikutinya…

Sesudah tuhan demikian juga pendengaran dan penglihatan

Alangkah sedihnya hari kami menguburkannya di liang lahat…

Mereka berpisah dengannya dan menaburkan tanah di atasnya Allah tidak meninggalkan dari kami sepeninggalnya seorang pun…

Tiada yang hidup sesudahnya baik wanita maupun pria

Yang semua Bani Najar tunduk kepadanya…

Itulah perintah dari perintah Allah sudah ditakdirkan

Harta fai sudah dibagi tanpa manusia seluruhnya…

Mereka menetapkannya secara terang-terangan di antara mereka secara sia-sia Hasan bin Tsabit berujar seraya menangisi Rasulullah

Alangkah senangnya bila apa yang ada pada semua manusia itu bersungguh-sungguh…

Dariku sumpah baik bukan dusta

Demi Allah, tidaklah hamil perempuan dan tidak melahirkan…

Anak yang setara dengan Sang Rasul Nabi umat ini sang pemberi hidayah

Tidaklah Allah menciptakan makhluk dari para makhluk-Nya…

Yang lebih sempurna melindungi tetangganya atau menyempurnakan janji

Daripada orang yang keberadaannya di antara kami dijadikan cahaya penerang…

Diberkahi urusannya memiliki keadilan dan petunjuk

Istri-istrimu berangkat meninggalkan rumah-rumah itu maka tidaklah…

Mereka memukul di atas tengkuk tirai dengan pasak

Seperti para rahib mereka memakai baju yang buruk, sungguh…

Mereka meyakini kehancuran sesudah kenikmatan yang tampak

Wahai sebaik-baik manusia, sungguh aku berada di suatu siang…

Aku menjalani waktu pagi darinya seperti orang yang sendirian dan kehausan

 

Ibnu Hisyam berkata, “Bait pertama tidak diriwayatkan dari selain Ibnu Ishaq”

 

Didapati pada akhir naskah yang asli tulisan sebagai berikut: “Ini adalah akhir kitab, segala puji yang banyak dan berlimpah untuk Allah, shalawat dan salam-Nya semoga senantiasa diberikan kepada sayidina Muhammad, keluarganya yang baik dan suci, serta para sahabatnya yang terpilih dan mendapat petunjuk”

 

Bersajak kepadaku Abu Muhammad bin Abdulwahid, dari Muhammad bin Abdurahman Al-Barqi, ia berkata, “Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam sudah menuliskan secara menyeluruh kitab sirah ini yang juga dihadiri oleh sejumlah ulama yang fasih berbahasa Arab, lantas ia bersyair:

 

Selesai, sempurna kitab ini dan edisi cetaknya menjadi…

Dua puluh juz yang semuanya diridhai

Sempurna, tanpa ada kekeliruan dan kesalahan…

Baik pada syakal, bahasa asing, maupun syair

Juga periwayatan sampai sahih pembawanya…

Sebagian ulama dari sebagian ulama yang lainnya

 

Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam ini selesai disusun pada malam Kamis, yakni malam pertama dari bulan Ramadhan tahun 1383 H.

 

Segala puji milik Allah Yang dengan nikmat-Nya semua amal shalih menjadi sempurna.

 

Penulis Abdusalam Muhammad Harun